DARI REDAKSI DEXA MEDIA Sidang Pembaca yang terhormat, jurnal kedokteran dan farmasi Dexa Media di edisi ini menampilkan dua artikel utama yang berjudul “The Role of Cefepime: Empirical Treatment in Critical Illness” . Cefepime merupakan antibiotika dari kelas beta-lactam yang mana Cefepime dapat digunakan sebagai terapi empiris pada infeksi Nosokomial, khususnya dalam artikel ini dibahas penggunaan Cefepime di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Sedangkan artikel utama lainnya yang berjudul “Pemakaian Cetirizine dan Kortikosteroid pada Penyakit Alergi Anak”. Di mana Cetirizine merupakan antihistamin yang sangat kuat dan spesifik. Cetirizine juga merupakan antagonis reseptor histamin-1 (H1) generasi kedua yang aman digunakan pada terapi alergi. Laporan Kasus yang kami tampilkan membahas mengenai Light Chain Myeloma. Kasus ini melaporkan seorang penderita laki-laki berusia 66 tahun dengan tanda-tanda dan gejala klasik multiple myeloma disertai lytic bone lesions, tetapi gambaran elektroforesa protein serum normal, sedangkan elektroforesa protein urine menunjukkan adanya light chain proteinuria. Dari pemeriksaan aspirasi sumsum tulang didapatkan infiltrasi sel plasma sebanyak 95%. Kasus ini memenuhi kriteria multiple myeloma menurut Durie & Salmon. Untuk membuktikan tipe light chain myeloma lebih lanjut dapat dilakukan urine immunofixation test. Untuk lebih jelasnya lagi silahkan membaca artikel ini. Kami juga menampilkan beberapa artikel menarik lainnya dari rubrik Tinjauan Pustaka. Kami terus mengundang para dokter dan apoteker untuk memberikan hasil karya tulisannya dalam bentuk Tinjauan Pustaka, Laporan Kasus dan Artikel Penelitian. Penasehat Ir. Ferry Soetikno, M.Sc., M.B.A. Ketua Pengarah/Penanggung Jawab Dr. Raymond R. Tjandrawinata, M.S., M.B.A. Pemimpin Redaksi Dwi Nofiarny, Pharm., Msc. Redaktur Pelaksana Tri Galih Arviyani, S.Kom. Staf Redaksi Drs. Karyanto, MM dr. Prihatini Hendri dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni dr. Lydia Fransisca Hermina Tiurmauli Tambunan Gunawan Raharja, S.Si., Apt. Liana W. Susanto, Mbiomed dr. Ratna Kumalasari Yohannes Wijaya, S.Si., Apt. Peer Review Prof. dr. Arjatmo Tjokronegoro, Ph.D., Sp.And. Prof. Dr. dr. Darmono, Sp.PD-KEMD Prof. Dr. dr. Djokomoeljanto, Sp.PD-KEMD Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D. Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S. Prof. dr. Sudradji Soemapraja, Sp.OG. Prof. Dr. dr. H. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FACE Prof. dr. Wiguno Prodjosudjadi, Ph.D., Sp.PD-KGH Redaksi/Tata Usaha Jl. R.S. Fatmawati Kav. 33 Telp. (021) 7509575 Fax. (021) 75816588 Email: tri.galih@dexa-medica.com Rekomendasi Depkes RI Salam!!!!!!! DAFTAR ISI Pengantar Redaksi Petunjuk untuk Penulisan Dexa Media 57 58 Artikel Utama The Role of Cefepime: Empirical Treatment in Critical Illness Pemakaian Cetirizin dan Kortikosteroid pada Penyakit Alergi Anak 59 68 Laporan Kasus: Light Chain Myeloma 74 0358/AA/III/88 Tinjauan Pustaka: Ijin Terbit 1289/SK/Ditjen PPG/STT/1988 Efek Kortikosteroid Terhadap Metabolisme Sel; Dasar Pertimbangan Sebagai Tujuan Terapi Pada Kondisi Akut Maupun Kronik Infeksi Gonore Pada Anak Terapi Antibiotika Empiris Pada Sepsis Berdasarkan Organ Terinfeksi Terapi Hemorheologi Terapi Bedah Pada Varises 77 81 85 91 96 Profil: Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur Hermawan, Sp.PD-KPTI 99 Sekilas Dexa Medica Group Cover: Mekanisme Antibiotik SUMBANGAN TULISAN Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto, dan materi lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Tulisan yang tidak dimuat akan dikembalikan. Redaksi berhak mengedit atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah isi yang dimuat apabila dipandang perlu. DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 Membangun Brand, OTC Dexa Ikuti Fun Bike Hari TB Internasional Branding OGBdexa Saat Munas PAFI Dua Tahun Berturut-Turut: Dexa Medica Raih Employer of Choice Kalender Peristiwa Penelusuran Jurnal Daftar Iklan: Exepime, Ketricine, Stimuno, Toxilite 101 101 102 103 104 57 PETUNJUK PENULISAN Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi. 1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan. 2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di program MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui e-mail kami. 3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan tidak timbal balik. 4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata. 5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecah menjadi anak judul. 6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas. 7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan 8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh penulisan daftar pustaka. 9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup. 10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan. 11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer reviewer. 12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada), no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemunculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir. Artikel dalam jurnal 1. Artikel standar Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12 2. Suatu organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4 3. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15 4. Artikel tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2 5. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82 6. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97 7. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6 8. Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8 9. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4 10.Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the 58 cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33 11. Nomor halaman dalam angka romawi Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii Buku dan monograf lain 12.Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996 13.Editor sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996 14.Organisasi sebagai penulis Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program. Washington:The Institute; 1992 15.Bab dalam buku Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya). Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press; 1995.p.465-78 16.Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10 t h International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 1519; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996 17.Makalah dalam konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7 th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 61 0 ; G e n e va , S w i t ze r l a n d . A m s t e r d a m : N o r t h - H o l l a n ; 1992.p.1561-5 18.Laporan ilmiah atau laporan teknis Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860 Diterbitkan oleh unit pelaksana: Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services R e s e a r c h : W o r k F o r c e a n d E d u c a t i o n I s s u e s. Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research 19. Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995 20.Artikel dalam koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5) 21.Materi audio visual HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year Book; 1995 Materi elektronik 22.Artikel jurnal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from: URL:HYPERLINK 23.Monograf dalam format elektronik CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CDROM]. Reeves JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995 24.Arsip komputer Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 ARTIKEL UTAMA The Role of Cefepime: Empirical Treatment in Critical Illness A Guntur H Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Moewardi - Fakultas Kedokteran UNS Surakarta Abstrak. Terapi secara empiris pada suatu daerah, dilakukan berdasarkan pada pola kuman yang didapatkan pada rumah sakit setempat berdasarkan pola kuman dan uji kepekaan. Penelitian yang dilakukan pada infeksi nosokomial di RSUD Dr Moewardi menunjukkan bahwa cefepime dapat digunakan sebagai terapi secara empiris. Pendahuluan Cefepime merupakan antibiotik dari kelas beta-lactam. Cefepime merupakan generasi keempat dari cephalosporin. Kebanyakan turunan semisintetik dan strukturnya berhubungan dengan analog rumus bangunnya yang telah diidentifikasi sebagai dasar molekul cephalosporin (7-aminocephalosporanic acid), yang terdiri dari suatu cincin hexagonal (dihydrothiaziolidine) yang dipadukan ke dalam cincin betalactam. Molekul dasar ini adalah sebagai inti cephem. Penggantian pada posisi 3 dan 7 telah dibuat untuk meningkatkan spektrum antimikrobial dan sifat farmakokinetik dari cephalosporins. Cefepime mirip generasi ketiga aminothiazole cephalosporins di mana di dalamnya mempunyai suatu gugus aminothiazolyl-methoxyimino pada posisi 7 inti cephem. Gugus ini akan mempengaruhi stabilitas dari beta-lactamase dan peningkatan aktivitas terhadap gram-negatif. Cefepime adalah suatu zwitter ion, artinya merupakan suatu ion dipolar yang tidak mempunyai muatan. Cefepime adalah zwitter ion sebab mempunyai suatu muatan negatif pada posisi 4 pada inti cephalosporin dan suatu substituen yang mengandung nitrogen kuartener (muatan positif) pada posisi 3 dari inti. Hal ini sebagai bullet-shaped. Konfigurasi tertentu DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 ini bertanggung jawab untuk penetrasi yang cepat dari cefepime melalui membran luar dari bakteri gram-negatif dan sebagai salah satu kunci dari potensi antibakterialnya. Hal ini dibuktikan dari terjadinya penetrasi sel yang cepat, disebabkan dari efek penolakan dari anion tertentu pada periplasma tidak terjadi pada campuran ion dipolar ini. Modifikasi struktur inti cephem untuk menghasilkan cefepime menciptakan suatu antibiotik dengan suatu spektrum antimikrobial yang seimbang dan lebar dan suatu potensi yang berharga untuk perawatan infeksi, baik gram positif maupun gram negatif.1 Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan setelah penderita dirawat di rumah sakit baik tumbuh pada saat dirawat di rumah sakit juga pada penderita yang pulang dari rumah sakit.2,3 Infeksi Nosokomial sangat nyata merupakan penyebab kesakitan dan kematian. Infeksi nosokomial dapat terjadi oleh karena tindakan iatrogenik terutama yang mengalami tindakan-tindakan instrumenisasi ataupun intervensi pada saat dirawat di rumah sakit, misalnya pemasangan kateter, infus, tindakan-tindakan operatif lainnya.4 59 Infeksi Oportunistik terjadi pada penderita yang mengalami immunocompromised yang dirawat di rumah sakit, infeksi bisa berasal dari luar dan dari dalam penderita sendiri yang (AUTOCHTHOUS INFECTION) yang disebabkan oleh karena kerusakan barier mukosa. Infeksi nosokomial transmisi berasal dari dokter, perawat dan pelayan medik yang lain bisa berasal dari tangan yang tidak steril, infeksi dari makanan, minuman atau ventilasi, kateter dan alat endoscopi ataupun tindakan invasif yang lain.5-7 Infeksi nosokomial dapat terjadi oleh karena tindakan iatrogenik terutama yang mengalami tindakan-tindakan instrumenisasi ataupun intervensi pada saat dirawat di rumah sakit, misalnya pemasangan kateter, infus, tindakan-tindakan operatif lainnya. 4 Epidemiologi Infeksi nosokomial mempunyai angka kejadian 2-12% (rata-rata 5%) dari semua penderita yang dirawat di rumah sakit. Angka kematian 1-3% dari semua kasus yang dirawat di rumah sakit di USA 1,5 juta per tahun dan meninggal 15.000 orang. Kennedy menyebut ICU sebagai ”hutan epidemiologis” karena begitu banyaknya organisme yang berkembang di unit tersebut. Organisme utama yang menyebabkan infeksi nosokomial meliputi P. aeruginosa (13%), S. aureus (12%), Staphyloccoccus koagulase-negatif (10%), Candida (10%), Enterococci (9%) dan Enterobacter (8%). Di negara berkembang angka kejadian infeksi nosokomial belum banyak diketahui dengan pasti.8 Faktor Kuman Penyebab Infeksi Nosokomial Paling banyak adalah bakteri gram (-) sebab makin banyaknya kuman bakteri gram (-) yang resisten terhadap beberapa macam antibiotika. Bakteri gram (+) misalnya: Streptococus, Staphilococcus aurius. Dan juga bakteri anaerob. Pada Rumah Sakit yang kapasitasnya besar, di mana mempunyai tempat tidur >200 s/d 500 banyak di temukan infeksi nosokomial yang berasal dari gram positif. Misalnya: Methicillinresistant Staphylococcus aureus (MRSA).9-10 Faktor Penjamu Pada penderita dengan immunocompromised sangat rentan terhadap infeksi nosokomial, yang termasuk dalam immunocompromised adalah: 60 - - Defek sistem imun humoral yang menyebabkan defisiensi komplemen dan antibodi yang mengakibatkan gangguan opsonisasi dan bakterisidal. Defek sistem imun seluler yaitu sistem fagositosit (neutrofil, makrofag) dan sistem imun seluler spesifik. Penggunaan obat-obatan imunosupresan dan sitostatika. Penyakit-penyakit kanker, autoimun, diabetes mellitus, sirosis hati, gagal ginjal kronik, luka bakar. Menurut Dale DC penderita immunocompromised yang termasuk juga manusia usia lanjut bila terkena infeksi nosokomial mudah terjadi sepsis dan sering mengalami komplikasi yang mematikan yaitu syok septik. 7,11,12 Infeksi nosokomial yang sering dijumpai adalah infeksi luka, infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran kencing dan infeksi saluran cerna.13 Penyakit infeksi yang masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian yang tinggi di seluruh dunia, khususnya di negara sedang berkembang seperti Indonesia sangat berkaitan dengan timbulnya mikroorganisme yang resisten atau malah resisten terhadap banyak antibiotika yang sebelumnya masih sensitif. Pada umumnya infeksi dibedakan secara garis besar menjadi 2 golongan menurut asal kuman penyebab, yaitu infeksi komunitas bila sumber infeksi didapatkan di masyarakat dan infeksi nosokomial bila sumber infeksinya didapatkan di rumah sakit. Terapi antibiotika dapat dilakukan secara empiris atau definitif. Terapi secara empiris pada suatu daerah, di mana antibiotika diberikan atas dugaan kuman penyebab dari keadaan infeksi tersebut. Maka dugaan tersebut harus berdasarkan pada pola kuman yang ada di daerah atau Rumah Sakit yang bersangkutan. Bila identifikasi kuman dan uji kepekaan telah diketahui, maka dilakukan terapi definitif sesuai kuman yang didapat. Untuk itu penulis melakukan penelitian dari bulan Januari s/d Desember 2004 di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. Pola Kuman dan Uji Kepekaan di RSUD Dr. Moewardi Dilakukan penelitian pola kuman dan uji kepekaan di RSUD Dr. Moewardi, dengan besarnya sampel dalam penelitian pola kuman yang berasal dari spesimen darah (n=78) kuman yang tumbuh 58%, sedangkan dari spesimen sputum (n=133) kuman yang tumbuh 45% dan dari spesimen urin (n=73) yang tumbuh 44% (Tabel 1). Tabel 1. Pola Kuman Darah, Sputum dan Urin di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2004 JENIS KUMAN Citrobacter sp E. coli sp Enterobacter sp Klebsiella sp Gram Proteus sp Pseudomonas sp Salmonella sp Serratia sp Gram + Staphylococcus sp Streptococcus sp JUMLAH TUMBUH PUS 4 25 5 9 16 THT LCS 1 2 59 16 20 4 12 2 8 3 2 9 7 79 4 1 2 1 21 6 DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 Dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari spesimen darah, kuman gram negatif: Enterobacter sp (12%), Citobacter sp (8%), Pseudomonas sp (5%) dan Salmonella sp (5%). Sedangkan kuman gram positif: Streptococcus sp (17%). Untuk spesimen yang berasal dari sputum, kuman gram negatif: Klebsiella sp (11%) dan Enterobacter sp (8%); kuman gram positif: Streptococcus sp (17%). Dan dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari spesimen urin, kuman gram negatif: Enterobacter sp (11%), Klebsiella sp (10%) dan E. coli sp (5%); kuman gram positif: Staphylococcus sp (11%).14 Besar sampel dari spesimen pus (n=103) kuman yang tumbuh 77%, sedangkan dari spesimen THT (n=32) kuman yang tumbuh 65% dan dari spesimen LCS (n=36) yang tumbuh 17% (Tabel 2). Tabel 2. Pola Kuman Pus, THT dan LCS di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2004 JENIS KUMAN Citrobacter sp E. coli sp Enterobacter sp Klebsiella sp Gram - Proteus sp Pseudomonas sp Salmonella sp Serratia sp Staphylococcus sp Gram + Streptococcus sp JUMLAH TUMBUH JUMLAH PASIEN DARAH 6 SPUTUM 9 1 4 10 15 3 3 4 1 7 7 25 20 13 45 78 31 URIN 4 8 7 1 2 30 61 133 22 10 2 32 73 Kuman yang resisten terhadap antibiotika merupakan masalah global, oleh karena itu penggunaan antibiotika yang sangat tepat merupakan bagian dari pencegahan resistensi antibiotika. Untuk itu penulis melakukan uji kepekaan kuman di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dari kuman-kuman yang tumbuh pada kultur kuman yang berasal dari berbagai spesimen terhadap berbagai jenis antibiotika (tabel 3 dan 4) Dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari spesimen pus, kuman gram negatif: Enterobacter sp (23%), DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 Tabel 3. Hasil Uji Kepekaan Kuman (Darah, sputum dan urin) di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2004 JENIS ANTIBIOTIK 8 23 Pseudomonas sp (16%) dan Proteus sp (9%). Sedangkan kuman gram positif: Staphylococcus sp (16%). Untuk spesimen yang berasal dari THT, kuman gram negatif: Pseudomonas sp (25%), Enterobacter sp (6%) dan Proteus sp (6%); kuman gram positif: Streptococcus sp (22%). Dan dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari spesimen LCS, kuman gram negatif: Pseudomonas sp (8%) dan E. coli sp (3%); kuman gram positif: Streptococcus sp (3%) dan Staphylococcus sp (3%).14 Kuman yang resisten terhadap antibiotika merupakan masalah global, oleh karena itu penggunaan antibiotika yang sangat tepat merupakan bagian dari pencegahan resistensi antibiotika. Untuk itu penulis melakukan uji kepekaan kuman di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dari kuman-kuman yang tumbuh pada kultur kuman yang berasal dari berbagai spesimen terhadap berbagai jenis antibiotika (Tabel 3 dan 4). Amikacin Augmentin Cefepime Cefotaxime Ceftriazone Ceftazidime Cefuroxime Chloramphenicol Ciprofloxacin Co-Trimoxazole Debikacin Erytromycin Fosfomycin Gatifloxacin Gentamicin Meropenem Nitrofurantoin Norfloxacin Sam Tetracyclin Resisten semua JUMLAH DARAH SPUTUM Gram - Gram + Gram - Gram + 2 2 2 1 2 4 3 8 5 2 2 URIN Gram - Gram + 1 1 12 1 1 4 1 1 1 3 6 6 5 3 1 2 1 1 3 4 1 6 2 25 20 1 1 3 2 2 3 3 1 1 1 1 13 31 30 6 22 10 Tabel 4. Hasil Uji Kepekaan Kuman (Pus, THT dan LCS) di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2004 JENIS ANTIBIOTIK Amikacin Augmentin Cefepime Cefotaxime Ceftriaxone Ceftazidime Cefuroxime Chloramphenicol Ciprofloxacin Co-Trimoxazole Debikacin Erythromycin Fosfomycin Gatifloxacin Gentamicin Meropenem Nitrofurantoin Norfloxacin Sam Tetracyclin Resisten semua JUMLAH PUS Gram - Gram + 2 1 20 5 THT LCS Gram - Gram + Gram - Gram + 1 6 2 1 1 1 1 1 1 2 1 7 10 2 2 1 1 19 5 1 1 20 1 2 1 3 1 59 1 1 12 9 1 4 2 61 Dari hasil penelitian tersebut dapat kita lihat bahwa penyebaran dan hasil uji kepekaan, yang paling tinggi adalah: 1. Cefepime; 2. Meropenem; 3. Fosfomycin; 4. Gatifloxacin. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dasar pemberian empirical treatment pada awal pengobatan di RSUD Dr. Moewardi kita gunakan Cefepime.14 Penggunaan antibiotika pada keadaan sepsis: 1. Antibiotika segera diberikan seawal mungkin saat diagnosis ditegakkan. 2. Sebelum didapatkan hasil kultur bakteri segera diberikan antibiotika yang sesuai berdasarkan pada pola kuman yang ada di daerah sakit setempat sampai dengan terdapat hasil kultur yang sesuai/definitif. 3. Kalau perlu diberikan antibiotika kombinasi yang bermanfaat untuk: gram (+) dan gram (-). 4. Antibiotika diberikan secara intravena dengan dosis maksimal. 5. Pemberian antibiotika yang adekuat menurunkan angka kematian 10-15% bila dibandingkan pemberian yang tidak adekuat. Terapi secara empiris pada suatu daerah, dilakukan berdasarkan pada pola kuman yang didapatkan pada rumah sakit setempat. Berdasarkan pola kuman dan uji kepekaan yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, didapatkan bahwa cefepime mempunyai penyebaran paling luas dan mempunyai hasil uji kepekaan yang cukup tinggi, serta merata pada semua media (urin, darah, sputum, pus, LCS dan THT). Maka dapat disimpulkan bahwa Cefepime dapat digunakan sebagai empirical treatment pada infeksi Nosokomial, khususnya di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang banyak terjadi pada penderita yang di rawat di rumah sakit dan merupakan penyebab kesakitan dan kematian terutama pada penderita dengan immunocompromised. Pada 59 penderita diabetes melitus dengan ulkus pedis, laki–laki 22 penderita (37,3%) dan wanita 37 penderita (62,7%). Penderita yang mengalami sepsis 27 penderita (45,8%) dan tidak sepsis 32 penderita (54,2%). Hasil kultur kuman ditempat ulkus pedis Kuman Enterobacter Staphylococcus sp Pseudomonas E. coli Klebsiella Proteus Jumlah kuman 10 3 2 1 1 1 % 55,6 16,7 11 5,6 5,6 5,6 Sensitivitas kuman terhadap antibiotik Jenis antibiotik Cefepime Meropenem Fosfomycin Gatifloxacin Amikacin Augmentin Sulbactam – Cefoperazone Chloramfenicol Ceftazidime Cefoperazone Ciprofloxacin Norfloxacin Ceftriaxone Jumlah antibiotik 12 9 7 5 5 3 2 2 2 2 2 2 1 % 66,7 50 38,9 27,8 27,8 16,7 11,1 11,1 11,1 11,1 11,1 11,1 5,6 Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kesimpulan Infeksi nosokomial merupakan infeksi banyak terjadi pada penderita yang di rawat di rumah sakit dan merupakan penyebab kesakitan dan kematian terutama pada penderita dengan immunocompromised. Infeksi nosokomial banyak dijumpai pada infeksi traktus urinarius, dari luka post positif, infeksi saluran nafas dan infeksi sistem saluran cerna dan tidak menutup kemungkinan jenis infeksi-infeksi lain yang didapatkan selama penderita di rawat di rumah sakit. Sepsis sering terjadi pada infeksi nosokomial terutama pada penderita immunocompromised dan penderita yang lama di rawat di RS. 62 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Anonim. The chemistry, microbiology, pharmacokinetics and clinical experience of a new fourth-generation cephalosporin. Italia:Bristol-Myers Squibb Company; 1996 Heratige J. Tutorial on nosocomial infections. 2001. Available from: URL: http://www.bmb.leeds.ac.uk-/mbiology Anonim. Nosocomial infection. 2005. Available from: URL: http:// www.waterionisation.com Duffi JR. Nosocomial infection important acute care nursing-sensitive outcomes indicators. AACN-CLIN 2002; 13(3):358-66 Liu H. Nosocomial infections: a multidisciplinary approach to management. 2001. Available from: URL: http://www.powerpak.com Center for Disease Control and Prevention (CDC). Sterilization or disinfection of medical devices: general principles. 2002. Available from: URL: http://www.cdc.gov/-ncidod/hip/sterile/sterilgp.htm Anonim. Nosocomial infection. 2002. Available from: URL: http:// www.person@calfmc.flinders.edu.au Gardner P and Causey WA. Acquired hospital infection. Horrison’s Principles of Internal Medicine. 13 th edition. 1994.p.855-9 Johnson A. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection. 2000. Available from: URL: http://www.netdoctor.co.uk Jones BN. Resistance pattern among nosocomial pathogens. Chest 2001; 119:397s-404s Cowley R. Persistent SIRS is predictive of nosocomial infection in trauma. J Trauma 2002; 53(2):24550 Sneller MC and Lane HC. Immunocompromised host. Clinical Immunology Principles and Practise 1996:579-93 BUPA’s Health Information Team. Health news - MRSA - the facts. 2005 Guntur. Pola kuman dan sensitivitas tes RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2004. 2005 (unpublished) Sugiarto, Diding HP, Guntur H. Role albumin and sensitivitas nicobacterium in ulcus diabiticum. 13 th International Symposium on Shock and Critical Care 2006 Bali Indonesia, 2006.p.163-4 DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 SEKILAS PRODUK Sekilas Produk Exepime Injeksi Fast and Strong Antibiotik for Severe Infection Cefepime adalah antibiotik injeksi sefalosporin generasi IV & merupakan suatu molekul zwitter ion. Zwitter ion merupakan suatu ion dipolar yang tidak mempunyai muatan. Sebagai zwitter ion, cefepime mempunyai suatu muatan negatif pada posisi 4 pada inti cephalosporin dan suatu substituen yang mengandung nitrogen kuartener (muatan positif) pada posisi 3 dari inti cephem. Hal ini dikenal sebagai bullet-shaped. Konfigurasi tertentu zwitter ion ini bertanggung jawab untuk penetrasi yang cepat dari cefepime melalui membran luar bakteri gramnegatif dan sebagai salah satu kunci dari potensi antibakterialnya. Hal ini dibuktikan dari terjadinya penetrasi sel yang cepat, disebabkan dari efek penolakan anion tertentu pada periplasma namun tidak terjadi pada campuran ion dipolar ini. Modifikasi pada struktur inti cephem untuk menghasilkan cefepime menciptakan suatu antibiotik dengan suatu spektrum antimikrobial yang seimbang dan luas serta merupakan suatu potensi yang berharga untuk perawatan infeksi, baik oleh bakteri gram positif maupun gram negatif.1 Untuk memenuhi kebutuhan akan antibiotik tersebut di atas maka PT Ferron Par Pharmaceuticals dengan bangga telah memasarkan preparat cefepime 1 g dengan nama dagang EXEPIME 1 g. Aerob Gram-negatif: • Acinetobacter calcoaceticus (subsp. anitratus. Iwoffi) • Citrobacter spp. termasuk C. diversus, C. treundii • Enterobacter spp. termasuk E. cloacae, E. aerogenes • Escherichia coli • Haemophilus influenzae (termasuk strain penghasil beta-laktamase) • Klebsiella spp. termasuk K. pneumoniae, K oxytoca, K. ozaenae • Morganella morganii • Moraxella catarrhalis (Branhamella catarrhalis) termasuk strain penghasil beta-laktamase • Neisseria meningitidis • Providencia spp., termasuk P. rettgeri. P. stuartii • Pseudomonas spp., termasuk P. aeruginosa, P. putida, P. stutzeri • Salmonella spp. • Serratia termasuk S marcescens 2 • Shigella spp. Farmakodinamik Tabel konsentrasi rata-rata cefepime di dalam berbagai jaringan (mcg/g) dan cairan tubuh (mcg/ml) pada lakiJaringan atau normal Dosis (IV) Waktu rata-rata dari Konsentrasi laki dewasa Cefepime telah terbukti kemampuan bakterisidalnya melalui analisis time-kill (killing-curves) dan penentuan minimum bactericidal concentrations (MBC) pada berbagai jenis bakteri. Rasio MBC/MIC cefepime adalah < 2 untuk lebih dari 80% dari seluruh isolat spesies gram positif dan gram negatif yang diuji. Cefepime juga sinergis dengan aminoglikosida secara in vitro, terutama pada isolat Pseudomonas aeruginosa. Berikut ini beberapa strain organisme yang sensitif terhadap cefepime: Aerob Gram-positif: • Staphylococcus aureus (termasuk strain penghasil beta-laktamase) • Staphylococcus epidermidis (termasuk strain penghasil beta-laktamase) • Staphylococci yang lain termasuk S. hominis, S. saprophyticus • Streptococcus pyogenes (Group A streptococci) • Streptococcus agalactiae (Group B streptococci) • Streptococcus pneumoniae (termasuk intermediate penicillin resistant strains dengan MIC penicillin 0,1 sampai 1 mcg/ml) • b-hemolytic streptococci lain (Group C. G, F), S. bovis (Group D), Viridans streptococci. DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 Farmakokinetik Dari sisi farmakokinetik, konsentrasi cefepime terdistribusi luas pada berbagai jaringan & cairan tubuh yang spesifik sehingga ideal sebagai pilihan terapi empiris berbagai kasus infeksi seperti terlihat pada tabel berikut. cairan tubuh Urin Empedu Cairan peritoneal Cairan lepuh Mukosa bronkus Sputum Prostat Apendiks Kandung empedu 500 mg 1g 2g 2g 2g 2g 2g 2g 2g 2g 2g sample post-dose (jam) 0-4 0-4 0-4 9,4 4,4 1,5 4,8 4,0 1,0 5,7 8,9 rata-rata 292 926 3.120 17,8 18,3 81,4 24,1 7,4 31,5 5,2 11,9 Berdasarkan luasnya spektrum bakteri dan distribusi cefepime pada berbagai jaringan dan cairan tubuh maka cefepime dapat diindikasikan pada kasus: • Septikemia • Pengobatan empiris pada pasien febrile neutropenia • Infeksi saluran pernapasan bawah: pneumonia dan bronkopneumonia • Infeksi saluran kemih bagian atas (pyelonephritis) dan bawah dengan komplikasi • Infeksi intraabdominal: peritonitis dan infeksi saluran empedu2 63 SEKILAS PRODUK SEKILAS PRODUK KETRICIN TABLET Salah satu pertimbangan dokter dalam pemilihan preparat obat terutama untuk pasien anak-anak adalah RASANYA. Sebaik apapun efek suatu obat, tetapi bila tidak bisa diterima dengan baik oleh pasien anak, maka obat tersebut tidak akan berguna. Khusus untuk golongan kortikosteroid oral, hampir semua preparat kortikosteroid oral berasa pahit bahkan sangat pahit, sehingga sulit diterima oleh anak-anak. Namun saat ini PT Ferron Par Pharmaceutical telah meluncurkan satu preparat kortikosteroid oral YANG TIDAK PAHIT, dengan nama dagang KETRICIN. Ketricin tablet mengandung triamcinolon 4 mg, preparat ini terutama bekerja sebagai glukokortikoid dan mempunyai daya antiinflamasi yang kuat, mempunyai efek hormonal dan metabolik seperti kortison. Ketricin berbeda dengan glukokortikoid alami, yaitu: dalam hal efek antiinflamasi dan glukoneogenesis yang lebih besar dan sifat retensi garamnya yang lebih sedikit.1-3 Dibandingkan dengan kortikosteroid lain, Ketricin yang termasuk dalam golongan intermediate acting, yang 1-3 mempunyai beberapa kelebihan, antara lain: • RASA TIDAK PAHIT. Hal ini sangat menguntungkan terutama untuk pasien anak-anak yang sangat sensitif terhadap rasa. • Dibandingkan dengan sediaan intermediate acting yang lain (prednisolon), Ketricin memiliki efek samping mineralokortikoid (efek peningkatan tekanan darah dan moon face) dan memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih minimal. • Dibandingkan dengan sediaan long acting (dexametason dan betametason), Ketricin memiliki efek supresi HPA axis dan efek samping gastrointestinal yang lebih minimal. • Dibandingkan dengan sediaan short acting (kortison dan hidrokortison) efek mineralokortikoid (peningkatan tekanan darah dan moon face) serta efek samping gastrointestinal Ketricin lebih minimal 3 Tabel konversi dosis dari molekul kortikosteroid lain: AGEN Potensi relatif Dosis glukokortikoid yang ekuivalen (mg) Antiinflamasi Mineralokortikoid 5 4 4 0,75 4 5 5 20-50 0.8 0.0 0.5 0.0 Prednison Triamsinolon Metilprednisolon Deksametason Waktu paruh eliminasi (jam) 3.5 3.0 2-3 3.5 Masa kerja (jam) 18-36 18-36 18-36 18-36 Indikasi: Penyakit saluran pernapasan: a. Symptomatic sarcoidosis b. Tuberkulosis yang memburuk & mendapat kemoterapi c. Pulmonary emphysema d. Asma2 Gangguan hematologi: a. Idiopatik & trombositopenia b. Anemia hemolitika DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 c. Eritroblastopenia (RBC anemia) & d. Anemia hipoplastik kongenital (erythroid) Penyakit neoplastik: leukemia akut Penyakit dermatologi: a. Erythema multiforme berat (Stevens-Johnson Syndrome) b. Exfoliative dermatitis c. Psoriasis berat Penyakit kolagen: a. Acute rheumatic carditis b. Systemic lupus erythematosus Keadaan alergi: a. Seasonal atau perinneal allergic rhinitis b. Asma bronkial c. Dermatitis kontak d. Dermatitis atopik e. Serum sickness f. Angioedema g. Urtikaria Dosis: Dosis triamsinolon pada awalnya bervariasi 4-48 mg/hari dan tergantung pada kondisi penyakit & respon pasien. Penghentian steroid setelah terapi jangka panjang dianjurkan 1,2 untuk dilakukan secara perlahan-lahan atau tapering off. Pengaturan dosis pada bayi dan anak-anak mengacu pertimbangan kondisi penyakit pasien dan disesuaikan usia atau berat badan, yaitu: • Berat badan: 0,117-1,66 mg/kgBB/hari terbagi 4 kali 2 pemberian 2 • Luas permukaan tubuh: 3,3-50 mg/m /hari terbagi 4 2 kali pemberian Kemasan: Kotak, 10 strip @ 10 tablet Kesimpulan: Ketricin tablet merupakan kortikosteroid oral TANPA RASA PAHIT (bermanfaat untuk meningkatkan penerimaan pasien anak-anak), masa kerja menengah (efek supresi HPA axis minimal), efek antiinflamasi kuat (setara dengan methylprednisolone), efek mineralokortikoid minimal, indikasi luas dan kualitas terjamin. Referensi: 1. Ketricin, PT Dexa Medica. Package Insert. 2. McEvoy GK, et al. Triamcinolone. In: McEvoy GK, et al (editors). AHFS drugs Information 2005. Bethesda: American Society of Healthy System Pharmacist, Inc. 2005.p.2941-3. 3. Millier JW. Drugs and the endocrine & metabolic systems. In: Page C, et al (editors). Chapter 15 Integrated pharmacology, 2nd ed. Philadelphia: Mosby International Ltd; 2002.p.281-326. 67 ARTIKEL UTAMA Pemakaian Cetirizine dan Kortikosteroid pada Penyakit Alergi Anak Mazdar Helmy, Zakiudin Munasir Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta Abstrak. Penyakit atopi seperti asma dan eksim merupakan kondisi alergi yang cenderung diturunkan dalam keluarga dan dikaitkan dengan pembentukan antibodi IgE spesifik terhadap alergen lingkungan. Tatalaksana medikamentosa yang diberikan berdasarkan pada reaksi inflamasi alergi yang mendasari penyakit. Pada individu yang rentan terhadap alergi, paparan dengan alergen menghasilkan aktivasi sel Th2 dan produksi antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh respons imun tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan istilah alergi sering disamakan dengan hipersensitivitas segera (tipe I). Pada reaksi alergi juga terjadi proses inflamasi yang terjadi pada fase lambat. Histamin merupakan mediator utama dalam reaksi alergi. Oleh karena itu, salah satu terapi utama dalam alergi adalah pemberian antihistamin. Cetirizine merupakan antihistamin yang sangat kuat dan spesifik. Cetirizine merupakan antagonis reseptor histamin1(H1) generasi kedua yang aman digunakan pada terapi alergi. Selain mempunyai efek antihistamin, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan kemotaksis sel inflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan ekspresi molekul adhesi yang berperan dalam proses penarikan sel inflamasi. Kortikosteroid juga mengurangi jumlah sel inflamasi dengan menghambat penarikan sel inflamasi ke jaringan inflamasi melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan molekul adesi, serta juga menghambat keberadaan (survival) sel inflamasi tersebut. Penggunaan kortikosteroid oral pada keadaan alergi fase cepat/ akut membutuhkan potensi glukokortikoid yang lebih tinggi dibandingkan potensi mineralkortikoid untuk menghindari efek samping retensi natrium. Selain itu pemilihan bentuk formula dan rasa juga berperan dalam kepatuhan anak dalam berobat dengan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid pada inflamasi alergi tergantung pada beberapa faktor yang menentukan manfaat dan risiko pada tiap anak. Pendahuluan Penyakit atopi seperti hayfever, asma dan eksim merupakan kondisi alergi yang cenderung diturunkan dalam keluarga dan dikaitkan dengan pembentukan antibodi IgE spesifik terhadap alergen lingkungan. Peningkatan prevalensi penyakit atopi ini telah menjadi masalah kesehatan di berbagai negara.1 Menurut studi The International Study of Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) yang dilakukan pada anak usia 6-14 tahun di 155 pusat di 58 negara, didapatkan prevalensi asma usia 6-7 tahun berkisar antara 1,6-27,2% dan usia 13-14 tahun sekitar 35,3%. Sedangkan prevalensi dermatitis atopi pada anak usia 6-7 tahun berkisar 0,7-18,4%, dan anak 13-14 tahun berkisar antara 0,6-20,5%. Berdasarkan hasil studi ISAAC tersebut daerah dengan prevalensi alergi tinggi antara lain Inggris, 68 Australia, New Zealand, Amerika Utara dan Selatan, sedangkan daerah dengan prevalensi asma rendah antara lain Eropa Timur, Indonesia, Yunani, Cina, Taiwan dan India. Studi ISAAC tersebut menunjukkan Cina, Indonesia dan India mempunyai 2 prevalensi asma terendah (< 5%). Berdasarkan pada penelitian epidemiologi asma dan alergi di Jakarta (2006), didapatkan 3 prevalensi asma adalah 13,9%. Angka ini meningkat dibandingkan beberapa studi sebelumnya di Jakarta yang 4-6 menunjukkan prevalensi asma berkisar antara 7-9%. Demikian pula halnya dengan prevalensi rinitis alergi yang meningkat dari 9% menjadi 12,3%, dan peningkatan prevalensi 3-6 dermatitis atopi dari 4% menjadi 24,6%. Peningkatan prevalensi penyakit alergi ini membutuhkan perhatian khusus karena perkembangan penyakit alergi sangat DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 mempengaruhi kualiatas perkembangan dan pertumbuhan anak. Tatalaksana yang komprehensif dibutuhkan dalam penanganan penyakit alergi, terutama dalam pemahaman pentingnya pencegahan yang sangat efektif bila dilakukan dalam masa awal kehidupan dan pemahaman bahwa respons inflamasi mendasari reaksi alergi. Oleh karena itu, tatalaksana medikamentosa yang diberikan juga harus berdasarkan pada reaksi inflamasi alergi yang mendasari penyakit. Inflamasi Alergi Pada individu yang rentan terhadap alergi, paparan dengan alergen (antigen) menghasilkan aktivasi sel Th2 dan produksi antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh respons imun tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan istilah alergi sering disamakan dengan hipersensitivitas segera 7 (tipe I). Antibodi IgE terikat dengan afinitas tinggi melalui bagian Fc dengan reseptor FcεRI di sel mast. Proses pelapisan (coating) sel mast oleh IgE ini disebut sensitisasi, karena pelapisan ini menyebabkan sel mast sensitif terhadap aktivasi bila terjadi paparan ulang antigen. Selama fase sensitisasi awal, tidak terdapat reaksi kerusakan pada pejamu yang berlebihan. Apabila sel mast yang tersensitisasi oleh IgE terpapar kembali dengan antigen, sel akan teraktivasi untuk mengeluarkan mediator. Aktivasi sel mast terjadi sebagai hasil ikatan alergen dengan 2 atau lebih antibodi IgE di sel mast. Setelah adanya ikatan silang, maka akan memicu signal biokimia yang menyebabkan degranulasi cepat, sintesis dan sekresi mediator 8,9 lipid dan sintesis dan sekresi sitokin. Mediator penting pada sel mast adalah amin vasoaktif dan protease yang berasal dari granul, produk metabolisme asam arakidonat dan sitokin (TNF-α, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6 dan kemokin termasuk IL-8). Mediator amin utama, yaitu histamin Secara garis besar, tatalaksana penyakit alergi pada anak terbagi dalam 3 langkah, yaitu penghindaran alergen pencetus dan kontrol lingkungan, farmakoterapi dan imunoterapi. Penghindaran alergen dan kontrol lingkungan merupakan upaya lini terdepan dalam mengatasi penyakit alergi pada anak dan sangat berkaitan dengan pencegahan. Strategi pencegahan dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu primer, sekunder dan tersier. DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 menyebabkan dilatasi pembuluh darah kecil, meningkatkan permeabilitas vaskular dan menstimulasi kontraksi otot polos transient (bronkokonstriksi). Produk sel mast, terutama histamin, berperan penting dalam respon alergi fase cepat. Protease akan menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Metabolit asam arakidonat termasuk prostaglandin (jalur siklooksigenase), menyebabkan dilatasi vaskular, dan leukotrien (jalur lipooksigenase), menyebabkan kontraksi otot polos yang memanjang. Sitokin akan menginduksi inflamasi lokal (reaksi 7,9,10 fase lambat). Sitokin TNF dan IL-4 akan menyebabkan inflamasi melalui 9 peran neutrofil dan eosinofil. Selama paparan alergen 7,8 persisten, terjadi akumulasi neutrofil dan eosinofil di jaringan. Aktivasi eosinofil akan menyebabkan pelepasan protein granul sekunder toksik. Protein tersebut berpotensi efek sitotoksik pada jaringan pejamu. Kerusakan proinflamasi lebih lanjut disebabkan oleh pembentukan radikal oksigen tidak stabil yang dibentuk oleh respiratory burst oxidase apparatus. Neutrofil teraktivasi dapat melepaskan berbagai produk inflamasi, yang 10 juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Migrasi leukosit (sel inflamasi) ke tempat inflamasi tergantung pada tiga langkah yang diperantarai oleh molekul adhesi, yaitu 1) leucocyte rolling di endotel yang teraktivasi, merupakan selectin-dependent, 2) adhesi ketat leukosit pada endotel, merupakan integrin-dependent dan 3) migrasi transendotelial yang terjadi di bawah pengaruh sitokin 7 (kemokin). Beberapa interaksi molekul adhesi terlibat dalam fase adhesi ini, termasuk LFA-1(CD11a/CD18) dengan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1, CD54) dan ICAM2, CR-3(CD11b/CD18) dengan ICAM-1 dan VLA-4(CD41d/ CD29), kelompok integrin, dengan vascular cell adhesion molecular-1 (VCAM-1). Setelah sel inflamasi meninggalkan kompartemen vaskular, sel tersebut akan menuju ke lokasi 11 reaksi inflamasi melalui matriks ekstraseluler. Tatalaksana Secara garis besar, tatalaksana penyakit alergi pada anak terbagi dalam 3 langkah, yaitu penghindaran alergen pencetus dan kontrol lingkungan, farmakoterapi dan imunoterapi. Penghindaran alergen dan kontrol lingkungan merupakan upaya lini terdepan dalam mengatasi penyakit alergi pada anak dan sangat berkaitan dengan pencegahan. Strategi pencegahan dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer ditujukan pada individu yang masih sehat, belum terbukti adanya sensitisasi terhadap alergen yang dapat menimbulkan penyakit, namun mempunyai risiko untuk timbul alergi. Pencegahan ini bertujuan menghambat sensitisasi imunologi oleh alergen terutama mencegah terbentuknya IgE. Saat penghindaran dilakukan sejak pranatal pada janin yang dari 1,12 keluarga yang mempunyai bakat atopik. Pencegahan sekunder ditujukan pada anak yang belum memilik fenotip alergi atau manifestasi alergi, namun mempunyai petanda (sensitisasi alergi) yang menunjukkan adanya risiko tinggi untuk timbul manifestasi alergi. Pencegahan ini bertujuan untuk menekan timbulnya penyakit setelah sensitisasi. Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik dalam serum darah, darah tali pusat 69 atau uji kulit. Pencegahan ini difokuskan pada bayi baru lahir 1,12 sampai anak usia 2-3 tahun. Pencegahan tersier dilakukan setelah terjadi penyakit alergi namun belum timbul gejala asma, yang biasa terjadi 6 bulan sampai 3-4 tahun. Pencegahan ini bertujuan untuk mencegah dampak lanjutan setelah timbulnya alergi atau timbulnya allergic march. Allergic march merupakan perjalanan penyakit alergi yang alamiah yang akan berubah sesuai dengan usia. Pencegahan ini dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan manifestasi penyakit yang masih dini. Sasarannya adalah bayi dan anak yang telah menunjukan gejala klinis dari alergi atau mereka yang positif terhadap skin 12 prick test atau peningkatan antibodi IgE terhadap aeroalergen. Antihistamin Terapi reaksi hipersensitivitas segera bertujuan untuk menghambat degranulasi sel mast, melawan efek mediator sel mast dan mengurangi inflamasi. Histamin merupakan mediator utama dalam reaksi hipersensitivitas atau reaksi alergi. Oleh karena itu, salah satu terapi utama dalam alergi adalah pemberian antihistamin. Antihistamin merupakan antagonis reseptor histamin yang mempunyai sifat menghambat efek histamin. Antihistamin mempunyai struktur yang menyerupai 13 histamin sehingga dapat menempati reseptor histamin. (Gambar 1) Gambar 1. Mekanisme kerja antihistamin (Dikutip dengan modifikasi dari Church MK, 2004) Menurut jenis reseptornya, golongan antihistamin dapat dibagi 2 kelompok yaitu yang menghambat reseptor histamin1 (H1) dan yang menghambat reseptor histamin-2 (H2). Antagonis reseptor H1 (AH1) telah digunakan secara luas untuk terapi kelainan alergi. 14 Kelompok antihistamin-1 (AH1) mempunyai tiga generasi, yaitu generasi pertama, kedua, dan ketiga. Generasi pertama AH1 juga dikenal sebagai AH1 klasik bersifat lipofilik yang mampu menembus sawar darah otak, sehingga menimbulkan efek sedasi. Selain itu, AH1 generasi pertama bersifat menghambat reseptor muskarinik sehingga menimbulkan efek antikolinergik. Pada orang yang sensitif atau orang tua dapat tampak pada gangguan penglihatan, retensi 15 urin, pusing, takikardi dan gangguan kesadaran. Antagonis reseptor H1 generasi kedua mempunyai indeks terapetik yang lebih disukai dibandingkan generasi pertama, karena tidak melintasi sawar darah-otak (kelarutan dalam 70 lemak rendah), sehingga efek sedasi menjadi berkurang, dan selektif terhadap reseptor H1, sehingga menghasilkan efek samping yang sedikit karena aktivasi reseptor muskarinik, adrenergik alfa maupun reseptor-reseptor fisiologik yang lain 14,15 juga berkurang. Generasi ketiga merupakan perkembangan dari antihistamin generasi pendahulunya. Levocetirizine merupakan suatu antihistamin baru dari suatu evolusi antihistamin, dari buklizin ke hidroksizin dan dari cetirizine 13 ke levocetirizine dalam kelompok piperazin. Cetirizine Cetirizine merupakan antihistamin yang sangat kuat dan spesifik. Cetirizine merupakan antagonis reseptor H1 generasi kedua, yang merupakan metabolit aktif asam karboksilat dari 13 antagonis reseptor H1 generasi pertama yaitu hidroksizin. Efek samping yang dapat muncul yaitu somnolen yang bersifat dose-dependent, sakit kepala dan masalah saluran cerna. Efek sistem saraf pusat (SSP) dari antihistamin generasi kedua jarang terjadi, dibandingkan dengan generasi pertama dan tidak berinteraksi dengan agen aktif lain di SSP seperti diazepam. Cetirizine juga tidak mempunyai efek samping terhadap hepar dan jantung. Metabolit cetirizine tidak diolah di hepar dan diekskresi ke urin dan feses dalam bentuk yang tidak berubah. Penggunaan cetirizine selama 7 hari tidak 14 memperpanjang interval QTc dibandingkan plasebo. Reseptor H1 tersebar luas di berbagai sel, seperti sel otot polos, sel endotel, sel mast, basofil dan eosinofil. Semua reseptor tersebut mudah dicapai dari sirkulasi darah. Oleh karena itu, antagonis reseptor H1 tidak memerlukan distribusi jaringan yang luas untuk aksi kerjanya. Pada sel mast dan basofil, hasil akhirnya adalah pelepasan mediator. Target antagonis H1 adalah reseptor eksternal, sehingga efek farmakologik dicapai tanpa penetrasi sel dan tidak memerlukan penembusan membran sel atau sitosol. Sebagian besar antagonis H1 tidak dapat melewati sawar darah otak, namun beberapa obat dengan liposolubilitas yang tinggi dapat melewati sawar tersebut. Dengan adanya volume distribusi yang rendah dari antagonis 16 H1, maka penembusan sawar darah otak dapat diminimalisasi. Selain mempunyai efek antagonis terhadap reseptor H1, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan migrasi eosinofil (in vivo) ke lokasi kulit yang terstimulasi oleh alergen dan secara in vitro menghambat kemotaksis eosinofil dan adhesi ke sel endotel kultur serta 11,14,15 aktivasi platelet, juga mempengaruhi platelet dan neutrofil. Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan ekspresi ICAM-1 in vivo di nasal dan epitel konjungtiva selama inflamasi alergi dan penarikan eosinofil di 17 kulit, hidung, mata dan paru. Efek tersebut bukan disebabkan oleh kemampuan cetirizine menghambat efek histamin, karena histamin tidak menyebabkan ekspresi ICAM-1. Oleh karena itu, dalam hal ini efek cetirizine bukan merupakan efek antihistamin 11 “klasik”, namun lebih menunjukkan efek antiinflamasi. Cetirizine dibuktikan dapat mengontrol inflamasi minimal 13 persisten. Antihistamin tidak berperan dalam asma, sedangkan cetirizine, yang dapat menghambat pengumpulan eosinofil, mempunyai potensi untuk mencegah perkembangan DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 Studi dengan menggunakan stimulasi alergen kutaneus pada subjek alergi menunjukkan cetirizine tidak hanya menghambat respons awal yang tergantung pada mediator oleh sel mast, namun juga infiltrasi eosinofil selama respons fase lambat. Cetirizine merupakan obat yang paling baik dalam efek antiinflamasi karena adanya penghambatan influks eosinofil selama 18 reaksi fase lambat. penyakit tersebut. Berdasarkan studi Early Treatment of the Atopic Child (ETAC) didapatkan hasil bahwa timbulnya asma dapat dicegah melalui penggunaan cetirizine pada bayi dengan dermatitis atopi dan terbukti tersensitisasi dengan polen rumput atau tungau debu rumah. Beberapa studi menunjukkan sensitisasi terhadap polen rumput pada bayi merupakan 17 prediktor kuat terhadap onset asma. Pada suatu studi, didapatkan potensi loratadin dalam menghambat reaksi “wheal and flare” dan lama kerja merupakan dose-dependent. Namun, bila dibandingkan dengan cetirizine, loratadin membutuhkan dosis yang lebih besar dibandingkan cetirizine untuk memberikan efek yang sama, sehingga cetirizine mempunyai potensi sampai 6 kali lebih kuat dibandingkan loratadin. Hal ini juga berlaku apabila cetirizine dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh proses metabolisme. Komponen cetirizine tidak dimetabolisme di hati, sehingga efek terapetiknya tidak tergantung pada biotransformasi. Obat lain seperti terfenadine, secara cepat dimetabolisme di hati, dan hasil metabolit tersebut yang memberikan efek H1. Oleh karena itu, kemampuan metabolisme obat-obat tersebut sangat 18 bervariasi di antara setiap orang. Studi lain juga membandingkan efek kerja klorfeniramin, terfenadine, cetirizine, siproheptadin dan astemizol dengan plasebo dalam bronkonstriksi yang diinduksi histamin dan skin wheal pada pasien asma. Semua antihistamin menunjukkan proteksi yang bermakna terhadap bronkokonstriksi. Namun proteksi terhadap skin wheal yang diinduksi histamin hanya diberikan oleh cetirizine dan terfenadine. Selain itu, efikasi protektif terhadap respons saluran nafas paling tinggi dimiliki oleh cetirizine, diikuti oleh terfenadine. Apabila dibandingkan dengan plasebo, cetirizine dan terfenadine tidak memberikan efek samping 18 mengantuk dan mulut kering. Studi dengan menggunakan stimulasi alergen kutaneus pada subjek alergi menunjukkan cetirizine tidak hanya menghambat respon awal yang tergantung pada mediator oleh sel mast, namun juga infiltrasi eosinofil selama respons fase lambat. Cetirizine merupakan obat yang paling baik DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 dalam efek antiinflamasi karena adanya penghambatan 18 influks eosinofil selama reaksi fase lambat. Kortikosteroid Mediator inflamasi yang diproduksi pada penyakit alergi antara lain mediator lipid, peptida inflamasi, kemokin, sitokin dan faktor pertumbuhan. Selain itu, juga terdapat bukti bahwa sel struktural dari saluran nafas, seperti sel epitel, sel otot polos, sel endotel dan fibroblas merupakan sumber utama mediator inflamasi pada asma. Pada tingkat selular, kortikosteroid mengurangi jumlah sel inflamasi di saluran nafas, termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast dan sel dendritik. Efek ini dicapai dengan menghambat rekrutmen atau penarikan sel inflamasi tersebut ke saluran nafas melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan molekul adhesi, serta juga menghambat keberadaan (survival) sel inflamasi di saluran nafas, seperti eosinofil, limfosit T dan sel mast. Oleh karena itu, kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi spektrum luas, melalui inhibisi mediator inflamasi dan sel inflamasi serta sel struktural (sel epitel, endotel, otot polos saluran nafas dan kelenjar mukus), sehingga berdampak pada berkurangnya infiltrat atau aktivasi inflamasi, stabilisasi kebocoran vaskular, penurunan produksi mukus dan 19,20 peningkatan respons β-adrenergik. (Gambar 2) Gambar 2. Peran kortikosteroid sebagai antiinflamasi19 Pada tingkat molekular, kortikosteroid secara difus menembus membran sel target dan terikat dengan reseptor glukokortikoid di sitoplasma. Reseptor tersebut secara normal terikat dengan protein pengantar, seperti heat shock protein-90 (HSP90) dan Fκ-binding protein, yang melindungi reseptor dan mencegah lokalisasi nuklearnya dengan cara menutupi lokasi reseptor yang diperlukan untuk transpor dari membran nuklear ke nukleus. Setelah kortikosteroid terikat dengan glukokortikoid, terjadi perubahan struktur reseptor yang menghasilkan disosiasi molekular protein pengantar, sehingga memaparkan signal lokalisasi nuklear ke glukokortikoid. Pemaparan ini menghasilkan transpor cepat kompleks kortikosteroid71 glukokortikoid teraktivasi ke nukleus, yang akan terikat dengan DNA dan menyebabkan perubahan pada transkripsi gen.19 Sebagian besar protein inflamasi diregulasi oleh transkripsi gen, yang diatur oleh faktor transkripsi proinflamasi, seperti nuclear factor- κ B (NF-κB) dan activator protein-1 (AP-1), yang biasanya teraktivasi di saluran nafas yang mengalami asma. Dalam mengatur inflamasi, efek utama glukokortikoid terutama berasal dari interaksi glukokortikoid teraktivasi dengan transkripsi faktor nuklear NF-κB dan AP-1, yang menyebabkan inhibisi ekspresi molekul proinflamasi (trans-reppresive), sehingga menekan gen yang mengkode protein inflamasi tersebut, antara lain gen yang mengkode sitokin (IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-11, IL-12, IL-13, IL-16, IL-17, IL-18, TNF-α, GM-CSF), kemokin, molekul adesi (ICAM-1, VCAM-1), enzim 19 inflamasi, reseptor inflamasi dan peptida. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa glukokortikoid juga dapat 11 menghambat ekspresi ICAM-1 yang diinduksi oleh IL-1. Dengan adanya efek penekanan produksi sitokin dan pelepasan mediator maka dapat mengurangi reaksi inflamasi alergi. Efek trans-activation di sisi lain akan menginduksi transkripsi gen yang terlibat dalam efek yang 19 tidak diinginkan dalam terapi kortikosteroid. Pemakaian kortikosteroid pada inflamasi alergi dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari segi obat maupun individu. Faktor yang berhubungan dengan obat, antara lain: 1) jenis pemakaian obat, oral atau topikal, 2) besarnya absorpsi sistemik yang dikaitkan dengan rute pemberian dan efek samping klinis, 3) dosis, durasi dan jadwal pemberian, 4) perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan individu, antara lain: 1) respons penyakit terhadap kortikosteroid, 2) perubahan derajat keparahan penyakit, 3) risiko terapi yang tidak optimal, 21 4) kerentanan terhadap efek samping. Pemakaian kortikosteroid topikal memberikan target yang selektif pada saluran nafas, sehingga konsentrasi tinggi lokal tidak disertai dengan paparan sistemik yang tinggi. Namun efek samping yang muncul dapat berupa mulut kering, kandidiasis oral, perdarahan pada penggunaan intranasal dan disfonia pada penggunaan inhalasi. Penggunaan obat topikal juga membutuhkan saluran nafas proksimal yang paten agar obat dapat mencapai jaringan target. Pemberian topikal lebih dipilih pada keadaan yang kronik karena tidak memberikan efek 21 samping sistemik. Pemberian topikal juga dapat diserap ke sirkulasi sistemik melalui saluran cerna dan memberikan efek samping sistemik, meskipun jarang. Hal ini tergantung pada bioavailabilitas oral (penyerapan usus dan jalur pertama metabolisme hepatik). Kortikosteroid inhalasi meliputi beklometason dipropionat, budesonid, siklesonid, flunisonid, flutikason propionat, mometason furoat dan triamsinolon 21 asetat. Sebagian besar agen, seperti beklometason dipropionat, budesonid, flunisonid dan triamsinolon asetat 72 dapat diabsorbsi di saluran cerna ke sirkulasi sistemik dan mengalami jalur pertama metabolisme hepatik. Hasil bioavaiabilitas dapat mencapai 50%. Agen flutikason propionat dan mometason furoat juga diserap dengan baik di saluran cerna, namun hanya sebagian kecil yang mencapai sirkulasi portal dan dimetabolisme. Availabiltas sistemik yang rendah tersebut penting pada anak yang sedang tumbuh dan pasien yang sudah menggunakan kortikosteroid inhalan 22 untuk asma. Efek samping kortikosteroid intranasal atau inhalasi dosis rekomendasi terhadap aksis hipotalamushipofisis-adrenal atau gangguan metabolisme tulang relatif rendah. Selain itu, dari hasil beberapa penelitian juga tidak didapatkan adanya retardasi pertumbuhan ataupun glaukoma akibat penggunaan kortikosteroid tersebut. Efek samping lokal dapat berupa iritasi nasal, kekeringan dan epistaksis. Di sisi lain, kortikosteroid sistemik mempunyai efek hipotensi, hiperglikemia, kenaikan berat badan, purpura, atrofi otot dan gangguan pertumbuhan, sehingga sedapat mungkin dihindari pada terapi inflamasi saluran nafas atas, namun risiko ini juga tergantung pada durasi 23 penggunaan. Pada pemberian kortikosteroid oral, obat mencapai target saluran nafas setelah absorpsi di saluran cerna dan distribusi Golongan triamsinolon merupakan kortikosteroid oral yang mempunyai rasa tidak pahit, sehingga dapat berguna dalam kepatuhan anak dalam berobat. Selain itu, kepatuhan yang baik akan menghasilkan pengobatan yang efisien, terutama dari segi biaya pengobatan (costefficient).25 Secara garis besar, pemberian kortikosteroid pada inflamasi alergi tergantung pada beberapa faktor yang menentukan manfaat dan risiko pada tiap anak. melalui sirkulasi sistemik. Distribusi ini tidak mencapai jaringan target dengan selektif, sehingga memerlukan dosis yang lebih besar dan risiko efek samping yang besar. Namun pemberian oral dapat digunakan pada keadaan akut. Untuk memperoleh manfaat yang baik pada sirkulasi sistemik, obat harus diserap di usus dan mempunyai jalur pertama metabolisme hepatik (hepatic first-pass metabolism) yang 21 rendah. Perbedaan golongan kortikosteroid oral terletak pada DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 aktivitas mineralokortikoid dan glukokortikoid. Aktivitas mineralkortikoid tidak mempunyai efek dalam inflamasi alergi dan dapat menyebabkan efek samping, antara lain retensi air dan natrium yang menyebabkan edema dan hipertensi, serta peningkatan ekskresi kalium dengan risiko alkalosis hipokalemik. Hidrokortison mempunyai efek mineralokortikoid terbesar dan lebih banyak efek samping 21 dibandingkan kortikosteroid sintetik, seperti prednisolon. Golongan triamsinolon dan deksametason mempunyai aktivitas mineralokortikoid yang paling rendah, sehingga berpotensi rendah dalam menyebabkan retensi natrium dan efek samping yang lain. Golongan triamsinolon juga mempunyai durasi kerja sedang (intermediate) dan potensi antiinflamasi yang sesuai untuk mengatasi gejala alergi 24 akut. Hal menarik yang perlu diperhatikan pada pemberian kortikosteroid oral pada anak, khususnya pada penyakit alergi, adalah pemilihan bentuk formula dan rasa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rasa obat (palatibility) yang diikuti dengan persepsi rasa yang baik akan meningkatkan kepatuhan (compliance) anak dalam pengobatan dengan 25,26 kortikosteroid. Golongan triamsinolon merupakan kortikosteroid oral yang mempunyai rasa tidak pahit, sehingga dapat berguna dalam kepatuhan anak dalam berobat. Selain itu, kepatuhan yang baik akan menghasilkan pengobatan yang efisien, terutama dari segi biaya pengobatan 25 (cost-efficient). Secara garis besar, pemberian kortikosteroid pada inflamasi alergi tergantung pada beberapa faktor yang menentukan manfaat dan risiko pada tiap anak. Penutup Penyakit alergi pada anak membutuhkan perhatian khusus karena dapat mempengaruhi kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak. Pencegahan dini, penghindaran alergen, dan kontrol lingkungan merupakan lini terdepan dalam tatalaksana penyakit alergi. Adanya reaksi hipersensitivitas dan inflamasi yang mendasari reaksi alergi menunjukkan bahwa penyakit alergi membutuhkan tatalaksana farmakoterapi yang mengatasi reaksi inflamasi alergi terebut. Cetirizine mempunyai keunggulan dibandingkan antihistamin klasik lain karena mempunyai efek antiinflamasi, terutama melalui penghambatan proses kemotaksis sel inflamasi. Hasil studi ETAC juga menunjukkan cetirizine mempunyai efektivitas yang tinggi dengan efek samping yang minimal. Proses kemotaksis sel inflamasi juga dihambat oleh kortikosteroid. Efek antiinflamasi kortikosteroid juga dicapai melalui penghambatan mediator atau sitokin proinflamasi yang mencegah reaksi inflamasi alergi berlanjut. Triamsinolon merupakan kortikosteroid oral yang dapat digunakan pada anak karena mempunyai efek antiinflamasi, efek samping retensi natrium yang rendah dan rasa yang tidak pahit. Daftar Pustaka 1. Wahn U, von Mutius E. Childhood risk factors for atopy and the importance of early intervention. J Allergy Clin Immunol 2001;107:56774 2. Steering Committee. Worldwide variation in prevalence of symptoms of DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) Steering Committee. Lancet 1998;351:1225-32 Munasir Z, Akib AAP, Siregar SP, et al. Epidemiology of asthma and allergy in early life 2006 (unpublished) Siregar PS, Suyoko D, Akib A, et al. Prevalensi penyakit atopi pada anak di Kelurahan Utan Kayu. Disampaikan pada Simposium Kualitas Hidup di Perkotaan, Aspek Penyakit Alergi, Pokja Imunologi FKUI di Jakarta, 8 Maret 1990 Djayanto B. Prevalensi asma pada anak di sekolah dasar Yayasan Pendidikan Islam Al-Azhar, Jl. Sisingamangaraja Jakarta Selatan. Tesis, 1991 Yunus F, Antaria R, Rasmin M, et al. Asthma prevalence among high school students in East Jakarta, 2001, based on ISAAC questionnaire. Med J Indonesia 2003:12:178-86 Chapel H, Haeney M, Misbah S, et al. Basic components: structure and function. In: Essentials of Clinical Immunology. Edisi ke-4. London: Blackwell Science Ltd, 1999.p.11-17 Fireman P. Immunology of allergic disorders. In: Fireman P, Slavin RG, editor. Atlas of allergies. Philadelphia: J.B. Lippincott Company, 1991.p.2-23 Abbas AK, Lichtman AH. Hypersensitivity diseases. In: Basic Immunology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2004.p.193-200 Rothenberg ME. Inflammatory effector cells/cell migration. In: Leung DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ, editors. Pediatric Allergy Principles and Practice. St. Louis: Mosby, 2003.p.51-9 Bagnasco M, Canonica GW. Influence of H1-receptor antagonists on adhesion molecules and cellular traffic. Allergy 1995; 50:17-23 Munasir Z. The importance of early prevention of allergy disease. Disampaikan pada KONIKA XIII di Bandung, 4-7 Juli 2005 Munasir Z. Keamanan dan efikasi pemakaian setirizin pada anak. 2005. Simons FER. A new classification of H1-receptor antagonists. Allergy 1995; 50:7-11 Sundaru H. Antihistamin generasi kedua, apa yang ingin kita ketahui ?. Disampaikan pada Symposium Current Opinion in Allergy & Clinical Immunology, Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen Ilmu Peyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM di Jakarta, 24-25 Juli 2003 Tillement J-P. A low distribution volume as a determinant of efficacy and safety for histamine (H1) antagonists. Allergy 1995; 50:12-6 ETAC® Study Group. Allergic factors associated with the development of asthma and the influence of cetirizine in a double-blind, randomised, placebo-controlled trial : First results of ETAC®. Pediatric Allergy Immunol 1998; 9:116-24 Juhlin LA. A comparison of the pharmacodynamics of H1-receptor antagonists as assessed by the induced wheal-and-flare model. Allergy 1995; 50:24-30 Barnes PJ. Molecular mechanisms and cellular effects of glucocorticosteroids. Immunol Allergy Clin N Am 2005; 25:451-68 Lemanske RF, Busse WW, Wis M. Asthma. J Allergy Clin Immunol 2003; 111:511-3 Mortimer KJ, Tattersfield AE. Benefit versus risk for oral, inhaled, and nasal glucocorticosteroids. Immunol Allergy Clin N Am 2005; 25:523-39 Gentile DA, Shapiro G. Allergic rhinitis. In: Leung DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ, editors. In: Pediatric Allergy Principles and Practice. St. Louis: Mosby, 2003.p.293-6 van Cauwenberge P, van Hoecke H, Vamdenbulcke L, et al. Glucocorticosteroids in allergic inflammation: Clinical benefits in allergic rhinitis, rhinosinusitis, and otitis media. Immunol Allergy Clin N Am 2005; 25:489-509 Schimmer BP, Parker KL. Adrenocorticotropic hormone, adrenocortical steroids and their synthetic analogs, inhibitor of the synthesis and actions of adrenocortical hormones. In: Goodman LS, Gilman A, editor. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Theurapeutics. Edisi ke-10. New York: Macmillan Publishing Company, 2001.p.1657 Hutto CJ, Bratton TH. Palatability and cost comparison of five liquid corticosteroid formulations. J Pediatr Oncol Nurs 1999; 16:74-7 Norton SA. Taste comparison of corticosteroid suspensions. Journal of Drugs in Dermatology 2006. Available at http://www.encyclopedia.com Diakses tanggal 10 Maret 2007 73 LAPORAN KASUS Light Chain Myeloma Juliani Dewi, H Budiman Laboratorium Patologi Klinik RSU Dr. Saiful Anwar / FK Universitas Brawijaya Malang Abstrak. Light chain myeloma merupakan salah satu jenis multiple myeloma, di mana protein M yang terdetksi adalah light chain protein. Kasus ini melaporkan seorang penderita laki-laki berusia 66 tahun dengan tandatanda dan gejala klasik multiple myeloma disertai lytic bone lesions, tetapi gambaran elektroforesa protein serum normal, sedangkan elektroforesa protein urine menunjukkan adanya light chain proteinuria. Dari pemeriksaan aspirasi sumsum tulang didapatkan infiltrasi sel plasma sebanyak 95%. Kasus ini memenuhi kriteria multiple myeloma menurut Durie & Salmon. Untuk membuktikan tipe light chain myeloma lebih lanjut dapat dilakukan urine immunofixation test. Kata kunci: multiple myeloma, light chain myeloma, elektroforesa protein Pendahuluan Multiple myeloma adalah kelainan sel plasma, potensial ganas, yang dihubungkan dengan proliferasi single clone of plasma cells yang mensekresi protein homogen (monoklonal). Gambaran protein monoklonal tersebut dapat dilihat melalui elektroforesa. Sel plasma yang mengalami kelainan ini merupakan turunan seri sel B imunosit. Masing-masing protein monoklonal (protein M, protein myeloma atau paraprotein) terdiri dari 2 rantai polipeptida H (heavy) dan 2 rantai polipeptida L (light). Heavy polypeptide chain terdiri dari IgG (g), IgA (a), IgM (m), IgD (d), IgE (e). Light chain types terdiri dari kappa (k) dan lambda (l).1,3 Imunoglobulin monoklonal (protein M) yang terdeteksi pada multiple myeloma tersering adalah IgG, yaitu pada 60% kasus. IgA terdeteksi pada kurang lebih 20% kasus, light chain myeloma hanya 20% kasus, sedangkan IgM, D, E, dan lebih dari 1 protein M adalah kasus yang jarang.3-5 Pada elektroforesa protein serum menunjukkan puncak yang tinggi dan tajam atau band terlokalisir pada 80% penderita, hipogamaglobulin pada 10% penderita dan sisanya tidak menunjukkan kelainan.3 Monoclonal light chain (Bence Jones proteinemia) jarang terlihat pada gel agarosa. Dipstick test untuk analisa urin tidak sensitif untuk protein Bence Jones (monoclonal light chain dalam urine). Asam sulfosalisilat atau reagen Exton lebih baik daripada dipstick, tapi immunofixation atau imunoelektroforesa urin terkonsentrasi 24 jam yang adekuat dianjurkan untuk mendeteksi protein Bence Jones. Suatu monoclonal light chain di nephrotic urine diduga akibat deposisi light chain. Pada kondisi tertentu, light chain diproduksi lebih banyak daripada heavy chain. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh proliferasi oleh clone yang terpisah.1-3 Clone of plasma cells berproliferasi di sumsum tulang, sering 74 menginvasi tulang yang berdekatan, menyebabkan destruksi skeletal luas yang berakibat nyeri tulang dan fraktur. Anemia, hiperkalsemia dan insufisiensi renal adalah gambaran lain yang penting. Penyebab multiple myeloma belum jelas. Insidennya kurang lebih 1% dari semua penyakit keganasan dan lebih dari 10% keganasan hematologi di USA. Angka kejadiannya 4 per 100.000 dan dapat terjadi pada semua ras dan lokasi geografis. Insiden pada kulit hitam dua kali lipat daripada kulit putih, lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Median age saat diagnosa kurang lebih 65 tahun, hanya 2% yang kurang dari 1,2 40 tahun. Pada laporan kasus ini akan dilaporkan seorang penderita laki-laki berusia 66 tahun, dengan light chain myeloma. Kasus Seorang laki-laki, 66 tahun, datang ke rumah sakit Budi Rahayu, Blitar, dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Dari hetero anamnesa diperoleh keterangan bahwa penderita mengalami penurunan kesadaran setengah jam sebelum dibawa ke rumah sakit. Di Instalasi Rawat Darurat (IRD) kesadaran sedikit membaik, tapi bicara meracau, kemudian penderita dirujuk ke RSU Dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang. Dari riwayat penyakit sebelumnya diketahui 12 hari sebelum masuk rumah sakit penderita merasa nyeri pada rusuk kiri, berpindah ke kanan dan pinggang. Nyeri timbul bila penderita bergerak atau pindah posisi. Sejak 1 tahun yang lalu penderita sering batuk dan nyeri ulu hati, penderita sering bingung dan komunikasi tidak lancar, serta bengkak di seluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik saat penderita masuk RSSA tampak inkoheren, dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 456 dan penderita tampak kurus. Tekanan darah 90/60, nadi 68 DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 kali per menit, suhu axillair 36 oC dan suhu rektal 36,6o C, serta tampak anemis. Tidak didapatkan kelainan pada kepala, leher, thorax, dan abdomen. Pada pemeriksaan laboratorium saat penderita masuk RSSA didapatkan anemia normokrom normositer dengan Hb 3 8,2 g/dl, lekosit normal (7.000/mm ), trombosit normal 3 (232.000/mm ), retikulosit 1‰, dengan evaluasi hapusan darah normal. Gula darah sesaat 105 mg/dl, ureum 174 mg/ dl, kreatinin 12,23 mg/dl, asam urat 13,7 mg/dl. Dari pemeriksaan fungsi hati SGOT dan SGPT normal (25 mU/ ml dan 9 mU/ml), bilirubin dalam batas normal (bilirubin direk 0,31 mg/dl, bilirubin indirek 0,26 mg/dl dan bilirubin total 0,57 mg/dl), albumin 3,9 g/dl, globulin 1,7 g/dl, dan total protein 5,6 g/dl. Dari analisa gas darah didapatkan asidosis metabolik terkompensasi sebagian, dengan pH 7,304; pCO2 31 mmHg, pO2 139,2 mmHg, HCO3 15,5 mmcl/l, O2 saturasi 98,7 % dan base excess -9,9 mmol/l. Didapatkan peningkatan anion gap, dengan hiponatremia (Na 127 mmol/l, K 4,5 mmol/l dan Cl 92 mmol/ l). Didapatkan hiperkalsemia (12 mg/dl, nilai normal 8,5–10,4 mg/dl) tetapi kadar fosfor masih normal (5,5 mg/dl, nilai normal 2,5–7,0 mg/dl). Pada pemeriksaan urin lengkap didapatkan proteinuria 2+, reduksi negatif, tidak ada bilirubinuri dan urobilinogenuri, sedimen lekosit 3-4/lpb dan sedimen eritrosit 2-6/lpb, serta didapatkan kristal kalsium oksalat dan banyak kristal amorf. Foto rontgen menunjukkan osteolytic bone lesion pada os tibia dan os radius serta didapatkan fraktur costae multiple dextra et sinistra. USG abdomen menunjukkan chronic parenchymatous renal disease. Hasil aspirasi sumsum tulang menunjukkan keadaan hiperseluler dengan rasio myeloid eritroid 6 : 1, aktivitas sistem eritropoetik menurun, aktivitas sistem granulopoetik baik dan aktivitas megakaryopoetik baik, cadangan besi positif, didapatkan infiltrasi sel plasma sebanyak 95%. Elektroforesis protein serum menunjukkan gambaran normal, sedangkan elektroforesa protein urin menunjukkan gambaran light chain proteinuria. Pembahasan Multiple myeloma adalah keganasan sel plasma matur maupun imatur. Manifestasi klinik kelainan ini terjadi akibat proliferasi dan akumulasi sel plasma yang menduduki sebagian besar sumsum tulang. Sedangkan manifestasi patologik terjadi karena produksi yang berlebihan protein dan rantai polipeptida (komponen M) yang diidentifikasikan 4 sebagai “spike” pada elektroforesa protein serum. Dominasi sel tumor dalam ruang-ruang sumsum tulang menyebabkan destruksi tulang dan abnormalitas hematopoetik mayor, seperti anemia, leukopenia dan 4 trombositopenia. Anemia yang terjadi sering dihubungkan 3 dengan keadaan penderita yang lemah. Defisiensi imunitas dan peningkatan risiko mendapatkan infeksi akibat tertekannya fungsi imunitas secara normal disebabkan oleh 4 produk sel myeloma dan sel-sel intermediari lainnya. Kemunculan gejala dan tanda-tanda klinis bergantung pada lama perjalanan penyakit yang bervariasi, infeksi berulang, kelemahan, penurunan berat badan, diikuti lesi tulang dan berkembangnya penyakit ginjal kronik. DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 Lesi tulang pada multiple myeloma disebabkan oleh proliferasi sel-sel myeloma dan aktivitas osteoklas yang merusak tulang. Aktivitas osteoklas ini merupakan respon dari osteoclast activating factors (OAF) yang dihasilkan oleh sel-sel myeloma dengan mediator beberapa sitokin seperti IL-1, lymphotoxin dan tumor necrosis factor. Lisisnya tulang ini mengakibatkan mobilisasi kalsium dari tulang sehingga dapat terjadi komplikasi akut dan kronik yang serius dari hiperkalsemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan lethargy, 2 kelemahan, depresi dan kebingungan. Lesi tulang diketahui karena didapatkan pembengkakan lokal, nyeri dan fraktur patologis. Lesi ini terutama terjadi pada “red marrow” seperti costae, sternum, claviculae, tulang belakang, tengkorak, atau ekstremitas sekitar bahu dan tulang panggul. Nyeri yang dirasakan sering berpindah-pindah, intermiten, lebih berat saat bergerak dan paling sering mengenai punggung, dada dan ekstremitas. Perubahan tulang ditunjukkan secara radiologis, digambarkan sebagai melingkar, “punched out areas”, osteoporosis, atau fraktur. Dengan menggunakan Microradiography, Computed Tomography, atau Magnetic Resonance Imaging dapat dilihat penipisan yang menyeluruh dan 3,4 destruksi trabekulae. Gangguan fungsi ginjal adalah gambaran yang menonjol dari kelainan ini, bahkan dapat ditemukan saat ditegakkannya diagnosa. Prevalensi gangguan fungsi ginjal ini lebih besar pada penderita dengan hiperkalsemia dan pada penyakit yang telah lanjut. Patogenesis yang berhubungan dengan gagal ginjal sangat kompleks, tapi ekskresi monoclonal light chain memainkan peranan yang penting. Light chain terikat pada tubulus proksimalis pada reseptor endositotik berkapasitas tinggi dan terakumulasi dalam sistem endolisosomal. Disfungsi tubuli ditemukan hampir pada semua penderita dengan light chain 3,4 proteinuria lebih dari 1 g/24 jam. Kerusakan tubulus proksimalis menyebabkan kehilangan garam dan air, dehidrasi dan penurunan clearance light chain oleh tubulus, sehingga menyebabkan konsentrasi light chain lebih besar di tubulus distalis. Beberapa faktor lain yang penting dalam menyebabkan disfungsi ginjal adalah hiperkalsemia dan hiperkalsiuria akibat destruksi tulang dan imobilisasi, sehingga bermanifestasi sebagai hypercalcemic 4 nephropathy. Gambaran laboratorium manifestasi gangguan ginjal pada beberapa penderita berupa azotemia, tingginya kreatinin serum, clearance creatinin yang rendah. Dalam urine mengandung protein Bence Jones, albumin, silinder, dan sel–sel epitel ginjal. Tidak umum didapatkan hematuria. Hiponatremi berat pada beberapa penderita disebabkan oleh efek kationik protein myeloma. Hiperprotein, dapat mencapai lebih dari 80 g/l dan kadangkadang 120 g/l. Tetapi pada light chain myeloma total protein serum yang rendah sering dihubungkan dengan 4 keberadaan hipoglobulinemia. Komplikasi kardiovaskular terjadi pada penyakit yang berat dan lama. Infiltrasi pada myokardial dengan amyloid sering menyebabkan dilatasi atau restriksi kardiomyopati 4 dan gagal jantung kongestif. Sebagian besar penderita multiple myeloma mengalami anemia sedang hingga berat, dengan kadar Hb antara 70– 100 g/l, normokrom normositer dan rouleaux formation 75 tampak jelas. Retikulosit rendah, laju endap darah yang tinggi dihubungkan dengan clumping eritrosit dan rouleaux formation. Hal ini disebabkan karena tingginya γ-globulin, rendahnya albumin dan produksi acute phase reactans oleh hepar, terutama CRP, IL-6. Suatu major growth factor diproduksi dalam jumlah besar, menghambat sintesis 4,5 albumin oleh hepar tapi merangsang produksi CRP. Hitung lekosit pada umumnya normal sebelum dimulainya kemoterapi. Tidak ada kelainan pada hitung jenis. Pada sejumlah kecil kasus, sel plasma dapat terlihat, terutama pada stadium lanjut. Jika sel plasma dominan di antara lekosit 4 sirkulasi, kondisi ini disebut sebagai plasma cell leukemia. Pada aspirasi sumsum tulang, didapatkan ciri khas adanya sel myeloma pada semua penderita multiple myeloma. Pada umumnya di sumsum tulang terdiri dari sedikitnya 5–10% myelomatous plasma cell. Jika jumlahnya lebih besar dari 15 hingga 20% dapat dipastikan suatu multiple myeloma. Diagnosa multiple myeloma tidak pernah 4 dibuat tanpa adanya sel plasma ini. Elektroforesis harus dilakukan pada semua kasus dengan serum protein monoklonal atau diagnosa/dugaan multiple myeloma, makroglobulinemia, amyloidosis atau penyakit3 penyakit yang berhubungan. Komponen M dan/atau protein Bence Jones tampak pada semua penderita multiple myeloma. Light chain lebih sulit terlihat dalam sirkulasi daripada heavy chain. Ekskresi light chain dalam urin dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tidak seimbangnya produksi light chain dan clearance-nya oleh ginjal. Light chain teridentifikasi dalam urin pada lebih dari 80% kasus. Protein monoklonal tidak terdeteksi dalam serum atau urin pada kurang lebih 1% kasus. Pada penderitapenderita ini selularitas, sitologi dan gambaran ultra struktur sel-sel yang memproduksi komponen M sama dengan sel myeloma yang lain. Pada light chain myeloma, monoclonal light chain hanya ditandai dengan gambaran klinis yang berat, gagal ginjal, lytic bone lesions, hiperkalsemia dan 4 amyloidosis. Adanya global hypo gamma globulinemia pada diagnosa myeloma dapat diindikasikan suatu light chain myeloma. Pada kondisi ini tidak ditemukan 6 monoclonal band pada elektroforesis protein serum. Urin tampung 24 jam diukur untuk menentukan jumlah protein total yang diekskresi tiap hari. Sejumlah protein monoklonal seperti protein Bence Jones dihitung dari ukuran “spike” pada densitometer tracing dan kandungan protein urine 3 total 24 jam. Metode terbaik untuk mendeteksi protein Bence Jones dalam urin adalah elektroforesis protein. Keberadaan Bence Jones globulin atau clonal production immunoglobulin ditandai dengan puncak tajam tunggal pada globulin yang dengan imunoelektroforesis dapat ditentukan 7 jenisnya kappa atau lambda immunoglobulin light chain. Immunofixation test lebih sensitif dan merupakan metode 4 terbaik untuk mendeteksi protein Bence Jones dalam urin. Sitologi, klinis dan kriteria laboratoris untuk diagnosa multiple myeloma merujuk pada Durie dan Salmon : Kriteria mayor : 1. Plasmasitoma pada biopsi jaringan 2. Plasmasitosis pada sumsum tulang dengan sel plasma >30% 3. Monoclonal globulin spike pada elektroforesa serum: IgG 76 >35g/l, IgA >20 g/l, ekskresi light chain pada elektroforesis urin 1,0 g/24 jam tanpa amyloidosis Kriteria minor 1. Plasmasitosis pada sumsum tulang dengan 10-30% sel plasma 2. Monoclonal globulin spike, tapi kadarnya kurang dari yang tersebut di atas 3. Lytic bone lesions 4. Normal IgM <500 mg/l, IgA <1 g/l atau IgG <6 g/l Diagnosa myeloma membutuhkan minimum 1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor atau 3 kriteria minor, dan harus 4 termasuk kriteria minor 1 + 2. Kasus Tn. M di atas memenuhi kriteria diagnosa Durie dan Salmon, dengan memenuhi 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Pada penderita didapatkan lesi tulang yang mengakibatkan hiperkalsemia, peningkatan kadar alkali fosfatase, dan kebingungan. Lesi tulang diketahui karena didapatkan nyeri dan fraktur patologis pada costae dan ekstremitas. Gangguan fungsi ginjal terjadi pada kasus ini dengan didapatkannya peningkatan kadar ureum dan kreatinin serta adanya albuminuri. Pada penderita juga didapatkan kelainan kardiovaskuler dengan pembesaran jantung ke kiri, anemia sedang dengan kadar Hb antara 70–100 g/l, normokrom normositer. Hitung lekosit normal dan tidak ada kelainan pada hitung jenis. Pada aspirasi sumsum tulang, didapatkan ciri khas adanya dominasi sel plasma sehingga dapat dipastikan suatu multiple myeloma. Light chain lebih sulit terlihat dalam sirkulasi daripada heavy chain, sehingga tidak ditemukan monoclonal band pada elektroforesis protein serum penderita. Walaupun demikian, light chain dapat diidentifikasi dalam urin. Kesimpulan Dan Saran Telah dilaporkan seorang penderita laki-laki, 66 tahun, dengan light chain myeloma. Kriteria Durie dan Salmon terpenuhi, disertai gambaran klinis dan laboratoris yang khas pada multiple myeloma. Tidak tampaknya monoclonal band pada elektroforesis protein serum tapi tampak pada elektroforesis urin mengindikasikan adanya suatu light chain myeloma. Keadaan ini perlu ditunjang dengan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk itu disarankan dilakukan pemeriksaan imunofixation test pada urin. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Kyle RA, Rajkumar SV. Plasma cell disorders. In : Goldman L, Ausiello D. Cecil Textbook of Medicine. 22nd ed. Philadelphia, Pennsylvania: Saunders; 2004.p.1184-91 Longo DL. Plasma cell disorders. In: Wilson JD, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al editors. Harrisons’s Principles of Internal Medicine. 12 th ed. New York: McGraw-Hill; 1991.p.1410-7 Kyle RA. Multiple myeloma and related monoclonal gammopathies. In: Mazza JJ. Manual of Clinical Hematology. 2nd ed. Boston: Little, Brown and Company; 1995.p.251-76 Foerster J, Paraskevas F. Multiple myeloma. In: Lee GR, Foerster J, Lukens J, th Paraskevas F, Greer JP, Rodgers GM. Wintrobe’s Clinical Hematology. 10 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999.p.2631-80 Lichtman MA, Beutler E, Kipps TJ, et al. Myeloma. Williams Manual of Hematology. th 6 ed. Boston: McGraw-Hill; 2003.p.367-75 Carrer DL. Serum protein electrophoresis & immunofixation illustrated interpretations. France: SA Sebia; 1994.p.29-81 Henry JB, Lauzon RB, Schumann GB. Basic examination of urine. In: Henry th JB. Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods.19 ed. Philadelphia, Pennsylvania: WB Saunders Company; 1996.p.423 DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 TINJAUAN PUSTAKA Efek Kortikosteroid Terhadap Metabolisme Sel; Dasar Pertimbangan Sebagai Tujuan Terapi Pada Kondisi Akut Maupun Kronik Jan Sudir Purba Departemen Neurologi FKUI / RSCM Jakarta Abstrak. Kortikosteroid yang juga diketahui sebagai glukokortikoid adalah sintetik kortikosteroid endogen yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal melalui aktivitas aksis hypotalamic-pituitary adrenal (HPA). Kortikosteroid dibutuhkan oleh tubuh secara vital dalam mempertahankan keseimbangan tubuh yang sehat baik terhadap gangguan yang berasal dari dalam tubuh sendiri maupun dari luar. Pentingnya kortikosteroid dalam kehidupan dapat dilihat jika terjadi defisiensi atau juga hiperproduksi maka muncul beberapa tanda patologi menyangkut gangguan metabolisme sel seperti muncul alergi dan gangguan imunitas, gangguan metabolisme protein, lemak dan mineral. Dalam penggunaanya sebagai terapi beberapa jenis kortikosteroid bisa lebih spesifik untuk kasus tertentu. Triamcinolone merupakan kortikosteroid yang berpotensi tinggi dalam hal imunosupresi, antiinflamasi, serta antiproliferasi. Walaupun penggunaan triamcinolone mengandung efek terapeutik yang potent namun juga tidak terlepas dari efek negatif seperti katabolisme baik protein dan mineral, lemak serta gangguan hormon lainnya, seperti hormon pertumbuhan pada anak jika penggunaannya kurang tepat. Pendahuluan Kortikosteroid yang disekresi di kelenjar adrenal penting untuk kelangsungan hidup, sebagai hormon homeostasis dalam mempertahankan gangguan ketidakseimbangan, baik yang berasal dari biologis organisme itu sendiri maupun dalam menghadapi dan menyesuikan dengan lingkungan. Kortikosteroid pertama kalinya digunakan tahun 1949 di klinik sebagai terapi artritis reumatik. 1,2 Penggunaan ini berkembang terus sampai pada kasus dermatologi, imunologi dan onkologi. Dalam perjalanannya, penggunaan kortikosteroid mempunyai berbagai ragam efek negatif namun dengan mempertimbangkan secara mendasar terhadap efek positifnya, maka penggunaan kortikosteroid ini tetap populer. Aktivitas biologis dari kortikosteroid umumnya bergantung pada potensi alamiah maupun sintetik yang secara fisiofarmakologis ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar serta sifat sebagai antiinflamasi. 3-5 Oleh sebab itu penggunaan kortikosteroid di klinik mendasar pada efek metabolisme dan efek katabolisme, antiinflamasi, imunosupresi dan juga sebagai antiproliferasi. 6,7 Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan mineral pada sel yang berperan pada fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik dan tulang, sistem saraf dan organ lainnya. Pertimbangan pemberian kortikosteroid tentu mendasar pada efek positif dan efek negatif. Efek negatif bergantung DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 pada dosis serta lamanya penggunaan yang bisa berefek pada atrofi dari kelenjar korteks adrenal sampai pada glaukoma, gangguan keseimbangan natrium, kalium, kalsium serta nitrogen demikian juga sistem imunitas dan hormon-hormon lainnya seperi hormon pertumbuhan.8-10 Regulasi sekresi kortikosteroid Sekresi kortikosteroid oleh kelenjar adrenal merupakan hasil rangkaian stimulasi corticotropin-releasing hormone (CRH) terhadap adrenocorticotropin hormone (ACTH) di hipofisis 11,12 . CRH adalah neuropeptida yang terdiri dari 41 asam amino, disekresi oleh neuron di nukleus paraventrikularis (PVN) hipotalamus untuk seterusnya melalui eminentia mediana akan ditransportasikan lewat sirkulasi porta hipofisis ke adenohipofisis. Stimulasi CRH di hipofisis akan mengaktivasi adenyl cyclase dengan demikian memperbanyak cyclic AMP sehingga terjadi peningkatan mRNA ACTH.4,6,7,13,14 ACTH adalah neuropeptida asam amino yang tergabung dan disintesa melalui suatu prekursor protein yaitu proopiomelanocortin (POMC), dan mempunyai efek stimulasi terhadap kelenjar adrenal. Kelenjar adrenal yang mempunyai berat sekitar 4 gram terletak di bagian atas ginjal. Kelenjar ini terdiri dari medula dan korteks. Medula yang terdiri dari sekitar 20% mensintesis epinefrin, norepinefrin dan dopamin sedangkan korteks adrenal yang terdiri dari sekitar 80% berat kelenjar mensintesis dua 77 bentuk hormon steroid, yaitu kortikosteroid dan mineralokortikosteroid. Waktu paruh normal kortikosteroid dalam sirkulasi berkisar 90-110 menit. 4,6,7,14,15 Kadar kortikosteroid atau yang juga disebut sebagai kortisol secara fisiologi diatur oleh mekanisme sirkadian dimana pada orang sehat dewasa disekresi sekitar 15-60 mg/hari yang secara fluktuatif melalui sekresi vasopresin oleh nukleus suprachiasmaticus (SCN) hipotalamus. Kadar kortikosteroid tertinggi sepanjang 24 jam ditemukan pada sekitar jam 9 pagi sedangkan kadar minimal ditemukan pada malam hari sekitar jam 24.00.16 Tinggi rendahnya kadar ini juga diatur oleh adanya proses feed back kortikosteroid terhadap hipofisa dan hipotalamus. Hal ini dapat dibuktikan melalui penyuntikan intravena CRH yang akan meningkatkan kadar ACTH dengan demikian kortisol akan meninggi. Mekanisme feed back kortikosteroid dapat dilihat juga dari penelitian pada hewan percobaan dengan pemberian kortisol akan menurunkan jumlah reseptor yang aktif dari CRH di hipofisis sementara pemberian 100 µg CRH secara kronik akan menyebabkan sindroma Cushing. 17-19 Mekanisme Kerja Kortikosteroid Sampai sekarang ini masih banyak cara kerja kortikosteroid yang sering juga disebut sebagai kortisol yang belum dapat dijelaskan. Secara umum mekanisme kerja kortikosteroid mendasar pada ikatan dengan reseptor protein spesifik corticosteroid binding globulin (CBG), suatu α-globulin yang disintesa di lever. Sekitar 95% kortikosteroid yang yang beredar disirkulasi akan berikatan dengan CBG dan sisanya sekitar 5% beredar bebas dan atau terikat longgar dengan albumin.8 Bila kadar plasma kortisol di sirkulasi lebih dari 20-30 mikrogram/ dl maka CBG akan menjadi jenuh sehingga kortisol bebas ini berikatan dengan reseptor kompleks yang disebut juga dengan reseptor glukokortikoid (GR) di sitoplasma. GR adalah suatu protein yang inaktif dalam sitoplasma, yang baru aktif jika telah berikatan dengan kortisol. Reseptor kompleks ini akan bermodifikasi yang terlihat pada peningkatan sedimen yang masuk ke nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini nantinya akan mengatur transkripsi gen secara spesifik yang 20-22 bermanifestasi dalam peningkatan jumlah spesifik mRNA. Hasil ikatan ini di nukleus akan menstimulasi transkrip RNA dan sintese protein spesifik sebagai proses pengaturan berbagai aktivitas berupa metabolisme dan katabolisme sel termasuk sintese enzim, permeabilitas membran dan lain-lain yang nantinya berefek pada organ sasaran. Diketahui bahwa kortikosteroid mempengaruhi metabolisme baik di perifer maupun di lever. Di perifer kortikosteroid memobilisasi asam amino di sejumlah jaringan seperti limfa, otot dan tulang. Akibatnya terjadi atrofi jaringan limfa, menurunnya massa otot, osteoporosis. Di lever ditemukan induksi sintese de-novo dari sejumlah enzim yang berkaitan dengan glukoneogenesis dan keseimbangan asam amino yang nantinya berefek nyata dalam 8,22 hal antiinflamasi selain efek metabolik dan imunogenik. Dasar Penggunaan Kortikosteroid Sebagai Terapi Sebagaimana disebut bahwa penggunaan kortisol sebagai terapi mendasar pada efek metabolisme dan efek 78 katabolisme, antiinflamasi, immunosupresan, dan juga 6,7,23,24 sebagai anatiproliferasi. Efek metabolisme kortisol terhadap karbohidrat, protein dan lemak serta ion-ion, berperan pada otot, saraf, sistem kardiovaskular, ginjal, sebagai mempertahankan keseimbangan baik fungsi maupun struktur. Beberapa jenis kortikosteroid berperan dominan terhadap keseimbangan cairan tubuh sebagai mineralokortikoid sementara kortikosteroid dominan berperan dalam hal metabolisme/katabolisme, inflamasi serta terhadap sistem imun. Beberapa jenis kortikosteroid sintetik seperti prednison, prednisolon, triamcinolone, dan betametasone termasuk pada golongan yang sangat potensial 22 dibanding dengan kortisol endogen. Triamcinolone salah satu jenis kortisol selain digunakan untuk terapi substitusi yang berpotensi tinggi sebagai anti infamasi atau imunosupresi. Efek pemberian terhadap aksis HPA dengan dosis antara 60-100mg akan menyebabkan 22,23 supresi aksis HPA dalam jangka waktu 24-48 jam. Mekanisme kerja dari triamcinolone adalah dengan melibatkan lipokortin, inhibisi protein fosfolipase A2 dengan menekan kegiatan arachidonic acid sebagai kontrol biosintesis prostaglandin dan leukotrien. Dalam hal efeknya terhadap sistem imun adalah dengan menurunkan kegiatan dari sistem limfatik, mereduksi imunoglobulin serta konsentrasi komplemen, presipitasi limfositopenia dan mengganggu ikatan antigen-antibodi. Mendasar pada mekanisme kerja maka penggunaan triamcinolone ini sangat luas mulai dari alergi sampai pada efek perbaikan pengaturan cairan sel otak dengan kata lain edema otak baik akibat 22,23 cedera ataupun tumor. Penggunaan triamcinolone tentu juga tidak terlepas dari efek samping sebagaimana efek kortisol lainnya. Efek Pemberian Kortikosteroid Efek terapeutik dari kortisol bisa paralel dengan efek samping terutama jika pemberian dengan jangka waktu yang lama. Hal ini yang terjadi pada metabolisme karbohidrat yang menyebabkan glukoneogenensis di perifer dan hepar. Di perifer, glukokortikoid menyebabkan mobilisasi asam amino dari beberapa jaringan, merupakan efek katabolik yang menyebabkan atrofi otot dan osteoporosis. Asam amino yang dimobilisasi ini dibawa ke hepar digunakan sebagai substrat enzim yang berperan dalam produksi glukose dan 4,6-8,14,25 glikogen. Efek terhadap katabolisme lemak dalam jangka panjang akan menyebabkan gangguan distribusi lemak seperti moon face, buffalo hump, dan lemak 6,8,14 ekstremitas akan berkurang. Efek kortikosteroid terhadap keseimbangan elektrolit menyebabkan gangguan reabsorpsi ion Na + serta sekresi K+ dan H+ di ginjal dan menghambat 6,7,14 absorpsi Ca 2+ di usus. Efek katabolisme ini perlu terutama terhadap fungsi kardiovaskuler dan susunan saraf pusat (SSP) dalam mempertahankan kadar gula darah serta elektrolit yang secara langsung bisa berpengaruh terhadap 4,6,7,14 gangguan neuropsikiatri serta aktivitas motorik. Efek antiinflamasi dan imunosupresi berperan dalam mengurangi aktivitas peradangan melalui peningkatan konsentrasi netrofil dan penurunan limfosit (T dan B), monosit, eosinofil, basofil. Kortikosteroid dapat menekan timbulnya gejala DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik ataupun 26 alergen. Efek imunosupresi dari kortikosteroid mendasar pada kesanggupan untuk menginduksi limfositopenia serta menurunkan diferensiasi dan proliferasi limfosit. Hal ini dilakukan dengan mengganggu komunikasi intraseluler di antara leukosit dengan produksi limfokin terutama IL-1, IL27 2 dan TNF, dengan demikian menghambat fungsi makrofag. Indikasi Selain indikasi sebagai terapi substitusi terhadap defisiensi pada insufisiensi adrenal akut dan kronik atau hipoplasia adrenal kongenital maka penggunaan kortisol lebih banyak bersifat empiris. Penggunaan kortisol pada artritis, korditis reumatik, penyakit ginjal, penyakit kolagen, asma bronkial, alergi, kulit, tumor, syok dan edem serebral mendasar pada efek metabolisme dan efek katabolisme, antiinflamasi, 6,7,28-30 immunosupresan, dan juga sebagai antiproliferatif. Penggunaan kortikosteroid pada operasi tumor otak pada awalnya adalah untuk mengurangi edema otak yang kemudian digunakan secara meluas pada kasus-kasus di neurologi. Ternyata bahwa keberhasilan kortikosteroid terhadap hilangnya edema pada otak juga bergantung pada kecepatan tindakan pemberian serta dosis dan jenis 28,31-33 kortikosteroid. Edema serebral pada cedera otak dapat bersifat fokal ataupun difus yang dapat terjadi karena gangguan membran sel neuron atau gangguan blood brain 34-36 barrier (BBB). Pendapat mengenai kegunaan kortisol pada cedera otak masih kontroversial. Beberapa peneliti menyatakan bahwa pemberian kortisol memperlihatkan perbaikan klinis pada cedera otak berat, sedangkan yang 34-36 lainnya menyatakan tidak ada perbaikan yang berarti. Sebenarnya alasan perbaikan ini dapat diterangkan karena pada cedera otak, sel otak sendiri rusak ataupun mati sehingga pembentukan kortikosteroid aktif melalui mekanisme feed back tidak terjadi oleh sebab itu dibutuhkan 37,38 pemberian dari luar. Pemberian metilprednisolon pada trauma kepala misalnya makin cepat diberikan makin baik hasilnya. Mekanisme kerja metilprednisolon terletak pada peroksidasi lipid di membran sel dan sel organel. Lipid yang teroksidasi akan merubah struktur dan fungsi membran sel. Sedangkan fungsi lainnya adalah mencegah terjadinya perluasan iskemia yang progresif sesudah trauma serta mencegah akumulasi kalsium intraseluler, mencegah kerusakan struktur neurofilamen, menghambat proses hidrolisa lemak membran 38 yang membentuk tromboksan A2 dan prostaglandin F2. Metilprednisolon adalah salah satu golongan glukokortikoid yang banyak diteliti dan dikembangkan terutama pada 5,39-41 trauma medula spinalis. Pemberian kortikosteroid pada tumor di otak awalnya adalah untuk mengurangi edema pada tumor otak sekunder/ metastasis sehingga mengurangi pendorongan massa. Penggunaan deksametason untuk edema vasogenik didapatkan hasil yang baik. Secara keseluruhan deksametason menurunkan jumlah cairan dalam otak yang terlihat dalam perbaikan klinik Pada gambaran elektron mikroskop terlihat pengurangan pembengkakan dari 33,43,44 prosesus glia, parenkim dan myelin sheat. Dari hasil DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 penelitian diketahui bahwa kelainan dini yang ditemukan pada trauma adalah terbentuknya koagulasi fibrinolisis, pembentukan kompleks kalikrein-kinin demikian juga 28 aktivasi sistem komplemen. Pemberian kortikosteroid pada penderita fraktur multipel membuktikan penurunan insiden emboli dan insufisiensi pulmonal sebagai manifestasi dari 42,43 adult respiratory distress syndrome (ARDS). Ini mungkin disebabkan oleh inhibisi agregasi granulosit dengan demikian menghindarkan produksi toksik oksigen radikal 43 bebas yang bisa merusak sel endotel kapiler. Pengaruh pemberian kortikosteroid sedini mungkin pada penderita multiple thorax injury adalah sebagai preventif terhadap kerusakan membran dengan demikian pengaruhnya 31 terhadap edem otak. Pemberian kortikosteroid akan menurunkan respons inflamasi. Selain dari pada itu kortikosteroid juga akan mengurangi sifat pirogen dari 28 leukosit. Dari hasil percobaan pada hewan ditemukan bahwa menurunnya jumlah eosinofil kemungkinan disebabkan oleh banyaknya eosinofil yang keluar dari 29 sirkulasi. Pada infeksi otak umumnya penggunaan kortikosteroid dianggap sebagai terapi adjuvans antiinflamasi yang diberikan bersama dengan antibiotik. Biasanya diberikan pada keadaan /adanya gejala-gejala: peningkatan tekanan intrakranial, ensefalitis, arachnoiditis, defisit neurologi fokal, peningkatan protein atau tanda-tanda blok spinal. Pada beberapa penelitian dikatakan penggunaan kortikosteroid akan menurunkan jumlah cairan otak, resistan CSF, tekanan intrakranial, edema serebral, laktat CSF (penelitian hewan) tetapi pada manusia didapatkan menurunnya TNF alfa, IL-1. prostaglandin, platelet 44 activating factor, laktat, protein dan kadar glukosa. Penggunaan kortikosteroid pada bakteri infeksi otak yang mendasar pada patogenesis infeksi sel neuron. Selama infeksi terjadi kerusakan sel disertai inflamasi membran subarachinoid ruang serebrospinal, piamater dan arachinoid dari susunan saraf pusat dan medula spinalis. Beberapa peneliti menyatakan akan terjadi komplikasi 45 sebesar 50% selama infeksi dan 3-22% meninggal. Bakteri meningitis akan menginduksi sel-sel inflamasi seperti neutrofil pada ruang serebrospinal dan jaringan otak. Keadaan ini akan memberikan gejala-gejala yang hampir menyeluruh pada sel otak seperti kerusakan BBB (kerusakan endotelial, pinocitosis meningkat, tight junction yang melebar), edema susunan saraf pusat disertai peningkatan tekanan intrakranial serta komplikasi serebrovaskular seperti gangguan cerebral blood flow, kehilangan autoregulasi, vaskulitis, iskemia, vasospasmus, trombosis 44 yang mengakibatkan ensefalopati. Efek pemberian kortikosteroid pada meningitis tuberkulosis bertujuan mengurangi terjadi proses eksudasi yang dapat merusak pembuluh darah terutama pada meningitis basalis. Komplikasi yang bisa terjadi adalah 44 hidrosefalus, kejang, stroke dan blok spinal. Prinsip penggunaan kortikosteroid pada infeksi medula spinalis hampir sama dengan infeksi otak lainnya hanya cara pemberian kortikosteroid dapat diberikan intratekal melalui 46 punksi lumbal misalnya pada arachinoiditis. 79 Daftar Pustaka 1. LaRochelle GE Jr, LaRochelle AG, Ratner RE, et al. Recovery of hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis in patients with rheumatic disease receiving low dose prednisone. Am J Med 1992; 95:258-64 2. Howe CR, Gardner GC, Kadel NJ. Perioperative medication management for the patient with rheumatoid arthritis. J Am Acad Orthop Surg 2006; 14:544-51 3. Bowman WC, Rand MJ. Texbook of pharmacology. 2 nd ed.; 1980.p.1929-43 4. Klawans HL, Weiner WJ. Texbook of clinical neuropharmacology . 1981.p. 283-92 5. Brachen MB, Shepard MJ, Holford TR, et al. Administration of methylprednidolone for 24 or 48 hours or trilazard mesylate for 48 hours in treatment of acut spinal cord injury. JAMA 1997; 277:1597603 6. Drug Evaluation Annual American Medical Association 1995; 83:194161 7. Goodman and Gilman’s. The pharmacological basis of therapeutics. McGraw-Hill Co; 1996.p.1459-85 8. Chrousos GP. The hypothalamic-pituitary-adrenal axis and immunemediated inflammation. N Eng J Med 1995; 332: 1351-62 9. Wolthers O, Juul A, Hansen M, et al. The insulin like growth factors axis and collagen turnover in asthmatic children treated with inhaled budesonide. Acta Pediatr 1995; 84: 393-7 10. Soferman R, Sapir N, Spirer Z, et al. Effects of inhaled steroids and inhaled cromolyn sodium on urinary growth hormone excretion in ashmatic children. Pediatr Pulmonal 1998; 26:339-43 11. Purba JS, Raadsheer FC, Hofman MA, et al. Increased number of corticotropin-releasing hormone (CRH) neurons in the hypothalamic paraventricular nucleus in patients with Multiple Sclerosis. Neroendocrinol 1995; 62: 62-70 12. Raadsheer FC, Sluiter AA, Ravid R, et al. Localization of corticotropinreleasing hormone (CRH) neurons in the paraventricular nucleus of the human hypothalamus; age-dependent colocalizationwith vasopressin. Brain Res 1993; 615: 50-62 13. Aquilera G, Harwood JP, Wilson JX, et al. Mechanisms of action of corticotropin release in rat pituitary sells. J Biol Chem 1983; 258: 8039-45 14. Fauci AS. Glucocorticoid teraphy: Mechanisms of action and clinical considerations. Ann Intern Med 1976; 84: 304-15 15. Guyton AC. Texbook of medical physiology. 7th edition 1986.p. 90125 16. Hofman MA, Goudsmit E, Purba JS, et al. Morphometric analysis of the supraoptic nucleus in the human brain. J Anat 1990; 172:259-70 17. Müller OA, Stalla GK and von Werder K. CRH in Cushing’s syndroma. Horm Metab Res 1987(Supp); 16: 51-8 18.Nakamishi S, Kita T, Taii S, et al. Glucocorticoid effect on the level of corticotropin messenger RNA activity in rat pituitary. Proc Natl Acad Sci USA 1977; 74:3283-6 19. Hauger RL, Millan MA, Catt KJ, et al. Differential regulation of brain and pituitary corticotropin-releasing factor receptors by corticosterone. Endocrinology 1987; 120: 1527-33 20. Funder JW. Adrenal steroid: new answers, new questions. Science 1987; 237:236-7 21. Hollenberg SM, Giguere V, Segui P, et al. Colocalization of DNA-binding and transcriptional activation function in the human glucocorticoid receptor. Cell 1987; 49: 39-46 22.Godawski PJ, Picard D and Yamamoto KR. Signal transduction and transcriptional regulation by glucocorticoid receptor-LexA fusion protein. Science 1988; 241:812-6 22. Drug facts and comparisons. St. Luis: Facts and Comparison 1997.p.122-3 80 23. Almawi WY, Melemedjian OK, Rider MJ. An alternate mechanism of glucocorticoid anti-proliferative effect: promotion of a Th2 cytokinesecreting profile. Clin Transplant 1999; 13: 365-374 24. Matas AJ, Kandaswamy R, Humar A, et al. Long-term immunosuppression without maintenance prednisone, after kidney transplantation. Ann Surg 2004; 240: 510-7 25. American College of Rheumatology. Task Force on Osteoporosis Guideline. Recommendations for the prevention and treatment of glucocorticoid-induced osteoporosis. Arthritis Rheum 1996; 39:179180 26. Jackson WL Jr, Callagher C, Myhand RC, et al. Medical management of patients with multiple organ dysfunction arising from acute radiation syndrome. Br J Radiol Supp 2005; 27:161-8 27.Soni A, Pepper GM, Wyrwinski PM, et al. Adrenal insufficiency occuring during septic shock: incidence, outcome, and relationship to peripheral cytokine levels. Am J Med 1995; 98: 266-71 28. Bernard F, Outtrim J, Menon DK, et al. Incidence of adrenal insufficiency after severe traumatic brain injury varies according to definition used: clinical implications. Br J Anaesth 2006; 96:72-6 29. Hirano T, Homma M, Oka K, et al. Individual variations in lymphocyteresponses to glucocorticoids in patients with bronchial asthma: comparison of potencies for five glucocorticoids. Immunopharmacol 1998; 40: 57-66 30. Andersen V, Bro-Rasmussen F, Hougaard K. Autoradiogrphic studies of eosinophil kinetics: effects of cortisol. Cell Tissue Kinet 1969; 2: 139-46 31. Leiguarda R, Sierra J, Pardal C, et al. Effect of large doses of methyl prednisolone on supratentorial infra cranial tumors. Eur Neurol 1985; 24: 23-32 32. Lundstrom S, Furst CJ. Symptoms in advanced cancer; relationship to endogenous cortisol levels. Palliat Med 2003; 17:503-8 33. Walton SJ. Brains’disease of the nervous system 9th ed 1987.p.13771 34. Jennet B,Teasdale G. Mangement of head a injuries. F. A. Davis Company; 1981.p.68-146 35. Evans RW. Neurology and trauma. WB Saunders Company; 1996.p.5390 36. Dellen JR. Cranio cerebral trauma in neurology, In: Clinical Practice 2nd ed. 1996.p.941-91 37. Barrow DL. Complication and sequelae of head injury. 1992.p.70-1 38. Malkoff MD. Steroid and other measures to control ICP. AA Neurol 1994; 5:79-86 39. Braken MB, Shepard MJ, Collins WF, et al. A randomized, controlled trial of methylprednisolone or naloxone in the treatment of acute spinal-cord injury: results of the Second National Acute Spinal Cord Injury Study. N Eng J Med 1990; 322: 1405-11 40. Young W. Methylprednisolone treatment of acute spinal cord injury. Int J Neurotrauma 1991; 8: S43-46 41. Hall ED. The neuroprotective pharmacology of methylprednisolone. J Neurosurg 1992; 76:13-22 42. Hamrahian AH, Oseni TS, Arafah BM. Measurements of serum free cortisol in critically ill patients. N Eng J Med 2004; 350:1629-38 43. Van der Merwe CJ, Louw AF, Welthagen D, et al. Adult respiratory distress syndrome in cases of severe trauma - the prophylactic value of methylprednisolone sodium succinate. S Afr Med J 1985: 67: 279-84 44. Coyle PK. Corticosteroid treatment of CNS infections. The upside. Ann Neurol 1998; 13:37-62 45. Barucha NE. Infection of nervous system in neurology in clinical practice. 2nd ed; 1996.p.1181-241 46. Aminoff MJ, Greenberg DA. Clinical neurology. 3rd edition; 1996.p. 237 DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 TINJAUAN PUSTAKA Infeksi Gonore Pada Anak AM Adam, Rizqa Haerani Saenong Sub. Bag. IMS, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar Abstrak. Ditemukannya infeksi gonore pada anak, merupakan suatu petunjuk adanya penyalahgunaan seksual. Pada bayi baru lahir, penularan dapat terjadi melalui jalan lahir yang terinfeksi organisme ini, sehingga pada bayi baru lahir dapat ditemukan oftalmia neonatorum. Kata kunci: infeksi gonore, N. gonorrhoeae, penyalahgunaan seksual pada anak, oftalmia neonatorum Pendahuluan Ditemukannya infeksi gonore pada anak, hampir selalu merupakan suatu petunjuk adanya penyalahgunaan seksual (sexual abuse). Identifikasi infeksi pada anak harus mendorong ke arah adanya kontak dengan orang dewasa.1-9 Definisi anak secara medis adalah seseorang yang berumur kurang dari 18 tahun dan remaja adalah seseorang yang berusia 10-18 tahun. 10-12 Sedangkan untuk aspek medikolegalnya adalah mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku, misalnya pada UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksudkan dalam UU ini adalah seseorang yang sejak berada dalam kandungan sampai berumur 18 tahun.13 Mayoritas infeksi gonore dilaporkan mengenai anak wanita tetapi jumlahnya meningkat pada anak laki-laki dalam masa remaja dan dewasa muda. Infeksi gonokokal pada anak dapat menghasilkan berbagai gejala yang berhubungan dengan usia. Penyelidikan yang luas mengenai sindrom penyakit gonokokal pada dewasa telah menunjukkan adanya interaksi yang luas dan akomodasi antara struktur permukaan gonokokal dan lingkungan hospes. Belum ada studi tentang infeksi gonokokal pada bayi atau anak prepubertas yang menyelidiki interaksi antara hospesmikroba.4 Epidemiologi Insiden dan prevalensi penyalahgunaan seksual pada anak sulit diperkirakan, terutama karena banyak kasus yang sulit dideteksi. Sekitar 80-90% anak-anak abused adalah anak perempuan, dengan umur rata-rata 7-8 tahun.14-16 Dalam 20 tahun terakhir, jumlah kasus gonore yang dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC), telah menurun secara dramatis. Namun jumlah penurunan kasus pada anak dan remaja kurang dramatis dibandingkan kasus orang dewasa, sehingga pada remaja dan dewasa muda antara usia 15 dan 24 tahun merupakan insidens tertinggi penyakit ini.7 Penularan seksual adalah penyebab utama penyebaran gonore. Dengan risiko penularan antara 2050% setiap kali kontak. Pada individu yang terkena gonore, koDEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 infeksi dengan Chlamydia dapat mencapai 15-20%.2,16 Prevalensi gonore yang dilaporkan dari suatu studi penyalahgunaan seksual pada anak yaitu antara 2,4-11,2%. Risiko terjadinya oftalmia gonokokal pada bayi baru lahir dari ibu yang tidak mendapat terapi gonore adalah sekitar 30%.10,11 Dari suatu studi di Amerika ditemukan prevalensi gonore yang tinggi pada anak perempuan prepubertas dengan duh tubuh. Dari 87 anak perempuan yang diperiksa di klinik pediatrik dengan keluhan duh tubuh, panas, nyeri atau gatal, ditemukan 9% dari 43 anak dengan N. gonorrhoeae. Sebelum didiagnosis sebagai infeksi gonokokal, penyalahgunaan seksual tidak dipertimbangkan pada anak-anak tersebut.17 Mengetahui bahwa penyalahgunaan seksual merupakan masalah yang sering terjadi, harus seorang dokter harus mempertimbangkan adanya hal tersebut, jika memeriksa seorang anak yang datang dengan infeksi menular seksual ataupun trauma akibat garukan, lecet, laserasi atau fisura, bekas luka pada anus ataupun introitus.6,11,18 Ketika ditemukan suatu penyalahgunaan seksual, maka dapat dipertimbangkan rekomendasi Clayden:17 1. Riwayat yang jelas harus didapatkan, dan ini termasuk, jika terdapat gangguan emosional atau sang anak memberi petunjuk adanya penyalahgunaan seksual yang telah terjadi. Hal ini merupakan suatu tanda peringatan.11 2. Deteksi infeksi yang ditularkan secara seksual sangatlah penting. 13,18 Diagnosis organisme penyebab harus dilakukan di laboratorium.11 3. Jika seorang anak berbaring secara pasif pada pemeriksaan di tempat tidur pasien dan tidak menolak pemeriksaan inspeksi anal dengan cara tightening/pengetatan levator ani atau muskulus sfingter eksternal. Maka hal ini merupakan suatu tanda peringatan.11 4. Jika terdapat tanda relaksasi anal, maka hal ini perlu dicurigai, jika tidak terdapat distensi abdomen, terutama jika tidak ditemukan relaksasi anal pada seorang anak yang sedang tidak bersama dengan pelaku abused.17 5. Ekskoriasi atau memar di sekitar anus atau bagian dalam sekitar bokong atau paha.17 81 Etiopatogenesis Seperti bakteri gram-negatif lainnya maka pada N. gonorrhoeae terdapat pembungkus sel yang tersusun atas tiga komponen makromolekular, yaitu membran luar, lapisan tengah peptidoglikan, dan membran dalam sitoplasmik. Membran luar adalah yang paling penting pada stadium awal perlekatan dan 5 invasi organisme ini. Membran ini mengandung lipooligosakarida, 6 fosfolipid dan berbagai protein. Protein ini berhubungan dengan perlekatan, invasi seluler dan resistensi terhadap efek bakterisid. Lipooligosakarida gonokokal memiliki aktivitas endotoksik dan 2,20 berperan pada kematian sel-sel mukosa. Infeksi primer umumnya terjadi di epitel kolumnar uretra dan duktus serta kelenjar parauretra baik wanita maupun pria, kelenjar bartolini, serviks, konjungtiva dan rektum. Infeksi primer ini dapat juga terjadi pada epitel skuamosa yang lunak pada vagina anak wanita. Perlengketan pada epitel dipengaruhi oleh bakteri dan 20,21 faktor lainnya. Setelah melekat, mikroorganisme ini akan diendositosis dan ditransportasikan ke rongga subepitel. Setelah itu infiltrasi sejumlah lekosit dan respon netrofil menghasilkan 2,5,16,20 terbentuknya pus dan onset gejala. Gambaran Klinis Oftalmia Gonokokokal Neonatorum Pada periode perinatal, manifestasi klinis gonore yang paling 5 sering adalah oftalmia gonokokal neonatorum. Gambaran klinis yang terlihat jelas berupa, konjungtivitis purulen yang 4 terjadi 2 sampai 5 hari setelah kelahiran melalui kanal vagina. Yang terinfeksi jika tidak diobati, dapat berlanjut secara cepat 2,16,24 menjadi ulkus kornea, perforasi bola mata, dan kebutaan. Perjalanan penyakit mungkin saja lambat, dimana onset dapat terjadi lebih dari 5 hari setelah kelahiran, hal ini dapat disebabkan oleh supresi parsial dari profilaksis oftalmik, ukuraninokulum yang kecil, atau oleh karena variasi strainto-strain pada virulensi gonokokal. Konjungtivitis gonokokokal kronis ringan yang terjadi selama 3 bulan telah dilaporkan pada seorang bayi usia 4 bulan. Pencegahan oftalmia gonokokal semakin meningkat dengan tingginya penggunaan metode Crede yang merefleksikan menurunnya 4 sindrom ini sebagai penyebab kebutaan. Vaginitis gonokokal adalah bentuk yang paling sering 11,14,24,25 ditemukan pada anak. Vaginitis gonokokal ini merupakan keluhan ringan, yang mungkin disebabkan karena hanya terbatas pada mukosa superfisial. Mayoritas gejala yang ditemukan pada anak yaitu: vagina dan duh tubuh yang agak mengeras mengotori celana dalam; sedangkan tanda lainnya mungkin tidak ditemukan, atau dapat merupakan suatu tanda 4,5 infeksi sistemik. Infeksi Lokal Di Luar Traktus Genital Selain di traktus genital infeksi gonore jarang ditemukan dan infeksi tersebut dapat mengenai daerah anus, tenggorokan dan mata. Kolonisasi rektal gonokokal biasanya 2 asimtomatik, tetapi dapat ditemukan duh mukopurulen yang tidak nyeri, atau lebih jarang lagi proktitis dengan 11,16,23,24 tenesmus, pruritus, dan perdarahan rektal. Infeksi faring adalah daerah yang jarang terkena infeksi gonokokal (<5%). Infeksi terjadi akibat hubungan orogenital. 2 Biasanya asimtomatik, tetapi dapat terjadi faringitis dengan 16,23,24 limfadenopati servikal. Konjungtivitas gonokokal biasanya didapatkan melalui otoinokulasi dari infeksi anogenital, dengan onset berupa konjungtivitas purulen. Serupa dengan bentuk neonatal, infeksi 8,16 ini dapat berkembang menjadi ulkus kornea dan perforasi. Komplikasi Penyakit Diseminata Infeksi sistemik pada neonatus dengan manifestasi yang jarang dan biasa, disebut infeksi gonokokal diseminata (Disseminated Gonococcal Infection/DGI) atau sindrom dermatitis dan artritis akut. Artritis gonokokal pada anak dapat menyerupai gejala 3 pada orang dewasa. Penyebaran hematogen dapat mengenai kulit dan sendi (sindrom artritis-dermatitis) dan dapat 16,26 ditemukan pada 0,5-3% mereka yang tidak diobati. Bakteremia menyebabkan ruam makulopapular dengan 4,23 nekrosis, tenosinovitis, dan artritis. Komplikasi lain dari gonore jarang dilaporkan pada literatur pediatrik. Sepsis gonokokal, meningitis, endokarditis, 3 konjungtivitis, dan hepatitis, jika terjadi pada anak dapat 4,23 berakibat fatal. Infeksi Genital Pada anak keluhan yang paling sering ditemukan adalah infeksi 4,23 genital pada uretra atau vagina. Pada anak laki-laki dengan uretritis, duh tubuh uretra mukopurulen dapat disertai disuria, dengan masa inkubasi 2-5 hari setelah kontak dengan pasangan yang terinfeksi. Uretritis gonokokal ini lebih jarang ditemukan dibandingkan vaginitis pada anak perempuan. Uretritis ini menyerupai gejala yang terdapat pada pria dewasa. Sama halnya dengan vaginitis pada uretritis juga terdapat piuria asimtomatik. Jika tidak diobati biasanya gejala akan hilang dengan sendirinya, tetapi infeksi tetap bertahan. Umumnya 3,4,16 uretritis dapat berlanjut menjadi epididimitis akut. Pada anak perempuan prepubertas biasanya terdapat vaginitis purulen karena epitel prepubertas vagina rentan 16 terhadap gonokokus dan chlamydia. Masa inkubasi adalah 2 sampai 7 hari pada pasien simtomatik. Pada anak pubertas, gambaran klinis yang ditemukan serupa dengan orang 3,4 dewasa. 82 Pelvic Inflamatory Disease (PID) Infeksi vaginal pada anak atau remaja wanita dapat berlanjut mengenai tuba falopi atau menyebar ke pelvik, yang mengakibatkan perihepatitis dan PID; pada remaja dapat menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik, dan hal ini merupakan penyebab tunggal infertilitas yang paling sering 4,23 pada wanita muda. Faktor risiko PID dan salpingitis akut pada remaja termasuk usia muda saat mendapat infeksi gonokokal, riwayat PID sebelumnya, pasangan seksual multipel, dan penggunaan kontrasepsi IUD. Sekitar 15% remaja dengan gonore akan 4,27 berlanjut menjadi PID. PID merupakan kumpulan berbagai gejala yang bervariasi termasuk demam, nyeri abdomen bawah, disuria, sering berkemih, duh endoserviks purulen, dispareunia, nyeri 27,28 adneksa. Diagnosis PID dapat menjadi sulit, dan diagnosis banding pada remaja termasuk sejumlah kondisi pada perut DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 bawah, seperti apendisitis, kehamilan ektopik, adenitis 4 mesenterik, pielonefritis dan aborsi septik. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram dari eksudat pada mata, vagina, uretra, lesi kulit, cairan sinovial, 3,23 sangat berguna dalam penilaian awal. Isolasi organisme dimulai dengan pengambilan bahan untuk kultur dari daerah yang terinfeksi. Adanya diplokokus gram negatif intrasel pada pewarnaan Gram diduga kuat adalah infeksi gonokokal. Kultur darah sangat berguna pada 16,25 pemeriksaan neonatal dan penyakit diseminata. Karena implikasi legal dalam mendiagnosis infeksi gonore pada anak, hanya prosedur kultur standar untuk mengisolasi N. gonorrhoeae yang digunakan pada anak. Tes lain seperti pewarnaan Gram, DNA probes, Enzim Immunoassay test (EIA), 4 Nucleic Acid Amplification Test (NAAT), tidak digunakan sendiri. Tidak satupun dari tes ini yang direkomendasikan FDA (Badan Pengobatan Amerika) sebagai penggunaan untuk pengambilan spesimen dari orofaring, rektum, atau traktus genital seorang anak. Spesimen dari vagina, uretra, faring, atau rektum, harus pada media selektif isolasi N. gonorrhoeae dan semua ditentukan setidaknya dengan dua uji dengan prinsip berbeda (biokimia, substrat enzim atau semua serologik). Isolat harus disimpan untuk 24 uji ulang atau tambahan lainnya. Menurut Siegel et al, pada anak perempuan prepubertas, kultur N. gonorrhoeae hanya dibutuhkan jika terdapat duh tubuh saat 29,30 pemeriksaan, atau jika anak itu beresiko tinggi mendapat PMS. Sedangkan menurut American Academy of Pediatrics (AAP), jika terdapat sangkaan akan penyalahgunaan seksual pada anak perempuan prepubertas dilakukan pemeriksaan kultur pada oral, rektal uretral dan vaginal. Sementara pada anak laki-laki dilakukan kultur oral dan rektal, bukan kultur uretral kecuali terdapat duh tubuh uretra, disuria, tes esterase lekosit urin 2,29 yang positif dan atau eritema. Penatalaksanaan Rekomendasi terapi pada anak dengan gonore berdasarkan pedoman dari Centers for Disease Control (CDC) dari Amerika adalah sebagai berikut: pasien anak-anak/pediatrik mencakup mulai dari sejak lahir hingga remaja. Ketika seorang anak telah pubertas atau berat badan melebihi 45 kg, maka harus diterapi dengan regimen dosis sebagaimana orang dewasa.4,24 Akibat prevalensi resistensi penisilin dan tetrasiklin pada N. gonorrhoeae, pemberian golongan cephalosporin direkomendasikan sebagai terapi awal pada anak. 2,16 Cephalosporin secara parenteral direkomendasikan penggunaannya pada anak-anak; ceftriaxone terbukti dapat diberikan pada semua infeksi gonokokal pada anak 4 dan cefotaxime sodium hanya dapat diberikan pada oftalmia gonokokal. Antimikroba lain yang diberikan secara oral, telah terbukti efektif untuk pengobatan uretritis gonokokal dan servisitis pada dewasa dan remaja yang lebih tua meliputi ciprofloxacin, ofloxacin dan levofloxacin. Fluoroquinolones secara umum tidak direkomendasikan pada mereka yang kurang dari 18 tahun, juga di kontraindikasikan pada wanita hamil.23 DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 Pada Neonatal. Bayi dengan oftalmia neonatorum, abses skalp, atau infeksi diseminata harus dirawat di rumah sakit. Kultur darah, duh dari mata atau tempat lain yang terinfeksi, dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan menentukan antimikroba yang sesuai. Tes untuk infeksi yang dapat terjadi bersamaan seperti chlamydia, sifilis kongenital, dan HIV juga harus dilakukan. Ibu dan pasangannya juga diperiksa dan mendapat terapi gonore (lihat Gambar 1).23,24 Dirawat di Rumah Sakit Infeksi fokal seperti oftalmia neonatorum Infeksi diseminata, termasuk meningitis, artritis, sepsis Ceftriaxone 25-50 mg/kg, dosis tunggal, IV atau IM, tidak melebihi 125 mg Ceftriaxone 25-50 mg/kg, dosis tunggal, IV atau IM, tidak melebihi 125 mg atau Cefotaxime 100 mg/kg dosis tunggal, IV atau IM Irigasi mata dengan larutan saline, tidak perlu antibiotik topikal Gambar 1. Pedoman penatalaksanaan infeksi gonokokal pada bayi baru lahir Bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi gonokokal. Jika profilaksis diberikan dengan benar, bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi gonore biasanya jarang terdapat oftalmia gonokokal.23 Infeksi Diseminata. Terapi yang direkomendasikan, termasuk untuk oftalmia neonatorum, adalah ceftriaxone (2550 mg/kg, IV atau IM, dosis tunggal, tidak melebihi 125 mg). Bayi dengan oftalmia gonokokal harus mendapat irigasi pada mata dengan larutan salin fisiologis sesegera mungkin sampai duh tersebut tereliminasi. Bayi tersebut harus dirawat.2,5,23 Antimikroba topikal dapat diberikan tapi tidak terlalu berguna.4,24 Infeksi Nondiseminata. Terapi yang direkomendasikan untuk artritis dan septikemia adalah ceftriaxone 25-50 mg/kg/ hari dosis tunggal atau cefotaxime selama 7 hari. Cefotaxime direkomendasikan untuk bayi dengan hiperbilirubinemia. Jika terdapat meningitis, terapi harus dilanjutkan 10 sampai 14 hari.4,23 Infeksi Gonokokal pada Anak dan Remaja. Rekomendasi terapi untuk infeksi gonokokal, berdasarkan usia dan berat badan (lihat tabel 2 dan 3). Pasien dengan infeksi endoserviks yang tidak komplikasi, uretritis, atau proktitis yang alergi dengan sefalosporin harus diterapi dengan spectinomycin (40 mg/kg, maksimum 2 g, IM dosis tunggal), jika mereka belum cukup umur untuk mendapat fluoroquinolones. Doxycycline atau azithromycin dihydrate harus diberikan jika diduga terdapat infeksi chlamydia yang bersamaan.23,24 Pasien dengan infeksi gonokokal faring yang tidak komplikasi mendapat terapi ceftriaxone 125 mg IM dosis tunggal. Bagi yang tidak dapat mentoleransi ceftriaxone harus mendapat ciprofloxacin 500 mg, oral, dosis tunggal. Spectinomycin cukup efektif 50% untuk terapi gonore faringeal, jadi dapat digunakan pada mereka yang tidak dapat menerima ceftriaxone atau ciprofloxacin, dan kultur faringeal harus dilakukan dalam 3 sampai 5 hari terapi untuk mengetahui eradikasi.23,24 83 Tabel 1. Pedoman penatalaksanaan infeksi gonokokal tanpa 23 komplikasi: terapi pada anak dan remaja Penyakit Vulvovaginitis, cervicitis, urethritis, proctitis, atau pharyngitis tanpa komplikasi Anak Prepubertas BB<45 kg Penyakit Ceftriaxone sodium, 125 mg, IM, Endocervicitis, urethritis, dosis tunggal epididymitis, ATAU proctitis, atau Spectinomycin,3 40 mg/kg pharyngitis4 tanpa (maximum 2 g), IM, dosis komplikasi tunggal 1 PLUS Azithromycin, 20 mg/kg (maximum 1 g), oral, dosis tunggal ATAU Erythromycin, 50 mg/kg per hari (maximum 2 g/hr), oral, 4 dosis terbagi selama 14 hari Anak BB≥45 kg dan usia > 8 thn Ceftriaxone, 125 mg, IM, dosis tunggal ATAU Ciprofloxacin, 5 500 mg, oral, dosis tunggal ATAU Ofloxacin,5 400 mg, oral, dosis tunggal ATAU Levofloxacin, 5 250 mg, oral, dosis tunggal PLUS1 Azithromycin 1 g, oral, dosis tunggal ATAU Doxycycline 100 mg, oral, 2 kali sehari, selama 7 hari 1 Tambahan sebagai rekomendasi terapi infeksi gonokokkal, terapi untuk Chlamydia trachomatis juga direkomendasikan untuk dugaan adanya infeksi bersamaan. 2 Perawatan di RS dipertimbangkan, terutama untuk mereka yang rawat jalan respon gagal terhadap terapi dan mereka yang tidak sesuai dengan terapi yang diberikan. 3 Spectinomycin tidak direkomendasikan untuk infeksi faring. Bagi yang tidak dapat menerima ceftriaxon atau ciprofloxacin, spectinomycin dapat digunakan untuk faringitis, tapi diperlukan kultur follow-up. 4 Rejimen alternatif meliputi spectinomycin (2 g, IM, dosis tunggal), ceftizoxime, cefotaxime, dan cefoxitin. Hanya ceftriaxone dan ciprofloxacin direkomendasikan untuk faringitis; pada mereka yang tidak dapat menerima dapat diberikan spectromycin tapi diperlukan kultur follow-up. 5 Fluoroquinolones dikontraindikasikan untuk wanita hamil, nursing women, dan biasanya pada mereka yang kurang dari 18 tahun. Fluoroquinolones sebaiknya tidak diberikan untuk infeksi yang didapat dari Asia, Pulau Pasifik termasuk Hawai, atau Kalifornia. Tabel 2. Pedoman penatalaksanaan infeksi gonokokal dengan komplikasi: terapi pada anak dan remaja Penyakit Infeksi gonokokal diseminata Meningitis atau endokarditis Konjungtivitis5 Anak Prepubertas BB<45 kg Penyakit Ceftriaxone, 50 mg/kg per hari Infeksi gonokokal (maximum 1 g/hr), IV atau IM, diseminata sekali sehari selama 7 hari PLUS1 Azithromycin atau erythromycin Ceftriaxone, 50 mg/kg per hari Meningitis atau (maksimum 2 g/hari), IV atau IM, endokarditis setiap 12 jam; untuk meningitis, selama 10-14 hari; untuk endocarditis, selama paling tidak 28 hari PLUS1 Azithromycin atau erythromycin Ceftriaxone, 50 mg/kg Konjungtivitis5 (maximum 1 g), IM, dosis tunggal Penyakit inflamasi pelvis Anak BB≥45 kg dan usia > 8 thn Ceftriaxone, 1 g, IV atau IM, sekali sehari selama 7 hari4 ATAU Cefotaxime, 1 g, IV, setiap 8 jam selama 7 hari4 PLUS1 Azithromycin, 1 g, oral, dosis tunggal ATAU Doxycycline, 100 mg, oral, 2 kali sehari selama 7 hari Ceftriaxone, 1-2 g, IV, setiap 12 jam; untuk meningitis, selama 10-14 hari; untuk endocarditis, selama paling tidak 28 hari. Ceftriaxone, 1 g, IM, dosis tunggal Tambahan sebagai rekomendasi terapi infeksi gonokokal, terapi untuk Klamidia trakomatis juga direkomendasikan untuk dugaan adanya infeksi bersamaan. 2 Perawatan di RS dipertimbangkan, terutama untuk mereka yang rawat jalan respon gagal terhadap terapi dan mereka yang tidak sesuai dengan terapi yang diberikan. 3 Jika alergi obat β-lactam: ciprofloxacin (400 mg, IV, setiap 12 j) atau ofloxacin (400 mg, IV, setiap 12 j) atau levofloxacin (250 mg, IV, setiap hari), atau spectinomycin (2 g, IM, setiap 12 j). Terapi spectinomycin memerlukan kultur follow-up jika terdapat infeksi faring. Direkomendasikan perawatan di RS. 4 Secara alternatif, terapi parenteral dapat dihentikan 24 sampai 48 jam setelah ada perbaikan dan 7 hari dilanjutkan dengan agen antimikroba yang sesuai seperti ciprofloxacin (500 mg, oral, 2 kali sehari), ofloxacin (400 mg, oral, dua kali sehari), atau levofloxacin (500 mg, oral, sekali sehari). Fluoroquinolones dikontraindikasikan untuk wanita hamil, nursing women, dan biasanya pada mereka yang kurang dari 18 tahun. Fluoroquinolones sebaiknya tidak diberikan untuk infeksi yang didapat dari Asia, Pulau Pasifik termasuk Hawai, atau Kalifornia. ATAU PLUS Doxycycline, 100 mg, oral atau IV, setiap 12 j ATAU Parenteral: Rejimen B5 Clindamycin, 900 mg, IV, setiap 8 j Ambulatory: Rejimen A3 (oral) Ofloxacin,4 400 mg, oral, dua kali sehari selama 14 hari ATAU Levofloxacin,4 500 mg, oral, dua kali sehari selama 14 hari DENGAN atau TANPA Metronidazole, 500 mg, oral, dua kali sehari selama 14 hari ATAU Ambulatory: Rejimen B Ceftriaxone, 250 mg, IM, sekali PLUS ATAU Gentamicin: dosis awal, IV atau IM (2 mg/kg), Cefoxitin, 2 g, IM, plus probenecid, 1 lalu dosis maintenance (1.5 mg/kg) setiap 8 j. g, oral, dosis tunggal berturut-turut Dosis satu kali sehari dapat digunakan ATAU CATATAN Generasi ketiga parenteral lain cephalosporin6 (eg, ceftizoxime atau cefotaxime) PLUS Terapi parenteral dapat dihentikan 24 jam Doxycycline, 100 mg, oral, dua kali setelah klinis membaik; terapi oral lanjutan harus terdiri dari doxycycline (100 mg, oral, sehari, 14 hari dua kali sehari) atau clindamycin (450 mg, oral, DENGAN atau TANPA 4 kali sehari) untuk menyelesaikan total 14 hari Metronidazole, 500 mg, oral, dua kali terapi sehari, 14 hari 1 Untuk alternatif rejimen terapi, lihat CDC. STD treatment guidelines – 2002. MMWR Recomm Rep. 2002; 51 (RR-6):1-80 84 Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Rekomendasi terapi penyakit inflamasi Cefoxitin, 2 g, IV, setiap 6 j banyak ahli merekomendasikan perawatan di RS untuk pasien PID, terutama remaja pasien dengan respon inadekuat terapi setelah 72 jam harus direevaluasi kemungkinan salah diagnosis dan harus mendapat terapi parenteral 4 Fluoroquinolones dikontraindikasikan untuk pasien kurang dari 18 tahun, wanita hamil dan menyusui 5 rejimen alternatif parenteral termasuk ofloxacin atau levofloxacin plus metronidazole; dan ampicillin-sulbactam sodium plus doxycycline 6 Data indikasi tentang sefalosporin spektrum luas (ceftizoxime, cefotaxime, ceftriaxone) dapat menggantikan cefoxitin atau cefotetan masih terbatas. Banyak penulis berpendapat, ini juga efektif untuk terapi PID, tapi kurang aktif terhadap anaerob 3 Lihat tabel... 1 Parenteral: Rejimen A2 Cefotetan, 2 g, IV, setiap 12 j 2 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. Feingold DS, Mansur CP. Gonorrhea. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, th Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6 ed. New York: McGraw-Hill; 2003.p.2205-9 Darville T. Gonorrhea. Pediatrics 1999; 20:125-8 Todd G, Krause W. Sexual transmitted diseases. In: Schachner LA, Hansen RC. Pediatric rd Dermatology. 3 ed. Edinburgh: Mosby; 2003.p.1195-201 Gutman LT. Gonococcal diseases in infants and children. In: Holmes KK, Mardh P, Sparling rd ML, Walter ES, Piot P, eds. Sexually Transmitted Diseases. 3 ed. New York (USA). McGraw-Hill; 1999.p.1145-53 Young H, McMillan A. Gonorrhea. In: McMillan A, Young H, Ogilvie MM, Scott GR, eds. Clinical practice in sexually transmissible infections. London:WB Saunders; 2002.p.313-49 Faro. Sexually transmitted diseases in women. Philadelphia:Lippincot Williams & Wilkins; 2003 Clutterbuck D. Sexually transmitted infections and HIV. Edinburg: Elsevier Mosby; 2004 Ram S, Rice PA. Gonococcal infections. Available at http://www.harrisononline.com. Accessed April 2006 Webster SB. Nontreponemal sexually transmissible diseases. In: Moschella SL, rd Hurley HJ. Dermatology. 3 ed. Philadelphia:WB Saunders; 1992.p.987-91 Thomas A, Forster G, Robinson A, et al. National guideline for the managementof suspected sexually transmitted infections in children and young people. Arch Dis Child 2003; 88:303-11 Thomas A, Forster G, Robinson A, et al. National guideline for the management of suspected sexually transmitted infections in children and young people. Available at http://www.bashh.org/guidelines/2002/adolescent_final_0903.pdf Accesed April 2006 Thomas A, Forster G, Robinson A, et al. National guideline for the management of suspected sexually transmitted infections in childrens and young people. Sex Transm Inf. 2002; 78:324-31 Dirjen P2M Depkes RI. Pedoman penatalaksanaan infeksi menular seksual. Jakarta, 2004 American Academy of Pediatrics. Gonorrhea in prepubertal children. Pediatrics 1998; 101:134-5 Hammerschlag M. Sexually transmitted diseases in sexualy abused children: medical and legal implication. Sex Transm Inf. 1998; 74:167-74 Sung L, MacDonald NE. Gonorrhea: a pediatric perspective. Pediatrics 1998; 19:13-6 McMillan A. Some social, ethical, and medico-legal aspects of sexually transmissible infections. In: McMillan A, Young H, Ogilvie MM, Scott GR, eds. Clinical practice in sexually transmissible infections. In: McMillan A, Young H, Ogilvie MM, Scott GR, eds. Clinical practice in sexually transmissible infections. London:WB Saunders; 2002.p.29-44 Margesson LJ. Pediatric vulvar disorders. In: Black MM, McKay M, Braude PR, Jones SAV, Margesson LJ. Obstetric and Gynecologic Dermatology. 2nd ed. Edinburg. Mosby; 2002.p.119-36 Johnson CF. Sexual abuse in children. Pediatrics 2006; 27:17-27 Morse SA. Neisseria, moraxella, kingella, and eikenella. Available at http:// gsbs.utmb.edu/microbook/ch014.htm Accessed April 2006 Lau KH, Ho HF. Gonorrhea. Handbook of dermatology and venereology. Available at http://www.hkmj.com Accessed April 2006 Talhari S, Benzaquen A, Orsi TA. Diseases presenting as urethritis/vaginitis: gonorrhea, chlamydia, trichomoniasis candidiasis, bacterial vaginosis. Available at http://www.aifo.it/english/resources/online/books/other/std/-Urethritis.pdf Accessed April 2006 Gonococcal infections. Summary of infectious diseases. Available at http:// aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2003/1/3.43 Centers for Diseases Control and Prevention. Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2002 Berhman AJ. Gonorrhea. Available at http://www.emedicine.com Accessed April 2006 Brown TJ. Yen-Moore A, Trying SK. An overview of sexually transmitted diseases part I. J Am Acad Dermatol 1999; 41:511-29 MacDonald NE, Brunham R. The effects of undetected and untreated sexually transmitted diseases: pelvic inflammatory disease and ectopic pregnancy in Canada. Can J Human Sex 1997; 6:1-9 Pelvic inflammatory disease. Summary of infectious diseases. Available at http:// aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2003/1/3.94 Accessed April 2006 Ingram DM, Miller WC, Schoenbach VJ, et al. Risk assessment for gonococcal and chlamydial infections in young children undergoing evaluation for sexual abuse. Pediatrics 2001; 107:e73-73 Ingram DL, Everett VD, Flick LAR, et al. Vaginal gonococcal cultures in sexual abuse evaluations: evaluation of selective criteria for preteenaged girl. Pediatrics 1999;99:e8-8 DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 TINJAUAN PUSTAKA Terapi Antibiotika Empiris Pada Sepsis Berdasarkan Organ Terinfeksi JB Suharjo B Cayono Bagian Penyakit Dalam RS RK Charitas Palembang Abstrak. Meskipun teknologi diagnostik dan terapi serta perawatan suportif semakin berkembang namun angka kesakitan dan kematian akibat sepsis berat dan syok septik masih tinggi. Manajemen sepsis berat dan syok septik bersifat kompleks dan multidisipliner. Terapi antibiotika bukan merupakan terapi penentu dan terapi utama. Terapi antibiotika hanya merupakan satu komponen penunjang keberhasilan dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotika empirik harus segera dimulai dalam 1-2 jam pertama diagnosis sepsis berat ditegakkan, sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur. Karena keterlambatan dalam pemberian antibiotika dalam waktu 24 jam setelah sepsis berat ditegakkan berkorelasi kuat dengan meningkatnya kematian dalam kurun 28 hari. Pemilihan antibiotik secara empiris harus rasional, adekuat dan tepat. Karena pemberian antibiotika yang tidak tepat dan tidak adekuat disamping memicu terjadinya resistensi, peningkatan biaya perawatan, juga meningkatkan risiko mortalitas. Pemilihan antibiotika sebaiknya mempertimbangkan beberaha hal, seperti: faktor spesifik pasien (usia, fungsi organ, organ terinfeksi dan derajat penyakit), faktor organisme penyebab (peta kuman/pola resistensi, kuman bersifat komunitas/nosokomial) dan faktor antibiotika. Pemilihan antibiotik empiris pada sepsis berat sebaiknya didasarkan pada pertimbangan organ terinfeksi yang mendasari terjadinya sepsis. Pertimbangan ini penting mengingat tipikal pola kuman patogen penyebab sering tidak sama pada organ tertentu. Contohnya: pola kuman penyebab urosepsis dengan pneumonia nosokomial berbeda, sehingga pemilihan antibiotika juga berbeda. Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang bertujuan untuk memberikan pedoman bagaimana memilih pemberian antibiotika secara emperis pada sepsis berdasarkan organ yang terinfeksi. Pendahuluan Sepsis berat dan syok septik merupakan komplikasi yang mengancam jiwa akibat suatu infeksi, dan merupakan penyebab kematian tersering di perawatan intensif. Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh Centers for Disease Control di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa insidensi septikemia meningkat dari 73,6 per 100.000 pasien pada tahun 1979 menjadi 175,9 per 100.000 pasien pada tahun 1987. Walaupun dukungan perawatan pendukung semakin maju, namun angka kematian di rumah sakit akibat sepsis berat dan syok septik masing masing sebesar 30% dan 60%.1 Sepsis dapat diartikan sebagai respon sistemik terhadap infeksi. Apabila terjadi respon sistemik tanpa adanya infeksi dikenal sebagai systemic inflammatory response syndrome, yang ditandai dengan paling tidak 2 dari tanda berikut: suhu >38ºC atau <36ºC, denyut nadai >90 kali/menit, pernafasan >20 kali/menit atau PaCO2<32 mm Hg, dan angka leukosit 3 3 >12.000/mm atau <4.000/mm . Seseorang dinyatakan mengalami sepsis berat apabila mengalami sepsis ditambah dengan adanya gagal organ multipel (tabel 1). Apabila seseorang mengalami sepsis dengan tekanan darah <90 mmHg, atau Mean Arteriap Pressure (MAP) <60 yang tidak memberikan perbaikan DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 dengan resusitasi cairan, dan memerlukan vasopressor dinyatakan 2,3 mengalami syok septik. 3 Tabel 1. Terminologi dan definisi sepsis Terminologi Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) Definisi Dikatakan SIRS bila didapatkan 2 atau lebih: 1. Suhu >38ºC atau <36ºC 2. Denyut nadi >90x/menit 3. Respirasi >20x/menit atau PCO2<32 mmHg 4. Lekosit darah >12.000/mm3 atau <4.000 mm3 Sepsis Sindrom klinis yang ditandai dengan adanya infeksi dan SIRS Sepsis berat Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi, termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau MAP <60) yang tidak membaik dengan resusitasi cairan yang adekuat atau memerlukan vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ Syok septik Manajemen sepsis berat dan syok septik bersifat kompleks dan multidisipliner. Berdasarkan surviving sepsis campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock yang dipublikasi melalui jurnal Critical Care Medicine 2004, manajemen sepsis berat meliputi : resusitasi cairan, pemberian antibiotika, pengendalian fokal infeksi, penggunaan vasopressor 85 pada keadaan syok septik, terapi inotropik (sesuai dengan indikasi), pemberian steroid, pemberian recombinant human activated protein C (rhAPC) (yang berisiko mengalami mortalitas: skor APACHE >25, syok septik atau mengalami ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome), penggunaan ventilator mekanik pada ARDS, pengendalian ketat kadar gula darah, pemberian transfusi darah sesuai indikasi, terapi hemodialisis sesuai dengan indikasi dan pencegahan trombosis vena dalam sesuai dengan indikasi dan pencegahan perdarahan lambung (stress ulcer) dengan H2 bloker.4 Terapi antibiotika hanya merupakan satu komponen penunjang keberhasilan dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotika empirik harus segera dimulai dalam 1-2 jam jam pertama sepsis berat ditegakkan, sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur. Keterlambatan dalam pemberian antibiotika dalam waktu 24 jam setelah sepsis berat ditegakkan berkorelasi kuat dengan meningkatnya 2 5 kematian dalam kurun 28 hari (r = 0,72). Pemilihan antibiotik secara empiris harus rasional, adekuat dan tepat. Karena pemberian antibiotika yang tidak tepat dan tidak adekuat (dosis, keterlambatan, dan pemberian antibiotik tidak sesuai dengan kuman penyebab atau kuman sudah resisten) di samping memicu terjadinya resistensi, peningkatan biaya perawatan, juga meningkatkan risiko mortalitas. Contohnya, mortalitas akibat pneumonia akan meningkat dari 30% 6-8 menjadi 90% apabila antibiotika yang diberikan tidak tepat. Antibiotika yang dipilih harus memperhatikan beberapa hal, seperti: (1) faktor spesifik pasien (usia, fungsi organ, tempat infeksi dan derajat penyakit/sepsis), (2) f a k t o r o r g a n i s m e p e n y e b a b ( p e t a k u m a n / p o l a resistensi, kuman komunitas/nosokomial) dan (3) faktor antibiotika (farmakokinetik-farmakodinamik, profil tolerabilitas dan keamanan, penetrasi ke jaringan, dan 2,9 azas biaya manfaat). Identifikasi sumber atau tempat infeksi memegang peran penting dalam manajemen pasien sepsis. Berdasarkan tempat terjadinya infeksi telah terjadi perubahan pola tempat infeksi yang mendasari terjadinya sepsis dan syok septik. Pada tahun 1963-1987 tempat infeksi yang paling sering adalah abdomen (27%), sedangkan pada kurun 1988-1998 yang terbanyak adalah 10 bersumber dari paru (pneumonia) sebesar 36%. Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang bertujuan untuk memberikan pedoman bagaimana memilih pemberian antibiotika secara empiris pada sepsis berdasarkan pertimbangan sistem/organ yang terinfeksi. 10 Tabel 2. Tempat infeksi sebagai sumber sepsis berat dan syok septik Tempat infeksi Infeksi abdomen Infeksi saluran kencing Infeksi paru Primary bloodstream infection Infeksi kulit dan jaringan lunak Lain-lain Periode 1963-1987 27% 21% 17% 16% 19% Periode 1988-1998 19% 13% 36% 20% 7% 5% Pemilihan Antibiotika Berdasarkan Organ Terinfeksi Pneumonia nosokomial dan pneumonia komunitas Secara klinis pemberian antibiotika pada pneumonia nosokomial dan pneumonia yang terjadi berkaitan dengan pemasangan 86 Antibiotika yang dipilih harus memperhatikan beberapa hal, seperti: (1) faktor spesifik pasien (usia, fungsi organ, tempat infeksi dan derajat penyakit/sepsis), (2) faktor organisme penyebab (peta kuman/pola resistensi, kuman komunitas/nosokomial) dan (3) faktor antibiotika (farmakokinetikfarmakodinamik, profil tolerabilitas dan keamanan, penetrasi ke jaringan, dan asas 2,9 biaya manfaat). Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) menurut the American Thoracic Society and the Infectious Disease Society of America yang dipublikasi dalam American Journal Respiratory Critical Care Medicine 2005; 171:388– 416, diperlakukan sama. Pneumonia nosokomial sendiri dapat didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi >48 jam setelah masuk rumah sakit, yang tidak berada dalam kurun waktu inkubasi kuman. VAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi 48–72 jam setelah pemasangan intubasi. Berdasarkan penelitian bakteri gram negatif seperti: Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter sp, Acinetobacter sp, gram negatif berbentuk batang bertangung jawab terhadap 5585% pneumonia nosokomial. Sedangkan kokus gram positif (terutama Staphylococcus aureus) menjadi penyebab sebesar 20–30%. Pada umumnya 40-60% bakteri penyebab bersifat polimikrobial. Virus patogen dan jamur jarang menimbulkan 11,12 pneumonia nosokomial. Secara praktis penyebab pneumonia nosokomial dapat dibagi menjadi dua, yaitu: yang menyebabkan pneumonia pada onset awal (early onset) ( 2-5 hari) atau <4 hari, dan onset lambat (late onset) >5 hari (tabel 3). Pneumonia nosokomial yang terjadi pada onset awal umumnya tidak disebabkan oleh patogen yang bersifat multidrugresistant (MDR), biasanya memberikan prognosis lebih baik karena bakteri yang mendasari masih bersifat sensitif terhadap antibiotika. Sebaliknya pneumonia yang terjadi pada onset lambat umumnya disebabkan oleh patogen yang bersifat MDR, sehingga memiliki risiko morbiditas dan mortalitas lebih besar. Pneumonia tipe onset lambat, 30–70% disebabkan oleh karena P. aeruginosa, Acinetobacter sp atau Methicillin-Resistant S aureus 11-13 (MRSA) DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 Tabel 3. Bakteri patogen pneumonia nosokomial/VAP 13 (ventilator associated pneumonia) Pneumonia nosokomial onset awal (2-5 hari) S pneumoniae H influenzae M catarrhalis S aureus Bakteri gram negatif enterik Pneumonia nosokomial onset lambat (>5 hari) P aeruginosa Enterobacter sp Acinetobacter sp Klebsiella sp S marcescens E coli Bakteri gram negatif lainnya MRSA Tabel 4. Terapi empiris awal pada pasien pneumonia nosokomial dan VAP terjadi pada onset awal (<4 hari), tanpa faktor risiko adanya patogen MDR13 Patogen potensial Streptococcus pneumonia Haemophilus influenzae Methicillin-sensitive enteric Staphylococcus aureus Rekomendasi antibiotika Bakteri gram negatif sensitif terhadap antibiotika: - E coli - Klebsiella pneumoniae - Enterobacter species - Proteus species - Serratia marcescens Levofloxacin, Mofifloxacin Ciprofloxacin atau Ampicillin/Sulbactam Atau Ertapenem Ceftriaxone Atau Pada saat diagnosis pneumonia nosokomial telah ditegakkan maka terapi antibiotika harus segera dimulai secara empiris. Pemilihan jenis antibiotika secara empiris perlu didasari dengan pertimbangan waktu terjadinya pneumonia onset awal/lambat dan berdasarkan adanya faktor risiko yang berpotensi menimbulkan munculnya patogen bersifat MDR. Pada pneumonia tipe onset awal tanpa faktor risiko adanya patogen MDR diberikan antibiotika monoterapi dari golongan sefalosporin III, fluoroquinolone atau anti betalaktam (tabel 4). Sedangkan pada pneumonia tipe onset lambat, mengingat patogen penyebab lebih bersifat resisten maka diberikan antibiotika kombinasi (tabel 5). Pada umumnya apabila kuman patogen tidak resisten terhadap antibiotika respon klinis terapi akan terjadi pada secara signifikan pada 6 hari pertama. Dianjurkan lama pemberian terapi antibiotika selama 7 hari. Apabila telah terjadi perbaikan antibiotika intravena dapat segera diganti secara oral. Khusus pada pasien yang mendapat kombinasi dengan golongan aminoglikosida, obat tersebut dapat dihentikan 14 5-7 hari setelah memberikan respon.13 Berdasarkan studi Chastre pemberian antibiotika secara empiris pada pasien VAP selama 8 hari dibandingkan 14 hari memberikan hasil yang sama. Pasien dengan VAP, mendapat antibiotika 8 hari (N=197 pasien) dibandingkan yang mendapat antibiotika 14 hari (N=204 pasien), mortalitas antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (18% vs 17,2%) dan rekurensi infeksi, yaitu 28,9% vs 26% (tidak berbeda bermakna). Tabel 5. Terapi empiris awal pada pasien pneumonia nosokomial dan VAP terjadi pada onset lambat (>5 hari) 13 dengan faktor risiko adanya patogen MDR Patogen potensial Patogen sesuai dengan tabel 4 Patogen MDR - Pseudomonas aeruginosa - Klebsiella pneumoniae - Acinobacter species - Legionella pneumonia Antibiotika kombinasi Sephalosporin antipseudomonas (Cefepime, Caftazidime) Atau Carbapenem antipseudomonas (Imipenem/Meronem) β-lactam/β-lactamase inhibitor (Piperacillin-Tazobactam) Atau Fluoroquinolone antipseudomonas (Ciprofloxacin/Levofloxacin) Atau Aminoglikosida (Amikacin, Gentamicin/Tobramycin) Linezolid/Vancomycin DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 Pasien dengan pneumonia komunitas (community-aqcuired pneumonia (CAP) dikelompokkan menjadi 4 golongan: (1) CAP pada pasien rawat jalan tanpa riwayat penyakit kardiopulmoner, dan tidak memiliki risiko resistensi terhadap kuman patogen, (2) CAP pada pasien rawat jalan dengan penyakit kardiopulmoner (gagal jantung kongestif atau penyakit paru obstruktif menahun), dengan atau tanpa memiliki risiko resistensi terhadap kuman patogen, (3) CAP pada pasien rawat inap dengan atau tanpa riwayat penyakit kardiopulmoner, dan dengan atau tanpa memiliki risiko resistensi terhadap kuman patogen, (4) CAP berat dan perlu perawatan di ICU. Kriteria pasien dengan CAP berat adalah bila dipenuhi 1 dari kriteria mayor (syok septik atau perlu ventilator mekanik), atau terpenuhi 2 dari 3 kriteria minor (Tekanan darah <90 mmHg, pneumonia mengenai multi lobuler, Pa02/FI02 <250). 15 Pemilihan antibiotika pada CAP berat didasarkan pada pertimbangan kuman penyebab, apakah kuman patogen diduga disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa atau bukan (lihat tabel 6). Pemilihan antibiotika pada infeksi intra-abdomen Apabila tidak dikelola dengan baik infeksi intra-abdomen dengan penyulit (complicated intra-abdominal infections) berisiko menimbulkan sepsis berat/syok septik. Manifestasi infeksi intra abdominal dengan penyulit yang tersering 16 adalah peritonitis dan abses abdomen. Peritonitis diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: peritonitis primer, sekunder dan tersier. Penyebab tersering peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) berkaitan dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati. Sekitar 90% kasus SBP disebabkan oleh monomikrobial. Kuman patogen penyebab SBP tersering adalah gram negatif, yaitu: E. coli 40%, Klebsiella pneumonia 7%, Pseudomonas sp, Proteus sp dan bakteri gram negatif lainnya sebesar 20%. Bakteri gram positif yang sering dijumpai, yaitu: Streptococcus 17,18 pneumonia 15%, Staphylococcus sp 3%. Tabel 6. Terapi antibiotika parenteral empiris pada 15 pneumonia komunitas berat di ICU Risiko terinfeksi Organisme Terapi Streptococcus pneumonia Beta laktam (cefotaxime, Legionella sp ceftriaxone) + Haemophilus influenzae Bakteri gram negatif enterik Macrolide Staphylococcus aureus Mycoplasma pneumonia atau Virus Lain-lain - Chlamydia pneumoniae - Mycobacterium tuberculosis Fluoroquinolone - Fungi Semua kuman di atas ditambah Beta laktam antipseudomonas Pseudomonas aeruginosa Dengan Pseudomonas aeruginosa Tanpa risiko terinfeksi Pseudomonas aeruginosa (cefepime, imipenem, meronem, piperacillin/tazobactam) + Antipseudomonas quinolone (ciprofloxacin) atau Beta laktam antipseudomonas (cefepime, imipenem, meronem, piperacillin/tazobactam) + Aminoglikosida + Makrolid atau quinolone nonpseudomoas Fluoroquinolone 87 Peritonitis yang sering dijumpai adalah peritonitis sekunder. Penyebab perotinitis yang sering dijumpai adalah melibatkan organ: gaster dan duodenum (perforasi ulkus peptikum, trauma), pankreas (pankreatitis akut nekrotika), sistem bilier (cholecystitis gangren, cholangitis), usus halus (iskemia usus halus, trauma, divertikulitis), apendisitis gangren/perforasi, pelvic inflammatory disease (PID). Spektrum kuman patogen pada peritonitis sekunder dan abses abdomen tergantung lokasi lesi. Bakteri gram positif seperti Streptococcus, Enterococcus dan bakteri gram negatif fakultatif sering ditemukan pada lesi yang terjadi proksimal dari usus halus. Sedangkan lesi yang terjadi di ileum terminal dan colon lebih sering disebabkan oleh bakteri gram negatif (E coli) dan bakteri gram negatif anaerob (Bacteroides sp). Peritonitis tersier merupakan manifestasi peritonitis yang bersifat rekurensi dan persisten, yang sering disertai dengan adanya abses, flegmon dengan atau tanpa fistula. Dasar pemilihan terapi antibiotika pada infeksi intra abdomen dengan penyulit adalah dengan mempertimbangkan: (1) Apakah infeksi bersifat komunitas (community acquired) atau diperoleh selama dalam perawatan rumah sakit (infeksi nosokomial/health care associated), (2) Berat ringannya penyakit (dinilai menggunakan APACHE skor, status imunitas, kelainan kardiovaskuler). Pasien dengan infeksi intra abdomen yang diperoleh selama dalam perawatan rumah sakit umumnya disebabkan oleh patogen yang resisten, seperti Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter sp, Proteus sp dan MRSA. Jenis antibiotika yang diberikan pada infeksi intra-abdominal dengan penyulit yang terjadi di komunitas dapat dilihat pada tabel 7.16 Infeksi intra abdominal dengan penyulit dan bersifat berat akibat infeksi nosokomial perlu antibiotika kombinasi. Pemberian imipenem, piperacillin/tazobactam, dikombinasikan dengan aminoglycosida dan metronidazole memberikan hasil yang lebih efektif. rumah sakit angka kematiannya hanya 1 pasien (1,9%) dibandingkan dengan 30 pasien yang meninggal (12%) dari 252 pasien yang belum mendapatkan terapi antibiotika. Oleh sebab itu the British Infection Society Working Party merekomendasikan untuk segera memberikan antibiotika secara cepat pada pasien yang diduga menderita meningitis bakterial.19 Tabel 7. Terapi antibiotika pada infeksi intra abdominal 16 dengan penyulit yang terjadi di komunitas Faktor predisposisi Usia - <1 bulan Antibiotika Monoterapi - Beta laktam/kombinasi Beta laktam inhibitor - Carbapenem - 1 – 23 bulan Kombinasi - Sefalosporin - Fluoroquinolone - Monobactam Infeksi ringan sampai sedang Infeksi berat Ampisilin/sulbactam Ticarcillin/clavulanic acid Ertapenem Piperacillin/tazobactam Cefazolin atau Cefuroxime + metronidazol Ciprofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin, gatifloxacin, kombinasi dengan metronidazole Imipenem/cilastatin Meronem Sefalosporin generasi III/IV (cefotaxime, ceftriaxone, Ceftazidime, cefepime) Ditambah dengan Metronidazole Aztreonam kombinasi dengan metronidazole Tabel 8. Rekomendasi terapi antibiotika pada pasien dewasa 20 dengan meningitis bakterial berdasarkan Gram stain Mikroorganisma Streptococcus pneumoniae Antibiotika terpilih Vancomycin + sefalosporin generasi III (ceftriaxone / cefotaxime) Sefalosporin generasi III Antibiotika alternatif Meropenem, fluoroquinolone (gatifloxacin / mofifloxacin) Streptococcus agalactiae Ampicillin / penicillin G (kombinasi aminoglikosida bila perlu) Sefalosporin generasi III (ceftriaxone / cefotaxime) Haemophilus influenzae Sefalosporin generasi III (ceftriaxone / cefotaxime) Chloramphenicol, cefepime, meronem, fluoroquinolone Neisseria meningitidis Listeria monocytogenes Secara prosedural apabila seseorang diduga menderita meningitis bakterial harus segera diambil kultur darah, punksi lumbal (bila memungkinkan) kemudian segera diberikan antibiotika secara empiris sampil menunggu hasil kultur kuman. Terapi empiris didasarkan pada pola kepekaan kuman patogen terhadap antibiotika, bila memungkinkan pemberian antibiotik berdasarkan penilaian hasil Gram stain (tabel 8 dan tabel 9). Lama pemberian antibiotika tergantung dari patogen penyebab, Neisseria meningitidis dan H. influenza selama 7 hari, Streptococcus pneumonia 10-14 hari, Streptococcus agalactiae selama 1421 hari dan bakteri gram negatif aerob dan Listeria monocytogenes selama 21 hari. 20 Tabel 9. Rekomendasi terapi antibiotika empiris meningitis 20 purulen berdasarkan usia dan kondisi predisposisi spesifik. - 2 – 50 tahun - >50 tahun 88 Patogen penyebab tersering Antibiotika Strep agalactiae, E coli, L monocytogenesm Klebsiella sp Strep pneumoniae, N meningitidis, S agalactiae, H influenza, E coli N meningitidis, S pneumoniae Ampicillin + cefotaxime atau Ampicillin + aminoglycoside Vancomycin + sefalosporin generasi III S pneumonie, N meningitidis, L monocytogenes, gram negatif aerobic Trauma kepala - Fraktur basilar - Trauma penetrasi Post operasi bedah saraf Shunt cebrebro spinalis Pemilihan antibiotika pada meningitis Sejauh ini belum ada studi prospektif yang meneliti hubungan antara waktu pemberian antibiotik terhadap outcome klinis pada pasien meningitis bakterial, sehingga belum diketahui kapan pemberian antibiotika harus segera dimulai pada kasus meningitis bakterial. Berdasarkan penelitian retrospective terhadap 305 pasien dengan bakterial meningitis yang di rawat di Inggris, dilaporkan bahwa dari 53 pasien yang mendapatkan antibiotika sebelum masuk Penicillin G, ampicillin, chloramphenicol, fluoroquinolone, aztreonam Ampicillin / penicillin G (kombinasi Trimethoprimaminoglikosida bila perlu) sulfamethoxazole, meronem S pneumoniae, H influenzae, Strep B hemolitikus grup A S aureus, Stap epidermidis, gram negatif aerobic (terutama P aeruginosa) Gram negatif aerobic (teruatam P aeruginosa), S aureus, S epidermidis S epidermidis, S aureus, gram negatif aerobic (terutama P aeruginosa), Propionicbaterium acnes Vancomycin + sefalosporin generasi III Vancomycin + ampicillin plus sefalosporin generasi III Vancomycin + sefalosporin generasi III Vancomycin + cefepime / ceftazidime / meronem Vancomycin + cefepime / ceftazidime / meronem Vancomycin + cefepime / ceftazidime / meronem Antibiotika pada infeksi terkait kateter Berdasarkan penyebab sepsis, bloodstream infection (BSI) menduduki urutan kedua setelah infeksi paru. BSI dapat bersifat primer atau sekunder. BSI bersifat primer bila infeksi yang terjadi berkaitan langsung dengan intervensi sistem vaskuler, dimana penyebab utama adalah berkaitan dengan DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 pemasangan kateter. Infeksi BSI bersifat sekunder bila infeksi yang terjadi berasal dari tempat lain diluar sistem vaskuler (saluran kencing, sistem pernafasan, dsb).21 Secara tradisional (BSI) diklasifikasikan menjadi tipe komunitas (community acquired) dan nosokomial (hospital-acquired). Dikatakan sebagai BSI tipe komunitas bila hasil kultur darah positif diperoleh pada saat masuk rumah sakit atau <48 jam masuk rumah sakit. Kuman patogen penyebab BSI komunitas adalah Streptococcus pneumonia dan E coli. Sedangkan kuman patogen penyebab BSI nosokomial adalah Coagulase-negative staphylococci (37%), Staphylococcus aureus (13%), gram negatif berbentuk batang (14%), E. coli (2%), P. aeruginosa (4%), K. 22 pneumonia (3%) dan candida spp (8%). Angka kematian lebih banyak terjadi pada BSI nosokomial dibandingkan tipe komunitas 24 (37% vs 16%; p <0,001). Pemilihan terapi antibiotik pada BSI (terutama yang terkait dengan pemakaian kateter) diberikan secara empiris, dengan mempertimbangkan derajat penyakit pasien dan kemungkinan patogen yang menginfeksi. Vancomycin dianjurkan bagi rumah sakit dengan peningkatan insidensi MRSA. Apabila insidensi MRSA rendah, dan tidak dijumpai penicillinase-resistant, antibiotik nafcillin dan oxacillin dapat digunakan. Apabila BSI terjadi akibat nosokomial maka terapi empiris harus mencakup bakteri gram negatif dan Pseudomonas aeruginosa. Antibiotika yang diberikan adalah sefalosporin generasi III (ceftazidime) atau generasi IV kombinasi dengan aminoglikosida. Apabila dicurigai penyebab BSI adalah jamur perlu diberikan 23 fluconazole. Terapi antibiotika pada infeksi jaringan lunak dan ulkus diabetikum Infeksi jaringan lunak seperti impetigo, erisipelas dan selulitis tanpa penyulit pada umumnya bersifat ringan sampai sedang dan mudah diterapi. Namun infeksi seperti fasitis nekrotika dan gas gangren mionekrotika bersifat berat dan dapat mengancam jiwa. Fasitis nekrotika pada umumnya disebabkan oleh monomikrobial (S. pyogenes, Vibrio vulnificus atau Aeromonas hydrophila), namun dapat pula disebabkan polimikrobial terutama pada pasien pasca operasi atau memiliki penyakit, seperti: diabetes melitus, penyakit vaskuler perifer. Beberapa gambaran klinis infeksi nekrotika: (1) nyeri yang hebat, (2) Bula, (3) nekrosis kulit atau ekimosis, (4) gas gangren, (5) edema, (6) anestesi pada kulit, (7) tanda toksis sistemik seperti demam, lekositosis, delirium, gagal ginjal, (8) bersifat progresif. Mortalitas infeksi nekrotika dapat mencapai 50-70% khususnya bila mengalami sepsis berat/syok septik. Infeksi gas gangren mionekrotika bersifat progresif, disebabkan oleh Clostridium perfringens, Clostridium septicum, Clostridium histolyticum atau Clostridium novyi . Baik fasciitis nekrotika maupun gas gangren mionekrotika memerlukan tindakan bedah dan antibiotika. Antibiotika yang direkomendasikan pada keadaan tersebut adalah: ampicillin/sulbactam atau piperacillin/tazobactam+clindamycin+ciprofloxacin, atau cefotaxime+metronidazole/clindamycin, atau meronem. Pada kasus gas gangren yang dicurigai akibat DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 Clostridium sebaiknya diberikan clindamycin 25 parenteral. Pemilihan antibiotik pada ulkus diabetikum yang terinfeksi paling tidak didasarkan pada 2 hal, yaitu: berat r i n g a n n y a ulkus terinfeksi dan kemungkinan kuman penyebab. Derajat infeksi pada ulkus diabetikum dibagi menjadi tiga, yaitu: ringan, sedang dan berat (lihat tabel 10). Terapi antibiotika perlu diberikan pada ulkus terinfeksi, namun perawatan luka termasuk debridemen, amputasi (bila diperlukan) tetap harus dilakukan. Kuman patogen dominan pada ulkus diabetikum adalah bakteri coccus gram positif (terutama Staphylococcus aureus). Namun pada pasien dengan ulkus kronis atau yang telah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya sering terinfeksi dengan bakteri gram negatif, dan ulkus akibat iskemia atau dengan gangren sering dijumpai patogen anaerob. Pada ulkus diabetikum ringan/sedang antibiotika yang diberikan difokuskan pada patogen gram positif. Pada ulkus terinfeksi yang berat (limb or life threatening infection) kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri gram positif berbentuk coccus, gram negatif berbentuk batang, dan bakteri anaerob) antibiotika harus bersifat broadspectrum, diberikan secara injeksi. Pada infeksi berat yang bersifat limb threatening infection dapat diberikan beberapa alternatif antibiotika, seperti: ampicillin/sulbactam, ticarcillin/clavulanate, piperacillin/tazobactam, Cefotaxime atau ceftazidime + clindamycin, fluoroquinolone + clindamycin. Sementara pada infeksi berat yang bersifat life threatening infection dapat diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti berikut: ampicillin/sulbactam+aztreonam, piperacillin/ tazobactam + vancomycin, vancomycin + metronbidazole + ceftazidime, imipenem/cilastatin atau fluoroquinolone + 26,27 vancomycin + metronidazole. Tabel 10. Klasifikasi klinis infeksi ulkus diabetikum Tingkat infeksi Tanpa infeksi Ringan Sedang 26 Manifestasi klinis Tidak tampak tanda inflamasi atau pus pada ulkus Dijumpai lebih dari 2 tanda inflamasi (pus, eritema, nyeri, nyeri tekan, hangat pada perabaan dan indurasi), luas selulitis / eritema < 2 cm sekitar ulkus, dan infeksi terbatas di kulit / jaringan subkutan superfisial, tidak dijumpai komplikasi lokal / sistemik Kriteria di atas dengan keadaan sistemik dan metabolik stabil, ditambah dengan adanya >1 keadaan berikut: - Berat Selulitis >2 cm sekitar ulkus Kebocoran sistem limfatika Abses di jaringan dalam Gangren, dengan melibatkan jaringan otot, tulang dan tendon Pasien mengalami infeksi dengan gangguan sistemik atau metabolik yang tidak stabil (demam, takikardi, hipotensi, bingung, muntah, lekositosis, asidosis, hiperglikemia berat, azotemia) Antibiotika pada infeksi saluran kemih dengan penyulit Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyebab pertama infeksi nosokomial rumah sakit, yaitu sebesar 40%, diikuti dengan pneumonia nosokomial. Sekitar 80-90% ISK nosokomial terjadi berhubungan dengan pemasangan kateter, sedangkan 5-10% berkaitan dengan manipulasi genito-urinary (cystoscopy, dsb). Kuman patogen utama 89 pada ISK dengan penyulit (complicated urinary tract infection) adalah: Escherichia coli (40%), Klebsiella spp (1017%), Enterobacter spp (5-10%), Proteus mirabilis (5-10%), Pseudomonas aeruginosa (2-10%) dan Enterococcus sp (120%). Angka mortalitas akibat urosepsis sekitar 12,7%.28 Pertimbangan pemberian antibiotika pada ISK dengan penyulit adalah adanya kecurigaan kuman yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa atau bukan, derajat penyakit dan ISK diperoleh secara nosokomial atau komunitas. Pada ISK komunitas dan telah terjadi urosepsis maka antibiotika yang diberikan adalah kombinasi. ISK nosokomial perlu terapi antibiotika 29 kombinasi (tabel 11). Tabel 11. Rekomendasi terapi antibiotika pada ISK dengan 29 penyulit Kecurigaan terhadap kuman ISK komunitas E coli P mirabilis K pneumonia - Pseudomonas aeruginosa Enterococcus spp ISK nosokomial - - Antibiotika Ceftriaxone 1 gr/24 jam (7-14 hari) atau Ciprofloxacin 400 mg IV Ceftriaxone 1 gr/24 jam (7-14 hari) Piperacillin/tazobactam 3.375 g/6 jam IV ± gentamicin atau Ampicillin 1-2 gr/6 jam + gentamicin Piperacillin/tazobactam 3.375 g/6 jam IV ± gentamicin atau Sefalosporin Antipseudomonas (ceftazidime / cefepime) + gentamicin + Ampicillin 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Kesimpulan 18. 1. Meskipun terapi antibiotika pada sepsis bukan terapi utama, namun berdasarkan penelitian keterlambatan dan tidak adekuat pemberian antibiotika meningkatkan risiko mortalitas bagi pasien. 2. Terapi antibiotika harus segera dimulai secara empiris sambil menunggu hasil kultur, di mana dalam pemilihan antibiotika sebaiknya mempertimbangan hal-hal berikut: faktor spesifik pasien (usia, fungsi organ, organ terinfeksi dan derajat penyakit), faktor organisme penyebab (pola kuman setempat) serta faktor antibiotika. 3. Pemilihan antibiotik empiris pada sepsis berat sebaiknya didasarkan pada pertimbangan organ terinfeksi yang mendasari terjadinya sepsis. Pertimbangan ini penting mengingat tipikal pola kuman patogen penyebab pada organ tertentu dan jenis antibiotika yang digunakan sering berbeda. 4. Antibiotika empiris yang diberikan bersifat broadspectrum, baru kemudian dirubah menjadi narrow spectrum setelah kuman penyebab teridentifikasi. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 90 Bochud PY, Calandra T. Pathogenesis of sepsis: new concepts and implications for future treatment. BMJ 2003; 326:263-5 Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock. Postgrad Med. 2002; 111(3):53-66 Tsiotou AG, Sakarofas GH, Anagnostopoulos G, et al. Septic shock: current pathogenetic concepts from a clinical perspective. Med Sci 29. Monit 2005;11(3):RA76-85 Dellinger RP, Carlet JM, et al. Surviving sepsis campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med 2004; 32(3):858-73 Tony Yu, Black E, Sands KE, et al. Severe sepsis: variation in resource and therapeutic modality use among academic centers. Critical Care 2003; 7(3):R24-R34 Suharjo B Cahyono. Manajemen pneumonia nosokomial: fokus pada terapi antibiotika. Dexa Media 2005; 3(18): 128-31 Kollef MH, Fraser VJ. Antibiotic resistance in the intensive care unit. Ann Intern Med 2001; 134:298-314 Cross JT. Therapy of nosocomial pneumonia. Med. Clin of North Am 2001; 85(6):1583-94 Lode H. Management of serious nosocomial bacterial infections: do current therapeutic meet need ?. Clin Microbial Infect 2005; 11:778-87 Bochud PY, Glauser MP, Calandra T. Antibiotics in sepsis. Intensive Care Med 2001; 27:S33–S48 Hernandez G, Rico P, Diaz E, et al. Nosocomial lung infection in adult intensive care units. Microbes & Infect. 2004; 6:1004-14 Lynch JP. Hospital aquired pneumonia: risk factors, microbiology and treatment. Chest 2001; 119(2):373S–384S Niederman MS, Craven DE, et al. Guidelines for the management of adults with hospital aquired, ventilator-associated, and healthcareassociated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2005; 171:388– 416 Chastre J, Wolff M, Fagon JY, et al. Comparasion of 8 VS 15 days of antibiotic therapy for ventilator-associated pneumonia in adults: a randomized trial. JAMA 2003; 290:2588-98 Niederman MS, Mandell LA, Anzueto A, et al. Guidelines for the management of adults with community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163:1730-54 Solomkin JS, Mazuski JE, Baron EJ, et al. Guidelines for the selection of anti-infective agents for complicated intra-abdominal infections. Clin Infect Dis 2003; 37:997-1005 Genuit T, Napolitano L. Peritonitis and abdominal sepsis. Updated 2004. http://www.emedicine.com/med/topic2737 Saber AA, Raymond DLR. Abdominal abscess. Updated 2005. http:// www.emedicine.com/med/topic2702 The Research Committe of the British Society for the Study of Infection. Bacterial meningitis: causes for concern. J Infect 1995; 30:89-94 Tunkel AR, Hartman BJ, Sheldon LK, et al. Practice guidelines for the management of bacterial meningitis. Clin Infect Dis 2004; 39:1267– 84 Deming WE. Health care associated bloodstream infection: a change in thinking. Ann Intern Med 2002; 137(10):850-1 Grady NP, Alexander M, Dellinger P, et al. Guidelines for the prevention of intravascular catheter-related infections. Clin Infect Dis 2002; 35:1281-307 Mermel LA, Farr BM, Sheretz RJ, et al. Guidelines for the management of intravascular catheter-related infections. Clin Infect Dis 2001; 32:1249-72 Friedman ND, Kaye KS, Stout JE, et al. Health care associated bloodstream infection in adults: a reason to change the accepted definition of community-aquired infections. Ann Intern Med 2002; 137:791-7 Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, et al. Practice guidelines for diagnosis and management of skin and soft tissue infections. Clin Infect Dis 2005; 41:1373-406 Lipsky BA, Berendt AR, Deery HG, et al. Diagnosis and treatment of diabetic foot infections. Clin Infect Dis 2004; 39:885-910 Frykberg RG, Armstrong DG, Giurini J. Diabetic foot disorders: a clinical practice guideline. American College of Foot and Ankle Surgeons. J Foot Ankle Surg 2000; 39:S1-60 Salgado CD, Karchmer TB, Farr BM. Prevention of catheter-associated urinary tract infections. In: Richard P. Wenzel, editor. Prevention and Control of Nosocomial Infections. 4 th . Lippincont Williams & Wilkins. New York, 2003.p.297-311 Hospital Medicine Concensus Reports. Complicated urinary trac infection: risk stratification clinical evaluation, and evidence-based antibiotic therapy year 2003 updated. Outcome-effective therapy on cUTI on emerging resistance pattern and recent clinical studies. DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 TINJAUAN PUSTAKA Terapi Hemorheologi (*) Puruhito (** ) Bedah Toraks Kardiovaskular RSUD Dr. Soetomo / FK Universitas Airlangga Surabaya Abstract . Fluid mechanics of the blood or “hemorrheology” is the essential basic in the treatment of peripheral vascular arterial diseases. Effort to reduce the energy of blood flow in the blood vessels depends physically by pressure energy, gravitational energy, kinetic energy and the frictional energy. Beside those factors that affects the blood flow, shear stress and the importance of the presence of atherosclerosis specially in the blood vessels bifurcations should be considered in the treatment of vascular arterial diseases based on hemorrheology. Vascular lesions exhibits constellation that depends on its character, which is unique and individual, so that the approach in hemorrheologic therapy should always obey the principles of physics and blood flow mechanics. Drugs or pharmacis that is used for this purpose can affect the vessel wall mechanics, the behaviour of the blood cells which flows in the vessels, specially the red blood cells and platelets, and also the pressure of the blood which influence the speed and the flow behaviour inside the blood vessels. Adequate knowledge of pharmacokinetics and phamacodynamics of of drugs that is being used to treat vascular arterial diseases is oultlined and described in the paper. Pendahuluan Definisi dari terapi hemorheologi adalah upaya pengobatan medik agar sifat-sifat aliran darah diperbaiki. Dasar: viskositas darah dapat diturunkan dengan menaikkan volume aliran darah per satuan waktu, yaitu sesuai dengan hukum “Hagen Poiseuille”: Q = r4 . P. p 8.l.h yaitu bahwa “Q” yang menunjukkan aliran darah per satuan waktu, besarnya sepadan dengan “P” yaitu tekanan dalam pembuluh darah yang berbanding pangkat empat dari radiusnya (“r”) dan berbanding terbalik dari panjang pembuluh darah (“l”) dan koefisien viskositas (“h”) dan konstanta “8”. Juga sesuai dengan “hukum Ohm” yang berbunyi: Q = (P1 - P2) / R di mana volume aliran darah ”Q” tergantung beda tekanan (”gradient”) antara tekanan sentral dan tekanan perifer serta tahanan perifer. Kecepatan aliran darah (”V”) tunduk pada rumus V = Q/A. ”V” berbanding lurus terhadap ”Q” dan berbanding terbalik terhadap diameter pembuluh darah (”A”). Hukum Bernouli mengatakan bahwa dalam suatu pembuluh silindris, maka jumlah antara tekanan frontal dan tekanan samping adalah konstan (selalu sama) tetapi tekanan ke (*) Disampaikan pada : WECAN (5) – Weekend Course on Angiology, Jakarta, Februari 16-17, 2007 (**) Gurubesar Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, Universitas Airlangga, Fak. Kedokteran DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 samping ke arah dinding berbanding terbalik secara proporsional dengan kecepatan alirannya. Jadi apabila kecepatan aliran darah berkurang, maka di dalam pembuluh darah akan terjadi tekanan samping yang naik dan tekanan frontal akan turun. Sangat sulit untuk membedakan kecepatan pulsasi darah dengan kecepatan aliran darah, karena pulsasi tergantung pada elastisitas dinding arteri, yang pada arteriosklerosis (proses penuaan/degenerasi) akan turun, apalagi bila terjadi aterosklerosis (penumpukan atherom pada dinding pembuluh darah).1 Pada usia tua, karena proses sklerosis dinding arteri, akan terjadi kenaikan kecepatan pulsasi dan karena terjadinya hambatan aliran, maka kemudian akan menurun. Selain itu, untuk pembuluh darah juga dipengaruhi oleh inervasi vegetatif (”neural”) dan juga humoral (katekolamin, asetilkolin, dsb) serta pengaruh faktor-faktor fisik lain (trauma, konstriksi atau robekan dinding). Menurut ”Hukum Laplace” tegangan dinding berbanding lurus dengan radius dinding dikalikan ”shear stress”, yaitu hasil tekanan terhadap dinding dan beda tekanan intravasal dengan tekanan intramuralnya. Di dalam arteri, tekanan terhadap dinding dan beda tekanan intravasal dengan tekanan intramuralnya. Di dalam arteri, tekanan intravasal ditentukan oleh tahanan perifer, jadi bila tahanan perifer meningkat maka akan tercapai tekanan kritis untuk vasokontriksi, hingga pembuluh darah akan kolaps. Hingga sesuai Hukum Laplace, maka pada pembuluh darah yang diameter (radius)-nya kecil, kejadian tersebut akan lebih cepat terjadi dibandingkan pada pembuluh darah dengan diameter (radius) yang besar. Hal ini 91 akan jelas nampak pada penyakit “Raynaud” atau “PAPO” yang mengalami sumbatan (konstriksi) vasal yang akut atau cepat. Pada daerah akral (ujung-ujung jari) tekanan kritis ini hanya sekitar 20 mmHg, sehingga apabila dapat dicapai tekanan diatas tekanan tersebut, maka pembuluh darah akan terbuka kembali atau tidak akan konstriksi.2 Sangat sulit untuk membedakan kecepatan pulsasi darah dengan kecepatan aliran darah, karena pulsasi tergantung pada elastisitas dinding arteri, yang pada arteriosklerosis (proses penuaan/degenerasi) akan turun, apalagi bila terjadi aterosklerosis (penumpukan atherom pada dinding pembuluh darah).1 Prinsip Dasar Hemorheologi Hukum Bernoulli memformulasi adanya konservasi enerji dalam cairan yang bergerak, di mana dalam suatu aliran cairan di dalam suatu tabung, jumlah enerji dari enerji tekanan, kinetik dan gravitasi pada setiap dua titik selalu sama. Didalam pembuluh darah, di mana tekanan darah diberikan oleh kerja ventrikel kiri, adalah merupakan bentuk enerji. kemampuan elastisitas pembuluh darah tersebut, dan hal ini membuat pula pembuluh darah dapat “berdenyut” (pulsasi) (lihat Gambar 1) 2. Energi gravitasi: dapat diamati pada penderita dengan iskemia tungkai pada Fontaine Stadium-III (“rest pain”) di mana waktu penderita tiduran, maka energi dari tekanan gravitasi akan hilang didaerah ekstremitas bawah, menyebabkan berkurangnya tekanan perfusi perifer dan ini akan menyebabkan kebutuhan metabolik dasar jaringan tidak terpenuhi. Rasa nyeri akan bertambah. Bila penderita merubah posisi tungkai sedemikian hingga tekanan perfusi dapat mengembalikannya kearah jejaring vaskular perifer, hingga energi gravitasi dirubah kembali ke tekanan hidrostatik, maka perfusi ke jaringan dapat kembali normal. Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan menggerak-gerakkan tungkai, sehingga terjadi kekuatan sentripetal yang akan membantu tekanan gravitasi, hingga tekanan hidrostatik akan bertambah. 3. Energi karena friksi terjadi ketika aliran darah didalam jaringan vaskular bergerak kearah makin jauh dan kearah pembuluh darah yang makin kecil, akan terjadi pengurangan dari energi friksi ini. Hal ini menimbulkan fenomena konversi energi yang diberikan oleh kekuatan pompa ventrikel kiri, menjadi energi panas (kalor). Selama itu darah akan mengalir terus dan jumlah total enerji akan makin berkurang sampai pada titik di mana jauh diperifer, jauh dari jantung dan mencapai temapt yang energinya rendah tetapi volumenya besar, yaitu kubangan venous (”venous pool”). Aspek penting dari berkurangnya energi friksi ini adalah adanya interaksi antara partikel darah sepanjang pembuluh darah yang berlangsung tetap, hingga bila terjadi adesi molekul terhadap endotel (”endothelial adhesion molecule”) akan memicu penarikan kovalen antara dinding pembuluh darah dengan partikel darah tadi. Secara teoritis maka partikel darah yang dekat dengan dinding akan mengalami daya penarikan yang lebih besar dari dinding dan akan bergerak lebih lambat dibanding partikel yang ada ditengah tengah pembuluh darah. Terjadi pula pengurangan energi friksi karena terjadinya interaksi antar partikel pembuluh darah, dan ini akan menimbulkan semacam ”lapisan” dari aliran tersebut yang bersifat ”laminer”. Maka didaerah tengah pembuluh darah, aliran ini juga lebih cepat dibanding lapisan yang dekat dinding. Beda ini dijabarkan sebagai ”shear stress”, yaitu perkalian kecepatan dan beda kecepatan aliran tersebut. Gambar 1. Pembuluh darah bukan pipa yang kaku tetapi dapat “berdenyut” (pulsasi) dan mengakibatkan perubahan diameter pembuluh darah.2 Pengertian aliran didasarkan pula pada hukum fisika aliran oleh ahli fisika Bernoulli, di mana pada setiap aliran cairan, maka ada upaya konservasi energi untuk mempertahankan aliran tetap ada, yaitu : 1. Energi tekanan: Secara klinis, tekanan darah dijabarkan dalam mmHg, dan energi tekanan ini akan menunjukkan 92 Gambar 2. Penjabaran “shear stress”.2 DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 Haganbach pada tahun 1860 mengkoresi Hukum Poiseulle untuk korelasi matematik antara beda tekanan terhadap aliran darah, viskositas cairan/darah, panjang pembuluh dan radius pembuluh: DP = 8Q.L.m / p.r4 Di mana: Q = aliran; L = panjang pembuluh; m = viskositas; r = radius dan dapat diterjemahkan lebih mudah: DP = Q x R di mana R adalah tahanan, yaitu 8.L.m/p.r4 Hukum Poiseulle-Haganbach ini tentunya berlaku tepat pada pembuluh dengan aliran laminer yang tetap/ konstan, dengan pembuluh yang lurus/kaku. Sementara darah mengalir dalam pembuluh yang lemas dan berkelok kelok, serta darah bukanlah cairan murni. Hukum Poiseulle-Haganbach akan dapat berlaku bila diameter pembuluh darah lebih besar dari 100 micron, dan terjadinya kehilangan energi tadi dalam suatu aliran dinamis dengan perubahan diameter pembuluh darah akan menjadi lebih rumit dijabarkan. Secara klinis, maka hal-hal tersebut dapat digambarkan bila ada stenosis pembuluh darah yang kritis, di mana adanya penyempitan lumen tersebut akan menyebabkan pengurangan tekanan setelah tempat stenosis tersebut. Untuk aorta, stenosis yang dapat menyebabkan pengurangan tekanan secara hemodinamis akan terjadi bila stenosisnya mencapai penyempitan lumen sektional-silang sebesar 90%, sementara untuk arteria yang lebih kecil, iliaka, renal, karotis diperlukan stenosis lumen dengan sektional-silang sebesar 70-90%. Harus dibedakan antara penyempitan lumen secara sektional-silang dengan persentase pengurangan diameter. Pengurangan diameter sebesar 50% menimbulkan penyempitan sektional-silang sebesar 75%, dan penyempitan diameter sebesar 66% (2 per 3) akan menyebabkan penyempitan lumen sektionalsilang sebesar 90%. Secara klinis, yang sering dipakai adalah pengurangan diameter sampai 60% dianggap secara hemodinamik signifikan.3 Gambar 4. Konservasi energi menurut Bernoulli 2 mengakibatkan tekanan pada daerah stenosis harus turun. 4. Energi kinetik, didasarkan pada Hukum Newton, KE = 1/2 mv2 dan berlaku untuk menjabarkan adanya energi dari hubungan antara kecepatan aliran dan massa cairan yang mengalir dalam suatu pembuluh. Karena jumlah total nya kecil, maka energi kinetik dapat dijabarkan oleh kecepatan aliran darah saja, dan hal ini tergantung dari perubahan radius pembuluh darah, hingga pada kenyataannya, perubahan kecil dari radius pembuluh darah dapat menimbulkan perubahan kecepatan aliran yang signifikan. Hal ini akan terkait dengan kemungkinan timbulnya lambat-aliran pada stenosis pembuluh darah yang menjadi pemicu timbulnya trombosis atau pembuntuan pembuluh darah secara mendadak. Ringkasan: Tekanan terkait dengan tekanan darah (“tensi”) yang ada pada pembuluh darah, gravitasi terkait dengan posisi seorang pasien/manusia (ortostatik atau tiduran atau posisi lain), friksi terkait dengan kelainan dinding pembuluh darah (aterosklerosis, proses arteriosklerosis, aneurysma, percabangan pembuluh darah), dan energi kinetik terkait 2 dengan hukum Newton (KE = ½ . mv ) yang dipengaruhi oleh densitas dan massa darah itu sendiri. Hukum PoiseulleHaganbach akan dapat Gambar 3. Korelasi penyempitan pembuluh darah dan konsekuensi pengurangan tekanan/aliran pasca stenosis dan 2 besarnya diameter: terjadi turbulensi darah. DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 berlaku bila diameter pembuluh darah lebih besar dari 100 micron, dan terjadinya kehilangan energi tadi dalam suatu aliran dinamis dengan perubahan diameter pembuluh darah akan menjadi lebih rumit dijabarkan. 93 Penerapan Klinik Hemorheologi Plaque aterosklerosis adalah keadaan dimana diameter pembuluh darah menjadi lebih sempit atau menyempit, dan hal ini penting bagi para ahli ahli angiologi dan ahli bedah vaskular. Terjadinya plaque biasanya pada percabangan a. karotis, aorta distal, dan a. femoralis superfisialis. Pada arteria kecil lainnya (koroner, serebral, ginjal atau a. perifer) penyempitan arteria akan mempunyai konsekuensi iskemia organ yang dipasok secara lebih kronis, dan pengobatan hemorheologik akan sangat ditentukan oleh efektivitas kecepatan aliran yang terjadi, viskositas darah, fleksibilitas partikel/komponen sel darah (deformabilitas) serta percabangan kapiler perifer. Diameter pembuluh darah akan mempengaruhi aliran darah terkait hukum Bernoulli, di mana bila ada daerah yang menyempit, maka kecepatan aliran darah akan meningkat sebanding pangkat dua beda radius pembuluh darah tersebut. Tekanan darah dapat meningkat karena pengaruh tersebut. Apabila ada pelebaran pembuluh darah (aneurisma, vasodilatasi) maka akan terjadi hal yang sebaliknya, dan tekanan darah dapat berkurang atau menurun pada daerah tersebut. Jadi apabila kecepatan aliran darah berkurang, maka didalam pembuluh darah akan terjadi tekanan samping yang naik dan tekanan frontal akan turun. Sangat sulit untuk membedakan kecepatan pulsasi darah dengan kecepatan aliran darah, karena pulsasi tergantung pada elatisitas dinding arteri, yang pada arteriosklerosis (proses penuaan/degenerasi) akan turun, apalagi bila terjadi atherosklerosis (penumpukan atherom pada dinding pembuluh darah). Pada aliran darah venous, maka insufisiensi katup vena merupakan salah satu faktor aliran, di mana terdapat ketidakmampuan aliran darah vena untuk naik ke arah proksimal, hingga setiap gerakan otot malahan akan makin menambah jumlah darah ke arah vena profunda dan superficialis dan menyebabkan gangguan mikrosirkulasi. Keadaan flebosklerosis pada usia lanjut yang terdiri dari fibroelastosis (menebalnya tunika intima) dan senile elastosis (bertambahnya serabut elastis di tunika media) akan pula 4,5 menimbulkan atrofi dari otot-otot tungkai. Pada kelainan vena maka terapi hemorheologi juga mempunyai tempat untuk diterapkan. Prinsip Pengobatan Hemorheologi 1. Menaikkan fleksibilitas eritrosit (“deformabilitas”), kemampuan eritrosit untuk lebih lentur hingga mudah mengalir dalam pembuluh darah yang diameternya kecil, 2. Menurunkan viskositas plasma, 3. Menurunkan viskositas umum dari darah, 4. Menurunkan agregasi dari trombosit karena sifat adhesinya Obat-obat hemorheologi terdiri dari : 1. Antiplatelet: - Aspirin - Ticlopidine dan Clopidogrel (penghambat agregasi platelet) - Glycoprotein IIb/IIIa inhibitor - Cilostazol (inhibitor PDE-III) 94 - 2. 3. 4. 5. 6. 7. Picotamide (inhibitor TxA2-synthase, TxA2-reseptor blocker) - Naftodrofuryl (antagonis 5-HT; serotonin) - Oxypentifylline (pengurang viskositas darah) - Buflomedil (adrenolytik) Antioksidan dan terapi khelasi (pencegah kerusakan oksidatif, mengurangi reperfusion-injury) Inositol nicotinate (vasodilator, fibrinolitik dan mengurangi kadar lemak) Cinnarizine (antagonis vasokonstriktor endogen, angiotensin dan norepinefrin) Levocarnitine (pencegah kerusakan mitokondria penyebab metabolisme oksidatif) Prostaglandin (vasodilator, pencegah rasa nyeri klaudikasio) Immunomodulator (perbaikan kemampuan jarak jalan dengan autotransfusi darah yang diekspose dengan termal, ultraviolet dan stress oksidatif) (“OZON-terapi”). Secara umum skema cara kerja dan tempat bekerjanya obatobat hemorheologi digambarkan sebagai berikut : 1. Menaikkan fleksibilitas eritrosit Eritrosit yang tidak fleksibel akan sulit masuk ke dalam kapiler yang diameternya lebih kecil dari diameter eritrosit, meskipun bentuk eristrosit yang pipih tetapi bulat. Bila eritrosit dapat fleksibel dan dapat merubah bentuk hingga lentur, maka akan lebih mudah memasuki kapiler yang kecil. Oksipentifilin merupakan obat yang diyakini dapat membuat deformabilitas eritrosit naik dan eritrosit menjadi lebih “fleksibel” hingga viskositas darah akan menurun. 2. Menurunkan viskositas plasma Salah satu faktor yang membuat darah menjadi lebih viskous adalah kadar lemak total (Hiperlipidemia) yang sangat DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 dipengaruhi juga oleh kadar LDL dan HDL: pada kadar LDL yang tinggi dan kadar HDL yang rendah akan menambah kemungkinan mortalitas kardiovaskular. Obat-obat golongan ”Statin” yang merupakan inhibitor reduktase HMG-Co-A akan menurunkan kadar kolesterol serum. Selain hiperlipidemia, terdapatnya hiperhomocysteinemia (kadar homocystein serum yang tinggi) akan membuat juga PAPO, dan merupakan penyakit karena kelainan nutrisi dan gizi. Suplemen dengan vitamin B6 dan B12 akan dapat menurunkan kadar homocystein serum. Diabetes Mellitus merupakan pula keadaan yang menaikkan viskositas darah/plasma, dan keadaan ini harus diatasi dengan kontrol gula darah yang baik agar viskositas plasma tidak tinggi. 3. Menurunkan viskositas umum dari darah Sesuai dengan adanya energi tekanan, maka hipertensi akan dapat secara relatif membuat viskositas darah secara umum meningkat, karena tekanan yang ada pada aliran darah terhadap dinding, sehingga cairan/darah yang mengalir didalamnya mempunyai koefisien viskositas yang meningkat. Kontrol tekanan darah agar tidak tinggi membantu penurunan viskositas darah secara umum. Merokok, merupakan keadaan yang menyebabkan viskoitas darah meningkat, karena diduga bahwa ”ter” yang ada dalam tembakau yang dibakar akan mempengaruhi aterogenesis sebagai oksidan, dan akan mempengaruhi aterom yang beredar didarah sehingga viskositas darah akan meningkat secara relatif. Menghentikan rokok merupakan hal yang mempengaruhi penurunan viskositas darah. Upaya pengobatan secara hemorheologik ditekankan pada penurunan viskositas darah, menaikkan fleksibilitas eritrosit, mencegah perlekatan/ agregasi komponen darah / platelet dan upaya untuk melebarkan pembuluh darah yang mengalami penyempitan. Secara umum menurunkan viskositas darah karena sebab hipertensi dan hiperlipidemia merupakan bagian dari terapi hemorheologik DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 5. Menurunkan agregasi dari trombosit karena sifat adhesinya Obat-obat golongan anti-platelet akan menyebabkan perlekatan antar lekosit atau partikel darah menjadi kurang, akibatnya darah tidak terlalu ”kental”, dan membuat darah lebih tidak viskous.6 6. Mencegah stase darah dan hemokonsentrasi Latihan fisik secara teratur merupakan keadaan yang akan mengaktivasi pompa otot diekstremitas, tetapi latihan fisik ini harus terprogram agar dapat dimanfaatkan untuk membantu menurunkan viskositas darah. Terjadinya hemokonsentrasi karena sebab apapun juga akan menimbulkan kenaikan viskositas darah, hingga upaya untuk melancarkan aliran darah, terutama aliran venous akan juga merupakan bagian pengobatan hemorheologik. Khususnya pada daerah tungkai, tekanan hydrostatik dan adanya hambatan aliran darah vena di sebelah proximal merupakan dua faktor utama yang menyebabkan stase darah. Faktor hormonal (estrogen) disebut-sebut sebagai faktor yang merangsang terjadinya hemokonsentrasi, melalui mekanisme ”venous pooling” akan menambah mata rantai patofisiologi dan patogenesis hemokonsentrasi, terutama pada wanita adalah pemakaian kontrasepsi, 7 kehamilan dan masa menopause/menarche. Ringkasan Pengobatan hemorheologik ditujukan agar terjadi perbaikan aliran darah yang ada pada penyakit atau keadaan patologik dimana aliran darah terganggu karena penyumbatan, penyempitan pada pembuluh darah karena adanya aterogenesis yang mengakibatkan gejala gejala PAPO. Upaya pengobatan secara hemorheologik ditekankan pada penurunan viskositas darah, menaikkan fleksibilitas eritrosit, mencegah perlekatan/agregasi komponen darah/platelet dan upaya untuk melebarkan pembuluh darah yang mengalami penyempitan. Secara umum menurunkan viskositas darah karena sebab hipertensi dan hiperlipidemia merupakan bagian dari terapi hemorheologi. Pengobatan hemorheologi juga menyangkut pengobatan kelainan aliran venous, khususnya untuk menanggulangi terjadinya hemokonsentrasi dan stasis darah. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Puruhito. Pengantar bedah vaskulus. Edisi ke-3. Airlangga Univ. Press, 1983 Hallet Jr. JW, Mils JL, Earnshaw JJ, Reekers JA. Comprehensive vascular and endovascular surgery. Mosby, 2004.p.409-25 Zarins CK, Zatina MA, Giddens DP, et.al. Shear stress regulation of artery lumen diameter in experimental atherogenesis. J Vasc Surg 1987; 5:41320 Puruhito. Chronic Venous Insufficiency. Microcirculation pathology as an approach to surgical treatment. Presented at: 5 th Congress of Asian Society of Microcirculation. Bandung; 2000 Ramelet AR, Kern P, Perrin M. Varicose veins and telangiectasias. Elsevier; 2004.p.137-200 Dormandy JA. Microcirculation in venous disorders: the role of the white blood cells. Int J Microcirc 1995; 15(suppl):3-8 Moyse C, Cederholm-Williams SA, Michel CC. Hemoconcentration and the accumulation of white cells in the feet during venous stasis. Int J Microcirc Clin Exp 1987; 5:311-320 95 TINJAUAN PUSTAKA Terapi Bedah Pada Varises (*) Puruhito (** ) Bedah Toraks Kardiovaskular RSUD Dr. Soetomo / FK Universitas Airlangga Surabaya Abstract. Surgical treatment of varicosis of the legs is aimed to remove unsightly varicose veins to prevent its recurrence and also to treat the symptoms and signs that mostly affect the patients. It also treating and correct underlying abnormal vein physiology. Prior to surgery, a complete anatomic and physiologic evaluation of the venous system is important and is mandatory to be done by the surgeons, because it will help to support the surgical intervention. Various techniques is used to perform the surgery of the veins of the leg, and there are several alternatives of surgical treatment that is described in the following paper. It includes the ablation of superficial reflux, ligation and stripping of the varicosed saphenous veins which are incompetence, as well as the endovascular ablation using radiofrequency or laser, and also some specific techniques includes the subfascial perforator vein surgery and salvation of the leg due to chronic venous insufficiency by means of deep valve reconstructions and autologous reconstruction pursued by venous bypass. Keywords: varicosis, vein surgery, vascular surgery Pendahuluan Indikasi pembedahan ataupun pemilihan pengobatan dengan tanpa pembedahan merupakan kemutlakan pada jenis varises tertentu, yang sering diabaikan oleh ahli bedahnya. Pada dasarnya, vena yang telah mengalami kerusakan berarti telah menjadi ektasi, harus dikeluarkan, karena akan dapat memutuskan mata rantai patofisiologinya. Tetapi dapat pula mata rantai tersebut dihentikan pada saat vena communicans mengalami insufisiensi (stadium II-III), hingga membantu kelancaran peredaran darah balik lagi. Menurut Stadium klinisnya maka mulai Stadium II sudah harus dipikirkan tindakan pembedahan. Menurut jenis dan ekstensi vena yang terkena, berarti sudah ada pada Stadium III dan IV, maka: - Varises truncal Stadium III dan IV - Varises reticularis Stadium II dan IV harus mendapat terapi pembedahan. Berbagai alternatif dari cara melakukan pembedahan merupakan pilihan dan “selera” dari masing-masing ahli bedah, selain tergantung dari sarana dan peralatan teknis (*) Disampaikan pada : WECAN (5) – Weekend Course on Angiology, Jakarta, Februari 16-17, 2007 (**) Gurubesar Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, Universitas Airlangga, Fakultas Kedokteran 96 serta instrumental yang tersedia pada suatu Rumah Sakit atau Klinik Bedah terkait. Hasil-hasil dari berbagai alternatif bedah tersebut juga dilaporkan secara tidak sama di antara sentra-sentra bedah, juga tidak ada bukti klinis (evidence based) yang didasarkan pada studi multisentra dengan parameter pengamatan yang seragam atau penelitian dengan desain yang sama, dan masingmasing ahli bedah mengajukan sendiri pengalaman pribadinya dari sejumlah kasus yang mereka tangani dengan jumlah kasus untuk teknik bedah tertentu yang tidak memadai untuk suatu klinis. Di samping itu terapi non surgikal 1,2 masih pula mendapatkan tempat untuk pengobatan varises. Definisi Yang dimaksud dengan pembedahan varises adalah semua upaya pembedahan dalam menanggulangi gejala dan keluhan yang timbul karena adanya varises. Istilah “STRIPPING” yang lazim dipakai adalah pengambilan varises dengan alat stripper, sedangkan istilah “FLEBEKTOMI” adalah pengambilan varises dengan alat tanpa bantuan stripper. Dasar teoritis, pembedahan varises adalah membuang/ meniadakan vena-vena yang patologik (berkelok-kelok, memanjang, melebar/ekstasi), hingga baik pembedahan, skleroterapi ataupun ablasi endovaskular (RF atau LASER) DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 termasuk dalam satu kategori yang sama. Secara praktis, ada dua tujuan pembedahan, yaitu: 1. melakukan penutupan/ligasi tempat di mana terjadi refluks/aliran balik (katub insufisien) dan 2. mengambil/meniadakan vena yang patologik (melebar, berkelok-kelok dan ektasi). Dasar teoritis pembedahan varises adalah membuang/ meniadakan vena-vena yang patologik (berkelokkelok, memanjang, melebar/ekstasi), hingga baik pembedahan, skleroterapi ataupun ablasi endovaskular (RF atau LASER) termasuk dalam satu kategori yang sama. Sejarah Pembedahan Varises Perintis pertama pada pembedahan varises tungkai adalah Sir Benjamin Brodie (1783-1862) 3 y a n g m e nde t e ksi adanya refluks atau backflow aliran vena pada tungkai atas/paha dan melakukan ligasi vena safena magna. Kemudian Frederich von Trendelenburgh di Jerman melakukan pembedahan varises pada tahun 1860 yang baru dipublikasikan pada tahun 1890, dan menjadi awal bedah varises modern. Tes atau cara diagnostik deteksi varises serta insufisiensi vena ditulis berdasarkan pendapat dan pengamatan kedua ahli tersebut, yaitu tes Brodie-Trendelenburgh. Kemudian Charles Mayo di USA mengembangkan teknik sayatan panjang untuk mengambil varises, dan menciptakan stripper ekstraluminer untuk mengambil varises yang inkompeten hanya dengan sayatan yang sedikit dan kecil. Pembuatan stripper intraluminer oleh Keller pada tahun 1905 membawa revousi baru saat itu untuk stripping v a r i s e s y a n g i n k o m p e t e n , d a n a l a t intraluminer ini kemudian disempurnakan oleh Babcock dengan membuat ujung stripper berupa konus. Robert Linton (Boston, USA) mengembangkan tehnik ligasi subfascial dari vena communicantes, dan menegaskan juga pentingnya refluks dari vena perforator yang dapat menimbulkan inkompetensi dan insufisiensi katub vena DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 di daerah proksimalnya. Hal ini diperkuat oleh temuan Cockett dan Dodd tentang berbagai lokasi vena perforator, bukan hanya venae communicantes (1953). Temuan ini menjadi dasar pula dari konsep pengobatan sindroma post-flebitik dan insufisiensi venosa kronik. Eduardo Palma di Uruguay dan Andrew Dale (USA) melakukan tehnik bypass femoro-femoral overcross untuk menangani obstruksi/sumbatan vena disegmen proksimal, mendasari dan mengawali pembedahan rekonstruktif untuk vena. Hal ini kemudian disusul oleh berbagai teknik rekonstruksi untuk vena, baik katub maupun segmen vena yang inkompeten, tanpa harus “membuang” (Stripping) vena safena magna. Pengalaman di Perang Dunia-II, Perang Korea dan Perang Vietnam di mana perlukaan vena banyak hanya dilakukan ligasi agar cepat selesai pendarahan, menimbulkan konsep baru melakukan bedah rekonstruksi vena pasca ligasi vena besar tersebut dan berkembang di antara tahun 1970-an. Bedah varises modern sekitar tahun 1980-an didasarkan pada perkembangan alat baru USG/Doppler duplex scanner bidirectional, serta teknologi non-invasif dengan endoskopi. Perkembangan penggunaan dan penerapan gelombang RF untuk ablasi jaringan mendukung tehnik ablasi vena safena dengan cara endovascular/endoluminal dan membawa harapan baru kedepan untuk alternatif tehnik pengobatan “surgical intervensional non bedah”. Tehnik Dasar Bedah Varises: 3-5 1. Ablasi refluks safenous Cara ini didasarkan pada pendapat bahwa terjadinya varises ditungkai (atas) adalah jkarena adanya refluks yang disebabkan oleh insufisiensi katub di vena safena magna. Maka bila dilakukan ligasi katub yang inkompeten ini, refluks dapat dicegah, sekaligus vena yang sudah terlanjur melebar dan berkelok kelok ini dibuang. a. Ligasi safena dan stripping (Exeresis) - ligasi tinggi (proksimal) dan stripping VSM - ligasi dan stripping VSP b. Ablasi RF vena safena c. Ablasi LASER (panas) d. Ablasi cryo (dingin) e. Flebektomi local atau merusak vena superfisia (Babcock) 2. Ligasi vena perforator Cara ini didasarkan pada temuan adanya vena perforator pada berbagai tingkat ditungkai bawah, yang menyebabkan pelebaran vena karena refluks kearah proksimal dulu dan backflow-nya melalui vena perorator, hingga apabila vena perforator diligasi atau dihancurkan, akan dapat terjadi aliran vena yang normal. Hal ini juga membawa konsekuensi bahwa stripping vena safena magna tidak lagi dianjurkan dilakukan mulai dari distal (daerah pergelangan) sampai ke paha (inguinal), tetapi cukup sampai daerah lutut. Vena perforator (Dodd, Cockett, Hunter) merupakan daerah “kebocoran” karena refluks akibat 97 Bedah varises modern sekitar tahun 1980-an didasarkan pada perkembangan alat baru USG/Doppler duplex scanner bidirectional, serta teknologi non-invasif dengan endoskopi. Perkembangan penggunaan dan penerapan gelombang RF untuk ablasi jaringan mendukung tehnik ablasi vena safena dengan cara endovaskular/endoluminal dan membawa harapan baru kedepan untuk alternatif tehnik pengobatan “surgical intervensional non bedah”. tekanan di daerah proksimal (Boyd) dan katub inguinal dan stripping yang panjang sampai distal dapat mengakibatkan daerah tungkai bawah (distal dari lutu) akan mengalami insufisiensi venosa kronik. - tehnik terbuka - SEPS (Subfascial Endoscopic Perforator Surgery) 3. Koreksi refluks vena profunda Cara ini merupakan perkembangan dari upaya rekonstruksi vena, yang mengusahakan agar katub vena yang insufisien dan inkompeten dapat dilakukan rekonstruksi agar dapat kembali kompeten, dengan tehnik bedah-plastik katub-vena yang memerlukan ketelitian karena memakai endoskopi (video assisted atau langsung) atau memakai tehnik ekstraluminer dengan loupe. - Valvuloplasty (internal atau eksternal) 98 - Transposisi katub vena - Transplantasi katub vena 4. Terapi obstruksi vena profunda Cara ini didasari pada pendapat bahwa adanya obstruksi daerah proksimal dapat dilakukan “bypass” aliran vena dari arah/sisi lain ( kontralateral ) yang menampung aliran vena kearah proksimal. Sering harus dibantu dengan pembuatan shunt arteri femoral agar aliran vena ini dipacu mengalir ke arah proksimal, dengan tehnik: - bypass safeno-popliteal - bypass Palma-Dale (De-Palma–pubic-over-cross bypass) - rekonstruksi Femoro-ilio-caval 5. Bedah Endoluminal/Endovaskular - Cryosclerosis, - Ablasi-RF, - koagulasi LASER Kesimpulan 1. Terapi bedah/ surgikal pada varises mutlak dilakukan pada varises besar atau varises lokal yang besar dengan ancaman perdarahan atau nyeri hebat 2. B e r b a g a i a l t e r n a t i f t e k n i k p e m b e d a h a n v a r i s e s didasarkan pada perkembangan pengetahuan tentang anatomi vena dan katub vena serta dukungan alat-alat visual untuk pendekatan lebih teliti 3. Penggunan bantuan USG/Duplex-scan membantu kualitas pengobatan dan hasilnya, khususnya pada varises besar. 4. Ketersediaan alat-alat pendukung diagnostik dan alatalat kelengkapan alternatif bedah varises membawa hasil yang berbeda untuk masing masing sentra/klinik bedah serta kemahiran ahli bedahnya. 5. Kekambuhan pasca bedah varises setelah selang waktu, menyebabkan perlunya tehnik bedah lainnya serta kemahiran tehnik yang lebih pakar 6. B e b a t k o m p r e s i d i a n j u r k a n u n t u k s e m u a c a r a pengobatan, untuk mencegah kekambuhan. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. Puruhito. Terapi surgikal dan non-surgikal pada varises tungkai. Simposium Penanganan Dini Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, Surabaya, 6 Januari 2007. Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Toraks Kardiovaskular Indonesia Puruhito. Chronic venous insufficiency, microcirculation pathology as an approach to surgical treatment, Presented at: 5 th Congress of Asian Society of Microcirculation, Bandung, March, 2000 Raju S, Villavincencio JL. Surgical management of venous disease. Williams & Wilkins; 1997.p.221-390 H a l l e t J r. J W, M i l l i s J L , E a r n s h a w J J , R e e k e r s , J A , ( E d s ) . Comprehensive vascular and endovascular surgery. Mosby; 2004.p. 45-54; 507-624 Ramelet AR, Kern P, Perrin M. Varicose veins and telangiectasias. Elsevier; 2004.p.137-200 DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 PROFIL Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur Hermawan, Sp.PD-KPTI Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret syok septik. Sepsis adalah Profil yang kami angkat pada suatu sindroma klinik yang edisi April - Juni 2007 adalah terjadi oleh karena adanya Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur respon tubuh yang berlebihan Hermawan, Sp.PD-KPTI yang terhadap rangsangan produk merupakan seorang yang ahli mikroorganisme. di bagian Penyakit Dalam, Dijelaskan pula pada saat sebagai Guru Besar dalam pengukuhan bahwa penyebab Ilmu Penyakit Dalam Fakultas sepsis terbesar adalah bakteri Kedokteran Universitas gram (-) dengan prosentase 60 Sebelas Maret d a n Staf sampai 70% kasus, yang Pengajar Laboratorium Ilmu menghasilkan berbagai produk Penyakit Dalam FK UNS dapat menstimulasi sel imun. Surakarta. Sel tersebut akan terpacu Prof. Guntur lahir di Surakarta untuk melepaskan mediator pada tanggal 6 Mei 1949. inflamasi. Produk yang Sekarang ini beliau tinggal di Jl. berperan penting terhadap Melati No. 18 Badran Surakarta Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur sepsis adalah lipopolisakarida 57142. Dari istrinya (Ibu Hermani) Hermawan, SpPD-KPTI (LPS), yang merupakan beliau mempunyai 3 orang anak, struktur dominan terdapat pada membran luar yaitu: Bayu Ari Purnomo, ST.MSAC; dr. Darmawan Ismail, bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan Isa Akbar Brawijaya. jaringan, demam dan syok pada penderita yang Prof. Dr. dr. H.A. Guntur Hermawan, SpPDterinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS KPTI dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu bertanggungjawab terhadap reaksi dalam tubuh Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas penderita (Belanti, 1993; Warren, 1994; Sands, Sebelas Maret, Surakarta tepatnya pada tanggal 1997). Staphylococci, Pneumococci, Streptococci, 14 Juli 2003. Pada saat menyampaikan pidato dan bakteri gram positif lainnya jarang pengukuhan, judul pidato pengukuhan yang beliau menyebabkan sepsis dengan angka kejadian 20 pilih, yaitu: Imunopatobiologik Sepsis dan sampai 40% dari keseluruhan kasus (Bone, 1994). Penatalaksanaannya. Judul tersebut beliau pilih Selain itu jamur opurtunistik, virus (dengue dan disebabkan karena telah terjadi perubahan herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) pandangan mengenai perkembangan definisi sepdilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun sis dari proses adanya bakteri di dalam darah jarang. menjadi proses inflamasi imunobiologik. Sebelum masuk ke Fakultas Kedokteran UNS, Perubahan pandangan ini akan mempengaruhi beliau menamatkan pendidikan SMA-nya di SMA dasar pengobatan/penatalaksanaan sepsis dan DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 55 Negeri 1 Surakarta tahun 1967. Kemudian beliau menamatkan pendidikan Kedokterannya di Fakultas Kedokteran UNS Surakarta tahun 1977. Prof. dr. Moh. Saleh, SpPD, SpJP (almarhum) yang mendorong Prof. Guntur untuk mengikuti pendidikan spesialisasi Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pada tahun 1986 Prof. Guntur menamatkan pendidikkannya Foto bersama Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur Hermawan, SpPD-KPTI tersebut. Selang bebebeserta keluarga besar rapa tahun beliau juga telah menamatkan S3 (Doktor) Pascasarjana UNAIR Surabaya pada tahun 2001 dengan judul Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr. Moewardi disertasi: “Perbedaan Respons Imun yang Surakarta. Berperan pada Sepsis dan Syok Septik” - Suatu Sedangkan jabatan organisasi yang beliau ikuti Pendekatan Imunopatobiologik Sepsis dan Syok antara lain adalah sebagai Ketua PAPDI cabang Septik pada Immunocompromise dan NonSurakarta, Ketua PETRI cabang Surakarta, Ketua Immunocompromise. Prof. Dr. dr. PG. Konthen, Peralmuni cabang Surakarta. SpPD-KAI; Prof. dr. Eddy Soewandojo, SpPDKeanggotaan profesi yang Prof. Guntur ikuti KPTI; Prof. Dr. dr. Soehartono Taat Poetra, MS antara lain adalah IDI, PAPDI, PERALMUNI, yang telah mengantar beliau hingga dapat Persatuan Dokter Peduli AIDS, PETRI, Critical and menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana (S3) Syock Society, Perhimpunan Patobiologi Indonedengan waktu relatif singkat. Pada tahun 2003 sia. beliau berhasil menyelesaikan pendidikkan ConProf. Guntur juga memiliki beberapa tulisan sultant Tropical Medicine Infectiology Jakarta dan karya ilmiah baik tingkat Nasional maupun pada tahun yang sama pula beliau meraih gelar Internasional. Guru Besar Fakultas Kedokteran UNS Surakarta. Pada edisi ini Prof. Dr. dr. H.A. Guntur Beberapa jabatan yang Prof. Guntur pegang di Hermawan, SpPD-KPTI berkesempatan pula untuk Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr. Moewardi memberikan artikel yang berjudul “The Role of Surakarta antara lain: sebagai Kepala Subbagian Cefepime: Empirical Treatment in Critical IllAllergi Immunologi dan Penyakit Tropik - Infeksi ness” yang menjelaskan bahwa terapi secara Lab./SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/RSUD Dr. empiris pada suatu daerah, dilakukan berdasarkan Moewardi Surakarta; Ketua Pusat Pelayanan pada pola kuman yang didapatkan pada rumah Informasi AIDS Universitas Sebelas Maret sakit setempat berdasarkan pola kuman dan uji Surakarta; Ketua Tim Penanggulangan HIV/AIDS kepekaan. Penelitian yang dilakukan pada infeksi FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta; Ketua Tim nosokomial di RSUD Dr Moewardi menunjukkan Alergi - Imunologi FK UNS/RSUD Dr. Moewardi bahwa cefepime dapat digunakan sebagai terapi Surakarta; Wakil Ketua Tim Penanggulangan DHF secara empiris. DM 56 DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 SEKILAS DEXA MEDICA GROUP Membangun Brand, OTC Dexa Ikuti Fun Bike Hari TB Internasional H ari TB Internasional yang jatuh pada 24 Maret, diperingati meriah di Kabupaten Tangerang pada Sabtu, 31 Maret 2007 lalu, dimulai pukul 06.00 di Boulevard Raya BSD Tangerang dengan serangkaian kegiatan diantaranya: fun bike, gebyar seni dan bazaar. Kegiatan dibuka Bapak AM Fatwa (Wakil Ketua MPR RI), dipandu MC, Shanaz Haque dan Dikdoang. Hari itu, tim OTC Dexa di Tangerang tidak mau ketinggalan momentum, karena event tersebut dihadiri lebih dari 800 orang, yang merupakan target market OTC, yaitu: keluarga, komunitas sepeda, artis dan lain-lain. OTC Dexa, Reach for The Stars! DM Saipul Branding OGBdexa Saat Munas PAFI T im OGBdexa terus memperkuat branding dengan melakukan edukasi dan knowledge sharing kepada relasi potensial agar brand OGB dexa kian menancap dibenak para relasi. Kali ini dengan tampil di Munas PAFI (Persatuan Ahli Farmasi Indonesia). Munas P A F I berlangsung dari tanggal 5-7 April 2007 di Surabaya. Pada hari pertama, PT. Dexa Medica diberikan kesempatan presentasi yang disampaikan oleh HMS OGBdexa, Bapak Tarcisius T. Randy. Jumlah peserta Munas PAFI lebih kurang 270 orang. Di hari ketiga jumlah peserta bertambah lebih kurang 110 orang. Suasana diwarnai nuansa merah karena semua peserta mendapat tas OGBdexa. Setelah presentasi mengenai OGBdexa, peserta ditunjukkan kecanggihan pabrik Cephalosporin Dexa Medica yang baru. Banyak peserta yang terkagum-kagum dengan kecanggihan pabrik Dexa. Bahkan tidak sedikit DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 yang baru tahu bahwa OGBdexa menduduki peringkat 1 Nasional. Demikian beberapa komentar peserta di selasela kegiatan Munas PAFI. Saat pembagian gimmick seperti Stapler, ada peserta yang menanyakan harganya, kita memberitahu bahwa Stapler itu gratis. Banyak peserta yang antusias untuk memperoleh gimmick-gimmick kita yang lainnya seperti tas OGBdexa, block note, dan lain-lainnya. Branding OGBdexa kali ini, menurut pantauan kami berjalan sukses. Hal ini dapat dilihat dari antusias peserta yang notabenenya mewakili pengurus PAFI di seluruh Indonesia. Banyak peserta yang menanyakan mengenai OGBdexa setiap kali berkunjung ke stand Dexa (PAFI Banjarmasin, PAFI Lamongan, PAFI Gresik, PAFI Bandung, PAFI Jakarta, PAFI Kalimantan, dan lain-lain). Banyak juga peserta yang mengabadikan foto di depan Banner OGBdexa. DM Tim OGBdexa 57 SEKILAS DEXA MEDICA GROUP Dua Tahun Berturut-Turut: Dexa Medica Raih Employer of Choice Dexa Medica dalam dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 2006 dan 2007, meraih Employer of Choice. Tahun 2007 ini, Dexa Medica meraih predikat “5 Besar Perusahaan Ternyaman dan Terbaik 2007”. Sedangkan tahun 2006 diperingkat ke-7 Employer of Choice, yang dilakukan oleh HayGroup dengan menggunakan model Engaged Performance (EP). Engaged Performance adalah kinerja yang dicapai sebuah perusahaan dengan cara menstimuli antusiasme karyawan terhadap pekerjaannya, serta mengarahkannya kepada kesuksesan perusahaan. Metode ini telah digunakan oleh HayGroup untuk survei sejenis di berbagai negara. Penghargaan “Indonesian Employer of Choice 2007” diserahkan pada 10 April 2007, di Hotel Shangri-La Jakarta. Lima Besar Employer of Choice 2007 adalah: 1. PT. Astra International Tbk, 2. PT. TNT Indonesia, 3. PT. Bank Niaga Tbk, 4. PT. Dexa Medica dan 5. PT. Microsoft Indonesia. Engaged Performance terdiri dari empat faktor pendorong utama (key driver), yaitu: internal effectiveness leadership (kepemimpinan efektif), talent management (kesempatan karyawan untuk maju), external business focus (kemampuan perusahaan merespons perubahan eksternal), internal effectiveness direction (arah perusahaan jangka panjang). Hasil survei dari HayGroup yang bertujuan untuk melihat tingkat komitmen karyawan tersebut, diakui Ferry Soetikno dapat dijadikan sarana untuk menangkap persepsi karyawan, kemudian menganalisisnya untuk menjadi umpan balik yang berharga bagi perusahaan. Key Driver Dexa Medica Berdasarkan hasil riset tersebut di atas, ada Empat Faktor Pendorong Utama (key driver) yang menjadikan Dexa Medica sebagai perusahaan pilihan karyawan, yaitu: 1. Leadership: Menerapkan competency based manage58 ment sehingga karyawan menempati posisi tertentu sesuai dengan kompetensinya. Menerapkan filosofi 3 P: pay for profession, pay for performance, pay for person yang terkait dengan kompetensi, mengusung kepemimpinan dengan prinsip Deal with Care, Strive for Excellence, Act Professionally, juga Leading by Example. 2. Talent Management: Melakukan manajemen talenta dalam organisasi dengan melihat kinerja dan potensi karyawan, memberikan kesempatan kepada karyawan untuk berorientasi sesuai dengan kompetensinya, sehingga tidak terpaku hanya di satu anak perusahaan, melakukan segmentasi untuk mencari talenta yang jadi andalan berdasarkan kompetensi dan kinerja orang per orang, melakukan kegiatan knowledge sharing, terutama dari hasil pelatihan, melalui portal yang dapat diakses oleh setiap karyawan. 3. External Business Focus: CEO cepat menangkap setiap perubahan, melakukan sharing, dan kemudian memberi tantangan kepada setiap karyawan untuk melakukan inovasi di setiap unit bisnis, menjadi salah satu dari 405 perusahaan yang mendapat Zero Accident Award. Penghargaan ini diberikan kepada perusahaan yang mengimplementasikan keselamatan dan kesehatan kerja secara optimal, melakukan berbagai kegiatan CSR (corporate social responsibility) dan memiliki wadah yang bernama Dharma Dexa. 4. Direction: Mempersiapkan diri menjadi pemain regional mulai tahun 2006 dan pada 2015 menjadi pemain global, guna mencapai visi dan misi perusahaan, manajemen bekerja sama dengan berbagai perusahaan multinasional dan nasional, berupa pemberian lisensi ataupun melakukan toll manufacturing, giat melakukan riset dan pengembangan, pemenuhan standar yang ditetapkan ASEAN, fasilitas produksi yang memenuhi persyaratan, serta pemasaran yang baik. DM DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 KALENDER PERISTIWA 1. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Kesehatan Anak (PIT IKA III) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tanggal: 06 - 09 Mei 2007 Tempat: Graha Sabha, Yogyakarta Sekretariat: Telp.: 021-55960180 Faks: 021-55960179 E-mail: risna@pharma-pro.com Contact Person: Risnawati 2. The 7th JNHC & Hypertension Course: Chronic Kidney Disease and Its Complications Tanggal: 18 Mei 2007 Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Sekretariat: Sekretariat JNHC & SH 2007 - PB PERNEFRI Divisi Ginjal dan Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI - RSCM, Jl. Diponegoro No. 71 Jakarta Indonesia PO BOX 1169 JKT 13011 Telp.: 021-3149208; 3903873 Faks: 021-3155551 E-mail: jnhc@cbn.net.id; pernefri@cbn.net.id Website: http://www.pernefri.org Contact Person: Tety, Linda, Ferdy, Bambang 3. Symposium in Hypertension: Hypertension and Target Organ - How to Prevent? Tanggal: 19 - 20 Mei 2007 Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Sekretariat: Sekretariat JNHC & SH 2007 - PB PERNEFRI Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Penyakit Dalam FKUI RSCM Jl. Diponegoro 71, Jakarta 10430 Telp.: 021-3149208; 3903873 Faks: 021-3155551 E-mail: jnhc@cbn.net.id; pernefri@cbn.net.id Website: http://www.pernefri.org Contact Person: Teti, Linda, Ferdy, Bambang 4. Temu Ilmiah Geriatri 2007: The Truth About Aging and Anti Aging: Scientific Perspective Tanggal: 24 - 27 Mei 2007 Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Sekretariat: Sekretariat Temu Ilmiah Geriatri 2007 Telp.: 021-30041026; 31900275 Faks: 021-30041027; 31900275 E-mail: globalmedica@cbn.net.id, tig_rscmfkui@yahoo.com Contact Person: Deri, Daniel, Dewi 5. 1st Indonesian Symposium on Colorectal Disease: A Multidisciplinary Approach Tanggal: 01 - 03 Juni 2007 Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Sekretariat: Sub.Bagian Digestive, RSCM Salemba DEXA MEDIA No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 6. 7. 8. 9. Telp.: 021-31900938; 3148705; 081510772557 E-mail: isma@pharma-pro.com Contact Person: Ismayanti 3rd National Congress of ISICM - Global Challange in Intensive Care Medicine: Patient - Centered Solutions Tanggal: 13 - 18 Juni 2007 Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Sekretariat: Geoconvex Office & Mailing Address Jl. Kebon Sirih Timur 4 Jakarta Pusat 10340 Indonesia Telp.: 62-21-3149318, 3149319, 2305835 Faks: 62-21-3153392 E-mail: marketing@geoconvex.co.id Contact Person: Jery Londa (HP: 08128586775 / 0811882080) Konferensi Kerja Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (KONKER PDPI) XI 2007 New Perspective of Respiratory Disorders: Identifiying & Overcoming the Problems Tanggal: 04 - 06 Juli 2007 Tempat: Discovery Kartika Plaza Hotel, Bali Sekretariat: RSU Wangaya, Jl. Kartini 133 Denpasar 80111 Bali Telp.: 0361-418838, 222142 pswt 110, 7458927 Faks: 0361-418838 E-mail: konker11pdpibali@yahoo.com Bienniel Scientific Meeting of Indonesian Psychiatry Association (PIDT PDSKJI 2007) “Collaboration in Psychiatry for Better Patients Management in Indonesia” Tanggal: 05 - 08 Juli 2007 Tempat: Aston Convention Centre, Palembang Sekretariat: Sekretariat PIDT PDSKJI 2007 Jl. Imam Bonjol No. 12 Jakarta Telp.: 021-4532202, 30041026, 3147150 Faks: 021-4535833, 30041027, 3147151 E-mail: globalmedica@cbn.net.id; pdskjijakarta@telkom.net Contact Person: Yenny/Iwan/Lenny Pertemuan Ilmiah Tahunan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (PIT POGI) 2007 Mataram Tanggal: 07 - 11 Juli 2007 Tempat: Hotel Grand Legi, Mataram Sekretariat: Sekretariat Panitia PIT POGI XVI SMF RSU Mataram, Jl. Pejanggik No. 6 Mataram Telp.: 0370-631975, 641008 Faks: 0370-631975 E-mail: pitpogi16_mtr@telkom.net; p2ks_ntb@telkom.net Website: http://www.pitpogi16-lombok.com 59