OBJEK KAJIAN FILSAFAT MATEMATIKA, TIGA PAHAM BESAR, RASIONALISME PLATO Filsafat Matematika adalah suatu cabang matematika yang memusatkan pengkajiannya pada dua pertanyaan pokok : 1. Memusatkan kajian terhadap arti dari kalimat matematika 2. Memusatkan kajian bertolak dari pertanyaan apakah objek abstrak matematika itu ada. Terkait dengan yang pertama, akan muncul pertanyaan2: Sebenarnya apa arti kalimat-kalimat matematika “3 merupakan bilangan prima”, “2+2=4” atau “Terdapat tak hingga bilangan prima” Sehingga tugas pokok dari filosuf adalah mengkonstruk teori semantik untuk bahasa matematika semantik=mempelajari makna kata Kalimat “Kapuas merupakan nama gunung di Jawa” secara semantik adalah salah, tetapi “Semeru merupakan nama gunung di Jawa” secara semantik benar. Lalu secara semantik, bagaimana dengan kalimat matematika “3 merupakan bilangan prima”, “2+2=4” atau “Terdapat tak hingga bilangan prima” Alasan para filosof terkait dengan hal ini adalah: 1. Tentang kebenaran yang tidak dapat serta merta dijelaskan 2. Jawaban yang berbeda akan membawa implikasi filosofis yang berbeda Misalnya tentang kalimat “3 merupakan bilangan prima”, apakah 3? 3 itu apa? Antirealis mengatakan bahwa bilangan itu tidak ada, bagaimana kita menilai secara semantik? Realis mengatakan bahwa bilangan itu ada. Dalam kelompok realis sendiri ada yang menyebut bilangan sebagai objek mental(something like ideas in people’s head) tetapi adapula yang menganggap bilangan ada di luar pikiran ( numbers exist outside of people’s head), seperti pada dunia nyata. Pandangan lain yaitu dari penganut Plato (platonisme) yang menganggap bahwa bilangan merupakan objek abstrak yang tidak nyata dan bukan objek mental. Jadi menurut platonis ojek abstrak itu ada tetapi bukan sesuatu pada dunia nyata atau dalam pikiran manusia. Karena kenyataannya bilangan (dan objek matematika yang lain) tidak ada pada ruang dan waktu manapun. Pertanyaan berikutnya bagaimanakah objek abstrak ada? Mathematical Platonism Platonisme pada matematika, memandang bahwa a. Terdapat objek abstrak yang secara keseluruhan non spatial-temporal, non physical, dan non mental b. Terdapat kebenaran kalimat secara matematik yang melengkapi gambaran suatu objek Diantara Platonist kontemporer, akhirnya tersepakati bahwa yang dimaksud objek abstrak adalah objek yang nonspatialtemporal. Platonisme merupakan paham dalam matematika yang eksis selama dua milenium setelah itu stagnan, setelah Gotlob Frege mengembangkan logika matematika modern Versi Platonisme nontradisional Dikembangkan pada tahun 1980-an dan 1990-an oleh: 1. Penelope Maddy 2. Mark Balaguer dan Edward Zaita 3. Michael Resnik dan Stewart Shapiro Konsen atas bagaimana orang mendapatkan pengetahuan dari objek abstrak Menurut Maddy, matematika adalah pengetahuan tentang objek abstrak dan objek abstrak merupakan sesuatu yang nonphysical dan non mental, meskipun berada pada ruang dan waktu Realisme memandang bahwa entitas matematika ada terbebas dari pikiran. Logisisme memandang bahwa matematika merupakan bagian dari logika. Empirisme memandang bahwa matematika harus dikembangkan secara empiris. Formalisme menyatakan bahwa pernyatan-pernyatan dalam matematika harus dipikirkansebagai serangkaian konsekuensi dari manipulasi serangkaian aturan. Paham logisisme dipelopori oleh filosof Inggris Bertrand Arthur William Russel Russel (1930) menulis buku “The Principles of Mathematics” yang berpegang pada pendapat bahwa matematika semata-mata terdiri atas deduksi-deduksi dengan prinsip-prinsip logika dari prinsip-prinsip logika. Menurut Russel matematika dan logika merupakan bidang yang sama karena seluruh konsep dan dalil matematika dapat diturunkan secara logika. Logika dan matematika berkembang pada zaman modern. Logika telah menjadi lebih bersifat matematis dan matematika menjadi lebih logis. Akibtnya kini sepenuhnya menjadi tak mungkin untuk menarik garis diantara keduanya, sesungguhnya dua hal itu merupakan satu. Bertrand Russell “Do not fear to be eccentric in opinion, for every opinion now accepted was once eccentric.” Bertrand Russell Pada tahun 1910-1913 Russel bekerja sama dengan Alfred North Whitehead menulis “karya besar” berjudul Principia Mathematica untuk membuktikan bahwa logika merupakan masa muda matematika dan matematika merupakan masa tua logika. Pembuktian diawali dengan pangkal-pangkal pendapat dari logika dan kemudian dengan deduksi-deduksi sampailah pada hasil-hasil yang nyata-nyata termasuk dalam bidang matematika. Misalnya bilangan terbukti dapat dinyatakan dengan istilahistilah logika atau dalam dalil-dalil logika dan segenap sifatnya ditunjukkan oleh logika. Aliran logisisme adalah aliran yang berpandangan bahwa matematika murni merupakan bagian dari logika. Pengagas utama dari pandangan ini adalah Leibniz, Frege (1983), Russel (1919), Whitehead dan Carnap (1931). Ada dua hal pokok dalam aliran ini, yaitu (1). Semua konsep dalam matematika pada akhirnya dapat diturunkan dari konsep-konsep logika, penyajian dari penurunan tersebut meliputi konsep-konsep teori bilangan maupun beberapa sistim yang terdapat pada teori Russsel. (2). Semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma-aksioma dan aturan-aturan logika. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa hakekat dari aliran ini adalah bahwa jika semua matematika dapat diekspresikan dalam bentuk-bentuk logika secara murni dan dibuktikan dari prinsip-prinsip logika itu sendiri, maka kepastian dari pengetahuan matematika dapat direduksi menjadi logika. Ternyata tujuan ini tidak dapat tercapai karena memang matematika tidak hanya merupakan logika. Sebagai contoh aksioma ketakhinggan dapat disajikan dalam bentuk-bentuk proposisi logika tetapi tidak dapat dinyatakan kebenarannya secara logika. Manfaat dari aliran logisisme diantaranya adalah pembuktian induksi matematika, penggunaan implikasi dan pembuktian matematika baik dengan cara bukti langsung maupun bukti tidak langsung yang sangat bermanfaat dalam perkembangan matematika. Aliran logicisme merupakan dasar untuk pembentukan pola pikir deduktif yang merupakan ciri atau karakteristik dari matematika yang menekankan pada penataan nalar. Paham formalisme dipelopori oleh matematikawan Jerman, David Hilbert Menurut paham formalisme, sifat alami dari matematika adalah sistem lambang yang formal. Matematika terkait dengan sifat-sifat struktural dari simbol-simbol dan proses pengolahan terhadap lambang-lambang tersebut. Simbol-simbol dianggap mewakili berbagai sasaran yang menjadi objek matematika. Bilangan-bilangan dipandang sebagai sifat-sifatstruktural yang paling sederhana dari benda-benda Dengan simbolisme abstrak yang dilepaskan dari sesuatu arti tertentu dan hanya menunjukkan bentuknya saja, formalisme berusaha menyelidiki struktur dari berbagai sistem. DAVID HILBERT Manfaat dari aliran Formalisme misalnya prosedur dalam memunculkan struktur aljabar seperti grup, ring maupun field. Contoh lain yang menonjol dari manfaat aliran formalisme adalah banyaknya perkembangan baru dari matematika. Sebagai contoh cabang matematika baru tersebut adalah fuzzy set. Pada sistem matematika yang lama konsep himpunan menggunakan konsep himpunan dua nilai, yaitu x anggota A atau x bukan anggota himpunan A. Namun pada sistem matematika yang baru konsep himpunan dapat dikembangkan tidak hanya konsep himpunan dua nilai. Keanggotaan x pada sebuah himpunan tidak hanya anggota dan bukan anggota. Keanggotaan x dapat berupa ½ anggota, ¼ anggota, ¾ anggota dan lain-lain. Dengan konsep matematika yang demikian, berkembanglah cabang matematika yang baru namun demikian cabang matematika tersebut tidak kontradiksi dengan sistem yang lama. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa hakekat dari aliran ini adalah bahwa jika semua matematika dapat diekspresikan dalam bentuk-bentuk logika secara murni dan dibuktikan dari prinsip-prinsip logika itu sendiri, maka kepastian dari pengetahuan matematika dapat direduksi menjadi logika. Ternyata tujuan ini tidak dapat tercapai karena memang matematika tidak hanya merupakan logika. Sebagai contoh aksioma ketakhinggan dapat disajikan dalam bentuk-bentuk proposisi logika tetapi tidak dapat dinyatakan kebenarannya secara logika. Paham intuitionisme dipelopori oleh matematikawan Belanda, Luizen Egbertus Jan Brouwer Brouwer berpendapat bahwa matematika adalah bagian yang sama dengan bagian yang eksak dari pemikiran manusia. Ketepatan dalil-dalil matematika terletak dalam akal manusia (human intellect) dan bukan pada simbol-simbol di atas kertas sebagaimana diyakini oleh paham formalisme. Dalam pemikiran para intuitionist, matematika berlandaskan pada suatu ilham dasar (basic intuition) mengenai kemungkinan untuk membangun sebuah seri bilangan yang tidak terbatas. Ilham ini pada hakekatnya merupakan suatu aktivitas berpikir yang tak tergantung pada pegalaman, bebas dari bahasa dan simbolisme, serta bersifat objektif. Manfaat aliran intuisionisme diantaranya adalah cara-cara pembuktian dalam matematika misalnya pembuktian dalam analisis real. Dalam pembuktianpembuktian pada hakekatnya didasarkan pada aliran intuisionisme. 470 427 399 384 347 322 SM SOCRATES (71th) PLATO (80th) ARISTOTELES(62thn) SOCRATES PLATO ARISTOTELES PERBANDINGAN FILSAFAT PLATO DAN ARISTOTELES Rasionalisme Plato dan Aristoteles 23 SOCRATES Socrates dilahirkan di Athena, Yunani tahun 470 SM. Setiap hari Socrates terus berpikir untuk mencari kebenaran. Socrates selalu bertanya tanpa memberikan jawaban karena ia ingin orang lain berpikir dan memahami jawaban pertanyaan tersebut. Menurut Plato dan Aristoteles, Socrates adalah orang pertama yang memperkenalkan cara berpikir induktif dan membuat definisi universal. Cara berpikir tersebut kemudian dikenal sebagai metode Socrates. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 24 SOCRATES Ia juga orang pertama di dunia yang mengemukakan bahwa di dalam diri manusia terdapat jiwa/rohani. “Socrates menyadari bahwa jiwa jauh lebih penting daripada tubuh fisik dan jiwa tidak akan mati” sebagai bapak psikologi rasional. Socrates adalah ahli filsafat Yunani yang diakui sebagai guru moral terbesar di dunia hingga saat ini. Ia adalah salah satu dari ketiga orang yang sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar peradaban Barat. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 25 SOCRATES Socrates juga menemukan bahwa Tuhan hanya satu dan memiliki kekuasaan terhadap segala sesuatu. Ia menemukan hal ini melalui pemikirannya sendiri, bukan dari Al-quran dan Injil. Dengan penemuannya ini, ia sangat ingin mendidik moral masyarakat Athena menjadi lebih baik. Namun, penemuannya ini malah dianggap sebagai ajaran sesat yang hanya akan meracuni pikiran dan jiwa anak-anak muda. Ia dianggap melanggar ajaran keyakinan masyarakat Yunani yang pada saat itu menyembah banyak dewa. Pada tahun 399 SM, saat Socrates berusia 71 tahun melaksanakan hukuman mati dengan minum racun. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 26 PLATO Plato adalah murid Socrates, yang datang dari keluarga terpandang dan terpelajar. Karena Socrates tidak meninggalkan tulisan dan Plato adalah murid yang paling memahami pemikiran Socrates, maka Plato merasa bahwa dirinya adalah juru bicara yang paling sah dari Socrates. Walaupun demikian tetap dapat dibedakan pemikiran asli Socrates dengan Plato. Kesaksian Aristoteles dalam Metaphysics menyebutkan, “Socrates tidak memandang definisi-definisi universal sebagai eksistensi terpisah. Plato-lah yang membuat pemisahan tersebut dan jenis entitas ini disebutnya sebagai ‘Idea-Idea’ (Forms). Rasionalisme Plato dan Aristoteles 27 PLATO Forms yang diungkapkan Plato dalam dialog-dialognya didominasi oleh pengertian-pengertian etis, misalnya kebaikan, keindahan, keadilan atau keberanian. Ketika hendak menjelaskan pengertian “Form” sebagai substansi obyektif yang berdiri sendiri, Plato mengambil contohnya dengan pengertian-pengertian etis. Plato mengatakan, “Keindahan (beauty) tidak dimanifestasikan sebagai sebuah muka atau sebagai tangan atau benda-benda jasmani lainnya, tidak juga sebagai wacana atau ilmu pengetahuan, tidak juga sebagai pengada yang terdapat pada makhluk hidup atau bumi atau langit atau dalam apapun lainnya; tetapi sebagai “existing itself by itself with itself” (keberadaan diri oleh dan dengan dirinya sendiri), selalu unik dalam ‘form’. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 28 PLATO Dengan melalui Forms yang obyektif, tetap, dan universal, maka Plato telah memberikan landasan ontologis dan epistemologis akan keuniversalan nilai-nilai moral yang diperjuangkan Socrates sepanjang hidupnya. Melalui ajaran itu, Plato mencoba membuktikan bahwa “Kebaikan”, “Keadilan”, “Keberanian” dan lainnya real dan obyektif. Menurut Plato, kebenaran ada pada dunia ide (the Forms). Bentuk yang paling sempurna hanya ada pada ide, konsep yang terbentuk dari hal nyata, tidak pernah sempurna. Plato dikenal sebagai seorang dualist, yang memisahkan antara dunia ide dan materi. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 29 PLATO Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia ke dalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi, "becoming"). Menurut Plato, bentuk pengetahuan yang berfungsi sebagai pedoman yang paling andal di sepanjang jalan ini adalah matematika, sedangkan bentuk pengetahuan yang terandal di dalam matematika adalah geometri. Sumbangan filsafat Plato bagi psikologi/sains adalah penekanan pada rasionalitas dan objektivitas dari pengetahuan/ilmu yang dapat dikatakan sebagai peletakan dasar pengetahuan alam (sains) yang sampai sekarang masih dianut. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 30 ARISTOTELES Lahir pada tahun 384 SM di Stageira, Yunani Utara. Meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM. Belajar selama 20 tahun dalam Akademia Plato. Ayahnya adalah seorang dokter, dan atas bimbingan ayahnya Aristoteles sejak kecil telah banyak menaruh perhatian kepada ilmu-ilmu alam. Pengalaman ini berpengaruh terhadap pandangan ilmiah dan filosofisnya di kemudian hari. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah apa yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah apa yang kita lihat dengan indera-mata kita. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 31 ARISTOTELES Aristoteles tidak menyangkal bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 32 ARISTOTELES Aristoteles adalah seorang ahli biologis, seorang yang sangat empiris, percaya pada hal-hal natural dan riil. Tidak seperti Plato yang senang bergerak di bidangbidang ideal, Aristoteles adalah seorang yang down to earth. Bagi Aristoteles, psikologi adalah ilmu tentang jiwa (soul). Jiwa menjadi bagian vital dari individu, menggerakkan, mengarahkan perkembangan organisma, dan mengaktualisasikan organisma menjadi eksistensinya yang sekarang. Dalam hal ini Aristoteles berbeda pandangan dengan gurunya yang memisahkan idea (yang dalam konsepsi Aristoteles dapat disamakan dengan soul) dan materi. Bagi Aristoteles, soul dan materi tidak dapat dipisahkan. Materi tidak berarti tanpa soul. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 33 ARISTOTELES Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir. Metode empiris-induktif, pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 34 ARISTOTELES Pemikiran Aristoteles merupakan harta karun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini. Hal tersebut karena kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Berhasil menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut di atas. Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai "alat" untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam teori yang dibawa kepada praktek. Aristoteles mengawali serta mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 35 PERBANDINGAN FILSAFAT PLATO DAN ARISTOTELES Perlu diketahui bahwa Plato dapat dikatakan sebagai filsuf pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah epistemologi ini. Filsuf Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles. Plato dan Aristoteles adalah guru dan murid yang merupakan dua tokoh besar dalam sejarah, yang telah berhasil membentuk dan meletakkan dasar yang paling kokoh bagi pembangunan kebudayaan dan peradaban Barat modern. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 36 PERBANDINGAN FILSAFAT PLATO DAN ARISTOTELES Perbedaan yang paling mendasar antara filsafat Plato dan Aristoteles sebenarnya terletak pada pandangan mereka tentang ada dan kebenaran ada. Apabila Plato mengatakan bahwa ada yang sebenarnya berada di dunia ide, maka Aristoteles tidak mengenal ada yang berada di dunia ide itu. Bagi Aristoteles tidak ada dunia lain selain dunia indrawi ini. Oleh sebab itu ada yang sebenarnya harus ditemukan pada kebenaran ada itu sendiri. Sehingga filsafat Plato disebut filsafat idealisme dan filsafat Aristoteles disebut filsafat realisme. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 37 Tabel Perbandingan Epistemologi Plato dan Aristoteles. TOPIK PEMIKIRAN PLATO ARISTOTELES Pandangan tentang dunia Kenyataan yang sejati Ada 2 dunia, yaitu dunia ide dan dunia materi Ide-ide yang berasal dari dunia ide Hanya 1 dunia, yaitu dunia nyata yang sedang dijalani Segala sesuatu di alam yang dapat ditangkap indra Pandangan tentang manusia Jiwa terpenjara badan. Badan dan jiwa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Kehidupan sehari-hari dan alam dunia nyata. Aliran filsafat Terdiri dari badan & jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi). Dunia ide. Namun tertanam dalam jiwa yang ada dalam diri manusia. Mengeluarkan dari dalam diri (Anamnesis) dengan metoda bidan. Idealis Metode mencari kebenaran Apriori, yaitu dari universal ke partikular Aposteriori, yaitu dari partikular ke universal Realitas tertinggi Apa yang kita dipikirkan dengan akal kita. Apa yang kita lihat dengan indera kita. Asal pengetahuan Cara mendapatkan pengetahuan Rasionalisme Plato dan Aristoteles Observasi dan abstraksi, diolah dengan logika. Realis dan analitis 38 PERBANDINGAN FILSAFAT PLATO DAN ARISTOTELES Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf modern. Idealisme Plato mempengaruhi filsuf-filsuf Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsuf-filsuf Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 39 RASIONALISME PLATO DAN ARISTOTELES Rasionalisme Plato dan Aristoteles 40 Mat & filsafat dilahirkan di Yunani kuno. Sebelum Yunani, Mat. berisi teknik kalkulasi & sistem numerasi, yg berhub. dgn agama atau hal-hal praktis. Suatu legenda yg berisi ttg ramalan Apollo menyatakan bhw suatu bencana akan berakhir jika altar tertentu diduakalikan ukurannya, dgn bentuk yang tetap. Isu `praktis' ttg mencegah bencana diarahkan kpd permasalahan geometris ttg penggandaan kubus. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 41 Dua permasalahan yg serupa, yaitu: (1) membagi sudut menjadi tiga bagian yang sama (2) menentukan panjang sisi persegi yang luasnya sama dengan suatu lingkaran tertentu. Permasalahan ini menjadi pemikiran para ahli mat. selama berabad-abad. Akhirnya, lebih dari 2000 th kemudian para ahli mat. tdk menemukan solusinya shg permasalahan tsb dianggap mustahil utk diselesaikan. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 42 1. The world of Being Plato termotivasi oleh kesenjangan antara ide yg dpt kita mengerti dgn dunia fisik di sekitar kita. Sebagai contoh, meski kita memp. gambaran mental ttg keadilan (justice) yg jelas, namun segala hal yang kita lihat dan kita dengar ternyata tak ada yg memenuhi keadilan sempurna. keindahan (beauty) alim (pious) baik (virtuous) Segala sesuatu yg ada di dunia memp.kekurangan. Kita punya pemahaman ttgRasionalisme harapan yg Plato dan Aristoteles 43 Jwbn Plato: ada realitas ttg Forms yg berisi hal-hal yg sempurna seperti “Keindahan”, “Keadilan”, & “Kealiman”. Plato menyebut dunia fisik sbg The world of Becoming, krn objek fisik tunduk pd perubahan & kecurangan. Objek-objek tsb mendptkan sesuatu yg lebih baik & juga yg lebih buruk. Apa yang indah dapat menjadi buruk. Apa yg baik dpt menjadi jahat. Sebaliknya, Form 'Keindahan’ bersifat kekal & tidak berubah keindahannya & akan selalu tetap sama. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 44 Dalam buku The Meno dijelaskan bahwa Plato diminta Socrates utk mengajarkan seorang budak menemukan suatu teorema: persegi yg sisinya merup diagonal persegi tertentu memp. luas 2x luas persegi semula. Socrates menekankan bahwa baik Plato maupun siapapun orangnya tidak boleh menunjukkan teorema tsb. kepada budak. Dgn menanyakan secara hati-hati & menunjuk aspek dari suatu diagram yg digambar, ternyata Socrates mendapati budak tsb menemukan sendiri teorema itu. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 45 Plato menggunakan eksperimen tsb utk mendukung suatu doktrin bhw ketika eksperimen menggunakan geometri atau the world of Being pd umumnya, maka apa yang disebut 'belajar' adalah mengingatingat secara nyata dari kehidupan masa lampau yg kiranya merupakan waktu ketika jiwa memp. akses langsung ke the world of Being. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 46 2. Pandangan Plato ttg Matematika Mat. atau paling tidak geometri, merup suatu contoh langsung kesenjangan antara dunia materi di sekitar kita dgn dunia pikiran yg tenang, ideal, sempurna. Dari sebelum zaman Plato sampai hari ini kita telah memiliki definisi-definisi ttg garis lurus, lingkaran, dsb. Tetapi dunia fisik memuat grs lurus tanpa lebar yg tdk sempurna, tdk ada lingkaran yg sempurna, atau tidak ada yang sempurna yang dapat kita lihat. Barangkali grs lurus & lingkaran sempurna dsb., menjadi bagian dari ruang fisik yg kita tempati, tetapi meskipun demikian, kita tidak akan menemukannya dalam dunia fisik manapun. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 47 Utk mendptkan kejelasan, Plato percaya bhw proposisi geometri scr obyektif adl benar atau salah, serta bebas dari pikiran, bahasa, dan juga bebas dari para ahli matematika. Plato percaya bahwa objek geometris bukanlah obyek fisik, dan bahwa obyek geometri bersifat tidak berubah dan kekal. Dalam hal ini, paling tidak objek geometris adalah seperti Forms dan berada dalam the world of Being. Ia akan menolak pernyataan bahwa objek geometris ada dalam ruang fisik. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 48 THE GOOD FORMS BEING Objek Matematis Objek Fisik BECOMING Refleksi Rasionalisme Plato dan Aristoteles 49 Gambar. 3.2. Garis singgung pada lingkaran Perhatikan, teorema ttg grs singgung lingk. yang memotong lingk. pd sebuah titik. Meskipun jika seseorang secara hati-hati menggambar suatu lingk. & grs singgungnya, menggunakan peralatan yg mahal atau pensil yg sangat tajam (atau printer yg canggih), seseorang masih melihat bhw garis singgung tsb memotong lingk. di suatu daerah kecil, bukan pada suatu titik. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 50 Jika seseorang menggunakan sebatang kapur atau sebuah tongkat dalam pasir utk latihan, titik potongnya akan lebih besar. Penjelasan Plato langsung, yakni lingk & grs yg digambar hanyalah pendekatan yg lemah dr lingk & grs yg sesungguhnya, yg kita pahami hanya dgn pikiran (atau ingatan). Bundaran kecil yg memotong gbr yg dibuat adl pendekatan yg lemah dari sebuah titik. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 51 Pandangan Plato tersebut meninggalkan suatu permasalahan tentang penjelasan mengapa geometri diterapkan pada dunia fisik, meskipun secara pendekatan saja Pada masa Plato diberikan suatu kisah yang terperinci, tetapi spekulatif tentang bagaimana dunia fisik dibangun secara geometris dari lima benda ruang yang disebut Platonic solids, yaitu bidang empat (pyramid/tetrahedron), bidang delapan (octahedron) bidang enam/kubus (hexahedron) bidang duapuluh (icosahedron) bidang duabelas (dodecahedron) Rasionalisme Plato dan Aristoteles 52 Scr tdk langsung pandangan Plato juga memperhatikan aritmetika & aljabar, seperti karyanya tentang geometri. Ia adalah seorang realis yg terus terang pd kedua nilai kebenaran & ontologi. Ia menyatakan bhw proposisi dr aritmetika & aljabar adl benar atau salah, tdk tergantung dari ahli mat, dunia fisik, & bahkan juga dari pikiran. Ia juga menyatakan bhw proposisi aritmetika adalah ttg objek abstrak yg disebut `bilangan' Rasionalisme Plato dan Aristoteles 53 3. Pengaruh mat terhadap perkemb. Filsafat Plato Beberapa sarjana terbaru sudah memfo-kuskan perhatiannya pada pengaruh per-kembangan mat thdp filsafat Plato. Dengan cara dramatis, terdapat cahaya yg dapat mengungkap beberapa perbedaan yg tajam antara Plato & gurunya Socrates. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 54 4. Aristoteles, Musuh yang Berjasa Kebanyakan dari apa yang dikatakan Aristoteles tentang matematika merupakan polemik melawan pandangan Plato. Filsafat matematika Plato berkaitan dengan Forms sebagai wujud yang kekal dalam realitas dari Being yang terpisah. Filsafat matematika Aristoteles berkaitan dengan penolakannya terhadap world of Being yang terpisah. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 55 PEMIKIRAN ARISTOTELES Menerima keberadaan Forms, tetapi ia menganggap bahwa Forms tidak terpisah dari objek individu yang termasuk dalam Forms. Contoh: Beauty merupakan sesuatu yang indah secara umum. Jika seseorang berencana menghancurkan semua benda yang indah, maka ia akan menghancurkan Beauty itu sendiri. Hal yang sama juga digunakan untuk keadilan (Justice), Kejujuran (Virtue), Manusia, dan Forms yang lain. Benda-benda dalam dunia fisik mempunyai Forms, tetapi tidak ada dunia yang terpisah dari Forms tersebut. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 56 Objek Matematika Aristoteles menganggap bahwa objek matematika itu ada dalam objek yang jelas dan tidak terpisah dari objek yang dapat dimengerti. Menurut geometri, objek matematika nampak seperti objek fisik, misalnya permukaan, garis, dan titik. Ahli geometri tidak menganggap permukaan sebagai permukaan dari objek fisik. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 57 Objek Matematika Dalam pemikiran, seseorang dapat memisahkan permukaan, garis, dan titik dari objek fisik yang memuatnya. Pemisahan tersebut bersifat psikologis, atau mungkin bersifat logis. Pemisahan ini memperhatikan bagaimana kita berpikir tentang objek fisik. Bagi Aristoteles, kekeliruan Plato adalah menyimpulkan bahwa objek geometris bersifat metafisis yang terpisah dari contoh-contoh benda fisik hanya karena para ahli matematika mengatur untuk mengabaikan aspek fisik tertentu. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 58 Abstraksi Geometri Misalkan, sebuah bola kuningan. Jika kita mengabaikan kuningan secara selektif dan hanya memfokuskan pada bentuk bola, maka kita akan memperoleh bola saja. permukaan salah satu sisi kubus pejal sebuah bidang salah satu sisi bidang sebuah ruas garis Jadi objek geometri banyak yang menyerupai Forms. Dalam sebuah pemikiran, objek geometri adalah bentuk dari objek fisik. Tetapi, tentu objek geometri merupakan Forms dari Aristoteles dan bukan merupakan Forms dari Plato. Objek matematika diperoleh dari proses abstraksi yang bebas dari objek fisik yang telah diabstraksikan. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 59 Abstraksi Aritmetika Bilangan asli diperoleh melalui abstraksi dari kumpulan objek fisik. Kita mulai dengan suatu kelompok yang terdiri lima domba dan dengan mengabaikan perbedaan antara domba. Kita hanya memfokuskan pada kenyataan bahwa domba tersebut merupakan objek yang berbeda dan bilangan 5 menunjukkan suatu jenis kelompok. Sehingga bilangan ada sebagai Forms dari Aristoteles, dalam kelompok objek yang merupakan bilangan. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 60 Objek geometri itu merupakan fiksi (khayalan) yang berguna. Misalkan, Ahli geometri menyatakan jika A adalah segitiga samakaki ia memberikan atribut pada A berupa sifat-sifat yang menyebabkan A tersebut merupakan segitiga samakaki. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 61 Perhitungan aritmetika diperoleh dengan memperlakukan suatu obyek tertentu di suatu kumpulan 'sebagai yang tak terpisahkan' atau 'suatu unit'. Contoh kumpulan lima domba. kita anggap setiap domba sebagai sesuatu yang tak dapat dibagi, tetapi menurut penjagal setiap domba pasti dapat dibagi. Oleh karena itu asumsi ahli matematika salah. Ide ahli matematika tersebut mengabaikan sebarang sifat dari kumpulan domba yang muncul dan keterbagian setiap domba secara individu. Kita menganggap bahwa setiap domba tidak dapat dibagi dan oleh karena itu kita memperlakukan domba sebagai benda yang tak dapat dibagi. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 62 Aristoteles & Plato Aristoteles setuju dengan pendapat Plato bahwa bilangan selalu merupakan banyaknya sesuatu benda, tetapi menurut Aristoteles, bilangan adalah banyaknya kumpulan objek. Bilangannya Aristoteles adalah bilangan fisiknya Plato. Sesuai dengan kedua interpretasi filsafat matematika Aristoteles, penerapan matematika kepada dunia fisik adalah langsung. Ahli matematika mempelajari sifat-sifat nyata dari objek fisik nyata. Tidak perlu membuat postulat yang menghubungkan antara realisme matematis dan realisme fisik, karena kita tidak memperhatikan dua realisme yang terpisah. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 63 Aristoteles & Plato Tidak seperti Plato, kedua interpretasi Aristoteles bermakna bagi bahasa dinamik yang khusus berlaku dalam geometri. Karena geometri memperhatikan objek fisik atau abstraksi langsung dari objek fisik, yang membahas tentang pengkuadratan, penerapan dan penjumlahan dan sejenisnya. Perhatikan prinsip Euclid, yaitu antara melalui sebarang dua titik dapat digambar sebuah garis lurus. Bagi Plato, hal ini merupakan suatu pernyataan yang disembunyikan tentang keberadaan garis. Aristoteles dapat memperlakukan prinsip tersebut secara harfiah sebagai suatu pernyataan yang menunjukkan apa yang dapat seseorang kerjakan. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 64 Aristoteles & Plato Aristoteles berpendapat bahwa geometri dapat diterapkan pada dunia materi dalam hal objek yang merupakan aproksimasi dari objek sempurna, Plato juga merespon demikian. Seseorang mungkin memikirkan tentang objek geometri (dan aritmetika) yang sempurna sebagai bagian dari ruang fisik, tetapi hal ini menyajikan suatu ikatan dengan objek yang diamati. Lingkaran dan garis ideal tidak akan ada `dalam' objek yang kita lihat. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 65 Aristoteles menjelaskan secara empiris keterkaitan yang erat antara materi pelajaran matematika dan dunia fisik. Aristoteles berpendapat bahwa bilangan rasional itu bukan bilangan, tetapi bilangan rasional tersebut berhubungan dengan bilangan asli sebagai ratio. Barangkali analisis rasional dan analisis real dapat muncul dari pemahaman Aristoteles tentang geometri. Dengan mengikuti pendapat Euclid, seseorang dapat mengembangkan teori ratio ruas garis dan juga menguasai kembali bilangan real melalui ruas garis, dengan mengambil sebarang ruas garis sebagai satuan. Bagaimana Aristotelian memahami analisis kompleks, atau analisis fungsional, atau topologi himpunan titik, atau teori himpunan aksiomatik? Tentu saja, itu tidak adil untuk menyalahkan Aristoteles atas kekosongan ini, tetapi setiap Aristotelians modern mau tidak mau harus menghadapi masalah ini. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 66 470 427 399 384 347 322 SM SOCRATES (71th) PLATO (80th) ARISTOTELES(62thn) SOCRATES PLATO ARISTOTELES PERBANDINGAN FILSAFAT PLATO DAN ARISTOTELES Rasionalisme Plato dan Aristoteles 67 SOCRATES Socrates dilahirkan di Athena, Yunani tahun 470 SM. Setiap hari Socrates terus berpikir untuk mencari kebenaran. Socrates selalu bertanya tanpa memberikan jawaban karena ia ingin orang lain berpikir dan memahami jawaban pertanyaan tersebut. Menurut Plato dan Aristoteles, Socrates adalah orang pertama yang memperkenalkan cara berpikir induktif dan membuat definisi universal. Cara berpikir tersebut kemudian dikenal sebagai metode Socrates. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 68 SOCRATES Ia juga orang pertama di dunia yang mengemukakan bahwa di dalam diri manusia terdapat jiwa/rohani. “Socrates menyadari bahwa jiwa jauh lebih penting daripada tubuh fisik dan jiwa tidak akan mati” sebagai bapak psikologi rasional. Socrates adalah ahli filsafat Yunani yang diakui sebagai guru moral terbesar di dunia hingga saat ini. Ia adalah salah satu dari ketiga orang yang sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar peradaban Barat. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 69 SOCRATES Socrates juga menemukan bahwa Tuhan hanya satu dan memiliki kekuasaan terhadap segala sesuatu. Ia menemukan hal ini melalui pemikirannya sendiri, bukan dari Al-quran dan Injil. Dengan penemuannya ini, ia sangat ingin mendidik moral masyarakat Athena menjadi lebih baik. Namun, penemuannya ini malah dianggap sebagai ajaran sesat yang hanya akan meracuni pikiran dan jiwa anak-anak muda. Ia dianggap melanggar ajaran keyakinan masyarakat Yunani yang pada saat itu menyembah banyak dewa. Pada tahun 399 SM, saat Socrates berusia 71 tahun melaksanakan hukuman mati dengan minum racun. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 70 PLATO PLATO Plato adalah murid Socrates, yang datang dari keluarga terpandang dan terpelajar. Karena Socrates tidak meninggalkan tulisan dan Plato adalah murid yang paling memahami pemikiran Socrates, maka Plato merasa bahwa dirinya adalah juru bicara yang paling sah dari Socrates. Walaupun demikian tetap dapat dibedakan pemikiran asli Socrates dengan Plato. Kesaksian Aristoteles dalam Metaphysics menyebutkan, “Socrates tidak memandang definisi-definisi universal sebagai eksistensi terpisah. Plato-lah yang membuat pemisahan tersebut dan jenis entitas ini disebutnya sebagai ‘Idea-Idea’ (Forms). Rasionalisme Plato dan Aristoteles 71 PLATO PLATO Forms yang diungkapkan Plato dalam dialog-dialognya didominasi oleh pengertian-pengertian etis, misalnya kebaikan, keindahan, keadilan atau keberanian. Ketika hendak menjelaskan pengertian “Form” sebagai substansi obyektif yang berdiri sendiri, Plato mengambil contohnya dengan pengertian-pengertian etis. Plato mengatakan, “Keindahan (beauty) tidak dimanifestasikan sebagai sebuah muka atau sebagai tangan atau benda-benda jasmani lainnya, tidak juga sebagai wacana atau ilmu pengetahuan, tidak juga sebagai pengada yang terdapat pada makhluk hidup atau bumi atau langit atau dalam apapun lainnya; tetapi sebagai “existing itself by itself with itself” (keberadaan diri oleh dan dengan dirinya sendiri), selalu unik dalam ‘form’. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 72 PLATO Dengan melalui Forms yang obyektif, tetap, dan universal, maka Plato telah memberikan landasan ontologis dan epistemologis akan keuniversalan nilai-nilai moral yang diperjuangkan Socrates sepanjang hidupnya. Melalui ajaran itu, Plato mencoba membuktikan bahwa “Kebaikan”, “Keadilan”, “Keberanian” dan lainnya real dan obyektif. Menurut Plato, kebenaran ada pada dunia ide (the Forms). Bentuk yang paling sempurna hanya ada pada ide, konsep yang terbentuk dari hal nyata, tidak pernah sempurna. Plato dikenal sebagai seorang dualist, yang memisahkan antara dunia ide dan materi. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 73 PLATO Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia ke dalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi, "becoming"). Menurut Plato, bentuk pengetahuan yang berfungsi sebagai pedoman yang paling andal di sepanjang jalan ini adalah matematika, sedangkan bentuk pengetahuan yang terandal di dalam matematika adalah geometri. Sumbangan filsafat Plato bagi psikologi/sains adalah penekanan pada rasionalitas dan objektivitas dari pengetahuan/ilmu yang dapat dikatakan sebagai peletakan dasar pengetahuan alam (sains) yang sampai sekarang masih dianut. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 74 ARISTOTELES Lahir pada tahun 384 SM di Stageira, Yunani Utara. Meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM. Belajar selama 20 tahun dalam Akademia Plato. Ayahnya adalah seorang dokter, dan atas bimbingan ayahnya Aristoteles sejak kecil telah banyak menaruh perhatian kepada ilmu-ilmu alam. Pengalaman ini berpengaruh terhadap pandangan ilmiah dan filosofisnya di kemudian hari. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah apa yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah apa yang kita lihat dengan indera-mata kita. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 75 ARISTOTELES Aristoteles tidak menyangkal bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 76 ARISTOTELES Aristoteles adalah seorang ahli biologis, seorang yang sangat empiris, percaya pada hal-hal natural dan riil. Tidak seperti Plato yang senang bergerak di bidangbidang ideal, Aristoteles adalah seorang yang down to earth. Bagi Aristoteles, psikologi adalah ilmu tentang jiwa (soul). Jiwa menjadi bagian vital dari individu, menggerakkan, mengarahkan perkembangan organisma, dan mengaktualisasikan organisma menjadi eksistensinya yang sekarang. Dalam hal ini Aristoteles berbeda pandangan dengan gurunya yang memisahkan idea (yang dalam konsepsi Aristoteles dapat disamakan dengan soul) dan materi. Bagi Aristoteles, soul dan materi tidak dapat dipisahkan. Materi tidak berarti tanpa soul. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 77 ARISTOTELES Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir. Metode empiris-induktif, pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 78 ARISTOTELES Pemikiran Aristoteles merupakan harta karun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini. Hal tersebut karena kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Berhasil menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut di atas. Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai "alat" untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam teori yang dibawa kepada praktek. Aristoteles mengawali serta mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 79 PERBANDINGAN FILSAFAT PLATO DAN ARISTOTELES Perlu diketahui bahwa Plato dapat dikatakan sebagai filsuf pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah epistemologi ini. Filsuf Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles. Plato dan Aristoteles adalah guru dan murid yang merupakan dua tokoh besar dalam sejarah, yang telah berhasil membentuk dan meletakkan dasar yang paling kokoh bagi pembangunan kebudayaan dan peradaban Barat modern. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 80 PERBANDINGAN FILSAFAT PLATO DAN ARISTOTELES Perbedaan yang paling mendasar antara filsafat Plato dan Aristoteles sebenarnya terletak pada pandangan mereka tentang ada dan kebenaran ada. Apabila Plato mengatakan bahwa ada yang sebenarnya berada di dunia ide, maka Aristoteles tidak mengenal ada yang berada di dunia ide itu. Bagi Aristoteles tidak ada dunia lain selain dunia indrawi ini. Oleh sebab itu ada yang sebenarnya harus ditemukan pada kebenaran ada itu sendiri. Sehingga filsafat Plato disebut filsafat idealisme dan filsafat Aristoteles disebut filsafat realisme. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 81 Tabel Perbandingan Epistemologi Plato dan Aristoteles. TOPIK PEMIKIRAN PLATO ARISTOTELES Pandangan tentang dunia Kenyataan yang sejati Ada 2 dunia, yaitu dunia ide dan dunia materi Ide-ide yang berasal dari dunia ide Hanya 1 dunia, yaitu dunia nyata yang sedang dijalani Segala sesuatu di alam yang dapat ditangkap indra Pandangan tentang manusia Terdiri dari badan & jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi). Dunia ide. Namun tertanam dalam jiwa yang ada dalam diri manusia. Jiwa terpenjara badan. Badan dan jiwa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Kehidupan sehari-hari dan alam dunia nyata. Mengeluarkan dari dalam diri (Anamnesis) dengan metoda bidan. Idealis Apriori, yaitu dari universal ke partikular Apa yang kita dipikirkan dengan akal kita. Observasi dan abstraksi, diolah dengan logika. Asal pengetahuan Cara mendapatkan pengetahuan Aliran filsafat Metode mencari kebenaran Realitas tertinggi Rasionalisme Plato dan Aristoteles Realis dan analitis Aposteriori, yaitu dari partikular ke universal Apa yang kita lihat dengan indera kita. 82 PERBANDINGAN FILSAFAT PLATO DAN ARISTOTELES Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf modern. Idealisme Plato mempengaruhi filsuf-filsuf Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsuf-filsuf Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley. Rasionalisme Plato dan Aristoteles 83 Platonism Platonism is the form of realism that suggests that mathematical entities are abstract, have no spatiotemporal or causal properties, and are eternal and unchanging. This is often claimed to be the view most people have of numbers. The term Platonism is used because such a view is seen to parallel Plato's belief in a "World of Ideas" (typified by Plato's cave): the everyday world can only imperfectly approximate of an unchanging, ultimate reality. Both Plato's cave and Platonism have meaningful, not just a superficial connections, because Plato's ideas were preceded and probably influenced by the hugely popular Pythagoreans of ancient Greece, who believed that the world was, quite literally, generated by numbers. The major problem of mathematical platonism is this: precisely where and how do the mathematical entities exist, and how do we know about them? Is there a world, completely separate from our physical one, which is occupied by the mathematical entities? How can we gain access to this separate world and discover truths about the entities? In philosophy, empiricism is a theory of knowledge which asserts that knowledge arises from experience. Empiricism is one of several competing views about how we know "things," part of the branch of philosophy called epistemology, or "the Theory of Knowledge". Empiricism emphasizes the role of experience and evidence, especially sensory perception, in the formation of ideas, while discounting the notion of innate ideas (except in so far as these might be inferred from empirical reasoning, as in the case of genetic predisposition). In the philosophy of science, empiricism emphasizes those aspects of scientific knowledge that are closely related to evidence, especially as discovered in experiments. It is a fundamental part of the scientific method that all hypotheses and theories must be tested against observations of the natural world, rather than resting solely on a priori reasoning, intuition, or revelation. Hence, science is considered to be methodologically empirical in nature. Some important philosophers commonly associated with empiricism include Aristotle, Alhazen, Avicenna, Ibn Tufail, Robert Grosseteste, Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley, David Hume, John Stuart Mill, Gilles Deleuze and Felix Guattari. Empiricism is a form of realism that denies that mathematics can be known a priori at all. It says that we discover mathematical facts by empirical research, just like facts in any of the other sciences. It is not one of the classical three positions advocated in the early 20th century, but primarily arose in the middle of the century. However, an important early proponent of a view like this was John Stuart Mill. Mill's view was widely criticized, because it makes statements like "2 + 2 = 4" come out as uncertain, contingent truths, which we can only learn by observing instances of two pairs coming together and forming a quartet. Contemporary mathematical empiricism, formulated by Quine and Putnam, is primarily supported by the indispensability argument: mathematics is indispensable to all empirical sciences, and if we want to believe in the reality of the phenomena described by the sciences, we ought also believe in the reality of those entities required for this description. That is, since physics needs to talk about electrons to say why light bulbs behave as they do, then electrons must exist. Since physics needs to talk about numbers in offering any of its explanations, then numbers must exist. In keeping with Quine and Putnam's overall philosophies, this is a naturalistic argument. It argues for the existence of mathematical entities as the best explanation for experience, thus stripping mathematics of some of its distinctness from the other sciences. Logicism Logicism is the thesis that mathematics is reducible to logic, and hence nothing but a part of logic (Carnap 1931/1883, 41). Logicists hold that mathematics can be known a priori, but suggest that our knowledge of mathematics is just part of our knowledge of logic in general, and is thus analytic, not requiring any special faculty of mathematical intuition. In this view, logic is the proper foundation of mathematics, and all mathematical statements are necessary logical truths. Rudolf Carnap (1931) presents the logicist thesis in two parts: 1.The concepts of mathematics can be derived from logical concepts through explicit definitions. 2.The theorems of mathematics can be derived from logical axioms through purely logical deduction Gottlob Frege was the founder of logicism. In his seminal Die Grundgesetze der Arithmetik (Basic Laws of Arithmetic) he built up arithmetic from a system of logic with a general principle of comprehension, which he called "Basic Law V" (for concepts F and G, the extension of F equals the extension of G if and only if for all objects a, Fa if and only if Ga), a principle that he took to be acceptable as part of logic. Frege's construction was flawed. Russell discovered that Basic Law V is inconsistent. (This is Russell's paradox.) Frege abandoned his logicist program soon after this, but it was continued by Russell and Whitehead. They attributed the paradox to "vicious circularity" and built up what they called ramified type theory to deal with it. In this system, they were eventually able to build up much of modern mathematics but in an altered, and excessively complex, form (for example, there were different natural numbers in each type, and there were infinitely many types). They also had to make several compromises in order to develop so much of mathematics, such as an "axiom of reducibility". Even Russell said that this axiom did not really belong to logic. The most important criticism of empirical views of mathematics is approximately the same as that raised against Mill. If mathematics is just as empirical as the other sciences, then this suggests that its results are just as fallible as theirs, and just as contingent. In Mill's case the empirical justification comes directly, while in Quine's case it comes indirectly, through the coherence of our scientific theory as a whole, i.e. consilience after E O Wilson. Quine suggests that mathematics seems completely certain because the role it plays in our web of belief is incredibly central, and that it would be extremely difficult for us to revise it, though not impossible. Formalism Formalism holds that mathematical statements may be thought of as statements about the consequences of certain string manipulation rules. For example, in the "game" of Euclidean geometry (which is seen as consisting of some strings called "axioms", and some "rules of inference" to generate new strings from given ones), one can prove that the Pythagorean theorem holds (that is, you can generate the string corresponding to the Pythagorean theorem). Mathematical truths are not about numbers and sets and triangles and the like — in fact, they aren't "about" anything at all! A major early proponent of formalism was David Hilbert, whose program was intended to be a complete and consistent axiomatization of all of mathematics. ("Consistent" here means that no contradictions can be derived from the system.) Hilbert aimed to show the consistency of mathematical systems from the assumption that the "finitary arithmetic" (a subsystem of the usual arithmetic of the positive integers, chosen to be philosophically uncontroversial) was consistent. Hilbert's goals of creating a system of mathematics that is both complete and consistent was dealt a fatal blow by the second of Gödel's incompleteness theorems, which states that sufficiently expressive consistent axiom systems can never prove their own consistency. Since any such axiom system would contain the finitary arithmetic as a subsystem, Gödel's theorem implied that it would be impossible to prove the system's consistency relative to that (since it would then prove its own consistency, which Gödel had shown was impossible). Thus, in order to show that any axiomatic system of mathematics is in fact consistent, one needs to first assume the consistency of a system of mathematics that is in a sense stronger than the system to be proven consistent. Intuitionism In mathematics, intuitionism is a program of methodological reform whose motto is that "there are no non-experienced mathematical truths" (L.E.J. Brouwer). From this springboard, intuitionists seek to reconstruct what they consider to be the corrigible portion of mathematics in accordance with Kantian concepts of being, becoming, intuition, and knowledge. Brouwer, the founder of the movement, held that mathematical objects arise from the a priori forms of the volitions that inform the perception of empirical objects. (CDP, 542) Fictionalism Fictionalism in mathematics was brought to fame in 1980 when Hartry Field published Science Without Numbers, which rejected and in fact reversed Quine's indispensability argument. Where Quine suggested that mathematics was indispensable for our best scientific theories, and therefore should be accepted as a body of truths talking about independently existing entities, Field suggested that mathematics was dispensable, and therefore should be considered as a body of falsehoods not talking about anything real. He did this by giving a complete axiomatization of Newtonian mechanics that didn't reference numbers or functions at all. He started with the "betweenness" of Hilbert's axioms to characterize space without coordinatizing it, and then added extra relations between points to do the work formerly done by vector fields. Hilbert's geometry is mathematical, because it talks about abstract points, but in Field's theory, these points are the concrete points of physical space, so no special mathematical objects at all are needed. Having shown how to do science without using mathematics, he proceeded to rehabilitate mathematics as a kind of useful fiction. He showed that mathematical physics is a conservative extension of his nonmathematical physics (that is, every physical fact provable in mathematical physics is already provable from his system), so that the mathematics is a reliable process whose physical applications are all true, even though its own statements are false. Thus, when doing mathematics, we can see ourselves as telling a sort of story, talking as if numbers existed. For Field, a statement like "2 + 2 = 4" is just as false as "Sherlock Holmes lived at 221B Baker Street" — but both are true according to the relevant fictions. Two sets are said to have the same cardinality or cardinal number if there exists a bijection (a one-to-one correspondence) between them. Intuitively, for two sets S and T to have the same cardinalty means that it is possible to "pair off" elements of S with elements of T in such a fashion that every element of S is paired off with exactly one element of T and vice versa. Hence, the set {banana, apple, pear} has the same cardinality as {yellow, red, green}. With infinite sets such as the set of integers or rational numbers, this becomes more complicated to demonstrate. The rational numbers seemingly form a counterexample to the continuum hypothesis: the rationals form a proper superset of the integers, and a proper subset of the reals, so intuitively, there are more rational numbers than integers, and fewer rational numbers than real numbers. However, this intuitive analysis does not take account of the fact that all three sets are infinite. It turns out the rational numbers can actually be placed in one-to-one correspondence with the integers, and therefore the set of rational numbers is the same size (cardinality) as the set of integers: they are both countable sets. Continuum hypothesis In mathematics, the continuum hypothesis (abbreviated CH) is a hypothesis, advanced by Georg Cantor in 1877, about the possible sizes of infinite sets. It states: There is no set whose cardinality is strictly between that of the integers and that of the real numbers. Establishing the truth or falsehood of the continuum hypothesis is the first of Hilbert's twenty-three problems presented in the year 1900. The contributions of Kurt Gödel in 1940 and Paul Cohen in 1963 show that the hypothesis can neither be disproved nor be proved using the axioms of Zermelo–Fraenkel set theory, the standard foundation of modern mathematics, provided set theory is consistent. The name of the hypothesis comes from the term the continuum for the real numbers. Cantor gave two proofs that the cardinality of the set of integers is strictly smaller than that of the set of real numbers; the second of these is his diagonal argument. His proofs, however, give no indication of the extent to which the cardinality of the natural numbers is less than that of the real numbers. Cantor proposed the continuum hypothesis as a possible solution to this question. The hypothesis states that the set of real numbers has minimal possible cardinality which is greater than the cardinality of the set of integers. Equivalently, as the cardinality of the integers is _______("aleph-null") and the cardinality of the real numbers is ________, the continuum hypothesis says that there is no set S for which…… Impossibility of proof and disproof in ZFC Cantor believed the continuum hypothesis to be true and tried for many years to prove it, in vain. It became the first on David Hilbert's list of important open questions that was presented at the International Congress of Mathematicians in the year 1900 in Paris. Axiomatic set theory was at that point not yet formulated. Kurt Gödel showed in 1940 that the continuum hypothesis (CH for short) cannot be disproved from the standard Zermelo-Fraenkel set theory (ZF), even if the axiom of choice is adopted (ZFC). Paul Cohen showed in 1963 that CH cannot be proven from those same axioms either. Hence, CH is independent of ZFC. Both of these results assume that the Zermelo-Fraenkel axioms themselves do not contain a contradiction; this assumption is widely believed to be true.