0.daftar Isi.i - Bank Indonesia

advertisement
BULETIN EKONOMI MONETER
DAN PERBANKAN
Volume 7, Nomor 3, Desember 2004
Tinjauan umum
343
Fiscal and Monetary Policy Interaction :
Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
Firman Mokhtar
359
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
(using the EMERALD Indonesian multi-regional CGE model)
Daniel Pambudi dan Andi Alfian Parewangi
387
Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002
Taufik Kurniawan
437
Perbandingan Early Warning Systems (EWS) untuk Memprediksi
Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia
Liza Angelina, SE, Msi, Akt
461
BANK INDONESIA
i
Tinjauan umum
343
TINJAUAN UMUM
Sampai dengan triwulan IV-2004, perekonomian Indonesia menunjukkan
perkembangan yang semakin baik. Kestabilan ekonomi makro dapat dipertahankan yang
disertai dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Laju inflasi tetap dapat dikendalikan
dalam tingkat yang rendah dan tetap sesuai dengan proyeksi yang telah ditetapkan pada
awal tahun. Nilai tukar rupiah relatif stabil dengan volatilitas yang rendah. Seiring dengan
itu, suku bunga di dalam negeri tetap stabil pada tingkat yang relatif rendah sehingga kondusif
bagi perkembangan dunia usaha. Sektor keuangan, khususnya perbankan dan pasar modal,
juga menunjukkan perkembangan yang semakin mantap. Sementara itu, sejalan dengan
meningkatnya kegiatan investasi serta tetap tingginya konsumsi, pertumbuhan ekonomi
dalam triwulan IV-2004 diperkirakan mencapai 5,0%-5,5% (yoy).
Dalam triwulan IV-2004, laju inflasi mengalami peningkatan dari triwulan sebelumnya.
Kenaikan harga pada triwulan terakhir bersifat musiman yang hampir terjadi setiap tahun
yang terkait dengan perayaan hari besar keagamaan dan waktu liburan. Meskipun mengalami
kenaikan pada triwulan laporan, secara keseluruhan dalam tahun 2004 inflasi IHK tetap
dapat dikendalikan yaitu sebesar 6,4% (yoy) atau berada dalam kisaran proyeksi inflasi
yang ditetapkan pada awal tahun yaitu 5,5% + 1% (yoy). Tetap terkendalinya harga-harga
di dalam triwulan laporan tersebut tidak terlepas dari kebijakan moneter yang ditempuh
dalam mengendalikan tekanan inflasi yang bersumber dari interaksi permintaan-penawaran,
mengendalikan gejolak nilai tukar, maupun mencegah memburuknya ekspektasi. Selain
itu, berbagai langkah yang ditempuh Pemerintah dalam mengupayakan kecukupan dan
kelancaran pasokan barang dan jasa juga turut berperan dalam pencapaian laju inflasi
yang relatif rendah tersebut.
Sementara itu, nilai tukar rupiah bergerak stabil dengan tingkat volatilitas yang rendah.
Stabilnya nilai tukar pada triwulan laporan tidak terlepas dari terdapatnya pasokan valas
yang berasal dari capital inflows yang didukung oleh kepercayaan pasar atas prospek
ekonomi makro Indonesia, perbaikan persepsi risiko, serta dampak dari pelemahan dolar
344
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
AS secara global. Stabilnya nilai tukar tersebut didukung pula oleh perkembangan Neraca
Pembayaran Indonesia (NPI) dalam triwulan IV-2004 yang tetap tercatat surplus sehingga
cadangan devisa masih dalam posisi yang aman dan memadai.
Seiring dengan peningkatan permintaan domestik, pertumbuhan ekonomi triwulan
IV-2004 meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan tersebut
diikuti dengan semakin seimbangnya pola ekspansi ekonomi yang tercermin dari
peningkatan investasi dan ekspor. Peningkatan investasi tersebut tidak terlepas dari
dorongan konsumsi dan dukungan pembiayaan perbankan serta pasar modal. Sementara
perbaikan ekspor yang telah berlangsung sejak triwulan II-2004 terus berlanjut hingga
triwulan laporan.
Berbagai indikator moneter dan keuangan dalam triwulan IV-2004 masih terkendali
dan menunjukkan perkembangan yang relatif stabil. Hal tersebut seperti tercemin pada
perkembangan uang primer, uang beredar, nilai tukar, suku bunga serta diikuti kondisi
kondisi pasar modal yang mengalami perkembangan cukup pesat. Meningkatnya permintaan
uang oleh masyarakat menjelang perayaan beberapa hari besar keagamaan dan tahun
baru telah menyebabkan pertumbuhan uang primer meningkat, namun masih dalam batas
yang aman. Sejalan dengan pertumbuhan uang primer, jumlah uang beredar juga mengalami
pertumbuhan seiring dengan meningkatnya kegiatan perekonomian.
Sejalan dengan kestabilan ekonomi makro, peran dan kinerja perbankan nasional
terus menunjukkan kestabilan dan perbaikan yang berarti. Fungsi intermediasi perbankan
nasional secara bertahap menunjukkan perbaikan tercermin dari peningkatan kredit
perbankan khususnya kredit kepada UMKM. Di sisi lain, kualitas kredit perbankan juga
relatif membaik yang ditunjukkan oleh penurunan NPL gross maupun net. Dana pihak ketiga
(DPK) juga meningkat, mencerminkan tetap terjaganya kepercayaan terhadap perbankan.
Profitabilitas perbankan juga menunjukkan peningkatan, dan sejalan dengan itu aspek
permodalan tercatat tetap memadai.
Ke depan, sejalan dengan berbagai upaya pemulihan ekonomi yang akan terus
diperkuat disertai dengan ekspansi ekonomi yang lebih seimbang di tahun 2005, kestabilan
ekonomi makro diperkirakan akan berlanjut di tahun 2005. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
triwulan I-2005 diperkirakan akan berkisar antara 5,0%-6,0% (yoy). Tekanan inflasi khususnya
di triwulan I-2005 diperkirakan akan meningkat terutama terkait dengan rencana untuk
menaikkan harga BBM oleh Pemerintah serta meningkatnya permintaan barang dan jasa
dalam rangka produksi dan konsumsi. Pergerakan nilai tukar yang stabil dalam triwulan I2005 diperkirakan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap ekspektasi harga.
Tinjauan umum
345
Perkiraan stabilitas nilai tukar tersebut sejalan dengan kinerja NPI yang diperkirakan tetap
menunjukkan perkembangan yang baik.
Menghadapi potensi meningkatnya tekanan inflasi tersebut, kebijakan moneter ke
depan tetap diarahkan pada upaya mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan, namun
dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan yang sedang terjadi. Secara operasional,
kebijakan moneter tersebut dilakukan dengan mengarahkan uang primer berada pada proyeksi
indikatifnya yakni rata-rata tumbuh sebesar 11,5 - 12,5% pada tahun 2005. Untuk meningkatkan
efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia akan menggunakan suku bunga sebagai
instrumen kebijakan moneter pada pertengahan tahun 2005. Penggunaan target operasional
suku bunga sebagai pengganti base money dalam pengendalian moneter ini juga dimaksudkan
agar kebijakan moneter lebih fleksibel dalam merespon dinamika perekonomian yang terjadi
serta agar sinyal kebijakan ini dapat lebih mudah dibaca oleh pasar.
Di bidang perbankan, seiring dengan membaiknya perekonomian, kinerja perbankan
pada tahun 2005 diperkirakan akan membaik dan fungsi intermediasi terus mengalami
peningkatan. Kebijakan perbankan akan diarahkan untuk melanjutkan stabilitas sistem
perbankan yang telah ada dan mengakselerasi upaya-upaya untuk mendorong fungsi
intermediasi perbankan. Selain itu, dengan semakin meningkatnya persaingan dan mulai
diterapkannya skim penjaminan LPS, bank-bank perlu memperhatikan adanya risiko
likuiditas. Dalam mengantisipasi munculnya risiko tersebut, Bank Indonesia akan
mengarahkan industri perbankan nasional untuk dapat mempercepat proses konsolidasi
dan penguatan institusional. Selain itu, dengan semakin meningkatnya integrasi dan
keterlibatan bank dalam kegiatan pasar modal dan besarnya risiko dari kegiatan ini, Bank
Indonesia akan segera menyempurnakan dan memperkuat monitoring terhadap
pelaksanaan berbagai peraturan yang terkait dengan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan
tersebut. Sejalan dengan arah kebijakan tersebut, dalam bulan Januari 2005 Bank
Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan Perbankan yang berisikan beberapa
penyempurnaan ketentuan perbankan
1. EVALUASI PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN INFLASI
1.1. Kondisi Ekonomi Makro
Dalam triwulan IV-2004, kinerja perekonomian diperkirakan lebih baik dibandingkan
triwulan sebelumnya dan mencapai 5,0%-5,5% (yoy). Pertumbuhan ekonomi tersebut
terutama didorong oleh pertumbuhan konsumsi terutama konsumsi swasta. Meskipun
346
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
demikian, secara umum pola pertumbuhan tersebut telah menunjukkan perbaikan, yang
ditandai oleh meningkatnya peran investasi dan ekspor dalam mendorong perekonomian.
Di sisi lain, tingginya permintaan telah mendorong pesatnya peningkatan impor sebagai
upaya untuk memenuhi peningkatan utilisasi maupun kapasitas produksi terpasang.
Pada triwulan IV-2004, konsumsi diperkirakan tumbuh lebih tinggi sebesar 5,4% 5,9%, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang hanya tumbuh sebesar 4,2%.
Peningkatan pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut sejalan dengan hasil survei
Penjualan Eceran, survei JETRO, serta sejalan dengan membaiknya kondisi kepercayaan
konsumen. Namun demikian, pertumbuhan konsumsi swasta tersebut masih berada di bawah
rata-rata pertumbuhan pada periode sebelum krisis (1993 sd pertengahan 1997) yang
mencapai 9,9% (yoy) sehingga cukup wajar.
Peningkatan konsumsi masyarakat diikuti juga dengan peningkatan investasi. Kegiatan
investasi pada triwulan IV-2004 tumbuh sebesar 14,5 – 15,0% (yoy), meningkat dibandingkan
triwulan sebelumnya yang mencapai 13,1% (yoy). Kontribusi investasi terhadap pertumbuhan
ekonomi pada triwulan laporan juga meningkat menjadi 2,96%. Peningkatan investasi
tersebut terutama didukung oleh tersedianya pembiayaan oleh perbankan yang cenderung
meningkat.
Secara sektoral, seluruh sektor ekonomi kecuali sektor pertambangan mengalami
pertumbuhan pada ekonomi triwulan IV-2004. Peningkatan kinerja tersebut utamanya
disebabkan oleh adanya beberapa perayaan hari besar di akhir tahun serta dukungan
yang semakin meningkat di sisi pembiayaan. Di sisi lain terus meningkatnya permintaan
diharapkan juga akan mendorong kegiatan ekonomi sektoral untuk meningkatkan utilisasinya
sehingga iklim investasi akan semakin bergairah dan perekonomian secara keseluruhan
bergerak ke arah yang semakin baik.
Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dalam triwulan IV-2004
menunjukkan perkembangan yang terus positif sebagaimana tercermin dari surplus NPI
sebesar USD1,5 miliar disepanjang triwulan laporan. Surplus tersebut mengakibatkan posisi
cadangan devisa menjadi USD 36,3 miliar atau setara dengan 5,8 bulan impor dan
pembayaran utang Pemerintah, atau lebih tinggi dari yang diperkirakan semula. Surplus
tersebut utamanya disebabkan oleh terjadinya surplus pada transaksi berjalan (current
account) yang disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan ekspor khususnya migas yang
pada triwulan ini mengalami pertumbuhan sebesar 47,5%. Neraca modal pada triwulan IV2004 tetap tercatat mengalami surplus yang diperkirakan mencapai USD749 juta
Tinjauan umum
347
Tabel 1.1. Indikator Makroekonomi
Indikator
IHK (%)
Triwulanan (quarter to quarter)
Tahunan (year on year)
2003
Trw IV
2004
Trw I
Trw II
Trw III
2,51
5,06
0,91
5,11
2,35
6,83
0,51
5,06
Trw IV
2,51
6,40
PDB (% pertumbuhan, tahunan)
Dari sisi permintaan :
Konsumsi Total
Investasi Total
4,35
4,46
4,32
5,03 5,0 – 5,5*
5,01
-6,71
6,43
4,24
5,35
9,25
4,21 5,4 – 5,9*
13,09 14,5 –15,0*
Dari sisi produksi :
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
-0,17
3,19
3,87
5,43
-2,31
5,23
1,67
-7,22
5,98
2,39 3,1 – 3,6*
-5,96 -6,4 - -5,9*
5,28 4,9 – 5,4*
Sektor eksternal :
Ekspor non migas (fob, % pertumbuhan tahunan)
Impor non migas (c&f, % pertumbuhan tahunan)
Transaksi berjalan (juta USD)
Posisi Utang LN (juta USD)
2,36
8,55
1.624
135.402
1,48
-0,71
-554
136.679
3,8
7,5
315
133.138
9,8**
23,3
4,6**
30,7
2.713**
2.503
131.838** 134.329**
Besaran Moneter (miliar RP)
M0
M1
M2
166.474
223.799
955.692
142.817
219.087
935.249
155.466
223.726
975.166
Suku bunga (%)1)
SBI 1 bulan
PUAB (overnight)
Deposito 1 bulan
Kredit modal kerja
Kredit investasi
8,31
4,65
6,62
15,07
15,68
7,42
5,87
5,86
14,61
15,12
7,30
4,24
6,23
14,10
14,64
7,39
4,13
6,31
13,80
14,33
7,43
3,76
6,36***
13,57***
14,18***
Kurs (Rp/USD), nominal akhir periode
Real Effective Exchange Rate (REER)2), 1995=100
Kurs rata-rata
8.420
88,46
8.468
8.564
86,03
8.580
9.400
81,57
9.392
8.420
94,74
9.163
9335
90,32
9.120
1)
2)
*
**
***
175.351 199.446**
240.911 250.222***
986.806 1.000.339***
Rata-rata tertimbang akhir periode
REER adalah indeks nilai tukar rupiah per mata uang negara mitra dagang yang dibobot dengan total ekspor dan impor dari 8 mitra dagang utama Indonesia.
: Perkiraan Bank Indonesia menggunakan tahun dasar 2000
: Angka Sementara
: Angka November 2005
Sumber : BPS (diolah) dan Bank Indonesia
1.2. Inflasi
Secara umum inflasi dalam triwulan IV-2004 menunjukkan peningkatan sejalan
meningkatnya permintaan barang dan jasa sehubungan dengan perayaan hari keagamaan
dan liburan akhir tahun. Inflasi IHK selama triwulan IV-2004 mencapai 2,51% (qtq) meningkat
cukup tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang hanya sebesar 0,5% (qtq).
Sampai dengan akhir tahun 2004, inflasi IHK tercatat sebesar 6,40% (yoy), lebih tinggi bila
348
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 5,06% (yoy). Namun demikian,
peningkatan permintaan tersebut masih dapat direspon dengan cukup baik oleh sisi
penawaran meskipun terdapat beberapa bencana alam di beberapa daerah. Dengan kondisi
tersebut, realisasi inflasi IHK 2004 masih sesuai dengan proyeksi Bank Indonesia di awal
tahun sebesar 5,5% ± 1,0% (yoy).
Peningkatan inflasi IHK dalam triwulan IV-2004 terutama disebabkan adanya faktor
musiman seperti beberapa perayaan hari raya keagamaan dan akhir tahun serta kenaikan
harga BBM yaitu elpiji, Pertamax dan Pertamax Plus. Meskipun kenaikan harga barangbarang administered price tersebut memberikan kontribusi terhadap peningkatan inflasi
pada periode tersebut, namun dampak kenaikan tersebut dapat diminimilisasi mengingat
tidak adanya perubahan harga barang-barang administered yang strategis seperti seperti
harga BBM bersubsidi, tarif dasar listrik dan cukai rokok. Berdasarkan kelompok barang,
kelompok barang yang dominan dalam menyumbang inflasi adalah kelompok bahan
makanan dan kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar.
Sementara itu, perkembangan inflasi inti relatif stabil selama periode laporan.
Perkembangan ini terlihat dengan kebijakan moneter Bank Indonesia yang ditempuh dalam
mengendalikan sisi permintaan agregat yang dilakukan melalui kebijakan moneter yang
cenderung ketat.
2. EVALUASI PERKEMBANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER
Secara umum, pelaksanaan kebijakan moneter dalam triwulan IV-2004 tetap diarahkan
pada pencapaian sasaran inflasi dalam jangka menengah-panjang dengan mengendalikan
faktor-faktor yang menjadi penyebab utama inflasi, yaitu nilai tukar rupiah, permintaan
domestik dan ekspektasi. Dalam operasionalnya, kebijakan yang ditempuh dilakukan dengan
kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight bias) melalui upaya penyerapan kelebihan
likuiditas sistem perbankan secara optimal. Penerapan kebijakan moneter ini merupakan
bentuk tindakan antisipatif kebijakan moneter dalam rangka mencapai dan mengamankan
sasaran inflasi jangka menengah yang telah diputuskan Pemerintah dan berlaku untuk 3
(tiga) tahun ke depan sejak 2005. Selain itu, penerapan kebijakan tight bias ini juga
dimaksudkan untuk tetap mendukung proses pemulihan ekonomi yang saat ini masih
berlangsung.
Sejalan dengan itu, besaran-besaran moneter dalam triwulan IV-2004 menunjukkan
perkembangan yang relatif stabil dan sebagian besar masih sesuai dengan prakiraan semula.
Sesuai dengan pola musiman pada akhir tahun, perkembangan uang primer menunjukkan
Tinjauan umum
349
peningkatan namun masih dapat dikendalikan sesuai dengan kebutuhan perekonomian.
Suku bunga SBI 1 bulan dan 3 bulan bergerak relatif stabil dan masih sesuai dengan
pencapaian proyeksi inflasi jangka menengah, yang diikuti oleh relatif stabilnya suku bunga
perbankan. Nilai tukar rupiah juga bergerak stabil dengan volatilitas yang rendah, meskipun
terdapat tekanan depresiasi.
Secara umum, nilai tukar rupiah selama triwulan IV-2004 bergerak stabil dengan tingkat
volatilitas yang cukup rendah. Namun demikian, menjelang akhir tahun rupiah sempat
mengalami tekanan terkait dengan faktor eksternal atas antisipasi pasar menjelang FOMC
dan faktor koreksi atas pelemahan USD yang terlalu cepat di bulan sebelumnya, ditengah
upaya untuk merealisasikan keuntungan menjelang akhir tahun serta meningkatnya
permintaan valas oleh sejumlah korporasi untuk pembayaran impor dan utang luar negeri.
Cukup terjaganya stabilitas nilai tukar ditengah tekanan depresiasi khususnya pada akhir
tahun, tidak terlepas dari peranan capital inflows yang didukung meningkatnya kepercayaan
pasar (market confidence), membaiknya persepsi risiko, serta dampak kecenderungan
melemahnya USD secara global yang dipicu oleh isu twin-deficit AS. Rata-rata nilai tukar
rupiah selama triwulan IV-2004 berada pada level Rp9.120/USD tetapi masih dalam rentang
perkiraan sebesar Rp8.700 – Rp9.300 per dollar AS.
Sejalan dengan kebijakan moneter yang tight bias dan langkah penyerapan likuiditas
yang secara optimal dilakukan Bank Indonesia, suku bunga SBI dalam triwulan IV-2004
dipertahankan stabil hingga pada akhir triwulan IV-2004. Suku bunga SBI 1 bulan hanya
meningkat sebesar 4 bps menjadi 7,41% dibandingkan dengan triwulan III-2004. Sementara
itu, suku bunga SBI 3 malah menunjukkan sedikit penurunan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya menjadi sebesar 7,29% atau menurun sebesar 2 bps. Perkembangan suku
bunga instrumen tersebut telah berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga perbankan
dan kredit. Selain itu, masih tingginya kondisi likuiditas di pasar uang telah menyebabkan
suku bunga pasar uang menurun. Suku bunga deposito 1 bulan dalam triwulan ke IV-2004
mengalami sedikit peningkatan sebesar 5 bps dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
atau menjadi 6,36%. Kenaikan suku bunga ini juga terjadi pada suku bunga deposito 3 dan
6 bulan yang meningkat sebesar masing-masing 5 dan 17 bps dibandingkan triwulan
sebelumnya menjadi masing-masing 6,66% dan 7,06%.
3. EVALUASI PERKEMBANGAN DAN KEBIJAKAN PERBANKAN
Selama triwulan IV-2004, kebijakan perbankan tetap difokuskan untuk melanjutkan
berbagai langkah dalam mempertahankan stabilitas sistem perbankan guna menciptakan
350
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
stabilitas sistem keuangan dan mendorong fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan tersebut
ditempuh melalui beberapa langkah antara lain melalui pemantauan risiko-risiko yang
dihadapi industri perbankan, pemantauan persiapan pelaksanaan manajemen risiko,
pemantauan intensif terhadap pelaksanaan rencana bisnis bank yang telah disetujui Bank
Indonesia, pemantauan pemberian kredit baru dan kredit hasil restrukturisasi terutama di
bank-bank besar, pemantauan action plan dari bank-bank terkait dengan kondisi permodalan
(Capital Adequacy Ratio/CAR) dan kualitas kredit bermasalah (Net Performing Loan/NPL),
serta penyempurnaan pengaturan dan pengawasan bank.
Dalam hal pengaturan perbankan, dalam triwulan IV-2004 Bank Indonesia telah
mengeluarkan ketentuan yang menyangkut pengaturan bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan pengaturan rencana bisnis umum, serta
pengaturan mengenai penerapan manajemen risiko pada bank yang melakukan kerjasama
pemasaran dengan perusahaan asuransi (bancassurance). Untuk meningkatkan efektivitas
pengawasan bank khususnya dalam penanganan tindak pidana bank, dalam triwulan laporan
Bank Indonesia telah melakukan penandatanganan MoU dengan Kapolri dan Kejagung.
Sejalan dengan berbagai upaya konsolidasi internal dan program restrukturisasi
perbankan yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun lalu, secara umum kinerja
perbankan sampai dengan akhir triwulan IV-2004 menunjukkan perkembangan yang positif.
Hal ini ditunjukkan dari peningkatan aset, dana pihak ketiga dan kredit yang diberikan.
Peningkatan kredit tersebut menunjukkan bahwa fungsi intermediasi perbankan secara
bertahap menunjukkan perbaikan. Sejalan dengan perbaikan struktur aset, kualitas kredit
bermasalah semakin membaik serta kualitas aset, pendapatan dan efisiensi perbankan
juga terus menunjukkan peningkatan.
Sejalan dengan kondisi ekonomi makro yang stabil, Bank Indonesia terus berupaya
untuk mendorong perbankan untuk meningkatkan fungsi intermediasi dengan tetap
mengedepankan prinsip kehati-hatian. Beberapa indikator perbankan menunjukkan kestabilan
dan perbaikan sebagaimana tercermin dari memadainya permodalan, menurunnya risiko kredit,
meningkatnya profitabilitas perbankan serta perbaikan secara gradual intermediasi perbankan.
Upaya ini terutama dilakukan terhadap peningkatan jumlah kredit Usaha Mikri, Kecil, dan
Menengah (UMKM) serta sektor-sektor usaha tertentu yang belum terjangkau oleh pelayanan
bank. Langkah ini dipandang telah menunjukkan hasil yang menggembirakan sejalan dengan
semakin meningkatnya kredit UMKM dan kredit baru perbankan.
Berdasarkan data November 2004, penghimpunan dan penyaluran dana perbankan
menunjukkan peningkatan. Pertumbuhan DPK juga meningkat sebesar Rp43,9 triliun atau
Tinjauan umum
351
4,9% sehingga tercatat sebesar Rp932,5 triliun. Sementara kredit perbankan yang diberikan
meningkat sebesar Rp96,2 triliun atau sekitar 20,2% sehingga posisinya menjadi Rp573,4
triliun (November 2004). Posisi UMKM yang disalurkan perbankan telah mencapai Rp270,5
triliun (posisi Oktber 2004) atau 51% dari total kredit perbankan (tanpa chanelling). Sementara
itu, pertumbuhan DPK juga meningkat sebesar Rp43,9 triliun atau 4,9% sehingga tercatat
sebesar Rp932,5 triliun. Dengan pertumbuhan kredit yang lebih besar dari pertumbuhan
DPK telah mendorong perbaikan LDR perbankan dari 43,2% pada tahun sebelumnya menjadi
49,5%. Kualitas kredit menunjukkan perbaikan sebagaimana tercermin dari membaiknya
NPLs gross dari 8,2% pada tahun sebelumnya menjadi 6,6% (November 2004). Sementara
NPLs net juga membaik dari 3,04% pada tahun sebelumnya menjadi 2,01% (November
2004). Rendahnya NPL juga memperbaiki kinerja profitabilitas perbankan. Pendapatan bunga
bersih (NII) meningkat 28% sementara efisiensi meningkat yang ditandai oleh menurunnya
rasio BOPO dari 88,8% pada akhir tahun 2003 menjadi 80,8%. Dari sisi permodalan, CAR
perbankan berada pada level yang memadai dan relatif stabil yakni 19,7%.
Sejalan dengan perkembangan bank umum, perkembangan perbankan syariah dan
BPR juga menunjukkan perkembangan yang meningkat. Kegiatan usaha perbankan syariah
menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, tercermin dari jumlah aset yang tumbuh 6,3%
dari triwulan sebelumnya hingga mencapai 13,5 triliun. Pertumbuhan volume usaha ini juga
didukung oleh pertumbuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah. Peningkatan yang sama juga ditunjukkan dari total dana pihak ketiga yang
dihimpun yang meningkat 4,12% menjadi Rp10,1 triliun, dan penyaluran dana yang
meningkat 5,9% menjadi sebesar Rp10,7 triliun. Dengan laju pertumbuhan pembiayaan
yang melebihi pertumbuhan dana yang dihimpun tersebut, maka FDR perbankan syariah
meningkat menjadi 105,8%.
4. EVALUASI PERKEMBANGAN DAN KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN
Secara umum, selama triwulan IV-2004 kebijakan yang ditempuh dalam sistem
pembayaran tunai adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat
dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam
kondisi yang layak edar.
Dalam triwulan laporan, Bank Indonesia telah mengeluarkan dan mengedarkan uang
kertas emisi baru pecahan Rp100.000,00 dan Rp20.000,00 yang dilakukan pada tanggal
29 Desember 2004. Pengeluaran dan pengedaran uang kertas emisi baru tersebut dilakukan
antara lain berdasarkan pertimbangan bahwa usia edar yang telah cukup lama serta bertujuan
352
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
untuk menstandarisasi ukuran uang kertas, meningkatkan kualitas unsur pengaman yang
mudah dan cepat dikenali masyarakat antara lain dengan menerapkan optical variable ink
(OVI) dan memperlebar ukuran benang pengaman, serta memasukkan unsur blind code.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang hari raya keagamaan, Bank
Indonesia melakukan peningkatan pelayanan penukaran uang di seluruh Kantor Bank
Indonesia (KBI) serta meningkatkan peran penukaran uang pecahan kecil kepada
masyarakat oleh Perusahaan Penukaran Uang Pecahan Kecil (PPUPK) dengan
penambahan plafon, membuka loket sementara di tempat-tempat strategis, meningkatkan
pelayanan penukaran di tempat-tempat keramaian, serta menginformasikan kegiatan dan
lokasi tempat penukaran oleh PPUPK melalui media cetak dan elektronik.
Sejalan dengan terdapatnya faktor musiman khususnya hari raya keagamaan dalam
triwulan IV-2004, beberapa indikator pengedaran uang seperti jumlah uang yang diedarkan
(UYD), aliran uang masuk (inflow) dan aliran uang keluar (outflow) menunjukkan peningkatan
dibandingkan triwulan sebelumnya. Jumlah uang kartal yang diedarkan (UYD) pada posisi
akhir triwulan IV-2004 tercatat sebesar Rp126,90 triliun atau meningkat sebesar 9,33%
dibandingkan dengan posisi akhir triwulan sebelumnya. Dilihat dari jumlah bilyet/keping
uang kartal yang diedarkan Bank Indonesia, 89,5% merupakan uang pecahan Rp5.000 ke
bawah, dan sisanya sebesar 10,5% merupakan uang kertas pecahan besar (Rp10.000 ke
atas). Dari seluruh pecahan besar tersebut, uang yang paling banyak beredar di masyarakat
adalah pecahan Rp50.000 dan Rp10.000 masing-masing sebesar 48,6% dan 20,6%. Aliran
uang keluar (outflow) dari Bank Indonesia pada triwulan IV-2004 meningkat sebesar 30,1%
dibandingkan triwulan sebelumnya, sedangkan aliran uang masuk (inflow) hanya meningkat
sebesar 16,3% dari sebesar Rp64,51 triliun menjadi Rp74,99 triliun. Peningkatan outflow
yang cukup signifikan pada triwulan IV-2004 tersebut terutama didorong oleh meningkatnya
permintaan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama periode hari raya
keagamaan dan tahun baru.
Di sistem pembayaran non tunai, dalam triwulan IV-2004 kebijakan diarahkan pada
upaya penurunan risiko dan peningkatan efisiensi sistem pembayaran. Guna merealisasikan
tujuan tersebut, Bank Indonesia melakukan serangkaian kegiatan antara lain penyusunan
mekanisme Failure to Settle (FtS), pengembangan Sistem Kliring Nasional (SKN) dan
Penerbitan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu.
Dalam triwulan IV-2004, total aktivitas BI-RTGS mencapai nilai Rp5.736 triliun dengan
jumlah transaksi sebanyak 1.365 ribu. Dibandingkan triwulan III-2004, total aktivitas BI-
Tinjauan umum
353
RTGS tersebut meningkat sebesar 19,7% dari sebelumnya sebesar Rp4.790 triliun,
sementara volume transaksi meningkat sebesar 3% dari sebelumnya sebesar 1.324 ribu
transaksi. Kondisi tersebut menyebabkan rata-rata harian (RRH) nominal transaksi meningkat
menjadi sebesar Rp94 triliun, sementara RRH volume transaksi meningkat menjadi sebesar
22.383 transaksi. Berdasarkan asal perintah untuk transaksi antar bank yang melalui RTGS,
maka bank umum swasta nasional merupakan pihak yang paling banyak melakukan transaksi
baik secara nominal maupun volume. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya transfer
dana untuk untung nasabah, besarnyanya aktivitas pasar uang antar bank, serta transaksi
fasilitas Bank Indonesia. Secara keseluruhan, transaksi antar bank untuk untung nasabah
memiliki volume yang paling signifikan di dalam sistem RTGS. Hal ini menunjukkan bahwa
nasabah sebagai pengguna akhir merupakan pihak yang paling diuntungkan dengan
keberadaan sistem RTGS.
Sementara itu, dari sisi kliring, dalam triwulan IV-2004 menunjukkan bahwa total
nominal kliring penyerahan secara nasional mencapai Rp322,9 triliun dengan warkat
sejumlah 18,7 juta lembar. Dibandingkan triwulan sebelumnya, nilai transaksi menurun
sebesar 10,5% dari sebelumnya Rp371,8 triliun serta volume transaksi menurun 15,5%
dari sebelumnya sebesar 22 juta transaksi.
5. PROSPEK EKONOMI DAN MONETER
5.1. Prospek Ekonomi Makro
Kondisi pemulihan ekonomi dengan disertai ekspansi pertumbuhanyang lebih
seimbang pada tahun 2004 diperkirakan akan tetap berlanjut di tahun 2005. Kondisi ini juga
sangat didukung oleh komitmen Pemerintah untuk mengoptimalkan upaya perbaikan iklim
investasi termasuk diantaranya upaya mengakselerasi pembangunan infrastruktur.
Sementara itu kondisi ekonomi global, meskipun tidak secerah tahun sebelumnya, dinilai
juga masih kondusif untuk menopang kegiatan ekonomi dalam negeri yang berorientasi
ekspor. Meskipun demikian, prospek ekonomi ke depan juga masih dihadapkan dengan
beberapa permasalahan struktural ekonomi yang apabila tidak diatasi akan menyebabkan
perekonomian Indonesia masih rentan terhadap beberapa shock yang yang terjadi baik
dari dalam maupun luar negeri. Beberapa faktor risiko tersebut antara lain terkait dengan
perkembangan harga minyak yang masih dapat bergejolak tinggi serta struktur arus modal
masuk jangka pendek yang rentan terhadap terjadinya pembalikan arus modal (capital
reversal).
354
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
Dengan beberapa perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan
I-2005 diperkirakan akan berkisar antara 5,0%-6,0% (yoy). Semua komponen pengeluaran
diperkirakan akan mencatat pertumbuhan yang positif, dengan komponen pendorong
pertumbuhan terbesar berturut-turut adalah ekspor, konsumsi, dan diikuti investasi. Peningkatan
konsumsi swasta masih akan terus terjadi pada awal triwulan 2005 ini, yang didorong oleh
peningkatan pendapatan masyarakat sejalan dengan naiknya pertumbuhan ekonomi. Hasil
proyeksi ini didukung oleh hasil survey konsumen yang menunjukkan semakin membaiknya
ekspektasi konsumen. Dari sisi pembiayaan, kredit konsumsi yang terus meningkat juga turut
memberikan sumbangan bagi kenaikan konsumsi. Dengan pertimbangan tersebut, maka
konsumsi swsata diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 5,0%-6,0% (yoy). Kegiatan investasi
diperkirakan akan mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi dalam kisaran 11,8%-12,3%
(yoy). Peningkatan kegiatan investasi terutama didorong oleh peningkatan kepercayaan
investor atas perbaikan iklim investasi. Hal tersebut diindikasikan dari komitmen Pemerintah
dalam mendorong investasi serta penguatan kepercayaan pebisnis yang terungkap dari hasil
Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU). Kegiatan ekspor diperkirakan juga akan tumbuh relatif
tinggi antara lain didukung oleh perkiraan meningkatnya kapasitas produksi di sejumlah sub
sektor industri. Seiring dengan peningkatan permintaan domestik dan ekspor, maka kegiatan
impor diperkirakan juag mengalami peningkatan.
Sementara di sisi penawaran, peningkatan nilai tambah diperkirakan akan berasal
dari sektor industri pengolahan, pengangkutan, listrik dan bangunan. Industri pengolahan
diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya atau pada kisaran
5,2%-6,2% di triwulan I-2005. Sub sektor industri alat angkutan, sub sektor kimia serta sub
sektor semen diperkirakan akan tumbuh cukup tinggi. Seiring dengan itu, penggunaan
pengolahan pun diperkirakan akan mengalami peningkatan dan secara rata-rata akan berada
pada tingkat di atas 70%. Sektor pertanian diperkirakan mengalami sedikit perlambatan
pertumbuhan terkait dengan mundurnya pelaksanaan musim tanam Oktober-Maret pada
sebagian areal tanam, khususnya areal tadah hujan. Namun demikian, penundaan tersebut
hanya akan menyebabkan penurunan produksinya pada awal triwulan. Dengan kondisi
tersebut sektor pertanian akan tumbuh berkisar 2,8-3,8% di triwulan I-2005. Sektor bangunan
diperkirakan akan tumbuh dalam kisaran 7,2-8,2% seiring dengan dimulainya pembangunan
beberapa proyek besar.
5.2. Prospek Inflasi
Secara umum prospek Inflasi triwulan I-2005 akan dipengaruhi oleh rencana kenaikan
Tinjauan umum
355
harga BBM oleh Pemerintah. Namun demikian, besarnya dampak dari kenaikan administered
prices tersebut masih tergantung pada magnitude dan timing dari implementasi kebijakan
Pemerintah, serta dampak tunda dari pengaruh tahap kedua (second round effect)
administered prices.
Di sisi penawaran, pasokan bahan makanan baik dari sisi produksi domestik maupun
impor diperkirakan masih akan tetap terjaga meskipun terdapat beberapa bencana alam di
beberapa daerah. Di samping itu, tekanan inflasi dari sektor ekstenal diperkirakan akan
relatif minimal dengan perkembangan nilai tukar ke depan yang diperkirakan semakin
membaik. Kedua faktor positif tersebut diharapkan akan mampu meredam tekanan inflasi
yang berasal dari kenaikan harga akibat kenaikan harga BBM.
5.3. Prospek Nilai Tukar
Dalam triwulan I-2005, kestabilan nilai tukar diperkirakan akan berlanjut dan bahkan
cenderung menguat. Optimisme pergerakan rupiah tersebut didukung oleh cukup
kondusifnya kondisi eksternal dan internal yang mempengaruhi terjaganya kondisi penawaran
dan permintaan valas, yang pada gilirannya turut menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Di
sisi permintaan valas, seiring dengan meningkatnya kegiatan investasi dan konsumsi,
kegiatan impor diperkirakan juga akan meningkat. Di sisi lain, pasokan valas yang berasal
dari ekspor diperkirakan meningkat sejalan dengan kinerja ekspor non-migas yang semakin
membaik. Pasokan valas lain diperkirakan bersumber dari aliran modal asing (capital inflows)
terutama yang berjangka pendek yang diperkirakan terus berlanjut. Berbagai faktor positif
dalam negeri akan mempengaruhi insentif investor asing dalam menanamkan dananya.
Peningkatan rating serta proyeksi utang oleh beberapa lembaga selama tahun 2004
merupakan bukti membaiknya risiko domestik yang pada gilirannya dapat meningkatkan
kepercayaan investor kepada Indonesia. Faktor lain yang menjadi daya tarik Indonesia
sebagai alternatif investasi terutama jangka pendek, yakni masih cukup menariknya imbal
hasil rupiah.
Meski prospek ke depan cukup positif, namun beberapa perkembangan dari sisi
eksternal perlu diwaspadai. Pergerakan USD yang cenderung terdepresiasi dalam jangka
panjangnya akibat permasalahan twin deficit, dapat berfluktuasi (terkoreksi) dalam jangka
pendeknya terutama terkait dengan berlanjutnya siklus pengetatan AS. Dalam triwulan I2005, Fedres merencanakan adanya FOMC sebanyak dua kali yaitu pada awal Februari
dan pertegahan Maret. Bila data perekonomian AS membaik maka pasar akan kembali
melakukan antisipasi terhadap kenaikan suku bunga Fedres. Fenomena ini berpeluang
356
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
membuat rupiah akan mengalami tekanan melalui transmisi ekspektasi kenaikan suku bunga
luar negeri.
6. ARAH KEBIJAKAN BANK INDONESIA KE DEPAN
Memperhatikan prospek ekonomi-moneter ke depan khususnya pencapaian sasaran
inflasi jangka menengah serta faktor risiko yang berpotensi memberikan tekanan pada
kestabilan ekonomi, dalam triwulan mendatang arah kebijakan Bank Indonesia di bidang
moneter, perbankan, dan sistem pembayaran sebagai berikut :
Di bidang moneter, kebijakan moneter dalam triwulan mendatang tetap diarahkan
pada upaya mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan, namun dengan tetap menjaga
momentum pertumbuhan yang sedang terjadi. Secara operasional, kebijakan moneter akan
ditempuh dengan dengan mengarahkan uang primer berada pada proyeksi indikatifnya
yakni rata-rata tumbuh sebesar 11,5 - 12,5% pada tahun 2005. Untuk meningkatkan
efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia akan menggunakan suku bunga sebagai
instrumen kebijakan moneter pada pertengahan tahun 2005. Penggunaan target operasional
suku bunga sebagai pengganti base money dalam pengendalian moneter ini juga
dimaksudkan agar kebijakan moneter lebih fleksibel dalam merespon dinamika
perekonomian yang terjadi serta sinyal kebijakan ini yang lebih mudah dibaca oleh pasar.
Di bidang perbankan, kebijakan dalam triwulan mendatang diarahkan untuk
melanjutkan upaya-upaya untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan dan perbankan
serta mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan dsiesuaikan dengan arah
kebijakan perbankan kedepan yakni : (i) Mengakselerasi proses konsolidasi industri
perbankan melalui penyelesaian proses konsolidasi individual bank dalam tahun 2005, (ii)
Mengimplementasi langkah-langkah penguatan infrastruktur sistem keuangan antara lain
melalui pendirian LPS, penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan good corporate
governance perbankan, melanjutkan program sertifikasi manajemen risiko, persiapan
pembentukan Credit Bureau; (iii) Penguatan aspek-aspek prudential dan peningkatan fungsi
intermediasi melalui penyempurnaan ketentuan BMPK, Sistem Informasi Debitur (SID), dan
Sekuritisasi Aset, Kualitas Aktiva Aset, Pinjaman luar negeri, serta penyelesaian pengaduan
nasabah dan perlindungan nasabah dan transparansi informasi produk perbankan.
Penguatan aspek-aspek pridensial dan peningkatan fungsi intermediasi tersebut melalui
penyempurnaan beberapa ketentuan tersebut akan dikeluarkan pada bulan Januari 2005
dalam bentuk Paket Kebijakan Perbankan. Dalam paket kebijakan tersebut, juga akan diatur
pula perlakukan khusus terhadap kredit bank umum di Provinsi NAD dan Kabupaten Nias.
Tinjauan umum
357
Di bidang sistem pembayaran tunai, kebijakan tetap diarahkan pada upaya untuk
memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis
pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi yang layak edar. Terkait dengan hal
tersebut, pada triwulan mendatang Bank Indonesia tetap mengupayakan pemenuhan
kebutuhan uang tunai di seluruh wilayah di Indonesia sesuai dengan rencana distribusi
serta memantau kecukupan persediaan kas. Sementara itu, dalam rangka memenuhi
kebutuhan uang kartal di wilayah bencana di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam ditempuh
beberapa langkah antara lain dengan mengoperasikan kegiatan pelayanan kas sementara
bertempat di rumah dinas Bank Indonesia, memfungsikan KBI Lhokseumawe untuk mensupply uang tunai ke KBI Banda Aceh di bawah koordinasi KKBI Medan, serta mengirimkan
tenaga kasir Kantor Pusat untuk membantu operasional perkasan di KBI Banda Aceh maupun
KBI Lhokseumawe. Selain itu, Bank Indonesia akan melanjutkan langkah-langkah
penanggulangan uang palsu antara lain melalui perluasan jejaring dan kerjasama dengan
pihak-pihak terkait pada langkah penanggulangan uang palsu. Sejalan dengan itu, upayaupaya publikasi dalam rangka pengenalan masyarakat atas ciri-ciri keaslian uang Rupiah
akan dilanjutkan melalui media elektronik dan media cetak.
Di bidang sistem pembayaran non tunai, kebijakan tetap diarahkan untuk melanjutkan
upaya-upaya pengurangan risiko pembayaran, peningkatan kualitas dan kapasitas layanan
sistem pembayaran serta pengaturan pengawasan sistem pembayaran guna mewujudkan
sistem pembayaran yang cepat, aman, dan efisien. Dalam rangka meminimalkan risiko,
meningkatkan efisiensi dan kesetaraan (fairness) dalam sistem pembayaran serta adanya
perlindungan konsumen bagi pemakai jasa sistem pembayaran, maka dalam tahun 2005
Bank Indonesia akan mengimplementasikan beberapa program yang telah disusun pada
tahun 2004 dan penyusunan ketentuan antara lain pelaksanaan FtS, Sistem Kliring Nasional,
pelaksanaan pengawasan sistem pembayaran dengan menggunakan kartu dan sosialisasi
untuk memperlancar implementasi Daftar Hitam Nasional (DHN).
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
359
Fiscal and Monetary Policy Interaction :
Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
Firman Mochtar 1
September 2004
Abstract
Paper ini menganalisa interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia pada masa sebelum
dan sesudah krisis, dengan melakukan estimasi atas quasy fiscal activity (QFA) Bank Indonesia dan
mengurai interaksi antara kebijakan fiskal dan moneter. Penulis menemukan bahwa selama masa
krisis, aktifitas ini (QFA) ada dan dilakukan oleh bank sentral Indonesia. Hal ini berbeda dengan masa
sebelum krisis dimana QFA memiliki besaran yang netral. Dalam kaitan interaksi kebijakan fiskalmoneter, fakta ini menunjukkan dominasi kebijakan fiskal pada masa setelah krisis.
Analisa interaksi antara kebijakan fiskal dan moneter ini membawa implikasi kebijakan di Indonesia yakni perlunya disiplin dalam kebijakan fiskal dan perlunya komitmen untuk mempertahankan
sustainability kebijakan tersebut. Kegagalan mencapai kebijakan fiskal yang optimal akan mengurangi
efektifitas kebijakan moneter dalam rangka mengontrol inflasi meski dalam kerangka inflation targeting yang secara parsial sudah diimplementasikan oleh Bank Indonesia.
Keyword: Quasi Fiscal Activities, Fiscal Policy, Monetary Policy, Inflation Targeting
JEL: E11, E31, E52, E62
1 Bank Indonesia. This paper was written while the author visited Bank for International Settlement. I am grateful to
PalleAndersen, Madhusudan Mohanty, David Lebow, Feng Zhu, Piti Disyatat, Diana Permatasari and Reza Anglingkusumo
forhelpful suggestions and detailed comments. Author would like also to thank all the colleagues in Macroeconomic
Monitoringsection and Emerging Market Issues Section for the hospitality and the discussion. Any opinions expressed are
those of theauthor and not necessarily those of the Bank Indonesia or the Bank for International Settlement.
360
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
1. INTRODUCTION
Intensive challenges in conducting macroeconomic policies emerged in Indonesia
since the Asian crises hit in 1997. Monetary policy was engaged with exhaustive challenges.
Exchange rate depreciated sharply while monetary base grew rapidly triggered by central
bank’s liquidity support. Under these circumstances, inflation increased sharply in 1998 to
reach 82%. On fiscal policy side, the sharp depreciation of the exchange rate inevitable
raised the foreign debt burden in term of domestic currency. Moreover, a huge amount of
expenditure was still required regarding the policy to restore the banking system and also to
finance other government operational expenditures.
Macroeconomic policies pursued afterwards expressed the effort to solve the problem.
Tight monetary policy was conducted to absorb a huge amount of excess liquidity. From fiscal
side, central government had issued domestic debt both for replacing the central bank’s liquidity
support and for recapitalizing banking system during period September 1998 and October 2000
(Bank Indonesia, 1999 and Hawkin, 1999). Furthermore, starting 2002 government has also
issued different types of bond to finance the state budget deficit2 . The total government debt,
both domestic and external, rose from 25% of GDP at end-1996 to 96% at the end of 2000.
This paper is intended to test empirically fiscal and monetary policy interaction during
that period of macroeconomic adjustment. The interaction will be viewed from the plausibility
quasi fiscal activities by central bank (QFA)3 and be extended to test fiscal versus monetary
dominance. The QFA estimation is motivated by the fact that during the period adjustment,
the fiscal side come under a heavy burden while in monetary side accorded a sharp increase.
On assumption that consolidated government budget identity holds this fact generates some
suspicion of fiscal monetization in Indonesia during that period. Conceptually, this
circumstance could lead to QFA since QFA emerges if total public sector spending is above
additional central government public debt. As residual of those two variables, QFA is required
to finance the central government financial gap.
Moving forward from QFA issue, fiscal versus monetary dominance test is also gauged
to confirm the QFA result. Still on assumption that consolidated government budget identity
holds, the presence of QFA could also imply the presence of the fiscal dominance in view of
fiscal and monetary policy interaction. Under this circumstance, fiscal policy which is reflected
2 Boediono (2004) explained that the increase of the domestic debt was associated with the effort to support banking system
and classified them into three main policy namely (i) policy to overcome the shortage of liquidity in banking system
through Bank Indonesia’s liquidity support, (ii) policy to guarantee public’s deposit in banking system and (iii) policy to
recapitalize banking system.
3 The acronym QFA will be used frequently to express the quasi fiscal activities by central bank
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
361
in present value of primary balance will move exogenously to the initial total public debt and
sequentially required monetary policy to satisfy consolidated budget identity.
Extending method proposed by Buiter (1993), Budina-Wijnbergen (2000) and
Markiewicz (2001) for the QFA estimation, the paper finds that fiscal and monetary interaction
in Indonesia the during the crises has created QFA phenomenon. Most of the source behind
the figure since 1998 inevitably was the effect of rescue operation held by the central bank
associated with the financial system which has consecutively deteriorated central bank
balance sheet. In addition to this source, huge increase in central bank securities also
contribute to QFA because it has enlarged the cost of central bank on monetary instrument
and again sequentially worsen central bank balance sheet position. Parallel to the QFA
result, the paper also finds that fiscal policy is likely to be more dominant in view of fiscal
and monetary policy interaction during the crises. Utilizing method employed by Canzoneri
et.al (2001) and Tanner and Ramos (2002), paper obtains that fiscal policy has moved
exogenously to debt performance post 1997 such that could lead to the emergence of fiscal
dominance classification.
Based on the findings, the paper finds some implication for monetary policy in Indonesia.
The nature of fiscal and monetary policy interaction implies that imposing monetary policy
effectiveness in Indonesia still call for a higher fiscal discipline and commitment of the
government to maintain the sustainability. Parallel to some arguments4 , this paper’s results
imply the failure to solve fiscal performance optimally could deteriorate monetary policy
effectiveness to control inflation even under inflation targeting framework which has been
partially implemented in Indonesia.
Paper will be organized into five parts. Part two estimates the QFA by central bank in
Indonesia. Employing part two result, part three presents the test of fiscal versus monetary
policy dominance. Part four addresses some implications of the results for the effectiveness
of monetary policy in Indonesia under inflation targeting framework. Part five concludes the
paper.
2. ESTIMATING QUASI FISCAL ACTIVITIES BY CENTRAL BANK
In this part, firstly we estimate quasi fiscal activities by central bank. Indeed the
estimation will only provide an approximation of QFA, not a precise number because the
method used to estimate only applies to the aggregation level. This approach provides a
good direction of QFA if the precise information of QFA is not available (Markiewicz, 2001).
4 See Loyo (1999), Blanchard (2004), Favero and Giavazzi (2004)
362
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
QFA in this estimation is obtained from the simple manipulation of consolidated government
budget constraint which is formed from central government budget constraint and central
bank financial account. As explained in many macroeconomic and monetary theory text
books5 , consolidated government budget constraint defines that in addition to revenue from
tax, to meet the spending, government sells bonds to public and/or to the central bank. On
assumption that consolidated government budget identity holds, QFA will be acquired if
total public sector borrowing requirement6 is higher than additional central government public
debt which eventually finance from central bank to fill central government financial gap.
2.1. Analytical Review
To describe the QFA in Indonesia, I modified and extended the Buiter (1993), BudinaWijnbergen (2000) and Markiewicz (2001) analytical framework such that it could represent
Indonesia’s consolidated public budget identity ‘prototype’. As explained earlier, to derive
QFA, firstly we should form consolidated government budget constraint which is amalgamated
from central government budget constraint and central bank’s financial account.
Government Budget Constraint
As explained in many standard analyses, central government budget constraint can
be depicted as:
g
g
G − T + iB-t1 + iDC−1 − iDEP−1 +[(1 + EÌ‚ )(1 + i * ) − 1] B*−1 E −1
(2.1)
= ÄBt + Ä(B* E) + ÄDCg − ÄDEPg +CBT
where G – the non interest government spending, T – government domestic revenue
including non-tax revenue, i – nominal interest rate, Bt - total government‘ domestic debt,
DCg - credit to government from central bank, DEPg - government deposits at the central
bank, B*- government’ foreign debt, E – nominal exchange rate, CBT – transfer from central
bank which obtained from some proportion of central bank profit. The asterisk * denotes
variable in foreign currency, ∆ indicates the absolute change in the expression that follows
and ^ denotes a percentage change in variable.
By defining D = G –T as primary deficit, equation (2.1) describes that funding
requirement for the general government primary deficit, interest paid on domestic government
debt, interest paid on domestic credit extended by the central bank to the government minus
government deposit at the central bank plus interest on foreign debt expressed in terms of
5 See Walsh (2003, chapter 4) for the an example
6 which is also called overall budget balance obtained from tax revenue minus total government spending
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
363
domestic currency should be equal to the financing sources i.e. government’s domestic and
foreign debt issue, net credit to government extended by the central bank and transfer from
central bank.
Following Budina-Wijnbergen (2000) and Markiewicz (2001) to capture the impact of
the exchange rate on domestic value of foreign debt, changes in the value of government
foreign liabilities are broken down into the change in stock of foreign debt, exchange rate
changes and cross-term product:
(2.1a)
*
ˆ ÄB* + B* ∆ E + ÄB* ∆ E
Ä(B E) = E
-1
−1
Combining (2.1a) to (2.1) to obtain the central government budget constraint that has
eliminated the effect of exchange rate devaluation on the government foreign debt:
D + iB-t1 + iDCg−1 − iDEP−g1 + (1 + EÌ‚) i*B*−1 E −1
(2.2)
= ÄB + (ÄB )E-1 + ÄB ∆E + ÄDC − ÄDEP + CBT
t
*
*
g
g
The Central Bank’s Financial Account
The central bank’s financial account is formed trough central balance sheet and central
bank’s profit and loss account. Referring to Bank Indonesia’s balance sheet, we have the
following identity:
(2.3)
NW + ÄM + ÄBm = ÄBg + ÄDCg − ÄDEPg + ÄCp + Ä(NFA*E)
where M – monetary base, Bg - government bond held by the central bank, Bm - central
bank securities used as monetary instrument, Cp - credit to non-governmental sector
(commercial bank and private sector), NFA – net foreign asset, NW – net worth obtained
from profit of central bank minus CBT.
Equation (2.3) show different characteristic from the standard central bank balance
sheet in many in industrial countries. Equation (2.3) provides the use of central bank securities,
Bm , in the identity and later will have some implications to the result of QFA. The contribution
of central bank securities in QFA is also parallel to Rodriguez (1994) and Beckerman (1995)
arguments for Argentina experience in 1989-1990 which showed a considerable QFA due
to the large use of central bank securities in Argentina’s monetary management at that time.
As Van’t dack (1999) and Hawkin (2004) survey experiences of emerging countries and
show that many central banks use them for open market operation.
Meanwhile from the profit and loss account, the central bank’s ‘net’ profit is defined
as:
364
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
g
g
g
p
*
m
(2.4) NW = { iDC −1 − iDEP−1 + iB −1 + iC −1 + [(1 + i*)(1 + EÌ‚) − 1] NFA −1 E −1 − iB −1 }− CBT
Combining balance sheet (2.3) and profit and loss account of the central bank (2.4)
and eliminating the exchange rate effect will reproduce central bank’s financial account as:
g
g
g
m
p
*
*
(2.5) i DC −1 − i DEP−1 + i B −1 − i B −1 + i C −1 + (1 + EÌ‚) i NFA −1 E−1
= ÄB − ÄB + ÄDC − ÄDEP + ÄC + ÄE-1 ∆NFA + ∆E ÄNFA − ÄM + CBT
g
m
g
g
p
*
*
Consolidated Government Budget Identity
By defining B=Bt - Bg as the government debt held by the private or commercial bank
and substituting into combined government budget constraint (2.2) and central bank financial
account (2.5), we get the total public sector budget constraint. However, because we are
trying to focus on the changes of net foreign debt then the small changes of exchange rate
can be ignored to obtain:
(2.6) D + i B-1 + i B −m1 + (1 + EÌ‚) i* (B −* 1 - NFA −* 1 ) E −1 − i C −p1
= ÄB + ÄB + E-1 ( ∆B − ÄNFA ) − ÄC + ÄM
m
*
*
p
Equation (2.6) expresses consolidated government budget constraint. The deficit of
public sector can be financed by increasing domestic – including central bank securities- or foreign debt, money creation or increasing liabilities (in foreign currencies or in domestic
currency for non-governmental entities) of the central bank. Unlike standard consolidated
government budget constraint, the central bank securities appears as a part of government
spending in consolidated sense and can be part of the total public debt held by the private.
Approximation of Quasi Fiscal Activities
Indeed, the proxy of QFA could be captured from equation (2.6) if the total public
sector borrowing requirement as described from the left hand side of equation (2.8) is above
additional central government public debt. QFA can be obtained from the residual of those
two variables because it implies the money needed to finance the central government financial
gap. Nevertheless, this approach could bring some misleading result if government borrowing
requirement grow faster than government deficit. Following Markiewicz (2001), to overcome
the problem equation (2.6) will be slightly manipulated by separating the source of financing
from central bank and government as follows:
(2.7)
ÄB + ÄB + E -1 (∆B − ÄNFA ) − ÄC + ÄM =
m
*
*
p
[ ÄB+ E -1( ∆B* ) + ∆DC g - ∆DEP g ] - [∆DC g - ∆DEP g - ÄBm + E -1 (∆NFA* ) − ÄM + ÄCp ]
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
365
The right hand side of (2.7) describe the borrowing requirements of the general
government and borrowing requirement of the central bank. The second part of the right
hand side of (2.7) expresses the net other items in central bank behaviour which will be the
main part of analysis or exclusively be defined as:
(2.8)
∆DC - ∆DEP - ÄB + E-1 (∆NFA ) − ÄM + ÄC = ÄNOI
g
g
m
*
p
Equation (2.8) is the centre of analysis of the QFA which describes the amount of
money required by the central bank to balance the fiscal operation by central government
such that can satisfy the consolidated government budget constraint in equation (2.6).
Equation (2.8) implies the amount of money created by central bank as part of public entities
to finance the central government spending. By definition, indeed equation (2.8) indirectly
also reflects the flows of central bank’s net worth for a certain period because it also shows
the difference between bank’s asset and its liabilities7 . The negative value of NOI could
reflect that liabilities of the bank has exceeded asset and could indirectly provide the fragility
of the central bank’s financial position. With respect to our case, the negative value of NOI
could indicate a QFA by central bank at that period.
g
g
m
*
p
∆DC
- ∆DEP -(2.8)
ÄB is
+ Ea-1 (higher
∆NFA of
) − ÄM +. This
ÄC =equation
ÄNOI
One of the source of the deficit
in equation
g
g
m
*
p
∆DC
DEPshock
- ÄB that
+ E-1could
(∆NFArise
) − ÄM +and
ÄC subsequently
= ÄNOI
implied
that- ∆
any
will lead a deficit in QFA.
g
g
m
*
p
∆DEP(1996),
- ÄB +the
E-1 source
(∆NFA )of− ÄM +rise
ÄCcould
= ÄNOI
Following Mackenzie∆DC
and -Stella
be initiated from the
central bank rescue operation related to the financial system which can take a variety of
form – from a simple infusion of capital, to an assumption of nonperforming loans, to an
after-the-fact exchange rate guarantee. Table 1 reproduce Mackenzie and Stella (1996)
classification.
..
Further discussion could be addressed to the role of central bank securities (ABm) in
estimating the QFA. By definition equation (2.8) implied that sterilization by central bank
..
through increasing ABm implies will raise QFA. Nevertheless, by practice this hypothesis
..
could not be always occurred because when base money (AM) would also contract the
same amount when central bank sterilize the money supply by selling the central bank
..
securities. The higher ABm would raise the QFA only if AM does not change due to other
source of monetary policy expansion which is higher that central bank policy contraction
through that central bank securities. The Argentina’s experience in 1989-1990 referred by
7
Stella (1997) distinguished definition between net worth and capital in view of central bank balance sheet. He defined net
worth as the price a fully informed risk neutral investor would pay to purchase the bank under normal condition. Meanwhile
capital was defined as the amount directly invested by shareholder plus accumulated retained earning minus losses. The
term of net worth is more appropriate to our paper because it captures the changes in the value assets and liabilities both
for past and future changes.
366
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
Rodriguez (1994) and Beckerman (1995) could be parallel to this hypothesis because tight
monetary policy employed central bank securities caused a monetization and could not be
fully sterilized by central bank.
Tabel 1.
Clasification of Quasi Fiscal Activities
Operation Related to the Exchange Rate System
Multiple exchange rate
Import deposits
Deposit on foreign assets purchases
Exchange rate guarantees
Subsidies exchange risk insurance
Operation Related to the Financial System
Subsidized Lending
Administrered lending
Preferential rediscounting practices
Poorly rediscounting practices
Loan guarantees
Reserve requirement
Credit ceiling
Rescue operations
Source : Mackenzie and Stella (1996), page 4
2.2 Empirical Result: the crises forced the central bank run quasi fiscal deficits
Employing the ratio to GDP for each variable of annual data 1986 – 2003, the empirical
result of (2.8) indicates that banking crises played a big role in raising central bank’s QFA. The
central bank has been running QFA since 1997 which reached the highest level in 1999.
These figures were really contrast to pre-1997 environment which posed mostly neutral position
in term of QFA. In comparing to primary balance of the central government reported by the
central government, this QFA figure deviated in a wide range because central government
primary balance during that period always showed a surplus number (Graph 1).
From QFA and primary balance figures deviation, an interesting characteristic of those
deviations between NOI and the government primary balance is the emergence of three
different regimes of the fiscal adjustment and monetary movement. The first period is prior
1990 which provide deficit number in central government primary balance and a relatively
neutral in central bank operation. The second regime refers to the period between 1990 and
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
367
1997 which describes fiscal adjustment to maintain primary surplus while the central bank
maintained a neutral position. The last period is period after 1997 which engages deficits in
central bank quasi-fiscal activities while primary balance turned positive.
5.0
5.0
3.0
3.0
1.0
1.0
-1.0
-1.0
-3.0
-3.0
-5.0
-7.0
-9.0
-11.0
-5.0
QFACB I (actual ER)
Govt. Primary Surplus/Deficit
QFACB II (1997 constant ER)
Seignorage
Overal Balance
-7.0
-9.0
-21.5
-17.1
-11.0
1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Source : Bank Indonesia, Ministry of Finance, author’s calculation
Graph 2.1. Quasi Fiscal Activities by Central Bank,
Seigniorage, Government Primary and
Overall Balance
Several facts explain the three different regimes. In first period (i.e prior 1990), the
deficit figures in government spending notably relates to the role of the government as the
economic agent to enhance economic growth. To support the objective, the government
used foreign debt as the financing source of deficit. This was possible because under small
contribution of the private agent, government placed itself in the centre of economic
development. From QFA analysis, several positive NOI implies that not all the foreign debt
was spent into domestic economy. Instead, some of them were placed as deposit in the
central bank account. The government account and NFA of central bank increased steadily
in this period. In monetary policy part, this figure also represents the central bank role to
sterilize government expenditure. Nevertheless, the figure in this regime could also lead a
misleading interpretation because in this episode the lack of transparency in fiscal policy
has a strong environment. During this time, the use of off-budget account also appeared in
other financial institution. Therefore the deficit primary budget balance number can be
misleading figures of central government operation during this regime.
From the second period (1990 – 1997), the positive primary surplus of central
government budget corresponds to higher revenue from the positive impact of high economic
growth and high oil and gas price. Except in 1992, this economic environment leads the
fiscal policy to accumulate surplus on both primary and overall balance. In result of the
accumulated primary surplus and the high economic growth, fiscal sustainability tend to
368
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
emerge described from declining trend of debt to GDP ratio (Graph 2). From monetary
movement, it is again slightly neutral. Nevertheless some events still occurred at that time
which contribute to QFA. As stipulated in central bank law 1968 act, the central bank should
support government effort to enhanced economic growth and create employment. One policy
of central bank related to the QFA in this regime corresponded to the activities of central
bank credit to finance the private sector through liquidity credit of Bank Indonesia, so called
KLBI. Before 1998, this credit posed a high number (Graph 3). Mackenzie and Stella (1996)
argued this type of financing can be classified into QFA because it was formed as subsidized
lending ranging from relative direct practice of lending at administered rates set below market,
lending to poor credit risk and lending without adequate collateral.
100
Percent
Percent
100
Total Debt excluding Govt Debt in BI
Foreign Debt Stock
Domestic Debt including in BI
90
80
90
80
70
70
60
60
50
50
40
40
30
30
20
20
10
10
-
19851986 19871988 19891990 19911992 19931994 19951996 19971998 19992000 20012002 2003
Source : Bank Indonesia, Ministry of Finance, author’s calculation
Graph 2.2.
Government Foreign and Domestic Debt
10
30,000
Liquidity Credits (billion Rp - left scale)
Ratio to GDP (% - right scale)
25,000
8
20,000
6
15,000
4
10,000
2
5,000
1984
1987
1990
1993
1996
1999
Source : Bank Indonesia, author’s calculation
Graph 2.3.
Bank Indonesia Liquidity Credit
2002
0
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
369
Another item contributed to the QFA in this region relates to the managed floating
exchange rate regime adopting during this period. Following Mackenzie and Stella (1996)
classification, operation to exchange rate system can be classified into QFA by central bank
because it both provide a hidden subsidy to the market that should paid by the central bank
by maintaining the level of the exchange rate at certain range. Central banks in this period
pursued sterilization policy of capital inflow in foreign exchange market such that could
prevent the further domestic currency appreciation at that time (Graph 4). Hence, this
managed floating exchange rate system inevitably reduces the central bank reserve and
bring down the QFA level lower than the government primary balance.
2,800
2,800
Lowest Band
Mid Band
2,700
Highest Band
Market Rate
2,700
2,600
2,600
2,500
2,500
2,400
2,400
2,300
2,300
2,200
2,200
Dec
Mar
1995
Jun
Aug
1996
Nov
Feb
May
Aug
1997
Source : Bank Indonesia
Graph 2.4. Rupiah Exchange Rate 1995 – 1997:
Intervention Band and Actual Rate
The third period was occurred since the Asia financial crises hit. The issue emerged
in this region is apparently loose monetary policy stance as reflected by the deficit number
in NOI while fiscal stance keep trying to maintain government primary surplus balance. In
the fiscal side performance, the primary balance indeed still reflects a government idea to
keep concerning to debt sustainability. The sharp depreciation of Indonesia’s exchange rate
lead an increase in foreign government debt in term of domestic currency (Graph 2).
Unavoidably, this problem cause higher principal and interest repayment debt that ultimately
cause deficit in overall balance.
This unfortunate debt burden performance has both limited the government stimuli to
the economy and restricted financing to restore the banking system. Fiscal problem had
forced the government to issue the domestic debt. From September 1998 to October 2000,
government issued two different domestic bonds i.e. bonds to replace the central bank’s
370
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
liquidity support8 and bonds to recapitalize the banking system (Bank Indonesia, 1999 and
Hawkin, 1999). In addition, starting 2002 government also issued domestic bond through
market auction to finance the government budget deficit. This additional debt consequently
brought to the higher burden of interest debt repayment than primary surplus obtained which
reached the peak on 2000 (Graph 2).
Interesting figures emerge since 1998 from the monetary side. Two type of analysis of
equation (2.10) employed current exchange rate and constant exchange rate generally
indicated that in this regime central bank run a high quasi fiscal deficit. The difference between
current exchange rate result and 1997 constant exchange result is only in the year of 1998
which obtained a surplus number for the NOI. However, this figure could bring a misleading
interpretation because those are more affected by the sharp depreciation effect of the
exchange rate such that could raise the net foreign assets (NFA) in term of domestic currency
value. Referring equation (2.1a) and (2.6) we should focus on the changes of the stock of
the net foreign asset instead of the effect of exchange rate changes. Therefore, the rest of
analysis, we will focus on 1997 constant exchange rate.
The general justification of this post 1997 performance was the effect of rescue
operation held by the central bank associated with the financial system. In 1998 central
bank engaged deficit of NOI amounted -4.7% of GDP while in 1999 deficit was apparently
getting higher. Those figures were contributed from liquidity support from central bank as
lender of the last resort (Bank Indonesia, 1998, 1999). Mackenzie and Stella (1996) survey
in some developing countries showed the possibility of the similar rescue operation could
generate QFA were mostly contributed from an infusion of capital to a troubled institution,
an assumption of non-performing loans, or an exchange rate guarantees by the central
bank. Those sources of QFA probably existed in Indonesia while the crises occurred.
In addition, some aspect in the central bank operation also contributes the deficit.
Following equation (2.8), the positive central bank securities could also contribute to the
deficit QFA. Following Mackenzie and Stella (1996) argument, increase of open market
operation to sterilize the liquidity injection of the financial rescue operation could be classified
to QFA because this central bank open market operation will enlarge the cost of central
bank. Similar arguments were also proposed by Rodriguez (1994) and Beckerman (1995)
for the case of Argentina in 1989-90. For Indonesia case, this relates to the sharp increase
of central bank securities (SBI) as shown since 1998 and subsequently has generate higher
cost for monetary expenses of the central bank (Graph 5).
8
These liquidity support were issued to prevent bank run and payment system failure
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
140,000
18
120,000
16
100,000
14
80,000
12
60,000
10
40,000
8
20,000
6
2000
2001
2002
2003
371
4
Monetary Operation Expenses (billion Rp - left scale)
SBI Stock average (billion Rp - left secale)
1 Mont SBI Interest Rate - average (% - right scale)
Source : Bank Indonesia’s annual report
Graph 2.5. Central Bank Securities: Stock, Interest
Rate and Monetary Operation Expenses
3. TEST OF FISCAL VERSUS MONETARY DOMINANCE
Part two results emphasize Mackenzie and Stella (1996) argument that central bank
can affect the overall public sector balance without affecting the surplus in government
primary balance. Period three of Indonesia fiscal adjustment and monetary movement
justify this argument by showing that the central bank has supported the consolidated
government financing. This fact is indicated from deficit figures of NOI while primary balance
still obtained surplus. These results lead a further question whether the sequential
government primary surplus sufficiently expresses fiscal commitment and discipline
regarding to debt performance and can be classified into monetary dominance in term of
fiscal and monetary interaction sense.
To answer these questions, the study will be extended to investigate the fiscal versus
monetary dominance in view of macroeconomic policy coordination. In this test, if government
does not adjust the primary balance sufficiently to reach sustainable debt level while the
central bank is forced to drive up the debt, then such regime will be classified into fiscal
dominant regime. By contrast, if the government could always ensure the primary balance
to balance intertemporal budget in balance while monetary policy is set independently, then
the economy is under monetary dominant (MD)8 . As we will in the next section, the answer
of this question will have some further implication to the monetary independence to maintain
the price stability.
9
The distinction between MD and FD regimes is due to Sargent and Wallace (1981)
372
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
3.1. Analytical Framework
This test basically is also initiated from the public sector budget one-period identity as
described in (2.6). Recall that Dt = Gt - Tt and ∆ indicates the absolute change from the
..
previous number for the respective variable. Use that definition and also define AM=St as
the nominal value of seigniorage then we rewrite (2.6) as the following form:
G t − Tt + i t -1B t-1 + it-1 B t - + (1 + EÌ‚t -1) i t-1 (B t -1 - NFA t-1 ) Et -1 − i t-1 C t-1
m1
*
*
*
p
m
*
*
*
*
p
p
= ( B t - B t-1 ) + (B m
t − B t-1 ) + E t[(B t − B t-1 ) − (NFAt − NFAt -1 )] − (C t − C t-1 ) + St
(2.6a)
Assume uncovered interest parity holds i.e it* = it ⁄ Eˆt and define net total public
liabilities excluding seigniorage as :
(2.6b)
L t = B t + Bt + E t ( Bt − NFA t ) − C t
g
m
*
*
p
then equation (2.6a) can be simplified:
(3.1)
g t + i t-1 l t-1 = τt + lt − lt-1 + st
g
g
g
where the small case letters have expressed the scaling of the respected variable to
nominal GDP. Following Walsh (2003), let assume the interest factor i is a constant and
positive, equation (3.1) can be solved forward to yield :
(3.2)
(1 + i) ltg−1 +
∞
×
∞×
∞× s
ltg+k
gt + k
τ t +k
t+ k
=
+
+
lim
♦ × (1 + i ) k
(1 + i) k k = 0 (1 + i) k k =0 (1 + i)k k→∞
k=0
Σ
Σ
Σ
If discounted value of government liabilities approaches zero over an infinite horizon
in the last term of equation (3.2) ie.
lim
(3.2a)
k♦
×
→∞
ltg+ k
=0
(1 + i )k
then equation (3.2) and (3.2a) summarize that the present discounted value of all and
future non-debt central government and seigniorage revenue should be equal to the present
discounted value of all current and future government expenditure plus current outstanding
net public liabilities plus interest.
Let as the net government primary balance that has involved seignoirage then the
intertemporal budget implies from (3.2):
(3.3)
(1+ i ) ltg−1 = −
×
∞
pbt +k
Σ
k
k = 0 (1 + i )
or
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
(3.3a)
∞
×
{ Σ
(1 + i) ltg−1 = − pbt + E
k =1
pbt +k
373
}
?
(1 + i)k ?
Equation (3.3) describes that government should react negatively to the current
outstanding government liabilities. The higher government debt liabilities should lead the
lower present value of primary deficit decrease (ie. the government should run a primary
surplus in the present value). By definition, this equation implies that primary balance surplus
can be generated through adjustment in expenditures, taxes or seigniorage.
3.2. Empirical Result: Since the crises fiscal plays dominant role
To test empirically the existence fiscal or monetary dominance, equation (3.3) will be
applied into VAR method which is similar to Canzoneri et.al (2001) and Tanner and Ramos
(2002)10 . Following Tanner and Ramos (2002), equation (3.3a) can also be manipulated
into changes form. To obtain this, add the net government primary balance from both side of
equation (3.3). Because adl ≡ pbt + (1 + i ) l t −1 = L t − Lt −1 represent the additional
g
g
g
liabilities (L) required to finance the operational deficit then (3.3) is re-written as:
(3.4)
adl = −
∞
∑ ∆ (1 + i)
pbt
k =1
k −1
Equation (3.4) interpret current additional debt required to finance operational deficit is
equal to the sum of discounted changes in the primary deficit. Following Tanner and Ramos
(2002) argument that refer to Campbell (1987) logic11 , the VAR implied from this theory is:
(3.5)
X t = a 0 + a 1 Xt − 1 + a 2 X t − 2 + K + v t
(
)
whereX = [∆pb, adl ] , ai is a vector of coefficients, and vt = vpb , vadl is a vector of error
term. In standard form, assume that each element of the error vector vt is in turn composed
of own error term w t = w pbt , w adl and contemporaneous correlation with other error:
(
(3.6)
)
vt = B wt
where B is a 2 x 2 matrix whose diagonal element (“own correlation”) equal one and
whose non zero off-diagonal elements reflect contemporaneous correlation among the error
term. Equation (3.6) also obtains impulse response functions that describe the effects of
current innovations wt on values of X. Like any VAR framework, system (3.5) estimates
relationships of time-series causality that run in both directions.
10 Komulaenen and Pirttilä (200) used other VAR technique to investigate empirically fiscal and monetary dominance issue
11 Campbell (1987) employed the similar idea to test the permanent income hypothesis in US data
374
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
To interpret VAR result which estimates in both directions of the variables then the
interpretation of checking fiscal or monetary dominance should be treated in similar way
and still need to consult to equation (3.3a). Following Tanner and Ramos (2002), first consider
the effect of additional debt ( adlt ) innovation to future primary balance ( pbt+1 ). The equation
(3.3a) interpret that the fiscal dominance (FD) will exist under this type of shock if primary
balance are determined exogenously and unrelated to the level of previous additional debt
and therefore the nominal and or discount factor must adjust in equilibrium to satisfy the
equation. In addition, Tanner and Ramos (2002) also argue that the positive relationship
could also indicate FD because it reflects that the primary deficits respond to liabilities in
unstable fashion.
On contrast, monetary dominance (MD) exist in this type of shock if primary balance
is determined in such way that (3.3a) is always satisfied, regardless the nominal income
and discount factor behave. According to this interpretation and equation (3.3a), the
relationship between primary balance and the additional government liabilities should be
negative and significant because they indicate that primary deficits compensate the changes
in liabilities to help limit debt accumulation. Walsh (2003) classified this as a traditional
analysis in which fiscal policy always adjust to ensure government’s intertemporal budget
identity while monetary policy is free to set nominal money stock or nominal of interest rate.
A second type of shock is to consider the effect of current primary balance innovation
to future additional debt. The FD will appear if there is no significant impact on the additional
future debt of the positive innovation of primary balance. Meanwhile, the MD will occur in
this type of shock if current innovation to the primary deficit should be positively related to
the additional future government debt and hence adlt . This figure imply that if the government
run the surplus primary balance then it can pay down the debt and hence reduce additional
future debt. Another interpretation also appears in MD regime if we extend the assumption
to a variable real interest rate. Under this scenario, negative relationship between primary
balance innovation and future debt should appear because it reflect a negative government
response of reduction of primary deficit by lower (higher) expected future interest payment
and hence could make a more (less) additional borrowing. Table 2 reproduce Tanner and
Ramos (2002) economic interpretation of the VAR system result regarding to the issues.
Employing quarterly data since 1984:2 to 2003:2, the estimations are grouped into
three sub-periods as indicated by QFA result i.e. period prior 1990, period between 1990
and 1997 and period after 1997. Some quarterly raw data are obtained from author’s
calculations from old government budget format. Since the quarterly data for external
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
375
Tabel 2.
Hypothetical Economic Interpretation, System (3.5), X=[∆pb, adl]
Current Primary Deficit (∆ pbt )* → Future Liabilities ( adlt+i )
Positive
Government pays down future debt, consistent with fiscal dominance regime
Zero
Primary deficit exogenous, consistent with fiscal dominance regime
Negative
Government anticipates future interest bill or other obligation, consistent with monetary
dominance regime
Current Liabilities (adlt )* → Future Primary Deficit ( ∆ pbt+i )
Positive
Unstable policy, consistent with fiscal dominance regime
Zero
Primary deficit exogenous, consistent with fiscal dominance regime
Negative
Government pay down past debt, consistent with monetary dominance regime
* Innovation
government debt stock is not available prior 1990, the external debt stock before 1990 was
calculated from net inflow government debt from balance of payment data of Bank Indonesia.
The primary surplus/deficit of government prior 1997 is generated by excluding the interest
and principal repayment foreign government debt from government budget.
The estimation result apparently confirms the QFA result estimation. The Granger
causality test in table 3 indicates the whole sample does not provide a significant relationship
between primary balance and additional debt required to finance the operational deficit.
This performance generally was supported from the sub-periods prior 1990 that do not
demonstrate a considerable relationship. The significant and negative relationship between
those two variables only appears in period between 1990 and 1997. This 1990-1997 result
is not a surprise result. Empirical data support this indication. An accumulated primary surplus
was move contrastly to the decreasing of the ratio of foreign government debt to GDP which
somehow could imply some sustainable fiscal policy.
The Granger causality test is also supported by impulse response function of VAR
result that implied an effort from fiscal policy to response future debt growth by accumulating
the government primary surplus. For period prior 1990 and since 1997 the impulse response
function does not show a significant response to the each innovation, regardless the order.
The significant impact only appear in period between 1990 and 1997 where the impulse
response function for 1990-1997 period estimation obtain a negative and significant changes
on public liabilities to an innovation of primary surplus for at least 1-2 periods (Table 4).
376
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
Tabel 3.
Granger Casuality Result X=[∆PDEF, ODEF]
1 Lag Model
1984:2 – 1990:1
1984:3 – 1997:3
1990:1 – 1997:3
1990:1 – 2003:1
1997:4 – 2003:1
1984:3 – 2003:1
2 Lag Model
∆ pbt ---> adlt+i
adlt ---> ∆ pbt+i
∆ pbt ---> adlt+i
adlt ---> ∆ pbt+i
0.081 (0.778)
0.041 (0.840)
0.029 (0.865)
0.012 (0.912)
0.004 (0.948)
0.001 (0.966)
0.236 (0.632)
2.111 (0.152)
2.962 (0.096) **
2.130 (0.150) ***
1.472 (0.239)
1.203 (0.276)
0.084 (0.919)
0.286 (0.752)
0.067 (0.934)
0.380 (0.685)
0.122 (0.885)
0.247 (0.781)
1.120 (0.349)
4.055 (0.023) *
1.511 (0.239)
1.095 (0.342)
0.659 (0.529)
0.572 (0.566)
F-test value of the hypothesis. P-value in parentheses
∆ pbt ---> adt+i
adlt ---> ∆ pbt+i
H0 : ∆ pbt does not granger cause adlt+i
H0 : adt does not granger cause ∆ pbt
*, **, *** indicate statistical significance at the 1, 5 and 10 percent level, respectively
Tabel 4.
Impulse Response Function Result X=[∆PDEF, ODEF]
1 Lag Model
2 Lag Model
∆ pbt ---> adlt+i
adlt ---> ∆ pbt+i
∆ pbt ---> adlt+i
adlt ---> ∆ pbt+i
1984:2 – 1990:1
NS
NS
NS
NS
1984:3 – 1997:3
NS
NS
NS
NEG (2 Periods)
1990:1 – 1997:3
NEG (1 Period)
NEG (2 Period)
NEG (1 Period)
NEG (1 Period)
1990:1 – 2003:1
NS
NS
NS
NS
1997:4 – 2003:1
NS
NS
NS
NS
1984:3 – 2003:1
NS
NS
NS
NS
NS: Not Significant ; NEG: Negative and Significant
For period after 1997, Granger causality test provides an insignificant figure. In addition
to that result, impulse response function of VAR system also obtained similar idea. The
response of public liabilities to primary surplus innovation provides an insignificant impact,
regardless the ordering. This result indeed slightly confirms the QFA estimation that posed
a deficit number since the crises occurred.
These results imply further description of fiscal and monetary policy interaction. The
period 1990-1997 indicates that the central government have slightly succeeded to pursue
a debt management. Government has sufficiently reduced the future debt as responses of
primary budget surplus. The impulse response function in this period indicated that a positive
shock of current primary surplus has negatively affected the future liabilities. Supporting the
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
377
argument, QFA was also quite neutral such that not sufficient enough to classify monetary
policy as sub-ordinate of fiscal policy. At some degree, the result of period 1990-1997 indicates
that monetary policy played dominant role with respect to fiscal and monetary policy
interaction.
Nevertheless the story changed abruptly while the crises hit the mid of 1997.
Although the lack of observation numbers may affect the story, the result indicated a
different portrait appeared. The sharp and huge depreciation of domestic currency, big
amount of issuing additional domestic debt and the unavoidable liquidity support from
central bank policy in 1997 – 1999 consecutively brought a big burden to fiscal policy
such that also involved monetary policy. This performance apparently indicates that
fiscal policy play more exogenously in this regime. Indeed, the study has also tried to
exclude the central bank securities to capture ‘real’ government debt and to see its
response to the primary balance performance. However, the result does not change
and keep showing similar conclusion.
4. IMPLICATION FOR INFLATION TARGETING IN INDONESIA
The results from two previous parts suggest several summaries to fiscal and monetary
policy interaction in Indonesia. First, prior crises 1997, generally fiscal policy have ensured
fiscal sustainability by accumulating primary surplus to reduce the debt ratio to GDP. Following
Leeper (1991) terms, fiscal policy during this period tended to be a passive policy because
it always tried to satisfy government budget constraint12 . Meanwhile, monetary policy plays
an active role which was confirmed by neutral position of QFA. This result apparently shows
that fiscal policy commitment on fiscal solvency lead macroeconomic policy during 19901997 under monetary dominance regime.
Second, since the 1997 the fiscal and monetary policy interaction exhibits a big different
portrait. Fiscal policy seems not be able to generate sufficient amount of primary surplus
balance to cover the rise of government debt burden both from external and domestic debt.
In addition to this, banking crises also generated deficit in QFA since 1998 which mostly
caused by central bank liquidity support to banking system. In addition to this, government
policies to withdraw their deposit in central bank also provide another reason the emergence
of QFA. In general, those two environments tend to lead the conclusion fiscal policy behaves
exogenously in view of fiscal and monetary interaction framework since 1997.
12 Leeper (1991) defined passive fiscal policy as a situation in which fiscal policy always adjust their primary balance to
satisfy government’s intertemporal budget. On contrast, if fiscal policy is set independently such that could generate
seigniorage from monetary authority then fiscal policy is defined under active fiscal policy.
378
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
How this fiscal and monetary interaction result could affect central bank objective to
control inflation while in other side degree of monetary policy independence probably has
increased due to the new central bank law enacted in 1999? Referring to Leeper (1991)
terms, the result of fiscal and monetary interaction after 1997 and also higher independent
in monetary policy could implies both active in fiscal and monetary policy regime was occurred
in Indonesia since 1999. Fiscal policy is exogenous to debt performance while monetary
policy restraint the policy only to inflation. This macroeconomic policy environment has
different implications to the effectiveness monetary policy objective to control the inflation
even under inflation targeting framework which implicitly has been adopted by Indonesia.
Much of discussion corresponds to the implication of those fiscal and monetary policy stance
on inflation behaviour were put under fiscal theory of price level (FTPL) literature13 . Under
this theory, inflation is not the sole of territory of the central bank but it is also contributed by
fiscal authority.
Carlstrom and Fuerst (1999, 2000) summarized two version of FTPL namely weak
form FTPL and strong form FTPL. Under weak form FTPL which is parallel to fiscal dominance
environment in this paper, inflation is indeed monetary phenomenon but money growth is
dictated by fiscal authority because an increase in future deficits must result in either a one
time increase in money (a one-time jump in the price level) or an increase in future money
growth (future inflation). This form is analogy to game of chicken emerges in which monetary
authority loses and is forced to “blink” for this behaviour.
Meanwhile the strong form FTPL argues that even if money growth is unchanged,
fiscal policy independently affect price level and inflation rate. Strong FTPL assumes that in
order to uniquely determine price, the additional restriction of government budget constraint
is needed. Prices will adjust so that the real of government debt can adjust to a level consistent
with the fiscal budget constraint even if monetary policy is unchanged. To summarize, those
two forms of FTPL subsequently imply that the central bank may be ineffective to commit to
an inflation target, either because central bank does not control the money supply (weak
form) or because inflation is not necessarily a monetary phenomenon (strong form).
Does this FTPL emerge in Indonesia in this period after 1997? This is empirical question
and even still provides long line debatable answers for the plausible existence of the theory
at least for strong form FTPL14 . Carlstrom and Fuerst (1999, 2000) argued that strong FTPL
has some empirical problem because it needs large elasticity in real interest rate in order for
13 See Leeper (1991), Koncherlakota and Phelan (1999), Cochrane (1998) and Woodford (1996, 2001) and Walsh (2003) for
this FTPL literature.
14 Some critics relates to the existence of FTPL see Carlstrom and Fuerst (1999, 2000), Buiter (2002, 2001, 1999),
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
379
self-fulfilling circle to occur. Those large real interest rate that is apparently unrealistic requires
three large elaticities: (1) a large interest of money demand; (2) a large response of output
to a decline in real balances and (3) large response of the real to decline in current output.
Parallel to Carlstrom and Fuerst (1999, 2000) argument, strong form of FTPL likely also
present empirical problem in case of Indonesia because all those assumptions seem not
appear in Indonesia economy as suggested in recent empirical studies in Indonesia regarding
to those issue 15 .
From the weak form of FTPL, the empirical situations in Indonesia also show similar
hints to strong form. So far, weak form of FTPL can not be identified clearly especially since
1999 when the central bank obtained more monetary policy independence through the new
central bank act. Since that time, central bank does not provide Bank Indonesia liquidity
credit (KLBI) as shown before 1999. In addition, the new act also prohibits government
intervention to monetary policy including seigniorage from the central bank. Despite QFA by
central bank show deficit number, some evidences support the idea that fiscal policy keep
trying to avoid financing from central bank. Except in 2003, domestic financing from central
bank tend to be negative which implies accumulating government deposit in the central
bank (Table 5). Instead, the sources of deficit financing were source from government bond
issuance and privatization of state enterprises. In addition to it, base money also grew at a
low level.
To sum up, the empirical data identified can not clearly identify FTPL occurrence in
Indonesia since 1999 for both strong and weak from of FTPL. The QFA in central bank
seems can be classified into monetary policy discretion due to liquidity support problem
while the fiscal dominance conclusion using VAR approach in part three test might still be
an ambiguous result due to the lack of data. Zoli (2004) employed data from some emerging
countries argues that VAR method could provide an ambiguous result. This result implies
that monetary policy could be still dominance in term of fiscal and monetary interaction
since period 1999.
Despite those empirical results rejection on FTPL and the tendency of monetary policy
dominance in Indonesia, some literatures still show that fiscal performance can still affect
the effectiveness of monetary policy even under inflation targeting. Using Brazil experience,
Blanchard (2004) indicated that expectation channel of fiscal performance deterioration
could cause a reversal effect of monetary policy to control inflation. Employing fiscal
dominance term to represent the deterioration of domestic government debt, Blanchard
15 Among others see Anglingkusumo (2004) and Simorangkir (2002) that examined demand for money function in Indonesia.
Macroeconometric model of Bank Indonesia (MODBI) also show a small elasticity result of interest rate impact on output.
380
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
Tabel 4.
Government Budget, 1997 - 2003 (Central Government Operation1) (% of GDP, Otherwise stated))
Items
1997/98
1998/99
1999/00
2000
2001
2002
2003
Level
Level
Level
Level
Level
Level
Level
Total revenue and grants
Domestic revenue
Tax revenue
Nontax revenue2)
112,276.0
112,276.0
70,935.0
41,341.0
156,408.5
156,408.5
102,394.5
54,014.0
200,643.7
200,643.7
125,951.1
74,692.6
205,334.5
205,334.5
115,912.5
89,422.0
301,077.7
300,599.5
185,540.9
115,058.6
300,185.9
299,885.4
210,952.7
88,932.7
342,787.0
342,446.9
248,444.5
94,002.4
Grants
Total expenditure and net lending
Central government expenditures
Current expenditures
Personnel
Goods and services
Interest payment
Interest on domestic debt
Interest on external debt
Subsidies
Other current expenditures
Development expenditure
Transfers to regions
Primary Balance3)
Statistical discrepancies
Overall Balance
0.0
109,302.5
88,377.5
61,491.9
17,269.0
8,999.3
10,817.6
0.0
10,817.6
21,121.0
3,285.0
26,885.6
20,925.0
13,791.5
(0.5)
2,973.5
0.0
172,669.2
146,019.6
104,452.6
23,216.1
9,862.4
32,864.3
8,384.8
24,479.5
35,785.7
2,724.1
41,567.0
26,649.6
16,603.6
(0.0)
(16,260.7)
0.0
231,879.0
201,943.0
156,755.6
32,718.8
10,764.5
42,735.3
22,230.4
20,504.9
65,916.4
4,620.6
45,187.4
29,936.0
11,500.0
0.0
(31,235.3)
0.0
478.2
221,466.7 341,562.7
188,391.9 260,508.3
162,577.1 218,923.3
29,612.9
38,713.1
9,604.8
9,930.9
50,068.1
87,142.4
31,237.9
58,197.0
18,830.2
28,945.3
62,745.3
77,443.4
10,546.0
5,693.5
25,814.8
41,585.0
33,074.8
81,054.4
33,935.9
46,657.4
0.0
0.0
(16,132.2) (40,485.0)
300.5
327,863.0
229,340.5
189,069.1
39,687.1
12,432.5
89,867.7
64,461.3
25,406.4
40,006.3
7,075.5
40,271.4
98,522.5
62,190.6
(0.3)
(27,677.1)
340.1
377,197.5
257,919.6
191,796.3
50,425.6
16,150.7
72,223.4
48,902.9
23,320.5
34,726.9
18,269.7
66,123.3
119,277.9
37,812.9
0.0
(34,410.5)
1997/98
1998/99
1999/00
2002
2003
16,260.7
(4,799.3)
(6,433.3)
1,634.0
1,634.0
0.0
0.0
0.0
21,060.0
51,106.7
24,925.7
26,181.0
(30,046.7)
31,235.3
1,847.5
(1,941.4)
3,788.9
3,727.2
61.7
0.0
0.0
29,387.8
49,584.0
25,200.9
24,383.1
(20,196.2)
Items
Financing
I. Domestic financing
1.Domestic bank financing4)
2.Domestic nonbank financing
a. Privatization proceeds
b. Recovery of bank asset
c. Net government bonds
d. Others
II. Net foreign financing
1.Gross drawing
Program loan
Project loan
2.Amortization
(2,974.0)
1,307.4
1,307.4
0.0
0.0
0.0
0.0
14,385.6
0.0
14,385.6
0.0
(18,667.0)
2000
2001
16,132.2
40,485.0
5,936.5
30,217.6
(12,963.5) (1,227.4)
18,900.0
31,445.0
0.0
3,465.0
18,900.0
27,980.0
0.0
0.0
0.0
0.0
10,195.7
10,267.4
17,818.4
26,152.0
848.8
6,415.9
16,969.6
19,736.1
(7,622.7) (15,884.6)
27,676.8
20,561.3
(4,712.8)
25,274.1
7,664.9
19,548.6
(1,939.4)
0.0
7,115.5
19,374.2
7,042.3
12,331.9
(12,258.7)
34,410.5
31,504.5
8,500.0
23,004.5
6,400.0
19,600.0
(2,995.5)
20,498.1
5,744.7
14,753.4
(17,592.1)
Memo:
Total Expenditures (billion Rp)
GDP at current price (billion Rp)
Source: Ministry of Finance
Notes:
1) 1996 - 2001 : audited figures; 2002 : Temporary figures as of Januari 2003; 2003 : provisional realization
Prior to 2000: fiscal year=April 1 - March 31; afterwards : fiscal year=calendar year
2) Prior to 1999/2000, income tax from oil and gas was included in nontax revenue
3) Primary Balance = non-interest expenditures - total revenue
4) (+) = Government accounts in central bank/banks decreases to finance deficit;
(-) = Government accounts in central bank/banks rises to accommodate excess financing
Coordination between the government and BI is required to avoid the effect of the use of govt account at BI on the excessive
expansion of monetary base and on depletion of exchange rate.
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
381
(2004) pointed out that the tight monetary policy by raising real interest rate could increase
the probability of default on debt which may affect domestic government debt less attractive
and eventually to lead a real depreciation. If the government debt also contains foreign
currency denominated debt, the real depreciation of domestic currency could even lead
higher price of risk. Under this circumstance, Blanchard (2004) proposed that inflation
targeting can clearly have perverse affects: an increase in the real interest rate in response
to higher inflation will lead to real depreciation which sequentially in turn to a further increase
in inflation. The result implied that fiscal is dominance and the solution should be from the
fiscal policy. Consistent with this result, Favero and Giavazzi (2004) also argued that default
risk is at the centre of mechanism through which a central bank that targets inflation might
lose control of inflation.
In addition, Loyo (1999) argued that fiscal performance may interrupt the effectiveness
of monetary policy through the wealth effect if government has domestic debt problem.
Under this circumstances, using Brazil for the case, Loyo (1999) argued that higher interest
rate by central bank could induce higher outside financial wealth of private agents in nominal
terms which could generate higher consumption and finally higher inflation. If monetary
policy responds to higher inflation with sufficiently higher nominal interest rate, a vicious
circle will emerge. Again, fiscal dominance interrupts monetary policy effectiveness even
under inflation targeting framework.
How might all these other channel of fiscal dominance apply to Indonesia? Although
required further empirical confirmation, at least those other channel could motivate to a
more prudence and discipline in fiscal sustainability aspect. Indeed, some indicator in
Indonesia obtains similar type of Brazilian case where government debt performance provides
parallel path to Indonesia’s sovereign bond spread (Graph 6). If this spread tied to probability
of default as Blanchard’s argument then the higher government debt ratio will cause higher
probability default of the debt. Under this circumstance, central bank would confront higher
challenge associated with the effectiveness of inflation targeting, as argued before. This
environment also appears in other emerging countries as pointed by BIS for positive
correlation between public debt to GDP ratio performance and sovereign bond spread.
Following Cochrane (2003) argument, this idea implied that implementation inflation
targeting in Indonesia also need fiscal consideration and commitment ability to conduct a
monetary framework. BIS (2003) also discussed the importance of fiscal discipline to the
effectiveness of monetary policy to control the inflation16 . In operational point of view,
16 See Mihaljek and Tissot (2003) and Moreno (2003) for detail discussion
382
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
Rp/US
Yield Spread
2000
IDR Currency
1800
Yield Spread
1600
18,000
16,000
14,000
1400
12,000
1200
10,000
1000
8,000
800
6,000
600
4,000
400
2,000
200
26 July 26 April 26 Jan 26 Oct 26 July 26 April 26 Jan 26 Oct
26 July
1996
2002
1997
1998
1999
2000
2001
26 April 26 Jan
2003
0
2004
Rati
Yield
1400
90
Foreign Debt
Total Public Liabilities
Yield Spread
80
70
1200
1000
60
50
800
40
600
30
400
20
200
10
0
Sep Mar Sep
1996
1997
Mar
Sep
1998
Mar Sep Mar
1999
Sep Mar Sep
2000
Mar
2001
Sep
2002
Mar Sep
0
2003
Source : Bloomberg, Ministry of Finance and Bank Indonesia
Graph 4.1. Indonesia’s Sovereign Bond Spread,
Rupiah Exchange Rate and Publik Debt Ratio to GDP
implementation of interest rate rule in conducting monetary policy requires a greater fiscal
discipline and commitment ability to control government debt performance. Furthermore
Sims (2003) argued that inflation targeting framework needs an appropriate coordination
with or back up by fiscal policy. The nature of the required coordination will depend on
whether and how central bank independence from the fiscal authority has been implemented.
In sense of debt performance, Buiter (2004) suggest that for country with weak economic
and political situation, the safe level of the net public debt to GDP ratio is likely to be low.
Further than that, Reinhart, Rogoff and Savastano (2003) argued that developing countries
with a poor track record have a very limited capacity for carrying public debt, internal and
external. For external debt, they calculated that the ‘safe’ threshold for highly debt intolerant
emerging market may be as low as 20 percent of GDP.
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
383
5. CONCLUDING REMARK
The main purpose of the paper is not to test Indonesia’s fiscal solvency and neither to
solve the fiscal insolvency if it was occurred. Nevertheless, the paper inevitably still touches
the idea of fiscal solvency and indirectly also implies to effect of monetary objective to
control inflation. Fiscal and monetary interaction analysis in this paper found that the economic
crisis has generated QFA by central bank. Further result also shows that though it can be
classified in weak form with respect to the recent fiscal reform measures introduced by the
government to bring down its deficits, fiscal policy play in a dominance role in fiscal and
monetary interaction in Indonesia post 1997.
Does this result matter for monetary policy objective to control inflation in Indonesia
while since 1999 the new central bank law has provided an independence of monetary
policy? This higher monetary policy independence has provided a legal base for central
bank to focuses more in controlling the inflation. This paper carefully implies the answer is
yes. These fiscal and monetary policy interaction performances lead to the implication
that monetary policy under inflation targeting framework in Indonesia still call for a higher
fiscal discipline and commitment of the government to maintain the sustainability. The
failure to solve fiscal performance optimally could deteriorate monetary policy effectiveness
to control inflation even under inflation targeting framework. The emergence of fiscal
dominance particularly from public expectation and wealth effect channel on debt
performance could bring tight monetary policy paradox. Under this circumstance, inflation
targeting can have perverse affects: an increase in the real interest rate to respond higher
inflation will lead to real depreciation which sequentially in turn to a further increase in
inflation. The result implied the solution to control inflation should be from the fiscal policy
not solely from monetary policy.
384
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
Reference
Anglingkusumo, Reza (2004), “Stability of The Demand for Real Narrow Money in
Indonesia: Evidence from The Pre and Post Asian Crisis Era”, Vrije Universiteit and Tinbergen
Institute – Amsterdam, manuscript
Bank for International Settlements (2004), “The Changing Interest rate Environment
and Debt Sustainability in the Emerging Market Economies”, Note for non-G10 Governors
meeting, 27 June
Bank Indonesia, Annual Report 1997/1998 and 1998/1999 issues
Blanchard, Olivier (2004), “Fiscal Dominance and Inflation Targeting: Lesson from
Brazil”, NBER WP 10389, March
Boediono (2004), “Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya” (Current and Future
Fiscal Policy), in Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi (Fiscal Policy:
Thought, Concept and Implementation), H. Subiantoro and S. Riphat, eds, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta
Beckerman, Paul (1995), “Central Bank ‘Distress’ and Hyperinflation in Argentina 198990”, Journal of Latin American Studies, 27, pp. 663-681
Budina, N., and Wijnbergen S., (2000), “Fiscal Deficit, Monetary Reform and Inflation
Stabilization in Romania”, World Bank Working Paper Series no. 2298
Buiter, Willem H. (2004), “Fiscal Sustainability”, available at public.htm” http://
www.nber.org/~wbuiter/ public.htm, 6 January
Buiter, Willem H. (2002), “The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique”, Economic
Journal, Vol 112, July 2002, pp. 459-480
Buiter, Willem H. (2001) “The Fallacy of the Fiscal Theory of the Price Level, Again”,
Bank of England Working Paper Series No. 141, July
Buiter, Willem H. (1999), “The Fallacy of the Fiscal Theory of the Price Level”, NBER
Working Paper No. W7302, August
Buiter, Willem H. (1993), “Consistency Check for Fiscal, Financial and Monetary Policy
Evaluation and Design”, mimeo, World Bank, October
Carlstrom, Charles T. and Timothy S. Fuerst (2000), “The Fiscal Theory of the Price
Level,” Economic Review, (Q I) pp. 22-32. Federal Reserve Bank of Cleveland
Fiscal and Monetary Policy Interaction : Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia
385
Carlstrom, Charles T. and Fuerst (1999), “Money Growth and Inflation: Does Fiscal
Policy Matter?”, Economic Commentary, Federal Reserve Bank of Cleveland, April 15
Campbell, John Y. (1987), “Does Saving Anticipate Declining Labor Income? An
Alternative Test of The Permanent Income Hypothesis”, Econometrica, Vol. 55, November,
pp. 1249-73
Canzoneri, Matthew B., Robert E. Cumby and Behzad T. Diba (2001), “Is the Price
Level Determined by the Needs of Fiscal Solvency?”, American Economic Review, 91(5),
December, 1221-1238
Cochrane, John M (2003), “Fiscal Foundation of Monetary Regime” paper presented
at 2003 NBER/NCAER Neemrana Conference, available at http://gsbwww.uchicago.edu/
fac/john.cochrane/research/Papers/indiafiscal.pdf
Cochrane, John M (1998), “A Cashless View of U.S. Inflation,” in Be S. Bernanke and
Julio Rotemberg, eds., NBER Macroeconomic Annual Cambridge, Mass.: MIT Press, pp.32384
Favero, Carlo A. and Fransesco Giavazzi (2004), “Inflation Targeting and Debt: Lesson
from Brazil”, NBER WP 10389, March
Hawkin, John (2004), “Central Bank Securities and Government Debt”, paper presented
to Australasian Macroeconomic Workshop Australian National University, Canberra, 15-16
April
Hawkin, John (1999), “Bank Restructuring in South-East Asia”, BIS Policy Paper,
September
Komulainen, Tuomas and Jukka Pirttilä (2000), “Fiscal Explanation for Inflation: Any
Evidence from Transition Economies”, Bank of Finland Discussion Papers, No.11
Koncherlakota, Narayana and Christhoper Phelan (1999), “Explaining the Fiscal Theory
of the Price Level,” Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review 23, 14-23
Leeper, Eric M. (1991), “Equilibria under ‘Active’ and ‘Passive’ Monetary and Fiscal
Policies”, Journal of Monetary Economics, 27, February, 129-147
Loyo, E (1999), “Tight Money Paradox on the Loose: A Fiscalist Hyperinflation”, mimeo,
Kennedy School of Government, June
Mackenzie, G.A. and Peter Stella (1996), “Quasi-Fiscal Operations of Public Financial
Institution”, IMF Occasional Paper, 142, October
386
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004
Markiewicz, Malgorzata, (2001), “Quasi-fiscal Operations of Central Banks in Transition
Economies”, Bank of Finland Discussion Papers, No.2
Mihaljek, Dubravko and Bruno Tissot (2003), “Fiscal Positions in Emerging Economies:
Central Bank’s Perspective”, BIS Papers No.20, October
Moreno, Ramon (2003), “Fiscal Issues and Central Banking in Emerging Economies:
an Overview”, BIS Papers No.20, October
Reinhart, Carmen M., Kenneth S. Rogoff and Miguel A. Savastano (2003), “Debt
Intolerance”, NBER Working Paper No. 9908, August
Rodriguez, Carlos A. (1994), “Argentina: Fiscal Disequilibria Leading to Hyperinflation”,
in “Public Sector Deficits and Macroeconomic Performance”, William E., Carlos A.R., an
Klaus Schmidt-Hebbel, eds, The World Bank
Sargent, Thomas and Neil Wallace (1981), “Some Unpleasent Monetarist Arithmetic”,
Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review 5, Fall 1-17
Simorangkir, Iskandar (2002), “Financial Deregulation and Demand for Money in
Indonesia”, Buletin Ekonomi dan Perbankan Vol. 5 No.1, June, 1-17
Sims, Christhoper A. (2003), “Limit to Inflation Targeting”, mimeo, Princeton University
Stella, Peter (1997), “Do Central Banks Need Capital”, IMF Working Paper 83, July
Tanner, Evan and Alberto M. Ramos (2002), “Fiscal Sustainability and Monetary versus
Fiscal Dominance: Evidence from Brazil, 1991-2000, IMF Working Paper, No. 5, January
Van’t dack, Jozef (1999), “Implementing Monetary Policy in Emerging Market
Economies: An Overview of Issues”, BIS Policy Papers, No. 5, March
Walsh, Carl (2003), Monetary Theory and Policy, 2nd Edition, (Cambridge, MA: The
MIT Press)
Woodford, Michael (1996), “Control of the Public Debt: A Requirement for Price
Stability?”, NBER WP 5684
Woodford, Michael (2001),”Fiscal Requirements for Price Stability”, Journal of Money,
Credit and Banking 33: 669-728
Zoli, Edda (2004), “How Does Fiscal Policy Affect Monetary Policy In Emerging Market
Countries?”, BIS, draft
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
387
ILLUSTRATIVE SUBSIDY VARIATIONS
TO ATTRACT INVESTORS
(using the EMERALD Indonesian multi-regional CGE model)
Daniel Pambudi
Andi Alfian Parewangi1
Abstract
Paper ini membahas dampak ekonomi dari subsidi terhadap industri yang dapat menarik minat
investor pada daerah tertentu. Dengan mempergunakan EMERALD (Equilibrium Model with Economic
Regional Analysis Dimensions) yang merupakan model CGE multi region untuk Indonesia, paper ini
menganalisa beberapa simulasi alternatif pembiayaan subsidi industri Tekstil di Jawa Tengah.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa subsidi atas industri Tekstil dengan sumber pendanaan
bukan pajak akan meningkatkan daya saing industri Tekstil diatas biaya sektor tradable secara
keseluruhan. Secara riil, subsidi ini akan meningkatkan PDRB Jawa Tengah sebesar 0.21%. Jika
subsidi tersebut dibiayai dari pengenaan pajak atas rumah tangga, akan meningkatkan PDRB Jawa
Tengah sebesar 0.11%.
Keyword: Regional, Computable General Equilibrium, investment, subsidy
JEL: C68, D92, E62, O18
1 Pambudi is PhD student at the Centre of Policy Studies (CoPS), Monash University, supervised by Dr. Mark Horridge.
Pambudi’s interest is in the application of multi-sectoral and multi-regional economic model for policy analysis. Andi
Alfian Parewangi was visiting scholar at CoPS, Monash University under supervision of Dr. Glyn Wittwer and also lecturer
at Department of Economic, University of Indonesia.
388
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
1. BACKGROUND
1.1. Introduction
The aim of this research is to construct a bottoms-up CGE model for Indonesia that
can be used for studying and analysing regional policies comprehensively. This model makes
us possible to simulate regional based polices scenario to obtain the regional and national
results.
This model adopts the TERM model structure for comparative static analyses. We
use the new model to study the policy implications of competitive bidding between regions
to attract investment. Tax concessions, for instance, are sometimes viewed as an attractive
instrument to boost regional and national welfare. However, national approaches differ. For
example, Australian states subsidize some investors and the Federal Government taxes
them. Vietnam taxes them. The model may suggest which approach is better. Also, the
long-run effects of taxing (or subsidizing) investments may differ from the short-run effects.
Again, national interest may conflict with those of individual regions. The model will be used
to examine some of these issues.
To construct this big multiregional model, we require data on regional supplies and
demands. Moreover, the necessary inter-regional flows data showing, for example, what
share of bananas eaten in Kalimantan come from Java are rarely available. To overcome
these problems, innovations will be needed. In preparing and making data which used for
this model, we adopt a data making process from Horridge, such as using the gravity approach
to produce inter-regional data.
Three existing CGE models, each heavily influenced by the ORANI model (Dixon et
al. 1982), provide components which may be adapted to contribute to a new multiregional
model. These three models are MMRF (the Monash Multi Regional Forecasting Model), the
Indonesian ORANI (INDORANI) and the default model of the Global Trade Analysis Project
(GTAP).
•
MMRF is a multiregional multisectoral model of Australia based on the single region
ORANI model of the Australian economy (Adams, Horridge and Parmenter, 2000).
•
INDORANI (Abimanyu, 2000), based on ORANI-G (Horridge 2000; see also Horridge, et
al. 1993), is a multisectoral model of the Indonesian economy with “tops-down” approach.
Both models will provide with necessary ingredients: “bottoms-up” approach and
Indonesian data in constructing the new model.
•
GTAP, a world trade model, includes trade links between all regions for all commodities
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
389
(Hertel and Tsigas, 1997). It is useful to follow the GTAP in attributing competition among
regions in the new model.
We plan to explain the model into four sections. Section 2 contains structure of the
database, graphical description of nesting and computational efficiency. Section 3 contains
model equations. Section 4 contains database. Section 5 contains simulation results of
subsidy variations to attract investors.
1.2. Development CGE model in Indonesia
The previous models of Indonesia have used “tops-down” approach. In a “tops-down”
model, regional results merely are a decomposition of national results. By contrast, in a
“bottoms-up” model each region is modeled independently. There is interaction between
each regional and national agent and also among regional agents. This approach is
preferable.
2. STRUCTURE OF THE DATABASE AND NESTING
2.1. Introduction
EMERALD is a bottoms-up regional CGE model which treats each region as a separate
economy. This is particularly suitable for Indonesia, with its 32 diverse provinces. In a
“bottoms-up” model each region is modeled independently. The “bottoms-up” method allows
us to capture differences between regional economies and to model the effects of regionspecific supply-side shocks. Unfortunately computational constraints have hitherto hindered
the construction of CGE models with as many as 32 separate regions.
2.2. The structure of the database
Figure 2.1 shows the basic structure of the model based on each region’s input-output
database. The rectangles indicate matrices of flows. Core matrices (those stored on the
database) are shown in bold type; other matrices may be calculated from the core matrices.
The dimensions of the matrices are indicated by indices (s, c, m, etc) which correspond to
the sets in Table 2.1.
EMERALD recognises three sets of regions: regions of use (d), of origin (r), and of
origin of margins (p) (i.e., the origins of margins services used to deliver a commodity from
(r) to (d)). In fact, the three sets are the same: they are labeled according to the context of
use.
390
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Tabel 2.1.
Main Sets of The EMERALD
Index
Set Name
Description
Typical Size
s
SRC
Domestic or imported (ROW) sources
2
c
COM
Commodities
19
m
MAR
Margin commodities
2
i
IND
Industries
19
o
OCC
Skills
9
d
DST
Regions of use (destination)
26
r
ORG
Region of origin
26
p
PRD
Region of margin production
26
f
FINDEM
Final demanders (HOU, INV, GOV, and EXP)
4
u
USER
Users = IND union FINDEM
23
EMERALD assigns three different value flows:
•
basic values, or output prices for domestically-produced commodities and CIF prices for
imports;
•
delivered values (= basic plus margins);
•
purchasers’ values which equals delivered plus taxes.
As a consequence, EMERALD produces price indices which distinguish between
different points of sale by commodities and regions. Each region has its own set of supply,
demand and trade matrices. This allows simulations of policies that have region-specific
price effects.
The matrices on the left-hand side in Figure 2.1 resemble (for each region) a
conventional single-region input-output database. For example, the matrix USE(c,s,u,d) at
the top left shows the delivered value of demand for each good (c in COM) whether domestic
or imported (s in SRC) in each destination region (DST) for each user (user, comprising the
industries, IND, and 4 final demanders: households, investment, government, and exports).
Some typical element of USE might show:
•
USE(“Agriculture”,”dom”,”TCF”,”DIY”) is domestically-produced Agriculture; used by the
TCF industry in region DIY.
•
USE(“Mining”,”imp”,”EXP”,”DKI”) is the imported value of mining re-exported from a port
in DKI.
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
391
As the last example shows, the data structure allows for re-export (at least in principle).
All these USE values are “delivered”: they include the value of any trade or transport margins
used to bring goods to the user. Notice also that the USE matrix contains no information
about the regional sourcing of goods.
The TAX matrix of commodity tax revenues contains an element corresponding to
each element of USE. Together with matrices of primary factor cost and production taxes,
these add up to the cost of production (or value of output) of each regional industry.
In principle, each industry is capable of producing any good. The MAKE matrix at the
bottom of Figure 2.1 shows the value of output of each commodity by each industry in each
region d.
EMERALD recognises inventory changes in a limited way. First, changes in stocks of
imports are ignored. For domestic output, stocks are unsold industry outputs, so the dimension
of stocks is STOCK (i,d) rather than STOCK(c,d).
USE(c,s,u,d) is the delivered value of commodity c from source s used by users u in
region d. Delivered value means basic plus margin values. To produce USE(c,s,u,d) from
the DELIVRD(c,s,r,d), EMERALD assumes that all users of a given good (c,s) in a given
region (d) have the same sourcing (r) mix. In effect, for each good (c,s) and region of use (d)
there is a broker who decides for all users in d from which source region, r, supplies will be
obtained. We use the Armington (1969, 1970) sourcing assumption that DELIVRD_R (c,s,d)
is a CES composite (over r in ORG) of the DELIVRD(c,s,r,d).
The DELIVRD(c,s,r,d) matrix shows the delivered value of demand of commodity c,
source s, from region r to region d. For each flow there is a quantity and a price variable. For
example, pdeliverd(c,s,r,d) and xtrad(c,s,r,d) are price and quantity variables corresponding
to the matrix DELIVRD(c,s,r,d).
Using a CES nest, the quantity of goods from different regions of r to destination d,
xtrad(c,s,r,d), is proportional to the quantity of goods summed over r, xtrad_r(c,s,d) and to a
price term powered by elasticities of substitution, SIGMADOMDOM(c), between the source
regions for each commodity c. The price term is composed of relative price, pdeliverd(c,s,r,d)
to puse(c,s,d). Changes in the relative prices of commodity between r induce substitution in
favour of relatively cheapening goods.
Because DELIVRD(c,s,r,d) is comprised of TRADE(c,s,r,d) plus sum{m,MAR,
TRADMAR (c,s,m,r,d)}, we used xtrad(c,s,r,d) as a quantity variable for both DELIVRD(c,s,r,d)
and TRADE(c,s,r,d). The delivered prices variable, pdelivrd(c,s,r,d), is used for
392
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
DELIVRD(c,s,r,d) and basic prices, pbasic(c,s,r) for TRADE(c,s,r,d). Note that pdelivrd(c,s,r,d)
is composed of pbasic(c,s,r) and margin prices, psuppmar_p(m,r,d). For TRADMAR
(c,s,m,r,d), we used a quantity variable xtradmar(c,s,m,r,d). We will discuss how these
variables relate to nesting system in Section 2.3.
TRADMAR(c,s,m,r,d) shows the value of margin goods (m) which is required to
facilitate trade flows. Since TRADMAR(c,s,m,r,d) has no information on where a margin
flow is produced, EMERALD requires matrix SUPPMAR(m,r,d,p). It assumes that for all
usage of margin goods used to transport any goods from region r to d, the same proportion
of margin, m, produced in region p.
A balancing requirement for the EMERALD database is that the sum over user (u) of
USE(c,s,u,d), USE_U(c,s,d), shall equal DELIVERD_R(c,s,d) which is the summation over
regional sources (r) of the DELIVERD(c,s,r,d).
It remains to reconcile demand and supply for domestically-produced goods. In Figure
2.1 the connection is made by arrow linking the MAKE_I matrix with the TRADE and
SUPPMAR matrices. For non-margin goods, the domestic part of the TRADE matrix must
sum (over d in DST) to the corresponding element in the MAKE_I matrix of commodity
supplies. For margin goods, we must take into account both the margins required
SUPPMAR_RD and direct demands TRADE_D.
For many purposes it is useful to break down investment according to destination
industry. The satellite matrix INVEST (subscripted c in COM, i in IND, and d in DST) serves
this purpose. It allows us to distinguish the commodity composition of investment according
to industry: for example, we would expect investment in agriculture to use more machinery
(and less construction) than investment in dwellings.
2.3.
Graphical description of demand nesting
Figure 2.2 represents the household demand sourcing of TCF in region DKI. As all
users in the EMERALD have the same demand sourcing by commodities and regions, we
can apply this figure for all commodities, users and regions. From the top to the bottom,
there are two different nests (CES and Leontief) indicating different types of substitution in
the model. They cover all mechanisms of demand sourcing of TCF and its margin from
different regions to DKI. At the top, a CES nest determines domestic and imported TCF
used by households in DKI. This nest corresponds to the value of flows (shown in upper
case) with price, ppur_s(c,u,d) and quantity, xhou_s(c,d) variables. The dimensions of the
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
393
model correspond to the matrices in Figure 2.1. Note that these flows are purchasers values
which are the sum of USE(c,s,u,d) and TAX(c,s,u,d) matrices. The Armington elasticity 2.6
represents a CES in choosing between imported (from other country) and domestic TCF.
INVEST (c,i,d)
purchasers value of good c used
for investment in industry i in d
price: pinvest (c,d)
quantity: xinvi(c,i,d)
USER x DST
USE
(c,s,u,d)
Delivered value of demands:
basic + margins (ex_tax)
quantity: xint(c,s,i,d)
price: puse(c,s,d)
DELIVRD
(c,s,r,d)
= TRADE(c,s,r,d)
+ sum{m,MAR, TRADMAR(c,s,m,r,d)}
price: pdelivrd(c,s,r,d)
quantity: xtrad(c,s,r,d)
=
Leontief
TRADE
(c,s,r,d)
goods c, s, from r to d at basic prices
price: pbasic(c,s,r)
quantity: xtrad(c,s,r,d)
+
+
COM
x
SRC
Set
Description
COM
Commodities
SRC
Domestic or imported (ROW) sources
MAR
Margin commodities
ORG
Region of origin
DST
Region of use (destination)
PRD
Region of margin production
FINDEM Final demanders (HOU, INV, GOV, EXP)
IND
Industries
USER
Users = IND union FINDEM
ORG x DST
FINDEM
(HOU, INV,
USE_U
GOV, EXP)
(c,s,d)
=
final demands
DELIVRD_
by 4 users at
R
delivered price:
(c,s,d)
=
puse(c,s,d) =
CES
quantities:
xhou(c,s,d)
price:
xinv(c,s,d)
pdelivrd_r
xgov(c,s,d)
(c,s,d)
xexp(c,s,d)
IND
COM
x
SRC
INDEX
c
s
m
r
d
p
f
i
u
DST
TAX
(c,s,u,d)
Commodity taxes
+
FACTORS
LAB (i,o,d) labour
CAP (i,d) capital rental
LND (i,d) land rentals
MAKE_I(c,r)
=
TRADE_D
(c,"dom",r)
PRODTAX (i,d) production tax
=
INDUSTRY OUTPUT:
VTOT(i,d)
=
sum over COM and SRC
TRADMAR_CS(m,r,d)
=
SUPPMAR_P(m,r,d)
INVENTORIES: STOCKS (i,d)
+
CES sum over p in REGPRD
MAKE_I
(c,d)
MAKE
(c,i,d)
COM output of good c by industry i in d
update: xmake(c,i,d)*pdom(c,d)
IND x DST
TRADMAR
(c,s,m,r,d)
margin m on good c, s from r to d
price: psuppmar_p(m,r,d)
quantity: xtradmar(c,s,m,r,d)
sum over
i in IND
=
domestic
=
commodity
supplies
(c,s,d)
DST
SUPPMAR
(m,r,d,p)
Margins supplied by p on goods passing
from r to d
update:
xsuppmar(m,r,d,p) * pdom(m,p)
MAKE_I(m,p)=SUPPMAR_RD(m,p) +
TRADE_D(m,"dom",p)
ORG x DST
Figure 2.1
The EMERALD flows Database
IMPORT
(c,r)
394
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Demand for domestic TCF in DKI is summed over users to give total value
USE_U(c,s,d) which is measured in delivered value (basic plus margin but excluding userspecific commodity taxes). Note that this nest is not user-specific. This nest represents
demand for domestic TCF in DKI supplied by all origin of TCF. The CES determines the
allocations with substitution elasticities ranging from 5 (merchandise) to 0.2 (services).
This CES implies that the region with lowered production costs compared to other regions
will tend to increase its market share. The sourcing decision is made on the basis of
delivered prices so not only basic costs affect regional market share but also margin
costs. Note that variables in this nest lack a user (u) subscript. The decision is made on an
all-user basis. The implication is that, in DKI, the proportion of TCF which come from
JaTeng is the same for all users.
The next level indicates how a “delivered” TCF from JaTeng is a Leontief composite
of basic TCF, corresponding with matrix TRADE(c,s,r,d), and the various margin goods,
TRADMAR (c,s,m,r,d). The share of each margin in the delivered price is specific to a particular
combination of origin, destination, commodity and source. For example, we should expect
transport costs to form a larger share for region pairs which are far apart, or for heavy or
bulky goods. The number of margin goods will depend on how aggregated is the model
database. Under the Leontief specification we prevent substitution between road and trade
margins.
The bottom part shows that the margin on TCF passing from JaBar to DKI could be
produced in different regions. The figure shows the sourcing mechanism for the road margin.
We might expect this to be drawn more or less equally from origin (JaTeng), the destination
(DKI) and regions between (JaBar). There would be some scope for substitution (s=1),
since trucking firms can relocate depots to cheaper regions. For retail margins, on the other
hand, a larger share would be drawn from destination region, and scope for substitution
would be less (s=0.1). Once again, this substitution decision takes place at an aggregated
level. The assumption is that the share for example, JaBar, in providing road margin on trips
from JaTeng to DKI, is the same whatever good is being transported. This corresponds to
TRADMAR_CS(m,r,d) which has no c and s scripts. Although not shown in Figure 2.2, a
parallel system of sourcing is also modelled for imported TCF, tracing them back to port of
entry instead of region of production.
2.4.
Graphical description of production nesting
The EMERALD adapts production nests from ORANI. This allows each industry to
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
395
produce several commodities, using as inputs domestic and imported commodities, labour
of several types, land, capital and ‘other costs’ which are all distinguished by region. The
multi-input, multi-output production specification is kept manageable by a series of
separability assumptions, illustrated by the nesting shown in Figure 2.3. For example, the
assumption of input-output separability implies that the generalised production function
for some industry:
F(inputs, outputs) = 0
(1)
may be written as:
G(inputs) = X1TOT = H(outputs)
(2)
where X1TOT is an index of industry activity. Assumptions of this type reduce the
number of estimated parameters required by the model. Figure 2.3 shows that the H
function in (2) is derived from a CET (constant elasticity of transformation) aggregation
function.
The G function is broken into a sequence of nests. At the top level, commodity
composites, a primary-factor composite and production costs are combined using a Leontief
production function.
Consequently, they are all demanded in direct proportion to X1TOT. Each
commodity composite is a CES (constant elasticity of substitution) function of a domestic
good and the imported equivalent. We adopt the Armington (1969; 1970) assumption
that imports are imperfect substitutes for domestic supplies 2 . The primary-factor
composite is a CES aggregation of land, capital and composite labour. Composite labour
is a CES aggregation of occupational labour types. Although all industries share this
common production structure, input proportions and behavioural parameters may vary
between industries.
The nested structure is mirrored in the TABLO equations—each nest requiring 2 sets
of equations, determining quantity and price.
2 Armington PS (1969) The Geographic Pattern of Trade and the Effects of Price Changes, IMF Staff Papers, XVI, July, pp
176-199.
— (1970) Adjustment of Trade Balances: Some Experiments with a Model of Trade Among Many Countries, IMF Staff
Papers, XVII, November, pp 488-523.
396
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
PUR_S(c,u,d)
ppur_s(c,u,d)
xhou_s(c,d)
TCF to Households
in DKI
CES
PUR(c,s,u,d)
ppur_s(c,u,d)
xhou_s(c,d)
Imported TCF
s = 2.6
Domestic TCF
c = "TCF"
u = "Hou"
d = "DKI"
note :
DKI = Jakarta
JaBar = West Java
JaTeng = Central Java
DIY = Yogyakarta
user-specific
purchasers' value
add over users
USE_U(c,s,d)
pdelivrd_r(c,s,d)
xtrad_r(c,s,d)
Domestic TCF
CES
DELIVRD(c,s,r,d)
pdelivrd(c,s,r,d)
xtrad(c,s,r,d)
JaBar
not user-specific
delivered values
s=5
JaTeng
DIY
origin of TCF
TRADE(c,s,r,d)
pbasic(c,s,r)
xtrad(c,s,r,d)
TRADMAR(c,s,m,r,d)
psuppmar_p(m,r,d)
xtradmar(c,s,m,r,d)
TCF
Leontief
Trade
Water
transport
Road
transport
add over source
and commodities
TRADMAR(c,s,m,r,d)
psuppmar_p(m,r,d)
xtradmar(c,s,m,r,d)
Road
transport
CES
SUPPMAR(m,r,d,p)
pdom(m,p)
xsuppmar(m,r,d,p)
JaBar
JaTeng
s=1
DIY
Region where road margin is produced
Figure 2.2
The EMERALD Demand Nesting
origin
specific
delivered
prices
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
2.5.
397
Computational efficiency
The EMERALD is able to handle a greater number of regions or sectors than previous
multiregional models through key assumptions that compress the database and enhance
computational efficiency. For example, EMERALD assumes that all users (i.e. downstream
industries, households and government) in a particular region of, say, textiles clothing and
footwear (TCF), source their TCF from other regions according to common proportions. By
assuming this, we notice that the model needs two sub-sourcing matrices (Table 2.2):
USE(c,s,u,d) and TRADE(c,s,r,d). By using the typical set sizes shown in Table 2.2, both
sourcing matrices need 48412 cells. Without the common sourcing assumption 590 thousand
numbers would be needed. The EMERALD becomes 12 times more efficient. This efficiency
will be multiplied by the number of margin commodities if we apply
Good 1
Good 2
Good C
----- up to ------
CET
Activity level
Leontief
Good 1
----- up to ----
CES
CES
Domestic
Good 1
Primary
factors
Good C
Imported
Good 1
Domestic
Good C
Production tax
CES
Imported
Good C
Land
Capital
Labour
CES
Key
functional
form
Labour
type 1
Labour
type 2
--up to--
inputs or
outputs
Figure 2.3
The EMERALD Production Nesting
Labour
type 0
398
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
the common assumption to the matrix of trade margin (TRADMAR(c,s,m,r,d)). In turn,
this efficiency saves computation and memory in solving equations.
Tabel 2.2.
Computational efficiency in EMERALD
Sourcing Matrix in EMERALD
Dimencional Cells
USE (c,s,u,d)
c(19)*s(2)*u(23)*d(26)
TRADE (c,s,r,d)
c(19)*s(2)*r(26)*d(26)
Total Cells
22724
25688
Total
Sourcing Matrix Without Common
Proportions
Source matrix (c,s,u,r,d)
2.6.
48412
Dimencional Cells
Total Cells
c(19)*s(2)*u(23)*r(26)*d(26)
590824
Other features
The remaining features of EMERALD are common to most CGE models, and in
particular to ORANI, from which EMERALD descends. Industry production functions are of
the nested CES type: Leontief except for substitution between primary factors and between
sources of goods. Exports from each region’s port to the ROW face a constant elasticity of
demand. The composition of household demand follows the linear expenditure system,
while the composition of investment and government demands is exogenous.
3. THE CORE EQUATIONS OF THE EMERALD
3.1. Main sets of the EMERALD
Table 2.1 lists the main sets of the model using GEMPACK levels notation. In each
excerpt, each set is expressed by one index, for example index s for the set ‘SRC (dom,
imp)’. This set has two elements: domestic (dom) and imported (imp). Another example is
‘DST’ expressed by index d which has 26 regional elements.
We can declare the relationship between two sets using a subset. The set of margin
commodities (trade and transport), ‘MAR’, is a subset of the commodities (COM). This means
that each element of set MAR is also an element of set COM. We also can define set
complements such as the set NONMAR which is equal to set COM less set MAR.
The following excerpts are taken from the TABLO input file. They are written in order
corresponding to sequential nests. In this section, we only show the excerpts of the core of
the model.
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
399
Each excerpt begins with a list of parameters or variables indicated by a name followed
by an index such as ‘(c)’. The expression ‘(c)’ stands for commodities. It signifies that the
variable is a vector containing one value or scalar parameter for each element of the set
commodities, COM. The parameter ‘SIGMADOMIMP(c)’, for example, is the substitution of
elasticity between domestic and imported good by commodity, c.
3.2.
Industries choice between domestic and imported goods
Equation 1.1 determines the demand for domestic and imported goods used by
producers in region d. Each industry minimizes cost using a CES (constant elasticity
substitution) nest. Various nest equations follow the same pattern. Each nest includes a
quantity and a price equation.
The intermediate demand for producers, XINT(c,s,i,d), is proportional to overall
composite goods demanded by industry i, XINT_S(c,i,d), and to a price term powered by
the substitution elasticity between domestic and imported goods, SIGMADOMIMP(c). The
price term is the ratio of purchasers’ prices, PPUR(c,s,i,d), to purchasers’ prices averaged
over source, PPUR_S(c,i,d). Changes in relative prices of domestic and imported goods
induce substitution in favour of relatively cheapening goods.
The denominator in the relative price term above is given by Equation 1.2.
Excerpt 1 of TABLO input file: !
! Industries choice between domestic and imported goods !
SIGMADOMIMP(c) Parameter substitution elasticity between dom/imp
BXINT(c,s,i,d)
Parameter constant in intermediate demands
XINT(c,s,i,d)
Intermediate demands for all-region composite
XINT_S(c,i,d)
Industry demands for domestic/imported composite
PPUR(c,s,u,d)
User (purchasers) prices, include margins and taxes
PPUR_S(c,u,d)
User prices, average over s
(1.1)
XINT(c,s,i,d)/XINT_S(c,i,d)= BXINT(c,s,i,d)
*[PPUR(c,s,i,d)/PPUR_S(c,i,d)]**-SIGMADOMIMP(c)
(1.2)
PPUR_S(c,i,d)*XINT_S(c,i,d)=sum{s,SRC,PPUR(c,s,i,d)
*XINT(c,s,i,d)}
400
3.3.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Household choice between domestic and imported goods
Likewise, Equation 2.1 shows that the demand for domestic and imported goods for
household in region d, XHOU(c,s,d), is proportional to overall household composite goods
demand, XHOU_S(c,d), and to a price term powered by the substitution elasticity between
domestic and imported goods, SIGMADOMIMP(c). The price term is the ratio of purchasers’
prices, PPUR(c,s,”hou”,d), to the composite price index, PPUR_S(c,”hou”,d). Again the
denominator PPUR(c,s,”hou”,d) is given by Equation 2.2.
! Excerpt 2 of TABLO input file: !
! Household choice between domestic and imported goods !
BHOU(c,s,d)
Parameter: constant in household demands
XHOU(c,s,d)
Household demands for all-region composite
XHOU_S(c,d) Household demands for domestic/imported composite
(2.1)
XHOU(c,s,d)/XHOU_S(c,d)= BHOU(c,s,d)
*[PPUR(c,s,”HOU”,d)/PPUR_S(c,”hou”,d)]**-SIGMADOMIMP(c)
(2.2)
PPUR_S(c,”hou”,d)*XHOU_S(c,d)=sum{s,SRC,PPUR(c,s,”hou”,d)
*XHOU(c,s,d)}
3.4.
Investors choice between domestic and imported goods
Equation 3.1 follows the same pattern as previous. It shows that the demand for
domestic and imported goods for investors in region d, XINV(c,s,d), is proportional to overall
investors’ composite goods demand, XINV_S(c,d), and to a price term powered by the
substitution elasticity between domestic and imported goods, SIGMADOMIMP(c). The price
term is the ratio of investment purchasers’ prices to average (over domestic and imported)
prices. The denominator PPUR(c,s,”inv”,d) is given by Equation 3.2
! Excerpt 3 of TABLO input file: !
! Investors choice between domestic and imported goods !
BINV(c,s,d)
Parameter constant in investment demands
XINV(c,s,d)
Investment demands for all-region composite
XINV_S(c,d)
Investment demands for domestic/imported composite
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
(3.1)
401
XINV(c,s,d)/XINV_S(c,d) = BINV(c,s,d)
*[PPUR(c,s,”INV”,d)/PPUR_S(c,”inv”,d)]**-SIGMADOMIMP(c)
(3.2)
PPUR_S(c,”inv”,d)*XINV_S(c,d) = sum{s,SRC,PPUR(c,s,”inv”,d)
*XINV(c,s,d)}
3.5.
Labour skill nest
Excerpt 4 represents a labour skill nest to minimize labour cost. Similar with the
previous, this nest is expressed by Equation 4.1 determining labour demand of industry i for
different occupations, XLAB(i,o,d). The average industry wage, PLAB_O(i,d), is determined
by Equation 4.2.
! Excerpt 4 of TABLO input file: !
! Labour skill nest !
SIGMALAB(i)
Parameter CES substitution between skill types
BLAB(i,o,d)
Parameter constant in labour demand equation
XLAB(i,o,d)
Labour demands
XLAB_O(i,d)
Effective labour input
PLAB(i,o,d)
Wage rates
PLAB_O(i,d)
Price of labour composite
(4.1)
XLAB(i,o,d)/XLAB_O(i,d) = BLAB(i,o,d)
*[PLAB(i,o,d)/PLAB_O(i,d)]**-SIGMALAB(i)
(4.2)
PLAB_O(i,d)*XLAB_O(i,d) = sum{o,OCC,PLAB(i,o,d)* XLAB(i,o,d)}
The XLAB(i,o,d) is proportional to effective labour input, XLAB_O(i,d), and to a wage
term powered by elasticities of substitution between labour skill in each industry,
SIGMALAB(i). The wage term is ratio of wage rates, PLAB(i,o,d), to price of labour composite,
PLAB_O(i,d). Changes in relative occupational wages induce substitution in favour of
relatively cheaper skills.
3.6.
Demands for primary factors
Excerpt 5 explains demands for primary factors. The effective labour, capital, and
402
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
land cost are combined using a CES nest. Ignoring the labour technological change terms,
ALAB_O(i,d), the effective labour demand, XLAB_O, is proportional to overall primary factor
demands, XPRIM(i,d), and to a price term powered by the elasticity of substitution between
primary factors, SIGMAPRIM (i). The price term is the relative price of the labour composite,
PLAB_O(i,d), to the price of composite factors, PPRIM(i,d). Changes in the price term induce
substitution in favour of relatively cheapening factors. The same rules govern for capital and
land demand.
The price of factor composite, PPRIM(i,d), is determined by the value of the primary
factor composite equalling the sum of all component costs.
! Excerpt 5 of TABLO input file: !
! Demands for primary factors !
SIGMAPRIM(i) Parameter CES substitution, primary factors
BLAB_O(i,d)
Parameter constant in effective labour demand
BCAP(i,d)
Parameter constant in capital demand equation
BLND(i,d)
Parameter constant in land demand equation
ACAP(i,d)
Capital usage technological change
ALAB_O(i,d)
Effective labour input technological change
ALND(i,d)
Land usage technological change
XCAP(i,d)
Capital usage
XLND(i,d)
Land usage
XPRIM (i,d)
Effective composite inputs
PCAP(i,d)
Rental price of capital
PLND(i,d)
Rental price of land
PPRIM(i,d)
Price of factor composite
(5.1)
XLAB_O(i,d)/[XPRIM(i,d)*ALAB_O(i,d)]=BLAB_O(i,d)
*[[PLAB_O(i,d)*ALAB_O(i,d)]/PPRIM(i,d)]**-SIGMAPRIM(i)
(5.2)
XCAP(i,d)/[XPRIM(i,d)*ACAP(i,d)]=BCAP(i,d)
*[[PCAP(i,d)*ACAP(i,d)]/PPRIM(i,d)]**-SIGMAPRIM(i)
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
(5.3)
403
XLND(i,d)/[XPRIM(i,d)*ALND(i,d)]=BLND(i,d)
*[[PLND(i,d)*ALND(i,d)]/PPRIM(i,d)]**-SIGMAPRIM(i)
(5.4)
PPRIM(i,d)*XPRIM(i,d)=PLAB_O(i,d)*XLAB_O(i,d)
+PCAP(i,d)*XCAP(i,d)+PLND(i,d)*XLND(i,d)
3.7. Demands for aggregate primary factors and intermediate inputs
For the top nest, excerpt 6 explains how to produce output using a combination of
composite primary inputs, XPRIM(i,d), and composite intermediate goods, XINT_S(c,i,d),
with Leontief elasticity of substitution. As a consequence, the demand equations for
XPRIM(i,d) and XINT_S(c,i,d) have a similar pattern as seen in two equations below.
Equation 6.1 explains that the industry demand for aggregate primary factor,
XPRIM(i,d), is proportional to total output and technological terms. Equation 6.2 explains
that the demand for composite goods, XINT_S(c,i,d) is also proportional to total output and
technological terms. We recognise three different technological terms, APRIM(i,d),
AINT_S(c,i,d) and ATOT(i,d). Technological change implies change in input requirement
per unit of output. When these technological terms reduce, the same level of output is
produced using less XPRIM(i,d) or XINT_S(c,i,d).
The third equation, Equation 6.3 is the ‘Zero Pure Profits’. Total revenue is equal to
total cost of all inputs.
! Excerpt 6 of TABLO input file: !
! Demands for aggregate primary factor and intermediate inputs !
APRIM(i,d)
Primary inputs technological change
AINT_S(c,i,d) Intermediate composite technological change
ATOT(i,d)
Industry output technological change
XTOT(i,d)
Industry outputs
PCST(i,d)
Production cost
(6.1)
XPRIM(i,d) = APRIM(i,d)*ATOT(i,d)*XTOT(i,d)
(6.2)
XINT_S(c,i,d) = AINT_S(c,i,d)*ATOT(i,d)*XTOT(i,d)
(6.3)
PCST(i,d)*XTOT(i,d) = sum{c,COM,PPUR_S(c,i,d)*XINT_S(c,i,d)}
404
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
+sum{o,OCC,PLAB(i,o,d)*XLAB(i,o,d)}
+PCAP(i,d)*XCAP(i,d)+PLND(i,d)*XLND(i,d)
3.8.
Adding production tax to firm costs
Excerpt 7 explains how a production tax is added to the firm cost. Equation 7.1 indicates
that a change in production tax revenue, PTX(i,d), is determined by change in PTXRATE(i,d)
multiplied by the value of output, (PCST(i,d)*XTOT(i,d)).
Equation 7.2 sets industry output price, PTOT(i,d), via the firm cost, PCST(i) and the
tax revenue PTX(i,d).
! Excerpt 7 of TABLO input file: !
! Adding Production tax to firm costs !
PTOT(i,d)
Industry output prices
PTXRATE(i,d)
Rate of production tax
PTX(i,d)
Ordinary change in production tax revenue
(7.1)
PTX(i,d) = PTXRATE(i,d)*PCST(i,d)*XTOT(i,d)
(7.2)
PTOT(i,d)*XTOT(i,d) = PCST(i,d)*XTOT(i,d)+PTX(i,d)
3.9.
MAKE: multi-product industries have CET specification
Equation 8.1 explains supplies of commodities by industries, XMAKE(c,i,d), with
constant elasticity transformation (CET). Ignoring the technological term, AMAKE(c,i,d), output
each commodity supplied by an industry, XMAKE(c,i,d), is proportional to XTOT (i,d) and to
a price term powered by SIGMAOUT (i). The price term is composed of the price of domestic
good relative to average price of industry i output. Since SIGMAOUT (i) is positive, this
induces industries to produce more of the commodity with an increased relative prices.
Equation 8.2 equates the output value of industry (PTOT(i,d)*XTOT(i,d) equals to the
sum of commodities supplied by industry calculated using domestic prices, PDOM(c,d).
Equation 8.3 shows that total output of commodities, XCOM(c,d), is equal to the sum
of commodities supplied by various industries.
Lastly, import prices, PIMP(c,r), in Equation 8.4, are simply determined by foreign
import prices, PFIMP(c,r) multiplied by the exchange rate, PHI.
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
405
! Excerpt 8 of TABLO input file: !
! MAKE: multi-product industries have CET specification !
SIGMAOUT(i) Parameter CET transformation elasticities
AMAKE(c,i,d)
MAKE technological change
XMAKE(c,i,d)
Output of good c by industry i in d
XCOM(c,d)
Total output of commodities
PDOM(c,r)
Output prices = basic prices of domestic goods
PFIMP(c,r)
Import prices, foreign currency
PIMP(c,r)
Import prices, local currency
PHI
Exchange rate
(8.1)
XMAKE(c,i,d) = AMAKE(c,i,d)*XTOT(i,d)*
{[PDOM(c,d)/PTOT(i,d)]**SIGMAOUT(i)}
(8.2)
PTOT(i,d)*XTOT(i,d) = sum{c,COM,PDOM(c,d)* XMAKE(c,i,d)}
(8.3)
XCOM(c,d) = sum{i,IND, XMAKE(c,i,d)}
(8.4)
PIMP(c,r) = PFIMP(c,r)*PHI
3.10. Household demands
Excerpt 9 determines the allocation of household expenditure between commodity
composites. This is derived from the Klein-Rubin utility function:
Utility per household = P {X3_S(c) - X3SUB(c)}S3LUX(c),
The X3SUB and S3LUX are behavioural coefficients—the S3LUX must sum to unity. Q
is the number of households. The demand equations that arise from this utility function are:
X3_S(c) = X3SUB(c) + S3LUX(c)*V3LUX_C/P3_S(c),
where:
V3LUX_C = V3TOT - ÂX3SUB(c)* P3_S(c)
The name of the linear expenditure system derives from its property that expenditure
on each good is a linear function of prices (P3_S) and expenditure (V3TOT). The form of the
demand equations gives rise to the following interpretation. The X3SUB are said to be the
406
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
‘subsistence’ requirements of each good—these quantities are purchased regardless of
price. V3LUX_C is what remains of the consumer budget after subsistence expenditures
are deducted—we call this ‘luxury’ or ‘supernumerary’ expenditure. The S3LUX are the
shares of this remnant allocated to each good—the marginal budget shares.
The simplicity of this scheme is that LES has no specific substitutability. Hence, LES
requires only a vector of expenditure elasticities and 1 Frisch parameter for each region.
Equation 9.1, an alias, equates household prices by commodity, PHOU(c,d), to the
household purchasing prices, PPUR_S(c,”hou”,d). Household subsistence costs in d,
WSUBSIST(d), are defined by Equation 9.2 as total per capita subsistence expenditure
spent by the number of households NHOU(d). The household expenditure is composed by
consumer prices, PHOU(c,d), multiplied by household subsistence quantities,
XSUBSIST(c,d).
Equation 9.3 determines that total household demand for composite commodities,
XHOU_S(c,d), is proportional to marginal budget share, MBS(c,d) multiplied by luxury cost.
The luxury cost is household purchasing value other than subsistence cost, (WHOUTOT(d)WSUBSIST(d)). Then, the nominal household expenditure, WHOUTOT(d) is PHOUTOT(d)
multiplied by total household expenditure, XHOUTOT(d).
Equation 9.4 determines that budget share, BUDGSHR(c,d), is the ratio of household
purchasing value to total nominal household consumption.
Equation 9.5 determines PHOUTOT (d), as consumer price index, which is the sum
over consumer price by commodity, PHOU(c,d), multiplied by budget share, BUDGSHR(c,d).
Since WHOUTOT(d) and PHOUTOT(d) are known, total real household consumption,
XHOUTOT(d) and WHOUTOT(d) are given by Equation 9.6 and Equation 9.7.
! Excerpt 9 of TABLO input file: !
! Household demands !
MBS(c,d)
Parameter marginal budget shares
BUDGSHR(c,d) Average budget shares
WHOUTOT(d)
Total nominal household consumption
WSUBSIST(d)
Household subsistence costs
XHOUTOT(d)
Total real household consumption
PHOUTOT(d)
CPI
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
NHOU(d)
407
Number of households
XSUBSIST(c,d) Household subsistence quantities
PHOU(c,d)
Household price of composites
(9.1)
PHOU(c,d)= PPUR_S(c,”hou”,d)
(9.2)
WSUBSIST(d)= sum{c,COM,PHOU(c,d)*NHOU(d)*XSUBSIST(c,d)}
(9.3)
XHOU_S(c,d)*PHOU(c,d) = MBS(c,d)*[WHOUTOT(d) - WSUBSIST(d)]
(9.4)
BUDGSHR(c,d) = PUR_S(c,”Hou”,d)/WHOUTOT(d)
(9.5)
PHOUTOT(d)= sum{c,COM,BUDGSHR(c,d)*PHOU(c,d)}
(9.6)
XHOUTOT(d)= WHOUTOT(d)/PHOUTOT(d)
(9.7)
WHOUTOT(d)= PHOUTOT(d) * XHOUTOT(d)
3.11. Investment demands and indices: conditional on industry-specific
investment
Excerpt 10 shows the equations determining investment demands and indices æ
conditional on industry-specific investment. The equation determining new capital creation
is derived using Leontief technology demand. Equation 10.1 explains that the amount of
good c for investment industry i in d, XINVI(c,i,d) is proportional to investment by industries
in d, XINVITOT(i,d), multiplied by investment technological term, AINVI(c,i,d).
Equation 10.2 defines purchaser’s price of good c for investment in d, PINVEST(c,d)
as investor purchasing price, PPUR_S(c,”INV”,d)
Equation 10.3 determines the investment price index for industry i, in region d,
PINVITOT(i,d) by making an identity between the value of investment by industry i in d as
the sum over commodities used by that industry for investment in d.
Equation 10.4 explains that XINV_S(c,d) is sum over industry demands for investment
goods, XINVI(c,i,d).
! Excerpt 10 of TABLO input file: !
! Investment demands and indices:conditional on industry-specific !
! investment !
AINVI(c,i,d)
Investment technological change
408
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
XINVI(c,i,d)
Amount of good c for investment, industry i in d
XINVITOT(i,d)
Investment by industry
PINVITOT(i,d)
Investment price index by industry
PINVEST(c,d)
Purchaser’s price of good c for investment in d
(10.1) XINVI(c,i,d) = AINVI(c,i,d)*XINVITOT(i,d)
(10.2) PINVEST(c,d) = PPUR_S(c,”INV”,d)
(10.3) PINVITOT(i,d)*XINVITOT(i,d) = sum{c,COM, PINVEST(c,d)
*XINVI(c,i,d)}
(10.4) XINV_S(c,d)= sum{i,IND,XINVI(c,i,d)}
3.12. Government, export, and inventory demands
Excerpt 11 explains government, export, and inventory demands. As expressed by
Equation 11.1, the government demand is proportional to three corresponding shifters. They
shift the demand function with different dimensions: by d as FGOVTOT(d), by c and d, as
FGOV_S(c,d) and by c, s, and d, as FGOV(c,s,d).
Equation 11.2 explains that demand for export goods, XEXP(c,s,d), is proportional to
export-quantity shifter, FQEXP(c,s) multiplied by a price term powered by export elasticity
substitution, EXP_ELAST(c). The price term is composed of purchasing export prices,
PPUR(c,s,”EXP”,d), relative to the ratio of export price shifter, FPEXP(c,s), and exchange
rate, PHI.
Equation 11.3 defines that stocks, XSTOCKS(i,d), is proportional to XTOT(i,d)
multiplied by stocks shifter, FSTOCKS(i,d).\c AnsiText \* MERGEFORMAT
! Excerpt 11 of TABLO input file: !
! Government, export, and inventory demands !
! Governments !
FGOVTOT(d)
Government demand shifter
FGOV(c,s,d)
Government demand shifter
FGOV_S(c,d)
Government demand shifter
XGOV(c,s,d)
Government demand
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
409
(11.1) XGOV(c,s,d) = FGOVTOT(d)*FGOV(c,s,d)*FGOV_S(c,d)
! Exports !
EXP_ELAST(c) Export demand elasticities
FQEXP(c,s)
Export quantity shift variable
FPEXP(c,s)
Export price shift variable
XEXP(c,s,d)
Export of all-region composite leaving port at d
(11.2) XEXP(c,s,d)/FQEXP(c,s)=[PPUR(c,s,”EXP”,d)/
[FPEXP(c,s)/PHI]]**-EXP_ELAST(c)
! Inventories !
FSTOCKS(i,d)
Stocks shifter
XSTOCKS(i,d)
Inventories
(11.3) XSTOCKS(i,d) = FSTOCKS(i,d)*XTOT(i,d)
3.13. Add up user demands to get total regional demand for delivered goods
Excerpts 12 explains that total regional demand for delivered goods composite c, s in
d, XTRAD_R(c,s,d), is an add up of user demand.
! Excerpt 12 of TABLO input file: !
! Add up user demands to get total regional demand for !
! delivered goods !
XTRAD_R(c,s,d) Total demand for regional composite c,s in d
(12.1) XTRAD_R(c,s,d) = sum{i,IND, XINT(c,s,i,d)}+ XHOU(c,s,d)
+ XINV(c,s,d)+ XGOV(c,s,d)+ XEXP(c,s,d)
3.14. Delivering goods to regions
Excerpt 13 explains delivering goods to regions. Using the Leontief function, Equation
13.1 determines that the demand for margin, XTRADMAR(c,s,m,r,d), is a proportion of XTRAD
(c,s,r,d) multiplied by margin technological term, ATRADMAR(c,s,m,r,d). This
XTRADMAR(c,s,m,r,d) contains a margin flow to facilitate commodities from region r to d.
410
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
The delivered price of good c, s from r to d, PDELIVRD(c,s,r,d) is determined using
Equation 13.2. Since XTRAD(c,s,r,d) is known, the delivered value of commodity c, s, from
r to d (on the left hand side) is composed by the basic plus the margin value used.
! Excerpt 13 of TABLO input file: !
! Delivering goods to regions !
ATRADMAR(c,s,m,r,d) Trade for margins technological change
XTRAD(c,s,r,d)
Quantity of good c,s from r to d
XTRADMAR(c,s,m,r,d) Margin m on good c,s going from r to d
PBASIC(c,s,r)
Basic prices
PDELIVRD(c,s,r,d)
All-user deliverd price of good c,s from r to d
XSUPPMAR_P(m,r,d) Quantity of composite margin m on goods from r to d
PSUPPMAR_P(m,r,d) Price of composite margin m on goods from r to d
(13.1) XTRADMAR(c,s,m,r,d) = ATRADMAR(c,s,m,r,d)* XTRAD(c,s,r,d)
(13.2) PDELIVRD(c,s,r,d)*XTRAD(c,s,r,d) =PBASIC(c,s,r)*XTRAD(c,s,r,d)
+sum{m,MAR, PSUPPMAR_P(m,r,d)*XTRADMAR(c,s,m,r,d)}
3.15 Regional sourcing
For each good and destination region, an average user chooses region sourcing based
on delivered (margin-paid, but ex-tax) prices and values.
Equation 14.1 explains the delivered price of regional composite good c, s, to d,
PUSE(c,s,d). By multiplying PUSE(c,s,d) to XTRAD_R(c,s,d), it converts the left hand side
equation into a value. Since the value of total components on the right hand side and
XTRAD_R(c,s,d) are known, we can determine PUSE(c,s,d).
Equation 14.2 determines the demand of good c, either domestic or imported (s) from
regional source (r) to destination region (d), XTRAD(c,s,r,d) by multiplying XTRAD_R(c,s,d)
to trading share, STRAD(c,s,r,d), and by a price term. The XTRAD_R(c,s,d) is the demand
of good c, s to d sum over region of origins, r. The price term is composed of the ratio
PDELIVRD(c,s,r,d) to PUSE(c,s,d) powered by constant elasticity substitution between region,
SIGMADOMDOM(c), to total good from original regions.
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
411
! Excerpt 14 of TABLO input file: !
! For each good and destination region,an average user chooses !
! regional sourcing !
! Based on delivered (margin-paid, but ex-tax) prices and values !
SIGMADOMDOM(c)
Parameter substitution elasticity between origins
PUSE(c,s,d)
Delivered price of reg composite good c,s to d
STRAD(c,s,r,d)
Initial share
(14.1) PUSE(c,s,d)*XTRAD_R(c,s,d)=sum{r,ORG,PDELIVRD(c,s,r,d)
*XTRAD(c,s,r,d)}
(14.2) XTRAD(c,s,r,d) = STRAD(c,s,r,d)*XTRAD_R(c,s,d)
*[PDELIVRD(c,s,r,d)/PUSE(c,s,d)]**-SIGMADOMDOM(c)
3.16. Where margins are produced
Equation 15.1 contains equations determining where margins are produced. It shows
that the composite margin m on goods passing from r to d, XSUPPMAR_P(m,r,d), is sum
over commodity and source of margin m on good c, s going from r to d, XTRADMAR(c,s,m,r,d).
The price of composite margin m on goods from r to d, PSUPPMAR_P(m,r,d) is given
by Equation 15.2.
Margin m supplied by p on goods passing from r to d, XSUPPMAR(m,r,d,p) as
expressed by Equation 15.3, is proportional to XSUPPMAR_P(m,r,d) multiplied by a price
term. The price term is a ratio PDOM(m,p) to PSUPPMAR_P(m,r,d) powered by substitution
elasticity between margin origins, SIGMAMAR(m).
Adding up total demand for margins produced in p can be expressed into two different
ways, Equation 15.4 and Equation 15.5. One is a sum over d and the other is sum over r
and d.
! Excerpt 15 of TABLO input file: !
! Where margins are produced !
! We need xsuppmar_p(m,r,d) margins !
! What regions p shall they come from ? !
412
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
SIGMAMAR(m)
Parameter substitution elast betwen marg origins
BSUPPMAR(m,r,d,p)
Parameter:const in demand for marg m (made in p)
XSUPPMAR(m,r,d,p)
Demand for marg m (made in p) on goods from r to d
XSUPPMAR_D(m,r,p) Total margins on goods from r, produced in p
XSUPPMAR_RD(m,p) Total demand for margins produced in p
(15.1) XSUPPMAR_P(m,r,d) = sum{c,COM, sum{s,SRC, XTRADMAR(c,s,m,r,d)}}
(15.2) XSUPPMAR_P(m,r,d)*PSUPPMAR_P(m,r,d) =
sum{p,PRD, XSUPPMAR(m,r,d,p)*PDOM(m,p)}
(15.3) XSUPPMAR(m,r,d,p) = BSUPPMAR(m,r,d,p) * XSUPPMAR_P(m,r,d)
*[PDOM(m,p)/PSUPPMAR_P(m,r,d)]**- SIGMAMAR(m)
! Add up total demand for margins produced in p !
(15.4) XSUPPMAR_D(m,r,p) = sum{d,DST, XSUPPMAR(m,r,d,p)}
(15.5) XSUPPMAR_RD(m,p) = sum{r,ORG, XSUPPMAR_D(m,r,p)}
3.17. Total demand for commodity c made in r = supply commodity c made in r
Equation 16.1 explains total demand for commodity c produced in r equal to supply
commodity c, s produced in r.
Specifically for domestic source, TOTDEM(c,”dom”,r) expressed by Equation 16.2, is
equal to supply for non-margins, XCOM(c,r). Then, supply for margins, XCOM(m,p)
determined by Equation 16.3, is composed of direct demands for goods produced
domestically in r, TOTDEM(m,”dom”,p) plus demand for margins produced in p,
XSUPPMAR_RD(m,p).
Equation 16.4 shows that PBASIC(c,”dom”,r) is identical to PDOM(c,r). Equation 16.5
shows that PBASIC(c,”imp”,r) is identical to import price, PIMP(c,r). PPUR(c,s,u,d) is given
by Equation 16.6.
Using Equation 16.7, commodity tax revenue, COMTAXREV(d), is obtained from
total value of goods used by users multiplied by commodity tax rate. Where commodity tax
rate is TAX(c,s,u,d)/USE(c,s,u,d) or [TUSER(c,s,i,d)-1] .
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
413
! Excerpt 16 of TABLO input file: !
! Total demand for commodity c made in r = supply commodity c !
! made in r !
TOTDEM(c,s,r)
Total direct demands for goods made and landed in r
TUSER(c,s,u,d)
Powers of commodity taxes
COMTAXREV(d) Commodity tax revenue
(16.1) TOTDEM(c,s,r) = sum{d,DST, XTRAD(c,s,r,d)}
(16.2) XCOM(c,r) = TOTDEM(c,”dom”,r)
(16.3) XCOM(m,p) = TOTDEM(m,”dom”,p)+ XSUPPMAR_RD(m,p)
(16.4) PBASIC(c,”dom”,r) = PDOM(c,r)
(16.5) PBASIC(c,”imp”,r) = PIMP(c,r)
(16.6) PPUR(c,s,u,d) = PUSE(c,s,d) * TUSER(c,s,u,d)
(16.7) COMTAXREV(d) = sum{c,COM,sum{s,SRC,
sum{i,IND, [TUSER(c,s,i,d)-1]*PUSE(c,s,d) *XINT(c,s,i,d)}
+[TUSER(c,s,”hou”,d)-1]*PUSE(c,s,d) *XHOU(c,s,d)
+[TUSER(c,s,”gov”,d)-1]*PUSE(c,s,d) *XGOV(c,s,d)
+[TUSER(c,s,”inv”,d)-1]*PUSE(c,s,d) *XINV(c,s,d)
+[TUSER(c,s,”exp”,d)-1]*PUSE(c,s,d) *XEXP(c,s,d)}}
3.18. Industry-specific investment demands
Excerpt 17 describes industry specific investment demands. The gross rate of return,
GRET(i,d), is determined as a ratio of capital rental to price of new capital. The investment
by industries, XINVITOT(i,d) is capital usage, XCAP(i,d), multiplied by the gross growth rate
of capital, GGRO(i,d). Where GGRO(i,d) is determined by the DPSV (Dixon et al. 1982)
investment rule3 .
3 As explained in excerpt 31 of the Oranig03.tab, above equation comes from substituting the values 0.33 and 2.0 which
correspond to the DPSV ratios [1/G.Beta] and Q (= ratio, gross to net rate of return) and are typical values of these ratios. In
DPSV invslack was called “omega” and was interpreted as the “economy-wide rate of return”.
414
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
! Excerpt 17 of TABLO input file: !
! Industry-specific investment demands !
GRET(i,d)
Gross rate of return = rental/[price of new capital]
GGRO(i,d)
Gross growth rate of capital = investment/capital
FINV1(i,d)
Investment shift variable
INVSLACK
Investment slack variable for exogenizing national investment
(17.1) GRET(i,d) = PCAP(i,d) / PINVITOT(i,d)
(17.2) GGRO(i,d)= XINVITOT(i,d) / XCAP(i,d)
(17.3) GGRO(i,d) = FINV1(i,d)*[{GRET(i,d)**2}/INVSLACK]**0.33
The following excerpts are Excerpt 16 and Excerpt 17 but written in percentage changes
version. Equation 16.1 in level version corresponds to Equation 16.1 in the percentage
changes version. We can write an equation in level with several equations in percentages
changes version. For example, Equation 16.7 in level version, it is written by several equations
in percentage changes (from Equation 16.7 to 16.11). Note that we write variable names in
lower case and value flows/coefficients in capital case. Sometimes it is necessary to state a
variable in ordinary change if that variable can change from positive toward negative or
reverse. We write ordinary-change variables with prefix ‘del, for example ‘ delTAXint (c,s,i,d).
This represents ordinary change in TAX for intermediate input demands.
\c AnsiText \* MERGEFORMAT ! Excerpt 16 of TABLO input file: !
! Total demand for commodity c produced in r = supply commodity c !
! produced in r (in percentage changes version) !
! data flows/coefficients !
TRADE(c,s,r,d)
Trade matrix (at basic prices)
TRADE_D(c,s,r)
Total direct demands
SUPPMAR_RD(m,p)
Total demand for margin m produced in p
TAX(c,s,u,d)
Commodity taxes
! variables in percentage changes !
totdem(c,s,r)
Total direct demand for goods produced(dom)
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
orlanded(imp)
in r
xtrad(c,s,r,d)
Quantity of good c,s from r to d
xcom(c,d)
Total output of commodities
ppur(c,s,u,d)
User (purchasers) prices, inc margins and taxes
puse(c,s,d)
Delivered price of regional composite good c,s to d
tuser(c,s,u,d)
Powers of commodity taxes
(16.1) (TRADE_D(c,s,r))*totdem(c,s,r) = sum{d,DST,TRADE(c,s,r,d)
*xtrad(c,s,r,d)}
(16.2) xcom(c,r) = totdem(c,”dom”,r)
(16.3) MAKE_I(m,p)*xcom(m,p) = TRADE_D(m,”dom”,p)*totdem(m,”dom”,p)
+ SUPPMAR_RD(m,p)*xsuppmar_rd(m,p)
(16.4) pbasic(c,”dom”,r) = pdom(c,r)
(16.5) pbasic(c,”imp”,r) = pimp(c,r)
(16.6) ppur(c,s,u,d) = puse(c,s,d) + tuser(c,s,u,d)
! variables in ordinary change !
delTAXint(c,s,i,d)
intermediate commodity tax revenue
delTAXhou(c,s,d)
household commodity tax revenue
delTAXinv(c,s,d)
investment commodity tax revenue
delTAXgov(c,s,d)
government commodity tax revenue
delTAXexp(c,s,d)
export commodity tax revenue
!variables in percentage changes!
xint(c,s,i,d)
Intermediate demands for all-region composite
xhou(c,s,d)
Household demands for all-region composite
xinv(c,s,d)
Investment demands for all-region composite
xgov(c,s,d)
Government demands for all-region composite
xexp(c,s,d)
Export of all-region composite leaving port at d
415
416
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
(16.7) delTAXint(c,s,i,d) = 0.01*TAX(c,s,i,d)
*[xint(c,s,i,d)+puse(c,s,d)] + 0.01*PUR(c,s,i,d)*tuser(c,s,i,d)
(16.8) delTAXhou(c,s,d) = 0.01*TAX(c,s,”hou”,d)
*[xhou(c,s,d)+puse(c,s,d)] + 0.01*PUR(c,s,”hou”,d)*tuser(c,s,”hou”,d)
(16.9) delTAXinv(c,s,d)
= 0.01*TAX(c,s,”inv”,d)*[xinv(c,s,d)+puse(c,s,d)]+
0.01*PUR(c,s,”inv”,d)*tuser(c,s,”inv”,d)
(16.10)delTAXgov(c,s,d) = 0.01*TAX(c,s,”gov”,d) *[xgov(c,s,d)+puse(c,s,d)]+
0.01*PUR(c,s,”gov”,d)*tuser(c,s,”gov”,d)
(16.11)delTAXexp(c,s,d) = 0.01*TAX(c,s,”exp”,d)*[xexp(c,s,d)+puse(c,s,d)]+
0.01*PUR(c,s,”exp”,d)*tuser(c,s,”exp”,d)
! Excerpt 17 of TABLO input file: !
! Industry-specific investment demands !
! (in percentage changes version) !
! Variables in percentage changes !
ggro(i,d)
Gross growth rate of capital = Investment/capital
gret(i,d)
Gross rate of return = Rental/[Price of new capital]
finv1(i,d)
Investment shift variable invslack Investment slack for exogenizing
national investment
pcap(i,d)
Rental price of capital
pinvitot(i,d)
Investment price index by industry
xcap(i,d)
Capital usage
xinvitot(i,d)
Investment by industry
(17.1) gret(i,d)= pcap(i,d) - pinvitot(i,d)
(17.2) ggro(i,d)= xinvitot(i,d) - xcap(i,d)
(17.3) ggro(i,d) = finv1(i,d) + 0.33*[2.0*gret(i,d) -invslack]
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
417
4. DATABASE
4.1. Introduction
Regional input-output tables and trade matrices, as shown in Figure 2.1 Section 2,
are not available in Indonesia. The EMERALD database is produced from very limited regional
data in several steps. Key features of this strategy are:
•
The process starts with a national input-output table and certain regional data. The
minimum requirement for regional data is very modest: the distribution between regions
of industry output and of final demand aggregates.
•
The database is constructed at the most disaggregated sectoral and regional level: 97
sectors and 26 regions. This is useful when estimating missing data.
The data process is broken into 7 stages, as shown in Figure 4.1:
•
A preliminary aggregation to reduce multiproduction
•
Simplification of data structure
•
Input usage distinguished by place of use
•
Input usage distinguished by place of production
•
Consolidate final format
•
Aggregation into 19 sectors
•
Run the model to produce diagnostic information and summary
Our exposition follows these steps.
Remainder of Section 4 omitted to meet size limit. A zip file of the complete section
may be downloaded from http://www.monash.edu.au/policy/archivep.htm.
418
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
INDOCEEM 2001
97 sector
HAR database
Stage 1: aggregation
80 sector
INDOCEEM style HAR
database
Stage 2: simplify
80 sector
single region EMERALD
database
Stage 3: split users
Data to split users
by 26 dest region
R001 R002 R003
etc
by destination
80 sector
26 destination database
demand
by region
Distance matrix
(gravity); import
by port of entry
Stage 4: form
trade matrix
supply
by region
TRADE matrix
80 commodity
x [dom,imp]
x 26 origin region
x 26 dest region
Stage 5: consolidate
final format
80 sector
26 origin 26 dest
EMERALD database
Key
Stage 6:aggregation
data
19 sector 26 region
process
EMERALD database
Stage 7: run model
Data summary and
Diagnostics
Figure 4.1
Data Construction
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
419
5. SUBSIDY VARIATIONS TO ATTRACT INVESTORS.
5.1. Introduction
This section analyses the economic effects of subsidising industry to attract investment
in specific regions. As an example, we choose to subsidise Textiles, Clothing and Footwear
(TCF) industry in Central Java (JaTeng) using the EMERALD (Equilibrium Model with
Economic Regional AnaLysis Dimensions) multi-regional CGE Model.
We simulate several financial approaches to the TCF subsidy in JaTeng: unfunded
subsidy, subsidy funded by consumer tax or by producer tax, and reduction in local
government demand. Selected results are shown for the target region (JaTeng), a neighbour
region (Yogyakarta) and for the nation. Also we decompose total results into different effects.
For example, we split the total effect of a subsidy funded by consumers into two separate
effects: the effects of the subsidy and the effects of the consumer tax.
5.2. Textile clothing and footwear in JaTeng (Central Java)
Tables 5.1 and 5.2 are examples of data generated for this model. Table 5.1 shows
destinations of TCF made in JaTeng. 26% remains in JaTeng (14% used by industries and
12% by households), other regions take 51% and exports take 22%.
Tabel 5.1.
Destinations of TCF made in JaTeng (in billions of Rupiah)
Intermediate
2640
14.47%
Local (JaTeng)
Households
Investment
2182
11.96%
Government
4
0.02%
8
0.04%
Other
Regions
9356
51.28%
ROW
Export
Total
4055
22.23%
18245
100%
Table 5.2 shows trade inflows to JaTeng. There are three sources of TCF used in
JaTeng: local (47%), other regions (45%) and import (8%).
Tabel 5.2.
Source of TCF used in JaTeng (in billions of Rupiah)
Local Production
Other Regions
ROW Import
Total
8890
8608
1474
18972
46.86%
45.37%
7.77%
100%
420
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
5.3. Closure
We used a long-run closure for most of the experiments: within each region, labour is
completely mobile between sectors. A wage differential is needed to induce labour movement
between regions. The national labour supply is fixed. Rates of return (ROR) are exogenous
and capital for each regional industry is in elastic supply. Foreign currency prices of imports
are naturally exogenous. Population is also held constant. Other exogenous variables include
changes in rate of production tax, technology, price and quantity shift variables.
On the regional expenditure side, nominal household consumption moves with nominal
labour income. Real aggregate investment follows regional demands for capital. Real
government consumption follows real household consumption. Export demand elasticities
and export prices determine export volumes.
Most national results are no more than the sum of the corresponding regional results.
However a few constraints were imposed at the national, rather than the regional, level.
National employment is fixed, while real wages adjust. National real household consumption
moves with real GDP. The exchange rate is fixed as numeraire. Table 5.3 shows that for
exogenous variables, main macro results for both Indonesia as a whole and JaTeng, are
zero. Other than unfunded subsidy, we examine three alternative ways of financing the
subsidy: to shift the cost of the subsidy either to JaTeng consumers, to JaTeng industries or
to reduce JaTeng government demands.
To shift the cost of the subsidy either to JaTeng consumers or to JaTeng industries, we
use two slightly different closures to hold indirect tax (commodity plus production tax) revenue
constant. In the first closure, rates of commodity taxes for JaTeng households adjust uniformly
to finance the subsidy. In the second closure, production tax rates for JaTeng industries are
raised to finance the TCF subsidy. To finance the subsidy by reduction in JaTeng government
demands, we reduce government demand by a sum equal to the cost of the subsidy 4 .
5.4. Shock
To subsidise the Textiles, Clothing and Footwear industry (TCF) in JaTeng, we shocked
the model by shifting down the supply curve for TCF5 . Since labour and capital in long run
are mobile between sectors, EMERALD has very flat long run regional industry supply curves.
4 We apply variable fgovtot2 which represents government demand shifter.
5 We shocked the model by applying delPTXrate(“TCF”,”JaTeng”)=-0.01. This variable has two dimensions, industry and
region. The ‘delPTXrate’ represents an ordinary change in an ad valorem production tax rate. The negative figure “-0.01”
means that we subsidise JaTeng Textiless, Clothing and Footwear industry by 1% of the value of output.
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
421
Figure 5.1 illustrates the interaction between JaTeng TCF demand and supply. The
initial equilibrium is at point E. The shock moves the supply curve down from S to S’. As a
result, the equilibrium moves from point E to E’, which has lower price and higher quantity
than initially. Because of input-output linkages, employment, wages and household income
all rise. As a result, the demand curve will shift upward from D to D’. It creates a new
equilibrium at point E” which greater quantity than point E’.
Price
D’
D
S
1%
E
E’’
S’
Shift
E’
Quantity
Figure 5.1 Interaction between demand
and supply for JaTeng TCF
5.5. Simulation results
Simulation results appear in Table 5.3 to Table 5.6—they differ according to the financial
approaches to the TCF subsidy. We discuss the results in the following order: (1) unfunded
subsidy, (2) subsidy paid for by consumers, (3) subsidy paid for by industries, followed by
(4) subsidy funded by reduction in local government demands. Returning to the unfunded
subsidy, we focus on a neighbouring region and on national results. Each table of results
shows main macro variables, TCF sector variables, and sectoral outputs.
5.5.1. Unfunded subsidy
Table 5.3 shows three results columns. The first column shows results for JaTeng
(Central Java), the second results for DIY (District of Yogyakarta, a neighbouring region)
and the third, national results. In this section, our discussion focuses on column (1).
422
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
JaTeng TCF sector (Table 5.3, column (1))
When we subsidise JaTeng TCF by 1%, output price of TCF decreases further, by 1.1%.
This is because intermediate input cost falls by 0.24% to dominate increases in other cost
(capital rental by 0.034% and wages by 0.25%). Note that 26% of TCF input is TCF output.
Since domestic prices fall, not only do international exports of TCF increase by 5.5%,
but also exports to other regions increase by 5.0%. Imports lose market share so that local
TCF sales increase by 7%. This causes TCF output to increase by 5.96%. Consequently,
demands for inputs also increase. Employment rises by 5.89% and capital rises by 6.0%.
To attract labour from other regions, wages had to rise by 0.25%. Capital rentals rose
by 0.034% (the latter are indexed to the investment price index). Since wages rose more
than capital rentals, TCF employment rose by less than TCF output, while capital use rose
by more (MPL is positive function of K/L ratio).
Imports of TCF from other regions only increase by 1.7% mainly because the local
demand shifts toward JaTeng TCF. We see from local TCF used locally increases by 7%.
JaTeng macro results (Table 5.3, column (1))
In the macro results, JaTeng real household consumption rises by 0.42% in line with
nominal labour income (employment increases by 0.21% plus nominal wages by 0.25%).
The 0.25% increase in nominal wages is composed of an increase in average real wage of
0.24%, plus a 0.012% increase in CPI.
Again, real government consumption grows by 0.42% to follow real household
consumption. Since we assume gross growth rates of capital to be fixed, investment follows
capital growth. Hence, JaTeng real investment grows by 0.22% and aggregate capital stock
by 0.22%.
The export price index falls by 0.097% (due to a domestic price fall, i.e, price of GDP
falls by 0.032%). So export volumes grow by 0.29%. Import volumes used grow by 0.43%
because demand expands and imports lose market share. Hence, real GDP grows by 0.21%.
JaTeng sectoral output (Table 5.3, column (1))
In national or trade-exposed industries which compete with the same industries from
other regions, the wage rise increases costs, leading to loss of market shares. So output
and employment shrink.
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
423
However, industries less exposed to competition grow. For example, utilities grow by
0.40% and government services by 0.31%. Since local goods are produced and consumed
locally, demand for local goods grows to follow absorption (which is itself driven by labour
income). Since input costs to JaTeng firms rise, output prices also rise except in TCF sector.
Traded industries ranging from agriculture to manufactures shrink; machines and
electronics by 0.15% and mining by 0.16%. In turn, their demands for inputs contract.
Except for TCF exports, rising input costs cause exports to shrink. For example, in
agriculture domestic prices rise by 0.017% and exports shrink by 2.3%.
Jobs grow in TCF (by 5.9%) and in non-traded sectors, but shrink in trade-exposed
sectors.
5.5.2. Unfunded subsidy: effect on neighbour and nation
The effects on neighbour and nation of a long-run unfunded subsidy are shown in
Table 5.3, DIY (column (2)) and National (column (3)). Note that DIY is a neighbour region
surrounded by JaTeng. It is interesting to observe that effects on DIY are similar to effects
on JaTeng (but smaller). DIY also benefits, again led by increased TCF output. The reason
is that TCF partly from JaTeng is a big input into DIY TCF—so cheaper TCF imports benefit
DIY TCF also. National results are also positive, although small. One reason is that national
results are no more than the sum of the corresponding regional results.
TCF sector (Table 5.3, column (2, 3))
Since 24% of TCF in DIY is from JaTeng: a fall in JaTeng TCF domestic price by 1.1%
causes DIY TCF domestic prices to fall by 0.065%. As consequences, TCF output in DIY
expands by 0.57%. Then the demand of inputs rises, capital by 0.58% and labour by 0.55%.
To attract labour from other regions, wages had to rise by 0.077% relative to capital rentals
by 0.015% (the later are indexed to investment price index).
Due to TCF price falls, TCF output, export to ROW increases by 2.78%, and exports
to other regions increase by 0.75%. Import from other regions also increase by 1.6% because
of demand expansion. Again, local demand for local TCF rises by 0.11%.
Column (3) shows that national output prices for TCF falls by 0.16%. As results, TCF
output and exports all rise by 0.90% and by 1.42%. This sector sucks in employment from
other sectors by 0.90%. Note that national employment is fixed.
424
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Macro results (Table 5.3, column (2, 3))
In DIY, even though export prices fall by 0.031%, export volume falls by 0.046%. This
indicates that domestic demand is stronger than export. We can see from a rise in GDP
price index by 0.036%.
DIY also sucks in labour and capital from other regions. Aggregate employment and
capital stock in DIY increase by 0.029% and 0.021%. This causes real GDP to grow by
0.023%. Since labour income rises, household expenditures and government expenditure
all rise by 0.059%. Real investment grows by 0.016% to follow a growth in capital stock.
Again, import volume used increases by 0.095% to follow expansion in economy activity.
Tabel 5.3.
Unfunded subsidy to TCF industry in JaTeng
Main Macro Variable
RealHou
RealInv
RealGov
ExpVol
Xdomexp_c
Xdomimp_c
ImpVolUsed
ImpsLanded
RealGDP
AggEmploy
AveRealWage
AggCapStock
GDPPI
CPI
ExportPI
TCF Sector Variable
xexpsho(“TCF”)
xtot(“TCF”)
plab_o(“TCF”)
xlab_o(“TCF”)
pcapsho(“TCF”)
xcap(“TCF”)
pint(“TCF”)
pdom(“TCF”)
xdomexp(“TCF”)
xdomimp(“TCF”)
xdomloc(“TCF”)
Description
Real Household Expenditure
Real Investment Expenditure
Real Government Expenditure
Export Volume
Export to other regions
Import from other regions
Import Volume Used
Import Volume Landed
Real GDP
Aggregate Employment
Average Real Wage
Aggregate Capital Stock
Price GDP
Consumer Price Index
Export Price Index
(1) JaTeng
(2) DIY
(3) National
0.418
0.219
0.418
0.285
0.261
0.378
0.425
0.332
0.206
0.208
0.241
0.220
-0.032
0.012
-0.097
0.059
0.016
0.059
-0.046
0.060
0.058
0.095
0.130
0.023
0.029
0.062
0.021
0.036
0.015
-0.031
0.001
0.001
0.003
0.027
0.026
0.026
0.001
0.000
0.033
0.002
0.000
0.001
-0.012
5.533
5.962
0.253
5.892
0.034
6.008
-0.236
-1.111
4.975
1.732
7.000
2.776
0.565
0.077
0.547
0.015
0.578
-0.120
-0.065
0.747
1.574
0.108
1.416
0.902
0.898
-0.160
-
Description
Direct exports to Row
Industry output
Nominal wage
Employment
Capital rentals
Capital
Intermediate cost
Domestic prices
Export to other regions
Import from other regions
TCF made and used locally
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
Sectoral Output
xtot(“Agriculture”)
xtot(“Fishing”)
xtot(“OilGas”)
xtot(“Mining”)
xtot(“FoodDrink”)
xtot(“TCF”)
xtot(“WoodPaper”)
xtot(“Chemicals”)
xtot(“LNG”)
xtot(“BasicMetal”)
xtot(“MachinElec”)
xtot(“OtherManuf”)
xtot(“ElecGasWater”)
xtot(“Construction”)
xtot(“Trade”)
xtot(“ HotelRest”)
xtot(“Transport”)
xtot(“OtherServ”)
xtot(“GovSrvces”)
Description
Agriculture
Fishing
Oil and Gas
Mining
Food and Drink
Textiles, Clothing and Footwear
Wood and Paper
Chemicals
Liquid Natural Gases
Basic Metals
Machines Electronics
Other Manufactures
Electricity, Gas, and Water
Construction
Trade
Hotel and Restaurant
Transport
Other Services
Government Services
(1) JaTeng
-0.170
-0.160
-0.023
-0.155
-0.349
5.962
-0.232
-0.110
0.000
-0.174
-0.154
-0.041
0.396
0.097
0.065
0.335
0.101
0.191
0.307
(2) DIY
-0.066
-0.059
0.000
-0.049
-0.144
0.565
-0.155
-0.014
0.000
0.000
-0.063
-0.024
0.262
0.028
0.048
0.075
0.021
0.048
0.120
425
(3) National
-0.046
-0.031
0.001
-0.013
-0.116
0.902
-0.084
-0.066
-0.026
-0.028
-0.064
-0.027
0.033
0.001
-0.004
-0.007
-0.021
-0.026
0.002
Long-run national effects
As comparison, Figure 5.2 shows regional real GDP results. JaTeng wins most with a
growth in real GDP followed by DIY. In contrast, other regions lose slightly.
Subsidising JaTeng TCF is good for the whole nation. Table 5.3, column (3) shows
that real GDP grows by 0.001%. All spending rise, for example, real household expenditure
and investment by 0.001%. Since we assume national aggregate employment is fixed, a
0.002% growth in capital determines a 0.001% growth in national GDP. Ordinary change in
share of real trade balance to real GDP increases by 0.002%.
Sectoral output (Table 5.3, column (2, 3))
Local industries grow in DIY such as utilities by 0.26% and government service by
0.12%. On the other hand, trade-exposed industries shrink for instance, food and drink by
0.14% and wood paper by 0.16%. It is because of substitution toward other regions product
as a result from a DIY rising costs. Again, national sectoral output follows the sum of the
corresponding regional results for example in column (3), food and drink shrinks by 0.12%
and wood paper by 0.084%. Except TCF, growing sectors include utilities by 0.033%,
construction by 0.001% and government service by 0.002%
5.5.3. Consumers pay the subsidy
426
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Figure 5.2
Regional Real GDP Result
In this section we subsidise the TCF industry by the same amount—this time funded
by a commodity tax on household purchases. Table 5.4 splits the results into three columns
showing, the effects of: (1) subsidy alone, (2) consumer tax, and (3) total.
To compute column (3) we allowed consumer taxes to adjust uniformly so that total
indirect tax revenue (including the subsidy cost) remained constant. The second column
shows the effect of the consumer tax increase alone. The necessary change was an increase
of 0.18% in the power of all taxes on household purchases. Column (1) is simply the difference
between (2) and (3). Due to model non-linearity it is not quite the same as column (1) of
Table 5.3.
Since the first column is nearly the same as the unfunded subsidy in the previous
section, here we focus on the second and total columns.
JaTeng macro results (Table 5.4, column (2))
A tax on households has opposing effects to an industry subsidy. All demand spending
in JaTeng went down, real household consumption by 0.26%, real investment by 0.082%
and real government consumption by 0.26%.
On the income side of GDP, aggregate employment falls by 0.13% and aggregate
capital stock by 0.082%. As a result real GDP shrinks by 0.097%. Since we assumed
capital/investment ratio to be fixed, investment also falls by 0.082%.
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
427
An increase on household power tax by 0.18% causes CPI to increase by 0.19%. In
turn, average real wages fall by 0.15%.
Due rising input costs, the export price index increases by 0.004% to cause a fall in
export volume by 0.10%. Again, import volume shrinks by 0.16% as a result of a shrinking in
production. The changes in export and import volumes hardly affect the real trade balance
to real GDP.
Tabel 5.4.
Subsidy Funded by Consumer Tax (JaTeng Results)
Main Macro Variable
RealHou
RealInv
RealGov
ExpVol
Xdomexp_c
Xdomimp_c
ImpVolUsed
ImpsLanded
RealGDP
AggEmploy
AveRealWage
AggCapStock
GDPPI
CPI
ExportPI
TCF Sector Variables
xexpsho(“TCF”)
xtot(“TCF”)
plab_o(“TCF”)
xlab_o(“TCF”)
pcapsho(“TCF”)
xcap(“TCF”)
pint(“TCF”)
pdom(“TCF”)
xdomexp(“TCF”)
xdomimp(“TCF”)
xdomloc(“TCF”)
Description
Real Household Expenditure
Real Investment Expenditure
Real Government Expenditure
Export Volume
Export to other regions
Import from other regions
Import Volume Used
Import Volume Landed
Real GDP
Aggregate Employment
Average Real Wage
Aggregate Capital Stock
Price GDP
Consumer Price Index
Export Price Index
(1) Efex of Subsidy
(2) Efex of
= (3) - (2)
Consumer Fax
(3) Total
0.417
0.219
0.417
0.286
0.261
0.378
0.424
0.331
0.206
0.208
0.241
0.220
-0.032
0.012
-0.097
-0.258
-0.082
-0.258
-0.102
-0.002
-0.129
-0.158
-0.126
-0.097
-0.129
-0.149
-0.082
0.132
0.187
0.004
0.159
0.137
0.159
0.184
0.259
0.249
0.266
0.205
0.109
0.079
0.092
0.138
0.100
0.199
-0.092
5.530
5.958
0.253
5.888
0.034
6.004
-0.236
-1.111
4.973
1.732
6.994
-0.039
-0.068
0.038
-0.079
0.003
-0.061
0.003
0.008
-0.027
-0.068
-0.112
5.491
5.889
0.292
5.809
0.038
5.943
-0.233
-1.103
4.946
1.664
6.882
Description
Direct exports to ROW
Industry output
Nominal wage
Employment
Capital rentals
Capital
Intermediate cost
Domestic prices
Export to other regions
Import from other regions
TCF made and used locally
428
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Sectoral Output
xtot(“Agriculture”)
xtot(“Fishing”)
xtot(“OilGas”)
xtot(“Mining”)
xtot(“FoodDrink”)
xtot(“TCF”)
xtot(“WoodPaper”)
xtot(“Chemicals”)
xtot(“LNG”)
xtot(“BasicMetal”)
xtot(“MachinElec”)
xtot(“OtherManuf”)
xtot(“ElecGasWater”)
xtot(“Construction”)
xtot(“Trade”)
xtot(“ HotelRest”)
xtot(“Transport”)
xtot(“OtherServ”)
xtot(“GovSrvces”)
Description
Agriculture
Fishing
Oil and Gas
Mining
Food and Drink
Textiles, Clothing and Footwear
Wood and Paper
Chemicals
Liquid Natural Gases
Basic Metals
Machines Electronics
Other Manufactures
Electricity, Gas, and Water
Construction
Trade
Hotel and Restaurant
Transport
Other Services
Government Services
(1) Efex of Subsidy
(2) Efex of
= (3) - (2)
Consumer Fax
-0.170
-0.160
-0.023
-0.155
-0.348
5.958
-0.232
-0.110
0.000
-0.174
-0.154
-0.041
0.396
0.097
0.065
0.335
0.101
0.191
0.306
-0.040
-0.045
-0.005
-0.033
-0.104
-0.068
-0.129
-0.056
0.000
-0.046
-0.080
-0.114
-0.136
-0.062
-0.079
-0.261
-0.100
-0.173
-0.277
(3) Total
-0.210
-0.205
-0.028
-0.188
-0.452
5.889
-0.361
-0.166
0.000
-0.220
-0.234
-0.155
0.259
0.035
-0.014
0.074
0.001
0.018
0.030
JaTeng sectoral output (Table 5.4, column (2))
The effect of the consumer tax is that both trade and non-trade-exposed sectors shrink.
Sectors that are mainly used by household shrink most. For example government services
output shrinks by 0.28% and hotel and restaurant by 0.26%.
JaTeng TCF sector (Table 5.4, column (2))
Focusing on Table 5.4, column (2), TCF production shrinks by 0.068% mainly due to
reduced household demand. This causes demand for inputs to shrink, employment by
0.079%, capital by 0.061%.
TCF cost rises due to an increase in wages by 0.038%, capital by 0.003%, and also
intermediate input by 0.003%. This causes TCF output price to rise by 0.008%. In turn,
export shrinks by 0.039%. Import shrinks by 0.090% as local demand (including TCF
production).
5.5.4. Subsidy funded by production tax
In this experiment, industries pay for the subsidy instead of households. Revenue
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
429
raised from production tax is used to subsidise the TCF sector. Again we split the results
into three columns: effect of subsidy, effect of production tax and total effect. To ease
comparison we also show in column (4), the total effect if consumers pay the subsidy (Table
5.5, column (4)). In this section we focus on the effect of the production tax (column (2)). To
pay for the TCF subsidy it was necessary to impose on all sectors a production tax equal to
0.066% of input costs.
JaTeng TCF sector (Table 5.5, column (2))
A rise in TCF production tax by 0.066% of output value only causes TCF domestic
prices to rise only by 0.047%. This is because regional wages fall by 0.23% to offset an
increase in capital rentals (by 0.012%) and intermediate input costs (by 0.015%). As TCF
output price increases, TCF output shrinks by 0.28%.
Due to a fall in output, TCF employment falls by 0.21% to depress local wage by 0.23%.
Increasing JaTeng commodity prices cause investment price index also to rise. Since we fixed
gross rate of return, rental price of capital also to rise by 0.012% to follow investment price
index. In turn, demand of capital falls by 0.33% as a result of an increase in capital rental.
Since TCF prices rises, exports to ROW shrinks by 0.20% and exports to other regions
shrinks by 0.189%. Import from other regions shrink by 0.14% because the substitution
effect is not enough to counteract the contraction in demand.
JaTeng macro results (Table 5.5, column (2))
Increases in most output prices cause all demand to fall. On the expenditure side of
GDP, real household and government expenditure fall by 0.41%, real investment falls by
0.30%, and export volumes fall by 0.62%. Since domestic demands fall, import volumes
also contract by 0.34%. Changes in export and import volume used causes share of real
trade balance to real GDP to increase by 0.001%
In spite of an increase in production tax by 0.07%, GDP price index only rises by
0.030%. It is because government price index falls by 0.053%, while other price indexes
rise, CPI by 0.005%, export price index by 0.024% and investment prices index by 0.012%
(recall capital rentals rise by 0.012%).
Government uses mainly government services (about 69% of government expenses).
Since government services is labour intensive sector. When local wage falls, so does the
output price. As consequences, government price index falls.
430
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
On the income side of GDP, aggregate employment falls by 0.20% and aggregate
capital stock by 0.33%. Hence, real GDP shrinks by 0.26%.
JaTeng sectoral output (Table 5.5, column (2))
All sectors shrink to follow macro expenditure results. For example, government
services falls by 0.36% to follow a fall in real government spending by 0.41%. Construction
shrinks by 0.22% to follow a 0.30% fall in real investment expenditure.
Comparison with subsidy funded by consumer tax
Macro results indicate the production tax method of funding the TCF subsidy is far
more damaging to the JaTeng economy than the consumer tax. Raising the production tax
causes factor cost and intermediate costs to rise. As consequences, JaTeng demand
weakens. Even though export price index falls, this is not enough to raise the export. Imports
displace domestic products.
If producers pay for the subsidy, capital rentals rise by more than if the consumers pay
the subsidy. This offsets the effect of the subsidy on aggregate capital stock and causes it
and investment to fall. As a result, the real GDP shrinks when producers are taxed
Tabel 5.5.
Subsidy funded by producer tax (JaTeng results)
(2)
Efex of
Consumer Fax
Description
(1)
Efex of Subsidy
= (3) - (2)
RealHou
Real Household Expenditure
0.417
-0.411
0.006
0.159
RealInv
Real Investment Expenditure
0.219
-0.296
-0.077
0.137
RealGov
Real Government Expenditure
0.417
-0.411
0.006
0.159
ExpVol
Export Volume
0.292
-0.618
-0.326
0.184
Xdomexp_c
Export to other regions
0.260
-0.090
0.170
0.259
Xdomimp_c
Import from other regions
0.378
-0.318
0.060
0.249
ImpVolUsed
Import Volume Used
0.425
-0.339
0.085
0.266
RealGDP
Real GDP
0.206
-0.261
-0.054
0.109
AggEmploy
Aggregate Employment
0.208
-0.201
0.007
0.079
AveRealWage
Average Real Wage
0.241
-0.236
0.004
0.092
AggCapStock
Aggregate Capital Stock
0.138
GDPPI
Price GDP
CPI
Consumer Price Index
ExportPI
Export Price Index
Main Macro
Variable
(3)
Total
(4)
col (3), Table 5.4
0.220
-0.329
-0.108
-0.032
0.030
-0.003
0.100
0.012
0.005
0.017
0.199
-0.097
0.024
-0.073
-0.092
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
TCF Sector
Variables
Description
(1)
Efex of Subsidy
= (3) - (2)
(2)
Efex of
Consumer Fax
(3)
Total
431
(4)
col (3), Table 5.4
xexpsho(“TCF”)
Direct exports to ROW
5.513
-0.202
5.311
xtot(“TCF”)
Industry output
5.940
-0.279
5.661
5.491
5.889
plab_o(“TCF”)
Nominal wage
0.253
-0.232
0.021
0.292
xlab_o(“TCF”)
Employment
5.875
-0.207
5.668
5.809
pcapsho(“TCF”)
Capital rentals
0.034
0.012
0.046
0.038
xcap(“TCF”)
Capital
5.983
-0.328
5.655
5.943
pint(“TCF”)
Intermediate cost
-0.235
0.015
-0.221
-0.233
pdom(“TCF”)
Domestic prices
-1.111
0.047
-1.064
-1.103
xdomexp(“TCF”)
Export to other regions
4.961
-0.189
4.772
4.946
xdomimp(“TCF”)
Import from other regions
1.728
-0.144
1.584
1.664
xdomloc(“TCF”)
TCF made and used locally
6.969
-0.374
6.595
6.882
Sectoral output
Description
xtot(“Agriculture”)
Agriculture
-0.169
-0.046
-0.215
-0.210
xtot(“Fishing”)
Fishing
-0.160
-0.056
-0.216
-0.205
xtot(“OilGas”)
Oil and Gas
-0.023
-0.067
-0.090
-0.028
xtot(“Mining”)
Mining
-0.155
-0.026
-0.181
-0.188
xtot(“FoodDrink”)
Food and Drink
-0.344
-0.391
-0.734
-0.452
xtot(“TCF”)
Textiles, Clothing and Footwear
5.940
-0.279
5.661
5.889
xtot(“WoodPaper”)
Wood and Paper
-0.230
-0.484
-0.714
-0.361
xtot(“Chemicals”)
Chemicals
-0.110
-0.351
-0.461
-0.166
xtot(“LNG”)
Liquid Natural Gases
0.000
0.000
0.000
0.000
xtot(“BasicMetal”)
Basic Metals
-0.174
-0.260
-0.433
-0.220
xtot(“MachinElec”)
Machines Electronics
-0.154
-0.319
-0.473
-0.234
xtot(“OtherManuf”)
Other Manufactures
-0.040
-0.340
-0.380
-0.155
xtot(“ElecGasWater”)
Electricity, Gas, and Water
0.395
-0.293
0.103
0.259
xtot(“Construction”)
Construction
0.097
-0.204
-0.107
0.035
xtot(“Trade”)
Trade
0.066
-0.224
-0.157
-0.014
xtot(“ HotelRest”)
Hotel and Restaurant
0.335
-0.430
-0.095
0.074
xtot(“Transport”)
Transport
0.102
-0.261
-0.159
0.001
xtot(“OtherServ”)
Other Services
0.191
-0.310
-0.119
0.018
xtot(“GovSrvces”)
Government Services
0.307
-0.363
-0.056
0.030
The subsidy funded by producer tax causes employment to rise by less than when
funded by consumers.
5.5.5. Subsidy funded by reduction in local government demands
In this section our TCF subsidy is funded by a 2.19% reduction in local government
demand. Table 5.6 decomposes the results into two columns: effect of subsidy and effect of
government demand cut. We first discuss column (2): the effects of the government demand
432
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
cut then discuss column (3): the total effects.
Since the first column is nearly the same as the unfunded subsidy in the previous
section, here we focus on the second and total columns.
JaTeng TCF sector (Table 5.6, column (2, 3))
Column (2), the effect of the government spending cut, shows that when government
releases labour and capital, wages fall by 0.11% and capital rentals fall by 0.013%. Also,
intermediate input cost falls by 0.012%. So, TCF output price falls by 0.025%. Then, output
expands by 0.13%. In turn, export to ROW and to other regions expand by 0.14% and by
0.13%. Import from other regions only expands by 0.009% due to substitution toward local
TCF (TCF produced and used locally increases by 0.13%).
Column (3), the total effect shows that TCF output grows by 6.1%. Government
spending cut can be interpreted as a subsidy to TCF sector by reducing production cost. In
comparison to the previous simulations, TCF domestic price under this policy falls by more,
1.14%. Consequently, TCF output, export to ROW and export to other regions all expand.
JaTeng macro results (Table 5.6, column (2))
Even though regional costs are decreasing, real household expenditure falls by 0.16%.
This is because JaTeng labour income decreases [Note that aggregate employment falls by
0.084% and real wage falls by 0.092% and 0.084% + 0.092% ~ 0.16%]. In contrast, real
investment grows by 0.052%, following a 0.05% growth in aggregate capital stock.
Since local prices decrease, export volumes increase by 0.44% (mainly to ROW) and
import volumes fall by 0.065%. The changes in exports and imports causes the share of real
trade balance in real GDP to grow by 0.016%.
Perhaps counterintuitively, the government cuts leads to a small GDP rise. This is
because we follow a rule6 that the average real wage and a labour migration elasticity
determine labour supply. If we apply an elasticity value of 3 (in this we used 1) real GDP
shrinks by 0.045%.
Falling wages induce JaTeng price indexes to fall. For example the CPI falls by 0.017%,
the export prices index by 0.016%, the investment price index by 0.013% and the government
price index by 0.052%, and so the GDP price index falls by 0.040%.
6 XLAB_IO(d)=AVEREALWAGE(d)^1*FLABSUP(d)*LABSLACK; where AVEREALWAGE(d)=average real wage; 1=
labour migration elasticity; XLAB_IO(d)=inter-regional labour migration or labour supply; FLABSUP(d)=Labour migration
shifter; LABSLACK=Slack to allow aggregate employment constraint
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
433
Note that welfare cost of sacking government officers, for example teachers, are not
captured by this experiment.
JaTeng macro results (Table 5.6, column (3))
Column (3), the total effect, shows that all spending (except government) expand: for
example investment grows by 0.27%. JaTeng sucks in labour and capital— labour is up
0.12% and capital 0.28%. As a result, real GDP expands by 0.21%.
The export price index falls by 0.11%, but the CPI, only by 0.005%. This is because
the share of JaTeng TCF for export is about as twice as much for households. This causes
GDP price index to fall by 0.073%.
Since export price decreases, export volume increases by 0.73%. Again, import volume
expands by 0.36% as a result from expanding in production (driven by TCF sector).
JaTeng sectoral output (Table 5.6, column (2, 3))
Column (2), the effect of government spending cut, shows that government services,
hotel and restaurant, utilities and other services shrink because they released labours. On
the other hand, other sectors employed more labours so they grow.
Tabel 5.6.
Subsidy funded by reduction in local government demands (JaTeng results)
Main Macro Variable
Description
(1) Efex of Subsidy
(2) Efex of
= (3) - (2)
gov cut
(3) Total
RealHou
Real Household Expenditure
0.416
-0.158
RealInv
Real Investment Expenditure
0.219
0.052
0.271
RealGov
Real Government Expenditure
0.408
-2.185
-1.777
ExpVol
Export Volume
0.283
0.444
0.728
Xdomexp_c
Export to other regions
0.262
0.093
0.355
Xdomimp_c
Import from other regions
0.377
-0.063
0.314
ImpVolUsed
Import Volume Used
0.424
-0.065
0.359
RealGDP
Real GDP
0.206
0.000
0.206
AggEmploy
Aggregate Employment
0.207
-0.084
0.124
AveRealWage
Average Real Wage
0.240
-0.092
0.149
AggCapStock
Aggregate Capital Stock
0.220
0.058
0.278
GDPPI
Price GDP
-0.033
-0.040
-0.073
0.012
-0.017
-0.005
-0.097
-0.016
-0.113
CPI
Consumer Price Index
ExportPI
Export Price Index
0.258
434
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
TCF Sector Variables
xexpsho(“TCF”)
xtot(“TCF”)
plab_o(“TCF”)
xlab_o(“TCF”)
pcapsho(“TCF”)
xcap(“TCF”)
pint(“TCF”)
pdom(“TCF”)
xdomexp(“TCF”)
xdomimp(“TCF”)
xdomloc(“TCF”)
Sectoral Output
xtot(“Agriculture”)
xtot(“Fishing”)
xtot(“OilGas”)
xtot(“Mining”)
xtot(“FoodDrink”)
xtot(“TCF”)
xtot(“WoodPaper”)
xtot(“Chemicals”)
xtot(“LNG”)
xtot(“BasicMetal”)
xtot(“MachinElec”)
xtot(“OtherManuf”)
xtot(“ElecGasWater”)
xtot(“Construction”)
xtot(“Trade”)
xtot(“ HotelRest”)
xtot(“Transport”)
xtot(“OtherServ”)
xtot(“GovSrvces”)
Description
Direct exports to ROW
Industry output
Nominal wage
Employment
Capital rentals
Capital
Intermediate cost
Domestic prices
Export to other regions
Import from other regions
TCF made and used locally
(1) Efex of Subsidy
(2) Efex of
= (3) - (2)
Consumer Fax
(3) Total
5.546
5.973
0.252
5.905
0.034
6.018
-0.236
-1.111
4.983
1.735
7.267
0.144
0.129
-0.108
0.157
-0.013
0.110
-0.012
-0.025
0.130
0.009
0.127
5.690
6.101
0.144
6.062
0.021
6.127
-0.247
-1.137
5.113
1.744
7.140
-0.170
-0.160
-0.023
-0.154
-0.351
5.973
-0.232
-0.110
0.000
-0.174
-0.154
-0.040
0.396
0.096
0.065
0.334
0.101
0.190
0.302
0.077
0.070
0.020
0.071
0.153
0.129
0.050
0.084
0.000
0.091
0.131
0.055
-0.064
0.002
0.098
-0.142
0.016
-0.107
-1.061
-0.093
-0.090
-0.003
-0.083
-0.198
6.101
-0.182
-0.025
0.000
-0.083
-0.022
0.014
0.331
0.098
0.163
0.192
0.116
0.083
-0.759
Description
Agriculture
Fishing
Oil and Gas
Mining
Food and Drink
Textiles, Clothing and Footwear
Wood and Paper
Chemicals
Liquid Natural Gases
Basic Metals
Machines Electronics
Other Manufactures
Electricity, Gas, and Water
Construction
Trade
Hotel and Restaurant
Transport
Other Services
Government Services
Column (3), the total effect, shows that all local sectors (except government services)
grow but trade-exposed sectors (except TCF) shrink. The effect of the subsidy dominates
the effect of the government cut except for government services.
5.6. Conclusion
In the long-run closure, the unfunded subsidy causes JaTeng TCF to become more
Illustrative Subsidy Variations to Attract Investors
435
competitive at the expense of other tradeable sectors. JaTeng sucks in labour (from other
regions) by 0.21% and capital by 0.22% (mainly from overseas). Real GDP grows by 0.21%.
National GDP also grows by 0.001%.
A subsidy funded by a households tax also raised JaTeng GDP (by 0.11%), but by
less than the unfunded subsidy. This is because the consumer tax weakens household
demand. JaTeng wins the most, followed by DIY (a region surrounded by JaTeng). Other
regions lose slightly because their workforce is moving to JaTeng and DIY, and because
they become unattractive to investors.
Taxing industries to finance the subsidy causes capital to flee JaTeng (fall 0.12%). As
a result real GDP shrinks by 0.054%. The reason is that the industry tax bears more heavily
on capital, which is in elastic supply.
If the subsidy is funded by a reduction in local government demands, labour moves
from government sectors to other more capital-intensive sectors especially tradeable sectors.
Real government spending shrinks but other spending grows more than in the previous
simulations. As a result, real GDP also grows by most, 0.206%, than the previous cases but
sacking government officers is not captured by this experiment.
436
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Anggito (2000) “Impact of Agriculture Trade and Subsidy Policy on the
Macroeconomy, Distribution, and Environment in Indonesia: A Strategy for Future Industrial
Development”, The Developing Economies, Vol. XXXVIII, No. 4, pp. 547-71.
Adams, Philip D., J. Mark Horridge and Brian R. Parmenter (2000) “MMRF-GREEN: A
Dynamic, Multi-Sectoral, Multi-Regional Model of Australia”,
Centre of Policy Studies
and Impact Project Preliminary Working Paper No. OP-94, Monash University, October.
May be downloaded from http://www.monash.edu.au/policy/elecpapr/op-94.htm
Armington, P.S. (1969) “The Geographic Pattern of Trade and the Effects of Price
Changes”, IMF Staff Papers, XVI, July, pp. 176-99.
Armington, P.S. (1970) “Adjustment of Trade Balances: Some Experiments with a
Model of Trade Among Many Countries”, IMF Staff Papers, XVII, November, pp. 488-523.
Dixon, P.B., B.R. Parmenter, J. Sutton and D.P. Vincent (1982) ORANI: A Multisectoral
Model of the Australian Economy (Amsterdam: North-Holland).
Hertel, T. W., and M. E. Tsigas, (1997): “Structure of GTAP”, in T. W. Hertel (ed.),
Global Trade Analysis: Modeling and Applications, Cambridge: Cambridge University Press.
Horridge, J.M., B.R. Parmenter and K.R. Pearson (1993) “ORANI-F: A General
Equilibrium Model of the Australian Economy”, Economic and Financial Computing, Vol. 3,
No. 2 (Summer), pp. 71-140.
Horridge, Mark (2000) “ORANI-G: A General Equilibrium Model of the Australian
Economy”, Centre of Policy Studies and Impact Project Preliminary Working Paper No. OP93, Monash University, October. May be downloaded from:http://www.monash.edu.au/policy/
elecpapr/op-93.htm
Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002
437
DETERMINAN TINGKAT SUKU BUNGA PINJAMAN
DI INDONESIA TAHUN 1983 - 2002
Taufik Kurniawan1)
Abstraksi
This paper analyzes the role of international interest rate, money supply, inflation, SBI rate
(Sertifikat Bank Indonesia) and GDP on the lending rate. We use the Error Correction Model on
Indonesian yearly data from 1983 – 2002 and confirm the significant of these explanatory variables as
the determinant of short and long term credit lending rates.
These findings conforms the necessity for Bank Indonesia as monetary authority to take into
account the external factors and support the integration of domestic and foreign financial market.
Keyword: Error Correction Model, Interest rate, Financial market, Money Supply, Lending rate.
JEL: C22, E44, E51
1
Penulis adaIah Mahasiswa Peraih Beasiswa Penelitian Ekonomi dan Moneter Kerja Sama Bank Indonesia dan Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
438
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
I. PENDAHULUAN
Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI) Anwar Nasution mengatakan Bank
Indonesia mengimbau kepada perbankan untuk menurunkan suku bunga pinjamannya
berkaitan dengan terus turunnya Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Secara teori bahwa tingkat
suku bunga pinjaman merupakan gabungan dari jumlah cost of fund ditambah biaya
intermediasi dan biaya resiko macet (Solopos, Jum’at 27 Juni 2003).
Akhir-akhir ini banyak tuntutan dari para pelaku bisnis (pengusaha) dan juga pakar
ekonomi yang menuntut agar Bank Indonesia selaku penguasa moneter mempengaruhi
suku bunga deposito dan juga suku bunga pinjaman berkaitan dengan turunnya SBI agar
dapat meningkatkan / mengembangkan kembali sektor riil lewat kegiatan investasinya. Tetapi
tuntutan itu belum atau baru sedikit dipenuhi oleh Bank Indonesia, karena mungkin Bank
Indonesia melihat banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mempengaruhi suku
bunga khususnya suku bunga pinjaman dalam arti nominal.
Banyak negara berkembang telah melaksanakan deregulasi keuangannya dengan
cara menghapuskan pagu kredit dan tingkat bunga, misalnya Korea, Malaysia, Sri langka,
Filipina, dan Indonesia. Tujuan utama deregulasi keuangan ini seperti deregulasi ekonomi
pada umumnya adalah mendorong efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu tujuan
deregulasi adalah mempercepat proses berlangsungnya pendalaman finansial. Pendalaman
finansial (financial deep) menunjukkan seberapa jauh sistem finansial terutama sektor
perbankan dapat menjangkau masyarakat penabung dan mengalokasikan dana tersebut
kepada sektor usaha dan pengguna dana yang paling produktif dan efisien.
Sektor keuangan mempunyai peranan yang penting, bukan hanya sebagai perantara
finansial tetapi juga sebagai pihak yang membatasi, menilai dan mendistribusikan resiko
yang berkaitan dengan berbagai kegiatan finansial. Pada mekanisme pasar, peranan ini
memungkinkan terjadinya keseimbangan antara keuntungan yang diperoleh dengan resiko
yang dihadapi. Pendalaman finansial menjamin terjadinya biaya transaksi yang makin rendah,
distribusi resiko yang semakin optimal, alokasi dana yang semakin terarah pada pilihan
investasi yang terbaik. Dengan demikian pendalaman finansial mendorong peningkatan
efisiensi ekonomi dan berjalan seiring dengan perkembangan ekonomi.
Di beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan
Indonesia, perkembangan pendalaman finansial kelihatan menonjol setelah negara-negara
tersebut melakukan deregulasi sistem finansialnya. Sebelum adanya deregulasi, sistem
finansial negara-negara tersebut ditandai oleh banyaknya peraturan yang kurang mendorong
terjadinya pendalaman finansial seperti penentuan tingkat bunga oleh otoritas moneter,
Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002
439
penetapan pagu kredit, cadangan wajib minimum yang tinggi. Tingkat bunga yang ditetapkan
akan cenderung jauh di bawah tingkat bunga keseimbangan dan tingkat inflasi. Dengan
demikian, laju inflasi jauh lebih besar daripada tingkat bunga nominal sehingga tingkat bunga
rill menjadi negatif. Hal ini dapat menimbulkan distorsi dalam sistem keuangan karena
kurangnya mobilisasi dana. Sistem ini juga mengganggu efisiensi pembangunan sistem
perbankan. Bank-bank sangat tergantung pada dana dari Bank Indonesia dan tidak dapat
mengatur dananya secara efisien.
Tingginya suku bunga pada September 1988 menjadi sejarah tersendiri. Dimulai
dengan pernyataan Prof Mohammad Sadli, kemudian Gubemur BI Adrianus Mooy, tentang
perlunya perbankan menekan lagi tingkat suku bunga yang dinilai sangat tinggi dan tidak
mampu menggairahkan investasi. Penyebab utamanya tingginya suku bunga bank pada
waktu itu adalah mahalnya biaya memperoleh dana sendiri.Sebagian besar dana bank
diperoleh dari deposito dengan tingkat bunga berada diatas 15 - 21 %, baik untuk jangka
waktu 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, maupun 12 bulan. Melihat bunga deposito yang demikian
tinggi, wajar jika bunga kredit pun sangat tinggi karena biaya intermediasi dari bank. Biaya
tersebut antara lain biaya overheat, biaya resiko, dan marjin laba yang jumlahnya masih
sekitar 4 %, berarti besar bunga kredit pada waktu itu diperkirakan antara 19,5 % sampai
25 % (Sasongko Tedjo, 1994 : 110).
Pengalaman buruk dibidang moneter terulang lagi bahkan lebih buruk, yaitu
saat krisis ekonomi dan moneter menimpa bangsa-bangsa Asia termasuk Indonesia
pada tahun 1997 - 1998. Pada periode bulan Juli - Agustus 1997 pemerintah
menerapkan kebijakan empat kali menaikkan tingkat suku bunga SBI dari bulan Agustus
sebesar 7 % menjadi 30 % dalam setahun. Pergerakan suku bunga SBI menjadi tolok
ukur bagi tingkat suku bunga lainnya. Sehingga kenaikan suku bunga SBI ini dengan
sendirinya mendorong kenaikan suku bunga dana antar bank dan suku bunga deposito.
Kenaikan suku bunga deposito akhimya mengakibatkan kenaikan suku bunga pinjaman
di bank-bank, terutama karena sebelumnya sudah ada peraturan bahwa tingkat suku
bunga di bank komersial ditetapkan 150 % diatas suku bunga SBI. Suku bunga
perbankan untuk deposito dan pinjaman (kredit) di Indonesia adalah tertinggi di
kawasan ASEAN bahkan seluruh dunia (Tulus T.H. Tambunan: 1998: 114).
Beberapa literatur peneIitian tentang tingkat suku bunga seperti tingkat bunga dan
faktor-faktor penentunya (Boediono 1991, p.18), interest rate determination independen
developing countries, a conceptual framework (Edward, Sebastian dan Mohsin S. Khan
1985, p.123), Regresi Linear Lancung dalam Analisa Ekonomi : Studi Kasus Permintaan
Deposito Dalam Valuta Asing di Indonesia (Insukindro 1991, p.15), Suku Bunga Diturunkan,
440
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Investasi Akan Meningkat? (Iswardono SP 1999, p. 34), Kinerja dan Fungsi Intermediasi
Perbankan Pasca Krisis dan Otonomi Daerah (Juda Agung, 2000, p.45), Sejarah Pemikiran
Ekonomi : Teori Bunga (Soewito 94, p.I5)
Dengan mengacu pada fenomena buruk tahun 1988 dan 1998 serta sekarang
dan juga penjelasan dari Gubernur Bank Indonesia diatas, PenuIis mencoba
mengembangkan spesifikasi model untuk meneIusuri determinan tingkat suku bunga
pinjaman di Indonesia tahun 1983 -2002. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat suku
bunga pinjaman meliputi suku bunga internasional SIBOR, jumlah uang beredar, inflasi,
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dan Produk Domestik Bruto baik untuk jangka
panjang maupun jangka pendek. Dengan mengetahui determinan tingkat suku bunga
pinjaman tersebut, maka diharapkan mengetahui perilaku pergerakan suku bunga
pinjaman di Indonesia pada kurun waktu 1983 - 2002.
II. TINJAUAN TEORITIS
II.1. Teori Suku Bunga Secara Makro
Pengertian dasar dari teori tingkat suku bunga yaitu harga dari penggunaan uang
untuk jangka waktu tertentu. Bunga merupakan imbalan atas ketidaknyamanan karena
melepas uang, dengan demikian bunga adalah harga kredit. Tingkat suku bunga berkaitan
dengan peranan waktu didalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Tingkat suku bunga muncul
dari kegemaran untuk mempunyai uang sekarang.
Teori klasik menyatakan bahwa bunga adalah harga dari loanable funds (dana
investasi) dengan demikian bunga adalah harga yang terjadi di pasar dan investasi. Menurut
teori Keynes tingkat bunga merupakan suatu fenomena moneter. Artinya tingkat bunga
ditentukan oleh penawaran dan permintaan akan uang (ditentukan di pasar uang).
II.2. Teori Suku Bunga (pinjaman) Secara Mikro
DaIam industri berbankan yang sangat kompetitif, penentuan tingkat bunga kredit
menjadi suatu alat persaingan yang sangat strategis. Bank-bank yang mampu mengendalikan
pokok dalam penentuan tingkat bunga kredit (lending rate) akan mampu menetukan bunga
kredit yang Iebih rendah dibandingkan dengan bank-bank lainnya.
II.2.1. Cost of Loanable Funds
a. Menetapkan tingkat bunga yang akan dibayarkan kepada deposan.
Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002
441
b. Menghitung komposisi sumber dana.
c. Memperhatikan ketentuan tentang reserve requirement (RR).
d. Menghitung biaya dengan dana efektif dengan rumus :
100%
100% - RR
x Tingkat Bunga
e. Menghitung kontribusi biaya dana dengan rumus :
Komposisi Dana x Biaya Dana Efektif
f
Menjumlah seluruh kontribusi biaya dana untuk memperoleh tingkat cost of loanable
funds.
II.2.2. Overhead cost
a. Dikeluarkan oleh bank dalam menjalankan kegiatannya.
b. Biaya-biaya yang termasuk dalam overhead cost ditanggung oleh seluruh jumlah aktiva
yang menghasilkan pendapatan atau total aktiva produktif (total earning assets).
Dengan demikian perhitungan persentase overhead cost dapat dinyatakan sebagai
berikut :
Total Biaya (di luar biaya dana)
x 100%
Overhead Cost =
Total Earning Assets
Dihadapkan pada berbagai kondisi persaingan yang ada, dalam praktek perbankan
sehari-hari pada eksekutif menempatkan kebijakan untuk memasang tarif dalam perhitungan
overhead cost antara 2% sampai dengan 4%.
II.2.3. Risk factor
Risk Factor adalah komponen dalam menentukan lending rate yang sangat
mempertimbangkan kemungkinan terjadinya kredit bermasalah termasuk kredit macet.
Risk factor dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Biaya Penyisihan Cadangan Penghapusan Kredit
x 100%
Risk Factor =
Total Kredit yang Diberikan
442
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Dalam praktek perbankan sehari-hari, besarnya risk factor berkisar 1 hingga 2,5%,
dengan mempertimbangkan jenis kredit yang akan diberikan, keyakinan akan terjadinya
risiko kredit, volume kredit yang diberikan, serta kondisi persaingan yang ada.
II.2.4 Spread
Spread atau biasa juga disebut dengan net margin adalah pendapatan bank yang
utama dan akan menentukan besarnya pendapatan bersih (net income) bank. Penentuan
tinggi rendahnya spread tergantung bagaimana pihak bank serta target market-nya. Untuk
mengelompokan jenis industri serta peringkat usaha bank merupakan salah satu
pertimbangan untuk menetapkan tinggi rendahnya spread. Dalam praktek perbankan di
Indonesia, eksekutif bank menetapkan spread (net margin) sebesar 2% hingga 3% p.a.
yang merupakan harga yang layak (cukup) sebagai komponen dari lending rate.
II.2.5. Pajak
Pembebanan pajak sebagai komponen dari penentuan tingkat bunga kredit (lending rate)
dapat dibebankan penuh atau sebagian, tergantung pada kebijakan bank yang bersangkutan
dalam menghadapi persaingan.
III. METODOLOGI PENELITIAN DAN SPESIFLKASI MODEL
III.1. Metodologi Penelitian
Tulisan ini merupakan perluasan jangkauan variabel baik dari dalam negeri maupun
luar negeri. Data yang digunakan adalah data time series pada kurun waktu tahun 1983
sampai dengan 2002. Adapun metode analisis yang digunakan untuk mengestimasi
model penelitian dua analisis yaitu analisis jangka panjang dengan menggunakan
persamaan kointegrasi dan analisis dinamis jangka pendek dengan menggunakan ECM
(Error Correction Model)
Konsep terkini yang banyak dipakai untuk menguji kestasioneran data runtun waktu
adalah uji akar unit (unit root test) atau dikenal juga dengan uji Dickey Fuller (DF) dan
uji Augmented Dickey Fuller. Jika semua variabel lolos dari uji akar unit, maka selanjutnya
dilakukan uji kointegrasi (cointegrati test) untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
keseimbangan atau kestabilan jangka panjang diantara variabel - variabel yang diamati.
Sedangkan untuk mengetahui pengaruh jangka pendek digunakan metode ECM (Error
Correction Model).
Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002
443
III.2. Spesifikasi Model
Metode ini adalah suatu regresi tunggal menghubungkan diferensi pertama
pada variabel bebas (Dy t) dan tingkatan variabel yang dimundurkan (dagged level
variables = X t-1) untuk semua variabel dalam model. Metode ini dikembangkan oleh
Engel dan Granger pada tahun 1987. Bentuk umum metode ECM adalah sebagai
berikut (Insukindro,1991 :134):
DYt = ro + r1DX1t + r2DX2t + r3BX1t + r4BX2t + r5(BX1t + BX2t - BYt)
Untuk mengetahui spesifikasi model dengan ECM merupakan model yang valid, dapat
terlihat pada hasil uji statistik terhadap koefisien ECT. Jika hasil pengujian terhadap koefisien
ECT signifikan, maka spesifikasi model yang diamati valid.
Rt = f (SIBt, JUBt, INFt, SBIt, PDBt, et)
DRt = bo + b1 DSIBt + b2 DJUBt + b3 DINFt + b4 DSBIt + b5 DPDBt + b6 SIBt-1 + b7 JUBt-1 +
b8 INFt-1 + b9 SBIt-1 + b10 PDBt-1 + b11 (SIBt-1 + JUBt-1 + INFt-1 + SBlt-1 + PDBt-1)
Keterangan :
Rt
= Tingkat suku bunga pinjaman pada periode t
SIBt
= Singapore Inter Bank Offer Rate pada periode t
INFt
= Tingkat inflasi pada periode t
JUBt = Jumlah uang beredar pada periode t
SBIt
= Tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia periode t
PDBt = Produk Domestik Bruto pada periode t
et
= Error distribunce pada periode t
Faktor eksternal :
SIBOR
Tingkat Suku Bunga
Pinjaman Domestik
Faktor internal :
1. JUB
2. INFLASI
3. SBI
4. PDB
Kerangka Konseptual
444
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat bunga pinjaman dapat dibagi menjadi 2,
yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal terdapat variabel SIBOR (Singapore
Inter Bank Offer Rate), karena secara umum tingkat bunga internasional terutama di Asia
Tenggara yang sering dipakai adalah tingkat bunga SIBOR. Dalam penelitian ini akan
diketahui apakah faktor eksternal tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat
bunga pinjaman di Indonesia.
IV. PEMBAHASAN DAN HASIL ESTIMASI
IV.1. Pengujian akar-akar Unit (Unit Root Test)
Pengujian akar-akar unit untuk semua variabel yang digunakan dalam analisis runtun
waktu perlu dilakukan untuk memenuhi kesahihan analisis ECM (Error Correction Model).
lni berarti bahwa data yang dipergunakan harus bersifat stasioner, atau dengan kata lain
perilaku data yang stasioner memiliki varians yang tidak terlalu besar dan mempunyai
kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya.
Pengujian stasioneritas data yang dilakukan terhadap seluruh variabel dalam model
penelitian yang penulis ajukan, didasarkan pada Augmented Dickey Fuller Test, yang
perhitungannya menggunakan bantuan komputer program E-Views 3.0. hasil pengujian
dapat dilihat pada Tabel 4.1. dibawah ini.
Tabel 4.1 Nilai Uji Stasioneritas Dengan
Metode Augmented Dickey Fuller Menggunakan Intersep (Uji DF) pada Ordo 0
Nilai Hitung Mutlak
Nilai Kritis Mutlak Mc Kinnon
Variabel
DR
DSIB
DJUB
DINF
DSBI
DPDB
DF
10%
5%
4,230781
4,681423
5,214849
4,097102
4,716317
5,547550
2,6672
2,6672
2,6672
2,6672
2,6672
2,6672
3,0521
3,0521
3,0521
3,0521
3,0521
3,0521
1%
3,8877
3,8877
3,8877
3,8877
3,8877
3,8877
Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003.
Pada Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan bahwa pada ordo nol semua data sudah berada
pada kondisi stasioner. Karena nilai hutang mutlak DF dan ADF dari masing-masing variabel
lebih besar dari nilai kritis mutlak Mc Kinnon pada tingkat α 10%. Hal ini berarti bahwa
distribusi (t) mengarah pada kondisi yang signifikan dengan menggunakan uji stasioneritas
metode DF maupun ADF (tabel 4.2).
Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002
445
Tabel 4.2 Nilai Uji Stasioneritas Dengan
Metode Augmented Dickey Fuller Menggunakan Trend & Intersep (Uji ADF) Pada Ordo 0
Nilai Hitung Mutlak
Nilai Kritis Mutlak Mc Kinnon
Variabel
DR
DSIB
DJUB
DINF
DSBI
DPDB
ADF
10%
5%
5,207418
5,685077
5,215012
5,007383
5,570302
5,425640
3,2964
3,2964
3,2964
3,2964
3,2964
3,2964
3,7119
3,7119
3,7119
3,7119
3,7119
3,7119
1%
4,6193
4,6193
4,6193
4,6193
4,6193
4,6193
Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003.
IV.2. Pengujian Kointegrasi (Cointegrasi Test)
Setelah uji stasioneritas melalui uji akar-akar unit dan derajat integrasi dipenuhi, maka
langkah selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi, untuk mengetahui parameter jangka
panjang. Uji statistik yang sering dipakai adalah uji CRDW (Cointegrating Regression Durbin
Watson), uji DF dan uji ADF. Namun, dalam penelitian ini digunakan metode Engel dan
Granger untuk menguji kointegrasi variabel-variabel yang ada, dengan memakai uji statistik
DF dan ADF untuk melihat apakah residual regresi kointegrasi stasioner atau tidak. Untuk
menghitung nilai DF dan ADF terlebih dahulu adalah membentuk persamaan regresi
kointegrasi dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS). Hasil akhir dari pengolahan uji
kointegrasi ini ditunjukkan oleh tabel 4.3 dan 4.4 sebagai berikut :
TabeI 4.3. Regresi Kointegrasi dengan
Menggunakan Estimasi OLS dengan variabel dependent suku bunga pinjaman
Variabel Dependen : Suku Bunga Pinjaman
Variabel
Konstanta
DSIBOR
DLn-JUB
DINF
DSBI
DLn-PDB
SIBOR (-1)
Ln-JUB (-1)
INFLASI (-1)
SBI (-1)
Ln-PDB (-1)
R2
F Statistik
DW Statistik
Koefisien
0,477521
0,152652
4,768627
-0,427520
0,278416
-0,088556
0,352910
0,479400
0,415855
-0,524223
0,812240
: 0,922879
: 7,615138
: 1,995171
Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003.(Lampiran hal. 2)
Standar
Error
0,158596
0,047955
0,106527
0,106190
0,118854
4,251347
0,115970
1,986301
0,637261
0,141791
0,193379
tHitung
3,010918
3,183232
4,476412
-4,449768
2,342499
-0,020830
-3,043109
-0,241353
-0,625566
-3,697138
4,201160
Tingkat
Signifikan
0,0483
0,0472
0,0231
0,0253
0,0517
0,984
0,0470
0,8162
0,5349
0,0338
0,0249
446
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
TabeI 4.4. Nilai Uji Stasioneritas dengan
Metode Augmented Dickey Fuller pada Ordo 0.
Nilai Hitung ADF :
-5,678989
1% Nilai Kritis Mc Kinnon
5% Nilai Kritis Mc Kinnon
10% Nilai Kritis Mc Kinnon
-3,88877
-3,0521
-2,6672
Variabel Dependen : D(Residu)
Variabel
Residu (-1)
D(Residu(-1)
R2
F Statistik
DW Statistik
Koefisien
-1,481732
0,219353
Standar
Error
0,402755
0,263037
tHitung
Tingkat
Signifikan
-3,678989
0,833924
0,0025
0,4183
: 0,629136
: 11,87483
: 1,924922
Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003.
Dari regresi kointegrasi sebagaimana ditunjukan pada Tabel 4.3 didapatkan nilai
residunya, kemudian nilai residu tersebut diuji menggunakan metode Augmented Dickey
Fuller untuk melihat apakah nilai residual tersebut stasioner atau tidak, pengujian ini sangat
penting apabila model dinamis akan dikembangkan. Tabel 4.4 menunjukkan bahwa nilai
residu yang didapat ternyata stasioner pada ordo 0, hal ini terlihat dari nilai hitung mutlak
ADF lebih besar dari nilai kritis mutlak Mc Kinnon pada α 1 %, maka langkah selanjutnya
adalah melakukan perbandingan model fungsi yaitu (1). Model ECM dengan menggunakan
transformasi bentuk natural logaritma (Ln), (2). Model fungsi ECM tanpa menggunakan
transformasi bentuk natural logaritma (Ln).
IV.3. Perbandingan Model
Hasil pengolahan data masing-masing model dari hasil print out komputer dapat dilihat
pada Tabel 4.5. sebagai berikut :
Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002
447
TabeI 4.5.
Komparasi Hasil Dengan Pendekatan Model ECM
Regresi Linier I (tanpa Ln)
Variabel
Koefisien
C
DSIBOR
DJUB
Dinflasi
DSBI
DPDB
SIBOR (-1)
JUB(-1)
Inflasi (-1)
SBI (-1)
PDB (-1)
ECT
17,056090
-0,181846
0,187171
0,027674
1,241643
0,000014
0,295911
-0,917038
2,306163
0,566587
0,000001
-0,380350
Regresi Linear II (dengan Ln)
Std. Error
Prob.sig.
9,043426
0,808320
0,276148
0,100695
0,123983
0,000021
0,865625
0,024276
0,679822
0,407530
0,000018
0,626128
0,1013
0,8284
0,5197
0,7914
0,0001**
0,5175
0,7425
0,0451*
0,0167*
0,2070
0,9519
0,5627
R - Square
Adj. R-Square
F-statistik
D- W statistik
Koefisien
Std. Error
Prob.sig.
0,158596
0,047955
0,106527
0,106190
0,118854
4,251347
0,115970
1,986301
0,637261
0,141791
0,193379
0,108183
0,0483*
0,0472*
0,0231*
0,0253
0,0517
0,9840
0,0470
0,8162
0,5349
0,0338*
0,0249*
0,0330*
0,477521
0,152652
4,768627
-0,472520
0,278416
-0,088556
-0,352910
0,479400
-0,415855
-0,524223
0,812420
0,394717
0,8134
0,7774
6,7139
2,0204
0,9229
0,8017
7,6151
1,9952
Keterangan: *) signifikan pada taraf signifikan (α = 5%).
**) signifikan pada taraf signifikan (α = 1 %)
Dari hasil pengolahan data tersebut maka untuk menentukan model mana yang terbaik
terlebih dahulu dilakukan uji model.
Dalam melakukan uji model digunakan hipotesis sebagai berikut :
Ho : Model Regresi 1 = model regresi 2
Ha : Model Regresi 1 = model regresi 2
Kemudian dilakukan pengujian secara statistik dengan rumus:
SSE1
Fh =
Df1
SSE2
Df2
Keterangan :
SSE1 : Sum Square Residual pada regresi I
SSE2 : Sum Square Residual pada regresi II
Df1
: Derajad bebas Sum Square Residual pada regresi I
Df2
: Derajad bebas Sum Square Residual pada regresi II
448
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Kemudian hasil dari hasil F hitung akan dibandingkan dengan hasil dari F tabel, dimana
apabila F hitung > F tabel Ho ditolak Ha diterima artinya model regresi I berbeda dengan
model regresi II sedangkan F hitung < F tabel maka Ho diterima Ha ditolak artinya model
regresi I sama dengan model regresi II.
TabeI 4.6.
Tabel Analisis Varians
Sumber
SSE
Df
regresi I
regresi II
F hitung
79,69591
20,57573
3,8732
12
12
Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003.
Berdasarkan TabeI 4.6. di atas manunjukkan bahwa F hitung > F tabel yaitu 3,8732 > 1,782
maka Ho ditolak Ha diterima pada taraf keyakinan 95% (α = 5%). Hal ini berarti bahwa model
regresi I berbeda dengan model regresi II.
Berdasarkan perbandingan model dan uji model sebelumnya menunjukkan kedua
model tersebut adaIah benar-benar berbeda maka pemilihan model terbaik dilakukan
dengan membandingkan kebaikan dan kelemahan dari masing-masing model baik secara
teoritis maupun secara statistik (nilai F, nilai R2, dan t test). Pada tabel 4.5. hasil komparasi
nilai statistik dari masing-masing model diketahui bahwa nilai F hitung regresi II > F hitung
regresi I, yaitu 7,615138 > 6,713852 dan nilai R2 regresi II > R2 regresi I, yaitu bernilai
0,922879 > 0,813422. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai F hitung
dan R2 pendekatan model ECM dengan menggunakan transformasi bentuk natural
logaritma lebih tinggi jika dibandingkan dengan model ECM biasa (tanpa Ln).
Berdasarkan uji t dengan taraf keyakinan 95% diketahui bahwa pendekatan model
ECM dengan transformasi natural logaritma secara kuantitatif lebih banyak variabel yang
signifikan dibanding dengan tanpa menggunakan bentuk Ln. variabel independen yang
signifikan dengan menggunakan bentuk Ln ada 6 variabel, yaitu 3 variabel jangka panjang
meliputi : tingkat bunga internasional SIBOR, jumlah uang beredar, dan inflasi dan 3 variabel
jangka pendek meliputi : bunga internasional SIBOR, Sertifikat Bank Indonesia, Produk
Domestik Bruto sedangkan variabel independen yang signifikan tanpa menggunakan bentuk
Ln ada 3 variabel, yaitu 1 variabel jangka panjang Sertifikat Bank Indonesia dan 2 variabel
jangka pendek, meliputi : jumlah uang beredar dan inflasi.
Hasil perbandingan antara model tersebut menunjukkan bahwa 4 model terbaik untuk
meneliti tingkat suku bunga pinjaman di Indonesia tahun 1983 - 2002 adalah model
Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002
449
pendekatan ECM dengan bentuk Ln. model ini lebih baik dari model yang lain jika dilihat
dari uji F, R2, dan uji t-nya.
IV.4. Analisis dengan ECM
Pada penelitian ini model analisis yang digunakan adalah Model Koreksi Kesalahan
atau Error Correction Model (ECM), secara lengkap dirumuskan sebagai berikut :
DRt = 0,478 + 0,153 DSIBt + 4,769 DJUBt - 0,473 DINFt + 0,278 DSBlt - 0,089 DPDBt - 0,353 SIBt-1 +
0,479 JUBt-1 - 0,416 INFt-1- 0,524 SBlt-1 + 0,812 PDBt-1 + 0,394 ECT
Berdasarkan hasil perhitungan dengan analisis regresi linear ECM di atas, maka
dapat diketahui nilai variabel ECT (Error Correction Term) yaitu variabel yang menunjukkan
biaya keseimbangan tingkat suku bunga pinjaman. Hal ini dapat menjadikan indikator bahwa
spesifikasi model baik atau tidak melalui tingkat signifikansi koefisien koreksi kesalahan
(Insukindro, 1991 : 84). Jika variabel ECT signifikan pada tingkat signifikansi 5% dan
menunjukkan tanda positif, maka spesifikasi model sudah sahih (valid) dan dapat
menjelaskan variasi variabel tak bebas.
Koefisien ECT menunjukkan angka 0,394 berarti bahwa proporsi biaya keseimbangan
dan perkembangan tingkat suku bunga pinjaman pada periode sebelumnya yang disesuaikan
pada periode sekarang adalah sekitar 0,394%, sedangkan tingkat signifikansi ECT
menunjukkan angka 0,0330 berarti signifikan pada α < 5%. Hal ini berarti bahwa spesifikasi
model yang dipakai adalah tepat dan mampu menjelaskan variasi dinamis. Variabel jangka
pendek dari model persamaan tersebut ditunjukkan oleh SIBOR( -1), inflasi (-1), SBI( -1),
JUB( -1), dan PDB(-1) sedangkan variabel jangka panjang dari model persamaan tersebut
ditunjukkan DSIBOR, Dinflasi, DSBI, DJUB, dan DPDB. Koefisien regresi jangka pendek
dari regresi ECM tingkat suku bunga pinjaman ditunjukkan oleh besamya koefisien pada
variabel-variabel jangka pendek di atas sedangkan koefisien regresi jangka panjang dengan
simulasi dari regresi ECM tingkat suku bunga pinjaman diperoleh dari :
Konstanta : β0/β12 = 0,477521/0,394 717 = 1,2098
DSIBOR
: (β1 + β12) /β12 = ( 0,152662 + 0,394717)/0,394717 = 1,3868
DJUB
: (β2 + β12) /β12 = ( 4,768627 + 0,394717)/0,394717 = 13,0811
Dinflasi
: (β3 + β12)/ β12 = (-0,472520 + 0,394717)/0,394717 = -2,1971
DSBI
: (β4 + β12)/ β12 = ( 0,278416 + 0,394717)/0,394717 = 1,7054
DPDB
: (β5 + β12)/ β12 = (-0,088556 + 0,394717)/0,394717 = 0,7756
450
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
SIBOR( -1), inflasi (-1), SBI( -1), JUB( -1), dan PDB( -1) merupakan variabel yang
menunjukkan parameter dalam jangka pendek. Sedangkan koefisien-koefisiennya
menunjukkan besarnya pengaruh yang dilakukan pada penyesuaian variabel dependen
terhadap perubahan variabel independen dalam jangka pendek. Misalnya DSIBOR( -1)
yang memiliki koefisien sebesar 0,152652 ini berarti bahwa akan kenaikan tingkat suku
bunga pinjaman sebesar 0,152652% jika terjadi kenaikan pada suku bunga internasional
SIBOR sebesar 1%. Variabel DSIBOR, DJUB, Dinflasi, DSBl, dan DPDB merupakan variabel
yang menunjukkan parameter jangka panjang. Hal ini berarti jika ECT-nya signifikan pada
tingkat signifikansi 5% maka ada hubungan antara ECM dan uji kointegrasi, sehingga
koefisien regresi variabel jangka panjang merupakan besarnya kekuatan pengaruh variabel
dependen oleh perubahan pada variabel independen dalam jangka panjang dan merupakan
koefisien asli. Karena pengaruh jangka panjang juga bisa dilihat pada koefisien kointegrasi
jika ECT signifikan, maka besamya koefisien regresi variabel jangka panjang pada ECM
dengan kointegrasi menunjukkan parameter yang hampir sama.
IV.5. Uji Statistik dan Ekonometrik
Uji F ini digunakan untuk menguji variabel independen secara keseluruhan dan
bersama-sama, untuk melihat apakah variabel independen secara keseluruhan
mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Kriteria pengujian nilai F adalah jika
F hitung > F tabel dengan taraf keyakinan 95% maka Ho ditolak yang berarti bahwa ada
pengaruh secara serempak atau secara bersama-sama dari keseluruhan variabel
independen terhadap variabel dependen. Sebaliknya jika F hitung < F tabel maka Ho diterima
yang berarti bahwa tidak ada pengaruh secara serempak atau secara bersama-sama dari
keseluruhan variabel independen terhadap variabel dependen. Nilai Fhitung adalah 7,615138
dengan probabilitas sebesar 0,006397. Sedangkan nilai Ftabel dengan tingkat signifikansi < 5%
20 - 13 = 7 ; 12 adalah 4,46. Karena Fhitung > Ftabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini
berarti secara bersama-sama faktor jangka pendek dan jangka panjang tingkat bunga
internasional SIBOR, jumlah uang beredar, inflasi, Sertifikat Bank Indonesia, dan Produk
Domestik Bruto mempunyai pengaruh yang signifikan / nyata terhadap tingkat suku bunga
pada derajat signifikansi < 5%.
Uji determinasi untuk mengetahui berapa persen perubahan variasi variabel
independen dapat menjelaskan oleh perubahan variasi variabel dependen. Berdasarkan
hasil etimasi menunjukkan bahwa nilai R2 adalah sebesar 0,922879 yang berarti 92,2879%
faktor jangka pendek dan jangka panjang tingkat bunga internasional SIBOR, jumlah uang
beredar, inflasi, Sertifikat Bank Indonesia dan Produk Domestik Bruto dapat menjelaskan
Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002
451
variasi perubahan tingkat suku bunga pinjaman sedangkan sisanya 7,7121 % dipengaruhi
diluar model.
Uji multikolinieritas digunakan metode Klein yang dikemukakan oleh L.R. Klein. Metode
ini membandingkan lower case (korelasi antar masing-masing variabel independen). Jika
R2y Xi,Xj,... Xn > r2Xi,Xj maka tidak terjadi masalah multikolinieritas. Hasil uji Klein untuk
mendeteksi masalah multikolinieritas menunjukkan bahwa untuk semua korelasi antar
variabel bebas memiliki r2 yang lebih kecil dari R2 (r2 < R2). Hal ini memberi kesimpulan
bahwa semua variabel bebas daIam spesifikasi model yang digunakan terlepas dari masalah
multikolinieritas.
Heteroskedastisitas terjadi jika gangguan muncul dalam fungsi regresi yang
mempunyai varian yang tidak sarna, sehingga penaksir OLS tidak efisien baik daIam
sampel kecil maupun sampel besar. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya masalah
Heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan Uji Glejser. Adapun tahap-tahap daIam
Uji Glejser yaitu :
(1) Lakukan regresi terhadap model yang digunakan
(2) Setelah mendapatkan nilai residual ei dan regresi OLS, selanjutnya regresikan nilai
absolut ei, ei , terhadap variabel X yang diduga mempunyai hubungan erat dengan
σi2
Model ei = β0 + βi Xi + Ui
dimana :
ei
= Nilai absolut residual.
Xi
= Variabel penjelas.
Ui
= Variabel penggangu.
Hipotesis yang digunakan :
Ho : βi = 0 (Tidak Ada Masalah Heteroskedastisitas)
Ha : βi = 0 (Ada Masalah Heteroskedastisitas)
Apabila t hitung > t tabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima, berarti ada masalah
heteroskedastisitas. Sedangkan jika thitung < ttabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak berarti
tidak ada masalah heteroskedastisitas / homokedastisitas (Gujarati, 1991: 177). Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.7 sebagai berikut :
452
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Tabel 4.7.
Hasil Pengujian Heteroskedastisitas
Variabel
SIBOR (-1)
Ln-JUB (-1)
inflasi(-1)
SBI (-1)
PDB (-1)
DSIBOR
DLn-JUB
Dinflasi
DSBI
DPDB
t hitung
t tabel
Keterangan
0,633720
0,25247
2,095225
0,868729
0,771346
-1,620586
-0,029791
1,556347
-2,030783
-1,500736
2,228
2,228
2,228
2,228
2,228
2,228
2,228
2,228
2,228
2,228
Tidak terjadi heteroskedastisitas
Tidak terjadi heteroskedastisitas
Tidak terjadi heteroskedastisitas
Tidak terjadi heteroskedastisitas
Tidak terjadi heteroskedastisitas
Tidak terjadi heteroskedastisitas
Tidak terjadi heteroskedastisitas
Tidak terjadi heteroskedastisitas
Tidak terjadi heteroskedastisitas
Tidak terjadi heteroskedastisitas
Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003 (Lampiran hal. 20)
Berdasarkan Tabel 4.7. di atas menunjukkan bahwa semua variabel mempunyai
distribusi t hitung < t tabel, ini berarti bahwa Ho diterima Ha ditolak sehingga dapat disimpulkan
bahwa model yang dipakai terhindar dari masalah heteroskedastisitas pada tingkat keyakinan
95% (α = 5%).
Autokorelasi untuk model dinamis, seperti ECM percobaan d tidak bisa digunakan
untuk menguji ada tidaknya autokorelasi, karena DW statistik secara asimtotik akan biasa
mendekati nilai 2 (Sritua Arief, 1993 : 15). Oleh karena alasan tersebut maka digunakan
langrange Multiplier Test, yakni berupa regresi atas semua variabel bebas dalam persamaan
regresi ECM tersebut dan variabel lag t dari nilai residual regresi ECM. Adapun hasil
persamaan regresi ECM dapat dituliskan sebagai berikut :
Residi = bo + b1 DSIBt + b2 DJUBt + b3 DINFt + b4 DSBIt + b5 DPDBt + b6 SIBt-1 + b7 JUBt-1 +
b8 INFt-1 + b9 SBlt-1 + b10 PDBt-1 + b11 ECT + b12 Resid t-1
Dari model tersebut akan didapat nilai R2, kemudian nilai ini dimasukkan dalarn rumus
sebagai berikut : (n- 1 )R2, dimana n adalah jumlah observasi, kemudian dilakukan pengujian
dengan hipotesa sebagai berikut :
Ho : ρ=0 berarti tidak ada masalah autokorelasi
Ho : ρ=0 berarti ada masalah autokorelasi
Selanjutnya nilai (n-1)R2 diperbandingkan dengan X2 (0,05). Dimana X2 (0,05) adalah
nilai kritis Chi Square yang ada dalam tabel statistik Chi Square. Jika (n-1)R2 lebih besar
dari X2, maka terdapat masalah autokorelasi, dan jika sebaliknya maka tidak terjadi masalah
autokorelasi.
Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002
453
Hasil perhitungan Lagrange Multiplier Test dari persamaan tersebut dengan prograrn
E-Views ditunjukkan oleh TabeI 4.8, sebagai berikut :
Tabel 4.8.
Hasil Lagrange Multiplier Test Autokorelasi
Variabel
Koefisien
std.error
t hitung
Signifikansi
C
DSIBOR
DLn-JUB
Dinflasi
DSBI
DLn-PDB
SIBOR (-1)
Ln-JUB (-1)
Inflasi (-1)
SBI (-1)
Ln-PDB (-1)
resid (-1)
-20,972870
-0,788664
-2,971439
0,051435
-0,177742
-2,469448
0,500600
0,001642
1,027399
0,447745
2,261049
0,143618
25,162700
0,406071
6,031141
0,061996
0,168234
2,388612
0,442542
1,203113
0,377182
0,452004
2,152543
0,221432
-0,833490
-1,942218
-0,492683
0,829645
-1,604898
-1,033842
1,310746
0,001350
0,003113
1,945606
1,050408
0,648588
0,4321
0,0932
0,6373
0,4341
0,1352
0,3356
0,2313
0,9999
0,9987
0,2215
0,3284
0,5373
Variabel dependen : resid
R Square
adj. R Square
D-W Statistik
0,119987
0,109967
2,230452
Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003.
Dari Tabel 4.8 besarnya R2 adalah 0,108876, sehingga (n-1) R2 = (20-1) 0,119987
yang hasilnya adalah 2.279753 Sedangkan X2 (12) dengan α sebesar 5% atau nilai kritis
Chi-square X2(12) dan α = 0,05 adalah 21,026 sehingga dalam hal ini (n-1)R2 < X2 maka
Ho : ρ = 0, diterima, dengan kata lain tidak terjadi masalah autokorelasi pada model analisis
fungsi tingkat suku bunga pinjaman tersebut.
IV.6. Interpretasi Secara Ekonomi
Berdasarkan hasil estimasi data bahwa dalam model ECM dengan transformasi natural
logaritma terdapat nilai konstanta sebesar 0,477521 berarti bahwa jika semua nilai variabel
penjelas konstan maka rata-rata tingkat suku bunga pinjaman di Indonesia adalah sebesar
0,477521 poin. Interpretasi hasil penyesuaian jangka pendek dan jangka panjang variabel
indeks saham sektor keuangan terhadap variabel-variabel penjelasnya dengan
menggunakan model regresi linier ECM akan dijelaskan dibawah ini :
1. Tingkat Bunga Internasional SIBOR
Hasil perhitungan menunjukkan koefisien SIBOR jangka pendek sebesar 0,352910
ini berarti bahwa akan terjadi peningkatan tingkat bunga pinjaman sebesar 0,352910% bila
454
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
terjadi kenaikan pada tingkat bunga internasional SIBOR sebesar 1%. Dalam jangka pendek,
pengaruh variabel ini bersifat inelastic terhadap tingkat bunga pinjaman. Kebijakan
pemerintah Indonesia dalam mengendalikan tingkat suku bunga tergantung dengan
keadaan dan kondisi perekonomian dunia. Reaksi yang cepat terhadap perubahan kondisi
tingkat suku bunga internasional SIBOR akan mengurangi pelarian modal dari dalam
negeri dalam jumlah yang besar. Ketika tingkat suku bunga pinjaman di luar negeri
mengalami peningkatan maka para investor akan cenderung memanfaatkan dana yang
ada di dalam negeri. Sedangkan hasil perhitungan jangka panjang sebesar - 0,181846 ini
terjadi hubungan terbalik, yaitu bahwa akan terjadi penurunan tingkat bunga pinjaman di
Indonesia sebesar 0,181846% bila terjadi kenaikkan pada tingkat bunga internasional
SIBOR sebesar 1 %. Dalam jangka panjang, pengaruh variabel ini bersifat inelastic.
2. Jumlah uang beredar
Hasil perhitungan jangka panjang sebesar- 0,187171 ini terjadi hubungan terbalik, yaitu
bahwa akan terjadi penurunan tingkat bunga pinjaman di Indonesia sebesar 0,187171 % bila
terjadi kenaikkan pada jumlah uang beredar sebesar 1 %. Dalam jangka panjang, pengaruh
variabel ini bersifat inelastic. Keadaan ini dapat dijelaskan dimana ketika terjadi krisis ekonomi
yang melanda Indonesia yang diikuti dengan krisis perbankan telah menyebabkan penarikan
dana perbankan besar-besaran (banks run), karena kepercayaan masyarakat yang rendah
terhadap perbankan. Masyarakat lebih tenang dan senang untuk memegang uang guna
keperluan konsumsi akibat kenaikkan harga barang pokok atau menempatkan dananya dalam
bentuk investasi yang lain. Keengganan masyarakat untuk menempatkan dananya dalam
perbankan membuat JUB/MI di masyarakat menjadi meningkat yang ditandai dengan JUB
pada tabun 1998 sebesar 101,20 Milyar rupiah atau dengan kenaikkan 29,18% dari tahun
sebelumnya, terutama periode sebelum krisis. Untuk mengurangi jumlah uang beredar, maka
otoritas moneter menetapkan kebijakan moneter ketat yang ditandai dengan kenaikkan suku
bunga SBI.
3 . Inflasi
Hasil perhitungan jangka panjang sebesar 0,027674 ini berarti bahwa akan terjadi
peningkatan tingkat bunga pinjaman di Indonesia sebesar 0,027674 bila terjadi kenaikkan
pada inflasi sebesar 1 %. Dalam jangka panjang, pengaruh variabel ini bersifat inelastic.
Artinya semakin tinggi tingkat inflasi maka mengakibatkan suku bunga simpanan akan
naik, maka otomatis tingkat bunga pinjaman akan lebih tinggi. Tingkat bunga nominal
yang lebih rendah dari pada angka laju inflasi membuat masyarakat enggan menaruh
Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002
455
dananya dalam sektor perbankan serta menyebabkan terjadinya tingkat suku bunga riil
yang negatif.
Untuk merangsang mobilisasi, menurut Mc Kinnon (1987) tingkat bunga riil harus
positif sehingga tingkat bunga nominal harus lebih tinggi dari laju inflasi. Laju inflasi termasuk
dalam faktor ekspektasi. Bilamana ekspektasi terhadap inflasi diperhitungkan sebagai faktor
pengurangan tingkat bunga riil yang lebih rendah dari tingkat bunga riil di luar negeri, maka
para deposan akan lebih tertarik untuk menempatkan dananya di luar negeri.
4. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia
Hasil perhitungan menunjukkan koefisien Sertifikat Bank Indonesia jangka pendek
sebesar 0,566587 ini berarti bahwa akan terjadi peningkatan tingkat bunga pinjaman sebesar
0,566587% bila terjadi kenaikan pada tingkat bunga SBI sebesar 1 %. Dalam jangka pendek,
pengaruh variabel ini bersifat inelastic terhadap tingkat bunga pinjaman. Hal ini sesuai dengan
teori bahwa kecenderungan tingginya suku bunga SBI akan diikuti oleh naiknya tingkat
bunga simpanan dan otomatis meningkatkan bunga pinjaman. Tingkat bunga SBI merupakan
referensi dari tingkat bunga deposito bank-bank umum. Akan tetapi kepercayaan masyarakat
rendah terhadap dunia perbankan, kekhawatiran masyarakat akan rencana pembekuan
bank dan adanya faktor-faktor sosial, politik dan keamanan yang akan datang menyebabkan
masyarakat lebih tertarik untuk menaruh dananya di luar perbankan atau dipegang secara
tunai. Keinginan masyarakat untuk tetap memegang uang secara tunai dananya membuat
jumlah uang beredar tinggi.
5. Produk Domestik Bruto
Hasil perhitungan jangka panjang sebesar 1,241643 ini berarti bahwa akan terjadi
peningkatan tingkat bunga pinjaman di Indonesia sebesar 1,241643% bila terjadi kenaikkan
pada tingkat bunga SBI sebesar 1 %. Dalam jangka panjang, pengaruh variabel ini bersifat
elastic.Peningkatan tingkat suku bunga pinjaman sebagai akibat peningkatan Produk
Domestik Bruto karena adanya lonjakan permintaan terhadap kredit pada perbankan. Dalam
teori permintaan bahwa apabila jumlah permintaan meningkat terhadap suatu barang maka
harga perolehan barang tersebut akan cenderung meningkat. Proses pertumbuhan ekonomi
Indonesia akan membutuhkan banyak dana untuk menggerakan berbagai sektor dan
perbankan yang menjadi salah satu penyangga moneter.
456
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
IV.7. Konsistensi temuan empirik dengan hipotesis
Pada bagian ini akan terlihat konsistensi antara hasil penelitian temuan empirik dengan
hipotesis yang telah diajukan sebagai kesimpulan.
TabeI 4.9.
Perbandingan Antara Hipotesis Dengan Temuan Empirik
Temuan Empirik
Hipotesis
Jangka Panjang
Jangka Pendek
Variabel
Makna Statistik Korelasi Makna Statistik
Korelasi
Makna Statistik
Korelasi
SIBOR
signifikan
+
signifikan
-
signifikan
+
JUB
signifikan
+
tdk signifikan
+
signifikan
+
INFLASI
signifikan
+
tdk signifikan
-
signifikan
-
SBI
signifikan
+
signifikan
-
tdk signifikan
+
PDB
signifikan
+
signifikan
+
tdk signifikan
-
Sumber : Hasil Print Out Komputer, 2003
Tabel 4.9. Memperlihatkan bahwa terdapat dua variabel yang menunjukkan konsistensi
yang cukup baik antara hasil temuan empirik dengan hipotesis yang diajukan, yaitu variabel
Produk Domestik Bruto dan jumlah uang beredar untuk periode jangka pendek sedangkan
untuk periode jangka panjang terdapat 3 variabel yang konsisten yaitu variabel SIBOR,
JUB, dan SBI menunjukkan hubungan yang positif.
Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002
457
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Nasution, 1991, Tinjauan Ekonomi Atas Dampak Paket Deregulasi Tahun
1988 Pada Sistem Keuangan Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Anonim, berbagai penerbitan. Indikator Ekonomi, Jakarta: Badan Pusat Statistik
, berbagai penerbitan. Laporan Tahunan Bank Indonesia, Jakarta : Bank
Indonesia.
, berbagai penerbitan. Laporan Bulanan Bank Indonesia, Jakarta : Bank
Indonesia.
, 2000. “Mewaspadai Rayuan Produk Baru Bank”, Infobank, No. 275. Juni, Jakarta.
, 1997. “Menebak Arus di Tengah Badai”, warta ekonomi no 15/TH IX/I September,
Jakarta.
Ascarya, 2002. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter, Seri
Kebanksentralan. Jakarta : Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia.
Boediono, 1980. Teori Moneter, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Boediono, 1998. Ekonomi Moneter, Seri Sinopsis Pengantar llmu Ekonomi No.5,
Yogyakarta : BPFE - UGM.
Boediono, 1991. Tingkat Bunga dan Faktor-Faktor Penentunya. Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Indonesia No.1 Tahun VI, 18 - 26.
Edward, Sebastian dan Mohsin S. Khan, 1985. Interest Rate Determination
lndependen Developing Countries, a Conceptual Framework, International Monetary
Fund Staff Papper Volume 32, 123 - 134 .
Goldfeld, Stephen M. dan Lester V. Chandler, 1990. Ekonomi Uang dan Bank,
Jakarta: Penerbit Erlangga.
lnsukindro, 1991. “Regresi Linear Lancung dalam Analisa Ekonomi : Studi Kasus
Permintaan Deposito Dalam Valuta Asing di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia volume 1 No.1
lnsukindro, 1994. Ekonomi Uang dan Bank, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Iswardono SP, 1993. Uang dan Bank, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
458
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Gujarati, Damodar, 1995. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Iswardono SP, 1999. Suku Bunga Diturunkan, Investasi Akan Meningkat? Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 14 No.2, 34 - 42.
Judo Agung, 2000. Kinerja dan Fungsi Intermediasi Perbankan Pasca Krisis
dan Otonomi Daerah, Buletin ekonomi dan moneter perbankan, september : 45 - 48.
Landerth, Harry, 1976. History Of Economic Theory, Boston: Houghton Mifflin
company
Marihot B. Tambunan, 2002. Dua Viagra Disfungsi Intermediasi, Infobank, No.
270 vol. XXIV januari, Jakarta.
Muchdarsyah Sinungun, 1989. Uang dan Bank. Jakarta: Penerbit Bina Aksara.
Mulyanto, 1999. Teknik Kointegrasi dan Model Koreksi Kesalahan : Salah Satu
Pemecahan Analisis Data Deret Waktu. Thesis S-2 Universitas Indonesia, Jakarta, tidak
dipublikasikan
Nopirin, 1996. Ekonomi Moneter, Yogyakarta : BPFE- Yogyakarta.
OP. Simorangkir, 1989. Dasar-Dasar dan Mekanisme Perbankan, Edisi Revisi.
Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia
Ramanathan, Ranu, 1992. Introductory Econometrics With Application, Second
Edition, New York: Harcourt Brace Javanovich Inc
Sadono Sukirno, 2000. Makro Ekonomi Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sasongko Tedjo, 1994. Sekilas Ekonomi Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga
Soewito, 1994. Sejarah Pemikiran Ekonomi : Teori Bunga, Ekonomi dan Keuangan
Indonesia volume 32: 15 - 21.
Solikin dan Suseno, 2002. Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya Dalam
Perekonomian, Seri Kebanksentralan. Jakarta : Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan, Bank Indonesia
Solikin dan Suseno, 2002. Penyusunan Statistik Uang Beredar. Jakarta: Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia
Solopos, Jum’at 27 Juni 2003. Bank Indonesia Mengimbau Kepada Perbankan
Untuk menurunkan suku bunga Pinjamannya Berkaitan dengan terus Turunnya
Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Espos, Solo.
Determinan Tingkat Suku Bunga Pinjaman di Indonesia Tahun 1983 - 2002
459
Sritua Arif, 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi, Yogyakarta : BPFE : UGM
Syamsudin Mahmud, 1985. Ekonomi Moneter Indonesia, Edisi Pertama. Jakarta:
Yayasan Kesejahteraan Umat.
Tulus T.H. Tambunan, 1998. Penyebab Krisis Moneter di Indonesia, Jakarta : lKADIN
Indonesia.
Umar Juoro, 1995. Pengaruh Pinjaman Luar Negeri dan PMA Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Makalah Seri Dialog Politik Dalam Negeri ke -10,
Jakarta : CIDES.
Y. Sri Susilo, dkk, 2000. Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank, Jakarta: UI press
Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia
461
PERBANDINGAN EARLY WARNING SYSTEMS (EWS) UNTUK
MEMPREDIKSI KEBANGKRUTAN BANK UMUM DI INDONESIA1
Liza Angelina, SE, Msi, Akt
Abstraksi
This research is testing the capability of several forewarning system models to predict bank
bankruptcy. We apply these models on Indonesian commercial bank data during the period of 1994/
1995 - 1999/2000. Considering the data incompleteness and or their inexistence, our data finally
contains of 74 failed-banks and 81 non failed-banks.
Our result shows the Trait Recognition model (TR) is more pre-eminent than Logit and Multiple
Discriminant Analysis model (MDA).
Keywords : Trait Recognition (TR), Logit, Multiple Discriminant Analysis (MDA), Bank Bankruptcy
JEL: C25, C35, G21, G33
1
Terima kasih kepada Bank Indonesia yang telah memberikan bantuan dana dalam penelitian ini.
Terima kasih pula kepada Prof. James Kolari dari Texas A&M University yang telah bersedia memberikan program TR
yang dibutuhkan penulis dalam penelitian ini
462
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Di Amerika Serikat, fenomena kepailitan perusahaan telah menjadi obyek
penelitian yang intensif. Salah satu area penelitian terkait yang telah berkembang
selama ini telah menghasilkan kajian atas asosiasi informasi laporan keuangan
terhadap kemungkinan perusahaan mampu dengan sukses mempertahankan bisnisnya
atau harus dinyatakan bermasalah karena gagal secara ekonomi dan keuangan. Tradisi
penelitian ini diawali oleh Beaver (1966), kemudian diteruskan antara lain oleh Altman
(1968), Altman, et.al. (1977), dan Gilbert, et.al. (1990). Upaya penelitian ini bahkan
telah menjadi landasan bagi Zeta Inc. (USA) untuk menghasilkan informasi tentang
indeks “Zeta” bagi perusahaan-perusahaan di AS, sehingga dapat dievaluasi
probabilitas tingkat keberhasilan masing-masing perusahaan di masa datang (Titik
Aryati dan Hekinus Manao, 2002). Penerapan riset semacam ini di Indonesia
tampaknya baru mulai dirasakan, terutama setelah munculnya perusahaan-perusahaan
bermasalah akibat krisis ekonomi dan moneter di tahun 1990-an.
Dalam upaya untuk meminimalkan biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan
bank, para regulator perbankan dan para manajer bank berupaya untuk bertindak
cepat untuk mencegah kebangkrutan bank atau menurunkan biaya kegagalan tersebut.
Salah satu alat yang digunakan oleh lembaga pengawas federal di Amerika Serikat
dan negara-negara lain adalah Early Warning Systems (EWS) yang berupaya untuk
memprediksi permasalahan potensial yang berhubungan dengan bank dan lembaga
simpanan lainnya (Thomson, 1991). Namun demikian, teknik statistik yang paling sering
digunakan untuk menganalisis kebangkrutan bank adalah analisis logit dan MDA.
Analisis logit memperlihatkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan MDA
apabila digunakan untuk tujuan estimasi parameter. Walaupun demikian, untuk asumsi
distribusi tertentu, kedua prosedur tersebut menghasilkan estimasi yang konsisten;
dan estimasi yang menggunakan MDA lebih efisien (Andrew, 1986). Demikian juga
halnya penelitian oleh Espahbodi (1991) telah menunjukkan bahwa model logit
cenderung untuk mengalahkan model multiple discriminant (MDA) sebagai EWS di
perbankan. Meskipun sejumlah bukti empiris yang menggunakan model statistik ini
telah membuktikan keefektivitasannya dalam bermacam permasalahan pilihan biner
dalam bidang bisnis keuangan dan akuntansi, Frydman, Altman dan Kao (1985) telah
mengamati bahwa, karena sejumlah kegagalan potensial yang menghadang model
statistik, prosedur klasifikasi non-parametrik dapat menjadi pendekatan alternatif yang
layak uji. Mereka menggunakan teknik pemilihan recursif, yang didasarkan pada
Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia
463
regression tree, untuk memprediksikan perusahaan non-finansial yang gagal. Hasilnya
mempertegas hipotesa mereka bahwa teknik non-parametrik memiliki keunggulan
sebagai EWS, karena model pemilahan recursif mengalahkan model MDA.
Penelitian ini memperluas penelitian tentang EWS non-parametrik dengan penerapan
pendekatan alternatif (Trait Recognition / TR) untuk permasalahan pilihan biner untuk
masalah identifikasi bank-bank umum yang bangkrut di Indonesia. Prosedur ini telah
diterapkan pada bermacam identifikasi permasalahan dalam ilmu pengetahuan, termasuk
prediksi gempa bumi (Gelfand dkk, 1972; Briggs, Press dan Guberman, 1977; dan
Benavidez dan Caputo, 1988), deteksi uranium (Briggs dan Press, 1977) dan eksplorasi
minyak (Bongard dkk, 1966). Namun prosedur ini masih sangat jarang digunakan dalam
bidang penelitian bisnis.
TR berbeda dari model EWS sebelumnya dalam dua hal. Pertama, TR mengkodekan
data untuk masing-masing pengamatan dalam lajur biner berdasarkan pada distribusi
pengamatan untuk variabel-variabel bebas. Kedua, TR benar-benar memanfaatkan informasi
yang dikumpulkan dari eksplorasi pemanfaatan semua interaksi yang memungkinkan dari
variabel-variabel bebas yang diambil satu, dua dan tiga kali sekaligus. Tiap rasio keuangan
dan interaksi dari rasio-rasio ini dikenal sebagai traits, dan traits pembeda yang disebut
sebagai fitur secara selektif dipertahankan untuk pengklasifikasian pengamatan berdasarkan
pada prosedur voting.
I.2 Perumusan Masalah
Manakah model sistem peringatan dini (Early Warning Systems / EWS), yaitu model
logit, model MDA atau model TR, yang merupakan alat prediksi yang terbaik untuk kasus
kebangkrutan bank umum di Indonesia.
I.3 Tujuan Penelitian
Menguji kemampuan prediksi masing-masing model sistem peringatan dini tersebut
dan mengetahui model manakah yang mempunyai kemampuan yang terbaik dalam
memprediksi kebangkrutan bank, khususnya untuk kasus Bank Umum di Indonesia.
II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
II.1 Pengertian Logit
Logit analysis merupakan bentuk khusus dari regresi dimana variabel dependennya
nonmetrik dan terbagi menjadi dua bagian/kelompok (biner), walaupun formulasinya dapat
464
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
saja meliputi lebih dari dua kelompok. Secara umum, penginterpretasian logit analysis sangat
mirip dengan regresi linear (Hair dkk, 1998).
II.2 Pengertian Multiple Discriminant Analysis (MDA)
Multiple Discriminant Analysis (MDA) merupakan teknik statistik yang digunakan untuk
memprediksi dan menjelaskan hubungan yang berpengaruh kuat terhadap katagori dimana
objek tersebut berada; dimana variabel dependennya merupakan sesuatu yang pasti
(nominal atau nonmetrik) dan variabel independennya metrik (Hair dkk, 1998).
II.3 Trait Recognition
Trait Recognition (TR) adalah istilah umum untuk proses intensif komputer yang
memanfaatkan data input untuk mengembangkan fitur-fitur (atribut-atribut) yang dapat
digunakan untuk membedakan antara bermacam kelompok.
Langkah-langkah TR untuk desain sistem :
1. Pengukuran terkendali karakteristik atau ciri observasi dan pengkodean informasi;
2. Pra-pemrosesan dan ekstraksi fitur-fitur yang berbeda yang menunjukkan pola umum
dari bermacam kelompok observasi;
3. Pembelajaran prosedur tentang observasi sampel dimana didalamnya aturan
keputusan arbitrer awalnya diterapkan dan sebuah proses berulang digunakan untuk
mencapai set aturan keputusan yang memuaskan (optimal);
4. Diskriminasi observasi dalam holdout sample kedalam bermacam kelompok dengan
model TR.
Untuk tujuan ilustrasi aspek-aspek dasar dari prosedur Trait Recognition, diasumsikan
seorang peneliti memilih lima bank yang tidak gagal, yang ditandai dengan abjad a sampai
e dan lima bank yang gagal, yang ditandai dengan abjad A sampai E. Berdasarkan
pengalaman, tiga rasio keuangan yang representatif untuk menghitung kondisi finansial
bank dihitung untuk masing-masing bank, satu tahun sebelum kolapsnya bank yang gagal
tersebut, yaitu : net income / total assets (x1), loan losses / total assets (x2), dan equity
capoital / total assets (x3). Data ini ditunjukkan seperti gambar di bawah ini.
Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia
465
Gambar 1. Posisi Rasio Finansial Untuk Sampel Bank Yang Gagal dan Bank Yang Tidak
Gagal Satu Tahun Sebelum Kebangkrutan.
Sampel
:
Bank yang gagal
Bank yang tidak gagal
: a, b, c, d, e
: A, B, C, D, E
Kode
net income
total assets
a b Acd BCDeE
0
1
Cutpoint
11
E
2
01
3
←
2
3 (dalam persen)
00
A e CD bcdB
1
←
loan assets
total assets
←
-1
Kode
X2 =
←
X1 =
00 01 11
4
a
5 (dalam persen)
Cutpoint
Kode
11
debc ECa BDA
1
3
6
←
equity capital
total assets
01
←
X3 =
00
9
12 (dalam persen)
Cutpoint
Sumber : Kolari, James, Caputo, Michele, Wagner, Drew, 1996
Langkah selanjutnya adalah memilih dua batas (cutpoints) untuk masing-masing rasio
yang memilah observasi tersebut ke dalam tiga kelas, yaitu : (1) didominasi bank-bank
yang gagal (kode 00), (2) gabungan dari bank yang gagal dan yang tidak gagal (kode 01),
dan (3) didominasi bank yang tidak gagal (kode 11). Dalam Gambar 1 tersebut di atas,
untuk sampel lima bank gagal dan lima bank tidak gagal yang menggunakan simbol X1, X2,
X3, untuk X1 semua bank dalam segmen 00 adalah bank-bank gagal, segmen 01 campuran
dari dua bank gagal dan satu bank yang tidak gagal, dan segmen 11 didominasi oleh empat
bank yang tidak gagal dan satu bank gagal. Dalam hal ini, dimungkinkan untuk memindahkan
batas segmen 11 ke posisi tepat di sisi kanan bank e, yang merupakan bank yang gagal,
sehingga selanjutnya hanya bank E, yang merupakan bank yang tidak gagal, yang berada
dalam segmen ini. Namun seleksi terbatas dari cutpoints ini mengabaikan fakta bahwa
kebanyakan bank yang tidak gagal memiliki rasio net income / total assets di sisi kanan dari
posisi bank B yang tidak gagal. Dengan menggunakan T, pendekatan terbatas terhadap
pilihan cutpoints tersebut kurang unggul untuk penentuan bank di lokasi-lokasi yang
mencakup pengertian dominan dari satu kelompok atau lainnya. Penalaran serupa berlaku
untuk pemilihan cutpoints untuk X2. Untuk X3, cutpoints ditentukan sedemikian rupa sehingga
466
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
hanya bank-bank yang gagal yang ada di segmen 00, campuran bank-bank di segmen 01
dan hanya bank-bank yang tidak gagal di segmen 11.
Dengan cutpoints untuk masing-masing variabel, data untuk masing-masing bank
dapat dikode ulang. Berdasarkan pada Gambar 1, sepuluh bank sampel dikodekan ke dalam
string biner A1, A2, …, AL, dimana L adalah panjang string dan dua digit menggambarkan
masing-masing variabel dalam sekuen X1X2X3 sebagai berikut :
Tabel 1.
Pengkodean Ulang Bank Sampel.
Bank-Bank yang Gagal
Bank-Bank yang Tidak Gagal
a 000001
A 011111
b 000000
B 110011
c 010000
C 110101
d 010000
D 110111
e 110100
E 111101
Sumber : Kolari, James, Caputo, Michele, Wagner, Drew, 1996
Semua string biner memiliki pola yang berbeda, dengan pengecualian bank c dan d yang
gagal, dimana keduanya memiliki string identik 010000. Dalam hal ini, ada sebuah pola
dalam string biner tersebut di atas yang membedakan bank-bank yang gagal dan yang
tidak gagal. Bank-bank yang gagal cenderung untuk memiliki kode 0 dan bank-bank yang
tidak gagal biasanya memiliki kode 1. Namun ada beberapa bank yang tidak memiliki
dominasi kode 0 maupun 1 (misalnya bank e dan B). Pola dalam kode tersebut mungkin
bermanfaat dalam pembedaan antara bank-bank yang gagal dan yang tidak gagal.
String dari kode biner selanjutnya dikode ulang untuk lebih mengeksplorasi secara
penuh pola-pola dalam string biner. Untuk itu, dibuat sebuah matriks trait untuk masingmasing bank dari string binernya. Trait mempertimbangkan semua kemungkinan kombinasi
dari variabel-variabel yang diambil satu, dua dan tiga sekaligus, sehingga diusahakan untuk
mendapatkan saling keterkaitan yang bermanfaat antara variabel-variabel itu (Briggs et.al).
Secara resmi, masing-masing trait (T) terdiri dari sejumlah enam integer, yaitu : T = p, q, r,
P, Q, R; dimana p = 1, 2, …, L; q = p, p + 1, …, L; r = q, q + 1, …, L; P = 0 atau 1; Q = 0 atau
1; dan R = 0 atau 1. Abjad p, q, dan r berfungsi sebagai pointers (penunjuk) posisi dalam
string biner dari kiri ke kanan. P, Q, dan R memberi nilai dari kode biner pada posisi yang
diidentifikasi oleh pointers p, q, dan r.
Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia
467
Sebagai contoh, matriks trait untuk bank e yang gagal, dengan string biner 110100
dapat dikembangkan dengan pertimbangan semua kemungkinan kombinasi dari enam digit
yang diambil satu, dua dan tiga sekaligus, sebagai berikut :
Tabel 2.
Matriks Trait Untuk Masing-Masing Bank.
p
q
r
PQR
p
Q
r
PQR
p
q
r
PQR
1
2
3
4
5
6
1
1
1
1
1
2
2
2
1
2
3
4
5
6
2
3
4
5
6
3
4
5
1
2
3
4
5
6
2
3
4
5
6
3
4
5
111
111
000
111
000
000
111
100
111
100
100
100
111
100
2
3
3
3
4
4
5
1
1
1
1
1
1
1
6
4
5
6
5
6
6
2
2
2
2
3
3
3
6
4
5
6
5
6
6
3
4
5
6
4
5
6
100
011
000
000
100
100
000
110
111
110
110
101
100
100
1
1
1
2
2
2
2
2
2
3
3
3
4
4
4
5
3
3
3
4
4
5
4
4
5
5
5
6
6
4
5
6
5
6
6
5
6
6
6
110
110
100
101
100
100
110
110
100
010
010
000
100
Sumber : Kolari, James, Caputo, Michele, Wagner, Drew, 1996
Terdapat 41 traits untuk string enam digit yang mempertimbangkan semua kemungkinan
interaksi dari variabel-variabel tersebut. String itu juga memiliki skema pembobotan, dengan
p = q dan q = r yang memberikan bobot ganda untuk sebuah posisi tertentu (atau variabel)
dalam string, dan p = q = r yang memberikan bobot tiga kali lipat untuk posisi itu. Matriksmatriks traits dihasilkan seperti ini untuk semua observasi.
Matriks trait dirampingkan untuk hanya memasukkan fitur-fitur dari bank-bank yang
gagal dan yang tidak gagal. Sebuah fitur adalah sebuah trait yang muncul relatif sering di
bank-bank yang tidak gagal (gagal), tetapi relatif jarang di bank-bank yang gagal (tidak
gagal). Dalam hal ini, fitur bank yang tidak gagal disebut sebagai fitur baik dan fitur bank
yang gagal disebut sebagai fitur buruk. Meskipun tidak ada aturan jelas untuk menentukan
trait mana merupakan fitur, namun didapati bahwa paling tidak 10 sampai 25 fitur dibutuhkan
untuk memperoleh hasil yang baik dengan teknik ini. Maka, aturan untuk seleksi fitur yang
sangat terbatas, seperti dalam seleksi cutpoints untuk variabel-variabel, cenderung
membuang informasi yang berharga yang dapat meningkatkan akurasi identifikasi.
Setelah fitur-fitur dipilih, fitur-fitur yang tidak jelas dibuang. Sebagai sebuah contoh,
dipertimbangkan dua fitur (yang disebut sebagai fitur 1 dan fitur 2) yang dijumpai ada di
banyak dari bank-bank yang tidak gagal yang sama, sedemikian rupa sehingga bank-bank
yang diidentifikasi dengan tepat oleh fitur 1 merupakan subset dari bank-bank yang
468
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
diidentifikasi oleh fitur 2. Untuk menyederhanakan permasalahan, dihilangkan fitur baik
(buruk) kapanpun dua fitur ada dalam set bank yang tidak gagal (gagal) yang sama.
Pada posisi ini, fitur baik dan buruk yang berbeda dapat digunakan untuk memilih
masing-masing bank dalam sampel dan kemudian mengklasifikasikan bank-bank tersebut.
Jumlah suara baik dan buruk (fitur yang berbeda) untuk masing-masing bank dihitung dan
selanjutnya matriks voting dibuat. Matriks ini akan memiliki dua aksis yang menunjukkan
jumlah suara baik dan buruk secara berurutan, dan jumlah bank yang gagal dan yang tidak
gagal dalam masing-masing sel. Sebuah garis batas dipilih dari pengkajian matriks voting,
dan observasi diklasifikasikan sesuai dengan posisi bank tersebut terhadap garis batas itu.
Untuk mengklasifikasikan bank sebagai bank yang tidak gagal (gagal) aturannya adalah
ketika jumlah suara baik melebihi jumlah suara buruk.
Dalam penelitian ini, prosedur voting dilakukan dengan membuat dua garis batas
dalam matriks voting, sehingga membagi matriks tersebut ke dalam tiga bagian. Sel-sel
matriks dalam bagian pertama memiliki observasi yang hanya diprediksikan untuk bankbank yang gagal. Bagian kedua memiliki sel matriks dengan hanya prediksi bank-bank
yang tidak gagal. Bagian ketiga, yang terletak antara dua bagian lainnya, memuat
kemungkinan matriks kegagalan (ketidak gagalan) di luar range yang telah disebutkan
sebelumnya.
Untuk mengetahui kemampuan prediksi dari hasil TR, kinerjanya akan dibandingkan
dengan model logit dan MDA yang biasanya dijumpai dalam literatur dan praktek EWS,
dimana hal ini terutama merupakan perbandingan efektivitas terhadap model EWS yang
ada.
II.4 Penelitian Terdahulu
Karya awal Beaver (1996) dan Altman (1968) dalam Kolari dkk (2000) menunjukkan
bagaimana model berbasis komputer yang bergantung pada informasi akuntansi dapat
memprediksikan kegagalan perusahaan. Model berbasis komputer dapat digunakan sebagai
sistem peringatan dini (EWS) guna membantu mencegah beberapa kegagalan bank atau
mengurangi biaya kegagalan tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Kolari dkk (2000) mengaplikasikan EWS untuk bank
komersiil. Sampel yang diambil adalah sebanyak 145 bank komersiil yang diasuransikan
di Amerika Serikat pada tahun 1986, yang merupakan kegagalan terkini dengan data yang
tersedia bagi penelitian ini. Data finansial untuk bank-bank yang gagal ini dikumpulkan baik
satu tahun maupun dua tahun sebelum kegagalan dari catatan komputer Call Report akhir
Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia
469
tahun 1984 dan 1985. Karena ketidak tersediaan data akuntansi yang dibutuhkan untuk
beberapa bank yang gagal, sampel akhir dari bank yang gagal dalam data 1984 dan 1985
adalah 126 dan 123 observasi secara berurutan.
Dengan menggunakan jumlah generator acak, sampel lain dari 900 bank yang tidak
gagal dipilih dari populasi kurang lebih 15.000 bank komersiil Amerika Serikat yang dijamin
pada catatan Call Report 1985. Ketidak tersediaan data yang dibutuhkan untuk bankbank yang tidak gagal ini di tahun 1984 dan 1985 menghasilkan 878 dan 862 observasi.
Maka sampel total untuk tahun 1984 dan 1985 adalah 1.001 dan 985.
Proporsi sampel yang mendekati populasi akan paling baik mengatasi bias sampling
apapun dalam observasi gagal atau tidak gagal. Karena tingkat kegagalan dalam
perbankan di tahun-tahun sampel sekitar satu persen, tetapi sampel yang dipilih
menunjukkan tingkat kegagalan sepuluh persen, hasil TR beresiko (dalam beberapa hal)
untuk menghasilkan tingkat kesalahan yang lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan
yang akan dicapai dalam populasi perbankan. Namun demikian, ukuran dari sampel yang
tidak gagal yang relatif besar dalam penelitian ini dibandingkan dengan penelitian
kegagalan bank sebelumnya, seperti yang dilakukan Espahbodi (1991) memungkinkan
evaluasi yang cukup komprehensif atas kemampuan identifikasi TR.
Untuk masing-masing bank sampel, 28 rasio finansial yang biasanya dijumpai dalam
penelitian kegagalan bank sebelumnya diperhitungkan dari Reports of Income and
Condition (Call Reports). Rasio-rasio ini membentuk variabel-variabel independen.
Hasil perbandingan antara model TR, MDA dan model logit menunjukkan bahwa
TR berkinerja lebih kuat dibandingkan MDA dan logit, karena TR mempertimbangkan
banyak kemungkinan interaksi di antara variabel-variabel independen, sedangkan model
logit dan MDA biasanya mengabaikan interaksi ini.
Di Indonesia, penelitian tentang prediksi kebangkrutan bank juga telah banyak
dilakukan. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan tersebut, kebanyakan penelitian
menggunakan model CAMEL (mis. Surifah, 1999; Wilopo, 2001; Abdul Mongid, 2002;
Titik Aryati dan Hekinus Manao, 2002) dan Altman Z-Score (mis. Adnan dan Taufiq, 2001).
Sampai saat ini, di Indonesia belum ada penelitian yang menggunakan EWS sebagai
prediktor kebangkrutan bank.
Agar lebih jelas, penelitian-penelitian terdahulu tentang kebangkrutan bank dapat
dilihat pada tabel sebagai berikut :
470
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Tabel 3.
Daftar Penelitian Terdahulu Untuk Masalah Kebangkrutan Bank
Tahun
Penelitian
Nama Peneliti
1966
Beaver
1968
Altman
1974
Blum
1975
Sinkey
1976 &
1980
1977
Pettawy
Altman, Halderman
dan Narayanan
1980
Ohlson
1984
Altman
1985
Sinkey
1995
1996
Berger
Kolari, Caputo dan
Wagner
1996
1997
Boyd dan Graham
Federal Deposit
Insuranse
Corporation
Peavy dan Hempel
Surifah
1998
1999
2000
Kolari, Caputo dan
Wagner
2001
Wilopo
2001
Adnan dan Taufiq
2002
Abdul Mongid
2002
Titik Aryati dan
Hekinus Manao
Masalah yang Diteliti
Prediksi kebangkrutan dengan menggunakan enam kelompok
rasio keuangan yang dianalisis dengan menggunakan metode
univariat
Prediksi kebangkrutan dengan menggunakan metode MDA
(Z score)
Prediksi kebangkrutan dengan menggunakan lima rasio
keuangan, enam ukuran kecenderungan dan penyebaran serta
satu variabel return saham
Karakteristik bank yang bermasalah di USA dengan
menggunakan model MDA
Pemanfaatan data harga saham sebagai EWS spesifik bank
Prediksi kebangkrutan dengan menggunakan lima rasio
keuangan,satu variabel penyebaran rasio keuangan dan satu
variabel besaran perusahaan
Prediksi kebangkrutan dengan menggunakan model analisa logit
kondisional untuk menghilangkan masalah MDA
Meneliti ulang prediksi kebangkrutan dengan menggunakan
metode MDA (Z score) dengan memasukkan dimensi
internasional, yang mengubah formula Z score
Penggunaan rasio finansial dari masing-masing bank untuk
memprediksi kegagalan bank tersebut
Mencari cara untuk mengetahui kegagalan bank besar
Aplikasi EWS pada bank komersiil dengan menggunakan
model TR dan model gabungan TR/MDA vs MDA dan Logit
untuk mengidentifikasi bank-bank yang gagal
Mencari cara untuk mengetahui kegagalan bank besar
Penggunaan rasio finansial dari masing-masing bank untuk
memprediksi kegagalan bank tersebut
Pemanfaatan data harga saham sebagai EWS spesifik bank
Prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model
CAMEL
Perbaikan terhadap aplikasi EWS pada bank komersiil dengan
menggunakan model TR dan model gabungan TR/MDA vs MDA
dan Logit untuk mengidentifikasi bank-bank yang gagal
Prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model
CAMEL
Prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model Altman
Z=Score
Prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model
CAMEL
Prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model
CAMEL
Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia
471
II.5 Langkah-Langkah Analisis
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
1. Menguji kemampuan model logit dalam memprediksi kebangkrutan Bank Umum Swasta
Nasional di Indonesia.
2. Menguji kemampuan MDA dalam memprediksi kebangkrutan Bank Umum Swasta
Nasional di Indonesia.
3. Menguji kemampuan TR dalam memprediksi kebangkrutan Bank Umum Swasta Nasional
di Indonesia dengan bantuan program yang akan dibuat.
4. Melakukan analisis pengukuran efisensi yang dibobot untuk masing-masing model sistem
peringatan dini tersebut dan menentukan model mana yang mempunyai kemampuan
yang terbaik dalam memprediksi kebangkrutan Bank Umum Swasta Nasional di
Indonesia.
Penelitian ini hanya melihat kondisi secara mikro, yaitu hanya melihat dan meneliti
variabel-variabelnya saja.
II.3 Hipotesis
H1 : EWS dengan model TR memiliki ketepatan peramalan yang lebih baik dari MDA
dan model logit.
III. METODE PENELITIAN
III.1 Populasi dan Prosedur Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua bank umum yang ada di Indonesia yang
tercantum dalam Buku Direktori Perbankan Indonesia periode tahun 1994/1995 – 1999/2000,
yaitu sebanyak 88 bank yang gagal dan 81 bank yang tidak gagal.
Penelitian ini dilakukan dengan cara sensus, dimana jumlah sampelnya sama dengan
jumlah populasi yang ada, karena jumlah bank umum yang ada di Indonesia relatif tidak
terlalu banyak. Penentuan sampel seperti ini juga dimaksudkan agar hasil yang diperoleh
dapat lebih maksimal.
III.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa laporan
keuangan Bank-Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa di Indonesia tahun
472
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
1994 - 2000. Alasan pemilihan tahun-tahun tersebut adalah untuk mendapatkan jumlah
yang memadai dari bank bermasalah dalam sensus. Sedangkan alasan pemilihan data
yang hanya neliputi Bank-Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa karena
kebanyakan bank yang gagal dan bermasalah di Indonesia adalah Bank-Bank Umum Swasta
Nasional Devisa dan Non Devisa.
III.3 Definisi Operasional dan Identifikasi Variabel
Analisa logit adalah metodologi EWS yang paling umum digunakan, yang diterapkan
dalam bisnis, penelitian akademis dan praktek peraturan perbankan, khususnya dalam
pendeteksian potensi resiko kegagalan. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisa regresi
logit stepwise untuk memilih subset variabel independen yang paling penting dalam hal
kemampuan diskriminan.
Trait Recognition (TR) adalah teknik pengenalan pola non-parametrik yang bergantung
pada metode intensif-komputer untuk mengidentifikasikan pola sistematis dalam data.
Untuk masing-masing bank yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, 28 rasio
finansial yang biasanya dijumpai dalam penelitian kegagalan bank sebelumnya
diperhitungkan dari laporan keuangan bank-bank. Namun dari ke-28 rasio finansial tersebut,
hanya 12 rasio finansial yang dapat diperhitungkan dari laporan keuangan bank-bank umum
di Indeonesia. Rasio-rasio tersebut adalah sebagai berikut :
Rasio keuntungan :
1. Return on assets = Pendapatan bersih setelah pajak / Total asset
2. Return on equity = Pendapatan bersih setelah pajak / Total ekuitas
3. Profit margin = Biaya bunga / Total asset
4. Gross operating margin = (Total pendapatan operasi – Total pengeluaran
operasi) / Total asset
Rasio pertumbuhan :
5. Capital Growth = (Total ekuitast – Total ekuitast-1) / Total ekuitast
Rasio ukuran :
6. Assets = Total asset
Rasio likuiditas :
7. Liquid assets = Total kepemilikan surat berharga / Total asset
Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia
473
Rasio resiko pinjaman :
8. Loan exposure = Total pinjaman / Total asset
9. Loan funding = Total pinjaman / Total simpanan
Rasio pajak :
10. Tax exposure = Total pajak yang dibayar / Total asset
Rasio bauran deposito :
11. Demand deposit mix = Giro / Total simpanan
Rasio modal :
12. Capital ratio = Total ekuitas / Total asset
Rasio-rasio tersebut di atas membentuk variabel-variabel independen.
III.3 Teknik Anilisis
Penelitian ini membandingkan akurasi hasil prediksi dan klasifikasi yang diperoleh
dengan menggunakan teknik TR dengan model klasifikasi MDA dan logit yang telah
diterapkan untuk bank-bank komersiil sebagai EWS. MDA mengestimasikan Zscore dari
sebuah model linier dengan bentuk sebagai berikut :
Zi = a + b1Xi1 + b2Xi2 + … + bnXin
(1)
Dimana Xij = variabel independen, j = 1, …, n untuk bank I = 1, …, m, bj = koefisien
untuk variabel independen ke-j, dan Zi = nilai gabungan linier untuk bank ke-i.
Bila prob < 0,50 (Prob ≥ 0,50), bank tersebut diklasifikasikan sebagai bank yang
tidak gagal (gagal). Salah pengklasifikasian dikode ulang untuk kesalahan tipe I (sebuah
bank yang gagal diklasifikasikan sebagai bank yang tidak gagal), tipe kesalahan II (bank
yang tidak gagal diklasifikasikan sebagai bank yang gagal), dan kesalahan total.
Model logit mengestimasikan kemungkinan dari kegagalan untuk bank-bank
sebagai berikut :
Log [Prob / (1 – Prob)] = a + b1Xi1 + b2Xi2 + … + bnXin
(2)
Setelah mengetahui akurasi klasifikasi keseluruhan dari bermacam model EWS,
selanjutnya dapat diketahui tipe-tipe kesalahan yang terjadi. Umumnya, kesalahan tipe I
yang melibatkan salah klasifikasi dari bank yang gagal lebih penting dibandingkan kesalahan
tipe II, dimana bank-bank yang tidak gagal salah diklasifikasikan. Namun, perbandingan
474
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
tunggal dari kesalahan tipe I mengasumsikan bahwa kesalahan tipe II tidak relevan, sehingga
memberikan pandangan yang melenceng dari kinerja model. Metode pemfokusan perhatian
pada bank-bank yang gagal, yang salah diklasifikasikan secara simultan dipertimbangkan
dalam tingkat kesalahan total dalam pengukuran efisiensi yang dibobot (Korobrow dan Stuhr
(1985)). Sesuai penelitian mereka, juga Espahbodi (1991), analisa pengukuran efisiensi
yang dibobot diperhitungkan sebagai berikut :
WE = (FCC / PF) – (FCC / AF) * CC
(3)
Dimana FCC = jumlah bank yang gagal yang diklasifikasikan secara tepat, PF =
jumlah bank yang diprediksikan akan gagal, AF = jumlah bank yang sebenarnya gagal
dan CC = prosentase bank yang diklasifikasikan secara tepat. WE memberikan nilai
klasifikasi yang dibobot dimana tingkat klasifikasi total disesuaikan untuk identifikasi tepat
dari bank-bank yang gagal.
IV. ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN
IV.1 Gambaran Umum Responden
Responden dalam penelitian ini adalah semua Bank Umum Swasta Nasional Devisa
dan Non Devisa yang ada di Indonesia yang tercantum dalam Buku Direktori Perbankan
Indonesia periode tahun 1994/1995 – 1999/2000, yaitu sebanyak 88 bank yang gagal
dan 81 bank yang tidak gagal. Dari jumlah responden tersebut ternyata tidak semuanya
dapat dijadikan responden dalam penelitian ini, karena data yang tersedia tidak lengkap
atau bahkan karena tidak tersedianya data. Akhirnya responden yang dapat digunakan
dalam penelitian ini adalah sebanyak 74 bank yang gagal dan 81 bank yang tidak gagal.
Gambaran umum responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Bank Umum Swasta Nasional Devisa Dan Non Devisa Yang Gagal
Periode Tahun 1994/1995 – 1999/2000
Tahun
Jumlah
Populasi
Prosentase
1995
12
19
21
11
1
0
8
2
77
87
77
63
70
59
46
45
15,58
21,84
27,27
17,46
1,43
0
17,39
4,44
1997
1998
1999
Jenis Bank
Bank Umum Swasta Nasional Devisa
Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa
Bank Umum Swasta Nasional Devisa
Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa
Bank Umum Swasta Nasional Devisa
Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa
Bank Umum Swasta Nasional Devisa
Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa
Sumber : Direktori Perbankan Indonesia Periode Tahun 1994/1995 – 1999/2000 yang diolah
Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia
475
Tabel 5. Komposisi Asset Bank Umum Swasta Nasional Devisa Dan Non Devisa
Periode Tahun 1994/1995 – 1999/2000
Total Asset
< 100.000.000.000,100.000.000.000,- s/d
500.000.000.000,500.000.000.000,s/d
1.000.000.000.000,1.000.000.000.000,s/d
10.000.000.000.000,>10.000.000.000.000,-
Jumlah
Jml Resp.
43
32
38
43
42
32
38
43
42
32
38
43
42
38
42
6
7
6
27
11
21
8
6
8
4
15
4
22
9
1
%
Jenis Bank
Keterangan
13,95
21,87
15,79
62,79
26,19
65,63
21,05
13,95
19,05
12,50
39,47
9,30
52,38
23,68
2,38
BUSNND
BUSNND
BUSND
BUSNND
BUSND
BUSNND
BUSND
BUSNND
BUSND
BUSNND
BUSND
BUSNND
BUSND
BUSND
BUSND
Tdk Gagal
Gagal
Tdk Gagal
Tdk Gagal
Gagal
Gagal
Tdk Gagal
Tdk Gagal
Gagal
Gagal
Tdk Gagal
Tdk Gagal
Gagal
Tdk Gagal
Gagal
Sumber : Direktori Perbankan Indonesia Periode Tahun 1994/1995 – 1999/2000 yang diolah
Tabel 6. Komposisi Kepemilikan Bank Umum Swasta Nasional Devisa Dan Non Devisa
Periode Tahun 1994/1995 – 1999/2000
Kepemilikan
Jml
Jml Resp.
Prosentase
4
38
10,53
BUSND
Tidak Gagal
100 % Pribadi
(Perorangan)
19
43
44,19
BUSNND
Tidak Gagal
3
42
7,14
BUSND
Gagal
14
32
43,75
BUSNND
Gagal
18
38
47,37
BUSND
Tidak Gagal
20
43
46,51
BUSNND
Tidak Gagal
19
42
45,24
BUSND
Gagal
Gagal
Perorangan &
Masyarakat
100 % Masyarakat
Jenis Bank
Keterangan
15
32
46,88
BUSNND
16
38
42,10
BUSND
Tidak Gagal
4
43
9,30
BUSNND
Tidak Gagal
20
42
47,62
BUSND
Gagal
3
32
9,37
BUSNND
Gagal
Sumber : Direktori Perbankan Indonesia Periode Tahun 1994/1995 – 1999/2000 yang diolah
IV.2 Hasil Empiris
- Model Logit :
Hasil dari perhitungan dengan menggunakan model forward stepwise logit tersebut
adalah sebagai berikut :
476
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
1. Periode Satu Tahun Sebelum Kegagalan :
1. Langkah Pertama :
Variabel yang tepat memprediksi : LA.
Model : -1,2970 + 0,0917LA
Prediksi
Pengamatan
Gagal
Tidak Gagal
0
1
Prosentase Ketepatan
Gagal
0
64
10
86,49%
Tidak Gagal
1
26
55
67,90%
Keseluruhan
76,77%
2. Langkah Kedua :
Variabel yang tepat memprediksi : LA dan PM.
Model : 4,8428 + 0,0652LA – 0,5831PM
Prediksi
Pengamatan
Gagal
Tidak Gagal
0
1
Prosentase Ketepatan
Gagal
0
67
7
90,54%
Tidak Gagal
1
6
75
92,59%
Keseluruhan
91,61%
3. Langkah Ketiga :
Variabel yang tepat memprediksi : LA, PM dan LF.
Model : 7,5678 + 0,0390LA - 0,6704PM – 0,0168LF
Prediksi
Pengamatan
Gagal
Tidak Gagal
0
1
Prosentase Ketepatan
Gagal
0
68
6
91,89%
Tidak Gagal
1
6
75
92,59%
Keseluruhan
92,26%
Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia
4. Langkah Keempat :
Variabel yang tepat memprediksi : PM dan LF.
Model : 9,3545 – 0,7511PM – 0,0217LF
Prediksi
Gagal
Tidak Gagal
0
1
Pengamatan
Prosentase Ketepatan
Gagal
0
68
6
91,89%
Tidak Gagal
1
7
74
91,36%
Keseluruhan 91,61%
5. Langkah Kelima :
Variabel yang tepat memprediksi : PM, LF dan ROA.
Model : 10,3843 – 0,8461PM – 0,0223LF – 0,2461ROA
Prediksi
Gagal
Tidak Gagal
0
1
Pengamatan
Prosentase Ketepatan
Gagal
0
68
6
91,89%
Tidak Gagal
1
7
74
91,36%
Keseluruhan 91,61%
2. Periode Dua Tahun Sebelum Kegagalan :
1. Langkah Pertama :
Variabel yang tepat memprediksi : LE.
Model : 5,2465 – 0,1069LE
Prediksi
Pengamatan
Gagal
Tidak Gagal
0
1
Prosentase Ketepatan
Gagal
0
62
12
83,78%
Tidak Gagal
1
10
71
87,65%
Keseluruhan 85,81%
477
478
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
2. Langkah Kedua :
Variabel yang tepat memprediksi : LE dan DDM.
Model : 3,7700 – 0,1049LE + 0,0960DDM
Prediksi
Pengamatan
Gagal
Tidak Gagal
0
1
Prosentase Ketepatan
Gagal
0
65
9
87,84%
Tidak Gagal
1
7
74
91,36%
Keseluruhan 89,68%
3. Langkah Ketiga :
Variabel yang tepat memprediksi : LE, DDM dan ROE.
Model : 3,7598 – 0,1072LE + 0,1131DDM – 0,0115ROE
Prediksi
Pengamatan
Gagal
Tidak Gagal
0
1
Prosentase Ketepatan
Gagal
0
67
7
90,54%
Tidak Gagal
1
7
74
91,36%
Keseluruhan 90,97%
- Model MDA :
Model MDA untuk periode satu tahun sebelum kegagalan adalah sebagai berikut :
Z = -1,697 + 0,090PM + 0,030GOM – 0,018LA + 0,025LE – 0,019DDM
Hasil dari perhitungan dengan menggunakan model MDA tersebut adalah sebagai
berikut :
Prediksi
Gagal
Aktual
Tidak Gagal
0
1
Gagal
0
65
9
Tidak Gagal
1
8
73
Prosentase
0
87,8%
12,2%
1
9,9%
90,1%
Prosentase Ketepatan : 89,0%
Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia
479
Model MDA untuk periode dua tahun sebelum kegagalan adalah sebagai berikut :
Z = -2,104 + 0,002ROE – 0,005GOM + 0,056LE – 0,030DDM
Hasil dari perhitungan dengan menggunakan model MDA tersebut adalah sebagai
berikut :
Prediksi
Gagal
Aktual
Tidak Gagal
0
1
Gagal
0
68
6
Tidak Gagal
1
8
73
Prosentase
0
91,9%
8,1%
1
9,9%
90,1%
Prosentase Ketepatan : 91,0%
- Model TR :
Hasil perhitungan prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model Trait
Recognition (TR) untuk periode satu tahun sebelum kegagalan adalah sebagai berikut :
Aktual
Gagal
Prediksi
Tidak Gagal
0
1
Gagal
0
80
1
Tidak Gagal
1
1
73
Ketepatan Prediksi = 98,65%
Hasil perhitungan prediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model Trait
Recognition (TR) untuk periode dua tahun sebelum kegagalan adalah sebagai berikut :
Aktual
Gagal
Prediksi
Tidak Gagal
0
1
Gagal
0
80
5
Tidak Gagal
1
1
69
Ketepatan Prediksi = 98,57%
480
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
IV.3 Hasil dan Interpretasi Hasil Penelitian
Setelah mengetahui perhitungan dengan masing-masing model tersebut di atas, yaitu
model logit, MDA dan TR, selanjutnya dilakukan perbandingan efisiensi terbobot antara
ketiga model tersebut. Perhitungan analisa pengukuran efisiensi yang dibobot dilakukan
dengan menggunakan rumus :
WE = (FCC / PF) . (FCC / AF) . CC
Sedangkan perhitungannya adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Weighted Efficiency Scores (Pengukuran Efisiensi Yang Dibobot)
Dengan Model Logit, Multiple Discriminant Analysis Dan Trait Recognition
FCC
PF
AF
CC
WE
68
75
74
91,61
76,33
Multiple Discriminant Analysis
65
73
74
89,00
69,58
Trait Recognition
73
74
74
98,65
96,00
Periode dua tahun sebelum kegagalan :
Logit
67
74
74
90,97
74,57
Multiple Discriminant Analysis
68
76
74
91,00
74,81
Trait Recognition
69
70
74
98,57
90,60
Periode satu tahun sebelum kegagalan :
Logit
Keterangan
FCC
PF
AF
CC
WE
:
:
:
:
:
:
Jumlah bank yang gagal yang diklasifikasikan secara tepat
Jumlah bank yang diprediksikan akan gagal
Jumlah bank yang benar-benar gagal
Prosentase dari bank yang diklasifikasikan secara tepat
Efisiensi yang dibobot
V. PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari tabel tersebut di atas dan dari perhitungan-perhitungan dengan menggunakan
masing-masing model dapat diketahui bahwa model TR memiliki akurasi prediksi yang
paling tinggi. Selain itu, model TR tidak hanya dapat digunakan untuk memprediksi
tingkat kegagalan bank, tapi juga dapat mengetahui dengan tepat bank-bank mana saja
yang akan mengalami kegagalan. Hal ini tidak bisa dilakukan dengan model logit maupun
MDA. Ini membuktikan bahwa hipotesis dalam penelitian ini, yang berbunyi EWS dengan
model TR memiliki ketepatan peramalan yang lebih baik dari model MDA dan model
logit, benar-benar terbukti; yang artinya, penelitian ini konsisten dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti terdahulu.
Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia
481
V.2 Implikasi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi penelitian-penelitian di
bidang keuangan yang menggunakan model ekonofisika dan mendorong arah riset di bidang
keuangan untuk menggunakan model-model ekonofisika. Sedangkan bagi dunia perbankan,
khususnya Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia, hasil penelitian ini dapat
menjadi bahan masukan dan acuan untuk memprediksi kebangkrutan bank, khususnya
dengan menggunakan model TR.
V.3 Saran
Untuk penelitian-penelitian yang akan datang, peneliti dapat mempertimbangkan
penggunaan holdout sample dalam melakukan perhitungan, karena kemungkinan dengan
digunakannya holdout sample dalam perhitungan, dapat lebih memperkuat perhitungan
yang dilakukan dan prediksi yang dihasilkan. Selain itu, untuk penelitian-penelitian yang
akan datang, peneliti diharapkan dapat menciptakan suatu program dengan bahasa
pemrograman yang lebih user friendly, sehingga lebih mudah digunakan. Peneliti dapat
juga membandingkan model TR ini dengan model prediksi kebangkrutan bank lainnya,
yang belum pernah dilakukan di Indonesia.
V.4 Keterbatasan
Selain keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh model TR, model TR yang dibuat
dalam penelitian ini memiliki kelemahan dalam hal program yang digunakan untuk
melakukan perhitungan, dimana program yang dibuat ini menggunakan bahasa Fortran
yang tidak terlalu lazim digunakan, sehingga tidak user friendly. Namun permbuatan
program dengan menggunakan bahasa Fortran ini memiliki alasan, karena bahasa ini
merupakan bahasa pemrograman tingkat tinggi yang sangat rinci, sehingga keakuratan
perhitungannya sangat tinggi.
482
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
DAFTAR PUSTAKA
Altman, E., 1968, “Financial Ratio Discriminant Analysis and The Prediction of Corporate
Bankruptcy”, Journal of Finance, Vol. XXIII, No. 4, September
, R. Halderman, and P. Narayanan, 1977, “Zeta Analysis”, Journal of Banking and
Finance
Aryati, Titik dan Hekinus Manao, 2002, “Rasio Keuangan sebagai Prediktor Bank
Bermasalah di Indonesia”, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 5, No. 2, Mei
Beaver, W., 1966, “Financial Ratios as Predictors of Failure, Empirical Research in
Accounting : Selected Studies”, Supplement, Vol. 5, Journal of Accounting Research
Benavidez, A. and M. Caputo, 1988, “Pattern Recognition of Earthquake Prone Areas
in the Andrean Region”, Studie, University of Bologna
Bongard, M.M., M.I. Vaintsveig, S.A. Guberman and M.L. Izvekova, 1966, “The Use of
Self Learning Programs in the Detection of Oil Containing Layers”, Geology Geofiz, Vol. 6
Briggs, P. and F. Press, 1977, “Pattern Recognition Applied to Uranium Prospecting”,
Nature, Vol. 268
and Sh.A. Guberman, 1977, “Pattern Recognition Applied to Earthquake Epicenters
in California and Nevada”, Geological Society of America Bulletin, Vol. 88
Coats, P.K. and L.F. Fant, 1993, Recognizing Financial Distress Patterns Using a
Neural Network Tool”, Financial Management, Vol. 22
Espahbodi, P., 1991, “Identification of Problem Banks and Binary Choice Models”,
Journal of Banking and Finance, Vol. 15
Frydman, H., E.I. Altman and D. Kao, 1985, “Introducing Recursive Partitioning for
Financial Classification : The Case of Financial Distress”, The Journal of Finance, Vol. 40
Gelfand, I.M., Sh.A. Guberman, M.L. Izvekova, V.I. Heilis-Borok and E. Ranzman,
1972, “Criteria of High Seismicity Determined by Pattern Recognition”, in Ritzema (ed.),
The Upper Mantle, Tectonophysics, Vol. 13
, Sh.A. Guberman, V.I. Heilis-Borok, L. Knopoll, F. Press, E. Ranzman, I.M. Retwain
and A.M. Sadovsky, 1976, “Pattern Recognition Applied to Earthquake Epicenters in
California”, Physics of the Earth and Planetary Interiors, Vol. 11
Perbandingan Early Warning System (EWS) untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia
483
Gilbert, L.R., K. Menon, K. Schwartz, 1990, “Predicting Bankruptcy for Firms in Financial
Distress, Journal of Business, Finance and Accounting, Spring
Hair, Joseph F., Jr., Rolph E. Anderson, Ronald L. Tatham, William C. Black, 1998,
Multivariate Data Analysis, Prentice-Hall International, Upper Saddle River, New Jersey
Herliansyah, Yudhi, Moch Syafrudin dan M. Didik Ardiyanto, 2002, “Model Prediksi
Kebangkrutan Bank Go Public dan Bank Non Go Public di Indonesia”, Jurnal Maksi, Vol. 1,
Agustus
Jagtiani, Julapa A., Kolari, James W., Lemieux, Catharine M., Shin, G. Hwan, 2000,
Predicting Inadequate Capitalization : Early Warning System for Bank Supervision, Emerging
Issues Series, Supervision and Regulation Department, Federal Reserve Bank of Chicago
Jones, F., 1987, “Current Techniques in Bankruptcy Prediction”, Journal of Accounting
Literature, Vol. 6
Keasey, K. and P. McGuinness, 1990, “The Failure of UK Industrial Firms for the
Period 1976-1984, Logistic Analysis and Entropy Measures”, Journal of Business, Finance
& Accounting, Vol. 17, No. 1, Spring
Kolari, James, Caputo, Michele, Wagner, Drew, 1996, “Trait Recognition : An Alternative
Approach to Early Warning Systems in Commercial Banking”, Journal of Business Finance
& Accounting, December, Vol. 23
, Glennon, Dennis, Shin, Hwan, Caputo, Michele, 2000, Predicting Large U.S.
Commercial Bank Failures, Economic and Policy Analysis Working Paper
Lo, Andrew W., 1986, “Logit Versus Discriminant Analysis : A Specification Test and
Application to Corporate Bankruptcies”, Journal of Econometrics, Vol. 31, No. 2, March
Marzuki, 1983, Metodologi Riset, Cetakan Ketiga, Bagian Penerbitan Fakultas
Ekonomi-UII, Yogyakarta
Ohlson, J.A, 1980, “Financial Ratio and The Probabilistic Prediction of Bankruptcy”,
Journal of Accounting Research, Spring
Palepu, K.G., 1986, “Predicting Takeover Targets : A Methodological and Empirical
Analysis”, Journal of Accounting and Economics, Vol. 8
Platt, Harlan D., Platt, Marjorie B., 1990, “Development of a Class of Stable Predictive
Variables : The Case Bankruptcy Prediction”, Journal of Business Finance & Accounting,
Vol. 17, No. 1, Spring
484
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2004
Platt, Harlan D., Platt, Marjorie B., Pedersen, Jon Gunnar, 1994, “Bankruptcy
Discrimination with Real Variables”, Journal of Business Finance & Accounting, June
Siamat, Dahlan, 1993, Manajemen Bank Umum, Cetakan Pertama, Intermedia, Jakarta
, 2001, Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Ketiga, Cetakan Pertama, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta
Sinkey, J.F.Jr., 1975, ”A Multivariate Statistical Analysis of The Characteristic of Problem
Banks”, Journal of Finance, Vol. XXX, No. 1, March
Thomson, J.B., 1991, “Predicting Bank Failures in 1980s”, Economic Review, Vol. 27
Whalen, G., and J. Thomson, 1988, “Using Financial Data to Identify Changes in
Bank Condition”, Economic Review, Second Quarter
Wilopo, 2001, “Prediksi Kebangkrutan Bank”, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 4,
No. 2, Mei
PETUNJUK PENULISAN
1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau insitusi) yang
tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak
sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah
yang diterima, TETAP menjadi hak penulis.
2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial
sebesar Rp 1.000.000,- s.d. Rp 3.000.000,-.
3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). File tersebut sangat disarankan
untuk dikirimkan melalui kedua alamat E-Mail berikut:
bemp_bi@yahoo.com dan bemp_bi@bi.go.id
Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan
dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut:
BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Dewan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia
Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2
Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394
4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman
dengan ukuran font 12.
5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft
Equation.
6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk
naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris,
dan sebaliknya.
7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi
Journal of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.acaweb.org/
journal/jel,_class_system.html.
8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,
I. JUDUL BAB
11.1. Sub Bab
11.1. a. Sub Sub Bab
9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.
10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,
a. Publikasi buku:
John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall,
New Jersey.
b. Artikel dalam jurnal:
Rangazas, Peter. “Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with
Human Capital”, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416.
c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K.
“Empirical Research on Nominal Exchange Rates”, dalam Gene Grossman dan
Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: NorthHolland, 1995, hal. 397-416.
d. Kertas kerja (working papers):
Kremer, Michael dan Chen, Daniel. “Income Distribution Dynamics with Endogenous
Fertility”. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper
No.7530, 2000.
e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John. “Can Parental Decision Explain
U.S. Income Inequality?”, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.
f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston,
Alan W. “Penn World Table, Version 5.6””http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.
g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. “Killed by Kindness”,
Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56.
11. Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon dan email yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV
(curriculum vitae) lengkap.
Download