BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Volume 7, Nomor 3, Desember 2004 Tinjauan umum 343 Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia Firman Mokhtar 359 Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors (using the EMERALD Indonesian multi-regional CGE model) Daniel Pambudi dan Andi Alfian Parewangi 387 Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002 Taufik Kurniawan 437 Perbandingan Early Warning Systems (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia Liza Angelina, SE, Msi, Akt 461 BANK INDONESIA i Tinjauan umum 343 TINJAUAN UMUM Sampai dengan triwulan IV-2004, perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan yang semakin baik. Kestabilan ekonomi makro dapat dipertahankan yang disertai dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Laju inflasi tetap dapat dikendalikan dalam tingkat yang rendah dan tetap sesuai dengan proyeksi yang telah ditetapkan pada awal tahun. Nilai tukar rupiah relatif stabil dengan volatilitas yang rendah. Seiring dengan itu, suku bunga di dalam negeri tetap stabil pada tingkat yang relatif rendah sehingga kondusif bagi perkembangan dunia usaha. Sektor keuangan, khususnya perbankan dan pasar modal, juga menunjukkan perkembangan yang semakin mantap. Sementara itu, sejalan dengan meningkatnya kegiatan investasi serta tetap tingginya konsumsi, pertumbuhan ekonomi dalam triwulan IV-2004 diperkirakan mencapai 5,0%-5,5% (yoy). Dalam triwulan IV-2004, laju inflasi mengalami peningkatan dari triwulan sebelumnya. Kenaikan harga pada triwulan terakhir bersifat musiman yang hampir terjadi setiap tahun yang terkait dengan perayaan hari besar keagamaan dan waktu liburan. Meskipun mengalami kenaikan pada triwulan laporan, secara keseluruhan dalam tahun 2004 inflasi IHK tetap dapat dikendalikan yaitu sebesar 6,4% (yoy) atau berada dalam kisaran proyeksi inflasi yang ditetapkan pada awal tahun yaitu 5,5% + 1% (yoy). Tetap terkendalinya harga-harga di dalam triwulan laporan tersebut tidak terlepas dari kebijakan moneter yang ditempuh dalam mengendalikan tekanan inflasi yang bersumber dari interaksi permintaan-penawaran, mengendalikan gejolak nilai tukar, maupun mencegah memburuknya ekspektasi. Selain itu, berbagai langkah yang ditempuh Pemerintah dalam mengupayakan kecukupan dan kelancaran pasokan barang dan jasa juga turut berperan dalam pencapaian laju inflasi yang relatif rendah tersebut. Sementara itu, nilai tukar rupiah bergerak stabil dengan tingkat volatilitas yang rendah. Stabilnya nilai tukar pada triwulan laporan tidak terlepas dari terdapatnya pasokan valas yang berasal dari capital inflows yang didukung oleh kepercayaan pasar atas prospek ekonomi makro Indonesia, perbaikan persepsi risiko, serta dampak dari pelemahan dolar 344 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 AS secara global. Stabilnya nilai tukar tersebut didukung pula oleh perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dalam triwulan IV-2004 yang tetap tercatat surplus sehingga cadangan devisa masih dalam posisi yang aman dan memadai. Seiring dengan peningkatan permintaan domestik, pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2004 meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan tersebut diikuti dengan semakin seimbangnya pola ekspansi ekonomi yang tercermin dari peningkatan investasi dan ekspor. Peningkatan investasi tersebut tidak terlepas dari dorongan konsumsi dan dukungan pembiayaan perbankan serta pasar modal. Sementara perbaikan ekspor yang telah berlangsung sejak triwulan II-2004 terus berlanjut hingga triwulan laporan. Berbagai indikator moneter dan keuangan dalam triwulan IV-2004 masih terkendali dan menunjukkan perkembangan yang relatif stabil. Hal tersebut seperti tercemin pada perkembangan uang primer, uang beredar, nilai tukar, suku bunga serta diikuti kondisi kondisi pasar modal yang mengalami perkembangan cukup pesat. Meningkatnya permintaan uang oleh masyarakat menjelang perayaan beberapa hari besar keagamaan dan tahun baru telah menyebabkan pertumbuhan uang primer meningkat, namun masih dalam batas yang aman. Sejalan dengan pertumbuhan uang primer, jumlah uang beredar juga mengalami pertumbuhan seiring dengan meningkatnya kegiatan perekonomian. Sejalan dengan kestabilan ekonomi makro, peran dan kinerja perbankan nasional terus menunjukkan kestabilan dan perbaikan yang berarti. Fungsi intermediasi perbankan nasional secara bertahap menunjukkan perbaikan tercermin dari peningkatan kredit perbankan khususnya kredit kepada UMKM. Di sisi lain, kualitas kredit perbankan juga relatif membaik yang ditunjukkan oleh penurunan NPL gross maupun net. Dana pihak ketiga (DPK) juga meningkat, mencerminkan tetap terjaganya kepercayaan terhadap perbankan. Profitabilitas perbankan juga menunjukkan peningkatan, dan sejalan dengan itu aspek permodalan tercatat tetap memadai. Ke depan, sejalan dengan berbagai upaya pemulihan ekonomi yang akan terus diperkuat disertai dengan ekspansi ekonomi yang lebih seimbang di tahun 2005, kestabilan ekonomi makro diperkirakan akan berlanjut di tahun 2005. Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2005 diperkirakan akan berkisar antara 5,0%-6,0% (yoy). Tekanan inflasi khususnya di triwulan I-2005 diperkirakan akan meningkat terutama terkait dengan rencana untuk menaikkan harga BBM oleh Pemerintah serta meningkatnya permintaan barang dan jasa dalam rangka produksi dan konsumsi. Pergerakan nilai tukar yang stabil dalam triwulan I2005 diperkirakan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap ekspektasi harga. Tinjauan umum 345 Perkiraan stabilitas nilai tukar tersebut sejalan dengan kinerja NPI yang diperkirakan tetap menunjukkan perkembangan yang baik. Menghadapi potensi meningkatnya tekanan inflasi tersebut, kebijakan moneter ke depan tetap diarahkan pada upaya mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan, namun dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan yang sedang terjadi. Secara operasional, kebijakan moneter tersebut dilakukan dengan mengarahkan uang primer berada pada proyeksi indikatifnya yakni rata-rata tumbuh sebesar 11,5 - 12,5% pada tahun 2005. Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia akan menggunakan suku bunga sebagai instrumen kebijakan moneter pada pertengahan tahun 2005. Penggunaan target operasional suku bunga sebagai pengganti base money dalam pengendalian moneter ini juga dimaksudkan agar kebijakan moneter lebih fleksibel dalam merespon dinamika perekonomian yang terjadi serta agar sinyal kebijakan ini dapat lebih mudah dibaca oleh pasar. Di bidang perbankan, seiring dengan membaiknya perekonomian, kinerja perbankan pada tahun 2005 diperkirakan akan membaik dan fungsi intermediasi terus mengalami peningkatan. Kebijakan perbankan akan diarahkan untuk melanjutkan stabilitas sistem perbankan yang telah ada dan mengakselerasi upaya-upaya untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan. Selain itu, dengan semakin meningkatnya persaingan dan mulai diterapkannya skim penjaminan LPS, bank-bank perlu memperhatikan adanya risiko likuiditas. Dalam mengantisipasi munculnya risiko tersebut, Bank Indonesia akan mengarahkan industri perbankan nasional untuk dapat mempercepat proses konsolidasi dan penguatan institusional. Selain itu, dengan semakin meningkatnya integrasi dan keterlibatan bank dalam kegiatan pasar modal dan besarnya risiko dari kegiatan ini, Bank Indonesia akan segera menyempurnakan dan memperkuat monitoring terhadap pelaksanaan berbagai peraturan yang terkait dengan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan tersebut. Sejalan dengan arah kebijakan tersebut, dalam bulan Januari 2005 Bank Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan Perbankan yang berisikan beberapa penyempurnaan ketentuan perbankan 1. EVALUASI PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN INFLASI 1.1. Kondisi Ekonomi Makro Dalam triwulan IV-2004, kinerja perekonomian diperkirakan lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya dan mencapai 5,0%-5,5% (yoy). Pertumbuhan ekonomi tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan konsumsi terutama konsumsi swasta. Meskipun 346 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 demikian, secara umum pola pertumbuhan tersebut telah menunjukkan perbaikan, yang ditandai oleh meningkatnya peran investasi dan ekspor dalam mendorong perekonomian. Di sisi lain, tingginya permintaan telah mendorong pesatnya peningkatan impor sebagai upaya untuk memenuhi peningkatan utilisasi maupun kapasitas produksi terpasang. Pada triwulan IV-2004, konsumsi diperkirakan tumbuh lebih tinggi sebesar 5,4% 5,9%, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang hanya tumbuh sebesar 4,2%. Peningkatan pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut sejalan dengan hasil survei Penjualan Eceran, survei JETRO, serta sejalan dengan membaiknya kondisi kepercayaan konsumen. Namun demikian, pertumbuhan konsumsi swasta tersebut masih berada di bawah rata-rata pertumbuhan pada periode sebelum krisis (1993 sd pertengahan 1997) yang mencapai 9,9% (yoy) sehingga cukup wajar. Peningkatan konsumsi masyarakat diikuti juga dengan peningkatan investasi. Kegiatan investasi pada triwulan IV-2004 tumbuh sebesar 14,5 – 15,0% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 13,1% (yoy). Kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi pada triwulan laporan juga meningkat menjadi 2,96%. Peningkatan investasi tersebut terutama didukung oleh tersedianya pembiayaan oleh perbankan yang cenderung meningkat. Secara sektoral, seluruh sektor ekonomi kecuali sektor pertambangan mengalami pertumbuhan pada ekonomi triwulan IV-2004. Peningkatan kinerja tersebut utamanya disebabkan oleh adanya beberapa perayaan hari besar di akhir tahun serta dukungan yang semakin meningkat di sisi pembiayaan. Di sisi lain terus meningkatnya permintaan diharapkan juga akan mendorong kegiatan ekonomi sektoral untuk meningkatkan utilisasinya sehingga iklim investasi akan semakin bergairah dan perekonomian secara keseluruhan bergerak ke arah yang semakin baik. Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dalam triwulan IV-2004 menunjukkan perkembangan yang terus positif sebagaimana tercermin dari surplus NPI sebesar USD1,5 miliar disepanjang triwulan laporan. Surplus tersebut mengakibatkan posisi cadangan devisa menjadi USD 36,3 miliar atau setara dengan 5,8 bulan impor dan pembayaran utang Pemerintah, atau lebih tinggi dari yang diperkirakan semula. Surplus tersebut utamanya disebabkan oleh terjadinya surplus pada transaksi berjalan (current account) yang disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan ekspor khususnya migas yang pada triwulan ini mengalami pertumbuhan sebesar 47,5%. Neraca modal pada triwulan IV2004 tetap tercatat mengalami surplus yang diperkirakan mencapai USD749 juta Tinjauan umum 347 Tabel 1.1. Indikator Makroekonomi Indikator IHK (%) Triwulanan (quarter to quarter) Tahunan (year on year) 2003 Trw IV 2004 Trw I Trw II Trw III 2,51 5,06 0,91 5,11 2,35 6,83 0,51 5,06 Trw IV 2,51 6,40 PDB (% pertumbuhan, tahunan) Dari sisi permintaan : Konsumsi Total Investasi Total 4,35 4,46 4,32 5,03 5,0 – 5,5* 5,01 -6,71 6,43 4,24 5,35 9,25 4,21 5,4 – 5,9* 13,09 14,5 –15,0* Dari sisi produksi : Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan -0,17 3,19 3,87 5,43 -2,31 5,23 1,67 -7,22 5,98 2,39 3,1 – 3,6* -5,96 -6,4 - -5,9* 5,28 4,9 – 5,4* Sektor eksternal : Ekspor non migas (fob, % pertumbuhan tahunan) Impor non migas (c&f, % pertumbuhan tahunan) Transaksi berjalan (juta USD) Posisi Utang LN (juta USD) 2,36 8,55 1.624 135.402 1,48 -0,71 -554 136.679 3,8 7,5 315 133.138 9,8** 23,3 4,6** 30,7 2.713** 2.503 131.838** 134.329** Besaran Moneter (miliar RP) M0 M1 M2 166.474 223.799 955.692 142.817 219.087 935.249 155.466 223.726 975.166 Suku bunga (%)1) SBI 1 bulan PUAB (overnight) Deposito 1 bulan Kredit modal kerja Kredit investasi 8,31 4,65 6,62 15,07 15,68 7,42 5,87 5,86 14,61 15,12 7,30 4,24 6,23 14,10 14,64 7,39 4,13 6,31 13,80 14,33 7,43 3,76 6,36*** 13,57*** 14,18*** Kurs (Rp/USD), nominal akhir periode Real Effective Exchange Rate (REER)2), 1995=100 Kurs rata-rata 8.420 88,46 8.468 8.564 86,03 8.580 9.400 81,57 9.392 8.420 94,74 9.163 9335 90,32 9.120 1) 2) * ** *** 175.351 199.446** 240.911 250.222*** 986.806 1.000.339*** Rata-rata tertimbang akhir periode REER adalah indeks nilai tukar rupiah per mata uang negara mitra dagang yang dibobot dengan total ekspor dan impor dari 8 mitra dagang utama Indonesia. : Perkiraan Bank Indonesia menggunakan tahun dasar 2000 : Angka Sementara : Angka November 2005 Sumber : BPS (diolah) dan Bank Indonesia 1.2. Inflasi Secara umum inflasi dalam triwulan IV-2004 menunjukkan peningkatan sejalan meningkatnya permintaan barang dan jasa sehubungan dengan perayaan hari keagamaan dan liburan akhir tahun. Inflasi IHK selama triwulan IV-2004 mencapai 2,51% (qtq) meningkat cukup tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang hanya sebesar 0,5% (qtq). Sampai dengan akhir tahun 2004, inflasi IHK tercatat sebesar 6,40% (yoy), lebih tinggi bila 348 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 5,06% (yoy). Namun demikian, peningkatan permintaan tersebut masih dapat direspon dengan cukup baik oleh sisi penawaran meskipun terdapat beberapa bencana alam di beberapa daerah. Dengan kondisi tersebut, realisasi inflasi IHK 2004 masih sesuai dengan proyeksi Bank Indonesia di awal tahun sebesar 5,5% ± 1,0% (yoy). Peningkatan inflasi IHK dalam triwulan IV-2004 terutama disebabkan adanya faktor musiman seperti beberapa perayaan hari raya keagamaan dan akhir tahun serta kenaikan harga BBM yaitu elpiji, Pertamax dan Pertamax Plus. Meskipun kenaikan harga barangbarang administered price tersebut memberikan kontribusi terhadap peningkatan inflasi pada periode tersebut, namun dampak kenaikan tersebut dapat diminimilisasi mengingat tidak adanya perubahan harga barang-barang administered yang strategis seperti seperti harga BBM bersubsidi, tarif dasar listrik dan cukai rokok. Berdasarkan kelompok barang, kelompok barang yang dominan dalam menyumbang inflasi adalah kelompok bahan makanan dan kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar. Sementara itu, perkembangan inflasi inti relatif stabil selama periode laporan. Perkembangan ini terlihat dengan kebijakan moneter Bank Indonesia yang ditempuh dalam mengendalikan sisi permintaan agregat yang dilakukan melalui kebijakan moneter yang cenderung ketat. 2. EVALUASI PERKEMBANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER Secara umum, pelaksanaan kebijakan moneter dalam triwulan IV-2004 tetap diarahkan pada pencapaian sasaran inflasi dalam jangka menengah-panjang dengan mengendalikan faktor-faktor yang menjadi penyebab utama inflasi, yaitu nilai tukar rupiah, permintaan domestik dan ekspektasi. Dalam operasionalnya, kebijakan yang ditempuh dilakukan dengan kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight bias) melalui upaya penyerapan kelebihan likuiditas sistem perbankan secara optimal. Penerapan kebijakan moneter ini merupakan bentuk tindakan antisipatif kebijakan moneter dalam rangka mencapai dan mengamankan sasaran inflasi jangka menengah yang telah diputuskan Pemerintah dan berlaku untuk 3 (tiga) tahun ke depan sejak 2005. Selain itu, penerapan kebijakan tight bias ini juga dimaksudkan untuk tetap mendukung proses pemulihan ekonomi yang saat ini masih berlangsung. Sejalan dengan itu, besaran-besaran moneter dalam triwulan IV-2004 menunjukkan perkembangan yang relatif stabil dan sebagian besar masih sesuai dengan prakiraan semula. Sesuai dengan pola musiman pada akhir tahun, perkembangan uang primer menunjukkan Tinjauan umum 349 peningkatan namun masih dapat dikendalikan sesuai dengan kebutuhan perekonomian. Suku bunga SBI 1 bulan dan 3 bulan bergerak relatif stabil dan masih sesuai dengan pencapaian proyeksi inflasi jangka menengah, yang diikuti oleh relatif stabilnya suku bunga perbankan. Nilai tukar rupiah juga bergerak stabil dengan volatilitas yang rendah, meskipun terdapat tekanan depresiasi. Secara umum, nilai tukar rupiah selama triwulan IV-2004 bergerak stabil dengan tingkat volatilitas yang cukup rendah. Namun demikian, menjelang akhir tahun rupiah sempat mengalami tekanan terkait dengan faktor eksternal atas antisipasi pasar menjelang FOMC dan faktor koreksi atas pelemahan USD yang terlalu cepat di bulan sebelumnya, ditengah upaya untuk merealisasikan keuntungan menjelang akhir tahun serta meningkatnya permintaan valas oleh sejumlah korporasi untuk pembayaran impor dan utang luar negeri. Cukup terjaganya stabilitas nilai tukar ditengah tekanan depresiasi khususnya pada akhir tahun, tidak terlepas dari peranan capital inflows yang didukung meningkatnya kepercayaan pasar (market confidence), membaiknya persepsi risiko, serta dampak kecenderungan melemahnya USD secara global yang dipicu oleh isu twin-deficit AS. Rata-rata nilai tukar rupiah selama triwulan IV-2004 berada pada level Rp9.120/USD tetapi masih dalam rentang perkiraan sebesar Rp8.700 – Rp9.300 per dollar AS. Sejalan dengan kebijakan moneter yang tight bias dan langkah penyerapan likuiditas yang secara optimal dilakukan Bank Indonesia, suku bunga SBI dalam triwulan IV-2004 dipertahankan stabil hingga pada akhir triwulan IV-2004. Suku bunga SBI 1 bulan hanya meningkat sebesar 4 bps menjadi 7,41% dibandingkan dengan triwulan III-2004. Sementara itu, suku bunga SBI 3 malah menunjukkan sedikit penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya menjadi sebesar 7,29% atau menurun sebesar 2 bps. Perkembangan suku bunga instrumen tersebut telah berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga perbankan dan kredit. Selain itu, masih tingginya kondisi likuiditas di pasar uang telah menyebabkan suku bunga pasar uang menurun. Suku bunga deposito 1 bulan dalam triwulan ke IV-2004 mengalami sedikit peningkatan sebesar 5 bps dibandingkan dengan triwulan sebelumnya atau menjadi 6,36%. Kenaikan suku bunga ini juga terjadi pada suku bunga deposito 3 dan 6 bulan yang meningkat sebesar masing-masing 5 dan 17 bps dibandingkan triwulan sebelumnya menjadi masing-masing 6,66% dan 7,06%. 3. EVALUASI PERKEMBANGAN DAN KEBIJAKAN PERBANKAN Selama triwulan IV-2004, kebijakan perbankan tetap difokuskan untuk melanjutkan berbagai langkah dalam mempertahankan stabilitas sistem perbankan guna menciptakan 350 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 stabilitas sistem keuangan dan mendorong fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan tersebut ditempuh melalui beberapa langkah antara lain melalui pemantauan risiko-risiko yang dihadapi industri perbankan, pemantauan persiapan pelaksanaan manajemen risiko, pemantauan intensif terhadap pelaksanaan rencana bisnis bank yang telah disetujui Bank Indonesia, pemantauan pemberian kredit baru dan kredit hasil restrukturisasi terutama di bank-bank besar, pemantauan action plan dari bank-bank terkait dengan kondisi permodalan (Capital Adequacy Ratio/CAR) dan kualitas kredit bermasalah (Net Performing Loan/NPL), serta penyempurnaan pengaturan dan pengawasan bank. Dalam hal pengaturan perbankan, dalam triwulan IV-2004 Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan yang menyangkut pengaturan bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan pengaturan rencana bisnis umum, serta pengaturan mengenai penerapan manajemen risiko pada bank yang melakukan kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi (bancassurance). Untuk meningkatkan efektivitas pengawasan bank khususnya dalam penanganan tindak pidana bank, dalam triwulan laporan Bank Indonesia telah melakukan penandatanganan MoU dengan Kapolri dan Kejagung. Sejalan dengan berbagai upaya konsolidasi internal dan program restrukturisasi perbankan yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun lalu, secara umum kinerja perbankan sampai dengan akhir triwulan IV-2004 menunjukkan perkembangan yang positif. Hal ini ditunjukkan dari peningkatan aset, dana pihak ketiga dan kredit yang diberikan. Peningkatan kredit tersebut menunjukkan bahwa fungsi intermediasi perbankan secara bertahap menunjukkan perbaikan. Sejalan dengan perbaikan struktur aset, kualitas kredit bermasalah semakin membaik serta kualitas aset, pendapatan dan efisiensi perbankan juga terus menunjukkan peningkatan. Sejalan dengan kondisi ekonomi makro yang stabil, Bank Indonesia terus berupaya untuk mendorong perbankan untuk meningkatkan fungsi intermediasi dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian. Beberapa indikator perbankan menunjukkan kestabilan dan perbaikan sebagaimana tercermin dari memadainya permodalan, menurunnya risiko kredit, meningkatnya profitabilitas perbankan serta perbaikan secara gradual intermediasi perbankan. Upaya ini terutama dilakukan terhadap peningkatan jumlah kredit Usaha Mikri, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta sektor-sektor usaha tertentu yang belum terjangkau oleh pelayanan bank. Langkah ini dipandang telah menunjukkan hasil yang menggembirakan sejalan dengan semakin meningkatnya kredit UMKM dan kredit baru perbankan. Berdasarkan data November 2004, penghimpunan dan penyaluran dana perbankan menunjukkan peningkatan. Pertumbuhan DPK juga meningkat sebesar Rp43,9 triliun atau Tinjauan umum 351 4,9% sehingga tercatat sebesar Rp932,5 triliun. Sementara kredit perbankan yang diberikan meningkat sebesar Rp96,2 triliun atau sekitar 20,2% sehingga posisinya menjadi Rp573,4 triliun (November 2004). Posisi UMKM yang disalurkan perbankan telah mencapai Rp270,5 triliun (posisi Oktber 2004) atau 51% dari total kredit perbankan (tanpa chanelling). Sementara itu, pertumbuhan DPK juga meningkat sebesar Rp43,9 triliun atau 4,9% sehingga tercatat sebesar Rp932,5 triliun. Dengan pertumbuhan kredit yang lebih besar dari pertumbuhan DPK telah mendorong perbaikan LDR perbankan dari 43,2% pada tahun sebelumnya menjadi 49,5%. Kualitas kredit menunjukkan perbaikan sebagaimana tercermin dari membaiknya NPLs gross dari 8,2% pada tahun sebelumnya menjadi 6,6% (November 2004). Sementara NPLs net juga membaik dari 3,04% pada tahun sebelumnya menjadi 2,01% (November 2004). Rendahnya NPL juga memperbaiki kinerja profitabilitas perbankan. Pendapatan bunga bersih (NII) meningkat 28% sementara efisiensi meningkat yang ditandai oleh menurunnya rasio BOPO dari 88,8% pada akhir tahun 2003 menjadi 80,8%. Dari sisi permodalan, CAR perbankan berada pada level yang memadai dan relatif stabil yakni 19,7%. Sejalan dengan perkembangan bank umum, perkembangan perbankan syariah dan BPR juga menunjukkan perkembangan yang meningkat. Kegiatan usaha perbankan syariah menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, tercermin dari jumlah aset yang tumbuh 6,3% dari triwulan sebelumnya hingga mencapai 13,5 triliun. Pertumbuhan volume usaha ini juga didukung oleh pertumbuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Peningkatan yang sama juga ditunjukkan dari total dana pihak ketiga yang dihimpun yang meningkat 4,12% menjadi Rp10,1 triliun, dan penyaluran dana yang meningkat 5,9% menjadi sebesar Rp10,7 triliun. Dengan laju pertumbuhan pembiayaan yang melebihi pertumbuhan dana yang dihimpun tersebut, maka FDR perbankan syariah meningkat menjadi 105,8%. 4. EVALUASI PERKEMBANGAN DAN KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN Secara umum, selama triwulan IV-2004 kebijakan yang ditempuh dalam sistem pembayaran tunai adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi yang layak edar. Dalam triwulan laporan, Bank Indonesia telah mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas emisi baru pecahan Rp100.000,00 dan Rp20.000,00 yang dilakukan pada tanggal 29 Desember 2004. Pengeluaran dan pengedaran uang kertas emisi baru tersebut dilakukan antara lain berdasarkan pertimbangan bahwa usia edar yang telah cukup lama serta bertujuan 352 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 untuk menstandarisasi ukuran uang kertas, meningkatkan kualitas unsur pengaman yang mudah dan cepat dikenali masyarakat antara lain dengan menerapkan optical variable ink (OVI) dan memperlebar ukuran benang pengaman, serta memasukkan unsur blind code. Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang hari raya keagamaan, Bank Indonesia melakukan peningkatan pelayanan penukaran uang di seluruh Kantor Bank Indonesia (KBI) serta meningkatkan peran penukaran uang pecahan kecil kepada masyarakat oleh Perusahaan Penukaran Uang Pecahan Kecil (PPUPK) dengan penambahan plafon, membuka loket sementara di tempat-tempat strategis, meningkatkan pelayanan penukaran di tempat-tempat keramaian, serta menginformasikan kegiatan dan lokasi tempat penukaran oleh PPUPK melalui media cetak dan elektronik. Sejalan dengan terdapatnya faktor musiman khususnya hari raya keagamaan dalam triwulan IV-2004, beberapa indikator pengedaran uang seperti jumlah uang yang diedarkan (UYD), aliran uang masuk (inflow) dan aliran uang keluar (outflow) menunjukkan peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Jumlah uang kartal yang diedarkan (UYD) pada posisi akhir triwulan IV-2004 tercatat sebesar Rp126,90 triliun atau meningkat sebesar 9,33% dibandingkan dengan posisi akhir triwulan sebelumnya. Dilihat dari jumlah bilyet/keping uang kartal yang diedarkan Bank Indonesia, 89,5% merupakan uang pecahan Rp5.000 ke bawah, dan sisanya sebesar 10,5% merupakan uang kertas pecahan besar (Rp10.000 ke atas). Dari seluruh pecahan besar tersebut, uang yang paling banyak beredar di masyarakat adalah pecahan Rp50.000 dan Rp10.000 masing-masing sebesar 48,6% dan 20,6%. Aliran uang keluar (outflow) dari Bank Indonesia pada triwulan IV-2004 meningkat sebesar 30,1% dibandingkan triwulan sebelumnya, sedangkan aliran uang masuk (inflow) hanya meningkat sebesar 16,3% dari sebesar Rp64,51 triliun menjadi Rp74,99 triliun. Peningkatan outflow yang cukup signifikan pada triwulan IV-2004 tersebut terutama didorong oleh meningkatnya permintaan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama periode hari raya keagamaan dan tahun baru. Di sistem pembayaran non tunai, dalam triwulan IV-2004 kebijakan diarahkan pada upaya penurunan risiko dan peningkatan efisiensi sistem pembayaran. Guna merealisasikan tujuan tersebut, Bank Indonesia melakukan serangkaian kegiatan antara lain penyusunan mekanisme Failure to Settle (FtS), pengembangan Sistem Kliring Nasional (SKN) dan Penerbitan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Dalam triwulan IV-2004, total aktivitas BI-RTGS mencapai nilai Rp5.736 triliun dengan jumlah transaksi sebanyak 1.365 ribu. Dibandingkan triwulan III-2004, total aktivitas BI- Tinjauan umum 353 RTGS tersebut meningkat sebesar 19,7% dari sebelumnya sebesar Rp4.790 triliun, sementara volume transaksi meningkat sebesar 3% dari sebelumnya sebesar 1.324 ribu transaksi. Kondisi tersebut menyebabkan rata-rata harian (RRH) nominal transaksi meningkat menjadi sebesar Rp94 triliun, sementara RRH volume transaksi meningkat menjadi sebesar 22.383 transaksi. Berdasarkan asal perintah untuk transaksi antar bank yang melalui RTGS, maka bank umum swasta nasional merupakan pihak yang paling banyak melakukan transaksi baik secara nominal maupun volume. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya transfer dana untuk untung nasabah, besarnyanya aktivitas pasar uang antar bank, serta transaksi fasilitas Bank Indonesia. Secara keseluruhan, transaksi antar bank untuk untung nasabah memiliki volume yang paling signifikan di dalam sistem RTGS. Hal ini menunjukkan bahwa nasabah sebagai pengguna akhir merupakan pihak yang paling diuntungkan dengan keberadaan sistem RTGS. Sementara itu, dari sisi kliring, dalam triwulan IV-2004 menunjukkan bahwa total nominal kliring penyerahan secara nasional mencapai Rp322,9 triliun dengan warkat sejumlah 18,7 juta lembar. Dibandingkan triwulan sebelumnya, nilai transaksi menurun sebesar 10,5% dari sebelumnya Rp371,8 triliun serta volume transaksi menurun 15,5% dari sebelumnya sebesar 22 juta transaksi. 5. PROSPEK EKONOMI DAN MONETER 5.1. Prospek Ekonomi Makro Kondisi pemulihan ekonomi dengan disertai ekspansi pertumbuhanyang lebih seimbang pada tahun 2004 diperkirakan akan tetap berlanjut di tahun 2005. Kondisi ini juga sangat didukung oleh komitmen Pemerintah untuk mengoptimalkan upaya perbaikan iklim investasi termasuk diantaranya upaya mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Sementara itu kondisi ekonomi global, meskipun tidak secerah tahun sebelumnya, dinilai juga masih kondusif untuk menopang kegiatan ekonomi dalam negeri yang berorientasi ekspor. Meskipun demikian, prospek ekonomi ke depan juga masih dihadapkan dengan beberapa permasalahan struktural ekonomi yang apabila tidak diatasi akan menyebabkan perekonomian Indonesia masih rentan terhadap beberapa shock yang yang terjadi baik dari dalam maupun luar negeri. Beberapa faktor risiko tersebut antara lain terkait dengan perkembangan harga minyak yang masih dapat bergejolak tinggi serta struktur arus modal masuk jangka pendek yang rentan terhadap terjadinya pembalikan arus modal (capital reversal). 354 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 Dengan beberapa perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2005 diperkirakan akan berkisar antara 5,0%-6,0% (yoy). Semua komponen pengeluaran diperkirakan akan mencatat pertumbuhan yang positif, dengan komponen pendorong pertumbuhan terbesar berturut-turut adalah ekspor, konsumsi, dan diikuti investasi. Peningkatan konsumsi swasta masih akan terus terjadi pada awal triwulan 2005 ini, yang didorong oleh peningkatan pendapatan masyarakat sejalan dengan naiknya pertumbuhan ekonomi. Hasil proyeksi ini didukung oleh hasil survey konsumen yang menunjukkan semakin membaiknya ekspektasi konsumen. Dari sisi pembiayaan, kredit konsumsi yang terus meningkat juga turut memberikan sumbangan bagi kenaikan konsumsi. Dengan pertimbangan tersebut, maka konsumsi swsata diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 5,0%-6,0% (yoy). Kegiatan investasi diperkirakan akan mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi dalam kisaran 11,8%-12,3% (yoy). Peningkatan kegiatan investasi terutama didorong oleh peningkatan kepercayaan investor atas perbaikan iklim investasi. Hal tersebut diindikasikan dari komitmen Pemerintah dalam mendorong investasi serta penguatan kepercayaan pebisnis yang terungkap dari hasil Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU). Kegiatan ekspor diperkirakan juga akan tumbuh relatif tinggi antara lain didukung oleh perkiraan meningkatnya kapasitas produksi di sejumlah sub sektor industri. Seiring dengan peningkatan permintaan domestik dan ekspor, maka kegiatan impor diperkirakan juag mengalami peningkatan. Sementara di sisi penawaran, peningkatan nilai tambah diperkirakan akan berasal dari sektor industri pengolahan, pengangkutan, listrik dan bangunan. Industri pengolahan diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya atau pada kisaran 5,2%-6,2% di triwulan I-2005. Sub sektor industri alat angkutan, sub sektor kimia serta sub sektor semen diperkirakan akan tumbuh cukup tinggi. Seiring dengan itu, penggunaan pengolahan pun diperkirakan akan mengalami peningkatan dan secara rata-rata akan berada pada tingkat di atas 70%. Sektor pertanian diperkirakan mengalami sedikit perlambatan pertumbuhan terkait dengan mundurnya pelaksanaan musim tanam Oktober-Maret pada sebagian areal tanam, khususnya areal tadah hujan. Namun demikian, penundaan tersebut hanya akan menyebabkan penurunan produksinya pada awal triwulan. Dengan kondisi tersebut sektor pertanian akan tumbuh berkisar 2,8-3,8% di triwulan I-2005. Sektor bangunan diperkirakan akan tumbuh dalam kisaran 7,2-8,2% seiring dengan dimulainya pembangunan beberapa proyek besar. 5.2. Prospek Inflasi Secara umum prospek Inflasi triwulan I-2005 akan dipengaruhi oleh rencana kenaikan Tinjauan umum 355 harga BBM oleh Pemerintah. Namun demikian, besarnya dampak dari kenaikan administered prices tersebut masih tergantung pada magnitude dan timing dari implementasi kebijakan Pemerintah, serta dampak tunda dari pengaruh tahap kedua (second round effect) administered prices. Di sisi penawaran, pasokan bahan makanan baik dari sisi produksi domestik maupun impor diperkirakan masih akan tetap terjaga meskipun terdapat beberapa bencana alam di beberapa daerah. Di samping itu, tekanan inflasi dari sektor ekstenal diperkirakan akan relatif minimal dengan perkembangan nilai tukar ke depan yang diperkirakan semakin membaik. Kedua faktor positif tersebut diharapkan akan mampu meredam tekanan inflasi yang berasal dari kenaikan harga akibat kenaikan harga BBM. 5.3. Prospek Nilai Tukar Dalam triwulan I-2005, kestabilan nilai tukar diperkirakan akan berlanjut dan bahkan cenderung menguat. Optimisme pergerakan rupiah tersebut didukung oleh cukup kondusifnya kondisi eksternal dan internal yang mempengaruhi terjaganya kondisi penawaran dan permintaan valas, yang pada gilirannya turut menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Di sisi permintaan valas, seiring dengan meningkatnya kegiatan investasi dan konsumsi, kegiatan impor diperkirakan juga akan meningkat. Di sisi lain, pasokan valas yang berasal dari ekspor diperkirakan meningkat sejalan dengan kinerja ekspor non-migas yang semakin membaik. Pasokan valas lain diperkirakan bersumber dari aliran modal asing (capital inflows) terutama yang berjangka pendek yang diperkirakan terus berlanjut. Berbagai faktor positif dalam negeri akan mempengaruhi insentif investor asing dalam menanamkan dananya. Peningkatan rating serta proyeksi utang oleh beberapa lembaga selama tahun 2004 merupakan bukti membaiknya risiko domestik yang pada gilirannya dapat meningkatkan kepercayaan investor kepada Indonesia. Faktor lain yang menjadi daya tarik Indonesia sebagai alternatif investasi terutama jangka pendek, yakni masih cukup menariknya imbal hasil rupiah. Meski prospek ke depan cukup positif, namun beberapa perkembangan dari sisi eksternal perlu diwaspadai. Pergerakan USD yang cenderung terdepresiasi dalam jangka panjangnya akibat permasalahan twin deficit, dapat berfluktuasi (terkoreksi) dalam jangka pendeknya terutama terkait dengan berlanjutnya siklus pengetatan AS. Dalam triwulan I2005, Fedres merencanakan adanya FOMC sebanyak dua kali yaitu pada awal Februari dan pertegahan Maret. Bila data perekonomian AS membaik maka pasar akan kembali melakukan antisipasi terhadap kenaikan suku bunga Fedres. Fenomena ini berpeluang 356 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 membuat rupiah akan mengalami tekanan melalui transmisi ekspektasi kenaikan suku bunga luar negeri. 6. ARAH KEBIJAKAN BANK INDONESIA KE DEPAN Memperhatikan prospek ekonomi-moneter ke depan khususnya pencapaian sasaran inflasi jangka menengah serta faktor risiko yang berpotensi memberikan tekanan pada kestabilan ekonomi, dalam triwulan mendatang arah kebijakan Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran sebagai berikut : Di bidang moneter, kebijakan moneter dalam triwulan mendatang tetap diarahkan pada upaya mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan, namun dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan yang sedang terjadi. Secara operasional, kebijakan moneter akan ditempuh dengan dengan mengarahkan uang primer berada pada proyeksi indikatifnya yakni rata-rata tumbuh sebesar 11,5 - 12,5% pada tahun 2005. Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia akan menggunakan suku bunga sebagai instrumen kebijakan moneter pada pertengahan tahun 2005. Penggunaan target operasional suku bunga sebagai pengganti base money dalam pengendalian moneter ini juga dimaksudkan agar kebijakan moneter lebih fleksibel dalam merespon dinamika perekonomian yang terjadi serta sinyal kebijakan ini yang lebih mudah dibaca oleh pasar. Di bidang perbankan, kebijakan dalam triwulan mendatang diarahkan untuk melanjutkan upaya-upaya untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan dan perbankan serta mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan dsiesuaikan dengan arah kebijakan perbankan kedepan yakni : (i) Mengakselerasi proses konsolidasi industri perbankan melalui penyelesaian proses konsolidasi individual bank dalam tahun 2005, (ii) Mengimplementasi langkah-langkah penguatan infrastruktur sistem keuangan antara lain melalui pendirian LPS, penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan good corporate governance perbankan, melanjutkan program sertifikasi manajemen risiko, persiapan pembentukan Credit Bureau; (iii) Penguatan aspek-aspek prudential dan peningkatan fungsi intermediasi melalui penyempurnaan ketentuan BMPK, Sistem Informasi Debitur (SID), dan Sekuritisasi Aset, Kualitas Aktiva Aset, Pinjaman luar negeri, serta penyelesaian pengaduan nasabah dan perlindungan nasabah dan transparansi informasi produk perbankan. Penguatan aspek-aspek pridensial dan peningkatan fungsi intermediasi tersebut melalui penyempurnaan beberapa ketentuan tersebut akan dikeluarkan pada bulan Januari 2005 dalam bentuk Paket Kebijakan Perbankan. Dalam paket kebijakan tersebut, juga akan diatur pula perlakukan khusus terhadap kredit bank umum di Provinsi NAD dan Kabupaten Nias. Tinjauan umum 357 Di bidang sistem pembayaran tunai, kebijakan tetap diarahkan pada upaya untuk memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi yang layak edar. Terkait dengan hal tersebut, pada triwulan mendatang Bank Indonesia tetap mengupayakan pemenuhan kebutuhan uang tunai di seluruh wilayah di Indonesia sesuai dengan rencana distribusi serta memantau kecukupan persediaan kas. Sementara itu, dalam rangka memenuhi kebutuhan uang kartal di wilayah bencana di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam ditempuh beberapa langkah antara lain dengan mengoperasikan kegiatan pelayanan kas sementara bertempat di rumah dinas Bank Indonesia, memfungsikan KBI Lhokseumawe untuk mensupply uang tunai ke KBI Banda Aceh di bawah koordinasi KKBI Medan, serta mengirimkan tenaga kasir Kantor Pusat untuk membantu operasional perkasan di KBI Banda Aceh maupun KBI Lhokseumawe. Selain itu, Bank Indonesia akan melanjutkan langkah-langkah penanggulangan uang palsu antara lain melalui perluasan jejaring dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait pada langkah penanggulangan uang palsu. Sejalan dengan itu, upayaupaya publikasi dalam rangka pengenalan masyarakat atas ciri-ciri keaslian uang Rupiah akan dilanjutkan melalui media elektronik dan media cetak. Di bidang sistem pembayaran non tunai, kebijakan tetap diarahkan untuk melanjutkan upaya-upaya pengurangan risiko pembayaran, peningkatan kualitas dan kapasitas layanan sistem pembayaran serta pengaturan pengawasan sistem pembayaran guna mewujudkan sistem pembayaran yang cepat, aman, dan efisien. Dalam rangka meminimalkan risiko, meningkatkan efisiensi dan kesetaraan (fairness) dalam sistem pembayaran serta adanya perlindungan konsumen bagi pemakai jasa sistem pembayaran, maka dalam tahun 2005 Bank Indonesia akan mengimplementasikan beberapa program yang telah disusun pada tahun 2004 dan penyusunan ketentuan antara lain pelaksanaan FtS, Sistem Kliring Nasional, pelaksanaan pengawasan sistem pembayaran dengan menggunakan kartu dan sosialisasi untuk memperlancar implementasi Daftar Hitam Nasional (DHN). Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia 359 Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia Firman Mochtar 1 September 2004 Abstract Paper ini menganalisa interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia pada masa sebelum dan sesudah krisis, dengan melakukan estimasi atas quasy fiscal activity (QFA) Bank Indonesia dan mengurai interaksi antara kebijakan fiskal dan moneter. Penulis menemukan bahwa selama masa krisis, aktifitas ini (QFA) ada dan dilakukan oleh bank sentral Indonesia. Hal ini berbeda dengan masa sebelum krisis dimana QFA memiliki besaran yang netral. Dalam kaitan interaksi kebijakan fiskalmoneter, fakta ini menunjukkan dominasi kebijakan fiskal pada masa setelah krisis. Analisa interaksi antara kebijakan fiskal dan moneter ini membawa implikasi kebijakan di Indonesia yakni perlunya disiplin dalam kebijakan fiskal dan perlunya komitmen untuk mempertahankan sustainability kebijakan tersebut. Kegagalan mencapai kebijakan fiskal yang optimal akan mengurangi efektifitas kebijakan moneter dalam rangka mengontrol inflasi meski dalam kerangka inflation targeting yang secara parsial sudah diimplementasikan oleh Bank Indonesia. Keyword: Quasi Fiscal Activities, Fiscal Policy, Monetary Policy, Inflation Targeting JEL: E11, E31, E52, E62 1 Bank Indonesia. This paper was written while the author visited Bank for International Settlement. I am grateful to PalleAndersen, Madhusudan Mohanty, David Lebow, Feng Zhu, Piti Disyatat, Diana Permatasari and Reza Anglingkusumo forhelpful suggestions and detailed comments. Author would like also to thank all the colleagues in Macroeconomic Monitoringsection and Emerging Market Issues Section for the hospitality and the discussion. Any opinions expressed are those of theauthor and not necessarily those of the Bank Indonesia or the Bank for International Settlement. 360 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 1. INTRODUCTION Intensive challenges in conducting macroeconomic policies emerged in Indonesia since the Asian crises hit in 1997. Monetary policy was engaged with exhaustive challenges. Exchange rate depreciated sharply while monetary base grew rapidly triggered by central bank’s liquidity support. Under these circumstances, inflation increased sharply in 1998 to reach 82%. On fiscal policy side, the sharp depreciation of the exchange rate inevitable raised the foreign debt burden in term of domestic currency. Moreover, a huge amount of expenditure was still required regarding the policy to restore the banking system and also to finance other government operational expenditures. Macroeconomic policies pursued afterwards expressed the effort to solve the problem. Tight monetary policy was conducted to absorb a huge amount of excess liquidity. From fiscal side, central government had issued domestic debt both for replacing the central bank’s liquidity support and for recapitalizing banking system during period September 1998 and October 2000 (Bank Indonesia, 1999 and Hawkin, 1999). Furthermore, starting 2002 government has also issued different types of bond to finance the state budget deficit2 . The total government debt, both domestic and external, rose from 25% of GDP at end-1996 to 96% at the end of 2000. This paper is intended to test empirically fiscal and monetary policy interaction during that period of macroeconomic adjustment. The interaction will be viewed from the plausibility quasi fiscal activities by central bank (QFA)3 and be extended to test fiscal versus monetary dominance. The QFA estimation is motivated by the fact that during the period adjustment, the fiscal side come under a heavy burden while in monetary side accorded a sharp increase. On assumption that consolidated government budget identity holds this fact generates some suspicion of fiscal monetization in Indonesia during that period. Conceptually, this circumstance could lead to QFA since QFA emerges if total public sector spending is above additional central government public debt. As residual of those two variables, QFA is required to finance the central government financial gap. Moving forward from QFA issue, fiscal versus monetary dominance test is also gauged to confirm the QFA result. Still on assumption that consolidated government budget identity holds, the presence of QFA could also imply the presence of the fiscal dominance in view of fiscal and monetary policy interaction. Under this circumstance, fiscal policy which is reflected 2 Boediono (2004) explained that the increase of the domestic debt was associated with the effort to support banking system and classified them into three main policy namely (i) policy to overcome the shortage of liquidity in banking system through Bank Indonesia’s liquidity support, (ii) policy to guarantee public’s deposit in banking system and (iii) policy to recapitalize banking system. 3 The acronym QFA will be used frequently to express the quasi fiscal activities by central bank Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia 361 in present value of primary balance will move exogenously to the initial total public debt and sequentially required monetary policy to satisfy consolidated budget identity. Extending method proposed by Buiter (1993), Budina-Wijnbergen (2000) and Markiewicz (2001) for the QFA estimation, the paper finds that fiscal and monetary interaction in Indonesia the during the crises has created QFA phenomenon. Most of the source behind the figure since 1998 inevitably was the effect of rescue operation held by the central bank associated with the financial system which has consecutively deteriorated central bank balance sheet. In addition to this source, huge increase in central bank securities also contribute to QFA because it has enlarged the cost of central bank on monetary instrument and again sequentially worsen central bank balance sheet position. Parallel to the QFA result, the paper also finds that fiscal policy is likely to be more dominant in view of fiscal and monetary policy interaction during the crises. Utilizing method employed by Canzoneri et.al (2001) and Tanner and Ramos (2002), paper obtains that fiscal policy has moved exogenously to debt performance post 1997 such that could lead to the emergence of fiscal dominance classification. Based on the findings, the paper finds some implication for monetary policy in Indonesia. The nature of fiscal and monetary policy interaction implies that imposing monetary policy effectiveness in Indonesia still call for a higher fiscal discipline and commitment of the government to maintain the sustainability. Parallel to some arguments4 , this paper’s results imply the failure to solve fiscal performance optimally could deteriorate monetary policy effectiveness to control inflation even under inflation targeting framework which has been partially implemented in Indonesia. Paper will be organized into five parts. Part two estimates the QFA by central bank in Indonesia. Employing part two result, part three presents the test of fiscal versus monetary policy dominance. Part four addresses some implications of the results for the effectiveness of monetary policy in Indonesia under inflation targeting framework. Part five concludes the paper. 2. ESTIMATING QUASI FISCAL ACTIVITIES BY CENTRAL BANK In this part, firstly we estimate quasi fiscal activities by central bank. Indeed the estimation will only provide an approximation of QFA, not a precise number because the method used to estimate only applies to the aggregation level. This approach provides a good direction of QFA if the precise information of QFA is not available (Markiewicz, 2001). 4 See Loyo (1999), Blanchard (2004), Favero and Giavazzi (2004) 362 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 QFA in this estimation is obtained from the simple manipulation of consolidated government budget constraint which is formed from central government budget constraint and central bank financial account. As explained in many macroeconomic and monetary theory text books5 , consolidated government budget constraint defines that in addition to revenue from tax, to meet the spending, government sells bonds to public and/or to the central bank. On assumption that consolidated government budget identity holds, QFA will be acquired if total public sector borrowing requirement6 is higher than additional central government public debt which eventually finance from central bank to fill central government financial gap. 2.1. Analytical Review To describe the QFA in Indonesia, I modified and extended the Buiter (1993), BudinaWijnbergen (2000) and Markiewicz (2001) analytical framework such that it could represent Indonesia’s consolidated public budget identity ‘prototype’. As explained earlier, to derive QFA, firstly we should form consolidated government budget constraint which is amalgamated from central government budget constraint and central bank’s financial account. Government Budget Constraint As explained in many standard analyses, central government budget constraint can be depicted as: g g G − T + iB-t1 + iDC−1 − iDEP−1 +[(1 + EÌ‚ )(1 + i * ) − 1] B*−1 E −1 (2.1) = ÄBt + Ä(B* E) + ÄDCg − ÄDEPg +CBT where G – the non interest government spending, T – government domestic revenue including non-tax revenue, i – nominal interest rate, Bt - total government‘ domestic debt, DCg - credit to government from central bank, DEPg - government deposits at the central bank, B*- government’ foreign debt, E – nominal exchange rate, CBT – transfer from central bank which obtained from some proportion of central bank profit. The asterisk * denotes variable in foreign currency, ∆ indicates the absolute change in the expression that follows and ^ denotes a percentage change in variable. By defining D = G –T as primary deficit, equation (2.1) describes that funding requirement for the general government primary deficit, interest paid on domestic government debt, interest paid on domestic credit extended by the central bank to the government minus government deposit at the central bank plus interest on foreign debt expressed in terms of 5 See Walsh (2003, chapter 4) for the an example 6 which is also called overall budget balance obtained from tax revenue minus total government spending Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia 363 domestic currency should be equal to the financing sources i.e. government’s domestic and foreign debt issue, net credit to government extended by the central bank and transfer from central bank. Following Budina-Wijnbergen (2000) and Markiewicz (2001) to capture the impact of the exchange rate on domestic value of foreign debt, changes in the value of government foreign liabilities are broken down into the change in stock of foreign debt, exchange rate changes and cross-term product: (2.1a) * ˆ ÄB* + B* ∆ E + ÄB* ∆ E Ä(B E) = E -1 −1 Combining (2.1a) to (2.1) to obtain the central government budget constraint that has eliminated the effect of exchange rate devaluation on the government foreign debt: D + iB-t1 + iDCg−1 − iDEP−g1 + (1 + EÌ‚) i*B*−1 E −1 (2.2) = ÄB + (ÄB )E-1 + ÄB ∆E + ÄDC − ÄDEP + CBT t * * g g The Central Bank’s Financial Account The central bank’s financial account is formed trough central balance sheet and central bank’s profit and loss account. Referring to Bank Indonesia’s balance sheet, we have the following identity: (2.3) NW + ÄM + ÄBm = ÄBg + ÄDCg − ÄDEPg + ÄCp + Ä(NFA*E) where M – monetary base, Bg - government bond held by the central bank, Bm - central bank securities used as monetary instrument, Cp - credit to non-governmental sector (commercial bank and private sector), NFA – net foreign asset, NW – net worth obtained from profit of central bank minus CBT. Equation (2.3) show different characteristic from the standard central bank balance sheet in many in industrial countries. Equation (2.3) provides the use of central bank securities, Bm , in the identity and later will have some implications to the result of QFA. The contribution of central bank securities in QFA is also parallel to Rodriguez (1994) and Beckerman (1995) arguments for Argentina experience in 1989-1990 which showed a considerable QFA due to the large use of central bank securities in Argentina’s monetary management at that time. As Van’t dack (1999) and Hawkin (2004) survey experiences of emerging countries and show that many central banks use them for open market operation. Meanwhile from the profit and loss account, the central bank’s ‘net’ profit is defined as: 364 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 g g g p * m (2.4) NW = { iDC −1 − iDEP−1 + iB −1 + iC −1 + [(1 + i*)(1 + EÌ‚) − 1] NFA −1 E −1 − iB −1 }− CBT Combining balance sheet (2.3) and profit and loss account of the central bank (2.4) and eliminating the exchange rate effect will reproduce central bank’s financial account as: g g g m p * * (2.5) i DC −1 − i DEP−1 + i B −1 − i B −1 + i C −1 + (1 + EÌ‚) i NFA −1 E−1 = ÄB − ÄB + ÄDC − ÄDEP + ÄC + ÄE-1 ∆NFA + ∆E ÄNFA − ÄM + CBT g m g g p * * Consolidated Government Budget Identity By defining B=Bt - Bg as the government debt held by the private or commercial bank and substituting into combined government budget constraint (2.2) and central bank financial account (2.5), we get the total public sector budget constraint. However, because we are trying to focus on the changes of net foreign debt then the small changes of exchange rate can be ignored to obtain: (2.6) D + i B-1 + i B −m1 + (1 + EÌ‚) i* (B −* 1 - NFA −* 1 ) E −1 − i C −p1 = ÄB + ÄB + E-1 ( ∆B − ÄNFA ) − ÄC + ÄM m * * p Equation (2.6) expresses consolidated government budget constraint. The deficit of public sector can be financed by increasing domestic – including central bank securities- or foreign debt, money creation or increasing liabilities (in foreign currencies or in domestic currency for non-governmental entities) of the central bank. Unlike standard consolidated government budget constraint, the central bank securities appears as a part of government spending in consolidated sense and can be part of the total public debt held by the private. Approximation of Quasi Fiscal Activities Indeed, the proxy of QFA could be captured from equation (2.6) if the total public sector borrowing requirement as described from the left hand side of equation (2.8) is above additional central government public debt. QFA can be obtained from the residual of those two variables because it implies the money needed to finance the central government financial gap. Nevertheless, this approach could bring some misleading result if government borrowing requirement grow faster than government deficit. Following Markiewicz (2001), to overcome the problem equation (2.6) will be slightly manipulated by separating the source of financing from central bank and government as follows: (2.7) ÄB + ÄB + E -1 (∆B − ÄNFA ) − ÄC + ÄM = m * * p [ ÄB+ E -1( ∆B* ) + ∆DC g - ∆DEP g ] - [∆DC g - ∆DEP g - ÄBm + E -1 (∆NFA* ) − ÄM + ÄCp ] Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia 365 The right hand side of (2.7) describe the borrowing requirements of the general government and borrowing requirement of the central bank. The second part of the right hand side of (2.7) expresses the net other items in central bank behaviour which will be the main part of analysis or exclusively be defined as: (2.8) ∆DC - ∆DEP - ÄB + E-1 (∆NFA ) − ÄM + ÄC = ÄNOI g g m * p Equation (2.8) is the centre of analysis of the QFA which describes the amount of money required by the central bank to balance the fiscal operation by central government such that can satisfy the consolidated government budget constraint in equation (2.6). Equation (2.8) implies the amount of money created by central bank as part of public entities to finance the central government spending. By definition, indeed equation (2.8) indirectly also reflects the flows of central bank’s net worth for a certain period because it also shows the difference between bank’s asset and its liabilities7 . The negative value of NOI could reflect that liabilities of the bank has exceeded asset and could indirectly provide the fragility of the central bank’s financial position. With respect to our case, the negative value of NOI could indicate a QFA by central bank at that period. g g m * p ∆DC - ∆DEP -(2.8) ÄB is + Ea-1 (higher ∆NFA of ) − ÄM +. This ÄC =equation ÄNOI One of the source of the deficit in equation g g m * p ∆DC DEPshock - ÄB that + E-1could (∆NFArise ) − ÄM +and ÄC subsequently = ÄNOI implied that- ∆ any will lead a deficit in QFA. g g m * p ∆DEP(1996), - ÄB +the E-1 source (∆NFA )of− ÄM +rise ÄCcould = ÄNOI Following Mackenzie∆DC and -Stella be initiated from the central bank rescue operation related to the financial system which can take a variety of form – from a simple infusion of capital, to an assumption of nonperforming loans, to an after-the-fact exchange rate guarantee. Table 1 reproduce Mackenzie and Stella (1996) classification. .. Further discussion could be addressed to the role of central bank securities (ABm) in estimating the QFA. By definition equation (2.8) implied that sterilization by central bank .. through increasing ABm implies will raise QFA. Nevertheless, by practice this hypothesis .. could not be always occurred because when base money (AM) would also contract the same amount when central bank sterilize the money supply by selling the central bank .. securities. The higher ABm would raise the QFA only if AM does not change due to other source of monetary policy expansion which is higher that central bank policy contraction through that central bank securities. The Argentina’s experience in 1989-1990 referred by 7 Stella (1997) distinguished definition between net worth and capital in view of central bank balance sheet. He defined net worth as the price a fully informed risk neutral investor would pay to purchase the bank under normal condition. Meanwhile capital was defined as the amount directly invested by shareholder plus accumulated retained earning minus losses. The term of net worth is more appropriate to our paper because it captures the changes in the value assets and liabilities both for past and future changes. 366 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 Rodriguez (1994) and Beckerman (1995) could be parallel to this hypothesis because tight monetary policy employed central bank securities caused a monetization and could not be fully sterilized by central bank. Tabel 1. Clasification of Quasi Fiscal Activities Operation Related to the Exchange Rate System Multiple exchange rate Import deposits Deposit on foreign assets purchases Exchange rate guarantees Subsidies exchange risk insurance Operation Related to the Financial System Subsidized Lending Administrered lending Preferential rediscounting practices Poorly rediscounting practices Loan guarantees Reserve requirement Credit ceiling Rescue operations Source : Mackenzie and Stella (1996), page 4 2.2 Empirical Result: the crises forced the central bank run quasi fiscal deficits Employing the ratio to GDP for each variable of annual data 1986 – 2003, the empirical result of (2.8) indicates that banking crises played a big role in raising central bank’s QFA. The central bank has been running QFA since 1997 which reached the highest level in 1999. These figures were really contrast to pre-1997 environment which posed mostly neutral position in term of QFA. In comparing to primary balance of the central government reported by the central government, this QFA figure deviated in a wide range because central government primary balance during that period always showed a surplus number (Graph 1). From QFA and primary balance figures deviation, an interesting characteristic of those deviations between NOI and the government primary balance is the emergence of three different regimes of the fiscal adjustment and monetary movement. The first period is prior 1990 which provide deficit number in central government primary balance and a relatively neutral in central bank operation. The second regime refers to the period between 1990 and Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia 367 1997 which describes fiscal adjustment to maintain primary surplus while the central bank maintained a neutral position. The last period is period after 1997 which engages deficits in central bank quasi-fiscal activities while primary balance turned positive. 5.0 5.0 3.0 3.0 1.0 1.0 -1.0 -1.0 -3.0 -3.0 -5.0 -7.0 -9.0 -11.0 -5.0 QFACB I (actual ER) Govt. Primary Surplus/Deficit QFACB II (1997 constant ER) Seignorage Overal Balance -7.0 -9.0 -21.5 -17.1 -11.0 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Source : Bank Indonesia, Ministry of Finance, author’s calculation Graph 2.1. Quasi Fiscal Activities by Central Bank, Seigniorage, Government Primary and Overall Balance Several facts explain the three different regimes. In first period (i.e prior 1990), the deficit figures in government spending notably relates to the role of the government as the economic agent to enhance economic growth. To support the objective, the government used foreign debt as the financing source of deficit. This was possible because under small contribution of the private agent, government placed itself in the centre of economic development. From QFA analysis, several positive NOI implies that not all the foreign debt was spent into domestic economy. Instead, some of them were placed as deposit in the central bank account. The government account and NFA of central bank increased steadily in this period. In monetary policy part, this figure also represents the central bank role to sterilize government expenditure. Nevertheless, the figure in this regime could also lead a misleading interpretation because in this episode the lack of transparency in fiscal policy has a strong environment. During this time, the use of off-budget account also appeared in other financial institution. Therefore the deficit primary budget balance number can be misleading figures of central government operation during this regime. From the second period (1990 – 1997), the positive primary surplus of central government budget corresponds to higher revenue from the positive impact of high economic growth and high oil and gas price. Except in 1992, this economic environment leads the fiscal policy to accumulate surplus on both primary and overall balance. In result of the accumulated primary surplus and the high economic growth, fiscal sustainability tend to 368 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 emerge described from declining trend of debt to GDP ratio (Graph 2). From monetary movement, it is again slightly neutral. Nevertheless some events still occurred at that time which contribute to QFA. As stipulated in central bank law 1968 act, the central bank should support government effort to enhanced economic growth and create employment. One policy of central bank related to the QFA in this regime corresponded to the activities of central bank credit to finance the private sector through liquidity credit of Bank Indonesia, so called KLBI. Before 1998, this credit posed a high number (Graph 3). Mackenzie and Stella (1996) argued this type of financing can be classified into QFA because it was formed as subsidized lending ranging from relative direct practice of lending at administered rates set below market, lending to poor credit risk and lending without adequate collateral. 100 Percent Percent 100 Total Debt excluding Govt Debt in BI Foreign Debt Stock Domestic Debt including in BI 90 80 90 80 70 70 60 60 50 50 40 40 30 30 20 20 10 10 - 19851986 19871988 19891990 19911992 19931994 19951996 19971998 19992000 20012002 2003 Source : Bank Indonesia, Ministry of Finance, author’s calculation Graph 2.2. Government Foreign and Domestic Debt 10 30,000 Liquidity Credits (billion Rp - left scale) Ratio to GDP (% - right scale) 25,000 8 20,000 6 15,000 4 10,000 2 5,000 1984 1987 1990 1993 1996 1999 Source : Bank Indonesia, author’s calculation Graph 2.3. Bank Indonesia Liquidity Credit 2002 0 Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia 369 Another item contributed to the QFA in this region relates to the managed floating exchange rate regime adopting during this period. Following Mackenzie and Stella (1996) classification, operation to exchange rate system can be classified into QFA by central bank because it both provide a hidden subsidy to the market that should paid by the central bank by maintaining the level of the exchange rate at certain range. Central banks in this period pursued sterilization policy of capital inflow in foreign exchange market such that could prevent the further domestic currency appreciation at that time (Graph 4). Hence, this managed floating exchange rate system inevitably reduces the central bank reserve and bring down the QFA level lower than the government primary balance. 2,800 2,800 Lowest Band Mid Band 2,700 Highest Band Market Rate 2,700 2,600 2,600 2,500 2,500 2,400 2,400 2,300 2,300 2,200 2,200 Dec Mar 1995 Jun Aug 1996 Nov Feb May Aug 1997 Source : Bank Indonesia Graph 2.4. Rupiah Exchange Rate 1995 – 1997: Intervention Band and Actual Rate The third period was occurred since the Asia financial crises hit. The issue emerged in this region is apparently loose monetary policy stance as reflected by the deficit number in NOI while fiscal stance keep trying to maintain government primary surplus balance. In the fiscal side performance, the primary balance indeed still reflects a government idea to keep concerning to debt sustainability. The sharp depreciation of Indonesia’s exchange rate lead an increase in foreign government debt in term of domestic currency (Graph 2). Unavoidably, this problem cause higher principal and interest repayment debt that ultimately cause deficit in overall balance. This unfortunate debt burden performance has both limited the government stimuli to the economy and restricted financing to restore the banking system. Fiscal problem had forced the government to issue the domestic debt. From September 1998 to October 2000, government issued two different domestic bonds i.e. bonds to replace the central bank’s 370 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 liquidity support8 and bonds to recapitalize the banking system (Bank Indonesia, 1999 and Hawkin, 1999). In addition, starting 2002 government also issued domestic bond through market auction to finance the government budget deficit. This additional debt consequently brought to the higher burden of interest debt repayment than primary surplus obtained which reached the peak on 2000 (Graph 2). Interesting figures emerge since 1998 from the monetary side. Two type of analysis of equation (2.10) employed current exchange rate and constant exchange rate generally indicated that in this regime central bank run a high quasi fiscal deficit. The difference between current exchange rate result and 1997 constant exchange result is only in the year of 1998 which obtained a surplus number for the NOI. However, this figure could bring a misleading interpretation because those are more affected by the sharp depreciation effect of the exchange rate such that could raise the net foreign assets (NFA) in term of domestic currency value. Referring equation (2.1a) and (2.6) we should focus on the changes of the stock of the net foreign asset instead of the effect of exchange rate changes. Therefore, the rest of analysis, we will focus on 1997 constant exchange rate. The general justification of this post 1997 performance was the effect of rescue operation held by the central bank associated with the financial system. In 1998 central bank engaged deficit of NOI amounted -4.7% of GDP while in 1999 deficit was apparently getting higher. Those figures were contributed from liquidity support from central bank as lender of the last resort (Bank Indonesia, 1998, 1999). Mackenzie and Stella (1996) survey in some developing countries showed the possibility of the similar rescue operation could generate QFA were mostly contributed from an infusion of capital to a troubled institution, an assumption of non-performing loans, or an exchange rate guarantees by the central bank. Those sources of QFA probably existed in Indonesia while the crises occurred. In addition, some aspect in the central bank operation also contributes the deficit. Following equation (2.8), the positive central bank securities could also contribute to the deficit QFA. Following Mackenzie and Stella (1996) argument, increase of open market operation to sterilize the liquidity injection of the financial rescue operation could be classified to QFA because this central bank open market operation will enlarge the cost of central bank. Similar arguments were also proposed by Rodriguez (1994) and Beckerman (1995) for the case of Argentina in 1989-90. For Indonesia case, this relates to the sharp increase of central bank securities (SBI) as shown since 1998 and subsequently has generate higher cost for monetary expenses of the central bank (Graph 5). 8 These liquidity support were issued to prevent bank run and payment system failure Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia 140,000 18 120,000 16 100,000 14 80,000 12 60,000 10 40,000 8 20,000 6 2000 2001 2002 2003 371 4 Monetary Operation Expenses (billion Rp - left scale) SBI Stock average (billion Rp - left secale) 1 Mont SBI Interest Rate - average (% - right scale) Source : Bank Indonesia’s annual report Graph 2.5. Central Bank Securities: Stock, Interest Rate and Monetary Operation Expenses 3. TEST OF FISCAL VERSUS MONETARY DOMINANCE Part two results emphasize Mackenzie and Stella (1996) argument that central bank can affect the overall public sector balance without affecting the surplus in government primary balance. Period three of Indonesia fiscal adjustment and monetary movement justify this argument by showing that the central bank has supported the consolidated government financing. This fact is indicated from deficit figures of NOI while primary balance still obtained surplus. These results lead a further question whether the sequential government primary surplus sufficiently expresses fiscal commitment and discipline regarding to debt performance and can be classified into monetary dominance in term of fiscal and monetary interaction sense. To answer these questions, the study will be extended to investigate the fiscal versus monetary dominance in view of macroeconomic policy coordination. In this test, if government does not adjust the primary balance sufficiently to reach sustainable debt level while the central bank is forced to drive up the debt, then such regime will be classified into fiscal dominant regime. By contrast, if the government could always ensure the primary balance to balance intertemporal budget in balance while monetary policy is set independently, then the economy is under monetary dominant (MD)8 . As we will in the next section, the answer of this question will have some further implication to the monetary independence to maintain the price stability. 9 The distinction between MD and FD regimes is due to Sargent and Wallace (1981) 372 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 3.1. Analytical Framework This test basically is also initiated from the public sector budget one-period identity as described in (2.6). Recall that Dt = Gt - Tt and ∆ indicates the absolute change from the .. previous number for the respective variable. Use that definition and also define AM=St as the nominal value of seigniorage then we rewrite (2.6) as the following form: G t − Tt + i t -1B t-1 + it-1 B t - + (1 + EÌ‚t -1) i t-1 (B t -1 - NFA t-1 ) Et -1 − i t-1 C t-1 m1 * * * p m * * * * p p = ( B t - B t-1 ) + (B m t − B t-1 ) + E t[(B t − B t-1 ) − (NFAt − NFAt -1 )] − (C t − C t-1 ) + St (2.6a) Assume uncovered interest parity holds i.e it* = it ⁄ Eˆt and define net total public liabilities excluding seigniorage as : (2.6b) L t = B t + Bt + E t ( Bt − NFA t ) − C t g m * * p then equation (2.6a) can be simplified: (3.1) g t + i t-1 l t-1 = τt + lt − lt-1 + st g g g where the small case letters have expressed the scaling of the respected variable to nominal GDP. Following Walsh (2003), let assume the interest factor i is a constant and positive, equation (3.1) can be solved forward to yield : (3.2) (1 + i) ltg−1 + ∞ × ∞× ∞× s ltg+k gt + k τ t +k t+ k = + + lim ♦ × (1 + i ) k (1 + i) k k = 0 (1 + i) k k =0 (1 + i)k k→∞ k=0 Σ Σ Σ If discounted value of government liabilities approaches zero over an infinite horizon in the last term of equation (3.2) ie. lim (3.2a) k♦ × →∞ ltg+ k =0 (1 + i )k then equation (3.2) and (3.2a) summarize that the present discounted value of all and future non-debt central government and seigniorage revenue should be equal to the present discounted value of all current and future government expenditure plus current outstanding net public liabilities plus interest. Let as the net government primary balance that has involved seignoirage then the intertemporal budget implies from (3.2): (3.3) (1+ i ) ltg−1 = − × ∞ pbt +k Σ k k = 0 (1 + i ) or Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia (3.3a) ∞ × { Σ (1 + i) ltg−1 = − pbt + E k =1 pbt +k 373 } ? (1 + i)k ? Equation (3.3) describes that government should react negatively to the current outstanding government liabilities. The higher government debt liabilities should lead the lower present value of primary deficit decrease (ie. the government should run a primary surplus in the present value). By definition, this equation implies that primary balance surplus can be generated through adjustment in expenditures, taxes or seigniorage. 3.2. Empirical Result: Since the crises fiscal plays dominant role To test empirically the existence fiscal or monetary dominance, equation (3.3) will be applied into VAR method which is similar to Canzoneri et.al (2001) and Tanner and Ramos (2002)10 . Following Tanner and Ramos (2002), equation (3.3a) can also be manipulated into changes form. To obtain this, add the net government primary balance from both side of equation (3.3). Because adl ≡ pbt + (1 + i ) l t −1 = L t − Lt −1 represent the additional g g g liabilities (L) required to finance the operational deficit then (3.3) is re-written as: (3.4) adl = − ∞ ∑ ∆ (1 + i) pbt k =1 k −1 Equation (3.4) interpret current additional debt required to finance operational deficit is equal to the sum of discounted changes in the primary deficit. Following Tanner and Ramos (2002) argument that refer to Campbell (1987) logic11 , the VAR implied from this theory is: (3.5) X t = a 0 + a 1 Xt − 1 + a 2 X t − 2 + K + v t ( ) whereX = [∆pb, adl ] , ai is a vector of coefficients, and vt = vpb , vadl is a vector of error term. In standard form, assume that each element of the error vector vt is in turn composed of own error term w t = w pbt , w adl and contemporaneous correlation with other error: ( (3.6) ) vt = B wt where B is a 2 x 2 matrix whose diagonal element (“own correlation”) equal one and whose non zero off-diagonal elements reflect contemporaneous correlation among the error term. Equation (3.6) also obtains impulse response functions that describe the effects of current innovations wt on values of X. Like any VAR framework, system (3.5) estimates relationships of time-series causality that run in both directions. 10 Komulaenen and Pirttilä (200) used other VAR technique to investigate empirically fiscal and monetary dominance issue 11 Campbell (1987) employed the similar idea to test the permanent income hypothesis in US data 374 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 To interpret VAR result which estimates in both directions of the variables then the interpretation of checking fiscal or monetary dominance should be treated in similar way and still need to consult to equation (3.3a). Following Tanner and Ramos (2002), first consider the effect of additional debt ( adlt ) innovation to future primary balance ( pbt+1 ). The equation (3.3a) interpret that the fiscal dominance (FD) will exist under this type of shock if primary balance are determined exogenously and unrelated to the level of previous additional debt and therefore the nominal and or discount factor must adjust in equilibrium to satisfy the equation. In addition, Tanner and Ramos (2002) also argue that the positive relationship could also indicate FD because it reflects that the primary deficits respond to liabilities in unstable fashion. On contrast, monetary dominance (MD) exist in this type of shock if primary balance is determined in such way that (3.3a) is always satisfied, regardless the nominal income and discount factor behave. According to this interpretation and equation (3.3a), the relationship between primary balance and the additional government liabilities should be negative and significant because they indicate that primary deficits compensate the changes in liabilities to help limit debt accumulation. Walsh (2003) classified this as a traditional analysis in which fiscal policy always adjust to ensure government’s intertemporal budget identity while monetary policy is free to set nominal money stock or nominal of interest rate. A second type of shock is to consider the effect of current primary balance innovation to future additional debt. The FD will appear if there is no significant impact on the additional future debt of the positive innovation of primary balance. Meanwhile, the MD will occur in this type of shock if current innovation to the primary deficit should be positively related to the additional future government debt and hence adlt . This figure imply that if the government run the surplus primary balance then it can pay down the debt and hence reduce additional future debt. Another interpretation also appears in MD regime if we extend the assumption to a variable real interest rate. Under this scenario, negative relationship between primary balance innovation and future debt should appear because it reflect a negative government response of reduction of primary deficit by lower (higher) expected future interest payment and hence could make a more (less) additional borrowing. Table 2 reproduce Tanner and Ramos (2002) economic interpretation of the VAR system result regarding to the issues. Employing quarterly data since 1984:2 to 2003:2, the estimations are grouped into three sub-periods as indicated by QFA result i.e. period prior 1990, period between 1990 and 1997 and period after 1997. Some quarterly raw data are obtained from author’s calculations from old government budget format. Since the quarterly data for external Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia 375 Tabel 2. Hypothetical Economic Interpretation, System (3.5), X=[∆pb, adl] Current Primary Deficit (∆ pbt )* → Future Liabilities ( adlt+i ) Positive Government pays down future debt, consistent with fiscal dominance regime Zero Primary deficit exogenous, consistent with fiscal dominance regime Negative Government anticipates future interest bill or other obligation, consistent with monetary dominance regime Current Liabilities (adlt )* → Future Primary Deficit ( ∆ pbt+i ) Positive Unstable policy, consistent with fiscal dominance regime Zero Primary deficit exogenous, consistent with fiscal dominance regime Negative Government pay down past debt, consistent with monetary dominance regime * Innovation government debt stock is not available prior 1990, the external debt stock before 1990 was calculated from net inflow government debt from balance of payment data of Bank Indonesia. The primary surplus/deficit of government prior 1997 is generated by excluding the interest and principal repayment foreign government debt from government budget. The estimation result apparently confirms the QFA result estimation. The Granger causality test in table 3 indicates the whole sample does not provide a significant relationship between primary balance and additional debt required to finance the operational deficit. This performance generally was supported from the sub-periods prior 1990 that do not demonstrate a considerable relationship. The significant and negative relationship between those two variables only appears in period between 1990 and 1997. This 1990-1997 result is not a surprise result. Empirical data support this indication. An accumulated primary surplus was move contrastly to the decreasing of the ratio of foreign government debt to GDP which somehow could imply some sustainable fiscal policy. The Granger causality test is also supported by impulse response function of VAR result that implied an effort from fiscal policy to response future debt growth by accumulating the government primary surplus. For period prior 1990 and since 1997 the impulse response function does not show a significant response to the each innovation, regardless the order. The significant impact only appear in period between 1990 and 1997 where the impulse response function for 1990-1997 period estimation obtain a negative and significant changes on public liabilities to an innovation of primary surplus for at least 1-2 periods (Table 4). 376 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 Tabel 3. Granger Casuality Result X=[∆PDEF, ODEF] 1 Lag Model 1984:2 – 1990:1 1984:3 – 1997:3 1990:1 – 1997:3 1990:1 – 2003:1 1997:4 – 2003:1 1984:3 – 2003:1 2 Lag Model ∆ pbt ---> adlt+i adlt ---> ∆ pbt+i ∆ pbt ---> adlt+i adlt ---> ∆ pbt+i 0.081 (0.778) 0.041 (0.840) 0.029 (0.865) 0.012 (0.912) 0.004 (0.948) 0.001 (0.966) 0.236 (0.632) 2.111 (0.152) 2.962 (0.096) ** 2.130 (0.150) *** 1.472 (0.239) 1.203 (0.276) 0.084 (0.919) 0.286 (0.752) 0.067 (0.934) 0.380 (0.685) 0.122 (0.885) 0.247 (0.781) 1.120 (0.349) 4.055 (0.023) * 1.511 (0.239) 1.095 (0.342) 0.659 (0.529) 0.572 (0.566) F-test value of the hypothesis. P-value in parentheses ∆ pbt ---> adt+i adlt ---> ∆ pbt+i H0 : ∆ pbt does not granger cause adlt+i H0 : adt does not granger cause ∆ pbt *, **, *** indicate statistical significance at the 1, 5 and 10 percent level, respectively Tabel 4. Impulse Response Function Result X=[∆PDEF, ODEF] 1 Lag Model 2 Lag Model ∆ pbt ---> adlt+i adlt ---> ∆ pbt+i ∆ pbt ---> adlt+i adlt ---> ∆ pbt+i 1984:2 – 1990:1 NS NS NS NS 1984:3 – 1997:3 NS NS NS NEG (2 Periods) 1990:1 – 1997:3 NEG (1 Period) NEG (2 Period) NEG (1 Period) NEG (1 Period) 1990:1 – 2003:1 NS NS NS NS 1997:4 – 2003:1 NS NS NS NS 1984:3 – 2003:1 NS NS NS NS NS: Not Significant ; NEG: Negative and Significant For period after 1997, Granger causality test provides an insignificant figure. In addition to that result, impulse response function of VAR system also obtained similar idea. The response of public liabilities to primary surplus innovation provides an insignificant impact, regardless the ordering. This result indeed slightly confirms the QFA estimation that posed a deficit number since the crises occurred. These results imply further description of fiscal and monetary policy interaction. The period 1990-1997 indicates that the central government have slightly succeeded to pursue a debt management. Government has sufficiently reduced the future debt as responses of primary budget surplus. The impulse response function in this period indicated that a positive shock of current primary surplus has negatively affected the future liabilities. Supporting the Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia 377 argument, QFA was also quite neutral such that not sufficient enough to classify monetary policy as sub-ordinate of fiscal policy. At some degree, the result of period 1990-1997 indicates that monetary policy played dominant role with respect to fiscal and monetary policy interaction. Nevertheless the story changed abruptly while the crises hit the mid of 1997. Although the lack of observation numbers may affect the story, the result indicated a different portrait appeared. The sharp and huge depreciation of domestic currency, big amount of issuing additional domestic debt and the unavoidable liquidity support from central bank policy in 1997 – 1999 consecutively brought a big burden to fiscal policy such that also involved monetary policy. This performance apparently indicates that fiscal policy play more exogenously in this regime. Indeed, the study has also tried to exclude the central bank securities to capture ‘real’ government debt and to see its response to the primary balance performance. However, the result does not change and keep showing similar conclusion. 4. IMPLICATION FOR INFLATION TARGETING IN INDONESIA The results from two previous parts suggest several summaries to fiscal and monetary policy interaction in Indonesia. First, prior crises 1997, generally fiscal policy have ensured fiscal sustainability by accumulating primary surplus to reduce the debt ratio to GDP. Following Leeper (1991) terms, fiscal policy during this period tended to be a passive policy because it always tried to satisfy government budget constraint12 . Meanwhile, monetary policy plays an active role which was confirmed by neutral position of QFA. This result apparently shows that fiscal policy commitment on fiscal solvency lead macroeconomic policy during 19901997 under monetary dominance regime. Second, since the 1997 the fiscal and monetary policy interaction exhibits a big different portrait. Fiscal policy seems not be able to generate sufficient amount of primary surplus balance to cover the rise of government debt burden both from external and domestic debt. In addition to this, banking crises also generated deficit in QFA since 1998 which mostly caused by central bank liquidity support to banking system. In addition to this, government policies to withdraw their deposit in central bank also provide another reason the emergence of QFA. In general, those two environments tend to lead the conclusion fiscal policy behaves exogenously in view of fiscal and monetary interaction framework since 1997. 12 Leeper (1991) defined passive fiscal policy as a situation in which fiscal policy always adjust their primary balance to satisfy government’s intertemporal budget. On contrast, if fiscal policy is set independently such that could generate seigniorage from monetary authority then fiscal policy is defined under active fiscal policy. 378 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 How this fiscal and monetary interaction result could affect central bank objective to control inflation while in other side degree of monetary policy independence probably has increased due to the new central bank law enacted in 1999? Referring to Leeper (1991) terms, the result of fiscal and monetary interaction after 1997 and also higher independent in monetary policy could implies both active in fiscal and monetary policy regime was occurred in Indonesia since 1999. Fiscal policy is exogenous to debt performance while monetary policy restraint the policy only to inflation. This macroeconomic policy environment has different implications to the effectiveness monetary policy objective to control the inflation even under inflation targeting framework which implicitly has been adopted by Indonesia. Much of discussion corresponds to the implication of those fiscal and monetary policy stance on inflation behaviour were put under fiscal theory of price level (FTPL) literature13 . Under this theory, inflation is not the sole of territory of the central bank but it is also contributed by fiscal authority. Carlstrom and Fuerst (1999, 2000) summarized two version of FTPL namely weak form FTPL and strong form FTPL. Under weak form FTPL which is parallel to fiscal dominance environment in this paper, inflation is indeed monetary phenomenon but money growth is dictated by fiscal authority because an increase in future deficits must result in either a one time increase in money (a one-time jump in the price level) or an increase in future money growth (future inflation). This form is analogy to game of chicken emerges in which monetary authority loses and is forced to “blink” for this behaviour. Meanwhile the strong form FTPL argues that even if money growth is unchanged, fiscal policy independently affect price level and inflation rate. Strong FTPL assumes that in order to uniquely determine price, the additional restriction of government budget constraint is needed. Prices will adjust so that the real of government debt can adjust to a level consistent with the fiscal budget constraint even if monetary policy is unchanged. To summarize, those two forms of FTPL subsequently imply that the central bank may be ineffective to commit to an inflation target, either because central bank does not control the money supply (weak form) or because inflation is not necessarily a monetary phenomenon (strong form). Does this FTPL emerge in Indonesia in this period after 1997? This is empirical question and even still provides long line debatable answers for the plausible existence of the theory at least for strong form FTPL14 . Carlstrom and Fuerst (1999, 2000) argued that strong FTPL has some empirical problem because it needs large elasticity in real interest rate in order for 13 See Leeper (1991), Koncherlakota and Phelan (1999), Cochrane (1998) and Woodford (1996, 2001) and Walsh (2003) for this FTPL literature. 14 Some critics relates to the existence of FTPL see Carlstrom and Fuerst (1999, 2000), Buiter (2002, 2001, 1999), Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia 379 self-fulfilling circle to occur. Those large real interest rate that is apparently unrealistic requires three large elaticities: (1) a large interest of money demand; (2) a large response of output to a decline in real balances and (3) large response of the real to decline in current output. Parallel to Carlstrom and Fuerst (1999, 2000) argument, strong form of FTPL likely also present empirical problem in case of Indonesia because all those assumptions seem not appear in Indonesia economy as suggested in recent empirical studies in Indonesia regarding to those issue 15 . From the weak form of FTPL, the empirical situations in Indonesia also show similar hints to strong form. So far, weak form of FTPL can not be identified clearly especially since 1999 when the central bank obtained more monetary policy independence through the new central bank act. Since that time, central bank does not provide Bank Indonesia liquidity credit (KLBI) as shown before 1999. In addition, the new act also prohibits government intervention to monetary policy including seigniorage from the central bank. Despite QFA by central bank show deficit number, some evidences support the idea that fiscal policy keep trying to avoid financing from central bank. Except in 2003, domestic financing from central bank tend to be negative which implies accumulating government deposit in the central bank (Table 5). Instead, the sources of deficit financing were source from government bond issuance and privatization of state enterprises. In addition to it, base money also grew at a low level. To sum up, the empirical data identified can not clearly identify FTPL occurrence in Indonesia since 1999 for both strong and weak from of FTPL. The QFA in central bank seems can be classified into monetary policy discretion due to liquidity support problem while the fiscal dominance conclusion using VAR approach in part three test might still be an ambiguous result due to the lack of data. Zoli (2004) employed data from some emerging countries argues that VAR method could provide an ambiguous result. This result implies that monetary policy could be still dominance in term of fiscal and monetary interaction since period 1999. Despite those empirical results rejection on FTPL and the tendency of monetary policy dominance in Indonesia, some literatures still show that fiscal performance can still affect the effectiveness of monetary policy even under inflation targeting. Using Brazil experience, Blanchard (2004) indicated that expectation channel of fiscal performance deterioration could cause a reversal effect of monetary policy to control inflation. Employing fiscal dominance term to represent the deterioration of domestic government debt, Blanchard 15 Among others see Anglingkusumo (2004) and Simorangkir (2002) that examined demand for money function in Indonesia. Macroeconometric model of Bank Indonesia (MODBI) also show a small elasticity result of interest rate impact on output. 380 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 Tabel 4. Government Budget, 1997 - 2003 (Central Government Operation1) (% of GDP, Otherwise stated)) Items 1997/98 1998/99 1999/00 2000 2001 2002 2003 Level Level Level Level Level Level Level Total revenue and grants Domestic revenue Tax revenue Nontax revenue2) 112,276.0 112,276.0 70,935.0 41,341.0 156,408.5 156,408.5 102,394.5 54,014.0 200,643.7 200,643.7 125,951.1 74,692.6 205,334.5 205,334.5 115,912.5 89,422.0 301,077.7 300,599.5 185,540.9 115,058.6 300,185.9 299,885.4 210,952.7 88,932.7 342,787.0 342,446.9 248,444.5 94,002.4 Grants Total expenditure and net lending Central government expenditures Current expenditures Personnel Goods and services Interest payment Interest on domestic debt Interest on external debt Subsidies Other current expenditures Development expenditure Transfers to regions Primary Balance3) Statistical discrepancies Overall Balance 0.0 109,302.5 88,377.5 61,491.9 17,269.0 8,999.3 10,817.6 0.0 10,817.6 21,121.0 3,285.0 26,885.6 20,925.0 13,791.5 (0.5) 2,973.5 0.0 172,669.2 146,019.6 104,452.6 23,216.1 9,862.4 32,864.3 8,384.8 24,479.5 35,785.7 2,724.1 41,567.0 26,649.6 16,603.6 (0.0) (16,260.7) 0.0 231,879.0 201,943.0 156,755.6 32,718.8 10,764.5 42,735.3 22,230.4 20,504.9 65,916.4 4,620.6 45,187.4 29,936.0 11,500.0 0.0 (31,235.3) 0.0 478.2 221,466.7 341,562.7 188,391.9 260,508.3 162,577.1 218,923.3 29,612.9 38,713.1 9,604.8 9,930.9 50,068.1 87,142.4 31,237.9 58,197.0 18,830.2 28,945.3 62,745.3 77,443.4 10,546.0 5,693.5 25,814.8 41,585.0 33,074.8 81,054.4 33,935.9 46,657.4 0.0 0.0 (16,132.2) (40,485.0) 300.5 327,863.0 229,340.5 189,069.1 39,687.1 12,432.5 89,867.7 64,461.3 25,406.4 40,006.3 7,075.5 40,271.4 98,522.5 62,190.6 (0.3) (27,677.1) 340.1 377,197.5 257,919.6 191,796.3 50,425.6 16,150.7 72,223.4 48,902.9 23,320.5 34,726.9 18,269.7 66,123.3 119,277.9 37,812.9 0.0 (34,410.5) 1997/98 1998/99 1999/00 2002 2003 16,260.7 (4,799.3) (6,433.3) 1,634.0 1,634.0 0.0 0.0 0.0 21,060.0 51,106.7 24,925.7 26,181.0 (30,046.7) 31,235.3 1,847.5 (1,941.4) 3,788.9 3,727.2 61.7 0.0 0.0 29,387.8 49,584.0 25,200.9 24,383.1 (20,196.2) Items Financing I. Domestic financing 1.Domestic bank financing4) 2.Domestic nonbank financing a. Privatization proceeds b. Recovery of bank asset c. Net government bonds d. Others II. Net foreign financing 1.Gross drawing Program loan Project loan 2.Amortization (2,974.0) 1,307.4 1,307.4 0.0 0.0 0.0 0.0 14,385.6 0.0 14,385.6 0.0 (18,667.0) 2000 2001 16,132.2 40,485.0 5,936.5 30,217.6 (12,963.5) (1,227.4) 18,900.0 31,445.0 0.0 3,465.0 18,900.0 27,980.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10,195.7 10,267.4 17,818.4 26,152.0 848.8 6,415.9 16,969.6 19,736.1 (7,622.7) (15,884.6) 27,676.8 20,561.3 (4,712.8) 25,274.1 7,664.9 19,548.6 (1,939.4) 0.0 7,115.5 19,374.2 7,042.3 12,331.9 (12,258.7) 34,410.5 31,504.5 8,500.0 23,004.5 6,400.0 19,600.0 (2,995.5) 20,498.1 5,744.7 14,753.4 (17,592.1) Memo: Total Expenditures (billion Rp) GDP at current price (billion Rp) Source: Ministry of Finance Notes: 1) 1996 - 2001 : audited figures; 2002 : Temporary figures as of Januari 2003; 2003 : provisional realization Prior to 2000: fiscal year=April 1 - March 31; afterwards : fiscal year=calendar year 2) Prior to 1999/2000, income tax from oil and gas was included in nontax revenue 3) Primary Balance = non-interest expenditures - total revenue 4) (+) = Government accounts in central bank/banks decreases to finance deficit; (-) = Government accounts in central bank/banks rises to accommodate excess financing Coordination between the government and BI is required to avoid the effect of the use of govt account at BI on the excessive expansion of monetary base and on depletion of exchange rate. Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia 381 (2004) pointed out that the tight monetary policy by raising real interest rate could increase the probability of default on debt which may affect domestic government debt less attractive and eventually to lead a real depreciation. If the government debt also contains foreign currency denominated debt, the real depreciation of domestic currency could even lead higher price of risk. Under this circumstance, Blanchard (2004) proposed that inflation targeting can clearly have perverse affects: an increase in the real interest rate in response to higher inflation will lead to real depreciation which sequentially in turn to a further increase in inflation. The result implied that fiscal is dominance and the solution should be from the fiscal policy. Consistent with this result, Favero and Giavazzi (2004) also argued that default risk is at the centre of mechanism through which a central bank that targets inflation might lose control of inflation. In addition, Loyo (1999) argued that fiscal performance may interrupt the effectiveness of monetary policy through the wealth effect if government has domestic debt problem. Under this circumstances, using Brazil for the case, Loyo (1999) argued that higher interest rate by central bank could induce higher outside financial wealth of private agents in nominal terms which could generate higher consumption and finally higher inflation. If monetary policy responds to higher inflation with sufficiently higher nominal interest rate, a vicious circle will emerge. Again, fiscal dominance interrupts monetary policy effectiveness even under inflation targeting framework. How might all these other channel of fiscal dominance apply to Indonesia? Although required further empirical confirmation, at least those other channel could motivate to a more prudence and discipline in fiscal sustainability aspect. Indeed, some indicator in Indonesia obtains similar type of Brazilian case where government debt performance provides parallel path to Indonesia’s sovereign bond spread (Graph 6). If this spread tied to probability of default as Blanchard’s argument then the higher government debt ratio will cause higher probability default of the debt. Under this circumstance, central bank would confront higher challenge associated with the effectiveness of inflation targeting, as argued before. This environment also appears in other emerging countries as pointed by BIS for positive correlation between public debt to GDP ratio performance and sovereign bond spread. Following Cochrane (2003) argument, this idea implied that implementation inflation targeting in Indonesia also need fiscal consideration and commitment ability to conduct a monetary framework. BIS (2003) also discussed the importance of fiscal discipline to the effectiveness of monetary policy to control the inflation16 . In operational point of view, 16 See Mihaljek and Tissot (2003) and Moreno (2003) for detail discussion 382 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 Rp/US Yield Spread 2000 IDR Currency 1800 Yield Spread 1600 18,000 16,000 14,000 1400 12,000 1200 10,000 1000 8,000 800 6,000 600 4,000 400 2,000 200 26 July 26 April 26 Jan 26 Oct 26 July 26 April 26 Jan 26 Oct 26 July 1996 2002 1997 1998 1999 2000 2001 26 April 26 Jan 2003 0 2004 Rati Yield 1400 90 Foreign Debt Total Public Liabilities Yield Spread 80 70 1200 1000 60 50 800 40 600 30 400 20 200 10 0 Sep Mar Sep 1996 1997 Mar Sep 1998 Mar Sep Mar 1999 Sep Mar Sep 2000 Mar 2001 Sep 2002 Mar Sep 0 2003 Source : Bloomberg, Ministry of Finance and Bank Indonesia Graph 4.1. Indonesia’s Sovereign Bond Spread, Rupiah Exchange Rate and Publik Debt Ratio to GDP implementation of interest rate rule in conducting monetary policy requires a greater fiscal discipline and commitment ability to control government debt performance. Furthermore Sims (2003) argued that inflation targeting framework needs an appropriate coordination with or back up by fiscal policy. The nature of the required coordination will depend on whether and how central bank independence from the fiscal authority has been implemented. In sense of debt performance, Buiter (2004) suggest that for country with weak economic and political situation, the safe level of the net public debt to GDP ratio is likely to be low. Further than that, Reinhart, Rogoff and Savastano (2003) argued that developing countries with a poor track record have a very limited capacity for carrying public debt, internal and external. For external debt, they calculated that the ‘safe’ threshold for highly debt intolerant emerging market may be as low as 20 percent of GDP. Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia 383 5. CONCLUDING REMARK The main purpose of the paper is not to test Indonesia’s fiscal solvency and neither to solve the fiscal insolvency if it was occurred. Nevertheless, the paper inevitably still touches the idea of fiscal solvency and indirectly also implies to effect of monetary objective to control inflation. Fiscal and monetary interaction analysis in this paper found that the economic crisis has generated QFA by central bank. Further result also shows that though it can be classified in weak form with respect to the recent fiscal reform measures introduced by the government to bring down its deficits, fiscal policy play in a dominance role in fiscal and monetary interaction in Indonesia post 1997. Does this result matter for monetary policy objective to control inflation in Indonesia while since 1999 the new central bank law has provided an independence of monetary policy? This higher monetary policy independence has provided a legal base for central bank to focuses more in controlling the inflation. This paper carefully implies the answer is yes. These fiscal and monetary policy interaction performances lead to the implication that monetary policy under inflation targeting framework in Indonesia still call for a higher fiscal discipline and commitment of the government to maintain the sustainability. The failure to solve fiscal performance optimally could deteriorate monetary policy effectiveness to control inflation even under inflation targeting framework. The emergence of fiscal dominance particularly from public expectation and wealth effect channel on debt performance could bring tight monetary policy paradox. Under this circumstance, inflation targeting can have perverse affects: an increase in the real interest rate to respond higher inflation will lead to real depreciation which sequentially in turn to a further increase in inflation. The result implied the solution to control inflation should be from the fiscal policy not solely from monetary policy. 384 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 Reference Anglingkusumo, Reza (2004), “Stability of The Demand for Real Narrow Money in Indonesia: Evidence from The Pre and Post Asian Crisis Era”, Vrije Universiteit and Tinbergen Institute – Amsterdam, manuscript Bank for International Settlements (2004), “The Changing Interest rate Environment and Debt Sustainability in the Emerging Market Economies”, Note for non-G10 Governors meeting, 27 June Bank Indonesia, Annual Report 1997/1998 and 1998/1999 issues Blanchard, Olivier (2004), “Fiscal Dominance and Inflation Targeting: Lesson from Brazil”, NBER WP 10389, March Boediono (2004), “Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya” (Current and Future Fiscal Policy), in Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi (Fiscal Policy: Thought, Concept and Implementation), H. Subiantoro and S. Riphat, eds, Penerbit Buku Kompas, Jakarta Beckerman, Paul (1995), “Central Bank ‘Distress’ and Hyperinflation in Argentina 198990”, Journal of Latin American Studies, 27, pp. 663-681 Budina, N., and Wijnbergen S., (2000), “Fiscal Deficit, Monetary Reform and Inflation Stabilization in Romania”, World Bank Working Paper Series no. 2298 Buiter, Willem H. (2004), “Fiscal Sustainability”, available at public.htm” http:// www.nber.org/~wbuiter/ public.htm, 6 January Buiter, Willem H. (2002), “The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique”, Economic Journal, Vol 112, July 2002, pp. 459-480 Buiter, Willem H. (2001) “The Fallacy of the Fiscal Theory of the Price Level, Again”, Bank of England Working Paper Series No. 141, July Buiter, Willem H. (1999), “The Fallacy of the Fiscal Theory of the Price Level”, NBER Working Paper No. W7302, August Buiter, Willem H. (1993), “Consistency Check for Fiscal, Financial and Monetary Policy Evaluation and Design”, mimeo, World Bank, October Carlstrom, Charles T. and Timothy S. Fuerst (2000), “The Fiscal Theory of the Price Level,” Economic Review, (Q I) pp. 22-32. Federal Reserve Bank of Cleveland Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia 385 Carlstrom, Charles T. and Fuerst (1999), “Money Growth and Inflation: Does Fiscal Policy Matter?”, Economic Commentary, Federal Reserve Bank of Cleveland, April 15 Campbell, John Y. (1987), “Does Saving Anticipate Declining Labor Income? An Alternative Test of The Permanent Income Hypothesis”, Econometrica, Vol. 55, November, pp. 1249-73 Canzoneri, Matthew B., Robert E. Cumby and Behzad T. Diba (2001), “Is the Price Level Determined by the Needs of Fiscal Solvency?”, American Economic Review, 91(5), December, 1221-1238 Cochrane, John M (2003), “Fiscal Foundation of Monetary Regime” paper presented at 2003 NBER/NCAER Neemrana Conference, available at http://gsbwww.uchicago.edu/ fac/john.cochrane/research/Papers/indiafiscal.pdf Cochrane, John M (1998), “A Cashless View of U.S. Inflation,” in Be S. Bernanke and Julio Rotemberg, eds., NBER Macroeconomic Annual Cambridge, Mass.: MIT Press, pp.32384 Favero, Carlo A. and Fransesco Giavazzi (2004), “Inflation Targeting and Debt: Lesson from Brazil”, NBER WP 10389, March Hawkin, John (2004), “Central Bank Securities and Government Debt”, paper presented to Australasian Macroeconomic Workshop Australian National University, Canberra, 15-16 April Hawkin, John (1999), “Bank Restructuring in South-East Asia”, BIS Policy Paper, September Komulainen, Tuomas and Jukka Pirttilä (2000), “Fiscal Explanation for Inflation: Any Evidence from Transition Economies”, Bank of Finland Discussion Papers, No.11 Koncherlakota, Narayana and Christhoper Phelan (1999), “Explaining the Fiscal Theory of the Price Level,” Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review 23, 14-23 Leeper, Eric M. (1991), “Equilibria under ‘Active’ and ‘Passive’ Monetary and Fiscal Policies”, Journal of Monetary Economics, 27, February, 129-147 Loyo, E (1999), “Tight Money Paradox on the Loose: A Fiscalist Hyperinflation”, mimeo, Kennedy School of Government, June Mackenzie, G.A. and Peter Stella (1996), “Quasi-Fiscal Operations of Public Financial Institution”, IMF Occasional Paper, 142, October 386 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004 Markiewicz, Malgorzata, (2001), “Quasi-fiscal Operations of Central Banks in Transition Economies”, Bank of Finland Discussion Papers, No.2 Mihaljek, Dubravko and Bruno Tissot (2003), “Fiscal Positions in Emerging Economies: Central Bank’s Perspective”, BIS Papers No.20, October Moreno, Ramon (2003), “Fiscal Issues and Central Banking in Emerging Economies: an Overview”, BIS Papers No.20, October Reinhart, Carmen M., Kenneth S. Rogoff and Miguel A. Savastano (2003), “Debt Intolerance”, NBER Working Paper No. 9908, August Rodriguez, Carlos A. (1994), “Argentina: Fiscal Disequilibria Leading to Hyperinflation”, in “Public Sector Deficits and Macroeconomic Performance”, William E., Carlos A.R., an Klaus Schmidt-Hebbel, eds, The World Bank Sargent, Thomas and Neil Wallace (1981), “Some Unpleasent Monetarist Arithmetic”, Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review 5, Fall 1-17 Simorangkir, Iskandar (2002), “Financial Deregulation and Demand for Money in Indonesia”, Buletin Ekonomi dan Perbankan Vol. 5 No.1, June, 1-17 Sims, Christhoper A. (2003), “Limit to Inflation Targeting”, mimeo, Princeton University Stella, Peter (1997), “Do Central Banks Need Capital”, IMF Working Paper 83, July Tanner, Evan and Alberto M. Ramos (2002), “Fiscal Sustainability and Monetary versus Fiscal Dominance: Evidence from Brazil, 1991-2000, IMF Working Paper, No. 5, January Van’t dack, Jozef (1999), “Implementing Monetary Policy in Emerging Market Economies: An Overview of Issues”, BIS Policy Papers, No. 5, March Walsh, Carl (2003), Monetary Theory and Policy, 2nd Edition, (Cambridge, MA: The MIT Press) Woodford, Michael (1996), “Control of the Public Debt: A Requirement for Price Stability?”, NBER WP 5684 Woodford, Michael (2001),”Fiscal Requirements for Price Stability”, Journal of Money, Credit and Banking 33: 669-728 Zoli, Edda (2004), “How Does Fiscal Policy Affect Monetary Policy In Emerging Market Countries?”, BIS, draft Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 387 ILLUSTRATIVE SUBSIDY VARIATIONS TO ATTRACT INVESTORS (using the EMERALD Indonesian multi-regional CGE model) Daniel Pambudi Andi Alfian Parewangi1 Abstract Paper ini membahas dampak ekonomi dari subsidi terhadap industri yang dapat menarik minat investor pada daerah tertentu. Dengan mempergunakan EMERALD (Equilibrium Model with Economic Regional Analysis Dimensions) yang merupakan model CGE multi region untuk Indonesia, paper ini menganalisa beberapa simulasi alternatif pembiayaan subsidi industri Tekstil di Jawa Tengah. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa subsidi atas industri Tekstil dengan sumber pendanaan bukan pajak akan meningkatkan daya saing industri Tekstil diatas biaya sektor tradable secara keseluruhan. Secara riil, subsidi ini akan meningkatkan PDRB Jawa Tengah sebesar 0.21%. Jika subsidi tersebut dibiayai dari pengenaan pajak atas rumah tangga, akan meningkatkan PDRB Jawa Tengah sebesar 0.11%. Keyword: Regional, Computable General Equilibrium, investment, subsidy JEL: C68, D92, E62, O18 1 Pambudi is PhD student at the Centre of Policy Studies (CoPS), Monash University, supervised by Dr. Mark Horridge. Pambudi’s interest is in the application of multi-sectoral and multi-regional economic model for policy analysis. Andi Alfian Parewangi was visiting scholar at CoPS, Monash University under supervision of Dr. Glyn Wittwer and also lecturer at Department of Economic, University of Indonesia. 388 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 1. BACKGROUND 1.1. Introduction The aim of this research is to construct a bottoms-up CGE model for Indonesia that can be used for studying and analysing regional policies comprehensively. This model makes us possible to simulate regional based polices scenario to obtain the regional and national results. This model adopts the TERM model structure for comparative static analyses. We use the new model to study the policy implications of competitive bidding between regions to attract investment. Tax concessions, for instance, are sometimes viewed as an attractive instrument to boost regional and national welfare. However, national approaches differ. For example, Australian states subsidize some investors and the Federal Government taxes them. Vietnam taxes them. The model may suggest which approach is better. Also, the long-run effects of taxing (or subsidizing) investments may differ from the short-run effects. Again, national interest may conflict with those of individual regions. The model will be used to examine some of these issues. To construct this big multiregional model, we require data on regional supplies and demands. Moreover, the necessary inter-regional flows data showing, for example, what share of bananas eaten in Kalimantan come from Java are rarely available. To overcome these problems, innovations will be needed. In preparing and making data which used for this model, we adopt a data making process from Horridge, such as using the gravity approach to produce inter-regional data. Three existing CGE models, each heavily influenced by the ORANI model (Dixon et al. 1982), provide components which may be adapted to contribute to a new multiregional model. These three models are MMRF (the Monash Multi Regional Forecasting Model), the Indonesian ORANI (INDORANI) and the default model of the Global Trade Analysis Project (GTAP). • MMRF is a multiregional multisectoral model of Australia based on the single region ORANI model of the Australian economy (Adams, Horridge and Parmenter, 2000). • INDORANI (Abimanyu, 2000), based on ORANI-G (Horridge 2000; see also Horridge, et al. 1993), is a multisectoral model of the Indonesian economy with “tops-down” approach. Both models will provide with necessary ingredients: “bottoms-up” approach and Indonesian data in constructing the new model. • GTAP, a world trade model, includes trade links between all regions for all commodities Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 389 (Hertel and Tsigas, 1997). It is useful to follow the GTAP in attributing competition among regions in the new model. We plan to explain the model into four sections. Section 2 contains structure of the database, graphical description of nesting and computational efficiency. Section 3 contains model equations. Section 4 contains database. Section 5 contains simulation results of subsidy variations to attract investors. 1.2. Development CGE model in Indonesia The previous models of Indonesia have used “tops-down” approach. In a “tops-down” model, regional results merely are a decomposition of national results. By contrast, in a “bottoms-up” model each region is modeled independently. There is interaction between each regional and national agent and also among regional agents. This approach is preferable. 2. STRUCTURE OF THE DATABASE AND NESTING 2.1. Introduction EMERALD is a bottoms-up regional CGE model which treats each region as a separate economy. This is particularly suitable for Indonesia, with its 32 diverse provinces. In a “bottoms-up” model each region is modeled independently. The “bottoms-up” method allows us to capture differences between regional economies and to model the effects of regionspecific supply-side shocks. Unfortunately computational constraints have hitherto hindered the construction of CGE models with as many as 32 separate regions. 2.2. The structure of the database Figure 2.1 shows the basic structure of the model based on each region’s input-output database. The rectangles indicate matrices of flows. Core matrices (those stored on the database) are shown in bold type; other matrices may be calculated from the core matrices. The dimensions of the matrices are indicated by indices (s, c, m, etc) which correspond to the sets in Table 2.1. EMERALD recognises three sets of regions: regions of use (d), of origin (r), and of origin of margins (p) (i.e., the origins of margins services used to deliver a commodity from (r) to (d)). In fact, the three sets are the same: they are labeled according to the context of use. 390 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Tabel 2.1. Main Sets of The EMERALD Index Set Name Description Typical Size s SRC Domestic or imported (ROW) sources 2 c COM Commodities 19 m MAR Margin commodities 2 i IND Industries 19 o OCC Skills 9 d DST Regions of use (destination) 26 r ORG Region of origin 26 p PRD Region of margin production 26 f FINDEM Final demanders (HOU, INV, GOV, and EXP) 4 u USER Users = IND union FINDEM 23 EMERALD assigns three different value flows: • basic values, or output prices for domestically-produced commodities and CIF prices for imports; • delivered values (= basic plus margins); • purchasers’ values which equals delivered plus taxes. As a consequence, EMERALD produces price indices which distinguish between different points of sale by commodities and regions. Each region has its own set of supply, demand and trade matrices. This allows simulations of policies that have region-specific price effects. The matrices on the left-hand side in Figure 2.1 resemble (for each region) a conventional single-region input-output database. For example, the matrix USE(c,s,u,d) at the top left shows the delivered value of demand for each good (c in COM) whether domestic or imported (s in SRC) in each destination region (DST) for each user (user, comprising the industries, IND, and 4 final demanders: households, investment, government, and exports). Some typical element of USE might show: • USE(“Agriculture”,”dom”,”TCF”,”DIY”) is domestically-produced Agriculture; used by the TCF industry in region DIY. • USE(“Mining”,”imp”,”EXP”,”DKI”) is the imported value of mining re-exported from a port in DKI. Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 391 As the last example shows, the data structure allows for re-export (at least in principle). All these USE values are “delivered”: they include the value of any trade or transport margins used to bring goods to the user. Notice also that the USE matrix contains no information about the regional sourcing of goods. The TAX matrix of commodity tax revenues contains an element corresponding to each element of USE. Together with matrices of primary factor cost and production taxes, these add up to the cost of production (or value of output) of each regional industry. In principle, each industry is capable of producing any good. The MAKE matrix at the bottom of Figure 2.1 shows the value of output of each commodity by each industry in each region d. EMERALD recognises inventory changes in a limited way. First, changes in stocks of imports are ignored. For domestic output, stocks are unsold industry outputs, so the dimension of stocks is STOCK (i,d) rather than STOCK(c,d). USE(c,s,u,d) is the delivered value of commodity c from source s used by users u in region d. Delivered value means basic plus margin values. To produce USE(c,s,u,d) from the DELIVRD(c,s,r,d), EMERALD assumes that all users of a given good (c,s) in a given region (d) have the same sourcing (r) mix. In effect, for each good (c,s) and region of use (d) there is a broker who decides for all users in d from which source region, r, supplies will be obtained. We use the Armington (1969, 1970) sourcing assumption that DELIVRD_R (c,s,d) is a CES composite (over r in ORG) of the DELIVRD(c,s,r,d). The DELIVRD(c,s,r,d) matrix shows the delivered value of demand of commodity c, source s, from region r to region d. For each flow there is a quantity and a price variable. For example, pdeliverd(c,s,r,d) and xtrad(c,s,r,d) are price and quantity variables corresponding to the matrix DELIVRD(c,s,r,d). Using a CES nest, the quantity of goods from different regions of r to destination d, xtrad(c,s,r,d), is proportional to the quantity of goods summed over r, xtrad_r(c,s,d) and to a price term powered by elasticities of substitution, SIGMADOMDOM(c), between the source regions for each commodity c. The price term is composed of relative price, pdeliverd(c,s,r,d) to puse(c,s,d). Changes in the relative prices of commodity between r induce substitution in favour of relatively cheapening goods. Because DELIVRD(c,s,r,d) is comprised of TRADE(c,s,r,d) plus sum{m,MAR, TRADMAR (c,s,m,r,d)}, we used xtrad(c,s,r,d) as a quantity variable for both DELIVRD(c,s,r,d) and TRADE(c,s,r,d). The delivered prices variable, pdelivrd(c,s,r,d), is used for 392 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 DELIVRD(c,s,r,d) and basic prices, pbasic(c,s,r) for TRADE(c,s,r,d). Note that pdelivrd(c,s,r,d) is composed of pbasic(c,s,r) and margin prices, psuppmar_p(m,r,d). For TRADMAR (c,s,m,r,d), we used a quantity variable xtradmar(c,s,m,r,d). We will discuss how these variables relate to nesting system in Section 2.3. TRADMAR(c,s,m,r,d) shows the value of margin goods (m) which is required to facilitate trade flows. Since TRADMAR(c,s,m,r,d) has no information on where a margin flow is produced, EMERALD requires matrix SUPPMAR(m,r,d,p). It assumes that for all usage of margin goods used to transport any goods from region r to d, the same proportion of margin, m, produced in region p. A balancing requirement for the EMERALD database is that the sum over user (u) of USE(c,s,u,d), USE_U(c,s,d), shall equal DELIVERD_R(c,s,d) which is the summation over regional sources (r) of the DELIVERD(c,s,r,d). It remains to reconcile demand and supply for domestically-produced goods. In Figure 2.1 the connection is made by arrow linking the MAKE_I matrix with the TRADE and SUPPMAR matrices. For non-margin goods, the domestic part of the TRADE matrix must sum (over d in DST) to the corresponding element in the MAKE_I matrix of commodity supplies. For margin goods, we must take into account both the margins required SUPPMAR_RD and direct demands TRADE_D. For many purposes it is useful to break down investment according to destination industry. The satellite matrix INVEST (subscripted c in COM, i in IND, and d in DST) serves this purpose. It allows us to distinguish the commodity composition of investment according to industry: for example, we would expect investment in agriculture to use more machinery (and less construction) than investment in dwellings. 2.3. Graphical description of demand nesting Figure 2.2 represents the household demand sourcing of TCF in region DKI. As all users in the EMERALD have the same demand sourcing by commodities and regions, we can apply this figure for all commodities, users and regions. From the top to the bottom, there are two different nests (CES and Leontief) indicating different types of substitution in the model. They cover all mechanisms of demand sourcing of TCF and its margin from different regions to DKI. At the top, a CES nest determines domestic and imported TCF used by households in DKI. This nest corresponds to the value of flows (shown in upper case) with price, ppur_s(c,u,d) and quantity, xhou_s(c,d) variables. The dimensions of the Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 393 model correspond to the matrices in Figure 2.1. Note that these flows are purchasers values which are the sum of USE(c,s,u,d) and TAX(c,s,u,d) matrices. The Armington elasticity 2.6 represents a CES in choosing between imported (from other country) and domestic TCF. INVEST (c,i,d) purchasers value of good c used for investment in industry i in d price: pinvest (c,d) quantity: xinvi(c,i,d) USER x DST USE (c,s,u,d) Delivered value of demands: basic + margins (ex_tax) quantity: xint(c,s,i,d) price: puse(c,s,d) DELIVRD (c,s,r,d) = TRADE(c,s,r,d) + sum{m,MAR, TRADMAR(c,s,m,r,d)} price: pdelivrd(c,s,r,d) quantity: xtrad(c,s,r,d) = Leontief TRADE (c,s,r,d) goods c, s, from r to d at basic prices price: pbasic(c,s,r) quantity: xtrad(c,s,r,d) + + COM x SRC Set Description COM Commodities SRC Domestic or imported (ROW) sources MAR Margin commodities ORG Region of origin DST Region of use (destination) PRD Region of margin production FINDEM Final demanders (HOU, INV, GOV, EXP) IND Industries USER Users = IND union FINDEM ORG x DST FINDEM (HOU, INV, USE_U GOV, EXP) (c,s,d) = final demands DELIVRD_ by 4 users at R delivered price: (c,s,d) = puse(c,s,d) = CES quantities: xhou(c,s,d) price: xinv(c,s,d) pdelivrd_r xgov(c,s,d) (c,s,d) xexp(c,s,d) IND COM x SRC INDEX c s m r d p f i u DST TAX (c,s,u,d) Commodity taxes + FACTORS LAB (i,o,d) labour CAP (i,d) capital rental LND (i,d) land rentals MAKE_I(c,r) = TRADE_D (c,"dom",r) PRODTAX (i,d) production tax = INDUSTRY OUTPUT: VTOT(i,d) = sum over COM and SRC TRADMAR_CS(m,r,d) = SUPPMAR_P(m,r,d) INVENTORIES: STOCKS (i,d) + CES sum over p in REGPRD MAKE_I (c,d) MAKE (c,i,d) COM output of good c by industry i in d update: xmake(c,i,d)*pdom(c,d) IND x DST TRADMAR (c,s,m,r,d) margin m on good c, s from r to d price: psuppmar_p(m,r,d) quantity: xtradmar(c,s,m,r,d) sum over i in IND = domestic = commodity supplies (c,s,d) DST SUPPMAR (m,r,d,p) Margins supplied by p on goods passing from r to d update: xsuppmar(m,r,d,p) * pdom(m,p) MAKE_I(m,p)=SUPPMAR_RD(m,p) + TRADE_D(m,"dom",p) ORG x DST Figure 2.1 The EMERALD flows Database IMPORT (c,r) 394 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Demand for domestic TCF in DKI is summed over users to give total value USE_U(c,s,d) which is measured in delivered value (basic plus margin but excluding userspecific commodity taxes). Note that this nest is not user-specific. This nest represents demand for domestic TCF in DKI supplied by all origin of TCF. The CES determines the allocations with substitution elasticities ranging from 5 (merchandise) to 0.2 (services). This CES implies that the region with lowered production costs compared to other regions will tend to increase its market share. The sourcing decision is made on the basis of delivered prices so not only basic costs affect regional market share but also margin costs. Note that variables in this nest lack a user (u) subscript. The decision is made on an all-user basis. The implication is that, in DKI, the proportion of TCF which come from JaTeng is the same for all users. The next level indicates how a “delivered” TCF from JaTeng is a Leontief composite of basic TCF, corresponding with matrix TRADE(c,s,r,d), and the various margin goods, TRADMAR (c,s,m,r,d). The share of each margin in the delivered price is specific to a particular combination of origin, destination, commodity and source. For example, we should expect transport costs to form a larger share for region pairs which are far apart, or for heavy or bulky goods. The number of margin goods will depend on how aggregated is the model database. Under the Leontief specification we prevent substitution between road and trade margins. The bottom part shows that the margin on TCF passing from JaBar to DKI could be produced in different regions. The figure shows the sourcing mechanism for the road margin. We might expect this to be drawn more or less equally from origin (JaTeng), the destination (DKI) and regions between (JaBar). There would be some scope for substitution (s=1), since trucking firms can relocate depots to cheaper regions. For retail margins, on the other hand, a larger share would be drawn from destination region, and scope for substitution would be less (s=0.1). Once again, this substitution decision takes place at an aggregated level. The assumption is that the share for example, JaBar, in providing road margin on trips from JaTeng to DKI, is the same whatever good is being transported. This corresponds to TRADMAR_CS(m,r,d) which has no c and s scripts. Although not shown in Figure 2.2, a parallel system of sourcing is also modelled for imported TCF, tracing them back to port of entry instead of region of production. 2.4. Graphical description of production nesting The EMERALD adapts production nests from ORANI. This allows each industry to Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 395 produce several commodities, using as inputs domestic and imported commodities, labour of several types, land, capital and ‘other costs’ which are all distinguished by region. The multi-input, multi-output production specification is kept manageable by a series of separability assumptions, illustrated by the nesting shown in Figure 2.3. For example, the assumption of input-output separability implies that the generalised production function for some industry: F(inputs, outputs) = 0 (1) may be written as: G(inputs) = X1TOT = H(outputs) (2) where X1TOT is an index of industry activity. Assumptions of this type reduce the number of estimated parameters required by the model. Figure 2.3 shows that the H function in (2) is derived from a CET (constant elasticity of transformation) aggregation function. The G function is broken into a sequence of nests. At the top level, commodity composites, a primary-factor composite and production costs are combined using a Leontief production function. Consequently, they are all demanded in direct proportion to X1TOT. Each commodity composite is a CES (constant elasticity of substitution) function of a domestic good and the imported equivalent. We adopt the Armington (1969; 1970) assumption that imports are imperfect substitutes for domestic supplies 2 . The primary-factor composite is a CES aggregation of land, capital and composite labour. Composite labour is a CES aggregation of occupational labour types. Although all industries share this common production structure, input proportions and behavioural parameters may vary between industries. The nested structure is mirrored in the TABLO equations—each nest requiring 2 sets of equations, determining quantity and price. 2 Armington PS (1969) The Geographic Pattern of Trade and the Effects of Price Changes, IMF Staff Papers, XVI, July, pp 176-199. — (1970) Adjustment of Trade Balances: Some Experiments with a Model of Trade Among Many Countries, IMF Staff Papers, XVII, November, pp 488-523. 396 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 PUR_S(c,u,d) ppur_s(c,u,d) xhou_s(c,d) TCF to Households in DKI CES PUR(c,s,u,d) ppur_s(c,u,d) xhou_s(c,d) Imported TCF s = 2.6 Domestic TCF c = "TCF" u = "Hou" d = "DKI" note : DKI = Jakarta JaBar = West Java JaTeng = Central Java DIY = Yogyakarta user-specific purchasers' value add over users USE_U(c,s,d) pdelivrd_r(c,s,d) xtrad_r(c,s,d) Domestic TCF CES DELIVRD(c,s,r,d) pdelivrd(c,s,r,d) xtrad(c,s,r,d) JaBar not user-specific delivered values s=5 JaTeng DIY origin of TCF TRADE(c,s,r,d) pbasic(c,s,r) xtrad(c,s,r,d) TRADMAR(c,s,m,r,d) psuppmar_p(m,r,d) xtradmar(c,s,m,r,d) TCF Leontief Trade Water transport Road transport add over source and commodities TRADMAR(c,s,m,r,d) psuppmar_p(m,r,d) xtradmar(c,s,m,r,d) Road transport CES SUPPMAR(m,r,d,p) pdom(m,p) xsuppmar(m,r,d,p) JaBar JaTeng s=1 DIY Region where road margin is produced Figure 2.2 The EMERALD Demand Nesting origin specific delivered prices Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 2.5. 397 Computational efficiency The EMERALD is able to handle a greater number of regions or sectors than previous multiregional models through key assumptions that compress the database and enhance computational efficiency. For example, EMERALD assumes that all users (i.e. downstream industries, households and government) in a particular region of, say, textiles clothing and footwear (TCF), source their TCF from other regions according to common proportions. By assuming this, we notice that the model needs two sub-sourcing matrices (Table 2.2): USE(c,s,u,d) and TRADE(c,s,r,d). By using the typical set sizes shown in Table 2.2, both sourcing matrices need 48412 cells. Without the common sourcing assumption 590 thousand numbers would be needed. The EMERALD becomes 12 times more efficient. This efficiency will be multiplied by the number of margin commodities if we apply Good 1 Good 2 Good C ----- up to ------ CET Activity level Leontief Good 1 ----- up to ---- CES CES Domestic Good 1 Primary factors Good C Imported Good 1 Domestic Good C Production tax CES Imported Good C Land Capital Labour CES Key functional form Labour type 1 Labour type 2 --up to-- inputs or outputs Figure 2.3 The EMERALD Production Nesting Labour type 0 398 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 the common assumption to the matrix of trade margin (TRADMAR(c,s,m,r,d)). In turn, this efficiency saves computation and memory in solving equations. Tabel 2.2. Computational efficiency in EMERALD Sourcing Matrix in EMERALD Dimencional Cells USE (c,s,u,d) c(19)*s(2)*u(23)*d(26) TRADE (c,s,r,d) c(19)*s(2)*r(26)*d(26) Total Cells 22724 25688 Total Sourcing Matrix Without Common Proportions Source matrix (c,s,u,r,d) 2.6. 48412 Dimencional Cells Total Cells c(19)*s(2)*u(23)*r(26)*d(26) 590824 Other features The remaining features of EMERALD are common to most CGE models, and in particular to ORANI, from which EMERALD descends. Industry production functions are of the nested CES type: Leontief except for substitution between primary factors and between sources of goods. Exports from each region’s port to the ROW face a constant elasticity of demand. The composition of household demand follows the linear expenditure system, while the composition of investment and government demands is exogenous. 3. THE CORE EQUATIONS OF THE EMERALD 3.1. Main sets of the EMERALD Table 2.1 lists the main sets of the model using GEMPACK levels notation. In each excerpt, each set is expressed by one index, for example index s for the set ‘SRC (dom, imp)’. This set has two elements: domestic (dom) and imported (imp). Another example is ‘DST’ expressed by index d which has 26 regional elements. We can declare the relationship between two sets using a subset. The set of margin commodities (trade and transport), ‘MAR’, is a subset of the commodities (COM). This means that each element of set MAR is also an element of set COM. We also can define set complements such as the set NONMAR which is equal to set COM less set MAR. The following excerpts are taken from the TABLO input file. They are written in order corresponding to sequential nests. In this section, we only show the excerpts of the core of the model. Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 399 Each excerpt begins with a list of parameters or variables indicated by a name followed by an index such as ‘(c)’. The expression ‘(c)’ stands for commodities. It signifies that the variable is a vector containing one value or scalar parameter for each element of the set commodities, COM. The parameter ‘SIGMADOMIMP(c)’, for example, is the substitution of elasticity between domestic and imported good by commodity, c. 3.2. Industries choice between domestic and imported goods Equation 1.1 determines the demand for domestic and imported goods used by producers in region d. Each industry minimizes cost using a CES (constant elasticity substitution) nest. Various nest equations follow the same pattern. Each nest includes a quantity and a price equation. The intermediate demand for producers, XINT(c,s,i,d), is proportional to overall composite goods demanded by industry i, XINT_S(c,i,d), and to a price term powered by the substitution elasticity between domestic and imported goods, SIGMADOMIMP(c). The price term is the ratio of purchasers’ prices, PPUR(c,s,i,d), to purchasers’ prices averaged over source, PPUR_S(c,i,d). Changes in relative prices of domestic and imported goods induce substitution in favour of relatively cheapening goods. The denominator in the relative price term above is given by Equation 1.2. Excerpt 1 of TABLO input file: ! ! Industries choice between domestic and imported goods ! SIGMADOMIMP(c) Parameter substitution elasticity between dom/imp BXINT(c,s,i,d) Parameter constant in intermediate demands XINT(c,s,i,d) Intermediate demands for all-region composite XINT_S(c,i,d) Industry demands for domestic/imported composite PPUR(c,s,u,d) User (purchasers) prices, include margins and taxes PPUR_S(c,u,d) User prices, average over s (1.1) XINT(c,s,i,d)/XINT_S(c,i,d)= BXINT(c,s,i,d) *[PPUR(c,s,i,d)/PPUR_S(c,i,d)]**-SIGMADOMIMP(c) (1.2) PPUR_S(c,i,d)*XINT_S(c,i,d)=sum{s,SRC,PPUR(c,s,i,d) *XINT(c,s,i,d)} 400 3.3. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Household choice between domestic and imported goods Likewise, Equation 2.1 shows that the demand for domestic and imported goods for household in region d, XHOU(c,s,d), is proportional to overall household composite goods demand, XHOU_S(c,d), and to a price term powered by the substitution elasticity between domestic and imported goods, SIGMADOMIMP(c). The price term is the ratio of purchasers’ prices, PPUR(c,s,”hou”,d), to the composite price index, PPUR_S(c,”hou”,d). Again the denominator PPUR(c,s,”hou”,d) is given by Equation 2.2. ! Excerpt 2 of TABLO input file: ! ! Household choice between domestic and imported goods ! BHOU(c,s,d) Parameter: constant in household demands XHOU(c,s,d) Household demands for all-region composite XHOU_S(c,d) Household demands for domestic/imported composite (2.1) XHOU(c,s,d)/XHOU_S(c,d)= BHOU(c,s,d) *[PPUR(c,s,”HOU”,d)/PPUR_S(c,”hou”,d)]**-SIGMADOMIMP(c) (2.2) PPUR_S(c,”hou”,d)*XHOU_S(c,d)=sum{s,SRC,PPUR(c,s,”hou”,d) *XHOU(c,s,d)} 3.4. Investors choice between domestic and imported goods Equation 3.1 follows the same pattern as previous. It shows that the demand for domestic and imported goods for investors in region d, XINV(c,s,d), is proportional to overall investors’ composite goods demand, XINV_S(c,d), and to a price term powered by the substitution elasticity between domestic and imported goods, SIGMADOMIMP(c). The price term is the ratio of investment purchasers’ prices to average (over domestic and imported) prices. The denominator PPUR(c,s,”inv”,d) is given by Equation 3.2 ! Excerpt 3 of TABLO input file: ! ! Investors choice between domestic and imported goods ! BINV(c,s,d) Parameter constant in investment demands XINV(c,s,d) Investment demands for all-region composite XINV_S(c,d) Investment demands for domestic/imported composite Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors (3.1) 401 XINV(c,s,d)/XINV_S(c,d) = BINV(c,s,d) *[PPUR(c,s,”INV”,d)/PPUR_S(c,”inv”,d)]**-SIGMADOMIMP(c) (3.2) PPUR_S(c,”inv”,d)*XINV_S(c,d) = sum{s,SRC,PPUR(c,s,”inv”,d) *XINV(c,s,d)} 3.5. Labour skill nest Excerpt 4 represents a labour skill nest to minimize labour cost. Similar with the previous, this nest is expressed by Equation 4.1 determining labour demand of industry i for different occupations, XLAB(i,o,d). The average industry wage, PLAB_O(i,d), is determined by Equation 4.2. ! Excerpt 4 of TABLO input file: ! ! Labour skill nest ! SIGMALAB(i) Parameter CES substitution between skill types BLAB(i,o,d) Parameter constant in labour demand equation XLAB(i,o,d) Labour demands XLAB_O(i,d) Effective labour input PLAB(i,o,d) Wage rates PLAB_O(i,d) Price of labour composite (4.1) XLAB(i,o,d)/XLAB_O(i,d) = BLAB(i,o,d) *[PLAB(i,o,d)/PLAB_O(i,d)]**-SIGMALAB(i) (4.2) PLAB_O(i,d)*XLAB_O(i,d) = sum{o,OCC,PLAB(i,o,d)* XLAB(i,o,d)} The XLAB(i,o,d) is proportional to effective labour input, XLAB_O(i,d), and to a wage term powered by elasticities of substitution between labour skill in each industry, SIGMALAB(i). The wage term is ratio of wage rates, PLAB(i,o,d), to price of labour composite, PLAB_O(i,d). Changes in relative occupational wages induce substitution in favour of relatively cheaper skills. 3.6. Demands for primary factors Excerpt 5 explains demands for primary factors. The effective labour, capital, and 402 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 land cost are combined using a CES nest. Ignoring the labour technological change terms, ALAB_O(i,d), the effective labour demand, XLAB_O, is proportional to overall primary factor demands, XPRIM(i,d), and to a price term powered by the elasticity of substitution between primary factors, SIGMAPRIM (i). The price term is the relative price of the labour composite, PLAB_O(i,d), to the price of composite factors, PPRIM(i,d). Changes in the price term induce substitution in favour of relatively cheapening factors. The same rules govern for capital and land demand. The price of factor composite, PPRIM(i,d), is determined by the value of the primary factor composite equalling the sum of all component costs. ! Excerpt 5 of TABLO input file: ! ! Demands for primary factors ! SIGMAPRIM(i) Parameter CES substitution, primary factors BLAB_O(i,d) Parameter constant in effective labour demand BCAP(i,d) Parameter constant in capital demand equation BLND(i,d) Parameter constant in land demand equation ACAP(i,d) Capital usage technological change ALAB_O(i,d) Effective labour input technological change ALND(i,d) Land usage technological change XCAP(i,d) Capital usage XLND(i,d) Land usage XPRIM (i,d) Effective composite inputs PCAP(i,d) Rental price of capital PLND(i,d) Rental price of land PPRIM(i,d) Price of factor composite (5.1) XLAB_O(i,d)/[XPRIM(i,d)*ALAB_O(i,d)]=BLAB_O(i,d) *[[PLAB_O(i,d)*ALAB_O(i,d)]/PPRIM(i,d)]**-SIGMAPRIM(i) (5.2) XCAP(i,d)/[XPRIM(i,d)*ACAP(i,d)]=BCAP(i,d) *[[PCAP(i,d)*ACAP(i,d)]/PPRIM(i,d)]**-SIGMAPRIM(i) Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors (5.3) 403 XLND(i,d)/[XPRIM(i,d)*ALND(i,d)]=BLND(i,d) *[[PLND(i,d)*ALND(i,d)]/PPRIM(i,d)]**-SIGMAPRIM(i) (5.4) PPRIM(i,d)*XPRIM(i,d)=PLAB_O(i,d)*XLAB_O(i,d) +PCAP(i,d)*XCAP(i,d)+PLND(i,d)*XLND(i,d) 3.7. Demands for aggregate primary factors and intermediate inputs For the top nest, excerpt 6 explains how to produce output using a combination of composite primary inputs, XPRIM(i,d), and composite intermediate goods, XINT_S(c,i,d), with Leontief elasticity of substitution. As a consequence, the demand equations for XPRIM(i,d) and XINT_S(c,i,d) have a similar pattern as seen in two equations below. Equation 6.1 explains that the industry demand for aggregate primary factor, XPRIM(i,d), is proportional to total output and technological terms. Equation 6.2 explains that the demand for composite goods, XINT_S(c,i,d) is also proportional to total output and technological terms. We recognise three different technological terms, APRIM(i,d), AINT_S(c,i,d) and ATOT(i,d). Technological change implies change in input requirement per unit of output. When these technological terms reduce, the same level of output is produced using less XPRIM(i,d) or XINT_S(c,i,d). The third equation, Equation 6.3 is the ‘Zero Pure Profits’. Total revenue is equal to total cost of all inputs. ! Excerpt 6 of TABLO input file: ! ! Demands for aggregate primary factor and intermediate inputs ! APRIM(i,d) Primary inputs technological change AINT_S(c,i,d) Intermediate composite technological change ATOT(i,d) Industry output technological change XTOT(i,d) Industry outputs PCST(i,d) Production cost (6.1) XPRIM(i,d) = APRIM(i,d)*ATOT(i,d)*XTOT(i,d) (6.2) XINT_S(c,i,d) = AINT_S(c,i,d)*ATOT(i,d)*XTOT(i,d) (6.3) PCST(i,d)*XTOT(i,d) = sum{c,COM,PPUR_S(c,i,d)*XINT_S(c,i,d)} 404 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 +sum{o,OCC,PLAB(i,o,d)*XLAB(i,o,d)} +PCAP(i,d)*XCAP(i,d)+PLND(i,d)*XLND(i,d) 3.8. Adding production tax to firm costs Excerpt 7 explains how a production tax is added to the firm cost. Equation 7.1 indicates that a change in production tax revenue, PTX(i,d), is determined by change in PTXRATE(i,d) multiplied by the value of output, (PCST(i,d)*XTOT(i,d)). Equation 7.2 sets industry output price, PTOT(i,d), via the firm cost, PCST(i) and the tax revenue PTX(i,d). ! Excerpt 7 of TABLO input file: ! ! Adding Production tax to firm costs ! PTOT(i,d) Industry output prices PTXRATE(i,d) Rate of production tax PTX(i,d) Ordinary change in production tax revenue (7.1) PTX(i,d) = PTXRATE(i,d)*PCST(i,d)*XTOT(i,d) (7.2) PTOT(i,d)*XTOT(i,d) = PCST(i,d)*XTOT(i,d)+PTX(i,d) 3.9. MAKE: multi-product industries have CET specification Equation 8.1 explains supplies of commodities by industries, XMAKE(c,i,d), with constant elasticity transformation (CET). Ignoring the technological term, AMAKE(c,i,d), output each commodity supplied by an industry, XMAKE(c,i,d), is proportional to XTOT (i,d) and to a price term powered by SIGMAOUT (i). The price term is composed of the price of domestic good relative to average price of industry i output. Since SIGMAOUT (i) is positive, this induces industries to produce more of the commodity with an increased relative prices. Equation 8.2 equates the output value of industry (PTOT(i,d)*XTOT(i,d) equals to the sum of commodities supplied by industry calculated using domestic prices, PDOM(c,d). Equation 8.3 shows that total output of commodities, XCOM(c,d), is equal to the sum of commodities supplied by various industries. Lastly, import prices, PIMP(c,r), in Equation 8.4, are simply determined by foreign import prices, PFIMP(c,r) multiplied by the exchange rate, PHI. Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 405 ! Excerpt 8 of TABLO input file: ! ! MAKE: multi-product industries have CET specification ! SIGMAOUT(i) Parameter CET transformation elasticities AMAKE(c,i,d) MAKE technological change XMAKE(c,i,d) Output of good c by industry i in d XCOM(c,d) Total output of commodities PDOM(c,r) Output prices = basic prices of domestic goods PFIMP(c,r) Import prices, foreign currency PIMP(c,r) Import prices, local currency PHI Exchange rate (8.1) XMAKE(c,i,d) = AMAKE(c,i,d)*XTOT(i,d)* {[PDOM(c,d)/PTOT(i,d)]**SIGMAOUT(i)} (8.2) PTOT(i,d)*XTOT(i,d) = sum{c,COM,PDOM(c,d)* XMAKE(c,i,d)} (8.3) XCOM(c,d) = sum{i,IND, XMAKE(c,i,d)} (8.4) PIMP(c,r) = PFIMP(c,r)*PHI 3.10. Household demands Excerpt 9 determines the allocation of household expenditure between commodity composites. This is derived from the Klein-Rubin utility function: Utility per household = P {X3_S(c) - X3SUB(c)}S3LUX(c), The X3SUB and S3LUX are behavioural coefficients—the S3LUX must sum to unity. Q is the number of households. The demand equations that arise from this utility function are: X3_S(c) = X3SUB(c) + S3LUX(c)*V3LUX_C/P3_S(c), where: V3LUX_C = V3TOT - ÂX3SUB(c)* P3_S(c) The name of the linear expenditure system derives from its property that expenditure on each good is a linear function of prices (P3_S) and expenditure (V3TOT). The form of the demand equations gives rise to the following interpretation. The X3SUB are said to be the 406 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 ‘subsistence’ requirements of each good—these quantities are purchased regardless of price. V3LUX_C is what remains of the consumer budget after subsistence expenditures are deducted—we call this ‘luxury’ or ‘supernumerary’ expenditure. The S3LUX are the shares of this remnant allocated to each good—the marginal budget shares. The simplicity of this scheme is that LES has no specific substitutability. Hence, LES requires only a vector of expenditure elasticities and 1 Frisch parameter for each region. Equation 9.1, an alias, equates household prices by commodity, PHOU(c,d), to the household purchasing prices, PPUR_S(c,”hou”,d). Household subsistence costs in d, WSUBSIST(d), are defined by Equation 9.2 as total per capita subsistence expenditure spent by the number of households NHOU(d). The household expenditure is composed by consumer prices, PHOU(c,d), multiplied by household subsistence quantities, XSUBSIST(c,d). Equation 9.3 determines that total household demand for composite commodities, XHOU_S(c,d), is proportional to marginal budget share, MBS(c,d) multiplied by luxury cost. The luxury cost is household purchasing value other than subsistence cost, (WHOUTOT(d)WSUBSIST(d)). Then, the nominal household expenditure, WHOUTOT(d) is PHOUTOT(d) multiplied by total household expenditure, XHOUTOT(d). Equation 9.4 determines that budget share, BUDGSHR(c,d), is the ratio of household purchasing value to total nominal household consumption. Equation 9.5 determines PHOUTOT (d), as consumer price index, which is the sum over consumer price by commodity, PHOU(c,d), multiplied by budget share, BUDGSHR(c,d). Since WHOUTOT(d) and PHOUTOT(d) are known, total real household consumption, XHOUTOT(d) and WHOUTOT(d) are given by Equation 9.6 and Equation 9.7. ! Excerpt 9 of TABLO input file: ! ! Household demands ! MBS(c,d) Parameter marginal budget shares BUDGSHR(c,d) Average budget shares WHOUTOT(d) Total nominal household consumption WSUBSIST(d) Household subsistence costs XHOUTOT(d) Total real household consumption PHOUTOT(d) CPI Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors NHOU(d) 407 Number of households XSUBSIST(c,d) Household subsistence quantities PHOU(c,d) Household price of composites (9.1) PHOU(c,d)= PPUR_S(c,”hou”,d) (9.2) WSUBSIST(d)= sum{c,COM,PHOU(c,d)*NHOU(d)*XSUBSIST(c,d)} (9.3) XHOU_S(c,d)*PHOU(c,d) = MBS(c,d)*[WHOUTOT(d) - WSUBSIST(d)] (9.4) BUDGSHR(c,d) = PUR_S(c,”Hou”,d)/WHOUTOT(d) (9.5) PHOUTOT(d)= sum{c,COM,BUDGSHR(c,d)*PHOU(c,d)} (9.6) XHOUTOT(d)= WHOUTOT(d)/PHOUTOT(d) (9.7) WHOUTOT(d)= PHOUTOT(d) * XHOUTOT(d) 3.11. Investment demands and indices: conditional on industry-specific investment Excerpt 10 shows the equations determining investment demands and indices æ conditional on industry-specific investment. The equation determining new capital creation is derived using Leontief technology demand. Equation 10.1 explains that the amount of good c for investment industry i in d, XINVI(c,i,d) is proportional to investment by industries in d, XINVITOT(i,d), multiplied by investment technological term, AINVI(c,i,d). Equation 10.2 defines purchaser’s price of good c for investment in d, PINVEST(c,d) as investor purchasing price, PPUR_S(c,”INV”,d) Equation 10.3 determines the investment price index for industry i, in region d, PINVITOT(i,d) by making an identity between the value of investment by industry i in d as the sum over commodities used by that industry for investment in d. Equation 10.4 explains that XINV_S(c,d) is sum over industry demands for investment goods, XINVI(c,i,d). ! Excerpt 10 of TABLO input file: ! ! Investment demands and indices:conditional on industry-specific ! ! investment ! AINVI(c,i,d) Investment technological change 408 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 XINVI(c,i,d) Amount of good c for investment, industry i in d XINVITOT(i,d) Investment by industry PINVITOT(i,d) Investment price index by industry PINVEST(c,d) Purchaser’s price of good c for investment in d (10.1) XINVI(c,i,d) = AINVI(c,i,d)*XINVITOT(i,d) (10.2) PINVEST(c,d) = PPUR_S(c,”INV”,d) (10.3) PINVITOT(i,d)*XINVITOT(i,d) = sum{c,COM, PINVEST(c,d) *XINVI(c,i,d)} (10.4) XINV_S(c,d)= sum{i,IND,XINVI(c,i,d)} 3.12. Government, export, and inventory demands Excerpt 11 explains government, export, and inventory demands. As expressed by Equation 11.1, the government demand is proportional to three corresponding shifters. They shift the demand function with different dimensions: by d as FGOVTOT(d), by c and d, as FGOV_S(c,d) and by c, s, and d, as FGOV(c,s,d). Equation 11.2 explains that demand for export goods, XEXP(c,s,d), is proportional to export-quantity shifter, FQEXP(c,s) multiplied by a price term powered by export elasticity substitution, EXP_ELAST(c). The price term is composed of purchasing export prices, PPUR(c,s,”EXP”,d), relative to the ratio of export price shifter, FPEXP(c,s), and exchange rate, PHI. Equation 11.3 defines that stocks, XSTOCKS(i,d), is proportional to XTOT(i,d) multiplied by stocks shifter, FSTOCKS(i,d).\c AnsiText \* MERGEFORMAT ! Excerpt 11 of TABLO input file: ! ! Government, export, and inventory demands ! ! Governments ! FGOVTOT(d) Government demand shifter FGOV(c,s,d) Government demand shifter FGOV_S(c,d) Government demand shifter XGOV(c,s,d) Government demand Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 409 (11.1) XGOV(c,s,d) = FGOVTOT(d)*FGOV(c,s,d)*FGOV_S(c,d) ! Exports ! EXP_ELAST(c) Export demand elasticities FQEXP(c,s) Export quantity shift variable FPEXP(c,s) Export price shift variable XEXP(c,s,d) Export of all-region composite leaving port at d (11.2) XEXP(c,s,d)/FQEXP(c,s)=[PPUR(c,s,”EXP”,d)/ [FPEXP(c,s)/PHI]]**-EXP_ELAST(c) ! Inventories ! FSTOCKS(i,d) Stocks shifter XSTOCKS(i,d) Inventories (11.3) XSTOCKS(i,d) = FSTOCKS(i,d)*XTOT(i,d) 3.13. Add up user demands to get total regional demand for delivered goods Excerpts 12 explains that total regional demand for delivered goods composite c, s in d, XTRAD_R(c,s,d), is an add up of user demand. ! Excerpt 12 of TABLO input file: ! ! Add up user demands to get total regional demand for ! ! delivered goods ! XTRAD_R(c,s,d) Total demand for regional composite c,s in d (12.1) XTRAD_R(c,s,d) = sum{i,IND, XINT(c,s,i,d)}+ XHOU(c,s,d) + XINV(c,s,d)+ XGOV(c,s,d)+ XEXP(c,s,d) 3.14. Delivering goods to regions Excerpt 13 explains delivering goods to regions. Using the Leontief function, Equation 13.1 determines that the demand for margin, XTRADMAR(c,s,m,r,d), is a proportion of XTRAD (c,s,r,d) multiplied by margin technological term, ATRADMAR(c,s,m,r,d). This XTRADMAR(c,s,m,r,d) contains a margin flow to facilitate commodities from region r to d. 410 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 The delivered price of good c, s from r to d, PDELIVRD(c,s,r,d) is determined using Equation 13.2. Since XTRAD(c,s,r,d) is known, the delivered value of commodity c, s, from r to d (on the left hand side) is composed by the basic plus the margin value used. ! Excerpt 13 of TABLO input file: ! ! Delivering goods to regions ! ATRADMAR(c,s,m,r,d) Trade for margins technological change XTRAD(c,s,r,d) Quantity of good c,s from r to d XTRADMAR(c,s,m,r,d) Margin m on good c,s going from r to d PBASIC(c,s,r) Basic prices PDELIVRD(c,s,r,d) All-user deliverd price of good c,s from r to d XSUPPMAR_P(m,r,d) Quantity of composite margin m on goods from r to d PSUPPMAR_P(m,r,d) Price of composite margin m on goods from r to d (13.1) XTRADMAR(c,s,m,r,d) = ATRADMAR(c,s,m,r,d)* XTRAD(c,s,r,d) (13.2) PDELIVRD(c,s,r,d)*XTRAD(c,s,r,d) =PBASIC(c,s,r)*XTRAD(c,s,r,d) +sum{m,MAR, PSUPPMAR_P(m,r,d)*XTRADMAR(c,s,m,r,d)} 3.15 Regional sourcing For each good and destination region, an average user chooses region sourcing based on delivered (margin-paid, but ex-tax) prices and values. Equation 14.1 explains the delivered price of regional composite good c, s, to d, PUSE(c,s,d). By multiplying PUSE(c,s,d) to XTRAD_R(c,s,d), it converts the left hand side equation into a value. Since the value of total components on the right hand side and XTRAD_R(c,s,d) are known, we can determine PUSE(c,s,d). Equation 14.2 determines the demand of good c, either domestic or imported (s) from regional source (r) to destination region (d), XTRAD(c,s,r,d) by multiplying XTRAD_R(c,s,d) to trading share, STRAD(c,s,r,d), and by a price term. The XTRAD_R(c,s,d) is the demand of good c, s to d sum over region of origins, r. The price term is composed of the ratio PDELIVRD(c,s,r,d) to PUSE(c,s,d) powered by constant elasticity substitution between region, SIGMADOMDOM(c), to total good from original regions. Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 411 ! Excerpt 14 of TABLO input file: ! ! For each good and destination region,an average user chooses ! ! regional sourcing ! ! Based on delivered (margin-paid, but ex-tax) prices and values ! SIGMADOMDOM(c) Parameter substitution elasticity between origins PUSE(c,s,d) Delivered price of reg composite good c,s to d STRAD(c,s,r,d) Initial share (14.1) PUSE(c,s,d)*XTRAD_R(c,s,d)=sum{r,ORG,PDELIVRD(c,s,r,d) *XTRAD(c,s,r,d)} (14.2) XTRAD(c,s,r,d) = STRAD(c,s,r,d)*XTRAD_R(c,s,d) *[PDELIVRD(c,s,r,d)/PUSE(c,s,d)]**-SIGMADOMDOM(c) 3.16. Where margins are produced Equation 15.1 contains equations determining where margins are produced. It shows that the composite margin m on goods passing from r to d, XSUPPMAR_P(m,r,d), is sum over commodity and source of margin m on good c, s going from r to d, XTRADMAR(c,s,m,r,d). The price of composite margin m on goods from r to d, PSUPPMAR_P(m,r,d) is given by Equation 15.2. Margin m supplied by p on goods passing from r to d, XSUPPMAR(m,r,d,p) as expressed by Equation 15.3, is proportional to XSUPPMAR_P(m,r,d) multiplied by a price term. The price term is a ratio PDOM(m,p) to PSUPPMAR_P(m,r,d) powered by substitution elasticity between margin origins, SIGMAMAR(m). Adding up total demand for margins produced in p can be expressed into two different ways, Equation 15.4 and Equation 15.5. One is a sum over d and the other is sum over r and d. ! Excerpt 15 of TABLO input file: ! ! Where margins are produced ! ! We need xsuppmar_p(m,r,d) margins ! ! What regions p shall they come from ? ! 412 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 SIGMAMAR(m) Parameter substitution elast betwen marg origins BSUPPMAR(m,r,d,p) Parameter:const in demand for marg m (made in p) XSUPPMAR(m,r,d,p) Demand for marg m (made in p) on goods from r to d XSUPPMAR_D(m,r,p) Total margins on goods from r, produced in p XSUPPMAR_RD(m,p) Total demand for margins produced in p (15.1) XSUPPMAR_P(m,r,d) = sum{c,COM, sum{s,SRC, XTRADMAR(c,s,m,r,d)}} (15.2) XSUPPMAR_P(m,r,d)*PSUPPMAR_P(m,r,d) = sum{p,PRD, XSUPPMAR(m,r,d,p)*PDOM(m,p)} (15.3) XSUPPMAR(m,r,d,p) = BSUPPMAR(m,r,d,p) * XSUPPMAR_P(m,r,d) *[PDOM(m,p)/PSUPPMAR_P(m,r,d)]**- SIGMAMAR(m) ! Add up total demand for margins produced in p ! (15.4) XSUPPMAR_D(m,r,p) = sum{d,DST, XSUPPMAR(m,r,d,p)} (15.5) XSUPPMAR_RD(m,p) = sum{r,ORG, XSUPPMAR_D(m,r,p)} 3.17. Total demand for commodity c made in r = supply commodity c made in r Equation 16.1 explains total demand for commodity c produced in r equal to supply commodity c, s produced in r. Specifically for domestic source, TOTDEM(c,”dom”,r) expressed by Equation 16.2, is equal to supply for non-margins, XCOM(c,r). Then, supply for margins, XCOM(m,p) determined by Equation 16.3, is composed of direct demands for goods produced domestically in r, TOTDEM(m,”dom”,p) plus demand for margins produced in p, XSUPPMAR_RD(m,p). Equation 16.4 shows that PBASIC(c,”dom”,r) is identical to PDOM(c,r). Equation 16.5 shows that PBASIC(c,”imp”,r) is identical to import price, PIMP(c,r). PPUR(c,s,u,d) is given by Equation 16.6. Using Equation 16.7, commodity tax revenue, COMTAXREV(d), is obtained from total value of goods used by users multiplied by commodity tax rate. Where commodity tax rate is TAX(c,s,u,d)/USE(c,s,u,d) or [TUSER(c,s,i,d)-1] . Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 413 ! Excerpt 16 of TABLO input file: ! ! Total demand for commodity c made in r = supply commodity c ! ! made in r ! TOTDEM(c,s,r) Total direct demands for goods made and landed in r TUSER(c,s,u,d) Powers of commodity taxes COMTAXREV(d) Commodity tax revenue (16.1) TOTDEM(c,s,r) = sum{d,DST, XTRAD(c,s,r,d)} (16.2) XCOM(c,r) = TOTDEM(c,”dom”,r) (16.3) XCOM(m,p) = TOTDEM(m,”dom”,p)+ XSUPPMAR_RD(m,p) (16.4) PBASIC(c,”dom”,r) = PDOM(c,r) (16.5) PBASIC(c,”imp”,r) = PIMP(c,r) (16.6) PPUR(c,s,u,d) = PUSE(c,s,d) * TUSER(c,s,u,d) (16.7) COMTAXREV(d) = sum{c,COM,sum{s,SRC, sum{i,IND, [TUSER(c,s,i,d)-1]*PUSE(c,s,d) *XINT(c,s,i,d)} +[TUSER(c,s,”hou”,d)-1]*PUSE(c,s,d) *XHOU(c,s,d) +[TUSER(c,s,”gov”,d)-1]*PUSE(c,s,d) *XGOV(c,s,d) +[TUSER(c,s,”inv”,d)-1]*PUSE(c,s,d) *XINV(c,s,d) +[TUSER(c,s,”exp”,d)-1]*PUSE(c,s,d) *XEXP(c,s,d)}} 3.18. Industry-specific investment demands Excerpt 17 describes industry specific investment demands. The gross rate of return, GRET(i,d), is determined as a ratio of capital rental to price of new capital. The investment by industries, XINVITOT(i,d) is capital usage, XCAP(i,d), multiplied by the gross growth rate of capital, GGRO(i,d). Where GGRO(i,d) is determined by the DPSV (Dixon et al. 1982) investment rule3 . 3 As explained in excerpt 31 of the Oranig03.tab, above equation comes from substituting the values 0.33 and 2.0 which correspond to the DPSV ratios [1/G.Beta] and Q (= ratio, gross to net rate of return) and are typical values of these ratios. In DPSV invslack was called “omega” and was interpreted as the “economy-wide rate of return”. 414 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 ! Excerpt 17 of TABLO input file: ! ! Industry-specific investment demands ! GRET(i,d) Gross rate of return = rental/[price of new capital] GGRO(i,d) Gross growth rate of capital = investment/capital FINV1(i,d) Investment shift variable INVSLACK Investment slack variable for exogenizing national investment (17.1) GRET(i,d) = PCAP(i,d) / PINVITOT(i,d) (17.2) GGRO(i,d)= XINVITOT(i,d) / XCAP(i,d) (17.3) GGRO(i,d) = FINV1(i,d)*[{GRET(i,d)**2}/INVSLACK]**0.33 The following excerpts are Excerpt 16 and Excerpt 17 but written in percentage changes version. Equation 16.1 in level version corresponds to Equation 16.1 in the percentage changes version. We can write an equation in level with several equations in percentages changes version. For example, Equation 16.7 in level version, it is written by several equations in percentage changes (from Equation 16.7 to 16.11). Note that we write variable names in lower case and value flows/coefficients in capital case. Sometimes it is necessary to state a variable in ordinary change if that variable can change from positive toward negative or reverse. We write ordinary-change variables with prefix ‘del, for example ‘ delTAXint (c,s,i,d). This represents ordinary change in TAX for intermediate input demands. \c AnsiText \* MERGEFORMAT ! Excerpt 16 of TABLO input file: ! ! Total demand for commodity c produced in r = supply commodity c ! ! produced in r (in percentage changes version) ! ! data flows/coefficients ! TRADE(c,s,r,d) Trade matrix (at basic prices) TRADE_D(c,s,r) Total direct demands SUPPMAR_RD(m,p) Total demand for margin m produced in p TAX(c,s,u,d) Commodity taxes ! variables in percentage changes ! totdem(c,s,r) Total direct demand for goods produced(dom) Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors orlanded(imp) in r xtrad(c,s,r,d) Quantity of good c,s from r to d xcom(c,d) Total output of commodities ppur(c,s,u,d) User (purchasers) prices, inc margins and taxes puse(c,s,d) Delivered price of regional composite good c,s to d tuser(c,s,u,d) Powers of commodity taxes (16.1) (TRADE_D(c,s,r))*totdem(c,s,r) = sum{d,DST,TRADE(c,s,r,d) *xtrad(c,s,r,d)} (16.2) xcom(c,r) = totdem(c,”dom”,r) (16.3) MAKE_I(m,p)*xcom(m,p) = TRADE_D(m,”dom”,p)*totdem(m,”dom”,p) + SUPPMAR_RD(m,p)*xsuppmar_rd(m,p) (16.4) pbasic(c,”dom”,r) = pdom(c,r) (16.5) pbasic(c,”imp”,r) = pimp(c,r) (16.6) ppur(c,s,u,d) = puse(c,s,d) + tuser(c,s,u,d) ! variables in ordinary change ! delTAXint(c,s,i,d) intermediate commodity tax revenue delTAXhou(c,s,d) household commodity tax revenue delTAXinv(c,s,d) investment commodity tax revenue delTAXgov(c,s,d) government commodity tax revenue delTAXexp(c,s,d) export commodity tax revenue !variables in percentage changes! xint(c,s,i,d) Intermediate demands for all-region composite xhou(c,s,d) Household demands for all-region composite xinv(c,s,d) Investment demands for all-region composite xgov(c,s,d) Government demands for all-region composite xexp(c,s,d) Export of all-region composite leaving port at d 415 416 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 (16.7) delTAXint(c,s,i,d) = 0.01*TAX(c,s,i,d) *[xint(c,s,i,d)+puse(c,s,d)] + 0.01*PUR(c,s,i,d)*tuser(c,s,i,d) (16.8) delTAXhou(c,s,d) = 0.01*TAX(c,s,”hou”,d) *[xhou(c,s,d)+puse(c,s,d)] + 0.01*PUR(c,s,”hou”,d)*tuser(c,s,”hou”,d) (16.9) delTAXinv(c,s,d) = 0.01*TAX(c,s,”inv”,d)*[xinv(c,s,d)+puse(c,s,d)]+ 0.01*PUR(c,s,”inv”,d)*tuser(c,s,”inv”,d) (16.10)delTAXgov(c,s,d) = 0.01*TAX(c,s,”gov”,d) *[xgov(c,s,d)+puse(c,s,d)]+ 0.01*PUR(c,s,”gov”,d)*tuser(c,s,”gov”,d) (16.11)delTAXexp(c,s,d) = 0.01*TAX(c,s,”exp”,d)*[xexp(c,s,d)+puse(c,s,d)]+ 0.01*PUR(c,s,”exp”,d)*tuser(c,s,”exp”,d) ! Excerpt 17 of TABLO input file: ! ! Industry-specific investment demands ! ! (in percentage changes version) ! ! Variables in percentage changes ! ggro(i,d) Gross growth rate of capital = Investment/capital gret(i,d) Gross rate of return = Rental/[Price of new capital] finv1(i,d) Investment shift variable invslack Investment slack for exogenizing national investment pcap(i,d) Rental price of capital pinvitot(i,d) Investment price index by industry xcap(i,d) Capital usage xinvitot(i,d) Investment by industry (17.1) gret(i,d)= pcap(i,d) - pinvitot(i,d) (17.2) ggro(i,d)= xinvitot(i,d) - xcap(i,d) (17.3) ggro(i,d) = finv1(i,d) + 0.33*[2.0*gret(i,d) -invslack] Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 417 4. DATABASE 4.1. Introduction Regional input-output tables and trade matrices, as shown in Figure 2.1 Section 2, are not available in Indonesia. The EMERALD database is produced from very limited regional data in several steps. Key features of this strategy are: • The process starts with a national input-output table and certain regional data. The minimum requirement for regional data is very modest: the distribution between regions of industry output and of final demand aggregates. • The database is constructed at the most disaggregated sectoral and regional level: 97 sectors and 26 regions. This is useful when estimating missing data. The data process is broken into 7 stages, as shown in Figure 4.1: • A preliminary aggregation to reduce multiproduction • Simplification of data structure • Input usage distinguished by place of use • Input usage distinguished by place of production • Consolidate final format • Aggregation into 19 sectors • Run the model to produce diagnostic information and summary Our exposition follows these steps. Remainder of Section 4 omitted to meet size limit. A zip file of the complete section may be downloaded from http://www.monash.edu.au/policy/archivep.htm. 418 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 INDOCEEM 2001 97 sector HAR database Stage 1: aggregation 80 sector INDOCEEM style HAR database Stage 2: simplify 80 sector single region EMERALD database Stage 3: split users Data to split users by 26 dest region R001 R002 R003 etc by destination 80 sector 26 destination database demand by region Distance matrix (gravity); import by port of entry Stage 4: form trade matrix supply by region TRADE matrix 80 commodity x [dom,imp] x 26 origin region x 26 dest region Stage 5: consolidate final format 80 sector 26 origin 26 dest EMERALD database Key Stage 6:aggregation data 19 sector 26 region process EMERALD database Stage 7: run model Data summary and Diagnostics Figure 4.1 Data Construction Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 419 5. SUBSIDY VARIATIONS TO ATTRACT INVESTORS. 5.1. Introduction This section analyses the economic effects of subsidising industry to attract investment in specific regions. As an example, we choose to subsidise Textiles, Clothing and Footwear (TCF) industry in Central Java (JaTeng) using the EMERALD (Equilibrium Model with Economic Regional AnaLysis Dimensions) multi-regional CGE Model. We simulate several financial approaches to the TCF subsidy in JaTeng: unfunded subsidy, subsidy funded by consumer tax or by producer tax, and reduction in local government demand. Selected results are shown for the target region (JaTeng), a neighbour region (Yogyakarta) and for the nation. Also we decompose total results into different effects. For example, we split the total effect of a subsidy funded by consumers into two separate effects: the effects of the subsidy and the effects of the consumer tax. 5.2. Textile clothing and footwear in JaTeng (Central Java) Tables 5.1 and 5.2 are examples of data generated for this model. Table 5.1 shows destinations of TCF made in JaTeng. 26% remains in JaTeng (14% used by industries and 12% by households), other regions take 51% and exports take 22%. Tabel 5.1. Destinations of TCF made in JaTeng (in billions of Rupiah) Intermediate 2640 14.47% Local (JaTeng) Households Investment 2182 11.96% Government 4 0.02% 8 0.04% Other Regions 9356 51.28% ROW Export Total 4055 22.23% 18245 100% Table 5.2 shows trade inflows to JaTeng. There are three sources of TCF used in JaTeng: local (47%), other regions (45%) and import (8%). Tabel 5.2. Source of TCF used in JaTeng (in billions of Rupiah) Local Production Other Regions ROW Import Total 8890 8608 1474 18972 46.86% 45.37% 7.77% 100% 420 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 5.3. Closure We used a long-run closure for most of the experiments: within each region, labour is completely mobile between sectors. A wage differential is needed to induce labour movement between regions. The national labour supply is fixed. Rates of return (ROR) are exogenous and capital for each regional industry is in elastic supply. Foreign currency prices of imports are naturally exogenous. Population is also held constant. Other exogenous variables include changes in rate of production tax, technology, price and quantity shift variables. On the regional expenditure side, nominal household consumption moves with nominal labour income. Real aggregate investment follows regional demands for capital. Real government consumption follows real household consumption. Export demand elasticities and export prices determine export volumes. Most national results are no more than the sum of the corresponding regional results. However a few constraints were imposed at the national, rather than the regional, level. National employment is fixed, while real wages adjust. National real household consumption moves with real GDP. The exchange rate is fixed as numeraire. Table 5.3 shows that for exogenous variables, main macro results for both Indonesia as a whole and JaTeng, are zero. Other than unfunded subsidy, we examine three alternative ways of financing the subsidy: to shift the cost of the subsidy either to JaTeng consumers, to JaTeng industries or to reduce JaTeng government demands. To shift the cost of the subsidy either to JaTeng consumers or to JaTeng industries, we use two slightly different closures to hold indirect tax (commodity plus production tax) revenue constant. In the first closure, rates of commodity taxes for JaTeng households adjust uniformly to finance the subsidy. In the second closure, production tax rates for JaTeng industries are raised to finance the TCF subsidy. To finance the subsidy by reduction in JaTeng government demands, we reduce government demand by a sum equal to the cost of the subsidy 4 . 5.4. Shock To subsidise the Textiles, Clothing and Footwear industry (TCF) in JaTeng, we shocked the model by shifting down the supply curve for TCF5 . Since labour and capital in long run are mobile between sectors, EMERALD has very flat long run regional industry supply curves. 4 We apply variable fgovtot2 which represents government demand shifter. 5 We shocked the model by applying delPTXrate(“TCF”,”JaTeng”)=-0.01. This variable has two dimensions, industry and region. The ‘delPTXrate’ represents an ordinary change in an ad valorem production tax rate. The negative figure “-0.01” means that we subsidise JaTeng Textiless, Clothing and Footwear industry by 1% of the value of output. Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 421 Figure 5.1 illustrates the interaction between JaTeng TCF demand and supply. The initial equilibrium is at point E. The shock moves the supply curve down from S to S’. As a result, the equilibrium moves from point E to E’, which has lower price and higher quantity than initially. Because of input-output linkages, employment, wages and household income all rise. As a result, the demand curve will shift upward from D to D’. It creates a new equilibrium at point E” which greater quantity than point E’. Price D’ D S 1% E E’’ S’ Shift E’ Quantity Figure 5.1 Interaction between demand and supply for JaTeng TCF 5.5. Simulation results Simulation results appear in Table 5.3 to Table 5.6—they differ according to the financial approaches to the TCF subsidy. We discuss the results in the following order: (1) unfunded subsidy, (2) subsidy paid for by consumers, (3) subsidy paid for by industries, followed by (4) subsidy funded by reduction in local government demands. Returning to the unfunded subsidy, we focus on a neighbouring region and on national results. Each table of results shows main macro variables, TCF sector variables, and sectoral outputs. 5.5.1. Unfunded subsidy Table 5.3 shows three results columns. The first column shows results for JaTeng (Central Java), the second results for DIY (District of Yogyakarta, a neighbouring region) and the third, national results. In this section, our discussion focuses on column (1). 422 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 JaTeng TCF sector (Table 5.3, column (1)) When we subsidise JaTeng TCF by 1%, output price of TCF decreases further, by 1.1%. This is because intermediate input cost falls by 0.24% to dominate increases in other cost (capital rental by 0.034% and wages by 0.25%). Note that 26% of TCF input is TCF output. Since domestic prices fall, not only do international exports of TCF increase by 5.5%, but also exports to other regions increase by 5.0%. Imports lose market share so that local TCF sales increase by 7%. This causes TCF output to increase by 5.96%. Consequently, demands for inputs also increase. Employment rises by 5.89% and capital rises by 6.0%. To attract labour from other regions, wages had to rise by 0.25%. Capital rentals rose by 0.034% (the latter are indexed to the investment price index). Since wages rose more than capital rentals, TCF employment rose by less than TCF output, while capital use rose by more (MPL is positive function of K/L ratio). Imports of TCF from other regions only increase by 1.7% mainly because the local demand shifts toward JaTeng TCF. We see from local TCF used locally increases by 7%. JaTeng macro results (Table 5.3, column (1)) In the macro results, JaTeng real household consumption rises by 0.42% in line with nominal labour income (employment increases by 0.21% plus nominal wages by 0.25%). The 0.25% increase in nominal wages is composed of an increase in average real wage of 0.24%, plus a 0.012% increase in CPI. Again, real government consumption grows by 0.42% to follow real household consumption. Since we assume gross growth rates of capital to be fixed, investment follows capital growth. Hence, JaTeng real investment grows by 0.22% and aggregate capital stock by 0.22%. The export price index falls by 0.097% (due to a domestic price fall, i.e, price of GDP falls by 0.032%). So export volumes grow by 0.29%. Import volumes used grow by 0.43% because demand expands and imports lose market share. Hence, real GDP grows by 0.21%. JaTeng sectoral output (Table 5.3, column (1)) In national or trade-exposed industries which compete with the same industries from other regions, the wage rise increases costs, leading to loss of market shares. So output and employment shrink. Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 423 However, industries less exposed to competition grow. For example, utilities grow by 0.40% and government services by 0.31%. Since local goods are produced and consumed locally, demand for local goods grows to follow absorption (which is itself driven by labour income). Since input costs to JaTeng firms rise, output prices also rise except in TCF sector. Traded industries ranging from agriculture to manufactures shrink; machines and electronics by 0.15% and mining by 0.16%. In turn, their demands for inputs contract. Except for TCF exports, rising input costs cause exports to shrink. For example, in agriculture domestic prices rise by 0.017% and exports shrink by 2.3%. Jobs grow in TCF (by 5.9%) and in non-traded sectors, but shrink in trade-exposed sectors. 5.5.2. Unfunded subsidy: effect on neighbour and nation The effects on neighbour and nation of a long-run unfunded subsidy are shown in Table 5.3, DIY (column (2)) and National (column (3)). Note that DIY is a neighbour region surrounded by JaTeng. It is interesting to observe that effects on DIY are similar to effects on JaTeng (but smaller). DIY also benefits, again led by increased TCF output. The reason is that TCF partly from JaTeng is a big input into DIY TCF—so cheaper TCF imports benefit DIY TCF also. National results are also positive, although small. One reason is that national results are no more than the sum of the corresponding regional results. TCF sector (Table 5.3, column (2, 3)) Since 24% of TCF in DIY is from JaTeng: a fall in JaTeng TCF domestic price by 1.1% causes DIY TCF domestic prices to fall by 0.065%. As consequences, TCF output in DIY expands by 0.57%. Then the demand of inputs rises, capital by 0.58% and labour by 0.55%. To attract labour from other regions, wages had to rise by 0.077% relative to capital rentals by 0.015% (the later are indexed to investment price index). Due to TCF price falls, TCF output, export to ROW increases by 2.78%, and exports to other regions increase by 0.75%. Import from other regions also increase by 1.6% because of demand expansion. Again, local demand for local TCF rises by 0.11%. Column (3) shows that national output prices for TCF falls by 0.16%. As results, TCF output and exports all rise by 0.90% and by 1.42%. This sector sucks in employment from other sectors by 0.90%. Note that national employment is fixed. 424 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Macro results (Table 5.3, column (2, 3)) In DIY, even though export prices fall by 0.031%, export volume falls by 0.046%. This indicates that domestic demand is stronger than export. We can see from a rise in GDP price index by 0.036%. DIY also sucks in labour and capital from other regions. Aggregate employment and capital stock in DIY increase by 0.029% and 0.021%. This causes real GDP to grow by 0.023%. Since labour income rises, household expenditures and government expenditure all rise by 0.059%. Real investment grows by 0.016% to follow a growth in capital stock. Again, import volume used increases by 0.095% to follow expansion in economy activity. Tabel 5.3. Unfunded subsidy to TCF industry in JaTeng Main Macro Variable RealHou RealInv RealGov ExpVol Xdomexp_c Xdomimp_c ImpVolUsed ImpsLanded RealGDP AggEmploy AveRealWage AggCapStock GDPPI CPI ExportPI TCF Sector Variable xexpsho(“TCF”) xtot(“TCF”) plab_o(“TCF”) xlab_o(“TCF”) pcapsho(“TCF”) xcap(“TCF”) pint(“TCF”) pdom(“TCF”) xdomexp(“TCF”) xdomimp(“TCF”) xdomloc(“TCF”) Description Real Household Expenditure Real Investment Expenditure Real Government Expenditure Export Volume Export to other regions Import from other regions Import Volume Used Import Volume Landed Real GDP Aggregate Employment Average Real Wage Aggregate Capital Stock Price GDP Consumer Price Index Export Price Index (1) JaTeng (2) DIY (3) National 0.418 0.219 0.418 0.285 0.261 0.378 0.425 0.332 0.206 0.208 0.241 0.220 -0.032 0.012 -0.097 0.059 0.016 0.059 -0.046 0.060 0.058 0.095 0.130 0.023 0.029 0.062 0.021 0.036 0.015 -0.031 0.001 0.001 0.003 0.027 0.026 0.026 0.001 0.000 0.033 0.002 0.000 0.001 -0.012 5.533 5.962 0.253 5.892 0.034 6.008 -0.236 -1.111 4.975 1.732 7.000 2.776 0.565 0.077 0.547 0.015 0.578 -0.120 -0.065 0.747 1.574 0.108 1.416 0.902 0.898 -0.160 - Description Direct exports to Row Industry output Nominal wage Employment Capital rentals Capital Intermediate cost Domestic prices Export to other regions Import from other regions TCF made and used locally Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors Sectoral Output xtot(“Agriculture”) xtot(“Fishing”) xtot(“OilGas”) xtot(“Mining”) xtot(“FoodDrink”) xtot(“TCF”) xtot(“WoodPaper”) xtot(“Chemicals”) xtot(“LNG”) xtot(“BasicMetal”) xtot(“MachinElec”) xtot(“OtherManuf”) xtot(“ElecGasWater”) xtot(“Construction”) xtot(“Trade”) xtot(“ HotelRest”) xtot(“Transport”) xtot(“OtherServ”) xtot(“GovSrvces”) Description Agriculture Fishing Oil and Gas Mining Food and Drink Textiles, Clothing and Footwear Wood and Paper Chemicals Liquid Natural Gases Basic Metals Machines Electronics Other Manufactures Electricity, Gas, and Water Construction Trade Hotel and Restaurant Transport Other Services Government Services (1) JaTeng -0.170 -0.160 -0.023 -0.155 -0.349 5.962 -0.232 -0.110 0.000 -0.174 -0.154 -0.041 0.396 0.097 0.065 0.335 0.101 0.191 0.307 (2) DIY -0.066 -0.059 0.000 -0.049 -0.144 0.565 -0.155 -0.014 0.000 0.000 -0.063 -0.024 0.262 0.028 0.048 0.075 0.021 0.048 0.120 425 (3) National -0.046 -0.031 0.001 -0.013 -0.116 0.902 -0.084 -0.066 -0.026 -0.028 -0.064 -0.027 0.033 0.001 -0.004 -0.007 -0.021 -0.026 0.002 Long-run national effects As comparison, Figure 5.2 shows regional real GDP results. JaTeng wins most with a growth in real GDP followed by DIY. In contrast, other regions lose slightly. Subsidising JaTeng TCF is good for the whole nation. Table 5.3, column (3) shows that real GDP grows by 0.001%. All spending rise, for example, real household expenditure and investment by 0.001%. Since we assume national aggregate employment is fixed, a 0.002% growth in capital determines a 0.001% growth in national GDP. Ordinary change in share of real trade balance to real GDP increases by 0.002%. Sectoral output (Table 5.3, column (2, 3)) Local industries grow in DIY such as utilities by 0.26% and government service by 0.12%. On the other hand, trade-exposed industries shrink for instance, food and drink by 0.14% and wood paper by 0.16%. It is because of substitution toward other regions product as a result from a DIY rising costs. Again, national sectoral output follows the sum of the corresponding regional results for example in column (3), food and drink shrinks by 0.12% and wood paper by 0.084%. Except TCF, growing sectors include utilities by 0.033%, construction by 0.001% and government service by 0.002% 5.5.3. Consumers pay the subsidy 426 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Figure 5.2 Regional Real GDP Result In this section we subsidise the TCF industry by the same amount—this time funded by a commodity tax on household purchases. Table 5.4 splits the results into three columns showing, the effects of: (1) subsidy alone, (2) consumer tax, and (3) total. To compute column (3) we allowed consumer taxes to adjust uniformly so that total indirect tax revenue (including the subsidy cost) remained constant. The second column shows the effect of the consumer tax increase alone. The necessary change was an increase of 0.18% in the power of all taxes on household purchases. Column (1) is simply the difference between (2) and (3). Due to model non-linearity it is not quite the same as column (1) of Table 5.3. Since the first column is nearly the same as the unfunded subsidy in the previous section, here we focus on the second and total columns. JaTeng macro results (Table 5.4, column (2)) A tax on households has opposing effects to an industry subsidy. All demand spending in JaTeng went down, real household consumption by 0.26%, real investment by 0.082% and real government consumption by 0.26%. On the income side of GDP, aggregate employment falls by 0.13% and aggregate capital stock by 0.082%. As a result real GDP shrinks by 0.097%. Since we assumed capital/investment ratio to be fixed, investment also falls by 0.082%. Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 427 An increase on household power tax by 0.18% causes CPI to increase by 0.19%. In turn, average real wages fall by 0.15%. Due rising input costs, the export price index increases by 0.004% to cause a fall in export volume by 0.10%. Again, import volume shrinks by 0.16% as a result of a shrinking in production. The changes in export and import volumes hardly affect the real trade balance to real GDP. Tabel 5.4. Subsidy Funded by Consumer Tax (JaTeng Results) Main Macro Variable RealHou RealInv RealGov ExpVol Xdomexp_c Xdomimp_c ImpVolUsed ImpsLanded RealGDP AggEmploy AveRealWage AggCapStock GDPPI CPI ExportPI TCF Sector Variables xexpsho(“TCF”) xtot(“TCF”) plab_o(“TCF”) xlab_o(“TCF”) pcapsho(“TCF”) xcap(“TCF”) pint(“TCF”) pdom(“TCF”) xdomexp(“TCF”) xdomimp(“TCF”) xdomloc(“TCF”) Description Real Household Expenditure Real Investment Expenditure Real Government Expenditure Export Volume Export to other regions Import from other regions Import Volume Used Import Volume Landed Real GDP Aggregate Employment Average Real Wage Aggregate Capital Stock Price GDP Consumer Price Index Export Price Index (1) Efex of Subsidy (2) Efex of = (3) - (2) Consumer Fax (3) Total 0.417 0.219 0.417 0.286 0.261 0.378 0.424 0.331 0.206 0.208 0.241 0.220 -0.032 0.012 -0.097 -0.258 -0.082 -0.258 -0.102 -0.002 -0.129 -0.158 -0.126 -0.097 -0.129 -0.149 -0.082 0.132 0.187 0.004 0.159 0.137 0.159 0.184 0.259 0.249 0.266 0.205 0.109 0.079 0.092 0.138 0.100 0.199 -0.092 5.530 5.958 0.253 5.888 0.034 6.004 -0.236 -1.111 4.973 1.732 6.994 -0.039 -0.068 0.038 -0.079 0.003 -0.061 0.003 0.008 -0.027 -0.068 -0.112 5.491 5.889 0.292 5.809 0.038 5.943 -0.233 -1.103 4.946 1.664 6.882 Description Direct exports to ROW Industry output Nominal wage Employment Capital rentals Capital Intermediate cost Domestic prices Export to other regions Import from other regions TCF made and used locally 428 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Sectoral Output xtot(“Agriculture”) xtot(“Fishing”) xtot(“OilGas”) xtot(“Mining”) xtot(“FoodDrink”) xtot(“TCF”) xtot(“WoodPaper”) xtot(“Chemicals”) xtot(“LNG”) xtot(“BasicMetal”) xtot(“MachinElec”) xtot(“OtherManuf”) xtot(“ElecGasWater”) xtot(“Construction”) xtot(“Trade”) xtot(“ HotelRest”) xtot(“Transport”) xtot(“OtherServ”) xtot(“GovSrvces”) Description Agriculture Fishing Oil and Gas Mining Food and Drink Textiles, Clothing and Footwear Wood and Paper Chemicals Liquid Natural Gases Basic Metals Machines Electronics Other Manufactures Electricity, Gas, and Water Construction Trade Hotel and Restaurant Transport Other Services Government Services (1) Efex of Subsidy (2) Efex of = (3) - (2) Consumer Fax -0.170 -0.160 -0.023 -0.155 -0.348 5.958 -0.232 -0.110 0.000 -0.174 -0.154 -0.041 0.396 0.097 0.065 0.335 0.101 0.191 0.306 -0.040 -0.045 -0.005 -0.033 -0.104 -0.068 -0.129 -0.056 0.000 -0.046 -0.080 -0.114 -0.136 -0.062 -0.079 -0.261 -0.100 -0.173 -0.277 (3) Total -0.210 -0.205 -0.028 -0.188 -0.452 5.889 -0.361 -0.166 0.000 -0.220 -0.234 -0.155 0.259 0.035 -0.014 0.074 0.001 0.018 0.030 JaTeng sectoral output (Table 5.4, column (2)) The effect of the consumer tax is that both trade and non-trade-exposed sectors shrink. Sectors that are mainly used by household shrink most. For example government services output shrinks by 0.28% and hotel and restaurant by 0.26%. JaTeng TCF sector (Table 5.4, column (2)) Focusing on Table 5.4, column (2), TCF production shrinks by 0.068% mainly due to reduced household demand. This causes demand for inputs to shrink, employment by 0.079%, capital by 0.061%. TCF cost rises due to an increase in wages by 0.038%, capital by 0.003%, and also intermediate input by 0.003%. This causes TCF output price to rise by 0.008%. In turn, export shrinks by 0.039%. Import shrinks by 0.090% as local demand (including TCF production). 5.5.4. Subsidy funded by production tax In this experiment, industries pay for the subsidy instead of households. Revenue Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 429 raised from production tax is used to subsidise the TCF sector. Again we split the results into three columns: effect of subsidy, effect of production tax and total effect. To ease comparison we also show in column (4), the total effect if consumers pay the subsidy (Table 5.5, column (4)). In this section we focus on the effect of the production tax (column (2)). To pay for the TCF subsidy it was necessary to impose on all sectors a production tax equal to 0.066% of input costs. JaTeng TCF sector (Table 5.5, column (2)) A rise in TCF production tax by 0.066% of output value only causes TCF domestic prices to rise only by 0.047%. This is because regional wages fall by 0.23% to offset an increase in capital rentals (by 0.012%) and intermediate input costs (by 0.015%). As TCF output price increases, TCF output shrinks by 0.28%. Due to a fall in output, TCF employment falls by 0.21% to depress local wage by 0.23%. Increasing JaTeng commodity prices cause investment price index also to rise. Since we fixed gross rate of return, rental price of capital also to rise by 0.012% to follow investment price index. In turn, demand of capital falls by 0.33% as a result of an increase in capital rental. Since TCF prices rises, exports to ROW shrinks by 0.20% and exports to other regions shrinks by 0.189%. Import from other regions shrink by 0.14% because the substitution effect is not enough to counteract the contraction in demand. JaTeng macro results (Table 5.5, column (2)) Increases in most output prices cause all demand to fall. On the expenditure side of GDP, real household and government expenditure fall by 0.41%, real investment falls by 0.30%, and export volumes fall by 0.62%. Since domestic demands fall, import volumes also contract by 0.34%. Changes in export and import volume used causes share of real trade balance to real GDP to increase by 0.001% In spite of an increase in production tax by 0.07%, GDP price index only rises by 0.030%. It is because government price index falls by 0.053%, while other price indexes rise, CPI by 0.005%, export price index by 0.024% and investment prices index by 0.012% (recall capital rentals rise by 0.012%). Government uses mainly government services (about 69% of government expenses). Since government services is labour intensive sector. When local wage falls, so does the output price. As consequences, government price index falls. 430 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 On the income side of GDP, aggregate employment falls by 0.20% and aggregate capital stock by 0.33%. Hence, real GDP shrinks by 0.26%. JaTeng sectoral output (Table 5.5, column (2)) All sectors shrink to follow macro expenditure results. For example, government services falls by 0.36% to follow a fall in real government spending by 0.41%. Construction shrinks by 0.22% to follow a 0.30% fall in real investment expenditure. Comparison with subsidy funded by consumer tax Macro results indicate the production tax method of funding the TCF subsidy is far more damaging to the JaTeng economy than the consumer tax. Raising the production tax causes factor cost and intermediate costs to rise. As consequences, JaTeng demand weakens. Even though export price index falls, this is not enough to raise the export. Imports displace domestic products. If producers pay for the subsidy, capital rentals rise by more than if the consumers pay the subsidy. This offsets the effect of the subsidy on aggregate capital stock and causes it and investment to fall. As a result, the real GDP shrinks when producers are taxed Tabel 5.5. Subsidy funded by producer tax (JaTeng results) (2) Efex of Consumer Fax Description (1) Efex of Subsidy = (3) - (2) RealHou Real Household Expenditure 0.417 -0.411 0.006 0.159 RealInv Real Investment Expenditure 0.219 -0.296 -0.077 0.137 RealGov Real Government Expenditure 0.417 -0.411 0.006 0.159 ExpVol Export Volume 0.292 -0.618 -0.326 0.184 Xdomexp_c Export to other regions 0.260 -0.090 0.170 0.259 Xdomimp_c Import from other regions 0.378 -0.318 0.060 0.249 ImpVolUsed Import Volume Used 0.425 -0.339 0.085 0.266 RealGDP Real GDP 0.206 -0.261 -0.054 0.109 AggEmploy Aggregate Employment 0.208 -0.201 0.007 0.079 AveRealWage Average Real Wage 0.241 -0.236 0.004 0.092 AggCapStock Aggregate Capital Stock 0.138 GDPPI Price GDP CPI Consumer Price Index ExportPI Export Price Index Main Macro Variable (3) Total (4) col (3), Table 5.4 0.220 -0.329 -0.108 -0.032 0.030 -0.003 0.100 0.012 0.005 0.017 0.199 -0.097 0.024 -0.073 -0.092 Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors TCF Sector Variables Description (1) Efex of Subsidy = (3) - (2) (2) Efex of Consumer Fax (3) Total 431 (4) col (3), Table 5.4 xexpsho(“TCF”) Direct exports to ROW 5.513 -0.202 5.311 xtot(“TCF”) Industry output 5.940 -0.279 5.661 5.491 5.889 plab_o(“TCF”) Nominal wage 0.253 -0.232 0.021 0.292 xlab_o(“TCF”) Employment 5.875 -0.207 5.668 5.809 pcapsho(“TCF”) Capital rentals 0.034 0.012 0.046 0.038 xcap(“TCF”) Capital 5.983 -0.328 5.655 5.943 pint(“TCF”) Intermediate cost -0.235 0.015 -0.221 -0.233 pdom(“TCF”) Domestic prices -1.111 0.047 -1.064 -1.103 xdomexp(“TCF”) Export to other regions 4.961 -0.189 4.772 4.946 xdomimp(“TCF”) Import from other regions 1.728 -0.144 1.584 1.664 xdomloc(“TCF”) TCF made and used locally 6.969 -0.374 6.595 6.882 Sectoral output Description xtot(“Agriculture”) Agriculture -0.169 -0.046 -0.215 -0.210 xtot(“Fishing”) Fishing -0.160 -0.056 -0.216 -0.205 xtot(“OilGas”) Oil and Gas -0.023 -0.067 -0.090 -0.028 xtot(“Mining”) Mining -0.155 -0.026 -0.181 -0.188 xtot(“FoodDrink”) Food and Drink -0.344 -0.391 -0.734 -0.452 xtot(“TCF”) Textiles, Clothing and Footwear 5.940 -0.279 5.661 5.889 xtot(“WoodPaper”) Wood and Paper -0.230 -0.484 -0.714 -0.361 xtot(“Chemicals”) Chemicals -0.110 -0.351 -0.461 -0.166 xtot(“LNG”) Liquid Natural Gases 0.000 0.000 0.000 0.000 xtot(“BasicMetal”) Basic Metals -0.174 -0.260 -0.433 -0.220 xtot(“MachinElec”) Machines Electronics -0.154 -0.319 -0.473 -0.234 xtot(“OtherManuf”) Other Manufactures -0.040 -0.340 -0.380 -0.155 xtot(“ElecGasWater”) Electricity, Gas, and Water 0.395 -0.293 0.103 0.259 xtot(“Construction”) Construction 0.097 -0.204 -0.107 0.035 xtot(“Trade”) Trade 0.066 -0.224 -0.157 -0.014 xtot(“ HotelRest”) Hotel and Restaurant 0.335 -0.430 -0.095 0.074 xtot(“Transport”) Transport 0.102 -0.261 -0.159 0.001 xtot(“OtherServ”) Other Services 0.191 -0.310 -0.119 0.018 xtot(“GovSrvces”) Government Services 0.307 -0.363 -0.056 0.030 The subsidy funded by producer tax causes employment to rise by less than when funded by consumers. 5.5.5. Subsidy funded by reduction in local government demands In this section our TCF subsidy is funded by a 2.19% reduction in local government demand. Table 5.6 decomposes the results into two columns: effect of subsidy and effect of government demand cut. We first discuss column (2): the effects of the government demand 432 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 cut then discuss column (3): the total effects. Since the first column is nearly the same as the unfunded subsidy in the previous section, here we focus on the second and total columns. JaTeng TCF sector (Table 5.6, column (2, 3)) Column (2), the effect of the government spending cut, shows that when government releases labour and capital, wages fall by 0.11% and capital rentals fall by 0.013%. Also, intermediate input cost falls by 0.012%. So, TCF output price falls by 0.025%. Then, output expands by 0.13%. In turn, export to ROW and to other regions expand by 0.14% and by 0.13%. Import from other regions only expands by 0.009% due to substitution toward local TCF (TCF produced and used locally increases by 0.13%). Column (3), the total effect shows that TCF output grows by 6.1%. Government spending cut can be interpreted as a subsidy to TCF sector by reducing production cost. In comparison to the previous simulations, TCF domestic price under this policy falls by more, 1.14%. Consequently, TCF output, export to ROW and export to other regions all expand. JaTeng macro results (Table 5.6, column (2)) Even though regional costs are decreasing, real household expenditure falls by 0.16%. This is because JaTeng labour income decreases [Note that aggregate employment falls by 0.084% and real wage falls by 0.092% and 0.084% + 0.092% ~ 0.16%]. In contrast, real investment grows by 0.052%, following a 0.05% growth in aggregate capital stock. Since local prices decrease, export volumes increase by 0.44% (mainly to ROW) and import volumes fall by 0.065%. The changes in exports and imports causes the share of real trade balance in real GDP to grow by 0.016%. Perhaps counterintuitively, the government cuts leads to a small GDP rise. This is because we follow a rule6 that the average real wage and a labour migration elasticity determine labour supply. If we apply an elasticity value of 3 (in this we used 1) real GDP shrinks by 0.045%. Falling wages induce JaTeng price indexes to fall. For example the CPI falls by 0.017%, the export prices index by 0.016%, the investment price index by 0.013% and the government price index by 0.052%, and so the GDP price index falls by 0.040%. 6 XLAB_IO(d)=AVEREALWAGE(d)^1*FLABSUP(d)*LABSLACK; where AVEREALWAGE(d)=average real wage; 1= labour migration elasticity; XLAB_IO(d)=inter-regional labour migration or labour supply; FLABSUP(d)=Labour migration shifter; LABSLACK=Slack to allow aggregate employment constraint Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 433 Note that welfare cost of sacking government officers, for example teachers, are not captured by this experiment. JaTeng macro results (Table 5.6, column (3)) Column (3), the total effect, shows that all spending (except government) expand: for example investment grows by 0.27%. JaTeng sucks in labour and capital— labour is up 0.12% and capital 0.28%. As a result, real GDP expands by 0.21%. The export price index falls by 0.11%, but the CPI, only by 0.005%. This is because the share of JaTeng TCF for export is about as twice as much for households. This causes GDP price index to fall by 0.073%. Since export price decreases, export volume increases by 0.73%. Again, import volume expands by 0.36% as a result from expanding in production (driven by TCF sector). JaTeng sectoral output (Table 5.6, column (2, 3)) Column (2), the effect of government spending cut, shows that government services, hotel and restaurant, utilities and other services shrink because they released labours. On the other hand, other sectors employed more labours so they grow. Tabel 5.6. Subsidy funded by reduction in local government demands (JaTeng results) Main Macro Variable Description (1) Efex of Subsidy (2) Efex of = (3) - (2) gov cut (3) Total RealHou Real Household Expenditure 0.416 -0.158 RealInv Real Investment Expenditure 0.219 0.052 0.271 RealGov Real Government Expenditure 0.408 -2.185 -1.777 ExpVol Export Volume 0.283 0.444 0.728 Xdomexp_c Export to other regions 0.262 0.093 0.355 Xdomimp_c Import from other regions 0.377 -0.063 0.314 ImpVolUsed Import Volume Used 0.424 -0.065 0.359 RealGDP Real GDP 0.206 0.000 0.206 AggEmploy Aggregate Employment 0.207 -0.084 0.124 AveRealWage Average Real Wage 0.240 -0.092 0.149 AggCapStock Aggregate Capital Stock 0.220 0.058 0.278 GDPPI Price GDP -0.033 -0.040 -0.073 0.012 -0.017 -0.005 -0.097 -0.016 -0.113 CPI Consumer Price Index ExportPI Export Price Index 0.258 434 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 TCF Sector Variables xexpsho(“TCF”) xtot(“TCF”) plab_o(“TCF”) xlab_o(“TCF”) pcapsho(“TCF”) xcap(“TCF”) pint(“TCF”) pdom(“TCF”) xdomexp(“TCF”) xdomimp(“TCF”) xdomloc(“TCF”) Sectoral Output xtot(“Agriculture”) xtot(“Fishing”) xtot(“OilGas”) xtot(“Mining”) xtot(“FoodDrink”) xtot(“TCF”) xtot(“WoodPaper”) xtot(“Chemicals”) xtot(“LNG”) xtot(“BasicMetal”) xtot(“MachinElec”) xtot(“OtherManuf”) xtot(“ElecGasWater”) xtot(“Construction”) xtot(“Trade”) xtot(“ HotelRest”) xtot(“Transport”) xtot(“OtherServ”) xtot(“GovSrvces”) Description Direct exports to ROW Industry output Nominal wage Employment Capital rentals Capital Intermediate cost Domestic prices Export to other regions Import from other regions TCF made and used locally (1) Efex of Subsidy (2) Efex of = (3) - (2) Consumer Fax (3) Total 5.546 5.973 0.252 5.905 0.034 6.018 -0.236 -1.111 4.983 1.735 7.267 0.144 0.129 -0.108 0.157 -0.013 0.110 -0.012 -0.025 0.130 0.009 0.127 5.690 6.101 0.144 6.062 0.021 6.127 -0.247 -1.137 5.113 1.744 7.140 -0.170 -0.160 -0.023 -0.154 -0.351 5.973 -0.232 -0.110 0.000 -0.174 -0.154 -0.040 0.396 0.096 0.065 0.334 0.101 0.190 0.302 0.077 0.070 0.020 0.071 0.153 0.129 0.050 0.084 0.000 0.091 0.131 0.055 -0.064 0.002 0.098 -0.142 0.016 -0.107 -1.061 -0.093 -0.090 -0.003 -0.083 -0.198 6.101 -0.182 -0.025 0.000 -0.083 -0.022 0.014 0.331 0.098 0.163 0.192 0.116 0.083 -0.759 Description Agriculture Fishing Oil and Gas Mining Food and Drink Textiles, Clothing and Footwear Wood and Paper Chemicals Liquid Natural Gases Basic Metals Machines Electronics Other Manufactures Electricity, Gas, and Water Construction Trade Hotel and Restaurant Transport Other Services Government Services Column (3), the total effect, shows that all local sectors (except government services) grow but trade-exposed sectors (except TCF) shrink. The effect of the subsidy dominates the effect of the government cut except for government services. 5.6. Conclusion In the long-run closure, the unfunded subsidy causes JaTeng TCF to become more Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors 435 competitive at the expense of other tradeable sectors. JaTeng sucks in labour (from other regions) by 0.21% and capital by 0.22% (mainly from overseas). Real GDP grows by 0.21%. National GDP also grows by 0.001%. A subsidy funded by a households tax also raised JaTeng GDP (by 0.11%), but by less than the unfunded subsidy. This is because the consumer tax weakens household demand. JaTeng wins the most, followed by DIY (a region surrounded by JaTeng). Other regions lose slightly because their workforce is moving to JaTeng and DIY, and because they become unattractive to investors. Taxing industries to finance the subsidy causes capital to flee JaTeng (fall 0.12%). As a result real GDP shrinks by 0.054%. The reason is that the industry tax bears more heavily on capital, which is in elastic supply. If the subsidy is funded by a reduction in local government demands, labour moves from government sectors to other more capital-intensive sectors especially tradeable sectors. Real government spending shrinks but other spending grows more than in the previous simulations. As a result, real GDP also grows by most, 0.206%, than the previous cases but sacking government officers is not captured by this experiment. 436 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 DAFTAR PUSTAKA Abimanyu, Anggito (2000) “Impact of Agriculture Trade and Subsidy Policy on the Macroeconomy, Distribution, and Environment in Indonesia: A Strategy for Future Industrial Development”, The Developing Economies, Vol. XXXVIII, No. 4, pp. 547-71. Adams, Philip D., J. Mark Horridge and Brian R. Parmenter (2000) “MMRF-GREEN: A Dynamic, Multi-Sectoral, Multi-Regional Model of Australia”, Centre of Policy Studies and Impact Project Preliminary Working Paper No. OP-94, Monash University, October. May be downloaded from http://www.monash.edu.au/policy/elecpapr/op-94.htm Armington, P.S. (1969) “The Geographic Pattern of Trade and the Effects of Price Changes”, IMF Staff Papers, XVI, July, pp. 176-99. Armington, P.S. (1970) “Adjustment of Trade Balances: Some Experiments with a Model of Trade Among Many Countries”, IMF Staff Papers, XVII, November, pp. 488-523. Dixon, P.B., B.R. Parmenter, J. Sutton and D.P. Vincent (1982) ORANI: A Multisectoral Model of the Australian Economy (Amsterdam: North-Holland). Hertel, T. W., and M. E. Tsigas, (1997): “Structure of GTAP”, in T. W. Hertel (ed.), Global Trade Analysis: Modeling and Applications, Cambridge: Cambridge University Press. Horridge, J.M., B.R. Parmenter and K.R. Pearson (1993) “ORANI-F: A General Equilibrium Model of the Australian Economy”, Economic and Financial Computing, Vol. 3, No. 2 (Summer), pp. 71-140. Horridge, Mark (2000) “ORANI-G: A General Equilibrium Model of the Australian Economy”, Centre of Policy Studies and Impact Project Preliminary Working Paper No. OP93, Monash University, October. May be downloaded from:http://www.monash.edu.au/policy/ elecpapr/op-93.htm Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002 437 DETERMINAN TINGKAT SUKU BUNGA PINJAMAN DI INDONESIA TAHUN 1983 - 2002 Taufik Kurniawan1) Abstraksi This paper analyzes the role of international interest rate, money supply, inflation, SBI rate (Sertifikat Bank Indonesia) and GDP on the lending rate. We use the Error Correction Model on Indonesian yearly data from 1983 – 2002 and confirm the significant of these explanatory variables as the determinant of short and long term credit lending rates. These findings conforms the necessity for Bank Indonesia as monetary authority to take into account the external factors and support the integration of domestic and foreign financial market. Keyword: Error Correction Model, Interest rate, Financial market, Money Supply, Lending rate. JEL: C22, E44, E51 1 Penulis adaIah Mahasiswa Peraih Beasiswa Penelitian Ekonomi dan Moneter Kerja Sama Bank Indonesia dan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta 438 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 I. PENDAHULUAN Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI) Anwar Nasution mengatakan Bank Indonesia mengimbau kepada perbankan untuk menurunkan suku bunga pinjamannya berkaitan dengan terus turunnya Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Secara teori bahwa tingkat suku bunga pinjaman merupakan gabungan dari jumlah cost of fund ditambah biaya intermediasi dan biaya resiko macet (Solopos, Jum’at 27 Juni 2003). Akhir-akhir ini banyak tuntutan dari para pelaku bisnis (pengusaha) dan juga pakar ekonomi yang menuntut agar Bank Indonesia selaku penguasa moneter mempengaruhi suku bunga deposito dan juga suku bunga pinjaman berkaitan dengan turunnya SBI agar dapat meningkatkan / mengembangkan kembali sektor riil lewat kegiatan investasinya. Tetapi tuntutan itu belum atau baru sedikit dipenuhi oleh Bank Indonesia, karena mungkin Bank Indonesia melihat banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mempengaruhi suku bunga khususnya suku bunga pinjaman dalam arti nominal. Banyak negara berkembang telah melaksanakan deregulasi keuangannya dengan cara menghapuskan pagu kredit dan tingkat bunga, misalnya Korea, Malaysia, Sri langka, Filipina, dan Indonesia. Tujuan utama deregulasi keuangan ini seperti deregulasi ekonomi pada umumnya adalah mendorong efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu tujuan deregulasi adalah mempercepat proses berlangsungnya pendalaman finansial. Pendalaman finansial (financial deep) menunjukkan seberapa jauh sistem finansial terutama sektor perbankan dapat menjangkau masyarakat penabung dan mengalokasikan dana tersebut kepada sektor usaha dan pengguna dana yang paling produktif dan efisien. Sektor keuangan mempunyai peranan yang penting, bukan hanya sebagai perantara finansial tetapi juga sebagai pihak yang membatasi, menilai dan mendistribusikan resiko yang berkaitan dengan berbagai kegiatan finansial. Pada mekanisme pasar, peranan ini memungkinkan terjadinya keseimbangan antara keuntungan yang diperoleh dengan resiko yang dihadapi. Pendalaman finansial menjamin terjadinya biaya transaksi yang makin rendah, distribusi resiko yang semakin optimal, alokasi dana yang semakin terarah pada pilihan investasi yang terbaik. Dengan demikian pendalaman finansial mendorong peningkatan efisiensi ekonomi dan berjalan seiring dengan perkembangan ekonomi. Di beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Indonesia, perkembangan pendalaman finansial kelihatan menonjol setelah negara-negara tersebut melakukan deregulasi sistem finansialnya. Sebelum adanya deregulasi, sistem finansial negara-negara tersebut ditandai oleh banyaknya peraturan yang kurang mendorong terjadinya pendalaman finansial seperti penentuan tingkat bunga oleh otoritas moneter, Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002 439 penetapan pagu kredit, cadangan wajib minimum yang tinggi. Tingkat bunga yang ditetapkan akan cenderung jauh di bawah tingkat bunga keseimbangan dan tingkat inflasi. Dengan demikian, laju inflasi jauh lebih besar daripada tingkat bunga nominal sehingga tingkat bunga rill menjadi negatif. Hal ini dapat menimbulkan distorsi dalam sistem keuangan karena kurangnya mobilisasi dana. Sistem ini juga mengganggu efisiensi pembangunan sistem perbankan. Bank-bank sangat tergantung pada dana dari Bank Indonesia dan tidak dapat mengatur dananya secara efisien. Tingginya suku bunga pada September 1988 menjadi sejarah tersendiri. Dimulai dengan pernyataan Prof Mohammad Sadli, kemudian Gubemur BI Adrianus Mooy, tentang perlunya perbankan menekan lagi tingkat suku bunga yang dinilai sangat tinggi dan tidak mampu menggairahkan investasi. Penyebab utamanya tingginya suku bunga bank pada waktu itu adalah mahalnya biaya memperoleh dana sendiri.Sebagian besar dana bank diperoleh dari deposito dengan tingkat bunga berada diatas 15 - 21 %, baik untuk jangka waktu 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, maupun 12 bulan. Melihat bunga deposito yang demikian tinggi, wajar jika bunga kredit pun sangat tinggi karena biaya intermediasi dari bank. Biaya tersebut antara lain biaya overheat, biaya resiko, dan marjin laba yang jumlahnya masih sekitar 4 %, berarti besar bunga kredit pada waktu itu diperkirakan antara 19,5 % sampai 25 % (Sasongko Tedjo, 1994 : 110). Pengalaman buruk dibidang moneter terulang lagi bahkan lebih buruk, yaitu saat krisis ekonomi dan moneter menimpa bangsa-bangsa Asia termasuk Indonesia pada tahun 1997 - 1998. Pada periode bulan Juli - Agustus 1997 pemerintah menerapkan kebijakan empat kali menaikkan tingkat suku bunga SBI dari bulan Agustus sebesar 7 % menjadi 30 % dalam setahun. Pergerakan suku bunga SBI menjadi tolok ukur bagi tingkat suku bunga lainnya. Sehingga kenaikan suku bunga SBI ini dengan sendirinya mendorong kenaikan suku bunga dana antar bank dan suku bunga deposito. Kenaikan suku bunga deposito akhimya mengakibatkan kenaikan suku bunga pinjaman di bank-bank, terutama karena sebelumnya sudah ada peraturan bahwa tingkat suku bunga di bank komersial ditetapkan 150 % diatas suku bunga SBI. Suku bunga perbankan untuk deposito dan pinjaman (kredit) di Indonesia adalah tertinggi di kawasan ASEAN bahkan seluruh dunia (Tulus T.H. Tambunan: 1998: 114). Beberapa literatur peneIitian tentang tingkat suku bunga seperti tingkat bunga dan faktor-faktor penentunya (Boediono 1991, p.18), interest rate determination independen developing countries, a conceptual framework (Edward, Sebastian dan Mohsin S. Khan 1985, p.123), Regresi Linear Lancung dalam Analisa Ekonomi : Studi Kasus Permintaan Deposito Dalam Valuta Asing di Indonesia (Insukindro 1991, p.15), Suku Bunga Diturunkan, 440 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Investasi Akan Meningkat? (Iswardono SP 1999, p. 34), Kinerja dan Fungsi Intermediasi Perbankan Pasca Krisis dan Otonomi Daerah (Juda Agung, 2000, p.45), Sejarah Pemikiran Ekonomi : Teori Bunga (Soewito 94, p.I5) Dengan mengacu pada fenomena buruk tahun 1988 dan 1998 serta sekarang dan juga penjelasan dari Gubernur Bank Indonesia diatas, PenuIis mencoba mengembangkan spesifikasi model untuk meneIusuri determinan tingkat suku bunga pinjaman di Indonesia tahun 1983 -2002. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat suku bunga pinjaman meliputi suku bunga internasional SIBOR, jumlah uang beredar, inflasi, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dan Produk Domestik Bruto baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek. Dengan mengetahui determinan tingkat suku bunga pinjaman tersebut, maka diharapkan mengetahui perilaku pergerakan suku bunga pinjaman di Indonesia pada kurun waktu 1983 - 2002. II. TINJAUAN TEORITIS II.1. Teori Suku Bunga Secara Makro Pengertian dasar dari teori tingkat suku bunga yaitu harga dari penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu. Bunga merupakan imbalan atas ketidaknyamanan karena melepas uang, dengan demikian bunga adalah harga kredit. Tingkat suku bunga berkaitan dengan peranan waktu didalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Tingkat suku bunga muncul dari kegemaran untuk mempunyai uang sekarang. Teori klasik menyatakan bahwa bunga adalah harga dari loanable funds (dana investasi) dengan demikian bunga adalah harga yang terjadi di pasar dan investasi. Menurut teori Keynes tingkat bunga merupakan suatu fenomena moneter. Artinya tingkat bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan akan uang (ditentukan di pasar uang). II.2. Teori Suku Bunga (pinjaman) Secara Mikro DaIam industri berbankan yang sangat kompetitif, penentuan tingkat bunga kredit menjadi suatu alat persaingan yang sangat strategis. Bank-bank yang mampu mengendalikan pokok dalam penentuan tingkat bunga kredit (lending rate) akan mampu menetukan bunga kredit yang Iebih rendah dibandingkan dengan bank-bank lainnya. II.2.1. Cost of Loanable Funds a. Menetapkan tingkat bunga yang akan dibayarkan kepada deposan. Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002 441 b. Menghitung komposisi sumber dana. c. Memperhatikan ketentuan tentang reserve requirement (RR). d. Menghitung biaya dengan dana efektif dengan rumus : 100% 100% - RR x Tingkat Bunga e. Menghitung kontribusi biaya dana dengan rumus : Komposisi Dana x Biaya Dana Efektif f Menjumlah seluruh kontribusi biaya dana untuk memperoleh tingkat cost of loanable funds. II.2.2. Overhead cost a. Dikeluarkan oleh bank dalam menjalankan kegiatannya. b. Biaya-biaya yang termasuk dalam overhead cost ditanggung oleh seluruh jumlah aktiva yang menghasilkan pendapatan atau total aktiva produktif (total earning assets). Dengan demikian perhitungan persentase overhead cost dapat dinyatakan sebagai berikut : Total Biaya (di luar biaya dana) x 100% Overhead Cost = Total Earning Assets Dihadapkan pada berbagai kondisi persaingan yang ada, dalam praktek perbankan sehari-hari pada eksekutif menempatkan kebijakan untuk memasang tarif dalam perhitungan overhead cost antara 2% sampai dengan 4%. II.2.3. Risk factor Risk Factor adalah komponen dalam menentukan lending rate yang sangat mempertimbangkan kemungkinan terjadinya kredit bermasalah termasuk kredit macet. Risk factor dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Biaya Penyisihan Cadangan Penghapusan Kredit x 100% Risk Factor = Total Kredit yang Diberikan 442 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Dalam praktek perbankan sehari-hari, besarnya risk factor berkisar 1 hingga 2,5%, dengan mempertimbangkan jenis kredit yang akan diberikan, keyakinan akan terjadinya risiko kredit, volume kredit yang diberikan, serta kondisi persaingan yang ada. II.2.4 Spread Spread atau biasa juga disebut dengan net margin adalah pendapatan bank yang utama dan akan menentukan besarnya pendapatan bersih (net income) bank. Penentuan tinggi rendahnya spread tergantung bagaimana pihak bank serta target market-nya. Untuk mengelompokan jenis industri serta peringkat usaha bank merupakan salah satu pertimbangan untuk menetapkan tinggi rendahnya spread. Dalam praktek perbankan di Indonesia, eksekutif bank menetapkan spread (net margin) sebesar 2% hingga 3% p.a. yang merupakan harga yang layak (cukup) sebagai komponen dari lending rate. II.2.5. Pajak Pembebanan pajak sebagai komponen dari penentuan tingkat bunga kredit (lending rate) dapat dibebankan penuh atau sebagian, tergantung pada kebijakan bank yang bersangkutan dalam menghadapi persaingan. III. METODOLOGI PENELITIAN DAN SPESIFLKASI MODEL III.1. Metodologi Penelitian Tulisan ini merupakan perluasan jangkauan variabel baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Data yang digunakan adalah data time series pada kurun waktu tahun 1983 sampai dengan 2002. Adapun metode analisis yang digunakan untuk mengestimasi model penelitian dua analisis yaitu analisis jangka panjang dengan menggunakan persamaan kointegrasi dan analisis dinamis jangka pendek dengan menggunakan ECM (Error Correction Model) Konsep terkini yang banyak dipakai untuk menguji kestasioneran data runtun waktu adalah uji akar unit (unit root test) atau dikenal juga dengan uji Dickey Fuller (DF) dan uji Augmented Dickey Fuller. Jika semua variabel lolos dari uji akar unit, maka selanjutnya dilakukan uji kointegrasi (cointegrati test) untuk mengetahui kemungkinan terjadinya keseimbangan atau kestabilan jangka panjang diantara variabel - variabel yang diamati. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh jangka pendek digunakan metode ECM (Error Correction Model). Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002 443 III.2. Spesifikasi Model Metode ini adalah suatu regresi tunggal menghubungkan diferensi pertama pada variabel bebas (Dy t) dan tingkatan variabel yang dimundurkan (dagged level variables = X t-1) untuk semua variabel dalam model. Metode ini dikembangkan oleh Engel dan Granger pada tahun 1987. Bentuk umum metode ECM adalah sebagai berikut (Insukindro,1991 :134): DYt = ro + r1DX1t + r2DX2t + r3BX1t + r4BX2t + r5(BX1t + BX2t - BYt) Untuk mengetahui spesifikasi model dengan ECM merupakan model yang valid, dapat terlihat pada hasil uji statistik terhadap koefisien ECT. Jika hasil pengujian terhadap koefisien ECT signifikan, maka spesifikasi model yang diamati valid. Rt = f (SIBt, JUBt, INFt, SBIt, PDBt, et) DRt = bo + b1 DSIBt + b2 DJUBt + b3 DINFt + b4 DSBIt + b5 DPDBt + b6 SIBt-1 + b7 JUBt-1 + b8 INFt-1 + b9 SBIt-1 + b10 PDBt-1 + b11 (SIBt-1 + JUBt-1 + INFt-1 + SBlt-1 + PDBt-1) Keterangan : Rt = Tingkat suku bunga pinjaman pada periode t SIBt = Singapore Inter Bank Offer Rate pada periode t INFt = Tingkat inflasi pada periode t JUBt = Jumlah uang beredar pada periode t SBIt = Tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia periode t PDBt = Produk Domestik Bruto pada periode t et = Error distribunce pada periode t Faktor eksternal : SIBOR Tingkat Suku Bunga Pinjaman Domestik Faktor internal : 1. JUB 2. INFLASI 3. SBI 4. PDB Kerangka Konseptual 444 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat bunga pinjaman dapat dibagi menjadi 2, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal terdapat variabel SIBOR (Singapore Inter Bank Offer Rate), karena secara umum tingkat bunga internasional terutama di Asia Tenggara yang sering dipakai adalah tingkat bunga SIBOR. Dalam penelitian ini akan diketahui apakah faktor eksternal tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat bunga pinjaman di Indonesia. IV. PEMBAHASAN DAN HASIL ESTIMASI IV.1. Pengujian akar-akar Unit (Unit Root Test) Pengujian akar-akar unit untuk semua variabel yang digunakan dalam analisis runtun waktu perlu dilakukan untuk memenuhi kesahihan analisis ECM (Error Correction Model). lni berarti bahwa data yang dipergunakan harus bersifat stasioner, atau dengan kata lain perilaku data yang stasioner memiliki varians yang tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya. Pengujian stasioneritas data yang dilakukan terhadap seluruh variabel dalam model penelitian yang penulis ajukan, didasarkan pada Augmented Dickey Fuller Test, yang perhitungannya menggunakan bantuan komputer program E-Views 3.0. hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.1. dibawah ini. Tabel 4.1 Nilai Uji Stasioneritas Dengan Metode Augmented Dickey Fuller Menggunakan Intersep (Uji DF) pada Ordo 0 Nilai Hitung Mutlak Nilai Kritis Mutlak Mc Kinnon Variabel DR DSIB DJUB DINF DSBI DPDB DF 10% 5% 4,230781 4,681423 5,214849 4,097102 4,716317 5,547550 2,6672 2,6672 2,6672 2,6672 2,6672 2,6672 3,0521 3,0521 3,0521 3,0521 3,0521 3,0521 1% 3,8877 3,8877 3,8877 3,8877 3,8877 3,8877 Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003. Pada Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan bahwa pada ordo nol semua data sudah berada pada kondisi stasioner. Karena nilai hutang mutlak DF dan ADF dari masing-masing variabel lebih besar dari nilai kritis mutlak Mc Kinnon pada tingkat α 10%. Hal ini berarti bahwa distribusi (t) mengarah pada kondisi yang signifikan dengan menggunakan uji stasioneritas metode DF maupun ADF (tabel 4.2). Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002 445 Tabel 4.2 Nilai Uji Stasioneritas Dengan Metode Augmented Dickey Fuller Menggunakan Trend & Intersep (Uji ADF) Pada Ordo 0 Nilai Hitung Mutlak Nilai Kritis Mutlak Mc Kinnon Variabel DR DSIB DJUB DINF DSBI DPDB ADF 10% 5% 5,207418 5,685077 5,215012 5,007383 5,570302 5,425640 3,2964 3,2964 3,2964 3,2964 3,2964 3,2964 3,7119 3,7119 3,7119 3,7119 3,7119 3,7119 1% 4,6193 4,6193 4,6193 4,6193 4,6193 4,6193 Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003. IV.2. Pengujian Kointegrasi (Cointegrasi Test) Setelah uji stasioneritas melalui uji akar-akar unit dan derajat integrasi dipenuhi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi, untuk mengetahui parameter jangka panjang. Uji statistik yang sering dipakai adalah uji CRDW (Cointegrating Regression Durbin Watson), uji DF dan uji ADF. Namun, dalam penelitian ini digunakan metode Engel dan Granger untuk menguji kointegrasi variabel-variabel yang ada, dengan memakai uji statistik DF dan ADF untuk melihat apakah residual regresi kointegrasi stasioner atau tidak. Untuk menghitung nilai DF dan ADF terlebih dahulu adalah membentuk persamaan regresi kointegrasi dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS). Hasil akhir dari pengolahan uji kointegrasi ini ditunjukkan oleh tabel 4.3 dan 4.4 sebagai berikut : TabeI 4.3. Regresi Kointegrasi dengan Menggunakan Estimasi OLS dengan variabel dependent suku bunga pinjaman Variabel Dependen : Suku Bunga Pinjaman Variabel Konstanta DSIBOR DLn-JUB DINF DSBI DLn-PDB SIBOR (-1) Ln-JUB (-1) INFLASI (-1) SBI (-1) Ln-PDB (-1) R2 F Statistik DW Statistik Koefisien 0,477521 0,152652 4,768627 -0,427520 0,278416 -0,088556 0,352910 0,479400 0,415855 -0,524223 0,812240 : 0,922879 : 7,615138 : 1,995171 Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003.(Lampiran hal. 2) Standar Error 0,158596 0,047955 0,106527 0,106190 0,118854 4,251347 0,115970 1,986301 0,637261 0,141791 0,193379 tHitung 3,010918 3,183232 4,476412 -4,449768 2,342499 -0,020830 -3,043109 -0,241353 -0,625566 -3,697138 4,201160 Tingkat Signifikan 0,0483 0,0472 0,0231 0,0253 0,0517 0,984 0,0470 0,8162 0,5349 0,0338 0,0249 446 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 TabeI 4.4. Nilai Uji Stasioneritas dengan Metode Augmented Dickey Fuller pada Ordo 0. Nilai Hitung ADF : -5,678989 1% Nilai Kritis Mc Kinnon 5% Nilai Kritis Mc Kinnon 10% Nilai Kritis Mc Kinnon -3,88877 -3,0521 -2,6672 Variabel Dependen : D(Residu) Variabel Residu (-1) D(Residu(-1) R2 F Statistik DW Statistik Koefisien -1,481732 0,219353 Standar Error 0,402755 0,263037 tHitung Tingkat Signifikan -3,678989 0,833924 0,0025 0,4183 : 0,629136 : 11,87483 : 1,924922 Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003. Dari regresi kointegrasi sebagaimana ditunjukan pada Tabel 4.3 didapatkan nilai residunya, kemudian nilai residu tersebut diuji menggunakan metode Augmented Dickey Fuller untuk melihat apakah nilai residual tersebut stasioner atau tidak, pengujian ini sangat penting apabila model dinamis akan dikembangkan. Tabel 4.4 menunjukkan bahwa nilai residu yang didapat ternyata stasioner pada ordo 0, hal ini terlihat dari nilai hitung mutlak ADF lebih besar dari nilai kritis mutlak Mc Kinnon pada α 1 %, maka langkah selanjutnya adalah melakukan perbandingan model fungsi yaitu (1). Model ECM dengan menggunakan transformasi bentuk natural logaritma (Ln), (2). Model fungsi ECM tanpa menggunakan transformasi bentuk natural logaritma (Ln). IV.3. Perbandingan Model Hasil pengolahan data masing-masing model dari hasil print out komputer dapat dilihat pada Tabel 4.5. sebagai berikut : Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002 447 TabeI 4.5. Komparasi Hasil Dengan Pendekatan Model ECM Regresi Linier I (tanpa Ln) Variabel Koefisien C DSIBOR DJUB Dinflasi DSBI DPDB SIBOR (-1) JUB(-1) Inflasi (-1) SBI (-1) PDB (-1) ECT 17,056090 -0,181846 0,187171 0,027674 1,241643 0,000014 0,295911 -0,917038 2,306163 0,566587 0,000001 -0,380350 Regresi Linear II (dengan Ln) Std. Error Prob.sig. 9,043426 0,808320 0,276148 0,100695 0,123983 0,000021 0,865625 0,024276 0,679822 0,407530 0,000018 0,626128 0,1013 0,8284 0,5197 0,7914 0,0001** 0,5175 0,7425 0,0451* 0,0167* 0,2070 0,9519 0,5627 R - Square Adj. R-Square F-statistik D- W statistik Koefisien Std. Error Prob.sig. 0,158596 0,047955 0,106527 0,106190 0,118854 4,251347 0,115970 1,986301 0,637261 0,141791 0,193379 0,108183 0,0483* 0,0472* 0,0231* 0,0253 0,0517 0,9840 0,0470 0,8162 0,5349 0,0338* 0,0249* 0,0330* 0,477521 0,152652 4,768627 -0,472520 0,278416 -0,088556 -0,352910 0,479400 -0,415855 -0,524223 0,812420 0,394717 0,8134 0,7774 6,7139 2,0204 0,9229 0,8017 7,6151 1,9952 Keterangan: *) signifikan pada taraf signifikan (α = 5%). **) signifikan pada taraf signifikan (α = 1 %) Dari hasil pengolahan data tersebut maka untuk menentukan model mana yang terbaik terlebih dahulu dilakukan uji model. Dalam melakukan uji model digunakan hipotesis sebagai berikut : Ho : Model Regresi 1 = model regresi 2 Ha : Model Regresi 1 = model regresi 2 Kemudian dilakukan pengujian secara statistik dengan rumus: SSE1 Fh = Df1 SSE2 Df2 Keterangan : SSE1 : Sum Square Residual pada regresi I SSE2 : Sum Square Residual pada regresi II Df1 : Derajad bebas Sum Square Residual pada regresi I Df2 : Derajad bebas Sum Square Residual pada regresi II 448 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Kemudian hasil dari hasil F hitung akan dibandingkan dengan hasil dari F tabel, dimana apabila F hitung > F tabel Ho ditolak Ha diterima artinya model regresi I berbeda dengan model regresi II sedangkan F hitung < F tabel maka Ho diterima Ha ditolak artinya model regresi I sama dengan model regresi II. TabeI 4.6. Tabel Analisis Varians Sumber SSE Df regresi I regresi II F hitung 79,69591 20,57573 3,8732 12 12 Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003. Berdasarkan TabeI 4.6. di atas manunjukkan bahwa F hitung > F tabel yaitu 3,8732 > 1,782 maka Ho ditolak Ha diterima pada taraf keyakinan 95% (α = 5%). Hal ini berarti bahwa model regresi I berbeda dengan model regresi II. Berdasarkan perbandingan model dan uji model sebelumnya menunjukkan kedua model tersebut adaIah benar-benar berbeda maka pemilihan model terbaik dilakukan dengan membandingkan kebaikan dan kelemahan dari masing-masing model baik secara teoritis maupun secara statistik (nilai F, nilai R2, dan t test). Pada tabel 4.5. hasil komparasi nilai statistik dari masing-masing model diketahui bahwa nilai F hitung regresi II > F hitung regresi I, yaitu 7,615138 > 6,713852 dan nilai R2 regresi II > R2 regresi I, yaitu bernilai 0,922879 > 0,813422. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai F hitung dan R2 pendekatan model ECM dengan menggunakan transformasi bentuk natural logaritma lebih tinggi jika dibandingkan dengan model ECM biasa (tanpa Ln). Berdasarkan uji t dengan taraf keyakinan 95% diketahui bahwa pendekatan model ECM dengan transformasi natural logaritma secara kuantitatif lebih banyak variabel yang signifikan dibanding dengan tanpa menggunakan bentuk Ln. variabel independen yang signifikan dengan menggunakan bentuk Ln ada 6 variabel, yaitu 3 variabel jangka panjang meliputi : tingkat bunga internasional SIBOR, jumlah uang beredar, dan inflasi dan 3 variabel jangka pendek meliputi : bunga internasional SIBOR, Sertifikat Bank Indonesia, Produk Domestik Bruto sedangkan variabel independen yang signifikan tanpa menggunakan bentuk Ln ada 3 variabel, yaitu 1 variabel jangka panjang Sertifikat Bank Indonesia dan 2 variabel jangka pendek, meliputi : jumlah uang beredar dan inflasi. Hasil perbandingan antara model tersebut menunjukkan bahwa 4 model terbaik untuk meneliti tingkat suku bunga pinjaman di Indonesia tahun 1983 - 2002 adalah model Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002 449 pendekatan ECM dengan bentuk Ln. model ini lebih baik dari model yang lain jika dilihat dari uji F, R2, dan uji t-nya. IV.4. Analisis dengan ECM Pada penelitian ini model analisis yang digunakan adalah Model Koreksi Kesalahan atau Error Correction Model (ECM), secara lengkap dirumuskan sebagai berikut : DRt = 0,478 + 0,153 DSIBt + 4,769 DJUBt - 0,473 DINFt + 0,278 DSBlt - 0,089 DPDBt - 0,353 SIBt-1 + 0,479 JUBt-1 - 0,416 INFt-1- 0,524 SBlt-1 + 0,812 PDBt-1 + 0,394 ECT Berdasarkan hasil perhitungan dengan analisis regresi linear ECM di atas, maka dapat diketahui nilai variabel ECT (Error Correction Term) yaitu variabel yang menunjukkan biaya keseimbangan tingkat suku bunga pinjaman. Hal ini dapat menjadikan indikator bahwa spesifikasi model baik atau tidak melalui tingkat signifikansi koefisien koreksi kesalahan (Insukindro, 1991 : 84). Jika variabel ECT signifikan pada tingkat signifikansi 5% dan menunjukkan tanda positif, maka spesifikasi model sudah sahih (valid) dan dapat menjelaskan variasi variabel tak bebas. Koefisien ECT menunjukkan angka 0,394 berarti bahwa proporsi biaya keseimbangan dan perkembangan tingkat suku bunga pinjaman pada periode sebelumnya yang disesuaikan pada periode sekarang adalah sekitar 0,394%, sedangkan tingkat signifikansi ECT menunjukkan angka 0,0330 berarti signifikan pada α < 5%. Hal ini berarti bahwa spesifikasi model yang dipakai adalah tepat dan mampu menjelaskan variasi dinamis. Variabel jangka pendek dari model persamaan tersebut ditunjukkan oleh SIBOR( -1), inflasi (-1), SBI( -1), JUB( -1), dan PDB(-1) sedangkan variabel jangka panjang dari model persamaan tersebut ditunjukkan DSIBOR, Dinflasi, DSBI, DJUB, dan DPDB. Koefisien regresi jangka pendek dari regresi ECM tingkat suku bunga pinjaman ditunjukkan oleh besamya koefisien pada variabel-variabel jangka pendek di atas sedangkan koefisien regresi jangka panjang dengan simulasi dari regresi ECM tingkat suku bunga pinjaman diperoleh dari : Konstanta : β0/β12 = 0,477521/0,394 717 = 1,2098 DSIBOR : (β1 + β12) /β12 = ( 0,152662 + 0,394717)/0,394717 = 1,3868 DJUB : (β2 + β12) /β12 = ( 4,768627 + 0,394717)/0,394717 = 13,0811 Dinflasi : (β3 + β12)/ β12 = (-0,472520 + 0,394717)/0,394717 = -2,1971 DSBI : (β4 + β12)/ β12 = ( 0,278416 + 0,394717)/0,394717 = 1,7054 DPDB : (β5 + β12)/ β12 = (-0,088556 + 0,394717)/0,394717 = 0,7756 450 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 SIBOR( -1), inflasi (-1), SBI( -1), JUB( -1), dan PDB( -1) merupakan variabel yang menunjukkan parameter dalam jangka pendek. Sedangkan koefisien-koefisiennya menunjukkan besarnya pengaruh yang dilakukan pada penyesuaian variabel dependen terhadap perubahan variabel independen dalam jangka pendek. Misalnya DSIBOR( -1) yang memiliki koefisien sebesar 0,152652 ini berarti bahwa akan kenaikan tingkat suku bunga pinjaman sebesar 0,152652% jika terjadi kenaikan pada suku bunga internasional SIBOR sebesar 1%. Variabel DSIBOR, DJUB, Dinflasi, DSBl, dan DPDB merupakan variabel yang menunjukkan parameter jangka panjang. Hal ini berarti jika ECT-nya signifikan pada tingkat signifikansi 5% maka ada hubungan antara ECM dan uji kointegrasi, sehingga koefisien regresi variabel jangka panjang merupakan besarnya kekuatan pengaruh variabel dependen oleh perubahan pada variabel independen dalam jangka panjang dan merupakan koefisien asli. Karena pengaruh jangka panjang juga bisa dilihat pada koefisien kointegrasi jika ECT signifikan, maka besamya koefisien regresi variabel jangka panjang pada ECM dengan kointegrasi menunjukkan parameter yang hampir sama. IV.5. Uji Statistik dan Ekonometrik Uji F ini digunakan untuk menguji variabel independen secara keseluruhan dan bersama-sama, untuk melihat apakah variabel independen secara keseluruhan mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Kriteria pengujian nilai F adalah jika F hitung > F tabel dengan taraf keyakinan 95% maka Ho ditolak yang berarti bahwa ada pengaruh secara serempak atau secara bersama-sama dari keseluruhan variabel independen terhadap variabel dependen. Sebaliknya jika F hitung < F tabel maka Ho diterima yang berarti bahwa tidak ada pengaruh secara serempak atau secara bersama-sama dari keseluruhan variabel independen terhadap variabel dependen. Nilai Fhitung adalah 7,615138 dengan probabilitas sebesar 0,006397. Sedangkan nilai Ftabel dengan tingkat signifikansi < 5% 20 - 13 = 7 ; 12 adalah 4,46. Karena Fhitung > Ftabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti secara bersama-sama faktor jangka pendek dan jangka panjang tingkat bunga internasional SIBOR, jumlah uang beredar, inflasi, Sertifikat Bank Indonesia, dan Produk Domestik Bruto mempunyai pengaruh yang signifikan / nyata terhadap tingkat suku bunga pada derajat signifikansi < 5%. Uji determinasi untuk mengetahui berapa persen perubahan variasi variabel independen dapat menjelaskan oleh perubahan variasi variabel dependen. Berdasarkan hasil etimasi menunjukkan bahwa nilai R2 adalah sebesar 0,922879 yang berarti 92,2879% faktor jangka pendek dan jangka panjang tingkat bunga internasional SIBOR, jumlah uang beredar, inflasi, Sertifikat Bank Indonesia dan Produk Domestik Bruto dapat menjelaskan Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002 451 variasi perubahan tingkat suku bunga pinjaman sedangkan sisanya 7,7121 % dipengaruhi diluar model. Uji multikolinieritas digunakan metode Klein yang dikemukakan oleh L.R. Klein. Metode ini membandingkan lower case (korelasi antar masing-masing variabel independen). Jika R2y Xi,Xj,... Xn > r2Xi,Xj maka tidak terjadi masalah multikolinieritas. Hasil uji Klein untuk mendeteksi masalah multikolinieritas menunjukkan bahwa untuk semua korelasi antar variabel bebas memiliki r2 yang lebih kecil dari R2 (r2 < R2). Hal ini memberi kesimpulan bahwa semua variabel bebas daIam spesifikasi model yang digunakan terlepas dari masalah multikolinieritas. Heteroskedastisitas terjadi jika gangguan muncul dalam fungsi regresi yang mempunyai varian yang tidak sarna, sehingga penaksir OLS tidak efisien baik daIam sampel kecil maupun sampel besar. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya masalah Heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan Uji Glejser. Adapun tahap-tahap daIam Uji Glejser yaitu : (1) Lakukan regresi terhadap model yang digunakan (2) Setelah mendapatkan nilai residual ei dan regresi OLS, selanjutnya regresikan nilai absolut ei, ei , terhadap variabel X yang diduga mempunyai hubungan erat dengan σi2 Model ei = β0 + βi Xi + Ui dimana : ei = Nilai absolut residual. Xi = Variabel penjelas. Ui = Variabel penggangu. Hipotesis yang digunakan : Ho : βi = 0 (Tidak Ada Masalah Heteroskedastisitas) Ha : βi = 0 (Ada Masalah Heteroskedastisitas) Apabila t hitung > t tabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima, berarti ada masalah heteroskedastisitas. Sedangkan jika thitung < ttabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak berarti tidak ada masalah heteroskedastisitas / homokedastisitas (Gujarati, 1991: 177). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.7 sebagai berikut : 452 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Tabel 4.7. Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Variabel SIBOR (-1) Ln-JUB (-1) inflasi(-1) SBI (-1) PDB (-1) DSIBOR DLn-JUB Dinflasi DSBI DPDB t hitung t tabel Keterangan 0,633720 0,25247 2,095225 0,868729 0,771346 -1,620586 -0,029791 1,556347 -2,030783 -1,500736 2,228 2,228 2,228 2,228 2,228 2,228 2,228 2,228 2,228 2,228 Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003 (Lampiran hal. 20) Berdasarkan Tabel 4.7. di atas menunjukkan bahwa semua variabel mempunyai distribusi t hitung < t tabel, ini berarti bahwa Ho diterima Ha ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang dipakai terhindar dari masalah heteroskedastisitas pada tingkat keyakinan 95% (α = 5%). Autokorelasi untuk model dinamis, seperti ECM percobaan d tidak bisa digunakan untuk menguji ada tidaknya autokorelasi, karena DW statistik secara asimtotik akan biasa mendekati nilai 2 (Sritua Arief, 1993 : 15). Oleh karena alasan tersebut maka digunakan langrange Multiplier Test, yakni berupa regresi atas semua variabel bebas dalam persamaan regresi ECM tersebut dan variabel lag t dari nilai residual regresi ECM. Adapun hasil persamaan regresi ECM dapat dituliskan sebagai berikut : Residi = bo + b1 DSIBt + b2 DJUBt + b3 DINFt + b4 DSBIt + b5 DPDBt + b6 SIBt-1 + b7 JUBt-1 + b8 INFt-1 + b9 SBlt-1 + b10 PDBt-1 + b11 ECT + b12 Resid t-1 Dari model tersebut akan didapat nilai R2, kemudian nilai ini dimasukkan dalarn rumus sebagai berikut : (n- 1 )R2, dimana n adalah jumlah observasi, kemudian dilakukan pengujian dengan hipotesa sebagai berikut : Ho : ρ=0 berarti tidak ada masalah autokorelasi Ho : ρ=0 berarti ada masalah autokorelasi Selanjutnya nilai (n-1)R2 diperbandingkan dengan X2 (0,05). Dimana X2 (0,05) adalah nilai kritis Chi Square yang ada dalam tabel statistik Chi Square. Jika (n-1)R2 lebih besar dari X2, maka terdapat masalah autokorelasi, dan jika sebaliknya maka tidak terjadi masalah autokorelasi. Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002 453 Hasil perhitungan Lagrange Multiplier Test dari persamaan tersebut dengan prograrn E-Views ditunjukkan oleh TabeI 4.8, sebagai berikut : Tabel 4.8. Hasil Lagrange Multiplier Test Autokorelasi Variabel Koefisien std.error t hitung Signifikansi C DSIBOR DLn-JUB Dinflasi DSBI DLn-PDB SIBOR (-1) Ln-JUB (-1) Inflasi (-1) SBI (-1) Ln-PDB (-1) resid (-1) -20,972870 -0,788664 -2,971439 0,051435 -0,177742 -2,469448 0,500600 0,001642 1,027399 0,447745 2,261049 0,143618 25,162700 0,406071 6,031141 0,061996 0,168234 2,388612 0,442542 1,203113 0,377182 0,452004 2,152543 0,221432 -0,833490 -1,942218 -0,492683 0,829645 -1,604898 -1,033842 1,310746 0,001350 0,003113 1,945606 1,050408 0,648588 0,4321 0,0932 0,6373 0,4341 0,1352 0,3356 0,2313 0,9999 0,9987 0,2215 0,3284 0,5373 Variabel dependen : resid R Square adj. R Square D-W Statistik 0,119987 0,109967 2,230452 Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003. Dari Tabel 4.8 besarnya R2 adalah 0,108876, sehingga (n-1) R2 = (20-1) 0,119987 yang hasilnya adalah 2.279753 Sedangkan X2 (12) dengan α sebesar 5% atau nilai kritis Chi-square X2(12) dan α = 0,05 adalah 21,026 sehingga dalam hal ini (n-1)R2 < X2 maka Ho : ρ = 0, diterima, dengan kata lain tidak terjadi masalah autokorelasi pada model analisis fungsi tingkat suku bunga pinjaman tersebut. IV.6. Interpretasi Secara Ekonomi Berdasarkan hasil estimasi data bahwa dalam model ECM dengan transformasi natural logaritma terdapat nilai konstanta sebesar 0,477521 berarti bahwa jika semua nilai variabel penjelas konstan maka rata-rata tingkat suku bunga pinjaman di Indonesia adalah sebesar 0,477521 poin. Interpretasi hasil penyesuaian jangka pendek dan jangka panjang variabel indeks saham sektor keuangan terhadap variabel-variabel penjelasnya dengan menggunakan model regresi linier ECM akan dijelaskan dibawah ini : 1. Tingkat Bunga Internasional SIBOR Hasil perhitungan menunjukkan koefisien SIBOR jangka pendek sebesar 0,352910 ini berarti bahwa akan terjadi peningkatan tingkat bunga pinjaman sebesar 0,352910% bila 454 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 terjadi kenaikan pada tingkat bunga internasional SIBOR sebesar 1%. Dalam jangka pendek, pengaruh variabel ini bersifat inelastic terhadap tingkat bunga pinjaman. Kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengendalikan tingkat suku bunga tergantung dengan keadaan dan kondisi perekonomian dunia. Reaksi yang cepat terhadap perubahan kondisi tingkat suku bunga internasional SIBOR akan mengurangi pelarian modal dari dalam negeri dalam jumlah yang besar. Ketika tingkat suku bunga pinjaman di luar negeri mengalami peningkatan maka para investor akan cenderung memanfaatkan dana yang ada di dalam negeri. Sedangkan hasil perhitungan jangka panjang sebesar - 0,181846 ini terjadi hubungan terbalik, yaitu bahwa akan terjadi penurunan tingkat bunga pinjaman di Indonesia sebesar 0,181846% bila terjadi kenaikkan pada tingkat bunga internasional SIBOR sebesar 1 %. Dalam jangka panjang, pengaruh variabel ini bersifat inelastic. 2. Jumlah uang beredar Hasil perhitungan jangka panjang sebesar- 0,187171 ini terjadi hubungan terbalik, yaitu bahwa akan terjadi penurunan tingkat bunga pinjaman di Indonesia sebesar 0,187171 % bila terjadi kenaikkan pada jumlah uang beredar sebesar 1 %. Dalam jangka panjang, pengaruh variabel ini bersifat inelastic. Keadaan ini dapat dijelaskan dimana ketika terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang diikuti dengan krisis perbankan telah menyebabkan penarikan dana perbankan besar-besaran (banks run), karena kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap perbankan. Masyarakat lebih tenang dan senang untuk memegang uang guna keperluan konsumsi akibat kenaikkan harga barang pokok atau menempatkan dananya dalam bentuk investasi yang lain. Keengganan masyarakat untuk menempatkan dananya dalam perbankan membuat JUB/MI di masyarakat menjadi meningkat yang ditandai dengan JUB pada tabun 1998 sebesar 101,20 Milyar rupiah atau dengan kenaikkan 29,18% dari tahun sebelumnya, terutama periode sebelum krisis. Untuk mengurangi jumlah uang beredar, maka otoritas moneter menetapkan kebijakan moneter ketat yang ditandai dengan kenaikkan suku bunga SBI. 3 . Inflasi Hasil perhitungan jangka panjang sebesar 0,027674 ini berarti bahwa akan terjadi peningkatan tingkat bunga pinjaman di Indonesia sebesar 0,027674 bila terjadi kenaikkan pada inflasi sebesar 1 %. Dalam jangka panjang, pengaruh variabel ini bersifat inelastic. Artinya semakin tinggi tingkat inflasi maka mengakibatkan suku bunga simpanan akan naik, maka otomatis tingkat bunga pinjaman akan lebih tinggi. Tingkat bunga nominal yang lebih rendah dari pada angka laju inflasi membuat masyarakat enggan menaruh Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002 455 dananya dalam sektor perbankan serta menyebabkan terjadinya tingkat suku bunga riil yang negatif. Untuk merangsang mobilisasi, menurut Mc Kinnon (1987) tingkat bunga riil harus positif sehingga tingkat bunga nominal harus lebih tinggi dari laju inflasi. Laju inflasi termasuk dalam faktor ekspektasi. Bilamana ekspektasi terhadap inflasi diperhitungkan sebagai faktor pengurangan tingkat bunga riil yang lebih rendah dari tingkat bunga riil di luar negeri, maka para deposan akan lebih tertarik untuk menempatkan dananya di luar negeri. 4. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Hasil perhitungan menunjukkan koefisien Sertifikat Bank Indonesia jangka pendek sebesar 0,566587 ini berarti bahwa akan terjadi peningkatan tingkat bunga pinjaman sebesar 0,566587% bila terjadi kenaikan pada tingkat bunga SBI sebesar 1 %. Dalam jangka pendek, pengaruh variabel ini bersifat inelastic terhadap tingkat bunga pinjaman. Hal ini sesuai dengan teori bahwa kecenderungan tingginya suku bunga SBI akan diikuti oleh naiknya tingkat bunga simpanan dan otomatis meningkatkan bunga pinjaman. Tingkat bunga SBI merupakan referensi dari tingkat bunga deposito bank-bank umum. Akan tetapi kepercayaan masyarakat rendah terhadap dunia perbankan, kekhawatiran masyarakat akan rencana pembekuan bank dan adanya faktor-faktor sosial, politik dan keamanan yang akan datang menyebabkan masyarakat lebih tertarik untuk menaruh dananya di luar perbankan atau dipegang secara tunai. Keinginan masyarakat untuk tetap memegang uang secara tunai dananya membuat jumlah uang beredar tinggi. 5. Produk Domestik Bruto Hasil perhitungan jangka panjang sebesar 1,241643 ini berarti bahwa akan terjadi peningkatan tingkat bunga pinjaman di Indonesia sebesar 1,241643% bila terjadi kenaikkan pada tingkat bunga SBI sebesar 1 %. Dalam jangka panjang, pengaruh variabel ini bersifat elastic.Peningkatan tingkat suku bunga pinjaman sebagai akibat peningkatan Produk Domestik Bruto karena adanya lonjakan permintaan terhadap kredit pada perbankan. Dalam teori permintaan bahwa apabila jumlah permintaan meningkat terhadap suatu barang maka harga perolehan barang tersebut akan cenderung meningkat. Proses pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membutuhkan banyak dana untuk menggerakan berbagai sektor dan perbankan yang menjadi salah satu penyangga moneter. 456 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 IV.7. Konsistensi temuan empirik dengan hipotesis Pada bagian ini akan terlihat konsistensi antara hasil penelitian temuan empirik dengan hipotesis yang telah diajukan sebagai kesimpulan. TabeI 4.9. Perbandingan Antara Hipotesis Dengan Temuan Empirik Temuan Empirik Hipotesis Jangka Panjang Jangka Pendek Variabel Makna Statistik Korelasi Makna Statistik Korelasi Makna Statistik Korelasi SIBOR signifikan + signifikan - signifikan + JUB signifikan + tdk signifikan + signifikan + INFLASI signifikan + tdk signifikan - signifikan - SBI signifikan + signifikan - tdk signifikan + PDB signifikan + signifikan + tdk signifikan - Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003 Tabel 4.9. Memperlihatkan bahwa terdapat dua variabel yang menunjukkan konsistensi yang cukup baik antara hasil temuan empirik dengan hipotesis yang diajukan, yaitu variabel Produk Domestik Bruto dan jumlah uang beredar untuk periode jangka pendek sedangkan untuk periode jangka panjang terdapat 3 variabel yang konsisten yaitu variabel SIBOR, JUB, dan SBI menunjukkan hubungan yang positif. Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002 457 DAFTAR PUSTAKA Anwar Nasution, 1991, Tinjauan Ekonomi Atas Dampak Paket Deregulasi Tahun 1988 Pada Sistem Keuangan Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Anonim, berbagai penerbitan. Indikator Ekonomi, Jakarta: Badan Pusat Statistik , berbagai penerbitan. Laporan Tahunan Bank Indonesia, Jakarta : Bank Indonesia. , berbagai penerbitan. Laporan Bulanan Bank Indonesia, Jakarta : Bank Indonesia. , 2000. “Mewaspadai Rayuan Produk Baru Bank”, Infobank, No. 275. Juni, Jakarta. , 1997. “Menebak Arus di Tengah Badai”, warta ekonomi no 15/TH IX/I September, Jakarta. Ascarya, 2002. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter, Seri Kebanksentralan. Jakarta : Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia. Boediono, 1980. Teori Moneter, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Boediono, 1998. Ekonomi Moneter, Seri Sinopsis Pengantar llmu Ekonomi No.5, Yogyakarta : BPFE - UGM. Boediono, 1991. Tingkat Bunga dan Faktor-Faktor Penentunya. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia No.1 Tahun VI, 18 - 26. Edward, Sebastian dan Mohsin S. Khan, 1985. Interest Rate Determination lndependen Developing Countries, a Conceptual Framework, International Monetary Fund Staff Papper Volume 32, 123 - 134 . Goldfeld, Stephen M. dan Lester V. Chandler, 1990. Ekonomi Uang dan Bank, Jakarta: Penerbit Erlangga. lnsukindro, 1991. “Regresi Linear Lancung dalam Analisa Ekonomi : Studi Kasus Permintaan Deposito Dalam Valuta Asing di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia volume 1 No.1 lnsukindro, 1994. Ekonomi Uang dan Bank, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Iswardono SP, 1993. Uang dan Bank, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. 458 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Gujarati, Damodar, 1995. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Iswardono SP, 1999. Suku Bunga Diturunkan, Investasi Akan Meningkat? Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 14 No.2, 34 - 42. Judo Agung, 2000. Kinerja dan Fungsi Intermediasi Perbankan Pasca Krisis dan Otonomi Daerah, Buletin ekonomi dan moneter perbankan, september : 45 - 48. Landerth, Harry, 1976. History Of Economic Theory, Boston: Houghton Mifflin company Marihot B. Tambunan, 2002. Dua Viagra Disfungsi Intermediasi, Infobank, No. 270 vol. XXIV januari, Jakarta. Muchdarsyah Sinungun, 1989. Uang dan Bank. Jakarta: Penerbit Bina Aksara. Mulyanto, 1999. Teknik Kointegrasi dan Model Koreksi Kesalahan : Salah Satu Pemecahan Analisis Data Deret Waktu. Thesis S-2 Universitas Indonesia, Jakarta, tidak dipublikasikan Nopirin, 1996. Ekonomi Moneter, Yogyakarta : BPFE- Yogyakarta. OP. Simorangkir, 1989. Dasar-Dasar dan Mekanisme Perbankan, Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia Ramanathan, Ranu, 1992. Introductory Econometrics With Application, Second Edition, New York: Harcourt Brace Javanovich Inc Sadono Sukirno, 2000. Makro Ekonomi Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sasongko Tedjo, 1994. Sekilas Ekonomi Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga Soewito, 1994. Sejarah Pemikiran Ekonomi : Teori Bunga, Ekonomi dan Keuangan Indonesia volume 32: 15 - 21. Solikin dan Suseno, 2002. Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya Dalam Perekonomian, Seri Kebanksentralan. Jakarta : Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia Solikin dan Suseno, 2002. Penyusunan Statistik Uang Beredar. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia Solopos, Jum’at 27 Juni 2003. Bank Indonesia Mengimbau Kepada Perbankan Untuk menurunkan suku bunga Pinjamannya Berkaitan dengan terus Turunnya Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Espos, Solo. Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002 459 Sritua Arif, 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi, Yogyakarta : BPFE : UGM Syamsudin Mahmud, 1985. Ekonomi Moneter Indonesia, Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Umat. Tulus T.H. Tambunan, 1998. Penyebab Krisis Moneter di Indonesia, Jakarta : lKADIN Indonesia. Umar Juoro, 1995. Pengaruh Pinjaman Luar Negeri dan PMA Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Makalah Seri Dialog Politik Dalam Negeri ke -10, Jakarta : CIDES. Y. Sri Susilo, dkk, 2000. Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank, Jakarta: UI press Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia 461 PERBANDINGAN EARLY WARNING SYSTEMS (EWS) UNTUK MEMPREDIKSI KEBANGKRUTAN BANK UMUM DI INDONESIA1 Liza Angelina, SE, Msi, Akt Abstraksi This research is testing the capability of several forewarning system models to predict bank bankruptcy. We apply these models on Indonesian commercial bank data during the period of 1994/ 1995 - 1999/2000. Considering the data incompleteness and or their inexistence, our data finally contains of 74 failed-banks and 81 non failed-banks. Our result shows the Trait Recognition model (TR) is more pre-eminent than Logit and Multiple Discriminant Analysis model (MDA). Keywords : Trait Recognition (TR), Logit, Multiple Discriminant Analysis (MDA), Bank Bankruptcy JEL: C25, C35, G21, G33 1 Terima kasih kepada Bank Indonesia yang telah memberikan bantuan dana dalam penelitian ini. Terima kasih pula kepada Prof. James Kolari dari Texas A&M University yang telah bersedia memberikan program TR yang dibutuhkan penulis dalam penelitian ini 462 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Di Amerika Serikat, fenomena kepailitan perusahaan telah menjadi obyek penelitian yang intensif. Salah satu area penelitian terkait yang telah berkembang selama ini telah menghasilkan kajian atas asosiasi informasi laporan keuangan terhadap kemungkinan perusahaan mampu dengan sukses mempertahankan bisnisnya atau harus dinyatakan bermasalah karena gagal secara ekonomi dan keuangan. Tradisi penelitian ini diawali oleh Beaver (1966), kemudian diteruskan antara lain oleh Altman (1968), Altman, et.al. (1977), dan Gilbert, et.al. (1990). Upaya penelitian ini bahkan telah menjadi landasan bagi Zeta Inc. (USA) untuk menghasilkan informasi tentang indeks “Zeta” bagi perusahaan-perusahaan di AS, sehingga dapat dievaluasi probabilitas tingkat keberhasilan masing-masing perusahaan di masa datang (Titik Aryati dan Hekinus Manao, 2002). Penerapan riset semacam ini di Indonesia tampaknya baru mulai dirasakan, terutama setelah munculnya perusahaan-perusahaan bermasalah akibat krisis ekonomi dan moneter di tahun 1990-an. Dalam upaya untuk meminimalkan biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan bank, para regulator perbankan dan para manajer bank berupaya untuk bertindak cepat untuk mencegah kebangkrutan bank atau menurunkan biaya kegagalan tersebut. Salah satu alat yang digunakan oleh lembaga pengawas federal di Amerika Serikat dan negara-negara lain adalah Early Warning Systems (EWS) yang berupaya untuk memprediksi permasalahan potensial yang berhubungan dengan bank dan lembaga simpanan lainnya (Thomson, 1991). Namun demikian, teknik statistik yang paling sering digunakan untuk menganalisis kebangkrutan bank adalah analisis logit dan MDA. Analisis logit memperlihatkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan MDA apabila digunakan untuk tujuan estimasi parameter. Walaupun demikian, untuk asumsi distribusi tertentu, kedua prosedur tersebut menghasilkan estimasi yang konsisten; dan estimasi yang menggunakan MDA lebih efisien (Andrew, 1986). Demikian juga halnya penelitian oleh Espahbodi (1991) telah menunjukkan bahwa model logit cenderung untuk mengalahkan model multiple discriminant (MDA) sebagai EWS di perbankan. Meskipun sejumlah bukti empiris yang menggunakan model statistik ini telah membuktikan keefektivitasannya dalam bermacam permasalahan pilihan biner dalam bidang bisnis keuangan dan akuntansi, Frydman, Altman dan Kao (1985) telah mengamati bahwa, karena sejumlah kegagalan potensial yang menghadang model statistik, prosedur klasifikasi non-parametrik dapat menjadi pendekatan alternatif yang layak uji. Mereka menggunakan teknik pemilihan recursif, yang didasarkan pada Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia 463 regression tree, untuk memprediksikan perusahaan non-finansial yang gagal. Hasilnya mempertegas hipotesa mereka bahwa teknik non-parametrik memiliki keunggulan sebagai EWS, karena model pemilahan recursif mengalahkan model MDA. Penelitian ini memperluas penelitian tentang EWS non-parametrik dengan penerapan pendekatan alternatif (Trait Recognition / TR) untuk permasalahan pilihan biner untuk masalah identifikasi bank-bank umum yang bangkrut di Indonesia. Prosedur ini telah diterapkan pada bermacam identifikasi permasalahan dalam ilmu pengetahuan, termasuk prediksi gempa bumi (Gelfand dkk, 1972; Briggs, Press dan Guberman, 1977; dan Benavidez dan Caputo, 1988), deteksi uranium (Briggs dan Press, 1977) dan eksplorasi minyak (Bongard dkk, 1966). Namun prosedur ini masih sangat jarang digunakan dalam bidang penelitian bisnis. TR berbeda dari model EWS sebelumnya dalam dua hal. Pertama, TR mengkodekan data untuk masing-masing pengamatan dalam lajur biner berdasarkan pada distribusi pengamatan untuk variabel-variabel bebas. Kedua, TR benar-benar memanfaatkan informasi yang dikumpulkan dari eksplorasi pemanfaatan semua interaksi yang memungkinkan dari variabel-variabel bebas yang diambil satu, dua dan tiga kali sekaligus. Tiap rasio keuangan dan interaksi dari rasio-rasio ini dikenal sebagai traits, dan traits pembeda yang disebut sebagai fitur secara selektif dipertahankan untuk pengklasifikasian pengamatan berdasarkan pada prosedur voting. I.2 Perumusan Masalah Manakah model sistem peringatan dini (Early Warning Systems / EWS), yaitu model logit, model MDA atau model TR, yang merupakan alat prediksi yang terbaik untuk kasus kebangkrutan bank umum di Indonesia. I.3 Tujuan Penelitian Menguji kemampuan prediksi masing-masing model sistem peringatan dini tersebut dan mengetahui model manakah yang mempunyai kemampuan yang terbaik dalam memprediksi kebangkrutan bank, khususnya untuk kasus Bank Umum di Indonesia. II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS II.1 Pengertian Logit Logit analysis merupakan bentuk khusus dari regresi dimana variabel dependennya nonmetrik dan terbagi menjadi dua bagian/kelompok (biner), walaupun formulasinya dapat 464 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 saja meliputi lebih dari dua kelompok. Secara umum, penginterpretasian logit analysis sangat mirip dengan regresi linear (Hair dkk, 1998). II.2 Pengertian Multiple Discriminant Analysis (MDA) Multiple Discriminant Analysis (MDA) merupakan teknik statistik yang digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan hubungan yang berpengaruh kuat terhadap katagori dimana objek tersebut berada; dimana variabel dependennya merupakan sesuatu yang pasti (nominal atau nonmetrik) dan variabel independennya metrik (Hair dkk, 1998). II.3 Trait Recognition Trait Recognition (TR) adalah istilah umum untuk proses intensif komputer yang memanfaatkan data input untuk mengembangkan fitur-fitur (atribut-atribut) yang dapat digunakan untuk membedakan antara bermacam kelompok. Langkah-langkah TR untuk desain sistem : 1. Pengukuran terkendali karakteristik atau ciri observasi dan pengkodean informasi; 2. Pra-pemrosesan dan ekstraksi fitur-fitur yang berbeda yang menunjukkan pola umum dari bermacam kelompok observasi; 3. Pembelajaran prosedur tentang observasi sampel dimana didalamnya aturan keputusan arbitrer awalnya diterapkan dan sebuah proses berulang digunakan untuk mencapai set aturan keputusan yang memuaskan (optimal); 4. Diskriminasi observasi dalam holdout sample kedalam bermacam kelompok dengan model TR. Untuk tujuan ilustrasi aspek-aspek dasar dari prosedur Trait Recognition, diasumsikan seorang peneliti memilih lima bank yang tidak gagal, yang ditandai dengan abjad a sampai e dan lima bank yang gagal, yang ditandai dengan abjad A sampai E. Berdasarkan pengalaman, tiga rasio keuangan yang representatif untuk menghitung kondisi finansial bank dihitung untuk masing-masing bank, satu tahun sebelum kolapsnya bank yang gagal tersebut, yaitu : net income / total assets (x1), loan losses / total assets (x2), dan equity capoital / total assets (x3). Data ini ditunjukkan seperti gambar di bawah ini. Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia 465 Gambar 1. Posisi Rasio Finansial Untuk Sampel Bank Yang Gagal dan Bank Yang Tidak Gagal Satu Tahun Sebelum Kebangkrutan. Sampel : Bank yang gagal Bank yang tidak gagal : a, b, c, d, e : A, B, C, D, E Kode net income total assets a b Acd BCDeE 0 1 Cutpoint 11 E 2 01 3 ← 2 3 (dalam persen) 00 A e CD bcdB 1 ← loan assets total assets ← -1 Kode X2 = ← X1 = 00 01 11 4 a 5 (dalam persen) Cutpoint Kode 11 debc ECa BDA 1 3 6 ← equity capital total assets 01 ← X3 = 00 9 12 (dalam persen) Cutpoint Sumber : Kolari, James, Caputo, Michele, Wagner, Drew, 1996 Langkah selanjutnya adalah memilih dua batas (cutpoints) untuk masing-masing rasio yang memilah observasi tersebut ke dalam tiga kelas, yaitu : (1) didominasi bank-bank yang gagal (kode 00), (2) gabungan dari bank yang gagal dan yang tidak gagal (kode 01), dan (3) didominasi bank yang tidak gagal (kode 11). Dalam Gambar 1 tersebut di atas, untuk sampel lima bank gagal dan lima bank tidak gagal yang menggunakan simbol X1, X2, X3, untuk X1 semua bank dalam segmen 00 adalah bank-bank gagal, segmen 01 campuran dari dua bank gagal dan satu bank yang tidak gagal, dan segmen 11 didominasi oleh empat bank yang tidak gagal dan satu bank gagal. Dalam hal ini, dimungkinkan untuk memindahkan batas segmen 11 ke posisi tepat di sisi kanan bank e, yang merupakan bank yang gagal, sehingga selanjutnya hanya bank E, yang merupakan bank yang tidak gagal, yang berada dalam segmen ini. Namun seleksi terbatas dari cutpoints ini mengabaikan fakta bahwa kebanyakan bank yang tidak gagal memiliki rasio net income / total assets di sisi kanan dari posisi bank B yang tidak gagal. Dengan menggunakan T, pendekatan terbatas terhadap pilihan cutpoints tersebut kurang unggul untuk penentuan bank di lokasi-lokasi yang mencakup pengertian dominan dari satu kelompok atau lainnya. Penalaran serupa berlaku untuk pemilihan cutpoints untuk X2. Untuk X3, cutpoints ditentukan sedemikian rupa sehingga 466 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 hanya bank-bank yang gagal yang ada di segmen 00, campuran bank-bank di segmen 01 dan hanya bank-bank yang tidak gagal di segmen 11. Dengan cutpoints untuk masing-masing variabel, data untuk masing-masing bank dapat dikode ulang. Berdasarkan pada Gambar 1, sepuluh bank sampel dikodekan ke dalam string biner A1, A2, …, AL, dimana L adalah panjang string dan dua digit menggambarkan masing-masing variabel dalam sekuen X1X2X3 sebagai berikut : Tabel 1. Pengkodean Ulang Bank Sampel. Bank-Bank yang Gagal Bank-Bank yang Tidak Gagal a 000001 A 011111 b 000000 B 110011 c 010000 C 110101 d 010000 D 110111 e 110100 E 111101 Sumber : Kolari, James, Caputo, Michele, Wagner, Drew, 1996 Semua string biner memiliki pola yang berbeda, dengan pengecualian bank c dan d yang gagal, dimana keduanya memiliki string identik 010000. Dalam hal ini, ada sebuah pola dalam string biner tersebut di atas yang membedakan bank-bank yang gagal dan yang tidak gagal. Bank-bank yang gagal cenderung untuk memiliki kode 0 dan bank-bank yang tidak gagal biasanya memiliki kode 1. Namun ada beberapa bank yang tidak memiliki dominasi kode 0 maupun 1 (misalnya bank e dan B). Pola dalam kode tersebut mungkin bermanfaat dalam pembedaan antara bank-bank yang gagal dan yang tidak gagal. String dari kode biner selanjutnya dikode ulang untuk lebih mengeksplorasi secara penuh pola-pola dalam string biner. Untuk itu, dibuat sebuah matriks trait untuk masingmasing bank dari string binernya. Trait mempertimbangkan semua kemungkinan kombinasi dari variabel-variabel yang diambil satu, dua dan tiga sekaligus, sehingga diusahakan untuk mendapatkan saling keterkaitan yang bermanfaat antara variabel-variabel itu (Briggs et.al). Secara resmi, masing-masing trait (T) terdiri dari sejumlah enam integer, yaitu : T = p, q, r, P, Q, R; dimana p = 1, 2, …, L; q = p, p + 1, …, L; r = q, q + 1, …, L; P = 0 atau 1; Q = 0 atau 1; dan R = 0 atau 1. Abjad p, q, dan r berfungsi sebagai pointers (penunjuk) posisi dalam string biner dari kiri ke kanan. P, Q, dan R memberi nilai dari kode biner pada posisi yang diidentifikasi oleh pointers p, q, dan r. Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia 467 Sebagai contoh, matriks trait untuk bank e yang gagal, dengan string biner 110100 dapat dikembangkan dengan pertimbangan semua kemungkinan kombinasi dari enam digit yang diambil satu, dua dan tiga sekaligus, sebagai berikut : Tabel 2. Matriks Trait Untuk Masing-Masing Bank. p q r PQR p Q r PQR p q r PQR 1 2 3 4 5 6 1 1 1 1 1 2 2 2 1 2 3 4 5 6 2 3 4 5 6 3 4 5 1 2 3 4 5 6 2 3 4 5 6 3 4 5 111 111 000 111 000 000 111 100 111 100 100 100 111 100 2 3 3 3 4 4 5 1 1 1 1 1 1 1 6 4 5 6 5 6 6 2 2 2 2 3 3 3 6 4 5 6 5 6 6 3 4 5 6 4 5 6 100 011 000 000 100 100 000 110 111 110 110 101 100 100 1 1 1 2 2 2 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 3 3 3 4 4 5 4 4 5 5 5 6 6 4 5 6 5 6 6 5 6 6 6 110 110 100 101 100 100 110 110 100 010 010 000 100 Sumber : Kolari, James, Caputo, Michele, Wagner, Drew, 1996 Terdapat 41 traits untuk string enam digit yang mempertimbangkan semua kemungkinan interaksi dari variabel-variabel tersebut. String itu juga memiliki skema pembobotan, dengan p = q dan q = r yang memberikan bobot ganda untuk sebuah posisi tertentu (atau variabel) dalam string, dan p = q = r yang memberikan bobot tiga kali lipat untuk posisi itu. Matriksmatriks traits dihasilkan seperti ini untuk semua observasi. Matriks trait dirampingkan untuk hanya memasukkan fitur-fitur dari bank-bank yang gagal dan yang tidak gagal. Sebuah fitur adalah sebuah trait yang muncul relatif sering di bank-bank yang tidak gagal (gagal), tetapi relatif jarang di bank-bank yang gagal (tidak gagal). Dalam hal ini, fitur bank yang tidak gagal disebut sebagai fitur baik dan fitur bank yang gagal disebut sebagai fitur buruk. Meskipun tidak ada aturan jelas untuk menentukan trait mana merupakan fitur, namun didapati bahwa paling tidak 10 sampai 25 fitur dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik dengan teknik ini. Maka, aturan untuk seleksi fitur yang sangat terbatas, seperti dalam seleksi cutpoints untuk variabel-variabel, cenderung membuang informasi yang berharga yang dapat meningkatkan akurasi identifikasi. Setelah fitur-fitur dipilih, fitur-fitur yang tidak jelas dibuang. Sebagai sebuah contoh, dipertimbangkan dua fitur (yang disebut sebagai fitur 1 dan fitur 2) yang dijumpai ada di banyak dari bank-bank yang tidak gagal yang sama, sedemikian rupa sehingga bank-bank yang diidentifikasi dengan tepat oleh fitur 1 merupakan subset dari bank-bank yang 468 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 diidentifikasi oleh fitur 2. Untuk menyederhanakan permasalahan, dihilangkan fitur baik (buruk) kapanpun dua fitur ada dalam set bank yang tidak gagal (gagal) yang sama. Pada posisi ini, fitur baik dan buruk yang berbeda dapat digunakan untuk memilih masing-masing bank dalam sampel dan kemudian mengklasifikasikan bank-bank tersebut. Jumlah suara baik dan buruk (fitur yang berbeda) untuk masing-masing bank dihitung dan selanjutnya matriks voting dibuat. Matriks ini akan memiliki dua aksis yang menunjukkan jumlah suara baik dan buruk secara berurutan, dan jumlah bank yang gagal dan yang tidak gagal dalam masing-masing sel. Sebuah garis batas dipilih dari pengkajian matriks voting, dan observasi diklasifikasikan sesuai dengan posisi bank tersebut terhadap garis batas itu. Untuk mengklasifikasikan bank sebagai bank yang tidak gagal (gagal) aturannya adalah ketika jumlah suara baik melebihi jumlah suara buruk. Dalam penelitian ini, prosedur voting dilakukan dengan membuat dua garis batas dalam matriks voting, sehingga membagi matriks tersebut ke dalam tiga bagian. Sel-sel matriks dalam bagian pertama memiliki observasi yang hanya diprediksikan untuk bankbank yang gagal. Bagian kedua memiliki sel matriks dengan hanya prediksi bank-bank yang tidak gagal. Bagian ketiga, yang terletak antara dua bagian lainnya, memuat kemungkinan matriks kegagalan (ketidak gagalan) di luar range yang telah disebutkan sebelumnya. Untuk mengetahui kemampuan prediksi dari hasil TR, kinerjanya akan dibandingkan dengan model logit dan MDA yang biasanya dijumpai dalam literatur dan praktek EWS, dimana hal ini terutama merupakan perbandingan efektivitas terhadap model EWS yang ada. II.4 Penelitian Terdahulu Karya awal Beaver (1996) dan Altman (1968) dalam Kolari dkk (2000) menunjukkan bagaimana model berbasis komputer yang bergantung pada informasi akuntansi dapat memprediksikan kegagalan perusahaan. Model berbasis komputer dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini (EWS) guna membantu mencegah beberapa kegagalan bank atau mengurangi biaya kegagalan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Kolari dkk (2000) mengaplikasikan EWS untuk bank komersiil. Sampel yang diambil adalah sebanyak 145 bank komersiil yang diasuransikan di Amerika Serikat pada tahun 1986, yang merupakan kegagalan terkini dengan data yang tersedia bagi penelitian ini. Data finansial untuk bank-bank yang gagal ini dikumpulkan baik satu tahun maupun dua tahun sebelum kegagalan dari catatan komputer Call Report akhir Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia 469 tahun 1984 dan 1985. Karena ketidak tersediaan data akuntansi yang dibutuhkan untuk beberapa bank yang gagal, sampel akhir dari bank yang gagal dalam data 1984 dan 1985 adalah 126 dan 123 observasi secara berurutan. Dengan menggunakan jumlah generator acak, sampel lain dari 900 bank yang tidak gagal dipilih dari populasi kurang lebih 15.000 bank komersiil Amerika Serikat yang dijamin pada catatan Call Report 1985. Ketidak tersediaan data yang dibutuhkan untuk bankbank yang tidak gagal ini di tahun 1984 dan 1985 menghasilkan 878 dan 862 observasi. Maka sampel total untuk tahun 1984 dan 1985 adalah 1.001 dan 985. Proporsi sampel yang mendekati populasi akan paling baik mengatasi bias sampling apapun dalam observasi gagal atau tidak gagal. Karena tingkat kegagalan dalam perbankan di tahun-tahun sampel sekitar satu persen, tetapi sampel yang dipilih menunjukkan tingkat kegagalan sepuluh persen, hasil TR beresiko (dalam beberapa hal) untuk menghasilkan tingkat kesalahan yang lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan yang akan dicapai dalam populasi perbankan. Namun demikian, ukuran dari sampel yang tidak gagal yang relatif besar dalam penelitian ini dibandingkan dengan penelitian kegagalan bank sebelumnya, seperti yang dilakukan Espahbodi (1991) memungkinkan evaluasi yang cukup komprehensif atas kemampuan identifikasi TR. Untuk masing-masing bank sampel, 28 rasio finansial yang biasanya dijumpai dalam penelitian kegagalan bank sebelumnya diperhitungkan dari Reports of Income and Condition (Call Reports). Rasio-rasio ini membentuk variabel-variabel independen. Hasil perbandingan antara model TR, MDA dan model logit menunjukkan bahwa TR berkinerja lebih kuat dibandingkan MDA dan logit, karena TR mempertimbangkan banyak kemungkinan interaksi di antara variabel-variabel independen, sedangkan model logit dan MDA biasanya mengabaikan interaksi ini. Di Indonesia, penelitian tentang prediksi kebangkrutan bank juga telah banyak dilakukan. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan tersebut, kebanyakan penelitian menggunakan model CAMEL (mis. Surifah, 1999; Wilopo, 2001; Abdul Mongid, 2002; Titik Aryati dan Hekinus Manao, 2002) dan Altman Z-Score (mis. Adnan dan Taufiq, 2001). Sampai saat ini, di Indonesia belum ada penelitian yang menggunakan EWS sebagai prediktor kebangkrutan bank. Agar lebih jelas, penelitian-penelitian terdahulu tentang kebangkrutan bank dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : 470 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Tabel 3. Daftar Penelitian Terdahulu Untuk Masalah Kebangkrutan Bank Tahun Penelitian Nama Peneliti 1966 Beaver 1968 Altman 1974 Blum 1975 Sinkey 1976 & 1980 1977 Pettawy Altman, Halderman dan Narayanan 1980 Ohlson 1984 Altman 1985 Sinkey 1995 1996 Berger Kolari, Caputo dan Wagner 1996 1997 Boyd dan Graham Federal Deposit Insuranse Corporation Peavy dan Hempel Surifah 1998 1999 2000 Kolari, Caputo dan Wagner 2001 Wilopo 2001 Adnan dan Taufiq 2002 Abdul Mongid 2002 Titik Aryati dan Hekinus Manao Masalah yang Diteliti Prediksi kebangkrutan dengan menggunakan enam kelompok rasio keuangan yang dianalisis dengan menggunakan metode univariat Prediksi kebangkrutan dengan menggunakan metode MDA (Z score) Prediksi kebangkrutan dengan menggunakan lima rasio keuangan, enam ukuran kecenderungan dan penyebaran serta satu variabel return saham Karakteristik bank yang bermasalah di USA dengan menggunakan model MDA Pemanfaatan data harga saham sebagai EWS spesifik bank Prediksi kebangkrutan dengan menggunakan lima rasio keuangan,satu variabel penyebaran rasio keuangan dan satu variabel besaran perusahaan Prediksi kebangkrutan dengan menggunakan model analisa logit kondisional untuk menghilangkan masalah MDA Meneliti ulang prediksi kebangkrutan dengan menggunakan metode MDA (Z score) dengan memasukkan dimensi internasional, yang mengubah formula Z score Penggunaan rasio finansial dari masing-masing bank untuk memprediksi kegagalan bank tersebut Mencari cara untuk mengetahui kegagalan bank besar Aplikasi EWS pada bank komersiil dengan menggunakan model TR dan model gabungan TR/MDA vs MDA dan Logit untuk mengidentifikasi bank-bank yang gagal Mencari cara untuk mengetahui kegagalan bank besar Penggunaan rasio finansial dari masing-masing bank untuk memprediksi kegagalan bank tersebut Pemanfaatan data harga saham sebagai EWS spesifik bank Prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model CAMEL Perbaikan terhadap aplikasi EWS pada bank komersiil dengan menggunakan model TR dan model gabungan TR/MDA vs MDA dan Logit untuk mengidentifikasi bank-bank yang gagal Prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model CAMEL Prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model Altman Z=Score Prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model CAMEL Prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model CAMEL Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia 471 II.5 Langkah-Langkah Analisis Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 1. Menguji kemampuan model logit dalam memprediksi kebangkrutan Bank Umum Swasta Nasional di Indonesia. 2. Menguji kemampuan MDA dalam memprediksi kebangkrutan Bank Umum Swasta Nasional di Indonesia. 3. Menguji kemampuan TR dalam memprediksi kebangkrutan Bank Umum Swasta Nasional di Indonesia dengan bantuan program yang akan dibuat. 4. Melakukan analisis pengukuran efisensi yang dibobot untuk masing-masing model sistem peringatan dini tersebut dan menentukan model mana yang mempunyai kemampuan yang terbaik dalam memprediksi kebangkrutan Bank Umum Swasta Nasional di Indonesia. Penelitian ini hanya melihat kondisi secara mikro, yaitu hanya melihat dan meneliti variabel-variabelnya saja. II.3 Hipotesis H1 : EWS dengan model TR memiliki ketepatan peramalan yang lebih baik dari MDA dan model logit. III. METODE PENELITIAN III.1 Populasi dan Prosedur Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua bank umum yang ada di Indonesia yang tercantum dalam Buku Direktori Perbankan Indonesia periode tahun 1994/1995 – 1999/2000, yaitu sebanyak 88 bank yang gagal dan 81 bank yang tidak gagal. Penelitian ini dilakukan dengan cara sensus, dimana jumlah sampelnya sama dengan jumlah populasi yang ada, karena jumlah bank umum yang ada di Indonesia relatif tidak terlalu banyak. Penentuan sampel seperti ini juga dimaksudkan agar hasil yang diperoleh dapat lebih maksimal. III.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa laporan keuangan Bank-Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa di Indonesia tahun 472 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 1994 - 2000. Alasan pemilihan tahun-tahun tersebut adalah untuk mendapatkan jumlah yang memadai dari bank bermasalah dalam sensus. Sedangkan alasan pemilihan data yang hanya neliputi Bank-Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa karena kebanyakan bank yang gagal dan bermasalah di Indonesia adalah Bank-Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa. III.3 Definisi Operasional dan Identifikasi Variabel Analisa logit adalah metodologi EWS yang paling umum digunakan, yang diterapkan dalam bisnis, penelitian akademis dan praktek peraturan perbankan, khususnya dalam pendeteksian potensi resiko kegagalan. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisa regresi logit stepwise untuk memilih subset variabel independen yang paling penting dalam hal kemampuan diskriminan. Trait Recognition (TR) adalah teknik pengenalan pola non-parametrik yang bergantung pada metode intensif-komputer untuk mengidentifikasikan pola sistematis dalam data. Untuk masing-masing bank yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, 28 rasio finansial yang biasanya dijumpai dalam penelitian kegagalan bank sebelumnya diperhitungkan dari laporan keuangan bank-bank. Namun dari ke-28 rasio finansial tersebut, hanya 12 rasio finansial yang dapat diperhitungkan dari laporan keuangan bank-bank umum di Indeonesia. Rasio-rasio tersebut adalah sebagai berikut : Rasio keuntungan : 1. Return on assets = Pendapatan bersih setelah pajak / Total asset 2. Return on equity = Pendapatan bersih setelah pajak / Total ekuitas 3. Profit margin = Biaya bunga / Total asset 4. Gross operating margin = (Total pendapatan operasi – Total pengeluaran operasi) / Total asset Rasio pertumbuhan : 5. Capital Growth = (Total ekuitast – Total ekuitast-1) / Total ekuitast Rasio ukuran : 6. Assets = Total asset Rasio likuiditas : 7. Liquid assets = Total kepemilikan surat berharga / Total asset Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia 473 Rasio resiko pinjaman : 8. Loan exposure = Total pinjaman / Total asset 9. Loan funding = Total pinjaman / Total simpanan Rasio pajak : 10. Tax exposure = Total pajak yang dibayar / Total asset Rasio bauran deposito : 11. Demand deposit mix = Giro / Total simpanan Rasio modal : 12. Capital ratio = Total ekuitas / Total asset Rasio-rasio tersebut di atas membentuk variabel-variabel independen. III.3 Teknik Anilisis Penelitian ini membandingkan akurasi hasil prediksi dan klasifikasi yang diperoleh dengan menggunakan teknik TR dengan model klasifikasi MDA dan logit yang telah diterapkan untuk bank-bank komersiil sebagai EWS. MDA mengestimasikan Zscore dari sebuah model linier dengan bentuk sebagai berikut : Zi = a + b1Xi1 + b2Xi2 + … + bnXin (1) Dimana Xij = variabel independen, j = 1, …, n untuk bank I = 1, …, m, bj = koefisien untuk variabel independen ke-j, dan Zi = nilai gabungan linier untuk bank ke-i. Bila prob < 0,50 (Prob ≥ 0,50), bank tersebut diklasifikasikan sebagai bank yang tidak gagal (gagal). Salah pengklasifikasian dikode ulang untuk kesalahan tipe I (sebuah bank yang gagal diklasifikasikan sebagai bank yang tidak gagal), tipe kesalahan II (bank yang tidak gagal diklasifikasikan sebagai bank yang gagal), dan kesalahan total. Model logit mengestimasikan kemungkinan dari kegagalan untuk bank-bank sebagai berikut : Log [Prob / (1 – Prob)] = a + b1Xi1 + b2Xi2 + … + bnXin (2) Setelah mengetahui akurasi klasifikasi keseluruhan dari bermacam model EWS, selanjutnya dapat diketahui tipe-tipe kesalahan yang terjadi. Umumnya, kesalahan tipe I yang melibatkan salah klasifikasi dari bank yang gagal lebih penting dibandingkan kesalahan tipe II, dimana bank-bank yang tidak gagal salah diklasifikasikan. Namun, perbandingan 474 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 tunggal dari kesalahan tipe I mengasumsikan bahwa kesalahan tipe II tidak relevan, sehingga memberikan pandangan yang melenceng dari kinerja model. Metode pemfokusan perhatian pada bank-bank yang gagal, yang salah diklasifikasikan secara simultan dipertimbangkan dalam tingkat kesalahan total dalam pengukuran efisiensi yang dibobot (Korobrow dan Stuhr (1985)). Sesuai penelitian mereka, juga Espahbodi (1991), analisa pengukuran efisiensi yang dibobot diperhitungkan sebagai berikut : WE = (FCC / PF) – (FCC / AF) * CC (3) Dimana FCC = jumlah bank yang gagal yang diklasifikasikan secara tepat, PF = jumlah bank yang diprediksikan akan gagal, AF = jumlah bank yang sebenarnya gagal dan CC = prosentase bank yang diklasifikasikan secara tepat. WE memberikan nilai klasifikasi yang dibobot dimana tingkat klasifikasi total disesuaikan untuk identifikasi tepat dari bank-bank yang gagal. IV. ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN IV.1 Gambaran Umum Responden Responden dalam penelitian ini adalah semua Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa yang ada di Indonesia yang tercantum dalam Buku Direktori Perbankan Indonesia periode tahun 1994/1995 – 1999/2000, yaitu sebanyak 88 bank yang gagal dan 81 bank yang tidak gagal. Dari jumlah responden tersebut ternyata tidak semuanya dapat dijadikan responden dalam penelitian ini, karena data yang tersedia tidak lengkap atau bahkan karena tidak tersedianya data. Akhirnya responden yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 74 bank yang gagal dan 81 bank yang tidak gagal. Gambaran umum responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 4. Bank Umum Swasta Nasional Devisa Dan Non Devisa Yang Gagal Periode Tahun 1994/1995 – 1999/2000 Tahun Jumlah Populasi Prosentase 1995 12 19 21 11 1 0 8 2 77 87 77 63 70 59 46 45 15,58 21,84 27,27 17,46 1,43 0 17,39 4,44 1997 1998 1999 Jenis Bank Bank Umum Swasta Nasional Devisa Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa Bank Umum Swasta Nasional Devisa Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa Bank Umum Swasta Nasional Devisa Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa Bank Umum Swasta Nasional Devisa Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa Sumber : Direktori Perbankan Indonesia Periode Tahun 1994/1995 – 1999/2000 yang diolah Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia 475 Tabel 5. Komposisi Asset Bank Umum Swasta Nasional Devisa Dan Non Devisa Periode Tahun 1994/1995 – 1999/2000 Total Asset < 100.000.000.000,100.000.000.000,- s/d 500.000.000.000,500.000.000.000,s/d 1.000.000.000.000,1.000.000.000.000,s/d 10.000.000.000.000,>10.000.000.000.000,- Jumlah Jml Resp. 43 32 38 43 42 32 38 43 42 32 38 43 42 38 42 6 7 6 27 11 21 8 6 8 4 15 4 22 9 1 % Jenis Bank Keterangan 13,95 21,87 15,79 62,79 26,19 65,63 21,05 13,95 19,05 12,50 39,47 9,30 52,38 23,68 2,38 BUSNND BUSNND BUSND BUSNND BUSND BUSNND BUSND BUSNND BUSND BUSNND BUSND BUSNND BUSND BUSND BUSND Tdk Gagal Gagal Tdk Gagal Tdk Gagal Gagal Gagal Tdk Gagal Tdk Gagal Gagal Gagal Tdk Gagal Tdk Gagal Gagal Tdk Gagal Gagal Sumber : Direktori Perbankan Indonesia Periode Tahun 1994/1995 – 1999/2000 yang diolah Tabel 6. Komposisi Kepemilikan Bank Umum Swasta Nasional Devisa Dan Non Devisa Periode Tahun 1994/1995 – 1999/2000 Kepemilikan Jml Jml Resp. Prosentase 4 38 10,53 BUSND Tidak Gagal 100 % Pribadi (Perorangan) 19 43 44,19 BUSNND Tidak Gagal 3 42 7,14 BUSND Gagal 14 32 43,75 BUSNND Gagal 18 38 47,37 BUSND Tidak Gagal 20 43 46,51 BUSNND Tidak Gagal 19 42 45,24 BUSND Gagal Gagal Perorangan & Masyarakat 100 % Masyarakat Jenis Bank Keterangan 15 32 46,88 BUSNND 16 38 42,10 BUSND Tidak Gagal 4 43 9,30 BUSNND Tidak Gagal 20 42 47,62 BUSND Gagal 3 32 9,37 BUSNND Gagal Sumber : Direktori Perbankan Indonesia Periode Tahun 1994/1995 – 1999/2000 yang diolah IV.2 Hasil Empiris - Model Logit : Hasil dari perhitungan dengan menggunakan model forward stepwise logit tersebut adalah sebagai berikut : 476 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 1. Periode Satu Tahun Sebelum Kegagalan : 1. Langkah Pertama : Variabel yang tepat memprediksi : LA. Model : -1,2970 + 0,0917LA Prediksi Pengamatan Gagal Tidak Gagal 0 1 Prosentase Ketepatan Gagal 0 64 10 86,49% Tidak Gagal 1 26 55 67,90% Keseluruhan 76,77% 2. Langkah Kedua : Variabel yang tepat memprediksi : LA dan PM. Model : 4,8428 + 0,0652LA – 0,5831PM Prediksi Pengamatan Gagal Tidak Gagal 0 1 Prosentase Ketepatan Gagal 0 67 7 90,54% Tidak Gagal 1 6 75 92,59% Keseluruhan 91,61% 3. Langkah Ketiga : Variabel yang tepat memprediksi : LA, PM dan LF. Model : 7,5678 + 0,0390LA - 0,6704PM – 0,0168LF Prediksi Pengamatan Gagal Tidak Gagal 0 1 Prosentase Ketepatan Gagal 0 68 6 91,89% Tidak Gagal 1 6 75 92,59% Keseluruhan 92,26% Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia 4. Langkah Keempat : Variabel yang tepat memprediksi : PM dan LF. Model : 9,3545 – 0,7511PM – 0,0217LF Prediksi Gagal Tidak Gagal 0 1 Pengamatan Prosentase Ketepatan Gagal 0 68 6 91,89% Tidak Gagal 1 7 74 91,36% Keseluruhan 91,61% 5. Langkah Kelima : Variabel yang tepat memprediksi : PM, LF dan ROA. Model : 10,3843 – 0,8461PM – 0,0223LF – 0,2461ROA Prediksi Gagal Tidak Gagal 0 1 Pengamatan Prosentase Ketepatan Gagal 0 68 6 91,89% Tidak Gagal 1 7 74 91,36% Keseluruhan 91,61% 2. Periode Dua Tahun Sebelum Kegagalan : 1. Langkah Pertama : Variabel yang tepat memprediksi : LE. Model : 5,2465 – 0,1069LE Prediksi Pengamatan Gagal Tidak Gagal 0 1 Prosentase Ketepatan Gagal 0 62 12 83,78% Tidak Gagal 1 10 71 87,65% Keseluruhan 85,81% 477 478 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 2. Langkah Kedua : Variabel yang tepat memprediksi : LE dan DDM. Model : 3,7700 – 0,1049LE + 0,0960DDM Prediksi Pengamatan Gagal Tidak Gagal 0 1 Prosentase Ketepatan Gagal 0 65 9 87,84% Tidak Gagal 1 7 74 91,36% Keseluruhan 89,68% 3. Langkah Ketiga : Variabel yang tepat memprediksi : LE, DDM dan ROE. Model : 3,7598 – 0,1072LE + 0,1131DDM – 0,0115ROE Prediksi Pengamatan Gagal Tidak Gagal 0 1 Prosentase Ketepatan Gagal 0 67 7 90,54% Tidak Gagal 1 7 74 91,36% Keseluruhan 90,97% - Model MDA : Model MDA untuk periode satu tahun sebelum kegagalan adalah sebagai berikut : Z = -1,697 + 0,090PM + 0,030GOM – 0,018LA + 0,025LE – 0,019DDM Hasil dari perhitungan dengan menggunakan model MDA tersebut adalah sebagai berikut : Prediksi Gagal Aktual Tidak Gagal 0 1 Gagal 0 65 9 Tidak Gagal 1 8 73 Prosentase 0 87,8% 12,2% 1 9,9% 90,1% Prosentase Ketepatan : 89,0% Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia 479 Model MDA untuk periode dua tahun sebelum kegagalan adalah sebagai berikut : Z = -2,104 + 0,002ROE – 0,005GOM + 0,056LE – 0,030DDM Hasil dari perhitungan dengan menggunakan model MDA tersebut adalah sebagai berikut : Prediksi Gagal Aktual Tidak Gagal 0 1 Gagal 0 68 6 Tidak Gagal 1 8 73 Prosentase 0 91,9% 8,1% 1 9,9% 90,1% Prosentase Ketepatan : 91,0% - Model TR : Hasil perhitungan prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model Trait Recognition (TR) untuk periode satu tahun sebelum kegagalan adalah sebagai berikut : Aktual Gagal Prediksi Tidak Gagal 0 1 Gagal 0 80 1 Tidak Gagal 1 1 73 Ketepatan Prediksi = 98,65% Hasil perhitungan prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model Trait Recognition (TR) untuk periode dua tahun sebelum kegagalan adalah sebagai berikut : Aktual Gagal Prediksi Tidak Gagal 0 1 Gagal 0 80 5 Tidak Gagal 1 1 69 Ketepatan Prediksi = 98,57% 480 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 IV.3 Hasil dan Interpretasi Hasil Penelitian Setelah mengetahui perhitungan dengan masing-masing model tersebut di atas, yaitu model logit, MDA dan TR, selanjutnya dilakukan perbandingan efisiensi terbobot antara ketiga model tersebut. Perhitungan analisa pengukuran efisiensi yang dibobot dilakukan dengan menggunakan rumus : WE = (FCC / PF) . (FCC / AF) . CC Sedangkan perhitungannya adalah sebagai berikut : Tabel 4. Weighted Efficiency Scores (Pengukuran Efisiensi Yang Dibobot) Dengan Model Logit, Multiple Discriminant Analysis Dan Trait Recognition FCC PF AF CC WE 68 75 74 91,61 76,33 Multiple Discriminant Analysis 65 73 74 89,00 69,58 Trait Recognition 73 74 74 98,65 96,00 Periode dua tahun sebelum kegagalan : Logit 67 74 74 90,97 74,57 Multiple Discriminant Analysis 68 76 74 91,00 74,81 Trait Recognition 69 70 74 98,57 90,60 Periode satu tahun sebelum kegagalan : Logit Keterangan FCC PF AF CC WE : : : : : : Jumlah bank yang gagal yang diklasifikasikan secara tepat Jumlah bank yang diprediksikan akan gagal Jumlah bank yang benar-benar gagal Prosentase dari bank yang diklasifikasikan secara tepat Efisiensi yang dibobot V. PENUTUP V.1 Kesimpulan Dari tabel tersebut di atas dan dari perhitungan-perhitungan dengan menggunakan masing-masing model dapat diketahui bahwa model TR memiliki akurasi prediksi yang paling tinggi. Selain itu, model TR tidak hanya dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kegagalan bank, tapi juga dapat mengetahui dengan tepat bank-bank mana saja yang akan mengalami kegagalan. Hal ini tidak bisa dilakukan dengan model logit maupun MDA. Ini membuktikan bahwa hipotesis dalam penelitian ini, yang berbunyi EWS dengan model TR memiliki ketepatan peramalan yang lebih baik dari model MDA dan model logit, benar-benar terbukti; yang artinya, penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu. Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia 481 V.2 Implikasi Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi penelitian-penelitian di bidang keuangan yang menggunakan model ekonofisika dan mendorong arah riset di bidang keuangan untuk menggunakan model-model ekonofisika. Sedangkan bagi dunia perbankan, khususnya Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan acuan untuk memprediksi kebangkrutan bank, khususnya dengan menggunakan model TR. V.3 Saran Untuk penelitian-penelitian yang akan datang, peneliti dapat mempertimbangkan penggunaan holdout sample dalam melakukan perhitungan, karena kemungkinan dengan digunakannya holdout sample dalam perhitungan, dapat lebih memperkuat perhitungan yang dilakukan dan prediksi yang dihasilkan. Selain itu, untuk penelitian-penelitian yang akan datang, peneliti diharapkan dapat menciptakan suatu program dengan bahasa pemrograman yang lebih user friendly, sehingga lebih mudah digunakan. Peneliti dapat juga membandingkan model TR ini dengan model prediksi kebangkrutan bank lainnya, yang belum pernah dilakukan di Indonesia. V.4 Keterbatasan Selain keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh model TR, model TR yang dibuat dalam penelitian ini memiliki kelemahan dalam hal program yang digunakan untuk melakukan perhitungan, dimana program yang dibuat ini menggunakan bahasa Fortran yang tidak terlalu lazim digunakan, sehingga tidak user friendly. Namun permbuatan program dengan menggunakan bahasa Fortran ini memiliki alasan, karena bahasa ini merupakan bahasa pemrograman tingkat tinggi yang sangat rinci, sehingga keakuratan perhitungannya sangat tinggi. 482 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 DAFTAR PUSTAKA Altman, E., 1968, “Financial Ratio Discriminant Analysis and The Prediction of Corporate Bankruptcy”, Journal of Finance, Vol. XXIII, No. 4, September , R. Halderman, and P. Narayanan, 1977, “Zeta Analysis”, Journal of Banking and Finance Aryati, Titik dan Hekinus Manao, 2002, “Rasio Keuangan sebagai Prediktor Bank Bermasalah di Indonesia”, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 5, No. 2, Mei Beaver, W., 1966, “Financial Ratios as Predictors of Failure, Empirical Research in Accounting : Selected Studies”, Supplement, Vol. 5, Journal of Accounting Research Benavidez, A. and M. Caputo, 1988, “Pattern Recognition of Earthquake Prone Areas in the Andrean Region”, Studie, University of Bologna Bongard, M.M., M.I. Vaintsveig, S.A. Guberman and M.L. Izvekova, 1966, “The Use of Self Learning Programs in the Detection of Oil Containing Layers”, Geology Geofiz, Vol. 6 Briggs, P. and F. Press, 1977, “Pattern Recognition Applied to Uranium Prospecting”, Nature, Vol. 268 and Sh.A. Guberman, 1977, “Pattern Recognition Applied to Earthquake Epicenters in California and Nevada”, Geological Society of America Bulletin, Vol. 88 Coats, P.K. and L.F. Fant, 1993, Recognizing Financial Distress Patterns Using a Neural Network Tool”, Financial Management, Vol. 22 Espahbodi, P., 1991, “Identification of Problem Banks and Binary Choice Models”, Journal of Banking and Finance, Vol. 15 Frydman, H., E.I. Altman and D. Kao, 1985, “Introducing Recursive Partitioning for Financial Classification : The Case of Financial Distress”, The Journal of Finance, Vol. 40 Gelfand, I.M., Sh.A. Guberman, M.L. Izvekova, V.I. Heilis-Borok and E. Ranzman, 1972, “Criteria of High Seismicity Determined by Pattern Recognition”, in Ritzema (ed.), The Upper Mantle, Tectonophysics, Vol. 13 , Sh.A. Guberman, V.I. Heilis-Borok, L. Knopoll, F. Press, E. Ranzman, I.M. Retwain and A.M. Sadovsky, 1976, “Pattern Recognition Applied to Earthquake Epicenters in California”, Physics of the Earth and Planetary Interiors, Vol. 11 Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia 483 Gilbert, L.R., K. Menon, K. Schwartz, 1990, “Predicting Bankruptcy for Firms in Financial Distress, Journal of Business, Finance and Accounting, Spring Hair, Joseph F., Jr., Rolph E. Anderson, Ronald L. Tatham, William C. Black, 1998, Multivariate Data Analysis, Prentice-Hall International, Upper Saddle River, New Jersey Herliansyah, Yudhi, Moch Syafrudin dan M. Didik Ardiyanto, 2002, “Model Prediksi Kebangkrutan Bank Go Public dan Bank Non Go Public di Indonesia”, Jurnal Maksi, Vol. 1, Agustus Jagtiani, Julapa A., Kolari, James W., Lemieux, Catharine M., Shin, G. Hwan, 2000, Predicting Inadequate Capitalization : Early Warning System for Bank Supervision, Emerging Issues Series, Supervision and Regulation Department, Federal Reserve Bank of Chicago Jones, F., 1987, “Current Techniques in Bankruptcy Prediction”, Journal of Accounting Literature, Vol. 6 Keasey, K. and P. McGuinness, 1990, “The Failure of UK Industrial Firms for the Period 1976-1984, Logistic Analysis and Entropy Measures”, Journal of Business, Finance & Accounting, Vol. 17, No. 1, Spring Kolari, James, Caputo, Michele, Wagner, Drew, 1996, “Trait Recognition : An Alternative Approach to Early Warning Systems in Commercial Banking”, Journal of Business Finance & Accounting, December, Vol. 23 , Glennon, Dennis, Shin, Hwan, Caputo, Michele, 2000, Predicting Large U.S. Commercial Bank Failures, Economic and Policy Analysis Working Paper Lo, Andrew W., 1986, “Logit Versus Discriminant Analysis : A Specification Test and Application to Corporate Bankruptcies”, Journal of Econometrics, Vol. 31, No. 2, March Marzuki, 1983, Metodologi Riset, Cetakan Ketiga, Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi-UII, Yogyakarta Ohlson, J.A, 1980, “Financial Ratio and The Probabilistic Prediction of Bankruptcy”, Journal of Accounting Research, Spring Palepu, K.G., 1986, “Predicting Takeover Targets : A Methodological and Empirical Analysis”, Journal of Accounting and Economics, Vol. 8 Platt, Harlan D., Platt, Marjorie B., 1990, “Development of a Class of Stable Predictive Variables : The Case Bankruptcy Prediction”, Journal of Business Finance & Accounting, Vol. 17, No. 1, Spring 484 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004 Platt, Harlan D., Platt, Marjorie B., Pedersen, Jon Gunnar, 1994, “Bankruptcy Discrimination with Real Variables”, Journal of Business Finance & Accounting, June Siamat, Dahlan, 1993, Manajemen Bank Umum, Cetakan Pertama, Intermedia, Jakarta , 2001, Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Ketiga, Cetakan Pertama, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Sinkey, J.F.Jr., 1975, ”A Multivariate Statistical Analysis of The Characteristic of Problem Banks”, Journal of Finance, Vol. XXX, No. 1, March Thomson, J.B., 1991, “Predicting Bank Failures in 1980s”, Economic Review, Vol. 27 Whalen, G., and J. Thomson, 1988, “Using Financial Data to Identify Changes in Bank Condition”, Economic Review, Second Quarter Wilopo, 2001, “Prediksi Kebangkrutan Bank”, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Mei PETUNJUK PENULISAN 1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau insitusi) yang tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima, TETAP menjadi hak penulis. 2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial sebesar Rp 1.000.000,- s.d. Rp 3.000.000,-. 3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). File tersebut sangat disarankan untuk dikirimkan melalui kedua alamat E-Mail berikut: bemp_bi@yahoo.com dan bemp_bi@bi.go.id Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Dewan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2 Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394 4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan ukuran font 12. 5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation. 6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya. 7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.acaweb.org/ journal/jel,_class_system.html. 8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut, I. JUDUL BAB 11.1. Sub Bab 11.1. a. Sub Sub Bab 9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote. 10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut, a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New Jersey. b. Artikel dalam jurnal: Rangazas, Peter. “Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with Human Capital”, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416. c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. “Empirical Research on Nominal Exchange Rates”, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: NorthHolland, 1995, hal. 397-416. d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Chen, Daniel. “Income Distribution Dynamics with Endogenous Fertility”. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No.7530, 2000. e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John. “Can Parental Decision Explain U.S. Income Inequality?”, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999. f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston, Alan W. “Penn World Table, Version 5.6””http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997. g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. “Killed by Kindness”, Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56. 11. Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon dan email yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.