PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT DAN KORBAN TINDAK PIDANA TERIRORISME DALAM PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI By Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Training for Trainers on Victimology and Victim Assistance Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban 18-28 Maret 2013 di Cikopo - Bogor A. PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT DALAM PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI Perlindungan Hukum PEMBERIAN HAK-HAK KEPADA SUBJEK HUKUM YANG DIDASARKAN ATAS NORMA HUKUM Victim Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power : “Victims” means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing abuse of power. A person may be considered a victim, under this Declaration, regardless of whether the perpetrator is identified, apprehended, prosecuted or convicted and regardless of the familial relationship between the perpetrator and the victim. The term “victim” also includes, where appropriate, the immediate family or dependents of the direct victim and persons who have suffered harm in intervening to assist victims in distress or to prevent victimization. The provisions contained herein shall be applicable to all, without distinction of any kind, such as race, colour, sex age, language, religion, nationality, political or other opinion, cultural beliefs or practices, property, birth or family status, ethnic or social origin, and disability KORBAN Korban adalah seseorang secara individu ataupun bersama-sama menderita kerugian, termasuk luka fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi ataupun kerusakan hak-hak dasarnya, yang disebabkan karena perbuatan pihak lain yang melanggar hukum pidana pada suatu negara baik disengaja maupun karena kelalaian. Pengertian korban juga mencakup bilamana mungkin adalah keluarga dekat dari pelaku serta orang-orang yang mengalami penderitaan dan/atau kerugian yang disebabkan karena ikut serta dalam menolong seseorang korban yang kesulitan atau mencegah ketika mencegah terjadinya korban. Rumusan Tindak Pidana HAM Berat: Tidak ada yang secara spesifik merumuskan secara jelas dan tegas Penjelasan Pasal 104 ayat (1) Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdapat deskripsi tentang pelanggaran HAM berat. Dimaksud dengan Pelanggaran hak asasi manusia yang berat undangundang ini adalah: “Pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic diserimination) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Pasal 7 bahwa yang di maksud dengan Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: A. kejahatan genosida; B. kejahatan terhadap kemanusiaan; Statuta Roma Article 5 (1), crimes within teh jurusdiction of Court: “The jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes”: a. The crime of genocide; b. Crimes against humanity; c. War crimes; d. The crime of aggresion Berdasarkan pengertian “pelanggaran HAM berat” dalam seluruh regulasi di atas, lebih menunjukan pada bentuk atau jenis dari pelanggaran HAM berat dan tidak memberikan definisi pelanggaran HAM berat secara eksplisit. Dengan demikian secara yuridis belum ada definisi baku dari pelanggaran HAM berat. Oleh karenanya pengertian Pelanggaran HAM Berat lebih berorientasi dari pengertian Pelanggaran HAM itu sendiri yang terdapat pada Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia , yang kemudian dikaitkan karakteristik dari bentuknya. Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelangggaran HAM Berat. 1. Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia A. Mendapatkan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Pasal 34 ayat (1), bahwa “Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun”; B. Mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi (termasuk ahi warisnya) Pasal 35 ayat (1), bahwa “Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi” Restitusi Dimaksud Restitusi, berdasarkan Penjelasan Pasal 35 (3) adalah “ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu”; Kompensasi: Dimaksud kompensasi, berdasarkan Penjelasan Pasal 35 (1) adalah “ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya”; Rehabilitasi: Dimaksud dengan Rehabilitasi, berdasarkan Penjelasan pasal 35 (3) adalah "rehabilitasi" adalah, pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain. 2. Undang-Undang Nomor 13 tentang Perlindungan Saksi dan Korban a. Mendapatkan bentuk perlindungan fisik, non-fisik dan hukum, sebagaimana terlihat dalam Pasal 5 ayat (1), Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; Memberikan keterangan tanpa tekanan; Mendapatkan penerjemah; Bebas dari pertanyaan yang menjerat; Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; Mendapat identitas baru; Mendapatkan kediaman baru; Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; Mendapat nasihat hukum; Memperoleh bantuan biaya hidup b. Mendapatkan perlindungan non-fisik berupa bantuan medis dan bantuan rehabitasi psiko sosial, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bahwa: “Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat selain berhak atas hak sebagaimana dimaksudd dalam pasal 5 ayat (1) juga berhak: 1. Bantuan medis; 2. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Rehabiitasi Psikososial: Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan bantuan rehabilitasi Psiko –sosial adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban. c. Melalui LPSK dapat mengajukan kompensasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 bahwa: “Korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berhak mengajukan ke pengadilan berupa: 1. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; 2.Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. d. Mendapatkan perlindungan keamanan memberikan keterangan tanpa hadir di persidangan, sebagaimana di maksud dalam Pasal 9 bahwa: 1. Saksi dan/atau korban yang berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa; 2. Saksi dan/atau korban dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut; 3. Saksi/dan atau korban dapat pula didengar kesaksiaannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan di dampingi oleh pejabat yang berwenang; e. Mendapatkan perlindungan hukum untuk tidak dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata, sebagaimana di maksud dalam Pasal 10 bahwa: Saksi, korban dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; 3) Ketentuan sebagaimana di maksud ayat (1) tidak berlaku terhadap saksi, korban dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. f. Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 6 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi dan Korban 1. Pasal 28, bahwa bentuk perlindungan saksi dan/atau korban yaitu perlindungan: A. Fisik; B.Non-fisik; C.Hukum Perlindungan Fisik Pasal 29 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf (a), meliputi: keamanan, pengawalan dan penempatan ditempat rumah aman; Perlindungan-non Fisik Pasal 30 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan non-fisik sebagaimana dimaksud Pasal 28 huruf (b), dengan mengadakan pelayanan jasa: Psikologi, dokter, psikiater, ahli spritual, rohaniawan, pekerja sosial dan penerjemah Perlindungan hukum Pasal 31 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pasal 28 huruf (c), diberikan dengan mengadakan: pelayanan jasa penasehat hukum, pendampingan terhadap saksi dan/atau korban pada saat memberikan keterangan atau kesaksiannya dalam proses peradilan pidana yang sedang dan telah dihadapi, memberikan surat rekomendasi Ketua LPSK disampaikan kepada pejabat yang berwenang menangani kasus atau perkaranya (memuat antara lain: saksi dalam memberikan keterangan atau kesaksiannya agar tidak mendaptkan tekanan, bebas dari pertanyaan yang menjerat), mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, medapatkan informasi mengenai putusan pengadilan dan mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan. Perlindungan Darurat 2). Berdasarkan Pasal 36, diatur mengenai Perlindungan darurat yakni: a).Dalam hal keadaan situasi dan kondisi tertentu terhadap saksi dan/atau korban, LPSK dapat melakukan perlindungan darurat; b). Perlindungan yang bersifat darurat sebagaimana di maksud pada ayat (1) melakukan tindakan pengamanan, pengawalan, menempatkan pada rumah aman, serta dapat memberikan perndampingan terhadap saksi dan/atau korban dalam pemeriksaan pada tingkat proses peradilan pidana; C). Ketentuan persyaratan baik formil maupun materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan 7 sementara dapat diabaikan 3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. A. Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan. penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 1 ). B. Ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan adalah segala bentuk perbuatan memaksa yang bertujuan menghalanghalangi atau mencegah seseorang, sehingga baik langsung atau tidak langsung; mengakibatkan orang tersebut tidak dapat memberikan keterangan yang benar untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 4). C. Bentuk Perlindungan: (Pasal 4). 1.perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental; 2. perahasiaan identitas korban atau saksi; 3. pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka, D. Pihak yang melakukan perlindungan adalah aparat penegak hukum dan aparat keamanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa: “Setiap korban atau saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh perlindungan dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan”. e. Jangka waktu perlindungan sejak pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan, sebagaimana di maksud dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa: “Perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan”. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat A. Korban adalah adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya (Pasal 1 angka 3) B. Korban atau ahli warisnya atas pelanggaran hak berat mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Pengertian kompensasi (Pasal 1 angka 4), Restitusi (Pasal 1 angka 5) dan Rehabilitasi (Pasal 1 angka 6) sama dengan dalam UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia di atas. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. A. Mendapatkan Kompensasi (Pasal 2) 1. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh kompensasi; 2. Permohonan untuk memperoleh kompensasi sebagaimana di maksud pada ayat (1) diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa; 3.Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bematerai cukup kepada pengadilan melalui LPSK. B. Mendapatkan Restitusi (Pasal 3) 1. Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi; 2. Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusu; 3. Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK B. PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI Tindak Pidana Terorisme: Pengertian secara ringkas tidak ditemukan dalam peraturan peundang-undangan Pengertian Tindak Pidana tersebar dalam beberapa pasal dan peraturan perundang-undangan Undang- undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang Pasal 1 angka 1: Tindak pidana terorisme adalah adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini. Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 7 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup Pasal 8 Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang: Pasal 8 a.menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; Pasal 8 c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru; d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru; Pasal 9 Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) Pasal 10 Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyekobyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10. Pasal 12 Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oketober 2002 Menjadi Undang-Undang Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan illegal yang diancam dengan hukuman dibawah hukum pidana yang dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan publik, memengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau menteror penduduk dan mengambil bentuk: 1. Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi hukum. 2. Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan objek materi lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain. 3. Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang membahayakan bagi masyarakat. 4. Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut. 5. Menyerang perwakilan negara asing atau staf anggota organisasi internasional yang dilindungi secara internasional begitu juga tempat-tempat bisnis atau kendaraan orang-orang yang dilindungi secara internasional. 6. Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris dibawah perundang-undangan nasional atau instrumen legal yang diakui secara internasional yang bertujuan memerangi terorisme. Black’s Law Dictionary Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, Amerika atau Negara Bagian Amerika dan jelas dimaksudkan untuk : (i) mengintimidasi penduduk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah; (iii) mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan. Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer bahwa Terorisme adalah Penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan menakutkan, terutama untuk tujuan Politik. Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Terorisme 1. Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang Pasal 36 (Kompensasi dan Restitusi) Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi. Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya. Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Pasal 37 (Rehabilitasi) b. Mendapatkan Rehabilitasi, Pasal 37 1). Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 2). Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan c. Pengajuan Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi, Pasal 38 1. Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri. 2. Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan. 3. Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri Kehakiman dan Hak Rentang waktu pengajuan kompensasi dan Restitusi, Pasal 39 Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) memberikan kompensasi dan/atau restitusi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan. e. Pelaksanaan Kompensasi dan Restitusi, Pasal 40 1) Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut. 2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/atau restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau ahli warisnya. 3) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan. 2. Undang-Undang Nomor 13 tentang Perlindungan Saksi dan Korban a. Mendapatkan bentuk perlindungan fisik, non-fisik dan hukum, sebagaimana terlihat dalam Pasal 5 ayat (1), Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; Memberikan keterangan tanpa tekanan; Mendapatkan penerjemah; Bebas dari pertanyaan yang menjerat; Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; Mendapat identitas baru; Mendapatkan kediaman baru; Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; Mendapat nasihat hukum; Memperoleh bantuan biaya hidup b. Mendapatkan perlindungan non-fisik berupa bantuan medis dan bantuan rehabitasi psiko sosial, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bahwa: “Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat selain berhak atas hak sebagaimana dimaksudd dalam pasal 5 ayat (1) juga berhak: 1. Bantuan medis; 2. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Rehabiitasi Psikososial: Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan bantuan rehabilitasi Psiko –sosial adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban. c. Melalui LPSK dapat mengajukan kompensasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 bahwa: “Korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berhak mengajukan ke pengadilan berupa: 1. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; 2.Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. d. Mendapatkan perlindungan keamanan memberikan keterangan tanpa hadir di persidangan, sebagaimana di maksud dalam Pasal 9 bahwa: 1. Saksi dan/atau korban yang berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa; 2. Saksi dan/atau korban dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut; 3. Saksi/dan atau korban dapat pula didengar kesaksiaannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan di dampingi oleh pejabat yang berwenang; e. Mendapatkan perlindungan hukum untuk tidak dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata, sebagaimana di maksud dalam Pasal 10 bahwa: Saksi, korban dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; 3) Ketentuan sebagaimana di maksud ayat (1) tidak berlaku terhadap saksi, korban dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. f. Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 6 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi dan Korban 1. Pasal 28, bahwa bentuk perlindungan saksi dan/atau korban yaitu perlindungan: A. Fisik; B.Non-fisik; C.Hukum Perlindungan Fisik Pasal 29 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf (a), meliputi: keamanan, pengawalan dan penempatan ditempat rumah aman; Perlindungan-non Fisik Pasal 30 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan non-fisik sebagaimana dimaksud Pasal 28 huruf (b), dengan mengadakan pelayanan jasa: Psikologi, dokter, psikiater, ahli spritual, rohaniawan, pekerja sosial dan penerjemah Perlindungan hukum Pasal 31 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pasal 28 huruf (c), diberikan dengan mengadakan: pelayanan jasa penasehat hukum, pendampingan terhadap saksi dan/atau korban pada saat memberikan keterangan atau kesaksiannya dalam proses peradilan pidana yang sedang dan telah dihadapi, memberikan surat rekomendasi Ketua LPSK disampaikan kepada pejabat yang berwenang menangani kasus atau perkaranya (memuat antara lain: saksi dalam memberikan keterangan atau kesaksiannya agar tidak mendaptkan tekanan, bebas dari pertanyaan yang menjerat), mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, medapatkan informasi mengenai putusan pengadilan dan mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan. Perlindungan Darurat 2). Berdasarkan Pasal 36, diatur mengenai Perlindungan darurat yakni: a).Dalam hal keadaan situasi dan kondisi tertentu terhadap saksi dan/atau korban, LPSK dapat melakukan perlindungan darurat; b). Perlindungan yang bersifat darurat sebagaimana di maksud pada ayat (1) melakukan tindakan pengamanan, pengawalan, menempatkan pada rumah aman, serta dapat memberikan perndampingan terhadap saksi dan/atau korban dalam pemeriksaan pada tingkat proses peradilan pidana; C). Ketentuan persyaratan baik formil maupun materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan 7 sementara dapat diabaikan B. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban A. Mendapatkan Kompensasi (Pasal 2) 1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh kompensasi; 2) Permohonan untuk memperoleh kompensasi sebagaimana di maksud pada ayat (1) diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa; 3) Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bematerai cukup kepada pengadilan melalui LPSK. B. Mendapatkan Restitusi (Pasal 3) Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi; 1. Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusu; 2. Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK Kelemahan-kelemahan Kelemahan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, jelas bahwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM yang berat hanyalah pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik saja. Sedangkan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Adapun sebenarnya Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui UU No. 11 Tahun 2005. Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang a. Tidak memberikan pengertian atau definisi mengenai korban tindak pidana terorisme; b. Tidak memberikan batasan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi; c. Tidak adanya sanksi bagi pelaku yang tidak mau menjalankan restitusi kepada korban; d.Tidak adanya peraturan pemerintah atau pelaksana yang khusus mengatur mengenai pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban tindak pidana terorisme. INTERNATIONAL TERRORISM AND ITS VICTIMS By Prof. Dr. Zvonimir Paul Separovic University of Zagreb, Croatia, Europe For the 6th Asian International Postgraduate Course "Victimology and Victim Assistance" August 1 to 12, 2005 in Tokiwa Daigaku, Mito, Japan SEPTEMBER 11, 2001 TWIN TOWERS, and PENTAGON - USA The triumph of modern time terrorism 5000 victims OCTOBER 12, 2002 Bali, Indonesia Bombs in the Night-Club 202 Victims NOVEMBER 15 and 20, 2003 Istambul, Turkey Four car-bombs, British Consulate, 61 Victims MARCH 11, 2004 Madrid, Spain TRAIN BOMBS 191 Victims SEPTEMBER 3, 2004, BESLAN, RUSSIA The triumph of barbarity 400 victims mostly schoolchildren JULY 7, 2005 LONDON, UK METRO 52 ? VICTIMS JULY 23, 2005 Sharm el-Sheikh, Egypt 88 victims IRAQ 25. 000 VICTIMS TERORIST ACTS IN RUSSIA Location Event Deaths 1995, June Budyennovsk, Russia Hospital hostage siege At least 130 1996, January Dagestan Hospital hostage siege 50-100 1996, January Trabzon, Turkish Black Sea Ferry hijack by proChechen Turks None 1999, September Moscow, Buynaksk and Volgodonsk Apartment block bombings Over 260 Location Event Deaths 2000, July Chechnya Russian security bases attacked by suicide bombers Over 50 2001, March Turkey Russian airliner hijacked to Saudi Arabia by Chechens 3 2002, October Moscow Theatre siege 170 2003, July Moscow Suicide bombing at open-air music festival 17 2003, August Mozdak, North Ossetia Military hospital suicide truck bombing 52 Location Event Deaths 2003, December Yessentuki, Train bombing 46 2003, December Moscow Suicide bomb 6 Russia 2004, February Moscow Metro train bomb 40 2004, May Grozny Bomb detonated, assassinating President Akhmad Kadyrov At least 5 2004, June Ingushetia Raids carried out by Chechen rebels At least 92 Location Event Deaths 2004, August Moscow/ Rostov-on-Don Two passenger planes crash, probably due to terrorist bombs 89 2004, August Moscow Suicide bombing near Metro station 10 2004, Semtember Beslan, North Ossetia School siege 330 confirmed 2005, July,7 London, UK Metro 2005, July, 23 Sharm el-Sheikh, Egypt Sources: Reuters; Keesing's; MIPT 52 ? 88 *including terrorists