THE LISTERDALE MYSTERY AND OTHER STORIES 1934 by

advertisement
THE LISTERDALE MYSTERY
AND OTHER STORIES 1934
by Agatha Christie
MISTERI LISTERDALE
DAN KISAH-KISAH LAINNYA
Alih bahasa: Lanny Murtiharjana
Penerbit: PT Gramedia
Jakarta, Juni 2005
MISTERI LISTERDALE
MRS. ST VINCENT sedang menjumlahkan angka-angka. Sekali-sekali ia menghela napas,
tangannya meraba kepalanya yang berdenyut-denyut. Sejak dulu ia tidak suka aritmetika.
Sayang sekali belakangan ini hidupnya seakan hanya terdiri atas angka-angka,
penjumlahan tak habis-habisnya atas pengeluaran-pengeluaran kecil namun perlu, dengan
total akhir yang selalu membuatnya ketakutan.
Jumlahnya pasti tidak sebesar itu! Ia kembali berkutat dengan angka-angka tersebut.
Memang ada kesalahan kecil saat ia menghitung angka sen, tapi di luar itu angkaangkanya benar.
Mrs. St Vincent menghela napas sekali lagi. Sekarang sakit kepalanya benar-benar tak
tertahankan. Ia menoleh saat pintu terbuka dan Barbara, putrinya, melangkah masuk.
Barbara St Vincent gadis yang sangat cantik; ia mewarisi roman elok ibunya yang halus,
dan gerak menoleh yang sama anggunnya, tapi warna matanya hitam, bukannya biru, dan
bentuk mulutnya pun berbeda, dengan bibir merah yang merajuk namun menarik.
“Oh! Ibu,” serunya. “Masih saja bergulat dengan rekening-rekening lama yang menyebalkan
itu? Buang saja ke dalam api.”
“Kita harus tahu posisi kita,” ujar Mrs. St Vincent ragu.
Gadis itu angkat bahu.
“Dari dulu posisi kita begini-begini saja,” sahutnya acuh tak acuh. “Selalu saja
kekurangan uang. Sampai sen terakhir seperti biasanya.”
Mrs. St Vincent menghela napas.
“Seandainya saja...,” keluhnya, lalu berhenti.
“Aku harus mendapatkan pekerjaan,” sergah Barbara getir. “Segera. Lagi pula, aku sudah
ikut kursus steno dan mengetik. Tapi sejuta gadis lain juga mengambil kursus yang sama!
‘Punya pengalaman apa?’ ‘Tidak ada, tapi...’ ‘Oh! Terima kasih, selamat pagi. Kami akan
mengabari Anda.’ Tapi mereka tidak pernah mengabari apa-apa! Aku harus menemukan
pekerjaan lain—pekerjaan apa saja.”
“Jangan dulu, Sayang,” pinta ibunya. “Tunggulah beberapa waktu lagi.”
Barbara menuju jendela dan menatap kosong ke luar, tanpa melihat deretan rumah suram di
seberang jalan.
“Kadang-kadang,” ujarnya perlahan, “aku menyesal mengapa Sepupu Amy mengajakku ke Mesir
musim dingin yang lalu. Oh! Aku memang menikmatinya—satu-satunya kesenangan yang pernah
kurasakan dalam hidupku, yang mungkin takkan pernah terulang kembali. Aku memang
menikmatinya—amat sangat menikmatinya. Tapi aku juga jadi gelisah. Maksudku... karena
kembali ke kehidupan seperti ini.”
Ia menyapukan lengan keliling ruangan. Mrs. St Vincent mengikuti gerakan itu dengan
matanya, lalu mengernyit. Ruangan itu berisi perabotan khas pondokan murah. Tanaman
aspidistra berdebu, perabotan dengan ornamen mencolok, dan kertas dinding bercorak
norak yang sudah luntur di sana-sini. Tampak tanda-tanda bahwa kepribadian penyewa
bertabrakan dengan selera sang induk semang; ada satu-dua benda porselen yang sudah
retak-retak dan diperbaiki, hingga tak bernilai sama sekali kalau ingin dijual, sehelai
kain bersulam yang disampirkan di sandaran sofa, sketsa cat air yang menggambarkan
gadis muda dengan gaya dua puluh tahun silam, cukup mirip dengan sosok Mrs. St Vincent.
“Tak mengapa,” lanjut Barbara, “seandainya kita tidak pernah tinggal di tempat lain.
Tapi kalau mengingat Ansteys...”
Ia terdiam, tidak berani melanjutkan bicara tentang rumah tercinta yang pernah berabadabad menjadi milik keluarga St Vincent, dan yang sekarang sudah menjadi milik orangorang asing.
“Kalau saja Ayah... tidak berspekulasi... dan meminjam...”
“Sayangku,” ujar Mrs. St Vincent, “sejak dulu ayahmu tidak berbakat menjadi pengusaha.”
Ia mengucapkannya dengan ketegasan anggun, dan Barbara menghampiri serta memberinya
kecupan sekilas, sambil bergumam, “Mama yang malang, aku takkan berkata apa-apa lagi.”
Mrs. St Vincent mengambil penanya kembali, lalu membungkuk di atas mejanya. Barbara
melangkah ke jendela lagi. Ia berkata,
“Ibu, aku mendengar dari... dari Jim Masterton pagi ini. Dia ingin kemari dan
mengunjungiku.”
Mrs. St Vincent meletakkan penanya dan menatap tajam.
“Di sini?” serunya.
“Hm, kita kan tak mungkin mengundangnya makan malam di Ritz,” ejek Barbara.
Ibunya tampak sedih. Lagi-lagi ia memandang keliling ruangan itu dengan rasa kurang
suka.
“Ibu benar,” kata Barbara. “Ini memang tempat yang menyebalkan. Kemiskinan terselubung!
Kedengarannya cukup lumayan—pondok bercat putih di pedesaan, kain katun warna-warni
bercorak indah yang sudah lusuh, vas dengan bunga-bunga mawar, peralatan minum teh
Derby yang dicuci sendiri. Mirip kisah di buku-buku. Padahal sebenarnya, dengan anak
laki-laki yang baru mulai bekerja di kantor dari jenjang paling bawah, ini berarti
London. Induk-induk semang jorok, anak-anak kotor yang bermain di tangga, sesama
penyewa yang sepertinya selalu dari golongan bawah, ikan laut yang tidak begitu...
tidak begitu dan seterusnya.”
“Kalau saja...,” ujar Mrs. St Vincent lagi. “Tapi, sungguh, aku mulai khawatir kalaukalau kita bahkan tidak mampu lagi menyewa ruangan ini.”
“Itu berarti kamar tidur merangkap ruang duduk—betapa mengerikan!—untuk Ibu dan aku,”
sahut Barbara. “Dan lemari di bawah tegel untuk Rupert. Dan bila Jim datang berkunjung,
aku harus menemuinya di ruangan bawah, dengan kucing-kucing betina yang merajut di
sepanjang dinding, memelototi kami, dan terbatuk-batuk menjijikkan!”
Hening sejenak.
“Barbara,” ujar Mrs. St Vincent akhirnya. “Apa kau... maksudku... apa kau...?”
Ia terdiam, wajahnya memerah.
“Tidak usah malu-malu, Bu,” kata Barbara. “Zaman sekarang tak ada lagi yang malu-malu.
Kurasa maksud Ibu, menikah dengan Jim? Aku mau sekali kalau dia memintaku. Tapi aku
begitu khawatir dia takkan melakukannya.”
“Oh, Barbara, sayangku.”
“Hm, beda sekali saat aku bepergian bersama Sepupu Amy, bergaul (seperti sering kita
baca di cerpen) dengan kalangan atas. Jim benar-benar suka padaku. Sekarang dia akan
kemari dan melihatku dalam lingkungan seperti ini! Dan dia orang yang sangat aneh,
cerewet, dan kuno. Aku... aku justru agak menyukainya karena sifatnya itu. Ini
mengingatkanku pada Ansteys dan kampung halaman kita—segalanya ketinggalan seratus
tahun, tapi begitu... begitu... oh! Entahlah—begitu harum. Bagaikan bunga lavender!”
Ia tertawa, setengah tersipu karena hasratnya itu. Mrs. St Vincent berbicara dengan
lugu.
“Aku suka bila kau menikah dengan Jim Masterton,” ujarnya. “Dia... salah seorang dari
kita. Dia juga kaya, tapi aku tidak begitu memedulikan ini.”
“Aku peduli,” sahut Barbara. “Aku sudah bosan kekurangan uang terus.”
“Tapi, Barbara, ini bukan...”
“Semata-mata karena itu? Tidak. Aku benar-benar peduli. Aku... oh! Ibu, tidakkah Ibu
melihat bahwa aku ingin kaya?”
Mrs. St Vincent tampak sangat sedih.
“Andai dia bisa melihatmu dalam keadaan pantas, Sayang,” ujarnya prihatin.
“Oh, sudahlah!” sahut Barbara. “Kenapa harus bingung? Kita sebaiknya mencoba bersikap
ceria. Maaf kalau aku tadi menggerutu seperti itu. Senyumlah, Sayang.”
Barbara membungkuk mengecup kening ibunya, lalu melangkah keluar. Mrs. St Vincent
meninggalkan sejenak masalah keuangan, lalu duduk di sofa yang tidak nyaman. Pikirannya
terus berputar-putar, bagaikan tupai di dalam sangkar.
“Orang boleh mengatakan apa saja, tapi penampilan memang mampu membuat pria mundur
teratur. Faktor itu tidak penting seandainya mereka sudah benar-benar bertunangan.
Ketika itu dia akan tahu betapa manisnya putriku. Tapi kaum muda begitu mudah menyerap
nuansa lingkungan sekitar mereka. Rupert, misalnya, sudah berubah. Bukannya aku ingin
anak-anakku jadi pongah. Sama sekali tidak. Tapi aku benci kalau sampai Rupert
bertunangan dengan gadis menyebalkan dari toko pedagang tembakau itu. Aku yakin gadis
itu mungkin sangat baik. Tapi dia bukan dari kalangan kami. Sulit sekali semua ini.
Kasihan Babs-ku yang malang. Kalau saja aku bisa berbuat sesuatu—apa saja. Tapi dari
mana uang untuk itu? Kami sudah menjual segalanya untuk modal awal Rupert. Meski kami
sebenarnya tidak mampu melakukannya.”
Untuk mengalihkan perhatiannya, Mrs. St Vincent meraih koran Morning Post, dan melirik
halaman depan yang memuat iklan. Mereka yang menginginkan modal, mereka yang punya
modal dan ingin melepaskannya cukup dengan tanda tangan saja, orang-orang yang ingin
membeli gigi (sejak dulu ia selalu bertanya-tanya untuk apa), mereka yang ingin menjual
mantel bulu dan gaun-gaun, dan yang punya bayangan optimis mengenai harganya.
Tiba-tiba perhatiannya tersentak. Dibacanya iklan yang satu ini berulang-ulang. “Rumah
kecil di Westminster, lengkap dengan perabotan indah, ditawarkan pada mereka yang mau
merawatnya dengan baik. Ongkos sewa rendah. Tanpa perantara.”
Iklan yang sangat umum. Ia sudah sering membaca iklan serupa—atau hampir serupa. Ongkos
sewa rendah, di situlah letak jebakannya.
Meski demikian, mengingat ia merasa gelisah dan ingin sekali melarikan diri dari
pikirannya, ia langsung mengenakan topi, dan naik bus menuju alamat yang tercantum
dalam iklan tadi.
Ternyata itu alamat agen perumahan. Bukan perusahaan baru yang sedang berkembang—tapi
tempat bergaya kuno yang agak tua. Dengan malu-malu Mrs. St Vincent mengeluarkan iklan
yang telah disobeknya dari koran, dan meminta beberapa keterangan khusus.
Pria tua berambut putih yang melayaninya membelai dagunya sambil merenung.
“Tepat. Ya, tepat, Madam. Rumah yang disebutkan dalam iklan itu terletak di No. 7
Cheviot Place. Apa Anda mau menyewanya?”
“Saya ingin tahu ongkos sewanya terlebih dulu,” ujar Mrs. St Vincent.
“Ah! Ongkos sewanya. Jumlahnya belum ditetapkan, tapi saya bisa memastikan angkanya
benar-benar rendah.”
“Bayangan orang mengenai apa yang benar-benar rendah bisa berbeda-beda,” sahut Mrs. St
Vincent.
Pria tua itu tertawa kecil.
“Ya, itu tipu muslihat lama—akal bulus lama. Tapi Anda boleh memegang perkataan saya,
ini bukan muslihat. Mungkin sewanya dua atau tiga guinea saja (sekitar 40 atau 60
shilling) per minggu, tidak lebih.”
Mrs. St Vincent memutuskan untuk menyewanya. Tentu saja bukan karena ada kemungkinan ia
mampu menempatinya. Namun setidaknya ia ingin melihat rumah itu. Pasti ada sebabnya,
mengapa rumah itu disewakan begitu murah.
Namun hatinya terlonjak saat memandang bagian luar 7 Cheviot Place. Rumah itu benarbenar cantik. Model Queen Anne, dan dalam kondisi sempurna! Seorang kepala pelayan
membukakan pintu. Rambut dan cambangnya sudah beruban, dan sikap tenangnya mirip Uskup
Kepala. Uskup Kepala yang ramah, Mrs. St Vincent membatin.
Ia menjalankan perintah dengan sikap siap membantu.
“Tentu saja, Madam. Saya akan mengantar Anda melihat-lihat. Rumah ini sudah siap
ditempati.”
Ia berjalan mendahului Mrs. St Vincent sambil membukakan pintu-pintu dan menyebut
setiap ruangan.
“Ini ruang tamu, ruang kerja putih, dan ruang penyimpanan di sebelah sini, Madam.”
Benar-benar sempurna—seperti mimpi. Seluruh perabotan mengikuti zaman, tampak sudah
digunakan, namun terawat sangat baik. Permadaninya yang cantik bernuansa redup. Dalam
setiap ruangan terlihat bunga-bunga segar dalam jambangan. Bagian belakang rumah itu
menghadap Green Park. Seluruh tempat itu memancarkan pesona hangat.
Mata Mrs. St Vincent berkaca-kaca, dan ia berusaha keras menahan air matanya. Seperti
inilah Ansteys dulu—Ansteys...
Ia bertanya-tanya apakah kepala pelayan itu memerhatikan gejolak emosinya. Bila
demikian, kepala pelayan itu pasti sudah amat sangat terlatih, sehingga tidak
menunjukkannya. Mrs. St Vincent menyukai pelayan-pelayan tua seperti ini; orang akan
merasa aman dan tenteram bersama mereka. Mereka bagaikan teman saja.
“Rumah ini indah sekali,” ujarnya perlahan. “Sangat cantik. Saya senang bisa
melihatnya.”
“Apakah ini untuk Anda sendiri, Madam?”
“Untuk saya dan putra serta putri saya. Tapi saya khawatir...”
Ia terhenti. Ia begitu menginginkannya—teramat menginginkannya.
Secara naluriah ia merasa kepala pelayan itu memahaminya. Kepala pelayan itu tidak
melihat ke arahnya saat berbicara dengan gaya tak acuh,
“Saya kebetulan tahu, Madam, bahwa pemilik rumah ini lebih mementingkan penyewa yang
cocok. Baginya, ongkos sewa tidaklah penting. Dia ingin rumah ini disewakan pada orang
yang benar-benar mau merawat dan menghargainya.”
“Saya sangat menghargainya,” ujar Mrs. St Vincent lirih.
Ia membalikkan badan dan bersiap-siap pergi.
“Terima kasih sudah mengantar saya melihat-lihat,” ujarnya sopan.
“Sama-sama, Madam.”
Pria itu berdiri tegak di pintu, sementara Mrs. St Vincent menyusuri jalan. Ia
membatin, “Dia tahu. Dia merasa kasihan padaku. Dia juga termasuk generasi lama. Dia
ingin aku menempatinya—bukan orang dari kalangan buruh atau pengusaha kancing! Jenis
kami sudah semakin langka, tapi kami bersatu.”
Ujung-ujungnya ia memutuskan untuk tidak kembali ke agen perumahan itu. Apa gunanya? Ia
memang mampu membayar ongkos sewanya—tapi masih ada para pelayan yang harus
dipertimbangkan. Dalam rumah seperti itu diperlukan pelayan.
Keesokan paginya ia menemukan surat di atas piringnya. Dari agen perumahan yang
menawarkan penyewaan 7 Cheviot Place selama enam bulan dengan ongkos dua guinea
seminggu, ditambah keterangan: “Kami beranggapan Anda telah memahami bahwa para pelayan
tetap menjadi tanggungan pemiliknya? Ini benar-benar penawaran yang unik.”
Memang. Mrs. St Vincent begitu terkejut, sampai-sampai membaca surat itu keras-keras.
Berbagai pertanyaan menyerangnya bertubi-tubi, dan ia pun menjelaskan kunjungannya
kemarin.
“Mama yang penuh rahasia!” seru Barbara. “Apa rumah itu benar-benar seindah itu?”
Rupert berdeham dan mulai melancarkan berbagai pertanyaan menyelidik.
“Pasti ada udang di balik batu. Menurutku ini mencurigakan. Jelas-jelas mencurigakan.”
“Benarkah begitu?” sahut Barbara sambil mengernyitkan hidung. “Huh! Mengapa pula harus
ada udang di baliknya? Memang khas gayamu, Rupert, selalu saja mereka-reka misteri. Ini
pasti gara-gara kisah-kisah detektif yang selalu kaubaca itu.”
“Penyewaan rumah itu cuma alasan saja,” sahut Rupert. “Di kota,” tambahnya sok tahu,
“orang terbiasa dengan segala macam kejadian aneh. Percayalah, ini benar-benar
mencurigakan.”
“Omong kosong,” sergah Barbara. “Rumah itu milik orang kaya-raya, dia sangat
menyukainya, dan dia mau rumahnya ditempati orang-orang yang pantas selama dia pergi.
Semacam itulah. Uang mungkin tidak jadi masalah baginya.”
“Alamatnya di mana tadi?” tanya Rupert pada ibunya.
“Cheviot Place No. 7.”
“Wah!” Ia mendorong kursinya. “Menurutku ini baru seru. Itu rumah tempat Lord
Listerdale menghilang.”
“Apa kau yakin?” tanya Mrs. St Vincent ragu.
“Yakin sekali. Dia memiliki beberapa rumah yang tersebar di seluruh London, tapi rumah
itulah yang ditempatinya. Suatu malam dia keluar rumah dan mengatakan akan pergi ke
klub, tapi sejak itu tak ada yang pernah melihatnya kembali. Kata orang, dia pergi
mendadak ke Afrika Timur atau semacamnya, tapi tidak ada yang tahu mengapa. Ada
kemungkinan dia dibunuh di rumah itu. Kata Ibu di rumah itu banyak papannya?”
“Be... betul,” jawab Mrs. St Vincent ragu, “tapi...”
Rupert tidak memberinya kesempatan lagi. Dengan penuh semangat ia melanjutkan.
“Papan! Nah, pasti ada ceruk di dinding entah di mana. Tubuh korban dijejalkan di situ,
dan sejak itu tetap berada di sana. Mungkin mayatnya sudah dibalsem terlebih dulu.”
“Rupert, Sayang, jangan meracau,” tegur ibunya.
“Jangan berlagak tolol seperti idiot,” sembur Barbara. “Kau sudah terlalu sering
mengajak si pirang itu ke bioskop.”
Rupert bangkit dengan penuh gengsi—sejauh yang dimungkinkan sosoknya yang kurus tinggi
dan usianya yang tanggung itu; ia memberikan ultimatum terakhir.
“Sewalah rumah itu, Ma. Aku akan membongkar misterinya. Lihat saja nanti.”
Rupert bergegas meninggalkan ruangan, khawatir terlambat sampai ke kantor.
Kedua wanita itu saling pandang.
“Bisakah kita, Ibu?” gumam Barbara gemetar. “Oh! Seandainya saja kita bisa.”
“Para pelayan,” ujar Mrs. St Vincent sedih, “harus makan, kau tahu. Maksudku, tentu
saja mereka harus makan—tapi justru di situlah letak kekurangannya. Orang bisa begitu
mudah—hidup tanpa hal-hal tertentu—bila cuma seorang diri.”
Ia menatap iba pada Barbara, dan gadis itu mengangguk.
“Kita harus memikirkannya kembali,” kata sang ibu.
Namun di benaknya ia sudah membuat keputusan. Ia telah melihat binar di mata gadis itu.
Ia berkata dalam hati, “Jim Masterton harus melihatnya dalam lingkungan yang pantas.
Inilah kesempatannya—kesempatan bagus sekali. Aku harus meraihnya.”
Mrs. St Vincent duduk dan menulis pada agen untuk menerima penawaran mereka.
***
“Quentin, dari mana datangnya bunga-bunga lili ini? Aku tidak mampu membeli bunga-bunga
mahal.”
“Bunga-bunga ini dikirim dari King’s Cheviot, Madam. Ini kebiasaan di sini sejak dulu.”
Kepala pelayan itu mengundurkan diri. Mrs. St Vincent menarik napas lega. Apa yang
harus diperbuatnya tanpa Quentin? Ia membuat segala hal begitu mudah. Ia berpikir dalam
hati, “Ini terlalu indah untuk bisa bertahan. Aku akan segera terbangun, aku tahu itu,
dan menyadari bahwa semua ini ternyata cuma mimpi. Aku begitu bahagia di sini—sudah dua
bulan, dan rasanya begitu singkat.”
Kehidupan memang sangat menyenangkan. Quentin, sang kepala pelayan, telah menyatakan
diri sebagai otokrat 7 Cheviot Place. “Bila Anda mau menyerahkan segala sesuatu pada
saya, Madam,” ujarnya penuh hormat, “Anda akan mendapatkan yang terbaik.”
Setiap minggu Quentin membawakan pembukuan rumah tangga dengan angka-angka sangat
rendah. Di rumah itu hanya ada dua pelayan lain, yakni juru masak dan pembantu rumah
tangga. Tutur kata mereka menyenangkan, dan mereka efisien dalam mengerjakan tugas,
tapi Quentin-lah yang mengendalikan pengaturan rumah. Ada kalanya daging binatang
buruan dan unggas terhidang di meja, yang menyebabkan Mrs. St Vincent khawatir. Quentin
lalu akan menenangkannya. Alasannya, daging itu dikirim dari King’s Cheviot, vila Lord
Listerdale, atau dari tambatan perahunya di Yorkshire. “Ini sudah jadi kebiasaan sejak
dulu, Madam.”
Diam-diam Mrs. St Vincent meragukan apakah Lord Listerdale yang tidak berada di tempat
setuju dengan kata-kata itu. Ia cenderung mencurigai Quentin melangkahi otoritas
majikannya. Sudah jelas ia menyukai mereka, dan di matanya tak ada yang terlampau baik
buat mereka.
Berhubung rasa ingin tahunya tergugah karena komentar Rupert, Mrs. St Vincent sekilas
menyinggung soal Lord Listerdale ketika ia berbincang lagi dengan agen perumahan. Pria
tua berambut putih itu langsung menanggapi.
Ya, Lord Listerdale berada di Afrika Timur sejak delapan belas bulan yang lalu.
“Klien kami ini agak eksentrik,” ujarnya sambil tersenyum lebar. “Mungkin Anda masih
ingat bagaimana dia meninggalkan London dengan cara yang sama sekali di luar kebiasaan?
Dia tidak meninggalkan pesan pada siapa pun. Koran-koran mencium berita ini. Orang
bahkan menanyakannya ke Scotland Yard. Untung saja Lord Listerdale sendiri mengirim
berita dari Afrika Timur. Dia menetapkan Kolonel Carfax, sepupunya, sebagai
penggantinya dengan kuasa hukum pengacara. Yang disebut belakangan inilah yang mengatur
semua urusan Lord Listerdale. Ya, agak eksentrik memang. Sejak dulu dia senang
berkelana di alam bebas—sepertinya sudah ditentukan bahwa dia takkan kembali ke London
selama bertahun-tahun, meskipun usianya semakin bertambah.”
“Umurnya pasti belum begitu tua,” ujar Mrs. St Vincent, sambil membayangkan wajah
sangar berjenggot mirip pelaut dari zaman Elizabeth, yang pernah dilihatnya di majalah
bergambar.
“Usia pertengahan,” ujar pria berambut putih itu. “Menurut Debrett, lima puluh tiga.”
Mrs. St Vincent mengulangi percakapan ini pada Rupert, dengan tujuan menegur anak muda
itu.
Tapi Rupert tidak mau mundur.
“Urusan ini tampak semakin mencurigakan saja,” ucapnya. “Siapa pula si Kolonel Carfax
ini? Kalau terjadi sesuatu dengan Listerdale, dia mungkin akan memperoleh gelar. Surat
dari Afrika Timur itu mungkin saja dipalsukan. Dalam waktu tiga tahun, atau kapan pun,
si Carfax ini akan mengumumkan kematian Listerdale dan meraih gelarnya. Sementara itu,
dialah yang mengurus seluruh estat. Aku menyebutnya sangat mencurigakan.”
Ia telah mengakui dengan rendah hati bahwa ia menyukai rumah itu. Di waktu senggangnya,
ia cenderung ingin mengetuk bilah-bilah papan, dan mengukur dengan teliti untuk mencari
kemungkinan adanya ruangan rahasia, namun sedikit demi sedikit minatnya pada misteri
Lord Listerdale semakin pupus. Ia juga tidak begitu tertarik lagi pada putri pedagang
tembakau itu. Ini terasa sekali.
Bagi Barbara, rumah ini sangat memuaskan. Jim Masterton sudah datang berkunjung dan
sering bertandang. Ia dan Mrs. St Vincent semakin akrab saja, dan suatu hari ia
mengutarakan sesuatu yang mengejutkan Barbara.
“Rumah ini lingkungan yang cocok sekali untuk ibumu.”
“Untuk Ibu?”
“Ya. Rumah ini memang disediakan untuknya! Dia begitu serasi dengan tempat ini. Kau
bisa merasakan sesuatu yang ganjil dengan rumah ini, sesuatu yang aneh dan menghantui.”
“Jangan seperti Rupert,” Barbara memohon padanya. “Dia yakin Kolonel Carfax yang jahat
itu telah membunuh Lord Listerdale dan menyembunyikan mayatnya di bawah lantai.”
Masterton tertawa.
“Aku mengagumi semangat detektif Rupert. Tidak, yang kumaksud bukan itu. Tapi ada
sesuatu di udara, suatu atmosfer yang sulit dipahami.”
Mereka sudah menempati Cheviot Place tiga bulan lamanya ketika Barbara menghampiri
ibunya dengan wajah berseri-seri.
“Jim dan aku... sudah bertunangan. Ya—semalam. Oh, Ibu! Ini bagaikan dongeng yang jadi
kenyataan.”
“Oh, sayangku! Aku begitu senang—sangat senang.”
Ibu dan anak itu saling berpelukan.
“Ibu tahu, Jim hampir sama jatuh cintanya pada Ibu seperti padaku,” ujar Barbara
akhirnya, sambil tertawa nakal.
Mrs. St Vincent tersipu hingga tampak sangat cantik.
“Sungguh,” gadis itu bersikeras. “Ibu menyangka rumah ini akan menjadi lingkungan yang
bagus untukku, padahal selama ini justru menjadi lingkungan yang cocok bagi Ibu. Rupert
dan aku tidak begitu serasi dengan tempat ini. Tapi Ibu serasi sekali.”
“Jangan bicara ngawur, Sayang.”
“Ini bukan ngawur. Ada suasana kastil yang terkena pesona sihir di sini, dan Ibu-lah
putri yang kena sihir, sedangkan Quentin adalah... adalah... oh! Sang penyihir yang
baik.”
Mrs. St Vincent tergelak, dan mengakui hal terakhir tadi.
Rupert menanggapi pertunangan saudara perempuannya dengan tenang.
“Aku sudah menduga ada sesuatu yang mengarah ke sana,” ujarnya bijaksana.
Rupert dan ibunya sedang makan malam berdua; Barbara sedang keluar bersama Jim.
Quentin meletakkan botol anggur di depannya, dan mengundurkan diri tanpa bicara.
“Dia aneh sekali,” ujar Rupert sambil mengangguk ke arah pintu yang tertutup itu. “Ada
yang ganjil dengan dirinya, sesuatu...”
“Yang tidak mencurigakan?” sela Mrs. St Vincent sambil tersenyum simpul.
“Wah, Ibu, bagaimana Ibu bisa menebak apa yang akan kukatakan?” ia bertanya serius.
“Itu kan cuma istilah yang sering kaugunakan, Sayang. Kau menganggap segala hal
mencurigakan. Kurasa kau beranggapan Quentin-lah yang menghabisi Lord Listerdale dan
menyembunyikannya di bawah lantai?”
“Di balik papan,” Rupert memperbaiki. “Ibu selalu saja keliru. Tidak, aku sudah
menyelidiki hal itu. Ketika itu Quentin sedang berada di King’s Cheviot.”
Mrs. St Vincent tersenyum padanya sambil bangkit dari meja, dan melangkah ke ruang
tamu. Dalam beberapa hal, Rupert tampak begitu cepat dewasa.
Namun untuk pertama kalinya ia bertanya-tanya, apa alasan Lord Listerdale meninggalkan
London dengan tiba-tiba seperti itu. Pasti ada sesuatu di baliknya, mengingat keputusan
mendadak itu. Ia masih memikirkan hal tersebut saat Quentin masuk membawa nampan kopi,
dan Mrs. St Vincent pun berkata dengan impulsif.
“Kau sudah cukup lama bersama Lord Listerdale, bukan, Quentin?”
“Betul, Madam; sejak saya berusia dua puluh satu. Di masa Lord yang sudah almarhum.
Saya mengawali sebagai pelayan biasa.”
“Kau tentunya sangat mengenal Lord Listerdale. Orang seperti apakah dia?”
Kepala pelayan itu memutar nampannya sedikit, agar Mrs. St Vincent bisa lebih mudah
menyendok gulanya, sementara Quentin menjawab datar,
“Dulu Lord Listerdale orang yang sangat egois, Madam. Dia tidak pernah memedulikan
orang lain.”
Ia menyingkirkan nampan, lalu membawanya keluar. Mrs. St Vincent duduk sambil memegangi
cangkir kopinya dan mengerutkan kening. Terlepas dari pandangannya, ucapan Quentin
terasa aneh. Dalam sekejap ia pun sadar.
Quentin menggunakan istilah “dulu”, bukannya “sekarang”. Bagaimanapun, Quentin tentunya
berpikir—tentunya percaya... Mrs. St Vincent bangkit berdiri. Dirinya sama payahnya
dengan Rupert! Tapi perasaan tidak enak merayapi benaknya. Sejak itu ia mulai curiga
terhadap sang pelayan.
Setelah kebahagiaan dan masa depan Barbara terjamin, Mrs. St Vincent punya waktu untuk
memikirkan dirinya sendiri, dan berlawanan dengan kehendaknya, pikirannya mulai
terpusat pada misteri Lord Listerdale. Seperti apakah kisah sebenarnya? Apa pun itu,
Quentin pasti tahu sesuatu tentang hal tersebut. Kata-katanya sungguh aneh—“orang yang
sangat egois—tidak pernah memedulikan orang lain.” Apa yang ada di balik kata-kata itu?
Ia bicara seperti hakim saja, tidak memihak dan netral.
Apakah
bagian
Rupert
memang
Quentin terlibat peristiwa menghilangnya Lord Listerdale? Apakah ia turut ambil
dalam tragedi apa pun yang mungkin terjadi? Lagi pula, sekonyol apa pun asumsi
ketika itu, surat tunggal dengan kuasa hukum yang dikirim dari Afrika Timur itu
layak dicurigai.
Namun sebesar apa pun usahanya, ia tak percaya ada sesuatu yang jahat dalam diri
Quentin. Berulang kali ia mengatakan pada diri sendiri bahwa Quentin orang yang baik—ia
menggunakan istilah ini sesederhana anak kecil. Quentin orang yang baik. Tapi ia
mengetahui sesuatu!
Sejak itu Mrs. St Vincent tidak pernah lagi membicarakan majikan Quentin dengannya.
Subjek itu sepertinya terlupakan. Rupert dan Barbara memikirkan hal-hal lain, dan
mereka tidak mendiskusikannya lagi.
Sudah mendekati akhir bulan Agustus ketika dugaannya yang samar-samar mengkristal
menjadi kenyataan. Rupert pergi berlibur selama dua minggu bersama temannya yang
memiliki sepeda motor dan karavan. Pada hari kesepuluh sejak kepergiannya, Mrs. St
Vincent terkejut melihatnya bergegas memasuki ruangan tempat ia sedang menulis.
“Rupert!” serunya.
“Aku tahu, Bu. Ibu tidak menyangka aku akan datang tiga hari lebih awal. Tapi sesuatu
telah terjadi. Anderson—temanku, Ibu tahu kan—tidak peduli ke mana kami akan pergi,
jadi aku mengusulkan kami melihat-lihat ke King’s Cheviot...”
“King’s Cheviot? Tapi untuk apa?”
“Ibu tahu betul bahwa sejak dulu aku merasa di sini ada sesuatu yang mencurigakan. Nah,
aku mengunjungi tempat tua itu—dan ternyata... tak ada apa pun di situ. Bukannya aku
menduga akan menemukan sesuatu—aku sekadar menyelidiki saja.”
Betul, pikir Mrs. St Vincent. Saat ini Rupert sangat mirip anjing. Berputar-putar
menyelidiki sesuatu yang samar dan tidak jelas, didorong oleh naluri, sangat asyik dan
senang.
“Saat kami melewati desa sekitar sepuluh atau sebelas kilometer, terjadilah hal itu—
saat aku melihatnya, maksudku.”
“Melihat siapa?”
“Quentin—tepat ketika dia memasuki pondok kecil. Aku berkata dalam hati, ini
mencurigakan. Kami menghentikan bus dan aku berjalan kembali. Aku mengetuk pintu pondok
itu, dan dia sendiri yang membukakan pintu.”
“Tapi aku tidak mengerti. Quentin tidak pernah pergi...”
“Aku baru mau menjelaskannya, Bu. Tolong dengarkan saja dan jangan menyela. Orang itu
Quentin, tapi bukan Quentin, kalau Ibu paham maksudku.”
Mrs. St Vincent jelas-jelas tidak paham, jadi Rupert menguraikannya lebih lanjut.
“Orang itu memang Quentin, tapi bukan Quentin kita. Ini Quentin yang asli.”
“Rupert!”
“Dengarkan. Tadinya aku sendiri pun terkecoh dan berkata, ‘Anda Quentin, bukan?’ Dan
orang tua itu menjawab, ‘Betul, Sir, itu memang namaku. Bisa kubantu?’ Kemudian aku
menyadari dia bukan pelayan kita, meskipun sangat mirip, termasuk suaranya. Aku
mengajukan beberapa pertanyaan, dan kisah sebenarnya pun keluar semua. Laki-laki tua
itu tidak tahu sama sekali ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Dia memang
pernah jadi kepala pelayan Lord Listerdale, dan menjalani pensiun dengan mendapat
pesangon serta pondok ini kurang-lebih bersamaan dengan kepergian Lord Listerdale ke
Afrika. Ibu lihat ke mana arahnya. Orang ini penipu—dia memainkan peran Quentin untuk
tujuannya sendiri. Teoriku adalah, malam itu dia ke kota, menyamar sebagai kepala
pelayan dari King’s Cheviot, diwawancarai Lord Listerdale yang dibunuhnya, lalu
menyembunyikan mayatnya di balik papan. Ini rumah tua, pasti ada ceruk rahasia...”
“Oh, jangan kita ulangi lagi masalah itu,” sela Mrs. St Vincent gusar. “Aku tidak
tahan. Kenapa dia harus—itulah yang ingin kuketahui—kenapa? Seandainya dia benar
melakukan hal seperti itu—yang sama sekali tidak kupercayai, ingat itu—apa alasannya
untuk semua ini?”
“Ibu benar,” ujar Rupert. “Motif—itulah yang penting. Sekarang aku sudah menyelidiki.
Lord Listerdale memiliki banyak properti rumah. Dalam dua hari terakhir ini aku
menemukan bahwa selama delapan belas bulan terakhir ini, praktis setiap rumah miliknya
telah disewakan pada orang-orang seperti kita, dengan ongkos sewa sangat murah—dengan
ketentuan bahwa para pelayannya tetap tinggal. Dan dalam setiap kasus, Quentin sendiri—
maksudku orang yang menyebut dirinya Quentin—sudah berperan sebagai kepala pelayan
untuk beberapa waktu. Sepertinya ada sesuatu—perhiasan, atau surat-surat berharga—yang
disembunyikan di salah satu rumah Lord Listerdale, dan kelompok itu tidak tahu rumah
yang mana. Aku berasumsi bahwa ini ulah sebuah kelompok, tapi tentu saja si Quentin ini
mungkin bekerja seorang diri. Ada suatu...”
Mrs. St Vincent menyela tegas,
“Rupert! Hentikan omonganmu sebentar. Kau membuat kepalaku pusing. Lagi pula, apa yang
kaukatakan itu omong kosong—soal kelompok dan kertas-kertas berharga yang disembunyikan
itu.”
“Masih ada teori lainnya lagi,” Rupert mengakui. “Si Quentin ini mungkin saja orang
yang pernah disakiti Lord Listerdale. Kepala pelayan yang asli bercerita banyak tentang
orang bernama Samuel Lowe—pembantu tukang kebun dengan perawakan kurang-lebih sama
dengan Quentin sendiri. Dia sakit hati terhadap Listerdale...”
Mrs. St Vincent tersentak.
“Yang tidak pernah memedulikan orang lain.” Kata-kata itu terngiang kembali, berikut
aksen datar dan tenang orang yang mengucapkannya. Kata-kata yang tidak memadai, tapi
apa makna di baliknya?
Karena begitu tenggelam dalam lamunannya sendiri, ia nyaris tidak mendengarkan Rupert.
Putranya menjelaskan sesuatu dengan cepat yang tidak diserap oleh sang ibu, dan
bergegas meninggalkan ruangan.
Kemudian Mrs. St Vincent pun tersadar. Ke mana perginya Rupert tadi? Apa yang akan
dilakukannya? Mrs. St Vincent tidak menangkap kata-katanya yang terakhir. Mungkin ia
hendak melapor pada polisi. Kalau begitu...
Mrs. St Vincent bangkit dan membunyikan lonceng. Seperti biasanya, Quentin langsung
datang.
“Anda membunyikan lonceng, Madam?”
“Ya. Silakan masuk dan tolong tutup pintunya.”
Kepala pelayan itu menurut, dan untuk sesaat Mrs. St Vincent diam saja sambil
mengamatinya dengan pandangan serius.
Pikirnya, “Dia sudah begitu baik padaku—tak seorang pun tahu sebaik apa. Anak-anak
takkan mengerti. Kisah Rupert yang gila-gilaan ini mungkin saja omong kosong belaka—
tapi di lain pihak, mungkin saja—ya, mungkin saja—ada benarnya juga. Mengapa orang
harus menghakimi? Orang tidak bisa tahu. Maksudku, kebenaran maupun
ketidakbenarannya... Dan aku akan mempertaruhkan hidupku—ya, akan kulakukan itu!—bahwa
dia orang yang baik.”
Dengan wajah memerah dan suara gemetar, Mrs. St Vincent berbicara.
“Quentin, Mr. Rupert baru saja kembali. Dia telah mengunjungi King’s Cheviot—ke sebuah
desa kecil di dekat situ...”
Ia terhenti melihat sentakan yang tak mampu disembunyikan Quentin.
“Dia telah melihat... seseorang,” lanjutnya dengan tenang.
Dalam hati ia berpikir, “Nah—dia sudah diperingatkan. Bagaimanapun, dia sudah
diperingatkan.”
Sesudah tersentak sesaat, Quentin berhasil memulihkan sikap tenangnya, namun
pandangannya melekat di wajah Mrs. St Vincent, siaga dan tajam, ditambah sesuatu yang
belum pernah dilihat olehnya. Untuk pertama kalinya, sorot mata itu bukan lagi milik
seorang pelayan, tapi seorang laki-laki.
Quentin ragu sesaat, lalu berbicara dengan suara yang juga sudah berubah,
“Mengapa Anda menceritakan hal ini padaku, Mrs. St Vincent?”
Sebelum Mrs. St Vincent sempat menjawab, pintu terbuka lebar dan Rupert melangkah
masuk. Bersamanya ada seorang laki-laki di usia pertengahan dengan cambang dan sikap
Uskup Kepala yang murah hati, Quentin!
“Ini dia,” kata Rupert. “Quentin yang asli. Aku menyuruhnya menunggu di taksi. Nah,
Quentin, pandanglah laki-laki ini dan katakan padaku... apakah dia Samuel Lowe?”
Bagi Rupert ini saat penuh kemenangan. Namun hanya untuk sesaat, karena pada saat
hampir bersamaan ia merasa ada yang tidak beres. Sebab sementara Quentin yang asli
tampak tersipu dan sangat salah tingkah, Quentin palsu tersenyum-senyum lebar penuh
kenikmatan yang tidak dibuat-buat.
Ia menepuk punggung kembarannya.
“Tidak mengapa, Quentin. Kurasa akhirnya rahasia ini harus dibongkar juga. Kau bisa
mengatakan pada mereka siapa aku.”
Orang asing yang bermartabat itu menegakkan diri.
“Ini, Sir,” ia mengumumkan dengan nada mencela, “adalah majikanku, Lord Listerdale.”
***
Saat berikutnya terjadilah banyak hal. Pertama, keruntuhan Rupert yang penuh percaya
diri. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, dengan mulut masih ternganga karena kaget,
ia mendapati dirinya dituntun dengan lembut menuju pintu, dan suara ramah yang tidak
biasa didengarnya pun berkata,
“Tidak mengapa, Nak. Tak ada yang celaka. Tapi aku ingin bicara dengan ibumu. Kerjamu
bagus sekali, menyelidiki aku seperti ini.”
Rupert terpaku di luar, sambil menatap pintu yang tertutup. Quentin yang asli berdiri
di sampingnya, dan serangkaian penjelasan mengalir dari bibirnya. Di dalam ruangan,
Lord Listerdale berhadapan dengan Mrs. St Vincent.
“Biar kujelaskan—kalau bisa! Sepanjang umurku aku seperti setan egois—aku menyadari
fakta ini pada suatu hari. Pikirku, untuk selingan aku ingin mencoba jadi orang yang
sedikit mementingkan orang lain. Dan karena aku ini sangat bodoh, aku mengawali
karierku dengan gemilang. Aku menyumbang ke sana-sini, tapi aku merasa harus melakukan
sesuatu—sesuatu yang bersifat pribadi. Sejak dulu aku iba pada golongan yang tidak
sanggup mengemis, yang menderita dalam diam—orang-orang yang malang. Aku memiliki
banyak rumah. Timbul gagasanku untuk menyewakannya pada orang-orang yang... hm,
membutuhkan dan menghargai rumah-rumah itu. Pasangan-pasangan muda yang baru meniti
kehidupan, para janda dengan putra-putri yang baru belajar melangkah di dunia. Bagiku,
Quentin lebih dari sekadar kepala pelayan, dia sahabatku. Dengan izin dan bantuannya,
aku meminjam kepribadiannya. Sejak dulu aku memang berbakat dalam seni peran. Ide ini
muncul dalam perjalanan pulang dari klub pada suatu malam, dan aku langsung
membicarakannya dengan Quentin. Waktu aku mendengar orang meributkan menghilangnya
diriku, aku mengatur surat yang seakan berasal dariku di Afrika Timur. Di dalamnya, aku
memberikan instruksi penuh pada Maurice Carfax, sepupuku. Dan... itulah kurang-lebih
kisahnya.”
Ia memutus pembicaraannya dengan agak tertegun, sambil melirik penuh rasa tertarik ke
arah Mrs. St Vincent. Wanita ini berdiri tegak, dan menatap lurus lawan bicaranya.
“Ini rencana yang baik,” ujarnya. “Rencana yang sangat tidak biasa, dan yang
menguntungkan Anda. Saya... sangat berterima kasih. Tapi... tentu saja, Anda paham
bahwa kami tidak bisa tinggal?”
“Aku sudah menduganya,” ujar Lord Listerdale. “Harga dirimu tidak mengizinkanmu
menerima sesuatu yang mungkin kauanggap ‘derma’.”
“Bukankah memang demikian?” tanya Mrs. St Vincent tegar.
“Bukan,” jawab Lord Listerdale. “Sebab sebagai gantinya, aku meminta sesuatu.”
“Sesuatu?”
“Semuanya,” serunya lantang, dengan suara orang yang terbiasa menguasai.
“Waktu aku berumur dua puluh tiga,” lanjutnya, “aku menikahi gadis yang kucintai. Dia
meninggal setahun kemudian. Sejak itu aku merasa sangat kesepian. Aku sangat berharap
bisa menemukan seorang wanita—wanita impianku...”
“Akukah wanita itu?” tanya Mrs. St Vincent lirih. “Aku sudah begitu tua—begitu pudar.”
Lord Listerdale terbahak.
“Tua? Kau lebih muda daripada kedua anakmu. Akulah yang tua, kalau kau mau menyebutnya
demikian.”
Kali ini ganti Mrs. St Vincent-lah yang tergelak. Gelak tawa lembut karena geli.
“Kau? Kau masih anak-anak. Anak laki-laki yang gemar menyamar.”
Ia mengulurkan kedua tangannya, dan Lord Listerdale menyambutnya dengan tangannya.
PHILOMEL COTTAGE
“SAMPAI nanti, Darling.”
“Selamat jalan, Sweetheart.”
Alix Martin bersandar di pintu pagar yang sudah berkarat, sambil menatap sosok suaminya
yang semakin menjauh ke arah desa.
Tak lama kemudian suaminya menghilang di balik tikungan, tapi Alix masih tetap berdiri
di tempat dengan pandangan kosong, sambil menyibakkan seberkas rambut cokelat ikal yang
diterbangkan angin ke wajahnya.
Alix Martin tidak jelita atau cantik. Namun wajahnya—wajah wanita yang sudah tidak
belia lagi—bersinar dan lembut, hingga para mantan rekan sekerjanya di kantor nyaris
takkan mengenalinya. Dulu Miss Alex King wanita karier yang ramping, efisien, tegas,
jelas-jelas cakap, dan selalu langsung ke sasaran.
Alix terbiasa dengan kehidupan keras. Selama lima belas tahun, sejak usia delapan belas
sampai tiga puluh tiga, ia menghidupi diri (dan selama tujuh tahun menghidupi ibunya
yang sakit-sakitan) dengan bekerja sebagai juru steno. Perjuangan berat ini telah
menorehkan garis-garis keras di wajahnya yang belia.
Memang, pernah terjalin asmara—atau semacamnya—antara dia dengan Dick Windyford, rekan
sesama juru tulis. Sebagai wanita berperasaan peka, diam-diam Alix sudah lama tahu
bahwa Dick menaruh hati padanya. Dilihat dari luar, mereka sekadar teman biasa, tidak
lebih. Dengan gajinya yang kecil, Dick kesulitan menanggung biaya sekolah adiknya. Saat
itu ia tidak bisa berpikir tentang perkawinan.
Kemudian dengan tiba-tiba Alix mendapat durian runtuh. Seorang sepupu jauh meninggal
dan mewariskan uangnya pada Alix—beberapa ribu pound, cukup banyak untuk mendatangkan
beberapa ratus pound setahun. Bagi Alix, ini berarti kebebasan, hidup, kemandirian.
Sekarang ia dan Dick tak perlu menunggu lebih lama lagi.
Namun reaksi Dick ternyata di luar dugaan. Ia belum pernah menyatakan cintanya secara
langsung pada Alix; sekarang ia bahkan cenderung semakin tidak berhasrat
mengutarakannya. Ia menghindari Alix, menjadi murung dan bermuram durja. Alix segera
menyadari masalah sebenarnya. Ia telah menjadi wanita kaya. Perasaan Dick yang halus
dan harga diri yang tinggi menghalangi Dick memperistrinya.
Namun Alix tetap menyukainya, dan menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia saja yang
lebih dulu mengambil langkah; namun lagi-lagi terjadi hal tak terduga.
Alix berjumpa dengan Gerald Martin di rumah seorang teman. Gerald jatuh cinta setengah
mati padanya, dan dalam seminggu mereka telah bertunangan. Alix yang selama ini
menganggap dirinya “bukan jenis yang gampang jatuh cinta”, langsung lupa daratan.
Tanpa disadari, keputusannya membuat marah mantan kekasihnya. Dick Windyford datang
menjumpainya dengan sangat berang.
“Laki-laki itu masih asing buatmu! Kau tidak tahu apa-apa tentang dia!”
“Aku tahu aku mencintainya.”
“Bagaimana kau bisa tahu—hanya dalam seminggu?”
“Tidak semua orang butuh waktu sebelas tahun untuk menyadari dia mencintai seorang
gadis,” teriak Alix marah.
Wajah Dick pucat pasi.
“Aku mencintaimu sejak pertama kali mengenalmu. Kusangka kau juga mencintaiku.”
Alix berkata sejujurnya.
“Aku juga menyangka begitu,” ia mengakui. “Tapi itu karena aku tidak tahu arti cinta.”
Amarah Dick meledak kembali. Imbauan, permohonan, bahkan ancaman—ancaman terhadap lakilaki yang telah menggantikan dirinya. Alix terpana melihat gunung berapi yang
tersembunyi di bawah penampilan pendiam pria yang disangkanya sangat ia kenal itu.
Sekarang, di hari Minggu pagi, saat bersandar di pagar pondok, ingatan Alix kembali
pada percakapan itu. Ia sudah menikah sebulan, dan bahagia seperti dalam syair puisi.
Namun saat ini, saat suami yang sangat dicintainya sedang tidak ada di sampingnya,
sekelumit kecemasan menerobos kebahagiaannya yang sempurna. Penyebabnya Dick Windyford.
Tiga kali sejak menikah, ia mendapat mimpi yang sama. Lingkungannya memang berbeda,
tapi intinya selalu sama. Ia melihat suaminya terbujur tak bernyawa, dan Dick Windyford
berdiri mengawasinya. Alix tahu betul tangan Dick-lah yang telah melancarkan pukulan
fatal itu.
Namun ada yang lebih mengerikan lagi—maksudnya mengerikan saat terbangun, sebab kalau
hanya dalam mimpi, semua itu seakan sangat wajar dan tak terelakkan. Dia, Alix Martin,
senang suaminya sudah mati, ia mengulurkan tangan penuh syukur pada pembunuhnya, bahkan
mengucapkan terima kasih. Mimpi itu selalu berakhir dengan cara yang sama, ia berada
dalam pelukan Dick Windyford.
***
Alix tidak menceritakan mimpi itu pada suaminya, tapi diam-diam ia sangat terganggu.
Apakah ini suatu peringatan—peringatan terhadap Dick Windyford?
Alix tersentak dari lamunannya mendengar dering telepon dari dalam rumah. Ia masuk dan
mengangkat gagangnya. Mendadak ia terhuyung-huyung dan berpegangan pada dinding.
“Siapa ini?”
“Alix, ada apa dengan suaramu? Aku hampir tidak mengenalimu. Ini Dick.”
“Oh!” ujar Alix. “Oh! Di mana... di mana kau?”
“Di Traveller’s Arms—namanya tidak salah, kan? Atau kau bahkan tidak tahu kedai minum
desamu sendiri? Aku sedang berlibur—sedikit memancing ikan di sini. Apa kau keberatan
bila malam ini aku mengunjungi kalian berdua sesudah makan malam?”
“Tidak,” sahut Alix tajam. “Kau tidak boleh datang.”
Hening sejenak, setelah itu Dick berbicara lagi, nadanya sedikit berubah.
“Maaf,” ujarnya formal. “Tentu saja aku tidak akan mengganggu kalian...”
Alix segera menyela. Dick pasti menganggap sikapnya keterlaluan. Memang keterlaluan.
Saraf Alix pasti sudah berantakan tidak keruan.
“Aku cuma bermaksud mengatakan... malam ini... kami punya kesibukan,” jelasnya sambil
berusaha agar suaranya terdengar sewajar mungkin. “Bagaimana kalau kau... kalau kau
datang makan malam besok?”
Namun rupanya Dick menyadari tidak ada keramahan sedikit pun dalam nada bicara Alix.
“Banyak terima kasih,” ujarnya dengan nada sama formalnya, “tapi aku akan meneruskan
perjalananku setiap saat. Tergantung temanku muncul atau tidak. Sampai jumpa, Alix.” Ia
terdiam sesaat, lalu cepat-cepat menambahkan dengan nada berbeda, “Semoga kau bahagia,
Sayang.”
Alix meletakkan telepon dengan lega.
“Dia tidak boleh kemari,” Alix berkata berulang kali pada diri sendiri. “Dia tidak
boleh kemari. Oh, alangkah bodohnya aku! Membayangkan yang tidak-tidak, sampai cemas
begini. Bagaimanapun, aku senang dia tidak jadi datang.”
Ia menyambar topi anyaman dari meja, dan keluar lagi ke kebun, lalu berhenti dan
menengadah melihat nama yang terukir di atas beranda: Philomel Cottage.
“Nama yang keren, bukan?” ia pernah berkata pada Gerald sebelum mereka menikah. Ketika
itu Gerald tertawa.
“Dasar orang London,” ujarnya mesra. “Aku tidak percaya kau pernah mendengar kicau
burung bulbul. Aku senang kau belum pernah mengalaminya. Burung bulbul hanya patut
bernyanyi untuk para kekasih. Kita akan menikmati kicaunya bersama-sama di malam musim
panas, di luar rumah kita sendiri.”
Saat teringat bagaimana mereka benar-benar mendengarnya, Alix yang sedang berdiri di
pintu masuk rumahnya tersipu bahagia.
Gerald-lah yang menemukan Philomel Cottage. Ia mendatangi Alix dengan semangat
menggebu. Ia telah menemukan tempat yang tepat bagi mereka—unik, sangat istimewa,
kesempatan sekali seumur hidup. Dan ketika Alix melihat rumah itu, ia pun terpesona.
Memang benar suasananya agak sepi—letaknya tiga kilometer dari desa terdekat—namun
pondok itu begitu elok, dengan tampilan kuno, kamar-kamar mandi nyaman, sistem air
panas, listrik, dan telepon, hingga ia langsung terpikat. Namun ada satu kendala.
Pemiliknya, seorang pria kaya, mulai bertingkah dan tidak bersedia menyewakannya. Ia
hanya mau menjualnya.
Meski punya penghasilan bagus, Gerald Martin tidak mampu menutup harga yang diminta.
Paling banyak ia hanya mampu mengumpulkan seribu pound. Pemiliknya meminta tiga ribu.
Namun Alix, yang sudah menetapkan pilihan pada tempat itu, menjadi penyelamat.
Berhubung warisannya berbentuk surat obligasi, uangnya mudah dicairkan. Ia akan
memberikan separonya guna membeli rumah itu. Demikianlah Philomel Cottage menjadi milik
mereka, dan Alix tidak menyesali pilihannya sedikit pun. Memang para pelayan tidak
menyukai suasana sunyi pedesaannya—saat ini mereka tidak punya pelayan sama sekali—
tetapi Alix, yang begitu mendambakan kehidupan domestik, benar-benar menikmati kegiatan
memasak dan merawat rumah.
Kebunnya, yang sarat dengan berbagai macam bunga, diurus laki-laki tua dari desa yang
datang dua kali seminggu.
Saat berbelok di sudut rumah, Alix heran melihat tukang kebun tua itu sedang sibuk
bekerja di tengah bunga-bunga. Biasanya ia bekerja hari Senin dan Jumat, padahal ini
hari Rabu.
“Wah, George, sedang apa kau di sini?” tanya Alix sambil berjalan mendekatinya.
Laki-laki tua itu berdiri sambil terkekeh dan menyentuh topinya yang usang.
“Saya tahu Anda bakal terkejut, Ma’am. Tapi ceritanya begini. Jumat nanti ada pesta di
Squire, dan saya bilang dalam hati, Mr. Martin dan istrinya yang baik itu tidak bakal
keberatan kalau kali ini saya datang hari Rabu, bukannya Jumat.”
“Tidak mengapa,” ujar Alix. “Kuharap kau menikmati pesta itu.”
“Begitulah pendapat saya,” kata George. “Sungguh senang bisa makan sepuasnya dan tidak
perlu bayar. Squire selalu menyediakan meja minum teh yang pantas bagi para penyewanya.
Selain itu, Ma’am, saya sekalian ingin bertemu Anda sebelum Anda berangkat, supaya tahu
hendak diapakan tanaman pagarnya. Saya rasa Anda belum tahu kapan Anda akan kembali,
Ma’am?”
“Tapi aku tidak akan pergi ke mana-mana.”
George melongo.
“Tapi bukankah besok Anda mau ke Lunnon?”
“Tidak. Mengapa kaupikir aku akan pergi?”
George menunjuk dengan gerakan kepalanya.
“Kemarin saya bertemu Mister di desa. Dia bilang Anda berdua akan pergi ke Lunnon
besok, dan belum dipastikan kapan akan kembali.”
“Omong kosong,” ujar Alix tergelak. “Kau pasti salah paham.”
Tapi ia bertanya-tanya, apa gerangan yang dikatakan Gerald hingga membuat laki-laki tua
itu salah paham. Pergi ke London? Ia takkan pernah mau ke London lagi.
“Aku benci London,” semburnya mendadak.
“Ah!” ujar George tenang. “Saya pasti salah dengar, padahal sepertinya dia
mengatakannya cukup jelas. Saya senang Anda tinggal di sini. Saya tidak setuju dengan
kegemaran mengembara, dan saya juga tidak peduli dengan Lunnon. Saya tidak pernah perlu
pergi ke sana. Terlalu banyak mobil—inilah masalahnya di zaman sekarang. Sekali orang
punya mobil, masih untung kalau mereka bisa menetap. Mr. Ames, pemilik rumah sebelum
ini—dia laki-laki yang tenang, sampai dia membeli mobil. Tidak sampai sebulan kemudian
dia pun menjual pondok ini. Cukup banyak yang dikeluarkannya untuk memperbaikinya,
dengan keran di setiap kamar tidur, lampu-lampu listrik, dan sebagainya. ‘Anda takkan
mendapatkan kembali uang Anda,’ kata saya padanya. ‘Tapi,’ katanya pada saya, ‘seluruh
pengeluaranku sudah kembali lewat dua ribu pound yang kudapat dari hasil penjualan
rumah ini.’ Dan ternyata memang begitu.”
“Dia mendapat tiga ribu,” ujar Alix sambil tersenyum.
“Dua ribu,” ulang George. “Dia menyebutkan angka yang dimintanya ketika itu.”
“Tapi jumlahnya betul tiga ribu,” sahut Alix.
“Perempuan tidak pernah memahami angka,” ujar George tak percaya. “Maksud Anda, Mr.
Ames berani-beraninya menghadapi Anda dan menyebut angka tiga ribu dengan lantang?”
“Dia bukan mengatakannya padaku,” jawab Alix, “dia mengatakannya pada suamiku.”
George membungkuk kembali ke atas petak-petak bunganya.
“Harganya dua ribu,” ujarnya bersikeras.
***
Alix tidak mau repot-repot berargumentasi dengannya. Ia melangkah menuju petak bunga
lain, lalu mulai memetik bunga.
Sementara berjalan dengan buketnya yang harum menuju rumah, Alix melihat benda kecil
berwarna hijau tua menyembul di antara dedaunan di salah satu petak bunga. Ia
membungkuk dan memungutnya, lalu mengenali buku harian saku suaminya.
Ia membukanya sambil memeriksa catatan-catatan
sejak hari pertama hidup perkawinan mereka, ia
emosional memiliki sifat baik yang tidak umum,
rewel soal waktu makan yang selalu harus tepat
kegiatannya dengan saksama.
di dalamnya dengan rasa geli. Hampir
menyadari bahwa Gerald yang impulsif dan
yaitu kerapian dan metode. Ia sangat
waktu, dan selalu merencanakan
Sambil melihat-lihat catatan dalam buku harian itu, Alix geli melihat tulisan pada
tanggal 14 Mei: “Menikahi Alix St Peter’s 14.30.”
“Si Konyol,” gumam Alix sambil membalik halaman. Tiba-tiba ia terhenti.
“‘Rabu, 18 Juni’—lho, itu kan hari ini.”
Di halaman itu tertera tulisan tangan Gerald yang rapi: “pk 21.00”. Hanya itu. Apa
gerangan yang direncanakan Gerald pada jam 21.00? Alix bertanya-tanya. Ia tersenyum
sendiri saat menyadari seandainya ini sebuah kisah, seperti sering dibacanya, buku
harian ini pasti akan melengkapinya dengan pengungkapan rahasia yang sensasional. Di
dalamnya pasti tercantum nama wanita lain. Ia membalik-balik halaman dengan asalasalan. Ada berbagai tanggal, perjanjian, referensi samar soal kesepakatan bisnis, tapi
hanya satu nama wanita—namanya sendiri.
Namun saat ia memasukkan buku itu ke sakunya dan membawa bunga-bunga itu ke dalam
rumah, samar-samar ia merasa tidak enak. Kata-kata Dick Windyford terngiang kembali,
seakan Dick berada tepat di sampingnya, sambil mengulang, “Laki-laki itu masih asing
buatmu. Kau tidak tahu apa-apa tentang dia.”
Benar juga. Apa yang diketahuinya tentang Gerald? Lagi pula, umur Gerald sudah empat
puluh. Selama empat puluh tahun ini pasti pernah ada wanita lain dalam hidupnya...
Alix berusaha menyadarkan dirinya dengan tak sabar. Ia tidak boleh termakan oleh
pikiran-pikiran ini. Ada urusan lain yang lebih penting. Haruskah ia menceritakan pada
suaminya bahwa Dick Windyford meneleponnya?
Ada kemungkinan Gerald sudah berjumpa dengan Dick di desa. Bila demikian, ia pasti akan
mengatakannya begitu kembali, dan masalahnya selesai tanpa Alix perlu campur tangan.
Bila tidak... lalu bagaimana? Alix sangat ingin menyimpan sendiri hal itu.
Bila ia menceritakannya pada Gerald, Gerald pasti akan mengusulkan agar Dick Windyford
diundang datang ke Philomel Cottage. Kemudian Alix terpaksa menjelaskan bahwa Dick
sendiri telah meminta diperbolehkan datang, dan bahwa ia telah mereka-reka dalih untuk
mencegahnya. Dan bila Gerald menanyakan alasan ia berbuat demikian, apa yang harus
dikatakannya? Menceritakan mimpi itu padanya? Gerald pasti hanya tertawa—atau lebih
parah lagi, menganggap Alix terlalu menganggap penting mimpi itu.
Akhirnya, dengan agak malu, Alix memutuskan untuk tidak berkata apa pun. Ini rahasia
pertama yang disembunyikannya dari suaminya, dan ia merasa tidak enak.
***
Waktu mendengar Gerald kembali dari desa menjelang jam makan siang, ia bergegas ke
dapur dan berpura-pura sibuk memasak untuk menyembunyikan kebingungannya.
Langsung terlihat bahwa Gerald tidak berjumpa dengan Dick Windyford. Alix merasa lega
sekaligus malu. Sekarang ia sudah bertekad untuk tidak bercerita apa-apa pada suaminya.
Sesudah makan malam yang sederhana, mereka duduk-duduk di bangku kayu ek di ruang
keluarga; jendela dibiarkan terbuka untuk membiarkan udara malam masuk, membawa aroma
manis bunga-bunga di luar. Saat itu barulah Alix teringat buku harian suaminya.
“Ini barang yang kaupakai untuk menyirami bunga,” katanya sambil menjatuhkan buku
harian itu di pangkuan Gerald.
“Terjatuh di petak bunga, ya?”
“Ya. Aku tahu semua rahasiamu sekarang.”
“Tidak bersalah,” sahut Gerald sambil menggeleng.
“Bagaimana dengan urusanmu jam sembilan malam nanti?”
“Oh, itu...” Sesaat Gerald tampak terperanjat, lalu ia tersenyum, seakan ada sesuatu
yang membuatnya geli. “Aku ada janji dengan gadis yang sangat manis, Alix. Rambutnya
cokelat, matanya biru, dan dia mirip sekali denganmu.”
“Aku tidak paham,” sahut Alix, pura-pura marah. “Kau menghindar dari pokok
pembicaraan.”
“Tidak, sungguh. Catatan itu untuk mengingatkanku bahwa malam ini aku akan mencuci
film, dan aku ingin kau membantuku.”
Gerald Martin menyukai fotografi. Ia memiliki kamera yang agak kuno, dengan lensa
sangat bagus, dan ia mencuci sendiri filmnya di ruang sempit bawah tanah yang diubahnya
menjadi kamar gelap.
“Dan ini harus dikerjakan tepat jam sembilan,” goda Alix.
Gerald tampak agak jengkel.
“Gadis manisku,” katanya sedikit tak sabar, “orang perlu merencanakan kegiatannya
dengan saksama. Dengan begitu, dia bisa menyelesaikan tugasnya dengan benar.”
Alix terdiam beberapa saat, memerhatikan suaminya yang duduk merokok di kursinya dengan
kepala tengadah, profil wajahnya yang dicukur bersih tampak jelas di latar belakang
yang suram. Dan tiba-tiba saja, entah dari mana, gelombang kepanikan menyerbunya hingga
ia memekik sebelum sempat menahan diri, “Oh, Gerald, andai aku tahu lebih banyak
tentang dirimu!”
Suaminya menoleh terperanjat.
“Tapi, Alix-ku sayang, kau memang tahu semua tentang diriku. Aku sudah menceritakan
masa kecilku di Northumberland, kehidupanku di Afrika Selatan, dan sepuluh tahun
terakhir di Kanada yang membuatku sukses.”
“Oh, itu kan tentang bisnis!” sergah Alix mencemooh.
Mendadak Gerald tertawa.
“Aku tahu maksudmu—hubungan asmara. Kalian perempuan sama saja. Tak ada yang menarik
bagi kalian selain unsur pribadi.”
Alix merasa tenggorokannya kering saat ia bergumam tak jelas, “Hmm, pasti pernah ada...
hubungan asmara. Maksudku... seandainya aku tahu...”
Hening kembali beberapa saat. Gerald Martin mengerutkan kening dengan pandangan ragu.
Saat berbicara suaranya terdengar muram, jauh dari sikap berkelakarnya tadi.
“Apa menurutmu bijaksana, Alix—mengungkit-ungkit masalah ini? Ya, dalam kehidupanku
memang pernah ada beberapa wanita, aku tidak menyangkal. Kau pasti takkan percaya bila
aku menyangkal. Tapi aku berani sumpah, tak seorang pun dari mereka berarti bagiku.”
Nadanya terdengar sungguh-sungguh. Mendengarnya, Alix jadi lebih terhibur.
“Sudah puas, Alix?” tanya Gerald sambil tersenyum. Kemudian ia menatap Alix dengan rasa
ingin tahu.
“Apa yang membuatmu memikirkan hal-hal tidak menyenangkan ini, khususnya malam ini?”
Alix bangkit berdiri dan mulai mondar-mandir gelisah.
“Oh, entahlah,” ujarnya. “Seharian ini aku merasa gugup.”
“Aneh sekali,” sahut Gerald lirih, seakan berbicara pada diri sendiri. “Ini sungguh
aneh.”
“Apanya yang aneh?”
“Oh, gadis manisku, jangan marah-marah begitu padaku. Aku cuma mengatakan ini aneh,
sebab biasanya kau begitu manis dan tenang.”
Alix memaksakan diri tersenyum.
“Hari ini banyak hal membuatku kesal,” akunya. “Bahkan si George tua pun punya ide
gila. Dia bilang kita akan pergi ke London. Katanya kau yang mengatakan padanya.”
“Di mana kau melihatnya?” tanya Gerald tajam.
“Dia masuk kerja hari ini, bukannya Jumat.”
“Orang goblok sialan,” umpat Gerald marah.
Alix menatapnya terperanjat. Wajah suaminya penuh amarah. Ia belum pernah melihat
Gerald semarah ini. Melihat keheranan istrinya, Gerald berusaha mengendalikan diri.
“Hmm, dia memang orang tua yang goblok,” sanggahnya.
“Kau bilang apa padanya, sehingga dia mengira kita akan pergi?”
“Aku? Aku tidak pernah bilang apa-apa. Setidaknya... oh ya, aku ingat; aku bercanda
mengatakan, ‘Akan ke London pagi-pagi,’ dan kurasa dia menanggapinya dengan serius.
Atau dia salah dengar. Kau tentu membantahnya, kan?”
Gerald menanti jawaban Alix dengan harap-harap cemas.
“Tentu saja, tapi dia jenis orang kepala batu. Kalau sudah meyakini sesuatu, sulit
diubah pendiriannya.”
Kemudian ia menceritakan kegigihan George mengenai jumlah yang diminta untuk pondok
mereka.
Gerald terdiam beberapa saat, lalu berkata lambat-lambat,
“Ames bersedia menerima uang tunai sebesar dua ribu, dan sisanya yang seribu dalam
bentuk hipotek. Kurasa dari sinilah asalnya salah paham itu.”
“Mungkin sekali,” sahut Alix setuju.
Setelah itu ia menoleh ke jam dan menunjuk dengan nakal.
“Kita harus segera bekerja, Gerald. Ini sudah terlambat lima menit.”
Senyuman yang sangat aneh mengembang di wajah Gerald Martin.
“Aku berubah rencana,” ujarnya tenang, “malam ini aku tidak jadi mengerjakan
fotografi.”
Pikiran wanita memang mengherankan. Sewaktu pergi tidur pada Rabu malam itu, pikiran
Alix puas dan tenang. Kebahagiaannya yang sempat terganggu telah pulih kembali, penuh
kemenangan seperti dulu.
Namun malam berikutnya ia menyadari ada kekuatan tak kentara sedang bekerja untuk
meruntuhkannya. Dick Windyford tidak menelepon lagi, namun Alix merasa pengaruhnyalah
yang sedang bekerja. Berulang kali kata-kata itu terngiang di benaknya: “Laki-laki itu
masih asing buatmu. Kau tidak tahu apa-apa tentang dia.” Bersamaan dengan itu muncul
wajah suaminya, terpateri jelas di angan-angannya, saat Gerald berkata, “Apa menurutmu
bijaksana, Alix—mengungkit-ungkit masalah ini?” Mengapa Gerald berkata begitu?
Di dalamnya terbersit peringatan—semacam ancaman. Seakan ia mengatakan, “Sebaiknya kau
jangan mencampuri urusanku, Alix. Kau akan mendapat kejutan tak menyenangkan nanti.”
Hari Jumat pagi, Alix meyakinkan diri bahwa pernah ada wanita dalam kehidupan Gerald—
rahasia yang mati-matian disembunyikan Gerald darinya. Kecemburuannya yang tadinya
tidak mudah tersulut, sekarang semakin menjadi-jadi.
Apakah yang hendak dijumpai Gerald pada pukul 9 malam itu seorang wanita? Apakah
alasannya tentang mencuci film itu sekadar dusta yang direka mendadak?
Tiga hari yang lalu Alix berani bersumpah ia mengenal suaminya luar-dalam. Sekarang
Gerald seakan orang asing yang tidak dikenalnya sama sekali. Ia teringat ledakan amarah
suaminya terhadap George, begitu berbeda dengan perilakunya yang biasanya ramah.
Mungkin ini hal kecil, tapi menunjukkan padanya bahwa ia tidak begitu mengenal lakilaki yang sekarang menjadi suaminya itu.
Hari Jumat itu ada beberapa hal kecil yang perlu dibeli di desa. Sorenya Alix
menawarkan diri berbelanja, sementara Gerald tetap di kebun; tapi ia terkejut ketika
suaminya menentang keras rencana ini, dan bersikeras melakukannya sendiri sementara
Alix tetap tinggal di rumah. Alix terpaksa mengalah, tapi sikap keras suaminya
mengejutkan sekaligus membuatnya takut. Mengapa Gerald begitu bersikukuh mencegahnya
pergi ke desa?
Tiba-tiba muncul penjelasan yang menjawab semua pertanyaan Alix. Mungkinkah Gerald
telah berjumpa dengan Dick Windyford dan tidak bercerita apa-apa padanya? Alix tidak
pernah merasa cemburu ketika menikah dengan Gerald; rasa cemburunya baru muncul
kemudian. Mungkinkah hal yang sama terjadi pada Gerald? Apakah tak mungkin ia bermaksud
mencegah istrinya bertemu Dick Windyford lagi? Penjelasan ini begitu cocok dengan
fakta, dan begitu menenteramkan pikiran Alix yang gelisah, hingga ia menerimanya dengan
senang hati.
Namun ketika jam minum teh tiba dan berlalu, Alix kembali gelisah dan cemas. Ia
bergumul melawan godaan yang terus menyerangnya sejak Gerald meninggalkan rumah.
Akhirnya ia naik ke kamar ganti suaminya di lantai atas, sambil menenteramkan nuraninya
dengan keyakinan bahwa ruangan itu memang perlu dibereskan. Ia membawa kemoceng untuk
melanjutkan perannya sebagai ibu rumah tangga.
“Seandainya aku yakin,” ulangnya pada diri sendiri. “Seandainya aku bisa yakin.”
Sia-sia ia mengatakan pada dirinya bahwa apa pun yang bisa menimbulkan kecurigaan pasti
sudah dimusnahkan berabad-abad lalu. Namun ia membantah, sebab adakalanya kaum pria
menyimpan bukti yang paling menjatuhkan gara-gara sentimentalitas berlebihan.
Akhirnya Alix menyerah. Dengan napas tersengal dan pipi terbakar rasa malu karena
tindakannya, ia memeriksa tumpukan surat dan dokumen, mengaduk-aduk isi laci-laci,
bahkan memeriksa saku pakaian suaminya. Hanya dua laci yang tidak dibukanya; laci
paling bawah lemari dan laci kanan meja tulis sama-sama terkunci. Sementara itu rasa
malu Alix sudah lenyap. Ia yakin dalam salah satu laci itu ia akan menemukan bukti
tentang wanita dari masa lalu yang mengobsesi dirinya.
Ia teringat Gerald telah ceroboh meninggalkan rencengan kuncinya di atas buffet lantai
bawah. Ia mengambilnya, lalu mencobanya satu per satu. Kunci ketiga cocok dengan laci
meja tulis. Dengan bernafsu Alix menariknya. Di dalamnya tersimpan buku cek dan dompet
yang sarat uang kertas, dan di bagian belakang laci setumpuk surat yang diikat pita.
Dengan terengah-engah Alix membuka simpul pita itu. Kemudian wajahnya memerah, dan ia
pun memasukkan tumpukan surat itu ke dalam laci, menutup, lalu menguncinya kembali.
Sebab surat-surat itu ternyata berasal dari dirinya sendiri, ditujukan pada Gerald
Martin sebelum mereka menikah.
Sekarang Alix beranjak ke lemari laci, lebih karena ia ingin bekerja tuntas, bukan
karena ingin menemukan apa yang dicarinya.
Ia kesal ketika mendapati tak satu pun kunci itu cocok dengan laci tersebut. Tanpa
putus asa, Alix memasuki kamar-kamar lain dan membawa sejumlah kunci lain. Ia puas
ketika kunci lemari pakaian kamar cadangan ternyata cocok dengan laci lemari tadi. Ia
memutar kuncinya dan menarik laci itu. Namun di dalamnya cuma ada segulung guntingan
koran yang sudah kotor dan menguning karena tua.
Alix menghela napas lega. Tapi ia melihat sekilas guntingan-guntingan itu, ingin tahu
subjek apa yang begitu menarik perhatian Gerald, sampai rela bersusah payah menyimpan
gulungan berdebu itu. Hampir semuanya berasal dari surat kabar Amerika, bertanggal
sekitar tujuh tahun lalu, dan memuat berita tentang perkara pengadilan menyangkut
Charles Lemaitre, penipu ulung dan bigamis terkenal. Lemaitre dicurigai melenyapkan
korban-korban wanitanya. Di bawah lantai salah satu rumah yang pernah disewanya, telah
ditemukan kerangka manusia, dan sebagian besar wanita yang “dinikahi”-nya tidak pernah
terdengar kabar beritanya lagi.
Ia membela diri dari semua tuduhan dengan keahlian sempurna, dibantu beberapa ahli
hukum paling piawai di seluruh Amerika Serikat. Putusan “Tidak Terbukti” yang
dikeluarkan pengadilan Skotlandia mungkin merupakan pernyataan terbaik dari kasusnya.
Karena tiadanya bukti, ia diputuskan Tidak Bersalah menyangkut tuduhan utama, meskipun
ia dijatuhi hukuman penjara cukup lama atas tuduhan-. tuduhan lain yang dikenakan
padanya.
Alix masih ingat kegemparan yang ditimbulkan kasus itu, juga karena kaburnya Lemaitre
tiga tahun kemudian. Ia tidak pernah berhasil ditangkap kembali. Ketika itu kepribadian
laki-laki itu dan daya pikatnya yang luar biasa terhadap kaum wanita telah dibahas
panjang-lebar di koran-koran Inggris, termasuk sikap mudah marahnya di pengadilan,
pernyataan-pernyataannya yang penuh semangat, dan beberapa kejadian ketika ia jatuh
pingsan mendadak karena jantungnya lemah, meski beberapa orang menganggap itu sekadar
aksi dramatisnya saja.
Di salah satu guntingan yang dipegang Alix ada foto laki-laki itu, dan Alix
memerhatikannya dengan saksama—pria berjanggut panjang yang tampak intelek.
Wajah itu mengingatkannya pada seseorang, tapi siapa? Mendadak, dengan terkejut ia
menyadari bahwa pria itu Gerald. Mata maupun alisnya sangat mirip. Mungkin Gerald
menyimpan guntingan itu karena suatu alasan. Mata Alix menelusuri keterangan di samping
gambar itu. Rupa-rupanya ada tanggal-tanggal tertentu yang telah dicatat dalam buku
harian saku si tertuduh, dan ada pendapat yang mengatakan inilah tanggal-tanggal ia
melenyapkan para korbannya. Kemudian seorang wanita memberikan bukti dan mengenali
narapidana itu dengan pasti melalui fakta bahwa laki-laki itu mempunyai tahi lalat di
pergelangan tangan kirinya, tepat di bawah telapak tangan.
Alix langsung menjatuhkan kertas-kertas itu dan berdiri terhuyung. Di pergelangan
tangan kirinya, tepat di bawah telapak tangan, suaminya punya bekas luka kecil...
***
Ruangan itu seakan berputar-putar. Setelah itu ia merasa aneh karena menarik kesimpulan
dengan begitu pasti. Gerald Martin adalah Charles Lemaitre! Ia tahu itu, dan ia
menerimanya dalam sekejap.
Kepingan-kepingan yang berserak berputar-putar di benaknya bagaikan kepingan-kepingan
teka-teki yang sedang membentuk gambar.
Uang yang dibayarkan untuk membeli rumah ini—uangnya sepenuhnya; ia telah memercayakan
lembar-lembar obligasi itu untuk disimpan Gerald. Bahkan mimpinya pun jadi terasa
sangat penting. Jauh di lubuk hatinya, pikiran bawah sadarnya sejak dulu merasa takut
pada Gerald Martin dan ingin melarikan diri darinya. Dan kepada Dick Windyford-lah
pikiran bawah sadarnya mencari pertolongan. Hal ini jugalah yang membuatnya menangkap
kebenaran begitu mudah, tanpa ragu sedikit pun. Ia akan menjadi korban Lemaitre yang
berikut. Mungkin sebentar lagi...
Ia terpekik saat teringat sesuatu. Rabu, pukul 21.00. Ruang bawah tanah, dengan batubatu ubin yang mudah diangkat! Gerald pernah mengubur salah seorang korbannya di ruang
bawah tanah. Semua ini sudah direncanakan pada hari Rabu malam. Tetapi mencatatnya
terlebih dulu dengan cara metodis seperti itu—benar-benar gila! Tidak, ini justru
logis. Gerald selalu membuat catatan tentang urusan-urusannya; baginya pembunuhan
adalah rencana bisnis yang tak beda dengan kegiatan lainnya.
Namun apa gerangan yang telah menyelamatkan Alix? Apakah Gerald jatuh kasihan pada saat
terakhir? Tidak. Jawaban itu berkelebat di benaknya—si George tua.
Sekarang Alix memahami ledakan amarah suaminya yang tak terkendali itu. Tak pelak lagi
ia telah mempersiapkan diri dengan menyebarkan berita pada setiap orang yang
dijumpainya bahwa mereka berdua akan pergi ke London keesokan harinya. Kemudian tanpa
diduga-duga George masuk kerja, menyebut-nyebut London padanya, dan Alix membantahnya.
Jadi, terlampau riskan mengenyahkan Alix malam itu, gara-gara George mengulang
pembicaraan itu. Nyaris saja! Seandainya ia kebetulan tidak menyebut-nyebut kejadian
sepele itu—Alix bergidik.
Lalu ia tertegun seakan membeku jadi batu. Ia mendengar derit pintu pagar. Suaminya
sudah kembali.
Sesaat Alix seakan mati ketakutan, kemudian ia berjingkat ke arah jendela, mengintip
dari balik tirai.
Benar, itu suaminya. Gerald sedang tersenyum-senyum sendiri sambil bersenandung. Di
tangannya ada benda yang nyaris membuat jantung Alix berhenti. Benda itu sekop yang
masih baru.
Alix tiba-tiba menarik kesimpulan yang lahir dari naluri. Rencana itu akan dilaksanakan
malam ini...
Namun masih ada satu kesempatan. Gerald yang masih asyik bersenandung, berjalan ke
belakang rumah.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Alix berlari menuruni tangga, keluar dari pondok. Tapi
tepat ketika ia keluar dari pintu, suaminya muncul dari samping rumah.
“Halo,” sapanya, “mau ke mana kau, bergegas seperti itu?”
Alix berusaha mati-matian agar tampak tenang seperti biasa. Untuk saat itu
kesempatannya telah hilang, tapi bila ia berhati-hati agar tidak membangkitkan rasa
curiga suaminya, kesempatan itu akan datang lagi. Bahkan sekarang, siapa tahu...
“Aku baru saja mau jalan-jalan ke ujung sana, lalu kembali,” katanya dengan suara yang
di telinganya sendiri terdengar lemah dan ragu.
“Begitu,” sahut Gerald. “Aku akan menemanimu.”
“Tidak—tolong, Gerald. Aku... sedang gugup, pusing—aku lebih suka berjalan sendiri.”
Gerald menatapnya penuh perhatian. Alix merasa sekilas kecurigaan berkelebat di mata
Gerald.
“Ada apa denganmu, Alix? Kau pucat sekali—dan gemetar.”
“Tidak apa-apa.” Alix memaksa diri bersikap tegar—sambil tersenyum. “Kepalaku sakit,
itu saja. Berjalan-jalan sebentar baik untukku.”
“Nah, tak ada gunanya kau mengatakan tidak mau kutemani,” ujar Gerald sambil tertawa
santai. “Aku tetap akan ikut, entah kau mau atau tidak.”
Alix tidak berani menolak lagi. Kalau sampai Gerald curiga bahwa ia tahu...
Dengan usaha keras ia berhasil bersikap agak lebih wajar. Namun ia merasa tidak enak
juga karena sebentar-sebentar Gerald melirik ke arahnya, seakan tidak begitu puas. Alix
merasa kecurigaan Gerald belum sepenuhnya lenyap.
Waktu mereka tiba kembali di rumah, Gerald bersikeras agar Alix berbaring, lalu
membawakan kolonye untuk membasahi pelipisnya. Seperti biasa, ia bersikap bagaikan
suami yang penuh pengabdian. Alix merasa tak berdaya, seakan terkurung dalam jebakan,
dengan kaki dan tangan terikat.
Gerald tidak mau meninggalkannya sekejap pun. Ia ikut bersama Alix ke dapur dan
membantu membawakan lauk-pauk dingin yang sudah disiapkannya terlebih dulu. Makan malam
itu seakan mencekik Alix, namun ia memaksa diri untuk makan, bersikap ceria, dan wajar.
Ia tahu sekarang bahwa ia sedang berjuang untuk hidupnya. Ia seorang diri bersama lakilaki ini, jauh dari bala bantuan, dan sepenuhnya dalam kekuasaan Gerald. Satu-satunya
peluang adalah meredakan rasa curiga Gerald agar ia mau meninggalkan istrinya beberapa
saat—agar Alix sempat memakai telepon di ruang depan dan mendatangkan bantuan. Sekarang
ini satu-satunya harapan.
Secercah harapan terbersit saat ia teringat sebelum ini Gerald telah mengurungkan
niatnya. Bagaimana kalau ia menyampaikan bahwa malam ini Dick Windyford akan datang
berkunjung?
Bibirnya bergetar—kemudian ia cepat-cepat membatalkannya. Orang ini tidak mungkin
terhambat untuk kedua kali. Di bawah sikapnya yang tenang tersembunyi tekad dan
kegembiraan yang membuat Alix muak. Kalau ia mengatakan Dick akan datang, ia hanya akan
mempercepat kejahatan itu. Gerald akan langsung membunuhnya di tempat, dan dengan
tenang menelepon Dick Windyford dengan dalih bahwa mendadak Alix harus pergi. Oh!
Seandainya Dick Windyford datang malam ini! Kalau saja Dick...
Mendadak sebuah ide berkelebat di benak Alix. Ia melirik tajam ke arah suaminya, seolah
takut pikirannya terbaca. Dengan terbentuknya rencana itu, keberaniannya timbul
kembali. Sikapnya berubah sangat wajar, hingga ia sendiri terkagum-kagum.
Ia menyeduh kopi, lalu membawanya ke beranda tempat mereka sering duduk-duduk di malammalam cerah.
“Omong-omong,” kata Gerald tiba-tiba, “kita akan mengerjakan foto-foto itu nanti
malam.”
Alix menggigil, tapi ia menjawab santai, “Apa kau tidak bisa melakukannya sendiri?
Malam ini aku agak letih.”
“Takkan lama.” Ia lalu tersenyum sendiri. “Dan aku janji setelah itu kau tidak akan
letih lagi.”
Kata-kata itu seakan menyenangkan hatinya. Alix bergidik. Hanya sekaranglah
kesempatannya menjalankan rencananya.
Ia bangkit berdiri.
“Aku mau menelepon tukang daging,” ujarnya santai. “Kau tidak perlu mengikutiku.”
“Tukang daging? Selarut ini?”
“Tokonya tentu saja sudah tutup, Sayang. Tapi dia ada di rumah. Besok hari Sabtu, dan
aku mau dia membawakan daging anak lembu pagi-pagi, sebelum orang lain sempat
menyambarnya. Si tua yang baik itu mau melakukan apa saja untukku.”
Alix bergegas masuk rumah, lalu menutup pintu. Ia mendengar Gerald berkata, “Jangan
tutup pintunya,” dan ia segera menjawab, “Biar ngengatnya tidak masuk. Aku benci
ngengat. Apa kau takut aku akan mesra-mesraan dengan tukang daging?”
Begitu berada di dalam, ia mengangkat gagang telepon dan memberikan nomor telepon kedai
minum Traveller’s Arms. Ia langsung mendapat sambungan.
“Mr. Windyford? Apa dia masih di situ? Bisa bicara dengannya?”
Kemudian jantungnya tersentak. Pintu dibuka dan suaminya masuk ke ruang depan.
“Pergi sana, Gerald,” ujarnya marah. “Aku benci ada yang menguping saat aku menelepon.”
Gerald cuma tertawa dan menjatuhkan diri di kursi.
“Apa benar kau sedang menelepon tukang daging?” ia menebak.
Alix putus asa. Rencananya gagal. Sebentar lagi Dick Windyford akan datang ke pesawat
telepon. Haruskah ia mengambil risiko dan berteriak minta tolong?
Dengan gugup Alix menekan dan melepaskan tombol kecil di gagang telepon yang sedang
dipegangnya. Tombol itu bisa membuat suara si pembicara terdengar atau tidak di ujung
satunya; mendadak muncul rencana lain di kepalanya.
“Ini takkan mudah,” pikir Alix. “Ini berarti aku harus tetap tenang, memilih kata-kata
yang tepat, dan tidak bimbang sedetik pun. Tapi aku percaya mampu melakukannya. Aku
harus melakukannya.”
Saat itulah ia mendengar suara Dick Windyford di ujung seberang.
Alix menarik napas dalam-dalam. Ia lalu menekan tombol kuat-kuat dan berbicara.
“Ini Mrs. Martin—dari Philomel Cottage. Tolong datang ke sini (ia melepaskan tombol)
besok pagi membawa enam iris daging anak lembu (ia menekan tombol lagi). Ini sangat
penting (ia melepaskan tombol). Banyak terima kasih, Mr. Hexworthy, maaf saya menelepon
malam-malam begini. Tapi daging anak lembu itu benar-benar menyangkut (ia menekan
tombol lagi) hidup atau mati (ia melepaskan tombol). Baiklah—besok pagi (ia menekan
tombol) secepat mungkin.”
Alix menaruh gagang telepon dan berpaling ke suaminya dengan napas memburu.
“Jadi, begitukah caramu berbicara dengan tukang daging?” tanya Gerald.
“Itu namanya sentuhan feminin,” sahut Alix enteng.
Hatinya meluap-luap. Gerald tidak curiga sedikit pun. Dick, kalaupun tidak mengerti,
pasti akan datang.
Alix melangkah ke ruang duduk dan menyalakan lampu. Gerald mengikutinya.
“Sepertinya kau sekarang sudah bersemangat,” ia berkomentar sambil memerhatikan Alix
penuh rasa ingin tahu.
“Ya,” ujar Alix. “Sakit kepalaku sudah hilang.”
Ia duduk di kursi yang biasa digunakannya, dan tersenyum pada suaminya yang juga duduk
di kursinya sendiri di depannya. Alix selamat. Ini baru pukul delapan lebih dua puluh
lima menit. Jauh sebelum jam sembilan, Dick pasti sudah tiba.
“Aku tidak begitu suka kopi yang kauberikan tadi,” keluh Gerald. “Rasanya pahit
sekali.”
“Aku mencoba kopi jenis baru. Lain kali tidak akan kugunakan lagi kalau kau tidak
menyukainya, Sayang.”
Alix mengambil jahitannya dan mulai menjahit. Gerald membaca beberapa halaman bukunya.
Kemudian ia memandang jam dan melemparkan bukunya.
“Setengah sembilan. Sudah waktunya ke ruang bawah tanah dan mulai bekerja.”
Jahitan Alix terjatuh dari tangannya.
“Oh, belum waktunya. Kita tunggu saja sampai jam sembilan.”
“Tidak, gadis manisku—setengah sembilan. Itu waktu yang kutentukan. Supaya kau bisa
semakin cepat tidur.”
“Tapi aku lebih suka menunggu sampai jam sembilan.”
“Kau sudah tahu, sekali aku menetapkan waktu, aku akan berpegang padanya. Ayo, Alix,
aku takkan menunggu lebih lama semenit pun.”
Alix menengadah, mau tak mau merasakan gelombang teror melingkupinya. Topeng sudah
tersingkap. Tangan Gerald sudah gatal, matanya berpendar penuh gairah, dan ia terusmenerus menjilat bibirnya yang kering. Ia tidak terpikir untuk menyembunyikan
gairahnya.
Alix berpikir, “Benar—dia tidak bisa menunggu—dia gila.”
Gerald melangkah ke arahnya, dan sambil mencengkeram bahunya, ia menarik Alix supaya
berdiri.
“Cepatlah, gadis manis—atau aku akan menggotongmu ke sana.”
Suaranya terdengar ceria, tapi di balik itu terasa keganasan yang mengerikan. Dengan
sekuat tenaga Alix melepaskan diri dan meringkuk di dinding. Ia tak berdaya. Ia tidak
bisa melarikan diri—ia tidak mampu berbuat apa pun—dan Gerald sedang menghampirinya.
“Ayolah, Alix...”
“Tidak—tidak.”
Alix menjerit sambil menjulurkan kedua lengannya tanpa daya untuk melindungi diri.
“Gerald—berhenti—ada yang ingin kusampaikan padamu, suatu pengakuan...”
Gerald berhenti melangkah.
“Pengakuan?” ia bertanya ingin tahu.
“Ya, pengakuan.” Alix menggunakan kata-kata itu sekenanya, tapi ia melanjutkan dengan
putus asa untuk menangkap perhatian Gerald.
“Mantan kekasih, kurasa,” ejek Gerald.
“Bukan,” sahut Alix. “Ada hal lain. Kurasa kau akan menyebutnya... ya, kau akan
menyebutnya kejahatan.”
Alix langsung melihat bahwa kata-katanya tepat mengenai sasaran. Gerald seketika
memerhatikannya. Melihat ini, semangatnya bangkit kembali. Ia kembali menguasai
keadaan.
“Sebaiknya kau duduk lagi,” ujarnya tenang.
Alix melintasi ruangan dan duduk di kursinya kembali. Ia bahkan membungkuk dan memungut
jahitannya. Namun di balik sikap tenangnya itu ia berpikir keras, sebab kisah yang
sedang direkanya ini harus mampu menarik perhatian Gerald sampai bantuan tiba.
“Sudah kukatakan padamu,” ujarnya perlahan, “bahwa aku dulu bekerja sebagai juru steno
selama lima belas tahun. Sebenarnya tidak sepenuhnya begitu. Ada dua selingan di
antaranya. Yang pertama terjadi ketika umurku dua puluh dua. Aku bertemu pria tua yang
cukup kaya. Dia jatuh cinta padaku dan memintaku menikah dengannya. Aku menerima
lamarannya, dan kami pun menikah.” Alix berhenti sejenak. “Aku membujuknya untuk
mengasuransikan diri demi aku.”
Alix melihat wajah suaminya tiba-tiba penuh minat, dan ia melanjutkan dengan semangat
baru.
“Di zaman perang, aku pernah bekerja di apotek rumah sakit. Di sana aku menangani
segala macam obat-obatan dan racun.”
Ia berhenti sambil termenung. Sekarang Gerald benar-benar terpikat, tak diragukan lagi.
Pembunuh tentunya tertarik dengan pembunuhan. Alix berspekulasi dengan hal ini, dan
berhasil. Ia melirik ke arah jam. Pukul setengah sembilan lebih lima menit.
“Ada satu macam racun—berupa serbuk putih. Digunakan sejumput saja bisa menyebabkan
kematian. Kau barangkali paham soal racun?”
Ia mengajukan pertanyaan itu dengan waswas. Kalau Gerald paham, ia harus berhati-hati.
“Tidak,” sahut Gerald, “aku tidak tahu banyak mengenai racun.”
Alix menarik napas lega.
“Kau tentunya pernah mendengar tentang hyoscine? Ini obat yang bereaksi sama, tapi sama
sekali tak terdeteksi. Dokter mana pun akan menulis gagal jantung di surat kematian.
Aku mencuri sedikit obat itu dan menyimpannya.”
Alix berhenti, menyusun kekuatan.
“Teruskan,” kata Gerald.
“Tidak. Aku takut. Aku tidak bisa mengatakannya. Lain kali saja.”
“Sekarang!” bentak Gerald tak sabar. “Aku ingin mendengar.”
“Kami sudah menikah sebulan, dan aku bersikap baik sekali terhadap suamiku yang sudah
tua itu, sangat ramah dan penuh pengabdian. Di depan semua tetangga dia memuji-mujiku
setinggi langit. Semua orang tahu betapa baiknya aku sebagai istri. Tiap malam aku
sendiri membuatkan kopi untuknya. Suatu malam, saat kami hanya berdua, aku memasukkan
sejumput serbuk alkaloid mematikan itu ke dalam cangkirnya...”
Alix berhenti, dan menyelipkan benang dengan cermat ke lubang jarumnya. Dia, yang
seumur hidup belum pernah berakting, saat itu menandingi aktris paling hebat sedunia.
Ia benar-benar menghayati peran sang pembunuh berdarah dingin.
“Suasananya sangat tenteram. Aku duduk memerhatikannya. Suatu saat dia terengah sedikit
dan minta udara segar. Aku membuka jendela. Kemudian dia berkata bahwa dia tak mampu
bergerak dari kursinya. Sebentar kemudian dia mati.”
Alix berhenti, lalu tersenyum. Jam menunjukkan pukul sembilan kurang seperempat.
Sebentar lagi bantuan pasti tiba.
“Berapa banyak uang asuransi itu?” ujar Gerald.
“Sekitar dua ribu pound. Aku berjudi dengan uang itu dan kalah. Aku lalu kembali
bekerja di kantor. Tapi aku tidak pernah berniat berlama-lama di situ. Kemudian aku
berjumpa laki-laki lain. Di kantor, aku tetap menggunakan nama gadisku. Dia tidak tahu
aku pernah menikah. Usianya lebih muda, lumayan tampan dan kaya. Kami menikah diam-diam
di Sussex. Dia tidak mau mengasuransikan hidupnya, tapi sudah tentu dia membuat surat
wasiat yang menguntungkanku. Sama seperti suami pertamaku, dia ingin akulah yang
membuatkan kopinya.”
Alix tersenyum menerawang, dan menambahkan dengan sederhana, “Aku memang ahli menyeduh
kopi.”
Kemudian ia melanjutkan,
“Aku punya beberapa teman di desa tempat kami tinggal. Mereka sangat iba padaku ketika
suamiku tiba-tiba meninggal karena gagal jantung sesudah makan malam. Aku tidak begitu
suka dengan dokternya. Rasanya dia tidak mencurigaiku, tapi yang jelas, dia sangat
terkejut dengan kematian mendadak suamiku. Entah mengapa aku lalu kembali bekerja di
kantor. Sudah kebiasaan, kurasa. Suami keduaku meninggalkan sekitar empat ribu pound.
Kali ini aku tidak menggunakannya untuk berjudi; aku menginvestasikannya. Kemudian,
kaulihat...”
Tetapi kalimatnya dipotong. Dengan wajah merah padam, setengah tercekik, Gerald Martin
menudingnya dengan jari gemetar.
“Kopi itu—ya Tuhan! Kopinya!”
Alix menatapnya.
“Sekarang aku mengerti mengapa rasanya pahit. Dasar iblis! Kau menjalankan siasatmu
lagi.”
Kedua tangannya mencengkeram sandaran lengan kursinya. Ia sudah siap menerkam Alix.
“Kau telah meracuniku.”
Alix menjauh darinya sampai ke perapian. Dengan ketakutan ia membuka mulut untuk
menyangkal—lalu terhenti. Sesaat lagi Gerald akan menerkamnya. Alix mengumpulkan
seluruh kekuatannya. Ia menatap lurus-lurus ke mata suaminya.
“Ya,” ujarnya. “Aku telah meracunimu. Racunnya sedang bekerja. Saat ini kau tidak bisa
bergerak dari kursimu—kau tidak bisa bergerak...”
Kalau saja ia mampu menahan laki-laki itu di situ—beberapa menit saja...
Ah! Bunyi apa itu? Langkah-langkah kaki di jalan. Derit pintu pagar. Kemudian langkahlangkah kaki di jalan setapak di luar. Pintu depan terbuka.
“Kau tidak bisa bergerak,” katanya lagi.
Kemudian ia melintas di depan suaminya, berlari pontang-panting ke luar ruangan, dan
jatuh pingsan dalam pelukan Dick Windyford.
“Ya Tuhan! Alix!” seru Dick.
Kemudian ia berpaling ke arah pria yang datang bersamanya, sosok tegap yang mengenakan
seragam polisi.
“Tolong lihat apa yang terjadi di ruangan itu.”
Ia merebahkan Alix dengan hati-hati di sofa, lalu membungkuk di atasnya.
“Gadis kecilku,” gumamnya. “Gadis kecilku yang malang. Apa yang telah mereka lakukan
terhadapmu?”
Kelopak mata Alix bergerak-gerak, dan bibirnya hanya membisikkan nama Dick.
Dick dikejutkan polisi yang menggamit lengannya.
“Di dalam tidak ada siapa pun, Sir, kecuali seorang laki-laki yang sedang duduk di
kursi. Tampaknya dia sangat ketakutan, dan...”
“Ya?”
“Hmm, Sir, dia sudah... mati.”
Mereka berdua terkejut mendengar suara Alix. Ia seolah bicara dalam mimpi, dengan mata
masih terpejam.
“Dan sebentar kemudian” katanya, seakan mengutip dari bacaan, “dia mati....”
GADIS DI KERETA API
“HABIS perkara!” ujar George Rowland sedih, sambil mengamati bagian depan bangunan
mengagumkan namun kotor yang baru saja ditinggalkannya.
Tempat ini boleh dikata cocok sekali untuk mewakili kuasa Uang—Uang dalam bentuk
William Rowland, paman George yang disebut-sebut tadi, baru saja menyampaikan pesannya
dengan sangat terbuka. Dalam waktu sepuluh menit, posisi George sebagai kesayangan sang
paman, ahli waris kekayaannya, dan orang muda dengan karier menjanjikan, mendadak
berubah menjadi salah satu pengangguran.
“Dalam pakaian ini mereka bahkan takkan memberiku sedekah,” ujar Mr. Rowland muram.
“Kalau mencari uang dengan menulis sajak dan menjualnya dari rumah ke rumah seharga dua
pence (atau ‘berapa saja yang mau Anda bayar, Nyonya’), aku sama sekali tidak
berbakat.”
Memang benar, George merupakan bukti kepiawaian penjahit yang membuat setelannya.
Penampilannya sangat perlente dan mengesankan. Bahkan Raja Salomo dan bunga-bunga
bakung di padang takkan mampu menandingi George. Namun manusia tidak bisa hidup dari
pakaian saja—kecuali ia sudah cukup terlatih dalam seni tersebut—dan Mr. Rowland sangat
menyadari hal itu.
“Dan semua ini gara-gara pertunjukan brengsek semalam,” keluhnya sedih.
Pertunjukan brengsek semalam adalah Pesta Covent Garden. Mr. Rowland pulang agak malam—
atau lebih tepat agak pagi—alias subuh—yang jelas, ia tidak begitu ingat apakah ia
pulang atau tidak. Rogers, kepala pelayan pamannya, senang membantu dan pasti mampu
memberikan keterangan lebih rinci tentang hal itu. Kepala yang mau pecah, secangkir teh
kental, masuk kantor jam dua belas kurang lima menit dan bukannya setengah sepuluh,
telah memicu bencana itu. Mr. Rowland senior, yang selama dua puluh empat tahun telah
memaafkan dan membiayai kerabatnya sebagaimana seharusnya dilakukan sanak keluarga yang
bijaksana, tiba-tiba saja membuang semua taktik itu dan menampilkan dirinya yang baru.
Jawaban-jawaban ngawur George (kepala anak muda ini masih terbuka dan tertutup bagaikan
instrumen abad pertengahan Pengadilan Agama) membuatnya semakin kesal. William Rowland
benar-benar tidak tanggung-tanggung. Ia mengusir keluar keponakannya dengan beberapa
kata ringkas, lalu melanjutkan penelitiannya yang sempat terganggu tentang beberapa
ladang minyak di Peru.
George Rowland keluar dengan marah dari kantor pamannya, lalu melangkah ke pusat kota
London. George orang yang praktis. Pikirnya, makan siang lezat sangat penting untuk
meninjau kembali situasi. Maka ia makan. Kemudian ia melangkah kembali ke puri keluarga
itu. Rogers membukakan pintu. Wajahnya yang terlatih tidak menampakkan rasa heran saat
melihat George muncul di saat yang tidak biasa ini.
“Selamat sore, Rogers. Tolong siapkan barang-barangku. Aku mau pergi.”
“Baik, Sir. Untuk kunjungan singkat, Sir?”
“Untuk selamanya, Rogers. Sore ini aku mau berangkat menuju koloni.”
“Sungguh, Sir?”
“Ya. Itu kalau ada kapal yang cocok. Apa kau tahu tentang kapalnya, Rogers?”
“Koloni mana yang akan Anda kunjungi, Sir?”
“Aku tidak terlalu pilih-pilih. Yang mana saja bolehlah. Misalnya saja Australia.
Bagaimana menurutmu, Rogers?”
Rogers berdeham hati-hati.
“Begini, Sir, saya pernah mendengar di sana pasti ada lowongan bagi siapa saja yang
benar-benar ingin bekerja.”
Mr. Rowland menatapnya dengan penuh perhatian dan rasa kagum.
“Kau menyampaikannya dengan tepat, Rogers. Memang itulah yang sedang kupikirkan. Aku
tidak akan ke Australia—setidaknya bukan hari ini. Tolong ambilkan aku buku A.B.C. Kita
akan memilih tujuan yang lebih dekat.”
Rogers membawakan buku yang diminta. George membukanya asal-asalan dan membalik-balik
halamannya dengan cepat.
“Perth... terlalu jauh. Putney Bridge... terlalu dekat. Ramsgate? Kurasa tidak. Reigate
juga sama saja. Wah—luar biasa sekali! Ada tempat bernama Rowland’s Castle. Pernah
mendengar tentang tempat ini, Rogers?”
“Saya kira Anda bisa ke sana dari Waterloo, Sir.”
“Kau benar-benar luar biasa, Rogers. Kau tahu segalanya. Wah, wah, Rowland’s Castle!
Seperti apa ya tempat itu?”
“Menurut saya tidak begitu istimewa, Sir.”
“Kebetulan; jadi semakin sedikit saingan. Dusun-dusun kecil dan tenang seperti itu
menyimpan banyak semangat feodal kuno. Keturunan tulen keluarga Rowland yang terakhir
pasti mendapat penghormatan langsung. Aku takkan heran bila dalam seminggu mereka sudah
mengangkatku jadi wali kota.”
Ia lalu menutup buku itu dengan sekali empas.
“Batu dadu sudah dilempar. Tolong siapkan satu koper kecil untukku, Rogers. Sampaikan
pujianku untuk koki, dan tanyakan apakah dia mau meminjamkan kucing padaku. Dick
Whittington, kau tahu, kan? Bila kau punya tujuan jadi wali kota London, kucing
diperlukan sekali.”
“Maaf, Sir, tapi saat ini kucing itu takkan bisa dibawa.”
“Kenapa tidak?”
“Dia baru melahirkan delapan ekor anak, Sir. Tadi pagi.”
“Yang benar saja. Kusangka namanya Peter.”
“Memang, Sir. Kami sendiri kaget.”
“Salah menentukan jenis kelaminnya, ya? Nah, kalau begitu aku terpaksa harus pergi
tanpa kucing. Tolong segera siapkan keperluanku.”
“Baik, Sir.”
Rogers ragu sejenak, lalu melangkah ke dalam.
“Maafkan kelancangan saya, Sir, tapi seandainya saya jadi Anda, saya takkan terlalu
merisaukan ucapan Mr. Rowland pagi tadi. Semalam beliau menghadiri acara makan malam di
kota, dan...”
“Cukup,” sahut George. “Aku mengerti.”
“Dan mengingat sakit encoknya...”
“Aku tahu, aku tahu. Malam yang cukup sibuk untukmu, Rogers, menghadapi kami berdua,
betul? Tapi aku sudah bertekad membuat diriku terkenal di Rowland’s Castle—tempat lahir
leluhurku yang bersejarah—ungkapan yang cocok untuk pidato, kan? Telegram yang
dialamatkan padaku di sana, atau iklan terselubung di koran pagi, bisa mengingatkanku
kapan saja hidangan ayam saus sedang disiapkan. Dan sekarang... ke Waterloo!—seperti
dikatakan Wellington pada malam sebelum pertempuran bersejarah itu.”
Di malam hari, Stasiun Waterloo tidak tampak semarak. Mr. Rowland akhirnya mendapatkan
kereta api yang akan membawanya ke tujuan, namun bukan kereta api yang bagus atau
mengesankan—kereta yang sangat diinginkan orang untuk mengadakan perjalanan. Mr.
Rowland menempati sendiri gerbong kelas satu yang berada di awal rangkaian. Kabut
melayang-layang turun tak menentu ke atas kota, sebentar menyingsing, sebentar turun
kembali. Peron tampak sepi, dan hanya desah lokomotif yang memecah kesunyian.
Mendadak terjadi sesuatu yang menggemparkan.
Mula-mula muncul seorang gadis. Ia membuka pintu dan melompat masuk, menyadarkan Mr.
Rowland yang sedang terkantuk-kantuk, dan berseru, “Oh! Sembunyikan aku—oh! Tolong
sembunyikan aku.”
Pada dasarnya, George termasuk orang impulsif yang langsung bertindak—tidak menanyakan
alasan, tapi langsung beraksi, lalu mati bila perlu. Hanya ada satu tempat
persembunyian di gerbong kereta api—di bawah bangku. Dalam waktu tujuh detik gadis itu
sudah meringkuk di situ, tubuhnya tertutup koper George yang ditegakkan sembarangan.
Tepat pada waktunya. Seraut wajah penuh amarah melongok di jendela gerbong.
“Keponakanku! Anda menyembunyikannya di sini. Aku menginginkan keponakanku.”
George yang sedikit terengah, bersandar di pojok, membenamkan diri di balik koran
terbitan malam edisi pukul 01.30, seakan asyik membaca kolom olah raga. Ia menaruh
korannya dengan lagak orang yang baru tersadar dari lamunannya.
“Maaf, Sir?” ujarnya sopan.
“Keponakanku—apa yang Anda lakukan dengannya?”
Bertindak atas paham bahwa menyerang selalu lebih baik daripada bertahan, George
langsung beraksi.
“Apa gerangan maksud Anda?” teriaknya menirukan gaya pamannya.
Orang tadi terdiam sejenak, tercengang melihat kegarangan mendadak itu. Ia berperawakan
gemuk, masih terengah-engah seakan baru berlari cukup jauh. Rambutnya dipangkas gaya en
brosse, dan ia memiliki kumis ala kepercayaan Hohenzollern. Suaranya parau, dan sikap
kakunya menunjukkan ia lebih terbiasa mengenakan seragam. George memiliki prasangka
khas Britania Raya terhadap orang asing—terutama yang berpenampilan Jerman.
“Apa gerangan maksud Anda, Sir?” ulangnya marah.
“Keponakanku masuk ke sini,” jawab laki-laki itu. “Aku melihatnya sendiri. Apa yang
telah Anda lakukan dengannya?”
George melempar korannya, lalu melongokkan kepala dan kedua bahunya ke luar jendela.
“Begitu?” ia mengaum. “Ini pemerasan. Tapi Anda salah alamat. Pagi ini aku sudah
membaca tentang Anda di koran Daily Mail. Penjaga, kemari!”
Petugas yang dari jauh sudah tertarik pada keributan itu bergegas mendekat.
“Ini,” kata Mr. Rowland dengan gaya berwibawa yang sangat dikagumi masyarakat golongan
lebih rendah. “Orang ini membuatku kesal. Bila perlu, aku akan mengadukannya karena
usaha pemerasan. Dia menuduh aku menyembunyikan keponakannya di sini. Sekarang banyak
orang asing sering mencoba memeras dengan cara ini. Kebiasaan ini harus dihentikan.
Tolong bawa pergi dia. Ini kartu namaku bila Anda mau.”
Penjaga itu silih berganti menatap kedua pria di depannya. Ia segera membuat keputusan.
Pelatihan yang diterimanya membuatnya tidak menyukai orang asing, dan menghormati
sekaligus mengagumi para pria yang mengadakan perjalanan dengan gerbong kelas satu.
Ia lalu memegang bahu sang pengganggu.
“Ayo,” ujarnya, “jangan ganggu dia.”
Menghadapi saat krisis ini, kemampuan berbahasa Inggris orang asing tadi pun sirna, dan
ia langsung mencaci-maki dalam bahasa ibunya.
“Cukup,” kata si penjaga. “Minggir, kereta sudah siap berangkat.”
Bendera isyarat dilambaikan dan peluit berbunyi. Dengan sentakan malas kereta pun
meninggalkan stasiun.
George tetap di pos pengintaiannya sampai kereta sudah benar-benar meninggalkan peron.
Setelah itu ia menarik kepalanya kembali dari luar jendela, mengangkat kopernya, lalu
menjatuhkannya di rak bagasi.
“Sudah aman sekarang. Kau boleh keluar,” katanya menenangkan.
Gadis itu merangkak keluar dari bawah bangku.
“Oh!” ujarnya terengah. “Bagaimana aku bisa menyampaikan terima kasihku?”
“Tidak mengapa. Percayalah, aku tadi cukup terhibur,” jawab George santai.
George tersenyum untuk membuat gadis itu tenang. Mata gadis itu menatap agak bingung.
Sepertinya ia kehilangan sesuatu yang biasa dimilikinya. Saat itulah ia menangkap
bayangan dirinya di kaca sempit di depannya, dan ia pun tersedak.
Perlu dipertanyakan apakah para petugas pembersih gerbong menyapu bagian bawah tempat
duduk atau tidak. Namun kenyataan menunjukkan bahwa mereka tidak melakukannya, sebab
kotoran dan asap berkumpul di situ bagaikan burung bermigrasi. George nyaris tak sempat
memerhatikan penampilan gadis itu. Kedatangannya begitu mendadak, dan waktu yang
dibutuhkan untuk menyembunyikan dirinya begitu singkat. Tapi wanita muda yang
menghilang di bawah tempat duduk tadi jelas-jelas langsing dan berpakaian bagus.
Sekarang topi merahnya yang kecil itu sudah kusut dan penyok, sedangkan wajahnya
coreng-moreng terkena kotoran.
“Oh!” pekik gadis itu tertahan.
Dengan gugup ia meraih tasnya. George, dengan sikap pria terhormat sejati, menatap ke
luar jendela sambil mengagumi jalan-jalan kota London di sebelah selatan Sungai Thames.
“Bagaimana aku bisa menyampaikan terima kasihku?” ujar gadis itu lagi.
Menganggap pertanyaan itu sebagai isyarat bahwa percakapan sudah boleh dilanjutkan
kembali, George mengalihkan pandangan, dan menolak dengan sopan, namun kali ini dengan
sikap jauh lebih hangat.
Gadis itu benar-benar cantik! George berkata pada diri sendiri bahwa ia belum pernah
melihat gadis secantik ini. Hasrat yang terlihat melalui sikapnya semakin nyata.
“Menurutku Anda baik sekali,” ujar gadis itu bersemangat.
“Sama sekali tidak. Kejadian tadi keciiil. Senang sekali bisa membantu,” gumam George.
“Baik sekali,” ulang gadis itu tegas.
Memang sangat menyenangkan bila gadis tercantik yang pernah Anda lihat menatap lekatlekat sambil mengutarakan betapa baiknya Anda. George menikmati hal ini semaksimal
mungkin.
Mereka terdiam sejenak. Sepertinya gadis itu menyadari bahwa ia diharapkan memberikan
penjelasan lebih lanjut. Ia agak tersipu.
“Bagian yang memalukan adalah,” ujarnya gugup, “aku khawatir tak dapat menjelaskannya.”
Ia mendongak pada George dengan keraguan memilukan.
“Kau tidak dapat menjelaskan?”
“Tidak.”
“Benar-benar sempurna!” kata Mr. Rowland bersemangat.
“Maaf?”
“Kataku, betapa sempurnanya. Persis seperti buku-buku yang membuatmu tidak bisa tidur
sepanjang malam. Tokoh wanitanya selalu berkata, ‘Aku tidak bisa menjelaskan’ di bab
pertama. Di bab terakhir dia tentu saja mau menjelaskannya, dan sebenarnya tidak ada
alasan mengapa dia tidak melakukannya sejak awal—kecuali bahwa ini akan membuat
kisahnya tidak seru lagi. Aku tidak bisa menggambarkan betapa senangnya hatiku bisa
terlibat dalam misteri nyata—aku tidak tahu ada hal semacam itu. Kuharap ini ada
kaitannya dengan dokumen-dokumen rahasia yang sangat penting, dan dengan Balkan
Express. Aku sangat suka bepergian dengan kereta api itu.”
Gadis itu terbelalak curiga.
“Apa yang membuat Anda menyebut Balkan Express?” tanya gadis itu tajam.
“Kuharap sikapku tidak lancang,” George buru-buru menambahkan. “Pamanmu mungkin
bepergian dengan kereta api ini.”
“Pamanku...” Ia terdiam, lalu berkata lagi. “Pamanku...”
“Benar,” sahut George simpatik. “Aku juga punya paman. Tak ada yang harus bertanggung
jawab atas paman mereka. Paman adalah batu sandungan di alam ini—begitulah anggapanku.”
Tiba-tiba gadis itu mulai tertawa. Saat ia berbicara, George menyadari logat asing yang
sedikit membayang dalam suaranya. Awalnya ia menyangka gadis itu orang Inggris.
“Alangkah menyegarkan dan luar biasanya Anda, Mr....”
“Rowland. Teman-temanku memanggilku George.”
“Namaku Elizabeth...”
Mendadak ia terdiam.
“Aku menyukai nama Elizabeth,” ujar George untuk menutupi kecanggungan gadis itu.
“Orang tidak memanggilmu Bessie atau nama jelek semacam itu, kan?”
Gadis itu menggeleng.
“Nah,” kata George, “mengingat kita sudah saling berkenalan, sebaiknya kita mulai
serius. Bila kau mau berdiri, Elizabeth, aku akan membersihkan bagian belakang
mantelmu.”
Dengan patuh gadis itu berdiri, dan George menepati janjinya.
“Terima kasih, Mr. Rowland.”
“George. Teman-temanku memanggilku George, ingat? Dan kau tidak bisa masuk ke gerbongku
yang indah dan kosong ini, meringkuk di bawah tempat duduk, menyebabkan aku berbohong
pada pamanmu, lalu menolak berteman denganku, kan?”
“Terima kasih, George.”
“Itu lebih baik.”
“Apa sekarang aku sudah terlihat beres?” tanya Elizabeth sambil berusaha melihat ke
belakang dari pundak kirinya.
“Kau terlihat... oh! Kau terlihat... kau terlihat beres,” sahut George tergagap sambil
mengekang lidahnya mati-matian.
“Semua ini begitu mendadak,” jelas gadis itu.
“Pasti.”
“Dia melihat kami di dalam taksi, dan begitu sampai di stasiun aku langsung melompat
masuk ke sini, karena tahu dia tepat di belakangku. Omong-omong, ke mana tujuan kereta
ini?”
“Rowland’s Castle,” sahut George mantap.
Gadis itu tampak bingung.
“Rowland’s Castle?”
“Tidak langsung, tentu saja. Nanti sesudah berhenti berkali-kali dan berlambat-lambat.
Tapi aku yakin sudah bisa tiba di situ sebelum tengah malam. Kereta South-Western yang
lama sangat bisa diandalkan—lambat tapi pasti—dan aku yakin Jawatan Kereta Api Southern
mempertahankan tradisi lamanya.”
“Aku tidak yakin ingin pergi ke Rowland’s Castle,” ujar Elizabeth ragu.
“Kau menyakiti hatiku. Itu tempat yang sangat menyenangkan.”
“Apa Anda pernah ke sana?”
“Tidak juga. Tapi ada banyak tempat lain yang bisa kaukunjungi, bila kau tidak ingin ke
Rowland’s Castle. Seperti misalnya Woking, Weybridge, dan Wimbledon. Kereta ini pasti
akan berhenti di salah satu kota.”
“Aku mengerti,” ujar gadis itu. “Ya, aku bisa turun di situ, kemudian kembali ke
London. Kurasa inilah yang terbaik.”
Bahkan saat ia masih berbicara, kereta api itu mulai mengurangi kecepatan. Mr. Rowland
menatapnya dengan pandangan memohon.
“Mungkin aku bisa melakukan sesuatu...”
“Tidak, sungguh. Anda sudah berbuat banyak.”
Hening sejenak, dan tiba-tiba gadis itu berkata,
“Seandainya saja... seandainya saja aku bisa menjelaskan. Aku...”
“Astaga, jangan lakukan! Ceritanya takkan seru lagi. Tapi dengar, apa benar tak ada
yang bisa kulakukan untukmu? Membawakan surat-surat rahasia ke Wina—atau semacamnya?
Pasti ada surat-surat rahasia. Beri aku kesempatan.”
Kereta api sudah berhenti. Dengan cepat Elizabeth melompat turun ke peron. Ia berbalik
dan bercakap pada George melalui jendela.
“Apa Anda bersungguh-sungguh? Apa Anda benar-benar mau melakukan sesuatu untuk kami—
untukku?”
“Aku mau melakukan apa pun untukmu, Elizabeth.”
“Meskipun aku tidak bisa memberikan alasan?”
“Persetan dengan alasan!”
“Meskipun hal itu... berbahaya?”
“Semakin berbahaya, semakin baik.”
Gadis itu ragu sejenak, kemudian seakan membuat keputusan.
“Condongkan badan ke luar jendela. Pandanglah peron seakan tidak benar-benar
memandang.” Rowland berusaha keras mematuhi permintaan yang agak sulit itu. “Apa Anda
melihat pria yang baru naik itu—pria berjanggut hitam dan bermantel warna pucat itu?
Ikuti dia, perhatikan apa yang dilakukannya dan ke mana dia pergi.”
“Cuma itu saja?” tanya Mr. Rowland. “Apa yang ku...”
Gadis itu memotong kalimatnya.
“Instruksi selanjutnya akan diberikan pada Anda. Perhatikan dia—dan jagalah ini.” Ia
menyodorkan bungkusan kecil ke tangan George. “Jagalah dengan nyawa Anda. Ini kunci
dari semuanya.”
Kereta api melanjutkan perjalanan. Mr. Rowland tetap menatap ke luar jendela, sambil
memerhatikan sosok jangkung Elizabeth yang anggun itu berjalan menuruni peron. Di
tangannya ia menggenggam bungkusan kecil yang disegel itu.
Sisa perjalanannya terasa membosankan dan tanpa kejadian istimewa. Kereta ini bukan
kereta api cepat, dan berhenti di mana-mana. Di setiap stasiun, George menjulurkan
kepalanya ke luar jendela, khawatir kalau-kalau buruannya turun. Sekali waktu ia
berjalan-jalan di peron bila kereta berhenti agak lama, dan memastikan orang itu masih
ada di tempat.
Tujuan akhir kereta adalah Portsmouth, dan di situlah pelancong berjanggut hitam itu
turun. Ia berjalan menuju hotel kecil kelas dua dan memesan kamar. Mr. Rowland
melakukan hal sama.
Kedua kamar itu berada di gang yang sama, dan berjarak dua pintu. Bagi George,
pengaturan ini cukup memuaskan. Ia sama sekali belum berpengalaman dalam seni
menguntit, tapi ingin sekali menjalankan tugasnya dengan baik, dan tidak menyia-nyiakan
kepercayaan Elizabeth terhadapnya.
Saat makan malam, George memperoleh meja tidak jauh dari buruannya. Ruang makan tidak
penuh, dan George menduga sebagian besar orang yang makan di situ adalah pelancong
komersial, orang-orang terhormat pendiam yang menyantap makanan mereka dengan lahap.
Cuma seorang pria yang menarik perhatiannya, laki-laki kecil dengan rambut dan kumis
cokelat kemerah-merahan dengan penampilan mirip kuda. Tampaknya ia juga tertarik pada
George, lalu mengajaknya minum dan bermain biliar seusai makan malam. Namun George baru
saja melihat dari kejauhan pria berjanggut hitam tadi mengenakan topi dan mantelnya,
jadi ia menolak ajakan itu dengan sopan. Saat berikutnya ia sudah berada di jalan,
menambah wawasan baru dalam seni menguntit yang cukup sulit itu. Pengejaran itu terasa
panjang dan meletihkan—dan pada akhirnya seakan tidak membawanya ke mana pun. Setelah
berputar-putar dan berbelok menyusuri jalan-jalan di Portsmouth sejauh kurang-lebih
enam kilometer, pria itu kembali ke hotel, diikuti George dengan ketat. Rasa ragu
menyerang George. Mungkinkah orang itu menyadari kehadirannya? Saat ia mempertanyakan
hal ini sambil berdiri di ruang depan, pintu depan pun terbuka dan pria kecil berambut
cokelat kemerah-merahan itu masuk. Rupanya ia juga baru jalan-jalan keluar.
George tiba-tiba menyadari bahwa gadis cantik di kantor hotel itu berbicara padanya.
“Anda Mr. Rowland, bukan? Ada dua pria datang dan ingin bertemu Anda. Dua pria asing.
Mereka menunggu di ruangan kecil di ujung gang.”
Agak heran, George mencari ruangan itu. Di situ duduk dua laki-laki yang langsung
bangkit berdiri dan membungkuk dalam-dalam.
“Mr. Rowland? Saya yakin, Sir, Anda bisa menebak identitas kami.”
George memandang mereka silih berganti. Yang berbicara tadi yang lebih tua, pria
beruban dan angkuh yang berbahasa Inggris sempurna. Pria yang satu berperawakan
jangkung, berjerawat, masih muda, dan berambut pirang, dengan raut wajah Jerman yang
tidak semakin tampan karena air muka cemberutnya itu.
Sedikit lega karena tamunya bukanlah pria tua yang dijumpainya di Waterloo, George
mengambil sikap seceria mungkin.
“Silakan duduk, Tuan-Tuan. Saya senang berkenalan dengan Anda. Bagaimana kalau kita
minum?”
Pria yang lebih tua mengangkat tangannya, menolak ajakan itu.
“Terima kasih, Lord Rowland—tidak perlu. Kami hanya punya waktu sedikit—cukup bagi Anda
untuk menjawab satu pertanyaan.”
“Anda baik sekali memberiku gelar bangsawan tadi,” ujar George. “Sayang sekali Anda
tidak bersedia minum bersamaku. Dan apakah pertanyaan penting itu?”
“Lord Rowland, Anda meninggalkan London bersama seorang wanita. Anda tiba di sini
seorang diri. Di manakah wanita itu?”
George bangkit berdiri.
“Saya tidak memahami pertanyaan itu,” ujarnya dingin, semirip mungkin dengan pahlawan
dalam cerita novel. “Saya mendapat kehormatan mengucapkan selamat malam pada Anda,
Tuan-Tuan.”
“Tapi Anda memahaminya. Anda sangat memahaminya,” seru pria muda itu tiba-tiba. “Apa
yang telah Anda lakukan terhadap Alexa?”
“Tenanglah, Sir,” gumam rekannya. “Aku mohon, tenanglah.”
“Saya bisa memastikan pada Anda,” ujar George, “bahwa saya tidak mengenal wanita dengan
nama itu. Pasti ada kekeliruan.”
Pria tua itu memerhatikannya dengan saksama.
“Mana mungkin,” ujarnya acuh tak acuh. “Saya telah memberanikan diri memeriksa daftar
nama tamu hotel. Anda telah mencatatkan diri sebagai Mr. G. Rowland dari Rowland’s
Castle.”
Mau tak mau George tersipu.
“Itu... itu cuma lelucon kecil saja,” jawabnya lemah.
“Itu dalih yang tak berarti. Ayolah, jangan kita mengulur-ulur waktu. Di manakah Yang
Mulia?”
“Bila yang Anda maksud adalah Elizabeth...”
Sambil melolong marah orang muda tadi melompat kembali ke arah George.
“Babi kurang ajar—anjing! Berani-beraninya kau menyebutnya seperti itu.”
Pria satunya berkata lambat-lambat, “Yang saya maksud adalah Grand Duchess Anastasia
Sophia Alexandra Marie Helena Olga Elizabeth dari Catonia.”
“Oh!” kata Mr. Rowland tak berdaya.
Ia berusaha mengingat-ingat semua hal yang pernah diketahuinya tentang Catonia.
Seingatnya, ini sebuah kerajaan kecil di Balkan, dan ia teringat sesuatu tentang
revolusi yang pernah terjadi di sana. Ia memulihkan diri sebisa-bisanya.
“Rupanya kita membicarakan orang yang sama,” ujarnya ceria, “hanya saja saya
memanggilnya Elizabeth.”
“Baiklah kalau begitu,” gertak pria yang lebih muda. “Kita akan berkelahi.”
“Berkelahi?”
“Duel.”
“Saya tidak pernah berduel,” sahut Mr. Rowland tegas.
“Mengapa tidak?” tanya lawannya kesal.
“Saya terlalu takut terluka.”
“Aha! Begitu? Kalau begitu, paling tidak aku akan menarik hidung Anda.”
Laki-laki muda itu menyerang dengan garang. Apa persisnya yang terjadi, sulit dilihat,
tapi mendadak ia melambung ke udara dan jatuh ke lantai dengan berdebam. Ia bangkit
berdiri dengan kebingungan. Mr. Rowland tersenyum senang.
“Seperti saya katakan tadi,” komentarnya, “saya selalu takut terluka. Itu sebabnya saya
pikir ada baiknya belajar jujitsu.”
Hening sejenak. Dengan ragu kedua orang asing itu menatap pria muda yang tampak ramah
itu, seakan mereka baru menyadari bahwa di balik sikap santainya yang menyenangkan
tersembunyi sifat berbahaya. Wajah pemuda Jerman itu pucat pasi karena amarah.
“Anda akan menyesalinya,” desisnya.
Pria yang lebih tua mempertahankan gengsinya.
“Apa ini keputusan akhir Anda, Mr. Rowland? Anda menolak memberitahukan keberadaan Yang
Mulia pada kami?”
“Saya sendiri juga tidak tahu.”
“Anda tentunya tidak berharap saya memercayainya.”
“Saya khawatir Anda memang punya watak sulit percaya, Sir.”
Laki-laki satunya hanya menggeleng, dan sambil bergumam, “Persoalan kita belum selesai.
Anda akan mendengar dari kami lagi,” kedua pria itu beranjak pergi.
George mengusap kening. Kejadian demi kejadian berlangsung begitu cepat. Ia jelas-jelas
sedang terlibat skandal Eropa kelas satu.
“Mungkin ini bahkan berarti perang,” kata George penuh harap, sambil memandang
berkeliling untuk melihat di mana gerangan pria berjanggut hitam itu.
George sangat lega ketika melihatnya duduk di sudut ruang niaga. George duduk di sudut
lain. Sekitar tiga menit kemudian, laki-laki berjanggut hitam itu pun bangkit berdiri
dan masuk tidur. George mengikuti, dan melihatnya masuk ke kamarnya, lalu menutup
pintunya. George menarik napas lega.
“Aku butuh istirahat,” gumamnya. “Sangat membutuhkan.”
Tiba-tiba muncul pikiran menakutkan. Bagaimana kalau orang berjanggut hitam itu
menyadari bahwa George sedang membuntutinya? Bagaimana kalau ia menyelinap di tengah
malam sementara George tidur nyenyak? Setelah berpikir sejenak, Mr. Rowland menemukan
jalan untuk mengatasi kesulitan ini. Ia membongkar rajutan salah satu kaus kakinya
sampai mendapatkan benang wol berwarna netral yang cukup panjang. Ia menyelinap keluar
dari kamarnya, merekatkan ujung benang itu di bagian tepi pintu orang asing itu dengan
kertas prangko, lalu mengulur benang wol itu sampai ke kamarnya sendiri. Di situ ia
mengikatkan ujungnya pada lonceng perak kecil—peninggalan pesta malam sebelumnya. Ia
mengamati taktiknya ini dengan puas. Seandainya orang berjanggut hitam itu meninggalkan
kamarnya, George akan langsung diperingatkan oleh denting lonceng itu.
Setelah membereskan masalah ini, George langsung menuju tempat tidurnya. Ia telah
menyembunyikan bungkusan kecil itu dengan cermat di bawah bantalnya. Sementara
berbaring, ia merenung kurang-lebih begini:
“Anastasia Sophia Marie Alexandra Olga Elizabeth. Tunggu dulu, ada satu nama yang
ketinggalan. Sekarang aku bertanya-tanya...”
Karena terganggu dengan kegagalannya memahami situasi sebenarnya, ia tidak bisa
langsung tertidur. Apa arti semua ini? Apa hubungan kaburnya sang Grand Duchess dengan
bungkusan bersegel dan orang berjanggut hitam itu? Apa gerangan yang membuat Grand
Duchess melarikan diri? Tahukah kedua orang asing tadi bahwa bungkusan itu ada padanya?
Apa kira-kira isinya?
Sementara memikirkan hal-hal tadi dan kesal karena tidak mampu memecahkan teka-teki
itu, Mr. Rowland akhirnya tertidur juga.
Ia terbangun karena bunyi samar-samar denting lonceng. Karena bukan termasuk orang yang
bisa langsung bertindak begitu terjaga, ia membutuhkan satu setengah menit untuk
menyadari situasi. Ia lalu melompat berdiri, mengenakan sandal, dan setelah membuka
pintu dengan sangat hati-hati, ia menyelinap di gang. Sesosok bayangan bergerak di
ujung gang, menunjukkan arah yang diambil buruannya. Sambil sedapat mungkin tidak
menimbulkan bunyi, Mr. Rowland menguntit. Ia sempat melihat orang berjanggut hitam itu
menghilang ke dalam kamar mandi. Ini membingungkan, terutama karena tepat di depan
kamarnya sendiri ada kamar mandi. Sambil mendekati pintu yang terbuka lebar, George
mengintip melalui celah. Orang itu sedang berlutut di samping bak mandi, melakukan
sesuatu dengan papan pinggiran di belakangnya. Ia berada di sana selama kurang-lebih
lima menit, kemudian bangkit berdiri. George langsung mundur dengan hati-hati.
Terlindung di bayang-bayang pintunya sendiri, ia memerhatikan orang itu lewat dan masuk
ke kamarnya sendiri.
“Bagus,” ujar George dalam hati. “Misteri kamar mandi akan kuperiksa besok pagi.”
Ia berbaring kembali di tempat tidurnya, lalu menyelipkan tangannya ke bawah bantal,
untuk memastikan bungkusan berharga itu masih berada di situ. Saat berikutnya ia sudah
menarik-narik seprai dengan panik hingga berantakan. Bungkusan itu sudah hilang!
Keesokan paginya George sarapan telur dan ham dengan murung. Ia telah melalaikan pesan
Elizabeth. Ia telah membiarkan bungkusan berharga yang dipercayakan padanya diambil
darinya, dan “Misteri Kamar Mandi” itu sama sekali tidak sepadan dengan kehilangan itu.
Ya, tak pelak lagi, George telah membuat dirinya benar-benar dungu.
Selesai sarapan, ia kembali ke lantai atas. Seorang pelayan kamar sedang berdiri
kebingungan di gang.
“Ada masalah, Nona?” tanya George ramah.
“Tamu yang menginap di kamar ini, Sir. Dia minta dibangunkan pukul setengah sembilan,
tapi dia tidak menjawab ketukanku, dan pintunya terkunci.”
“Yang benar saja,” ujar George.
Hatinya tidak enak. Ia lalu bergegas masuk kamarnya sendiri. Rencana apa pun yang tadi
terbentuk di benaknya langsung terhapus karena pemandangan yang sama sekali tak
terduga. Di atas meja riasnya tergeletak bungkusan yang dicuri malam sebelumnya!
George memungut dan memeriksanya. Benar, tak diragukan lagi ini bungkusan yang sama.
Namun segelnya sudah dirusak. Setelah ragu sejenak, ia membuka bungkusan itu. Bila
orang lain telah melihat isinya, tak ada alasan mengapa ia tidak boleh melihatnya juga.
Lagi pula, mungkin saja isinya telah diambil. Setelah kertas pembungkusnya dibuka,
tampaklah kotak karton kecil, seperti biasa digunakan tukang emas. George membukanya.
Di dalamnya tampak cincin emas kawin polos di atas segumpal kapas.
George memegang dan memeriksanya. Di bagian dalamnya tidak ada tulisan apa pun—apa saja
yang dapat membedakannya dari cincin kawin lain. George menopang kepalanya dengan
mengerang.
“Ini gila-gilaan,” gumamnya. “Betul, benar-benar gila. Sungguh tidak masuk akal.”
Tiba-tiba ia teringat pernyataan pelayan kamar tadi, dan pada saat yang sama ia juga
melihat ada sandaran lebar di bagian luar jendela. Ini bukanlah tindakan yang dalam
keadaan biasa akan dilakukannya, tapi ia sudah begitu terbakar oleh rasa ingin tahu dan
amarah, hingga ia cenderung menganggap ringan kesulitan. Ia melompat ke ambang jendela.
Beberapa detik kemudian, ia sudah mengintip lewat jendela kamar yang ditempati orang
berjanggut hitam itu. Jendela itu terbuka dan kamarnya kosong. Tak jauh dari situ
tampak tangga darurat. Jelaslah lewat mana buruannya telah meninggalkan tempat.
George melompat masuk kamar lewat jendela. Barang-barang orang yang menghilang itu
masih berserakan. Di antaranya mungkin masih ada beberapa petunjuk yang bisa menyingkap
kebingungan George. Ia mulai mencari-cari, dimulai dengan mengaduk-aduk isi tas barang
perlengkapan yang sudah usang.
Suatu bunyi menghentikan pencariannya—bunyi sangat halus yang pasti berasal dari kamar
itu. Pandangan George melayang ke lemari pakaian yang besar. Ia melompat dan membuka
pintunya dengan keras. Begitu terbuka, seorang laki-laki melompat keluar dan bergulingguling di lantai, terkunci dalam pelukan keras George. Ia bukan lawan yang bengis.
Semua siasat istimewa George tidak banyak gunanya. Akhirnya kedua orang itu terpisah
karena kelelahan, dan untuk pertama kalinya George melihat siapa lawannya tadi.
Ternyata laki-laki kecil dengan kumis cokelat kemerah-merahan itu.
“Siapa Anda?” bentak George.
Sebagai jawaban, orang itu mengeluarkan sehelai kartu nama dan menyodorkannya pada
George, yang lalu membacanya dengan suara keras.
“Detektif Inspektur Jarrold, Scotland Yard.”
“Betul, Sir. Dan sebaiknya Anda katakan pada saya segala sesuatu yang Anda ketahui
tentang masalah ini.”
“Begitukah?” sahut George sambil merenung. “Anda tahu, Inspektur, saya percaya Anda
benar. Bagaimana kalau kita mencari tempat yang lebih nyaman?”
Di sudut bar yang tenang, George mengungkapkan seluruh pengalamannya. Inspektur Jarrold
mendengarkan penuh simpati.
“Seperti Anda katakan, ini sungguh membingungkan, Sir,” komentarnya ketika George
selesai. “Banyak hal yang tidak saya pahami juga, tapi ada satu-dua hal yang bisa saya
jelaskan pada Anda. Saya berada di sini membuntuti Mardenberg (teman Anda yang
berjanggut hitam itu), dan kemunculan Anda yang terus memerhatikannya membuat saya
curiga. Saya tidak kenal Anda. Semalam saya menyelinap ke dalam kamar Anda saat Anda
keluar, dan sayalah yang mengambil bungkusan kecil itu dari bawah bantal Anda. Ketika
saya membuka dan mendapati bukan ini barang yang saya cari, saya mengambil kesempatan
pertama untuk mengembalikannya ke kamar Anda.”
“Pantas saja,” ujar George merenung. “Sepertinya saya sudah bertindak bodoh sekali.”
“Saya takkan berkata begitu, Sir. Bagi seorang pemula, apa yang Anda lakukan itu sudah
bagus sekali. Anda berkata pagi tadi Anda memeriksa kamar mandi dan mengambil benda
yang tersembunyi di balik papan pinggirannya?”
“Ya. Ternyata cuma surat cinta brengsek,” ujar George murung. “Saya tidak bermaksud
mengorek-ngorek kehidupan pribadi orang itu.”
“Bolehkah saya melihatnya, Sir?”
George mengeluarkan surat yang terlipat itu dari dalam sakunya dan memberikannya pada
sang inspektur, yang lalu membukanya.
“Tepat seperti Anda katakan tadi, Sir. Tapi saya kira bila Anda menarik garis dari satu
huruf i ke huruf i berikutnya. Anda akan mendapatkan hasil berbeda. Wah, Sir, ini
rencana pertahanan pelabuhan Portsmouth.”
“Apa?”
“Betul. Sudah beberapa waktu ini kami memantau orang ini. Tapi dia terlalu licin bagi
kami. Sebagian besar tugas kotornya diserahkan pada wanita.”
“Wanita?” tanya George lirih. “Siapa namanya?”
“Dia memiliki banyak nama samaran, Sir. Tapi dia lebih dikenal dengan julukan Betty
Brighteyes. Wanita itu sangat cantik.”
“Betty—Brighteyes,” ulang George. “Terima kasih, Inspektur.”
“Maaf, Sir, tapi Anda kelihatan kurang sehat.”
“Saya memang sedang kurang sehat. Saya sakit keras. Yang pasti, sebaiknya saya naik
kereta api pertama dan kembali ke kota.”
Inspektur itu melihat arlojinya.
“Saya rasa kereta apinya jenis yang lambat, Sir. Sebaiknya Anda menunggu kereta ekspres
saja.”
“Tidak apa-apa,” ujar George murung. “Tak ada kereta yang lebih lambat daripada yang
saya naiki kemarin.”
Duduk sekali lagi dalam gerbong kelas satu, George membaca berita-berita hari itu
dengan santai. Mendadak ia terlonjak dan menatap halaman di depannya.
“Kemarin dilangsungkan acara pernikahan romantis di London ketika Lord Roland Gaigh,
putra kedua Marquis of Axminster, menikah dengan Grand Duchess Anastasia dari Catonia.
Upacara ini dirahasiakan. Sang Grand Duchess tinggal di Paris bersama pamannya sejak
pergolakan yang terjadi di Catonia. Dia berjumpa dengan Lord Roland ketika yang disebut
belakangan ini menjabat sebagai sekretaris Kedutaan Inggris di Catonia, dan hubungan
mereka diawali sejak itu.”
“Astaga, aku...”
Mr. Rowland tidak mampu mencari kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Ia
menatap kosong ke langit. Kereta itu berhenti di sebuah stasiun kecil, dan seorang
wanita muda naik. Ia duduk di seberang George.
“Selamat pagi, George,” sapanya manis.
“Ya ampun!” seru George. “Elizabeth!”
Perempuan itu tersenyum padanya. Ia tampak lebih cantik.
“Dengar,” seru George sambil memegangi kepalanya. “Demi Tuhan, katakan padaku. Kau ini
Grand Duchess Anastasia atau Betty Brighteyes?”
Wanita itu menatap George.
“Bukan kedua-duanya. Aku Elizabeth Gaigh. Sekarang aku bisa menceritakan semuanya
padamu. Dan aku harus minta maaf juga. Begini, Roland (kakakku) sejak dulu mencintai
Alexa...”
“Maksudmu Grand Duchess?”
“Ya, keluarganya memanggilnya demikian. Nah, seperti kukatakan tadi, Roland
mencintainya sejak dulu, demikian pula sebaliknya. Kemudian pecah revolusi, dan Alexa
berada di Paris. Mereka baru saja hendak meresmikan hubungan ketika Sturm, pimpinan
kedutaan itu, muncul dan bersikeras membawa pergi Alexa dan memaksanya menikah dengan
Pangeran Carl, sepupu Alexa, laki-laki mengerikan penuh jerawat...”
“Rasanya aku pernah berjumpa dengannya,” ujar George.
“Yang sangat dibenci Alexa. Pangeran Usric, pamannya, melarangnya bertemu Roland lagi.
Karena itu dia kabur ke Inggris, dan aku ke kota untuk menemuinya; kami mengirim
telegram ke Roland yang ketika itu berada di Skotlandia. Pada saat terakhir, ketika
kami sedang dalam perjalanan menuju Kantor Catatan Sipil dengan taksi, siapa lagi yang
kami jumpai dalam taksi lain, kalau bukan Pangeran Usric sendiri. Sudah tentu dia
membuntuti kami, dan kami kehilangan akal harus berbuat apa, karena si tua itu pasti
akan membuat keributan besar. Lagi pula, dia wali Alexa. Aku lalu mendapat ide untuk
bertukar tempat dengannya. Zaman ini orang nyaris tidak bisa melihat wajah seorang
gadis kecuali ujung hidungnya. Aku mengenakan topi merah dan mantel cokelat Alexa,
sedangkan dia mengenakan mantel kelabu milikku. Kemudian kami menyuruh sopir taksi ke
Waterloo, dan aku melompat keluar di situ, dan berlari ke stasiun. Si tua Usric tentu
saja mengejar si topi merah tanpa memikirkan penumpang taksi yang satu lagi, yang
sedang meringkuk di dalam. Dia tak mau repot-repot melihat wajahku. Jadi, aku melompat
begitu saja ke dalam gerbongmu dan menyerahkan diri pada belas kasihanmu.”
“Aku sudah paham,” sahut George. “Itu kelanjutannya.”
“Aku tahu. Itu sebabnya aku harus meminta maaf. Kuharap kau tidak marah sekali. Begini,
sepertinya kau begitu berharap kejadian itu adalah misteri—seperti di buku-buku, hingga
aku tidak mampu melawan godaan. Aku lalu asal main tunjuk, dan memilih pria yang
kelihatan agak seram di peron, dan menyuruhmu mengikutinya. Setelah itu aku menyodorkan
bungkusan itu padamu.”
“Yang berisi cincin kawin.”
“Ya. Alexa dan aku membelinya, sebab Roland mungkin baru bisa tiba dari Skotlandia
tepat sebelum upacara pernikahan. Dan tentu saja aku tahu bahwa pada saat aku tiba
kembali di London, mereka berdua sudah tidak membutuhkannya lagi—mereka tentu terpaksa
menggunakan cincin tirai atau semacamnya.”
“Aku mengerti,” ujar George. “Sama seperti semua hal—begitu sederhana bila kau sudah
tahu! Izinkan aku, Elizabeth.”
George menanggalkan sarung tangan kiri Elizabeth, dan menarik napas lega saat melihat
jari manisnya yang masih kosong.
“Tak mengapa,” komentarnya. “Lagi pula, cincin itu takkan terbuang percuma.”
“Oh!” seru Elizabeth, “tapi aku belum mengenalmu sama sekali.”
“Kau sudah tahu betapa baiknya aku,” sahut George. “Omong-omong, baru terpikir olehku,
kau tentunya Lady Elizabeth Gaigh.”
“Oh! George, apa kau suka membanggakan diri?”
“Terus terang saja, memang betul, sedikit. Impianku adalah, Raja George meminjam uang
setengah crown dariku untuk mengunjunginya pada akhir minggu. Tapi aku sedang
memikirkan pamanku—yang sekarang sudah berpisah denganku. Dialah yang benar-benar suka
menyombongkan diri. Kalau dia tahu aku akan menikah denganmu, dan bahwa kami akan
memperoleh gelar bangsawan dalam keluarga, dia akan langsung menjadikanku mitranya!”
“Oh! George, apa dia kaya-raya?”
“Elizabeth, apa kau mata duitan?”
“Sangat. Aku suka sekali menghambur-hamburkan uang. Tapi aku sedang berpikir tentang
ayahku. Lima anak perempuan, sarat dengan kecantikan dan darah biru. Dia mendambakan
menantu kaya-raya.”
“Hm,” kata George. “Ini akan menjadi perkawinan impian. Bagaimana kalau kita tinggal di
Rowland’s Castle? Mereka pasti akan mengangkatku jadi wali kota London bila kau jadi
istriku. Oh! Elizabeth, Darling, ini mungkin bertentangan dengan peraturan perusahaan,
tapi aku benar-benar harus menciummu!”
NYANYIKAN LAGU ENAM PENCE
Sir EDWARD PALLISER, K.C., tinggal di Queen Anne’s Close No. 9. Queen Anne’s Close
adalah perumahan tipe cul-de-sac. Berlokasi di jantung Westminster, suasananya
tenteram, jauh dari kebisingan abad dua puluh. Keadaan ini sangat cocok bagi Sir Edward
Palliser.
Sir Edward pernah menjadi salah seorang pengacara kriminal paling ternama di zamannya.
Mengingat ia sekarang sudah tidak membuka praktek di kantor pengacara, ia menghibur
diri dengan menghimpun perpustakaan kriminologi yang sangat lengkap. Selain itu, ia
penulis buku Reminiscences of Eminent Criminals yang mengenang para penjahat terkenal.
Malam itu Sir Edward sedang duduk-duduk di depan perapian perpustakaannya sambil
menghirup kopi pahit bermutu tinggi. Ia membaca buku karangan Lombroso dan menggeleng.
Benar-benar teori yang kreatif, sekaligus ketinggalan zaman.
Pintu perpustakaan dibuka nyaris tanpa bunyi, dan pelayannya yang terlatih melintasi
permadani tebal, lalu bergumam dengan hati-hati,
“Seorang wanita muda ingin bertemu Anda, Sir.”
“Wanita muda?”
Sir Edward terheran-heran. Ini kejadian yang tidak biasa. Kemudian ia teringat bahwa
mungkin Ethel, keponakannyalah yang datang—tapi tidak, kalau memang Ethel, Armour pasti
akan berkata demikian.
Ia bertanya hati-hati.
“Wanita itu tidak menyebutkan namanya?”
“Tidak, Sir, tapi katanya dia yakin Anda mau bertemu dengannya.”
“Suruh dia masuk,” ujar Sir Edward Palliser. Rasa ingin tahunya tergugah.
Seorang gadis jangkung berkulit gelap mendekati usia tiga puluh, mengenakan mantel dan
rok hitam berpotongan bagus, serta topi kecil berwarna hitam, menghampiri Sir Edward
sambil mengulurkan tangan dengan wajah berseri. Armour mengundurkan diri sambil menutup
pintu tanpa suara.
“Sir Edward—Anda masih ingat saya, bukan? Saya Magdalen Vaughan.”
“Wah, tentu saja.” Sir Edward menjabat tangan yang terulur itu dengan hangat.
Sekarang ia ingat gadis ini dengan jelas. Perjalanan pulang dari Amerika di kapal
Siluric! Anak yang memesona—sebab ketika itu ia masih belia sekali. Dengan gaya hatihati orang tua yang luas pergaulannya, Sir Edward ingat pernah menjalin hubungan mesra
dengannya. Ketika itu gadis ini masih begitu belia—begitu menggebu—begitu penuh
kekaguman dan pemujaan—cocok sekali untuk mencuri hati pria mendekati usia enam
puluhan. Kenangan itu meningkatkan kehangatan jabat tangannya.
“Ini sungguh menyenangkan. Silakan duduk.” Ia menarik kursi untuk gadis itu, bicara
santai sambil terus bertanya-tanya, apa gerangan yang menyebabkan ia datang. Waktu ia
akhirnya selesai berbasa-basi, suasana hening.
Tangan gadis itu memegangi sandaran lengan kursi dengan gelisah, dan ia membasahi
bibirnya. Mendadak ia berbicara—langsung ke tujuan.
“Sir Edward—saya ingin Anda membantu saya.”
Sir Edward heran dan bergumam, “Ya?”
Gadis itu melanjutkan dengan nada lebih mendesak.
“Anda pernah berkata bila saya membutuhkan bantuan—bila ada sesuatu yang bisa Anda
lakukan untuk saya—Anda akan melakukannya.”
Ya, ia memang pernah mengatakannya. Orang sudah biasa mengucapkan basa-basi semacam ini
—terutama saat hendak berpisah. Ia teringat suaranya sendiri yang tercekat—ketika
mengangkat tangan gadis itu ke bibirnya.
“Kalau ada yang bisa kulakukan untukmu—ingat, aku bersungguh-sungguh...”
Ya, orang biasa berjanji demikian... Tapi sangat, sangat jarang orang harus menepati
janjinya! Yang pasti bukan setelah—berapa lama?—sembilan atau sepuluh tahun. Sir Edward
melirik ke arahnya—dia masih sangat cantik, tapi ia telah kehilangan sesuatu yang
pernah membuat Sir Edward terpesona—paras belia yang belum tersentuh. Mungkin wajahnya
sekarang lebih menarik—laki-laki yang lebih muda boleh jadi akan berpikir demikian—tapi
Sir Edward sama sekali tidak merasakan gelora kehangatan dan emosi seperti yang
dialaminya di akhir perjalanannya mengarungi Samudra Atlantik.
Wajahnya berubah resmi dan hati-hati. Dengan agak tegas ia berkata,
“Tentu, Nona. Aku akan senang membantu semampuku—meskipun hari-hari ini aku tidak yakin
bisa membantu siapa pun.”
Entah Sir Edward sedang bersiap-siap mundur, yang jelas gadis itu tidak menyadarinya.
Ia jenis orang yang hanya bisa melihat satu hal pada satu saat, dan yang dilihatnya
saat ini adalah kebutuhannya sendiri. Ia menganggap kesediaan Sir Edward membantu
sebagai sudah seharusnya.
“Kami berada dalam kesulitan besar, Sir Edward.”
“Kami? Apa Anda sudah menikah?”
“Tidak—maksud saya, kakak saya dan saya sendiri. Oh! William dan Emily juga,
sebenarnya. Tapi saya harus menjelaskan. Saya punya—saya pernah punya bibi—Miss
Crabtree. Anda mungkin pernah membacanya di surat kabar. Sungguh mengerikan. Dia tewas—
dibunuh.”
“Ah!” Rasa tertarik terbersit di wajah Sir Edward. “Sekitar satu bulan lalu, bukan?”
Gadis itu mengangguk.
“Kurang dari itu—tiga minggu.”
“Ya, aku ingat. Kepalanya dihantam di rumahnya sendiri. Mereka tidak berhasil menangkap
pelakunya.”
Lagi-lagi Magdalen Vaughan mengangguk.
“Mereka tidak berhasil menangkapnya—saya tidak percaya mereka akan bisa menangkapnya.
Mungkin tidak ada orang yang bisa ditangkap.”
“Apa?”
“Ya—sungguh mengerikan. Di koran hal ini tidak diberitakan. Tapi itulah yang diduga
polisi. Mereka tahu malam itu tidak ada orang datang ke rumah itu.”
“Maksud Anda...?”
“Pelakunya salah seorang dari kami berempat. Pasti begitu. Mereka tidak tahu siapa—dan
kami tidak tahu siapa... kami tidak tahu. Setiap hari kami duduk saling memperhatikan
dengan curi-curi pandang, sambil bertanya-tanya. Oh! Seandainya saja pelakunya orang
luar—tapi saya tidak tahu bagaimana ini mungkin...”
Sir Edward menatapnya, rasa tertariknya semakin besar.
“Maksud Anda anggota keluarga dicurigai?”
“Ya, itulah maksud saya. Sudah tentu polisi tidak berkata demikian. Sikap mereka cukup
sopan dan ramah. Tapi mereka telah menggeledah seluruh rumah, menanyai kami semua,
termasuk Martha, berulang kali... Dan berhubung tidak tahu siapa pelakunya, mereka
belum berbuat apa-apa. Saya takut—amat sangat takut...”
“Anakku, ayolah, Anda pasti hanya membesar-besarkan.”
“Saya tidak membesar-besarkan. Pelakunya salah satu dari kami berempat—pasti.”
“Siapa saja keempat orang yang Anda bicarakan ini?”
Magdalen duduk tegak dan berbicara dengan lebih tenang.
“Pertama, saya dan Matthew. Bibi Lily saudara perempuan Nenek. Kami tinggal bersamanya
sejak kami berusia empat belas (kami berdua saudara kembar). Kemudian ada William
Crabtree. Dia keponakan Bibi Lily—anak saudara laki-lakinya. Dia juga tinggal di situ
bersama Emily, istrinya.”
“Apakah dia menyokong mereka?”
“Lebih-kurang. William punya sedikit uang, tapi fisiknya lemah dan terpaksa tinggal di
rumah. Dia laki-laki pendiam dan suka melamun. Saya yakin dia takkan mungkin—oh!—
alangkah jahatnya saya, meskipun cuma berpikir begitu!”
“Aku masih belum bisa memahami posisinya. Mungkin Anda tidak keberatan menceritakan
fakta-faktanya—bila ini tidak terlalu membuat Anda tertekan.”
“Oh, tidak! Saya ingin menceritakannya pada Anda. Semuanya masih jelas sekali dalam
ingatan saya—jelas dan mengerikan. Begini, ketika itu kami baru selesai minum teh, dan
kami masing-masing sibuk sendiri. Saya menjahit baju. Matthew mengetik karangan—tugas
jurnalistik; sedangkan William asyik dengan prangkonya. Emily tidak turun untuk minum
teh. Dia baru minum obat sakit kepala dan sedang berbaring. Itulah kami, sibuk dengan
kegiatan masing-masing. Ketika Martha masuk untuk menata meja pada pukul setengah
delapan, Bibi Lily sudah terkapar—mati. Kepalanya—oh! Sangat mengerikan—hancur.”
“Kurasa senjatanya ditemukan?”
“Ya. Pelakunya menggunakan penindih kertas berat yang selalu terletak di meja dekat
pintu. Polisi memeriksa apakah ada sidik jari di atasnya, tapi ternyata tidak ada.
Sudah dibersihkan.”
“Dan apa dugaan awal kalian?”
“Kami tentu saja menyangka ada pencuri masuk. Ada dua atau tiga laci bufet yang
ditarik, seakan pencurinya telah mencari-cari sesuatu. Tentu saja kami mengira ini
perbuatan pencuri! Kemudian polisi datang—dan mereka bilang Bibi sudah meninggal
sekitar satu jam sebelumnya. Mereka bertanya pada Martha, siapa yang datang ke rumah,
dan Martha menjawab tidak ada. Semua jendela terkunci dari dalam, tidak ada tanda-tanda
dirusak. Kemudian mereka mulai mengajukan berbagai pertanyaan pada kami...”
Magdalen berhenti. Dadanya terangkat. Kedua matanya yang ketakutan dan memohon, menatap
mata Sir Edward mencari penenteraman hati.
“Begini, siapa yang akan mendapat keuntungan lewat kematian Bibi Lily?”
“Sederhana sekali. Kami berempat sama-sama mendapat keuntungan. Dia mewariskan
kekayaannya untuk dibagi rata di antara kami berempat.”
“Dan berapa nilai estatnya?”
“Pengacaranya berkata pada kami jumlahnya sekitar delapan puluh ribu pound setelah
dikurangi pajak warisan.”
Mata Sir Edward agak terbelalak karena heran.
“Jumlah yang lumayan besar. Kurasa Anda sudah tahu jumlah kekayaan Bibi?”
Magdalen menggeleng.
“Tidak—kami sendiri cukup kaget. Sejak dulu Bibi Lily selalu sangat berhati-hati dengan
uangnya. Dia hanya mempekerjakan seorang pembantu, dan sering berbicara tentang
ekonomi.”
Sir Edward mengangguk sambil merenung. Magdalen duduk sambil mencondongkan badannya ke
depan.
“Anda mau membantu saya, bukan?”
Kata-katanya mengejutkan Sir Edward tepat ketika ia mulai tertarik dengan kisah itu
sendiri.
“Nona—apa gerangan yang bisa kulakukan? Bila Anda membutuhkan saran hukum yang baik,
aku bisa memberikan nama...”
Gadis itu memotong kata-katanya.
“Oh! Saya tidak menginginkannya! Saya ingin Anda sendiri yang membantu—sebagai teman.”
“Sungguh menarik, tapi...”
“Saya ingin Anda datang ke rumah kami. Saya ingin Anda mengajukan pertanyaan. Saya
ingin Anda melihat dan menilainya sendiri.”
“Tapi, Nona...”
“Ingat, Anda pernah berjanji. Anda berkata di mana saja—kapan saja—bila saya
membutuhkan bantuan...”
Mata Magdalen yang memohon sekaligus yakin menatapnya lurus-lurus. Sir Edward merasa
malu dan terharu. Kesungguhan hati gadis yang luar biasa itu, rasa percaya yang teguh
akan janji basa-basi yang diucapkan sepuluh tahun lalu, yang dianggapnya ikatan
keramat. Sudah berapa banyak laki-laki pernah mengucapkan kata-kata yang sama itu—
nyaris merupakan kata-kata klise!—dan betapa sedikit yang ditepati.
Sir Edward berkata lemah, “Aku yakin banyak orang mampu memberikan saran lebih baik
daripada aku.”
“Saya punya banyak teman—sudah tentu.” (Sir Edward geli mendengar keluguan rasa percaya
dirinya.) “Tapi masalahnya tak seorang pun dari mereka yang pandai. Tidak seperti Anda.
Anda sudah terbiasa menanyai orang. Dan dengan semua pengalaman itu, Anda tentunya
tahu.”
“Tahu apa?”
“Apakah mereka tidak bersalah atau sebaliknya.”
Sir Edward tersenyum kecut. Ia memuji diri bahwa secara umum ia biasanya memang tahu!
Meski sering kali pendapat pribadinya berbeda dengan para juri.
Magdalen menggeser topi yang menutupi dahinya dengan gelisah, memandang sekeliling,
lalu berkata,
“Betapa sunyinya suasana di sini. Apakah Anda kadang-kadang tidak merindukan sedikit
keramaian?”
Cul-de-sac! Tanpa sengaja kata-kata yang diucapkan asal-asalan itu mengena dengan
telak. Cul-de-sac, lingkungan perumahan yang tertutup. Ya, tapi selalu ada jalan untuk
keluar—lewat jalan masuk—jalan menuju dunia luar... Sesuatu yang bergolak dan berjiwa
muda menggerakkan hatinya. Rasa percaya lugu yang ditunjukkan gadis itu telah menggugah
sisi terbaik wataknya—sedangkan kondisi masalahnya menggugah hal lain—pembawaan
kriminolog yang ada dalam dirinya. Ia ingin menemui orang-orang yang dibicarakan
Magdalen tadi. Ia ingin membuat penilaian sendiri.
Katanya, “Bila Anda benar-benar yakin aku bisa membantu... Tapi ingat, aku tidak
menjamin apa-apa.”
Sir Edward menyangka gadis itu akan girang sekali, tapi ternyata ia menerimanya dengan
sangat tenang.
“Saya tahu Anda akan melakukannya. Sejak dulu saya menganggap Anda sahabat sejati.
Maukah Anda ikut bersama saya sekarang?”
“Tidak. Kurasa lebih baik aku datang besok. Maukah Anda memberikan nama dan alamat
pengacara Miss Crabtree padaku? Mungkin aku perlu menanyakan beberapa hal padanya.”
Magdalen mencatat dan memberikannya pada Sir Edward. Setelah itu ia bangkit berdiri dan
berkata agak tersipu,
“Saya... saya amat sangat berterima kasih. Sampai jumpa.”
“Bagaimana dengan alamat Anda sendiri?”
“Betapa bodohnya saya. 18 Palatine Walk, Chelsea.”
***
Keesokan harinya pukul tiga sore, Sir Edward Palliser berjalan menuju 18 Palatine Walk
dengan tenang. Ia telah menemukan beberapa hal. Pagi itu ia berkunjung ke Scotland
Yard, menemui teman lamanya, Asisten Komisaris Polisi. Selain itu ia juga berbincang
dengan pengacara mendiang Miss Crabtree. Hasilnya, ia lebih memahami situasinya.
Pengaturan Miss Crabtree menyangkut keuangan agak ganjil. Ia tidak pernah memanfaatkan
buku cek. Ia lebih suka menulis surat pada pengacaranya dan memintanya menyediakan
jumlah tertentu dalam bentuk lembaran lima pound. Jumlahnya hampir selalu sama. Tiga
ratus pound, empat kali setahun. Ia datang sendiri naik mobil untuk mengambilnya, dan
menganggap inilah satu-satunya kendaraan yang paling aman. Selain untuk keperluan ini,
ia tidak pernah meninggalkan rumah.
Di Scotland Yard, Sir Edward mendengar bahwa soal finansial itu telah diselidiki dengan
cermat. Tak lama lagi akan tiba waktunya Miss Crabtree mengambil uangnya. Rupanya
pengambilan tiga ratus pound sebelum itu sudah habis—atau hampir habis digunakan. Tapi
justru hal inilah yang tidak mudah dipastikan. Dengan mengecek pengeluaran rumah
tangga, nyatalah bahwa pengeluaran Miss Crabtree per kuartal jauh lebih sedikit
daripada tiga ratus pound. Selain itu, ia punya kebiasaan mendermakan lembaran lima
pound pada teman-teman maupun sanak keluarga yang berkekurangan. Apakah saat
kematiannya di rumah terdapat banyak atau sedikit uang, memunculkan perdebatan.
Ternyata tak ditemukan sepeser pun.
Hal inilah yang dipertanyakan Sir Edward saat ia melangkah menuju Palatine Walk.
Pintu rumah (yang tidak memiliki ruang bawah tanah) dibukakan seorang wanita tua
bertubuh kecil dengan sorot mata tajam. Sir Edward diantar masuk ruangan luas di
sebelah kiri ruang depan, dan Magdalen menemuinya di situ. Sir Edward melihat garisgaris ketegangan yang lebih jelas di wajahnya.
“Anda memintaku mengajukan pertanyaan, dan aku datang untuk melaksanakannya,” ujar Sir
Edward sambil tersenyum saat berjabat tangan. “Pertama-tama, aku ingin tahu siapa yang
terakhir melihat Bibi dan pukul berapa.”
“Sekitar pukul lima—sesudah minum teh. Martha orang terakhir yang ada bersamanya. Sore
itu dia baru membayar buku-buku, dan mengantarkan uang kembalian berikut rekeningnya
pada Bibi Lily.”
“Apa Anda memercayai Martha?”
“Oh, sepenuhnya. Dia sudah mendampingi Bibi Lily selama... oh! Tiga puluh tahun, saya
rasa. Dia sangat jujur.”
Sir Edward mengangguk.
“Pertanyaan lain. Mengapa sepupu Anda, Mrs. Crabtree, minum obat sakit kepala?”
“Hm, karena dia sakit kepala.”
“Sudah pasti, tapi apa ada alasan tertentu mengapa dia harus sakit kepala?”
“Hm, ya, begitulah. Saat makan malam terjadi kericuhan kecil. Emily mudah gusar dan
tegang. Dia dan Bibi Lily adakalanya bertengkar.”
“Dan mereka bertengkar saat makan malam?”
“Ya. Bibi Lily memang agak rewel soal hal-hal kecil. Semuanya diawali dengan hal sepele
—setelah itu mereka bertengkar hebat—Emily melontarkan kata-kata yang pasti tidak
dimaksudkannya—bahwa dia akan meninggalkan rumah dan takkan pernah kembali—bahwa dia
menyimpan dendam dengan setiap suap yang dikunyahnya—oh! Segala macam perkataan konyol.
Dan Bibi Lily membalas berkata bahwa semakin cepat Emily dan suaminya berkemas dan
pergi, semakin baik. Tapi pertengkaran mereka tak ada artinya, sungguh.”
“Sebab Mr. dan Mrs. Crabtree takkan sanggup berkemas dan pergi?”
“Oh, bukan hanya itu. William menyayangi Bibi Emily. Sungguh.”
“Mungkinkah hari itu memang hari penuh pertengkaran?”
Wajah Magdalen memerah.
“Anda maksud saya? Pertengkaran soal keinginan saya menjadi model?”
“Bibi Lily tidak setuju?”
“Tidak.”
“Mengapa Anda ingin menjadi model, Miss Magdalen? Apakah kehidupan itu sangat menarik
bagi Anda?”
“Tidak, tapi apa pun pasti lebih baik daripada tinggal di sini terus.”
“Ya, ketika itu. Tapi sekarang Anda akan punya pemasukan lumayan banyak, bukan?”
“Oh! Ya, sekarang keadaan memang berbeda.”
Ia mengucapkan pengakuan itu dengan teramat lugu.
Sir Edward hanya tersenyum dan tidak mengejar masalah itu lebih lanjut. Ia lalu
bertanya, “Dan bagaimana dengan saudara Anda? Apa dia juga bertengkar?”
“Matthew? Oh, tidak.”
“Kalau begitu, tak ada yang bisa mengatakan bahwa dia punya alasan menyingkirkan Bibi
Lily.”
Sir Edward langsung menangkap sekilas rasa tak senang yang membayang di wajah Magdalen.
“Oh ya, saya lupa,” ujar Sir Edward santai. “Dia punya utang lumayan besar, bukan?”
“Ya. Matthew yang malang.”
“Tapi kesulitannya akan teratasi sekarang.”
“Ya...” Ia menghela napas. “Memang melegakan.”
Magdalen tetap saja belum menyadari apa pun! Sir Edward buru-buru mengubah pokok
pembicaraan.
“Apakah sepupu dan saudara Anda ada di rumah?”
“Ya, saya sudah menyampaikan pada mereka bahwa Anda akan datang. Mereka semua begitu
ingin membantu. Oh, Sir Edward—bagaimanapun, saya merasa Anda akan menemukan semuanya
baik-baik saja—bahwa tak seorang pun dari kami tersangkut di dalamnya—bahwa ternyata
pelakunya memang orang luar.”
“Aku tidak bisa melakukan mukjizat. Aku mungkin mampu mengungkap kebenaran, tapi aku
tidak mampu membuat kebenaran itu sesuai dengan yang Anda inginkan.”
“Anda tidak mampu? Saya rasa Anda mampu melakukan apa pun—apa pun.”
Gadis itu meninggalkan ruangan. Dengan risau Sir Edward berpikir, “Apa maksudnya?
Apakah dia ingin aku memberikan pembelaan? Untuk siapa?”
Lamunannya buyar ketika seorang pria berusia lima puluhan melangkah masuk. Perawakannya
kekar, namun agak bungkuk. Pakaiannya tidak rapi dan rambutnya sedikit acak-acakan. Ia
tampak ramah, namun tidak tegas.
“Sir Edward Palliser? Oh, apa kabar? Magdalen menyuruh saya kemari. Saya yakin Anda
begitu baik mau menolong kami. Meskipun saya rasa masalah ini takkan pernah bisa
tersingkap. Maksud saya, mereka takkan mampu menangkap pelakunya.”
“Jadi, Anda berpendapat pembunuhnya seorang pencuri—orang luar?”
“Hm, sepertinya begitu. Tidak mungkin yang melakukan itu salah seorang dari keluarga.
Zaman ini para penjahat begitu pintar, mereka mampu memanjat bagaikan kucing dan
keluar-masuk sesukanya.”
“Ketika tragedi itu terjadi, Anda sedang di mana, Mr. Crabtree?”
“Saya sedang sibuk dengan koleksi prangko saya—di ruang duduk kecil di lantai atas.”
“Anda tidak mendengar apa-apa?”
“Tidak—tapi saya memang tidak pernah mendengar apa pun bila sedang asyik. Sungguh bodoh
memang, tapi itulah sifat saya.”
“Apakah letak ruang duduk yang Anda sebut tadi di atas ruangan ini?”
“Tidak, letaknya di belakang.”
Pintu terbuka lagi. Seorang wanita kecil berkulit putih masuk. Ia meremas-remas kedua
tangannya dengan gugup. Ia tampak gelisah dan risau.
“William, mengapa kau tidak menungguku? Tadi aku kan bilang ‘tunggu’.”
“Maaf, Sayang, aku lupa. Sir Edward Palliser—kenalkan, ini istri saya.”
“Apa kabar, Mrs. Crabtree? Saya harap Anda tidak keberatan saya datang kemari untuk
mengajukan beberapa pertanyaan. Saya tahu kalian sangat ingin masalah ini dibereskan.”
“Sudah pasti. Tapi saya tidak bisa mengatakan apa pun—betul kan, William? Ketika itu
saya sedang tidur—di tempat tidur—saya baru terbangun ketika Martha menjerit.”
Ia terus saja meremas-remas tangan.
“Di mana letak kamar Anda, Mrs. Crabtree?”
“Di atas ruangan ini. Tapi saya tidak mendengar apa pun—bagaimana mungkin saya bisa
mendengar? Saya sedang tidur.”
Sir Edward tidak bisa mengorek keterangan apa pun kecuali pernyataan tadi. Ia tidak
tahu apa pun—ia sedang tidur. Ia mengulang-ulang pernyataan itu dengan ngotot, seperti
ketakutan. Namun Sir Edward tahu betul bahwa besar kemungkinan apa yang dikatakannya
itu memang benar.
Akhirnya ia meminta izin mengajukan beberapa pertanyaan pada Martha. William menawarkan
diri untuk mengantarnya ke dapur. Di ruang depan, Sir Edward nyaris bertabrakan dengan
pemuda jangkung berkulit gelap yang sedang melangkah ke pintu depan.
“Mr. Matthew Vaughan?”
“Ya—tapi begini, saya tidak bisa menunggu. Saya sudah ada janji.”
“Matthew!” terdengar suara saudara perempuannya dari arah tangga. “Oh, Matthew, kau
sudah berjanji...”
“Aku tahu, Kak. Tapi aku tidak bisa. Harus menjumpai seseorang. Lagi pula, apa gunanya
membicarakan hal itu berulang-ulang. Kita sudah cukup membahasnya dengan polisi. Aku
sudah muak dengan semuanya itu.”
Pintu depan terempas. Mr. Matthew Vaughan telah keluar rumah.
Sir Edward diantar ke dapur. Martha sedang menyetrika. Ia berhenti sambil tetap
memegangi setrika. Sir Edward menutup pintu dapur di belakangnya.
“Miss Vaughan memintaku membantunya,” ujarnya. “Kuharap Anda tidak keberatan aku
mengajukan beberapa pertanyaan.”
Martha menatapnya, lalu menggeleng.
“Tak seorang pun dari mereka yang melakukannya, Sir. Saya tahu apa yang Anda pikirkan,
tapi itu tidak benar. Mereka wanita dan pria terhormat yang sangat baik.”
“Aku tidak meragukannya. Tapi kebaikan mereka tidak bisa kita sebut bukti.”
“Mungkin tidak, Sir. Hukum memang aneh. Tapi bukti itu ada—seperti Anda sebutkan, Sir.
Tak seorang pun dari mereka bisa melakukannya tanpa sepengetahuan saya.”
“Tapi sudah tentu...”
“Saya tahu apa yang saya katakan, Sir. Nah, coba dengarkan itu...”
‘Itu’ adalah bunyi berderak di atas kepala mereka.
“Anak tangga, Sir. Setiap kali ada yang naik atau turun, anak tangga itu berderak,
sehati-hati apa pun orang melangkah. Mrs. Crabtree sedang berbaring di tempat tidurnya,
dan Mr. Crabtree sedang sibuk dengan prangko-prangkonya yang jelek itu. Miss Magdalen
sudah naik lagi dan asyik dengan mesin jahitnya. Seandainya salah seorang dari mereka
turun lewat tangga, saya pasti tahu. Dan mereka tidak melakukannya!”
Martha berbicara dengan keyakinan yang mampu membuat terkesan sang pengacara kriminal.
Pikirnya, “Saksi yang bagus. Kesaksiannya pasti berbobot.”
“Mungkin saja Anda tidak memerhatikan.”
“Ya, boleh dikatakan saya pasti akan memerhatikan tanpa melihatnya. Seperti kalau Anda
memerhatikan saat pintu tertutup dan seseorang pergi keluar.”
Sir Edward mengubah pendapatnya.
“Itu tadi penjelasan tentang tiga orang, tapi masih ada orang keempat. Apakah Mr.
Matthew Vaughan juga berada di atas?”
“Tidak, dia berada di ruangan kecil di lantai bawah. Di sebelah. Dan dia sedang
mengetik. Anda bisa mendengarnya dengan jelas dari sini. Mesin tiknya tidak pernah
berhenti sesaat pun. Tidak sesaat pun, Sir, saya berani bersumpah. Benar-benar bunyi
tik-tik yang menyebalkan.”
Sir Edward terdiam sejenak.
“Anda-lah yang menemukan tubuhnya, bukan?”
“Ya, Sir, betul. Terbaring dengan kepala berdarah. Dan tak seorang pun mendengar bunyi
apa pun selain ketukan mesin tik Mr. Matthew.”
“Sejauh yang Anda ketahui, tidak ada yang masuk ke dalam rumah?”
“Bagaimana bisa, Sir, tanpa sepengetahuan saya? Bel pintu akan berdering di dalam sini.
Dan hanya ada satu pintu masuk.”
Sir Edward menatapnya lurus-lurus.
“Anda sangat dekat dengan Miss Crabtree?”
Cahaya hangat—dan tidak dibuat-buat—terpancar di wajah Martha.
“Ya, benar, Sir. Kalau bukan karena Miss Crabtree—saya sudah tua dan sekarang saya
tidak keberatan berbicara mengenai hal ini. Ketika masih gadis, saya mendapat masalah,
Sir, dan Miss Crabtree membela saya—dia menerima saya kembali bekerja—setelah semua
urusan beres. Saya rela mati untuknya—sungguh.”
Sir Edward bisa mendengar kesungguhan dalam kata-kata Martha.
“Sejauh Anda ketahui, tidak ada yang datang berkunjung?”
“Tidak mungkin ada yang datang.”
“Saya berkata sejauh yang Anda ketahui. Tapi seandainya Miss Crabtree menunggu
seseorang—bila dia sendiri membukakan pintu bagi orang tersebut...”
“Oh!” Martha tampak terperanjat.
“Menurutku ini mungkin saja, bukan?” desak Sir Edward.
“Memang mungkin—ya—tapi rasanya kecil kemungkinannya. Maksud saya...”
Martha jelas-jelas terkejut. Ia tidak bisa menyangkal, meskipun ingin. Mengapa? Sebab
ia tahu kebenarannya terletak di segi lain. Yang mana? Keempat orang di dalam rumah itu
—apakah salah seorang memang bersalah? Apakah Martha ingin melindungi yang bersalah?
Apakah anak tangga memang berderak? Apakah ada yang turun diam-diam dan Martha tahu
siapa orang tersebut?
Ia sendiri jujur—Sir Edward yakin akan hal itu.
Sir Edward terus menekan, sambil memerhatikan Martha.
“Kurasa Miss Crabtree bisa saja melakukannya. Jendela kamar itu menghadap ke jalan. Dia
mungkin melihat orang yang ditunggu-tunggunya itu dari jendela, lalu berjalan ke ruang
depan untuk membiarkannya masuk. Dia bahkan mungkin tak ingin ada yang melihat orang
tersebut.”
Martha tampak risau. Akhirnya ia berkata enggan,
“Ya, Anda mungkin benar, Sir. Saya belum pernah memikirkan hal itu. Bahwa Miss Crabtree
menantikan seseorang—ya, mungkin saja.”
Ia seakan mulai menyadari keuntungan sudut pandang itu.
“Anda orang terakhir yang melihatnya, bukan?”
“Ya, Sir, sesudah saya membereskan cangkir-cangkir teh. Saya mengantarkan buku-buku
kepadanya, termasuk kembalian uang yang diberikannya pada saya.”
“Apakah dia memberikan uang dalam lembaran-lembaran lima pound?”
“Selembar lima pound, Sir,” sahut Martha terkejut. “Harga buku tidak pernah sampai lima
pound. Saya sangat berhati-hati.”
“Di mana dia biasanya menyimpan uangnya?”
“Saya tidak begitu tahu, Sir. Menurut saya dia membawa-bawanya—dalam tas beludru
hitamnya. Tapi dia mungkin saja menyimpannya dalam salah satu laci di kamar tidurnya
yang selalu terkunci. Dia senang sekali mengunci barang miliknya, meskipun cenderung
kehilangan anak kuncinya.”
Sir Edward mengangguk.
“Anda tidak tahu berapa banyak uang yang dimilikinya—maksud saya dalam lembaran lima
pound?”
“Tidak, Sir, saya tidak tahu persis jumlahnya.”
“Dan dia tidak berkata apa pun yang menyiratkan dia sedang menanti seseorang?”
“Tidak, Sir.”
“Anda yakin? Apa yang dikatakannya?”
“Hm,” ujar Martha, “katanya tukang daging itu tidak lebih dari bangsat dan penipu, dan
dia juga berkata bahwa saya memesan teh seperempat pon lebih banyak daripada
seharusnya. Dia berkata Mrs. Crabtree bodoh sekali karena tidak suka margarin, dan dia
tidak menyukai mata uang kembalian enam pence yang saya bawakan—mata uang baru dengan
gambar daun ek—dia bilang mata uang itu jelek, dan saya terpaksa bersusah payah mencoba
meyakinkan dirinya. Dan dia berkata—oh, si penjual ikan telah mengirimkan ikan haddock
dan bukannya whiting, dan bertanya apakah saya sudah menyampaikan hal ini padanya; saya
jawab sudah—dan, sungguh, saya rasa hanya itulah yang disampaikannya, Sir.”
Pernyataan Martha membuat sosok mendiang tampak jelas bagi Sir Edward, dan takkan
tertandingi oleh uraian mendetail mana pun. Dengan santai ia berkata,
“Majikan yang agak rewel, ya?”
“Memang agak cerewet, tapi wanita malang itu jarang keluar, dan karena terkurung
seperti itu dia tentunya harus menghibur diri sendiri. Dia rewel, tapi baik hati—tidak
pernah ada pengemis yang pergi tanpa mendapat sesuatu. Memang dia cerewet, tapi
dermawan.”
“Aku senang masih ada orang yang merasa kehilangan dia, Martha.”
Pelayan tua itu terkesiap.
“Maksud Anda—oh, tapi mereka semua menyayanginya—sungguh—dalam hati. Memang kadangkadang mereka bertengkar dengannya, tapi tidak serius.”
Sir Edward mendongak. Terdengar derak di atas mereka.
“Itu Miss Magdalen sedang turun.”
“Bagaimana Anda tahu?” sergah Sir Edward.
Wajah perempuan tua itu memerah. “Saya mengenal langkahnya,” gumamnya.
Sir Edward cepat-cepat meninggalkan dapur. Ternyata Martha benar. Magdalen baru saja
menginjak anak tangga paling bawah. Ia menatap Sir Edward penuh harap.
“Belum banyak kemajuan,” ujar Sir Edward menanggapi tatapannya, lalu menambahkan,
“Barangkali Anda tahu surat-surat apa saja yang diterima Bibi Lily pada hari
kematiannya?”
“Semua surat sudah dikumpulkan. Polisi sudah memeriksanya, tentu saja.”
Gadis itu menunjukkan jalan menuju ruang tamu luas, dan setelah membuka laci ia
mengeluarkan tas beludru hitam besar dengan gesper perak model kuno.
“Ini tas Bibi. Seluruh isinya masih lengkap seperti pada hari dia tewas. Saya
mempertahankannya tetap seperti itu.”
Sir Edward mengucapkan terima kasih padanya, lalu menuang isi tas itu ke atas meja.
Menurutnya, isinya pernak-pernik khas wanita tua eksentrik.
Ada beberapa koin perak, dua butir permen jahe, tiga guntingan koran tentang kotak
Joanna Southcott, sajak murahan tentang para pengangguran, sebuah Old Moore’s Almanack,
segumpal kapur barus, sepasang kacamata, dan tiga pucuk surat. Yang satu surat dari
“Sepupu Lucy” dengan tulisan cakar ayam, selembar bon untuk memperbaiki arloji, dan
sehelai surat permohonan dari institusi amal.
Sir Edward memeriksa setiap benda dengan cermat, mengembalikan semuanya ke dalam tas,
dan menyerahkannya pada Magdalen sambil menghela napas.
“Terima kasih, Miss Magdalen. Aku khawatir tidak banyak yang bisa kutemukan.”
Ia bangkit berdiri dan menyadari bahwa melalui jendela, orang bisa melihat anak tangga
di pintu depan dengan jelas, lalu ia menjabat tangan Magdalen.
“Anda akan pergi?”
“Ya.”
“Tapi apa... apakah semuanya akan beres?”
“Tak seorang pun yang terkait dengan hukum akan membuat pernyataan terburu-buru seperti
itu,” sahut Sir Edward khidmat, lalu melangkah keluar.
Ia menyusuri jalan dan tenggelam dalam pikiran. Teka-teki itu tepat di depan mata—dan
ia belum berhasil memecahkannya. Masih dibutuhkan sesuatu—sedikit saja. Cukup untuk
menunjukkan arah.
Seseorang menepuk pundaknya dan ia pun terlonjak. Ternyata Matthew Vaughan yang agak
terengah.
“Saya tadi mengejar-ngejar Anda, Sir Edward. Saya ingin meminta maaf untuk sikap buruk
yang saya perlihatkan setengah jam lalu. Tapi saya khawatir sikap saya memang bukan
yang terbaik. Anda sangat baik, mau bersusah payah mengurus peristiwa ini. Silakan
bertanya apa saja pada saya. Kalau ada yang bisa saya bantu...”
Mendadak Sir Edward tersentak. Pandangannya tertuju—bukan pada Matthew—tapi ke seberang
jalan. Agak kebingungan, Matthew mengulangi,
“Kalau ada yang bisa saya bantu...”
“Anda sudah melakukannya, anak muda,” sahut Sir Edward. “Dengan jalan menghentikanku di
tempat ini, hingga aku memusatkan perhatian pada sesuatu yang tadinya pasti
terlewatkan.”
Ia menunjuk ke restoran kecil di seberang jalan.
“The Four and Twenty Blackbirds?” tanya Matthew bingung.
“Tepat.”
“Dua Puluh Empat Burung Hitam memang nama yang ganjil—tapi makanan di situ enak.”
“Aku tidak mau mengambil risiko dengan bereksperimen,” sahut Sir Edward. “Berhubung aku
lebih tua daripada Anda, Kawan, boleh jadi aku lebih kenal pantun-pantun di masa
kecilku. Ada pantun klasik yang berbunyi: Nyanyikan lagu enam pence, sekantong gandum
hitam, dua puluh empat burung hitam, dipanggang dengan kue pai—dan seterusnya. Sisanya
tak perlu kita pedulikan.”
Sir Edward langsung berbalik.
“Anda mau ke mana?” tanya Matthew Vaughan.
“Kembali ke rumah Anda, Kawan.”
Mereka berjalan tanpa berkata-kata, dan Matthew melirik keheranan pada teman
seperjalanannya. Sir Edward masuk, melangkah ke laci tadi, mengeluarkan tas beludru,
dan membukanya. Ia menatap Matthew, dan anak muda itu pun meninggalkan ruangan dengan
enggan.
Sir Edward menuang seluruh koin perak ke atas meja. Ia lalu mengangguk. Ingatannya
tidak keliru.
Ia bangkit dan menekan bel sambil menyelipkan sesuatu ke telapak tangannya.
Mendengar dering bel, Martha datang.
“Kalau aku tidak salah ingat, Martha, Anda sedikit berdebat dengan mendiang mengenai
salah satu koin enam pence yang baru itu.”
“Betul, Sir.”
“Ah! Tapi anehnya, Martha, di antara seluruh uang kecil yang ada ini, tidak ada koin
enam pence yang baru. Di sini ada dua koin enam pence, tapi keduanya keluaran lama.”
Martha menatapnya bingung.
“Anda lihat apa artinya? Malam itu seseorang benar-benar datang ke rumah—seseorang yang
diberi koin enam pence oleh majikan Anda... Kurasa dia memberikannya pada orang itu
sebagai ganti ini...”
Dengan sigap, Sir Edward mengulurkan tangan ke depan dan menyodorkan sajak murahan
mengenai para pengangguran itu.
Sekali pandang ke wajah Martha sudah cukup.
“Petualangan sudah berakhir, Martha—karena aku sudah tahu. Sebaiknya Anda akui saja
semuanya padaku.”
Martha terduduk di kursi—air matanya mengalir deras.
“Memang benar—memang benar—bel tidak berbunyi sebagaimana mestinya—saya tidak begitu
yakin, jadi saya pikir sebaiknya saya pergi melihat. Saya sampai di pintu tepat saat
dia menghantam Miss Crabtree. Gulungan uang kertas lima pound berada di atas meja di
depannya. Itulah sebabnya dia berbuat demikian, selain itu dia mengira korbannya
sendirian saja di rumah ketika membukakan pintu. Saya tidak mampu menjerit. Saya seakan
lumpuh, dan ketika dia berbalik... dan saya melihat dia ternyata putra saya sendiri...
“Oh, sejak dulu dia memang nakal. Saya memberikan seluruh uang saya. Dia sudah pernah
dipenjara dua kali. Dia tentunya datang untuk menemui saya, dan karena melihat saya
tidak membukakan pintu, Miss Crabtree membukakannya sendiri. Putra saya terperanjat,
lalu mengeluarkan salah satu lembaran sajak tentang pengangguran itu. Mengingat majikan
saya baik dan murah hati, dia mengajak anak saya masuk dan mengambil koin enam pence.
Selama itu gulungan uang kertasnya masih tergeletak di meja, seperti saat saya
memberikan uang kembalian itu. Setan merasuki Ben anak saya, yang lalu menghantamnya
dari belakang.”
“Setelah itu?” tanya Sir Edward.
“Oh, Sir, saya bisa apa? Dia darah daging saya sendiri. Ayahnya memang jahat, dan Ben
mewarisi sifatnya—tapi dia anak saya sendiri. Saya mendorongnya keluar, dan kembali ke
dapur, menyiapkan makan malam seperti biasanya. Apakah menurut Anda saya sangat jahat,
Sir? Saya berusaha tidak berbohong waktu Anda mengajukan pertanyaan.”
Sir Edward bangkit berdiri.
“Perempuan malang,” ujarnya penuh perasaan, “aku sangat prihatin. Tapi hukum tetap
harus ditegakkan.”
“Dia telah melarikan diri ke luar negeri, Sir. Saya tidak tahu di mana dia berada.”
“Kalau begitu, ada kemungkinan dia bisa menghindar dari tiang gantungan, tapi jangan
terlalu berharap. Tolong panggilkan Miss Magdalen.”
“Oh, Sir Edward. Betapa baiknya Anda—Anda begitu baik,” ujar Magdalen ketika Sir Edward
selesai berkata-kata. “Anda telah menyelamatkan kami semua. Dengan cara apa saya bisa
menyampaikan terima kasih?”
Sir Edward tersenyum padanya sambil menepuk tangan gadis itu dengan lembut. Ia memang
pria yang luar biasa. Magdalen kecil begitu memesona di kapal Siluric. Sekuntum bunga
berusia tujuh belas—luar biasa! Tentu saja ia sekarang sudah kehilangan pesona itu.
“Lain kali Anda membutuhkan teman...,” ujar Sir Edward.
“Saya akan langsung datang pada Anda.”
“Tidak, tidak,” seru Sir Edward panik. “Justru itulah yang aku tidak mau Anda lakukan.
Datanglah pada pria yang lebih muda.”
Ia lalu meninggalkan seluruh penghuni rumah yang bersyukur itu dengan gesit, dan masuk
taksi dengan lega.
Bahkan pesona gadis belia berumur tujuh belas pun rasanya tidak terlalu menarik lagi.
Tak dapat menandingi perpustakaan yang sarat dengan buku-buku kriminologi.
Taksi itu berbelok ke Queen Anne’s Close.
Cul-de-sac-nya.
KEJANTANAN EDWARD ROBINSON
“DENGAN sekali ayun, Bill mengangkatnya dengan kedua lengannya yang kekar dan
mendekapnya erat. Sambil menghela napas dalam-dalam, perempuan itu menyerahkan bibirnya
dengan ciuman yang belum pernah diimpikan Bill...”
Sambil menarik napas, Mr. Edward Robinson meletakkan buku When Love is King dan
memandang ke luar jendela kereta api bawah tanah. Mereka sedang melaju melintasi
Stamford Brook. Edward Robinson sedang berpikir tentang Bill. Bill tokoh super jantan
kesayangan para novelis wanita. Edward iri pada otot-otot, ketampanan, dan gairahnya
yang luar biasa. Ia membuka buku itu lagi dan membaca deskripsi si angkuh Marchesa
Bianca (yang telah menyerahkan bibirnya). Kecantikannya begitu menggairahkan, begitu
memabukkan, hingga pria-pria kekar roboh di hadapannya bagaikan deretan pin yang
diterjang bola boling, lemah tanpa daya karena cinta.
“Tentu saja,” kata Edward dalam hati, “semua ini cuma omong kosong. Kisah-kisah seperti
ini omong kosong. Tapi aku penasaran...”
Matanya menerawang. Benarkah nun di sana ada yang namanya dunia asmara dan petualangan?
Apa memang ada wanita-wanita yang kecantikannya menggairahkan? Apa ada cinta yang mampu
melalap orang bagaikan api?
“Ini kehidupan nyata,” ujar Edward. “Aku harus menjalaninya seperti orang-orang lain.”
Ia berpendapat bahwa secara keseluruhan, ia patut menganggap dirinya beruntung. Ia
punya jabatan cukup bagus—sebagai juru tulis perusahaan yang maju. Ia berbadan sehat,
tidak punya tanggungan, dan sudah bertunangan dengan Maud.
Namun begitu teringat Maud, wajahnya langsung muram. Meski ia takkan pernah
mengakuinya, ia takut pada Maud. Ia mencintai Maud—ya—ia masih ingat betapa hatinya
tergetar saat melihat dan mengagumi tengkuk putih Maud dari balik blus murahnya yang
berharga empat pound sebelas penny ketika pertama kali berjumpa. Waktu itu Edward duduk
di belakang Maud, menonton bioskop bersama temannya yang kenal dengan Maud dan
memperkenalkan mereka berdua. Tak dapat disangkal bahwa Maud sangat superior. Ia
cantik, pandai, sangat feminin dan anggun, dan selalu benar dalam segala hal. Jenis
gadis yang, menurut semua orang, akan menjadi istri yang sangat cakap.
Edward bertanya-tanya apakah Marchesa Bianca bisa menjadi istri yang cakap. Ia
meragukannya. Ia tak bisa membayangkan Bianca yang menggairahkan itu, dengan bibirnya
yang merah merekah dan tubuh aduhai, menjahit kancing dengan manis untuk, katakan saja,
Bill yang jantan itu. Tidak, Bianca adalah Asmara, sedangkan ini kehidupan nyata.
Edward dan Maud akan sangat bahagia. Maud begitu penuh akal sehat....
Tapi bagaimanapun, Edward berharap seandainya saja sikap Maud tidak terlalu... ya,
tajam. Begitu cepat mengkritik.
Sudah tentu sifat bijaksana dan akal sehat itulah yang membuatnya bersikap demikian.
Maud memang sangat berpikiran sehat. Dan biasanya Edward juga sangat berpikiran sehat,
tapi sekali-sekali saja—contohnya, ia ingin menikah pada Hari Natal ini. Maud lalu
menjelaskan alangkah lebih bijaksana kalau mereka menundanya dulu—mungkin satu-dua
tahun. Gaji Edward tidak besar. Ia ingin memberi Maud cincin mahal—Maud kaget setengah
mati, dan memaksa Edward mengembalikan dan menukar cincin itu dengan yang lebih murah.
Semua standar yang dianutnya sangat tinggi, tapi adakalanya Edward berharap Maud
memiliki lebih banyak kekurangan dibanding kelebihan. Kelebihannya itulah yang membuat
Edward melakukan hal-hal nekat.
Misalnya saja...
Rasa bersalah merona di wajahnya. Ia harus mengakuinya pada Maud—segera. Rasa bersalah
di hatinya membuatnya bersikap ganjil. Besok hari pertama dari tiga hari libur. Malam
Natal, Hari Natal, dan Hari Natal Kedua. Maud telah menyarankan agar Edward datang
berkunjung dan melewatkan waktu bersama keluarganya. Dengan cara kikuk, yang pasti
membangkitkan rasa curiga Maud, Edward berhasil menghindar—ia berbohong panjang-lebar
bahwa ia sudah berjanji akan melewatkan waktu bersama seorang teman di daerah pedesaan.
Padahal ia tidak punya teman di pedesaan. Ia hanya punya rasa bersalah itu.
Tiga bulan lalu, Edward Robinson, bersama beberapa ratus ribu pemuda lain, mengikuti
lomba yang diadakan salah satu koran mingguan. Nama dua belas gadis harus diurut sesuai
popularitas masing-masing. Edward mendapat ide bagus. Pilihannya pasti keliru—ia telah
menyadarinya dalam lomba-lomba sejenis sebelum itu. Ia mencatat kedua belas nama itu
dengan urutan sesuai pertimbangannya sendiri. Kemudian ia menuliskan nama-nama itu
lagi, kali ini urutannya ditukar, yang paling atas menjadi yang paling bawah, kedua
dari atas menjadi kedua dari bawah, dan seterusnya.
Waktu hasil lomba diumumkan, delapan dari dua belas nama yang disusun Edward ternyata
benar, dan ia memenangkan hadiah pertama sebesar £500. Oleh Edward, keberuntungan ini
dianggap sebagai hasil langsung dari “sistem”-nya. Ia bangga bukan main pada diri
sendiri.
Berikutnya, apa yang harus ia lakukan dengan hadiah £500 itu? Ia tahu betul apa yang
akan dikatakan Maud. Investasikan saja. Sebagai persediaan bagus untuk masa depan. Dan,
tentu saja, Maud pasti benar, ia tahu itu. Namun memenangkan uang sebagai hasil suatu
lomba terasa sangat berbeda dengan semua hal lain.
Seandainya uang itu diberikan padanya sebagai warisan, Edward akan menginvestasikannya
di Conversion Loan atau Savings Certificates seperti selayaknya dilakukan. Namun uang
yang diperoleh dengan sekadar mencoretkan pena, dan peluang keberuntungan yang luar
biasa, bisa dikategorikan seperti uang jajan anak kecil—“untukmu sendiri—untuk
dibelanjakan sesuka hati.”
Dan di sebuah toko mewah yang setiap hari dilintasinya dalam perjalanan menuju kantor,
tampak impian yang luar biasa itu, mobil mungil untuk dua orang dengan moncong panjang
mengilat, dan harganya tercantum jelas—£465.
Setiap hari Edward berkata pada mobil itu, “Kalau aku kaya, aku akan membelimu.”
Dan sekarang ia kaya—meski belum benar-benar kaya—setidaknya ia punya cukup uang untuk
membuat impiannya jadi kenyataan. Mobil itu, benda cantik mengilat yang memikat itu,
akan jadi miliknya bila ia mau membayar harganya.
Tadinya ia bermaksud memberitahu Maud soal uang itu. Setelah memberitahu, ia akan
terlindung dari godaan. Menghadapi kekagetan dan ketidaksetujuan Maud, ia takkan pernah
berani menjalankan ide gilanya itu. Tapi ternyata Maud sendiri yang membereskan
persoalan itu. Edward mengajaknya ke bioskop—dan membeli karcis kelas utama. Dengan
ramah namun tegas, Maud menunjukkan betapa bodohnya tindakan Edward—menghamburhamburkan uang yang berharga—tiga pound enam penny, bukannya dua pound empat penny,
padahal orang bisa menonton sama jelasnya dari kelas yang lebih murah.
Edward menerima omelannya dengan diam dan kesal. Maud merasa puas karena menyangka
telah menanamkan pengaruhnya. Edward tidak boleh dibiarkan menghambur-hamburkan uang
seperti itu. Ia mencintai Edward, tapi ia sadar tunangannya ini lemah—tugasnyalah untuk
selalu siap mempengaruhinya ke arah seharusnya. Maud mengamati sikapnya yang seperti
cacing itu dengan puas.
Edward memang seperti cacing. Dan sama seperti cacing, ia berbalik. Hatinya hancur
karena kata-kata Maud, tapi justru saat itulah ia memutuskan untuk membeli mobil itu.
“Sialan,” umpat Edward dalam hati. “Kali ini aku akan melakukan apa yang kusuka.
Persetan dengan Maud!”
Keesokan harinya ia melangkah masuk ke istana kaca dengan seluruh isinya yang mewah dan
terdiri atas email serta logam berkilauan. Dengan sikap riang dan bebas dari rasa
cemas, ia pun membeli mobil itu. Tindakan paling mudah di dunia, membeli mobil!
Sudah empat hari kendaraan itu jadi miliknya. Dari luar, sikapnya tenang-tenang saja,
namun di dalam, kegembiraannya meluap-luap. Dan ia belum menceritakannya sama sekali
pada Maud. Selama empat hari, saat istirahat makan siang, ia mendapat instruksi tentang
cara menjalankan benda cantik itu. Ia murid yang cekatan.
Besok, pada Malam Natal, Edward akan membawanya ke pedesaan. Ia telah berbohong pada
Maud, dan ia akan berbohong lagi bila perlu. Ia sudah diperbudak lahir-batin oleh harta
barunya ini. Baginya, mobil ini mewakili Asmara, Petualangan, dan segala sesuatu yang
didambakan namun tidak pernah dimilikinya. Besok ia dan mobil ini akan merambah
jalanan. Mereka akan melesat membelah udara dingin, meninggalkan hiruk-pikuk London—
menuju daerah-daerah lapang yang segar...
Saat ini Edward, meski tidak menyadarinya, sudah sangat mirip penyair.
Besok...
Ia menatap buku di tangannya—When Love is King. Ia tertawa dan memasukkannya ke saku.
Mobilnya, bibir merah Marchesa Bianca, dan kejantanan Bill yang mengagumkan itu seakan
berbaur jadi satu. Besok...
Cuaca yang biasanya payah, kali ini bersahabat terhadap Edward. Hari yang didambakan
Edward, kristal es berkilauan, langit biru cerah, dan matahari yang bersinar
kekuningan.
Dengan semangat petualangan yang tinggi dan berani mati, Edward mengendarai mobilnya ke
luar kota London. Ada sedikit hambatan di Hyde Park Corner dan pengalaman sial
menyedihkan di Putney Bridge, ia sering harus memindahkan persneling dengan berisik dan
menginjak rem dengan mendadak, hingga dihujani caci-maki yang dilontarkan para
pengemudi lain. Tapi sebagai pemula, ia menilai dirinya menjalankan tugas dengan baik.
Akhirnya ia sampai juga ke salah satu jalan lebar yang sangat nyaman bagi pengendara
mobil. Hari ini di bagian jalan ini tidak banyak kemacetan. Mabuk dengan kepemilikannya
atas kendaraan berkilauan ini, Edward terus ngebut membelah dinginnya dunia yang
terbungkus salju putih, bangga seperti dewa.
Benar-benar hari yang bahagia. Ia berhenti untuk makan siang di penginapan bergaya
kuno, dan kembali lagi saat minum teh. Setelah itu ia akan pulang dengan rasa enggan—
kembali ke London, ke Maud, ke penjelasan yang mau tak mau harus diberikannya, tuduhantuduhan...
Ia menepiskan pikiran ini sambil mendesah. Terserah bagaimana esok. Ia masih memiliki
hari ini. Dan apa yang lebih memukau daripada ini? Melesat membelah kegelapan malam
dengan lampu mencari jalan di depan. Wah, inilah bagian yang paling seru!
Ia memutuskan takkan sempat berhenti untuk makan malam di mana pun. Mengemudikan mobil
di kegelapan seperti ini tidaklah mudah. Waktu yang dibutuhkannya untuk kembali ke
London ternyata lebih lama daripada perkiraannya. Sudah pukul delapan saat ia melintasi
Hindhead dan tiba di tepi lembah Devil’s Punch Bowl. Bulan bersinar, dan salju yang
turun dua hari lalu masih belum meleleh.
Ia menghentikan mobilnya dan menatap kosong. Memangnya kenapa kalau ia tidak sampai di
London sebelum tengah malam? Ia tidak mau merenggutkan dirinya dari kesenangan ini
sekarang juga.
Ia keluar dari mobil dan menghampiri tepi lembah. Di dekatnya tampak jalan setapak
berkelok-kelok yang menurun dan menggoda. Edward menyerah pada pesonanya. Selama
setengah jam berikutnya ia berjalan keliling menikmati pemandangan dengan salju
terhampar luas. Ia belum pernah membayangkan pengalaman seperti ini. Pengalamannya
sendiri, yang diberikan kekasih mengilat yang setia menantinya di jalan atas sana.
Ia mendaki kembali, masuk ke mobil, dan melanjutkan perjalanan, masih agak pusing
karena menemukan keindahan luar biasa yang sesekali menghampiri orang yang paling
biasa.
Kemudian, sambil menghela napas, ia tersadar dari lamunannya, lalu merogoh kantong
mobil tempat ia meletakkan syal pagi tadi.
Tapi syalnya ternyata tidak ada lagi. Kantong itu kosong. Tidak, tidak sepenuhnya
kosong—ada sesuatu yang kasar dan keras di dalamnya—mirip batu kerikil.
Edward merogoh dalam-dalam. Detik berikutnya ia termangu bagaikan orang hilang ingatan.
Benda yang dipegangnya dan berjuntai di sela jari-jarinya, diterpa cahaya bulan dan
memantulkan cahaya gemerlapan itu, ternyata seuntai kalung berlian.
Edward menatap dan menatap. Tak pelak lagi. Kalung berlian yang mungkin bernilai seribu
pound (karena batu-batu berliannya besar) ini tergeletak begitu saja di kantong samping
mobil.
Tapi siapa yang telah meletakkannya di situ? Saat berangkat dari kota tadi, benda ini
jelas-jelas tidak ada di situ. Pasti ada orang yang datang ketika ia berjalan-jalan di
tengah salju, dan sengaja memasukkannya ke situ. Tapi mengapa? Mengapa memilih
mobilnya? Apakah pemilik kalung itu keliru? Atau apakah benda itu... mungkinkah ini
kalung curian?
Kemudian, sementara semua pikiran itu berkecamuk di benaknya, Edward mendadak terenyak
dan merasa dingin. Ini bukan mobilnya.
Mobil ini memang sangat mirip, betul. Warna merahnya sama—merah seperti bibir Marchesa
Bianca—moncongnya sama panjang dan mengilat, tapi melalui berbagai ciri lain, Edward
menyadari bahwa ini bukan mobilnya. Kilau catnya yang baru sudah tergores di sana-sini,
menandakan mobil ini sudah sering digunakan. Dalam hal ini...
Tanpa berpikir lebih panjang, Edward cepat-cepat memutar mobil itu. Ia memang belum
mahir melakukannya. Dengan persneling mundur, ia kebingungan dan berkali-kali memutar
setir ke arah yang salah. Selain itu, ia juga keliru menginjak pedal gas dan rem yang
berakibat cukup fatal. Bagaimanapun, akhirnya ia berhasil juga dan mobil itu kembali
bergerak mendaki bukit.
Edward teringat bahwa tidak jauh dari mobilnya, tadi ada mobil lain yang diparkir.
Ketika itu ia tidak begitu memerhatikannya. Ia kembali dari berjalan-jalan melalui
jalan lain. Ia menyangka jalan kedua ini membawanya tepat ke belakang mobilnya sendiri.
Rupanya jalan setapak itu berakhir di belakang mobil lain.
Dalam sepuluh menit ia sudah tiba kembali di tempat ia berhenti tadi. Namun sekarang di
tepi jalan tidak terlihat mobil sama sekali. Siapa pun pemilik mobil ini sekarang pasti
sudah pergi dengan mobil Edward—ia sendiri mungkin keliru karena kemiripan kedua mobil
tersebut.
Edward mengeluarkan kalung berlian itu dari sakunya, dan memegang-megangnya dengan
bingung.
Apa yang harus dilakukannya? Bergegas ke kantor polisi terdekat? Menjelaskan situasi,
menyerahkan kalung itu, dan memberikan nomor mobilnya sendiri.
Omong-omong, berapa nomor mobilnya? Edward memeras otak, tapi tetap saja tak mampu
mengingatnya. Ia tertegun. Ia akan seperti orang paling dungu di kantor polisi. Ia
hanya bisa mengingat ada angka delapan di dalamnya. Tentu saja ia tidak perlu terlalu
mempersoalkannya—setidaknya... Ia menatap kalung berlian itu dengan perasaan tidak
enak. Bagaimana kalau mereka berpikir—oh, tapi tak akan—meskipun mereka bisa saja—
berpikir bahwa ia telah mencuri mobil dan kalung berlian itu? Sebab, bila dipikirpikir, apakah orang yang waras pikirannya akan meletakkan kalung berlian berharga
dengan sembarangan di dalam kantong mobil yang terbuka?
Edward keluar dari mobil dan berjalan ke bagian belakangnya. Nomor pelatnya XR 10061.
Kecuali fakta yang mengatakan bahwa ini jelas-jelas bukan nomor mobilnya, nomor itu
tidak menyampaikan apa pun padanya. Ia lalu memeriksa seluruh isi kantong mobil secara
sistematis. Di dalam kantong tempat ia menemukan kalung tadi, ia mendapatkan secarik
kertas dengan tulisan pensil di atasnya. Di bawah penerangan lampu besar mobil, Edward
bisa membacanya dengan mudah.
“Temui aku di Greane, di sudut Salter’s Lane, jam sepuluh.”
Edward teringat nama Greane itu. Tadi pagi ia melihatnya di sebuah papan penunjuk
jalan. Dalam sekejap ia membuat keputusan. Ia akan pergi ke desa Greane ini, mencari
Salter’s Lane, menemui orang yang menulis pesan itu, dan menjelaskan keadaannya. Ini
jauh lebih baik daripada terlihat bagaikan orang dungu di kantor polisi.
Edward berangkat dengan hati nyaris gembira. Lagi pula, ini petualangan. Ini peristiwa
yang tidak terjadi setiap hari. Kalung berlian itu membuatnya seru sekaligus misterius.
Ia agak kesulitan menemukan Greane, dan lebih sulit lagi menemukan Salter’s Lane, namun
sesudah mengetuk pintu dua pondok, ia berhasil.
Meski demikian, sudah beberapa menit lewat waktu yang ditentukan saat ia menjalankan
mobil dengan hati-hati melintasi jalan sempit, sambil memerhatikan sebelah kiri jalan
tempat Salter’s Lane bercabang, seperti diberitahu orang padanya.
Ia tiba di tempat yang tiba-tiba menikung, dan bahkan sebelum ia sampai, ada sosok yang
muncul dari kegelapan.
“Akhirnya!” seru seorang gadis. “Lama sekali kau, Gerald!”
Sementara berbicara, gadis itu melangkah tepat ke tengah sorot lampu besar, dan Edward
tersentak. Dia makhluk paling cantik yang pernah dilihatnya.
Ia masih muda, dengan rambut hitam pekat dan bibir merah menggairahkan. Mantel tebal
yang dikenakannya tersingkap, dan Edward melihat ia mengenakan gaun malam—gaun berwarna
merah padam yang memamerkan bentuk tubuhnya yang sempurna. Di sekeliling lehernya
melingkar kalung mutiara yang sangat indah.
Mendadak gadis itu tersentak.
“Wah,” serunya, “Anda bukan Gerald.”
“Bukan,” sahut Edward cepat-cepat. “Saya harus menjelaskan.” Ia mengeluarkan kalung
berlian itu dari sakunya dan menyodorkannya pada gadis itu. “Nama saya Edward...”
Ia terhenti, sebab gadis itu bertepuk tangan dan menyela,
“Edward, tentu saja! Aku senang sekali. Tapi si idiot Jimmy itu berkata padaku di
telepon bahwa dia mengirim Gerald dengan mobilnya. Anda baik sekali mau datang kemari.
Aku sudah rindu sekali melihat Anda. Ingat, aku tidak berjumpa dengan Anda sejak aku
berumur enam tahun. Aku lihat Anda membawa kalungnya. Masukkan ke saku Anda kembali.
Polisi desa mungkin saja lewat dan melihatnya. Brrr, menunggu di sini rasanya sedingin
es! Biarkan aku masuk.”
Bagaikan dalam mimpi, Edward membukakan pintu, dan gadis itu melompat masuk dengan
ringan ke sisinya. Mantel bulunya menyapu pipi Edward, dan aroma mirip bunga violet
dibasahi hujan, menyerbu hidungnya.
Edward tidak punya rencana atau pikiran apa pun. Dalam sekejap, di luar kemauannya
sendiri, ia telah menceburkan diri ke dalam petualangan. Gadis itu memanggilnya Edward—
peduli apa kalau ia Edward yang salah? Gadis itu akan segera menyadarinya. Sementara
itu, biarkan permainan ini berjalan terus. Ia memasukkan gigi persneling, dan mereka
pun meluncur maju.
Sesaat kemudian gadis itu tertawa. Gelak tawanya sama indah dengan sosoknya.
“Mudah dilihat bahwa Anda tidak tahu banyak tentang mobil. Aku rasa tidak banyak mobil
di sana?”
“Di mana gerangan ‘di sana’ itu?” Edward membatin. Dengan suara keras ia hanya berkata,
“Tidak banyak.”
“Lebih baik aku saja yang mengemudi,” ujar gadis itu. “Tidak gampang menemukan jalan di
sekitar sini, sampai kita tiba di jalan besar kembali.”
Edward melepaskan tempatnya dengan senang hati. Tak lama kemudian, mereka sudah
menembus malam dengan cepat dan nekat. Diam-diam Edward kagum. Gadis itu menoleh
padanya.
“Aku suka ngebut. Anda juga? Anda tahu... Anda sama sekali tidak mirip Gerald. Orang
takkan pernah menyangka kalian bersaudara. Anda juga tidak mirip sama sekali dengan
yang kubayangkan.”
“Saya rasa,” ujar Edward, “saya biasa-biasa saja. Benar, bukan?”
“Bukan biasa-biasa saja—tapi berbeda. Aku tidak bisa menggambarkan diri Anda. Bagaimana
kabar Jimmy? Sangat jemu, kurasa?”
“Oh, Jimmy baik-baik saja,” sahut Edward.
“Mudah bagi Anda untuk mengatakannya—tapi sial baginya karena kakinya terkilir. Apakah
dia menceritakan seluruh kisahnya pada Anda?”
“Sama sekali tidak. Saya tidak tahu apa-apa. Saya harap Anda mau menjelaskannya pada
saya.”
“Oh, kejadiannya seperti mimpi saja. Jimmy masuk dari pintu depan, menyamar seperti
perempuan. Aku menunggu semenit-dua menit, lalu memanjat jendela. Pelayan Agnes Larella
ada di dalam, sibuk menyiapkan gaun dan perhiasan Agnes, termasuk pernak-pernik
lainnya. Tiba-tiba terdengar jeritan dari bawah, keadaan jadi kacau dan semua orang
berteriak-teriak. Pelayan itu berlari keluar kamar, dan aku melompat masuk, menyambar
kalung itu, keluar jendela dan meluncur turun, lalu lari lewat jalan belakang melintasi
Punch Bowl. Aku menyelipkan kalung dan catatan itu ke dalam kantong samping mobil.
Setelah itu aku bergabung dengan Louise di hotel, setelah melepaskan sepatu botku tentu
saja. Alibi yang sempurna buatku. Dia sama sekali tidak tahu aku keluar.”
“Dan bagaimana dengan Jimmy?”
“Soal itu, Anda tentu tahu lebih banyak daripada aku.”
“Dia tidak mengatakan apa pun pada saya,” ujar Edward santai.
“Hm, kakinya tersangkut roknya dan terkilir. Mereka terpaksa menggotongnya ke mobil,
dan sopir keluarga Larella mengantarnya pulang. Bayangkan seandainya sopir itu
kebetulan merogoh ke dalam kantong mobil!”
Edward tertawa bersamanya, tapi memutar otak. Sekarang ia lebih memahami situasinya.
Sepertinya ia pernah mendengar nama Larella—nama yang berkaitan dengan kekayaan. Gadis
ini, dan pria tak dikenal bernama Jimmy itu, telah berkomplot mencuri kalung itu, dan
berhasil. Gara-gara kakinya terkilir dan kehadiran sopir keluarga Larella, Jimmy tidak
sempat melongok kantong samping mobil sebelum menelepon gadis ini—mungkin juga ia tidak
ingin melakukannya. Tapi hampir bisa dipastikan bahwa “Gerald” yang tidak dikenalnya
itu akan melakukannya begitu ia sempat. Dan di dalam kantong mobil, ia akan menemukan
syal Edward!
“Lancar semua,” ujar gadis itu.
Sebuah trem melintas. Mereka berada di pinggiran kota London. Mobil mereka melesat di
sela-sela kesibukan lalu lintas. Edward nyaris tercekat. Gadis ini memang pengemudi
andal, tapi benar-benar nekat!
Seperempat jam kemudian, mereka berhenti di depan rumah menakjubkan dengan halaman
luas.
“Kita bisa ganti pakaian di sini,” ujar gadis itu, “sebelum pergi ke Ritson’s.”
“Ritson’s?” tanya Edward. Ia mengucapkan nama kelab malam terkenal itu dengan nada
nyaris penuh hormat.
“Bagaimana dengan pakaianku?”
Gadis itu mengerutkan kening.
“Mereka tidak mengatakan apa pun pada Anda? Kalau begitu Anda perlu didandani. Kita
harus melaksanakannya sampai tuntas.”
Seorang kepala pelayan yang gagah membukakan pintu dan menepi untuk mempersilakan
mereka masuk.
“Mr. Gerald Champneys menelepon, Tuan Putri. Dia sangat ingin berbicara pada Anda, tapi
tidak mau meninggalkan pesan.”
“Aku yakin dia sangat ingin bicara,” kata Edward dalam hati. “Bagaimanapun, sekarang
aku tahu nama lengkapku. Edward Champneys. Tapi siapa sebenarnya gadis ini? Mereka
menyebutnya Tuan Putri. Untuk apa dia mencuri kalung itu? Untuk membayar utang main
bridge?”
Dalam feuilleton atau cerita bersambung yang kadangkala dibacanya, peran utamanya yang
cantik dan berdarah biru biasanya bertindak nekat karena terjepit utang dalam permainan
kartu.
Edward diantar kepala pelayan itu, untuk selanjutnya diurus oleh seorang pelayan pria.
Seperempat jam kemudian ia kembali bergabung dengan gadis itu di ruang depan, lengkap
dengan setelan malam buatan Saville Row yang sangat pas di badannya.
Astaga! Malam yang benar-benar luar biasa!
Mereka mengendarai mobil tadi menuju Ritson’s yang terkenal itu. Sama seperti orang
lain, Edward telah membaca berita-berita skandal yang menyangkut Ritson’s. Cepat atau
lambat, siapa saja pasti akan masuk juga ke Ritson’s. Edward hanya khawatir kalau-kalau
muncul seseorang yang mengenal Edward Champneys yang asli. Ia menghibur diri dengan
pemikiran bahwa orang yang sesungguhnya itu telah beberapa tahun berada di luar
Inggris.
Sambil duduk di depan meja kecil dekat dinding, mereka menghirup koktail. Koktail! Bagi
Edward yang sederhana itu, minuman ini melambangkan inti kehidupan mapan. Gadis itu,
dalam balutan selendang penuh berbordir cantik, menghirup minumannya dengan santai.
Tiba-tiba ia menanggalkan selendang itu dari bahunya, lalu bangkit berdiri.
“Mari kita berdansa.”
Satu-satunya hal yang mampu dilakukan Edward dengan sempurna adalah berdansa. Ketika ia
dan Maud melantai di Palais de Danse, orang-orang memerhatikan mereka dengan terkagumkagum.
“Aku hampir lupa,” ujar gadis itu tiba-tiba. “Kalungnya?”
Ia mengulurkan tangan. Edward yang masih terbingung-bingung, mengeluarkan kalung itu
dari sakunya dan menyerahkannya pada gadis itu. Dengan terpana ia melihat gadis itu
melingkarkan kalung itu ke lehernya dengan tenang. Setelah itu ia tersenyum menawan
pada Edward.
“Sekarang,” bisiknya lembut, “kita akan berdansa.”
Mereka pun berdansa. Dan di seluruh ruangan Ritson’s tak ada yang lebih sempurna
daripada mereka berdua.
Setelah keduanya kembali ke meja mereka, seorang pria tua lumayan gagah menyapa
pasangan dansa Edward.
“Ah! Lady Noreen, selalu berdansa! Ya, ya. Apakah malam ini Kapten Folliot hadir di
sini?”
“Jimmy terjatuh—pergelangan kakinya terkilir.”
“Yang benar saja. Bagaimana kejadiannya?”
“Saya belum mendengar detailnya.”
Gadis itu tertawa dan terus melangkah.
Edward mengikutinya sambil memutar otak. Sekarang ia sudah tahu. Lady Noreen Eliot yang
terkenal itu, boleh jadi yang paling banyak dibicarakan orang di London. Ternama karena
kecantikannya, karena keberaniannya—pemimpin kelompok bernama Bright Young People.
Pertunangannya dengan Kapten James Folliot, wakil konsul Household Calvalry, baru saja
diumumkan belum lama ini.
Tapi kalung itu? Edward masih belum memahami soal kalung itu. Ia terpaksa mengambil
risiko ketahuan jati dirinya, tapi ia tahu ia harus mencobanya.
Saat mereka sudah duduk kembali, Edward menunjuk kalung itu.
“Mengapa Anda lakukan itu, Noreen?” ujar Edward. “Katakan pada saya, mengapa?”
Lady Noreen cuma tersenyum, matanya menerawang jauh, masih terpesona oleh dansa tadi.
“Kurasa Anda sulit memahaminya. Orang akan jenuh dengan suasana yang sama—selalu sama.
Berburu harta karun memang menyenangkan untuk sementara waktu, tapi akhirnya orang jadi
terbiasa pada semua hal. ‘Pencurian’ adalah gagasanku. Uang pendaftarannya lima puluh
pound, dan ada undiannya. Ini yang ketiga. Jimmy dan aku menarik undian dengan nama
Agnes Larella. Anda sudah tahu aturan mainnya? Pencurian itu harus dilakukan dalam
waktu tiga hari, dan hasil curian harus dikenakan selama paling tidak satu jam di
tempat umum. Bila tidak, Anda akan kehilangan taruhan dan terkena denda sebesar seratus
pound. Jimmy tidak beruntung karena terkilir, tapi kami akan memenangkannya.”
“Begitu,” ujar Edward sambil menarik napas dalam-dalam. “Begitu.”
Mendadak Noreen bangkit berdiri sambil menyelempangkan selendangnya.
“Antar aku dengan mobil ke dermaga. Ke tempat yang jelek tapi seru. Sebentar...” Ia
menanggalkan kalung berlian itu dari leher. “Sebaiknya Anda simpan lagi kalung ini. Aku
tidak mau terbunuh gara-gara benda ini.”
Mereka melangkah keluar dari Ritson’s bersama-sama. Mobil itu berada di lorong sempit
dan gelap. Ketika mereka berbelok di tikungan, sebuah mobil lain mendekat dan seorang
laki-laki muda melompat keluar.
“Syukur pada Tuhan, Noreen, akhirnya aku bertemu juga denganmu,” serunya. “Ada masalah
gawat. Si goblok Jimmy pergi dengan mobil yang salah. Hanya Tuhan yang tahu di mana
kalung berlian itu saat ini. Kita benar-benar mendapat masalah.”
Lady Noreen menatapnya melongo.
“Apa maksudmu? Kalung berlian itu sudah ada pada kita—paling tidak Edward.”
“Edward?”
“Ya.” Ia menunjuk sosok yang berdiri di sampingnya.
“Sekarang akulah yang dapat masalah besar,” pikir Edward. “Berani bertaruh sepuluh
lawan satu, inilah saudara Edward yang sesungguhnya.”
Orang muda itu menatapnya.
“Apa maksudmu?” ujarnya perlahan. “Edward sedang berada di Skotlandia.”
“Oh!” seru gadis itu. Ia menatap Edward. “Oh!”
Wajahnya sebentar pucat sebentar merona.
“Jadi Anda,” katanya lirih, “benar-benar pencuri?”
Edward hanya membutuhkan sesaat untuk memahami situasi.
Ada sorot terpesona di mata gadis itu—mungkinkah itu—kekaguman? Apakah ia sebaiknya
menjelaskan? Tidak perlu! Ia akan memainkan perannya sampai tuntas.
Ia membungkuk takzim.
“Saya harus berterima kasih pada Anda, Lady Noreen,” ujarnya, semirip mungkin dengan
gaya penyamun, “untuk malam yang sangat menyenangkan ini.”
Ia melihat sekilas ke arah mobil yang dikendarai pria tadi. Mobil merah manyala dengan
kap mengilat. Mobilnya!
“Dan saya akan mengucapkan selamat malam pada Anda.”
Dengan satu lompatan ia sudah berada di dalam mobilnya sendiri, dengan kaki siap
menginjak kopling. Mobilnya melonjak maju. Gerald terpaku, namun gadis itu lebih cepat
daripadanya. Sementara mobil itu meluncur, ia melompat ke arahnya dan mendarat di
pijakannya.
Mobil itu melenceng, menikung tajam dan menambah kecepatan. Noreen yang masih terengah
sehabis melompat, memegangi lengan Edward.
“Anda harus menyerahkan kalung itu padaku—oh, Anda harus menyerahkannya padaku. Aku
harus mengembalikannya pada Agnes Larella. Bersikaplah yang baik—kita sudah bersamasama melewatkan malam yang menyenangkan—kita sudah berdansa—kita sudah—berteman. Maukah
Anda memberikannya padaku? Pada saya?”
Benar-benar wanita yang mampu membuat mabuk dengan kecantikannya. Memang ada juga
wanita-wanita seperti itu...
Lagi pula, Edward memang sudah sangat ingin melepaskan diri dari kalung itu. Benda itu
adalah kesempatan dari langit untuk mendapatkan beau geste.
Edward mengeluarkan kalung itu dari sakunya dan menjatuhkannya di telapak tangan gadis
itu.
“Kita sudah... berteman,” ujarnya.
“Ah!” Mata gadis itu membara—berpendar.
Mendadak ia menundukkan kepala ke arah Edward. Untuk sesaat Edward memeluknya, bibir
gadis itu merapat di bibirnya...
Setelah itu Lady Noreen melompat turun. Dan mobil merah itu melesat maju.
Asmara!
Petualangan!
***
Pukul dua belas siang pada Hari Natal, Edward Robinson melangkah masuk ke ruang tamu
sempit sebuah rumah kecil di Clapham sambil mengucapkan, “Selamat Natal” seperti
biasanya.
Maud yang ketika itu sedang memasang hiasan daun holly, menyapanya dengan dingin.
“Sudah bersenang-senang dengan temanmu di pedesaan?” ia bertanya.
“Dengar,” sahut Edward. “Aku sudah berbohong padamu. Sebenarnya aku baru menang
sayembara—sebesar £500, dan membeli mobil dengan uang itu. Aku sengaja tidak
menceritakannya padamu, karena tahu kau pasti meributkannya. Itu hal pertama. Aku sudah
membeli mobil itu, dan tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kedua—aku takkan mau
menunggu bertahun-tahun lagi. Prospekku cukup bagus, dan aku ingin menikahimu bulan
depan. Paham?”
“Oh!” pekik Maud lemah.
Apakah ini—mungkinkah ini—Edward yang bicara dengan gaya mengagumkan seperti itu?
“Kau bersedia?” tanya Edward. “Ya atau tidak?”
Maud menatapnya terperangah. Ada rasa terpesona dan kagum di matanya, dan pemandangan
ini memabukkan Edward. Hilang sudah sikap keibuan penuh kesabaran yang justru
membuatnya gusar itu.
Semalam tatapan Lady Noreen tepat seperti ini. Namun Lady Noreen sudah menghilang,
masuk ke daerah Asmara, berdampingan dengan Marchesa Bianca. Inilah Kenyataan. Inilah
wanita miliknya.
“Ya atau tidak?” ulangnya sambil mendekat selangkah.
“Y—ya-a,” jawab Maud tergagap. “Tapi, oh, Edward, apa yang telah terjadi padamu? Hari
ini kau begitu lain.”
“Ya,” sahut Edward. “Sudah dua puluh empat jam ini aku jadi pria dewasa dan bukannya
cacing—dan, astaga, aku tidak rugi!”
Ia memeluk Maud erat-erat, mirip apa yang mungkin akan dilakukan Bill, sang superman.
“Apa kau mencintaiku, Maud? Katakan, apa kau mencintaiku?”
“Oh, Edward!” desah Maud. “Aku memujamu...”
KECELAKAAN
“...DENGAR ya... itu wanita yang sama—tak diragukan lagi!”
Kapten Haydock menatap wajah sahabatnya yang berapi-api dan penuh harap, lalu menghela
napas. Betapa ia berharap Evans tidak bersikap sepositif dan segembira ini. Sepanjang
kariernya di laut, kapten tua ini telah belajar tidak mencampuri hal-hal yang bukan
urusannya. Evans, sahabatnya, mantan Inspektur C.I.D., punya falsafah hidup berbeda.
“Bertindak berdasarkan informasi yang diterima” sudah menjadi mottonya sejak dulu, dan
ia telah meningkatkannya dengan mencari sendiri informasinya. Dulu Inspektur Evans
perwira yang sangat cerdas dan sigap, dan ia menerima kenaikan pangkat yang memang
patut diterimanya. Sekarang pun, setelah pensiun dari angkatan dan menetap di pondok
pedesaan impiannya, naluri profesionalnya masih tetap aktif.
“Jangan sering melupakan wajah orang,” ia mengulangi pernyataannya dengan puas. “Mrs.
Anthony—ya, itu pasti Mrs. Anthony. Waktu kau menyebut nama Mrs. Merrowdene... aku
langsung mengenalinya.”
Kapten Haydock gelisah. Selain Evans sendiri, keluarga Merrowdene adalah tetangga
terdekatnya, dan mengidentifikasi Mrs. Merrowdene sebagai perempuan yang menjadi
terkenal karena suatu kasus menggemparkan, membuatnya susah.
“Kejadiannya sudah lama,” ujarnya lemah.
“Sembilan tahun,” kata Evans, akurat seperti biasanya. “Sembilan tahun tiga bulan. Kau
masih ingat kasus itu?”
“Samar-samar.”
“Anthony ternyata pemakan arsenik,” ujar Evans, “karena itu mereka membebaskan wanita
itu.”
“Nah, mengapa tidak?”
“Tidak ada alasan. Satu-satunya putusan yang mampu mereka berikan atas bukti itu. Benar
sepenuhnya.”
“Kalau begitu tak ada masalah,” sahut Haydock. “Dan aku tidak mengerti apa yang kita
permasalahkan.”
“Siapa yang mempermasalahkan?”
“Kusangka kau.”
“Sama sekali tidak.”
“Perkara itu sudah selesai,” kapten itu menyimpulkan. “Kalau Mrs. Merrowdene pernah
kurang beruntung diperkarakan dan dibebaskan dari tuduhan pembunuhan...”
“Biasanya dibebaskan dari tuduhan tidak disebut kurang beruntung,” sela Evans.
“Kau tahu maksudku,” ujar Kapten Haydock kesal. “Wanita malang itu telah melalui
pengalaman mengerikan, dan bukan urusan kita untuk mengungkitnya kembali, ya kan?”
Evans tidak menjawab.
“Ayolah, Evans. Wanita itu tidak bersalah—kau baru saja mengatakannya.”
“Aku tidak bilang dia tidak bersalah. Aku bilang dia dibebaskan.”
“Itu sama saja.”
“Tidak selalu.”
Kapten Haydock, yang baru mulai mengetukkan pipanya di sisi kursinya, berhenti dan
duduk tegak dengan waspada.
“Halo—alo—alo,” ujarnya. “Angin bertiup ke arah itu, kan? Apa menurutmu dia bersalah?”
“Aku takkan berkata begitu. Aku cuma... tidak tahu. Anthony memang punya kebiasaan
menelan arsenik. Istrinyalah yang mendapatkan racun itu untuknya. Suatu hari dia keliru
menelan dosis terlalu besar. Apakah itu kekeliruannya sendiri atau kesalahan istrinya?
Tidak ada yang bisa mengatakan, dan dengan keraguan itu, tim juri dengan sendirinya
membebaskan istrinya. Ini sah-sah saja, dan aku tidak menyalahkan mereka. Tapi tetap
saja... aku ingin tahu.”
Kapten Haydock memerhatikan pipa tembakaunya kembali.
“Nah,” katanya santai. “Ini sama sekali bukan urusan kita.”
“Aku tidak begitu yakin...”
“Tapi tentunya...”
“Dengarkan sebentar. Orang ini, Merrowdene... malam ini mengadakan percobaan di
laboratoriumnya—kauingat...”
“Ya. Dia menyebut-nyebut soal tes Marsh untuk arsenik. Dia bilang kau tahu semua
tentang tes itu—bahwa ini bidangmu—lalu tertawa kecil. Dia takkan berkata begitu
seandainya dia mau berpikir sejenak...”
Evans menyelanya.
“Maksudmu dia takkan berkata begitu seandainya dia tahu. Pasangan itu sudah menikah
berapa lama—enam tahun katamu? Aku berani bertaruh dia sama sekali tidak tahu istrinya
adalah Mrs. Anthony yang sangat terkenal itu.”
“Dan dia pasti takkan mengetahuinya dari mulutku,” sahut Kapten Haydock kaku.
Evans tidak memedulikannya dan melanjutkan,
“Kau baru saja menyelaku. Sesudah tes Marsh itu, Merrowdene memanaskan zat kimia itu
dalam tabung percobaan. Residu logamnya dilarutkan dalam air yang lalu diendapkan
dengan cara membubuhkan perak nitrat. Ini tes untuk unsur khlorat. Tes kecil yang rapi
dan sederhana. Tapi kebetulan aku membaca tulisan ini di buku yang terbuka di atas
meja: ‘H2SO4 mengurai khlorat dengan evolusi CL4O2. Bila dipanaskan akan terjadi
ledakan keras; karena itu campuran ini harus disimpan di tempat sejuk dan digunakan
dalam jumlah sangat kecil.’”
Haydock menatap lurus ke sahabatnya.
“Nah, bagaimana menurutmu?”
“Cuma ini. Dalam profesiku, kami juga punya beberapa tes—tes untuk melacak pembunuhan.
Misalnya menggabungkan fakta-fakta—menimbangnya, memecah-mecah sisanya saat kau
membiarkan prasangka muncul, juga ketidaktepatan para saksi. Tapi ada satu tes lagi
dalam menghadapi kasus pembunuhan—tes yang cukup akurat, tapi agak... berbahaya!
Pembunuh jarang merasa puas dengan satu kejahatan. Berikan waktu dan tidak adanya
kecurigaan, maka dia akan melakukan kejahatan lagi. Kau menangkap seseorang—apakah dia
membunuh istrinya atau tidak?—boleh jadi kasusnya tidak terlalu memberatkan dirinya.
Periksalah masa lalunya—bila kau mendapati dia pernah punya beberapa istri—dan kita
katakan saja mereka semua meninggal... dengan cara tidak biasa?—maka barulah kau tahu!
Aku tidak bicara dari segi hukum. Aku bicara tentang kepastian secara moral. Sekali kau
tahu, kau bisa melanjutkan dengan mencari bukti.”
“Lalu?”
“Aku sudah hampir sampai ke tujuan. Itu bagus-bagus saja kalau memang ada masa lalu
yang bisa ditelusuri. Tapi bagaimana seandainya kau menangkap si pembunuh pada
kejahatan pertamanya? Maka dari tes itu kau takkan mendapatkan reaksi. Tapi misalnya
tahanan itu dibebaskan—dan dia memulai hidup baru dengan menggunakan nama lain. Apakah
si pembunuh ini akan mengulangi kejahatannya?”
“Ini gagasan yang mengerikan!”
“Apa kau masih berani bilang ini bukan urusan kita?”
“Betul. Kau tidak punya alasan untuk menganggap Mrs. Merrowdene bukan wanita yang sama
sekali tak bersalah.”
Mantan inspektur itu terdiam sesaat. Setelah itu ia berkata perlahan,
“Sudah kukatakan kita menelusuri masa lalunya dan tidak menemukan apa pun. Ini tidak
sepenuhnya benar. Dia pernah punya ayah tiri. Ketika masih berusia delapan belas tahun,
dia tertarik pada seorang laki-laki muda—dan ayah tirinya memanfaatkan wewenangnya
untuk memisahkan mereka. Dia berjalan-jalan bersama ayah tirinya melintasi tebing
berbahaya. Kemudian terjadilah kecelakaan—sang ayah tiri berjalan terlampau dekat
dengan tepi jurang... yang longsor hingga laki-laki itu terjerumus dan tewas.”
“Kau tidak menganggap...”
“Itu kecelakaan. Kecelakaan! Arsenik melebihi takaran yang ditelan Anthony adalah
kecelakaan. Perempuan itu takkan pernah diadili kalau saja tidak ada orang lain waktu
itu—tapi dia mengubah pernyataannya. Tampaknya dia tidak puas seperti tim juri. Dengar,
Haydock, selama wanita itu terkait, aku khawatir akan terjadi... kecelakaan lagi!”
Kapten tua itu angkat bahu.
“Sudah berlalu sembilan tahun sejak perkara itu. Mengapa sekarang harus terjadi
‘kecelakaan’ lain seperti katamu tadi?”
“Aku tidak bilang sekarang. Aku bilang suatu hari nanti. Bila timbul motif yang
diperlukan.”
Kapten Haydock angkat bahu lagi.
“Hm, aku tidak tahu bagaimana kau bisa mencegah hal itu terjadi.”
“Aku juga tidak tahu,” ujar Evans sedih.
“Aku tidak akan turut campur,” ujar Kapten Haydock. “Tak ada gunanya mencampuri urusan
orang lain.”
Namun nasihat ini tidak cocok bagi mantan inspektur itu. Dia orang yang sabar tapi
bertekad kuat. Ia meninggalkan rumah sahabatnya, melangkah menuju desa, dan memikirkan
bagaimana bisa bertindak dengan sukses.
Ketika berbelok ke kantor pos untuk membeli prangko, ia berpapasan dengan objek
perhatiannya, George Merrowdene. Mantan profesor kimia ini laki-laki kecil dengan
pandangan menerawang, sikapnya lembut dan ramah, dan biasanya linglung. Ia mengenali
orang yang bersenggolan dengannya tadi dan menyapanya dengan ramah, sambil membungkuk
untuk memungut surat-surat yang terjatuh. Evans juga membungkuk, dan dengan gerakan
lebih sigap ia merapikan dulu tumpukan surat yang dipungutnya, lalu mengembalikannya
pada si empunya sambil meminta maaf.
Sementara melakukan itu, ia melirik amplop-amplop yang dipegangnya. Mendadak rasa
curiganya tergugah kembali saat melihat alamat yang tertera di amplop paling atas. Di
situ tertera nama perusahaan asuransi ternama.
Tekadnya sudah bulat. George Merrowdene yang lugu itu nyaris tidak menyadari sama
sekali bagaimana bisa sampai terjadi ia dan mantan inspektur itu sama-sama berjalan ke
desa, lebih-lebih bagaimana percakapan mereka bisa berkisar soal asuransi jiwa.
Evans tidak kesulitan mencapai tujuannya. Atas kemauan sendiri, Merrowdene memberikan
informasi bahwa ia baru saja mengasuransikan jiwanya untuk kepentingan istrinya, dan
menanyakan pendapat Evans tentang perusahaan bersangkutan.
“Saya sudah melakukan beberapa investasi yang agak bodoh,” jelasnya. “Akibatnya,
penghasilan saya berkurang. Seandainya terjadi sesuatu pada diri saya, nasib istri saya
akan buruk sekali. Asuransi ini akan membereskan segalanya.”
“Istri Anda tidak keberatan dengan ide ini?” tanya Evans santai. “Ada beberapa wanita
yang tidak menyukainya. Mereka merasa seperti mengundang kesialan—atau semacamnya.”
“Oh, Margaret orang yang sangat praktis,” ujar Merrowdene sambil tersenyum. “Dia sama
sekali tidak percaya takhayul. Bahkan sebenarnya ide ini datang darinya. Dia tidak suka
melihat saya cemas.”
Evans sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Tak lama kemudian ia meninggalkan sang
profesor dengan bibir terkatup rapat. Mr. Anthony telah mengasuransikan diri untuk
kepentingan istrinya beberapa minggu sebelum kematiannya.
Karena terbiasa mengandalkan nalurinya, Evans merasa sangat yakin. Tapi bagaimana akan
bertindak, itu soal lain. Ia tidak ingin menangkap basah si pelaku kejahatan, ia hanya
ingin mencegah terjadinya kejahatan, dan ini tugas yang sangat berbeda dan jauh lebih
sulit.
Sepanjang hari itu ia banyak merenung. Sore itu akan diadakan pesta Primrose League
Fête di lahan tuan tanah setempat, dan Evans menghadirinya. Ia menikmati permainan
dengan koin, menebak berat badan babi, melempar kelapa, dan semua ini dilakukannya
dengan wajah penuh konsentrasi. Ia bahkan menghabiskan uang sebanyak setengah crown
atau dua setengah shilling di Zara, ahli nujum Crystal Gazer, sambil tersenyum sendiri
saat teringat aktivitasnya melawan para ahli nujum ketika masih bekerja.
Evans tidak begitu memerhatikan alunan suara ahli nujum yang naik-turun itu—sampai
akhir kalimatnya menarik perhatiannya.
“...Dan tak lama lagi—sungguh tak lama lagi—Anda akan terlibat masalah antara hidup dan
mati... Hidup atau matinya seseorang.”
“Eh... apa kata Anda tadi?” Evans langsung bertanya.
“Suatu keputusan—Anda harus membuat keputusan. Anda harus sangat berhati-hati—sangat,
sangat berhati-hati... Bila Anda melakukan kesalahan—kesalahan terkecil sekalipun...”
“Ya?”
Ahli nujum itu bergidik. Inspektur Evans tahu semua ini omong kosong belaka, tapi
bagaimanapun juga ia merasa terkesan.
“Aku peringatkan Anda—jangan sampai melakukan kesalahan. Kalau Anda sampai
melakukannya, aku melihat akibatnya dengan sangat jelas—kematian...”
Aneh, luar biasa aneh. Bayangkan, dia bisa meramalkan hal itu!
“Bila aku melakukan kesalahan, akibatnya kematian? Betul?”
“Ya.”
“Kalau begitu,” ujar Evans sambil bangkit berdiri dan menyerahkan uang setengah crown,
“aku tidak boleh melakukan kesalahan, eh?”
Ia mengucapkannya dengan santai, tapi saat melangkah keluar dari tenda peramal,
rahangnya terkatup dengan tekad bulat. Mudah dikatakan—tapi tidak semudah itu
melakukannya. Ia tidak boleh terpeleset sedikit pun. Hidup orang yang sangat rentan
bergantung padanya.
Dan tak seorang pun bisa membantunya. Ia memandang sosok Haydock sahabatnya dari
kejauhan. Dia pun tidak bisa membantu. “Jangan turut campur,” adalah motto Haydock. Dan
motto itu tidak berlaku di sini.
Haydock sedang berbincang dengan seorang wanita. Perempuan itu meninggalkan Haydock dan
melangkah ke arah Evans yang langsung mengenalinya. Wanita itu Mrs. Merrowdene. Evans
sengaja menempatkan diri di jalur yang akan dilewati wanita itu.
Mrs. Merrowdene lumayan cantik. Alisnya lebar, mata cokelatnya sangat indah, dan
ekspresi wajahnya tenang. Penampilannya mirip madona Itali, lebih-lebih karena ia
membelah rambutnya di tengah dan menyangkutkannya di belakang telinga. Suaranya berat
mendayu.
Ia tersenyum pada Evans, senyuman puas yang mengundang.
“Saya sudah mengira itu Anda, Mrs. Anthony—maksud saya, Mrs. Merrowdene,” sapa Evans
lancar.
Ia memang sengaja “keseleo lidah”, sambil memerhatikan wanita itu dengan tidak kentara.
Mata wanita itu melebar dan napasnya sedikit tersengal. Tetapi tatapannya tetap tajam.
Ia menatap Evans dengan angkuh.
“Saya sedang mencari-cari suami saya,” ujarnya tenang. “Apa Anda melihatnya?”
“Terakhir kali saya melihatnya, dia sedang berada di sebelah sana.”
Mereka berjalan berdampingan menuju arah yang ditunjuk Evans, sambil mengobrol dengan
santai. Sang inspektur semakin kagum. Benar-benar wanita yang luar biasa! Begitu
menguasai diri. Sikapnya begitu anggun. Wanita yang mengagumkan—dan sangat berbahaya.
Evans masih sangat gelisah, meskipun ia puas dengan langkah awalnya. Ia telah
menunjukkan pada wanita itu bahwa ia mengenalinya. Ini akan membuatnya waspada. Ia
takkan berani bertindak gegabah. Masalahnya adalah Merrowdene. Bila ia bisa
diperingatkan...
Mereka menjumpai laki-laki kecil itu sedang memandang linglung boneka yang didapatnya
dari permainan dengan koin. Sang istri mengajaknya pulang, dan ia menerima ajakan itu
dengan senang hati. Mrs. Merrowdene berpaling pada sang inspektur.
“Bagaimana kalau Anda ikut bersama kami dan minum-minum teh, Mr. Evans?”
Benarkah ada nada menantang samar-samar dalam suara wanita itu? Evans merasa memang
ada.
“Terima kasih, Mrs. Merrowdene. Saya senang sekali.”
Mereka berjalan bertiga sambil mengobrol santai tentang hal-hal umum. Matahari bersinar
cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, pemandangan di sekeliling mereka menyenangkan dan
biasa-biasa saja.
Pelayan mereka sedang berada di pesta, Mrs. Merrowdene menjelaskan ketika mereka tiba
di pondok bergaya kuno yang memesona itu. Mrs. Merrowdene masuk kamar untuk
menanggalkan topinya, lalu kembali untuk menyiapkan teh dan merebus air dalam ceret di
atas lampu perak kecil. Ia mengambil tiga mangkuk kecil dan cawan dari rak dekat
perapian.
“Kami punya teh Cina yang sangat istimewa,” jelasnya. “Dan kami selalu meminumnya
dengan gaya Cina—dari mangkuk, bukan cangkir.”
Ia berhenti bicara, melihat ke bagian dalam salah satu mangkuk, dan menukarnya dengan
mangkuk lain sambil berseru kesal.
“George—kau ini keterlaluan. Kau sudah menggunakan mangkuk-mangkuk ini lagi.”
“Maafkan aku, Sayang,” sahut sang profesor. “Ukurannya pas sekali. Mangkuk-mangkuk yang
kupesan belum tiba.”
“Suatu hari nanti kau bisa meracuni kita semua,” ujar istrinya sambil tertawa kecil.
“Mary menemukan mangkuk-mangkuk ini di laboratorium dan membawanya kemari. Dia tidak
pernah mau repot-repot mencucinya, kecuali ada sesuatu yang terlihat jelas di dalamnya.
Waktu itu kau bahkan menggunakan salah satunya untuk kalium sianida. Sungguh, George,
ini benar-benar berbahaya.”
Merrowdene tampak agak kesal.
“Mary tidak punya urusan untuk memindahkan barang-barang dari laboratorium. Dia tidak
boleh menyentuh apa pun di situ.”
“Tapi kita sering meninggalkan cangkir teh kita di situ. Bagaimana dia bisa tahu?
Bersikaplah masuk akal, Sayang.”
Profesor itu masuk ke laboratorium sambil bergumam sendiri, dan sambil tersenyum Mrs.
Merrowdene menuangkan air mendidih ke atas daun teh, dan meniup nyala api lampu perak
kecil itu.
Evans menjadi bingung. Namun mendadak ia mengerti. Karena alasan tertentu, Mrs.
Merrowdene sedang menunjukkan niatnya. Apakah ini yang akan dijadikannya “kecelakaan”?
Apakah ia sengaja membicarakan semua ini untuk mempersiapkan alibinya? Agar suatu hari
nanti, saat “kecelakaan” itu terjadi, Evans terpaksa menunjukkan bukti yang
menguntungkan wanita itu. Bila memang demikian, dia sungguh bodoh, sebab sebelum itu...
Tiba-tiba Evans tersentak. Perempuan itu telah menuangkan teh ke dalam ketiga mangkuk
itu. Sebuah diletakkan di depan Evans, sebuah di depan dirinya sendiri, dan yang sebuah
diletakkan di meja kecil di samping perapian, dekat kursi yang biasanya ditempati sang
suami. Saat meletakkan mangkuk terakhir ini, bibirnya seakan tersenyum aneh. Senyuman
inilah yang memastikan.
Evans tahu!
Wanita yang luar biasa—wanita yang berbahaya. Tidak perlu menunggu lagi—tidak butuh
persiapan. Sore ini—sore ini juga—dengan dirinya sebagai saksi. Kenekatan tindakan itu
membuatnya terperangah.
Benar-benar pintar—sangat pintar. Ia takkan dapat membuktikan apa pun. Perempuan itu
memperhitungkan bahwa Evans takkan curiga—semata-mata karena kejadiannya “secepat itu”.
Wanita dengan kecepatan seperti kilat dalam berpikir dan bertindak.
Evans menghela napas dalam-dalam sambil mencondongkan badan ke depan.
“Mrs. Merrowdene, saya orang yang punya gagasan-gagasan agak ganjil. Maukah Anda
berbaik hati mengabulkan salah satu darinya?”
Pandangan wanita itu penuh tanda tanya, tapi tidak curiga.
Evans bangkit berdiri, mengambil mangkuk teh di depan wanita itu, melangkah menuju meja
kecil tadi, lalu menukar mangkuk di atasnya dengan yang dipegangnya. Ia membawa mangkuk
ini, lalu meletakkannya di depan perempuan itu.
“Saya ingin melihat Anda meminum teh ini.”
Mata wanita itu menatap mata Evans lurus-lurus dengan pandangan tak bisa ditebak.
Perlahan-lahan wajahnya berubah pucat pasi.
Ia mengulurkan tangan dan mengangkat mangkuk itu. Evans menahan napas. Bagaimana
seandainya selama ini ia keliru?
Wanita itu membawa mangkuknya ke bibir—dan pada saat terakhir tubuhnya menggigil,
condong ke depan, dan dengan cepat ia menuang isi mangkuk itu ke pot bunga berisi
tanaman pakis. Setelah itu ia duduk bersandar dan menatap Evans dengan sikap menantang.
Evans menghela napas panjang dengan lega, dan duduk kembali.
“Bagaimana?” ujar perempuan itu.
Suaranya sudah berubah. Sedikit mengejek—menantang.
Dengan tenang dan muram Evans menjawab,
“Anda wanita yang sangat pintar, Mrs. Merrowdene. Saya rasa Anda memahami saya. Jangan
sampai... terulang kembali. Anda paham maksud saya?”
“Saya tahu maksud Anda.”
Suaranya terdengar datar, tanpa ekspresi. Evans mengangguk puas. Dia wanita yang
cerdas, dan ia tidak mau dihukum gantung.
“Demi umur panjang Anda dan suami Anda,” ujar Evans tegas, dan mengangkat mangkuk
tehnya ke bibir.
Kemudian wajahnya berubah. Parasnya menyeringai mengerikan... ia berusaha bangkit—untuk
berteriak... Tubuhnya kaku—wajahnya berubah ungu. Ia terjengkang di kursinya—anggota
badannya kejang-kejang.
Mrs. Merrowdene membungkuk ke depan sambil memerhatikan korbannya. Senyuman kecil
mengembang di wajahnya. Ia berbisik pada Evans—sangat lirih dan lembut.
“Anda melakukan kesalahan, Mr. Evans. Anda menyangka saya ingin membunuh George...
Betapa bodohnya Anda—betapa sangat bodohnya.”
Ia tetap duduk beberapa saat sambil menatap laki-laki yang tak bernyawa itu, laki-laki
ketiga yang telah menjadi ancaman baginya dan bisa memisahkan dirinya dari laki-laki
yang dicintainya.
Senyumannya melebar. Wajahnya semakin mirip dengan madona. Setelah itu ia mengeraskan
suara dan memanggil-manggil,
“George, George! ...Oh, cepat ke sini! Aku takut telah terjadi kecelakaan mengerikan...
Mr. Evans yang malang...”
JANE MENCARI PEKERJAAN
JANE CLEVELAND membalik-balik halaman koran Daily Leader, lalu menghela napas. Desah
yang keluar dari relung hati paling dalam. Dengan kesal ia menatap meja pualam, telur
rebus, roti panggang di atasnya, dan teko teh kecil itu. Bukannya ia tidak lapar.
Sebaliknya, Jane sangat lapar. Saat itu ia merasa sanggup melahap satu setengah pon
daging panggang lengkap dengan keripik kentang, dan mungkin juga buncis Prancis. Lalu
ditutup dengan minum anggur yang lebih menggairahkan daripada teh.
Tapi para wanita muda yang kondisi keuangannya payah memang tidak bisa rewel. Jane
masih cukup beruntung sanggup memesan telur rebus dan seteko teh. Besok ia mungkin
sudah tidak mampu melakukannya lagi. Kecuali...
Ia kembali membuka halaman iklan di Daily Leader. Jelasnya, Jane sedang menganggur, dan
kondisinya semakin gawat saja. Induk semang di pondokannya yang kumuh sudah
memandangnya tak senang.
“Padahal,” kata Jane dalam hati, sambil mengangkat dagu dengan dongkol, seperti
kebiasaannya, “padahal aku cerdas, cantik, dan terpelajar. Apa lagi yang kurang?”
Menurut Daily Leader, orang sepertinya menginginkan juru tulis steno berpengalaman,
manajer perusahaan yang punya modal untuk diinvestasikan, kaum wanita yang bisa berbagi
keuntungan dalam usaha peternakan ayam (lagi-lagi diperlukan sedikit modal di sini),
dan sejumlah besar juru masak, pelayan rumah tangga, dan pramuwisma—terutama
pramuwisma.
“Aku tidak keberatan menjadi pramuwisma,” ujar Jane dalam hati. “Tapi lagi-lagi takkan
ada yang mau. menerimaku tanpa pengalaman. Aku bisa saja pergi ke suatu tempat, sebagai
Gadis Muda Penurut—tapi mereka tidak menggaji para gadis muda penurut.”
Ia menghela napas lagi, meletakkan surat kabar itu di depannya, dan melahap telur
rebusnya dengan semangat orang muda yang sehat.
Selesai menelan suap terakhir, ia membalik koran itu, lalu membaca kolom Derita dan
Pribadi sambil menghirup tehnya. Kolom Derita selalu jadi pengharapan terakhir.
Andai ia memiliki beberapa ribu pound, masalahnya akan terpecahkan dengan mudah.
Setidaknya ada tujuh peluang unik—semuanya menjanjikan paling sedikit tiga ribu pound
setahun. Jane mengerutkan bibir.
“Kalau aku punya dua ribu pound,” gumamnya, “takkan mudah mengambilnya dariku.”
Ia mengamati iklan-iklan kolom itu dengan cepat sampai ke baris paling bawah, lalu
mengangkat mata kembali dengan kepiawaian yang lahir dari latihan cukup lama.
Ada wanita yang menjual pakaian bekas dengan harga sangat rendah. “Gaun-gaun wanita
yang sudah diteliti”. Kemudian ada para pria yang bersedia membeli APA PUN—terutama
GIGI. Lalu ada beberapa wanita bangsawan yang akan ke luar negeri dan ingin melepas
mantel-mantel bulu mereka dengan harga tidak masuk akal. Ada juga pendeta yang sedang
kesulitan, janda yang hidupnya susah, serta perwira cacat, yang semuanya membutuhkan
sejumlah uang, mulai dari lima puluh sampai dua ribu pound. Dan mendadak Jane
tersentak. Ia meletakkan cangkir tehnya dan membaca iklan itu berkali-kali.
“Di dalamnya pasti ada udang di balik batu,” gumamnya. “Selalu ada udang di balik batu
dalam hal-hal semacam ini. Aku harus berhati-hati. Tapi...”
Iklan yang sangat menggugah rasa ingin tahu Jane Cleveland itu berbunyi sebagai
berikut:
Dicari wanita muda berusia
pirang, alis dan bulu mata
167,5 cm, kemampuan meniru
Endersleigh Street, antara
antara 25 sampai 30 tahun, memiliki mata biru tua, rambut
hitam, hidung lurus, potongan tubuh langsing, tinggi badan
mimik dan berbahasa Prancis, bersedia datang ke 7
pukul 17.00 sampai 18.00. Ada pekerjaan menarik untuknya.
“Iklan berbahaya untuk perempuan-perempuan lugu,” gumam Jane. “Aku harus sangat
berhati-hati. Tapi untuk profesi semacam itu, persyaratan yang ditentukan terlalu
banyak. Aku jadi bertanya-tanya sekarang... Biar kuteliti daftar persyaratan tadi.”
Jane menelitinya.
“Antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun—umurku dua puluh enam. Mata biru tua,
cocok. Rambut pirang—alis dan bulu mata hitam—semua oke. Hidung lurus? Y-ya—setidaknya
cukup lurus. Hidungku tidak bengkok atau menjungkit. Dan potongan badanku langsing—
bahkan untuk zaman susah seperti sekarang. Tinggi badanku cuma 165 cm—tapi aku bisa
saja memakai sepatu hak tinggi. Aku memang pandai menirukan mimik—tidak istimewa, tapi
aku bisa menirukan suara orang, dan aku mampu berbahasa Prancis dengan fasih, atau
seperti wanita Prancis tulen. Yang jelas, aku pasti yang terbaik. Mereka akan melonjak
kegirangan bila aku muncul. Jane Cleveland, maju dan menanglah.”
Dengan tegas Jane merobek iklan itu dan menyimpannya di tasnya. Setelah itu ia meminta
bon dengan kelincahan baru dalam suaranya.
Pukul lima kurang sepuluh menit, Jane mengintai di lingkungan Endersleigh Street, jalan
sempit yang diapit dua jalan lebih lebar di lingkungan Oxford Circus. Memang kurang
menarik, tapi cukup terhormat.
Rumah No. 7 sepertinya tidak berbeda dengan tetangga-tetangga lainnya. Bentuk
bangunannya mirip perkantoran. Namun saat mendongak, Jane menyadari untuk pertama kali
bahwa ia bukan satu-satunya gadis dengan mata biru, rambut pirang, hidung lurus, tubuh
langsing, dan berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun. Ternyata London
penuh dengan gadis-gadis seperti itu, dan setidaknya empat puluh sampai lima puluh dari
mereka berkumpul di luar Endersleigh Street No. 7.
“Persaingan ketat,” ujar Jane. “Sebaiknya aku segera bergabung dalam antrean.”
Jane ikut antre tepat ketika tiga gadis lain muncul di sudut jalan. Di belakang mereka
beberapa gadis mengikut. Jane menghibur diri dengan memerhatikan para gadis yang
berdiri paling dekat dengannya. Pada setiap gadis ia berhasil menemukan kekurangan—bulu
mata pirang dan bukannya hitam, mata yang lebih mirip kelabu daripada biru, rambut
pirang buatan dan bukannya alami, berbagai variasi bentuk hidung, dan bentuk tubuh yang
hanya bisa disebut langsing oleh mereka yang cukup bermurah hati. Semangat Jane
melambung.
“Aku percaya peluangku sama besarnya dengan siapa saja,” gumamnya sendiri. “Aku
penasaran, apa artinya semua ini? Membentuk paduan suara yang anggotanya cantikcantik?”
Antrean berjalan maju dengan lambat namun pasti. Tak lama kemudian mengalirlah
serangkaian gadis dari dalam rumah. Ada yang membuang muka dengan angkuh, ada juga yang
tersenyum sinis.
“Ditolak,” ujar Jane senang. “Semoga tempatnya tidak terisi penuh sebelum aku masuk.”
Barisan maju terus. Ada yang melirik cemas ke cermin kecil dan membedaki hidung sebisabisanya. Belum lagi lipstik yang dioleskan dengan royal.
“Andai aku punya topi yang lebih keren,” pikir Jane sedih.
Akhirnya tiba juga gilirannya. Di dalam rumah tampak pintu kaca di satu sisi dengan
tulisan Messrs. Cuthbertsons tertera di atasnya. Melalui pintu kaca inilah para pelamar
lewat satu per satu. Giliran Jane tiba. Ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah
masuk.
Di dalam terdapat kantor bagian luar yang rupanya disediakan bagi para juru tulis. Di
ujungnya terdapat pintu kaca lain. Jane dipersilakan memasuki pintu ini. Sekarang ia
berada di ruangan yang lebih kecil. Di dalamnya ada meja tulis besar, dan di balik meja
duduk pria berusia pertengahan dengan mata tajam dan kumis tebal yang tampak agak
asing. Ia memandang Jane, lalu menunjuk pintu sebelah kiri.
“Silakan menunggu di situ,” ujarnya singkat.
Jane menurut. Ruangan itu ternyata sudah ada yang menempati. Lima gadis duduk tegak di
situ, saling memelototi pesaingnya. Jelas bagi Jane bahwa ia telah dimasukkan golongan
kandidat yang paling berpeluang, dan semangatnya semakin melambung. Bagaimanapun, ia
terpaksa mengakui bahwa kelima gadis ini memiliki peluang sama dengan dirinya, sejauh
persyaratan yang tercantum dalam iklan itu.
Waktu berjalan terus. Sudah jelas para gadis yang mengalir melintasi kantor bagian
dalam itu cukup banyak. Sebagian besar dipersilakan keluar lewat pintu lain yang menuju
koridor, tapi sesekali masuk calon lain yang membuat kelompok ini semakin banyak saja.
Pukul setengah tujuh sudah terkumpul empat belas gadis di ruangan itu.
Jane mendengar suara-suara orang dari kantor bagian dalam, setelah itu pria berwajah
asing yang diam-diam dijulukinya “Sang Kolonel” berkat kumis khas militer itu pun
muncul di pintu.
“Saya akan menemui Anda sekalian satu per satu,” ia menyampaikan. “Silakan masuk sesuai
urutan.”
Jane mendapat urutan keenam. Dua puluh menit berlalu sebelum ia dipanggil masuk. “Sang
Kolonel” berdiri dengan kedua tangan di balik punggung. Ia menguji Jane dengan cepat,
termasuk kemampuannya berbahasa Prancis, lalu mengukur tinggi tubuhnya.
“Ada kemungkinan, Mademoiselle,” ujarnya dalam bahasa Prancis, “bahwa Anda memang
cocok. Saya tidak tahu. Tapi mungkin saja.”
“Apa tugas saya, kalau saya boleh bertanya?” tanya Jane terus terang.
Laki-laki itu hanya angkat bahu.
“Saya belum bisa menyampaikannya sekarang. Bila Anda terpilih, barulah Anda bisa tahu.”
“Kelihatannya misterius sekali,” Jane menyatakan keberatan. “Saya tidak mungkin
menerima sesuatu tanpa mengetahui perinciannya. Kalau saya boleh bertanya, apakah ini
ada hubungannya dengan panggung?”
“Panggung? Tentu saja tidak.”
“Oh!” sahut Jane tercengang.
Pria itu menatapnya tajam.
“Anda memiliki kecerdasan, bukan? Dan kebijaksanaan?”
“Tentu saja,” ujar Jane tenang. “Bagaimana dengan bayarannya?”
“Bayarannya akan mencapai dua ribu pound—untuk bekerja selama dua minggu.”
“Oh!” ujar Jane lirih.
Ia sangat tercengang mendengar besarnya jumlah tadi, hingga sulit mencernanya dalam
sekejap.
Kolonel itu melanjutkan pembicaraannya.
“Saya sudah memilih wanita muda lain. Anda dan dia sama-sama sesuai untuk tugas ini.
Mungkin saja ada beberapa lagi yang belum saya lihat. Saya akan memberikan instruksi
selanjutnya pada Anda. Anda tahu Harridge’s Hotel?”
Jane tersentak. Di Inggris ini siapa pula yang tidak tahu Harridge’s Hotel? Penginapan
terkenal yang berlokasi di jalan samping Mayfair, tempat para tokoh terkemuka dan
bangsawan biasa datang dan pergi. Baru pagi tadi Jane membaca berita tentang kedatangan
Grand Duchess Pauline dari Ostrova. Beliau datang untuk meresmikan bazar guna membantu
para pengungsi Rusia, dan tentu saja menginap di Harridge’s.
“Ya,” sahut Jane, menjawab pertanyaan sang Kolonel.
“Bagus sekali. Pergilah ke sana. Mintalah berjumpa dengan Count Streptitch. Berikan
kartu nama Anda—Anda punya kartu nama?”
Jane mengeluarkan sehelai. Kolonel itu menerimanya, lalu mencoretkan huruf P kecil di
sudutnya. Ia mengembalikan kartu itu pada Jane.
“Tanda itu menjamin bahwa Count Streptitch akan menjumpai Anda. Dia akan tahu sayalah
yang mengirim Anda. Keputusan terakhir ada di tangannya—dan tangan satu orang lagi.
Bila dia menganggap Anda cocok, dia akan menjelaskan semuanya pada Anda, dan Anda bisa
menerima atau menolak tawarannya. Cukup memuaskan?”
“Sangat memuaskan,” jawab Jane.
“Sejauh ini,” gumamnya saat berada di jalan kembali, “aku tidak melihat udang di balik
batu. Tapi bagaimanapun, pasti ada. Tidak ada yang namanya mendapat uang dengan cumacuma. Ini pasti kejahatan! Tidak bisa tidak.”
Semangatnya melambung. Secara umum Jane tidak begitu menentang kejahatan. Belakangan
ini koran-koran penuh dengan berita tentang para bandit perempuan. Jane bahkan sudah
mempertimbangkan dengan serius untuk menjadi bandit seandainya tak ada jalan lain lagi.
Ia memasuki gerbang eksklusif Harridge’s dengan agak ragu bercampur takut. Ia semakin
berharap punya topi baru.
Tapi dengan tabah ia melangkah menuju meja, mengeluarkan kartu namanya, dan menanyakan
Count Streptitch dengan sikap percaya diri. Ia merasa juru tulis itu menatapnya ingin
tahu. Namun ia menerima kartu itu dan memberikannya pada seorang pesuruh, berikut
beberapa instruksi yang tidak tertangkap oleh Jane. Sebentar kemudian pesuruh itu
kembali, dan Jane diminta mengikutinya. Mereka naik lift, dan menyusuri koridor menuju
pintu besar yang lalu diketuk oleh pesuruh tadi. Sesaat kemudian Jane sudah berada di
ruangan luas, berhadapan dengan pria jangkung kurus dengan janggut pirang; pria itu
memegang kartu nama Jane di tangannya yang putih dan tampak tak bertenaga.
“Miss Jane Cleveland,” ia membaca perlahan-lahan. “Saya Count Streptitch.”
Bibirnya tiba-tiba terbuka seakan tersenyum, memamerkan dua baris gigi putih dan rapi.
Namun senyumannya tidak mengandung keceriaan sedikit pun.
“Saya mengerti Anda melamar pekerjaan sebagai tanggapan atas iklan kami,” lanjut Count
Streptitch. “Kolonel Kranin yang baik mengirim Anda kemari.”
“Ternyata dia memang kolonel,” Jane membatin, merasa senang dengan kecerdasannya, tapi
ia cuma mengangguk.
“Anda mau memaafkan bila saya mengajukan beberapa pertanyaan?”
Ia tidak menunggu jawaban Jane, tapi melanjutkan dengan memberikan uraian yang mirip
sekali dengan yang diberikan Kolonel Kranin. Jawaban-jawaban Jane tampaknya cukup
memuaskan. Ia mengangguk sekali-dua kali.
“Sekarang, Mademoiselle, saya minta Anda berjalan ke pintu dan kembali lagi perlahanlahan.”
“Mungkin mereka ingin aku jadi peragawati,” pikir Jane sambil menuruti permintaan tadi.
“Tapi peragawati takkan dibayar dua ribu pound. Biarpun begitu, mungkin sebaiknya aku
tidak bertanya dulu.”
Count Streptitch mengerutkan dahi. Jari-jarinya yang putih mengetuk-ngetuk meja.
Mendadak ia bangkit berdiri, dan setelah membuka pintu penghubung dengan ruangan
sebelah, ia berbicara pada seseorang di dalamnya.
Setelah itu ia kembali ke kursinya, dan seorang wanita pendek setengah baya masuk dari
pintu itu, lalu menutupnya kembali. Perawakannya gemuk dan wajahnya luar biasa jelek,
namun sikapnya seperti orang yang sangat penting.
“Nah, Anna Michaelovna,” ujar count itu. “Bagaimana pendapat Anda mengenai nona ini?”
Wanita itu memandangi Jane dari ujung rambut sampai ujung kaki, seakan gadis itu patung
lilin di pameran. Ia sama sekali tidak menyapa Jane.
“Mungkin dia cocok,” akhirnya ia berkata. “Memang tidak persis sama. Tapi bentuk tubuh
maupun warnanya sangat bagus, lebih bagus daripada yang lain. Menurut Anda bagaimana,
Feodor Alexandrovitch?”
“Saya sependapat dengan Anda, Anna Michaelovna.”
“Bisakah dia berbahasa Prancis?”
“Bahasa Prancis-nya bagus sekali.”
Jane semakin merasa seperti patung. Kedua orang ini seakan tidak ingat bahwa ia
manusia.
“Tapi apakah dia mampu menyimpan rahasia?” tanya wanita itu sambil mengerutkan kening.
“Ini Putri Poporensky,” ujar Count Streptitch pada Jane dalam bahasa Prancis. “Dia
menanyakan apakah Anda mampu menyimpan rahasia?”
Jane menyampaikan jawabannya pada sang putri.
“Sebelum posisi saya dijelaskan, saya tidak bisa berjanji apa pun.”
“Apa yang dikatakan gadis ini benar,” komentar wanita itu. “Saya rasa dia cerdas,
Feodor Alexandrovitch—lebih cerdas daripada yang lain. Katakan padaku, gadis kecil, apa
Anda juga punya keberanian?”
“Entahlah,” jawab Jane bingung. “Saya memang tidak suka disakiti, tapi saya bisa
menanggungnya.”
“Ah! Maksud saya bukan begitu. Anda tidak keberatan menghadapi bahaya, bukan?”
“Oh!” sahut Jane. “Bahaya! Tidak mengapa. Saya suka bahaya.”
“Dan Anda miskin? Anda ingin dapat banyak uang?”
“Silakan coba,” jawab Jane bersemangat.
Count Streptitch dan Putri Poporensky bertukar pandang. Kemudian mereka mengangguk
serempak.
“Apakah saya sebaiknya menjelaskan semuanya, Anna Michaelovna?” tanya count itu.
Putri itu menggeleng.
“Tuan Putri ingin melakukannya sendiri.”
“Itu tidak perlu—dan tidak bijaksana.”
“Bagaimanapun, itulah perintahnya. Saya harus mengantar gadis ini begitu Anda selesai
dengannya.”
Count Streptitch angkat bahu. Ia jelas tidak senang, tapi juga jelas tidak berniat
melanggar perintah. Ia berpaling pada Jane.
“Putri Poporensky akan mengantar Anda pada Tuan Putri Grand Duchess Pauline. Jangan
takut.”
Jane sama sekali tidak takut. Ia justru senang akan diperkenalkan pada grand duchess
sungguhan. Tidak ada sikap Sosialis dalam diri Jane. Saat itu ia bahkan telah melupakan
soal topinya.
Putri Poporensky berjalan di depan dengan langkah-langkah gontai berwibawa. Mereka
melintasi ruangan penghubung tadi yang merupakan semacam ruang tamu, dan putri itu
mengetuk pintu di seberang ruangan. Terdengar jawaban dari dalam. Putri itu membuka
pintu, lalu masuk, diikuti Jane tepat di belakangnya.
“Izinkan saya memperkenalkan pada Anda, Madame,” ujar putri itu dengan khidmat, “Miss
Jane Cleveland.”
Wanita muda yang tadinya duduk di kursi besar di seberang ruangan melompat berdiri dan
berlari menghampiri. Ia menatap Jane lurus-lurus untuk beberapa saat, lalu tertawa
riang.
“Ini benar-benar luar biasa, Anna,” sahutnya. “Aku tidak menyangka kita akan berhasil.
Ayo, mari kita bercermin bersama-sama.”
Sambil menggandeng Jane, ia mengajak gadis itu berdiri di depan cermin besar yang
tergantung di dinding.
“Kaulihat?” serunya gembira. “Benar-benar cocok!”
Setelah memandang Grand Duchess Pauline sekilas, Jane mulai paham. Sang Grand Duchess
mungkin lebih tua satu-dua tahun daripada Jane. Warna rambutnya sama, demikian juga
potongan tubuhnya yang langsing. Boleh jadi ia sedikit lebih tinggi. Setelah berdiri
berdampingan, kemiripan mereka sangat jelas. Warna setiap detail pun nyaris sama.
Grand Duchess bertepuk tangan. Sepertinya ia wanita muda yang sangat ceria.
“Tidak bisa lebih baik lagi,” ujarnya. “Kau harus mengucapkan selamat pada Feodor
Alexandrovitch untukku, Anna. Dia melakukan tugasnya dengan sangat baik.”
“Sampai saat ini, Madame,” gumam putri itu lirih, “gadis ini tidak tahu apa yang
diharapkan darinya.”
“Betul,” ujar sang Grand Duchess yang sudah agak lebih tenang. “Aku lupa. Hm, aku akan
menjelaskan padanya. Tinggalkan kami, Anna Michaelovna.”
“Tapi, Madame...”
“Tinggalkan kami, kataku.”
Ia mengentakkan kaki dengan marah. Dengan enggan Anna Michaelovna meninggalkan ruangan.
Grand Duchess itu duduk dan mempersilakan Jane berbuat sama.
“Perempuan-perempuan tua ini membuat saya kesal,” komentar Pauline. “Tapi mereka
dibutuhkan. Anna Michaelovna lebih baik daripada yang lain. Baiklah, Miss—ah, ya, Miss
Jane Cleveland. Saya suka nama itu. Anda tampak simpatik. Saya bisa langsung tahu bila
melihat orang simpatik.”
“Anda cerdas sekali, Ma’am,” ujar Jane, bercakap untuk pertama kalinya.
“Saya memang cerdas,” sahut Pauline tenang. “Baiklah, saya akan menjelaskan semuanya
pada Anda. Bukan berarti banyak yang perlu dijelaskan. Anda tentunya tahu sejarah
Ostrova. Nyaris seluruh sanak keluarga saya sudah tiada—dibantai Komunis. Boleh jadi
sayalah satu-satunya keturunan terakhir. Saya wanita, jadi tidak mungkin menduduki
takhta. Anda mungkin menyangka mereka takkan mengganggu saya. Tapi tidak, ke mana pun
saya pergi, selalu saja ada usaha untuk membunuh saya. Gila, bukan? Para bedebah vodka
ini tidak pernah tahu batas-batas.”
“Saya mengerti,” ujar Jane, merasa ada yang diharapkan darinya.
“Saya lebih banyak menjalani hidup tanpa tugas—hingga saya bisa berjaga-jaga, tapi
adakalanya saya harus ambil bagian dalam upacara-upacara di depan umum. Contohnya,
sementara berada di sini, saya harus menghadiri beberapa upacara semipublik. Begitu
pula di Paris dalam perjalanan pulang nanti. Saya memiliki estat di Hongaria. Olahraga
di sana benar-benar luar biasa.”
“Sungguh?” ujar Jane.
“Istimewa. Saya sangat menyukai olahraga. Selain itu—sebenarnya saya tidak boleh
menyampaikannya pada Anda, tapi tetap akan saya lakukan, sebab wajah Anda begitu
simpatik—di situ sedang dibuat rencana—dengan diam-diam tentu saja. Secara keseluruhan,
penting sekali saya jangan sampai terbunuh dalam waktu dua minggu mendatang ini.”
“Tapi tentunya polisi...,” kata Jane.
“Polisi? Oh, ya, saya percaya mereka sangat andal. Dan kami pun demikian—kami punya
mata-mata. Ada kemungkinan saya akan diperingatkan bila usaha pembunuhan akan
dilaksanakan. Tapi mungkin juga tidak.”
Ia angkat bahu.
“Saya mulai paham,” ujar Jane perlahan. “Anda ingin saya menggantikan Anda?”
“Hanya dalam kesempatan tertentu,” ujar Grand Duchess itu bersemangat. “Anda harus siap
di suatu tempat, paham? Saya mungkin akan membutuhkan Anda dua, tiga, atau empat kali
dalam dua minggu mendatang ini. Setiap kali dalam kesempatan upacara di depan umum.
Dengan sendirinya Anda tidak bisa menggantikan tempat saya dalam pertemuan-pertemuan
pribadi.”
“Tentu saja,” Jane menyetujui.
“Anda benar-benar cocok. Pintar juga Feodor Alexandrovitch karena terpikir memasang
iklan, bukan?”
“Bagaimana seandainya saya terbunuh?” tanya Jane.
Sang Grand Duchess angkat bahu.
“Sudah tentu risiko itu ada, tapi menurut informasi dari pihak kami, mereka ingin
menculik saya, bukan langsung membunuh saya. Tapi saya akan berterus terang—tidak
tertutup kemungkinan mereka akan melemparkan bom.”
“Saya mengerti,” ujar Jane.
Ia mencoba menirukan sikap santai Pauline. Ia sangat ingin membicarakan soal
bayarannya, namun tidak tahu cara terbaik untuk mengungkapkannya. Tapi Pauline yang
lebih dulu menyinggung hal itu.
“Kami akan membayar Anda dengan pantas, tentu saja,” ujarnya santai. “Saya tidak ingat
persis berapa jumlah yang disarankan Feodor Alexandrovitch. Ketika itu kami
membicarakannya dalam mata uang franc atau kronen.”
“Kolonel Kranin,” ujar Jane, “menyebutkan dua ribu pound.”
“Itu dia,” sahut Pauline gembira. “Sekarang saya ingat. Saya harap jumlah itu cukup
memadai? Atau Anda lebih senang menerima tiga ribu?”
“Hm,” ujar Jane, “bila tak ada bedanya bagi Anda, saya lebih suka menerima tiga ribu.”
“Saya lihat Anda berjiwa bisnis,” ujar Grand Duchess itu ramah. “Seandainya saya juga
begitu. Tapi saya sama sekali tidak paham soal nilai uang. Apa yang saya inginkan akan
saya dapatkan. Itu saja.”
Bagi Jane ini sikap berpikir yang sederhana sekaligus mengagumkan.
“Dan sudah tentu, seperti Anda katakan tadi, tugas ini mengandung bahaya,” Pauline
melanjutkan dengan prihatin. “Meskipun menurut saya, Anda tidak takut bahaya. Saya
sendiri seperti itu. Saya harap Anda tidak menganggap saya pengecut karena menginginkan
Anda menggantikan saya. Begini, bagi Ostrova, sangatlah penting saya harus menikah dan
melahirkan setidaknya dua anak laki-laki. Setelah itu, tak jadi soal apa yang terjadi
dengan saya.”
“Saya mengerti,” sahut Jane.
“Dan Anda menerimanya?”
“Ya,” kata Jane tegas. “Saya menerimanya.”
Pauline bertepuk tangan penuh semangat. Putri Poporensky langsung muncul.
“Aku sudah menceritakan semua padanya, Anna,” ujar Grand Duchess. “Dia akan melakukan
apa yang kita inginkan, dan dia akan mendapat tiga ribu pound. Sampaikan pada Feodor
untuk mencatat hal ini. Dia sangat mirip denganku, bukan? Tapi kurasa dia lebih cantik
dariku.”
Putri Poporensky melangkah gontai keluar ruangan, dan kembali bersama Count Streptitch.
“Kami sudah mengatur segalanya, Feodor Alexandrovitch,” kata sang Grand Duchess.
Count Streptitch membungkuk.
“Saya penasaran, apakah dia sanggup memainkan perannya?” ia bertanya sambil menatap
Jane ragu.
“Akan saya tunjukkan pada Anda,” sahut gadis itu tiba-tiba. “Bila Anda mengizinkannya,
Ma’am?” ujarnya pada Grand Duchess.
Yang disebut belakangan ini mengangguk senang.
Jane bangkit berdiri.
“Tapi ini benar-benar luar biasa, Anna,” ujarnya. “Aku tidak menyangka kita akan
berhasil. Ayo, mari kita bercermin bersama-sama.”
Dan, sama seperti yang tadi dilakukan Pauline, Jane menggandeng dan menarik Grand
Duchess itu ke cermin.
“Kaulihat? Benar-benar cocok!”
Kata-kata, gaya, maupun sikap Jane sangat mirip dengan sambutan Pauline. Putri
Poporensky mengangguk dan mendengus tanda setuju.
“Bagus,” komentarnya. “Itu akan mengecoh kebanyakan orang.”
“Anda pintar sekali,” ujar Pauline kagum. “Saya takkan mampu menirukan siapa pun demi
menyelamatkan nyawa.”
Jane memercayainya. Ia sendiri kagum melihat Pauline begitu mirip dengannya.
“Anna akan mengurus detail-detailnya dengan Anda,” ujar Grand Duchess. “Ajak dia ke
kamar tidurku, Anna, dan minta dia mencoba beberapa pakaianku.”
Ia berpamitan dengan mengangguk anggun, dan Jane diantar Putri Poporensky.
“Gaun ini akan dikenakan Tuan Putri ke bazar terbuka nanti,” jelas wanita tua itu
sambil memegang sehelai gaun terbuka berwarna hitam-putih. “Acaranya berlangsung selama
tiga hari. Boleh jadi Anda perlu menggantikan tempatnya di situ. Kami tidak tahu. Kami
belum menerima informasi.”
Sesuai permintaan Anna, Jane menanggalkan pakaiannya sendiri yang kumal dan mencoba
gaun tadi. Ternyata pas sekali. Wanita itu mengangguk puas.
“Nyaris sempurna—hanya sedikit terlalu panjang untuk Anda, sebab Anda lebih pendek satu
inci daripada Tuan Putri.”
“Itu mudah diatasi,” sahut Jane cepat. “Saya lihat Grand Duchess mengenakan sepatu
bertumit rendah. Bila saya mengenakan sepatu serupa tapi bertumit tinggi, takkan ada
masalah.”
Anna Michaelovna menunjukkan sepatu yang biasanya dipakai Grand Duchess dengan gaun
itu. Sepatu kulit biawak dengan tali melintang. Jane mengingat-ingat modelnya, dan akan
mengusahakan sepasang dengan model sama, tapi dengan tumit lebih tinggi.
“Akan lebih baik bila Anda mengenakan gaun dengan warna dan bahan khusus yang berbeda
dari gaun Tuan Putri,” ujar Anna Michaelovna. “Jadi, saat Anda harus segera
menggantikan tempatnya, hal ini takkan mudah diketahui.”
Jane berpikir sejenak.
“Bagaimana dengan gaun crepe merah manyala? Dan mungkin saya akan mengenakan kacamata
biasa. Ini akan sangat mengubah penampilan.”
Kedua saran itu disetujui, dan mereka membicarakan detail-detail selanjutnya.
Jane meninggalkan hotel itu dengan lembaran-lembaran uang seratus pound di dompetnya,
berikut instruksi untuk membeli pakaian yang diperlukan dan memesan kamar di Blitz
Hotel atas nama Miss Montresor dari New York.
Dua hari setelah itu, Count Streptitch mengunjunginya.
“Sungguh transformasi yang bagus,” katanya sambil membungkuk.
Jane membalasnya dengan membungkuk juga. Ia sangat menikmati pakaian-pakaian baru dan
kehidupan mewah yang dijalaninya.
“Semua ini sangat menyenangkan,” desahnya. “Tapi saya rasa kedatangan Anda ini berarti
saya harus bekerja untuk mendapatkan uang saya.”
“Benar. Kami sudah mendapat informasi. Kemungkinan akan ada usaha penculikan atas Tuan
Putri dalam perjalanan pulang dari bazar, yang seperti Anda ketahui akan diadakan di
Orion House, lima belas kilometer dari London. Tuan Putri terpaksa menghadiri bazar itu
secara pribadi, mengingat Countess Anchester yang menyelenggarakan acara itu
mengenalnya secara pribadi juga. Tapi berikut ini rencana yang sudah saya atur.”
Jane menyimak dengan cermat saat ia menjelaskan.
Jane mengajukan beberapa pertanyaan, dan akhirnya menyatakan ia sudah memahami
perannya.
Cuaca keesokan harinya sangat cerah—hari yang sempurna untuk salah satu acara besar
dalam London Season, bazar di Orion House, yang diselenggarakan oleh Countess Anchester
untuk membantu para pengungsi Ostrovia di negeri ini.
Mengingat iklim Inggris yang tidak menentu, bazar itu akan diadakan di ruangan-ruangan
luas Orion House, yang sudah dimiliki para Earl Anchester selama lima ratus tahun.
Berbagai koleksi telah dipinjamkan, dan ada ide menarik berupa pemberian dari seratus
tokoh wanita yang menyumbangkan sebutir mutiara dari kalung masing-masing. Setiap butir
akan dilelang pada hari kedua. Selain itu juga ada berbagai tontonan dan atraksi di
lahan sekelilingnya.
Jane tiba lebih awal dengan menyamar sebagai Miss Montresor. Ia mengenakan gaun merah
manyala dari bahan crepe, dan topi kecil berwarna merah.
Sepatunya terbuat dari kulit biawak, dan bertumit tinggi.
Kedatangan Grand Duchess Pauline disambut meriah. Ia dikawal menuju panggung dan
menerima buket bunga mawar yang diserahkan seorang anak kecil. Ia memberikan sambutan
singkat namun menawan, lalu meresmikan pembukaan bazar. Count Streptitch dan Putri
Poporensky mendampinginya.
Grand Duchess mengenakan gaun yang telah dilihat Jane, dengan corak hitam-putih yang
jelas, topi kecil berwarna hitam dengan sejumlah besar bunga osprey putih yang
menjuntai dari tepinya, serta sehelai cadar renda yang menutupi separo wajahnya. Jane
tersenyum sendiri.
Grand Duchess berkeliling mengunjungi setiap stan, membeli beberapa benda, dan bersikap
ramah terhadap semuanya. Setelah itu ia bersiap-siap meninggalkan tempat.
Jane langsung menangkap isyaratnya. Ia meminta izin bertemu dengan Putri Poporensky dan
diperkenalkan pada Grand Duchess.
“Ah, ya!” ujar Pauline merdu. “Miss Montresor, saya ingat namanya. Dia wartawati
Amerika. Dia sudah banyak membantu kita. Saya akan senang sekali memberinya waktu untuk
wawancara bagi surat kabarnya. Apa ada tempat di mana kami tidak akan diganggu?”
Sebuah ruang tamu kecil langsung disiapkan bagi Grand Duchess, dan Count Streptitch
disuruh membawa masuk Miss Montresor. Setelah melaksanakan tugas itu, ia meninggalkan
ruangan, Putri Poporensky tetap di dalam untuk membantu. Kedua wanita muda itu cepatcepat bertukar pakaian.
Tiga menit kemudian, pintu terbuka kembali dan sang Grand Duchess pun muncul dengan
memegang buket mawar di depan wajahnya.
Sambil membungkuk anggun dan berpamitan kepada Lady Anchester dalam bahasa Prancis, ia
melangkah keluar dan masuk ke mobil yang sudah menanti. Putri Poporensky mengambil
tempat di sampingnya, dan mobil itu pun meluncur pergi.
“Nah,” ujar Jane, “habis perkara. Saya ingin tahu bagaimana keadaan Miss Montresor.”
“Takkan ada yang memerhatikannya. Dia bisa menyelinap pergi diam-diam.”
“Betul,” ujar Jane. “Akting saya cukup bagus, bukan?”
“Anda menjalankan peran Anda dengan sangat meyakinkan.”
“Mengapa Count Streptitch tidak bersama kita?”
“Dia terpaksa tetap tinggal. Harus ada yang menjaga keselamatan Tuan Putri.”
“Saya harap takkan ada yang melemparkan bom,” ujar Jane khawatir. “Hei! Kita
meninggalkan jalan utama. Untuk apa?”
Sambil menambah kecepatan, mobil itu melesat memasuki jalan kecil.
Jane terlonjak dan melongokkan kepala ke luar jendela, memprotes sang sopir yang hanya
tertawa sambil menambah kecepatan. Jane bersandar di tempat duduknya kembali.
“Mata-mata Anda benar,” katanya sambil tergelak. “Kita memang diperlukan. Saya rasa,
semakin lama kita mengulur waktu, semakin aman bagi Grand Duchess. Bagaimanapun, kita
harus memberinya cukup waktu untuk kembali ke London dengan selamat.”
Mengingat prospek adanya bahaya, semangat Jane melambung. Ia tidak menyukai bom, tapi
petualangan semacam ini cocok bagi nalurinya.
Mendadak mobil itu berhenti dengan rem berderit. Seorang laki-laki melompat ke pijakan.
Di tangannya tampak sepucuk pistol.
“Angkat tangan,” gertaknya.
Putri Poporensky langsung mengangkat tangan, tapi Jane hanya melontarkan pandangan
meremehkan padanya, dan tetap berpangku tangan.
“Tanyakan apa maksudnya dengan kekonyolannya itu,” ujarnya dalam bahasa Prancis kepada
teman seperjalanannya.
Namun sebelum Putri Poporensky sempat membuka mulut, orang tadi menyela. Ia memuntahkan
serangkaian kata dalam bahasa asing.
Karena tidak mengerti sepatah kata pun, Jane cuma angkat bahu sambil berdiam diri. Sang
sopir turun dari tempat duduknya dan bergabung dengan laki-laki tadi.
“Apakah Nona yang mulia berkenan turun?” pinta pria itu sambil tersenyum lebar.
Sambil mengangkat buket bunganya ke wajah, Jane melangkah keluar dari mobil, diikuti
Putri Poporensky.
“Apakah Nona yang mulia mau berjalan kemari?”
Jane tidak mengindahkan sikap melecehkan orang itu, tapi atas kemauannya sendiri ia
berjalan menuju rumah beratap rendah, sekitar sembilan puluh meter dari tempat mobil
itu berhenti. Jalan itu merupakan cul-de-sac yang berakhir di gerbang dan jalan masuk
yang menuju bangunan yang sepertinya tidak berpenghuni itu.
Orang yang masih juga menodongkan pistolnya, mendekati kedua wanita itu. Saat mereka
menapaki anak tangga, ia mendahului dan membuka lebar pintu di sebelah kiri. Ruangan
itu ternyata kosong, dan hanya berisi meja dengan dua kursi yang rupa-rupanya baru saja
dibawa ke situ.
Jane masuk, lalu duduk. Anna Michaelovna mengikutinya. Pria itu mengempaskan pintu dan
menguncinya.
Jane berjalan menuju jendela dan melihat ke luar.
“Saya bisa saja melompat ke luar,” komentarnya. “Tapi saya takkan bisa pergi jauh-jauh.
Tidak, sementara ini kita harus tetap di sini dan berusaha memanfaatkan situasi sebaikbaiknya. Saya ingin tahu, apakah mereka akan membawakan makanan untuk kita?”
Sekitar setengah jam kemudian, pertanyaannya terjawab.
Semangkuk besar sup mengepul dibawa masuk dan diletakkan di meja tepat di hadapannya.
Selain itu ada dua potong roti kering.
“Sepertinya bukan makanan mewah bagi bangsawan,” komentar Jane riang saat pintu ditutup
dan dikunci kembali. “Anda mau memulainya, atau saya saja?”
Dengan rasa jijik Putri Poporensky menolaknya.
“Bagaimana mungkin saya bisa makan? Siapa tahu bahaya apa yang mengintai majikan saya?”
“Dia pasti baik-baik saja,” ujar Jane. “Diri sayalah yang sedang saya khawatirkan.
Orang-orang ini takkan senang saat mengetahui mereka telah menculik orang yang salah.
Mereka akan sangat tidak senang. Saya akan mempertahankan peran anggun Grand Duchess
selama mungkin, dan langsung kabur begitu ada kesempatan.”
Putri Poporensky diam saja.
Jane yang memang lapar, langsung melahap habis sup itu. Rasanya sedikit aneh, tetapi
hangat dan lezat.
Setelah itu ia merasa mengantuk. Putri Poporensky seakan menangis diam-diam. Jane
berusaha duduk senyaman mungkin di kursinya yang tidak nyaman itu, dan membiarkan
kepalanya terkulai.
Ia pun tertidur.
***
Mendadak Jane terbangun. Rasanya ia telah tidur sangat lama. Kepalanya terasa berat dan
pusing.
Dan tiba-tiba ia melihat sesuatu yang membuatnya tersentak.
Ia sudah mengenakan gaun crepe merahnya kembali.
Ia duduk tegak dan memandang berkeliling. Ya, ia masih berada di ruangan dalam rumah
kosong itu. Semuanya masih sama seperti saat ia jatuh tertidur tadi, kecuali dua hal.
Pertama, Putri Poporensky sudah tidak duduk di kursi satunya. Kedua, pergantian kostum
yang tak dapat dijelaskan.
“Aku tidak mungkin bermimpi,” gumam Jane. “Seandainya bermimpi, aku takkan berada di
sini.”
Ia menoleh ke arah jendela, dan menyadari fakta lain yang mencolok. Ketika ia jatuh
tertidur, matahari bersinar masuk melalui jendela. Sekarang rumah ini melemparkan
bayang-bayang tajam di jalan masuk yang bermandikan cahaya matahari.
“Rumah ini menghadap ke barat,” ia mengingat-ingat. “Hari menjelang sore saat aku
tertidur. Berarti sekarang keesokan paginya. Sup itu pasti telah diberi obat tidur.
Karena itu... oh, entahlah. Semua ini begitu gila.”
Ia bangkit, lalu melangkah ke pintu yang ternyata tidak terkunci. Ia menyelidiki rumah
itu. Sunyi dan kosong.
Jane memegangi kepalanya yang berdenyut dan mencoba berpikir. Tiba-tiba ia melihat
sehelai koran robek tergeletak di dekat pintu. Judul berita utamanya tercetak dengan
huruf besar dan menarik perhatiannya.
“Bandit Perempuan dari Amerika di Inggris,” ia membaca. “Gadis Bergaun Merah.
Perampokan Sensasional di Bazar Orion House.”
Jane melangkah tergopoh-gopoh menuju cahaya matahari di luar. Duduk di anak tangga
sambil membaca, matanya semakin terbelalak lebar. Fakta-faktanya singkat dan ringkas.
Tepat setelah Grand Duchess Pauline meninggalkan tempat, tiga pria dan seorang gadis
bergaun merah mengeluarkan pistol masing-masing dan merampok pengunjung dengan sukses.
Mereka merampas keseratus butir mutiara itu dan kabur dengan mobil balap besar. Sampai
saat ini, mereka belum berhasil ditangkap.
Di rubrik stop press (koran itu edisi malam) tercantum bahwa “gadis bergaun merah” itu
menginap di Blitz dengan nama Miss Montresor dari New York.
“Aku tertipu,” ujar Jane. “Tertipu mentah-mentah. Sejak awal aku sudah tahu ada udang
di baliknya.”
Kemudian ia tersentak. Terdengar bunyi aneh. Suara pria yang mengutarakan satu
perkataan berulang kali.
“Sialan,” katanya. “Sialan.” Dan sekali lagi, “Sialan!”
Mendengar suara itu, Jane tergetar. Suara itu begitu mengekspresikan perasaannya
sendiri. Ia berlari menuruni anak tangga. Di sudutnya tergeletak seorang laki-laki
muda. Ia berusaha keras mengangkat kepalanya dari tanah. Di mata Jane, wajah pria itu
salah satu wajah paling tampan yang pernah dilihatnya. Wajahnya berbintik-bintik dan
ekspresinya agak kebingungan.
“Sialan kepalaku,” keluhnya. “Sialan. Aku...”
Ia terhenti dan menatap Jane.
“Aku pasti sedang bermimpi,” katanya lirih.
“Itu juga yang kukatakan tadi,” sahut Jane. “Tapi kita tidak bermimpi. Ada apa dengan
kepala Anda?”
“Seseorang memukul kepalaku. Untung saja batok kepalaku tebal.”
Dengan susah payah ia duduk sambil menyeringai kesakitan.
“Kurasa otakku sebentar lagi akan mulai berfungsi. Rupanya aku masih berada di tempat
yang sama.”
“Bagaimana Anda bisa sampai kemari?” tanya Jane penuh rasa ingin tahu.
“Ceritanya panjang. Omong-omong, Anda bukan Grand Duchess itu, kan?”
“Bukan. Aku Jane Cleveland saja.”
“Setidaknya Anda bukan gadis ala kadarnya,” sahut laki-laki muda itu sambil menatapnya
kagum.
Jane tersipu.
“Seharusnya aku mengambilkan air atau sesuatu, bukan?” tanya Jane ragu.
“Biasanya begitulah,” orang itu mengiyakan. “Bagaimanapun, aku lebih suka wiski kalau
Anda bisa menemukannya.”
Jane tidak berhasil menemukan wiski. Pria muda itu meneguk air dengan lahap, lalu
menyatakan keadaannya sudah membaik.
“Apakah aku akan menceritakan petualanganku, atau Anda lebih dulu?”
“Anda dulu.”
“Pengalamanku tidak begitu berarti. Aku kebetulan melihat sang Grand Duchess masuk ke
ruangan itu mengenakan sepatu bertumit rendah, dan keluar lagi dengan sepatu bertumit
tinggi. Bagiku ini agak janggal. Aku tidak suka hal-hal janggal.
“Jadi, aku mengikuti mobil dengan sepeda motorku, dan melihat Anda dibawa masuk ke
dalam rumah. Sekitar sepuluh menit kemudian, sebuah mobil balap besar melesat masuk.
Seorang gadis bergaun merah melompat keluar, diikuti tiga pria. Gadis itu mengenakan
sepatu berhak rendah. Mereka masuk ke rumah. Tak lama kemudian, si tumit rendah keluar
lagi mengenakan gaun hitam-putih dan pergi mengendarai mobil pertama bersama perempuan
tua dan laki-laki jangkung berjanggut pirang. Yang lain pergi dengan mobil balap tadi.
Aku menyangka mereka sudah pergi semua, dan baru saja hendak masuk lewat jendela untuk
menyelamatkan Anda ketika seseorang memukul kepalaku dari belakang. Itu saja. Sekarang
giliran Anda.”
Jane menceritakan pengalamannya.
“Dan aku sungguh beruntung karena Anda menguntit,” ia mengakhiri kisahnya. “Sadarkah
Anda seburuk apa keadaanku seandainya Anda tidak mengikuti? Grand Duchess itu akan
mendapatkan alibi sempurna. Dia meninggalkan bazar sebelum perampokan itu terjadi, dan
tiba di London dengan mobilnya sendiri. Siapa pula yang akan memercayai kisah
fantastisku yang mustahil ini?”
“Tidak ada,” sahut orang muda itu yakin.
Mereka begitu tenggelam dalam kisah masing-masing, hingga tidak memerhatikan keadaan
sekitar. Dengan terkejut mereka mendongak ke arah pria jangkung berwajah muram yang
bersandar di dinding rumah. Pria itu mengangguk ke arah mereka.
“Sangat menarik,” komentarnya.
“Siapa Anda?” gertak Jane.
Kedua mata pria berwajah muram itu berbinar sedikit.
“Detektif Inspektur Farrel,” jawabnya lembut. “Saya sangat tertarik mendengar kisah
Anda dan wanita muda ini. Kita mungkin akan sedikit sulit memercayai kisahnya, kalau
bukan karena satu-dua hal.”
“Seperti misalnya?”
“Hm, begini. Pagi ini kami mendengar Grand Duchess yang asli telah kabur bersama
sopirnya ke Paris.”
Jane ternganga.
“Kemudian kami tahu bahwa ‘bandit perempuan’ Amerika itu telah datang ke negeri ini,
dan kami menyangka akan terjadi kudeta atau semacamnya. Kami akan segera menangkap
mereka, itu bisa saya janjikan. Permisi sebentar.”
Pria itu berlari masuk ke rumah.
“Well!” seru Jane penuh semangat.
“Kurasa Anda cerdas sekali karena memerhatikan sepatu itu,” katanya tiba-tiba.
“Sama sekali tidak,” sahut laki-laki muda itu. “Aku dibesarkan di perusahaan sepatu.
Ayahku semacam raja sepatu bot. Dia ingin aku juga terjun ke dalamnya—menikah dan
menetap, dan seterusnya. Tepatnya, orang biasa-biasa saja—sekadar mengikuti prinsip.
Tapi sebetulnya aku ingin jadi seniman.” Ia menghela napas.
“Aku ikut prihatin,” ujar Jane ramah.
“Aku sudah mencobanya selama enam tahun. Tak pelak lagi. Aku bukan pelukis hebat. Aku
berniat meninggalkan profesi ini dan pulang seperti anak yang hilang itu. Jabatan bagus
sudah menantiku.”
“Senang ya kalau punya pekerjaan,” Jane mengiyakan dengan pandangan menerawang.
“Bisakah Anda mencarikan aku pekerjaan, misalnya mencoba sepatu bot?”
“Aku bisa menawarkan yang lebih baik—kalau Anda mau menerimanya.”
“Oh, apa itu?”
“Jangan pikirkan sekarang. Akan kusampaikan nanti. Anda tahu, sampai kemarin aku belum
juga menemukan gadis yang ingin kunikahi.”
“Kemarin?”
“Di bazar. Kemudian aku melihatnya—satu-satunya si Dia!”
Ia menatap Jane lurus-lurus.
“Alangkah cantiknya bunga-bunga delphinum ini,” ujar Jane tergesa dengan pipi merah
padam.
“Ini bunga lupin,” kata orang muda itu.
“Tidak jadi soal,” bisik Jane.
“Sama sekali tidak,” orang muda itu mengiyakan. Dan ia pun bergeser mendekat.
BUAH BERLIMPAH DI HARI MINGGU
“WAH, sungguh, menurutku ini menyenangkan sekali,” kata Miss Dorothy Pratt untuk
keempat kalinya. “Andai kucing tua itu bisa melihatku sekarang. Dia dan James-nya!”
Julukan “kucing tua” yang disinggung dengan pedas tadi ditujukan pada Mrs. Mackenzie
Jones, majikan Miss Pratt yang terhormat, yang punya pendirian keras tentang nama kecil
mana saja yang sesuai bagi para pramuwisma; ia memilih memanggil Miss Pratt dengan nama
Jane—nama kedua yang tidak disukai Miss Pratt.
Teman Miss Pratt tidak segera menanggapi—alasannya sangat masuk akal. Bila Anda baru
saja membeli mobil Baby Austin, tangan keempat, seharga dua puluh pound, dan baru dua
kali mengendarainya di jalan, seluruh perhatian Anda harus terpusat pada tugas sulit
menggunakan kedua tangan maupun kaki dalam keadaan darurat.
“Hm—ah!” kata Mr. Edward Palgrove sambil mengerem, hingga menimbulkan bunyi derit
mengerikan yang bisa membuat ngilu gigi para pengemudi sejati.
“Hm, kau tidak banyak bicara, ya,” keluh Dorothy.
Mr. Palgrove tidak perlu memberikan jawaban, karena saat itu ia dihujani sumpah serapah
oleh pengemudi bus.
“Wah, kasar sekali,” ujar Miss Pratt sambil membuang muka.
“Coba kalau dia punya rem seperti ini,” ujar sang pacar kesal.
“Apa rem mobilmu bermasalah?”
“Kau bisa injak pedal ini sampai tua,” sahut Mr. Palgrove. “Tapi tidak akan bekerja.”
“Oh, Ted, kau tidak bisa mengharapkan barang bagus untuk dua puluh pound. Bagaimanapun,
kita sudah punya mobil betulan, jalan-jalan keluar kota pada Minggu sore, sama seperti
orang-orang lain.”
Terdengar lagi bunyi derit dan derak memekakkan telinga.
“Ah,” ujar Ted dengan wajah merah penuh kemenangan. “Kedengarannya lebih bagus.”
“Kau benar-benar pandai mengemudi,” ujar Dorothy kagum.
Merasa disemangati oleh pujian itu, Mr. Palgrove mengebut melintasi Hammersmith
Broadway, dan mendapat teguran keras dari polisi.
“Ya ampun,” kata Dorothy, saat mereka meneruskan perjalanan menuju Hammersmith Bridge
dengan terpukul. “Apa sih maunya para polisi itu. Mestinya mereka lebih ramah, apalagi
mereka banyak mendapat sorotan belakangan ini.”
“Lagi pula, aku tidak ingin lewat jalan ini,” sahut Edward sedih. “Aku ingin lewat
Great West Road dan kabur dari situ.”
“Lalu langsung masuk perangkap,” ujar Dorothy. “Itulah yang terjadi pada majikanku
kemarin. Kena denda lima pound, ditambah ongkos.”
“Sebenarnya polisi tidak sejelek itu,” bela Edward. “Mereka memang menyerang orangorang kaya. Bukannya membela. Aku kesal memikirkan orang-orang kaya yang bisa begitu
saja membeli beberapa Rolls-Royce tanpa berkedip. Sungguh tidak masuk akal. Aku sama
baiknya dengan mereka.”
“Dan perhiasan mereka,” keluh Dorothy. “Lihat saja toko-toko perhiasan di Bond Street
itu. Berlian, mutiara, dan entah apa lagi! Sedangkan aku cuma punya kalung mutiara
Woolworth.”
Dengan sedih Miss Pratt merenungkan nasibnya. Edward bisa kembali memusatkan perhatian
pada kegiatan mengemudi. Mereka berhasil melintasi Richmond dengan aman. Perdebatan
dengan polisi tadi telah menciutkan nyali Edward. Sekarang ia mengambil taktik yang
paling tidak berisiko, yaitu mengikuti saja setiap mobil di depannya, setiap kali
muncul kesempatan di tengah ramainya lalu lintas.
Demikianlah, ia tiba di jalan pedesaan yang sangat didambakan banyak pengendara mobil.
“Ternyata aku cukup cerdas juga bisa menemukan jalan ini,” Edward memuji dirinya
sendiri.
“Bagus sekali jalanan ini,” sahut Miss Pratt. “Dan astaga, di sana ada penjual buah
juga.”
Benar saja, di sebuah sudut terlihat meja kecil dengan keranjang buah di atasnya, dan
spanduk bertulisan MAKANLAH LEBIH BANYAK BUAH.
“Berapa?” tanya Edward khawatir, setelah menarik rem tangan berkali-kali agar mobilnya
berhenti.
“Buah arbeinya cantik,” ujar si penjual.
Orang itu penampilannya tidak menyenangkan, dan suka mengerling.
“Cocok sekali untuk Madam. Buah masak, baru dipetik. Ada buah ceri juga. Asli Inggris.
Anda mau sekeranjang ceri, Madam?”
“Kelihatannya cukup menarik,” ujar Dorothy.
“Tepatnya, sangat cantik,” sahut laki-laki itu dengan suara parau. “Keranjang itu
membawa keberuntungan, Madam.” Akhirnya ia mau menjawab pertanyaan Edward. “Dua
shilling, Sir, sangat murah. Anda pasti akan berkata begitu bila tahu isi keranjang
ini.”
“Kelihatannya menarik sekali,” kata Dorothy.
Edward menghela napas dan membayar dua shilling. Benaknya sibuk menghitung. Sesudah ini
minum teh, beli bensin—kegiatan bermobil hari Minggu ini tidak bisa dikatakan murah,
ini bagian terburuk dalam mengajak pergi gadis-gadis! Mereka selalu menginginkan apa
pun yang mereka lihat.
“Terima kasih, Sir,” ujar laki-laki dengan penampilan tidak menawan tadi. “Di dalam
keranjang ceri itu ada sesuatu yang nilainya melebihi harga yang Anda bayar.”
Edward menginjak pedal dengan keras, dan sang Baby Austin melonjak ke arah penjual
ceri, bagaikan anjing marah.
“Maaf,” kata Edward. “Saya lupa persnelingnya masuk.”
“Kau harus lebih hati-hati, Sayang,” ujar Dorothy. “Kau bisa mencelakai dia.”
Edward tidak menjawab. Sekitar tujuh ratus meter kemudian, mereka tiba di lokasi ideal
di tepi sungai kecil. Austin itu ditinggalkan di tepi jalan, sedangkan Edward dan
Dorothy duduk-duduk di tepi sungai sambil mengunyah ceri. Di kaki mereka tergeletak
koran Minggu.
“Ada berita apa?” kata Edward akhirnya, sambil meregangkan tubuh dan berbaring
telentang, serta menutupi matanya dengan topi.
Dorothy membaca sekilas judul-judul berita utama.
“Istri yang Malang. Kisah Luar Biasa. Minggu Lalu Dua Puluh Delapan Orang Tenggelam.
Laporan Kematian Pilot. Perampokan Perhiasan yang Menggemparkan. Kehilangan Kalung Batu
Delima Senilai Lima Puluh Ribu Pound. Oh, Ted! Lima puluh ribu pound. Bayangkan saja!”
Dorothy terus membaca. “Kalung tersebut terbuat dari dua puluh satu butir batu delima
dengan ikatan platina, dan dikirim dengan pos tercatat dari Paris. Setiba di alamat,
bingkisan itu ternyata hanya berisi beberapa butir batu kerikil, sedangkan kalung itu
sendiri raib.”
“Dicuri di pos,” ujar Edward. “Aku percaya pos di Prancis memang brengsek.”
“Aku ingin bisa melihat kalung seperti itu,” kata Dorothy. “Berkilau bagai tetes-tetes
darah—darah merpati, mereka menamakannya begitu. Aku penasaran, seperti apa rasanya
punya benda seperti itu melingkar di leher.”
“Hm, kau sepertinya takkan pernah tahu, gadisku,” canda Edward.
Dorothy membuang muka.
“Mengapa tidak? Hebat ya, gadis-gadis yang bisa berhasil dalam hidup. Aku mungkin akan
jadi bintang panggung.”
“Gadis-gadis yang tahu menjaga sikap takkan pernah bisa sukses,” kata Edward
mengecilkan hati.
Dorothy sudah membuka mulut untuk menjawab, tapi menahan diri, lalu bergumam, “Tolong
cerinya.”
“Aku sudah makan lebih banyak daripadamu,” komentar Dorothy. “Aku akan membagi yang
tersisa dan... wah, apa itu di dasar keranjang?”
Sementara berbicara, ia mengeluarkannya—seuntai kalung batu delima merah darah.
Mereka berdua menatap takjub.
“Katamu tadi di dalam keranjang?” Edward akhirnya berkata.
Dorothy mengangguk.
“Di dasarnya—di bawah buah ceri.”
Lagi-lagi mereka saling menatap.
“Menurutmu bagaimana kalung ini bisa berada di situ?”
“Tak bisa kubayangkan. Sungguh aneh, Ted, tepat sesudah membaca beritanya di koran—
tentang batu-batu delima itu.”
Edward tertawa.
“Kau tidak membayangkan sedang memegang lima puluh ribu pound, bukan?”
“Aku cuma bilang sungguh aneh. Batu delima dengan ikatan platina. Platina adalah logam
berwarna keperakan—seperti ini. Alangkah gemerlapnya, dan warnanya sangat cantik, kan?
Ada berapa butir batu delima di kalung ini, ya?” Dorothy menghitung. “Aduh, Ted,
ternyata tepat dua puluh satu butir.”
“Tidak!”
“Ya! Jumlah yang sama dengan yang ditulis di koran. Oh, Ted, apa menurutmu...”
“Mungkin saja.” Tapi ia mengucapkannya dengan ragu. “Ada satu cara untuk mengetahuinya—
dengan menggoreskannya di kaca.”
“Itu kan untuk menguji berlian. Tapi, Ted, pria tadi terlihat aneh—si penjual buah—
kelihatannya jahat. Dan anehnya, dia bilang di dalam keranjang ini ada sesuatu yang
nilainya melebihi harga yang kita bayar.”
“Ya, tapi, Dorothy, untuk apa dia memberi kita lima puluh ribu pound lebih?”
Miss Pratt menggeleng dengan kecil hati.
“Sepertinya memang tidak masuk akal,” akunya. “Kecuali bila polisi sedang mengejarnya.”
“Polisi?” Wajah Edward langsung pucat.
“Ya. Di koran tertulis ‘polisi menemukan petunjuk’.”
Edward berkeringat dingin.
“Aku tidak menyukai urusan ini, Dorothy. Bagaimana kalau polisi menangkap kita.”
Dorothy menatapnya melongo.
“Tapi kita tidak melakukan apa-apa, Ted. Kita menemukannya di dalam keranjang.”
“Dan kisah itu akan terdengar konyol! Tidak mungkin.”
“Memang agak tidak mungkin,” Dorothy mengakui. “Oh, Ted, apa menurutmu kalung ini benar
yang ITU? Seperti dongeng saja!”
“Menurutku ini bukan dongeng,” sergah Edward. “Bagiku, ini lebih mirip cerita tentang
pahlawan yang dijebloskan ke penjara Dartmoor selama empat belas tahun karena tuduhan
yang tidak adil.”
Tapi Dorothy tidak mendengarkan. Ia telah memasang kalung itu di lehernya dan mengagumi
penampilannya di cermin kecil yang diambilnya dari tas.
“Sama seperti yang dikenakan seorang duchess,” gumamnya bahagia.
“Aku tidak mau percaya,” ujar Edward keras. “Batu-batu itu cuma imitasi. Pasti
imitasi.”
“Benar, Sayang,” kata Dorothy, masih terkagum-kagum pada pantulan dirinya di cermin.
“Mungkin sekali.”
“Kemungkinan lain akan terlalu kebetulan.”
“Darah merpati,” gumam Dorothy.
“Ini benar-benar gila. Gila. Dengar, Dorothy, kau mendengarkan kata-kataku atau tidak?”
Dorothy menyingkirkan cerminnya. Ia menoleh pada Edward, salah satu tangannya membelai
batu-batu delima yang melingkari lehernya.
“Bagaimana penampilanku?”
Edward menatapnya, kegalauannya terlupakan. Ia belum pernah melihat Dorothy seperti
ini. Ada aura kemenangan yang melingkupinya, semacam kecantikan agung yang baru pertama
kali ini dilihatnya. Keyakinan bahwa dirinya mengenakan kalung senilai lima puluh ribu
pound telah menyulap Dorothy Pratt menjadi wanita baru. Ia tampak tenang sekaligus
angkuh, semacam gabungan Cleopatra, Semiramis, dan Zenobia.
“Kau tampak... kau tampak... memesona,” ujar Edward khidmat.
Dorothy tertawa, gelaknya pun sangat berbeda.
“Dengar,” kata Edward. “Kita harus bertindak. Kita harus membawa kalung itu ke kantor
polisi.”
“Omong kosong,” sergah Dorothy. “Kau sendiri tadi bilang mereka takkan memercayaimu.
Kau mungkin akan dipenjara atas tuduhan mencurinya.”
“Tapi... tapi apa lagi yang bisa kita lakukan?”
“Menyimpannya,” ujar Dorothy Pratt yang baru.
Edward menatapnya nanar.
“Menyimpannya? Kau sudah gila.”
“Kita menemukannya, kan? Jadi, mengapa kita harus menganggap kalung ini berharga? Kita
akan menyimpannya, dan aku akan mengenakannya.”
“Dan polisi akan menangkapmu.”
Dorothy mempertimbangkan kemungkinan ini sejenak.
“Baiklah,” katanya. “Kita akan menjualnya. Dan kau bisa membeli satu mobil Rolls-Royce,
atau dua, aku akan membeli perhiasan berlian dan beberapa cincin.”
Edward masih saja melotot. Dorothy tidak sabar lagi.
“Ini kesempatan—terserah kau mau mengambilnya atau tidak. Kita tidak mencurinya—aku
takkan mau mencuri. Kalung ini datang sendiri pada kita, dan boleh jadi inilah satusatunya kesempatan kita memperoleh semua hal yang kita dambakan. Apa kau tidak punya
nyali sedikit pun, Edward Palgrove?”
Edward akhirnya mampu berbicara kembali.
“Menjualnya, katamu? Tidak semudah yang kausangka. Setiap tukang emas pasti ingin tahu
dari mana aku mendapatkan benda mewah ini.”
“Kau tidak perlu membawanya ke tukang emas. Apa kau tidak pernah membaca cerita
detektif, Ted? Kau harus membawanya ke ‘tukang tadah’, tentu saja.”
“Dan bagaimana aku bisa kenal tukang tadah? Aku dibesarkan dalam keluarga baik-baik.”
“Laki-laki harus tahu segalanya,” ujar Dorothy. “Untuk itulah mereka ada.”
Edward menatap Dorothy. Gadis ini tetap tenang dan tidak mau menyerah.
“Aku tidak percaya kau bisa berkata begitu,” ujar Edward lesu.
“Kusangka kau punya lebih banyak keberanian.”
Hening sejenak. Kemudian Dorothy bangkit berdiri.
“Nah,” ujarnya ringan. “Sebaiknya kita pulang.”
“Sambil mengenakan kalung itu di lehermu?”
Dorothy melepaskan kalung itu, menatapnya khidmat, lalu memasukkannya ke dalam tas.
“Sini,” kata Edward. “Berikan kalung itu padaku.”
“Tidak.”
“Ya, harus. Aku dibesarkan sebagai orang jujur, gadis manisku.”
“Silakan melanjutkan sikap jujurmu. Kau tidak perlu berurusan dengan kalung ini.”
“Ayolah, berikan padaku,” kata Edward serampangan. “Biar aku saja yang melakukannya.
Aku akan menemukan tukang tadah. Seperti katamu tadi, inilah satu-satunya kesempatan
kita. Kita mendapatkannya dengan jujur—membelinya seharga dua shilling. Sama seperti
orang-orang terhormat yang membanggakan perolehan mereka dari belanja di toko antik.”
“Itu dia!” seru Dorothy. “Oh, Edward, kau benar-benar hebat!”
Dorothy menyerahkan kalung itu, dan Edward memasukkannya ke sakunya. Edward merasa
bergelora, agung, dan sangat jantan! Dalam suasana seperti inilah ia menstarter Austinnya. Keduanya terlampau tegang untuk mengingat teh. Mereka kembali ke London dalam
diam. Di salah satu persimpangan jalan, seorang polisi melangkah menuju mobil mereka,
dan jantung Edward berdegup keras. Sungguh ajaib mereka bisa sampai dengan selamat.
Kata-kata perpisahan Edward pada Dorothy masih diilhami semangat petualangan.
“Kita akan membereskannya. Lima puluh ribu pound! Memang sepadan!”
Malam itu ia bermimpi tentang panah-panah besar dan penjara Dartmoor, terbangun di pagi
buta dengan mata cekung dan lesu. Ia harus keluar mencari tukang tadah—dan ia sama
sekali tidak tahu caranya!
Ia melaksanakan tugas di kantor dengan teledor, dan sebelum makan siang ia sudah kena
teguran keras dua kali.
Bagaimana cara menemukan tukang tadah? Edward berpendapat Whitechapel lingkungan yang
tepat—atau mungkin Stepney?
Setiba kembali di kantor, ada panggilan telepon untuknya. Terdengar suara Dorothy—
tragis dan penuh air mata.
“Kaukah itu, Ted? Aku menggunakan telepon majikanku, dan dia bisa masuk setiap saat.
Aku harus berhenti bicara. Ted, kau belum melakukan apa pun, kan?”
Edward menjawab belum.
“Nah, dengarkan, Ted, jangan lakukan. Sepanjang malam tadi aku tidak bisa tidur. Benarbenar menyedihkan. Aku terus memikirkan ayat di Alkitab yang mengatakan kita tidak
boleh mencuri. Aku pasti sudah gila kemarin—pasti. Kau takkan melakukan apa pun, benar
kan, Ted, Sayang?”
Apakah Mr. Palgrove merasa lega? Mungkin saja—tapi ia takkan mau mengakuinya begitu
saja.
“Kalau aku bilang akan membereskan sesuatu, aku akan melakukannya,” ujarnya dengan nada
seperti Superman perkasa dan tatapan mata sekeras baja.
“Oh, tapi, Ted, Sayang, jangan lakukan. Oh, Tuhan, dia datang. Dengar, Ted, nanti dia
akan makan malam di luar. Aku bisa menyelinap keluar dan menemuimu. Jangan lakukan apa
pun sampai kau berjumpa denganku. Jam delapan malam. Tunggu aku di sudut jalan.” Suara
Dorothy berubah lembut. “Ya, Ma’am, saya rasa teleponnya salah sambung. Yang
diinginkan, adalah Bloomsbury 0234.”
Ketika Edward meninggalkan kantor pada pukul enam sore, sebuah judul berita utama
menarik perhatiannya.
PERAMPOKAN PERHIASAN.
PERKEMBANGAN TERAKHIR
Dengan tergesa ia menyodorkan uang satu penny. Terlindung aman dalam kereta api Tube,
setelah berhasil mendapatkan tempat duduk dengan gesit, ia membaca korannya dengan
teliti. Dengan mudah ia mendapatkan apa yang dicarinya.
Sebuah siulan tertahan lolos dari bibirnya.
“Ya... ampun...”
Kemudian alinea lain yang berdekatan menarik perhatiannya. Selesai membaca berita itu,
ia menjatuhkan korannya ke lantai.
Tepat pukul delapan malam, Edward sudah menanti di tempat sesuai janji. Dorothy yang
terengah-engah, tampak pucat namun cantik, bergegas menemuinya.
“Kau belum melakukan apa-apa, Ted?”
“Aku belum melakukan apa pun.” Ia mengeluarkan kalung batu delima itu dari sakunya.
“Kau boleh mengenakannya.”
“Tapi, Ted...”
“Polisi sudah menemukan batu-batu delima itu—termasuk orang yang mencurinya. Sekarang
bacalah ini!”
Edward menyodorkan sehelai guntingan koran ke bawah hidung Dorothy yang lalu
membacanya,
TRIK PERIKLANAN GAYA BARU
Sebuah siasat periklanan baru yang cerdik telah dijalankan oleh All-English Fivepenny
Fair yang berniat menantang perusahaan Woolworth yang terkenal itu. Kemarin telah
dijual sejumlah keranjang buah yang selanjutnya akan dijual setiap hari Minggu. Dalam
setiap lima puluh keranjang, salah satunya berisi kalung terbuat dari berbagai batu
permata imitasi. Untuk harga yang dipungut, kalung-kalung ini sangat indah. Kemarin
sambutan yang diperoleh sungguh sangat meriah, dan hari Minggu depan, semboyan MAKANLAH
LEBIH BANYAK BUAH akan menjadi mode yang digemari. Kami mengucapkan selamat pada
Fivepenny Fair atas ide mereka, dan mendoakan sukses besar bagi kampanye mereka untuk
Membeli Barang-Barang Asli Inggris.
“Well...” ujar Dorothy.
Dan sesaat kemudian, “Well!”
“Ya,” kata Edward. “Aku merasakan hal yang sama.”
Seorang pria yang melintas memberikan sehelai kertas pada Edward.
“Ambillah selembar, saudaraku,” ujarnya.
“Perempuan yang saleh lebih berharga daripada permata batu delima.”
“Nah!” kata Edward. “Kuharap ini bisa membangkitkan semangatmu.”
“Entahlah,” sahut Dorothy ragu. “Aku tidak begitu ingin tampak seperti perempuan
saleh.”
“Memang tidak,” ujar Edward. “Itu sebabnya laki-laki itu memberikan kertas ini padaku.
Dengan rentetan batu delima yang melingkari lehermu itu, kau sama sekali tidak tampak
seperti perempuan saleh.”
Dorothy tertawa.
“Kau memang manis, Ted,” ujarnya. “Ayo, mari kita pergi menonton bioskop.”
PETUALANGAN MR. EASTWOOD
Mr. EASTWOOD menatap langit-langit. Setelah itu ia menunduk menatap lantai. Dari situ
matanya perlahan-lahan beralih ke dinding kanan. Kemudian dengan mendadak ia kembali
memusatkan perhatian pada mesin tik di hadapannya.
Lembaran kertas putih bersih itu hanya dinodai sebuah judul dengan huruf-huruf besar.
MISTERI MENTIMUN KEDUA. Judul yang menarik. Anthony Eastwood merasa siapa pun yang
membaca judul itu pasti tergugah rasa ingin tahunya dan terpukau. “Misteri Mentimun
Kedua,” mereka akan berkata. “Tentang apa gerangan isi ceritanya? Sebuah mentimun?
Mentimun kedua? Aku harus membaca cerita ini.” Mereka akan tergetar dan terpukau pada
keahlian sempurna pakar kisah fiksi detektif ini dalam merajut alur cerita yang seru
seputar buah yang sederhana ini.
Bagus sekali. Anthony Eastwood tahu seperti apa kisah itu seharusnya—masalahnya, ia
tidak mampu meneruskannya. Dua unsur penting dalam cerita adalah judul dan alurnya—
sisanya sekadar pekerjaan persiapan. Adakalanya judulnya sendiri akan membawa penulis
pada alurnya, dan selanjutnya semua berjalan lancar—tapi dalam kasus ini, judul tadi
tetap saja menghiasi bagian atas lembaran kertas, sedangkan sisanya tetap kosong tanpa
alur cerita.
Lagi-lagi tatapan mata Anthony Eastwood terarah pada langit-langit, lantai, dan kertas
pelapis dinding, mencari ilham, namun tetap saja tidak ada hasilnya.
“Aku akan memberi nama Sonia pada tokoh wanitanya,” gumam Anthony untuk menyemangati
dirinya. “Sonia atau mungkin Dolores—dengan kulit putih bersih bagaikan gading—bukan
pucat karena kesehatan yang buruk, dan mata sedalam telaga yang tak terukur. Tokoh
prianya kunamai George, atau mungkin John—nama singkat dan khas Inggris. Kemudian ada
si tukang kebun—kurasa dalam kisah ini harus ada tukang kebunnya, karena bagaimanapun,
alurnya tentang mentimun—tukang kebun itu bisa saja orang Skotlandia, dan kelewat
pesimis memikirkan datangnya es yang terlalu dini.”
Adakalanya metode seperti ini membawa hasil, tapi pagi ini, cara itu sepertinya sia-sia
saja. Meskipun Anthony bisa melihat tokoh-tokoh Sonia, George, dan tukang kebun yang
menggelikan itu dengan cukup jelas, mereka tidak menunjukkan minat sedikit pun untuk
bergerak aktif dan melakukan berbagai hal.
“Aku bisa saja menggantinya dengan pisang,” pikir Anthony putus asa. “Atau selada, atau
toge Brussel—toge Brussel, bagaimana kira-kira? Kode rahasia yang cocok untuk Brussels—
surat obligasi curian—Baron dari Belgia yang menakutkan.”
Untuk sesaat secercah cahaya seakan menampakkan diri, tapi setelah itu padam kembali.
Baron Belgia itu tak mau terwujud, dan tiba-tiba Anthony teringat bahwa es yang datang
terlalu dini dan mentimun adalah dua hal yang bertentangan, tidak bakal cocok dengan
komentar-komentar lucu yang diucapkan si tukang kebun Skotlandia itu.
“Oh! Sialan!” umpat Mr. Eastwood.
Ia bangkit berdiri dan menyambar koran Daily Mail. Mungkin saja ada yang terbunuh
dengan cara begitu rupa, hingga mampu memberikan inspirasi pada penulis yang setengah
mati membutuhkan inspirasi. Tapi berita hari ini ternyata hanya berkisar soal politik
dan kejadian-kejadian di luar negeri. Mr. Eastwood melemparkan korannya dengan kesal.
Berikutnya, sambil menyambar sebuah novel dari meja, ia memejamkan mata dan menudingkan
jari ke salah satu halamannya. Kata yang kena tunjuk oleh jarinya adalah “domba”. Saat
itu juga dengan kecemerlangan menakjubkan seluruh kisah pun terbentang di benak Mr.
Eastwood. Gadis cantik—kekasihnya tewas di medan perang, dengan linglung menggembalakan
domba di pegunungan Skotlandia—pertemuan mistis dengan arwah kekasihnya, efek akhir
dengan domba dan cahaya bulan seperti dalam film pemenang Oscar dan sang gadis
tergeletak mati di salju, serta sepasang jejak kaki menuju...
Ini akan menjadi kisah yang indah. Anthony keluar dari lamunan itu sambil menghela
napas dan menggeleng sedih. Ia tahu betul editornya takkan mau menerima kisah semacam
itu—seindah apa pun jadinya. Jenis kisah yang diinginkannya dan bersikeras harus
diterimanya (dan rela dibayarnya cukup mahal), harus bercerita tentang wanita-wanita
berkulit gelap yang misterius, ditikam tepat di jantung, tokoh muda yang salah dituduh,
misteri yang terbongkar mendadak dan menetapkan kesalahan pada orang yang paling tak
terduga, melalui petunjuk-petunjuk yang sangat tidak memadai—jelasnya, MISTERI MENTIMUN
KEDUA.
“Meskipun,” renung Anthony, “taruhan sepuluh lawan satu, dia akan mengubah judulnya
dengan sesuatu yang jelek, misalnya Pembunuhan Paling Keji, tanpa meminta pendapatku!
Oh, terkutuklah telepon itu.”
Dengan marah ia melangkah menuju pesawat itu dan mengangkat gagangnya. Dalam satu jam
terakhir ini sudah dua kali ia harus menerima panggilan telepon—sekali salah sambung,
dan sekali undangan makan malam dari wanita tokoh masyarakat yang sangat dibencinya,
tapi terlampau keras kepala untuk dikalahkan.
“Halo!” bentaknya kasar.
Suara seorang wanita menjawabnya dengan aksen asing yang lembut.
“Kaukah ini, sayangku?” ujarnya lembut.
“Hm—anu—saya tidak tahu,” jawab Mr. Eastwood hati-hati. “Siapa ini?”
“Ini aku. Carmen. Dengar, Sayang. Aku sedang dikejar-kejar—dalam bahaya—kau harus
segera datang. Ini soal hidup dan mati.”
“Maaf,” sahut Mr. Eastwood sopan. “Saya khawatir Anda salah...”
Wanita itu memotong pembicaraannya sebelum ia sempat mengakhirinya.
“Madre de Dios! Mereka sudah datang. Kalau mereka tahu apa yang kukerjakan, mereka akan
membunuhku. Jangan kecewakan aku. Datanglah segera. Aku akan mati bila kau tidak
datang. Kau tahu kan, 320 Kirk Street. Kata sandinya adalah mentimun... Sst...”
Mr. Eastwood mendengar bunyi klik saat wanita itu meletakkan gagang teleponnya.
“Celaka,” ujar Mr. Eastwood terheran-heran.
Ia melangkah ke kaleng tembakaunya, lalu mengisi pipanya dengan hati-hati.
Ia merenung. “Kurasa itu efek bawah sadarku. Dia tak mungkin berkata mentimun. Seluruh
urusan ini luar biasa. Apa dia tadi berkata mentimun, atau tidak?”
Ia berjalan mondar-mandir dengan ragu.
“320 Kirk Street. Apa artinya semua ini? Wanita itu menunggu kedatangan laki-laki lain.
Kata sandinya adalah mentimun—oh, tidak mungkin, benar-benar gila—ini pasti halusinasi
otakku yang sibuk.”
Dengan kesal ia menatap mesin tiknya.
“Aku ingin tahu, apa manfaatmu? Aku sudah memelototimu sepanjang pagi, dan tidak
mendapat apa-apa. Penulis harus mendapatkan alur cerita dari kehidupan nyata—kehidupan
nyata, kaudengar? Sekarang aku akan keluar untuk mendapatkannya.”
Ia mengenakan topi, menatap penuh sayang pada koleksi porselen antiknya, dan keluar
meninggalkan apartemen.
Kirk Street, seperti diketahui kebanyakan penduduk London, adalah jalan yang panjang
dan berkelok-kelok, sarat dengan toko-toko barang antik, tempat segala macam barang
tiruan ditawarkan dengan harga tinggi. Selain itu ada juga toko-toko kuningan tua,
toko-toko gelas, toko barang bekas, dan pedagang pakaian bekas.
Bangunan No. 320 digunakan untuk menjual gelas-gelas kuno. Segala macam pecah-belah
dipajang berlimpah di situ. Anthony terpaksa bergerak dengan sangat hati-hati saat
melangkah di lorong yang diapit rak-rak penuh gelas anggur dan berbagai tempat lilin
gantung yang berayun-ayun berkilauan di atas kepalanya. Seorang wanita tua renta sedang
duduk di bagian belakang toko itu. Ia memiliki kumis tipis yang bisa membuat iri banyak
pemuda, dan perilaku kasar.
Ia menatap Anthony, lalu berkata, “Bagaimana?” dengan suara menakutkan.
Anthony termasuk orang muda yang agak mudah dibuat gugup. Ia langsung menanyakan harga
beberapa gelas yang digadaikan.
“Empat puluh lima shilling untuk setengah lusin.”
“Oh, begitu,” ujar Anthony. “Lumayan bagus. Kalau yang ini berapa?”
“Itu gelas-gelas cantik, keluaran Waterford. Aku akan melepas sepasang dengan harga
delapan belas guinea.”
Mr. Eastwood merasa ia mencari masalah saja. Sebentar lagi ia akan membeli sesuatu
karena terhipnotis oleh mata tajam perempuan tua yang menakutkan itu. Namun ia tidak
mampu meninggalkan toko itu.
“Bagaimana dengan yang itu?” ia bertanya sambil menunjuk sebuah tempat lilin gantung.
“Tiga puluh lima guinea.”
“Ah!” ujar Mr. Eastwood dengan menyesal. “Itu sedikit di atas kemampuanku.”
“Apa yang Anda inginkan?” tanya perempuan tua itu. “Sesuatu untuk hadiah pernikahan?”
“Tepat sekali,” Anthony menyambar alasan itu. “Tapi barang-barang ini tidak begitu
cocok.”
“Ah, begitu,” kata wanita tua itu sambil bangkit dengan tekad bulat. “Pecah-belah kuno
yang cantik pasti cocok untuk siapa pun. Di sini ada beberapa karaf anggur antik—dan
itu perangkat liqueur mungil manis yang pasti cocok bagi pengantin...”
Selama sepuluh menit berikutnya Anthony merasa tersiksa. Perempuan tua itu seolah
menguasainya. Setiap hasil karya seni pembuat gelas berjajar di depan matanya. Ia
merasa putus asa.
“Indah sekali, sangat indah,” pujinya asal-asalan sambil meletakkan gelas anggur besar
yang disodorkan di depan hidungnya. Akhirnya ia cepat-cepat bertanya, “Maaf, apa di
sini ada telepon?”
“Tidak ada. Anda bisa menelepon dari kantor pos di seberang. Nah, Anda mau yang mana,
gelas anggur yang besar ini—atau gelas minum antik ini?”
Karena ia bukan perempuan, Anthony tidak tahu cara meninggalkan toko secara halus tanpa
membeli apa pun.
“Lebih baik saya ambil perangkat liqueur itu,” jawabnya muram.
Sepertinya itulah barang terkecil. Ia sudah sangat ketakutan bila sampai harus membeli
tempat lilin itu.
Dengan sedih ia membayar barang belanjaannya. Kemudian, saat wanita tua itu sedang
membungkusnya, mendadak keberaniannya muncul kembali. Lagi pula, wanita itu palingpaling akan menganggapnya eksentrik saja; selain itu, peduli amat apa yang
dipikirkannya.
“Mentimun,” kata Anthony, jelas dan tegas.
Perempuan tua itu langsung berhenti membungkus.
“Eh? Apa kata Anda tadi?”
“Tidak ada,” Anthony berdusta.
“Oh! Kusangka Anda tadi berkata mentimun.”
“Memang benar,” sahut Anthony menantang.
“Nah,” ujar perempuan itu. “Mengapa tidak Anda katakan sejak tadi? Membuang-buang
waktuku saja. Lewat pintu di sana itu dan langsung naik. Dia sedang menunggu Anda.”
Bagaikan dalam mimpi, Anthony masuk lewat pintu yang ditunjuk, dan naik melalui tangga
yang luar biasa kotor. Di ujung tangga ada pintu yang terbuka lebar menuju ruang duduk
sempit.
Seorang gadis duduk di kursi sambil menatap pintu, wajahnya menyiratkan penantian penuh
harap.
Gadis yang sangat luar biasa! Kulitnya mulus bagaikan gading yang telah begitu sering
digambarkan Anthony dalam karya tulisnya. Dan matanya! Mata yang sangat luar biasa!
Sekilas lihat saja langsung tampak ia bukan gadis Inggris. Ia memiliki penampilan
eksotis asing yang bahkan terlihat dari kesederhanaan gaunnya.
Anthony berdiri terpaku di pintu, sedikit malu-malu. Saat untuk menjelaskan duduk
perkara sepertinya sudah tiba. Tapi dengan pekik gembira gadis itu bangkit berdiri dan
menghambur ke dalam pelukan Anthony.
“Kau sudah datang,” isaknya. “Kau sudah datang. Oh, syukurlah. Syukurlah.”
Anthony, yang tidak pernah mau kehilangan kesempatan, mengulang pernyataan itu dengan
sungguh-sungguh. Akhirnya gadis itu melepaskan diri dan menatap wajah Anthony dengan
sikap malu-malu yang memesona.
“Aku tidak bakal bisa mengenali Anda,” kata gadis itu. “Sungguh.”
“Begitu?” ujar Anthony lemah.
“Tidak, bahkan mata Anda tampak berbeda—dan Anda sepuluh kali lebih tampan daripada
yang kubayangkan.”
“Benar?”
Namun dalam hatinya Anthony berkata, “Tenang, Bung, tenang. Situasinya berkembang
dengan bagus, tapi jangan sampai lupa daratan.”
“Bolehkah aku mencium Anda lagi?”
“Tentu saja,” jawab Anthony bersemangat. “Sesering yang Anda mau.”
Terjadilah selingan yang sangat menyenangkan.
“Siapa gerangan aku ini?” pikir Anthony. “Mudah-mudahan saja orang yang sebenarnya
tidak muncul. Alangkah cantiknya gadis ini.”
Mendadak gadis itu menjauh, dan di wajahnya terbayang ketakutan.
“Anda tidak diikuti kemari?”
“Astaga, tidak.”
“Ah, tapi mereka sangat licik. Aku kenal betul mereka. Boris benar-benar iblis.”
“Aku akan segera membereskan Boris untuk Anda.”
“Anda sangat berani—ya, seperti singa. Sedangkan mereka busuk semuanya—mereka semua.
Dengar, celakalah aku! Mereka pasti akan membunuhku kalau tahu. Aku takut—aku tidak
tahu harus berbuat apa, kemudian aku teringat Anda... Ssst, bunyi apa itu?”
Bunyi itu berasal dari toko di bawah. Sambil memberi isyarat agar Anthony tetap di
tempat, ia berjingkat keluar menuju tangga. Ia kembali dengan wajah pucat dan mata
terbelalak.
“Madre de Dios! Polisi. Mereka sedang menuju kemari. Anda punya pisau? Atau pistol?
Yang mana?”
“Nona manis, Anda tidak benar-benar berharap aku membunuh polisi, kan?”
“Oh, tapi Anda gila—gila! Mereka akan membawa dan menggantung Anda sampai mati.”
“Mereka akan apa?” ujar Mr. Eastwood merinding.
Terdengar langkah-langkah kaki di tangga.
“Mereka datang,” bisik gadis itu. “Sangkal semuanya. Ini satu-satunya harapan kita.”
“Itu cukup mudah,” Mr. Eastwood mengakui, sotto voce.
Sesaat kemudian masuklah dua pria. Mereka mengenakan pakaian biasa, tapi memiliki sikap
resmi yang menunjukkan hasil pelatihan panjang. Pria yang lebih kecil berkulit gelap
dan memiliki mata kelabu tenang, dan ia bertindak sebagai juru bicara.
“Saya menahan Anda, Conrad Fleckman,” katanya, “atas tuduhan membunuh Anna Rosenburg.
Apa pun yang Anda katakan akan digunakan sebagai bukti melawan Anda. Ini surat perintah
saya, dan sebaiknya Anda ikut dengan tenang.”
Gadis itu terpekik. Anthony melangkah maju sambil tersenyum tenang.
“Anda keliru, Opsir,” ujarnya ramah. “Nama saya Anthony Eastwood.”
Kedua detektif itu sama sekali tidak terpengaruh oleh pernyataan tersebut.
“Conrad,” tangis gadis itu. “Conrad, jangan biarkan mereka membawamu.”
Anthony menatap kedua detektif itu.
“Saya yakin Anda mengizinkan saya berpamitan pada nona ini?”
Dengan sikap lebih sopan daripada yang diharapkan Anthony, kedua pria itu beranjak ke
pintu. Anthony menarik gadis itu ke sudut ruangan dekat jendela, dan berbisik cepat
padanya.
“Dengar. Apa yang saya katakan tadi memang benar. Saya bukan Conrad Fleckman. Waktu
Anda menelepon tadi pagi, mereka pasti salah menyambungkan. Nama saya Anthony Eastwood.
Saya datang menanggapi permintaan Anda—nah, jadi saya datang.”
Gadis itu menatapnya tak percaya.
“Jadi, Anda bukan Conrad Fleckman?”
“Bukan.”
“Oh!” tangisnya putus asa. “Padahal aku telah mencium Anda!”
“Tidak mengapa,” Mr. Eastwood menenangkannya. “Kebiasaan itu sudah ada sejak zaman
dulu. Cukup masuk akal. Sekarang dengarkan, saya akan mengurus kedua orang itu. Saya
akan segera membuka identitas saya. Sementara itu, mereka takkan mengganggu Anda, dan
Anda bisa memperingatkan Conrad Anda. Setelah itu...”
“Ya?”
“Hm—cuma ini. Nomor telepon saya Northwestern 1743—dan perhatikan, jangan sampai mereka
menyambungkan ke nomor yang keliru.”
Gadis itu menatapnya dengan pandangan memikat, setengah menangis, setengah tersenyum.
“Aku takkan lupa—sungguh, aku takkan lupa.”
“Baiklah kalau begitu. Selamat tinggal. Begini...”
“Ya?”
“Omong-omong tentang kebiasaan mencium... cium sekali lagi boleh juga, kan?”
Gadis itu melingkarkan kedua lengannya di leher Anthony. Bibirnya sekadar menyentuh
bibir Anthony.
“Aku benar-benar menyukai Anda—ya, aku benar-benar menyukai Anda. Apa pun yang terjadi,
Anda akan mengingatnya, bukan?”
Dengan enggan Anthony melepaskan diri dari pelukannya dan melangkah ke arah kedua orang
yang menahannya itu.
“Saya siap ikut dengan Anda. Saya rasa Anda tidak akan menahan nona ini, bukan?”
“Tidak, Sir, tidak perlu,” jawab pria kecil itu sopan.
“Para petugas Scotland Yard ini memang sopan santun,” pikir Anthony, sambil mengikuti
mereka menuruni tangga sempit itu.
Perempuan tua itu tidak tampak di toko, tapi Anthony mendengar bunyi napas tersengal di
balik pintu belakang, dan menebak bahwa wanita itu berdiri di baliknya sambil mengamati
kejadian itu dengan hati-hati.
Begitu berada di Kirk Street yang jorok, Anthony menghela napas dalam-dalam, lalu
berbicara pada pria yang lebih kecil.
“Begini, Inspektur—Anda seorang inspektur, bukan?”
“Betul, Sir. Detektif Inspektur Verrall. Dan ini Detektif Sersan Carter.”
“Nah, Inspektur Verrall, sudah tiba saatnya bicara masuk akal—sekaligus mendengarkan.
Saya bukan Conrad. Nama saya Anthony Eastwood seperti sudah saya katakan tadi, dan saya
berprofesi sebagai penulis. Bila Anda bersedia ikut ke apartemen, saya rasa saya bisa
mengungkapkan identitas saya pada Anda.”
Gaya bicara Anthony yang apa adanya sepertinya membuat terkesan kedua detektif itu.
Untuk pertama kalinya terbayang ekspresi ragu di wajah Verrall.
Ternyata Carter lebih sulit diyakinkan.
“Saya yakin itu,” ejeknya. “Tapi Anda tentunya ingat nona tadi memanggil Anda
‘Conrad’.”
“Ah! Itu soal lain. Saya tidak keberatan mengakui pada Anda berdua bahwa karena...
mm... alasan pribadi, di hadapan nona itu saya menyamar sebagai orang bernama Conrad.
Ini persoalan pribadi.”
“Mungkin saja kisah Anda benar,” Carter menimpali. “Tidak, Sir, silakan Anda ikut kami.
Panggil taksi itu, Joe.”
Sebuah taksi yang kebetulan lewat dihentikan, dan ketiga laki-laki itu pun naik.
Anthony mencoba sekali lagi, kali ini ia berbicara pada Verrall yang tampaknya lebih
mudah diyakinkan.
“Dengar, Inspektur yang baik, apa salahnya Anda ikut ke apartemen saya dan membuktikan
bahwa saya tidak berbohong? Anda boleh menggunakan taksinya kalau mau—nah, ini
penawaran yang cukup murah hati, kan? Selisih waktunya takkan sampai lima menit.”
Verrall melemparkan pandangan menyelidik.
“Baiklah,” ujarnya tiba-tiba. “Meskipun aneh, saya percaya Anda tidak berbohong. Kami
juga tidak mau tampak dungu di kantor polisi karena salah menahan orang. Di mana alamat
Anda?”
“Brandenburg Mansions nomor empat puluh delapan.”
Verrall melongokkan kepala ke luar jendela dan meneriakkan alamat itu pada sopir taksi.
Ketiganya duduk dalam diam sampai mereka tiba di tujuan. Carter melompat keluar, dan
Verrall memberi isyarat agar Anthony mengikutinya.
“Tidak perlu canggung,” jelasnya sambil turun dari taksi. “Kita akan masuk dengan
bersahabat, seakan Mr. Eastwood sedang mengajak teman-temannya ke rumah.”
Anthony sangat bersyukur atas usul ini, dan pendapatnya tentang Departemen Investigasi
Kriminal semakin positif saja.
Di ruang depan, mereka cukup beruntung menjumpai Rogers, sang portir. Anthony
menghentikan langkah.
“Ah! Selamat malam, Rogers,” sapanya santai.
“Selamat malam, Mr. Eastwood,” jawab portir itu dengan hormat.
Laki-laki ini suka pada Anthony yang selalu bersikap ramah, tidak seperti para
tetangganya.
Anthony berhenti dengan satu kaki di anak tangga paling bawah.
“Omong-omong, Rogers,” ujarnya santai. “Sudah berapa lama aku tinggal di sini? Aku baru
saja mengobrol soal itu dengan kedua temanku ini.”
“Biar kuingat-ingat, Sir. Kalau tidak salah sudah hampir empat tahun.”
“Tepat seperti dugaanku.”
Anthony melemparkan pandangan penuh kemenangan ke arah kedua detektif tadi. Carter
mendengus, tapi Verrall tersenyum lebar.
“Bagus, tapi belum cukup bagus, Sir,” komentarnya. “Bagaimana kalau kita ke atas?”
Anthony membuka pintu apartemen dengan kuncinya. Ia bersyukur saat teringat bahwa
Seaman, asistennya, sedang keluar. Semakin sedikit saksi yang melihat peristiwa
memalukan ini, semakin baik.
Mesin tiknya masih dalam keadaan sama seperti semula. Carter melangkah ke meja, dan
membaca judul di lembaran kertasnya. “MISTERI MENTIMUN KEDUA,” bacanya dengan suara
muram.
“Cerita yang sedang saya tulis,” jelas Anthony santai.
“Satu poin bagus lagi, Sir,” ujar Verrall sambil mengangguk dengan mata berbinar.
“Omong-omong, kisahnya mengenai apa, Sir? Apa sebenarnya misteri dari mentimun kedua
itu?”
“Ah, tepat sekali,” ujar Anthony. “Mentimun kedua itulah yang menjadi sumber semua
masalah ini.”
Carter menatapnya tajam. Tiba-tiba ia menggeleng dan menepuk dahi.
“Gila, pemuda yang malang,” gumamnya berbisik.
“Nah, Tuan-Tuan,” ujar Mr. Eastwood tegas. “Mari kita mulai. Ini surat-surat yang
ditujukan pada saya, buku tabungan saya, dan surat-surat pemberitahuan dari para
editor. Apa lagi yang Anda inginkan?”
Verrall memeriksa kertas-kertas yang disodorkan Anthony padanya.
“Secara pribadi, Sir,” ujarnya penuh hormat, “saya tidak menginginkan apa-apa lagi.
Saya cukup yakin. Tapi saya tidak bisa memikul tanggung jawab dengan melepaskan Anda
sendiri. Begini, meskipun tampaknya Anda benar-benar sudah tinggal di sini selama
beberapa tahun sebagai Mr. Eastwood, tidak tertutup kemungkinan Conrad Fleckman dan
Anthony Eastwood adalah orang yang sama. Saya terpaksa memeriksa apartemen ini dengan
teliti, mengambil sidik jari Anda, dan menelepon ke kantor pusat.”
“Kelihatannya cukup mendetail,” komentar Anthony. “Saya bisa memastikan Anda bebas
memeriksa setiap rahasia saya.”
Inspektur itu tersenyum lebar. Bagi seorang detektif, ia termasuk pribadi yang sangat
manusiawi.
“Sementara saya sibuk, bisakah Anda pergi ke ruangan kecil di ujung itu bersama Carter,
Sir?”
“Baiklah,” sahut Anthony segan. “Saya rasa tidak ada cara lain, bukan?”
“Maksud Anda?”
“Bagaimana kalau Anda dan saya yang menempati ruangan itu sambil minum wiski dan soda
sementara Sersan, teman kita, melaksanakan pemeriksaan berat ini?”
“Kalau Anda lebih menyukainya, Sir.”
“Saya benar-benar lebih menyukainya.”
Mereka berdua meninggalkan Carter yang memeriksa isi meja tulisnya dengan sangat
teliti. Saat meninggalkan ruangan, mereka mendengarnya mengangkat gagang telepon untuk
menghubungi Scotland Yard.
“Ternyata tidak begitu buruk,” ujar Anthony, sambil duduk nyaman di samping botol-botol
wiski dan soda, setelah memenuhi beberapa permintaan Inspektur Verrall. “Apakah
sebaiknya saya minum lebih dulu, untuk menunjukkan pada Anda bahwa wiski ini tidak
mengandung racun?”
Inspektur itu tersenyum.
“Semua ini memang sangat tidak umum,” komentarnya. “Tapi kami cukup mengenal profesi
kami. Sejak awal saya sudah menyadari bahwa kami berbuat kekeliruan. Tapi sudah tentu
orang harus mengamati semua hal yang umum. Anda tidak bisa menghindari birokrasi,
bukan?”
“Saya rasa tidak,” sahut Anthony menyesal. “Tapi Sersan sepertinya tidak begitu ramah,
betul?”
“Ah, Detektif Sersan Carter sebenarnya orang baik. Dia memang tidak mudah dipengaruhi.”
“Saya sudah melihat itu,” kata Anthony.
“Omong-omong, Inspektur,” tambahnya, “apakah Anda keberatan bila saya mendengar sedikit
tentang diri saya?”
“Dengan cara apa, Sir?”
“Ayolah, tidakkah Anda menyadari bahwa saya sangat ingin tahu? Siapa Anna Rosenburg,
dan mengapa saya membunuhnya?”
“Besok Anda akan membaca beritanya di koran, Sir.”
“Besok saya mungkin kembali jadi Diri Saya Sendiri, sama seperti Kemarin,” ujar
Anthony. “Saya yakin Anda bisa memuaskan rasa ingin tahu saya yang sangat sah-sah saja,
Inspektur. Singkirkan sikap tutup mulut Anda yang resmi itu, dan ceritakan semuanya
pada saya.”
“Ini agak tidak biasa, Sir.”
“Inspektur yang baik, bahkan saat kita sudah berteman seperti ini?”
“Begini, Sir, Anna Rosenburg adalah wanita Jerman keturunan Yahudi yang tinggal di
Hampstead. Tanpa mata pencaharian jelas, setiap tahun dia semakin kaya saja.”
“Kebalikan dengan diri saya,” komentar Anthony. “Saya punya mata pencaharian jelas, dan
setiap tahun saya semakin miskin saja. Mungkin lebih baik saya tinggal di Hampstead.
Sejak dulu saya dengar Hampstead sangat menyegarkan.”
“Selama beberapa waktu,” Verrall melanjutkan, “dia berdagang pakaian bekas...”
“Sekarang jelas bagi saya,” sela Anthony. “Saya ingat pernah menjual seragam saya
setelah perang usai—bukan yang terbuat dari kain khaki, tapi bahan satunya. Seluruh
apartemen sarat dengan celana-celana panjang merah dan renda keemasan, terbentang di
mana-mana. Kemudian datang pria gemuk bersetelan kotak-kotak naik mobil Rolls-Royce,
bersama pekerja serabutan lengkap dengan tasnya. Dia menawar seluruhnya seharga satu
pound sepuluh shilling. Akhirnya saya menambahkan sehelai jaket berburu dan beberapa
pasang kacamata Zeiss agar jumlah harganya genap dua pound. Setelah mendapat isyarat,
pekerja serabutan itu membuka tasnya dan memasukkan barang-barang itu ke dalamnya, dan
pria gemuk itu menyerahkan lembaran sepuluh pound pada saya dan meminta kembaliannya.”
“Sekitar sepuluh tahun yang lalu,” lanjut sang inspektur, “datang beberapa pengungsi
politik Spanyol ke London—di antara mereka adalah Don Fernando Ferrarez bersama
istrinya yang masih muda, dan seorang anak. Mereka sangat miskin, dan sang istri sedang
sakit. Anna Rosenburg mengunjungi tempat mereka menginap, dan menanyakan apakah ada
sesuatu yang ingin mereka jual. Don Fernando sedang keluar, dan istrinya memutuskan
berpisah dengan sehelai selendang Spanyol yang sangat indah, penuh bordiran, salah satu
hadiah terakhir dari suaminya sebelum mereka meninggalkan Spanyol. Ketika Don Fernando
pulang, dia marah besar mendengar selendang itu sudah dijual, dan dengan sia-sia
berusaha mendapatkannya kembali. Ketika dia akhirnya berhasil menemukan wanita pedagang
pakaian bekas itu, wanita tadi menyampaikan dia telah menjual selendang itu pada
seorang wanita tak dikenal. Don Fernando putus asa. Dua bulan kemudian, dia ditikam di
jalanan dan tewas karena luka-lukanya. Sejak itu Anna Rosenburg menimbulkan kecurigaan
karena berlimpah uang. Dalam kurun waktu sepuluh tahun berikutnya, rumahnya sudah
dimasuki pencuri tak kurang dari delapan kali. Empat kali di antaranya tidak berhasil
dan tak ada barang yang diambil, tapi dalam pencurian keempat, sehelai selendang bordir
termasuk yang berhasil dibawa kabur.”
Inspektur itu berhenti sejenak, lalu melanjutkan atas desakan Anthony.
“Seminggu yang lalu, Carmen Ferrarez, putri belia Don Fernando, tiba di negeri ini dari
sebuah biara di Prancis. Yang pertama dilakukannya adalah mencari Anna Rosenburg di
Hampstead. Di sana dilaporkan dia bertengkar hebat dengan perempuan tua itu, dan katakatanya saat meninggalkan tempat itu terdengar oleh salah seorang pelayan.
“’Tunggu saja,’ teriaknya. ‘Selama bertahun-tahun ini Anda kaya-raya karena selendang
itu—tapi benda itu akan membawa nasib sial bagi Anda. Anda tidak punya hak atasnya, dan
suatu saat nanti Anda akan menyesal pernah melihat Selendang Seribu Bunga itu.’
“Tiga hari kemudian, Carmen Ferrarez menghilang dengan misterius dari hotel tempatnya
menginap. Di kamarnya ditemukan nama dan alamat—nama Conrad Fleckman, berikut catatan
dari seorang laki-laki yang mengaku pedagang barang antik, yang menanyakan apakah gadis
itu ingin melepaskan sehelai selendang bordir yang dipercayai pedagang itu ada padanya.
Alamat dalam catatan itu palsu.
“Sudah jelas selendang ini merupakan inti dari seluruh misteri. Kemarin pagi Conrad
Fleckman mengunjungi Anna Rosenburg. Mereka berbicara di ruangan tertutup selama satu
jam atau lebih, dan saat pria itu pergi, wanita itu terpaksa berbaring di tempat tidur,
pucat pasi dan terguncang oleh pembicaraan mereka. Namun dia memberikan perintah agar
Fleckman dibiarkan masuk setiap kali dia datang berkunjung. Semalam dia bangun dan
pergi keluar pada pukul sembilan, dan tidak kembali. Pagi ini dia ditemukan di rumah
yang pernah ditempati Conrad Fleckman, dengan tusukan tepat di jantungnya. Di lantai di
sampingnya ada... apa menurut Anda?”
“Selendang itu?” desah Anthony. “Selendang Seribu Bunga.”
“Sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada itu. Sesuatu yang mengungkap seluruh
misteri selendang yang membuat jelas nilainya yang tersembunyi itu... Permisi, saya
rasa itu kepala...”
Memang terdengar dering lonceng. Anthony menahan rasa tak sabarnya sedapat mungkin dan
menanti inspektur itu kembali. Sekarang ia sudah merasa cukup tenang soal posisinya
sendiri. Setelah mengambil sidik jarinya, mereka akan menyadari kekeliruan mereka.
Dan setelah itu, barangkali Carmen akan meneleponnya...
Selendang Seribu Bunga! Kisah yang sangat aneh—cocok sekali menjadi latar belakang
kecantikan gadis yang elok itu.
Carmen Ferrarez...
Anthony terlonjak dari lamunannya. Alangkah lamanya si inspektur. Ia bangkit dan
membuka pintu. Apartemen itu sunyi. Mungkinkah mereka telah pergi? Tak mungkin tanpa
berpamitan terlebih dulu.
Anthony melangkah ke ruangan berikutnya. Ruangan ini kosong—begitu juga ruang duduknya.
Kosong dan janggal! Begitu kosong-melompong. Ya ampun! Koleksi porselennya—barangbarang peraknya!
Dengan kalut ia berlarian memeriksa apartemennya. Ternyata setiap ruangan sama saja.
Tempat itu telah dijarah habis-habisan. Setiap barang berharga telah dijarah, padahal
Anthony memiliki selera tinggi seorang kolektor dalam mengumpulkan benda-benda mungil.
Sambil mengerang Anthony terhuyung-huyung dan duduk di kursi, dengan tangan menopang
kepala. Ia tersentak mendengar dering bel pintu depan. Saat membukanya, ia bertatap
muka dengan Rogers.
“Maaf, Sir,” ujar Rogers. “Tapi tuan-tuan itu berpendapat Anda mungkin membutuhkan
sesuatu.”
“Tuan-tuan itu?”
“Kedua teman Anda itu, Sir. Saya membantu mereka mengepak barang sebisa-bisanya. Untung
sekali saya menyimpan dua peti bagus di ruang bawah tanah.” Ia lalu menatap lantai.
“Saya juga sudah menyapu jeraminya sebersih mungkin, Sir.”
“Kau mengepak barang-barang di dalam sini?” Anthony mengerang.
“Ya, Sir. Bukankah itu permintaan Anda sendiri? Tuan yang lebih jangkung itu yang
menyuruh saya melakukannya, Sir. Dan melihat Anda masih sibuk berbicara dengan tuan
satunya di ruangan kecil di ujung itu, saya putuskan untuk tidak mengganggu Anda.”
“Aku tidak bicara padanya,” ujar Anthony. “Dialah yang bicara padaku—terkutuklah dia.”
Rogers terbatuk.
“Saya sangat menyesal atas keperluan itu, Sir,” gumamnya.
“Keperluan?”
“Hingga terpaksa berpisah dengan harta milik Anda yang kecil-kecil itu, Sir.”
“Eh? Oh, ya. Ha, ha!” Ia tertawa getir. “Kurasa mereka sekarang sudah pergi. Mereka—
maksudku teman-temanku itu?”
“Oh, ya, Sir, beberapa saat yang lalu. Saya memasukkan kedua peti itu ke taksi, dan
tuan yang jangkung itu kembali ke atas lagi, setelah itu mereka berdua berlarian turun
dan langsung pergi... Maaf, Sir, apa ada yang salah?”
Sudah sepantasnya Rogers bertanya. Erangan yang diperdengarkan Anthony bisa saja
menimbulkan dugaan macam-macam.
“Semuanya salah, terima kasih, Rogers. Tapi kulihat kau tidak bisa disalahkan.
Tinggalkan aku, aku mau menelepon.”
Lima menit kemudian Anthony sudah mencurahkan kisahnya pada Inspektur Driver yang duduk
di hadapannya sambil memegang notes. Inspektur Driver bukan pria simpatik, dan tidak
mirip inspektur betulan, menurut Anthony. Penampilannya seperti dibuat-buat malah.
Lagi-lagi sebuah contoh jitu tentang superioritas Seni melawan Alam.
Anthony sampai di akhir kisahnya. Sang inspektur menutup notesnya.
“Bagaimana?” ujar Anthony harap-harap cemas.
“Jelas sekali,” jawab sang inspektur. “Ini pasti geng Patterson. Belakangan ini mereka
banyak beraksi dan sangat cerdik. Laki-laki pirang jangkung, laki-laki kecil berambut
hitam, dan gadis itu.”
“Gadis itu?”
“Ya, berkulit gelap dan sangat cantik. Biasanya dijadikan umpan.”
“Seorang... seorang gadis Spanyol?”
“Dia bisa saja mengaku begitu. Dia lahir di Hampstead.”
“Sudah kukatakan itu tempat yang menyegarkan,” gumam Anthony.
“Ya, sudah cukup jelas,” ujar sang inspektur sambil bangkit berdiri. “Dia menelepon
Anda dan mengarang cerita—dia menebak Anda pasti datang. Kemudian dia mendatangi Ibu
Gibson tua yang mau saja dibayar untuk menyewakan kamarnya sebagai tempat bertemu—untuk
para kekasih. Itu bukan tindakan kriminal. Anda sudah masuk perangkap, mereka berhasil
membawa Anda kemari, dan sementara salah seorang dari mereka menyuguhkan cerita pada
Anda, yang seorang lagi membereskan barang curian. Mereka pasti geng Patterson—ini ciri
khas mereka.”
“Dan bagaimana dengan barang-barang saya?” sahut Anthony cemas.
“Kami akan berusaha sedapat mungkin, Sir. Tapi kelompok Patterson ini luar biasa
licin.”
“Sepertinya begitu,” kata Anthony getir.
Inspektur itu beranjak, dan ia baru saja pergi saat bel pintu berdering. Anthony
membuka pintu. Seorang bocah laki-laki berdiri sambil memegang bingkisan.
“Paket untuk Anda, Sir.”
Anthony menerimanya dengan heran. Ia tidak sedang menantikan paket apa pun. Setelah
kembali ke ruang duduknya, ia memotong tali pengikatnya.
Isinya ternyata perangkat liqueur yang dibelinya itu!
“Sialan!” umpat Anthony.
Kemudian ia melihat di dasar salah satu gelas ada setangkai mawar artifisial mungil.
Ingatannya kembali ke ruang atas di Kirk Street itu.
“Aku benar-benar menyukai Anda—ya, aku benar-benar menyukai Anda. Apa pun yang terjadi,
Anda akan mengingatnya, bukan?”
Itulah yang dikatakan gadis itu. Apa pun yang terjadi... Apakah maksudnya...
Anthony mengendalikan diri dengan keras.
“Tidak bisa begini,” ia menegur diri.
Pandangannya jatuh ke mesin tik, dan ia pun duduk dengan wajah tegas.
MISTERI MENTIMUN KEDUA
Wajahnya menerawang kembali. Selendang Seribu Bunga. Apa gerangan yang ditemukan di
lantai di samping mayat itu? Benda mengerikan yang bisa mengungkap seluruh misteri?
Tidak ada, tentu saja, mengingat itu sekadar kisah isapan jempol untuk menyita
perhatiannya, dan pembawa ceritanya telah menggunakan siasat lama dari kisah Seribu
Satu Malam dengan memutus kisah di bagian yang paling memikat. Tapi apa benar tidak ada
benda mengerikan yang bisa mengungkap seluruh misteri? Bagaimana? Kalau ia mau berpikir
keras...
Anthony mencabut lembaran kertas dari mesin tiknya, lalu menukarnya dengan lembaran
lain. Ia mengetik sebuah judul:
MISTERI SELENDANG SPANYOL
Ia mengamatinya beberapa saat dengan diam.
Kemudian ia mulai mengetik dengan cepat....
BOLA EMAS
GEORGE DUNDAS berdiri di City of London sambil merenung.
Di sekelilingnya para pekerja dan pencari uang datang dan pergi, mengalir bagaikan air
pasang. Namun George yang berpakaian rapi, dengan celana panjang tersetrika lurus,
tidak memedulikan mereka. Ia sibuk memikirkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Ada masalah! Di antara George dan pamannya yang kaya (Ephraim Leadbetter dari
perusahaan Leadbetter and Gilling) telah terjadi pertengkaran. Yang lebih banyak bicara
adalah Mr. Leadbetter. Dari bibirnya tak henti-henti mengalir kejengkelan, semuanya
kebanyakan berupa pengulangan, tapi tampaknya itu tidak jadi masalah baginya.
Menyampaikan sesuatu satu kali saja bukanlah motto Mr. Leadbetter.
Temanya sederhana saja—kebodohan orang muda yang suka bertindak seenaknya, membolos
sehari penuh di pertengahan minggu tanpa meminta izin. Setelah selesai menyampaikan
segala uneg-unegnya dan mengulang berbagai hal sampai dua kali, Mr. Leadbetter berhenti
sesaat untuk menarik napas, lalu bertanya apa maksud George berbuat demikian.
George cuma menjawab bahwa ia ingin tidak masuk sehari. Jelasnya, berlibur.
Mr. Leadbetter bertanya, bagaimana dengan hari Sabtu sore dan Minggu? Belum lagi hari
Pentakosta yang baru lalu, dan August Bank Holiday mendatang?
George menjawab bahwa ia tidak peduli pada hari-hari Sabtu sore, Minggu, atau Bank
Holiday. Ia ingin berlibur pada hari kerja, saat orang bisa mencari tempat yang tidak
ramai dipenuhi separo penduduk London.
Mr. Leadbetter lalu berkata bahwa ia telah berusaha semaksimal mungkin membimbing putra
mendiang kakak perempuannya ini—tak ada yang bisa berkata bahwa ia belum memberikan
kesempatan pada George. Tapi sudah jelas usahanya sia-sia saja. Untuk selanjutnya,
George boleh berlibur pada lima hari kerja ditambah hari Sabtu dan Minggu, dan berbuat
sesukanya dengan hari-hari itu.
“Bola emas kesempatan telah dilemparkan padamu, Nak,” ujar Mr. Leadbetter dengan gaya
penyair. “Dan kau telah gagal menangkapnya.”
George berkata bahwa menurutnya, justru itulah yang telah dilakukannya. Mr. Leadbetter
menjadi sangat murka, lalu mengusirnya keluar.
Demikianlah kisahnya mengapa George... merenung. Apakah pamannya akan mengalah atau
tidak? Apakah ia diam-diam memendam rasa sayang terhadap George, atau sekadar rasa
tidak suka?
Tepat pada saat itulah terdengar suara—yang sama sekali tak terduga—menyapa, “Halo!”
Sebuah mobil tamasya merah manyala dengan kap superpanjang menepi di sampingnya. Di
belakang kemudi duduklah Mary Montresor, gadis cantik tokoh masyarakat terkenal.
(Deskripsi ini diberikan oleh koran-koran yang memuat fotonya paling sedikit empat kali
sebulan.) Ia tersenyum pada George dengan gaya penuh pengalaman.
“Belum pernah aku melihat orang yang kelihatan begitu kesepian,” ujar Mary Montresor.
“Mau menumpang?”
“Mau sekali,” ujar George tanpa ragu, lalu masuk dan duduk di samping gadis itu.
Mereka maju perlahan-lahan karena lalu lintas yang padat.
“Aku sudah bosan dengan kota ini,” kata Mary Montresor. “Aku kemari untuk melihat
seperti apa tempat ini. Aku akan kembali ke London.”
Tanpa maksud memperbaiki pengetahuan geografis gadis itu, George berkata itu ide yang
bagus. Adakalanya mereka maju perlahan-lahan, adakalanya dengan kecepatan meledak-ledak
saat Mary Montresor melihat kesempatan untuk memotong jalan. Menurut George, gadis itu
agak terlalu nekat dalam hal satu ini, tapi orang toh cuma mati satu kali, pikir
George. Bagaimanapun, ia menganggap lebih baik tidak menggalang percakapan. Ia lebih
suka pengemudi cantik ini hanya memerhatikan tugas mengemudinya.
Ternyata gadis itulah yang membuka percakapan kembali, saat mereka menikung tajam di
Hyde Park Corner.
“Bagaimana kalau kau menikah denganku?” ia bertanya santai.
George tersentak, tapi ini bisa saja gara-gara bus besar yang sepertinya membawa
malapetaka. Ia bangga dengan kelincahannya memberikan tanggapan.
“Aku akan senang sekali,” sahutnya ringan.
“Nah,” kata Mary Montresor, samar-samar. “Mungkin suatu hari nanti.”
Mobil mereka kembali berjalan lurus tanpa celaka, dan saat itulah George melihat
poster-poster besar yang baru di stasiun kereta api Hyde Park Corner. Diapit poster
berbunyi SITUASI POLITIK YANG SURAM dan KOLONEL MASUK DOK, terlihat poster berbunyi
GADIS TOKOH MASYARAKAT AKAN MENIKAH DENGAN DUKE, dan satu lagi berbunyi DUKE DARI
EDGEHILL DENGAN MISS MONTRESOR.
“Lalu bagaimana dengan Duke dari Edgehill itu?” tanya George tajam.
“Aku dan Bingo? Kami bertunangan.”
“Tapi kalau begitu... ucapanmu tadi...”
“Oh, itu,” sahut Mary Montresor. “Begini, aku belum memutuskan dengan siapa aku akan
benar-benar menikah.”
“Lalu untuk apa kau bertunangan dengannya?”
“Cuma untuk melihat apa aku bisa. Sepertinya semua orang beranggapan itu akan sangat
sulit terjadi, ternyata sama sekali tidak!”
“Benar-benar nasib sial bagi... mm... Bingo,” kata George, mengatasi rasa jengahnya
karena menyebut seorang duke betulan dengan nama julukan.
“Sama sekali tidak,” ujar Mary Montresor. “Itu pelajaran bagus bagi Bingo—tapi aku
meragukannya.”
George menemukan hal lain—lagi-lagi berkat sebuah poster.
“Wah, tentu saja, hari ini di Ascot sedang diselenggarakan acara minum teh. Seharusnya
aku tahu itulah tempat yang akan kautuju hari ini.”
Mary Montresor menghela napas.
“Aku ingin berlibur,” katanya sayu.
“Wah, sama denganku,” sahut George senang. “Dan akibatnya, aku diusir pamanku supaya
mati kelaparan.”
“Kalau begitu, seandainya kita jadi menikah,” kata Mary, “pendapatanku sebesar dua
puluh ribu setahun akan bermanfaat?”
“Uang itu pasti bisa dibelikan beberapa perangkat rumah tangga,” jawab George.
“Omong-omong tentang rumah tangga,” ujar Mary, “mari kita tinggal di pedesaan dan
mencari rumah yang kita sukai.”
Rencana ini tampak sederhana dan sangat menarik. Mereka melintasi Putney Bridge,
mencapai jalan raya Kingston, dan Mary menginjak pedal gasnya dalam-dalam sambil
mendesah puas. Mereka tiba di daerah pedesaan dalam waktu singkat. Setengah jam
kemudian, Mary menunjuk penuh semangat.
Di lereng bukit di depan mereka tampak rumah yang oleh para agen perumahan sering
digambarkan (namun jarang sesuai kenyataan) sebagai daya tarik “antik”. Cobalah
membayangkan keadaan kebanyakan rumah pedesaan, dan Anda akan mendapat gambaran tentang
rumah ini.
Mary menghentikan mobilnya di depan pintu pagar berwarna putih.
“Kita tinggalkan mobil di sini, lalu berjalan ke atas dan melihat rumah itu. Itu rumah
kita!”
“Pasti, itu rumah kita,” George mengiyakan. “Tapi saat ini kelihatannya sudah ada
penghuninya.”
Mary mengabaikan para penghuninya dengan kibasan tangan. Berdua mereka melangkah
menyusuri jalan masuk. Dari dekat, rumah itu tampak semakin menarik.
“Kita akan mengintip ke dalam dari semua jendela,” ujar Mary.
George keberatan.
“Apa menurutmu para penghuninya...”
“Aku tidak akan memedulikan mereka. Itu rumah kita—mereka cuma kebetulan saja
menempatinya. Lagi pula, ini hari yang cerah, dan mereka pasti sedang keluar
menikmatinya. Seandainya ada yang memergoki kita, aku akan berkata... aku akan
berkata... kusangka ini rumah... rumah Mrs. Pardonstenger, dan aku benar-benar menyesal
telah salah sangka.”
“Hm, sepertinya alasan yang cukup aman,” ujar George.
Mereka melihat ke dalam melalui beberapa jendela. Rumah itu berisi perabotan indah.
Mereka baru saja mengintip ke dalam ruang kerja ketika dari arah belakang terdengar
langkah-langkah kaki di kerikil. Mereka menoleh dan berhadapan dengan seorang kepala
pelayan tulen tanpa cela.
“Oh!” ujar Mary. Ia lalu tersenyum sangat memukau dan berkata, “apakah Mrs.
Pardonstenger ada? Saya tadi melongok ke ruang kerja untuk melihat kalau-kalau dia ada
di situ.”
“Mrs. Pardonstenger ada di rumah, Madam,” sahut sang kepala pelayan. “Silakan lewat
sini.”
Mereka terpaksa mengikutinya. George sedang menerka-nerka kemungkinan apa yang ada di
balik kejadian ini. Ia menarik kesimpulan bahwa dengan nama Pardonstenger,
kemungkinannya satu di antara dua puluh ribu. Mary berbisik, “Serahkan padaku. Semuanya
pasti beres.”
Dengan senang hati George menyerahkan urusan itu padanya. Menurut pendapatnya, situasi
ini membutuhkan siasat perempuan.
Mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu. Setelah kepala pelayan itu meninggalkan
ruangan, pintu terbuka kembali dan seorang wanita tinggi besar dengan wajah kemerahmerahan dan rambut putih bersih masuk dengan penuh harapan.
Mary Montresor beranjak ke arahnya, dan berhenti mendadak seakan tertegun.
“Wah!” serunya. “Ternyata bukan Amy! Luar biasa sekali!”
“Ini memang luar biasa,” sahut seseorang dengan bengis.
Seorang laki-laki masuk mengikuti Mrs. Pardonstenger. Pria tambun dengan wajah mirip
anjing buldog dan seringai menakutkan. George belum pernah melihat makhluk sekasar dan
seseram ini. Laki-laki itu menutup pintu dan berdiri di depannya.
“Luar biasa sekali,” ulangnya mengejek. “Tapi kurasa kami mengerti permainan kalian!”
Tiba-tiba ia mengeluarkan sepucuk pistol besar. “Angkat tangan! Angkat tangan, kataku.
Geledah mereka, Bella.”
Kalau sedang membaca kisah-kisah detektif, George sering bertanya-tanya seperti apa
rasanya digeledah. Sekarang ia tahu. Bella (alias Mrs. P.) merasa puas karena George
maupun Mary tidak menyembunyikan senjata berbahaya.
“Kalian pikir kalian sangat pintar, ya?” ejek pria itu. “Datang kemari begitu saja dan
berpura-pura tidak bersalah. Kali ini kalian keliru—sangat keliru. Aku bahkan sangat
ragu apakah teman-teman dan sanak keluarga kalian akan bisa berjumpa kalian lagi. Ah!
Kau mau coba-coba, ya?” bentaknya saat George bergerak. “Jangan berani main-main. Aku
akan langsung menembakmu.”
“Hati-hati, George,” bisik Mary gemetar.
“Akan kulakukan,” kata George penuh perasaan. “Dengan sangat hati-hati.”
“Sekarang, jalan,” perintah laki-laki itu. “Buka pintunya, Bella. Dan kalian berdua,
letakkan tangan di atas kepala. Madam dulu—betul begitu. Aku akan menyusul tepat di
belakang kalian. Lewat ruang depan. Naik...”
Mereka menurut. Apa lagi yang bisa mereka lakukan? Mary menaiki tangga dengan tangan
terangkat tinggi-tinggi. George mengikuti. Di belakang mereka menyusul bajingan tambun
itu dengan menodongkan pistolnya.
Mary sampai di ujung anak tangga dan berbelok. Tepat pada saat itulah tanpa diduga-duga
George menyerang dengan tendangan ke belakang. Pria itu terkena tepat di pinggangnya,
dan terjengkang berguling-guling ke bawah tangga. Saat berikutnya George berbalik dan
melompat menuruni tangga, lalu berlutut di atas dada pria itu. Dengan tangan kanannya
ia memungut pistol yang terjatuh saat pria tadi berguling-guling.
Bella menjerit dan mundur teratur melalui pintu. Mary berlarian menuruni tangga dengan
wajah pucat pasi.
“George, apa kau membunuhnya?”
Laki-laki itu tergeletak tak bergerak. George membungkuk di atasnya.
“Kurasa tidak,” ujarnya menyesal. “Tapi yang jelas, dia pingsan.”
“Puji Tuhan.” Napas Mary terengah-engah.
“Lumayan juga,” ujar George mengagumi diri. “Banyak pelajaran bisa ditarik dari keledai
tua ini. Eh, apa?”
Mary menarik tangannya.
“Ayo kita pergi,” serunya tegang. “Ayo kita cepat pergi.”
“Kalau saja kita punya sesuatu untuk mengikat orang ini,” ujar George, sibuk dengan
rencananya sendiri. “Apa kau tidak bisa mencari sepotong tali atau sejenisnya?”
“Tidak, aku tidak bisa,” jawab Mary. “Ayolah, kita pergi saja—ayolah—aku takut sekali.”
“Kau tidak perlu takut,” ujar George, berlagak jantan. “Aku ada di sini.”
“George, Darling, ayolah—demi aku. Aku tidak mau terlibat. Ayolah kita pergi.”
Caranya membisikkan kata-kata “demi aku” menggoyahkan tekad George. Ia membiarkan
dirinya ditarik meninggalkan rumah itu, lalu bergegas melintasi jalan masuk, menuju
mobil yang sudah menunggu. Mary berkata lemah, “Kau saja yang mengemudi. Rasanya aku
tidak mampu.” George pun duduk di belakang kemudi.
“Tapi kita harus menyelesaikan persoalan ini,” ujar George. “Mana kita tahu, kejahatan
apa yang direncanakan laki-laki seram itu. Kalau kau keberatan, aku tidak akan
menghubungi polisi—tapi aku akan berusaha mengatasinya sendiri. Aku pasti mampu
menyelidiki mereka.”
“Jangan, George, aku tidak mau kau melakukannya.”
“Kita mendapatkan petualangan kelas satu seperti ini, dan kau ingin aku mundur teratur?
Jangan harap.”
“Tak kuduga kau ternyata haus darah seperti ini,” ujar Mary berlinang air mata.
“Aku tidak haus darah. Bukan aku yang memulainya. Bedebah terkutuk itu mengancam kita
seenaknya dengan pistol besar. Omong-omong, mengapa pistol itu tidak meletus saat aku
menendangnya ke bawah?”
George menghentikan mobil dan mengeluarkan senjata itu dari kantong samping mobil.
Setelah memeriksanya, ia bersiul.
“Wah, sialan! Pistol ini tak ada pelurunya. Seandainya aku tahu sejak awal...” Ia
terdiam, sibuk berpikir. “Mary, masalah ini sangat aneh.”
“Aku tahu. Itu sebabnya aku memohonmu untuk membiarkannya.”
“Takkan pernah,” ujar George tegas.
Mary menghela napas dengan pilu.
“Kurasa aku harus mengatakannya padamu,” ujar Mary. “Masalahnya, aku sama sekali tidak
tahu bagaimana tanggapanmu nanti.”
“Apa maksudmu...?”
“Begini, awalnya seperti ini.” Mary diam sejenak. “Kurasa, dewasa ini kaum wanita harus
bersatu—mereka harus bertekad lebih mengenal para pria yang mereka temui.”
“Lalu?” ujar George tidak mengerti.
“Penting sekali bagi seorang gadis untuk tahu bagaimana seorang laki-laki akan
bertindak dalam keadaan darurat—apakah dia berkepala dingin, punya keberanian,
kecerdasan? Hal-hal ini nyaris tidak bisa diketahui—sampai sudah terlambat. Keadaan
darurat mungkin saja takkan muncul sampai bertahun-tahun setelah menikah. Paling-paling
yang bisa diketahui tentang seorang pria adalah cara dia berdansa, dan apakah dia
cekatan mencari taksi di tengah hujan.”
“Dua-duanya prestasi yang sangat berguna,” George menunjukkan.
“Betul, tapi orang ingin merasakan bahwa laki-laki adalah laki-laki.”
“Daerah luas membentang, tempat laki-laki adalah laki-laki,” George mengutip ungkapan,
setengah melamun.
“Tepat sekali. Tapi di Inggris tidak ada daerah luas membentang. Jadi, orang harus
menciptakan sendiri situasi tiruan. Itulah yang telah kulakukan.”
“Apa maksudmu...”
“Itulah maksudku. Rumah tadi kebetulan memang rumahku. Kita datang ke situ sesuai
rencana—bukan secara kebetulan. Dan laki-laki itu—yang hampir terbunuh olehmu...”
“Ya?”
“Adalah Rube Wallace—aktor film. Dia petinju bayaran. Laki-laki paling baik dan lembut.
Aku menyewanya. Bella adalah istrinya. Itu sebabnya aku begitu cemas kalau-kalau kau
telah membunuhnya. Tentu saja pistol itu tidak ada pelurunya. Itu pistol-pistolan
properti panggung. Oh, George, apa kau marah sekali?”
“Apakah aku pria pertama yang telah... kauuji?”
“Oh, tidak. Sudah ada—tunggu sebentar—sembilan setengah orang!”
“Siapa laki-laki yang setengahnya?” tanya George ingin tahu.
“Bingo,” jawab Mary dingin.
“Adakah di antara mereka yang terpikir untuk menendang seperti keledai?”
“Tidak—tidak ada. Ada beberapa yang mencoba menggertak, dan ada yang langsung menyerah,
tapi mereka semua membiarkan diri digiring ke atas, diikat, dan disumpal mulutnya.
Setelah itu, tentu saja aku berhasil melepaskan diri dari ikatan—seperti dalam buku—
melepaskan ikatan mereka juga, dan kabur—dan menemukan rumah sudah kosong.”
“Dan tak seorang pun terpikir akan siasat keledai atau semacamnya?”
“Tidak.”
“Kalau begitu,” sahut George sangat ramah, “aku memaafkanmu.”
“Terima kasih, George,” ujar Mary tanpa perlawanan.
“Sesungguhnya,” George menambahkan, “satu-satunya pertanyaan yang muncul adalah: ke
mana kita pergi sekarang? Aku tidak yakin apakah tempatnya Lambeth Palace atau Doctor’s
Commons, di mana pun itu.”
“Kau ini bicara apa?”
“Tentang surat nikah. Kurasa kita perlu surat nikah khusus. Kau terlalu gemar
bertunangan dengan seseorang, tapi meminta orang lain menikah denganmu.”
“Aku tidak memintamu menikah denganku!”
“Kau memintanya. Di Hyde Park Corner. Memang bukan tempat yang akan kupilih untuk
melamar, tapi dalam hal ini setiap orang punya ciri khas masing-masing.”
“Sama sekali tidak. Aku cuma bertanya, dengan bercanda, apakah kau berminat menikah
denganku? Aku tidak serius.”
“Seandainya aku meminta pendapat pengacara, aku yakin dia akan berkata ungkapan itu
merupakan pinangan murni. Lagi pula, kau tahu kau ingin menikah denganku.”
“Tidak.”
“Bahkan setelah gagal sembilan setengah kali? Bayangkan betapa amannya perasaanmu bisa
menjalani hidup bersama pria yang mampu mengeluarkanmu dari situasi berbahaya.”
Mary tampak agak mengendur mendengar argumentasi ini. Tapi dengan tegas ia berkata,
“Aku takkan mau menikah dengan seorang pria, kecuali dia bersedia berlutut di
hadapanku.”
George menatapnya. Perempuan ini sangat memesona. Tapi selain bisa menendang, George
masih memiliki perangai lain yang khas keledai. Dengan sikap tidak kalah tegas ia
berkata,
“Berlutut di hadapan wanita sungguh merendahkan martabat. Aku takkan melakukannya.”
Dengan wajah prihatin yang memikat, Mary berkata, “Sayang sekali.”
Mereka kembali ke London. George mengemudi dengan diam dan pantang menyerah. Wajah Mary
terlindung di balik tepi topinya. Saat melintasi Hyde Park Corner, ia bergumam lembut,
“Tidak bisakah kau berlutut di hadapanku?”
Dengan tegas George berkata, “Tidak.”
Ia merasa bagaikan Superman. Mary mengagumi sikapnya ini. Tapi sayangnya, George juga
melihat kecenderungan keras kepala dalam diri gadis itu. Mendadak ia menepi.
“Permisi sebentar,” ujarnya.
Ia melompat keluar dari mobil, melangkah menuju gerobak dorong berisi buah-buahan yang
baru saja mereka lewati, dan kembali begitu cepat hingga polisi yang menghampiri mereka
untuk menanyakan maksud mereka tidak sempat mencapai mobil.
George melanjutkan perjalanan, lalu melemparkan sebutir apel ke pangkuan Mary.
“Makanlah lebih banyak buah,” katanya. “Selain itu, ini juga punya arti simbolis.”
“Simbolis?”
“Ya. Mula-mula Hawa-lah yang memberikan apel pada Adam. Zaman sekarang Adam-lah yang
memberikannya pada Hawa. Paham?”
“Ya,” jawab Mary ragu.
“Ke mana aku harus mengantarmu?” tanya George resmi.
“Ke rumah saja.”
George mengarahkan mobil menuju Grosvenor Square. Wajahnya sama sekali tanpa ekspresi.
Ia melompat keluar dan mengitari mobil untuk membantu Mary turun. Gadis itu meminta
sekali lagi.
“George, Darling—tidak bisakah kau? Sekadar menyenangkan hatiku?”
“Takkan pernah,” jawab George.
Tiba-tiba terjadilah hal itu. George terpeleset, berusaha mencari keseimbangan, tapi
gagal. Ia sudah berlutut di lumpur tepat di hadapan Mary. Gadis itu memekik bahagia
sambil bertepuk tangan.
“George darling! Sekarang aku mau menikah denganmu. Kau boleh langsung ke Lambeth
Palace dan mengaturnya dengan Uskup Besar Canterbury.”
“Aku tidak bermaksud melakukannya,” sembur George sengit. “Itu tadi cuma gara-gara
kulit pisang yang dib... saja.” Dengan kesal ia mengangkat benda yang telah menjadi
gara-gara tadi.
“Tidak mengapa,” sahut Mary. “Pokoknya sudah terjadi. Waktu kita bertengkar dan kau
bersikeras aku melamarmu, aku bisa menuntut agar kau berlutut di hadapanku dulu sebelum
aku bersedia menikah denganmu. Dan semua ini terjadi karena kulit pisang yang diberkati
itu! Kau tadi memang hendak berkata kulit pisang yang diberkati, kan?”
“Semacam itulah,” ujar George.
***
Pukul setengah enam sore, Mr. Leadbetter diberitahu bahwa keponakannya datang untuk
menemuinya.
“Datang untuk meminta maaf,” kata Mr. Leadbetter dalam hati. “Aku memang agak terlalu
keras pada anak itu, tapi itu untuk kebaikannya sendiri.”
Dan ia memberi perintah agar George dipersilakan masuk.
George masuk dengan langkah-langkah ringan.
“Aku ingin bicara sebentar, Paman,” katanya. “Pagi tadi Paman berlaku sangat tidak adil
padaku. Aku ingin tahu apakah ada orang seusiaku yang diusir oleh sanak keluarganya,
tapi antara jam sebelas lewat seperempat dan setengah enam sore bisa mendapatkan
penghasilan sebesar dua puluh ribu pound setahun. Inilah yang baru kulakukan!”
“Kau pasti sudah gila, Nak.”
“Bukan gila, tapi banyak akal! Aku akan menikahi wanita muda tokoh masyarakat kaya raya
yang cantik jelita. Wanita yang rela meninggalkan seorang duke demi diriku.”
“Menikahi seorang gadis demi uangnya? Aku tak menyangka kau bisa berbuat begitu.”
“Paman memang benar. Aku sendiri takkan pernah berani memintanya seandainya dia tidak—
untung saja—memintaku. Belakangan dia menarik kembali kata-katanya, tapi aku membuatnya
berubah pikiran. Dan tahukah Paman bagaimana semuanya ini terjadi? Melalui pengeluaran
bijaksana sebesar dua pence dan menangkap bola emas kesempatan.”
“Mengapa dua pence?” tanya Mr. Leadbetter, tertarik secara finansial.
“Untuk mengambil pisang—dari kereta dorong. Tidak semua orang akan terpikir menggunakan
pisang itu. Di mana aku bisa mendapatkan surat nikah? Di Doctor’s Commons atau Lambeth
Palace?”
BATU ZAMRUD SANG RAJAH
DENGAN upaya keras James Bond kembali memusatkan perhatian pada buku kuning kecil di
tangannya. Di sampul luarnya terbaca tulisan sederhana namun menyenangkan, “Anda ingin
meningkatkan penghasilan Anda sampai £300 per tahun?” Harga buku itu cuma satu
shilling. James baru selesai membaca dua halaman yang memuat alinea-alinea segar berisi
tips agar ia menatap atasannya lurus-lurus, menunjukkan kepribadian dinamis, dan
menebarkan kesan efisien. Ia sudah sampai pada masalah yang lebih pelik. “Ada waktu
untuk jujur, ada waktu untuk bijaksana,” demikian menurut buku kuning kecil itu. “Pria
perkasa tidak selalu memuntahkan semua hal yang diketahuinya.” James menutup bukunya,
mendongak, lalu menatap lautan biru yang terbentang di depannya. Ia curiga janganjangan ia bukan pria perkasa. Pria perkasa bisa menguasai keadaan, bukan menjadi
korban. Untuk keenam puluh kalinya sepanjang pagi itu, James mengingat-ingat semua
kesalahannya.
Ini adalah liburannya. Liburannya? Ha ha! Ia tertawa sinis. Siapa yang membujuknya
datang ke Kimpton-on-Sea, resor pantai terkemuka ini? Grace. Siapa yang mendorongnya
untuk mengeluarkan biaya melebihi kemampuannya? Grace. Ia bahkan telah menyambut
rencana itu dengan semangat. Gadis itu telah berhasil mengajaknya kemari, dan apa
akibatnya? Sementara James tinggal di penginapan kumuh sekitar dua setengah kilometer
dari tepi pantai, Grace yang seharusnya juga tinggal di tempat serupa (bukan yang sama—
tata krama lingkungan James sangat ketat), telah meninggalkannya dengan terangterangan, dan tinggal di tempat yang tidak tanggung-tanggung, yaitu Esplanade Hotel di
dekat pantai.
Sepertinya ia punya teman-teman di sana. Teman-teman! Lagi-lagi James tertawa sinis.
Ingatannya melayang kembali merenungi masa pacaran santai dengan Grace selama tiga
tahun terakhir ini. Ketika pertama kali mendapat perhatian khusus dari James, Grace
sangat senang. Itu sebelum ia melambung di lingkungan salon-salon topi wanita Messrs
Bartles di High Street. Di awal masa pacaran mereka, James-lah yang bersikap angkuh,
sekarang boro-boro! Posisi mereka sudah berbalik. Secara teknis, Grace bisa dikatakan
“punya penghasilan bagus”. Ini membuatnya tinggi hati. Ya, tinggi hati luar-dalam.
James teringat kembali sepenggal sajak dari buku kumpulan puisi, yang berbicara tentang
“bersyukur pada langit sambil berpuasa, atas kasih sayang pria yang mulia”. Tetapi pada
diri Grace tidak tampak sikap seperti ini. Dengan perut kenyang oleh sarapan Esplanade
Hotel, ia mengabaikan sepenuhnya kasih sayang pria yang mulia. Ia bahkan menyambut
perhatian yang dilimpahkan idiot licik bernama Claud Sopworth, laki-laki yang diyakini
James tak berharga sama sekali.
James membenamkan tumit ke dalam pasir, dan menatap kaki langit dengan geram. Kimptonon-Sea. Apa yang telah merasuki dirinya hingga mau datang ke tempat seperti ini? Ini
tempat peristirahatan unggul orang kaya dan ternama, dengan dua hotel dan beberapa mil
pantai dihiasi bungalo-bungalo cantik milik para aktris terkenal, orang-orang Yahudi
kaya, dan para bangsawan Inggris yang menikahi istri-istri kaya-raya. Ongkos menginap
di bungalo terkecil dua puluh lima guinea seminggu. Bisa dibayangkan berapa uang sewa
bungalo yang besar. Tepat di belakang tempat duduk James berdiri salah satu istana itu.
Bangunan ini milik Lord Edward Campion, olahragawan terkenal itu, dan saat ini mereka
yang sedang menginap di situ adalah tamu-tamu terhormat, termasuk Rajah dari Maraputna
yang sangat kaya. Pagi itu James membaca berita tentang dirinya di koran mingguan
lokal; tentang jumlah kekayaannya di India, istana-istananya, koleksi perhiasannya yang
luar biasa, dengan pemberitaan khusus perihal batu zamrud yang terkenal dan ramai
dibicarakan, berukuran sebesar telur burung merpati. James yang dibesarkan di kota,
tidak begitu tahu soal ukuran telur merpati, tapi ia sangat terkesan.
“Seandainya aku punya batu zamrud seperti itu,” ujar James sambil menatap kaki langit
kembali, “akan kutunjukkan pada Grace.”
Perasaan itu cuma samar-samar, tapi ucapan tadi membuat James merasa lebih nyaman. Dari
belakang terdengar gelak tawa ceria, dan ketika menoleh ia langsung berhadapan dengan
Grace. Bersamanya terlihat Clara Sopworth, Alice Sopworth, Dorothy Sopworth dan...
aduh! Claud Sopworth. Gadis-gadis itu bergandengan tangan sambil mengikik.
“Wah, kau ini seperti orang asing saja,” seru Grace genit.
“Ya,” sahut James.
Sebenarnya ia bisa saja menemukan gertakan yang lebih tajam. Orang tidak bisa
menyampaikan kesan kepribadian dinamis hanya dengan menggunakan sepatah kata “ya”.
Dengan hati mendidih ia menatap Claud Sopworth. Pakaian pemuda ini nyaris sama
meriahnya dengan pemeran utama pertunjukan musik komedi. Saat itu James berharap
sepenuh hati ada anjing pantai lincah yang menapakkan kaki depannya yang basah dan
penuh pasir ke atas pipa celana flanel Claud yang putih bersih itu. James sendiri
mengenakan celana panjang flanel kelabu tua yang sudah usang.
“Udaranya segaa...aar, bukan?” ujar Clara sambil menarik napas dalam-dalam. “Membuatmu
bersemangat, betul?”
Ia mengikik.
“Itu namanya ozon,” kata Alice Sopworth. “Khasiatnya sebagus tonikum.” Dan ia juga
mengikik.
Pikir James, “Aku ingin sekali membenturkan kepala dungu mereka. Apa gunanya tertawa
sepanjang waktu seperti itu? Padahal tidak ada yang lucu.”
Claude yang sangat rapi itu bergumam lesu,
“Bagaimana kalau kita mandi-mandi? Atau ini terlalu meletihkan?”
Ide untuk mandi-mandi itu disambut meriah. James ikut bergabung dengan mereka. Dengan
cerdik ia bahkan berhasil menarik Grace agak terpisah dari yang lain.
“Dengar!” keluhnya. “Aku nyaris tidak pernah melihatmu.”
“Hm, kan kita sekarang sudah bersama-sama,” sahut Grace, “dan kau bisa bergabung dan
makan siang bersama kami di hotel, setidaknya...”
Ia menatap kedua kaki James dengan ragu.
“Ada apa?” bentak James sengit. “Penampilanku kurang pantas bagimu?”
“Sayangku, kau perlu menjaga penampilanmu,” kata Grace. “Semua orang di sini
berpenampilan begitu keren. Lihat saja Claud Sopworth!”
“Aku sudah melihatnya,” ujar James muram. “Aku belum pernah melihat pria sedungu dia.”
Grace berdiri tegak dengan marah.
“Tidak perlu mengkritik teman-temanku, James, itu tidak sopan. Pakaiannya sama dengan
semua pria terhormat di hotel.”
“Bah!” sembur James. “Tahukah kau apa yang kubaca di Society Snippets waktu itu? Nah,
Duke dari... Duke dari, aku lupa, tapi ada duke yang dinobatkan sebagai pria
berpenampilan terburuk di Inggris!”
“Huh,” sahut Grace, “tapi setidaknya dia seorang duke, tahu!”
“Jadi?” bentak James. “Siapa tahu suatu hari nanti aku jadi seorang duke? Paling tidak,
hm... mungkin bukan duke, tapi yang sebanding.”
James menepuk buku kuning di sakunya, dan menyebutkan sederetan panjang nama orang yang
mengawali kehidupan dalam situasi lebih parah daripada James Bond. Grace cuma mengikik.
“Jangan konyol, James,” ujarnya. “Yang benar saja, masa kau menjadi Earl dari Kimptonon-Sea!”
James menatapnya dengan rasa marah bercampur putus asa. Udara Kimpton-on-Sea pasti
sudah merasuki kepala Grace.
Pantai pasir Kimpton-on-Sea terbentang panjang. Sejauh dua setengah kilometer berderet
pondok-pondok dan bilik-bilik untuk bertukar pakaian. Rombongan mereka baru saja
berhenti di depan sebaris kamar ganti yang berjumlah enam buah, masing-masing diberi
tanda “Khusus untuk tamu Esplanade Hotel”.
“Kita sudah sampai,” ujar Grace ceria, “tapi kau tidak bisa masuk bersama kami, James,
kau terpaksa ke tenda-tenda umum di sebelah sana untuk bertukar pakaian. Kami akan
menemuimu di laut. Sampai jumpa!”
“Sampai jumpa!” kata James, dan ia melangkah menuju arah yang ditunjuk tadi.
Dua belas tenda bobrok berdiri menghadap laut. Seorang pelaut tua menjaga tenda-tenda
itu dengan segulung kertas biru di tangannya. Ia menerima koin yang diberikan James,
menyobek sehelai karcis biru dari gulungan tadi, melemparkan handuk ke arahnya, lalu
mengayunkan jempol ke belakang pundaknya.
“Silakan antre,” ujarnya serak.
Saat itulah James tersadar adanya persaingan. Selain dirinya, orang-orang lain juga
berminat masuk ke laut. Selain semua tenda sudah ada orangnya, di luar setiap tenda
sudah menunggu sekelompok orang yang saling memelototi dengan galak. James bergabung di
kelompok yang paling kecil, dan menunggu. Kelepak tenda terbuka, dan dari dalamnya
muncul wanita muda cantik dengan pakaian mandi minim sambil mengenakan topi mandinya
dengan sangat santai. Ia melangkah menuju bibir pantai, lalu duduk di pasir sambil
melamun.
“Percuma saja,” kata James dalam hati, lalu bergabung dengan kelompok lain.
Setelah menunggu lima menit, terdengar aktivitas dalam tenda kedua. Setelah terdorong
ke sana kemari, kelepak tenda terbuka lebar dan muncullah empat anak bersama ayah-ibu
mereka. Mengingat ukuran tenda kecil itu, pemandangan ini mirip permainan sulap. Pada
saat yang sama, dua wanita melompat maju dan masing-masing menyambar kelepak tenda yang
sama.
“Saya duluan,” ujar wanita muda pertama sedikit terengah.
“Saya yang lebih dulu,” balas wanita muda kedua sambil mendelik.
“Anda harus tahu, saya sudah berada di sini sepuluh menit sebelum Anda tiba,” kata
wanita muda pertama dengan cepat.
“Saya sudah berada di sini seperempat jam yang lalu, dan semua orang juga tahu itu,”
balas wanita kedua menantang.
“Sudah, sudah,” ujar pelaut tua itu sambil mendekat.
Kedua wanita muda itu bicara dengan suara melengking padanya. Setelah mereka selesai
mengadu, pelaut itu mengayunkan jempolnya ke arah wanita kedua, lalu berkata singkat,
“Silakan masuk.”
Setelah itu ia beranjak pergi dengan tenang, seakan tidak mendengar protes yang
dilontarkan padanya. Ia tidak tahu dan tidak peduli siapa yang tiba lebih dulu, tapi
keputusannya, seperti tertulis di koran tentang kompetisi, adalah final. James yang
resah menangkap lengan pelaut itu.
“Coba dengar kataku!”
“Ada apa, Mister?”
“Berapa lama lagi aku bisa masuk tenda?”
Dengan acuh tak acuh pelaut tua itu melihat sekilas ke arah kerumunan orang yang
menunggu giliran.
“Mungkin sejam, mungkin satu setengah jam, entahlah.”
Saat itulah James melihat Grace dan gadis-gadis Sopworth itu berlarian di pasir, menuju
laut.
“Sialan!” umpat James dalam hati. “Oh, sialan!”
Ia kembali menyambar lengan pelaut tua itu.
“Apa aku tidak bisa mendapat tenda di tempat lain? Bagaimana dengan salah satu kamar
ganti di sana itu? Kelihatannya semua pondok kosong.”
“Pondok-pondok itu,” ujar pelaut tua itu dengan sombong, “adalah kamar ganti PRIBADI.”
Selesai mengomel, ia melangkah pergi. Dengan hati getir karena merasa tertipu, James
meninggalkan kerumunan orang yang menunggu giliran itu, lalu melangkah geram menuju
pantai. Ini luar biasa! Ini benar-benar luar biasa! Dengan geram ia memelototi deretan
rapi kamar ganti yang dilewatinya. Saat itu juga ia berubah dari pengikut partai
Liberal Independen menjadi Sosialis tulen. Mengapa orang kaya memiliki kamar-kamar
ganti pribadi dan bisa mandi kapan saja mereka mau tanpa harus menunggu giliran di
tengah kerumunan? “Sistem kita,” ujar James samar, “sama sekali salah.”
Dari arah laut terdengar jeritan-jeritan genit gadis yang terkena percikan air. Suara
Grace! Dan meningkahi pekikannya, terdengar gelak tawa “Ha ha ha” si tolol Claud
Sopworth.
“Sialan!” maki James sambil mengertakkan gigi, hal yang belum pernah dicobanya dan
hanya dibacanya dalam kisah-kisah fiksi.
Ia menghentikan langkah, dan sambil memutar-mutar ranting dengan geram, ia berdiri
membelakangi laut. Dengan kebencian meluap-luap ia menatap Eagle’s Nest, Buena Vista,
dan Mon Desir. Sudah menjadi kebiasaan penghuni Kimpton-on-Sea untuk menandai kamar
ganti mereka dengan nama-nama keren. Bagi James, Eagle’s Nest terdengar konyol, dan
Buena Vista tidak ada dalam perbendaharaan kata-katanya. Tapi pengetahuan bahasa
Prancis-nya cukup memadai untuk menyadari keserasian nama ketiga.
“Mon Desir,” ujar James. “Aku harus mengakuinya.”
Ia melihat bahwa sementara pintu-pintu kamar ganti yang lain tertutup rapat, pintu Mon
Desir terbuka lebar. James mengamati pantai, dan menyadari bagian ini terutama
digunakan para ibu dengan keluarga besar, masing-masing sibuk mengurus anak-anak
mereka. Hari baru pukul sepuluh, masih terlampau pagi bagi kaum bangsawan Kimpton-onSea untuk turun kemari dan mandi.
“Menikmati daging burung puyuh dan jamur di tempat tidur, dilayani bujang berbedak,
bah! Takkan ada yang turun kemari sebelum jam dua belas,” pikir James.
Ia melihat ke arah laut lagi. Dengan kepatuhan penyanyi opera terlatih, jeritan
melengking Grace berkumandang di udara. Diikuti “Ha ha ha” Claud Sopworth.
“Akan kulakukan,” desis James.
Ia mendorong pintu Mon Desir dan masuk ke dalam. Untuk sesaat ia ketakutan melihat
berbagai macam pakaian bergantungan dari pasak, tapi segera tenang kembali. Pondok itu
dibagi menjadi dua. Di sebelah kanan terlihat sweater gadis berwarna kuning, topi
jerami yang sudah penyok, dan sepasang sepatu pantai yang tergantung di pasak. Di
sebelah kiri, celana panjang flanel kelabu yang sudah tua, sehelai pullover, dan topi
pelaut anti air menunjukkan pemisahan ruang sesuai jenis kelamin. James bergegas ke
bagian laki-laki dalam pondok itu, dan cepat-cepat menanggalkan pakaiannya. Tiga menit
kemudian, ia sudah berada di laut, asyik menyembur dan mendengus dengan sombong, sambil
memamerkan beberapa gaya renang profesional—dengan kepala di bawah air, lengan mengayuh
kuat—penuh gaya.
“Oh, di situ kau rupanya!” seru Grace. “Aku khawatir kau tidak bisa segera masuk ke
air, melihat kerumunan orang yang menunggu giliran di sana.”
“Begitu?” ujar James.
Dengan setia ia berpikir tentang buku kuningnya. “Adakalanya pria perkasa bisa bersikap
bijaksana.” Untuk sementara amarahnya sudah reda. Ia bisa berbicara dengan ramah namun
tegas pada Claud Sopworth, yang sedang mengajarkan gaya overarm pada Grace.
“Bukan, bukan begitu, Bung, kau keliru. Aku akan menunjukkan caranya padanya.”
Nada bicaranya begitu yakin, hingga Claud mengundurkan diri dengan tersipu. Sayangnya,
kemenangan ini singkat saja. Suhu perairan Inggris menyebabkan para perenang tidak
tahan berlama-lama di dalamnya. Grace dan gadis-gadis Sopworth itu sudah menampakkan
dagu kebiru-biruan dan gigi gemeletuk kedinginan. Mereka bergegas menuju pantai, dan
James melangkah seorang diri menuju Mon Desir. Sementara menggosok badannya dengan
handuk, lalu mengenakan kemejanya, ia merasa puas terhadap diri sendiri. Menurutnya, ia
telah menunjukkan kepribadian dinamis.
Tiba-tiba ia terpaku, nyaris lumpuh ketakutan. Dari luar terdengar celoteh beberapa
gadis, suara mereka berbeda dengan suara Grace dan teman-temannya. Sesaat kemudian ia
menyadari kenyataan, pemilik Mon Desir yang sesungguhnya telah tiba. Seandainya James
sudah berpakaian lengkap, ia bisa saja menunggu kedatangan mereka dengan sikap
bergengsi, lalu mencoba memberikan penjelasan. Tapi ia kalang kabut. Jendela-jendela
Mon Desir hanya tertutup tirai-tirai hijau tua. James menahan pintu dengan badannya dan
menggenggam tombol pintu sekuat tenaga. Dari luar, beberapa tangan mencoba memutarnya
dengan sia-sia.
“Pintu ini ternyata terkunci,” kata seorang gadis. “Sial betul, sekarang kita harus
mengambil kuncinya.”
James mendengar langkah-langkah mereka menjauh. Ia menarik napas lega dalam-dalam.
Dengan tergesa ia mengenakan sisa pakaiannya. Dua menit kemudian ia sudah melangkah
sembarangan di pantai, seakan tidak bersalah sedikit pun. Seperempat jam kemudian,
Grace dan gadis-gadis Sopworth itu bergabung dengannya. Sisa pagi itu mereka lewatkan
dengan cukup menyenangkan sambil melempar batu, menulis di pasir, dan bercanda.
Kemudian Claud melirik arlojinya.
“Sudah waktunya makan siang,” ujarnya. “Sebaiknya kita pulang.”
“Aku lapar sekali,” ujar Alice Sopworth.
Gadis-gadis yang lain juga berkata mereka kelaparan.
“Kau mau ikut, James?” tanya Grace.
Tak diragukan lagi, James terlalu mudah tersinggung. Ia memilih untuk merasa terhina
oleh nada bicara Grace.
“Tidak, bila pakaianku tidak cukup baik bagimu,” ujarnya getir. “Mungkin, mengingat kau
begitu kritis, sebaiknya aku tidak ikut.”
Ini merupakan petunjuk bagi Grace bahwa James menyampaikan protes, tapi udara laut
telah membawa dampak buruk atas dirinya. Ia cuma menjawab,
“Baiklah. Terserah kau saja, kalau begitu, sampai jumpa sore nanti.”
James tercengang.
“Wah!” katanya sambil menatap kelompok yang berjalan meninggalkannya. “Wah, ya
ampun...”
Dengan murung ia melangkah ke kota. Di Kimpton-on-Sea ada dua kafe, keduanya panas,
berisik, dan penuh sesak. Kejadian di tenda-tenda ganti pakaian terulang kembali, James
harus menunggu giliran. Ia terpaksa menunggu lebih lama daripada giliran sebenarnya,
karena seorang wanita tak tahu aturan yang baru saja tiba menyerobot tempat duduk yang
baru saja kosong. Akhirnya ia mendapat tempat juga di sebuah meja kecil. Tidak jauh
dari telinga kirinya, tiga gadis berambut cepak acak-acakan sedang asyik menirukan
opera Itali dengan kacau. Untung saja James tidak berbakat musik. Dengan lesu ia
memerhatikan daftar menu, dengan kedua tangan di kantong celana.
Pikirnya, “Apa pun yang kupesan pasti akan dijawab ‘habis’. Memang begitulah nasibku.”
Tangan kanannya yang dibenamkan sampai ke dasar kantong, menyentuh benda yang tidak
dikenalnya. Sepertinya ini sebutir kerikil, batu kerikil bulat yang besar.
“Untuk apa pula aku memasukkan batu ke dalam kantong celanaku?” pikir James.
Ia menggenggam benda itu. Seorang pelayan perempuan menghampirinya.
“Tolong minta ikan goreng dan keripik kentang,” kata James.
“Ikan gorengnya habis,” gumam si pelayan sambil menerawang ke langit-langit.
“Kalau begitu, saya minta gulai daging sapi,” ujar James.
“Gulai daging sapinya habis.”
“Apa ada sesuatu di menu sialan ini yang tidak habis?” bentak James.
Pelayan itu tampak sakit hati, dan menunjuk tulisan sup daging domba + kacang merah
dengan jarinya yang pucat. James menerima nasibnya yang tak terelakkan dan memesan sup
daging domba dengan kacang merah. Masih dengan hati mendidih mengingat cara kafe-kafe
menjalankan usaha, ia mengeluarkan tangan dari kantong celananya, masih juga
menggenggam batu itu. Setelah membuka genggamannya, ia melihat benda di telapak
tangannya dengan linglung. Kemudian mendadak semua hal lain tersingkir dari benaknya,
dan ia menatap benda itu dengan mata melotot. Benda di tangannya itu bukanlah sebutir
kerikil, melainkan—ia sangat yakin—sebutir batu zamrud, batu zamrud hijau yang sangat
besar. James menatap dengan sangat ketakutan. Tidak, ini tak mungkin batu zamrud, ini
pasti kaca berwarna biasa. Mana ada batu zamrud sebesar ini, kecuali... Tulisan di
koran menari-nari di depan mata James, “Rajah dari Maraputna—batu zamrud terkenal
sebesar telur burung merpati.” Apakah ini—mungkinkah ini—batu zamrud itu yang saat ini
sedang dipandangnya? Pelayan itu datang kembali membawa pesanan supnya, dan James
mengatupkan jarinya dengan kejang. Badannya panas-dingin. Ia merasa lelah terjebak
dalam dilema serius. Seandainya ini memang batu zamrud—tapi apa memang demikian? Apa
ini mungkin? Ia membuka genggamannya lagi dan mengintip cemas. James bukan ahli batubatu berharga, tapi kilau cemerlang permata itu meyakinkan dirinya bahwa ini batu
permata asli. Ia menaruh kedua sikunya di meja dan mencondongkan badan ke depan, sambil
melamun menatap lemak di sup daging dombanya yang perlahan-lahan membeku. Ia harus
mencari pemecahannya. Bila ini memang batu zamrud milik sang Rajah apa yang akan
dilakukannya? Perkataan “polisi” berkelebat di benaknya. Bila orang menemukan barang
berharga, ia harus membawanya ke kantor polisi. Dengan aksioma inilah ia telah dididik.
Ya, tapi... bagaimana batu zamrud ini bisa berada di kantong celananya? Dengan putus
asa ia memandang kedua kakinya, dan tiba-tiba perasaan takut menyergapnya. Ia menatap
lebih cermat. Celana panjang tua berwarna kelabu ini sangat mirip dengan celana panjang
kelabu lainnya, tapi secara naluriah James merasa ini bukan celana panjang miliknya. Ia
bersandar tertegun saat menyadari kemungkinan ini. Sekarang ia mengerti apa yang
sesungguhnya telah terjadi. Karena terburu-buru ingin segera keluar dari kamar ganti
itu, ia telah salah mengambil celana. Ia ingat telah menggantung celananya di pasak
yang berdampingan dengan celana yang sudah tergantung di situ. Ya, sejauh ini
masalahnya sudah jelas, ia telah salah mengambil celana. Tapi bagaimana batu zamrud
senilai ratusan ribu pound ini bisa sampai ke situ? Semakin dipikirkan, semakin aneh
saja persoalan itu. Ia tentu saja bisa menjelaskannya pada polisi...
Tak diragukan lagi, masalah ini memang memalukan, amat sangat memalukan. Ia terpaksa
harus menjelaskan bahwa ia telah sengaja masuk ke kamar ganti milik orang lain. Ini
tentu saja bukan pelanggaran serius, tapi tetap saja salah.
“Bisa saya bawakan yang lainnya, Sir?”
Pelayan tadi kembali lagi. Ia menatap sup daging domba yang tak tersentuh itu. James
buru-buru menuang sebagian di piringnya, lalu meminta bon. Setelah melunasinya, ia
keluar. Sementara ia berdiri bimbang di jalan, poster di seberang jalan menarik
perhatiannya. Kota Harchester yang bersebelahan dengan resor ini memiliki koran sore,
dan James menatap sebuah judul berita. Judul sederhana sekaligus sensasional: BATU
ZAMRUD RAJAH DICURI. “Astaga,” ujar James lemas sambil bersandar di tiang. Sambil
menenangkan diri, ia mengeluarkan koin satu penny dan membeli koran. Ia langsung
menemukan berita yang dicarinya. Berita-berita sensasional lokal memang tidak banyak
dan jarang terjadi. Judul-judul utama menghiasi halaman depan. “Pencurian Sensasional
di Kediaman Lord Edward Campion. Pencurian Batu Zamrud Bersejarah yang Terkenal.
Kerugian Besar Rajah dari Maraputna.” Fakta-faktanya tidak banyak dan sederhana. Malam
sebelumnya, Lord Edward Campion telah menjamu beberapa teman. Karena ingin menunjukkan
batu itu pada salah seorang tamu wanita, sang Rajah masuk untuk mengambilnya, dan
mendapati batu permata itu sudah raib. Polisi telah dipanggil. Sejauh ini belum ada
petunjuk yang berhasil didapat. James menjatuhkan koran itu ke lantai. Ia masih belum
paham, bagaimana batu zamrud itu bisa berada di kantong celana flanel tua di kamar
ganti, tapi ia semakin menyadari polisi pasti akan menganggap ceritanya mencurigakan.
Jadi, apa yang harus dilakukannya? Di sinilah dia, berdiri di jalan utama Kimpton-onSea dengan harta curian senilai uang tebusan raja beristirahat nyaman di dalam kantong
celananya, sementara seluruh pasukan polisi distrik sedang sibuk mencari benda curian
yang sama. Ada dua tindakan yang bisa dilakukannya. Tindakan pertama, langsung ke
kantor polisi dan menyampaikan kisahnya—tapi harus diakui, James sangat takut
melakukannya. Tindakan kedua, bagaimanapun, ia harus menyingkirkan batu zamrud itu. Ia
terpikir untuk membungkus permata itu di dalam kotak kecil dan mengirimnya lewat pos
kepada sang Rajah. Ia lalu menggeleng. Ia telah banyak membaca kisah detektif. Ia tahu
cara kerja detektif ulung yang beraksi dengan kaca pembesar dan semua jenis peralatan
canggih lainnya. Setiap detektif tulen akan sibuk memeriksa paket James, dan dalam
setengah jam akan berhasil menemukan profesi, usia, kebiasaan, dan penampilan pribadi
pengirimnya. Sesudah itu hanya dibutuhkan beberapa jam untuk menelusuri jejaknya.
Tiba-tiba muncul rencana yang sangat sederhana di benak James. Ini jam makan siang.
Pantai relatif sepi, ia akan kembali ke Mon Desir, menggantung kembali celana itu di
tempat semula, dan mengenakan celananya sendiri. Dengan cepat ia melangkah menuju
pantai.
Bagaimanapun, nuraninya mulai berbicara. Batu zamrud itu harus dikembalikan pada sang
Rajah. Mungkin ada baiknya ia melakukan sedikit pekerjaan detektif—tentunya sesudah ia
mendapatkan kembali celananya sendiri dan mengembalikan yang satu. Guna melaksanakan
ide ini, ia mengarahkan langkah-langkahnya menuju pelaut tua itu, yang dianggapnya
sumber informasi Kimpton-on-Sea yang tiada habis-habisnya.
“Permisi!” ujar James sopan. “Saya rasa teman saya yang bernama Mr. Charles Lampton
punya pondok kamar ganti di pantai ini. Pondok itu diberi nama Mon Desir, saya kira.”
Pelaut tua itu sedang duduk santai di kursinya, mengisap pipa tembakau sambil memandang
ke arah laut. Ia menggeser pipanya sedikit, dan menjawab tanpa mengalihkan pandangannya
dari kaki langit.
“Mon Desir adalah kepunyaan Paduka Lord Edward Campion, semua orang tahu itu. Aku belum
pernah mendengar nama Charles Lampton, dia tentunya pendatang baru.”
“Terima kasih.” kata James sambil mengundurkan diri.
Informasi ini sangat mengejutkannya. Sang Rajah pasti tak mungkin menyelipkan batu itu
ke dalam kantong celana dan melupakannya. James menggeleng, teori ini tidak memuaskan,
tapi sudah jelas salah satu penghuni rumah itulah pencurinya. Situasi ini mengingatkan
James akan beberapa kisah fiksi favoritnya.
Bagaimanapun, tujuannya belum berubah. Segala sesuatu berjalan lancar. Seperti yang
diharapkannya, pantai tampak sepi. Yang lebih menguntungkan lagi, pintu Mon Desir masih
tetap terbuka lebar. Menyelinap masuk hanya butuh waktu sekejap. James baru saja
mengambil celananya sendiri dari pasak, ketika suara di belakangnya membuatnya berbalik
secepat kilat.
“Nah, kena kau, Bung!” kata suara tadi.
James memandang dengan mulut ternganga. Di pintu Mon Desir berdiri seorang asing:
seorang pria berpakaian bagus berusia sekitar empat puluhan, dengan wajah tajam
bagaikan burung elang.
“Kena kau sekarang!” ulang orang asing itu.
“Siapa... siapa Anda?” James tergagap.
“Detektif Inspektur Merrilees dari Scotland Yard,” jawab orang itu tegas. “Dan silakan
menyerahkan batu zamrud itu.”
“Batu zamrud?”
James berusaha mengulur waktu.
“Itulah yang kukatakan tadi, bukan?” sahut Inspektur Merrilees.
Ucapannya tegas dan praktis. James berusaha menenangkan diri.
“Saya tidak paham maksud Anda,” ujarnya dengan gaya yang dianggapnya penuh gengsi.
“Oh, ya, Nak, kurasa kau paham.”
“Semuanya ini,” ujar James, “adalah kekeliruan. Saya bisa menjelaskannya dengan
mudah...” Ia terhenti.
Wajah pria itu tampak bosan.
“Mereka selalu berkata begitu,” gumam petugas Scotland Yard itu jemu. “Kurasa kau
mencurinya saat sedang berjalan-jalan di pantai, kan? Itulah penjelasan yang benar.”
James menyadari bahwa kenyataannya memang mirip, tapi ia masih harus mengulur waktu.
“Bagaimana saya bisa tahu Anda benar-benar detektif?” ia bertanya lesu.
Merrilees menyingkapkan jaketnya sesaat, menunjukkan lencananya. James menatapnya
terbelalak.
“Dan sekarang,” ujar pria itu riang, “kaulihat kesulitan apa yang sedang kauhadapi! Kau
orang baru—bisa kulihat. Ini pengalaman pertamamu, bukan?”
James mengangguk.
“Sudah kuduga. Sekarang, Nak, apa kau akan menyerahkan batu zamrud itu, atau haruskah
aku menggeledahmu?”
James menemukan kembali suaranya.
“Saya... saya tidak membawanya,” katanya.
Ia memutar otak.
“Apa kau meninggalkannya di penginapan?” tanya Merrilees.
James mengangguk.
“Baiklah kalau begitu,” ujar sang detektif, “kita akan ke sana bersama-sama.”
Ia menyelipkan lengannya di bawah lengan James.
“Aku tidak mau mengambil risiko kau kabur dariku,” katanya lembut. “Kita akan pergi ke
penginapanmu, dan kau harus menyerahkan batu itu padaku.”
James berkata ragu, “Bila saya melakukannya, apa Anda akan melepaskan saya?”
Merrilees tampak malu.
“Kami tahu bagaimana batu itu dicuri,” jelasnya, “dan tentang wanita yang terlibat, dan
tentu saja, sejauh ini sang Rajah ingin hal ini dirahasiakan. Anda tahu tentang para
penguasa pribumi?”
James, yang tidak tahu apa-apa tentang penguasa pribumi, kecuali seorang cause célèbre,
mengangguk seakan mengerti sepenuhnya.
“Tentu saja ini tidak biasa,” kata sang detektif, “tapi kau mungkin akan dibebaskan
tanpa hukuman.”
Lagi-lagi James mengangguk. Mereka sudah berjalan sepanjang Esplanade, dan sekarang
melangkah menuju kota. James menunjukkan arahnya, tapi pria itu tidak mengendurkan
cengkeramannya di lengan James.
Tiba-tiba James terhenti dan bergumam. Merrilees mendongak ke atas, lalu tertawa.
Mereka baru saja melintasi kantor polisi, dan ia melihat lirikan cemas James ke arah
tempat itu.
“Aku akan memberimu kesempatan dahulu,” ujarnya riang.
Saat itulah terjadi sesuatu. James berteriak keras-keras. Sambil mencekal lengan pria
itu, ia berteriak sekuat tenaga,
“Tolong! Maling! Tolong! Maling!”
Dalam waktu kurang dari semenit, orang-orang berkerumun di sekeliling mereka. Merrilees
berusaha melepaskan lengannya dari cengkeraman James.
“Aku akan menuntut orang ini!” seru James. “Aku akan menuntut orang ini, dia
mencopetku.”
“Kau ini bicara apa, tolol?” seru pria itu.
Seorang polisi mengambil alih situasi. Mr. Merrilees dan James digiring ke dalam kantor
polisi. James mengulangi pengaduannya.
“Orang ini baru saja mencopet saya,” ujarnya penuh emosi. “Dia menyembunyikan dompet
saya di saku kanannya, di situ!”
“Orang muda ini gila,” gerutu pria itu. “Anda bisa memeriksa sendiri, Inspektur, dan
lihatlah apa dia berkata benar.”
Atas isyarat sang inspektur, polisi tadi menyelipkan tangan dengan sikap hormat ke
dalam saku Merrilees. Ia mengeluarkan sesuatu dan ternganga keheranan.
“Ya Tuhan!” seru sang inspektur, lupa akan sikap profesionalnya. “Itu pasti batu zamrud
milik Rajah.”
Merrilees tampak lebih terperangah daripada yang lain.
“Ini mengerikan,” ia tergagap, “mengerikan. Orang ini pasti telah memasukkannya ke
dalam saku saya sementara kami berjalan bersama. Ini perangkap.”
Kepribadian Merrilees yang penuh semangat membuat inspektur itu agak ragu.
Kecurigaannya beralih ke James. Ia membisikkan sesuatu pada polisi tadi, yang lalu
pergi keluar.
“Baiklah, Tuan-tuan,” ujar inspektur itu, “izinkan saya mendengar penjelasan Anda, satu
per satu.”
“Tentu saja,” ujar James. “Saya sedang berjalan-jalan di pantai ketika berjumpa dengan
tuan ini, dan dia berpura-pura mengenal saya. Saya tidak ingat pernah bertemu
dengannya, tapi saya terlalu sopan untuk mengatakannya. Kami lalu berjalan bersamasama. Saya merasa curiga padanya, dan tepat ketika kami melintas di depan kantor
polisi, tangannya sudah berada di dalam saku saya. Saya langsung mencekalnya dan
berteriak minta tolong.”
Inspektur itu mengalihkan pandangannya pada Merrilees.
“Sekarang giliran Anda, Sir.”
Merrilees tampak agak malu.
“Kisah itu nyaris betul,” ujarnya perlahan, “tapi tidak sepenuhnya benar. Bukan saya,
tapi dialah yang berpura-pura kenal. Tak diragukan lagi, dia sedang berusaha
mengenyahkan batu zamrud itu, dan menyelipkannya ke dalam saku saya saat kami
berbincang-bincang.”
Inspektur itu berhenti menulis.
“Ah!” katanya tanpa memihak. “Nah, sebentar lagi akan tiba seorang tuan yang akan
membantu kita membereskan masalah ini.”
Merrilees mengerutkan dahi.
“Saya tidak mungkin menunggu,” gumamnya sambil mengeluarkan arlojinya. “Saya sudah ada
janji. Inspektur, Anda tentunya tidak sekonyol itu, mengira saya mencuri batu zamrud
dan berjalan-jalan sambil mengantonginya?”
“Saya setuju itu tidak mungkin, Sir,” jawab sang inspektur. “Tapi Anda terpaksa
menunggu lima atau sepuluh menit sampai kita membereskan persoalan ini. Ah! Paduka
sudah tiba.”
Seorang pria jangkung melangkah masuk ruangan. Ia mengenakan celana panjang lusuh dan
sweater lama.
“Baik, Inspektur, ada apa ini?” ujarnya. “Anda berkata batu zamrud itu sudah ditemukan?
Itu hebat, kerja yang sangat bagus. Siapa orang-orang yang bersama Anda ini?”
Matanya memandang James, dan berhenti saat melihat Merrilees. Kepribadian laki-laki
yang tadi penuh semangat itu sepertinya merosot dan menyusut.
“Wah—Jones!” seru Lord Edward Campion.
“Anda mengenal orang ini, Lord Edward?” tanya inspektur itu tajam.
“Tentu saja,” jawab Lord Edward dingin. “Dia pelayanku, datang kepadaku sebulan yang
lalu. Orang yang diutus dari London langsung memeriksanya, tapi jejak batu zamrud itu
tidak ditemukan di antara barang-barangnya.”
“Dia membawa batu itu di dalam saku jaketnya,” sahut inspektur itu. “Tuan inilah yang
mempertemukan kami dengannya.” Ia menunjuk James.
Saat berikutnya, James diberi ucapan selamat dan jabat tangan hangat.
“Anak muda yang baik,” ujar Lord Edward Campion. “Jadi, Anda sudah mencurigainya sejak
awal, kata Anda?”
“Ya,” jawab James. “Saya terpaksa mengarang cerita tentang kecopetan, agar bisa
membawanya ke kantor polisi.”
“Nah, itu hebat sekali,” kata Lord Edward, “amat sangat hebat. Anda harus ikut dan
makan siang bersama kami, itu kalau Anda belum makan siang. Aku tahu ini sudah siang,
hampir jam dua.”
“Tidak,” ujar James, “saya belum makan siang—tapi...”
“Cukup, cukup,” ujar Lord Edward. “Rajah pasti ingin menyampaikan terima kasih pada
Anda karena mendapatkan kembali batu zamrud itu baginya. Meski aku belum memahami
cerita sesungguhnya.”
Sementara itu mereka sudah berada di luar kantor polisi, berdiri di anak tangga.
“Sebenarnya,” kata James, “saya ingin menyampaikan kejadian sesungguhnya.”
Dan ia menceritakannya. Paduka sangat senang mendengarnya.
“Kisah paling bagus yang pernah kudengar seumur hidupku,” ujarnya. “Sekarang jelaslah
bagiku. Jones tentunya bergegas ke kamar ganti begitu dia berhasil mencuri batu itu,
karena tahu polisi pasti akan menggeledah rumah dengan cermat. Celana tua yang
terkadang kupakai saat memancing tak mungkin disentuh siapa pun, dan dia bisa mengambil
kembali permata itu dengan santai. Dia tentunya terkaget-kaget saat kembali dan
mendapati batu itu sudah lenyap. Begitu Anda muncul, dia menyadari Anda-lah yang telah
memindahkan batu itu. Tapi aku masih belum mengerti, bagaimana Anda berhasil membuka
kedok detektifnya itu.”
“Pria perkasa,” pikir James diam-diam, “tahu kapan harus terus terang dan kapan harus
bijaksana.”
Ia tersenyum mencemooh, sementara jari-jarinya meraba bagian dalam kelepak jaket dan
membelai lencana perak kecil Merton Park Super Cycling Club, perkumpulan penggemar
sepeda yang tidak terkenal itu. Benar-benar kebetulan yang mengherankan bila laki-laki
bernama Jones itu juga salah satu anggotanya, tapi memang itulah kenyataannya!
“Halo, James!”
Ia menoleh. Grace dan gadis-gadis Sopworth itu memanggilnya dari seberang jalan. Ia
menoleh pada Lord Edward.
“Permisi sebentar.”
Ia menyeberangi jalan, menemui mereka.
“Kami mau pergi menonton bioskop,” kata Grace. “Mungkin kau mau ikut?”
“Maaf,” ujar James. “Aku akan makan siang bersama Lord Edward Campion. Ya, pria di sana
yang mengenakan pakaian tua yang nyaman itu. Dia ingin aku bertemu Rajah dari
Maraputna.”
Ia mengangkat topinya dengan sopan, lalu bergabung kembali dengan Lord Edward.
NYANYIAN TERAKHIR
I
SUATU pagi di bulan Mei, pukul sebelas di London. Mr. Cowan sedang memandang ke luar
jendela, di belakangnya tampak semarak ruang duduk kamar suite Ritz Hotel. Kamar ini
telah dipesan untuk Madame Paula Nazarkoff, bintang opera terkenal itu, yang baru tiba
di London. Mr. Cowan, manajer bisnis Madame, sedang menunggu bertemu dengannya. Ia
langsung menoleh begitu pintu terbuka, tapi ternyata yang masuk itu Miss Read,
sekretaris Madame Nazarkoff, gadis pucat dengan sikap efisien.
“Oh, ternyata kau,” ujar Mr. Cowan. “Madame belum bangun?”
Miss Read menggeleng.
“Dia memintaku datang sekitar jam sepuluh,” kata Mr. Cowan. “Aku sudah menunggu satu
jam.”
Ia tidak menampakkan rasa kesal maupun heran. Mr. Cowan sudah terbiasa dengan tingkah
laku aneh dan temperamen seniman. Ia pria jangkung dengan wajah dicukur bersih,
sosoknya agak terlalu perlente, dan pakaiannya sedikit terlalu sempurna. Rambutnya
hitam legam dan mengilat, giginya sangat putih berkilau. Saat bicara, ia mengucapkan
huruf “s” agak cadel. Tidak perlu imajinasi berlebihan untuk menyadari bahwa nama
ayahnya mungkin Cohen. Saat itu pintu di seberang ruangan terbuka, dan seorang gadis
Prancis yang ramping bergegas melintasi ruangan.
“Madame sudah bangun?” tanya Cowan penuh harap. “Katakan pada kami, Elise.”
Elise langsung mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
“Pagi ini Madame uring-uringan, tak ada yang menyenangkan hatinya! Katanya mawar-mawar
kuning cantik yang dikirimkan Monsieur semalam memang bagus sekali untuk di New York,
tapi sungguh imbecile untuk mengirimkannya di London. Menurut Madame, di London hanya
mawar merahlah yang pantas, dan dia langsung membuka pintu, membuang mawar-mawar kuning
itu ke lorong hingga menimpa seorang tuan, très comme il faut, saya rasa seorang
perwira militer, dan tuan ini tentu saja marah!”
Cowan mengangkat alis, tapi tidak menampakkan tanda-tanda emosi lainnya. Ia lalu
mengeluarkan buku catatan kecil dari sakunya dan menulis kata-kata “mawar merah” di
dalamnya.
Elise bergegas keluar lewat pintu lain, dan Cowan kembali menghadap jendela. Vera Read
duduk di meja, mulai membuka surat-surat serta memilah-milahnya. Sepuluh menit berlalu
dalam keheningan, dan tiba-tiba pintu kamar tidur terpentang. Paula Nazarkoff melangkah
masuk ke ruangan itu. Kehadirannya langsung membuat ruangan itu tampak lebih sempit dan
Vera Read tampak lebih pucat, sedangkan Cowan jadi sekadar seperti sosok di latar
belakang.
“Ah ha! Anak-anakku,” ujar sang primadona, “bukankah aku tepat waktu?”
Wanita ini bertubuh tinggi besar, dan untuk ukuran penyanyi, ia tidak terlalu gemuk.
Lengan dan kakinya masih cukup langsing, sedangkan lehernya tegak bagaikan tiang yang
indah. Rambutnya yang disanggul berupa gelungan memanjang sampai ke tengkuk, berwarna
merah tua. Warna ini antara lain disebabkan oleh henna. Ia tidak muda lagi, usianya
paling tidak empat puluh tahun, namun raut wajahnya masih tampak cantik, meskipun kulit
di seputar mata hitamnya yang berkilat itu sudah agak kendur dan keriput. Ia memiliki
gelak tawa anak kecil, pencernaan burung unta, dan temperamen iblis. Selain itu, ia
diakui sebagai penyanyi soprano dramatis terbesar di zamannya. Ia berpaling ke Cowan.
“Sudah kaulakukan instruksiku? Apa kau sudah menyingkirkan piano Inggris jelek itu dan
membuangnya ke Sungai Thames?”
“Saya sudah mendapatkan yang lain untuk Anda,” ujar Cowan sambil menunjuk ke arah piano
yang tegak di sudut.
Nazarkoff bergegas menghampiri, lalu membuka tutupnya.
“Piano Erard,” katanya, “itu lebih bagus. Sekarang mari kita coba.”
Suara soprano yang merdu itu mengalunkan nada yang bergantian cepat, kemudian dua kali
naik-turun oktaf dengan ringan, melambung mencapai nada tinggi, bertahan di situ dengan
volume semakin keras, lalu melembut kembali sampai lenyap.
“Ah!” kata Paula Nazarkoff, puas dan lugu. “Alangkah merdunya suaraku! Bahkan di London
pun suaraku tetap merdu.”
“Betul,” Cowan mengiyakan sambil memberikan ucapan selamat dengan hangat. “Berani
bertaruh London akan tergila-gila pada Anda, sama seperti New York.”
“Kaupikir begitu?” tanya sang penyanyi.
Senyuman tipis membayang di bibirnya, dan sangat jelas bahwa pertanyaan tadi sekadar
basa-basi lumrah belaka.
“Sudah tentu,” jawab Cowan.
Paula Nazarkoff menutup piano itu kembali, lalu berjalan menuju meja dengan langkahlangkah lambat bergelombang yang terbukti efektif di atas panggung.
“Well, well,” ujarnya, “sekarang mari kita bekerja. Kau sudah mengatur semuanya,
Kawan?”
Cowan mengeluarkan beberapa surat dari map yang tadi diletakkan di atas kursi.
“Tidak banyak perubahan,” komentarnya. “Anda akan menyanyi lima kali di Covent Garden,
membawakan Tosca liga kali, dan Aida dua kali.”
“Aida! Bah,” keluh sang primadona, “membosankan sekali. Tosca, itu baru beda.”
“Ah, ya,” sahut Cowan. “Tosca memang keahlian Anda.”
Paula Nazarkoff berdiri tegak.
“Akulah penyanyi Tosca terbesar di seluruh dunia,” ujarnya tenang.
“Betul sekali,” Cowan mengiyakan. “Tak seorang pun mampu menandingi Anda.”
“Kurasa Roscari akan menyanyikan ‘Scarpia’?”
Cowan mengangguk.
“Dan Emile Lippi.”
“Apa?!” jerit Nazarkoff. “Lippi, si katak kerdil menggonggong itu, kung—kung—kung. Aku
takkan menyanyi dengannya, aku akan menggigitnya, aku akan mencakar wajahnya.”
“Sudah, sudah,” ujar Cowan menenangkan.
“Dengar kataku, dia bukan menyanyi, dia anjing kampung yang menggonggong.”
“Hm, kita lihat nanti, kita lihat nanti,” kata Cowan.
Ia terlalu bijak untuk berdebat dengan penyanyi temperamental.
“Bagaimana dengan Cavaradossi?” bentak Nazarkoff.
“Hensdale, penyanyi tenor Amerika itu yang akan membawakannya.”
Nazarkoff mengangguk.
“Dia pemuda yang baik, suaranya merdu.”
“Dan saya percaya Barrère akan menyanyikannya satu kali.”
“Dia seniman,” puji Madame. “Tapi membiarkan si kodok Lippi itu memerankan Scarpia! Bah
—aku takkan menyanyi bersamanya.”
“Serahkan saja pada saya,” ujar Cowan menghibur.
Ia berdeham, lalu mengeluarkan setumpuk kertas lain.
“Saya sedang mengatur konser istimewa di Albert Hall.”
Nazarkoff menyeringai.
“Saya tahu, saya tahu,” ujar Cowan, “tapi semua orang melakukannya.”
“Aku akan menyanyi dengan bagus,” ujar Nazarkoff, “gedung itu akan penuh sesak sampai
ke langit-langit, dan aku akan mendapatkan banyak uang. Ecco!”
Lagi-lagi Cowan mengambil surat-surat.
“Berikut ini ada usul yang agak berbeda,” katanya, “dari Lady Rustonbury. Dia ingin
Anda datang untuk menyanyi.”
“Rustonbury?”
Sang primadona mengerutkan kening, seakan berusaha mengingat sesuatu.
“Aku pernah mendengar nama itu—baru saja. Itu nama kota—atau desa, kan?”
“Betul, desa kecil yang permai di
sendiri, yaitu Rustonbury Castle,
dengan hantu-hantu, potret-potret
bermutu tinggi. Mereka kaya-raya,
menyarankan kita membawakan opera
Hertfordshire. Mengenai kediaman Lord Rustonbury
tempat ini bergaya anggun, antik, dan feodal, lengkap
keluarga, tangga-tangga rahasia, dan teater pribadi
dan selalu mengadakan pertunjukan pribadi. Dia
lengkap, kalau bisa Butterfly.”
“Butterfly?”
Cowan mengangguk.
“Dan mereka bersedia membayar. Kita tentu saja harus menyelesaikan pertunjukan di
Covent Garden dulu, tapi sesudah itu pun secara finansial usul itu sangat memadai.
Hampir bisa dipastikan akan ada bonusnya juga. Ini akan menjadi iklan yang sangat
bermutu.”
Madame mengangkat dagunya yang masih indah itu.
“Memangnya aku masih membutuhkan iklan?” sergahnya bangga.
“Kalau ada kesempatan, mengapa tidak?” ujar Cowan tanpa malu.
“Rustonbury,” gumam penyanyi itu, “di mana aku pernah membacanya...?”
Mendadak ia melompat berdiri, dan sambil berlari ke meja tengah, ia mulai membalikbalik halaman koran yang tergeletak di atasnya. Tiba-tiba tangannya terhenti dan
melayang di atas salah satu halaman. Setelah itu ia menjatuhkan koran itu ke lantai dan
melangkah perlahan kembali ke tempat duduknya. Suasana hatinya cepat berubah, dan
sekarang kepribadiannya tampak sangat berbeda. Sikapnya sangat tenang, nyaris
sederhana.
“Atur semuanya untuk Rustonbury, aku mau menyanyi di situ, tapi dengan satu syarat—
operanya harus Tosca.”
Cowan tampak ragu.
“Itu takkan mudah—untuk pertunjukan pribadi, Anda tahu bukan, dekor pemandangan dan
sebagainya.”
“Tosca atau tidak sama sekali.”
Cowan memerhatikannya dengan cermat. Apa yang dilihatnya seakan meyakinkan dirinya. Ia
mengangguk singkat, lalu bangkit berdiri.
“Akan saya coba,” ujarnya tenang.
Nazarkoff juga bangkit berdiri. Ia tampak lebih bersemangat daripada biasanya untuk
menjelaskan keputusannya.
“Ini peranku yang terbesar, Cowan. Aku mampu membawakan bagian itu lebih baik daripada
perempuan mana pun.”
“Itu memang bagian yang indah,” ujar Cowan. “Tahun lalu Jeritza mendapat sambutan
meriah saat membawakannya.”
“Jeritza!” pekik Nazarkoff dengan wajah memerah. Dengan panjang-lebar ia memuntahkan
pendapatnya tentang Jeritza.
Cowan, yang sudah terbiasa mendengar pendapat para penyanyi tentang penyanyi lain,
mengalihkan perhatiannya sampai semburan itu reda. Setelah itu ia berkata dengan nekat,
“Bagaimanapun, dia menyanyikan Vissi D’arte sambil berbaring tertelungkup.”
“Mengapa tidak?” bentak Nazarkoff. “Apa susahnya? Aku akan menyanyikannya sambil
berbaring telentang dengan menendang-nendangkan kedua kakiku ke atas.”
Cowan menggeleng serius.
“Saya tidak percaya gaya itu akan mengalahkan siapa pun,” komentarnya. “Namun, hal
seperti itu memang menantang.”
“Tak seorang pun mampu menyanyikan Vissi D’Arte sehebat aku,” kata Nazarkoff yakin.
“Aku membawakannya dengan suara biara—seperti diajarkan para biarawati bertahun-tahun
lalu. Dengan suara bening bocah paduan suara laki-laki atau malaikat, tanpa perasaan,
tanpa gairah.”
“Saya tahu,” sahut Cowan riang. “Saya sudah mendengarnya, Anda memang hebat sekali.”
“Itu yang namanya seni,” kata sang primadona, “membayar harganya, menderita, bertahan,
dan akhirnya bukan saja menguasai ilmunya, tapi juga kemampuan untuk mundur ke awal,
dan menangkap kembali keindahan hati anak kecil yang sudah terhilang.”
Cowan menatapnya heran. Nazarkoff menatap kosong dengan janggal, dan ada sesuatu dalam
pandangan itu yang membuat Cowan merinding. Bibir Nazarkoff terbuka sedikit, dan ia
membisikkan beberapa kata dengan lirih. Cowan nyaris tak mampu mendengarnya.
“Akhirnya,” gumam wanita itu. “Akhirnya—setelah sekian tahun.”
II
Lady Rustonbury wanita yang ambisius sekaligus artistik. Ia menggabungkan kedua hal itu
dengan sangat sukses. Ia beruntung memiliki suami yang tidak peduli pada ambisi maupun
seni, dan karenanya tidak merintanginya dalam bentuk apa pun. Earl Rustonbury pria
bertubuh besar dan kekar yang hanya tertarik pada kuda. Ia mengagumi istrinya dan
bangga terhadapnya, dan senang kekayaannya yang luar biasa itu bisa memuaskan semua
rencana istrinya. Teater pribadi itu dibangun kurang dari seabad yang lalu oleh
kakeknya. Ini merupakan mainan utama Lady Rustonbury—ia sudah menyelenggarakan drama
Ibsen di situ, dan sandiwara sekolah yang baru, mengenai perceraian dan obat-obat
terlarang, selain fantasi puitis dengan dekor abstrak. Pagelaran Tosca mendatang telah
menggugah minat luas. Lady Rustonbury akan mengadakan pesta rumah bagi kalangan yang
sangat ternama, dan para undangan dari London akan datang dengan mobil masing-masing
untuk menghadirinya.
Madame Nazarkoff beserta rombongan tiba tepat sebelum acara makan siang. Hensdale,
penyanyi tenor muda dari Amerika, akan menyanyikan Cavaradossi, sedangkan Roscari,
penyanyi bariton terkenal dari Itali, akan memerankan Scarpia. Pengeluaran untuk
pertunjukan ini sangat besar, tapi tak ada yang peduli. Suasana hati Paula Nazarkoff
sangat cerah. Sikapnya memikat, ramah tamah, dan sangat internasional. Cowan heran
sekaligus senang, dan berharap keadaan ini terus bertahan.
Selesai makan siang, rombongan ini beranjak menuju teater, dan memeriksa dekor serta
berbagai hal lainnya. Orkestra akan dipimpin oleh Mr. Samuel Ridge, salah seorang
dirigen paling ternama. Segala sesuatu sepertinya berjalan mulus tanpa cela, dan
anehnya, fakta ini justru membuat khawatir Mr. Cowan. Ia lebih terbiasa dengan suasana
penuh kesibukan, dan suasana tenteram yang tidak biasa ini mengganggunya.
“Semua ini agak terlalu mulus,” gumam Mr. Cowan. “Madame bagaikan kucing kekenyangan.
Ini terlalu bagus dan tak mungkin bertahan, sesuatu pasti terjadi.”
Boleh jadi karena telah begitu lama berkecimpung di dunia opera, Mr. Cowan telah
mengembangkan indra keenam, dan ramalannya menjadi kenyataan. Malam itu baru pukul
tujuh saat Elise, si pelayan Prancis, berlari menemuinya dengan panik.
“Ah, Mr. Cowan, cepat ikut, saya mohon, cepatlah ikut saya.”
“Ada apa?” tanya Cowan cemas. “Madame marah-marah lagi tentang sesuatu—bertengkar lagi,
begitu?”
“Bukan, ini bukan soal Madame, ini soal Signor Roscari. Dia sakit parah, dia sedang
sekarat!”
“Sekarat? Yang benar saja.”
Cowan bergegas mengikuti pelayan yang mengantarnya ke kamar tidur penyanyi Itali yang
sedang terkapar itu. Pria bertubuh kecil itu berbaring di tempat tidur, atau tepatnya,
kejang-kejang di atasnya, pemandangan yang mungkin akan dianggap lucu seandainya
situasi tidak gawat. Paula Nazarkoff sedang membungkuk di atasnya; ia menyambut Cowan
dengan angkuh.
“Ah! Akhirnya kau datang juga! Roscari yang malang, dia sangat menderita. Dia pasti
telah memakan sesuatu.”
“Aku akan mati,” erang pria kecil itu. “Sakitnya—sakitnya luar biasa. Aduh!”
Ia kejang lagi, dan sambil menekan perutnya dengan kedua tangan, ia berputar-putar di
atas ranjang.
“Kita harus memanggil dokter,” kata Cowan.
Paula menangkap tangannya saat ia hendak beranjak ke pintu.
“Dokter sudah dalam perjalanan kemari, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menolong
orang malang ini. Itu sudah diatur, tapi Roscari tak mungkin bisa menyanyi malam ini.”
“Aku takkan pernah menyanyi lagi, aku akan mati,” erang penyanyi Itali itu.
“Tidak, tidak, Anda takkan mati,” ujar Paula. “Ini cuma gangguan pencernaan, namun Anda
tidak mungkin menyanyi malam ini.”
“Aku telah diracuni.”
“Ya, ini pasti racun ptomaine,” ujar Paula. “Tetap tinggal bersamanya, Elise, sampai
dokter tiba.”
Penyanyi sopran itu menarik Cowan keluar kamar.
“Apa yang harus kita lakukan?” ia bertanya.
Cowan menggeleng putus asa. Hari sudah terlalu malam untuk menjemput orang lain dari
London untuk menggantikan Roscari. Lady Rustonbury, yang baru saja diberitahu tentang
tamunya yang sakit itu, bergegas sepanjang koridor dan bergabung dengan mereka.
Keprihatinannya yang terbesar, sama seperti Paula Nazarkoff, adalah kesuksesan Tosca.
“Seandainya ada orang yang bisa menggantikannya,” keluh sang primadona.
“Ah!” seru Lady Rustonbury tiba-tiba. “Tentu saja! Bréon.”
“Bréon?”
“Betul, Edouard Bréon. Anda tahu bukan, penyanyi bariton terkenal dari Prancis itu. Dia
tinggal tak jauh dari sini, ada foto rumahnya yang dimuat di Country Homes edisi minggu
ini. Dialah orang yang paling tepat.”
“Ini benar-benar jawaban dari langit,” seru Nazarkoff. “Bréon sebagai Scarpia, aku
ingat padanya, ini salah satu peran yang sangat cocok untuknya. Tapi dia sudah pensiun,
bukan?”
“Aku akan menjemputnya,” ujar Lady Rustonbury. “Serahkan saja padaku.”
Dan mengingat ia wanita yang biasa membuat keputusan, ia langsung berangkat menjemput
sang Hispano Suiza. Sepuluh menit kemudian, rumah peristirahatan pedesaan M. Edouard
Bréon itu diserbu sang countess yang gelisah. Lady Rustonbury wanita yang penuh tekad
kalau sudah memutuskan sesuatu, dan tak pelak lagi M. Bréon menyadari bahwa tak ada
jalan lain kecuali mengalah. Sebagai orang yang berasal dari kalangan rendahan, ia
telah meniti karier sampai ke puncak, dan bergaul akrab dengan para duke maupun
pangeran. Fakta ini selalu memberinya kepuasan. Namun sejak pensiun dan mengundurkan
diri ke tempat kuno Inggris ini, ia merasa tidak bahagia. Ia kehilangan gaya hidup yang
penuh sanjungan dan aplaus, dan menurut pendapatnya, wilayah Inggris tidak langsung
mengenalinya seperti seharusnya. Karena itu ia sangat tersanjung dan bahagia oleh
ajakan Lady Rustonbury.
“Saya akan berusaha sebaik mungkin,” ujarnya tersenyum. “Seperti Anda ketahui, sudah
lama saya tidak bernyanyi di depan umum. Saya bahkan tidak punya murid-murid, kecuali
satu-dua orang untuk kesenangan saja. Namun berhubung Signor Roscari sayang sekali
berhalangan...”
“Ini pukulan yang amat keras,” sela Lady Rustonbury.
“Tapi sebenarnya dia bukan penyanyi sejati,” ujar Bréon.
Akhirnya ia menjelaskan mengapa bisa begitu. Sepertinya tidak ada lagi penyanyi bariton
yang berkelas sejak Edouard Bréon pensiun.
“Madame Nazarkoff akan menyanyikan Tosca,” ujar Lady Rustonbury. “Saya yakin Anda
mengenalnya?”
“Saya belum pernah bertemu dengannya,” ujar Bréon. “Saya pernah satu kali mendengarnya
menyanyi di New York. Seniwati hebat—dia memiliki bakat drama.”
Lady Rustonbury merasa lega—orang tidak pernah bisa menduga perangai para penyanyi ini—
mereka memiliki kecemburuan dan antipati yang begitu aneh.
Dua puluh menit kemudian, ia memasuki kembali ruang depan kastilnya sambil melambaikan
tangan penuh kemenangan.
“Sudah kudapat dia,” serunya sambil tertawa. “M. Bréon yang baik itu benar-benar sangat
baik, aku takkan pernah melupakannya.”
Semua orang berkerumun di sekitar orang Prancis itu, dan baginya, rasa terima kasih dan
penghargaan mereka bagaikan dupa yang membubung. Edouard Bréon, meskipun sudah hampir
berusia enam puluh tahun, masih tampak tampan, tinggi besar, dan berkulit gelap, dengan
kepribadian amat menarik.
“Sebentar,” ujar Lady Rustonbury. “Di mana Madame? Oh! Itu dia.”
Paula Nazarkoff tidak turut menyambut laki-laki Prancis itu. Ia tetap duduk diam di
kursi kayu ek, di kegelapan dekat perapian. Di dalamnya sudah tentu tak ada api, sebab
malam itu hangat, dan penyanyi sopran itu sedang mengipasi diri perlahan-lahan dengan
kipas daun palem yang besar. Ia tampak begitu menyendiri dan terpisah, hingga Lady
Rustonbury khawatir ia sedang tersinggung.
“M. Bréon.” Ia mengajak penyanyi bariton itu menghampiri Paula. “Anda berkata belum
pernah berjumpa dengan Madame Nazarkoff.”
Dengan lambaian terakhir yang nyaris gemulai, Paula Nazarkoff meletakkan kipas, dan
mengulurkan tangannya pada orang Prancis itu. Pria itu menyambut tangannya, lalu
membungkuk dalam-dalam, dan sang primadona menghela napas lembut.
“Madame,” ujar Bréon, “kita belum pernah menyanyi bersama-sama. Itu akibat umur saya!
Namun Nasib sudah berbaik hati dan datang menyelamatkan saya.”
Paula tertawa lembut.
“Anda terlalu baik, M. Bréon. Ketika saya baru jadi penyanyi kecil yang tidak terkenal,
saya pernah duduk di bawah kaki Anda. Peran Rigoletto Anda—betapa berseni, betapa
sempurna! Tidak ada yang bisa menyamai Anda.”
“Aah!” ujar Bréon, pura-pura menghela napas. “Masa jaya saya sudah berakhir. Scarpia,
Rigoletto, Radames, Sharpless, sudah berapa kali saya menyanyikan semua itu, dan
sekarang... tidak lagi!”
“Ya—malam nanti.”
“Benar, Madame—saya lupa. Malam nanti.”
“Anda sudah sering menyanyi bersama para ‘Tosca’ lain,” ujar Nazarkoff arogan. “Tapi
belum pernah dengan saya!”
Laki-laki Prancis itu membungkuk.
“Ini akan menjadi kehormatan bagi saya,” ujarnya lembut. “Ini bagian yang sangat bagus,
Madame.”
“Bagian yang bukan saja membutuhkan seorang penyanyi, tapi seorang aktris,” Lady
Rustonbury menimpali.
“Benar,” Bréon setuju. “Saya teringat, ketika saya masih muda di Itali, saya
mengunjungi sebuah teater kecil di Milan. Saya hanya mengeluarkan beberapa lira untuk
tempat duduk saya, tapi malam itu saya mendengar nyanyian yang sama merdunya dengan
yang saya dengar di Metropolitan Opera House di New York. Seorang gadis belia
menyanyikan Tosca, dan dia menyanyi bagaikan malaikat. Saya takkan pernah melupakan
suaranya saat membawakan Vissi D’Arte, sangat bening dan murni. Namun kekuatan
dramatisnya tidak ada.”
Nazarkoff mengangguk.
“Itu akan terdengar kemudian,” ujarnya tenang.
“Betul. Gadis muda ini—namanya Bianca Capelli—saya tertarik dengan kariernya. Melalui
saya, dia memperoleh peluang mendapatkan kontrak-kontrak penting. Tapi dia bodoh—amat
sangat bodoh.”
Bréon angkat bahu.
“Bodoh bagaimana?”
Yang mengatakan ini adalah Blanche Amery, putri Lady Rustonbury yang berusia dua puluh
empat tahun. Gadis ramping dengan mata biru lebar.
Dengan sopan pria Prancis itu langsung menoleh padanya.
“Aah! Mademoiselle, dia melibatkan diri dengan laki-laki rendahan, seorang bandit,
anggota kelompok Camorra. Dia berurusan dengan polisi, dan dijatuhi hukuman mati. Gadis
itu datang pada saya, memohon agar saya menolong kekasihnya.”
Blanche Amery menatap Bréon dengan mata terbelalak.
“Dan Anda melakukannya?” ia bertanya sambil menahan napas.
“Saya, Mademoiselle, apa yang bisa saya lakukan? Saya orang asing di negeri itu.”
“Barangkali Anda punya pengaruh?” pancing Nazarkoff dengan suara lirih bergetar.
“Seandainya saya punya, saya ragu apakah saya mau menggunakannya. Laki-laki itu tidak
pantas menerimanya. Saya berbuat sebisanya untuk gadis itu.”
Ia tersenyum tipis, dan tiba-tiba gadis Inggris itu sadar bahwa senyuman itu terasa
agak janggal. Saat itu ia merasa kata-katanya tidak cukup mewakili jalan pikirannya.
“Anda berbuat sebisanya,” ujar Nazarkoff. “Anda baik sekali, dan gadis itu tentunya
berterima kasih, bukan?”
Pria Prancis itu angkat bahu.
“Laki-laki itu dieksekusi,” ucapnya, “dan gadis itu masuk biara. Eh, voilà! Dunia telah
kehilangan seorang penyanyi.”
Nazarkoff tertawa kecil.
“Kami orang Rusia lebih plin-plan,” ujarnya ringan.
Blanche Amery kebetulan sedang memerhatikan Cowan ketika penyanyi sopran itu berbicara,
dan ia melihat pandangan terkejut sesaat. Bibir Cowan setengah terbuka, kemudian
terkatup rapat kembali setelah mendapat tatapan tajam dari Paula.
Kepala pelayan muncul di pintu.
“Makan malam,” kata Lady Rustonbury sambil bangkit berdiri. “Orang-orang malang, saya
kasihan pada kalian. Pasti tidak enak karena kalian terpaksa kelaparan sebelum
menyanyi. Tapi sesudah itu akan ada makan malam yang sangat lezat.”
“Kami sangat mengharapkannya,” ujar Paula Nazarkoff. Ia tertawa lembut. “Sesudah itu!”
III
Di dalam teater, babak pertama Tosca baru saja berakhir. Para penonton saling
berbicara. Para bangsawan, memukau dan anggun, menempati tiga kursi beludru di baris
terdepan. Semua orang asyik berbisik dan bergumam. Semua orang merasa bahwa di bagian
pertama, Nazarkoff belum berperan sesuai reputasinya. Sebagian besar penonton tidak
menyadari bahwa justru di sinilah sang penyanyi menunjukkan jiwa seninya. Di babak
pertama itu ia menghemat suara maupun dirinya sendiri. Ia menjadikan La Tosca tokoh
yang remeh dan sembrono, bermain-main dengan cinta, cemburu sekaligus genit dan
menggairahkan. Bréon, meski suaranya sudah melewati masa jayanya, masih mampu
memerankan tokoh yang luar biasa sebagai Scarpia yang sinis. Tak ada sekelumit pun
kesan jompo pada dirinya dalam memainkan perannya. Ia membuat Scarpia tokoh yang tampan
dan nyaris lembut, dengan setitik dendam yang bersembunyi di balik penampilan luarnya.
Dalam bagian terakhir, diiringi alunan organ dan prosesi, saat Scarpia tenggelam dalam
pikirannya, senang dengan rencananya untuk menguasai Tosca, Bréon memperlihatkan jiwa
seni yang luar biasa. Sekarang tirai diangkat memasuki babak kedua, sebuah adegan di
apartemen Scarpia.
Kali ini, waktu Tosca masuk, jiwa seni Nazarkoff tiba-tiba tampak jelas. Inilah wanita
yang dicekam ketakutan dan sedang memainkan perannya dengan kepiawaian aktris sejati.
Sapaannya yang ringan pada Scarpia, sikap santainya, dan jawaban penuh senyum yang
diberikannya pada laki-laki itu! Dalam adegan ini, Paula Nazarkoff berperan dengan
matanya, ia membawa diri dengan ketenangan mutlak, dengan wajah tersenyum tanpa
perasaan. Hanya matanya yang terus mencuri pandang ke arah Scarpia mengungkapkan
perasaan sesungguhnya. Kisah terus berlanjut sampai ke adegan penyiksaan, runtuhnya
ketenangan Tosca, penyerahan total saat ia tersungkur di kaki Scarpia, memohon belas
kasihan dengan sia-sia. Lord Leconmere, pakar penilai musik, mengangguk kagum, dan
seorang duta besar asing di sampingnya berbisik,
“Malam ini Nazarkoff bahkan melampaui dirinya sendiri. Tak ada wanita lain di panggung
yang mampu memainkan peran habis-habisan seperti dia.”
Leconmere mengangguk.
Sekarang Scarpia menyebutkan syaratnya, dan dengan ketakutan Tosca berlari ke jendela.
Dari jauh terdengar bunyi genderang, dan dengan lemas Tosca mengempaskan dirinya ke
atas sofa. Scarpia yang sedang berdiri mengawasinya, menyampaikan bagaimana orangorangnya mendirikan tiang gantungan—kemudian hening, dan bunyi genderang kembali
terdengar dari kejauhan. Nazarkoff berbaring telungkup di atas sofa, kepalanya terkulai
nyaris menyentuh lantai, tertutup rambutnya. Kemudian, sangat kontras dengan gairah dan
tekanan dua puluh menit terakhir, suaranya berkumandang, melengking dan jernih, suara
bocah paduan suara atau malaikat, seperti yang tadi dijelaskannya pada Cowan.
“Vissi d’arte, vissi d’arte, no feci mai male ad anima viva.
Con man furtiya quante miserie conobbi, aiutai.”
Ini suara seorang anak bingung yang sedang bertanya-tanya. Kemudian ia sekali lagi
berlutut dan memohon, sampai Spoletta masuk. Kehabisan tenaga, Tosca menyerah, dan
Scarpia mengutarakan kata-katanya yang menentukan dan bermakna ganda. Poletta
mengundurkan diri. Kemudian tibalah saat yang dramatis, ketika Tosca, sambil mengangkat
segelas anggur dengan tangan gemetar, melihat pisau di meja, lalu menyembunyikannya di
balik punggungnya.
Bréon berdiri tegak, tampan, pendiam, dan terbakar gairah. “Tosca, finalmente mia!”
Pisau menyambar bagaikan kilat, dan Tosca mendesis penuh dendam,
“Questo e il bacio di Tosca!” (“Seperti inilah Tosca mencium.”)
Belum pernah Nazarkoff menunjukkan apresiasi setinggi ini atas adegan pembalasan dendam
Tosca. Bisikan garang terakhir “Muori dannato,” yang disusul suara tenang sekaligus
aneh yang berkumandang memenuhi teater,
“Or gli perdono!” (“Sekarang aku mengampuninya!”)
Lagu kematian mengalun lembut sementara Tosca memulai upacaranya, meletakkan sebatang
lilin di kedua sisi kepala Scarpia, salib di atas dadanya, menoleh untuk terakhir kali
sebelum lenyap di balik pintu, deru genderang di kejauhan, dan tirai diturunkan.
Kali ini meledaklah antusiasme penonton, tapi hanya sejenak. Seseorang bergegas keluar
dari samping panggung dan berbicara pada Lord Rustonbury. Ia bangkit berdiri, dan
sesudah berunding sejenak, ia menoleh dan memberi isyarat pada Sir Donald Calthrop,
seorang dokter terkenal. Hampir seketika itu juga berita itu menyebar di antara
hadirin. Sesuatu telah terjadi, kecelakaan, dan ada yang terluka parah. Salah seorang
penyanyi muncul di depan tirai dan menjelaskan bahwa sayang sekali M. Bréon mendapat
kecelakaan—jadi operanya tidak bisa dilanjutkan. Sekali lagi kabar burung itu menyebar,
Bréon telah ditikam, Nazarkoff kehilangan akal sehatnya, ia begitu menjiwai perannya
hingga ia benar-benar menikam pria lawan mainnya. Lord Leconmere, yang sedang
berbincang dengan duta besar, temannya itu, merasa ada yang menyentuh lengannya. Ia
menoleh dan melihat Blanche Amery di sampingnya.
“Ini bukan kecelakaan,” ujar gadis itu. “Saya yakin ini bukan kecelakaan. Tidakkah Anda
mendengar, tepat sebelum makan malam, kisah yang diceritakan Bréon tentang gadis Itali
itu? Gadis itu Paula Nazarkoff. Setelah itu dia menyebut-nyebut tentang dirinya sebagai
orang Rusia, dan saya melihat Mr. Cowan terkejut. Dia mungkin saja menggunakan nama
Rusia, tapi Mr. Cowan tahu sebenarnya Madame Nazarkoff orang Itali.”
“Blanche, sayangku,” ujar Lord Leconmere.
“Saya yakin itu. Di kamar tidurnya ada koran yang terbuka di halaman yang menunjukkan
M. Bréon di rumah pedesaan Inggris miliknya. Madame Nazarkoff sudah tahu sebelum dia
datang kemari. Saya percaya dia memberikan sesuatu kepada pria Itali yang malang itu
agar dia sakit.”
“Tapi mengapa?” seru Lord Leconmere. “Mengapa?”
“Apa Anda tidak memahaminya? Kisah Tosca terulang kembali. Bréon menginginkan gadis itu
di Itali, tapi gadis itu setia pada kekasihnya, dan dia datang pada Bréon dan
memintanya menyelamatkan kekasihnya itu. Bréon berpura-pura menyanggupi, tapi ternyata
dia membiarkan kekasih gadis itu mati. Dan sekarang saat untuk membalas dendam telah
tiba. Tidakkah Anda mendengar cara dia mendesis ‘Akulah Tosca’? Dan saya melihat wajah
Bréon saat Madame Nazarkoff mengucapkannya, saat itulah dia tahu—Bréon mengenalinya!”
Di kamar gantinya, Paula Nazarkoff duduk tak bergerak, terbungkus mantel bulu putih.
Terdengar ketukan di pintunya.
“Silakan masuk,” kata sang primadona.
Elise masuk. Ia menangis terisak-isak.
“Madame, Madame, pria itu mati! Dan...”
“Ya?”
“Madame, bagaimana saya harus mengatakannya? Ada dua polisi di luar. Mereka ingin
bicara pada Anda.”
Paula Nazarkoff berdiri tegak.
“Aku akan pergi menemui mereka,” sahutnya tenang.
Ia menanggalkan seuntai kalung mutiara dari lehernya, dan meletakkannya di tangan gadis
Prancis itu.
“Kalung ini untukmu, Elise, kau gadis baik. Di tempat yang akan kutuju, aku tidak
membutuhkannya lagi. Kau mengerti, Elise? Aku takkan pernah menyanyikan Tosca lagi.”
Ia berdiri sesaat di pintu, matanya menyapu isi kamar ganti itu, seakan menoleh ke
belakang, menatap kariernya sepanjang tiga puluh tahun terakhir.
Kemudian ia bergumam lirih, mengucapkan baris terakhir sebuah opera lain,
“La commedia e finita!”
Sumber buku: I—
Scan, Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers
http://facebook.com/DuniaAbuKeisel
http://facebook.com/epub.lover
http://epublover.wordpress.com
Download