Heru Susetyo May 2014 -rev - SOPHIE – Social Policy & Human

KEJAHATAN HAM BERAT
&
UU PENGADILAN HAM 2000
By : Heru Susetyo
Hukum dan Hak Asasi Manusia
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Mei 2014
KASUS LP CEBONGAN :
PELANGGARAN HAM ATAU BUKAN?
 Kementerian Pertahanan : “Kasus Cebongan bukan
Pelanggaran HAM, bukan subyek dari Peradilan Militer...”
 Romli Atmasasmita (Seputar Indonesia, 20 April 2013) :
...analisis saya atas peristiwa Cebongan adalah bukan
peristiwa pelanggaran HAM melainkan tindak pidana biasa
sehingga tidak memerlukan Pengadilan HAM...”
BENARKAH DEMIKIAN?
Apa itu Pelanggaran HAM?
 Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara
baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku (Pasal 1 UU No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia).
Apa itu pelanggaran
HAM berat?
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
 Berdasarkan Pasal 7 bahwa yang di
maksud dengan Pelanggaran hak
asasi manusia yang berat meliputi:
 A. kejahatan genosida;
 B. kejahatan terhadap kemanusiaan;
STATUTA ROMA 1998 (establishment of ICC)
 Article 5 (1), crimes within the jurisdiction of Court:
 “The jurisdiction of the Court shall be limited to the
most
serious crimes of concern to the international community as
a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this
Statute with respect to the following crimes”:
 a. The crime of genocide;
 b. Crimes against humanity;
 c. War crimes;
 d. The crime of aggresion
Kejahatan Internasional di Masa Awal
1. Crimes Against Peace
2. War Crimes
3. Crimes Against Humanity
Perkembangan kemudian :
4. Agresi
5. Penyiksaan (torture)
6. Terorisme
(Nasution, 2012)
Kejahatan terhadap Kemanusiaan
(Crimes Against Humanity)
(Cherif Bassiouni)
Adalah kejahatan yang dilakukan dalam
suatu skala yang besar-besaran terhadap
sekelompok orang-orang yang dapat
diidentifikasi.
(Nasution, 2012)
Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam Piagam International
Military Tribunal Nurnberg (IMT 1945)
Art. 6 huruf (c)
 Murder, extermination, enslavement, deportation,
and other humane acts committed against any
civilian population, before or during the war; or
persecutions on political, racial or religious grounds
in execution of or in connection with any crime
within the jurisdiction of the tribunal; whether or
not in violation of the domestic law of the
country…
Kejahatan terhadap Kemanusiaan
dalam Statuta ICTY pasal 5 huruf c
 The international Tribunal shall have the power to
prosecute persons responsible for the following
crimes when committed in armed conflict, whether
international or or internal in character; and
directed against any civilian population; : a.
Murder b. Extermination C. Enslavement d.
Deportation e. Imprinsonment f. Torture g. Rape h.
persecutions on political , racial and religious
grounds i. Other inhumane acts.
Perkembangan Pengadilan Pidana
Internasional
Pengadilan Pidana Internasional sebelum berdirinya
International Criminal Court – Statuta Roma 1998
1. International Military Tribunal (IMT) Nurenberg
2. International Military Tribunal for the Far East (IMTFE)
Tokyo
3. International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia
(ICTY)
4.
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)
5. Mixed/ Hybrid International Court :
a. Special Court for Sierra Leone
b. Extraordinary Chambers in the Court of Cambodia
c. Special Panels at Dili District Court
International Criminal Court (ICC); didirikan tahun 1998
dengan Statuta Roma dan mulai operasional pada tahun
2002 setelah diratifikasi 60 negara.
War Crime
(Black’s Law Dictionary)
War crime : conduct that violates international
law governing war. Examples of war crime are the
killing of hostages, abuse of civilians in occupied
territories, abuses of prisoners of war, and
devastation that is not justified by military necessity
Kategori Kejahatan yang Tergolong sebagai ‘Grave Breaches’
dalam Geneva Convention 1949
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Wilful killing;
Torture or any inhuman treatment,including biological
experiments;
Wilfully causing great suffering or serious injury to body or
health;
Extensive destruction and appropriation of property, not
justified by military necessity and carried out unlawfully and
wantonly;
Compelling a protected persons to serve in the forces of a
hostile power;
Wilfully depriving a protected person of the rights of fair and
regular trial prescribed in the Conventions;
Unlawful deportation or transfer of civilians;
Unlawful confinement of civilians
The taking of hostages
Jenis kejahatan berat sesuai dengan protokol tambahan ke I
(additional protocol I to Geneva Conventions)
 Making the civilian population the object of attack;
 Launching an indiscriminate attack or an attack against
works or installations containing dangerous forces in the
knowledge that such attack will cause excessive damage
to civilian objects in relation to the anticipated military
advantage;
 Making demilitarized zone or non-defended localities
the object of attack;
 Attacking a person who is hors de combat;
 The perfidious use of a protective emblem.
kejahatan-kejahatan berikut juga dapat dikategorikan sebagai
grave breaches
Ketika suatu kejahatan memenuhi unsur dengan sengaja (wilfully)
& memenuhi unsur pelanggaran terhadap Konvensi Geneva dan
Protokol Tambahan-nya :
 The transfer by the occupying power of its own population to the
territory it occupies, or the deportation or transfer of the population
of the occupied territory within or outside this territory;
 Unjustifiable delay in the repatriation of prisoners of war;
 Practices of apartheid and other degrading practices based on
racial discrimination;
 Attacking clearly recognized historic monuments, work of art or
places of worship which constitute the cultural or spiritual heritage
of people and to which special protection should be given.
Tiga Mekanisme Mengadili Pelanggaran
HAM Berat
(1) forum mekanisme pengadilan internasional baik yang
bersifat ad hoc maupun yang permanen.
(2) forum pengadilan nasional seperti di Indonesia
(Pengadilan HAM)
(3) sistem hybrid court atau internationalized of domestic
tribunals
DASAR HUKUM PENDIRIAN
5.
IMT Nuremberg
IMTFE Tokyo
ICTY
ICTR
Sierra Leone
6.
East Timor
1.
2.
3.
4.
London Agreement
Executive Order
UNSC Resolution
UNSC Resolution
UN and Local Govt
Agreement
UNTAET Regulation
YURISDIKSI NUREMBERG
 Crime Against Peace
 War Crime
 Crimes Against Humanity
 Genocide?
PUTUSAN DARI
IMT Nuremberg
 Peradilan berlangsung dari 14 Nopember 1945 sampai dengan 1 Oktober 1946
 pelaku2 lainnya telah diadili di kota-kota lainnya di Eropa dengan dakwaan
yang bervariasi oleh Pengadilan Militer lainnya. Mahkamah Nuremberg
hanya mengadili pelaku utama (major criminals) kejahatan perang dan
kemanusiaan,
 5000 anggota NAZI termasuk para prajurit dan penjaga kamp-kamp
konsentrasi telah diadili oleh Pengadilan Militer dengan dakwaan melakukan
kejahatan perang.
 semua organisasi di bawah NAZI dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
Berdasarkan Military Ordinance No. 69 tanggal 31 December 1946 pimpinan
organisasi-organisasi tersebut bertanggungjawab atas tindak pidana crimes
against peace, war crimes, dan crimes against humanity
Herman W. Goering
dipidana mati dan digantung
Rudolf Hess
dipidana penjara seumur hidup
Joachim V. Ribbenstrop
dipidana mati dengan digantung
Wilhelm Keitel
dipidana mati dengan digantung
Ernst Kaltenbrunner
dipidana mati dengan digantung
Alfred Rosenberg
dipidana mati dengan digantung
Hans Frank
dipidana mati dengan digantung
Wilhem Frick
dipidana mati dengan digantung
Julius Streicher
dipidana mati dengan digantung
Walther Funk
dipidana penjara seumur hidup
Karl Doenitz
dipidana penjara 10 tahun
Erich Raeder
dipidana penjara seumur hidup
Baldur von Van Schirach
dipidana penjara 20 tahun
Fritz Sauckel
dipidana mati dengan digantung
Alfred Jodle
dipidana mati dengan digantung
Arthur Seyss
dipidana mati dengan digantung
Albert Speer
dipidana mati 20 tahun
Konstantin Von Neurath
dipidana penjara 15 tahun
Martin Bormann
dipidana mati dengan digantung
Schacht, von Papen, dan Fritzsche
dibebaskan dari dakwaan.
Rudolf Hess
hukuman seumur hidup diubah
menjadi hukuman mati.
IMTFE Tokyo
 Dibentuk berdasarkan executive order dari Gen.
MacArthur
 Charter-nya hampir sama dgn IMT
 Yurisdiksi sama dengan IMT Nuremberg
 Dikritisi sebagai pengadilan politis
 Gen. MacArthur sangat menentukan ‘siapa’ yang harus
diadili dan ‘dimana’
IMTFE Tokyo
 Tidak mengadili Kaisar Hirohito selaku kepala negara
 Mengadili ‘major war criminals’ seperti : Araki (minister
of war), Hirota (Former Prime Minister), Oshima
(Ambassador to Germany)
 ‘War criminals’ lainnya diadili oleh military commissions
oleh US-UK-France-Australia-USSR
KLASIFIKASI PERADILAN DI IMTFE
 Selain IMTFE, Military Commission telah mengadili sekitar
5000 bekas militer Jepang dengan dakwaan melakukan
conventional war crimes. Para terdakwa dibagi atas 3 kelompok,
yaitu :
 Kelas A : didakwa melakukan ‘crimes against peace’ ,
termasuk disini ialah para pemimpin dan tokoh utama, yaitu
mereka yang merencanakan dan memimpin perang. Mereka
diadili oleh IMT di Tokyo.
 Kelas B dan C didakwa atas kejahatan perang biasa
(conventional war crimes); peradilan dilaksanakan oleh
military court lainnya, seperti US Navy Military Court yang
dikenal dengan military commission, yang melaksanakan
persidangan a.l. di pulau Kwajalein dan Guam. Mempunyai
jurisdiksi atas kepulauan Mariana, Marshall, dan Gilbert,
Palau, Bonin, dan Caroline. Pengadilan AL mempunyai
kewenangan untuk mengadili bekas anggota AL maupun
anggota AD Jepang.
IMTFE TokyoGen. Yamashita
 Gen. Yamashita diadili di Philipina oleh
US Military Commission dan dijatuhi
hukuman mati
 Yamashita adalah Komandan perang
Jepang terakhir di Philippine
 Kasus Yamashita menjadi yurisprudensi
(In Re Yamashita 1946 327 US 1) untuk
menjustifikasi US Military Commission
utk mengadili a.l. Taliban dan ‘Al
Qaeda’
PUTUSAN IMTFE Tokyo
 Persidangan Mei 1946 – Nov. 1948
 7 dipidana mati
 16 dipidana penjara seumur hidup
 2 dipidana penjara yang lebih ringan
 2 meninggal dunia dan 1 dinyatakan gila
ICTY (Int’l Criminal Tribunal for Yugoslavia)
 Dibentuk tahun 1993 dengan UNSC resolution No. 827
(1993) atas mandat Chapter VII UN Charter
 Situasi di Mantan Yugoslavia dianggap sebagai ‘threat
to international peace and security’
 Suatu mahkamah ad hoc untuk mengadili pelanggaran
serius terhadap hukum humaniter perlu dibentuk
 Memiliki Statuta ICTY
 Memiliki 16 hakim permanen
 Berkedudukan di The Hague
 Memiliki appeal chambers
YURISDIKSI ICTY
 Crimes against humanity
 War crimes
 Genocide
 Yang dilakukan di negara2 mantan Yugoslavia sejak tahun
1991
PUTUSAN ICTY
Situasi pada June 2004 :
 102 orang disidangkan
 35 kasus dituntaskan
 2 orang dibebaskan
 61 masih dalam penahanan
 20 sdh dikeluarkan arrest warrant
PUTUSAN DUSKO TADIC- jurisdiction
 The indictment by the prosecutor against Tadic and a co-
accused charged them with 132 counts involving grave
breaches of the Geneva Conventions, violations of the
laws or customs of war, and crimes against humanity.
The defence filed a motion challenging the jurisdiction of
ICTY. It disputed the legality of the establishment of the
ICT by the Security Council and challenged the tribunal’s
subject matter jurisdiction. The Trial Chamber dismissed
the motion. An interlocutory appeal was brought. Found
guilty of war crimes and crimes against humanity,
 Tadic was eventually sentenced to 20 years
PUTUSAN ERDEMOVIC- Duress
After the above survey of authorities in the different
systems of law and exploration of the various policy
considerations which we must bear in mind, we take the
view that duress cannot afford a complete defence to a
soldier charged with crimes against humanity or war
crimes in international law involving the taking of
innocent lives. We do so having regard to our mandated
obligation under the Statute to ensure that international
humanitarian law, which is concerned with the protection
of humankind, is not in any way undermined. In the
result, we do not consider the plea of the Appellant was
equivocal as duress does not afford a complete defence
in international law to a charge of a crime against
humanity or a war crime which involves the killing of
innocent human beings…
 ...
Putusan Krstic – Genocide & Command
Responsibility
 General Krstic participated in a joint criminal enterprise to kill
the military-aged Bosnian Muslim men of Srebrenica with the
awareness that such killings would lead to the annihilation of
the entire Bosnian Muslim community at Srebrenica. His intent
to kill the men thus amounts to a genocidal intent to destroy the
group in part. General Krstic did not conceive the plan to kill the
men, nor did he kill them personally. However, he fulfilled a key
co-ordinating role in the implementation of the killing campaign. In
particular, at a stage when his participation was clearly
indispensable, General Krstic exerted his authority as Drina Corps
Commander and arranged for men under his command to commit
killings. He thus was an essential participant in the genocidal
killings in the aftermath of the fall of Srebrenica. In sum, in view
of both his mens rea and actus reus, General Krstic must be
considered a principal perpetrator of these crimes.
ICTR (International Criminal Tribunal for
Rwanda)
 Dibentuk pad 1994 atas mandat UNSC Resolution No. 955 1994
 International tribunal yang berwenang utk menuntut kejahatan
genocide, crimes against humanity, dan war crimes pada ‘non
international conflict’
 Statuta hampir sama dgn ICTY, mempunyai supremasi terhadap
National courts
 Memiliki JPU dan Appeal Chamber yg sama dengan ICTY
 Berkedudukan di Arusha, Tanzania
YURISDIKSI ICTR
 Hampir sama dengan ICTY
 Untuk kejahatan yang berlangsung sejak 1 Jan – 31 Des
1994 di Rwanda dan negara tetangga yg dilakukan oleh
Warganegara Rwanda
 Mendefinisikan Crimes Against Humanity agak berbeda :
 Art.3. “The International tribunal for Rwanda shall have the power to
prosecute persons responsible for the following crimes when committed as
part of a widespread or systematic attack against any civilian population
on national, politic, ethnic, racial, or religious ground.”
PUTUSAN ICTR
 1 dakwaan thd 8 org pada 28 Nov. 95
 Lebih dari 70 org telah didakwa
 18 dihukum, termasuk PM Jean Kambanda
 3 dibebaskan
 14 menteri yg menjabat pd 1994 dalam penahanan
 12 proses banding (appeal)
 8 masih dlm persidangan dgn 20 terdakwa
 6 menjalani hukuman penjara di Mali dan negara Lain
PUTUSAN ICTR
 17 June 2004
Sylvestre Gacumbitsi, mantan Walikota Rwanda divonis
30 tahun penjara atas kejahatan genocide, extermination,
dan rape, juga pembantaian terhadap 500.000 etnis
minoritas Tutsi
PUTUSAN ICTR -Akayesu
 Dakwaan terhadap Akayesu, seorang warga Hutu
adalah atas kejahatan genocide, crimes against humanity
dan pelanggaran terhadap common article 3 dari
Geneva Conventions yang dapat dipidana berdasarkan
pasal 2 – 4 dari Statuta ICTR.
 Semua perbuatan tersebut diduga dilakukan pada
tahun 1994.
 Negara Rwanda dibagi menjadi 11 prefektur yang
dibagi lagi menjadi beberapa komunitas yang dipimpin
oleh seorang bourgmestres. Akayesu adalah seorang
Bourgmestres pada komunitas Taba sejak April 1993
hingga Juni 1994. Dia dituduh telah menyalahgunakan
jabatannya untuk mengambil keputusan publik terkait
pembantaian etnis Tutsi, termasuk menyalahgunakan
angkatan kepolisian.
DAKWAAN TERHADAP AKAYESU
 15 dakwaan; beberapa contoh :
(1) At least 2000 Tutsis were killed in Taba from April to June 1994. Killings
were so open and widespread that the defendant ‘must have have known
about them’, but despite his authority and responsibility, he never attempted to
prevent the kiliings.
(2) Hundreds of displaced Tutsi civilians sought refuge at the bureau
communal. Females among them were regulary taken by the armed local
militia and subjected to sexual violence, including multiple rapes. Civilians were
frequently murdered on or near the communal premises. Akeyesu knew of
these events and at times was present during their commisions. That presence
and his failure to attempt to prevent ‘encouraged these activities.’
(3) at meetings, Akayesu urged those present to kill accomplices of
Tutsis, and on one occasion named three Tutsis who had to be
killed. Two killing soon followed
(4) Akayesu ordered and participated in the killing of three brothers,
and took eight detained men from the bureau communal and
ordered militia members to killl them
(5) He ordered local people to kill intellectual and influential
people. On his instructions, five secondary school teachers were
killed.
 Setelah persidangan selama 43 hari yang
menghadirkan 28 saksi dari pihak jaksa dan 13 dari
pihak pembela, pengadilan memutuskan Akayesu
bersalah telah melakukan : several counts of genocide,
of direct and public incitement to commit genocide, and of
several crimes against humanity (extermination, murder,
torture, rape, and other inhumane acts).
Pengadilan Pelanggaran HAM Berat > Nurnberg
Tribunal & Tokyo Tribunal WW II
Holocaust & Japan atrocities WW II
ICTY dan ICTR – Tribunal > Former
Yugoslavia (1992 – 1996) & Rwanda 1994
Hybrid Tribunal : Cambodia & Sierra Leone
Contoh Kasus ‘Kejahatan HAM Berat’
 Tanjung Priok 12 September 1984
 Talangsari Lampung, Februari 1989
 DOM di Aceh 1989 – 1998
 Kekerasan di East Timor 1976 – 2000
 Tragedi Haur Koneng, Majalengka 1993
 Tragedi Waduk Nipah Sampang, 1994
 Peristiwa 27 Juli 1996
 Kekerasan pada Peristiwa Mei 1998
 Tragedi Semanggi I dan II 1999
 Kasus Abepura 2000
 Konflik SARA di Sanggau Ledo 1996 – 1997
 Konflk SARA di Sambas 1999
 Konflik SARA di Poso 1998 –
 Konflik SARA di Maluku dan Maluku Utara 1999 Kasus Ninja dan dukun santet di Jawa Timur 1999
 Dan lain-lain
Kasus-kasus yang dituntut masyarakat
untuk dibawa ke Pengadilan HAM
1. Kasus Trisakti 12 Mei 2008
2. Kasus Semanggi I 13 November 1998
3. Kasus Semanggi II 22 – 24 September 1999
4. Kasus Tanjung Priok 12 – 13 September 1984
5. Kasus DOM di Aceh 1989 – 1999
6. Kasus pelanggaran HAM berat di Timor Leste dalam
wilayah hukum Liquica, Dili dan Suai
7. Kasus 1965
Beberapa Istilah dalam Pengadilan untuk Kejahatan
HAM/ Kejahatan terhadap Kemanusiaan
 Gross violation of human rights
 Grave breaches of human rights
 Extraordinary crimes
 International crimes
 Transnational crimes
Transnational Crimes
 Human trafficking
 People smuggling
 Smuggling/ trafficking of goods (arms trafficking and
drug trafficking)
 Sex slavery
 Corruption & Money laundering
 Terrorism
TERORISME = PELANGGARAN HAM BERAT = Extra
Ordinary Crimes?
 Bom di rumah Dubes Philipina
 Rangkaian bom di 18 kota di Indonesia pada malam natal





tahun 2000
Bom Bali I 12 Oktober 2002
Bom J.W. Marriot 5 Agustus 2003
Bom J.W. Marriot II & Ritz Carlton
Bom Kedubes Australia 9 September 2004
Bom Bali II 1 Oktober 2005
Apa itu terorisme?
Pasal 6 Perpu No. 1 tahun 2002
 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan
 menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal
 dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan
harta benda orang lain
 atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyekobyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik
atau fasilitas internasional
TINDAK PIDANA TERORISME
 Pasal 8
 setiap orang yang:
 menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau
merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara
atau menggagalkan usaha untuk pengamanan
bangunan tersebut;
 dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan
atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara
yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;
Tindak Pidana Terorisme (2)
Pasal 10
 setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia,
senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau
komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa
takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang
bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi
kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang,
atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas
internasional.
Tindak Pidana Terorisme (3)
Pasal 11
 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang
yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan
dana dengan tujuan akan digunakan atau patut
diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya
untuk melakukan tindak pidana terorisme
Tindak Pidana Terorisme (4)
 tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki,
menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir,
senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme,
radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat
mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan
kerusakan harta benda;
 mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata
biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya
;
 penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir,
senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme,
radioaktif atau komponennya;
PELANGGARAN HAM
BERAT?
TANJUNG PRIOK 1984
Peristiwa Talangsari Lampung 1989
KONFLIK HORIZONTAL :
Poso, Maluku dan Maluku Utara
SAMBAS & SANGGAU LEDO
Peristiwa Sanggau
Ledo : 1996 – 1997
Peristiwa Sambas :
1999
Peristiwa Sampit :
2001
EAST TIMOR (Timor Leste)
VIOLENCE
PENGERTIAN
 Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah
pengadilan khusus terhadap
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
Berat
DASAR HUKUM
PENGADILAN HAM INDONESIA
Pasal 104 UU No. 39 tahun 1999 tentang
HAM :
(1) Untuk mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi
Manusia di lingkungan Peradilan Umum


UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM
 Dalam UU No. 26 tahun 2000 tidak terdapat ketentuan
tentang cara pembentukan Pengadilan HAM, yang ada
adalah cara pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, yaitu
dengan Keputusan Presiden seperti tercantum dalam pasal
43 ayat (2).
 Di dalam praktek menunjukkan bahwa cara pembentukan
Pengadilan HAM dilakukan dengan Keppres, misalnya
Keppres No. 31 tahun 2001 tentang Pembentukan
Pengadilan HAM pada PN Jakpus, PN Surabaya, PN
Medan dan PN Makassar.
(R. Wiyono, 2006 : 11)
APAKAH YURISDIKSI
UU NO. 26 TAHUN 200O
TENTANG PENGADILAN HAM?
 CRIME AGAINST HUMANITY?
 WAR CRIMES?
 VIOLATION TO GENEVA CONVENTION 1949?
 GENOCIDE?
 CRIME AGAINST PEACE/ AGRESSION?
 TERRORISM
Yurisdiksi Pengadilan HAM
1. Material Jurisdiction (rationae materiae) > jenis
pelanggaran berat yang bisa diadili pengadilan HAM
meliputi Kejahatan Genosida dan Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan.
2. Temporal jurisdiction (rationae temporis)> berlakunya
UU No. 26 tahun 2000 adalah sejak diundangundangkan per 23 November 2000. Meskipun demikian
pasal 43 (1) memperkenankan penyelenggaraan
Pengadilan HAM Ad Hoc untuk perkara2 sebelum UU ini
lahir.
Yurisdiksi Pengadilan HAM (2)
3. Personal Jurisdiction (rationae personae); pengadian
HAM ditujukan kepada individu (yang berusia di atas
18 tahun).
4. Territorial Jurisdiction (rationae loci); pemberlakuan
asas teritorial dan nasionalitas aktif.
(Harifin Tumpa, et.al, 2010)
Pelanggaran HAM Berat
 Pelanggaran HAM Berat merupakan extra
ordinary crimes dan berdampak secara luas baik
pada tingkat nasional maupun internasional dan
bukan merupakan tindak pidana yang diatur
dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik
materiil maupun immateriil yang mengakibatkan
perasaan tidak aman, baik terhadap
perseorangan maupun masyarakat…
(R. Wiyono, 2006 : 11)
Extra Ordinary Crimes
dan Asas Retroaktif
 UU Pengadilan HAM berlaku surut atau retroaktif
 Pelanggaran HAM Berat mempunyai sifat khusus dan
digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime) sehingga berlaku asas retroaktif
(menyimpang dari asas legalitas dalam kejahatan
biasa)
 Menyimpangi asas non retroaktif dalam Pasal 28 UUD
45
Perlawanan terhadap Asas Retroaktif
 Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 26 tahun
2000 pernah di-ujimaterilkan oleh mantan
Gubernur Timtim Abilio Jose Soares ke
Mahkamah Konstitusi (MK) namun mayoritas
Hakim MK berpendapat bahwa asas retroaktif
bisa dijalankan terhadap kasus-kasus kejahatan
paling serius (extraordinary crime) yang menjadi
perhatian masyarakat internasional (vide
Putusan MKRI No. 065/ PUU-II/2004).
Kekhususan Pengadilan HAM
 Terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat
diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan yang bersifat khusus :
1.Diperlukan penyelidikan dengan membentuk tim ad hoc,
penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc.
2. Penyelidikan hanya dilakukan KOMNAS HAM, sedangkan
penyidik tidak berwenang menerima laporan ataupun
pengaduan.
3. Diperlukan ketentuan untuk tenggang waktu
tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di pengadilan.
4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan
korban dan saksi.
5. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak
ada kadaluwarsa bagi pelanggaran HAM yang
berat.
(R. Wiyono, 2006 : 11 – 12)
Tidak ada Perkecualian bagi Militer
Note :
Hukum Acara Peradilan Militer
sebagaimana termaktub dalam UU
No. 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer tidak berlaku
untuk Pengadilan HAM.
Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc
 Sebelum putusan MK No. 18/ PUU-V/2007, pengaturan
kasus-kasus kategori ‘masa lalu’ haruslah ditempuh
melalui DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden, khususnya atas dugaan
‘pelanggaran HAM yang berat’.
 Kontrol kekuasaan non yudisial melalui DPR dan Keppres
begitu kuat.
 Namun setelah putusan tersebut, tidak lagi memerlukan
‘persetujuan politik’ DPR dalam mengupayakan
penyelidikan KOMNAS HAM dan penyidikan
Kejaksaaan Agung (Wiratraman, 2008).
Proses Perkara
 Laporan
 Penyidik KPP HAM
 Penyidik Kejaksaan Agung
 Pembahasan DPR
 Keppres
Penuntut Umum
Pengadilan
HAM ad hoc
YURISDIKSI PENGADILAN
HAM RI
Pasal 4 UU No. 26 tahun 2000 :
Memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat
Pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 :
Pelanggaran HAM berat meliputi :
a. Kejahatan Genosida
b. Kejahatan Kepada Kemanusiaan
Perbandingan dengan
International Criminal Court
(Rome Statute 1998)
Article 5
1.
The jurisdiction of the Court shall be limited to the
most serious crimes of concern to the international
community as a whole. The Court has jurisdiction in
accordance with this Statute with respect to the following
crimes:
(a) The crime of genocide;
(b) Crimes against humanity;
(c) War crimes;
(d) The crime of aggression.
Genocide dalam Rome Statute 1998
Article 6
Genocide
"genocide" means any of the following acts committed with intent to
destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious
group, as such:
(a) Killing members of the group;
(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the
group;
(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life
calculated to bring about its physical destruction in whole or in
part;
(d) Imposing measures intended to prevent births within the
group;
(e) Forcibly transferring children of the group to another group.
Crime Against Humanity
dalam Rome Statute 1998
Article 7
 1.
For the purpose of this Statute, "crime against humanity"
means any of the following acts when committed as part of a
widespread or systematic attack directed against any civilian
population, with knowledge of the attack:
(a) Murder;
(b) Extermination;
(c) Enslavement;
(d) Deportation or forcible transfer of population;
(e) Imprisonment or other severe deprivation of physical liberty
in violation of fundamental rules of international law;
(f) Torture;
Crime Against Humanity
dalam Rome Statute 1998 (2)
(g) Rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced pregnancy,
enforced sterilization, or any other form of sexual violence of
comparable gravity;
(h) Persecution against any identifiable group or collectivity on
political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as
defined in paragraph 3, or other grounds that are universally
recognized as impermissible under international law, in connection
with any act referred to in this paragraph or any crime within the
jurisdiction of the Court;
(i) Enforced disappearance of persons;
(j) The crime of apartheid;
(k) Other inhumane acts of a similar character intentionally
causing great suffering, or serious injury to body or to mental or
physical health.
KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN
Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah
satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematik
(widespread and systematic attack) yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil,
berupa :
Kejahatan terhadap Kemanusiaan (2)
(a) pembunuhan
(b) pemusnahan
(c) Perbudakan
(d) pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa
(e) perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik lain
Kejahatan terhadap Kemanusiaan (3)
(f) penyiksaan
(g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran
paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan,
dan lain-lain
(h) penganiayaan terhadap suatu kelompok
tertentu
(i) Penghilangan orang secara paksa
(j) Kejahatan apartheid
WIDESPREAD AND SYSTEMATIC ATTACK
 Yang dimaksud dengan “serangan yang
ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil” adalah suatu rangkaian
perbuatan yang dilakukan terhadap
penduduk sipil sebagai kelanjutan
kebijakan penguasa atau kebijakan yang
berhubungan dengan organisasi
(Munarman, 2005)
Pengertian ‘meluas’
 Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakpus 14 Agustus
2002 No. 01/PID.HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT.PST :
‘meluas’ karena pada peristiwa-peristiwa yang
didakwakan terbukti terjadi pembunuhan secara besarbesaran, berulang-ulang dalam skala yang besar, yang
dilakukan secara kolektif dengan akibat yang sangat
serius berupa jumlah korban nyawa yang besar.
 Sedangkan pengertian ‘sistematik’ vide Putusan
Pengadilan HAM Ad Hoc tanggal 14 August 2002 tsb
adalah :
1. Adanya tujuan politik;
2. Melakukan tindak pidana dengan skala yang besar
terhadap suatu kelompok penduduk sipil atau berulangulang atau terus menerusnya tindakan tidak manusiawi
yang saling berhubungan antara yang satu dengan
yang lainnya.
3. Adanya persiapan dan penggunaan yang
signifikan dari milik atau fasilitas publik
atau perorangan.
4. Adanya implikasi politik tingkat tinggi
atau otoritas militer dalam mengartikan
atau mewujudkan rencana yang
metodologis.
KEJAHATAN GENOSIDA (GENOCIDE) (pasal 8
UU No. 26 tahun 2000)
Kejahatan genosida (genocide) adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama, dengan cara :
KEJAHATAN GENOSIDA (GENOCIDE)
(pasal 8)
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Membunuh anggota kelompok
mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat kepada
anggota-anggota kelompok.
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau
sebagiannya.
Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok;
Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu
ke kelompok lain
BEBERAPA KATA KUNCI DALAM MENGKAJI
PELANGGARAN BERAT HAM
 Command responsibility
 Widespread and systematic Attack
 Superior authority
 Failure to act
 Under duress
 International crimes
 Universal jurisdiction?
 Pasal 9
PENGADILAN MILITER
 Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer




berwenang:
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana
adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan
dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau
yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit
berdasarkan undang-undang;
 d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a,
huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima
dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh
suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
 2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Angkatan Bersenjata.
 3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam
perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari
pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan
oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan
sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu
putusan.
 Pasal 10
 Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili
tindak pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang:
 a. tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau
 b. terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di
daerah hukumnya.
HUKUM ACARA PENGADILAN
HAM
(UU No. 26 tahun 2000)
Hukum Acara
 Pasal 10 UU No. 26 tahun 2000 :
Dalam hal tidak ditentukan lain dalam UU No. 26 tahun
2000, hukum acara atas perkara pelanggaran HAM yang
berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara
pidana (hukum acara pidana yang berlaku untuk
pengadilan di lingkungan Peradilan Umum).
Penyelidikan > Dilakukan oleh
KOMNAS HAM
Penyidikan> Dilakukan oleh Jaksa
Agung
JENIS
PENGADILAN HAM
(Munarman, 2005)
AD HOC
SEBELUM
UU NO 26 TAHUN 2000
(24 NOV 2000)
REGULER
SETELAH
UU NO 26 TAHUN 2000
PERTANGGUNGJAWABAN
PELANGGARAN HAM (Munarman, 2005)
STATE
RESPONSIBILITY
(Pertanggungjawaban
Negara
PERISTIWA
PELANGGARAN
HAM
TINDAKAN
PENGHUKUMAN
THD PELAKU
INDIVIDUAL
RESPONSIBILITY
(Pertanggungjawaban
Individu)
LINGKUP KEWENANGAN
PERADILAN HAM
BAB III PSL. 4 – 6 (Munarman, 2005)
PELANGGARAN HAM BERAT
(GROSS VIOLATION OF HUMAN RIGHTS)
GENOCIDE
CRIMES AGAINST HUMANITY
TERITORIAL
NASIONALITAS AKTIF
TIDAK BERLAKU BAGI PELAKU YG BERUMUR DIBAWAH 18 TAHUN
GENOCIDE
BY COMMISSION
CRIMES
AGAINST
HUMANITY
BY OMMISSSION
DELIK-DELIK
PELANGGARAN HAM BERAT
(Munarman, 2005)
DELICT BY COMMISSION
(PASAL 8 DAN 9 UU NO 26 TAHUN 2000)
DELICT BY OMMISSION
(PASAL 42 UU NO 26 TAHUN 2000)
DELICT BY OMMISSION
Unsur Pasal 42 UU No. 26 tahun 2000:
 Command responsibility
 Aware/ should aware
 Failure to act
 Ignoring the information
DELICT BY OMMISSION
(PEMBIARAN)
Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai
komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana
yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh
pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif,
atau dibawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak
pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan
secara patut, yaitu:
a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar
keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang
melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat; dan
b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang
layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada
pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan.
Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung
jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang
berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang
efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian
terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni:
a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan
informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan
sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat;dan
b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan
diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk
mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang
untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Superior responsibility
 Pada putusan MA RI tanggal 4 Nov 2004 No. 45/ 2004
disebutkan dalam pertimbangan hukumnya bahwa
‘pertanggungjawaban atasan’/ superior responsibility
adalah (merujuk pada ICTR dan ICTY) :
1. Adanya otoritas, baik de jure maupun de facto serta
hubungan atasan dan bawahan yang berada dalam
pengendalian yang efektif.
2. Atasan mengetahui bahwa bawahannya akan atau
sedang melakukan pelanggaran kejahatan yang
dilarang oleh hukum internasional.
Superior responsibility (2)
3. Atasan gagal mencegah atau
menghentikan atau menghukum
bawahannya tersebut
Sidang Pleno untuk
Membantu KPP HAM
Atau kasus didrop
Korban berhak
Pra-peradilan
Tim penyidik
memutuskan
Sidang memutuskan
Pelaku bersalah
Banding
Peraturan Pemerintah
No.2/2003
Bebas
PENANGKAPAN
 KEWENANGAN PENANGKAPAN HANYA PADA JAKSA
AGUNG
 JANGKA WAKTU PENANGKAPAN HANYA UNTUK
PALING LAMA 1 HARI
PENAHANAN
(Munarman, 2005)
 TINGKAT PENYIDIKAN
90 HARI
JAKSA AGUNG
90 HARI
Ka. Pengdl. HAM
60 HARI
Ka. Pengdl. HAM
PENAHANAN
(Munarman, 2005)
 TINGKAT PENUNTUTAN
30 HARI
JAKSA AGUNG
20 HARI
Ka.Pengdl.HAM
20 HARI
Ka.Pengdl.HAM
PENAHANAN
(Munarman, 2005)
 TINGKAT PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN TK.PERTAMA
90 HARI
Ka.Pengdl.HAM
30 HARI
Ka.Pengdl.HAM
PENAHANAN
(Munarman, 2005)
 TINGKAT PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN TK.
BANDING & KASASI
60 HARI
Ka.P.T
30 HARI
Ka.P.T
60 HARI
30 HARI
Ka.M.A
Ka.M.A
PENYELIDIKAN
 PENYELIDIK ADALAH KOMNAS HAM
 KOMNAS DAPAT MEMBENTUK TIM AD HOC
 PENYELIDIK MEMBERITAHUKAN KEPADA PENYIDIK
DIMULAINYA PENYELIDIKAN
 KESIMPULAN PENYELIDIKAN DISAMPAIKAN KEPADA
PENYIDIK, 7 HARI SETELAHNYA MENYERAHKAN
SELURUH HASIL PENYELIDIKAN
 APABILA DIKEMBALIKAN OLEH PENYIDIK, DALAM 30
HARI SEJAK DIKEMBALIKAN PENYELIDIK WAJIB
MELENGKAPI KEKURANGAN TERSEBUT
Penyidikan & Penuntutan
 Dilakukan Jaksa Agung
 Jaksa Agung dapat membentuk tim ad hoc utk
penyidikan
 Max 90 hr & dpt diperpanjang 90 hr + 60 hr
Proses Pengadilan
Hakim:
 Majelis Hakim 5 Orang:


2 hakim karir
3 hakim non-karir
 Diangkat & diberhentikan oleh Presiden atas usulan Ketua
MA
 Masa jabatan 5 tahun dan dapat diangkat kembali
Acara Pemeriksaan
 Maximum 180 hari
 Banding di PT 90 hari oleh majelis hakim 5 org (2 karir
& 3 non-karir)
 Kasasi di MA 90 hr majelis hakim 5 org (2 karir & 3
non-karir)
Perlindungan Hukum terhadap Korban
Pelanggaran HAM Berat
1. Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia
A. Mendapatkan perlindungan fisik dan mental dari ancaman,
gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
 Pasal 34 ayat (1), bahwa “Setiap korban dan saksi dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror,
dan kekerasan dari pihak manapun”;
B. Mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
(termasuk ahi warisnya)
 Pasal 35 ayat (1), bahwa “Setiap korban dan saksi
dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan
atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi”
Restitusi
 Dimaksud Restitusi, berdasarkan Penjelasan Pasal 35 (3)
adalah “ganti kerugian yang diberikan kepada korban
atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga dapat
berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti
kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu”;
Kompensasi:
 Dimaksud kompensasi, berdasarkan Penjelasan Pasal 35
(1) adalah “ganti kerugian yang diberikan oleh negara
karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian
sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya”;
Rehabilitasi:
 Dimaksud dengan Rehabilitasi, berdasarkan Penjelasan
pasal 35 (3) adalah "rehabilitasi" adalah, pemulihan
pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama
baik, jabatan, atau hak-hak lain.
2. Undang-Undang Nomor 13 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban
a. Mendapatkan bentuk perlindungan fisik, non-fisik dan
hukum, sebagaimana terlihat dalam Pasal 5 ayat (1),
 Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,




keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari
ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya;
Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
Memberikan keterangan tanpa tekanan;
Mendapatkan penerjemah;
Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
 Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
 Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
 Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
 Mendapat identitas baru;
 Mendapatkan kediaman baru;
 Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai
dengan kebutuhan;
 Mendapat nasihat hukum;
 Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai
batas waktu tertentu.
b. Mendapatkan perlindungan non-fisik berupa bantuan
medis dan bantuan rehabitasi psiko sosial,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bahwa:
 “Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang
berat selain berhak atas hak sebagaimana dimaksudd
dalam pasal 5 ayat (1) juga berhak:
 1. Bantuan medis;
 2. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Rehabilitasi Psikososial:
 Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan bantuan
rehabilitasi Psiko –sosial adalah bantuan yang diberikan
oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma
atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan
kembali kondisi kejiwaan korban.
c. Melalui LPSK dapat mengajukan kompensasi,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 bahwa:
 “Korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) berhak mengajukan ke pengadilan
berupa:
1. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak
asasi manusia yang berat;
2.Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi
tanggung jawab pelaku tindak pidana.
d. Mendapatkan perlindungan keamanan memberikan keterangan
tanpa hadir di persidangan, sebagaimana di maksud dalam Pasal 9
bahwa:
1. Saksi dan/atau korban yang berada dalam ancaman yang sangat
besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa
hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang
diperiksa;
2. Saksi dan/atau korban dapat memberikan kesaksiannya secara
tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan
membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat
tentang kesaksian tersebut;
3. Saksi/dan atau korban dapat pula didengar kesaksiaannya secara
langsung melalui sarana elektronik dengan di dampingi oleh pejabat
yang berwenang;
e. Mendapatkan perlindungan hukum untuk tidak dituntut
secara hukum baik pidana maupun perdata, sebagaimana di
maksud dalam Pasal 10 bahwa:
 Saksi, korban dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara
hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
 3) Ketentuan sebagaimana di maksud ayat (1) tidak berlaku
terhadap saksi, korban dan pelapor yang memberikan
keterangan tidak dengan itikad baik.
f. Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Nomor 6 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian
Perlindungan Saksi dan Korban
1. Pasal 28, bahwa bentuk perlindungan saksi dan/atau
korban yaitu perlindungan:
 A. Fisik;
 B.Non-fisik;
 C.Hukum
Perlindungan Fisik
 Pasal 29 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan fisik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf (a),
meliputi: keamanan, pengawalan dan penempatan
ditempat rumah aman;
Perlindungan-non Fisik
 Pasal 30 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan non-fisik
sebagaimana dimaksud Pasal 28 huruf (b), dengan
mengadakan pelayanan jasa: Psikologi, dokter, psikiater,
ahli spritual, rohaniawan, pekerja sosial dan penerjemah
Perlindungan hukum
 Pasal 31 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan hukum sebagaimana
dimaksud pasal 28 huruf (c), diberikan dengan mengadakan:
pelayanan jasa penasehat hukum, pendampingan terhadap saksi
dan/atau korban pada saat memberikan keterangan atau
kesaksiannya dalam proses peradilan pidana yang sedang dan
telah dihadapi, memberikan surat rekomendasi Ketua LPSK
disampaikan kepada pejabat yang berwenang menangani kasus
atau perkaranya (memuat antara lain: saksi dalam memberikan
keterangan atau kesaksiannya agar tidak mendaptkan tekanan,
bebas dari pertanyaan yang menjerat), mendapat informasi
mengenai perkembangan kasus, medapatkan informasi mengenai
putusan pengadilan dan mengetahui dalam hal terpidana di
bebaskan.
Perlindungan Darurat
2). Berdasarkan Pasal 36, diatur mengenai Perlindungan darurat yakni:
 a).Dalam hal keadaan situasi dan kondisi tertentu terhadap saksi
dan/atau korban, LPSK dapat melakukan perlindungan darurat;
b). Perlindungan yang bersifat darurat sebagaimana di maksud pada
ayat (1) melakukan tindakan pengamanan, pengawalan,
menempatkan pada rumah aman, serta dapat memberikan
perndampingan terhadap saksi dan/atau korban dalam
pemeriksaan pada tingkat proses peradilan pidana;
 C). Ketentuan persyaratan baik formil maupun materiil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dan 7 sementara dapat diabaikan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata
cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
 A. Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat
keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun
mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan,
teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan
pada tahap penyelidikan. penyidikan, penuntutan, dan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 1 ).
 B. Ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan adalah
segala bentuk perbuatan memaksa yang bertujuan
menghalang-halangi atau mencegah seseorang, sehingga
baik langsung atau tidak langsung; mengakibatkan orang
tersebut tidak dapat memberikan keterangan yang benar
untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 1
angka 4).
C. Bentuk Perlindungan: (Pasal 4).
 1.perlindungan atas keamanan pribadi korban
atau saksi dari ancaman fisik dan mental;
 2. perahasiaan identitas korban atau saksi;
 3. pemberian keterangan pada saat
pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa
bertatap muka dengan tersangka,
 D. Pihak yang melakukan perlindungan adalah
aparat penegak hukum dan aparat keamanan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
bahwa:
 “Setiap korban atau saksi dalam pelanggaran
hak asasi manusia yang berat berhak
memperoleh perlindungan dari aparat
penegak hukum dan aparat keamanan”.
 e.
Jangka waktu perlindungan sejak pada tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan/atau
pemeriksaan di sidang pengadilan, sebagaimana di
maksud dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa:
 “Perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat
keamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberikan sejak tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan”.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Kompensasi, Restitusi dan Rehabitasi terhadap Korban
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
 A. Korban adalah adalah orang perseorangan atau
kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik,
mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau
mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan
hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli
warisnya (Pasal 1 angka 3)
 B.
Korban atau ahli warisnya atas
pelanggaran
hak
berat
mendapatkan
kompensasi,
restitusi
dan
rehabilitasi.
Pengertian kompensasi (Pasal 1 angka 4),
Restitusi (Pasal 1 angka 5) dan Rehabilitasi
(Pasal 1 angka 6) sama dengan dalam UU
Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia di atas.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
 A. Mendapatkan Kompensasi (Pasal 2)
 1. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
berhak memperoleh kompensasi;
 2. Permohonan untuk memperoleh kompensasi sebagaimana
di maksud pada ayat (1) diajukan oleh korban, keluarga,
atau kuasanya dengan surat kuasa;
 3.Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia di atas kertas bematerai cukup kepada
pengadilan melalui LPSK.
 B. Mendapatkan Restitusi (Pasal 3)
 1. Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi;
 2. Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, Keluarga,
atau kuasanya dengan surat kuasa khusus;
 3. Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis bahasa
Indonesia di atas kertas bermaterai cukup kepada
pengadilan melalui LPSK
Ketentuan Pidana
 Genosida: 10 (min)-25 th (max), seumur hidup,
mati.
 KTK: 10 (min)-25 th (max), seumur hidup, mati; utk;
pembunuhan, pemusnahan, deportasi, perampasan
kemerdekaan, apartheid
 KTK: 5 (min)-15 (max) utk perbudakan, penyiksaan
 KTK: 10 – 20 th utk perkosaan & kejahatan
seksual, penganiayaan / persekusi, penghilangan
orang
 Percobaan / Permufakatan / Pembantuan: Sama
Pengadilan HAM Ad Hoc
 Untuk Peristiwa sebelum UU 26 berlaku
 Dibentuk dgn Keppres atas usul DPR
 Berada di lingkungan Pengadilan Umum
LOKASI PENGADILAN HAM
 Jakarta Pusat
: DKI Jkt, Jabar, Banten, Sumsel,
Lampung, Bengkulu, Kalbar, Kalteng
 Surabaya
: Jatim, Jateng, DIY, Bali, Kalsel, Kaltim,
NTB, NTT
 Makasar
: Sulsel, Sultra, Sulteng, Sulut, Maluku,
Maluku Utara, Irja
 Medan
: Sumut, Aceh, Riau, Jambi, Sumbar
Keppres RI No. 53 tahun 2001
Pengadilan HAM berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor
Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dili dan Suai
pada bulan April 1999 dan bulan September 1999
dan yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan
September 1984
Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat
Putusan Kasus Timor Timur (1)
Terdakwa
Keputusan
Abilio Soares (mantan Gubernur Timtim)
Divonis 3 tahun di PN
Dikuatkan di tingkat PT
MA menolak kasasi-nya
MA mengabulkan PK-nya (ada novum)
Timbul Silaen (mantan Kapolda Timtim)
Bebas, Jaksa mengajukan Kasasi
namun tidak dapat diterima
Herman Sedyono, Liliek K., Gatot
Subiakto, A. Syamsudin, Sugito
Bebas, Jaksa Mengajukan Kasasi
namun tak dapat diterima
Eurico Guterres (mantan panglima milisi
pro integrasi)
Divonis 10 tahun di tingkat PN
Dikurangi menjadi 5 tahun di tingkat PT
Kembali dipidana 10 tahun di tingkat
Kasasi
PK dikabulkan setelah jalani pidana dua
tahun
Endar Priyanto (mantan Dandim 1627
Dili)
Bebas
Kasasi Jaksa tak dapat diterima
Putusan kasus Timor Timur (2)
Asep Kuswani, Adios Salova, Leonito
Martin
Bebas
Kasasi Jaksa tak dapat diterima
Yayat Sudrajat
Bebas. Kasasi Jaksa tak dapat diterima
Tono Suratman (Mantan Danrem Wira
Dharma)
Bebas
Kasasi Jaksa tak dapat diterima
Adam Damiri
(mantan Pangdam Udayana)
3 tahun
Di tingkat PT dibebaskan
Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc :
Kasus Timbul Silaen
Dakwaan :
 Failure to act (tanggungjawab komando)
 Tidak menyerahkan pelaku
 Melakukan kejahatan kepada kemanusiaan
Tuntutan : 10 tahun 6 bulan
Vonis
: Bebas
Alasan : saksi tidak merasa aman, intimidasi di dalam
dan di luar pengadilan, terdakwa dianggap tidak
memiliki pengendalian efektif terhadap milisi, dakwaan
lemah, dll
Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc :
Kasus Abilio Soares
Dakwaan :
 Mengetahui terjadinya pelanggaran HAM berat oleh
bawahannya namun tidak mengambil tindakan yang
efektif
 Membentuk dan mendanai Pamswakarsa pro integrasi
 Tuntutan : 10 tahun 6 bulan
 Vonis : 3 tahun (namun dibebaskan di tingkat kasasi)
PENGADILAN HAM KASUS TANJUNG PRIOK
 Kasus terjadi pada 12 – 13 September 1984 dan
berlanjut dengan penangkapan dan penahanan besarbesaran
Putusan Kasus Tanjung Priok
1. Mayjen Sriyanto (mantan perwira Kodim Jakut) > bebas
2. Kapten Sutrisno Mascung (Danru Arhanudse 6) > bebas
3. Mayjen Pranowo (Dan Pomdam Jaya) > bebas
4. Mayjen R.A. Butar-Butar (Dandim Jakut) > bebas
5. Mantan Pangab Benny Moerdani? Mantan Pangdam Jaya
Try Soetrisno?
VONIS PENGADILAN HAM KASUS ABEPURA
 Bermula dari serangan 30 warga Papua ke Mapolsek
Papua di Abepura pada 7 Desember 2000 dengan dalih
akan melapor, namun malah menyerang petugas.
 Serangan oknum warga meluas ke wilayah permukiman,
bisnis dan pemerintahan, korban tewas dan luka kian
banyak.
 Brimob Polda Papua dan Polres Jayapura segera
melakukan pengejaran dan penangkapan. Dalam
pengejaran dan penangkapan tersebut sejumlah warga
ditangkap dan tewas di tempat.
Pengadilan HAM kasus Abepura (2)
 Dan Brimob Polda Papua Johny Wainal Usman dan
Kapolres Jayapura Kombes Daud Sihombing jadi
tersangka.
 Dalam Pengadilan HAM di Makassar kedua Terdakwa
dibebaskan dalam kasus terbunuhnya delapan mahasiswa
dan melukai ratusan lainnya di sejumlah asrama mahasiwa
di Abepura 7 Desember 2000 dengan alasan : tak
terpenuhi unsur ‘langsung terhadap penduduk sipil’,
‘kebijakan penguasa’ dan ‘meluas serta ‘sistematik’
 (Harifin Tumpa, et.al, 2010)
Beberapa Kelemahan
 Legislasi (UU 26/2000)
 Expertise
 Independency & Impartiality
 Infra Structure
 Budaya Menghormati Proses Pengadilan
Kelemahan UU 26/2000 (1)
 Definisi ‘Pelanggaran HAM Berat’ kurang
jelas
 Tidak memasukan ‘Kejahatan Perang’ seperti
halnya ICC
 Tidak jelasnya definisi ‘Meluas’
(widespread), ‘Sistematik’ (systematic) dan
‘diketahui’ (intention)
 Tidk dilengkapi ‘elements of crime’
Kelemahan UU No. 26/ 2000 (2)
 Terjemahan ‘directed against any civilian
population’ : ditujukan secara langsung, lalu
populasi sama tidak dengan penduduk?
(menimbulkan ketidakpastian hukum)
 Tidak dicantumkan ‘perbuatan tidak manusiawi
lainnya …’
 Terjemahan ‘persecution’: penganiayaan?
 Pembatasan 180 hari
 Hukuman Minimum
 Tdk ada pre trial chamber
 Tidak mempunyai hukum acara tersendiri tetapi masih
digunakan KUHAP