DISERTASI TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK I WAYAN BUDIARTA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 i DISERTASI TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK I WAYAN BUDIARTA NIM 1090171001 PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 i TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana I WAYAN BUDIARTA NIM 1090171001 PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 ii PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : I Wayan Budiarta, S.S., M.Hum. NIM : 1090171001 Program Studi : Program Doktor (S3) Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17, Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 27 Mei 2013 I Wayan Budiarta, S.S., M.Hum. iii Lembar Pengesahan DISERTASI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 27 MEI 2013 Promotor, Prof. Drs. Ketut Artawa, M.A., Ph.D. NIP 19561024 198303 1 002 Kopromotor I, Kopromotor II, Prof. Dr. Aron Meko Mbete NIP 19470723 197903 1 002 Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum. NIP 19710318 199403 2 001 Mengetahui Ketua Program Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Aron Meko Mbete NIP 19470723 197903 1 002 Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP 19590215 198310 2 001 iv Disertasi ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 13 Mei 2013 Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK. Rektor Universitas Udayana Nomor: 0404/UN.14.4/HK/2013, Tanggal 23 Maret 2013 Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum. Anggota : 1. Prof. Dr. Ketut Artawa, M.A., Ph.D. 2. Prof. Dr. Aron Meko Mbete 3. Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum. 4. Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A. 5. Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum. 6. Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S. 7. Dr. Drs. I Ketut Yudha, M.Hum. v UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Mahakuasa, hanya atas asung kertha wara nugraha-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Drs. Ketut Artawa, M.A., Ph.D., pembimbing utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran kepada penulis selama penulisan disertasi khususnya dan selama mengikuti kuliah Program Doktor umumnya. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Aron Meko Mbete dan Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum., pembimbing I dan pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran senantiasa memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp. P.D. (KHOM), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K), Asisten Direktur I yang dijabat oleh Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II yang dijabat oleh Prof. Dr. I Ketut Budi Susrusa, M.S., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Doktor Linguistik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. vi Aron Meko Mbete dan Dr. Anak Agung Putu Putra, M,Hum., selaku Ketua Program dan Sekretaris Program Studi Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah memberikan motivasi selama proses pembelajaran, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada (alm) Drs. Pieter A Napa, M.A., Ketua Sekolah Tinggi Bahasa Asing Mentari Kupang, atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Doktor. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Drs. Lorens. T. Kerans, M.Ed., Ketua STIBA Mentari Kupang periode 2011 -- sekarang, atas motivasinya kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan menyelesaikannya tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Yohanis Lake, Ketua Yayasan Pendidikan Mentari NTT yang menaungi Sekolah Tinggi Bahasa Asing Mentari Kupang, atas izin dan motivasi yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Doktor di Universitas Udayana. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji disertasi, yaitu Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A., Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.,Hum., Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S., dan Dr. Drs. I Ketut Yudha, M.Hum., yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga disertasi ini dapat terwujud. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya lepada Pemerintah Indonesia c.q, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui Tim Managemen Program Doktor yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS sehingga dapat meringankan beban penulis dalam menyelesaikan vii Pendidikan Doktor ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur yang telah memberikan bantuan dana sehingga dapat meringankan beban penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih ditujukan kepada semua guru yang telah membimbing dan mendidik penulis sejak penulis masih duduk di sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya ditujukan kepada staf pengajar pada Program Doktor Linguistik, yakni Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U., Prof. Dr. I Gusti Made Sutjaja, M.A., Prof. Dr. Aron Meko Mbete, Prof. Drs. Ketut Artawa, M.A., Ph.D., Prof. Drs. Dewa Komang Tantra, M.Sc. Ph.D., Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D., Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A., Prof. Dr. I Wayan Pastika. M.S., Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum., Prof. Dr. I Nengah Sudipa, M.A., Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A., Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, S.U., Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S., dan Dr. I Nyoman Sedeng. M.Hum. Terima kasih disampaikan pula kepada seluruh staf administrasi dan perpustakaan Program Doktor Linguistik, yakni I Nyoman Sadra, S.S., I Ketut Ebuh, S.Sos., I Gusti Agung Supadmini, Ni Nyoman Adi Triani, S.E., Ida Bagus Suanda, Ni Nyoman Sumerti, dan Ni Nyoman Sukartini atas pelayanan prima yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf administrasi di Program Pascasarjana Universitas Udayana. viii Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya penulis sampaikan kepada teman-teman sejawat dan seperjuangan, yaitu Dra. I Gusti Ayu Gde Sosiowati, M.A., Drs. Rambut Kanisius, M.Hum., Dra. Magdalena Ngongo, M.Hum., Drs. I Ketut Murdana, M.Hum., I Ketut Paramarta, S.S., M.Hum., Desak Putu Eka Pratiwi, S.S., M.Hum., dan Mirsa Umiyati S.S., M.Hum., atas masukan lewat diskusi, baik di dalam maupun di luar kelas terkait dengan persoalan kelinguistikan yang penulis hadapi. Rasa terima kasih juga penulis tujukan kepada Dr. Anthony Jukes (Centre for Research on Language Diversity, La Trobe University) yang telah membimbing dan memberikan masukan yang konstruktif kepada penulis selama mengikuti Program Sandwich-Like terkait dengan penulisan disertasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada A. Prof. Adam Schembri (Director of Centre for Research on Language Diversity, La Trobe University) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyajikan makalah yang merupakan bagian dari disertasi pada CRLD Seminar Series. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada mahasiswa Program Linguistik La Trobe University dan Melbourne University yang telah hadir dan memberikan masukan kepada penulis ketika menyajikan makalah. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Yohanis Batu Mali, Kepala Desa Umaklaran, Kecamatan Tasifeto Timur atas izin dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama proses pengambilan data. Ucapan terima kasih juga penulis berikan kepada informan, Bapak Siprianus Asa Bete, Bapak Pius Ati Mali, Bapak Yohanes Batu Mali, Bapak Yohanes Bili Making, dan Bapak Luis Bili Making ix atas kerja samanya dalam memberikan data yang penulis butuhkan selama proses pengumpulan data. Ucapan terima kasih yang mendalam dan setulus-tulusnya penulis berikan kepada orang tua penulis, I Made Wisada dan Ni Nyoman Miarni yang senantiasa memberikan dorongan kepada penulis untuk menempuh pendidikan doktor dan menyelesaikan disertasi ini. Dalam kesempatan ini, ucapan terima kasih juga ditujukan kepada kedua adik penulis, Ni Made Wijayanti dan Ni Nyoman Rusmiani serta anggota keluarga lainnya yang telah memberikan dorongan, baik dalam bentuk materi maupun nonmateri selama penulis menempuh pendidikan di Program Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam penulis tujukan kepada istri tercinta, Ni Ketut Suartini dan putra tersayang I Gede Putra Nugraha Artha yang telah berkorban dengan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan doktor dan menyelesaikan disertasi ini di tengah kebutuhan mereka akan perhatian dan kasih sayang dari penulis. Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya dan sedalam-dalamnya kepada semua pihak. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Mahakuasa memberikan limpahan rahmat-Nya kepada mereka semua. Denpasar, Mei 2013 Penulis x ABSTRAK TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK BKm merupakan bahasa yang dipergunakan oleh suku Kemak yang bermukim di Desa Umaklaram dan Sadi, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian tipologi sintaksis BKm bertitik tolak pada penelahaan struktur dasar klausa, predikasi, valensi, fungsi dan relasi gramatikal, dan kalimat kompleks yang bertujuan untuk mengetahui sistem aliansi gramatikal untuk dapat menentukan tipologi sintaksisnya. Data lisan penelitian ini diperoleh melalui metode elisitasi langsung dan perekaman. Sementara, data tulis penelitian ini diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya. Data penelitian ini dianalisis berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan menggunakan metode agih (distribusional). Penyajian hasil analisis data menggunakan dua metode, yaitu metode formal dan informal. Penelahaan terhadap struktur dasar klausa menunjukkan bahwa klausa BKm terdiri atas klausa yang berpredikat verbal dan klausa yang berpredikat nonverbal. Predikat klausa nonverbal dapat ditempati oleh nominal, adjektival, numeral, dan frasa preposisional. Sementara, predikat klausa verbal ditempati oleh verba intransitif dan verba transitif. Seluruh verba BKm merupakan verba dasar (underlying verb). BKm merupakan bahasa yang memiliki struktur kanonis SVO. Di samping itu, BKm memiliki struktur turunan, yaitu pemfokusan dan pemasifan. Bentuk pasif BKm merupakan pasif analitik karena ketiadaan pemarkah morfologis untuk mengubah konstruksi aktif menjadi pasif. Penelahaan terhadap predikasi menunjukkan bahwa predikat klausa intransitif menghendaki satu unsur argumen FN yang berfungsi sebagai subjek gramatikal dan secara semantis berfungsi sebagai agen atau pasien. Sementara, predikat dengan verba transitif menghendaki dua argumen atau lebih. Kehadiran argumen-argumen tersebut dalam predikat kalimat transitif bersifat wajib. FV BKm dapat dibangun oleh verba dan satu unsur aspek, modus, dan negasi yang menempati posisi sebelum verba (praverbal) dan setelah verba (posverbal). Konstruksi verba serial (KVS) BKm dapat dibangun oleh dua verba dan atau tiga verba. Terdapat hanya satu subjek dan objek dalam konstruksi verba serial (KVS) yang dimiliki secara bersama-sama. Terkait dengan valensi verba, BKm hanya memiliki dua bentuk kausatif, yaitu kausatif leksikal dan kausatif analitik. Tidak ditemukan kausatif morfologis karena BKm tidak memiliki proses morfologis (afiksasi) pada verba. Konstruksi aplikatif BKm dibangun oleh verba transitif dan pemarkah aplikatif podi yang menempati posisi setelah verba transitif. Sementara, konstruksi resultatif BKm dibangun dengan mekanisme pemasifan. Relasi gramatikal inti yang dimiliki BKm adalah subjek (SUBJ) dan objek (OBJ). Sementara, fungsi gramatikal noninti yang dimiliki BKm adalah oblik (OBL), komplemen (KOMP), dan adjung (ADJ). SUBJ BKm muncul pada posisi praverbal dan OBJ muncul pada posisi posverbal pada struktur kanonis. Selain muncul pada posisi praverbal, SUBJ BKm juga dapat diidentifikasi antara lain xi melalui penyisipan adverbial, perelatifan, penyisipan penjangka kambang, perefleksifan, pemfokusan, penaikan, dan subjek dapat dikontrol. Telaah perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis menunjukkan bahwa secara sintaksis BKm merupakan bahasa yang memiliki sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan memberi perlakuan yang berbeda kepada P. Pengujian terhadap konstruksi dengan verba tak terbatas dan konstruksi dengan pemerlengkap jusif menunjukkan bahwa jika S berkoreferensi dengan A, maka pelesapan salah satu argumen dapat dilakukan secara langsung. Namun, apabila S berujuk-silang dengan P, maka diperlukan proses penurunan (derivasi) sintaksis melalui penopikan dan pemasifan (pasif analitik). Pengujian kepivotan pada konstruksi koordinatif dan subordinatif juga membuktikan bahwa BKm bekerja dengan S/A pivot. Berdasarkan sistem aliamsi gramatikal tersebut, maka BKm dikategorikan sebagai bahasa akusatif Kata kunci: struktur klausa dasar, fungsi/relasi gramatikal, predikasi, valensi, koordinatif, subordinatif, tipologi sintaksis, akusatif xii ABSTRACT SYNTACTIC TYPOLOGY OF KEMAK Kemak is a language which is spoken by the Kemak tribe, located in Umaklaran and Sadi Village, Tasifeto Timur, Sub-district, Belu Regency, East Nusa Tenggara Province. The focus of this research is on the syntactic typology of this language. In order to achieve the goal of this research, that is, the typological analysis of Kemak, the syntactic aspects discussed include the basic clause structures, grammatical relations, predication, valence, and the syntactic alignment of the coreferential arguments in complex sentences. The oral data of this research is obtained through the direct elicitation and recording methods. Meanwhile, the written data of this research is obtained from the data of the previous research. The data of this research is analyzed by using the distributional method based on the problems discussed. The result of analysis is presented by using the formal and informal methods. The analysis of the basic clause structure showed that a clause in Kemak can have either a verbal predicate or a non-verbal predicate. The predicate of nonverbal clause can be filled by a noun, adjective, numeral, and a prepositional phrase. Meanwhile, the predicate of verbal clause is filled by intransitive and transitive verbs. All verbs in Kemak are basic verbs. Kemak is a language which has SVO word order. Besides having the SVO word order, Kemak also has derived structures, they are focus and passive constructions. The passive construction in Kemak can be regarded as an analytic passive as Kemak does not have a morphological marker that alternate the active into the passive construction The analysis of the predication showed that the predicate of intransitive requires one NP argument as the only argument functioning as grammatical subject which can be an agent or a patient. Meanwhile, the transitive predicate requires two arguments or more. The structure of the verb phrase in Kemak can be composed of a verb and an aspect marker or negation marker. The aspect marker can precede or follow the verb. A serial verb construction can be constructed by serial verb which consists of two or three verbs. There is only one grammatical subject or object in the serial verb construction, that is, the subject and object are shared by the serial verbs. With regard to the verb valence, Kemak only has two kinds of causative constructions, the lexical and analytic causative construction. There is no morphological causative found as Kemak has no morphological process (affixation) on the verb. Applicative construction is built by transitive verb and applicative marker podi which occurs after the transitive verb. Kemak has SUBJ (subject) and OBJ (object) as core grammatical relations. Non-core grammatical relations of Kemak are an oblique (OBL), complement, and an adjunct (ADJ). Subject occurs in pre-verbal position and object occurs in post-verbal position in the sentence structure. Besides, it occurs in pre-verbal position, subject in Kemak can also be identified through adverbial insertion, relativization, quantifier insertion, reflexivization, focusing, raising, and control. xiii The analysis on grammatical behavior on syntactic construction showed that syntactically Kemak is a language which has grammatical alignment system which gives the same treatment to A and S, and differently to P. The test on nonfinite construction and jussive complement construction shows that if S coreference with A, the deletion of one argument can be done directly. On the contrary, if S co-reference with P, the deletion of one argument requires syntactic derivation through topicalization and passivization. The pivot operation on coordinative and subordinative construction also proves that Kemak works with S/A pivot. Therefore, Kemak can be categorized as an accusative language Keywords: basic clause structure, grammatical function, predication, valence, coordinative, subordinative, syntactic tipology, accusative xiv RINGKASAN DISERTASI TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bahasa Kemak (BKm) merupakan satu dari beberapa bahasa Timor yang dikelompokkan ke dalam bahasa Austronesia. Data terakhir menunjukkan bahwa BKm memiliki jumlah penutur sekitar 3.000 orang. BKm memiliki jumlah penutur yang paling sedikit dibandingkan dengan penutur bahasa lainnya, seperti bahasa Tetun, bahasa Dawan, dan bahasa Bunak. BKm merupakan bahasa yang digunakan oleh suku Kemak yang bermukim di Desa Umaklaram dan Sadi, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jumlah penelitian yang mengkaji BKm masih sangat terbatas. Sejauh ini hanya terdapat tiga penelitian yang mengkaji BKm, yaitu pertama dilakukan oleh Stevens (1967), kedua dilakukan oleh Sadnyana dkk. (1996), dan ketiga dilakukan oleh Mandaru dkk. (1998). Penelitian Stevens (1967) hanya mengungkap 200 daftar kata (daftar Swadesh). Penelitian Sadnyana dkk. (1996) mengungkap struktur bahasa Kemak. Sementara penelitian Mandaru dkk. (1998) mengungkap aspek morfologis dan sintaksis BKm. Ketiga penelitian tersebut belum mengungkap secara khusus tipologi sintaksis BKm. Penelitian Sadnyana dkk. dan Mandaru dkk. memang membahas aspek sintaksis BKm. Namun, pembahasan tersebut terbatas pada pendeskripsian semata dan belum menjelaskan secara tegas hakikat subjek, predikasi, dan objek. Penjelasan yang diberikan tentang subjek dan predikat belum menguraikan perilaku subjek dan predikat untuk dapat menentukan tipologi sintaksis BKm. Ketiga hasil penelitian tersebut juga tidak menjelaskan lebih jauh mengenai relasi gramatikal atau aliansi gramatikal BKm. Selain fenomena di atas, penelitian tipologi sintaksis BKm juga didasarkan kepada kenyataan berikut. Pertama, BKm memiliki kecenderungan digunakan oleh penuturnya sebagai bahasa lisan daripada bahasa tulisan sehingga penelitian ini dapat sekaligus berfungsi sebagai bentuk dokumentasi BKm. Kedua, sampai saat ini hanya terdapat tiga penelitian yang mengkaji BKm. Ketiga penelitian tersebut belum mengkaji tipologi sintaksis BKm. Di samping itu, ketertarikan untuk meneliti BKm khususnya mengenai tipologi sintaksis terkait dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa BKm memiliki sistem yang mirip dengan sistem bahasa rumpun Austronesia (Mandaru, 1998: 86). Merujuk karakteristik bahasa Austronesia, penelitian tipologi sintaksis BKm juga sekaligus diharapkan dapat memberikan bukti pendukung atau memperkuat bahwa bahasa BKm benar-benar termasuk ke dalam kelompok bahasa Austronesia merujuk kepada karakteristik yang dimilikinya. Kajian tipologi bahasa yang dikemukakan oleh Comrie (1983; 1989) merupakan teori yang lahir dari reaksi terhadap teori transformasi generatif yang didasarkan pada perilaku kebahasaan bahasa Inggris. Teori tipologi bahasa diklaim sebagai teori netral yang lebih bersifat lintas bahasa, baik dalam linguistik teoretis maupun dalam bidang kajian bahasa. Penerapan teori tipologi bahasa terhadap penelitian tipologi sintaksis BKm penting dilakukan untuk menguji xv apakah teori tersebut tepat diaplikasikan untuk menentukan tipologi BKm karena teori tipologi diklaim sebagai teori netral yang bersifat lintas bahasa. . 1.2 Rumusan Masalah Terdapat lima permasalahan dalam penelitian ini, yaitu (1) tipe-tipe struktur klausa apa saja yang dimiliki oleh BKm dan bagaimana sistem perluasannya?; (2) bagaimanakah kaidah struktur klausa BKm?; (3) bagaimanakah pola-pola valensi BKm?; (4) tipe-tipe struktur kalimat kompleks apa saja yang dimiliki BKm?; dan (5) bagaimanakah sistem aliansi gramatikal BKm? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali, menganalisis, dan menjelaskan fenomena kebahasaan BKm terkait dengan struktur BKm serta implikasi tipologisnya. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkapkan dan sekaligus memperkenalkan fakta kebahasaan BKm terutama terkait dengan bidang sintaksis untuk memperkaya khazanah linguistik Nusantara. Sementara itu, tujuan khusus penelitian ini adalah sesuai dengan permasalahan yang dibahas, yaitu (1) menemukan dan menjelaskan struktur klausa BKm, (2) menemukan dan menjelaskan kaidah struktur klausa BKm, (3) menemukan dan menjelaskan pola-pola valensi yang dimiliki BKm, (4) menemukan dan menjelaskan struktur kalimat kompleks BKm, dan (5) menemukan dan menjelaskan sistem aliansi gramatikal BKm. 1.4 Manfaat Penelitian Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan kontribusi bagi pengembangan teori linguistik secara lintas bahasa. Selain itu, penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai informasi dan acuan dalam usaha untuk memeroleh pengetahuan dan pemahaman yang berhubungan dengan sintaksis khususnya dan linguistik umumnya. Manfaat teoretis lainnya yang ingin dicapai penelitian ini adalah sejauh mana BKm berperilaku menyerupai bahasa-bahasa semesta di samping mengungkapkan fenomenafenomena unik yang terdapat pada BKm. Sementara itu, secara praktis hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk merangsang para penutur BKm dalam usaha mempertahankan dan mengembangkan bahasa ibunya Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi wadah dokumentasi untuk melestarikan dan menjaga keberadaan BKm sehingga mampu hidup sejajar dengan bahasabahasa daerah lainnya. Di samping itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan dan pedoman dalam penyusunan bahan ajar dan menjadi acuan dalam pengajaran BKm sebagai muatan lokal di tingkat pendidikan dasar. Terkait dengan pengembangan, pembinaan, dan pemberdayaan BKm, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pertimbangan dalam upaya pembakuan BKm dalam tataran sintaksis. Selain itu, penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam merumuskan kerangka dasar untuk pengembangan, pembinaan, dan pemberdayaan BKm yang merupakan kekayaan budaya lokal yang harus dilestarikan dan dikembangkan. xvi 2. Kajian Pustaka, Konsep, Landasan Teori, dan Model Penelitian 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka menyajikan sejumlah penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian yang relevan tersebut meliputi (1) penelitian yang mengkaji BKm sebagai objek penelitian dan (2) penelitian terhadap bahasa-bahasa lain yang memiliki kesamaan dalam hal permasalahan yang dibahas. Penelitian terhadap BKm yang relevan meliputi penelitian yang berjudul Kemak : An Austronesian Language oleh Stevens (1967), Struktur Bahasa Kemak oleh Sadnyana dkk. (1996), dan Morfologi dan Sintaksis Bahasa Kemak oleh Mandaru dkk. (1998). Ketiga penelitian tersebut tidak satu pun membahas tipologi sintaksis BKm. Namun, temuan dalam penelitian tersebut dapat bermanfaat dalam memberikan gambaran awal khususnya yang berhubungan dengan sistem sintaksis BKm. Sementara itu, penelitian terhadap bahasa-bahasa lain yang memiliki kesamaan dalam hal permasalahan yang dibahas meliputi penelitian yang berjudul “Keergatifan dan Sintaksis Bahasa Bali” oleh Artawa (1994), “Relasi Gramatikal dalam Kalimat Bahasa Tetun Dili” oleh Widaningsih (1997), “Aliansi Gramatikal dan Diatesis Bahasa Tetun Dialek Fehan: Sebuah Analisis Leksikal Fungsional” oleh Suciati (2000), “Beberapa Aspek Intransitif Terbelah pada Bahasa Nusantara” oleh Arka (2000), “Argumen Aktor dalam Bahasa Manggarai dan Pemetaan Fungsinya” oleh Kosmas (2000), “Relasi Gramatikal dan Perelatifan Bahasa Buna” oleh Partami (2001), “Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau” oleh Jufrizal (2004), “Pelesapan pada Konstruksi Koordinatif Bahasa Inggris” oleh Kasni (2008), “Aliansi Gramatikal Bahasa Dawan” oleh Budiarta (2009), “Valensi dan Relasi Gramatikal Bahasa Bima” oleh Satyawati (2009), dan “Struktur dan Fungsi Gramatikal Bahasa Lio” oleh Yudha (2011). Walaupun dengan objek penelitian bahasa yang berbeda, penelitian-penelitian tersebut sangat bermanfaat dan digunakan sebagai kajian pustaka karena peneliti berpendapat bahwa masalah yang dikaji dalam penelitian tersebut memiliki kemiripan dengan penelitian BKm. Kemiripan tersebut terlihat pada permasalahan-permasalahan yang dikaji, yaitu tentang tipologi sintaksis. Oleh karena itu, beberapa temuan dan simpulan penelitian sebelumnya dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan pembanding serta rujukan guna memeroleh kesempurnaan penelitian tipologi sintaksis BKm. 2.2 Konsep 2.2.1 Klausa Klausa tidak sama dengan kalimat yang berjenis kalimat minim/elip, tetapi disejajarkan dengan kalimat tunggal atau kalimat sederhana karena merujuk pada satuan predikasi. Dengan demikian, klausa yang dimaksud pada disertasi ini adalah kalimat sederhana (Kridalaksana, 1993). 2.2.2 Subjek, Objek, dan Oblik Subjek merupakan fungsi gramatikal paling utama yang biasanya ditempati oleh nomina atau frasa nominal (FN) dalam sebuah kalimat. Objek merupakan fungsi gramatikal selain subjek yang ditempati oleh nomina atau frasa nominal yang juga berperan sebagai argumen inti. Secara tradisional, objek xvii dibedakan atas objek langsung dan objek tak langsung (Trask, 1993). Oblik atau relasi oblik merupakan relasi gramatikal selain relasi gramatikal utama yang meliputi subjek dan objek. Lebih jauh, relasi oblik merupakan relasi gramatikal yang bersifat semantis (Palmer, 1994; Artawa, 2000). 2.2.3 Struktur Semantik Struktur semantik (semantic structure) menggambarkan kandungan semantis bentuk linguistik, khususnya verba yang berfungsi sebagai predikator. Komponen-komponen makna yang bersesuaian secara sintaksis diungkapkan dalam pengertian leksikal (Arka, 1998:197; Foley dan Van Valin, 1984). 2.2.4 Valensi Valensi merupakan jumlah argumen dalam kerangka sintaksis yang dikaitkan dengan verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi gramatikal (Katamba, 1993: 266). Konsep valensi berkaitan erat dengan perubahan jumlah argumen verba sebagai PRED dalam sebuah klausa yang pada hakikatnya mekanisme perubahan valensi ini memengaruhi argumen A atau SUBJ dan P atau OBJ suatu PRED verba (Haspelmath: 2002:218). 2.2.5 Argumen Argumen merupakan unsur sintaksis dan semantis yang diperlukan oleh sebuah verba, yang umumnya berkorelasi dengan partisipasi pada suatu kejadian atau keadaan yang dinyatakan oleh verba atau predikatnya. Jumlah argumen dalam sebuah klausa atau kalimat sangat ditentukan oleh verba sebagai inti (head) dari klausa atau kalimat tersebut (Wiliams, 1991:100; Culicover, 1997: 16--17). 2.2.6 Kalimat Kompleks Secara sederhana dan praktis dapat diungkapkan bahwa kalimat kompleks adalah kalimat yang memiliki klausa sematan (klausa bawahan) (Kuiper dan Allan, 1996: 255, 264). Elson dan Pickett (1983: 120) berpendapat bahwa kalimat sederhana dapat bergabung dengan kalimat sederhana lain untuk membentuk konstruksi (kalimat) yang lebih kompleks. 2.2.7 Pivot Pivot merupakan kategori yang mengaitkan S dan A, S dan P, S, A, dan P. Pivot merupakan FN yang paling sentral secara gramatikal. FN yang berfungsi sebagai pivot memiliki kemampuan mengoordinasikan, mengontrol anafora atau pelesapan, dan dihilangkan dalam struktur kontrol (Trask, 1993; Dixon, 1994; Matthews, 1997). 2.2.8 Aliansi Gramatikal Aliansi gramatikal merupakan sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam atau antarklausa dalam suatu bahasa secara tipologis, apakah S=A, S=P, Sa=A, dan Sp=P. Aliansi gramatikal merupakan titik perhatian untuk menentukan tipologi bahasa (Dixon, 1994; Palmer, 1994, Arka, 2000; Payne, 2002, Jufrizal. 2004). xviii 2.2.9 Tipologi Sintaksis Tipologi sintaksis merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan untuk mengelompokkan bahasa berdasarkan struktur frasa, klausa, dan kalimatnya. Terkait dengan tipologi sintaksis, Dixon (1994: 157--158) menambahkan bahwa penentuan tipologi sintaksis sebuah bahasa dapat dilakukan dengan pengetesan atau pengujian kepivotannya. 2.2.10 Tipologi Linguistik Tipologi linguistik atau tipologi bahasa merupakan kajian ilmu bahasa tentang bagaimana bahasa dikelompokkan. Pengelompokan bahasa-bahasa ini didasarkan pada sifat-perilaku (property) yang dimiliki oleh bahasa itu sendiri (Mallinson dan Blake, 1981; Comrie, 1983; dan 1988; Artawa, 2000). 2.3 Landasan Teori Awal berkembangnya teori tipologi bahasa dimulai sekitar tahun 1960-an yang dipelopori oleh Greenberg yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan urutan dasar subjek, objek, dan verba (S-O-V). Berkembangnya teori tipologi bahasa merupakan reaksi terhadap teori Tata Bahasa Transformasi Generatif yang cenderung didasarkan pada perilaku kebahasaan bahasa Inggris Perkembangan teori tipologi bahasa kemudian dilanjutkan oleh Comrie pada awal tahun 1980-an. Comrie mengembangkan kajian linguistik lintas bahasa yang mengarah kepada generalisasi dan pengelompokan bahasa-bahasa. Kajian linguistik yang dikembangkan oleh Comrie ini berada pada tataran morfosintaksis yang membahas (i) pemarkahan agen dan pasien, (ii) urutan kata, (iii) koordinasi, dan (iv) subordinasi (Mallinson dan Blake, 1981: 1—2). Pada dasarnya kajian tipologi bahasa terkait dengan pengelompokan bahasa-bahasa menurut strukturnya. Pengelompokan berdasarkan struktur ini tidak berarti bahwa bahasa-bahasa dikelompokkan hanya berdasarkan struktur, tetapi juga dapat dibedakan berdasarkan genetis, tipologis, dan areal (Mallinson dan Blake, 1981: 4--5). Penelitian tipologi sintaksis BKm ini mengaplikasikan teori tipologi bahasa yang dikemukakan oleh Comrie (1988) dan Dixon (1994). Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa penerapan teori tipologi bahasa bertujuan untuk mengkaji struktur klausa sebagai titik perhatian dalam penentuan tipologi bahasa. Selain itu, penerapan teori tipologi bahasa juga digunakan untuk mengkaji penggabungan klausa untuk membentuk kalimat kompleks. Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa teori utama yang menjadi payung penelitian yang mengkaji tipologi sintaksis BKm adalah teori tipologi bahasa yang dikemukakan, baik oleh Comrie (1988) maupun Dixon (1994). Dalam teori tipologi bahasa dinyatakan bahwa bila dalam suatu bahasa S (subjek), yakni argumen inti intransitf diperlakukan sama dengan A (agen), yakni argumen agen transitif, tetapi berbeda dari P (pasien), yakni argumen pasien transitif, bahasa tersebut bertipe akusatif. Bila suatu bahasa memperlakukan S sama dengan P, tetapi berbeda dari A, disebut sebagai bahasa ergatif, dan bila suatu bahasa memperlakukan S sebagai S dan S yang lainnya sebagai P, bahasa tersebut termasuk bahasa bertipe Split-S. Bahasa yang bertipe Split- S oleh Klimov (1979) disebut sebagai bahasa bertipe xix aktif. Dixon (1994) menyebutkan bahwa setiap bahasa memiliki klausa intransitif dan klausa transitif, yakni klausa dengan satu argumen inti yang disebut dengan “S”. Sementara itu, klausa transitif memiliki dua argumen inti yang disebut A dan O (objek) yang dalam tulisan ini dipakai A dan P. 2.4 Model Penelitian Bahasa Kemak Data Lisan Kalimat Bahasa Kemak Data Tulis Klausa Dasar Bahasa Kemak Klausa Kompleks Bahasa Kemak Teori Tipologi Bahasa Temuan Penelitian Model penelitian di atas menggambarkan bahwa penelitian tipologi sintaksis BKm ini diawali dengan proses pemerolehan data sintaksis, baik berupa data lisan maupun data tulisan. Data lisan dan data tulisan yang diperoleh berupa data dalam bentuk klausa atau kalimat. Data yang telah diperoleh diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Selanjutnya, data yang telah diklasifikasikan dianalisis dengan menggunakan teori tipologi bahasa yang dikemukakan oleh Comrie (1983; 1989). Hasil analisis data kemudian dirumuskan sehingga menghasilkan temuan-temuan yang sesuai dengan tujuan penelitian ini. 3. Metode Penelitian Penelitian ini berlokasi di Desa Umaklaran dan Desa Sadi, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, yaitu mulai Januari 2012 sampai Juni 2012. Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu data yang berasal dari contohcontoh yang digunakan oleh penulis lainnya yang diakui kebenarannya dan (2) informan yang merupakan penutur asli BKm. Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data adalah berupa daftar tanyaan karena peneliti bukan penutur asli BKm. Data penelitian ini diperoleh dengan menerapkan metode linguistik lapangan yang meliputi elisitasi langsung, perekaman, dan pengecekan elisitasi. Terkait dengan perekaman data penelitian, hasil perekaman data yang berupa teks cerita ditranskripsi xx menggunakan perangkat lunak ELAN. Data transkripsi ini digunakan untuk mendukung data yang diperoleh melalui elisitasi. Data yang diperoleh dalam proses pengumpulan data melalui hasil elisitasi dan perekaman diseleksi dan diklasifikasikan secara sistematis berdasarkan kelompok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah proses analisis data. Dalam proses analisis data, metode yang digunakan adalah metode agih (metode distribusional). Penelitian ini hanya menggunakan enam dari tujuh teknik yang termasuk dalam metode agih, yaitu teknik lesap, teknik ganti, teknik perluas, teknik sisip, teknik balik, dan teknik ubah wujud. Penyajian hasil analisis ini dirangkum dalam dua metode, yakni metode formal dan metode informal. Metode informal berarti metode penyajian hasil analisis data yang disajikan dalam bentuk paparan menggunakan kata-kata biasa (bahasa verbal). Metode formal adalah metode penyajian hasil analisis data dengan menggunakan tanda, lambang-lambang tertentu, seperti tanda panah, tanda bintang, tanda kurung kurawal, lambang huruf sebagai singkatan, dan atau bentuk-bentuk diagram yang dikenal dalam linguistik 4. Struktur Klausa Bahasa Kemak 4.1 Sistem Morfologi Verba Bahasa Kemak Pembahasan sistem morfologi verba BKm terkait dengan fungsi verba sebagai kategori utama yang bertugas mengisi slot predikat dalam kalimat. Pembahasan tentang proses pembentukan verba (verbalisasi) bertujuan untuk memberikan gambaran lengkap bagaimana verba BKm dibentuk. Pembahasan ini juga diharapkan dapat menjadi penghubung antara sifat perilaku verba dan struktur dasar klausa BKm. Pembahasan morfologi verba memiliki peranan yang sangat penting dalam kajian morfosintaksis suatu bahasa. Deskripsi dan batasan mengenai verba penting diberikan untuk dapat membedakan antara verba dan kategori lainnya. Sistem morfologi verba BKm menunjukkan bahwa verba BKm hanya terdiri atas verba asal. Penelitian ini tidak menemukan verba turunan BKm. Dengan kata lain, semua verba BKm yang ditemukan merupakan verba asal. Hal ini berarti bahwa proses morfologis yang dapat mengubah sebuah kategori kata yang sebelumnya bukan verba menjadi verba tidak ditemukan dalam BKm. Lebih lanjut, verba yang menempati posisi predikat BKm hadir tanpa adanya pemarkah morfologis yang melekat pada verba tersebut. Di samping itu, diketahui bahwa tidak terdapat persesuaaian antara subjek dan predikat. Mengacu kepada ciri verba, maka verba BKm memenuhi pedoman yang telah disampaikan oleh Alwi dkk. (2000:87—88), yaitu (i) verba BKm memiliki fungsi utama yang menduduki posisi predikat atau sebagai inti predikat dalam suatu klausa/kalimat, (ii) verba BKm mengandung makna inheren perbuatan (tindakan), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas, dan (iii) verba BKm tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan, seperti agak, sangat, dan sekali. xxi 4.2 Struktur Klausa Bahasa Kemak Struktur klausa terdiri atas klausa berpredikat nonverbal.dan berpredikat verbal. Predikat kluasa nonverbal BKm dapat diisi oleh nominal, adjektival, numeralia, dan adverbial (frasa preposisional). Tidak terdapat verba kopula pada konstruksi klausa yang berpredikat nonverbal. Predikat klausa nonverbal yang ditempati oleh nomina, adjektival, numeralia, dan adverbial membutuhkan S yang merupakan satu-satunya argumen pada konstruksi tersebut. S yang merupakan satu-satunya argumen menempati posisi sebelum predikat. Klausa berpredikat verbal BKm terdiri atas klausa intransitif dan klausa transitif. Klausa transitif dapat pula dibagi menjadi klausa ekatransitif, yaitu klausa yang berargumen inti dua dan klausa dwitransitif, yaitu klausa yang berargumen inti tiga. Sama seperti klausa yang berpredikat nonverbal, klausa intransitif BKm membutuhkan S (subjek intransitif) yang merupakan satu-satunya argumen pada konstruksi tersebut yang hadir sebelum verba (praverbal). Sementara itu, klausa transitif BKm membutuhkan dua argumen, yaitu argumen praverbal dan argumen posverbal. Untuk meningkatkan jumlah argumen dari klausa berargumen inti dua menjadi argumen inti tiga diperlukan kehadiran pemarkah podi. Di samping memiliki klausa berpreddikat verbal dan berpredikat nonvebral, BKm juga memiliki klausa eksistensial yang ditandai dengan kehadiran leksikal odi ‘ada’. Klausa eksistensial BKm berfungsi untuk menyatakan keberadaan dan kepemilikan. 4.3 Tata Urutan Kata Bahasa Kemak BKm memiliki tata urutan kata atau pola kanonis SVO atau agen –verbapasien. Di samping memiliki tata urutan kata SVO, BKm juga memiliki struktur turunan, yaitu struktur fokus dan struktur pasif. Struktur fokus BKm ditandai dengan pemarkah fokus te yang hadir di antara subjek dan predikat (verbal). Sementara struktur pasif BKm merupakan pasif analitik yang ditandai dengan hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba (praverbal) karena BKm tidak memiliki proses morfologis untuk mengubah konstruksi aktif menjadi pasif. Sesuai dengan tata urutan kata BKm yang berpola SVO, maka kalimat deklaratif (intransitif, ekatransitif, dan dwitransitif) BKm memiliki tata urutan kata yang sama, yaitu SVO. Tata urutan kata yang sama juga ditemukan pada kalimat interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat negatif BKm. 5. Predikasi Bahasa Kemak 5.1 Predikat dan Struktur Argumen Bahasa Kemak Predikasi BKm dapat berupa satu predikat nonverbal yang dapat ditempati oleh nominal, adjektival, numeral, dan adverbial dan satu argumen yang menempati posisi di depan predikat yang berfungsi sebagai subjek gramatikal. Predikat nonverbal BKm menghendaki satu argumen subjek untuk membentuk predikasi. Unsur-unsur bukan argumen predikat dapat saja ditambahkan pada predikasi tersebut. Selain predikasi BKm yang dibentuk oleh predikat nonverbal, predikasi BKm dapat pula dibentuk oleh satu argumen dan satu predikat verbal, yaitu predikat dengan verba intransitif. Sama seperti predikasi BKm yang dibentuk oleh predikat nonverbal, predikat verbal intransitif juga menghendaki xxii satu unsur argumen FN yang dapat berfungsi sebagai subjek gramatikal dan secara semantis berfungsi sebagai agen atau pasien. Predikasi BKm dengan predikat verba transitif menghendaki dua argumen atau lebih. Kehadiran argumen-argumen tersebut bersifat wajib. 5.2 Peran Semantis Argumen Bahasa Kemak Verba yang menempati predikat merupakan unsur inti (head) yang menyatakan situasi kebahasaan (state of affairs) yang berbeda-beda yang memengaruhi keterlibatan argumen-argumen yang berbeda-beda pula. Van Valin dan La Polla (1997:141) membagi peran semantik umum menjadi ACTOR dan UNDERGOER. ACTOR merupakan generalisasi peran tipe aktor, sedangkan UNDERGOER merupakan generalisasi peran tipe pasien. Lebih jauh, peran ACTOR dapat dijabarkan ke dalam peran khusus, seperti agen, tema, pengalami, dan sebagainya. Sementara, peran UNDERGOER dapat pula dijabarkan ke dalam peran khusus, seperti pasien, tema, penerima, instrumen, dan sebagainya. 5.3 Tipe Semantis Verba Bahasa Kemak Tipe semnatis verba BKm dapat dibedakan menjadi empat kelompok situasi kebahasaan (state of affairs), yaitu (1) keadaan merupakan situasi kebahasaan yang bersifat statis atau nondinamis yang mencakup lokasi partisipan, situasi atau kondisi partisipan, dan pengalaman partisipan, (2) peristiwa merupakan situasi kebahasaan yang terjadi secara spontan, (3) proses merupakan situasi kebahasaan yang menggambarkan perubahan dan perubahan tersebut memakan waktu yang lama atau perubahan yang terjadi membutuhkan waktu yang lama, dan (4) aksi merupakan situasi kebahasaan yang bersifat dinamis. Sifat dinamis ini digambarkan oleh partisipan dengan melakukan suatu tindakan. Situasi kebahasaan Tipe Semantik Verba Keadaan Peristiwa Proses Aksi Keadaan [+statis] [-telis] [-tepat waktu] Achievement [-statis] [-telis] [-tepat waktu] Accomplishment [-statis] [+telis] [-tepat waktu] Aktivitas [-statis] [+telis] [+tepat waktu] 1 2 3 tinaut ‘takut’ mnahu ‘jatuh’ tau ‘buat’ para ‘pukul’ bue ‘tidur’ teta ‘patah’ sana ‘asah’ ele ‘cari’ koleng kariang taua ‘masak’ hai ‘tendang’ ‘lelah’ ‘tumpah’ 4 ber tura ‘putus’ telu’u enu ‘minum’ ‘menyukai’ ‘sambung’ 5 gabarang apan ‘hancur’ estuda dale ‘bicara’ ‘sakit’ ‘belajar’ Pembagian tipe semantis verba BKm yang disajikan di atas mengungkapkan bahwa (1) situasi kebahasaan yang menyatakan keadaan/situasi dinyatakan oleh verba state/keadaan, seperti verba tinaut ‘takut, bue ‘tidur’, dan koleng ‘sedih’; (2) situasi kebahasaan yang menyatakan peristiwa dinyatakan oleh verba achievement, seperti verba mnahu ‘jatuh’, teta ‘patah’, dan kariang ‘tumpah’; (3) situasi kebahasaan yang menyatakan proses dinyatakan verba accomplishment, seperti verba tau ‘buat’, taua ‘masak’, dan sana ‘asah’; serta (4) xxiii situasi kebahasaan yang menyatakan aksi dinyatakan oleh verba aktivitas, seperti ele ‘mencari’, para ‘memukul’, dan dale ‘berbicara’. 5.4 Frasa Verbal Bahasa Kemak Frasa verbal BKm dibentuk oleh verba sebagai unsur utama (head) dan dapat disertai oleh unsur-unsur lain dalam sebuah klausa atau kalimat. FV BKm dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus, dan negasi yang menempati posisi sebelum verba (praverbal) dan setelah verba (posverbal). Aspek ei ‘akan’ dan hei ‘sedang’ menempati posisi sebelum verba, sedangkan aspek kasai ‘sudah’ berada setelah verba. Modus mloing ‘bisa’ menempati posisi setelah verba dan modus los ‘harus’ menempati posisi sebelum verba. Negasi ti ‘tidak’ menempati posisi sebelum verba. Di samping dapat disertai satu unsur aspek, modus, dan negasi, FV BKm juga dapat dibentuk oleh verba dan disertai oleh gabungan dua unsur, antara negasi dan aspek, seperti ti + ei ‘tidak+akan’; negasi+modus, seperti ti+V+mloing ‘tidak+V+bisa’; modus+modus, seperti los+V+mloing ‘harus+V+bisa’; dan aspek + modus, seperti kasai mloing ‘sudah bisa’. 5.5 Serialisasi Verba Bahasa Kemak Konstruksi serialisasi verba pada prinsipnya merupakan konstruksi monoklausal yang terbentuk dari paling tidak dua verba inti yang saling berdampingan dan tidak memiliki hubungan komplementasi. Konstruksi verba serial (KVS) BKm dapat dibangun oleh verba serial, baik yang terdiri atas dua verba maupun verba serial yang terdiri atas tiga verba. Baik KVS BKm yang dibangun oleh dua maupun tiga verba memiliki fungsi gramatikal satu subjek dan objek yang dimiliki secara bersama-sama. 6. Valensi Verba Bahasa Kemak Pembahasan valensi terkait dengan proses penaikan/penambahan dan penurunan/pengurangan jumlah argumen yang hadir pada sebuah konstruksi klausa/kalimat. Proses penaikan/penambahan argumen yang hadir dalam sebuah klausa/kalimat dapat dijumpai pada pengkausatifan dan pengaplikatifan. Sebaliknya, proses penurunan/pengurangan jumlah argumen dapat dijumpai pada proses pembentukan konstruksi resultatif, yang diturunkan dari konstruksi transitif menjadi konstruksi intransitif. Konstruksi kausatif BKm dapat dibedakan berdasarkan dua parameter, yaitu parameter formal (morfosintaksis) dan parameter semantis. Berdasarkan parameter formal, konstruksi kausatif BKm dibagi menjadi dua, yaitu kausatif leksikal dan kausatif analitik. Kausatif analitik BKm dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dengan predikat yang diisi oleh verba intransitif, verba transitif, dan predikat adjektival. Di samping konstruksi kausatif yang dibangun oleh verba kausatif tau ’buat’, konstruksi kausatif BKm juga dapat dibentuk dengan bantuan verba kausatif laka ‘suruh’. Untuk membentuk konstruksi kausatif, verba laka ‘suruh’ hanya dapat diikuti oleh verba intransitif dan transitif. BKm tidak memiliki kausatif morfologis karena BKm tidak memiliki proses afiksasi yang dapat membentuk konstruksi kausatif. Berdasarkan parameter semantis, konstruksi kausatif BKm dibedakan pula berdasarkan (1) tingkat kendali yang xxiv dimiliki oleh tersebab (causee) dan (2) parameter rentang waktu dari hubungan antara sebab dan akibat. Berdasarkan tingkat kendali tersebab (causee), konstruksi kausatif BKm dibedakan menjadi kausatif sejati dan kausatif permisif. Sementara, berdasarkan rentang waktu dari hubungan antara sebab dan akibat, konstruksi kausatif dibedakan menjadi kausatif langsung dan kausatif tak langsung. Konstruksi aplikatif BKm dibangun oleh verba transitif dan pemarkah aplikatif podi yang menempati posisi setelah verba transitif. Hadirnya pemarkah podi ini secara otomatis meningkatkan jumlah argumen, yang sebelumnya verba berargumen dua, yaitu subjek dan objek langsung berubah menjadi verba yang berargumen tiga, yaitu subjek, objek langsung, dan objek tak langsung. Pemarkah aplikatif podi secara otomatis memberikan ruang bagi argumen baru, yaitu objek tak langsung yang langsung hadir setelah verba dan pemarkah podi. Sementara itu, konstruksi resultatif BKm dibangun dengan mekanisme pemasifan. Pemasifan merupakan salah satu mekanisme penurunan valensi. Pemasifan yang merupakan penurunan valensi verba untuk membentuk konstruksi resultatif BKm memiliki mekanisme tersendiri. Berbeda dengan bahasa-bahasa pada umumnya yang memiliki proses morfologis (afiksasi) untuk membentuk konstruksi pasif, BKm memiliki mekanisme tersendiri untuk membentuk konstruksi pasif, yaitu dengan hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ sebelum verba untuk membentuk konstruksi resultatif. Proses penuruann valensi melalui mekanisme pemasifan BKm dapat pula membentuk konstruksi antikausatif karena agen pada konstruksi antikausatif tidak pernah dinyatakan dan agen pada konstruksi pasif bersifat opsional, bisa hadir dan bisa tidak, seperti tersaji pada contoh klausa-klausa di atas sehingga konstruksi pasif, antikausatif, dan resultatif memiliki kemiripan atau persamaan. Di samping konstruksi pasif analitik untuk menggambarkan konstruksi resultatif, BKm juga memiliki mekanisme lain untuk membentuk konstruksi resultatif, yaitu menghadirkan pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ pada sebuah klausa/kalimat yang ditempatkan di akhir klausa/kalimat. Hadirnya pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ mengandung makna bahwa sebuah peristiwa yang digambarkan oleh verba sudah berhasil dilakukan. 7. Fungsi dan Relasi Gramatikal Bahasa Kemak 7.1 Fungsi Gramatikal Bahasa Kemak Comrie (1981) dan Dixon (1994) menyatakan bahwa agen dan pasien merupakan fungsi gramatikal. Hal ini berbeda dengan Palmer (1994) yang menyatakan agen dan pasien merupakan peran gramatikal. Disertasi ini mengacu kepada pendapat Comrie (1981) dan Dixon (1994) yang menyatakan bahwa agen dan pasien merupakan fungsi gramatikal. Argumen pada klausa intransitif BKm secara semantis memiliki fungsi gramatikal agen. Jika verba yang menempati posisi predikat klausa intransitif merupakan verba keadaan (atau predikat bukan verbal), subjek gramatikal pada klausa tersebut dapat berperilaku sebagai pasien. Sementara itu, subjek gramatikal pada klausa transitif BKm pada umumnya adalah agen, sedangkan objek gramatikal pada klausa transitif pada umumnya merupakan pasien. xxv 7.2 Relasi Gramatikal Bahasa Kemak Relasi gramatikal memegang peranan yang penting dalam sintaksis bahasa alamiah. Relasi-relasi gramatikal tersebut terdiri atas subjek (S), objek langsung (OL), dan objek tidak langsung (OTL). Mengacu kepada teori tata bahasa relasional, relasi gramatikal adalah S, OL, OTL, dan relasi oblik. Relasi gramatikal S, OL, dan OTL merupakan relasi gramatikal sintaksis murni, sedangkan relasi oblik (benefisiari, instrumental, dan lokatif) merupakan relasi yang bersifat semantik. Subjek merupakan relasi gramatikal inti dalam BKm. Terdapat sembilan cara untuk mengidentifikasi subjek BKm, yaitu (1) subjek BKm muncul pada posisi praverbal pada struktur kanonis; (2) adverbial dan penegasi dapat disisipkan di antara argumen praverbal dan verbal. Pada posisi kanonik, argumen praverbal tersebut merupakan subjek sehingga antara subjek dan verbal dapat disisipi oleh adverbial dan penegasi; (3) subjek BKm dapat direlatifkan dengan pemarkah ne ‘yang’. Selain subjek, BKm juga dapat merelatifkan argumen inti yang secara sintaksis berfungsi sebagai objek, baik objek langsung maupun objek tak langsung; (4) antara subjek dan predikat dapat disisipkan dengan penjangka kambang; (5) subjek dapat direfleksifkan; (6) argumen selain subjek (objek, baik OL maupun OTL) dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek melalui mekanisme penaikan; (7) subjek dapat difokuskan dengan pemarkah fokus te; (8) subjek dapat dikontrol; dan (9) frasa nomina tidak terang (PRO) berkoreferensi dengan subjek pada klausa yang lebih tinggi. Selain relasi gramatikal inti subjek, objek yang juga merupakan relasi gramatikal inti BKm dapat diidentifikasi dengan mengacu kepada struktur kanonis yang menempatkan objek merupakan argumen yang secara langsung mengikuti verba. Di samping itu, objek BKm dapat diidentifikasi melalui proses pemasifan. Konstruksi pasif BKm merupakan konstruksi pasif analitik dengan kehadiran pemarkah toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba (praverbal). Objek BKm dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek dengan kehadiran pemarkah analitik toma ‘dapat’. Di samping objek yang dapat diidentifikasi melalui posisinya yang secara langsung mengikuti verba dan pemasifan, objek BKm juga dapat diidentifikasi dengan pengedepanan objek dan menempati posisi subjek dengan mekanisme pemfokusan dengan pemarkah fokus te yang hadir sebelum verba. Penentuan objek BKm juga dapat dilakukan dengan pengujian penyisipan adverbial. Hasilnya menunjukkan bahwa verba dan argumen yang secara langsung mengikuti verba tidak dapat disisipi oleh adverbial sehingga dapat disimpulkan bahwa argumen yang secara langsung mengikuti verba diidentifikasi sebagai objek. Jadi, apabila dalam sebuah konstruksi klausa/kalimat BKm tidak mengizinkan adanya penyisipan adverbial antara verba dan argumen yang secara langsung mengikutinya, maka argumen yang secara langsung mengikutinya adalah objek. Relasi oblik BKm merupakan relasi gramatikal noninti yang terdiri atas oblik goal, oblik lokatif, oblik sumber (source), dan oblik instrumen. Semua oblik BKm dimarkahi oleh pemarkah dalam bentuk preposisi. Preposisi pemarkah oblik BKm terdiri atas (1) de ’di/ke’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik lokatif, (2) dase ‘dari’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik sumber (source), dan (3) odi ‘dengan/kepada/untuk’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik goal dan oblik xxvi instrumen. Komplemen BKm ditandai dengan hadirnya pemerlengkap. Pemerlengkap BKm terdiri atas pemerlengkap bobe ‘bahwa’ dan pemerlengkap nuabe ‘supaya’. Adjung BKm ditandai dengan kehadiran adverbial dan preposisi. Adjung dalam bentuk adverbial menempati posisi akhir klausa, sedangkan adjung yang berupa preposisi modifier menempati posisi akhir dari klausa tersebut. Khusus untuk adjung yang berupa preposisi modifier, kehadirannya dalam sebuah klausa hanya dapat menempati posisi akhir dari sebuah klausa; sedangkan adjung yang berupa adverbial dapat menempati posisi awal dan tengah klausa. 8. Kalimat Kompleks Bahasa Kemak Pembahasan kalimat kompleks BKm meliputi (1) kalimat yang mempunyai klausa relatif, (2) kalimat yang mempunyai klausa purposif/ bertujuan (selanjutnva disebut klausa purposif), (3) kalimat yang mempunyai klausa alasan (reason clause), dan (4) kalimat yang mempunyai klausa pemerlengkap (selanjutnya disebut klausa pemerlengkap). BKm memiliki strategi atau kiat-kiat gramatikal dalam perelatifan, yaitu dengan hadirnya pemarkah relatif ne ‘yang’. Perelatifan BKm menunjukkan bahwa seluruh relasi gramatikal yang meliputi subjek, objek (langsung dan tak langsung), dan relasi oblik dalam BKm dapat direlatifkan secara langsung tanpa melalui kiat ‘penurunan diatesis’ atau kiat ‘penandaan verba’. Dengan demikian, BKm dan bahasa Inggris memiliki persamaan, yaitu dapat merelatifkan semua relasi gramatikalnya. Kenyataan ini memberikan isyarat bahwa BKm merupakan bahasa yang bertipologi akusatif secara sintaktis, sama seperti bahasa Inggris yang merupakan bahasa bertipologi akusatif. Klausa purposif BKm merupakan adjung (keterangan) dari klausa intransitif yang merupakan klausa utamanya. Agen klausa purposif yang merupakan satu-satunya argumen yang muucul secara tersirat ditandai dengan ([ ]) dan berkoreferensi (co-reference) dengan subjek klausa utamanya. Kata penghubung (konjungsi) subordinatif yang digunakan untuk menghubungkan klausa utama (induk) dengan klausa purposif dalam BKm adalah nuabe ‘supaya’ dan odi ‘untuk’. Agen klausa purposif yang merupakan satu-satunya argumen muucul secara tersirat ditandai dengan ([ ]) berkoreferensi (co-reference) dengan subjek klausa utamanya. Subjek klausa purposif dapat berkoreferensi, baik dengan subjek klausa utama maupun objek klausa utama. Hal ini sangat tergantung pada verba yang menempati fungsi predikat klausa tersebut. Sementara itu, kalimat kompleks dengan klausa alasan menggunakan konjungsi subordinatif pita ‘karena’. Objek klausa alasan dapat berkoreferensi, baik dengan subjek klausa utama maupun objek klausa utama. Hal ini sangat ditentukan oleh verba yang menempati posisi predikat kalimat kompleks tersebut. Klausa pemerlengkap (complement clause) adalah klausa yang merupakan argumen sebuah predikat, khususnya berfungsi sebagai subjek atau sebagai objek langsung. Perilaku gramatikal klausa pemerlengkap BKm ditunjukkan dengan hadirnya verba tak-terbatas. Verba tak-terbatas yang menandai klausa pemerlengkap BKm dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu verba jenis ‘ingin’, verba jenis ‘tahu’, dan verba jenis ‘mengatakan’. Kalimat kompleks dengan klausa pemerlengkap berpredikat verba jenis ‘tahu’ memiliki perilaku xxvii gramatikal yang berbeda dengan perilaku yang diperlihatkan oleh klausa pemerlengkap yang berverba jenis ‘ingin’. Apabila klausa pemerlengkapnya berverba jenis ‘tahu’, maka S atau subjek klausa pemerlengkap tersebut berkoreferensi dengan O atau P klausa induk. Sementara itu, apabila klausa pemerlengkapnya berverba jenis ‘ingin’, maka S atau subjek klausa pemerlengkap tersebut berkoreferensi dengan S klausa induk, dan S atau subjek pemerlengkap dapat pula berkoreferensi dengan P klausa induk melalui mekanisme penopikan. Pada klausa pemerlengkap dengan verba jenis ‘mengatakan’, S klausa pemerlengkapnya berkoreferensi dengan P klausa induk. 9. Tipologi Sintaksis Bahasa Kemak Pembahasan tipologi sintaksis BKm diawali dengan menguraikan satuansatuan dasar sintaksis-semantis semesta. Selanjutnya, uraian tentang konstruksi sintaksis BKm yang meliputi konstruksi dengan verba tak terbatas, pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatif, konstruksi subordinatif, dan pembentukan kalimat tanya. Pembahasan berikutnya menguraikan sistem aliansi gramatikal BKm. Kemudian dilanjutkan dengan membahas diatesis BKm. Pembahasan terhadap konstruksi sintaksis BKm yang meliputi konstruksi dengan verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatif, konstruksi subordinatif, dan pembentukan kalimat tanya dengan melihat perilaku gramatikalnya bertujuan untuk menentukan tipologi sintaksisnya. Konstruksi dengan verba tak terbatas dan konstruksi dengan pemerlengkap jusif menunjukkan bahwa jika S berkoreferensi dengan A, maka pelesapan salah satu argumen dapat dilakukan secara langsung. Namun, apabila S berkoreferensi dengan P, maka diperlukan proses penurunan (derivasi) sintaksis melalui penopikan dan pemasifan (pasif analitik). Dengan demikian, BKm memperlihatkan bahwa A diperlakukan sama dengan S, tetapi berbeda dengan P. Pengujian pivot terhadap konstruksi koordinatif dan subordinatif berdasarkan sebelas kerangka kerja yang dikemukakan oleh Dixon (1998) menunjukkan bahwa BKm bekerja dengan pivot S/A. Simpulan ini diambil berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan pada saat proses penggabungan dua klausa, baik secara koordinatif maupun subordinatif, yang menunjukkan proses pelesapan dapat terjadi secara langsung apabila S berkoreferensi dengan A. Sebaliknya, apabila S berkoreferensi dengan P, maka diperlukan proses penurunn (derivasi) sintaksis melalui penopikan dan pemasifan (pasif analitik). Pembentukan kalimat tanya BKm juga menunjukkan bahwa A diperlakukan sama dengan S, tetapi berbeda dengan P. Berdasarkan pengamatan perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis tersebut ditemukan bahwa secara sintaksis BKm merupakan bahasa yang memiliki sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda kepada P. Sistem aliansi gramatikal BKm tersebut digambarkan sebagai berikut. xxviii S A atau S = A, ≠ P p Berdasarkan sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda dengan P, maka BKm dapat dikelompokkan sebagai bahasa yang bertipologi akusatif. BKm memiliki diatesis aktif-pasif yang merupakan salah satu ciri penting dalam bahasa bertipologi akusatif. Di samping diatesis aktif-pasif, BKm juga memiliki diatesis medial. 10. Temuan Penelitian Temuan-temuan baru terkait penelitian tipologi sintaksis BKm diuraikan sebagai berikut. (1) Semua verba BKm merupakan verba dasar. Tidak ditemukan proses morfologis yang mengubah satu kategori kata yang sebelumnya bukan verba menjadi verba. Tidak ditemukan pula adanya persesuaian antara verba dan argumen-argumennya. (2) Selain memiliki klausa verbal dan nonverbal, BKm juga memiliki klausa eksistensial. (3) BKm memiliki pemarkah aplikatif podi yang berfungsi untuk meningkatkan valensi verba dari verba bervalensi dua (ekatransitif) menjadi verba bervalensi tiga (dwitransitif). (4) BKm memiliki tata urutan kata SVO atau agen-verba-pasien. Di samping itu, ditemukan struktur turunan pada BKm, yaitu pemfokusan dan pasif. Konstruksi pemfokusan BKm ditandai dengan hadirnya pemarkah te. Sementara, konstruksi pasif ditandai dengan hadirnya pemarkah toma ‘dapat’. Konstruksi pasif BKm merupakan pasif analitik (sintaksis)karena BKm tidak memiliki proses morfologis untuk membentuk konstruksi pasif. (5) FV BKm dapat dibangun oleh verba yang dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus, dan negasi atau gabungan dari unsur aspek, modus, dan negasi. (6) KVS BKm dapat dibangun, baik oleh dua maupun tiga verba. Baik KVs yang dibangun oleh dua ataupun tiga hanya memiliki satu fungsi gramatikal subjek dan objek. (7) Berdasarkan parameter formal (morfosintaksis) BKm hanya memiliki konstruksi kausatif leksikal dan kausatif analitik. Kausatif analitik BKm dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat dan laka ’suruh’. (8) Konstruksi aplikatif BKm ditandai dengan hadirnya aplikatif podi yang hadir setelah predikat verba. xxix (9) (10) (11) (12) (13) (14) Konstruksi resultatif BKm dibangun dengan mekanisme pemasifan dan dengan menghadirkan pemarkah perfektif kasai ‘sudah’. BKm dapat merelatifkan seluruh relasi gramatikalmya. Klausa relatif BKm ditandai dengan hadirnya pemarkah relatif ne ‘yang’. Strategi penggabungan klausa secara koordinatif dan subordinatif menunjukkan bahwa secara sintaksis BKm bekerja dengan sistem S/A pivot. Berdasarkan pengamatan perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis tersebut, ditemukan bahwa secara sintaksis BKm merupakan bahasa yang memiliki sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda kepada P. Berdasarkan sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda dengan P, maka BKm dapat dikelompokkan sebagai bahasa yang bertipologi akusatif. Berdasarkan kriteria rumpun bahasa Autronesia yang dikemukakan oleh Klamer (dalam Pieter Muysken, 2008: 112--113), BKm dapat dikelompokkan ke dalam rumpun bahasa Austronesia. 11. Simpulan dan Saran Simpulan ini menguraikan beberapa temuan yang terkait dengan lima permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Simpulan tersebut diuraikan sebagai berikut. 11.1 Simpulan (1) Klausa BKm terdiri atas klausa berpredikat nonverbal dan klausa berpredikat verbal. Struktur klausa berpredikat nonverbal dapat berwujud klausa berpredikat nominal, klausa berpredikat adjektival, klausa berpredikat numeralia, dan klausa berpredikat frasa preposisional. Sementara itu, struktur klausa berpredikat verbal terdiri atas klausa intransitif dan transitif. Klausa transitif BKm dibagi menjadi klausa ekatransitif dan klausa dwitransitif. Di samping memiliki klausa berpredikat verbal dan nonverbal, BKm juga memiliki klausa eksistensial. Tata urutan kata klausa/kalimat dasar BKm berdasarkan struktur kalimat deklaratif, kalimat interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat negatif adalah SVO (AVP). Di samping itu memiliki tata urutan kata SVO, BKm juga memiliki struktur turunan, yaitu pemfokusan dan pasif. Struktur pemfokusan ditandai dengan kehadiran pemarkah fokus te. Sementara itu, konstruksi pasif BKm ditandai dengan kehadiran pemarkah toma ‘dapat’. (2) Predikasi BKm yang dibentuk oleh predikat nonverbal dan predikat verbal intransitif menghendaki satu unsur argumen FN yang dapat berfungsi sebagai subjek gramatikal dan secara semantis dapat berfungsi sebagai agen atau pasien. Predikasi BKm dengan predikat verba transitif menghendaki dua argumen atau lebih. Kehadiran argumen-argumen tersebut dalam predikat kalimat transitif bersifat wajib. Argumen BKm memiliki peran semantis umum argumen, yaitu ACTOR dan UNDERGOER. Peran semantis umum ACTOR dan UNDERGOER sama dengan fungsi gramatikal agen dan pasien dalam kajian tipologi bahasa. xxx (3) FV BKm dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus, dan negasi ataupun gabungan dua unsur aspek, modus, dan negasi. Sementara itu, konstruksi verba serial (KVS) BKm dapat dibangun oleh verba serial, baik yang terdiri atas dua maupun tiga verba. (4) Konstruksi kausatif BKm dapat dibedakan berdasarkan dua parameter, yaitu parameter formal (morfosintaksis) dan parameter semantis. Berdasarkan parameter formal, konstruksi kausatif BKm dibagi menjadi dua, yaitu kausatif leksikal dan kausatif analitik. Berdasarkan parameter semantis, konstruksi kausatif BKm dibedakan pula berdasarkan (1) tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee), yaitu kausatif sejati dan kausatif permisif dan (2) parameter rentang waktu hubungan antara sebab dan akibat, yaitu kausatif langsung dan kausatif tak langsung.. Konstruksi aplikatif BKm dibangun oleh verba transitif dan pemarkah aplikatif podi yang menempati posisi setelah verba transitif. Konstruksi resultatif BKm dibangun dengan mekanisme pemasifan dan dengan kehadiran pemarkah perfektif kasai ‘sudah/telah’. (5) Secara semantis, terdapat satu-satunya argumen pada klausa intransitif BKm yang memiliki fungsi gramatikal agen atau pasien. Sementara itu, subjek gramatikal pada klausa transitif BKm pada umumnya adalah agen, sedangkan objek gramatikal pada klausa transitif pada umumnya merupakan pasien. Subjek BKm dapat diidentifikasi karena muncul sebagai argumen preverbal Sementara, objek BKm dapat diidentifikasi karena muncul sebagai argumen posverbal. Oblik BKm dibedakan atas oblik goal, oblik lokatif, oblik sumber (source), dan oblik instrumen. Semua oblik BKm dimarkahi preposisi. (6) BKm secara langsung dapat merelatifkan seluruh relasi gramatikalnya. BKm memiliki strategi perelatifan tersendiri, yaitu dengan kehadiran pemarkah relatif ne ‘yang’. Agen klausa purposif yang merupakan satu-satunya argumen yang muncul secara tersirat yang ditandai dengan ([ ]) berujuk silang (co-reference) dengan subjek klausa utamanya. Objek klausa alasan dapat berujuk silang dengan subjek klausa utama atau objek klausa utama. Hal ini sangat ditentukan oleh verba yang menempati posisi predikat kalimat kompleks tersebut. Verba tak-terbatas yang menandai klausa pemerlengkap BKm dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu verba jenis ‘ingin’, verba jenis ‘tahu’, dan verba jenis ‘mengatakan’. (7) Pengujian pivot terhadap konstruksi koordinatif dan subordinatif menunjukkan bahwa BKm bekerja dengan pivot S/A. Simpulan ini diambil berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan pada saat proses penggabungan dua klausa yang menunjukkan proses pelesapan dapat terjadi secara langsung apabila S berujuk silang dengan A. Apabila S berujuk silang dengan P, proses penurunn (derivasi) sintaksis melalui penopikan dan pemasifan (pasif analitik) diperlukan. (8) Pengamatan perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis menunjukkan bahwa BKm merupakan bahasa yang memiliki sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda kepada P. Berdasarkan sistem aliansi gramatikal tersebut, BKm dikelompokkan sebagai bahasa bertipologi akusatif. Sistem aliansi gramatikal BKm digambarkan sebagai berikut. xxxi S p atau S = A, ≠ P A 11.2 Saran-Saran Tidak dapat dipungkiri bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan harena masih terdapat beberapa masalah yang masih perlu dikaji lebih lanjut. Misalnya, terkait dengan tipologi morfologis BKm. Sejauh ini penelitian ini tidak menemukan adanya pemarkah morfologis yang dapat digunakan untuk menentukan tipologi morfologis BKm. Kesulitan untuk menentukan tipologi morfologis BKm disebabkan oleh tidak adanya pemarkah yang memarkahi S (satu-satunya argumen klausa intransitif), A (subjek transitif), dan O (objek transitif). Hal lain yang belum juga diungkap pada penelitian kali ini adalah terkait dengan tipologi sintaksis dari segi pragmatis. Dari segi penerapan teori, penelitian ini hanya menggunakan teori tipologi bahasa. Dengan demikian, peluang yang besar untuk para linguis atau pemerhati bahasa untuk melakukan penelitian lanjutan dengan mengaplikasikan teori baru masih terbuka lebar. xxxii DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM ......................................................................................... i PRASYARAT GELAR .................................................................................. ii PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................ iii LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................. v UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... vi ABSTRAK ...................................................................................................... xi ABSTRACT ..................................................................................................... xiii RINGKASAN ................................................................................................. xv DAFTAR ISI ................................................................................................... xxxiii DAFTAR BAGAN........................................................................................ xxxviii DAFTAR DIAGRAM .................................................................................... xxxix DAFTAR TABEL .......................................................................................... xl DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ................................................ xli DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xliv BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 13 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 14 1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................. 14 1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................. 14 1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 15 1.4.1 Manfaat Teoretis .............................................................................. 15 1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................................ 16 1.5 Ruang Lingkup Penelitian.......................................................................... 17 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ................................................................................................. 18 2.1 Kajian Pustaka............................................................................................ 18 2.2 Konsep ....................................................................................................... 33 2.2.1 Klausa .............................................................................................. 34 2.2.2 Subjek .............................................................................................. 35 2.2.3 Objek ................................................................................................ 35 2.2.4 Oblik ................................................................................................ 36 2.2.5 Struktur Semantik ............................................................................ 36 2.2.6 Valensi ............................................................................................. 36 2.2.7 Argumen .......................................................................................... 37 xxxiii 2.2.8 Kalimat Kompleks ........................................................................... 2.2.9 Pivot ................................................................................................ 2.2.10 Aliansi Gramatikal ......................................................................... 2.2.11 Tipologi Sintaksis .......................................................................... 2.2.12 Tipologi Linguistik ........................................................................ 2.3 Landasan Teori ........................................................................................... 2.4 Model Penelitian ........................................................................................ 38 38 39 39 39 40 54 BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 3.1 Rancangan Penelitian ................................................................................. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 3.3 Jenis dan Sumber Data ............................................................................... 3.3.1 Jenis Data ......................................................................................... 3.3.2 Sumber Data..................................................................................... 3.4 Instrumen Penelitian .................................................................................. 3.5 Metode dan Teknik Pemerolehan Data ...................................................... 3.6 Metode dan Teknik Analisis Data .............................................................. 3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis ........................................... 56 56 57 59 59 59 62 62 64 68 BAB IV STRUKTUR KLAUSA BAHASA KEMAK ................................. 4.1 Pengantar .................................................................................................... 4.2 Pengertian Klausa dan Kalimat .................................................................. 4.3 Sistem Morfologi Verba Bahasa Kemak ................................................... 4.4 Struktur Klausa Bahasa Kemak ................................................................. 4.4.1 Klausa Nonverbal Bahasa Kemak ................................................... 4.4.1.1 Klausa Berpredikat Nominal ............................................... 4.4.1.2 Klausa Berpredikat Adjektival ............................................ 4.4.1.3 Klausa Berpredikat Numeralia ............................................ 4.4.1.4 Klausa Berpredikat Frasa Preposisional .............................. 4.4.2 Klausa Verbal Bahasa Kemak ......................................................... 4.4.2.1 Klausa Intransitif ................................................................. 4.4.2.2 Klausa Ekatransitif .............................................................. 4.4.2.3 Klausa Dwitransitif.............................................................. 4.4.3 Klausa Eksistensial Bahasa Kemak ................................................. 4.5 Tata Urutan Kata Bahasa Kemak ............................................................... 4.5.1 Kalimat Deklaratif ....................................................................... 4.5.2 Kalimat Interogatif ...................................................................... 4.5.3 Kalimat Imperatif ........................................................................ 4.5.4 Kalimat Negatif ........................................................................... 4.6 Temuan Penelitian...................................................................................... 70 70 71 75 80 80 81 87 91 94 96 97 100 103 107 108 113 117 120 121 125 xxxiv BAB V PREDIKASI BAHASA KEMAK .................................................... 5.1 Pengantar .................................................................................................... 5.2 Tinjauan Teoretis Predikasi Lintas Bahasa ................................................ 5.3 Predikat dan Struktur Argumen Bahasa Kemak ........................................ 5.4 Peran Semantis Argumen Bahasa Kemak .................................................. 5.4.1 Agen ................................................................................................. 5.4.2 Penyebab (Causer) ........................................................................... 5.4.3 Pengalami ......................................................................................... 5.4.4 Tema ................................................................................................ 5.4.5 Pasien ............................................................................................... 5.4.6 Alat/Instrumen ................................................................................. 5.4.7 Benefaktif/Pemanfaat ....................................................................... 5.4.8 Resipien/Penerima ........................................................................... 5.4.9 Sumber/Asal ..................................................................................... 5.4.10 Tujuan ............................................................................................ 5.4.11 Lokatif ............................................................................................ 5.5 Tipe Semantis Verba Bahasa Kenak .......................................................... 5.6 Frasa Verbal Bahasa Kemak ...................................................................... 5.7 Serialisasi Verba Bahasa Kemak ............................................................... 5.8 Temuan Penelitian...................................................................................... 128 129 129 139 147 150 152 154 155 156 157 159 160 161 162 163 164 171 175 182 BAB VI VALENSI VERBA BAHASA KEMAK ........................................ 6.1 Pengantar .................................................................................................... 6.2 Valensi dan Ketransitifan Verba Bahasa Kemak ...................................... 6.2.1 Ketransitifan Verba Bahasa Kemak ................................................. 6.2.2 Valensi Verba Bahasa Kemak ......................................................... 6.3 Mekanisme Perubahan Valensi Verba Bahasa Kemak .............................. 6.3.1 Konstruksi Kausatif Bahasa Kemak ................................................ 6.3.1.1 Konstruksi Kausatif dengan Parameter Formal ................... 6.3.1.1.1 Kausatif Leksikal .................................................. 6.3.1.1.2 Kausatif Analitik................................................... 6.3.1.2 Konstruksi Kausatif dengan Parameter Semantis................ 6.3.1.2.1 Kuasatif Sejati dan Kausatif Permisif ................... 6.3.1.2.2 Kausatif Langsung dan Kausatif Tak Langsung ... 6.3.2 Konstruksi Aplikatif Bahasa Kemak ............................................... 6.3.3 Konstruksi Resultatif Bahasa Kemak .............................................. 6.4 Temuan Penelitian...................................................................................... 185 185 185 185 191 196 199 206 206 210 220 221 222 225 230 235 xxxv BAB VII FUNGSI DAN RELASI GRAMATIKAL BAHASA KEMAK . 7.1 Pengantar .................................................................................................... 7.2 Pengertian Fungsi dan Relasi Gramatikal .................................................. 7.3 Fungsi Gramatikal Bahasa Kemak ............................................................. 7.4 Relasi Gramatikal Bahasa Kemak.............................................................. 7.4.1 Subjek Bahasa Kemak ..................................................................... 7.4.1.1 Posisi Kanonikal .................................................................. 7.4.1.2 Penyisipan Adverbial........................................................... 7.4.1.3 Perelatifan ............................................................................ 7.4.1.4 Penjangka Kambang ............................................................ 7.4.1.5 Perefleksifan ........................................................................ 7.4.1.6 Penaikan (Raising)............................................................... 7.4.1.7 Pemfokusan ......................................................................... 7.4.1.8 Kontrol ................................................................................. 7.4.1.9 Frasa Nomina Tidak Terang (PRO) .................................... 7.4.2 Objek Bahasa Kemak....................................................................... 7.4.3 Oblik Bahasa Kemak ....................................................................... 7.4.4 Komplemen ...................................................................................... 7.4.5 Adjung.............................................................................................. 7.4.6 Relasi Gramatikal Inti Bahasa Kemak ............................................. 7.5 Temuan Penelitian...................................................................................... 239 239 239 242 246 247 251 255 262 266 268 270 273 274 276 278 292 300 301 304 307 BAB VIII KALIMAT KOMPLEKS BAHASA KEMAK .......................... 8.1 Pengantar .................................................................................................... 8.2 Tinjauan Teoretis Kalimat Kompleks ........................................................ 8.3 Klausa Relatif Bahasa Kemak.................................................................... 8.4 Klausa Purposif Bahasa Kemak ................................................................. 8.5 Klausa Alasan (Reason Clause) Bahasa Kemak ........................................ 8.6 Klausa Pemerlengkap Bahasa Kemak........................................................ 8.6.1 Verba Jenis ‘ingin’ ........................................................................... 8.6.2 Verba Jenis ‘tahu’ ............................................................................ 8.6.3 Verba Jenis ‘mengatakan’ ................................................................ 8.7 Temuan Penelitian...................................................................................... 311 311 312 315 326 333 335 338 341 342 343 BAB IX TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK .............................. 9.1 Pengantar .................................................................................................... 9.2 Ergatif dan Akusatif ................................................................................... 9.3 Satuan-Satuan Dasar Sintaksis-Semantis Semesta .................................... 9.4 Konstruksi Sintaksis Bahasa Kemak.......................................................... 9.4.1 Konstruksi dengan Verba Tak Terbatas ........................................... 347 347 347 351 356 357 xxxvi 9.4.2 Pemerlengkap Jusif ......................................................................... 9.4.3 Konstruksi Koordinatif .................................................................... 9.4.4 Konstruksi Subordinatif ................................................................... 9.5 Pembentukan Kalimat Tanya ..................................................................... 9.6 Aliansi Gramatikal Bahasa Kemak ............................................................ 9.6.1 Peran Semantis dalam Tipologi Bahasa dan Aliansi Gramatikal ....................................................................................... 9.6.2 Aliansi Gramatikal dan Tipologi Sintaksis Bahasa Kemak ............. 9.7 Diatesis Bahasa Kemak .............................................................................. 9.8 Temuan Penelitian...................................................................................... 359 361 372 387 389 X TEMUAN PENELITIAN .......................................................................... 407 XI SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 11.1 Pengantar .................................................................................................. 11.2 Simpulan .................................................................................................. 11.2.1 Struktur Klausa .............................................................................. 11.2.2 Predikasi ......................................................................................... 11.2.3 Valensi Verba................................................................................. 11.2.4 Fungsi dan Relasi Gramatikal ........................................................ 11.2.5 Kalimat Kompleks ......................................................................... 11.2 6 Tipologi Sintaksis .......................................................................... 11.3 Saran-Saran .............................................................................................. 413 413 413 413 416 418 421 423 426 428 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... LAMPIRAN .................................................................................................... 430 436 xxxvii 390 393 397 404 DAFTAR BAGAN Bagan 9.1 Sistem Aliansi Gramatikal Bahasa Kemak .......................................... 390 Bagan 9.2 Sistem Aliansi Gramatikal Bahasa Akusatif dan Ergatif ..................... 392 xxxviii DAFTAR DIAGRAM Diagram (1) Diagram 4.1 Diagram 4.2 Diagram 4.3 Diagram 4.4 Diagram 4.5 Diagram 4.6 Diagram 4.7 Diagram 4.8 Model Penelitian............................................................................... Struktur Dasar BKm dengan Predikat Nominal ............................... Struktur Dasar BKm dengan Predikat Adjektival ............................ Struktur Dasar BKm dengan Predikat Numeralia ............................ Struktur Dasar BKm dengan Predikat Frasa Preposisional ............. Struktur Dasar BKm dengan Predikat Verba Intransitif .................. Struktur Dasar BKm dengan Predikat Verba Ekatransitif ............... Struktur Dasar BKm dengan Predikat Verba Dwitransitif............... Alternasi Struktur Dasar BKm dari Predikat Verba Dwitransitif Menjadi Verba Ekatransitif.............................................................. Diagram 5.1 Konstruksi Verba Serial Bahasa Kemak dengan Dua Verba ........... Diagram 5.2 Konstruksi Verba Serial Bahasa Kemak dengan tiga Verba............ Diagram 6.1 Pembagian Konstruksi Kausatif ....................................................... xxxix 55 83 89 93 96 100 102 104 106 179 181 200 DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Tabel 5.4 Tabel 5.5 Tabel 6.1 Verba Bahasa Kemak ............................................................................ Adjektiva Bahasa Kemak ...................................................................... Struktur Klausa ..................................................................................... Predikasi Bahasa Kemsk dengan Predikat Nonverbal .......................... Predikasi Bahasa Kemsk dengan Predikat Verba Intransitif ................ Predikasi Bahasa Kemsk dengan Predikat Verba Transitif .................. Tipe Semantis Verba Bahasa Kemak .................................................... Perubahan Valensi Verba Dasar Nonkuasatif Menjadi Verba Kausatif ...................................................................................... xl 77 89 130 141 143 146 168 203 DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN Lambang pada Model Penelitian Garis anak panak ke bawah : melambangkan fokus masalah Garis anak panah dua arah : melambangkan keterkaitan fokus masalah Garis anak panak ke atas : melambangkan keterkaitan antara fokus masalah dan teori yang digunakan dalam penelitian Garis anak panah ke kanan : melambangkan pemerolehan data penelitian Garis anak panah putus ke bawah : melambangkan proses analisis penelitian hingga memeroleh hasil atau temuan Singkatan 1TG : orang pertama tunggal 1JM : orang pertama jamak 2TG : orang kedua tunggal 2JM : orang kedua jamak 3TG : orang ketiga tunggal 3JM : orang ketiga jamak A : agen ABS : absolutif Adj : adjektif Adv : adverbial AKT : aktif AKU : akusatif APL : pemarkah aplikatif ARG : argumen ART : artikel AV : active voice BB : bahasa Bali xli BBn : bahasa Bunak BD : bahasa Dawan Ben : benefaktif BKm : bahasa Kemak BS : bahasa Sabu BSDW : bahasa Sumba dialek Waijewa BT : bahasa Tetun DEF : definit ERG : ergatif Fadj : frasa adjektival FG : fungsi/relasi gramatikal FN : frasa nominal FOK : fokus FI : frasa infleksional FPrep : frasa preposisional FV : frasa verbal INST : instrumen K : klausa/kalimat KAU : kausatif KVS : konstruksi verba serial Lig : ligatur MED : medial N : nomina NEG : negasi NONFUT : nonfuturitif NTT : Nusa Tenggara Timur NUM : numeralia O : objek transitif OBJ : objek OBL : oblik OL : objek langsung xlii OTL : objek tak langsung OVS : objek verba subjek P : argumen pasien dalam klausa transitif PAS : pasif PERS : persona PRED : predikat Prep : preposisi PRO : pronomina PV : passive voice RDTL : Republik Demokratik Timor Leste REL : pemarkah relatif S : argumen satu-satunya dalam klausa intransitif Sa : S dimarkahi seperti A Sp : S dimarkahi seperti P SUBJ : subjek Suf : sufiks SVO ; subjek verba objek Tm : tema TOP : topik TTS : Timor Tengah Selatan TTU : Timor Tengah Utara V : verba VI ; verba intransitif VT : verba transitif xliii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Bahasa-Bahasa Lokal di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sekitarnya ......................................................................................... 436 Lampiran 2 Peta Provinsi Nusa Tenggara Timur ................................................. 437 Lampiran 3 Peta Administrasi Kabupaten Belu .................................................... 438 Lampiran 4 Peta Lokasi Penelitian ....................................................................... 439 Lampiran 5 Surat Izin Penelitian .......................................................................... 440 Lampiran 6 Data Klausa Bahasa Kemak .............................................................. 445 Lampiran 7 Data Rekaman Bahasa Kemak .......................................................... 457 Lampiran 8 Daftar Informan ................................................................................. 473 Lampiran 9 Foto-Foto Penelitian .......................................................................... 474 xliv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang White dan Dillingham (1973: 9) mengungkapkan bahwa tidak ada kebudayaan tanpa kehadiran manusia. Sebaliknya, tidak ada manusia tanpa kebudayaan. Manusia dikatakan makhluk yang dapat memahami tanda, lambang, dan konsep sehingga menjadikan manusia sebagai makhluk berkebudayaan. Salah satu wujud kebudayaan manusia adalah bahasa. Bahasa adalah sebuah wujud atau bentuk dasar budaya yang dihasilkan oleh manusia. Bahasa dikatakan sebagai budaya dasar karena menjadi alat utama pembentuk berbagai wujud dan jenis budaya lain. Dengan demikian, perbedaan bahasa menunjukkan adanya perbedaan sistem dan pola budaya. Perbedaan sistem dan pola budaya tersebut mencerminkan perbedaan karakteristik, sifat, atau watak suatu masyarakat bahasa. Emmit dan Pollock (1997: 22) menyatakan bahwa bahasa berfungsi sebagai alat interaksi sosial, nilai sosial, dan bertukar informasi. Bahasa sebagai alat interaksi sosial menunjuk pada orang-orang yang berbeda dengan perbedaan budaya mereka masing-masing. Bahasa dapat mengidentifikasi dan menandai perbedaan di antara budaya yang terdapat dalam masyarakat. Bahasa sebagai nilai sosial berkaitan erat dengan individu-individu dan kelompok-kelompok yang menggunakan bahasa untuk menegosiasikan hubungan sosial. Dengan kata lain, bahasa memberi cara atau pilihan lain untuk menegosiasikan nilai sosial. Fungsi bahasa sebagai alat pertukaran informasi terkait dengan bahasa sebagai alat untuk 1 2 berbagi informasi. Seseorang mendapatkan informasi dengan bertanya satu sama lain (Emmit dan Pollock, 1997: 22). Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi utama yang berfungsi untuk mengadakan hubungan atau interaksi sosial oleh masyarakat penuturnya pada seluruh aspek kehidupan mereka sehari-hari. Melalui bahasa seseorang dapat berkomunikasi satu dengan yang lainnya dan memahami satu sama lainnya. Ini berarti bahwa bahasa digunakan oleh penuturnya untuk mengungkapkan apa yang terdapat dalam pikiran mereka, baik berupa ide, pemikiran, perasaan, maupun emosi. Satu fenomena yang dapat dijumpai pada penutur bahasa daerah bahwa dalam berkomunikasi seorang penutur bahasa daerah sering dihadapkan pada pilihan apakah menggunakan bahasa daerahnya ataukah bahasa Indonesia. Hal ini sering terjadi karena bahasa daerah dan bahasa Indonesia memiliki peranan masing-masing dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahasa daerah lebih cenderung digunakan sebagai alat komunikasi untuk kegiatan-kegiatan informal, seperti kegiatan keagamaan. Sebaliknya, bahasa Indonesia lebih cenderung digunakan sebagai alat komunikasi untuk kegiatan-kegiatan formal, seperti pendidikan. Keberadaan bahasa Indonesia secara tidak langsung telah menggantikan peranan bahasa daerah sebagai alat komunikasi. Hal ini terjadi disebabkan oleh semakin tingginya interaksi yang terjadi antara penutur satu bahasa daerah tertentu dan penutur bahasa daerah lainnya sehingga bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat komunikasi untuk menjembatani perbedaan antarpenutur bahasa daerah tersebut. Di samping itu, semakin berkurangnya 3 peranan bahasa daerah juga disebabkan oleh tuntutan dunia pendidikan yang mengharuskan siswa sekolah dasar sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Keberadaan bahasa daerah di Indonesia perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari pemerintah karena bahasa daerah menunjukkan keragaman dan sekaligus kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya. Di samping itu, bahasa daerah juga berperan dalam memperkaya khazanah bahasa Indonesia. Bahasabahasa daerah yang terdapat di Indonesia merupakan lahan subur bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian terkait dengan berbagai aspek kebahasaan. Sejauh ini memang terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli bahasa menyangkut jumlah bahasa daerah di Nusantara. Salah satu wilayah di Indonesia yang kaya dengan bahasa daerahnya adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi NTT merupakan provinsi yang terletak di bagian timur wilayah Indonesia yang terdiri atas beberapa gugusan pulau besar dan kecil. Provinsi NTT dikenal dengan keanekaragaman bahasa daerahnya. Provinsi ini memiliki 61 bahasa daerah yang hidup dan berkembang dengan jumlah penutur masing-masing (Grimmes dkk., 1997). Provinsi NTT secara administratif mencakup 21 kabupaten. Salah satu di antaranya adalah Kabupaten Belu. Kabupaten Belu terletak di Pulau Timor dengan luas wilayah 2.445,57 km2. Penduduk Kabupaten Belu berjumlah 750.000 jiwa dan merupakan yang terbesar nomor dua setelah penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan (BPS Provinsi NTT, 2010). Kabupaten Belu beribu kota Atambua. Atambua merupakan kota terbesar kedua di Pulau Timor setelah Kota Kupang. Secara 4 geografis batas wilayah Kabupaten Belu adalah di sebelah utara Selat Ombay, di sebelah selatan Laut Timor, di sebelah barat Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Timor Tengah Selatan (TTS), dan di sebelah timur Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Jika dilihat dari adat istiadat dan kebudayaan, Kabupaten Belu merupakan masyarakat adat Timor yang hidup dalam empat kelompok suku bangsa dan bahasa. Penduduk Kabupaten Belu sebagian besar berasal dari suku Tetun. Suku Tetun bermukim di sebagian besar wilayah Tasifeto, Malaka, dan Kobalima. Selain suku Tetun, terdapat juga suku Marae atau Bunak yang bermukim hampir di seluruh wilayah Lamaknen serta beberapa perkampungan lain di Tasifeto, Malaka, dan Kobalima. Di samping kedua suku tersebut, terdapat pula suku Kemak dan suku Dawan. Suku Kemak bermukim di wilayah Sadi dan beberapa perkampungan lain di Tasifeto Timur. Suku Dawan bermukim di wilayah Manlea Biudukfoho dan Malaka. Penduduk Kabupaten Belu berasal dari ras Melayu Tua (Proto Melayu). Ras inilah yang diyakini lebih tua dan lebih awal mendiami Pulau Timor. Selain ras Melayu Tua, terdapat juga ras Melayu Muda (Deutero Melayu) dan Asia (Cina). Proses pembauran antara ras Proto Melayu, Deutero Melayu, dan Asia telah terjadi karena adanya proses perkawinan antarras tersebut sejak beratus-ratus, bahkan beribu-ribu tahun silam. Seperti telah diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa di Kabupaten Belu terdapat empat suku dengan empat bahasa yang berbeda yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Keempat bahasa tersebut adalah (1) bahasa Tetun yang digunakan oleh suku Tetun, (2) bahasa Bunak yang 5 digunakan oleh suku Bunak atau Marae, (3) bahasa Dawan yang digunakan oleh suku Dawan, dan (4) bahasa Kemak yang digunakan oleh suku Kemak. Suku Kemak adalah suku bangsa yang tinggal di wilayah pegunungan tengah Timor, terpisah oleh perbatasan politik Timor Barat, Indonesia. Bahasa Kemak (selanjutnya disingkat BKm) merupakan satu dari beberapa bahasa Timor yang menjadi bagian dari bahasa Austronesia. BKm memiliki jumlah penutur yang sangat sedikit dibandingkan dengan penutur bahasa lainnya (Tetun, Dawan, Bunak). Penutur BKm tersebar di Kecamatan Tasifeto Timur. Keterbatasan jumlah penutur BKm diduga berkaitan dengan kedatangan suku ini dari Timor Timur ke Belu. Suku Kemak ini merupakan suku terakhir yang pindah ke wilayah Belu. Di wilayah Belu telah menetap suku-suku yang lebih dulu datang, seperti suku Tetun, Dawan, dan Bunak. Faktor inilah yang diyakini sebagai penyebab utama terbatasnya jumlah penutur BKm. Terdapat dua belas desa di Kecamatan Tasifeto Timur, yaitu (1) Silawan, (2) Tulakadi, (3) Sadi, (4) Umaklaran, (5) Tialai, (6) Fatuba’a, (7) Dapala, (8) Manleten, (9) Takirin, (10) Halomodok, (11) Saraban, dan (12) Bauho. Di antara kedua belas desa tersebut, penutur BKm hanya terdapat di dua desa, yaitu Umaklaran dan Sadi. Maryanto (1985: 83) mengungkapkan bahwa penutur asli BKm berjumlah kurang dari 5.000 orang. Akan tetapi berdasarkan data dari jumlah penduduk kedua desa tersebut, maka jumlah penutur bahasa Kemak berkisar 3.000 orang. Terdapat tiga penelitian yang mengkaji BKm, yaitu pertama dilakukan oleh Stevens (1967), kedua dilakukan oleh Sadnyana dkk. (1997), dan ketiga dilakukan oleh Mandaru dkk. (1998). Sejatinya penelitian Stevens dilakukan pada 6 tahun 1961. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan pada jurnal Anthropological Linguistic tahun 1967. Sebagai penelitian yang paling awal mengkaji BKm, penelitian Stevens (1967) tersebut hanya memuat daftar 200 kata BKm (daftar Swadesh). Berdasarkan daftar Swadesh tersebut Stevens menyatakan bahwa BKm dikelompokkan ke dalam bahasa Austronesia. Setelah penelitian Stevens (1967), penelitian BKm berikutnya dilakukan oleh Sadnyana dkk. (1996). Penelitian tersebut mengungkapkan beberapa aspek kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis. Lebih jauh, penelitian terhadap aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis yang dilakukan Sadnyana dkk. (1996) hanya bersifat deskriptif. Terkait dengan ketiga aspek kebahasaan BKm, penelitian tersebut hanya mampu memberikan deskripsi awal dan belum menyentuh secara tegas hakikat subjek, predikasi, dan objek. Penjelasan yang diberikan tentang subjek dan predikat belum menguraikan perilaku subjek dan predikat secara tipologis Penelitian BKm yang ketiga dilakukan oleh Mandaru dkk. (1998). Penelitian tersebut membahas beberapa aspek terkait dengan morfologi dan sintaksis BKm. Penelitian tersebut menitikberatkan pada pengungkapan sistem morfologi dan sintaksis BKm. Di samping itu, penelitian ini juga menyinggung sistem fonologi. Hasil penelitian tersebut hanya melakukan deskripsi yang meliputi konstituen dan tata urut kata tanpa pembahasan lebih lanjut mengenai relasi gramatikal atau aliansi gramatikal. Penelitian yang dilakukan Mandaru dkk. (1998) ini memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan landasan serta acuan untuk penelitian BKm berikutnya. Di samping itu, penelitian Mandaru 7 dkk. (1998) ini juga memberikan peluang yang sangat terbuka untuk penelitian lebih lanjut terutama terkait dengan masalah-masalah yang belum diungkap dalam penelitian sebelumnya atau masalah-masalah yang telah dibahas pada penelitian sebelumnya, tetapi dengan menerapkan teori lainnya tanpa mengecilkan arti dan peranan teori struktural dalam penelitian sebelumnya. Hasil penelitian Mandaru dkk. (1998) mengungkapkan bahwa BKm memiliki tata urutan kanonik SVO. Tata urutan kanonik SVO BKm dapat dilihat pada contoh berikut ini. (1) Au (S) a (P) 1T makan ‘Saya makan ikan’ ika (O) ikan (2) Romo (S) seru (P) 3J tenun ‘Mereka menenun kain’ tais (O) kain (3) Lain (S) ele lika (P) Suami Poss pelihara ‘Suaminya memelihara ayam’ manu (O) ayam (Mandaru, 1998: 66--76) Contoh di atas menunjukkan bahwa BKm memiliki pola urutan kanonik SVO. Subjek (S) kalimat di atas adalah au ‘saya, romo ‘mereka’, dan lain ele ‘suaminya’. Predikat (P) kalimat adalah a ‘makan’, seru ‘menenun’, dan lika ‘memelihara’. Sebaliknya, objek (O) kalimat adalah ika ‘ikan’, tais ‘kain’, dan manu ‘ayam’. Hasil penelitian Sadnyana dkk. (1996) dan Mandaru dkk. (1998) belum menjelaskan secara tegas hakikat subjek, predikasi, dan objek. Penjelasan yang diberikan tentang subjek dan predikat belum menguraikan perilaku subjek dan predikat secara tipologis. Kedua hasil penelitian tersebut tidak menjelaskan lebih jauh mengenai alternasi struktur kanonik, relasi gramatikal atau aliansi 8 gramatikal BKm. Secara umum, hasil penelitian Sadnyana dkk. (1996) dan Mandaru dkk. (1998) hanya bersifat struktural-lahiriah. Hasil penelitian Mandaru dkk. (1998) hanya mendaftarkan contoh-contoh dan penjelasan maknanya. Hasil Penelitian Sadnyana dkk. (1996) dan Mandaru dkk. (1998) belum mendasarkan kajiannya dengan menggunakan pendekatan tipologi bahasa secara khusus. Hal menarik dari keberadaan BKm di Kabupaten Belu adalah BKm hidup berdampingan dengan bahasa lain, yaitu bahasa Tetun, bahasa Dawan, dan bahasa Bunak. Keberadaan bahasa-bahasa yang hidup berdampingan tersebut menimbulkan interaksi sangat intens dan sudah berlangsung sejak lama dari para penuturnya. Interaksi yang intens dan telah berlamgsung lama ini berimplikasi pada terjadinya proses saling memengaruhi di antara bahasa tersebut, sehingga bahasa-bahasa tersebut memiliki karakteristik yang sama di samping perbedaan yang dimilikinya. Fonomena ini sangatlah menarik untuk dicermati terlebih dahulu sebelum membahas lebih jauh BKm. Merujuk pada hasil penelitian bahasa Bunak (BBn) yang dilakukan Partami (2001), BBn justru memiliki pola urutan kanonik yang berbeda, yaitu SOV. Perbedaan pola urutan kanonik antara BKm dan BBn ini menarik karena BKm dan BBn merupakan dua bahasa yang hidup berdampingan sehingga dapat dipastikan terjadinya interaksi antara penutur BKm dan BBn. Selain itu, apakah perbedaan pola urutan kanonik antara BKm dan BBn berimplikasi pada perbedaan tipologi sintaksis kedua bahasa tersebut. Berikut adalah contoh klausa BBn yang diambil dari Partami (2001: 55). 9 (4) Neto kau g-ue 1T adik 3T-pukul ‘Saya memukul adik’ (5) Ba’I eme g-eteke 3T ibu 3T-lihat ‘Dia melihat ibu’ Contoh di atas menunjukkan bahwa BBn memiliki pola urutan kanonik SOV. Berbeda dengan BBn, bahasa Tetun dan bahasa Dawan memiliki pola urutan kanonik yang sama. Baik bahasa Tetun (BT) maupun bahasa Dawan (BD) memiliki pola urutan kanonik SVO. Contoh-contoh berikut merupakan klausa BT yang diambil dari Suciati (2000: 45) dan klausa BD yang diambil dari Budiarta (2009: 70). (6) Nia n-are 3T 3T-lihat ‘Dia melihat saya’ hau 1T (7) Hau fota nia 1T pukul 3T ‘Saya memukul dia (8) Au u-han 1T 1T-makan ‘Saya makan ikan” ika ikan (9) In fius kau 3T pukul 1T ‘Dia memukul saya’ Contoh (6--9) di atas menunjukkan bahwa BT dan BD memiliki pola urutan kanonik yang sama dengan BKm, yaitu SVO. Walaupun memiliki pola urutan kanonik yang sama, jika dicermati lebih jauh terdapat perbedaan antara BKm dengan BD dan BT. Perbedaan tersebut tampak pada struktur klausa BD 10 dan BT yang menunjukkan adanya persesuaian antara subjek dengan verba. Merujuk pada hasil penelitian BKm yang dilakukan Mandaru (1998) menunjukkan bahwa struktur klausa BKm tidak mengenal adanya persesuaian antara subjek dan verba. Jika dilihat secara geografis, BT, BD, dan BBn merupakan bahasa-bahasa yang hidup berdampingan dengan BKm. Perbedaan dan persamaan antarbahasa tersebut merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran atau fakta apakah perbedaan dan persamaan tersebut berimplikasi pada perbedaan dan persamaan tipologi sintaksis bahasa-bahasa tersebut. Fenomena lain yang menarik untuk dicermati dari hasil penelitian Mandaru dkk. (1998) adalah BKm memiliki sistem pengimbuhan (afiksasi) yang kaya. Kenyataan ini bertolak belakang dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa bahasa-bahasa wilayah Indonesia timur merupakan bahasa yang miskin afiks. Menurut para ahli bahasa, bahasa-bahasa daerah di wilayah timur Indonesia merupakan bahasa isolatif karena bahasa-bahasa daerah tersebut sedikit sekali atau hampir tidak memiliki afiks. Merujuk hasil penelitian Mandaru dkk. (1998:86), BKm merupakan bahasa aglutinatif karena BKm kaya akan afiks. Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut apakah afiks yang disebutkan oleh Mandaru dkk. (1998) benar-benar afiks atau klitik. Apabila hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BKm kaya akan afiks, maka hal ini akan menjadi menarik untuk dikaji apakah afiks-afiks tersebut menyebabkan terjadinya perubahan struktur klausa dan valensi sebuah konstruksi kalimat BKm. 11 Selain fenomena di atas, penelitian tipologi sintaksis BKm juga didasarkan kepada kenyataan berikut. Pertama, BKm memiliki kecenderungan digunakan oleh penuturnya sebagai bahasa lisan daripada bahasa tulisan sehingga penelitian ini dapat sekaligus berfungsi sebagai bentuk dokumentasi BKm. Kedua, sampai saat ini hanya terdapat tiga penelitian yang mengkaji BKm. Ketiga penelitian tersebut belum mengkaji tipologi sintaksis BKm. Ketertarikan untuk meneliti BKm khususnya mengenai tipologi sintaksis juga didorong oleh hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mandaru dkk. (1998: 86) yang menyatakan bahwa BKm memiliki sistem yang mirip dengan sistem bahasa daerah rumpun Austronesia. Mandaru dkk. (1998) tidak menjelaskan lebih lanjut sistem apa saja dari BKm yang mirip dengan sistem bahasa rumpun Austronesia. Terkait dengan kelompok bahasa Austronesia, Klamer (dalam Pieter Muysken, 2008: 112--113) mengungkapkan bahwa kelompok bahasa Austronesia yang paling luas di wilayah Indonesia timur adalah kelompok Central Eastern Melayu-Polynesia (CEMP). Kelompok CEMP ini terdiri atas dua subkelompok bahasa, yaitu Central Melayu-Polynesia (CMP) dan South Halmahera/West New Guinea (SHWNG). Berdasarkan pembagian kelompok bahasa Austronesia tersebut, Klamer (dalam Pieter Muysken, 2008: 112--113) mengungkapkan bahwa BKm masuk ke dalam kelompok bahasa Central Melayu Polynesian (CMP). Paling tidak terdapat 600 bahasa yang tergabung dalam kelompok bahasa CMP ini yang tersebar di Indonesia timur dan kawasan pasifik. Klamer (dalam Pieter Muysken, 2008: 112-113) lebih lanjut menambahkan bahwa karakteristik bahasa Austronesia adalah (1) 12 memiliki struktur kanonis SVO, (2) verba muncul pertama atau kedua, dan (3) penegasi mendahului predikat verba. Merujuk karakteristik bahasa Austronesia di atas, penelitian tipologi sintaksis BKm juga sekaligus diharapkan dapat memberikan bukti pendukung atau memperkuat bahwa bahasa BKm benar-benar termasuk ke dalam kelompok bahasa Austronesia merujuk kepada karakteristik yang dimilikinya. Kajian tipologi bahasa yang dikemukakan oleh Comrie (1983; 1989) merupakan teori yang lahir dari reaksi terhadap teori transformasi generatif yang didasarkan pada perilaku kebahasaan bahasa Inggris. Teori tipologi bahasa diklaim sebagai teori netral yang lebih bersifat lintas bahasa, baik dalam linguistik teoretis maupun dalam bidang kajian bahasa. Pengujian teori tipologi bahasa terhadap BKm penting dilakukan untuk menguji apakah teori tersebut dapat dan tepat diaplikasikan untuk menentukan tipologi BKm. Pembahasan tipologi sintaksis erat kaitannya dengan pembahasan aliansi gramatikal yang menyangkut istilah akusatif, ergatif, S-terpilah, dan S-alir (Dixon, 1994:72--79) yang biasa digunakan untuk menjelaskan suatu pola/aliansi gramatikal. Pada bahasa tertentu, seperti bahasa Inggris secara morfologis hal ini relatif mudah dilihat, tetapi sangatlah tidak mudah untuk dilihat atau dijelaskan pada bahasa-bahasa Austronesia Barat, seperti pada bahasa Filipina (Artawa, 1998:21). Kenyataan ini menggugah peneliti untuk melihat permasalahan relasi gramatikal atau aliansi gramatikal BKm yang tergolong ke dalam bahasa Austronesia. 13 Untuk menentukan BKm mempunyai kecenderungan ke dalam tipe bahasa nominatif-akusatif, ergatif-absolutif, ataupun dengan sistem terbelah, maka struktur klausa atau kalimat merupakan pijakan utama. Pembahasan mengenai struktur klausa atau kalimat suatu bahasa terkait dengan kehadiran argumen dan predikat. Perilaku predikat sebuah klausa atau kalimat menentukan struktur argumen. Pola struktur argumen di dalam klausa atau kalimat dasar merupakan penentu tipologi suatu bahasa, apakah bahasa itu cenderung tergolong ke dalam bahasa akusatif, ergatif, S-terpilah, dan S-alir. Dengan demikian, penentuan tipologi BKm dapat membantu pengelompokan bahasa-bahasa di dunia yang menjadi salah satu tujuan penelitian lintas bahasa dan kesemestaan bahasa. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti merasa termotivasi untuk melakukan penelitian yang menganalisis lebih jauh tentang BKm terkait dengan tipologi sintaksis BKm. Penelitian-penelitian sebelumnya tidak menguraikan tentang perilaku subjek. predikat, relasi gramatikal atau aliansi gramatikal sehingga penelitian-penelitian tersebut belum dapat mengungkap tipologi sintaksis BKm. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka terdapat lima permasalahan yang diteliti dan dikaji yang berhubungan dengan tipologi sintaksis BKm, yaitu sebagai berikut. (1) Tipe-tipe struktur klausa apa saja yang dimiliki oleh BKm dan bagaimana sistem perluasannya? 14 (2) Bagaimanakah kaidah struktur klausa BKm? (3) Bagaimanakah pola-pola valensi BKm? (4) Tipe-tipe struktur kalimat kompleks apa saja yang dimiliki BKm? (5) Bagaimanakah sistem aliansi gramatikal BKm? 1.3 Tujuan Penelitian Secara garis besar terdapat dua tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum adalah tujuan sebuah penelitian bahasa yang dilihat dari sudut dimensi teori. Sebaliknya, tujuan khusus sebuah penelitian bahasa meliputi bahasa sebagai objek penelitian itu sendiri. 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali, menganalisis, dan menjelaskan fenomena kebahasaan BKm terkait dengan struktur BKm serta implikasi tipologisnya. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkapkan dan sekaligus memperkenalkan fakta kebahasaan BKm terutama terkait dengan bidang sintaksis untuk memperkaya khazanah linguistik Nusantara, khususnya linguistik mikro. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian berkaitan dengan masalah-masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Tujuan khusus penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut. 15 (1) Menemukan dan menjelaskan struktur klausa BKm. (2) Menemukan dan menjelaskan kaidah struktur klausa BKm (3) Menemukan dan menjelaskan pola-pola valensi yang dimiliki BKm. (4) Menemukan dan menjelaskan struktur kalimat kompleks BKm (5) Menganalisis dan sekaligus menentukan tipologi sintaksis BKm. 1.4 Manfaat Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan hasil yang bermanfaat. Adapun manfaat yang dihasilkan dari setiap penelitian terdiri atas manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis dan praktis penelitian tipologi sintaksis BKm diuraikan pada sub-subbagian berikut ini. 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan kontribusi bagi pengembangan teori linguistik secara lintas bahasa. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dan acuan dalam usaha untuk memeroleh pengetahuan dan pemahaman yang berhubungan dengan tipologi sintaksis khususnya dan linguistik umumnya. Manfaat teoretis lainnya yang ingin dicapai penelitian ini adalah sejauh mana BKm berperilaku menyerupai bahasa-bahasa semesta khususnya dalam bidang sintaksis di samping mengungkapkan fenomena-fenomena unik yang terdapat pada BKm. 16 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk merangsang para penutur BKm dalam usaha mempertahankan dan mengembangkan bahasa ibunya yang merupakan bagian dari budaya masyarakat yang merupakan identitas pengungkap jati diri penuturnya. Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi wadah dokumentasi BKm sehingga nantinya BKm dapat dilestarikan, dijaga keberadaannya, dan mampu hidup sejajar dengan bahasabahasa daerah lainnya. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan dan pedoman untuk merumuskan kebijakan penyelamatan bahasa minoritas, terutama melalui jalur pendidikan. Salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan sebagai bentuk kebijakan penyelamatan bahasa minoritas melalui jalur pendidikan adalah dengan menyusun bahan ajar dan memasukkannya sebagai muatan lokal di tingkat pendidikan dasar. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membantu para pelajar, guru, mahasiswa, pemerhati bahasa, dan semua pihak yang tertarik untuk memahami sintaksis BKm. Penelitian ini juga diharapkan dapat menggugah penutur-penutur BKm untuk mengajarkan BKm kepada generasi penerusnya demi kebertahanan BKm itu sendiri. Terkait dengan pengembangan, pembinaan, dan pemberdayaan BKm, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pertimbangan dalam upaya pembakuan BKm, terutama dalam tataran sintaksis. Selain itu, penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam merumuskan kerangka dasar untuk pengembangan, pembinaan, dan pemberdayaan BKm yang merupakan kekayaan budaya lokal yang harus dilestarikan dan dikembangkan. 17 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tipologi sintaksis BKm ini terfokus pada salah satu aspek mikro kebahasaan yang dimiliki BKm, yaitu aspek sintaksis. Kajian bidang sintaksis meliputi tiga aspek, yaitu (1) frasa, (2) klausa, dan (3) kalimat. Kajian sintaksis ini terfokus pada pembahasan struktur frasa, klausa, dan kalimat BKm, kaidah struktur, pola-pola valensi, dan struktur kompleks untuk tipologi sintaksis BKm berdasarkan sistem aliansi gramatikalnya. Pembahasan struktur BKm mencakup pembahasan frasa dan klausa BKm. Pembahasan kaidah struktur mencakup hubungan predikasi dengan struktur argumen, baik argumen inti, argumen noninti, maupun argumen kompleks. Pembahasan tentang pola-pola valensi dilihat berdasarkan struktur semantik dan head predikatnya. Pembahasan pola-pola valensi ini mencakup pembahasan monovalent, bivalent, atau trivalent. Pembahasan struktur kompleks BKm meliputi strategi perelatifan, komplementasi, konstruksi koordinatif, konstruksi subordinatif, dan aliansi gramatikal. Penentuan aliansi gramatikal BKm berkisar pada penentuan perilaku subjek (S), agen (A), dan pasien (P), apakah S diperlakukan sama dengan A ataukah S diperlakukan sama dengan P. Dengan demikian, dapat diketahui apakah BKm itu memiliki kecenderungan masuk ke tipe bahasa nominatif-akusatif, ergatif-absolutif, atau S-terpilah. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka yang diuraikan dalam subbab ini meliputi hasil penelitian yang berkaitan dengan BKm itu sendiri. Di samping itu, hasil penelitian yang disajikan juga meliputi penelitian sintaksis dengan objek bahasa berbeda yang telah teruji kebenarannya. Walaupun kajian pustaka yang ditampilkan memiliki objek bahasa yang berbeda, permasalahan yang dibahas pada kajian pustaka tersebut memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Seperti telah diungkapkan di bagian awal bahwa terdapat tiga penelitian yang mengkaji BKm. Penelitian tersebut dilakukan oleh Stevens (1967), Sadnyana dkk. (1996), dan Mandaru dkk. (1998). Penelitian yang mengkaji BKm pertama kali dilakukan oleh Stevens (1967). Dalam laporannya yang dimuat dalam jurnal Anthropological Linguistic yang dipublikasikan oleh Universitas Indiana pada tahun 1967, dia mengungkapkan bahwa penelitian yang dilakukannya dalam kondisi yang tidak baik karena satu-satunya informan yang dapat berkomunikasi dengannya dalam keadaan sakit sehingga pengumpulan data tidak maksimal. Dengan segala keterbatasan tersebut, Stevens menyimpulkan bahwa BKm dikategorikan sebagai bahasa Austronesia. Penentuan BKm sebagai bahasa Austronesia didasarkan kepada daftar 200 kata BKm (daftar Swadesh). 18 19 Penelitian kedua BKm dilakukan oleh Sadnyana dkk. (1996). Penelitian yang berjudul “Struktur Bahasa Kemak” tersebut mengkaji aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis bahasa Kemak. Terkait dengan aspek fonologi, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa BKm memiliki lima vokal dan tujuh belas konsonan. Pada tataran morfologi, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa BKm memiliki tiga prefiks (e-, ua-, dan hei-), tiga sufiks (-la, -los, dan –banas), dan satu konfiks (po-la). Pada tataran sintaksis, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa BKm memiliki lima frasa, yaitu frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, frasa numeralia, dan frasa preposisional. Lebih lanjut, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa BKm memiliki bentuk kalimat aktif dan pasif. Penelitian BKm berikutnya dilakukan oleh Mandaru dkk. (1998). Mandaru dkk. (1998) mengkaji aspek morfologi dan sintaksis bahasa Kemak. Di samping mengungkap sistem morfologi dan sintaksis, penelitian tersebut juga membahas fonologi BKm. Pada tataran fonologi terungkap bahwa BKm memiliki tiga belas konsonan dan lima vokal. Pada tataran morfologi, hasil penelitian mengungkapkan bahwa terdapat lima kelas kata, yaitu nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan numeralia. BKm memiliki sistem pengimbuhan (afiksasi) yang sangat kaya dan beragam. BKm tidak saja memiliki pengimbuhan yang berupa awalan, sisipan, dan akhiran, tetapi juga pengimbuhan yang berfungsi sebagai pemarkah persona penunjuk dan jenis kelamin. Dalam bidang sintaksis, BKm memiliki sistem yang mirip dengan sistem bahasa daerah rumpun Austronesia yang memiliki struktur kanonis SVO. 20 Jika dibandingkan, terlihat bahwa kedua hasil penelitian di atas memiliki perbedaan, terutama pada bidang fonologi. Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan lokasi penelitian atau lokasi pengambilan data penelitian. Jika dilihat lebih lanjut, kedua hasil penelitian tersebut hanya memberikan deskripsi terhadap konstituen dan tata urut kata tanpa adanya pembahasan lebih lanjut mengenai relasi gramatikal atau aliansi gramatikal. Di samping itu, kedua penelitian tersebut juga tidak membahas tipologi bahasa BKm. Namun, temuan dalam penelitian tersebut dapat bermanfaat dalam memberikan gambaran awal khususnya yang berhubungan dengan sistem sintaksis BKm. Di samping kajian pustaka yang menguraikan BKm, juga yang mengarah kepada pustaka-pustaka atau hasil-hasil penelitian yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian tipologi sintaksis yang di dalamnya dibahas struktur klausa dasar dan kalimat kompleks BKm. Kajian pustaka yang ditampilkan memang tidak meneliti BKm secara langsung, tetapi sangat relevan dan berhubungan erat dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian tipologi sintaksis BKm. Terdapat sejumlah penelitian yang dijadikan kajian pustaka dalam penelitian ini, yaitu Artawa (1994), Widianingsih (1997), Suciati (2000), Arka (2000), Kosmas (2000), Partami (2001), Jufrizal (2004), Kasni (2008), Budiarta (2009), Satyawati (2009), Yudha (2011), Kasni (2012), dan Sukendra (2012). Untuk lebih jelasnya, pustaka-pustaka dimaksud secara terperinci dipaparkan di bawah ini. 21 Artawa (1994) dalam disertasinya mengkaji ”Keergatifan dan Sintaksis Bahasa Bali”. Dalam penelitian tersebut, Artawa (1994) meneliti empat permasalahan pokok yang berkenaan dengan keergatifan dan sintaksis bahasa Bali. Keempat permasalahan pokok tersebut, yaitu relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, tipologi pragmatik, dan tipologi sintaksis. Penjelasan tentang relasi gramatikal diawali dengan penentuan konstituen SUBJ yang dilakukan dengan cara pengujian sintaksis, yaitu perelatifan, kontrol, penaikan, serta pivot. Penjelasan tentang mekanisme perubahan valensi menggambarkan penurunan dan penaikan valensi verba sehingga ditemukan adanya proses pengaplikatifan dan pengkausatifan verba dasar bahasa Bali melalui proses morfosintaksis sufiks (-ang) dan (-in). Pengkajian terhadap tipe pemarkahan sintaksis bahasa Bali menghasilkan suatu simpulan bahwa bahasa Bali digolongkan ke dalam tipe bahasa yang memiliki tipologi bahasa ergatif. Hasil ini sangat berbeda karena secara umum bahasa Bali sering kali dianalisis sebagai bahasa akusatif. Artawa menambahkan bahwa pada prinsipnya bahasa Bali memperlakukan argumen pasien (P) dari verba transitif yang tak bermarkah secara morfologis, seperti argumen (S) dari klausa intransitif. Hasil penelitian Artawa (1994) ini dalam kaitannya dengan penelitian tipologi BKm merupakan acuan dan pembanding karena pembahasan dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan tipologi BKm. Widaningsih (1997) dalam tesisnya yang berjudul “Relasi Gramatikal dalam Kalimat Bahasa Tetun Dili” mengungkapkan bahwa bahasa Tetun Dili dikelompokkan ke dalam bahasa bertipe campuran (mixed type language) karena 22 dalam bahasa Tetun Dili terdapat dua tipe relasi gramatikal, yaitu akusatif dan ergatif. Berdasarkan pengujian yang dilakukan, ciri akusatif dalam bahasa Tetun Dili dapat ditemukan pada konstruksi kalimat aktif yang memperlakukan S sebagai agen dan O sebagai pasien. Perlakuan ini akan berubah apabila ditemukan dalam konstruksi kalimat pasif. Dalam konstruksi pasif ciri ergatif bahasa Tetun Dili memperlakukan S sebagai pasien, sedangkan O diperlakukan sebagai agen. Penelitian Widianingsih (1997) ini dijadikan rujukan dan acuan ditinjau dari aspek tipologisnya. Di samping itu, BKm hidup berdampingan dengan bahasa Tetun. Suciati (2000) dengan penelitiannya berjudul “Aliansi Gramatikal dan Diatesis Bahasa Tetun Dialek Fehan: Sebuah Analisis Leksikal Fungsional” mengungkapkan bahwa bahasa Tetun dialek Fehan memiliki kecenderungan bahasa bertipe akusatif karena argumen agen (A) pada verba transitif dimarkahi sama dengan satu-satunya argumen (S) pada verba intransitif. Argumen inti dalam bahasa Tetun dialek Fehan tidak dimarkahi dengan pemarkah tertentu (misalnya preposisi). Di samping itu, Suciati (2000) juga mengungkapkan dua kelompok verba yang terdapat dalam bahasa Tetun dialek Fehan, yaitu kelompok verba yang bersesuaian dengan subjek dan kelompok verba yang tidak bersesuaian dengan subjek. Suciati (2008) menambahkan bahwa bahasa Tetun dialek Fehan memiliki tata urutan kanonik yang tidak bermarkah dengan urutan agen, verba, pasien dengan alternasi pasien, agen, verba dalam struktur yang bermarkah. Hasil penelitian ini penting untuk dicermati karena penelitian Suciati ini mengkaji tipologi bahasa sehingga dapat dijadikan acuan untuk mengkaji tipologi BKm. 23 Arka (2000) yang mengkaji beberapa aspek intransitif terpilah pada bahasa-bahasa Nusantara menyimpulkan bahwa secara tipologis bahasa-bahasa Nusantara memperlihatkan keterpilahan S, dengan strategi pemarkahan pada poros verbanya (head marking), seperti bahasa Bali, Lamaholot, Tetun, dan Dawan atau pemarkahan argumennya (dependent marking), seperti bahasa Kolana atau keduanya, seperti bahasa Aceh. Pemarkahan verbal biasanya berupa afiks, dengan memiliki tingkat keterperincian yang bervariasi. Sementara itu, bahasabahasa isolasi seperti bahasa Sikka, yang memang miskin proses morfologis khususnya afiksasi, keterpilahan S diperlihatkan melalui tata urutan antara S dan poros verbanya. Penelitian Arka (2000) dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman untuk menentukan apakah BKm termasuk kelompok bahasa akusatif, ergatif, dan s-terpilah dilihat dari segi tipologi. Kajian pustaka berikutnya merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kosmas (2000). Penelitian yang dilakukan Kosmas mengkaji “Argumen Aktor dalam Bahasa Manggarai dan Pemetaan Fungsinya”. Penelitian ini fokus pada aspek teoretis argumen inti dalam bahasa Manggarai serta implikasi tipologisnya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahasa Manggarai tidak memiliki pemarkah morfologis. Ketiadaan pemarkah morfologis disebabkan oleh ketiadaan proses morfoleksikal karena minimnya afiks (sufiks, infiks, prefiks) sehingga alternasi kalimat termasuk diatesis aktif-pasif sulit diukur melalui pemarkahan morfologis. Alternasi kalimat dalam bahasa Manggarai dilakukan dengan perubahan tata urutan disertai dengan intonasi khusus konstituen (constituent order) yang sebagai pembeda makna. Dalam konstruksi 24 tertentu dimarkahi secara sintaktis meskipun jumlahnya sangat terbatas dan penggunaannya pun hanya terbatas pada konstruksi pasif. Argumen inti (core argument) bahasa Manggarai tidak dimarkahi, baik secara morfologis maupun sintaksis. Sebaliknya, argumen noninti (non-core argument) dimarkahi secara sintaksis dengan preposisi le ‘oleh’. Preposi le ‘oleh’ ini digunakan sebagai pemarkah sintaktis, terutama dalam konstruksi pasif atau dengan kata lain preposisi le ‘oleh’ merupakan pemarkah konstruksi pasif dalam bahasa Manggarai. Dengan demikian, pasif dalam bahasa Manggarai merupakan pasif secara sintaksis, bukan pasif secara morfologis. Lebih lanjut Kosmas (2000) menambahkan bahwa selain melalui pemarkahan sintaksis, argumen inti dan noninti juga dapat ditentukan berdasarkan tata urut konstituen klausa. Perubahan unit konstituen klausa berpengaruh terhadap status inti dan noninti sebuah argumen. Argumen aktor sebagai argumen inti dipetakan ke fungsi SUBJ, sedangkan argumen aktor sebagai argumen noninti dipetakan ke fungsi OBL. Terkait dengan tipologi bahasa, Kosmas (2000) menyatakan bahwa secara tipologis bahasa Manggarai merupakan bahasa yang dikelompokkan ke dalam bahasa yang bertipe akusatif. Keakusatifan bahasa Manggarai ini ditunjukkan dengan pengetesam pemetaan peran semantis dan fungsi gramatikal serta tes kepivotan, yakni S/A pivot dan S/O pivot. Hasil penelitian Kosmas (2000) ini penting untuk dicermati karena menjelaskan struktur klausa sehingga dapat dijadikan acuan untuk mengkaji klausa dan kalimat kompleks BKm. Penelitian 25 tersebut juga menjelaskan tipologi bahasa Manggarai sehingga dapat dicermati dan dijadikan acuan atau pedoman untuk dapat menentukan tipologi BKm. Partami (2001) melakukan penelitian dengan topik “Relasi Gramatikal dan Perelatifan Bahasa Buna”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa bahasa Buna merupakan bahasa isolasi karena berdasarkan kenyataan bahwa dalam bahasa Buna sangat jarang ditemukan proses morfologis. Relasi gramatikal bahasa Buna menunjukkan bahwa kebanyakan verba transitif dimarkahi dengan prefiks pronominal yang bersesuaian dengan objek gramatikal. Bahasa Buna dapat merelatifkan fungsi-fungsi gramatikal, seperti subjek, objek primer, objek sekunder, dan pasif yang menempati fungsi subjek. Bahasa Buna digolongkan ke dalam kelompok bahasa akusatif dan memiliki diatesis agentif. Jika dilihat berdasarkan tata urutan kata, dalam bahasa Buna terdapat pola urutan kanonik SOV. Hasil penelitian Partami (2001) sangat relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian tipologi sintaksis BKm. Di samping itu, penelitian Partami (2001) dengan penelitian yang dilakukan ini memiliki objek yang hidup berdampingan, yaitu bahasa Buna dan BKm. Jufrizal (2004) melakukan penelitian yang mengkaji “Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau”. Dari penelahaan tipologis diketahui bahwa bahasa Minangkabau merupakan bahasa yang hanya dapat merelatifkan relasi subjek secara langsung tanpa adanya penurunan diatesis. Relasi objek hanya dapat direlatifkan dengan penurunan diatesis melalui pemasifan dan penopikan. Berdasarkan sistem koreferensi relasi-relasi gramatikal dalam kalimat kompleks dan penelahaan secara tipologis terhadap sifat-perilaku 26 gramatikal klausa dan klausa majemuk, baik kalimat majemuk setara maupun bertingkat, diketahui bahwa secara sintaktis bahasa Minangkabau mempunyai sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan S sebagai satu-satunya argumen dalam klausa intransitif sama dengan argumen A dalam klausa transitif dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada P. Berdasarkan perilaku tersebut, secara tipologis bahasa Minangkabau dapat dikelompokkan sebagai bahasa yang bertipe nominatif-akusatif secara sintaksis. Lebih jauh, penelitian ini telah sampai pada penemuan bahwa bahasa Minangkabau adalah bahasa dengan tipe S-terpilah. Berdasarkan pengujian kepivotan, secara gramatikal bahasa Minangkabau mempunyai S/A pivot. Penelitian ini juga menemukan bahwa bahasa Minangkabau mengenal diatesis aktif yang merupakan diatesis dasar dan diatesis pasif yang merupakan diatesis turunan. Di samping itu, penelitian ini juga menemukan bahwa secara gramatikal dan semantis, bahasa Minangkabau mempunyai diatesis medial. Jika dikaitkan dengan penelitian tipologi sintaksis, penelitian Jufrizal ini memiliki kemiripan dengan kajian BKm. Kemiripan ini terlihat dalam hal pengungkapan struktur klausa dasar, kalimat kompleks, dan tipologi bahasa. Kasni (2008) melakukan penelitian yang mengkaji “Pelesapan pada Konstruksi Koordinatif Bahasa Inggris”. Penelitian Kasni menitikberatkan pada pelesapan yang terjadi pada struktur klausa koordinatif dilihat dari segi fungsional, keterpulangan, pengujian kepivotan yang diajukan oleh Dixon (1979). Penelitian ini memadukan teori struktural dan pendekatan tipologi bahasa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelesapan dapat terjadi pada tipe 27 konstruksi kalimat koordinatif yang terdiri atas dua klausa dan tipe konstruksi kalimat koordinatif yang terdiri atas lebih dari dua klausa. Dari segi fungsionalnya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa unsur-unsur yang dilesapkan adalah unsur subjek, unsur subjek+verba bantu, dan unsur objek+subjek. Dari segi keterpulangan, pelesapan subjek dan subjek+verba bantu dikategorikan sebagai pelesapan anaforis, sedangkan pelesapan objek dikategorikan sebagai pelesapan kataforis. Lebih lanjut, Kasni (2008) menambahkan bahwa jika ditinjau dari segi tipologi bahasa, pelesapan yang terjadi pada konstruksi koordinatif bahasa Inggris terkait erat dengan tipologi bahasa Inggris itu sendiri yang bersifat akusatif yang memperlakukan subjek pada kalimat intransitif (S) sama dengan argumen subjek pada klausa transitif (A). Jika unsur S pada klausa intarnsitif dan unsur A pada klausa transitif berkoreferensi, maka salah satu unsur tersebut dapat dilesapkan tanpa mengubah struktur klausa. Akan tetapi, apabila yang berkoreferensi adalah O dalam salah satu klausa, maka proses pemasifan harus dilakukan supaya O bisa dilesapkan. Penelitian ini dijadikan sebagai acuan dan pembanding dalam pembahasan klausa dan kalimat kompleks BKm karena pembahasannya bertitik tolak dari klausa. Budiarta (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Aliansi Gramatikal Bahasa Dawan”. Dari penelitian awal tentang sistem aliansi gramatikal bahasa Dawan tersebut diperoleh simpulan yang menyatakan bahwa bahasa Dawan memiliki kecenderungan secara morfologis sebagai bahasa nominatif-akusatif. Sebaliknya, secara sintaksis bahasa Dawan dikatakan sebagai bahasa yang 28 memiliki tipologi bahasa nominatif-akusatif karena memperlakukan S sama dengan A dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada P. Berdasarkan pengkajian sistem rujuk-silang (koreferensial) relasi-relasi gramatikal yang terdapat dalam kalimat kompleks bahasa Dawan, dapat dikatakan bahwa bahasa Dawan memperlakukan subjek (S) sama dengan agen (A) pada tataran sintaksis. Di samping memiliki pembahasan permasalahan yang sama, penelitian ini penting untuk dijadikan sebagai rujukan dalam pembahasan tipologi BKm karena bahasa Kemak dan bahasa Dawan merupakan bahasa yang hidup berdampingan. Satyawati (2009) melakukan penelitian yang mengkaji bahasa Bima. Penelitian Satyawati berjudul “Valensi dan Relasi Gramatikal Bahasa Bima”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penaikan valensi verba dilakukan melalui proses pengkausatifan dan pangaplikatifan. Sebaliknya, proses penurunan valensi dapat dilakukan dengan peresultatifan. Berkenaan dengan relasi sintaksis bahasa Bima, hasil penelitian Satyawati (2009) mengungkapkan bahwa pola urutan kata bahasa Bima pada level klausa adalah SVO. Lebih lanjut, klausa bahasa Bima terdiri atas PRED dan argumen-argumennya yang menduduki fungsi SUBJ, Ol, dan OTL. Penelitian Satyawati (2009) juga menemukan empat tipe diatesis yang dimiliki oleh bahasa Bima, yaitu diatesis aktif, diatesis pasif, diatesis medial, dan diatesis antipasif. Lebih lanjut, Satyawati (2009) mengungkapkan bahwa bahasa Bima memiliki tiga bentuk kausatif, yaitu leksikal, morfologis, dan analitik. Kausatif leksikal terjadi karena konstituen yang membangun PRED berupa verba yang bermakna kausatif, tanpa melalui proses pengkausatifan, seperti penambahan 29 pemarkah. Tanpa pemarkah PRED sudah dinyatakan oleh verba bermakna kausatif. Kausatif morfologis dilakukan dengan cara menambahkan pemarkah kausatif {ka-} pada verba. Pemarkah jenis ini, selain dapat dilekatkan pada verba dapat pula dilekatkan pada adjektiva, nomina, dan numeralia. Kausatif analitik dilakukan dengan menambahkan vebra ndawi, baik dalam konstruksi intransitif maupun transitif. Satyawati (2009) juga mengungkapkan bahwa pengaplikatifan dalam bahasa Bima dilakukan dengan preposisi {-labo} dan {-kai}. Penempatan kedua preposisi tersebut berada di belakang verba dan dapat dimarkahi pemarkah perujuk silang dapat pula tidak. Di samping kedua preposisi tersebut, proses pengaplikatifan bahasa Bima dapat dilakukan dengan menggunakan pemarkah {wea} dengan meletakkan pemarkah {-wea} di belakang verba. Peresultatifan bahasa Bima dilakukan dengan menambahkan pemarkah {ra-} pada verba. Pada konstruksi resultatif bahasa Bima, agen tidak disebutkan. Penelitian yang dilakukan Satyawati (2009) memang tidak membahas tipologi bahasa. Namun, penelitian ini penting untuk dijadikan acuan serta pedoman karena permasalahan yang dibahas dalam penelitian Satyawati (2009) sangat relevan dengan penelitian tipologi sintaksis BKm. Relevansi penelitian Satyawati (2009) dengan penelitian tipologi sintaksis BKm terlihat pada pembahasannya yang mengutak-atik struktur klausa. Yudha (2011) dalam penelitiannya mengkaji “Struktur dan Fungsi Gramatikal Bahasa Lio”. Hasil penelitian Yudha (2011) menunjukkan bahwa struktur klausa bahasa Lio (BL) memiliki struktur kanonis SVO, VOS, dan OSV. 30 Struktur kanonis OVS ini terjadi karena bahasa Lio tidak memiliki diatesis pasif. SUBJ bahasa Lio selalu muncul pada posisi preverbal dan OBJ muncul pada posisi postverbal. Lebih lanjut, Yudha (2011) mengungkapkan bahwa tipologi pemarkahan BL tergolong bahasa akusatif yang memperlakukan A sama dengan S (S/A) dan berbeda dengan P. Kalau dikaji secara sintaksis, BL termasuk kelompok bahasa ergatif analitik karena tidak ada bahasa yang sepenuhnya akusatif ataupun ergatif. Bahasa Lio merupakan bahasa yang bersifat ergatif analitik, argumen P verba transitif tak bermarkah dan diperlakukan dengan cara yang sama dengan satusatunya argumen pada klausa intransitif sesuai dengan urutan konstituennya. Keterbatasan BL terletak pada argumen P dan S yang dapat direlatifkan dan dimodifikasi dengan pemarkah emfatik. Hanya P dan S yang berfungsi sebagai pivot untuk memungkinkan proses pelesapan nomina yang berkoreferensi dengan struktur klausa koordinasi dan klausa subordinasi. Penelitian yang dilakukan oleh Yudha (2011) ini memiliki arti penting sebagai acuan serta pedoman dalam penelitian tipologi sintaksis BKm karena dalam penelitian tersebut permasalahan yang dikaji sangat relevan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yang menitikberatkan pada struktur klausa. Di samping itu, penelitian Yudha (2011) juga mengungkap tipologi BL sehingga sangat relevan untuk dijadikan sebagai acuan dan pembanding dalam penentuan tipologi BKm. Kasni (2012) dengan penelitiannya yang berjudul “Strategi Penggabungan Klausa Bahasa Sumba Dialek Waijewa”. Terdapat tiga permasalahan yang dibahas dalam penelitian Kasni (2012), yaitu (1) Struktur klausa, (2) struktur 31 argumen dan valensi verba, dan (3) strategi penggabungan klausa secara koordinatif dan subordinatif. Hasil Penelitian Kasni (2012) mengungkapkan bahwa klausa bahasa Sumba dialek Waijewa (BSDW) dapat dibentuk oleh unit gramatikal, seperti pronomina, FN, verba, adjektiva, preposisi dan numeralia. Klausa BSDW dibedakan menjadi dua, yaitu klausa verbal dan klausa nonverbal. Argumen S klausa intransitif BSDW dimarkahi oleh kasus nominatif dan pada pemakaian semantis tertentu argumen S dapat dimarkahi oleh pemarkah kasus akusatif, genetif, atau pemarkah ganda (nominatif dan akusatif). Pemarkah yang sama juga diberikan kepada argumen A klausa transitif. Sementara itu, pemarkahan terhadap argumen O ditentukan oleh definit atau tidaknya unsur yang mengisi O tersebut. Lebih lanjut, Kasni (2012) mengungkapkan bahwa peningkatan valensi verba BSDW dilakukan melalui pengkausatifan dan pengaplikatifan. Sementara itu, penurunan valensi BSDW dilakukan melalui resiprokal dan antikausatif. Terkait dengan penggabungan klausa BSDW, Kasni (2012) mengungkapkan bahwa penggabungan klausa secara koordinatif dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konstruksi syndetic yang dimarkahi oleh konjungsi monna ‘dan’, takka ‘tetapi’, dan ato ‘atau’ dan konstruksi asyndetic yang tidak dimarkahi oleh konjungsi. Sementara itu, penggabungan klausa secara subordinatif (konstruksi subordinatif) BSDW dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) konstruksi yang terdiri atas klausa relatif, (2) klausa pelengkap, dan (3) klausa keterangan. Argumen S, A, O, Pi, lokatif, dan instrumen direlatifkan melalui pengosongan, sedangkan pemilik direlatifkan melalui pronomina retensi. Klausa pelengkap digabungkan melalui 32 serialisasi verba, konstruksi klausa relatif, aposisi, dan penggabungan tujuan. Klausa keterengan digabungkan dengan konjungsi ataupun tanpa konjungsi. Penelitian terakhir yang dijadikan kajian pustaka adalah penelitian yang dilakukan oleh Sukendra (2012). Penelitian Sukendra (2012) berjudul “Struktur Klausa Bahasa Sabu: Kajian Tipologi Bahasa”. Terdapat enam permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut, yaitu (1) struktur klausa, (2) struktur argumen, (3) mekanisme perubahan valensi, (4) struktur informasi, (5) kalimat kompleks, dan (6) sistem aliansi gramatikal. Hasil penelitian Sukendra (2012) mengungkapkan bahwa struktur klausa bahasa Sabu (BS) terdiri atas klausa berpredikat verbal dan nonverbal. Klausa berpredikat nonverbal dipredikati oleh nomina, adjektiva, numeralia dan frasa preposisional. Tata urutan kata yang lazim pada klausa dasar BS adalah SVO atau AVP. Predikasi BS terdiri atas predikat verbal dengan satu argumen pada klausa intransitif, dengan dua argumen pada klausa ekatransitif, dan dengan tiga argumen pada klausa dwitransitif. Terkait dengan struktur informasi, BS diidentifikasi sebagai bahasa yang menonjolkan subjek. Lebih lanjut, terkait dengan penggabungan klausa secara koordinatif dan subordinatif Sukendra (2012) mengungkapkan bahwa BS memiliki pivot S/A. Kenyataan bahwa BS memiliki pivot S/A mengacu kepada konstruksi verba tak terbatas dan konstruksi kalimat tanya. Konstruksi dengan verba tak terbatas dan konstruksi kalimat tanya memperlihatkan bahwa S diperlakukan sama dngan A dan berbeda dengan P Hal ini dibuktikan dengan diperkenankannya pelesapan secara langsung jika S bekoreferensi dengan A. Sementara, jika S berkoreferensi 33 dengan P, maka diperlukan proses penurunan (derivasi) sintaksis melalui mekanisme pemasifan dan penopikan. Walaupun dengan objek penelitian bahasa yang berbeda, penelitianpenelitian yang dilakukan sebelumnya dan telah diuraikan di atas, baik yang dilakukan oleh Artawa (1994), Widaningsih (1997), Suciati (2000), Arka (2000) Kosmas (2000), Partami (2001), Jufrizal (2004), Kasni (2008), Budiarta (2009), Satyawati (2009), Yudha (2011), Kasni (2012), maupun Sukendra (2012) sangat bermanfaat dan digunakan sebagai kajian pustaka karena peneliti berpendapat bahwa masalah yang dikaji dalam penelitian tersebut memiliki kemiripan dengan penelitian BKm. Kemiripan tersebut terlihat pada permasalahan-permasalahan yang dikaji, yaitu tentang tipologi sintaksis. Oleh karena itu, beberapa temuan dan simpulan penelitian sebelumnya dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan pembanding serta rujukan guna memeroleh kesempurnaan penelitian tipologi sintaksis BKm. 2.2 Konsep Subbab ini menguraikan beberapa konsep untuk menyamakan titik pandang dan pemahaman serta memperjelas arah kajian penelitian ini. Konsepkonsep yang dijelaskan menyangkut konsep-konsep yang terkait dengan pembahasan tipologi sintaksis yang meliputi konsep klausa, subjek, objek, oblik, struktur semantik, valensi, argumen, kalimat kompleks, aliansi gramatikal, tipologi sintaksis, pivot, dan tipologi linguistik. 34 2.2.1 Klausa Kridalaksana (1993:110) menjelaskan bahwa klausa merupakan satuan gramatikal yang berwujud kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat dan memiliki potensi untuk menjadi kalimat. Selain Kridalaksana, pengertian tentang klausa disampaikan juga oleh Verhaar (1996: 12). Verhaar menyebutkan bahwa klausa merupakan kalimat yang terdiri atas sebuah verba dan frasa verbal yang disertai dengan satu konstituen atau lebih yang secara sintaksis berhubungan dengan verba tersebut. Di samping pengertian yang diberikan Kridalaksana dan Verhaar, Lapoliwa (1990:19) juga memberikan penjelasan tentang klausa. Menurut Lapoliwa (1990: 19), istilah klausa dipakai untuk merujuk pada satuan konstruksi dalam kalimat yang mempunyai struktur predikasi sebagai kalimat tunggal tanpa adanya intonasi. Elson dan Pickett (1983: 120) mengungkapkan bahwa pengertian klausa adalah sama dengan pengertian kalimat sederhana, yaitu kalimat yang terdiri atas satu subjek dan satu predikat. Dalam penelitian ini, diacu pendapat Kridalaksana karena ahli tersebut menyatakan bahwa konsep kalimat tidak disejajarkan dengan konsep klausa. Kridalaksana (1993) secara jelas mengungkapkan bahwa klausa tidak sama statusnya dengan kalimat apabila acuannya adalah kalimat minim/elip. Misalnya, lari! dan pergi! bukan merupakan klausa karena tidak mengandung subjek dan predikat. Bila sebuah konstruksi mengandung unsur subjek dan predikat dan mengandung intonasi lanjut, maka bentuk tersebut adalah klausa dan klausa tersebut akan menjadi kalimat apabila berisi intonasi final. 35 Berdasarkan pendapat tersebut diketahui bahwa klausa tidak sama dengan kalimat yang berjenis kalimat minim/elip, tetapi disejajarkan dengan kalimat tunggal atau kalimat sederhana karena merujuk pada satuan predikasi. Dengan demikian, pemahaman klausa jika ditulis atau disebut tanpa keterangan lain sama dengan kalimat sederhana; kalimat yang mempunyai satu subjek dan satu predikat. Dengan demikian, klausa yang dimaksud pada disertasi ini adalah kalimat sederhana (simple sentence). Dalam pembahasan kalimat kompleks juga disebutkan istilah klausa yang mengacu kepada anak kalimat (dependent clause) 2.2.2 Subjek Subjek merupakan fungsi gramatikal paling utama yang biasanya ditempati oleh nomina atau frasa nominal (FN) dalam sebuah kalimat. Pada klausa intransitif, subjek merupakan satu-satunya argumen inti yang terdapat dalam struktur tersebut. Sementara, pada klausa transitif FN merupakan argumen yang menempati posisi tertinggi pada herarki fungsi gramatikal (Blake, 1993). 2.2.3 Objek Objek merupakan fungsi gramatikal selain subjek yang ditempati oleh nomina atau frasa nominal yang juga berperan sebagai argumen inti. Secara tradisional, objek dibedakan atas objek langsung dan objek tak langsung (Trask, 1993). Dalam klausa transitif, objek merupakan fungsi atau relasi gramatikal yang harus hadir yang diisyaratkan oleh predikat (verba). Sebaliknya, klausa intransitif tidak menghendaki kehadiran objek (Dixon, 1994). 36 2.2.4 Oblik Oblik atau relasi oblik merupakan relasi gramatikal selain relasi gramatikal utama yang meliputi subjek dan objek. Lebih jauh, relasi oblik merupakan relasi gramatikal yang bersifat semantis (Palmer, 1994; Artawa, 2000). 2.2.5 Struktur Semantik Struktur semantik (semantic structure) menggambarkan kandungan semantis bentuk linguistik, khususnya verba yang berfungsi sebagai predikator. Komponen-komponen makna yang bersesuaian secara sintaksis diungkapkan dalam pengertian leksikal (Arka, 1998:197; Foley dan Van Valin, 1984). 2.2.6 Valensi Shopen (1985: 96) mengungkapkan bahwa valensi mengacu pada jumlah tipe elemen yang berbeda yang berkaitan dengan verba. Istilah valensi digunakan untuk mengacu pada jumlah argumen nomina kluasa pada tingkat apa saja orang menyebutnya (Aissen dalam Hopper and Thompson, 1982: 8). Dilihat dari jenisnya, valensi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu valensi semantis dan valensi sintaksis. Valensi semantis merupakan valensi yang terkait dengan jumlah partisipan yang harus hadir yang diungkapkan oleh sebuah verba, sedangkan valensi sintaksis atau valensi gramatikal merupakan valensi yang terkait dengan jumlah argumen yang nyata pada klausa tertentu (Payne, 1977:169--170; Haspelmath, 2002:210--211). Katamba (1993: 266) mengemukakan bahwa valensi merupakan jumlah argumen dalam kerangka sintaksis yang dikaitkan 37 dengan verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi gramatikal. Berdasarkan definisi yang diberikan dapat disimpulkan bahwa konsepsi valensi berhubungan erat sekali dengan ketransitifan verba pada tataran morfosintaksis. Senada dengan Katamba, Van Valin Jr. dan Lapolla (2002: 147--150) mengemukakan bahwa valensi merupakan banyaknya argumen yang diikat atau yang dibutuhkan oleh verba. Valensi sintaksis verba adalah jumlah argumen yang disiratkan secara morfosintaksis yang dibutuhkan verba tersebut, sedangkan valensi semantis adalah jumlah argumen semantis yang dapat diambil oleh verba tertentu. Konsep valensi berkaitan erat dengan perubahan jumlah argumen verba sebagai PRED dalam sebuah klausa yang pada hakikatnya mekanisme perubahan valensi ini memengaruhi argumen A atau SUBJ dan P atau OBJ suatu verba PRED (Haspelmath: 2002:218). Lebih lanjut, valensi sangat erat berhubungan dengan istilah yang terkait dengan penambahan jumlah argumen, yaitu pengkausatifan dan pengaplikatifan dan istilah yang terkait dengan penurunan jumlah argumen, yaitu pemasifan, pengantipasifan, dan pengintransitifan. 2.2.7 Argumen Argumen merupakan unsur sintaksis dan semantis yang diperlukan oleh sebuah verba, yang umumnya berkorelasi dengan partisipasi pada suatu kejadian atau keadaan yang dinyatakan oleh verba atau predikatnya. Berdasarkan pengertian tersebut, diketahui bahwa jumlah argumen dalam sebuah klausa atau kalimat ditentukan oleh verba sebagai inti (head) dari klausa atau kalimat tersebut (Wiliams, 1991:100; Culicover, 1997: 16--17). 38 2.2.8 Kalimat Kompleks Kuiper dan Allan (1996: 255, 264) secara sederhana dan praktis mengungkapkan bahwa kalimat kompleks adalah kalimat yang memiliki klausa sematan (klausa bawahan). Elson dan Pickett (1983: 120) berpendapat bahwa kalimat sederhana dapat bergabung dengan kalimat sederhana lain untuk membentuk konstruksi (kalimat) yang lebih kompleks. Kalimat yang dibentuk dari gabungan klausa-klausa tersebut melahirkan kalimat majemuk (complex sentence). Hubungan antarklausa di dalam kalimat majemuk ini beragam dan rumit. Kerumitan tersebut disebabkan oleh adanya interaksi tiga parameter yang berbeda, yaitu susunan internal klausa-klausa tersebut, hubungan struktural klausa satu sama lain, dan hubungan semantis klausa-klausa tersebut. Dalam buku tata bahasa dan linguistik bahasa Indonesia, kalimat majemuk dibedakan menjadi kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Kalimat majemuk setara (compound sentence) adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih yang dihubungkan secara setara (koordinatif) oleh konjungsi koordinatif. Sebaliknya, kalimat majemuk bertingkat (complex sentence) adalah kalimat yang terdiri atas klausa utama dan klausa bawahan yang menunjukkan hubungan subordinatif (Verhaar, 1989: 102—103; Alwi dkk., 2000: 385--393). 2.2.9 Pivot Pivot merupakan kategori yang mengaitkan S dan A, S dan P, S, A, dan P. Pivot merupakan FN yang paling sentral secara gramatikal. FN yang berfungsi sebagai pivot memiliki kemampuan mengoordinasikan, mengontrol anafora atau 39 pelesapan, dan dihilangkan dalam struktur kontrol. Pivot dalam bahasa bertipologi akusatif adalah subjek gramatikal, sedangkan pada bahasa bertipologi ergatif adalah pasien (Dixon, 1994; Trask, 1993; Matthews, 1997). 2.2.10 Aliansi Gramatikal Aliansi gramatikal merupakan sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam atau antarklausa dalam suatu bahasa secara tipologis, apakah S=A, S=P, Sa=A, dan Sp=P (Dixon, 1994; Palmer, 1994, Arka, 2000; Payne, 2002, Jufrizal. 2004). Dixon (1994) dalam Artawa (2005:11) mengemukakan bahwa sistem aliansi gramatikal menjadi titik perhatian untuk menentukan yang mungkin untuk bahasa-bahasa di dunia, yaitu bahasa akusatif, bahasa ergatif, bahasa agentif, bahasa aktif, dan sebagainya 2.2.11 Tipologi Sintaksis Tipologi sintaksis merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan untuk mengelompokkan bahasa berdasarkan struktur frasa, klausa, dan kalimatnya. Terkait dengan tipologi sintaksis, Dixon (1994: 157-158) menambahkan bahwa penentuan tipologi sintaksis sebuah bahasa dapat dilakukan dengan pengetesan atau pengujian kepivotannya. 2.2.12 Tipologi Linguistik Tipologi linguistik atau tipologi bahasa merupakan kajian ilmu bahasa tentang bagaimana bahasa dikelompokkan. Pengelompokan bahasa-bahasa ini 40 didasarkan pada sifat-perilaku (property) yang dimiliki oleh bahasa itu sendiri (Mallinson dan Blake, 1981; Comrie, 1983; dan 1988; Artawa, 2000). 2.3 Landasan Teori Awal berkembangnya teori tipologi bahasa dimulai sekitar tahun 1960-an yang dipelopori oleh Greenberg yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan urutan dasar subjek, objek, dan verba (S-O-V). Berkembangnya teori tipologi bahasa merupakan reaksi terhadap teori Tata Bahasa Transformasi Generatif yang cenderung didasarkan pada perilaku kebahasaan bahasa Inggris Perkembangan teori tipologi bahasa kemudian dilanjutkan oleh Comrie pada awal tahun 1980-an. Comrie mengembangkan kajian linguistik lintas bahasa yang mengarah kepada generalisasi dan pengelompokan bahasa-bahasa. Kajian linguistik yang dikembangkan oleh Comrie ini berada pada tataran morfosintaksis yang membahas (i) pemarkahan agen dan pasien, (ii) urutan kata, (iii) koordinasi, dan (iv) subordinasi (Mallinson dan Blake, 1981: 1—2). Lebih jauh, Mallinson dan Blake (1981:3) mengungkapkan bahwa tipologi bahasa bersinonim dengan istilah taksonomi. Dalam dunia linguistik, istilah tipologi lebih sering digunakan. Istilah tipologi dalam dunia linguistik menjadi terkenal yang digunakan untuk merujuk ke pengelompokan bahasa-bahasa berdasarkan karakteristik tata kata dan tata kalimatnya. Lebih jauh, Mallinson dan Blake mengungkapkan bahwa bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan batasanbatasan strukturalnya. Akan tetapi, tipologi yang baik adalah tipologi yang 41 mampu mengelompokkan bahasa-bahasa secara luas berdasarkan sejumlah fitur yang saling berhubungan. Pengkajian aliansi gramatikal (persekutuan gramatikal) pada dasarnya didasari dan dicermati melalui kajian tipologi bahasa bersangkutan. Untuk dapat sampai pada penentuan tipologi bahasa, banyak aspek kebahasaan yang perlu dikaji lebih dahulu, baik secara gramatikal (morfosintaksis) maupun melibatkan fenomena semantis. Begitu juga apabila ingin mengetahui aliansi gramatikal, penelusuran secara tipologis pada tataran linguistik tertentu perlu dilakukan. Pada dasarnya kajian tipologi bahasa terkait dengan pengelompokan bahasa-bahasa menurut strukturnya. Pengelompokan berdasarkan struktur ini tidak berarti bahwa bahasa-bahasa dikelompokkan hanya berdasarkan struktur, tetapi juga dapat dibedakan berdasarkan genetis, tipologis, dan areal (Mallinson dan Blake, 1981: 4--5). Pendapat yang dikemukakan oleh Mallinson dan Blake (1983) didukung oleh Comrie. Comrie (1983: 30--32) mengungkapkan bahwa kajian kesemestaan bahasa dan kajian tipologi terlihat bertentangan. Kajian kesemestaan bahasa bertujuan untuk menemukan (i) perilaku dan sifat-sifat yang umum bagi semua bahasa manusia, (ii) mencari dan menemukan kemiripan secara lintas bahasa, dan (iii) menetapkan batas-batas variasi dalam bahasa manusia. Sementara, kajian tipologi bahasa bertujuan untuk (i) mengelompokkan bahasa-bahasa ke dalam kelompok yang berbeda sesuai dengan karakteristiknya, (ii) mengkaji perbedaan antara bahasa-bahasa, dan (iii) mempelajari variasi-variasi bahasa manusia. Walaupun berbeda, keduanya memiliki keterkaitan sehingga keduanya dapat 42 berjalan bergandengan. Untuk menetapkan tipologi bahasa diperlukan penetapan parameter tertentu untuk mengelompokkan bahasa di dunia. Penetapan tipologi suatu bahasa membutuhkan pembuatan asumsi tentang kesemestaan bahasa. Penelitian tipologi sintaksis BKm ini mengaplikasikan teori tipologi bahasa yang dikemukakan oleh Comrie (1988) dan Dixon (1994). Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa penerapan teori tipologi bahasa bertujuan untuk mengkaji struktur klausa sebagai titik perhatian dalam penentuan tipologi bahasa. Selain itu, penerapan teori tipologi bahasa juga digunakan untuk mengkaji penggabungan klausa untuk membentuk kalimat kompleks. Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa teori utama yang menjadi payung penelitian yang mengkaji tipologi sintaksis BKm adalah teori tipologi bahasa yang dikemukakan, baik oleh Comrie (1988) maupun Dixon (1994). Dalam teori tipologi bahasa dinyatakan bahwa bila dalam suatu bahasa S (subjek), yakni argumen inti intransitf diperlakukan sama dengan A (agen), yakni argumen agen transitif, tetapi berbeda dari P (pasien), yakni argumen pasien transitif, bahasa tersebut bertipe akusatif. Bila suatu bahasa memperlakukan S sama dengan P, tetapi berbeda dari A, disebut sebagai bahasa ergatif, dan bila suatu bahasa memperlakukan S sebagai S dan S yang lainnya sebagai P, bahasa tersebut termasuk bahasa bertipe Split-S. Bahasa yang bertipe Split- S oleh Klimov (1979) disebut sebagai bahasa bertipe aktif. Dixon (1994) menyebutkan bahwa setiap bahasa memiliki klausa intransitif dan klausa transitif, yakni klausa dengan satu argumen inti yang disebut 43 dengan “S”. Sementara itu, klausa transitif memiliki dua argumen inti yang disebut A dan O (objek) yang dalam tulisan ini dipakai A dan P. Di antara kajian yang perlu dilakukan dalam tipologi bahasa adalah perihal relasi gramatikal. Menurut Van Valin, Jr dan La Polla (1999: 242--243), relasi gramatikal tradisional pada awalnya didasarkan pada fenomena gramatikal bahasa-bahasa Indo-Eropa. Ada dua hal yang memungkinkan relasi gramatikal ini berterima dalam beberapa teori tata bahasa yang setuju dengan konsep ini. Pertama, relasi gramatikal dapat diterapkan sebagai bentuk asal (bukan bentuk turunan dari yang lain). Kedua, relasi gramatikal dapat dianggap sebagai turunan dari fenomena sintaksis, semantik, atau pragmatis. Namun, pada hakikatnya, relasi gramatikal itu adalah asal dan turunan sekaligus agak sulit dipahami secara teoretis dan terapan. Untuk melihat bagaimana pemahaman relasi gramatikal itu secara tipologis dan mengarah ke aliansi gramatikal, perlu diperhatikan pendapat yang dikemukakan oleh Palmer (1994: 14). Menurut Palmer, dalam kajian tipologis, kenyataan bahwa S diperlakukan sama dengan A dalam sistem akusatif dan perlakuan S sama dengan P dalam sistem keergatifan menjadikan penting untuk menjelaskan perbedaan antara ‘peran gramatikal dan relasi gramatikal’. Penentuan S=A dan S = P merupakan konsep yang berbeda dari peran S, A, dan P. Dalam hal ini S, A, dan P adalah peran gramatikal, sedangkan S=A dan S=P merupakan relasi gramatikal. Pengertian relasi gramatikal (S=A dan S=P) seperti dikemukakan oleh Palmer (1994) itu bisa diterima sebagai dasar berpijak untuk kajian tipologis awal. 44 Namun, jika dihubungkan dengan pengertian relasi gramatikal dalam pembicaraan terdahulu, apa yang dikemukakan oleh Palmer memerlukan penafsiran lebih lanjut untuk memahaminya. Untuk memudahkan pemahaman, pendapat Palmer (1994) itu digabungkan dengan Dixon (1994) dan Arka (2000). Peran gramatikal digambarkan dengan S, A, dan P (bagi Dixon P diganti dengan O) dapat diterima keberadaannya. Namun, kenyataan atau kecenderungan adanya sistem S=A dan S =P dan sistem yang lainnya disebut sebagai aliansi gramatikal (persekutuan gramatikal) (lihat Dixon, 1994; Arka, 2000: 242). Dengan demikian, aliansi gramatikal adalah sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal yang ada dalam suatu bahasa secara tipologis; apakah berupa S=A, S=P, Sa = A, Sp = P atau yang lainnya (lihat Artawa, 1996). Banyak bahasa mencampurkan jenis nominatif-akusatif dan absolutifergatif dalam hal pemarkah intraklausal. Kondisi itulah yang disebut sistem terpilah (split). Kondisi itu berhubungan dengan hakikat semantik verba utama, hakikat semantik frasa nominal inti, kala (tense) atau aspek atau modus (mood) klausa, atau status gramatikal klausa (apakah klausa utama atau bawahan/turunan), dan sebagainya. Beberapa bahasa menunjukkan keadaan pertengahan (bukan akusatif, bukan pula ergatifi), memarkahi sejumlah S sama dengan A dan sejumlah lainnya sama dengan P (Dixon, 1994) dan menggunakan O sebagai pengganti P). Bahasa yang demikian dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu S-terpilah (Split-S) dan S-alur (fluid-S) (Dixon, 1994:70). Selanjutnya, Dixon (1994: 70--71) menjelaskan aliansi gramatikal yang (mungkin) ada dalam bahasa-bahasa di dunia (karena merujuk Dixon, 1994), 45 lambang yang digunakan adalah S (subjek intransitif), A (subjek intransitif), dan O (objek transitif). S yang secara semantis mirip dengan A dilambangkan dengan Sa dan dimarkahi seperti A, S yang secara semantis mirip dengan O dilambangkan dengan So dan dimarkahi seperti O. Bahasa yang membedakan antara Sa dan So sebagai subtipe dari S ada dua jenis. Pertama adalah seperti bahasa ergatif dan akusatif, yaitu secara sintaksis terdapat pemarkah dasar pada unsur inti. Setiap verba ditunjukkan oleh serangkaian kerangka sintaksis dengan pemarkah kasus atau rujuk silang selalu dilakukan dengan cara yang sama, yakni memedulikan semantik tertentu. Sistem itu disebut S-terpilah (Split- S). Jenis kedua, secara sintaksis memperlakukan pemarkah dasar untuk verba transitif, tetapi hanya untuk verba intransitif. Artinya, sebuah subjek intransitif dapat dimarkahi sebagai Sa (seperti A) atau So (seperti So) bergantung pada semantik tertentu. Aliansi seperti ini disebut S-alir (Fluid-S). Tipologi bahasa sebenarnya mengacu pada pengelompokan bahasa-bahasa berdasarkan ciri-ciri tertentu yang dimiliki oleh bahasa tersebut yang dapat juga dilihat dari kata dan tata kalimatnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada beberapa hal yang dibicarakan dalam tipologi bahasa secara morfosintaksis, yaitu (1) pemarkahan agen dan pasien, (2) tata urut kata, (3) koordinasi : reduksi konjungsi, dan (4) subordinasi: klausa relatif. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemarkahan agen dan pasien dan tata urut kata merupakan dua buah topik yang bertautan dengan kalimat sederhana, sedangkan koordinasi yang berupa reduksi konjungsi dan subordinasi yang berwujud klausa relatif bertautan dengan kalimat kompleks. Dengan adanya prinsip dasar kerja tipologi bahasa yang didasarkan atas struktur 46 kalimatnya, maka bahasa dapat dikelompokkan menjadi bahasa yang akusatif dan bahasa yang ergatif. Comrie (1988) dan Artawa (2004) mengungkapkan bahwa bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu bahasa ergatif dan akusatif, pasif dan aktif, dan antipasif. Suatu bahasa bertipe ergatif apabila pasien (P) dari verba transitif diperlakukan sama atau koreferensial dengan subjek (S) pada klausa intransitif dan berbeda dengan agen (A) dari verba transitif. Bahasa ergatif memperlakukan P sama dengan S. Biasanya sama-sama tidak bermarkah. Bahasa yang bertipe akusatif adalah bahasa yang memiliki sistem, yaitu A sama dengan S dan perlakuan yang berbeda dengan P. Sebaliknya, bahasa yang bertipe aktif adalah tipe bahasa yang menunjukkan bahwa ada sekelompok S yang berperilaku sama dengan S yang beriperilaku sama dengan A dalam satu bahasa. Dixon (1994: 157--580) lebih lanjut mengungkapkan bahwa dalam menentukan tipologi bahasa, khususnya tipologi sintaksis dapat dilakukan dengan pengetesan atau pengujian kepivotan bahasa tersebut. Menurut Dixon, teknik pengetesan atau pengujian kepivotan adalah sebagai berikut. Kedua klausa intransitif (a) S1=S2 Klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif (b) S1=P2 (c) S1=A2 Klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif (d) P1=S2 (e) A1=S2 Klausa kedua transitif dengan satu FN yang sama (f) P1=P2 47 (g) A1=A2 (h) P1=A2 (i) A1=P2 Kedua klausa transitif dengan dua FN yang sama (j) A1=P2, A1=A2 (k) P1=A2, A1=P2 Dalam kaitannya dengan cara penggabungan klausa untuk membentuk kalimat kompleks, Dixon (2010:313) menyatakan bahwa bentuk klausa dapat dibedakan menjadi tiga seperti yang tercermin dalam ketiga contoh di bawah ini. (1) The boy ate the mango after I left (2) I know that the boy ate the mango (3) I know the boy who ate the mango Berdasarkan ketiga kalimat yang disajikan di atas dapat dijelaskan bahwa kalimat (1) menggambarkan cara penggabungan klausa yang kedua klausanya tidak menempel satu sama lain. Lebih lanjut, klausa kedua dimarkahi oleh konjungsi after yang mengungkapkan klausa keterangan. Kalimat (2) dan (3) menggambarkan dua klausa yang digabungkan melalui proses ‘embedding’, artinya satu klausa merupakan bagian dari klausa yang lainnya. Klausa that the boy ate the mango merupakan bagian dari klausa I know pada kalimat (2) yang merupakan klausa komplemen (pelengkap). Sebaliknya, pada kalimat (3), klausa who ate the mango adalah klausa relatif yang menjelaskan objek the boy. Pembahasan kalimat kompleks merupakan pembahasan sintaksis antarklausa. Kajian tentang klausa relatif dan klausa komplemen ini tercakup dalam pambahasan kalimat kompleks. Pembahasan klausa relatif dan klausa komplemen dalam lingkup kalimat kompleks ini bertujuan untuk mengetahui 48 perilaku morfosintaksis secara tipologis klausa-klausa yang membentuk kalimat kompleks tersebut. Pembahasan kalimat kompleks (klausa relatif dan klausa komplemen) ini juga dimaksudkan untuk memeroleh gambaran dan butir-butir gramatikal yang dapat mendukung dan memperjelas bahasan tentang aliansi gramatikal BKm. Comrie (1981: 136) dan Dully (1981: 114) mengungkapkan bahwa klausa relatif merupakan klausa yang berfungsi memberikan keterangan terhadap nomina inti yang berupa nomina atau frasa nominal. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Kroeger (1999:123). Kroeger menyatakan bahwa klausa relatif merupakan klausa yang membatasi nomina inti dalam frasa nominal. Dilihat dari konstruksinya, Dixon (2010: 314) mengungkapkan bahwa klausa relatif memiliki struktur kanonik yang karakteristiknya sebagai berikut. (1) Konstruksi klausa relatif terdiri atas dua klausa, yaitu klausa utama (main clause) dan klausa relatif yang membentuk sebuah kalimat yang memiliki intonasi tunggal. (2) Argumen dari kedua struktur dasar harus merupakan argumen yang disebut argumen umum (common argument). Argumen umum tersebut merupakan argumen dari klausa utama (main clause) dan klausa relatif. (3) Klausa relatif berfungsi secara sintaksis sebagai atributif dari argumen umum (common argument) dalam klausa utama (main clause) dan secara semantis berfungsi untuk memberikan informasi tentang argumen umum yang membantu dalam membatasi acuan atau reference dari argumen umum. 49 (4) Klausa relatif harus memiliki struktur dasar yang terdiri atas predikat dan argumen inti. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang klausa relatif terkait dengan klausa utama (main clause) dan argumen umum (common argument), perhatikanlah contoh yang disajikan berikut ini. (1) I know the boy who ate the mango klausa utama klausa relatif (Dixon, 2010: 313) Berdasarkan contoh di atas, tampak jelas mana yang merupakan klausa utama dan mana yang merupakan klausa relatif. Klausa utama konstruksi tersebut adalah I know the boy dan who ate the mango merupakan klausa relatif. Dari konstruksi tersebut pula dapat diidentifikasi bahwa the boy merupakan argumen umum (common argument). Jika dilihat dari bentuknya, klausa relatif dapat dibedakan menjadi dua, yaitu klausa relatif restriktif dan klausa relatif nonrestriktif (Dixon, 2010: 314-315). Klausa relatif restriktif adalah klausa relatif yang bersifat membatasi referen nomina inti yang diacu. Dengan kata lain, klausa relatif restriktif adalah klausa yang berfungsi untuk menunjuk referen yang diacu. Sebaliknya, klausa relatif nonrestriktif adalah klausa relatif yang hanya bersifat memberikan informasi tambahan nomina inti yang diacu (Kroeger, 1999: 123--124). Seperti telah dijelaskan di atas bahwa struktur kanonik klausa relatif meliputi klausa relatif yang berfungsi sebagai modifier sintaksis dari argumen umum (common argument) dalam klausa utama. Klausa relatif memiliki struktur dasar sebuah klausa yang terdiri atas predikat dan argumen inti yang dibutuhkan oleh predikat. Terdapat beberapa cara bagaimana klausa relatif dimarkahi. 50 Beberapa cara pemarkahan tersebut kemungkinan bervariasi antara satu bahasa dan bahasa yang lain. Cara pemarkahan klausa relatif meliputi hal-hal berikut. (1) Pemarkahan klausa relatif dapat dilakukan dengan satu bentuk intonasi terhadap konstruksi klausa relatif. (2) Pemarkahan klausa relatif dapat dilakukan dengan keberadaan klausa relatif dalam klausa utama. (3) Pemarkahan klausa relatif dapat dilakukan dengan alat prosodik, seperti penekanan/stress. (4) Pemarkahan klausa relatif dapat dilakukan dengan proses infleksi verba pada klausa relatif. (5) Pemarkahan klausa relatif dapat dilakukan dengan menggunakan pemarkah, seperti klitik atau kata gramatikal pendek. (6) Pemarkahan klausa relatif dapat dilakukan dengan penggunaan pronominal relatif. Struktur klausa relatif dibedakan berdasarkan posisi nomina inti yang terdapat dalam klausa relatif itu sendiri. Berdasarkan posisi nomina inti, klausa relatif dapat dibedakan atas dua, yaitu (1) klausa relatif yang intinya di luar struktur dan (2) klausa relatif yang intinya berada dalam struktur. Dari kedua jenis struktur klausa relatif tersebut, lebih banyak klausa relatif yang berada di luar struktur. Klausa relatif yang berada di luar struktur ada yang terletak di sebelah kiri nomina inti dengan susunan klausa relatif + nomina inti. Ada juga yang berada di sebelah kanan dengan susunan nomina inti + klausa relatif. Susunan 51 klausa relatif yang mendahului nomina inti disebut klausa relatif posnominal dan klausa relatif yang berada setelah nomina inti disebut klausa relatif pronominal. Pembahasan strategi perelatifan terkait dengan bagaimana cara sebuah klausa relatif dibentuk dan sekaligus penentuan fungsi yang direlatifkan. Kroeger (1999: 128) mengungkapkan bahwa terdapat tiga strategi perelatifan. Ketiga strategi tersebut adalah (1) pengosongan (gapping), (2) pronominal relatif, dan (3) pronominal retensi. Pengosongan (gapping) adalah cara pembentukan klausa relatif dengan tidak hadirnya salah satu FN dalam klausa relatif. Posisi yang direlatifkan harus ditunjukkan dengan cara membandingkan subkategori verba dengan FN yang muncul dalam klausa relatif. Strategi perelatifan berikutnya adalah pronominal relatif. Pronominal relatif adalah unsur nomina yang berbeda dengan pronominal persona biasa. Sebaliknya, pronominal retensi adalah strategi perelatifan di mana posisi yang direlatifkan diisi oleh pronominal persona yang sesuai dengan nomina intinya. Seperti telah dijelaskan dalam konsep bahwa klausa komplemen atau klausa pelengkap merupakan klausa yang mengisi slot argumen dalam struktur klausa yang lainnya. Dixon (2010: 370) mengungkapkan bahwa klausa komplemen memiliki karakteristik sebagai berikut. (1) Klausa komplemen memiliki struktur internal sebuah klausa dan paling tidak berfungsi sebagai argumen inti. (2) Klausa komplemen berfungsi sebagai argumen inti klausa yang lainnya. (3) Klausa komplemen berfungsi untuk proposisi, yaitu tentang fakta, aktivitas, dan keadaan (tidak untuk tempat dan waktu). 52 Jika dilihat dari segi semantis, klausa komplemen memiliki bentuk atau tipe yang terdiri atas (1) tipe fakta, (2) tipe aktivitas, dan (3) tipe potensial (Dixon, 2010: 389). Untuk lebih jelasnya, tiap-tiap tipe klausa komplemen ini dijelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut. (1) Tipe Fakta Pada umumnya tipe fakta ini mengacu pada fakta yang terjadi. Tipe ini menunjukkan struktur yang sama dengan klausa utama dengan kemungkinan penuh untuk negasi dan pemarkah tense-aspek. Subjek klausa komplemen tidak harus sama dengan subjek klausa utama. Akan tetapi, kalau subjek klausa komplemen sama dengan subjek klausa utama, maka bisa dilesapkan. Acuan waktu tipe fakta ini umumnya independen dalam klausa utama dan dua klausa bisa mengungkapkan nilai tense-aspek yang berbeda. Pada umumnya tipe fakta ini dimarkahi oleh komplementiser (seperti that dalam bahasa Inggris) dan dalam kondisi tertentu dapat dihilangkan. (2) Tipe Aktivitas Tipe ini umumnya mengacu pada aktivitas yang sedang terjadi. Terkait dengan rentang waktunya, tipe aktivitas ini memiliki beberapa kemiripan struktur dengan frasa nominal. Subjek klausa komplemen tipe aktivitas ini tidak harus sama dengan subjek klausa utama. Apabila sama, subjek pada klausa komplemen tipe aktivitas ini dapat dilesapkan. 53 (3) Tipe Potensial Klausa komplemen tipe potensial ini pada umumnya mengungkapkan kepotensialan subjek dari klausa utama (yang hampir selalu sama dengan beberapa argumen di dalam klausa utama) menjadi terlibat dalam sebuah aktivitas. Dalam beberapa bahasa, subjek klausa tipe potensial ini harus memiliki subjek yang sama dengan klausa utama. Di samping itu, klausa komplemen tipe potensial ini umumnya kurang memerhatikan tense-aspek. Verba pada klausa komplemen tipe potensial ini memiliki bentuk yang khusus (Dixon, 2010: 370--393). Lebih lanjut, Dixon (2010: 409--413) mengungkapkan bahwa strategi komplementasi dapat dibedakan menjadi empat, yaitu (1) strategi konstruksi serialisasi verba, (2) strategi klausa relatif, (3) strategi nominalisasi, dan (4) strategi penggabungan klausa dalam kalimat. Tiap-tiap strategi komplementasi tersebut diuraikan lebih terperinci sebagai berikut. Strategi serialisasi verba adalah strategi yang digunakan untuk membentuk klausa komplemen dengan menggunakan dua verba yang berfungsi sebagai predikat tunggal. Strategi klausa relatif ini dimaksudkan bahwa apabila sebuah bahasa tidak memiliki konstruksi klausa komplemen yang tepat, pembentukan klausa komplemen dapat dilakukan dengan strategi klausa relatif. Strategi nominalisasi adalah sebuah strategi pembentukan klausa komplemen dengan sebuah proses nominalisasi. Proses nominalisasi ini adalah sebuah proses pembentukan nomina yang berasal dari verba ataupun adjektiva. Strategi penggabungan klausa dalam kalimat dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu (1) 54 aposisi, (2) clause chaining, dan (3) purposive linking. Aposisi adalah dua klausa yang dideretkan, clause chaining adalah sejumlah klausa yang berbeda, tetapi merupakan kejadian yang berhubungan, sedangkan purposive linking adalah penggabungan klausa terutama cocok untuk verba yang berhubungan dengan tipe potensial (Dixon, 2010: 408--415). 2.4 Model Penelitian Seperti telah diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa secara teoretis penelitian ini menggunakan teori tipologi bahasa. Analisis tipologi bahasa diharapkan dan dimaksudkan untuk bisa mengungkap dan menjelaskan secara mendalam, terperinci, dan ilmiah beberapa aspek tipologi BKm, khususnnya tentang klausa dan kalimat kompleks BKm. Untuk memberikan gambaran umum tentang kerangka kerja teoretis penelitian, berikut ini digambarkan model penelitian. 55 MODEL PENELITIAN Kerangka Teoretis Penelitian Bahasa Kemak Data Lisan Kalimat Bahasa Kemak Data Tulis Klausa Dasar Bahasa Kemak Klausa Kompleks Bahasa Kemak Teori Tipologi Bahasa Temuan Penelitian Berdasarkan model penelitian di atas, dapat dijelaskan bahwa penelitian tipologi sintaksis BKm ini diawali dengan proses pemerolehan data sintaksis, baik berupa data lisan maupun data tulisan. Data lisan dan data tulisan yang diperoleh berupa data dalam bentuk klausa atau kalimat. Data yang telah diperoleh kemudian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Selanjutnya, data yang telah diklasifikasikan dianalisis dengan menggunakan teori tipologi bahasa (Comrie, 1983; 1989). Hasil analisis data kemudian dirumuskan sehingga menghasilkan temuan-temuan yang sesuai dengan tujuan penelitian ini. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Van Valin dan La Polla (1973: 3) mengungkapkan bahwa penelitian linguistik bertujuan untuk menjelaskan fenomena-fenomena kebahasaan. Penjelasan tentang fenomena kebahasaan ini terkait dengan bahasa sebagai bahasa individu atau bahasa yang bersifat universal. Penelitian tipologi sintaksis BKm ini merupakan penelitian lapangan (field research) karena data penelitian diperoleh dari penutur. Penelitian tipologi sintaksis BKm ini bertujuan untuk mengambarkan dan menjelaskan fenomena kebahasaan BKm khususnya aspek gramatikal yang berkaitan dengan struktur klausa dan kalimat. Penelitian tipologi sintaksis BKm merupakan bentuk penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif, eksplanatoris, dan sinkronis karena pendeskripsian data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan gambaran dan penjelasan keadaan atau realitas bahasa seperti apa adanya. Selain itu, pemilihan model penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif dalam membahas permasalahan yang berkenaan dengan tipologi sintaksis BKm ini didasarkan pada sifat penelitian yang mengarah kepada penelitian yang bersifat humanis yang menempatkan manusia sebagai subjek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Penerapan metode deskriptif dalam penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif dinilai sangat tepat mengingat tujuan metode ini adalah untuk menggambarkan data bahasa secara alamiah. Data alamiah penelitian ini 56 57 dikumpulkan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena bahasa yang memang secara empiris digunakan oleh penutur BKm tanpa mempertimbangkan benar salah secara preskriptif (Djajasudarma, 1993:8). Selain itu, dalam proses penjaringan data penelitian harus tetap diperhatikan bahwa data yang diambil merupakan data yang gramatikal dan berterima, baik secara semantik maupun secara pragmatik (Sudaryanto, 1986 :62). Lebih lanjut, Mithun (2001: 34—43) menyatakan bahwa hendaknya data yang dikumpulkan ke dalam korpus tidak hanya data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, tetapi juga data yang berupa aspek bahasa lain yang ditemukan penelitian ini. Mithun (2001:34--43) juga menambahkan bahwa kualitas dan kuantitas pengumpulan data sangat bergantung pada (1) peneliti dan (2) waktu dan keahlian penutur. Terdapat tiga jenis metode yang digunakan dalam mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh tentang tipologi sintaksis yang di dalamnya membahas struktur klausa dasar dan kalimat kompleks BKm. Ketiga metode tersebut adalah (1) metode dan teknik pengumpulan data, (2) metode dan teknik analisis data, dan (3) metode dan teknik penyajian hasil analisis data. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Tasifeto Timur di Kabupaten Belu Atambua. Secara administratif Kabupaten Belu mencakup tujuh belas kecamatan, yaitu (1) Kecamatan Malaka Barat, (2) Kecamatan Malaka Tengah, (3) Kecamatan Wewiku, (4) Kecamatan Weliman, (5) Kecamatan Raimanuk, (6) Kecamatan Sasitamean, (7) Kecamatan Laenmanen, (8) Kecamatan Kobalima, (9) 58 Kecamatan Tasifeto Barat, (10) Kecamatan Tasifeto Timur, (11) Kecamatan Rinhat, (12) Kecamatan Raihat, (13) Kecamatan Kota Atambua, (14) Kecamatan Kakuluk Mesak, (15) Kecamatan Lamaknen, (16) Kecamatan Lasiolat, dan (17) Kecamatan Malaka Timur (BPS Provinsi NTT, 2010). Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa di Kecamatan Tasifeto Timur terdapat dua belas desa, yaitu (1) Silawan, (2) Tulakadi, (3) Sadi, (4) Umaklaran, (5) Tialai, (6) Fatuba’a, (7) Dapala, (8) Manleten, (9) Takirin, (10) Halomodok, (11) Saraban, dan (12) Bauho. Di antara kedua belas desa tersebut, hanya penduduk Desa Umaklaran dan Desa Sadi yang merupakan penutur asli BKm. Pemilihan desa-desa tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa memang penduduk desa-desa tersebut menggunakan BKm sebagai alat komunikasi mereka sehari-hari. Selain itu, penetapan desa tersebut juga didasarkan pada sebaran wilayah penutur BKm itu sendiri. Dari tiap-tiap lokasi penelitian tersebut dipilih seorang informan inti dan beberapa orang informan pendamping untuk mendukung pemerolehan data. Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, yaitu mulai Januari 2012 sampai Juni 2012. Pengambilan data selama kurun waktu enam bulan tersebut dilakukan secara bertahap yang terbagi menjadi tiga tahap, yaitu (1) tahap pertama dilakukan selama empat puluh hari dari Januari sampai dengan Februari 2012, (2) tahap kedau dilakukan selama empat puluh lima hari dari Maret sampai dengan April 2012, dan (3) tahap ketiga dilakukan selama empat puluh hari dari Mei sampai dengan Juni 2012 59 3.3 Jenis dan Sumber Data 3.3.1 Jenis Data Penelitian tipologi sintaksis BKm ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif. Penelitian ini memfokuskan perhatian pada pengungkapan klausa dan kalimat kompleks BKm yang pada akhirnya juga dapat menentukan tipologi BKm itu sendiri. Data penelitian berupa data kualitatif, berupa data lisan dan data tulis. Lebih lanjut, sebagian besar wujud data penelitian ini berupa klausa atau kalimat BKm yang umum dan nyata digunakan dalam komunikasi oleh penuturnya sehari-hari di tempat-tempat, seperti di pusat kota, tempat perdagangan, pendidikan, dan tempat-tempat umum lainnya. Dengan demikian, bahasa yang digunakan tersebut menunjukkan kecenderungan menjadi BKm baku. 3.3.2 Sumber Data Mallinson dan Blake (1981: 12--18) mengungkapkan terdapat tiga sumber data yang digunakan dalam penelitian secara lintas bahasa (semesta), yaitu (1) buku-buku gramatika bahasa yang diteliti, (2) data yang berasal dari contohcontoh yang digunakan oleh penulis lainnya yang diakui kebenarannya, dan (3) informan yang merupakan penutur asli bahasa yang diteliti. Berdasarkan pendapat Mallinson dan Blake (1981) di atas, maka penelitian ini hanya menggunakan dua dari tiga sumber data lingual, yaitu (1) data yang berasal dari contoh-contoh yang digunakan oleh penulis lainnya yang diakui kebenarannya dan (2) informan yang merupakan penutur asli bahasa yang diteliti. Penggunaan dua sumber data lingual ini didasarkan pada kenyataan bahwa tidak 60 terdapat buku-buku tata bahasa BKm. Seperti telah diungkapkan di awal bahwa sejauh ini terdapat tiga penelitian BKm. Penelitian pertama BKm dilakukan oleh Stevens (1967) yang berjudul Kemak: Austronesian Language. Penelitian kedua dilakukan oleh Sadnyana dkk. (1996) yang berjudul Struktur Bahasa Kemak. Penelitian ketiga dilakukan oleh Mandaru dkk. (1998) yang berjudul Morfologi dan Sintaksis Bahasa Kemak. Pemilihan informan dalam penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa informan yang dipilih dapat mewakili populasi penutur BKm berdasarkan sebaran wilayah penuturnya. Pemilihan informan dari keseluruhan penutur dimaksudkan dapat menggambarkan sifat populasi dari penutur bahasa tersebut (Bungin, 2003:52). Pemilihan informan dalam sebuah penelitian tidak ditentukan oleh jumlah penutur, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh kualifikasi dan kemampuan penutur itu dalam menguasai bahasa dan budayanya. Informan dalam penelitian ini harus memiliki pemahaman yang baik terhadap bahasanya sendiri. Sering dijumpai dalam sebuah penelitian bahwa seorang informan yang memberikan data bertindak hanya untuk menyenangkan hati peneliti atau mengakomodasi keinginan peneliti. Dengan demikian, data yang dihasilkan dari penelitian sering diragukan kebenarannya atau data yang didapat tidak sahih (Djajasudarma, 1993 :20). Untuk mendapatkan data yang sahih, pemilihan informan pada penelitian ini harus berdasarkan fungsi. Penelitian tipologi sintaksis BKm ini menggunakan jumlah informan yang disesuaikan dengan kebutuhan data dan sebaran wilayah penutur BKm. Pemilihan informan pada penelitian ini dilakukan dengan sengaja 61 (purposive sampling) dan tidak bersifat manasuka, tetapi berdasarkan beberapa ketentuan yang umum dalam pemilihan informan. Ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pemilihan informan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Penutur asli yang berdomisili sejak kecil hingga dewasa di wilayah pemakaian BKm di Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur yang mencakup enam desa, yaitu Desa Umaklaran, Desa Mamutin, Desa Wehor, Desa Sadi, Desa Haliwen, dan Desa Atapupa. 2. Berusia antara 20 sampai dengan 70 tahun. 3. Sehat jasmani dan rohani (tidak cacat wicara). 4. Pendidikan serendah-rendahnya setingkat sekolah dasar. 5. Dapat berkomunikasi dengan baik. 6. Bersedia menjadi informan dan memberikan data yang benar. 7. Mempunyai keterampilan bahasa asli yang memadai (Nida, 1970:109; Samarin, 1988: 55--70; Bungin, 2003:52). Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan lima orang informan kunci yang berasal dari tokoh masyarakat, tokoh atau kepala suku karena informan tersebut menguasai bahasa dan budaya masyarakat Kemak. Di samping lima informan kunci tersebut, penelitian ini juga didukung oleh sepuluh informan pendamping. Penentuan informan kunci ini sangat penting guna memeroleh data yang sahih. Jumlah informan yang banyak tidak menjamin bahwa data yang diperoleh valid. Penentuan informan kunci didasarkan kepada kriteria yang telah diuraikan di atas. 62 3.4 Instrumen Penelitian Di samping proses pengumpulan data yang baik, validitas dan realibilitas instrumen penelitian memegang peranan penting dalam penentuan sebuah kualitas penelitian. Sebuah penelitian dikatakan memiliki kualitas yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan apabila instrumen penelitian yang dipakai memiliki validitas dan realibilitas yang baik pula. Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa penelitian tipologi sintaksis BKm merupakan penelitian kualitatif. Umumnya penelitian kualitatif menggunakan instrumen dalam tahapan pemerolehan data, yaitu instrumen dalam bentuk daftar tanyaan. Pembuatan daftar tanyaan ini didasarkan pada panduan sintaksis terkait dengan kesemestaan bahasa (language universal) yang dikemukakan oleh Comrie (1983). Daftar tanyaan ini merupakan panduan dan dipersiapkan oleh peneliti sendiri untuk mempermudah proses pemerolehan data. Dalam implementasinya, peneliti dengan bantuan daftar tanyaan ini melakukan pendekatan kepada informan untuk mendapat data berupa klausa atau kalimat. Dalam usaha untuk memerolah data, peneliti harus bertindak hati-hati karena peneliti bukanlah penutur asli BKm. 3.5 Metode dan Teknik Pemerolehan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa data yang terkait dengan aspek sintaksis BKm, baik berupa inti maupun noninti. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode linguistik lapangan yang meliputi (1) elisitasi langsung, (2) metode perekaman, dan (3) metode pengecekan elisitasi (Mithun, 63 2001: 34--43). Menurut Mithun (2001: 34--43)) metode elisitasi langsung merupakan metode yang utama dalam penelitian linguistik lapangan. Metode elisitasi langsung ini dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data bahasa yang diawali dengan menyiapkan daftar tanyaan, baik berupa kata, frasa, klausa, maupun kalimat. Daftar tanyaan ini dibuat dengan bahasa yang mudah dipahami, baik oleh peneliti maupun oleh informan. Metode penelitian linguistik lapangan yang kedua adalah metode perekaman (menurut Sudaryanto disebut teknik perekaman). Metode perekaman ini dilaksanakan dengan cara merekam tuturan informan, baik berupa klausa, kalimat, maupun dalam bentuk teks yang relevan dengan penelitian tipologi sintaksis BKm. Terkait dengan data rekaman, data rekaman penelitian dalam bentuk cerita ditranskripsikan menggunakan perangkat lunak khusus, yaitu ELAN (EUDICO Language Anonator). Pengunaan ELAN untuk mentranskripsi data rekaman karena ELAN merupakan perangkat lunak yang memiliki kemampuan untuk mentransskripsi data rekaman dalam bentuk teks atau cerita yang panjang. Metode penelitian linguistik lapangan yang ketiga adalah metode pengecekan elisitasi. Metode pengecekan elisitasi ini digunakan untuk mengecek beberapa konstituen, misalnya struktur klausa yang masih diragukan. Untuk mengatasi keraguan sebuah struktur, peneliti membuat beberapa klausa dan menanyakan kepada penutur apakah kalimat-kalimat yang dibuat tersebut gramatikal atau tidak dan apakah terdapat konstruksi kalimat lain yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi yang sama seperti yang dinyatakan kalimat-kalimat tersebut. 64 Pelaksanaan ketiga metode linguistik lapangan ini menggunakan metode yang lebih khusus, yaitu metode simak dan metode cakap. Metode simak adalah metode pengumpulan data dengan cara menyimak penggunaan bahasa. Metode simak adalah metode yang dapat disejajarkan dengan metode pengamatan atau observasi dalam ilmu antropologi. Sebaliknya, metode cakap adalah metode pengumpulan data yang dapat disejajarkan dengan metode wawancara atau interviu dalam ilmu sosial. Salah satu kendala dalam pengumpulan data yang sesuai dengan kepentingan penelitian adalah keterbatsan peneliti dalam berkomunikasi karena peneliti bukan penutur BKm. Untuk mengatasi hal tersebut, pengumpulan data penelitian ini juga menggunakan teks sebagai korpus data, selain data yang dikumpulkan melalui ketiga metode di atas. 3.6 Metode dan Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dalam proses pengumpulan data melalui hasil teknik elisitasi diseleksi dan diklasifikasikan secara sistematis berdasarkan kelompok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah proses analisis data. Dalam proses analisis data, metode yang digunakan adalah metode agih (metode distribusional). Metode agih merupakan metode analisis yang menjadikan bagian dari bahasa yang diteliti sebagai alat penentu analisis (Djajasudarma, 1993: 60; Sudaryanto, 1993: 31--100). Sudaryanto (1993: 31--40) lebih lanjut mengungkapkan bahwa intuisi kebahasaan dan intuisi lingual bisa digunakan sepenuhnya apabila bahasa yang 65 diteliti adalah bahasa yang dikuasai oleh penelitinya. Akan tetapi, apabila bahasa yang diteliti bukan bahasa yang dikuasainya, maka dalam pelaksanan penelitian tersebut dibutuhkan pembantu bahasa. Pembantu bahasa ini sangat diperlukan mengingat peneliti bukan penutur asli bahasa yang diteliti. Peranan pembantu bahasa ini sangat penting mengingat pembantu bahasa inilah yang memberikan gambaran pembagian unsur lingual yang tepat. Pembantu bahasa ini berfungsi memberikan berbagai alternatif pembagian sebagai bahan pemancing dalam proses pemerolehan data. Dalam penerapan metode agih terdapat tujuh teknik lanjutan yang terdiri atas (1) teknik lesap, (2) teknik sisip, (3) teknik ganti, (4) teknik perluas, (5) teknik balik, (6) teknik ubah wujud, dan (7) teknik ulang. Tidak semua teknik tersebut digunakan dalam penelitian ini. Dari ketujuh teknik tersebut, penelitian ini hanya menggunakan enam teknik. Teknik yang dipakai dalam penelitian ini terdiri atas teknik lesap, teknik ganti, teknik perluas, teknik sisip, teknik balik, dan teknik ubah wujud (Sudaryanto, 1993: 36). Penerapan tiap-tiap teknik dalam proses analisis data dijelaskan lebih terperinci di bawah ini. Teknik lesap berguna untuk mengetahui kadar keintian suatu unsur yang dilesapkan. Jika proses pelesapan tersebut menghasilkan sebuah konstruksi yang tidak gramatikal, berarti unsur yang dilesapkan adalah unsur yang memiliki kadar keintian yang sangat tinggi atau unsur tersebut merupakan unsur mutlak hadir dalam sebuah konstruksi. Sebaliknya, apabila setelah proses pelesapan tetap menghasilkan sebuah konstruksi yang gramatikal, maka unsur yang dilesapkan tersebut bukan merupakan unsur yang mutlak hadir dalam sebuah konstruksi. 66 Misalnya, (1) Ana senua ele ika de tasi ibo ‘anak itu mencari ikan di pinggir laut’ dan (2) Ana senua tilu bola de tasi ibo ‘Anak itu bermain bola di pinggir laut’. Apabila satuan lingual de tasi ibo ‘di pinggir laut dilesapkan pada kalimat (1) dan (2), maka hasil dari proses pelesapan tersebut tetap menghasilkan konstruksi yang gramatikal, yaitu (1) Ana senua ele ika ‘anak itu mencari ikan dan (2) Ana senua tilu bola ‘anak itu bermain bola’. Terkait dengan penelitian yang dilakukan ini, teknik lesap diaplikasikan untuk menganalisis struktur klausa BKm khususnya di dalam menentukan argumen inti dan argumen noninti dalam sebuah konstruksi kalimat dalam BKm. Teknik berikutnya adalah teknik ganti (substitusi). Teknik ganti ini merupakan teknik yang dalam penerapannya dengan cara mengganti unsur tertentu dengan unsur lain. Dalam penelitian sintaksis khususnya terkait dengan klausa, teknik ganti ini berfungsi untuk mengetahui kadar kesamaan kelas atau kategori terganti dengan unsur pengganti (Sudaryanto, 1993: 48). Apabila dalam proses penggantian, unsur-unsur yang diganti tersebut dapat saling menggantikan, berarti antara unsur terganti dan unsur yang mengganti memiliki kategori yang sama. Penerapan teknik ganti ini diaplikasikan pada contoh yng ditampilkan di bawah ini. (1) Ua la de 3TG pergi Prep ‘Dia pergi ke Kupang’ Kupang. Kupang (2) Au la de Kupang 1TG pergi Prep Kupang ‘Saya pergi ke Kupang’ 67 (3) Ita la de 1JM pergi Prep ‘Kita pergi ke Kupang Kupang Kupang (4) Roma la de Kupang 3JM pergi Prep Kupang ‘Mereka pergi ke Kupang’ Kata ua ‘dia’ pada kalimat (1), au ‘saya’ pada kalimat (2), mane senua ‘laki-laki itu’ pada kalimat (3), dan roma ‘mereka’ pada kalimat (4) merupakan dua unsur yang memiliki kategori yang sama sebagai pronominal sehingga keempat unsur tersebut dapat saling menggantikan. Dalam pembahasan klausa dan kalimat kompleks bahasa Kemak, teknik ganti ini digunakan untuk menganalisis kategori kata yang dapat mengisi unsur sebuah klausa, baik pada klausa verbal maupun klausa nonverbal. Teknik perluas diterapkan untuk mengetahui segi-segi kemaknaan (semantis) satuan lingual tertentu (Sudaryanto, 1993: 55). Dalam menganalisis klausa dan kalimat kompleks bahasa Kemak, teknik ini dipakai dengan maksud untuk menganalisis struktur kalimat dengan struktur kalimat yang berbeda, tetapi memiliki makna yang sama. Teknik perluas ini dapat dilakukan pada sebuah konstruksi dengan cara menambahkan unsur di depan kalimat (teknik perluas ke depan) dan menambahkan unsur di belakang kalimat (teknik perluas ke belakang). Teknik sisip digunakan untuk mengetahui kadar keeratan unsur-unsur dalam sebuah konstruksi kalimat (Sudaryanto, 1993: 64). Dengan penggunaan teknik sisip ini diharapkan dapat diketahui kadar keeratan unsur-unsur yang disisipi. Terkait dengan penelitian klausa dan kalimat kompleks BKm, teknik sisip 68 ini digunakan untuk unsur apa saja dan di mana sebuah unsur dapat disisipi dalam sebuah konstruksi klausa dan kalimat kompleks BKm. Teknik berikutnya adalah teknik balik. Penerapan teknik balik berupa pembalikan unsur satuan lingual. Tujuan teknik balik ini adalah untuk mengukur kadar ketegaran letak unsur lingual dalam sebuah konstruksi kalimat (Sudaryanto, 1993: 72--74). Di samping itu, dalam penelitian ini teknik balik lebih cenderung digunakan untuk menentukan pola urutan kanonik dalam BKm dan juga digunakan untuk menguji alternasi apa saja yang mungkin terdapat dalam konstruksi kalimat BKm. Teknik terakhir adalah teknik ubah wujud (parafrasa). Teknik ubah wujud atau parafrasa ini sering kali disebutkan sebagai teknik perubahan bentuk (Sudaryanto, 1993: 82). Teknik ubah wujud ini merupakan sebuah teknik dengan cara memparafrasakan atau mengubah bentuk dari satuan lingual yang dianalisis. Perubahan wujud atau parafrasa yang merupakan hasil dari perubahan bentuk tidak hanya harus mempertahankan informasi asli, tetapi juga harus bermakna dan berterima/gramatikal. 3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Hasil analisis disajikan dalam bentuk disertasi. Disertasi ini memuat kaidah-kaidah yang ditemukan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan dalam penelitian ini. Kaidah ini dirumuskan secara ringkas. Penyajian hasil analisis ini dirangkum dalam dua metode, yakni metode formal dan metode informal. Metode informal berarti metode penyajian hasil analisis data yang disajikan dalam bentuk 69 paparan menggunakan kata-kata biasa (bahasa verbal). Metode formal adalah metode penyajian hasil analisis data dengan menggunakan tanda, lambanglambang tertentu, seperti tanda panah, tanda bintang, tanda kurung kurawal, lambang huruf sebagai singkatan, dan atau bentuk-bentuk diagram yang dikenal dalam linguistik (Sudartanto, 1993: 145). Dengan menggunakan kedua metode penyajian hasil analisis data tersebut diharapkan hasil penelitian yang disajikan dapat dipahami dengan lebih mudah oleh pembaca. BAB IV STRUKTUR KLAUSA BAHASA KEMAK 4.1 Pengantar Struktur klausa merupakan salah satu pembahasan dalam bidang linguistik, khususnya dalam bidang sintaksis. Mengacu pada pendapat Foley dan van Valin Jr. (1984: 4), Lyons (1987: 170), dan van Valin Jr. dan Lapolla (2002: 1), sintaksis hanyalah merupakan salah satu bagian dari gramatika. Lebih jauh, sintaksis merupakan salah satu bidang kajian linguistik yang memfokuskan kajian pada bagaimana kata bergabung untuk membangun unit yang lebih besar (frasa, klausa, dan kalimat). Sintaksis lebih mudah dipahami sebagai ilmu atau kajian atas klausa dan/atau kalimat. Bab ini menyajikan serangkaian pembahasan yang terkait dengan struktur dasar klausa BKm. Pembahasan dalam bab ini diawali dengan pengertian klausa dan kalimat. Pembahasan tentang pengertian klausa dan kalimat dalam tulisan ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi tentang penggunaan kedua istilah tersebut. Berikutnya, pembahasan dilanjutkan pada sistem morfologi verba BKm. Pembahasan mengenai sistem morfologi verba BKm didasarkan atas kenyataan bahwa verba dalam sebuah bahasa sangat menentukan kajian tipologi sintaksis bahasa tersebut. Kemudian, pembahasan dilanjutkan pada klausa BKm. Pembahasan ini meliputi pembahasan tentang klausa berpredikat nonverbal dan klausa berpredikat verbal. Klausa berpredikat nonverbal meliputi klausa berpredikat nominal, klausa berpredikat adjektival, klausa berpredikat numeralia, dan klausa berpredikat adverbial. Pembahasan tentang klausa berpredikat verbal 70 71 meliputi klausa intransitif dan klausa transitif. Pembahasan klausa transitif mencakup pembahasan klausa ekatransitif dan klausa dwitransitif. Di samping pembahasan tentang klausa berpredikat verbal dan berpredikat nonverbal, pembahasan struktur klausa juga menguraikan tentang klausa eksistensial BKm. Kemudian, pembahasan dilanjutkan dengan kajian tentang tata urutan kata BKm. Pembahasan tata urutan kata ini meliputi pembahasan tata urutan kata dalam kalimat deklaratif, kalimat interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat negatif. Pembahasan pada bab ini diakhiri dengan pengungkapan temuan penelitian terkait dengan struktur klausa BKm. Pembahasan lebih terperinci mengenai subsubbahasan tersebut disajikan di bawah ini. 4.2 Pengertian Klausa dan Kalimat Beberapa ahli bahasa mengungkapkan bahwa klausa berbeda dengan kalimat, tetapi di sisi lain ada juga ahli bahasa yang menyatakan bahwa klausa dan kalimat merupakan istilah yang sama. Secara mendasar, klausa dan kalimat merupakan dua hal yang tidak berbeda, tetapi pada kenyataaanya istilah klausa dan kalimat dianggap dua hal yang berbeda. Perbedaan antara klausa dan kalimat akan tampak jika mengacu pada jumlah klausa dalam kalimat yang dapat dihitung dari predikat. Alwi dkk. (1998: 311--313) menyatakan bahwa kalimat dalam banyak hal tidak berbeda dengan klausa sehingga kalimat dan klausa merupakan dua unsur sintaksis yang sulit dibedakan. Sering kali istilah kalimat dan klausa dianggap sebagai dua istilah yang bersinonim. Artinya, kedua istilah tersebut bisa 72 digunakan secara bergantian untuk mengacu pada satuan lingual yang sama. Lebih lanjut, Alwi dkk. (1998) menjelaskan bahwa klausa merupakan konstruksi sintaksis yang terdiri atas subjek dan predikat tanpa memperhitungkan intonasi atau pungtuasi akhir. Jika dilihat dari konstruksi, baik klausa maupun kalimat, keduanya merupakan konstruksi sintaksis yang minimal memiliki konstituen predikasi, baik berupa predikat verbal maupun predikat nonverbal dan terdiri atas satu atau beberapa argumen. Pada bagian lain Alwi dkk. (1998) mengungkapkan bahwa kluasa dan kalimat berbeda satu sama lain. Alwi dkk. mengemukakan bahwa intonasi akhir atau pungtuasi menjadi ciri kalimat yang membedakannya dengan klausa. Kalimat merupakan satuan lingual terkecil dalam wujud lisan atau tulisan yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam bentuk lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir. Dalam wujud tulisan berhuruf Latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!) yang merupakan intonasi akhir; sementara itu, di dalam kalimat disertakan pula berbagai tanda baca, seperti koma (,), titik dua (:) , dan tanda pisah (-). Secara hierarki, klausa merupakan bagian kalimat karena kalimat dapat dibentuk atas dua klausa atau lebih. Dengan kata lain, jumlah klausa dalam kalimat dapat ditentukan dari jumlah predikat dalam kalimat, misalnya, au me’u ua ‘saya mencium dia’ dan au tutu ua ‘ saya memukul dia’ dalam BKm. Kedua bentuk tersebut dapat pula disebut kalimat karena masing-masing memenuhi syarat minimal sebuah kalimat sederhana, yakni terdiri atas predikat, yaitu me’u 73 ‘cium’, tutu ‘memukul’ yang merupakan konstituen inti pada kalimat tersebut. Dilihat dari argumennya, kalimat au me’u ua ‘saya mencium dia’ dan au tutu imi ‘ saya memukul kamu’ membutuhkan dua argumen, yaitu au ‘saya’ yang secara semantis memiliki peran agen (A) dan secara sintaksis sebagai SUBJ, dan ua ‘dia’ yang secara semantis berperan sebagai pasien (P) dan secara sintaksis berperan sebagai OBJ. Pendapat lain diungkapkan oleh Kridalaksana (1993). Kridalaksana (1993) dengan tegas menyatakan bahwa klausa tidak sama statusnya dengan kalimat apabila acuannya adalah kalimat minim/elip. Misalnya, Lari! dan Pergi! bukan merupakan klausa karena tidak mengandung subjek dan predikat. Bila sebuah konstruksi mengandung unsur subjek dan predikat dan mengandung intonasi lanjut, bentuk tersebut adalah klausa dan klausa tersebut akan menjadi kalimat apabila berisi intonasi final. Berdasarkan pendapat Kridalaksana (1993) tersebut dapat disimpulkan bahwa klausa tidak sama dengan kalimat yang berjenis kalimat minim/elip, tetapi disejajarkan dengan kalimat tunggal atau kalimat sederhana karena merujuk pada satuan predikasi. Dengan demikian, pemahaman klausa jika ditulis atau disebut tanpa keterangan lain sama dengan kalimat sederhana; kalimat yang mempunyai satu subjek dan satu predikat. Dengan demikian, klausa yang dimaksud pada disertasi ini adalah kalimat sederhana (simple sentence). Dalam pembahasan kalimat kompleks juga disebutkan istilah klausa yang mengacu kepada anak kalimat (dependent clause). 74 Penggunaan istilah struktur dalam penelitian ini merupakan sebuah terminologi yang mengacu pada pengertian keterkaitan hubungan antarkonstituen dalam membangun sebuah makna lingual yang utuh sehingga struktur klausa dapat dipahami sebagai jalinan makna antarkonstituen yang terdapat dalam klausa untuk membentuk makna yang utuh dalam sebuah klausa. Struktur klausa dibedakan atas struktur dasar dan struktur alternasi atau struktur derivasi versi teori transformasi (Chomsky, 1965). Robins (1992: 267) mengemukakan bahwa struktur dasar merupakan bentuk yang paling sederhana dari kalimat lengkap mana pun yang menjadi dasar pembentukan kalimat panjang yang tak terhitung jumlahnya dengan membuat sejumlah perluasan di berbagai tempat dalam konstruksi tersebut. Istilah struktur dasar erat kaitannya dengan istilah klausa dasar atau kalimat dasar. Struktur dasar dapat dipahami sebagai struktur klausa dasar yang belum mengalami relevansi struktur, sedangkan klausa dasar atau kalimat dasar merupakan kalimat berbentuk deklaratif afirmatif yang paling sederhana yang mempunyai struktur predikasi (Lapoliwa, 1990:39). Stockwell (1977: 11--12) menyatakan bahwa kalimat dasar adalah kalimat yang memenuhi ciri-ciri (1) hanya terdapat satu verba, (2) tidak mengandung unsur yang dihubungkan oleh konjungsi dengan unsur lain, (3) subjek, objek, dan predikat kalimat dasar mempunai spesifikasi minimal, dan (4) tidak megandung operator sekunder, seperti negasi, perintah, pertanyaan, dan modalitas. Sebaliknya, struktur derivasi merupakan struktur yang telah mengalami perubahan atau telah mengalami relevansi struktur. Pendapat senada dikemukakan oleh Alwi dkk. (200:319) yang mengutip pendapat Stockwell. Alwi dkk. (200:319) 75 mengemukakan bahwa sebuah struktur dikatakan kalimat dasar apabila struktur tersebut memilikki ciri-ciri (1) terdiri atas satu klausa, (2) unsur-unsur intinya lengkap, (3) tata urutan konstituennya mengikuti tata urutan yang umum, dan (4) tidak mengandung pertanyaan atau pengingkaran. Secara lintas bahasa, struktur dasar kalimat terdiri atas dua, yaitu (1) struktur yang terdiri atas sebuah argumen inti dan sebuah predikat dan (2) terdiri atas dua atau tiga argumen inti dan sebuah predikat. Jenis kalimat dasar dengan struktur dasar yang terdiri atas sebuah argumen inti dan sebuah predikat mengindikasikan kalimat tersebut merupakan kalimat intransitif karena satusatunya argumen inti dalam kalimat tersebut secara fungsional merupakan S (argumen subjek intransitif). Sebaliknya, kalimat dasar yang terdiri atas dua argumen inti atau lebih merupakan kalimat transitif. 4.3 Sistem Morfologi Verba Bahasa Kemak Setelah diuraikan pengertian klausa dan kalimat, pembahasan dilanjutkan pada sistem morfologi verba BKm. Pembahasan sistem morfologi verba BKm terkait dengan fungsi verba sebagai kategori utama yang bertugas mengisi slot predikat dalam kalimat. Berdasarkan ciri semantis yang dimilikinya, verba dapat dibedakan atas verba tindakan (aksi), verba keadaan (statis), dan verba proses. Dalam hal ini, verba tindakan (aksi) merupakan verba yang menyatakan tindakan; verba keadaan merupakan verba yang menyatakan keadaan yang dialami oleh seseorang atau suatu benda; dan verba proses merupakan verba yang menyatakan 76 adanya proses perubahan dari suatu keadaan yang lain atau keadaan yang ada saat ini merupakan hasil suatu proses yang terjadi dari keadaan sebelumnya. Mengacu pada kesemestaan bahasa, verba juga dapat diklasifikasikan berdasarkan parameter sintaksis. Secara sintaksis, verba dapat dibedakan atas verba intansitif dan verba transitif. Verba transitif dapat dibedakan atas verba ekatransitif dan verba dwitransitif. Sebagai kategori inti secara sintaksis, verba menuntut kehadiran sejumlah argumen inti dalam sebuah kalimat. Dalam hal ini, verba intransitif merupakan verba yang membutuhkan atau menuntut kehadiran sebuah argumen inti; verba ekatransitif membutuhkan atau menuntut kehadiran dua argumen inti; dan verba dwitransitif membutuhkan atau menuntut kehadiran tiga atau lebih dari dua argumen inti dalam kalimat. Pembahasan tentang proses pembentukan verba (verbalisasi) bertujuan untuk memberikan gambaran lengkap bagaimana verba BKm dibentuk. Pembahasan ini juga diharapkan dapat menjadi penghubung antara sifat perilaku verba dan struktur dasar klausa BKm. Pembahasan morfologi verba memiliki peranan yang sangat penting dalam kajian morfosintaksis suatu bahasa. Deskripsi dan batasan mengenai verba penting diberikan untuk dapat membedakan antara verba dan kategori lainnya. Berikut ini merupakan pedoman yang dapat digunakan untuk membedakan verba dengan kategori atau kelas kata lain. 1) Verba memiliki fungsi utama yang menduduki posisi predikat atau sebagai inti predikat dalam suatu klausa/kalimat. 2) Verba mengandung makna inheren perbuatan (tindakan), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas. 77 3) Verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat dilekati dengan prefiks yang bermakna ‘paling’. 4) Pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan, seperti agak, sangat, dan sekali (Alwi dkk., 2000:87--88). Jika mengacu kepada bentuk, verba dapat dibedakan menjadi verba dasar dan verba turunan. Verba dasar (yang disebut juga verba murni) merupakan verba yang terbentuk atau dari lahirnya telah berkategori verba, sedangkan verba turunan merupakan verba yang terbentuk melalui proses morfologis. Seluruh verba BKm merupakan verba asal. Untuk lebih jelas, tabel berikut ini menyajikan contoh-contoh verba asal BKm. Tabel 4.1: Verba Bahasa Kemak No Verba Makna No Verba Makna No Verba Makna 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 /a/ /ala/ /ali/ /ara/ /barai/ /basa/ /bebe’i/ /ber/ /belo/ /betu/ /bobe/ /bue/ /bu’u/ /dale/ /do/ /e/ /ele/ /eli/ ‘makan’ ‘beli’ ‘gali’ ‘berdiri’ ‘cangkul’ ‘tampar’ ‘ikut’ ‘suka’ ‘jilat’ ‘tendang’ ‘berkata’ ‘tidur’ ‘tunduk’ ‘bicara’ ‘lempar’ ‘ingin/mau’ ‘cari’ ‘iris’ 19 20 21 22 23 24 25 26 27 38 29 30 31 32 33 34 35 36 /gasi/ /gelo/ /gramas/ /guit/ /hai/ /hali/ /hasa/ /hetu/ /hoat/ /hui/ /huri/ /hnanu/ /hnoring/ /la/ /laka/ /leli/ /lesu/ /li’u/ ‘gigit’ ‘gantung’ ‘raba’ ‘cubit’ ‘tendang’ ‘pulang’ ‘cuci’ ‘ajak’ ‘angkat’ ‘cabut’ ‘menari’ ‘nyanyi’ ‘ajar’ ‘pergi’ ‘suruh’ ‘tebang’ ‘tarik’ ‘kejar’ 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 /lodi/ /luma/ /mai /mela/ /me’u/ /mnahu/ /ne/ /nunu/ /plai/ /praus/ /ruis/ /sali/ /sole/ /tada/ /tear/ /tau/ /tunu/ /tutu/ ‘bawa’ ‘pelihara’ ‘datang’ ‘panggil’ ‘cium’ ‘jatuh’ ‘beri’ ‘rebus’ ‘lari’ ‘basuh’ ‘mandi’ ‘tangkap’ ‘jalan’ ‘tahu’ ‘lempar’ ‘buat’ ‘bakar’ ‘pukul’ 78 Penggunaan beberapa verba di atas yang menduduki posisi predikat dapat dilihat dalam contoh-contoh klausa BKm berikut ini. (4.1) Au ala baru 1TG beli baju ‘Saya membeli baju’ (4.2) Ua a ika 3TG makan ikan ‘Dia makan ikan’ (4.3) Atmas senua li’u bibu Orang DEF kejar kambing ‘Orang itu mengejar kambing’ (4.4) Romo luma manu 3JM pelihara ayam ‘Mereka memelihara ayam’ (4.5) Hine senua ala baru Wanita DEF beli baju ‘Wanita itu membelikan baju untuk saya’ (4.6) Mane senua me’u Laki-laki DEF cium ‘Laki-laki itu mencium wanita itu’ hine wanita (4.7) Ua mnahu dase 3TG jatuh Prep Dia jatuh dari pohon’ ai pohon (4.8) Au-ng ama-ng 1TG-Lig Ayah-Lig ‘Ayah saya menjual kerbau’ se’o jual (4.9) Au tulis surat sea de ua 1TG tulis surat DEF Prep 3TG ‘Saya menulis sepucuk surat untuk dia’ odi Prep ua 1TG senua itu brau timur kerbau 79 (4.10) Au-ng ina-ng 1TG-Lig ibu-Lig ‘Ibu saya menanak nasi’ tau’a etu masak nasi Klausa (4.1)—(4.10) di atas menunjukkan bahwa predikat klausa BKm ditempati oleh verba. Verba yang menempati posisi predikat klausa BKm merupakan verba asal. Contoh klausa tersebut juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat persesuaian, baik antara predikat dan subjek maupun antara predikat dan objek. Lebih lanjut, verba yang menempati posisi predikat hadir tanpa adanya pemarkah morfologis yang melekat pada verba tersebut. Mengacu kepada ciri verba, maka verba BKm memenuhi pedoman yang telah disampaikan oleh Alwi dkk. (2000:87—88), yaitu (i) verba BKm memiliki fungsi utama yang menduduki posisi predikat atau sebagai inti predikat dalam suatu klausa/kalimat, (ii) verba BKm mengandung makna inheren perbuatan (tindakan), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas, dan (iii) verba BKm tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan, seperti agak, sangat, dan sekali. Dari empat ciri verba yang dikemukakan oleh Alwi dkk., hanya tiga ciri yang dipenuhi oleh verba BKm. Perlu ditegaskan bahwa penelitian ini tidak menemukan verba turunan BKm. Dengan kata lain, semua verba BKm yang ditemukan merupakan verba asal. Hal ini berarti bahwa proses morfologis yang dapat mengubah sebuah kategori kata yang sebelumnya bukan verba menjadi verba tidak dijumpai dalam BKm. Dengan demikian, hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sadnyana dkk. (1996) dan Mandaru dkk. (1998) yang menyatakan bahwa BKm merupakan bahasa yang kaya akan afiks tidak ditemukan pada data penelitian ini. 80 Pembahasan sistem morfologi verba BKm pada bagian ini hanya difokuskan pada pembahasan bentuk verba. Pembahasan lebih lanjut mengenai perilaku semantis dan sintaksis verba BKm disajikan pada bab VI. 4.4 Struktur Klausa Bahasa Kemak Struktur klausa merupakan unit sintaksis yang terbentuk dari konstituenkonstituen dasar yang berupa unit-unit sintaksis dan pelengkap. Di samping itu, struktur klausa juga merupakan jalinan makna antarkonstituen yang terdapat dalam klausa untuk membentuk makna yang utuh dalam sebuah klausa. Dalam uraian sebelumnya dinyatakan bahwa predikat sebuah struktur dapat diisi, baik oleh verbal maupun nonverbal. Seperti dalam banyak bahasa di dunia, predikat klausa dasar BKm juga dapat diisi oleh unsur verbal atau nonverbal. Berdasarkan fungsi-fungsi predikat, klausa dasar BKm terdiri atas dua jenis, yaitu klausa dasar berpredikat verbal dan klausa dasar berpredikat nonverbal. Uraian lebih lanjut kedua jenis klausa dasar tersebut disajikan berikut ini. 4.4.1 Klausa Nonverbal Bahasa Kemak Predikat klausa BKm seperti bahasa-bahasa di dunia dapat diisi oleh kategori verbal atau kategori nonverbal. Klausa nonvebal BKm adalah sebuah konstruksi klausa yang predikatnya diisi oleh kategori selain verba. Klausa nonverbal memiliki inti atau head yang bukan verbal. Predikat klausa nonverbal dapat diisi oleh nomina, adjektiva, numeral, dan frasa preposisional 81 Berdasarkan jumlah partisipan yang hadir, predikat klausa nonverbal memiliki karakteristik yang sama dengan predikat klausa intransitif. Baik predikat klausa nonverbal maupun klausa intransitif hanya memiliki satu argumen inti. Walaupun memiliki satu argumen inti, klausa nonverbal tidak dapat dikatakan sebagai klausa intransitif karena istilah intransitif berkaitan erat dengan verba. Berikut ini disajikan klausa dengan predikat nonverbal secara lebih terperinci. 4.4.1.1 Klausa Berpredikat Nominal Seperti bahasa-bahasa umumnya di dunia yang memiliki klausa nominal, BKm juga memiliki klausa yang predikatnya ditempati oleh nominal (klausa nominal). Klausa nominal merupakan klausa yang dibangun oleh predikat yang unsur pengisinya berkategori nomina. Klausa nominal sering pula disebut klausa persamaan atau klausa ekuatif (Alwi, 2004: 350). Klausa nominal BKm disajikan pada contoh berikut ini. (4.11) Au-ng ama-ng 1TG-Lig ayah-Lig ‘Ayah saya guru’ guru guru (4.12) Au-ng ana-ng 1TG-Lig anak-Lig ‘Anak saya murid’ iskola sekolah (4.13) Atmas senua bali Orang DEF pencuri ‘Orang itu pencuri’ (4.14) Ua plai 3TG lari ‘Dia pelari’ blabag tukang ana anak 82 (4.15) Hine senua boso Wanita DEF tipu ‘Wanita itu penipu’ blabag tukang (4.16) Mane senua pnao Laki-laki DEF curi ‘Laki-laki itu pencuri’ blabag tukang Klausa (4.11)—(4.16) di atas merupakan contoh klausa BKm yang predikatnya ditempati oleh nomina. Predikat klausa yang ditempati oleh guru ‘guru’, isikola ana ‘murid’, bali ‘pencuri’, plai blabag ‘pelari’, boso blabag ‘penipu’, dan pnao balabag ‘pencuri’ dikategorikan sebagai nomina berdasarkan sifat-perilaku gramatikal nomina yang memiliki fungsi utama sebagai argumen dari predikat dan memiliki fungsi sekunder sebagai predikat. Di samping itu, nomina memiliki sifat-perilaku gramatikal yang dapat diikuti oleh modifier berupa adjektiva dan demonstratif. Contoh (4.11)—(4.16) di atas menunjukkan bahwa nomina mengisi slot predikat yang merujuk fungsi sekunder nomina. Klausa nominal (4.11)—(4.16) di atas juga memperlihatkan bahwa klausa tersebut memiliki sebuah argumen S (S merupakan satu-satunya argumen klausa tersebut). Jika mengacu pada struktur klausa di atas, predikat klausa nominal yang ditempati nomina menempati posisi di sebelah kanan S, berada setelah S. Dengan kata lain, S sebagai satu-satunya argumen pada klausa tersebut menempati posisi mendahului predikat. Pada klausa (4.11), predikat guru ‘guru’ menempati posisi di sebelah kanan atau setelah S, yaitu aung amang ‘ayah saya’; predikat iskola anang ‘murid’ pada klausa (4.12) menempati posisi di sebelah kanan atau setelah S, yaitu aung anang ‘anak saya’. Hal yang sama juga terjadi pada klausa (4.13)— (4.16). Predikat ketiga klausa tersebut menempati posisi sebelah kanan atau 83 menduduki posisi setelah S. Fenomena unik juga dijumpai pada S (S merupakan satu-satunya argumen) klausa (4.11) dan (4.12) yang ditempati oleh FN yang merupakan konstruksi posesif. Konstruksi posesif tersebut menunjukkan bahwa baik pemilik (possessor) maupun termilik (possessed) melekat ligatur -ng. Ligatur –ng melekat pada pemilik (possessor) dan termilik (Ligessed) jika antara pemilik (possessor) dan termilik (possessed) memiliki hubungan darah, keluarga, dan bagian tubuh dari pemilik (possessor) dengan ketentuan bahwa termilik (possessed) diakhiri dengan vokal. Namun, apabila termilik (possessed) diakhiri oleh konsonan, maka termilik (possessed) tidak dilekati oleh ligatur –ng. Hanya pemilik (posessor) yang dilekati oleh ligatur–ng. Konstruksi posesif dengan ligatur ini hanya dipakai oleh penutur BKm di desa Umaklaran, sedangkan penutur BKm di desa Sadi tidak menggunakan ligatur pada konstruksi posesif. Salah satu struktur klausa (str-k) dengan predikat nominal BKm di atas dapat direpresentasikan pada diagram pohon di bawah ini. K FN1 N1 atmas ‘orang FN2 DEF senua itu N2 bali pencuri’ Diagram 4.1 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Nomimal 84 Contoh klausa (4.11)—(4.16) di atas menunjukkan adanya perbedaan nomina yang menempati posisi predikat pada klausa tersebut. Predikat pada contoh klausa (4.11)—(4.13) di atas ditempati nomina dasar. Berbeda dengan klausa (4.11)—(4.13), predikat pada klausa (4.14)—(4.16) di atas ditempati oleh dua leksikal. Kedua leksikal yang menempati posisi predikat klausa (4.14)— (4.16) di atas terdiri atas verba plai ‘lari’ (klausa 4.14), boso ‘tipu’ (klausa 4.15), dan pnao ‘curi’ (klausa 4.16) yang semuanya diikuti oleh kata blabag ‘tukang’ yang menghasilkan makna baru yang berkategori nomina. Seperti diuraikan di atas, nomina BKm terdiri atas nomina dasar dan nomina yang dibentuk dari gabungan dua kata. Nomina BKm mengacu pada orang (misalnya ama ‘bapak’), hewan (misalnya ahi ‘babi’), atau benda (misalnya etu ‘pohon’). Nomina BKm juga dapat dibedakan atas nomina yang dapat dihitung, seperti ika ‘ikan’ dan nomina yang tidak dapat dihitung, seperti bea ‘air’. Nomina BKm dapat diikuti oleh kategori lain, seperti demonstratif, numeralia, adjektiva, dan verba untuk membentuk frasa nominal (FN). Contoh frasa nominal BKm disajikan di bawah ini. (4.17) Atmas Orang ‘Orang itu’ senua DEF (4.18) Ahi hrua Babi Num/dua ‘Dua babi’ (4.19) Baru heung Baju Adj/baru ‘Baju baru itu’ senua DEF 85 (4.20) Ika sega-ng ikan goreng-Lig ‘Ikan goreng’ Frasa nominal (FN) pada contoh (4.17) -- (4.19) menunjukkan bahwa frasa nominal dapat dibentuk dari nomina dan demonstratif, nomina dan numeralia, nomina dan adjektiva, serta nomina dan verba. Contoh FN (4.17) menunjukkan bahwa FN tersebut dibentuk dari nomina atmas ‘orang’ dan demonstratif senua ‘itu’; contoh FN (4.18) menunjukkan bahwa FN tersebut dibentuk dari nomina ahi ‘babi’ dan numeralia rua ‘dua’; contoh FN (4.19) menunjukkan bahwa FN dibentuk dari nomina baru ‘baju’ dan adjektiva heung ‘baru’. Berbeda dengan contoh FN (4.17)—(4.19), FN (4.20) menunjukkan bahwa FN tersebut dibentuk dari nomina ika ‘ikan’ dan verba sega ‘goreng’. Pada contoh FN (4.20) terdapat atributif -ng yang melekat pada verba. Atributif ng tersebut selalu dilekatkan pada verba apabila membentuk FN yang terdiri atas nomina dan verba. Dengan demikian, atributif -ng harus selalu hadir dan melekat pada verba untuk membentuk FN yang terdiri atas nomina dan verba. Selain mengisi fungsi predikat pada klausa nominal, berdasarkan fungsi gramatikalnya, nomina dan frasa nominal dapat menempati posisi subjek dan objek. Berikut ini ditampilkan contoh klausa yang subjek dan objeknya ditempati oleh nomina dan frasa nominal. (4.21) Atmas senua ala ahi hrua Orang DEF beli babi Num ‘Orang itu membeli dua babi’ (4.22) Au tutu atmas senua 1TG pukul orang DEF ‘Saya memukul orang itu’ 86 (4.23) Ahi hrua senua plai Babi Num DEF lari ‘Dua babi itu lari di dalam rumah’ de Prep uma rumah (4.26) Au-ng ina-ng ala 1TG-Lig Ibu-Lig beli ‘Ibu saya membeli baju baru’ baru baju heung Adj (4.27) ika sega-ng senua Ikan goreng-Lig DEF ‘Ikan goreng itu sangat mahal’ mdedang mahal (4.24) Ina sosa ahi hrua Ibu beli babi dua ‘Ibu membeli dua babi’ (4.25) Baru heung senua Baju Adj DEF ‘Baju baru itu putih’ buti putih los Adv (4.28) Busa senua a ika sega-ng Kucing DEF makan ikan goreng-Lig ‘Kucing itu makan ikan goreng’ Contoh klausa (4.21)—(4.28) menunjukkan bahwa nomina dan FN BKm dapat menempati posisi, baik sebagai subjek maupun sebagai objek dalam sebuah konstruksi klausa. FN atmas senua ’orang itu’ dapat menempati posisi subjek (lihat klausa 4.21) dan menempati posisi objek (lihat klausa 4.22). Demikian pula yang terjadi pada FN ahi hrua ‘dua babi’ yang dapat menempati posisi subjek, seperti terlihat pada klausa (4.23) dan menempati posisi objek, seperti terlihat pada klausa (4.24). FN baru heung ‘baju baru’ dapat menempati posisi subjek, seperti yang terlihat pada klausa (4.25) dan menempati posisi objek, seperti terlihat pada klausa (4.26). FN ika segang ‘ikan goreng’ dapat menempati posisi 87 sebagai subjek, seperti terlihat pada klausa (4.27) dan menempati posisi objek, seperti pada klausa (4.28). 4.4.1.2 Klausa Berpredikat Adjektival Klausa berpredikat adjektival merupakan sebuah konstruksi klausa yang predikatnya ditempati oleh adjektiva. Seperti halnya nomina, adjektiva BKm memiliki kemampuan untuk menempati posisi predikat dalam sebuah konstruksi klausa. Contoh klausa adjektival BKm dapat dilihat pada data berikut ini. (4.29) Au-ng lima-ng 1TG-Lig tangan-Lig ‘Tangan saya panjang’ mlarung panjang (4.30) Hine senua koet Wanita DEF cantik ‘Wanita itu cantik’ (4.31) Baru senogo Baju DEF ‘Baju ini merah’ meak merah (4.32) Au-ng ina-ng 1TG-Lig ibu-Lig ‘Ibu saya sedih’ soleng sedih Klausa (4.29)—(4.32) di atas merupakan contoh klausa yang predikatnya ditempati oleh adjektiva. Predikat klausa yang ditempati oleh mlarang ‘panjang’ (klausa 4.29), koet ‘cantik’ (klausa 4.30), meak ‘merah’ (klausa 4.31), dan soleng ‘sedih’ (klausa 4.32) di atas dikategorikan sebagai adjektiva. Hal itu didasarkan atas sifat-perilaku gramatikal yang paling dominan yang dimiliki oleh adjektiva untuk membedakannya dengan kategori lainnya, yaitu adjektiva merupakan satu- 88 satunya kategori kata yang memiliki kemampuan untuk membentuk konstruksi komparatif dan superlatif. Struktur klausa adjektival di atas memperlihatkan bahwa predikat klausa yang ditempati oleh adjektiva berada di sebelah kanan atau setelah S yang merupakan satu-satunya argumen pada klausa tersebut. Jika diuraikan lebih lanjut, predikat mlarung ‘panjang’ yang merupakan adjektiva menempati posisi di sebelah kanan atau setelah argumen aung limang ‘tangan saya’ pada klausa (4.29). Hal yang sama juga terlihat pada klausa (4.30)—(4.32). Pada klausa-klausa tersebut, predikat koet ‘cantik’ (pada klausa 4.30), meak ‘merah’ (pada klausa 4.31), dan soleng ‘sedih’ pada (klausa 4.29) merupakan adjektiva yang posisinya berada di sebelah kanan atau setelah satu-satunya argumen, yaitu hine senua ‘wanita itu’ (pada klausa 4.30), baru senogo ‘baju ini’ (pada klausa 4.31), dan aung inang ‘ibu saya’ (pada klausa 4.32) yang secara gramatikal argumen klausa tersebut menduduki fungsi sebagai subjek. Struktur klausa (str-k) dengan predikat yang ditempati oleh adjektival BKm dapat direpresentasikan pada diagram pohon di bawah ini. K FN N hine ‘Wanita Fadj DEF senua itu Adj koet cantik’ Diagram 4.2 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Adjektival 89 Tabel berikut menyajikan beberapa adjektiva yang terdapat dalam BKm. Tabel 4.2 : Adjektiva Bahasa Kemak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Adjektiva /anak/ /anakbisa/ /beik/ /boteng/ /bourung/ /dikner/ /garahitu/ /ibomloi/ /kiak/ /kating/ Makna ‘kecil’ ‘sedikit’ ‘bodoh’ ‘besar’ ‘gemuk’ ‘rendah/pendek’ ‘keras kepala’ ‘ramah’ ‘miskin’ ‘mengantuk’ No 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Adjektiva /koet/ /lear/ /matenek/ /milang/ /malaku/ /mrai/ /pereng/ /segong/ /slaing/ /tasik// Makna ‘cantik’ ‘banyak’ ‘pintar’ ‘cepat’ ‘rajin’ ‘malas’ ‘nakal’ ‘jauh ‘lapar’ ‘dekat’ Adjektiva merupakan kategori gramatikal yang secara semantis berfungsi menyatakan sifat. Jika dilihat secara sintaksis, adjektiva berfungsi untuk menjelaskan nomina dalam frasa nominal (FN), misalnya, baru buti ‘baju putih’ hine koet ‘wanita cantik’, atmas matenek ‘orang pintar’, dan kopi bansan ‘kopi panas’. Keempat FN tersebut mengungkapkan bahwa adjektiva berfungsi untuk menjelaskan nomina. Adjektiva buti ‘putih’ menjelaskan nomina baru ‘baju’ dalam FN baru buti ‘baju putih’, adjektiva koet ‘cantik’ menjelaskan nomina hine senua ‘wanita itu’ dalam FN hine senua koet ‘wanita itu cantik’, adjektiva matenek ‘pintar’ menjelaskan nomina atmas senua ‘orang itu’ dalam FN atmas senua matenek ‘orang itu pintar’, bansang ‘panas’ menjelaskan nomina kopi senogo ’kopi ini’ dalam FN kopi senogo bansang ‘kopi ini panas’. Givon (1984:7) dan Alwi dkk. (1998:171) menyatakan bahwa adjektiva berfungsi untuk memberikan keterangan yang bersifat lebih khusus kepada nomina dalam sebuah klausa. Salah satu ciri yang dimiliki adjektiva adalah 90 antonim, seperti beang ‘basah’ x megang ‘kering’, bansang ‘panas’ x sumang ‘dingin’, bou’rung ‘gemuk x kurung ‘kurus’, dan mlarung ‘panjang’ x badak ‘pendek’. Selain memiliki antonim, adjektiva juga memiliki ciri lain yang membedakannya dengan kategori lain, yaitu adjektiva dapat menyatakan tingkat kualitas dan tingkat perbandingan (komparatif) pada nomina yang dibandingkan. Sehubungan dengan itu, Dixon (2010:70--71) mengungkapkan bahwa salah satu kriteria pembeda untuk membedakan adjektiva dengan kategori lain adalah adjektiva dapat digunakan dalam struktur komparatif. Sebuah adjektiva selalu berfungsi sebagai parameter dari komparatif. Sama seperti adjektiva pada bahasa-bahasa lainnya yang dapat digunakan dalam struktur komparatif, adjektiva BKm juga dapat digunakan dalam struktur komparatif. Satu perbedaan yang terdapat pada struktur komparatif yang menggunakan adjektiva BKm adalah adjektiva BKm hanya dapat digunakan untuk membandingkan satu nomina atau frasa nominal dengan satu nomina atau frasa nominal lain dengan menggunakan leksikon lau ‘lebih’. Struktur komparatif BKm disajikan pada contoh klausa berikut ini. (4.33) Ita-ng uma boteng lau dase oung 1JM-Lig rumah besar lebih Prep 2TG-Lig ‘Rumah kita lebih besar daripada rumah kamu’ (4.34) Au-ng ana-ng matenek lau ‘1TG-Lig anak-Lig pintar lebih ‘Anak saya lebih pintar daripada orang itu’ uma rumah atmas senua orang DEF Contoh klausa (4.33) dan (4.34) di atas merupakan klausa intransitif yang memperlihatkan struktur komparatif dalam BKm. Jika dicermati lebih jauh, klausa 91 (4.33) dan (4.34) menunjukkan bahwa adjektiva boteng ‘besar’ pada klausa (4.33) dan adjektiva matenek ‘pandai’ pada klausa (4.34) dalam struktur komparatif menempati posisi sebelum kata lau ‘lebih’. Di samping dapat menyatakan tingkat perbandingan (komparatif), adjektiva BKm juga dapat digunakan untuk menyatakan tingkat kualitas. Terdapat satu leksikon yang digunakan untuk menyatakan tingkat kualitas adalah los ‘paling/sangat’. Adjektiva yang menyatakan tingkat kualitas dalam BKm terlihat pada klausa di bawah ini. (4.35) Au-ng ali-ng mrai los 1TG-Lig adik-Lig malas sangat ‘Adik saya paling/sangat malas’ (4.36) Ita-ng uma boteng los 1JM-Lig rumah besar sangat ‘Rumah kita paling/sangat besar’ Contoh klausa (4.35) dan (4.36) merupakan klausa intransitif yang predikatnya ditempati oleh adjektiva. Adjektiva yang menempati posisi predikat menunjukkan tingkat kualitas karena adjektiva tersebut hadir bersamaan dengan leksikon los ‘sangat’ yang menyatakan tingkat kualitas. Leksikon los ‘sangat’ menempati posisi setelah adjektiva. Pada klausa (4.35) adjektiva mrai ‘malas’ berada sebelum leksikon los ‘sangat’ yang berfungsi menyatakan tingkat kualitas. Hal yang sama juga dapat dilihat pada klausa (4.36). 4.4.1.3 Klausa Berpredikat Numeralia Alwi (1997:273) menjelaskan bahwa numeralia atau dalam bahasa Indonesia lebih umum disebut kata bilangan merupakan konstituen yang berfungsi 92 untuk menghitung banyaknya maujud (orang, binatang, dan barang) dan konsep. Lebih jauh, numeralia merupakan konstituen yang menyatakan jumlah atas pertanyaan “berapa?” dan “yang ke berapa’. BKm memiliki sistem numeralia yang umum, seperti dimiliki oleh bahasabahasa lainnya. Numeralia BKm bersifat umum, seperti sea ‘satu’, hrua ‘dua’, telu ‘tiga’, pat ‘empat’, hlima ‘lima’, hnem ‘enam’, hitu ‘tujuh’, balu ‘delapan’, sibe ’sembilan’, sapuluh ‘sepuluh, sapuluh resing sia ‘sebelas’, sapuluh resing rua ‘dua belas’, gulurua ‘dua puluh’, guluhlima ‘lima puluh’, atussia ‘seratus, atussia guluhlima ‘seratus lima puluh’, ribunsia ‘seribu’, dan seterusnya. Penggunaan numeralia tersebut dalam klausa yang menduduki posisi predikat dapat dilihat pada contoh klausa di bawah ini. (4.37) Au-ng uma hrua 1TG-Lig rumah dua ‘Rumah saya dua’ (4.38) Au-ng ama-ng 1TG-Lig Ayah-Lig ‘Sapi ayah saya lima’ brau timur sapi (4.39) Ita-ng ana-ng 1JM-Lig anak-Lig ‘Anak kita tiga’ telu tiga hlima lima Contoh klausa (4.37)—(4.39) merupakan klausa yang dibangun oleh sebuah argumen inti dan sebuah predikat yang ditempati oleh numeralia. Struktur klausa dengan predikat numeralia memperlihatkan bahwa posisi numeralia yang menempati posisi predikat berada di sebalah kanan atau berada setelah S yang merupakan satu-satunya argumen pada klausa intransitif. Pada klausa (4.37), predikat rua ‘dua’ berada di sebelah kanan atau setelah argumen aung uma 93 ‘rumah saya’. Demikian halnya dengan contoh klausa (4.38) dan klausa (4.39), predikat lima ‘lima’ pada klausa (4.38) dan telu ‘tiga’ pada klausa (4.39) berada di sebelah kanan argumen S aung amang brau timur ‘kerbau ayah saya’ dan itang anang ‘anak kita’. Struktur klausa (str-k) dengan predikat yang ditempati oleh numeralia dapat direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini. K FN1 N1-Lig au-ng ‘rumah saya FNum N2 uma Num hrua dua’ Diagram 4.3 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Numeralia Di samping memiliki numeralia yang bersifat umum, BKm juga memiliki sistem numeralia yang bersifat khusus. Sistem numeralia khusus BKm ini hanya digunakan untuk satuan jumlah tertentu, seperti tahan sia ‘sepucuk, hatan sia ‘seekor’, huan sia ‘sebutir’, turan sia ‘sepotong’, dan hutun sia ‘seikat’. Penggunaan sistem numeralia khusus BKm ini dapat dilihat pada contoh klausa berikut ini. (4.40) Oli laka surat tahan sea Oli/nama orang kirim surat pucuk satu ‘Oli mengirim sepucuk surat’ (4.41) Au-ng ina-ng ala uta kanko 1TG-Lig ibu-Lig beli sayur kangkung ‘Ibu saya membeli sayur kangkung dua ikat’ hutun hrua ikat dua 94 (4.42) Pius ne dosi turan sea Pius/nama orang beri roti potong satu ‘Pius memberikan sepotong roti kepada dia’ de Prep ua 3TG (4.43) Roma se’o manutelon huan sapuluh 3JM jual telur butir sepuluh ‘Mereka menjual sepuluh butir telur’ Contoh klausa (4.40)—(4.43) merupakan klausa transitif yang di dalamnya terkandung numeralia khusus BKm. Numeralia khusus BKm ini berfungsi untuk menerangkan nomina sehingga membentuk sebuah frasa nominal, seperti surat tahan sia ‘sepucuk surat’ pada klausa (4.40), uta kanko hutun hrua ‘sayur kangkung dua ikat’ pada klausa (4.41), dosi turan sia ‘sepotong roti’ pada klausa (4.42), dan manutelon huan sapuluh ‘sepuluh butir telur’ pada klausa (4.43). Mengacu kepada fungsi gramatikal, numeralia khusus yang terdapat pada klausa BKm tersebut menempati posisi sebagai objek. Berbeda dengan numeralia BKm yang bersifat umum yang dapat menempati posisi sebagai predikat, numeralia khusus BKm tidak dapat menempati posisi sebagai predikat. 4.4.1.4 Klausa Berpredikat Frasa Preposisional Frasa preposisional terdiri atas preposisi yang diikuti oleh nominal atau frasa nominal. Frasa preposisional dapat berfungsi sebagai argumen oblik, modifier temporal dan lokasi, modifier dari FN, atau bahkan dapat berfungsi sebagai predikat. Klausa berpredikat frasa preposisional adalah klausa yang preikatnya ditempati oleh preposisi atau frasa preposisional. Klausa dengan predikat yang ditempati oleh frasa preposisional BKm disajikan di bawah ini. 95 (4.44) Hine senua dase Kupang Wanita DEF Prep Kupang ‘Wanita itu dari Kupang’ (4.45) Au-ng ali-ng hei 1TG-Lig adik-Lig Mod ‘Adik saya masih di sekolah’ (4.46) Busa senua de Kucing DEF Prep ‘Kucing itu di rumah’ de Prep iskola sekolah uma rumah Contoh klausa (4.44) -- (4.46) merupakan klausa nonverbal BKm. Klausa nonverbal (4.44) -- (4.46) di atas dibangun oleh sebuah argumen inti dan sebuah predikat. Predikat klausa (4.44) -- (4.46) di atas ditempati oleh frasa preposisional, yaitu dase Kupang ‘dari Kupang’ pada klausa (4.44), de isikola ‘di sekolah’ pada klausa (4.45), dan de uma ‘di rumah’ pada klausa (4.46). Struktur klausa dengan predikat frasa prepositional memperlihatkan bahwa posisi frasa preposisional yang menempati posisi predikat berada di sebelah kanan atau berada setelah S yang merupakan satu-satunya argumen pada klausa tersebut. Pada klausa (4.44), predikat dase kupang ‘dari Kupang’ berada di sebelah kanan atau setelah argumen hine senua ‘wanita itu’. Demikian halnya dengan contoh klausa (4.45) dan klausa (4.46), predikat de iskola ‘di sekolah’ pada klausa (4.45) dan de uma ‘di rumah’ pada klausa (4.46) berada di sebelah kanan argumen S aung aling ‘adik saya’ ada klausa (4.45) dan busa senua ‘kucing itu’ pada klausa (4.46). Diagram pohon berikut merepresentasikan struktur klausa (str-k) dengan predikat yang ditempati oleh frasa preposisional. 96 K FN N1 hine ‘wanita FP DEF senua itu Prep dase dari N2 Kupang Kupang’ Diagram 4.4 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Frasa Preposisional 4.4.2 Klausa Verbal Bahasa Kemak Verba merupakan kategori utama di samping kategori lain yang berfungsi sebagai predikat atau inti sebuah klausa/kalimat dan memiliki makna inheren aksi, proses, dan keadaan yang tidak bersifat kualitas. Terdapat dua parameter, yaitu parameter semantis dan sintaksis yang dapat digunakan sebagai panduan terkait dengan verba sebagai pengisi fungsi predikat klausa. Kedua parameter ini diterapkan secara terpadu sehingga menghasilkan klasifikasi verba atau predikat yang tidak dalam bentuk terpisah antara parameter semantis dan parameter sintaksis. Mengacu pada parameter semantis, verba merupakan kategori yang mengacu pada makna aktivitas (aksi/tindakan dan proses) dan keadaan. Lebih lanjut, verba dikaji dari aspek semantis menyangkut jumlah partisipan atau argumen yang terlibat dalam suatu kejadian atau keadaan. Sebaliknya, secara sintaksis verba merupakan kategori inti yang hadir dalam posisi predikat klausa. Di samping itu, verba dilihat secara sintaksis menyangkut jumlah argumen inti 97 yang harus hadir dalam sebuah klausa. Berdasarkan distribusi sintaksisnya, verba merupakan inti dari frasa verba (FV) yang juga sekaligus sebagai konstituen inti dari sebuah klausa. Verba juga memiliki fungsi untuk menentukan wajib atau tidaknya kehadiran partisipan atau argumen dalam sebuah klausa. Verba memiliki ciri sintaksis sebagai predikat yang melibatkan kehadiran sejumlah argumen dalam fungsinya untuk membentuk klausa. Berdasarkan jumlah argumen yang terdapat dalam sebuah klausa/kalimat, verba dapat dibedakan atas verba intransitif, verba ekatransitif, dan verba dwitransitif. Ketiga jenis verba tersebut menghasilkan konstruksi intransitif, konstruksi ekatransitif, dan konstruksi dwitransitif. Pembahasan yang lebih terperinci mengenai ketiga jenis klausa verbal (intransitif, ekatransitif, dan dwitransitif) tersebut adalah berikut ini. 4.4.2.1 Klausa Intransitif Berdasarkan kategori utama pengisi fungsi predikat klausa, verba dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu verba intransitif dan verba transitif. Seperti telah diuraikan sebelumnya, terdapat dua parameter yang digunakan untuk menentukan klasifikasi verba. Kedua parameter tersebut adalah parameter semantis dan parameter sintaksis. Mengacu pada parameter semantis, kehadiran verba berperan untuk menentukan jumlah partisipan yang wajib hadir dalam suatu peristiwa atau kejadian. Sementara, secara sintaksis verba berperan untuk menentukan jumlah argumen inti yang wajib hadir dalam sebuah konstruksi klausa. Dengan demikian, predikat intransitif merupakan verba yang hanya 98 membutuhkan satu argumen inti, sedangkan predikat transitif membutuhkan dua argumen inti atau lebih. Verba intransitif atau klausa intransitif dalam tulisan ini mengacu pada hal yang sama karena keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Penggunaan istilah verba intransitif atau predikat intransitif memiliki makna yang sama. Baik verba maupun predikat intransitif membutuhkan satu argumen inti saja dalam sebuah konstruksi klausa. Dilihat dari sifat semantisnya, verba intransitif yang mengisi predikat klausa intransitif dapat dibedakan atas verba pengalam dan verba penindak. Verba pengalam merupakan verba yang memiliki makna pengalam dan verba penindak merupakan verba yang memiliki makna tindakan. Peran semantik yang dimiliki satu-satunya argumen inti pada klausa intransitif berpredikat verba pengalam adalah pengalam (experiencer), sedangkan satusatunya argumen inti pada klausa berpredikat verba tindakan adalah pelaku atau agen. Jika mengacu pada fungsi gramatikal, satu-satunya argumen yang terdapat pada klausa intransitif menduduki fungsi sebagai subjek (Artawa, 1998: 13; Arka, 1998: 17). Terkait dengan itu, klausa intransitif BKm dapat dilihat pada contoh berikut ini. (4.47) Au plai 1TG lari ‘Saya lari’ (4.48) Ua huri 3TG tari ‘Dia menari’ (4.49) Roma la de iskola 3JM pergi Prep sekolah ‘Mereka pergi ke sekolah’ 99 (4.50) Hine senua mnahu Wanita DEF jatuh ‘Wanita itu jatuh’ (4.51) Ami slaing 2JM lapar ‘Kamu lapar’ Contoh klausa (4.47)—(4.51) di atas merupakan klausa intransitif yang predikatnya diisi oleh verba intransitif. Verba yang mengisi predikat klausa intransitif tersebut, yaitu verba plai ‘lari’ pada klausa (4.47), verba huri ‘tari’ pada klausa (4.48), la ‘pergi’ pada klausa (4.49), mnahu ‘jatuh’ pada klausa (4.50), dan slaing ‘lapar’ pada klausa (4.51). Berdasarkan contoh-contoh klausa (4.47) sampai dengan (4.51) di atas ditemukan juga satu-satunya argumen inti yang secara fungsional berfungsi sebagai subjek. Argumen inti pada contoh-contoh klausa di atas adalah au ‘saya’ merupakan argumen inti pada klausa (4.47), ua ‘dia’ merupakan argumen inti klausa (4.48), roma ‘mereka’ merupakan argumen inti klausa (4.49), hine senua ‘wanita itu’ merupakan argumen inti klausa (4.50), dan ami ‘kamu’ merupakan argumen inti klausa (4.51). Secara struktural, verba pada klausa-klausa (4.47)—(4.51) menempati posisi di sebelah kanan argumen inti atau di belakang argumen inti. Dengan demikian, posisi argumen inti adalah praverbal atau berada sebelum verba (predikat) atau argumen inti mendahului verba (predikat). Contoh klausa (4.47)— (4.51) di atas menunjukkan bahwa secara tipologis tata urutan konstituen klausa intransitif BKm adalah SV (subjek+verbal). Struktur klausa (str-k) verba intranstif BKm direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini. 100 K FN roma ‘mereka FV V FP la pergi de isikola ke sekolah Diagram 4.5 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Verba Intransitif 4.4.2.2 Klausa Ekatransitif Berbeda dengan klausa intransitif yang predikatnya membutuhkan satu argumen inti, klausa ekatransitif merupakan klausa yang predikatnya (verbanya) membutuhkan dua argumen inti. Berdasarkan data, BKm memiliki klausa ekatransitif yang predikatnya (verbanya) mewajibkan kehadiran dua argumen inti. Secara makro kedua argumen inti tersebut bisa disebut sebagai aktor dan undergoer (Foley dan Van Valin, 1984) atau proto agen dan proto pasien (Dowty, 1991). Konstruksi klausa ekatransitif BKm terlihat pada contoh klausa di bawah ini. (4.52) Au tutu ua 1TG pukul 3TG ‘Saya memukul dia’ (4.53) Mane senua unu hine senua Laki-laki DEF tikam wanita DEF ‘Laki-laki itu menikam wanita itu’ 101 (4.54) Ua li’u asu senua 3TG kejar anjing DEF ‘Dia mengejar anjing itu’ (4.55) Bili me’u hine senua Bili cium wanita DEF ‘Bili mencium wanita itu’ (4.56) Au ala baru de basar 1TG beli baju Prep pasar ‘Saya membeli baju di pasar’ Contoh klausa (4.52)—(4.56) di atas merupakan klausa transitif yang predikatnya diisi oleh verba transitif. Verba yang mengisi predikat klausa transitif tersebut, yaitu tutu ‘pukul’ pada klausa (4.52), unu ‘tikam’ pada klausa (4.53), liu ‘kejar’ pada klausa (4.54), me’u ‘cium’ pada klausa (4.55), dan ala ‘beli’ pada klausa (4.56). Verba-verba tersebut mewajibkan kehadiran dua argumen inti dalam konstruksi klausa tersebut. Pada klausa (4.52), terdapat dua argumen inti yang hadir, yaitu au ‘saya’ dan ua ‘dia’; pada klausa (4.53) terdapat dua argumen inti yang hadir, yaitu mane senua ‘laki-laki itu’ dan hine senua ‘wanita itu’; pada klausa (4.54) terdapat dua argumen inti yang hadir, yaitu ua ‘dia’ dan asu senua ‘anjing itu’, pada klausa (4.55) terdapat dua argumen inti yang hadir, yaitu Bili (nama orang) dan hine senua ’wanita itu’, dan pada klausa (4.56) terdapat dua argumen inti yang hadir, yaitu au ‘saya’ dan baru ‘baju’. Struktur klausa (str-k) dengan verba ekatransitif BKm direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini. 102 K FN1 au ‘saya FV V FN2 tutu pukul ua dia’ Diagram 4.6 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Verba Ekatransitif Secara struktural, verba yang terdapat pada klausa transitif di atas menempati posisi di antara kedua argumen inti. Klausa 4.52)—(4.56) di atas menunjukkan bahwa terdapat dua arguemn inti yang secara fungsional berfungsi sebagai subjek dan objek. Argumen inti yang menduduki posisi praverbal atau sebelum verba secara fungsional merupakan subjek klausa transitif dan argumen inti yang menduduki posisi posverbal secara fungsional berfungsi sebagai objek dari klausa transitif. Argumen inti au ‘saya’ pada klausa (4.52), mane senua ‘lakilaki itu’ pada klausa (3.53), ua ‘dia’ pada klausa (4.54), Bili pada klausa (4.55), dan au ‘saya’ pada klausa (4.56) berfungsi sebagai subjek. Sementara itu, argumen inti ua ‘dia’ pada klausa (4.52), hine senua ‘wanita itu’ pada klausa (4.53), asu senua ‘anjing itu’ pada klausa (4.54), hine senua ‘wanita itu’ pada klausa (4.59), dan baru ‘baju’ pada klausa (4.56) berfungsi sebagai objek. 103 4.4.2.3 Klausa Dwitransitif Selain klausa ekatransitif yang verbanya mewajibkan kehadiran dua argumen inti dalam sebuah konstruksi, BKm juga memiliki konstruksi klausa yang verbanya menghadirkan tiga argumen inti atau disebut klausa dwitransitif. Dixon (2010:116--117) tidak menggunakan istilah klausa dwitransitif untuk konstruksi klausa yang memiliki lebih dari dua argumen inti. Dixon menggunakan istilah extended transitive untuk klausa dwitransitif. Konstruksi klausa dwitransitif BKm yang menghadirkan tiga argumen inti terlihat pada contoh klausa berikut ini. (4.57) Au ala podi ua baru 1TG beli APL 3TG baju ‘Saya membelikan dia baju’ (4.58) Ua lodi podi au buku 3SG bawa APL 1TG buku ‘Dia membawakan saya buku’ (4.59) Atmas senua ne podi ua Orang DEF beri APL 3SG ‘Orang itu memberikan dia uang’ osa uang (4.60) Ua tau podi au-ng 3SG buat APL 1TG-Lig ‘Dia membuatkan ayah saya kopi’ ama-ng ayah-Lig kopi kopi Contoh klausa (4.57)—(4.60) di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga argumen inti yang hadir pada setiap klausa di atas. Argumen inti setiap klausa di atas adalah au ‘saya’, ua ‘dia’, dan baru ‘baju’ pada klausa (4.57), ua ‘dia’, au ‘saya’, dan buku ‘buku’ pada klausa (4.58), atmas senua ‘orang itu’, ua ‘dia’, dan osa ‘uang’ pada klausa (4.59), dan ua ‘dia’, aung amng ‘ayah saya’, dan kopi 104 ‘kopi’ pada klausa (4.60). Struktur klausa (str-k) dengan verba dwitransitif BKm direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini. K FN1 au ‘saya FV V+APL FN2 FN3 ala+podi membelikan ua dia baru baju’ Diagram 4.7 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Verba Dwitransitif Lebih lanjut, contoh klausa (4.57)—(4.60) di atas menunjukkan bahwa BKm memiliki konstruksi klausa yang verbanya menghadirkan lebih dari dua argumen inti. Contoh klausa di atas juga mengungkapkan bahwa BKm tidak memiliki pemarkah morfologis yang melekat pada verba yang berfungsi untuk meningkatkan kehadiran argumen inti dalam sebuah klausa. Contoh klausa di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa untuk meningkatkan kehadiran argumen dalam sebuah klausa, BKm memiliki permarkah aplikatif podi yang berfungsi meningkatkan jumlah argumen yang hadir dalam sebuah klausa dan secara morfologis pemarkah tersebut tidak melekat pada verba, tetapi hadir secara mandiri setelah verba. Pemarkah aplikatif podi hadir dalam posisi posverbal atau hadir setelah verba pada klausa dwitransitif BKm. Contoh klausa (4.57)—(4.60) di atas memiliki struktur alternasi, seperti terlihat pada klausa di bawah ini. 105 (4.61) Au ala baru odi ua 1TG beli baju Prep baju ‘Saya membeli baju untuk dia’ (4.62) Ua lodi buku odi au 3SG bawa nuku Prep 1TG ‘Dia membawa buku untuk saya’ (4.63) Atmas senua ne osa odi ua Orang DEF beri uang Prep 3S ‘Orang itu memberi uang untuk dia’ (4.64) Ua tau kopi odi au-ng 3TG buat kopi Prep 1TG-Lig ‘Dia membuat kopi untuk ayah saya’ ama-ng ayah-Lig Contoh klausa (4.61)--(4.64) di atas merupakan klausa transitif yang predikatnya ditempati oleh verba yang menghadirkan dua argumen inti. Argumen inti setiap klausa di atas, yaitu au ‘saya’ dan baru ‘baju’ pada klausa (4.61), ua ‘dia’ dan buku ‘buku’ pada klausa (4.62), atmas senua ‘orang itu’ dan osa ‘uang’ pada klausa (4.63), dan ua ‘dia’ dan kopi ‘kopi’ pada klausa (4.64). Berbeda dengan contoh klausa (4.57)--(4.60) yang memiliki tiga argumen inti, klausa (4.61)--(4.64) hanya memiliki dua argumen inti. Satu argumen inti yang terdapat pada klausa (4.57)--(4.60) mengalami perubahan fungsi gramatikal yang sebelumnya sebagai objek, yaitu ua ‘dia’ pada klausa (4.57), au ‘saya’ pada klausa (4.58), ua ‘dia’ pada klausa (4.59), dan aung amang ‘ayah saya’ pada klausa (4.60) berubah menjadi oblik yang ditandai dengan hadirnya preposisi odi ‘untuk’ pada klausa (4.61)--(4.64). Jika dibandingkan contoh klausa (4.57)--(4.60) dengan contoh klausa (4.61) - (4.64), terdapat perbedaan karena klausa (4.57)--(4.60) merupakan klausa 106 dwitransitif (extended transitive) yang memiliki lebih dari dua argumen inti (tiga argumen inti); sedangkan klausa (4.61)--(4.64) merupakan klausa transitif yang memiliki hanya dua argumen inti yang merupakan alternasi struktur klausa (4.57)(4.60). Alternasi struktur klausa (4.57)--(4.60) menjadi struktur klausa (4.61)(4.64) mengakibatkan pemarkah aplikatif podi menjadi hilang pada contoh klausa (4.61)--(4.64). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemarkah aplikatif podi pada struktur klausa digunakan untuk meningkatkan jumlah argumen inti dari verba berargumen inti dua menjadi verba berargumen inti tiga. Alternasi struktur klausa (str-k) dari predikat dwitransitif menjadi predikat ekatransitif direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini. K FN1 FV V FN2 FPrep Prep au ‘saya ala membeli baru baju FN3 odi ua untuk dia Diagram 4.8 Alternasi Struktur Klausa Dwitransitif Menjadi Klausa Ekatransitif 107 4.4.3 Klausa Eksistensial Bahasa Kemak Seperti telah diuraikan di atas, BKm memiliki klausa berpredikat verbal dan nonverbal. Di samping memiliki klausa berpredikat verbal dan nonverbal, BKm juga memuliki klausa eksistensial. Klausa eksistensial merupakan klausa yang menyatakan kehadiran atau keberadaan sebuah entitas. Di samping menyatakan keberadaan dan kehadiran sebuah entitas, klausa eksistensial juga berfungsi untuk menyatakan kepemilikan. Banyak bahasa membentuk klausa eksistensial tanpa kehadiran pemarkah khusus. Contohnya, klausa eksistensial bahasa Inggris yang menyatakan keberadaan atau kehadiran dibentuk dengan kehadiran verba kopula (be) (Milsark, G. L., 1979; Comrie, 1981: 212--218) Klausa eksistensial BKm dibentuk dengan kehadiran leksikal dia ‘ada’. Berikut ini disajikan klausa eksistensial BKm. (4.65) a. Ua dia de basar 3TG ada Prep pasar ‘Dia berada di pasar’ b. Au-ng ali-ng dia 1TG-Lig adik-Lig ada ‘Adik saya berada di sekolah’ de Prep isikola sekolah c. Ama no ina dia Ayah dan ibu ada ‘Ayah dan ibu berada di rumah’ de Prep uma rumah (4.66) a. Au dia osa 1TG`ada uang ‘Saya punya uang’ b. Au-ng ama-ng dia ITG-Lig ayah-Lig ada ‘Ayah saya punya dua sapi’ brau hlima sapi dua 108 c. Garang ilat dia uma hrua Kepala Desa ada rumah dua ‘Kepala Desa punya dua rumah’ Klausa (4.65) dan (4.66) merupakan klausa eksistensial BKm. Klausa (3.65a—c) merupakan klausa eksistensial yang menyatakan keberadaan atau kehadiran argumen subjek ua ‘dia’ (klausa 4.65a), aung aling ‘adik saya’ (klausa 4.65b), dan ama ‘ayah’ (klausa 4.65c). Sementara, klausa (4.66a—c) merupakan klausa eksistensial yang menyatakan kepemilikan. Khusus untuk klausa eksitensial (4.65a--c) yang menyatakan kehadiran atau keberadaan, kehadiran leksikal dia ’ada’ bersifat manasuka, artinya bisa hadir juga bisa tidak. Jika leksikal dia ‘ada’ dihilangkan, maka makna kalimat tidak berubah. Namun, konstruksi tersebut berubah menjadi konstruksi klausa dengan predikat adverbial (frasa preposisional). 4.6 Tata Urutan Kata Bahasa Kemak Bagian sebelumnya telah menguraikan struktur klausa BKm yang meliputi klausa verbal, klausa nonverbal, dan klausa eksistensial. Bagian ini membahas tata urutan kata (word order) BKm. Pembahasan tentang tata urutan kata BKm mengacu pada pendapat yang dikemukakan Mallinson dan Blake (1981:121--124) yang mengungkapkan bahwa bahasa-bahasa di dunia mempunyai konstruksi subjek-predikat sebagai dasar klausa/kalimat. Di samping mempunyai konstruksi subjek-predikat sebagai dasar klausa/kalimat, keberadaan objek dalam sebuah konstruksi klausa/kalimat dasar menjadi sangat penting terkait dengan sifatperilaku verba yang menempati posisi predikat. Dalam hal ini, pengertian tata 109 urutan kata BKm merujuk kepada tata urutan dasar, yaitu urutan yang terdapat pada klausa netral. Pembahasan tata urutan kata ini bertujuan untuk mencermati tata urutan subjek (S), verba (V), dan objek (0) yang memiliki sifat perilaku gramatikal. Pendapat yang dikemukakan oleh Malinnson dan Blake (1981:121--124) ini mengacu kepada pendapat yang dikemukakan oleh Greenberg (1963), Pullum (1977), dan Steele (1978). Pada awalnya Greenberg (1963b: 73) mengungkapkan bahwa terdapat tiga tipe bahasa berdasarkan tata urutan kata, yaitu SOV, VSO, dan SVO. Pendapat yang dikemukakan oleh Greenberg (1963) kemudian direduksi oleh Song (2001) menjadi dua tipologi dasar, yaitu OV yang direduksi dari SOV dan VO yang direduksi dari tipe VSO dan SVO. Lebih jauh, Song (2001:49) menyatakan bahwa penentuan tata urutan dasar (basic word order) pada umumnya memakai tiga konstituen utama pada level klausa, yaitu S, O, dan V. Ketiga konstituen tersebut (S, O, dan V) memiliki enam permutasian logis, yaitu SOV, SVO, VSO, VOS, OVS, dan OSV. Keenam tipe permutasian tersebut masing-masing telah terbukti keberadaan dan kebenarannya dalam bahasa-bahasa di dunia (Song, 2001: 49). Hal senada juga diungkapkan oleh Dalrymple (2001). Dia mengungkapkan bahwa penentuan tipologi tata urutan kata berkaitan erat dengan hubungan predikat sebagai konstituen inti (head clause) dengan argumen-argumen inti (core argument) yang terdapat dalam sebuah klausa. Secara umum A (agen) dan P (pasien) merupakan argumen inti yang secara sintaksis dan secara gramatikal adalah sebagai SUBJ (subjek) dan OBJ (objek). 110 Seperti telah diungkapkan di bagian awal bahwa BKm memiliki tata urutan kata/pola kanonis SVO atau agen – verba – pasien. Contoh berikut merupakan klausa BKm yang menggambarkan tata urutan kata atau pola kanonis SVO. (4.67) a. Au tutu ua 1TG pukul 3TG ‘Saya memukul dia’ b. Atmas senua betu au-ng Orang DEF tendang 1TG-Lig ‘Orang itu menendang anjing saya’ c. Ama lodi buku odi ali Ayah bawa buku Prep adik ‘Ayah membawakan buku untuk adik asu anjing Contoh klausa (4.67a--c) menunjukkan bahwa tata urutan klausa dasar BKm memiliki tata urutan kata agen-verba-pasien. Konstruksi agen-verba-pasien merupakan konstruksi yang paling produktif dalam BKm. Hal ini didukung bukti kehadiran konstruksi tersebut yang sangat dominan digunakan dalam percakapan sehari-hari oleh penutur BKm itu sendiri. Dengan demikian, konstruksi agenverba-pasien ini dapat disimpulkan sebagai tata urutan kanonik dan secara pragmatis tanpa kehadiran pemarkah. Tata urutan kata pada klausa (4.67a--c) dapat dicermati lebih jauh berdasarkan fungsi gramatikal terhadap konstituen yang membentuk klausa tersebut. Agen pada konstruksi kanonis tersebut menduduki fungsi subjek. Argumen inti pada tata urutan kata/pola kanonis klausa (4.67a--c) secara semantis adalah agen yang dipetakan ke dalam fungsi tertinggi SUBJ (subjek gramatikal). 111 Dengan demikian, secara sintaksis tata urutan kanonis tersebut merupakan struktur diatesis agentif. Makna yang terkandung dalam klausa (4.67a) au tutu ua ‘saya memukul dia’ tidak dapat ditafsirkan menjadi ‘dia membunuh saya’ dan dalam klausa (4.67b) atmas senua betu aung asu ‘orang itu menendang anjing saya’ tidak dapat ditafsirkan menjadi anjing saya menendang orang itu’. Demikian pula makna pada klausa (4.67c). Hal ini dapat dijelaskan melalui tata urutan argumen karena argumen praverba pada konstruksi kanonik adalah agen, sementara argumen posverba adalah pasien. Dengan demikian, kemungkinan makna yang ambigu pada sebuah konstruksi klausa tidak terjadi. Selain memiliki tata urutan kata/pola kanonis SVO, BKm juga memiliki struktur turunan, yaitu struktur pemfokusan dan struktur pasif. Berikut ini disajikan contoh klausa yang memiliki struktur pemfokusan dan struktur pasif. (4.68) a. Ua te au 3TG FOK 1TG ‘Dia saya pukul’ tutu pukul b. Au-ng asu te atmas senua betu 1TG-Lig anjing FOK orang DEF tendang ‘Anjing saya orang itu tendang’ (4.69) a. Ua toma tutu dase 3TG PAS-dapat pukul Prep ‘Dia dipukul oleh saya’ au 1TG b. Au-ng asu toma betu dase atmas senua 1TG-Lig anjing PAS-dapat tendang Prep orang DEF ‘Anjing saya ditendang oleh orang itu’ Klausa (4.68a) dan (4.68b) merupakan klausa dengan konstruksi pemfokusan. Pasien pada tata urutan kanonis difokuskan dengan pemarkah fokus 112 te sehingga pasien menempati posisi subjek atau pasien mengawali klausa. Sementara, konstruksi (4.69a) dan (4.69b) merupakan konstruksi pasif dalam BKm. Konstruksi tersebut dapat dikategoriksn sebagai konstruksi pasif. BKm tidak memiliki konstruksi pasif secara morfologis karena BKm tidak mempunyai proses morfologis. BKm tidak memiliki afiks yang dapat dilekatkan pada verba yang berfungsi mengubah konstruksi klausa/kalimat dari aktif menjadi pasif. Namun, BKm memiliki konstruksi tersendiri yang dapat dikategorikan sebagai konstruksi pasif seperti yang terlihat pada kluasa (4.69a) dan (4.69b). BKm memiliki cara tersendiri untuk membentuk konstruksi pasif karena ketiadaan afiks. Konstruksi pasif (4.69a) dan (4.69b) merupakan konstruksi pasif analitik yang ditandai dengan kehadiran pemarkah toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba. Selain hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ sebagai penanda konstruksi pasif, konstruksi pasif BKm juga dapat diidentifikasi dengan berpindahnya subjek yang menjadi adjung yang dimarkahi oleh preposisi. Cara lain untuk membuktikan bahwa konstruksi (4.69a) dan (4.69b) merupakan konstruksi pasif adalah dengan kehadiran adverbia pada konstruksi tersebut. Apabila konstruksi tersebut dapat hadir dengan adverbial yang berfungsi untuk menerangkan verba, konstruksi tersebut dapat dikategorikan sebagai konstruksi pasif. Hasil pengujian dengan penempatan adverbial pada konstruksi (4.69a) dan (4.69b) menunjukkan bahwa konstruksi tersebut merupakan konstruksi pasif. Pengujian dengan menempatkan adverbial pada konstruksi tersebut tersaji pada klausa (4.70a) dan (4.70b) berikut ini. 113 (4.70) a. Ua toma tutu no milang dase 3TG dapat pukul Prep cepat Prep ‘Dia dipukul dengan cepat oleh saya’ au 1TG b. Au-ng asu toma betu no maka’as dase atmas senua 1TG-Lig anjing dapat tendang Prep keras Prep orang DEF ‘Anjing saya ditendang dengan keras oleh orang itu‘ Telaah tata urutan kata BKm ini dimaksudkan untuk mencermati tata urutan subjek, verba, dan objek yang memiliki sifat-perilaku gramatikal. Tata urutan kata tersebut ditelaah berdasarkan konstruksi kalimat deklaratif, interogatif, imperatif, dan negatif. Penjelasan yang lebih terperinci setiap konstruksi tersebut diuraikan berikut ini. 4.6.1 Kalimat Deklaratif Kalimat deklaratif adalah tipe kalimat yang digunakan untuk memberitahukan atau menyatakan sesuatu kepada pihak lain. Pembahasan mengenai tata urutan kata kalimat deklaratif mencakup (i) tata urutan kata pada klausa intransitif, (ii) tata urutan kata pada klausa ekatransitif (klausa berargumen 2), (iii) tata urutan kata pada klausa dwitransitif (extended transitive clause) (klausa berargumen 3 atau lebih). Berikut ini disajikan contoh tata urutan kata BKm secara gramatikal. (i) Klausa Intransitif (4.71) Au hnoring de 1TG ajar Prep ‘Saya mengajar di sekolah’ iskola sekolah 114 (4.72) Ua mnahu dase etu 3TG jatuh Prep pohon ‘Dia jatuh dari pohon’ (4.73) Au-ng ama-ng a de 1TG-Lig ayah-Lig makan Prep ‘Ayah saya makan di dapur’ dapur dapur Contoh klausa (4.71)--(4.73) merupakan kalimat deklaratif dalam BKm. Lebih jauh, contoh (4.71) merupakan kalimat intransitif karena dalam konstruksi tersebut terdapat satu-satunya argumen yang berfungsi sebagai agen dan sekaligus juga berfungsi sebagai subjek gramatikal. Lebih lanjut, klausa (4.71)--(4.73) di atas masing-masing terdiri atas sebuah predikat dan sebuah argumen inti yang secara gramatikal/sintaksis berfungsi sebagai SUBJ (subjek). Klausa (4.71)-(4.73) di atas menunjukkan fungsi gramatikal SUBJ yang hadir pada posisi praverbal atau berada di posisi sebelah kiri predikat yang ditempati oleh verba. SUBJ au ‘saya’ pada klausa (4.71) hadir di posisi sebelah kiri atau praverbal yang ditempati verba hnoring ‘ajar’. Hal yang sama juga terjadi pada SUBJ ua ‘dia’ pada klausa (4.72) dan aung amang ‘ayah saya’ pada klausa (4.73) yang hadir di posisi sebelah kiri atau praverbal yang ditempati oleh verba mnahu ‘jatuh’ pada klausa (4.72) dan ha ‘makan’ pada klausa (4.73). Klausa (4.71)--(4.73) memberikan gambaran bahwa dalam pola kanonis, klausa intransitif BKm memiliki tata urutan kata atau konstituen SV (subjek mendahului verba atau predikat). 115 (ii) Klausa Ekatransitif (4.74) Au tutu mane senua 1TG pukul laki-laki DEF ‘Saya memukul laki-laki itu’ (4.75) Au-ng ali-ng betu 1TG-Lig adik-Lig tendang ‘Adik saya menendang dia’ ua 3TG Contoh (4.74) dan (4.75) merupakan kalimat ekatransitif. Terdapat dua argumen yang hadir pada konstruksi tersebut yang berfungsi sebagai A (agen) dan P (pasien) dan secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan objek. Klausa (4.74) dan (4.75) di atas masing-masing terdiri atas sebuah predikat dan dua argumen inti yang secara gramatikal/sintaksis berfungsi sebagai SUBJ dan OBJ. Klausa (4.74) dan (4.75) di atas menunjukkan fungsi gramatikal SUBJ yang hadir pada posisi praverbal atau berada di posisi sebelah kiri predikat yang ditempati oleh verba yang merupakan inti klausa (head clause) dan posisi OBJ yang hadir pada posisi posverbal atau setelah verba. SUBJ au ‘saya’ pada klausa (4.74) hadir di posisi sebelah kiri atau praverbal yang ditempati oleh verba tutu ‘pukul’, sedangkan OBJ mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (4.74) hadir di posisi sebelah kanan atau posverbal. Hal serupa juga dapat dilihat pada klausa (4.75). SUBJ aung aling ‘adik saya’ menempati posisi praverbal dan OBJ ua ‘dia’ menempati posisi posverbal. (iii) Klausa Dwitransitif (Extended Transitive) (4.76) Au ala podi ua houn 1TG beli APL 3TG buah ‘Saya membelikan dia buah’ 116 (4.77) Atmas senua lodi podi au sele Orang DEF bawa APL 1TG jagung ‘Orang itu membawakan saya jagung’ Contoh klausa (4.76 dan (4.77) merupakan klausa dengan predikat yang ditempati oleh verba dwitransitif. Verba ala ‘beli’ dan lodi ‘bawa’ yang terdapat dalam konstruksi tersebut mewajibkan kehadiran tiga argumen, yaitu au ‘saya’, ua ‘dia’, dan houn ‘buah’ pada klausa (4.76) dan atmas senua ‘orang itu’, au ‘saya’, dan sele ‘jagung’ pada klausa (4.77). Tata urutan kata atau konstituen klausa (4.76) dan (4.77) di atas menunjukkan bahwa argumen au ‘saya dan atmas senua ‘orang itu’ secara sintaksis berfungsi sebagai SUBJ berada di sebelah kiri atau sebelum verba dwitransitif ala ‘beli’ dan odi ‘bawa’. Sebaliknya, argumen ua ’dia’ dan houn ‘buah’ pada klausa (4.76) secara sintaksis berfungsi sebagai OBJ1 dan OBJ2 berada di posisi sebelah kanan verba dwitransitif ala ‘beli’. Secara semantis argumen ua ‘dia’ berfungsi sebagai Ben (benefactive) dan houn ‘buah’ berfungsi sebagai Tm (tema) pada klausa (4.76). Pada klausa (4.77), secara semantis argumen au ‘saya’ berfungsi sebagai Ben (benefactive) dan sele ‘jagung’ berfungsi sebagai Tm (tema). Klausa (4.76) dan (4.77) yang memiliki tata urutan konstituen SVO atau A-PRED-Ben-Tm dapat beralternasi dengan tata urutan kata atau konstituen A-PRED-Tm-Ben, seperti yang tergambar pada klausa berikut ini. (4.78) Au ala houn odi ua 1TG beli buah Prep 3TG ‘Saya membelikan buah untuk dia’ (4.79) Atmas senua lodi sele odi au Orang DEF bawa jagung Prep 1TG ‘Orang itu membawakan jagung untuk saya’ 117 4.6.2 Kalimat Interogatif Kalimat interogatif adalah kalimat yang mengandung unsur pertanyaan atau menghendaki suatu jawaban atau penjelasan. Terdapat dua jenis kalimat interogatif, yaitu kalimat interogatif total dan kalimat interogatif sebagian. Kalimat interogatif total merupakan kalimat interogatif yang membutuhkan jawaban ya atau tidak, sedangkan kalimat interogatif sebagian merupakan kalimat yang membutuhkan jawaban menyangkut bagian tertentu yang ditanyakan. (4.80) O a anan? 2TG makan nasi ‘Engkau makan nasi?’ (4.81) Ina la de basar? Ibu pergi Prep pasar ‘Ibu pergi ke pasar?’ (4.82) Ama tutu sapasia? Ayah pukul apa ‘Ayah pukul apa? (4.83) O a sapasia? 2TG makan apa ‘Engkau makan apa?’ Contoh klausa (4.80) dan (4.81) merupakan bentuk kalimat interogatif total yang membutuhkan jawaban ya atau tidak. Sementara itu, contoh klausa (4.82) dan (4.83) merupakan bentuk kalimat interogatif sebagian karena kalimat interogatif tersebut hanya membutuhkan jawaban yang menyangkut bagian tertentu dari pertanyaan tersebut. Berdasarkan tata urutan kata atau konstituen, kalimat interogatif memiliki tata urutan kata atau konstituen yang sama dengan kalimat interogatif. Perbedaannya terletak pada intonasi kalimat ketika diucapkan. 118 Kalimat interogatif sebagian juga dapat dibedakan menjadi kalimat interogatif sebagian yang menanyakan subjek dan kalimat interogatif sebagian yang menanyakan objek. Kedua bentuk kalimat interogatif tersebut tersaji pada contoh berikut ini. (4.84) Basia (te) a etu Siapa (FOK) makan nasi ‘Siapa makan nasi itu?’ senua? DEF (4.85) Sapasia (te) a etu Apa (FOK) makan nasi ‘Apa makan nasi itu?’ (4.86) Sapasia (te) o Apa (FOK) 2TG ‘Apa engkau makan?’ senua? DEF a? makan (4.87) Basia (te) o eto? Siapa (FOK) 2TG| lihat ‘Siapa engkau lihat? Klausa (4.84) dan (4.85) merupakan bentuk kalimat interogatif yang menanyakan subjek (yang menjadi jawaban informatif adalah subjek). Klausa (4.86) dan (4.87) merupakan bentuk kalimat interogatif yang menanyakan objek (yang menjadi jawaban informatif adalah subjek). Basia ‘siapa’ merupakan kata tanya yang digunakan untuk menanyakan subjek yang bersifat insani atau orang, sedangkan sapasia ‘apa’ digunakan untuk menanyakan subjek yang noninsani atau selain orang. Kalimat interogatif (4.84) dan (4.85) di atas menunjukkan bahwa tata urutan kata atau konstituennya adalah S/A-V. Tata urutan kata atau konstituen S/A-V tersebut merupakan konstruksi yang paling umum digunakan oleh penutur BKm yang berfungsi untuk menanyakan subjek/agen. Dalam 119 konstruksi (4.84) dan (4.85) di atas, terdapat pemarkah te yang berfungsi sebagai pemarkah fokus yang ditempatkan setelah kata tanya basia ‘siapa’ dan sapasia ‘apa’ yang berfungsi memberikan aspek pragmatis dan secara gramatikal opsional atau tidak wajib hadir dalam sebuah konstruksi kalimat interogatif. Klausa (4.86) dan (4.87) di atas merupakan kalimat interogatif yang berfungsi untuk menanyakan objek/undergoer. Klausa (4.86) dan (4.87) memiliki tata urutan kata atau konstituen OSV (P-A-V). Dalam konstruksi (4.86) dan (4.87) di atas, terdapat pemarkah te yang berfungsi sebagai pemarkah fokus yang ditempatkan setelah kata tanya basia ‘siapa’ dan sapasia ‘apa’ pada konstruksi kalimat interogatif tersebut. Dalam konstruksi (4.86) dan (4.87) di atas juga terdapat pemarkah te ‘yang’ ditempatkan setelah kata tanya basia ‘siapa’ dan sapasia ‘apa’ yang berfungsi memberikan aspek pragmatis dan secara gramatikal bersifat optional atau tidak wajib hadir dalam sebuah konstruksi kalimat interogatif. Kalimat interogatif (4.86) dan (4.87) memiliki bentuk alternasi seperti terlihat pada klausa (4.88) dan (4.89). (4.88) O a sapasia? 2TG makan apa ‘Engkau makan apa?’ (4.89) O eto basia? 2TG lihat siapa ‘Engkau lihat siapa?’ Klausa (4.88) dan (4.89) di atas adalah bentuk alternasi klausa (4.86) dan (4.87) yang merupakan kalimat interogatif yang menanyakan objek. Klausa (4.88) dan (4.89) memiliki tata urutan kata atau konstituen SVO (A-V-P). 120 4.6.3 Kalimat Imperatif Kalimat imperatif adalah kalimat yang mengandung makna yang bertujuan untuk memerintah atau menyuruh agar pihak kedua selaku penerima perintah melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan pihak pertama selaku pemberi perintah. Dalam BKm, perintah yang diberikan oleh pihak pertama selaku pemberi perintah kepada pihak kedua selaku penerima perintah dapat diungkapkan dengan (i) predikat verbal saja dan (ii) ujaran lengkap berpredikat verbal. Kedua bentuk kalimat imperatif digambarkan pada klausa di bawah ini. (4.90) Plai! ‘Lari!’ (4.91) Ala! ‘Ambil!’ (4.92) Ala buku senua! Ambil buku DEF ‘Ambil buku itu!’ (4.93) Tutu atmas senua! Pukul orang DEF ‘Pukul orang itu!’ Contoh data (4.90)--(3.93) adalah kalimat imperatif BKm. Contoh data (4.90) dan (4.91) merupakan bentuk kalimat imperatif BKm yang hanya memakai verba. Berbeda dengan data (4.90) dan (4.91), contoh data (4.92) dan (4.93) merupakan bentuk kalimat imperatif BKm yang memiliki ujaran lengkap berpredikat verbal. Tata urutan kata atau konstituen pada kalimat imperatif BKm sesuai dengan contoh data (4.92) dan (4.93) adalah VO yang merupakan reduksi dari . dari tipe VSO dan SVO (Song, 2001:49). 121 4.6.4 Kalimat Negatif Kalimat negatif merupakan konstruksi kalimat yang berisi pernyataan yang bersifat mempertentangkan makna sebagian atau seluruhnya. Kalimat negatif memiliki konstruksi yang menggunakan pengingkar dengan tujuan pengingkaran (Alwi dkk., 2000: 378). Berikut disajikan kalimat negatif BKm. (4.94) Roma ti la de isikola 3JM NEG pergi Prep sekolah ‘Mereka tidak pergi ke sekolah’ (4.95) O ti a de uma 2TG NEG makan Prep rumah ‘Engkau tidak makan di rumah’ (4.96) Atmas senua ti se’o sele de Orang DEF NEG jual jagung Prep ‘Orang itu tidak jual jagung di pasar’ basar pasar (4.97) Ua ti e hasa baru de 3TG NEG mau cuci baju Prep ‘Dia tidak mau cuci baju di sungai’ holang sungai Contoh data (4.94)--(4.97) merupakan kalimat negatif BKm. Contoh tersebut menunjukkan bahwa kata ti ‘tidak’ hadir di antara argumen inti pada posisi praverbal yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dengan verba, baik pada kalimat intransitif maupun kalimat transitif. Dengan demikian, tata urutan kata atau konstituen pada kalimat imperatif BKm sesuai dengan contoh data (4.94)--(4.97) adalah SVO dengan kehadiran penegasi ti ‘tidak’ yang berada di posisi antara argumen inti yang hadir pada posisi praverbal yang secara (gramatikal) sintaksis berfungsi sebagai subjek. 122 Di samping konstruksi kalimat negatif dengan kehadiran penegasi ti ‘tidak’ pada posisi antara subjek dan predikat, konstruksi kalimat negatif BKm memiliki penegasi hisar ‘/tidak boleh/jangan’ atau isi ‘tidak boleh/jangan’ atau isibara ‘tidak boleh/jangan’. Penggunaan penegasi tersebut disajikan pada contoh berikut ini. (4.98) O hisar/isi/isibara la de isikola 2TG jangan pergi Prep sekolah ‘Engkau tidak boleh/jangan pergi ke sekolah’ (4.99) O hisar/isi/isibara a ika sega-ng 2TG jangan makan ikan goreng-Lig ‘Engkau tidak boleh/jangan makan ikan goreng itu’ senua DEF Klausa (4.98) dan (4.99) menunjukkan bahwa penegasi hisar/isi isibara ‘tidak boleh/jangan’ hadir pada posisi setelah argumen inti praverbal yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan sebelum predikat yang ditempati oleh verba intransitif atau verba transitif. Selain hadir pada klausa yang berpredikat verbal, penegasi ti ‘tidak/bukan’ juga dapat hadir di antara argumen inti pada posisi praverbal dan predikat yang ditempati oleh nominal, adjektival, numerial, dan adverbial. Contoh kalimat negatif dengan predikat nominal, adjektival tersaji di bawah ini. (4.100) Au-ng ama-ng ti nai 1Tg-Lig ayah-Lig NEG kepala desa ‘Ayah saya bukan kepala desa’ (4.101) Ua ti kurung 3TG NEG kurus ‘Dia tidak kurus’ 123 (4.102) Ina-ng ahi ti hrua Ibu-Lig babi NEG dua ‘Babi ibu bukan dua’ (4.103) Ita-ng ana-ng ti de 1JM-Lig anak-Lig NEG Prep ‘Anak kami tidak di rumah’ uma rumah Contoh data (4.100) - (4.103) merupakan kalimat negatif dengan predikat nonverbal BKm. Sama halnya dengan kalimat negatif berpredikat verbal, kalimat negatif dengan predikat nonverbal menempatkan penegasi ti ‘tidak/bukan’ pada posisi setelah argumen inti yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan sebelum predikat yang ditempati oleh predikat nonverbal’. Penegasi hisar/isi/isibara ‘tidak boleh/jangan’ dapat pula ditempatkan pada klausa intransitif dengan predikat yang ditempati oleh adjektival, seperti terlihat pada contoh di bawah ini. (4.104) O hisar/isi/isibara soleng 2TG NEG sedih ‘Engkau tidak boleh/jangan sedih’ (4.105) O hisar/isi/isibara gbarang 2TG NEG sakit ‘Engkau tidak boleh/jangan sakit’ Klausa (4.104) dan (4.105) merupakan klausa intransitif yang menunjukkan bahwa penegasi hisar/isi/isibara ‘tidak boleh/jangan’ hadir pada posisi setelah satu-satunya argumen inti yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan sebelum predikat yang ditempati oleh adjektival. Selain dapat ditempatkan pada klausa dengan predikat verbal dan adjektival, penegasi hisar/isi/isibara ‘tidak boleh/jangan’ dapat pula ditempatkan 124 pada klausa intransitif dengan predikat yang ditempati oleh adverbial, seperti terlihat pada contoh di bawah ini. (4.106) O hisar/isi/isibara de uma 2TG NEG Prep rumah ‘Engkau tidak boleh/jangan di/ke rumah’ (4.107) Au hisar/isi/isibara de basar 1TG NEG Prep pasar ‘Saya tidak boleh/jangan di/ke pasar’ Klausa (4.106) dan (4.107) merupakan klausa intransitif yang menunjukkan bahwa penegasi hisar/isi/isibara ‘tidak boleh/jangan’ hadir pada posisi setelah satu-satunya argumen inti yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan sebelum predikat yang ditempati oleh adverbial yang menyatakan lokasi. Selain penegasi ti ‘tidak’ dan hisar/isi/isibara ‘jangan’, BKm juga memiliki penegasi ti-(P)-hei ‘belum’. Penggunaan penegasi tersebut tersaji, misalnya, pada klausa berikut ini. (4.108) Au ti a hei sele nunu-ng 1TG NEG makan NEG jagung rebus-Atr ‘Saya belum makan jagung rebus’ (4.109) Au-ng ali-ng ti la hei isikola 1TG-Lig adik-Lig NEG pergi NEG sekolah ‘Adik saya belum pergi ke sekolah’ Contoh (4.108) dan (4.109) merupakan kalimat negatif BKm yang menggunakan penegasi ti-P-hei ‘belum’. Pada kedua contoh tersebut dapat dicermati bahwa penegasi ti- berada pada posisi sebelum predikat dan penegasi - 125 hei berada pada posisi setelah predikat. Gabungan kedua penegasi tersebut melahirkan makna ‘belum’. 4.7 Temuan Penelitian Pembahasan struktur dasar klausa BKm pada bab ini berujung pada beberapa temuan penelitian, seperti tersaji di bawah ini. (1) Sistem morfologi verba BKm menunjukkan bahwa verba BKm hanya terdiri atas verba asal. Penelitian ini tidak menemukan verba turunan BKm. Dengan kata lain, semua verba BKm yang ditemukan merupakan verba asal. Hal ini berarti bahwa proses morfologis yang dapat mengubah sebuah kategori kata yang sebelumnya bukan verba menjadi verba tidak ditemukan dalam BKm. Di samping itu, sistem morfologi verba BKm menunjukkan pula bahwa tidak ada persesuaian (agreement) antara verba dan subjek atau verba dan objek. (2) Struktur klausa BKm terdiri atas (1) struktur klausa berpredikat nonverbal dan (2) struktur klausa berpredikat verbal. Struktur klausa berpredikat nonverbal dapat berwujud (1) klausa berpredikat nominal, (2) klausa berpredikat adjektival, (3) klausa berpredikat numeralia, dan (4) klausa berpredikat frasa preposisional. BKm tidak memiliki verba kopula sehingga verba kopula tidak hadir pada klausa berpredikat nonverbal. Sementara itu, struktur klausa berpredikat verbal terdiri atas (1) klausa intransitif, (2) klausa ekatransitif (klausa berargumen inti dua), dan (3) klausa dwitransitif (klausa berargumen inti tiga/extended transitive). 126 (3) BKm memiliki pemarkah aplikatif podi yang berfungsi untuk meningkatkan jumlah argumen atau valensi verba, yaitu dari verba yang bervalensi dua (verba ekatransitif) menjadi verba yang bervalensi tiga (verba dwitransitif). Pemarkah aplikatif podi ini menempati posisi setelah verbal (posverbal). (4) Di samping memiliki klausa berpredikat verba dan nonverbal, BKm juga memiliki klausa eksistensial. Klausa eksistensial BKm ditandai dengan kehadiran leksikal dia ‘ada’. Klausa Eksistensial BKm memiliki dua fungsi, yaitu berfungsi untuk menyatakan keberadaan atau kehadiran dan kepemilikan. (5) Tata urutan kata atau konstituen dalam klausa/kalimat dasar BKm berdasarkan struktur kalimat deklaratif, kalimat interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat negatif adalah SVO (A-V-P). Di samping memiliki tata urutan kata atau konstituen SVO (A-V-P), BKm memiliki struktur turunan, yaitu pemfokusan dan pasif. Konstruksi pemfokusan ini ditandai dengan hadirnya pemarkah te. Konstruksi pasif BKm ditandai dengan hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ dan berpindahnya subjek menjadi adjung yang dimarkahi dengan preposisi. Di samping itu, konstruksi pasif dapat diidentifikasi dengan penempatan adverbia. Konstruksi pasif BKm berbeda dengan konstruksi pasif yang dimiliki bahasa-bahasa di dunia pada umumnya. BKm tidak memiliki proses morfologis yang dapat mengubah konstruksi aktif menjadi pasif. BKm tidak memiliki afiks yang dapat mengubah konstruksi aktif menjadi pasif, tetapi dalam BKm terdapat 127 memiliki konstruksi pasif analitik dengan kehadiran pemarkah pasif toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba. (6) Pada konstrusksi kalimat negatif, penegasi ti ‘tidak’ dan hisar/isi/isibara ‘jangan’ hadir di antara argumen inti praverbal dan predikat yang ditempati oleh verba, baik pada klausa intransitif maupun klausa transitif. Di samping kalimat negatif dengan predikat verbal, penegasi ti ‘tidak’ juga dapat digunakan untuk membentuk kalimat negatif dengan predikat nonverbal (nominal, adjektival, numeralia, dan frasa preposisional). Khusus untuk kalimat negatif dengan predikat adverbial, hanya adverbial yang menyatakan lokasi yang bisa digunakan. Penegasi hisar.isi/isibara ‘jangan’ juga dapat ditempatkan pada klausa intransitif yang predikatnya ditempati oleh adjektiva. Posisi penegasi hisar/isi/isibara ‘jangan’ pada klausa intransitif dengan predikat adjektiva berada di antara satu-satunya argumen inti yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan predikat. BAB V PREDIKASI BAHASA KEMAK 5.1 Pengantar Bab sebelumnya telah menentukan struktur klausa BKm. Setelah mengetahui struktur klausa, berikutnya adalah pembahasan predikasi dari klausa tersebut. Bab ini membahas predikasi BKm sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan pembahasan struktur argumen karena pembahasan struktur argumen sebenarnya lebih cenderung mengarah ke predikat verbal suatu klausa/kalimat. Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab IV, terungkap bahwa klausa BKm dibangun oleh satu predikat dan argumen-(argumen)nya. Di samping itu, telah dibahas pada bab tersebut bahwa predikat kluasa/kalimat BKm dapat dibangun oleh predikat, baik predikat verbal maupun predikat nonverbal. Kedua jenis predikat (verbal dan nonverbal) tersebut membutuhkan argumen untuk membentuk sebuah klausa/kalimat utuh. Pembahasan predikat BKm pada bab ini hanya difokuskan pada penjelasan predikat yang dibangun oleh verba. Namun, pembahasan tentang predikat nonverbal juga disajikan seperlunya untuk mendukung pembahasan predikat verbal. Bab ini secara khusus membahas predikasi BKm yang mencakup predikat dan struktur argumen predikat verbal (predikat BKm yang intinya adalah verba). Pembahasan bab ini diawali tinjauan teoretis predikat untuk memberikan gambaran awal tentang konsepsi predikat. Berikutnya, pembahasan dilanjutkan pada uraian tentang predikat dan struktur argumen BKm. Pembahasan predikat 128 129 melibatkan pembahasan struktur argumen karena keduanya saling terkait dalam membentuk sebuah klausa/kalimat. Klausa/kalimat dibentuk oleh predikat yang merupakan unsur utama (head) dan argumen. Terkait dengan kajian predikasi BKm, pembahasan selanjutnya adalah sajian peran semantis argumen BKm. Pembahasan tentang peran semantis argumen BKm sangat perlu karena predikasi dibangun oleh predikat dan argumen. Untuk itu, sajian ini diarahkan pada uraian lebih lanjut tentang peran semantis argumen BKm. Berikutnya, pembahasan dilanjutkan pada tipe semantis verba. Uraian tentang tipe semantis verba BKm penting dibahas untuk mengetahui tipe semantis verba yang terdapat dalam BKm karena predikat dibangun oleh verba (tentunya juga oleh unsur nonverbal) yang merupakan inti (head) sebuah predikasi. Pembahasan dilanjutkan dengan menguraikan frasa verbal. Pembahasan frasa verbal ini sangat penting karena klausa dibangun oleh frasa verbal dan argumen-argumen yang menyertainya. Berikutnya, pembahasan dilanjutkan pada serialisasi verba dalam BKm. Pembahasan tentang serialisasi verbal erat kaitannya dengan pembahasan predikat BKm karena predikat verbal BKm dapat dibangun oleh verba serial. Pembahasan predikat dan struktur argumen BKm pada bab ini ditutup dengan sajian beberapa temuan terkait dengan pokok-pokok bahasan dalam bab ini. 5.2 Tinjauan Teoretis Predikasi Lintas Bahasa Tidak mudah memberikan definisi tentang predikasi. Istilah predikasi (predication) dalam ilmu bahasa dapat disejajarkan dengan proposisi. Dasar-dasar teori tata bahasa menjelaskan bahwa (a) di antara unsur-unsur yang 130 membangun/membentuk kalimat ada bagian yang disebut predikat (predicate) dan (b) ada unsur lain dalam kalimat itu yang berperan sebagai argumen dari predikat tersebut. Untuk memberikan batasan yang jelas, definisi predikasi dalam disertasi ini mengacu kepada konstruksi dalam bentuk klausa (kalimat sederhana) yang terdiri atas predikat dan argumennya (lihat Kac dalam Shibatani (ed.) 1976:229-230; Ackerman dan Webelhuth, 1998:37--38; Lyons, 1987:270, 337). Secara lintas bahasa, wujud optimal sebuah klausa dibangun oleh unsurunsur yang mempredikati (predicating elements) dan unsur-unsur yang tidak mempredikati (non-predicating elements) serta FN dan frasa adposisional (frasa berpreposisi atau berposposisi) yang merupakan argumen predikat dan yang bukan merupakan argumen predikat. Wujud klausa optimal tersebut dapat digambarkan berikut ini. Predikat + argumen bukan argumen (Van Valin Jr. dan LaPolla, 1999; 2002:25) Tabel 5.1: Struktur Klausa Klausa/kalimat biasanya dipredikati oleh unsur verbal. Namun, verba tidak selalu hadir untuk mempredikati klausa/kalimat. Di samping unsur verbal, klausa/kalimat dapat pula dipredikati oleh unsur nonverbal (Van Valin Jr. dan LaPolla (1999; 2002:2--27). Bab sebelumnya telah mengungkapkan bahwa tidak hanya verba yang dapat mempredikati kluasa/kalimat BKm, tetapi dapat juga unsur lain, seperti nominal, adjektival, numeral, dan adverbial (frasa 131 preposisional). Berikut disajikan kembali klausa yang dibangun oleh predikat verbal dan predikat nonverbal BKm. (5.1) Ina la de basar Ibu pergi Prep pasar ‘Ibu pergi ke pasar’ (5.2) Ita-ng ama-ng 1JM-Lig ayah-Lig ‘Ayah kita guru’ guru N/guru (5.3) Roma-ng uma boteng 3JM-Lig rumah Adj/besar ‘Rumah mereka besar’ (5.4) Aung bibu 1TG-Lig kambing ‘Kambing saya lima’ hlima .Num/lima (5.5) Au no ali de 1TG dan adik Prep ‘Saya dan adik di sekolah’ iskola sekolah Klausa (5.1) -- (5.5) merupakan klausa dasar BKm yang dipredikati oleh unsur verbal (klausa 5.1) dan unsur nonverbal (klausa 5.2 -- 5.5). Dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan konstruksi antara yang dipredikati unsur verbal dan unsur nonverbal. Berbeda dengan BKm, bahasa Inggris memiliki perbedaan konstruksi antara klausa/kalimat yang dipredikati unsur verbal dan unsur nonverbal. Bahasa Inggris memiliki dua strategi untuk menandai predikat, seperti terlihat di bawah ini. (5.6) a. John walks ‘John berjalan’ b. John is a tall ‘John tinggi’ 132 c. John is a teacher John (adalah) guru’ d. John is at home John (berada) di rumah (dikutip dari Stassen, 1997:25) Predikat nonverbal (nominal, adjektival, dan adverbial) bahasa Inggris menghendaki kehadiran kopula be atau sejenis verba kopula. Sementara, predikat verbal bahasa Inggris tidak menghendaki kehadiran kopula be atau sejenis verba kopula. Klausa (5.6) di atas dengan jelas menunjukkan bahwa bahasa Inggris memiliki dua strategi untuk menandai predikat verbal dan predikat nonverbal. Klausa yang dipredikati oleh verbal tidak membutuhkan kehadiran kopula be. Sementara, klausa yang dipredikati oleh nonverbal membutuhkan kehadiran kopula be untuk membuat klausa/kalimat tersebut berterima. Dalam bahasa Indonesia, kehadiran kopula pada klausa berpredikat nonverbal bersifat manasuka, artinya bisa hadir dan bisa tidak, seperti yang tersaji pada contoh klausa berikut ini. (5.7) a. Wanita itu (adalah) guru. b. Wanita itu pergi ke pasar Klausa (5.7a) menggambarkan bahwa klausa bahasa Indonesia yang dipredikati oleh unsur nonverbal dapat hadir dengan dan tanpa kopula. Berbeda dengan bahasa Inggris yang memiliki dua strategi untuk menandai predikat dan bahasa Indonesia yang memiliki penandaan yang bersifat manasuka, bahasa Tagalog hanya memiliki satu strategi untuk menandai predikat, baik predikat verbal maupun predikat nonverbal, seperti tersaji pada contoh klausa berikut ini. 133 (5.8) a. Kumanta ang mga Nyanyi TOP JM ‘Anak-anak bernyanyi’ b. Baga ang Baru TOP ‘Rumah baru’ bata anak bahay rumah c. Artista ang babae Artis TOP wanita ‘Wanita itu artis’ d. Nasa kusina ang mesa Prep dapur TOP meja ‘Meja (berada) di dapur Klausa (5.8) dengan jelas menunjukkan bahwa bahasa Tagalog memiliki hanya satu strategi untuk menandai predikat klausa, baik predikat yang dibangun oleh verbal maupun predikat yang dibangun oleh nonverbal. Tidak terdapat strategi yang berbeda antara klausa yang dibangun oleh predikat verbal dan predikat nonverbal. Klausa (5.8a) merupakan kalusa yang dibangun oleh predikat verbal. Sementara, klausa (5.8b) – (5.8d) merupakan klausa yang dibangun oleh predikat nonverbal. Jika dibandingkan dengan bahasa Tagalog, BKm memiliki strategi yang sama, yaitu hanya satu strategi untuk menandai predikat verbal dan predikat nonverbal. Berdasarkan klausa-klausa yang disajikan di atas, yaitu klausa BKm, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia menunjukkan bahwa setiap bahasa memiliki konstruksi tersendiri terkait dengan predikat. Satu bahasa membutuhkan kopula be apabila klausanya dipredikati oleh nonverbal, sementara bahasa lain tidak membutuhkan kopula untuk mempredikati klausa nonverbal. Di sisi lain terdapat 134 pula bahasa yang bersifat manasuka (optional), bisa hadir dan bisa tidak. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa predikat hanya mengacu kepada unsur yang mempredikati, yakni verba, adjektiva, atau nomina. Predikat membatasi unit sintaktis dalam struktur klausa, yang secara sintaktis merupakan inti (nucleus). Hubungan antara unit-unit semantis dan sintaktis yang diungkapkan oleh Van Valin, Jr. dan LaPolla (1999; 2002:27) merupakan unit-unit semantis yang mendasari unit-unit sintaktis struktur klausa. Alsina (1996:4--7) menyatakan bahwa sebuah predikat mengungkapkan hubungan antara partisipan-partisipan dalam sebuah klausa. Partisipan itulah yang disebut argumen predikat. Setiap predikat, baik predikat verbal maupun nonverbal, mempunyai hubungan logis dengan argumen-argumennya. Hubungan antara fungsi-fungsi gramatikal, yaitu subjek, objek, dan oblik dengan argumen predikat tidaklah bersifat acak atau tak terduga. Predikat secara semantis berperan untuk menentukan apakah argumen tersebut merupakan subjek, objek, atau oblik. Hubungan logis tersebut tidak hanya terkait dengan argumen dan fungsi gramatikal yang terikat erat dengan setiap predikat, tetapi hubungan logis tersebut terlihat juga dengan cara yang sama pada kelompok/kelas predikat yang luas mengikuti prinsip-prinsip tertentu sehingga setiap klausa yang dipredikati verbal harus bersesuaian dengan argumennya. Keteraturan prinsip-prinsip tersebut harus dicermati secara sintaktis terkait dengan informasi yang relevan dan khas untuk setiap predikat. Struktur argumen dibentuk berdasarkan keterikatan dan kaitan informasi yang menjadi argumen predikat dengan predikat itu sendiri. Struktur argumen juga merupakan informasi minimal predikat yang dibutuhkan untuk 135 menurunkan kerangka sintaktisnya atau subkategorisasi dan untuk menurunkan kerangka sintaktis alternatif apabila sebuah alternatif ada, seperti pasangan aktifpasif. Pendapat mengenai struktur predikat juga diungkapkan oleh Manning (1996:35—36). Manning (1996:35—36) berpendapat bahwa struktur argumen yang diberikan Alsina (1996) lebih cenderung dilihat sebagai perwujudan semantis daripada sintaktis. Manning lebih cenderung menempatkan persoalan struktur argumen sebagai perwujudan sintaktis. Menurutnya, struktur gramatikal dan struktur argumen adalah hasil langsung dan gramatikalisasi dua rangkaian hubungan yang berbeda. Struktur gramatikal adalah hasil gramatikalisasi peranperan wacana (discourse), sementara struktur argumen merupakan hasil gramatikalisasi pemikiran prominansi semantik. Perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, baik Alsina (1996) yang melihat struktur argumen sebagai strukutr semantik maupun Manning (1996) yang melihat struktur argumen sebagai perwujudan tataran sintaksis, memiliki dasar pijakan teoretis yang beralasan. Jika dicermati lebih jauh, kedua teori tersebut pada dasarnya memiliki titik temu. Baik struktur argumen yang dipandang sebagai struktur semantis maupun struktur sintaksis, keduanya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri tanpa keterkaitan satu dengan yang lain. Keterkaitan antara struktur semantis dan struktur sintaksis dalam melihat struktur argumen juga diungkapkan oleh Van Valin Jr. dan LaPolla (1999, 2002:28). Van Valin Jr. dan LaPolla (1999, 2002:28) menyatakan bahwa istilah argumen sebenarnya merujuk ke argumen semantis, sedangkan istilah argumen inti (core argument) 136 jelas merupakan pengertian yang merujuk ke tataran sintaktis. Pembahasan struktur argumen dalam disertasi ini mengacu pada struktur argumen yang dikaji secara sintaksis serta rnemerhatikan pula keterkaitan dan keterikatannya sebagai wujud perihal semantis. Secara lintas bahasa, para ahli memperkenalkan dua jenis istilah predikat berdasarkan wujud-bentuk predikat itu sendiri, yaitu istilah predikat sederhana (simple predicate) dan predikat kompleks (complex predicate). Predikat sederhana adalah predikat yang dibangun hanya dari satu unsur gramatikal (morfem atau kata) (single-headed) yang menjadi induk (head). Sebaliknya, predikat kompleks adalah predikat yang dibangun oleh banyak induk (multi-headed); predikat yang tersusun dan lebih dari satu unsur gramatikal—morfem atau kata, yang setiap bagian tersebut (morfem atau kata) menyumbangkan bagian informasi yang biasanya dikaitkan dengan induk (head) (lihat Alsina, Bresnan, Sells dalam Alsina dkk (ed.), 1997:1; Ackerman dan Webelhuth, 1998). Terkait dengan predikat sederhana dan predikat kompleks, setiap bahasa memiliki ciri dan sifat-perilaku yang berbeda. Perbedaan ciri dan sifat-perilaku predikat sederhana dan predikat kompleks utamanya ditentukan oleh gramatika dan tipologi bahasa yang bersangkutan. Untuk memberikan penjelasan yang lebih terperinci, diperlukan contoh data klausa yang dapat menunjukkan perbedaan antara predikat sederhana dan predikat kompleks yang dikutip dari Ackerman dan Webelhuth; 1998:174—175. (5.9) Weil die Ministerin ihrem Mann kusst. karena ART menteri Lig3TG suami mencium ‘karena menteri itu mencium suaminya’ 137 (5.10) Weil die Minislerin ihren Mann an-ruft. karena ART menteri Lig3TG suami PAR-panggil ‘karena menteri itu menelepon suaminya’ Klausa (5.9) merupakan klausa bahasa Jerman yang dibangun oleh predikat sederhana, yaitu kussen (Inggris ‘kiss’; Indonesia ‘mencium’). Sementara, klausa (5.10) merupakan klausa yang dibangun oleh predikat kompleks, yaitu an-rufen (Inggris ‘call up’; Indonesia ‘menelepon’). Klausa (5.10) dibangun oleh predikat kompleks karena predikat tersebut terdiri atas partikel an dan kata ruft. Partikel an dan kata ruft pada klausa (5.10) membentuk predikat kompleks sehingga klausa tersebut dinyatakan sebagai klausa yang dibangun oleh predikat kompleks. Dalam bangun klausa induk (utama), kedua klausa di atas dapat diungkapkan menjadi (5.11) dan (5.12). (5.11) Die Ministerin kusst ihrem Mann. ART menjeri Lig3TG suami mencium ‘Menteri itu mencium suaminya’ (5.12) Die Ministerin ruft ihren Mann an. ‘ART’ ‘menteri’ ‘panggil’ ‘Lig3TG’ ‘suami’ ‘PAR’ ‘Menteri itu menelepon suaminya’ Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut disajikan klausa sederhana dan klausa kompleks bahasa Inggris. (5.13) They run to schoo;. ‘Mereka lari ke sekolah’ (5.14) We heard the news ‘Saya mendengar berita itu” (5.15) I tied in the rope. ‘Saya menyambungkan tali’ 138 (5.16) John put away the trash. ‘John membuang sampah’ Klausa (5.13) dan (5.14) merupakan klausa bahasa Inggris yang dibangun oleh predikat sederhana. Sementara, klausa (5.15) dan (5.16) merupakan klausa bahasa Inggris yang dibangun oleh predikat kompleks. Predikat (5.13) dan (5.14) hanya terdiri atas satu unsur gramatikal yang menjadi induk (single headed), yaitu run ‘lari’ dan heard ‘ dengar’. Sementara itu, predikat pada klausa (5.15) dan (5.16) terbentuk atas lebih dan satu unsur gramatikal sebagai induk (multi headed), yaitu tied in dan put away. Lebih jauh, Alsina (1996:34--35) mengungkapkan bahwa struktur argumen merupakan tingkat representasi yang berhubungan dengan representasi semantik (atau konseptual-leksikal) di satu sisi dan dengan representasi fungsifungsi gramatikal (struktur-f) di sisi lain. Struktur argumen predikat ditentukan oleh semantik predikat yang bersangkutan; selanjutnya, struktur argumen tersebut juga membentuk fungsi-fungsi gramatikal yang dimiliki oleh predikat. Dengan demikian, struktur argumen dihipotesiskan sebagai wujud/bentuk bersama antara representasi semantik leksikal dari predikat dan pengategorian-lanjut sintaktiknya dalam pengertian fungsi-fungsi gramatikal, seperti tersaji pada contoh klausa bahasa Inggris berikut ini. (5.17) The students put the drawing book on the table ‘Murid-murid meletakkan buku gambar itu di atas meja’ (5.18) The chairman delivered the speech. ‘Ketua memberikan ceramah’ (5.19) The children cried. ‘Anak-anak menangis’ 139 Klausa (5.17) -- (5.19) merupakan klausa yang predikatnya diisi oleh verba put ‘meletakkan’, delivered ‘memberikan’, dan cried ‘menangis’. Verba put ‘meletakkan’ pada klausa (5.17) memiliki tiga argumen, yaitu the students ‘muridmurid’, the drawing book ‘buku gambar itu’, dan on the table ‘di atas meja’; verba delivered ‘memberikan’ pada klausa (5.18) memiliki dua argumen, yaitu the chairman ‘ketua’ dan the speech ‘pidato’; verba cried ‘menangis’ pada klausa (5.19) memiliki satu argumen, yaitu the children ‘anak-anak’. Jumlah dan wujud argumen-argumen tersebut ditentukan oleh semantik verba yang menduduki predikat dan struktur sintaksis secara keseluruhan. Berdasarkan contoh klausa yang disajikan di atas, hipotesis yang menyatakan bahwa struktur argumen merupakan pertautan aspek semantis dan sintaktis berterima dalam banyak bahasa adalah benar. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah hipotesis tersebut berlaku pada struktur argumen BKm? Pembahasan berikut ini mengenai predikat dan struktur argumen BKm diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan di atas. 5.3 Predikat dan Struktur Argumen Bahasa Kemak Pada bab IV telah diuraikan bahwa klausa/kalimat dasar BKm dapat berupa klausa berpredikat verbal dan klausa berpredikat nonverbal. Stassen (1997: 121—123) menyatakan bahwa klausa intransitif dibentuk oleh verba intransitif. Sementara, klausa dengan predikat nonverbal dipredikati oleh adjektival, nominal, dan lokasi (adverbial). Pendapat Stassen (1997) tidak memasukkan unsur numeral sebagai unsur yang dapat membangun predikat 140 intransitif. Secara utuh, klausa verbal intransitif dan klausa nonverbal memiliki satu argumen yang juga merupakan subjek gramatikal dan secara semantis berperan sebagai agen atau undergoer (pasien, tema, benefisiari, dan lain-lain). Berbeda dengan klausa verbal intransitif dan klausa nonverbal, klausa verbal transitif memiliki dua argumen atau lebih. Wujud kalimat yang terdiri atas predikat dan argumennya dalam tulisan ini disebut predikasi. Untuk lebih jelas, cermatilah klausa-klausa BKm yang disajikan berikut ini. (5.20) Ita-ng ina-ng 1JM-Lig ibu-Lig ‘Ibu kita pedagang’ pedagang pedagang (5.21) Hine koet senua soleng Wanita cantik DEF sedih ‘Wanita cantik itu sedih sekali’ (5.22) Ama-ng bibu Ayah-Lig kambing ‘Kambing ayah enam’ hnem enam (5.23) Au-ng he-ng 1TG-Lig istri-Lig ‘Istri saya di pasar’ de Prep Klausa los Adv basar pasar (5.20) -- (5.23) merupakan klausa lengkap yang terdiri atas predikat dan argumen subjek. Bentuk-bentuk klausa di atas merupakan bentuk predikasi dalam BKm. Predikat klausa-klausa di atas merupakan predikat nonverbal dengan satu argumen (FN) yang berkedudukan sebagai subjek. Predikat nonverbal klausa (5.20) diisi nomina pedagang ‘pedagang’ dan argumen subjeknya itang inang ‘ibu kita’. Predikat nonverbal klausa (5.21) diisi oleh adjektiva soleng ‘sedih’ yang diikuti oleh los yang merupakan adverbia yang 141 menerangkan predikat adjektival soleng ‘sedih’ dan argumen subjeknya adalah hine koet senua ‘wanita cantik itu’. Hal yang sama juga dapat dilihat pada klausa dengan predikat nonverbal (5.22) dan (5.23). Predikat nonverbal pada klausa (5.22) diisi oleh numeral hnem ‘enam’ dan argumen subjeknya adalah amang bibu ‘kambing ayah’. Predikat pada klausa (5.23) diisi oleh adverbial de basar ‘di pasar’ dan argumen subjeknya adalah aung heng ‘istri saya’. Mengacu pada klausa di atas, predikasi BKm dapat berupa satu predikat nonverbal yang dapat ditempati oleh nominal, adjektival, numeral, dan adverbial dan satu argumen yang menempati posisi di depan predikat yang berfungsi sebagai subjek gramatikal. Predikat nonverbal BKm menghendaki satu argumen subjek untuk membentuk predikasi. Unsur-unsur bukan argumen predikat dapat saja ditambahkan pada predikasi tersebut. Predikasi BKm dengan predikat nonverbal dan struktur argumennya dapat digambarkan pada tabel berikut. Predikasi Argumen + Predikat: (Subjek) Adjung + unsur bukan argumen (nominal) (adjektival) (numeral) (adverbial) Tabel 5.2: Predikasi Bahasa Kemak dengan Predikat Nonverbal Selain predikasi BKm yang dibentuk oleh predikat nonverbal, predikasi BKm dapat pula dibentuk oleh satu argumen dan satu predikat verbal, yaitu predikat dengan verba intransitif. Sama seperti predikasi BKm yang dibentuk oleh predikat nonverbal, predikat verbal intransitif juga menghendaki satu unsur 142 argumen FN yang dapat berfungsi sebagai subjek gramatikal dan secara semantis berfungsi sebagai agen atau pasien. Contoh klausa berikut memperlihatkan predikasi BKm yang dibangun oleh predikat verbal intransitif. (5.24) Ali mnahu dase ai nua Adik jatuh Prep pohon kelapa ‘Adik jatuh dari pohon kelapa’ (5.25) Ua mudu de kursi 3TG duduk Prep kursi ‘Dia duduk di kursi’ (5.26) Roma la segong 3JM pergi jauh ‘Mereka pergi jauh’ (5.27) Mane boteng senua mai de` Laki-laki besar DEF datang Prep ‘Laki-laki besar itu datang ke rumah’ uma rumah (5.28) Ita-ng ana-ng bue 1JM-Lig anak-Lig tidur ‘Anak kita tidur dengan cepat’ milang cepat no Prep Klausa (5.24) dibangun oleh predikat verbal mnahu ‘jatuh’ dan memiliki satu argumen ali ‘adik’ dan unsur bukan argumen dase ai nua ’dari pohon kelapa’. Argumen ali ‘adik’ berfungsi sebagai subjek dan sekaligus pasien karena dipengaruhi oleh semantik verba klausa tersebut. Predikat verbal intransitif mnahu ‘jatuh’ mengisyaratkan satu argumen saja dan dapat ditambah dengan unsur bukan argumen lainnya. Klausa (5.25) juga dibangun oleh predikat verbal mudu ‘duduk’ dan memiliki satu-satunya argumen, yaitu ua ’dia’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan secara semantis berfungsi sebagai agen. Di samping argumen ua ’dia’, klausa (5.25) juga memiliki unsur bukan argumen, yaitu de 143 kursi ‘di kursi’. Hal yang sama juga dapat dicermati pada klausa (5.26)—(5.28). Klausa tersebut dibentuk oleh predikat verbal la ‘pergi’ pada klausa (5.26), verbal mai ‘datang’ pada klausa (5.27), dan verbal bue ‘tidur’ pada klausa (5.28). Setiap klausa (5.26)—(5.28) memiliki argumen yang berfungsi sebagai subjek gramatikal dan secara semantis berfungsi sebagai agen, yaitu roma ‘mereka’ pada klausa (5.26), mane boteng senua ‘laki-laki besar itu’ pada klausa (5.27), dan itang anang ‘anak kita’ pada klausa (5.28). Di samping unsur argumen, terdapat pula unsur bukan argumen yang membangun klausa (5.26)—(5.28), yaitu segong ‘jauh’ pada klausa (5.26), de uma ‘di rumah’ pada klausa (5.27), dan no milang ‘dengan cepat’ pada klausa (5.28). Predikasi dan struktur argumen dengan verba intransitif dapat digambarkan pada tabel berikut. Predikasi Adjung Argumen + Predikat: + unsur bukan argumen (agen/pasien) (verba intransitif) (adverbial) Tabel 5.3: Predikasi Bahasa Kemak dengan Verba Intransitif Bagian sebelumnya telah menguraikan predikasi BKm yang dibangun oleh verba intransitif yang ditempati unsur verbal dan klausa berpredikat nonverbal yang dipredikari oleh numeral, adjektiva, numeral, dan adverbial. Bagian berikutnya membahas predikasi BKm yang dibangun oleh predikat verba transitif. Seperti telah dibahas pada bab IV, verba transitif dapat bersifat ekatransitif dan dwitransitif. Selain itu, ada juga verba semitransitif (verba yang objeknya bersifat manasuka) (lihat Alwi7 2000:91--93). Apabila predikat suatu predikasi ditempati oleh verba transitif, argumen yang dikehendaki predikat tersebut adalah dua atau 144 lebih. Verba ekatransitif menghendaki dua argumen. Sementara verba dwitransitif membutuhkan lebih dari dua argumen. Berikut ini disajikan klausa BKm yang dibangun oleh predikasi yang memiliki predikat verbal transitif. (5.29) a. Bili ala si manu de Bili beli daging ayam Prep ‘Bili membeli daging ayam di pasar’ (5.30) basar pasar b. Mane senua ele ika de Laki-laki DEF cari ikan Prep ‘Laki-laki itu mencari ikan di laut’ tasi laut c. Au-ng he-ng hasa baru ‘1TG-Lig istri-Lig cuci baju ‘Istri saya mencuci baju di sungai’ de Prep holang sungai a. Au ala podi ua baru de Atambua 1TG beli APL 3TG baju Prep Atambua ‘Saya membelikan dia baju di Atambua’ b. Ita-ng Guru ne podi au kokis de 1JM-Lig Guru beri APL 1TG kue Prep ‘Guru saya memberi saya kue di sekolah’ c. Ina solok podi ali osa Ibu kirim APL adik uang ‘Ibu mengirimi adik uang di Kupang’ de Prep isikola sekolah Kupang Kupang Predikasi klausa (5.29) dibangun oleh predikat verbal transitif dan argumen-argumennya juga unsur bukan argumen. Lebih terperinci, predikasi klausa (6.29a) dibangun oleh predikat verbal ala ‘beli’, argumen Bili ‘Bili’ yang berfungsi sebagai subjek gramatikal dan secara semantis berfungsi sebagai agen, dan argumen si manu ‘daging ayam’ yang berfungsi sebagai objek dan secara semantis berfungsi sebagai pasien. Di samping itu, klausa (5.29a) juga memiliki unsur bukan argumen, yaitu de basar ‘di pasar’. Predikasi klausa (5.29b) 145 dibangun oleh predikat verbal ele ‘cari’, argumen mane senua ‘laki-laki itu’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan sebagai agen secara semantis, dan argumen ika ‘ikan’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai objek dan secara semantis berfungsi sebagai pasien. Di samping itu, klausa (5.29b) juga memiliki unsur bukan argumen, yaitu de tasi ‘di laut’. Predikasi klausa (5.29c) dibangun oleh predikat verbal hasa ‘cuci’, argumen aung heng ‘istri saya’ yang secara gramatikal sebagai subjek dan secara semantis berfungsi sebagai agen, dan argumen baru ‘baju’ yang berfungsi sebagai objek dan secara semantis berfungsi sebagai pasien. Di samping itu, klausa (5.29c) juga memiliki unsur bukan argumen, yaitu de hoang ‘di sungai’. Berbeda dengan klausa (5.29) yang dibangun oleh predikat verbal transitif yang mengisyaratkan dua argumen, klausa (5.30) merupakan klausa yang dibangun oleh predikat verbal yang memiliki lebih dari dua argumen. Klausa (5.30) dibangun oleh predikat verbal transitif dan argumen praverbal yang berfungsi sebagai subjek gramatikal dan dua argumen posverbal yang berfungsi sebagai objek tak langsung (O1) dan objek langsung (O2). Lebih terperinci, predikasi klausa (5.30a) dibangun oleh predikat verbal ala ‘beli’, argumen au ‘dia’ yang berfungsi sebagai subjek gramatikal/agen, argumen ua ‘dia’ yang berfungsi sebagai objek tak langsung (O1)/pasien, dan argumen baru ‘baju’ yang berfungsi sebagai objek langsung (O2)/pasien. Di samping itu, klausa (5.30a) juga mengandung unsur bukan argumen, yaitu de Atambua ‘di Atambua’. Predikasi klausa (5.30b) dibangun oleh predikat verbal ne ‘beri’, argumen aung guru ’guru saya’ yang berfungsi sebagai subjek gramatikal/agen, argumen ua ‘saya’ yang 146 berfungsi sebagai objek tak langsung (O1)/pasien, dan argumen kokis ‘kue’ yang berfungsi sebagai objek langsung (O2)/pasien. Di samping itu, klausa (5.30b) juga mengandung unsur bukan argumen, yaitu de isikola ‘di sekolah’. Predikasi klausa (5.30c) dibangun oleh predikat verbal solok ‘kirim’, argumen ina ’ibu’ yang berfungsi sebagai subjek gramatikal/agen, argumen ali ‘adik’ yang berfungsi sebagai objek tak langsung (O1)/pasien, dan argumen osa ‘uang’ yang berfungsi sebagai objek langsung (O2)/pasien. Di samping itu, klausa (5.30c) juga mengandung unsur bukan argumen, yaitu de kupang ‘di Kupang’. Predikasi BKm dengan predikat verba transitif menghendaki dua argumen atau lebih. Kehadiran argumen-argumen tersebut bersifat wajib. Predikasi dengan predikat verbal transitif digambarkan pada tabel berikut. Predikasi Argumen (1) + Predikat + (Argumen(2)) (semitransitif) Adjung + unsur bukan argumen Argumen (1) + Predikat + Argumen (2) (ekatransitif) Argumen (1) + Predikat + Argumen (2) + Argumen (3) (dwitransitif) Tabel 5.4: Predikasi BKm dengan Verba Transitif Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa telaah tentang predikat BKm memiliki peranan yang penting karena predikat merupakan inti (head) sebuah predikasi klausa/kalimat. Telaah predikat BKm pada bagian ini berupaya untuk melihat predikasi dari segi bangun atau konstruksinya saja, 147 bagaimana sebuah predikasi dibentuk dan unsur unsur apa yang membentuk sebuah predikasi dalam BKm. 5.4 Peran Semantis Argumen Bahasa Kemak Peran semantis dalam lingkup kajian fungsi gramatikal penting dikaji karena fungsi gramatikal biasanya mengungkapkan peran semantis dengan cara yang sistematis. Fungsi semantis sering disebut pula dengan peran semantis. Dalam struktur klausa dasar, verba merupakan unsur yang menunjukkan jenis situasi yang biasanya menyatakan beberapa peran yang terlibat dalam sebuah situasi yang diungkapkan predikat (verba). Sebagai contoh, verba kill ‘bunuh’ dalam bahasa Inggris menunjukkan peran semantis killed ‘terbunuh’ dan killer ‘pembunuh’. Verba yang menempati predikat merupakan unsur inti (head) yang menyatakan situasi kebahasaan (state of affairs) yang berbeda-beda yang memengaruhi keterlibatan argumen-argumen yang berbeda-beda pula. Van Valin dan La Polla (1997:141) membagi peran semantik umum menjadi ACTOR dan UNDERGOER. ACTOR merupakan generalisasi peran tipe agen, sedangkan UNDERGOER merupakan generalisasi peran tipe pasien. Dalam kajian tipologi bahasa, istilah ACTOR yang merupakan peran semantik umum sama dengan agen. Sementara, peran semantik umum UNDERGOER sama dengan pasien. Lebih jauh, ACTOR dalam bahasa Inggris berfungsi sebagai subjek yang diisyaratkan oleh verba tertentu dan berperan sebagai agen, tema, pengalam, dan sebagainya yang disebut peran khusus ACTOR. Sementara, UNDERGOER dalam bahasa 148 Inggris berfungsi sebagai OL dan OTL dan berperan sebagai pasien, tema, penerima, instrumen, dan sebagainya, yang disebut peran khusus UNDERGOER. ACTOR merupakan partisipan/argumen yang memengaruhi, memprakarsai, melakukan, dan mengontrol situasi yang dinyatakan oleh predikat, sedangkan UNDERGOER merupakan partisipan/argumen yang tidak melakukan atau mengontrol situasi, tetapi dipengaruhi atau menderita akibat perbuatan yang dinyatakan oleh predikat. ACTOR tidak sama dengan agen begitu pula UNDERGOER tidak sama dengan pasien (Van Valin dan La Polla, 1997: 85--86). Peran semantis khusus argumen bahasa Inggris dapat diilustrasikan dari contoh klausa yang disajikan berikut ini. (5.31) a. Bruce (agen) handed Darlene(penerima) ‘Bruce memberikan Darlene steak’ b. The car (tema) ’Mobil mahal’ is a steak (tema) expensive c. I (pengalami) love Lucy ‘Saya mencintai Lucy’ d. Frederika(penyebab) annoys ‘Frederika menggangu saya’ me(pengalam) e. George(agen/tema) walks from school(sumber) ‘George berjalan dari sekolah’ Berikut disajikan contoh klausa BKm untuk mengungkapkan peran semantis setiap argumen yang dinyatakan oleh predikat (verba). (5.32) a. Atmas senua para au Orang DEF pukul` 1TG ‘Orang itu memukul saya’ 149 b. Ama ala podi ali Ayah beli APL adik ‘Ayah membelikan adik baju’ baru baju c. Roma eto pnaoblabag 3JM lihat pencuri ‘Mereka melihat pencuri’ d. Au tboa gelas senua 1TG memecahkan gelas DEF ‘Saya memecahkan gelas itu’ e. Au-ng ali-ng 1TG-Lig adik-Lig ‘Adik saya jatuh’ mnahu jatuh Konstruksi klausa (5.32a) merupakan konstruksi klausa transitif dengan predikat verbal para ‘pukul’ yang melibatkan dua partispan/argumen, yaitu atmas senua ’orang itu’ yang berfungsi sebagai SUBJ dan au ‘saya’ yang berfungsi sebagai OBJ. Peran semantis umum argumen atmas senua ’orang itu’ adalah ACTOR, sedangkan au ‘saya’ berperan sebagai UNDERGOER. Peran semantis khusus yang dimiliki oleh argumen ACTOR atmas senua ‘orang itu’ adalah sebagai agen, sedangkan argumen UNDERGOER au ‘saya memiliki peran semantis khusus sebagai pasien. Argumen ama ‘ayah’ pada klausa (5.32b) berfungsi sebagai SUBJ dan memiliki peran semantis umum sebagai ACTOR, sedangkan ali ‘adik’ dan baru ‘baju’ berfungsi sebagai OBJ dan memiliki peran semantis umum sebagai UNDERGOER. Ketiga argumen yang membangun klausa tersebut memiliki peran semantis secara khusus, yaitu argumen ama ‘ayah’ yang berperan sebagai agen, argumen ali ‘adik’ berfungsi sebagai penerima, dan argumen baru ‘baju’ berperan sebagai tema. Klausa (5.32c) memiliki dua 150 argumen, yaitu roma ‘mereka’ yang berfungsi sebagai SUBJ dan pnaoblabag ‘pencuri’ yang berfungsi sebagai OBJ. Peran semantis umum yang dimiliki kedua argumen tersebut masing-masing (1) argumen roma ‘mereka’ berperan sebagai ACTOR dengan peran semantis khusus sebagai pengalami dan (2) argumen pnaoblabag ‘pencuri’ berperan sebagai UNDERGOER dengan peran semantis khusus sebagai tema. Klausa (5.32d) memiliki dua argumen yang terdiri atas (1) argumen au ‘saya’ yang berfungsi sebagai SUBJ dan (2) argumen gelas senua ‘gelas itu’ yang berfungsi sebagai OBJ. Peran semantis umum kedua argumen tersebut adalah argumen au ‘saya’ berperan sebagai ACTOR dengan peran semantis khusus sebagai penyebab/causer dan argumen gelas senua ‘gelas itu’ berperan sebagai UNDERGOER dengan peran semantis khusus sebagai tema. Berbeda dengan klausa (5.32a-d), klausa (5.32e) memiliki satu argumen saja, yaitu aung aling ‘adik saya’ yang berfungsi sebagai SUBJ. Argumen tersebut berperan sebagai ACTOR dengan peran semantis khusus sebagai pasien. Pembahasan lebih terperinci terkait dengan peran semantis khusus yang dimiliki oleh setiap argumen yang membangun klausa BKm dapat dilihat pada subsubbagian berikut ini. 5.4.1 Agen Agen merupakan partisipan yang melakukan tindakan, peristiwa, atau menyebabkan sesuatu terjadi yang dinyatakan oleh predikat verba, baik yang disengaja maupun tidak disengaja dengan tujuan tertentu. Peran agen dalam BKm dapat dilihat pada klausa berikut ini. 151 (5.33) a. Mane senua leli ai boteng senua Laki-laki DEF tebang pohon besar DEF ‘Laki-laki itu menebang pohon besar itu’ b. Ali sama au-ng Adik injak 1TG-Lig ‘Adik menginjak tangan saya’ lima-ng tangan-Lig c. Ua hai asu metam senua 3TG\ tendang anjing hitam DEF ‘Dia menendang anjing hitam itu’ d. Au tear hatu senua 1TG lempar batu DEF ‘Saya melempar batu itu’ Argumen praverbal mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (5.33a), ali ‘adik’ pada klausa (5.33b), ua ‘dia’ pada klausa (5.33c), dan au ‘saya’ pada klausa (5.33d) berperan sebagai pelaku/agen. Peran pelaku/agen setiap argumen klausa di atas dengan jelas dinyatakan oleh verba leli ‘menebang’, sama ‘menginjak’, hai ‘menendang’, dan tear ‘melempar’. Argumen mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (5.33a), ali ‘adik’ pada klausa (5.33b), ua ‘dia’ pada klausa (5.33c), dan au ‘saya’ pada klausa (5.33d) dikatakan sebagai pelaku/agen dapat dibuktikan dengan perilaku unsur inti (head) klausa yang dinyatakan oleh predikat verba leli ‘menebang’, sama ‘menginjak’, hai ‘menendang’, dan tear ‘melempar’ yang melibatkan argumen pelaku/agen yang melakukan suatu tindakan atau kegiatan dan argumen yang mengalami peristiwa atau tindakan, seperti yang dinyatakan oleh verba. Misalnya, verba leli ‘menebang’ melibatkan argumen pelaku untuk melakukan tindakan ’menebang’ dan melibatkan argumen yang mengalami tindakan ‘ditebang’. Begitu juga verba sama ’menginjak’ melibatkan argumen 152 pelaku untuk melakukan tindakan ‘menginjak’ dan argumen yang mengalami tindakan/peristiwa ‘diinjak’. Argumen yang sama juga dilibatkan dalam verba hai ‘menedang’ pada klausa (5.33c) dan tear ‘melempar’ pada klausa (5.33d). 5.4.2 Penyebab/Causer Penyebab/causer merupakan partisipan/argumen yang berfungsi sebagai penyebab suatu tindakan atau peristiwa terjadi. Pada dasarnya, penyebab merupakan pelaku dari tindakan, kegiatan atau peristiwa, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja yang menyebabkan timbulnya suatu akibat/tersebab dari tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang dinyatakan oleh verba. Dalam kausatif terdapat dua situasi mikro yang mencakup dua istilah, yaitu penyebab dan tersebab. Dua situasi mikro tersebut digambarkan oleh adanya suatu peristiwa yang terjadi (causing event) yang dilakukan oleh penyebab (causer) yang mengakibatkan tersebab (causee) mengalami suatu kegiatan, peristiwa, atau mengalami perubahan kondisi yang disebabkan oleh tindakan/perbuatan penyebab (causer). Berdasarkan penjelasan di atas terungkap bahwa penyebab (causer) dan tersebab (causee) berada dalam satu kondisi yang saling terkait karena sebuah peristiwa terjadi mengandung dua komponen, yaitu penyebab yang merupakan partisipan/argumen yang menyebabkan terjadinya peristiwa dan tersebab yang merupakan partisipan/argumen yang mengalami peristiwa yang dinyatakan oleh verba yang dilakukan olen penyebab (lihat Andrews dalam Shopen (Ed)., 1992: 153 66--71). Argumen klausa yang berfungsi sebagai penyebab/causer disajikan pada contoh klausa berikut ini.. (5.34) a. Ali tboa ura rae Adik memecahkan periuk tanah ‘Adik memecahkan periuk tanah’ b. Mane senua pule ai sorun senua Laki-laki DEF mematahkan pohon cabang DEF ‘Laki-laki itu mematahkan cabang pohon itu’ c. Au tau soleng au-ng 1TG KAU sedih 1TG-Lig ‘Saya membuat sedih ibu saya’ ina-ng ibu-Lig Contoh klausa (5.34a) di atas mengilustrasikan dua situasi mikro, yaitu penyebab dan tersebab. Verba tboa ‘memecahkan’ melibatkan dua situasi mikro, yaitu argumen ali ‘adik’ yang berperan sebagai penyebab (causer) dan argumen ura rae ‘periuk tanah’sebagai tersebab yang mengalami peristiwa yang diisyaratkan oleh predikat verba. Demikian pula halnya dengan klausa (5.34b dan c). Kedua klausa tersebut juga melibatkan dua argumen yang berperan sebagai penyebab dan tersebab. Pada klausa (5.34b), argumen mane senua ‘laki-laki itu’ berperan sebagai penyebab dan argumen ai sorun senua ‘cabang pohon itu’ berperan sebagai tersebab tindakan penyebab yang dinyatakan oleh verba pule ‘mematahkan’. Hal yang sama juga terlihat pada verba tau soleng ‘buat sedih’ pada klausa (5.34c). Verba tau soleng ‘buat sedih’ merupakan verba yang mewajibkan dua argumen yang berperan sebagai penyebab dan tersebab. Argumen au ‘saya’ berperan sebagai penyebab dan argumen aung inang ‘ibu saya’ berperan sebagai tersebab tindakan yang dilakukan penyebab. 154 5.4.3 Pengalami Parera (1993:125) menyatakan bahwa pengalami merupakan argumen/partisipan yang mengalami atau kena suatu peristiwa psikologis, seperti sensasi, emosi, dan kognisi. Pendapat Parera diperkuat Vab Valin dan Foley (1984:124) yang menyatakan bahwa pengalami merupakan argumen/partisipan yang tidak melakukan, memainkan, memulai, memprakarsai, atau mengontrol tindakan, tetapi lebih cenderung pada argumen/partisipan yang mengalami pengalaman psikologis. Terkait dengan istilah pengalami, secara logika hanya argumen bernyawa yang dapat berperan sebagai pengalami karena argumen yang bernyawa saja yang dapat mengalami proses psikologis, seperti sensasi, emosi, dan kognisi. Akan tetapi, dalam disertasi ini istilah pengalami dipandang secara lebih luas sehingga argumen yang tidak bernyawa pun dapat berperan sebagai pengalami. Peran argumen sebagai pengalami dapat dilihat pada contoh klausa BKm yang disajikan berikut ini. (5.35) a. Ama soleng los Ayah sedih Adv ‘Ayah sangat sedih’ b. Au ber hine koet senua los 1TG suka wanita cantik DEF Adv ‘Saya sangat menyukai wanita cantik itu’ c. Asu boteng senua tau tinaut ua Anjing besar DEF KAU takut 3TG ‘Anjing besar itu menakuti dia’ d. Ina tau bdereng Ibu KAU besar ‘Ibu membersihkan kuali itu’ tasu kuali senua DEF 155 Argumen ama ‘ayah’ yang berfungsi sebagai SUBJ pada klausa (5.35a) berperan sebagai pengalami yang dinyatakan oleh predikat soleng los ‘sangat sedih’. Argumen ama ‘ayah’ dapat pula berperan sebagai pasien. Argumen au ‘saya’ yang berfungsi sebagai SUBJ pada klausa (5.35b) berperan sebagai pengalami yang dinyatakan oleh verba ber ‘suka’. Argumen ua ‘dia’ yang berfungsi sebagai OBJ pada klausa (5.35c) berperan sebagai pengalami yang dinyatakan oleh verba tau tinaut ‘menakuti’. Argumen tasu senua ‘kuali itu’ yang berfungsi sebagai OBJ pada klausa (5.35d) berperan sebagai pengalami yang dinyatakan oleh verba tau bdereng ‘membersihkan’. Jika dicermati lebih jauh, terdapat perbedaan antara klausa (5.35a dan b) dan klausa (5.35c dan d). Perbedaannya terletak pada fungsi argumen yang menjadi pengalami. Pada klausa (5.35a dan b) argumen yang berperan sebagai pengalami berfungsi sebagai SUBJ, sedangkan pada klausa (5.35c dan d) argumen yang berperan sebagai pengalami berfungsi sebagai OBJ. Lebih jauh, argumen pengalami pada klausa (5.35a-c) merupakan argumen pengalami bernyawa. Sementara, argumen pada (5.35d) merupakan argumen pengalami tidak bernyawa. 5.4.4 Tema Tema merupakan peran argumen yang diletakkan di suatu tempat atau argumen yang mengalami suatu perpindahan lokasi. Dalam kalimat dengan verba predikat intransitif, argumen tema secara gramatikal selalu berfungsi sebagai SUBJ. Sementara itu, pada klausa dengan predikat transitif (ekatransitif atau 156 dwitransitif), argumen tema menempati posisi sebagai OBJ. Argumen tema dalam BKm disajikan pada contoh klausa berikut ini. (5.36) a. Roma sole de isikola 3JM jalan Prep sekolah ‘Mereka berjalan ke sekolah’ b. Au lui buku senua de 1TG taruh buku DEF Prep ‘Saya menaruh buku itu di meja’ meja meja c. Ama ala podi ali paru Ayah beli APL adik celana ‘Ayah membelikan adik celana’ Klausa (5.36) mengandung argumen yang berperan sebagai tema. Pada klausa (5.36a), argumen yang berperan sebagai tema adalah argumen roma ‘mereka’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai SUBJ. Argumen roma ‘mereka’ juga dapat berperan sebagai agen. Klausa (5.36b) memiliki argumen buku senua ‘buku itu’ yang berperan sebagai tema dan secara gramatikal argumen tersebut berfungsi sebagai OBJ. Demikian halnya dengan klausa (5.36c) yang memiliki argumen tema paru ‘celana’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai OBJ. 5.4.5 Pasien Pasien, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa merupakan argumen yang mengalami suatu keadaan atau mengalami suatu perubahan keadaan yang dilakukan atau disebabkan oleh tindakan agen yang dinyatakan oleh verba yang terdapat dalam konstruksi tersebut. Argumen pasien dalam klausa BKm tersaji pada contoh klausa berikut ini. 157 (5.37) a. Ami para pnaoblabag IJM pukul pencuri ‘Kami memukul pencuri itu’ senua DEF b. Ina ta si manu odi diir ana Ibu potong daging ayam INST pisau ‘Ibu memotong daging ayam dengan pisau’ c. Ali sama busa senua Adik injak kucing DEF ‘Adik menginjak kucing itu’ Klausa (5.37) merupakan klausa yang mengandung argumen pasien dalam BKm. Argumen pasien pada setiap klausa (5.37a-c) di atas dengan jelas dinyatakan oleh verba yang membangun klausa tersebut, yaitu para ‘pukul’, ta ‘potong, dan sama ‘injak’. Ketiga verba tersebut sudah pasti melibatkan argumen agen sebagai pelaku tindakan dan argumen pasien yang mengalami perubahan atau yang dikenai tindakan yang dilakukan oleh agen. Argumen pasien pnaoblabag senua ‘pencuri itu’ (klausa (5.37a), si manu ‘daging ayam’ (klausa (5.37b), dan busa senua ‘kucing itu’ (klausa 5.37c), secara gramatikal berfungsi sebagai OBJ. 5.4.6 Alat/Instrumen Alat/instrumen digolongkan ke dalam peran argumen noninti. Alat/instrumen merupakan argumen berwujud entitas yang tidak bernyawa yang digunakan oleh agen untuk melakukan suatu tindakan. Misalnya, verba ta ‘potong’ dalam BKm memerlukan alat/instrumen untuk melakukan tindakan yang diungkapkan oleh verba tersebut. Salah satu cara untuk mengidentifikasi argumen alat/instrumen dalam BKm adalah ditandai dengan hadirnya pemarkah odi 158 ‘dengan’ yang hadir sebelum argumen yang berperan sebagai alat/instrumen. Peran argumen yang berfungsi sebagai alat/instrumen disajikan pada contoh klausa BKm di bawah ini. (5.38) a. Ina ta si manu odi diir ana Ibu potong daging ayam INST pisau ‘Ibu memotong daging ayam dengan pisau’ b. Ama leli ai boteng senua odi diir suri Ayah tebang pohon besar DEF INST parang ‘ Ayah menebang pohon besar itu dengan parang’ c. Atmas senua sali ika odi blaki Orang DEF tangkap ikan INST tombak ‘Orang itu menangkap ikan dengan tombak’ Klausa (5.38) di atas merupakan klausa yang menghadirkan argumen (noninti) yang berperan sebagai alat/instrumen. Kehadiran argumen alat/instrumen tersebut ditandai dengan hadirnya pemarkah odi ‘dengan‘ yang menempati posisi sebelum argumen yang dimarkahi. Pada klausa (5.38a), argumen diir ana ’pisau’ berperan sebagai alat/instrumen yang digunakan oleh agen ina ‘ibu’ untuk melakukan tindakan yang dinyatakan oleh verba ta ‘potong’. Hal yang sama juga terlihat pada klausa (5.38b dan c). Argumen diir suri ‘parang’ pada klausa (5.38b) dan blaki ‘tombak’ pada klausa (5.38c) berperan sebagai alat/instrumen yang digunakan oleh agen untuk melakukan tindakan yang dinyatakan oleh verba leli ‘tebang’ (klausa 5.38b) dan verba sali ‘tangkap’ (klausa (5.38c). Kedua argumen alat/instrumen tersebut ditandai dengan hadirnya pemarkah odi ‘dengan’. 159 5.4.7 Benefaktif/Pemanfaat Benefaktif atau pemanfaat merupakan argumen yang menjadi acuan atau argumen yang mendapat manfaat atau keuntungan atas tindakan yang dilakukan oleh agen. Peran argumen benefaktif atau pemanfaat dapat dilihat pada klausa BKm yang disajikan berikut ini. (5.39) a. Pius ala podi Maria henu Pius beli APL Maria kalung ‘Pius membelikan Maria kalung’ b. Ama ne podi au osa Ayah beri APL 1TG uang ‘Ayah memberikan saya uang’ c. Ina tau podi ama Ibu buat APL ayah ‘Ibu membuatkan ayah kopi’ kohi kopi Klausa (5.39) mengandung argumen yang mendapatkan keuntungan atau manfaat dari tindakan yang dilakukan agen. Argumen Maria ‘Maria’ pada klausa (5.39a) merupakan argumen benefaktif yang mendapatkan keuntungan dari tindakan yang dilakukan oleh agen yang dinyatakan oleh verba ala ‘beli’. Pada klausa (5.39b) argumen au ‘saya’ berperan sebagai benefaktif dari tindakan yang dilakukan agen yang dinyatakan oleh verba ne ‘beri’. Hal yang sama juga terungkap dalam klausa (5.39c). Argumen ama ‘ayah’ merupakan benefaktif pada klausa tersebut. Lebih jauh, klausa (5.39) di atas juga menunjukkan bahwa untuk membentuk klausa yang mengandung argumen benefaktif/pemanfaat diperlukan kehadiran pemarkah aplikatif podi. 160 5.4.8 Resipien/Penerima Resipien atau penerima merupakan argumen yang mirip dengan benefaktif dan tujuan. Pada dasarnya penerima merupakan argumen bernyawa yang menerima sesuatu dari agen yang dinyatakan oleh predikat verba, sementara tujuan lebih kepada argumen yang tidak bernyawa. Jika dibandingkan, baik penerima maupun benefaktif, sama-sama menerima sesuatu. Akan tetapi, benefaktif lebih mengacu kepada keuntungan atau manfaat, sedangkan penerima hanya bertindak sebagai penerima yang menerima sesuatu dari agen yang dapat dikatakan tidak mengandung unsur keuntungan atau manfaat. (5.40) a. Au solok podi ina 1TG kirim APL ibu ‘Saya mengirimi ibu surat’ surat surat b Au solok surat de ina 1TG kirim surat Prep ibu ‘Saya mengirim surat kepada ibu’ (5.41) a. Au pegegini podi 1TG pinjam APL ‘Saya meminjami adik buku’ ali adik buku buku b. Au pegegini buku de ali 1TG pinjam buku Prep adik ‘Saya meminjamkan buku kepada adik’ Argumen ina ‘ibu’ pada klausa (5.40a) dan (5.40b) merupakan argumen yang berfungsi sebagai penerima. Argumen ina ‘ibu’ pada klausa (5.40a) hadir dengan pemarkah aplikatif podi, sedangkan argumen ina ‘ibu’ pada klausa (5.40b) hadir dengan pemarkah preposisi de. Hal yang sama dapat dicermati pula pada klausa (5.41 a) dan (5.41b). Argumen ali ‘adik ‘ merupakan argumen yang berperan sebagai penerima dari tindakan yang dilakukan oleh agen yang 161 dinyatakan oleh predikat verbal. Argumen ali ‘adik’ pada klausa (5.41a) dimarkahi oleh pemarkah aplikatif podi, sedangkan argumen penerima pada klausa (5.41b) dimarkahi oleh preposisi de. 5.4.9 Sumber/Asal Peran sumber atau asal mengacu kepada variasi kasus yang melibatkan situasi yang ambigu antara penerima dan sasaran. Jika dalam sebuah konstruksi terdapat perpindahan OBJ, posisi akhir tempat berpindahnya OBJ merupakan penerima. Sementara, jika argumen yang berfungsi sebagai OBJ bergerak, argumen pada posisi akhir merupakan tujuan. Peran sumber/asal melibatkan argumen dalam situasi yang sama pada posisi awal—SUBJ merupakan sumber dan OBJ merupakan tema. Predikat verbal yang berbeda menyebabkan tidak semua SUBJ merupakan argumen sumber karena argumen sumber berfungsi pula sebagai OBL yang dimarkahi oleh preposisi dase. Di samping itu, argumen yang beperan sebagai sumber dapat pula berperan sebagai agen, seperti yang terlihat pada klausa BKm berikut ini. (5.42) a. Ama ne podi au osa Ayah beri APL 1TG uang ‘Ayah memberikan saya uang’ b. Au toma osa dase ama 1TG dapat uang Prep ayah ‘Saya mendapat uang dari ayah’ Argumen ama ‘ayah’ pada klausa (5.42a) merupakan argumen yang berperan sebagai sumber/asal yang secara gramatikal argumen tersebut berfungsi sebagai SUBJ. Situasi sebaliknya terjadi pada klausa (5.42b). Argumen sumber 162 ama ‘ayah’ pada klausa tersebut secara gramatikal berfungsi sebagai OBL yang dimarkahi preposisi dase. 5.4.10 Tujuan Peran argumen tujuan memiliki kemiripan dengan peran argumen penerima. Perbedaannya terletak pada entitas bernyawa dan tidak bernyawa. Peran argumen tujuan lebih cenderung sebagai argumen yang tidak bernyawa. Sementara, penerima lebih cenderung sebagai argumen yang bernyawa. Di samping itu, perbedaan antara penerima dan tujuan terlihat pada pemarkah yang memarkahi kedua argumen tersebut. Argumen penerima dapat dimarkahi oleh pemarkah aplikatif podi dan preposisi, sementara argumen tujuan hanya dapat dimarkahi oleh preposisi, seperti yang tersaji pada contoh klausa BKm berikut ini. (5.43) a. Ama solok osa de Kupang Ayah kirim uang Prep Kupang ‘Ayah mengirim uang ke Kupang’ b. Roma sole de isikola 3JM jalan Prep sekolah ‘Mereka pergi ke sekolah’ Argumen Kupang ‘Kupang’ dan argumen isikola ‘sekolah’ pada klausa (5.43) merupakan argumen yang berperan sebagai tujuan. Jelas bahwa kedua argumen yang berperan sebagai tujuan tersebut merupakan entitas yang tidak bernyawa. Di samping itu, ciri argumen tujuan juga terlihat dengan pemarkah yang memarkahi argumen tujuan, yaitu preposisi. 163 5.4.11 Lokatif Peran argumen lokasi merupakan peran argumen yang mengacu kepada tempat. Argumen lokatif ini berfungsi sebagai adjung sehingga argumen yang berperan sebagai lokatif merupakan argumen noninti/OBL. Klausa berikut menyajikan argumen lokatif dalam BKm. (5.44) a. Roma ala baru de basar 3JM beli baju Prep pasar ‘Mereka membeli baju di pasar’ b. Au eto guru koet de isikola 1TG lihat guru cantik Prep sekolah ‘Saya melihat guru cantik di sekolah’ Argumen basar ‘pasar dan isikola ‘sekolah’ pada klausa (5.44) di atas merupakan argumen yang berperan sebagai lokatif. Kedua argumen tersebut dimarkahi preposisi. Contoh klausa dan uraian yang disajikan di atas menunjukkan bahwa BKm memiliki peran semantis umum argumen, yaitu ACTOR dan UNDERGOER. Peran semantis umum argumen BKm tersebut dapat diperinci menjadi peran-peran semantis khusus yang meliputi agen, penyebab/causer, pengalami, tema, pasien, alat/instrumen, benefaktif/pemanfaat, resipien/penerima, sumber/asal, tujuan, dan lokatif. Satu argumen dapat memiliki peran lebih dari satu, misalnya dalam kalimat au ne podi ua osa ‘saya memberikan dia uang‘. Argumen au ‘saya’ yang berfungsi sebagai SUBJ memiliki dua peran semantik, yaitu sebagai sumber dan sekaligus sebagai agen. 164 5.5 Tipe Semantis Verba Bahasa Kemak Bagian sebelumnya telah menguraikan predikasi BKm yang mencakup predikat dan struktur argumen BKm dan peran semantis argumen BKm yang meliputi peran semantis umum, yaitu ACTOR dan UNDERGOER yang dijabarkan ke dalam peran semantis khusus: agen, pasien, penyebab/causer, pengalami, tema, penerima, sumber, benefaktif, instrumen/alat, dan lokatif (lihat juga Andrews dalam Shopen (ed.), 1992: 71--70). Telah diuraikan pula bahwa predikasi BKm dapat dibangun oleh predikat verbal dan nonverbal, dan argumen-argumen yang diisyaratkan hadir oleh predikat, serta terdapat pula unsur bukan argumen yang hadir dalam predikasi BKm. Bagian ini menitikberatkan pada pembahasan tentang tipe semantis verba BKm terkait dengan pembahasan tipologis sintaksis suatu bahasa berkaitan erat dengan predikat klausa/kalimat yang ditempati unsur verbal. Bab IV disertasi ini telah menguraikan secara singkat tentang sistem morfologi verba BKm yang mencakup pembahasan verba BKm beserta proses morfologis yang ditemukan dalam BKm. Bab tersebut sama sekali tidak mengungkapkan atau menguraikan secara lebih terperinci tentang tipe semantis verba BKm. Oleh karena itu, pada subbagian disertasi ini dibahas tentang tipe semantis verba BKm. Terkait dengan pembahasan tipe semantis verba BKm, Van Valin dan LaPolla (1997:83) mengungkapkan bahwa bahasa memiliki fungsi komunikatif. Fungsi komunikatif bahasa adalah untuk mengungkapkan fenomena alam yang muncul di dunia. Lebih jauh, Van Valin dan LaPolla (1997:83) menguraikan 165 bahwa fenomena alam yang diungkapkan oleh bahasa dapat dibedakan menjadi empat kelompok situasi kebahasaan (state of affairs) sebagai berikut. (1) Keadaan merupakan situasi kebahasaan yang bersifat statis atau nondinamis yang mencakup lokasi partisipan, situasi atau kondisi partisipan, dan pengalaman partisipan. (2) Peristiwa merupakan situasi kebahasaan yang terjadi secara spontan. (3) Proses merupakan situasi kebahasaan yang menggambarkan perubahan dan perubahan tersebut memakan waktu yang lama atau perubahan yang terjadi membutuhkan waktu yang lama. (4) Aksi merupakan situasi kebahasaan yang bersifat dinamis. Sifat dinamis ini digambarkan oleh partisipan dengan melakukan suatu tindakan. Keempat situasi kebahasaan tersebut melibatkan situasi yang bervariasi karena mengandung dimensi yang meliputi (1) jumlah argumen/partisipan yang terlibat, (2) titik akhir, dan (3) spontanitas. Satu situasi kebahasaan yang sama dapat memiliki situasi yang berbeda dengan situasi kebahasaan dalam kelompoknya jika jumlah argumennya berbeda. Titik akhir merupakan dimensi lain yang juga dapat memengaruhi suatu situasi kebahasaan tertentu apabila satu situasi kebahasaan memiliki titik akhir dibandingkan dengan situasi kebahasaan yang tidak memiliki titik akhir. Berikut ini disajikan klausa BKm yang mengungkapkan situasi kebahasaan yang berbeda-beda. (5.45) a. Au-ng ali-ng 1TG-Lig adik-Lig ‘Adik saya takut’ tinaut takut 166 b Au-ng ali-ng tinaut asu metam senua 1TG-Lig adi-Lig takut anjing hitam DEF ‘Adik takut anjing hitam itu (5.46) a. Gelas senua mnahu Gelas DEF jatuh ‘Gelas itu jatuh’ b. Au tau mnahu 1TG KAU jatuh ‘Saya menjatuhkan gelas itu’ (5.47) Ina taua uta Ibu masak sayur ‘Ibu memasak sayur’ (5.48) Au para ana senua 1TG pukul anak DEF ‘Saya memukul anak itu’ gelas senua gelas DEF Klausa di atas menggambarkan empat situasi yang berbeda dalam BKm. Klausa (5.45a dan b) menggambarkan situasi kebahasaan keadaan; klausa (5.46a dan b) menggambarkan situasi kebahasaan peristiwa; klausa (5.47) menggambarkan situasi kebahasaan yang berbeda, yaitu situasi kebahasaan proses; dan klausa (5.48) menggambarkan situasi kebahasaan aksi. Jika dicermati lebih jauh, klausa (5.45a) dan klausa (5.45b) memiliki perbedaan. Perbedaannya terletak pada dimensi jumlah argumen yang terlibat dalam situasi kebahasaan tersebut. Klausa (5.45a) memiliki satu argumen, yaitu aung aling ‘adik saya’, sedangkan klausa (5.45b) memiliki dua argumen, yaitu aung aling ‘adik saya’ dan asu metam senua ‘anjing hitam itu’. Berdasarkan kedua situasi kebahasaan tersebut terungkap bahwa perasaan takut aung aling ‘adik saya’ pada klausa (5.45a) tidak diketahui penyebab pastinya, sementara perasaan takut aung aling 167 ‘adik saya’ pada klausa (5.45b) disebabkan oleh asu metam senua ‘anjing hitam itu’. Perbedaan juga terlihat pada klausa (5.46). Klausa (5.46a) hanya melibatkan satu argumen, yaitu gelas senua ‘gelas itu’, sementara pada klausa (5.46b) melibatkan dua argumen, yaitu argumen au ‘saya’ dan gelas senua ‘gelas itu’. Perbedaan situasi kebahasaan pada klausa (5.46) terungkap pula bahwa pada klausa (5.46) peristiwa gelas senua mnahu ‘gelas itu jatuh’ tidak pernah diketahui penyebabnya, mungkin bisa disebabkan oleh angin, binatang, atau oleh seseorang, sementara pada klausa (5.46) peristiwa gelas senua mnahu ‘gelas itu jatuh’ sudah pasti disebabkan oleh argumen au ‘saya’, baik disengaja maupun tidak disengaja. Klausa (5.47) yang menyatakan situasi kebahasaan proses melibatkan dua partisipan, yaitu ina ‘ibu’ melakukan aktivitas memasak uta ‘sayur’. Aktivitas yang dilakukan ini memerlukan sebuah proses dan membutuhkan waktu dari sayur yang sebelumnya masih mentah dan menjadi sayur yang siap dimakan setelah proses memasak. Klausa (5.48) jelas sekali menggambarkan situasi kebahasaan yang menyatakan aksi yang melibatkan dua argumen, yaitu au ‘saya’ yang merupakan argumen yang melakukan aksi para ‘memukul’ dan argumen ana senua ‘anak itu’ yang merupakan argumen yang dikenai aksi/tindakan yang dilakukan oleh argumen au ‘saya’. Berdasarkan uraian di atas, empat situasi kebahasaan tersebut dapat dinyatakan dengan mengacu kepada tipe semantis verba yang didasarkan pada aktionsart, yaitu (1) situasi kebahasaan yang menyatakan situasi/keadaan dinyatakan verba state/keadaan, (2) situasi kebahasaan yang menyatakan peristiwa 168 dapat dinyatakan verba achievement, (3) situasi kebahasaan yang menyatakan proses dapat dinyatakan verba accomplishment, dan (4) situasi kebahasaan yang menyatakan aksi dapat dinyatakan verba aktivitas. Keempat tipe semantis verba yang mengacu kepada aktionasart ditentukan berdasarkan tiga sifat, yaitu (1) statis, (2) telis, dan (3) ketepatan waktu (pungtual). Tabel (5.5) di bawah menyajikan tipe semantis verba yang didasarkan pada aktionasart untuk menghindari tumpang tindihnya tipe semantis verba terkait dengan pembahasan perubahan valensi verba. Situasi Kebahasaan Tipe Semantik Verba 1 2 3 4 5 Keadaan Peristiwa Proses Aksi Keadaan [+statis] [-telis] [-tepat waktu] Achievement [-statis] [-telis] [-tepat waktu] Accomplishment [-statis] [+telis] [-tepat waktu] Aktivitas [-statis] [+telis] [+tepat waktu] tinaut ‘takut’ bue ‘tidur’ koleng ‘lelah’ ber ‘menyukai’ gabarang ‘sakit’ mnahu ‘jatuh’ teta ‘patah’ kariang ‘tumpah’ tura ‘putus’ apan ‘hancur’ tau ‘buat’ sana ‘asah’ taua ‘masak’ para ‘pukul’ ele ‘cari’ hai ‘tendang’ telu’u ‘sambung’ estuda ‘belajar’ enu ‘minum’ dale ‘bicara’ Tabel 5.5: Tipe Semantis Verba Bahasa Kemak Pembagian tipe semantis verba BKm yang disajikan pada tabel (5.5) di atas mengungkapkan bahwa (1) situasi kebahasaan yang menyatakan keadaan/situasi dinyatakan oleh verba state/keadaan, seperti verba tinaut ‘takut, bue ‘tidur’, dan koleng ‘sedih’; (2) situasi kebahasaan yang menyatakan peristiwa dinyatakan oleh verba achievement, seperti verba mnahu ‘jatuh’, teta ‘patah’, dan kariang ‘tumpah’; (3) situasi kebahasaan yang menyatakan proses dinyatakan verba accomplishment, seperti verba tau ‘buat’, taua ‘masak’, dan sana ‘asah’; 169 serta (4) situasi kebahasaan yang menyatakan aksi dinyatakan oleh verba aktivitas, seperti ele ‘mencari’, para ‘memukul’, dan dale ‘berbicara’. Sifat statis merupakan hal yang mendasar yang digunakan untuk membedakan antara verba yang menyatakan tindakan dan verba yang tidak menyatakan tindakan. Ciri statis dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah sebuah verba bersifat statis atau tidak. Statis dan tidak statisnya verba dapat diidentifikasi dengan mengacu kepada pertanyaan ”apa yang terjadi atau apa yang sedang terjadi?” Jika verba tersebut bersifat tidak statis, verba tersebut dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Sebaliknya, jika verba tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, verba tersebut merupakan verba statis. Berikut disajikan klausa BKm yang menggambarkan sifat statis dan tidak statis verba. (5.49) a. Hine koet senua tinaut Wanita cantik DEF takut ‘Wanita cantik itu takut’ b. Au tau tinaut hine koet senua 1TG KAU takut wanita cantik DEF ‘Saya menakuti wanita cantik itu’ Klausa (5.49) di atas mengungkapkan situasi kebahasaan yang [+statis] dan [-statis]. Sifat [+statis] tergambar pada klausa (5.49a), sedangkan sifat [statis] tergambar pada klausa klausa (5.49b). Sifat [+statis] situasi tinaut ‘takut’ dapat diidentifikasi karena situasi tersebut tidak dapat menjawab pertanyaan “apa yang terjadi atau apa yang sedang terjadi?”; sedangkan sifat [-statis] pada klausa (5.49b) dapat diidentifikasi karena situasi tersebut dapat menjawab pertanyaan apa yang terjadi atau apa yang sedang terjadi?”. 170 Sifat [+telis] situasi dapat diidentifikasi berdasarkan titik akhir yang dimiliki oleh suatu situasi kebahasaan. Apabila situasi tidak memiliki titik akhir, situasi tersebut dapat diidentifikasi sebagai [-telis]. Sementara, apabila situasi memiliki titik akhir, situasi tersebut merupakan situasi [+telis]. Berikut disajikan klausa BKm yang menyatakan situasi [+telis] dan [-telis]. (5.50) a. Atmas senua bue Orang DEF tidur ‘Orang itu tidur’ b. Ali betu busa senua Adik tendang kucing DEF ‘Adik menendang kucing itu’ Klausa (5.50) memggambarkan situasi [-telis] dan situasi [+telis] dalam BKm. Klausa (5.50a) merupakan situasi [-telis] karena situasi yang digambarkan oleh verba bue ‘tidur’ tidak memiliki titik akhir. Kapan berakhirnya situasi tersebut tidak dapat diketahui. Sebaliknya, klausa (5.50b) menggambarkan situasi [+telis] yang tersirat oleh makna inheren verba betu ‘tendang’ yang memiliki titik akhir. Titik akhir situasi tesebut adalah ketika kucing tertendang. Sifat [+pungtual] atau ketepatan waktu sebuah situasi dapat diidentifikasi berdasarkan waktu sebuah situasi berlangsung. Sebuah situasi yang membutuhkan waktu atau proses untuk menyatakan sebuah situasi terjadi atau situasi tidak bersifat spontan dikatakan memiliki sifat [-pungtual]. Sementara itu, sebuah situasi yang secara singkat dapat menyatakan sebuah situasi terjadi atau secara spontan dikatakan memiliki sifat [+pungtual]. Berikut contoh kausa BKm yang mengungkapkan situasi [+pungtual] dan [-pungtual]. 171 (5.51) a. Ua unu atmas senua 3TG tusuk orang DEF ‘Dia menusuk orang itu’ b. Ina sego ika Ibu goreng ikan ‘Ibu menggoreng ikan’ Klausa (5.51) merupakan klausa yang menggambarkan dua situasi yang berbeda, yaitu [+pungtual] dan [-pungtual]. Klausa (5.51a) mengungkapkan situasi [+pungtual] karena situasi yang diungkapkan verba unu ‘tusuk’ memiliki tingkat ketepatan waktu yang tinggi dibandingkan dengan situasi yang diungkapkan verba sego ‘goreng’. Berdasarkan uraian di atas, situasi kebahasaan (state of affairs) BKm dinyatakan dengan empat tipe semantis verba yang mengacu kepada aktionasart yang ditentukan berdasarkan tiga sifat, yaitu (1) statis, (2) telis, dan (3) ketepatan waktu (pungtual). Empat tipe semantis verba BKm meliputi (1) verba keadaan— diungkapkan dengan verba situasi, seperti tinaut ‘takut dan bue ‘tidur’; (2) verba achievement—diungkapkan dengan verba peristiwa, seperti mnahu ‘jatuh’ dan teta ‘patah’; (3) verba accomplishment—diungkapkan dengan verba proses, seperti taua ‘masak’ dan tau ‘buat’; serta (4) verba aktivitas—diungkapkan dengan verba aksi, seperti tutu ‘pukul’ dan betu ‘tendang’. 5.6 Frasa Verbal Bahasa Kemak Bagian sebelumnya telah membahas tipe semantis verba yang menyangkut tipe-tipe verba yang dapat menempati posisi predikat klausa dan implikasi tipe verba tersebut terhadap jumlah argumen yang terlibat dalam klausa. Pembahasan 172 tentang frasa verbal terkait erat pula dengan pembahasan tentang tipe semantis verba karena frasa verbal dibentuk oleh verba sebagai unsur utama (head) dan dapat disertai oleh unsur-unsur lain dalam sebuah klausa atau kalimat. Frasa verbal merupakan frasa yang unsur intinya adalah verba dan biasanya dapat disertai oleh unsur-unsur, seperti kala, aspek, modus, negasi, dan adverbial yang berfungsi sebagai modifier frasa. Konstruksi FV BKm yang disertai dengan modifier dapat hadir pada posisi praverbal, seperti tersaji pada klausa berikut ini. (5.52) a. Au ei mai de isikola 1TG akan datang Prep sekolah ‘Saya akan datang ke sekolah besok’ matamai besok b. Ama ti no osa Ayah tidak punya uang ‘Ayah tidak mempunyai uang’ c. Ali hei a sele Adik masih makan jagung ‘Adik sedang makan jagung’ d. Roma los la de Kupang 3JM harus pergi Prep Kupang ‘Mereka harus pergi ke Kupang’ Klausa (5.52) merupakan klausa BKm yang dibangun oleh FV sebagai inti. Klausa (5.52a) dibangun oleh PV ei mai de isikola matamai ‘akan datang ke sekolah besok’, klausa (5.52b) dibangun oleh FV ti no osa ‘tidak punya uang’, klausa (5.52c) dibangun oleh FV hei a sele ‘sedang makan jagung’, dan klausa (5.52d) dibangun oleh FV los la de Kupang ‘harus pergi ke Kupang’. Lebih jauh, setiap FV yang membangun klausa (5.52) disertai pula oleh aspek, negasi, dan modus, yaitu aspek futuratif ei ‘akan’ pada kluasa (5.52a), negasi ti ‘tidak’ pada 173 klausa (5.52b), aspek kontinuatif hei ’sedang’ pada klausa (5.52c), dan modus los ‘harus’ pada klausa (5.52d). Baik aspek futuratif ei ‘akan’, aspek kontinuatif hei ‘sedang’, maupun negasi ti ‘tidak’ dan modus los ‘harus’, semuanya hadir menempati posisi sebelum verba (praverbal). Berikut ini disajikan klausa BKm yang dibangun oleh FV yang disertai oleh unsur lain yang menempati posisi setelah verba (posverbal). (5.53) a. Au-ng ali-ng nagi 1TG-Lig Adik-Lig berenang ‘Adik saya bisa berenang di sungai’ mloing bisa de Prep holang sungai b. Hine senua hali kasai dase Atambua Wanita DEF pulang sudah Prep Atambua ‘Wanita itu sudah pulamg dari Atambua’ Klausa (5.53) merupakan klausa yang dibangun FV nagi mloing de holang ‘bisa berenang di sungai’ pada klausa (5.53a) dan hali kasai dase Atambua ‘sudah pulang dari Atambua’. Kedua FV tersebut disertai modus mloing ‘bisa’ pada klausa (5.53a) dan aspek perfektif kasai ‘sudah/telah’ pada klausa (5.53b) yang hadir atau menempati posisi setelah verba (posverbal). Berikut ini disajikan klausa BKm yang disertai oleh negasi yang merupakan gabungan dari negasi ti ‘tidak’ dan aspek perfektif hei ‘sudah’ yang membentuk makna ‘belum’ dan ‘tidak bisa’. (5.54) a. Atmas senua ti ruis hei Orang DEF tidak mandi sudah ‘Orang itu belum mandi’ b. Au-ng he-ng ti hali mloing dase 1TG-Lig istri-Lig tidak pulang bisa Prep ‘Istri saya tidak bisa pulang dari kota’ Kota Kota 174 c. Au los baca mloing 1TG harus baca bisa ‘Saya harus bisa membaca’ Klausa (5.54) menunjukkan bahwa klausa BKm dibangun oleh FV yang disertai unsur negasi yang menempati posisi sebelum verba (praverbal) dan aspek perfektif yang menempati posisi setelah verba (posverbal). Klausa (5.54a) dibangun oleh negasi ti ‘tidak’ yang hadir di sebelah kiri atau sebelum verba ruis ‘mandi’ dan aspek perfektif hei ‘sudah’ yang hadir di sebalah kanan atau setelah verba ruis ‘mandi’. Klausa (5.54b) dibangun negasi ti ‘tidak’ yang hadir di sebelah kiri verba hali ‘pulang’ dan modus mloing ‘bisa’ yang hadir di sebelah kanan verba hali ‘pulang’. Pada klausa (5.54c), modus los ‘harus’ hadir di sebelah kiri verba baca ‘baca’ dan modus mloing ‘bisa’ yang hadir di sebelah kanan verba baca ‘baca’. Berikut disajikan klausa BKm yang dibangun oleh FV yang disertai dua unsur yang menempati posisi, baik sebelum verba maupun sesudah verba. (5.55) a. Au ti ei hali de 1TG tidak akan pulang Prep ‘Saya tidak akan pulang ke rumah’ uma rumah b. Kepala desa senua ti los botu Kepala desa DEF tidak harus bertemu ‘Kepala desa tidak harus bertemu saya’ au 1TG c. Ali nagi kasai mloing ‘Adik berenang sudah bisa’ ‘Adik sudah bisa berenang’ Klausa (5.55) dibangun oleh FV yang ditempati oleh verba sebagai inti (head) dan unsur lain yang menyertainya. Terdapat dua unsur lain yang menyertai FV pada klausa (5.55), yaitu negasi ti ‘tidak’ dan aspek futuratif ei ‘akan’ pada 175 klausa (6.55a), negasi ti ‘tidak’ dan modus los ‘harus’ pada klausa (5.55b). Kedua gabungan unsur yang menyertai klausa (5.55a) dan klausa (5.55b) menempati posisi sebelum verba (praverbal). FV pada klausa (5.55c) juga disertai oleh dua unsur, yaitu aspek perfektif kasai ‘sudah’ dan modus mloing ‘bisa’. Kedua unsur yang menyertai verba tersebut berada di sebelah kanan verba atau sesudah verba. BKm memiliki FV yang dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus, dan negasi yang menempati posisi sebelum verba (praverbal) dan setelah verba (posverbal). Aspek ei ‘akan’ dan hei ‘sedang’ menempati posisi sebelum verba, sedangkan aspek kasai ‘sudah’ berada setelah verba. Modus mloing ‘bisa’ menempati posisi setelah verba dan modus los ‘harus’ menempati posisi sebelum verba. Negasi ti ‘tidak’ menempati posisi sebelum verba. Di samping dapat disertai satu unsur aspek, modus, dan negasi, FV BKm juga dapat dibentuk oleh verba dan disertai oleh gabungan dua unsur, antara negasi dan aspek, seperti ti + ei ‘tidak+akan’ dalam kalimat au ti ei hali de uma ‘saya tidak akan pulang ke rumah’; negasi+modus, seperti ti+V+mloing ‘tidak+V+bisa’ dalam kalimat aung heng ti hali mloing dase Kota ‘istri saya tidak bisa pulang dari kota’; modus+modus, seperti los+V+mloing ‘harus+V+bisa’ dalam kalimat au los baca mloing ’saya harus bisa membaca’; dan aspek + modus, seperti kasai mloing ‘sudah bisa’ dalam kalimat Ali nagi kasai mloing ‘adik sudah bisa berenang’. 5.7 Serialisasi Verba Bahasa Kemak Bagian sebelumnya telah menguraikan klausa BKm yang dibangun oleh FV yang terdiri atas verba dan unsur-unsur, seperti aspek, negasi, dan modus. 176 Pembahasan tentang serialisasi verba pada bagian ini menjadi satu kesatuan dengan pembahasan-pembahasan dalam bab ini karena klausa atau kalimat dalam BKm tidak saja dapat dibangun oleh FV yang mengandung satu verba tunggal, tetapi juga dapat dibangun oleh serangkaian verba yang berfungsi sebagai satu predikat tunggal. Aikhenvald (2006:1) mengungkapkan bahwa serialisasi verba merupakan konstruksi yang dibentuk lebih dari satu verba. Semua verba yang membangun serialisasi verba tersebut merupakan predikat tunggal yang tidak mengizinkan adanya pemarkah dependensi sintaksis arntarkomponen yang membentuknya. Klausa dengan serialisasi verba memiliki khazanah intonasi sebagai klausa dengan verba tunggal sehingga tidak membutuhkan perbedaan intonasi antara komponennya. Konstruksi serialisasi verba hanya memiliki satu penanda kala, aspek, modus, modalitas, dan diatesis yang menyatakan satu kejadian tunggal. Lord (1997: 2) juga mengungkapkan bahwa serialisasi verba merupakan konstruksi yang dibangun oleh beberapa verba yang mengungkapkan satu peristiwa tunggal yang diungkapkan secara berurutan oleh verba yang membentuknya. Urutan verba dalam serialisasi verba ini biasanya diawali verba aksi atau verba keadaan dan verba yang mengikutinya biasanya menggambarkan perkembangan, akibat, hasil, tujuan, atau titik puncak. Senada dengan kedua pendapat ahli tersebut di atas, Durie (1997: 291) menyatakan bahwa serialisasi verba terbentuk karena dua verba atau lebih berada dalam posisi yang berdampingan dan verba-verba tersebut bertindak sebagai satu predikat tunggal. Komponen verba yang membentuk serialisasi verba dapat 177 diikat, baik secara sintaksis maupun secara morfologis. Verba yang membentuk serialisasi verba secara bersama-sama membagi argumen inti. Tidak ada argumen dalam konstruksi serialisasi yang hanya dimilikikan oleh satu verba dalam konstruksi serialiasi verba tersebut. Lebih lanjut, verba-verba yang membentuk serialisasi verba ini tidak memiliki hubungan koordinasi, subordinasi, tidak dapat memiliki penanda kala, modus, aspek, dorongan ilokusi, dan negasi secara tersendiri. Berdasarkan ketiga pendapat tersebut di atas, dapat ditarik benang merah bahwa konstruksi serialisasi verba pada prinsipnya merupakan konstruksi monoklausal yang terbentuk dari paling tidak dua verba inti yang saling berdampingan dan tidak memiliki hubungan komplementasi, yaitu hubungan antara atasan dan bawahan. Klausa BKm berikut menggambarkan konstruksi verba serial (KVS) yang dibangun oleh dua verba. (5.56) a. Ami ber ala baru de 2JM suka beli baju Prep ‘Kamu suka membeli baju di kota’ b. Ita la ruis de 1JM pergi mandi Prep ‘Kita pergi mandi di sungai’ kota kota holang sungai c. Au mai nita osa 1TG datang minta uang ‘Saya datang minta uang’ d. Au-ng ama-ng e enu kohi 1TG-Lig ayah-Lig ingin minum kopi ‘Ayah saya ingin| minum kopi’ 178 e. Pius la soi bea de Pius pergi timba air Prep ‘Pius pergi menimba air di sumur’ bea air matang mata f. Roma bebe’i tutu atmas senua 3JM ikut pukul orang DEF ‘Mereka ikut memukul orang itu’ Klausa (5.56) merupakan klausa tunggal atau klausa sederhana yang dibangun oleh FV yang ditempati oleh verba serial yang terdiri atas dua verba. Klausa (5.56a) memiliki predikat yang ditempati verba serial ber ala ’suka membeli’, klausa (5.56b) memiliki predikat verba serial la ruis ‘pergi mandi’, klausa (5.56c) memiliki predikat verba serial mai nita ‘datang minta’, klausa (5.56d) memiliki predikat verba serial e enu ‘ingin minum’, klausa (5.56e) memiliki predikat verba serial la soi ‘pergi timba’, dan klausa (5.56f) memiliki predikat verba serial bebe’i tutu ‘ikut pukul’. Lebih jauh, konstruksi verba serial dengan dua verba berperilaku seperti verba tunggal atau sederhana yang menjalankan fungsi predikat sebuah klausa atau kalimat. Fungsi gramatikal subjek pada konstruksi verba serial menjadi subjek bersama bagi kedua verba yang membentuk konstruksi verba serial, seperti pada klausa (5.56a) subjek gramatikal ami ‘kamu’ yang menjadi milik verba ber ‘suka’ dan verba ala ‘membeli’. Hal yang sama juga terjadi pada klausa (5.56b--f). Subjek gramatikal konstruksi verba serial tersebut menjadi milik kedua verba. Subjek ita ‘kita’ menjadi milik verba la ‘pergi’ dan ruis ‘mandi’ pada klausa (5.65b). Subjek au ‘saya’ menjadi milik verba mai ‘datang’ dan nita ‘minta’ pada klausa (6.56c). Verba e ‘mau’ dan verba enu ‘minum’ pada klausa (6.56d) memiliki satu subjek, yaitu aung amang ‘ayah saya’. Demikian pula halnya dengan klausa (5.56e) dan 179 (5.56f). Verba la ‘pergi’ dan soi ‘timba’ memiliki satu subjek, yaitu Pius ‘Pius’ pada klausa (5.56e). Subjek roma ‘mereka’ pada klausa (6.56f) dimiliki bersamasama oleh verba bebe’i ‘ikut’ dan tutu ‘pukul’. Di samping membagi fungsi gramatikal subjek, kedua verba yang membentuk konstruksi verba serial juga membagi objek, seperti objek gramatikal baru ‘baju’ pada klausa (5.56a) yang dimiliki secara bersama-sama oleh verba ber ‘suka’ dan verba ala ‘membeli’. Kluasa (5.56b) tidak memiliki argumen objek gramatikal. Sementara, klausa (5.56c--f) memiliki objek yang secara bersamasama dimiliki oleh verba serial klausa tersebut. Struktur klausa (str-k) dengan predikat yang ditempati oleh konstruksi verba serial (dua verba) BKm direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini. K FN1 FV FN2 N2 V1 Ami Kamu FP Prep FN3 de di kota Kota V2 ber suka ala baru membeli baju Diagram 5.1 KVS BKm dengan Dua Verba 180 Verba serial dengan tiga verba BKm biasanya diawali oleh verba e ‘ingin’, verba ber ‘suka’, verba laka ’suruh’, verba bebe’i ‘ikut’, dan verba gesa ‘coba’. Berikut ini disajikan konstruksi verba serial (KVS) yang dibangun oleh tiga verba. (5.57) a. O e la soi bea 2TG ingin pergi timba air Prep ‘Engkau mau pergi timba air di sumur’ de bea matang sumur b. Hine senua ber mai odi uta de Wanita DEF suka datang bawa sayur Prep ‘Wanita itu suka datang membawa sayur ke rumah’ c. Ina laka la ala si de Ibu suruh pergi beli daging Prep ‘Ibu suruh pergi beli daging di pasar’ uma rumah basar pasar d. Ita bebe’i mai eto ama Bupati de kantor desa 1JM ikut datang lihat bapak Bupati Prep kantor desa ‘Kita ikut datang melihat bapak Bupati di kantor Desa’ e. Ama gesa mai hoat osa de Ayah coba datang pinjam uang Prep ‘Ayah coba datang meminjam uang di bank’ bank bank Klausa (5.57) merupakan klausa tunggal atau klausa sederhana yang dibentuk oleh FV yang ditempati oleh verba serial yang terdiri atas tiga verba. Klausa (5.57a) memiliki FV yang ditempati verba serial e la soi ‘ingin pergi timba’; klausa (5.57b) dibangun oleh FV yang terdiri atas tiga verba, yaitu ber mai odi ’suka datang bawa’, klausa (5.57c) memiliki FV dengan verba serial laka la ala ‘suruh pergi beli’, klausa (5.57d) memiliki FV dengan verba serial bebe’i mai eto ‘ikut datang lihat’, klausa (5.56e) dibentuk oleh FV dan verba serial gesa mai hoat ‘coba datang pinjam’. Fungsi gramatikal subjek dan objek sama-sama menjadi milik ketiga verba yang membangun konstruksi verba serial klausa 181 tersebut. Misalnya, verba e la soi ‘ingin pergi timba’ pada klausa (5.57a) yang secara bersama-sama memiliki argumen subjek o ‘engkau’ dan argumen objek bea ‘air’. Ketiga verba yang membangun FV pada klausa klausa (5.57b) memiliki argumen subjek dan objek secara bersama-sama. Subjek ina ‘ibu’ dan si ‘daging’ menjadi subjek dan objek bersama dari verba serial laka la ala ‘suruh pergi beli’ pada klausa (5.57c) . Hal yang sama juga terjadi pada klausa (5.57d dan e). Verba serial yang membangun klausa tersebut memiliki argumen subjek dan objek yang sama. Struktur klausa (str-k) BKm dengan predikat yang ditempati oleh KVS yang terdiri atas tiga verba direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini. FI FN1 FV FN2 N2 V1 O e Engkau ingin V2 FPrep Prep FN3 de Prep bea matang sumur V3 la soi bea pergi timba air Diagram 5.2 KVS BKm dengan Tiga Verba Berdasarkan uraian di atas, konstruksi verba serial (KVS) BKm dapat dibangun oleh verba serial, baik yang terdiri atas dua verba maupun verba serial 182 yang terdiri atas tiga verba. Baik KVS BKm yang dibangun oleh dua maupun tiga verba memiliki fungsi gramatikal satu subjek dan objek yang dimiliki secara bersama-sama. 5.8 Temuan Penelitian Bab ini mengkaji predikasi BKm. Pembahasan tentang predikasi BKm meliputi pembahasan predikat dan struktur argumen, peran semantis argumen, tipe semantis verba, frasa verbal BKm, dan diakhiri dengan pembahasan serialisasi verba. Beberapa temuan yang terkait dengan pembahasan tersebut disajikan sebagai berikut. 1. Predikasi BKm dibangun oleh unsur predikat dan argumen-argumennya. Predikat BKm dapat berupa predikat verbal dan predikat nonverbal. Predikat nonverbal dapat ditempati oleh nominal, adjektival, numeral, frasa preposisional, dan satu argumen yang menempati posisi di depan predikat yang berfungsi sebagai subjek gramatikal. Predikat nonverbal BKm menghendaki satu argumen subjek untuk membentuk predikasi. 2. Sama seperti predikasi BKm yang dibentuk oleh predikat nonverbal, predikat verbal intransitif juga menghendaki satu unsur argumen FN yang dapat berfungsi sebagai subjek gramatikal dan secara semantis dapat berfungsi sebagai agen atau pasien. 3. Predikasi BKm dengan predikat verba transitif menghendaki dua argumen atau lebih. Kehadiran argumen-argumen tersebut dalam predikat kalimat transitif bersifat wajib. 183 4. Argumen BKm memiliki peran semantis umum argumen, yaitu ACTOR dan UNDERGOER. Peran semantis umum argumen BKm tersebut dapat diperinci menjadi peran-peran semantis khusus yang meliputi agen, penyebab/causer, pengalami, tema, pasien, alat/instrumen, resipien/penerima, sumber/asal, tujuan, dan lokatif. benefaktif/pemanfaat, Satu argumen dapat memiliki peran lebih dari satu, misalnya dalam kalimat au ne podi ua osa ‘saya memberikan dia uang‘. Argumen au ‘saya’ yang berfungsi sebagai SUBJ memiliki dua peran semantik, yaitu sebagai sumber dan sekaligus sebagai agen. 5. BKm memiliki empat tipe semantis verba yang mengacu kepada aktionasart yang ditentukan berdasarkan tiga sifat, yaitu (1) statis, (2) telis, dan (3) ketepatan waktu (pungtual). Empat tipe semantis verba BKm meliputi (1) verba keadaan yang diungkapkan dengan verba situasi, seperti tinaut ‘takut dan bue ‘tidur’, (2) verba achievement yang diungkapkan dengan verba peristiwa, seperti mnahu ‘jatuh’ dan teta ‘patah’, (3) verba accomplishment yang diungkapkan dengan verba proses , seperti taua ‘masak’ dan tau ‘buat’, dan (4) verba aktivitas yang diungkapkan dengan verba aksi, seperti tutu ‘pukul’ dan betu ‘tendang’ 6. BKm memiliki FV yang dapat disertai satu unsur aspek, modus, dan negasi yang menempati posisi sebelum verba (praverbal) dan setelah verba (posverbal). Aspek ei ‘akan’ dan hei ‘sedang’ menempati posisi sebelum verba, sedangkan aspek kasai ‘sudah’ berada setelah verba. Modus mloing ‘bisa’ menempati posisi setelah verba, sedangkan modus los ‘harus’ menempati 184 posisi sebelum verba. Negasi ti ‘tidak’ menempati posisi sebelum verba. Di samping dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus, dan negasi, FV BKm juga dapat dibentuk verba dan disertai oleh gabungan dua unsur, antara negasi dan aspek, seperti ti + ei ‘tidak+akan’ dalam kalimat au ti ei hali de uma ‘saya tidak akan pulang ke rumah’; negasi+modus, seperti ti+V+mloing ‘tidak+V+bisa’ dalam kalimat aung heng ti hali mloing dase kota ‘istri saya tidak bisa pulang dari kota’; modus+modus seperti los+V+mloing ‘harus+V+bisa’ dalam kalimat au los baca mloing ’saya harus bisa membaca’; dan aspek + modus, seperti kasai mloing ‘sudah bisa’ dalam kalimat Ali nagi kasai 7. mloing ‘adik sudah bisa berenang’. Konstruksi verba serial (KVS) BKm dapat dibangun oleh verba serial, baik yang terdiri atas dua verba maupun verba serial yang terdiri atas tiga verba. Baik KVS BKm yang dibangun oleh dua maupun tiga verba memiliki fungsi gramatikal satu subjek dan objek yang dimiliki secara bersama-sama. BAB VI VALENSI VERBA BAHASA KEMAK 6.1 Pengantar Pada bab sebelumnya telah dibahas tentang struktur dasar klausa (Bab IV) dan Predikasi dan struktur argumen BKm (Bab V). Pembahasan tentang struktur dasar klausa mengungkapkan bahwa klausa BKm dibangun oleh predikat dan argumen-argumen yang menyertainya. Predikat klausa BKm dapat berupa predikat verbal dan predikat nonverbal. Sebagai lanjutan dari pembahasan sebelumnya, pada bab ini dibahas tentang valensi verba BKm. Pembahasan valensi verba BKm ini terkait dengan peran verba yang merupakan inti/pokok (head) dari sebuah klausa/kalimat. Pembahasan tentang valensi verba BKm terbagi atas beberapa pokok dan sub-pokok bahasan. Pembahasan pada bab ini diawali dengan valensi dan ketransitifan verba BKm. Pembahasan berikutnya dilanjutkan dengan mekanisme perubahan valensi verba BKm yang mencakup konstruksi kausatif, aplikatif, dan resultatif. Pembahasan tentang konstruksi kausatif mencakup jenis/tipe konstruksi kausatif yang terdapat dalam BKm. 6.2 Valensi dan Ketransitifan Verba Bahasa Kemak 6.2.1 Ketransitifan Verba Bahasa Kemak . Menurut Herbert dalam Hopper dan Thompson (ed), 1982: 211--213) ketransitifan dibedakan atas ketransitifan struktural dan tradisional. Ketransitifan struktural adalah ketransitifan yang mengacu kepada struktur yang berhubungan 185 186 dengan sebuah predikat dan dua argumen, yaitu S dan OL. Ketransitifan tradisional adalah ketransitifan secara menyeluruh pada klausa, merujuk kepada proses membawa atau memindahkan tindakan dari agen ke pasien. Ketransitifan dapat pula dilihat dan dipahami sebagai jumlah komponen yang berkenaan dengan aspek-aspek yang berbeda dari keefektifan atau intensitas yang terkait dengan tindakan yang dilakukan. Hopper (1989:163--164) mengungkapkan bahwa ketransitifan terdiri atas ketransitifan sintaksis dan semantis. Kedua ketransitifan ini memiliki parameter tersendiri. Ketransitifan sintaksis ditentukan oleh parameter kewajiban hadirnya argumen inti (core argument) dalam sebuah klausa, sedangkan ketransitifan semantis ditentukan oleh parameter gabungan dari berbagai karakteristik semantis Istilah ketransitifan terkait dengan properti transitivitas lintas bahasa yang menyangkut tansitivitas tinggi (high transitivity) dan transitivitas rendah (low transitivity). Hopper (1989: 163--164) mengungkapan bahwa terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan untuk mengukur tinggi-rendahnya transitivitas sebuah klausa. Terdapat sepuluh parameter yang dikemukakan oleh Hopper (1989: 163--164) untuk mengukur ketransitifan sebuah klausa, yaitu (1) partisipan (participant), (2) aspek (aspect), (3) kinesis (kinesic), (4) keterkenaan pasien (affectedness of patient), (5) polaritas/kekutuban (polarity/affirmation), (6) modalitas (modality), (7) potensi keagenan (potency of agent), (8) individual/kekhususan (individuation of patient), (9) kesengajaan (volitionality), dan (10) kepungtualan (punctuality). 187 Berdasarkan kesepuluh parameter trasitivitas tersebut di atas, Hopper (1989: 163--164) menambahkan bahwa sebuah klausa yang argumennya terdiri atas agen dan pasien memiliki tingkat ketransitifan yang lebih tinggi dibandingkan dengan klausa yang hanya memiliki agen atau pasien. Lebih lanjut, klausa dengan predikat telis (tertuju titik) memiliki tingkat ketransitifan yang lebih tinggi daripada klausa yang berpredikat taktelis. Klausa yang predikatnya menyatakan suatu tindakan tertentu yang melibatkan gerakan, baik pasien maupun agen, memiliki tingkat ketransitifan yang lebih tinggi daripada klausa yang berpredikat tidak menyatakan suatu tindakan. Lebih lanjut, klausa yang predikatnya menyatakan tindakan yang disengaja memiliki tingkat ketransitifan yang lebih tinggi daripada klausa yang predikatnya menyatakan tindakan yang tidak disengaja. Klausa afirmatif memiliki tingkat ketransitifan yang lebih tinggi daripada klausa dalam bentuk negatif. Untuk mengetahui transitivitas klausa, berikut ini disajikan klausa yang menunjukkan perbedaan tingkat transitivitas dalam BKm. (6.1) Au tutu atmas senua 1TG pukul orang DEF ‘Saya memukul orang itu (6.2) Roma eto hine senua de Atambua 3JM lihat wanita DEF Prep Atambua ‘Mereka melihat wanita itu di Atambua’ (6.3) Au-ng ali-ng 1TG-Lig adik-Lig ‘Adik saya lari ke sekolah’ plai de pergi Prep isikola sekolah Klausa (6.1)--(6.3) menunjukkan tingkat ketransitifan yang berbeda. Klausa (6.1) memiliki dua partisipan, yaitu au’saya’ sebagai agen dan atmas 188 senua ‘orang itu’ sebagai pasien. Jika mengacu pada sepuluh parameter transitivitas yang dikemukakan Hopper (1989), maka klausa (6.1) memiliki tingkat ketransitifan yang tinggi. Paling tidak dari sepuluh parameter transitivas, klausa (6.1) memenuhi enam parameter transitivitas, yaitu (1) partisipan, (2) keterkenaan pasien, (3) modalitas, (4) potensi keagenan, (5) kesengajaan, dan (6) individuasi pasien. Jika mengacu pada partisipan, klausa (6.1) memiliki dua partisipan, yaitu au’saya’ sebagai agen dan atmas senua ‘orang itu’ sebagai pasien. Dilihat dari keterkenaan pasien, klausa (6.1) mengungkapkan bahwa pasien terkena suatu tindakan dari agen. Dari potensi keagenan, klausa (6.1) mengungkapkan bahwa agen memiliki potensi atau kemampuan untuk melakukan tindakan terhadap pasien. Dilihat dari segi modalitas, agen dan pasien pada klausa (6.1) berssifat realis/nyata dan peristiwa yang diisyaratkan oleh predikat mengutarakan peristiwa yang sesungguhnya. Klausa (6.1) juga mengungkapkan bahwa agen melakukan tindakan dengan sengaja kepada pasien dan pasien bersifat pasti/definit (takrif) karena adanya pemarkah kedefinitan (takrif) yang mengikuti pasien. Dibandingkan dengan klausa (6.1), klausa (6.2) memiliki tingkat ketransitifan yang lebih rendah. Walaupun klausa (6.2) memiliki jumlah patisipan yang sama dengan klausa (6.1), yaitu roma ‘meraka sebagai agen dan hine senua‘ ‘wanita itu’ sebagai pasien, tidak berarti bahwa tingkat ketransitifan kedua klausa tersebut sama. Perbedaan tingkat ketransitifan klausa tersebut disebabkan oleh perbedaan parameter transitivitas yang dimiliki oleh setiap klausa. Jika dilihat dari segi keterkenaan pasien, predikat klausa (6.2) mengindikasikan bahwa pasien 189 mane senua ‘wanita itu’ tidak mengalami suatu tindakan oleh agen roma ‘mereka’. Lebih jauh klausa (6.2) juga tidak mengindikasikan adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh agen. Klausa (6.3) memiliki tingkat ketransitifan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan klausa (6.1) dan klausa (6.2). Jika dilihat dari jumlah kehadiran partisipan, klausa (6.3) memiliki jumlah partisipan hanya satu, yaitu aung aling ‘adik saya’, sedangkan de isikola ’ke sekolah’ merupakan oblik, bukan merupakan argumen pada klausa tersebut. Walaupun hanya memiliki satu partisipan, klausa (6.3) memiliki tingkat ketransitifan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan klausa (6.1) dan (6.2). Tingginya tingkat ketransitifan klausa (6.3) disebabkan oleh kehadiran verba plai ‘lari’. Verba plai ‘lari’ tergolong memiliki tingkat transitivitas yang tinggi karena mengandung tingkat kesengajaan (volitionality) dan keagenan (potency of agent) yang tinggi. Secara semantis, ketiga verba pada klausa (6.1)--(6.3) memiliki tingkat transitivitas yang berbeda. Verba plai ‘lari’ memiliki tingkat transitivitas yang paling tinggi jika dibandingkan dengan verba tutu ‘pukul’ pada klausa (6.1) dan verba etu ‘lihat’ pada klausa (6.2). Jika dilihat dari jumlah kehadiran partisipan, klausa (6.3) justru memiliki tingkat transitivitas yang lebih rendah daripada klausa (6.1) dan (6.2). Klausa (6.3) hanya memiliki satu argumen inti (core argument) atau satu partisipan, sedangkan klausa (6.1) dan (6.2) sama-sama memiliki dua argumen inti (core argument) atau dua partisipan. Jadi, secara sintaksis, klausa (6.3) memiliki tingkat ketransitifan yang lebih rendah daripada klausa (6.1) dan (6.2). 190 Tinggi-rendahnya tingkat ketransitifan sebuah klausa BKm pada umumnya ditentukan oleh verba yang menempati posisi predikat klausa. Predikat klausa dengan verba aksi memiliki tingkat transitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan verba statis/keadaan dan verba proses. Analisis yang dilakukan terhadap klausa (6.1)--(6.3) di atas menggunakan parameter transitivitas yang dikemukakan oleh Hopper (1989). Tidak semua parameter ketransitifan yang dikemukakan oleh Hopper (1989) tersebut diadopsi dan diaplikasikan untuk menganalisis tingkat ketransitifan klausa BKm mengingat Bkm tergolong ke dalam bahasa isolatif yang minim afiks. Mengingat BKm sebagai bahasa isolatif yang minim afiks, hanya beberapa parameter yang diaplikasikan untuk memeroleh gambaran umum tentang tinggi-rendahnya tingkat ketransitifan klausa BKm. Beberapa parameter transitivitas yang digunakan untuk menganalisis tingkat ketransitifan klausa (6.1)--(6.3) adalah parameter partisipan (participant), keterkenaan pasien (affectedness of patient), modalitas (modality), potensi keagenan (potency of agent), kesengajaan (volitionality), dan individuasi pasien (individuation of patient). Penerapan beberapa parameter ketransitifan tidak bertujuan untuk mengukur tingkat ketransitifan klausa secara kuantitatif dengan melibatkan indeks ketransitifan yang berujung pada penghitungan kumulatif indeks, tetapi untuk mengetahui tingkat ketransitifan klausa dalam kaitannya dengan pembahasan valensi verba. 191 6.2.2 Valensi Verba Bahasa Kemak Secara umum, istilah valensi dalam linguistik ditujukan pada kemampuan verba, yang menempati unsur predikat sebuah klausa/kalimat untuk mengikat argumen. Valensi lebih mengacu pada jumlah argumen yang dibutuhkan oleh verba yang menempati posisi predikat. Aisen dalam Hopper and Thompson (ed) (1982:8) menyatakan bahwa valensi digunakan untuk merujuk ke jumlah argumen nominal dalam sebuah klausa pada tataran apa saja. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Katamba (1993). Katamba (1993: 266) menyatakan bahwa valensi adalah jumlah argumen dalam kerangka sintaksis yang dikaitkan dengan verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi gramatikal. Selanjutnya, Katamba menegaskan bahwa pada dasarnya valensi ditentukan oleh perilaku verba. Oleh karena itulah, verba dapat disebut sebagai verba transitif (ekatransitif dan dwitransitif). Pendapat tentang konsepsi valensi juga dikemukakan oleh Van Valin Jr. dan LaPolla (2002). Menurut Van Valin Jr. dan LaPolla (2002: 147--150), valensi adalah jumlah argumen yang diikat oleh verba. Lebih lanjut, mereka menambahkan bahwa valensi verba dibedakan atas valensi sintaksis verba dan valensi semantis verba. Valensi sintaksis verba adalah jumlah argumen yang disyaratkan secara morfosintaksis-nyata yang dibutuhkan oleh verba. Sementara, valensi semantis verba adalah jumlah argumen semantik yang diambil oleh verba tertentu dalam struktur logika. Perbedaan kedua jenis valensi tersebut ditunjukkan pada kata rain ‘hujan’ dalam bahasa Inggris. Kata rain ‘hujan’ secara semantis tidak memerlukan argumen, tetapi secara sintaksis kata tersebut membutuhkan 192 kehadiran satu argumen karena setiap klausa dalam bahasa Inggris memerlukan subjek. Misalnya, it rained atau it is raining. Berikut ini disajikan klausa BKm untuk menentukan valensi berdasarkan valensi sintaksis verba, yaitu jumlah argumen yang disyaratkan secara morfosintaksis-nyata yang dibutuhkan oleh verba. (6.4) Au a 1TG makan ‘Saya makan’ (6.5) Au-ng ali-ng 1TG-Lig adik-Lig ‘Adik saya minum’ (6.6) Ina ala baru Ibu beli baju ‘Ibu membeli baju’ (6.7) Ua pegegini osa 3TG pinjam uang ‘Dia mengirim surat’ (6.8) Ina ala podi au baru Ibu beli APL 1TG baju ‘Ibu membelikan saya baju’ (6.9) Ua pegegini podi ina 3TG pinjam APL ibu ‘Dia meminjamkan ibu uang’ enu minum osa uang Klausa (6.4)--(6.9) menunjukkan peningkatan valensi verba pada klausa BKm. Klausa dengan verba bervalensi satu tercermin pada klausa (6.4) dan (6.5), klausa dengan verba bervalensi dua tercermin pada klausa (6.6) dan (6.7), dan klausa dengan verba bervalensi tiga tercermin pada klausa (6.8) dan (6.9). Verba a ‘makan dan enu ‘minum’ pada klausa (6.4) dan (6.5) adalah verba yang 193 menghendaki satu argumen. Secara morfosintaksis, argumen yang dibutuhkan klausa tersebut merupakan argumen subjek, yaitu au ‘saya’ dan aung aling ‘adik saya’ yang berperan sebagai agen, Berbeda dengan verba a ‘makan’ dan enu ‘minum’, secara morfosintaksis, verba ala ‘beli’ dan pegegini ‘pinjam’ pada kluasa (6.6) dan (6.7) menghendaki kehadiran dua argumen, yaitu ina ‘ibu’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan baru ‘baju’ yang berfungsi secara gramatikal sebagai objek pada klausa (6.6) dan ua ‘dia’ yang berfungsi sebagai subjek dan surat ‘surat’ yang berfungsi sebagai objek pada klausa (6.7). Secara semantis, subjek pada klausa (6.6) dan (6.7) merupakan agen, sedangkan objek pada klausa (6.6) dan (6.7) merupakan undergoer. Verba pada klausa ala ‘beli’ pada klausa (6.6) dan verba pegegini ‘pinjam’ pada klausa (6.7) menghadirkan tiga argumen dengan kehadiran pemarkah aplikatif podi seperti yang terlihat pada klausa (6.8) dan (6.9). Ketiga argumen pada klausa (6.8), yaitu argumen ina ‘ibu’ secara gramatikal berfungsi sebagai subjek, argumen au ‘saya’ dan baru ‘baju’ secara gramatikal berfungsi sebagai objek. Ketiga argumen pada klausa (6.9), yaitu argumen ua ‘dia secara gramatikal berfungsi sebagai subjek, sedangkan argumen ina ‘ibu’ dan osa ‘uang’ secara gramatikal berfungsi sebagai objek. Dengan demikian, untuk meningkatkan valensi verba BKm yang sebelumnya verba bervalensi dua menjadi verba bervalensi tiga, diperlukan kehadiran pemarkah aplikatif podi yang hadir setelah verba (posverbal) Klausa (6.8) dan (6.9) yang menghendaki kehadiran tiga argumen dengan kehadiran pemarkah aplikatif podi dapat juga diturunkan valensinya menjadi verba bervalensi dua yang mengakibatkan salah satu objek pada klausa tersebut, 194 yaitu objek langsung diturunkan menjadi oblik dan pemarkah aplikatif yang mengikuti verba secara otomatis menjadi hilang, seperti yang terlihat pada contoh klausa di bawah ini. (6.10) Ina ala baru de au Ibu beli baju Prep 1TG ‘Ibu membeli baju untuk saya’ (6.11) Ua pegegini osa de ina 3TG pinjam uang Prep ibu ‘Dia meminjamkan uang kepada ibu’ \ Klausa (6.10) dan (6.11) menunjukkan mekanisme penurunan valensi, yaitu dari verba yang bervalensi tiga (klausa 6.8 dan 6.9) menjadi verba bervalensi dua (klausa 6.10 dan 6.11). Selain mekanisme penurunan valensi tersebut, mekanisme penurunan valensi juga dapat dilakukan dengan mekanisme pemasifan. Mekanisme penurunan valensi klausa melalui mekanisme pemasifan tersaji pada klausa berikut ini. (6.12) a. b. (6.13) a. b. Ama ala bibu Ayah beli kambing ‘Ayah membeli kambing’ bibu toma ala dase Kambing dapat beli Prep ‘Kambing dapat beli oleh ayah’ ama ayah Ama ala podi au bibu Ayah beli APL 1TG kambing ‘Ayah membelikan saya kambing’ Bibu toma ala dase ama Kambing dapat beli Prep ayah ‘Kambing dapat beli oleh ayah untuk saya odi Prep au 1TG 195 Klausa (6.12) dan (6.13) menunjukkan mekanisme perubahan valensi klausa BKm. Melalui mekanisme pemasifan, klausa (6.12a) yang merupakan klausa yang bervalensi dua, yaitu ama ‘ayah’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan bibu ‘kambing’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai objek diturunkan velensinya menjadi klausa yang bervalensi satu, yaitu bibu ‘kambing’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek pada klausa (6.12b). Objek pada klausa (6.12a) melalui mekanisme pemasifan dinaikkan fungsinya menjadi subjek pada klausa (6.12b). Sementara, subjek pada klausa (6.12a) diturunkan fungsi gramatikalnya menjadi relasi oblik yang ditandai dengan kehadiran preposisi dase ‘oleh’ pada klausa (6.12b). Proses penurunan valensi juga terjadi pada klausa (6.13). Klausa (6.13a) merupakan klausa bervalensi tiga, yaitu ama ‘ayah’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek, au ‘saya’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai objek tak langsung, dan bibu ‘kambing’ yang seara gramatikal berfungsi sebagai objek langsung diturunkan valensinya menjadi klausa bervalensi satu, yaitu bibu ‘kambing’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek. Sebaliknya, subjek dan objek tak langsung pada klausa (6.13a) diturunkan fungsi gramatikalnya menjadi oblik pada klausa (6.13b). Jika mengacu kepada valensi semantis verba, yaitu velensi yang didasarkan atas jumlah argumen semantik yang diambil oleh verba tertentu dalam struktur logika, maka klausa (6.4) dan (6.5) secara logika memiliki dua argumen mengacu kepada verba a ‘makan’ dan enu ‘minum’. Terkait dengan verba a makan’ pada klausa (6.4), maka secara logika pasti ada sesuatu yang dimakan oleh argumen au ‘saya’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan 196 secara semantis berfungsi sebagai agen. Verba enu ‘minum’ pada klausa (6.5) juga mengisyaratkan pasti ada sesuatu yang diminum oleh argumen aung aling ‘adik saya’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan secara semantis berfungsi sebagai agen. Dengan demikian, secara semantis atau secara logika klausa (6.4) dan (6.5) membutuhkan kehadiran argumen walaupun argumen tersebut tidak muncul secara sintaksis, argumen tersebut ada secara semantis. Secara semantis atau secara logika, klausa (6.4) dan (6.5) dapat menjadi seperti klausa di bawah ini. (6.14) Au a si ahi 1TG makan daging babi ‘Saya makan daging babi’ (6.15) Au-ng ali-ng 1TG-Lig adik-Lig ‘Adik saya minum air’ enu bea minum air 6.3 Mekanisme Perubahan Valensi Verba Bahasa Kemak Mekanisme perubahan valensi verba BKm mengisyaratkan bahwa pembahasan pada bagian ini hanya memfokuskan kajian tentang klausa BKm yang berpredikat verbal. Pembahasan klausa BKm yang berpredikat verbal terutama terkait dengan konstruksi klausa/kalimat yang berpredikat verba intransitif dan verba transitif. Pada bab sebelumnya memang telah dikaji tentang konstruksi verbal. Pada bagian ini, pengkajian tentang konstruksi verbal terkait dengan mekanisme perubahan valensi verba tetap merujuk kepada pembahasan pada bab sebelumnya. 197 Seperti diketahui bahwa pembahasan tentang mekanisme perubahan valensi verba memiliki hubungan yang erat dengan konstruksi verbal BKm. Mekanisme perubahan valensi verba BKm ini mencakup pembahasan tentang konstruksi verbal, yaitu konstruksi kausatif, aplikatif (lokatif, instrumental, sumber, resipien/penerima),. dan resultatif. Pembahasan ketiga konstruksi tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran tentang mekanisme perubahan valensi verba BKm, baik secara sintaksis maupun semantis. Sebelum lebih jauh membahas ketiga konstruksi (kausatif, aplikatif, dan resultatif), terdapat beberapa hal yang perlu dijelaskan untuk menyamakan persepsi tentang konstruksi verbal BKm yang terkait dengan pembahasan mekanisme perubahan valensi verba BKm. Pertama, subjek yang dimaksud pada pembahasan ini adalah subjek yang merujuk kepada fungsi gramatikal (subjek gramatikal), sedangkan subjek semantis hanya dipakai untuk memperkuat fungsi subjek secara gramatikal. Kedua, verba BKm merupakan verba asal (murni). Seperti dinyatakan pada bab sebelumnya bahwa BKm merupakan bahasa yang tergolong ke dalam bahasa isolasi karena BKm minim afiks, Oleh karena itu, tidak ditemukan proses morfologis pada verba yang memengaruhi mekanisme perubahan valensi verba BKm. Berikut ini disajikan klausa BKm dengan predikat verbal untuk memberikan gambaran awal mekanisme perubahan valensi verba BKm. (6.16) Atmas senua nua au-ng Orang DEF bunuh 1TG-Lig ‘Orang itu membunuh anjing saya’ asu anjing 198 (6.17) Ina tau podi au kokis Ibu buat APL 1TG kue ‘Ibu membuatkan saya kue’ (6.18) Roma ala buku kasai 3JM letak buku sudah ‘Mereka sudah membeli buku’ Klausa (6.16)--(6.18) merupakan klausa dengan predikat verbal BKm. Dalam kajian linguistik tipologi, ketiga klausa tersebut dapat diklasifikasikan sebagai konstruksi kausatif, benefaktif, dan aplikatif. Klausa (6.16) merupakan konstruksi kausatif dengan kehadiran verba nua ‘bunuh’. Secara alami verba nua ‘bunuh’ sudah mengandung makna sebab-akibat yang mengindikasikan konstruksi tersebut sebagai konstruksi kausatif. Klausa (6.17) merupakan konstruksi aplikaitf (benefaktif) BKm karena hadirnya argumen baru (benefaktif) sebagai objek tak langsung pada konstruksi tersebut. Klausa (6.18) merupakan konstruksi resultatif BKm. Konstruksi ini digolongkan sebagai konstruksi resultatif mengacu kepada peristiwa ala ‘membeli’ yang telah berhasil dilakukan yang ditandai dengan hadirnya pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ pada klausa tersebut. Penaikan dan penurunan valensi merupakan sebuah proses gramatikal yang berhubungan dengan kemampuan verba untuk mengikat jumlah argumen pada sebuah konstruksi klausa/kalimat. Proses penaikan valensi ditandai dengan penambahan argumen baru pada struktur inti klausa, seperti pengkausatifan dan pengaplikatifan. Sementara, proses penurunan valensi ditandai dengan berkurangnya jumlah argumen dengan berpindahnya argumen inti menjadi argumen noninti, seperti konstruksi resultatif, pasif, refleksif, dan resiprokal 199 (Payne, 1977:172). Pembahasan lebih terperinci mengenai konstruksi kausatif, aplikatif, dan resultatif diuraikan pada sub-subbagian berikut. 6.3.1 Konstruksi Kausatif Bahasa Kemak Bahasa-bahasa di dunia memiliki cara-cara untuk mengungkapkan pengkausatifan atau konstruksi kausatif. Goddard (1998:266) mengungkapkan bahwa kausatif merupakan sebuah ungkapan yang di dalamnya terkandung sebuah peristiwa yang disebabkan oleh seseorang yang melakukan sesuatu atau karena sesuatu terjadi. Pendapat tentang pengkausatifan atau konstruksi kausatif juga diungkapkan oleh Artawa (2004:48), yang menyatakan bahwa hampir setiap bahasa memiliki cara yang khas untuk mengungkapkan konstruksi kausatif. Secara umum, konstruksi kausatif merupakan konstruksi yang mengungkapkan suatu situasi makro-kompleks yang mengandung dua situasi mikro atau peristiwa yang terdiri atas (1) peristiwa penyebab (causee) yang menyebabkan suatu peristiwa terjadi (causing event) dan (2) peristiwa yang terjadi atau akibat yang timbul (caused) yang disebabkan oleh tindakan tersebab (causee) (Shibatani 1976: 239, Comrie, 1985:330, dan Song, 2001:253). Kenyataan menunjukkan bahwa tiap bahasa memiliki konstruksi gramatikal yang berbeda untuk mengungkapkan konstruksi kausatif. Namun, secara lintas bahasa ditemukan bahwa kesetaraan konstruksi kausatif dapat diungkapkan secara sintaksis dan analitis. Goddard (1998:260--290) membagi kausatif menjadi tiga berdasarkan sifat dan konstruksinya, seperti tersaji pada diagram berikut ini. 200 Pembagian bentuk kausatif kausatif analitik/ perifrastik Konstruksi sintaktik kausatif morfologis I made him work I got him to do it I had him do it kausatif leksikal membunuh memecah sufiksasi kausatif produktif kausatif langsung Diagram 6.1: Pembagian Konstruksi Kausatif Pendapat terkait dengan pengkausatifan atau konstruksi kausatif juga diungkapkan oleh Comrie (1981: 158--160; 1989:165--171), yang mengelompokkan tipe kausatif dengan menggunakan dua parameter, yaitu parameter formal atau parameter morfosintaksis dan parameter semantis. Parameter morfosintaksis mengelompokkan pengkausatifan atau konstruksi kausatif menjadi tiga, yaitu kausatif analitik, kausatif morfologis, dan kausatif leksikal. Kausatif analitik merupakan konstruksi kausatif yang memiliki predikat yang mengungkapkan sebab-akibat, penyebab diungkapkan oleh kata terpisah dari kata yang menunjukkan yang disebabkan (akibat). Kausatif morfologis merupakan konstruksi kausatif yang ditunjukkan dengan hubungan antara predikat nonkausatif dan yang kausatif dimarkahi oleh perangkat morfologis, misalnya oleh afiksasi. Kausatif leksikal merupakan konstruksi kausatif yang ditunjukkan melalui verba yang saling berhubungan dalam predikat nonkausatif, tetapi tidak berkaitan secara morfologis dengan predikat kausatif, hubungan predikat yang 201 mengungkapkan akibat dan yang mengungkapkan sebab tidak sistematis, hanya diungkapkan dengan leksikal yang memiliki makna sebab-akibat. Comrie (1981: 158--160; 1989:165--171) menambahkan bahwa parameter semantis mengelompokkan pengkausatidan atau konstruksi kausatif berdasarkan tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee) dan kedekatan hubungan antara sebab dan akibat dalam sebuah situasi makro (kausatif). Berdasarkan tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee), pengkausatifan atau konstruksi kausatif dibedakan atas (1) kausatif sejati (true causative) dan (2) kausatif permisif (permisive causative). Kausatif sejati merupakan konstruksi kausatif yang menunjukkan ketidakmampuan tersebab (causee) memegang kendali untuk mencegah terjadinya akibat. Sementara, kausatif permisif merupakan kebalikan dari kaudatif sejati. Pada konstruksi kausatif permisif, tersebab (causee) memiliki kemampuan untuk memegang kendali untuk mencegah terjadinya akibat. Di samping pembagian kausatif berdasarkan tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee), Comrie juga mengungkapakan bahwa konstruksi kausatif dapat dikelompokkan berdasarkan kedekatan hubungan antara komponen sebab dan komponen akibat, yaitu kausatif langsung dan kausatif tak langsung (Comrie, 1989:171). Kausatif langsung merupakan konstruksi kausatif yang memiliki hubungan yang sangat dekat antara komponen sebab dan komponen akibat. Sementara, kausatif tak langsung merupakan konstruksi kausatif yang memiliki hubungan yang jauh antara komponen sebab dan komponen akibat. 202 Terkait dengan konstruksi nonkausatif dan konstruksi kausatif, Artawa (1998: 32) mengungkapkan bahwa salah satu perbedaan sintaksis utama antara konstruksi bukan kausatif dan konstruksi kausatif adalah terletak pada penaikan valensi verba pada konstruksi kausatif. Kajian tentang perubahan valensi verba yang disebabkan oleh pengkausatifan menitikberatksn pada perbedaan valensi verba-verba dasar nonkausatif yang meliputi verba intransitif (tidak terdapat OL), verba ekatransitif (terdapat OL, tetapi tidak terdapat OTL), dan verba dwitransitif (terdapat Ol dan OTL). Keterkaitan hubungan antara konstruksi kausatif dan konstruksi nonkausatif dijelaskan melalui hierarki relasi gramatikal subjek > objek langsung > objek tak langung > objek oblik. Dalam hierarki relasi gramatikal tersebut dijelaskan bahwa tersebab (causee) menempati posisi tertinggi, yaitu posisi paling kiri yang merupakan posisi argumen kausatif yang belum terisi (Comrie, 1985:342). Perubahan valensi verba dasar non-kausatif menjadi verba kausatif , pada prinsipnya merupakan penambahan agen ke dalam valensi sehingga subjek pada setiap konstruksi diungkapkan dalam hierarki yang berbeda. Subjek pada klausa intransitif diungkapkan sebagai objek langsung, subjek pada klausa ekatransitif diungkapkan sebagai objek tak langsung, dan objek langsung tetap menempati posisi sebagai objek langsung. Subjek pada klausa dwitransitif diungkapkan sebagai oblik, sementara objek langsung dan objek tak langsung tetap menempati posisinya sebagai objek langsung dan objek tak langsung. Mekanisme perubahan valensi antara verba dasar nonkausatif dan verba kausatif yang telah diuraikan di atas disajikan pada tabel di bawah ini. 203 Tipe Klausa Intransitif Verba Dasar Nonkausatif SUBJ Verba Kausatif SUBJ OL Ekatransitif SUBJ SUBJ OL OL OTL Dwitransitif SUBJ SUBJ OL OL OTL OTL OBL Tabel 6.1: Perubahan Valensi Verba Dasar NonKuasatif Menjadi Verba Kausatif Pendapat tentang pengkausatifan atau konstruksi kausatif juga dikemukakan oleh Arka (1993). Berdasarkan pendapat Shibatani (1976), Comrie (1981 dan 1989), Spencer (1991), dan Jackenkoft (1991), Arka (1993:8) mengungkapkan bahwa konstruksi kausatif dibedakan menjadi dua, yaitu kausatif perifrastik/analitik dan kausatif morfologis/leksikal. Kausatif perifrastik/analitik merupakan konstruksi biklausal. Sementara, kausatif merfologis/leksikal merupakan konstruksi monoklausal. Kausatif morfologis/leksikal disebut juga sebagai kausatif langsung. Pembagian konstruksi kausatif yang dikemukakan oleh Arka (1993:8) didasarkan atas jumlah klausa yang terdapat dalam sebuah konstruksi kausatif. Perbedaan pembagian kausatif menurut Arka (1993:8) dan Comrie (1981: 158--160; 1989:165--171), pada prinsipnya tidak bertentangan satu sama lain. 204 Pendapat yang berbeda tentang pengkausatifan atau konstruksi kausatif diungkapkan oleh Alsina dan Joshi (1991) (seperti dikutip dari Jufrizal 2004:198-200). Alsina dan Joshi (1991) mengusulkan pendekatan struktur argumen terhadap pengkausatifan. Prinsip teori yang dikemukakan oleh Alsina dan Joshi (1991) tidak berkenaan dengan fungsi gramatikal, tetapi berkenaan dengan struktur argumen. Teori ini mengungkapkan bahwa argumen-argumen diurutkan menurut Hierarki Tematik Universal (Universal Theumatic Hierarchy), yakni agen lebih tinggi daripada resipien (penerima) yang pada gilirannya memiliki posisi lebih tinggi daripada pasien dan tema. Pendapat yang dikemukakan oleh Alsina dan Joshi (1991) didasarkan pada kelemahan pendekatan kausatif morfologis yang semata-mata didasarkan pada prinsip sintaksis. Mereka menilai bahwa prinsip sintaksis gagal mengetahui rentangan penuh variasi sintaksis dan tidak mampu mengaitkan variasi sintaksis dengan variasi semantis yang mendasarinya. Lebih jauh, mereka menegaskan bahwa prinsip pemetaan memiliki peranan penting untuk menurunkan realisasi morfosintaksis yang benar dari terakibat. Mereka berpendapat bahwa kausatif morfologis dibentuk berdasarkan penggabungan struktur argumen dua prredikat, yaitu predikat dasar dan morfem kausatif yang membentuk struktur sintaksis klausa tunggal (monoklausal). Di samping pendapat berbeda yang dikemukakan oleh Alsina dan Joshi (1991) (seperti dikutip dari Jufrizal, 2004:198--200), pendapat yang berbeda juga dikemukakan oleh Kozinsky dan Polinzky (1993:178). Mereka mengungkapkan bahwa pengkausatifan atau konstruksi kausatif dapat diklasifikasikan berdasarkan 205 penanda verba (verb coding), yaitu tipe kausatif morfologis (morphological causative) atau kausatif sintetik (synthetic causative) dan tipe kausatif sintaksis (syntactic causative) atau kausatif analitik (analitic causative) atau kausatif perifrastik (periphrastic causative). Kausatif morfologis merupakan konstruksi kausatif yang secara sintaksis bersifat monoklausal, yakni verba kausatif dan fungsi-fungsi yang melekat pada verba sebagai unit sintaksis tunggal. Sebaliknya, kausatif sintaksis merupakan konstruksi kausatif yang secara sintaksis bisa bersifat monoklausal (klausa tunggal) dan dapat bersifat biklausal. Berdasarkan beberapa uraian tentang pengkausatifan atau konstruksi kausatif di atas, pembahasan tentang pengkausatifan atau konstruksi kausatif dalam disertasi ini berpedoman pada pendapat yang dikemukakan oleh Comrie (1981: 158--160; 1989:165--171), yang membagi pengkausatifan atau konstruksi kausatif menjadi tiga berdasarkan parameter formal (morfosintaksis), yaitu kausatif analitik, kausatif morfologis, dan kausatif leksikal. Di samping itu juga berdasarkan parameter semantis yang membagi kausatif menjadi kausatif sejati, kausatif permisif, kausatif langsung, dan kausatif tak langsung. Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa secara tipologis, BKm digolongkan ke dalam kelompok bahasa isolasi karena minimnya afiks yang ditemukan dalam BKm. Tidak adanya afiks yang berfungsi untuk mengubah konstruksi nonkausatif menjadi konstruksi kausatif berdampak pada tidak ditemukannya pengkausatifan atau konstruksi kausatif morfologis dalam BKm. Dengan demikian, pembahasan pengkausatifan atau konstruksi kausatif dalam BKm berdasarkan parameter formal (morfosintaksis) hanya mencakup kausatif 206 leksikal dan kausatif analitik. Sementara, berdasarkan parameter semantis, pengkausatifan atau konstruksi kausatif BKm mencakup pembahasan tentang kausatif sejati, kausatif permisif, kausatif langsung, dan kausatif tak langsung. Setiap jenis kausatif di atas dibahas secara lebih terperinci pada sub-subbagian berikut. 6.3.1.1 Konstruksi Kausatif dengan Parameter Formal (Morfosintaksis) Pembahasan konstruksi kausatif BKm yang didasarkan pada parameter formal hanya mencakup pembahasan kausatif leksikal dan kausatif analitik. Kausatif morfologis tidak dibicarakan karena tidak ditemukannya afiks yang mengubah verba nonkausatif menjadi konstruksi kausatif. Pembahasan setiap konstruksi kausatif tersebut diuraikan di bawah ini. 6.3.1.1.1 Kausatif Leksikal Kausatif leksikal merupakan konstruksi kausatif yang ditunjukkan melalui verba yang saling berhubungan dalam predikat nonkausatif tetapi tidak berkaitan secara morfologis dengan predikat kausatif, hubungan predikat yang mengungkapkan akibat dan yang mengungkapkan sebab tidak sistematis, hanya diungkapkan dengan leksikal yang memiliki makna sebab-akibat, seperti kata die ‘mati’ dan kill ‘bunuh’ dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia dapat dicontohkan dengan verba kausatif, seperti mati/bunuh dan tumbang/tebang. Penerapan kedua verba mati/bunuh dan tumbang/tebang tersebut tersaji pada proposisi saya membunuh anjing itu dan ayah menebang pohon itu memiliki 207 sinonim saya menyebabkan anjing itu mati dan ayah menyebabkan pohon itu tumbang. Kausatif leksikal pada kedua klausa tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang sistematis antara verba bunuh dan tebang sebagai penyebab dari mati dan tumbang. Pengkausatifan atau konstruksi kausatif BKm umumnya menggunakan verba ekatransitif. Verba ekatransitif BKm sebagian besar mengandung makna kausatif, seperti verba nua ‘bunuh’, unu ‘tikam’, leli ‘tebang’, lobu ‘potong’, adi ‘asah’, demi ‘rendam’, sunu ‘bakar’, dan poa ‘belah’. Penerapan setiap verba ekatransitif pada konstruksi kausatif BKm tersaji pada klausa-klausa berikut. (6.19) Atmas senua nua ama-ng bibu Orang DEF bunuh ayah-Lig kambing ‘Orang itu membunuh kambing ayah’ (6.20) Mane senua unu atmas senua Lak-laki DEF tikam orang DEF ‘Laki-laki itu menikam orang itu’ (6.21) Au leli ai senua 1TG tebang pohon DEF ‘Saya menebang pohon itu’ (6.22) Ama lobu tali senua Ayah potong tali DEF ‘Ayah memotong tali itu’ (6.23) Ua adi di’ir anag 3TG asah pisau ‘Dia mengasah pisau’ (6.24) Ina demi au-ng Ibu rendam 1TG-Lig ‘Ibu merendam baju saya’ baru baju 208 (6.25) Roma sunu uma senua 3JM bakar rumah DEF ‘Mereka membakar rumah itu’ (6.26) Ita poa batu senua 1JM belah batu DEF ‘Kita membelah batu itu’ Klausa (6.19)--(6.26) merupakan konstruksi kausatif BKm. Dapat dijelaskna bahwa setiap verba yang membangun klausa di atas mengandung makna kausatif. Verba nua ‘bunuh’ yang membangun klausa (7.19) mengandung makna kausatif. Klausa (6.19) menggambarkan bahwa argumen atmas senua ‘orang itu’ yang secara sintaksis merupakan subjek gramatikal dan sekaligus secara semantis merupakan agen, melakukan suatu tindakan, yaitu membunuh yang terungkap melalui verba nua terhadap argumen amang bibu ‘kambing ayah’ yang secara sintaksis merupakan objek dan secara semantis merupakan pasien sehingga menyebabkan objek/pasien tersebut terbunuh/mati. Hal yang sama juga terjadi pada konstruksi kausatif pada klausa (6.20). Argumen mane senua ‘lakilaki itu’ yang secara sintaksis merupakan subjek gramatikal dan sekaligus secara semantis merupakan agen, melakukan suatu tindakan, yaitu menusuk argumen atmas senua ‘orang itu’ yang secara sintaksis merupakan objek dan secara semantis merupakan pasien melakukan suatu tindakan yang tercermin pada verba unu ‘tusuk’ sehingga menyebabkan objek/pasien tersebut tertusuk. Sama halnya pada klausa (6.19) dan (6.20), konstruksi kausatif pada klausa (6.21) menggambarkan bahwa argumen au ‘saya’ melakukan sesuatu, yaitu menebang argumen ai senua ‘pohon itu’ sehingga menyebabkan argumen tersebut tertebang/tumbang. Konstruksi kausatif pada klausa (6.22) menggambarkan 209 bahwa argumen ama ‘ayah’ melakukan suatu tindakan yang tercermin oleh verba lobu ‘potong’ sehingga menyebabkan tali senua ‘tali itu terpotong/putus. Selanjutnya berturut-turut verba adi ‘asah’ (klausa (6.23), demi ‘rendam’ (klausa 6.24), sunu ‘bakar’ (klausa 6.25), dan poa ‘belah’ (klausa 6.26) menggambarkan suatu tindakan yang dilakukan oleh argumen ua ‘dia’ (klausa 6.23), ina ‘ibu’ (klausa 6.24), roma ‘mereka’ (klausa 6.25), dan ita ‘kita’ (klausa (6.26) yang menyebabkan argumen di’ir anag ‘pisau’ menjadi terasah/tajam (klausa (6.23), argumen aung baru ‘baju saya’ menjadi terendam/basah (klausa 6.24), argumen uma senua ‘rumah itu’ menjadi terbakar/hangus (klausa 6.25), dan argumen batu senua ‘batu itu’ menjadi terbelah/pecah (klausa 6.26). Konstruksi kausatif pada klausa (6.23)--(6.26) merupakan konstruksi kausatif BKm yang dibangun oleh verba ekatransitif. Lebih jauh verba-verba ekatransitif tersebut secara alami telah memiliki makna sebab-akibat. Selain verba-verba ekatransitif tersebut, salah satu keunikan terkait dengan konstruksi kausatif yang dimiliki oleh BKm adalah BKm memiliki bentuk verba ekatransitif dari verba intransitif, seperti verba pule ‘mematahkan’, pae ‘memasukkan’, tboa ‘memecahkan, ’lape ‘menaikkan’, dan luida ‘menurunkan’. Verba ekatransitif yang membangun konstruksi kausatif BKm tersebut memiliki bentuk verba intransitif tersendiri, yaitu teta ‘patah’, mola ‘masuk’, broe ‘pecah’, du ‘naik’, dan sae ‘turun’. Klausa-klausa berikut menyajikan konstruksi kausatif BKm yang dibangun oleh verba ekatransitif yang memiliki bentuk verba intransitif tersendiri. (6.27) Au pule au-ng 1TG mematahkan 1TG-Lig ‘Saya mematahkan tangan saya’ lima-ng tangan-Lig 210 (6.28) Ali pae ika de ember Adik memasukkan ikan Prep ember ‘Adik memasukkan ikan ke ember’ (6.29) Ina tboa ura rae Ibu memecahkan periuk tanah ‘Ibu memecahkan periuk tanah’ (6.30) Atmas senua lape bea dase Orang DEF menaikkan air Prep ‘Orang itu menaikkan air dari sungai’ holang sungai (6.31) Mane senua luida nua senua Laki-laki DEF menurunkan kelapa DEF ‘Laki-laki itu menurunkan kelapa itu’ Klausa (6.27)--(6.31) merupakan konstruksi kausatif leksikal yang dibangun oleh verba ekatransitif. Verba ekatransitif yang membangun konstruksi kausatif leksikal tersebut memiliki bentuk verba intransitif tersendiri. Lebih jauh, verba-verba ekatransitif yang membangun konstruksi kausatif leksikal di atas secara alami sudah mengandung makna sebab-akibat. Konstruksi kausatif leksikal pada klausa (6.27)--(6.31) di atas menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang sistematis antara verba sebagai penyebab dari akibat yang ditimbulkan. 6.3.1.1.2 Kausatif Analitik Kausatif analitik disebut juga kausatif perifrastik. Kausatif jenis ini merupakan konstruksi kausatif yang memiliki predikat yang mengungkapkan sebab-akibat, penyebab diungkapkan oleh kata terpisah dari kata yang menunjukkan yang disebabkan (akibat). Predikat dalam konstruksi kausatif analitik diwujudkan dalam predikat yang terpisah. Konstruksi kausatif analitik 211 dalam BKm dicirikan dengan kehadiran verba yang bermakna kausatif tau ‘buat’dan laka ‘suruh’. Verba tau ‘buat’ dan laka ‘suruh’ merupakan verba yang mengandung makna kausatif dalam BKm. Kedua verba tersebut dapat membangun konstruksi kausatif dalam BKm. Verba tau ‘buat’ pada konstruksi kausatif menempati posisi sebelum predikat yang diisi oleh verba yang tidak bermakna kausatif sehingga membentuk verba kompleks yang bermakna kausatif yang menunjukkan sebabakibat. Penambahan verba tau ‘buat’ yang bernakna kausatif membawa dampak kepada peningkatan valensi karena adanya argumen baru yang hadir akibat dari penambahan verba yang bermakna kausatif tersebut. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa pada hakikatnya pengkausatifan merupakan proses peningkatan valensi dengan penambahan argumen agen/aktor yang sekaligus merupakan penyebab terjadinya sebuah peristiwa kausatif. Untuk membentuk konstruksi kausatif, verba tau ‘buat’ dalam BKm dapat diikuti oleh verba nonkausatif dalam bentuk verba intransitif dan verba transitif, Di samping dapat diikuti oleh kedua tipe verba tersebut, verba kausatif tau ‘buat’ juga dapat diikuti oleh adjektival. Berikut disajikan konstruksi kausatif analitik yang dibentuk dari verba kausatif tau ‘buat’ dan verba intransitif. (6.32) a. b. Au la de isikola 1TG pergi Prep sekolah ‘Saya pergi ke sekolah’ Ama tau au la de isikola Ayah buat 1TG pergi Prep isikola Ayah membuat saya pergi ke sekolah’ 212 c. (6.33) a. Ama tau la au de isikola Ayah buat pergi 1TG Prep isikola Ayah membuat pergi saya ke sekolah’ Au-ng ali-ng 1TG-Lig adik-Lig ‘Adik saya tidur’ bue tidur b. Ina tau au-ng ali-ng bue Ibu buat 1TG-Lig adik-Lig tidur ‘Ibu membuat adik saya tidur’ c. Ina tau bue au-ng ali-ng Ibu buat tidur 1TG-Lig adik-Lig ‘Ibu membuat tidur/menidurkan adik saya’ (6.34) a. Gelas senua mnahu Gelas DEF jatuh ‘Gelas itu jatuh’ b. Busa senua tau gelas senua mnahu Kucing DEF buat gelas DEF jatuh ‘Kucing itu membuat gelas itu jatuh’ b. Busa senua tau mnahu gelas senua Kucing DEF buat jatuh gelas DEF ‘Kucing itu membuat jatuh/menjatuhkan gelas itu’ (6.35) a. Hine senua plai wanita DEF lari ‘Wanita itu lari’ b. Asu boteng senua tau hine senua plai Anjing besar DEF buat wanita DEF lari ‘Anjing besar itu membuat wanita itu lari’ c. Asu boteng senua tau plai hine senua Anjing besar DEF buat lari wanita DEF ‘Anjing besar itu membuat lari wanita itu’ 213 (6.36) a. Roma hali 3JM pulang ‘Mereka pulang’ b. Ama tau roma hali Ayah buat 3JM pulang ‘Ayah membuat mereka pulang’ c. Ama tau hali roma Ayah buat pulang 3JM ‘Ayah membuat pulang mereka’ Klausa (6.32a)--(6.36a) merupakan konstruksi klausa yang dibangun oleh verba intransitif. Sementara, klausa (6.32b dan c) - (6.36b dan c) adalah konstruksi kausatif analitik yang dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dan verba intransitif. Lebih jauh, konstruksi kausatif analitik (6.32b)--(6.36b) memiliki konstruksi yang berbeda dengan konstruksi kausatif analitik (6.32c)-(6.36c). Konstruksi kausatif analitik (6.32c)--(6.36c) merupakan konstruksi alternasi dari konstruksi kausatif analitik (6.32b) - (6.36b). Namun, kedua konstruksi kausatif tersebut berterima secara gramatikal dalam BKm. Pada hakikatnya, konstruksi kausatif atau pengkausatifan yang mengubah klausa intransitif menjadi konstruksi kausatif analitik yang dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dengan verba intransitif, mengubah fungsi gramatikal subjek pada klausa intransitif, yaitu au ‘saya’ pada klausa (6.32a), aung aling ‘adik saya’ pada klausa (6.33a), gelas senua ‘gelas itu’ pada klausa (6.34a), hine senua ‘wanita itu’ pada klausa (6.35a), dan roma ‘mereka’ pada klausa (6.36a) menjadi fungsi gramatikal objek pada konstruksi kausatif analitik pada klausa (6.32b dan c)-(6.35b dan c). 214 Berikut disajikan konstruksi kausatif analitik yang dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dengan verba transitif. (6.37) a. b. (6.38) a. b. (6.39) a. b. (6.40) a. b Au tana ai senua 1TG tanam pohon DEF ‘Saya menanam pohon itu’ Ama tau au tana ai senua Ayah buat 1TG tanam pohon DEF ‘Ayah membuat saya menanam pohon itu’ Ua ala si ahi 3TG beli daging babi ‘Dia membeli daging babi’ Ina tau ua ala si ahi Ibu buat 1TG beli daging babi ‘Ibu membuat saya membeli daging babi’ Mane senua ne osa Laki-laki DEF beri uang ‘Laki-laki itu memberi uang’ Atmas senua tau mane senua ne Orang DEF buat laki-laki DEF beri ‘Orang itu membuat laki-laki itu memberi uang’ osa uang Ali leli ai enu senua Adik tebang pohon kelapa DEF ‘Adik menebang pohon kelapa itu’ Au tau ali leli ai enu senua 1TG buat adik tebang pohon kelapa DEF ‘Saya membuat adik menebang pohon kelapa itu’ Klausa (6.37a)--(6.40a) adalah klausa yang dibangun oleh verba transitif dalam BKm. Verba transitif pada klausa tersebut dapat pula membentuk konstruksi kausatif analitik apabila verba transitif tersebut didahului oleh verba 215 kausatif tau ‘buat’ seperti yang tersaji pada klausa (6.37b)--(6.40b). Konstruksi kausatif analitik pada klausa tersebut dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat dengan verba transiitf, yaitu tana ‘tanam’ pada klausa (6.37b), ala ‘beli’ pada klausa (6.38b), ne ‘beri’ pada klausa (6.39b), dan leli ‘tebang’ pada klausa (6.40b). Hakikat pengkausatifan yang mengubah kluasa dengan verba transitif menjadi konstruksi kausatif analitik yang dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ mengubah fungsi gramatikal subjek pada klausa transitif, yaitu au ‘saya’ pada klausa (6.37a), ua ‘dia’ pada klausa (6.38a), mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (6.39a), dan ali ‘adik’ pada klausa (6.40a) menjadi fungsi gramatikal objek pada konstruksi kausatif analitik pada klausa (6.37b)--(6.40b). Bagian sebelumnya telah menguraikan konstruksi kausatif yang dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dengan verba intransitif dan verba ekatransitif. Bagian berikutnya menguraikan konstruksi kausatif yang dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dengan predikat yang ditempati oleh adjektival. Untuk lebih jelasnya, perhatikan klausa-klausa di bawah ini. (6.41) a. Uma senua bderang Rumah DEF bersih ‘Rumah itu bersih’ b. Ina tau uma senua bderang Ibu buat rumah DEF bersih ‘Ibu membuat rumah itu bersih’ c. Ina tau bderang uma senua Ibu buat bersih rumah DEF ‘Ibu membuat bersih rumah itu’ 216 (6.42) a. Au-ng ahi 1TG-Lig babi ‘Babi saya besar’ boteng besar b. Ina tau boteng au-ng ahi Ibu buat besar 1TG-Lig babi ‘Ibu membuat besar/membesarkan babi saya’ c. Ina tau au-ng ahi Ibu buat 1TG-Lig babi ‘Ibu membuat babi saya besar’ (6.43) a. boteng besar Bea senua bansang Air DEF panas ‘Air itu panas’ b. Atmas senua tau bansang bea senua Orang DEF buat panas air DEF ‘Orang itu membuat panas/memanaskan air itu’ c. Atmas senua tau bea senua bansang Orang DEF buat air DEF panas ‘Orang itu membuat air itu panas’ (6.44) a. Ita-ng baru 1JM-Lig baju ‘Baju kita kering’ mega’ang kering b. Roma tau mega’ang ita-ng baru 3JM buat kering 1JM-Lig baju ‘Mereka membuat kering/mengeringkan baju kita’ c. Roma tau ita-ng baru mega’ang 3JM buat 1JM-Lig baju kering ‘Mereka membuat baju kita kering’ Klausa (6.41a)--(6.44a) merupakan klausa intransitif yang dibangun oleh predikat yang ditempati oleh adjektival, yaitu bderang ‘bersih’ pada klausa (6.41a), boteng ‘besar’ pada klausa (6.42a), bansang ‘panas’ pada klausa (6.43a), 217 dan mega’ang ‘kering’ pada klausa (6.44a). Sementara, klausa (6.41b dan c)-(6.44b dan c) merupakan hasil pengkausatifan atau konstruksi kausatif analitik yang dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dan predikat intransitif yang ditempati oleh adjektival. Lebih jauh, konstruksi kausatif analitik (6.41b)--(6.44b) memiliki konstruksi yang berbeda dengan konstruksi kausatif analitik (6.41c)-(6.44c). Konstruksi kausatif analitik (6.41c)--(6.44c) merupakan konstruksi alternasi dari konstruksi kausatif analitik (6.41b)--(6.44b). Namun, kedua konstruksi kausatif tersebut berterima secara gramatikal dalam BKm. Pada hakikatnya, pengkausatifan yang mengubah klausa intransitif dengan predikat adjektival menjadi konstruksi kausatif analitik yang dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dengan predikat intransitif yang diisi oleh adjektival, merubah fungsi gramatikal subjek pada klausa intransitif, yaitu uma senua ‘rumah itu’ pada klausa (6.41a), aung ahi ‘babi saya’ pada klausa (6.42a), bea senua ‘air itu’ pada klausa (6.43a), dan itang baru ‘baju kita’ pada klausa (6.44a) menjadi fungsi gramatikal objek pada konstruksi kausatif analitik pada klausa (6.41b dan c)--(6.44b dan c). Di atas telah diuraikan pengkausatifan atau konstruksi kausatif analitik yang dibentuk oleh verba kausatif tau ‘buat’ dengan verba intransitif, verba transitif, dan predikat yang diisi oleh adjektival. Berikut ini diuraikan pengkausatifan atau konstruksi kausatif yang dibanrtuk oleh verba kausatif laka ‘suruh’ yang diikuti oleh verba intransitif dan verba transitif. Pada konstruksi kausatff dengan verba kausatif laka ’suruh’, tidak dapat diikuti oleh predikat yang ditempati oleh adjektival. Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan konstruksi 218 kausatif yang dibentuk oleh verba kausatif laka ‘suruh’ dengan verba intransitif dan verba transitif. (6.45) a. Mane senua hali Laki-laki DEF pulang ‘Laki-laki itu pulang’ b. Au-ng ama-ng laka hali mane 1TG-Lig ayah-Lig suruh pulang laki-laki ‘Ayah saya menyuruh pulang laki-laki itu’ c. Au-ng ama-ng laka mane 1TG-Lig ayah-Lig suruh laki-laki ‘Ayah saya menyuruh laki-laki itu pulang’ (6.46) a. Au-ng he-ng 1TG-Lig istri-Lig ‘Istri saya tidur’ bue tidur b. Au laka bue Au-ng 1TG suruh tidur 1TG-Lig ‘Saya menyuruh tidur istri saya’ c. Au laka Au-ng he-ng 1TG suruh 1TG-Lig istri-Lig ‘Saya menyuruh istri saya tidur’ (6.47) a. he-ng istri-Lig Hine senua hnanu Wanita DEF nyanyi ‘Wanita itu bernyanyi’ b. Yohanes laka hnanu hine senua Yohanes suruh nyanyi wanita DEF ‘Yohanes menyuruh bernyanyi wanita itu’ c. Yohanes laka hine senua hnanu Yohanes suruh wanita DEF nyanyi ‘Yohanes menyuruh wanita itu bernyanyi’ bue tidur senua DEF senua hali DEF pulang 219 (6.48) a. b. (6.49) a b. (6.50) a. b. Maria ala kokis Maria beli kue ‘Maria membeli kue’ Ina laka Maria ala kokis Ibu suruh Maria beli kue ‘Ibu menyuruh Maria membeli kua’ Au pegegini osa 1Tg pinjam uang ‘Saya meminjam uang’ Ama laka au pegegini osa Ayah suruh 1TG pinjam uang ‘Ayah menyuruh saya meminjam uang’ Ali lotu uta Adik potong sayur ‘Adik memotong sayur’ Ina laka ali lotu uta Ibu suruh adik potong sayur ‘Ibu menyuruh adik memotong sayur’ Sama halnya dengan mekanisme pengkausatifan atau konstruksi kausatif analitik dengan verba kausatif tau ‘buat’, verba kausatif laka ‘suruh’ juga memiliki kemampuan untuk membentuk konstruksi kausatif analitik, seperti yang tersaji pada konstruksi kausatif (6.45b)--(6.50b). Klausa (6.45a)--(6.47a) adalah klausa yang dibangun oleh verba intransitif, sementara klausa (6.48a)--(6.50a) dibangun oleh verba transitif dalam BKm. Verba intransitif dan transitif pada klausa (6.45a)--(6.50a) dapat pula membentuk konstruksi kauatif analitik apabila verba intransitif dan verba transitif tersebut didahului oleh verba kausatif laka ‘suruh’ seperti yang tersaji pada klausa (6.45b)--(6.50b). Konstruksi kausatif analitik pada klausa tersebut dibangun oleh 220 verba kausatif laka ‘suruh’ dengan verba intransitif, yaitu hali ‘pulang’ pada klausa (6.45b), bue ‘tidur’ pada klausa (6.46b), dan hananu ‘nyanyi’ pada klausa (6.47b), dan dengan verba transitif , yaitu ala ‘beli’ pada klausa (6.48b), pegegini ‘pinjam’ pada klausa (6.49b), dan lotu ‘potong’ pada klausa (6.50b). Pengkausatifan dengan verba kausatif laka ‘suruh’ mengubah kluasa dengan verba intransitif dan verba transitif menjadi konstruksi kausatif analitik, pada hakikatnya merngubah fungsi gramatikal subjek pada klausa dengan verba intransitif, yaitu mane senua ‘wanita itu’ pada klausa (6.45a), aung heng ‘istri saya’ pada klausa (6.46a), mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (6.47a). Di samping itu, juga mengubah fungsi gramatikal subjek pada klausa dengan verba transitif, yaitu Maria ‘Maria’ pada klausa (6.48a), au ‘saya’ pada klausa (6.49a), dan ali ‘adik’ menjadi fungsi gramatikal objek pada konstruksi kausatif analitik pada klausa (6.45b)--(6.50b). 6.3.1.2 Konstruksi Kausatif dengan Parameter Semantis Pada bagian sebelumnya telah diuraikan tentang pengkausatifan atau konstruksi kausatif dengan parameter formal (morfosintaksis). Terdapat dua kelompok kausatif yang berdasarkan parameter semantis, yaitu konstruksi kausatif yang didasarkan pada (1) tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee) dan (2) kedekatan hubungan antara komponen sebab dan komponen akibat. Pembahasan setiap jenis konstruksi kausatif disajikan sebagai berikut. 221 6.3.1.2.1 Kausatif Sejati dan Kausatif Permisif Pada bagian berikut disajikan konstruksi kausatif BKm yang didasarkan pada parameter semantis berdasarkan tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee) (Comrie, 1981: 158--160; 1989:165--171), yaitu kausatif sejati dan kausatif permisif. (6.51) Yohanes pule nou-ng Yohanes mematahkan 3TG-Lig ‘Yohanes mematahkan kakinya’ (6.52) Au-ng ali-ng lotu 1TG-Lig adik-Lig iris ‘Adik saya mengiris tangannya’ oe-ng kaki-Lig nou-ng 3TG-Lig (6.53) Atmas senua nua au-ng Orang DEF bunuh 1TG-Lig ‘Orang itu membunuh anjing saya’ lima-ng tangan-Lig asu anjing (6.54) Au leli ai senua 1TG potong pohon DEF ‘Saya memotong pohon itu’ Klausa (6.51) dan (6.52) merupakan konstruksi kausatif sejati BKm. Sementara, klausa (6.53) dan (6,54) merupakan konstruksi kausatif permisif BKm. Dapat dijelaskan bahwa klausa (6.51) dan (6.52) merupakan konstruksi kausatif sejati mengacu kepada ketidakmampuan Yohanes ‘Yohanes’ pada klausa (6.51) dan aung aling ‘adik saya’ pada klausa (6.52) untuk mencegah terjadinya sebuah kejadian yang menimpa, atau dengan kata lain, penyebab (causee) tidak dapat memegang kendali atas kejadian yang terjadi (akibat). Sementara, klausa (7.53) dan (7.54) memiliki situasi sebaliknya. Pada klausa (7.53) dan (7,54), 222 penyebab (causee) memiliki potensi untuk memegang kendali atau memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya sebuah kejadian (akibat). 6.3.1.2.2 Kausatif Langsung dan Kausatif Tak Langsung Comrie (1981: 165) menjelaskan bahwa kausatif langsung dan kausatif tak langsung dibedakan berdasarkan parameter rentang waktu dari hubungan antara sebab dan akibat. Kausatif langsung merupakan konstruksi kausatif yang menunjukkan rentang waktu antara sebab dan akibat yang berlangsung tidak lama atau berlangsung secara singkat. Sebaliknya, kausatif tak langsung adalah konstruksi kausatif yang menunjukkan rentang waktu antara sebab dan akibat yang berlangsung lama. Lebih jauh, Comrie (1981: 165) menambahkan bahwa konstruksi kausatif langsung dan kausatif tak langsung dapat pula dibedakan dengan parameter yang membangun konstruksi kausatif tersebut. Konstruksi kausatif langsung umumnya dibangun oleh verba transitif. Sementara, kausatif tak langsung dibangun oleh verba intransitif dan predikat intransitif yang ditempati oleh adjektival. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh klausa berikut ini. (6.55) Ua tutu au 3TG pukul 1TG ‘Dia memukul saya’ (6.56) Mane boteng senua betu au-ng Laki-laki besar DEF tendang 1TG-Lig ‘Laki-laki besar itu menendang anjing saya’ (6.57) Ali gasi ina-ng lima-ng Adik gigit ibu-Lig tangan-Lig ‘Adik menggigit tangan ibu’ asu anjing 223 (6.58) Au tau bderang au-ng uma 1TG` buat bersih 1TG-Lig rumah ‘Saya membuat bersih/membersihkan rumah saya’ (6.59) Ina tau bue au-ng ali-ng Ibu buat tidur 1TG-Lig adik_Lig ‘Ibu membuat tidur/menidurkan adik saya’ (6.60) Au-ng he-ng tau bansang 1TG-Lig istri-Lig buat panas ‘Istri saya membuat panas/memanaskan air’ bea air Klausa (6.55)--(6.57) merupakan konstruksi kausatif langsung. Konstruksi tersebut dikategorikan pula sebagai konstruksi kausatif leksikal berdasarkan parameter formal (morfosintaksis). Dapat dijelaskan bahwa konstruksi klausa (6.55) - (6.57) dikategorikan sebagai konstruksi kausatif langsung karena rentang waktu antara sebab dan akibat terbilang singkat. Jika diamati satu demi satu dari verba yang membangun konstruksi kausatif tersebut, seperti verba tutu ‘pukul’ pada klausa (6.55), betu ‘tendang’ pada klasau (6.56), dan gasi ‘gigit’ pada klausa (6.57) menggambarkan rentang waktu yang singkat antara tindakan memukul, menendang, dan menggigit sebagai sebab dan akibat yang ditimbulkan dari tindakan tersebut. Berbeda dengan konstruksi kausatif (6.55)--(6.57), konstruksi kausatif (6.58)--(6.60) dikategorikan sebagai konstruksi kausatif tak langsung. Konstruksi kausatif (6.58)--(6.60) tersebut dapat pula dikategorikan sebagai konstruksi kausatif analitik dengan kehadiran verba kausatif tau ‘buat’ dan verba intransitif dan predikat intransitif yang diisi oleh adjektival yang membangun konstruksi kausatif tersebut. Terkait dengan konstruksi kausatif (6.58) sampai dengan (6.60) yang dikategorikan sebagai kausatif tak langsung berdasarkan parameter semantis 224 dapat dijelaskan bahwa rentang waktu yang tersaji oleh verba tau bderang ‘membuat bersih/membersihkan’ pada klausa (6.58), tidur/menidurkan’ pada klausa (6.59), dan tau tau bue ‘membuat bansang ‘membuat panas/memanaskan’ pada klausa (6.60) menggambarkan rentang waktu yang lama antara tindakan yang merupakan sebab dan akibat yang ditimbulkan. Misalnya, au tau mderang aung uma ‘saya membuat bersih/membersihkan rumah saya’ membutuhkan waktu lama untuk tindakan yang digambarkan oleh verba tersebut dengan akibat yang dihasilkan dari tindakan tersebut. Pembahasan tentang konstruksi kausatif di atas menunjukkan bahwa konstruksi kausatif BKm dapat dibedakan berdasarkan dua parameter, yaitu parameter formal (morfosintaksis) dan parameter semantis. Berdasarkan parameter formal, konstruksi kausatif BKm dibagi menjadi dua, yaitu kausatif leksikal dan kausatif analitik. Tidak ditemukan adanya kausatif morfologis dalam BKm karena BKm secara tipologis digolongkan ke dalam bahasa isolasi sehingga tidak ditemukan pula proses afiksasi yang dapat membentuk konstruksi kausatif. Kausatif analitik Bkm dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dengan predikat yang diisi oleh verba intransitif, verba transitif, dan predikat adjektival. Di samping konstruksi kausatif yang dibangun oleh verba kausatif tau ’buat’, konstruksi kausatif BKm juga dapat dibentuk dengan bantuan verba kausatif laka ‘suruh’. Verba kausatif laka ‘suruh’ ini hanya bisa diikuti oleh verba intransitif dan transitif untuk membentuk konstruksi kausatif BKm. Berdasarkan parameter semantis, konstruksi kausatif BKm dibedakan pula berdasarkan (1) tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee) dan (2) parameter rentang waktu dari 225 hubungan antara sebab dan akibat. Berdasarkan tingkat kendali tersebab (causee), konstruksi kausatif BKm dibedakan menjadi kausatif sejati dan kausatif permisif. Sementara, berdasarkan rentang waktu dari hubungan antara sebab dan akibat, konstruksi kausatif BKm dibedakan menjadi kausatif langsung dan kausatif tak langsung. 6.3.2 Konstruksi Aplikatif Bahasa Kemak Tidak seperti pengkausatifan yang menitikberatkan pada hubungan timbal balik antara dua komponen, yaitu komponen sebab dan akibat dalam sebuah situasi mikro, pengaplikatifan merupakan proses derivasional yang lebih menekankan pada aspek penaikan atau peningkatan jumlah argumen (Shibatani dalam Shibatani dan Thompson, 1996: 159--160). Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Trask (1993:18--19) yang mengungkapkan bahwa konstruksi aplikatif merupakan proses penciptaan objek baru, yakni objek (batin) tak langsung (underlying indirect object). Payne (1997: 186) berpendapat bahwa pengaplikatifan pada hakikatnya merupakan sebuah proses penaikan valensi sehingga argumen periferi menduduki posisi yang lebih tinggi, yaitu menduduki posisi argumen inti. Berdasarkan pendapat yang diuraikan oleh para ahli bahasa (Shibatani dalam Shibatani dan Thompson, (ed) 1996: 159--160; Trask, 1993:18--19; dan Payne, 1997: 186 ) di atas pada prinsipnya sama dan dapat ditarik sebuah benang merah bahwa pengaplikatifan atau konstruksi aplikatif merupakan sebuah proses penaikan atau penambahan valensi dengan penciptaan argumen baru, yaitu objek 226 (batin) tak langsung (underlying indirect object), Argumen baru ini diciptakan dari unsur periferi yang kemudian dinaikkan menjadi objek melalui mekanisme pengaplikatifan. Pengaplikatifan tidak hanya berorientasi pada peningkatan argumen, tetapi juga pada pengaplikatifan terkandung mekanisme perpindahan atau transfer tindakan dari agen ke pasien. Terkait dengan pengaplikatifan yang pada prinsipnya merupakan proses penaikan valensi, maka pembahasan pengaplikatifan ini berhubungan erat dengan ketransitifan verba. Verba sebagai poros inti (head) sebuah klausa memiliki peranan penting dalam proses peningkatan valensi. Pada bahasa dengan tipe aglutinasi, proses peningkatan valensi terjadi sebagai akibat dari proses morfologis, yaitu afiksasi. Proses peningkatan valensi melalui proses afiksasi, tersaji pada klausa bahasa Indonesia berikut. (6.61) Ibu duduk di kursi (6.62) Ibu menduduki kursi Verba duduk pada klausa (6.61) hanya membutuhkan satu argumen inti dengan peran semantis sebagai agen. Berbeda dengan klausa (6.61), klausa (6.62) membutuhkan dua argumen inti, yaitu ibu yang secara semantis sebagai agen dan kursi sebagai pasien. Sebelumnya, pasien pada klausa (6.62) merupakan unsur periferi pada (6.61). Berbeda dengan proses morfologis yang ditunjukkan pada contoh klausa bahasa Indonesia di atas, BKm memiliki mekanisme tersendiri untuk membentuk konstruksi aplikatif. Seperti diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa BKm secara tipologis dikelompokkan ke dalam bahasa isolasi mengingat minimnya afiks yang ditemukan pada BKm sehingga proses morfologis berupa afiksasi tidak 227 ditemukan untuk membentuk konstruksi aplikatif. Pengaplikatifan BKm memiliki mekanisme tersendiri, yaitu dengan hadirnya pemarkah aplikatif podi yang menempati posisi setelah verba atau posverbal. Konstruksi aplikatif BKm merupakan konstruksi aplikatif yang dinyatakan dengan kehadiran pemarkah podi setelah predikat yang ditempati oleh verba ekatransitif. Fungsi pemarkah podi ini adalah untuk meningkatkan valensi dengan mewajibkan kehadiran argumen baru (benefaktif) yang berfungsi sebagai objek tak langsung dan menempati posisi langsung setelah predikat. Di samping hadirnya pemarkah aplikatif podi, konstruksi aplikatif BKm juga dapat dibangun dengan dimarkahi preposisi odi ‘untuk’. Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan proses pengaplikatifan atau konstruksi aplikatif BKm. (6.63) a. Au ala baru 1TG beli baju ‘Saya membali baju’ b. au ala podi ua baru 1TG beli APL 3TG baju ‘Saya membelikan dia baju’ c. Au ala baru odi ua 1TG beli baju Prep 3TG ‘Saya membelikan baju untuk dia’ (6.64) a. b. Ama pegegini osa Ayah pinjam uang ‘Ayah meminjam uang’ Ama pegegini podi atmas senua osa Ayah pinjam APL orang DEF uang ‘Ayah meminjamkan orang itu uang’ 228 c. (6.65) a. Ama pegegini osa odi atmas senua Ayah pinjam uang Prep orang DEF ‘Ayah meminjamkan uang untuk orang itu’ Ina ne kokis Ibu beri kue ‘Ibu memberi kue’ b. Ina ne podi au-ng Ibu beri APL 1TG-Lig ‘Ibu memberikan adik saya kue’ c. Ina ne kokis odi au-ng Ibu beri kue Prep 1TG-Lig ‘Ibu memberikan kue untuk adik saya’ (6.66) a. Ali tau kopi Adik buat kopi ‘Adik membuat kopi’ b. Ali tau podi ama kopi Adik buat APL ayah kopi ‘Adik membuatkan ayah kopi’ c. Ali tau kopi odi ama Adik buat kopi Prep ayah ‘Adik membuatkan kopi untuk ayah’ Maria tulis surat Maria tulis surat ‘Maria menulis surat’ (6.67) a. ali-ng adik-Lig b. Maria tulis podi hine senua surat Maria tulis APL wanita DEF surat ‘Maria menuliskan wanita itu surat’ c. Maria tulis surat odi hine senua Maria tulis surat Prep wanita DEF ‘Maria menuliskan surat untuk wanita itu’ kokis kue ali-ng adik-Lig 229 Klausa (6.63a)--(6.66a) merupakan klausa dengan predikat yang ditempati oleh verba transitif. Konstruksi klausa tersebut menghadirkan dua argumen, yaitu subjek dan objek langsung. Subjek klausa tersebut terdiri atas: au ‘saya’ pada klausa (6.63a), ama ‘ayah’ pada klausa (6.64a), ina ‘ibu’ pada klausa (6.65a), ali ‘adik’ pada klausa (6.66a), dan Maria ‘Maria’ pada klausa (6.67a). Objek langsung klausa tersebut terdiri atas baru ‘baju’ pada klausa (6.63a), osa ‘uang’ pada klausa (7.64a), kokis ‘kue’ pada klausa (6.65a), kopi ‘kopi’ pada klausa (7.66a), dan surat ‘surat’ pada klausa (6.67a). Konstruksi klausa (6.63a)--(6.67a) dengan verba transitif yang mewajibkan kehadiran dua argumen tersebut, memungkinkan hadirnya argumen benefaktif berupa objek tak langsung yang hadir langsung setelah predikat (verbal) dan pemarkah aplikatif. Untuk meningkatkan valensi verba, dibutuhkan kehadiran pemarkah aplikatif podi untuk membentuk konstruksi aplikatif yang menempati posisi antara verba dan objek tak langsung, seperti yang tersaji pada klausa (6.63b)--(6.67b). Argumen benefaktif yang hadir pada klausa (6.63b) (6.66b), yaitu ua ‘dia’ pada klausa (6.63b), atmas senua ‘orang itu’ pada klausa (6.64b), aung aling ‘adik saya’ pada klausa (6.65b), ama ‘ayah’ pada klausa (6.66b), dan hine senua ‘wanita itu’ pada klausa (6.67b). Konstruksi klausa (6.63c)--(6.67c) juga merupakan konstruksi aplikatif yang bermarkah preposisi de ‘untuk’. Konstruksi kausatif (6.63c)--(6.67c) memiliki konstruksi yang berbeda dengan konstruksi aplikatif (6.63b)--(6.67b). Letak perbedaannya pada posisi objek langsung dan objek tak langsung setiap konstruksi aplikatif tersebut. Objek tak langsung pada konstruksi aplikatif (6.63b)--(6.67b) berada langsung setelah 230 predikat (verba) dan pemarkah aplikatif. Sementara, objek tak langsung pada konstruksi aplikatif (6.63c)--(6.67c) berada setelah objek langsung dengan dimarkahi oleh preposisi odi ‘untuk’ dan secara langsung membuat pemarkah aplikatif podi menjadi hilang. Berdasarkan contoh klausa (6.63)--(6.67) di atas, dapat dikemukakan bahwa konstruksi aplikatif BKm dibentuk dengan kehadiran argumen baru (benefaktif) sebagai objek tak langsung dan tidak berfungsi sebagai oblik. Lebih jauh, konstruksi aplikatif BKm tidak dapat diturunkan dari klausa/kalimat dengan predikat verba intransitif. Hal ini disebabkan oleh hadirnya argumen baru (benefaktif) pada konstruksi aplikatif tersebut yang berkedudukan sebagai objek tak langsung dan tidak pernah sama sekali sebagai oblik. Simpulan tentang konstruksi aplikatif (benefaktif) BKm diperkuat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Shibatani (Shibatani dalam Shibatani dan Thompson, (ed.) 1996: 159--160), yang menegaskan bahwa konstruksi aplikatif benefaktif diturunkan dari klausa dengan predikat verba transitif dan jarang diturunkan dari klausa/kalimat dengan predikat verba intransitif. 6.3.3 Konstruksi Resultatif Bahasa Kemak Istilah resultatif dimaknai sebagai suatu keadaan yang di dalamnya tersirat peristiwa yang dinyatakan oleh verba resultatif telah terjadi dan dari peristiwa yang dinyatakan itu menghasilkan suatu hasil. Konstruksi resultatif juga termasuk salah satu mekanisme perubahan valensi verba. Konstruksi resultatif berbeda dengan konstruksi statif. Sekilas kedua konstruksi tersebut tampak sama. Namun, 231 terdapat perbedaan antara konstruksi resultatif dan konstruksi statif, yakni (1) konstruksi statif mengungkapkan suatu keadaan tanpa implikasi apa pun terkait dengan asal-muasalnya, sedangkan konstruksi resultatif mengungkapkan, baik keadaan maupun tindakan yang mendahuluinya (Nedjalkov dan Jaxontov, 1998:6). Pendapat terkait dengan konstruksi aplikatif juga diungkapkan oleh Artawa (2004:84) dan Jufrizal (2004:248). Mereka mengungkapkan bahwa konstruksi resultatif atau konstruksi hasilan umumnya diterapkan pada verba yang mengungkapkan suatu keadaan yang menyiratkan peristiwa sebelumnya. Comrie (1985) menggunakan istilah antikausatif untuk merujuk pada suatu gejala sintaksis, yaitu penurunan verba intransitif dari verba transitif. Antikausatif dan resultatif merupakan dua istilah yang berdekatan terkait dengan pengertian dan cakupannya. Comrie (1985:325) juga mengungkapkan bahwa konstruksi antikausatif ini memiliki persamaan dengan konstruksi pasif. Persamaan kedua konstruksi terletak pada objek langsung pada verba intransitif dapat menjadi subjek dalam konstruksi antikausatif. Agen konstruksi pasif bersifat opsional, sedangkan agen pada konstruksi antikausatif tidak pernah dinyatakan. Berikut disajikan contoh klausa bahasa Inggris yang memperlihatkan kaitan antara antikausatif dan pasif (dikutip dari Jufrizal, 2004:249). (6.68) a. Anton opened the door b. The door opened c. The door was opened Klausa (6.68a) merupakan klausa dasar, klausa (6.68b) merupakan konstruksi kausatif, dan klausa (6.68c) merupakan konstruksi pasif. Perbedaan antara antikausatif dan pasif terlihat pada klausa (6.68b) dan (6.68c). Agen pada 232 konstruksi pasif (6.68c) bersifat opsional, sedangkan agen pada konstruksi antikausatif (6.68b) tidak pernah dinyatakan Artawa (1998: 55--56) mengungkapkan bahwa konstruksi resultatif dapat disejajarkan dengan istilah antikausatif (lihat juga Comrie (1985)) sehingga pembahasan tentang konstruksi resultatif juga dapat dikatakan sebagai telaah tentang konstruksi antikausatif. Artawa (1998:55--56) juga mengungkapkan bahwa konstruksi resultatif dikenal sebagai konstruksi yang mirip dengan konstruksi pasif. Terkait dengan konstruksi resultatif yang mirip dengan konstruksi pasif, maka pembahasan konstruksi resultatif BKm pada disertasi ini juga menyentuh konstruksi pasif yang terdapat dalam BKm. Pada prinsipnya konstruksi resultatif merupakan salah satu mekanisme perubahan valensi berupa penurunan valensi. Penurunan valensi ini berakibat pada penurunan fungsi argumen inti menjadi argumen noninti. Terkait dengan telaah tentang resultatif yang mirip dengan konstruksi pasif, maka pembahasan resultatif BKm ini terkait pula dengan konstruksi pasif. Seperti telah diungkapkan ssbelumnya bahwa BKm tidak memiliki pemarkah morfologis untuk membangun konstruksi pasif . Dengan kata lain, BKm tidak memiliki proses afiksasi (afiks) yang dapat menurunkan valensi verba. Namun, BKm memiliki mekanisme sendiri untuk membentuk konstruksi pasif atau mnurunkan valensi verba dari verba transitif menjadi verba intransitif. Untuk penurunan valensi melalui mekanisme pemasifan, BKm memiliki konstruksi pasif analitik dengan hadirnya pemarkah pasif toma ‘dapat’ yang menempati posisi praverbal (sebelum predikat verbal). Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh klausa berikut yang memperlihatkan 233 konstruksi resultatif BKm, yaitu penurunan valensi verba dari verba transitif menjadi verba intransitif. (6.69) a. b. (6.70) a. b. (6.71) a. b. (6.72) a. b. Ina ala baru buti Ibu beli baju putih ‘Ibu membeli baju putih’ Baru buti toma ala Baju putih dapat beli ‘Baju putih dibeli’ Ua pegegini osa ribun hrua 3TG pnjam uang ribu dua ‘Saya meminjam uang dua ribu’ Osa ribun hrua toma pegegini uang ribu dua dapat pinjam ‘Uang dua ribu dipinjam’ Atmas senua tutu au Orang DEF pukul 1TG ‘Orang itu memukul saya’ Au toma tutu 1TG dapat pukul ‘Saya dipukul’ Bili do au-ng Bili lempar 1TG-Lig ‘Bili melempar adik saya’ ali-ng adik-Lig Au-ng ali-ng 1TG-Lig adik-Lig ‘Adik saya dilempar’ toma do dapat lempar Klausa (6.69a)--(6.72a) di atas adalah klausa transitif BKm. Sementara, klausa (6.69b)--(6.72b) merupakan konstruksi hasilan atau konstruksi resultatif yang diturunkan dari konstruksi (6.69a)--(6.72a). Pembentukan konstruksi 234 resultatif BKm melalui mekanisme pemasifan yang diturunkan dari klausa transitif. Seperti telah diuraikan di atas bahwa konstruksi resultatif memiliki kemiripan dengan konstruksi antikausatif dan konstruksi pasif. Dengan demikian, konstruksi pasif yang dihasilkan dari klausa transitif merupakan konstruksi antikausatif juga karena agen tidak pernah dinyatakan, Di samping mekanisme pemasifan untuk mengungkapkan berhasilnya suatu tindakan (resultatif), BKm juga memiliki cara lain untuk mengungkapkan berhasilnya suatu tindakan, yaitu dengan leksikal kasai ‘sudah’ yang menempatkan posisi akhir klausa/kalimat. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh klausa yang disajikan berikut. (6.73) a. b. (6.74) a. b. (6.75) a. b. Ama leli ai nua Ayah tebang pohon kelapa ‘Ayah menebang pohon kelapa’ Ama leli ai nua kasai Ayah tebang pohon kelapa sudah ‘Ayah sudah menebang pohon kelapa’ Roma sunu ika 3JM bakar ikan ‘Mereka membakar ikan’ Roma sunu ika kasai 3JM bakar ikan sudah ‘Mereka sudah membakar ikan’ Ua ala buku 3TG beli buku ‘Saya membeli buku’ Ua ala buku kasai 3TG beli buku sudah ‘Saya sudah membeli buku’ 235 (6.76) a. Au se’o au-ng bibu 1TG jual 1TG-Lig kambing ‘Saya menjual kambing saya’ b. Au se’o au-ng bibu 1TG jual 1TG-Lig kambing ‘Saya sudah menjual kambing saya’ kasai sudah Klausa (6.73a)--(6.74a) adalah konstruksi transitif BKm yang dibangun oleh verba leli ‘tebang’ pada klausa (6.73a), sunu ‘bakar’ pada klausa (6.74a), ala ‘beli’ pada klausa (6.75a), dan se’o ‘jual’ pada klausa (6.76a). Secara khusus, verba leli ‘tebang’ pada klausa (6.73a) dan sunu ‘bakar’ pada klausa (6.74a) mengandung makna kausatif. Sementara, klausa (6.73b)--(6.74b) juga merupakan konstruksi transitif. Perbedaannya terletak pada hadirnya pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ pada (6.73b)--(6.74b) yang menyebabkan konstruksi tersebut menjadi konstruksi transitif resultatif. Dengan hadirnya pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ pada hakikatnya mengandung makna bahwa peristiwa tersebut telah berhasil dilakukan. 6.4 Temuan Penelitian Bab ini telah menguraikan valensi verba BKm. Pembahasan valensi verba menyangkut ketransitifan verba, valensi verba, dan mekanisme perubahan valensi verba BKm. Pembahasan mekanisme perubahan valensi verba meliputi konstruksi kausatif, konstruksi aplikatif (benefaktif), dan resultatif. Berikut diuraikan beberapa temuan yang terkait dengan pembahasan valensi verba BKm. 1. Pada hakikatnya, pembahasan valensi verba BKm terkait dengan proses penaikan/penambahan dan penurunan/pengurangan jumlah argumen yang hadir 236 pada sebuah konstruksi klausa/kalimat. Proses penaikan/penambahan argumen yang hadir dalam sebuah klausa/kalimat dapat dijumpai pada pengkausatifan/konstruksi kausatif dan pengaplikatifan/konstruksi aplikatif. Sebaliknya, proses penurunan/pengurangan jumlah argumen dalam BKm dapat dijumpai pada proses pembentukan konstruksi resultatif, yang diturunkan dari konstruksi transitif menjadi konstruksi intransitif. 2. Konstruksi kausatif BKm dapat dibedakan berdasarkan dua parameter, yaitu parameter formal (morfosintaksis) dan parameter semantis. Berdasarkan parameter formal, konstruksi kausatif BKm dibagi menjadi dua, yaitu kausatif leksikal dan kausatif analitik. Kausatif analitik BKm dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dengan predikat yang diisi oleh verba intransitif, verba transitif, dan predikat adjektival. Di samping konstruksi kausatif yang dibangun oleh verba kausatif tau ’buat’, konstruksi kausatif BKm juga dapat dibentuk dengan bantuan verba kausatif laka ‘suruh’. Untuk membentuk konstruksi kausatif, verba laka ‘suruh’ hanya dapat diikuti oleh verba intransitif dan transitif. 3. Tidak ditemukan adanya kausatif morfologis dalam BKm karena BKm secara tipologis digolongkan ke dalam bahasa isolasi sehingga tidak ditemukan pula proses afiksasi yang dapat membentuk konstruksi kausatif. 4. Berdasarkan parameter semantis, konstruksi kausatif BKm dibedakan pula berdasarkan (1) tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee) dan (2) parameter rentang waktu dari hubungan antara sebab dan akibat. Berdasarkan tingkat kendali tersebab (causee), konstruksi kausatif BKm dibedakan menjadi 237 kausatif sejati dan kausatif permisif. Sementara, berdasarkan rentang waktu dari hubungan antara sebab dan akibat, konstruksi kausatif dibedakan menjadi kausatif langsung dan kausatif tak langsung. 5. Pembentukan konstruksi aplikatif BKm dibangun oleh verba transitif dan pemarkah aplikatif podi yang menempati posisi setelah verba transitif. Hadirnya pemarkah podi ini secara otomatis meningkatkan jumlah argumen, yang sebelumnya verba berargumen dua, yaitu subjek dan objek langusng berubah menjadi verba yang berargumen tiga, yaitu subjek, objek langsung, dan objek tak langsung. Pemarkah aplikatif podi secara otomatis memberikan ruang bagi argumen baru, yaitu objek tak langsung yang langsung hadir setelah verba dan pemarkah podi. 6. Konstruksi resultatif BKm dibangun dengan mekanisme pemasifan. Pemasifan merupakan salah satu mekanisme penurunan valensi. Pemasifan yang merupakan penurunan valensi verba untuk membentuk konstruksi resultatif BKm memiliki mekanisme tersendiri. Berbeda dengan bahasa-bahasa pada umumnya yang memiliki proses morfologis (afiksasi) untuk membentuk konstruksi pasif, BKm memiliki mekanisme tersendiri untuk membentuk konstruksi pasif, yaitu dengan hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ sebelum verba untuk membentuk konstruksi resultatif. Proses penuruann valensi melalui mekanisme pemasifan BKm dapat pula membentuk konstruksi antikausatif karena agen pada konstruksi antikausatif tidak pernah dinyatakan dan agen pada konstruksi pasif bersifat opsional, bisa hadir dan bisa tidak, seperti tersaji pada contoh klausa-klausa di atas, sehingga, konstruksi pasif, antikausatif, dan 238 resultatif memiliki kemiripan atau persamaan. Di samping konstruksi pasif analitik untuk menggambarkan konstruksi resultatif, BKm juga memiliki mekanisme lain untuk membentuk konstruksi resultatif, yaitu menghadirkan pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ yang hadir pada sebuah klausa/kalimat yang ditempatkan di akhir klausa/kalimat. Hadirnya pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ mengandung makna bahwa sebuah peristiwa yang digambarkan oleh verba sudah berhasil dilakukan. BAB VII FUNGSI DAN RELASI GRAMATIKAL BAHASA KEMAK 7.1 Pengantar Bab sebelumnya telah menguraikan struktur klausa, predikasi, dan valensi verba BKm. Setelah penentuan struktur klausa, predikasi, dan valensi verba, berikutnya adalah pembahasan fungsi dan relasi gramatikal BKm. Pembahasan fungsi dan relasi gramatikal bertujuan untuk menentukan fungsi dan relasi gramatikal dari argumen-argumen yang membenruk klausa yang ditentukan oleh predikatnya. Kajian tentang fungsi dan relasi gramatikal BKm dalam bab ini diawali dengan pembahasan tentang pengertian fungsi dan relasi gramatikal. Kemudian, dilanjutkan dengan pembahasan tentang fungsi gramatikal BKm yang mencakup pembahasan tentang agen dan pasien. Pembahasan berikutnya adalah tentang relasi gramatikal yang mencakup subjek, objek, relasi oblik, komplemen, adjung, dan relasi gramatikal inti BKm. Pembahasan dalam bab ini diakhiri dengan menyampaikan beberapa temuan baru terkait dengan peran dan relasi gramatikal BKm. 7.2 Pengertian Fungsi dan Relasi Gramatikal Banyak pendapat yang dikemukakan para linguis terkait dengan konsep fungsi gramatikal, mulai dari pandangan linguistik tradisional sampai dengan pandangan yang lebih mutakhir. Mengacu kepada pandangan linguistik tradisional, klausa (kalimat tunggal) terdiri atas subjek dan predikat. Subjek dalam pandangan linguistik tradisional merupakan apa yang dibicarakan, 239 240 sedangkan predikat merupakan apa yang terjadi tentang sesuatu. Berbeda dengan pandangan linguistik tradisional, pendapat yang lebih mutakhir menyatakan bahwa klausa (kalimat tunggal) terdiri atas predikator dan argumen (bisa satu atau lebih). Terkait dengan fungsi gramatikal, kajian tipologi mempunyai dua asumsi dasar tentang klausa atau kalimat, yaitu (1) konsep struktur predikator dapat diperlakukan untuk semua bahasa dan (2) kedua argumen dapat berbeda dalam hal hubungan semantiknya dengan predikator dan keduanya juga dapat berbeda satu sama lain melalui pemarkah gramatikal. Bagi struktur klausa yang memiliki satu argumen, argumen tersebut bisa diidentifikasi sebagai agen atau pasien. Sementara struktur klausa yang memiliki dua argumen, satu argumen diidentifikasi sebagai agen dan argumen yang lain diidentifikasi sebagai pasien. Agen dan pasien dalam suatu bahasa merupakan fungsi gramatikal (Comrie. 1981: 51-56; Dixon, 1994: 6--8). Senada dengan Comrie (1981) dan Dixon (1994), Artawa mengungkapkan bahwa agen dan pasien merupakan fungsi gramatikal yang mengacu kepada peran makro. Lebih lanjut, Artawa menjelaskan bahwa fungsi gramatikal agen tidak hanya mencakup agen dari verba seperti memukul dan menendang, tetapi juga termasuk experiencer dan perceiver dari verba seperti mencintai dan melihat. Sementara, fungsi gramatikal pasien tidak hanya mencakup pasien yang dikenai tindakan dari verba seperti memukul dan menendang, tetapi juga mencakup entitas netral dan yang tidak dikenai tindakan dari verba seperti mencintai dan melihat (Artawa dalam Alexander Adelaar, 2012: 5). 241 Berbeda dengan Comrie (1981) dan Dixon (1994), Palmer menggunakan istilah peran gramatikal untuk fungsi gramatikal. Lebih jauh, Palmer (1994) mengungkapkan bahwa dalam kajian tipologi, agen dan pasien merupakan dua peran gramatikal yang paling penting. Selain dua peran gramatikal yang penting tersebut, terdapat peran gramatikal lain, yaitu benefisiari, instrumental, dan lokatif (Palmer, 1994: 2--3, 6--20). Untuk menghindari penggunaan dua istilah yang berbeda, yaitu fungsi gramatikal dan peran gramatial, disertasi ini menggunakan istilah fungsi gramatikal yang mengacu kepada agen dan pasien sebagai peran makro yang mengacu kepada pendapat Comrie (1981), Dixon (1994), dan Aratwa (dalam Alexander Adelaar, 2012: 5). Pengertian tentang relasi gramatikal diberikan oleh Comrie (1983: 39) dan Blake (1991:1). Comrie dan Blake mengungkapkan bahwa relasi-relasi gramatikal memegang peranan yang penting dalam sintaksis bahasa alamiah. Relasi-relasi gramatikal tersebut terdiri atas subjek (S), objek langsung (OL), dan objek tidak langsung (OTL). Mengacu kepada teori tata bahasa relasional, relasi gramatikal adalah S, OL, OTL, dan relasi oblik. Relasi gramatikal S, OL, dan OTL merupakan relasi gramatikal sintaksis murni, sedangkan relasi oblik (benefisiari, instrumental, dan lokatif) merupakan relasi yang bersifat semantis. Kajian tentang fungsi dan relasi gramatikal BKm erat kaitannya dengan sejumlah konsep dan istilah sintaksis (gramatikal), seperti agen, pasien, subjek, objek, dan relasi oblik. Pengkajian tentang konsep atau istilah yang terkait dengan peran dan relasi gramatikal diuraikan secara lebih terperinci pada sub-subbagian di bawah ini. 242 7.3 Fungsi Gramatikal Bahasa Kemak Berbeda dengan Comrie (1981) dan Dixon (1994) yang menyatakan agen dan pasien sebagai fungsi gramatikal, Palmer (1994) menyebut agen dan pasien sebagai peran gramatikal. Palmer (1994) berpendapat bahwa pembahasan tentang peran gramatikal erat kaitannya dengan istilah agen dan pasien. Peran agen dan pasien tersebut dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa peran tersebut merupakan peran semantis. Van Valin, Jr. dan LaPolla (1999, 2002) mengungkapkan bahwa prinsip peran umum semantis (semantic macrorole) mendasari pembahasan peran gramatikal yang ditelaah dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini peran gramatikal yang dibahas hanya peran gramatikal utama, yaitu agen dan pasien. Agen dan pasien merupakan dua peran gramatikal penting dalam kajian tipologi sintaksis di samping peran khusus, yaitu benefisiari, instrumental, dan lokatif (Palmer, 1994: 2--3. 6--20). Fungsi gramatikal agen dan pasien seperti yang diungkapkan di atas merupakan peran semantis yang terdapat dalam sebuah klausa. Peran agen dan pasien lebih dikenal dengan sebutan peran makro semantis (semantic macrorole). Peran agen dan pasien tersebut dikatakan sebagai peran makro karena setiap peran mengemas jenis-jenis argumen khusus atau yang lebih umum disebut dengan relasi tematis. Mengacu pada teori peran makro semantis, peran agen diistilahkan dengan aktor (pelaku) dan peran pasien diistilahkan dengan undergoer (tempat jatuhnya perbuatan/penderita). Pada klausa intransitif, satu-satunya argumen klausa intransitif dapat berperan sebagai aktor atau undergoer (van Valin, Jr. dan Lapolla, 1999, 2002: 141--143). 243 Lebih jauh, teori peran makro semantis bertitik tolak dari interaksi dan pertalian antara tataran sintaksis dan tataran semantis. Peran makro merupakan generalisasi lintas jenis argumen yang ditemukan pada verba tertentu yang mengandung muatan gramatikal penting. Pembahasan tentang fungsi gramatikal tidak bisa terlepas dan mutlak menyangkut predikat yang ditempati verba dari sebuah klausa karena bagaimanapun juga penetapan dan pemahaman tentang agen dan pasien ini diisyaratkan oleh verba (predikat). Perhatikanlah contoh-contoh yang ditampilkan di bawah ini. (7.1) Au-ng ali-ng 1TG-Lig adik-Lig ‘Adik saya lari’ plai lari (7.2) Hine senua ART Maria ‘Wanita itu menari’ (7.3) Au mnahu 1TG jatuh ‘Saya jatuh’ (7.4) Atmas senua mate Orang DEF mati ‘Orang itu mati’ (7.5) Ua tutu atmas senua 3TG pukul orang DEF ‘Dia memukul orang itu’ (7.6) Mane senua sali Laki-laki DEF tangkap Laki-laki itu menangkap ikan’ (7.7) Romo liu manu senua 3JM kejar ayam DEF ‘Mereka mengejar ayam itu’ huri tari ika ikan 244 (7.8) Au nua ahi sia 1TG bunuh babi NUM ‘Saya membunuh seekor babi’ Sesuai dengan penjelasan tantang fungsi gramatikal, klausa (5.1)--(5.4) di atas merupakan klausa dengan predikat yang ditempati oleh verba intransitif. Klausa (7.1) dan (7.2) di atas menunjukkan bahwa subjek gramatikal aung alig ‘adik saya’ dan hine senua ‘wanita itu’ merupakan agen, sedangkan klausa (7.3) dan (7.4) menunjukkan bahwa subjek gramatikal atmas senua ‘orang itu‘ dan ua ’dia’ memiliki peran semantis yang tidak sama dengan subjek gramatikal yang terdapat pada klausa (7.1) dan (7.2). Peran semantis subjek gramatikal atmas senua ‘orang itu‘ pada klausa (7.3) dan ua ’dia’ pada klausa (7.4) yang diisyaratkan oleh verba mof ‘jatuh’ dan mate ‘mati’ adalah sebagai pasien karena subjek gramatikal atmas senua ‘orang itu‘ dan ua ’dia’ tidak melakukan pekerjaan/tindakan, tetapi subjek gramatikal atmas senua ‘orang itu‘ dan ua ’dia’ dikenai/tempat jatuhnya perbuatan atau tindakan. Sehubungan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa satu-satunya argumen pada klausa intransitif tidak selalu memiliki peran semantis sebagai agen. Pada kasus tertentu, satu-satunya argumen pada klausa verba intransitif dapat pula menjadi pasien. Dengan demikian, peran semantis yang dimiliki oleh satu-satunya argumen pada klausa verba intransitif sangat ditentukan oleh predikatnya (verba). Berbeda dengan klausa (7.1)--(7.4), klausa (7.5)--(7.8) merupakan klausa transitif yang ditandai dengan hadirnya verba transitif yang menempati posisi predikat. Klausa (7.5)--(7.8) di atas menunjukkan bahwa setiap klausa tersebut memiliki dua argumen yang hadir sebelum dan sesudah predikat. Kedua argumen 245 tersebut dikategorikan sebagai subjek gramatikal yang hadir sebelum predikat dan objek gramatikal yang hadir setelah predikat. Peran makro semantis yang ada pada klausa transitif menunjukkan bahwa subjek gramatikal pada setiap klausa tersebut adalah agen dan untuk objek gramatikalnya merupakan pasien. Dengan demikian, klausa transitif BKm yang memiliki dua argumen, salah satu argumennya berupa agen dan yang lainnya adalah pasien. Selanjutnya cermatilah klausa di bawah ini. (7.9) Ina ala paru Ibu beli baju ‘Ibu membeli baju’ (7.10) Ua luma ahi 3TG pelihara babi ‘Dia memelihara babi’ (7.11) Au-ng ali-ng loke 1TG-Lig adik-Lig baca ‘Adik saya membaca buku’ buku buku (7.12) Atmas senua eto au Orang DEF lihat 1TG ‘Orang itu melihat saya’ Klausa (7.9)--(7.12) di atas merupakan klausa transitif karena setiap klausa tersebut memiliki dua argumen. Subjek gramatikal klausa (7.9)--(7.12) merupakan agen dan objek gramatikal klausa (7.9)--(7.12) merupakan pasien. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah subjek gramatikal klausa (7.9)--(7.12) merupakan agen dan apakah objek gramatikal klausa (7.9)--(7.12) merupakan pasien atau tempat jatuhnya perbuatan atau dikenai perbuatan yang dinyatakan oleh predikat secara semantis. Jika demikian, subjek klausa tersebut adalah agen 246 dan objek adalah pasien. Jenis verba yang menempati posisi predikat pada sebuah klausa merupakan penentu apakah argumen kedua (objek) klausa transitif dalam BKm benar-benar pasien (penderita) yang bermakna bahwa argumen kedua ini merupakan tempat jatuhnya perbuatan atau dikenai perbuatan. 7. 4 Relasi Gramatikal Bahasa Kemak Konsep dasar relasi gramatikal yang digunakan dalam tulisan ini dikemukakan oleh Comrie (1983:59) dan Blake (1981:1). Pembahasan relasi gramatikal ini membicarakan bagian-bagian atau unsur-unsur klausa/kalimat yang dikategorikan sebagai subjek (S), objek langsung (OL), dan objek tak langsung (OTL). Ketiga relasi gramatikal tersebut bersifat sintaktis. Di samping relasi gramatikal yang bersifat sintaktis (murni), ada pula relasi gramatikal yang bersifat semantis, yaitu lokatif, benefaktif, dan instrumental. Relasi gramatikal ini secara kolektif disebut sebagai relasi oblik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa relasi gramatikal meliputi subjek, objek langsung, objek tak langsung, dan relasi oblik (S, OL, OTL, dan OBL). Jika dihubungkan dengan teori Tata Bahasa Relasional, relasi gramatikal S, Ol, dan OTL disebut relasi gramatikal akhir, sedangkan jika dihubungkan dengan teori Tata Bahasa Leksikal Fungsional (TLF), relasi gramatikal S, OL, dan OTL yang merupakan relasi gramatikal lahir disebut struktur fungsional atau fungsi gramatikal (f-structure). Pembahasan yang lebih terperinci mengenai relasi gramatikal yang bersifat sintaksis (S, OL, dan OTL) dan yang bersifat semantis (OBL) berdasarkan teori tipologi linguistik bertujuan untuk dapat memberikan dukungan dan penjelasan 247 tentang struktur dasar klausa BKm. Penjelasan tentang setiap relasi gramatikal tersebut secara terperinci diuraikan sebagai berikut. 7.4.1 Subjek Bahasa Kemak Banyak pendapat yang dikemukakan para linguis terkait dengan hakikat subjek. Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tersebut menggambarkan bahwa pembahasan tentang subjek di satu sisi adalah cukup menarik dan di sisi lain juga dapat dikatakan cukup rumit. Salah satu penyebab kerumitan tersebut dipicu oleh perilaku gramatikal dan tipologi suatu bahasa. Perilaku gramatikal bahasa yang beragam dan tipologi bahasa yang berbeda dari satu bahasa dengan bahasa lain menyebabkan pengertian dan penetapan tentang subjek memunculkan fenomena yang terus dapat diperdebatkan. Berikut ini diuraikan konsepsi dan sifat-perilaku subjek menurut beberapa ahli bahasa sebelum dibahas lebih terperinci mengenai sifat-perilaku subjek yang terdapat dalam BKm. Kridalaksana (1993:204) berpendapat bahwa subjek merupakan bagian dari sebuah klausa/kalimat yang berwujud nomina atau frasa nominal yang menandai apa yang dikatakan oleh pembicara. Konsep subjek sering disalahartikan dengan fungsi-fungsi yang bersifat semantis dan pragmatis. Sesungguhnya, subjek merupakan aspek sintaksis. Subjek dalam setiap klausa atau kalimat memiliki peranan yang sangat penting untuk menjadikan klausa/kalimat lebih utuh atau sempurna (Palmer, 1994:2). Lebih jauh, Palmer 248 (1994:2) mengungkapkan bahwa subjek merupakan apa yang dibicarakan atau dikatakan tentang sesuatu yang ada. Pendapat tentang subjek berikutnya disampaikan oleh Verhaar (1996: 166). Dia mengungkapkan bahwa subjek merupakan apa yang diuraikan oleh verba yang menempati posisi predikat atau apa yang mengalami kejadian yang diartikan oleh verba dalam posisinya sebagai predikat. Berikutnya, pendapat tentang konsep subjek dikemukakan oleh Sugono (1995). Dia mengungkapkan bahwa terdapat empat konsep subjek dalam telaah sintaksis, yaitu (1) konsep gramatikal, (2) konsep kategori kata, (3) konsep semantis, dan (4) konsepsi pragmatis atau organisasi penyajian informasi. Subjek sebagai konsep gramatikal merujuk kepada fungsi subjek dari segi struktur sintaksis. Subjek sebagai konsep kategori kata merujuk kepada fungsi subjek dari segi kategori kata. Subjek sebagai konsep semantis merujuk kepada fungsi subjek dari segi peran semantis, dan subjek sebagai konsep pragmatis merujuk kepada fungsi subjek dari segi organisasi penyajian informasi (Sugono, 1995: 27). Comrie (1983 :101) menyatakan bahwa hakikat asal subjek adalah adanya saling keterkaitan antara agen dan topik. Dengan kata lain, secara lintas bahasa subjek itu merupakan agen dan topik. Subjek dapat dikatakan agen karena terkait dengan fungsi-fungsi semantis, sedangkan subjek dapat dikatakan topik atau tema karena terkait dengan fungsi-fungsi pragmatis. Pendapat lain tentang sifat perilaku subjek dasar dikemukakan juga oleh Keenan (1977). Subjek dasar (selanjutnya disebut subjek) mempunyai ciri-ciri dan sifat perilaku khas yang dikelompokkan menjadi empat, yakni (1) sifat-perilaku 249 otonomi, (2) sifat-perilaku pemarkah kasus, (3) peran semantis, dan (4) dominasi langsung (immediate dominance). Lebih lanjut, dijelaskan bahwa sifat-perilaku pemarkah kasus meliputi (a) subjek kalimat intransitif umumnya tidak dimarkahi jika setiap frasa nominal (FN) dalam bahasa tersebut tidak bermarkah, (b) frasa nominal yang mengubah penanda kasus pada pengkausatifan termasuk subjek, dan (c) frasa nominal yang mengubah penanda kasus pada nominalisasi tindakan termasuk subjek. Sifat-perilaku otonomi subjek dasar mencakup dua hal, yaitu (1) keberadaan bebas (independence existance), ketidaktergerusan/sangat diperlukan (indespensability), dan rujukan sendiri (autonomous reference). Peran semantis (agen, pengalam, pasien, dan lain-lain) dari subjek dapat diramalkan dari bentuk utama verba. Subjek berdasarkan peran semantis dapat ditengarai, yaitu (a) subjek biasanya mengungkapkan agen (dari tindakan) jika hanya terdapat satu argumen, (b) subjek biasanya mengungkapkan frasa tujuan (addressse phrase) bentuk imperatif, (c) subjek biasanya memperlihatkan posisi, pemarkah kasus, dan persesuaian verba dengan FN penyebab dalam jenis kalimat kausatif yang paling dasar. Sifat-perilaku dominasi langsung merupakan sifat-perilaku subjek yang langsung didominasi oleh simpul dasar kalimat (Keenan, 1976: 312—324). Keempat perilaku khas subjek tersebut bukanlah nilai mutlak. Mungkin saja perilaku tersebut tidak cocok dengan perilaku bahasa tertentu. Jika mengacu kepada teori Tata Bahasa Leksikal Fungsional (TLF), subjek gramatikal (yang selanjutnya disebut SUBJ) merupakan sesuatu yang bersifat universal. SUBJ merupakan fungsi gramatikal yang memiliki properti [+ inti], sebagaimana juga OBJ. Pada konstruksi intransitif, satu-satunya argumen inti 250 sekaligus merupakan SUBJ. Hal ini merupakan implikasi dari dekomposisi leksikal bahwa setiap predikat harus memiliki subjek. SUBJ adalah fungsi tertinggi dalam struktur fungsi gramatikal yang bersifat obligatoris (Arka, 1998). Dalam konstruksi transitif terdapat dua argumen inti sehingga perlu dilakukan pengetesan terhadap argumen itu yang manakah yang berfungsi sebagai SUBJ dan yang mana pula berfungsi sebagai OBJ. SUBJ bersifat sintaksis sehingga untuk pengetesannya harus didahului secara sintaksis pula dan bukan secara semantis (Artawa, 1998). Secara lintas bahasa, properti SUBJ bervariasi antara satu bahasa dan bahasa lain. Meskipun demikian, terdapat kesamaan properti SUBJ, misalnya argumen verba transitif yang berperilaku sama dengan argumen intransitif. Subjek merupakan relasi gramatikal sehingga penentuan subjek itu sendiri hendaknya didasarkan pada perilaku gramatikal. Dalrymple (2001: 17--19) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa alat uji untuk menentukan subjek atau kesubjekan, seperti persesuaian (agreement), honorifikasi (honorification), nonkoreferensi subjek (subject noncoreference), dan peluncuran penjangka kambang (launching float quantifier). Keempat sifat-perilaku subjek yang dikemukakan oleh Keenan (1976) dan pengetesan subjek oleh Dalrymple (2001) di atas tidak seluruhnya dapat digunakan untuk melakukan pengujian subjek atau kesubjekan BKm. Subjek BKm dapat dilihat melalui (1) posisi kanonikal, (2) penyisipan adverbia, (3) perelatifan, (4) pengambangan penjangka, (5) perefleksifan, (6) penaikan (raising), (7) pemfokusan, (8) kontrol, dan (9) frasa nomina tidak terang (PRO). 251 Uraian yang lebih terperinci dari pengujian tentang hakikat subjek disajikan di bawah ini. 7.4.1.1 Posisi Kanonikal Seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa klausa BKm memiliki struktur kanonis SVO (A-V-P). Struktur kanonis tersebut menunjukkan bahwa subjek BKm muncul pada posisi praverbal atau berada di sebelah kiri predikat (mendahului predikat). Argumen inti yang mengisi posisi subjek menempati posisi praverbal (posisi kiri verba) pada klausa intransitif tersaji pada contoh berikut ini. (7.13) Au a 1TG makan ‘Saya makan’ (7.14) O mnahu 2TG jatuh ‘Engkau jatuh’ (7.15) Ina la de Ibu pergi Prep ‘Ibu pergi ke pasar’ basar pasar (7.16) Atmas senua mai dase Kupang Orang DEF datang Prep Kupang ‘Orang itu datang dari Kupang’ (7.17) Iskola ana hnoring Sekolah anak belajar ‘Murid belajar di rumah’ de Prep uma rumah Klausa (7.13)--(7.17) menunjukkan bahwa klausa tersebut memiliki satu argumen inti yang predikatnya ditempati oleh verba. Struktur klausa tersebut 252 menunjukkan bahwa argumen inti menempati posisi praverbal atau berada di sebelah kiri predikat. Argumen inti au ‘saya’ pada klausa (7.13) berada di sebelah kiri predikat yang ditempati verba a ‘makan’ (praverbal). Pada klausa (7.14), argumen inti o ‘engkau’ berada di sebelah kiri predikat yang ditempati verba mnahu ‘jatuh’. Subjek ina ‘ibu’ pada klausa (7.15) menempati posisi sebelum predikat yang diisi verba la ‘pergi’. Pada klausa (7.16) argumen inti atmas senua ‘orang itu’ menempati posisi sebelum predikat yang ditempati verba mai ‘datang’. Klausa (7.17) menunjukkan bahwa argumen inti iskola anag ‘anak sekolah’ berada pada posisi sebelah kiri predikat yang ditempati verba hnoring ‘belajar’. Kelima argumen inti pada klausa (7.13)--(7.17) yang berada di sebelah kiri predikat secara sintaksis merupakan subjek. Klausa (7.13)--(7.17) menunjukkan bahwa struktur kanonikal pada klausa intransitif BKm hanya menghadirkan subjek pada posisi praverbal atau sebelum verba. Selain predikat yang ditempati verbal, predikat klausa intransitif BKm juga dapat ditempati oleh predikat nonverbal. Klausa intransitif dengan predikat nonverbal dapat dilihat pada contoh di bawah ini. (7.18) Au-ng ina-ng 1TG-Lig adik-Lig ‘Adik saya guru’ guru guru (7.19) Hine senua koet Wanita DEF cantik ‘Wanita itu cantik’ (7.20) Ita-ng ana-ng 2JM-Lig anak-Lig ‘Anak kita tiga’ telu tiga 253 (7.21) Busa senua de Kucing DEF Prep ‘Kucing itu di rumah’ uma rumah Klausa (7.18)--(7.21) di atas merupakan klausa intransitif yang ditempati oleh predikat nonverbal. Klausa (7.18)--(7.21) di atas masing-masing terdiri atas satu argumen dan predikat. Argumen inti aung inag ‘ibu saya’ pada klausa (7.18) menempati posisi sebelah kiri predikat nonverbal (nomina) guru ‘guru’. Pada klausa (7.19), argumen inti hine senua ‘wanita itu’ berada pada posisi sebelah kiri predikat nonverbal (adjektiva) koet ‘cantik’. Argumen inyi itang anag ‘anak kita’ pada klausa (7.20) menempati posisi di sebelah kiri predikat nonverbal (numeralia) telu ‘tiga’. Pada klausa (7.21), argumen inti busa senua ‘kucing itu’ menempati posisi di sebelah kiri predikat nonverbal (adverbial) de uma ‘di rumah’. Contoh klausa (7.18)--(7.21) menunjukkan bahwa argumen inti pada klausa intransitif dengan predikat nonverbal menempati posisi di sebelah kiri predikat secara sintaksis berfungsi subjek. Lebih jauh, posisi argumen inti yang menempati posisi sebelah kiri yang secara sintaksis berfungsi sebagai subjek menunjukkan bahwa argumen inti pada klausa intransitif, baik yang ditempati oleh predikat verbal maupun nonverbal, merupakan satu-satunya posisi argumen inti yang secara sintaksis berfungsi sebagai subjek dalam klausa intransitif BKm. Mengacu kepada struktur kanonik, klausa intransitif BKm menunjukkan bahwa posisi argumen inti berada di sebelah kiri predikat (praverbal). Bagaimanakah struktur kanonik pada klausa transitif, baik ekatransitif maupun dwitransitif dalam BKm. Berikut ini disajikan uraiannya. 254 (7.22) Ua tutu au 3TG pukul 1TG ‘Dia memukul saya’ (7.23) Mane senua meu Laki-laki DEF cium ‘Laki-laki itu mencium wanita itu’ hine senua wanita DEF (7.24) Ua liu asu senua 3TG kejar anjing DEF ‘Dia mengejar anjing itu’ (7.25) Au-ng ina-ng ala 1TG-Lig ibu-Lig beli ‘Ibu saya membelikan dia baju’ podi APL ua 3TG baru baju (7.26) Au lodi podi ua buku 1SG bawa APL 3TG buku ‘Saya membawakan dia buku’ (7.27) Ua ne podi atmas senua 1TG beri APL Orang DEF ‘Dia memberikan orang itu uang’ Klausa (7.22)--(7.24) osa uang di atas merupakan klausa ekatransitif BKm. Terdapat dua argumen inti pada klausa tersebut. Kedua argumen inti tersebut secara semantis memilik peran sebagai aktor dan undergoer. Pada klausa (7.22), argumen inti ua ‘dia’ secara semantis memiliki peran agen dan argumen inti au ‘saya’ secara semantis berperan sebagai pasien. Argumen inti mane senua ‘lakilaki itu’ pada klausa (7.23) dan ua ‘dia’ pada klausa (7.24) secara semantis berperan sebagai agen, sedangkan argumen inti hine senua ‘wanita itu’ pada klausa (7.23) dan asu senua ‘anjing itu’ pada klausa (7.24) secara semantis berfungsi sebagai tema (tm). Argumen inti au ‘saya’ (kausa 7.22), mane senua 255 ‘laki-laki itu’ (klausa 7.23), dan ua ‘dia’ (klausa 7.24) yang menduduki posisi sebelum predikat (praverbal) secara sintaksis merupakan subjek. Klausa (7.25)--(7.27) di atas merupakan klausa dwitransitif BKm. Terdapat tiga argumen inti yang terdapat dalam klausa tersebut. Ketiga argumen inti setiap klausa tersebut adalah aung inag ‘ibu saya’, ua ‘dia’, dan baru ‘baju’ pada klausa (7.25); au ‘saya’, ua ‘dia’, dan buku ‘buku’ pada klausa (7.26); dan ua ‘dia’, atmas senua ‘orang itu’, dan osa ‘uang’ pada klausa (7.27). Argumen inti yang menempati posisi di sebelah kiri predikat praverbal pada klausa (7.25)— (7.27) terdiri atas argumen inti aung inag ‘ibu saya’ (klausa 7.25), au ‘saya’ (klausa 5.26), dan ua ‘dia’ (klausa 7.27) secara sintaksis merupakan subjek. Uraian di atas telah menjelaskan struktur kanonis klausa intransitif dan klausa transitif (ekatransitif dan dwitransitif) dalam BKm. Dari uraian tersebut diperoleh simpulan bahwa subjek dalam BKm hanya dapat muncul atau hadir pada posisi sebelah kiri predikat (praverbal), baik predikat verbal maupun predikat nonverbal pada klausa intransitif BKm. 7.4.1.2 Penyisipan Adverbial Pengetesan terhadap subjek BKm dapat dilakukan pula dengan penyisipan adverbial. Di antara argumen inti yang menempati posisi praverbal dan predikat pada klausa BKm dapat disisipi adverbial (ADV) yang berupa pemarkah kala. Pemarkah kala seperti na’arua ‘kemarin’ dan matamai mata ‘besok pagi’ dapat disisipkan di antara argumen inti yang berada di sebelah kiri predikat dan 256 predikat. Penyisipan adverbial pada klausa intransitif BKm terlihat pada contoh di bawah ini. (7.28) Romo hnoring de iskola 3JM belajar Prep sekolah ‘Mereka belajar di sekolah’ (7.29) Au hali de uma 1TG pulang Prep rumah’ ‘Saya pulang ke rumah’ (7.30) Mane senua mai dase Laki-laki DEF datang Prep ‘Laki-laki itu datang dari Kupang’ Kupang Kupang (7.31) Romo matamai mata hnoring 3JM Adv pagi belajar ‘Mereka besok pagi belajar di sekolah’ de Prep iskol sekolah (7.33) Mane senua na’arua mai dase Laki-laki DEF Adv datang Prep ‘Laki-laki itu kemarin datang dari Kupang’ Kupang Kupang (7.32) Au bairua hali de uma 1TG Adv pulang Prep rumah’ ‘Saya lusa pulang ke rumah’ Klausa (7.28)--(7.30) merupakan klausa intransitif BKm. Klausa tersebut terdiri atas satu argumen inti yang menempati posisi praverbal atau sebelah kiri predikat dan predikat dalam klausa tersebut. Klausa (7.28)--(7.30) menunjukkan pula bahwa klausa tersebut belum disisipi adverbial di antara satu-satunya argumen inti dan predikat. Berbeda dengan klausa (7.28)--(7.30), klausa (7.31)-(7.33) merupakan klausa intransitif BKm yang telah disisipi oleh adverbial di antara argumen inti dan predikat. Argumen inti roma ‘mereka’ pada klausa (7.31), au ‘saya’ pada klausa (7.32), dan mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (7.33) 257 merupakan satu-satunya argumen inti yang terdapat dalam klausa tersebut yang secara sintaksis berfungsi sebagai subjek. Pada klausa (7.31), adverbial matamai busa ‘besok pagi’ disisipkan di antara subjek romo ‘mereka’ dan predikat hnoring ‘belajar’. Pada klausa (7.32), adverbial bairua ‘lusa’ disisipkan di antara argumen inti au ‘saya’ dan predikat lali ‘pulang’. Pada klausa (7.33), adverbial na’arua ‘kemarin’ disisipkan di antara argumen inti mane senua ‘laki-laki itu’ dan predikat mai ‘datang’. Di samping pengetesan subjek pada klausa intransitif BKm dengan penyisipan adverbial di antara satu-satunya argumen inti dan predikat di atas, pengetesan subjek pada klausa transitif, baik klausa ekatransitif maupun klausa dwitransitif disajikan pada klausa berikut ini. (7.34) Atmas senua tutu au Orang DEF pukul 3TG ‘Orang itu memukul saya’ (7.35) Au liu asu senua 1TG kejar anjing DEF ‘Dia mengejar anjing itu’ (7.36) Ina ala podi ua Ibu beli APL 3TG ‘Ibu membelikan dia baju’ baru baju (7.37) Atmas senua ne podi au Orang DEF beri APL 1TG ‘Orang itu memberikan saya uang’ osa uang (7.38) Atmas senua na’arua tutu au Orang DEF Adv pukul 3TG ‘Orang itu kemarin memukul saya’ 258 (7.39) Au na’arua li’u asu senua 1TG Adv kejar anjing DEF ‘Dia kemarin mengejar anjing itu’ (7.40) Ina matamai ala podi ua Ibu Adv beli APL 3TG ‘Ibu besok pagi membelikan dia baju’ baru baju (7.41) Atmas senua mos matamai ne podi au Orang DEF juga Adv beri APL 1TG ‘Orang itu juga besok memberikan saya uang’ osa uang Klausa (7.34) dan (7.35) merupakan klausa ekatransitif BKm yang belum disisipi adverbial. Klausa intransitif tersebut terdiri atas dua argumen inti, yaitu atmas senua ‘orang itu’ dan au ‘saya’ pada klausa (7.34) dan au ‘saya’ dan asu senua ‘anjing itu’ pada klausa (7.35). Klausa (7.36) dan (7.37) adalah klausa dwitransitif dalam BKm. Klausa tersebut terdiri atas tiga argumen inti, yaitu ina ‘ibu’, ua ‘dia’, dan baru ‘baju’ pada klausa (7.36) dan atmas senua ‘orang itu’, au ‘saya’, dan osa ‘uang’ pada klausa (7.37). Berbeda dengan itu, klausa (7.38)-(7.41) adalah klausa transitif (ekatransitif dan dwitransitif) yang telah disisipi adverbial. Pada klausa (7.38), adverbial na’arua ‘kemarin’ disisipkan di antara argumen inti atmas senua ‘orang itu’ dan predikat tutu ‘pukul’. Pada klausa (7.39), adverbial na’arua ‘kemarin’ juga disisipkan di antara argumen inti au ‘saya’ dan predikat li’u ‘kejar’. Adverbial matamai mata ‘besok pagi’ disisipkan di antara argumen inti ina ‘ibu’ dan predikat ala ‘beli’ pada klausa (7.40). Hal yang sama juga terjadi pada klausa (7.41). Pada klausa tersebut, adverbial matamai ‘besok’ disisipkan di antara argumen inti atmas senua ‘orang itu’ dan 259 predikat ne ‘beri’. Argumen inti pada setiap klausa (7.38)--(7.41) yang berada pada posisi praverbal secara sintaksis merupakan subjek. Berdasarkan analisis terhadap klausa transitif di atas, diketahui bahwa adverbial dapat disisipkan di antara argumen inti yang berada pada posisi praverbal dan predikat. Argumen yang menempati posisi praverbal merupakan subjek gramatikal setiap klausa tersebut. Di samping menempati posisi antara argumen praverbal dan predikat, adverbial dalam BKm juga dapat menempati posisi sebelum argumen praverbal atau memulai sebuah klausa/kalimat. Berikut disajikan klausa BKm dengan adverbial yang menempati posisi sebelum argumen praverbal atau memulai sebuah klausa/kalimat. (7.42) Na’arua ua liu asu senua Kemarin 3TG kejar anjing DEF ‘Kemarin dia mengejar anjing itu’ (7.43) Matamai ina ala podi Besok ibu beli APL ‘Besok ibu membelikan dia baju’ ua 3TG baru baju Klausa (7.42) dan (7.43) menunjukkan bahwa adverbia dalam BKm dapat menempati posisi di awal sebuah klausa/kalimat atau menempati posisi sebelum argumen praverbal yang secara gramatikal argumen tersebut berfungsi sebagai subjek. Pengetesan subjek BKm dapat juga dilakukaan dengan penegasian. Konstruksi negasi merupakan konstruksi kalimat yang berisi pernyataan yang bersifat mempertentangkan makna sebagian atau seluruhnya. Kalimat negatif memiliki konstruksi yang menggunakan pengingkar dengan tujuan pengingkaran (Alwi, dkk. 2000: 378). Selain beberapa pengujian kesubjekan seperti yang telah 260 disajikan di atas, pengujian kesubjekan BKm juga dapat dilakukan dengan penegasian. Berikut disajikan bentuk penegasian dalam BKm. (7.44) Au-ng ana-ng ti la isikola 1SG-Lig anak-Lig NEG pergi sekolah ‘Anak saya tidak pergi ke sekolah kemarin’ na’arua kemarin (7.45) O ti ber enu kopi 2TG NEG suka minum kopi ‘Engkau tidak suka minum kopi’ (7.46) Atmas senua ti no osa Orang DEF NEG punya uang ‘Orang itu tidak punya uang’ (7.47) Ua ti e hali de 3TG NEG ingin pulang Prep ‘Dia tidak ingin pulang ke rumah’ uma rumah Contoh data (7.44)--(7.47) merupakan kalimat negatif BKm. Contoh tersebut menunjukkan bahwa penegasi ti ‘tidak’ berada di antara argumen inti pada posisi praverbal yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dengan verba, baik pada kalimat intransitif maupun kalimat transitif. Dengan demikian, tata urutan kata atau konstituen pada kalimat imperatif BKm sesuai dengan contoh data (7.44) dan (7.45) adalah SVO dengan kehadiran penegasi ti ‘tidak’ yang berada di posisi antara argumen inti yang hadir pada posisi praverbal yang secara (gramatikal) sintaksis berfungsi sebagai subjek. Selain hadir pada klausa yang berpredikat verbal, penegasi ti ‘tidak/bukan’ juga dapat hadir di antara argumen inti pada posisi pra-verbal dengan predikat yang ditempati oleh nominal, adjektival, numerial, dan adverbial. Contoh kalimat negatif dengan predikat nominal dan adjektival tersaji pada contoh berikut ini. 261 (7.48) Atmas senua ti nai Orang DEF NEG kepala desa ‘orang itu bukan kepala desa’ (7.49) Au ti kurung 1TG NEG kurus ‘Saya tidak kurus’ (7.50) Ina-ng manu ti sea Ibu-Lig babi NEG satu ‘Ayam ibu bukan satu’ (7.51) Au-ng ana-ng ti de 1TG-Lig anak-Lig NEG Prep ‘Anak saya tidak di rumah’ uma rumah Contoh data (7.48)--(7.51) merupakan kalimat negatif dengan predikat nonverbal BKm. Sama halnya dengan kalimat negatif dengan predikat verbal, kalimat negatif dengan predikat nonverbal menempatkan penegasi ti ‘tidak/bukan’ pada posisi setelah argumen inti yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan sebelum predikat yang ditempati predikat nonverbal. Berdasarkan contoh konstruksi kalimat negatif (7.48)--(7.51) yang disajikan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu alat yang dapat digunakan untuk menguji subjek BKm adalah dengan penegasian. Konstruksi kalimat negatif tersebut mengungkapkan bahwa hanya kategori subjek BKm yang dapat diikuti oleh penegasi ti ‘tidak’ untuk membentuk konstruksi kalimat negatif. Penegasi ti ‘tidak’ dalam konstruksi kalimat negatif berada di antara subjek dan predikat, baik predikat yang ditempati oleh verbal maupun nonverbal. Selain penegasi ti ‘tidak’, konstruksi kalimat negatif BKm juga memiliki penegasi hisar ‘tidak boleh/jangan’ atau isi ‘tidak boleh/jangan’ atau isibara ‘tidak boleh/jangan’ yang 262 juga posisinya berada di antara argumen praverbal dan predikat, baik yang ditempati oleh verbal maupun nonverbal. 7.4.1.3 Perelatifan Strategi perelatifan merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk menguji subjek atau kesubjekan dalam sebuah bahasa. Perelatifan merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk menguji apakah sebuah argumen dapat dikategorikan sebagai subjek. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua bahasa dapat merelatifkan relasi gramatikalnya. Bahasa Inggris, misalnya, merupakan salah satu bahasa yang dapat merelatifkan semua relasi gramatikalnya. Berbeda dengan bahasa Inggris, ada bahasa yang hanya dapat merelatifkan subjek (Keenan 1977; Comrie 1989). Artawa (1998:15) mengungkapkan bahwa bahasa Bali (BB) termasuk bahasa yang hanya bisa merelatifkan subjek. Untuk memeroleh gambaran yang jelas mengenai strategi perelatifan terkait dengan subjek atau kesubjekan BKm, berikut ini ditampilkan sejumlah data. (7.52) Atmas senua mudu de Orang DEF duduk Prep ‘Orang itu duduk di kursi’ kursi Kursi (7.53) Ua mnahu dase ai 3TG jatuh Prep pohon ‘Dia jatuh dari pohon’ (7.54) Mane senua au-ng Laki-laki DEF 1TG-Lig ‘Laki-laki itu kakak saya’ ka’ak kakak 263 (7.55) Atmas ne bourung senua mudu de Orang REL Adj DEF duduk Prep ‘Orang yang gemuk itu duduk di kursi’ kursi Kursi (7.56) Ua ne mela au mnahu dase 3TG REL panggil 1TG jatuh Prep ‘Dia yang memanggil saya jatuh dari pohon’ ai pohon (7.57) Mane ne betu bola senua au-ng Laki-laki REL tendang bola DEF 1TG-Lig ‘Laki-laki yang menendang bola itu kakak saya’ ka’ak kakak Klausa (7.52)--(7.57) merupakan klausa intransitif BKm. Satu-satunya argumen inti yang hadir di awal klausa atau di sebelah kiri predikat di atas semuanya dapat direlatifkan. Frasa nomina (FN) atmas senua ‘orang itu’ pada klausa (7.52) muncul di posisi sebelah kiri predikat mudu ‘duduk’ yang secara semantis berfungsi sebagai agen. Pada klausa (7.53), frasa nominal ua ‘dia’ hadir di posisi sebelah kiri predikat mnahu ‘jatuh’ yang secara semantis berfungsi sebagai pasien. Klausa (7.54) menunjukkan bahwa frasa nominal mane senua ‘laki-laki itu’ berada di posisi sebelah kiri predikat nonverbal (nominal) aung ka’ak ‘kakak saya’. Hasil perelatifan pada klausa intransitif (7.52)--(7.54.) terlihat pada klausa (7.55)--(7.57). Satu-satunya argumen inti yang hadir pada posisi awal atau sebelum predikat dapat direlatifkan. Hasil analisis klausa intransitif di atas menunjukkan bahwa subjek gramatikal klausa tersebut yang secara semantis berfungsi, baik sebagai agen maupun pasien, dapat direlatifkan dan hasil perelatifan tersebut tersaji pada klausa (7.55) dan klausa (7.56). Sementara itu, klausa (7.57) merupakan hasil perelatifan klausa (7.54) yang predikatnya 264 ditempati oleh predikat nonverbal. Klausa (7.47)—(7.49) menunjukkan bahwa klausa relatif BKm dimarkahi pemarkah relatif ne ‘yang’. Di samping strategi perelatifan pada klausa intransitif BKm, berikut disajikan perelatifan yang terdapat pada klausa BKm, baik klausa ekatransitif maupun klausa dwitransitif. (7.58) Hine senua meu mane Wanita DEF cium laki-laki ‘Wanita itu mencium laki-laki itu’ senua DEF (7.59) Atmas senua ala podi ana senua baru Orang DEF beli APL anak DEF baju ‘Orang itu membelikan anak itu baju’ (7.60) Hine ne koet senua meu mane Wanita REL Adj DEF cium laki-laki ‘Wanita yang cantik itu mencium laki-laki itu’ senua DEF (7.61) Atmas ne ara senua ala podi ana senua bara Orang REL berdiri DEF beli APL anak DEF baju ‘Orang yang berdiri itu membelikan anak itu baju’ Klausa (7.58)--(7.61) merupakan klausa transitif BKm. Klausa (7.58) dan klausa (7.60) merupakan klausa ekatransitif BKm. Klausa (7.59) dan klausa (7.61) merupakan klausa dwitransitif. Terdapat dua argumen inti yang hadir pada klausa (7.58) dan klausa (7.60). Klausa (7.59) dan klausa (7.61) hadir dengan tiga argumen inti. Argumen inti hine senua ‘wanita itu’ pada klausa (7.58) dan atmas senua ‘orang itu’ pada klausa (7.59) yang secara sintaksis berfungsi sebagai subjek yang hadir di awal atau sebelum predikat dapat direlatifkan. Hasil perelatifan argumen inti yang secara sintaksis berfungsi sebagai subjek tersaji 265 pada klausa (7.60) dan (7.61). Lebih lanjut, klausa (7.60) dan (7.61) menunjukkan bahwa klausa relatif BKm dimarkahi kata hubung (penanda relatif) ne ‘yang’. Di samping dapat merelatifkan argumen yang berada pada posisi awal klausa transitif (ekatransitif dan dwitransitif) seperti yang tersaji pada klausa di atas, BKm juga dapat merelatifkan argumen inti lain yang hadir setelah verbal (posverbal). Perelatifan terhadap argumen yang berada pada posisi posverbal tersaji pada contoh di bawah ini. (7.62) Au meu hine 1TG cium wanita ‘Saya mencium wanita itu’ senua DEF (7.63) Atmas senua ala podi ana senua baru Orang DEF beli APL anak DEF baju ‘Orang itu membelikan anak itu baju’ (7.64) Hine ne au meu senua au-ng Wanita REL 1TG cium DEF 1TG-Lig ‘Wanita yang saya cium itu istri saya’ he-ng istri-Lig (7.65) Ana ne atmas senua ala baru matenek Anak REL orang DEF beli baju Adj/pintar ‘Anak yang orang itu belikan baju pintar sekali’ los Adv (7.66) Baru ne atmas senua ala odi ana senua mdedang Baju REL orang DEF beli Prep anak DEF mahal ‘Baju yang orang itu beli untuk anak itu mahal sekali’ los Adv Klausa (7.64) menunjukkan bahwa frasa nominal hine senua ‘wanita itu’ pada klausa (7.62) yang berada setelah predikat (posverbal) yang berfungsi sebagai objek langsung dapat direlatifkan dalam BKm. Klausa (7.65) dan (7.66) menunjukkan bahwa FN ana senua ‘anak itu’ pada klausa (7.63) yang berfungsi sebagai objek tak langsung dan FN baru ‘baju’ yang berfungsi sebagai objek 266 langsung dapat direlatifkan. Klausa (7.62) - (7.66) menunjukkan bahwa objek langsung, baik pada klausa ekatransitif maupun klausa dwitransitif dan objek tak langsung pada klausa dwitransitif dapar direlatifkan. 7.4.1.4 Penjangka Kambang Penjangka atau yang lebih dikenal dengan istilah kata bantu bilangan (quantifier) tak takrif merupakan penentu penunjuk jumlah. Penggunaan istilah penjangka kambang ini terkait dengan kemampuan untuk menduduki lebih dari satu posisi dalam sebuah klausa/kalimat tanpa mengubah makna klausa atau kalimat tersebut. Penjangka dalam BKm yang berfungsi untuk menunjukkan jumlah kolektif adalah mamu ‘semua’ dan galang ‘semua’. Selain tes kesubjekan seperti tersebut di atas, pengujian kesubjekan juga dapat dilakukan dengan pengujian penjangka kambang. Dalam kaitannya dengan pengujian subjek, penjangka kambang dapat menentukan apakah sebuah FN dapat dikategorikan sebagai subjek atau tidak. Apabila penjangka kambang tersebut tetap mengacu pada FN yang sama, FN tersebut adalah subjek. Sebaliknya, apabila penjangka kambang tidak mengacu kepada FN yang berfungsi sebagai subjek, FN tersebut bukan subjek. Untuk mengetahui kesubjekan BKm, berikut disajikan contoh klausa yang menempatkan penjangka mamu ‘semua’ dan galang ‘semua’ setelah subjek dalam klausa intransitif BKm. (7.67) Renu mamu la de kantor desa Masyarakat semua pergi Prep kantor desa ‘Masyarakat semua pergi ke kantor desa’ 267 (7.68) Dato galang mai de kantor Bupati Kepala Dusun semua datang Prep kantor Bupati ‘Kepala dusun semua datang ke kantor Bupati’ Contoh klausa (7.67) dan (7.68) merupakan klausa intransitif BKm. Pada klausa tersebut terdapat penjangka kambang yang muncul pada posisi sebelah kiri verba (praverbal) pada contoh klausa (7.67) dan (7.68). Kedua klausa tersebut sekaligus menunjukkan bahwa posisi penjangka kambang mamu ‘semua’ dan galang ‘semua’ berada pada posisi antara satu-satunya argumen dan praverbal. Penjangka kambang mamu ‘semua’ dan galang ‘semua’ mengacu pada FN praverbal yang juga merupakan satu satunya argumen dalam klausa tersebut. Dengan demikian, penjangka kambang mamu ‘semua’ dan galang ‘semua’ hanya dapat ditempatkan pada posisi setelah FN praverbal pada klausa intransitif BKm—yang merupakan subjek gramatikal. Posisi penjangka kambang pada klausa transitif BKm dapat dicermati melalui contoh-contoh berikut ini. (7.69) Imi mamu selo bea tonang sea saba 2JM semua bayar pajak tahun satu sekali ‘Kami semua membayar pajak satu tahun sekali’ (7.70) Ana galang sali ika de anak semua tangkap ikan Prep ‘Anak semua menangkap ikan di sungai’ holang sungai Contoh klausa (7.69) dan (7.70) merupakan klausa transitif BKm. Pada klausa tersebut terdapat penjangka kambang yang muncul pada posisi sebelah kiri verba (praverbal) pada contoh klausa (7.69) dan (7.70). Kedua klausa tersebut sekaligus menunjukkan bahwa posisi penjangka kambang mamu ‘semua’ dan galang ‘semua’ berada pada posisi antara satu-satunya argumen dan praverbal. Penjangka kambang mamu ‘semua’ dan galang ‘semua’ mengacu pada FN 268 praverbal yang juga merupakan satu-satunya argumen dalam klausa tersebut. Dengan demikian, penjangka kambang mamu ‘semua’ dan galang ‘semua’ dapat ditempatkan pada posisi setelah FN praverbal pada klausa transitif BKm di atas yang merupakan subjek gramatikal. 7.4.1.5 Perefleksifan Agen atau pelaku merupakan bagian yang berfungsi sebagai pengontrol FN refleksif. Salah satu bahasa yang menempatkan agen atau pelaku sebagai pengontrol FN adalah bahasa Inggris. Selain bahasa Inggris, bahasa Bali juga merupakan salah satu bahasa yang menempatkan agen sebagai pengontrol pereflesifan (lihat Artawa, 1998:18). Artawa (1998:18) juga menambahkan bahwa agen menjadi pengontrol perefleksifan merupakan kebenaran umum. Argumen agen pada satu klausa selalu merupakan anteseden yang mungkin dari bentuk refleksif dalam klausa tersebut. Bentuk refleksif BKm, diungkapkan dengan bentuk du’uk ‘diri’ dan untuk mempertegas dapat ditambahkan dengan kata lolog ‘sendiri’. Bentuk refleksif BKm memiliki bentuk du’uk lolog ‘diri sendiri’ dapat dicermati pda contoh yang disajikan berikut ini. (7.71) Au tutu du’uk lolog 1TG pukul diri sendiri ‘Saya memukul diri sendiri’ (7.72) Ua basa du;uk lolog 3TG tampar diri sendiri ‘Dia menampar diri sendiri’ 269 (7.73) Roma neu du’uk lolog 3JM lihat diri sendiri ‘Mereka melihat diri sendiri’ Contoh klausa (7.71)--(7.73) merupakan klausa refleksif BKm. Pada ketiga klausa tersebut agen au ‘saya’ pada klausa (7.71), ua ‘dia’ pada klausa (7.72), dan roma ‘mereka’ pada klausa (7.73) merupakan subjek gramatikal klausa yang bersangkutan. Bentuk refleksif yang diungkapkan dengan kata du’uk lolog ‘diri sendiri’ dikontrol oleh agen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agen dalam BKm berfungsi untuk mengontrol perefleksifan. Bentuk refleksif (7.71)--(7.73) tersebut memiliki bentuk lain, seperti yang disajikan pada contoh (7.74)--(7.76) berikut. (7.74) Au tutu du’uk (au) lolog 1TG pukul diri (1TG) sendiri ‘Saya memukul diri (saya) sendiri’ (7.75) Ua basa du’uk (ua) lolog 3TG tampar diri (3TG) sendiri ‘Dia menampar diri (dia) sendiri’ (7.76) Roma neu du’uk (roma) lolog 3JM lihat diri (3JM) sendiri ‘Mereka melihat diri (mereka) sendiri’ Contoh klausa refleksif (7.74)--(7.76) merupakan bentuk alternatif dari contoh klausa refleksif (7.71)--(7.73). Pada contoh klausa refleksif (7.74)--(7.76) tersebut terdapat pengulangan agen dari setiap klausa yang ditempatkan di antara kata du’uk ‘diri’ dan lolog ‘sendiri’. Pengulangan penempatan agen pada klausa refleksif tersebut memiliki fungsi untuk mempertegas dan bersifat manasuka, artinya bisa hadir juga bisa tidak. 270 Contoh klausa refleksif (7.71)--(7.76) di atas menunjukkan bahwa agen memiliki fungsi untuk mengontrol bentuk refleksif (FN refleksif). Di samping itu, agen pada klausa refleksif memiliki sifat-perilaku relasi gramatikal subjek karena agen yang menempati posisi subjek secara gramatikal merupakan satu-satunya argumen praverbal yang terdapat pada klausa refleksif yang berfungsi untuk mengontrol bentuk refleksif. Dapat disimpulkan bahwa agen yang merupakan satu-satunya argumen yang terdapat dalam klausa refleksif yang berfungsi untuk mengontrol bentuk refleksif merupakan subjek secara gramatikal. 7.4.1.6 Penaikan (raising) Kaidah penaikan (raising) mempunyai pengertian bahwa sebuah kategori gramatikal (sintaksis) yang sebelumnya bukan merupakan subjek melalui mekanisme tertentu dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek. Fungsi gramatikal yang dapat dinaikkan menjadi subjek dalam BKm adalah fungsi gramatikal objek melalui mekanisme pemasifan. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa BKm tidak memiliki proses morfologis yang berupa afiks yang dilekatkan pada verba untuk membentuk konstruksi pasif. Pemasifan BKm dilakukan dengan mekanisme pemasifan analitik, yaitu dengan menggunakan pemarkah toma ‘dapat’. Berikut ini disajikan contoh klausa BKm yang memperlihatkan proses penaikan argumen yang bukan subjek menjadi subjek. (7.77) a. Au betu mane 1TG tendang laki-laki ‘Saya menendang laki laki itu’ senua DEF 271 b. Mane senua toma betu Laki-laki DEF dapat tendang ‘Laki-laki itu ditendang oleh saya’ (7.78) a. Ina ala baru odi Ibu beli baju Prep ‘Ibu membeli baju untuk adik’ Ina ala podi ali Ibu beli APL adik ‘Ibu membelikan adik baju’ b. Baru toma ala ina Baju dapat beli ibu ‘Baju dibeli ibu untuk adik’ c. au 1TG odi Prep ali adik ali adik b. Baru toma ala dase ina Baju dapat beli Prep ibu ‘Baju dibeli oleh ibu untuk adik’ (7.79) a. dase Prep baru baju odi Prep Ali toma ala baru dase Adik dapat beli baju Prep ‘Adik dibelikan baju oleh ibu ’ ali adik ina ibu (7.80) a. Ua pege podi roma osa 3TG pinjam APL 3JM uang ‘Dia meminjamkan mereka uang’ b. Roma toma pege osa dase 3JM dapat pinjam uang Prep ‘Mereka dipinjami uang oleh dia’ ua 3TG c. roma 3JM Osa toma pege ua odi Uang dapat pinjam 3TG Prep ‘Uang dipinjmkan dia untuk mereka’ Klausa (7.77a) merupakan klausa ekatransitif BKm yang dibangun oleh argumen subjek au ‘saya’ dan argumen objek langsung mane senua ‘laki-laki itu’. Klausa (7.77b) menunjukkan bahwa proses penaikan argumen objek langsung 272 mane senua ‘laki-laki itu’ dapat dilakukan sehingga menempati posisi subjek. Klausa (7.78a) juga merupakan klausa ekatransitif BKm yang terdiri atas argumen subjek ina ‘ibu’, argumen objek langsung baru ‘baju’, dan relasi oblik odi ali ‘untuk adik’. Sama seperti klausa sebelumnya, argumen objek langsung baru ‘baju’ klausa (7.78a) dapat juga dinaikkan fungsinya menjadi subjek, seperti terlihat pada klausa (7.78b). Berbeda dengan klausa (7.78a), klausa (779a) merupakan klausa dwitransitif yang dibangun oleh argumen ina ‘ibu’ yang berfungsi sebagai subjek, argumen ali ‘adik ‘ yang berfungsi sebagai objek tak langsung, dan argumen baru ‘baju yang berfungsi sebagai objek langsung. Klausa (7.79b) merupakan hasil dari proses penaikan argumen objek langsung baru ‘baju’ pada klausa (7.79a) menjadi argumen yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek. Klausa (7.79b) juga menunjukkan bahwa argumen objek langsung dapat dinaikkan menjadi subjek gramatikal. Sementara, klausa (7.79c) menunjukkan bahwa argumen objek tak langsung dapat dinaikkan menjadi subjek gramatikal. Klausa (7.80a) juga merupakan klausa dwitransitif BKm yang dibangun oleh argumen ua ‘dia’ sebagai subjek, roma ‘mereka’ sebagai objek tak langsung, dan osa ‘uang’ sebagai objek langsung. Klausa (7.80b) menunjukkan bahwa argumen objek tak langsung roma ‘mereka’ dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek gramatikal. Sementara, klausa (7.80c) menunjukkan bahwa osa ‘uang’ sebagai objek langsung dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek gramatikal. Klausa (7.79b dan c) dan (7.80b dan c) menunjukkan bahwa argumen objek, baik objek langsung maupun objek tak langsung dapat dinaikkan fungsinya menjadi 273 subjek gramatikal. Dengan demikian, berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa penaikan juga dapat digunakan untuk menentukan subjek atau kesubjekan BKm. 7.4.1.7 Pemfokusan Pengetesan terhadap subjek pada BKm dapat pula dilakukan dengan pemfokusan. Pemarkah fokus yang terdapat dalam BKm adalah te. Subjek pada klausa intransitif dan transitif dapat difokuskan dengan pemarkah fokus te sehingga argumen klausa, baik intransitif maupun transitif yang memiliki properti dapat difokuskan tersebut dapat diasumsikan berfungsi sebagai subjek. Berikut ini disajikan klausa yang mengandung pemfokusan subjek. (7.81) Hine koet senua te huri Wanita cantik DEF FOK tari ‘Wanita cantik itu menari di kantor desa’ (7.82) Ua te semai dase 3SG FOK keluar Prep ‘Dia keluar dari sekolah’ de Prep kantor desa kantor desa isikola sekolah (7.83) Atmas senua te mai de Orang DEF FOK datang Prep ‘Orang itu datang ke rumah saya’ au-ng 1SG-Lig (7.84) Roma te basa anag 3JM FOK tampar anak ‘Mereka menampar anak itu’ senua DEF (7.85) Ina te ala ua buku de Ibu FOK beli 3SG buku Prep ‘Ibu membelikan dia buku di pasar’ basar pasar uma rumah 274 (7.86) Ita te e ne ua 1JM FOK ingin beri 3SG ‘Kita ingin memberikan dia uang’ osa uang Klausa (7.81)--(7.86) merupakan klausa pemfokusan dalam BKm. Pada klausa intransitif (7.81), argumen hine koet senua ‘wanita cantik itu’ yang menempati posisi sebelum predikat diikuti langsung oleh pemarkah fokus te. Argumen klausa monotransitif atmas senua ‘orang itu’ pada klausa (7.83) yang menempati posisi sebelum predikat juga langsung diikuti oleh pemarkah fokus te . Demikian halnya pada klausa dwitransitif (7.85). Pada klausa (7.85) argumen ina ‘ibu’ yang menempati posisi sebelum predikat juga langsung diikuti oleh pemarkah fokus te. Berdasarkan contoh klausa (7.81) - (7.86) di atas, diketahui bahwa argumen pada setiap klausa tersebut diikuti oleh pemarkah fokus te ‘yang’. Pemarkah fokus te ‘yang’ tersebut secara langsung mengikuti dan sekaligus memarkahi argumen yang menempati posisi sebelum predikat yang ditempati oleh verba. Argumen yang menempati posisi sebelum predikat yang ditempati oleh verba secara gramatikal merupakan subjek. Dengan demikian, pemfokusan merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menentukan subjek BKm. 7.4.1.8 Kontrol Kontrol juga dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk menguji subjek atau kesubjekan dalam BKm. Kontrol dalam BKm dapat dicermati pada klausa yang disajikan berikut ini. 275 (7.87) a. Au gesa ele au-ng her de 1TG coba cari 1TG-Lig istri Prep ‘Saya mencoba mencari istri saya di Kupang’ Kupang Kupang b. Au gesa [__ele au-ng her de 1TG coba [__cari 1TG-Lig istri Prep ‘Saya mencoba mencari istri saya di Kupang’ Kupang] Kupang] c. Au gesa [*au ele au-ng her de 1TG coba [*1TG cari 1TG-Lig istri Prep ‘Saya mencoba mencari istri saya di Kupang’ Kupang] Kupang] (7.88) a. Ua gesa do au odi batu 3TG coba lempar 1TG Prep batu ‘Dia mencoba melempar saya dengan batu’ b. Ua gesa [__do au odi batu] 3TG coba [__lempar 1TG Prep batu] ‘Dia mencoba melempar saya dengan batu’ c. Ua gesa [*ua do au odi batu] 3TG coba [*3TG lempar 1TG Prep batu] ‘Dia mencoba melempar saya dengan batu’ Argumen au ‘saya’ pada klausa (7.87a) di atas dapat dikontrol, seperti terlihat pada klausa (7.87b). Hal yang sama juga dapat dilihat pada klausa (7.88). Argumen ua ‘dia’ pada klausa (7.88a) di atas juga dapat dikontrol (lihat 7.88b). Jika dilihat dari strukturnya, klausa (7.87b) dan (7.88b) merupakan klausa yang berterima/gramatikal. Dengan demikian, au ‘saya’ pada klausa (7.87) dan ua ‘dia’ pada klausa (7.88) merupakan subjek klausa tersebut. Melihat posisinya, subjek yang dikontrol pada klausa (7.87) dan (7.88) berada sebelum verba atau praverbal. Subjek au ‘saya’ dan ua ‘dia’ menempati posisi sebelah kiri verba kontrol gesa ’coba’. Klausa tersebut menjadi tidak 276 gramatikal apabila subjek menempati posisi sebelah kanan verba kontrol, seperti terlihat pada klausa (7.87c) dan (7.88c). 7.4.1.9 Frasa Nomina Tidak Terang (PRO) Berdasarkan kehadiran subjek, verba dapat dibedakan menjadi verba terbatas dan verba tidak terbatas. Verba terbatas merupakan verba yang dalam kehadirannya dalam sebuah konstruksi kalimat membutuhkan kehadiran subjek, sedangkan verba tak terbatas merupakan verba yang tidak begitu menghendaki kehadiran subjek, baik secara morfologis maupun sintaksis. Teori Penguasaan dan Pengikatan (Government and Binding Theory) yang dikemukakan Haegemen (1999) mengungkapkan bahwa subjek klausa dengan verba tak terbatas dinukilkan sebagai FN tidak terang (non-overt noun phrase) dan diwujudkan sebagai PRO. Dalam bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa bertipologi akusatif, FN tidak terang (PRO) berkoreferensi dengan subjek klausa yang lebih tinggi, seperti yang disajikan pada contoh berikut ini. (7.89) I want [PRO to sleep] (7.90) I want [PRO to kill the man] (7.91) I want [PRO to be killed by the man] Klausa (7,89) dan (7,90) menunjukkan bahwa FN tidak terang (PRO) berkoreferensi dengan subjek klausa yang lebih tinggi. Berbeda dengan klausa (7.89) dan (7.90), klausa (7.91) menunjukkan bahwa FN tidak terang (PRO) yang berkoreferensi dengan subjek yang secara semantis memiliki peran sebagai pasien sehingga diperlukan proses pemasifan pada verba untuk membuat klausa (7.91) menjadi berterima/gramatikal. 277 Berikut disajikan klausa BKm yang memperlihatkan FN tidak terang sebagai PRO mengacu kepada contoh klausa bahasa Inggris di atas. (7.92) Au e [PRO la] 1TG ingin [PRO pergi[ ‘Saya ingin pergi’ (7.93) Ita e [PRO plai] 1JM ingin [PRO lari] ‘Kita ingin lari’ (7.94) Ua e [PRO nue au] 3TG ingin [PRO lihat 1TG] ‘Dia ingin lihat saya’ (7.95) Roma e [PRO luma 3JM ingin [PRO pelihara ‘Mereka ingin pelihara kucing’ busa] kucing] Klausa (7.92)--(7.95) merupakan klausa BKm yang memperlihatkan FN tidak terang (PRO). Lebih lanjut, klausa tersebut menunjukkan bahwa FN tidak terang, baik pada klausa intansitif, seperti terlihat pada klausa (7.92) dan (7.93) maupun pada klausa transitif, seperti terlihat pada klausa (7.94) dan (7.95) berkoreferensi dengan subjek yang berperan sebagai agen pada klausa yang lebih tinggi. (7.96) *Au e [PRO mane 1TG ingin [PRO laki-laki ‘Saya ingin laki laki itu panggil’ senua te DEF` FOK mela] panggil] (7.97) Au e [au mane senua te 1TG ingin [1TG laki-laki DEF FOK ‘Saya ingin saya laki-laki itu panggil’ mela] pamggil] Klausa (7.96) tidak berterima dalam BKm. Jika subjek berkoreferensi dengan subjek tidak terang pada klausa yang lebih rendah, subjek tidak terang 278 pada pada klausa yang lebih rendah tidak dapat dinukilkan, seperti yang terlihat pada klausa (7.97). FN praverbal yang berkoreferensi dengan FN tidak terang (PRO), baik klausa intransitif maupun klausa transitif, sama-sama memiliki sifat-perilaku subjek. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa subjek dalam BKm pada klausa dasar adalah agen. Hasil analisis data di atas menunjukkan bahwa subjek BKm memiliki sifat-perilaku atau properti (1) subjek BKm muncul pada posisi praverbal pada struktur kanonis, (2) adverbia dapat disisipkan di antara subjek sebagai argumen praverbal dengan verbal, (3) subjek dapat direlatifkan, (4) antara subjek dan predikat dapat disisipi penjangka kambang, (5) subjek dapat direfleksifkan, (6) subjek dapat diikuti oleh penegasi, (7) argumen yang bukan subjek (objek langsung dan objek tak langsung) dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek melalui mekanisme penaikan (raising), (8) subjek dapat difokuskan dengan menghadirkan pemarkah fokus te yang hadir langsung setelah subjek, (9) subjek dapat dikontrol, dan (10) frasa nomina tidak terang (PRO) dapat berkoreferensi dengan subjek pada klausa yang lebih tinggi. 7.4.2 Objek Bahasa Kemak Teori Tata Bahasa Relasional mengungkapkan tiga jenis relasi gramatikal murni yang bersifat sintaksis, yaitu S, OL, dan OTL. Pada bagian sebelumnya telah dibicarakan tentang subjek BKm. Pembahasan pada bagian ini difokuskan pada objek dalam BKm sebagai lanjutan pembahasan subjek di atas. 279 Pembahasan objek berhubungan dengan jenis klausa/kalimat dilihat dari kehadiran argumen dalam klausa/kalimat tersebut. Klausa/kalimat intransitif merupakan klausa/kalimat yang predikatnya (verba) hanya mampu mengikat satu argumen inti. Sementara, klausa/kalimat transitif merupakan klausa/kalimat yang predikatnya mengikat argumen dua atau lebih. Terkait dengan pembahasan objek, tipe kalimat yang dibahas pada bagian ini adalah klausa/kalimat transitif. Klausa/kalimat transitif mempunyai dua argumen atau lebih yang secara gramatikal dikategorikan menjadi S dan O. Relasi gramatikal S telah dibicarakan pada 7.4.1. Objek merupakan fungsi gramatikal kedua setelah fungsi gramatikal subjek. Donohue (1999:48) mengungkapkan bahwa objek adalah relasi gramatikal yang merujuk ke setiap argumen inti yang bukan subjek. Sebuah predikat (transitif) dapat menghendaki satu O atau lebih sehingga O dapat diklasifikasikan sebagai O utama (OL) dan O kedua (OTL). Culicover (1997: 16--17) mengungkapkan bahwa secara umum, ada dua jenis argumen: (i) argumen subjek yang kehadirannya dalam kalimat sebagai bagian yang paling independen dari suatu verba; dan (ii) argumen yang dikaitkan dengan verba tertentu. Argumen terakhir inilah yang menurut teori Tata Bahasa Relasional (juga teori Tata Bahasa Tradisional) disebut objek. Objek dalam satu klausa transitif merupakan argumen inti tidak banyak diperdebatkan lagi sejauh ini. Pendapat tentang objek juga dikemukakan oleh Alsina (1996: 149--160). Alsina mengemukakan bahwa argumen-argumen internal pada dasarnya disebut objek karena sebuah struktur argumen dapat terdiri atas lebih dari satu argumen 280 internal, hal itu menggambarkan bahwa sebuah klausa dapat mempunyai lebih dari satu O. Jumlah O tersebut ditentukan oleh jenis verba sebagai pengisi sebuah klausa. Verba dwitransitif menghendaki dua O yang secara tradisional dikenal dengan objek langsung (OL) dan objek tidak langsung (OTL). Berdasarkan data bahasa Romawi yang dikemukakannya, Alsina (1996) mengatakan bahwa OTL mirip dengan oblik (OBL) yang ditandai oleh adanya preposisi, dan OTL cenderung mengikuti OL. Selain itu, berbeda dengan OL, OTL tidak berkorespondensi dengan S. Objek adalah argumen yang dikenai tindakan yang dinyatakan oleh verba transitif. Argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut menduduki posisi kedua pada hirarki fungsi gramatika (sesudah subjek) (Verhaar, 1999; Alsina, 1999; Nazara, 2001:77). OL dan OTL harus muncul bersamaan pada klausa dengan verba dwitransitif. Secara lintas bahasa tidak banyak verba yang menuntut tiga argumen secara serentak. Verba give dalam bahasa Inggris, memberikan dalam bahasa Indonesia, ne dalam BKm, dan beberapa verba lain yang setara dengan itu adalah contoh verba dwitransitif. Dilihat dari segi struktur, objek dikategorikan sebagai argumen internal (internal NP) dari predikat yang ditempati oleh verba (transitif). Posisi objek berada di bawah simpul struktur VP (verb phrase) bersama dengan verba yang merupakan konstituen utama atau pokok klausa atau kalimat. Menurut Foley dan Van Vallin (1984), objek secara semantis merupakan pasien (Ps) atau undergoer dalam konsepsi peran makro (macrorole). 281 Sama halnya dengan penentuan sifat-perilaku subjek, penentuan sifatperilaku O secara lintas bahasa cukup rumit. Kisseberth dan Abasheikh dalam Cole (ed.) (1977: 183--184) mengemukakan bahwa ”O” verba dalam bahasabahasa Bantu kebanyakan ditentukan dengan tiga perilaku dasar : (i) O adalah FN yang mengontrol prefiks O yang dapat muncul pada verba; (ii) O adalah FN (sekurang-kurangnya dalam konteks netral) yang secara langsung mengikuti verba; dan (iii) O adalah FN yang dapat dinaikkan ke posisi S melalui proses pemasifan. Butt dkk. (1999:48) menegaskan bahwa secara lintas bahasa, pemasifan merupakan pengujian yang paling baik untuk menentukan keobjekan. Melalui pemasifan, FN O dalam kalimat aktif menjadi S kalimat pasif. S aktif diwujudkan sebagai NULL (dihilangkan dalam kalimat pasif). Dalam bahasa Inggris dicontohkan sebagai berikut. (7.98) . a. They saw the box (AKT) ‘Mereka melihat kotak itu’ b. The box was seen (PAS) ‘Kotak itu dilihat’ Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, tidak semua sifatperilaku dasar tersebut dapat digunakan untuk menentukan objek. Dari ketiga sifat-perilaku dasar tersebut, sifat-perilaku (ii) dan (iii) saja yang ada dalam bahasa-bahasa Bantu yang dapat dipakai untuk menetapkan O dalam BKm. Sifat perilaku (i) tidak dapat digunakan untuk menentukan objek BKm karena BKm miskin afiks dan tidak ditemukan afiks O yang muncul pada verba. Sifat-perilaku (iii) juga dapat digunakan untuk menentukan objek BKm. Seperti telah diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa BKm tidak memiliki proses morfologis 282 berupa pelekatan afiks yang dilekatkan pada verba yang mengubah konstruksi aktif menjadi pasif. Tidak seperti bahasa-bahasa pada umumnya di dunia yang melalui proses morfologis, BKm memiliki cara tersendiri untuk membentuk konstruksi pasif. Konstruksi pasif merupakan konstruksi pasif analitik, yaitu konstruksi pasif yang dibentuk dengan kehadiran pemarkah toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba (praverbal). Berikut ini disajikan proses pemasifan klausa sebagai salah satu pengujian untuk menentukan objek BKm. (7.99) a. b. (7.100) a. b. Ua tutu au 3TG pukul 1TG ‘Dia memukul saya’ Roma li’u asu senua 3JM kejar anjing DEF ‘Mereka mengejar anjing itu’ Au toma tutu dase 1TG dapat pukul Prep ‘Saya dipukul oleh dia’ ua 3TG Asu senua toma li’u dase Anjing DEF dapat kejar Prep ‘Anjing itu dikejar oleh mereka’ roma 3JM Klausa (7.99) merupakan klausa aktif BKm, sedangkan klausa (7.100) merupakan hasil proses pemasifan dari klausa aktif (7.99). Lebih lanjut, klausa (7.100a dan b) menunjukkan bahwa konstruksi pasif BKm tidak terjadi secara morfologis, tetapi melalui proses analitik dengan kehadiran pemarkah toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba. Objek au ‘saya’ pada klausa (7.99a) dan asu senua ‘anjing itu’ pada klausa (5.99b) dinaikkan posisinya menjadi subjek pada klausa (7.100a dan b). Hal sebaliknya terjadi pada subjek. 283 Subjek ua ‘dia’ pada klausa (7.99a) dan roma ‘mereka’ pada klausa (7.99b) diturunkan fungsinya dari subjek menjadi oblik pada klausa (7.100a dan b) yang dicirikan dengan kehadiran preposisi dase ‘dari’ pada klausa tersebut. Dengan demikian, objek BKm dapat diidentifikasi sebagai argumen yang dapat dinaikkan fungsi gramatikalnya dari argumen objek menjadi argumen subjek. Klausa yang mempunyai verba dwitransitif mempunyai tiga argumen, yaitu subjek, objek langsung, dan objek tak langsung. Bahasa Jerman, misalnya, menggunakan pemarkah kasus untuk menetapkan OL dan OTL. Dalam bahasa Inggris, pemasifan dan posisi merupakan cara pengujian/penentuan O. Namun, baik OL maupun OTL, masing-masing dapat menjadi subjek kalimat pasif. Dalam hal ini, posisi merupakan pembeda antara OL dengan OTL. OTL harus berada langsung setelah verba, kemudian diikuti OL. Berikut ini adalah contoh kalimat bahasa Inggris seperti diberikan Butt dkk. (1999 : 49). (7.101) a. She gave him the book. (AKT) ‘Dia (pr) memberinya (ll) buku itu’ b. The book was given him. (PAS) ‘Buku itu diberikan kepadanya (ll)’ Pada kalimat koordinatif, FN yang terdapat pada klausa kedua yang mengacu orang atau benda (FN), klausa pertama dapat dilesapkan apabila FN tersebut berfungsi sebagai subjek. Akan tetapi, apabila FN pada klausa kedua tersebut berfungsi sebagai O, FN itu tidak bisa dilesapkan. Perhatikan contoh kalimat koordinatif bahasa Inggris berikut ini! (7.102) a. The man kissed the girl and he married her. ‘Lelaki itu mencium gadis itu dan dia menikahinya’ 284 b. The man kissed the girl and ----- married her. ‘Lelaki itu mencium gadis itu dan ----- menikahinya’ Pada kalimat (7.102a) walaupun berterima, kehadiran he yang mengacu kepada the man dan berkedudukan sebagai subjek pada klausa kedua dianggap mubazir. Pelesapan he yang menduduki posisi subjek pada klausa kedua merupakan bentuk yang lebih berterima. Kalimat (7.103b) di bawah ini tidak berterima karena yang dilesapkan adalah FN yang berkedudukan sebagai O pada klausa kedua. (7.103) a. The man kissed the girl and the dog bit her. ‘Lelaki itu mencium gadis itu dan anjing itu menggigitnya (gadis itu)’ b. *The man kissed the girl and the dog bit -------‘Lelaki itu mencium gadis itu dan anjing itu menggigit------(lihat Gee, 1993; Nazara, 2001: 81--82). Pada bab sebelumnya juga telah diungkapkan bahwa BKm tergolong memiliki tipologi tata urutan kata (word order) SVO dengan alternasi OVS. Tata urutan kata SVO dengan alternasi OVS menunjukkan bahwa objek muncul di sebelah kanan verba atau objek hadir pada posisi setelah verba. Di samping itu, objek BKm juga dapat hadir pada posisi praverbal atau sebelum verbal dengan mekanisme pemfokusan. Pengujian keobjekan dan penetapan objek BKm dapat dilakukan dengan seperangkat cara pengujian secara gramatikal yang sesuai dengan sifat-perilaku morfosintaksis BKm. Berikut ini disajikan klausa transitif dengan verba monotransitif untuk menentukan objek BKm berdasarkan sifat-perilaku seperti yang dikemukakan oleh Cole (1977: 183--184) yang menyatakan bahwa objek 285 adalah FN (sekurang-kurangnya dalam konteks netral) yang secara langsung mengikuti verba. (7.104) Au a sele nunu-ng 1TG makan jagung rebus-Lig ‘Saya makan jagung rebus’ (7.105) Ua unu mane senua 3TG tikam laki-laki DEF ‘Dia menikam laki-laki itu’ (7.106) Asu senua gasi au-ng Anjing DEF gigit 1TG-Lig ‘Anjing itu menggigit kucing saya’ busa kucing (7.107) Roma hai au 3JM tendang 1TG ‘Mereka menendang saya’ (7.108) Ita hoat kursi boteng senua 1JM angkat kursi Adj DEF ‘Kita mengangkat kursi besar itu’ (7.109) O luma manu buti 2TG pelihara ayam putih ‘Engkau memelihara ayam putih’ Klausa (7.104)--(7.109) merupakan klausa monotransitif yang berterima atau gramatikal dalam BKm. FN dan pronomina sele nunung ‘jagung rebus’ pada klausa (7.104), mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (7.105), aung busa ‘kucing saya’ pada klausa (7.106), au ‘saya’ pada klausa (7.107), kursi boteng senua ‘kursi besar itu’ pada klausa (7.108), dan manu buti ‘ayam putih’ pada klausa (7.109) secara langsung mengikuti (berada dalam lingkungan terdekat verba) adalah objek klausa tersebut. 286 Kalimat transitif BKm dengan verba dwitransitif mempunyai tiga argumen: S, OL, dan OTL. Sifat-perilaku OL dan OTL dalam BKm dapat dicermati pada klausa yang disajikan berikut ini. (7.110) Au-ng ama-ng ne podi 1TG-Lig ayah-Lig beri APL ‘Ayah saya memberikan saya uang’ au 1TG osa uang (7.111) Roma ala podi ua baru hrua 3JM beli APL 3TG baju Num ‘Mereka membelikan saya baju dua’ (7.112) Ita lodi podi roma sele 1JM bawa APL 3JM jagung ‘Kita memberikan mereka jagung’ (7.113) Au solok podi ina surat 1TG kirim APL ibu surat ‘Saya mengirimkan ibu surat; Klausa (7.110)--(7.113) merupakan klausa transitif BKm dengan verba dwitransitif yang mengikat tiga argumen inti. Pada klausa (7.110), au ‘saya’ dan osa ‘uang’ merupakan dua buah argumen yang hadir setelah verba ne ‘beri’. Berdasarkan sifat-perilaku objek, maka kedua argumen yang langsung mengikuti verba merupakan objek dari klausa tersebut. Secara semantis, osa ‘uang’ merupakan OL dan au ‘saya’ merupakan OTL dari verba ne ‘beri’. Argumen ua ‘dia’ dan baru hrua ‘dua baju’ merupakan dua objek yang terdapat pada klausa (7.111). Baru hrua ‘dua baju’ merupakan OL dan ua ‘dia’ merupakan OTL dari klausa tersebut. Hal yang sama juga dapat dilihat pada klausa (7.112) dan klausa (7.113). Sele ‘jagung’ merupakan OL dan roma ‘mereka’ merupakan OTL pada 287 klausa (7.112). Surat ‘surat’ merupakan OL dan ina ‘ibu’ merupakan OTL pada klausa (7.113). Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa BKm juga memiliki konstruksi pasif analitik. Pengujian dan penentuan objek dalam BKm dapat juga dilakukan dengan mekanisme pemfokusan. Perhatikan contoh klausa berikut ini. (7.114) Roma mela mane 3JM panggil laki-laki ‘Mereka memanggil laki-laki itu’ senua DEF (7.115) Imi tutu au-ng ali-ng 2JM pukul 1TG-Lig adik-Lig ‘Kalian memukul adik saya’ (7.116) Ina ala podi ua Ibu beli APL 3TG ‘Ibu membelikan dia baju’ baru baju (7.117) Atmas senua ne podi roma osa Orang DEF beri APL 3JM uang ‘Orang itu memberikan dia uang’ (7.118) Mane senua te roma mela Laki-laki DEF FOK 3JM ‘Laki-laki itu mereka panggil’ (7.119) Au-ng ali-ng 1TG-Lig adik-Lig ‘Adik saya kamu pukul’ te FOK (7.120) Ua te ina ala 3TG FOK ibu beli ‘Dia ibu belikan baju’ baru baju (7.121) Roma te atmas senua 3JM FOK orang DEF ‘Mereka orang itu berikan uang’ panggil imi 2JM ne beri tutu pukul osa uang 288 Klausa (7,114)--(7.117) merupakan klausa ekatransitif dan dwitransitif BKm. Berdasarkan sifat-perilaku subjek dan objek, maka subjek klausa tersebut terdiri atas roma ‘mereka’ pada klausa (7,114), ami ‘kalian’ pada klausa (7.115), ina ‘ibu’ pada klausa (7.116), dan atmas senua ‘orang itu’ pada klausa (7.117). Sebaliknya, objek klausa tersebut adalah mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (7.114), aung aling ‘adik saya’ pada klausa (7.115), ua ‘dia’ dan baru ‘baju’ pada klausa (7.116), serta roma ‘mereka’ dan osa ‘uang’ pada klausa (7.117). Berbeda dengan klausa (7.114)--(7.117), klausa (7.118)--(7.121) memiliki konstruksi yang berbeda. Pada klausa (7.118)--(7.121) terjadi proses pemfokusan sehingga objek menempati posisi subjek dan sekaligus mengawali klausa tersebut. Mengacu pada tata urutan kata SVO yang dimiliki BKm dan struktur lain seperti pemfokusan dan pemasifan, maka proses pemfokusan ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk menentukan objek dalam BKm karena objek dalam BKm dapat difokuskan dengan hadirnya pemarkah fokus ‘te’. Khusus untuk klausa (7.116) dan (7.117) merupakan klausa dwitransitif karena terdapat dua objek, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Kedua objek pada klausa tersebut dapat mengalami proses pemfokusan dan menempati posisi subjek. Berikut disajikan hasil penaikan yang dilakukan pada objek langsung pada contoh klausa (7.122) dan (7.123). (7.122) Baru te ina ala odi Baju FOK ibu beli Prep ‘Baju ibu belikan untuk dia’ ua 3TG (7.123) Osa te atmas senua ne Uang FOK orang DEF beri ‘Uang orang itu berikan kepada mereka’ de Prep roma 3JM 289 Klausa (7.122) dan (7.123) menunjukkan pemfokusan objek tidak langsung sehingga menempati posisi subjek dalam BKm. Seperti diuraikan sebelumnya bahwa tidak hanya objek langsung yang dapat mengalami proses pemfokusan, objek tidak langsung juga mengalami pemfokusan dan menempati posisi subjek. Jika dicermati lebih jauh, terdapat perbedaan yang terjadi pada proses pemfokusan objek langsung dan objek tidak langsung. Pemfokusan objek langsung dengan menempati posisi subjek pada klausa (7.118) dan (7.119) tidak menunjukkan penurunan jumlah argumen yang diikat oleh verba klausa tersebut. Sebaliknya, penaikan fungsi gramatikal objek tak langsung untuk menempati fungsi gramatikal subjek pada klausa (7.122) dan (7.123) mengalami penurunan jumlah argumen yang diikat oleh verba klausa tersebut, yang sebelumnya mengikat tiga argumen menjadi hanya mengikat dua argumen karena satu argumen berubah fungsi menjadi oblik. Selain kedua pengujian tersebut, pengujian tentang objek juga dapat dilakukan dengan penyisipan adverbial. Cermatilah klausa berikut ini. (7.124) Au ala baru de basar 1TG` beli baju Prep pasar ‘Saya membeli buku di pasar’ (7.125) Ita tunu si ahi na’arua 1JM bakar daging babi kemarin ‘Kita membakar daging babi kemarin’ (7.126) Ua ne podi mane senua osa 3TG beri APL laki-laki DEF uang ‘Dia memberikan laki-laki itu uang lusa’ bairua lusa 290 (7.127) Ina lodi podi au inu de Ibu bawa APL 1TG pisang Prep ‘Ibu membawakan saya pisang ke rumah’ uma rumah Klausa (7.124)--(7.127) merupakan klausa transitif yang berterima atau gramatikal dalam BKm. Seluruh klausa tersebut hadir dengan adverbial yang menempati posisi akhir dari setiap klausa tersebut. Bandingkan klausa di atas dengan klausa yang disajikan di bawah ini. (7.128) *Au ala de basar baru 1TG` beli Prep pasar baju ‘Saya membeli di pasar baju’ (7.129) *Ita tunu na’arua si ahi 1JM bakar kemarin daging babi ‘Kita membakar kemarin daging babi’ (7.130) *Ua ne podi bairua mane 3TG beri APL lusa laki-laki ‘Dia memberikan lusa laki-laki itu uang’ senua osa DEF uang (7.131) *Ina lodi podi de uma au Ibu bawa APL Prep rumah 1TG ‘Ibu membawakan ke rumah saya pisang’ inu pisang Klausa (7.128)--(7.131) merupakan klausa transitif dengan verba dwitransitif yang tidak berterima/gramatikal. Jika dilihat dari unsur-unsur yang membentuk klausa tersebut, klausa tersebut telah lengkap unsur pembentuknya, seperti subjek, predikat, objek, dan adverbial. Namun, ketidakberterimaan klausa ini disebabkan oleh ketidaktepatan penempatan posisi adverbial pada klausa tersebut. Pada klausa (7.128)--(7.131) posisi adverbial berada di antara predikat dan objek sehingga membuat klausa tersebut tidak berterima. Apabila adverbial tersebut ditempatkan pada posisi akhir klausa, atau di antara argumen praverbal 291 dengan verbal, dan atau mengawali klausa tersebut, maka klausa tersebut menjadi berterima atau gramatikal. Dengan demikian, penyisipan adverbial di antara verba dan objek tidak diperkenankan sehingga penyisipan adverbial ini menjadi salah satu alat yang dapat digunakan untuk menentukan objek dalam BKm. Penyisipan adverbial ini dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan objek dalam BKm karena penyisispan adverbial ini tidak dapat dilakukan di antara verba dan argumen yang secara langsung mengikuti verba. Jika ada adverbial yang disisipkan di antara verba dan argumen yang secara langsung mengikuti verba mengakibatkan klausa/kalimat tersebut, maka dapat dipastikan bahwa argumen yang secara langsung mengikuti verba adalah objek. Berdasarkan hasil analisis data di atas, diketahui bahwa objek BKm merupakan argumen yang secara langsung mengikuti verbal atau argumen posverbal. Di samping objek yang dapat diidentifiasi melalui posisinya yang secara langsung mengikuti verba, objek BKm juga dapat diidentifikasi dengan mekanisme pemasifan. Pemasifan BKm merupakan pemasifan secara analitik, yaitu dengan kehadiran pemarkah toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba (praverbal). BKm tidak memiliki proses morfologis (afiksasi) berupa pelekatan afiks pada verba yang berfungsi untuk mengubah konstruksi aktif menjadi konstruksi pasif. Di samping kedua alat identifikasi objek tersebut, objek BKm dapat diidentifikasi dengan pengedepanan objek dan menempati posisi subjek dengan mekanisme pemfokusan. Penentuan objek BKm juga dapat ditentukan dengan pengujian penyisipan adverbial. Hasilnya menunjukkan bahwa verba dan argumen yang secara langsung mengikuti verba tidak dapat disisipi oleh 292 adverbial. Dapat disimpulkan bahwa argumen yang secara langsung mengikuti verba dapat diidentifikasi sebagai objek. Jadi, apabila dalam sebuah konstruksi klausa.kalimat BKm yang tidak mengizinkan adanya penyisipan adverbial di antara verba dan argumen yang secara langsung mengikutinya, maka argumen yang secara langsung mengikutinya adalah objek. 7.4.3 Oblik Bahasa Kemak Oblik (OBL) dikategorikan sebagai argumen noninti. Kehadiran oblik sebagai argumen noninti tidak terlepas dari pemarkah yang umumnya hadir dalam bentuk preposisi atau frasa preposisional. Di samping dimarkahi oleh preposisi atau frasa preposisional, oblik juga dapat dimarkahi dengan pemarkah kasus. Oblik merupakan relasi gramatikal yang bersifat semantis. Oblik merupakan kelompok argumen yang sulit didefinisikan. Oblik pada umumnya merupakan argumen bukan subjek dan merupakan bentuk morfosintaksis yang tidak sesuai/layak sebagai objek. Oblik tidak mengalami proses sintaksis yang memengaruhi objek (seperti pemasifan). Oblik umumnya berupa frasa preposisional (FPrep) (Butt dkk., 1999 : 50). Dalam bahasa Inggris, misalnya, FPrep to him dalam contoh berikut ini dianalisis sebagai OBL daripada OTL karena frasa tersebut tidak ikut mengalami pemasifan dalam bahasa itu. (7.132) a. The man gave book to him. ‘Laki-lski itu memberikan buku kepada dia’ b. book was given to him. ‘Buku itu diberikan kepada dia ’ 293 Salah satu verba yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok verba menghendaki oblik adalah verba put ‘taruh’ dalam bahasa Inggris. Verba put ‘taruh’ ini menghendaki FPrep lokatif. Perhatikan contoh kalimat bahasa Inggris berikut (dikutip dari Butt dkk., 1999 : 51). (7.133) They put the book in the bookshelf/ on the table (dan lain-lain yang sesuai) ‘Mereka meletakkan buku itu di dalam rak buku/ di atas meja (dan lain-lain yang sesuai). Oblik sering terlihat menyerupai adjung (adjunct) atau keterangan dari segi bentuk. Untuk dapat membedakan oblik dari adjung/keterangan, dapat dilakukan dengan mempertanyakan apakah unsur itu dikehendaki oleh predikat atau tidak. Oblik lazimnya dikehendaki hadirnya oleh predikat verba, sedangkan adjung merupakan fungsi gramatikal yang tidak dikelompokkan untuk verba (lihat Butt dkk, 1999 : 55). Yang lebih rumit lagi, ada argumen yang tampaknya seperti oblik, tetapi sebenarnya adalah objek. Hal itu dapat terjadi pada verba tertentu (dalam bahasa Inggris), dalam hal ini objek didahului oleh preposisi. Akan tetapi, kenyataannya itu adalah objek (bukan OBL) (dilihat berdasarkan kemampuannya untuk dipasifkan; proses yang hanya memengaruhi objek dalam bahasa Inggris) (Butt dkk., 1999 : 51; Alsina, 1996 : 55--57). (7.134) a. Our employees frequently refer to this document. ‘Karyawan kami sering merujuk ke dokumen ini’ b. This document is frequently refered to by our employees. ‘Dokumen ini sering dirujuk oleh karyawan kami’ Arka (2002 : 2) menjelaskan bahwa oblik merupakan argumen verba yang secara sintaktis bukan subjek atau objek. Oblik biasanya dimarkahi oleh 294 pre/posposisi. Oblik dikatakan argumen karena dia mencerminkan partisipan penting yang diminta oleh verba. Dengan demikian, agen pada klausa pasif adalah oblik. Kehadirannya biasanya (walaupun tidak harus) bersifat manasuka sehingga oblik itu mirip dengan keterangan (adjunct). Perbedaan oblik dengan keterangan adalah kehadiran oblik dikehendaki oleh verba, sedangkan kehadiran keterangan tidak demikian halnya. Sebagai contoh, lokatif di meja pada klausa Dia menaruh buku di meja adalah oblik karena secara semantis verba taruh menghendaki tempat (lokatif). Sementara itu, lokatif di dapur pada klausa Dia makan di dapur adalah keterangan (adjunct). Lokatif di dapur bukanlah bagian dari makna makan; perannya hanyalah memberikan keterangan tambahan. Oblik BKm dapat dibedakan atas oblik goal, oblik sumber (source), oblik instrumen, dan oblik lokatif. Pemarkahan oblik dalam BKm, selain ditentukan oleh predikat sebagai konstituen utama/pokok klausa/kalimat, juga ditentukan oleh jenis oblik tersebut, terkait dengan peran semantis argumen. Semua pemarkah oblik Bkm merupakan preposisi atau frasa preposisional, seperti de ‘di/ke’, dase ‘dari’, dan odi ‘untuk/dengan/kepada’. Preposisi de ‘di/ke’ merupakan pemarkah oblik goal dan oblik lokatif. Preposisi dase ‘dari’ merupakan pemarkah oblik sumber. Preposisi odi ‘untuk/dengan/kepada’ merupakan pemarkah oblik agen, oblik goal, dan oblik instrumen. Klausa berikut menampilkan preposisi de ‘di’ sebagai pemarkah oblik lokatif. (7.135) Au ala baru de basar 1TG beli baju Prep basar ‘Saya membeli baju di pasar’ 295 (7.136) Au-ng ali-ng la de 1TG-Lig adik-Lig pergi Prep ‘Adik saya pergi ke sekolah’ iskola sekoah (7.137) Ita ele ua de uma 1JM cari 3TG Prep rumah ‘Kita mencari dia di rumah’ (7.138) Roma mamu hali de Atambua 3JM semua pulang Prep Atambua ‘Mereka semua pulang ke Atambua’ Klausa (7.135)--(7.138) merupakan klausa intransitif dan klausa transitif BKm. Klausa tersebut masing-masing hadir disertai dengan oblik lokatif yang dimarkahi oleh preposisi de ‘di/ke’. Oblik basar ‘pasar’ pada klausa (7.135) dan oblik uma ‘rumah’ pada klausa (7.137) hadir dengan dimarkahi oleh preposisi de ‘di’. Hal yang sama juga terjadi pada klausa (7.136) dan klausa (7.138). Oblik lokatif iskola ’sekolah’ (klausa 7.136) dan oblik Atambua ‘Atambua’ (7.138) sama-sama hadir dimarkahi oleh preposisi de ‘ke’. Kehadiran preposisi de ‘yang bermakna ‘ke’ saja yang memarkahi oblik dalam BKm bersifat optional (tidak wajib). Dalam penggunaannya, preposisi pemarkah oblik ini dilesapkan. Namun, pelesapan preposisi pemarkah oblik ini tidak menimbulkan klausa/kalimat tersebut menjadi tidak berterima/gramatikal, seperti yang terlihat pada klausa berikut. (7.139) Au-ng ali-ng 1TG-Lig adik-Lig ‘Adik saya pergi sekolah’ la iskola pergi sekoah (7.140) Roma mamu hali de Atambua 3JM semua pulang Prep Atambua ‘Mereka semua pulang Atambua’ 296 Di samping kehadiran preposisi de yang bermakna ‘ke’ saja sebagai pemarkah oblik yang bersifat optional (tidak wajib), kehadiran oblik yang dimarkahi oleh preposisi de ‘di/ke’ dalam BKm juga bersifat optional (tidak wajib) tanpa memengaruhi keberterimaan klausa/kalimat tersebut, seperti yang tersaji pada klausa berikut. (7.141) Au ala baru 1TG beli baju ‘Saya membeli baju’ (7.142) Au-ng ali-ng 1TG-Lig adik-Lig ‘Adik saya pergi’ la pergi (7.143) Ita ele ua 1JM cari 3TG ‘Kita mencari dia’ (7.144) Roma mamu hali 3JM semua pulang ‘Mereka semua pulang’ Berikut ini disajikan klausa dengan preposisi dase ‘dari’ sebagai pemarkah oblik sumber. (7.145) Atmas senua mai dase kupang Orang DEF datang Prep Kupang ‘Orang itu datang dari Kupang’ (7.146) Ua solok surat senua dase Atambua 3TG kirim surat DEF Prep Atambua ‘Dia mengirimkan surat itu dari Atambua’ (7.147) Au halan osa dase au-ng 1TG dapat uang Prep 1TG-Lig ‘Saya mendapatkan uang dari ibu saya’ ina-ng ibu-Lig 297 (7.148) Ami mamu rega brita soleng senua dase kepala desa 2JM semua dengar brita sedih DEF Prep kepala desa ‘Kamu semua mendengar berita sedih itu dari kepala desa Klausa (7.145)--(7.148) merupakan klausa intransitif dan klausa transitif BKm. Klausa tersebut masing-masing hadir disertai dengan oblik sumber (source) yang dimarkahi oleh preposisi dase ‘dari’. Oblik Kupang ‘Kupang’ pada klausa (7.145), oblik Atambua ‘Atambua’ pada klausa (7.146), oblik aung inang ‘ibu saya’ pada klausa (7.147), dan kepala desa ‘kepala desa’ pada klausa (7.148) hadir dengan dimarkahi oleh preposisi dase ‘dari’. Kehadiran oblik yang dimarkahi oleh preposisi dase ‘dari’ dalam BKm juga bersifat optional (tidak wajib). Ketiadaan/pelesapan oblik sumber yang dimarkahi preposisi tersebut tidak memengaruhi keberterimaan klausa/kalimat tersebut, seperti yang tersaji pada klausa (7.149)--(7.152) berikut. (7.149) Atmas senua mai Orang DEF datang ‘Orang itu datang’ (7.150) Ua solok surat senua 3TG kirim surat DEF ‘Dia mengirimkan surat itu’ (7.151) Au halan osa 1TG dapat uang ‘Saya mendapatkan uang’ (7.152) Ami mamu rega brita soleng senua 2JM semua dengar berita sedih DEF ‘Kamu semua mendengar berita sedih itu ‘ Klausa berikut menyajikan klausa dengan oblik yang dimarkahi oleh preposisi odi ‘dengan’ sebagai pemarkah oblik instrumen. 298 (7.153) Ina ta si ahi odi di’ir anak Ibu potong daging babi Prep pisau ‘Ibu memotong daging babi dengan pisau’ (7.154) Au sega ika odi tasu 1TG goreng ikan Prep kuali ‘Saya menggoreng ikan dengan kuali’ (7.155) Ama tana ai odi besi rae Ayah tanam pohon Prep cangkul ‘Ayah menanam pohon dengan cangkul’ Klausa (7.153)--(7.155) merupakan klausa transitif BKm. Klausa tersebut masing-masing hadir disertai dengan oblik instrumen yang dimarkahi oleh preposisi odi ‘dengan’. Oblik di’ir anak ‘pisau’ pada klausa (7.153), oblik tasu ‘kuali’ pada klausa (7.154), dan oblik besi rae ‘cangkul’ pada klausa (7.155) hadir dengan dimarkahi oleh preposisi odi ‘dengan’. Kehadiran oblik yang dimarkahi oleh preposisi odi ‘dengan’ dalam BKm juga bersifat optional (tidak wajib). Ketiadaan/pelesapan oblik instrumen yang dimarkahi preposisi tersebut tidak memengaruhi keberterimaan klausa/kalimat tersebut, seperti yang tersaji pada klausa berikut. (7.156) Ina ta si ahi Ibu potong daging babi ‘Ibu memotong daging babi’ (7.157) Au sega ika 1TG goreng ikan ‘Saya menggoreng ikan’ (7.158) Ama tana ai Ayah tanam pohon ‘Ayah menanam pohon’ 299 Berikut ini disajikan klausa dengan preposisi odi ‘kepada’ sebagai pemarkah oblik goal. (7.159) Hine senua ne osa odi au Wanita DEF beri uang Prep 1TG ‘Wanita itu memberi uang kepada saya’ (7.160) O e pege inu odi ina 2TG ingin minta pisang Prep ibu ‘Engkau ingin minta pisang kepada ibu’ (7.161) Ina solok osa odi au-ng Ibu kirim uang Prep 1TG-Lig ‘Ibu mengirim uang kepada adik saya’ ali-ng adik-Lig (7.162) Au e tulis surat odi au-ng 1TG ingin tulis surat Prep 1TG-Lig ‘Saya ingin menulis surat kepada istri saya’ he-ng istri-Lig Klausa (7.159)--(7.162) merupakan klausa transitif BKm. Klausa tersebut masing-masing hadir disertai dengan oblik goal yang dimarkahi oleh preposisi odi ‘kepada’. Oblik au ‘saya’ pada klausa (7.159), oblik ina ‘ibu’ pada klausa (7.160), oblik aung aling ‘adik saya’ pada klausa (7.161), dan oblik aung her ‘istri saya’ pada klausa (7.162) hadir dengan dimarkahi oleh preposisi odi ‘kepada’. Kehadiran oblik yang dimarkahi oleh preposisi odi ‘kepada’ dalam BKm juga bersifat optional (tidak wajib). Ketiadaan/pelesapan oblik goal yang dimarkahi preposisi tersebut dalam sebuah klausa/kalimat tidak memengaruhi keberterimaan klausa/kalimat tersebut, seperti yang tersaji pada klausa berikut. (7.163) Hine senua ne osa Wanita DEF beri uang ‘Wanita itu memberi uang’ 300 (7.164) O e pege inu 2TG ingin minta pisang ‘Engkau ingin minta pisang’ (7.165) Ina solok osa Ibu kirim uang ‘Ibu mengirim uang’ (7.166) Au e tulis surat 1TG ingin tulis surat ‘Saya ingin menulis surat’ Hasil analisis klausa di atas menunjukkan bahwa oblik BKm dibedakan atas oblik goal, oblik lokatif, oblik sumber (source), dan oblik instrumen. Semua oblik BKm dimarkahi oleh pemarkah dalam bentuk preposisi. Preposisi pemarkah oblik BKm terdiri atas (1) de ’di./ke’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik lokatif, (2) dase ‘dari’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik sumber (source), dan (3) odi ‘dengan/kepada’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik goal dan oblik instrumen. 7.4.4 Komplemen Komplemen (Komp) dikategorikan sebagai relasi gramatikal yang bersifat noninti sama seperti oblik dan adjung (dibahas pada bagian selanjutnya, 5.4.5). Sebagai relasi gramatikal noninti, komplemen dapat muncul bersama pemerlengkap (complementizer). dalam bentuk konjungsi dan dapat muncul tanpa kehadiran konjungsi. Dalam bahasa Inggris komplemen ditandai dengan konjungsi that ‘bahwa’ seperti yang terlihat pada klausa berikut (dikutip dari Dixon, 2010: 370--371). 301 (7.167) I rememberred that John was born on the eighth of August ‘Saya ingat bahwa John lahir tanggal 8 Agustus’. (7.168) I heard that Brazil beat Argentina ‘Saya dengar bahwa Brazil mengalahkan Argentina’. Klausa (5.167) dan (5.168) di atas menunjukkan bahwa terdapat komplemen pada setiap klausa tersebut yang ditandai dengan pemerlengkap that ‘bahwa’. Pemerlengkap dalam BKm terdiri atas pemerlengkap bobe ‘bahwa’ dan nuabe ‘supaya’. Berikut ini disajikan klausa yang mengandung pemerlengkap bobe ‘bahwa’ dan nuabe ‘supaya’ yang menandai komplemen dalam BKm. (7.169) Au rega bobe ua sirbisu de Kupang 1TG dengar bahwa 3TG kerja Prep Kupang ‘Saya mendengar bahwa dia sudah bekerja di Kupang’ (7.170) Ua mai nuabe botu 3TG datang supaya bertemu ‘Dia datang supaya bisa bertemu saya’. au 1TG kasai sudah mloing bisa Pada klausa (7.169) dan (7.170) di atas terdapat komplemen ua sirbisu de Kupang kasai ‘dia sudah bekerja di Kupang’ (7.169) dan botu au mloing ‘bisa bertemu saya’ (7.170) yang diawali dengan kehadiran pemerlengkap bobe ‘bahwa’ pada klausa (7.169) dan nuabe ‘supaya’ pada klausa (7.170). 7.4.5 Adjung Selain mengandung partisipan yang dibutuhkan oleh predikat, sebuah klausa juga bisa mengandung unsur lain yang secara semantis dan sintaksis tidak berhubungan langsung dengan pedikat. Unsur-unsur lain yang tidak berhubungan 302 langsung dengan predikat tersebut dapat berupa adverbial dan preposisi modifier yang berperan sebagai adjung sebuah predikat (Kaplan dan Bresnan, 1982: 204). Kaplan dan Bresnan (1982: 215) menyatakan bahwa adjung digolongkan sebagai partisipan nonargumen yang tidak dikaitkan dengan fungsi gramatikal dan tidak dikendalikan oleh kriteria keunikan (uniqueness), kelengkapan (completness), dan koherensi (coherence), seperti yang berlaku pada fungsi gramatikal inti. Lebih jauh, adjung tidak merupakan argumen atau partisipan dalam sebuah aksi, proses, dan keadaan yang dinyatakan oleh predikat sebuah klausa/kalimat. Adjung tidak dikategorikan sebagai unit sintaksis, yang kehadirannya tidak dibutuhkan oleh predikat sebagai konstituen pokok (head) klausa/kalimat. Kehadiran adjung dalam sebuah klausa/kalimat bersifat manasuka karena tidak memengaruhi struktur dan makna klausa/kalimat tempat adjung hadir. Jika dilihat sepintas, memang sulit untuk membedakan antara oblik dan adjung karena keduanya sama-sama bukan merupakan argumen inti dan keduanya juga dimarkahi oleh preposisi. Secara lintas bahasa, salah satu ciri pembeda yang dimiliki oleh adjung untuk membedakannya dengan oblik adalah kemampuannya untuk menempati posisi akhir, awal, bahkan di tengah klausa./kalimat. Adjung BKm berupa adverbial dan preposisi modifier dapat dicermati pada klausa yang disajikan berikut. (7.171) Au botu ua kasai na’arua 1TG bertemu 3TG masih kemarin ‘Saya masih bertemu dia kemarin’ 303 (7.172) Roma e la matamai 3JM ingin pergi besok ‘Mereka ingin pergi besok’ (7.173) Au-ng ina-ng mai no 1TG-Lig Ibu-Lig datang Prep ‘Ibu saya datang dengan adik’ ali adik (7.174) Atmas senua botu no au-ng Orang DEF bertemu Prep 1TG-Lig ‘Orang itu bertemu dengan istri saya’ he-ng istri-Lig Adjung hadir pada klausa (7.171)--(7.174). Pada klausa (7.171) dan (7.172) adjung hadir dalam bentuk adverbial dan menempati posisi akhir dari klausa tersebut. Sebaliknya, adjung pada klausa (7.173) dan (7.174) yang berupa preposisi modifier juga menempati posisi akhir dari klausa tersebut. Khusus untuk adjung yang berupa preposisi modifier, kehadirannya dalam sebuah klausa hanya dapat menempati posisi akhir dari sebuah klausa. Tidak seperti adjung yang berupa preposisi modifier, adjung yang berupa adverbial dapat menempati posisi di awal (klausa 7.175) dan di tengah klausa (7.176) seperti yang tersaji pada klausa berikut. (7.175) Na’arua au botu Kemarin 1TG bertemu ‘Kemarin saya masih bertemu dia’ ua 3TG kasai masih (7.176) Au na’arua botu ua 1TG kemarin bertemu 3TG ‘Saya kemarin masih bertemu dia’ kasai masih 304 7.4.6 Relasi Gramatikal Inti Bahasa Kemak Verba merupakan elemen inti/pokok (head) dalam sebuah konstruksi klausa/kalimat. Selain kehadiran verba sebagai elemen inti/pokok, elemen lain yang berupa gantungan (dependent) juga hadir dalam klausa/kalimat sehingga klausa/kalimat tersebut menjadi berterima/gramatikal. Dalam kehadirannya, verba dapat disertai oleh satu atau dua gantungan. Gantungan yang menyertai kehadiran verba dalam sebuah klausa/kalimat adalah argumen yang diwujudkan oleh FN. Argumen-argumen tersebut dapat dirujuk sebagai komplemen atau pelengkap. Sebuah konstruksi dengan verba intransitif menghendaki kehadiran satu atau dua komplemen; konstruksi dengan verba transitif menghendaki dua komplemen. Relasi yang dimiliki oleh komplemen dari verba intransitif satu-tempat dan verba transitif dua-tempat merupakan relasi gramatikal inti (core grammatical relation) (lihat Artawa, 1998:27). Klausa/kalimat dengan verba transitif dasar menghendaki komplemen agen dan pasien. Dalam bahasa Inggris yang merupakan bahasa bertipologi akusatif, agen diidentifikasikan sebagai subjek dan pasien sebagai objek klausa. Untuk menelusuri relasi gramatikal inti BKm, berikut ini disajikan klausa dengan verba intransitif satu-tempat dan dua-tempat. (7.177) Roma mai 3JM datang ‘Mereka datang’ (7.178) Mane senua la Laki-laki DEF pergi ‘Laki-laki itu pergi’ 305 (7.179) Roma mai de au-ng 3JM datang Prep 1TG-Lig ‘Mereka datang ke rumah saya’ uma rumah (7.180) Mane senua la no au-ng Laki-laki DEF pergi Prep 1TG-Lig ‘Laki-laki itu pergi dengan adik saya’ ali-ng adik-Lig Klausa (7.177) dan (7.178) merupakan klausa intranstif dengan satu komplemen, yaitu roma ‘mereka’ pada klausa (7.177) dan mane senua ‘laki-laki itu’ pada (7.178). Komplemen tersebut secara semantis diidentifikasikan sebagai agen dan secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dari klausa tersebut. Dengan demikian, subjek menjadi satu-satunya relasi gramatikal inti pada klausa (7.177) dan (7.178). Berbeda dengan klausa (7.177) dan (7.178) yang memiliki satu komplemen, klausa (7.179) dan (7.180) memiliki dua komplemen, yaitu roma ‘mereka’ dan de aung uma ‘ke rumah saya’ pada klausa (7.179) serta mane senua ‘laki-laki itu’ dan no aung aling ‘dengan adik saya’ pada klausa (7.180) sebagai subjek dari klausa tersebut. Kedua komplemen pada klausa (7.179) dan (7.180) tersebut dapat diidentifikasi sebagai subjek dan oblik. Berdasarkan sifat-perilaku subjek, subjek pada klausa tersebut dapat diidentifikasi sebagai argumen yang hadir pada posisi praverbal, sedangkan oblik pada klausa tersebut ditandai dengan kehadiran preposisi. Dengan demikian, subjek menjadi satu-satunya relasi gramatikal inti pada klausa (7.179) dan (7.180). Berikut ini disajikan klausa dengan verba transitif dua-tempat BKm. (7.181) O sali ika 2TG tangkap ikan ‘Engkau menangkap ikan’ 306 (7.182) Atmas senua mela au Orang DEF panggil 1TG ‘Orang itu memanggil saya’ (7.183) Au betu ua 1TG tendang 3TG ‘Saya menendang dia’ Klausa (7.181)--(7.183) merupakan klausa dengan verba transitif dua tempat. Terdapat dua komplemen yang hadir pada klausa tersebut. Satu komplemen merupakan agen yang memiliki sifat-perilaku subjek gramatikal dan satu komplemen merupakan pasien yang memiliki sifat-perilaku objek gramatikal. Dengan demikian, relasi gramatikal inti yang diperkenalkan oleh klausa di atas adalah subjek dan pasien. Klausa di atas memiliki alternasi struktur yang tersaji pada klausa di bawah ini. (7.184) a. ika o te Ikan 2TG FOK ‘Ikan engkau tangkap’ sali tangkap b. ika toma sali Ikan dapat tangkap ‘Ikan dapat tangkap’ (7.185) a. Au atmas senua te 1Tg Orang DEF te ‘Saya orang itu panggil’ mela panggil b. Atmas senua toma mela Orang DEF dapat panggil ‘Orang itu dapat panggil’ (7.186) a. Ua au te 3TG 1TG FOK ‘Dia saya tendang’ betu tendang 307 b. Ua toma betu 3TG dapat tendang ‘Dia dapat tendang’ Klausa (7.184)--(7.186) merupakan bentuk alternasi klausa (7.181)— (7.183). Klausa (7.184a)--(7.186a) merupakan alternasi klausa melalui mekanisme pemfokusan. Sementara klausa (7.184b)--(7.186b) merupakan alternasi melalui mekanisme pemasifan analitik dengan hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ sebelum predikat. Terdapat dua komplemen yang hadir pada posisi praverbal pada klausa tersebut. Satu komplemen merupakan agen yang memiliki sifat-perilaku subjek gramatikal dan satu komplemen merupakan pasien yang memiliki sifat-perilaku objek gramatikal. Dengan demikian, relasi gramatikal inti yang diperkenalkan oleh klausa di atas adalah subjek dan objek. 7.5 Temuan Penelitian Bab ini membahas fungsi dan relasi gramatikal BKm. Pembahasan fungsi gramatikal BKm menyangkut agen dan pasien. Pembahasan relasi gramatikal terkait dengan subjek dan objek sebagai relasi gramatikal inti dan oblik komplemen serta adjung sebagai relasi gramatikal noninti. Bab ini ditutup dengan pembahasan relasi gramatikal inti BKm. Adapun beberapa temuan yang terkait dengan peran dan relasi gramatikal adalah berikut ini. 1) Terdapat satu-satunya argumen pada klausa intransitif BKm yang secara semantis memiliki fungsi gramatikal agen. Jika verba yang menempati posisi predikat klausa intransitif merupakan verba keadaan (atau predikat bukan verbal), subjek gramatikal pada klausa tersebut dapat berperilaku 308 sebagai pasien. Sementara itu, subjek gramatikal pada klausa transitif BKm pada umumnya adalah agen, sedangkan objek gramatikal pada klausa transitif pada umumnya merupakan pasien. 2) Subjek merupakam relasi gramatikal inti dalam BKm. Subjek BKm dapat diidentifikasi berdasarkan sifat-perilaku atau properti yang dimiliki subjek, yaitu (1) subjek BKm muncul pada posisi praverbal pada struktur kanonis; (2) adverbial dan penegasi dapat disisipkan di antara argumen praverbal dan verbal. Pada posisi kanonik, argumen praverbal tersebut merupakan subjek sehingga antara subjek dan verbal dapat disisipi oleh adverbial dan penegasi; (3) subjek BKm dapat direlatifkan dengan pemarkah ne ‘yang’. Selain subjek, BKm juga dapat merelatifkan argumen inti yang secara sintaksis berfungsi sebagai objek, baik objek langsung maupun objek tak langsung; (4) antara subjek dan predikat dapat disisipkan dengan penjangka kambang; (5) subjek dapat direfleksifkan; (6) argumen selain subjek (objek, baik OL maupun OTL) dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek melalui mekanisme penaikan; (7) subjek dapat difokuskan dengan pemarkah fokus te; (8) subjek dapat dikontrol; dan (9) frasa nomina tidak terang (PRO) berkoreferensi dengan subjek pada klausa yang lebih tinggi. 3) Objek BKm merupakan argumen yang secara langsung mengikuti verbal atau argumen posverbal pada struktur kanonis. Objek BKm dapat diidentifikasi melalui proses pemasifan. Konstruksi pasif BKm merupakan konstruksi pasif analitik dengan kehadiran pemarkah toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba (praverbal). Objek BKm dapat dinaikkan 309 fungsinya menjadi subjek dengan kehadiran pemarkah analitik toma ‘dapat’. Di samping objek yang dapat diidentifiasi melalui posisinya yang secara langsung mengikuti verba dan pemasifan, objek BKm juga dapat diidentifikasi dengan pengedapanan objek dan menempati posisi subjek dengan mekanisme pemfokusan dengan pemarkah fokus te yang hadir sebelum verba. Penentuan objek BKm juga dapat ditentukan dengan pengujian penyisipan adverbial. Hasilnya menunjukkan bahwa verba dan argumen yang secara langsung mengikuti verba tidak dapat disisipi oleh adverbial sehingga dapat disimpulkan bahwa argumen yang secara langsung mengikuti verba diidentifikasi sebagai objek. Jadi, apabila dalam sebuah konstruksi klausa/kalimat BKm yang tidak mengizinkan adanya penyisipan adverbial antara verba dan argumen yang secara langsung mengikutinya, maka argumen yang secara langsung mengikutinya adalah objek. 4) Oblik BKm dibedakan atas oblik goal, oblik lokatif, oblik sumber (source), dan oblik instrumen. Semua oblik BKm dimarkahi oleh pemarkah dalam bentuk preposisi. Preposisi pemarkah oblik BKm terdiri atas (1) de ’di./ke’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik lokatif, (2) dase ‘dari’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik sumber (source), dan (3) odi ‘dengan/kepada/untuk’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik goal dan oblik instrumen. 310 5) Komplemen BKm ditandai dengan hadirnya pemerlengkap. Pemerlengkap BKm terdiri atas pemerlengkap bobe ‘bahwa’ dan pemerlengkap nuabe ‘supaya’. 6) Adjung BKm ditandai dengan kehadiran adverbial dan preposisi. Adjung dalam bentuk adverbial menempati posisi akhir klausa, sedangkan adjung yang berupa preposisi modifier menempati posisi akhir dari klausa tersebut. Khusus untuk adjung yang berupa preposisi modifier, kehadirannya dalam sebuah klausa hanya dapat menempati posisi akhir dari sebuah klausa; sedangkan adjung yang berupa adverbial dapat menempati posisi di awal dan di tengah klausa. 7) Relasi gramatikal inti BKm adalah subjek dan objek. Subjek pada struktur kanonis menempati posisi praverbal dan objek pada struktur kanonis menempati posisi posverbal. Pada struktur lain, objek dapat menempati posisi subjek melalui proses pengedepanan objek dengan mekanisme pemasifan analitik dengan pemarkah toma ‘dapat’ dan dengan pemfokusan dengan pemarkah fokus te. BAB VIII KALIMAT KOMPLEKS BAHASA KEMAK 8.1 Pengantar Pembahasan pada bab-bab sebelumnya didasarkan pada kalimat tunggal atau kalimat sederhana yang meliputi pembahasan struktur dasar klausa dan struktur argumen BKm. Pembahasan pada bab ini menitikberatkan pada pembahasan kalimat kompleks BKm. Meskipun kalimat kompleks merupakan kajian sintaksis antarklausa, pembahasan tentang kalimat kompleks BKm pada bab ini tidak membahas keseluruhan aspek kalimat kompleks. Pembahasan kalimat kompleks pada bab ini dibatasi pada konstruksi sintaktis yang disebut sebagai kalimat majemuk bertingkat. Pembahasan kalimat kompleks pada bab ini meliputi (1) kalimat yang mempunyai klausa relatif, (2) kalimat yang mempunyai klausa purposif/ bertujuan (selanjutnva disebut klausa purposif), (3) kalimat yang mempunyai klausa alasan (reason clause). dan (4) kalimat yang mempunyai klausa pemerlengkap (selanjutnya disebut klausa pemerlengkap). Pembahasan keempat jenis kalimat kompleks tersebut bertujuan untuk mengetahui perilaku morfosintaktis secara tipologis klausa-klausa yang membentuk kalimat kompleks yang merupakan kajian sintaksis antarklausa. Pembahasan kalimat kompleks juga bertujuan untuk memeroleh gambaran dan butir-butir gramatikal yang dapat mendukung dan memperjelas bahasan tentang aliansi gramatikal BKm yang sekaligus terkait erat dengan tipologi sintaksis BKm. Pembahasan kalimat sederhana pada bab-bab 311 312 sebelumnya dan pembahasan kalimat kompleks merupakan dua pokok bahasan yang saling mendukung untuk sampai pada pembahasan aliansi gramatikal yang berujung pada penentuan tipologi sintaksis BKm. Pembahasan tentang kalimat sederhana dan kalimat kompleks merupakan dua topik yang saling terkait karena kalimat kompleks dibangun oleh gabungan satu klausa/kalimat sederhana dengan klausa/kalimat sederhana yang lain untuk membentuk konstruksi yang lebih kompleks. Pernyataan tersebut berimplikasi kepada pembahasan kalimat kompleks yang juga terkait dengan pembahasan klausa/kalimat sederhana pada bab-bab sebelumnya. Bab ini diawali dengan memaparkan tinjauan teoretis kalimat kompleks. Pembahasan selanjutnya secara berturut-turut menyajikan telaah tentang kalimat dengan klausa relatif/perelatifan, kalimat dengan klausa purposif, kalimat dengan klausa alasan, dan kalimat dengan klausa pemerlengkap. Bab ini ditutup dengan menyajikan beberapa temuan terkait dengan pembahasan kalimat kompleks BKm 8.2 Tinjauan Teoretis Kalimat Kompleks Sebelum membahas lebih lanjut tentang kalimat kompleks, perlu diperjelas mengenai pengertian klausa. Klausa memiliki pengertian sama dengan kalimat sederhana. Dalam hal ini, kalimat sederhana adalah kalimat yang terdiri atas sebuah subjek dan sebuah predikat. Dalam disertasi ini, pengertian klausa sama dengan pengertian kalimat sederhana, yaitu klausa bebas (independent clause). Kalimat sederhana dapat bergabung dengan kalimat sederhana yang lain untuk membentuk konstruksi atau kalimat yang lebih kompleks. Konstruksi yang 313 terbentuk dari gabungan klausa-klausa tersebut melahirkan kalimat majemuk (complex sentence). Jika dilihat lebih dalam, hubungan antarklausa yang membentuk kalimat kompleks tersebut begitu beragam dan rumit. Kerumitan itu disebabkan oleh interaksi tiga parameter yang terdapat dalam kalimat kompleks tersebut. Ketiga parameter tersebut, yaitu (1) susunan internal klausa-klausa, (2) hubungan struktural klausa satu dengan yang lain, dan (3) hubungan semantis klausa-klausa tersebut (Elson dan Pickett, 1983: 120). Penjelasan yang diuraikan di atas telah memberikan batasan yang jelas tentang klausa/kalimat sederhana dengan kalimat kompleks. Sebelum membahas lebih jauh mengenai konstruksi kalimat majemuk, dibedakan antara konstruksi kalimat majemuk setara dan konstruksi kalimat majemuk bertingkat. Kalimat mejemuk dibedakan atas kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Kalimat majemuk setara (compound sentence) merupakan kalimat majemuk yang terdiri atas dua klausa atau lebih yang dihubungkan secara setara (koordinatif) oleh konjungsi koordinatif (selanjutnya disebut kalimat koordinatif). Kalimat majemuk bertingkat (complex sentence) merupakan kalimat majemuk yang terdiri atas klausa utama dan klausa bawahan yang menunjukkan hubungan subordinatif (lihat Verhaar, 1989: 100--103, Alwi dkk., 2000: 385--393). Terkait dengan kalimat kompleks. Kuiper dan Allan (1996: 255, 264) memberikan pengertian yang lebih sederhana dan praktis. Mereka mengungkapkan bahwa kalimat yang mempunyai klausa sematan (klausa bawahan) disebut kalimat kompleks. Pendapat yang lebih teoretis terkait dengan pengertian kalimat kompleks, dikemukakan oleh Van Valin Jr. dan LaPolla (1999, 314 2002:441—443). Mereka mengungkapkan bahwa terdapat dua pertanyaan yang mendasar terkait dengan kalimat kompleks, yaitu (a) unit-unit apa saja yang terlibat dalam konstruksi kalimat kompleks, (b) hubungan-hubungan apa saja yang terdapat di antara unit-unit dalam konstruksi tersebut? Untuk kedua jawaban tersebut, Van Valin Jr. dan LaPolla (1999, 2002:441—443) menyatakan bahwa jawaban untuk pertanyaan (a) diturunkan dari struktur berlapis klausa; batas-batas pembentuk kalimat kompleks yang mendasar adalah inti, dasar, dan klausa. Sementara, jawaban untuk pertanyaan (b) secara tradisional mereka mengungkapkan sebagai berikut. “Kalimat kompleks dibagi dua: (a) kalimat yang unsur-unsurnya setara (co-ordinate) secara gramatikal dan (b) kalimat yang unsur-unsurnya (klausa pembentuknya) secara gramatikal tidak setara (sub-ordinate). Pada jenis (a) klausa-klausa dihubungkan dengan konjungsi koordinatif dan pada (b) dihubungkan dengan konjungsi subordinatif.” Sehubungan dengan lima jenis kalimat majemuk bertingkat (klausa relatif, klausa purposif, klausa alasan, klausa pemerlengkap, dan konstruksi penaikan). Artawa (1998:83) berpendapat bahwa tidak semua bahasa memperlakukan konstruksi sintaktis tersebut dengan cara yang sama. Perlakuan yang diberikan sangat tergantung pada jenis bahasa yang bersangkutan. A(gen) dan S(ubjek) dalam bahasa akusatif ditandai dengan sejumlah ciri seperti kasus, kontrol persesuaian pada verba, tata urutan kata, dan A/S itu biasanya tidak diungkapkan dengan bentuk-bentuk verba tak-terbatas. Sebaliknya, dalam bahasa ergatif secara sintaktis, hubungan P(asien) dan S(ubjek) memainkan peran penting dalam sejumlah proses gramatikal. Misalnya, hanya P dan S yang bisa direlatifkan, P dan S tetap muncul dengan bentuk-bentuk verba tak-terbatas. 315 Terdapat perbedaan antara bahasa ergatif secara morfologis dan bahasa yang mempunyai ergatif secara sintaktis. Kebanyakan bahasa yang ergatif secara morfologis tidak memiliki ergatif secara sintaksis. Proses sintaktis dalam bahasa jenis ini seperti proses sintaktis yang ada dalam bahasa akusatif. Kombinasi S/P dalam bahasa ergatif sering dirujuk sebagai absolutif, sementara A dari klausa transitif dalam bahasa jenis ini dikatakan membawa relasi ergatif. 8.3 Klausa Relatif Bahasa Kemak Pembahasan klausa relatif pada bagian ini mengacu kepada klausa terikat (dependent clause) yang merupakan klausa relatif. BKm memiliki strategi atau kiat-kiat gramatikal tersendiri dalam perelatifan yang mungkin saja bisa sama ataupun berbeda dengan bahasa-bahasa lain di dunia. Telaah tentang kiat (strategi) perelatifan dalam BKm didasarkan pada pendekatan hierarki relasi gramatikal, yaitu hierarki ketercapaian (accessibility hierarchy) yang dikemukakan oleh Keenan dan Comrie (1977). Keenan dan Comrie (1977) (lihat juga Artawa, 1998:83; Song, 2001:211, 222—227; Andrew 2007:226—231) mengusulkan hierarki berikut yang menunjukkan bahwa posisi puncak lebih mudah dicapai secara universal untuk perelatifan: Hierarki Ketercapaian (selanjutnya disebut HK): Subjek (S) > objek langsung (OL) > objek tak langsung (OTL) > oblik (OBL) > genitif (GEN) > objek perbandingan (O KOMP) Hierarki ketercapaian yang disajikan di atas menggambarkan betapa mudahnya pembentukan klausa relatif . Jika sebuah FN pada hierarki ketercapaian itu dapat tercapai untuk perelatifan, maka semua FN yang lebih tinggi pada hierarki 316 tersebut juga dapat mencapai perelatifan. Lebih jauh, mereka mengungkapkan seperangkat kendala hierarki (hierarchy constraints) terkait dengan HK, yaitu: 1. sebuah bahasa mesti bisa merelatifkan subjek; 2. setiap kiat pembentukan klausa relatif mesti berlaku untuk segmen berkelanjutan dari HK; 3. kiat-kiat yang berlaku pada satu butir HK pada dasarnya boleh tidak berlaku pada butir yang lebih rendah. Berdasarkan kendala-kendala tersebut, suatu bahasa mungkin saja hanya dapat merelatifkan subjek, tetapi tidak mungkin suatu bahasa hanya memiliki kiat untuk bisa merelatifkan objek langsung atau lokatif tanpa memiliki kiat atau cara untuk merelatifkan subjek. Satu bahasa bisa dengan bebas menetapkan posisi berdekatan pada HK sebagai posisi yang sama, tetapi satu bahasa tidak dapat melampaui posisi dalam batasan pembentukan klausa relatif. Hierarki ketercapaian memiliki beberapa pengecualian.yang umumnya terkait dengan masalah penentuan subjek secara lintas-bahasa, terutama sekali penentuan pengertian subjek dalam bahasa-bahasa ergatif secara sintaktis. Comrie (1983, 1989) menegaskan bahwa subjek dapat dengan jelas ditetapkna pada kebanyakan konstruksi intransitif, khsususnya pada konstruksi yang secara jelas merupakan konstruksi predikat satu-tempat. Dalam konstruksi transitif, sifat-perilaku subjek ditetapkan sebagai A (dalam bahasa nominatifakusatif) atau sebagai P (dalam bahasa ergatif-absolutif). Jika pengertian subjek diambil sebagai subjek gramatikal atau subjek lahir, dapat dikatakan bahwa subjek itu berlaku bagi bahasa akusatif atau ergatif. Akan tetapi, secara semantik, subjek gramatikal klausa transitif bahasa akusatif adalah agen, yang mengontrol tindakan yang ditunjukkan oleh verba. Sementara itu, dalam bahasa-bahasa ergatif secara 317 sintaktis, subjek klausa transitif dipengaruhi oleh tindakan (lihat Artawa, 1998:84). Terkait dengan bahasa yang ergatif secara morfologis, Anderson dalam Li (ed.) (1976) mengemukakan bahwa argumen satu-satunya (S) dari predikat intransitif dan argumen agen (A) dari predikat transitif berperilaku sama dalam banyak proses sintaktis. Akan tetapi, pengertian subjek dalam bahasa-bahasa ergatif secara sintaktis masih merupakan hal yang diperdebatkan. Dalam hal ini, Keenan dan Comrie (1977) menegaskan bahwa absolutif (S-P) dalam bahasa seperti Dyirbal, yang merupakan bahasa ergatif secara sintaksis adalah subjek. Pendapat mereka didukung oleh bukti-bukti sintaksis. Dalam bahasa ergatif secara sintaktis seperti bahasa Kalkatungu, hanya absolutif yang dapat direlatifkan. Contoh kalimat relatif berikut ini menunjukkan hal tersebut (dikutip dari Artawa, 1998:84--85): (8.1) ngulurrmayi-nha nga-thu yurni [ ] ngartathati-nyiu tangkap lampau saya-ERG orang- NOM duduk –PART ‘Saya menangkap orang itu [begitu dia] sedang duduk’ (8.2) ngulurrmayi-nha nga-thu yurru [ ] thuku-yu itya-nyin tangkap -lampau saya-ERG orang-NOM anjing-ERG gigit-PART ‘Saya menangkap orang itu [begitu dia] sedang digigit oleh anjing’ Kalimat (8.1) menunjukkan bahwa fungsi yang direlatifkan dalam klausa subordinat tersebut adalah S yang tidak diungkapkan dan ditandai [ ]. Sementara kalimat (8.2) menunjukkan bahwa fungsi P yang direlatifkan dan P itu tidak diungkapkan secara nyata dalam klausa subordinat. Terkait dengan perelatifan, Artawa (1998:85—88) memberikan contoh data dalam bahasa Bali (BB). Lebih jauh, dia menyatakan bahwa hanya subjek 318 yang bisa direlatifkan. Berikut ini disajikan klausa BB yang menunjukkan bahwa hanya subjeklah yang dapat direlatifkan. (8.3) a. Emeng-e gugut cicing kucing-DEF gigit anjing ‘Anjing menggigit kucing’ b. Emeng-e [ane gugut cicing] gelem. Kucing-DEF [REL-gigit anjing] sakit ‘Kucing yang anjing gigit sakit’ c * Cicing [ane emeng-e gugut] galak. Anjing [REL kucing-DEF gigit] galak ‘Anjing [yang menggigit kucing] galak’ Contoh (8.3a) merupakan konstruksi verba dasar. FN praverbal adalah pasien dan FN posverbal merupakan agen. Klausa relatif (8.3b) memperlihatkan pasien dapat direlatifkan, sementara agen tidak dapat direlatitkan seperti diperlihatkan pada contoh (8.3c). Perelatifan ini menegaskan bahwa FN praverbal pada (8.3a) adalah subjek gramatikal klausa yang secara semantis bukan merupakan agen. Justru agen menempati posisi objek grmatikal. Contoh (8.3a) menunjukkan bahwa objek langsung yang secara semantis berfungsi sebagai agen (cicing) tidak dapat direlatifkan. Jelas ditunjukkan bahwa FN yang dapat direlatifkan pada klausa tersebut adalah FN yang menempati posisi subjek gramaatikal (pasien secara semantis). Berdasarkan kenyataan tersebut, Artawa (1998: 85--86) mengungkapkan bahwa BB memiliki cara lain untuk dapat merelatifkan agen konstruksi zero untuk mengungkapkan informasi seperti ‘Anjing yang menggigit kucing itu galak’ (lihat 8.3c), yaitu dengan mekanisme perelatifan tidak langsung dengan menggunakan kiat ‘diatesis turunan’ 319 Di samping kiat ‘diatesis turunan’ untuk perelatifan, Givon (1990:669— 670), mengungkapkan beragam kiat perelatifan atau kiat pembentukan konstruksi relatif secara lintas bahasa. Salah satu di antaranya adalah ‘kiat penandaan verba’ (verb-coding strategies), yaitu kiat perelatifan yang merupakan interaksi antara perelatifan dan kaidah promosi (pensubjekan), Pensubjekan dalam BB dimarkahi dengan prefiks nasal pada verba. Berikut ini adalah kiat penandaan verba dalam perelatifan dalam BB (dikutip dari Artawa, 1998: 86). (8.4) a. Emeng- e gugut cicing. Kucing-DEF gigit anjing ‘Anjing menggigit kucing’ b. Cicing-e ngugut emeng-e [N-gugut] anjing-DEF AKT-gigit kucing-DEF ‘Anjing menggigit kucing’ c. Cicing-e [cine ngugut emeng-e] galak. Anjing- DBF [REL AKT-gigit kucing-DEF] galak ‘Anjing yang menggigit kucing galak’ Berdasarkan contoh kalimat BB yang disajikan di atas, Artawa (1998:86) menjelaskan bahwa pada (8.4b) pelengkap agen (cicing) diungkapkan sebagai subjek. Subjek tersebut dapat direlatifkan seperti pada (8.4c). Berdasarkan kalimat (8.3b), (8.3c), dan (8.4c) BB yang disajikan di atas menunjukkan bahwa ternyata dalam BB hanya subjek yang dapat direlatifkan. Untuk mendukung data BB yang diungkapkan oleh Artawa yang menunjukkan bahwa hanya subjek yang dapat direlatifkan, berikut ini disajikan contoh kalimat dalam bahasa Malagasy yang hanya dapat merelatifkan FN yang berfungsi sebagai subjek (dikutip dari E. L. Keenan (1972: 171). 320 (8.5) a. manasa ny lamba ny cuci DEF pakaian DEF ‘Wanita itu mencuci pakaian itu’ vehivahy wanita b. ny vehivahy (izay) manasa DEF wanita REL cuci ‘Wanita itu yang mencuci pakaian itu’ ny DEF lamba pakaian c. ny DEF vehivahy wanita *ny lamba (izay) manasa DEF pakaian REL cuci ‘Pakaian itu yang wanita itu cuci’ Contoh (8.5a) merupakan klausa transitif yang umum bahasa Malagasy. Contoh (8.5b) merupakan contoh yang menunjukkan proses perelatifan yang terjadi pada FN yang menempati posisi subjek gramatikal. Sementara, contoh (8.5c) menunjukkan proses perelatifan yang terjadi pada FN yang menempati posisi objek gramatikal. Hasil perelatifan objek gramatikal pada contoh (8.5c) merupakan konstruksi yang tidak gramatikal dalam bahasa Malagasy. Bahasa Malagasy memiliki kiat tersendiri untuk dapat merelatifkan objek gramatikal, yaitu dengan menerapkan ’diatesis turunan’ melalui mekanisme pemasifan. Berikut ini disajikan proses perelatifan objek bahasa Malagasy dengan mekanisme ‘diatesis turunan’ melalui pemasifan. (8.6) a. Sasan ny vehivahy ny cuci-Pas DEF woman DEF ‘Pakaian itu dicuci oleh wanita itu’ lamba pakaian b. ny lamba (izay) sasan DEF pakaian REL cuci-Pas ‘Pakaian yang dicuci oleh wanita itu’ ny DEF vehivahy wanita Contoh (8.6) mengigambarkan bahwa untuk merelatifkan objek bahasa Malagasy harus melalui kiat ‘diatesis turunan’, yaitu mengubah fungsi objek 321 untuk menempati posisi subjek seperti contoh (8.6a) sehingga memungkinkan terjadinya perelatifan seperti contoh (8.6b). E. L. Keenan dan Comrie dalam Andrew (2007: 230—231) memberikan contoh bahasa Basque yang dapat merelatifkan, baik subjek, objek langsung maupun oblik hanya dengan mekanisme memarkahi verba dengan sufik –n. Proses perelatifan dengan memarkahi verba dengan sufik –n tersaji pada contoh berikut. (8.7) a. Gizon-a-k emakume-a-ri liburu-a eman dio Laki-DEF;ERG wanita-DEF-DAT buku-DEF beri telah ‘Laki-laki itu telah memberikan buku itu kepada wanita itu’ b. Emakume-a-ri liburu-a eman dio-n gizon-a Wanita-DEF-DAT buku-DEF beri telah-REL beri-DEF ‘Laki-laki yang memberikan buku itu kepada wanita itu’ c. Gizon-a-k emakume-a-ri eman dio-n liburu-a Laki-DEF;ERG wanita-DEF-DAT beri telah-REL buku-DEF ‘Buku itu yang laki-laki itu telah berikan kepada wanita itu d. Gizon-a-k liburu-a eman dio-n emakume-aLaki-DEF;ERG buku-DEF beri telah-REL wanita-DEF ‘Wanita itu yang laki-laki itu telah berikan buku itu’ Contoh (8.7) dengan jelas menunjukkan bahwa bahasa Basque hanya mengizinkan terjadinya perelatifan dengan mekanisme pemarkahan verba. Perelatifan dalam bahasa ini, baik perelatifan subjek, objek langsung, maupun oblik tidak diperkenankan tanpa adanya pemarkah verba –n. Setelah menyajikan beberapa contoh data perelatifan lintas bahasa di atas, bagian berikut menyajikan kiat atau strategi perelatifan yang diperkenankan dalam BKm. Seperti yang telah diuraikan pada bab V (subbagian 5.4.1.3) bahwa BKm 322 dapat merelatifkan subjek dan objek, baik objek langsung maupun objek tak langsung. Untuk mengetahui lebih lanjut kiat perelatifan BKm terhadap relasi gramatikal subjek dan objek. Cermatilah contoh kalimat yang disajikan berikut. (8.8) a. Hine koet senua mela Wanita cantik DEF panggil ‘Wanita cantik itu memanggil kita’ ita 1JM b. Hine koet ne lodi buku senua mela Wanita cantik REL bawa buku DEF panggil ‘Wanita cantik yang membawa buku itu memanggil kita’ ita IJM c. Ita ne hine koet senua mela mudu de 1JM REL wanita cantik DEF panggil duduk Prep ‘Kita yang wanita cantik itu panggil duduk di kursi’ kursi kursi Kalimat (8.8a) merupakan kalimat ekatransitif BKm. Kalimat (8.8b) menunjukkan bahwa subjek gramatikal hine koet senua ‘wanita cantik itu’ pada klausa (8.8a) dapat direlatifkan. Sementara, (8.8c) menunjukkan bahwa FN ita ‘kita’ yang berfungsi sebagai objek langsung juga dapat direlatifkan. Berikut disajikan perelatifan relasi gramatikal yang terdapat pada kalimat dwitransitif BKm. (8.9) a. Ua ne podi mane 3TG beri APL laki-laki ‘Dia memberikan laki-laki itu uang’ senua osa DEF uang b. Ua ne semai dase uma ne podi mane senua osa 3TG REL keluar Prep rumah beri APL laki-laki DEF uang ‘Dia yang keluar dari rumah memberikan laki-laki itu uang’ c. Mane ne ua ne osa snang Laki-laki REL 3TG beri uang senang ‘Laki-laki yang dia berikan uang senang sekali’ los Adv 323 d. Osa ne ua ne odi mane senua lear Uang REL 3TG beri Prep laki-laki DEF banyak ‘Uang yang dia berikan untuk laki-laki itu banyak sekali’ los Adv Kalimat (8.9a) merupakan kalimat dwitransitif BKm. Kalimat (8.8b) menunjukkan bahwa subjek gramatikal ua ‘dia’ pada klausa (8.8a) dapat direlatifkan. Contoh (8.9c) menunjukkan bahwa FN mane senua ‘laki-laki itu’ yang merupakan objek tak langsung pada klausa (8.9a) juga dapat direlatifkan. Contoh (8.9d) menunjukkan bahwa FN osa ‘uang’ yang merupakan objek langsung juga dapat direlatifkan. Kalimat (8.8b--c) dan (8.9b--d) telah memberikan gambaran yang jelas tentang proses perelatifan yang terjadi pada relasi gramatikal subjek, objek langsung, dan objek tak langsung pada kalimat ekatranstif dan dwitransitif BKm. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa BKm dapat merelatifkan subjek, objek langsung, dan objek tak langsung secara langsung, baik tanpa menerapkan mekanisme ‘diatesis turunan’ maupun penandaan pada verba. Pertanyaan yang muncul sekarang apakah BKm dapat merelatifkan relasi oblik? Berikut disajikan contoh kalimat BKm untuk menggambarkan proses perelatifan yang terjadi pada relasi oblik. (8.10) a. Au tana atu 1TG tanam padi Prep ‘Saya menanam padi di sawah’ (8.11) de hroe sawah b. Hroe ne au tana etu boteng los Sawah REL 1TG tanam padi luas Adv ‘Sawah yang saya tanami padi luas sekali’ a. Ina la de basar na’arua Ibu pergi Prep pasar Adv ‘Ibu pergi ke pasar kemarin’ 324 (8.12) (8.13) (8.14) (8.15) b. Au tada basar ne ina la na’arua 1TG tahu pasar REL ibu pergi Adv ‘Saya tahu pasar yang ibu pergi kemarin’ a. Mane senua pege osa dase dato garang Laki-laki DEF pinjam uang Prep dusun kepala ‘Laki-laki itu pinjam uang dari kepala dusun’ b. Ita nue dato galang ne mane senua pege osa 1JM lihat dusun kepala REL laki-laki DEF pinjam uang ‘Kita lihat kepala dusun yang laki-laki itu pinjami uang’ a. Au-ng he-ng ta si odi 1TG-Lig istri-Lig potong daging Prep ‘Istri saya memotong daging dengan pisau’ b. Au ala diir anak ne au-ng he-ng ta si 1TG beli pisau REL 1TG-Lig istri-Lig potong daging ‘Saya membeli pisau yang istri saya potongi daging’ diir anak pisau a. Ama solok buku odi ali Ayah kirim buku Prep adik ‘Ayah mengirimkan buku untuk adik’ b. Ali ne ama solok buku snang los Adik REL ayah kirim buku senang Adv ‘Adik yang ayah kirimkan buku senang sekali’ a. Roma mamu tau uma odi tumang galang 3JM Adv buat rumah Prep tua adat ‘Mereka semua membuatkan rumah untuk tetua adat’ b. Au rega tumang galang ne roma mamu tau 1TG dengar tua adat REL 3JM Adv buat ‘Saya mendengar tetua adat yang mereka buatkan rumah’ uma rumah Kalimat (8.10a) dan (8.15a) merupakan kalimat BKm yang hadir dengan relasi oblik. Relasi oblik yang hadir pada kalimat (8.10a) adalah de hroe ‘di sawah’ yang merupakan relasi oblik yang menyatakan lokasi, kalimat (8.11a) 325 hadir dengan relasi oblik tujuan, yaitu oblik de basar ‘ke pasar’, kalimat (8.12a) menghadirkan relasi oblik yang ditempati oleh relasi oblik sumber, yaitu dase dato galang ‘dari kepala dusun’, kalimat (8.13a) hadir dengan relasi oblik instrumen, yaitu odi diir anak ‘dengan pisau’, kalimat (8.14a) menghadirkan relasi oblik penerima, yaitu odi ali ‘untuk adik’, dan kalimat (8.15a) hadir dengan relasi oblik benefaktif odi ina ‘untuk ibu’ (kalimat 8.11a). Kedua relasi oblik odi ali ‘untuk adik’pada kalimat (8.10a) dan odi tumang galang ‘untuk tetua adat’. Seluruh relasi oblik, baik yang menyatakan lokasi (kalimat 8.10a), tujuan (kalimat 8.11a), sumber (kalimat 8.12a), instrumen (kalimat 8.13a), penerima (kalimat 8.14a), maupun benefaktif (kalimat 8.15a) dapat direlatifkan seperti yang terlihat pada kalimat (8.10b) dan (8.15b). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa BKm dapat merelatifkan relasi oblik tanpa secara langsung menggunakan ‘diatesis turunan’ seperti bahasa Bali (lihat Artawa, 1998:86) ataupun penandaan verba (lihat Givon, 1990:669—670; Artawa, 1998:86 ). Pembahasan perelatifan di atas menunjukkan bahwa seluruh relasi gramatikal yang meliputi subjek, objek (langsung dan tak langsung), dan relasi oblik dalam BKm dapat direlatifkan secara langsung tanpa melalui kiat ‘penurunan diatesis’ atau kiat ‘penandaan verba’. Dengan demikian, BKm dan bahasa Inggris memiliki persamaan, yaitu dapat merelatifkan semua relasi gramatikalnya. Kenyataan ini memberikan isyarat bahwa BKm merupakan bahasa yang bertipologi akusatif secara sintaktis, sama seperti bahasa Inggris yang merupakan bahasa bertipologi akusatif. 326 8.4 Klausa Purposif Bahasa Kemak Bagian sebelumnya telah membahas klausa relatif BKm. Selanjutnya pembahasan dilanjutkan untuk menguraikan klausa purposif masih dalam kaitannya dengan kalimat kompleks. Klausa purposif merupakan jenis dari klausa adverbial. Pembahasan klausa purposif di sini mengacu kepada klausa terikat (dependent caluse) yang merupakan klausa purposif. Berikut ini disajikan contoh kalimat kompleks bahasa Inggris yang mengandung klausa purposif (klausa yang bergaris bawah). (8.16) a We went to the zoo to see elephant 1JM pergi Prep DEF kebun binatang untuk melihat gajah ‘Kita pergi ke kebun binatang untuk melihat gajah’ b. I want you to speak 1TG ingin Poss2TG rumah Prep berbicara ‘Saya ingin kamu untuk berbicara bahasa Inggris’ english Bhs Inggris Makna yang terkandung dari kedua konstruksi kalimat kompleks di atas menjelaskan bahwa klausa purposif merupakan klausa yang mengandung pengertian sebagai klausa bertujuan. Kedua konstruksi kalimat kompleks yang mengandung klausa purposif tersebut juga mengandung tujuan berbeda. Kalimat kompleks (8.16a) merupakan kalimat kompleks yang memiliki klausa purposif yang berorientasi kepada subjek, artinya subjek klausa utama berkoreferensi (coreference) dengan subjek klausa sematan.. Sementara, kalimat kompleks (8.16b) merupakan kalimat kompleks yang mengandung klausa purposif yang berorientasi kepada objek, artinya objek pada klausa utama berkoreferensi dengan subjek pada klausa sematan (lihat Bach, 1982:53; Jones, 1985:105). 327 Untuk mendukung data bahasa Inggris di atas, berikut disajikan data kalimat kompleks dengan klausa purposif bahasa Nilo-Saharan (kalimat 8.17a) dan bahasa Ngizim (kalimat 8.17b) yang dikutip dari Andrews (dalam Shopen, 2007: 251). (8.17) a. Biska Monguno-ro lete-ro tawange ciwoko Kemarin Manguno-Prep pergi-Prep Adv(1TG) bangun(1TG) ‘Kemarin saya bangun lebih awal untuk pergi ke Manguno’ b. Varu gaada da si sama keluar 3TG untuk minum bir ‘Dia keluar untuk minum bir’ Untuk mengetahui lebih jauh kalimat kompleks dengan klausa purposif BKm, mari cermati kalimat kompleks BKm melalui serangkaian contoh yang disajikan berikut ini. (8.18) a. Roma plai [ ] li’u pnao-blabag brau metam 3JM lari kejar curi-suf sapi ‘Mereka lari (untuk) mengejar pencuri sapi’ b, Guru mamu hali [ ] nue au-ng Guru Adv pulang lihat 1TG-Lig ‘Guru semua pulang (untuk) melihat adik saya’ ali-ng adik-Lig c. Atmas senua mudu [ ] dale no ama Orang DEF duduk bicara Prep ayah ‘Orang itu duduk (untuk) berbicara dengan ayah’ d. Dato galang mai [] botu ama Bupati Dusun kepala datang bertemu Bapak Bupati ‘Kepala dusun datang (untuk) bertemu Bapak Bupati’ Contoh kalimat (8.17a--d) menunjukkan bahwa klausa-klausa purposif dalam BKm merupakan adjung (keterangan) dari klausa intransitif yang merupakan klausa utamanya. Agen klausa purposif yang merupakan satu-satunya 328 argumen muucul secara tersirat ditandai dengan ([ ]) pada contoh kalimat di atas berkoreferensi(co-reference) dengan subjek klausa utamanya. Agen klausa terikat tersebut tidak diwujudkan secara nyata. Selain klausa purposif berfungsi sebagai adjung dari klausa utama intransitif seperti contoh (8.17a--d) di atas, klausa dengan predikat nonverbal dapat juga diikuti oleh klausa purposif. Sifat-perilaku agen klausa purposif tersebut sama dengan yang ada pada (8.17a--d); agen klausa purposif berkoreferensi (co-reference) dengan subjek klausa utama dengan predikat nonverbal. Perhatikan contoh-contoh yang disajikan berikut ini (8.19) a. Dato galang de kantor desa [ ] botu ama Bupati Dusun kepala Prep kantor desa bertemu Bapak Bupati ‘Kepala dusun ke kantor desa (untuk) bertemu Bapak Bupati’ b. Ama de hroe [ ] tana etu Ayah Prep sawah tanam padi ‘Ayah ke sawah (untuk) tanam padi’ c. Ina de basar [ ] ala si ahi Ibu Prep pasar beli daging babi ‘Ibu ke pasar (untuk) membeli daging babi’ d. Au de Kupang [ ] nue au-ng 1TG Prep Kupang lihat 1Tg-Lig ‘Saya ke Kupang (untuk) melihat istri saya’ he-ng istri-Lig Kalimat kompleks (8.18a--d) di atas dibangun oleh dua klausa, yatiu klausa utama ynag merupakan klausa dengan predikat nonverbal dan klausa sematan yang merupakan klausa transitif. Kalimat kompleks (8.18a--d) di atas juga memperlihatkan bahwa agen yang merupakan satu-satunya argumen pada 329 klausa utama (klausa intransitif) berkoreferensi (co-reference) dengan agen pada klausa sematan/bawahan. Untuk menghubungkan dua klausa, yang salah satu di antaranya klausa purposif dalam membentuk konstruksi kalimat kompleks, BKm memiliki kata penghubung (konjungsi) subordinatif yang digunakan berfungsi menghubungkan klausa utama (induk) dengan klausa purposif, yaitu nuabe ‘supaya’ dan odi ‘untuk’. Kedua konjungsi subordinatif ini mempunyai makna semantis yang sama. Dibandingkan dengan konjungsi subordinatif odi ‘untuk’, konjungsi subordinatif nuabe ‘supaya’ lebih jarang digunakan oleh penutur BKm dalam percakapan sehari-hari, baik percakapan yang bersifat formal maupun nonformal. Untuk lebih jelasnya, perhatikan penggunaan konjungsi subordinatif nuabe ‘supaya’ dan odi ‘untuk’ tersebut untuk menunjukkan kalimat kompleks yang mengandung klausa purposif berikut ini. (8.20) a. Ama hali de uma nuabe [ ] botu mloing Ayah pulang Prep rumah supaya bertemu bisa ‘Ayah pulang ke rumah supaya bisa bertemu mereka’ roma 3JM b. Ama hali de uma odi [ ] botu mloing Ayah pulang Prep rumah untuk bertemu bisa ‘Ayah pulang ke rumah untuk bisa bertemu mereka’ roma 3JM (8.21) a. Au la de isikola nuabe [ ] blajar mloing matematika 1TG pergi Prep sekolah supaya belajar bisa matematika ‘Saya pergi ke sekolah supaya bisa belajar matematika’ b Au la de isikola odi [ ] blajar mloing matematika 1TG pergi Prep sekolah untuk belajar bisa matematika ‘Saya pergi ke sekolah untuk bisa belajar matematika’ 330 (8.22) a. Atmas senua mai de holang nuabe [ ] sali mloing ika Orang DEF datang Prep sungai supaya tangkap bisa ikan ‘Orang itu datang ke sungai supaya bisa menangkap ikan’ b. Atmas senua mai de holang odi [ ] sali mloing Orang DEF datang Prep sungai Prep tangkap bisa ikan ‘Orang itu datang ke sungai untuk bisa menangkap ikan’ ika (8.23) a. Roma mamu ara nuabe [ ] nue mloing ama Bupati 3JM semua berdiri supaya lihat bisa bapak Bupati ‘Mereka semua berdiri supaya bisa melihat Bapak Bupati’ b. Roma mamu ara odi [ ] nue mloing ama Bupati 3JM semua berdiri Prep lihat bisa bapak Bupati ‘Mereka semua berdiri untuk bisa melihat Bapak Bupati’ Kalimat (8.20)--(8.23) merupakan kalimat kompleks BKm yang mengandung klausa purposif. Kalimat kompleks dengan klausa purposif BKm di atas menggunakan dua konjungsi subordinatif, yaitu nuabe ‘supaya’ yang tersaji pada kalimat (8.20a)--(8.23a) dan konjungsi subordinatif odi ‘untuk’ yang terlihat pada kalimat (8.20b)--(8.23b). Kalimat kompleks (8.20)--(8.23) dibangun oleh dua klausa, yaitu klausa utama yang merupakan klausa dengan predikat verba intransitif dan klausa purposif yang diawali oleh konjungsi subordinatif nuabe ‘supaya’ dan odi ‘untuk’. Kalimat kompleks (8.20a dan b)--(8.23a dan b) menunjukkan bahwa argumen ama ‘ayah’ (kalimat (8.20a dan b), au ‘saya’ (kalimat (8.21a dan b), atmas senua ‘orang itu’ (kalimat (8.22a dan b),. dan roma ‘mereka’ (kalimat (8.23a dan b) yang merupakan subjek gramatikal yang secara semantis sebagai agen menjadi satu-satunya argumen (S) pada klausa utama berkoreferensi (co-reference) dengan subjek yang keberadaannya tidak 331 ditunjukkan secara nyata pada klausa purposif. Subjek pada klausa purposif tersebut dihilangkan dan ditandai dengan ([ ]). Contoh kalimat berikut ini menampilkan kalimat kompleks BKm yang klausa utamanya merupakan klausa dengan predikat verba transitif dan diikuti oleh klausa purposif. (8.24) a. Au mela ua nuabe [ ] 1TG panggil 3TG supaya ‘Saya panggil dia supaya bisa bicara’ b. Au mela ua odi 1TG panggil 3TG Prep ‘Saya panggil dia untuk bisa bicara’ [] dale mloing bicara bisa dale mloing bicara bisa (8.25) a. Ama se’o ika nuabe [ ] a mloing Ayah jual ikan supaya makan bisa ‘Ayah menjual ikan supaya bisa makan’ b. Ama se’o ika odi [] a mloing Ayah jual ikan Prep makan bisa ‘Ayah menjual ikan untuk bisa makan’ (8.26) a. Ita ne podi ua osa nuabe [ ] ala 1JM beri APL 3TG uang aupaya beli Kita memberikan dia uang supaya bisa beli baju’ b. Ita ne podi ua osa odi [ ] ala 1JM beri APL 3TG uang Prep beli Kita memberikan dia uang untuk bisa beli baju’ mloing baru bisa baju mloing baru bisa baju (8.27) a. Ina ala podi ali buku nuabe [ ] baca Ibu beli APL adik buku supaya baca ‘Ibu membelikan adik buku supaya bisa membaca’ mloing bisa b. Ina ala podi ali buku odi [ ] baca Ibu beli APL adik buku Prep baca ‘Ibu membelikan adik buku untuk bisa membaca’ mloing bisa 332 Kalimat (8.24)--(8.27) merupakan kalimat kompleks BKm yang mengandung klausa purposif. Sama seperti kalimat kompleks (8.20)--(8.23), kalimat kompleks yang mengandung klausa purposif BKm di atas menggunakan dua konjungsi subordinatif, yaitu nuabe ‘supaya’ yang tersaji pada kalimat (8.24a)--(8.27a) dan konjungsi subordinatif odi ‘untuk’ yang terlihat pada kalimat (8.24b)--(8.27b), Berbeda dengan kalimat kompleks (8.20)--(8.23) yang dibangun oleh klausa dengan predikat verba intransitif untuk klausa utamanya, kalimat kompleks (8.24)--(8.27) dibangun oleh klausa dengan predikat verba transitif untuk klausa utamanya. Jika dicermati lebih jauh, terdapat perbedaan antara kalimat kompleks (8.24) dan (8.25) dengan kalimat kompleks (8.26) dan (8.27). Perbedaannya terletak pada koreferensia antara argumen pada klausa utama dan argumen pada klausa purposif. Kalimat kompleks (8.24) dan (8.25) memperlihatkan bahwa argumen au ‘saya’ (klausa (8.24a dan b) dan ama ‘ayah’ (klausa 8.25a dan b) yang berfungsi sebagai subjek gramatikal dan merupakan agen secara semantis berkoreferensi (co-reference) dengan subjek klausa purposif. Sementara, kalimat kompleks (8.26) dan (8.27) memperlihatkan bahwa bukan subjek yang berkoreferensi pada klausa utama dengan subjek pada klausa purposif, melainkan argumen yang berfungsi sebagai objek (tak langsung) pada klausa utama, yaitu ua ‘dia’ (kalimat 8.26) dan ali ‘adik’ (kalimat (8.27) berkoreferensi (co-reference) dengan subjek pada klausa purposif. Subjek klausa purposif, baik pada kalimat kompleks (8.24) dan (8.25) maupun pada kalimat kompleks (8.26) dan (8.27) dapat dilesapkan karena berkoreferensi (co-reference) dengan salah satu argumen 333 pada klausa utama atau dapat dikatakan hadir secara tersirat dan ditandai dengan ([ ]). Dengan demikian, kalimat kompleks (8.24) dan (8.25) memiliki orientasi subjek, artinya subjek klausa utama berkoreferensi dengan subjek klausa purposif. Sementara kalimat kompleks (8.26) dan (8.27) memiliki orientasi objek, artinya objek klausa utama berkoreferensi dengan subjek klausa purposif. 8.5 Klausa Alasan (Reason Clause) Dua bagian sebelumnya telah membahas klausa relatif dan klausa purposif BKm. Pembahasan berikutnya menjelaskan klausa alasan (reason clause) terkait erat dengan kalimat kompleks. Klausa alasan (reason clause) merupakan tipe dari klausa adverbial subordinasi. Pembahasan klausa alasan (reason clause) mengacu kepada klausa terikat (dependent clause). Maksudnya klausa alasan merupakan klausa bawahan yang merupakan bagian dari klausa utama untuk membentuk kalimat kompleks. Berikut ini disajikan contoh data kalimat kompleks bahasa Inggris yang mengandung klausa alasan (reason clause). (8.28) a. Mark go there because he want to meet him Mark pergi ke sana karena 3TG ingin Prep bertemu Poss 3TG ‘Mark pergi ke sana karena dia ingin bertemu dia’ b. John like Mary because he knew Mary for John suka Mary karena 3TG tahu MAry Prep lama ‘John menyukai Mary karena dia kenal Mary sejak lama’ long Klausa yang bergaris bawah di atas merupakan klausa alasan dalam bahasa Inggris. Kedua klausa yang membentuk kalimat kompleks bahasa Inggris tersebut menggunakan konjungsi subordinatif because ‘karena’. 334 Untuk mengetahui lebih jauh perilaku kalimat kompleks BKm yang dibangun oleh klausa utama dan klausa bawahan yang merupakan klausa alasan (reason clause), perhatikan contoh kalimat kompleks BKm berikut ini. (8.29) a. Ama sirbisu de kota pita [ ] e ala uma Ayah bekerja Prep kota karena ingin beli rumah ‘Ayah bekerja di kota karena ingin beli rumah’ b. Au tutu ua pita [ ] pnau 1TG pukul 3TG karena curi ‘Saya pukul dia karena mencuri uang saya’ au-ng 1TG-Lig osa uang c. Hine koet senua ala baru pita [ ] e la de pesta Wanita cantik DEF beli baju karena ingin pergi Prep pesta ‘Wanita cantik itu membeli baju karena ingin pergi ke pesta’ Kalimat (8.29) merupakan kalimat kompleks yang dibangun oleh klausa utama yang merupakan klausa intransitif (kalimat 8.29a) dan klausa transitif (kalimat 8.29a dan b) dan klausa alasan yang ditandai oleh kehadiran konjungsi subordinatif pita ‘karena’. Pada kalimat (8.29a), subjek klausa utama ama ‘ayah’, yang merupakan satu-satunya argumen S berkoreferensi (co-reference) dengan argumen subjek pada klausa sematan/bawahan yang ditempati oleh klausa alasan. Argumen subjek pada klausa alasan dapat dilesapkan karena argumen tersebut berkoreferensi dengan argumen subjek pada klausa utama. Klausa (8.29b) merupakan kalimat kompleks yang dibangun oleh klausa utama yaang ditempati klausa transitif dan klausa sematan/bawahan yang merupakan klausa alasan. Objek klausa utama ua ‘dia’ pada kalimat (8.29b) berkoreferensi dengan subjek klausa alasan dan dapat dilesapkan karena argumen tersebut berkoreferensi dengan argumen objek pada klausa utama. Kalimat kompleks (8.29c) menunjukkan bahwa argumen subjek hine koet senua ‘wanita cantik itu’ pada 335 klausa utama yang ditempati oleh klausa transitif berkoreferensi dengan subjek pada klausa sematan/bawahan yang ditempati oleh klausa alasan. 8.6 Klausa Pemerlengkap Klausa pemerlengkap (complement clause) adalah klausa yang merupakan argumen sebuah predikat, khususnya berfungsi sebagai subjek atau sebagai objek langsung (lihat Whaley, 1997:255). Pendapat Whaley (1997) senada dengan pendapat Noonan (2007). Noonan (dalam Shopen, 2007: 52) berpendapat bahwa klausa komplemen merupakan sebuah situasi sintaksis yang muncul ketika sebuah predikasi menjadi argumen dari predikat. Sebuah predikasi dapat dilihat sebagai argumen predikat apabila berfungsi sebagai subjek atau objek dari predikat. Berikut diberikan contoh klausa pemerlengkap bahasa Inggris yang predikasinya merupakan argumen subjek predikat dan argumen objek predikat (dikutip dari Noonan dalam Shopen, 2007: 52). (8.30) a. That eliot entered the room annoted Floyd ‘Elliot masuk ruangan mengganggu Floyd’ b. Zeke remembered that Nell left Zeke ingat bahwa Nell pergi’ Klausa pemerlengkap pada (8.30a) merupakan subjek dari klausa kompleks secara keseluruhan dan pada (8.30b) berfungsi sebagai objek. Lebih lanjut, Whaley (1997) menyatakan bahwa pemerlengkap itu tidak selalu berwujud sebagai klausa utuh, tetapi dapat pula muncul sebagai frasa yang diinduki oleh bentuk-bentuk verba tak terbatas, seperti infinitif dan partisipel. Contoh berikut 336 menggambarkan klausa pemerlengkap dalam bahasa Inggris yang diinduki oleh verba tak terbatas (infinitif dan partisipel) (dikutip dari Whaley, 1997:255). (8.31) a. Knowing the answer makes taking the exam easier. ‘Mengetahui jawabannya membuat mudah dalam mengikuti ujian’ b. I want him to leave. ‘Saya ingin dia pergi’ Contoh (8.31a) menunjukkan bahwa pemerlengkap muncul sebagai infinitif, sementara contoh (8.31b) menunjukkan bahwa pemerlengkap muncul sebagai partisipel. Lebih lanjut, Noonan (dalam Shopen, 2007: 52--53) mengungkapkan bahwa satu bahasa memiliki bentuk klausa komplemen tersendiri yang mungkin sama atau berbeda dengan bahasa yang lain. Misalnya, bahasa Inggris memiliki empat jenis klausa komplemen, yaitu (1) klausa dengan that , (2) infinitif, (3) gerund, dan (4) klausa partisipel. Keempat jenis klausa komplemen bahasa Inggris tersebut tersaji pada contoh berikut. (8.32) a. That Eliot entered the room annoted Floyd (that clause) ‘Elliot masuk ruangan mengganggu Floyd’ b. Eliot entering the room annoyed Floyd (gerund) Eliot memasuki ruangan mengganggu Floyd’ c. For Eliot to enter the room would annoy Floyd (infinitif) ‘Eliot masuk ruangan akan mengganggu Floyd’ d. I saw Eliot entering the room annoyed floyd ‘Saya lihat Eliot masuk ruangan mengganggu Floyd’ Perlu diketahui bahwa tidak semua klausa yang dilekatkan atau ditempelkan (embedded clause) merupakan klausa komplemen. Klausa relatif, klausa purposif, klausa alasan, dan lainnya tidak dapat dikatakan sebagai klausa 337 komplemen karena klausa-klausa tersebut tidak merupakan argumen dari predikat. Contoh di atas menunjukkan bahwa secara umum terdapat dua mekanisme utama yang digunakan menandai (klausa) pemerlengkap, yaitu dengan pemakaian penanda pemerlengkap (partikel subordinasi), seperti contoh (8.30 a dan b) dan dengan pemakaian bentuk verba tak terbatas, seperti contoh (8.31a dan b). Umumnya, kedua mekanisme tersebut diturunkan secara lintas-bahasa (lihat Whaley, 1997: 256). Di samping kedua mekanisme tersebut, kalimat kompleks dengan klausa pemerlengkap dapat pula dijumpai dengan penyematan berganda. Dalam bahasa Inggris, misalnya, kalimat kompleks berikut ini mempunyai klausa pemerlengkap berganda (Whaley 1997: 255). (8.33) I want [to believe [that you are right]]. ‘Saya ingin memercayai bahwa kamu benar’ Pembahasan klausa pemerlengkap BKm dikhususkan untuk mencermati perilaku klausa tak terbatas yang ditandai dengan pemakaian bentuk verba tak terbatas yang berfungsi sebagai pemerlengkap predikat yang lebih tinggi (predikat klausa induk). Pembahasan ini bertujuan untuk memeroleh perilaku gramatikal kalimat kompleks yang tidak ditandai oleh konjungsi subordinatif (pembahasan kalimat kompleks dengan penanda konjungsi subordinatif (REL) telah disajikan pada bagian sebelumnya). Terkait dengan klausa pemerlengkap, Artawa (1998:92) mengungkapkan bahwa pemakaian verba tak terbatas ini dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu jenis pemerlengkap dengan kelompok verba ‘ingin’ (selanjutnya disebut verba jenis ‘ingin’), jenis pemerlengkap dengan kelompok verba ‘tahu’ (selanjutnya disebut verba jenis ‘tahu’), dan jenis pemerlengkap dengan kelompok verba ‘mengatakan’ (selanjutnya disebut verba jenis 338 ‘mengatakan’). Ketiga jenis klausa pemerlengkap tersebut diuraikan secara lebih terperinci sebagai berikut. 8.6.1 Verba Jenis ‘ingin’ Seperti umumnya bahasa-bahasa di dunia, BKm juga memiliki verba e yang bermakna ‘ingin’ atau ‘mau’ dan verba ber yang bermakna ‘suka’. Perhatikan contoh berikut untuk mengetahui lebih jauh kalimat kompleks yang mempunyai klausa pemerlengkap yang ditandai dengan hadirnya verba bermakna ‘ingin/mau’ dan suka’. (8.34) a. Attnas senua Orang DEF ‘Orang itu ingin pulang’ e [] ingin b. Ua e [] mela 3TG ingin panggil ‘Dia ingin memanggil saya’ c. Ua e [} 3TG ingin TOP ‘Dia ingin saya panggil’ au 1TG hali pulang au 1TG mela panggil (8.35) a. Mane senua e [ ] la de Kupang Lak0’laki DEF ingin pergi Prep Kupang ‘Laki-laki itu ingin pergi ke Kupang’ b. O e [] eto mane koet senua\ 2TG ingin lihat wanita cantik DEF ‘Engkau ingin melihat wanita cantik itu’ c. O e [] hine koet senua eto 2TG ingin TOP wanita cantik DEF lihat “Engkau ingin wanita cantik itu lihat’ 339 (8.36) a. Roma ber [] 3JM suka ‘Mereka suka menari’ huri menari b. Roma ber tutu [ ] pnaoblabag 3JM suka pukul pencuri ‘Mereka suka memukul pencuri itu’ c. Roma ber [] pnaoblabag 3JM suka TOP pencuri ‘Mereka suka pencuri pukul’ (8.37) a Au-ng ina-ng 1TG-Lig ibu-Lig ‘Ibu saya suka tidur’ tutu pukul ber suka [] bue tidur b Au-ng ali-ng ber 1TG-Lig adik-Lig suka ‘Adik saya suka melihat ibu’ [] eto lihat ina ibu c. Au-ng ali-ng ber 1TG-Lig adik-Lig suka ‘Adik saya suka ibu lihat’ [] TOP ian ibu eto lihat Contoh (8.34a) dan (8.35a) adalah kalimat kompleks BKm dengan verba bermakna ‘ingin’ yang dibangun oleh klausa induk dan klausa pemerlengkap dalam bentuk klausa intransitif. Apabila dicermati lebih jauh, S klausa pemerlengkap (klausa intransitif) yang berkoreferensi dengan S klausa induk (klausa intransitif), yaitu atmas senua ‘otang itu’ (kalimat 8.34a) dan mane senua ‘wanita itu’ (kalimat 8.35a). Subjek klausa pemerlengkap (klausa intransitif) tersebut dapat dihilangkan dan ditandai dengan ([ ]). Sementara, kalimat kompleks (8.34b) dan (8.35b) juga merupakan kalimat kompleks yang dipredikati oleh verba bermakna ‘ingin’. Kalimat kompleks tersebut dibangun oleh klausa induk (klausa intransitif) dan klausa pemerlengkap (klausa transitif). Perbedaannya, klausa 340 pemerlengkap (8.34a) dan (8.35a) merupakan klausa intransitif, sedangkan klausa pemerlengkap (8.34b) dan (8.35b) merupakan klausa transitif. S yang merupakan agen klausa pemerlengkap berkoreferensi dengan S satu-satunya argumen pada klausa induk, yaitu ua ‘dia’ (kalimat 8.34b) dan o ‘engkau’ (kalimat 8.35b). Kalimat kompleks (8.34c) dan (8.35c) merupakan kalimat kompleks yang dibangun oleh klausa induk dan klausa pemerlengkap. P klausa terikat berkoreferensi dengan S klausa induk, yaitu ua ‘dia’ (kalimat 8.34c) dan o ‘engkau’ (kalimat 8.35c). Konstruksi ini dimungkinkan terjadi melalui mekanisme penopikalan Kalimat (8.36a) dan (8.37a) merupakan kalimat kompleks BKm dengan verba bermakna ‘suka’ yang dibangun oleh klausa induk dan klausa pemerlengkap. S klausa pemerlengkap berkoreferensi dengan S klausa induk, yaitu roma ‘mereka’ (kalimat 8.36a) dan aung inang ‘ibu saya’ (kalimat 8.37a). Subjek pada klausa pemerlengkap dihilangkan dan ditandai dengan ([ ]) . Sementara, kalimat (8.36b) dan (8.37b) yang juga dipredikati oleh verba bermakna ‘suka’ dibangun oleh klausa induk (klausa intransitif) dan klausa pemerlengkap (klausa transitif). Perbedaannya, klausa pemerlengkap (8.36a) dan (8.37a) merupakan klausa intransitif, sedangkan klausa pemerlengkap (8.36b) dan (8.37b) merupakan klausa transitif. S yang merupakan agen klausa pemerlengkap berkoreferensi dengan S satu-satunya argumen pada klausa induk, yaitu au ‘saya’ (kalimat 8.36b) dan aung aling ‘adik saya’ (kalimat 8.37b). Kalimat kompleks (8.36c) dan (8.37c) merupakan kalimat kompleks dengan verba ‘suka‘. Kalimat kompleks tersebut dibangun oleh klausa induk dan klausa pemerlengkap. P 341 klausa terikat berkoreferensi dengan S klausa induk. Hal ini dimungkinkan terjadi melalui mekanisme penopikalan. Contoh kalimat (8.34)--(8.37) di atas menunjukkan bahwa baik subjek maupun objek pada klausa pemerlengkap dapat berkoreferensi dengan subjek klausa induk, yaitu ua ‘dia’ (kalimat 8.34b dan c), o ‘engkau’ (kalimat 8.35b dan c), roma ‘mereka’ (kalimat 8.36b dan c), dan aung aling ‘adik saya’ (kalimat 8.37b dan c). 8.6.2 Verba Jenis ‘tahu’ BKm juga memiliki verba yang dapat dikelompokkn ke dalam verba jenis ‘tahu’, yaitu tada ‘tahu’, eto ‘lihat’, rega ‘dengar’, dan hanoing ‘pikir. Perilaku gramatikal kalimat kompleks dengan verba klausa pemerlengkap bermakna ‘tahu’ dapat dicermati melalui contoh yang disajikan berikut ini. (8.38) a. Au tada au-ng ali-ng [ ] 1TG tahu 1TG-Lig adik-Lig ‘Saya tahu bahwa adik saya pulang’ hali pulang b. Ina tada ama [] tutu atmas senua Ibu tahu ayah pukul orang DEF ‘Ibu tahu ayah memukul orang itu (8.39) a. Roma rega dato galang [ ] mnahu dase 3JM dengar dusun kepala jatuh Prep ‘Mereka mendengar kepala dusun jatuh dari pohon’ b. Ua rega mane senua [ ] 3TG dengar lak-laki DEF ‘Dia mendengar laki-laki itu mencuri sapi’ Kalimat (8.38a) memperlihatkan bahwa pnao curi S klausa ai pohon brau sapi pemerlengkap berkoreferensi dengan O atau P klausa induk, yaitu aung aling ‘adik saya’. 342 Kalimat (8.38b) menunjukkan bahwa subjek atau agen klausa pemerlengkap berkoreferensi dengan P klausa induk, yaitu ama ‘ayah’. Perilaku yang sama juga ditunjukkan oleh kalimat (8.39a) dan kalimat (8,39b). Subjek klausa pemerlengkap pada kalimat (8.39a) berkoreferensi dengan O atau P klausa induk, yaitu dato galang ‘kepala desa’. Kalimat (8.39b) menunjukkan bahwa subjek atau agen klausa pemerlengkap berkoreferensi dengan pasien klausa induk, yaitu mane senua ‘laki-laki itu’ Contoh kalimat yang disajikan di atas mrnunjukkan bahwa kalimat kompleks dengan klausa pemerlengkap berpredikat verba jenis ‘tahu’ memiliki perilaku gramatikal yang berbeda dengan perilaku yang diperlihatkan oleh klausa pemerlengkap yang berverba jenis ‘ingin’. Apabila klausa pemerlengkapnya berverba jenis ‘tahu’, maka S atau subjek klausa pemerlengkap tersebut berkoreferensi dengan O atau P klausa induk (kalimat 8.38 dan 8.39). Sementara itu, apabila klausa pemerlengkapnya berverba jenis ‘ingin’, maka S atau subjek klausa pemerlengkap tersebut berkoreferensi dengan S klausa induk (kalimat 8.34b--8.37b) dan S atau subjek klausa pemerlengkap dapat berkoreferensi dengan P pada klausa induk melalui mekanisme penopikalan (kalimat 8.34c--8.37c) 8.6.3 Verba Jenis ‘mengatakan’ Verba-verba yang termasuk verba jenis ‘mengatakan’ atau ‘berkata’ dalam BKm, seperti verba adalah tugu ‘bertanya, boi ‘berkata’, obriga ‘paksa/memaksa’, dan tau ‘buat/membuat. Untuk mengetahui lebih jauh perilaku 343 gramatikal klausa pemerlengkap dengan verba jenis ‘mengatakan’. Perhatikanlah contoh kalimat kompleks BKm berikut ini. (8.40) a. Ua obriga au [] semai dase 3TG paksa 1TG keluar Prep ‘Dia memaksa saya keluar dari rumah itu’ b. (8.41) a. b. uma senua rumah DEF Dato galang obriga ita [] selo bea rae Dusun kepala paksa 1JM bayar pajak tanah “Kepala dusun memaksa kita membayar pajak tanah’ Atmas senua tau au-ng Orang DEF buat 1TG-Lig ‘Orang itu membuat adik saya jatuh’ ali-ng adik-Lig [] Mane senua tau ana senua [ ] pnao Laki-laki DEF buat anak DEF mencuri ‘Laki-laki itu membuat anak itu mencuri uang’ mnahu jatuh osa uang Kalimat (8.40a) dan (8.41a) merupakan kalimat kompleks yang dibangun oleh klausa pemerlengkap (klausa intransitif) dan klausa induk (klausa intransitif). S klausa pemerlengkap, yaitu au ‘saya’ (kalimat 8.40a) dan aung aling ‘adik saya’ (8.41a), berkoreferensi dengan P klausa induk,.Perilaku gramatikal yang sama juga terlihat pada kalimat (8.40b) dan (8.41b). 8.7 Temuan Penelitian Dalam bab ini telah dibahas sejumlah konstruksi kalimat kompleks yang meliputi perelatifan, klausa purposif, kalusa alasan dan klausa pemerlengkap. Pembahasan tentang konstruksi kalimat kompleks pada bab ini terkait dengan pembahasan pada bab-bab sebelumnya terutama terkait dengan pemabahsan struktur klausa mengingat kalimat kompleks dibangun oleh gabungan klausa. 344 Beberapa temuan penelitian terkait dengan pembahasan kalimat kompleks BKm disajikan berikut ini. 1. Penelaahan perelatifan BKm didasarkan pada pendekatan hierarki relasi gramatikal, yakni hierarki ketercapaian (accessibility hierarchy). 2. Pembahasan perelatifan di atas menunjukkan bahwa seluruh relasi gramatikal yang meliputi subjek, objek (langsung dan tak langsung), dan relasi oblik dalam BKm dapat direlatifkan secara langsung tanpa melalui kiat ‘penurunan diatesis’ atau kiat ‘penandaan verba’. Dengan demikian, BKm dan bahasa Inggris memiliki persamaan, yaitu dapat merelatifkan semua relasi gramatikalnya. Kenyataan ini memberikan isyarat bahwa BKm merupakan bahasa yang bertipologi akusatif secara sintaktis, sama seperti bahasa Inggris yang merupakan bahasa bertipologi akusatif. 3. Kata penghubung (konjungsi) subordinatif yang digunakan untuk menghubungkan klausa utama (induk) dengan klausa purposif dalam BKm adalah nuabe ‘supaya’ dan odi ‘untuk’. Klausa purposif BKm merupakan adjung (keterangan) dari klausa intransitif yang merupakan klausa utamanya. Agen klausa purposif yang merupakan satu-satunya argumen yang muucul secara tersirat ditandai dengan ([ ]) dan berkoreferensi (co-reference) dengan subjek klausa utamanya. 4. Agen yang merupakan satu-satunya argumen klausa utama yang merupakan klausa intransitif berpredikat nonverbal berkoreferensi (co-reference) dengan agen pada klausa purposif.. 345 5. Terkait dengan kalimat kompleks yang dibangun oleh klausa utama klausa transtitif dan klausa purposif dapat dikemukakan bahwa klausa-klausa purposif dalam BKm merupakan adjung (keterangan) dari klausa intransitif yang merupakan klausa utamanya. Agen klausa purposif yang merupakan satu-satunya argumen muucul secara tersirat ditandai dengan ([ ]) pada contoh kalimat di atas berkoreferensi (co-reference) dengan subjek klausa utamanya. Subjek klausa purposif dapat berkoreferensi, baik dengan subjek klausa utama maupun objek klausa utama. Hal ini sangat tergantung pada verba yang menempati fungsi predikat klausa tersebut. 6. Kalimat kompleks dengan klausa alasan menggunakan konjungsi subordinatif pita ‘karena’. Objek klausa alasan dapat berkoreferensi, baik dengan subjek klausa utama maupun objek klausa utama. Hal ini sangat ditentukan oleh verba yang menempati posisi predikat kalimat kompleks tersebut. 7. Perilaku gramatikal klausa pemerlengkap ditunjukkan dengan hadirnya verba tak-terbatas. Verba tak-terbatas tersebut berfungsi sebagai pemerlengkap predikat yang lebih tinggi. Verba tak-terbatas yang menandai klausa pemerlengkap BKm dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu verba jenis ‘ingin’, verba jenis ‘tahu’, dan verba jenis ‘mengatakan’. 8. Kalimat kompleks dengan klausa pemerlengkap berpredikat verba jenis ‘tahu’ memiliki perilaku gramatikal yang berbeda dengan perilaku yang diperlihatkan oleh klausa pemerlengkap yang berverba jenis ‘ingin’. Apabila klausa pemerlengkapnya berverba jenis ‘tahu’, maka S atau subjek klausa pemerlengkap tersebut berkoreferensi dengan O atau P klausa induk. 346 Sementara itu, apabila klausa pemerlengkapnya berverba jenis ‘ingin’, maka S atau subjek klausa pemerlengkap tersebut berkoreferensi dengan S klausa induk dan S atau subjek pemerlengkap dapat pula berkoreferensi dengan P klausa induk melalui mekanisme penopikan 9. Pada klausa pemerlengkap dengan verba jenis ‘mengatakan’, S klausa pemerlengkapnya berkoreferensi dengan P klausa induk. BAB IX TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK 9.1 Pengantar Bab-bab sebelumnya telah menguraikan tiga pokok bahasan terkait dengan penentuan tipologi sintaksis BKm yang meliputi pembahasan struktur dasar dan kaidah struktur dasar, valensi verba, dan kalimat kompleks BKm. Terkait dengan pembahasan struktur dasar juga telah diuraikan tentang peran dan relasi gramatikal dan predikasi BKm. Pembahasan pada bab ini bertitik tolak pada pokok masalah terakhir, yaitu penentuan tipologi sintaksis berdasarkan aliansi gramatikal yang dimiliki BKm. Pembahasan pada bab ini diawali dengan pemaparan teoretis terkait dengan tipologi linguistik, ergatif, dan akusatif. Pembahasan berikutnya dilanjutkan dengan menguraikan satuan-satuan dasar sintaksis-semantis semesta. Selanjutnya, uraian tentang konstruksi sintaksis BKm yang meliputi konstruksi dengan verba tak terbatas, pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatif, dan konstruksi subordinatif. Pembahasan berikutnya menguraikan sistem aliansi gramatikal BKm. Kemudian dilanjutkan dengan membahas diatesis BKm. Bab ini ditutup dengan menyajikan beberapa temuan terkait dengan pembahasan tipologi sintaksis BKm. 9.2 Ergatif dan Akusatif Kajian tentang mengelompokkan tipologi bahasa-bahasa linguistik di dunia 347 utamanya terkait bertujuan dengan untuk sifat-perilaku 348 strukturalnya. Comrie (1988); Artawa (1998: 127); Artawa (2000: 487—489) mengungkapkan bahwa terdapat dua asumsi penting terkait dengan tipologi linguistik, yaitu (1) bahasa-bahasa diduga dapat dibandingkan antara satu dan yang lainnya dalam hal strukturnya, (2) asumsi tipologi linguistik menyatakan bahwa bahasa-bahasa memiliki perbedaan. Asumsi pertama mengisyaratkan bahwa bahasa memiliki sifar-perilaku semesta (universal) yang digunakan sebagai dasar perbandingan sehingga kajian tipologi linguistik dikatakan berjalan berdampingan dengan kajian kesesmestaan bahasa (langauge universality). Asusmi kedua mengisyaratkan bahwa jika bahasa-bahasa tidak memiliki perbedaan, maka bahasa-bahasa tersebut dapat dikelompokkan menjadi satu kelompok yang sama (lihat juga Comrie, 1983: 30—32; Mallinson and Blake, 1981:4—5). Setiap bahasa di dunia memiliki sifat perilaku yang dapat dijadikan sebagai dasar tipologi linguistik. Utamanya, kajian tipologi linguitik ditujukan untuk mencari sifat-perilaku yang signifikan sehingga dapat dijadikan sebagai dasar penafsiran sifat perilaku yang lainnya. Artawa (1998:128) mengungkapkan bahwa terdapat dua istilah yang sering digunakan untuk mengelompokkan bahasa, yaitu ergatif dam akusatif. Terkait dengan istilah tersebut, terdapat tiga tataran yang berbeda, yaitu morfologis, sintaksis, dan wacana. Sebuah bahasa dikatakan ergatif secara morfologis jika bahasa tersebut memiliki pemarkah yang sama pada pasien verba transitif dengan subjek verba intranstif (S), tetapi memiliki pemarkah yang berbeda pada agen verba transtitif. Sementara, sebuah bahasa dikatakan akusatif secara morfologis apabila agen verba transitif dimarkahi sama dengan 349 subjek pada verba intransitif (S), tetapi dimarkahi berbeda dengan pasien pada verba transitif (lihat Comrie, 1998: 124—127; Artawa, 1995: 59—62; Paine, 1997: 133—139; Whaley, 1997: 155—160; Song, 2001: 140--145). Lebih jauh, Artawa (1998:127—128) mengungkapkan bahwa bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa yang secara jelas merupakan bahasa yang bertipe akusatif. Hal ini ditunjukkan dengan kasus, persesuaian, dan tata urutan kata yang menunjukkan bahwa A (agen) verba transitif dimarkahi sama dengan subjek verba intransitif. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh klausa berikut untuk menunjukkan bahwa bahasa Inggris tergolong bahasa akusatif. (9.1) a. b. She (S) walks 3TG jalan ‘Dia berjalan’ She (A) calls 3TG panggil ‘Dia memanggilnya’ him (P) 3TGOBJ Contoh klausa bahasa Inggris (9.1) tersebut memerlihatkan bahwa subjek verba intransitif (S) pada klausa (9.1a) sama dengan agen (A) verba transitif (klausa 9.1a), tetapi berbeda dari pasien (P) verba transitif klausa (9.1b). A dan S terjadi dalam kasus nominatif, sementara P terjadi pada kasus akusatif. Apabila dicermati lebih jauh, baik A (agen) verba tramsitif maupun S subjek verba intransitif menempati posisi yang sama, berada sebelum atau mendahului verba (praverbal). Satu bahasa dapat dikelompokkan ke dalam bahasa ergatif secara sintaksis apabila bahasa tersebut memberikan perlakuan yang sama antara S dan P, tetapi memberikan perlakuan yang berbeda terhadap A. Ahli tipologi menyatakan 350 bahwa terdapat bahasa yang secara ergatif morfologis, tetapi tidak memiliki ergatif secara sintaksis. Para ahli menduga bahwa tidak terdapat bahasa yang ergatif sepenuhnya, baik ergatif dalam tataran sintaksis maupun ergatif dalam tataran morfologis. Dugaan tersebut ternyata kurang tepat karena seperti diungkapkan Dixon (1979), bahasa Dyirbal yang merupakan salah satu bahasa yang hidup di Australia, tapatnya di wilayah timur laut Queensland adalah bahasa yang bertipe ergatif. Ciri keergatifan bahasa Dyirbal ditunjukkan dengan memperlihatkan bahwa semua operasi sintaksis utama perelatifan dan pemerlengkapan memberikan perlakuan yang sama terhadap S dengan P, tetapi memberikan perlakuan berbeda terhadap A. Lebih jauh, Dixon (1979) mengungkapkan bahwa dua klausa dalam bahasa Dyirbal dapat dikoordinasikan jika FN ‘umum’ berada dalam fungsi S atau P pada setiap klausa. FN yang berada pada klausa kedua biasanya dilesapkan dan keseluruhan konstruksi dua klausa tersebut dapat terdiri atas satu kelompok intonasi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh kalimat bahasa Dyirbal yang dikutip oleh Artawa (1998:128) dari Dixon (1989). (9.2) Marri janinggu bura-n Meri-ABS(P) John-ERG(A) melihat-NONFUT John melihat Meri dan Meri duduk’ nyina-nyu duduk-NONFUT Contoh kalimat (9.2) di atas hanya memiliki makna ‘John melihat Meri dan Meri duduk’. Bahasa Dyirbal menunjukkan bahwa FN verba intransitif (S) tidak pernah diungkapkan karena telah dilesapkan. Pelesapan ini terjadi karena S verba intransitif berkoreferensi dengan P verba transitif pada klausa utama/induk. Kalimat (9.2) tersebut menunjukkan bahwa bahasa Dyirbal merupakan bahasa 351 yang membolehkan pelesapan sebuah FN dalam klausa yang dikoordinasikan (klausa terikat) jika FN tersebut persis sama dengan FN klausa utama/induk. Di samping itu, jika FN berfungsi sebagai S atau P pada setiap klausa tersebut. Dengan demikian, bahasa Dyirbal dikategorikan sebagai bahasa yang bertipe ergatif secara sintaksis. Berdasarkan contoh kalimat yang disajikan sebelumnya, telah jelas ditunjukkan bahwa bahasa ergatif secara sintaksis (bahasa Dyirbal) berbeda dengan bahasa akusatif secara sintaksis (bahasa Inggris). Bahasa akusatif secara sintaksis (bahasa Inggris) menunjukkan bahwa FN yang dilesapkan pada klausa kedua (klausa terikat) sama dengan FN subjek (A) verba transitif klausa utama/induk. Cermati contoh kalimat berikut. (9.3) Bill saw Lucy and sat down Bill melihat Lucy dan duduk’ ‘Bill melihat Lucy dan (Bill) duduk’ 9.3 Satuan-Satuan Dasar Sintaksis-Semantis Semesta Sebelum membahas lebih lanjut tentang konstruksi sintaksis BKm untuk menentukan tipologi linguistiknya, maka perlu diuraikan mengenai satuan-satuan dasar (premitives) sintaksis-semantis semesta (universal). Satuan-satuan dasar sintaksis-semantis semesta yang digunakan untuk penentuan tipologi linguistik BKm mengacu kepada satuan-satuan dasar sintaksis-semantis yang dikemukakan oleh Dixon (1994) khususnya terkait dengan pivot dan konsep lain yang terkait dengannya. Dixon (1994: 111) menambahkan bahwa terjadi kebingungan dalam menentukan subjek dalam bahasa ergatif yang secara mendasar disebabkan oleh 352 teori linguistik yang berpedoman pada bahasa-bahasa Eropa ynag merupakan bahasa yang memiliki ciri bahasa akusatif. Lebih lanjut, Dixon (1994: 6—8) memperkenalkan sistem deskripsi gramatikal yang digunakan untuk menggambarkan fenomena gramatikal dalam setiap bahasa, apa pun jenisnya (akusatif, ergatif, S-terpilah, dan S-alir). Dixon (1994: 6—8) mengemukakan satuan-satuan dasar (primitives) sintaksis untuk menggantikan istilah subjek dan objek. Satuan-satuan dasar sintaksis prateoretis tersebut adalah sebagai berikut. S : subjek intransitif A : subjek transitif O : objek transitif Dixon menegaskan bahwa ketiga satuan dasar tersebut (S, A, dan O merupakan kategori inti semesta. Dalam sistem ini, S dan A dikelompokkan bersama sebagai subjek (Dixon, 1994: 111--142). Pengelompokkan S dan A didasarkan pada pendapat Dixon yang menyatakan bahwa setiap usaha menyusun kesemestaan tipologi yang benar harus didasarkan secara semantis. Dengan demikian, pengertian subjek paling cocok dipahami sebagai kategori semantis dipandang dari sudut semantis. Berdasarkan pendapat Dixon tersebut, Artawa (1998:132) menambahkan bahwa dalam memahami relasi S, A, dan O harus diperhatikan bahwa S tidak selalu agen secara semantis. S bisa saja berfungsi sebagai pasien secara semantis. S yang secara semantis bisa berfungsi sebagai agen dan pasien disebabkan oleh sifat-perilaku verba intransitif yang menghendaki S sebagai A dan S sebagai P. 353 Perhatikan contoh berikut yang menunjukkan bahwa S sebagai A dan S sebagai P dalam BKm. (9.4) a. b. Au(S) la de 1TG pergi Prep ‘Saya pergi ke pasar’ basar pasar Au(S) mnahu dase 1TG jatuh Prep ‘Saya jatuh dari pohon’ ai pohon Contoh klausa (9.4) BKm di atas menggambarkan apa yang dikemukakan oleh Artawa (1998:132) yang menyatakan bahwa S tidak selalu agen. Klausa (a) menggambarkan bahwa S merupakan agen (A), sementara klausa (b) menggambarkan bahwa S merupakan pasien (P). Berbeda dengan Dixon, Comrie (1981, 1989) menggunakan istilah P untuk menggantikan istilah O yang dikemukakan oleh Dixon. Pendapat Comrie ini didukung oleh Artawa (1998: 132—133; 2002: 23), yang menyatakan bahwa ada pelengkap pasien/P (O menurut Dixon) pada konstruksi transitif yang berperilaku seperti subjek sehingga tidak begitu tepat jika dikatakan sebagai objek. Comrie menambahkan bahwa dalam bahasa ergatif, bukan A yang berperilaku subjek, melainkan P berperilaku subjek. Dengan demikian, pembahasan tipologi sintaksis BKm dalam disertasi ini mengacu kepada pendapat Comrie (1981, 1989) dan Artawa (1998: 132—133; 2002: 23) yang menggunakan istilah P untuk merujuk ke objek transitif. Berikut ini satuan-satuan dasar sintaksis prateoretis yang digunakan dalam disertasi ini. S : subjek intransitif A : subjek transitif 354 P : objek transitif Berikut ini disajikan contoh klausa BKm yang menggambarkan satuansatuan dasar sintaksis prateoretis. (9.5) a. b. Ua (S) plai 3TG lari ‘Engkau lari’ Ua (A) tutu au (P) 3TG pukul 1TG ‘Kamu memukul saya’ Klausa (9.5a) merupakan klausa intransitif BKm yang hanya memiliki satu argumen S, yaitu ua ‘dia’. Sementara, klausa (9.5b) merupakan klausa transsitif BKm yang memiliki dua argumen, yaitu argumen praverbal ua ‘dia’ yang berfungsi sebagai agen dan argumen posverbal au ‘saya yang berfungsi sebagai pasien. Argumen praverbal merupakan A dan argumen posverbal merupakan P. Terkait dengan subjek dalam bahasa ergatif secara sintaksis, terdapat perbedaan pandangan antara Dixon dengan Comrie. Perbedaan pandangan tersebut dijelaskan oleh Artawa (2002: 23) dengan mengemukakan bahwa subjek menurut Comrie dapat dikatakan sebagai subjek permukaan/subjek lahir/subjek gramatikal dalam bahasa-bahasa ergatif secara sintaksis (S/P-absolutif). Sebaliknya, subjek menurut Dixon merupakan subjek batin (S/A-akusatif), yang hanya berlaku pada struktur dasar. Terkait dengan perbedaan pandangan tentang subjek tersebut, penelitian tentang tipologi sintaksis BKm ini mengacu pada subjek dalam bentuk subjek lahir atau subjek gramatikal. Merujuk pada subjek lahir atau subjek gramatikal 355 yang diacu dalam disertasi ini, penting dijelaskan tentang pivot karena pengujian tipologi sintaksis BKm dilakukan dengan pengujian pivot. Artawa (1998:132—133) mengungkapkan bahwa istilah pivot pertama kali diperkenalkan oleh Health (1975). Health (1975) tidak memberikan definisi tentang pivot. Namun, dia menggunakan dua istilah, yaitu ‘pengontrol’ dan ‘pivot’ untuk mendeskripsikan penentuan saling rujuk silang pada kalimat kompleks. Masih menurut Health, FN pengontrol merupakan FN yang berada pada klausa yang lebih tinggi sementara pivot merupakan FN yang berada pada klausa yang lebih rendah. Lebih lanjut, Health menganggap bahwa FN dalam kasus nominatif dalam sebuah klausa merupakan pivot. Pendapat terkait dengan pivot juga dikemukakan oleh Foley dan van Valin (1984: 110). Mereka menyatakan bahwa pivot adalah semua jenis FN yang kepadanya proses gramatikal utama dikaitkan, baik sebagai pengontrol maupun sebagai target. Lebih jauh, mereka mengungkapkan bahwa subjek merupakan FN pivot dalam bahasa Inggris, sementara objek adalah FN pivot dalam bahasa Dyirbal. Dixon (1994:154) lebih jauh menegaskan bahwa penting untuk membedakan subjek dengan pivot. Masih menurut Dixon, subjek merupakan kategori semesta yang terbatas pada kriteria sintaksis semantis, sementara pivot merupakan kategori khusus bahasa yang benar-benar sintaksis pada hakikat dan aplikasi. Subjek hanya berlaku pada struktur dalam, sementara pivot merujuk ke fungsi-fungsi turunan. Dixon (1994:154) mengajukan jika sebuah bahasa mempunyai pivot sintaksis yang benar-benar S/A, maka bahasa tersebut dapat 356 menggunakan hanya satu istilah, yaitu subjek atau pivot. Sebaliknya, jika sebuah bahasa mempunyai S/P pivot, maka istilah subjek dan pivot harus dipertahankan. Terkait dengan pivot, Dixon (1994: 154) menjelaskan bahwa pada dasarnya terdapat dua variasi (beberapa bahasa hanya menunjukkan satu jenis, sementara bahasa lainnya menunjukkan campuran dari keduanya), yaitu (1) pivot S/A – FN yang berkoreferensi harus pada fungsi S atau A turunan pada setiap klausa yang digabungkan; (2) pivot S/P – FN yang berkoreferensi harus pada fungsi S atau P turunan pada setiap klausa yang digabungkan. Artawa (1998:1330) menyatakan bahwa untuk menentukan tipologi morfologis atau sintaksis sebuah bahasa bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Sulitnya menentukan tipologi sebuah bahasa disebabkan oleh ciri-ciri yang ditemukan dalam sebuah bahasa memiliki ciri-ciri yang bercampur antara tipologi ergatif dan tipologi akusatif. Dalam tataran sintaksis, tipologi bahasa ditentukan oleh perilaku A dan P. Sebuah bahasa dikatakan memperlihatkan ciri akusatif secara sintaksis apabila A diperlakukan sama secara sintaksis dengan S. Sementara, bahasa dikatakan memperlihatkan ciri ergatif secara sintaksis apabila P diperlakukan sama secara sintaksis dengan S. 9.4 Konstruksi Sintaksis Bahasa Kemak Telaah tentang konstruksi sintaksis secara tipologis BKm bertujuan untuk menentukan apakah BKm merupakan bahasa yang bertipologi akusatif atau ergatif secara sintaksis. Terkait dengan telaah konstruksi sintaksis BKm, sub-subbagian 357 berikut dimulai dengan menyajikan konstruksi pemerlengkap jusif, konstruksi konstruksi dengan verba tak terbatas, koordinatif, dan konstruksi subordinatif. Pembahasan tentang konstruksi sintaksis ini diakhiri dengan pembahasan tentang sistem aliansi gramatikal BKm. Uraian lebih terperinci terkait dengan konstruksi sintaksis BKm disajikan pada sub-subbagian berikut. 9.4.1 Konstruksi dengan Verba Tak Terbatas Bab VII (subbagian 7.4.1.9) telah menguraikan FN tidak terang (PRO) yang digunakan sebagai parameter untuk pengujian subjek gramatikal BKm dan bab VIII (bagian 8.6) juga telah menguraikan konstruksi verba tak terbatas dalam kaitannya dengan pembentukan kalimat kompleks dengan klausa pemerlengkap yang menggunakan verba jenis ‘tahu’ dan yang sejenis. Penggunaan verba tak terbatas pada sebauah konstruksi umumnya tidak mempunyai ungkapan yang nyata untuk satu argumen. Argumen yang tidak nyata tersebut bisa jadi dinukilkan sebagai FN tidak terang (non-overt noun phrase) dan diwujudkan sebagai PRO. (9.6) a. Au e [] 1TG ingin ‘Saya ingin pergi ’ la pergi b. O e [] 2TG ingin ‘Kamu ingin duduk’ mudu duduk (9.7) a. Ua e [] botu 3TG ingin bertemu ‘Dia ingin bertemu kepala dusun’ dato galang dusun kepala 358 b. Ama e [] mela Ayah ingin panngil ‘Ayah ingin memanggil mereka’ roma 3JM Contoh (9.6) menunjukkan bahwa S klausa terikat pada konstruksi dengan verba tak terbatas berkoreferensi dengan S klausa utama/induk. Sementara itu, contoh (9.7) memperlihatkan bahwa A klausa terikat pada konstruksi yang dibangun oleh verba tak terbatas berkoreferensi dengan S klausa utama/induk. Konstruksi dengan verba tak terbatas pada contoh (9.6) dan (9.7) di atas memperlihatkan bahwa secara sintaksis S dan A diperlakukan sama. Berikut disajikan contoh konstruksi dengan verba tak terbatas BKm yang memperlihatkan P klausa terikat berkoreferensi |dengan S klausa induk. (9.8) a. Ua e [] dato galang 3TG ingin TOP dusun kepala ‘Dia ingin kepala dusun temui’ b. Ama e [] roma mela Ayah ingin 3JM panggil ‘Ayah ingin mereka panggil’ botu bertemu Contoh (9.8) di atas memperlihatkan bahwa untuk membuat P klausa terikat berkoreferensi dengan S klausa induk, maka diperlakukan mekanisme konstruksi penopikan. Contoh (9.6) – (9.8) di atas memberikan penjelasan bahwa secara sintaksis BKm memiliki perilaku gramatikal yang sama dengan bahasa Inggris yang memperlakukan S dengan A dan apabila S berkoreferensi dengan P, maka diperlukan konstruksi turunan, yaitu melalui konstruksi penopikan. Dengan demikian, BKm merupakan bahasa yang bekerja dengan sistem S/A pivot. 359 9.4.2 Pemerlengkap Jusif Artawa (1998:154) mengungkapkan bahwa secara semantis pemerlengkap jusif (jussive complement) dapat dianggap sebagai kalimat perintah tak langsung. Konstruksi dengan pemerlengkap jusif mempunyai verba klausa utama, seperti ‘mengatakan’, ‘menyuruh’, ‘meminta’, dan sebagainya. Sebelum menguraikan lebih jauh tentang konstruksi dengan pemerlengkap jusif BKm, ada baiknya dicermati konstruksi dengan pemerlengkap jusif bahasa Inggris berikut ini. (9.9) a. He told them to call the 3TG mengatakan OBJ3JM Prep menelepon Art ‘Dia mengatakan kepada mereka untuk menelepon dokter’ doctor dokter b I asked him to leave the house immediately 1TG meminta OBJ3TG Prep meninggalkan ART rumah segera ‘Saya meminta kepadanya untuk meninggalkan rumah segera’ Contoh kalimat bahasa Inggris (9.9) yang memiliki pemerlengkap jusuf di atas menunjukkan bahwa P verba klausa utama/induk berkoreferensi dengan dengan S atau A klausa pemerlengkap. Terkait dengan contoh di atas, Dixon menyatakan bahwa sebagai bahasa yang bertipe akusatif, bahasa Inggris menunjukkan bahwa P klausa utama harus berkoreferensi dengan S atau A klausa pemerlengkap karena menggambarkan perintah yang telah diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu, maka baik A maupun S, mempunyai kemungkinan rujukan yang sama. Untuk mengamati sifat-perilaku gramatikal konstruksi yang memiliki pemerlengkap jusif BKm apakah mirip dengan bahasa Inggris yang merupakan bahasa bertipe akusatif, contoh berikut diharapkan dapat memberikan gambaran 360 apakah BKm dapat dikelompokkan ke dalam bahasa yang bertipe akusatif atau tidak. (9.10) a. b. (9.11) a. b. Ina laka ali la de Ibu suruh adik pergi Prep ‘Ibu menyuruh adik pergi ke sekolah’ isikola sekolah Ama laka au se’o ika de Ayah suruh 1TG jual ikan Prep ‘Ayah menyuruh saya menjual ikan di pasar’ basar pasar Roma nita dato galang mai matamai 3JM minta dusun kepala datang besok ‘Mereka meminta kepala dusun datang besok’ Mane senua nita ita li’u asu senua Laki-laki DEF minta 1JM kejar anjing DEF ‘Laki-laki itu meminta kita mengejar anjing itu’ Contoh kalimat (9.10) dan (9.11) di atas merupakan konstruksi yang memiliki pemerlengkap jusif dengan verba klausa laka ‘suruh’ dan nita ‘minta’. Kalimat (9.10a) dan (9.11a) menunjukkan bahwa S klausa pemerlengkap berkoreferensi dengan P klausa utama. Sementara itu, kalimat (9.10b) dan (9.11b) menunjukkan bahwa A klausa pemerlengkap berkoreferensi dengan P klausa utama. Contoh (9.10) dan (9.11) yang disajikan di atas sekaligus menunjukkan bahwa A dan S dalam BKm diperlakukan sama dalam konstruksi yang memiliki pemerlengkap jusif, yaitu sama-sama berkoreferensi dengan P klausa utama/induk. Dengan demikian, sifat-perilaku gramatikal yang ditunjukkan tersebut mengungkapkan bahwa secara sintaksis BKm bekerja dengan S/A pivot. 361 9.4.3 Konstruksi Koordinatif Pembahasan dua konstruksi sebelumnya, yaitu konstruksi dengan verba tak terbatas dan konstruksi dengan pemarkah jusif telah menunjukkan bahwa BKm memiliki ciri-ciri gramatikal sebagai bahasa yang secara sintaksis bertipe akusatif (S dan A diperlakukan sama) seperti bahasa Inggris. Terkait dengan simpulan yang ditunjukkan dari kedua konstruksi BKm sebelumnya, maka pembahasan konstruksi koordinatif ini bertujuan untuk menemukan lebih jauh apakah BKm benar-benar bekerja dengan sistem S/A pivot atau mungkin bekerja dengan S/P pivot. Untuk mengetahui sifar-perilaku gramatikal pada konstruksi koordinatif, pengujian dilakukan dengan menerapkan kerangka–uji yang dikemukakan oleh Dixon (1994:157—160) yang telah digunakan untuk penggabungan klausa dalam bahasa Inggris. Penggunaan kerangka-uji yang diterapkan dalam bahasa Inggris bertujuan untuk mendapatkan kemiripan ataupun perbedaan antara bahasa Inggris yang merupakan bahasa bertipe akusatif dan BKm yang sejauh ini telah menunjakkan sifat-perilaku gramatikal yang sama sebagai bahasa yang bertipe akusatif. Berikut ini disajikan kerangka kerja dasar yang telah digunakan untuk menentukan pivot bahasa Inggris yang selanjutnya diterapkan pada penggabungan dua klausa BKm secara koordinatif untuk melihat perlakuan FN biasa/umum dalam klausa yang digabungkan. Fungsi-fnngsi FN biasa/umum yang mungkin dalam penggabungan dua klausa secara sintaksis sebagai berikut. (i) Kedua klausa intransitif (a) S1 = S2 (ii) Klausa pertama intransitif, kedua transitif (b) S1 = P2 362 (c) S1 = A2 (iii) Klausa pertama transitif, kedua intransitif (d) P1 = S2 (e) A1 = S2 (iv) Kedua klausa transitif, satu FN biasa/umum (f) P1 = P2 (g) A1 = A2 (h) P1 = A2 (i) A1 = P2 (v) Kedua klausa transitif, dua FN biasa/umum (j) P1 = P2 dan A1 = A2 (k) P1 = A2 dan A1 = P2 Berdasarkan sebelas kemungkinan penggabungan dua klausa secara sintaksis untuk menentukan pivot di atas, Dixon (1994 : 158 – 159) lebih lanjut mengatakan bahwa bahasa Inggris dikatakan sebagai bahasa yang mempunyai pivot S/A lemah. Menurut Dixon, pemberlakuan kondisi pivot pada pelesapan FN dalam bahasa Inggris dapat digambarkan dengan contoh-contoh yang dibuat untuk setiap kemungkinan (a – k) tersebut. Berikut ini adalah gambaran pivot S/A dalam bahasa Inggris (Dixon, 1994 : 158). (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) (k) S1 = S2 Bill entered and sat down S1 = P2 Bill entered andwas seen by Fred S1 = A2 Bill entered andsaw Fred. P1 = S2 Bill was seen by Fred and laughed A1 = S2 Fred saw Bill and langhed P1 = P2 Bill was locked by Tom and punched by Bob (atau Tom kicket and Bob punched Bill) A1 = A2 Bob kicked Jim and punched Bill. P1 = A2 Bob was kicked by tom and punched Bill A1 = P2 Bob punched Bill and was kicked by Tom P1 = P2, A1 = A2 Fred punched and kicked Bill P1 = A2 A1 = P2 Fred punched Bill and was kicked by him (atau Freid punched and was kicked by Bill) 363 Kerangka kerja dasar untuk menentukan pivot menunjukkan bahwa pelesapan dapat terjadi secara langsung tanpa diperlukan adanya turunan (derivasi) sintaktis jika FN biasa ada dalam fungsi S atau A pada tiap klausa, seperti pada (a), (c), (e), (g), dan (j). Akan tetapi, apabila FN umum berada dalam fungsi P pada satu klausa, klausa tersebut mesti dipasifkan agar pelesapan FN diizinkan. Hal itu berlaku pada (b), (f), (h), dan (k). Pada (f) kedua klausa perlu dipasifkan. Dixon (1994 : 159) menyatakan bahwa bahasa Inggris memiliki strategi untuk penggabungan klausa lebih jauh jika dua klausa berbeda dalam hal verbalnya, verba tersebut dapat dengan mudah dikoordinasikan. Dengan demikian, dari klausa-kalusa Fred punched Bill and Fred kicked Bill dapat diperoleh Fred punched and kicked Bill pada (j) yang dalam hal ini Fred dan Bill hanya dinyatakan satu kali (Fred punched Bill and kicked him merupakan pilihan yang mungkin). Pada (k), sebagai satu pilihan untuk Fred punched Bill and was kicked by him, sebagian (tetapi tidak semua) penutur asli menyenangi bentuk Fred punched and was kicked by Bill. Ada juga kemungkinan penggabungan FN – A tambah verba dari dua klausa yang mempunyai FN – P yang sama sehingga bentuk pilihan untuk Bill was kicked by Tom and punched by Bob pada (f), juga mungkin untuk mengatakan Tom Kicked and Bob punched Bill (meskipun tidak semua penutur asli menyenangi ini). Dixon (1994:159) juga menekankan bahwa skema yang disusun di atas hanya menyajikan kerangka kerja dasar untuk menemukan apakah sebuah bahasa mempunyai pivot dan jika benar, apa pivotnya itu. Kerangka kerja tersebut dapat 364 diperbaiki menurut organisasi gramatikal setiap bahasa. Misalnya, keadaan pivot mungkin juga berkaitan dengan objek tak-langsung (dimarkahi oleh kasus datif dan sebagainya) atau dengan jenis unsur klausa yang lain dalam lingkungan tertentu. Rangkaian kemungkinan yang lebih lengkap perlu diracik dan diujikan untuk bahasa S-terpilah atau S-alir. Kondisi sintaktis tertentu mengizinkan FN biasa jadi beragam menurut hakikat semantis/sintaktis induk FN itu. Dalam bahasa Inggris, tidak ada kendala pivot pada perelatifan, misalnya setiap dua klausa dapat digabungkan dalam kontruksi klausa relatif (salah satunya klausa utama dan yang lainnya sebagai klausa relatif) sejauh klausa-klausa itu mempunyai FN umum. FN itu dapat berada pada setiap fungsi (inti atau periferal) dalam setiap klausa. Sebelum menerapkan pengujian dengan penggabungan dua klausa dengan sebelas kemungkinan kerangka kerja penggabungan klausa yang dikemukakan oleh Dixon (1994) terhadap BKm, ada baiknya dicermati penerapan sebelas kemungkinan penggabungan dua klausa dalam bahasa Dawan (BD) oleh Budiarta (2009: 116--177) untuk menentukan sistem pivot dan sekaligus dapat digunakan untuk menentukan tipologi bahasa tersebut secara sintaksis. Berikut ini ditampilkan beberapa contoh pengetesan penggabungan dua klausa pada konstruksi koordinatif BD yang diharapkan dapat menjadi panduan pengetesan penggabungan dua klausa pada konstruksi koordinatif BKm. (9.12) a. S1=S2 (kedua klausa intransitif) In nem neu-i Dia datang ke sini lalu ‘Ia datang kemari lalu pergi’ okat [ ] pergi lagi nao nten untuk 365 c. S1=A2 (klausa pertama intransitif, kedua transitif) Na Silas nem okat [ ] kius na Lukas ART Silas datang lalu lihat ART Lukas ‘Silas datang lalu melihat Lukas’ e. A1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif) Na Silas kius na Lukas okat [ ] main ART Silas lihat ART Lukas lalu tertawa ‘Silas melihat Lukas lalu tertawa’ g. A1=A2 (klausa pertama transitif, satu FN biasa) Na Silas kios na Lukas okat [ ] nek bi Maria ART Silas pandang ART Lukas lalu cium ART Maria ‘Silas memandang lukas lalu mencium Maria’ j. P1=P2 dan A1=A2 (kedua klausa transitif, dua FN bebas) Na Silas kiso [ ] okat [ ] nek bi Maria ART Silas pandang lalu cium ART Maria ‘Silas memandang lalu mencium Maria’ Contoh (9.12) di atas menunjukkan bahwa proses penggabungan dua klausa secara koordinatif BD berdasarkan kemungkinan (a), (c), (e), (g), dan (j) serta menunjukkan bahwa tidak diperlukan struktur turunan sintaktis. Artinya, penggabungan dua klausa, dengan pelepasan FN pada salah satu klausa, dapat dilakukan secara langsung tanpa mengubah struktur sintaktis pada salah satu atau kedua klausa yang digabungkan. Pada contoh (9.12a) kedua klausa adalah intransitif, S1 = S2. Pada contoh (9.12c), S klausa pertama berkoreferensi dengan A pada klausa kedua (Silas). Pada contoh (9.12e), A klausa pertama (Silas) berkoreferensi dengan S klausa kedua yang juga Silas. Pada contoh (9.12g), A klausa pertama adalah Silas dan A pada klausa kedua yang juga Silas Dengan demikian, A1 berkoreferensi dengan A2. Sementara itu, pada contoh (9.12j), A klausa pertama adalah Silas dan A pada klausa kedua juga Silas. Dengan 366 demikian, A klausa pertama berkoreferensi dengan A klausa kedua. Sementara itu, P pada klausa pertama adalah Maria; dan melalui penelusuran sintaksis-semantis diketahui bahwa P pada klausa kedua juga Maria. Jadi, P1 berkoreferensi dengan P2. Berdasarkan sistem koreferensial ini, dapat disimpulkan bahwa BD mempunyai pivot S/A, sebagaimana halnya yang terdapat dalam bahasa Inggris. Berikut ini bisa dicermati pula bagaimana perilaku gramatikal BD jika dilihat berdasarkan penggabungan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k), seperti dikutip dari Budiarta (2009:18—120). Perhatikan contoh kalimat berikut ini. (9.13) b. S1=P2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif) (i) Na Silas nem okat [] ma-kiso nako na lukas ART Silas datang lalu PAS-lihat Prep ART Lukas ‘Silas datang lalu dilihat oleh Lukas’ (ii) Na Silas nem ART Silas datang ‘Silas datang lalu Lukas lihat’ okat [ ] na Lukas lalu TOP ART Lukas d. P1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif) (i) . Na Silas ma-kiso nako na Lukas okat [ ] ART Silas PAS-lihat Prep ART Lukas lalu ‘Silas dilihat oleh Lukas lalu tertawa’ (ii) Na Silas na Lukas ART Silas TOP ART Lukas ‘Silas Lukas lihat lalu tertawa’ kiso lihat main tertawa kiso okat [ ] main AKT-lihat lalu tertawa f. P1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) (i) Na Silas ma-kiso nako bi Maria okat [ ] ma-biso nako na Lukas ART Silas PAS-lihat Prep ART Maria lalu PAS-pukul Prep ART Lukas ‘Silas dilihat oleh Maria lalu dipukul oleh Lukas’ (ii) Na Silas bi Maria kiso okat [ ] na Lukas bius ART Silas-TOP ART Maria lihat lalu ART Lukas pukul ‘Silas Maria lihat lalu Lukas pukul’ 367 h. P1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) (i) Na Silas ma-kiso nako na Lukas okat [ ] nek bi Maria ART Silas PAS-lihat Prep ART Lukas lalu AKT-cium ART Maria ‘Silas dilihat oleh Lukas lalu mencium Maria’ (ii) Na Silas na Lukas kiso okat [ ] nek bi Maria ART Silas-TOP ART Lukas lihat lalu AKT-cium ART Maria ‘Silas Lukas lihat lalu mencium Maria’ i. A1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) (i) Na Lukas kius na Silas okat [ ] ma-neka nako bi Maria ART LukasAKT-lihat ART Silas lalu PAS-cium PREP ART Maria ‘Lukas melihat Silas lalu dicium oleh Maria’ (ii) Na Lukas kius na Silas okat [ ] bi Maria nek ART Lukas AKT-lihat ART Silas lalu TOP ART Maria cium ‘Lukas melihat Silas lalu Maria cium’ (SD-Inf) k. P1=A2 dan A1=P2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa) (i) Na Lukas kius na Silas okat [ ] in-ma-biso ART Lukas AKT-lihat ART Silas lalu PAS-pukul-3T ‘Lukas melihat Silas lalu dipukulnya’ (ii) Na Lukas kius na Silas okat [ ] na Lukas bius ART Lukas AKT-lihat ART Silas lalu TOP ART Lukas pukul ‘Lukas melihat Silas lalu Lukas pukul’ Berdasarkan contoh-contoh (9.13b. d, f,) yang disajikan di atas, ditunjukkan bahwa apabila FN biasa menduduki fungsi P dalam salah satu klausa, klausa tersebut mesti dipasifkan agar pelesapan FN tersebut bisa berterima secara gramatikal. Dengan kata lain, pelepasan FN pada salah satu klausa yang menduduki fungsi P tidak bersifat langsung; tetapi diperlukan penurunan konstruksi sintaktis. Penurunan (derivasi) sintaktis yang diperlukan agar pelepasan FN yang menduduki fungsi P tersebut dibolehkan secara gramatikal adalah pemasifan (perhatikan contoh yang ditandai (i) atau melalui konstruksi 368 penopikan (perhatikan contoh yang ditandai (ii)). Dalam hal ini, FN yang dilepaskan menjadi topik dari konstruksi penopikan itu. Pengujian yang dilakukan pada penggabungan dua klausa sesuai dengan kerangka kerja yang dikemukakan oleh Dixon (1994) terhadap BD tersebut dapat menjadi pedoman untuk penerapan pengetesan penggabungan dua klausa dengan kerangka kerja yang sama terhadap BKm. Setelah menyajikan proses penggabungan dua klausa BD secara koordinatif, berikut ini ditampilkan contoh penggabungan dua klausa secara koordinatif untuk menemukan pivot dalam BKm. Sebagaimana disinggung pada bagian terdahulu, BKm cenderung berperilaku secara sintaktis sebagai bahasa akusatif. Berpedoman pada ilustrasi pivot S/A bahasa Inggris (Dixon, 1994:158), pengujian pivot BKm melalui contoh-contoh berikut ini diarahkan pada pelepasan langsung, yaitu (a), (c), (e), (g), dan (j) (lihat kerangka kerja untuk menentukan pivot di atas). Sebelum dicermati contoh-contoh kalimat koordinatif, dapat dikemukakan bahwa konjungsi koordinatif dalam BKm adalah kahi yang dapat bermakna ‘lalu’ atau ‘kemudian’. (9.14) a. S1=S2 (kedua klausa intransitif) Ali hali kahi [ ] la milang Adik pulang lalu pergi cepat ‘Adik pulang lalu pergi cepat’ c. S1=A2 (klausa pertama intransitif, kedua transitif Pius hali kahi [ ] me’u ina Pius pulang lalu cium ibu ‘Pius pulang lalu mencium ibu’ 369 e. A1=S2 (klausa pertama transitif, kedua intransitif) Pius me’u ina kahi [ ] la de kota Pius cium ibu lalu pergi Prep kota ‘Pius mencium ibu lalu pergi ke kota’ g. A1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Pius eto ina kahi [ ] mela Pius lihat ibu lalu panggil ‘Pius melihat ibu lalu memanggil ayah’ ama ayah j. P1=P2 dan A1=A2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa) Pius eto [[ kahi [ ] mela ina Pius lihat lalu panggil ibu ‘Pius melihat lalu memanggil ibu’ Proses penggabungan klausa BKm secara koordinatif berdasarkan kemungkinan (a), (c), (e), (g), dan (j) pada contoh (9.14) di atas menunjukkan bahwa proses memerlukan penggabungan dua klausa secara koordinatif BKm tidak penuruan struktur sintaktis. Artinya, penggabungan dua klausa dengan pelepasan FN pada salah satu klausa dapat dilakukan secara langsung tanpa mengubah struktur sintaktis pada salah satu atau kedua klausa yang digabungkan. Pada contoh (9.14a) kedua klausa adalah intransitif, S1=S2. Pada contoh (9.14c), S klausa pertama berkoreferensi dengan A pada klausa kedua (Pius). Pada contoh (9.14e), A klausa pertama (Pius) berkoreferensi dengan S klausa kedua juga Pius. Pada contoh (9.14g), A klausa pertama adalah Pius dan A pada klausa kedua yang juga Pius Dengan demikian, A1 berkoreferensi dengan A2. Sementara itu, pada contoh (9.14j), A klausa pertama adalah Pius dan A pada klausa kedua juga Pius. Dengan demikian, A klausa pertama berkoreferensi dengan A klausa kedua. Sementara itu, P pada klausa pertama adalah ina ‘ibu’. Penelusuran sintaktis-semantis menunjukkan bahwa P pada klausa kedua juga ina 370 ‘ibu’. Dengan demikian, P1 berkoreferensi dengan P2. Berdasarkan sistem koreferensial ini, dapat disimpulkan bahwa BKm mempunyai pivot S/A, sebagaimana halnya yang terdapat dalam bahasa Inggris dan BD. Contoh (9.14) di atas menunjukkan mekanisme penggabungan klausa secara koordinatif Bkm berdasarkan kemungkinan (a), (c), (e), (g), dan (j). Perhatikan contoh yang disajikan berikut ini untuk mengamati perilaku gramatikal penggabungan dua klausa secara koordinatif berdasarkan kemungkinan (b), (d), (f), (h), (i) dan (k). (9.15) b. S1=P1 (klausa pertama intransitif, kedua transitif) (i) Pius mai kahi [ ] toma eto odi ina Pius datang lalu PAS-dapat lihat Prep ibu ‘Pius datang lalu dilihat oleh ibu’ (ii) (i) (ii) (i) Pius mai kahi [ ] Pius datang lalu ‘Pius datang lalu ibu lihat’ TOP ina ibu eto lihat d. P1=S2 (klausa pertama transitif, kedua intransitif) Pius toma eto odi ina kahi [ ] la de Pius PAS-dapat lihat Prep ibu lalu pergi Prep ‘Pius dilihat oleh ibu lalu pergi ke Atambua’ Pius ina eto kahi [ ] la de Pius -TOP ibu lihat lalu pergi Prep ‘Pius ibu lihat lalu pergi ke Atambua’ Atambua Atambua Atambua Atambua f. P1=P2`(kedau klausa transitif, satu FN biasa) Pius toma eto odi ina kahi [ ] toma Pius PAS-dapat lihat Prep ibu lalu PAS-dapat odi ama Prep ayah ‘Pius dilihat oleh ibu lalu dipegang oleh ayah’ sali tangkap 371 (ii) (i) (ii) (i) (ii) (i) (ii) Pius ina eto kahi [ ] ama Pius-TOP ibu lihat lalu TOP ayah ‘Pius ibu lihat lalu ayah pegang’ sali pegang h. P1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Pius toma eto odi ina kahi [ ] sali ali Pius PAS-dapat lihat Prep ibu lalu AKT-pegang adik ‘Pius dilihat oleh ibu lalu memegang adik’ Pius ina eto kahi [ ] Pius -TOP ibu lihat lalu ‘Pius ibu lihat lalu ayah pegang’ ama ayah sali AKT-pegang i. A1=P2 (Kedua klausa transitif, satu FN biasa) Ina eto Pius kahi [ ] toma me’u odi Ibu AKT-lihat Pius lalu dapat PAS-cium Prep ‘Ibu melihat Pius lalu dicium oleh ayah’ Ina eto Pius kahi [ ] Ibu AKT-lihat Pius lalu TOP ‘Ibu melihat Pius lalu ayah cium’ ama ayah ama me’u ayah AKT-cium k. P1=A2 dan A1=P2 ( kedua klausa transitif, dua FN biasa) Ina eto Pius kahi [ ] toma sali odi Pius Ibu AKT-lihat Pius lalu dapat PAS-pegang Prep Pius ‘Ibu melihat Pius lalu dipegang oleh Pius’ Ina eto Pius kahi [ ] Ibu AKT-lihat Pius lalu TOP ‘Ibu melihat Pius lalu Pius pegang’ Pius sali Pius AKT-pegang Contoh (9--15) di atas merupakan penggabungan dua klausa secara koordinatif berdasarkan kemungkinan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k). Contoh tersebut menunjukkan bahwa apabila FN biasa menduduki fungsi P dalam salah satu klausa, klausa tersebut mesti dipasifkan agar pelesapan FN bisa berterima secara gramatikal. Dengan kata lain, pelepasan FN pada salah satu klausa yang menduduki fungsi P tidak bersifat langsung; tetapi diperlukan penurunan 372 konstruksi sintaktis. Penurunan (derivasi) sintaktis yang diperlukan agar pelesapan FN yang menduduki fungsi P tersebut dibolehkan secara gramatikal adalah pemasifan (perhatikan contoh yang ditandai (i) atau melalui konstruksi penopikan (perhatikan contoh yang ditandai (ii)). Dalam hal ini, FN yang dilesapkan menjadi topik dari konstruksi penopikan itu. Sebagai catatan terkait dengan pemasifan BKm, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa BKm tidak memiliki proses morfologis (afiksasi) untuk membentuk konstruksi pasif, maka untuk membentuk konstruksi pasif, BKm memiliki mekanisme tersendiri, yaitu pemasifan secara analitik dengan menghadirkan permarkah pasif toma ‘dapat’ seperti yang telihat pada contoh (9.15) yang ditandai dengan (ii). 9.4.4 Konstruksi Subordinatif Bagian sebelumnya telah menelaah klausa koordinatif dalam kaitannya dengan penentuan pivot yang memperlihatkan bahwa BKm bekerja dengan S/A pivot. Pembahasan ini menelaah dua jenis klausa subordinatif untuk memeriksa lebih jauh apakah BKm benar-benar dikategorikan sebagai bahasa yang bekerja dengan pivot S/A atau bukan. Kedua jenis klausa subordinatif yang ditelaah pada bagian ini adalah klausa purposif dan klausa adverbial. Pembahasan klausa purposif pada bagian ini tetap dalam kaitannya dengan kalimat kompleks (bab VIII, bagian 8.4). Dalam disertasi ini, istilah klausa purposif merujuk kepada klausa terikat (dependent clause). Sementara itu, pengertian klausa adverbial dalam disertasi ini didasarkan pada pengertian seperti dijelaskan oleh Whaley (1997: 247--248;250). Whaley menyebutkan bahwa secara tradisional klausa 373 adverbial (sangat) mirip dengan adverbial, secara sintaktis tidak dikehendaki kehadirannya oleh verba. Sebagai adjung, klausa adverbial lebih cenderung berfungsi sebagai informasi tambahan yang dikandung oleh proposisi (klausa utama) daripada mewajibkan argumen proposisi. Sebelum lebih lanjut menerapkan pengujian dengan penggabungan dua klausa dengan sebelas kemungkinan kerangka kerja penggabungan klausa yang dikemukakan oleh Dixon (1994) terhadap BKm, ada baiknya dicermati penerapan sebelas kemungkinan penggabungan dua klausa dalam BD oleh Budiarta (2009:125--132) untuk menentukan sistem pivot yang sekaligus dapat digunakan untuk menentukan tipologi bahasa tersebut secara sintaksis. Berikut ini ditampilkan beberapa contoh pengetesan penggabungan dua klausa pada konstruksi subordinatif BD dengan kemungkinan penggabungan (a), (c), (e), (g), dan (j) yang dapat dijadikan panduan untuk pengetesan penggabungan dua klausa pada konstruksi subordinatif BKm (Budiarta, 2009: 125--126). (9.16) a. S1=S2 (kedua klausa intransitif) In nem neu kean he [ ] 3TG datang Prep kamar supaya ‘Dia datang ke kamar supaya bisa tidur’ nabei ntup bisa tidur c. S1=A2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif) In nem he [ ] nabei kius kai 3TG datang supaya bisa melihat 1JM ‘Dia datang supaya bisa melihat kami’ e. A1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif) In nek buku he [ ] nabei nanoina 3TG bawa buku supaya bisa belajar ‘Dia membawa buku supaya bisa belajar’ 374 g. j. A1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) In sos buku he [ ] nabei ntui 3TG beli buku supaya bisa tulis ‘Dia membeli buku supaya bisa menulis surat’ sulat surat P1=P2 dan A1=A2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa) In naim kau he [ ] nabei kius kau 3TG cari 1TG supaya bisa lihat 1TG ‘Dia mencari saya supaya bisa melihat saya’ Contoh klausa (9.16) berikut ini merupakan bentuk alternasi dari klausa subordinatif (9.15) yang disajikan di atas. (9.17) a. He [ ] nabei ntup In nem neu kean Supaya bisa tidur 3TG datang PREP kamar ‘Supaya bisa tidur dia datang ke kamar’ c. He [ ] nabei kius kai In Supaya bisa lihat 1JM 3TG ‘Supaya bisa melihat kami dia datang’ nem datang e. He [ ] nabei nanoina In Supaya bisa belajar 3TG ‘Supaya bisa belajar dia membawa buku’ nek buku bawa buku g. He [ ] nabei tui sulat In sos Supaya bisa tulis surat 3TG beli ‘Supaya bisa menulis surat dia membeli buku’ j. He [ ] nabei kius kau In Supaya bisa lihat 1TG 3TG ‘Supaya bisa melihat saya dia mencari saya’ buku buku naim kau cari 1TG Contoh (9.15 dan 9.16)) di atas menunjukkan bahwa pelesapan FN pada klausa purposif BD dengan kemungkinan penggabungan (a), (c), (e), (g), dan (j) bersifat langsung. Artinya pelesapan FN pada klausa purposifnya tidak menyebabkan terjadinya penurunan (derivasi) sintaktis. Kenyataan ini 375 memperkuat simpulan sebelumnya bahwa BD termasuk bahasa yang bekerja dengan pivot S/A. Berikutnya adalah pengujian untuk penggabungan klausa subordianatif dengan klausa purposif berdasarkan kemungkinan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k) (Budiarta, 2009: 127—129). Perhatikan contoh-contoh yang ditampilkan berikut ini. (9.17) b. S1=P2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif) (i) In nao neu ume he [ ] nabei ma-tulun nako ama 3TG pergi Prep rumah supaya bisa PAS-tolong Prep ayah ‘Dia datang ke rumah supaya bisa ditolong oleh ayah’ (ii) (i) (ii) (i) (ii) In nao neu ume he [ ] nabei ama 3TG pergi Prep rumah supaya bisa TOP ayah ‘Dia datang ke rumah supaya bisa ayah tolong’ ntulun tolong (SD-Inf) d. P1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif) Oli ma-hanet nako ena he [ ] ntup nai Adik PAS-bujuk Prep ibu supaya tidur segera ‘Adik dibujuk oleh ibu supaya tidur segera’ Oli ena n-hanet he [ ] ntup nai Adik ibu bujuk supaya TOP tidur segera ‘Adik ibu bujuk supaya tidur segera’ f. P1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Oli ma-keo nako ena he [ ] ma-tulun nako na Adik PAS-ajak Prep ibu supaya PAS-tolong Prep ART ‘Dia diajak oleh ibu supaya ditolong oleh Lukas’ Oli ena na-keo he [ ] na Lukas ntulun Adik ibu ajak supaya TOP ART Lukas tolong. ‘Adik saya ibu ajak supaya Lukas tolong’ Lukas Lukas 376 (1) (ii) (i) (ii) (i) (ii) h. P1=A2 ( kedua klausa transitif, satu FN biasa) Ena ma-keo oli he [ ] nanoina na Lukas Ibu PAS-ajak adik supaya AKT-ajar Lukas ‘Ibu diajak adik supaya mengajar Lukas’ Ena oli na-keo he [ ] nanoina na Lukas Ibu TOP adik ajak supaya AKT-ajar ART Lukas ‘Ibu adik ajak supaya mengajar Lukas’ i. A1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Ama nakeo oli he [ ] manoina nako na Silas Ayah AKT-ajak adik supaya PAS-ajar PREP ART Silas ‘Ayah mengajak adik supaya diajar oleh Silas’ Ama nakeo oli he [ ] Ayah AKT-ajak adik supaya TOP ‘Ayah mengajak adik supaya Lukas ajar’ na Lukas nanoina ART Lukas AKT-ajar (SD-Inf) k. P1=A2 dan A1=P2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa) Na Lukas nakeo oli he [ ] in manoina ART Lukas AKT-ajak adik supaya PAS-ajak-3T ‘Lukas mengajak adik supaya diajarnya’ Na Lukas nakeo oli he [ ] ART Lukas AKT-ajak adik supaya TOP ‘Lukas mengajak adik supaya Lukas ajar’ na Lukas nanoina ART Lukas ajar Contoh (9.17 (i) dan (ii) ) memperlihatkan bahwa jika S berkoreferensi dengan P, maka terjadi revaluasi struktur, yaitu penurunan (derivasi) sintaktis, yaitu pemasifan (contoh yang ditandai (i)) salah satu klausanya atau penopikan (contoh yang ditandai (ii)). Berdasarkan kenyataan itu secara sintaksis BD tidak memperlakukan S sama dengan P sehingga dapat disimpulkan bahwa BD bekerja dalam sistem pivot S/A. Setelah menentukan perilaku gramatikal BD terkait dengan pelesapan FN pada klausa purposif, langkah berikutnya dilanjutkan dengan mencermati perilaku 377 gramatikal BD yang berkenaan dengan penggabungan dua klausa secara subordinatif dengan klausa adverbial berdasarkan kemungkinan penggabungan (a), (c), (e), (g), dan (j) untuk penentuan pivot (Budiarta, 2009:129—130). Perhatikan contoh klausa adverbial BD berikut ini. (9.18) a. S1=S2 (kedua klausa intransitif) Atone na nao la fe [ ] nahan Orang DEF pergi sebelum makan ‘Orang itu pergi sebelum makan’ c. S1=A2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif) Na Silas main leka [ ] nit na Lukas ART Silas tertawa ketika AKT-lihat ART Lukas ‘Silas tertawa ketika melihat Lukas’ e. A1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif) Bi Maria nit na Lukas la fe [ ] main ART Maria AKT-lihat ART Lukas sebelum tertawa ‘Maria melihat Lukas sebelum tertawa’ g. A1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Bi Maria nit na Lukas leka [ ] na buku ART Maria AKT-lihat ART Lukas ketika AKT-pegang buku ‘Maria melihat Lukas ketika memegang buku’ j. P1=P2 dan A1=A2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa) Bi Maria na la fe [ ] nek na Lukas ART Maria AKT-pegang sebelum AKT-cium ART Lukas ‘Maria memegang sebelum mencium Lukas’ Contoh (9.18) di atas menegaskan bahwa rujuk-silang A dengan S atau A1 dengan A2 memungkinkan terjadinya pelepasan secara langsung tanpa terjadinya penurunan (derivasi) sintaksis sehingga dapat dinyatakan kembali bahwa BD secara sintaksis mempunyai pivot S/A. Dengan demikian, bahasa dengan pivot seperti ini secara tipologi merupakan bahasa akusatif secara sintaktis. 378 BD tidak mengizinkan terjadinya pelesapan FN pada salah satu klausa tanpa terjadinya penurunan sintaksis (melalui pemasifan atau penopikan) apabila A berunjuk silang dengan P. Keadaan itu menunjukkan bahwa BD tidak bekerja dengan pivot S/P. Contoh berikut ini memperlihatkan penggabungan dua klausa berdasarkan kemungkinan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k) untuk menunjukkan bahwa BD bekerja dengan sistem S/A pivot bukan dengan S/P pivot (Budiarta, 2009: 130—132). (9.19) b. S1=P2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif) (i) Bi Maria nah leka [ ] ma-nami nako na Lukas ART Maria AKT-makan ketika PAS-cari Prep ART Lukas ‘Maria makan ketika dicari oleh Lukas’ (ii) (i) (ii) (i) (ii) Bi Maria nah leka [ ] ART Maria AKT-makan ketika TOP ‘Maria makan ketika Lukas cari’ na Lukas nami ART Lukas AKT-cari d. P1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif) Na Lukas ma-nami nako na Silas leka [ ] nanoina ART Lukas PAS-cari Prep ART Silas ketika belajar ‘Lukas dicari oleh Silas ketika belajar’ Na Lukas na Silas nami leka ART Lukas TOP ART Silas AKT-cari ketika “Lukas Silas cari ketika belajar’ [ ] nanoina AKT-belajar f. P1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Na Lukas ma-nami nako ena leka [ ] ma-tana nako ama ART Lukas PAS-cari Prep ibu ketika PAS-tanya Prep ayah ‘Lukas dicari oleh ibu ketika ditanya ayah’ Na Lukas ena nami ART Lukas TOP ibu AKT-cari ‘Lukas ibu cari ketika ayah tanya’ leka [ ] ama natan ketika ayah AKT-tanya 379 (i) (ii) (i) (ii) (i) (ii) h. P1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Na Lukas ma-nami nako ena leka [ ] naeuk bi Maria ART Lukas PAS-cari Prep ibu ketika AKT-temu ART Maria ‘Lukas dicari oleh ibu ketika bertemu Maria’ Na Lukas ena nami leka [ ] naeuk bi Maria ART Lukas TOP Ibu AKT-cari ketika AKTtemu ART Maria ‘Lukas ibu cari ketika bertemu Maria’ i. A1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Na Lukas naim bi Maria leka [ ] ma-tana nako ena ART Lukas AKT-cari ART Maria ketika PAS-tanya PREP ibu ‘Lukas mencari Maria ketika ditanya ibu’ Na Lukas naim bi Maria leka [ ] ena ART Lukas AKT-cari ART Maria ketika TOP ibu ‘Lukas mencari Maria ketika ibu tanya’ natan tanya k. P1=A2 dan A1=P2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa) Na Lukas naim bi Maria lafe [ ] in ma-biso ART Lukas AKT-cari ART Maria sebelum PAS-pukul-3T ‘Lukas mencari Maria sebelum dipukulnya’ Na Lukas naim bi Maria lafe [ ] na Lukas biso ART Lukas AKT-cari ART Maria sebelum TOP ART Lukas pukul ‘Lukas mencari Maria sebelum Lukas pukul’ Proses pengujian penggabungan klausa yang telah dilakukan terhadap BD menunjukkan bahwa bahasa tersebut secara sintaksis bekerja dengan S/A pivot. Pengujian penggabungan klausa BD dijadikan sebagai rujukan dan pedoman karena BD dan BKm merupakan dua bahasa yang hidup berdampingan dan keduanya merupakan kelompok bahasa Austronesia (Klamer dalam Pieter Muysken, 2008: 112--113). Pengujian yang dilakukan untuk menggabungkan dua klausa secara subordinatif di atas mengacu kepada kerangka kerja yang dikemukakan Dixon 380 (1994). Selanjutnya, kerangka kerja tersebut digunakan sebagai pembanding serta pedoman untuk penerapan pengetesan penggabungan dua klausa secara subordinatif dengan kerangka kerja yang sama terhadap BKm. Proses pengujian kemungkinan dengan penggabungan dua klausa untuk menentukan pivot BKm seperti disajikan pada bagian 9.4.3 disertasi ini diterapkan kembali untuk konstruksi subordinatif dengan klausa purposif dan klausa adverbial. Kemungkinan penggabungan (a), (c), (e), (g), dan (j) bersifat langsung dan kemungkinan penggabungan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k) bersifat tidak langsung pada konstruksi subordinatif. Berikut ini adalah contoh konstruksi subordinatif dengan klausa purposif. (9.20) a. c. S1=S2 (kedua klausa intransitif) Au hali de uma nuabe [ ] bue 1TG pulang Prep rumah supaya tidur ‘Saya pulang ke rumah supaya bisa tidur’ mloing bisa S1=A2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif) Au hali nuabe [ ] botu ina 1TG pulang supaya bertemu ibu ‘Saya pulang supaya bisa bertemu ibu’ e. A1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif) Au lodi osa nuabe [ ] selo mloing 1TG bawa uang supaya bayar bisa ‘Saya membawa uang supaya bisa bayar’ g. A1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Au lodi osa nuabe [ ] ala buku mloing 1TG bawa uang supaya beli buku bisa ‘Saya membawa uang supaya bisa membeli buku’ mloing bisa 381 j. P1=P2 dan A1=A2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa) Au ele ua nuabe [ ] botu ua mloing 1TG cari 3TG supaya bertemu 3TG bisa ‘Saya mencari dia supaya bisa melihat dia’ Contoh klausa (9.21) berikut ini merupakan bentuk alternasi dari klausa subordinatif (9.20) yang disajikan di atas. (9.21) a. Nuabe [ ] bue mloing au hali de um Supaya tidur bisa 3TG datang PREP kamar ‘Supaya bisa tidur saya pulang ke rumah’ c. Nuabe [ ] botu ina mloing au Supaya bertemu ibu bisa 1TG ‘Supaya bisa bertemu ibu saya pulang’ hali pulang e. Nuabe [ ] selo mloing au Supaya bayar bisa 1TG ‘Supaya bisa bayar saya membawa uang’ g. Nuabe [ ] ala buku mloing au lodi osa Supaya beli buku bisa 1TG bawa uang ‘Supaya bisa membeli buku saya membawa uang’ j. Nuabe [ ] botu ua mloing au Supaya bertemu 3TG bisa 1TG ‘Supaya bisa bertemu dia saya mencari dia’ lodi osa bawa uang ele cari ua 3TG Penggabungan dua klausa subordinatif dengan klausa purposif berdasarkan kemungkinan penggabungan (a), (c), (e), (g), dan (j) seperti contoh (9.20) dan 9.21) di atas memperlihatkan bahwa pelesapan FN pada klausa purposif BKm bersifat langsung. Artinya pelesapan FN pada klausa purposifnya tidak menyebabkan terjadinya penurunan (derivasi) sintaktis. Contoh data yang disajikan di atas memperkuat kembali simpulan sebelumnya bahwa BKm termasuk bahasa yang bekerja dengan pivot S/A. 382 Pengujian penggabungan klausa subordinatif dengan klausa purposif berikutnya adalah berdasarkan kemungkinan penggabungan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k). Contoh berikut menyajikan proses penggabungan klausa subordinatif tersebut. (9.22) b. S1=P2 (klausa pertama intransitif, kedua transitif) (i) Pius hali de uma nuabe [ ] toma Pius AKT-pulang Prep rumah supaya PAS-dapat eto lihat mloing odi ina bisa Prep ibu ‘Pius pulang ke rumah supaya bisa dilihat oleh ibu’ (ii) Pius hali de uma nuabe Pius pulang Prep rumah supaya ‘Pius pulang ke rumah supaya ibu bisa lihat’ [] TOP ina ibu eto lihat mloing bisa d. P1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif) (i) Ua toma mela odi ina nuabe [ ] 3TG PAS-dapat panggil Prep ibu supaya bue de uma AKT-tidur Prep rumah ‘Dia dipanggil oleh ibu supaya tidur di rumah’ (ii) Ua ina mela nuabe [ ] 3TG ibu AKT-panggil supaya TOP ‘Dia ibu panggil supaya tidur di rumah’ bue tidur f. P1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) (i) Ali toma mela odi ina nuabe [ ] Adik PAS-dapat panggil Prep ibu supaya eto odi ama lihat oleh ayah ‘Adik dipanggil oleh ibu supaya dilihat oleh ayah’ de Prep uma rumah toma PAS-dapat 383 (ii) Ali ina mela nuabe [ ] ama Adik ibu ajak supaya TOP ayah ‘Adik ibu panggil supaya ayah lihat’ (1) (ii) (i) (ii) (i) eto lihat h. P1=A2 ( kedua klausa transitif, satu FN biasa) Au toma mela odi ina nuabe [ ] hetu 1TG PAS-dapat panggil Prep| ibu supaya AKT-ajak ‘Saya dipanggil oleh ibu supaya mengajak adik’ Au ina mela nuabe [ ] Ibu TOP adik ajak supaya ‘Saya ibu panggil supaya mengajak adik’ hetu AKT-ajak i. A1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Ama hetu ali nuabe [ ] toma eto Ayah AKT-ajak adik supaya PAS-dapat lihat ‘Ayah mengajak adik supaya dilihat oleh ibu’ Ama nhetu ali nuabe [ ] Ayah AKT-ajak adik supaya TOP ‘Ayah mengajak adik supaya ibu lihat’ ina ibu ali adik ali adik odi Prep ina ibu eto AKT-lihat k. P1=A2 dan A1=P2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa) Au mela ali nuabe [ ] toma eto 1TG AKT-panggil adik supaya PAS-dapat lihat odi ali Prep adik ‘Saya memanggil adik supaya dilihat oleh adik’ (ii) Au mela ali nuabe [ ] 1TG AKT-ajak adik supaya TOP ‘Saya memanggil adik supaya adik lihat’ ali adik eto AKT-lihat Contoh (9.22) yang ditandai dengan (i) dan (ii) menunjukkan bahwa jika S berkoreferensi dengan P, maka terjadi revaluasi struktur, yaitu penurunan (derivasi) sintaktis berupa pemasifan (contoh yang ditandai (i)) salah satu klausanya atau penopikan (contoh yang ditandai (ii)). Berdasarkan kenyataan itu 384 secara sintaksis BKm tidak memperlakukan S sama dengan P sehingga dapat disimpulkan bahwa BKm bekerja dalam sistem pivot S/A. Pembahasan sebelumnya telah menguraikan perilaku gramatikal BKm terkait dengan pelesapan FN pada klausa purposif. Pembahasan berikutnya dilanjutkan dengan mencermati perilaku gramatikal BKm yang terkait dengan penggabungan dua klausa secara subordinatif dengan klausa adverbial berdasarkan kemungkinan penggabungan (a), (c), (e), (g), dan (j) untuk penentuan pivot. Perhatikan contoh klausa adverbial BKm berikut ini. (9.23) a. S1=S2 (kedua klausa intransitif) Hine senua hali hei ti [ ] Wanita DEF pulang sebelum ‘Wanita itu pulang sebelum minum’ enu minum c. S1=A2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif) Pius mai pas [] eto Yanti Pius datang waktu AKT-lihat Yanti ‘Pius datang ketika melihat Yanti’ e. A1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif) Yanti eto Pius hei ti [ ] la de Atambua Yanti AKT-lihat Pius sebelum pergi Prep Atambua ‘Yanti melihat Pius sebelum pergi ke Atambua’ g. A1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Pius eto Yanti pas [ ] ala Pius AKT-lihat Yanti waktu AKT-beli ‘Pius melihat Yanti ketika membeli daging babi’ j. P1=P2 dan A1=A2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa) Pius guit hei ti [ ] me’u Yanti Pius AKT-cubit sebelum AKT-cium Yanti ‘Pius mencubit sebelum mencium Yanti’ si ahi daging babi 385 Contoh (9.23) memperlihatkan proses penggabungan dua klausa secara koordinatif yang mengandung klausa adverbial berdasarkan kemungkinan penggabungan (a), (c), (e), (g), dan (j). Contoh tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa A dengan S atau A1 dengan A2 dapat berkoreferensi secara langsung, tanpa melalui proses penurunan (derivasi) sintaksis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa BKm secara sintaksis bekerja dengan sistem pivot S/A. Proses penggabungan dua klausa yang mengandung klausa purposif BKm berdasarkan kemungkinan penggabungan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k) telah menunjukkan bahwa BKm tidak memperkenankan terjadinya pelesapan salah satu FN secara langsung tanpa berkoreferensi dengan P. penurunan BKm (derivasi) sintaksis apabila A memiliki mekanisme tersendiri untuk memungkinkan terjadinya pelesapan FN pada saat penggabungan dua klausa secara subordinatif berdasarkan kemungkinan penggabungan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k), yaitu dengan pemasifan (pasif analitik) dan pentopikan. Berikut disajikan proses penggabungan dua klausa BKm secara subordinatif melalui penurunan (derivasi) sintaksis. (9.24) b. S1=P2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif) (i) Pius enu pas [ ] toma eto odi Yanti Pius AKT-minum ketika PAS-dapat lihat Prep Yanti ‘Pius minum ketika dilihat oleh Yanti’ (ii) Pius enu pas [ ] Pius AKT-minum ketika TOP ‘Pius minum ketika Yanti lihat’ Yanti eto Yanti AKT-lihat 386 (i) (ii) (i) d. P1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif) Yanti toma eto odi Pius pas [ ] hali Yanti PAS-dapat lihat Prep Pius ketika AKT-pulang ‘Yanti dilihat oleh Pius ketika pulang’ Yanti Pius eto Yanti TOP Pius AKT-lihat ‘Yanti Pius lihat ketika pulang’ pas [ ] hali ketika AKT-pulang f. P1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Yanti toma ele odi ina pas [ ] Yanti PAS-dapat cari Prep ibu ketika toma PAS-dapat eto odi ama lihat Prep ayah ‘Yanti dicari oleh ibu ketika dilihat oleh ayah’ (ii) (ii) Yanti ina ele YantiTOP ibu AKT-cari ‘Yanti ibu cari ketika ayah lihat’ pas [ ] ama eto ketika ayah AKT-lihat h. P1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Ali toma ele odi ina pas [ ] botu Yanti Adik PAS-dapat cari Prep ibu ketika AKT-temu Yanti ‘Adik dicari oleh ibu ketika bertemu Yanti’ (ii) Ali ina ele pas [] Adik TOP ibu AKT-cari ketika ‘Adik ibu cari ketika bertemu Yanti’ (i) (ii) botu AKT-temu Yanti Yanti i. A1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa) Ina ele ali pas [ ] toma mela odi ama Ibu AKT-cari adik ketika PAS-dapat panggil Prep ayah ‘Ibu mencari adik ketika dipanggil oleh ayah’ Ina ele ali pas [ ] ama Ibu AKT-cari adik ketika TOP ayah ‘Ibu mencari adik ketika ayah panggil’ mela panggil 387 (ii) k. P1=A2 dan A1=P2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa) Pius li’u Yanti hei ti [ ] toma me’u Pius AKT-kejar Yanti sebelum PAS-dapat cium odi Yanti Prep Yanti ‘Pius mengejar Yanti sebelum dicium dari Yanti’ (ii) Pius li’u Yanti hei ti [ ] Yanti me’u Pius AKT-kejar Yanti sebelum TOP Yanti AKT-cium ‘Pius mengejar Yanti sebelum Yanti cium’ Contoh (9.24) sekali lagi menegaskan bahwa penggabungan klausa yang telah dilakukan terhadap BKm menunjukkan bahwa bahasa tersebut secara sintaksis bekerja dengan S/A pivot. Hal ini disebabkan oleh BKm tidak mengizinkan pelesapan secara langsung FN apabila A berkoreferensi dengan P sehingga diperlukan adanya proses penuruan (derivasi) sintaksis melalui mekanisme pemasifan (pasif analitik) yang ditandai (i) dan penopikan yang ditandai (ii) pada contoh di atas. Berdasarkan contoh penggabungan klausa secara subordinatif BKm yang telah disajikan di atas, dapat ditegaskan kembali bahwa BKm merupakan bahasa yang secara sintaksis bekerja dengan sistem S/A pivot. 9.5 Pembentukan Kalimat Tanya Pada bab IV (bagian 4.5.2) telah diuraikan konstruksi kalimat interogatif BKm. Pada bagian ini, kembali dijelaskan tentang bagaimana konstruksi kalimat tanya BKm dibentuk. Pembahasan pembentukan kalimat tanya ini bertujuan mengamati perilaku gramatikal konstruksi tersebut sehingga dapat memperkuat simpulan sebelumnya yang menyatakan bahwa BKm merupakan bahasa yang bertipe akusatif secara sintaksis dengan mengacu pada konstruksi sintaksis, yaitu 388 konstruksi dengan verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatof, dan konstruksi subordinatif. Perhatikan contoh kalimat tanya berikut untuk melihat apakah BKm bekerja dengan S/A pivot atau bukan. (9.25) a. Mane senua mai de Laki-laki DEF datang Prep ‘Pius datang ke rumah saya‘ au-ng 1TG-Lig b. Basia mai de au-ng Siapa datang Prep 1TG-Lig ‘Siapa datang ke rumah saya?’ (9.26) a. uma rumah uma? rumah Ina laka au hali de uma Ibu suruh 1TG pulang Prep rumah ‘Ibu menyuruh saya pulang ke rumah’ b. Basia laka au hali de uma? Siapa suruh 1TG pulang Prep rumah ‘Siapa menyuruh saya pulang ke rumah?’ Contoh (9,25a) merupakan kalimat intransitif BKm. Pada contoh (9.25b) terlihat bahwa S, mane senua ‘laki-laki itu’ dapat ditanyakan secara langsung dengan menggunakan kata tanya basia ‘siapa’ tanpa melalui proses penurunan (derivasi) sintaksis. Contoh (9.26) merupakan kalimat transitif BKm. Pada kalimat tersebut, ina ‘ibu’ berperan sebagai agen (A) dan au ‘saya’ berperan sebagai pasien (P). Contoh ini juga menunjukkan bahwa agen ina ‘ibu’ dapat ditanyakan secara langusng dengan menggunakan kata tanya basia ‘siapa’ tanpa melalui proses penurunan (derivasi) sintaksis. Ini menunjukkan bahwa S dan A dalam BKm diperlakukan sama secara sintaksis. Contoh kalimat tanya di atas membuktikan bahwa BKm merupakan bahasa yang bekerja dengan S/A pivot karena S (kalimat intransitif) dan A 389 (kalimat transitif) dapat ditanyakan secara langsung dengan kata tanya basia ‘siapa’ tanpa melalui proses penurunan (derivasi) sintaksis. Sebaliknya, untuk menanyakan P, diperlukan penurunan (derivasi) sintaksis melalui penopikan dan pemasifan, seperti tersaji pada contoh berikut. (9.27) a. Basia ina laka hali de Siapa ibu suruh pulang Prep ‘Siapa ibu suruh pulang ke rumah?’ uma? rumah b. Basia toma laka hali de Siapa PAS-dapat suruh pulang Prep ‘Siapa disuruh pulang ke rumah oleh ibu?’ uma odi rumah Prep ina? ibu Contoh (9.30) di atas menunjukkan bahwa P tidak dapat ditanyakan secara langsung. Untuk dapat menanyakan P, diperlukan penurunan (derivasi) sintaksis, yaitu penopikan seperti contoh (9.30a) dan pemasifan seperti contoh (9.30b). 9.6 Aliansi Gramatikal Bahasa Kemak Bagian sebelumnya telah menguraikan perilaku gramatikal kalimat BKm yang terkait di dalamnya tentang klausa dasar (kalimat tunggal) dan kalimat majemuk, baik kalimat majemuk setara maupun bertingkat. Setelah mencermati pengujian terhadap perilaku gramatikal terkait dengan konstruksi sintaksis BKm, yaitu konstruksi dengan verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatif, dan konstruksi subordinatif pada akhirnya berujung pada penentuan tipologi sintaksis BKm yang memperlihatkan bahwa BKm merupakan bahasa yang secara tipologi merupakan bahasa akusatif secara sintaksis. Akusatif 390 secara sintaksis BKm ditunjukkan dengan perlakuan yang diberikan kepada A sama dengan S dan berbeda dengan P. Sistem aliansi gramatikal secara sintaksis BKm dapat digambarkan seperti di bawah ini. A S p Bagan di atas menggambarkan sistem aliansi gramatikal BKm secara sintaksis merupakan bahasa yang bertipologi akusatif. Simpulan ini diperoleh berdasarkan perpaduan dari temuan-temuan dan simpulan-simpulan yang telah disajikan pada pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Secara khusus bagian ini bertujuan untuk memperlihatkan kembali bukti-bukti gramatikal yang mendukung penentuan sistem aliansi gramatikal BKm yang merupakan bahasa bertipologi akusatif seara sintaksis. Sebelum menguraikan lebih jauh tentang aliansi gramatikal BKm, berikut ini dipaparkan kembali sekilas tentang teori yang terkait dengan aliansi gramatikal sebagai pijakan teoretis dalam penentuan aliansi gramatikal BKm. . 9.6.1 Peran Semantis dalam Tipologi Bahasa dan Aliansi Gramatikal Penentuan jenis-jenis bahasa berdasarkan teori tipologi linguistik dapat dilakukan melalui pengujian secara semantis dan sintaksis. Asumsi dasar menyatakan bahwa setiap bahasa pasti memiliki verba intransitif dan verba transitif. Dalam sebuah konstruksi dengan verba intransitif, dibutuhkan satu 391 argumen yang merupakan satu-satunya argumen S pada konstruksi tersebut. Sementara, konstruksi dengan verba transitif membutuhkan dua argumen atau lebih. Bagian awal bab ini telah menguraikan tentang satuan-satuan dasar semantis-sintaksis seperti yang dikemukakan oleh Comrie (1981, 1989) dan Artawa (1998: 132—133; 2002: 23) yang menggunakan istilah P untuk merujuk ke objek transitif. Berikut ini disajikan kembali satuan-satuan dasar semantissintaksis tersebut. S : satu-satunya argumen kalimat intransitif A : argumen agen kalimat transitif P : argumen pasien kalimat transitif Dalam menentukan aliansi gramatikal, perilaku sintaksis A dan P merupakan patokan dalam penentuan tipe sebuah abahasa, apakah bertipe akusatif atau bertipe ergatif. Jika A diperlakukan sama dengan S (satu-satunya argumen kalimat intranstif), maka bahasa tersebut dikategorikan sebagai bahasa yang bertipologi akusatif secara sintaksis. Sementara, jika P diperlakukan sama dengan S, maka bahasa tersebut dikatakan memiliki tipologi ergatif secara sintaksis. Lebih lanjut dalam penentuan aliansi gram atikal, para ahli tipologi bahasa menganggap bahwa argumen satu-satunya pada kalimat intransitif merupakan subjek gramatikal yang dijadikan patokan dalam penentuan tipologi bahasa. Kalaupun terdapat argumen lain yang hadir dalam kalimat intransitif, umumnya argumen tersebut ditandai oleh kehadiran preposisi atau pemarkah kasus yang menandakan bahwa argumen tersebut merupakan argumen oblik/relasi oblik. Dijadikannya S yang merupakan satu-satunya argumen kalimat intranstitf sebagai patokan penentuan tipologi bahasa, baik secara morfologis maupun sintaksis 392 karena melihat apakah S tersebut diperlakukan sama dengan A atau P (Artawa, 1995: 60—61). Terkait dengan istilah ‘perlakuan yang sama’, Artawa (1995:61) mengungkapkan bahwa perlakuan yang sama tersebut dapat terjadi, baik pada tataran morfologis maupun tataran sintaksis. Perlakuan yang sama ini merujuk kepada perlakuan yang diberikan S, A, dan P. Lebih jauh, Artawa mengungkapkan bahwa perbedaan perlakuan pada tataran semantis dan sintaksis ini merupakan unsur yang sangat penting dalam menentukan tipologi sebuah bahasa. Hal ini disebabkan oleh fakta bahasa yang menunjukkan bahwa terdapat bahasa pada tataran morfologis merupakan bahasa yang bertipe ergatif, sementara pada tataran sintaksis bahasa tersebut berperilaku seperti bahasa yang bertipe akusatif. Berikut ini digambarkan kedua tipe tipologi bahasa tersebut. S S A P P Akusatif A Ergatif Penting diketahui bahwa perbedaan antara ‘peran gramatikal’ dan ‘fungsi gramatikal’ terkait erat dengan istilah perlakuan yang sama antara A dan S, tetapi berbeda dengan P dalam sistem akusatif dan perlakuan yang sama antara S dan P, tetapi berbeda dengan A. Palmer (1994:14) menyatakan bahwa S, A dan P merupakan peran gramatikal, sementara S=A dan S=P merupakan relasi gramatikal. Jika peran gramatikal S, A, dan P (S, A, dan O menurut Dixon, 1994) 393 dikaitkan dengan kecenderungan sistem tipologi bahasa, maka didapat bahasa yang bersistem S=A dan S=P atau yang lainnya. Sistem pengelompokan peran S, A, dan P yang melahirkan sistem relasi gramatikal secara tipologis yang memperlakukan S=A dan S=P inilah yang disebut dengan aliansi gramatikal (grammatical alignment) atau disebut juga sebagai persekutuan gramatikal (lihat Dixon, 1994; Arka 2000: 424; Payne, 2002: 133—139). Pengkajian aliansi gramatikal BKm dalam disertasi bertujuan untuk menentukan sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal yang dimiliki oleh BKm secara tipologis, apakah BKm merupakan bahasa bertipe S=A, S=P, Sa=A, dan Sp=P, atau yang lainnya. Pengkajian tipologi BKm ini dibatasi hanya pada tataran sintaksis untuk melihat dua sistem aliansi gramatikal, apakah BKm sebagai bahasa bertipe akusatif, ergatif, S-terpilah, atau S-alir. 9.6.2 Aliansi Gramatikal dan Tipologi Sintaksis Bahasa Kemak Pembahasan tentang aliansi gramatikal dan tipologi sintaksis merupakan dua pemabahsan yang saling terkait. Sistem aliansi gramatikal satu bahasa, baik S=A dan S=P maupun yang lainnya mencerminakan tipologi bahasa tersebut. Jadi, sistem aliansi gramatikal satu bahasa dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan tipologi bahasa tersebut, apakah bertipe akusatif (S=A dan ≠ P), ergatif (S=P dan ≠A), atau Sa=A dan Sp=P. Penentuan sistem aliansi gramatikal BKm mengacu kepada penelahaan-penelahaan yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya, yaitu dari pembahasan struktur dasar, kalimat kompleks, dan konstruksi sintaksis BKm. Setelah dapat ditentukan sistem aliansi gramatikal 394 BKm, maka selanjutnya temuan tersebut dijadikan pijakan untuk menetapkan tipologi sintaksis BKm. Berdasarkan pengujian-pengujian konstruksi sintaksis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa BKm memiliki ciri sebagai bahasa yang bertipe akusatif secara sintaksis. Pada bab IV telah diuraikan struktur dasar BKm dan diperoleh simpulan awal bahwa klausa (kalimat tunggal) BKm terdiri atas klausa dengan predikat verbal dan klausa dengan predikat nonverbal. Terkait dengan penelitian tipologi sintaksis, hanya klausa dengan predikat verbal yang digunakan untuk melakukan pengujian sintaksis untuk menentukan sistem aliansi gramatikal BKm. Mari cermati kembali contoh klausa intransitif dan transitif BKm berikut ini. (9.28) a. b. Ina hali na’arua Ibu pulang kemarin ‘Ibu pulang kemarin’ Hine senua me’u au Wanita DEF cium 1TG ‘Wanita itu mencium saya’ Contoh (9.28) di atas merupakan klausa intransitif dan transitif BKm. Subjek (gramatikal) klausa tersebut adalah ina ‘ibu’ (klausa 9.28a) dan hine senua ‘wanita itu (klausa 9.28b). Kedua argumen tersebut dikategorikan sebagai subjek (gramatikal) didasarkan pada pengujian subjek atau kesubjekan BKm (seperti telah diuraikan pada bab VII subbagian 7.4.1. Berdasarkan pengujian tersebut didapat ciri-ciri utama subjek (gramatikal) BKm, yaitu (i) FN praverbal, (ii) satusatunya argumen) FN praverbal pada konstruksi intransitif, (iii) FN praverbal yang berfungsi sebagai agen, (iv) FN yang dapat direlatifkan, dan (v) FN (agen) yang mengontrol bentuk refleksif. 395 Apabila diulas lebih jauh, ina ‘ibu’ pada klausa (9.28a) merupakan satusatunya argumen (FN praverbal) yang sekaligus berfungsi sebagai subjek gramatikal verba intransitif. Sementara, pada klausa (9.28b) terdapat dua argumen, yaitu argumen praverbal hine senua ‘wanita itu’ yang secara semantis berperan sebagai agen (A) dan argumen posverbal au ’saya’ yang secara semantis berperan sebagai pasien (P). Berdasarkan ciri subjek yang telah dijelaskan di atas, maka argumen hine senua ‘wanita itu’ merupakan subjek gramatikal dari klausa transitif tersebut. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa argumen hine senua ‘wanita itu’ menempati posisi praverbal yang juga merupakan FN pra-verbal agen. Di samping itu, argumen hine senua ‘wanita itu’ tersebut juga dapat direlatifkan, seperti yang digambarkan pada klausa di bawah ini. (9.29) Hine ne tama baru meak senua me’u Wanita REL pakai baju merah DEF cium ‘Wanita yang memakai baju merah itu mencium saya’ au 1TG Bukti yang diajukan berikutnya untuk dapat menentukan sistem aliansi gramatikal BKm yang sekaligus digunakan untuk menentukan tipologi sintaksis BKm adalah dengan menyajikan kembali konstruksi sintaksis BKm yang terdiri atas konstruksi verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatif, dan konstruksi subordinatif. Berikut ini disajikan kembali setiap contoh konstruksi tersebut. (9.30) a. Ua e [] botu 3TG ingin bertemu ‘Dia ingin bertemu kepala dusun’ dato galang dusun kepala b. Roma nita dato galang mai matamai 3JM minta dusun kepala datang besok ‘Mereka meminta kepala dusun datang besok’ 396 c. Pius hali kahi [ ] Pius pulang lalu ‘Pius pulang lalu mencium ibu’ me’u cium ina ibu d. Pius mai pas [] eto Pius datang waktu AKT-lihat ‘Pius datang ketika melihat Yanti’ Yanti Yanti Contoh (9.30a) merupakan konstruksi dengan verba tak terbatas, contoh (9.30b) merupakan konstruksi dengan pemerlengkap jusif, contoh (9.30c) merupakan konstruksi koordinatif, dan contoh (9.30d) merupakan konstruksi subodinatif. Keempat contoh tersebut memberikan bukti bahwa BKm memperlakukan A pada klausa transitif sama dengan S pada klausa intransitif dan memberikan perlakuan yang berbeda kepada P (S=A dan P). Jika S berkoreferensi dengan P, maka diperlukan penurunan (derivasi) sintaksis melalui pemasifan dan penopikan sehingga S dengan P dapat berujuk silang. Mekanisme perubahan valensi BKm juga telah menunjukkan bukti bahwa BKm memiliki ciri sebagai bahasa akusatif secara sintaksis sama halnya dengan bahasa Inggris. Berdasarkan telaah data-data dan bukti-bukti yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, yaitu mulai dari pembahasan struktur dasar sampai pada kalimat kompleks pada dasarnya telah ditemukan bukti-bukti gramatikal yang menunjukkan bahwa BKm merupakan bahasa yang memberikan perlakuan yang sama antara A dan S, tetapi perlakuan yang berbeda diberikan kepada P. Bukti yang menyatakan bahwa BKm merupakan bahasa yang bekerja dengan sistem S/A pivot telah diberikan melalui pengujian penggabungan dua klausa berdasarkan sebelas kerangka kerja yang dikemukakan oleh Dixon (1994:157— 397 160), baik secara koordinatif maupun subordinatif. Pengujian secara sintaksis yang telah dilakukan menghasilkan temuan dan simpulan yang menyatakan bahwa BKm secara tipologis merupakan bahasa yang bertipe nominatif/akusatif pada tataran sintaksis. Dengan simpulan tersebut dapat digambarkan sistem aliansi gramatikal BKm sebagai berikut. S atau S = A, ≠ P A p 9.7 Diatesis Bahasa Kemak Seperti telah diungkapkan pada bagian awal disertasi ini bahwa BKm tergolong ke dalam bahasa yang memiliki diatesis aktif. Pada bab IV juga telah diuraikan bahwa BKm memiliki pola urutan kanonis SVO. Pola kanonis SVO ini mencerminkan pola kalimat aktif yang lebih menonjolkan pelaku atau agen daripada pasien. Shibatani (1988:3) menyatakan bahwa diatesis (voice) dipahami sebagai satu mekanisme yang memilih unsur-unsur sintaksis utama, yaitu subjek gramatikal dari fungsi-fungsi semantis dasar (kasus dan peran tematis) klausa. Terkait dengan istilah diatesis, Kridalaksana (1993:3) juga mengungkapkan bahwa diatesis merupakan kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan antara partisipan atau subjek dan perbuatan yang dinyatakan oleh verba dalam 398 klausa. Shibatani (1988:3) lebih jauh mengungkapkan bahwa pada umumnya bahasa-bahasa di dunia memiliki strategi diatesis dasar yang dikenal dengan diatesis aktif-pasif. Pertentangan diatesis aktif-pasif ini merujuk pada pertentangan semantis. Pada diatesis aktif, subjek bertindak sebagai instigator atas yang lain atau memengaruhi yang lain. Sebaliknya pada diatesis pasif, subjek dipengaruhi atau tempat jatuhnya perbuatan. Bahasa yang bertipologi sebagai bahasa akusatif memiliki diatesis aktif pasif. Sementara, bahasa yang bertipologi sebagai bahasa ergatif memiliki diatesis ergatif dan antipasif. Diatesis pasif merupakan diatesis turunan dari diatesis aktif, sementara diatesis antipasif merupakan diatesis turunan dari diatesis ergatif. Salah satu contoh bahasa yang memiliki diatesis aktif-pasif adalah bahasa Inggris yang secara tipologi merupakan bahasa akusatif. Sementara, bahasa Dyirbal yang merupakan bahasa yang bertipologi ergatif memiliki diatesis ergatif dan diatesis turunan antipasif. Data kebahasaan BKm yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya telah mengungkapkan bahwa bahasa tersebut merupakan bahasa yang bertipe akusatif secara sintaksis. Berdasarkan uraian di atas, yaitu sebagai bahasa yang bertipologi akusatif, BKm memiliki diatesis aktif-pasif. Konstruksi sintaksis dengan diatesis aktif merupakan konstruksi dasar (underlying form). Sementara, konstruksi sintaksis dengan diatesis pasif merupakan konstruksi turunan (derived form). Perhatikan contoh konstruksi berikut yang menggambarkan konstruksi dengan diatesis aktif BKm. 399 (9.31) a. b. Au para mane 1TG AKT-pukul laki-laki ‘Saya memukul laki-laki itu’ senua DEF Ama betu asu senua Ayah AKT-tendang anjing DEF ‘Ayah menendang anjing itu’ Contoh (9.31) menggambarkan konstruksi sintaksis BKm yang memiliki diatesis aktif. Seperti dijelaskan di atas bahwa perbedaan antara diatesis aktifpasif merujuk pada pertentangan semantis sehingga kedua contoh klausa tersebut dikategorikan sebagai konstruksi dengan diatesis aktif karena subjek dari kedua klausa tersebut, yaitu au ‘saya (klausa 9.31a) dan ama ‘ayah’ (klausa 9.31b) bertindak selaku instigator dan memengaruhi partisipan yang lain, yaitu mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (9.31a) dan asu senua ‘anjing itu’ pada klausa (9.31b). Pada pembahasan tata urutan kata BKm pada bab IV telah diuraikan pula bahwa BKm memiliki pola kanonis SVO dan memiliki struktur lain, yaitu pemfokusan dan pemasifan. Terkait dengan pamasifan atau konstruksi pasif, para ahli telah memberikan ciri-ciri umum konstruksi pasif (lihat Givon, 1990: 566; Foley dan van Valin, Jr. 1994; Dixon, 1994; Palmer, 1994: 16) yang dapat dirangkum sebagai berikut. Diperlakukan pada klausa transitif untuk membentuk klausa intransitif; (i) Objek naik atau promosi untuk menempati posisi subjek. (ii) Subjek diturunkan ke argumen oblik atau dapat juga dihilangkan atau bersifat opsional. (iii) Perubahan terjadi pada tataran morfologi verba untuk menandai proses pemasifan. (iv) Secara sintaksis, pemasifan merupakan proses penciptaan subjek. (v) Pasif merupakan proses daur ulang (cyclic). 400 (vi) Pasif merupakan bentuk terikat (dalam satu) klausa. (vii) Pasif merupakan bentuk transformasi struktur yang bersifat turunan. (viii) Pasif diatur kaidah (tata bahasa). Telah dijelaskan pula bahwa BKm memiliki konstruksi pasif analitik dengan menghadirkan leksikal toma ‘dapat’ untuk dapat membentuk konstruksi pasif. Hal ini terjadi karena BKm tidak memiliki afiks (proses morfologis) untuk menurunkan konstruksi pasif dari konstruksi aktif. Berikut ini disajikan contoh klausa BKm yang merupakan konstruksi sintaksis dengan diatesis pasif yang merupakan turunan dari konstruksi diatesis aktif contoh klausa (9.28) di atas. (9.32) a. b. Mane senua toma Laki-laki DEF PAS-dapat ‘Laki-laki itu dipukul oleh saya’ para dase au pukul Pprep 1TG Asu senua toma betu Anjing DEF PAS-dapat tendang ‘Anjing itu ditendang oleh ayah’ dase Prep ama ayah Contoh (9.32) merupakan konstruksi sintaksis BKm yang mengandung diatesis pasif. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam diatesis pasif, subjek merupakan tempat jatuhnya perbuatan. Dengan demikian, contoh (9,32) merupakan konstruksi sintaksis yang memiliki diatesis pasif karena subjek pada konstruksi tersebut, yaitu mane senua ‘laki-laki itu’ (klausa 9.32a) dan asu senua ‘anjing itu’ (klausa 9.32b) merupakan tempat jatuhnya perbuatan. Satu hal lagi yang dapat dilihat pada konstruksi tersebut bahwa pasif BKm merupakan pasif analitik memperkuat pernyataan sebelumnya bahwa BKm tidak memiliki proses morfologis untuk menurunkan konstruksi pasif dari konstruksi aktif. Berdasarkan ciri-ciri umum yang dikemukakan oleh para ahli terkait dengan konstruksi pasif, maka konstruksi pasif BKm paling tidak telah memenuhi 401 delapan dari sembilan ciri umum pasif. Hanya satu ciri umum konstruksi pasif yang tidak dimiliki oleh konstruksi pasif BKm, yaitu ciri nomor (v) yang menyatakan bahwa perubahan terjadi pada tataran morfologi verba untuk menandai pemasifan. Ciri nomor (v) ini tidak dapat dipenuhi oleh BKm mengingat BKm merupakan bahasa yang tergolong tidak memiliki proses morfologis (afiksasi) untuk menurunkan konstruksi pasif dari konstruksi aktif. Namun, BKm memiliki mekanisme tersendiri untuk membentuk konstruksi pasif, yaitu dengan menghadirkan leksikal toma ‘dapat’. Di samping memiliki diatesis aktif-pasif yang merupakan dua diatesis yang dimiliki oleh bahasa yang bertipologi akusatif, BKm juga memiliki ditesiss medial. Terkait dengan diatesis medial, Shibatani dalam Kulikov dan Vater (ed.) (1998:17) mengungkapkan bahwa secara tradisional diatesis merupakan pertautan antara (rujukan) subjek dan tindakan yang dinyatakan oleh verba. Lebih lanjut, Shibatani dalam Kulikov dan Vater (ed.) (1998:17) menyatakan bahwa diatesis adalah nama untuk konstruksi verbal sesuai dengan bagaimana konstruksi tersebut mengungkapkan tindakan atau keadaan berkenaan dengan subjeknya (diatesis aktif), dikenai perbuatan/tindakan (diatesis pasif), dan dipengaruhi oleh tindakannya sendiri (diatesis medial/refleksif). Terkait dengan tiga oposisi mendasar kategori tersebut, Shibatani (1998) mengemukakan tiga bentuk (konstruksi) verbal sebagai berikut. (i) Bentuk aktif: subjek sebagai agen, melakukan tindakan yang meluas ke wujud (entitas) bebas, yaitu pasien, memengaruhi pasien sehingga pasien sampai pada keadaan tertentu. 402 (ii) Bentuk medial: subejk melakukan tindakan yang memengaruhi dirinya sendiri sehingga subjek mengalami perubahan keadaan. (iii) Bentuk pasif: subjek, pasien berada dalam keadaan tertentu akibat mengalami perubahan keadaan yang disebabkan oleh tindakan yang dilakukan oleh agen. Terkait dengan diaresis medial, Klaiman dalam Shibatani (ed.) 1988: 31— 33) mengemukakan lima ciri gramatikal diatesis medial sebagai berikut. (i) Verba diatesis medial menunjukkan makna atau kegiatan refleksif atau resiprokal. (ii) Diatesis medial berfungsi untuk memperlihatkan status keberutungan (beneficiary) yang dialami subjek terhadap tindakan. Diatesis medial memperlihatkan status ganda subjek, sebagai sumber tindakan dan sekaligus juga sebagai entitas yang dipengaruhi oleh tindakan tersebut atau tempat jatuhnya pengaruh/tindakan tersebut. (iii) Pengungkapan tindakan yang dialami oleh penderita dipahami sebagai tindakan yang berada dalam lingkaran subjek; penderita berperilaku atau termasuk ke subjek itu sendiri. (iv) Diatesis medial mengungkapkan watak subjek, akibat yang timbul tertuju pada subjek. (v) Pengaruh tindakan yang dilakukan oleh agen/subjek, baik atau buruk, tertuju langsung kepada subjek. Untuk mengamati perilaku gramatikal terkait dengan diatesis medial BKm, berikut ini disajikan contoh konstruksi verbal yang berdiatesis medial yang 403 menunjukkan status ganda subjek, baik yang berfungsi sebagai sumber tindakan maupun sekaligus berfungsi sebagai entitas yang mendapat keuntungan atas tindakan yang dilakukan tersebut. (9.33) a. Pius himos Pius MED-membersihkan ‘Pius membersihkan tangannya’ b. Yanti sau Yanti MED-menyisir ‘Yanti menyisir rambutnya’ (9.34) a. ua-ng 3TG-Lig ua-ng 3TG-Lig hulu-ng rambut-Lig Au a si ahi 1TG MED-makan daging babi ‘Saya makan daging babi’ b. Au-ng ali-ng ruis de 1TG-Lig adik-Lig MED-mandi Prep ‘Adik saya mandi di sungai (9.35) a. lima-ng tangan-Lig holang sungai Roma para arag 3JM pukul MED-saling ‘Mereka saling pukul’ b. Pius no Yanti me’u Pius dan Yanti cium ‘Pius dan Yanti saling cium’ arag MED-saling Contoh (9.33)--(9.35) merupakan konstruksi yang mengandung diatesis medial dalam BKm. Contoh (9.33a dan b) memperlihatkan bahwa subjek (agen) melakukan suatu kegiatan atau tindakan yang mengenai atau memengaruhi subjek itu sendiri. Hal yang sama juga terlihat pada contoh (9.34a dan b) yang menunjukkan bahwa subjek (agen) melakukan tindakan atau kegiatan yang memberikan keuntungan kepada subjek (agen) itu sendiri. Contoh (9.35 a dan b) juga merupakan kontruksi medial karena hadirnya leksikon arag ‘saling’ yang 404 mengandung makna resiprokal, yaitu subjek (agen) melakukan suatu tindakan yang memengaruhi subjek itu sendiri. 9.8 Temuan Penelitian Bab ini telah menguraikan tipologi sintaksis BKm yang membahas konstruksi sintaksis yang meliputi konstruksi dengan verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatif, konstruksi subordinatif, dan pembentukan kalimat tanya. Bab ini juga menguraikan diatesis BKm, yaitu diatesis aktif-pasif dan diatesis medial. Berdasarkan uraian di atas ditemukan beberapa hal sebagai berikut. 1. Penentuan tipologi sintaksis BKm dilakukan dengan mengamati perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis BKm yang meliputi konstruksi dengan verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatif, konstruksi subordinatif, dan pembentukan kalimat tanya. 2. Konstruksi dengan verba tak terbatas dan konstruksi dengan pemerlengkap jusif menunjukkan bahwa jika S berkoreferensi dengan A, maka pelesapan salah satu argumen dapat dilakukan secara langsung. Namun, apabila S berkoreferensi dengan P, maka diperlukan proses penurunan (derivasi) sintaksis melalui penopikan dan pemasifan (pasif analitik). Dengan demikian, BKm memperlihatkan bahwa A diperlakukan sama dengan S, tetapi berbeda dengan P. 405 3. Pengujian pivot terhadap konstruksi koordinatif dan subordinatif berdasarkan sebelas kerangka kerja yang dikemukakan oleh Dixon (1998) menunjukkan bahwa BKm bekerja dengan pivot S/A. Simpulan ini diambil berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan pada saat proses penggabungan dua klausa, baik secara koordinatif maupun subordinatif yang menunjukkan proses pelesapan dapat terjadi secara langsung apabila S berkoreferensi dengan A. Sebaliknya, apabila S berkoreferensi dengan P, maka diperlukan proses penurunn (derivasi) sintaksis melalui penopikan dan pemasifan (pasif analitik). 4. Pembentukan kalimat tanya BKm juga menunjukkan bahwa A diperlakukan sama dengan S, tetapi berbeda dengan P. 5. Berdasarkan pengamatan perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis tersebut ditemukan bahwa secara sintaksis BKm merupakan bahasa yang memiliki sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda kepada P. Sistem aliansi gramatikal BKm tersebut digambarkan sebagai berikut. S A p atau S = A, ≠ P 6. Berdasarkan sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda dengan P, maka BKm dapat dikelompokkan sebagai bahasa yang bertipologi akusatif. 406 7. BKm memiliki diatesis aktif-pasif yang merupakan salah satu ciri penting dalam bahasa bertipologi akusatif. Di samping diatesis aktif-pasif, BKm juga memiliki diatesis medial. BAB X TEMUAN PENELITIAN Bab ini menyajikan temuan penelitian berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab IV – IX. Temuan penelitian tersebut meliputi struktur klausa BKm, tata urutan kata BKm, predikasi BKm, valensi verba, fungsi dan relasi gramatikal BKm, kalimat kompleks BKm, dan sistem aliansi gramatikal BKm diuraikan sebagai berikut. (7) Semua verba BKm merupakan verba dasar. Hal ini berarti bahwa proses morfologis yang dapat mengubah sebuah kategori kata yang sebelumnya bukan verba menjadi verba tidak ditemukan dalam BKm. Di samping itu, sistem morfologi verba BKm menunjukkan pula bahwa tidak ada persesuaian (agreement) antara verba dan subjek atau verba dan objek. (8) Di samping memiliki klausa verbal dan nonverbal, BKm juga memiliki klausa eksistensial. Klausa eksistensial BKm ditandai dengan kehadiran leksikal dia ‘ada’. Klausa eksistensial BKm memiliki dua fungsi, yaitu berfungsi untuk menyatakan keberadaan atau kehadiran dan kepemilikan. (9) BKm memiliki pemarkah aplikatif podi yang berfungsi untuk meningkatkan jumlah argumen atau valensi verba, yaitu dari verba yang bervalensi dua (verba ekatransitif) menjadi verba yang bervalensi tiga (verba dwitransitif). Pemarkah aplikatif podi ini menempati posisi setelah verbal (posverbal). (10) BKm memiliki tata urutan kata SVO atau agen-verba-pasien. Di samping itu, penelitian ini menemukan bahwa BKm memiliki struktur turunan, yaitu 407 408 pemfokusan dan pasif. Konstruksi pemfokusan ini ditandai dengan hadirnya pemarkah te. Sementara itu, konstruksi pasif BKm ditandai dengan hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ dan berpindahnya subjek menjadi adjung yang dimarkahi dengan preposisi. Konstruksi pasif BKm merupakan konstruksi analitik (sintaksis) karena BKm tidak memiliki permarkah morfologis untuk membentuk konstruksi pasif. (11) Predikasi BKm dibangun oleh unsur predikat dan argumen-argumennya. Predikat nonverbal dan intransitif BKm menghendaki satu argumen subjek untuk membentuk predikasi. Sementara, predikasi BKm dengan predikat verba transitif menghendaki dua argumen atau lebih. Argumen BKm memiliki peran semantis umum argumen, yaitu ACTOR dan UNDERGOER. Peran semantis umum ACTOR sama dengan peran agen dan UNDERGOER sama dengan peran pasien dalam kajian tipologi bahasa. (12) FV BKm dibangun oleh verba dan dapat disertai satu unsur aspek, modus, dan negasi yang menempati posisi sebelum verba (praverbal) dan setelah verba (posverbal). Aspek ei ‘akan’ dan hei ‘sedang’ menempati posisi sebelum verba, sedangkan aspek kasai ‘sudah’ berada setelah verba. Modus mloing ‘bisa’ menempati posisi setelah verba, sedangkan modus los ‘harus’ menempati posisi sebelum verba. Negasi ti ‘tidak’ menempati posisi sebelum verba. Di samping dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus, dan negasi, FV BKm juga dapat dibentuk verba dan disertai oleh gabungan dua unsur, antara negasi dan aspek, seperti ti + ei ‘tidak+akan’, negasi+modus, seperti ti+V+mloing ‘tidak+V+bisa’, modus+modus seperti 409 los+V+mloing ‘harus+V+bisa’, dan aspek + modus, seperti kasai mloing ‘sudah bisa’. (13) KVS BKm dapat dibangun oleh verba serial, baik yang terdiri atas dua verba maupun verba serial yang terdiri atas tiga verba. Baik KVS BKm yang dibangun oleh dua maupun tiga verba memiliki fungsi gramatikal satu subjek dan objek yang dimiliki secara bersama-sama. (14) Berdasarkan parameter formal, BKm tidak memiliki kausatif morfologis karena dalam BKm tidak ditemukan proses morfologis yang dapat membentuk konstruksi kausatif. BKm hanya memiliki kausatif leksikal dan kausatif analitik. Kausatif analitik BKm dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dan laka ‘suruh’. (15) Konstruksi aplikatif BKm dibangun oleh verba transitif dan pemarkah aplikatif podi yang menempati posisi setelah verba transitif. Hadirnya pemarkah podi ini secara otomatis meningkatkan jumlah argumen, yang sebelumnya verba berargumen dua, yaitu subjek dan objek langusng berubah menjadi verba yang berargumen tiga, yaitu subjek, objek langsung, dan objek tak langsung. Pemarkah aplikatif podi secara otomatis memberikan ruang bagi argumen baru, yaitu objek tak langsung yang langsung hadir setelah verba dan pemarkah podi. (16) Konstruksi resultatif BKm dibangun dengan mekanisme pemasifan. Di samping dengan mekanisme pemasifan untuk membentuk konstruksi resultatif, BKm juga memiliki mekanisme lain untuk membentuk konstruksi 410 resultatif, yaitu menghadirkan pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ yang hadir pada sebuah klausa/kalimat yang ditempatkan di akhir klausa/kalimat. (17) Subjek BKm dapat diidentifikasi berdasarkan sifat-perilaku atau properti yang dimiliki subjek, yaitu (1) subjek BKm muncul pada posisi praverbal pada struktur kanonis; (2) adverbial dan penegasi dapat disisipkan di antara argumen praverbal dan verbal. Pada posisi kanonik, argumen praverbal tersebut merupakan subjek sehingga antara subjek dan verbal dapat disisipi oleh adverbial dan penegasi; (3) subjek BKm dapat direlatifkan dengan pemarkah ne ‘yang’. Selain subjek, BKm juga dapat merelatifkan argumen inti yang secara sintaksis berfungsi sebagai objek, baik objek langsung maupun objek tak langsung; (4) antara subjek dan predikat dapat disisipkan dengan penjangka kambang; (5) subjek dapat direfleksifkan; (6) argumen selain subjek (objek, baik OL maupun OTL) dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek melalui mekanisme penaikan; (7) subjek dapat difokuskan dengan pemarkah fokus te; (8) subjek dapat dikontrol; dan (9) frasa nomina tidak terang (PRO) berkoreferensi dengan subjek pada klausa yang lebih tinggi. (18) Objek BKm merupakan argumen yang secara langsung mengikuti verbal atau argumen posverbal pada struktur kanonis. Di samping itu, objek BKm dapat pula diidentifikasi melalui proses pemasifan dan pengedepanan melalui mekanisme pemfokusan. (19) Oblik BKm dimarkahi oleh pemarkah dalam bentuk preposisi. Preposisi pemarkah oblik BKm terdiri atas (1) de ’di./ke’ yang berfungsi sebagai 411 pemarkah oblik lokatif, (2) dase ‘dari’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik sumber (source), dan (3) odi ‘dengan/kepada/untuk’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik goal dan oblik instrumen. (20) Terkait dengan perelatifan, seluruh relasi gramatikal yang meliputi subjek, objek (langsung dan tak langsung), dan relasi oblik dalam BKm dapat direlatifkan secara langsung tanpa melalui kiat ‘penurunan diatesis’ atau kiat ‘penandaan verba’. BKm (21) BKm memiliki konjungsi subordinatif nuabe ‘supaya’ dan odi ‘untuk’ yang digunakan untuk menghubungkan klausa utama (induk) dengan klausa purposif dalam BKm. Kalimat kompleks dengan klausa alasan menggunakan konjungsi subordinatif pita ‘karena’. Sementara itu, perilaku gramatikal klausa pemerlengkap ditunjukkan dengan hadirnya verba takterbatas, yaitu verba jenis ‘ingin’, verba jenis ‘tahu’, dan verba jenis ‘mengatakan’. (22) Pengujian pivot terhadap konstruksi koordinatif dan subordinatif berdasarkan sebelas kerangka kerja yang dikemukakan oleh Dixon (1998) menunjukkan bahwa BKm bekerja dengan pivot S/A. Berdasarkan pengamatan perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis tersebut ditemukan bahwa secara sintaksis BKm merupakan bahasa yang memiliki sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda kepada P. Sistem aliansi gramatikal BKm tersebut digambarkan sebagai berikut. 412 S A p atau S = A, ≠ P (23) Berdasarkan sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda dengan P, maka BKm dapat dikelompokkan sebagai bahasa yang bertipologi akusatif. (24) Berdasarkan kriteria rumpun bahasa Autronesia yang dikemukakan oleh Klamer (dalam Pieter Muysken, 2008: 112--113), BKm dapat dikelompokkan ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Pengelompokkan BKm ke dalam rumpun bahasa Austonesia juga didukung oleh hasil penelitian Stevens (1967: 26) dan Klamer (dalam Pieter Muysken, 2008:112). BAB XI SIMPULAN DAN SARAN 11.1 Pengantar Bab ini merupakan bab penutup yang memuat simpulan dan saran terkait dengan pembahasan tipologi sintaksis BKm. Simpulan ini menguraikan beberapa temuan yang terkait dengan rumusan masalah atau terkait dengan pertanyaan penelitian. Simpulan tersebut diuraikan secara deskriptif untuk memberikan gambaran yang jelas tentang temuan-temuan terkait dengan pembahasan tipologi sintaksis BKm. Bagian akhir bab ini ditutup dengan memuat saran-saran yang berisi harapan yang ditujukan kepada para linguis atau pemerhati bahasa yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan terhadap BKm. 11.2 Simpulan Berdasarkan rumusan masalah yang meliputi penelahaan tentang struktur dasar BKm, peran dan relasi gramatikal BKm, predikasi BKm, valensi verba BKm, dan kalimat kompleks BKm dapat disimpulkan beberapa temuan, seperti tersaji di bawah ini. 11.2.1 Struktur Dasar Klausa Penelahaan tentang struktur dasar klausa BKm menghasilkan temuantemuan berikut ini. 413 414 (25) Sistem morfologi verba BKm menunjukkan bahwa verba BKm hanya terdiri atas verba asal. Penelitian ini tidak menemukan verba turunan BKm. Dengan kata lain, semua verba BKm yang ditemukan merupakan verba asal. Hal ini berarti bahwa proses morfologis yang dapat mengubah sebuah kategori kata yang sebelumnya bukan verba menjadi verba tidak ditemukan dalam BKm. Di samping itu, sistem morfologi verba BKm menunjukkan pula bahwa tidak ada persesuaian (agreement) antara verba dan subjek atau verba dan objek. (26) Struktur klausa BKm terdiri atas (1) struktur klausa berpredikat nonverbal dan (2) struktur klausa berpredikat verbal. Struktur klausa berpredikat nonverbal dapat berwujud (1) klausa berpredikat nominal, (2) klausa berpredikat adjektival, (3) klausa berpredikat numeralia, dan (4) klausa berpredikat frasa preposisional. BKm tidak memiliki verba kopula sehingga verba kopula tidak hadir pada klausa berpredikat nonverbal. Sementara itu, struktur klausa berpredikat verbal terdiri atas (1) klausa intransitif, (2) klausa ekatransitif (klausa berargumen inti dua), dan (3) klausa dwitransitif (klausa berargumen inti tiga/extended transitive). (27) BKm memiliki pemarkah aplikatif podi yang berfungsi untuk meningkatkan jumlah argumen atau valensi verba, yaitu dari verba yang bervalensi dua (verba ekatransitif) menjadi verba yang bervalensi tiga (verba dwitransitif). Pemarkah aplikatif podi ini menempati posisi setelah verbal (posverbal). (28) Tata urutan kata atau konstituen dalam klausa/kalimat dasar BKm berdasarkan struktur kalimat deklaratif, kalimat interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat negatif adalah SVO (AVP). Di samping memiliki tata urutan 415 kata atau konstituen SVO (A-V-P), BKm memiliki struktur turunan, yaitu konstruksi pemfokusan dan pasif. Konstruksi pemfokusan ini ditandai dengan hadirnya pemarkah te. Konstruksi pasif BKm ditandai dengan hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ dan berpindahnya subjek menjadi adjung yang dimarkahi dengan preposisi. Di samping itu, konstruksi pasif dapat diidentifikasi dengan penempatan adverbia. Konstruksi pasif BKm berbeda dengan konstruksi pasif yang dimiliki bahasa-bahasa di dunia pada umumnya. BKm tidak memiliki proses morfologis yang dapat mengubah konstruksi aktif menjadi pasif. BKm tidak memiliki afiks yang dapat mengubah konstruksi aktif menjadi pasif, tetapi memiliki konstruksi pasif analitik dengan kehadiran pemarkah pasif toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba. (29) Pada konstrusksi kalimat negatif, penegasi ti ‘tidak’ dan hisar/isi/isibara ‘jangan’ hadir di antara argumen inti praverbal dan predikat yang ditempati oleh verba, baik pada klausa intransitif maupun klausa transitif. Di samping kalimat negatif dengan predikat verbal, penegasi ti ‘tidak’ juga dapat digunakan untuk membentuk kalimat negatif dengan predikat nonverbal (nominal, adjektival, numeralia, dan adverbial). Khusus untuk kalimat negatif dengan predikat adverbial, hanya adverbial yang menyatakan lokasi yang bisa digunakan. Penegasi hisar/isi/isibara ‘jangan’ juga dapat ditempatkan pada klausa intransitif yang predikatnya ditempati oleh adjektiva. Posisi penegasi hisar/isi/isibara ‘jangan’ pada klausa intransitif dengan predikat adjektiva berada di antara satu-satunya argumen inti yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan predikat. 416 11.2.2 Predikasi Penelahaan terhadap predikasi BKm menghasilkan temuan-temuan sebagai berikut. 8. Predikasi BKm dibangun oleh unsur predikat dan argumen-argumennya. Predikat BKm dapat berupa predikat verbal dan predikat nonverbal. Klausa berpredikat nonverbal dapat ditempati oleh nominal, adjektival, numeral, frasa preposisional, dan satu argumen yang menempati posisi di depan predikat yang berfungsi sebagai subjek gramatikal. Predikat nonverbal BKm menghendaki satu argumen subjek untuk membentuk predikasi. 9. Sama seperti predikasi BKm yang dibentuk oleh predikat nonverbal, predikat verbal intransitif juga menghendaki satu unsur argumen FN yang dapat berfungsi sebagai subjek gramatikal dan secara semantis dapat berfungsi sebagai agen atau pasien. 10. Predikasi BKm dengan predikat verba transitif menghendaki dua argumen atau lebih. Kehadiran argumen-argumen tersebut dalam predikat kalimat transitif bersifat wajib. 11. Argumen BKm memiliki peran semantis umum argumen, yaitu ACTOR dan UNDERGOER. Peran semantis umum argumen BKm tersebut dapat diperinci menjadi peran-peran semantis khusus yang meliputi agen, penyebab/causer, pengalami, tema, pasien, alat/instrumen, resipien/penerima, sumber/asal, tujuan, dan lokatif. benefaktif/pemanfaat, Satu argumen dapat memiliki peran lebih dari satu, misalnya dalam kalimat au ne podi ua osa ‘saya memberikan dia uang‘. Argumen au ‘saya’ yang berfungsi sebagai 417 SUBJ memiliki dua peran semantik, yaitu sebagai sumber dan sekaligus sebagai agen. 12. BKm memiliki empat tipe semantis verba yang mengacu kepada aktionasart yang ditentukan berdasarkan tiga sifat, yaitu (1) statis, (2) telis, dan (3) ketepatan waktu (pungtual). Empat tipe semantis verba BKm meliputi (1) verba keadaan yang diungkapkan dengan verba situasi, seperti tinaut ‘takut’ dan bue ‘tidur’, (2) verba achievement yang diungkapkan dengan verba peristiwa, seperti mnahu ‘jatuh’ dan teta ‘patah’, (3) verba accomplishment yang diungkapkan dengan verba proses, seperti taua ‘masak’ dan tau ‘buat’ , dan (4) verba aktivitas yang diungkapkan dengan verba aksi, seperti tutu ‘pukul’ dan betu ‘tendang’. 13. BKm memiliki FV yang dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus, dan negasi yang menempati posisi sebelum verba (praverbal) dan setelah verba (posverbal). Aspek e ‘akan’ dan hei ‘sedang’ menempati posisi sebelum verba, sementara aspek kasai ‘sudah’ berada setelah verba. Modus mloing ‘bisa’ menempati posisi setelah verba, sementara modus los ‘harus’ menempati posisi sebelum verba. Negator ti ‘tidak’ menempati posisi sebelum verba. Di samping dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus, dan negator, FV BKm juga dapat dibentuk oleh verba dan disertai oleh gabungan dua unsur, antara negasi dan aspek, seperti ti + ei ‘tidak+akan’ dalam kalimat au ti ei hali de uma ‘saya tidak akan pulang ke rumah’; negasi+modus, seperti ti+V+mloing ‘tidak+V+bisa’ dalam kalimat aung heng ti hali mloing dase kota ‘istri saya tidak bisa pulang dari kota’; modus+modus, seperti 418 los+V+mloing ‘harus+V+bisa’ dalam kalimat au los baca mloing ’saya harus bisa membaca’; dan aspek + modus, seperti kasai mloing ‘sudah bisa’ dalam kalimat Ali nagi kasai mloing ‘adik sudah bisa berenang’. 14. Konstruksi verba serial (KVS) BKm dapat dibangun oleh verba serial, baik yang terdiri atas dua verba maupun verba serial yang terdiri atas tiga verba. Baik KVS BKm yang dibangun oleh dua maupun tiga verba memiliki fungsi gramatikal satu subjek dan objek yang dimiliki secara bersama-sama. 11.2.3 Valensi Verba Pembahasan tentang valensi verba mencakup penelahaan tentang ketransitifan verba, valensi verba, dan mekanisme perubahan valensi verba BKm. Pembahasan mekanisme perubahan valensi verba meliputi pembahasan tentang konstruksi kausatif, konstruksi aplikatif (benefaktif), dan resultatif. Berikut diuraikan beberapa temuan yang terkait dengan pembahasan valensi verba BKm. 7. Pada hakikatnya, pembahasan valensi verba BKm terkait dengan proses penaikan/penambahan dan penurunan/pengurangan jumlah argumen yang hadir pada sebuah konstruksi klausa/kalimat. Proses penaikan/penambahan argumen yang hadir dalam sebuah klausa/kalimat dapat dijumpai pada pengkausatifan/konstruksi kausatif dan pengaplikatifan/konstruksi aplikatif. Sebaliknya, proses penurunan/pengurangan jumlah argumen dalam BKm dapat dijumpai pada proses pembentukan konstruksi resultatif, yang diturunkan dari konstruksi transitif menjadi konstruksi intransitif. 419 8. Konstruksi kausatif BKm dapat dibedakan berdasarkan dua parameter, yaitu parameter formal (morfosintaksis) dan parameter semantis. Berdasarkan parameter formal, konstruksi kausatif BKm dibagi menjadi dua, yaitu kausatif leksikal dan kausatif analitik. Kausatif analitik BKm dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dengan predikat yang diisi oleh verba intransitif, verba transitif, dan predikat adjektival. Di samping konstruksi kausatif yang dibangun oleh verba kausatif tau ’buat’, konstruksi kausatif BKm juga dapat dibentuk melalui verba kausatif laka ‘suruh’. Untuk membentuk konstruksi kausatif, verba laka ‘suruh’ hanya dapat diikuti verba intransitif dan transitif. 9. Tidak ditemukan adanya kausatif morfologis dalam BKm karena BKm secara tipologis digolongkan ke dalam bahasa isolasi sehingga tidak ditemukan pula proses afiksasi yang dapat membentuk konstruksi kausatif. 10. Berdasarkan parameter semantis, konstruksi kausatif BKm dibedakan pula berdasarkan (1) tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee) dan (2) parameter rentang waktu hubungan antara sebab dan akibat. Berdasarkan tingkat kendali tersebab (causee), konstruksi kausatif BKm dibedakan menjadi kausatif sejati dan kausatif permisif. Sementara, berdasarkan rentang waktu hubungan antara sebab dan akibat, konstruksi kausatif dibedakan menjadi kausatif langsung dan kausatif tak langsung. 11. Pembentukan konstruksi aplikatif dalam BKm dibangun oleh verba transitif dan pemarkah aplikatif podi yang menempati posisi setelah verba transitif. Hadirnya pemarkah podi ini secara otomatis meningkatkan jumlah argumen yang sebelumnya verba berargumen dua (subjek dan objek) langsung berubah 420 menjadi verba yang berargumen tiga (subjek, objek langsung, dan objek tak langsung). Pemarkah aplikatif podi secara otomatis memberikan ruang bagi argumen baru, yaitu objek tak langsung yang langsung hadir setelah verba dan pemarkah podi. 12. Konstruksi resultatif BKm dibangun dengan mekanisme pemasifan. Pemasifan merupakan salah satu mekanisme penurunan valensi. Pemasifan yang merupakan penurunan valensi verba untuk membentuk konstruksi resultatif BKm memiliki mekanisme tersendiri. Berbeda dengan bahasabahasa pada umumnya yang memiliki proses morfologis (afiksasi) untuk membentuk konstruksi pasif, BKm memiliki mekanisme tersendiri untuk membentuk konstruksi pasif, yaitu dengan menghadirkan pemarkah toma ‘dapat’ sebelum verba untuk membentuk konstruksi resultatif. Proses penurunan valensi melalui mekanisme pemasifan BKm dapat pula membentuk konstruksi antikausatif karena agen pada konstruksi antikausatif tidak pernah dinyatakan dan agen pada konstruksi pasif bersifat opsional, bisa hadir dan bisa tidak, seperti tersaji pada contoh klausa-klausa di atas. Dengan demikian, konstruksi pasif, antikausatif, dan resultatif memiliki kemiripan atau persamaan. Di samping konstruksi pasif analitik untuk menggambarkan konstruksi resultatif, BKm juga memiliki mekanisme lain untuk membentuk konstruksi resultatif, yaitu menghadirkan pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ yang hadir pada sebuah klausa/kalimat yang ditempatkan di akhir klausa/kalimat. Hadirnya pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ mengandung 421 makna bahwa sebuah peristiwa yang digambarkan oleh verba sudah berhasil dilakukan. 11.2.4 Fungsi dan Relasi Gramatikal Beberapa temuan yang terkait dengan fungsi dan relasi gramatikal tersaji di bawah ini. (1) Secara semantis, terdapat satu-satunya argumen pada klausa intransitif BKm yang memiliki fungsi gramatikal agen. Jika verba yang menempati posisi predikat klausa intransitif merupakan verba keadaan (atau predikat bukan verbal), subjek gramatikal pada klausa tersebut dapat berperilaku sebagai pasien. Sementara itu, subjek gramatikal pada klausa transitif BKm pada umumnya adalah agen, sedangkan objek gramatikal pada klausa transitif pada umumnya merupakan pasien. (2) Subjek merupakam relasi gramatikal inti dalam BKm. Subjek BKm dapat diidentifikasi berdasarkan sifat-perilaku atau properti yang dimiliki subjek. Properti tersebut meliputi hal-hal berikut. Pertama, subjek BKm muncul pada posisi praverbal pada struktur kanonis. Kedua, adverbial dapat disisipkan di antara argumen praverbal dan verbal. Pada posisi kanonik, argumen praverbal tersebut merupakan subjek sehingga antara subjek dan verbal dapat disisipi oleh adverbial. Ketiga, subjek BKm dapat direlatifkan dengan pemarkah ne ‘yang’. Selain subjek, BKm juga dapat merelatifkan argumen inti yang secara sintaksis berfungsi sebagai objek, baik objek langsung maupun objek tak langsung. Keempat, subjek dapat disisipkan dengan penjangka kambang. 422 Kelima, subjek dapat direfleksifkan. Keenam, argumen selain subjek (objek, baik OL maupun OTL) dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek melalui mekanisme penaikan. Ketujuh, subjek dapat difokuskan dengan pemarkah fokus te. Kedelapan, subjek dapat dikontrol. Kesembilan, frasa nomina tidak terang (PRO) berujuk silang dengan subjek pada klausa yang lebih tinggi. (3) Objek BKm merupakan argumen yang secara langsung mengikuti verbal atau argumen posverbal pada struktur kanonis. Objek BKm dapat diidentifikasi melalui proses pemasifan. Konstruksi pasif BKm merupakan konstruksi pasif analitik dengan kehadiran pemarkah toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba (praverbal). Objek BKm dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek dengan menghadirkan pemarkah analitik toma ‘dapat’. Di samping objek yang dapat diidentifikasi melalui posisinya yang secara langsung mengikuti predikat (verba) dan pemasifan, objek BKm juga dapat diidentifikasi dengan pengedepanan objek dan menempati posisi subjek melalui mekanisme pemfokusan dengan pemarkah fokus te yang hadir sebelum verba. Penentuan objek BKm juga dapat dilakukan dengan pengujian penyisipan adverbial. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa verba dan argumen yang secara langsung mengikuti verba tidak dapat disisipi adverbial. Sehubungan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa argumen yang secara langsung mengikuti verba diidentifikasi sebagai objek. Jadi, apabila sebuah konstruksi klausa/kalimat BKm tidak mengizinkan adanya penyisipan adverbial antara verba dan argumen yang secara langsung mengikutinya, argumen yang secara langsung mengikutinya adalah objek. 423 (4) Oblik BKm dibedakan atas oblik goal, oblik lokatif, oblik sumber (source), dan oblik instrumen. Semua oblik BKm dimarkahi preposisi. Preposisi pemarkah oblik BKm terdiri atas (1) de ’di/ke’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik lokatif, (2) dase ‘dari’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik sumber (source), dan (3) odi ‘dengan/kepada/untuk’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik goal dan oblik instrumen. (5) Komplemen BKm ditandai dengan kehadiran pemerlengkap. Pemerlengkap BKm terdiri atas pemerlengkap bobe ‘bahwa’ dan pemerlengkap nuabe ‘supaya’. (6) Adjung BKm ditandai dengan kehadiran adverbial dan preposisi. Adjung dalam bentuk adverbial menempati posisi akhir klausa, sedangkan adjung yang berupa preposisi modifier menempati posisi akhir klausa tersebut. Khusus untuk adjung yang berupa preposisi modifier, kehadirannya dalam sebuah klausa hanya dapat menempati posisi akhir dari sebuah klausa; sedangkan adjung yang berupa adverbial dapat menempati posisi awal dan tengah klausa. (7) Relasi gramatikal inti BKm adalah subjek dan objek. Subjek pada struktur kanonis menempati posisi praverbal, sedangkan objek pada struktur kanonis menempati posisi posverbal. 11.2.5 Kalimat Kompleks Beberapa temuan penelitian terkait dengan pembahasan kalimat kompleks BKm adalah berikut ini. 424 1. Penelaahan perelatifan BKm didasarkan pada pendekatan hierarki relasi gramatikal, yakni hierarki ketercapaian (accessibility hierarchy). 2. Pembahasan perelatifan di atas menunjukkan bahwa seluruh relasi gramatikal yang meliputi subjek, objek (langsung dan tak langsung), dan relasi oblik dalam BKm dapat direlatifkan secara langsung tanpa melalui kiat ‘penurunan diatesis’ atau kiat ‘penandaan verba’. Dengan demikian, BKm dan bahasa Inggris memiliki persamaan, yaitu dapat merelatifkan semua relasi gramatikalnya. Kenyataan ini memberikan isyarat bahwa BKm merupakan bahasa yang bertipologi akusatif secara sintaktis, sama seperti bahasa Inggris yang merupakan bahasa bertipologi akusatif. 3. Kata penghubung (konjungsi) subordinatif yang digunakan untuk menghubungkan klausa utama (induk) dengan klausa purposif dalam BKm adalah nuabe ‘supaya’ dan odi ‘untuk’. Klausa purposif BKm merupakan adjung (keterangan) dari klausa intransitif yang merupakan klausa utamanya. Agen klausa purposif yang merupakan satu-satunya argumen muncul secara tersirat ditandai dengan ([ ]) dan berujuk silang (co-reference) dengan subjek klausa utamanya. 4. Agen yang merupakan satu-satunya argumen klausa utama yang merupakan klausa intransitif berpredikat nonverbal berujuk silang (co-reference) dengan agen pada klausa purposif. 5. Terkait dengan kalimat kompleks yang dibangun oleh klausa utama yang merupakan klausa transitif dan klausa purposif dapat dikemukakan bahwa klausa-klausa purposif dalam BKm merupakan adjung (keterangan) dari 425 klausa intransitif yang merupakan klausa utamanya. Agen klausa purposif yang merupakan satu-satunya argumen muncul secara tersirat ditandai dengan ([ ]) pada contoh kalimat di atas berujuk silang (co-reference) dengan subjek klausa utamanya. Subjek klausa purposif dapat berkoreferensi, baik dengan subjek klausa utama maupun objek klausa utama. Hal ini sangat tergantung pada verba yang menempati fungsi predikat klausa tersebut. 6. Kalimat kompleks dengan klausa alasan menggunakan konjungsi subordinatif pita ‘karena’. Objek klausa alasan dapat berujuk silang dengan subjek klausa utama atau objek klausa utama. Hal ini sangat ditentukan oleh verba yang menempati posisi predikat kalimat kompleks tersebut. 7. Perilaku gramatikal klausa pemerlengkap ditunjukkan dengan hadirnya verba tak-terbatas. Verba tak-terbatas tersebut berfungsi sebagai pemerlengkap predikat yang lebih tinggi. Verba tak-terbatas yang menandai klausa pemerlengkap BKm dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu verba jenis ‘ingin’, verba jenis ‘tahu’, dan verba jenis ‘mengatakan’. 8. Kalimat kompleks dengan klausa pemerlengkap berpredikat verba jenis ‘tahu’ memiliki perilaku gramatikal yang berbeda dengan perilaku yang diperlihatkan oleh klausa pemerlengkap yang berverba jenis ‘ingin’. Apabila klausa pemerlengkapnya berverba jenis ‘tahu’, S atau subjek klausa pemerlengkap tersebut berujuk-silang dengan O atau P klausa induk. Sementara itu, apabila klausa pemerlengkapnya berverba jenis ‘ingin’, S atau subjek klausa pemerlengkap tersebut berujuk-silang dengan S klausa induk 426 dan S atau subjek pemerlengkap dapat pula berujuk silang dengan P klausa induk melalui mekanisme penopikan. 9. Pada klausa pemerlengkap dengan verba jenis ‘mengatakan’, S klausa pemerlengkapnya berkoreferensi dengan P klausa induk. 11.2.6 Tipologi Sintaksis Pembahasan tentang tipologi sintaksis BKm mencakup konstruksi sintaksis: konstruksi dengan verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatif, konstruksi subordinatif, pembentukan kalimat tanya, dan diatesis BKm. Beberapa temuan terkait dengan pembahasan tipologi sintaksis BKm diuraikan sebagai berikut. 1. Penentuan tipologi sintaksis BKm dilakukan dengan mengamati perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis BKm yang meliputi konstruksi dengan verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatif, konstruksi subordinatif, dan pembentukan kalimat tanya. 2. Konstruksi dengan verba tak terbatas dan konstruksi dengan pemerlengkap jusif menunjukkan bahwa jika S berkoreferensi dengan A, pelesapan salah satu argumen dapat dilakukan secara langsung. Namun, apabila S berkoreferensi dengan P, proses penurunan (derivasi) sintaksis melalui penopikan dan pemasifan (pasif analitik) dibutuhkan. Dengan demikian, BKm memperlihatkan bahwa A diperlakukan sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda dengan P. 427 3. Pengujian pivot terhadap konstruksi koordinatif dan subordinatif berdasarkan sebelas kerangka kerja yang dikemukakan oleh Dixon (1998) menunjukkan bahwa BKm bekerja dengan pivot S/A. Simpulan ini diambil berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan pada saat proses penggabungan dua klausa, baik secara koordinatif maupun subordinatif, yang menunjukkan proses pelesapan dapat terjadi secara langsung apabila S berujuk silang dengan P. Apabila S berujuk silang dengan P, proses penurunn (derivasi) sintaksis melalui penopikan dan pemasifan (pasif analitik) diperlukan. 4. Pembentukan kalimat tanya BKm juga menunjukkan bahwa A diperlakukan sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda dengan P. 5. Pengamatan perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis menunjukkan bahwa secara sintaksis BKm merupakan bahasa yang memiliki sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda kepada P. Sistem aliansi gramatikal BKm tersebut digambarkan sebagai berikut. S A p atau S = A, ≠ P 6. Sistem aliansi gramatikal menunjukkan bahwa BKm memperlakukan A sama dengan S dan berbeda dengan P sehingga BKm dapat dikelompokkan sebagai bahasa yang bertipologi akusatif. 428 7. BKm memiliki diatesis aktif-pasif yang merupakan salah satu ciri penting dalam bahasa bertipologi akusatif. Di samping diatesis aktif-pasif, BKm juga memiliki diatesis medial. 11.3 Saran-Saran Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tipologi sintaksis BKm yang didasarkan pada penelahaan struktur dasar dan kalimat kompleks. Disadari bahwa penelitian yang dilakukan ini memiliki keterbatasan, baik keterbatasan dalam hal permasalahan yang dicoba dijawab maupun penerapan teori yang dilakukan dalam penelitian ini sehingga masih menyisakan aspek-aspek bahasa BKm yang lain bagi para linguis atau pemerhati bahasa untuk melakukan penelitian-penelitian lainnya terhadap BKm. Terkait dengan keterbatasan penelitian ini, terdapat beberapa masalah yang masih perlu dikaji lebih lanjut. Misalnya, terkait dengan tipologi morfologis BKm. Sejauh ini penelitian ini tidak menemukan adanya pemarkah morfologis yang dapat digunakan untuk menentukan tipologi morfologis BKm. Kesulitan untuk menentukan tipologi morfologis BKm disebabkan oleh tidak adanya pemarkah yang memarkahi S (satu-satunya argumen klausa intransitif), A subjek transitif, dan O (objek transitif). Masalah lain yang belum juga diungkap pada penelitian kali ini adalah terkait dengan tipologi pragmatis. Dari segi penerapan teori, penelitian ini hanya menggunakan teori tipologi bahasa sehingga belum dapat mengungkap seluruh aspek sintaksis BKm. Dengan demikian, peluang 429 yang besar untuk para linguis atau pemerhati bahasa untuk melakukan penelitian lanjutan dengan mengaplikasikan teori baru masih terbuka lebar. Tidak dapat dimungkiri bahwa penelitian-penelitian bahasa di wilayah Timur Indonesia diawali dan lebih banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti asing sehingga mereka lebih dahulu mampu memberikan deskripsi tentang karakteristik bahasa-bahasa di wilayah Timur Indonesia. Namun, hasil penelitian yang disajikan pada disertasi ini memiliki arti penting bagi kemajuan penelitian linguistik Indonesia. Penelitian ini juga sekaligus diharapkan dapat menjadi panduan untuk penelitian-penelitian lanjutan terhadap BKm. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memicu dan memacu penelitian-penelitian lanjutan, baik terhadap fenomena linguistik BKm yang belum terungkap maupun penelitian-penelitian terhadap bahasa lain di wilayah Timur Indonesia. 430 DAFTAR PUSTAKA Aissen, Judith. 1982. Valence and Coreferennce. Dalam Paul J. Hopper dan Sandra A Thompson (Ed) Studies in Transitivity: 7 – 35. New York: Axademic Press. Alsina, A., Joshi, S. 1991. Parameters in Causative Constructions. Chicago Linguistics Society 27. Hal 2--16. Alsina, Alex. 1992. The Role of Argument Structure in Grammar: Evidence from Romance. Stanford. California: CSLI Publishers. Alsina, Alex. 1996. On the Argument Structure of Causative. Linguistic Inquiry 23: 517—555. Alsina, A., Bresnan, J., Sells, P., (editor) 1997. Complex Predicate. Stanford, Ca;ifornia. CSLI Publishers. Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H., Moeliono, A. M. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Andrews. Avery D. 2007. Relative Clauses. Dalam Timothy Shopen (Ed). Language Typology and Syntactic Description. Vol II. Hal: 206—236. Cambridge: Cambridge University Press. Arka, I Wayan. 1993. “Morpholexical Aspects of the-Kan Causative in Indonesia” (tesis). Sydney: University of Sydney. Arka, I Wayan. 1998. “From Morphosyntac to Pragmatics in Balinese: A Lexical Functional Approach” (disertasi). Sydney: University of Sydney. Arka, I Wayan. 2000. “Beberapa Aspek Intransitif Terbelah pada Bahasa Nusantara”: Makalah dipresentasikan pada Austronesia Formal Linguistic. Artawa, Ketut. 1994. “Ergativity and Balinese Syntax” (disertasi). Melbourne: La Trobe University. Artawa, Ketut 1996. Keergatifan Sintaksis dalam Bahasa Bali, Sasak, dan Indonesia. Dalam PELLBA 10. Jakarta: Lembaga Bahasa Universitas Katholik Atma Jaya. Artawa, Ketut 1998. Ergativity and Balinese Syntax. Dalam NUSA Vol. 42--44. Jakarta : Pusat Kajian Bahasa dan Budaya. 431 Artawa, Ketut. 2012. The Basic Verb Construction in Balinese. Dalam Alexander Adelaar (Ed.) Voice Variation in Austronesian Language of Indonesia. NUSA 54, 5-27. Bach E. 1982. Purpose Clauses and Control. Dalam Jacobson & Pullum, op.cit. Blake, Barry J. 1990. Relational Grammar. London: Routledge. Bresnan, J. 1995. Lexical Functional Syntax. Stanford: Stanford University. Bresnan, J. 2001. Lexical Functional Syntax. Oxford: Blackwell Publishers. Brown, Kieth and Jim Miller. 1994. Syntax: Sentence Structure. London: Routledge. A Linguistics Introduction to Budiarta, I Wayan. 2009. “Aliansi Gramatikal Bahasa Dawan: Kajian Tipologi Bahasa” (tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. Butt, M., King, T. H., Nino. M. E., Segond, F. 1999. Cookbook. Stanford: California CSLI Publishers. A Grammar Writers Comrie, B. 1983, 1989. Language Universal and Linguistic Typology. Oxford: Basil Blackwell. Comrie, B. 1983, 1989. “Linguistic Typology”. Dalam Newmeyer, F. J. (Ed.) Linguistics : The Cambridge Survey. Vol I. Hal : 447--467. Cambridge: Cambridge University Press. Crystal, David. 1985. A Dictionary of Lingistics and Phonetics. New York: Basil Blackwell Ltd. Culicover, P. W. 1997. Principles and Parametersz; An Introduction to Syntactic Theory. Oxford: Oxford University Press. Dally, J. et al. 1981. A Course in Basic Grammatical Analysis. Hunlington Beach, California: Summer institute of Linguistics. Dixon. R.M.W. 1967. Studies in Ergativity: Introduction. Lingua 71 Hal. 1--15. Dixon. R.M.W. 1994. Ergativity. Cambridge: Cambridge University Press. Dixon, R.M.W. 2010. Basic Linguistic Theory. Vol 2. Oxford: Oxford University Press. 432 Djajasudarma, T. Fatimah. 1993a. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco. Durie, Mark. 1977. Grammatical Structure in Verb Serialization. Dalam Alsina Alex, Joan Bresnan, dan Peter Sells (Ed.). Complex Predicate. 289--354. Stanford California CSLI. Emmitt, Marie dan Pollock, John. 1997. Language and Learning: An Introduction for Teaching. Australia: Oxford University Press. Foley, William. A. dan Van Valin Jr., Robert D. 1984. Functional Syntax and Universal Grammar. Cambridge: Cambridge University Press. . Givon. T. 1984. Syntax A Fuctional-Typological Introduction. Vol. 1. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Givon. T. 1990. Syntax A Fuctional-Typological Introduction. Vol. II. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Haegeman, L. 1993. An Introduction to Goverment an Binding Theory. Oxford: Blackwell. Haspelmath, Martin. 2002. Understanding Morphology. London: Arnold. Jones, C. 1985. Agent, Patient, and Control in Purpose Clauses. Dalam CLS 21, Bagian 2, April 1985; Chicago: Chicago University Linguistics Seminars Jufrizal. 2004. “Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Katamba, Francis. 1993. Modern Linguistics Morphology. London: Macmillan Press LTD. Kosmas, Jeladu. 2000. “Argumen Aktor dalam Bahasa Manggarai dan Pemetaan Fungsinya” (tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana Kozinsky, Isaac., Polinsky, Maria. 1993. Causative and Patient in the Causative Transitive: Coding Conflict or Doubling of Grammatical Relations. Dalam Comrie dan Polinsky (Ed.). Causative and Transitivity: 177— 240. Amsterdam.Philadelphia: John Benjamin Publishing Company. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Lingusitik. (Edisi Ketiga). Jakarta: Penerbit PT Gramedia. 433 Kroeger, Paul R. 1999. Grammar 2: Syntax. Australia: Summer Institute of Linguitics. Kuiper, K. and Allan, W. S. 1996. An Introduction to English Language. London: Macmillan Press Ltd. Lapoliwa, Hans. 1990. Klausa Pemerlengkapan dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Lord, Carol. 1993. Historical Change in Serial Verb Constructions. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company. Lyons, J. 1987. Introduction to Theoretical Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mallinson, Graham, Blake, B. J. 1981. Language Typology: Cross-Linguistic Studies in Syntax. Amsterdam: North Holland Publishing Company. Mandaru, A. Mans., Haan, John W., Liufeto, G. 1998. Morfologi dan Sintaksis Bahasa Kemak. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Manning, C. D. 1996. Ergativity: Argument Structure and Gramamtical Relation. Stanford: California CSLI Publications. Maryanto, Sandi. 1985. Pemetaan Bahasa di NTT. Kupang: Universitas Nusa Cendana. Matthews, P. H. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford: Oxford University Press. Mithun, Marrianne. 2001. Who Shapes the Record, the Speaker and the Linguist. Dalam Newman, Paul and Martha Ratliff, Editors. Linguistics Fieldwork. First Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Noonan, Michael. 2007. Complementation. Dalam Timothy Shopen (Ed). Language Typology and Syntactic Description. Vol II. Hal: 52--150. Cambridge: Cambridge University Press Palmer, F. R. 1994. Grammatical Roles and Relations. Cambridge: Cambridge University Press. Parera, Jos Daniel. 1993. Sintaksis. Ende-Flores: Nusa Indah. 434 Payne, T. E. 1997 , 2002. Describing Morphosyntac: A Guide for Field Linguists. Cambridge: Cambridge University Press. Purwo, Bambang Kaswanti. 1980. Untaian Teori Sintaksis 1979--1980-an. Jakarta: Arcan. Radford, Andrew. 2004. Minimalist Syntax: Exploring the Structure of English. Cambridge: Cambridge University Press. Sadnyana, I Nengah Semeta., Sutama, I Putu., Sunihati Anak Agung Dewi., Aridawati, Ida Ayu Putu. 1996. Struktur Bahasa Kemak. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Samarin, William J. 1998. Ilmu Bahasa Lapangan. (J. S. Badudu Penerjemah) Yogyakarta: Kanisius. Satyawati, Made Sri. 2009. “Valensi dan Relasi Sintaksis Bahasa Bima” (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. Shibatani, Masayoshi (Ed.). 1976. Syntax and Semantic: The Grammar of Causative Construction. New York: Academic Press. Shibatani, Masayoshi. 1996. Applicative and Benefactives. A Cognitive Acount. Dalam Shibatani, Masayoshi dan Sandra A Thompson. (ed.) Grammatical Construcstion: Their Form and Meaning: 157—194. Oxford: Clarendon Press. Song, Jae Jung. 2001. Linguistic Typology: Morphology and Syntax. London: Longman. Stassen, Leon. 1997. Intransitive Predicate. Oxford: Clarendon Press. Stevens, Alan M. 1967. Kemak: An Austrinesian Language. Dalam Anthropological Linguistics Vol 9. No 1. Januari 1967. Hal: 26—32. Suciati, Ni Luh Gede. 2000. “Aliansi Gramatikal dan Diatesis Bahasa Tetun Dialek Fehan: Sebuah Analisis Leksikal Fungsional” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Alfabeta. 435 Thompson, Sandra A; Longacre, Robert E; dan Hwang, Shin Ja J, 2007. Adverbial Clauses. Dalam Timothy Shopen (Ed). Language Typology and Syntactic Description. Vol II. Hal: 237--300. Cambridge: Cambridge University Press Trask , R. L. 1993. A Dictionary of Grammatical Terms in Linguistics. London: Routledge. Van Valin, Jr, Robert D and Randy J. Lapolla. 1999. Syntax and Structure: Meaning and Function. Cambridge: Cambridge University Press. Verhaar, John W. M. 1980. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Verhaar, John W. M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. White, Leslie A. dan Beth Dillingham. 1973. The Concept of Culture. Burgess Publishing Company. Widaningsih, Margaretha Sri. 1997. “Relasi Gramatikal dalam Kalimat Bahasa Tetun Dili” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Yudha, I Ketut. 2011. “Struktur dan Fungsi Gramatikal Bahasa Lio” (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. 436 LAMPIRAN Lampiran 1 PETA BAHASA-BAHASA LOKAL DI PROVINSI NUSA TENGGARATIMUR DAN SEKITARNYA 437 Lampiran 2 PETA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 438 Lampiran 3 PETA ADMINISTRASI KABUPATEN BELU 439 Lampiran 4 PETA LOKASI PENELITIAN LOKASI PENELITIAN 440 Lampiran 5 SURAT IZIN PENELITIAN 441 442 443 444 445 Lampiran 6 DATA KLAUSA BAHASA KEMAK (1) Lari Au plai ‘Saya lari’ O plai ‘Engkau lari’ Imi plai ‘Kalian lari’ Ua plai ‘Dia (laki-laki.perempuan) lari’ Ita plai ‘Kita lari’ Ami plai ‘Kami lari’ Roma plai ‘Mereka lari’ Ana senua plai ‘Anak itu lari’ Pius plai ‘Pius lari’ Plai! lari (2) Berjalan Au sole ‘Saya berjalan’ O sole ‘Kamu berjalan’ Ua sole ‘Dia berjalan’ Pius sole ‘Pius berjalan’ Anag senua sole ‘Anak itu berjalan’ Asu senua sole ‘Anjing itu berjalan’ Ita sole ‘Kita berjalan’ Ami sole ‘Kami berjalan’ Imi sole ‘Kalian berjalan’ Roma sole ‘Mereka berjalan’ 446 Ana senua sole Anak itu berjalan Sole ‘Jalan!’ (3) Menari Au huri ‘Saya menari’ O huri ‘Engkau menari’ Ua huri ‘Dia menari’ Senua huri ‘Itu menari’ Ita huri ‘Kita menari’ Ami huri ‘Kami menari’ Imi huri ‘Kalian menari’ Roma huri ‘Mereka menari’ Ana senua huri ‘Anak itu menari’ Pedro huri ‘Pedro menari’ Huri! Menari ! (perintah) (4) Pergi dan Datang Au la de iskola harang-harang ‘Saya pergi sekolah setiap hari’ Au mai de iskola harang-harang ‘Saya datang ke sekolah setiap hari’ Au la/mai de iskola harang-harang ‘Saya pergi/datang ke sekolah setiap hari’ Imi la/mai de iskola harang-harang ‘Kalian pergi/datang ke sekolah setiap hari’ Imi mai dase iskola ‘Kalian datang dari sekolah’ O mai dase iskola ‘Engkau datang dari sekolah’ Au mai dase iskola ‘Saya datang dari sekolah’ Ua la de iskola ‘Dia pergi sekolah’ 447 Ita la de iskola ‘Kita pergi sekolah’ Imi la de iskola ‘Kalian pergi sekolah’ Roma la de iskola ‘Mereka pergi ke sekolah’ Ana senua la de iskola ‘Anak itu pergi sekolah’ Pius la de iskola ‘Pius pergi ke sekolah’ Pius no au la de iskola ‘Pius dan saya pergi ke sekolah’ Pius no Maria la de iskola ‘Pius dan Maria pergi ke sekolah’ (5) Duduk dan Berdiri Au mudu de korsi ‘Saya duduk di kursi’ Ua mudu de korsi krosi ‘Dia duduk di kursi’ (laki-laki) Ua mudu de korsi krosi ‘Dia duduk di kursi’ (perempuan) Roma mudu de korsi ‘Mereka duduk di kursi’ Imi mudu de korsi ‘Kalian duduk di kursi’ Au arah ‘Saya berdiri’ Imi arah ‘Kalian berdiri’ O arah ‘Engkau duduk’ Ua arah ‘Dia Roma arah ‘Mereka berdiri’ (6) Menunduk Au bu’u ‘Saya menunduk’ O bu’u ‘Engkau menunduk’ Ua bu’u ‘Dia menunduk’ Ami bu’u ‘Kami menunduk’ 448 Roma bu’u ‘Mereka menunduk’ Ita bu’u ‘Kita menunduk; Imi bu’u ‘Kalian menunduk’ Ana senua bu’u ‘Anak itu menunduk’ (7) Mati Au mate ‘Saya mati’ Ua mate ‘Dia mati’ Roma mate ‘Mereka mati’ Ita mate ‘Kita mati’ Ami mate ‘Kami mati’ Imi mate ‘Kalian mati’ (8) Jatuh Au mnahu dase ai laung ‘Saya jatuh dari pohon’ Ua mnahu dase ai laung ‘Dia jatuh dari pohon’ Ita mnahu dase ai laung ‘Kita jatuh dari pohon’ Ami mnahu dase ai laung ‘Kami jatuh dari pohon’ Roma mnahu dase ai laung ‘Mereka jatuh dari pohon’ Imi mnahu dase ai laung ‘Kalian jatuh dari pohon’ Hine koet senua mnahu dase ia laung ‘Gadis cantik itu jatuh dari pohon’ Pius no Maria mnahu dase ai laung ‘Pius dan Maria jatuh dari pohon’ (9) Berkeringat Au honung ‘Saya berkeringat’ O honung ‘Engkau berkeringat’ 449 Ua honung ‘Dia berkeringat’ Ita honung ‘Kita berkeringat’ Ami honung ‘Kami berkeringat’ Roma honung ‘Mereka berkeringat’ Imi honung ‘Kalian berkeringat’ Mane senua honung ‘Laki-laki itu berkeringat’ Pius no Maria honung ‘Pius dan Maria berkeringat’ (10) Lelah Au koleng ‘Saya lelah’ O koleng ‘Engkau lelah’ Ua koleng ‘Dia lelah’ Ita koleng ‘Kita lelah’ Ami koleng ‘Kami lelah’ Roma koleng ‘Mereka lelah’ Imi koleng ‘Kalian lelah’ Atmas senua koleng ‘Orang itu lelah’ Pius no Maria koleng ‘Pius dan Maria lelah’ (11) Lapar Au slaing ‘Saya lapar’ Ua slaing ‘Dia lapar’ Ita slaing ‘Kita lapar’ Roma slaing ‘Mereka lapar’ Imi slaing ‘Kalian lapar’ 450 Ana senua slaing ‘Anak itu lapar’ Pius no Maria slaing ‘Pius dan Maria lapar’ (12) Verba Transitif Au tutu imi ‘Saya memukul kalian’ Au tutu o ‘Saya memukul engkau’ Au tutu ua ‘Saya memukul dia’ Au tutu roma ‘Saya memukul mereka’ Imi tutu ua ‘Kalian memukul dia’ Imi tutu roma ‘Kalian memukul mereka’ Ita tutu ua ‘Kita memukul dia’ Ua tutu ita ‘Dia memukul kita’ Au tutu mane senua ‘Saya memukul laki-laki itu’ Atmas senua tutu mane senua ‘Orang itu memukul laki-laki itu’ (13) Imi tutu au ‘Kalian memukul saya’ O tutu au ‘Engkau memukul saya’ Ua tutu au ‘Dia memukul saya’ Roma tutu au ‘Mereka memukul saya’ Ua tutu imi ‘Dia memukul kalian’ Roma tutu imi ‘Mereka memukul kalian’ Ami tutu lia ‘Kami memukul dia’ Ua tutu ami ‘Dia memukul kami’ Mane senua tutu au ‘Laki-laki itu memukul saya’ Mane senua tutu atmas senua ‘Laki-laki itu memukul orang itu’ Agen Fokus (AF) dan Pasien Fokus (PF) O tutu aut Anda memukul saya (AF) Pius tutu au Pius memukul saya (AF) Au te o tutu Saya anda pukul (PF) Au te ua tutu Saya dia pukul (PF) Au toma tutu dase Pius Saya dipukul oleh Pius (Pasif) Au toma tutu dase o Saya dipukul oleh engkau (Pasif) Pius sali manu senua ‘Pius menangkap ayam itu’ Pius sali manu lear ‘Pius menangkap banyak ayam’ Pius sali au ‘Pius menangkap saya’ 451 Pius sali imi ‘Pius menangkap kamu’ Pius sali ua ‘Pius menangkap dia’ Pedro sali imi ‘Pedro menangkap kamu’ Pius sali ita ‘Pius menangkap kita’ Pius sali ami ‘Pius menangkap kami’ Pius sali roma ‘Pius menangkap mereka’ (14) Perelatifan/Klausa Relatif Mane senua tutu hine senua ‘Laki-laki itu memukul wanita itu’ Au tada mane senua ne unu hine senua ‘Saya tahu laki-laki yang menikam perempuan itu’ Au tada hine senua ne mane senua unu ‘Saya tahu wanita yang laki-laki itu tusuk’ (15) Aktif/PF/Pasif Mane senua unu hine senua ‘Laki-laki itu menikan wanita itu’ Mane senua unu hine senua ‘Laki-laki itu menikan wanita itu’ Hine senua te mane senua unu ‘Wanita itu laki-laki itu tikam’ (PF) Hine senua toma unu dase mane senua ‘Wanita itu ditikam oleh laki-laki itu’ (pasif) Hine senua mane unu mane senua ‘Wanita itu menikam laki-laki itu’ Ita unu mane senua ‘Kita menikam laki-laki itu’ Mane senua unu au ‘Laki-laki itu menikam saya’ Au te mane senua unu ‘Saya laki-laki itu tikam’ (PF) Au toma unu dase mane senua ‘Saya ditikam oleh laki-laki itu’ (pasif) Roma mane senua te unu ‘Mereka laki-laki itu tikam’ (PF) Hine senua mane te unu ‘Wanita ditikam oleh laki-laki itu’ (pasif) Mane senua unu roma ‘Laki-laki itu menikam mereka’ 452 Mane senua unu ua ‘Laki-laki itu menikam dia’ Mane senua unu roma ‘Laki-laki itu menikam mereka’ Ua te mane senua te unu ‘Dia laki-laki itu tikam’ (PF) Ua toma unu dase mane senua ‘Dia ditikam oleh laki-laki itu’ (pasif) (16) Perelatifan/Nominalisasi Imi atmas ne plai odi lolor ‘Kalian adalah orang yang melarikan diri’ Atmas ne plai odi lolor aung sabar ‘Orang yang melarikan diri adalah teman saya’ Mane anak senua plai aung sabar ‘Anak laki-laki yang melarikan diri adalah teman saya’ Roma ne plai aung sabar ‘Mereka yang melarikan diri adalah teman saya’ (17) Kontrol Au e unu mane senua ‘Saya mau un menikam laki-laki itu’ Roma te mane senua unu ‘Mereka laki-laki itu’tikam (PF) Roma toma unu dase mane senua ‘Mereka ditikam oleh laki-laki itu (pasif) Mane senua unu roma ‘Laki-laki itu menikam mereka’ Mane senua e unu roma ‘Laki-laki itu mau menikam mereka’ Mane senua e unu au ‘Laki-laki itu mau menikam saya’ Imi e unu au ‘Kalian mau menikam saya’ Imi e me’u au ‘Kalian mau mencium saya’ Imi e me’u au ‘Kalian mau mencium saya’ Au ber me’u ua ‘Saya ingin mencium dia’ (18) Perintah Pius me’u o ‘Pius mencium engkau’ Au laka o me’u Pius ‘Saya suruh kamu mencium Pius’ 453 Au laka o toma me’u dase Pius ‘Saya suruh kamu dicium Pius’ Ua laka au toma me’u dase Pius ‘Dia suruh saya dicium oleh Pius’ Pius kabeng (no) aung anang ‘Pius menikah (dengan)/menikahi anak saya’ Au laka aung anang kabeng (no) Pius ‘Saya suruh anak saya menikah (dengan)/menikahi Pius’ Au e o eme’u Pius ‘Saya mau kamu mencium Pius’ Au he la de basar ‘Saya mencoba pergi ke pasar’ Au e la basar ‘Saya mau pergi ke pasar’ Au e dadi mlarung ‘Saya mau menjadi tinggi’ (19) (20) Reflexives Pius tutu au ‘Pius memukul saya’ Au tutu du’uk lolog ‘Saya memukul diri sendiri’ Ua basa du’uk lolog ‘Dia menampar diri sendiri’ Ita tutu du’uk lolog Kita memukul diri sendiri Au tutu Pius ‘Saya memukul Pius’ Imi tutu du’uk lolog Kalian memukul diri sendiri O neu du’uk lolog Engkau melihat diri sendiri Ami para du’uk lolog ‘Kami memukul diri sendiri’ Ita me’u arag ‘Kita saling cium’ Roma basa arag ‘Mereka saling tampar’ Imi tutu du’uk imi lolor ‘Kalian memukul diri kalian sendiri Para ua /tutu ua ‘Pukul dia!’ Roma tutu du’uk roma lolor ‘Mereka memukul diri mereka sendiri Para mane senua ‘Pukul laki-laki itu’ Verba Serial / Aplikatif Au ala payung sea ‘Saya membeli sebuah payung’ Au ne payung odi aung inang ‘Saya memberikan payung untuk ibu saya’ Au ala payung sea odi aung inang ‘Saya membelikan sebuah payung untuk ibu saya’ Au ala payung sea kahi au ne odi aung inang ‘Saya membeli sebuah payung kemudian memberikan kepada ibu saya Hine ne au ala payung aung inang ‘Perempuan yang saya belikan payung ibu saya’ 454 Au lo’e saca matang odi aung inang ‘Saya membuka pintu untuk ibu saya’ Bentuk kepemilikan/Kepemilikan Au no ana ‘Saya punya anak’ Au no ana telu ‘Saya memiliki tiga anak’ Imi no ana ubung telu ‘Kalian memiliki tiga anak’ Imi no ana boteng ubung telu ‘Kamu memiliki tiga anak yang besar’ Au no ana hine ubung telu ‘Saya memiliki tiga anak perempuan’ Pius go aung sabang ‘Pius adalah teman saya’ Pius no Maria aung sabang ‘Pius dan Mari teman saya’ Ita no ana hlima ‘Kita punya anak lima’ Ua no her koet ‘Dia punya istri cantik’ Oung her koet ‘Istri kamu/mu cantik’ Au no uma boteng ‘Saya punya rumah besar’ Ami no osa lear ‘Kami punya banyak uang’ Aung no garang boteng ‘Saya punya kepala besar’ Aung garang boteng ‘Kepala saya besar’ Ua no matang boteng ‘Dia punya mata besar’ Uang matang boteng ‘Mata dia besar’ Ana ne matang boteng aung anag ‘Anak yang matanya besar anak saya’ Ana ne garang boteng aung anag ‘Anakyang kepalanya besar anak saya’ Aung garang boteng ‘Kepala saya besar’ O no oer mlarung ‘Engkau punya kaki panjang’ Aung garang gbarang ‘Kepala saya sakit’ 455 Aung uma Aung anang Aung limang ‘Rumah saya’ ‘Anak saya’ ‘Tangan saya’ Itang uma Itang anang Itang limang ‘Rumah kita’ ‘Anak kita’ ‘Tangan kita’ Oung uma oung anang Oung limang ‘Rumah engkau’ ‘Anak engkau’ ‘Tangan engkau’ Noung uma Noung anang Noung limang ‘Rumahnya/dia’ ‘Anaknya/dia’ ‘Tangannya/dia’ Itang uma Itang anang Itang limang ‘Rumah kita’ ‘Anak kita’ ‘Tangan kita’ Aming uma aming anang Aming limang ‘Rumah kami’ ‘Anak kami’ ‘Tangan kami’ Iming umu Iming anang Iming limang ‘Rumah kalian’ ‘Anak kalian’ ‘Tangan kalian’ Pedro no uma Pedro no ana Pedro nolimang ‘Pedro punya rumah’ ‘Pedro punya anak’ ‘Pedro punya tangan’ Pedro noung uma Pedro noung ana Pedro nolimang ‘Rumah Pedro’ ‘Anak Pedro’ ‘Tangan Pedro’ Au me’u ua Imi me’u au ‘Saya mencium kamu’ ‘Kamu mencium saya’ Au me’u ua Ua me’u au ‘Saya mencium dia’ ‘Dia mencium saya’ Au me’u Pius Pius me’u au ‘Saya mencium Pius’ ‘Pius mencium saya’ Pius me’u Maria Mane senogo me’u hine sanua Pius mencium Maria’ ‘Laki-laki ini mencium wanita itu’ Au liu asu senua Asu senua li’u busa senua ‘Saya mengejar anjing itu’ ‘Anjing itu mengejar kucing itu’ Au liu ua Ua liu au ‘Saya mengejar dia’ ‘Dia mengejar dia’ Imi liu au Imi liua ua ‘Kalian mengejar saya’ ‘Kalian mengejar dia’ Ua liu imi ‘Dia mengejar kalian’ Au bebei ua Ua bebei au ‘Saya mengikuti dia’ ‘Dia mengikuti saya’ Imi bebei au ‘Kalian mengikuti saya’ Au ele aung asu Au ele aung asu ‘Saya mencari anjing saya’ ‘Dia mencari anjing saya’ Imi ele aung asu ‘Kalian mencari anjing saya’ (21) Verba Ingnestif Au a etu ‘Saya makan nasi’ 456 Au enu bea ‘Saya minum air’ Au hnoring Inggris leuhu’ung de iskola ‘Saya belajar bahasa Inggris di sekolah’ Au baca buku de iskola ‘Saya membaca buku di sekolah’ Au nae poto senua ‘Saya melihat foto itu’ (22) Kognisi Au tada mane senua ‘Saya tahu laki-laki itu’ Au tada habu senua ‘Saya tahu jawaban itu’ Au tada lehug senua ‘Saya tahu masalah itu’ Au hanoing aung inang ‘Saya memikirkan ibu saya’ (23) Berbicara Au dale Dale ‘Saya (ber)bicara’ Bicara Au dale Indonesia leuhu’ung ‘Saya bicara bahasa Indonesia’ Au dale no ua ‘Saya bicara dengan dia’ Ua dale te inang ‘Dia (laki-laki/perempuan) bicara tentang ibunya’ Ua dale de au ‘Dia (laki-laki/perempuan) berbicara kepada saya’ (24) TAM (Tense Aspek dan Modalitas) Ua a na’a rua ‘Dia makan kemarin’ Ua a nogo ‘Dia makan sekarang’ Ua a matmai ‘Dia makan besok’ Au a nogo ‘Saya sedang makan’ 457 Lampiran 7 DATA REKAMAN BAHASA KEMAK (ditranskripsi dengan ELAN) Teks 1 tx au-ng galang Siprianus Asa Bete ami amar galang gl saya-Poss nama Siprianus Asa Bete kami bapak nama ft nama saya Siprianus Asa Bete nama bapak kami tx ft Biasius Mau Laka ami inar galang yustina dau mali roma bua Biasius Mau Laka kami ibu nama yustina dau mali mereka berdua Biasius Mau Laka nama ibu kami Yustina Dau Mali mereka berdua tx gl ft pehe au mesang kahi tau au isikola melahirkan saya sendiri habis buat saya sekolah mempunyai anak satu saya selesai sekolah di Sadi tx gl ft isikola sd na tamat kahi de isikola SD sekolah sd saja tamat habis di sekolah SD hanya SD saja setelah tamat SD tx au la SMP de atambua isikola SMP ti kahi hali au semai saya pergi SMP di atambua sekolah SMP tidak habis lagi saya keluar Saya sekolah SMP di Atambua saya tidak tamat SMP gl gl ft tx gl ft de sadi di sadi au semai mai de ilat roma tumanggalang mudu lulu saya keluar datang ke kampung mereka berkumpul duduk semua saya keluar dan pulang ke kampong mereka semua duduk bersama tx gl ft roma dale odi hoat au dadi dato de tonang merka bicara untuk angkat saya jadi kepala dusun di tahun mereka bicara mengangkat saya menjadi kepala desa pada tahun tx ribungsea atussibe guruhnem resing balu kahi de tonang seribu sembilan ratus enam puluh delapan lalu di tahun seribu sembilan ratus enam puluh delepan kemudian pada tahun gl ft 458 tx gl ft ribungsea attussibe guruhitu resing hnem seribu sembilan ratus tujuh puluh enam seribu sembilan ratus tujuh puluh enam tx gl ft nai hoat au de oeng no Iimang teda tonang desa angkat saya di kaki tangan pada tahun desa mengangkat saya menjadi sekretaris desa pada tx ribungsea attussibe gurung balu resing hlima ro hoat tau de seribu sembilan ratus delapan puluh lima orang angkat taruh di seribu sembilan ratus delapan puluh lima orang angkat menjadi gl ft tx gl ft tx gl ft tx kepala desa dadau teda tonang ribungsea attussibe gurubalu resing kepala desa sampai pada tahun seribu sembilan ratus delapan puluh kepala desa sampai tahun seribu sembilan ratus delapan puluh sibe kahi hoat hali da oer no limar nai teda tonang sembilan habis angkat lagi di kaki tangan desa pada tahun sembilan selesai diangkat lagi menjadi sekretaris desa pada tahun ft ribungsea attussibe gurusibe resing hnem hoat hali de seribu sembilan ratus sembilan puluh enam angkat lagi di seribu sembilan ratus sembilan puluh enam angkat lagi menjadi tx gl ft kepala desa teda tonang ribungsea attusibe kepala desa pada tahun seribu sembilan ratus kepala desa pada tahun seribu sembilan ratus tx gurusibe resing sibe kahi au brenti au brenti kahi sembilan puluh sembilan lalu saya berhenti saya berhenti lalu sembilan puluh sembilan kemudian saya berhenti saya berhenti lalu gl gl ft 459 tx gl ft tx gl ft teda tonang ribunghrua hitu hoat hali au de pamong adat pada tahun dua ribu tujuh angkat lagi saya di pamong adat pada tahun dua ribu tujuh angkat lagi saya menjadi pamong adat hoat au da pamong adat au odi bantu sirbisu de nai angkat saya di pamong adat saya untuk bantu kerja di desa angkat saya menjadi pamong adat, saya membantu pekerjaan di desa tx gl ft odi dale adat de ilat umaklaran untuk bicara adat di desa umaklaran untuk bicara adat di desa Umaklaran lalu kahi lalu tx gl ft hoat hali au de garang HPD odi urus leahu’u angkat lagi saya di kepala HPD untuk urus masalah angkat saya lagi menjadi kepala HPD untuk mengurus masalah tx gl ft hine salah mane salah perempuan salah laki-laki salah kesalahan masyarakat tx gl ft no leahu’u umaing no asi ailarang dan masalah rumah tangga dan di luar rumah tangga dan masalah rumah tangga dan bukan rumah tangga tx gl ft kahi hoat hali au da garang PPK odi urus lalu angkat lagi saya di kepala PPK untuk urus lalu angkat saya lagi kepala PPK untuk mengurus tx gl ft leahu’u kase nung odi tau mloing da masalah pemerintah punya untuk buat baik di masalah urusan pemerintah untuk buat baik di tx gl ft hine renu mane renu odi pae leahu’u perempuan hadir laki-laki hadir untuk bagi masalah keberadaan perempuan dan laki-laki untuk membagi masalah tx gl ft kase nung nuabe renu odi tau bebe’i pemerintah punya supaya masyarakat untuk buat ikut urusan pemerintah supaya masyarakat untuk ikut berpartisipasi 460 tx gl ft tx gl ft tx gl ft tx gl ft tx gl ft tx gl ft odi muas pede orasnogo kahi hoat hali au de garang raskin untuk hidup sampai sekarang lalu angkat lagi saya di kepala raskin untuk hidup sampai sekarang Ialu angkat saya lagi jadi kepala raskin odi kepu urus renu noung a enu mreas ne kase untuk urus masyarakat punya makan minum beras beri pemerintah untuk mengurus urusan makan minum beras masyarakat yang pemerintah berikan daerah ne mai da renu dadi oras nogo pede pemerintah beri datang kepada masyarakat jadi sekarang ini begini pemerintah menyerahkan masyarakat jadi sekarang ini begini au e ganti dadi nai de pamong adat odi urus saya mau ganti jadi kepala desa di pamomg adat untuk urus saya mau ganti menjadi kepala desa di pamong adat untuk mengurus riga membangun ilat umaklaran pede hedia itang ilat sama-sama membangun desa umaklaran seperti perbaki kita desa membangun bersama desa umaklaran seperti memperbaiki desa kita hedia itang ilat hedia itang sala odi tau mloing mamu perbaiki kita desa perbaiki kita jalan untuk buat baik semua memperbaiki desa kita memperbaiki jalan kita untuk memperbaiki semua tx gl ft nuabe renu odi moas koet odi moas mloing pede supaya masyarakat hidup bagus bisa hidup baik seperti supaya masyarakat hidup baik bisa hidup baik seperti tx gl ft leahu’u dasi kase laka nuabe tau bebe’i ala masalah dari pemerintah suruh supaya buat ikut semua masalah dari pemerintah berikan supaya mengikuti semua 461 tx gl ft nuabe odi dadi mloing odi hedia ar supaya untuk jadi baik untuk perbaiki diri supaya menjadi baik untuk memperbaiki diri seperti tx gl ft itang moas mloing pede ro ne kita hidup baik seperti orang beri hidup kita baik seperti orang memberi tx ft perae galang tasi heling tasi laung la oras nogo pede kase ditanah laut seberang sana sekarang ini seperti pemerintah ditanah laut seberang sana sekarang ini seperti pemerintah tx gl ft daerah ne hali mai de ami de api daerah beri kembali datang di kami di api daerah memberi kembali datang ke kami di api tx gl ft senua ta pede uma aing dusae saetio senogo itu yang seperti rumah yang turun naik ini itu yang seperti rumah yang turun naik ini tx pede de mamu api anang mola de umaing larang pege berang a enu seperti di semua api anak masuk di rumah tangga minta selain makan minum sepertidi semua anak api masuk di rumah tangga minta selain makan minum gl gl ft pede seperti tx gl ft ti pede munang tata kai isi moas mai go tidak seperti dulu nenek mereka lahir datang tidak seperti dulu nenek mereka lahir tx pede nogo pede moas heung tau reme renu e moas mloing sperti ini seperti hidup baru anggap remeh masyarakat ingin hidup baik seperti ini seperti hidup baru anggap remeh masyarakat ingin hidup baik gl ft tx gl ft renu e koet senua te pede leahu’u ne pede masyarakat ingin bagus itu yang seperti masatah yang seperti masyarakat ingin baik itu masalah yang seperti 462 tx ft kase noung nogo ne mai de renu odi tau mloing pemerintah punya ini kasi datang di masyarakat untuk buat baik milik pemerintah diberikan kepada masyarakat untuk memperbaiki tx gl ft senua te pede ami no nai isi gala tuang pita itu yang seperti kami dengan kepala desa hanya tambah saja itu yang seperti kami dengan kepata desa hanya tambah saja tx ami renu odi te mloing pede leahu’u hotu-hotu ami gala kami masyarakat bawa yang baik seperti masalah semua kami hanya kami masyarakat bawa yang baik seperti semua masalah kami hanya gl gl ft tx ft au tau koet ro odi moas mloing ro bisa hetang mloing pede saya buat baik orang bawa hidup baik orang bisa dapat baik seperti saya memperbaiki kehidupan orang orang bisa dapat baik seperti tx gl ft kase halao mloing odi garo nung ne pemerintah memberi jalan baik bawa tuntut punya ini pemerintah memberikan jalan baik tx au sirbisu harang harang no tau saya bekerja hari-hari dengan buat saya bekerja tiap hari dengan kepala desa membuat gl gl ft tx ilat garang kepala desa ft kepala desa pae au de pamong adat dadi au no kepala desa masukan saya di pamong adat jadi saya dengan kepala desa masukan saya menjadi pamong adat saya dengan tx gl ft garang de desa ami sirbisu lulu semai potam ilat kepala di desa kami kerja sama sama keluar tiap kampung kepala di desa kami bekerja bersama keluar tiap kampung tx gl ft odi ne ukong no badu bawa kepada hukum dan larangan memberikan penjelasan tentang hukum dan larangan gl 463 tx gl ft de nine renu mane renu kepada perempuan masyarakat laki-laki masyarakat kepada masyarakat perempuan dan laki-laki tx gl ft ukong no badu ne ami ne nua hukum dan larangan yang kami kasi itu hukum dan larangan yang kami kasi itu tx odi hine renu mane renu odi tau bebei untuk perempuan masyarakat laki laki masyarakat untuk buat ikut untuk masyarakat perempuan dan laki-laki untuk mengikuti gl ft tx gl ft nuabe odi moas mloing isibara boi arag isibara pereiarag supaya untuk hidup baik jangan saling marah jangan berkelahi supaya untuk hidup baik jangan marah jangan berkelahi tx tau mloing arag hadomi arag ami ne gl buat baik saling cinta saling kami kasi ft saling berbuat baik saling mencintai kami berikan tx okung no badu kahi mulai ami hali sai gl hukum dengan larangan selesai mulai kami pulang sudah ft selesai memberikan penjelasan hukum dan larangan kami mulai pulang tx sea sea tau nung sirbisu e tau aung sirbisu gl masing masing buat kerja punya mau buat saya kerja ft masing masing mengerjakan pekerjaannya mau mengerjakan pekerjaan saya tx pede au pe’i brau sai brau odi la de sut gl seperti saya lihat sapi keluar sapi bawa pergi ke rumput ft seperti saya lihat sapi mengeluarkan sapi bawa pergi ke rumput tx kahi lelo mahung odi hali mai de uma odi hesi de uma gl lalu matahari jatuh bawa kembali pulang ke rumah bawa ikat di rumah ft lalu sore hari bawa pulang kembali ke rumah mengikat di rumah 464 tx la soi bea odi hati kahi lelo mnahu gl pergi timba air untuk minum sudah matahari jatuh ft pergi menimba air untuk minum setelah sore tx pe’i ahi nung na odi la pa na de ahi liang gl lihat babi punya makanan bawa pergi kasi makan di babi kandang ft melihat makanan babi memberikan makanan ke kandang babi tx kahi lelo mnahu pe’i manu anang nobate gl sudah matahati jatuh lihat ayam anak yang mana ft setelah sore melihat anak ayam yang mana tx no inang no anang nobate de uma belang belang gl dengan induk dengan anak yang mana di rumah pinggir pinggir ft dengan induk dengan anak yang mana di pinggir-pinggir rumah tx ita raka odi pae mote de itang uma gl kita angkat untuk kasi masuk di kita rumah ft kita pindahkan memasukan ke rumah kita tx pede sirbisu luma sanu senua mloing odi tuang itang moas odi gl seperti kerja pelihara barang itu baik buat bantu kita hidup untuk ft seperti memelihara barang itu baik untuk membantu hidup kita untuk tx ala mina rae odi ala baku no mama gl beli minyak tanah untuk beli tembakau dan sirih pinang ft membeli minyak tanah dan membeli tembakau dan sirih pinang tx odi ala itang sanu nobate ita ber ita e a enu odi sosa gl untuk beli kita barang yang kita suka kita mau makan minum untuk beli ft untuk beli kita barang yang kita suka kita mau membeli makan minum tx dadi luma sanogo mloing pede ami sirbisu gl jadi pelihara barang baik seperti kami kerja ft jadi pelihara barang baik seperti kami bekerja tx ne tuangpita aung moas de uma ainglarang au e luma sanu gl beri bantu saya hidup di rumah tangga saya mau pelihara barang ft memberi bantuan hidup saya di rumah tangga saya mau memelihara barang 465 tx kahi au tau asi au e tana uta au pi uta anang gl lalu saya buat kebun saya mau tanam sayur saya siram sayur bibit ft lalu saya buat kebun saya mau tanam sayur dan siram bibit sayur Teks 2 tx oh bera isi emi ele koti rae orga pnaba gl oh kalian semua kalian cari coba tanah ujung dimana ft oh kalian semua coba kalian cari ujung bumi ada dimana tx oh hine bala mane bala isi oho no tasi gl oh perempuan kawan laki-laki kawan semua gunung dan laut ft oh kawan perempuan kawan laki-laki semua gunung dan laut tx ele ti eto rae tali pnaba gl cari tidak dapat tanah cipta di mana ft tidak dapat mencari di mana pencipta bumi tx ele ti eto ama kahi mloi ama maromak o tana gl cari tidak dapat bapak amat baik bapak Allah engkau pencipta ft tidak dapat mencari bapak maha baik bapak Allah engkau pencipta tx rae lelo mata ete koti lah o ele koti lah gl tanah matahari cari coba lah kamu cari coba lah ft bumi dan seisinya coba carilah kamu coba carilah tx dase lelo du te lelo sae gl dari matahari terbenam sampai matahari terbit ft dari matahari terbit sampai terbenam tx nae desa lah o nae desa lah dase sabang te de merauke gl lihat coba lah kamu lihat coba lah dari sabang sampai merauke ft coba lihatlah kamu coba lihatlah dari sabang sampai merauke tx nae sae saka nae du saka taka ukuperi gl lihat atas lihat bawah awan tutup ft lihatlah ke atas lihatlah ke bawah tertutup awan gelap soar ara peri gelap tx tasi keta bali rae beka bote no orga nua ita kakoa gl laut tanah itu besar dengan batas itu kita kagum ft terpisah laut bumi itu luas dengan batasnya itu membuat kita kagum 466 tx ita Indonesia ita rae orgo dase sabang te da merauke gl kita Indonesia kita tanah ujung dari sabang sampai ke merauke ft kita Indonesia wilayah negara kita dari sabang sampai ke merauke tx ita briheu ita saeheu mari tau madu rae sora bote gl kita pemuda kita pemudi mari buat maju tanah ft kita pemuda kita pemudi mari memajukan negeri tx ele koti lah o ele koti lah gl cari coba lah kamu ari coba lah ft coba carilah kamu coba carilah tx dase lelo du te lelo sae gl dari matahari terbenam sampai matahari terbit ft dari matahari terbit sampai terbenam tx nae desa lah o nae desa lah dase sabang te da merauke gl lihat coba lah kamu lihat coba lah dari sabang sampai merauke ft coba lihatlah kamu coba lihatlah dari sabang sampai merauke Teks 3 tx matsung nei au la basar au hali-hali mae gl pagi tadi saya pergi pasar saya kembali datang ft Tadi pagi saya pergi ke pasar saya datang kembali tx au botu ami nanar de sirani kahi ua bobe o nopodi gl saya jemput kami kakak di sirani lalu dia bilang kamu antar ft saya menjemput kakak kami di Sirani lalu dia berkata kamu antar tx au la de umaklaran au bobe au e aitahang brau nung gl saya pergi ke umaklaran saya bilang saya mau daun sapi punya ft saya ergi ke Umaklaran saya berkatasaya mau potong daun untuk sapi ta potong tx ua bobe o nobali la kahi o mae hali gl dia bilang kamu antar pergi kembali kamu pulang datang ft dia berkata kamu antar pergi lalu kamu datang kembali 467 tx lapa o ta ong brau noung aitahang gl nanti kamu potong kamu sapi punya daun ft nanti kamu potong daun untuk sapi tx au e la de debuklaran au sole aung oeng gabarang au bobe gl saya mau pergi ke debuklaran saya jalan saya kaki sakit saya bilang ft saya mau pergi ke Debuklaran saya jalan kaki saya sakit saya berkata tx senua lapa au nopodi ua itang nanang la te de uma gl itu nanti saya antar dia kita kakak perempuan pergi sampai di rumah ft nanti saya antar dia kakak perempuan kita pergi sampai di rumah tx au hali mai lapa au ta brau noung aitahang kahi gl saya pulang datang nanti saya potong sapi punya daun lalu ft saya datang kembali nanti saya potong daun untuk sapi kemudian tx au e hali aung nanar bobe gl saya mau pulang saya-poss kakak bilang ft saya mau pulang kakak perempuan saya berkata tx o hisar hali tesi ami hali dasa basar kahi lapa gl kamu jangan pulang dulu kami oulang dan pasar lalu nanti ft kamu jangan pulang dulu sekarang kami pulang dari pasar lalu kemudian tx imi hali gl kami pulang ft kami pulang Teks 4 tx la ele lah oh beluk ele lah ele lah la o la ele lah gl pergi cari lah oh kawan cari lah cari lah pergi kamu pergi cari lah ft pergi carilah oh kawan carilah carilah pergi kamu pergi carilah tx o ele o dede nasi au mai te mai mida hali gl kamu cari kamu janji baru saya datang sampai datang bohong lagi ft kamu cari kamu janji baru saya datang sudah datang bohong lagi 468 tx tau au hali odi lima lausuma gl buat saya kembali bawa tangan kosong ft membuat saya kembali dengan tangan kosong tx ele gesa lah o ele gesa lah gl cari coba lah kamu cari coba lah ft coba carilah kamu coba carilah tx ele lah dase lelo dung te lelo saeng gl cari lah dari matahari terbenam sampai matahari terbit ft carilah dari matahari terbit sampai terbenam tx beluk o isi gmagang nua itang oho no rae gl kawan kamu jangan bodoh itu kita wilayah dan tanah ft kawan kamu jangan bodoh itu wilayah kita tx oho rae dase sabang te de merauke gl wilayah tanah dari sabang sampai di merauke ft wilayah dari sabang sampai merauke tx ele gesa lah o ele gesa lah gl cari coba lah kamu cari coba lah ft coba carilah kamu coba carilah tx ele lah dase lelo dung te lelo saeng gl cari lah dari matahari terbenam sampai matahari terbit ft carilah dari matahari terbit sampai terbenam tx beluk o isi gmagang nua itang oho no rae gl kawan kamu jangan bodoh itu kita wilayah dan tanah ft teman kamu jangan bodoh itu wilayah kita tx oho rae dase sabang te de merauke gl wilayah tanah dari sabang sampai di merauke ft wilayah dari sabang sampai merauke Teks 5 tx na’arua lelomahung ami ubung hitu sali ika de larang gl kemarin sore kami orang tujuh tangkap ikan di dalam ft Kemarin sore kami bertujuh menangkap ikan di dalam sawah hroe sawah 469 tx ami sali lulu ika pae de ember gl kami tangkap kumpulkan masuk ke ember ft kami bersama-sama menangkap ikan masukan ke dalam ember tx ami sali kahi mamu nasi ami pa’e nesa ubung sea-sea gl kami tangkap selesai semua kemudian kami bagi per orang satu-satu ft selesau kami semua menangkap ikan kemudian kami bagi satu-per orang tx kahi pae kahi sea sea odi la de uma gl lalu masuk lalu satu satu bawa pergi ke rumah ft lalu masukan kemudian kami bawa pergi satu per satu ke rumah tx odi tunu no sega odi a gl untuk bakar dan goreng untuk makan ft untuk bakar dan goreng untuk makan dengan nasi no seleapang dengan nasi tx kahi mata mata anak ami la isikola gl lalu pagi pagi kecil kami pergi sekolah ft kemudian pagi-pagi sekali kami pergi ke sekolah kami ami kami tx ami heti arag heli kokisa lelomahung gl kami ajak saling lagi sebentar sore ft kami saling mengajak lagi sebentar sore tx ita la sali hali ika go be sering bobe ami tmaut sai gl kita pergi tangkap lagi ikan itu tapii yang lain bilang kami takut sudah ft kami pergi menangkap ikan lagi tapi yang lain bilang kami sudah takut tx pita ami sali sali muna ne senogo ami oeng mamu gl karena kami tangkap tangkap dulu yang ini kami kaki semua ft karena kami tangkap dulu yang ini kaki kami gatal semua atang gatal Teks 6 tx ami umamane maneheu mudu lulu ido dale gl kami pihak perempuan pihak laki-laki duduk kumpul buat bicara ft kami pihak perempuan dan laki-laki duduk berkumpul untuk berbicara 470 tx de arag ne menung bodik dale anar hine gl di saling beri waktu untuk bicara anak perempuan ft saling memberikan waktu untuk bicarakan anak perempuan tx no anar mane noung harang ne e pae hadat no e kabeng gl dengan anak laki-laki punya hari yang mau masuk adat dan mau kawin ft dengan anak laki-laki punya untuk hari masuk adat dan mau menikah tx ami dale lulu maneheu e mai pae hadat gl kami bicara kumpul pihak laki-laki mau datang masuk adat ft kami pihak laki-laki kumpul berbicara mau datang masuk adat tx de harang hrua hula hitu roma hine mane e kabeng gl di hari dua bulan tujuh mereka perempuan laki-laki mau kawin ft pada tanggal dua bulan tujuh mereka perempuan dan laki-laki mau menikah tx kase nung go de harang sapuluh resing hula hitu gl umum punya itu di hari sepuluh sisa bulan tujuh ft di gereja pada tanggal se[uluh sembilan belas bulan tujuh sibe sembilan tx leahuu umamane maneheu dale bebei arag sai gl masalah pihak perempuan pihak laki-laki bicara ikut saling sudah ft masalah pihak perempuan dan laki-laki sudah saling bicara tx gala gini ta harang go te hating hrua mudu lulu odi gl hanya tunggu saja hati itu yang tempat dua duduk kumpul buat ft hanya menunggu saja hari tersebut yang dua pihak duduk berkumpul untuk tx pae hadat no e kabeng bebei de harang ne ita dale lulu go gl masuk adat dan mau kawin ikut di hari yang kita bicara kumpui itu ft masuk adat dan mau ikut kawin di hari yang kita sepakati tersebut tx kahi odi dogo gl selesai buat ini ft sudah selesai 471 Teks 7 tx pede kepuharang nogo ami no kepala desa no dato galang gl seperti hari ini kami dan kepala desa dengan d usun kepala ft seperti hari ini saya dan kepala desa dengan kepala dusun tx no tumang gatang no hine renu no mane renu gl dengan tua adat dan perempuan masyarakat dan laki-laki masyarakat ft dengan tetua adat dan masyarakat perempuan dan masyarakat lakilaki tx ami da mata mamu da abe mamu odi teha ama bupati gl kami di bangun semua di depan semua untuk terima bapak bupati ft kami semua bangun semua di depan untuk menerima bapak bupati tx no oeng no limang e sahi mai e paga mai gl dengan kaki dengan tangan mau maju datang mau langkah datang ft dengan bawahannya mau datang maju ke depan tx de kantor desa e mai ne ukung no badu gl di kantor desa mau datang beri hukum dengan larangan ft di kantor desa mau datang memberikan hukum dan larangan tx da ami hine renu no mane renu ama bupati gl di kami perempauan masyarakat dan laki-laki masyarakat bapak bupati ft di masyarakat perempuan dan masyarakat laki-laki kami bapak bupati tx ne kahi ukung no badu roma takaar hali gl beri selesai hukum dan larangan mereka kembali pulang ft selesai memberikan hukum dan larangan mereka pulang kembali tx roma takaar ha;i la de kota gl mereka kembali pulang pergi ke kota ft mereka pulang kembali pergi ke kota 472 Teks 8 tx harang pila nogo ami tau sirbisu kase nung gl hari beberapa ini kami buat kerja pemerintah punya ft beberapa hari ini kami mengerjakan pekerjaan pemerintah tx ami pamong galang no kepata desa la potam de ilat gl kami pamong sema dengan kepala desa pergi tiap ke desa ft kami pamong semua dan kepala desa pergi ke tiap desa tx no dato galang pege osa bea nung de renu mamu gl dengan dusun semua minta uang pajak punya di masyarakat semua ft dan semua dusunmenagih uang pajak kepada masyarakat semua tx sea nobata osa taing laka ua se’o nung manu ahi anak gl satu yangmana uang tidak suruh dia jual punya ayam babi anak ft yang mana tidak ada uang menyuruh dia menjual ayam dan anak babi tx odi ala osa odi mai selo bea nung gl untuk beli uang bawa datang bayar pajak punya ft untuk mendapatkan uang untuk membayar pajak tersebut tx tonang sea ita selo saba da kase nasi kase galang gl tahun satu kita bayar sekali di pemerintah baru pemerintaha kepala ft kita bayar satu tahun sekali di pemerintah lalu kepala pemerintah tx hanoing kahi ita roma odi tau podi itang sala gl pikir kembali kita mereka bawa buat untuk kita jalan ft memikirkan kita kembali mereka membuat jalan uma rumah rumah tx no beamatang tau koet no mloing mola potam da ilat gl dan sumur buat bagus dengan baik masuk tiap di desa ft dan membuat sumur menjadi bagus dan baik masuk tiap desa 473 Lampiran 8 DAFTAR INFROMAN 1. Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan Alamat : Siprianus Asa Bete : 67 Tahun : Laki-laki : Petani : Desa Umaklaran Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan Alamat : Pius Ati Mali : 38 Tahun : Laki-laki : Petani : Desa Sadi 2. Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan Alamat : Yohanes Batu Mali : 67 Tahun : Laki-laki : PNS Kepala Desa : Desa Umaklaran 3. Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan Alamat : Yohanes Bili Making : 65 Tahun : Laki-laki : Petani : Desa Umaklaran 4. Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan Alamat : Luis Bili Making : 40 Tahun : Laki-laki : karyawan Swasta : Desa Umaklaran 474 Lampiran 9 FOTO-FOTO PENELITIAN 475