THE LISTERDALE MYSTERY AND OTHER STORIES 1934 by Agatha Christie MISTERI LISTERDALE DAN KISAH-KISAH LAINNYA Alih bahasa: Lanny Murtiharjana Penerbit: PT Gramedia Jakarta, Juni 2005 MISTERI LISTERDALE MRS. ST VINCENT sedang menjumlahkan angka-angka. Sekali-sekali ia menghela napas, tangannya meraba kepalanya yang berdenyut-denyut. Sejak dulu ia tidak suka aritmetika. Sayang sekali belakangan ini hidupnya seakan hanya terdiri atas angka-angka, penjumlahan tak habis-habisnya atas pengeluaran-pengeluaran kecil namun perlu, dengan total akhir yang selalu membuatnya ketakutan. Jumlahnya pasti tidak sebesar itu! Ia kembali berkutat dengan angka-angka tersebut. Memang ada kesalahan kecil saat ia menghitung angka sen, tapi di luar itu angkaangkanya benar. Mrs. St Vincent menghela napas sekali lagi. Sekarang sakit kepalanya benar-benar tak tertahankan. Ia menoleh saat pintu terbuka dan Barbara, putrinya, melangkah masuk. Barbara St Vincent gadis yang sangat cantik; ia mewarisi roman elok ibunya yang halus, dan gerak menoleh yang sama anggunnya, tapi warna matanya hitam, bukannya biru, dan bentuk mulutnya pun berbeda, dengan bibir merah yang merajuk namun menarik. “Oh! Ibu,” serunya. “Masih saja bergulat dengan rekening-rekening lama yang menyebalkan itu? Buang saja ke dalam api.” “Kita harus tahu posisi kita,” ujar Mrs. St Vincent ragu. Gadis itu angkat bahu. “Dari dulu posisi kita begini-begini saja,” sahutnya acuh tak acuh. “Selalu saja kekurangan uang. Sampai sen terakhir seperti biasanya.” Mrs. St Vincent menghela napas. “Seandainya saja...,” keluhnya, lalu berhenti. “Aku harus mendapatkan pekerjaan,” sergah Barbara getir. “Segera. Lagi pula, aku sudah ikut kursus steno dan mengetik. Tapi sejuta gadis lain juga mengambil kursus yang sama! ‘Punya pengalaman apa?’ ‘Tidak ada, tapi...’ ‘Oh! Terima kasih, selamat pagi. Kami akan mengabari Anda.’ Tapi mereka tidak pernah mengabari apa-apa! Aku harus menemukan pekerjaan lain—pekerjaan apa saja.” “Jangan dulu, Sayang,” pinta ibunya. “Tunggulah beberapa waktu lagi.” Barbara menuju jendela dan menatap kosong ke luar, tanpa melihat deretan rumah suram di seberang jalan. “Kadang-kadang,” ujarnya perlahan, “aku menyesal mengapa Sepupu Amy mengajakku ke Mesir musim dingin yang lalu. Oh! Aku memang menikmatinya—satu-satunya kesenangan yang pernah kurasakan dalam hidupku, yang mungkin takkan pernah terulang kembali. Aku memang menikmatinya—amat sangat menikmatinya. Tapi aku juga jadi gelisah. Maksudku... karena kembali ke kehidupan seperti ini.” Ia menyapukan lengan keliling ruangan. Mrs. St Vincent mengikuti gerakan itu dengan matanya, lalu mengernyit. Ruangan itu berisi perabotan khas pondokan murah. Tanaman aspidistra berdebu, perabotan dengan ornamen mencolok, dan kertas dinding bercorak norak yang sudah luntur di sana-sini. Tampak tanda-tanda bahwa kepribadian penyewa bertabrakan dengan selera sang induk semang; ada satu-dua benda porselen yang sudah retak-retak dan diperbaiki, hingga tak bernilai sama sekali kalau ingin dijual, sehelai kain bersulam yang disampirkan di sandaran sofa, sketsa cat air yang menggambarkan gadis muda dengan gaya dua puluh tahun silam, cukup mirip dengan sosok Mrs. St Vincent. “Tak mengapa,” lanjut Barbara, “seandainya kita tidak pernah tinggal di tempat lain. Tapi kalau mengingat Ansteys...” Ia terdiam, tidak berani melanjutkan bicara tentang rumah tercinta yang pernah berabadabad menjadi milik keluarga St Vincent, dan yang sekarang sudah menjadi milik orangorang asing. “Kalau saja Ayah... tidak berspekulasi... dan meminjam...” “Sayangku,” ujar Mrs. St Vincent, “sejak dulu ayahmu tidak berbakat menjadi pengusaha.” Ia mengucapkannya dengan ketegasan anggun, dan Barbara menghampiri serta memberinya kecupan sekilas, sambil bergumam, “Mama yang malang, aku takkan berkata apa-apa lagi.” Mrs. St Vincent mengambil penanya kembali, lalu membungkuk di atas mejanya. Barbara melangkah ke jendela lagi. Ia berkata, “Ibu, aku mendengar dari... dari Jim Masterton pagi ini. Dia ingin kemari dan mengunjungiku.” Mrs. St Vincent meletakkan penanya dan menatap tajam. “Di sini?” serunya. “Hm, kita kan tak mungkin mengundangnya makan malam di Ritz,” ejek Barbara. Ibunya tampak sedih. Lagi-lagi ia memandang keliling ruangan itu dengan rasa kurang suka. “Ibu benar,” kata Barbara. “Ini memang tempat yang menyebalkan. Kemiskinan terselubung! Kedengarannya cukup lumayan—pondok bercat putih di pedesaan, kain katun warna-warni bercorak indah yang sudah lusuh, vas dengan bunga-bunga mawar, peralatan minum teh Derby yang dicuci sendiri. Mirip kisah di buku-buku. Padahal sebenarnya, dengan anak laki-laki yang baru mulai bekerja di kantor dari jenjang paling bawah, ini berarti London. Induk-induk semang jorok, anak-anak kotor yang bermain di tangga, sesama penyewa yang sepertinya selalu dari golongan bawah, ikan laut yang tidak begitu... tidak begitu dan seterusnya.” “Kalau saja...,” ujar Mrs. St Vincent lagi. “Tapi, sungguh, aku mulai khawatir kalaukalau kita bahkan tidak mampu lagi menyewa ruangan ini.” “Itu berarti kamar tidur merangkap ruang duduk—betapa mengerikan!—untuk Ibu dan aku,” sahut Barbara. “Dan lemari di bawah tegel untuk Rupert. Dan bila Jim datang berkunjung, aku harus menemuinya di ruangan bawah, dengan kucing-kucing betina yang merajut di sepanjang dinding, memelototi kami, dan terbatuk-batuk menjijikkan!” Hening sejenak. “Barbara,” ujar Mrs. St Vincent akhirnya. “Apa kau... maksudku... apa kau...?” Ia terdiam, wajahnya memerah. “Tidak usah malu-malu, Bu,” kata Barbara. “Zaman sekarang tak ada lagi yang malu-malu. Kurasa maksud Ibu, menikah dengan Jim? Aku mau sekali kalau dia memintaku. Tapi aku begitu khawatir dia takkan melakukannya.” “Oh, Barbara, sayangku.” “Hm, beda sekali saat aku bepergian bersama Sepupu Amy, bergaul (seperti sering kita baca di cerpen) dengan kalangan atas. Jim benar-benar suka padaku. Sekarang dia akan kemari dan melihatku dalam lingkungan seperti ini! Dan dia orang yang sangat aneh, cerewet, dan kuno. Aku... aku justru agak menyukainya karena sifatnya itu. Ini mengingatkanku pada Ansteys dan kampung halaman kita—segalanya ketinggalan seratus tahun, tapi begitu... begitu... oh! Entahlah—begitu harum. Bagaikan bunga lavender!” Ia tertawa, setengah tersipu karena hasratnya itu. Mrs. St Vincent berbicara dengan lugu. “Aku suka bila kau menikah dengan Jim Masterton,” ujarnya. “Dia... salah seorang dari kita. Dia juga kaya, tapi aku tidak begitu memedulikan ini.” “Aku peduli,” sahut Barbara. “Aku sudah bosan kekurangan uang terus.” “Tapi, Barbara, ini bukan...” “Semata-mata karena itu? Tidak. Aku benar-benar peduli. Aku... oh! Ibu, tidakkah Ibu melihat bahwa aku ingin kaya?” Mrs. St Vincent tampak sangat sedih. “Andai dia bisa melihatmu dalam keadaan pantas, Sayang,” ujarnya prihatin. “Oh, sudahlah!” sahut Barbara. “Kenapa harus bingung? Kita sebaiknya mencoba bersikap ceria. Maaf kalau aku tadi menggerutu seperti itu. Senyumlah, Sayang.” Barbara membungkuk mengecup kening ibunya, lalu melangkah keluar. Mrs. St Vincent meninggalkan sejenak masalah keuangan, lalu duduk di sofa yang tidak nyaman. Pikirannya terus berputar-putar, bagaikan tupai di dalam sangkar. “Orang boleh mengatakan apa saja, tapi penampilan memang mampu membuat pria mundur teratur. Faktor itu tidak penting seandainya mereka sudah benar-benar bertunangan. Ketika itu dia akan tahu betapa manisnya putriku. Tapi kaum muda begitu mudah menyerap nuansa lingkungan sekitar mereka. Rupert, misalnya, sudah berubah. Bukannya aku ingin anak-anakku jadi pongah. Sama sekali tidak. Tapi aku benci kalau sampai Rupert bertunangan dengan gadis menyebalkan dari toko pedagang tembakau itu. Aku yakin gadis itu mungkin sangat baik. Tapi dia bukan dari kalangan kami. Sulit sekali semua ini. Kasihan Babs-ku yang malang. Kalau saja aku bisa berbuat sesuatu—apa saja. Tapi dari mana uang untuk itu? Kami sudah menjual segalanya untuk modal awal Rupert. Meski kami sebenarnya tidak mampu melakukannya.” Untuk mengalihkan perhatiannya, Mrs. St Vincent meraih koran Morning Post, dan melirik halaman depan yang memuat iklan. Mereka yang menginginkan modal, mereka yang punya modal dan ingin melepaskannya cukup dengan tanda tangan saja, orang-orang yang ingin membeli gigi (sejak dulu ia selalu bertanya-tanya untuk apa), mereka yang ingin menjual mantel bulu dan gaun-gaun, dan yang punya bayangan optimis mengenai harganya. Tiba-tiba perhatiannya tersentak. Dibacanya iklan yang satu ini berulang-ulang. “Rumah kecil di Westminster, lengkap dengan perabotan indah, ditawarkan pada mereka yang mau merawatnya dengan baik. Ongkos sewa rendah. Tanpa perantara.” Iklan yang sangat umum. Ia sudah sering membaca iklan serupa—atau hampir serupa. Ongkos sewa rendah, di situlah letak jebakannya. Meski demikian, mengingat ia merasa gelisah dan ingin sekali melarikan diri dari pikirannya, ia langsung mengenakan topi, dan naik bus menuju alamat yang tercantum dalam iklan tadi. Ternyata itu alamat agen perumahan. Bukan perusahaan baru yang sedang berkembang—tapi tempat bergaya kuno yang agak tua. Dengan malu-malu Mrs. St Vincent mengeluarkan iklan yang telah disobeknya dari koran, dan meminta beberapa keterangan khusus. Pria tua berambut putih yang melayaninya membelai dagunya sambil merenung. “Tepat. Ya, tepat, Madam. Rumah yang disebutkan dalam iklan itu terletak di No. 7 Cheviot Place. Apa Anda mau menyewanya?” “Saya ingin tahu ongkos sewanya terlebih dulu,” ujar Mrs. St Vincent. “Ah! Ongkos sewanya. Jumlahnya belum ditetapkan, tapi saya bisa memastikan angkanya benar-benar rendah.” “Bayangan orang mengenai apa yang benar-benar rendah bisa berbeda-beda,” sahut Mrs. St Vincent. Pria tua itu tertawa kecil. “Ya, itu tipu muslihat lama—akal bulus lama. Tapi Anda boleh memegang perkataan saya, ini bukan muslihat. Mungkin sewanya dua atau tiga guinea saja (sekitar 40 atau 60 shilling) per minggu, tidak lebih.” Mrs. St Vincent memutuskan untuk menyewanya. Tentu saja bukan karena ada kemungkinan ia mampu menempatinya. Namun setidaknya ia ingin melihat rumah itu. Pasti ada sebabnya, mengapa rumah itu disewakan begitu murah. Namun hatinya terlonjak saat memandang bagian luar 7 Cheviot Place. Rumah itu benarbenar cantik. Model Queen Anne, dan dalam kondisi sempurna! Seorang kepala pelayan membukakan pintu. Rambut dan cambangnya sudah beruban, dan sikap tenangnya mirip Uskup Kepala. Uskup Kepala yang ramah, Mrs. St Vincent membatin. Ia menjalankan perintah dengan sikap siap membantu. “Tentu saja, Madam. Saya akan mengantar Anda melihat-lihat. Rumah ini sudah siap ditempati.” Ia berjalan mendahului Mrs. St Vincent sambil membukakan pintu-pintu dan menyebut setiap ruangan. “Ini ruang tamu, ruang kerja putih, dan ruang penyimpanan di sebelah sini, Madam.” Benar-benar sempurna—seperti mimpi. Seluruh perabotan mengikuti zaman, tampak sudah digunakan, namun terawat sangat baik. Permadaninya yang cantik bernuansa redup. Dalam setiap ruangan terlihat bunga-bunga segar dalam jambangan. Bagian belakang rumah itu menghadap Green Park. Seluruh tempat itu memancarkan pesona hangat. Mata Mrs. St Vincent berkaca-kaca, dan ia berusaha keras menahan air matanya. Seperti inilah Ansteys dulu—Ansteys... Ia bertanya-tanya apakah kepala pelayan itu memerhatikan gejolak emosinya. Bila demikian, kepala pelayan itu pasti sudah amat sangat terlatih, sehingga tidak menunjukkannya. Mrs. St Vincent menyukai pelayan-pelayan tua seperti ini; orang akan merasa aman dan tenteram bersama mereka. Mereka bagaikan teman saja. “Rumah ini indah sekali,” ujarnya perlahan. “Sangat cantik. Saya senang bisa melihatnya.” “Apakah ini untuk Anda sendiri, Madam?” “Untuk saya dan putra serta putri saya. Tapi saya khawatir...” Ia terhenti. Ia begitu menginginkannya—teramat menginginkannya. Secara naluriah ia merasa kepala pelayan itu memahaminya. Kepala pelayan itu tidak melihat ke arahnya saat berbicara dengan gaya tak acuh, “Saya kebetulan tahu, Madam, bahwa pemilik rumah ini lebih mementingkan penyewa yang cocok. Baginya, ongkos sewa tidaklah penting. Dia ingin rumah ini disewakan pada orang yang benar-benar mau merawat dan menghargainya.” “Saya sangat menghargainya,” ujar Mrs. St Vincent lirih. Ia membalikkan badan dan bersiap-siap pergi. “Terima kasih sudah mengantar saya melihat-lihat,” ujarnya sopan. “Sama-sama, Madam.” Pria itu berdiri tegak di pintu, sementara Mrs. St Vincent menyusuri jalan. Ia membatin, “Dia tahu. Dia merasa kasihan padaku. Dia juga termasuk generasi lama. Dia ingin aku menempatinya—bukan orang dari kalangan buruh atau pengusaha kancing! Jenis kami sudah semakin langka, tapi kami bersatu.” Ujung-ujungnya ia memutuskan untuk tidak kembali ke agen perumahan itu. Apa gunanya? Ia memang mampu membayar ongkos sewanya—tapi masih ada para pelayan yang harus dipertimbangkan. Dalam rumah seperti itu diperlukan pelayan. Keesokan paginya ia menemukan surat di atas piringnya. Dari agen perumahan yang menawarkan penyewaan 7 Cheviot Place selama enam bulan dengan ongkos dua guinea seminggu, ditambah keterangan: “Kami beranggapan Anda telah memahami bahwa para pelayan tetap menjadi tanggungan pemiliknya? Ini benar-benar penawaran yang unik.” Memang. Mrs. St Vincent begitu terkejut, sampai-sampai membaca surat itu keras-keras. Berbagai pertanyaan menyerangnya bertubi-tubi, dan ia pun menjelaskan kunjungannya kemarin. “Mama yang penuh rahasia!” seru Barbara. “Apa rumah itu benar-benar seindah itu?” Rupert berdeham dan mulai melancarkan berbagai pertanyaan menyelidik. “Pasti ada udang di balik batu. Menurutku ini mencurigakan. Jelas-jelas mencurigakan.” “Benarkah begitu?” sahut Barbara sambil mengernyitkan hidung. “Huh! Mengapa pula harus ada udang di baliknya? Memang khas gayamu, Rupert, selalu saja mereka-reka misteri. Ini pasti gara-gara kisah-kisah detektif yang selalu kaubaca itu.” “Penyewaan rumah itu cuma alasan saja,” sahut Rupert. “Di kota,” tambahnya sok tahu, “orang terbiasa dengan segala macam kejadian aneh. Percayalah, ini benar-benar mencurigakan.” “Omong kosong,” sergah Barbara. “Rumah itu milik orang kaya-raya, dia sangat menyukainya, dan dia mau rumahnya ditempati orang-orang yang pantas selama dia pergi. Semacam itulah. Uang mungkin tidak jadi masalah baginya.” “Alamatnya di mana tadi?” tanya Rupert pada ibunya. “Cheviot Place No. 7.” “Wah!” Ia mendorong kursinya. “Menurutku ini baru seru. Itu rumah tempat Lord Listerdale menghilang.” “Apa kau yakin?” tanya Mrs. St Vincent ragu. “Yakin sekali. Dia memiliki beberapa rumah yang tersebar di seluruh London, tapi rumah itulah yang ditempatinya. Suatu malam dia keluar rumah dan mengatakan akan pergi ke klub, tapi sejak itu tak ada yang pernah melihatnya kembali. Kata orang, dia pergi mendadak ke Afrika Timur atau semacamnya, tapi tidak ada yang tahu mengapa. Ada kemungkinan dia dibunuh di rumah itu. Kata Ibu di rumah itu banyak papannya?” “Be... betul,” jawab Mrs. St Vincent ragu, “tapi...” Rupert tidak memberinya kesempatan lagi. Dengan penuh semangat ia melanjutkan. “Papan! Nah, pasti ada ceruk di dinding entah di mana. Tubuh korban dijejalkan di situ, dan sejak itu tetap berada di sana. Mungkin mayatnya sudah dibalsem terlebih dulu.” “Rupert, Sayang, jangan meracau,” tegur ibunya. “Jangan berlagak tolol seperti idiot,” sembur Barbara. “Kau sudah terlalu sering mengajak si pirang itu ke bioskop.” Rupert bangkit dengan penuh gengsi—sejauh yang dimungkinkan sosoknya yang kurus tinggi dan usianya yang tanggung itu; ia memberikan ultimatum terakhir. “Sewalah rumah itu, Ma. Aku akan membongkar misterinya. Lihat saja nanti.” Rupert bergegas meninggalkan ruangan, khawatir terlambat sampai ke kantor. Kedua wanita itu saling pandang. “Bisakah kita, Ibu?” gumam Barbara gemetar. “Oh! Seandainya saja kita bisa.” “Para pelayan,” ujar Mrs. St Vincent sedih, “harus makan, kau tahu. Maksudku, tentu saja mereka harus makan—tapi justru di situlah letak kekurangannya. Orang bisa begitu mudah—hidup tanpa hal-hal tertentu—bila cuma seorang diri.” Ia menatap iba pada Barbara, dan gadis itu mengangguk. “Kita harus memikirkannya kembali,” kata sang ibu. Namun di benaknya ia sudah membuat keputusan. Ia telah melihat binar di mata gadis itu. Ia berkata dalam hati, “Jim Masterton harus melihatnya dalam lingkungan yang pantas. Inilah kesempatannya—kesempatan bagus sekali. Aku harus meraihnya.” Mrs. St Vincent duduk dan menulis pada agen untuk menerima penawaran mereka. *** “Quentin, dari mana datangnya bunga-bunga lili ini? Aku tidak mampu membeli bunga-bunga mahal.” “Bunga-bunga ini dikirim dari King’s Cheviot, Madam. Ini kebiasaan di sini sejak dulu.” Kepala pelayan itu mengundurkan diri. Mrs. St Vincent menarik napas lega. Apa yang harus diperbuatnya tanpa Quentin? Ia membuat segala hal begitu mudah. Ia berpikir dalam hati, “Ini terlalu indah untuk bisa bertahan. Aku akan segera terbangun, aku tahu itu, dan menyadari bahwa semua ini ternyata cuma mimpi. Aku begitu bahagia di sini—sudah dua bulan, dan rasanya begitu singkat.” Kehidupan memang sangat menyenangkan. Quentin, sang kepala pelayan, telah menyatakan diri sebagai otokrat 7 Cheviot Place. “Bila Anda mau menyerahkan segala sesuatu pada saya, Madam,” ujarnya penuh hormat, “Anda akan mendapatkan yang terbaik.” Setiap minggu Quentin membawakan pembukuan rumah tangga dengan angka-angka sangat rendah. Di rumah itu hanya ada dua pelayan lain, yakni juru masak dan pembantu rumah tangga. Tutur kata mereka menyenangkan, dan mereka efisien dalam mengerjakan tugas, tapi Quentin-lah yang mengendalikan pengaturan rumah. Ada kalanya daging binatang buruan dan unggas terhidang di meja, yang menyebabkan Mrs. St Vincent khawatir. Quentin lalu akan menenangkannya. Alasannya, daging itu dikirim dari King’s Cheviot, vila Lord Listerdale, atau dari tambatan perahunya di Yorkshire. “Ini sudah jadi kebiasaan sejak dulu, Madam.” Diam-diam Mrs. St Vincent meragukan apakah Lord Listerdale yang tidak berada di tempat setuju dengan kata-kata itu. Ia cenderung mencurigai Quentin melangkahi otoritas majikannya. Sudah jelas ia menyukai mereka, dan di matanya tak ada yang terlampau baik buat mereka. Berhubung rasa ingin tahunya tergugah karena komentar Rupert, Mrs. St Vincent sekilas menyinggung soal Lord Listerdale ketika ia berbincang lagi dengan agen perumahan. Pria tua berambut putih itu langsung menanggapi. Ya, Lord Listerdale berada di Afrika Timur sejak delapan belas bulan yang lalu. “Klien kami ini agak eksentrik,” ujarnya sambil tersenyum lebar. “Mungkin Anda masih ingat bagaimana dia meninggalkan London dengan cara yang sama sekali di luar kebiasaan? Dia tidak meninggalkan pesan pada siapa pun. Koran-koran mencium berita ini. Orang bahkan menanyakannya ke Scotland Yard. Untung saja Lord Listerdale sendiri mengirim berita dari Afrika Timur. Dia menetapkan Kolonel Carfax, sepupunya, sebagai penggantinya dengan kuasa hukum pengacara. Yang disebut belakangan inilah yang mengatur semua urusan Lord Listerdale. Ya, agak eksentrik memang. Sejak dulu dia senang berkelana di alam bebas—sepertinya sudah ditentukan bahwa dia takkan kembali ke London selama bertahun-tahun, meskipun usianya semakin bertambah.” “Umurnya pasti belum begitu tua,” ujar Mrs. St Vincent, sambil membayangkan wajah sangar berjenggot mirip pelaut dari zaman Elizabeth, yang pernah dilihatnya di majalah bergambar. “Usia pertengahan,” ujar pria berambut putih itu. “Menurut Debrett, lima puluh tiga.” Mrs. St Vincent mengulangi percakapan ini pada Rupert, dengan tujuan menegur anak muda itu. Tapi Rupert tidak mau mundur. “Urusan ini tampak semakin mencurigakan saja,” ucapnya. “Siapa pula si Kolonel Carfax ini? Kalau terjadi sesuatu dengan Listerdale, dia mungkin akan memperoleh gelar. Surat dari Afrika Timur itu mungkin saja dipalsukan. Dalam waktu tiga tahun, atau kapan pun, si Carfax ini akan mengumumkan kematian Listerdale dan meraih gelarnya. Sementara itu, dialah yang mengurus seluruh estat. Aku menyebutnya sangat mencurigakan.” Ia telah mengakui dengan rendah hati bahwa ia menyukai rumah itu. Di waktu senggangnya, ia cenderung ingin mengetuk bilah-bilah papan, dan mengukur dengan teliti untuk mencari kemungkinan adanya ruangan rahasia, namun sedikit demi sedikit minatnya pada misteri Lord Listerdale semakin pupus. Ia juga tidak begitu tertarik lagi pada putri pedagang tembakau itu. Ini terasa sekali. Bagi Barbara, rumah ini sangat memuaskan. Jim Masterton sudah datang berkunjung dan sering bertandang. Ia dan Mrs. St Vincent semakin akrab saja, dan suatu hari ia mengutarakan sesuatu yang mengejutkan Barbara. “Rumah ini lingkungan yang cocok sekali untuk ibumu.” “Untuk Ibu?” “Ya. Rumah ini memang disediakan untuknya! Dia begitu serasi dengan tempat ini. Kau bisa merasakan sesuatu yang ganjil dengan rumah ini, sesuatu yang aneh dan menghantui.” “Jangan seperti Rupert,” Barbara memohon padanya. “Dia yakin Kolonel Carfax yang jahat itu telah membunuh Lord Listerdale dan menyembunyikan mayatnya di bawah lantai.” Masterton tertawa. “Aku mengagumi semangat detektif Rupert. Tidak, yang kumaksud bukan itu. Tapi ada sesuatu di udara, suatu atmosfer yang sulit dipahami.” Mereka sudah menempati Cheviot Place tiga bulan lamanya ketika Barbara menghampiri ibunya dengan wajah berseri-seri. “Jim dan aku... sudah bertunangan. Ya—semalam. Oh, Ibu! Ini bagaikan dongeng yang jadi kenyataan.” “Oh, sayangku! Aku begitu senang—sangat senang.” Ibu dan anak itu saling berpelukan. “Ibu tahu, Jim hampir sama jatuh cintanya pada Ibu seperti padaku,” ujar Barbara akhirnya, sambil tertawa nakal. Mrs. St Vincent tersipu hingga tampak sangat cantik. “Sungguh,” gadis itu bersikeras. “Ibu menyangka rumah ini akan menjadi lingkungan yang bagus untukku, padahal selama ini justru menjadi lingkungan yang cocok bagi Ibu. Rupert dan aku tidak begitu serasi dengan tempat ini. Tapi Ibu serasi sekali.” “Jangan bicara ngawur, Sayang.” “Ini bukan ngawur. Ada suasana kastil yang terkena pesona sihir di sini, dan Ibu-lah putri yang kena sihir, sedangkan Quentin adalah... adalah... oh! Sang penyihir yang baik.” Mrs. St Vincent tergelak, dan mengakui hal terakhir tadi. Rupert menanggapi pertunangan saudara perempuannya dengan tenang. “Aku sudah menduga ada sesuatu yang mengarah ke sana,” ujarnya bijaksana. Rupert dan ibunya sedang makan malam berdua; Barbara sedang keluar bersama Jim. Quentin meletakkan botol anggur di depannya, dan mengundurkan diri tanpa bicara. “Dia aneh sekali,” ujar Rupert sambil mengangguk ke arah pintu yang tertutup itu. “Ada yang ganjil dengan dirinya, sesuatu...” “Yang tidak mencurigakan?” sela Mrs. St Vincent sambil tersenyum simpul. “Wah, Ibu, bagaimana Ibu bisa menebak apa yang akan kukatakan?” ia bertanya serius. “Itu kan cuma istilah yang sering kaugunakan, Sayang. Kau menganggap segala hal mencurigakan. Kurasa kau beranggapan Quentin-lah yang menghabisi Lord Listerdale dan menyembunyikannya di bawah lantai?” “Di balik papan,” Rupert memperbaiki. “Ibu selalu saja keliru. Tidak, aku sudah menyelidiki hal itu. Ketika itu Quentin sedang berada di King’s Cheviot.” Mrs. St Vincent tersenyum padanya sambil bangkit dari meja, dan melangkah ke ruang tamu. Dalam beberapa hal, Rupert tampak begitu cepat dewasa. Namun untuk pertama kalinya ia bertanya-tanya, apa alasan Lord Listerdale meninggalkan London dengan tiba-tiba seperti itu. Pasti ada sesuatu di baliknya, mengingat keputusan mendadak itu. Ia masih memikirkan hal tersebut saat Quentin masuk membawa nampan kopi, dan Mrs. St Vincent pun berkata dengan impulsif. “Kau sudah cukup lama bersama Lord Listerdale, bukan, Quentin?” “Betul, Madam; sejak saya berusia dua puluh satu. Di masa Lord yang sudah almarhum. Saya mengawali sebagai pelayan biasa.” “Kau tentunya sangat mengenal Lord Listerdale. Orang seperti apakah dia?” Kepala pelayan itu memutar nampannya sedikit, agar Mrs. St Vincent bisa lebih mudah menyendok gulanya, sementara Quentin menjawab datar, “Dulu Lord Listerdale orang yang sangat egois, Madam. Dia tidak pernah memedulikan orang lain.” Ia menyingkirkan nampan, lalu membawanya keluar. Mrs. St Vincent duduk sambil memegangi cangkir kopinya dan mengerutkan kening. Terlepas dari pandangannya, ucapan Quentin terasa aneh. Dalam sekejap ia pun sadar. Quentin menggunakan istilah “dulu”, bukannya “sekarang”. Bagaimanapun, Quentin tentunya berpikir—tentunya percaya... Mrs. St Vincent bangkit berdiri. Dirinya sama payahnya dengan Rupert! Tapi perasaan tidak enak merayapi benaknya. Sejak itu ia mulai curiga terhadap sang pelayan. Setelah kebahagiaan dan masa depan Barbara terjamin, Mrs. St Vincent punya waktu untuk memikirkan dirinya sendiri, dan berlawanan dengan kehendaknya, pikirannya mulai terpusat pada misteri Lord Listerdale. Seperti apakah kisah sebenarnya? Apa pun itu, Quentin pasti tahu sesuatu tentang hal tersebut. Kata-katanya sungguh aneh—“orang yang sangat egois—tidak pernah memedulikan orang lain.” Apa yang ada di balik kata-kata itu? Ia bicara seperti hakim saja, tidak memihak dan netral. Apakah bagian Rupert memang Quentin terlibat peristiwa menghilangnya Lord Listerdale? Apakah ia turut ambil dalam tragedi apa pun yang mungkin terjadi? Lagi pula, sekonyol apa pun asumsi ketika itu, surat tunggal dengan kuasa hukum yang dikirim dari Afrika Timur itu layak dicurigai. Namun sebesar apa pun usahanya, ia tak percaya ada sesuatu yang jahat dalam diri Quentin. Berulang kali ia mengatakan pada diri sendiri bahwa Quentin orang yang baik—ia menggunakan istilah ini sesederhana anak kecil. Quentin orang yang baik. Tapi ia mengetahui sesuatu! Sejak itu Mrs. St Vincent tidak pernah lagi membicarakan majikan Quentin dengannya. Subjek itu sepertinya terlupakan. Rupert dan Barbara memikirkan hal-hal lain, dan mereka tidak mendiskusikannya lagi. Sudah mendekati akhir bulan Agustus ketika dugaannya yang samar-samar mengkristal menjadi kenyataan. Rupert pergi berlibur selama dua minggu bersama temannya yang memiliki sepeda motor dan karavan. Pada hari kesepuluh sejak kepergiannya, Mrs. St Vincent terkejut melihatnya bergegas memasuki ruangan tempat ia sedang menulis. “Rupert!” serunya. “Aku tahu, Bu. Ibu tidak menyangka aku akan datang tiga hari lebih awal. Tapi sesuatu telah terjadi. Anderson—temanku, Ibu tahu kan—tidak peduli ke mana kami akan pergi, jadi aku mengusulkan kami melihat-lihat ke King’s Cheviot...” “King’s Cheviot? Tapi untuk apa?” “Ibu tahu betul bahwa sejak dulu aku merasa di sini ada sesuatu yang mencurigakan. Nah, aku mengunjungi tempat tua itu—dan ternyata... tak ada apa pun di situ. Bukannya aku menduga akan menemukan sesuatu—aku sekadar menyelidiki saja.” Betul, pikir Mrs. St Vincent. Saat ini Rupert sangat mirip anjing. Berputar-putar menyelidiki sesuatu yang samar dan tidak jelas, didorong oleh naluri, sangat asyik dan senang. “Saat kami melewati desa sekitar sepuluh atau sebelas kilometer, terjadilah hal itu— saat aku melihatnya, maksudku.” “Melihat siapa?” “Quentin—tepat ketika dia memasuki pondok kecil. Aku berkata dalam hati, ini mencurigakan. Kami menghentikan bus dan aku berjalan kembali. Aku mengetuk pintu pondok itu, dan dia sendiri yang membukakan pintu.” “Tapi aku tidak mengerti. Quentin tidak pernah pergi...” “Aku baru mau menjelaskannya, Bu. Tolong dengarkan saja dan jangan menyela. Orang itu Quentin, tapi bukan Quentin, kalau Ibu paham maksudku.” Mrs. St Vincent jelas-jelas tidak paham, jadi Rupert menguraikannya lebih lanjut. “Orang itu memang Quentin, tapi bukan Quentin kita. Ini Quentin yang asli.” “Rupert!” “Dengarkan. Tadinya aku sendiri pun terkecoh dan berkata, ‘Anda Quentin, bukan?’ Dan orang tua itu menjawab, ‘Betul, Sir, itu memang namaku. Bisa kubantu?’ Kemudian aku menyadari dia bukan pelayan kita, meskipun sangat mirip, termasuk suaranya. Aku mengajukan beberapa pertanyaan, dan kisah sebenarnya pun keluar semua. Laki-laki tua itu tidak tahu sama sekali ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Dia memang pernah jadi kepala pelayan Lord Listerdale, dan menjalani pensiun dengan mendapat pesangon serta pondok ini kurang-lebih bersamaan dengan kepergian Lord Listerdale ke Afrika. Ibu lihat ke mana arahnya. Orang ini penipu—dia memainkan peran Quentin untuk tujuannya sendiri. Teoriku adalah, malam itu dia ke kota, menyamar sebagai kepala pelayan dari King’s Cheviot, diwawancarai Lord Listerdale yang dibunuhnya, lalu menyembunyikan mayatnya di balik papan. Ini rumah tua, pasti ada ceruk rahasia...” “Oh, jangan kita ulangi lagi masalah itu,” sela Mrs. St Vincent gusar. “Aku tidak tahan. Kenapa dia harus—itulah yang ingin kuketahui—kenapa? Seandainya dia benar melakukan hal seperti itu—yang sama sekali tidak kupercayai, ingat itu—apa alasannya untuk semua ini?” “Ibu benar,” ujar Rupert. “Motif—itulah yang penting. Sekarang aku sudah menyelidiki. Lord Listerdale memiliki banyak properti rumah. Dalam dua hari terakhir ini aku menemukan bahwa selama delapan belas bulan terakhir ini, praktis setiap rumah miliknya telah disewakan pada orang-orang seperti kita, dengan ongkos sewa sangat murah—dengan ketentuan bahwa para pelayannya tetap tinggal. Dan dalam setiap kasus, Quentin sendiri— maksudku orang yang menyebut dirinya Quentin—sudah berperan sebagai kepala pelayan untuk beberapa waktu. Sepertinya ada sesuatu—perhiasan, atau surat-surat berharga—yang disembunyikan di salah satu rumah Lord Listerdale, dan kelompok itu tidak tahu rumah yang mana. Aku berasumsi bahwa ini ulah sebuah kelompok, tapi tentu saja si Quentin ini mungkin bekerja seorang diri. Ada suatu...” Mrs. St Vincent menyela tegas, “Rupert! Hentikan omonganmu sebentar. Kau membuat kepalaku pusing. Lagi pula, apa yang kaukatakan itu omong kosong—soal kelompok dan kertas-kertas berharga yang disembunyikan itu.” “Masih ada teori lainnya lagi,” Rupert mengakui. “Si Quentin ini mungkin saja orang yang pernah disakiti Lord Listerdale. Kepala pelayan yang asli bercerita banyak tentang orang bernama Samuel Lowe—pembantu tukang kebun dengan perawakan kurang-lebih sama dengan Quentin sendiri. Dia sakit hati terhadap Listerdale...” Mrs. St Vincent tersentak. “Yang tidak pernah memedulikan orang lain.” Kata-kata itu terngiang kembali, berikut aksen datar dan tenang orang yang mengucapkannya. Kata-kata yang tidak memadai, tapi apa makna di baliknya? Karena begitu tenggelam dalam lamunannya sendiri, ia nyaris tidak mendengarkan Rupert. Putranya menjelaskan sesuatu dengan cepat yang tidak diserap oleh sang ibu, dan bergegas meninggalkan ruangan. Kemudian Mrs. St Vincent pun tersadar. Ke mana perginya Rupert tadi? Apa yang akan dilakukannya? Mrs. St Vincent tidak menangkap kata-katanya yang terakhir. Mungkin ia hendak melapor pada polisi. Kalau begitu... Mrs. St Vincent bangkit dan membunyikan lonceng. Seperti biasanya, Quentin langsung datang. “Anda membunyikan lonceng, Madam?” “Ya. Silakan masuk dan tolong tutup pintunya.” Kepala pelayan itu menurut, dan untuk sesaat Mrs. St Vincent diam saja sambil mengamatinya dengan pandangan serius. Pikirnya, “Dia sudah begitu baik padaku—tak seorang pun tahu sebaik apa. Anak-anak takkan mengerti. Kisah Rupert yang gila-gilaan ini mungkin saja omong kosong belaka— tapi di lain pihak, mungkin saja—ya, mungkin saja—ada benarnya juga. Mengapa orang harus menghakimi? Orang tidak bisa tahu. Maksudku, kebenaran maupun ketidakbenarannya... Dan aku akan mempertaruhkan hidupku—ya, akan kulakukan itu!—bahwa dia orang yang baik.” Dengan wajah memerah dan suara gemetar, Mrs. St Vincent berbicara. “Quentin, Mr. Rupert baru saja kembali. Dia telah mengunjungi King’s Cheviot—ke sebuah desa kecil di dekat situ...” Ia terhenti melihat sentakan yang tak mampu disembunyikan Quentin. “Dia telah melihat... seseorang,” lanjutnya dengan tenang. Dalam hati ia berpikir, “Nah—dia sudah diperingatkan. Bagaimanapun, dia sudah diperingatkan.” Sesudah tersentak sesaat, Quentin berhasil memulihkan sikap tenangnya, namun pandangannya melekat di wajah Mrs. St Vincent, siaga dan tajam, ditambah sesuatu yang belum pernah dilihat olehnya. Untuk pertama kalinya, sorot mata itu bukan lagi milik seorang pelayan, tapi seorang laki-laki. Quentin ragu sesaat, lalu berbicara dengan suara yang juga sudah berubah, “Mengapa Anda menceritakan hal ini padaku, Mrs. St Vincent?” Sebelum Mrs. St Vincent sempat menjawab, pintu terbuka lebar dan Rupert melangkah masuk. Bersamanya ada seorang laki-laki di usia pertengahan dengan cambang dan sikap Uskup Kepala yang murah hati, Quentin! “Ini dia,” kata Rupert. “Quentin yang asli. Aku menyuruhnya menunggu di taksi. Nah, Quentin, pandanglah laki-laki ini dan katakan padaku... apakah dia Samuel Lowe?” Bagi Rupert ini saat penuh kemenangan. Namun hanya untuk sesaat, karena pada saat hampir bersamaan ia merasa ada yang tidak beres. Sebab sementara Quentin yang asli tampak tersipu dan sangat salah tingkah, Quentin palsu tersenyum-senyum lebar penuh kenikmatan yang tidak dibuat-buat. Ia menepuk punggung kembarannya. “Tidak mengapa, Quentin. Kurasa akhirnya rahasia ini harus dibongkar juga. Kau bisa mengatakan pada mereka siapa aku.” Orang asing yang bermartabat itu menegakkan diri. “Ini, Sir,” ia mengumumkan dengan nada mencela, “adalah majikanku, Lord Listerdale.” *** Saat berikutnya terjadilah banyak hal. Pertama, keruntuhan Rupert yang penuh percaya diri. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, dengan mulut masih ternganga karena kaget, ia mendapati dirinya dituntun dengan lembut menuju pintu, dan suara ramah yang tidak biasa didengarnya pun berkata, “Tidak mengapa, Nak. Tak ada yang celaka. Tapi aku ingin bicara dengan ibumu. Kerjamu bagus sekali, menyelidiki aku seperti ini.” Rupert terpaku di luar, sambil menatap pintu yang tertutup. Quentin yang asli berdiri di sampingnya, dan serangkaian penjelasan mengalir dari bibirnya. Di dalam ruangan, Lord Listerdale berhadapan dengan Mrs. St Vincent. “Biar kujelaskan—kalau bisa! Sepanjang umurku aku seperti setan egois—aku menyadari fakta ini pada suatu hari. Pikirku, untuk selingan aku ingin mencoba jadi orang yang sedikit mementingkan orang lain. Dan karena aku ini sangat bodoh, aku mengawali karierku dengan gemilang. Aku menyumbang ke sana-sini, tapi aku merasa harus melakukan sesuatu—sesuatu yang bersifat pribadi. Sejak dulu aku iba pada golongan yang tidak sanggup mengemis, yang menderita dalam diam—orang-orang yang malang. Aku memiliki banyak rumah. Timbul gagasanku untuk menyewakannya pada orang-orang yang... hm, membutuhkan dan menghargai rumah-rumah itu. Pasangan-pasangan muda yang baru meniti kehidupan, para janda dengan putra-putri yang baru belajar melangkah di dunia. Bagiku, Quentin lebih dari sekadar kepala pelayan, dia sahabatku. Dengan izin dan bantuannya, aku meminjam kepribadiannya. Sejak dulu aku memang berbakat dalam seni peran. Ide ini muncul dalam perjalanan pulang dari klub pada suatu malam, dan aku langsung membicarakannya dengan Quentin. Waktu aku mendengar orang meributkan menghilangnya diriku, aku mengatur surat yang seakan berasal dariku di Afrika Timur. Di dalamnya, aku memberikan instruksi penuh pada Maurice Carfax, sepupuku. Dan... itulah kurang-lebih kisahnya.” Ia memutus pembicaraannya dengan agak tertegun, sambil melirik penuh rasa tertarik ke arah Mrs. St Vincent. Wanita ini berdiri tegak, dan menatap lurus lawan bicaranya. “Ini rencana yang baik,” ujarnya. “Rencana yang sangat tidak biasa, dan yang menguntungkan Anda. Saya... sangat berterima kasih. Tapi... tentu saja, Anda paham bahwa kami tidak bisa tinggal?” “Aku sudah menduganya,” ujar Lord Listerdale. “Harga dirimu tidak mengizinkanmu menerima sesuatu yang mungkin kauanggap ‘derma’.” “Bukankah memang demikian?” tanya Mrs. St Vincent tegar. “Bukan,” jawab Lord Listerdale. “Sebab sebagai gantinya, aku meminta sesuatu.” “Sesuatu?” “Semuanya,” serunya lantang, dengan suara orang yang terbiasa menguasai. “Waktu aku berumur dua puluh tiga,” lanjutnya, “aku menikahi gadis yang kucintai. Dia meninggal setahun kemudian. Sejak itu aku merasa sangat kesepian. Aku sangat berharap bisa menemukan seorang wanita—wanita impianku...” “Akukah wanita itu?” tanya Mrs. St Vincent lirih. “Aku sudah begitu tua—begitu pudar.” Lord Listerdale terbahak. “Tua? Kau lebih muda daripada kedua anakmu. Akulah yang tua, kalau kau mau menyebutnya demikian.” Kali ini ganti Mrs. St Vincent-lah yang tergelak. Gelak tawa lembut karena geli. “Kau? Kau masih anak-anak. Anak laki-laki yang gemar menyamar.” Ia mengulurkan kedua tangannya, dan Lord Listerdale menyambutnya dengan tangannya. PHILOMEL COTTAGE “SAMPAI nanti, Darling.” “Selamat jalan, Sweetheart.” Alix Martin bersandar di pintu pagar yang sudah berkarat, sambil menatap sosok suaminya yang semakin menjauh ke arah desa. Tak lama kemudian suaminya menghilang di balik tikungan, tapi Alix masih tetap berdiri di tempat dengan pandangan kosong, sambil menyibakkan seberkas rambut cokelat ikal yang diterbangkan angin ke wajahnya. Alix Martin tidak jelita atau cantik. Namun wajahnya—wajah wanita yang sudah tidak belia lagi—bersinar dan lembut, hingga para mantan rekan sekerjanya di kantor nyaris takkan mengenalinya. Dulu Miss Alex King wanita karier yang ramping, efisien, tegas, jelas-jelas cakap, dan selalu langsung ke sasaran. Alix terbiasa dengan kehidupan keras. Selama lima belas tahun, sejak usia delapan belas sampai tiga puluh tiga, ia menghidupi diri (dan selama tujuh tahun menghidupi ibunya yang sakit-sakitan) dengan bekerja sebagai juru steno. Perjuangan berat ini telah menorehkan garis-garis keras di wajahnya yang belia. Memang, pernah terjalin asmara—atau semacamnya—antara dia dengan Dick Windyford, rekan sesama juru tulis. Sebagai wanita berperasaan peka, diam-diam Alix sudah lama tahu bahwa Dick menaruh hati padanya. Dilihat dari luar, mereka sekadar teman biasa, tidak lebih. Dengan gajinya yang kecil, Dick kesulitan menanggung biaya sekolah adiknya. Saat itu ia tidak bisa berpikir tentang perkawinan. Kemudian dengan tiba-tiba Alix mendapat durian runtuh. Seorang sepupu jauh meninggal dan mewariskan uangnya pada Alix—beberapa ribu pound, cukup banyak untuk mendatangkan beberapa ratus pound setahun. Bagi Alix, ini berarti kebebasan, hidup, kemandirian. Sekarang ia dan Dick tak perlu menunggu lebih lama lagi. Namun reaksi Dick ternyata di luar dugaan. Ia belum pernah menyatakan cintanya secara langsung pada Alix; sekarang ia bahkan cenderung semakin tidak berhasrat mengutarakannya. Ia menghindari Alix, menjadi murung dan bermuram durja. Alix segera menyadari masalah sebenarnya. Ia telah menjadi wanita kaya. Perasaan Dick yang halus dan harga diri yang tinggi menghalangi Dick memperistrinya. Namun Alix tetap menyukainya, dan menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia saja yang lebih dulu mengambil langkah; namun lagi-lagi terjadi hal tak terduga. Alix berjumpa dengan Gerald Martin di rumah seorang teman. Gerald jatuh cinta setengah mati padanya, dan dalam seminggu mereka telah bertunangan. Alix yang selama ini menganggap dirinya “bukan jenis yang gampang jatuh cinta”, langsung lupa daratan. Tanpa disadari, keputusannya membuat marah mantan kekasihnya. Dick Windyford datang menjumpainya dengan sangat berang. “Laki-laki itu masih asing buatmu! Kau tidak tahu apa-apa tentang dia!” “Aku tahu aku mencintainya.” “Bagaimana kau bisa tahu—hanya dalam seminggu?” “Tidak semua orang butuh waktu sebelas tahun untuk menyadari dia mencintai seorang gadis,” teriak Alix marah. Wajah Dick pucat pasi. “Aku mencintaimu sejak pertama kali mengenalmu. Kusangka kau juga mencintaiku.” Alix berkata sejujurnya. “Aku juga menyangka begitu,” ia mengakui. “Tapi itu karena aku tidak tahu arti cinta.” Amarah Dick meledak kembali. Imbauan, permohonan, bahkan ancaman—ancaman terhadap lakilaki yang telah menggantikan dirinya. Alix terpana melihat gunung berapi yang tersembunyi di bawah penampilan pendiam pria yang disangkanya sangat ia kenal itu. Sekarang, di hari Minggu pagi, saat bersandar di pagar pondok, ingatan Alix kembali pada percakapan itu. Ia sudah menikah sebulan, dan bahagia seperti dalam syair puisi. Namun saat ini, saat suami yang sangat dicintainya sedang tidak ada di sampingnya, sekelumit kecemasan menerobos kebahagiaannya yang sempurna. Penyebabnya Dick Windyford. Tiga kali sejak menikah, ia mendapat mimpi yang sama. Lingkungannya memang berbeda, tapi intinya selalu sama. Ia melihat suaminya terbujur tak bernyawa, dan Dick Windyford berdiri mengawasinya. Alix tahu betul tangan Dick-lah yang telah melancarkan pukulan fatal itu. Namun ada yang lebih mengerikan lagi—maksudnya mengerikan saat terbangun, sebab kalau hanya dalam mimpi, semua itu seakan sangat wajar dan tak terelakkan. Dia, Alix Martin, senang suaminya sudah mati, ia mengulurkan tangan penuh syukur pada pembunuhnya, bahkan mengucapkan terima kasih. Mimpi itu selalu berakhir dengan cara yang sama, ia berada dalam pelukan Dick Windyford. *** Alix tidak menceritakan mimpi itu pada suaminya, tapi diam-diam ia sangat terganggu. Apakah ini suatu peringatan—peringatan terhadap Dick Windyford? Alix tersentak dari lamunannya mendengar dering telepon dari dalam rumah. Ia masuk dan mengangkat gagangnya. Mendadak ia terhuyung-huyung dan berpegangan pada dinding. “Siapa ini?” “Alix, ada apa dengan suaramu? Aku hampir tidak mengenalimu. Ini Dick.” “Oh!” ujar Alix. “Oh! Di mana... di mana kau?” “Di Traveller’s Arms—namanya tidak salah, kan? Atau kau bahkan tidak tahu kedai minum desamu sendiri? Aku sedang berlibur—sedikit memancing ikan di sini. Apa kau keberatan bila malam ini aku mengunjungi kalian berdua sesudah makan malam?” “Tidak,” sahut Alix tajam. “Kau tidak boleh datang.” Hening sejenak, setelah itu Dick berbicara lagi, nadanya sedikit berubah. “Maaf,” ujarnya formal. “Tentu saja aku tidak akan mengganggu kalian...” Alix segera menyela. Dick pasti menganggap sikapnya keterlaluan. Memang keterlaluan. Saraf Alix pasti sudah berantakan tidak keruan. “Aku cuma bermaksud mengatakan... malam ini... kami punya kesibukan,” jelasnya sambil berusaha agar suaranya terdengar sewajar mungkin. “Bagaimana kalau kau... kalau kau datang makan malam besok?” Namun rupanya Dick menyadari tidak ada keramahan sedikit pun dalam nada bicara Alix. “Banyak terima kasih,” ujarnya dengan nada sama formalnya, “tapi aku akan meneruskan perjalananku setiap saat. Tergantung temanku muncul atau tidak. Sampai jumpa, Alix.” Ia terdiam sesaat, lalu cepat-cepat menambahkan dengan nada berbeda, “Semoga kau bahagia, Sayang.” Alix meletakkan telepon dengan lega. “Dia tidak boleh kemari,” Alix berkata berulang kali pada diri sendiri. “Dia tidak boleh kemari. Oh, alangkah bodohnya aku! Membayangkan yang tidak-tidak, sampai cemas begini. Bagaimanapun, aku senang dia tidak jadi datang.” Ia menyambar topi anyaman dari meja, dan keluar lagi ke kebun, lalu berhenti dan menengadah melihat nama yang terukir di atas beranda: Philomel Cottage. “Nama yang keren, bukan?” ia pernah berkata pada Gerald sebelum mereka menikah. Ketika itu Gerald tertawa. “Dasar orang London,” ujarnya mesra. “Aku tidak percaya kau pernah mendengar kicau burung bulbul. Aku senang kau belum pernah mengalaminya. Burung bulbul hanya patut bernyanyi untuk para kekasih. Kita akan menikmati kicaunya bersama-sama di malam musim panas, di luar rumah kita sendiri.” Saat teringat bagaimana mereka benar-benar mendengarnya, Alix yang sedang berdiri di pintu masuk rumahnya tersipu bahagia. Gerald-lah yang menemukan Philomel Cottage. Ia mendatangi Alix dengan semangat menggebu. Ia telah menemukan tempat yang tepat bagi mereka—unik, sangat istimewa, kesempatan sekali seumur hidup. Dan ketika Alix melihat rumah itu, ia pun terpesona. Memang benar suasananya agak sepi—letaknya tiga kilometer dari desa terdekat—namun pondok itu begitu elok, dengan tampilan kuno, kamar-kamar mandi nyaman, sistem air panas, listrik, dan telepon, hingga ia langsung terpikat. Namun ada satu kendala. Pemiliknya, seorang pria kaya, mulai bertingkah dan tidak bersedia menyewakannya. Ia hanya mau menjualnya. Meski punya penghasilan bagus, Gerald Martin tidak mampu menutup harga yang diminta. Paling banyak ia hanya mampu mengumpulkan seribu pound. Pemiliknya meminta tiga ribu. Namun Alix, yang sudah menetapkan pilihan pada tempat itu, menjadi penyelamat. Berhubung warisannya berbentuk surat obligasi, uangnya mudah dicairkan. Ia akan memberikan separonya guna membeli rumah itu. Demikianlah Philomel Cottage menjadi milik mereka, dan Alix tidak menyesali pilihannya sedikit pun. Memang para pelayan tidak menyukai suasana sunyi pedesaannya—saat ini mereka tidak punya pelayan sama sekali— tetapi Alix, yang begitu mendambakan kehidupan domestik, benar-benar menikmati kegiatan memasak dan merawat rumah. Kebunnya, yang sarat dengan berbagai macam bunga, diurus laki-laki tua dari desa yang datang dua kali seminggu. Saat berbelok di sudut rumah, Alix heran melihat tukang kebun tua itu sedang sibuk bekerja di tengah bunga-bunga. Biasanya ia bekerja hari Senin dan Jumat, padahal ini hari Rabu. “Wah, George, sedang apa kau di sini?” tanya Alix sambil berjalan mendekatinya. Laki-laki tua itu berdiri sambil terkekeh dan menyentuh topinya yang usang. “Saya tahu Anda bakal terkejut, Ma’am. Tapi ceritanya begini. Jumat nanti ada pesta di Squire, dan saya bilang dalam hati, Mr. Martin dan istrinya yang baik itu tidak bakal keberatan kalau kali ini saya datang hari Rabu, bukannya Jumat.” “Tidak mengapa,” ujar Alix. “Kuharap kau menikmati pesta itu.” “Begitulah pendapat saya,” kata George. “Sungguh senang bisa makan sepuasnya dan tidak perlu bayar. Squire selalu menyediakan meja minum teh yang pantas bagi para penyewanya. Selain itu, Ma’am, saya sekalian ingin bertemu Anda sebelum Anda berangkat, supaya tahu hendak diapakan tanaman pagarnya. Saya rasa Anda belum tahu kapan Anda akan kembali, Ma’am?” “Tapi aku tidak akan pergi ke mana-mana.” George melongo. “Tapi bukankah besok Anda mau ke Lunnon?” “Tidak. Mengapa kaupikir aku akan pergi?” George menunjuk dengan gerakan kepalanya. “Kemarin saya bertemu Mister di desa. Dia bilang Anda berdua akan pergi ke Lunnon besok, dan belum dipastikan kapan akan kembali.” “Omong kosong,” ujar Alix tergelak. “Kau pasti salah paham.” Tapi ia bertanya-tanya, apa gerangan yang dikatakan Gerald hingga membuat laki-laki tua itu salah paham. Pergi ke London? Ia takkan pernah mau ke London lagi. “Aku benci London,” semburnya mendadak. “Ah!” ujar George tenang. “Saya pasti salah dengar, padahal sepertinya dia mengatakannya cukup jelas. Saya senang Anda tinggal di sini. Saya tidak setuju dengan kegemaran mengembara, dan saya juga tidak peduli dengan Lunnon. Saya tidak pernah perlu pergi ke sana. Terlalu banyak mobil—inilah masalahnya di zaman sekarang. Sekali orang punya mobil, masih untung kalau mereka bisa menetap. Mr. Ames, pemilik rumah sebelum ini—dia laki-laki yang tenang, sampai dia membeli mobil. Tidak sampai sebulan kemudian dia pun menjual pondok ini. Cukup banyak yang dikeluarkannya untuk memperbaikinya, dengan keran di setiap kamar tidur, lampu-lampu listrik, dan sebagainya. ‘Anda takkan mendapatkan kembali uang Anda,’ kata saya padanya. ‘Tapi,’ katanya pada saya, ‘seluruh pengeluaranku sudah kembali lewat dua ribu pound yang kudapat dari hasil penjualan rumah ini.’ Dan ternyata memang begitu.” “Dia mendapat tiga ribu,” ujar Alix sambil tersenyum. “Dua ribu,” ulang George. “Dia menyebutkan angka yang dimintanya ketika itu.” “Tapi jumlahnya betul tiga ribu,” sahut Alix. “Perempuan tidak pernah memahami angka,” ujar George tak percaya. “Maksud Anda, Mr. Ames berani-beraninya menghadapi Anda dan menyebut angka tiga ribu dengan lantang?” “Dia bukan mengatakannya padaku,” jawab Alix, “dia mengatakannya pada suamiku.” George membungkuk kembali ke atas petak-petak bunganya. “Harganya dua ribu,” ujarnya bersikeras. *** Alix tidak mau repot-repot berargumentasi dengannya. Ia melangkah menuju petak bunga lain, lalu mulai memetik bunga. Sementara berjalan dengan buketnya yang harum menuju rumah, Alix melihat benda kecil berwarna hijau tua menyembul di antara dedaunan di salah satu petak bunga. Ia membungkuk dan memungutnya, lalu mengenali buku harian saku suaminya. Ia membukanya sambil memeriksa catatan-catatan sejak hari pertama hidup perkawinan mereka, ia emosional memiliki sifat baik yang tidak umum, rewel soal waktu makan yang selalu harus tepat kegiatannya dengan saksama. di dalamnya dengan rasa geli. Hampir menyadari bahwa Gerald yang impulsif dan yaitu kerapian dan metode. Ia sangat waktu, dan selalu merencanakan Sambil melihat-lihat catatan dalam buku harian itu, Alix geli melihat tulisan pada tanggal 14 Mei: “Menikahi Alix St Peter’s 14.30.” “Si Konyol,” gumam Alix sambil membalik halaman. Tiba-tiba ia terhenti. “‘Rabu, 18 Juni’—lho, itu kan hari ini.” Di halaman itu tertera tulisan tangan Gerald yang rapi: “pk 21.00”. Hanya itu. Apa gerangan yang direncanakan Gerald pada jam 21.00? Alix bertanya-tanya. Ia tersenyum sendiri saat menyadari seandainya ini sebuah kisah, seperti sering dibacanya, buku harian ini pasti akan melengkapinya dengan pengungkapan rahasia yang sensasional. Di dalamnya pasti tercantum nama wanita lain. Ia membalik-balik halaman dengan asalasalan. Ada berbagai tanggal, perjanjian, referensi samar soal kesepakatan bisnis, tapi hanya satu nama wanita—namanya sendiri. Namun saat ia memasukkan buku itu ke sakunya dan membawa bunga-bunga itu ke dalam rumah, samar-samar ia merasa tidak enak. Kata-kata Dick Windyford terngiang kembali, seakan Dick berada tepat di sampingnya, sambil mengulang, “Laki-laki itu masih asing buatmu. Kau tidak tahu apa-apa tentang dia.” Benar juga. Apa yang diketahuinya tentang Gerald? Lagi pula, umur Gerald sudah empat puluh. Selama empat puluh tahun ini pasti pernah ada wanita lain dalam hidupnya... Alix berusaha menyadarkan dirinya dengan tak sabar. Ia tidak boleh termakan oleh pikiran-pikiran ini. Ada urusan lain yang lebih penting. Haruskah ia menceritakan pada suaminya bahwa Dick Windyford meneleponnya? Ada kemungkinan Gerald sudah berjumpa dengan Dick di desa. Bila demikian, ia pasti akan mengatakannya begitu kembali, dan masalahnya selesai tanpa Alix perlu campur tangan. Bila tidak... lalu bagaimana? Alix sangat ingin menyimpan sendiri hal itu. Bila ia menceritakannya pada Gerald, Gerald pasti akan mengusulkan agar Dick Windyford diundang datang ke Philomel Cottage. Kemudian Alix terpaksa menjelaskan bahwa Dick sendiri telah meminta diperbolehkan datang, dan bahwa ia telah mereka-reka dalih untuk mencegahnya. Dan bila Gerald menanyakan alasan ia berbuat demikian, apa yang harus dikatakannya? Menceritakan mimpi itu padanya? Gerald pasti hanya tertawa—atau lebih parah lagi, menganggap Alix terlalu menganggap penting mimpi itu. Akhirnya, dengan agak malu, Alix memutuskan untuk tidak berkata apa pun. Ini rahasia pertama yang disembunyikannya dari suaminya, dan ia merasa tidak enak. *** Waktu mendengar Gerald kembali dari desa menjelang jam makan siang, ia bergegas ke dapur dan berpura-pura sibuk memasak untuk menyembunyikan kebingungannya. Langsung terlihat bahwa Gerald tidak berjumpa dengan Dick Windyford. Alix merasa lega sekaligus malu. Sekarang ia sudah bertekad untuk tidak bercerita apa-apa pada suaminya. Sesudah makan malam yang sederhana, mereka duduk-duduk di bangku kayu ek di ruang keluarga; jendela dibiarkan terbuka untuk membiarkan udara malam masuk, membawa aroma manis bunga-bunga di luar. Saat itu barulah Alix teringat buku harian suaminya. “Ini barang yang kaupakai untuk menyirami bunga,” katanya sambil menjatuhkan buku harian itu di pangkuan Gerald. “Terjatuh di petak bunga, ya?” “Ya. Aku tahu semua rahasiamu sekarang.” “Tidak bersalah,” sahut Gerald sambil menggeleng. “Bagaimana dengan urusanmu jam sembilan malam nanti?” “Oh, itu...” Sesaat Gerald tampak terperanjat, lalu ia tersenyum, seakan ada sesuatu yang membuatnya geli. “Aku ada janji dengan gadis yang sangat manis, Alix. Rambutnya cokelat, matanya biru, dan dia mirip sekali denganmu.” “Aku tidak paham,” sahut Alix, pura-pura marah. “Kau menghindar dari pokok pembicaraan.” “Tidak, sungguh. Catatan itu untuk mengingatkanku bahwa malam ini aku akan mencuci film, dan aku ingin kau membantuku.” Gerald Martin menyukai fotografi. Ia memiliki kamera yang agak kuno, dengan lensa sangat bagus, dan ia mencuci sendiri filmnya di ruang sempit bawah tanah yang diubahnya menjadi kamar gelap. “Dan ini harus dikerjakan tepat jam sembilan,” goda Alix. Gerald tampak agak jengkel. “Gadis manisku,” katanya sedikit tak sabar, “orang perlu merencanakan kegiatannya dengan saksama. Dengan begitu, dia bisa menyelesaikan tugasnya dengan benar.” Alix terdiam beberapa saat, memerhatikan suaminya yang duduk merokok di kursinya dengan kepala tengadah, profil wajahnya yang dicukur bersih tampak jelas di latar belakang yang suram. Dan tiba-tiba saja, entah dari mana, gelombang kepanikan menyerbunya hingga ia memekik sebelum sempat menahan diri, “Oh, Gerald, andai aku tahu lebih banyak tentang dirimu!” Suaminya menoleh terperanjat. “Tapi, Alix-ku sayang, kau memang tahu semua tentang diriku. Aku sudah menceritakan masa kecilku di Northumberland, kehidupanku di Afrika Selatan, dan sepuluh tahun terakhir di Kanada yang membuatku sukses.” “Oh, itu kan tentang bisnis!” sergah Alix mencemooh. Mendadak Gerald tertawa. “Aku tahu maksudmu—hubungan asmara. Kalian perempuan sama saja. Tak ada yang menarik bagi kalian selain unsur pribadi.” Alix merasa tenggorokannya kering saat ia bergumam tak jelas, “Hmm, pasti pernah ada... hubungan asmara. Maksudku... seandainya aku tahu...” Hening kembali beberapa saat. Gerald Martin mengerutkan kening dengan pandangan ragu. Saat berbicara suaranya terdengar muram, jauh dari sikap berkelakarnya tadi. “Apa menurutmu bijaksana, Alix—mengungkit-ungkit masalah ini? Ya, dalam kehidupanku memang pernah ada beberapa wanita, aku tidak menyangkal. Kau pasti takkan percaya bila aku menyangkal. Tapi aku berani sumpah, tak seorang pun dari mereka berarti bagiku.” Nadanya terdengar sungguh-sungguh. Mendengarnya, Alix jadi lebih terhibur. “Sudah puas, Alix?” tanya Gerald sambil tersenyum. Kemudian ia menatap Alix dengan rasa ingin tahu. “Apa yang membuatmu memikirkan hal-hal tidak menyenangkan ini, khususnya malam ini?” Alix bangkit berdiri dan mulai mondar-mandir gelisah. “Oh, entahlah,” ujarnya. “Seharian ini aku merasa gugup.” “Aneh sekali,” sahut Gerald lirih, seakan berbicara pada diri sendiri. “Ini sungguh aneh.” “Apanya yang aneh?” “Oh, gadis manisku, jangan marah-marah begitu padaku. Aku cuma mengatakan ini aneh, sebab biasanya kau begitu manis dan tenang.” Alix memaksakan diri tersenyum. “Hari ini banyak hal membuatku kesal,” akunya. “Bahkan si George tua pun punya ide gila. Dia bilang kita akan pergi ke London. Katanya kau yang mengatakan padanya.” “Di mana kau melihatnya?” tanya Gerald tajam. “Dia masuk kerja hari ini, bukannya Jumat.” “Orang goblok sialan,” umpat Gerald marah. Alix menatapnya terperanjat. Wajah suaminya penuh amarah. Ia belum pernah melihat Gerald semarah ini. Melihat keheranan istrinya, Gerald berusaha mengendalikan diri. “Hmm, dia memang orang tua yang goblok,” sanggahnya. “Kau bilang apa padanya, sehingga dia mengira kita akan pergi?” “Aku? Aku tidak pernah bilang apa-apa. Setidaknya... oh ya, aku ingat; aku bercanda mengatakan, ‘Akan ke London pagi-pagi,’ dan kurasa dia menanggapinya dengan serius. Atau dia salah dengar. Kau tentu membantahnya, kan?” Gerald menanti jawaban Alix dengan harap-harap cemas. “Tentu saja, tapi dia jenis orang kepala batu. Kalau sudah meyakini sesuatu, sulit diubah pendiriannya.” Kemudian ia menceritakan kegigihan George mengenai jumlah yang diminta untuk pondok mereka. Gerald terdiam beberapa saat, lalu berkata lambat-lambat, “Ames bersedia menerima uang tunai sebesar dua ribu, dan sisanya yang seribu dalam bentuk hipotek. Kurasa dari sinilah asalnya salah paham itu.” “Mungkin sekali,” sahut Alix setuju. Setelah itu ia menoleh ke jam dan menunjuk dengan nakal. “Kita harus segera bekerja, Gerald. Ini sudah terlambat lima menit.” Senyuman yang sangat aneh mengembang di wajah Gerald Martin. “Aku berubah rencana,” ujarnya tenang, “malam ini aku tidak jadi mengerjakan fotografi.” Pikiran wanita memang mengherankan. Sewaktu pergi tidur pada Rabu malam itu, pikiran Alix puas dan tenang. Kebahagiaannya yang sempat terganggu telah pulih kembali, penuh kemenangan seperti dulu. Namun malam berikutnya ia menyadari ada kekuatan tak kentara sedang bekerja untuk meruntuhkannya. Dick Windyford tidak menelepon lagi, namun Alix merasa pengaruhnyalah yang sedang bekerja. Berulang kali kata-kata itu terngiang di benaknya: “Laki-laki itu masih asing buatmu. Kau tidak tahu apa-apa tentang dia.” Bersamaan dengan itu muncul wajah suaminya, terpateri jelas di angan-angannya, saat Gerald berkata, “Apa menurutmu bijaksana, Alix—mengungkit-ungkit masalah ini?” Mengapa Gerald berkata begitu? Di dalamnya terbersit peringatan—semacam ancaman. Seakan ia mengatakan, “Sebaiknya kau jangan mencampuri urusanku, Alix. Kau akan mendapat kejutan tak menyenangkan nanti.” Hari Jumat pagi, Alix meyakinkan diri bahwa pernah ada wanita dalam kehidupan Gerald— rahasia yang mati-matian disembunyikan Gerald darinya. Kecemburuannya yang tadinya tidak mudah tersulut, sekarang semakin menjadi-jadi. Apakah yang hendak dijumpai Gerald pada pukul 9 malam itu seorang wanita? Apakah alasannya tentang mencuci film itu sekadar dusta yang direka mendadak? Tiga hari yang lalu Alix berani bersumpah ia mengenal suaminya luar-dalam. Sekarang Gerald seakan orang asing yang tidak dikenalnya sama sekali. Ia teringat ledakan amarah suaminya terhadap George, begitu berbeda dengan perilakunya yang biasanya ramah. Mungkin ini hal kecil, tapi menunjukkan padanya bahwa ia tidak begitu mengenal lakilaki yang sekarang menjadi suaminya itu. Hari Jumat itu ada beberapa hal kecil yang perlu dibeli di desa. Sorenya Alix menawarkan diri berbelanja, sementara Gerald tetap di kebun; tapi ia terkejut ketika suaminya menentang keras rencana ini, dan bersikeras melakukannya sendiri sementara Alix tetap tinggal di rumah. Alix terpaksa mengalah, tapi sikap keras suaminya mengejutkan sekaligus membuatnya takut. Mengapa Gerald begitu bersikukuh mencegahnya pergi ke desa? Tiba-tiba muncul penjelasan yang menjawab semua pertanyaan Alix. Mungkinkah Gerald telah berjumpa dengan Dick Windyford dan tidak bercerita apa-apa padanya? Alix tidak pernah merasa cemburu ketika menikah dengan Gerald; rasa cemburunya baru muncul kemudian. Mungkinkah hal yang sama terjadi pada Gerald? Apakah tak mungkin ia bermaksud mencegah istrinya bertemu Dick Windyford lagi? Penjelasan ini begitu cocok dengan fakta, dan begitu menenteramkan pikiran Alix yang gelisah, hingga ia menerimanya dengan senang hati. Namun ketika jam minum teh tiba dan berlalu, Alix kembali gelisah dan cemas. Ia bergumul melawan godaan yang terus menyerangnya sejak Gerald meninggalkan rumah. Akhirnya ia naik ke kamar ganti suaminya di lantai atas, sambil menenteramkan nuraninya dengan keyakinan bahwa ruangan itu memang perlu dibereskan. Ia membawa kemoceng untuk melanjutkan perannya sebagai ibu rumah tangga. “Seandainya aku yakin,” ulangnya pada diri sendiri. “Seandainya aku bisa yakin.” Sia-sia ia mengatakan pada dirinya bahwa apa pun yang bisa menimbulkan kecurigaan pasti sudah dimusnahkan berabad-abad lalu. Namun ia membantah, sebab adakalanya kaum pria menyimpan bukti yang paling menjatuhkan gara-gara sentimentalitas berlebihan. Akhirnya Alix menyerah. Dengan napas tersengal dan pipi terbakar rasa malu karena tindakannya, ia memeriksa tumpukan surat dan dokumen, mengaduk-aduk isi laci-laci, bahkan memeriksa saku pakaian suaminya. Hanya dua laci yang tidak dibukanya; laci paling bawah lemari dan laci kanan meja tulis sama-sama terkunci. Sementara itu rasa malu Alix sudah lenyap. Ia yakin dalam salah satu laci itu ia akan menemukan bukti tentang wanita dari masa lalu yang mengobsesi dirinya. Ia teringat Gerald telah ceroboh meninggalkan rencengan kuncinya di atas buffet lantai bawah. Ia mengambilnya, lalu mencobanya satu per satu. Kunci ketiga cocok dengan laci meja tulis. Dengan bernafsu Alix menariknya. Di dalamnya tersimpan buku cek dan dompet yang sarat uang kertas, dan di bagian belakang laci setumpuk surat yang diikat pita. Dengan terengah-engah Alix membuka simpul pita itu. Kemudian wajahnya memerah, dan ia pun memasukkan tumpukan surat itu ke dalam laci, menutup, lalu menguncinya kembali. Sebab surat-surat itu ternyata berasal dari dirinya sendiri, ditujukan pada Gerald Martin sebelum mereka menikah. Sekarang Alix beranjak ke lemari laci, lebih karena ia ingin bekerja tuntas, bukan karena ingin menemukan apa yang dicarinya. Ia kesal ketika mendapati tak satu pun kunci itu cocok dengan laci tersebut. Tanpa putus asa, Alix memasuki kamar-kamar lain dan membawa sejumlah kunci lain. Ia puas ketika kunci lemari pakaian kamar cadangan ternyata cocok dengan laci lemari tadi. Ia memutar kuncinya dan menarik laci itu. Namun di dalamnya cuma ada segulung guntingan koran yang sudah kotor dan menguning karena tua. Alix menghela napas lega. Tapi ia melihat sekilas guntingan-guntingan itu, ingin tahu subjek apa yang begitu menarik perhatian Gerald, sampai rela bersusah payah menyimpan gulungan berdebu itu. Hampir semuanya berasal dari surat kabar Amerika, bertanggal sekitar tujuh tahun lalu, dan memuat berita tentang perkara pengadilan menyangkut Charles Lemaitre, penipu ulung dan bigamis terkenal. Lemaitre dicurigai melenyapkan korban-korban wanitanya. Di bawah lantai salah satu rumah yang pernah disewanya, telah ditemukan kerangka manusia, dan sebagian besar wanita yang “dinikahi”-nya tidak pernah terdengar kabar beritanya lagi. Ia membela diri dari semua tuduhan dengan keahlian sempurna, dibantu beberapa ahli hukum paling piawai di seluruh Amerika Serikat. Putusan “Tidak Terbukti” yang dikeluarkan pengadilan Skotlandia mungkin merupakan pernyataan terbaik dari kasusnya. Karena tiadanya bukti, ia diputuskan Tidak Bersalah menyangkut tuduhan utama, meskipun ia dijatuhi hukuman penjara cukup lama atas tuduhan-. tuduhan lain yang dikenakan padanya. Alix masih ingat kegemparan yang ditimbulkan kasus itu, juga karena kaburnya Lemaitre tiga tahun kemudian. Ia tidak pernah berhasil ditangkap kembali. Ketika itu kepribadian laki-laki itu dan daya pikatnya yang luar biasa terhadap kaum wanita telah dibahas panjang-lebar di koran-koran Inggris, termasuk sikap mudah marahnya di pengadilan, pernyataan-pernyataannya yang penuh semangat, dan beberapa kejadian ketika ia jatuh pingsan mendadak karena jantungnya lemah, meski beberapa orang menganggap itu sekadar aksi dramatisnya saja. Di salah satu guntingan yang dipegang Alix ada foto laki-laki itu, dan Alix memerhatikannya dengan saksama—pria berjanggut panjang yang tampak intelek. Wajah itu mengingatkannya pada seseorang, tapi siapa? Mendadak, dengan terkejut ia menyadari bahwa pria itu Gerald. Mata maupun alisnya sangat mirip. Mungkin Gerald menyimpan guntingan itu karena suatu alasan. Mata Alix menelusuri keterangan di samping gambar itu. Rupa-rupanya ada tanggal-tanggal tertentu yang telah dicatat dalam buku harian saku si tertuduh, dan ada pendapat yang mengatakan inilah tanggal-tanggal ia melenyapkan para korbannya. Kemudian seorang wanita memberikan bukti dan mengenali narapidana itu dengan pasti melalui fakta bahwa laki-laki itu mempunyai tahi lalat di pergelangan tangan kirinya, tepat di bawah telapak tangan. Alix langsung menjatuhkan kertas-kertas itu dan berdiri terhuyung. Di pergelangan tangan kirinya, tepat di bawah telapak tangan, suaminya punya bekas luka kecil... *** Ruangan itu seakan berputar-putar. Setelah itu ia merasa aneh karena menarik kesimpulan dengan begitu pasti. Gerald Martin adalah Charles Lemaitre! Ia tahu itu, dan ia menerimanya dalam sekejap. Kepingan-kepingan yang berserak berputar-putar di benaknya bagaikan kepingan-kepingan teka-teki yang sedang membentuk gambar. Uang yang dibayarkan untuk membeli rumah ini—uangnya sepenuhnya; ia telah memercayakan lembar-lembar obligasi itu untuk disimpan Gerald. Bahkan mimpinya pun jadi terasa sangat penting. Jauh di lubuk hatinya, pikiran bawah sadarnya sejak dulu merasa takut pada Gerald Martin dan ingin melarikan diri darinya. Dan kepada Dick Windyford-lah pikiran bawah sadarnya mencari pertolongan. Hal ini jugalah yang membuatnya menangkap kebenaran begitu mudah, tanpa ragu sedikit pun. Ia akan menjadi korban Lemaitre yang berikut. Mungkin sebentar lagi... Ia terpekik saat teringat sesuatu. Rabu, pukul 21.00. Ruang bawah tanah, dengan batubatu ubin yang mudah diangkat! Gerald pernah mengubur salah seorang korbannya di ruang bawah tanah. Semua ini sudah direncanakan pada hari Rabu malam. Tetapi mencatatnya terlebih dulu dengan cara metodis seperti itu—benar-benar gila! Tidak, ini justru logis. Gerald selalu membuat catatan tentang urusan-urusannya; baginya pembunuhan adalah rencana bisnis yang tak beda dengan kegiatan lainnya. Namun apa gerangan yang telah menyelamatkan Alix? Apakah Gerald jatuh kasihan pada saat terakhir? Tidak. Jawaban itu berkelebat di benaknya—si George tua. Sekarang Alix memahami ledakan amarah suaminya yang tak terkendali itu. Tak pelak lagi ia telah mempersiapkan diri dengan menyebarkan berita pada setiap orang yang dijumpainya bahwa mereka berdua akan pergi ke London keesokan harinya. Kemudian tanpa diduga-duga George masuk kerja, menyebut-nyebut London padanya, dan Alix membantahnya. Jadi, terlampau riskan mengenyahkan Alix malam itu, gara-gara George mengulang pembicaraan itu. Nyaris saja! Seandainya ia kebetulan tidak menyebut-nyebut kejadian sepele itu—Alix bergidik. Lalu ia tertegun seakan membeku jadi batu. Ia mendengar derit pintu pagar. Suaminya sudah kembali. Sesaat Alix seakan mati ketakutan, kemudian ia berjingkat ke arah jendela, mengintip dari balik tirai. Benar, itu suaminya. Gerald sedang tersenyum-senyum sendiri sambil bersenandung. Di tangannya ada benda yang nyaris membuat jantung Alix berhenti. Benda itu sekop yang masih baru. Alix tiba-tiba menarik kesimpulan yang lahir dari naluri. Rencana itu akan dilaksanakan malam ini... Namun masih ada satu kesempatan. Gerald yang masih asyik bersenandung, berjalan ke belakang rumah. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Alix berlari menuruni tangga, keluar dari pondok. Tapi tepat ketika ia keluar dari pintu, suaminya muncul dari samping rumah. “Halo,” sapanya, “mau ke mana kau, bergegas seperti itu?” Alix berusaha mati-matian agar tampak tenang seperti biasa. Untuk saat itu kesempatannya telah hilang, tapi bila ia berhati-hati agar tidak membangkitkan rasa curiga suaminya, kesempatan itu akan datang lagi. Bahkan sekarang, siapa tahu... “Aku baru saja mau jalan-jalan ke ujung sana, lalu kembali,” katanya dengan suara yang di telinganya sendiri terdengar lemah dan ragu. “Begitu,” sahut Gerald. “Aku akan menemanimu.” “Tidak—tolong, Gerald. Aku... sedang gugup, pusing—aku lebih suka berjalan sendiri.” Gerald menatapnya penuh perhatian. Alix merasa sekilas kecurigaan berkelebat di mata Gerald. “Ada apa denganmu, Alix? Kau pucat sekali—dan gemetar.” “Tidak apa-apa.” Alix memaksa diri bersikap tegar—sambil tersenyum. “Kepalaku sakit, itu saja. Berjalan-jalan sebentar baik untukku.” “Nah, tak ada gunanya kau mengatakan tidak mau kutemani,” ujar Gerald sambil tertawa santai. “Aku tetap akan ikut, entah kau mau atau tidak.” Alix tidak berani menolak lagi. Kalau sampai Gerald curiga bahwa ia tahu... Dengan usaha keras ia berhasil bersikap agak lebih wajar. Namun ia merasa tidak enak juga karena sebentar-sebentar Gerald melirik ke arahnya, seakan tidak begitu puas. Alix merasa kecurigaan Gerald belum sepenuhnya lenyap. Waktu mereka tiba kembali di rumah, Gerald bersikeras agar Alix berbaring, lalu membawakan kolonye untuk membasahi pelipisnya. Seperti biasa, ia bersikap bagaikan suami yang penuh pengabdian. Alix merasa tak berdaya, seakan terkurung dalam jebakan, dengan kaki dan tangan terikat. Gerald tidak mau meninggalkannya sekejap pun. Ia ikut bersama Alix ke dapur dan membantu membawakan lauk-pauk dingin yang sudah disiapkannya terlebih dulu. Makan malam itu seakan mencekik Alix, namun ia memaksa diri untuk makan, bersikap ceria, dan wajar. Ia tahu sekarang bahwa ia sedang berjuang untuk hidupnya. Ia seorang diri bersama lakilaki ini, jauh dari bala bantuan, dan sepenuhnya dalam kekuasaan Gerald. Satu-satunya peluang adalah meredakan rasa curiga Gerald agar ia mau meninggalkan istrinya beberapa saat—agar Alix sempat memakai telepon di ruang depan dan mendatangkan bantuan. Sekarang ini satu-satunya harapan. Secercah harapan terbersit saat ia teringat sebelum ini Gerald telah mengurungkan niatnya. Bagaimana kalau ia menyampaikan bahwa malam ini Dick Windyford akan datang berkunjung? Bibirnya bergetar—kemudian ia cepat-cepat membatalkannya. Orang ini tidak mungkin terhambat untuk kedua kali. Di bawah sikapnya yang tenang tersembunyi tekad dan kegembiraan yang membuat Alix muak. Kalau ia mengatakan Dick akan datang, ia hanya akan mempercepat kejahatan itu. Gerald akan langsung membunuhnya di tempat, dan dengan tenang menelepon Dick Windyford dengan dalih bahwa mendadak Alix harus pergi. Oh! Seandainya Dick Windyford datang malam ini! Kalau saja Dick... Mendadak sebuah ide berkelebat di benak Alix. Ia melirik tajam ke arah suaminya, seolah takut pikirannya terbaca. Dengan terbentuknya rencana itu, keberaniannya timbul kembali. Sikapnya berubah sangat wajar, hingga ia sendiri terkagum-kagum. Ia menyeduh kopi, lalu membawanya ke beranda tempat mereka sering duduk-duduk di malammalam cerah. “Omong-omong,” kata Gerald tiba-tiba, “kita akan mengerjakan foto-foto itu nanti malam.” Alix menggigil, tapi ia menjawab santai, “Apa kau tidak bisa melakukannya sendiri? Malam ini aku agak letih.” “Takkan lama.” Ia lalu tersenyum sendiri. “Dan aku janji setelah itu kau tidak akan letih lagi.” Kata-kata itu seakan menyenangkan hatinya. Alix bergidik. Hanya sekaranglah kesempatannya menjalankan rencananya. Ia bangkit berdiri. “Aku mau menelepon tukang daging,” ujarnya santai. “Kau tidak perlu mengikutiku.” “Tukang daging? Selarut ini?” “Tokonya tentu saja sudah tutup, Sayang. Tapi dia ada di rumah. Besok hari Sabtu, dan aku mau dia membawakan daging anak lembu pagi-pagi, sebelum orang lain sempat menyambarnya. Si tua yang baik itu mau melakukan apa saja untukku.” Alix bergegas masuk rumah, lalu menutup pintu. Ia mendengar Gerald berkata, “Jangan tutup pintunya,” dan ia segera menjawab, “Biar ngengatnya tidak masuk. Aku benci ngengat. Apa kau takut aku akan mesra-mesraan dengan tukang daging?” Begitu berada di dalam, ia mengangkat gagang telepon dan memberikan nomor telepon kedai minum Traveller’s Arms. Ia langsung mendapat sambungan. “Mr. Windyford? Apa dia masih di situ? Bisa bicara dengannya?” Kemudian jantungnya tersentak. Pintu dibuka dan suaminya masuk ke ruang depan. “Pergi sana, Gerald,” ujarnya marah. “Aku benci ada yang menguping saat aku menelepon.” Gerald cuma tertawa dan menjatuhkan diri di kursi. “Apa benar kau sedang menelepon tukang daging?” ia menebak. Alix putus asa. Rencananya gagal. Sebentar lagi Dick Windyford akan datang ke pesawat telepon. Haruskah ia mengambil risiko dan berteriak minta tolong? Dengan gugup Alix menekan dan melepaskan tombol kecil di gagang telepon yang sedang dipegangnya. Tombol itu bisa membuat suara si pembicara terdengar atau tidak di ujung satunya; mendadak muncul rencana lain di kepalanya. “Ini takkan mudah,” pikir Alix. “Ini berarti aku harus tetap tenang, memilih kata-kata yang tepat, dan tidak bimbang sedetik pun. Tapi aku percaya mampu melakukannya. Aku harus melakukannya.” Saat itulah ia mendengar suara Dick Windyford di ujung seberang. Alix menarik napas dalam-dalam. Ia lalu menekan tombol kuat-kuat dan berbicara. “Ini Mrs. Martin—dari Philomel Cottage. Tolong datang ke sini (ia melepaskan tombol) besok pagi membawa enam iris daging anak lembu (ia menekan tombol lagi). Ini sangat penting (ia melepaskan tombol). Banyak terima kasih, Mr. Hexworthy, maaf saya menelepon malam-malam begini. Tapi daging anak lembu itu benar-benar menyangkut (ia menekan tombol lagi) hidup atau mati (ia melepaskan tombol). Baiklah—besok pagi (ia menekan tombol) secepat mungkin.” Alix menaruh gagang telepon dan berpaling ke suaminya dengan napas memburu. “Jadi, begitukah caramu berbicara dengan tukang daging?” tanya Gerald. “Itu namanya sentuhan feminin,” sahut Alix enteng. Hatinya meluap-luap. Gerald tidak curiga sedikit pun. Dick, kalaupun tidak mengerti, pasti akan datang. Alix melangkah ke ruang duduk dan menyalakan lampu. Gerald mengikutinya. “Sepertinya kau sekarang sudah bersemangat,” ia berkomentar sambil memerhatikan Alix penuh rasa ingin tahu. “Ya,” ujar Alix. “Sakit kepalaku sudah hilang.” Ia duduk di kursi yang biasa digunakannya, dan tersenyum pada suaminya yang juga duduk di kursinya sendiri di depannya. Alix selamat. Ini baru pukul delapan lebih dua puluh lima menit. Jauh sebelum jam sembilan, Dick pasti sudah tiba. “Aku tidak begitu suka kopi yang kauberikan tadi,” keluh Gerald. “Rasanya pahit sekali.” “Aku mencoba kopi jenis baru. Lain kali tidak akan kugunakan lagi kalau kau tidak menyukainya, Sayang.” Alix mengambil jahitannya dan mulai menjahit. Gerald membaca beberapa halaman bukunya. Kemudian ia memandang jam dan melemparkan bukunya. “Setengah sembilan. Sudah waktunya ke ruang bawah tanah dan mulai bekerja.” Jahitan Alix terjatuh dari tangannya. “Oh, belum waktunya. Kita tunggu saja sampai jam sembilan.” “Tidak, gadis manisku—setengah sembilan. Itu waktu yang kutentukan. Supaya kau bisa semakin cepat tidur.” “Tapi aku lebih suka menunggu sampai jam sembilan.” “Kau sudah tahu, sekali aku menetapkan waktu, aku akan berpegang padanya. Ayo, Alix, aku takkan menunggu lebih lama semenit pun.” Alix menengadah, mau tak mau merasakan gelombang teror melingkupinya. Topeng sudah tersingkap. Tangan Gerald sudah gatal, matanya berpendar penuh gairah, dan ia terusmenerus menjilat bibirnya yang kering. Ia tidak terpikir untuk menyembunyikan gairahnya. Alix berpikir, “Benar—dia tidak bisa menunggu—dia gila.” Gerald melangkah ke arahnya, dan sambil mencengkeram bahunya, ia menarik Alix supaya berdiri. “Cepatlah, gadis manis—atau aku akan menggotongmu ke sana.” Suaranya terdengar ceria, tapi di balik itu terasa keganasan yang mengerikan. Dengan sekuat tenaga Alix melepaskan diri dan meringkuk di dinding. Ia tak berdaya. Ia tidak bisa melarikan diri—ia tidak mampu berbuat apa pun—dan Gerald sedang menghampirinya. “Ayolah, Alix...” “Tidak—tidak.” Alix menjerit sambil menjulurkan kedua lengannya tanpa daya untuk melindungi diri. “Gerald—berhenti—ada yang ingin kusampaikan padamu, suatu pengakuan...” Gerald berhenti melangkah. “Pengakuan?” ia bertanya ingin tahu. “Ya, pengakuan.” Alix menggunakan kata-kata itu sekenanya, tapi ia melanjutkan dengan putus asa untuk menangkap perhatian Gerald. “Mantan kekasih, kurasa,” ejek Gerald. “Bukan,” sahut Alix. “Ada hal lain. Kurasa kau akan menyebutnya... ya, kau akan menyebutnya kejahatan.” Alix langsung melihat bahwa kata-katanya tepat mengenai sasaran. Gerald seketika memerhatikannya. Melihat ini, semangatnya bangkit kembali. Ia kembali menguasai keadaan. “Sebaiknya kau duduk lagi,” ujarnya tenang. Alix melintasi ruangan dan duduk di kursinya kembali. Ia bahkan membungkuk dan memungut jahitannya. Namun di balik sikap tenangnya itu ia berpikir keras, sebab kisah yang sedang direkanya ini harus mampu menarik perhatian Gerald sampai bantuan tiba. “Sudah kukatakan padamu,” ujarnya perlahan, “bahwa aku dulu bekerja sebagai juru steno selama lima belas tahun. Sebenarnya tidak sepenuhnya begitu. Ada dua selingan di antaranya. Yang pertama terjadi ketika umurku dua puluh dua. Aku bertemu pria tua yang cukup kaya. Dia jatuh cinta padaku dan memintaku menikah dengannya. Aku menerima lamarannya, dan kami pun menikah.” Alix berhenti sejenak. “Aku membujuknya untuk mengasuransikan diri demi aku.” Alix melihat wajah suaminya tiba-tiba penuh minat, dan ia melanjutkan dengan semangat baru. “Di zaman perang, aku pernah bekerja di apotek rumah sakit. Di sana aku menangani segala macam obat-obatan dan racun.” Ia berhenti sambil termenung. Sekarang Gerald benar-benar terpikat, tak diragukan lagi. Pembunuh tentunya tertarik dengan pembunuhan. Alix berspekulasi dengan hal ini, dan berhasil. Ia melirik ke arah jam. Pukul setengah sembilan lebih lima menit. “Ada satu macam racun—berupa serbuk putih. Digunakan sejumput saja bisa menyebabkan kematian. Kau barangkali paham soal racun?” Ia mengajukan pertanyaan itu dengan waswas. Kalau Gerald paham, ia harus berhati-hati. “Tidak,” sahut Gerald, “aku tidak tahu banyak mengenai racun.” Alix menarik napas lega. “Kau tentunya pernah mendengar tentang hyoscine? Ini obat yang bereaksi sama, tapi sama sekali tak terdeteksi. Dokter mana pun akan menulis gagal jantung di surat kematian. Aku mencuri sedikit obat itu dan menyimpannya.” Alix berhenti, menyusun kekuatan. “Teruskan,” kata Gerald. “Tidak. Aku takut. Aku tidak bisa mengatakannya. Lain kali saja.” “Sekarang!” bentak Gerald tak sabar. “Aku ingin mendengar.” “Kami sudah menikah sebulan, dan aku bersikap baik sekali terhadap suamiku yang sudah tua itu, sangat ramah dan penuh pengabdian. Di depan semua tetangga dia memuji-mujiku setinggi langit. Semua orang tahu betapa baiknya aku sebagai istri. Tiap malam aku sendiri membuatkan kopi untuknya. Suatu malam, saat kami hanya berdua, aku memasukkan sejumput serbuk alkaloid mematikan itu ke dalam cangkirnya...” Alix berhenti, dan menyelipkan benang dengan cermat ke lubang jarumnya. Dia, yang seumur hidup belum pernah berakting, saat itu menandingi aktris paling hebat sedunia. Ia benar-benar menghayati peran sang pembunuh berdarah dingin. “Suasananya sangat tenteram. Aku duduk memerhatikannya. Suatu saat dia terengah sedikit dan minta udara segar. Aku membuka jendela. Kemudian dia berkata bahwa dia tak mampu bergerak dari kursinya. Sebentar kemudian dia mati.” Alix berhenti, lalu tersenyum. Jam menunjukkan pukul sembilan kurang seperempat. Sebentar lagi bantuan pasti tiba. “Berapa banyak uang asuransi itu?” ujar Gerald. “Sekitar dua ribu pound. Aku berjudi dengan uang itu dan kalah. Aku lalu kembali bekerja di kantor. Tapi aku tidak pernah berniat berlama-lama di situ. Kemudian aku berjumpa laki-laki lain. Di kantor, aku tetap menggunakan nama gadisku. Dia tidak tahu aku pernah menikah. Usianya lebih muda, lumayan tampan dan kaya. Kami menikah diam-diam di Sussex. Dia tidak mau mengasuransikan hidupnya, tapi sudah tentu dia membuat surat wasiat yang menguntungkanku. Sama seperti suami pertamaku, dia ingin akulah yang membuatkan kopinya.” Alix tersenyum menerawang, dan menambahkan dengan sederhana, “Aku memang ahli menyeduh kopi.” Kemudian ia melanjutkan, “Aku punya beberapa teman di desa tempat kami tinggal. Mereka sangat iba padaku ketika suamiku tiba-tiba meninggal karena gagal jantung sesudah makan malam. Aku tidak begitu suka dengan dokternya. Rasanya dia tidak mencurigaiku, tapi yang jelas, dia sangat terkejut dengan kematian mendadak suamiku. Entah mengapa aku lalu kembali bekerja di kantor. Sudah kebiasaan, kurasa. Suami keduaku meninggalkan sekitar empat ribu pound. Kali ini aku tidak menggunakannya untuk berjudi; aku menginvestasikannya. Kemudian, kaulihat...” Tetapi kalimatnya dipotong. Dengan wajah merah padam, setengah tercekik, Gerald Martin menudingnya dengan jari gemetar. “Kopi itu—ya Tuhan! Kopinya!” Alix menatapnya. “Sekarang aku mengerti mengapa rasanya pahit. Dasar iblis! Kau menjalankan siasatmu lagi.” Kedua tangannya mencengkeram sandaran lengan kursinya. Ia sudah siap menerkam Alix. “Kau telah meracuniku.” Alix menjauh darinya sampai ke perapian. Dengan ketakutan ia membuka mulut untuk menyangkal—lalu terhenti. Sesaat lagi Gerald akan menerkamnya. Alix mengumpulkan seluruh kekuatannya. Ia menatap lurus-lurus ke mata suaminya. “Ya,” ujarnya. “Aku telah meracunimu. Racunnya sedang bekerja. Saat ini kau tidak bisa bergerak dari kursimu—kau tidak bisa bergerak...” Kalau saja ia mampu menahan laki-laki itu di situ—beberapa menit saja... Ah! Bunyi apa itu? Langkah-langkah kaki di jalan. Derit pintu pagar. Kemudian langkahlangkah kaki di jalan setapak di luar. Pintu depan terbuka. “Kau tidak bisa bergerak,” katanya lagi. Kemudian ia melintas di depan suaminya, berlari pontang-panting ke luar ruangan, dan jatuh pingsan dalam pelukan Dick Windyford. “Ya Tuhan! Alix!” seru Dick. Kemudian ia berpaling ke arah pria yang datang bersamanya, sosok tegap yang mengenakan seragam polisi. “Tolong lihat apa yang terjadi di ruangan itu.” Ia merebahkan Alix dengan hati-hati di sofa, lalu membungkuk di atasnya. “Gadis kecilku,” gumamnya. “Gadis kecilku yang malang. Apa yang telah mereka lakukan terhadapmu?” Kelopak mata Alix bergerak-gerak, dan bibirnya hanya membisikkan nama Dick. Dick dikejutkan polisi yang menggamit lengannya. “Di dalam tidak ada siapa pun, Sir, kecuali seorang laki-laki yang sedang duduk di kursi. Tampaknya dia sangat ketakutan, dan...” “Ya?” “Hmm, Sir, dia sudah... mati.” Mereka berdua terkejut mendengar suara Alix. Ia seolah bicara dalam mimpi, dengan mata masih terpejam. “Dan sebentar kemudian” katanya, seakan mengutip dari bacaan, “dia mati....” GADIS DI KERETA API “HABIS perkara!” ujar George Rowland sedih, sambil mengamati bagian depan bangunan mengagumkan namun kotor yang baru saja ditinggalkannya. Tempat ini boleh dikata cocok sekali untuk mewakili kuasa Uang—Uang dalam bentuk William Rowland, paman George yang disebut-sebut tadi, baru saja menyampaikan pesannya dengan sangat terbuka. Dalam waktu sepuluh menit, posisi George sebagai kesayangan sang paman, ahli waris kekayaannya, dan orang muda dengan karier menjanjikan, mendadak berubah menjadi salah satu pengangguran. “Dalam pakaian ini mereka bahkan takkan memberiku sedekah,” ujar Mr. Rowland muram. “Kalau mencari uang dengan menulis sajak dan menjualnya dari rumah ke rumah seharga dua pence (atau ‘berapa saja yang mau Anda bayar, Nyonya’), aku sama sekali tidak berbakat.” Memang benar, George merupakan bukti kepiawaian penjahit yang membuat setelannya. Penampilannya sangat perlente dan mengesankan. Bahkan Raja Salomo dan bunga-bunga bakung di padang takkan mampu menandingi George. Namun manusia tidak bisa hidup dari pakaian saja—kecuali ia sudah cukup terlatih dalam seni tersebut—dan Mr. Rowland sangat menyadari hal itu. “Dan semua ini gara-gara pertunjukan brengsek semalam,” keluhnya sedih. Pertunjukan brengsek semalam adalah Pesta Covent Garden. Mr. Rowland pulang agak malam— atau lebih tepat agak pagi—alias subuh—yang jelas, ia tidak begitu ingat apakah ia pulang atau tidak. Rogers, kepala pelayan pamannya, senang membantu dan pasti mampu memberikan keterangan lebih rinci tentang hal itu. Kepala yang mau pecah, secangkir teh kental, masuk kantor jam dua belas kurang lima menit dan bukannya setengah sepuluh, telah memicu bencana itu. Mr. Rowland senior, yang selama dua puluh empat tahun telah memaafkan dan membiayai kerabatnya sebagaimana seharusnya dilakukan sanak keluarga yang bijaksana, tiba-tiba saja membuang semua taktik itu dan menampilkan dirinya yang baru. Jawaban-jawaban ngawur George (kepala anak muda ini masih terbuka dan tertutup bagaikan instrumen abad pertengahan Pengadilan Agama) membuatnya semakin kesal. William Rowland benar-benar tidak tanggung-tanggung. Ia mengusir keluar keponakannya dengan beberapa kata ringkas, lalu melanjutkan penelitiannya yang sempat terganggu tentang beberapa ladang minyak di Peru. George Rowland keluar dengan marah dari kantor pamannya, lalu melangkah ke pusat kota London. George orang yang praktis. Pikirnya, makan siang lezat sangat penting untuk meninjau kembali situasi. Maka ia makan. Kemudian ia melangkah kembali ke puri keluarga itu. Rogers membukakan pintu. Wajahnya yang terlatih tidak menampakkan rasa heran saat melihat George muncul di saat yang tidak biasa ini. “Selamat sore, Rogers. Tolong siapkan barang-barangku. Aku mau pergi.” “Baik, Sir. Untuk kunjungan singkat, Sir?” “Untuk selamanya, Rogers. Sore ini aku mau berangkat menuju koloni.” “Sungguh, Sir?” “Ya. Itu kalau ada kapal yang cocok. Apa kau tahu tentang kapalnya, Rogers?” “Koloni mana yang akan Anda kunjungi, Sir?” “Aku tidak terlalu pilih-pilih. Yang mana saja bolehlah. Misalnya saja Australia. Bagaimana menurutmu, Rogers?” Rogers berdeham hati-hati. “Begini, Sir, saya pernah mendengar di sana pasti ada lowongan bagi siapa saja yang benar-benar ingin bekerja.” Mr. Rowland menatapnya dengan penuh perhatian dan rasa kagum. “Kau menyampaikannya dengan tepat, Rogers. Memang itulah yang sedang kupikirkan. Aku tidak akan ke Australia—setidaknya bukan hari ini. Tolong ambilkan aku buku A.B.C. Kita akan memilih tujuan yang lebih dekat.” Rogers membawakan buku yang diminta. George membukanya asal-asalan dan membalik-balik halamannya dengan cepat. “Perth... terlalu jauh. Putney Bridge... terlalu dekat. Ramsgate? Kurasa tidak. Reigate juga sama saja. Wah—luar biasa sekali! Ada tempat bernama Rowland’s Castle. Pernah mendengar tentang tempat ini, Rogers?” “Saya kira Anda bisa ke sana dari Waterloo, Sir.” “Kau benar-benar luar biasa, Rogers. Kau tahu segalanya. Wah, wah, Rowland’s Castle! Seperti apa ya tempat itu?” “Menurut saya tidak begitu istimewa, Sir.” “Kebetulan; jadi semakin sedikit saingan. Dusun-dusun kecil dan tenang seperti itu menyimpan banyak semangat feodal kuno. Keturunan tulen keluarga Rowland yang terakhir pasti mendapat penghormatan langsung. Aku takkan heran bila dalam seminggu mereka sudah mengangkatku jadi wali kota.” Ia lalu menutup buku itu dengan sekali empas. “Batu dadu sudah dilempar. Tolong siapkan satu koper kecil untukku, Rogers. Sampaikan pujianku untuk koki, dan tanyakan apakah dia mau meminjamkan kucing padaku. Dick Whittington, kau tahu, kan? Bila kau punya tujuan jadi wali kota London, kucing diperlukan sekali.” “Maaf, Sir, tapi saat ini kucing itu takkan bisa dibawa.” “Kenapa tidak?” “Dia baru melahirkan delapan ekor anak, Sir. Tadi pagi.” “Yang benar saja. Kusangka namanya Peter.” “Memang, Sir. Kami sendiri kaget.” “Salah menentukan jenis kelaminnya, ya? Nah, kalau begitu aku terpaksa harus pergi tanpa kucing. Tolong segera siapkan keperluanku.” “Baik, Sir.” Rogers ragu sejenak, lalu melangkah ke dalam. “Maafkan kelancangan saya, Sir, tapi seandainya saya jadi Anda, saya takkan terlalu merisaukan ucapan Mr. Rowland pagi tadi. Semalam beliau menghadiri acara makan malam di kota, dan...” “Cukup,” sahut George. “Aku mengerti.” “Dan mengingat sakit encoknya...” “Aku tahu, aku tahu. Malam yang cukup sibuk untukmu, Rogers, menghadapi kami berdua, betul? Tapi aku sudah bertekad membuat diriku terkenal di Rowland’s Castle—tempat lahir leluhurku yang bersejarah—ungkapan yang cocok untuk pidato, kan? Telegram yang dialamatkan padaku di sana, atau iklan terselubung di koran pagi, bisa mengingatkanku kapan saja hidangan ayam saus sedang disiapkan. Dan sekarang... ke Waterloo!—seperti dikatakan Wellington pada malam sebelum pertempuran bersejarah itu.” Di malam hari, Stasiun Waterloo tidak tampak semarak. Mr. Rowland akhirnya mendapatkan kereta api yang akan membawanya ke tujuan, namun bukan kereta api yang bagus atau mengesankan—kereta yang sangat diinginkan orang untuk mengadakan perjalanan. Mr. Rowland menempati sendiri gerbong kelas satu yang berada di awal rangkaian. Kabut melayang-layang turun tak menentu ke atas kota, sebentar menyingsing, sebentar turun kembali. Peron tampak sepi, dan hanya desah lokomotif yang memecah kesunyian. Mendadak terjadi sesuatu yang menggemparkan. Mula-mula muncul seorang gadis. Ia membuka pintu dan melompat masuk, menyadarkan Mr. Rowland yang sedang terkantuk-kantuk, dan berseru, “Oh! Sembunyikan aku—oh! Tolong sembunyikan aku.” Pada dasarnya, George termasuk orang impulsif yang langsung bertindak—tidak menanyakan alasan, tapi langsung beraksi, lalu mati bila perlu. Hanya ada satu tempat persembunyian di gerbong kereta api—di bawah bangku. Dalam waktu tujuh detik gadis itu sudah meringkuk di situ, tubuhnya tertutup koper George yang ditegakkan sembarangan. Tepat pada waktunya. Seraut wajah penuh amarah melongok di jendela gerbong. “Keponakanku! Anda menyembunyikannya di sini. Aku menginginkan keponakanku.” George yang sedikit terengah, bersandar di pojok, membenamkan diri di balik koran terbitan malam edisi pukul 01.30, seakan asyik membaca kolom olah raga. Ia menaruh korannya dengan lagak orang yang baru tersadar dari lamunannya. “Maaf, Sir?” ujarnya sopan. “Keponakanku—apa yang Anda lakukan dengannya?” Bertindak atas paham bahwa menyerang selalu lebih baik daripada bertahan, George langsung beraksi. “Apa gerangan maksud Anda?” teriaknya menirukan gaya pamannya. Orang tadi terdiam sejenak, tercengang melihat kegarangan mendadak itu. Ia berperawakan gemuk, masih terengah-engah seakan baru berlari cukup jauh. Rambutnya dipangkas gaya en brosse, dan ia memiliki kumis ala kepercayaan Hohenzollern. Suaranya parau, dan sikap kakunya menunjukkan ia lebih terbiasa mengenakan seragam. George memiliki prasangka khas Britania Raya terhadap orang asing—terutama yang berpenampilan Jerman. “Apa gerangan maksud Anda, Sir?” ulangnya marah. “Keponakanku masuk ke sini,” jawab laki-laki itu. “Aku melihatnya sendiri. Apa yang telah Anda lakukan dengannya?” George melempar korannya, lalu melongokkan kepala dan kedua bahunya ke luar jendela. “Begitu?” ia mengaum. “Ini pemerasan. Tapi Anda salah alamat. Pagi ini aku sudah membaca tentang Anda di koran Daily Mail. Penjaga, kemari!” Petugas yang dari jauh sudah tertarik pada keributan itu bergegas mendekat. “Ini,” kata Mr. Rowland dengan gaya berwibawa yang sangat dikagumi masyarakat golongan lebih rendah. “Orang ini membuatku kesal. Bila perlu, aku akan mengadukannya karena usaha pemerasan. Dia menuduh aku menyembunyikan keponakannya di sini. Sekarang banyak orang asing sering mencoba memeras dengan cara ini. Kebiasaan ini harus dihentikan. Tolong bawa pergi dia. Ini kartu namaku bila Anda mau.” Penjaga itu silih berganti menatap kedua pria di depannya. Ia segera membuat keputusan. Pelatihan yang diterimanya membuatnya tidak menyukai orang asing, dan menghormati sekaligus mengagumi para pria yang mengadakan perjalanan dengan gerbong kelas satu. Ia lalu memegang bahu sang pengganggu. “Ayo,” ujarnya, “jangan ganggu dia.” Menghadapi saat krisis ini, kemampuan berbahasa Inggris orang asing tadi pun sirna, dan ia langsung mencaci-maki dalam bahasa ibunya. “Cukup,” kata si penjaga. “Minggir, kereta sudah siap berangkat.” Bendera isyarat dilambaikan dan peluit berbunyi. Dengan sentakan malas kereta pun meninggalkan stasiun. George tetap di pos pengintaiannya sampai kereta sudah benar-benar meninggalkan peron. Setelah itu ia menarik kepalanya kembali dari luar jendela, mengangkat kopernya, lalu menjatuhkannya di rak bagasi. “Sudah aman sekarang. Kau boleh keluar,” katanya menenangkan. Gadis itu merangkak keluar dari bawah bangku. “Oh!” ujarnya terengah. “Bagaimana aku bisa menyampaikan terima kasihku?” “Tidak mengapa. Percayalah, aku tadi cukup terhibur,” jawab George santai. George tersenyum untuk membuat gadis itu tenang. Mata gadis itu menatap agak bingung. Sepertinya ia kehilangan sesuatu yang biasa dimilikinya. Saat itulah ia menangkap bayangan dirinya di kaca sempit di depannya, dan ia pun tersedak. Perlu dipertanyakan apakah para petugas pembersih gerbong menyapu bagian bawah tempat duduk atau tidak. Namun kenyataan menunjukkan bahwa mereka tidak melakukannya, sebab kotoran dan asap berkumpul di situ bagaikan burung bermigrasi. George nyaris tak sempat memerhatikan penampilan gadis itu. Kedatangannya begitu mendadak, dan waktu yang dibutuhkan untuk menyembunyikan dirinya begitu singkat. Tapi wanita muda yang menghilang di bawah tempat duduk tadi jelas-jelas langsing dan berpakaian bagus. Sekarang topi merahnya yang kecil itu sudah kusut dan penyok, sedangkan wajahnya coreng-moreng terkena kotoran. “Oh!” pekik gadis itu tertahan. Dengan gugup ia meraih tasnya. George, dengan sikap pria terhormat sejati, menatap ke luar jendela sambil mengagumi jalan-jalan kota London di sebelah selatan Sungai Thames. “Bagaimana aku bisa menyampaikan terima kasihku?” ujar gadis itu lagi. Menganggap pertanyaan itu sebagai isyarat bahwa percakapan sudah boleh dilanjutkan kembali, George mengalihkan pandangan, dan menolak dengan sopan, namun kali ini dengan sikap jauh lebih hangat. Gadis itu benar-benar cantik! George berkata pada diri sendiri bahwa ia belum pernah melihat gadis secantik ini. Hasrat yang terlihat melalui sikapnya semakin nyata. “Menurutku Anda baik sekali,” ujar gadis itu bersemangat. “Sama sekali tidak. Kejadian tadi keciiil. Senang sekali bisa membantu,” gumam George. “Baik sekali,” ulang gadis itu tegas. Memang sangat menyenangkan bila gadis tercantik yang pernah Anda lihat menatap lekatlekat sambil mengutarakan betapa baiknya Anda. George menikmati hal ini semaksimal mungkin. Mereka terdiam sejenak. Sepertinya gadis itu menyadari bahwa ia diharapkan memberikan penjelasan lebih lanjut. Ia agak tersipu. “Bagian yang memalukan adalah,” ujarnya gugup, “aku khawatir tak dapat menjelaskannya.” Ia mendongak pada George dengan keraguan memilukan. “Kau tidak dapat menjelaskan?” “Tidak.” “Benar-benar sempurna!” kata Mr. Rowland bersemangat. “Maaf?” “Kataku, betapa sempurnanya. Persis seperti buku-buku yang membuatmu tidak bisa tidur sepanjang malam. Tokoh wanitanya selalu berkata, ‘Aku tidak bisa menjelaskan’ di bab pertama. Di bab terakhir dia tentu saja mau menjelaskannya, dan sebenarnya tidak ada alasan mengapa dia tidak melakukannya sejak awal—kecuali bahwa ini akan membuat kisahnya tidak seru lagi. Aku tidak bisa menggambarkan betapa senangnya hatiku bisa terlibat dalam misteri nyata—aku tidak tahu ada hal semacam itu. Kuharap ini ada kaitannya dengan dokumen-dokumen rahasia yang sangat penting, dan dengan Balkan Express. Aku sangat suka bepergian dengan kereta api itu.” Gadis itu terbelalak curiga. “Apa yang membuat Anda menyebut Balkan Express?” tanya gadis itu tajam. “Kuharap sikapku tidak lancang,” George buru-buru menambahkan. “Pamanmu mungkin bepergian dengan kereta api ini.” “Pamanku...” Ia terdiam, lalu berkata lagi. “Pamanku...” “Benar,” sahut George simpatik. “Aku juga punya paman. Tak ada yang harus bertanggung jawab atas paman mereka. Paman adalah batu sandungan di alam ini—begitulah anggapanku.” Tiba-tiba gadis itu mulai tertawa. Saat ia berbicara, George menyadari logat asing yang sedikit membayang dalam suaranya. Awalnya ia menyangka gadis itu orang Inggris. “Alangkah menyegarkan dan luar biasanya Anda, Mr....” “Rowland. Teman-temanku memanggilku George.” “Namaku Elizabeth...” Mendadak ia terdiam. “Aku menyukai nama Elizabeth,” ujar George untuk menutupi kecanggungan gadis itu. “Orang tidak memanggilmu Bessie atau nama jelek semacam itu, kan?” Gadis itu menggeleng. “Nah,” kata George, “mengingat kita sudah saling berkenalan, sebaiknya kita mulai serius. Bila kau mau berdiri, Elizabeth, aku akan membersihkan bagian belakang mantelmu.” Dengan patuh gadis itu berdiri, dan George menepati janjinya. “Terima kasih, Mr. Rowland.” “George. Teman-temanku memanggilku George, ingat? Dan kau tidak bisa masuk ke gerbongku yang indah dan kosong ini, meringkuk di bawah tempat duduk, menyebabkan aku berbohong pada pamanmu, lalu menolak berteman denganku, kan?” “Terima kasih, George.” “Itu lebih baik.” “Apa sekarang aku sudah terlihat beres?” tanya Elizabeth sambil berusaha melihat ke belakang dari pundak kirinya. “Kau terlihat... oh! Kau terlihat... kau terlihat beres,” sahut George tergagap sambil mengekang lidahnya mati-matian. “Semua ini begitu mendadak,” jelas gadis itu. “Pasti.” “Dia melihat kami di dalam taksi, dan begitu sampai di stasiun aku langsung melompat masuk ke sini, karena tahu dia tepat di belakangku. Omong-omong, ke mana tujuan kereta ini?” “Rowland’s Castle,” sahut George mantap. Gadis itu tampak bingung. “Rowland’s Castle?” “Tidak langsung, tentu saja. Nanti sesudah berhenti berkali-kali dan berlambat-lambat. Tapi aku yakin sudah bisa tiba di situ sebelum tengah malam. Kereta South-Western yang lama sangat bisa diandalkan—lambat tapi pasti—dan aku yakin Jawatan Kereta Api Southern mempertahankan tradisi lamanya.” “Aku tidak yakin ingin pergi ke Rowland’s Castle,” ujar Elizabeth ragu. “Kau menyakiti hatiku. Itu tempat yang sangat menyenangkan.” “Apa Anda pernah ke sana?” “Tidak juga. Tapi ada banyak tempat lain yang bisa kaukunjungi, bila kau tidak ingin ke Rowland’s Castle. Seperti misalnya Woking, Weybridge, dan Wimbledon. Kereta ini pasti akan berhenti di salah satu kota.” “Aku mengerti,” ujar gadis itu. “Ya, aku bisa turun di situ, kemudian kembali ke London. Kurasa inilah yang terbaik.” Bahkan saat ia masih berbicara, kereta api itu mulai mengurangi kecepatan. Mr. Rowland menatapnya dengan pandangan memohon. “Mungkin aku bisa melakukan sesuatu...” “Tidak, sungguh. Anda sudah berbuat banyak.” Hening sejenak, dan tiba-tiba gadis itu berkata, “Seandainya saja... seandainya saja aku bisa menjelaskan. Aku...” “Astaga, jangan lakukan! Ceritanya takkan seru lagi. Tapi dengar, apa benar tak ada yang bisa kulakukan untukmu? Membawakan surat-surat rahasia ke Wina—atau semacamnya? Pasti ada surat-surat rahasia. Beri aku kesempatan.” Kereta api sudah berhenti. Dengan cepat Elizabeth melompat turun ke peron. Ia berbalik dan bercakap pada George melalui jendela. “Apa Anda bersungguh-sungguh? Apa Anda benar-benar mau melakukan sesuatu untuk kami— untukku?” “Aku mau melakukan apa pun untukmu, Elizabeth.” “Meskipun aku tidak bisa memberikan alasan?” “Persetan dengan alasan!” “Meskipun hal itu... berbahaya?” “Semakin berbahaya, semakin baik.” Gadis itu ragu sejenak, kemudian seakan membuat keputusan. “Condongkan badan ke luar jendela. Pandanglah peron seakan tidak benar-benar memandang.” Rowland berusaha keras mematuhi permintaan yang agak sulit itu. “Apa Anda melihat pria yang baru naik itu—pria berjanggut hitam dan bermantel warna pucat itu? Ikuti dia, perhatikan apa yang dilakukannya dan ke mana dia pergi.” “Cuma itu saja?” tanya Mr. Rowland. “Apa yang ku...” Gadis itu memotong kalimatnya. “Instruksi selanjutnya akan diberikan pada Anda. Perhatikan dia—dan jagalah ini.” Ia menyodorkan bungkusan kecil ke tangan George. “Jagalah dengan nyawa Anda. Ini kunci dari semuanya.” Kereta api melanjutkan perjalanan. Mr. Rowland tetap menatap ke luar jendela, sambil memerhatikan sosok jangkung Elizabeth yang anggun itu berjalan menuruni peron. Di tangannya ia menggenggam bungkusan kecil yang disegel itu. Sisa perjalanannya terasa membosankan dan tanpa kejadian istimewa. Kereta ini bukan kereta api cepat, dan berhenti di mana-mana. Di setiap stasiun, George menjulurkan kepalanya ke luar jendela, khawatir kalau-kalau buruannya turun. Sekali waktu ia berjalan-jalan di peron bila kereta berhenti agak lama, dan memastikan orang itu masih ada di tempat. Tujuan akhir kereta adalah Portsmouth, dan di situlah pelancong berjanggut hitam itu turun. Ia berjalan menuju hotel kecil kelas dua dan memesan kamar. Mr. Rowland melakukan hal sama. Kedua kamar itu berada di gang yang sama, dan berjarak dua pintu. Bagi George, pengaturan ini cukup memuaskan. Ia sama sekali belum berpengalaman dalam seni menguntit, tapi ingin sekali menjalankan tugasnya dengan baik, dan tidak menyia-nyiakan kepercayaan Elizabeth terhadapnya. Saat makan malam, George memperoleh meja tidak jauh dari buruannya. Ruang makan tidak penuh, dan George menduga sebagian besar orang yang makan di situ adalah pelancong komersial, orang-orang terhormat pendiam yang menyantap makanan mereka dengan lahap. Cuma seorang pria yang menarik perhatiannya, laki-laki kecil dengan rambut dan kumis cokelat kemerah-merahan dengan penampilan mirip kuda. Tampaknya ia juga tertarik pada George, lalu mengajaknya minum dan bermain biliar seusai makan malam. Namun George baru saja melihat dari kejauhan pria berjanggut hitam tadi mengenakan topi dan mantelnya, jadi ia menolak ajakan itu dengan sopan. Saat berikutnya ia sudah berada di jalan, menambah wawasan baru dalam seni menguntit yang cukup sulit itu. Pengejaran itu terasa panjang dan meletihkan—dan pada akhirnya seakan tidak membawanya ke mana pun. Setelah berputar-putar dan berbelok menyusuri jalan-jalan di Portsmouth sejauh kurang-lebih enam kilometer, pria itu kembali ke hotel, diikuti George dengan ketat. Rasa ragu menyerang George. Mungkinkah orang itu menyadari kehadirannya? Saat ia mempertanyakan hal ini sambil berdiri di ruang depan, pintu depan pun terbuka dan pria kecil berambut cokelat kemerah-merahan itu masuk. Rupanya ia juga baru jalan-jalan keluar. George tiba-tiba menyadari bahwa gadis cantik di kantor hotel itu berbicara padanya. “Anda Mr. Rowland, bukan? Ada dua pria datang dan ingin bertemu Anda. Dua pria asing. Mereka menunggu di ruangan kecil di ujung gang.” Agak heran, George mencari ruangan itu. Di situ duduk dua laki-laki yang langsung bangkit berdiri dan membungkuk dalam-dalam. “Mr. Rowland? Saya yakin, Sir, Anda bisa menebak identitas kami.” George memandang mereka silih berganti. Yang berbicara tadi yang lebih tua, pria beruban dan angkuh yang berbahasa Inggris sempurna. Pria yang satu berperawakan jangkung, berjerawat, masih muda, dan berambut pirang, dengan raut wajah Jerman yang tidak semakin tampan karena air muka cemberutnya itu. Sedikit lega karena tamunya bukanlah pria tua yang dijumpainya di Waterloo, George mengambil sikap seceria mungkin. “Silakan duduk, Tuan-Tuan. Saya senang berkenalan dengan Anda. Bagaimana kalau kita minum?” Pria yang lebih tua mengangkat tangannya, menolak ajakan itu. “Terima kasih, Lord Rowland—tidak perlu. Kami hanya punya waktu sedikit—cukup bagi Anda untuk menjawab satu pertanyaan.” “Anda baik sekali memberiku gelar bangsawan tadi,” ujar George. “Sayang sekali Anda tidak bersedia minum bersamaku. Dan apakah pertanyaan penting itu?” “Lord Rowland, Anda meninggalkan London bersama seorang wanita. Anda tiba di sini seorang diri. Di manakah wanita itu?” George bangkit berdiri. “Saya tidak memahami pertanyaan itu,” ujarnya dingin, semirip mungkin dengan pahlawan dalam cerita novel. “Saya mendapat kehormatan mengucapkan selamat malam pada Anda, Tuan-Tuan.” “Tapi Anda memahaminya. Anda sangat memahaminya,” seru pria muda itu tiba-tiba. “Apa yang telah Anda lakukan terhadap Alexa?” “Tenanglah, Sir,” gumam rekannya. “Aku mohon, tenanglah.” “Saya bisa memastikan pada Anda,” ujar George, “bahwa saya tidak mengenal wanita dengan nama itu. Pasti ada kekeliruan.” Pria tua itu memerhatikannya dengan saksama. “Mana mungkin,” ujarnya acuh tak acuh. “Saya telah memberanikan diri memeriksa daftar nama tamu hotel. Anda telah mencatatkan diri sebagai Mr. G. Rowland dari Rowland’s Castle.” Mau tak mau George tersipu. “Itu... itu cuma lelucon kecil saja,” jawabnya lemah. “Itu dalih yang tak berarti. Ayolah, jangan kita mengulur-ulur waktu. Di manakah Yang Mulia?” “Bila yang Anda maksud adalah Elizabeth...” Sambil melolong marah orang muda tadi melompat kembali ke arah George. “Babi kurang ajar—anjing! Berani-beraninya kau menyebutnya seperti itu.” Pria satunya berkata lambat-lambat, “Yang saya maksud adalah Grand Duchess Anastasia Sophia Alexandra Marie Helena Olga Elizabeth dari Catonia.” “Oh!” kata Mr. Rowland tak berdaya. Ia berusaha mengingat-ingat semua hal yang pernah diketahuinya tentang Catonia. Seingatnya, ini sebuah kerajaan kecil di Balkan, dan ia teringat sesuatu tentang revolusi yang pernah terjadi di sana. Ia memulihkan diri sebisa-bisanya. “Rupanya kita membicarakan orang yang sama,” ujarnya ceria, “hanya saja saya memanggilnya Elizabeth.” “Baiklah kalau begitu,” gertak pria yang lebih muda. “Kita akan berkelahi.” “Berkelahi?” “Duel.” “Saya tidak pernah berduel,” sahut Mr. Rowland tegas. “Mengapa tidak?” tanya lawannya kesal. “Saya terlalu takut terluka.” “Aha! Begitu? Kalau begitu, paling tidak aku akan menarik hidung Anda.” Laki-laki muda itu menyerang dengan garang. Apa persisnya yang terjadi, sulit dilihat, tapi mendadak ia melambung ke udara dan jatuh ke lantai dengan berdebam. Ia bangkit berdiri dengan kebingungan. Mr. Rowland tersenyum senang. “Seperti saya katakan tadi,” komentarnya, “saya selalu takut terluka. Itu sebabnya saya pikir ada baiknya belajar jujitsu.” Hening sejenak. Dengan ragu kedua orang asing itu menatap pria muda yang tampak ramah itu, seakan mereka baru menyadari bahwa di balik sikap santainya yang menyenangkan tersembunyi sifat berbahaya. Wajah pemuda Jerman itu pucat pasi karena amarah. “Anda akan menyesalinya,” desisnya. Pria yang lebih tua mempertahankan gengsinya. “Apa ini keputusan akhir Anda, Mr. Rowland? Anda menolak memberitahukan keberadaan Yang Mulia pada kami?” “Saya sendiri juga tidak tahu.” “Anda tentunya tidak berharap saya memercayainya.” “Saya khawatir Anda memang punya watak sulit percaya, Sir.” Laki-laki satunya hanya menggeleng, dan sambil bergumam, “Persoalan kita belum selesai. Anda akan mendengar dari kami lagi,” kedua pria itu beranjak pergi. George mengusap kening. Kejadian demi kejadian berlangsung begitu cepat. Ia jelas-jelas sedang terlibat skandal Eropa kelas satu. “Mungkin ini bahkan berarti perang,” kata George penuh harap, sambil memandang berkeliling untuk melihat di mana gerangan pria berjanggut hitam itu. George sangat lega ketika melihatnya duduk di sudut ruang niaga. George duduk di sudut lain. Sekitar tiga menit kemudian, laki-laki berjanggut hitam itu pun bangkit berdiri dan masuk tidur. George mengikuti, dan melihatnya masuk ke kamarnya, lalu menutup pintunya. George menarik napas lega. “Aku butuh istirahat,” gumamnya. “Sangat membutuhkan.” Tiba-tiba muncul pikiran menakutkan. Bagaimana kalau orang berjanggut hitam itu menyadari bahwa George sedang membuntutinya? Bagaimana kalau ia menyelinap di tengah malam sementara George tidur nyenyak? Setelah berpikir sejenak, Mr. Rowland menemukan jalan untuk mengatasi kesulitan ini. Ia membongkar rajutan salah satu kaus kakinya sampai mendapatkan benang wol berwarna netral yang cukup panjang. Ia menyelinap keluar dari kamarnya, merekatkan ujung benang itu di bagian tepi pintu orang asing itu dengan kertas prangko, lalu mengulur benang wol itu sampai ke kamarnya sendiri. Di situ ia mengikatkan ujungnya pada lonceng perak kecil—peninggalan pesta malam sebelumnya. Ia mengamati taktiknya ini dengan puas. Seandainya orang berjanggut hitam itu meninggalkan kamarnya, George akan langsung diperingatkan oleh denting lonceng itu. Setelah membereskan masalah ini, George langsung menuju tempat tidurnya. Ia telah menyembunyikan bungkusan kecil itu dengan cermat di bawah bantalnya. Sementara berbaring, ia merenung kurang-lebih begini: “Anastasia Sophia Marie Alexandra Olga Elizabeth. Tunggu dulu, ada satu nama yang ketinggalan. Sekarang aku bertanya-tanya...” Karena terganggu dengan kegagalannya memahami situasi sebenarnya, ia tidak bisa langsung tertidur. Apa arti semua ini? Apa hubungan kaburnya sang Grand Duchess dengan bungkusan bersegel dan orang berjanggut hitam itu? Apa gerangan yang membuat Grand Duchess melarikan diri? Tahukah kedua orang asing tadi bahwa bungkusan itu ada padanya? Apa kira-kira isinya? Sementara memikirkan hal-hal tadi dan kesal karena tidak mampu memecahkan teka-teki itu, Mr. Rowland akhirnya tertidur juga. Ia terbangun karena bunyi samar-samar denting lonceng. Karena bukan termasuk orang yang bisa langsung bertindak begitu terjaga, ia membutuhkan satu setengah menit untuk menyadari situasi. Ia lalu melompat berdiri, mengenakan sandal, dan setelah membuka pintu dengan sangat hati-hati, ia menyelinap di gang. Sesosok bayangan bergerak di ujung gang, menunjukkan arah yang diambil buruannya. Sambil sedapat mungkin tidak menimbulkan bunyi, Mr. Rowland menguntit. Ia sempat melihat orang berjanggut hitam itu menghilang ke dalam kamar mandi. Ini membingungkan, terutama karena tepat di depan kamarnya sendiri ada kamar mandi. Sambil mendekati pintu yang terbuka lebar, George mengintip melalui celah. Orang itu sedang berlutut di samping bak mandi, melakukan sesuatu dengan papan pinggiran di belakangnya. Ia berada di sana selama kurang-lebih lima menit, kemudian bangkit berdiri. George langsung mundur dengan hati-hati. Terlindung di bayang-bayang pintunya sendiri, ia memerhatikan orang itu lewat dan masuk ke kamarnya sendiri. “Bagus,” ujar George dalam hati. “Misteri kamar mandi akan kuperiksa besok pagi.” Ia berbaring kembali di tempat tidurnya, lalu menyelipkan tangannya ke bawah bantal, untuk memastikan bungkusan berharga itu masih berada di situ. Saat berikutnya ia sudah menarik-narik seprai dengan panik hingga berantakan. Bungkusan itu sudah hilang! Keesokan paginya George sarapan telur dan ham dengan murung. Ia telah melalaikan pesan Elizabeth. Ia telah membiarkan bungkusan berharga yang dipercayakan padanya diambil darinya, dan “Misteri Kamar Mandi” itu sama sekali tidak sepadan dengan kehilangan itu. Ya, tak pelak lagi, George telah membuat dirinya benar-benar dungu. Selesai sarapan, ia kembali ke lantai atas. Seorang pelayan kamar sedang berdiri kebingungan di gang. “Ada masalah, Nona?” tanya George ramah. “Tamu yang menginap di kamar ini, Sir. Dia minta dibangunkan pukul setengah sembilan, tapi dia tidak menjawab ketukanku, dan pintunya terkunci.” “Yang benar saja,” ujar George. Hatinya tidak enak. Ia lalu bergegas masuk kamarnya sendiri. Rencana apa pun yang tadi terbentuk di benaknya langsung terhapus karena pemandangan yang sama sekali tak terduga. Di atas meja riasnya tergeletak bungkusan yang dicuri malam sebelumnya! George memungut dan memeriksanya. Benar, tak diragukan lagi ini bungkusan yang sama. Namun segelnya sudah dirusak. Setelah ragu sejenak, ia membuka bungkusan itu. Bila orang lain telah melihat isinya, tak ada alasan mengapa ia tidak boleh melihatnya juga. Lagi pula, mungkin saja isinya telah diambil. Setelah kertas pembungkusnya dibuka, tampaklah kotak karton kecil, seperti biasa digunakan tukang emas. George membukanya. Di dalamnya tampak cincin emas kawin polos di atas segumpal kapas. George memegang dan memeriksanya. Di bagian dalamnya tidak ada tulisan apa pun—apa saja yang dapat membedakannya dari cincin kawin lain. George menopang kepalanya dengan mengerang. “Ini gila-gilaan,” gumamnya. “Betul, benar-benar gila. Sungguh tidak masuk akal.” Tiba-tiba ia teringat pernyataan pelayan kamar tadi, dan pada saat yang sama ia juga melihat ada sandaran lebar di bagian luar jendela. Ini bukanlah tindakan yang dalam keadaan biasa akan dilakukannya, tapi ia sudah begitu terbakar oleh rasa ingin tahu dan amarah, hingga ia cenderung menganggap ringan kesulitan. Ia melompat ke ambang jendela. Beberapa detik kemudian, ia sudah mengintip lewat jendela kamar yang ditempati orang berjanggut hitam itu. Jendela itu terbuka dan kamarnya kosong. Tak jauh dari situ tampak tangga darurat. Jelaslah lewat mana buruannya telah meninggalkan tempat. George melompat masuk kamar lewat jendela. Barang-barang orang yang menghilang itu masih berserakan. Di antaranya mungkin masih ada beberapa petunjuk yang bisa menyingkap kebingungan George. Ia mulai mencari-cari, dimulai dengan mengaduk-aduk isi tas barang perlengkapan yang sudah usang. Suatu bunyi menghentikan pencariannya—bunyi sangat halus yang pasti berasal dari kamar itu. Pandangan George melayang ke lemari pakaian yang besar. Ia melompat dan membuka pintunya dengan keras. Begitu terbuka, seorang laki-laki melompat keluar dan bergulingguling di lantai, terkunci dalam pelukan keras George. Ia bukan lawan yang bengis. Semua siasat istimewa George tidak banyak gunanya. Akhirnya kedua orang itu terpisah karena kelelahan, dan untuk pertama kalinya George melihat siapa lawannya tadi. Ternyata laki-laki kecil dengan kumis cokelat kemerah-merahan itu. “Siapa Anda?” bentak George. Sebagai jawaban, orang itu mengeluarkan sehelai kartu nama dan menyodorkannya pada George, yang lalu membacanya dengan suara keras. “Detektif Inspektur Jarrold, Scotland Yard.” “Betul, Sir. Dan sebaiknya Anda katakan pada saya segala sesuatu yang Anda ketahui tentang masalah ini.” “Begitukah?” sahut George sambil merenung. “Anda tahu, Inspektur, saya percaya Anda benar. Bagaimana kalau kita mencari tempat yang lebih nyaman?” Di sudut bar yang tenang, George mengungkapkan seluruh pengalamannya. Inspektur Jarrold mendengarkan penuh simpati. “Seperti Anda katakan, ini sungguh membingungkan, Sir,” komentarnya ketika George selesai. “Banyak hal yang tidak saya pahami juga, tapi ada satu-dua hal yang bisa saya jelaskan pada Anda. Saya berada di sini membuntuti Mardenberg (teman Anda yang berjanggut hitam itu), dan kemunculan Anda yang terus memerhatikannya membuat saya curiga. Saya tidak kenal Anda. Semalam saya menyelinap ke dalam kamar Anda saat Anda keluar, dan sayalah yang mengambil bungkusan kecil itu dari bawah bantal Anda. Ketika saya membuka dan mendapati bukan ini barang yang saya cari, saya mengambil kesempatan pertama untuk mengembalikannya ke kamar Anda.” “Pantas saja,” ujar George merenung. “Sepertinya saya sudah bertindak bodoh sekali.” “Saya takkan berkata begitu, Sir. Bagi seorang pemula, apa yang Anda lakukan itu sudah bagus sekali. Anda berkata pagi tadi Anda memeriksa kamar mandi dan mengambil benda yang tersembunyi di balik papan pinggirannya?” “Ya. Ternyata cuma surat cinta brengsek,” ujar George murung. “Saya tidak bermaksud mengorek-ngorek kehidupan pribadi orang itu.” “Bolehkah saya melihatnya, Sir?” George mengeluarkan surat yang terlipat itu dari dalam sakunya dan memberikannya pada sang inspektur, yang lalu membukanya. “Tepat seperti Anda katakan tadi, Sir. Tapi saya kira bila Anda menarik garis dari satu huruf i ke huruf i berikutnya. Anda akan mendapatkan hasil berbeda. Wah, Sir, ini rencana pertahanan pelabuhan Portsmouth.” “Apa?” “Betul. Sudah beberapa waktu ini kami memantau orang ini. Tapi dia terlalu licin bagi kami. Sebagian besar tugas kotornya diserahkan pada wanita.” “Wanita?” tanya George lirih. “Siapa namanya?” “Dia memiliki banyak nama samaran, Sir. Tapi dia lebih dikenal dengan julukan Betty Brighteyes. Wanita itu sangat cantik.” “Betty—Brighteyes,” ulang George. “Terima kasih, Inspektur.” “Maaf, Sir, tapi Anda kelihatan kurang sehat.” “Saya memang sedang kurang sehat. Saya sakit keras. Yang pasti, sebaiknya saya naik kereta api pertama dan kembali ke kota.” Inspektur itu melihat arlojinya. “Saya rasa kereta apinya jenis yang lambat, Sir. Sebaiknya Anda menunggu kereta ekspres saja.” “Tidak apa-apa,” ujar George murung. “Tak ada kereta yang lebih lambat daripada yang saya naiki kemarin.” Duduk sekali lagi dalam gerbong kelas satu, George membaca berita-berita hari itu dengan santai. Mendadak ia terlonjak dan menatap halaman di depannya. “Kemarin dilangsungkan acara pernikahan romantis di London ketika Lord Roland Gaigh, putra kedua Marquis of Axminster, menikah dengan Grand Duchess Anastasia dari Catonia. Upacara ini dirahasiakan. Sang Grand Duchess tinggal di Paris bersama pamannya sejak pergolakan yang terjadi di Catonia. Dia berjumpa dengan Lord Roland ketika yang disebut belakangan ini menjabat sebagai sekretaris Kedutaan Inggris di Catonia, dan hubungan mereka diawali sejak itu.” “Astaga, aku...” Mr. Rowland tidak mampu mencari kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Ia menatap kosong ke langit. Kereta itu berhenti di sebuah stasiun kecil, dan seorang wanita muda naik. Ia duduk di seberang George. “Selamat pagi, George,” sapanya manis. “Ya ampun!” seru George. “Elizabeth!” Perempuan itu tersenyum padanya. Ia tampak lebih cantik. “Dengar,” seru George sambil memegangi kepalanya. “Demi Tuhan, katakan padaku. Kau ini Grand Duchess Anastasia atau Betty Brighteyes?” Wanita itu menatap George. “Bukan kedua-duanya. Aku Elizabeth Gaigh. Sekarang aku bisa menceritakan semuanya padamu. Dan aku harus minta maaf juga. Begini, Roland (kakakku) sejak dulu mencintai Alexa...” “Maksudmu Grand Duchess?” “Ya, keluarganya memanggilnya demikian. Nah, seperti kukatakan tadi, Roland mencintainya sejak dulu, demikian pula sebaliknya. Kemudian pecah revolusi, dan Alexa berada di Paris. Mereka baru saja hendak meresmikan hubungan ketika Sturm, pimpinan kedutaan itu, muncul dan bersikeras membawa pergi Alexa dan memaksanya menikah dengan Pangeran Carl, sepupu Alexa, laki-laki mengerikan penuh jerawat...” “Rasanya aku pernah berjumpa dengannya,” ujar George. “Yang sangat dibenci Alexa. Pangeran Usric, pamannya, melarangnya bertemu Roland lagi. Karena itu dia kabur ke Inggris, dan aku ke kota untuk menemuinya; kami mengirim telegram ke Roland yang ketika itu berada di Skotlandia. Pada saat terakhir, ketika kami sedang dalam perjalanan menuju Kantor Catatan Sipil dengan taksi, siapa lagi yang kami jumpai dalam taksi lain, kalau bukan Pangeran Usric sendiri. Sudah tentu dia membuntuti kami, dan kami kehilangan akal harus berbuat apa, karena si tua itu pasti akan membuat keributan besar. Lagi pula, dia wali Alexa. Aku lalu mendapat ide untuk bertukar tempat dengannya. Zaman ini orang nyaris tidak bisa melihat wajah seorang gadis kecuali ujung hidungnya. Aku mengenakan topi merah dan mantel cokelat Alexa, sedangkan dia mengenakan mantel kelabu milikku. Kemudian kami menyuruh sopir taksi ke Waterloo, dan aku melompat keluar di situ, dan berlari ke stasiun. Si tua Usric tentu saja mengejar si topi merah tanpa memikirkan penumpang taksi yang satu lagi, yang sedang meringkuk di dalam. Dia tak mau repot-repot melihat wajahku. Jadi, aku melompat begitu saja ke dalam gerbongmu dan menyerahkan diri pada belas kasihanmu.” “Aku sudah paham,” sahut George. “Itu kelanjutannya.” “Aku tahu. Itu sebabnya aku harus meminta maaf. Kuharap kau tidak marah sekali. Begini, sepertinya kau begitu berharap kejadian itu adalah misteri—seperti di buku-buku, hingga aku tidak mampu melawan godaan. Aku lalu asal main tunjuk, dan memilih pria yang kelihatan agak seram di peron, dan menyuruhmu mengikutinya. Setelah itu aku menyodorkan bungkusan itu padamu.” “Yang berisi cincin kawin.” “Ya. Alexa dan aku membelinya, sebab Roland mungkin baru bisa tiba dari Skotlandia tepat sebelum upacara pernikahan. Dan tentu saja aku tahu bahwa pada saat aku tiba kembali di London, mereka berdua sudah tidak membutuhkannya lagi—mereka tentu terpaksa menggunakan cincin tirai atau semacamnya.” “Aku mengerti,” ujar George. “Sama seperti semua hal—begitu sederhana bila kau sudah tahu! Izinkan aku, Elizabeth.” George menanggalkan sarung tangan kiri Elizabeth, dan menarik napas lega saat melihat jari manisnya yang masih kosong. “Tak mengapa,” komentarnya. “Lagi pula, cincin itu takkan terbuang percuma.” “Oh!” seru Elizabeth, “tapi aku belum mengenalmu sama sekali.” “Kau sudah tahu betapa baiknya aku,” sahut George. “Omong-omong, baru terpikir olehku, kau tentunya Lady Elizabeth Gaigh.” “Oh! George, apa kau suka membanggakan diri?” “Terus terang saja, memang betul, sedikit. Impianku adalah, Raja George meminjam uang setengah crown dariku untuk mengunjunginya pada akhir minggu. Tapi aku sedang memikirkan pamanku—yang sekarang sudah berpisah denganku. Dialah yang benar-benar suka menyombongkan diri. Kalau dia tahu aku akan menikah denganmu, dan bahwa kami akan memperoleh gelar bangsawan dalam keluarga, dia akan langsung menjadikanku mitranya!” “Oh! George, apa dia kaya-raya?” “Elizabeth, apa kau mata duitan?” “Sangat. Aku suka sekali menghambur-hamburkan uang. Tapi aku sedang berpikir tentang ayahku. Lima anak perempuan, sarat dengan kecantikan dan darah biru. Dia mendambakan menantu kaya-raya.” “Hm,” kata George. “Ini akan menjadi perkawinan impian. Bagaimana kalau kita tinggal di Rowland’s Castle? Mereka pasti akan mengangkatku jadi wali kota London bila kau jadi istriku. Oh! Elizabeth, Darling, ini mungkin bertentangan dengan peraturan perusahaan, tapi aku benar-benar harus menciummu!” NYANYIKAN LAGU ENAM PENCE Sir EDWARD PALLISER, K.C., tinggal di Queen Anne’s Close No. 9. Queen Anne’s Close adalah perumahan tipe cul-de-sac. Berlokasi di jantung Westminster, suasananya tenteram, jauh dari kebisingan abad dua puluh. Keadaan ini sangat cocok bagi Sir Edward Palliser. Sir Edward pernah menjadi salah seorang pengacara kriminal paling ternama di zamannya. Mengingat ia sekarang sudah tidak membuka praktek di kantor pengacara, ia menghibur diri dengan menghimpun perpustakaan kriminologi yang sangat lengkap. Selain itu, ia penulis buku Reminiscences of Eminent Criminals yang mengenang para penjahat terkenal. Malam itu Sir Edward sedang duduk-duduk di depan perapian perpustakaannya sambil menghirup kopi pahit bermutu tinggi. Ia membaca buku karangan Lombroso dan menggeleng. Benar-benar teori yang kreatif, sekaligus ketinggalan zaman. Pintu perpustakaan dibuka nyaris tanpa bunyi, dan pelayannya yang terlatih melintasi permadani tebal, lalu bergumam dengan hati-hati, “Seorang wanita muda ingin bertemu Anda, Sir.” “Wanita muda?” Sir Edward terheran-heran. Ini kejadian yang tidak biasa. Kemudian ia teringat bahwa mungkin Ethel, keponakannyalah yang datang—tapi tidak, kalau memang Ethel, Armour pasti akan berkata demikian. Ia bertanya hati-hati. “Wanita itu tidak menyebutkan namanya?” “Tidak, Sir, tapi katanya dia yakin Anda mau bertemu dengannya.” “Suruh dia masuk,” ujar Sir Edward Palliser. Rasa ingin tahunya tergugah. Seorang gadis jangkung berkulit gelap mendekati usia tiga puluh, mengenakan mantel dan rok hitam berpotongan bagus, serta topi kecil berwarna hitam, menghampiri Sir Edward sambil mengulurkan tangan dengan wajah berseri. Armour mengundurkan diri sambil menutup pintu tanpa suara. “Sir Edward—Anda masih ingat saya, bukan? Saya Magdalen Vaughan.” “Wah, tentu saja.” Sir Edward menjabat tangan yang terulur itu dengan hangat. Sekarang ia ingat gadis ini dengan jelas. Perjalanan pulang dari Amerika di kapal Siluric! Anak yang memesona—sebab ketika itu ia masih belia sekali. Dengan gaya hatihati orang tua yang luas pergaulannya, Sir Edward ingat pernah menjalin hubungan mesra dengannya. Ketika itu gadis ini masih begitu belia—begitu menggebu—begitu penuh kekaguman dan pemujaan—cocok sekali untuk mencuri hati pria mendekati usia enam puluhan. Kenangan itu meningkatkan kehangatan jabat tangannya. “Ini sungguh menyenangkan. Silakan duduk.” Ia menarik kursi untuk gadis itu, bicara santai sambil terus bertanya-tanya, apa gerangan yang menyebabkan ia datang. Waktu ia akhirnya selesai berbasa-basi, suasana hening. Tangan gadis itu memegangi sandaran lengan kursi dengan gelisah, dan ia membasahi bibirnya. Mendadak ia berbicara—langsung ke tujuan. “Sir Edward—saya ingin Anda membantu saya.” Sir Edward heran dan bergumam, “Ya?” Gadis itu melanjutkan dengan nada lebih mendesak. “Anda pernah berkata bila saya membutuhkan bantuan—bila ada sesuatu yang bisa Anda lakukan untuk saya—Anda akan melakukannya.” Ya, ia memang pernah mengatakannya. Orang sudah biasa mengucapkan basa-basi semacam ini —terutama saat hendak berpisah. Ia teringat suaranya sendiri yang tercekat—ketika mengangkat tangan gadis itu ke bibirnya. “Kalau ada yang bisa kulakukan untukmu—ingat, aku bersungguh-sungguh...” Ya, orang biasa berjanji demikian... Tapi sangat, sangat jarang orang harus menepati janjinya! Yang pasti bukan setelah—berapa lama?—sembilan atau sepuluh tahun. Sir Edward melirik ke arahnya—dia masih sangat cantik, tapi ia telah kehilangan sesuatu yang pernah membuat Sir Edward terpesona—paras belia yang belum tersentuh. Mungkin wajahnya sekarang lebih menarik—laki-laki yang lebih muda boleh jadi akan berpikir demikian—tapi Sir Edward sama sekali tidak merasakan gelora kehangatan dan emosi seperti yang dialaminya di akhir perjalanannya mengarungi Samudra Atlantik. Wajahnya berubah resmi dan hati-hati. Dengan agak tegas ia berkata, “Tentu, Nona. Aku akan senang membantu semampuku—meskipun hari-hari ini aku tidak yakin bisa membantu siapa pun.” Entah Sir Edward sedang bersiap-siap mundur, yang jelas gadis itu tidak menyadarinya. Ia jenis orang yang hanya bisa melihat satu hal pada satu saat, dan yang dilihatnya saat ini adalah kebutuhannya sendiri. Ia menganggap kesediaan Sir Edward membantu sebagai sudah seharusnya. “Kami berada dalam kesulitan besar, Sir Edward.” “Kami? Apa Anda sudah menikah?” “Tidak—maksud saya, kakak saya dan saya sendiri. Oh! William dan Emily juga, sebenarnya. Tapi saya harus menjelaskan. Saya punya—saya pernah punya bibi—Miss Crabtree. Anda mungkin pernah membacanya di surat kabar. Sungguh mengerikan. Dia tewas— dibunuh.” “Ah!” Rasa tertarik terbersit di wajah Sir Edward. “Sekitar satu bulan lalu, bukan?” Gadis itu mengangguk. “Kurang dari itu—tiga minggu.” “Ya, aku ingat. Kepalanya dihantam di rumahnya sendiri. Mereka tidak berhasil menangkap pelakunya.” Lagi-lagi Magdalen Vaughan mengangguk. “Mereka tidak berhasil menangkapnya—saya tidak percaya mereka akan bisa menangkapnya. Mungkin tidak ada orang yang bisa ditangkap.” “Apa?” “Ya—sungguh mengerikan. Di koran hal ini tidak diberitakan. Tapi itulah yang diduga polisi. Mereka tahu malam itu tidak ada orang datang ke rumah itu.” “Maksud Anda...?” “Pelakunya salah seorang dari kami berempat. Pasti begitu. Mereka tidak tahu siapa—dan kami tidak tahu siapa... kami tidak tahu. Setiap hari kami duduk saling memperhatikan dengan curi-curi pandang, sambil bertanya-tanya. Oh! Seandainya saja pelakunya orang luar—tapi saya tidak tahu bagaimana ini mungkin...” Sir Edward menatapnya, rasa tertariknya semakin besar. “Maksud Anda anggota keluarga dicurigai?” “Ya, itulah maksud saya. Sudah tentu polisi tidak berkata demikian. Sikap mereka cukup sopan dan ramah. Tapi mereka telah menggeledah seluruh rumah, menanyai kami semua, termasuk Martha, berulang kali... Dan berhubung tidak tahu siapa pelakunya, mereka belum berbuat apa-apa. Saya takut—amat sangat takut...” “Anakku, ayolah, Anda pasti hanya membesar-besarkan.” “Saya tidak membesar-besarkan. Pelakunya salah satu dari kami berempat—pasti.” “Siapa saja keempat orang yang Anda bicarakan ini?” Magdalen duduk tegak dan berbicara dengan lebih tenang. “Pertama, saya dan Matthew. Bibi Lily saudara perempuan Nenek. Kami tinggal bersamanya sejak kami berusia empat belas (kami berdua saudara kembar). Kemudian ada William Crabtree. Dia keponakan Bibi Lily—anak saudara laki-lakinya. Dia juga tinggal di situ bersama Emily, istrinya.” “Apakah dia menyokong mereka?” “Lebih-kurang. William punya sedikit uang, tapi fisiknya lemah dan terpaksa tinggal di rumah. Dia laki-laki pendiam dan suka melamun. Saya yakin dia takkan mungkin—oh!— alangkah jahatnya saya, meskipun cuma berpikir begitu!” “Aku masih belum bisa memahami posisinya. Mungkin Anda tidak keberatan menceritakan fakta-faktanya—bila ini tidak terlalu membuat Anda tertekan.” “Oh, tidak! Saya ingin menceritakannya pada Anda. Semuanya masih jelas sekali dalam ingatan saya—jelas dan mengerikan. Begini, ketika itu kami baru selesai minum teh, dan kami masing-masing sibuk sendiri. Saya menjahit baju. Matthew mengetik karangan—tugas jurnalistik; sedangkan William asyik dengan prangkonya. Emily tidak turun untuk minum teh. Dia baru minum obat sakit kepala dan sedang berbaring. Itulah kami, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ketika Martha masuk untuk menata meja pada pukul setengah delapan, Bibi Lily sudah terkapar—mati. Kepalanya—oh! Sangat mengerikan—hancur.” “Kurasa senjatanya ditemukan?” “Ya. Pelakunya menggunakan penindih kertas berat yang selalu terletak di meja dekat pintu. Polisi memeriksa apakah ada sidik jari di atasnya, tapi ternyata tidak ada. Sudah dibersihkan.” “Dan apa dugaan awal kalian?” “Kami tentu saja menyangka ada pencuri masuk. Ada dua atau tiga laci bufet yang ditarik, seakan pencurinya telah mencari-cari sesuatu. Tentu saja kami mengira ini perbuatan pencuri! Kemudian polisi datang—dan mereka bilang Bibi sudah meninggal sekitar satu jam sebelumnya. Mereka bertanya pada Martha, siapa yang datang ke rumah, dan Martha menjawab tidak ada. Semua jendela terkunci dari dalam, tidak ada tanda-tanda dirusak. Kemudian mereka mulai mengajukan berbagai pertanyaan pada kami...” Magdalen berhenti. Dadanya terangkat. Kedua matanya yang ketakutan dan memohon, menatap mata Sir Edward mencari penenteraman hati. “Begini, siapa yang akan mendapat keuntungan lewat kematian Bibi Lily?” “Sederhana sekali. Kami berempat sama-sama mendapat keuntungan. Dia mewariskan kekayaannya untuk dibagi rata di antara kami berempat.” “Dan berapa nilai estatnya?” “Pengacaranya berkata pada kami jumlahnya sekitar delapan puluh ribu pound setelah dikurangi pajak warisan.” Mata Sir Edward agak terbelalak karena heran. “Jumlah yang lumayan besar. Kurasa Anda sudah tahu jumlah kekayaan Bibi?” Magdalen menggeleng. “Tidak—kami sendiri cukup kaget. Sejak dulu Bibi Lily selalu sangat berhati-hati dengan uangnya. Dia hanya mempekerjakan seorang pembantu, dan sering berbicara tentang ekonomi.” Sir Edward mengangguk sambil merenung. Magdalen duduk sambil mencondongkan badannya ke depan. “Anda mau membantu saya, bukan?” Kata-katanya mengejutkan Sir Edward tepat ketika ia mulai tertarik dengan kisah itu sendiri. “Nona—apa gerangan yang bisa kulakukan? Bila Anda membutuhkan saran hukum yang baik, aku bisa memberikan nama...” Gadis itu memotong kata-katanya. “Oh! Saya tidak menginginkannya! Saya ingin Anda sendiri yang membantu—sebagai teman.” “Sungguh menarik, tapi...” “Saya ingin Anda datang ke rumah kami. Saya ingin Anda mengajukan pertanyaan. Saya ingin Anda melihat dan menilainya sendiri.” “Tapi, Nona...” “Ingat, Anda pernah berjanji. Anda berkata di mana saja—kapan saja—bila saya membutuhkan bantuan...” Mata Magdalen yang memohon sekaligus yakin menatapnya lurus-lurus. Sir Edward merasa malu dan terharu. Kesungguhan hati gadis yang luar biasa itu, rasa percaya yang teguh akan janji basa-basi yang diucapkan sepuluh tahun lalu, yang dianggapnya ikatan keramat. Sudah berapa banyak laki-laki pernah mengucapkan kata-kata yang sama itu— nyaris merupakan kata-kata klise!—dan betapa sedikit yang ditepati. Sir Edward berkata lemah, “Aku yakin banyak orang mampu memberikan saran lebih baik daripada aku.” “Saya punya banyak teman—sudah tentu.” (Sir Edward geli mendengar keluguan rasa percaya dirinya.) “Tapi masalahnya tak seorang pun dari mereka yang pandai. Tidak seperti Anda. Anda sudah terbiasa menanyai orang. Dan dengan semua pengalaman itu, Anda tentunya tahu.” “Tahu apa?” “Apakah mereka tidak bersalah atau sebaliknya.” Sir Edward tersenyum kecut. Ia memuji diri bahwa secara umum ia biasanya memang tahu! Meski sering kali pendapat pribadinya berbeda dengan para juri. Magdalen menggeser topi yang menutupi dahinya dengan gelisah, memandang sekeliling, lalu berkata, “Betapa sunyinya suasana di sini. Apakah Anda kadang-kadang tidak merindukan sedikit keramaian?” Cul-de-sac! Tanpa sengaja kata-kata yang diucapkan asal-asalan itu mengena dengan telak. Cul-de-sac, lingkungan perumahan yang tertutup. Ya, tapi selalu ada jalan untuk keluar—lewat jalan masuk—jalan menuju dunia luar... Sesuatu yang bergolak dan berjiwa muda menggerakkan hatinya. Rasa percaya lugu yang ditunjukkan gadis itu telah menggugah sisi terbaik wataknya—sedangkan kondisi masalahnya menggugah hal lain—pembawaan kriminolog yang ada dalam dirinya. Ia ingin menemui orang-orang yang dibicarakan Magdalen tadi. Ia ingin membuat penilaian sendiri. Katanya, “Bila Anda benar-benar yakin aku bisa membantu... Tapi ingat, aku tidak menjamin apa-apa.” Sir Edward menyangka gadis itu akan girang sekali, tapi ternyata ia menerimanya dengan sangat tenang. “Saya tahu Anda akan melakukannya. Sejak dulu saya menganggap Anda sahabat sejati. Maukah Anda ikut bersama saya sekarang?” “Tidak. Kurasa lebih baik aku datang besok. Maukah Anda memberikan nama dan alamat pengacara Miss Crabtree padaku? Mungkin aku perlu menanyakan beberapa hal padanya.” Magdalen mencatat dan memberikannya pada Sir Edward. Setelah itu ia bangkit berdiri dan berkata agak tersipu, “Saya... saya amat sangat berterima kasih. Sampai jumpa.” “Bagaimana dengan alamat Anda sendiri?” “Betapa bodohnya saya. 18 Palatine Walk, Chelsea.” *** Keesokan harinya pukul tiga sore, Sir Edward Palliser berjalan menuju 18 Palatine Walk dengan tenang. Ia telah menemukan beberapa hal. Pagi itu ia berkunjung ke Scotland Yard, menemui teman lamanya, Asisten Komisaris Polisi. Selain itu ia juga berbincang dengan pengacara mendiang Miss Crabtree. Hasilnya, ia lebih memahami situasinya. Pengaturan Miss Crabtree menyangkut keuangan agak ganjil. Ia tidak pernah memanfaatkan buku cek. Ia lebih suka menulis surat pada pengacaranya dan memintanya menyediakan jumlah tertentu dalam bentuk lembaran lima pound. Jumlahnya hampir selalu sama. Tiga ratus pound, empat kali setahun. Ia datang sendiri naik mobil untuk mengambilnya, dan menganggap inilah satu-satunya kendaraan yang paling aman. Selain untuk keperluan ini, ia tidak pernah meninggalkan rumah. Di Scotland Yard, Sir Edward mendengar bahwa soal finansial itu telah diselidiki dengan cermat. Tak lama lagi akan tiba waktunya Miss Crabtree mengambil uangnya. Rupanya pengambilan tiga ratus pound sebelum itu sudah habis—atau hampir habis digunakan. Tapi justru hal inilah yang tidak mudah dipastikan. Dengan mengecek pengeluaran rumah tangga, nyatalah bahwa pengeluaran Miss Crabtree per kuartal jauh lebih sedikit daripada tiga ratus pound. Selain itu, ia punya kebiasaan mendermakan lembaran lima pound pada teman-teman maupun sanak keluarga yang berkekurangan. Apakah saat kematiannya di rumah terdapat banyak atau sedikit uang, memunculkan perdebatan. Ternyata tak ditemukan sepeser pun. Hal inilah yang dipertanyakan Sir Edward saat ia melangkah menuju Palatine Walk. Pintu rumah (yang tidak memiliki ruang bawah tanah) dibukakan seorang wanita tua bertubuh kecil dengan sorot mata tajam. Sir Edward diantar masuk ruangan luas di sebelah kiri ruang depan, dan Magdalen menemuinya di situ. Sir Edward melihat garisgaris ketegangan yang lebih jelas di wajahnya. “Anda memintaku mengajukan pertanyaan, dan aku datang untuk melaksanakannya,” ujar Sir Edward sambil tersenyum saat berjabat tangan. “Pertama-tama, aku ingin tahu siapa yang terakhir melihat Bibi dan pukul berapa.” “Sekitar pukul lima—sesudah minum teh. Martha orang terakhir yang ada bersamanya. Sore itu dia baru membayar buku-buku, dan mengantarkan uang kembalian berikut rekeningnya pada Bibi Lily.” “Apa Anda memercayai Martha?” “Oh, sepenuhnya. Dia sudah mendampingi Bibi Lily selama... oh! Tiga puluh tahun, saya rasa. Dia sangat jujur.” Sir Edward mengangguk. “Pertanyaan lain. Mengapa sepupu Anda, Mrs. Crabtree, minum obat sakit kepala?” “Hm, karena dia sakit kepala.” “Sudah pasti, tapi apa ada alasan tertentu mengapa dia harus sakit kepala?” “Hm, ya, begitulah. Saat makan malam terjadi kericuhan kecil. Emily mudah gusar dan tegang. Dia dan Bibi Lily adakalanya bertengkar.” “Dan mereka bertengkar saat makan malam?” “Ya. Bibi Lily memang agak rewel soal hal-hal kecil. Semuanya diawali dengan hal sepele —setelah itu mereka bertengkar hebat—Emily melontarkan kata-kata yang pasti tidak dimaksudkannya—bahwa dia akan meninggalkan rumah dan takkan pernah kembali—bahwa dia menyimpan dendam dengan setiap suap yang dikunyahnya—oh! Segala macam perkataan konyol. Dan Bibi Lily membalas berkata bahwa semakin cepat Emily dan suaminya berkemas dan pergi, semakin baik. Tapi pertengkaran mereka tak ada artinya, sungguh.” “Sebab Mr. dan Mrs. Crabtree takkan sanggup berkemas dan pergi?” “Oh, bukan hanya itu. William menyayangi Bibi Emily. Sungguh.” “Mungkinkah hari itu memang hari penuh pertengkaran?” Wajah Magdalen memerah. “Anda maksud saya? Pertengkaran soal keinginan saya menjadi model?” “Bibi Lily tidak setuju?” “Tidak.” “Mengapa Anda ingin menjadi model, Miss Magdalen? Apakah kehidupan itu sangat menarik bagi Anda?” “Tidak, tapi apa pun pasti lebih baik daripada tinggal di sini terus.” “Ya, ketika itu. Tapi sekarang Anda akan punya pemasukan lumayan banyak, bukan?” “Oh! Ya, sekarang keadaan memang berbeda.” Ia mengucapkan pengakuan itu dengan teramat lugu. Sir Edward hanya tersenyum dan tidak mengejar masalah itu lebih lanjut. Ia lalu bertanya, “Dan bagaimana dengan saudara Anda? Apa dia juga bertengkar?” “Matthew? Oh, tidak.” “Kalau begitu, tak ada yang bisa mengatakan bahwa dia punya alasan menyingkirkan Bibi Lily.” Sir Edward langsung menangkap sekilas rasa tak senang yang membayang di wajah Magdalen. “Oh ya, saya lupa,” ujar Sir Edward santai. “Dia punya utang lumayan besar, bukan?” “Ya. Matthew yang malang.” “Tapi kesulitannya akan teratasi sekarang.” “Ya...” Ia menghela napas. “Memang melegakan.” Magdalen tetap saja belum menyadari apa pun! Sir Edward buru-buru mengubah pokok pembicaraan. “Apakah sepupu dan saudara Anda ada di rumah?” “Ya, saya sudah menyampaikan pada mereka bahwa Anda akan datang. Mereka semua begitu ingin membantu. Oh, Sir Edward—bagaimanapun, saya merasa Anda akan menemukan semuanya baik-baik saja—bahwa tak seorang pun dari kami tersangkut di dalamnya—bahwa ternyata pelakunya memang orang luar.” “Aku tidak bisa melakukan mukjizat. Aku mungkin mampu mengungkap kebenaran, tapi aku tidak mampu membuat kebenaran itu sesuai dengan yang Anda inginkan.” “Anda tidak mampu? Saya rasa Anda mampu melakukan apa pun—apa pun.” Gadis itu meninggalkan ruangan. Dengan risau Sir Edward berpikir, “Apa maksudnya? Apakah dia ingin aku memberikan pembelaan? Untuk siapa?” Lamunannya buyar ketika seorang pria berusia lima puluhan melangkah masuk. Perawakannya kekar, namun agak bungkuk. Pakaiannya tidak rapi dan rambutnya sedikit acak-acakan. Ia tampak ramah, namun tidak tegas. “Sir Edward Palliser? Oh, apa kabar? Magdalen menyuruh saya kemari. Saya yakin Anda begitu baik mau menolong kami. Meskipun saya rasa masalah ini takkan pernah bisa tersingkap. Maksud saya, mereka takkan mampu menangkap pelakunya.” “Jadi, Anda berpendapat pembunuhnya seorang pencuri—orang luar?” “Hm, sepertinya begitu. Tidak mungkin yang melakukan itu salah seorang dari keluarga. Zaman ini para penjahat begitu pintar, mereka mampu memanjat bagaikan kucing dan keluar-masuk sesukanya.” “Ketika tragedi itu terjadi, Anda sedang di mana, Mr. Crabtree?” “Saya sedang sibuk dengan koleksi prangko saya—di ruang duduk kecil di lantai atas.” “Anda tidak mendengar apa-apa?” “Tidak—tapi saya memang tidak pernah mendengar apa pun bila sedang asyik. Sungguh bodoh memang, tapi itulah sifat saya.” “Apakah letak ruang duduk yang Anda sebut tadi di atas ruangan ini?” “Tidak, letaknya di belakang.” Pintu terbuka lagi. Seorang wanita kecil berkulit putih masuk. Ia meremas-remas kedua tangannya dengan gugup. Ia tampak gelisah dan risau. “William, mengapa kau tidak menungguku? Tadi aku kan bilang ‘tunggu’.” “Maaf, Sayang, aku lupa. Sir Edward Palliser—kenalkan, ini istri saya.” “Apa kabar, Mrs. Crabtree? Saya harap Anda tidak keberatan saya datang kemari untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Saya tahu kalian sangat ingin masalah ini dibereskan.” “Sudah pasti. Tapi saya tidak bisa mengatakan apa pun—betul kan, William? Ketika itu saya sedang tidur—di tempat tidur—saya baru terbangun ketika Martha menjerit.” Ia terus saja meremas-remas tangan. “Di mana letak kamar Anda, Mrs. Crabtree?” “Di atas ruangan ini. Tapi saya tidak mendengar apa pun—bagaimana mungkin saya bisa mendengar? Saya sedang tidur.” Sir Edward tidak bisa mengorek keterangan apa pun kecuali pernyataan tadi. Ia tidak tahu apa pun—ia sedang tidur. Ia mengulang-ulang pernyataan itu dengan ngotot, seperti ketakutan. Namun Sir Edward tahu betul bahwa besar kemungkinan apa yang dikatakannya itu memang benar. Akhirnya ia meminta izin mengajukan beberapa pertanyaan pada Martha. William menawarkan diri untuk mengantarnya ke dapur. Di ruang depan, Sir Edward nyaris bertabrakan dengan pemuda jangkung berkulit gelap yang sedang melangkah ke pintu depan. “Mr. Matthew Vaughan?” “Ya—tapi begini, saya tidak bisa menunggu. Saya sudah ada janji.” “Matthew!” terdengar suara saudara perempuannya dari arah tangga. “Oh, Matthew, kau sudah berjanji...” “Aku tahu, Kak. Tapi aku tidak bisa. Harus menjumpai seseorang. Lagi pula, apa gunanya membicarakan hal itu berulang-ulang. Kita sudah cukup membahasnya dengan polisi. Aku sudah muak dengan semuanya itu.” Pintu depan terempas. Mr. Matthew Vaughan telah keluar rumah. Sir Edward diantar ke dapur. Martha sedang menyetrika. Ia berhenti sambil tetap memegangi setrika. Sir Edward menutup pintu dapur di belakangnya. “Miss Vaughan memintaku membantunya,” ujarnya. “Kuharap Anda tidak keberatan aku mengajukan beberapa pertanyaan.” Martha menatapnya, lalu menggeleng. “Tak seorang pun dari mereka yang melakukannya, Sir. Saya tahu apa yang Anda pikirkan, tapi itu tidak benar. Mereka wanita dan pria terhormat yang sangat baik.” “Aku tidak meragukannya. Tapi kebaikan mereka tidak bisa kita sebut bukti.” “Mungkin tidak, Sir. Hukum memang aneh. Tapi bukti itu ada—seperti Anda sebutkan, Sir. Tak seorang pun dari mereka bisa melakukannya tanpa sepengetahuan saya.” “Tapi sudah tentu...” “Saya tahu apa yang saya katakan, Sir. Nah, coba dengarkan itu...” ‘Itu’ adalah bunyi berderak di atas kepala mereka. “Anak tangga, Sir. Setiap kali ada yang naik atau turun, anak tangga itu berderak, sehati-hati apa pun orang melangkah. Mrs. Crabtree sedang berbaring di tempat tidurnya, dan Mr. Crabtree sedang sibuk dengan prangko-prangkonya yang jelek itu. Miss Magdalen sudah naik lagi dan asyik dengan mesin jahitnya. Seandainya salah seorang dari mereka turun lewat tangga, saya pasti tahu. Dan mereka tidak melakukannya!” Martha berbicara dengan keyakinan yang mampu membuat terkesan sang pengacara kriminal. Pikirnya, “Saksi yang bagus. Kesaksiannya pasti berbobot.” “Mungkin saja Anda tidak memerhatikan.” “Ya, boleh dikatakan saya pasti akan memerhatikan tanpa melihatnya. Seperti kalau Anda memerhatikan saat pintu tertutup dan seseorang pergi keluar.” Sir Edward mengubah pendapatnya. “Itu tadi penjelasan tentang tiga orang, tapi masih ada orang keempat. Apakah Mr. Matthew Vaughan juga berada di atas?” “Tidak, dia berada di ruangan kecil di lantai bawah. Di sebelah. Dan dia sedang mengetik. Anda bisa mendengarnya dengan jelas dari sini. Mesin tiknya tidak pernah berhenti sesaat pun. Tidak sesaat pun, Sir, saya berani bersumpah. Benar-benar bunyi tik-tik yang menyebalkan.” Sir Edward terdiam sejenak. “Anda-lah yang menemukan tubuhnya, bukan?” “Ya, Sir, betul. Terbaring dengan kepala berdarah. Dan tak seorang pun mendengar bunyi apa pun selain ketukan mesin tik Mr. Matthew.” “Sejauh yang Anda ketahui, tidak ada yang masuk ke dalam rumah?” “Bagaimana bisa, Sir, tanpa sepengetahuan saya? Bel pintu akan berdering di dalam sini. Dan hanya ada satu pintu masuk.” Sir Edward menatapnya lurus-lurus. “Anda sangat dekat dengan Miss Crabtree?” Cahaya hangat—dan tidak dibuat-buat—terpancar di wajah Martha. “Ya, benar, Sir. Kalau bukan karena Miss Crabtree—saya sudah tua dan sekarang saya tidak keberatan berbicara mengenai hal ini. Ketika masih gadis, saya mendapat masalah, Sir, dan Miss Crabtree membela saya—dia menerima saya kembali bekerja—setelah semua urusan beres. Saya rela mati untuknya—sungguh.” Sir Edward bisa mendengar kesungguhan dalam kata-kata Martha. “Sejauh Anda ketahui, tidak ada yang datang berkunjung?” “Tidak mungkin ada yang datang.” “Saya berkata sejauh yang Anda ketahui. Tapi seandainya Miss Crabtree menunggu seseorang—bila dia sendiri membukakan pintu bagi orang tersebut...” “Oh!” Martha tampak terperanjat. “Menurutku ini mungkin saja, bukan?” desak Sir Edward. “Memang mungkin—ya—tapi rasanya kecil kemungkinannya. Maksud saya...” Martha jelas-jelas terkejut. Ia tidak bisa menyangkal, meskipun ingin. Mengapa? Sebab ia tahu kebenarannya terletak di segi lain. Yang mana? Keempat orang di dalam rumah itu —apakah salah seorang memang bersalah? Apakah Martha ingin melindungi yang bersalah? Apakah anak tangga memang berderak? Apakah ada yang turun diam-diam dan Martha tahu siapa orang tersebut? Ia sendiri jujur—Sir Edward yakin akan hal itu. Sir Edward terus menekan, sambil memerhatikan Martha. “Kurasa Miss Crabtree bisa saja melakukannya. Jendela kamar itu menghadap ke jalan. Dia mungkin melihat orang yang ditunggu-tunggunya itu dari jendela, lalu berjalan ke ruang depan untuk membiarkannya masuk. Dia bahkan mungkin tak ingin ada yang melihat orang tersebut.” Martha tampak risau. Akhirnya ia berkata enggan, “Ya, Anda mungkin benar, Sir. Saya belum pernah memikirkan hal itu. Bahwa Miss Crabtree menantikan seseorang—ya, mungkin saja.” Ia seakan mulai menyadari keuntungan sudut pandang itu. “Anda orang terakhir yang melihatnya, bukan?” “Ya, Sir, sesudah saya membereskan cangkir-cangkir teh. Saya mengantarkan buku-buku kepadanya, termasuk kembalian uang yang diberikannya pada saya.” “Apakah dia memberikan uang dalam lembaran-lembaran lima pound?” “Selembar lima pound, Sir,” sahut Martha terkejut. “Harga buku tidak pernah sampai lima pound. Saya sangat berhati-hati.” “Di mana dia biasanya menyimpan uangnya?” “Saya tidak begitu tahu, Sir. Menurut saya dia membawa-bawanya—dalam tas beludru hitamnya. Tapi dia mungkin saja menyimpannya dalam salah satu laci di kamar tidurnya yang selalu terkunci. Dia senang sekali mengunci barang miliknya, meskipun cenderung kehilangan anak kuncinya.” Sir Edward mengangguk. “Anda tidak tahu berapa banyak uang yang dimilikinya—maksud saya dalam lembaran lima pound?” “Tidak, Sir, saya tidak tahu persis jumlahnya.” “Dan dia tidak berkata apa pun yang menyiratkan dia sedang menanti seseorang?” “Tidak, Sir.” “Anda yakin? Apa yang dikatakannya?” “Hm,” ujar Martha, “katanya tukang daging itu tidak lebih dari bangsat dan penipu, dan dia juga berkata bahwa saya memesan teh seperempat pon lebih banyak daripada seharusnya. Dia berkata Mrs. Crabtree bodoh sekali karena tidak suka margarin, dan dia tidak menyukai mata uang kembalian enam pence yang saya bawakan—mata uang baru dengan gambar daun ek—dia bilang mata uang itu jelek, dan saya terpaksa bersusah payah mencoba meyakinkan dirinya. Dan dia berkata—oh, si penjual ikan telah mengirimkan ikan haddock dan bukannya whiting, dan bertanya apakah saya sudah menyampaikan hal ini padanya; saya jawab sudah—dan, sungguh, saya rasa hanya itulah yang disampaikannya, Sir.” Pernyataan Martha membuat sosok mendiang tampak jelas bagi Sir Edward, dan takkan tertandingi oleh uraian mendetail mana pun. Dengan santai ia berkata, “Majikan yang agak rewel, ya?” “Memang agak cerewet, tapi wanita malang itu jarang keluar, dan karena terkurung seperti itu dia tentunya harus menghibur diri sendiri. Dia rewel, tapi baik hati—tidak pernah ada pengemis yang pergi tanpa mendapat sesuatu. Memang dia cerewet, tapi dermawan.” “Aku senang masih ada orang yang merasa kehilangan dia, Martha.” Pelayan tua itu terkesiap. “Maksud Anda—oh, tapi mereka semua menyayanginya—sungguh—dalam hati. Memang kadangkadang mereka bertengkar dengannya, tapi tidak serius.” Sir Edward mendongak. Terdengar derak di atas mereka. “Itu Miss Magdalen sedang turun.” “Bagaimana Anda tahu?” sergah Sir Edward. Wajah perempuan tua itu memerah. “Saya mengenal langkahnya,” gumamnya. Sir Edward cepat-cepat meninggalkan dapur. Ternyata Martha benar. Magdalen baru saja menginjak anak tangga paling bawah. Ia menatap Sir Edward penuh harap. “Belum banyak kemajuan,” ujar Sir Edward menanggapi tatapannya, lalu menambahkan, “Barangkali Anda tahu surat-surat apa saja yang diterima Bibi Lily pada hari kematiannya?” “Semua surat sudah dikumpulkan. Polisi sudah memeriksanya, tentu saja.” Gadis itu menunjukkan jalan menuju ruang tamu luas, dan setelah membuka laci ia mengeluarkan tas beludru hitam besar dengan gesper perak model kuno. “Ini tas Bibi. Seluruh isinya masih lengkap seperti pada hari dia tewas. Saya mempertahankannya tetap seperti itu.” Sir Edward mengucapkan terima kasih padanya, lalu menuang isi tas itu ke atas meja. Menurutnya, isinya pernak-pernik khas wanita tua eksentrik. Ada beberapa koin perak, dua butir permen jahe, tiga guntingan koran tentang kotak Joanna Southcott, sajak murahan tentang para pengangguran, sebuah Old Moore’s Almanack, segumpal kapur barus, sepasang kacamata, dan tiga pucuk surat. Yang satu surat dari “Sepupu Lucy” dengan tulisan cakar ayam, selembar bon untuk memperbaiki arloji, dan sehelai surat permohonan dari institusi amal. Sir Edward memeriksa setiap benda dengan cermat, mengembalikan semuanya ke dalam tas, dan menyerahkannya pada Magdalen sambil menghela napas. “Terima kasih, Miss Magdalen. Aku khawatir tidak banyak yang bisa kutemukan.” Ia bangkit berdiri dan menyadari bahwa melalui jendela, orang bisa melihat anak tangga di pintu depan dengan jelas, lalu ia menjabat tangan Magdalen. “Anda akan pergi?” “Ya.” “Tapi apa... apakah semuanya akan beres?” “Tak seorang pun yang terkait dengan hukum akan membuat pernyataan terburu-buru seperti itu,” sahut Sir Edward khidmat, lalu melangkah keluar. Ia menyusuri jalan dan tenggelam dalam pikiran. Teka-teki itu tepat di depan mata—dan ia belum berhasil memecahkannya. Masih dibutuhkan sesuatu—sedikit saja. Cukup untuk menunjukkan arah. Seseorang menepuk pundaknya dan ia pun terlonjak. Ternyata Matthew Vaughan yang agak terengah. “Saya tadi mengejar-ngejar Anda, Sir Edward. Saya ingin meminta maaf untuk sikap buruk yang saya perlihatkan setengah jam lalu. Tapi saya khawatir sikap saya memang bukan yang terbaik. Anda sangat baik, mau bersusah payah mengurus peristiwa ini. Silakan bertanya apa saja pada saya. Kalau ada yang bisa saya bantu...” Mendadak Sir Edward tersentak. Pandangannya tertuju—bukan pada Matthew—tapi ke seberang jalan. Agak kebingungan, Matthew mengulangi, “Kalau ada yang bisa saya bantu...” “Anda sudah melakukannya, anak muda,” sahut Sir Edward. “Dengan jalan menghentikanku di tempat ini, hingga aku memusatkan perhatian pada sesuatu yang tadinya pasti terlewatkan.” Ia menunjuk ke restoran kecil di seberang jalan. “The Four and Twenty Blackbirds?” tanya Matthew bingung. “Tepat.” “Dua Puluh Empat Burung Hitam memang nama yang ganjil—tapi makanan di situ enak.” “Aku tidak mau mengambil risiko dengan bereksperimen,” sahut Sir Edward. “Berhubung aku lebih tua daripada Anda, Kawan, boleh jadi aku lebih kenal pantun-pantun di masa kecilku. Ada pantun klasik yang berbunyi: Nyanyikan lagu enam pence, sekantong gandum hitam, dua puluh empat burung hitam, dipanggang dengan kue pai—dan seterusnya. Sisanya tak perlu kita pedulikan.” Sir Edward langsung berbalik. “Anda mau ke mana?” tanya Matthew Vaughan. “Kembali ke rumah Anda, Kawan.” Mereka berjalan tanpa berkata-kata, dan Matthew melirik keheranan pada teman seperjalanannya. Sir Edward masuk, melangkah ke laci tadi, mengeluarkan tas beludru, dan membukanya. Ia menatap Matthew, dan anak muda itu pun meninggalkan ruangan dengan enggan. Sir Edward menuang seluruh koin perak ke atas meja. Ia lalu mengangguk. Ingatannya tidak keliru. Ia bangkit dan menekan bel sambil menyelipkan sesuatu ke telapak tangannya. Mendengar dering bel, Martha datang. “Kalau aku tidak salah ingat, Martha, Anda sedikit berdebat dengan mendiang mengenai salah satu koin enam pence yang baru itu.” “Betul, Sir.” “Ah! Tapi anehnya, Martha, di antara seluruh uang kecil yang ada ini, tidak ada koin enam pence yang baru. Di sini ada dua koin enam pence, tapi keduanya keluaran lama.” Martha menatapnya bingung. “Anda lihat apa artinya? Malam itu seseorang benar-benar datang ke rumah—seseorang yang diberi koin enam pence oleh majikan Anda... Kurasa dia memberikannya pada orang itu sebagai ganti ini...” Dengan sigap, Sir Edward mengulurkan tangan ke depan dan menyodorkan sajak murahan mengenai para pengangguran itu. Sekali pandang ke wajah Martha sudah cukup. “Petualangan sudah berakhir, Martha—karena aku sudah tahu. Sebaiknya Anda akui saja semuanya padaku.” Martha terduduk di kursi—air matanya mengalir deras. “Memang benar—memang benar—bel tidak berbunyi sebagaimana mestinya—saya tidak begitu yakin, jadi saya pikir sebaiknya saya pergi melihat. Saya sampai di pintu tepat saat dia menghantam Miss Crabtree. Gulungan uang kertas lima pound berada di atas meja di depannya. Itulah sebabnya dia berbuat demikian, selain itu dia mengira korbannya sendirian saja di rumah ketika membukakan pintu. Saya tidak mampu menjerit. Saya seakan lumpuh, dan ketika dia berbalik... dan saya melihat dia ternyata putra saya sendiri... “Oh, sejak dulu dia memang nakal. Saya memberikan seluruh uang saya. Dia sudah pernah dipenjara dua kali. Dia tentunya datang untuk menemui saya, dan karena melihat saya tidak membukakan pintu, Miss Crabtree membukakannya sendiri. Putra saya terperanjat, lalu mengeluarkan salah satu lembaran sajak tentang pengangguran itu. Mengingat majikan saya baik dan murah hati, dia mengajak anak saya masuk dan mengambil koin enam pence. Selama itu gulungan uang kertasnya masih tergeletak di meja, seperti saat saya memberikan uang kembalian itu. Setan merasuki Ben anak saya, yang lalu menghantamnya dari belakang.” “Setelah itu?” tanya Sir Edward. “Oh, Sir, saya bisa apa? Dia darah daging saya sendiri. Ayahnya memang jahat, dan Ben mewarisi sifatnya—tapi dia anak saya sendiri. Saya mendorongnya keluar, dan kembali ke dapur, menyiapkan makan malam seperti biasanya. Apakah menurut Anda saya sangat jahat, Sir? Saya berusaha tidak berbohong waktu Anda mengajukan pertanyaan.” Sir Edward bangkit berdiri. “Perempuan malang,” ujarnya penuh perasaan, “aku sangat prihatin. Tapi hukum tetap harus ditegakkan.” “Dia telah melarikan diri ke luar negeri, Sir. Saya tidak tahu di mana dia berada.” “Kalau begitu, ada kemungkinan dia bisa menghindar dari tiang gantungan, tapi jangan terlalu berharap. Tolong panggilkan Miss Magdalen.” “Oh, Sir Edward. Betapa baiknya Anda—Anda begitu baik,” ujar Magdalen ketika Sir Edward selesai berkata-kata. “Anda telah menyelamatkan kami semua. Dengan cara apa saya bisa menyampaikan terima kasih?” Sir Edward tersenyum padanya sambil menepuk tangan gadis itu dengan lembut. Ia memang pria yang luar biasa. Magdalen kecil begitu memesona di kapal Siluric. Sekuntum bunga berusia tujuh belas—luar biasa! Tentu saja ia sekarang sudah kehilangan pesona itu. “Lain kali Anda membutuhkan teman...,” ujar Sir Edward. “Saya akan langsung datang pada Anda.” “Tidak, tidak,” seru Sir Edward panik. “Justru itulah yang aku tidak mau Anda lakukan. Datanglah pada pria yang lebih muda.” Ia lalu meninggalkan seluruh penghuni rumah yang bersyukur itu dengan gesit, dan masuk taksi dengan lega. Bahkan pesona gadis belia berumur tujuh belas pun rasanya tidak terlalu menarik lagi. Tak dapat menandingi perpustakaan yang sarat dengan buku-buku kriminologi. Taksi itu berbelok ke Queen Anne’s Close. Cul-de-sac-nya. KEJANTANAN EDWARD ROBINSON “DENGAN sekali ayun, Bill mengangkatnya dengan kedua lengannya yang kekar dan mendekapnya erat. Sambil menghela napas dalam-dalam, perempuan itu menyerahkan bibirnya dengan ciuman yang belum pernah diimpikan Bill...” Sambil menarik napas, Mr. Edward Robinson meletakkan buku When Love is King dan memandang ke luar jendela kereta api bawah tanah. Mereka sedang melaju melintasi Stamford Brook. Edward Robinson sedang berpikir tentang Bill. Bill tokoh super jantan kesayangan para novelis wanita. Edward iri pada otot-otot, ketampanan, dan gairahnya yang luar biasa. Ia membuka buku itu lagi dan membaca deskripsi si angkuh Marchesa Bianca (yang telah menyerahkan bibirnya). Kecantikannya begitu menggairahkan, begitu memabukkan, hingga pria-pria kekar roboh di hadapannya bagaikan deretan pin yang diterjang bola boling, lemah tanpa daya karena cinta. “Tentu saja,” kata Edward dalam hati, “semua ini cuma omong kosong. Kisah-kisah seperti ini omong kosong. Tapi aku penasaran...” Matanya menerawang. Benarkah nun di sana ada yang namanya dunia asmara dan petualangan? Apa memang ada wanita-wanita yang kecantikannya menggairahkan? Apa ada cinta yang mampu melalap orang bagaikan api? “Ini kehidupan nyata,” ujar Edward. “Aku harus menjalaninya seperti orang-orang lain.” Ia berpendapat bahwa secara keseluruhan, ia patut menganggap dirinya beruntung. Ia punya jabatan cukup bagus—sebagai juru tulis perusahaan yang maju. Ia berbadan sehat, tidak punya tanggungan, dan sudah bertunangan dengan Maud. Namun begitu teringat Maud, wajahnya langsung muram. Meski ia takkan pernah mengakuinya, ia takut pada Maud. Ia mencintai Maud—ya—ia masih ingat betapa hatinya tergetar saat melihat dan mengagumi tengkuk putih Maud dari balik blus murahnya yang berharga empat pound sebelas penny ketika pertama kali berjumpa. Waktu itu Edward duduk di belakang Maud, menonton bioskop bersama temannya yang kenal dengan Maud dan memperkenalkan mereka berdua. Tak dapat disangkal bahwa Maud sangat superior. Ia cantik, pandai, sangat feminin dan anggun, dan selalu benar dalam segala hal. Jenis gadis yang, menurut semua orang, akan menjadi istri yang sangat cakap. Edward bertanya-tanya apakah Marchesa Bianca bisa menjadi istri yang cakap. Ia meragukannya. Ia tak bisa membayangkan Bianca yang menggairahkan itu, dengan bibirnya yang merah merekah dan tubuh aduhai, menjahit kancing dengan manis untuk, katakan saja, Bill yang jantan itu. Tidak, Bianca adalah Asmara, sedangkan ini kehidupan nyata. Edward dan Maud akan sangat bahagia. Maud begitu penuh akal sehat.... Tapi bagaimanapun, Edward berharap seandainya saja sikap Maud tidak terlalu... ya, tajam. Begitu cepat mengkritik. Sudah tentu sifat bijaksana dan akal sehat itulah yang membuatnya bersikap demikian. Maud memang sangat berpikiran sehat. Dan biasanya Edward juga sangat berpikiran sehat, tapi sekali-sekali saja—contohnya, ia ingin menikah pada Hari Natal ini. Maud lalu menjelaskan alangkah lebih bijaksana kalau mereka menundanya dulu—mungkin satu-dua tahun. Gaji Edward tidak besar. Ia ingin memberi Maud cincin mahal—Maud kaget setengah mati, dan memaksa Edward mengembalikan dan menukar cincin itu dengan yang lebih murah. Semua standar yang dianutnya sangat tinggi, tapi adakalanya Edward berharap Maud memiliki lebih banyak kekurangan dibanding kelebihan. Kelebihannya itulah yang membuat Edward melakukan hal-hal nekat. Misalnya saja... Rasa bersalah merona di wajahnya. Ia harus mengakuinya pada Maud—segera. Rasa bersalah di hatinya membuatnya bersikap ganjil. Besok hari pertama dari tiga hari libur. Malam Natal, Hari Natal, dan Hari Natal Kedua. Maud telah menyarankan agar Edward datang berkunjung dan melewatkan waktu bersama keluarganya. Dengan cara kikuk, yang pasti membangkitkan rasa curiga Maud, Edward berhasil menghindar—ia berbohong panjang-lebar bahwa ia sudah berjanji akan melewatkan waktu bersama seorang teman di daerah pedesaan. Padahal ia tidak punya teman di pedesaan. Ia hanya punya rasa bersalah itu. Tiga bulan lalu, Edward Robinson, bersama beberapa ratus ribu pemuda lain, mengikuti lomba yang diadakan salah satu koran mingguan. Nama dua belas gadis harus diurut sesuai popularitas masing-masing. Edward mendapat ide bagus. Pilihannya pasti keliru—ia telah menyadarinya dalam lomba-lomba sejenis sebelum itu. Ia mencatat kedua belas nama itu dengan urutan sesuai pertimbangannya sendiri. Kemudian ia menuliskan nama-nama itu lagi, kali ini urutannya ditukar, yang paling atas menjadi yang paling bawah, kedua dari atas menjadi kedua dari bawah, dan seterusnya. Waktu hasil lomba diumumkan, delapan dari dua belas nama yang disusun Edward ternyata benar, dan ia memenangkan hadiah pertama sebesar £500. Oleh Edward, keberuntungan ini dianggap sebagai hasil langsung dari “sistem”-nya. Ia bangga bukan main pada diri sendiri. Berikutnya, apa yang harus ia lakukan dengan hadiah £500 itu? Ia tahu betul apa yang akan dikatakan Maud. Investasikan saja. Sebagai persediaan bagus untuk masa depan. Dan, tentu saja, Maud pasti benar, ia tahu itu. Namun memenangkan uang sebagai hasil suatu lomba terasa sangat berbeda dengan semua hal lain. Seandainya uang itu diberikan padanya sebagai warisan, Edward akan menginvestasikannya di Conversion Loan atau Savings Certificates seperti selayaknya dilakukan. Namun uang yang diperoleh dengan sekadar mencoretkan pena, dan peluang keberuntungan yang luar biasa, bisa dikategorikan seperti uang jajan anak kecil—“untukmu sendiri—untuk dibelanjakan sesuka hati.” Dan di sebuah toko mewah yang setiap hari dilintasinya dalam perjalanan menuju kantor, tampak impian yang luar biasa itu, mobil mungil untuk dua orang dengan moncong panjang mengilat, dan harganya tercantum jelas—£465. Setiap hari Edward berkata pada mobil itu, “Kalau aku kaya, aku akan membelimu.” Dan sekarang ia kaya—meski belum benar-benar kaya—setidaknya ia punya cukup uang untuk membuat impiannya jadi kenyataan. Mobil itu, benda cantik mengilat yang memikat itu, akan jadi miliknya bila ia mau membayar harganya. Tadinya ia bermaksud memberitahu Maud soal uang itu. Setelah memberitahu, ia akan terlindung dari godaan. Menghadapi kekagetan dan ketidaksetujuan Maud, ia takkan pernah berani menjalankan ide gilanya itu. Tapi ternyata Maud sendiri yang membereskan persoalan itu. Edward mengajaknya ke bioskop—dan membeli karcis kelas utama. Dengan ramah namun tegas, Maud menunjukkan betapa bodohnya tindakan Edward—menghamburhamburkan uang yang berharga—tiga pound enam penny, bukannya dua pound empat penny, padahal orang bisa menonton sama jelasnya dari kelas yang lebih murah. Edward menerima omelannya dengan diam dan kesal. Maud merasa puas karena menyangka telah menanamkan pengaruhnya. Edward tidak boleh dibiarkan menghambur-hamburkan uang seperti itu. Ia mencintai Edward, tapi ia sadar tunangannya ini lemah—tugasnyalah untuk selalu siap mempengaruhinya ke arah seharusnya. Maud mengamati sikapnya yang seperti cacing itu dengan puas. Edward memang seperti cacing. Dan sama seperti cacing, ia berbalik. Hatinya hancur karena kata-kata Maud, tapi justru saat itulah ia memutuskan untuk membeli mobil itu. “Sialan,” umpat Edward dalam hati. “Kali ini aku akan melakukan apa yang kusuka. Persetan dengan Maud!” Keesokan harinya ia melangkah masuk ke istana kaca dengan seluruh isinya yang mewah dan terdiri atas email serta logam berkilauan. Dengan sikap riang dan bebas dari rasa cemas, ia pun membeli mobil itu. Tindakan paling mudah di dunia, membeli mobil! Sudah empat hari kendaraan itu jadi miliknya. Dari luar, sikapnya tenang-tenang saja, namun di dalam, kegembiraannya meluap-luap. Dan ia belum menceritakannya sama sekali pada Maud. Selama empat hari, saat istirahat makan siang, ia mendapat instruksi tentang cara menjalankan benda cantik itu. Ia murid yang cekatan. Besok, pada Malam Natal, Edward akan membawanya ke pedesaan. Ia telah berbohong pada Maud, dan ia akan berbohong lagi bila perlu. Ia sudah diperbudak lahir-batin oleh harta barunya ini. Baginya, mobil ini mewakili Asmara, Petualangan, dan segala sesuatu yang didambakan namun tidak pernah dimilikinya. Besok ia dan mobil ini akan merambah jalanan. Mereka akan melesat membelah udara dingin, meninggalkan hiruk-pikuk London— menuju daerah-daerah lapang yang segar... Saat ini Edward, meski tidak menyadarinya, sudah sangat mirip penyair. Besok... Ia menatap buku di tangannya—When Love is King. Ia tertawa dan memasukkannya ke saku. Mobilnya, bibir merah Marchesa Bianca, dan kejantanan Bill yang mengagumkan itu seakan berbaur jadi satu. Besok... Cuaca yang biasanya payah, kali ini bersahabat terhadap Edward. Hari yang didambakan Edward, kristal es berkilauan, langit biru cerah, dan matahari yang bersinar kekuningan. Dengan semangat petualangan yang tinggi dan berani mati, Edward mengendarai mobilnya ke luar kota London. Ada sedikit hambatan di Hyde Park Corner dan pengalaman sial menyedihkan di Putney Bridge, ia sering harus memindahkan persneling dengan berisik dan menginjak rem dengan mendadak, hingga dihujani caci-maki yang dilontarkan para pengemudi lain. Tapi sebagai pemula, ia menilai dirinya menjalankan tugas dengan baik. Akhirnya ia sampai juga ke salah satu jalan lebar yang sangat nyaman bagi pengendara mobil. Hari ini di bagian jalan ini tidak banyak kemacetan. Mabuk dengan kepemilikannya atas kendaraan berkilauan ini, Edward terus ngebut membelah dinginnya dunia yang terbungkus salju putih, bangga seperti dewa. Benar-benar hari yang bahagia. Ia berhenti untuk makan siang di penginapan bergaya kuno, dan kembali lagi saat minum teh. Setelah itu ia akan pulang dengan rasa enggan— kembali ke London, ke Maud, ke penjelasan yang mau tak mau harus diberikannya, tuduhantuduhan... Ia menepiskan pikiran ini sambil mendesah. Terserah bagaimana esok. Ia masih memiliki hari ini. Dan apa yang lebih memukau daripada ini? Melesat membelah kegelapan malam dengan lampu mencari jalan di depan. Wah, inilah bagian yang paling seru! Ia memutuskan takkan sempat berhenti untuk makan malam di mana pun. Mengemudikan mobil di kegelapan seperti ini tidaklah mudah. Waktu yang dibutuhkannya untuk kembali ke London ternyata lebih lama daripada perkiraannya. Sudah pukul delapan saat ia melintasi Hindhead dan tiba di tepi lembah Devil’s Punch Bowl. Bulan bersinar, dan salju yang turun dua hari lalu masih belum meleleh. Ia menghentikan mobilnya dan menatap kosong. Memangnya kenapa kalau ia tidak sampai di London sebelum tengah malam? Ia tidak mau merenggutkan dirinya dari kesenangan ini sekarang juga. Ia keluar dari mobil dan menghampiri tepi lembah. Di dekatnya tampak jalan setapak berkelok-kelok yang menurun dan menggoda. Edward menyerah pada pesonanya. Selama setengah jam berikutnya ia berjalan keliling menikmati pemandangan dengan salju terhampar luas. Ia belum pernah membayangkan pengalaman seperti ini. Pengalamannya sendiri, yang diberikan kekasih mengilat yang setia menantinya di jalan atas sana. Ia mendaki kembali, masuk ke mobil, dan melanjutkan perjalanan, masih agak pusing karena menemukan keindahan luar biasa yang sesekali menghampiri orang yang paling biasa. Kemudian, sambil menghela napas, ia tersadar dari lamunannya, lalu merogoh kantong mobil tempat ia meletakkan syal pagi tadi. Tapi syalnya ternyata tidak ada lagi. Kantong itu kosong. Tidak, tidak sepenuhnya kosong—ada sesuatu yang kasar dan keras di dalamnya—mirip batu kerikil. Edward merogoh dalam-dalam. Detik berikutnya ia termangu bagaikan orang hilang ingatan. Benda yang dipegangnya dan berjuntai di sela jari-jarinya, diterpa cahaya bulan dan memantulkan cahaya gemerlapan itu, ternyata seuntai kalung berlian. Edward menatap dan menatap. Tak pelak lagi. Kalung berlian yang mungkin bernilai seribu pound (karena batu-batu berliannya besar) ini tergeletak begitu saja di kantong samping mobil. Tapi siapa yang telah meletakkannya di situ? Saat berangkat dari kota tadi, benda ini jelas-jelas tidak ada di situ. Pasti ada orang yang datang ketika ia berjalan-jalan di tengah salju, dan sengaja memasukkannya ke situ. Tapi mengapa? Mengapa memilih mobilnya? Apakah pemilik kalung itu keliru? Atau apakah benda itu... mungkinkah ini kalung curian? Kemudian, sementara semua pikiran itu berkecamuk di benaknya, Edward mendadak terenyak dan merasa dingin. Ini bukan mobilnya. Mobil ini memang sangat mirip, betul. Warna merahnya sama—merah seperti bibir Marchesa Bianca—moncongnya sama panjang dan mengilat, tapi melalui berbagai ciri lain, Edward menyadari bahwa ini bukan mobilnya. Kilau catnya yang baru sudah tergores di sana-sini, menandakan mobil ini sudah sering digunakan. Dalam hal ini... Tanpa berpikir lebih panjang, Edward cepat-cepat memutar mobil itu. Ia memang belum mahir melakukannya. Dengan persneling mundur, ia kebingungan dan berkali-kali memutar setir ke arah yang salah. Selain itu, ia juga keliru menginjak pedal gas dan rem yang berakibat cukup fatal. Bagaimanapun, akhirnya ia berhasil juga dan mobil itu kembali bergerak mendaki bukit. Edward teringat bahwa tidak jauh dari mobilnya, tadi ada mobil lain yang diparkir. Ketika itu ia tidak begitu memerhatikannya. Ia kembali dari berjalan-jalan melalui jalan lain. Ia menyangka jalan kedua ini membawanya tepat ke belakang mobilnya sendiri. Rupanya jalan setapak itu berakhir di belakang mobil lain. Dalam sepuluh menit ia sudah tiba kembali di tempat ia berhenti tadi. Namun sekarang di tepi jalan tidak terlihat mobil sama sekali. Siapa pun pemilik mobil ini sekarang pasti sudah pergi dengan mobil Edward—ia sendiri mungkin keliru karena kemiripan kedua mobil tersebut. Edward mengeluarkan kalung berlian itu dari sakunya, dan memegang-megangnya dengan bingung. Apa yang harus dilakukannya? Bergegas ke kantor polisi terdekat? Menjelaskan situasi, menyerahkan kalung itu, dan memberikan nomor mobilnya sendiri. Omong-omong, berapa nomor mobilnya? Edward memeras otak, tapi tetap saja tak mampu mengingatnya. Ia tertegun. Ia akan seperti orang paling dungu di kantor polisi. Ia hanya bisa mengingat ada angka delapan di dalamnya. Tentu saja ia tidak perlu terlalu mempersoalkannya—setidaknya... Ia menatap kalung berlian itu dengan perasaan tidak enak. Bagaimana kalau mereka berpikir—oh, tapi tak akan—meskipun mereka bisa saja— berpikir bahwa ia telah mencuri mobil dan kalung berlian itu? Sebab, bila dipikirpikir, apakah orang yang waras pikirannya akan meletakkan kalung berlian berharga dengan sembarangan di dalam kantong mobil yang terbuka? Edward keluar dari mobil dan berjalan ke bagian belakangnya. Nomor pelatnya XR 10061. Kecuali fakta yang mengatakan bahwa ini jelas-jelas bukan nomor mobilnya, nomor itu tidak menyampaikan apa pun padanya. Ia lalu memeriksa seluruh isi kantong mobil secara sistematis. Di dalam kantong tempat ia menemukan kalung tadi, ia mendapatkan secarik kertas dengan tulisan pensil di atasnya. Di bawah penerangan lampu besar mobil, Edward bisa membacanya dengan mudah. “Temui aku di Greane, di sudut Salter’s Lane, jam sepuluh.” Edward teringat nama Greane itu. Tadi pagi ia melihatnya di sebuah papan penunjuk jalan. Dalam sekejap ia membuat keputusan. Ia akan pergi ke desa Greane ini, mencari Salter’s Lane, menemui orang yang menulis pesan itu, dan menjelaskan keadaannya. Ini jauh lebih baik daripada terlihat bagaikan orang dungu di kantor polisi. Edward berangkat dengan hati nyaris gembira. Lagi pula, ini petualangan. Ini peristiwa yang tidak terjadi setiap hari. Kalung berlian itu membuatnya seru sekaligus misterius. Ia agak kesulitan menemukan Greane, dan lebih sulit lagi menemukan Salter’s Lane, namun sesudah mengetuk pintu dua pondok, ia berhasil. Meski demikian, sudah beberapa menit lewat waktu yang ditentukan saat ia menjalankan mobil dengan hati-hati melintasi jalan sempit, sambil memerhatikan sebelah kiri jalan tempat Salter’s Lane bercabang, seperti diberitahu orang padanya. Ia tiba di tempat yang tiba-tiba menikung, dan bahkan sebelum ia sampai, ada sosok yang muncul dari kegelapan. “Akhirnya!” seru seorang gadis. “Lama sekali kau, Gerald!” Sementara berbicara, gadis itu melangkah tepat ke tengah sorot lampu besar, dan Edward tersentak. Dia makhluk paling cantik yang pernah dilihatnya. Ia masih muda, dengan rambut hitam pekat dan bibir merah menggairahkan. Mantel tebal yang dikenakannya tersingkap, dan Edward melihat ia mengenakan gaun malam—gaun berwarna merah padam yang memamerkan bentuk tubuhnya yang sempurna. Di sekeliling lehernya melingkar kalung mutiara yang sangat indah. Mendadak gadis itu tersentak. “Wah,” serunya, “Anda bukan Gerald.” “Bukan,” sahut Edward cepat-cepat. “Saya harus menjelaskan.” Ia mengeluarkan kalung berlian itu dari sakunya dan menyodorkannya pada gadis itu. “Nama saya Edward...” Ia terhenti, sebab gadis itu bertepuk tangan dan menyela, “Edward, tentu saja! Aku senang sekali. Tapi si idiot Jimmy itu berkata padaku di telepon bahwa dia mengirim Gerald dengan mobilnya. Anda baik sekali mau datang kemari. Aku sudah rindu sekali melihat Anda. Ingat, aku tidak berjumpa dengan Anda sejak aku berumur enam tahun. Aku lihat Anda membawa kalungnya. Masukkan ke saku Anda kembali. Polisi desa mungkin saja lewat dan melihatnya. Brrr, menunggu di sini rasanya sedingin es! Biarkan aku masuk.” Bagaikan dalam mimpi, Edward membukakan pintu, dan gadis itu melompat masuk dengan ringan ke sisinya. Mantel bulunya menyapu pipi Edward, dan aroma mirip bunga violet dibasahi hujan, menyerbu hidungnya. Edward tidak punya rencana atau pikiran apa pun. Dalam sekejap, di luar kemauannya sendiri, ia telah menceburkan diri ke dalam petualangan. Gadis itu memanggilnya Edward— peduli apa kalau ia Edward yang salah? Gadis itu akan segera menyadarinya. Sementara itu, biarkan permainan ini berjalan terus. Ia memasukkan gigi persneling, dan mereka pun meluncur maju. Sesaat kemudian gadis itu tertawa. Gelak tawanya sama indah dengan sosoknya. “Mudah dilihat bahwa Anda tidak tahu banyak tentang mobil. Aku rasa tidak banyak mobil di sana?” “Di mana gerangan ‘di sana’ itu?” Edward membatin. Dengan suara keras ia hanya berkata, “Tidak banyak.” “Lebih baik aku saja yang mengemudi,” ujar gadis itu. “Tidak gampang menemukan jalan di sekitar sini, sampai kita tiba di jalan besar kembali.” Edward melepaskan tempatnya dengan senang hati. Tak lama kemudian, mereka sudah menembus malam dengan cepat dan nekat. Diam-diam Edward kagum. Gadis itu menoleh padanya. “Aku suka ngebut. Anda juga? Anda tahu... Anda sama sekali tidak mirip Gerald. Orang takkan pernah menyangka kalian bersaudara. Anda juga tidak mirip sama sekali dengan yang kubayangkan.” “Saya rasa,” ujar Edward, “saya biasa-biasa saja. Benar, bukan?” “Bukan biasa-biasa saja—tapi berbeda. Aku tidak bisa menggambarkan diri Anda. Bagaimana kabar Jimmy? Sangat jemu, kurasa?” “Oh, Jimmy baik-baik saja,” sahut Edward. “Mudah bagi Anda untuk mengatakannya—tapi sial baginya karena kakinya terkilir. Apakah dia menceritakan seluruh kisahnya pada Anda?” “Sama sekali tidak. Saya tidak tahu apa-apa. Saya harap Anda mau menjelaskannya pada saya.” “Oh, kejadiannya seperti mimpi saja. Jimmy masuk dari pintu depan, menyamar seperti perempuan. Aku menunggu semenit-dua menit, lalu memanjat jendela. Pelayan Agnes Larella ada di dalam, sibuk menyiapkan gaun dan perhiasan Agnes, termasuk pernak-pernik lainnya. Tiba-tiba terdengar jeritan dari bawah, keadaan jadi kacau dan semua orang berteriak-teriak. Pelayan itu berlari keluar kamar, dan aku melompat masuk, menyambar kalung itu, keluar jendela dan meluncur turun, lalu lari lewat jalan belakang melintasi Punch Bowl. Aku menyelipkan kalung dan catatan itu ke dalam kantong samping mobil. Setelah itu aku bergabung dengan Louise di hotel, setelah melepaskan sepatu botku tentu saja. Alibi yang sempurna buatku. Dia sama sekali tidak tahu aku keluar.” “Dan bagaimana dengan Jimmy?” “Soal itu, Anda tentu tahu lebih banyak daripada aku.” “Dia tidak mengatakan apa pun pada saya,” ujar Edward santai. “Hm, kakinya tersangkut roknya dan terkilir. Mereka terpaksa menggotongnya ke mobil, dan sopir keluarga Larella mengantarnya pulang. Bayangkan seandainya sopir itu kebetulan merogoh ke dalam kantong mobil!” Edward tertawa bersamanya, tapi memutar otak. Sekarang ia lebih memahami situasinya. Sepertinya ia pernah mendengar nama Larella—nama yang berkaitan dengan kekayaan. Gadis ini, dan pria tak dikenal bernama Jimmy itu, telah berkomplot mencuri kalung itu, dan berhasil. Gara-gara kakinya terkilir dan kehadiran sopir keluarga Larella, Jimmy tidak sempat melongok kantong samping mobil sebelum menelepon gadis ini—mungkin juga ia tidak ingin melakukannya. Tapi hampir bisa dipastikan bahwa “Gerald” yang tidak dikenalnya itu akan melakukannya begitu ia sempat. Dan di dalam kantong mobil, ia akan menemukan syal Edward! “Lancar semua,” ujar gadis itu. Sebuah trem melintas. Mereka berada di pinggiran kota London. Mobil mereka melesat di sela-sela kesibukan lalu lintas. Edward nyaris tercekat. Gadis ini memang pengemudi andal, tapi benar-benar nekat! Seperempat jam kemudian, mereka berhenti di depan rumah menakjubkan dengan halaman luas. “Kita bisa ganti pakaian di sini,” ujar gadis itu, “sebelum pergi ke Ritson’s.” “Ritson’s?” tanya Edward. Ia mengucapkan nama kelab malam terkenal itu dengan nada nyaris penuh hormat. “Bagaimana dengan pakaianku?” Gadis itu mengerutkan kening. “Mereka tidak mengatakan apa pun pada Anda? Kalau begitu Anda perlu didandani. Kita harus melaksanakannya sampai tuntas.” Seorang kepala pelayan yang gagah membukakan pintu dan menepi untuk mempersilakan mereka masuk. “Mr. Gerald Champneys menelepon, Tuan Putri. Dia sangat ingin berbicara pada Anda, tapi tidak mau meninggalkan pesan.” “Aku yakin dia sangat ingin bicara,” kata Edward dalam hati. “Bagaimanapun, sekarang aku tahu nama lengkapku. Edward Champneys. Tapi siapa sebenarnya gadis ini? Mereka menyebutnya Tuan Putri. Untuk apa dia mencuri kalung itu? Untuk membayar utang main bridge?” Dalam feuilleton atau cerita bersambung yang kadangkala dibacanya, peran utamanya yang cantik dan berdarah biru biasanya bertindak nekat karena terjepit utang dalam permainan kartu. Edward diantar kepala pelayan itu, untuk selanjutnya diurus oleh seorang pelayan pria. Seperempat jam kemudian ia kembali bergabung dengan gadis itu di ruang depan, lengkap dengan setelan malam buatan Saville Row yang sangat pas di badannya. Astaga! Malam yang benar-benar luar biasa! Mereka mengendarai mobil tadi menuju Ritson’s yang terkenal itu. Sama seperti orang lain, Edward telah membaca berita-berita skandal yang menyangkut Ritson’s. Cepat atau lambat, siapa saja pasti akan masuk juga ke Ritson’s. Edward hanya khawatir kalau-kalau muncul seseorang yang mengenal Edward Champneys yang asli. Ia menghibur diri dengan pemikiran bahwa orang yang sesungguhnya itu telah beberapa tahun berada di luar Inggris. Sambil duduk di depan meja kecil dekat dinding, mereka menghirup koktail. Koktail! Bagi Edward yang sederhana itu, minuman ini melambangkan inti kehidupan mapan. Gadis itu, dalam balutan selendang penuh berbordir cantik, menghirup minumannya dengan santai. Tiba-tiba ia menanggalkan selendang itu dari bahunya, lalu bangkit berdiri. “Mari kita berdansa.” Satu-satunya hal yang mampu dilakukan Edward dengan sempurna adalah berdansa. Ketika ia dan Maud melantai di Palais de Danse, orang-orang memerhatikan mereka dengan terkagumkagum. “Aku hampir lupa,” ujar gadis itu tiba-tiba. “Kalungnya?” Ia mengulurkan tangan. Edward yang masih terbingung-bingung, mengeluarkan kalung itu dari sakunya dan menyerahkannya pada gadis itu. Dengan terpana ia melihat gadis itu melingkarkan kalung itu ke lehernya dengan tenang. Setelah itu ia tersenyum menawan pada Edward. “Sekarang,” bisiknya lembut, “kita akan berdansa.” Mereka pun berdansa. Dan di seluruh ruangan Ritson’s tak ada yang lebih sempurna daripada mereka berdua. Setelah keduanya kembali ke meja mereka, seorang pria tua lumayan gagah menyapa pasangan dansa Edward. “Ah! Lady Noreen, selalu berdansa! Ya, ya. Apakah malam ini Kapten Folliot hadir di sini?” “Jimmy terjatuh—pergelangan kakinya terkilir.” “Yang benar saja. Bagaimana kejadiannya?” “Saya belum mendengar detailnya.” Gadis itu tertawa dan terus melangkah. Edward mengikutinya sambil memutar otak. Sekarang ia sudah tahu. Lady Noreen Eliot yang terkenal itu, boleh jadi yang paling banyak dibicarakan orang di London. Ternama karena kecantikannya, karena keberaniannya—pemimpin kelompok bernama Bright Young People. Pertunangannya dengan Kapten James Folliot, wakil konsul Household Calvalry, baru saja diumumkan belum lama ini. Tapi kalung itu? Edward masih belum memahami soal kalung itu. Ia terpaksa mengambil risiko ketahuan jati dirinya, tapi ia tahu ia harus mencobanya. Saat mereka sudah duduk kembali, Edward menunjuk kalung itu. “Mengapa Anda lakukan itu, Noreen?” ujar Edward. “Katakan pada saya, mengapa?” Lady Noreen cuma tersenyum, matanya menerawang jauh, masih terpesona oleh dansa tadi. “Kurasa Anda sulit memahaminya. Orang akan jenuh dengan suasana yang sama—selalu sama. Berburu harta karun memang menyenangkan untuk sementara waktu, tapi akhirnya orang jadi terbiasa pada semua hal. ‘Pencurian’ adalah gagasanku. Uang pendaftarannya lima puluh pound, dan ada undiannya. Ini yang ketiga. Jimmy dan aku menarik undian dengan nama Agnes Larella. Anda sudah tahu aturan mainnya? Pencurian itu harus dilakukan dalam waktu tiga hari, dan hasil curian harus dikenakan selama paling tidak satu jam di tempat umum. Bila tidak, Anda akan kehilangan taruhan dan terkena denda sebesar seratus pound. Jimmy tidak beruntung karena terkilir, tapi kami akan memenangkannya.” “Begitu,” ujar Edward sambil menarik napas dalam-dalam. “Begitu.” Mendadak Noreen bangkit berdiri sambil menyelempangkan selendangnya. “Antar aku dengan mobil ke dermaga. Ke tempat yang jelek tapi seru. Sebentar...” Ia menanggalkan kalung berlian itu dari leher. “Sebaiknya Anda simpan lagi kalung ini. Aku tidak mau terbunuh gara-gara benda ini.” Mereka melangkah keluar dari Ritson’s bersama-sama. Mobil itu berada di lorong sempit dan gelap. Ketika mereka berbelok di tikungan, sebuah mobil lain mendekat dan seorang laki-laki muda melompat keluar. “Syukur pada Tuhan, Noreen, akhirnya aku bertemu juga denganmu,” serunya. “Ada masalah gawat. Si goblok Jimmy pergi dengan mobil yang salah. Hanya Tuhan yang tahu di mana kalung berlian itu saat ini. Kita benar-benar mendapat masalah.” Lady Noreen menatapnya melongo. “Apa maksudmu? Kalung berlian itu sudah ada pada kita—paling tidak Edward.” “Edward?” “Ya.” Ia menunjuk sosok yang berdiri di sampingnya. “Sekarang akulah yang dapat masalah besar,” pikir Edward. “Berani bertaruh sepuluh lawan satu, inilah saudara Edward yang sesungguhnya.” Orang muda itu menatapnya. “Apa maksudmu?” ujarnya perlahan. “Edward sedang berada di Skotlandia.” “Oh!” seru gadis itu. Ia menatap Edward. “Oh!” Wajahnya sebentar pucat sebentar merona. “Jadi Anda,” katanya lirih, “benar-benar pencuri?” Edward hanya membutuhkan sesaat untuk memahami situasi. Ada sorot terpesona di mata gadis itu—mungkinkah itu—kekaguman? Apakah ia sebaiknya menjelaskan? Tidak perlu! Ia akan memainkan perannya sampai tuntas. Ia membungkuk takzim. “Saya harus berterima kasih pada Anda, Lady Noreen,” ujarnya, semirip mungkin dengan gaya penyamun, “untuk malam yang sangat menyenangkan ini.” Ia melihat sekilas ke arah mobil yang dikendarai pria tadi. Mobil merah manyala dengan kap mengilat. Mobilnya! “Dan saya akan mengucapkan selamat malam pada Anda.” Dengan satu lompatan ia sudah berada di dalam mobilnya sendiri, dengan kaki siap menginjak kopling. Mobilnya melonjak maju. Gerald terpaku, namun gadis itu lebih cepat daripadanya. Sementara mobil itu meluncur, ia melompat ke arahnya dan mendarat di pijakannya. Mobil itu melenceng, menikung tajam dan menambah kecepatan. Noreen yang masih terengah sehabis melompat, memegangi lengan Edward. “Anda harus menyerahkan kalung itu padaku—oh, Anda harus menyerahkannya padaku. Aku harus mengembalikannya pada Agnes Larella. Bersikaplah yang baik—kita sudah bersamasama melewatkan malam yang menyenangkan—kita sudah berdansa—kita sudah—berteman. Maukah Anda memberikannya padaku? Pada saya?” Benar-benar wanita yang mampu membuat mabuk dengan kecantikannya. Memang ada juga wanita-wanita seperti itu... Lagi pula, Edward memang sudah sangat ingin melepaskan diri dari kalung itu. Benda itu adalah kesempatan dari langit untuk mendapatkan beau geste. Edward mengeluarkan kalung itu dari sakunya dan menjatuhkannya di telapak tangan gadis itu. “Kita sudah... berteman,” ujarnya. “Ah!” Mata gadis itu membara—berpendar. Mendadak ia menundukkan kepala ke arah Edward. Untuk sesaat Edward memeluknya, bibir gadis itu merapat di bibirnya... Setelah itu Lady Noreen melompat turun. Dan mobil merah itu melesat maju. Asmara! Petualangan! *** Pukul dua belas siang pada Hari Natal, Edward Robinson melangkah masuk ke ruang tamu sempit sebuah rumah kecil di Clapham sambil mengucapkan, “Selamat Natal” seperti biasanya. Maud yang ketika itu sedang memasang hiasan daun holly, menyapanya dengan dingin. “Sudah bersenang-senang dengan temanmu di pedesaan?” ia bertanya. “Dengar,” sahut Edward. “Aku sudah berbohong padamu. Sebenarnya aku baru menang sayembara—sebesar £500, dan membeli mobil dengan uang itu. Aku sengaja tidak menceritakannya padamu, karena tahu kau pasti meributkannya. Itu hal pertama. Aku sudah membeli mobil itu, dan tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kedua—aku takkan mau menunggu bertahun-tahun lagi. Prospekku cukup bagus, dan aku ingin menikahimu bulan depan. Paham?” “Oh!” pekik Maud lemah. Apakah ini—mungkinkah ini—Edward yang bicara dengan gaya mengagumkan seperti itu? “Kau bersedia?” tanya Edward. “Ya atau tidak?” Maud menatapnya terperangah. Ada rasa terpesona dan kagum di matanya, dan pemandangan ini memabukkan Edward. Hilang sudah sikap keibuan penuh kesabaran yang justru membuatnya gusar itu. Semalam tatapan Lady Noreen tepat seperti ini. Namun Lady Noreen sudah menghilang, masuk ke daerah Asmara, berdampingan dengan Marchesa Bianca. Inilah Kenyataan. Inilah wanita miliknya. “Ya atau tidak?” ulangnya sambil mendekat selangkah. “Y—ya-a,” jawab Maud tergagap. “Tapi, oh, Edward, apa yang telah terjadi padamu? Hari ini kau begitu lain.” “Ya,” sahut Edward. “Sudah dua puluh empat jam ini aku jadi pria dewasa dan bukannya cacing—dan, astaga, aku tidak rugi!” Ia memeluk Maud erat-erat, mirip apa yang mungkin akan dilakukan Bill, sang superman. “Apa kau mencintaiku, Maud? Katakan, apa kau mencintaiku?” “Oh, Edward!” desah Maud. “Aku memujamu...” KECELAKAAN “...DENGAR ya... itu wanita yang sama—tak diragukan lagi!” Kapten Haydock menatap wajah sahabatnya yang berapi-api dan penuh harap, lalu menghela napas. Betapa ia berharap Evans tidak bersikap sepositif dan segembira ini. Sepanjang kariernya di laut, kapten tua ini telah belajar tidak mencampuri hal-hal yang bukan urusannya. Evans, sahabatnya, mantan Inspektur C.I.D., punya falsafah hidup berbeda. “Bertindak berdasarkan informasi yang diterima” sudah menjadi mottonya sejak dulu, dan ia telah meningkatkannya dengan mencari sendiri informasinya. Dulu Inspektur Evans perwira yang sangat cerdas dan sigap, dan ia menerima kenaikan pangkat yang memang patut diterimanya. Sekarang pun, setelah pensiun dari angkatan dan menetap di pondok pedesaan impiannya, naluri profesionalnya masih tetap aktif. “Jangan sering melupakan wajah orang,” ia mengulangi pernyataannya dengan puas. “Mrs. Anthony—ya, itu pasti Mrs. Anthony. Waktu kau menyebut nama Mrs. Merrowdene... aku langsung mengenalinya.” Kapten Haydock gelisah. Selain Evans sendiri, keluarga Merrowdene adalah tetangga terdekatnya, dan mengidentifikasi Mrs. Merrowdene sebagai perempuan yang menjadi terkenal karena suatu kasus menggemparkan, membuatnya susah. “Kejadiannya sudah lama,” ujarnya lemah. “Sembilan tahun,” kata Evans, akurat seperti biasanya. “Sembilan tahun tiga bulan. Kau masih ingat kasus itu?” “Samar-samar.” “Anthony ternyata pemakan arsenik,” ujar Evans, “karena itu mereka membebaskan wanita itu.” “Nah, mengapa tidak?” “Tidak ada alasan. Satu-satunya putusan yang mampu mereka berikan atas bukti itu. Benar sepenuhnya.” “Kalau begitu tak ada masalah,” sahut Haydock. “Dan aku tidak mengerti apa yang kita permasalahkan.” “Siapa yang mempermasalahkan?” “Kusangka kau.” “Sama sekali tidak.” “Perkara itu sudah selesai,” kapten itu menyimpulkan. “Kalau Mrs. Merrowdene pernah kurang beruntung diperkarakan dan dibebaskan dari tuduhan pembunuhan...” “Biasanya dibebaskan dari tuduhan tidak disebut kurang beruntung,” sela Evans. “Kau tahu maksudku,” ujar Kapten Haydock kesal. “Wanita malang itu telah melalui pengalaman mengerikan, dan bukan urusan kita untuk mengungkitnya kembali, ya kan?” Evans tidak menjawab. “Ayolah, Evans. Wanita itu tidak bersalah—kau baru saja mengatakannya.” “Aku tidak bilang dia tidak bersalah. Aku bilang dia dibebaskan.” “Itu sama saja.” “Tidak selalu.” Kapten Haydock, yang baru mulai mengetukkan pipanya di sisi kursinya, berhenti dan duduk tegak dengan waspada. “Halo—alo—alo,” ujarnya. “Angin bertiup ke arah itu, kan? Apa menurutmu dia bersalah?” “Aku takkan berkata begitu. Aku cuma... tidak tahu. Anthony memang punya kebiasaan menelan arsenik. Istrinyalah yang mendapatkan racun itu untuknya. Suatu hari dia keliru menelan dosis terlalu besar. Apakah itu kekeliruannya sendiri atau kesalahan istrinya? Tidak ada yang bisa mengatakan, dan dengan keraguan itu, tim juri dengan sendirinya membebaskan istrinya. Ini sah-sah saja, dan aku tidak menyalahkan mereka. Tapi tetap saja... aku ingin tahu.” Kapten Haydock memerhatikan pipa tembakaunya kembali. “Nah,” katanya santai. “Ini sama sekali bukan urusan kita.” “Aku tidak begitu yakin...” “Tapi tentunya...” “Dengarkan sebentar. Orang ini, Merrowdene... malam ini mengadakan percobaan di laboratoriumnya—kauingat...” “Ya. Dia menyebut-nyebut soal tes Marsh untuk arsenik. Dia bilang kau tahu semua tentang tes itu—bahwa ini bidangmu—lalu tertawa kecil. Dia takkan berkata begitu seandainya dia mau berpikir sejenak...” Evans menyelanya. “Maksudmu dia takkan berkata begitu seandainya dia tahu. Pasangan itu sudah menikah berapa lama—enam tahun katamu? Aku berani bertaruh dia sama sekali tidak tahu istrinya adalah Mrs. Anthony yang sangat terkenal itu.” “Dan dia pasti takkan mengetahuinya dari mulutku,” sahut Kapten Haydock kaku. Evans tidak memedulikannya dan melanjutkan, “Kau baru saja menyelaku. Sesudah tes Marsh itu, Merrowdene memanaskan zat kimia itu dalam tabung percobaan. Residu logamnya dilarutkan dalam air yang lalu diendapkan dengan cara membubuhkan perak nitrat. Ini tes untuk unsur khlorat. Tes kecil yang rapi dan sederhana. Tapi kebetulan aku membaca tulisan ini di buku yang terbuka di atas meja: ‘H2SO4 mengurai khlorat dengan evolusi CL4O2. Bila dipanaskan akan terjadi ledakan keras; karena itu campuran ini harus disimpan di tempat sejuk dan digunakan dalam jumlah sangat kecil.’” Haydock menatap lurus ke sahabatnya. “Nah, bagaimana menurutmu?” “Cuma ini. Dalam profesiku, kami juga punya beberapa tes—tes untuk melacak pembunuhan. Misalnya menggabungkan fakta-fakta—menimbangnya, memecah-mecah sisanya saat kau membiarkan prasangka muncul, juga ketidaktepatan para saksi. Tapi ada satu tes lagi dalam menghadapi kasus pembunuhan—tes yang cukup akurat, tapi agak... berbahaya! Pembunuh jarang merasa puas dengan satu kejahatan. Berikan waktu dan tidak adanya kecurigaan, maka dia akan melakukan kejahatan lagi. Kau menangkap seseorang—apakah dia membunuh istrinya atau tidak?—boleh jadi kasusnya tidak terlalu memberatkan dirinya. Periksalah masa lalunya—bila kau mendapati dia pernah punya beberapa istri—dan kita katakan saja mereka semua meninggal... dengan cara tidak biasa?—maka barulah kau tahu! Aku tidak bicara dari segi hukum. Aku bicara tentang kepastian secara moral. Sekali kau tahu, kau bisa melanjutkan dengan mencari bukti.” “Lalu?” “Aku sudah hampir sampai ke tujuan. Itu bagus-bagus saja kalau memang ada masa lalu yang bisa ditelusuri. Tapi bagaimana seandainya kau menangkap si pembunuh pada kejahatan pertamanya? Maka dari tes itu kau takkan mendapatkan reaksi. Tapi misalnya tahanan itu dibebaskan—dan dia memulai hidup baru dengan menggunakan nama lain. Apakah si pembunuh ini akan mengulangi kejahatannya?” “Ini gagasan yang mengerikan!” “Apa kau masih berani bilang ini bukan urusan kita?” “Betul. Kau tidak punya alasan untuk menganggap Mrs. Merrowdene bukan wanita yang sama sekali tak bersalah.” Mantan inspektur itu terdiam sesaat. Setelah itu ia berkata perlahan, “Sudah kukatakan kita menelusuri masa lalunya dan tidak menemukan apa pun. Ini tidak sepenuhnya benar. Dia pernah punya ayah tiri. Ketika masih berusia delapan belas tahun, dia tertarik pada seorang laki-laki muda—dan ayah tirinya memanfaatkan wewenangnya untuk memisahkan mereka. Dia berjalan-jalan bersama ayah tirinya melintasi tebing berbahaya. Kemudian terjadilah kecelakaan—sang ayah tiri berjalan terlampau dekat dengan tepi jurang... yang longsor hingga laki-laki itu terjerumus dan tewas.” “Kau tidak menganggap...” “Itu kecelakaan. Kecelakaan! Arsenik melebihi takaran yang ditelan Anthony adalah kecelakaan. Perempuan itu takkan pernah diadili kalau saja tidak ada orang lain waktu itu—tapi dia mengubah pernyataannya. Tampaknya dia tidak puas seperti tim juri. Dengar, Haydock, selama wanita itu terkait, aku khawatir akan terjadi... kecelakaan lagi!” Kapten tua itu angkat bahu. “Sudah berlalu sembilan tahun sejak perkara itu. Mengapa sekarang harus terjadi ‘kecelakaan’ lain seperti katamu tadi?” “Aku tidak bilang sekarang. Aku bilang suatu hari nanti. Bila timbul motif yang diperlukan.” Kapten Haydock angkat bahu lagi. “Hm, aku tidak tahu bagaimana kau bisa mencegah hal itu terjadi.” “Aku juga tidak tahu,” ujar Evans sedih. “Aku tidak akan turut campur,” ujar Kapten Haydock. “Tak ada gunanya mencampuri urusan orang lain.” Namun nasihat ini tidak cocok bagi mantan inspektur itu. Dia orang yang sabar tapi bertekad kuat. Ia meninggalkan rumah sahabatnya, melangkah menuju desa, dan memikirkan bagaimana bisa bertindak dengan sukses. Ketika berbelok ke kantor pos untuk membeli prangko, ia berpapasan dengan objek perhatiannya, George Merrowdene. Mantan profesor kimia ini laki-laki kecil dengan pandangan menerawang, sikapnya lembut dan ramah, dan biasanya linglung. Ia mengenali orang yang bersenggolan dengannya tadi dan menyapanya dengan ramah, sambil membungkuk untuk memungut surat-surat yang terjatuh. Evans juga membungkuk, dan dengan gerakan lebih sigap ia merapikan dulu tumpukan surat yang dipungutnya, lalu mengembalikannya pada si empunya sambil meminta maaf. Sementara melakukan itu, ia melirik amplop-amplop yang dipegangnya. Mendadak rasa curiganya tergugah kembali saat melihat alamat yang tertera di amplop paling atas. Di situ tertera nama perusahaan asuransi ternama. Tekadnya sudah bulat. George Merrowdene yang lugu itu nyaris tidak menyadari sama sekali bagaimana bisa sampai terjadi ia dan mantan inspektur itu sama-sama berjalan ke desa, lebih-lebih bagaimana percakapan mereka bisa berkisar soal asuransi jiwa. Evans tidak kesulitan mencapai tujuannya. Atas kemauan sendiri, Merrowdene memberikan informasi bahwa ia baru saja mengasuransikan jiwanya untuk kepentingan istrinya, dan menanyakan pendapat Evans tentang perusahaan bersangkutan. “Saya sudah melakukan beberapa investasi yang agak bodoh,” jelasnya. “Akibatnya, penghasilan saya berkurang. Seandainya terjadi sesuatu pada diri saya, nasib istri saya akan buruk sekali. Asuransi ini akan membereskan segalanya.” “Istri Anda tidak keberatan dengan ide ini?” tanya Evans santai. “Ada beberapa wanita yang tidak menyukainya. Mereka merasa seperti mengundang kesialan—atau semacamnya.” “Oh, Margaret orang yang sangat praktis,” ujar Merrowdene sambil tersenyum. “Dia sama sekali tidak percaya takhayul. Bahkan sebenarnya ide ini datang darinya. Dia tidak suka melihat saya cemas.” Evans sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Tak lama kemudian ia meninggalkan sang profesor dengan bibir terkatup rapat. Mr. Anthony telah mengasuransikan diri untuk kepentingan istrinya beberapa minggu sebelum kematiannya. Karena terbiasa mengandalkan nalurinya, Evans merasa sangat yakin. Tapi bagaimana akan bertindak, itu soal lain. Ia tidak ingin menangkap basah si pelaku kejahatan, ia hanya ingin mencegah terjadinya kejahatan, dan ini tugas yang sangat berbeda dan jauh lebih sulit. Sepanjang hari itu ia banyak merenung. Sore itu akan diadakan pesta Primrose League Fête di lahan tuan tanah setempat, dan Evans menghadirinya. Ia menikmati permainan dengan koin, menebak berat badan babi, melempar kelapa, dan semua ini dilakukannya dengan wajah penuh konsentrasi. Ia bahkan menghabiskan uang sebanyak setengah crown atau dua setengah shilling di Zara, ahli nujum Crystal Gazer, sambil tersenyum sendiri saat teringat aktivitasnya melawan para ahli nujum ketika masih bekerja. Evans tidak begitu memerhatikan alunan suara ahli nujum yang naik-turun itu—sampai akhir kalimatnya menarik perhatiannya. “...Dan tak lama lagi—sungguh tak lama lagi—Anda akan terlibat masalah antara hidup dan mati... Hidup atau matinya seseorang.” “Eh... apa kata Anda tadi?” Evans langsung bertanya. “Suatu keputusan—Anda harus membuat keputusan. Anda harus sangat berhati-hati—sangat, sangat berhati-hati... Bila Anda melakukan kesalahan—kesalahan terkecil sekalipun...” “Ya?” Ahli nujum itu bergidik. Inspektur Evans tahu semua ini omong kosong belaka, tapi bagaimanapun juga ia merasa terkesan. “Aku peringatkan Anda—jangan sampai melakukan kesalahan. Kalau Anda sampai melakukannya, aku melihat akibatnya dengan sangat jelas—kematian...” Aneh, luar biasa aneh. Bayangkan, dia bisa meramalkan hal itu! “Bila aku melakukan kesalahan, akibatnya kematian? Betul?” “Ya.” “Kalau begitu,” ujar Evans sambil bangkit berdiri dan menyerahkan uang setengah crown, “aku tidak boleh melakukan kesalahan, eh?” Ia mengucapkannya dengan santai, tapi saat melangkah keluar dari tenda peramal, rahangnya terkatup dengan tekad bulat. Mudah dikatakan—tapi tidak semudah itu melakukannya. Ia tidak boleh terpeleset sedikit pun. Hidup orang yang sangat rentan bergantung padanya. Dan tak seorang pun bisa membantunya. Ia memandang sosok Haydock sahabatnya dari kejauhan. Dia pun tidak bisa membantu. “Jangan turut campur,” adalah motto Haydock. Dan motto itu tidak berlaku di sini. Haydock sedang berbincang dengan seorang wanita. Perempuan itu meninggalkan Haydock dan melangkah ke arah Evans yang langsung mengenalinya. Wanita itu Mrs. Merrowdene. Evans sengaja menempatkan diri di jalur yang akan dilewati wanita itu. Mrs. Merrowdene lumayan cantik. Alisnya lebar, mata cokelatnya sangat indah, dan ekspresi wajahnya tenang. Penampilannya mirip madona Itali, lebih-lebih karena ia membelah rambutnya di tengah dan menyangkutkannya di belakang telinga. Suaranya berat mendayu. Ia tersenyum pada Evans, senyuman puas yang mengundang. “Saya sudah mengira itu Anda, Mrs. Anthony—maksud saya, Mrs. Merrowdene,” sapa Evans lancar. Ia memang sengaja “keseleo lidah”, sambil memerhatikan wanita itu dengan tidak kentara. Mata wanita itu melebar dan napasnya sedikit tersengal. Tetapi tatapannya tetap tajam. Ia menatap Evans dengan angkuh. “Saya sedang mencari-cari suami saya,” ujarnya tenang. “Apa Anda melihatnya?” “Terakhir kali saya melihatnya, dia sedang berada di sebelah sana.” Mereka berjalan berdampingan menuju arah yang ditunjuk Evans, sambil mengobrol dengan santai. Sang inspektur semakin kagum. Benar-benar wanita yang luar biasa! Begitu menguasai diri. Sikapnya begitu anggun. Wanita yang mengagumkan—dan sangat berbahaya. Evans masih sangat gelisah, meskipun ia puas dengan langkah awalnya. Ia telah menunjukkan pada wanita itu bahwa ia mengenalinya. Ini akan membuatnya waspada. Ia takkan berani bertindak gegabah. Masalahnya adalah Merrowdene. Bila ia bisa diperingatkan... Mereka menjumpai laki-laki kecil itu sedang memandang linglung boneka yang didapatnya dari permainan dengan koin. Sang istri mengajaknya pulang, dan ia menerima ajakan itu dengan senang hati. Mrs. Merrowdene berpaling pada sang inspektur. “Bagaimana kalau Anda ikut bersama kami dan minum-minum teh, Mr. Evans?” Benarkah ada nada menantang samar-samar dalam suara wanita itu? Evans merasa memang ada. “Terima kasih, Mrs. Merrowdene. Saya senang sekali.” Mereka berjalan bertiga sambil mengobrol santai tentang hal-hal umum. Matahari bersinar cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, pemandangan di sekeliling mereka menyenangkan dan biasa-biasa saja. Pelayan mereka sedang berada di pesta, Mrs. Merrowdene menjelaskan ketika mereka tiba di pondok bergaya kuno yang memesona itu. Mrs. Merrowdene masuk kamar untuk menanggalkan topinya, lalu kembali untuk menyiapkan teh dan merebus air dalam ceret di atas lampu perak kecil. Ia mengambil tiga mangkuk kecil dan cawan dari rak dekat perapian. “Kami punya teh Cina yang sangat istimewa,” jelasnya. “Dan kami selalu meminumnya dengan gaya Cina—dari mangkuk, bukan cangkir.” Ia berhenti bicara, melihat ke bagian dalam salah satu mangkuk, dan menukarnya dengan mangkuk lain sambil berseru kesal. “George—kau ini keterlaluan. Kau sudah menggunakan mangkuk-mangkuk ini lagi.” “Maafkan aku, Sayang,” sahut sang profesor. “Ukurannya pas sekali. Mangkuk-mangkuk yang kupesan belum tiba.” “Suatu hari nanti kau bisa meracuni kita semua,” ujar istrinya sambil tertawa kecil. “Mary menemukan mangkuk-mangkuk ini di laboratorium dan membawanya kemari. Dia tidak pernah mau repot-repot mencucinya, kecuali ada sesuatu yang terlihat jelas di dalamnya. Waktu itu kau bahkan menggunakan salah satunya untuk kalium sianida. Sungguh, George, ini benar-benar berbahaya.” Merrowdene tampak agak kesal. “Mary tidak punya urusan untuk memindahkan barang-barang dari laboratorium. Dia tidak boleh menyentuh apa pun di situ.” “Tapi kita sering meninggalkan cangkir teh kita di situ. Bagaimana dia bisa tahu? Bersikaplah masuk akal, Sayang.” Profesor itu masuk ke laboratorium sambil bergumam sendiri, dan sambil tersenyum Mrs. Merrowdene menuangkan air mendidih ke atas daun teh, dan meniup nyala api lampu perak kecil itu. Evans menjadi bingung. Namun mendadak ia mengerti. Karena alasan tertentu, Mrs. Merrowdene sedang menunjukkan niatnya. Apakah ini yang akan dijadikannya “kecelakaan”? Apakah ia sengaja membicarakan semua ini untuk mempersiapkan alibinya? Agar suatu hari nanti, saat “kecelakaan” itu terjadi, Evans terpaksa menunjukkan bukti yang menguntungkan wanita itu. Bila memang demikian, dia sungguh bodoh, sebab sebelum itu... Tiba-tiba Evans tersentak. Perempuan itu telah menuangkan teh ke dalam ketiga mangkuk itu. Sebuah diletakkan di depan Evans, sebuah di depan dirinya sendiri, dan yang sebuah diletakkan di meja kecil di samping perapian, dekat kursi yang biasanya ditempati sang suami. Saat meletakkan mangkuk terakhir ini, bibirnya seakan tersenyum aneh. Senyuman inilah yang memastikan. Evans tahu! Wanita yang luar biasa—wanita yang berbahaya. Tidak perlu menunggu lagi—tidak butuh persiapan. Sore ini—sore ini juga—dengan dirinya sebagai saksi. Kenekatan tindakan itu membuatnya terperangah. Benar-benar pintar—sangat pintar. Ia takkan dapat membuktikan apa pun. Perempuan itu memperhitungkan bahwa Evans takkan curiga—semata-mata karena kejadiannya “secepat itu”. Wanita dengan kecepatan seperti kilat dalam berpikir dan bertindak. Evans menghela napas dalam-dalam sambil mencondongkan badan ke depan. “Mrs. Merrowdene, saya orang yang punya gagasan-gagasan agak ganjil. Maukah Anda berbaik hati mengabulkan salah satu darinya?” Pandangan wanita itu penuh tanda tanya, tapi tidak curiga. Evans bangkit berdiri, mengambil mangkuk teh di depan wanita itu, melangkah menuju meja kecil tadi, lalu menukar mangkuk di atasnya dengan yang dipegangnya. Ia membawa mangkuk ini, lalu meletakkannya di depan perempuan itu. “Saya ingin melihat Anda meminum teh ini.” Mata wanita itu menatap mata Evans lurus-lurus dengan pandangan tak bisa ditebak. Perlahan-lahan wajahnya berubah pucat pasi. Ia mengulurkan tangan dan mengangkat mangkuk itu. Evans menahan napas. Bagaimana seandainya selama ini ia keliru? Wanita itu membawa mangkuknya ke bibir—dan pada saat terakhir tubuhnya menggigil, condong ke depan, dan dengan cepat ia menuang isi mangkuk itu ke pot bunga berisi tanaman pakis. Setelah itu ia duduk bersandar dan menatap Evans dengan sikap menantang. Evans menghela napas panjang dengan lega, dan duduk kembali. “Bagaimana?” ujar perempuan itu. Suaranya sudah berubah. Sedikit mengejek—menantang. Dengan tenang dan muram Evans menjawab, “Anda wanita yang sangat pintar, Mrs. Merrowdene. Saya rasa Anda memahami saya. Jangan sampai... terulang kembali. Anda paham maksud saya?” “Saya tahu maksud Anda.” Suaranya terdengar datar, tanpa ekspresi. Evans mengangguk puas. Dia wanita yang cerdas, dan ia tidak mau dihukum gantung. “Demi umur panjang Anda dan suami Anda,” ujar Evans tegas, dan mengangkat mangkuk tehnya ke bibir. Kemudian wajahnya berubah. Parasnya menyeringai mengerikan... ia berusaha bangkit—untuk berteriak... Tubuhnya kaku—wajahnya berubah ungu. Ia terjengkang di kursinya—anggota badannya kejang-kejang. Mrs. Merrowdene membungkuk ke depan sambil memerhatikan korbannya. Senyuman kecil mengembang di wajahnya. Ia berbisik pada Evans—sangat lirih dan lembut. “Anda melakukan kesalahan, Mr. Evans. Anda menyangka saya ingin membunuh George... Betapa bodohnya Anda—betapa sangat bodohnya.” Ia tetap duduk beberapa saat sambil menatap laki-laki yang tak bernyawa itu, laki-laki ketiga yang telah menjadi ancaman baginya dan bisa memisahkan dirinya dari laki-laki yang dicintainya. Senyumannya melebar. Wajahnya semakin mirip dengan madona. Setelah itu ia mengeraskan suara dan memanggil-manggil, “George, George! ...Oh, cepat ke sini! Aku takut telah terjadi kecelakaan mengerikan... Mr. Evans yang malang...” JANE MENCARI PEKERJAAN JANE CLEVELAND membalik-balik halaman koran Daily Leader, lalu menghela napas. Desah yang keluar dari relung hati paling dalam. Dengan kesal ia menatap meja pualam, telur rebus, roti panggang di atasnya, dan teko teh kecil itu. Bukannya ia tidak lapar. Sebaliknya, Jane sangat lapar. Saat itu ia merasa sanggup melahap satu setengah pon daging panggang lengkap dengan keripik kentang, dan mungkin juga buncis Prancis. Lalu ditutup dengan minum anggur yang lebih menggairahkan daripada teh. Tapi para wanita muda yang kondisi keuangannya payah memang tidak bisa rewel. Jane masih cukup beruntung sanggup memesan telur rebus dan seteko teh. Besok ia mungkin sudah tidak mampu melakukannya lagi. Kecuali... Ia kembali membuka halaman iklan di Daily Leader. Jelasnya, Jane sedang menganggur, dan kondisinya semakin gawat saja. Induk semang di pondokannya yang kumuh sudah memandangnya tak senang. “Padahal,” kata Jane dalam hati, sambil mengangkat dagu dengan dongkol, seperti kebiasaannya, “padahal aku cerdas, cantik, dan terpelajar. Apa lagi yang kurang?” Menurut Daily Leader, orang sepertinya menginginkan juru tulis steno berpengalaman, manajer perusahaan yang punya modal untuk diinvestasikan, kaum wanita yang bisa berbagi keuntungan dalam usaha peternakan ayam (lagi-lagi diperlukan sedikit modal di sini), dan sejumlah besar juru masak, pelayan rumah tangga, dan pramuwisma—terutama pramuwisma. “Aku tidak keberatan menjadi pramuwisma,” ujar Jane dalam hati. “Tapi lagi-lagi takkan ada yang mau. menerimaku tanpa pengalaman. Aku bisa saja pergi ke suatu tempat, sebagai Gadis Muda Penurut—tapi mereka tidak menggaji para gadis muda penurut.” Ia menghela napas lagi, meletakkan surat kabar itu di depannya, dan melahap telur rebusnya dengan semangat orang muda yang sehat. Selesai menelan suap terakhir, ia membalik koran itu, lalu membaca kolom Derita dan Pribadi sambil menghirup tehnya. Kolom Derita selalu jadi pengharapan terakhir. Andai ia memiliki beberapa ribu pound, masalahnya akan terpecahkan dengan mudah. Setidaknya ada tujuh peluang unik—semuanya menjanjikan paling sedikit tiga ribu pound setahun. Jane mengerutkan bibir. “Kalau aku punya dua ribu pound,” gumamnya, “takkan mudah mengambilnya dariku.” Ia mengamati iklan-iklan kolom itu dengan cepat sampai ke baris paling bawah, lalu mengangkat mata kembali dengan kepiawaian yang lahir dari latihan cukup lama. Ada wanita yang menjual pakaian bekas dengan harga sangat rendah. “Gaun-gaun wanita yang sudah diteliti”. Kemudian ada para pria yang bersedia membeli APA PUN—terutama GIGI. Lalu ada beberapa wanita bangsawan yang akan ke luar negeri dan ingin melepas mantel-mantel bulu mereka dengan harga tidak masuk akal. Ada juga pendeta yang sedang kesulitan, janda yang hidupnya susah, serta perwira cacat, yang semuanya membutuhkan sejumlah uang, mulai dari lima puluh sampai dua ribu pound. Dan mendadak Jane tersentak. Ia meletakkan cangkir tehnya dan membaca iklan itu berkali-kali. “Di dalamnya pasti ada udang di balik batu,” gumamnya. “Selalu ada udang di balik batu dalam hal-hal semacam ini. Aku harus berhati-hati. Tapi...” Iklan yang sangat menggugah rasa ingin tahu Jane Cleveland itu berbunyi sebagai berikut: Dicari wanita muda berusia pirang, alis dan bulu mata 167,5 cm, kemampuan meniru Endersleigh Street, antara antara 25 sampai 30 tahun, memiliki mata biru tua, rambut hitam, hidung lurus, potongan tubuh langsing, tinggi badan mimik dan berbahasa Prancis, bersedia datang ke 7 pukul 17.00 sampai 18.00. Ada pekerjaan menarik untuknya. “Iklan berbahaya untuk perempuan-perempuan lugu,” gumam Jane. “Aku harus sangat berhati-hati. Tapi untuk profesi semacam itu, persyaratan yang ditentukan terlalu banyak. Aku jadi bertanya-tanya sekarang... Biar kuteliti daftar persyaratan tadi.” Jane menelitinya. “Antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun—umurku dua puluh enam. Mata biru tua, cocok. Rambut pirang—alis dan bulu mata hitam—semua oke. Hidung lurus? Y-ya—setidaknya cukup lurus. Hidungku tidak bengkok atau menjungkit. Dan potongan badanku langsing— bahkan untuk zaman susah seperti sekarang. Tinggi badanku cuma 165 cm—tapi aku bisa saja memakai sepatu hak tinggi. Aku memang pandai menirukan mimik—tidak istimewa, tapi aku bisa menirukan suara orang, dan aku mampu berbahasa Prancis dengan fasih, atau seperti wanita Prancis tulen. Yang jelas, aku pasti yang terbaik. Mereka akan melonjak kegirangan bila aku muncul. Jane Cleveland, maju dan menanglah.” Dengan tegas Jane merobek iklan itu dan menyimpannya di tasnya. Setelah itu ia meminta bon dengan kelincahan baru dalam suaranya. Pukul lima kurang sepuluh menit, Jane mengintai di lingkungan Endersleigh Street, jalan sempit yang diapit dua jalan lebih lebar di lingkungan Oxford Circus. Memang kurang menarik, tapi cukup terhormat. Rumah No. 7 sepertinya tidak berbeda dengan tetangga-tetangga lainnya. Bentuk bangunannya mirip perkantoran. Namun saat mendongak, Jane menyadari untuk pertama kali bahwa ia bukan satu-satunya gadis dengan mata biru, rambut pirang, hidung lurus, tubuh langsing, dan berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun. Ternyata London penuh dengan gadis-gadis seperti itu, dan setidaknya empat puluh sampai lima puluh dari mereka berkumpul di luar Endersleigh Street No. 7. “Persaingan ketat,” ujar Jane. “Sebaiknya aku segera bergabung dalam antrean.” Jane ikut antre tepat ketika tiga gadis lain muncul di sudut jalan. Di belakang mereka beberapa gadis mengikut. Jane menghibur diri dengan memerhatikan para gadis yang berdiri paling dekat dengannya. Pada setiap gadis ia berhasil menemukan kekurangan—bulu mata pirang dan bukannya hitam, mata yang lebih mirip kelabu daripada biru, rambut pirang buatan dan bukannya alami, berbagai variasi bentuk hidung, dan bentuk tubuh yang hanya bisa disebut langsing oleh mereka yang cukup bermurah hati. Semangat Jane melambung. “Aku percaya peluangku sama besarnya dengan siapa saja,” gumamnya sendiri. “Aku penasaran, apa artinya semua ini? Membentuk paduan suara yang anggotanya cantikcantik?” Antrean berjalan maju dengan lambat namun pasti. Tak lama kemudian mengalirlah serangkaian gadis dari dalam rumah. Ada yang membuang muka dengan angkuh, ada juga yang tersenyum sinis. “Ditolak,” ujar Jane senang. “Semoga tempatnya tidak terisi penuh sebelum aku masuk.” Barisan maju terus. Ada yang melirik cemas ke cermin kecil dan membedaki hidung sebisabisanya. Belum lagi lipstik yang dioleskan dengan royal. “Andai aku punya topi yang lebih keren,” pikir Jane sedih. Akhirnya tiba juga gilirannya. Di dalam rumah tampak pintu kaca di satu sisi dengan tulisan Messrs. Cuthbertsons tertera di atasnya. Melalui pintu kaca inilah para pelamar lewat satu per satu. Giliran Jane tiba. Ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk. Di dalam terdapat kantor bagian luar yang rupanya disediakan bagi para juru tulis. Di ujungnya terdapat pintu kaca lain. Jane dipersilakan memasuki pintu ini. Sekarang ia berada di ruangan yang lebih kecil. Di dalamnya ada meja tulis besar, dan di balik meja duduk pria berusia pertengahan dengan mata tajam dan kumis tebal yang tampak agak asing. Ia memandang Jane, lalu menunjuk pintu sebelah kiri. “Silakan menunggu di situ,” ujarnya singkat. Jane menurut. Ruangan itu ternyata sudah ada yang menempati. Lima gadis duduk tegak di situ, saling memelototi pesaingnya. Jelas bagi Jane bahwa ia telah dimasukkan golongan kandidat yang paling berpeluang, dan semangatnya semakin melambung. Bagaimanapun, ia terpaksa mengakui bahwa kelima gadis ini memiliki peluang sama dengan dirinya, sejauh persyaratan yang tercantum dalam iklan itu. Waktu berjalan terus. Sudah jelas para gadis yang mengalir melintasi kantor bagian dalam itu cukup banyak. Sebagian besar dipersilakan keluar lewat pintu lain yang menuju koridor, tapi sesekali masuk calon lain yang membuat kelompok ini semakin banyak saja. Pukul setengah tujuh sudah terkumpul empat belas gadis di ruangan itu. Jane mendengar suara-suara orang dari kantor bagian dalam, setelah itu pria berwajah asing yang diam-diam dijulukinya “Sang Kolonel” berkat kumis khas militer itu pun muncul di pintu. “Saya akan menemui Anda sekalian satu per satu,” ia menyampaikan. “Silakan masuk sesuai urutan.” Jane mendapat urutan keenam. Dua puluh menit berlalu sebelum ia dipanggil masuk. “Sang Kolonel” berdiri dengan kedua tangan di balik punggung. Ia menguji Jane dengan cepat, termasuk kemampuannya berbahasa Prancis, lalu mengukur tinggi tubuhnya. “Ada kemungkinan, Mademoiselle,” ujarnya dalam bahasa Prancis, “bahwa Anda memang cocok. Saya tidak tahu. Tapi mungkin saja.” “Apa tugas saya, kalau saya boleh bertanya?” tanya Jane terus terang. Laki-laki itu hanya angkat bahu. “Saya belum bisa menyampaikannya sekarang. Bila Anda terpilih, barulah Anda bisa tahu.” “Kelihatannya misterius sekali,” Jane menyatakan keberatan. “Saya tidak mungkin menerima sesuatu tanpa mengetahui perinciannya. Kalau saya boleh bertanya, apakah ini ada hubungannya dengan panggung?” “Panggung? Tentu saja tidak.” “Oh!” sahut Jane tercengang. Pria itu menatapnya tajam. “Anda memiliki kecerdasan, bukan? Dan kebijaksanaan?” “Tentu saja,” ujar Jane tenang. “Bagaimana dengan bayarannya?” “Bayarannya akan mencapai dua ribu pound—untuk bekerja selama dua minggu.” “Oh!” ujar Jane lirih. Ia sangat tercengang mendengar besarnya jumlah tadi, hingga sulit mencernanya dalam sekejap. Kolonel itu melanjutkan pembicaraannya. “Saya sudah memilih wanita muda lain. Anda dan dia sama-sama sesuai untuk tugas ini. Mungkin saja ada beberapa lagi yang belum saya lihat. Saya akan memberikan instruksi selanjutnya pada Anda. Anda tahu Harridge’s Hotel?” Jane tersentak. Di Inggris ini siapa pula yang tidak tahu Harridge’s Hotel? Penginapan terkenal yang berlokasi di jalan samping Mayfair, tempat para tokoh terkemuka dan bangsawan biasa datang dan pergi. Baru pagi tadi Jane membaca berita tentang kedatangan Grand Duchess Pauline dari Ostrova. Beliau datang untuk meresmikan bazar guna membantu para pengungsi Rusia, dan tentu saja menginap di Harridge’s. “Ya,” sahut Jane, menjawab pertanyaan sang Kolonel. “Bagus sekali. Pergilah ke sana. Mintalah berjumpa dengan Count Streptitch. Berikan kartu nama Anda—Anda punya kartu nama?” Jane mengeluarkan sehelai. Kolonel itu menerimanya, lalu mencoretkan huruf P kecil di sudutnya. Ia mengembalikan kartu itu pada Jane. “Tanda itu menjamin bahwa Count Streptitch akan menjumpai Anda. Dia akan tahu sayalah yang mengirim Anda. Keputusan terakhir ada di tangannya—dan tangan satu orang lagi. Bila dia menganggap Anda cocok, dia akan menjelaskan semuanya pada Anda, dan Anda bisa menerima atau menolak tawarannya. Cukup memuaskan?” “Sangat memuaskan,” jawab Jane. “Sejauh ini,” gumamnya saat berada di jalan kembali, “aku tidak melihat udang di balik batu. Tapi bagaimanapun, pasti ada. Tidak ada yang namanya mendapat uang dengan cumacuma. Ini pasti kejahatan! Tidak bisa tidak.” Semangatnya melambung. Secara umum Jane tidak begitu menentang kejahatan. Belakangan ini koran-koran penuh dengan berita tentang para bandit perempuan. Jane bahkan sudah mempertimbangkan dengan serius untuk menjadi bandit seandainya tak ada jalan lain lagi. Ia memasuki gerbang eksklusif Harridge’s dengan agak ragu bercampur takut. Ia semakin berharap punya topi baru. Tapi dengan tabah ia melangkah menuju meja, mengeluarkan kartu namanya, dan menanyakan Count Streptitch dengan sikap percaya diri. Ia merasa juru tulis itu menatapnya ingin tahu. Namun ia menerima kartu itu dan memberikannya pada seorang pesuruh, berikut beberapa instruksi yang tidak tertangkap oleh Jane. Sebentar kemudian pesuruh itu kembali, dan Jane diminta mengikutinya. Mereka naik lift, dan menyusuri koridor menuju pintu besar yang lalu diketuk oleh pesuruh tadi. Sesaat kemudian Jane sudah berada di ruangan luas, berhadapan dengan pria jangkung kurus dengan janggut pirang; pria itu memegang kartu nama Jane di tangannya yang putih dan tampak tak bertenaga. “Miss Jane Cleveland,” ia membaca perlahan-lahan. “Saya Count Streptitch.” Bibirnya tiba-tiba terbuka seakan tersenyum, memamerkan dua baris gigi putih dan rapi. Namun senyumannya tidak mengandung keceriaan sedikit pun. “Saya mengerti Anda melamar pekerjaan sebagai tanggapan atas iklan kami,” lanjut Count Streptitch. “Kolonel Kranin yang baik mengirim Anda kemari.” “Ternyata dia memang kolonel,” Jane membatin, merasa senang dengan kecerdasannya, tapi ia cuma mengangguk. “Anda mau memaafkan bila saya mengajukan beberapa pertanyaan?” Ia tidak menunggu jawaban Jane, tapi melanjutkan dengan memberikan uraian yang mirip sekali dengan yang diberikan Kolonel Kranin. Jawaban-jawaban Jane tampaknya cukup memuaskan. Ia mengangguk sekali-dua kali. “Sekarang, Mademoiselle, saya minta Anda berjalan ke pintu dan kembali lagi perlahanlahan.” “Mungkin mereka ingin aku jadi peragawati,” pikir Jane sambil menuruti permintaan tadi. “Tapi peragawati takkan dibayar dua ribu pound. Biarpun begitu, mungkin sebaiknya aku tidak bertanya dulu.” Count Streptitch mengerutkan dahi. Jari-jarinya yang putih mengetuk-ngetuk meja. Mendadak ia bangkit berdiri, dan setelah membuka pintu penghubung dengan ruangan sebelah, ia berbicara pada seseorang di dalamnya. Setelah itu ia kembali ke kursinya, dan seorang wanita pendek setengah baya masuk dari pintu itu, lalu menutupnya kembali. Perawakannya gemuk dan wajahnya luar biasa jelek, namun sikapnya seperti orang yang sangat penting. “Nah, Anna Michaelovna,” ujar count itu. “Bagaimana pendapat Anda mengenai nona ini?” Wanita itu memandangi Jane dari ujung rambut sampai ujung kaki, seakan gadis itu patung lilin di pameran. Ia sama sekali tidak menyapa Jane. “Mungkin dia cocok,” akhirnya ia berkata. “Memang tidak persis sama. Tapi bentuk tubuh maupun warnanya sangat bagus, lebih bagus daripada yang lain. Menurut Anda bagaimana, Feodor Alexandrovitch?” “Saya sependapat dengan Anda, Anna Michaelovna.” “Bisakah dia berbahasa Prancis?” “Bahasa Prancis-nya bagus sekali.” Jane semakin merasa seperti patung. Kedua orang ini seakan tidak ingat bahwa ia manusia. “Tapi apakah dia mampu menyimpan rahasia?” tanya wanita itu sambil mengerutkan kening. “Ini Putri Poporensky,” ujar Count Streptitch pada Jane dalam bahasa Prancis. “Dia menanyakan apakah Anda mampu menyimpan rahasia?” Jane menyampaikan jawabannya pada sang putri. “Sebelum posisi saya dijelaskan, saya tidak bisa berjanji apa pun.” “Apa yang dikatakan gadis ini benar,” komentar wanita itu. “Saya rasa dia cerdas, Feodor Alexandrovitch—lebih cerdas daripada yang lain. Katakan padaku, gadis kecil, apa Anda juga punya keberanian?” “Entahlah,” jawab Jane bingung. “Saya memang tidak suka disakiti, tapi saya bisa menanggungnya.” “Ah! Maksud saya bukan begitu. Anda tidak keberatan menghadapi bahaya, bukan?” “Oh!” sahut Jane. “Bahaya! Tidak mengapa. Saya suka bahaya.” “Dan Anda miskin? Anda ingin dapat banyak uang?” “Silakan coba,” jawab Jane bersemangat. Count Streptitch dan Putri Poporensky bertukar pandang. Kemudian mereka mengangguk serempak. “Apakah saya sebaiknya menjelaskan semuanya, Anna Michaelovna?” tanya count itu. Putri itu menggeleng. “Tuan Putri ingin melakukannya sendiri.” “Itu tidak perlu—dan tidak bijaksana.” “Bagaimanapun, itulah perintahnya. Saya harus mengantar gadis ini begitu Anda selesai dengannya.” Count Streptitch angkat bahu. Ia jelas tidak senang, tapi juga jelas tidak berniat melanggar perintah. Ia berpaling pada Jane. “Putri Poporensky akan mengantar Anda pada Tuan Putri Grand Duchess Pauline. Jangan takut.” Jane sama sekali tidak takut. Ia justru senang akan diperkenalkan pada grand duchess sungguhan. Tidak ada sikap Sosialis dalam diri Jane. Saat itu ia bahkan telah melupakan soal topinya. Putri Poporensky berjalan di depan dengan langkah-langkah gontai berwibawa. Mereka melintasi ruangan penghubung tadi yang merupakan semacam ruang tamu, dan putri itu mengetuk pintu di seberang ruangan. Terdengar jawaban dari dalam. Putri itu membuka pintu, lalu masuk, diikuti Jane tepat di belakangnya. “Izinkan saya memperkenalkan pada Anda, Madame,” ujar putri itu dengan khidmat, “Miss Jane Cleveland.” Wanita muda yang tadinya duduk di kursi besar di seberang ruangan melompat berdiri dan berlari menghampiri. Ia menatap Jane lurus-lurus untuk beberapa saat, lalu tertawa riang. “Ini benar-benar luar biasa, Anna,” sahutnya. “Aku tidak menyangka kita akan berhasil. Ayo, mari kita bercermin bersama-sama.” Sambil menggandeng Jane, ia mengajak gadis itu berdiri di depan cermin besar yang tergantung di dinding. “Kaulihat?” serunya gembira. “Benar-benar cocok!” Setelah memandang Grand Duchess Pauline sekilas, Jane mulai paham. Sang Grand Duchess mungkin lebih tua satu-dua tahun daripada Jane. Warna rambutnya sama, demikian juga potongan tubuhnya yang langsing. Boleh jadi ia sedikit lebih tinggi. Setelah berdiri berdampingan, kemiripan mereka sangat jelas. Warna setiap detail pun nyaris sama. Grand Duchess bertepuk tangan. Sepertinya ia wanita muda yang sangat ceria. “Tidak bisa lebih baik lagi,” ujarnya. “Kau harus mengucapkan selamat pada Feodor Alexandrovitch untukku, Anna. Dia melakukan tugasnya dengan sangat baik.” “Sampai saat ini, Madame,” gumam putri itu lirih, “gadis ini tidak tahu apa yang diharapkan darinya.” “Betul,” ujar sang Grand Duchess yang sudah agak lebih tenang. “Aku lupa. Hm, aku akan menjelaskan padanya. Tinggalkan kami, Anna Michaelovna.” “Tapi, Madame...” “Tinggalkan kami, kataku.” Ia mengentakkan kaki dengan marah. Dengan enggan Anna Michaelovna meninggalkan ruangan. Grand Duchess itu duduk dan mempersilakan Jane berbuat sama. “Perempuan-perempuan tua ini membuat saya kesal,” komentar Pauline. “Tapi mereka dibutuhkan. Anna Michaelovna lebih baik daripada yang lain. Baiklah, Miss—ah, ya, Miss Jane Cleveland. Saya suka nama itu. Anda tampak simpatik. Saya bisa langsung tahu bila melihat orang simpatik.” “Anda cerdas sekali, Ma’am,” ujar Jane, bercakap untuk pertama kalinya. “Saya memang cerdas,” sahut Pauline tenang. “Baiklah, saya akan menjelaskan semuanya pada Anda. Bukan berarti banyak yang perlu dijelaskan. Anda tentunya tahu sejarah Ostrova. Nyaris seluruh sanak keluarga saya sudah tiada—dibantai Komunis. Boleh jadi sayalah satu-satunya keturunan terakhir. Saya wanita, jadi tidak mungkin menduduki takhta. Anda mungkin menyangka mereka takkan mengganggu saya. Tapi tidak, ke mana pun saya pergi, selalu saja ada usaha untuk membunuh saya. Gila, bukan? Para bedebah vodka ini tidak pernah tahu batas-batas.” “Saya mengerti,” ujar Jane, merasa ada yang diharapkan darinya. “Saya lebih banyak menjalani hidup tanpa tugas—hingga saya bisa berjaga-jaga, tapi adakalanya saya harus ambil bagian dalam upacara-upacara di depan umum. Contohnya, sementara berada di sini, saya harus menghadiri beberapa upacara semipublik. Begitu pula di Paris dalam perjalanan pulang nanti. Saya memiliki estat di Hongaria. Olahraga di sana benar-benar luar biasa.” “Sungguh?” ujar Jane. “Istimewa. Saya sangat menyukai olahraga. Selain itu—sebenarnya saya tidak boleh menyampaikannya pada Anda, tapi tetap akan saya lakukan, sebab wajah Anda begitu simpatik—di situ sedang dibuat rencana—dengan diam-diam tentu saja. Secara keseluruhan, penting sekali saya jangan sampai terbunuh dalam waktu dua minggu mendatang ini.” “Tapi tentunya polisi...,” kata Jane. “Polisi? Oh, ya, saya percaya mereka sangat andal. Dan kami pun demikian—kami punya mata-mata. Ada kemungkinan saya akan diperingatkan bila usaha pembunuhan akan dilaksanakan. Tapi mungkin juga tidak.” Ia angkat bahu. “Saya mulai paham,” ujar Jane perlahan. “Anda ingin saya menggantikan Anda?” “Hanya dalam kesempatan tertentu,” ujar Grand Duchess itu bersemangat. “Anda harus siap di suatu tempat, paham? Saya mungkin akan membutuhkan Anda dua, tiga, atau empat kali dalam dua minggu mendatang ini. Setiap kali dalam kesempatan upacara di depan umum. Dengan sendirinya Anda tidak bisa menggantikan tempat saya dalam pertemuan-pertemuan pribadi.” “Tentu saja,” Jane menyetujui. “Anda benar-benar cocok. Pintar juga Feodor Alexandrovitch karena terpikir memasang iklan, bukan?” “Bagaimana seandainya saya terbunuh?” tanya Jane. Sang Grand Duchess angkat bahu. “Sudah tentu risiko itu ada, tapi menurut informasi dari pihak kami, mereka ingin menculik saya, bukan langsung membunuh saya. Tapi saya akan berterus terang—tidak tertutup kemungkinan mereka akan melemparkan bom.” “Saya mengerti,” ujar Jane. Ia mencoba menirukan sikap santai Pauline. Ia sangat ingin membicarakan soal bayarannya, namun tidak tahu cara terbaik untuk mengungkapkannya. Tapi Pauline yang lebih dulu menyinggung hal itu. “Kami akan membayar Anda dengan pantas, tentu saja,” ujarnya santai. “Saya tidak ingat persis berapa jumlah yang disarankan Feodor Alexandrovitch. Ketika itu kami membicarakannya dalam mata uang franc atau kronen.” “Kolonel Kranin,” ujar Jane, “menyebutkan dua ribu pound.” “Itu dia,” sahut Pauline gembira. “Sekarang saya ingat. Saya harap jumlah itu cukup memadai? Atau Anda lebih senang menerima tiga ribu?” “Hm,” ujar Jane, “bila tak ada bedanya bagi Anda, saya lebih suka menerima tiga ribu.” “Saya lihat Anda berjiwa bisnis,” ujar Grand Duchess itu ramah. “Seandainya saya juga begitu. Tapi saya sama sekali tidak paham soal nilai uang. Apa yang saya inginkan akan saya dapatkan. Itu saja.” Bagi Jane ini sikap berpikir yang sederhana sekaligus mengagumkan. “Dan sudah tentu, seperti Anda katakan tadi, tugas ini mengandung bahaya,” Pauline melanjutkan dengan prihatin. “Meskipun menurut saya, Anda tidak takut bahaya. Saya sendiri seperti itu. Saya harap Anda tidak menganggap saya pengecut karena menginginkan Anda menggantikan saya. Begini, bagi Ostrova, sangatlah penting saya harus menikah dan melahirkan setidaknya dua anak laki-laki. Setelah itu, tak jadi soal apa yang terjadi dengan saya.” “Saya mengerti,” sahut Jane. “Dan Anda menerimanya?” “Ya,” kata Jane tegas. “Saya menerimanya.” Pauline bertepuk tangan penuh semangat. Putri Poporensky langsung muncul. “Aku sudah menceritakan semua padanya, Anna,” ujar Grand Duchess. “Dia akan melakukan apa yang kita inginkan, dan dia akan mendapat tiga ribu pound. Sampaikan pada Feodor untuk mencatat hal ini. Dia sangat mirip denganku, bukan? Tapi kurasa dia lebih cantik dariku.” Putri Poporensky melangkah gontai keluar ruangan, dan kembali bersama Count Streptitch. “Kami sudah mengatur segalanya, Feodor Alexandrovitch,” kata sang Grand Duchess. Count Streptitch membungkuk. “Saya penasaran, apakah dia sanggup memainkan perannya?” ia bertanya sambil menatap Jane ragu. “Akan saya tunjukkan pada Anda,” sahut gadis itu tiba-tiba. “Bila Anda mengizinkannya, Ma’am?” ujarnya pada Grand Duchess. Yang disebut belakangan ini mengangguk senang. Jane bangkit berdiri. “Tapi ini benar-benar luar biasa, Anna,” ujarnya. “Aku tidak menyangka kita akan berhasil. Ayo, mari kita bercermin bersama-sama.” Dan, sama seperti yang tadi dilakukan Pauline, Jane menggandeng dan menarik Grand Duchess itu ke cermin. “Kaulihat? Benar-benar cocok!” Kata-kata, gaya, maupun sikap Jane sangat mirip dengan sambutan Pauline. Putri Poporensky mengangguk dan mendengus tanda setuju. “Bagus,” komentarnya. “Itu akan mengecoh kebanyakan orang.” “Anda pintar sekali,” ujar Pauline kagum. “Saya takkan mampu menirukan siapa pun demi menyelamatkan nyawa.” Jane memercayainya. Ia sendiri kagum melihat Pauline begitu mirip dengannya. “Anna akan mengurus detail-detailnya dengan Anda,” ujar Grand Duchess. “Ajak dia ke kamar tidurku, Anna, dan minta dia mencoba beberapa pakaianku.” Ia berpamitan dengan mengangguk anggun, dan Jane diantar Putri Poporensky. “Gaun ini akan dikenakan Tuan Putri ke bazar terbuka nanti,” jelas wanita tua itu sambil memegang sehelai gaun terbuka berwarna hitam-putih. “Acaranya berlangsung selama tiga hari. Boleh jadi Anda perlu menggantikan tempatnya di situ. Kami tidak tahu. Kami belum menerima informasi.” Sesuai permintaan Anna, Jane menanggalkan pakaiannya sendiri yang kumal dan mencoba gaun tadi. Ternyata pas sekali. Wanita itu mengangguk puas. “Nyaris sempurna—hanya sedikit terlalu panjang untuk Anda, sebab Anda lebih pendek satu inci daripada Tuan Putri.” “Itu mudah diatasi,” sahut Jane cepat. “Saya lihat Grand Duchess mengenakan sepatu bertumit rendah. Bila saya mengenakan sepatu serupa tapi bertumit tinggi, takkan ada masalah.” Anna Michaelovna menunjukkan sepatu yang biasanya dipakai Grand Duchess dengan gaun itu. Sepatu kulit biawak dengan tali melintang. Jane mengingat-ingat modelnya, dan akan mengusahakan sepasang dengan model sama, tapi dengan tumit lebih tinggi. “Akan lebih baik bila Anda mengenakan gaun dengan warna dan bahan khusus yang berbeda dari gaun Tuan Putri,” ujar Anna Michaelovna. “Jadi, saat Anda harus segera menggantikan tempatnya, hal ini takkan mudah diketahui.” Jane berpikir sejenak. “Bagaimana dengan gaun crepe merah manyala? Dan mungkin saya akan mengenakan kacamata biasa. Ini akan sangat mengubah penampilan.” Kedua saran itu disetujui, dan mereka membicarakan detail-detail selanjutnya. Jane meninggalkan hotel itu dengan lembaran-lembaran uang seratus pound di dompetnya, berikut instruksi untuk membeli pakaian yang diperlukan dan memesan kamar di Blitz Hotel atas nama Miss Montresor dari New York. Dua hari setelah itu, Count Streptitch mengunjunginya. “Sungguh transformasi yang bagus,” katanya sambil membungkuk. Jane membalasnya dengan membungkuk juga. Ia sangat menikmati pakaian-pakaian baru dan kehidupan mewah yang dijalaninya. “Semua ini sangat menyenangkan,” desahnya. “Tapi saya rasa kedatangan Anda ini berarti saya harus bekerja untuk mendapatkan uang saya.” “Benar. Kami sudah mendapat informasi. Kemungkinan akan ada usaha penculikan atas Tuan Putri dalam perjalanan pulang dari bazar, yang seperti Anda ketahui akan diadakan di Orion House, lima belas kilometer dari London. Tuan Putri terpaksa menghadiri bazar itu secara pribadi, mengingat Countess Anchester yang menyelenggarakan acara itu mengenalnya secara pribadi juga. Tapi berikut ini rencana yang sudah saya atur.” Jane menyimak dengan cermat saat ia menjelaskan. Jane mengajukan beberapa pertanyaan, dan akhirnya menyatakan ia sudah memahami perannya. Cuaca keesokan harinya sangat cerah—hari yang sempurna untuk salah satu acara besar dalam London Season, bazar di Orion House, yang diselenggarakan oleh Countess Anchester untuk membantu para pengungsi Ostrovia di negeri ini. Mengingat iklim Inggris yang tidak menentu, bazar itu akan diadakan di ruangan-ruangan luas Orion House, yang sudah dimiliki para Earl Anchester selama lima ratus tahun. Berbagai koleksi telah dipinjamkan, dan ada ide menarik berupa pemberian dari seratus tokoh wanita yang menyumbangkan sebutir mutiara dari kalung masing-masing. Setiap butir akan dilelang pada hari kedua. Selain itu juga ada berbagai tontonan dan atraksi di lahan sekelilingnya. Jane tiba lebih awal dengan menyamar sebagai Miss Montresor. Ia mengenakan gaun merah manyala dari bahan crepe, dan topi kecil berwarna merah. Sepatunya terbuat dari kulit biawak, dan bertumit tinggi. Kedatangan Grand Duchess Pauline disambut meriah. Ia dikawal menuju panggung dan menerima buket bunga mawar yang diserahkan seorang anak kecil. Ia memberikan sambutan singkat namun menawan, lalu meresmikan pembukaan bazar. Count Streptitch dan Putri Poporensky mendampinginya. Grand Duchess mengenakan gaun yang telah dilihat Jane, dengan corak hitam-putih yang jelas, topi kecil berwarna hitam dengan sejumlah besar bunga osprey putih yang menjuntai dari tepinya, serta sehelai cadar renda yang menutupi separo wajahnya. Jane tersenyum sendiri. Grand Duchess berkeliling mengunjungi setiap stan, membeli beberapa benda, dan bersikap ramah terhadap semuanya. Setelah itu ia bersiap-siap meninggalkan tempat. Jane langsung menangkap isyaratnya. Ia meminta izin bertemu dengan Putri Poporensky dan diperkenalkan pada Grand Duchess. “Ah, ya!” ujar Pauline merdu. “Miss Montresor, saya ingat namanya. Dia wartawati Amerika. Dia sudah banyak membantu kita. Saya akan senang sekali memberinya waktu untuk wawancara bagi surat kabarnya. Apa ada tempat di mana kami tidak akan diganggu?” Sebuah ruang tamu kecil langsung disiapkan bagi Grand Duchess, dan Count Streptitch disuruh membawa masuk Miss Montresor. Setelah melaksanakan tugas itu, ia meninggalkan ruangan, Putri Poporensky tetap di dalam untuk membantu. Kedua wanita muda itu cepatcepat bertukar pakaian. Tiga menit kemudian, pintu terbuka kembali dan sang Grand Duchess pun muncul dengan memegang buket mawar di depan wajahnya. Sambil membungkuk anggun dan berpamitan kepada Lady Anchester dalam bahasa Prancis, ia melangkah keluar dan masuk ke mobil yang sudah menanti. Putri Poporensky mengambil tempat di sampingnya, dan mobil itu pun meluncur pergi. “Nah,” ujar Jane, “habis perkara. Saya ingin tahu bagaimana keadaan Miss Montresor.” “Takkan ada yang memerhatikannya. Dia bisa menyelinap pergi diam-diam.” “Betul,” ujar Jane. “Akting saya cukup bagus, bukan?” “Anda menjalankan peran Anda dengan sangat meyakinkan.” “Mengapa Count Streptitch tidak bersama kita?” “Dia terpaksa tetap tinggal. Harus ada yang menjaga keselamatan Tuan Putri.” “Saya harap takkan ada yang melemparkan bom,” ujar Jane khawatir. “Hei! Kita meninggalkan jalan utama. Untuk apa?” Sambil menambah kecepatan, mobil itu melesat memasuki jalan kecil. Jane terlonjak dan melongokkan kepala ke luar jendela, memprotes sang sopir yang hanya tertawa sambil menambah kecepatan. Jane bersandar di tempat duduknya kembali. “Mata-mata Anda benar,” katanya sambil tergelak. “Kita memang diperlukan. Saya rasa, semakin lama kita mengulur waktu, semakin aman bagi Grand Duchess. Bagaimanapun, kita harus memberinya cukup waktu untuk kembali ke London dengan selamat.” Mengingat prospek adanya bahaya, semangat Jane melambung. Ia tidak menyukai bom, tapi petualangan semacam ini cocok bagi nalurinya. Mendadak mobil itu berhenti dengan rem berderit. Seorang laki-laki melompat ke pijakan. Di tangannya tampak sepucuk pistol. “Angkat tangan,” gertaknya. Putri Poporensky langsung mengangkat tangan, tapi Jane hanya melontarkan pandangan meremehkan padanya, dan tetap berpangku tangan. “Tanyakan apa maksudnya dengan kekonyolannya itu,” ujarnya dalam bahasa Prancis kepada teman seperjalanannya. Namun sebelum Putri Poporensky sempat membuka mulut, orang tadi menyela. Ia memuntahkan serangkaian kata dalam bahasa asing. Karena tidak mengerti sepatah kata pun, Jane cuma angkat bahu sambil berdiam diri. Sang sopir turun dari tempat duduknya dan bergabung dengan laki-laki tadi. “Apakah Nona yang mulia berkenan turun?” pinta pria itu sambil tersenyum lebar. Sambil mengangkat buket bunganya ke wajah, Jane melangkah keluar dari mobil, diikuti Putri Poporensky. “Apakah Nona yang mulia mau berjalan kemari?” Jane tidak mengindahkan sikap melecehkan orang itu, tapi atas kemauannya sendiri ia berjalan menuju rumah beratap rendah, sekitar sembilan puluh meter dari tempat mobil itu berhenti. Jalan itu merupakan cul-de-sac yang berakhir di gerbang dan jalan masuk yang menuju bangunan yang sepertinya tidak berpenghuni itu. Orang yang masih juga menodongkan pistolnya, mendekati kedua wanita itu. Saat mereka menapaki anak tangga, ia mendahului dan membuka lebar pintu di sebelah kiri. Ruangan itu ternyata kosong, dan hanya berisi meja dengan dua kursi yang rupa-rupanya baru saja dibawa ke situ. Jane masuk, lalu duduk. Anna Michaelovna mengikutinya. Pria itu mengempaskan pintu dan menguncinya. Jane berjalan menuju jendela dan melihat ke luar. “Saya bisa saja melompat ke luar,” komentarnya. “Tapi saya takkan bisa pergi jauh-jauh. Tidak, sementara ini kita harus tetap di sini dan berusaha memanfaatkan situasi sebaikbaiknya. Saya ingin tahu, apakah mereka akan membawakan makanan untuk kita?” Sekitar setengah jam kemudian, pertanyaannya terjawab. Semangkuk besar sup mengepul dibawa masuk dan diletakkan di meja tepat di hadapannya. Selain itu ada dua potong roti kering. “Sepertinya bukan makanan mewah bagi bangsawan,” komentar Jane riang saat pintu ditutup dan dikunci kembali. “Anda mau memulainya, atau saya saja?” Dengan rasa jijik Putri Poporensky menolaknya. “Bagaimana mungkin saya bisa makan? Siapa tahu bahaya apa yang mengintai majikan saya?” “Dia pasti baik-baik saja,” ujar Jane. “Diri sayalah yang sedang saya khawatirkan. Orang-orang ini takkan senang saat mengetahui mereka telah menculik orang yang salah. Mereka akan sangat tidak senang. Saya akan mempertahankan peran anggun Grand Duchess selama mungkin, dan langsung kabur begitu ada kesempatan.” Putri Poporensky diam saja. Jane yang memang lapar, langsung melahap habis sup itu. Rasanya sedikit aneh, tetapi hangat dan lezat. Setelah itu ia merasa mengantuk. Putri Poporensky seakan menangis diam-diam. Jane berusaha duduk senyaman mungkin di kursinya yang tidak nyaman itu, dan membiarkan kepalanya terkulai. Ia pun tertidur. *** Mendadak Jane terbangun. Rasanya ia telah tidur sangat lama. Kepalanya terasa berat dan pusing. Dan tiba-tiba ia melihat sesuatu yang membuatnya tersentak. Ia sudah mengenakan gaun crepe merahnya kembali. Ia duduk tegak dan memandang berkeliling. Ya, ia masih berada di ruangan dalam rumah kosong itu. Semuanya masih sama seperti saat ia jatuh tertidur tadi, kecuali dua hal. Pertama, Putri Poporensky sudah tidak duduk di kursi satunya. Kedua, pergantian kostum yang tak dapat dijelaskan. “Aku tidak mungkin bermimpi,” gumam Jane. “Seandainya bermimpi, aku takkan berada di sini.” Ia menoleh ke arah jendela, dan menyadari fakta lain yang mencolok. Ketika ia jatuh tertidur, matahari bersinar masuk melalui jendela. Sekarang rumah ini melemparkan bayang-bayang tajam di jalan masuk yang bermandikan cahaya matahari. “Rumah ini menghadap ke barat,” ia mengingat-ingat. “Hari menjelang sore saat aku tertidur. Berarti sekarang keesokan paginya. Sup itu pasti telah diberi obat tidur. Karena itu... oh, entahlah. Semua ini begitu gila.” Ia bangkit, lalu melangkah ke pintu yang ternyata tidak terkunci. Ia menyelidiki rumah itu. Sunyi dan kosong. Jane memegangi kepalanya yang berdenyut dan mencoba berpikir. Tiba-tiba ia melihat sehelai koran robek tergeletak di dekat pintu. Judul berita utamanya tercetak dengan huruf besar dan menarik perhatiannya. “Bandit Perempuan dari Amerika di Inggris,” ia membaca. “Gadis Bergaun Merah. Perampokan Sensasional di Bazar Orion House.” Jane melangkah tergopoh-gopoh menuju cahaya matahari di luar. Duduk di anak tangga sambil membaca, matanya semakin terbelalak lebar. Fakta-faktanya singkat dan ringkas. Tepat setelah Grand Duchess Pauline meninggalkan tempat, tiga pria dan seorang gadis bergaun merah mengeluarkan pistol masing-masing dan merampok pengunjung dengan sukses. Mereka merampas keseratus butir mutiara itu dan kabur dengan mobil balap besar. Sampai saat ini, mereka belum berhasil ditangkap. Di rubrik stop press (koran itu edisi malam) tercantum bahwa “gadis bergaun merah” itu menginap di Blitz dengan nama Miss Montresor dari New York. “Aku tertipu,” ujar Jane. “Tertipu mentah-mentah. Sejak awal aku sudah tahu ada udang di baliknya.” Kemudian ia tersentak. Terdengar bunyi aneh. Suara pria yang mengutarakan satu perkataan berulang kali. “Sialan,” katanya. “Sialan.” Dan sekali lagi, “Sialan!” Mendengar suara itu, Jane tergetar. Suara itu begitu mengekspresikan perasaannya sendiri. Ia berlari menuruni anak tangga. Di sudutnya tergeletak seorang laki-laki muda. Ia berusaha keras mengangkat kepalanya dari tanah. Di mata Jane, wajah pria itu salah satu wajah paling tampan yang pernah dilihatnya. Wajahnya berbintik-bintik dan ekspresinya agak kebingungan. “Sialan kepalaku,” keluhnya. “Sialan. Aku...” Ia terhenti dan menatap Jane. “Aku pasti sedang bermimpi,” katanya lirih. “Itu juga yang kukatakan tadi,” sahut Jane. “Tapi kita tidak bermimpi. Ada apa dengan kepala Anda?” “Seseorang memukul kepalaku. Untung saja batok kepalaku tebal.” Dengan susah payah ia duduk sambil menyeringai kesakitan. “Kurasa otakku sebentar lagi akan mulai berfungsi. Rupanya aku masih berada di tempat yang sama.” “Bagaimana Anda bisa sampai kemari?” tanya Jane penuh rasa ingin tahu. “Ceritanya panjang. Omong-omong, Anda bukan Grand Duchess itu, kan?” “Bukan. Aku Jane Cleveland saja.” “Setidaknya Anda bukan gadis ala kadarnya,” sahut laki-laki muda itu sambil menatapnya kagum. Jane tersipu. “Seharusnya aku mengambilkan air atau sesuatu, bukan?” tanya Jane ragu. “Biasanya begitulah,” orang itu mengiyakan. “Bagaimanapun, aku lebih suka wiski kalau Anda bisa menemukannya.” Jane tidak berhasil menemukan wiski. Pria muda itu meneguk air dengan lahap, lalu menyatakan keadaannya sudah membaik. “Apakah aku akan menceritakan petualanganku, atau Anda lebih dulu?” “Anda dulu.” “Pengalamanku tidak begitu berarti. Aku kebetulan melihat sang Grand Duchess masuk ke ruangan itu mengenakan sepatu bertumit rendah, dan keluar lagi dengan sepatu bertumit tinggi. Bagiku ini agak janggal. Aku tidak suka hal-hal janggal. “Jadi, aku mengikuti mobil dengan sepeda motorku, dan melihat Anda dibawa masuk ke dalam rumah. Sekitar sepuluh menit kemudian, sebuah mobil balap besar melesat masuk. Seorang gadis bergaun merah melompat keluar, diikuti tiga pria. Gadis itu mengenakan sepatu berhak rendah. Mereka masuk ke rumah. Tak lama kemudian, si tumit rendah keluar lagi mengenakan gaun hitam-putih dan pergi mengendarai mobil pertama bersama perempuan tua dan laki-laki jangkung berjanggut pirang. Yang lain pergi dengan mobil balap tadi. Aku menyangka mereka sudah pergi semua, dan baru saja hendak masuk lewat jendela untuk menyelamatkan Anda ketika seseorang memukul kepalaku dari belakang. Itu saja. Sekarang giliran Anda.” Jane menceritakan pengalamannya. “Dan aku sungguh beruntung karena Anda menguntit,” ia mengakhiri kisahnya. “Sadarkah Anda seburuk apa keadaanku seandainya Anda tidak mengikuti? Grand Duchess itu akan mendapatkan alibi sempurna. Dia meninggalkan bazar sebelum perampokan itu terjadi, dan tiba di London dengan mobilnya sendiri. Siapa pula yang akan memercayai kisah fantastisku yang mustahil ini?” “Tidak ada,” sahut orang muda itu yakin. Mereka begitu tenggelam dalam kisah masing-masing, hingga tidak memerhatikan keadaan sekitar. Dengan terkejut mereka mendongak ke arah pria jangkung berwajah muram yang bersandar di dinding rumah. Pria itu mengangguk ke arah mereka. “Sangat menarik,” komentarnya. “Siapa Anda?” gertak Jane. Kedua mata pria berwajah muram itu berbinar sedikit. “Detektif Inspektur Farrel,” jawabnya lembut. “Saya sangat tertarik mendengar kisah Anda dan wanita muda ini. Kita mungkin akan sedikit sulit memercayai kisahnya, kalau bukan karena satu-dua hal.” “Seperti misalnya?” “Hm, begini. Pagi ini kami mendengar Grand Duchess yang asli telah kabur bersama sopirnya ke Paris.” Jane ternganga. “Kemudian kami tahu bahwa ‘bandit perempuan’ Amerika itu telah datang ke negeri ini, dan kami menyangka akan terjadi kudeta atau semacamnya. Kami akan segera menangkap mereka, itu bisa saya janjikan. Permisi sebentar.” Pria itu berlari masuk ke rumah. “Well!” seru Jane penuh semangat. “Kurasa Anda cerdas sekali karena memerhatikan sepatu itu,” katanya tiba-tiba. “Sama sekali tidak,” sahut laki-laki muda itu. “Aku dibesarkan di perusahaan sepatu. Ayahku semacam raja sepatu bot. Dia ingin aku juga terjun ke dalamnya—menikah dan menetap, dan seterusnya. Tepatnya, orang biasa-biasa saja—sekadar mengikuti prinsip. Tapi sebetulnya aku ingin jadi seniman.” Ia menghela napas. “Aku ikut prihatin,” ujar Jane ramah. “Aku sudah mencobanya selama enam tahun. Tak pelak lagi. Aku bukan pelukis hebat. Aku berniat meninggalkan profesi ini dan pulang seperti anak yang hilang itu. Jabatan bagus sudah menantiku.” “Senang ya kalau punya pekerjaan,” Jane mengiyakan dengan pandangan menerawang. “Bisakah Anda mencarikan aku pekerjaan, misalnya mencoba sepatu bot?” “Aku bisa menawarkan yang lebih baik—kalau Anda mau menerimanya.” “Oh, apa itu?” “Jangan pikirkan sekarang. Akan kusampaikan nanti. Anda tahu, sampai kemarin aku belum juga menemukan gadis yang ingin kunikahi.” “Kemarin?” “Di bazar. Kemudian aku melihatnya—satu-satunya si Dia!” Ia menatap Jane lurus-lurus. “Alangkah cantiknya bunga-bunga delphinum ini,” ujar Jane tergesa dengan pipi merah padam. “Ini bunga lupin,” kata orang muda itu. “Tidak jadi soal,” bisik Jane. “Sama sekali tidak,” orang muda itu mengiyakan. Dan ia pun bergeser mendekat. BUAH BERLIMPAH DI HARI MINGGU “WAH, sungguh, menurutku ini menyenangkan sekali,” kata Miss Dorothy Pratt untuk keempat kalinya. “Andai kucing tua itu bisa melihatku sekarang. Dia dan James-nya!” Julukan “kucing tua” yang disinggung dengan pedas tadi ditujukan pada Mrs. Mackenzie Jones, majikan Miss Pratt yang terhormat, yang punya pendirian keras tentang nama kecil mana saja yang sesuai bagi para pramuwisma; ia memilih memanggil Miss Pratt dengan nama Jane—nama kedua yang tidak disukai Miss Pratt. Teman Miss Pratt tidak segera menanggapi—alasannya sangat masuk akal. Bila Anda baru saja membeli mobil Baby Austin, tangan keempat, seharga dua puluh pound, dan baru dua kali mengendarainya di jalan, seluruh perhatian Anda harus terpusat pada tugas sulit menggunakan kedua tangan maupun kaki dalam keadaan darurat. “Hm—ah!” kata Mr. Edward Palgrove sambil mengerem, hingga menimbulkan bunyi derit mengerikan yang bisa membuat ngilu gigi para pengemudi sejati. “Hm, kau tidak banyak bicara, ya,” keluh Dorothy. Mr. Palgrove tidak perlu memberikan jawaban, karena saat itu ia dihujani sumpah serapah oleh pengemudi bus. “Wah, kasar sekali,” ujar Miss Pratt sambil membuang muka. “Coba kalau dia punya rem seperti ini,” ujar sang pacar kesal. “Apa rem mobilmu bermasalah?” “Kau bisa injak pedal ini sampai tua,” sahut Mr. Palgrove. “Tapi tidak akan bekerja.” “Oh, Ted, kau tidak bisa mengharapkan barang bagus untuk dua puluh pound. Bagaimanapun, kita sudah punya mobil betulan, jalan-jalan keluar kota pada Minggu sore, sama seperti orang-orang lain.” Terdengar lagi bunyi derit dan derak memekakkan telinga. “Ah,” ujar Ted dengan wajah merah penuh kemenangan. “Kedengarannya lebih bagus.” “Kau benar-benar pandai mengemudi,” ujar Dorothy kagum. Merasa disemangati oleh pujian itu, Mr. Palgrove mengebut melintasi Hammersmith Broadway, dan mendapat teguran keras dari polisi. “Ya ampun,” kata Dorothy, saat mereka meneruskan perjalanan menuju Hammersmith Bridge dengan terpukul. “Apa sih maunya para polisi itu. Mestinya mereka lebih ramah, apalagi mereka banyak mendapat sorotan belakangan ini.” “Lagi pula, aku tidak ingin lewat jalan ini,” sahut Edward sedih. “Aku ingin lewat Great West Road dan kabur dari situ.” “Lalu langsung masuk perangkap,” ujar Dorothy. “Itulah yang terjadi pada majikanku kemarin. Kena denda lima pound, ditambah ongkos.” “Sebenarnya polisi tidak sejelek itu,” bela Edward. “Mereka memang menyerang orangorang kaya. Bukannya membela. Aku kesal memikirkan orang-orang kaya yang bisa begitu saja membeli beberapa Rolls-Royce tanpa berkedip. Sungguh tidak masuk akal. Aku sama baiknya dengan mereka.” “Dan perhiasan mereka,” keluh Dorothy. “Lihat saja toko-toko perhiasan di Bond Street itu. Berlian, mutiara, dan entah apa lagi! Sedangkan aku cuma punya kalung mutiara Woolworth.” Dengan sedih Miss Pratt merenungkan nasibnya. Edward bisa kembali memusatkan perhatian pada kegiatan mengemudi. Mereka berhasil melintasi Richmond dengan aman. Perdebatan dengan polisi tadi telah menciutkan nyali Edward. Sekarang ia mengambil taktik yang paling tidak berisiko, yaitu mengikuti saja setiap mobil di depannya, setiap kali muncul kesempatan di tengah ramainya lalu lintas. Demikianlah, ia tiba di jalan pedesaan yang sangat didambakan banyak pengendara mobil. “Ternyata aku cukup cerdas juga bisa menemukan jalan ini,” Edward memuji dirinya sendiri. “Bagus sekali jalanan ini,” sahut Miss Pratt. “Dan astaga, di sana ada penjual buah juga.” Benar saja, di sebuah sudut terlihat meja kecil dengan keranjang buah di atasnya, dan spanduk bertulisan MAKANLAH LEBIH BANYAK BUAH. “Berapa?” tanya Edward khawatir, setelah menarik rem tangan berkali-kali agar mobilnya berhenti. “Buah arbeinya cantik,” ujar si penjual. Orang itu penampilannya tidak menyenangkan, dan suka mengerling. “Cocok sekali untuk Madam. Buah masak, baru dipetik. Ada buah ceri juga. Asli Inggris. Anda mau sekeranjang ceri, Madam?” “Kelihatannya cukup menarik,” ujar Dorothy. “Tepatnya, sangat cantik,” sahut laki-laki itu dengan suara parau. “Keranjang itu membawa keberuntungan, Madam.” Akhirnya ia mau menjawab pertanyaan Edward. “Dua shilling, Sir, sangat murah. Anda pasti akan berkata begitu bila tahu isi keranjang ini.” “Kelihatannya menarik sekali,” kata Dorothy. Edward menghela napas dan membayar dua shilling. Benaknya sibuk menghitung. Sesudah ini minum teh, beli bensin—kegiatan bermobil hari Minggu ini tidak bisa dikatakan murah, ini bagian terburuk dalam mengajak pergi gadis-gadis! Mereka selalu menginginkan apa pun yang mereka lihat. “Terima kasih, Sir,” ujar laki-laki dengan penampilan tidak menawan tadi. “Di dalam keranjang ceri itu ada sesuatu yang nilainya melebihi harga yang Anda bayar.” Edward menginjak pedal dengan keras, dan sang Baby Austin melonjak ke arah penjual ceri, bagaikan anjing marah. “Maaf,” kata Edward. “Saya lupa persnelingnya masuk.” “Kau harus lebih hati-hati, Sayang,” ujar Dorothy. “Kau bisa mencelakai dia.” Edward tidak menjawab. Sekitar tujuh ratus meter kemudian, mereka tiba di lokasi ideal di tepi sungai kecil. Austin itu ditinggalkan di tepi jalan, sedangkan Edward dan Dorothy duduk-duduk di tepi sungai sambil mengunyah ceri. Di kaki mereka tergeletak koran Minggu. “Ada berita apa?” kata Edward akhirnya, sambil meregangkan tubuh dan berbaring telentang, serta menutupi matanya dengan topi. Dorothy membaca sekilas judul-judul berita utama. “Istri yang Malang. Kisah Luar Biasa. Minggu Lalu Dua Puluh Delapan Orang Tenggelam. Laporan Kematian Pilot. Perampokan Perhiasan yang Menggemparkan. Kehilangan Kalung Batu Delima Senilai Lima Puluh Ribu Pound. Oh, Ted! Lima puluh ribu pound. Bayangkan saja!” Dorothy terus membaca. “Kalung tersebut terbuat dari dua puluh satu butir batu delima dengan ikatan platina, dan dikirim dengan pos tercatat dari Paris. Setiba di alamat, bingkisan itu ternyata hanya berisi beberapa butir batu kerikil, sedangkan kalung itu sendiri raib.” “Dicuri di pos,” ujar Edward. “Aku percaya pos di Prancis memang brengsek.” “Aku ingin bisa melihat kalung seperti itu,” kata Dorothy. “Berkilau bagai tetes-tetes darah—darah merpati, mereka menamakannya begitu. Aku penasaran, seperti apa rasanya punya benda seperti itu melingkar di leher.” “Hm, kau sepertinya takkan pernah tahu, gadisku,” canda Edward. Dorothy membuang muka. “Mengapa tidak? Hebat ya, gadis-gadis yang bisa berhasil dalam hidup. Aku mungkin akan jadi bintang panggung.” “Gadis-gadis yang tahu menjaga sikap takkan pernah bisa sukses,” kata Edward mengecilkan hati. Dorothy sudah membuka mulut untuk menjawab, tapi menahan diri, lalu bergumam, “Tolong cerinya.” “Aku sudah makan lebih banyak daripadamu,” komentar Dorothy. “Aku akan membagi yang tersisa dan... wah, apa itu di dasar keranjang?” Sementara berbicara, ia mengeluarkannya—seuntai kalung batu delima merah darah. Mereka berdua menatap takjub. “Katamu tadi di dalam keranjang?” Edward akhirnya berkata. Dorothy mengangguk. “Di dasarnya—di bawah buah ceri.” Lagi-lagi mereka saling menatap. “Menurutmu bagaimana kalung ini bisa berada di situ?” “Tak bisa kubayangkan. Sungguh aneh, Ted, tepat sesudah membaca beritanya di koran— tentang batu-batu delima itu.” Edward tertawa. “Kau tidak membayangkan sedang memegang lima puluh ribu pound, bukan?” “Aku cuma bilang sungguh aneh. Batu delima dengan ikatan platina. Platina adalah logam berwarna keperakan—seperti ini. Alangkah gemerlapnya, dan warnanya sangat cantik, kan? Ada berapa butir batu delima di kalung ini, ya?” Dorothy menghitung. “Aduh, Ted, ternyata tepat dua puluh satu butir.” “Tidak!” “Ya! Jumlah yang sama dengan yang ditulis di koran. Oh, Ted, apa menurutmu...” “Mungkin saja.” Tapi ia mengucapkannya dengan ragu. “Ada satu cara untuk mengetahuinya— dengan menggoreskannya di kaca.” “Itu kan untuk menguji berlian. Tapi, Ted, pria tadi terlihat aneh—si penjual buah— kelihatannya jahat. Dan anehnya, dia bilang di dalam keranjang ini ada sesuatu yang nilainya melebihi harga yang kita bayar.” “Ya, tapi, Dorothy, untuk apa dia memberi kita lima puluh ribu pound lebih?” Miss Pratt menggeleng dengan kecil hati. “Sepertinya memang tidak masuk akal,” akunya. “Kecuali bila polisi sedang mengejarnya.” “Polisi?” Wajah Edward langsung pucat. “Ya. Di koran tertulis ‘polisi menemukan petunjuk’.” Edward berkeringat dingin. “Aku tidak menyukai urusan ini, Dorothy. Bagaimana kalau polisi menangkap kita.” Dorothy menatapnya melongo. “Tapi kita tidak melakukan apa-apa, Ted. Kita menemukannya di dalam keranjang.” “Dan kisah itu akan terdengar konyol! Tidak mungkin.” “Memang agak tidak mungkin,” Dorothy mengakui. “Oh, Ted, apa menurutmu kalung ini benar yang ITU? Seperti dongeng saja!” “Menurutku ini bukan dongeng,” sergah Edward. “Bagiku, ini lebih mirip cerita tentang pahlawan yang dijebloskan ke penjara Dartmoor selama empat belas tahun karena tuduhan yang tidak adil.” Tapi Dorothy tidak mendengarkan. Ia telah memasang kalung itu di lehernya dan mengagumi penampilannya di cermin kecil yang diambilnya dari tas. “Sama seperti yang dikenakan seorang duchess,” gumamnya bahagia. “Aku tidak mau percaya,” ujar Edward keras. “Batu-batu itu cuma imitasi. Pasti imitasi.” “Benar, Sayang,” kata Dorothy, masih terkagum-kagum pada pantulan dirinya di cermin. “Mungkin sekali.” “Kemungkinan lain akan terlalu kebetulan.” “Darah merpati,” gumam Dorothy. “Ini benar-benar gila. Gila. Dengar, Dorothy, kau mendengarkan kata-kataku atau tidak?” Dorothy menyingkirkan cerminnya. Ia menoleh pada Edward, salah satu tangannya membelai batu-batu delima yang melingkari lehernya. “Bagaimana penampilanku?” Edward menatapnya, kegalauannya terlupakan. Ia belum pernah melihat Dorothy seperti ini. Ada aura kemenangan yang melingkupinya, semacam kecantikan agung yang baru pertama kali ini dilihatnya. Keyakinan bahwa dirinya mengenakan kalung senilai lima puluh ribu pound telah menyulap Dorothy Pratt menjadi wanita baru. Ia tampak tenang sekaligus angkuh, semacam gabungan Cleopatra, Semiramis, dan Zenobia. “Kau tampak... kau tampak... memesona,” ujar Edward khidmat. Dorothy tertawa, gelaknya pun sangat berbeda. “Dengar,” kata Edward. “Kita harus bertindak. Kita harus membawa kalung itu ke kantor polisi.” “Omong kosong,” sergah Dorothy. “Kau sendiri tadi bilang mereka takkan memercayaimu. Kau mungkin akan dipenjara atas tuduhan mencurinya.” “Tapi... tapi apa lagi yang bisa kita lakukan?” “Menyimpannya,” ujar Dorothy Pratt yang baru. Edward menatapnya nanar. “Menyimpannya? Kau sudah gila.” “Kita menemukannya, kan? Jadi, mengapa kita harus menganggap kalung ini berharga? Kita akan menyimpannya, dan aku akan mengenakannya.” “Dan polisi akan menangkapmu.” Dorothy mempertimbangkan kemungkinan ini sejenak. “Baiklah,” katanya. “Kita akan menjualnya. Dan kau bisa membeli satu mobil Rolls-Royce, atau dua, aku akan membeli perhiasan berlian dan beberapa cincin.” Edward masih saja melotot. Dorothy tidak sabar lagi. “Ini kesempatan—terserah kau mau mengambilnya atau tidak. Kita tidak mencurinya—aku takkan mau mencuri. Kalung ini datang sendiri pada kita, dan boleh jadi inilah satusatunya kesempatan kita memperoleh semua hal yang kita dambakan. Apa kau tidak punya nyali sedikit pun, Edward Palgrove?” Edward akhirnya mampu berbicara kembali. “Menjualnya, katamu? Tidak semudah yang kausangka. Setiap tukang emas pasti ingin tahu dari mana aku mendapatkan benda mewah ini.” “Kau tidak perlu membawanya ke tukang emas. Apa kau tidak pernah membaca cerita detektif, Ted? Kau harus membawanya ke ‘tukang tadah’, tentu saja.” “Dan bagaimana aku bisa kenal tukang tadah? Aku dibesarkan dalam keluarga baik-baik.” “Laki-laki harus tahu segalanya,” ujar Dorothy. “Untuk itulah mereka ada.” Edward menatap Dorothy. Gadis ini tetap tenang dan tidak mau menyerah. “Aku tidak percaya kau bisa berkata begitu,” ujar Edward lesu. “Kusangka kau punya lebih banyak keberanian.” Hening sejenak. Kemudian Dorothy bangkit berdiri. “Nah,” ujarnya ringan. “Sebaiknya kita pulang.” “Sambil mengenakan kalung itu di lehermu?” Dorothy melepaskan kalung itu, menatapnya khidmat, lalu memasukkannya ke dalam tas. “Sini,” kata Edward. “Berikan kalung itu padaku.” “Tidak.” “Ya, harus. Aku dibesarkan sebagai orang jujur, gadis manisku.” “Silakan melanjutkan sikap jujurmu. Kau tidak perlu berurusan dengan kalung ini.” “Ayolah, berikan padaku,” kata Edward serampangan. “Biar aku saja yang melakukannya. Aku akan menemukan tukang tadah. Seperti katamu tadi, inilah satu-satunya kesempatan kita. Kita mendapatkannya dengan jujur—membelinya seharga dua shilling. Sama seperti orang-orang terhormat yang membanggakan perolehan mereka dari belanja di toko antik.” “Itu dia!” seru Dorothy. “Oh, Edward, kau benar-benar hebat!” Dorothy menyerahkan kalung itu, dan Edward memasukkannya ke sakunya. Edward merasa bergelora, agung, dan sangat jantan! Dalam suasana seperti inilah ia menstarter Austinnya. Keduanya terlampau tegang untuk mengingat teh. Mereka kembali ke London dalam diam. Di salah satu persimpangan jalan, seorang polisi melangkah menuju mobil mereka, dan jantung Edward berdegup keras. Sungguh ajaib mereka bisa sampai dengan selamat. Kata-kata perpisahan Edward pada Dorothy masih diilhami semangat petualangan. “Kita akan membereskannya. Lima puluh ribu pound! Memang sepadan!” Malam itu ia bermimpi tentang panah-panah besar dan penjara Dartmoor, terbangun di pagi buta dengan mata cekung dan lesu. Ia harus keluar mencari tukang tadah—dan ia sama sekali tidak tahu caranya! Ia melaksanakan tugas di kantor dengan teledor, dan sebelum makan siang ia sudah kena teguran keras dua kali. Bagaimana cara menemukan tukang tadah? Edward berpendapat Whitechapel lingkungan yang tepat—atau mungkin Stepney? Setiba kembali di kantor, ada panggilan telepon untuknya. Terdengar suara Dorothy— tragis dan penuh air mata. “Kaukah itu, Ted? Aku menggunakan telepon majikanku, dan dia bisa masuk setiap saat. Aku harus berhenti bicara. Ted, kau belum melakukan apa pun, kan?” Edward menjawab belum. “Nah, dengarkan, Ted, jangan lakukan. Sepanjang malam tadi aku tidak bisa tidur. Benarbenar menyedihkan. Aku terus memikirkan ayat di Alkitab yang mengatakan kita tidak boleh mencuri. Aku pasti sudah gila kemarin—pasti. Kau takkan melakukan apa pun, benar kan, Ted, Sayang?” Apakah Mr. Palgrove merasa lega? Mungkin saja—tapi ia takkan mau mengakuinya begitu saja. “Kalau aku bilang akan membereskan sesuatu, aku akan melakukannya,” ujarnya dengan nada seperti Superman perkasa dan tatapan mata sekeras baja. “Oh, tapi, Ted, Sayang, jangan lakukan. Oh, Tuhan, dia datang. Dengar, Ted, nanti dia akan makan malam di luar. Aku bisa menyelinap keluar dan menemuimu. Jangan lakukan apa pun sampai kau berjumpa denganku. Jam delapan malam. Tunggu aku di sudut jalan.” Suara Dorothy berubah lembut. “Ya, Ma’am, saya rasa teleponnya salah sambung. Yang diinginkan, adalah Bloomsbury 0234.” Ketika Edward meninggalkan kantor pada pukul enam sore, sebuah judul berita utama menarik perhatiannya. PERAMPOKAN PERHIASAN. PERKEMBANGAN TERAKHIR Dengan tergesa ia menyodorkan uang satu penny. Terlindung aman dalam kereta api Tube, setelah berhasil mendapatkan tempat duduk dengan gesit, ia membaca korannya dengan teliti. Dengan mudah ia mendapatkan apa yang dicarinya. Sebuah siulan tertahan lolos dari bibirnya. “Ya... ampun...” Kemudian alinea lain yang berdekatan menarik perhatiannya. Selesai membaca berita itu, ia menjatuhkan korannya ke lantai. Tepat pukul delapan malam, Edward sudah menanti di tempat sesuai janji. Dorothy yang terengah-engah, tampak pucat namun cantik, bergegas menemuinya. “Kau belum melakukan apa-apa, Ted?” “Aku belum melakukan apa pun.” Ia mengeluarkan kalung batu delima itu dari sakunya. “Kau boleh mengenakannya.” “Tapi, Ted...” “Polisi sudah menemukan batu-batu delima itu—termasuk orang yang mencurinya. Sekarang bacalah ini!” Edward menyodorkan sehelai guntingan koran ke bawah hidung Dorothy yang lalu membacanya, TRIK PERIKLANAN GAYA BARU Sebuah siasat periklanan baru yang cerdik telah dijalankan oleh All-English Fivepenny Fair yang berniat menantang perusahaan Woolworth yang terkenal itu. Kemarin telah dijual sejumlah keranjang buah yang selanjutnya akan dijual setiap hari Minggu. Dalam setiap lima puluh keranjang, salah satunya berisi kalung terbuat dari berbagai batu permata imitasi. Untuk harga yang dipungut, kalung-kalung ini sangat indah. Kemarin sambutan yang diperoleh sungguh sangat meriah, dan hari Minggu depan, semboyan MAKANLAH LEBIH BANYAK BUAH akan menjadi mode yang digemari. Kami mengucapkan selamat pada Fivepenny Fair atas ide mereka, dan mendoakan sukses besar bagi kampanye mereka untuk Membeli Barang-Barang Asli Inggris. “Well...” ujar Dorothy. Dan sesaat kemudian, “Well!” “Ya,” kata Edward. “Aku merasakan hal yang sama.” Seorang pria yang melintas memberikan sehelai kertas pada Edward. “Ambillah selembar, saudaraku,” ujarnya. “Perempuan yang saleh lebih berharga daripada permata batu delima.” “Nah!” kata Edward. “Kuharap ini bisa membangkitkan semangatmu.” “Entahlah,” sahut Dorothy ragu. “Aku tidak begitu ingin tampak seperti perempuan saleh.” “Memang tidak,” ujar Edward. “Itu sebabnya laki-laki itu memberikan kertas ini padaku. Dengan rentetan batu delima yang melingkari lehermu itu, kau sama sekali tidak tampak seperti perempuan saleh.” Dorothy tertawa. “Kau memang manis, Ted,” ujarnya. “Ayo, mari kita pergi menonton bioskop.” PETUALANGAN MR. EASTWOOD Mr. EASTWOOD menatap langit-langit. Setelah itu ia menunduk menatap lantai. Dari situ matanya perlahan-lahan beralih ke dinding kanan. Kemudian dengan mendadak ia kembali memusatkan perhatian pada mesin tik di hadapannya. Lembaran kertas putih bersih itu hanya dinodai sebuah judul dengan huruf-huruf besar. MISTERI MENTIMUN KEDUA. Judul yang menarik. Anthony Eastwood merasa siapa pun yang membaca judul itu pasti tergugah rasa ingin tahunya dan terpukau. “Misteri Mentimun Kedua,” mereka akan berkata. “Tentang apa gerangan isi ceritanya? Sebuah mentimun? Mentimun kedua? Aku harus membaca cerita ini.” Mereka akan tergetar dan terpukau pada keahlian sempurna pakar kisah fiksi detektif ini dalam merajut alur cerita yang seru seputar buah yang sederhana ini. Bagus sekali. Anthony Eastwood tahu seperti apa kisah itu seharusnya—masalahnya, ia tidak mampu meneruskannya. Dua unsur penting dalam cerita adalah judul dan alurnya— sisanya sekadar pekerjaan persiapan. Adakalanya judulnya sendiri akan membawa penulis pada alurnya, dan selanjutnya semua berjalan lancar—tapi dalam kasus ini, judul tadi tetap saja menghiasi bagian atas lembaran kertas, sedangkan sisanya tetap kosong tanpa alur cerita. Lagi-lagi tatapan mata Anthony Eastwood terarah pada langit-langit, lantai, dan kertas pelapis dinding, mencari ilham, namun tetap saja tidak ada hasilnya. “Aku akan memberi nama Sonia pada tokoh wanitanya,” gumam Anthony untuk menyemangati dirinya. “Sonia atau mungkin Dolores—dengan kulit putih bersih bagaikan gading—bukan pucat karena kesehatan yang buruk, dan mata sedalam telaga yang tak terukur. Tokoh prianya kunamai George, atau mungkin John—nama singkat dan khas Inggris. Kemudian ada si tukang kebun—kurasa dalam kisah ini harus ada tukang kebunnya, karena bagaimanapun, alurnya tentang mentimun—tukang kebun itu bisa saja orang Skotlandia, dan kelewat pesimis memikirkan datangnya es yang terlalu dini.” Adakalanya metode seperti ini membawa hasil, tapi pagi ini, cara itu sepertinya sia-sia saja. Meskipun Anthony bisa melihat tokoh-tokoh Sonia, George, dan tukang kebun yang menggelikan itu dengan cukup jelas, mereka tidak menunjukkan minat sedikit pun untuk bergerak aktif dan melakukan berbagai hal. “Aku bisa saja menggantinya dengan pisang,” pikir Anthony putus asa. “Atau selada, atau toge Brussel—toge Brussel, bagaimana kira-kira? Kode rahasia yang cocok untuk Brussels— surat obligasi curian—Baron dari Belgia yang menakutkan.” Untuk sesaat secercah cahaya seakan menampakkan diri, tapi setelah itu padam kembali. Baron Belgia itu tak mau terwujud, dan tiba-tiba Anthony teringat bahwa es yang datang terlalu dini dan mentimun adalah dua hal yang bertentangan, tidak bakal cocok dengan komentar-komentar lucu yang diucapkan si tukang kebun Skotlandia itu. “Oh! Sialan!” umpat Mr. Eastwood. Ia bangkit berdiri dan menyambar koran Daily Mail. Mungkin saja ada yang terbunuh dengan cara begitu rupa, hingga mampu memberikan inspirasi pada penulis yang setengah mati membutuhkan inspirasi. Tapi berita hari ini ternyata hanya berkisar soal politik dan kejadian-kejadian di luar negeri. Mr. Eastwood melemparkan korannya dengan kesal. Berikutnya, sambil menyambar sebuah novel dari meja, ia memejamkan mata dan menudingkan jari ke salah satu halamannya. Kata yang kena tunjuk oleh jarinya adalah “domba”. Saat itu juga dengan kecemerlangan menakjubkan seluruh kisah pun terbentang di benak Mr. Eastwood. Gadis cantik—kekasihnya tewas di medan perang, dengan linglung menggembalakan domba di pegunungan Skotlandia—pertemuan mistis dengan arwah kekasihnya, efek akhir dengan domba dan cahaya bulan seperti dalam film pemenang Oscar dan sang gadis tergeletak mati di salju, serta sepasang jejak kaki menuju... Ini akan menjadi kisah yang indah. Anthony keluar dari lamunan itu sambil menghela napas dan menggeleng sedih. Ia tahu betul editornya takkan mau menerima kisah semacam itu—seindah apa pun jadinya. Jenis kisah yang diinginkannya dan bersikeras harus diterimanya (dan rela dibayarnya cukup mahal), harus bercerita tentang wanita-wanita berkulit gelap yang misterius, ditikam tepat di jantung, tokoh muda yang salah dituduh, misteri yang terbongkar mendadak dan menetapkan kesalahan pada orang yang paling tak terduga, melalui petunjuk-petunjuk yang sangat tidak memadai—jelasnya, MISTERI MENTIMUN KEDUA. “Meskipun,” renung Anthony, “taruhan sepuluh lawan satu, dia akan mengubah judulnya dengan sesuatu yang jelek, misalnya Pembunuhan Paling Keji, tanpa meminta pendapatku! Oh, terkutuklah telepon itu.” Dengan marah ia melangkah menuju pesawat itu dan mengangkat gagangnya. Dalam satu jam terakhir ini sudah dua kali ia harus menerima panggilan telepon—sekali salah sambung, dan sekali undangan makan malam dari wanita tokoh masyarakat yang sangat dibencinya, tapi terlampau keras kepala untuk dikalahkan. “Halo!” bentaknya kasar. Suara seorang wanita menjawabnya dengan aksen asing yang lembut. “Kaukah ini, sayangku?” ujarnya lembut. “Hm—anu—saya tidak tahu,” jawab Mr. Eastwood hati-hati. “Siapa ini?” “Ini aku. Carmen. Dengar, Sayang. Aku sedang dikejar-kejar—dalam bahaya—kau harus segera datang. Ini soal hidup dan mati.” “Maaf,” sahut Mr. Eastwood sopan. “Saya khawatir Anda salah...” Wanita itu memotong pembicaraannya sebelum ia sempat mengakhirinya. “Madre de Dios! Mereka sudah datang. Kalau mereka tahu apa yang kukerjakan, mereka akan membunuhku. Jangan kecewakan aku. Datanglah segera. Aku akan mati bila kau tidak datang. Kau tahu kan, 320 Kirk Street. Kata sandinya adalah mentimun... Sst...” Mr. Eastwood mendengar bunyi klik saat wanita itu meletakkan gagang teleponnya. “Celaka,” ujar Mr. Eastwood terheran-heran. Ia melangkah ke kaleng tembakaunya, lalu mengisi pipanya dengan hati-hati. Ia merenung. “Kurasa itu efek bawah sadarku. Dia tak mungkin berkata mentimun. Seluruh urusan ini luar biasa. Apa dia tadi berkata mentimun, atau tidak?” Ia berjalan mondar-mandir dengan ragu. “320 Kirk Street. Apa artinya semua ini? Wanita itu menunggu kedatangan laki-laki lain. Kata sandinya adalah mentimun—oh, tidak mungkin, benar-benar gila—ini pasti halusinasi otakku yang sibuk.” Dengan kesal ia menatap mesin tiknya. “Aku ingin tahu, apa manfaatmu? Aku sudah memelototimu sepanjang pagi, dan tidak mendapat apa-apa. Penulis harus mendapatkan alur cerita dari kehidupan nyata—kehidupan nyata, kaudengar? Sekarang aku akan keluar untuk mendapatkannya.” Ia mengenakan topi, menatap penuh sayang pada koleksi porselen antiknya, dan keluar meninggalkan apartemen. Kirk Street, seperti diketahui kebanyakan penduduk London, adalah jalan yang panjang dan berkelok-kelok, sarat dengan toko-toko barang antik, tempat segala macam barang tiruan ditawarkan dengan harga tinggi. Selain itu ada juga toko-toko kuningan tua, toko-toko gelas, toko barang bekas, dan pedagang pakaian bekas. Bangunan No. 320 digunakan untuk menjual gelas-gelas kuno. Segala macam pecah-belah dipajang berlimpah di situ. Anthony terpaksa bergerak dengan sangat hati-hati saat melangkah di lorong yang diapit rak-rak penuh gelas anggur dan berbagai tempat lilin gantung yang berayun-ayun berkilauan di atas kepalanya. Seorang wanita tua renta sedang duduk di bagian belakang toko itu. Ia memiliki kumis tipis yang bisa membuat iri banyak pemuda, dan perilaku kasar. Ia menatap Anthony, lalu berkata, “Bagaimana?” dengan suara menakutkan. Anthony termasuk orang muda yang agak mudah dibuat gugup. Ia langsung menanyakan harga beberapa gelas yang digadaikan. “Empat puluh lima shilling untuk setengah lusin.” “Oh, begitu,” ujar Anthony. “Lumayan bagus. Kalau yang ini berapa?” “Itu gelas-gelas cantik, keluaran Waterford. Aku akan melepas sepasang dengan harga delapan belas guinea.” Mr. Eastwood merasa ia mencari masalah saja. Sebentar lagi ia akan membeli sesuatu karena terhipnotis oleh mata tajam perempuan tua yang menakutkan itu. Namun ia tidak mampu meninggalkan toko itu. “Bagaimana dengan yang itu?” ia bertanya sambil menunjuk sebuah tempat lilin gantung. “Tiga puluh lima guinea.” “Ah!” ujar Mr. Eastwood dengan menyesal. “Itu sedikit di atas kemampuanku.” “Apa yang Anda inginkan?” tanya perempuan tua itu. “Sesuatu untuk hadiah pernikahan?” “Tepat sekali,” Anthony menyambar alasan itu. “Tapi barang-barang ini tidak begitu cocok.” “Ah, begitu,” kata wanita tua itu sambil bangkit dengan tekad bulat. “Pecah-belah kuno yang cantik pasti cocok untuk siapa pun. Di sini ada beberapa karaf anggur antik—dan itu perangkat liqueur mungil manis yang pasti cocok bagi pengantin...” Selama sepuluh menit berikutnya Anthony merasa tersiksa. Perempuan tua itu seolah menguasainya. Setiap hasil karya seni pembuat gelas berjajar di depan matanya. Ia merasa putus asa. “Indah sekali, sangat indah,” pujinya asal-asalan sambil meletakkan gelas anggur besar yang disodorkan di depan hidungnya. Akhirnya ia cepat-cepat bertanya, “Maaf, apa di sini ada telepon?” “Tidak ada. Anda bisa menelepon dari kantor pos di seberang. Nah, Anda mau yang mana, gelas anggur yang besar ini—atau gelas minum antik ini?” Karena ia bukan perempuan, Anthony tidak tahu cara meninggalkan toko secara halus tanpa membeli apa pun. “Lebih baik saya ambil perangkat liqueur itu,” jawabnya muram. Sepertinya itulah barang terkecil. Ia sudah sangat ketakutan bila sampai harus membeli tempat lilin itu. Dengan sedih ia membayar barang belanjaannya. Kemudian, saat wanita tua itu sedang membungkusnya, mendadak keberaniannya muncul kembali. Lagi pula, wanita itu palingpaling akan menganggapnya eksentrik saja; selain itu, peduli amat apa yang dipikirkannya. “Mentimun,” kata Anthony, jelas dan tegas. Perempuan tua itu langsung berhenti membungkus. “Eh? Apa kata Anda tadi?” “Tidak ada,” Anthony berdusta. “Oh! Kusangka Anda tadi berkata mentimun.” “Memang benar,” sahut Anthony menantang. “Nah,” ujar perempuan itu. “Mengapa tidak Anda katakan sejak tadi? Membuang-buang waktuku saja. Lewat pintu di sana itu dan langsung naik. Dia sedang menunggu Anda.” Bagaikan dalam mimpi, Anthony masuk lewat pintu yang ditunjuk, dan naik melalui tangga yang luar biasa kotor. Di ujung tangga ada pintu yang terbuka lebar menuju ruang duduk sempit. Seorang gadis duduk di kursi sambil menatap pintu, wajahnya menyiratkan penantian penuh harap. Gadis yang sangat luar biasa! Kulitnya mulus bagaikan gading yang telah begitu sering digambarkan Anthony dalam karya tulisnya. Dan matanya! Mata yang sangat luar biasa! Sekilas lihat saja langsung tampak ia bukan gadis Inggris. Ia memiliki penampilan eksotis asing yang bahkan terlihat dari kesederhanaan gaunnya. Anthony berdiri terpaku di pintu, sedikit malu-malu. Saat untuk menjelaskan duduk perkara sepertinya sudah tiba. Tapi dengan pekik gembira gadis itu bangkit berdiri dan menghambur ke dalam pelukan Anthony. “Kau sudah datang,” isaknya. “Kau sudah datang. Oh, syukurlah. Syukurlah.” Anthony, yang tidak pernah mau kehilangan kesempatan, mengulang pernyataan itu dengan sungguh-sungguh. Akhirnya gadis itu melepaskan diri dan menatap wajah Anthony dengan sikap malu-malu yang memesona. “Aku tidak bakal bisa mengenali Anda,” kata gadis itu. “Sungguh.” “Begitu?” ujar Anthony lemah. “Tidak, bahkan mata Anda tampak berbeda—dan Anda sepuluh kali lebih tampan daripada yang kubayangkan.” “Benar?” Namun dalam hatinya Anthony berkata, “Tenang, Bung, tenang. Situasinya berkembang dengan bagus, tapi jangan sampai lupa daratan.” “Bolehkah aku mencium Anda lagi?” “Tentu saja,” jawab Anthony bersemangat. “Sesering yang Anda mau.” Terjadilah selingan yang sangat menyenangkan. “Siapa gerangan aku ini?” pikir Anthony. “Mudah-mudahan saja orang yang sebenarnya tidak muncul. Alangkah cantiknya gadis ini.” Mendadak gadis itu menjauh, dan di wajahnya terbayang ketakutan. “Anda tidak diikuti kemari?” “Astaga, tidak.” “Ah, tapi mereka sangat licik. Aku kenal betul mereka. Boris benar-benar iblis.” “Aku akan segera membereskan Boris untuk Anda.” “Anda sangat berani—ya, seperti singa. Sedangkan mereka busuk semuanya—mereka semua. Dengar, celakalah aku! Mereka pasti akan membunuhku kalau tahu. Aku takut—aku tidak tahu harus berbuat apa, kemudian aku teringat Anda... Ssst, bunyi apa itu?” Bunyi itu berasal dari toko di bawah. Sambil memberi isyarat agar Anthony tetap di tempat, ia berjingkat keluar menuju tangga. Ia kembali dengan wajah pucat dan mata terbelalak. “Madre de Dios! Polisi. Mereka sedang menuju kemari. Anda punya pisau? Atau pistol? Yang mana?” “Nona manis, Anda tidak benar-benar berharap aku membunuh polisi, kan?” “Oh, tapi Anda gila—gila! Mereka akan membawa dan menggantung Anda sampai mati.” “Mereka akan apa?” ujar Mr. Eastwood merinding. Terdengar langkah-langkah kaki di tangga. “Mereka datang,” bisik gadis itu. “Sangkal semuanya. Ini satu-satunya harapan kita.” “Itu cukup mudah,” Mr. Eastwood mengakui, sotto voce. Sesaat kemudian masuklah dua pria. Mereka mengenakan pakaian biasa, tapi memiliki sikap resmi yang menunjukkan hasil pelatihan panjang. Pria yang lebih kecil berkulit gelap dan memiliki mata kelabu tenang, dan ia bertindak sebagai juru bicara. “Saya menahan Anda, Conrad Fleckman,” katanya, “atas tuduhan membunuh Anna Rosenburg. Apa pun yang Anda katakan akan digunakan sebagai bukti melawan Anda. Ini surat perintah saya, dan sebaiknya Anda ikut dengan tenang.” Gadis itu terpekik. Anthony melangkah maju sambil tersenyum tenang. “Anda keliru, Opsir,” ujarnya ramah. “Nama saya Anthony Eastwood.” Kedua detektif itu sama sekali tidak terpengaruh oleh pernyataan tersebut. “Conrad,” tangis gadis itu. “Conrad, jangan biarkan mereka membawamu.” Anthony menatap kedua detektif itu. “Saya yakin Anda mengizinkan saya berpamitan pada nona ini?” Dengan sikap lebih sopan daripada yang diharapkan Anthony, kedua pria itu beranjak ke pintu. Anthony menarik gadis itu ke sudut ruangan dekat jendela, dan berbisik cepat padanya. “Dengar. Apa yang saya katakan tadi memang benar. Saya bukan Conrad Fleckman. Waktu Anda menelepon tadi pagi, mereka pasti salah menyambungkan. Nama saya Anthony Eastwood. Saya datang menanggapi permintaan Anda—nah, jadi saya datang.” Gadis itu menatapnya tak percaya. “Jadi, Anda bukan Conrad Fleckman?” “Bukan.” “Oh!” tangisnya putus asa. “Padahal aku telah mencium Anda!” “Tidak mengapa,” Mr. Eastwood menenangkannya. “Kebiasaan itu sudah ada sejak zaman dulu. Cukup masuk akal. Sekarang dengarkan, saya akan mengurus kedua orang itu. Saya akan segera membuka identitas saya. Sementara itu, mereka takkan mengganggu Anda, dan Anda bisa memperingatkan Conrad Anda. Setelah itu...” “Ya?” “Hm—cuma ini. Nomor telepon saya Northwestern 1743—dan perhatikan, jangan sampai mereka menyambungkan ke nomor yang keliru.” Gadis itu menatapnya dengan pandangan memikat, setengah menangis, setengah tersenyum. “Aku takkan lupa—sungguh, aku takkan lupa.” “Baiklah kalau begitu. Selamat tinggal. Begini...” “Ya?” “Omong-omong tentang kebiasaan mencium... cium sekali lagi boleh juga, kan?” Gadis itu melingkarkan kedua lengannya di leher Anthony. Bibirnya sekadar menyentuh bibir Anthony. “Aku benar-benar menyukai Anda—ya, aku benar-benar menyukai Anda. Apa pun yang terjadi, Anda akan mengingatnya, bukan?” Dengan enggan Anthony melepaskan diri dari pelukannya dan melangkah ke arah kedua orang yang menahannya itu. “Saya siap ikut dengan Anda. Saya rasa Anda tidak akan menahan nona ini, bukan?” “Tidak, Sir, tidak perlu,” jawab pria kecil itu sopan. “Para petugas Scotland Yard ini memang sopan santun,” pikir Anthony, sambil mengikuti mereka menuruni tangga sempit itu. Perempuan tua itu tidak tampak di toko, tapi Anthony mendengar bunyi napas tersengal di balik pintu belakang, dan menebak bahwa wanita itu berdiri di baliknya sambil mengamati kejadian itu dengan hati-hati. Begitu berada di Kirk Street yang jorok, Anthony menghela napas dalam-dalam, lalu berbicara pada pria yang lebih kecil. “Begini, Inspektur—Anda seorang inspektur, bukan?” “Betul, Sir. Detektif Inspektur Verrall. Dan ini Detektif Sersan Carter.” “Nah, Inspektur Verrall, sudah tiba saatnya bicara masuk akal—sekaligus mendengarkan. Saya bukan Conrad. Nama saya Anthony Eastwood seperti sudah saya katakan tadi, dan saya berprofesi sebagai penulis. Bila Anda bersedia ikut ke apartemen, saya rasa saya bisa mengungkapkan identitas saya pada Anda.” Gaya bicara Anthony yang apa adanya sepertinya membuat terkesan kedua detektif itu. Untuk pertama kalinya terbayang ekspresi ragu di wajah Verrall. Ternyata Carter lebih sulit diyakinkan. “Saya yakin itu,” ejeknya. “Tapi Anda tentunya ingat nona tadi memanggil Anda ‘Conrad’.” “Ah! Itu soal lain. Saya tidak keberatan mengakui pada Anda berdua bahwa karena... mm... alasan pribadi, di hadapan nona itu saya menyamar sebagai orang bernama Conrad. Ini persoalan pribadi.” “Mungkin saja kisah Anda benar,” Carter menimpali. “Tidak, Sir, silakan Anda ikut kami. Panggil taksi itu, Joe.” Sebuah taksi yang kebetulan lewat dihentikan, dan ketiga laki-laki itu pun naik. Anthony mencoba sekali lagi, kali ini ia berbicara pada Verrall yang tampaknya lebih mudah diyakinkan. “Dengar, Inspektur yang baik, apa salahnya Anda ikut ke apartemen saya dan membuktikan bahwa saya tidak berbohong? Anda boleh menggunakan taksinya kalau mau—nah, ini penawaran yang cukup murah hati, kan? Selisih waktunya takkan sampai lima menit.” Verrall melemparkan pandangan menyelidik. “Baiklah,” ujarnya tiba-tiba. “Meskipun aneh, saya percaya Anda tidak berbohong. Kami juga tidak mau tampak dungu di kantor polisi karena salah menahan orang. Di mana alamat Anda?” “Brandenburg Mansions nomor empat puluh delapan.” Verrall melongokkan kepala ke luar jendela dan meneriakkan alamat itu pada sopir taksi. Ketiganya duduk dalam diam sampai mereka tiba di tujuan. Carter melompat keluar, dan Verrall memberi isyarat agar Anthony mengikutinya. “Tidak perlu canggung,” jelasnya sambil turun dari taksi. “Kita akan masuk dengan bersahabat, seakan Mr. Eastwood sedang mengajak teman-temannya ke rumah.” Anthony sangat bersyukur atas usul ini, dan pendapatnya tentang Departemen Investigasi Kriminal semakin positif saja. Di ruang depan, mereka cukup beruntung menjumpai Rogers, sang portir. Anthony menghentikan langkah. “Ah! Selamat malam, Rogers,” sapanya santai. “Selamat malam, Mr. Eastwood,” jawab portir itu dengan hormat. Laki-laki ini suka pada Anthony yang selalu bersikap ramah, tidak seperti para tetangganya. Anthony berhenti dengan satu kaki di anak tangga paling bawah. “Omong-omong, Rogers,” ujarnya santai. “Sudah berapa lama aku tinggal di sini? Aku baru saja mengobrol soal itu dengan kedua temanku ini.” “Biar kuingat-ingat, Sir. Kalau tidak salah sudah hampir empat tahun.” “Tepat seperti dugaanku.” Anthony melemparkan pandangan penuh kemenangan ke arah kedua detektif tadi. Carter mendengus, tapi Verrall tersenyum lebar. “Bagus, tapi belum cukup bagus, Sir,” komentarnya. “Bagaimana kalau kita ke atas?” Anthony membuka pintu apartemen dengan kuncinya. Ia bersyukur saat teringat bahwa Seaman, asistennya, sedang keluar. Semakin sedikit saksi yang melihat peristiwa memalukan ini, semakin baik. Mesin tiknya masih dalam keadaan sama seperti semula. Carter melangkah ke meja, dan membaca judul di lembaran kertasnya. “MISTERI MENTIMUN KEDUA,” bacanya dengan suara muram. “Cerita yang sedang saya tulis,” jelas Anthony santai. “Satu poin bagus lagi, Sir,” ujar Verrall sambil mengangguk dengan mata berbinar. “Omong-omong, kisahnya mengenai apa, Sir? Apa sebenarnya misteri dari mentimun kedua itu?” “Ah, tepat sekali,” ujar Anthony. “Mentimun kedua itulah yang menjadi sumber semua masalah ini.” Carter menatapnya tajam. Tiba-tiba ia menggeleng dan menepuk dahi. “Gila, pemuda yang malang,” gumamnya berbisik. “Nah, Tuan-Tuan,” ujar Mr. Eastwood tegas. “Mari kita mulai. Ini surat-surat yang ditujukan pada saya, buku tabungan saya, dan surat-surat pemberitahuan dari para editor. Apa lagi yang Anda inginkan?” Verrall memeriksa kertas-kertas yang disodorkan Anthony padanya. “Secara pribadi, Sir,” ujarnya penuh hormat, “saya tidak menginginkan apa-apa lagi. Saya cukup yakin. Tapi saya tidak bisa memikul tanggung jawab dengan melepaskan Anda sendiri. Begini, meskipun tampaknya Anda benar-benar sudah tinggal di sini selama beberapa tahun sebagai Mr. Eastwood, tidak tertutup kemungkinan Conrad Fleckman dan Anthony Eastwood adalah orang yang sama. Saya terpaksa memeriksa apartemen ini dengan teliti, mengambil sidik jari Anda, dan menelepon ke kantor pusat.” “Kelihatannya cukup mendetail,” komentar Anthony. “Saya bisa memastikan Anda bebas memeriksa setiap rahasia saya.” Inspektur itu tersenyum lebar. Bagi seorang detektif, ia termasuk pribadi yang sangat manusiawi. “Sementara saya sibuk, bisakah Anda pergi ke ruangan kecil di ujung itu bersama Carter, Sir?” “Baiklah,” sahut Anthony segan. “Saya rasa tidak ada cara lain, bukan?” “Maksud Anda?” “Bagaimana kalau Anda dan saya yang menempati ruangan itu sambil minum wiski dan soda sementara Sersan, teman kita, melaksanakan pemeriksaan berat ini?” “Kalau Anda lebih menyukainya, Sir.” “Saya benar-benar lebih menyukainya.” Mereka berdua meninggalkan Carter yang memeriksa isi meja tulisnya dengan sangat teliti. Saat meninggalkan ruangan, mereka mendengarnya mengangkat gagang telepon untuk menghubungi Scotland Yard. “Ternyata tidak begitu buruk,” ujar Anthony, sambil duduk nyaman di samping botol-botol wiski dan soda, setelah memenuhi beberapa permintaan Inspektur Verrall. “Apakah sebaiknya saya minum lebih dulu, untuk menunjukkan pada Anda bahwa wiski ini tidak mengandung racun?” Inspektur itu tersenyum. “Semua ini memang sangat tidak umum,” komentarnya. “Tapi kami cukup mengenal profesi kami. Sejak awal saya sudah menyadari bahwa kami berbuat kekeliruan. Tapi sudah tentu orang harus mengamati semua hal yang umum. Anda tidak bisa menghindari birokrasi, bukan?” “Saya rasa tidak,” sahut Anthony menyesal. “Tapi Sersan sepertinya tidak begitu ramah, betul?” “Ah, Detektif Sersan Carter sebenarnya orang baik. Dia memang tidak mudah dipengaruhi.” “Saya sudah melihat itu,” kata Anthony. “Omong-omong, Inspektur,” tambahnya, “apakah Anda keberatan bila saya mendengar sedikit tentang diri saya?” “Dengan cara apa, Sir?” “Ayolah, tidakkah Anda menyadari bahwa saya sangat ingin tahu? Siapa Anna Rosenburg, dan mengapa saya membunuhnya?” “Besok Anda akan membaca beritanya di koran, Sir.” “Besok saya mungkin kembali jadi Diri Saya Sendiri, sama seperti Kemarin,” ujar Anthony. “Saya yakin Anda bisa memuaskan rasa ingin tahu saya yang sangat sah-sah saja, Inspektur. Singkirkan sikap tutup mulut Anda yang resmi itu, dan ceritakan semuanya pada saya.” “Ini agak tidak biasa, Sir.” “Inspektur yang baik, bahkan saat kita sudah berteman seperti ini?” “Begini, Sir, Anna Rosenburg adalah wanita Jerman keturunan Yahudi yang tinggal di Hampstead. Tanpa mata pencaharian jelas, setiap tahun dia semakin kaya saja.” “Kebalikan dengan diri saya,” komentar Anthony. “Saya punya mata pencaharian jelas, dan setiap tahun saya semakin miskin saja. Mungkin lebih baik saya tinggal di Hampstead. Sejak dulu saya dengar Hampstead sangat menyegarkan.” “Selama beberapa waktu,” Verrall melanjutkan, “dia berdagang pakaian bekas...” “Sekarang jelas bagi saya,” sela Anthony. “Saya ingat pernah menjual seragam saya setelah perang usai—bukan yang terbuat dari kain khaki, tapi bahan satunya. Seluruh apartemen sarat dengan celana-celana panjang merah dan renda keemasan, terbentang di mana-mana. Kemudian datang pria gemuk bersetelan kotak-kotak naik mobil Rolls-Royce, bersama pekerja serabutan lengkap dengan tasnya. Dia menawar seluruhnya seharga satu pound sepuluh shilling. Akhirnya saya menambahkan sehelai jaket berburu dan beberapa pasang kacamata Zeiss agar jumlah harganya genap dua pound. Setelah mendapat isyarat, pekerja serabutan itu membuka tasnya dan memasukkan barang-barang itu ke dalamnya, dan pria gemuk itu menyerahkan lembaran sepuluh pound pada saya dan meminta kembaliannya.” “Sekitar sepuluh tahun yang lalu,” lanjut sang inspektur, “datang beberapa pengungsi politik Spanyol ke London—di antara mereka adalah Don Fernando Ferrarez bersama istrinya yang masih muda, dan seorang anak. Mereka sangat miskin, dan sang istri sedang sakit. Anna Rosenburg mengunjungi tempat mereka menginap, dan menanyakan apakah ada sesuatu yang ingin mereka jual. Don Fernando sedang keluar, dan istrinya memutuskan berpisah dengan sehelai selendang Spanyol yang sangat indah, penuh bordiran, salah satu hadiah terakhir dari suaminya sebelum mereka meninggalkan Spanyol. Ketika Don Fernando pulang, dia marah besar mendengar selendang itu sudah dijual, dan dengan sia-sia berusaha mendapatkannya kembali. Ketika dia akhirnya berhasil menemukan wanita pedagang pakaian bekas itu, wanita tadi menyampaikan dia telah menjual selendang itu pada seorang wanita tak dikenal. Don Fernando putus asa. Dua bulan kemudian, dia ditikam di jalanan dan tewas karena luka-lukanya. Sejak itu Anna Rosenburg menimbulkan kecurigaan karena berlimpah uang. Dalam kurun waktu sepuluh tahun berikutnya, rumahnya sudah dimasuki pencuri tak kurang dari delapan kali. Empat kali di antaranya tidak berhasil dan tak ada barang yang diambil, tapi dalam pencurian keempat, sehelai selendang bordir termasuk yang berhasil dibawa kabur.” Inspektur itu berhenti sejenak, lalu melanjutkan atas desakan Anthony. “Seminggu yang lalu, Carmen Ferrarez, putri belia Don Fernando, tiba di negeri ini dari sebuah biara di Prancis. Yang pertama dilakukannya adalah mencari Anna Rosenburg di Hampstead. Di sana dilaporkan dia bertengkar hebat dengan perempuan tua itu, dan katakatanya saat meninggalkan tempat itu terdengar oleh salah seorang pelayan. “’Tunggu saja,’ teriaknya. ‘Selama bertahun-tahun ini Anda kaya-raya karena selendang itu—tapi benda itu akan membawa nasib sial bagi Anda. Anda tidak punya hak atasnya, dan suatu saat nanti Anda akan menyesal pernah melihat Selendang Seribu Bunga itu.’ “Tiga hari kemudian, Carmen Ferrarez menghilang dengan misterius dari hotel tempatnya menginap. Di kamarnya ditemukan nama dan alamat—nama Conrad Fleckman, berikut catatan dari seorang laki-laki yang mengaku pedagang barang antik, yang menanyakan apakah gadis itu ingin melepaskan sehelai selendang bordir yang dipercayai pedagang itu ada padanya. Alamat dalam catatan itu palsu. “Sudah jelas selendang ini merupakan inti dari seluruh misteri. Kemarin pagi Conrad Fleckman mengunjungi Anna Rosenburg. Mereka berbicara di ruangan tertutup selama satu jam atau lebih, dan saat pria itu pergi, wanita itu terpaksa berbaring di tempat tidur, pucat pasi dan terguncang oleh pembicaraan mereka. Namun dia memberikan perintah agar Fleckman dibiarkan masuk setiap kali dia datang berkunjung. Semalam dia bangun dan pergi keluar pada pukul sembilan, dan tidak kembali. Pagi ini dia ditemukan di rumah yang pernah ditempati Conrad Fleckman, dengan tusukan tepat di jantungnya. Di lantai di sampingnya ada... apa menurut Anda?” “Selendang itu?” desah Anthony. “Selendang Seribu Bunga.” “Sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada itu. Sesuatu yang mengungkap seluruh misteri selendang yang membuat jelas nilainya yang tersembunyi itu... Permisi, saya rasa itu kepala...” Memang terdengar dering lonceng. Anthony menahan rasa tak sabarnya sedapat mungkin dan menanti inspektur itu kembali. Sekarang ia sudah merasa cukup tenang soal posisinya sendiri. Setelah mengambil sidik jarinya, mereka akan menyadari kekeliruan mereka. Dan setelah itu, barangkali Carmen akan meneleponnya... Selendang Seribu Bunga! Kisah yang sangat aneh—cocok sekali menjadi latar belakang kecantikan gadis yang elok itu. Carmen Ferrarez... Anthony terlonjak dari lamunannya. Alangkah lamanya si inspektur. Ia bangkit dan membuka pintu. Apartemen itu sunyi. Mungkinkah mereka telah pergi? Tak mungkin tanpa berpamitan terlebih dulu. Anthony melangkah ke ruangan berikutnya. Ruangan ini kosong—begitu juga ruang duduknya. Kosong dan janggal! Begitu kosong-melompong. Ya ampun! Koleksi porselennya—barangbarang peraknya! Dengan kalut ia berlarian memeriksa apartemennya. Ternyata setiap ruangan sama saja. Tempat itu telah dijarah habis-habisan. Setiap barang berharga telah dijarah, padahal Anthony memiliki selera tinggi seorang kolektor dalam mengumpulkan benda-benda mungil. Sambil mengerang Anthony terhuyung-huyung dan duduk di kursi, dengan tangan menopang kepala. Ia tersentak mendengar dering bel pintu depan. Saat membukanya, ia bertatap muka dengan Rogers. “Maaf, Sir,” ujar Rogers. “Tapi tuan-tuan itu berpendapat Anda mungkin membutuhkan sesuatu.” “Tuan-tuan itu?” “Kedua teman Anda itu, Sir. Saya membantu mereka mengepak barang sebisa-bisanya. Untung sekali saya menyimpan dua peti bagus di ruang bawah tanah.” Ia lalu menatap lantai. “Saya juga sudah menyapu jeraminya sebersih mungkin, Sir.” “Kau mengepak barang-barang di dalam sini?” Anthony mengerang. “Ya, Sir. Bukankah itu permintaan Anda sendiri? Tuan yang lebih jangkung itu yang menyuruh saya melakukannya, Sir. Dan melihat Anda masih sibuk berbicara dengan tuan satunya di ruangan kecil di ujung itu, saya putuskan untuk tidak mengganggu Anda.” “Aku tidak bicara padanya,” ujar Anthony. “Dialah yang bicara padaku—terkutuklah dia.” Rogers terbatuk. “Saya sangat menyesal atas keperluan itu, Sir,” gumamnya. “Keperluan?” “Hingga terpaksa berpisah dengan harta milik Anda yang kecil-kecil itu, Sir.” “Eh? Oh, ya. Ha, ha!” Ia tertawa getir. “Kurasa mereka sekarang sudah pergi. Mereka— maksudku teman-temanku itu?” “Oh, ya, Sir, beberapa saat yang lalu. Saya memasukkan kedua peti itu ke taksi, dan tuan yang jangkung itu kembali ke atas lagi, setelah itu mereka berdua berlarian turun dan langsung pergi... Maaf, Sir, apa ada yang salah?” Sudah sepantasnya Rogers bertanya. Erangan yang diperdengarkan Anthony bisa saja menimbulkan dugaan macam-macam. “Semuanya salah, terima kasih, Rogers. Tapi kulihat kau tidak bisa disalahkan. Tinggalkan aku, aku mau menelepon.” Lima menit kemudian Anthony sudah mencurahkan kisahnya pada Inspektur Driver yang duduk di hadapannya sambil memegang notes. Inspektur Driver bukan pria simpatik, dan tidak mirip inspektur betulan, menurut Anthony. Penampilannya seperti dibuat-buat malah. Lagi-lagi sebuah contoh jitu tentang superioritas Seni melawan Alam. Anthony sampai di akhir kisahnya. Sang inspektur menutup notesnya. “Bagaimana?” ujar Anthony harap-harap cemas. “Jelas sekali,” jawab sang inspektur. “Ini pasti geng Patterson. Belakangan ini mereka banyak beraksi dan sangat cerdik. Laki-laki pirang jangkung, laki-laki kecil berambut hitam, dan gadis itu.” “Gadis itu?” “Ya, berkulit gelap dan sangat cantik. Biasanya dijadikan umpan.” “Seorang... seorang gadis Spanyol?” “Dia bisa saja mengaku begitu. Dia lahir di Hampstead.” “Sudah kukatakan itu tempat yang menyegarkan,” gumam Anthony. “Ya, sudah cukup jelas,” ujar sang inspektur sambil bangkit berdiri. “Dia menelepon Anda dan mengarang cerita—dia menebak Anda pasti datang. Kemudian dia mendatangi Ibu Gibson tua yang mau saja dibayar untuk menyewakan kamarnya sebagai tempat bertemu—untuk para kekasih. Itu bukan tindakan kriminal. Anda sudah masuk perangkap, mereka berhasil membawa Anda kemari, dan sementara salah seorang dari mereka menyuguhkan cerita pada Anda, yang seorang lagi membereskan barang curian. Mereka pasti geng Patterson—ini ciri khas mereka.” “Dan bagaimana dengan barang-barang saya?” sahut Anthony cemas. “Kami akan berusaha sedapat mungkin, Sir. Tapi kelompok Patterson ini luar biasa licin.” “Sepertinya begitu,” kata Anthony getir. Inspektur itu beranjak, dan ia baru saja pergi saat bel pintu berdering. Anthony membuka pintu. Seorang bocah laki-laki berdiri sambil memegang bingkisan. “Paket untuk Anda, Sir.” Anthony menerimanya dengan heran. Ia tidak sedang menantikan paket apa pun. Setelah kembali ke ruang duduknya, ia memotong tali pengikatnya. Isinya ternyata perangkat liqueur yang dibelinya itu! “Sialan!” umpat Anthony. Kemudian ia melihat di dasar salah satu gelas ada setangkai mawar artifisial mungil. Ingatannya kembali ke ruang atas di Kirk Street itu. “Aku benar-benar menyukai Anda—ya, aku benar-benar menyukai Anda. Apa pun yang terjadi, Anda akan mengingatnya, bukan?” Itulah yang dikatakan gadis itu. Apa pun yang terjadi... Apakah maksudnya... Anthony mengendalikan diri dengan keras. “Tidak bisa begini,” ia menegur diri. Pandangannya jatuh ke mesin tik, dan ia pun duduk dengan wajah tegas. MISTERI MENTIMUN KEDUA Wajahnya menerawang kembali. Selendang Seribu Bunga. Apa gerangan yang ditemukan di lantai di samping mayat itu? Benda mengerikan yang bisa mengungkap seluruh misteri? Tidak ada, tentu saja, mengingat itu sekadar kisah isapan jempol untuk menyita perhatiannya, dan pembawa ceritanya telah menggunakan siasat lama dari kisah Seribu Satu Malam dengan memutus kisah di bagian yang paling memikat. Tapi apa benar tidak ada benda mengerikan yang bisa mengungkap seluruh misteri? Bagaimana? Kalau ia mau berpikir keras... Anthony mencabut lembaran kertas dari mesin tiknya, lalu menukarnya dengan lembaran lain. Ia mengetik sebuah judul: MISTERI SELENDANG SPANYOL Ia mengamatinya beberapa saat dengan diam. Kemudian ia mulai mengetik dengan cepat.... BOLA EMAS GEORGE DUNDAS berdiri di City of London sambil merenung. Di sekelilingnya para pekerja dan pencari uang datang dan pergi, mengalir bagaikan air pasang. Namun George yang berpakaian rapi, dengan celana panjang tersetrika lurus, tidak memedulikan mereka. Ia sibuk memikirkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Ada masalah! Di antara George dan pamannya yang kaya (Ephraim Leadbetter dari perusahaan Leadbetter and Gilling) telah terjadi pertengkaran. Yang lebih banyak bicara adalah Mr. Leadbetter. Dari bibirnya tak henti-henti mengalir kejengkelan, semuanya kebanyakan berupa pengulangan, tapi tampaknya itu tidak jadi masalah baginya. Menyampaikan sesuatu satu kali saja bukanlah motto Mr. Leadbetter. Temanya sederhana saja—kebodohan orang muda yang suka bertindak seenaknya, membolos sehari penuh di pertengahan minggu tanpa meminta izin. Setelah selesai menyampaikan segala uneg-unegnya dan mengulang berbagai hal sampai dua kali, Mr. Leadbetter berhenti sesaat untuk menarik napas, lalu bertanya apa maksud George berbuat demikian. George cuma menjawab bahwa ia ingin tidak masuk sehari. Jelasnya, berlibur. Mr. Leadbetter bertanya, bagaimana dengan hari Sabtu sore dan Minggu? Belum lagi hari Pentakosta yang baru lalu, dan August Bank Holiday mendatang? George menjawab bahwa ia tidak peduli pada hari-hari Sabtu sore, Minggu, atau Bank Holiday. Ia ingin berlibur pada hari kerja, saat orang bisa mencari tempat yang tidak ramai dipenuhi separo penduduk London. Mr. Leadbetter lalu berkata bahwa ia telah berusaha semaksimal mungkin membimbing putra mendiang kakak perempuannya ini—tak ada yang bisa berkata bahwa ia belum memberikan kesempatan pada George. Tapi sudah jelas usahanya sia-sia saja. Untuk selanjutnya, George boleh berlibur pada lima hari kerja ditambah hari Sabtu dan Minggu, dan berbuat sesukanya dengan hari-hari itu. “Bola emas kesempatan telah dilemparkan padamu, Nak,” ujar Mr. Leadbetter dengan gaya penyair. “Dan kau telah gagal menangkapnya.” George berkata bahwa menurutnya, justru itulah yang telah dilakukannya. Mr. Leadbetter menjadi sangat murka, lalu mengusirnya keluar. Demikianlah kisahnya mengapa George... merenung. Apakah pamannya akan mengalah atau tidak? Apakah ia diam-diam memendam rasa sayang terhadap George, atau sekadar rasa tidak suka? Tepat pada saat itulah terdengar suara—yang sama sekali tak terduga—menyapa, “Halo!” Sebuah mobil tamasya merah manyala dengan kap superpanjang menepi di sampingnya. Di belakang kemudi duduklah Mary Montresor, gadis cantik tokoh masyarakat terkenal. (Deskripsi ini diberikan oleh koran-koran yang memuat fotonya paling sedikit empat kali sebulan.) Ia tersenyum pada George dengan gaya penuh pengalaman. “Belum pernah aku melihat orang yang kelihatan begitu kesepian,” ujar Mary Montresor. “Mau menumpang?” “Mau sekali,” ujar George tanpa ragu, lalu masuk dan duduk di samping gadis itu. Mereka maju perlahan-lahan karena lalu lintas yang padat. “Aku sudah bosan dengan kota ini,” kata Mary Montresor. “Aku kemari untuk melihat seperti apa tempat ini. Aku akan kembali ke London.” Tanpa maksud memperbaiki pengetahuan geografis gadis itu, George berkata itu ide yang bagus. Adakalanya mereka maju perlahan-lahan, adakalanya dengan kecepatan meledak-ledak saat Mary Montresor melihat kesempatan untuk memotong jalan. Menurut George, gadis itu agak terlalu nekat dalam hal satu ini, tapi orang toh cuma mati satu kali, pikir George. Bagaimanapun, ia menganggap lebih baik tidak menggalang percakapan. Ia lebih suka pengemudi cantik ini hanya memerhatikan tugas mengemudinya. Ternyata gadis itulah yang membuka percakapan kembali, saat mereka menikung tajam di Hyde Park Corner. “Bagaimana kalau kau menikah denganku?” ia bertanya santai. George tersentak, tapi ini bisa saja gara-gara bus besar yang sepertinya membawa malapetaka. Ia bangga dengan kelincahannya memberikan tanggapan. “Aku akan senang sekali,” sahutnya ringan. “Nah,” kata Mary Montresor, samar-samar. “Mungkin suatu hari nanti.” Mobil mereka kembali berjalan lurus tanpa celaka, dan saat itulah George melihat poster-poster besar yang baru di stasiun kereta api Hyde Park Corner. Diapit poster berbunyi SITUASI POLITIK YANG SURAM dan KOLONEL MASUK DOK, terlihat poster berbunyi GADIS TOKOH MASYARAKAT AKAN MENIKAH DENGAN DUKE, dan satu lagi berbunyi DUKE DARI EDGEHILL DENGAN MISS MONTRESOR. “Lalu bagaimana dengan Duke dari Edgehill itu?” tanya George tajam. “Aku dan Bingo? Kami bertunangan.” “Tapi kalau begitu... ucapanmu tadi...” “Oh, itu,” sahut Mary Montresor. “Begini, aku belum memutuskan dengan siapa aku akan benar-benar menikah.” “Lalu untuk apa kau bertunangan dengannya?” “Cuma untuk melihat apa aku bisa. Sepertinya semua orang beranggapan itu akan sangat sulit terjadi, ternyata sama sekali tidak!” “Benar-benar nasib sial bagi... mm... Bingo,” kata George, mengatasi rasa jengahnya karena menyebut seorang duke betulan dengan nama julukan. “Sama sekali tidak,” ujar Mary Montresor. “Itu pelajaran bagus bagi Bingo—tapi aku meragukannya.” George menemukan hal lain—lagi-lagi berkat sebuah poster. “Wah, tentu saja, hari ini di Ascot sedang diselenggarakan acara minum teh. Seharusnya aku tahu itulah tempat yang akan kautuju hari ini.” Mary Montresor menghela napas. “Aku ingin berlibur,” katanya sayu. “Wah, sama denganku,” sahut George senang. “Dan akibatnya, aku diusir pamanku supaya mati kelaparan.” “Kalau begitu, seandainya kita jadi menikah,” kata Mary, “pendapatanku sebesar dua puluh ribu setahun akan bermanfaat?” “Uang itu pasti bisa dibelikan beberapa perangkat rumah tangga,” jawab George. “Omong-omong tentang rumah tangga,” ujar Mary, “mari kita tinggal di pedesaan dan mencari rumah yang kita sukai.” Rencana ini tampak sederhana dan sangat menarik. Mereka melintasi Putney Bridge, mencapai jalan raya Kingston, dan Mary menginjak pedal gasnya dalam-dalam sambil mendesah puas. Mereka tiba di daerah pedesaan dalam waktu singkat. Setengah jam kemudian, Mary menunjuk penuh semangat. Di lereng bukit di depan mereka tampak rumah yang oleh para agen perumahan sering digambarkan (namun jarang sesuai kenyataan) sebagai daya tarik “antik”. Cobalah membayangkan keadaan kebanyakan rumah pedesaan, dan Anda akan mendapat gambaran tentang rumah ini. Mary menghentikan mobilnya di depan pintu pagar berwarna putih. “Kita tinggalkan mobil di sini, lalu berjalan ke atas dan melihat rumah itu. Itu rumah kita!” “Pasti, itu rumah kita,” George mengiyakan. “Tapi saat ini kelihatannya sudah ada penghuninya.” Mary mengabaikan para penghuninya dengan kibasan tangan. Berdua mereka melangkah menyusuri jalan masuk. Dari dekat, rumah itu tampak semakin menarik. “Kita akan mengintip ke dalam dari semua jendela,” ujar Mary. George keberatan. “Apa menurutmu para penghuninya...” “Aku tidak akan memedulikan mereka. Itu rumah kita—mereka cuma kebetulan saja menempatinya. Lagi pula, ini hari yang cerah, dan mereka pasti sedang keluar menikmatinya. Seandainya ada yang memergoki kita, aku akan berkata... aku akan berkata... kusangka ini rumah... rumah Mrs. Pardonstenger, dan aku benar-benar menyesal telah salah sangka.” “Hm, sepertinya alasan yang cukup aman,” ujar George. Mereka melihat ke dalam melalui beberapa jendela. Rumah itu berisi perabotan indah. Mereka baru saja mengintip ke dalam ruang kerja ketika dari arah belakang terdengar langkah-langkah kaki di kerikil. Mereka menoleh dan berhadapan dengan seorang kepala pelayan tulen tanpa cela. “Oh!” ujar Mary. Ia lalu tersenyum sangat memukau dan berkata, “apakah Mrs. Pardonstenger ada? Saya tadi melongok ke ruang kerja untuk melihat kalau-kalau dia ada di situ.” “Mrs. Pardonstenger ada di rumah, Madam,” sahut sang kepala pelayan. “Silakan lewat sini.” Mereka terpaksa mengikutinya. George sedang menerka-nerka kemungkinan apa yang ada di balik kejadian ini. Ia menarik kesimpulan bahwa dengan nama Pardonstenger, kemungkinannya satu di antara dua puluh ribu. Mary berbisik, “Serahkan padaku. Semuanya pasti beres.” Dengan senang hati George menyerahkan urusan itu padanya. Menurut pendapatnya, situasi ini membutuhkan siasat perempuan. Mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu. Setelah kepala pelayan itu meninggalkan ruangan, pintu terbuka kembali dan seorang wanita tinggi besar dengan wajah kemerahmerahan dan rambut putih bersih masuk dengan penuh harapan. Mary Montresor beranjak ke arahnya, dan berhenti mendadak seakan tertegun. “Wah!” serunya. “Ternyata bukan Amy! Luar biasa sekali!” “Ini memang luar biasa,” sahut seseorang dengan bengis. Seorang laki-laki masuk mengikuti Mrs. Pardonstenger. Pria tambun dengan wajah mirip anjing buldog dan seringai menakutkan. George belum pernah melihat makhluk sekasar dan seseram ini. Laki-laki itu menutup pintu dan berdiri di depannya. “Luar biasa sekali,” ulangnya mengejek. “Tapi kurasa kami mengerti permainan kalian!” Tiba-tiba ia mengeluarkan sepucuk pistol besar. “Angkat tangan! Angkat tangan, kataku. Geledah mereka, Bella.” Kalau sedang membaca kisah-kisah detektif, George sering bertanya-tanya seperti apa rasanya digeledah. Sekarang ia tahu. Bella (alias Mrs. P.) merasa puas karena George maupun Mary tidak menyembunyikan senjata berbahaya. “Kalian pikir kalian sangat pintar, ya?” ejek pria itu. “Datang kemari begitu saja dan berpura-pura tidak bersalah. Kali ini kalian keliru—sangat keliru. Aku bahkan sangat ragu apakah teman-teman dan sanak keluarga kalian akan bisa berjumpa kalian lagi. Ah! Kau mau coba-coba, ya?” bentaknya saat George bergerak. “Jangan berani main-main. Aku akan langsung menembakmu.” “Hati-hati, George,” bisik Mary gemetar. “Akan kulakukan,” kata George penuh perasaan. “Dengan sangat hati-hati.” “Sekarang, jalan,” perintah laki-laki itu. “Buka pintunya, Bella. Dan kalian berdua, letakkan tangan di atas kepala. Madam dulu—betul begitu. Aku akan menyusul tepat di belakang kalian. Lewat ruang depan. Naik...” Mereka menurut. Apa lagi yang bisa mereka lakukan? Mary menaiki tangga dengan tangan terangkat tinggi-tinggi. George mengikuti. Di belakang mereka menyusul bajingan tambun itu dengan menodongkan pistolnya. Mary sampai di ujung anak tangga dan berbelok. Tepat pada saat itulah tanpa diduga-duga George menyerang dengan tendangan ke belakang. Pria itu terkena tepat di pinggangnya, dan terjengkang berguling-guling ke bawah tangga. Saat berikutnya George berbalik dan melompat menuruni tangga, lalu berlutut di atas dada pria itu. Dengan tangan kanannya ia memungut pistol yang terjatuh saat pria tadi berguling-guling. Bella menjerit dan mundur teratur melalui pintu. Mary berlarian menuruni tangga dengan wajah pucat pasi. “George, apa kau membunuhnya?” Laki-laki itu tergeletak tak bergerak. George membungkuk di atasnya. “Kurasa tidak,” ujarnya menyesal. “Tapi yang jelas, dia pingsan.” “Puji Tuhan.” Napas Mary terengah-engah. “Lumayan juga,” ujar George mengagumi diri. “Banyak pelajaran bisa ditarik dari keledai tua ini. Eh, apa?” Mary menarik tangannya. “Ayo kita pergi,” serunya tegang. “Ayo kita cepat pergi.” “Kalau saja kita punya sesuatu untuk mengikat orang ini,” ujar George, sibuk dengan rencananya sendiri. “Apa kau tidak bisa mencari sepotong tali atau sejenisnya?” “Tidak, aku tidak bisa,” jawab Mary. “Ayolah, kita pergi saja—ayolah—aku takut sekali.” “Kau tidak perlu takut,” ujar George, berlagak jantan. “Aku ada di sini.” “George, Darling, ayolah—demi aku. Aku tidak mau terlibat. Ayolah kita pergi.” Caranya membisikkan kata-kata “demi aku” menggoyahkan tekad George. Ia membiarkan dirinya ditarik meninggalkan rumah itu, lalu bergegas melintasi jalan masuk, menuju mobil yang sudah menunggu. Mary berkata lemah, “Kau saja yang mengemudi. Rasanya aku tidak mampu.” George pun duduk di belakang kemudi. “Tapi kita harus menyelesaikan persoalan ini,” ujar George. “Mana kita tahu, kejahatan apa yang direncanakan laki-laki seram itu. Kalau kau keberatan, aku tidak akan menghubungi polisi—tapi aku akan berusaha mengatasinya sendiri. Aku pasti mampu menyelidiki mereka.” “Jangan, George, aku tidak mau kau melakukannya.” “Kita mendapatkan petualangan kelas satu seperti ini, dan kau ingin aku mundur teratur? Jangan harap.” “Tak kuduga kau ternyata haus darah seperti ini,” ujar Mary berlinang air mata. “Aku tidak haus darah. Bukan aku yang memulainya. Bedebah terkutuk itu mengancam kita seenaknya dengan pistol besar. Omong-omong, mengapa pistol itu tidak meletus saat aku menendangnya ke bawah?” George menghentikan mobil dan mengeluarkan senjata itu dari kantong samping mobil. Setelah memeriksanya, ia bersiul. “Wah, sialan! Pistol ini tak ada pelurunya. Seandainya aku tahu sejak awal...” Ia terdiam, sibuk berpikir. “Mary, masalah ini sangat aneh.” “Aku tahu. Itu sebabnya aku memohonmu untuk membiarkannya.” “Takkan pernah,” ujar George tegas. Mary menghela napas dengan pilu. “Kurasa aku harus mengatakannya padamu,” ujar Mary. “Masalahnya, aku sama sekali tidak tahu bagaimana tanggapanmu nanti.” “Apa maksudmu...?” “Begini, awalnya seperti ini.” Mary diam sejenak. “Kurasa, dewasa ini kaum wanita harus bersatu—mereka harus bertekad lebih mengenal para pria yang mereka temui.” “Lalu?” ujar George tidak mengerti. “Penting sekali bagi seorang gadis untuk tahu bagaimana seorang laki-laki akan bertindak dalam keadaan darurat—apakah dia berkepala dingin, punya keberanian, kecerdasan? Hal-hal ini nyaris tidak bisa diketahui—sampai sudah terlambat. Keadaan darurat mungkin saja takkan muncul sampai bertahun-tahun setelah menikah. Paling-paling yang bisa diketahui tentang seorang pria adalah cara dia berdansa, dan apakah dia cekatan mencari taksi di tengah hujan.” “Dua-duanya prestasi yang sangat berguna,” George menunjukkan. “Betul, tapi orang ingin merasakan bahwa laki-laki adalah laki-laki.” “Daerah luas membentang, tempat laki-laki adalah laki-laki,” George mengutip ungkapan, setengah melamun. “Tepat sekali. Tapi di Inggris tidak ada daerah luas membentang. Jadi, orang harus menciptakan sendiri situasi tiruan. Itulah yang telah kulakukan.” “Apa maksudmu...” “Itulah maksudku. Rumah tadi kebetulan memang rumahku. Kita datang ke situ sesuai rencana—bukan secara kebetulan. Dan laki-laki itu—yang hampir terbunuh olehmu...” “Ya?” “Adalah Rube Wallace—aktor film. Dia petinju bayaran. Laki-laki paling baik dan lembut. Aku menyewanya. Bella adalah istrinya. Itu sebabnya aku begitu cemas kalau-kalau kau telah membunuhnya. Tentu saja pistol itu tidak ada pelurunya. Itu pistol-pistolan properti panggung. Oh, George, apa kau marah sekali?” “Apakah aku pria pertama yang telah... kauuji?” “Oh, tidak. Sudah ada—tunggu sebentar—sembilan setengah orang!” “Siapa laki-laki yang setengahnya?” tanya George ingin tahu. “Bingo,” jawab Mary dingin. “Adakah di antara mereka yang terpikir untuk menendang seperti keledai?” “Tidak—tidak ada. Ada beberapa yang mencoba menggertak, dan ada yang langsung menyerah, tapi mereka semua membiarkan diri digiring ke atas, diikat, dan disumpal mulutnya. Setelah itu, tentu saja aku berhasil melepaskan diri dari ikatan—seperti dalam buku— melepaskan ikatan mereka juga, dan kabur—dan menemukan rumah sudah kosong.” “Dan tak seorang pun terpikir akan siasat keledai atau semacamnya?” “Tidak.” “Kalau begitu,” sahut George sangat ramah, “aku memaafkanmu.” “Terima kasih, George,” ujar Mary tanpa perlawanan. “Sesungguhnya,” George menambahkan, “satu-satunya pertanyaan yang muncul adalah: ke mana kita pergi sekarang? Aku tidak yakin apakah tempatnya Lambeth Palace atau Doctor’s Commons, di mana pun itu.” “Kau ini bicara apa?” “Tentang surat nikah. Kurasa kita perlu surat nikah khusus. Kau terlalu gemar bertunangan dengan seseorang, tapi meminta orang lain menikah denganmu.” “Aku tidak memintamu menikah denganku!” “Kau memintanya. Di Hyde Park Corner. Memang bukan tempat yang akan kupilih untuk melamar, tapi dalam hal ini setiap orang punya ciri khas masing-masing.” “Sama sekali tidak. Aku cuma bertanya, dengan bercanda, apakah kau berminat menikah denganku? Aku tidak serius.” “Seandainya aku meminta pendapat pengacara, aku yakin dia akan berkata ungkapan itu merupakan pinangan murni. Lagi pula, kau tahu kau ingin menikah denganku.” “Tidak.” “Bahkan setelah gagal sembilan setengah kali? Bayangkan betapa amannya perasaanmu bisa menjalani hidup bersama pria yang mampu mengeluarkanmu dari situasi berbahaya.” Mary tampak agak mengendur mendengar argumentasi ini. Tapi dengan tegas ia berkata, “Aku takkan mau menikah dengan seorang pria, kecuali dia bersedia berlutut di hadapanku.” George menatapnya. Perempuan ini sangat memesona. Tapi selain bisa menendang, George masih memiliki perangai lain yang khas keledai. Dengan sikap tidak kalah tegas ia berkata, “Berlutut di hadapan wanita sungguh merendahkan martabat. Aku takkan melakukannya.” Dengan wajah prihatin yang memikat, Mary berkata, “Sayang sekali.” Mereka kembali ke London. George mengemudi dengan diam dan pantang menyerah. Wajah Mary terlindung di balik tepi topinya. Saat melintasi Hyde Park Corner, ia bergumam lembut, “Tidak bisakah kau berlutut di hadapanku?” Dengan tegas George berkata, “Tidak.” Ia merasa bagaikan Superman. Mary mengagumi sikapnya ini. Tapi sayangnya, George juga melihat kecenderungan keras kepala dalam diri gadis itu. Mendadak ia menepi. “Permisi sebentar,” ujarnya. Ia melompat keluar dari mobil, melangkah menuju gerobak dorong berisi buah-buahan yang baru saja mereka lewati, dan kembali begitu cepat hingga polisi yang menghampiri mereka untuk menanyakan maksud mereka tidak sempat mencapai mobil. George melanjutkan perjalanan, lalu melemparkan sebutir apel ke pangkuan Mary. “Makanlah lebih banyak buah,” katanya. “Selain itu, ini juga punya arti simbolis.” “Simbolis?” “Ya. Mula-mula Hawa-lah yang memberikan apel pada Adam. Zaman sekarang Adam-lah yang memberikannya pada Hawa. Paham?” “Ya,” jawab Mary ragu. “Ke mana aku harus mengantarmu?” tanya George resmi. “Ke rumah saja.” George mengarahkan mobil menuju Grosvenor Square. Wajahnya sama sekali tanpa ekspresi. Ia melompat keluar dan mengitari mobil untuk membantu Mary turun. Gadis itu meminta sekali lagi. “George, Darling—tidak bisakah kau? Sekadar menyenangkan hatiku?” “Takkan pernah,” jawab George. Tiba-tiba terjadilah hal itu. George terpeleset, berusaha mencari keseimbangan, tapi gagal. Ia sudah berlutut di lumpur tepat di hadapan Mary. Gadis itu memekik bahagia sambil bertepuk tangan. “George darling! Sekarang aku mau menikah denganmu. Kau boleh langsung ke Lambeth Palace dan mengaturnya dengan Uskup Besar Canterbury.” “Aku tidak bermaksud melakukannya,” sembur George sengit. “Itu tadi cuma gara-gara kulit pisang yang dib... saja.” Dengan kesal ia mengangkat benda yang telah menjadi gara-gara tadi. “Tidak mengapa,” sahut Mary. “Pokoknya sudah terjadi. Waktu kita bertengkar dan kau bersikeras aku melamarmu, aku bisa menuntut agar kau berlutut di hadapanku dulu sebelum aku bersedia menikah denganmu. Dan semua ini terjadi karena kulit pisang yang diberkati itu! Kau tadi memang hendak berkata kulit pisang yang diberkati, kan?” “Semacam itulah,” ujar George. *** Pukul setengah enam sore, Mr. Leadbetter diberitahu bahwa keponakannya datang untuk menemuinya. “Datang untuk meminta maaf,” kata Mr. Leadbetter dalam hati. “Aku memang agak terlalu keras pada anak itu, tapi itu untuk kebaikannya sendiri.” Dan ia memberi perintah agar George dipersilakan masuk. George masuk dengan langkah-langkah ringan. “Aku ingin bicara sebentar, Paman,” katanya. “Pagi tadi Paman berlaku sangat tidak adil padaku. Aku ingin tahu apakah ada orang seusiaku yang diusir oleh sanak keluarganya, tapi antara jam sebelas lewat seperempat dan setengah enam sore bisa mendapatkan penghasilan sebesar dua puluh ribu pound setahun. Inilah yang baru kulakukan!” “Kau pasti sudah gila, Nak.” “Bukan gila, tapi banyak akal! Aku akan menikahi wanita muda tokoh masyarakat kaya raya yang cantik jelita. Wanita yang rela meninggalkan seorang duke demi diriku.” “Menikahi seorang gadis demi uangnya? Aku tak menyangka kau bisa berbuat begitu.” “Paman memang benar. Aku sendiri takkan pernah berani memintanya seandainya dia tidak— untung saja—memintaku. Belakangan dia menarik kembali kata-katanya, tapi aku membuatnya berubah pikiran. Dan tahukah Paman bagaimana semuanya ini terjadi? Melalui pengeluaran bijaksana sebesar dua pence dan menangkap bola emas kesempatan.” “Mengapa dua pence?” tanya Mr. Leadbetter, tertarik secara finansial. “Untuk mengambil pisang—dari kereta dorong. Tidak semua orang akan terpikir menggunakan pisang itu. Di mana aku bisa mendapatkan surat nikah? Di Doctor’s Commons atau Lambeth Palace?” BATU ZAMRUD SANG RAJAH DENGAN upaya keras James Bond kembali memusatkan perhatian pada buku kuning kecil di tangannya. Di sampul luarnya terbaca tulisan sederhana namun menyenangkan, “Anda ingin meningkatkan penghasilan Anda sampai £300 per tahun?” Harga buku itu cuma satu shilling. James baru selesai membaca dua halaman yang memuat alinea-alinea segar berisi tips agar ia menatap atasannya lurus-lurus, menunjukkan kepribadian dinamis, dan menebarkan kesan efisien. Ia sudah sampai pada masalah yang lebih pelik. “Ada waktu untuk jujur, ada waktu untuk bijaksana,” demikian menurut buku kuning kecil itu. “Pria perkasa tidak selalu memuntahkan semua hal yang diketahuinya.” James menutup bukunya, mendongak, lalu menatap lautan biru yang terbentang di depannya. Ia curiga janganjangan ia bukan pria perkasa. Pria perkasa bisa menguasai keadaan, bukan menjadi korban. Untuk keenam puluh kalinya sepanjang pagi itu, James mengingat-ingat semua kesalahannya. Ini adalah liburannya. Liburannya? Ha ha! Ia tertawa sinis. Siapa yang membujuknya datang ke Kimpton-on-Sea, resor pantai terkemuka ini? Grace. Siapa yang mendorongnya untuk mengeluarkan biaya melebihi kemampuannya? Grace. Ia bahkan telah menyambut rencana itu dengan semangat. Gadis itu telah berhasil mengajaknya kemari, dan apa akibatnya? Sementara James tinggal di penginapan kumuh sekitar dua setengah kilometer dari tepi pantai, Grace yang seharusnya juga tinggal di tempat serupa (bukan yang sama— tata krama lingkungan James sangat ketat), telah meninggalkannya dengan terangterangan, dan tinggal di tempat yang tidak tanggung-tanggung, yaitu Esplanade Hotel di dekat pantai. Sepertinya ia punya teman-teman di sana. Teman-teman! Lagi-lagi James tertawa sinis. Ingatannya melayang kembali merenungi masa pacaran santai dengan Grace selama tiga tahun terakhir ini. Ketika pertama kali mendapat perhatian khusus dari James, Grace sangat senang. Itu sebelum ia melambung di lingkungan salon-salon topi wanita Messrs Bartles di High Street. Di awal masa pacaran mereka, James-lah yang bersikap angkuh, sekarang boro-boro! Posisi mereka sudah berbalik. Secara teknis, Grace bisa dikatakan “punya penghasilan bagus”. Ini membuatnya tinggi hati. Ya, tinggi hati luar-dalam. James teringat kembali sepenggal sajak dari buku kumpulan puisi, yang berbicara tentang “bersyukur pada langit sambil berpuasa, atas kasih sayang pria yang mulia”. Tetapi pada diri Grace tidak tampak sikap seperti ini. Dengan perut kenyang oleh sarapan Esplanade Hotel, ia mengabaikan sepenuhnya kasih sayang pria yang mulia. Ia bahkan menyambut perhatian yang dilimpahkan idiot licik bernama Claud Sopworth, laki-laki yang diyakini James tak berharga sama sekali. James membenamkan tumit ke dalam pasir, dan menatap kaki langit dengan geram. Kimptonon-Sea. Apa yang telah merasuki dirinya hingga mau datang ke tempat seperti ini? Ini tempat peristirahatan unggul orang kaya dan ternama, dengan dua hotel dan beberapa mil pantai dihiasi bungalo-bungalo cantik milik para aktris terkenal, orang-orang Yahudi kaya, dan para bangsawan Inggris yang menikahi istri-istri kaya-raya. Ongkos menginap di bungalo terkecil dua puluh lima guinea seminggu. Bisa dibayangkan berapa uang sewa bungalo yang besar. Tepat di belakang tempat duduk James berdiri salah satu istana itu. Bangunan ini milik Lord Edward Campion, olahragawan terkenal itu, dan saat ini mereka yang sedang menginap di situ adalah tamu-tamu terhormat, termasuk Rajah dari Maraputna yang sangat kaya. Pagi itu James membaca berita tentang dirinya di koran mingguan lokal; tentang jumlah kekayaannya di India, istana-istananya, koleksi perhiasannya yang luar biasa, dengan pemberitaan khusus perihal batu zamrud yang terkenal dan ramai dibicarakan, berukuran sebesar telur burung merpati. James yang dibesarkan di kota, tidak begitu tahu soal ukuran telur merpati, tapi ia sangat terkesan. “Seandainya aku punya batu zamrud seperti itu,” ujar James sambil menatap kaki langit kembali, “akan kutunjukkan pada Grace.” Perasaan itu cuma samar-samar, tapi ucapan tadi membuat James merasa lebih nyaman. Dari belakang terdengar gelak tawa ceria, dan ketika menoleh ia langsung berhadapan dengan Grace. Bersamanya terlihat Clara Sopworth, Alice Sopworth, Dorothy Sopworth dan... aduh! Claud Sopworth. Gadis-gadis itu bergandengan tangan sambil mengikik. “Wah, kau ini seperti orang asing saja,” seru Grace genit. “Ya,” sahut James. Sebenarnya ia bisa saja menemukan gertakan yang lebih tajam. Orang tidak bisa menyampaikan kesan kepribadian dinamis hanya dengan menggunakan sepatah kata “ya”. Dengan hati mendidih ia menatap Claud Sopworth. Pakaian pemuda ini nyaris sama meriahnya dengan pemeran utama pertunjukan musik komedi. Saat itu James berharap sepenuh hati ada anjing pantai lincah yang menapakkan kaki depannya yang basah dan penuh pasir ke atas pipa celana flanel Claud yang putih bersih itu. James sendiri mengenakan celana panjang flanel kelabu tua yang sudah usang. “Udaranya segaa...aar, bukan?” ujar Clara sambil menarik napas dalam-dalam. “Membuatmu bersemangat, betul?” Ia mengikik. “Itu namanya ozon,” kata Alice Sopworth. “Khasiatnya sebagus tonikum.” Dan ia juga mengikik. Pikir James, “Aku ingin sekali membenturkan kepala dungu mereka. Apa gunanya tertawa sepanjang waktu seperti itu? Padahal tidak ada yang lucu.” Claude yang sangat rapi itu bergumam lesu, “Bagaimana kalau kita mandi-mandi? Atau ini terlalu meletihkan?” Ide untuk mandi-mandi itu disambut meriah. James ikut bergabung dengan mereka. Dengan cerdik ia bahkan berhasil menarik Grace agak terpisah dari yang lain. “Dengar!” keluhnya. “Aku nyaris tidak pernah melihatmu.” “Hm, kan kita sekarang sudah bersama-sama,” sahut Grace, “dan kau bisa bergabung dan makan siang bersama kami di hotel, setidaknya...” Ia menatap kedua kaki James dengan ragu. “Ada apa?” bentak James sengit. “Penampilanku kurang pantas bagimu?” “Sayangku, kau perlu menjaga penampilanmu,” kata Grace. “Semua orang di sini berpenampilan begitu keren. Lihat saja Claud Sopworth!” “Aku sudah melihatnya,” ujar James muram. “Aku belum pernah melihat pria sedungu dia.” Grace berdiri tegak dengan marah. “Tidak perlu mengkritik teman-temanku, James, itu tidak sopan. Pakaiannya sama dengan semua pria terhormat di hotel.” “Bah!” sembur James. “Tahukah kau apa yang kubaca di Society Snippets waktu itu? Nah, Duke dari... Duke dari, aku lupa, tapi ada duke yang dinobatkan sebagai pria berpenampilan terburuk di Inggris!” “Huh,” sahut Grace, “tapi setidaknya dia seorang duke, tahu!” “Jadi?” bentak James. “Siapa tahu suatu hari nanti aku jadi seorang duke? Paling tidak, hm... mungkin bukan duke, tapi yang sebanding.” James menepuk buku kuning di sakunya, dan menyebutkan sederetan panjang nama orang yang mengawali kehidupan dalam situasi lebih parah daripada James Bond. Grace cuma mengikik. “Jangan konyol, James,” ujarnya. “Yang benar saja, masa kau menjadi Earl dari Kimptonon-Sea!” James menatapnya dengan rasa marah bercampur putus asa. Udara Kimpton-on-Sea pasti sudah merasuki kepala Grace. Pantai pasir Kimpton-on-Sea terbentang panjang. Sejauh dua setengah kilometer berderet pondok-pondok dan bilik-bilik untuk bertukar pakaian. Rombongan mereka baru saja berhenti di depan sebaris kamar ganti yang berjumlah enam buah, masing-masing diberi tanda “Khusus untuk tamu Esplanade Hotel”. “Kita sudah sampai,” ujar Grace ceria, “tapi kau tidak bisa masuk bersama kami, James, kau terpaksa ke tenda-tenda umum di sebelah sana untuk bertukar pakaian. Kami akan menemuimu di laut. Sampai jumpa!” “Sampai jumpa!” kata James, dan ia melangkah menuju arah yang ditunjuk tadi. Dua belas tenda bobrok berdiri menghadap laut. Seorang pelaut tua menjaga tenda-tenda itu dengan segulung kertas biru di tangannya. Ia menerima koin yang diberikan James, menyobek sehelai karcis biru dari gulungan tadi, melemparkan handuk ke arahnya, lalu mengayunkan jempol ke belakang pundaknya. “Silakan antre,” ujarnya serak. Saat itulah James tersadar adanya persaingan. Selain dirinya, orang-orang lain juga berminat masuk ke laut. Selain semua tenda sudah ada orangnya, di luar setiap tenda sudah menunggu sekelompok orang yang saling memelototi dengan galak. James bergabung di kelompok yang paling kecil, dan menunggu. Kelepak tenda terbuka, dan dari dalamnya muncul wanita muda cantik dengan pakaian mandi minim sambil mengenakan topi mandinya dengan sangat santai. Ia melangkah menuju bibir pantai, lalu duduk di pasir sambil melamun. “Percuma saja,” kata James dalam hati, lalu bergabung dengan kelompok lain. Setelah menunggu lima menit, terdengar aktivitas dalam tenda kedua. Setelah terdorong ke sana kemari, kelepak tenda terbuka lebar dan muncullah empat anak bersama ayah-ibu mereka. Mengingat ukuran tenda kecil itu, pemandangan ini mirip permainan sulap. Pada saat yang sama, dua wanita melompat maju dan masing-masing menyambar kelepak tenda yang sama. “Saya duluan,” ujar wanita muda pertama sedikit terengah. “Saya yang lebih dulu,” balas wanita muda kedua sambil mendelik. “Anda harus tahu, saya sudah berada di sini sepuluh menit sebelum Anda tiba,” kata wanita muda pertama dengan cepat. “Saya sudah berada di sini seperempat jam yang lalu, dan semua orang juga tahu itu,” balas wanita kedua menantang. “Sudah, sudah,” ujar pelaut tua itu sambil mendekat. Kedua wanita muda itu bicara dengan suara melengking padanya. Setelah mereka selesai mengadu, pelaut itu mengayunkan jempolnya ke arah wanita kedua, lalu berkata singkat, “Silakan masuk.” Setelah itu ia beranjak pergi dengan tenang, seakan tidak mendengar protes yang dilontarkan padanya. Ia tidak tahu dan tidak peduli siapa yang tiba lebih dulu, tapi keputusannya, seperti tertulis di koran tentang kompetisi, adalah final. James yang resah menangkap lengan pelaut itu. “Coba dengar kataku!” “Ada apa, Mister?” “Berapa lama lagi aku bisa masuk tenda?” Dengan acuh tak acuh pelaut tua itu melihat sekilas ke arah kerumunan orang yang menunggu giliran. “Mungkin sejam, mungkin satu setengah jam, entahlah.” Saat itulah James melihat Grace dan gadis-gadis Sopworth itu berlarian di pasir, menuju laut. “Sialan!” umpat James dalam hati. “Oh, sialan!” Ia kembali menyambar lengan pelaut tua itu. “Apa aku tidak bisa mendapat tenda di tempat lain? Bagaimana dengan salah satu kamar ganti di sana itu? Kelihatannya semua pondok kosong.” “Pondok-pondok itu,” ujar pelaut tua itu dengan sombong, “adalah kamar ganti PRIBADI.” Selesai mengomel, ia melangkah pergi. Dengan hati getir karena merasa tertipu, James meninggalkan kerumunan orang yang menunggu giliran itu, lalu melangkah geram menuju pantai. Ini luar biasa! Ini benar-benar luar biasa! Dengan geram ia memelototi deretan rapi kamar ganti yang dilewatinya. Saat itu juga ia berubah dari pengikut partai Liberal Independen menjadi Sosialis tulen. Mengapa orang kaya memiliki kamar-kamar ganti pribadi dan bisa mandi kapan saja mereka mau tanpa harus menunggu giliran di tengah kerumunan? “Sistem kita,” ujar James samar, “sama sekali salah.” Dari arah laut terdengar jeritan-jeritan genit gadis yang terkena percikan air. Suara Grace! Dan meningkahi pekikannya, terdengar gelak tawa “Ha ha ha” si tolol Claud Sopworth. “Sialan!” maki James sambil mengertakkan gigi, hal yang belum pernah dicobanya dan hanya dibacanya dalam kisah-kisah fiksi. Ia menghentikan langkah, dan sambil memutar-mutar ranting dengan geram, ia berdiri membelakangi laut. Dengan kebencian meluap-luap ia menatap Eagle’s Nest, Buena Vista, dan Mon Desir. Sudah menjadi kebiasaan penghuni Kimpton-on-Sea untuk menandai kamar ganti mereka dengan nama-nama keren. Bagi James, Eagle’s Nest terdengar konyol, dan Buena Vista tidak ada dalam perbendaharaan kata-katanya. Tapi pengetahuan bahasa Prancis-nya cukup memadai untuk menyadari keserasian nama ketiga. “Mon Desir,” ujar James. “Aku harus mengakuinya.” Ia melihat bahwa sementara pintu-pintu kamar ganti yang lain tertutup rapat, pintu Mon Desir terbuka lebar. James mengamati pantai, dan menyadari bagian ini terutama digunakan para ibu dengan keluarga besar, masing-masing sibuk mengurus anak-anak mereka. Hari baru pukul sepuluh, masih terlampau pagi bagi kaum bangsawan Kimpton-onSea untuk turun kemari dan mandi. “Menikmati daging burung puyuh dan jamur di tempat tidur, dilayani bujang berbedak, bah! Takkan ada yang turun kemari sebelum jam dua belas,” pikir James. Ia melihat ke arah laut lagi. Dengan kepatuhan penyanyi opera terlatih, jeritan melengking Grace berkumandang di udara. Diikuti “Ha ha ha” Claud Sopworth. “Akan kulakukan,” desis James. Ia mendorong pintu Mon Desir dan masuk ke dalam. Untuk sesaat ia ketakutan melihat berbagai macam pakaian bergantungan dari pasak, tapi segera tenang kembali. Pondok itu dibagi menjadi dua. Di sebelah kanan terlihat sweater gadis berwarna kuning, topi jerami yang sudah penyok, dan sepasang sepatu pantai yang tergantung di pasak. Di sebelah kiri, celana panjang flanel kelabu yang sudah tua, sehelai pullover, dan topi pelaut anti air menunjukkan pemisahan ruang sesuai jenis kelamin. James bergegas ke bagian laki-laki dalam pondok itu, dan cepat-cepat menanggalkan pakaiannya. Tiga menit kemudian, ia sudah berada di laut, asyik menyembur dan mendengus dengan sombong, sambil memamerkan beberapa gaya renang profesional—dengan kepala di bawah air, lengan mengayuh kuat—penuh gaya. “Oh, di situ kau rupanya!” seru Grace. “Aku khawatir kau tidak bisa segera masuk ke air, melihat kerumunan orang yang menunggu giliran di sana.” “Begitu?” ujar James. Dengan setia ia berpikir tentang buku kuningnya. “Adakalanya pria perkasa bisa bersikap bijaksana.” Untuk sementara amarahnya sudah reda. Ia bisa berbicara dengan ramah namun tegas pada Claud Sopworth, yang sedang mengajarkan gaya overarm pada Grace. “Bukan, bukan begitu, Bung, kau keliru. Aku akan menunjukkan caranya padanya.” Nada bicaranya begitu yakin, hingga Claud mengundurkan diri dengan tersipu. Sayangnya, kemenangan ini singkat saja. Suhu perairan Inggris menyebabkan para perenang tidak tahan berlama-lama di dalamnya. Grace dan gadis-gadis Sopworth itu sudah menampakkan dagu kebiru-biruan dan gigi gemeletuk kedinginan. Mereka bergegas menuju pantai, dan James melangkah seorang diri menuju Mon Desir. Sementara menggosok badannya dengan handuk, lalu mengenakan kemejanya, ia merasa puas terhadap diri sendiri. Menurutnya, ia telah menunjukkan kepribadian dinamis. Tiba-tiba ia terpaku, nyaris lumpuh ketakutan. Dari luar terdengar celoteh beberapa gadis, suara mereka berbeda dengan suara Grace dan teman-temannya. Sesaat kemudian ia menyadari kenyataan, pemilik Mon Desir yang sesungguhnya telah tiba. Seandainya James sudah berpakaian lengkap, ia bisa saja menunggu kedatangan mereka dengan sikap bergengsi, lalu mencoba memberikan penjelasan. Tapi ia kalang kabut. Jendela-jendela Mon Desir hanya tertutup tirai-tirai hijau tua. James menahan pintu dengan badannya dan menggenggam tombol pintu sekuat tenaga. Dari luar, beberapa tangan mencoba memutarnya dengan sia-sia. “Pintu ini ternyata terkunci,” kata seorang gadis. “Sial betul, sekarang kita harus mengambil kuncinya.” James mendengar langkah-langkah mereka menjauh. Ia menarik napas lega dalam-dalam. Dengan tergesa ia mengenakan sisa pakaiannya. Dua menit kemudian ia sudah melangkah sembarangan di pantai, seakan tidak bersalah sedikit pun. Seperempat jam kemudian, Grace dan gadis-gadis Sopworth itu bergabung dengannya. Sisa pagi itu mereka lewatkan dengan cukup menyenangkan sambil melempar batu, menulis di pasir, dan bercanda. Kemudian Claud melirik arlojinya. “Sudah waktunya makan siang,” ujarnya. “Sebaiknya kita pulang.” “Aku lapar sekali,” ujar Alice Sopworth. Gadis-gadis yang lain juga berkata mereka kelaparan. “Kau mau ikut, James?” tanya Grace. Tak diragukan lagi, James terlalu mudah tersinggung. Ia memilih untuk merasa terhina oleh nada bicara Grace. “Tidak, bila pakaianku tidak cukup baik bagimu,” ujarnya getir. “Mungkin, mengingat kau begitu kritis, sebaiknya aku tidak ikut.” Ini merupakan petunjuk bagi Grace bahwa James menyampaikan protes, tapi udara laut telah membawa dampak buruk atas dirinya. Ia cuma menjawab, “Baiklah. Terserah kau saja, kalau begitu, sampai jumpa sore nanti.” James tercengang. “Wah!” katanya sambil menatap kelompok yang berjalan meninggalkannya. “Wah, ya ampun...” Dengan murung ia melangkah ke kota. Di Kimpton-on-Sea ada dua kafe, keduanya panas, berisik, dan penuh sesak. Kejadian di tenda-tenda ganti pakaian terulang kembali, James harus menunggu giliran. Ia terpaksa menunggu lebih lama daripada giliran sebenarnya, karena seorang wanita tak tahu aturan yang baru saja tiba menyerobot tempat duduk yang baru saja kosong. Akhirnya ia mendapat tempat juga di sebuah meja kecil. Tidak jauh dari telinga kirinya, tiga gadis berambut cepak acak-acakan sedang asyik menirukan opera Itali dengan kacau. Untung saja James tidak berbakat musik. Dengan lesu ia memerhatikan daftar menu, dengan kedua tangan di kantong celana. Pikirnya, “Apa pun yang kupesan pasti akan dijawab ‘habis’. Memang begitulah nasibku.” Tangan kanannya yang dibenamkan sampai ke dasar kantong, menyentuh benda yang tidak dikenalnya. Sepertinya ini sebutir kerikil, batu kerikil bulat yang besar. “Untuk apa pula aku memasukkan batu ke dalam kantong celanaku?” pikir James. Ia menggenggam benda itu. Seorang pelayan perempuan menghampirinya. “Tolong minta ikan goreng dan keripik kentang,” kata James. “Ikan gorengnya habis,” gumam si pelayan sambil menerawang ke langit-langit. “Kalau begitu, saya minta gulai daging sapi,” ujar James. “Gulai daging sapinya habis.” “Apa ada sesuatu di menu sialan ini yang tidak habis?” bentak James. Pelayan itu tampak sakit hati, dan menunjuk tulisan sup daging domba + kacang merah dengan jarinya yang pucat. James menerima nasibnya yang tak terelakkan dan memesan sup daging domba dengan kacang merah. Masih dengan hati mendidih mengingat cara kafe-kafe menjalankan usaha, ia mengeluarkan tangan dari kantong celananya, masih juga menggenggam batu itu. Setelah membuka genggamannya, ia melihat benda di telapak tangannya dengan linglung. Kemudian mendadak semua hal lain tersingkir dari benaknya, dan ia menatap benda itu dengan mata melotot. Benda di tangannya itu bukanlah sebutir kerikil, melainkan—ia sangat yakin—sebutir batu zamrud, batu zamrud hijau yang sangat besar. James menatap dengan sangat ketakutan. Tidak, ini tak mungkin batu zamrud, ini pasti kaca berwarna biasa. Mana ada batu zamrud sebesar ini, kecuali... Tulisan di koran menari-nari di depan mata James, “Rajah dari Maraputna—batu zamrud terkenal sebesar telur burung merpati.” Apakah ini—mungkinkah ini—batu zamrud itu yang saat ini sedang dipandangnya? Pelayan itu datang kembali membawa pesanan supnya, dan James mengatupkan jarinya dengan kejang. Badannya panas-dingin. Ia merasa lelah terjebak dalam dilema serius. Seandainya ini memang batu zamrud—tapi apa memang demikian? Apa ini mungkin? Ia membuka genggamannya lagi dan mengintip cemas. James bukan ahli batubatu berharga, tapi kilau cemerlang permata itu meyakinkan dirinya bahwa ini batu permata asli. Ia menaruh kedua sikunya di meja dan mencondongkan badan ke depan, sambil melamun menatap lemak di sup daging dombanya yang perlahan-lahan membeku. Ia harus mencari pemecahannya. Bila ini memang batu zamrud milik sang Rajah apa yang akan dilakukannya? Perkataan “polisi” berkelebat di benaknya. Bila orang menemukan barang berharga, ia harus membawanya ke kantor polisi. Dengan aksioma inilah ia telah dididik. Ya, tapi... bagaimana batu zamrud ini bisa berada di kantong celananya? Dengan putus asa ia memandang kedua kakinya, dan tiba-tiba perasaan takut menyergapnya. Ia menatap lebih cermat. Celana panjang tua berwarna kelabu ini sangat mirip dengan celana panjang kelabu lainnya, tapi secara naluriah James merasa ini bukan celana panjang miliknya. Ia bersandar tertegun saat menyadari kemungkinan ini. Sekarang ia mengerti apa yang sesungguhnya telah terjadi. Karena terburu-buru ingin segera keluar dari kamar ganti itu, ia telah salah mengambil celana. Ia ingat telah menggantung celananya di pasak yang berdampingan dengan celana yang sudah tergantung di situ. Ya, sejauh ini masalahnya sudah jelas, ia telah salah mengambil celana. Tapi bagaimana batu zamrud senilai ratusan ribu pound ini bisa sampai ke situ? Semakin dipikirkan, semakin aneh saja persoalan itu. Ia tentu saja bisa menjelaskannya pada polisi... Tak diragukan lagi, masalah ini memang memalukan, amat sangat memalukan. Ia terpaksa harus menjelaskan bahwa ia telah sengaja masuk ke kamar ganti milik orang lain. Ini tentu saja bukan pelanggaran serius, tapi tetap saja salah. “Bisa saya bawakan yang lainnya, Sir?” Pelayan tadi kembali lagi. Ia menatap sup daging domba yang tak tersentuh itu. James buru-buru menuang sebagian di piringnya, lalu meminta bon. Setelah melunasinya, ia keluar. Sementara ia berdiri bimbang di jalan, poster di seberang jalan menarik perhatiannya. Kota Harchester yang bersebelahan dengan resor ini memiliki koran sore, dan James menatap sebuah judul berita. Judul sederhana sekaligus sensasional: BATU ZAMRUD RAJAH DICURI. “Astaga,” ujar James lemas sambil bersandar di tiang. Sambil menenangkan diri, ia mengeluarkan koin satu penny dan membeli koran. Ia langsung menemukan berita yang dicarinya. Berita-berita sensasional lokal memang tidak banyak dan jarang terjadi. Judul-judul utama menghiasi halaman depan. “Pencurian Sensasional di Kediaman Lord Edward Campion. Pencurian Batu Zamrud Bersejarah yang Terkenal. Kerugian Besar Rajah dari Maraputna.” Fakta-faktanya tidak banyak dan sederhana. Malam sebelumnya, Lord Edward Campion telah menjamu beberapa teman. Karena ingin menunjukkan batu itu pada salah seorang tamu wanita, sang Rajah masuk untuk mengambilnya, dan mendapati batu permata itu sudah raib. Polisi telah dipanggil. Sejauh ini belum ada petunjuk yang berhasil didapat. James menjatuhkan koran itu ke lantai. Ia masih belum paham, bagaimana batu zamrud itu bisa berada di kantong celana flanel tua di kamar ganti, tapi ia semakin menyadari polisi pasti akan menganggap ceritanya mencurigakan. Jadi, apa yang harus dilakukannya? Di sinilah dia, berdiri di jalan utama Kimpton-onSea dengan harta curian senilai uang tebusan raja beristirahat nyaman di dalam kantong celananya, sementara seluruh pasukan polisi distrik sedang sibuk mencari benda curian yang sama. Ada dua tindakan yang bisa dilakukannya. Tindakan pertama, langsung ke kantor polisi dan menyampaikan kisahnya—tapi harus diakui, James sangat takut melakukannya. Tindakan kedua, bagaimanapun, ia harus menyingkirkan batu zamrud itu. Ia terpikir untuk membungkus permata itu di dalam kotak kecil dan mengirimnya lewat pos kepada sang Rajah. Ia lalu menggeleng. Ia telah banyak membaca kisah detektif. Ia tahu cara kerja detektif ulung yang beraksi dengan kaca pembesar dan semua jenis peralatan canggih lainnya. Setiap detektif tulen akan sibuk memeriksa paket James, dan dalam setengah jam akan berhasil menemukan profesi, usia, kebiasaan, dan penampilan pribadi pengirimnya. Sesudah itu hanya dibutuhkan beberapa jam untuk menelusuri jejaknya. Tiba-tiba muncul rencana yang sangat sederhana di benak James. Ini jam makan siang. Pantai relatif sepi, ia akan kembali ke Mon Desir, menggantung kembali celana itu di tempat semula, dan mengenakan celananya sendiri. Dengan cepat ia melangkah menuju pantai. Bagaimanapun, nuraninya mulai berbicara. Batu zamrud itu harus dikembalikan pada sang Rajah. Mungkin ada baiknya ia melakukan sedikit pekerjaan detektif—tentunya sesudah ia mendapatkan kembali celananya sendiri dan mengembalikan yang satu. Guna melaksanakan ide ini, ia mengarahkan langkah-langkahnya menuju pelaut tua itu, yang dianggapnya sumber informasi Kimpton-on-Sea yang tiada habis-habisnya. “Permisi!” ujar James sopan. “Saya rasa teman saya yang bernama Mr. Charles Lampton punya pondok kamar ganti di pantai ini. Pondok itu diberi nama Mon Desir, saya kira.” Pelaut tua itu sedang duduk santai di kursinya, mengisap pipa tembakau sambil memandang ke arah laut. Ia menggeser pipanya sedikit, dan menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari kaki langit. “Mon Desir adalah kepunyaan Paduka Lord Edward Campion, semua orang tahu itu. Aku belum pernah mendengar nama Charles Lampton, dia tentunya pendatang baru.” “Terima kasih.” kata James sambil mengundurkan diri. Informasi ini sangat mengejutkannya. Sang Rajah pasti tak mungkin menyelipkan batu itu ke dalam kantong celana dan melupakannya. James menggeleng, teori ini tidak memuaskan, tapi sudah jelas salah satu penghuni rumah itulah pencurinya. Situasi ini mengingatkan James akan beberapa kisah fiksi favoritnya. Bagaimanapun, tujuannya belum berubah. Segala sesuatu berjalan lancar. Seperti yang diharapkannya, pantai tampak sepi. Yang lebih menguntungkan lagi, pintu Mon Desir masih tetap terbuka lebar. Menyelinap masuk hanya butuh waktu sekejap. James baru saja mengambil celananya sendiri dari pasak, ketika suara di belakangnya membuatnya berbalik secepat kilat. “Nah, kena kau, Bung!” kata suara tadi. James memandang dengan mulut ternganga. Di pintu Mon Desir berdiri seorang asing: seorang pria berpakaian bagus berusia sekitar empat puluhan, dengan wajah tajam bagaikan burung elang. “Kena kau sekarang!” ulang orang asing itu. “Siapa... siapa Anda?” James tergagap. “Detektif Inspektur Merrilees dari Scotland Yard,” jawab orang itu tegas. “Dan silakan menyerahkan batu zamrud itu.” “Batu zamrud?” James berusaha mengulur waktu. “Itulah yang kukatakan tadi, bukan?” sahut Inspektur Merrilees. Ucapannya tegas dan praktis. James berusaha menenangkan diri. “Saya tidak paham maksud Anda,” ujarnya dengan gaya yang dianggapnya penuh gengsi. “Oh, ya, Nak, kurasa kau paham.” “Semuanya ini,” ujar James, “adalah kekeliruan. Saya bisa menjelaskannya dengan mudah...” Ia terhenti. Wajah pria itu tampak bosan. “Mereka selalu berkata begitu,” gumam petugas Scotland Yard itu jemu. “Kurasa kau mencurinya saat sedang berjalan-jalan di pantai, kan? Itulah penjelasan yang benar.” James menyadari bahwa kenyataannya memang mirip, tapi ia masih harus mengulur waktu. “Bagaimana saya bisa tahu Anda benar-benar detektif?” ia bertanya lesu. Merrilees menyingkapkan jaketnya sesaat, menunjukkan lencananya. James menatapnya terbelalak. “Dan sekarang,” ujar pria itu riang, “kaulihat kesulitan apa yang sedang kauhadapi! Kau orang baru—bisa kulihat. Ini pengalaman pertamamu, bukan?” James mengangguk. “Sudah kuduga. Sekarang, Nak, apa kau akan menyerahkan batu zamrud itu, atau haruskah aku menggeledahmu?” James menemukan kembali suaranya. “Saya... saya tidak membawanya,” katanya. Ia memutar otak. “Apa kau meninggalkannya di penginapan?” tanya Merrilees. James mengangguk. “Baiklah kalau begitu,” ujar sang detektif, “kita akan ke sana bersama-sama.” Ia menyelipkan lengannya di bawah lengan James. “Aku tidak mau mengambil risiko kau kabur dariku,” katanya lembut. “Kita akan pergi ke penginapanmu, dan kau harus menyerahkan batu itu padaku.” James berkata ragu, “Bila saya melakukannya, apa Anda akan melepaskan saya?” Merrilees tampak malu. “Kami tahu bagaimana batu itu dicuri,” jelasnya, “dan tentang wanita yang terlibat, dan tentu saja, sejauh ini sang Rajah ingin hal ini dirahasiakan. Anda tahu tentang para penguasa pribumi?” James, yang tidak tahu apa-apa tentang penguasa pribumi, kecuali seorang cause célèbre, mengangguk seakan mengerti sepenuhnya. “Tentu saja ini tidak biasa,” kata sang detektif, “tapi kau mungkin akan dibebaskan tanpa hukuman.” Lagi-lagi James mengangguk. Mereka sudah berjalan sepanjang Esplanade, dan sekarang melangkah menuju kota. James menunjukkan arahnya, tapi pria itu tidak mengendurkan cengkeramannya di lengan James. Tiba-tiba James terhenti dan bergumam. Merrilees mendongak ke atas, lalu tertawa. Mereka baru saja melintasi kantor polisi, dan ia melihat lirikan cemas James ke arah tempat itu. “Aku akan memberimu kesempatan dahulu,” ujarnya riang. Saat itulah terjadi sesuatu. James berteriak keras-keras. Sambil mencekal lengan pria itu, ia berteriak sekuat tenaga, “Tolong! Maling! Tolong! Maling!” Dalam waktu kurang dari semenit, orang-orang berkerumun di sekeliling mereka. Merrilees berusaha melepaskan lengannya dari cengkeraman James. “Aku akan menuntut orang ini!” seru James. “Aku akan menuntut orang ini, dia mencopetku.” “Kau ini bicara apa, tolol?” seru pria itu. Seorang polisi mengambil alih situasi. Mr. Merrilees dan James digiring ke dalam kantor polisi. James mengulangi pengaduannya. “Orang ini baru saja mencopet saya,” ujarnya penuh emosi. “Dia menyembunyikan dompet saya di saku kanannya, di situ!” “Orang muda ini gila,” gerutu pria itu. “Anda bisa memeriksa sendiri, Inspektur, dan lihatlah apa dia berkata benar.” Atas isyarat sang inspektur, polisi tadi menyelipkan tangan dengan sikap hormat ke dalam saku Merrilees. Ia mengeluarkan sesuatu dan ternganga keheranan. “Ya Tuhan!” seru sang inspektur, lupa akan sikap profesionalnya. “Itu pasti batu zamrud milik Rajah.” Merrilees tampak lebih terperangah daripada yang lain. “Ini mengerikan,” ia tergagap, “mengerikan. Orang ini pasti telah memasukkannya ke dalam saku saya sementara kami berjalan bersama. Ini perangkap.” Kepribadian Merrilees yang penuh semangat membuat inspektur itu agak ragu. Kecurigaannya beralih ke James. Ia membisikkan sesuatu pada polisi tadi, yang lalu pergi keluar. “Baiklah, Tuan-tuan,” ujar inspektur itu, “izinkan saya mendengar penjelasan Anda, satu per satu.” “Tentu saja,” ujar James. “Saya sedang berjalan-jalan di pantai ketika berjumpa dengan tuan ini, dan dia berpura-pura mengenal saya. Saya tidak ingat pernah bertemu dengannya, tapi saya terlalu sopan untuk mengatakannya. Kami lalu berjalan bersamasama. Saya merasa curiga padanya, dan tepat ketika kami melintas di depan kantor polisi, tangannya sudah berada di dalam saku saya. Saya langsung mencekalnya dan berteriak minta tolong.” Inspektur itu mengalihkan pandangannya pada Merrilees. “Sekarang giliran Anda, Sir.” Merrilees tampak agak malu. “Kisah itu nyaris betul,” ujarnya perlahan, “tapi tidak sepenuhnya benar. Bukan saya, tapi dialah yang berpura-pura kenal. Tak diragukan lagi, dia sedang berusaha mengenyahkan batu zamrud itu, dan menyelipkannya ke dalam saku saya saat kami berbincang-bincang.” Inspektur itu berhenti menulis. “Ah!” katanya tanpa memihak. “Nah, sebentar lagi akan tiba seorang tuan yang akan membantu kita membereskan masalah ini.” Merrilees mengerutkan dahi. “Saya tidak mungkin menunggu,” gumamnya sambil mengeluarkan arlojinya. “Saya sudah ada janji. Inspektur, Anda tentunya tidak sekonyol itu, mengira saya mencuri batu zamrud dan berjalan-jalan sambil mengantonginya?” “Saya setuju itu tidak mungkin, Sir,” jawab sang inspektur. “Tapi Anda terpaksa menunggu lima atau sepuluh menit sampai kita membereskan persoalan ini. Ah! Paduka sudah tiba.” Seorang pria jangkung melangkah masuk ruangan. Ia mengenakan celana panjang lusuh dan sweater lama. “Baik, Inspektur, ada apa ini?” ujarnya. “Anda berkata batu zamrud itu sudah ditemukan? Itu hebat, kerja yang sangat bagus. Siapa orang-orang yang bersama Anda ini?” Matanya memandang James, dan berhenti saat melihat Merrilees. Kepribadian laki-laki yang tadi penuh semangat itu sepertinya merosot dan menyusut. “Wah—Jones!” seru Lord Edward Campion. “Anda mengenal orang ini, Lord Edward?” tanya inspektur itu tajam. “Tentu saja,” jawab Lord Edward dingin. “Dia pelayanku, datang kepadaku sebulan yang lalu. Orang yang diutus dari London langsung memeriksanya, tapi jejak batu zamrud itu tidak ditemukan di antara barang-barangnya.” “Dia membawa batu itu di dalam saku jaketnya,” sahut inspektur itu. “Tuan inilah yang mempertemukan kami dengannya.” Ia menunjuk James. Saat berikutnya, James diberi ucapan selamat dan jabat tangan hangat. “Anak muda yang baik,” ujar Lord Edward Campion. “Jadi, Anda sudah mencurigainya sejak awal, kata Anda?” “Ya,” jawab James. “Saya terpaksa mengarang cerita tentang kecopetan, agar bisa membawanya ke kantor polisi.” “Nah, itu hebat sekali,” kata Lord Edward, “amat sangat hebat. Anda harus ikut dan makan siang bersama kami, itu kalau Anda belum makan siang. Aku tahu ini sudah siang, hampir jam dua.” “Tidak,” ujar James, “saya belum makan siang—tapi...” “Cukup, cukup,” ujar Lord Edward. “Rajah pasti ingin menyampaikan terima kasih pada Anda karena mendapatkan kembali batu zamrud itu baginya. Meski aku belum memahami cerita sesungguhnya.” Sementara itu mereka sudah berada di luar kantor polisi, berdiri di anak tangga. “Sebenarnya,” kata James, “saya ingin menyampaikan kejadian sesungguhnya.” Dan ia menceritakannya. Paduka sangat senang mendengarnya. “Kisah paling bagus yang pernah kudengar seumur hidupku,” ujarnya. “Sekarang jelaslah bagiku. Jones tentunya bergegas ke kamar ganti begitu dia berhasil mencuri batu itu, karena tahu polisi pasti akan menggeledah rumah dengan cermat. Celana tua yang terkadang kupakai saat memancing tak mungkin disentuh siapa pun, dan dia bisa mengambil kembali permata itu dengan santai. Dia tentunya terkaget-kaget saat kembali dan mendapati batu itu sudah lenyap. Begitu Anda muncul, dia menyadari Anda-lah yang telah memindahkan batu itu. Tapi aku masih belum mengerti, bagaimana Anda berhasil membuka kedok detektifnya itu.” “Pria perkasa,” pikir James diam-diam, “tahu kapan harus terus terang dan kapan harus bijaksana.” Ia tersenyum mencemooh, sementara jari-jarinya meraba bagian dalam kelepak jaket dan membelai lencana perak kecil Merton Park Super Cycling Club, perkumpulan penggemar sepeda yang tidak terkenal itu. Benar-benar kebetulan yang mengherankan bila laki-laki bernama Jones itu juga salah satu anggotanya, tapi memang itulah kenyataannya! “Halo, James!” Ia menoleh. Grace dan gadis-gadis Sopworth itu memanggilnya dari seberang jalan. Ia menoleh pada Lord Edward. “Permisi sebentar.” Ia menyeberangi jalan, menemui mereka. “Kami mau pergi menonton bioskop,” kata Grace. “Mungkin kau mau ikut?” “Maaf,” ujar James. “Aku akan makan siang bersama Lord Edward Campion. Ya, pria di sana yang mengenakan pakaian tua yang nyaman itu. Dia ingin aku bertemu Rajah dari Maraputna.” Ia mengangkat topinya dengan sopan, lalu bergabung kembali dengan Lord Edward. NYANYIAN TERAKHIR I SUATU pagi di bulan Mei, pukul sebelas di London. Mr. Cowan sedang memandang ke luar jendela, di belakangnya tampak semarak ruang duduk kamar suite Ritz Hotel. Kamar ini telah dipesan untuk Madame Paula Nazarkoff, bintang opera terkenal itu, yang baru tiba di London. Mr. Cowan, manajer bisnis Madame, sedang menunggu bertemu dengannya. Ia langsung menoleh begitu pintu terbuka, tapi ternyata yang masuk itu Miss Read, sekretaris Madame Nazarkoff, gadis pucat dengan sikap efisien. “Oh, ternyata kau,” ujar Mr. Cowan. “Madame belum bangun?” Miss Read menggeleng. “Dia memintaku datang sekitar jam sepuluh,” kata Mr. Cowan. “Aku sudah menunggu satu jam.” Ia tidak menampakkan rasa kesal maupun heran. Mr. Cowan sudah terbiasa dengan tingkah laku aneh dan temperamen seniman. Ia pria jangkung dengan wajah dicukur bersih, sosoknya agak terlalu perlente, dan pakaiannya sedikit terlalu sempurna. Rambutnya hitam legam dan mengilat, giginya sangat putih berkilau. Saat bicara, ia mengucapkan huruf “s” agak cadel. Tidak perlu imajinasi berlebihan untuk menyadari bahwa nama ayahnya mungkin Cohen. Saat itu pintu di seberang ruangan terbuka, dan seorang gadis Prancis yang ramping bergegas melintasi ruangan. “Madame sudah bangun?” tanya Cowan penuh harap. “Katakan pada kami, Elise.” Elise langsung mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. “Pagi ini Madame uring-uringan, tak ada yang menyenangkan hatinya! Katanya mawar-mawar kuning cantik yang dikirimkan Monsieur semalam memang bagus sekali untuk di New York, tapi sungguh imbecile untuk mengirimkannya di London. Menurut Madame, di London hanya mawar merahlah yang pantas, dan dia langsung membuka pintu, membuang mawar-mawar kuning itu ke lorong hingga menimpa seorang tuan, très comme il faut, saya rasa seorang perwira militer, dan tuan ini tentu saja marah!” Cowan mengangkat alis, tapi tidak menampakkan tanda-tanda emosi lainnya. Ia lalu mengeluarkan buku catatan kecil dari sakunya dan menulis kata-kata “mawar merah” di dalamnya. Elise bergegas keluar lewat pintu lain, dan Cowan kembali menghadap jendela. Vera Read duduk di meja, mulai membuka surat-surat serta memilah-milahnya. Sepuluh menit berlalu dalam keheningan, dan tiba-tiba pintu kamar tidur terpentang. Paula Nazarkoff melangkah masuk ke ruangan itu. Kehadirannya langsung membuat ruangan itu tampak lebih sempit dan Vera Read tampak lebih pucat, sedangkan Cowan jadi sekadar seperti sosok di latar belakang. “Ah ha! Anak-anakku,” ujar sang primadona, “bukankah aku tepat waktu?” Wanita ini bertubuh tinggi besar, dan untuk ukuran penyanyi, ia tidak terlalu gemuk. Lengan dan kakinya masih cukup langsing, sedangkan lehernya tegak bagaikan tiang yang indah. Rambutnya yang disanggul berupa gelungan memanjang sampai ke tengkuk, berwarna merah tua. Warna ini antara lain disebabkan oleh henna. Ia tidak muda lagi, usianya paling tidak empat puluh tahun, namun raut wajahnya masih tampak cantik, meskipun kulit di seputar mata hitamnya yang berkilat itu sudah agak kendur dan keriput. Ia memiliki gelak tawa anak kecil, pencernaan burung unta, dan temperamen iblis. Selain itu, ia diakui sebagai penyanyi soprano dramatis terbesar di zamannya. Ia berpaling ke Cowan. “Sudah kaulakukan instruksiku? Apa kau sudah menyingkirkan piano Inggris jelek itu dan membuangnya ke Sungai Thames?” “Saya sudah mendapatkan yang lain untuk Anda,” ujar Cowan sambil menunjuk ke arah piano yang tegak di sudut. Nazarkoff bergegas menghampiri, lalu membuka tutupnya. “Piano Erard,” katanya, “itu lebih bagus. Sekarang mari kita coba.” Suara soprano yang merdu itu mengalunkan nada yang bergantian cepat, kemudian dua kali naik-turun oktaf dengan ringan, melambung mencapai nada tinggi, bertahan di situ dengan volume semakin keras, lalu melembut kembali sampai lenyap. “Ah!” kata Paula Nazarkoff, puas dan lugu. “Alangkah merdunya suaraku! Bahkan di London pun suaraku tetap merdu.” “Betul,” Cowan mengiyakan sambil memberikan ucapan selamat dengan hangat. “Berani bertaruh London akan tergila-gila pada Anda, sama seperti New York.” “Kaupikir begitu?” tanya sang penyanyi. Senyuman tipis membayang di bibirnya, dan sangat jelas bahwa pertanyaan tadi sekadar basa-basi lumrah belaka. “Sudah tentu,” jawab Cowan. Paula Nazarkoff menutup piano itu kembali, lalu berjalan menuju meja dengan langkahlangkah lambat bergelombang yang terbukti efektif di atas panggung. “Well, well,” ujarnya, “sekarang mari kita bekerja. Kau sudah mengatur semuanya, Kawan?” Cowan mengeluarkan beberapa surat dari map yang tadi diletakkan di atas kursi. “Tidak banyak perubahan,” komentarnya. “Anda akan menyanyi lima kali di Covent Garden, membawakan Tosca liga kali, dan Aida dua kali.” “Aida! Bah,” keluh sang primadona, “membosankan sekali. Tosca, itu baru beda.” “Ah, ya,” sahut Cowan. “Tosca memang keahlian Anda.” Paula Nazarkoff berdiri tegak. “Akulah penyanyi Tosca terbesar di seluruh dunia,” ujarnya tenang. “Betul sekali,” Cowan mengiyakan. “Tak seorang pun mampu menandingi Anda.” “Kurasa Roscari akan menyanyikan ‘Scarpia’?” Cowan mengangguk. “Dan Emile Lippi.” “Apa?!” jerit Nazarkoff. “Lippi, si katak kerdil menggonggong itu, kung—kung—kung. Aku takkan menyanyi dengannya, aku akan menggigitnya, aku akan mencakar wajahnya.” “Sudah, sudah,” ujar Cowan menenangkan. “Dengar kataku, dia bukan menyanyi, dia anjing kampung yang menggonggong.” “Hm, kita lihat nanti, kita lihat nanti,” kata Cowan. Ia terlalu bijak untuk berdebat dengan penyanyi temperamental. “Bagaimana dengan Cavaradossi?” bentak Nazarkoff. “Hensdale, penyanyi tenor Amerika itu yang akan membawakannya.” Nazarkoff mengangguk. “Dia pemuda yang baik, suaranya merdu.” “Dan saya percaya Barrère akan menyanyikannya satu kali.” “Dia seniman,” puji Madame. “Tapi membiarkan si kodok Lippi itu memerankan Scarpia! Bah —aku takkan menyanyi bersamanya.” “Serahkan saja pada saya,” ujar Cowan menghibur. Ia berdeham, lalu mengeluarkan setumpuk kertas lain. “Saya sedang mengatur konser istimewa di Albert Hall.” Nazarkoff menyeringai. “Saya tahu, saya tahu,” ujar Cowan, “tapi semua orang melakukannya.” “Aku akan menyanyi dengan bagus,” ujar Nazarkoff, “gedung itu akan penuh sesak sampai ke langit-langit, dan aku akan mendapatkan banyak uang. Ecco!” Lagi-lagi Cowan mengambil surat-surat. “Berikut ini ada usul yang agak berbeda,” katanya, “dari Lady Rustonbury. Dia ingin Anda datang untuk menyanyi.” “Rustonbury?” Sang primadona mengerutkan kening, seakan berusaha mengingat sesuatu. “Aku pernah mendengar nama itu—baru saja. Itu nama kota—atau desa, kan?” “Betul, desa kecil yang permai di sendiri, yaitu Rustonbury Castle, dengan hantu-hantu, potret-potret bermutu tinggi. Mereka kaya-raya, menyarankan kita membawakan opera Hertfordshire. Mengenai kediaman Lord Rustonbury tempat ini bergaya anggun, antik, dan feodal, lengkap keluarga, tangga-tangga rahasia, dan teater pribadi dan selalu mengadakan pertunjukan pribadi. Dia lengkap, kalau bisa Butterfly.” “Butterfly?” Cowan mengangguk. “Dan mereka bersedia membayar. Kita tentu saja harus menyelesaikan pertunjukan di Covent Garden dulu, tapi sesudah itu pun secara finansial usul itu sangat memadai. Hampir bisa dipastikan akan ada bonusnya juga. Ini akan menjadi iklan yang sangat bermutu.” Madame mengangkat dagunya yang masih indah itu. “Memangnya aku masih membutuhkan iklan?” sergahnya bangga. “Kalau ada kesempatan, mengapa tidak?” ujar Cowan tanpa malu. “Rustonbury,” gumam penyanyi itu, “di mana aku pernah membacanya...?” Mendadak ia melompat berdiri, dan sambil berlari ke meja tengah, ia mulai membalikbalik halaman koran yang tergeletak di atasnya. Tiba-tiba tangannya terhenti dan melayang di atas salah satu halaman. Setelah itu ia menjatuhkan koran itu ke lantai dan melangkah perlahan kembali ke tempat duduknya. Suasana hatinya cepat berubah, dan sekarang kepribadiannya tampak sangat berbeda. Sikapnya sangat tenang, nyaris sederhana. “Atur semuanya untuk Rustonbury, aku mau menyanyi di situ, tapi dengan satu syarat— operanya harus Tosca.” Cowan tampak ragu. “Itu takkan mudah—untuk pertunjukan pribadi, Anda tahu bukan, dekor pemandangan dan sebagainya.” “Tosca atau tidak sama sekali.” Cowan memerhatikannya dengan cermat. Apa yang dilihatnya seakan meyakinkan dirinya. Ia mengangguk singkat, lalu bangkit berdiri. “Akan saya coba,” ujarnya tenang. Nazarkoff juga bangkit berdiri. Ia tampak lebih bersemangat daripada biasanya untuk menjelaskan keputusannya. “Ini peranku yang terbesar, Cowan. Aku mampu membawakan bagian itu lebih baik daripada perempuan mana pun.” “Itu memang bagian yang indah,” ujar Cowan. “Tahun lalu Jeritza mendapat sambutan meriah saat membawakannya.” “Jeritza!” pekik Nazarkoff dengan wajah memerah. Dengan panjang-lebar ia memuntahkan pendapatnya tentang Jeritza. Cowan, yang sudah terbiasa mendengar pendapat para penyanyi tentang penyanyi lain, mengalihkan perhatiannya sampai semburan itu reda. Setelah itu ia berkata dengan nekat, “Bagaimanapun, dia menyanyikan Vissi D’arte sambil berbaring tertelungkup.” “Mengapa tidak?” bentak Nazarkoff. “Apa susahnya? Aku akan menyanyikannya sambil berbaring telentang dengan menendang-nendangkan kedua kakiku ke atas.” Cowan menggeleng serius. “Saya tidak percaya gaya itu akan mengalahkan siapa pun,” komentarnya. “Namun, hal seperti itu memang menantang.” “Tak seorang pun mampu menyanyikan Vissi D’Arte sehebat aku,” kata Nazarkoff yakin. “Aku membawakannya dengan suara biara—seperti diajarkan para biarawati bertahun-tahun lalu. Dengan suara bening bocah paduan suara laki-laki atau malaikat, tanpa perasaan, tanpa gairah.” “Saya tahu,” sahut Cowan riang. “Saya sudah mendengarnya, Anda memang hebat sekali.” “Itu yang namanya seni,” kata sang primadona, “membayar harganya, menderita, bertahan, dan akhirnya bukan saja menguasai ilmunya, tapi juga kemampuan untuk mundur ke awal, dan menangkap kembali keindahan hati anak kecil yang sudah terhilang.” Cowan menatapnya heran. Nazarkoff menatap kosong dengan janggal, dan ada sesuatu dalam pandangan itu yang membuat Cowan merinding. Bibir Nazarkoff terbuka sedikit, dan ia membisikkan beberapa kata dengan lirih. Cowan nyaris tak mampu mendengarnya. “Akhirnya,” gumam wanita itu. “Akhirnya—setelah sekian tahun.” II Lady Rustonbury wanita yang ambisius sekaligus artistik. Ia menggabungkan kedua hal itu dengan sangat sukses. Ia beruntung memiliki suami yang tidak peduli pada ambisi maupun seni, dan karenanya tidak merintanginya dalam bentuk apa pun. Earl Rustonbury pria bertubuh besar dan kekar yang hanya tertarik pada kuda. Ia mengagumi istrinya dan bangga terhadapnya, dan senang kekayaannya yang luar biasa itu bisa memuaskan semua rencana istrinya. Teater pribadi itu dibangun kurang dari seabad yang lalu oleh kakeknya. Ini merupakan mainan utama Lady Rustonbury—ia sudah menyelenggarakan drama Ibsen di situ, dan sandiwara sekolah yang baru, mengenai perceraian dan obat-obat terlarang, selain fantasi puitis dengan dekor abstrak. Pagelaran Tosca mendatang telah menggugah minat luas. Lady Rustonbury akan mengadakan pesta rumah bagi kalangan yang sangat ternama, dan para undangan dari London akan datang dengan mobil masing-masing untuk menghadirinya. Madame Nazarkoff beserta rombongan tiba tepat sebelum acara makan siang. Hensdale, penyanyi tenor muda dari Amerika, akan menyanyikan Cavaradossi, sedangkan Roscari, penyanyi bariton terkenal dari Itali, akan memerankan Scarpia. Pengeluaran untuk pertunjukan ini sangat besar, tapi tak ada yang peduli. Suasana hati Paula Nazarkoff sangat cerah. Sikapnya memikat, ramah tamah, dan sangat internasional. Cowan heran sekaligus senang, dan berharap keadaan ini terus bertahan. Selesai makan siang, rombongan ini beranjak menuju teater, dan memeriksa dekor serta berbagai hal lainnya. Orkestra akan dipimpin oleh Mr. Samuel Ridge, salah seorang dirigen paling ternama. Segala sesuatu sepertinya berjalan mulus tanpa cela, dan anehnya, fakta ini justru membuat khawatir Mr. Cowan. Ia lebih terbiasa dengan suasana penuh kesibukan, dan suasana tenteram yang tidak biasa ini mengganggunya. “Semua ini agak terlalu mulus,” gumam Mr. Cowan. “Madame bagaikan kucing kekenyangan. Ini terlalu bagus dan tak mungkin bertahan, sesuatu pasti terjadi.” Boleh jadi karena telah begitu lama berkecimpung di dunia opera, Mr. Cowan telah mengembangkan indra keenam, dan ramalannya menjadi kenyataan. Malam itu baru pukul tujuh saat Elise, si pelayan Prancis, berlari menemuinya dengan panik. “Ah, Mr. Cowan, cepat ikut, saya mohon, cepatlah ikut saya.” “Ada apa?” tanya Cowan cemas. “Madame marah-marah lagi tentang sesuatu—bertengkar lagi, begitu?” “Bukan, ini bukan soal Madame, ini soal Signor Roscari. Dia sakit parah, dia sedang sekarat!” “Sekarat? Yang benar saja.” Cowan bergegas mengikuti pelayan yang mengantarnya ke kamar tidur penyanyi Itali yang sedang terkapar itu. Pria bertubuh kecil itu berbaring di tempat tidur, atau tepatnya, kejang-kejang di atasnya, pemandangan yang mungkin akan dianggap lucu seandainya situasi tidak gawat. Paula Nazarkoff sedang membungkuk di atasnya; ia menyambut Cowan dengan angkuh. “Ah! Akhirnya kau datang juga! Roscari yang malang, dia sangat menderita. Dia pasti telah memakan sesuatu.” “Aku akan mati,” erang pria kecil itu. “Sakitnya—sakitnya luar biasa. Aduh!” Ia kejang lagi, dan sambil menekan perutnya dengan kedua tangan, ia berputar-putar di atas ranjang. “Kita harus memanggil dokter,” kata Cowan. Paula menangkap tangannya saat ia hendak beranjak ke pintu. “Dokter sudah dalam perjalanan kemari, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menolong orang malang ini. Itu sudah diatur, tapi Roscari tak mungkin bisa menyanyi malam ini.” “Aku takkan pernah menyanyi lagi, aku akan mati,” erang penyanyi Itali itu. “Tidak, tidak, Anda takkan mati,” ujar Paula. “Ini cuma gangguan pencernaan, namun Anda tidak mungkin menyanyi malam ini.” “Aku telah diracuni.” “Ya, ini pasti racun ptomaine,” ujar Paula. “Tetap tinggal bersamanya, Elise, sampai dokter tiba.” Penyanyi sopran itu menarik Cowan keluar kamar. “Apa yang harus kita lakukan?” ia bertanya. Cowan menggeleng putus asa. Hari sudah terlalu malam untuk menjemput orang lain dari London untuk menggantikan Roscari. Lady Rustonbury, yang baru saja diberitahu tentang tamunya yang sakit itu, bergegas sepanjang koridor dan bergabung dengan mereka. Keprihatinannya yang terbesar, sama seperti Paula Nazarkoff, adalah kesuksesan Tosca. “Seandainya ada orang yang bisa menggantikannya,” keluh sang primadona. “Ah!” seru Lady Rustonbury tiba-tiba. “Tentu saja! Bréon.” “Bréon?” “Betul, Edouard Bréon. Anda tahu bukan, penyanyi bariton terkenal dari Prancis itu. Dia tinggal tak jauh dari sini, ada foto rumahnya yang dimuat di Country Homes edisi minggu ini. Dialah orang yang paling tepat.” “Ini benar-benar jawaban dari langit,” seru Nazarkoff. “Bréon sebagai Scarpia, aku ingat padanya, ini salah satu peran yang sangat cocok untuknya. Tapi dia sudah pensiun, bukan?” “Aku akan menjemputnya,” ujar Lady Rustonbury. “Serahkan saja padaku.” Dan mengingat ia wanita yang biasa membuat keputusan, ia langsung berangkat menjemput sang Hispano Suiza. Sepuluh menit kemudian, rumah peristirahatan pedesaan M. Edouard Bréon itu diserbu sang countess yang gelisah. Lady Rustonbury wanita yang penuh tekad kalau sudah memutuskan sesuatu, dan tak pelak lagi M. Bréon menyadari bahwa tak ada jalan lain kecuali mengalah. Sebagai orang yang berasal dari kalangan rendahan, ia telah meniti karier sampai ke puncak, dan bergaul akrab dengan para duke maupun pangeran. Fakta ini selalu memberinya kepuasan. Namun sejak pensiun dan mengundurkan diri ke tempat kuno Inggris ini, ia merasa tidak bahagia. Ia kehilangan gaya hidup yang penuh sanjungan dan aplaus, dan menurut pendapatnya, wilayah Inggris tidak langsung mengenalinya seperti seharusnya. Karena itu ia sangat tersanjung dan bahagia oleh ajakan Lady Rustonbury. “Saya akan berusaha sebaik mungkin,” ujarnya tersenyum. “Seperti Anda ketahui, sudah lama saya tidak bernyanyi di depan umum. Saya bahkan tidak punya murid-murid, kecuali satu-dua orang untuk kesenangan saja. Namun berhubung Signor Roscari sayang sekali berhalangan...” “Ini pukulan yang amat keras,” sela Lady Rustonbury. “Tapi sebenarnya dia bukan penyanyi sejati,” ujar Bréon. Akhirnya ia menjelaskan mengapa bisa begitu. Sepertinya tidak ada lagi penyanyi bariton yang berkelas sejak Edouard Bréon pensiun. “Madame Nazarkoff akan menyanyikan Tosca,” ujar Lady Rustonbury. “Saya yakin Anda mengenalnya?” “Saya belum pernah bertemu dengannya,” ujar Bréon. “Saya pernah satu kali mendengarnya menyanyi di New York. Seniwati hebat—dia memiliki bakat drama.” Lady Rustonbury merasa lega—orang tidak pernah bisa menduga perangai para penyanyi ini— mereka memiliki kecemburuan dan antipati yang begitu aneh. Dua puluh menit kemudian, ia memasuki kembali ruang depan kastilnya sambil melambaikan tangan penuh kemenangan. “Sudah kudapat dia,” serunya sambil tertawa. “M. Bréon yang baik itu benar-benar sangat baik, aku takkan pernah melupakannya.” Semua orang berkerumun di sekitar orang Prancis itu, dan baginya, rasa terima kasih dan penghargaan mereka bagaikan dupa yang membubung. Edouard Bréon, meskipun sudah hampir berusia enam puluh tahun, masih tampak tampan, tinggi besar, dan berkulit gelap, dengan kepribadian amat menarik. “Sebentar,” ujar Lady Rustonbury. “Di mana Madame? Oh! Itu dia.” Paula Nazarkoff tidak turut menyambut laki-laki Prancis itu. Ia tetap duduk diam di kursi kayu ek, di kegelapan dekat perapian. Di dalamnya sudah tentu tak ada api, sebab malam itu hangat, dan penyanyi sopran itu sedang mengipasi diri perlahan-lahan dengan kipas daun palem yang besar. Ia tampak begitu menyendiri dan terpisah, hingga Lady Rustonbury khawatir ia sedang tersinggung. “M. Bréon.” Ia mengajak penyanyi bariton itu menghampiri Paula. “Anda berkata belum pernah berjumpa dengan Madame Nazarkoff.” Dengan lambaian terakhir yang nyaris gemulai, Paula Nazarkoff meletakkan kipas, dan mengulurkan tangannya pada orang Prancis itu. Pria itu menyambut tangannya, lalu membungkuk dalam-dalam, dan sang primadona menghela napas lembut. “Madame,” ujar Bréon, “kita belum pernah menyanyi bersama-sama. Itu akibat umur saya! Namun Nasib sudah berbaik hati dan datang menyelamatkan saya.” Paula tertawa lembut. “Anda terlalu baik, M. Bréon. Ketika saya baru jadi penyanyi kecil yang tidak terkenal, saya pernah duduk di bawah kaki Anda. Peran Rigoletto Anda—betapa berseni, betapa sempurna! Tidak ada yang bisa menyamai Anda.” “Aah!” ujar Bréon, pura-pura menghela napas. “Masa jaya saya sudah berakhir. Scarpia, Rigoletto, Radames, Sharpless, sudah berapa kali saya menyanyikan semua itu, dan sekarang... tidak lagi!” “Ya—malam nanti.” “Benar, Madame—saya lupa. Malam nanti.” “Anda sudah sering menyanyi bersama para ‘Tosca’ lain,” ujar Nazarkoff arogan. “Tapi belum pernah dengan saya!” Laki-laki Prancis itu membungkuk. “Ini akan menjadi kehormatan bagi saya,” ujarnya lembut. “Ini bagian yang sangat bagus, Madame.” “Bagian yang bukan saja membutuhkan seorang penyanyi, tapi seorang aktris,” Lady Rustonbury menimpali. “Benar,” Bréon setuju. “Saya teringat, ketika saya masih muda di Itali, saya mengunjungi sebuah teater kecil di Milan. Saya hanya mengeluarkan beberapa lira untuk tempat duduk saya, tapi malam itu saya mendengar nyanyian yang sama merdunya dengan yang saya dengar di Metropolitan Opera House di New York. Seorang gadis belia menyanyikan Tosca, dan dia menyanyi bagaikan malaikat. Saya takkan pernah melupakan suaranya saat membawakan Vissi D’Arte, sangat bening dan murni. Namun kekuatan dramatisnya tidak ada.” Nazarkoff mengangguk. “Itu akan terdengar kemudian,” ujarnya tenang. “Betul. Gadis muda ini—namanya Bianca Capelli—saya tertarik dengan kariernya. Melalui saya, dia memperoleh peluang mendapatkan kontrak-kontrak penting. Tapi dia bodoh—amat sangat bodoh.” Bréon angkat bahu. “Bodoh bagaimana?” Yang mengatakan ini adalah Blanche Amery, putri Lady Rustonbury yang berusia dua puluh empat tahun. Gadis ramping dengan mata biru lebar. Dengan sopan pria Prancis itu langsung menoleh padanya. “Aah! Mademoiselle, dia melibatkan diri dengan laki-laki rendahan, seorang bandit, anggota kelompok Camorra. Dia berurusan dengan polisi, dan dijatuhi hukuman mati. Gadis itu datang pada saya, memohon agar saya menolong kekasihnya.” Blanche Amery menatap Bréon dengan mata terbelalak. “Dan Anda melakukannya?” ia bertanya sambil menahan napas. “Saya, Mademoiselle, apa yang bisa saya lakukan? Saya orang asing di negeri itu.” “Barangkali Anda punya pengaruh?” pancing Nazarkoff dengan suara lirih bergetar. “Seandainya saya punya, saya ragu apakah saya mau menggunakannya. Laki-laki itu tidak pantas menerimanya. Saya berbuat sebisanya untuk gadis itu.” Ia tersenyum tipis, dan tiba-tiba gadis Inggris itu sadar bahwa senyuman itu terasa agak janggal. Saat itu ia merasa kata-katanya tidak cukup mewakili jalan pikirannya. “Anda berbuat sebisanya,” ujar Nazarkoff. “Anda baik sekali, dan gadis itu tentunya berterima kasih, bukan?” Pria Prancis itu angkat bahu. “Laki-laki itu dieksekusi,” ucapnya, “dan gadis itu masuk biara. Eh, voilà! Dunia telah kehilangan seorang penyanyi.” Nazarkoff tertawa kecil. “Kami orang Rusia lebih plin-plan,” ujarnya ringan. Blanche Amery kebetulan sedang memerhatikan Cowan ketika penyanyi sopran itu berbicara, dan ia melihat pandangan terkejut sesaat. Bibir Cowan setengah terbuka, kemudian terkatup rapat kembali setelah mendapat tatapan tajam dari Paula. Kepala pelayan muncul di pintu. “Makan malam,” kata Lady Rustonbury sambil bangkit berdiri. “Orang-orang malang, saya kasihan pada kalian. Pasti tidak enak karena kalian terpaksa kelaparan sebelum menyanyi. Tapi sesudah itu akan ada makan malam yang sangat lezat.” “Kami sangat mengharapkannya,” ujar Paula Nazarkoff. Ia tertawa lembut. “Sesudah itu!” III Di dalam teater, babak pertama Tosca baru saja berakhir. Para penonton saling berbicara. Para bangsawan, memukau dan anggun, menempati tiga kursi beludru di baris terdepan. Semua orang asyik berbisik dan bergumam. Semua orang merasa bahwa di bagian pertama, Nazarkoff belum berperan sesuai reputasinya. Sebagian besar penonton tidak menyadari bahwa justru di sinilah sang penyanyi menunjukkan jiwa seninya. Di babak pertama itu ia menghemat suara maupun dirinya sendiri. Ia menjadikan La Tosca tokoh yang remeh dan sembrono, bermain-main dengan cinta, cemburu sekaligus genit dan menggairahkan. Bréon, meski suaranya sudah melewati masa jayanya, masih mampu memerankan tokoh yang luar biasa sebagai Scarpia yang sinis. Tak ada sekelumit pun kesan jompo pada dirinya dalam memainkan perannya. Ia membuat Scarpia tokoh yang tampan dan nyaris lembut, dengan setitik dendam yang bersembunyi di balik penampilan luarnya. Dalam bagian terakhir, diiringi alunan organ dan prosesi, saat Scarpia tenggelam dalam pikirannya, senang dengan rencananya untuk menguasai Tosca, Bréon memperlihatkan jiwa seni yang luar biasa. Sekarang tirai diangkat memasuki babak kedua, sebuah adegan di apartemen Scarpia. Kali ini, waktu Tosca masuk, jiwa seni Nazarkoff tiba-tiba tampak jelas. Inilah wanita yang dicekam ketakutan dan sedang memainkan perannya dengan kepiawaian aktris sejati. Sapaannya yang ringan pada Scarpia, sikap santainya, dan jawaban penuh senyum yang diberikannya pada laki-laki itu! Dalam adegan ini, Paula Nazarkoff berperan dengan matanya, ia membawa diri dengan ketenangan mutlak, dengan wajah tersenyum tanpa perasaan. Hanya matanya yang terus mencuri pandang ke arah Scarpia mengungkapkan perasaan sesungguhnya. Kisah terus berlanjut sampai ke adegan penyiksaan, runtuhnya ketenangan Tosca, penyerahan total saat ia tersungkur di kaki Scarpia, memohon belas kasihan dengan sia-sia. Lord Leconmere, pakar penilai musik, mengangguk kagum, dan seorang duta besar asing di sampingnya berbisik, “Malam ini Nazarkoff bahkan melampaui dirinya sendiri. Tak ada wanita lain di panggung yang mampu memainkan peran habis-habisan seperti dia.” Leconmere mengangguk. Sekarang Scarpia menyebutkan syaratnya, dan dengan ketakutan Tosca berlari ke jendela. Dari jauh terdengar bunyi genderang, dan dengan lemas Tosca mengempaskan dirinya ke atas sofa. Scarpia yang sedang berdiri mengawasinya, menyampaikan bagaimana orangorangnya mendirikan tiang gantungan—kemudian hening, dan bunyi genderang kembali terdengar dari kejauhan. Nazarkoff berbaring telungkup di atas sofa, kepalanya terkulai nyaris menyentuh lantai, tertutup rambutnya. Kemudian, sangat kontras dengan gairah dan tekanan dua puluh menit terakhir, suaranya berkumandang, melengking dan jernih, suara bocah paduan suara atau malaikat, seperti yang tadi dijelaskannya pada Cowan. “Vissi d’arte, vissi d’arte, no feci mai male ad anima viva. Con man furtiya quante miserie conobbi, aiutai.” Ini suara seorang anak bingung yang sedang bertanya-tanya. Kemudian ia sekali lagi berlutut dan memohon, sampai Spoletta masuk. Kehabisan tenaga, Tosca menyerah, dan Scarpia mengutarakan kata-katanya yang menentukan dan bermakna ganda. Poletta mengundurkan diri. Kemudian tibalah saat yang dramatis, ketika Tosca, sambil mengangkat segelas anggur dengan tangan gemetar, melihat pisau di meja, lalu menyembunyikannya di balik punggungnya. Bréon berdiri tegak, tampan, pendiam, dan terbakar gairah. “Tosca, finalmente mia!” Pisau menyambar bagaikan kilat, dan Tosca mendesis penuh dendam, “Questo e il bacio di Tosca!” (“Seperti inilah Tosca mencium.”) Belum pernah Nazarkoff menunjukkan apresiasi setinggi ini atas adegan pembalasan dendam Tosca. Bisikan garang terakhir “Muori dannato,” yang disusul suara tenang sekaligus aneh yang berkumandang memenuhi teater, “Or gli perdono!” (“Sekarang aku mengampuninya!”) Lagu kematian mengalun lembut sementara Tosca memulai upacaranya, meletakkan sebatang lilin di kedua sisi kepala Scarpia, salib di atas dadanya, menoleh untuk terakhir kali sebelum lenyap di balik pintu, deru genderang di kejauhan, dan tirai diturunkan. Kali ini meledaklah antusiasme penonton, tapi hanya sejenak. Seseorang bergegas keluar dari samping panggung dan berbicara pada Lord Rustonbury. Ia bangkit berdiri, dan sesudah berunding sejenak, ia menoleh dan memberi isyarat pada Sir Donald Calthrop, seorang dokter terkenal. Hampir seketika itu juga berita itu menyebar di antara hadirin. Sesuatu telah terjadi, kecelakaan, dan ada yang terluka parah. Salah seorang penyanyi muncul di depan tirai dan menjelaskan bahwa sayang sekali M. Bréon mendapat kecelakaan—jadi operanya tidak bisa dilanjutkan. Sekali lagi kabar burung itu menyebar, Bréon telah ditikam, Nazarkoff kehilangan akal sehatnya, ia begitu menjiwai perannya hingga ia benar-benar menikam pria lawan mainnya. Lord Leconmere, yang sedang berbincang dengan duta besar, temannya itu, merasa ada yang menyentuh lengannya. Ia menoleh dan melihat Blanche Amery di sampingnya. “Ini bukan kecelakaan,” ujar gadis itu. “Saya yakin ini bukan kecelakaan. Tidakkah Anda mendengar, tepat sebelum makan malam, kisah yang diceritakan Bréon tentang gadis Itali itu? Gadis itu Paula Nazarkoff. Setelah itu dia menyebut-nyebut tentang dirinya sebagai orang Rusia, dan saya melihat Mr. Cowan terkejut. Dia mungkin saja menggunakan nama Rusia, tapi Mr. Cowan tahu sebenarnya Madame Nazarkoff orang Itali.” “Blanche, sayangku,” ujar Lord Leconmere. “Saya yakin itu. Di kamar tidurnya ada koran yang terbuka di halaman yang menunjukkan M. Bréon di rumah pedesaan Inggris miliknya. Madame Nazarkoff sudah tahu sebelum dia datang kemari. Saya percaya dia memberikan sesuatu kepada pria Itali yang malang itu agar dia sakit.” “Tapi mengapa?” seru Lord Leconmere. “Mengapa?” “Apa Anda tidak memahaminya? Kisah Tosca terulang kembali. Bréon menginginkan gadis itu di Itali, tapi gadis itu setia pada kekasihnya, dan dia datang pada Bréon dan memintanya menyelamatkan kekasihnya itu. Bréon berpura-pura menyanggupi, tapi ternyata dia membiarkan kekasih gadis itu mati. Dan sekarang saat untuk membalas dendam telah tiba. Tidakkah Anda mendengar cara dia mendesis ‘Akulah Tosca’? Dan saya melihat wajah Bréon saat Madame Nazarkoff mengucapkannya, saat itulah dia tahu—Bréon mengenalinya!” Di kamar gantinya, Paula Nazarkoff duduk tak bergerak, terbungkus mantel bulu putih. Terdengar ketukan di pintunya. “Silakan masuk,” kata sang primadona. Elise masuk. Ia menangis terisak-isak. “Madame, Madame, pria itu mati! Dan...” “Ya?” “Madame, bagaimana saya harus mengatakannya? Ada dua polisi di luar. Mereka ingin bicara pada Anda.” Paula Nazarkoff berdiri tegak. “Aku akan pergi menemui mereka,” sahutnya tenang. Ia menanggalkan seuntai kalung mutiara dari lehernya, dan meletakkannya di tangan gadis Prancis itu. “Kalung ini untukmu, Elise, kau gadis baik. Di tempat yang akan kutuju, aku tidak membutuhkannya lagi. Kau mengerti, Elise? Aku takkan pernah menyanyikan Tosca lagi.” Ia berdiri sesaat di pintu, matanya menyapu isi kamar ganti itu, seakan menoleh ke belakang, menatap kariernya sepanjang tiga puluh tahun terakhir. Kemudian ia bergumam lirih, mengucapkan baris terakhir sebuah opera lain, “La commedia e finita!” Sumber buku: I— Scan, Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers http://facebook.com/DuniaAbuKeisel http://facebook.com/epub.lover http://epublover.wordpress.com