2 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang masalah Perkembangan ilmu kedokteran semakin mengalami kemajuan, termasuk ilmu kedokteran anti penuaan atau Anti Aging Medicine (AAM) yang membawa paradigma baru dalam dunia kedokteran. Paradigma tersebut yakni dengan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini, penuaan dapat dideteksi lebih dini, dicegah, diobati dan diperbaiki ke keadaan semula. Dengan adanya AAM ini, setiap orang dapat tetap hidup sehat dan berada dalam kualitas hidup yang optimal meskipun dengan bertambahnya usia. Proses penuaan dapat diperlambat, ditunda atau dihambat dan usia harapan hidup akan meningkat disertai kesehatan dan kebugaran tubuh serta kualitas hidup yang baik. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit dan berakhir dengan kematian. Di antaranya adalah faktor radikal bebas, hormon yang berkurang, polusi lingkungan, stres dan gaya hidup tidak sehat. Jika faktor-faktor ini dibiarkan saja tanpa ada usaha untuk mencegah atau menanggulanginya, maka proses penuaan akan terjadi lebih cepat, bahkan angka morbiditas dan mortalitas akan ikut meningkat pula. Gaya hidup tak sehat seperti diet tinggi karbohidrat dan lemak, serta pola hidup sedentari dimana aktivitas fisik sehari-hari sangat minimal, akan menyebabkan terjadinya kelebihan lemak tubuh, terutama timbunan lemak abdomen. Penumpukan lemak abdomen, khususnya lemak viseral merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas (Pangkahila, 2007). 3 Kelebihan lemak tubuh atau obesitas saat ini merupakan sebuah epidemi yang muncul di seluruh dunia, termasuk di negara-negara yang sedang berkembang. Di Indonesia, walaupun masalah nutrisi yang lebih diprioritaskan berhubungan dengan defisiensi nutrisi seperti Protein Energy Malnutrition (PEM), anemia, defisiensi vitamin 1 dan mikronutrien, namun kelebihan dan ketidakseimbangan asupan gizi yang berhubungan dengan pola hidup yang sedentary kini perlu diperhatikan karena meningkatnya angka kelebihan berat badan dan obesitas (Atmarita, 2005). Interaksi dari berbagai faktor seperti faktor genetik, lingkungan, dan psikososial berpengaruh terhadap timbulnya obesitas (Molina, 2006). Namun secara sederhana, obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran energi antara lain yang diakibatkan oleh pola hidup tidak sehat seperti diet tinggi karbohidrat, lemak jenuh, kurang serat, serta aktivitas fisik yang sedikit (Wilborn et al., 2005). Peningkatan prevalensi obesitas menarik perhatian baik peneliti maupun masyarakat luas oleh karena kelebihan lemak tubuh dihubungkan dengan berbagai penyakit kronik dan degeneratif (Popkin, 2006), yakni penyakit-penyakit ko-morbid obesitas seperti diabetes mellitus tipe 2, hipertensi, hiperkolesterolemia, penyakit jantung koroner, penyakit batu empedu, dan osteoartritis (Turk et al., 2009). Obesitas diyakini dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas (McPhee dan Ganong, 2005). Ada kemungkinan generasi mendatang akan menua dalam kondisi kurang sehat dikarenakan meningkatnya prevalensi obesitas (Byles, 2009). Terdapatnya kelebihan lemak tubuh akan mengancam tingkat kesehatan, kualitas hidup dan usia harapan hidup (Olshansky et al., 2005). Pada negara maju seperti Amerika Serikat, diramalkan akan terjadi penurunan usia harapan hidup akibat bertambahnya penduduk yang masuk ke dalam kelompok obesitas (Olshansky et al., 2005). Jika peningkatan angka penderita obesitas tidak dicegah, peningkatan usia harapan hidup yang mulai stabil di era modern ini, dapat segera berakhir dan masyarakat akan hidup dalam 4 kondisi yang kurang sehat, dengan kualitas hidup yang kurang baik bahkan berusia lebih pendek daripada generasi sebelumnya (Stein, 2005). Masalah yang dibawa obesitas bukan saja merupakan masalah kesehatan namun juga merupakan masalah beban ekonomi. Hal ini diakibatkan meningkatnya biaya medis, seperti jasa dokter, biaya pemeriksaan laboratorium, rawat inap, dan obat-obatan (Turk, 2009). Dampak dari obesitas pada kondisi kesehatan, ekonomi dan usia harapan hidup amatlah besar (Byles, 2009). Dengan demikian telah banyak ditujukan perhatian untuk mencari suatu strategi untuk mencegah kenaikan berat badan dan penumpukan lemak tubuh, baik lewat intervensi medis, olahraga, nutrisi, dan suplementasi (Wilborn, 2005; Turk, 2009). Terdapat banyak sekali suplemen yang dikatakan dapat membantu menurunkan berat badan. Ekstrak teh hijau merupakan salah satu suplemen yang dipercaya dapat membantu menurunkan berat badan serta mencegah penumpukan lemak tubuh. Teh hijau adalah minuman yang cukup popular di seluruh dunia. Di India, Cina, Jepang dan Thailand minuman teh telah dikonsumsi sejak lama. Pada kedokteran tradisional India dan Cina, praktisi kesehatan menggunakan teh hijau sebagai stimulan, diuretik (meningkatkan ekskresi urin), astringent (mengontrol perdarahan dan membantu penyembuhan luka), dan meningkatkan kesehatan jantung. Pengobatan tradisional lainnya menggunakan teh hijau untuk mengobati flatulens, mengatur suhu tubuh dan menurunkan kadar gula darah, membantu pencernaan dan meningkatkan proses berpikir (Nagle et al., 2006; Velayutham et al., 2008; Chako et al., 2010). Kegunaan teh hijau bagi kesehatan seperti perlindungan terhadap kanker, penyakit kardiovaskular, hati, telah dilaporkan. Efek baik dari teh hijau ini berhubungan dengan kandungannya, yakni (–)-epigallocatechin-3-gallate (EGCG) adalah komponen polyphenolic utama yang ditemukan pada teh hijau. Beberapa komponen polyphenolic yang dikenal dengan nama catechin juga ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit pada teh hijau, yakni (–)-epicatechin-3-gallate (ECG), (–)-epigallocatechin (EGC), (–)epicatechin (EC) and (-)-catechin (Nagle et al., 2006). 5 Konsumsi teh hijau untuk jangka waktu yang lama dapat bermanfaat terhadap obesitas yang diakibatkan oleh diet tinggi lemak, diabetes mellitus tipe 2 dan dapat mengurangi risiko dari penyakit jantung koroner (Maki et al., 2009; UMMC, 2010). Ekstrak teh hijau juga dilaporkan dapat menurunkan kadar lipid darah, merelaksasi otot polos vaskular, meningkatkan pengeluaran energi dan oksidasi lemak. Lebih jauh lagi, konsumsi minuman yang kaya akan catechin menunjukkan dapat mengurangi lemak tubuh, kolesterol total dan tekanan darah sistolik pada subjek dengan obesitas lemak viseral. Sehingga minuman yang kaya akan catechin dianggap bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan gangguan kesehatan akibat pola hidup yang sedentari (Nagao et al., 2009). Catechin pada teh hijau dilaporkan dapat menghambat enzim Catechol-O-methyltransferase (COMT), yakni enzim yang mendegradasi norepinefrin. Dengan terhambatnya enzim COMT oleh catechin, terjadi reduksi degradasi norepinefrin yang akan menghasilkan penambahan waktu kerja norepinefrin pada sistem saraf simpatis. Aktivasi sistem saraf simpatis ini akan menstimulasi pengeluaran energi di antaranya dengan meningkatkan termogenesis dan oksidasi lemak (Diepvens et al., 2007; Belza et al., 2009). Beberapa laporan juga menyatakan EGCG dapat menghambat proliferasi adiposit dan mengurangi viabilitas adiposit lewat aktivasi adenosine monophosphate-activated protein kinase (AMPK). AMPK merupakan target dari fitokimia ini dalam fungsi teh hijau sebagai anti obesitas. Secara umum AMPK diaktivasi oleh berbagai rangsangan seperti olahraga, heat shock, dan Reactive Oxygen Species (ROS). Aktivasi AMPK merupakan faktor penting dalam penghambatan adipogenesis oleh EGCG (Moon et al., 2007). Berbagai penelitian yang dilakukan di luar negeri melaporkan pemberian ekstrak teh hijau baik pada hewan coba ataupun manusia dapat menurunkan berat badan, mengurangi kadar lemak tubuh, dan meningkatkan termogenesis serta oksidasi lemak (Klaus et al., 2005; Maki et al., 2009). Data dari hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia juga menunjukkan hasil serupa. Yakni pemberian ekstrak teh hijau menurunkan berat badan, lingkar perut, dan persentase lemak tubuh pada wanita obesitas (Adriani, 2010). 6 Meski demikian terdapat laporan yang menyebutkan konsumsi teh hijau tak berkhasiat terhadap kesehatan. Bahkan juga terdapat keraguan bahwa penambahan teh hijau ke dalam diet dapat mengakibatkan efek samping yang buruk bagi kesehatan, di antaranya insomnia, palpitasi jantung, sakit kepala, dan menurunkan bioavailibilitas zat besi dari diet (Chako et al., 2010). Dari uraian latar belakang di atas, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek dari teh hijau, apakah ekstrak teh hijau memiliki pengaruh baik bagi kesehatan khususnya bagi penurunan berat badan dan lemak abdominal. Pada penelitian ini digunakan dua dosis perlakuan, yang lebih besar dibandingkan yang pernah diteliti sebelumnya. Diharapkan dengan semakin besar dosis, penurunan berat badan dan berat lemak abdominal akan semakin besar pula. 1.2 Rumusan Masalah Memperhatikan latar belakang yang disebutkan di atas, maka disusunlah perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah ekstrak teh hijau dapat menurunkan berat badan tikus wistar jantan yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak? 2. Apakah ekstrak teh hijau dapat menurunkan berat lemak subkutan abdomen pada tikus wistar jantan yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak? 3. Apakah ekstrak teh hijau dapat menurunkan berat lemak viseral abdomen pada tikus wistar jantan yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui pengaruh ekstrak teh hijau terhadap berat badan dan timbunan lemak tubuh. 7 1.3.2 Tujuan khusus Untuk mengetahui : 1. Untuk mengetahui pemberian ekstrak teh hijau dapat menurunkan berat badan tikus wistar jantan yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak. 2. Untuk mengetahui pemberian ekstrak teh hijau dapat menurunkan berat lemak subkutan abdomen tikus wistar jantan yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak. 3. Untuk mengetahui pemberian ekstrak teh hijau dapat menurunkan berat lemak viseral abdomen tikus wistar jantan yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat ilmiah - Hasil penelitian dapat merupakan tambahan pengetahuan dalam metode penurunan berat badan dan lemak tubuh. - Hasil penelitian akan membuktikan bahwa ekstrak teh hijau bermanfaat untuk menurunkan berat badan. - Hasil penelitian akan membuktikan bahwa ekstrak teh hijau bermanfaat untuk menurunkan penumpukan lemak subkutan abdomen dan lemak viseral abdomen. 2. Manfaat praktis - Diharapkan suatu saat ekstrak teh hijau akan terus diberikan sebagai salah satu cara untuk menurunkan berat badan dan penumpukan lemak abdominal. 3. Untuk penelitian - Penelitian diharapkan dapat menambah informasi mengenai pengaruh ekstrak teh hijau bermanfaat untuk menurunkan berat badan dan penumpukan lemak abdomen. - Hasil penelitian dapat menjadi dasar untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut. 8 BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Penuaan (Aging) dan Anti Penuaan (Anti Aging) Setelah mencapai usia dewasa, secara alami seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya terjadi penurunan akibat proses penuaan. Pada umumnya menjadi tua dianggap hal yang lumrah sehingga semua masalah yang muncul dianggap memang seharusnya dialami. Padahal terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses penuaan. Faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas, hormon yang berkurang, dan genetik. Faktor eksternal yang utama adalah pola hidup yang tidak sehat, polusi lingkungan dan stres. Faktor-faktor ini dapat dicegah, diperlambat bahkan mungkin dihambat sehingga kualitas hidup dapat dipertahankan. Lebih jauh lagi usia harapan hidup dapat lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Usia harapan hidup yang lebih panjang disertai kualitas hidup yang optimal inilah konsep baru dari ilmu kedokteran anti penuaan atau Anti Aging Medicine (AAM). AAM ini didefinisikan sebagai bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuaan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat. Dengan definisi AAM tersebut, tampak bahwa terdapat paradigma yang baru. Yakni di antaranya manusia bukanlah orang terhukum yang terperangkap dalam takdir genetik dan penuaan dapat dianggap sama dengan penyakit yang dapat dicegah, diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula (Pangkahila, 2007). 7 9 Dengan mengingat faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses penuaan, dapatlah ditentukan faktor mana yang perlu dihindari atau diatasi sehingga proses penuaan dapat dicegah atau dihambat. Bermodalkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan dan menghindari berbagai faktor penyebab proses penuaan dilengkapi dengan pengobatan, masyarakat memiliki kesempatan untuk hidup lebih sehat dan berusia lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat proses penuaan antara lain adalah menjaga kesehatan tubuh dan jiwa dengan pola hidup sehat meliputi berolahraga teratur, makanan sehat dan cukup, atasi stres; jangan merasa sehat dan normal hanya karena tidak ada keluhan serius; melakukan pemeriksaan kesehatan berkala yang diperlukan dan disesuaikan dengan kondisi; menggunakan obat dan suplemen yang diperlukan sesuai petunjuk ahli untuk mengembalikan fungsi berbagai organ tubuh yang menurun. Namun, terdapat pula hambatan atau kesulitan melakukan upaya menghambat proses penuaan, antara lain karena lingkungan tidak sehat, pengetahuan rendah dan budaya yang tidak benar. Yang juga termasuk hambatan adalah adanya pola hidup yang tidak sehat seperti diet yang tinggi karbohidrat dan lemak jenuh (Pangkahila, 2007). 2.2 Diet Tinggi Karbohidrat dan Lemak Jenuh Sesungguhnya makanan yang sehat dapat memenuhi kebutuhan tubuh agar tetap dapat berfungsi normal. Pada dasarnya nutrisi sehat dan seimbang terdiri dari komposisi sebagai berikut : 50% karbohidrat dengan glycemic index yang rendah, 30% lemak dimana 60% berupa monounsaturated fatty acids dan 10% polyunsaturated fatty acids dan 20% protein. Namun yang seringkali terjadi adalah konsumsi makanan tidak seimbang, bahkan mengandung terlalu banyak karbohidrat terutama dengan glycemic index yang tinggi seperti gula, roti-rotian, makanan penutup, lemak hewani, dan terlalu sedikit makanan berserat dan buah (Pangkahila, 2007). 10 Energi dikonsumsi dalam diet lewat masukan karbohidrat, protein dan lemak. Jika terdapat kelebihan kalori, yakni antara lain dari asupan tinggi karbohidrat dan lemak jenuh, yang melebihi takaran komposisi nutrisi yang sehat dan seimbang, maka tubuh akan mengubah dan menyimpan nutrien energi ini sebagai trigliserida dalam jaringan adiposa. Seiring berjalannya waktu jika kelebihan kalori ini dikonsumsi terus tanpa ada peningkatan pengeluaran energi maka kelebihan lemak tubuh akan disimpan dan dapat berkembang menjadi obesitas (Wilborn et al., 2005). 2.3 Obesitas Obesitas telah mencapai proporsi epidemik global, dengan lebih dari 1 milyar orang dewasa mengalami kelebihan berat badan (overweight) – dimana 300 juta diantaranya mengalami obesitas. Hal ini merupakan penyumbang yang besar terhadap beban global penyakit kronik dan disabilitas. Epidemi obesitas tidaklah terbatas pada negara-negara maju saja, peningkatan angka penderita obesitas terkadang lebih cepat di negara berkembang daripada negara maju (WHO, 2003). Adanya transisi nutrisi menyebabkan negara-negara berkembang untuk mengalami peningkatan prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas, dan juga penyakit-penyakit yang dihubungkan dengan obesitas. Hal ini diakibatkan oleh perubahan nutrisi yang dicirikan dengan diet tinggi lemak jenuh dan karbohidrat serta pola hidup sedentari yang menyebabkan tubuh membutuhkan lebih sedikit energi untuk aktivitas sehari-hari. Perubahan nutrisi ini terjadi oleh karena adanya globalisasi kebudayaan dan kebiasaan dari negara-negara maju yang masuk ke negara berkembang (Popkin, 2006). Pada negara-negara sedang berkembang, selain masalah kelebihan dan ketidakseimbangan nutrisi juga ditemui keadaan kurang gizi. Obesitas dapat ditemukan pada semua kelompok usia dan sosioekonomi (WHO, 2003). Indonesia sebagai negara 11 dengan populasi keempat terbesar di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat diwarnai dengan kontras. Sekitar 50% atau lebih dari 100 juta penduduknya tergolong pada kelompok defisiensi nutrisi, dan 15% populasi dewasa termasuk kelebihan berat badan sehingga angka penyakit ko-morbid yang dihubungkan dengan kelebihan berat badan turut meningkat (Atmarita, 2005). Obesitas didefinisikan sebagai kelebihan jaringan adiposa. Kuantifikasi yang akurat dari lemak tubuh membutuhkan peralatan canggih seperti Computed Tomography (CT) Scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang biasanya tidak tersedia pada tempat praktek dokter. Pemeriksaan fisik umumnya cukup memadai untuk menentukan adanya kelebihan lemak tubuh. Metode yang paling sering digunakan untuk evaluasi kuantitatif adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT dikalkulasikan dengan cara membagi berat badan tubuh yang terukur dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (Thierney et al., 2005). The National Institute of Health (NIH) mendefinisikan IMT yang normal yakni 18,5-24,9. Kelebihan berat badan didefinisikan sebagai IMT 25-29,9. Obesitas Kelas I adalah 30-34,9 Obesitas Kelas II adalah 35-39,9 dan Kelas III >40 (Thierney et al., 2005). Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menentukan nilai IMT untuk daerah Asia Pasifik. Untuk orang Asia, dianggap overweight bila IMT > 23 dan dianggap obesitas bila IMT > 25. Revisi ini didasarkan pada kenyataan bahwa morbiditas dan mortalitas orang Asia cenderung terjadi pada IMT yang lebih rendah (Pangkahila, 2007). Selain berat badan, terdapat faktor lain yang juga tidak kalah penting. Obesitas tubuh bagian atas (kelebihan berat badan di daerah pinggang) merupakan risiko kesehatan yang lebih besar dibandingkan obesitas tubuh bagian bawah (lemak di paha bagian atas dan pantat) (Thierney et al., 2005). Sekarang diketahui bahwa, dimana lemak berada lebih penting daripada berapa banyak lemak yang terakumulasi. Obesitas sentral atau viseral, merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk morbiditas dan mortalitas yang 12 berhubungan dengan obesitas, dibandingkan dengan lemak sub-kutan (Thierney et al., 2005; Molina, 2006). Tingkat keparahan komplikasi medis lebih berhubungan dengan distribusi lemak tubuh, khususnya obesitas tubuh bagian atas, dibandingkan lemak tubuh total. Obesitas abdominal atau tubuh bagian atas direfleksikan melalui rasio pinggang-pinggul yang tinggi, sebuah indeks yang digunakan untuk memprediksi risiko yang berhubungan dengan akumulai lemak (Molina, 2006). Pasien obesitas dengan lingkar perut yang meningkat (>102 cm pada pria dan >88cm pada wanita) atau dengan rasio pinggang-pinggul yang tinggi (>1,0 pada pria dan >0,85 pada wanita) memiliki risiko yang lebih besar akan diabetes mellitus, stroke, penyakit jantung koroner, kematian yang lebih dini dibandingkan pasien obesitas dengan rasio yang lebih rendah (Thierney et al., 2005). Rekomendasi WHO untuk daerah Asia Pasifik ialah batas atas lingkar pinggang (waist circumference) bagi pria >90 cm dan bagi wanita >80 cm. Rekomendasi ini dibuat karena orang Asia cenderung mengalami akumulasi lemak viseral tanpa obesitas secara umum (Pangkahila, 2007). Diferensiasi yang lebih lanjut akan lokasi dari kelebihan lemak menunjukkan lemak viseral dalam kavitas abdomen lebih berbahaya bagi kesehatan daripada lemak subkutan di daerah abdomen (Thierney et al., 2005). Rasio lingkar pinggang dan pinggul atau Waist to Hip circumference Ratio (WHR) merupakan metode yang sederhana dan nyaman digunakan untuk penelitian epidemiologis dan memberikan estimasi yang berguna akan proporsi abdomen atau lemak tubuh bagian atas, namun WHR tidak dapat membedakan akumulasi dari lemak abdominal viseral dengan lemak abdominal subkutan (Wajchenberg, 2000). Penanda adanya jaringan adiposa seperti indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan rasio pinggang dan pinggul secara umum mudah untuk dilakukan namun tidak secara konkret membedakan abdomen yang besar akibat penumpukan jaringan adiposa subkutan atau lemak viseral (Levy, 2010). Teknik pencitraan, terutama CT Scan, yang dapat secara jelas membedakan lemak dari 13 jaringan lainnya, dapat digunakan untuk mengukur lemak abdominal, baik yang viseral maupun yang subkutan (Wajchenberg, 2000). Lemak viseral lebih sensitif terhadap katekolamin dan kurang sensitif terhadap insulin, membuatnya menjadi penanda dari resistensi insulin. Temuan ini konsisten dengan pengamatan pada individu obese yang melakukan aktivitas fisik berat dimana obesitasnya disebabkan karena masukan kalori yang tinggi, seperti pada pesumo, memiliki lemak subkutan lebih banyak daripada lemak viseral dan tidak menunjukkan peningkatan resistensi insulin yang substansial. Secara kontras, obesitas yang disebabkan oleh pola hidup sedentari, diduga sebagian besar merupakan obesitas viseral dan dihubungkan dengan resistensi insulin dengan derajat yang lebih berat pada pasien baik dengan atau tanpa diagnosis diabetes melitus (McPhee dan Ganong, 2005). Meningkatnya epidemi obesitas menggambarkan perubahan pada masyarakat dan pada pola tingkah laku dari komunitas dalam beberapa dekade terakhir (WHO, 2003). Obesitas terjadi sebagai akibat dari pola hidup yang sedentari ditambah dengan konsumsi kelebihan kalori dalam jangka waktu yang lama (Thierney et al., 2005), khususnya diet tinggi lemak jenuh dan karbohidrat (Popkin, 2006). Konsumsi yang meningkat dari makanan yang mengandung kalori tinggi, rendah nutrisi dengan kadar gula dan lemak jenuh yang tinggi, dikombinasikan dengan aktivitas fisik yang berkurang, mengakibatkan angka penderita obesitas meningkat sampai dengan tiga kali lipat atau bahkan lebih sejak tahun 1980 di beberapa daerah di Amerika Utara, Inggris, Eropa Timur, Timur Tengah, Australia dan Cina (WHO, 2003). Meski demikian obesitas yang ditemukan pada manusia tanpa diragukan merupakan hasil dari interaksi berbagai gen, faktor fisiologik, faktor lingkungan dan kebiasaan (Thierney et al., 2005; Wilborn et al., 2005). Walaupun faktor genetik berperan dalam menentukan kerentanan seseorang terhadap peningkatan berat badan, keseimbangan energi ditentukan dengan masukan kalori dan aktivitas fisik. Perubahan sosial, pertumbuhan 14 ekonomi, modernisasi, urbanisasi dan globalisasi merupakan beberapa hal yang mendorong terjadinya epidemi ini (WHO, 2003; Byles, 2009). Kelebihan masukan energi daripada pengeluaran energi akan mengarah menjadi akumulasi lemak. Massa lemak sendiri ditentukan oleh keseimbangan antara pemecahan (lipolisis) dan sintesis (lipogenesis). Sistem saraf simpatis adalah perangsang utama dari lipolisis, yang akan menyebabkan berkurangnya deposit lemak, terutama jika penggunaan energi individu meningkat. Jika masukan melebihi penggunaan energi, akan terjadi lipogenesis di hati dan jaringan adiposa. Lipogenesis dipengaruhi oleh diet (meningkat oleh asupan kaya karbohidrat) dan hormon (terutama Growth Hormone (GH), insulin dan leptin). Hormon utama yang terlibat dalam penyimpanan lemak adalah insulin (akan menstimulasi lipogenesis), GH, leptin (yang akan mengurangi lipogenesis). Hormon lain yang terlibat dalam regulasi lemak tubuh termasuk hormon seks seperti testosteron (Molina, 2006). Kelebihan lemak tubuh dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Lebih banyak kelainan muncul dengan frekuensi yang lebih besar pada penderita obesitas. Yang paling penting dan umum ditemui adalah hipertensi, diabetes mellitus tipe 2, hiperlipidemia, penyakit jantung koroner, penyakit sendi degeneratif, dan disabilitas psikososial. Sebanyak 60% individu dengan obesitas di Amerika Serikat juga terkena sindrom metabolik. Sindrom metabolik ini ditandai dengan adanya tiga atau lebih faktor berikut : meningkatnya lingkar perut, tekanan darah, trigliserida darah, glukosa darah puasa, dan rendahnya kadar kolesterol High Density Lipoprotein (HDL). Beberapa jenis kanker (seperti kolon, rektum, prostat pada pria; uterus, payudara dan ovarium pada wanita), kelainan tromboemboli, penyakit traktus digestivus (batu empedu, refluks esofagitis) dan kelainan kulit lebih banyak ditemukan pada penderita obesitas. Risiko pembedahan dan obstetrik lebih besar. Penderita obesitas juga memiliki risiko yang lebih besar akan gangguan paru-paru fungsional, abnormalitas endokrin, proteinuria, dan meningkatnya konsentrasi hemoglobin. Pada dewasa muda dan paruh baya, kematian akibat 15 alasan apapun dan kematian dari penyakit kardiovaskular meningkat dalam proporsi tingkat obesitas (Thierney et al., 2005). Konsekuensi kesehatan bervariasi dari meningkatnya risiko kematian sampai ke kondisi kronik yang serius yang mengurangi kualitas hidup (WHO, 2003). Penurunan berat badan dan menjaga agar berat badan tidak naik kembali dapat memperbaiki atau bahkan mencegah faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular dan penyakit ko-morbid lain yang berhubungan dengan obesitas. Penurunan berat badan yang sedang (5-10% dari berat badan awal) dihubungkan dengan perbaikan dalam beberapa faktor risiko yang telah ditetapkan untuk penyakit kardiovaskular, seperti hipertensi, dislipidemia, dan berkurangnya insiden diabetes mellitus tipe 2 dan perbaikan dalam kontrol diabetes. Sebuah meta-analisis dari 25 randomized controlled trials yang memeriksa tekanan darah menunjukkan bahwa penurunan berat badan sebesar 5,1 kilogram menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 4,44 mmHg dan penurunan tekanan darah diastolik sebesar 3,57 mmHg. Penurunan yang lebih bermakna dari tekanan darah terlihat jika rata-rata penurunan berat badan lebih besar lagi. Meski demikian pengaruh baik dari penurunan berat badan terhadap faktor risiko dari penyakit kardiovaskular tidak akan bertahan kecuali penurunan berat badan dipertahankan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya untuk mengurangi berat badan atau bahkan mencegah kenaikan berat badan (Turk et al., 2009). 2.4 Lemak Abdominal pada Obesitas Jaringan adiposa abdominal adalah organ yang kompleks dan terdiri dari beberapa kompartemen dan subkompartemen, termasuk lemak subkutan dan lemak intra-abdominal, yang dapat dibagi menjadi lemak retroperitoneal dan intraperitoneal, yang dapat dibagi lagi menjadi massa lemak mesenterik dan omental. Lemak intraperitoneal juga dikenal sebagai jaringan adiposa viseral (visceral adipose tissue) dianggap sebagai penanda risiko 16 metabolik (Klein, 2010). Lemak abdominal terdiri dari lemak subkutan abdomen dan lemak intraabdomen, yang secara jelas nampak lewat CT Scan dan MRI. Jaringan adiposa intraabdomen terdiri dari lemak viseral atau intraperitoneal yang terdiri dari lemak omental dan mesenterik dan massa lemak retroperitoneal yang dibatasi oleh batas dorsal dari intestin dan bagian ventral dari ginjal (Wajchenberg, 2000). Dua kompartemen intraabdominal dapat dipisahkan pada MRI menggunakan titik anatomis, seperti kolon ascendens dan descendens, aorta dan vena cava inferior, suatu prosedur yang telah divalidasi pada kadaver manusia. Pada kadaver, massa jaringan adiposa intraperitoneal dan retroperitoneal yang diukur setelah diseksi adalah 61-71% dan 29-33%, secara berurutan, dari massa jaringan adiposa intraabdominal (Wajchenberg, 2000). Penelitian-penelitian epidemiologis dan fisiologis menunjukkan hubungan yang kuat antara kelebihan jaringan adiposa abdomen dengan faktor risiko metabolik untuk penyakit jantung koroner, termasuk resistensi insulin, toleransi glukosa terganggu, diabetes mellitus tipe 2, dislipidemia, dan meningkatnya protein inflamasi yang bersirkulasi dalam darah (Klein, 2010). Penelitian epidemiologis yang ada melaporkan hubungan antara obesitas yang berat dengan mortalitas akibat meningkatnya penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular serta diabetes mellitus. Pada obesitas tingkat sedang, distribusi regional nampaknya merupakan indikator yang penting akan perubahan metabolik dan kardiovaskular, terutama sejak ditemukan korelasi yang tidak konstan antara indeks massa tubuh dan perubahan-perubahan ini. Obesitas bukanlah kondisi yang homogen, serta distribusi regional dari jaringan adiposa penting untuk diketahui untuk memahami hubungan antara obesitas dengan gangguan metabolisme glukosa dan lipid (Wajchenberg, 2000). Penyebab fundamental obesitas adalah ketidakseimbangan jangka panjang akan masukan dan pengeluaran energi yang akan meningkatkan massa tubuh termasuk akumulasi lemak subkutan dan viseral. Walaupun obesitas secara umum adalah faktor risiko untuk berbagai penyakit, beberapa penelitian pada manusia telah menunjukkan bahwa penumpukan lemak 17 viseral, yakni lemak yang berlokasi pada viseral, sebagai yang paling berpengaruh pada berbagai kondisi kesehatan termasuk penyakit serebrovaskular, resistensi insulin dan diabetes mellitus tipe 2 (Huffman and Barzilai, 2009). Lokasi regional dari lemak tubuh pada obesitas adalah perkiraan yang lebih baik akan risiko kesehatan jika dibandingkan dengan total lemak tubuh (Wajchenberg, 2000). Walaupun hubungan sebab-akibat belum dapat ditetapkan secara pasti, bukti-bukti yang ada mengindikasikan bahwa lemak viseral merupakan salah satu faktor risiko yang penting akan berbagai tampilan sindrom metabolik: intoleransi glukosa, hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin. Namun, adanya heterogenitas metabolik pada penderita obesitas dengan jaringan adiposa viseral yang hampir serupa, diduga kerentanan genetik juga berperan dalam memodulasi risiko yang diasosiasikan dengan kelebihan jaringan adiposa viseral. Dalam hal ini obesitas viseral sebaiknya dianggap sebagai faktor yang memperparah kerentanan genetik individual terhadap komponen sindrom metabolik. (Wajchenberg, 2000). Mekanisme yang menghubungkan lemak viseral dengan sindom metabolik belum sepenuhnya dimengerti, namun diduga berhubungan dengan lokasi anatomis yang menghasilkan efek portal dari pelepasan asam lemak bebas dan gliserol. Bukti-bukti yang didapat dari penelitian yang baru menunjukkan jaringan adiposa merupakan organ endokrin yang aktif, yang mampu mensekresi berbagai macam sitokin, yang sering disebut dengan adiponektin, yang dapat menyebabkan inflamasi dan menggangu aksi insulin. Lebih jauh lagi, penelitian dari beberapa kelompok menunjukkan lemak viseral memiliki karakteristik pro-inflamasi yang lebih besar dibandingkan lemak subkutan (Huffman and Barzilai, 2009). Adanya peningkatan pada jaringan adiposa viseral, asam lemak bebas secara mudah mengarah ke hati dan meningkatkan produksi glukosa, trigliserida dan lipoprotein VLDL very low density lipoprotein (VLDL), serta menurunkan kadar kolesterol HDL (Wajchenberg, 2000; Levy, 2010). Sel lemak juga mengalami perubahan metabolik yang dapat menjelaskan efek sistemiknya. Sebagai contoh, glucose transporters secara signifikan 18 berkurang pada adiposit omental manusia, yang dapat menerangkan resistensi insulin. Lebih jauh lagi adipokin lemak viseral dari pasien-pasien obese yang sangat berat diukur sewaktu menjalani pembedahan bariatrik, yakni pembedahan yang dilakukan pada penderita obesitas untuk mengurangi berat badan dengan jalan mengurangi ukuran lambung dengan implantasi alat kesehatan (gastric banding) atau lewat pemotongan sebagian dari lambung atau penjahitan usus halus ke bagian dari lambung (gastric bypass surgery). Konsentrasi Interleukin-6 dari Vena portal meningkat secara substansial dan berhubungan erat dengan inflamasi sistemik, yang diindikasikan dengan tingginya kadar C-Reactive Protein (CRP). Tidak mengherankan jika infiltrasi makrofag yang merangsang molekul dan jalur inflamasi meningkat pada lemak omental jika dibandingkan dengan lemak subkutan pada individu obesitas (Levy,2010). Distribusi lemak tubuh berbeda antara pria dan wanita, dimana hal ini merupakan salah satu tanda khas maskulinitas dan femininitas. Jika dibandingkan dengan pria, maka wanita premenopause memiliki lebih banyak lemak subkutan, dan lemak tubuhnya cenderung diakumulasi di payudara, pinggul dan paha atas (Pangkahila, 2007). Regio khas untuk penyimpanan lemak wanita ini umumnya disebut sebagai gynoid (Wajchenberg, 2000). Pada pria, lemak secara dominan berakumulasi di depot subkutan abdomen dan viseral (Pangkahila, 2007), dengan lebih sedikit akumulasi lemak pada daerah pinggul dan paha atas jika dibandingkan dengan wanita, dimana distribusi lemak ini disebut sebagai sentral atau android (Wajchenberg, 2000). Pria secara umum memiliki area lemak viseral yang lebih besar dibandingkan wanita, dimana hal ini diduga berhubungan dengan perbedaan faktor risiko jenis kelamin pada penyakit kardiovaskular. Oleh karena distribusi lemak tubuh merupakan salah satu karakteristik seks sekunder, dapat dilihat bahwa hormon seks merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan deposisi lemak regional. Bukti-bukti menunjukkan hormon seks wanita berhubungan dengan akumulasi lemak subkutan di regio bawah tubuh. Penyimpanan lemak khas wanita ini penting dalam fungsi reproduksi. Obesitas abdominal pada pria ditemukan berhubungan dengan 19 rendahnya kadar testosteron pada pria dan terapi sulih hormon testosteron menghasilkan pengurangan lemak abdominal (Wajchenberg, 2000). Distribusi lemak regional pada manusia secara jelas diatur oleh hormon, walaupun faktor-faktor lain ikut berperan penting. Tidak hanya hormon steroid seks saja yang berperan, namun kortikosteroid dari kelenjar adrenal juga memainkan peran yang besar. Hormon peptida seperti insulin dan GH merupakan faktor yang penting dalam distribusi jaringan adiposa (Wajchenberg, 2000). Distribusi lemak gluteo-femoral yang tipikal untuk wanita dibedakan dengan distribusi lemak abdominal pada pria dengan pengukuran rasio pinggang dan pinggul dimana terdapat titik cutoff untuk pria dan wanita yang dapat diterima (Levy, 2010). Kelebihan lemak pada tubuh bagian atas (sentral atau abdominal) yang juga dikenal sebagai obesitas tipe pria atau android lebih sering dihubungkan dengan meningkatnya mortalitas dan risiko akan penyakit seperti diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, dan aterosklerosis dari pembuluh darah koroner, serebral dan perifer dibandingkan dengan obesitas tipe gynoid atau distribusi lemak tipe wanita (tubuh bagian bawah atau area gluteo-femoral) (Wajchenberg, 2000). Perbedaan antara pria dan wanita setelah pubertas tidak hanya pada distribusi lemak, melainkan juga pada metabolisme dan ukuran sel lemak. Sel lemak di bagian glutea dan femur lebih besar daripada di bagian abdomen. Aktivitas lipase lipoprotein, yaitu enzim yang bertanggungjawab bagi akumulasi trigliserida di dalam sel lemak, ternyata lebih tinggi di bagian gluteo-femoral daripada di bagian abdomen (Pangkahila, 2007). Individu dengan massa lemak viseral yang lebih besar, baik lewat peningkatan berat badan atau penumpukan lemak pada depot viseral, akan kehilangan lebih banyak lemak viseral jika disesuaikan dengan hilangnya lemak tubuh, terlepas dari metode intervensi yang dilakukan (restriksi kalori, terapi farmakologis, atau olahraga) karena adiposit viseral memiliki tingkat lipolitik yang lebih tinggi pada keadaan tetap (steady state) (Wajchenberg, 2000). 20 Berkurangnya lemak abdominal akan menjadi sangat bermakna, dikarenakan kelebihan lemak di bagian abdomen merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit kardiovaskular. Lemak intraabdominal (viseral) memiliki kadar turnover trigliserida yang tertinggi dan kelebihan adiposit viseral adalah hal yang paling berkaitan dengan gangguan metabolik terutama resistensi insulin dan hipertrigliseridemia. Lemak subkutan pada bagian tubuh atas adalah yang berikutnya, sedangkan lemak subkutan pada bagian tubuh bawah memiliki tingkat turnover trigliserid yang paling rendah, sehingga kelebihan lemak subkutan pada bagian tubuh bawah adalah yang paling kecil membawa dampak metabolik. Pada keadaan postabsorbtive, adiposit yang teregang akan melepaskan lebih banyak jumlah asam lemak ke dalam sirkulasi. Meningkatnya kadar asam lemak bebas yang berada di sirkulasi akan meningkatkan sintesis hepar dan sekresi VLDL yang kaya akan trigliserida (Maki et al., 2009). Sehingga dengan demikian perlu dicari suatu metode untuk dapat mengurangi bahkan mencegah penumpukan lemak abdominal pada umumnya, dan terutama lemak viseral. 2.5 Hubungan Obesitas, Proses Penuaan dan Usia Harapan Hidup Terdapatnya lemak tubuh yang berlebihan merupakan ancaman terhadap kualitas hidup dan usia harapan hidup. Kecenderungan bertambahnya jumlah penduduk yang obesitas nampaknya akan memperburuk kondisi kesehatan, menurunkan kualitas hidup dan mengurangi usia harapan hidup dari generasi yang akan datang. Obesitas memiliki pengaruh yang negatif terhadap proses penuaan dan umur panjang, dimana pada orangorang dengan tingkat obesitas yang parah usia harapan hidupnya berkurang 5 sampai dengan 20 tahun (Olshansky et al., 2005). Proses penuaan itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa radikal bebas, menurunnya kadar hormon, terjadinya proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, menurunnya sistem imunitas dan faktor genetik. Faktor eksternal diantaranya adalah gaya hidup yang 21 tidak sehat, diet yang tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, dan stres (Pangkahila, 2007). Penelitian pada mencit menunjukkan adanya obesitas meningkatkan formasi radikal bebas di dalam sel lemak, sehingga terjadi inflamasi dan menjadi cikal bakal terjadinya resistensi insulin (Ahima, 2009). Anak-anak yang kelebihan berat badan meningkat risiko kematiannya ketika dewasa nanti, baik kematian oleh karena penyakit kardiovaskular ataupun oleh penyebab lainnya, selain itu juga meningkat risikonya akan penyakit kardiovaskular pada pria dan wanita. Risiko terkena diabetes mellitus pada orang-orang yang lahir di Amerika Serikat meningkat 30-40%, dimana hal ini dihubungkan dengan epidemi obesitas. Orang dewasa dengan diabetes mellitus meningkat risikonya untuk terkena serangan jantung sebesar orang yang telah mengalami serangan jantung sebelumnya, dan perlu diketahui diabetes mellitus mengurangi usia harapan hidup sebanyak 13 tahun (Olshansky et al., 2005). Bukti-bukti juga menunjukkan bahwa dengan meningkatnya angka obesitas, disabilitas juga meningkat dan tingkat kebugaran menurun di Amerika Serikat (Olshansky et al., 2005). Bila muncul berbagai kemunduran fungsi tubuh, baik karena penyakit atau proses penuaan yang dibiarkan, maka kualitas hidup akan menurun (Pangkahila, 2007). Jika tidak segera diatasi, semakin bertambahnya angka kelebihan berat badan dan obesitas akan meningkatkan risiko terjadinya kondisi kesehatan yang fatal dan non fatal dengan bertambahnya usia, diantaranya gangguan pernapasan, masalah muskulo-skeletal, gout, gangguan tidur, infertilitas, penyakut kardiovaskular, kondisi yang dihubungan dengan resistensi insulin seperti diabetes mellitus tipe 2, beberapa jenis kanker terutama yang berhubungan dengan hormonal dan kanker usus besar, dan penyakit batu empedu (Thierney et al., 2005). Prevalensi obesitas yang kian meningkat terutama pada usia yang lebih muda akan memberikan pengaruh negatif pada kesehatan dan umur panjang di masa yang akan datang. Obesitas yang terjadi pada usia lebih dini, akan menyebabkan anak-anak dan dewasa muda membawa risiko akan penyakit-penyakit yang dihubungkan dengan 22 obesitas lebih lama dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan menurunnya kualitas hidup dan usia harapan hidup dari generasi mendatang lebih pendek daripada yang ada sekarang (Olshansky et al., 2005). Penurunan usia harapan hidup sebenarnya dapat dihindari. Temuan-temuan baru pada pengobatan medis untuk penyakit-penyakit termasuk komplikasi dari obesitas terus dikembangkan. Namun besar harapan agar komunitas kesehatan masyarakat dan para pembuat kebijakan merespon terhadap bahaya yang dibawa oleh obesitas terhadap kualitas dan usia harapan hidup (Olshanksy et al., 2005). Intervensi untuk mencegah dan mengurangi angka obesitas teramat perlu dikembangkan. Jika tidak, peningkatan usia harapan hidup yang mulai stabil teramati di era modern ini dapat segera berakhir, dan generasi muda saat ini hidup kurang sehat, dengan kualitas hidup yang lebih rendah dan bahkan berusia lebih pendek dibandingkan orang tua mereka (Olshansky, 2005; Stein, 2005). 2.6 Teh Hijau Bukti-bukti menunjukkan India dan Cina adalah negara-negara pertama yang menanam teh. Teh yang diseduh dari daun tanaman Camellia sinensis yang dikeringkan, adalah salah satu minuman yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia (UMMC, 2010). Teh secara tradisional digunakan sebagai pengobatan berdasarkan pengalaman dimana aktivitas fisiologis dari komponen-komponen di dalam teh telah digambarkan pada negara-negara Asia terutama Jepang dan Cina (Nagao et al., 2007). Ratusan juta orang di dunia meminum teh, dan terdapat penelitian yang melaporkan bahwa teh hijau (Camellia sinensis) banyak memiliki kegunaan di bidang kesehatan (UMMC, 2010). Dalam istilah kekerabatan dunia tumbuh-tumbuhan, teh digolongkan kedalam: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta 23 Sub Divisio : Angiospermae Class : Dicotiledoneae Ordo : Guttiferales Famili : Tehaceae Genus : Camelia Spesies : Camelia sinensis (Setyaamidjaja, 2000). Terdapat tiga variasi utama dari teh, yakni teh hijau, teh hitam dan teh oolong, dimana semua ini didapatkan dari daun-daun tanaman Camellia sinensis tergantung pada derajat oksidasinya. Perbedaan dari variasi teh tersebut adalah pada pemrosesannya. Proses pembuatan teh diatur untuk mencegah atau membiarkan polifenol yang terdapat dalam teh untuk teroksidasi secara alami oleh polyphenol oxidase yang terdapat pada daun teh. Teh hijau diproses dengan cara menginaktivasi polyphenol oxidase pada daun yang masih segar dengan cara dipanaskan atau diuapkan, yang akan mencegah oksidasi catechin, yakni komponen flavonoid terbanyak pada ekstrak teh hijau. Teh oolong dioksidasi parsial atau sebagian sementara teh hitam sepenuhnya dioksidasi (Velayutham et al., 2008). Semakin besar tingkat fermentasi daun-daun teh, maka kandungan polifenol-nya akan semakin sedikit dan kadar kafeinnya akan semakin banyak (UMMC, 2010). Sebagai hasil, teh hijau yang diproses untuk mencegah fermentasi dan oksidasi, mengandung kadar yang lebih tinggi akan polifenol yang merupakan antioksidan jika dibandingkan dengan teh hitam (Shrubsole, 2009), sementara itu teh hitam memiliki kadar kafein 2-3 kali lebih banyak daripada teh hijau. (UMMC, 2010) Daun teh yang baru dipetik mengandung air 75 % dari berat daun dan sisanya berupa padatan dan terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik. Bahan organik yang penting dalam pengolahan antara lain polifenol, karbohidrat dan turunannya, ikatan nitrogen, pigmen, enzim dan vitamin. Bahan-bahan kimia dalam daun teh dikelompokkan menjadi 4 kelompok besar, yaitu: 24 a. Substansi fenol : tanin / katekin, flavanol (querecetin, kaemferol dan myricetin) b. Substansi bukan fenol : karbohidrat (sukrosa, glukosa, fruktosa), substansi pektin (pektin dan asam pektat), alkaloid (kafein, teobromin, teofilin), protein, substansi resin, vitamin (vitamin C, K, A, B1, B2, asam nikotinat dan asam pantotenat ), serta substansi mineral c. Substansi aromatis : fraksi karboksilat, fenolat, karbonil, netral bebas karbonil (sebagian besar terdiri atas alkohol). d. Enzim : Invertase, amilase, glukosidase, oximetilase, protease, dan peroksidase. Keempat kelompok tersebut bersama-sama mendukung terjadinya sifat-sifat yang baik pada teh (Setyamidjaja, 2000). Tahapan pengolahan teh hijau terdiri dari pelayuan, penggulungan, pengeringan, sortasi kering, serta pengemasan. a. Pelayuan Pelayuan bertujuan untuk menginaktifkan enzim polifenol oksidase dan menurunkan kandungan air dalam pucuk, agar menjadi lentur dan mudah digulung. Pelayuan dilaksanakan dengan cara mengalirkan sejumlah pucuk secara berkesinambungan kedalam alat pelayuan Rotary Panner dalam keadaan panas dengan suhu pelayuan 80-100oC. Selama proses pelayuan berlangsung dalam rotary panner, terjadi proses penguapan air baik yang terdapat di permukaan maupun yang terdapat didalam daun. Uap air yang terjadi harus secepatnya dikeluarkan dari ruang roll rotary panner, untuk mencegah terjadinya hidrolisa klorofil oleh uap asam-asam organik. b. Penggulungan Penggulungan bertujuan membentuk mutu secara fisik, karena selama penggulungan, pucuk teh akan dibentuk menjadi gulungan-gulungan kecil dan terjadi pemotongan. Proses ini harus segera dilakukan setelah pucuk layu keluar 25 mesin rotary panner. Penggulungan dilakukan satu kali agar tidak terjadi penghancuran daun teh terlalu banyak, yang dapat meningkatkan jumlah bubuk dengan mutu yang kurang menguntungkan. Lama penggulungan sebaiknya tidak lebih dari 30 menit dihitung sejak pucuk layu masuk mesin penggulung. c. Pengeringan Pengeringan pada teh hijau bertujuan menurunkan kadar air dari pucuk yang digulung hingga 3-4%, memekatkan cairan sel yang menempel di permukaan daun sampai berbentuk seperti perekat, dan memperbaiki bentuk gulungan teh jadi. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilaksanakan dua tahap pengeringan, masing-masing menggunakan mesin yang berbeda. Mesin pengering pertama disebut Endless Chain Pressure (ECP) Dryer. Pada mesin pengering ini, suhu diatur supaya suhu masuk 130-135oC dan suhu keluar 50-55oC dengan lama pengeringan 25 menit. Pada pengeringan pertama ini, jumlah air yang diuapkan mencapai 50% dari bobot pucuk, sehingga hasilnya baru setengah kering dengan tingkat kekeringan 30-35%. Pada pengeringan tahap kedua digunakan mesin pengering Rotary Dryer tipe Repeat Rool. Maksud pengeringan kedua adalah untuk menurunkan kadar air sampai 3-4% serta memperbaiki bentuk gulung teh kering. Pengeringan dalam rotary dryer menggunakan suhu tidak lebih dari 70oC dengan lama pengeringan 80-90 menit, dan putaran rotary dryer 17-19 rpm. Untuk memperoleh hasil pengeringan yang baik selain ditentukan oleh suhu dan putaran mesin juga ditentukan oleh kapasitas mesin pengering. Kapasitas per batch mesin pengering ditentukan oleh diameter mesin itu. Rotary dryer yang rollnya berdiameter 70 cm, mempunyai kapasitas pengeringan 40-50 kg teh kering, dan untuk roll yang berdiameter 100 cm kapasitasnya 60-70 kg teh kering. d. Sortasi Kering 26 Sortasi kering bertujuan memisahkan, memurnikan dan membentuk atau mengelompokkan jenis mutu teh hijau dengan bentuk ukuran yang spesifik sesuai dengan standar teh hijau. Hal ini terjadi oleh karena teh yang berasal dari pengeringan masih bercampur, baik bentuk maupun ukuran. Pada prinsipnya, sortasi kering teh hijau adalah : 1. memisahkan keringan teh hijau yang banyak mengandung jenis mutu ekspor 2. memisahkan partikel-partikel yang mempunyai bentuk dan ukuran yang relatif sama kedalam beberapa kelompok, kemudian memisahkannya dari tulang-tulang daunnya 3. melakukan pemotongan dengan tea cutter bagian-bagian teh yang ukurannya masih lebih besar dari jenis mutu yang dikehendaki 4. setelah hasil sortasi teh hijau terkumpul menjadi beberapa jenis dilakukan polishing dengan menggunakan mesin polisher 5. hasil sortasi ini dikelompokkan kedalam jenis-jenis mutu teh hijau sesuai dengan mutu yang ada. e. Penyimpanan dan Pengemasan Pengemasan teh hijau dilakukan dengan bahan pembungkus kantong kertas yang didalamnya dilapisi aluminium foil. Untuk memasarkannya teh hijau biasa dikemas dalam kantong kertas atau kantong plastik dengan ukuran kemasan bervariasi (Setyamidjaja, 2000). 27 Senyawa Flavonol (Catechin, termasuk EGCG) Flavonol dan flavonol hidroksida Asam polifenol dan depsida Polifenol lain Kafein Theobromin dan theofilin Asam amino Asam organik Monosakarida Polisakarida Protein Selulosa Lignin Lemak Klorofil dan pigmen lain Abu Volatil % Berat 25 3 5 3 3 0,2 4 0,5 4 14 15 7 6 2 0,5 5 <0,1 Tabel 2.1. Komposisi kimia bubuk teh kering 28 Sumber : Setyamidjaja, 2000 Fungsi kesehatan dari teh hijau dihubungkan dengan kandungan polifenol-nya, suatu kimia dengan fungsi antioksidan. Teh hijau mengandung catechin, sebagai zat aktifnya, yang merupakan polifenol dengan berat molekul rendah yang terdiri dari monomer flavan-3-ol; catechin terutama terdiri dari EGCG, EGC, ECG, EC. Daun teh hijau mengandung polifenol sampai dengan 30% berat kering, dimana catechin dari teh hijau merupakan 80-90% flavonoid total, dan EGCG adalah catechin yang terbanyak (48-55%), diikuti EGC (9-12%), ECG (9-12%), dan EC (5-7%) (Velayutham et al., 2008). Kandungan catechin dari ekstrak teh hijau dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam metode persiapan ekstrak seperti kondisi pengeringan dan derajat fermentasi dari daun teh. Kadar catechin juga bervariasi pada daun teh itu sendiri yang diakibatkan perbedaanperbedaan seperti perbedaan varietas, asal dan kondisi tumbuhnya tanaman (Velayutham et al., 2008; Chacko et al., 2010). Daun teh hijau mengandung 10-20% catechin, terutama EGCG (Nagao et al., 2007). EGCG adalah komponen polifenol pada teh hijau yang paling banyak dipelajari dan merupakan zat yang paling aktif. Polifenol lainnya pada teh hjau termasuk flavanol dan glikosida serta depsides seperti chlorogenic acid, quinic acid, karotenoid, trigalloyglucose, lignin, protein, klorofil, mineral (aluminium atau mangan tergantung kandungan mineral dalam tanah) (Velayutham et al., 2008). Teh hijau juga mengandung alkaloid termasuk kafein, teobromin dan teofilin. Alkaloid ini memberikan efek stimulan dari teh hijau. Ltheanine, sebuah asam amino yang ditemukan pada teh hijau, telah dilaporkan memberikan efek relaksasi pada sistem saraf (UMMC, 2010). 29 Gambar 2.1. Struktur kimia dari tulang punggung catechin Sumber : Velayutham et al., 2008 Seperti terlihat pada gambar 2.1, catechin merupakan komponen polifenolik dengan kerangka diphenyl propane. Struktur kimianya terdiri dari cincin polifenolik (A) yang terkondensasi dengan six-membered oxygen yang mengandung cincin heterosiklik (C) yang membawa cincin polifenolik lainnya (B) pada posisi 2. Catechin dicirikan dengan banyak kelompok hidroksil pada cincin A dan B. EC adalah sebuah epimer yang mengandung dua kelompok hidroksil pada posisi 3’ dan 4’ dari cincin B dan sebuah kelompok hidroksil pada posisi 3 dari cincin C (Gambar 2). Satu-satunya perbedaan struktural antara EGC dan EC adalah EGC memiliki tambahan kelompok hidroksil pada posisi 5‘ dari cincin B. ECG dan EGCG adalah derivat ester dari EC dan EGC secara respektif, melalui esterifikasi pada posisi 3 hidroksil dari cincin C dengan gallate moeity (Velayutham et al., 2008). Berbagai penelitian mengenai fungsi antioksidan, antikarsinogenik, antihiperkolesterol dan anti kanker serta pengaruh pencegahan terhadap penyakit jantung iskemik dari catechin telah menarik perhatian yang besar akan ekstrak teh hijau (Klaus et al., 2005; Nagao et al., 2007). Konsumsi teh hijau dapat bermanfaat bagi kesehatan karena diantaranya telah ditunjukkan berkurangnya insidens kanker pada berbagai model penelitian (Kao et al., 2000). 30 Gambar 2.2. Struktur kimia dari catechin Sumber : Velayutham et al., 2008 Catechin juga dilaporkan dapat memperbaiki lipid darah, kolesterol serum, merelaksasi otot polos vaskular, meningkatkan pengeluaran energi dan oksidasi lemak, meningkatkan beta oksidasi lemak di hati, mengurangi lemak tubuh dan mengurangi tekanan darah sistolik. Sehingga diduga catechin dapat bermanfaat sebagai pengobatan untuk gangguan kesehatan yang disebabkan pola hidup yang sedentari (Kao et al., 2000; Klaus et al., 2005; Nagao et al., 2009). 2.7 Teh hijau sebagai Anti Obesitas Diperlukan metode yang mudah dan aman untuk menurunkan berat badan (Belza et al., 2009). Secara mendasar terdapat 2 cara untuk mencegah atau mengobati obesitas, yakni mengurangi masukan energi atau meningkatkan pengeluaran energi (Belza et al., 2009). 31 Sistem saraf simpatis terlibat dalam regulasi lipolisis (Diepvens et al., 2007), di antaranya termogenesis dan oksidasi lemak berada di bawah pengaruh sistem saraf simpatis (Belza et al., 2009). Dengan demikian pendekatan yang menyerupai atau mempengaruhi sistem saraf simpatis dan neurotransmiter norepinefrin menawarkan suatu harapan untuk mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya obesitas (Belza et al., 2009). Sejumlah penelitian telah menunjukkan pengaruh bahan-bahan makanan terhadap aktivitas sistem saraf simpatis dengan tujuan mencegah keseimbangan energi positif pada manusia. Aktivasi sistem saraf simpatis akan menurunkan rasa lapar, memperlama rasa kenyang dan menstimulasi pengeluaran energi, diantaranya dengan meningkatkan oksidasi lemak (Belza et al., 2009). Meskipun belum dapat diketahui secara persis mekanisme yang tepatnya, dari berbagai hasil penelitian didapatkan beberapa mekanisme yang diduga merupakan cara kerja ekstrak teh hijau dalam menurunkan berat badan dan kadar lemak tubuh : (1) Menghambat enzim catechol O-methyl-transferase Teh hijau mengandung kadar yang tinggi dari komponen polifenol, seperti EC, ECG, EGC, dan yang terbanyak serta diduga merupakan yang paling aktif secara farmakologis, EGCG (Diepvens et al., 2007). Catechin pada teh hijau telah ditunjukkan secara invitro dapat menghambat enzim catechol O-methyl-transferase (COMT), enzim yang mendegradasi norepinefrin (Belza et al., 2009). Dengan terhambatnya enzim COMT oleh catechin, terjadi reduksi degradasi norepinefrin yang akan menghasilkan penambahan waktu kerja norepinefrin pada sistem saraf simpatis. Aktivasi sistem saraf simpatis ini akan menstimulasi pengeluaran energi di antaranya dengan meningkatkan termogenesis dan oksidasi lemak (Diepvens et al., 2007; Belza et al., 2009). Pemeriksaan katekolamin urin pada penelitian pada manusia menunjukkan ekskresi 24 jam norepinefrin yang lebih tinggi pada subjek-subjek yang diberikan ekstrak teh hijau. Pengamatan ini konsisten dengan terhambatnya COMT oleh teh hijau, sehingga terjadi reduksi degradasi norepinefrin, bertambahnya kadar norepinefrin ke dalam sirkulasi, dan 32 meningkatnya ekskresi norepinefrin di urin. Efek-efek ini menghasilkan bertambahnya waktu kerja norepinefrin pada celah sinaps simpatik, serta dapat menjelaskan pengaruh ekstrak teh hijau pada termogenesis dan oksidasi lemak (Belza et al., 2009). Catechin dari teh ditunjukkan dapat meningkatkan oksidasi lemak, terutama dalam periode postprandial, Peningkatan oksidasi lemak dapat disebabkan oleh bertambahnya oksidasi lemak hepar yang diaktivasi secara simpatik. Sistem saraf simpatis diduga berperan dalam mobilisasi lipid dari depot adiposa. Sehingga, ada kemungkinan bahwa catechin, dengan meningkatkan pengaruh simpatik, dapat memiliki pengaruh pada penyimpanan lemak di berbagai depot lemak. Hasil dari beberapa penelitian pada hewan menunjukkan bahwa akumulasi lemak hepar dan mesenterik berkurang dengan pemberian catechin (Maki et al., 2009). (2) Menghambat enzim fosfodiesterase Penelitian Dullo et al menunjukkan ekstrak teh hijau meningkatkan pengeluaran energi dan oksidasi lemak dalam jangka pendek (Diepvens et al., 2007). Signal intraseluler, menghasilkan lipolisis yang meningkat, produksi panas di otot skeletal, yang tergantung pada produksi cyclic Adenosine Monophosphate (cAMP). Respon cAMP singkat saja, karena cAMP secara cepat didegradasi oleh fosfodiesterase. Signal intraseluler dapat dipertahankan lebih lama dengan menghambat fosfodiesterase dengan metilxantin, contohnya kafein (Belza et al., 2009). Teh hijau selain mengandung catechin, juga mengandung kafein, yang menghambat fosfodiesterase, dimana akan memperlama kerja cAMP di dalam sel, menghasilkan peningkatan dan efek yang lebih lama dari norepinefrin pada termogenesis (Belza et al., 2009). Fakta bahwa ekstrak teh hijau menstimulasi termogenesis tidak dapat dihubungkan dengan kandungan kafein pada ekstrak teh hijau oleh karena efek termogenesis dari teh hijau lebih besar dibandingkan kadar equivalen dari kafein. Dengan demikian teh hijau yang mengandung catechin dan kafein bekerja 33 pada jalur modulasi yang berbeda yang saling sinergis menghasilkan efek antiobesitas (Diepvens et al., 2007). (3) Aktivasi termogenesis brown adipose tissue Telah ditunjukkan secara in vitro dan in vivo bahwa ekstrak teh hijau yang diperkaya dengan catechin meningkatkan termogenesis yang dimediasi oleh persarafan simpatis pada brown adipose tissue (Klaus et al., 2005). Ekstrak teh hijau ditemukan dapat meningkatkan pengeluaran energi dengan cara mengaktivasi termogenesis brown adipose tissue. Pada mencit yang diberi makan diet tinggi lemak, catechin dari teh menghasilkan efek antiobesitas dan menstimulasi katabolisme lemak pada hati (Klaus et al., 2005). (4) Menurunkan absorbsi energi Penyelidikan aksi antiobesitas dari EGCG telah difokuskan pada fakta bahwa EGCG menurunkan absorbsi energi. Klaus et al tahun 2005 melaporkan bahwa kandungan energi pada feces meningkat secara signifikan dengan suplementasi EGCG, dan jika dosis ditingkatkan akan didapatkan kandungan energi pada feces juga mengalami peningkatan. Beberapa penelitian lainnya melaporkan bahwa teh hijau atau EGCG menghambat absorbsi intestinal lipid dari diet dengan jalan mengganggu emulsifikasi dan solubilisasi miselar dari lipid, yang merupakan langkah penting dalam absorbsi intestinal akan lemak dari diet, kolesterol dan lipid lainnya (Lee et al., 2009). (5) Aktivasi Adenosine monophosphate-activated protein kinase Selain bekerja dengan jalan menghambat enzim COMT, EGCG dihubungkan dengan kemampuannya memodulasi berbagai jalur signal, terutama yang mengatur proliferasi dan hidup sel. Namun, target utama dari fungsi ini masih belum dapat ditentukan. EGCG dinyatakan dalam beberapa jurnal dapat menghambat proliferasi adiposit dan mengurangi viabilitas adiposit lewat aktivasi Adenosine monophosphateactivated protein kinase (AMPK). Hasil dari beberapa penelitian menyatakan AMPK dapat merupakan target utama dari EGCG dalam hal fungsi anti obesitasnya. Secara 34 umum, AMPK diaktivasi oleh berbagai rangsangan termasuk olahraga, heat shock, dan Reactive Oxygen Species (ROS) (Moon et al., 2007). AMPK adalah suatu protein kinase yang memiliki homologi sekuen asam amino dengan sukrosa ragi yang tidak berfermentasi. AMPK diketahui memainkan peran penting dalam homesostasis energi dengan mengatur sejumlah respon adaptasi pada keadaan metabolik yang menghabiskan adenosine triphosphate (ATP) seperti iskemia atau reperfusi, hipoksia, heat shock, stres oksidatif dan olahraga. Kaskade dari AMPK ini diduga sebagai target penting dalam penanganan obesitas (Moon et al., 2007). Kaskade AMPK disebutkan bereaksi terhadap kadar intrasel dari adenosine monophosphate (AMP) atau rasio AMP:ATP dan teramat sensitif terhadap stres oksidatif. Sebagai tambahan, ROS diduga merupakan stimulator yang kuat untuk aktivasi AMPK. Dimana aktivasi AMPK ini penting dalam penghambatan adipogenesis oleh EGCG (Moon et al., 2007). Berdasarkan pengaruh in vivo dari EGCG pada penurunan berat badan, lemak tubuh, lipid serum, termogenesis, oksidasi lemak dan juga pengaruh in vitro dari EGCG pada sel lemak, serta bukti yang menunjukkan EGCG berperan dalam aktivasi AMPK yang dapat menghambat adipogenesis, maka konsumsi teh hijau dalam jangka panjang dapat menurunkan insidens obesitas dan komponen dari teh hijau seperti EGCG dapat berguna untuk mengobati obesitas (Kao et al., 2000). 2.8 Penelitian Ekstrak Teh Hijau Untuk Pengaturan Berat Badan Penggunaan ekstrak teh hijau untuk pengaturan berat badan didukung oleh berbagai penelitian pada mencit dan tikus yang menunjukkan peningkatan berat badan yang lebih sedikit jika ekstrak teh ditambahkan pada diet tinggi lemak (Fallon et al., 2008). Pada tahun 1999, Dulloo et al menemukan bahwa pemberian ekstrak teh hijau secara bermakna meningkatkan pengeluaran energi dan oksidasi lemak pada sekelompok pria dewasa muda. Sejak saat itu, beberapa uji klinis melaporkan hasil bahwa sediaan teh 35 meningkatkan pengeluaran energi, oksidasi lemak, penurunan berat badan, massa lemak, dan rumatan berat badan setelah penurunan berat badan. Beberapa penelitian pada mencit dan tikus menunjukkan ekstrak teh hijau menurunkan kenaikan berat badan dan lemak tubuh. Pada 2005, dilaporkan bahwa terapi dengan TEAVIGO, suatu ekstrak teh hijau yang mengandung 94% EGCG and 0.1% kafein, secara bermakna menurunkan berat badan dan lemak tubuh pada berbagai turunan mencit yang diberi diet tinggi lemak (Bose et al., 2008). Penelitian pada tikus menunjukkan catechin pada teh menghasilkan peningkatan yang akut pada oksidasi lemak dan mengurangi peningkatan berat badan yang disebabkan oleh diet tinggi lemak (Maki et al., 2009). Juga terdapat penelitian pada tikus Wistar jantan yang menunjukkan bahwa konsumsi teh hijau dalam waktu 6 bulan secara bermakna mengurangi peningkatan berat badan jika dibandingkan dengan kontrol (Monteiro et al., 2008). Pada suatu penelitian yang dilakukan pada mencit, mencit diberi diet tinggi lemak (60% energi dalam bentuk lemak), suplementasi dengan EGCG dalam diet (3,2g/kg diet) selama 16 minggu mengurangi kenaikan berat badan, persentase lemak tubuh dan berat lemak viseral jika dibandingkan dengan mencit yang tidak diberikan ECGC pada dietnya. Penurunan berat badan dihubungkan dengan meningkatnya lipid fekal pada kelompok yang diberi diet tinggi lemak. Analisis histologis dari sampel hepar menunjukkan penurunan akumulasi lemak pada hepatosit mencit yang diberikan EGCG jika dibandingkan dengan mencit yang hanya diberikan diet tinggi lemak dan tidak diberikan EGCG (Bose et al., 2008). Mencit yang diberikan diet yang disuplementasikan dengan 0,2-0,5% EGCG selama 8 minggu secara signifikan berkurang berat badannya 14 atau 20% secara respektif, jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. EGCG dalam diet dapat mengurangi kenaikan berat badan secara signifikan setelah intervensi 5 minggu jika dibandingkan kelompok yang menerima diet tinggi lemak saja. Dalam periode ini tidak ada perbedaan masukan energi 36 untuk semua kelompok. Untuk memeriksa efek EGCG pada akumulasi lemak adiposa, distribusi lemak dari 4 bantalan lemak individual diperiksa. Dibandingkan dengan kelompok kontrol, suplementasi 0,5% EGCG secara signifikan mengurangi berat dari depot adipose epididimal (berkurang 23%), subkutan (berkurang 65%), viseral (berkurang 45,5%) dan retroperitoneal (34,8%) (Klaus et al., 2005). Obesitas yang diinduksi pada mencit dengan diet tinggi lemak selama 4 minggu, meningkatkan lemak tubuh sebanyak 200%. Namun pada kelompok perlakuan yang selain mendapatkan diet tinggi lemak juga mendapatkan EGCG 0,5% dan 1% selama 4 minggu pada dietnya, terbukti kadar lemak tubuhnya berkurang (Klaus et al., 2005). Pemberian EGCG jangka pendek (3,2 g/kg selama 4 minggu) pada mencit berusia 3 bulan yang obese oleh karena diet tinggi lemak (60% energi dalam bentuk lemak) mengurangi berat lemak mesenterik dan glukosa darah jika dibandingkan kelompok kontrol yang hanya mendapatkan diet tinggi lemak saja (Bose et al., 2008). Pemberian EGCG baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang memperbaiki ke keadaan semula kelainan/patologi yang timbul oleh karena induksi lemak tinggi dan mengurangi pembentukan obesitas serta gejala-gejala yang dihubungkan dengan sindrom metabolik, dan perlemakan hati (Bose et al., 2008). Injeksi intraperitoneal dari EGCG (>98% murni), menyebabkan turunnya berat badan secara akut pada tikus Sprague-Dawley jantan dan betina dalam 2-7 hari perlakuan. EGCG juga secara signifikan mengurangi atau mencegah kenaikan berat badan pada tikus Zucker jantan dan betina yang kurus dan obese. Dosis EGCG yang digunakan pada awalnya 30-50mg/kg berat badan, namun setelah 1 minggu dibutuhkan dosis EGCG yang lebih tinggi (sekitar 100mg/kg berat badan) untuk mengurangi atau mencegah kenaikan berat badan. Turunnya berat badan ternyata reversibel, ketika pemberian EGCG dihentikan maka binatang-binatang tersebut naik lagi berat badannya. Tikus Zucker yang diinjeksikan EGCG 70-90 mg/kg berat badan/hari mengalami penurunan berat badan 10-13% dari berat awalnya dan 25% dari tikus-tikus kontrol setelah 8 hari perlakuan. Turunnya berat badan 37 pada tikus-tikus yang diberikan EGCG dapat terjadi oleh karena berkurangnya masukan makanan. Tikus Sprague-Dawley yang diberikan EGCG secara oral, mengkonsumsi makanan 15% lebih sedikit dibandingkan kontrol dan mengalami penurunan 5% dari berat badan awal. Tikus Sprague-Dawley dan Zucker yang diberikan EGCG lewat injeksi peritoneal mengkonsumsi makanan 50-60% lebih sedikit dibandingkan kontrol (Kao et al., 2000). Data dari berbagai penelitian pada manusia terbatas, namun hasil-hasil yang ada menunjukkan bahwa konsumsi catechin dari teh (375-612 mg /hari dari teh oolong, teh hijau atau ekstrak teh hijau) dengan kafein sebesar 150-270 mg/hari dapat meningkatkan pengeluaran energi 24 jam (Maki et al., 2009). Catechin pada teh memiliki pengaruh pada komposisi tubuh manusia. Pada suatu penelitian yang dilakukan pada pria dengan kelebihan berat badan, konsumsi catechin teh dengan dosis 483 mg/hari dibandingkan dengan dosis lebih rendah (118,5 mg/hari) dihubungkan dengan penurunan yang bermakna pada berat badan, lemak tubuh dan area lemak viseral (Maki et al., 2009). Pada penelitian yang dilakukan Maki et al pada tahun 2009 pada pria dan wanita dengan kelebihan berat badan dan obese, ditunjukkan bahwa konsumsi minuman yang mengandung catechin dari teh hijau (625 mg catechin / hari, yang mengandung 214 mg EGCG) dapat meningkatkan berkurangnya lemak abdominal (yang diukur lewat Dual energy X-ray absorptiometry (DXA) dan CT scan abdomen) yang digabungkan dengan olahraga serta memperbaiki kadar asam lemak bebas dan trigliserida (Maki et al., 2009). Sebanyak 270 pria dan wanita Jepang berusia 25-55 tahun yang termasuk obesitas tipe viseral dan memiliki pola hidup sedentari diberikan perlakuan selama 12 minggu dengan minuman yang mengandung tinggi catechin, yakni 600 mg catechin/340 mL dan 70 mg kafein/340 mL, dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan dosis 100 mg of catechins/340 mL dan 70 mg of caffeine/340 mL. Pengaruh catechin dengan 38 dosis tinggi pada lemak tubuh hendak diperiksa, tanpa mengubah pola hidup subjek perlakuan. Konsumsi ekstrak teh hijau dengan kadar catechin tinggi selama 12 minggu menghasilkan berkurangnya secara signifikan berat badan, IMT, rasio lemak tubuh (diukur dengan bioelectrical impedance analysis), massa lemak tubuh, lingkar pinggang, lingkar pinggul, area lemak total (Total Fat Area / TFA), area lemak viseral (Visceral Fat Area / VFA) dan area lemak subkutan Subcutaneous Fat Area / SFA) (TFA, VFA dan SFA diukur dengan CT Scan) (Nagao, 2007). Selain penelitian yang dilakukan di luar negri, juga terdapat penelitian mengenai konsumsi ekstrak teh hijau yang dilakukan di Indonesia. Dilaporkan konsumsi ekstrak teh hijau 690 mg/hari disertai pola makan seimbang dan olahraga pada wanita obesitas selama 8 minggu terbukti menurunkan berat badan, lingkar perut dan prosentase lemak tubuh (Adriani, 2010). Penelitian yang telah dilakukan memberikan hasil bahwa konsumsi catechin dari teh untuk jangka waktu yang lama bermanfaat mengurangi obesitas yang diakibatkan diet tinggi lemak yakni dengan cara memodulasi metabolisme lemak. Dengan demikian teh hijau dapat mengurangi risiko timbulnya penyakit yang dihubungkan dengan kelebihan lemak di tubuh, seperti diabetes dan penyakit jantung koroner (Crespy dan Williamson, 2004). 2.9 Dosis Penggunaan Ekstrak Teh Hijau Ekstrak teh hijau yang terkonsentrasi dapat dijumpai di pasaran sebagai suplemen untuk penurunan berat badan. Ekstrak teh hijau ini diformulasikan untuk mendapatkan konsentrasi EGCG yang lebih tinggi (Sarma et al., 2008). Minuman teh yang umum, yang disiapkan dari 1 gram daun-daun teh yang diseduh dengan 100 mL air mendidih selama 3 menit mengandung 250-350 mg berat kering yang terdiri dari 30-42% catechin dan 3-6% kafein (Velayutham et al., 2008). Secangkir teh hijau 39 mengandung 80-106 mg polifenol. Konsumsi 1-3 cangkir teh per hari adalah takaran yang umum di Amerika Serikat, namun di Jepang, konsumsi sebanyak 9 cangkir teh termasuk wajar, hal ini menurut penelitian epidemiologis (Sarma et al., 2008). Ekstrak teh hijau distandardisasi untuk mencapai kadar polifenol yang bervariasi dari 25%-97%. Sebagai contoh, sebuah ekstrak yang distandardisasi menjadi 25% catechin (Exolise®, satu kapsul tiga kali sehari) menyediakan 375 mg catechin per hari, dimana 270 mg-nya adalah EGCG. Ini secara kasar sebanding dengan tiga cangkir teh. Produk lain (Tegreen 97®) distandardisasi mengandung 97% polifenol. Dosis yang disarankan mengandung hampir 600 mg polifenol per hari (Sarma et al., 2008). Pendapat lain mengatakan dosis ekstrak teh hijau yang disarankan untuk dikonsumsi per harinya adalah 100-800 mg atau sebanding dengan 2-3 gelas teh hijau per harinya (Kluwer, 2009; UMCC, 2010). Beberapa studi klinis menyediakan informasi mengenai farmakokinetik dari konstituen teh hijau. Sebuah uji klinis selama 8 minggu pada 49 pasien kanker menunjukkan bahwa dosis maksimal yang dapat ditoleransi (maximum tolerated dose) dari ekstrak teh hijau adalah 4,2 g/m² satu kali sehari atau 1,0 g/m² tiga kali sehari. Toksisitas yang dapat diamati bervariasi dari ringan sampai berat, tergantung dari dosis, dan termasuk di antaranya keluhan gastrointestinal (perut kembung, flatulen dan nausea), neurologis (insomnia, sakit kepala, nyeri, perestesi, tremor) dan kardiovaskular (palpitasi). Waktu untuk mencapai konsentrasi maksimal (tmax) untuk EGCG adalah 1-3 jam dan konsentrasi plasma maksimum dari EGCG adalah 100-225 ng/ml setelah pemberian 4,2 g/m² satu kali sehari (Sarma et al., 2008). Studi klinis lain dengan lima subjek per kelompok menunjukkan bahwa EGCG dan Polyphenon® E (ekstrak teh hijau decaffeinated yang mengandung 60% EGCG) menghasilkan konsentrasi plasma yang serupa pada kadar dosis yang diperiksa (200-800 mg EGCG). Pada penelitian dosis tunggal ini dilaporkan bahwa availibilitas sistemik dari EGCG meningkat dengan meningkatnya dosis, hal ini dimungkinkan terjadi oleh karena 40 elimiasi presistemik saturable (saturable presystemic elimination). Efek samping yang dapat diamati oleh para peneliti hanyalah sakit kepala ringan dan rasa lelah (Sarma et al., 2008). Sebuah penelitian dengan kontrol plasebo yang diacak (randomized, placebocontrolled study) pada sukarelawan sehat (delapan subjek pada tiap kelompok) menunjukkan bahwa ekstrak teh hijau yang diberikan dengan dosis 800 mg per hari selama 4 minggu aman dan dapat ditoleransi dengan baik (Sarma et al., 2008). Penelitian pada sukarelawan sehat (sepuluh subjek pada tiap kelompok) juga menunjukkan bahwa ekstrak teh hijau yang diberikan dalam dosis 800 mg sebagai dosis tunggal dapat ditoleransi dengan baik jika dikonsumsi dengan makanan. Konsentrasi plasma maksimum dari EGCG bebas dalam kondisi puasa lebih besar 5 kali dibandingkan dosis yang sama yang dikonsumsi bersamaan dengan makanan (Sarma et al., 2008). Sebuah penelitian randomized, double-blind, placebo controlled memeriksa keamanan dan tolerabilitas dari dosis tunggal ekstrak teh hijau dosis 50 mg, 100 mg, 200 mg, 400 mg, 800 mg dan 1600 mg pada 60 subjek sehat. Hasilnya menunjukkan bahwa dosis tinggi dari ekstrak teh hijau ini dapat ditoleransi dengan baik. Dosis tunggal ekstrak teh hijau sampai dengan 1600 mg ditoleransi dengan baik dan tidak terdapat efek samping (Ullmann et all, 2003). Terdapat jurnal lain yang juga menyatakan dosis ekstrak teh hijau sampai dengan 1600 mg itu secara umum dapat ditoleransi dengan baik, dimana hanya menimbulkan efek samping gastrointestinal ringan saja, sehingga disarankan untuk mengkonsumsi ekstrak teh hijau bersamaan dengan makanan atau setelah makan (Nagle et al., 2006). 2.10 Efek Samping dari Teh Hijau Penggunaan herbal dipercaya dapat memperkuat tubuh dan mengobati penyakit secara alami, namun perlu diingat bahwa herbal mengandung berbagai zat aktif yang dapat 41 memicu efek samping dan dapat berinteraksi dengan zat-zat lainnya seperti dari herbal lain, suplemen, obat-obatan, dan lain sebagainya. Dengan demikian konsumsi herbal harus dilakukan dengan hati-hati, dalam pengawasan praktisi yang memiliki pengetahuan dalam bidang botani kesehatan (Chako et al., 2010; UMMC, 2010). Walaupun teh hijau memiliki beberapa pengaruh yang baik bagi kesehatan, efek teh hijau dan konstituennya bermanfaat sampai pada dosis tertentu, dimana dosis yang lebih besar dapat menyebabkan efek samping yang buruk. Lebih jauh lagi, efek catechin dari teh hijau mungkin bervariasi pada tiap individu. Terdapat penelitian yang menyebutkan ekstrak EGCG dari teh hijau bersifat sitotoksik, dan bahwa konsumsi teh hijau yang berlebihan dapat menyebabkan sitotiksisitas akut pada sel hepar. Sebuah penelitian lain menyebutkan konsumsi teh hijau yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan asam deoksiribonukleat (DNA) oksidatif pada pankreas dan hati dari hamster. Yun et al menyebutkan bahwa EGCG justru bersifat sebagai pro-oksidan dan bukan sebagai antioksidan pada sel beta pankreas in vivo. Mengingat hal tersebut konsumsi teh hijau secara berlebihan dapat berbahaya bagi kesehatan (Chako et al., 2010). Mereka yang mengkonsumsi kafein dalam jumlah tinggi, termasuk kafein dalam teh hijau untuk periode waktu yang lama dapat mengalami iritabilitas, insomnia, palpitasi jantung, pusing. Kelebihan dosis dari kafein dapat menyebabkan nausea, muntah, diare, sakit kepala dan hilangnya nafsu makan. Juga penting dilakukan pengaturan konsumsi teh hijau bersamaan dengan obat-obatan karena efek diuretik dari kafein (Chako et al., 2010). Beberapa penelitian menunjukkan kemampuan tanaman teh untuk mengakumulasi kadar aluminium yang tinggi. Aspek ini penting bagi pasien dengan gagal ginjal karena alminium dapat diakumulasi dalam tubuh menyebabkan penyakit nefrologis. Sama halnya catechin teh hijau memiliki afinitas untuk besi, dan infusi teh hijau dapat menurunkan bioavailibitas zat besi dari diet (Chako et al., 2010). 42 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Meskipun terdapat berbagai faktor seperti genetik, psikososial, hormonal dan lingkungan yang saling berinteraksi dan berpengaruh terhadap terjadinya obesitas, secara sederhana obesitas terjadi oleh karena terdapatnya ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran energi. Meningkatnya masukan makanan yang mengandung kadar tinggi karbohidrat dan lemak jenuh serta berkurangnya aktivitas fisik akibat pola hidup yang sedentari dapat menyebabkan tubuh mengalami kelebihan energi oleh karena dibutuhkan lebih sedikit energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Jika kelebihan energi terus menerus dikonsumsi tanpa ada peningkatan pengeluaran energi maka akan terjadi kelebihan berat badan bahkan dapat berlanjut menjadi kelebihan lemak tubuh atau obesitas. Masalah kesehatan yang dihubungkan dengan obesitas bervariasi dari yang nonfatal sampai dengan yang fatal, di antaranya gangguan pernapasan, masalah muskuloskeletal, gout, gangguan tidur, infertilitas, resistensi insulin, bahkan dapat sampai terjadi kematian mendadak. Kelebihan berat badan dan kelebihan lemak tubuh atau obesitas merupakan risiko yang besar akan penyakit ko-morbid yang kronik yang berhubungan dengan diet, termasuk di antaranya adalah diabetes mellitus tipe 2, penyakit kardiovaskular, hipertensi, stroke dan beberapa bentuk kanker, dengan demikian tak dapat dibantah jika dikatakan obesitas dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Kelebihan lemak tubuh dianggap sebagai ancaman terhadap kualitas hidup dan usia harapan hidup. Kecenderungan bertambahnya penduduk yang mengalami kelebihan lemak tubuh akan memperburuk kondisi kesehatan dan kebugaran, menurunkan kualitas hidup bahkan dapat mengurangi usia harapan hidup. Jika tidak segera dilakukan upaya 41 43 pencegahan atau intervensi untuk mengurangi jumlah angka penderita obesitas maka peningkatan usia harapan hidup yang mulai stabil dapat segera berakhir, serta generasi mendatang akan hidup dalam kondisi kurang sehat dan kurang bugar dengan kualitas hidup yang lebih rendah dan usia lebih pendek dibandingkan orang tua mereka. Oleh sebab itu, perlu dicari dan dilakukan strategi yang ampuh dan bermanfaat untuk dapat membantu menurunkan berat badan dan penumpukan lemak abdominal. Ekstrak teh hijau dilaporkan dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, baik di luar maupun di dalam negeri, baik pada hewan coba ataupun manusia dapat membantu menurunkan berat badan, menurunkan massa jaringan adiposa, membantu rumatan setelah penurunan berat badan, sehingga suplementasi dengan herbal ini dapat memiliki pengaruh untuk membantu menurunkan berat badan dan penumpukan lemak abdominal. Teh hijau mengandung kadar polifenol yang tinggi, dimana hal ini dihubungkan dengan pengaruh yang baik bagi kesehatan. Kandungan polifenol terutama catechin di dalam teh hijau adalah zat aktif yang dipercaya bermanfaat bagi berbagai kondisi kesehatan seperti yang telah dilaporkan dalam jurnal-jurnal penelitian. Di antaranya adalah sebagai anti obesitas, meskipun mekanisme yang pasti bagaimana teh hijau dapat melakukan efek ini belum sepenuhnya dimengerti. Pemberian ekstrak teh hijau secara signifikan dilaporkan meningkatkan pengeluaran energi lewat aktivasi persarafan simpatis, yakni meningkatkan termogenesis dari brown adipose tissue, meningkatkan oksidasi lemak dan menurunkan kandungan lemak tubuh. Catechin pada teh hijau bekerja dengan menghambat enzim COMT, yakni enzim yang mendegradasi norepinefrin. Dengan terhambatnya enzim COMT oleh catechin, terjadi reduksi degradasi norepinefrin yang akan menghasilkan penambahan waktu kerja norepinefrin pada sistem saraf simpatis. Aktivasi sistem saraf simpatis ini akan menstimulasi pengeluaran energi di antaranya dengan meningkatkan termogenesis dan oksidasi lemak. Selain bekerja dengan jalan menghambat COMT, EGCG dinyatakan dalam beberapa jurnal dapat menghambat proliferasi adiposit dan mengurangi viabilitas adiposit 44 lewat aktivasi AMPK. Hasil dari beberapa penelitian menyatakan AMPK dapat merupakan target utama dari EGCG dalam hal fungsi anti obesitasnya. Jadi suplementasi dengan ekstrak teh hijau yang mengandung polifenol catechin sebagai zat aktifnya dihubungkan dengan penurunan berat badan dan penumpukan lemak abdominal yang akan bermanfaat terutama bagi individu dengan pola hidup sedentari yang memiliki diet tinggi karbohidrat dan lemak jenuh serta aktivitas fisik yang sedikit atau bahkan tidak ada. 3.2 Konsep Faktor Internal: -Genetik -Usia -Jenis Kelamin -Hormon Konsumsi EkstrakFaktor Teh Hijau Eksternal: - Sedentary lifestyle - Diet tinggi karbohidrat dan lemak jenuh - Kurang aktivitas fisik - Lingkungan -Radikal Bebas Tikus Wistar Jantan Diet tinggi karbohidrat dan lemak 45 -Berat badan -Berat lemak viseral abdomen - Berat lemak subkutan abdomen Gambar 3.1 Konsep 3.2 Hipotesis Penelitian 1. Pemberian ekstrak teh hijau dapat menurunkan berat badan tikus jantan yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak. 2. Pemberian ekstrak teh dapat menurunkan berat lemak subkutan abdomen tikus jantan yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak. 3. Pemberian ekstrak teh hijau dapat menurunkan berat lemak viseral abdomen tikus jantan yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak. 46 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian 47 Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan Pretest-Posttest Control Group Design (Pocock, 2008). Dengan rancangan sebagai berikut: Tikus dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 8 tikus. 1. Kelompok pertama merupakan kelompok kontrol. Kelompok ini hanya diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak dan plasebo berupa aquadest. 2. Kelompok kedua yang merupakan kelompok perlakuan 1 Kelompok ini diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak dan ekstrak teh hijau yang mengandung EGCG 14,4 mg. 3. Kelompok ketiga merupakan kelompok perlakuan 2 Kelompok ini diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak dan ekstrak teh hijau yang mengandung EGCG 28,8 mg. Pemberian dosis lebih besar dari dosis yang direkomendasikan dimaksudkan untuk melihat apakah dengan dosis tersebut akan didapat penurunan berat badan dan penumpukan lemak viseral dan subkutan abdomen yang lebih bermakna pada tikus wistar jantan yang diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak. Perlakuan pada ketiga kelompok harus sama, kecuali terhadap pemberian obat yang diteliti untuk menghindari variasi biologis. Percobaan dilakukan selama 28 hari. Dosis ekstrak teh hijau yang diberikan disesuaikan dengan dosis yang dikonsumsi oleh manusia. Sediaan yang digunakan adalah ekstrak teh hijau yang dibuat di Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK), Gambung-Bandung Selatan, unit kerja yang berada di bawah Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian Indonesia. Penetapan dosis didapat dari hasil konversi dosis satu hari pemberian terhadap manusia dengan menggunakan tabel konversi Laurence dan Bacharach 45 dikalikan faktor konversi manusia ke tikus yaitu 0,018. Berdasarkan pada penelitian sebelumnya dosis ekstrak teh hijau yang digunakan adalah 800 mg (dosis yang disarankan untuk dikonsumsi per hari-nya) dan 1600 mg (dosis tunggal per hari.yang dinyatakan aman untuk dikonsumsi dan dapat ditoleransi dengan baik). Maka dosis yang digunakan untuk tikus adalah sebagai berikut : 48 0,018 x 800 mg = 14,4 mg. 0,018 x 1600 mg = 28,8 mg. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan Pretest-Posttest Control Group Design (Pocock, 2008) P0 O1 O2 P1 Pļ Sļ R O3 O4 P2 O5 O6 Bagan 4.1. Rancangan Penelitian Keterangan : P = Populasi S = Sampel R = Random O1 = Data sebelum perlakuan pada kelompok kontrol ( pretest). O3 = Data sebelum perlakuan pada kelompok uji I (pretest). O5 = Data sebelum perlakuan pada kelompok uji II (pretest). P0= Perlakuan pada kelompok kontrol yang diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak serta plasebo yang berupa aquadest. P1= Perlakuan pada kelompok perlakuan I yang diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak serta ekstrak teh hijau dengan dosis 14,4 mg P2= Perlakuan pada kelompok perlakuan II yang diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak serta ekstrak teh hijau dengan dosis 28,8 mg O2 = Data sesudah perlakuan pada kelompok kontrol (posttest). O4 = Data sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan I (posttest). 49 O6 = Data sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan II (posttest). 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian a. Tempat penelitian : Laboratorium Farmakologi Universitas Udayana, Denpasar. b. Waktu penelitian : Penelitian dilakukan dalam waktu 40 hari dengan perincian: 1. Dua puluh delapan hari untuk pemberian diet tinggi karbohidrat dan lemak + ekstrak teh hijau. 2. Satu hari untuk penimbangan berat badan, berat lemak viseral dan subkutan abdomen tikus. 3. Sebelas hari untuk analisis data dan penyusunan laporan. 4.3 Populasi dan Kriteria Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Penelitian Tikus wistar jantan jenis Rattus norvegicus berumur 3 – 4 bulan, berat 120-130 gram, sehat. 4.3.2 Kriteria Sampel : 4.3.2.1 Kriteria Penerimaan : 1 Tikus putih jantan yang sehat. 2 Jenis Rattus norvegicus, galur wistar. 3 Umur 3 – 4 bulan. 4 Berat tikus 120-130 gram. 4.3.2.2 Kriteria drop out sampel penelitian : 1. Tikus mati ketika sedang penelitian. 4.4. Penentuan Besar dan Cara Pengambilan Sampel 4.4.1 Penentuan Besar Sampel Minimal Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus Pocock (2008) : 2 σ² 50 n = ----------------- X ƒ (α,β ) (μ2 - μ1)² Keterangan : n = Besar sampel μ2 = Rerata hasil pada kelompok perlakuan μ1 = Rerata hasil pada kelompok kontrol σ = Simpangan baku kontrol ƒ (α,β) = Besarnya dilihat pada Tabel Pocock Berdasarkan data penelitian yang sudah ada diperoleh data (Klaus et al., 2005) : 1. Untuk pencegahan kenaikan berat badan: Rerata berat badan kelompok kontrol = 44,2 Simpangan baku kontrol = 0,74 Rerata berat badan kelompok perlakuan = 37,8 n = 2 x (0,74)² x 10,5 (37,8-44,2)² = 0,27 dibulatkan menjadi 1 ekor 2. Untuk berat lemak viseral abdomen : Rerata berat lemak viseral abdomen kelompok kontrol = 1,91 Simpangan baku kontrol = 0,30 Rerata berat lemak viseral kelompok perlakuan = 1,08 n = 2 x (0,30)² x 10,5 (1,08-1,91)² = 2,74 dibulatkan menjadi 3 ekor 3. Untuk berat lemak subkutan abdomen : Rerata berat lemak subkutan abdomen kelompok kontrol = 4,16 Simpangan baku kontrol = 0,50 Rerata berat lemak subkutan kelompok perlakuan = 3,08 51 n = 2 x (0,50)² x 10,5 (3,08-4,16)² = 4,50 dibulatkan menjadi 5 ekor Pada penelitian digunakan sampel yang paling banyak, yakni 5 (lima) ekor, dan untuk cadangan bila terjadi kematian saat dilakukan penelitian, maka jumlah sampel ditambah minimal 20 persen, serta ditambah 2 (dua) ekor untuk pretest, sehingga masing-masing kelompok digunakan sampel 8 (delapan) ekor. 4.4.2 Cara Pengambilan Sampel Diambil 24 (duapuluh empat) ekor tikus wistar jantan jenis Rattus norvegicus berumur 3 – 4 bulan dengan berat 120-130 gram, kemudian dikelompokkan menjadi 3 kelompok secara random. 4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Identifikasi Variabel a. Variabel bebas : Ekstrak teh hijau. b. Variabel tergantung : berat badan, berat lemak viseral abdomen, berat lemak subkutan abdomen tikus wistar jantan. c. Variabel kendali : diet tinggi karbohidrat dan lemak, jenis kelamin, galur, usia, berat badan. 4.5.2 Definisi Operasional Variabel a. Ekstrak teh hijau adalah ekstrak yang terbuat dari teh hijau yang mengandung Epigallocatechin gallate (EGCG) ~30%, dalam sediaan serbuk yang dikemas dalam bentuk puyer. Ekstrak dibuat di PPTK. Ekstrak kemudian dilarutkan dalam air dengan perbandingan 1 mg ekstrak dalam 0,25 cc air matang. b. Berat badan, diukur dengan timbangan tikus merk Tanita. 52 c. Berat lemak abdomen adalah berat lemak viseral dan berat lemak subkutan abdomen. d. Berat lemak viseral abdomen adalah lemak yang terdapat di daerah intraperitoneal, mencakup lemak omental dan mesenterik, diukur dengan timbangan merk Sartorius yang memiliki kepekaan sampai dengan 0,0001. e. Berat lemak subkutan abdomen adalah lemak yang terdapat di lapisan subkutan di daerah di antara ruas tulang punggung thoracalis dan ruas tulang punggung coccygeal, diukur dengan timbangan merk Sartorius yang memiliki kepekaan sampai dengan 0,0001. f. Plasebo yang digunakan pada kelompok kontrol adalah aquadest. g. Tikus wistar jantan adalah hewan percobaan tikus jenis Rattus norvegicus, galur wistar, jenis kelamin jantan, yang sehat, berusia 3-4 bulan dengan berat 120-130 gram. h. Diet tinggi karbohidrat dan lemak adalah diet yang terdiri dari karbohidrat 55%, lemak 35%, protein 10% yang didapat dari Laboratorium Farmakologi Universitas Udayana, Denpasar, Bali. 4.6 Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian yang digunakan adalah : 1. Ekstrak teh hijau yang mengandung EGCG ~30% yang dibuat di Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, Bandung Selatan dengan 2 dosis : 14,4 mg dan 28,8 mg. 2. Aquadest 3. Diet tinggi karbohidrat dan lemak yang terdiri dari: karbohidrat 55%, lemak 35%, protein 10% yang didapat dari Laboratorium Farmakologi Universitas Udayana, Denpasar, Bali. 4. Sonde 5. Timbangan tikus merk Tanita dan Timbangan merk Sartorius 4.7 Prosedur Penelitian 1. Dipilih 24 ekor tikus wistar jantan jenis Rattus norvegicus yang berumur 3-4 bulan dengan berat sekitar 120-130 gram. 53 2. Tikus dibagi menjadi tiga kelompok secara random. Ketiga kelompok tikus diukur berat badan awal sebagai data pretest dan diambil sampel 2 (dua) ekor dari tiap kelompok secara random untuk dibunuh dengan cara disuntik penthotal untuk dapat dilakukan pembedahan, dimana rongga perut dibuka, dicari dan dipisahkan lemak viseral dan subkutan abdomennya, kemudian ditimbang berat lemak viseral dan subkutan abdomennya sebagai data pretest. 3. Tikus dipelihara dalam kandang individual yang berukuran 30 x 20 x 20 cm. 4. Setelah itu diberikan perlakuan : a. P0 : Perlakuan pada kelompok kontrol yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak dan plasebo yang berupa aquadest selama 28 hari. b. P1 : Perlakuan pada kelompok perlakuan I yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak dan ekstrak teh hijau dosis 14,4 mg melalui sonde selama 28 hari. c. P2 : Perlakuan pada kelompok perlakuan II yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak dan ekstrak teh hijau dengan dosis 28,8 mg melalui sonde selama 28 hari. 5. Setelah 28 hari ketiga kelompok tikus ditimbang kembali berat badannya, dan kemudian dibunuh dengan cara disuntik dengan pentothal untuk dapat dilakukan pembedahan, dimana rongga perut dibuka, dicari dan dipisahkan lemak viseral dan subkutan abdomennya sehingga dapat ditimbang berat lemak viseral dan subkutan abdomennya sebagai data posttest. 4.8 Alur Penelitian Tikus 54 Berat Badan (Seluruh Subjek) Berat Lemak Viseral Abdomen(Sampel) Berat Lemak Subkutan Abdomen (Sampel) Pretest Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Diet tinggi karbohidrat & lemak Diet tinggi karbohidrat & lemakDiet tinggi karbohidrat & lemak + + + Plasebo (Aquadest) Ekstrak Teh Hijau Ekstrak Teh Hijau Dosis 14,4 mg Dosis 28,8 mg 55 Berat Badan Berat Lemak Viseral Abdomen Berat Lemak Subkutan Abdomen AbdomenAbdomen Posttest Analisis Data Laporan Bagan 4.2 Alur Penelitian 4.9 Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Analisis Desriptif 56 Analisis deskriptif dilakukan sebagai dasar untuk statistik analitis (uji hipotesis) untuk mengetahui karakteristik data yang dimiliki. Analisis deskriptif dilakukan dengan program SPSS. Pemilihan penyajian data dan uji hipotesis tergantung dari normal tidaknya distribusi data. 2. Analisis normalitas data Uji normalitas data dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk oleh karena data kurang dari 50. Data berat badan baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan, data berat lemak subkutan abdomen dan berat lemak viseral sesudah perlakuan pada masingmasing kelompok menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Lampiran 1. Untuk data berat lemak subkutan pre dan berat lemak viseral sebelum perlakuan tidak berdistribusi normal. 3. Uji Homogenitas Uji homogenitas dilakukan dengan Uji Levene. Data berat badan, berat lemak subkutan abdomen dan lemak viseral antar kelompok baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada lampiran 2. 4. Uji Komparasi Uji komparasi antar ketiga kelompok dilakukan dengan Uji Anova jika data normal dan homogen, yakni data berat badan baik sebelum maupun sesudah perlakuan, berat lemak subkutan abdomen dan berat lemak viseral sesudah perlakuan. Jika tidak normal atau tidak homogen maka digunakan Uji Kruskal Wallis, yakni data berat lemak subkutan pre dan berat lemak viseral sebelum perlakuan. 5. Uji efek perlakuan dilakukan dengan Least Significant Difference Test (LSD test). BAB V HASIL PENELITIAN 57 Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 24 ekor tikus jantan jenis Wistar (rattus norvegicus) yang diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak, yang terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok masing-masing berjumlah 8 ekor tikus, yaitu kelompok kontrol (P0) yang diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak dan plasebo, kelompok perlakuan 1 (P1) yang diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak dan ekstrak teh hijau dengan dosis 14,4 mg, dan kelompok perlakuan 2 (P2) yang diberikan diet tinggi karbohidrat dan tinggi lemak dan ekstrak teh hijau dengan dosis 28,8 mg. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan. 5.1 Uji Normalitas Data Data berat badan baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan, data berat lemak subkutan abdomen dan berat lemak viseral sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Lampiran 1. Untuk data berat lemak subkutan pre dan berat lemak viseral sebelum perlakuan tidak berdistribusi normal. 5.2 Uji Homogenitas Data antar Kelompok Data berat badan baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan, data berat lemak subkutan abdomen dan lemak viseral antar kelompok baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada lampiran 2. 54 5.3 Berat Badan 5.3.1 Uji komparabilitas 58 Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata berat badan antar kelompok sebelum diberikan perlakuan, yakni diet tinggi karbohidrat dan lemak dan ekstrak teh hijau. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.1 berikut. Tabel 5.1 Rerata Berat Badan antar Kelompok Sebelum diberikan Perlakuan Rerata Kelompok Subjek N Berat Badan SB F P 0,194 0,825 (gram) P0 6 125,33 2,73 P1 6 124,83 2,56 P2 6 125,67 1,51 Tabel 5.1 di atas, menunjukkan bahwa rerata berat badan kelompok P0 adalah 125,33±2,73, rerata kelompok P1 adalah 124,83±2,56, dan kelompok P2 adalah 125,67±1,51. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 0,194 dan nilai p = 0,825. Hal ini berarti bahwa ketiga kelompok sebelum diberikan perlakuan, rerata berat badannya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). 5.3.2 Analisis efek perlakuan 59 Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata berat badan antar kelompok sesudah diberikan diet tinggi karbohidrat dan tinggi lemak dan ekstrak teh hijau. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.2 berikut. Tabel 5.2 Rerata Berat Badan antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan Rerata Kelompok Subjek n Berat Badan SB F P 25,72 0,001 (gram) P0 6 165,33 4,27 P1 6 157,17 2,48 P2 6 152,50 2,26 Tabel 5.2 di atas, menunjukkan bahwa rerata berat badan kelompok P0 adalah 165,33±4,27, rerata kelompok P1 adalah 157,17±2,48, dan kelompok P2 adalah 152,50±2,26. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 25,72 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata berat badan pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05). Gambar 5.1 Grafik Penurunan Berat badan setelah Pemberian ekstrak teh hijau 60 Gambar 5.1 di atas menggambarkan bahwa pemberian ekstrak teh hijau dengan dosis 14,4 mg dan 28,8 mg dapat menurunkan berat badan dibandingkan dengan plasebo. Serta pemberian ekstrak teh hijau dosis 28,8 mg dapat menurunkan berat badan lebih banyak dibandingkan dengan dosis 14,4 mg. Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu dilakuan uji lanjut dengan Least Significant Difference – test (LSD). Hasil uji disajikan di bawah ini. Tabel 5.3 Analisis Komparasi Berat badan Sesudah Perlakuan antar Kelompok Kelompok P0 dan P1 P0 dan P2 P1 dan P2 Beda Rerata 8,17 12,83 p 0,001 0,001 4,66 0,021 Interpretasi Berbeda Berbeda Berbeda Hasil uji lanjutan di atas menunjukan bahwa: 1. Rerata berat badan kelompok P0 berbeda bermakna dengan kelompok P1 (rerata kelompok P1 lebih rendah daripada rerata kelompok P0). 2. Rerata berat badan kelompok P0 berbeda secara bermakna dengan kelompok P2 (rerata kelompok P2 lebih rendah daripada rerata kelompok P0). 3. Rerata berat badan kelompok P1 berbeda secara bermakna dengan kelompok P2 (rerata kelompok P2 lebih rendah daripada rerata kelompok P1). 5.4 Berat Lemak Subkutan Abdomen 5.4.1 Uji komparabilitas 61 Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata berat lemak subkutan abdomen antar kelompok sebelum diberikan perlakuan, yakni diet tinggi karbohidrat dan lemak dan ekstrak teh hijau. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Kruskal-Wallis disajikan pada Tabel 5.4 berikut: Tabel 5.4 Rerata Berat Lemak Subkutan Abdomen antar Kelompok Sebelum Perlakuan Rerata Kelompok Subjek N Berat Lemak SB χ2 P 2,57 0,276 (gram) P0 2 1,19 0,12 P1 2 1,38 0,04 P2 2 1,26 0,16 Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata berat lemak subkutan abdomen kelompok P0 adalah 1,19±0,12, rerata kelompok P1 adalah 1,38±0,04, dan kelompok P2 adalah 1,26±0,16. Analisis kemaknaan dengan uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa nilai χ2 = 2,57 dan nilai p = 0,276. Hal ini berarti bahwa ketiga kelompok sebelum diberikan perlakuan, rerata berat lemak subkutan abdomennya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). 5.4.2 Analisis efek perlakuan 62 Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata berat lemak subkutan antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.5 berikut. Tabel 5.5 Rerata Berat lemak subkutan abdomen antar kelompok sesudah diberikan perlakuan Rerata Kelompok Subjek N Berat lemak subkutan SB F P 21,07 0,001 abdomen (gram) P0 6 2,76 0,23 P1 6 1,42 0,23 P2 6 0,69 0,16 Tabel 5.5 di atas, menunjukkan bahwa rerata berat lemak subkutan abdomen kelompok P0 adalah 2,76±0,23, rerata kelompok P1 adalah 1,42±0,23, dan kelompok P2 adalah 0,69±0,16. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 21,07 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa sesudah diberikan perlakuan rerata berat lemak subkutan abdomen pada ketiga kelompok berbeda secara bermakna. Gambar 5.2 Grafik Penurunan berat lemak subkutan setelah Pemberian Teh Hijau 63 Gambar 5.2 di atas menggambarkan bahwa pemberian ekstrak teh hijau 14,4 mg dan ekstrak teh hijau 28,8 mg menurunkan Berat lemak subkutan dibandingkan dengan plasebo. Serta pemberian ekstrak teh hijau dosis 28,8 menurunkan lemak subkutan abdomen lebih besar dibandingkam dosis 14,4 mg. Uji lanjut dengan Least Significant Difference – test (LSD) digunakan untuk mengetahui beda nyata terkecil berat lemak subkutan. Hasil uji disajikan di bawah ini. Tabel 5.6 Analisis Komparasi Berat lemak subkutan Sesudah Perlakuan antar Kelompok Kelompok Beda Rerata p Interpretasi P0 dan P1 1,33 2,06 0,001 0,001 Berbeda 0,73 0,039 P0 dan P2 P1 dan P2 Berbeda Berbeda Hasil uji lanjutan di atas menunjukan bahwa: 1. Rerata berat lemak subkutan abdomen kelompok P0 berbeda bermakna dengan kelompok P1 (rerata kelompok P1 lebih rendah daripada rerata kelompok P0). 2. Rerata berat lemak subkutan abdomen kelompok P0 berbeda secara bermakna dengan kelompok P2 (rerata kelompok P2 lebih rendah daripada rerata kelompok P0). 3. Rerata berat lemak subkutan abdomen kelompok P1 berbeda secara bermakna dengan kelompok P2 (rerata kelompok P2 lebih rendah daripada rerata kelompok P1). 64 5.5 Berat Lemak Viseral 5.5.1 Uji komparabilitas Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata berat lemak viseral antar kelompok sebelum diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Kruskal-Wallis disajikan pada Tabel 5.7 berikut: Tabel 5.7 Rerata Berat Lemak Viseral antar Kelompok Sebelum Perlakuan Rerata Kelompok Subjek n Berat Lemak Viseral SB χ2 P 0,286 0,867 (gram) P0 2 0,50 0,07 P1 2 0,53 0,06 P2 2 0,51 0,01 Tabel 5.7 di atas, menunjukkan bahwa rerata berat lemak viseral kelompok P0 adalah 0,50±0,07, rerata kelompok P1 adalah 0,53±0,06, dan kelompok P2 adalah 0,51±0,01. Analisis kemaknaan dengan uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa nilai χ2 = 0,286 dan nilai p = 0,867. Hal ini berarti bahwa ketiga kelompok sebelum diberikan perlakuan, rerata berat lemak viseralnya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). 65 5.5.2 Analisis Efek Perlakuan Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata berat lemak viseral antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.8 berikut. Tabel 5.8 Rerata Berat Lemak Viseral antar kelompok sesudah diberikan perlakuan Rerata Kelompok Subjek N Berat lemak Viseral SB F P 73,04 0,001 (gram) P0 6 0,76 0,26 P1 6 0,49 0,21 P2 6 0,22 0,10 Tabel 5.8 di atas, menunjukkan bahwa rerata berat lemak viseral kelompok P0 adalah 0,76±0,26, rerata kelompok P1 adalah 0,49±0,21, dan kelompok P2 adalah 0,22±0,10. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 66 73,04 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa sesudah diberikan perlakuan rerata berat lemak viseral pada ketiga kelompok berbeda secara bermakna. Gambar 5.3 Grafik Penurunan Berat lemak Viseral setelah Pemberian Teh hijau Gambar 5.3 di atas menggambarkan bahwa pemberian ekstrak teh hijau 14,4 mg dan ekstrak teh hijau 28,8 mg menurunkan berat lemak viseral dibandingkan dengan plasebo. Serta pemberian ekstrak teh hijau dosis 28,8 mg menurunkan berat lemak viseral lebih besar dibandingkan dosis 14,4 mg. Uji lanjut dengan Least Significant Difference – test (LSD) digunakan untuk mengetahui beda nyata terkecil berat lemak viseral, yang disajikan pada Tabel 5.9. Tabel 5.9 Analisis Komparasi Berat Lemak Viseral Sesudah Perlakuan antar Kelompok Kelompok Beda Rerata p Interpretasi 1,07 1,34 0,001 0,001 Berbeda 0,27 0,035 Kontrol dan Ekstrak teh hijau 14,4 mg Kontrol dan Ekstrak teh hijau 28,8 mg Ekstrak teh hijau 14,4 mg dan 28,8 mg Berbeda Berbeda Hasil uji lanjutan di atas menunjukan bahwa: 1. Rerata berat lemak viseral kelompok P0 berbeda bermakna dengan kelompok P1 (rerata kelompok P1 mg lebih rendah daripada rerata kelompok P0). 67 2. Rerata berat lemak viseral kelompok P0 berbeda secara bermakna dengan kelompok P2 (rerata kelompok P2 lebih rendah daripada rerata kelompok P0). 3. Rerata berat lemak viseral kelompok P1 berbeda secara bermakna dengan kelompok P2 (rerata kelompok P2 lebih rendah daripada rerata kelompok P1). 68 BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 6.1. Subyek Penelitian Untuk menguji pemberian ekstrak teh hijau terhadap penurunan kenaikan berat badan dan berat lemak abdominal tikus wistar jantan, maka dilakukan penelitian pada tikus wistar jantan sehat yang diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak dan ekstrak teh hijau. Sebagai hewan coba digunakan tikus wistar jantan sehat berumur 4 bulan, dengan berat badan 124 - 126 gram. Tikus yang dipergunakan dalam penelitian ini berjumlah 24 ekor, dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol (P0) yang diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak dan placebo, kelompok perlakuan 1 (P1) yang diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak dan ekstrak teh hijau dengan dosis 14,4 mg, dan kelompok perlakuan 2 (P2) yang diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak dan ekstrak teh hijau dengan dosis 28,8 mg. Penelitian ini dilakukan selama 28 hari. 6.2. Distribusi dan Varian Data Hasil Penelitian Data hasil penelitian berupa data berat badan dan berat lemak sebelum dianalisis lebih lanjut, terlebih dahulu diuji distribusi dan variannya. Untuk uji distribusi digunakan uji Shapiro Wilk, yaitu untuk mengetahui normalitas data dan uji homogenitas dengan uji Levene test . Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa untuk kelompok pre dan post-test masing-masing kelompok berdistribusi normal dan homogen (p > 0,05). 6.3. Pengaruh Ekstrak Teh hijau terhadap Berat Badan dan Berat Lemak Uji perbandingan sebelum diberikan perlakuan antara ketiga kelompok menggunakan uji One Way Anova. Rerata berat badan kelompok kontrol adalah 125,33±2,73, rerata kelompok ekstrak teh hijau 14,4 mg adalah 124,83±2,56, dan kelompok ekstrak teh hijau 28,8 mg adalah 125,67±1,51. Uji perbandingan pre test antara ketiga kelompok dengan 66 69 One Way Anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna berat badan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan 1 (P1) maupun kelompok perlakuan 2 (P2) ( p > 0,05). Hal ini berarti bahwa berat badan pada ketiga kelompok adalah sama atau dengan kata lain ketiga kelompok sebelum diberikan perlakuan berat badannya tidak berbeda (p > 0,05). Uji perbandingan berat lemak subkutan abdomen dan berat lemak viseral sebelum diberikan perlakuan antara ketiga kelompok menggunakan uji Kruskal-Wallis. Rerata berat lemak subkutan kelompok kontrol adalah 1,19±0,12, rerata kelompok ekstrak teh hijau 14,4 mg adalah 1,38±0,04, dan kelompok ekstrak teh hijau 28,8 mg adalah 1,26±0,16; Rerata berat lemak visceral kelompok kontrol adalah 0,50±0,07, rerata kelompok ekstrak teh hijau 14,4 mg adalah 0,53±0,06, dan kelompok ekstrak teh hijau 28,8 mg adalah 0,51±0,01. Uji perbandingan pre test antara ketiga kelompok dengan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna berat lemak subkutan dan berat lemak viseral antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan 1 (P1) maupun kelompok perlakuan 2 (P2) ( p > 0,05). Hal ini berarti bahwa berat lemak abdominal pada ketiga kelompok adalah sama atau dengan kata lain ketiga kelompok sebelum diberikan perlakuan berat lemak abdominalnya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). Uji perbandingan sesudah diberikan diet tinggi karbohidrat dan lemak + ekstrak teh hijau antara ketiga kelompok menggunakan One Way Anova. Rerata berat badan kelompok Kontrol adalah 165,33±4,27, rerata kelompok Ekstrak teh hijau 14,4 mg adalah 157,17±2,48, dan kelompok Ekstrak teh hijau 28,8 mg adalah 152,50±2,26; rerata berat lemak subkutan abdomen kelompok Kontrol adalah 2,76±0,23, rerata kelompok Ekstrak teh hijau 14,4 mg adalah 1,42±0,23, dan kelompok Ekstrak teh hijau 28,8 mg adalah 0,69±0,16; rerata berat lemak viseral kelompok Kontrol adalah 0,76±0,26, rerata kelompok Ekstrak teh hijau 14,4 mg adalah 0,49±0,21, dan kelompok Ekstrak teh hijau 28,8 mg adalah 0,22±0,10. Uji perbandingan post test antara ketiga kelompok dengan One Way Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna perubahan berat badan dan berat lemak abdominal antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan 1 (P1), antara kontrol dengan kelompok perlakuan 2 (P2), dan juga antara kelompok P1 dengan kelompok P2. Hal ini berarti bahwa terjadi perubahan berat badan dan berat lemak abdominal secara bermakna pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan selama 28 hari (p < 0,05). 70 Terlihat dari hasil penelitian ini bahwa baik kelompok P1 yang diberi ekstrak teh hijau dengan dosis 14,4 mg dan kelompok P2 yang diberi ekstrak teh hijau 28,8 mg menunjukkan perubahan yang bermakna dari berat badan, berat lemak viseral dan berat lemak subkutan abdomen. Namun perlu diperhatikan bahwa hasil yang didapat pada kelompok P2 lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok P1. Sehingga pemberian ekstrak teh hijau dosis 28,8 memberikan hasil yang lebih baik bagi penurunan berat badan, berat lemak viseral dan berat lemak subkutan abdomen dibandingkan ekstrak teh hijau dosis 14,4 mg. Berdasarkan hasil penelitian di atas, menunjukkan terjadinya perubahan bermakna berat badan, berat lemak viseral dan subkutan abdomen pada kelompok P1 yang diberi ekstrak teh hijau per oral dosis 14,4 mg, kelompok P2 yang diberi ekstrak teh hijau per oral dosis 28,8 mg, selama 28 hari. Hal ini disebabkan karena ekstrak teh hijau mengandung catechin yang dapat menghambat enzim COMT, dimana telah ditunjukkan dari penelitian in vitro dan in vivo, enzim COMT ini yakni suatu enzim yang mendegradasi norepinefrin. Dengan terhambatnya enzim COMT oleh catechin, terjadi reduksi degradasi norepinefrin yang akan menghasilkan penambahan waktu kerja norepinefrin pada sistem saraf simpatis. Aktivasi sistem saraf simpatis ini akan menstimulasi pengeluaran energi di antaranya dengan meningkatkan termogenesis dan oksidasi lemak (Diepvens et al., 2007; Belza et al., 2009). Catechin dari teh ditunjukkan dapat meningkatkan oksidasi lemak, terutama dalam periode postprandial, Peningkatan oksidasi lemak dapat disebabkan oleh bertambahnya oksidasi lemak hepar yang diaktivasi secara simpatik. Sistem saraf simpatis diduga berperan dalam mobilisasi lipid dari depot adiposa. Sehingga, ada kemungkinan bahwa catechin, dengan meningkatkan pengaruh simpatik, dapat memiliki pengaruh pada penyimpanan lemak di berbagai depot lemak. Hasil dari beberapa penelitian pada hewan menunjukkan bahwa akumulasi lemak hepar dan mesenterik berkurang dengan pemberian catechin (Maki et al., 2009). 71 Penelitian Dullo et al menunjukkan ekstrak teh hijau meningkatkan pengeluaran energi dan oksidasi lemak dalam jangka pendek (Diepvens et al., 2007). Signal intraseluler, menghasilkan lipolisis yang meningkat, produksi panas di otot skeletal, yang tergantung pada produksi cAMP. Respon cAMP singkat saja, karena cAMP secara cepat didegradasi oleh fosfodiesterase. Signal intraseluler dapat dipertahankan lebih lama dengan menghambat fosfodiesterase dengan metilxantin, contohnya kafein (Belza et al., 2009). Teh hijau selain mengandung catechin, juga mengandung kafein, yang menghambat fosfodiesterase, dimana akan memperlama kerja cAMP di dalam sel, menghasilkan peningkatan dan efek yang lebih lama dari norepinefrin pada termogenesis (Belza et al., 2009). Fakta bahwa ekstrak teh hijau menstimulasi termogenesis tidak dapat dihubungkan dengan kandungan kafein pada ekstrak teh hijau oleh karena efek termogenesis dari teh hijau lebih besar dibandingkan kadar equivalen dari kafein. Dengan demikian teh hijau yang mengandung catechin dan kafein bekerja pada jalur modulasi yang berbeda yang saling sinergis menghasilkan efek antiobesitas (Diepvens et al., 2007). Hasil penelitian ini juga didukung oleh pernyataan di beberapa penelitian yang menyatakan bahwa EGCG dapat menghambat proliferasi adiposit dan mengurangi viabilitas adiposit lewat aktivasi AMPK. AMPK merupakan target dari fungsi teh hijau sebagai anti obesitas. Secara umum AMPK diaktivasi oleh berbagai rangsangan seperti olahraga, heat shock, dan ROS. Aktivasi AMPK merupakan faktor penting dalam penghambatan adipogenesis oleh fitokimia seperti EGCG (Moon et al., 2007). Penyelidikan aksi antiobesitas dari EGCG telah difokuskan pada fakta bahwa EGCG menurunkan absorbsi energi. Klaus et al tahun 2005 melaporkan bahwa kandungan energi pada feces meningkat secara signifikan dengan suplementasi EGCG, dan jika dosis ditingkatkan akan didapatkan kandungan energi pada feces juga mengalami peningkatan. Dimana hal ini berarti dengan dosis lebih besar, semakin besar pula aksi EGCG sebagai anti obesitas. Beberapa penelitian lainnya melaporkan bahwa teh hijau atau EGCG menghambat absorbsi intestinal lipid dari diet dengan jalan mengganggu emulsifikasi dan solubilisasi 72 miselar dari lipid, yang merupakan langkah penting dalam absorbsi intestinal akan lemak dari diet, kolesterol dan lipid lainnya (Lee et al., 2009). Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di luar negeri yang melaporkan bahwa pemberian ekstrak teh hijau baik pada hewan coba ataupun manusia menurunkan berat badan, mengurangi kadar lemak tubuh, dan meningkatkan termogenesis serta oksidasi lemak (Klaus et al., 2005; Maki et al., 2009). Data yang didapat dari hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia juga menunjukkan hasil yang serupa, yakni pemberian ekstrak teh hijau menurunkan berat badan, lingkar perut, dan persentase lemak tubuh pada wanita obesitas (Adriani, 2010). Konsumsi teh hijau untuk jangka waktu yang lama dapat bermanfaat terhadap obesitas yang diakibatkan oleh diet tinggi lemak, diabetes mellitus tipe 2 dan dapat mengurangi risiko dari penyakit jantung koroner (Maki et al., 2009 dan UMMC 2010). Ekstrak teh hijau juga dilaporkan dapat menurunkan kadar lipid darah, merelaksasi otot polos vaskular, meningkatkan pengeluaran energi dan oksidasi lemak. Lebih jauh lagi, konsumsi minuman yang kaya akan catechin menunjukkan dapat mengurangi lemak tubuh, kolesterol total dan tekanan darah sistolik pada subjek dengan obesitas lemak viseral. Sehingga minuman yang kaya akan catechin dianggap bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan gangguan kesehatan akibat pola hidup yang sedentari (Nagao et al., 2009). Pada penelitian ini berat badan sesudah perlakuan (pemberian diet tinggi karbohidrat dan lemak dan ekstrak teh hijau) menunjukkan kenaikan jika dibandingkan dengan sebelum perlakuan, namun pada kelompok yang diberikan ekstrak teh hijau (kelompok P1 dan P2), kenaikan berat badan lebih sedikit dibandingkan kelompok yang mendapatkan plasebo (kelompok P0). Sementara itu berat lemak abdomen, yakni berat lemak subkutan abdomen dan berat lemak viseral sesudah perlakuan menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan sebelum perlakuan pada kelompok yang diberikan teh hijau (kelompok P1 dan P2), pada kelompok yang diberikan plasebo (P0) justru terlihat 73 kenaikan berat lemak abdomen. Dari hasil penelitian ini dapat terlihat bahwa meskipun berat lemak abdominal menunjukkan penurunan setelah diberikan perlakuan, seperti yang terlihat pada kelompok P1 dan P2, data berat badan menunjukkan terdapat kenaikan pada kedua kelompok ini. Kenaikan berat badan pada kedua kelompok ini dapat disebabkan oleh menumpuknya lemak di jaringan subkutan lain selain abdomen serta di organ tubuh lain. Dengan demikian diperlukan penelitian lain untuk mengetahui pengaruh ekstrak teh hijau terhadap lemak di jaringan atau organ tubuh yang lain. 6.4 Penelitian tentang Peranan Ekstrak Teh Hijau dalam Pengaturan Berat Badan Penggunaan ekstrak teh hijau untuk pengaturan berat badan didukung oleh berbagai penelitian pada mencit dan tikus yang menunjukkan peningkatan berat badan yang lebih sedikit jika ekstrak teh ditambahkan pada diet tinggi lemak (Fallon et al., 2008). Penelitian pada tikus menunjukkan catechin pada teh menghasilkan peningkatan yang akut pada oksidasi lemak dan mengurangi peningkatan berat badan yang disebabkan oleh diet tinggi lemak (Maki et al., 2009). Beberapa penelitian pada mencit dan tikus menunjukkan bahwa pemberian ekstrak teh hijau dapat menurunkan kenaikan berat badan dan berat lemak tubuh. Pada 2005, dilaporkan bahwa terapi dengan menggunakan TEAVIGO, yaknin suatu ekstrak teh hijau yang mengandung 94% EGCG and 0.1% kafein, secara bermakna dapat menurunkan berat badan dan berat lemak tubuh pada berbagai hewan percobaan seperti tikus dan mencit yang diberikan perlakuan berupa diet tinggi lemak. (Bose et al., 2008). Mencit yang diberikan diet yang disuplementasikan dengan 0,2-0,5% EGCG selama 8 minggu secara signifikan berkurang berat badannya 14 atau 20% secara respektif, jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. EGCG dalam diet dapat mengurangi kenaikan berat badan secara signifikan setelah intervensi 5 minggu jika dibandingkan kelompok yang menerima diet tinggi lemak saja. Dalam periode ini tidak ada perbedaan masukan energi untuk semua kelompok. Untuk memeriksa efek EGCG pada akumulasi lemak adiposa, distribusi lemak dari 4 bantalan lemak individual diperiksa. Dibandingkan dengan 74 kelompok kontrol, suplementasi 0,5% EGCG secara signifikan mengurangi berat dari depot adipose epididimal (berkurang 23%), subkutan (berkurang 65%), viseral (berkurang 45,5%) dan retroperitoneal (34,8%) (Klaus et al., 2005). Obesitas yang diinduksi pada mencit dengan diet tinggi lemak selama 4 minggu, meningkatkan lemak tubuh sebanyak 200%. Namun pada kelompok perlakuan yang selain mendapatkan diet tinggi lemak juga mendapatkan EGCG 0,5% dan 1% selama 4 minggu pada dietnya, terbukti kadar lemak tubuhnya berkurang (Klaus et al., 2005). Pemberian EGCG jangka pendek (3,2 g/kg selama 4 minggu) pada mencit berusia 3 bulan yang obese oleh karena diet tinggi lemak (60% energi dalam bentuk lemak) mengurangi berat lemak mesenterik dan glukosa darah jika dibandingkan kelompok kontrol yang hanya mendapatkan diet tinggi lemak saja (Bose et al., 2008). Pemberian EGCG baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang memperbaiki ke keadaan semula kelainan/patologi yang timbul oleh karena induksi lemak tinggi dan mengurangi pembentukan obesitas serta gejala-gejala yang dihubungkan dengan sindrom metabolik, dan perlemakan hati (Bose et al., 2008). Injeksi intraperitoneal dari EGCG (>98% murni), menyebabkan turunnya berat badan secara akut pada tikus Sprague-Dawley jantan dan betina dalam 2-7 hari perlakuan. EGCG juga secara signifikan mengurangi atau mencegah kenaikan berat badan pada tikus Zucker jantan dan betina yang kurus dan obese. Dosis EGCG yang digunakan pada awalnya 30-50mg/kg berat badan, namun setelah 1 minggu dibutuhkan dosis EGCG yang lebih tinggi (sekitar 100mg/kg berat badan) untuk mengurangi atau mencegah kenaikan berat badan. Turunnya berat badan ternyata reversibel, ketika pemberian EGCG dihentikan maka binatang-binatang tersebut naik lagi berat badannya. Tikus Zucker yang diinjeksikan EGCG 70-90 mg/kg berat badan/hari mengalami penurunan berat badan 10-13% dari berat awalnya dan 25% dari tikus-tikus kontrol setelah 8 hari perlakuan. Turunnya berat badan pada tikus-tikus yang diberikan EGCG dapat terjadi oleh karena berkurangnya masukan makanan. Tikus Sprague-Dawley yang diberikan EGCG secara oral, mengkonsumsi makanan 15% lebih sedikit dibandingkan kontrol dan mengalami penurunan 5% dari berat 75 badan awal. Tikus Sprague-Dawley dan Zucker yang diberikan EGCG lewat injeksi peritoneal mengkonsumsi makanan 50-60% lebih sedikit dibandingkan kontrol (Kao et al., 2000). Data dari berbagai penelitian pada manusia terbatas, namun hasil-hasil yang ada menunjukkan bahwa konsumsi catechin dari teh (375-612 mg /hari dari teh oolong, teh hijau atau ekstrak teh hijau) dengan kafein sebesar 150-270 mg/hari dapat meningkatkan pengeluaran energi 24 jam (Maki et al., 2009). Catechin pada teh memiliki pengaruh pada komposisi tubuh manusia. Pada suatu penelitian yang dilakukan pada pria dengan kelebihan berat badan, konsumsi catechin teh dengan dosis 483 mg/hari dibandingkan dengan dosis lebih rendah (118,5 mg/hari) dihubungkan dengan penurunan yang bermakna pada berat badan, lemak tubuh dan area lemak viseral (Maki et al., 2009). Pada penelitian yang dilakukan Maki et al pada tahun 2009 pada pria dan wanita dengan kelebihan berat badan dan obese, ditunjukkan bahwa konsumsi minuman yang mengandung catechin dari teh hijau (625 mg catechin / hari, yang mengandung 214 mg EGCG) dapat meningkatkan berkurangnya lemak abdominal (yang diukur lewat Dual energy X-ray absorptiometry (DXA) dan computed tomography (CT) scan abdomen) yang digabungkan dengan olahraga serta memperbaiki kadar asam lemak bebas dan trigliserida yang berada di sirkulasi (Maki et al., 2009). Sebanyak 270 pria dan wanita Jepang berusia 25-55 tahun yang termasuk obesitas tipe viseral dan memiliki pola hidup sedentari diberikan perlakuan selama 12 minggu dengan minuman yang mengandung tinggi catechin, yakni 600 mg catechin/340 mL dan 70 mg kafein/340 mL, dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan dosis 100 mg of catechins/340 mL dan 70 mg of caffeine/340 mL. Pengaruh catechin dengan dosis tinggi pada lemak tubuh hendak diperiksa, tanpa mengubah pola hidup subjek perlakuan. Konsumsi minuman yang mengandung ekstrak teh hijau dengan kadar catechin 76 tinggi selama 12 minggu menghasilkan berkurangnya secara signifikan berat badan, IMT, rasio lemak tubuh, massa lemak tubuh, lingkar pinggang, lingkar pinggul, area lemak total, area lemak visceral, dan area lemak subkutan (Nagao, 2007). Penelitian yang telah dilakukan memberikan hasil bahwa konsumsi catechin dari teh untuk jangka waktu yang lama dapat bermanfaat untuk mengurangi obesitas yang diakibatkan diet tinggi lemak yakni dengan cara memodulasi metabolisme lemak. Dengan demikian teh hijau dapat mengurangi risiko timbulnya penyakit yang dihubungkan dengan kelebihan lemak di tubuh, seperti diabetes dan penyakit jantung koroner (Crespy dan Williamson, 2004). 6.5. Peranan Teh Hijau dalam Anti Aging Medicine Dalam rentang usia kehidupan manusia, dapat muncul penyakit yang berhubungan dengan pola hidup yang tidak sehat yang dapat dicegah dengan nutrisi alami. Teh hijau adalah salah satu cara pencegahan penyakit yang paling praktis, seperti yang ditunjukkan dari hasil berbagai penelitian in vitro dan in vivo, termasuk juga penelitian epidemiologis (Sueoka et al., 2006). Teh adalah minuman yang paling banyak dikonsumsi di dunia setelah air. Sebanyak 3 miliar kilogram teh diproduksi di seluruh dunia. Secara umum, teh yang dikonsumsi adalah teh hijau, oolong, dan teh hitam, yang semuanya berasal dari daun-daun tanaman Camelia sinensis. Dari sekian banyak varian teh, polifenol dari teh hijau adalah yang paling banyak diteliti akan kegunaannya sebagai perlindungan dan pencegahan terhadap penyakit kardiovaskular dan kanker (Kuriyama et al., 2006). Selain hasil penelitian yang dilakukan pada hewan coba yang menunjukkan terdapat hubungan antara konsumsi teh hijau dengan perlindungan terhadap inisiasi dan terbentuknya kanker, penelitian epidemiologis telah mengkonfirmasi pengaruh pencegahan teh hijau terhadap kanker dan penyakit yang berhubungan dengan pola hidup tidak sehat pada manusia, seperti obesitas, hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskular. Hasil dari penelitian kohort prospektif di Saitama Prefecture, 77 Jepang menyebutkan bahwa teh hijau memiliki pengaruh pencegahan terhadap penyakit inflamasi kronik seperti rheumatoid arthritis dan multiple sclerosis serta penyakit yang berhubungan dengan pola hidup tidak sehat termasuk penyakit kardiovaskular dan kanker, menghasilkan perpanjangan rentang usia (Sueoka et al., 2006). Penelitian kohort prospektif tersebut dilakukan pada sebanyak 8.552 individu di kota Yoshimi di Saitama Prefecture, Jepang pada awal tahun 1986. Para responden dibagi menjadi tiga kelompok tergantung pada konsumsi teh hijau sehari-hari : di bawah 3 cangkir, 4-9 cangkir, dan lebih dari 10 cangkir. Setelah pemantauan selama 11 tahun didapatkan hasil individu yang mengkonsumsi lebih dari 10 cangkir teh hijau seharinya menunjukkan penurunan risiko relatif akan kanker paru-paru, kolon, hati; risiko relatif akan kanker lambung juga berkurang, namun tidak bermakna secara statistik. Selain pengaruh pencegahan terhadap kanker, data-data dari penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa konsumsi teh hijau berhubungan dengan penurunan total kolesterol serum, kadar trigliserida, dan indeks atherogenik. Lebih jauh lagi, angka prevalensi penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus secara bermakna lebih rendah pada populasi yang mengkonsumsi lebih dari 10 cangkir teh hijau sehari. Oleh karena teh hijau nampaknya membantu mencegah terjadinya kanker dan penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus dan penyakit yang berhubungan dengan pola hidup tidak sehat lainnya, maka pada penelitian ini juga dibandingkan rata-rata usia kematian yang terjadi oleh karena penyebab apapun pada konsumsi teh hijau. Didapatkan hasil rata-rata usia kematian yang lebih tinggi pada populasi yang mengkonsumsi teh hijau lebih banyak. Pada populasi wanita didapat hasil populasi yang mengkonsumsi lebih dari 10 cangkir teh hijau sehari, rata-rata usia kematiannya adalah 81 tahun, yakni 6 tahun lebih lambat dibandingkan populasi yang mengkonsumsi teh hijau kurang dari 3 cangkir. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada populasi pria. Dari data ini jelas ditunjukkan bahwa konsumsi teh hijau mengurangi risiko terjadinya penyakit yang berhubungan dengan pola hidup tidak sehat, yang akan menambah usia harapan hidup (Sueoka et al., 2006). 78 Sebuah penelitian lain yang dilakukan di Miyagi Prefecture, Jepang, hendak meneliti pula hubungan antara konsumsi teh hijau dan kematian akan penyebab apapun, kardiovaskular dan kanker dalam populasi besar yakni sebanyak 40.530 orang. Di Miyagi Prefecture ini teh hijau secara luas dikonsumsi, sebanyak 80% populasi mengkonsumsi teh hijau setiap hari, dan lebih dari 50% dari populasi mengkonsumsi lebih dari 3 cangkir per hari. Penelitian kohort prospektif ini menunjukkan hasil yang bermakna bahwa terdapat hubungan berbanding terbalik antara konsumsi teh hijau dan kematian akan penyebab apapun dan kematian akibat penyakit kardiovaskular. Dibandingkan responden yang mengkonsumsi kurang dari 1 cangkir teh hijau per hari, mereka yang mengkonsumsi lebih atau sama dengan 5 cangkir per harinya memiliki risiko kematian akan penyebab apapun dan kardiovaskular lebih rendah 16% (dalam pemantauan 11 tahun) dan 26% (dalam pemantauan 7 tahun). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Saitama Prefecture, pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara konsumsi teh hijau dengan kematian akibat kanker (Kuriyama et al., 2006). Penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya menyatakan teh hijau bermanfaat bagi penderita hipertensi dan obesitas dalam menurunkan risiko penyakit kardivaskular. Namun pada penelitian yang dilaukan di Miyagi Prefecture ini menunjukkan hasil bahwa hubungan berbanding terbalik antara konsumsi teh hijau dan kematian akibat penyakit kardivaskular juga terlihat pada responden yang langsing dan mereka yang tidak memiliki risiko hipertensi (Kuriyama et al., 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Sato et al tahun 1989 menunjukkan hubungan berbanding terbalik antara konsumsi teh hijau dan kematian akibat stroke pada 5.910 partisipan dalam 4 tahun penelitian. Terdapat pula laporan oleh Nakachi et al tahun 2000 yang menyatakan hubungan antara meningkatnya konsumsi teh hijau dan penurunan yang bermakna akan risiko kematian akibat penyakit kardivaskular pada 8.552 individu dalam pemantauan 11-13 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Nakachi et al ini juga menunjukkan konsumsi teh hijau berhubungan dengan berkurangnya kematian akibat kanker (Kuriyama et al., 2006). Polifenol dari teh hijau, terutama (-)-epigallocatechin-3-gallate (EGCG), merupakan zat aktif yang dipercaya berhubungan dengan berkurangnya kematian akibat penyebab apapun dan akibat penyakit kardiovaskular serta akibat kanker. Sejumlah mekanisme biologis dari EGCG telah 79 disebutkan diantaranya termasuk aktivitas anti oksidan dan “menangkap” radikal bebas (Kuriyama et al., 2006) serta pengaruh inhibisi pada ekspresi gen Tumor Necrosis Factor – Alfa (TNF – α), dimana TNF-α ini dikenal sebagai mediator penyakit inflamasi kronik seperti rheumatoid athritis dan multiple sclerosis (Sueoka et al., 2006). Berbeda dengan konsumsi teh hijau, konsumsi teh oolong dan teh hitam tidak memiliki atau memiliki hubungan yang lemah dengan angka kematian. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh kandungan zat aktif yang lebih banyak terdapat pada teh hijau, dimana zat aktif ini memainkan peran dalam pengaruh perlindungan teh hijau terhadap kematian (Kuriyama et al., 2006). Penyakit kardiovaskular dan kanker adalah dua penyebab kematian terbesar di dunia. Dari hasil berbagai penelitian yang telah dilakukan disebutkan konsumsi teh hijau dapat memberikan perlindungan terhadap kematian akibat penyakit kardiovaskular dan kanker, dan bahkan juga dapat mencegah timbulnya penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan pola hidup tidak sehat, termasuk hipertensi, diabetes mellitus, dan obesitas (Sueoka et al., 2006). Obesitas sendiri merupakan faktor risiko dari berbagai penyakit ko-morbid lainnya seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, penyakit jantung koroner, dan lain sebagainya (Turk et al., 2009). Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, yang didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Klaus (2005), Bose (2008) dan Maki (2009), didapatkan bahwa konsumsi ekstrak teh hijau dapat menurunkan kenaikan berat badan serta menurunkan penumpukan lemak abdominal, baik lemak viseral ataupun subkutan abdomen. Sehingga dengan turunnya berat badan dan berkurangnya penumpukan lemak viseral khususnya dan lemak subkutan abdomen, terjadinya obesitas dapat dicegah atau dikurangi, maka risiko terjadinya penyakit-penyakit ko-morbid obesitas pun juga dapat dicegah atau dikurangi. Konsumsi teh hijau dapat berkontribusi untuk memperpanjang usia harapan hidup manusia dan menjaga kualitas hidup tetap optimal (Kuriyama et al., 2006). Dengan 80 demikian konsumsi ekstrak teh hijau merupakan suatu langkah anti-aging medicine dalam mencegah, menghambat bahkan memperlambat proses penuaan. Diharapkan lewat antiaging medicine ini, masyarakat dapat hidup lebih sehat, memiliki kualitas hidup yang lebih baik, serta usia harapan hidup yang lebih panjang. Gambar 6.1 Lemak Omentum Kelompok Kontrol 81 Gambar 6.2 Lemak Omentum Kelompok Perlakuan 1 Gambar 6.3 Lemak Omentum Kelompok Perlakuan 2 Gambar 6.4 Lemak Mesenterik Kelompok Kontrol 82 Gambar 6.5 Lemak Mesenterik Kelompok Perlakuan 1 Gambar 6.6 Lemak Mesenterik Kelompok Perlakuan 2 83 Gambar 6.7 Lemak Subkutan Abdomen Kelompok Kontrol Gambar 6.8 Lemak Subkutan Abdomen Kelompok Perlakuan 1 Gambar 6.9 Lemak Subkutan Abdomen Kelompok Perlakuan 2 84 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pemberian ekstrak teh hijau pada tikus wistar jantan didapatkan simpulan sebagai berikut: 1. Konsumsi ekstrak teh hijau dapat menurunkan kenaikan berat badan pada tikus jantan yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak. 2. Konsumsi ekstrak teh hijau dapat menurunkan berat lemak subkutan abdomen pada tikus jantan yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak. 3. Konsumsi ekstrak teh hijau dapat menurunkan berat lemak viseral abdomen pada tikus jantan yang diberi diet tinggi karbohidrat dan lemak. 4. Semakin besar dosis ekstrak teh hijau, semakin besar pengaruhnya dalam menurunkan berat badan dan berat lemak abdominal. 7.2 Saran Sebagai saran dalam penelitian ini adalah: 1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis optimal ekstrak teh hijau terhadap penurunan berat badan dan berat lemak abdomen. 2. Konsumsi ekstrak teh hijau mengandung EGCG 30% dosis 800 mg atau 1600 mg dapat digunakan untuk menurunkan berat badan dan berat lemak abdominal. Oleh karena salah satu mekanisme kerja ekstrak teh hijau dalam menurunkan berat badan dan berat lemak abdominal adalah dengan aktivasi sistem saraf simpatis, yakni memperlama waktu kerja norepinefrin, maka penderita hipertensi diharapkan lebih berhatihati dan merujuk ke dokter atau ahli gizi jika akan mengkonsumsi ekstrak teh hijau DAFTAR PUSTAKA 82 85 Adriani, F. 2010. Pemberian Ekstrak Teh Hijau Menurunkan Berat Badan, Lingkar Perut, dan Prosentase Lemak Tubuh pada Wanita Obesitas. Tesis Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascarsarjana Universitas Udayana, Denpasar. Ahima, R.S. 2009. Connecting obesity, aging and diabetes. Nature Medicine 15, 996-997. Available from : http://www.nature.com/nm/journal/v15/n9/full/nm.2014.html. Accesed January 17th, 2011 Atmarita. 2005. Nutrition Problems in Indonesia. The article for An Integrated International Seminar and Workshop on Lifestyle – Related Diseases. Gajah Mada University, 19 – 20 March, 2005. Available from: http://www.gizi.net/download/nutrition%20problem%20in%20Indonesia.pdf. Accesed November 3rd, 2010. Belza, A., Toubro, S., Astrup, A. 2009. The effect of caffeine, green tea and tyrosine on thermogenesis and energy intake. European Journal of Clinical Nutrition 63, 57-64. Macmillan Publishers Limited. Available from: http://proquest.umi.com/pqdweb? index=2&did=1622618041&SrchMode=1&sid=3&Fmt=6&VInst=PROD&VType=P QD&RQT=309&VName=PQD&TS=1296616266&clientId=74186. Accesed : st February 1 , 2011. Bose, M., Lambert, J.D., Ju, J., Reuhl, K.R., Shapses, S.A., Yang, C.S. 2008. The Major Green Tea Polyphenol, (-)-Epigallocatechin-3-Gallate, Inhibits Obesity, Metabolic Syndrome, and Fatty Liver Disease in High-Fat–Fed Mice. The Journal of Nutrition. 138 (9): 1677. Available from: http://jn.nutrition.org/cgi/reprint/138/9/1677. Accesed October 14th, 2010. Byles, J. 2009. Obesity: The new global threat to healthy ageing and longevity. Volume: 18, Issue: 4 Ageing, Anti-ageing and Globalization: Transitions and limits in the governance of ageing. Available from : http://hsr.econtentmanagement.com/archives/vol/18/issue/4/article/3200/obesity. Accesed January 17th, 2011 Chacko, S., Thambi, P., Kuttan, R., Nishigaki, I. 2010. Beneficial effects of green tea: A literature review. Chinese Medicine. 5: 13. Available from: 86 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2855614/pdf/1749-8546-5-13.pdf. Accesed October 12th, 2010. Crespy, V. and Williamson, G. 2004. A Review of the Health Effects of Green Tea Catechins in In Vivo Animal Models. The Journal of Nutrition. 134 (12): 3431S-3440S. Available from: http://jn.nutrition.org/cgi/reprint/134/12/3431S? maxtoshow=&hits=10&RESULTFORMAT=&searchid=1&FIRSTINDEX=0&minsc ore=5000&resourcetype=HWCIT. Accesed October 12th, 2010. Diepvens, K., Westerterp, K.R., Westerterp-Platenga, M.S. 2007. Obesity and thermogenesis related to the consumption of caffeine, ephedrine, capsaicin, and green tea. AJP - Regu Physiol January 2007 vol. 292 no. 1 R77-R85. Available from : http://ajpregu.physiology.org/content/292/1/R77.full. Accesed January 20th, 2011. Fallon, E., Zhong, L., Furne, J.K., Levitt., M.D. 2008. A Mixture of Extracts of Black and Green Teas and Mulberry Leaf Did Not Reduce Weight Gain in Rats Fed a High-fatDiet. Alternative Medicine Review. Voulme 13, Number 1. Available from: http://www.thorne.com/altmedrev/.fulltext/13/1/43.pdf. Accesed October 14th, 2010. Huffman, D.M and Barzilai, N. 2009. Role of Visceral Adipose Tissue in Aging. Biochim Biophys Acta 1790(10): 1117–1123. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2779572/?tool=pubmed. Accessed November 19th, 2010. Kao, Y.H., Hiipakka, R.A., Liao, S. 2000. Modulation of obesity by a green tea catechin. American Journal of Clinical Nutrition, Vol. 72, No. 5, 1232-1233. Available from : http://www.ajcn.org/content/72/5/1232.full. Accessed January 20th, 2011. Klaus, S., Pültz, S., Thöne-Reineke, C., Wolfram, S. 2005. Epigallocatechin gallate attenuates dietinduced obesity in mice by decreasing energy absorption and increasing fat oxidation. Int J Obes (Lond). 29(6):615-23. Available from: http://proquest.umi.com/pqdweb? index=200&did=971699171&SrchMode=1&sid=1&Fmt=6&VInst=PROD&VType=PQD&RQT= 309&VName=PQD&TS=1288336313&clientId=74186. Accesed October 30th, 2010 Klein, S. 2010. Is Visceral Fat Responsible for the Metabolic Abnormalities Associated With Obesity? Implications of omentectomy. Diabetes Care Vol. 33 No. 7:16931694. Available from: http://care.diabetesjournals.org/content/33/7/1693.long. Accessed November 18th, 2010. 87 Kluwer, W. 2009. Green Tea. Wolter Kluwers Health. Drugs Information Online. Available from : http://www.drugs.com/npc/green-tea.html. Accessed February 22nd, 2011. Kuriyama, S., Shimazu, T., Ohmori, K., Kikuchi, N., Nakaya, N., Nishino, Y., Tsubono, Y., Tsuji, I. 2006. Green Tea Consumption and Mortality Due to Cardiovascular Disease, Cancer, and All Causes in Japan. JAMA 2006, 296 (10) : 1255-1265. Available from : http://jama.ama-assn.org/content/296/10/1255.full. Accesed May 4th 2011. Lee, M.K., Kim, C.T., Kim, Y.H. 2009. Green Tea (–)-Epigallocatechin-3-Gallate Reduces Body Weight with Regulation of Multiple Genes Expression in Adipose Tissue of Diet-Induced Obese Mice. Ann Nutr Metab. 54:151–157. Available from: http://proquest.umi.com/pqdweb? index=3&did=1722580181&SrchMode=1&sid=2&Fmt=6&VInst=PROD&VType=P QD&RQT=309&VName=PQD&TS=1288367643&clientId=74186. Accesed October 29th, 2010. Levy, Y. 2010. It's not only the Overweight: It's the Visceral Fat. IMAJ Vol 12. Available from : http://www.ima.org.il/imaj/ar10apr-10.pdf. Accesed November 18th, 2010. Maki, K.C., Reeves, M.S., Farmer, M., Yasunaga, K., Matsuo, N., Katsuragi, Y., Komikado, M., Tokimitsu, I., Wilder, D., Jones, F., Blumberg, J.B., Cartwright, Y. 2009. Green Tea Catechin Consumption Enhances Exercise-Induced Abdominal Fat Loss in Overweight and Obese Adults. Journal of Nutrition. Vol. 139, No. 2, 264-270. Available from : http://jn.nutrition.org/cgi/reprint/139/2/264. Accesed October 14th, 2010. McPhee, S.J and Ganong, W.F. 2005. Pathophysiology of diseases : An introduction to Clinical Medicine 5th edition. International ed. Lange. Halaman 391-408,554-556. Molina, P.E. 2006. Lange physiology series, endocrine physiology. International edition. 2nd edition. McGraw Hill. Halaman 247-262. Monteiro, R., Assuncao, M., Andrade, J.P., Neves, D., Calhau, C., Azevedo, I. 2008. Chronic Green Tea Consumption Decreases Body Mass, Induces Aromatase Expression, and Changes Proliferation and Apoptosis in Adult Male Rat Adipose Tissue. The Journal of Nutrition. 138 (11): 2156-2163. Available from: http://jn.nutrition.org/cgi/reprint/138/11/2156. Accesed October 12th, 2010. Moon, H.S., Chung, C.S., Lee, H.G., Kim, T.G., Choi, Y.J., Cho, C.S. 2007. Inhibitory Effect of (- )-Epigallocatechin-3-Gallate on Lipid Accumulation of 3T3-L1 Cells. 88 Obesity (2007) 15 : 2571-2582. Available from : http://www.nature.com/oby/journal/v15/n11/full/oby2007309a.html. Accesed April 11th 2011. Nagao, T., Hase, T., Tokimitsu, I. 2007. A Green Tea Extract High in Catechins Reduces Body Fat and Cardiovascular Risks in Humans. Obesity (2007) 15, 1473– 1483. Available from : http://www.nature.com/oby/journal/v15/n6/full/oby2007176a.html. Accessed January 17th , 2011. Nagao, T., Meguro, S., Hase, T., Otsuka, K., Komikado, M., Tokimitsu, I., Yamamoto, T., Yamamoto, K. 2009. A Catechin-rich Beverage Improves Obesity and Blood Glucose Control in Patients With Type 2 Diabetes. Obesity (2009) 17 2, 310–317. Available from : http://www.nature.com/oby/journal/v17/n2/full/oby2008505a.html. Accessed January 17th, 2011. Nagle, D.G., Ferreira, D., Zhou, Y.D. 2006. Epigallocatechin-3-gallate (EGCG): Chemical and biomedical perspectives. Phytochemistry. 67(17): 1849–1855. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2903211/pdf/nihms-216834.pdf. Accesed October 11th, 2010. Olshansky, S.J., Passaro, D.J., Hershow, R.C., Layden, J., Carnes, B.A., Brody, J., Hayflick, L., Butler, R.N., Allison, D.B., Ludwig, D.S. 2005. A Potential Decline in Life Expectancy in the United States in the 21st Century. N Engl J Med 2005; 352:11381145. Available from : http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMsr043743. Accesed January 17th, 2011. Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine: Memperlambat Penuaan Meningkatkan Kualitas Hidup. Penerbit buku Kompas. Halaman 94-99. Popkin, B.M. 2005. Global nutrition dynamics: the world is shifting rapidly toward a diet linked with noncommunicable diseases. American Journal of Clinical Nutrition, Vol. 84, No. 2, 289-298. Available from : http://www.ajcn.org/content/84/2/289.full? sid=c587e903-7369-4a7e-a348-a1c7ed678643. Accessed January 17th , 2011. 89 Riemersma, R.A., RiceāEvans, C.A., Tyrrell, R.M., Clifford, M.N., Lean, M.E.J. 2001. Tea Flavonoids and Cardiovascular Health. QJM. 94 (5): 277-282. Available from: http://qjmed.oxfordjournals.org/content/94/5/277.full. Accesed October 14th, 2010. Sarma, D.N., Barrett, M.L., Chavez, M.L., Gardiner, P. 2008. Safety of Green Tea Extracts: A Systematic Review by the US Pharmacopeia. Drug Safety. Auckland. Vol. 31, Iss. 6; pg. 469. Available from: http://proquest.umi.com/pqdweb? index=0&sid=3&srchmode=1&vinst=PROD&fmt=4&startpage=1&vname=PQD&did=1525118521&scaling=FULL&pmid=86204&vtype=PQD&fil einfoindex=%2Fshare3%2Fpqimage%2Fpqirs101v %2F201011010414%2F57660%2F5043%2Fout.pdf&source= %24source&rqt=309&TS=1288599299&clientId=74186. Accesed November 1st , 2010 Setyamidjaja, D. 2000. Teh, Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta. Shrubsole, M.J. 2009. Drinking Green Tea Modestly Reduces Breast Cancer Risk. The Journal of Nutrition. 139(2): 310–316. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2646205/. Accesed October 11th, 2010. Stein, Rob. 2005. Obesity May Stall Trend of Increasing Longevity. The Washington Post, March 17, 2005, Page A02. Available from: http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A41324-2005Mar16.html. Accesed January 18th , 2011. Sueoka, N., Suganuma, M., Okabe, S., Matsuyama, S., Imai, K., Nakachi, K., Fujiki, H. 2006. A New Function of Green Tea : Prevention of Lifestyle-related Disease. Annals of the New York Academy of Sciences. Volume 928. Article 1. Available from: http://www.numen.com.tw/img/record/20090306103419.pdf. Accesed May 4th, 2011. Thierney Jr, L.M., McPhee, S.J., Papadakis, M.A. 2005. Obesity. 2005 Lange Current Medical Diagnosis and Treatment. 44th Edition. McGraw Hill. Turk, M.W., Yang, K., Hravnak, M., Sereika, S.M., Ewing, L.J., Burke, L.E. 2009. Randomized Clinical Trials of Weight-Loss Maintenance: A Review. J Cardiovasc 90 Nurs. 24(1): 58–80. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2676575/pdf/nihms100183.pdf. Accesed October 11th , 2010. Ullmann, U., Haller, J., Decourt, J.P., Girault, N., Girault, J., Richard-Caudron, A.S., Pineau, B., Weber, P. 2003. A Single Ascending Dose Study of Epigallocatechin Gallate in Healthy Volunteers. The Journal of International Medical Research; 31 : 88-101. Available from : http://docserver.ingentaconnect.com/deliver/connect/field/03000605/v31n2/s5.pdf? expires=1298307348&id=61331328&titleid=75001442&accname=Guest+User&che cksum=A0829EEB978A4587D90558479E12758D. Accessed February 22nd, 2011. University of Maryland Medical Center (UMMC). 2010. Green Tea. Available at: http://www.umm.edu/altmed/articles/green-tea-000255.htm. Accesed October 11th , 2010. Velayutham, P., Babu, A., Liu, D. 2008. Green Tea Catechins and Cardiovascular Health: An Update. Curr Med Chem. 15(18): 1840–1850. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2748751/pdf/nihms145237.pdf. Accesed October 11th , 2010. Wajchenberg, B.L., 2000. Subcutaneous and Visceral Adipose Tissue: Their Relation to the Metabolic Syndrome, Endocrine Reviews 21 (6):697-738. Available from : http://edrv.endojournals.org/cgi/content/full/21/6/697. Accesed November 18th , 2010. Wikipedia. 2011. Overweight. Available at : http://en.wikipedia.org/wiki/Overweight. Accessed January 10th , 2011. Wilborn, C., Beckham, J., Campbell, B., Harvey, T., Galbrath, M., La Bounty, P., Nassar, E., Wismann, J.,Kreider, R. 2005. Obesity: Prevalence, Theories, Medical Consequences, Management, and Research Directions. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 2(2): 4–31. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2129146/pdf/1550-2783-2-2-4.pdf. Accesed October 11th , 2010. Wolfram, S., Raederstorff, D., Wang, Y., Teixeira, S.R., Elste, V., Weber, P. 2005. TEAVIGO (epigallocatechin gallate) supplementation prevents obesity in rodents by reducing adipose 91 tissue mass. Ann Nutr Metab. 49(1):54-63. Available http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15735368. Accesed October 29th, 2010. World from: Health Oganization. 2003. Obesity and Overweight. Available at : http://www.who.int/dietphysicalactivity/media/en/gsfs_obesity.pdf. Accesed October 11th, 2010. 92 Lampiran 1. TABEL KONVERSI PERHITUNGAN DOSIS (LAURENCE & BACHARACH, 1964) Mencit 20 gr Tikus 200 gr Marmot 400 gr Kelinci 1,5 kg Kucing 2 kg Kera 4 kg Anjing 12 kg Manusia 70 kg Mencit 20 gr 1.0 Tikus 200 gr 7.0 Marmot 400 gr 12.25 Kelinci 1,5 kg 27.8 Kucing 2 kg 29.7 Kera 4 kg 64.1 Anjing 12 kg 124.2 Manusia 70 kg 387.9 0.14 1.0 1.74 3.9 4.2 9.2 17.8 56.0 0.08 0.57 1.0 2.25 2.4 5.2 10.2 31.5 0.04 0.25 0.44 1.0 1.08 2.4 4.5 14.2 0.03 0.23 0.41 0.92 1.0 2.2 4.1 13.0 0.016 0.11 0.19 0.42 0.45 1.0 1.9 6.1 0.008 0.06 0.1 0.22 0.24 0.52 1.0 3.1 0.0026 0.018 0.031 0.07 0.076 0.16 0.32 1.0 Lampiran 2 Uji Normalitas Data 93 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Viseral Post Kelompok Kontrol Subkutan Post Perlakuan 1 Perlakuan 2 Kontrol Berat Badan Pre Perlakuan 1 Perlakuan 2 Kontrol Berat Badan Post Perlakuan 1 Perlakuan 2 Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2 a. Lilliefors Significance Correction Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic * df Sig. .260 .272 .183 .323 6 6 6 6 .200 .188 .200* .050 .830 .774 .942 .756 6 6 6 6 .107 .114 .674 .133 .188 .216 6 6 .200* .200* .902 .869 6 6 .388 .224 .146 .342 .312 .318 6 6 6 6 .200* .027 .069 .057 .988 .780 .767 .824 6 6 6 6 .985 .139 .229 .096 .153 .199 6 6 .200* .200* .957 .869 6 6 .794 .221 *. This is a lower bound of the true significance. Lampiran 3 Uji Homogenitas dan One Way ANOVA 94 Descriptives N Viseral Post Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2 Total Subkutan Kontrol Post Berat Badan Pre Berat Badan Post 6 6 6 18 Std. Mean Deviation .7633 .26417 .4917 .21245 .2183 .09806 .7578 .62718 Std. Error .10785 .08673 .04003 .14783 95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Minimu Maximu Bound Bound m m 1.2861 1.8406 1.14 1.78 .2687 .7146 .22 .67 .1154 .3212 .08 .34 .4459 1.0697 .08 1.78 6 2.7550 .22535 .37777 1.7839 3.7261 2.09 4.55 Perlakuan 1 Perlakuan 2 Total Kontrol 6 1.4233 6 .6933 18 1.6239 .22993 .09387 .15616 .06375 .20271 .24106 1.1820 .5295 1.1153 1.6646 .8572 2.1325 1.17 .54 .54 1.71 .98 4.55 6 125.33 2.733 1.116 122.47 128.20 121 129 Perlakuan 1 Perlakuan 2 Total Kontrol 6 124.83 6 125.67 18 125.28 2.563 1.506 2.218 1.046 .615 .523 122.14 124.09 124.17 127.52 127.25 126.38 120 124 120 127 127 129 6 165.33 4.274 1.745 160.85 169.82 160 170 Perlakuan 1 Perlakuan 2 Total 6 157.17 6 152.50 18 158.33 2.483 2.258 6.202 1.014 .922 1.462 154.56 150.13 155.25 159.77 154.87 161.42 153 150 150 160 155 170 Test of Homogeneity of Variances Viseral Post Subkutan Post Berat Badan Pre Berat Badan Post Levene Statistic 3.951 2.933 .452 2.826 df1 df2 2 2 2 2 15 15 15 15 Sig. .062 .084 .645 .091 95 ANOVA Sum of Squares Viseral Post Between Groups Within Groups Total Subkutan Post Between Groups Within Groups Total Berat Badan Pre Between Groups Within Groups Total Berat Badan Post Between Groups Within Groups Total Post Hoc Tests df Mean Square 6.064 2 3.032 .042 .623 15 6.687 17 13.113 2 6.557 .311 4.668 15 17.781 17 2.111 2 1.056 81.500 15 5.433 83.611 17 506.333 2 253.167 147.667 15 9.844 654.000 17 F Sig. 73.042 .000 21.071 .000 .194 .825 25.717 .000 96 Multiple Comparisons LSD Dependent Variable Viseral Post Mean (I) Difference Kelompok (J) Kelompok (I-J) Kontrol Perlakuan 1 1.07167* Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound .11763 .000 .8209 1.3224 Perlakuan 2 Perlakuan Kontrol 1 Perlakuan 2 Perlakuan Kontrol 2 Perlakuan 1 Subkutan Post Kontrol Perlakuan 1 1.34500* -1.07167* .27333* -1.34500* -.27333* .11763 .11763 .11763 .11763 .11763 .000 .000 .035 .000 .035 1.0943 -1.3224 .0226 -1.5957 -.5241 1.5957 -.8209 .5241 -1.0943 -.0226 1.33167* .32206 .001 .6452 2.0181 Perlakuan 2 Kontrol Perlakuan 2 Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 1 * 2.06167 -1.33167* .73000* -2.06167* -.73000* .32206 .32206 .32206 .32206 .32206 .000 .001 .039 .000 .039 1.3752 -2.0181 .0435 -2.7481 -1.4165 2.7481 -.6452 1.4165 -1.3752 -.0435 8.167* 1.811 .000 4.31 12.03 * 1.811 1.811 1.811 1.811 1.811 .000 .000 .021 .000 .021 8.97 -12.03 .81 -16.69 -8.53 16.69 -4.31 8.53 -8.97 -.81 Berat Badan Post Perlakuan 1 Perlakuan 2 Kontrol Perlakuan 2 12.833 Perlakuan Kontrol -8.167* 1 Perlakuan 2 4.667* Perlakuan Kontrol -12.833* 2 Perlakuan 1 -4.667* *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Lampiran 4 Uji Kruskal-wallis Data Berat Lemak Subkutan dan Viseral Pre 97 N Subkutan Kontrol Pre Perlakuan 1 Perlakuan 2 Total Viseral Kontrol Pre Perlakuan 1 Perlakuan 2 Total Subkutan Pre Viseral Pre 2 2 2 6 2 2 2 6 Ranks kelompok Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2 Total Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2 Total Std. Mean Deviation 1.1850 .12021 1.3800 .04243 1.2550 .16263 1.2733 .12785 .5000 .07071 .5300 .05657 .5100 .01414 .5133 .04320 N 2 2 2 6 2 2 2 6 Std. Error .08500 .03000 .11500 .05220 .05000 .04000 .01000 .01764 Mean Rank 2.00 5.00 3.50 Test Statisticsa,b Subkutan Post Viseral Post Chi-Square 2.571 .286 df 2 2 Asymp. Sig. .276 .867 a. Kruskal Wallis Test 3.00 4.00 3.50 95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound .1050 2.2650 .9988 1.7612 -.2062 2.7162 1.1392 1.4075 -.1353 1.1353 .0218 1.0382 .3829 .6371 .4680 .5587 98 Test Statisticsa,b Subkutan Post Viseral Post Chi-Square 2.571 .286 df 2 2 Asymp. Sig. .276 .867 b. Grouping Variable: kelompok