SATRIA abdi 03211042

advertisement
1
STUDY OF REGULATED AND RESPONSIBILITY FOR PRIVATE
SECTOR IN CORRUPTION CRIME
ABSTRACT
In the society, it was formed a mindset that civil servants is the only
actor who did corruption criminal act. This born an opinion that
corruption criminal subject in Corruption Eradication Act is just applied
for civil servants. The cause that forms this perception is due to the usage
of civil servants term in some articles in Corruption Eradication Act and
most undergoing corruption cases is being led to civil servants or state
power as single party involved. But by concerning one example case of
loans allocated by Bank Indonesia in the form of Bank Indonesia Bank
Liquidity fund (BLBI) which brought state bankruptcy, it's well identified
that most actor who committed the crime is someone that come from
private sector. Here, private sector in corruption criminal act is defined as
the exclusion set of civil servants definition.
This research aims to expose: (1) Regulated of corruption articles
for private sector by the Corruption Eradication Act (2) Criminal
responsibility for private sector with Corruption Eradication Act.
Research follows normative law method using secondary data.
After compiling all required literatures and reference documents as well,
interpretation is made from authentic, grammatical, systematic, and
historical aspect, yields two subjects or more and those are used as object
to be analyzed, in order to get answers for problem addressed within this
research.
Research comes out with the result of identifying 14 (fourteen)
articles ruling the corruption criminal act that is done by private sector.
The articles are categorized into three groups: criminal act of detrimental
effect to the finances of the state or the economy of the state, graft criminal
act, and dishonesty criminal act and the penalization for crime acted by
private sector is death sentence, putting in into jail, paying a fine, and
supplementary indictment.
KATA KUNCI
Pengaturan
Pertanggungjawaban Pidana
Tindak Pidana Korupsi
Pihak Swasta
Sanksi Pidana
UU No. 31 Tahun 1999
UU No. 20 Tahun 2001
2
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Permasalahan korupsi di Indonesia memang sudah sedemikian
parah. Berbagai kalangan
angkat bicara, mendiskusikan dan
membahas permasalahan korupsi. Dari orang awam, mahasiswa,
praktisi hukum, pakar hukum dan sastrawan pun ikut bicara. Intinya
bahwa
korupsi
menyatakan
harus
bahwa
segera
sudah
diberantas.
waktunya
Satjipto
bangsa
Rahardjo,
Indonesia
mencanangkan bahaya korupsi sebagai keadaan darurat. Karena
keadaannya darurat maka juga mesti ditangani dengan cara berpikir
darurat cara bertindak darurat dan dengan petinggi hukum yang
mampu melakukan terobosan yang bersifat darurat.1
Di Indonesia lembaga-lembaga pengawasan sangat banyak,
seperti: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas
Keuangan
dan
Pembangunan
(BPKP),
Inspektorat
Jenderal
Departemen, Badan Pengawasan Daerah (Bawasda), Pengawasan
Fungsional, Pengawasan Melekat dan Pengawasan Masyarakat,
sehingga seharusnya pengawasan dalam pelaksanaan pekerjaan
pegawai negeri di Indonesia maupun pihak swasta apalagi yang ada
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Penyebab dan Solusinya, Ghalia
Indonesia, Jakarta: 2001, hal.16.
1
3
hubungannya dengan penerimaan, penggunaan dan pengelolaan
keuangan negara seharusnya sudah sedemikian sangat ketat diawasi
oleh lembaga-lembaga pengawasan itu, namun kenyataannya tindak
pidana korupsi semakin meluas.
Kenyataan yang terungkap bahwa di Indonesia, seolah-olah
pelaku utama dari tindak pidana korupsi tersebut adalah pegawai
negeri. Pegawai negeri dengan jabatan tertentu dalam melakukan
tugas jabatannya dapat melakukan tindak pidana korupsi sehingga
yang menjadi sasaran utama dari Undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi itu adalah pegawai negeri saja. Hal ini
dipertegas lagi oleh Andi Hamzah sendiri menyatakan sebab
terjadinya korupsi antara lain adalah kurangnya gaji atau pendapatan
pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari
makin meningkat.2
Penyebab pendapat seperti itu oleh karena banyaknya kasus
tindak pidana korupsi hanya diarahkan kepada pegawai negeri atau
aparat pemerintah. Bahkan pegawai negeri yang dimaksud terutama
adalah pegawai negeri sipil. Sehingga seakan-akan pelaku utama dari
praktek-praktek korupsi atau tindak pidana korupsi hanyalah
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah Pemecahannya, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta:1991, hal.16.
2
4
pegawai negeri sipil saja ataupun orang-orang yang disamakan
dengan pegawai negeri sipil itu.
Praktik-praktik korupsi itu terkadang terjadi karena adanya
kerjasama dengan pegawai negeri, namun seringkali seakan-akan
pihak swasta tidak dapat disentuh atau dijangkau oleh hukum,
padahal kemungkinan besar kasus-kasus korupsi di Indonesia apabila
ditinjau dari sudut jumlah pelaku dan jumlah kerugian keuangan
negara lebih banyak dilakukan oleh pihak swasta dari pada yang
dilakukan oleh pegawai negeri, tetapi hal ini perlu penelitian lebih
lanjut.
Secara teoritis yuridis Undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi saat sekarang ini telah memberikan sarana yang
cukup lengkap untuk dapat menjerat pelaku praktik-praktik korupsi.
Mulai dari si penerima sampai dengan si pemberi, dari pegawai
negeri sampai dengan bukan pegawai negeri atau pihak swasta dan
korporasi. Sehingga seharusnya setiap orang atau siapapun yang
secara langsung atau tidak langsung perbuatannya telah memenuhi
rumusan menurut Undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
dapat
dikenakan
hukuman
atau
diminta
pertanggungjawaban pidananya.
Berdasarkan uraian di atas, maka salah kaprah apabila
penyebab tindak pidana korupsi yang terjadi di
Indonesia oleh
5
karena peraturan perundang-undangannya tidak mengatur dengan
cukup lengkap. Menurut penulis peraturan perundang-undangannya
sudah cukup lengkap bahkan ancaman pidana Undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi saat sekarang ini jauh lebih
berat, dan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhkan pidana mati.
Oleh karena itu penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih
dalam bagaimanakah pengaturan pasal korupsi untuk pihak swasta
dan bagaimanakah pertanggungjawaban pidana untuk pihak swasta
menurut Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Topik ini akan penulis bahas secara mendetail dalam tesis yang
berjudul: “Studi Tentang Pengaturan Dan Pertangungjawaban Pidana
Pihak Swasta Dalam Tindak Pidana Korupsi.”
6
METODE PENELITIAN
1.1 Pendekatan Penelitian
Penulisan tesis ini menggunakan penelitian hukum normatif
dengan melakukan studi bahan kepustakaan guna mengumpulkan
data sekunder. Menurut Soerjono Soekanto, pada penelitian hukum
normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang
mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Pada
penelitian hukum normatif yang sepenuhnya memepergunakan data
sekunder, maka penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif
dapat ditinggalkan akan tetapi penyusunan kerangka konsepsionil
mutlak diperlukan.3 Lebih lanjut Soerjono Soekanto menjelaskan
bahwa penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut
mencakup: Pertama, penelitian terhadap asa-asas hukum. Kedua,
penelitian terhadap sistematik hukum. Ketiga, penelitian terhadap
taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal. Keempat, penelitian
perbandingan hukum. Kelima, penelitian sejarah hukum.4
Penelitian hukum normatif dalam penulisan tesis ini dilakukan
dengan
pendekatan
peraturan
perundang-undangan,
asas-asas
hukum, dan sejarah hukum. Setelah semua bahan hukum terkumpul
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta:
1986, hal 51-53.
4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2004, hal.14.
3
7
maka bahan hukum tersebut dilakukan interprestasi atau penafsiran
hukum sebagai pusat perhatian baik secara autentik, gramatikal,
sistematis dan sejarah, sehingga di dapat dua subjek atau lebih
sebagai objek pembahasan untuk mendapatkan pengetahuan baru.
Sebab dengan melakukan penelusuran terhadap asas-asas yang
terdapat dalam hukum positif dan juga pengertian-pengertian dasar
dari sistem hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan serta sinkronisasi perundang-undangan secara vertikal dan
horisontal sehingga diharapkan akan dapat diketahui kelebihan dan
kelemahan dari pengaturan Undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi untuk pihak swasta, dengan demikian diharapkan
hasil penelitian ini berguna bagi para penegak hukum.
1.2 Metode Dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan Hukum yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri
dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang dikumpulkan
dengan menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi
merupakan suatu cara mengumpulkan bahan hukum yang bersumber
dari tulisan yang biasanya digunakan dalam penelitian kepustakaan.
Ketiga bahan hukum tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
8
1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
4) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian.
5) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
7) Peraturan Perundang-undangan lainnya berupa :
(1) Tap MPR No.X Tahun 1998 Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan
Dalam
Rangka
Penyelamatan
dan
Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara.
(2) Tap MPR No. XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan
Nepotisme.
(3) Tap MPR No.VII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi.
9
(4) Inpres No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
b. Bahan hukum Sekunder
1) Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum yang tetap.
2) Buku-buku
yang
berkaitan
dengan
permasalahan
yang
dibahas.
3) Berbagai artikel dan jurnal.
4) Laporan-laporan penelitian.
5) Dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan
yang dibahas.
c. Bahan hukum tertier
1) Kamus
Umum
Bahasa
Indonesia
yang
disusun
oleh
Departemen Pendidikan Nasional.
2) Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh J.W.S.
Poerwadarminta.
3) Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer yang disusun
oleh Peter Salim dan Yenny Salim.
10
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1 Rumusan
Tindak
Pidana
Korupsi
Menurut
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001 ada 2 (dua) sumber yaitu pertama, bersumber dari
perumusan pembuat Undang-undang itu sendiri dan kedua, yang
ditarik dari Pasal-pasal KUHP yaitu sebanyak 13 (tiga belas) Pasal,
sehingga dengan demikian sebagian besar perumusan tindak pidana
korupsi
yang
diatur
dalam
Undang-undang
tersebut
adalah
bersumber dari KUHP. Pasal tindak pidana korupsi yang bersumber
dari KUHP tersebut yaitu : Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388,
Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal
423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP. Pasal-pasal KUHP ini sama
dengan Pasal-pasal yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) sub c Undangundang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan
Nepotisme
menyebutkan
korupsi
adalah
tindak
pidana
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
11
undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Hal ini
sejalan dengan maksud Pasal 14 Undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi yang menyebutkan bahwa setiap orang yang
melanggar Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai
tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah tindak pidana
formil, dengan demikian apabila perbuatan pelaku tindak pidana
korupsi tersebut sudah memenuhi rumusan unsur-unsur pasal tindak
pidana korupsi maka sudah dapat disangka sebagai pelaku tindak
pidana korupsi. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 menyatakan bahwa tindak pidana korupsi merupakan
delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan
dengan timbulnya akibat.Demikian juga walaupun hasil uang korupsi
telah dikembalikan kepada negara maka terhadap pelaku tindak
pidana korupsi tersebut tetap dapat diajukan ke pengadilan dan tetap
dipidana. Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan
bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara tidak menghapuskan pidananya pelaku tindak pidana.
12
Bertitik tolak dari pengertian tersebut, suatu perbuatan dapat
diklasifikasikan dan dirumuskan sebagai tindak pidana korupsi
apabila perbuatan-perbuatan yang dilakukan memenuhi semua
unsur-unsur
dari
pasal
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur tentang tindak pidana korupsi yaitu Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal-pasal yang
terdapat dalam Undang-undang tersebut maka secara terperinci ada
31 (tiga puluh satu) Pasal yang merupakan bentuk perbuatan tindak
pidana korupsi yang dapat dikenakan pidana penjara sampai kepada
hukuman mati.
Dari tiga puluh satu Pasal yang merupakan bentuk tindak
pidana korupsi tersebut dapat dikelompokkan menjadi 7 (tujuh)
kelompok, yaitu:
1) Kelompok tindak pidana merugikan keuangan negara dan
perekonomian negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2
dan Pasal 3.
2) Kelompok tindak pidana penyuapan, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, d dan Pasal
13.
3) Kelompok tindak pidana perbuatan curang, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 7, Pasal 12 huruf h dan i
13
4) Kelompok
tindak
pidana
penggelapan
dalam
jabatan,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 10.
5) Kelompok tindak pidana pemalsuan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 9.
6) Kelompok tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 huruf e, f dan g
7) Kelompok tindak pidana gratifikasi, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 12B
Sedangkan tindak pidana lainnya namun masih berkaitan
dengan tindak pidana korupsi tersebut di atas, terbagi dalam 5 (lima)
kelompok, yaitu :
1) Melakukan percobaan, perbantuan atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam
Pasal 15
2) Memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan
terjadinya tindak pidana korupsi diluar wilayah negara Republik
Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16.
3) Menghalangi pemeriksaan perkara korupsi, sebagaimana diatur
dalam Pasal 21.
4) Memberikan keterangan yang tidak benar, sebagaimana diatur
dalam Pasal 22 jo Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 dan Pasal 36.
14
5) Saksi yang membuka identitas pelapor, sebagaimana diatur dalam
Pasal 24 jo Pasal 31.
Ketetentuan ini menurut penulis merupakan perluasan dari
pertanggungjawaban pidana. Dimana bagi mereka yang melakukan
percobaan, perbantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana korupsi, memberikan bantuan, kesempatan, sarana
atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi diluar wilayah
negara Republik Indonesia, menghalangi pemeriksaan perkara
korupsi, memberikan keterangan yang tidak benar dan saksi yang
membuka identitas pelapor dapat dipidana menurut Undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi.
1.2 Pengaturan Pasal Korupsi Untuk Pihak Swasta Menurut UndangUndang Tindak Pidana Korupsi
Pihak swasta menurut Undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi adalah setiap orang diluar pengertian pegawai negeri
yang sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 20
tahun 2001, Advokat, Pemborong, Ahli Bangunan, Penjual Bangunan
dan Korporasi yang tidak menerima bantuan dari keuangan negara
atau daerah atau mempergunakan modal atau fasilitas dari negara
atau masyarakat.
15
Dari tiga puluh satu Pasal rumusan tindak pidana korupsi
menurut Undang-undang pemberantasan korupsi tersebut, dari hasil
penelitian penulis terdapat 14 (empat belas) Pasal yang mengatur
tindak pidana korupsi untuk pihak swasta. Hal ini berdasarkan dari
subjek pelakunya khusus untuk pihak swasta dan tujuan dari
perbuatan.
Dari empat belas Pasal pengaturan tindak pidana korupsi yang
untuk pihak swasta tersebut, terbagi lagi dalam 3 (tiga) kelompok
yaitu tindak pidana merugikan keuangan negara dan perekonomian
negara, tindak pidana penyuapan dan tindak pidana perbuatan
curang.
Tabel 1.
Kelompok Tindak Pidana Untuk Pihak Swasta
No
Kelompok Tindak
Pidana
Pasal Tindak Pidana Korupsi
Jumlah
1.
Merugikan
Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2)
keuangan negara dan Pasal 3
dan
perekonomian
negara
3 Pasal
2.
Penyuapan
Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5
ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1)
huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf
b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12
huruf d dan Pasal 13
7 Pasal
3.
Perbuatan curang
Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7
ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1)
4 Pasal
16
huruf c dan Pasal 7 ayat (1)
huruf d
Sumber diolah sendiri
Pada umumnya yang diutamakan harus mencari dalam
ketentuan-ketentuan undang-undang (penafsiran secara autentik).
Maksudnya
apakah
ada
suatu
pasal
undang-undang
yang
menentukan pengertian atau maksud dari istilah yang sedang
dipermasalahkan. Jika tidak ada, lalu dicari dalam penjelasan
undang-undang dan apabila tidak ditemukan juga maka dicari dalam
jurisprudensi dan pendapat para ahli hukum.
1.3 Pertanggungjawaban Pidana Pihak Swasta Dalam Tindak Pidana
Korupsi
Roeslan
Saleh,5
menjelaskan
bahwa
dalam
pengertian
perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan
pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah
orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana
tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan
perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia
akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan,
walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela,
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian
Dasar Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Aksara Baru, Jakarta: 1983, hal.75.
5
17
dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis: “Tidak dipidana
jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar daripada dipidananya
sipembuat.
Selanjutnya Roeslan Saleh,6 menyatakan bahwa tidaklah ada
gunanya
untuk
mempertanggungjawabkan
terdakwa
atas
perbuatannya apabila perbuatan itu sendiri tidaklah bersifat melawan
hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dikatakan bahwa
terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan
pidana dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus
dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan,
sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya
terdakwa maka terdakwa haruslah:
1) Melakukan perbuatan pidana
2) Mampu bertanggungjawab
3) Dengan kesengajaan atau kealpaan
4) Tidak adanya alasan pemaaf
Menurut Satochid Kartanegara,7 schuld mempunyai pengertian
yang
bertalian
dengan
pertanggungjawaban.
Dapat
dipertanggungjawabkan (toerekeingsvatbaarheid) adalah mengenai
keadaan
jiwa
seseorang,
sedangkan
pertanggungjawaban
Ibid. hal.78-79.
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana I, Kumpulan Kuliah, Jakarta, Balai Lektur
Mahasiswa, hal.244.
6
7
18
(toerekendbaarheid) adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan
dengan si pelaku atau pembuat. Lebih lanjut Satochid Kartanegara,8
menjelaskan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila:
1) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga di dapat
mengerti atau tahu akan nilai perbuatannya itu, juga akan
mengerti akan akibatnya.
2) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga dia
dapat menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan.
3) Orang itu sadar dan insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan
adalah perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut
hukum, masyarakat dan tatasusila.
Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada tiga
sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana,
yaitu:9
1) Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang
bertanggung jawab.
2) Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung
jawab.
3) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.
Ibid., hal.243-244.
H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisi Viktimologis dan Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang: 2004, hal.12-15.
8
9
19
Pasal 20 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 telah
mengatur pertanggungjawaban pidana suatu korporasi. Dengan
demikian pertanggungjawaban korporasi yang bukan menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah atau korporasi yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Pertanggungjawaban pidana pihak swasta, dapat kita lihat
mengenai adanya:
1) Pengaturan tentang melakukan percobaan, perbantuan atau
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi,
sebagaimana yang diatur Pasal 15.
2) Pengaturan tentang penjatuhan pidana
secara
in
absentia,
sebagaiman yang diatur Pasal 38.
3) Pengaturan tentang perampasan barang-barang yang telah disita
terhadap terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum putusan
dijatuhkan, sebagaimana yang diatur Pasal 38 ayat (5).
4) Pengaturan pelaku yang memberikan bantuan, kesempatan,
sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi diluar
wilayah negara Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur
Pasal 16.
5) Pengaturan terhadap pelaku yang menghalangi pemeriksaan
perkara korupsi, sebagaimana yang diatur Pasal 21
20
6) Pengaturan tentang memberikan keterangan yang tidak benar,
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 jo Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35
dan Pasal 36.
7) Pengaturan tentang saksi yang membuka identitas pelapor,
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 jo Pasal 31.
1.4 Sanksi Pidana Pihak Swasta Dalam Tindak Pidana Korupsi
Agar
mencapai
tujuan
yang
diharapkan
dengan
diberlakukannya Undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi maka Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 telah
menentukan ancaman pidana penjara minimum atau paling singkat
sampai pidana denda maksimum atau paling lama, pidana denda
minimum atau paling sedikit sampai pidana denda maksimum atau
paling banyak dan sampai pada ancamanan pidana mati. Kemudian
juga pidana tambahan berupa pidana penjara bagi pelaku tindak
pidana korupsi yang tidak dapat membayar uang pengganti yang
merupakan pengganti dari kerugian keuangan negara.
Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi untuk
pihak swasta adalah sama saja dengan untuk pegawai negeri. Sanksi
pidana yang diatur berdasarkan Undang-undang No.20 Tahun 2001
Korupsi yaitu:
21
3.4.1
Pidana Mati
Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 yang dilakukan dalam “keadaan
tertentu”.
3.4.2
Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa
kehilangan kemerdekaan atau perampasan kemerdekaan
seseorang melalui putusan pengadilan. Pelaksanaan pidana
penjara membatasi kebebasan seseorang dimana pidana
penjara ini dijalankan di dalam gedung penjara yang
dinamakan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 sanksi pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
3.4.3
Pidana Denda
Pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang
dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun
denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi tidak ada
larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang lain
22
atas nama terpidana. Hasil penagihan denda diperuntukkan
bagi kas negara. Pembayaran pidana denda ini dapat diganti
pidana kurungan, hal ini merupakan pengganti pidana denda
yang tidak dapat dibayar oleh terpidana. Jadi apabila pidana
denda telah dilunasi, maka terpidana dapat dibebaskan dari
pidana kurungan.
3.4.4
Pidana Tambahan
Pidana tambahan dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana yang utama atau pokok. Pidana tambahan bagi pelaku
tindak pidana korupsi sudah diatur pada Pasal 18 Undangundang Nomor 20 Tahun 2001.
Tabel 2.
Pengaturan Sanksi Pidana Untuk Pihak Swasta
No
1
2
3.
4.
5
6.
7.
Pasal
Korupsi
Pasal 2
ayat (1)
Pasal 2
ayat (2)
Pasal 3
Pasal 5
ayat (1)
huruf a
Pasal 5
ayat (1)
huruf b
Pasal 6
ayat (1)
huruf a
Pasal 6
Pidana
Mati
Pidana Penjara
Pidana Denda
Paling
Singkat
Paling
Lama
Paling
Paling
Sedikit
Banyak
(Tahun)
(Tahun)
(Rp)
(Rp)
-
4
20
200 juta
1 Milyar
Mati
-
-
-
-
1
1
20
5
50 juta
50 juta
1 Milyar
250 juta
-
1
5
50 juta
250 juta
-
3
15
150 juta
750 juta
-
3
15
150 juta
750 juta
-
Pidana
Tambahan
Perampasan
Barang
Uang
pengganti
Penutupan
Perusahaan
Pencabutan
Hak-hak
Tertentu
23
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
ayat (1)
huruf b
Pasal 6
ayat (2)
Pasal 7
ayat (1)
huruf a
Pasal 7
ayat (1)
huruf b
Pasal 7
ayat (1)
huruf c
Pasal 7
ayat (1)
huruf d
Pasal 12
huruf d
Pasal 13
-
3
15
150 juta
750 juta
-
2
7
100 juta
350 juta
-
2
7
100 juta
350 juta
-
2
7
100 juta
350 juta
-
2
7
100 juta
350 juta
-
4
20
200 juta
1 Milyar
-
-
3
-
150 juta
Sumber diolah sendiri.
Kemudian pidana tambahan khususnya berupa uang pengganti,
apabila terdakwa tidak dapat mengganti uang pengganti yang merupakan
kerugian keuangan negara maka diganti dengan pidana penjara yang
lamanya tidak melebihi dari pidana penjara pokok yang diatur dalam
Pasal tersebut. Tetapi tidak otomatis apabila sudah menjalani pidana
penjara yang merupakan pengganti belum dibayarnya pidana tambahan
berupa uang pengganti, tetap uang pengganti itu akan ditagih secara
keperdataan.
Namun apabila tidak dapat juga diganti maka uang pengganti
tersebut dapat dihapus sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 31/pmk.07/2005 Tentang Tata cara pengajuan
usul, penelitian, dan penetapan penghapusan Piutang perusahaan
negara/daerah dan piutang negara/daerah.
24
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
1.1 Terdapat 14 (empat belas) Pasal yang mengatur tindak pidana
korupsi terhadap pihak swasta
yang diatur Undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi, yang terbagi atas tiga
kelompok yaitu kelompok tindak pidana kerugian keuangan
negara dan perekonomian negara, kelompok tindak pidana
penyuapan serta kelompok tindak pidana perbuatan curang.
1.2 Pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana yang diatur dalam
Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi lebih luas
dari pada yang diatur oleh KUHP dan sanksi pidana yang diatur
dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi
untuk pelaku pihak swasta maupun pengawai negeri sama yaitu
pidana mati, pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan.
2. Saran
2.1 Seharusnya penegak hukum (Polisi, Jaksa, KPK dan Hakim) dalam
upaya
pemberantasan
tindak
pidana
korupsi
penerapan
pengaturan Pasal Undang-undang tindak pidana korupsi tidak
hanya diarahkan dan ditujukan kepada pegawai negeri saja. Hal ini
dapat menimbulkan pendapat bahwa subjek hukum tindak pidana
korupsi
dan
pengaturan
Pasal
dalam
Undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi hanya terbatas pada
25
pegawai negeri saja. Penyebab pendapat seperti itu oleh karena
kebanyakan kasus tindak pidana korupsi diarahkan kepada
pegawai negeri atau aparat pemerintah, padahal di dalam Undangundang tindak pidana korupsi ada 14 (empat belas) Pasal yang
dapat diterapkan kepada pihak swasta.
2.3 Agar terhadap penagihan uang pengganti akibat adanya kerugian
keuangan negara ataupun belum dapat ditagih (kerapkali tidak
dapat diselesaikan) dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara, sejalan
dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan yang diatur dalam Pasal
30 ayat (2) Undang-undang Nomor: 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI. Dengan demikian tidak hanya pelakunya saja
dipidana penjara tetapi terhadap adanya kerugian keuangan
negara dapat diganti.
2.4 Agar pemerintah tidak hanya konsisten melakukan upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi secara represif, tetapi juga
upaya
preventif,
misalnya
meningkatkan
pengawasan,
meningkatkan perbaikan kesejahteraan pegawai negeri atau
aparatur
pemerintah
dan
sosialisasi
peraturan
perundang-
undangan pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu juga
upaya edukatif juga dilakukan sehingga masyarakat di Indonesia
mempunyai kesadaran hukum dan tidak mau melakukan praktikpraktik korupsi.
26
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara dan
Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH dan Rekan,
Jakarta, 2001.
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,
Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002.
- - - - - - - - , Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2002.
Arrasjid Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.
Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Strategi
Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan
Latihan BPKP, Jakarta, 1999.
Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta, 1997.
Chazawi, Adami, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni,
Bandung, 2006
Danil, Elwi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Korupsi, Studi Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana
Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Program
Pascasarjana FH UI, 2001.
Fuad, Munir, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2004.
- - - - - - - - - - - - -, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Hamzah, Andi, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara,
Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
- - - - - - - - - - - - , Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
27
- - - - - - - - - - - -, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1991.
- - - - - - - - - - - - - , Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Pusat
Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, 2002.
- - - - - - - - - - - - -, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah, Balai Lektur
Mahasiswa
Lamintang, PAF, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan KejahatanKejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi,
Pionir Jaya Bandung, 1991.
Lamintang, PAF dan C Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar
Baru, Bandung, 1983.
Liba, H. Mastra, 14 Kendala Penegakan Hukum, Mahasiswa dan Pemuda
Sebagai Pilar Tegaknya Hukum dan HAM, Yayasan Annisa,
Jakarta, 2004.
Lubis, Mochtar dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta,
1985.
Ohoitimur, Yong, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Rajawali,
Jakarta, 1984.
Mertokusumo, Sudikno dan A Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik
Korupsi (Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999), Mandar
Maju, Bandung, 2001.
28
Rasjidi, Lili, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Ranuhandoko, I.P.M, Terminologi Hukum, Inggris-Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003.
Tedjosaputro, Liliana, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana,
Bigraf Publishing, Yogyakarta, 1995.
Sapardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam
Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2002.
Saleh, Roeslan, Beberapa Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Aksara
Baru, Jakarta, 1981.
- - - - - - - -, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian
Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983.
Salim, Peter dan Yenny Salim, Kamus Umum Bahasa Indonesia Kontemporer,
Modern English Press, Jakarta, 1991.
Satgas BLBI, Mengurai Benang Kusut BLBI, Bank Indonesia, 2002
Setiyono,
H,
Kejahatan
Korporasi,
Analisis
Viktimologis
dan
Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia,
Bayumedia, Malang, 2004.
Sholehuddin, M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,
2004.
Sianturi, SR, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Alumni, Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1996.
Siregar, Bismar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional,
Rajawali, Jakarta, 1986.
Singgih, Dunia Pun Memerangi Korupsi, Beberapa Catatan Dari Internasional,
Rajawali, Jakarta, 1986.
29
Situmorang, Victor M, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Rineka Cipta,
Jakarta, 1994.
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1997.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta, 1986.
Soekanto, Soerjono, Penegakan Hukum, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1983.
- - - - - - - - - - - - -, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Soesilo,
R,
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia-Bogor.
Subekti, R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1992.
Wiyono, R, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Peraturan Perundang-undangan
Ketetapan MPR-RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan
Dalam
Rangka
Penyelamatan
dan
Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara.
Ketetapan MPR-RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme.
Ketetapan MPR-RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
30
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kehakiman.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Percepatan
Majalah, Koran dan Jurnal
Feri Wibisono, “Menyongsong Era Baru Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi,” tulisan dimuat dalam majalah Media Hukum,
Vol.1 No.2 tanggal 22 Agustus 2002.
Indriyanto Seno Adji, “Pengadilan HAM, Masalah dan Perspektifnya,” tulisan
dimuat dalam Jurnal Keadilan, Jakarta, 2002.
W Sukur, “Korupsi Sebagai Cara Bisnis ala Indonesia,” tulisan dimuat dalam
majalah Media Hukum, Vol.2 No.11 tanggal 22 September
2004.
Varia Peradilan, Tahun IX Nomor 102, Maret 1994.
Harian Umum Kompas, 30 Oktober 2004.
Harian Umum Kompas, 14 April 2005.
31
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna
namun dapat diselesaikan tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan doa
restu dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati,
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada:
1. Ibu Dr. Hj. Ernawati Munir, SH, MH selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Pascasarjana Universitas Andalas, yang setiap kali bertemu,
Ibu selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk segera
menyelesaikan laporan penulisan tesis ini.
2. Bapak Prof. H. Elwi Danil, SH, MH selaku Ketua Komisi Pembimbing
yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi dan
kontribusi pemikiran sehingga dapat menyelesaikan studi ini.
3. Bapak Dr. Ismansyah, SH, MH selaku Anggota Komisi Pembimbing
yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing, mendorong
dan mengarahkan penulis dengan bijak dan penuh kesabaran serta
keikhlasan dalam menyelesaikan laporan penulisan tesis ini.
4. Bapak Prof Dr. H. Syofyan Thalib, SH selaku Dosen Penguji yang atas
rekomendasi dan petunjuk Bapak pada tahun 2003 yang lalu, saya
dapat mendaftar dan diterima menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu
Hukum Pascasarjana Universitas Andalas. Bahkan dalam penulisan
laporang
tesis
ini,
Bapak
selalu
meluangkan
waktu
untuk
membimbing, mendorong dan mengarahkan penulis dengan bijak dan
penuh keikhlasan sehingga dapat menyelesaikan laporan penulisan
tesis ini.
5. Bapak Dr. Ferdi, SH, MH dan Ibu Aria Zurnetty, SH, MH selaku Dosen
Penguji pada seminar proposal, seminar hasil dan ujian akhir, saya
32
ucapkan terima kasih atas semua kontribusi pemikiran yang diberikan
yang sangat berharga dalam menyelesaikan laporan penulisan tesis ini.
6. Bapak Prof. Dr. Hazli Nurdin, MS, selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Andalas dan Asisten Direktur serta Staf
Administrasi yang telah membantu kelancaran administratif dan
membantu penulis dalam banyak hal.
7. Staf Pengajar dan Staf Administrasi pada Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Andalas, yang telah banyak
membantu penulis dalam banyak hal, sehingga dapat menyelesaikan
tugas akhir ini.
8. Bapak Halius Hosen, SH, yang telah memberikan izin melanjutkan
kuliah pada tahun 2003, Bapak Muchtar Arifin, SH, MH yang telah
memberikan
bimbingan,
arahan
dan
motivasi
untuk
segera
menyelesaikan perkuliahan, Bapak RJ Soehandoyo, SH, MHum yang
telah memberikan masukan mengenai arti pentingnya melanjutkan
pendidikan, Ibu Hj. Ramaidang, SH, MH yang pada setiap kesempatan
dengan sepenuh hati memberikan dorongan dan semangat sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dan tidak lupa kepada
Bang Hendrizal Husin, SH yang telah banyak membantu memberikan
izin kepada penulis untuk dapat mengikuti perkuliahan pada waktu
pekerjaan sedang menumpuk di kantor.
9. Yang penulis hormati dan kasihi, Ayahanda dr. R. Tambun dan
Ibunda Ir. Anny Erika Siregar, MM, yang telah mengasuh dan
mendidik serta memberikan dorongan kepada penulis dengan iringan
doa yang tak henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi. Dan juga kepada Inang T. Pakpahan yang telah memberikan
dukungan dan mendoakan penulis sehingga dapat menyelesaikan
studi.
33
10. Istriku yang tercinta dr. Lenny Selvia Sinaga yang telah memberikan
pertolongan dan dukungan dimasa-masa yang sulit dan anak-anakku
tersayang Joel Christofel Hinsa Tambun dan Inggrid Amadea Tambun
yang telah menjadi inpirasi dan motivasi untuk menyelesaikan studi.
11. Rekan-rekan semasa mengikuti perkuliahan Khairulludin, SH, MH
(Hakim PN Muara Enim), Susi, SH, MH (Dosen STIA Batu Sangkar),
Idial, SH (Kacabjari Solok di Alahan Panjang), Andi Nova, SH, MH
(Dosen FH Unand) dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis
sebut satu persatu namanya telah memberikan semangat untuk
menyelesaikan tesis ini.
12. Semua pihak yang ikut membantu yang tidak dapat penulis sebutkan
namanya satu persatu yang ikut membantu kelancaran dalam
penulisan tesis ini.
34
BIO DATA PENULIS
Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Januari 1974 di kota Medan
Propinsi Sumatera Utara sebagai anak sulung dari lima bersaudara dari
Ayah dr. R Tambun dan Ibu Ir. Anny Erika Siregar, MM.
Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar dari SD Tunas
Kartika I Medan pada tahun 1986, SMP St. Thomas-1 Medan tahun 1989
dan SMANegeri 4 Medan tahun 1992 dan meraih gelar Sarjana Hukum
Jurusan Hukum Pidana dari Universitas Sumatera Utara (USU) pada
tahun 1998.
Awal Januari 1998 penulis pernah bekerja di Kantor Pengacara
BIMA SH dan Rekan di Kota Medan, lalu pada awal tahun 1999 bekerja
sebagai staf Personalia di PT. Abdi Rakya Bakti di Kota Medan, kemudian
pada bulan Agustus 1999 penulis mengikuti test penerimaan pegawai
Kejaksaan RI, selanjutnya tahun 2000 penulis mulai bekerja sebagai Staf
Tata Usaha dengan pangkat Yuana Wira TU di kantor Kejaksaan Negeri
Lubuk Pakam di Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara.
Pada bulan Mei tahun 2002 penulis mengikuti Pendidikan dan
Pembentukan Jaksa di Pusdiklat Kejaksaan RI di Jakarta. Seusai mengikuti
pendidikan ditempatkan sebagai Jaksa Fungsional sejak bulan Oktober
2002 di Kejaksaan Negeri Painan Kabupaten Pesisir Selatan. Selanjutnya
bulan Agustus 2003 pindah ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat dan
diangkat sebagai Kasubsi PAM Sumber Daya Alam, lalu Februari 2005
pindah ke Kejaksaan Negeri Solok dan diangkat sebagai Kasi Intelijen
Kejaksaan Negeri Solok sampai dengan sekarang.
Download