Disertasi Setiyono: Formulasi Pertanggungjawaban Pidana

advertisement

Disertasi Setiyono: Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Perlindungan

Konsumen

Kebijakan formulasi tentang konsep korporasi sebagai subyek hukum pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan konsep yang kabur. Subyek hukum pidana, selain orang perseorangan adalah badan usaha, termasuk didalamnya adalah korporasi, meskipun belum ditentukan secara eksplisit. Kebijakan penentuan konsep korporasi sebagai subyek tindak pidana seperti ini dapat berpengaruh terhadap kebijakan aplikasi. Hal ini berbeda dengan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) di Malaysia, Philipina,

Canada dan Finlandia yang telah menentukan secara eksplisit dalam

Undang-Undangnya. Demikian diantara hasil penelitian yang disebut

Promovendus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH-UB), Setiyono, dalam disertasinya.

Dihadapan majelis penguji, Selasa (21/6), ia mempertahankan disertasi tersebut yang berjudul

“Kebijakan Formulasi Tentang Pertanggungjawaban PIdana Korporasi Dalam Tindak Pidana di

Bidang Perlindungan Konsumen”.

Majelis penguji yang terlibat dalam ujian terbuka ini meliputi Prof. Dr. Made Sadhi Astuti, SH

(promotor), Prof. Masruchin Ruba’i, SH, MS (ko-promotor), Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH, MH

(ko-promotor), Prof. Dr. Kusno Adi, SH, MS; Dr. Sumiyanto, SH, MH; Dr. Prija Djatmika, SH, MH dan Dr. Sarwirini, SH, MS.

Selain menganalisis konsep korporasi, Dosen FH Universitas Merdeka Malang ini juga membahas kriteria, sistem pertanggungjawaban dan sistem sanksi terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. Dengan tetap membandingkan pada keempat negara yakni Malaysia, Philipina, Canada dan Finlandia, menurutnya Indonesia belum memiliki kebijakan formulasi tentang kriteria korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. Padahal, ia menambahkan, kriteria ini menentukan luas sempitnya pertanggungjawaban pidana korporasi. Canada dan Finlandia memiliki kriteria lebih luas dengan memasukkan “wakil” atau “perwakilan” ke dalam pengertian “orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi”. Sementara Malaysia dan Philipina tampak lebih konsisten dengan batasan organ dari suatu korporasi sebagaimana konsep pemikiran teori organ.

Sebagai konsekuensi belum diaturnya kriteria, UUPK juga belum mengatur sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. Berbeda dengan UUPK Malaysia dan Philipina, sistem pertanggungjawaban pidana kedua negara tersebut dapat dipahami dari teori identifikasi.

Dimana perbuatan dan sikap batin senior officer dalam struktur korporasi diidentifikasikan sebagai perbuatan dan sikap batin korporasi. Sedangkan di Canada, Finlandia dan Afghanishtan

dapat dipahami dari delegation theory, karena memasukkan wakil atau perwakilan yang bukan

senior officer atau organ dari suatu korporasi ke dalam pengertian orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi. Melihat hal ini, ia menyarankan agar pada masa mendatang, tindak pidana perlindungan konsumen merupakan perpaduan konsep pemikiran dari teori identifikasi dan teori delegasi.

Terkait jenis sanksi, menurutnya pola perumusan yang ditempuh UUPK adalah alternatif antara pidana penjara dan pidana denda. Pola ini bila diterapkan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana, pada hakikatnya merupakan pola perumusan tunggal karena korporasi tidak dapat dijatuhi pidana penjara. Hal ini berarti bahwa jenis sanksi yang dapat dijatuhkan hanyalah pidana denda, yang terkesan merupakan jenis pidana tunggal, yang kaku, absolute dan imperative. Untuk mengatasi hal ini, ia mengambil contoh Afghanishtan yang mengatur jenis sanksi pidana tambahan berupa perampasan dan publikasi putusan pengadilan sebagai sanksi pidana tambahan, serta penghentian aktivitas dan pembubaran korporasi sebagai sanksi tindakan.

Diantara rekomendasi yang diberikan, terkait sanksi Setiyono menggunakan sistem dua jalur yakni sanksi pidana (punishment) dan sanksi tindakan (treatment) dengan mengakui kesetaraan keduanya. Konsep sistem dua jalur ini dimasukkannya dalam Pasal baru yakni Pasal 62A dengan rumusan: (1). “Jenis Sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi yang melakukan tindak pidana adalah sanksi pidana dan sanksi tindakan”. (2). “Sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda dan pidana pembayaran ganti rugi”. [nok]

Setiyono’s Dissertation: The Formulation of Corporate Criminal Liability in

Consumer Protection

Formulation policy about the concept of corporation as the subject of criminal law in the Consumer Protection Act (UUPK) is a fuzzy concept. The subject of criminal law, other than an individual is an entity which includes corporations, though not yet explicitly determined. Policy determination of the concept of corporation as the subject of a criminal act can influence the policy application.

It differs from the Consumer Protection Act (UUPK) in Malaysia, the Philippines,

Canada and Finland which has defined explicitly in their laws. Similarly, among the results of research called Promovendus Law Faculty Universitas Brawijaya (FH-UB), Setiyono, in his dissertation. In front of the board of examiners on Tuesday (21/6), he defended his dissertation entitled

"Policy Formulation about Corporate Criminal Liability in the Field of Crime in Consumer Protection".

The board of examiners in an open examination included Prof. Dr. Made Sadhi Astuti, SH (a promoter),

Prof. Masruchin Ruba'i, SH, MS (a co-promoter), Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH, MH (a co-promoter),

Prof. Dr. Kusno Adi, SH, MS; Dr. Sumiyanto, SH, MH; Dr. Prija Djatmika, SH, MH and Dr. Sarwirini, SH, MS.

In addition to analyze the concept of corporation, a Lecturer of Faculty of Law in Universitas Merdeka

Malang also discussed the criteria, the accountability system and the system of sanctions against corporate crime in the area of consumer protection. By continuing to compare with the four countries, namely Malaysia, Philippines, Canada and Finland, according to him, Indonesia had not yet formulated a policy on corporate criteria of committing criminal offenses in the field of consumer protection. In fact, he added, these criteria determine the extent of the narrowness of corporate criminal liability. Canada and Finland have broader criteria to include "a representative" or "an agency" in the sense of "those who act for and on behalf of the corporation". While Malaysia and the Philippines seem more consistent with the boundaries of organs from a corporation as the concept of thinking organ theory.

As a consequence of the criteria that has not been arranged, UUPK also has not setup a system of corporate criminal liability. In contrast to the Malaysia’s UUPK and Philippines, the system of criminal responsibility of both countries can be understood from the theory of identification. Where actions and mental attitude in the corporate structure of the senior officers are identified as corporate actions and mental attitude. While in Canada, Finland and Afghanishtan, it can be understood from the delegation theory, due to enter a representative or agency who are not senior officers or organs from a corporation in terms of people who act for and on behalf of the corporation. Seeing this, he suggested that in the future, a crime is a fusion concept of consumer protection rationale of the identification theory and the theory of delegation.

Related to the types of sanctions, according to him, the formulation pattern which is used by UUPK is an alternative between imprisonment and criminal fines. This pattern when applied to corporate crime, is in essence a single formulation of the pattern because the corporation can not be sentenced to prison.

This means that the type of sanctions can be imposed is a fine, which impressed a single offense type, rigid, absolute and imperative. To overcome this, he takes the example of Afghanishtan which governs additional types of criminal sanctions in the form of expropriation and the publication of court decisions as an additional criminal sanctions, as well as the cessation of activities and dissolution of the corporation as a sanction action.

Among the provided recommendations, related to sanctions, Setiyono used the two-track system of criminal sanctions (punishment) and the sanctions measures (treatment) by recognizing the equality of both. The concept of two-track system is the inclusion in the new Article, namely Article 62A to the formula: (1). "This type of sanctions that can be imposed on corporate crime is a criminal sanction and the sanction measures." (2). "Criminal sanctions can be imposed on the principal that corporations are criminal fines and criminal restitution payments." [nok]

Download