English: Time for Green to be fair: towards a Stewardship Economy and beyond the conventional Climate Finance framework [BALI, 2 Juni 2022]—Stewardship is defined as “the careful and responsible management of something entrusted to one's care”. Forest Stewardship can therefore be defined as “the wise care and use of forest resources to ensure their health and productivity for generations to come”. Throughout the Maluku archipelago, this concept of stewardship has been embedded into indigenous communities’ relationship with nature. Local communities have integrated their livelihood strategies into their natural environment. Nutmeg and Clove, the flagship commodities of the region, have traditionally been grown through the “Dusung” approach, a traditional agroforestry model combining nutmeg and clove with various shade and valuable trees such as Kenari, Durian, Aren, Breadfruit, coffee, etc. Cultivation is 100% natural, with no use of pesticides or fertilizer, and relies on larger trees to enrich the soil with their falling leaves. As a result, the region produces one of the best quality cloves and nutmeg in the world, though with yields significantly lower than intensive monoculture models. Instead of premiums or “green incentives” to reward their stewardship of local ecosystems, indigenous communities are marginalized in dysfunctional value chains. Limited access to finance does not enable local farmers to effectively aggregate production and mutualize high logistic costs. Low prices do not incentivize farmers to invest in post-harvest equipment, sorting, etc. The cost of certification remains prohibitive, and indigenous communities are trapped into the low value end of the supply chain. It is time to channel funding where it truly matters; only by building economically resilient indigenous communities will intact forest landscapes, and the biodiversity and the cultural wealth they host be safeguarded. It is time to reward environmental stewardship and ensure that indigenous communities can thrive by keeping their culture and traditions alive and strong. It is time to invest in communities rather than commodities, and to give local farmers fair value for their work. Explore, Develop, Connect, and Scale-up We’re taking a four-step approach to value chain development. We start exploring with communities, mapping commodity potential and community assets, understanding collective organization mechanisms, local knowledge and practices to outline opportunities and constraints for sustainable value chain development. This requires extensive consultation and collective visioning and planning. We then develop the foundations for collective organizing, supporting farmers groups, cooperatives, micro-enterprises, to bring farmers together, aggregate production, invest in improvements of postharvest processes and equipment, standardization of quality and sustainability standards. In other words, we make sure that the commodities and products we source are of superior gustative quality and align with high sustainability standards. This allows us to connect high quality products with demanding buyers, through cooperation with institutional buyers, and direct retail through the Rimbawan Market. Sinar Hijau and Rimbawan Market are attempting to offer indigenous communities access to the green commodity market, and to accompany them towards greater value creation. Bahasa Indonesia: Saatnya bersikap adil untuk alam: menuju Penatalayanan Ekonomi dan kerangka kerja Climate Finance konvensional [BALI, 2 Juni 2022]— Penatalayanan didefinisikan sebagai “pengelolaan yang cermat dan bertanggung jawab atas sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang”. Oleh karena itu, Forest Stewardship dapat didefinisikan sebagai “perawatan dan penggunaan sumber daya hutan secara bijaksana untuk memastikan kesehatan dan produktivitasnya untuk generasi yang akan datang”. Di seluruh kepulauan Maluku, konsep pengelolaan ini telah tertanam dalam hubungan masyarakat adat dengan alam. Masyarakat lokal telah mengintegrasikan strategi penghidupan mereka ke dalam lingkungan alam mereka. Pala dan Cengkih, komoditas unggulan daerah, secara tradisional ditanam melalui pendekatan “Dusung”, model agroforestri tradisional yang menggabungkan pala dan cengkeh dengan berbagai peneduh dan pohon yang berharga seperti Kenari, Durian, Aren, Sukun, kopi, dll. Budidayanya 100% alami, tanpa menggunakan pestisida atau pupuk, tetapi dengan bergantung pada pohon yang lebih besar untuk menyuburkan tanah dengan daun yang jatuh. Akibatnya, wilayah ini menghasilkan salah satu cengkeh dan pala kualitas terbaik di dunia, meskipun dengan hasil yang jauh lebih rendah daripada model monokultur intensif. Alih-alih premi atau “insentif hijau” untuk menghargai pengelolaan ekosistem lokal mereka, masyarakat adat tergeser dalam rantai nilai yang tidak berfungsi. Akses terbatas ke keuangan tidak memungkinkan petani lokal untuk secara efektif mengumpulkan produksi dan saling menanggung biaya logistik yang tinggi. Harga rendah tidak mendorong petani untuk berinvestasi dalam peralatan pasca panen, penyortiran, dll. Biaya sertifikasi tetap menjadi penghalang, dan masyarakat adat terjebak ke dalam rantai pasokan yang bernilai rendah. Saatnya menyalurkan dana di tempat yang benar-benar penting; hanya dengan membangun masyarakat adat yang tangguh secara ekonomi, lanskap hutan yang utuh, dan keanekaragaman hayati serta kekayaan budaya yang ada di dalamnya akan terjaga. Inilah saatnya untuk menghargai pengelolaan lingkungan dan memastikan bahwa masyarakat adat dapat berkembang dengan menjaga budaya dan tradisi mereka tetap hidup dan kuat. Sudah waktunya untuk berinvestasi di masyarakat, bukan komoditas, dan memberi petani lokal nilai yang adil untuk pekerjaan mereka. Jelajahi, Kembangkan, Terhubung, dan Tingkatkan Kami mengambil pendekatan empat langkah untuk pengembangan rantai nilai. Kami mulai mengeksplorasi bersama masyarakat, memetakan potensi komoditas dan aset masyarakat, memahami mekanisme organisasi kolektif, pengetahuan dan praktik lokal untuk menguraikan peluang dan hambatan bagi pengembangan rantai nilai yang berkelanjutan. Hal ini membutuhkan konsultasi ekstensif dan visi serta perencanaan kolektif. Kami kemudian mengembangkan pondasi untuk pengorganisasian kolektif, mendukung kelompok tani, koperasi, usaha mikro, untuk menyatukan petani, agregasi produksi, menginnvestasi dalam perbaikan proses dan peralatan pasca panen, standarisasi kualitas dan standar keberlanjutan. Kami memastikan bahwa komoditas dan produk yang kami sumber memiliki kualitas gustative yang unggul dan selaras dengan standar keberlanjutan yang tinggi. Hal ini memungkinkan kami untuk menghubungkan produk berkualitas tinggi dengan pembeli, melalui kerjasama dengan pembeli institusional, dan retail melalui Rimbawan Market. Rimbawan Market berusaha menawarkan akses masyarakat adat ke pasar komoditas hijau, dan mengantar mereka menuju nilai komoditas yang lebih tinggi.