JURNAL PENDIDIKAN AKUNTANSI INDONESIA Vol. VII. No. 1 – Tahun 2009 Hal 99 - 109 MANAJEMEN LABA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG OPORTUNISTIK DAN EFISIEN DALAM POSITIVE ACCOUNTING THEORY Oleh Denies Priantinah1 PENDAHULUAN Positif Accounting Theory banyak digunakan dalam melandasi penelitianpenelitian di bidang akuntansi. Istilah ”positif” merujuk pada sebuah teori yang berusaha untuk membuat prediksi yang baik dari peristiwa di dunia nyata. Dalam hal ini PAT, didefinisikan sebagai (Scott, 2003): PAT berkaitan dengan prediksi tindakan sebagaimana pilihan atas kebijakan akuntnasi oleh manajer perusahaan dan bagaimana manajer akan merespon terhadap standar akuntansi baru yang diusulkan. PAT mengambil sudut pandang bahwa perusahaan mengorganisasikan diri mereka dengan cara yang paling efisien, sehingga memaksimisasi prospek perusahaan untuk bisa bertahan hidup. Organisasi perusahaan ini sangat unik bergantung pada karakteristik perusahaan. Beberapa perusahaan memiliki bentuk organisasi sentralisasi, sementara yang lainnya memilih bentuk desentralisasi. Ada beberapa perusahaan melakukan aktivitas tertentu secara internal, sementara terdapat perusahaan yang lain memilih untuk melakukan outsourcing. Ada perusahaan yang memilih untuk struktur pendanaan utama dari hutang, sementara perusahaan yang lain memilih sumber pendaan utamanya dari ekuitas publik. Karakteristik unik perusahaan membuat pengelolaan organisasi tersebut berbeda satu sama lain. Berdasarkan semua karakteristik tersebut maka, cara paling efisien untuk mengelola perusahaan tertentu akan bergantung pada lingkungan legal dan institusional, teknologi yang diadopsi perusahaan, dan tingkat kompetisi dalam industri. Semua faktor ini dianggap menentukan set kesempatan investasi yang tersedia untuk perusahaan dan set kesempatan investasi ini pada gilirannya akan menentukan prospek perusahaan. Agency theory menyatakan bahwa perusahaan bisa dipandang sebagai nexus of contract, yaitu organisasi secara garis besar merupakan set kontrak banyak pihak yang terlibat dalam perusahaan. Contohpihak yang memiliki kontrak dengan perusahaan adalah: kontrak dengan karyawan (termasuk manajer), kontrak dengan supplier, kontrak dengan penyedia modal yang digunakan perusahaan serta kontrak dengan pemberi hutang. Terkait dengan kontrak yang eksis di perusahaan, maka perusahaan akan berusaha untuk meminimisasi contracting cost yang timbul dalam hubungan kontrak tersebut. Kos yang bisa timbul dari hubungan kontrak tersebut diantaranya adalah: kos negosiasi, kos monitoring atas performa kontrak, kos atas kemungkinan renegosiasimisalnya ketika kemungkinan terjadi pelanggaran kontrak atas peristiwa yang harus 1 Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Akuntansi – Universitas Negeri Yogyakarta 99 diantisipasi selama perioda kontrak, dan kos atas kemungkinan kebangkrutan dan jenis tekanan finansial yang lain. Banyak kontrak yang dilakukan perusahaan, seperti yang disebutkan diatas, melibatkan variabel akuntansi. Pada tiap pihak yang memiliki kepentingan dan memiliki kontrak dengan perusahaan, menggunakan variabel akuntansi pada laporan keuangan untuk memonitoring jalannya kontrak dengan perusahaan. Manajer dan karyawan akan menggunakan informasi angka laba untuk mengkaji promosi dan renumerasi berdasarkan kinerja berbasis akuntansi, seperti laba bersih, pemenuhan target individual. Kontrak dengan supplier bisa juga berbasis informasi akuntansi seperti variabel likuiditas dan finansial. Kreditor sebagai pemberi pinjaman dana pada perusahaan juga mendasarkan informasi akuntansi dengan meminta dipeliharanya rasio keuangan tertentu, seperti leverage. PAT berargumen bahwa kebijakan akuntansi perusahaan akan dipilih sebagai bagian dari problem yang lebih luas dari pencapaian tata kelola perusahaan yang efisien. Tata kelola yang efisien tersebut membutuhkan trade off antara biaya modal dengan cost contracting. Biaya model bisa direduksi dengan kebijakan akuntansi yang secara penuh memberi informasi kepada pasar, sehingga akan mengurangi perhatian investor terkait dengan masalah adverse selection. Di sisi lain kebijakan yang secara penuh memberikan informasi ini juga akan mereduksi korelasi antara performa perusahaan dan usaha manajer, sehingga akan meningkatkan kos pengendalian moral hazard. Total kos ini akan diminimisasi dengan trade off antara dua kos tersebut. Kebijakan akuntansi yang tersedia bagi manajer untuk dilakukan diperkenankan dalam GAAP. Namun tidak ada alasan, selain alasan kos mengapa set tersebut tidak bisa lebih dibatasi oleh kontrak. Adanya pemberian keleluasaan bagi manajer untuk bisa memilih set akuntansi tertentu dari yang tersedia, menimbulkan kemungkinan timbulnya perilaku oportunistik. Perilaku ini adalah, berdasarkan set akuntansi yang tersedia manajer akan memilih kebijakan akuntansi untuk tujuan mereka pribadi. Pengakuan kemungkinan timbulnya perilaku oportunistik ini mendasari asumsi penting dari PAT. PAT mengasumsikan bahwa manajer adalah orang yang rasional (seperti halnya investor) dan akan memilih kebijakan akuntansi sesuai dengan tujuan mereka apabila bisa dilakukan. Yaitu manajer akan berusaha untuk memaksimisasi expected utility. Hal ini mengindikasikan pula bahwa PAT tidak mengasumsikan bahwa manajer akan bertindak untuk memaksimisasi nilai laba perusahaan. Daripada manajer hanya akan memaksimisasi laba, mereka akan melakukan hal tersebut juga berdasarkan kepentingan pribadi mereka. Set optimal atas kebijakan akuntansi untuk perusahaan merupakan kompromi. Disatu sisi, apabila kebijakan akuntansi yang ketat akan meminimalkan pilihan kebijakan akuntansi yang oportunistik oleh manajer. D isisi lain hal ini akan menimbulkan kos, karena ketiadaan fleksibilitas akuntansi untuk memenuhi kebutuhan akan perubahan kondisi. Disisi lain, memperkenankan manajer untuk memilih kebijakan akuntansi dari alternatif yang ada akan mereduksi kos infleksibilitas akuntansi, tetapi menghadapkan perusahaan pada kos perilaku oportunistik manajer. TIGA HIPOTESIS DALAM POSITIVE ACCOUNTING THEORY PAT memprediksikan tindakan diseputar tiga hipotesis berikut. Hipotesis tersebut diformulasikan oleh Watts dan Zimmerman (1986). Tiga hipotesis ini sering diinterpretasikan dari sudut pandang oportunistik, sehingga kajian atas hipotesis ini dalam bentuk oportunistik (Watts dan Zimmerman,1990). Bentuk oportunistik ini 100 berarti bahwa manajer memilih kebijakan akuntansi untuk kepentingan pribadi mereka, yang tidak selalu selaras dengan kepentingan perusahaan. Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan melalui Positive Accounting. Theory (PAT) dan Agency Theory. Tiga hipotesis PAT yang dapat dijadikan dasar pemahaman tindakan manajemen laba yang dirumuskan oleh Watts and Zimmerman (1986) adalah : a. The Bonus Plan Hypothesis Pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari masa depan ke masa kini sehingga dapat menaikkan laba saat ini. Hal ini dikarenakan manajer lebih menyukai pemberian upah yang lebih tinggi untuk masa kini. Dalam kontrak bonus dikenal dua istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus) dan cap (tingkat laba tertinggi). Jika laba berada di bawah bogey, tidak ada bonus yang diperoleh manajer sedangkan jika laba berada di atas cap, manajer tidak akan mendapat bonus tambahan. Jika laba bersih berada di bawah bogey, manajer cenderung memperkecil laba dengan harapan memperoleh bonus lebih besar pada periode berikutnya, demikian pula jika laba berada di atas cap. Jadi hanya jika laba bersih berada di antara bogey dan cap, manajer akan berusaha menaikkan laba bersih perusahaan. b. The Debt to Equity Hypothesis (Debt Covenant Hypothesis). Pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity tinggi, manajer perusahaan cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Perusahaan dengan rasio debt to equity yang tinggi akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian utang. c. The Political Cost Hypothesis (Size Hypothesis) Pada perusahaan besar yang memiliki biaya politik tinggi, manajer akan lebih memilih metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa mendatang sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan. Biaya politik muncul dikarenakan profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen. Agency theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan diri sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Pemegang saham sebagai pihak prinsipal mengadakan kontrak untuk memaksimumkan kesejahteraan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Manajer sebagai agen termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Masalah keagenan muncul karena adanya perilaku oportunistik dari agen, yaitu perilaku manajemen untuk memaksimumkan kesejahteraannya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan prinsipal. Manajer memiliki dorongan untuk memilih dan menerapkan metode akuntansi yang dapat memperlihatkan kinerjanya yang baik untuk tujuan mendapatkan bonus dari prinsipal. Membedakan Sudut Pandang Oportunistik dan Efisien dalam PAT Hipotesis Positive Accounting Theory, menggunakan sudut pandang oportunistik. Pandangan ini mengasumsikan bahwa manajer memilih kebijakan akuntansi untuk maksimisasi utilitas ekspektasian (expected utility) mereka relatif terhadap renumerasi yang mereka terima (bonus plan hypothesis), kontrak hutang (debt covenant hypothesis) dan kos politik. Hipotesis tersebut juga bisa dinyatakan dalam bentuk efisien. Dalam sudut pandang ini berasumsi bahwa kontrak kompensasi dan sistem pengendalian interanl, termasuk monitoring oleh dewan komisaris, membatasi oportunistik manajer dan 101 memotivasi manajer untuk memilih kebijakan akuntansi yang meminimisasi kos modal perusahaan dan contracting kos. Seringkali dua bentuk dari PAT memiliki prediksi yang serupa. Misalnya dalam bonus plan hypothesis, manajer bisa jadi akan memilih amortisasi garis lurus daripada, katakanlah saldo menurun. Dampak dari pilihan ini adalah meningkatnya angka laba yang pada gilirannya akan meningkatkan angka renumerasi bagi manajer. Dari sudut pandang ini, maka manajer dianggap oportunistik. Namun kebijakan yang sama bisa jadi dipilih dalam bonus plan hypothesis tetapi pada sudut pandang alasan efisiensi. Misalkan amortisasi garis lurus merupakan ukuran terbaik dari opportunity cost perusahaan dalam penggunaan aset tetapnya. Sehingga amortisasi haris lurus menghasilkan laba yang dilaporkan mengukur kinerja perusahaan dengan lebih baik. Hasilnya kebijakan ini bisa jadi secara efisien lebih memotivasi manajer (dengan tujuan pertama adalah bonus) relatif terhadap kebijakan amortisasi yang lain. Contoh lain, juga bisa terjadi pada debt covenant hypothesis. Sweeney (1994) menggarisbawahi bahwa apabila perusahaan dalam bahaya melanggar kontrak perjanjian hutangnya, maka akan menurunkan sediaan perusahaan dengan menggunakan LIFO. Pilihan kebijakan ini berdampak pada kenaikan laba perusahaan, dan akan dipandang sebagai hal yang oportunistik. Alternatif lain, bisa ditinjau dari sudut pandang efisien. Pilihan kebijakan untuk menerapkan LIFO ketika perusahaan menghadapi kemungkinan pelanggaran kontrak hutang timbul dari kondisi perekonomian, misalnya penurunan aktivitas bisnis, maka reduksi sediaan bisa menjadi strategi bisnis yang efisien untuk mengingkatkan arus kas, khususnya apabila perusahaan berada dalam posisi tax loss. Dari penjelasan pilihan manajemen akan kebijakan akuntansi, maka akan sulit untuk mengatakan apakah observasi atas kebijakan akuntansi yang dipilih perusahaan dikendalikan oleh oportunistik atau efisiensi. Dalam hal ini tanpa mampu untuk membedakan kemungkinan ini, maka akan sulit untuk mengatakan bahwa kita memahami proses dari pilihan kebijakan akuntansi. Riset-riset pada PAT menghadapi masalah ini. Beberapa penelitian sebelumnya pernah mencoba mengkaji sudut pandang efisien dan oportunistik manajemen laba dalam Positive Accounting Theory. (284, scott) Analisis Konflik Hubungan Agen Prinsipal terkait dengan Manajemen Laba Dalam hubungan agen-prinsipal dengan kepentingan yang berbeda akan menimbulkan konflik kepentingan antar masing-masing pihak yang terkait. Paradigma teori agensi pertama kali diformulaikan dalam literatur ekonomi pada awal tahun 1970an (Ross 1973, Jensen dan Meckling 1976) telah memperkenalkan dalam sekolah bisnis dan literatur manajemen, jurnal akademisi dan praktisi, press bisnis bahkan pertanyaan proksi manajemen pada awal tahun 1990an menjadi logika institusional dari tata kelola perusahaan. Perusahaan yang mengumumkan adopsi kebijakan baru, secara eksplisit menggunakan teori agensi terkait dengan menyesuaikan insentif, perilaku mementingkan diri sendiri oleh manajer, dan pengurangan kos agensi. Kebijakan baru yang diadopsi juga dianalisis dari hubungan agensi. Aliran yang paling populer dari literatur ini fokus pada penyelasaran insentif, khususnya kebiakan kompensasi. Studi empirikal yang mempertimbangkan jenis dan kolerasi dari trade-off antara orientasi perilaku (gaji) dan orientasi outcome (komisi, bunus, kepemilikan ekuitas dan sumber lain yang menghubungkan kompensasi dengan kesejahteraan pemegang saham) kompensasi (Eisenhardt, 1989). Aliran kedua menguji tata kelola perusahaan dan kendali, seperti peran monitoring dari dewan direksi dan trade off antara penggunaan inside director atau outside director atau pemisahan antara peran direksi dan CEO vs memenuhi jabatan tersebut dengan satu individu, strategi monitoring dalam perusahaan 102 (trade off antara horisontal( peer to peer) dan vertikal (agen oleh prinsipal), mekanisme bonding dan implikasi dari beragam bnetuk kapitalisasi (misalnya dividen yang dibayarkan, pembatasan dana diskresioner yang tersedia untuk manajer juga mengaktivasi peran monitoring oleh pasar ketika manajer harus mengajukan tambahan pendanaan. Literatur ini juga melibatkan studi yang terkait dengan proses dan kos dari pencarian agen terutama dengan adanya tekanan oleh adverse selection. Aliran yang lain juga mempertimbangkan problem agensi, kos agensi, dan trade off antara mekanisme kontrol yang merupakan perpanjangan tangan dari hubungan agen-prinsipal, struktur dan bentuk organisasai (kantor pusat, anak perusahaan, outsourcing), karakteristik industri, organisasi dan pekerja (teknologi, permintaan produk, diversifikasi, perusahaan keluarga, bentang kultur, pendidikan pekerja, level ketrampilan, jumlah pengetahuan yang terspesialisasi, otonomi . Organisasi bisnis menyebutkan problem agensi sebagai penyelarasan antara insentif manajer yang dipekerjakan dengan kepentingan pemegang saham dengan menghubungkan kompensasi terhadap perubahan value pemegang saham. Hubungan ini membuat value pemegang saham yang dilaporkan oleh manajer menjadi subyek manipulasi oportunistik. Apabila nilai pasar kurang bisa dimanipulasi daripada nilai akuntansi maka kompensasi bisa dihubungkan dengan harga saham. Dalam pasar modal yang efisien, solusi terhadap problem agensi ini harus dilakukan secara rasional. Misalkan seorang manajer ingin memaksimalkan nilai pemegang saham yang diukur dengan harga saham. Apa yang harus dilakukan manajer apabila mengetahui bahwa adopsi akuntansi LIFO meningkatkan nilai sekaran aliran kas dari perusahaan tetapi menurunkan laba yang dilaporkan? Apabila tujuan dari manajer adalah untuk memaksimalkan nilai sekarang aliran kas, maka tentu saja tindakan manajer tercapai. Pada kasus kejner (1936) sebagai contoh pasar modal, karena keputusan investasi bisa dibuat paa basis nilai fundamental perusahaan, maka manajer harus mengadopsi LIFO apabila adopsi ini akan meningkatkan nilai sekarang aliran kas bersih. Bagaimanapun terhadap tingkatan lain dari cerita ini. Pemegang saham mengenali kesulitan untuk mengamati apakah tindakan manajer atau aliran kas masa depan dan hubungan kompensasi manajer terhadap pemegang saham. Manajer juga mempertimbangkan bahwa tindakannya tidak hanya berpengaruh langsung terhadap nilai perusahaan, tetapi juga berpengaruh terhadap harga saham. Apabila harga saham merupakan nilai fundamental-yaitu nilai sekarang dari urutan pertama keyakinan investor tentang aliran kas-kemudian kita bisa mengekspektasi bahwa manajer akan mengadopsi LIFO. Bagaimana jika manajer meragukan investor akan menggunakan aturan penilaian fundamental ini? Manajer akan dengan baik memutusakan bahwa kepentingan pribadinya akan terlayani dengan baik (yaitu keitka harga saham yang lebih tinggi menghasilkan kompensasi yang lebih tinggi) apabila dia tidak membuat keputusan untuk mengadopsi LIFO, karena kaan mereduksi laba. Amershi dan Sunder (1987) menganalisis konsekuensi common knowledge dalam akuntansi. Mereka membuktikan bahwa kesalahan dalam keyakinan manajer tentang bagaimana pemegang saham melindungi nilai saham bahkan ketika dalam pasar saham yang efisien untuk mendisiplinkan manajer untuk membuat keputusan yang buruk. Berdasarkan keyakinan mereka tentang perilaku investor, manajer bisa secara rasional gagal untuk mengadopsi LIFO, sementara manajer mengetahui bahwa LIFO menghemat kas untuk perusahaan Asimetri Informasi 103 Inspirasi penciptaan penilaian perusahaan datang dari keputusan kebijakan kualitas finansial (Altman, 1986, Kaplan dan Norton, 1992). Konsekuensi dari asimetri informasi yang tinggi akan berkorelasi secara negatif dengan efek harga saham, perusahaan dengan aset intangible akan memiliki asimetri informasi yang lebih tinggi (Barth dan Kaznik, 1999). Terlebih lagi beberapa pengelola bisnias serinkali memiliki keahlian yang tinggi untuk mempercantik laporan keuangan dan penciptakan penilain perusahaan semata-mata untuk kepentingan personal mereka (Beasley,1996, Luo,2001).Ditmar (2000) juga mengindikasikan hal yang sama dalam penelitiannya. Sebagaimana dibuktikan oleh Edde dan Caser (1989) dan Eddey (1993), maka terdapat relasi sistematik antara harga saham dan informasi atau hubungan ekuivalensi antara harga saham dan informasi. Siapapun yang memanipulasi hasil, distribusi dari infoasi akan secara efektif memanipulasi harga saham dan melanggar serta merugikan hak-hak investor. Seperti kesalahan pembuatan keputusan yang timbul terhadap adanya asimetri informasi tersebut. Figur 1. Asimetri informasi yang timbul dalam hubungan Agen-Principal Asimetri Informasi Mengarah Kepada Moral Hazard Informasi merupakan sumberdaya ekonomik yang berharga. Tidak seperti barang ekonomik, volume infromasi semakin sulit untuk didefinisikan. Disamping itu, kualitas informasi dari tiap entitas ekonomik sangat unik sehingga investor biasa tiak akan mampu mengidentifikasi karakteristik data yang tercantum dalam laporan keuangan. Hal ini mengimplikasikan bahwa garansi kualitas dan investasi goodwill selalu komitmen yang efektif yang memampukan kastamer untuk mempercayai bahwa penyedia informasi akan menjual produk dengan kualitas yang bagus. 104 Walaupun dalam lingkungan investasi sekuritas dengan ketidakcukupan pengendalian, berdasarkan pengalaman, konsumen akan secara rasional berhati-hati terhadap pernyataan yang diperoleh dari vendor. Sebagai hasilnya, vendor yang jujur kaan menemukan mereka memiliki barang yang dijual dengan kualitas tinggi sebagai hasil dari kepercayaan pembeli. Dalam hal ini, banyak pengungkapan informasi yang didominasi oleh agen dari tiap entitas ekonomi, yaitu: (i) fitur informasi rival-diaman investor umum tidakbisa memperoleh informasi ini (ii) fitur informasi eksklusif-prinsipal dilarang menggunakan informasi ini oleh agen. Informasi tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan sekelilingnya tetapi informasi itu sendiri merupakan aktivis yang akan mempengaruhi elemem lain dalam lingkungannya. Informasi merupakan public goods, investor akan mereduksi investasi mereka apabila informasi ini diprivatisasi. Dari karakter informasi tersebut, ketika pihak lain, karena ketidakkonsistenan patokan dari kepentingan tiap pihak, tidak mampu untuk membuat keputusan dengan informasi lengkap, maka membuat pihak lain akan memanfaatkan kondisi ini. Keengganan untuk menyediakan pihak yang terlibat dalam lingkungan ini dengan informasi penuh secara tepat waktu atau intensional, akan menjadi penting untuk menentang pihak yang terlibat. Dalam hal ini muncul asimetri informasi. Pihak dengan informasi yang tidak lengkap akan di tempatkan dalam kondisi yang buruk. Reaksi atas “menguntungkan diri sendiri” disebut sebagai “moral hazard”. Kita bisa mendefinisikan moral hazard tersebut sebagai efek dari perilaku agen yang menggunakan entitas ekonomi untuk melakukan tindakan yang bisa meningkatkan kemungkinan timbulnya insiden kerugian di pihak prinsipal (Rasmusen, 2001). Informasi yang tidak lengkap tersebut berarti ketidakpastian yang tidak mampu dipindahkan, dimana pembuat keputusan hasus memperoleh sebanyak mungkin informasi untuk mengurangi efek dari elemen yang indefinit. Motivasi manajemen yang mendasari konsekuensi ekonomi dan teori akuntansi positif merupakan hal yang perlu untuk dieksplorasi. Untuk dengan tepat memahami kepentingan manajemen dalam pelaporan keuangan, maka salah satu teori yang perlu untuk dipertimbangkan adalah game theory. Game teori berusaha untuk memodelkan dan memprediksi outcome dari konflik antara individu yang rasional. Tentunya konsekuensi ekonomik merupakan karakter dari konflik ini. Game theory akan membantu kita untuk memahami bagaimana, manajer, investor dan pihak lain yang terkait dalam kontrak dengan perusahaan dapat secara rasional sepakat dengan konsekuensi ekonomi dari laporan keuangan. Hal ini mengindikasikan bahwa game theory relevan terhadap akuntansi (Scott, 2003). Kebijakan akuntansi bisa memiliki konsekuensi ekonomi ketika kontrak penting tersebut dipengaruhi oleh kebijakan ini. Game theory bisa membantu kita melihat bagaimana kontrak dalam perusahaan seringkali bergantung pada laporan keuangan. PENDEKATAN GAME THEORY The Economics Theory of games atau Game Theory, merupakan teori yang berusaha mengekplorasi perilaku pengambilan keputusan oleh manusia. Kita bisa mereferensi game theory untuk mendasari beragam isu dalam teori akuntansi keuangan. Game theory adalah nama yang kurang pas untuk multiperson decision theory. Teori ini menganalisis proses pembuatan keputusan ketika terdapat lebih dari satu pembuat keputusan ketika hasil dari tiap agen bergantung pada tindakan yang dilakukan oleh agen yang lain. Karena preferensi agen atas tindakannya bergantung pada tindakan 105 yang dilakukan oleh pihak lain, maka tindakan dia akan bergantung pada kepercayaan yang dimiliki mengenai tindakan apa yang akan dilakukan pihak lain. Dengan cara ini, tindakan seorang pemain, pada prinsipnya bergantung pada tidandakan yang tersedia untuk tiap agen, tiap preferensi agen terhadap hasil, tiap kepercayaan pemain tentang tindakan yang tersedia dan bagaimana itap pemain membuat peringkat tentang hasil dan lebih jauh lagi tentang kepercayaan seorang player terhdap tiap kepercayaan yang dimiliki tiap pemain. Pada tahun 1950-an salah satu matematikawan di universitas princeton mematahkan teori yang ada dengan disertasi 17 halamannya. Artikelnya pada game theory menantang ekonomi konvensional yang berbasis pada asumsi yang sulit dipenuhi atas penurunan return terhadap skala dan kompetisi murni. Penelitian ini menantang pandangan klasik dan fundamental dari Adam Smith yang mengarahkan individu untuk memilih yang terbaik bagi mereka yang diperlukan untuk menghasilkan pilihan terbaik bagi komunitas. Konsep dari game theory terutama pada Nash Equilibrium (NE) terletak pada fondasi ekonomi baru dan melibatkan pemikiran manajemen strategik. Implikasi dari proses keputusan yang suboptimal ini merupakan hal yang fenomenal. Pada satu sisi, hal ini mempertanyakan hal yang sangat mendasar akan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan terbaik, baik bagi dirinya sendiri, bagi orang lain atau bahkan masyarakat. Karya Nash ini beranjak dari hal ini kemudian membuktikan bahwa dalam sebuah ‘n’ orang dalam permainan yang nonkooperatif, banyak titik ekuilibrium Nash yang bisa muncul. Dampak hal ini pada studi ekonomi sangat nyata. Aliran pemikiran tradisional dari Marshallian telah ditantang oleh aliran pemikiran yang lebih moderat seperti Lionel Robbins disisi lain. Aliran Austrian yang direpresentasikan oleh Bohm Bawerk dan Walrus dikembangkankan versi mereka sendiri terkait dengan ekuilibrium pasar yang bergerak dari perbandingan statik yang sederhana Berdasarkan Curiel (1997) ada dua kondisi utama untuk Game Theory: (1) ada dua atau lebih entitas (2) tiap kompensasi yang diterima entitas tersebut bergantung pada keputusan yang dibuat oleh entitas dan entitas lain (yaitu ada interdependensi antar kompensasi) Rasmusen mengemukakan argumen bahwa informasi adalah lengkap dalam permainan moral hazard, dimana informasi dan tindakan disembunyikan, dalam informasi ini tidak lengkap dalam permainan inverse-choice, signalling dan screening. Partisipan yang tidak berhati hati dengan kualitas informasi kemungkinan bisa menolak informasi yang berkualitas tinggi, mengarahkan pada kegagalan pasar. Hal ini seringkali tercermin penelitian yang menggunakan model agen-prinsipal untuk menggambarkan pengaruh yang diciptakan adanya asimetri informasi. Prinsipal dalam studi ini mengindikasikan penyedia dana umum, seperti pemegang saham, pemegang obligasi perusahaan, pinjaman bank. Sedangkan agen merepresentasikan pengelolan korporat tanpa memperhatikan identifikasi ganda, karena pengelola korporat bisa jadi juga memiliki sejumlah saham dalam kasus praktikal. Secara alternatif, balwin dan Meese (1979) mengenalkan permainan ekuilibrium dan kemanfaatan yang berulang yang dikenal sebagai nash equilibrium. Mc Guigan, Moyer dan harris (2002) memproposisikan bawha kompetitor bisa jadi secara bebas mengubah aturan (yaitu konteks game) dalam permainan strategik bisnis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pilihan moral dari manajer korporat akan mempengaruhi seleksi dari konservatisma akuntnasi dan akuntansi netral sebagaimana transparansi informasi. Investor kemudian memiliki penolakan risiko dan dengan hati-hati memilih target investasi untuk mempertahankan hasil terbaik. 106 Game theory menganalisis pengambilan keputusan dan strategi yang dilakukan tiap pemain dalam suatu konflik. Model dalam game theory ini merupakan interaksi dari dua pemain atau lebih. Interaksi ini timbul dalam adanya ketidakpastian dan asimetri informasi. Hal ini membuat game theory dirasakan cocok untuk mendasari konflik antara agen-prinsipal yang seringkali disebabkan timbulnya asimetri informasi. Tiap pemain diasumsikan akan memaksimalkan expected utility sebagaimana yang dilakukan investor dan manajer dalam hubungan agen-prinsipal. Dalam game theory, selain adanya ketidakpastian yang datang dari realisasi kondisi alami, timbul juga adanya ketidakpastian yang diakibatkan dari tindakan pemain yang harus diperhitungkan oleh pemain lainnya. Tindakan yang diambil oleh penmain lain bisa sangat sulit untuk diprediksi, karena tindakan yang dipilih oleh satu pemain akan bergantung pada tindakan apa yang pemain pikirkan tentang apa yang pemain lain pikirkan dan sebaliknya. Game theory ini akan lebih kompleks dari teori keputusan dan teori investasi. Game theory mengemukakan bahwa jumlah aktual pemain berada pada antara teori keputusan individu (single decision) dan pasar. Pada Decision theory terdapat satu pemain yang bermain berhadapan dengan kondisi alami (nature), dalam bermain melawan kondisi alami- permainan nature bisa dipikirkan sebagai realisasi dari satu konsisi alami, yang lebih mampu diprediksi. Pada sisi ekstrem yang lain, pasar merupakan sebuah game dengan sejumlah besar pemain. Apabila pasar tersebut sempurna secara ekonomik, jumlah pemain akan sangat besar sehingga tindakan yang diambil satu pemain tidak bisa mempengaruhi apa yang terjadi di pasar, atau dalam ekonomika disebut sebagai price-takers, sebagaimana dalam keputusan investasi. Pada game theory jumlah pemain, yang lebih besar dari satu tetapi cukup kecil untuk menganalisis tindakan dari satu pemain yang mempengaruhi pemain lain, sehingga aspek konflik dari permainan dimana pemain melakukan tindakan dari tindakan pemain lain bisa diperhitungkan. Pada game theory terdapat beberapa jenis permainan. Salah satu basis yang bisa dipergunakan untuk mengklasifikasikan adalah cooperative game dan non cooperative. Pada cooperative game, pihak dapat memasuki kesepakatan yang saling mengikat. Apabila kesepakatan tersebut tidak dimungkinkan, maka permainan yang mungkin muncul adalah non cooperative game. PENUTUP Konflik yang ada antar konstituen dalam pihak yang terkait dalam hubungan agen-prinsipal bisa dimodelkan sebagai sebuah game, karena keputusan yang dibutuhkan oleh konstituen yang berbeda bisa jadi tidak serupa. Investor akan menginginkan informasi laporan keuangan yang relevan dan reliabel untuk membantu dalam menilai value yang diharapkan dan risiko yang menyertai investasi mereka. Manajer tidak selalu mau untuk mengungkap semua informasi yang dibutuhkan investor. Manajer juga lebih menyukai untuk tidak mengungkap semua kebijakan akuntansi ang digunakan sehingga bisa memiliki ruang untuk mengelola laba yang dilaporkan dengan mengubah kebijakan akuntansi ketika diperlukan. Adanya konflik antara manajemen dan prinsipal, dengan kepentingan yang berbeda dan usaha untuk memaksimalkan expected utiliy antar pihak tersebut akan menimbulkan asimetri informasi. Bagaimana dua pihak ini saling berinteraksi dalam permainan maksimisasi expected ulitily ini akan dengan indah ditangkap oleh game theory. 107 DAFTAR PUSTAKA Wendy Beekes and Philip Brown, On the timeliness of price discovery The Department of Accounting and Finance, Lancaster University Management School Working Paper 2006/053. Debra L. Moore, Forecasting Earnings Management : Evidedence from GAO Restatement Data, A Dissertation, Presented to the Faculty of the College of Business Administration, of Touro University International, In Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy, February, 2007 Eli Bartof, Ferdinand A.Gul, Judy S.L.Tsui, Discretionary-Accruals Models and Audit Qualifications, Journal of Accounting and Economics Vol 30 (2001) 421-452. Thomas D.Fields, Thomas Z.Lys, Linda Vincent, Empirical research on accounting choice, Journal of Accounting and Economics 31 (2001) 255–307 Pieter T. Elgers, Ray J. Pfeiffer Jr*, Susan L. Porter Anticipatory, income smoothing: a re-examination, Journal of Accounting and Economics 35 (2003) 405–422 S.P. Kothari,_, Andrew J. Leoneb, Charles E. Wasley, Performance matched discretionary accrual measures, Journal of Accounting and Economics 39 (2005) 163–197 Jeffrey L. Colesa,_, Michael Hertzela, Swaminathan Kalpathy, Earnings management around employee stock option reissues, Journal of Accounting and Economics 41 (2006) 173–200 Naveen D. Daniel, David J. Denis, Lalitha Naveen, Do firms manage earnings to meet dividend thresholds?, Journal of Accounting and Economics 45 (2008) 2–26. Ray Balla,_, Lakshmanan Shivakumar, Earnings quality at initial public offerings, of Accounting and Economics (2008), doi:10.1016/j.jacceco.2007.12.001 Susan Pourciau, Earnings Management and Nonroutine Executives Changes , Journal Of Accounting and Economics Vol. 16, 317-336 Robert W. Holthausen*, David F. Larcker, Richard G. Sloan, Annual bonus schemes and the manipulation of earnings, Journal of Accounting and Economics 19 (1995) 29 74 Victor L. Bernard, Douglas J. Skinner, Annual bonus schemes and the manipulation of earnings, Journal of Accounting and Economics 19 (1995) 29 74 Daniel Bergstressera*, Thomas Philippon, CEO incentives and earnings management, aHarvard Business School, Boston MA 02163 USA, NYU Stern School of Business, New York, NY 10012-1126 USA (First version: September 2002; current version: December 2004) 108 Diego Prior, Jordi Surroca, Josep A. Tribo, Earnings Management and Corporate Social Responsibility, Working Paper 06-23 Business Economics Series 06 September 2007 Norman Mohd. Saleh, Takiah Mohd. Iskandar, Mohd. Mohid Rahmat, Earnings Management and Board Characteristics: Evidence from Malaysia, Jurnal Pengurusan 24(2005) 77-103 Mihir A. Desai, Dhammika Dharmapala, Earnings Management and Corporate Tax Shelters,200 Jonas Spohr, Essay on Earnings Managements, Helsingfors, 2005 William R Scott (2003) , Financial Accounting Theory, 3rd Edition, Prentice Hall REBECCA L. ROSNER, Earnings Manipulation in Failing Firms, Contemporaij Accounting Research Vol. 20 No. 2 (Summer 2003) pp. 361-408 K.V. PEASNELL, P.F. POPE AND S. YOUNG, Board Monitoring and Earnings Management: Do Outside Directors Influence Abnormal Accruals? Journal of Business Finance & Accounting, 32(7) & (8), September/October 2005 James E. Hunton, Robert Libby, Cheri L. Mazza, Financial Reporting Transparency and Earnings Management, THE ACCOUNTING REVIEW Vol. 81, No. 1, 2006, pp. 135–157 Lawrence J. Abbott, Susan Parker, and Gary F. Peters,Earnings Management, Litigation Risk, and Asymmetric Audit Fee Responses, AUDITING: A JOURNAL OF PRACTICE & THEORY, Vol. 25, No. 1 May 2006 pp. 85–98 Soon Suk Yoon, Gary Miller, Earnings Management Vehicles for Korean Firms, Journal of International Financial Management and Accounting 17:2 2006 Ke Zhong, Donald W. Gribbin, Xiaofan Zheng, The Effect of Monitoring by Outside Blockholders on Earnings Management, Quarterly Journal of Business & Economics, Vol. 46, No. 1 109