1 STUDY OF REGULATED AND RESPONSIBILITY FOR PRIVATE SECTOR IN CORRUPTION CRIME ABSTRACT In the society, it was formed a mindset that civil servants is the only actor who did corruption criminal act. This born an opinion that corruption criminal subject in Corruption Eradication Act is just applied for civil servants. The cause that forms this perception is due to the usage of civil servants term in some articles in Corruption Eradication Act and most undergoing corruption cases is being led to civil servants or state power as single party involved. But by concerning one example case of loans allocated by Bank Indonesia in the form of Bank Indonesia Bank Liquidity fund (BLBI) which brought state bankruptcy, it's well identified that most actor who committed the crime is someone that come from private sector. Here, private sector in corruption criminal act is defined as the exclusion set of civil servants definition. This research aims to expose: (1) Regulated of corruption articles for private sector by the Corruption Eradication Act (2) Criminal responsibility for private sector with Corruption Eradication Act. Research follows normative law method using secondary data. After compiling all required literatures and reference documents as well, interpretation is made from authentic, grammatical, systematic, and historical aspect, yields two subjects or more and those are used as object to be analyzed, in order to get answers for problem addressed within this research. Research comes out with the result of identifying 14 (fourteen) articles ruling the corruption criminal act that is done by private sector. The articles are categorized into three groups: criminal act of detrimental effect to the finances of the state or the economy of the state, graft criminal act, and dishonesty criminal act and the penalization for crime acted by private sector is death sentence, putting in into jail, paying a fine, and supplementary indictment. KATA KUNCI Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Tindak Pidana Korupsi Pihak Swasta Sanksi Pidana UU No. 31 Tahun 1999 UU No. 20 Tahun 2001 2 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Permasalahan korupsi di Indonesia memang sudah sedemikian parah. Berbagai kalangan angkat bicara, mendiskusikan dan membahas permasalahan korupsi. Dari orang awam, mahasiswa, praktisi hukum, pakar hukum dan sastrawan pun ikut bicara. Intinya bahwa korupsi menyatakan harus bahwa segera sudah diberantas. waktunya Satjipto bangsa Rahardjo, Indonesia mencanangkan bahaya korupsi sebagai keadaan darurat. Karena keadaannya darurat maka juga mesti ditangani dengan cara berpikir darurat cara bertindak darurat dan dengan petinggi hukum yang mampu melakukan terobosan yang bersifat darurat.1 Di Indonesia lembaga-lembaga pengawasan sangat banyak, seperti: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Departemen, Badan Pengawasan Daerah (Bawasda), Pengawasan Fungsional, Pengawasan Melekat dan Pengawasan Masyarakat, sehingga seharusnya pengawasan dalam pelaksanaan pekerjaan pegawai negeri di Indonesia maupun pihak swasta apalagi yang ada Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta: 2001, hal.16. 1 3 hubungannya dengan penerimaan, penggunaan dan pengelolaan keuangan negara seharusnya sudah sedemikian sangat ketat diawasi oleh lembaga-lembaga pengawasan itu, namun kenyataannya tindak pidana korupsi semakin meluas. Kenyataan yang terungkap bahwa di Indonesia, seolah-olah pelaku utama dari tindak pidana korupsi tersebut adalah pegawai negeri. Pegawai negeri dengan jabatan tertentu dalam melakukan tugas jabatannya dapat melakukan tindak pidana korupsi sehingga yang menjadi sasaran utama dari Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi itu adalah pegawai negeri saja. Hal ini dipertegas lagi oleh Andi Hamzah sendiri menyatakan sebab terjadinya korupsi antara lain adalah kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.2 Penyebab pendapat seperti itu oleh karena banyaknya kasus tindak pidana korupsi hanya diarahkan kepada pegawai negeri atau aparat pemerintah. Bahkan pegawai negeri yang dimaksud terutama adalah pegawai negeri sipil. Sehingga seakan-akan pelaku utama dari praktek-praktek korupsi atau tindak pidana korupsi hanyalah Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta:1991, hal.16. 2 4 pegawai negeri sipil saja ataupun orang-orang yang disamakan dengan pegawai negeri sipil itu. Praktik-praktik korupsi itu terkadang terjadi karena adanya kerjasama dengan pegawai negeri, namun seringkali seakan-akan pihak swasta tidak dapat disentuh atau dijangkau oleh hukum, padahal kemungkinan besar kasus-kasus korupsi di Indonesia apabila ditinjau dari sudut jumlah pelaku dan jumlah kerugian keuangan negara lebih banyak dilakukan oleh pihak swasta dari pada yang dilakukan oleh pegawai negeri, tetapi hal ini perlu penelitian lebih lanjut. Secara teoritis yuridis Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi saat sekarang ini telah memberikan sarana yang cukup lengkap untuk dapat menjerat pelaku praktik-praktik korupsi. Mulai dari si penerima sampai dengan si pemberi, dari pegawai negeri sampai dengan bukan pegawai negeri atau pihak swasta dan korporasi. Sehingga seharusnya setiap orang atau siapapun yang secara langsung atau tidak langsung perbuatannya telah memenuhi rumusan menurut Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, dapat dikenakan hukuman atau diminta pertanggungjawaban pidananya. Berdasarkan uraian di atas, maka salah kaprah apabila penyebab tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia oleh 5 karena peraturan perundang-undangannya tidak mengatur dengan cukup lengkap. Menurut penulis peraturan perundang-undangannya sudah cukup lengkap bahkan ancaman pidana Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi saat sekarang ini jauh lebih berat, dan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhkan pidana mati. Oleh karena itu penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih dalam bagaimanakah pengaturan pasal korupsi untuk pihak swasta dan bagaimanakah pertanggungjawaban pidana untuk pihak swasta menurut Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Topik ini akan penulis bahas secara mendetail dalam tesis yang berjudul: “Studi Tentang Pengaturan Dan Pertangungjawaban Pidana Pihak Swasta Dalam Tindak Pidana Korupsi.” 6 METODE PENELITIAN 1.1 Pendekatan Penelitian Penulisan tesis ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan melakukan studi bahan kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder. Menurut Soerjono Soekanto, pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Pada penelitian hukum normatif yang sepenuhnya memepergunakan data sekunder, maka penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif dapat ditinggalkan akan tetapi penyusunan kerangka konsepsionil mutlak diperlukan.3 Lebih lanjut Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup: Pertama, penelitian terhadap asa-asas hukum. Kedua, penelitian terhadap sistematik hukum. Ketiga, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal. Keempat, penelitian perbandingan hukum. Kelima, penelitian sejarah hukum.4 Penelitian hukum normatif dalam penulisan tesis ini dilakukan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, dan sejarah hukum. Setelah semua bahan hukum terkumpul Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta: 1986, hal 51-53. 4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2004, hal.14. 3 7 maka bahan hukum tersebut dilakukan interprestasi atau penafsiran hukum sebagai pusat perhatian baik secara autentik, gramatikal, sistematis dan sejarah, sehingga di dapat dua subjek atau lebih sebagai objek pembahasan untuk mendapatkan pengetahuan baru. Sebab dengan melakukan penelusuran terhadap asas-asas yang terdapat dalam hukum positif dan juga pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan serta sinkronisasi perundang-undangan secara vertikal dan horisontal sehingga diharapkan akan dapat diketahui kelebihan dan kelemahan dari pengaturan Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi untuk pihak swasta, dengan demikian diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi para penegak hukum. 1.2 Metode Dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum Bahan Hukum yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang dikumpulkan dengan menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan suatu cara mengumpulkan bahan hukum yang bersumber dari tulisan yang biasanya digunakan dalam penelitian kepustakaan. Ketiga bahan hukum tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Bahan Hukum Primer 8 1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. 5) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 6) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 7) Peraturan Perundang-undangan lainnya berupa : (1) Tap MPR No.X Tahun 1998 Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara. (2) Tap MPR No. XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme. (3) Tap MPR No.VII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi. 9 (4) Inpres No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Bahan hukum Sekunder 1) Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum yang tetap. 2) Buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. 3) Berbagai artikel dan jurnal. 4) Laporan-laporan penelitian. 5) Dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. c. Bahan hukum tertier 1) Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan Nasional. 2) Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh J.W.S. Poerwadarminta. 3) Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer yang disusun oleh Peter Salim dan Yenny Salim. 10 HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Rumusan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 ada 2 (dua) sumber yaitu pertama, bersumber dari perumusan pembuat Undang-undang itu sendiri dan kedua, yang ditarik dari Pasal-pasal KUHP yaitu sebanyak 13 (tiga belas) Pasal, sehingga dengan demikian sebagian besar perumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang tersebut adalah bersumber dari KUHP. Pasal tindak pidana korupsi yang bersumber dari KUHP tersebut yaitu : Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP. Pasal-pasal KUHP ini sama dengan Pasal-pasal yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) sub c Undangundang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menyebutkan korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- 11 undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Hal ini sejalan dengan maksud Pasal 14 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melanggar Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah tindak pidana formil, dengan demikian apabila perbuatan pelaku tindak pidana korupsi tersebut sudah memenuhi rumusan unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi maka sudah dapat disangka sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.Demikian juga walaupun hasil uang korupsi telah dikembalikan kepada negara maka terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut tetap dapat diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana. Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidananya pelaku tindak pidana. 12 Bertitik tolak dari pengertian tersebut, suatu perbuatan dapat diklasifikasikan dan dirumuskan sebagai tindak pidana korupsi apabila perbuatan-perbuatan yang dilakukan memenuhi semua unsur-unsur dari pasal peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yaitu Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-undang tersebut maka secara terperinci ada 31 (tiga puluh satu) Pasal yang merupakan bentuk perbuatan tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan pidana penjara sampai kepada hukuman mati. Dari tiga puluh satu Pasal yang merupakan bentuk tindak pidana korupsi tersebut dapat dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) kelompok, yaitu: 1) Kelompok tindak pidana merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3. 2) Kelompok tindak pidana penyuapan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, d dan Pasal 13. 3) Kelompok tindak pidana perbuatan curang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7, Pasal 12 huruf h dan i 13 4) Kelompok tindak pidana penggelapan dalam jabatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 10. 5) Kelompok tindak pidana pemalsuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9. 6) Kelompok tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e, f dan g 7) Kelompok tindak pidana gratifikasi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12B Sedangkan tindak pidana lainnya namun masih berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut di atas, terbagi dalam 5 (lima) kelompok, yaitu : 1) Melakukan percobaan, perbantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 2) Memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi diluar wilayah negara Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16. 3) Menghalangi pemeriksaan perkara korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 21. 4) Memberikan keterangan yang tidak benar, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 jo Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 dan Pasal 36. 14 5) Saksi yang membuka identitas pelapor, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 jo Pasal 31. Ketetentuan ini menurut penulis merupakan perluasan dari pertanggungjawaban pidana. Dimana bagi mereka yang melakukan percobaan, perbantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi diluar wilayah negara Republik Indonesia, menghalangi pemeriksaan perkara korupsi, memberikan keterangan yang tidak benar dan saksi yang membuka identitas pelapor dapat dipidana menurut Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. 1.2 Pengaturan Pasal Korupsi Untuk Pihak Swasta Menurut UndangUndang Tindak Pidana Korupsi Pihak swasta menurut Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah setiap orang diluar pengertian pegawai negeri yang sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, Advokat, Pemborong, Ahli Bangunan, Penjual Bangunan dan Korporasi yang tidak menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. 15 Dari tiga puluh satu Pasal rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-undang pemberantasan korupsi tersebut, dari hasil penelitian penulis terdapat 14 (empat belas) Pasal yang mengatur tindak pidana korupsi untuk pihak swasta. Hal ini berdasarkan dari subjek pelakunya khusus untuk pihak swasta dan tujuan dari perbuatan. Dari empat belas Pasal pengaturan tindak pidana korupsi yang untuk pihak swasta tersebut, terbagi lagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu tindak pidana merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, tindak pidana penyuapan dan tindak pidana perbuatan curang. Tabel 1. Kelompok Tindak Pidana Untuk Pihak Swasta No Kelompok Tindak Pidana Pasal Tindak Pidana Korupsi Jumlah 1. Merugikan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) keuangan negara dan Pasal 3 dan perekonomian negara 3 Pasal 2. Penyuapan Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf d dan Pasal 13 7 Pasal 3. Perbuatan curang Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) 4 Pasal 16 huruf c dan Pasal 7 ayat (1) huruf d Sumber diolah sendiri Pada umumnya yang diutamakan harus mencari dalam ketentuan-ketentuan undang-undang (penafsiran secara autentik). Maksudnya apakah ada suatu pasal undang-undang yang menentukan pengertian atau maksud dari istilah yang sedang dipermasalahkan. Jika tidak ada, lalu dicari dalam penjelasan undang-undang dan apabila tidak ditemukan juga maka dicari dalam jurisprudensi dan pendapat para ahli hukum. 1.3 Pertanggungjawaban Pidana Pihak Swasta Dalam Tindak Pidana Korupsi Roeslan Saleh,5 menjelaskan bahwa dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Aksara Baru, Jakarta: 1983, hal.75. 5 17 dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis: “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar daripada dipidananya sipembuat. Selanjutnya Roeslan Saleh,6 menyatakan bahwa tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatan itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah: 1) Melakukan perbuatan pidana 2) Mampu bertanggungjawab 3) Dengan kesengajaan atau kealpaan 4) Tidak adanya alasan pemaaf Menurut Satochid Kartanegara,7 schuld mempunyai pengertian yang bertalian dengan pertanggungjawaban. Dapat dipertanggungjawabkan (toerekeingsvatbaarheid) adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan pertanggungjawaban Ibid. hal.78-79. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana I, Kumpulan Kuliah, Jakarta, Balai Lektur Mahasiswa, hal.244. 6 7 18 (toerekendbaarheid) adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si pelaku atau pembuat. Lebih lanjut Satochid Kartanegara,8 menjelaskan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila: 1) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga di dapat mengerti atau tahu akan nilai perbuatannya itu, juga akan mengerti akan akibatnya. 2) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga dia dapat menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan. 3) Orang itu sadar dan insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum, masyarakat dan tatasusila. Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada tiga sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu:9 1) Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab. 2) Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab. 3) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab. Ibid., hal.243-244. H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisi Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang: 2004, hal.12-15. 8 9 19 Pasal 20 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 telah mengatur pertanggungjawaban pidana suatu korporasi. Dengan demikian pertanggungjawaban korporasi yang bukan menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Pertanggungjawaban pidana pihak swasta, dapat kita lihat mengenai adanya: 1) Pengaturan tentang melakukan percobaan, perbantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana yang diatur Pasal 15. 2) Pengaturan tentang penjatuhan pidana secara in absentia, sebagaiman yang diatur Pasal 38. 3) Pengaturan tentang perampasan barang-barang yang telah disita terhadap terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan, sebagaimana yang diatur Pasal 38 ayat (5). 4) Pengaturan pelaku yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi diluar wilayah negara Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur Pasal 16. 5) Pengaturan terhadap pelaku yang menghalangi pemeriksaan perkara korupsi, sebagaimana yang diatur Pasal 21 20 6) Pengaturan tentang memberikan keterangan yang tidak benar, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 jo Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 dan Pasal 36. 7) Pengaturan tentang saksi yang membuka identitas pelapor, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 jo Pasal 31. 1.4 Sanksi Pidana Pihak Swasta Dalam Tindak Pidana Korupsi Agar mencapai tujuan yang diharapkan dengan diberlakukannya Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi maka Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 telah menentukan ancaman pidana penjara minimum atau paling singkat sampai pidana denda maksimum atau paling lama, pidana denda minimum atau paling sedikit sampai pidana denda maksimum atau paling banyak dan sampai pada ancamanan pidana mati. Kemudian juga pidana tambahan berupa pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar uang pengganti yang merupakan pengganti dari kerugian keuangan negara. Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi untuk pihak swasta adalah sama saja dengan untuk pegawai negeri. Sanksi pidana yang diatur berdasarkan Undang-undang No.20 Tahun 2001 Korupsi yaitu: 21 3.4.1 Pidana Mati Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang dilakukan dalam “keadaan tertentu”. 3.4.2 Pidana Penjara Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan atau perampasan kemerdekaan seseorang melalui putusan pengadilan. Pelaksanaan pidana penjara membatasi kebebasan seseorang dimana pidana penjara ini dijalankan di dalam gedung penjara yang dinamakan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. 3.4.3 Pidana Denda Pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi tidak ada larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang lain 22 atas nama terpidana. Hasil penagihan denda diperuntukkan bagi kas negara. Pembayaran pidana denda ini dapat diganti pidana kurungan, hal ini merupakan pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar oleh terpidana. Jadi apabila pidana denda telah dilunasi, maka terpidana dapat dibebaskan dari pidana kurungan. 3.4.4 Pidana Tambahan Pidana tambahan dijatuhkan bersama-sama dengan pidana yang utama atau pokok. Pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana korupsi sudah diatur pada Pasal 18 Undangundang Nomor 20 Tahun 2001. Tabel 2. Pengaturan Sanksi Pidana Untuk Pihak Swasta No 1 2 3. 4. 5 6. 7. Pasal Korupsi Pasal 2 ayat (1) Pasal 2 ayat (2) Pasal 3 Pasal 5 ayat (1) huruf a Pasal 5 ayat (1) huruf b Pasal 6 ayat (1) huruf a Pasal 6 Pidana Mati Pidana Penjara Pidana Denda Paling Singkat Paling Lama Paling Paling Sedikit Banyak (Tahun) (Tahun) (Rp) (Rp) - 4 20 200 juta 1 Milyar Mati - - - - 1 1 20 5 50 juta 50 juta 1 Milyar 250 juta - 1 5 50 juta 250 juta - 3 15 150 juta 750 juta - 3 15 150 juta 750 juta - Pidana Tambahan Perampasan Barang Uang pengganti Penutupan Perusahaan Pencabutan Hak-hak Tertentu 23 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. ayat (1) huruf b Pasal 6 ayat (2) Pasal 7 ayat (1) huruf a Pasal 7 ayat (1) huruf b Pasal 7 ayat (1) huruf c Pasal 7 ayat (1) huruf d Pasal 12 huruf d Pasal 13 - 3 15 150 juta 750 juta - 2 7 100 juta 350 juta - 2 7 100 juta 350 juta - 2 7 100 juta 350 juta - 2 7 100 juta 350 juta - 4 20 200 juta 1 Milyar - - 3 - 150 juta Sumber diolah sendiri. Kemudian pidana tambahan khususnya berupa uang pengganti, apabila terdakwa tidak dapat mengganti uang pengganti yang merupakan kerugian keuangan negara maka diganti dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi dari pidana penjara pokok yang diatur dalam Pasal tersebut. Tetapi tidak otomatis apabila sudah menjalani pidana penjara yang merupakan pengganti belum dibayarnya pidana tambahan berupa uang pengganti, tetap uang pengganti itu akan ditagih secara keperdataan. Namun apabila tidak dapat juga diganti maka uang pengganti tersebut dapat dihapus sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 31/pmk.07/2005 Tentang Tata cara pengajuan usul, penelitian, dan penetapan penghapusan Piutang perusahaan negara/daerah dan piutang negara/daerah. 24 KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan 1.1 Terdapat 14 (empat belas) Pasal yang mengatur tindak pidana korupsi terhadap pihak swasta yang diatur Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang terbagi atas tiga kelompok yaitu kelompok tindak pidana kerugian keuangan negara dan perekonomian negara, kelompok tindak pidana penyuapan serta kelompok tindak pidana perbuatan curang. 1.2 Pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi lebih luas dari pada yang diatur oleh KUHP dan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi untuk pelaku pihak swasta maupun pengawai negeri sama yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan. 2. Saran 2.1 Seharusnya penegak hukum (Polisi, Jaksa, KPK dan Hakim) dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi penerapan pengaturan Pasal Undang-undang tindak pidana korupsi tidak hanya diarahkan dan ditujukan kepada pegawai negeri saja. Hal ini dapat menimbulkan pendapat bahwa subjek hukum tindak pidana korupsi dan pengaturan Pasal dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya terbatas pada 25 pegawai negeri saja. Penyebab pendapat seperti itu oleh karena kebanyakan kasus tindak pidana korupsi diarahkan kepada pegawai negeri atau aparat pemerintah, padahal di dalam Undangundang tindak pidana korupsi ada 14 (empat belas) Pasal yang dapat diterapkan kepada pihak swasta. 2.3 Agar terhadap penagihan uang pengganti akibat adanya kerugian keuangan negara ataupun belum dapat ditagih (kerapkali tidak dapat diselesaikan) dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara, sejalan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan yang diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor: 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Dengan demikian tidak hanya pelakunya saja dipidana penjara tetapi terhadap adanya kerugian keuangan negara dapat diganti. 2.4 Agar pemerintah tidak hanya konsisten melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara represif, tetapi juga upaya preventif, misalnya meningkatkan pengawasan, meningkatkan perbaikan kesejahteraan pegawai negeri atau aparatur pemerintah dan sosialisasi peraturan perundang- undangan pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu juga upaya edukatif juga dilakukan sehingga masyarakat di Indonesia mempunyai kesadaran hukum dan tidak mau melakukan praktikpraktik korupsi. 26 DAFTAR KEPUSTAKAAN Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH dan Rekan, Jakarta, 2001. Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002. - - - - - - - - , Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002. Arrasjid Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2001. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan Latihan BPKP, Jakarta, 1999. Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1997. Chazawi, Adami, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2006 Danil, Elwi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Studi Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Program Pascasarjana FH UI, 2001. Fuad, Munir, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. - - - - - - - - - - - - -, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Hamzah, Andi, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. - - - - - - - - - - - - , Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. 27 - - - - - - - - - - - -, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991. - - - - - - - - - - - - - , Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, 2002. - - - - - - - - - - - - -, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa Lamintang, PAF, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan KejahatanKejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya Bandung, 1991. Lamintang, PAF dan C Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1983. Liba, H. Mastra, 14 Kendala Penegakan Hukum, Mahasiswa dan Pemuda Sebagai Pilar Tegaknya Hukum dan HAM, Yayasan Annisa, Jakarta, 2004. Lubis, Mochtar dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta, 1985. Ohoitimur, Yong, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1984. Mertokusumo, Sudikno dan A Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002. Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999), Mandar Maju, Bandung, 2001. 28 Rasjidi, Lili, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003. Ranuhandoko, I.P.M, Terminologi Hukum, Inggris-Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003. Tedjosaputro, Liliana, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 1995. Sapardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2002. Saleh, Roeslan, Beberapa Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta, 1981. - - - - - - - -, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983. Salim, Peter dan Yenny Salim, Kamus Umum Bahasa Indonesia Kontemporer, Modern English Press, Jakarta, 1991. Satgas BLBI, Mengurai Benang Kusut BLBI, Bank Indonesia, 2002 Setiyono, H, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia, Malang, 2004. Sholehuddin, M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2004. Sianturi, SR, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni, Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1996. Siregar, Bismar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Rajawali, Jakarta, 1986. Singgih, Dunia Pun Memerangi Korupsi, Beberapa Catatan Dari Internasional, Rajawali, Jakarta, 1986. 29 Situmorang, Victor M, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1997. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986. Soekanto, Soerjono, Penegakan Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1983. - - - - - - - - - - - - -, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Soesilo, R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia-Bogor. Subekti, R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992. Wiyono, R, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Peraturan Perundang-undangan Ketetapan MPR-RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara. Ketetapan MPR-RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ketetapan MPR-RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 30 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kehakiman. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Percepatan Majalah, Koran dan Jurnal Feri Wibisono, “Menyongsong Era Baru Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” tulisan dimuat dalam majalah Media Hukum, Vol.1 No.2 tanggal 22 Agustus 2002. Indriyanto Seno Adji, “Pengadilan HAM, Masalah dan Perspektifnya,” tulisan dimuat dalam Jurnal Keadilan, Jakarta, 2002. W Sukur, “Korupsi Sebagai Cara Bisnis ala Indonesia,” tulisan dimuat dalam majalah Media Hukum, Vol.2 No.11 tanggal 22 September 2004. Varia Peradilan, Tahun IX Nomor 102, Maret 1994. Harian Umum Kompas, 30 Oktober 2004. Harian Umum Kompas, 14 April 2005. 31 UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna namun dapat diselesaikan tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan doa restu dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada: 1. Ibu Dr. Hj. Ernawati Munir, SH, MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Andalas, yang setiap kali bertemu, Ibu selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan laporan penulisan tesis ini. 2. Bapak Prof. H. Elwi Danil, SH, MH selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi dan kontribusi pemikiran sehingga dapat menyelesaikan studi ini. 3. Bapak Dr. Ismansyah, SH, MH selaku Anggota Komisi Pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing, mendorong dan mengarahkan penulis dengan bijak dan penuh kesabaran serta keikhlasan dalam menyelesaikan laporan penulisan tesis ini. 4. Bapak Prof Dr. H. Syofyan Thalib, SH selaku Dosen Penguji yang atas rekomendasi dan petunjuk Bapak pada tahun 2003 yang lalu, saya dapat mendaftar dan diterima menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Andalas. Bahkan dalam penulisan laporang tesis ini, Bapak selalu meluangkan waktu untuk membimbing, mendorong dan mengarahkan penulis dengan bijak dan penuh keikhlasan sehingga dapat menyelesaikan laporan penulisan tesis ini. 5. Bapak Dr. Ferdi, SH, MH dan Ibu Aria Zurnetty, SH, MH selaku Dosen Penguji pada seminar proposal, seminar hasil dan ujian akhir, saya 32 ucapkan terima kasih atas semua kontribusi pemikiran yang diberikan yang sangat berharga dalam menyelesaikan laporan penulisan tesis ini. 6. Bapak Prof. Dr. Hazli Nurdin, MS, selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Andalas dan Asisten Direktur serta Staf Administrasi yang telah membantu kelancaran administratif dan membantu penulis dalam banyak hal. 7. Staf Pengajar dan Staf Administrasi pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Andalas, yang telah banyak membantu penulis dalam banyak hal, sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 8. Bapak Halius Hosen, SH, yang telah memberikan izin melanjutkan kuliah pada tahun 2003, Bapak Muchtar Arifin, SH, MH yang telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi untuk segera menyelesaikan perkuliahan, Bapak RJ Soehandoyo, SH, MHum yang telah memberikan masukan mengenai arti pentingnya melanjutkan pendidikan, Ibu Hj. Ramaidang, SH, MH yang pada setiap kesempatan dengan sepenuh hati memberikan dorongan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dan tidak lupa kepada Bang Hendrizal Husin, SH yang telah banyak membantu memberikan izin kepada penulis untuk dapat mengikuti perkuliahan pada waktu pekerjaan sedang menumpuk di kantor. 9. Yang penulis hormati dan kasihi, Ayahanda dr. R. Tambun dan Ibunda Ir. Anny Erika Siregar, MM, yang telah mengasuh dan mendidik serta memberikan dorongan kepada penulis dengan iringan doa yang tak henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. Dan juga kepada Inang T. Pakpahan yang telah memberikan dukungan dan mendoakan penulis sehingga dapat menyelesaikan studi. 33 10. Istriku yang tercinta dr. Lenny Selvia Sinaga yang telah memberikan pertolongan dan dukungan dimasa-masa yang sulit dan anak-anakku tersayang Joel Christofel Hinsa Tambun dan Inggrid Amadea Tambun yang telah menjadi inpirasi dan motivasi untuk menyelesaikan studi. 11. Rekan-rekan semasa mengikuti perkuliahan Khairulludin, SH, MH (Hakim PN Muara Enim), Susi, SH, MH (Dosen STIA Batu Sangkar), Idial, SH (Kacabjari Solok di Alahan Panjang), Andi Nova, SH, MH (Dosen FH Unand) dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebut satu persatu namanya telah memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis ini. 12. Semua pihak yang ikut membantu yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu yang ikut membantu kelancaran dalam penulisan tesis ini. 34 BIO DATA PENULIS Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Januari 1974 di kota Medan Propinsi Sumatera Utara sebagai anak sulung dari lima bersaudara dari Ayah dr. R Tambun dan Ibu Ir. Anny Erika Siregar, MM. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar dari SD Tunas Kartika I Medan pada tahun 1986, SMP St. Thomas-1 Medan tahun 1989 dan SMANegeri 4 Medan tahun 1992 dan meraih gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Pidana dari Universitas Sumatera Utara (USU) pada tahun 1998. Awal Januari 1998 penulis pernah bekerja di Kantor Pengacara BIMA SH dan Rekan di Kota Medan, lalu pada awal tahun 1999 bekerja sebagai staf Personalia di PT. Abdi Rakya Bakti di Kota Medan, kemudian pada bulan Agustus 1999 penulis mengikuti test penerimaan pegawai Kejaksaan RI, selanjutnya tahun 2000 penulis mulai bekerja sebagai Staf Tata Usaha dengan pangkat Yuana Wira TU di kantor Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam di Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara. Pada bulan Mei tahun 2002 penulis mengikuti Pendidikan dan Pembentukan Jaksa di Pusdiklat Kejaksaan RI di Jakarta. Seusai mengikuti pendidikan ditempatkan sebagai Jaksa Fungsional sejak bulan Oktober 2002 di Kejaksaan Negeri Painan Kabupaten Pesisir Selatan. Selanjutnya bulan Agustus 2003 pindah ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat dan diangkat sebagai Kasubsi PAM Sumber Daya Alam, lalu Februari 2005 pindah ke Kejaksaan Negeri Solok dan diangkat sebagai Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Solok sampai dengan sekarang.