Rebuilding Aceh's Micro Enterprises after the Tsunami Membangun

advertisement
Rebuilding Aceh‘s
Micro Enterprises after
the Tsunami
Membangun Kembali
Bisnis Mikro di Aceh
Pasca Tsunami
Writer / Penulis: Jane Kubke
Editor / Translation / Penerjemahan: FBA team
Lay-Out & Design / : Jane Kubke
Front cover photo: south of Lamno, Aceh Jaya (Jane Kubke)
Foto sampal depan : Lamno Utara, Aceh Jaya
Back cover photo: Syarwan‘s moped rickshaw
Foto samppal belakang : Becak bang syarwan
Photography : FBA staff and volunteers / Staf dan Relawan
Published : July 2008
Contents / Daftar Isi
How we began
Bagaimana Kami memulai
1
3
How we work
Bagaimana kami berkerja
5
7
Cutting in the middleman : the Local Motivator
Memotung jalur tengah : Local Motivator
9
11
How we are succeeding
Bukti keberhasilan kami
13
13
Where we work
Wilayah kerja
14
14
Success Stories
Kisah keberhasilan
Rohana : Drink bar and kiosk
Rohana : Kios makanan dan minuman
15
18
Murni : Embroidered handicraft production
Murni : Produksi kerajinan bordir
21
24
Sarita : Restaurant
Sarita : Rumah Makan
27
30
Afterword
Akhir kata
33
34
Staff and Volunteers
Staf dan Relawan
35
35
Donors
Donatur
36
36
Banda Aceh, Indonesia, January 2005
How we began
Forum Bangun Aceh (FBA) grew out of an immediate, spontaneous response to the tsunami of December, 2004, which killed
hundreds of thousands of people, and leveled many coastal areas of Aceh, Indonesia. Azwar Hasan, a native of Banda Aceh
who was living in Jakarta when the tsunami struck, was one
young man who came home immediately to look for his family.
Initially overwhelmed by the scale of death and the scope of
devastation, he was determined to figure out a way to help –
quickly.
Azwar summoned 10 friends from non effected tsunami areas
to come and live with survivors, and buy for them what they
needed. And then he summoned 10 more friends, and thus be-
1
gan the people-to-people approach which remains the foundation of the FBA‘s work today.
Azwar‘s vision for FBA has always been to focus on ‗brain and
stomach,‘ where the brain represents education, and the stomach represents livelihood. He believes that meeting the needs
of both brain and stomach is necessary in order for people to
lead fulfilled, complete and sustainable lives. Hence, FBA‘s efforts have focused upon education initiatives to get schools rebuilt, re-equipped, and operational once more, and the Livelihood Program – the micro credit program where small loans
are extended to individuals to help them re-establish businesses. Three years after the tsunami in Aceh, ‗brain and stomach‘ remain central to the organization‘s vision.
FBA does not lend business owners money, but rather buys
them the assets or materials they need, and then the individual
business owners repay the cost of the assets to FBA on a
monthly payment plan. As the name suggests, this ‗Revolving
Fund‘ keeps the money circulating to people who need it most,
and will use it best to re-establish profitable businesses and
regain their financial independence. And then it is passed on to
the next beneficiary. And so on, and so on, to effective – and
often miraculous – effect.
With these success stories, we are privileged to share the experiences of a small, but representative number of beneficiaries
who have overcome catastrophe and tremendous odds to restart businesses in Aceh. We also want to pause in our work, to
thank the organizations and individuals who have supported
FBA in many ways, in particular Force of Nature who funded
this publication. We have gained tremendous strength and
knowledge through our first three years of existence, and we
hope to continue building on our experience and sharing the
wealth for a long time to come… people-to-people.
Forum Bangun Aceh
2
Bagaimana kami memulai
Forum Bangun Aceh tumbuh untuk merespon bencana tsunami
pada Desember 2004 dengan cepat dan spontan. Bencana ini
telah merenggut ratusan ribu korban dan menghancur-leburkan
beberapa daerah di sekitar garis pantai Aceh, Indonesia. Azwar
Hasan, pemuda asal Aceh, yang pada saat tsunami masih tinggal di Jakarta, langsung melejit pulang untuk mencari anggota
keluarganya. Merasa terguncang dengan angka kematian dan
tingkat kerusakan yang diakibatkan bencana tersebut, ia pun
bertekad menemukan cara untuk segera membantu.
Azwar mengajak 10 orang koleganya dari Jakarta untuk datang
ke Aceh dan tinggal bersama para korban dan membeli kebutuhan mereka. Kemudian ia kembali ke Jakarta dan mengumpulkan 10 orang koleganya yang lain, sehingga terciptanya
pendekatan people to people (pendekatan individu ke individu )
yang merupakan pondasi program-program FBA sekarang ini.
Visi Azwar untuk FBA selalu terfokus pada ‗otak dan perut‘, di
mana otak menandakan pendidikan dan perut menyimbolkan
mata pencaharian. Ia percaya bahwa penting sekali memenuhi
kebutuhan ‗otak‘ dan ‗perut‘ sehingga kebutuhan hidup seseorang bisa terpenuhi, memadai dan berkelanjutan. Dari sini,
usaha-usaha FBA sudah terfokus pada inisiatif pendidikan misalnya membangun, melengkapi dan mengoperasikan kembali
sekolah-sekolah. Kemudian program livelihood, program kredit
unsaha mikro, dimana pinjaman lunak diberikan kepada individu-individu untuk membantu mereka membangun kembali
unsaha mereka. Tiga tahun setelah bencana tsunami di Aceh,
‗otak dan perut‘ tetap menjadi dasar dari visi organisasi ini.
FBA tidak meminjamkan uang kepada pemilik usaha melainkan
membelikan aset atau peralatan yang mereka perlukan dan
kemudian pemilik usaha perorangan tersebut akan membayar
kembali biaya yang dikenakan atas asetnya kepada FBA dengan sistem cicilan bulanan. Seperti yang tersirat dari namanya,
program ―Dana Bergulir‖ memastikan bahwa uang bisa bergulir
bagi mereka yang paling membutuhkannya dan akan dipergunakan sebaik-baiknya untuk membangun kembali usaha
yang menguntungkan dan mandiri secara keuangan. Setelah
3
itu, dana akan disalurkan kepada usaha selanjutnya. Begitulah
seterusnya sehingga menciptakan efek yang menakjubkan.
Melalui cerita suses ini, kami merasa terhormat untuk berbagi
sedikit pengalaman beberapa pemilik usaha yang telah berhasil
melewati malapetaka dan mempertaruhkan banyak hal untuk
memulai kembali usaha-usaha mereka di Aceh. Kami juga ingin
berhenti sejenak dari pekerjaan, mengucapkan terima kasih
kepada organisasi-organisasi dan individu-individu yang telah
mendukung FBA, terutama kepada Force of Nature (FON) yang
telah mendanai publikasi ini. Kami telah mendapatkan kekuatan dan pengetahuan yang luar biasa besarnya setelah tiga tahun kehadiran kami. Kami berharap agar tetap bisa melanjutkan pembangunan atas dasar pengalaman kami dan berbagi
kemakmuran dalam jangka waktu yang panjang… ‘people to
people‘.
Banda Aceh, Indonesia, December, 2004
Forum Bangun Aceh
4
How we work:
FBA‘s mission and structure reflect the conviction that it is the
tsunami survivors themselves, who are best placed to identify
their needs in order to rebuild their lives. Eighty percent of the
businesses and small enterprises in the coastal areas of Aceh
were destroyed by the December 2004 tsunami, and the surviving business owners and employees have expressed a great
desire and need to get their livelihoods and self-sufficiency
back. Helping these small enterprises do just that through
small loans offered from the Revolving Fund is the remit of the
FBA‘s Livelihood Program.
The formula is straightforward
A small business owner wishing to rebuild or improve his or her
business, approaches FBA with a proposal indicating what the
business requires. Upon approval of the proposal and budget,
FBA uses the Revolving Fund to purchase the required assets
for the owner. A repayment schedule and rate of interest is
agreed, depending upon the size of the business and loan, and
allowing for a two-month grace period. The owner makes the
agreed monthly payments to FBA, which go back into the Revolving Fund, so that assets can be disbursed to the next business. It‘s a simple and astoundingly successful formula.
Brick factory supported by the FBA in Ligan, Aceh Jaya / Pabrik bata yang bantu oleh FBA di Ligan, Aceh Jaya
5
First harvest from rehabilitated paddy fields, Rabo, Pulau Breuh, Aceh Besar
The criteria is clear
The aim of the FBA‘s Livelihood Program is to help individuals
re-establish businesses. All loan beneficiaries must be tsunami
survivors, victims of conflict or the poor and disenfranchised;
must have had successful, pre-existing businesses; and must
provide evidence of an existing captive market. There is also an
affirmative action approach to extending credit to women. Furthermore, FBA‘s assessment takes into account the number of
dependents and employees of the business owner, as well as
the number of services the business owner will contract from
other small service providers. The wider the ripples of the loan
extend, washing over secondary and tertiary beneficiaries, the
greater the economic benefit to the whole community.
Forum Bangun Aceh
6
Bagaimana kami berkerja
Misi FBA dan strukturnya menggambarkan keyakinan bahwa
korban tsunami sendiri yang paling tahu mengidentifikasi kebutuhan mereka demi membangun kembali kehidupan mereka
sendiri. Dari total usaha usaha yang berada di garis pantai,
80% diantaranya telah diluluh-lantakkan oleh tsunami pada
Desember 2004 lalu. Bagi pemilik usaha dan pegawainya yang
masih hidup menunjukkan hasrat dan keinginan untuk memulai
kembali mata pencaharian mereka serta hidup yang berkecukupan. Untuk membantu usaha kecil ini dengan cara pinjaman
lunak yang ditawarkan oleh dana bergulir merupakan komitmen program livelihood FBA.
Rumusnya adalah ‘langsung’
Seorang pemilik usaha kecil, yang ingin membangun kembali
membangun atau memperbaiki usahanya, mendatangi FBA
dengan sebuah proposal yang menggambarkan kebutuhan
usaha mereka. Bila permohonan tersebut beserta anggarannya
disetujui, FBA menggunakan Dana Bergulir untuk membeli aset
yang diperlukan oleh pemilik usaha. Kemudian kedua belah
pihak menyetujui jadwal pembayaran dan suku bunga dalam
satu akad perjanjian, sesuai dengan ukuran usaha dan besarnya pinjaman, yang memperbolehkan 2 bulan grace period
(periode dimana pemilik usaha tidak perlu membayar). Pemilik
usaha setuju dengan pembayaran bulanan kepada FBA, yang
akan dialirkan ke dalam kas Dana Bergulir sehingga uang
tersebut bisa dipakai untuk membeli aset usaha selanjutnya.
Ini rumus sederhana, akan tetapi sangat berhasil.
Kriteria-kriterianya jelas
Tujuan Program Livelihood FBA adalah untuk membantu individu membangun kembali usaha mereka yang hancur karena
tsunami dan konflik. FBA menjamin pembayaran kembali pinjaman dengan menilai calon penerima secara seksama diikuti
7
Usman’s fishmongery, Ulee Lheue, Banda Aceh / Tempat penjualan ikan milik Usman
kriteria yang ketat. Seluruh penerima pinjaman haruslah korban tsunami dan konflik, pernah memiliki usaha yang pernah berhasil sebelumnya, dan harus menyediakan bukti ketersediaan pasar. Di samping
itu, ada satu pendekatan afirmatif terhadap pengembangkan kredit
oleh para wanita. Selanjutnya, FBA akan mendata jumlah tanggungan
yang dimiliki oleh pemilik usaha dan jumlah pegawai yang berada di
bawah usahanya. FBA juga akan melihat adanya keterkaitan dan
manfaat oleh usahanya kepada usaha kecil lainnya. Semakin luas
cakupan pinjaman diberikan, mencakup usaha kecil dan menengah,
semakin luas manfaatnya secara ekonomis bagi seluruh komunitas.
Forum Bangun Aceh
8
Cont‘d
Muhibbon (left) in his shop with Local Motivator Abdullah Z, Calang, Aceh Jaya
Muhibbon (kiri) di tokonya dengan seorang motivator lokal Abdullah Z, Calang, Aceh Jaya
Cutting in the middleman:
the Local Motivator
While word-of-mouth has spread the news of the good work of the
FBA in Aceh, the most effective community outreach is undoubtedly by shining example. Where people can watch a business owner in their own community gain his or her livelihood
and independence back, that example serves to encourage and
motivate others to do the same.
In the case of the FBA, this shining example is the aptly named
‗Local Motivator‘ – an FBA beneficiary who has successfully rebuilt a business, and acts as a coach and mentor to other business owners wishing to do the same.
Returning to fulfilling activity after the tsunami was as important for tsunami survivors‘ psychological lives, as it was for
9
their economic lives. Beyond earning a living, by having a livelihood once more, survivors were able to recover a sense of
hope and purpose for the future. As tsunami survivors themselves, Local Motivators more than understand the importance
of this dimension of the Livelihood Program.
By engaging Local Motivators who fully understand local values,
culture and economic practices, and live amongst and are
known to the beneficiaries they help, the efficiency and effectiveness of program delivery is greatly increased. Because trust
is already established and the Local Motivator also has a stake
in the business‘s success, the results are more likely to be sustainable. Local Motivators also receive training in management
and financial skills from the FBA, which they pass on to their
protégé businesses to help them stay the course of sustainable
success.
The Local Motivator is the FBA‘s key to building from within.
Team building training for Local Motivators / Pelatihan membangun kerja bagi Lokal Motivator
Forum Bangun Aceh
10
The Lokal Motivator
Sementara berita dari mulut ke mulut telah menyebar tentang
kinerja bagus FBA di Aceh. Salah satu metode penyebaran
informasi paling efektif pada masyarakat adalah dengan cara
pemberian contoh. Ketika masyarakat bisa melihat seseorang
kembali mempunyai usaha dalam komunitas mereka sendiri
yang memperoleh mata pencaharian dan terlepas dan ketergantungan. Contoh ini dapat mendorong dan memotivasi yang
lain untuk melakukan hal serupa.
Dalam kasus FBA, mereka yang memberi contoh ini lebih tepatnya disebut ‗Motivator Lokal‘ seorang usahawan FBA yang
telah berhasil membangun kembali usahanya dan kemudian
berperan sebagai pendamping untuk pemilik usaha lain yang
ingin melakukan hal yang sama.
Kembali beraktifitas setelah tsunami adalah penting bagi kehidupan psikologi korban tsunami, sama pentingnya dengan
kehidupan ekonomi mereka. Karena memperolah penFitriani (left) and new supplies, with Local Motivator Amiruddin
Fitriani (kiri) dan penyedia stok baru, beserta motivator lokal Amiruddin
11
Khairani (left) with Local Motivator Fatmawati / Khairani (kiri) beserta motivator lokal Fatmawati
ghidupan, dengan cara memperoleh mata pencaharian sekali
lagi, para korban mampu mencapatkan setetes harapan dan
tujuan masa depan. Sebagaimana korban tsunami, Motivator
Lokal sudah lebih dari mengerti tentang pentingnya dimensi
Program Livelihood.
Dengan mengikutsertakan Motivator Lokal yang benar-benar
mengerti nilai daerahnya dalam praktek budaya dan ekonomi,
dan kehidupan di antara mereka, serta mengenal baik calon
penerima manfaat, tingkat efektifitas dan efisiensi program
dapat meningkat dengan pesat. Oleh karena kepercayaan sudah lama terbangaun dan Motivator Lokal juga berperan
dalam keberhasilan usaha, hasilnya akan lebih bertahan lama.
Para Motivator Lokal juga mengikuti training skill dalam
bidang keuangan dan manajemen diadakan oleh FBA. Pengalaman dan kemampuan ini akan mereka sampaikan pada
usaha didikan mereka untuk membantu usaha-usaha ini
meraih keberhasilan jangka panjang.
Motivator Lokal merupakan kunci FBA untuk membangun dari
dalam.
Forum Bangun Aceh
12
How we are succeeding
Total number of small businesses helped: 800 (as of June 2008)
Total number of dependents helped: 4,000 (as of June 2008)
Total credit extended through the Revolving Fund: 4.2 billion rupiah
($446,500 USD)
Gender distribution of business owners helped: 28% women, 72% men
Bukti Keberhasilan Kami
Jumlah bisnis kecil menengah yang telah terbantu: 800 (per anual Juni 2008)
Jumlah dependents yang telah terbantu: 4,000 (per anual Juni 2008)
Jumlah kredit yang telah diberikan lewat Dana Bergulir: 4.2 milyar rupiah
($446,500 USD)
Distribusi gender dari pemilik bisnis yang telah dibantu: 28% wanita, 72%
pria
Isnani tailor shop, Aceh Jaya / Toko Menjahit Isnani, Aceh Jaya
13
Where we work – Wilayah kerja
Forum Bangun Aceh
14
Rohana: Drink bar and kiosk /
Kios makanan dan minuman
Age / Umur : 47
Dependents / Tanggungan : 4
Value of loan / Jumlah pinjaman : Rp 7.000.000 rupiah
($750 USD)
Loan assets : cigarettes and
beverages
Aset Pinjaman : rokok dan
barang-barang
Location : Kabong, near Krueng
Sabee, Aceh Jaya
Wilayah : Kabong, Dekat Krueng
Sabee, Aceh Jaya
15
Rohana grew up in Krueng Sabee, and for 12 years, she ran a
roadside drink bar and kiosk in a densely populated part of
Kabong, with the help of her three children. Her daily revenues
totaled about 600,000 rupiah ($64).
On the day of the tsunami, Rohana was in Medan, having left
the shop under the management of her children. On the television news, she saw pictures of the terrible damage in Banda
Aceh, but there was no information given about Calang, nor
could she reach any of her children by telephone.
She traveled by road to Meulaboh and got on a boat that carried her to Calang, from there she walked the 12 km down the
coast to where her home was. Once there, she learned that all
three of her children had died, none of her relatives were still
alive in the area, and her house and kiosk were destroyed. ―It
was all gone. There was nothing left,‖ she says quietly.
She stayed at the site of her devastated home alone. A local
man appointed to help organize relief in the wake of the disaster – Maimun – came by and gave Rohana a tent, in which she
ultimately ended up living for a full year. She realized that she
had to find some way to make money, so was she determined
to try to sell food items to the local population, as she had done
before. ―I bought a bicycle, and would pedal 2 km to Krueng
Sabee,‖ she says. She loaded up her bike with snacks and
other things that she could resell from her tent.
After a year, Rohana got a new NGO-built house, but she had
no money with which to rebuild her kiosk and badly needed to
increase her revenues. The man who had given her the tent –
Maimun – had become an FBA loan beneficiary at this point,
and was running a furniture making enterprise. He proposed
that he could help Rohana fill in the proposal, and see if she
could get a loan from FBA too. Rohana‘s proposal was successful, and FBA bought stock for her store.
Looking at her tidy, well-stocked store beside her new house, it
is hard to imagine the days when she sold what she could from
a tent. Most of Rohana‘s clients today are local residents, but
as so many of her neighbours perished in the tsunami, Rohana
Forum Bangun Aceh
16
is faced with the challenge of running a kiosk in a community with a
dramatically depleted population. Nevertheless, her revenues have
nearly attained pre-tsunami figures. ―Today my revenue is about
500,000 rupiah ($53) a day,‖ she says. Rohana runs her kiosk by herself, and likes the daily interaction with local people.
When she shows the pictures of her lost children, the tears come
quickly to her eyes, but after having her life so summarily leveled, she
can now find occasion to smile once more. Someone Rohana knows in
Meulaboh introduced her to a man who lost his wife in the tsunami,
and he and Rohana have recently married. ―Now we‘ve fallen in love,‖
she laughs. ―He‘s a nice guy.‖
Her new husband is planting a small rubber plantation in the hills that
can be seen from Rohana‘s kiosk, and having their own rubber plantation is one of her dreams for the future. And while her kiosk has a roof
and pillar supports, there are no walls along part of it. ―I want to make
it better. I would like to build some walls for my kiosk,‖ she says,
pointing.
When asked about the tent, she gestures toward the house and
smiles. ―It‘s in there,‖ she says. ―I kept it.‖
Rohana with Local Motivator Maimun / Rohana beserta motivator lokal Maimun
17
Rohana’s makeshift kiosk located in a tent after the tsunami / Kios Rohana berlokasi di tenda setelah tsunami
Rohana besar di Krueng Sabe and selama 12 tahun dia menjalankan
Kios pinggir jalan di kawasan yang padat penduduk di Kabong, dengan
bantuan tiga orang anaknya. Pendapatan harian dia adalah sekitar
Rp.600,000.
Ketika terjadi tsunami, Rohan di Medan dan tokonya ditangani oleh
anak-anaknya. Melalui berita Tv, dia melihat kerusakan yang parah di
Banda Aceh, tapi dia tidak menemukan informasi tentang Calang dan
juga dia tidak dapat menghubungan anaknya melalui telpon.
Dia kemudian pergi ke Meulaboh melalui jalan darat dan naik perahu
yang membawanya ke Calang, dan kemudian dia berjalan hingga
12km menuju ke rumahnya. Ketika dia tiba disana, dia mendapatkan
bahwa ketiga anaknya telah meninggal dan tidak ada saudara yang
masih hidup di kawasan tersebut dan rumah dan kiosnya juga hancur.
―Semua hilang. Tidak ada yang tinggal‖ katanya sedih.
Dia tinggal di samping rumahnya yang hancur. Seorang pemuda
setempat datang membantunya, namanya Maimun, dan dia
Forum Bangun Aceh
18
memberikan Rohana sebuah tenda dimana dia kemudian tinggal hingga setahun penuh. Dia sadar bahwa dia harus mencari
jalan untuk bisa mencarikan uang, jadi dia memutuskan untuk
menjual barang-barang makanan ke pada penduduk setempat,
sebagaimana yang pernah dia jalankan sebelumnya. ― Saya beli
sebuah sepeda dan mengendarainya hingga 2km ke Krueng
Sabee‖ katanya. Dia membeli barang-barang yang dapat dapat
diangkut dengan sepedanya dan dapat dijual kembali di tendanya.
Setelah setahun, Rohana mendapat sebuah rumah baru bantuan LSM, tapi dia tidak memiliki uang untuk membangun kiosknya kembali dan dia sangat membutuhkan bantuan untuk
meningkatkan pendapatannya. Pemuda yang dulu pernah
memberikannya tenda-Maimun- ternyata adalah penerima
manfaat (bantuan) dari FBA pada waktu itu dan menjalankan
usaha perabotan rumah tangga. Dia mengusulkan untuk membantu Rohana untuk mulai membuat proposal dan siapa tahu
juga bisa dapat pinjaman dari FBA. Proposal Rohana ternyata
sukses and FBA membeli barang-barang untuk kebutuhan kiosnya.
Melihat keadaan kiosnya yang penuh dengan barang disamping
rumah barunya, sulit untuk dibayangkan ketika dia mulai berjualan kembali mulai dari sebuah tenda. Sebagian besar pembeli kios Rohana adalah penduduk setempat, tapi banyak
tetangganya yang terkena dampak tsunami, Rohana harus
menghadapi tantangan yang cukup besar dalam menjalankan
usahanya di tengah-tengah penduduk yang masuk trauma akan
tsunami. Walaupun demikian, pendapatannya sekarang sudah
mendekati pendapatan ketika sebelum tsunami. ― pendapatan
saya sekarang sekitar Rp 500,000 ($53) per hari,‖ katanya.
Ketika dia melihat photo anaknya yang hilang, air mata mengucur dari matanya dengan cepat, namun setelah menjalani kehidupan yang demikian berubah, dia sekarang dapat juga
tersenyum. Seseorang yang Rohana kenal di Meulaboh mengenalkannya kepada seorang bapak yang hilang isterinya
dalam tsunami and akhirnya mereka kawin. ―sekarang kami
saling jatuh cinta‖ sahutnya tertawa. ―Dia adalah orang yang
baik‖
19
Suaminya menanam karet di bukit dan dapat dilihat dari kiosnya Rohana,
dan memiliki kebun karet sendiri merupakan salah satu mimpinya di masa
depan, sementara Kiosnya belum memiliki dinding yang memadai‘ ― saya
ingin membuatnya lebih baik‖. ―Saya akan akan membangun dinding kios
saya‖, katanya sambil menunjukkan tempat yang dimaksud.
Ketika ditanya tentang tenda, dia menunjukkan ke arah rumahnya dan
tersenyum. ―itu ada disana,‖ katanya. ―saya akan simpan.‖
Rohana with FBA Cluster Coordinator Asri / Rohana bersama Cluster Coordiantor FBA Asri
Forum Bangun Aceh
20
Murni:
Embroidered handicraft production
Produksi kerajinan bordir
Age / Umur : 37
Dependents / Tanggungan : 4
First loan value / Nilai pinjaman pertama : 2,887,500 rupiah
($310USD)
First loan assets : fabric, thread, cardboard, magnet, draftman‘s
square, canvas
Nilai pinjaman aset : pabrikan, alat-alat jahit menjahit, kanvas,
tempat menggambar
Second loan value / Nilai pinjaman kedua : Rp. 7,000,000
($750USD)
Second loan assets : embroidery sewing machine, heavy-duty
sewing machine, regular sewing machine, various fabrics and
threads, zippers, draftman‘s square, magnet, scissors, needles,
glue
21
Aset pinjaman
kedua : sama dengan yang pertama
Location / Lokasi : Baet Meusego, Aceh Besar
Murni has always lived in Baet Meusego, a village amid rice
paddy fields, located a short distance from Banda Aceh along
the road to Medan. She is married and has a four year-old son.
―First I trained as a tailor,‖ Murni says. But in 1990, she was
selected for participation in a local government training scheme
and learned the craft of embroidery for the manufacture of
handicrafts such as purses, wallets and wall-hangings. ―When I
came back from training, other women in the village paid me to
train them to do it too. Anyone who can do this craft around
here was my pupil,‖ she says proudly.
For two years, Murni commissioned work from home for a local
handicraft centre, and in 1992, she decided to take the bold
step of setting up in business for herself. She invested her own
money in fabric and thread, and produced 50 embroidered wallets. The first souvenir shop owner she approached in Banda
Aceh liked her work, and took all 50 wallets on consignment.
Murni worked on this basis for years, and was satisfied with her
expanding client base, but selling on consignment meant that
returns only came in slowly, and dictated the rate at which she
could afford to purchase materials and produce more. Her
weekly revenues at that time reached a maximum of 400,000
rupiah ($43). She had aspirations of focusing on handbag
manufacture, which demands uncommon skill, more time, and
commands higher prices.
Baet Meusego was not directly affected by the tsunami in 2004,
and Murni‘s home and family were intact when it was over, but
it destroyed the shop and business of one of her main clients.
Because Murni has a physical disability which affects her leg,
she became involved with Handicap International in Banda
Aceh after the tsunami. She did not learn of FBA by the usual
channel of a Local Motivator. Instead, Handicap International
saw the tremendous potential for growth of Murni‘s business,
and thought her business might meet FBA‘s Livelihood Program
criteria, and brought the manager of FBA‘s Livelihood Program
to meet her.
In 2006, Murni wrote a successful proposal to FBA, and received a loan of fabric and thread, and other required materials. Bulk buying meant that she got her materials for very
Forum Bangun Aceh
22
competitive prices, and she was equipped to begin producing
handbags at a faster rate. Today Murni receives cash on delivery from her faithful clients, and cannot produce enough handicrafts to take on all the would-be clients who would like to purchase her products. She now employs five of her former pupils
to work for her from their own homes on their own machines,
in order to meet her order demands.
―Now my weekly revenues total 700,000 rupiah ($75) or more,‖
Murnia says. She made double payments on her first loan from
FBA in order to pay it off quickly and applied for a second loan.
Her second proposal was successful, and three new pedaloperated sewing machines sit in her house ready to be put to
work. ―When the women are finished with the rice harvest, I
will hire more women to work on those machines here,‖ she
says.
The indicators of economic success are clear, and in 2007,
Murni also won public recognition when the Indonesian chapter
of the UN International Labour Organization (ILO) and the Indonesian Women‘s Business Association (IWAPI) named Murni
Aceh‘s top female disabled entrepreneur of the year. The
framed certificate is proudly displayed in her work area.
While at first she is shy about sharing her ambitions for the
future, with some prodding she reveals them. ―I want to increase production and the scale of the business. I would like to
build a workshop where all the women work together, and I
would supervise the workers. I‘m more interested in hiring
more women and providing them with jobs, than opening a
shop and selling the products myself.‖
23
Murni tinggal di Desa Baet Meusego, sebuah desa dengan sawah padi yang membentang terletak tidak jauh dari jalan raya
Banda Aceh-Medan. Dia menikah dan memiliki seorang putra
berumur 4 tahun. ― Dulu saya terdidik sebagai penjahit,‖ kata
Murni. Tapi tahun 1990, dia terpilih untuk berpartisipasi dalam
pelatihan bordir manufaktur dan kerajinan seperti tas gantung
dan dompet. ― Ketika saya kembali dari pelatihan, wanita lain
didesa meminta dilatih juga dan mereka membayarnya. Semua
yang bisa membuat kerajinan di daerah kami sekarang adalah
dulunya murid saya‖ katanya bangga.
Selama dua tahun, Murni bekerja dari rumah untuk pusat kerajinan setempat, dan tahun 1992, dia memutuskan mengambil
langkah besar untuk memulai bisnisnya sendiri. Dia menginvestasikan uangnya sendiri untuk memulai usaha ini dengan
menghasitkan 50 dompet. Toko penjual oleh-oleh yang pertama dia dekati suka dengan hasil kerjanya dan toko tersebut
mengambil seluruh 50 dompet tersebut secara bertahap.
Munri working on one of her handicrafts / Munri sedang menjahit motif dompet
Forum Bangun Aceh
24
Murni bekerja dengan cara seperti ini selama beberapa tahun
dan dia sebenarnya cukup puas dengan bertambahnya langganan, tapi menjual secara bertahap memberikan keuntungan
yang lambat dan membuat dia tidak dapat membeli bahan dan
tidak dapat berproduksi lebih banyak.
Baet Meusego tidak terkena dampak langsung oleh tsunami
tahun 2004, Rumahnya murni dan keluarganya tidak apa-apa
tapi toko dan bisnis salah satu langganan utamanya hancur.
Karena Murni memiliki keterbatasan pisik terutama lenggannya,
dia kemudian terlibat dengan Handicap International di Banda
Aceh setelah tsunami. Dia tidak mengetahui FBA dari jalur yang
biasanya yaitu melalui Lokal Motivator. Namun, Handicap International melihat potensi yang luar biasa dari bisnisnya Murni
dan mereka berpikir bahwa bisnisnya Murni ini dapat memenuhi kriteria program livelihood yang dijalankan oleh FBA
dan mereka memperkenalkan program manager FBA
kepadanya.
Tahun 2006, Murni mengajukan proposal ke FBA dan menerima pinjaman berupa bahan-bahan dasar untuk pembuatan
bordiran tas tradisional Aceh. Artinya dia dapat membeli bahan
-bahan pembuatan tas dalam jumlah yang besar sehingga dia
mendapatkan harga yang kompetetif dan hasilnya dapat memproduksi tas tangan dengan lebih cepat. Sekarang Murni mendapatkan uang kontan ketika memberikan produknya kepada
Munri discussing business with FBA UKM Program Manager, Razi / Munri sedang berdiskusi dengan staff FBA
25
An example of the embroidery featured on Murni’s handicrafts
kleinnya yang setia dan bahkan tidak dapat memproduksi semua permintaan yang datang. Dia sekarang mempekerjakan
lima bekas muridnya untukk bekerja untuknya dan bekerja dari
rumah mereka sendiri dengan menggunakan mesin mereka
sendiri, untuk dapat memenuhi permintaaan yang datang.
―Sekarang pendapat mingguan saya Rp 700.000 rupiah ($75)
atau lebih,‘ jelas Murni. Dia dapat membayar dua kali lebih
banyak dari yang seharusnya untuk penjaman pertamanya dari
FBA, dengan demikian dia dapat mengajukan pinjaman yang
kedua lebih cepat. Proposal keduany juga sukses dan tiga mesin jahit baru dirumahnya siap berproduksi. ― Ketika perempuan di kampung selesai panen padi, saya akan membayar
mereka untuk bekerja dengan mesin-mesin tersebut.‖ Katanya.
Indikator keberhasilan ekonomi terlihat jelas dan tahun 2007,
Murni juga berhasil mendapatkan penghargaan ketika ILO cabang Indonesia dan IWAPI menobatkan Murni sebagai Wanita
Aceh Penyandang Cacat Tersukses tahun 2007. Sertifikat yang
terbingkai terpajang dengan bangganya di tempat kerjanya.
Awalnya dia agak malu-malu menceritakan tentang ambisinya
di masa yang akan datang , dengan sedikit desakan akhirnya
dia mau juga cerita. ― Saya mau meningkatkan produksi dan
memperluas bisnis saya. Saya mau membuat sebuah balai
kerja sehingga semua wanita dapat bekerja bersama dan saya
akan mengawasi para pekerjanya. Saya tertarik untuk memperkerjakan lebih banyak lagi wanita dan memberikan mereka
pekerjaan dan kemudian membuka toko dan menjual hasil produksi sendiri.‖
Forum Bangun Aceh
26
Sarita: Restaurant /
Age / Umur : 41
Dependents / Tanggungan : 7
Value of loan / Nilai pinjaman :
Rp. 9,000,000 ($960 USD)
Loan assets: stove, kitchen
equipment, chicken, preserved
meat, spices and seasonings,
condiments, noodles, canned
drinks, cigarettes, bottled water, sugar, instant coffee
Aset pinjaman : kompor, perlengkapan dapur, ayam, daging
yang diawetkan, bumbubumbu dan perasa, kuah, mie
instan, minuman kaleng, rokok, air mineral, gula, kopi instan
Location / Lokasi : Neuheun,
Aceh Besar
27
Rumah Makan
Sarita is from Northern Sumatra province, but married an
Acehnese man and has lived in Neuheun village, about 13 km
from Banda Aceh, for the last 20 years. In 1993 she opened
her roadside restaurant adjacent to her home in Neuheun, and
enjoyed good trade from the local population, and from a
nearby training centre operated by the local government. She
hired two of her nieces to work along with her and her husband, and the restaurant earned Sarita a profit of about 50,000
rupiah ($5.50) a day.
When the 2004 tsunami hit Aceh, Sarita was attending her father‘s funeral near Medan, and relatives in Java telephoned and
said they‘d seen images of the terrible tsunami in Banda Aceh.
Sarita could not reach her family by telephone, but she had a
terrible feeling when she saw injured and dirty tsunami survivors from Banda Aceh coming into Medan.
She flew back to Banda Aceh the day after the tsunami, and
learned that one of her three sons, and her husband were at
their home about 500m from the sea when the first wave hit.
They saw the wave coming and ran up a hill to safety, but unaware that a second wave would follow, her husband went back
down the hill after the first wave subsided to gather the fish
that had washed up, and was killed by a subsequent wave. Her
son survived, as did her two other sons, who were living elsewhere at the time. Sarita‘s nieces – her employees – were at
their home in Banda Aceh when the tsunami hit, and both of
them died.
Sarita joined her sons at a nearby school where all the survivors from Neuheun had assembled, and they lived there for
three weeks. The road to a nearby market was only lightly
damaged, and some people had functioning motorbikes, so
within days they could purchase food. ―We have family who live
not far away, in another village unaffected by the tsunami, and
they sent rice and eggs,‖ she says.
Sarita‘s home and restaurant were submerged and all the restaurant equipment was damaged or lost, but the structure of
her restaurant remained largely intact. After a few weeks of
living in temporary accommodation, she and her sons returned
to live in what remained of the house and the restaurant.
Forum Bangun Aceh
28
―During that time, my family was supporting me and encouraging me to reopen the restaurant, and my brother-in-law made
necessary repairs,‖ she says. ―But without any capital, I could
not see how to begin again.‖ But she knew her relations had
their own families to support, and that for the sake of her children she had to find a means of earning an income again.
Prior to the tsunami, Sarita and her husband had been planning
building work on their house, and had ordered bricks, which
were still stacked beside the house. Sarita sold them and used
the proceeds to buy basic cooking equipment, and ingredients
to make miso soup, which she sold from her reopened restaurant. With no investment capital to buy a proper stove, dishes
and other things that were required to operate a bonafide restaurant, however, she made very limited profits at the beginning. ―Many NGOs came and asked about my difficulties and
what I needed, but no money came,‖ Sarita says.
FBA‘s Local Motivator in her area – Tgk. Maksum – heard she
needed help getting her restaurant fully operational again, and
paid her a visit. Sarita wrote the proposal, which FBA accepted,
and within a month she had the stove, other cooking equipment, canned drinks, and other goods she required. She has
since hired two relatives who support their own families, to help
her. She also buys dry cakes from a local family which produces them.
Today her business is flourishing, and Sarita doubles her
monthly loan repayments. She owns the land upon which her
home and restaurant sit, and she has plans to apply for a second loan and expand the restaurant space. ―And I would like to
add items to my menu,‖ she says. ―Like saté and fried rice.‖
She grins as she points out something else she has added to
her life: a new husband she married seven months ago, who
also works in her business.
29
Sarita berasal dari provinsi Sumatera Utara namun menikah
dengan seorang pria Aceh dan telah hidup di desa Neuheun,
kira-kira 13 km dari kota Banda Aceh selama 20 tahun terakhir.
Pada tahun 1993 ia membuka sebuah restoran di tepi jalan
berdekatan dengan rumahnya di Neuheun, dan ia menikmati
perdagangannya dengan penduduk lokal dan pusat pelatihan
milik pemerintah daerah di situ. Ia mempekerjakan dua orang
keponakannya untuk bekerja dengannya dan suaminya, dan
restoran itu pun menghasilkan keuntungan bagi Sarita sebesar
(kira-kira) Rp 50,000 ($5.50) per hari.
Ketika tsunami melanda Aceh di akhir 2004, Sarita sedang
menghadiri upacara pemakaman ayahnya di dekat kota Medan,
saat itu relatifnya di Jawa meneleponnya dan mengatakan
bahwa mereka melihat gambar-gambar tentang tsunami yang
mengerikan di Banda Aceh. Sarita tidak bisa menghubungi keluarganya lewat telepon, tetapi ia punya firasat buruk saat ia
melihat korban tsunami yang kotor dan terluka datang dari
Banda Aceh ke Medan.
Ia terbang kembali ke Banda Aceh sehari setelah tsunami dan
akhirnya tahu bahwa satu dari tiga orang anak laki-lakinya dan
suaminya sedang di rumah kira-kira 500 m dari laut ketika
gelombang pertama menghantam daratan. Mereka sempat
melihat gelombang yang akan datang dan lari ke sebuah bukit
Local Motivator Tgk. Maksum pays a visit to Sarita at her restaurant ’Pen Pal’ /
Motivator lokal tgk. Maksum mengunjungi Sarita di restorannya ‘Pen Pal’
Forum Bangun Aceh
30
untuk menyelamatkan diri, namun tanpa tahu bahwa gelombang kedua masih akan datang, suaminya turun dari bukit
setelah gelombang pertama surut untuk mengumpulkan ikan
yang terseret arus ke daratan, lalu terbunuh oleh gelombang
selanjutnya. Anak laki-lakinya selamat, begitu juga kedua anak
laki-lakinya yang lain, yang berada di daerah lain pada saat itu.
Keponakan Sarita – kedua pegawainya – sedang berada di
rumah pada waktu itu di Banda Aceh ketika tsunami menghantam dan keduanya pun meninggal dunia.
Sarita menggabungkan diri dengan anak-anaknya di sebuah
sekolah yang berdekatan di mana mereka yang berhasil bertahan dari tsunami yang berasal dari Neuheun telah berkumpul,
dan mereka tinggal di situ selama tiga minggu. Jalan menuju
pasar yang juga dekat dari situ hanya sedikit rusak dan beberapa orang punya beberapa sepeda motor yang masih berfungsi, sehingga dalam beberapa hari mereka bisa membeli
makanan. ―Kami punya relatif yang tinggal tidak terlalu jauh di
sebuah desa yang tidak terkena tsunami, dan mereka mengirim
beras dan telur,‖ ujar Sarita.
Rumah dan restoran Sarita terendam air dan semua perlengkapan restoran rusak atau hilang, namun struktur restorannya
sebagian besar masih utuh. Setelah beberapa minggu tinggal di
akomodasi sementara, Sarita dan anak-anaknya kembali untuk
tinggal di sisa-sisa tempat tinggal mereka dan restorannya.
―Saat itu, kewarga jauh saya sangat mendukung saya dan
mendorong saya untuk kembali membuka restoran itu, dan
abang ipar saya membuat beberapa perbaikan yang perlu,‖
katanya. ―Tetapi tanpa modal apapun, saya tidak bisa
memikirkan cara apapun untuk memulai bisnis itu lagi.‖ Tetapi
ia menyadari bahwa orang lain punya kewarganya sendin untuk
dihidupi, dan demi anak-anaknya ia harus menemukan cara
untuk mendapatkan pemasukan keuangan lagi.
Sebelum tsunami, Sarita dan suaminya pernah berencana untuk membangun beberapa bagian rumah mereka, dan sudah
memesan batu bata yang saat itu masih tersusun di samping
rumah. Sarita menjual batu-batu bata itu dan menggunakan
hasilnya untuk membeli perlengkapan memasak dasar dan bahan-bahan baku untuk membuat mie bakso yang ia jual di restoran yang telah ia buka kembali. Tanpa modal investasi untuk
31
membeli kompor yang bagus, piring-piring dan hal-hal lain
yang dibutuhkan untuk mengoperasikan restoran yang bisa
dipercaya, bagaimanapun, ia mampu menghasilkan keuntungan
yang sangat terbatas pada awalnya. ―Banyak LSM yang datang
dan bertanya tentang kesulitan-kesulitan saya dan apa yang
saya butuhkan, tetapi tidak ada uang yang diberikan,‖ tutur
Sarita.
Motivator Lokal FBA di areanya – Tgk. Maksum – mendengar
bahwa ia memerlukan bantuan untuk mengoperasikan restorannya lagi, lantas mengunjunginya. Sarita menulis proposal,
yang lalu diterima oleh FBA, dan dalam waktu sebulan ia telah
menerima kompor, peralatan-peralatan memasak lainnya, minuman-minuman kaleng, dan barang-barang lain yang dibutuhkannya. Sejak saat itu ia mempekerjakan dua orang relatifnya yang menghidupi keluarganya masing-masing, untuk
membantunya. Ia juga membeli kue-kue kering dari keluarga
lokal yang memproduksi kue-kue tersebut.
Hari ini bisnisnya berkembang pesat dan Sarita menggandakan
cicilan bulanan pembayaran kembali pinjamannya. Ia memiliki
sebidang tanah di mana rumah dan restorannya berlokasi dan
ia punya rencana untuk mengisi aplikasi untuk pinjaman kedua
dan mengadakan perluasan kepada restorannya.
―Dan saya ingin menambah daftar menu saya,‖ katanya.
―Seperti sate dan nasi goreng.‖ Ia tersenyum lebar sambil
menunjuk sesuatu yang lain yang telah bertambah dalam kehidupannya; seorang suami baru yang ia nikahi tujuh bulan
yang lalu, yang juga bekerja dalam bisnisnya.
Forum Bangun Aceh
32
Afterword
It has been an honour to meet all the beneficiaries who shared
their stories, and I thank them all. Alas, one slim volume cannot accommodate all the inspiring and brave accounts I heard
of rebuilding livelihoods, but the few stories told here offer a
glimpse of how the FBA is participating so successfully in the
revival of Aceh.
My time in Aceh has been short, and it is not mine to make
pronouncements upon anything, but of this I am sure: tsunami
survivors are accomplishing miracles, and many of these miracles would not be possible for them without the FBA‘s Livelihood Program.
Never before have I seen such small sums of money being used
so well, or so wisely, to achieve such far-reaching, sustainable
benefits. The FBA sprang from an impetus to help the people of
Aceh help themselves after a catastrophe of almost unimaginable scale, but, incredibly, what the FBA has actually achieved
is much more than this. It has pioneered a philosophy and a
structure for helping that not only works financially, but also
spreads the wealth around in terms of know-how, networks,
and self-belief.
The wounds of Aceh are slowly, and visibly healing three years
after the tsunami, and the FBA continues to put the enormous
amount of experience it has gained to effective use. I have
every belief that it will continue to do so for a long, long time to
come.
I am grateful to the local motivators and the staff of the FBA,
who made my volunteer experience in Aceh both an education
and an inspiration.
Jane Kubke
33
Akhir Kata
Ini merupakan sebuah kehormatan untuk bertemu dengan
setiap penerima manfaat yang telah berbagi kisah mereka dan
saya berterima kasih kepada mereka semua. Akhirnya, satu
volume tipis ini tidak akan mampu memuat semua cerita penuh
inspirasi dan keberanian yang saya dengar dari mereka tentang
membangun kembali kehidupan mereka, namun beberapa
kisah yang disajikan di sini menawarkan gambaran kecil tentang bagaimana FBA telah berpartisipasi dengan sukses dalam
kebangkitan Aceh.
Saya tidak lama berada di Aceh,dan saya tidak punya hak untuk menyatakan banyak hal, namun tentang yang berikut ini
saya pasti; mereka yang telah selamat dari tsunami sedang
menciptakan keajaiban dan kebanyakan dari keajaiban ini tak
akan mungkin terwujud tanpa Livelihood Program dari FBA.
Tidak pernah sebelumnya saya melihat sejumlah uang yang
terbatas digunakan dengan baik, atau dengan sangat bijaksana, untuk mencapai manfaat-manfaat bervisi jauh dan yang
menghasilkan semacam itu. FBA berangkat dari sebuah keuletan untuk membantu rakyat Aceh untuk kembali bangun setelah sebuah bencana yang hampir tidak bisa dibayangkan dan
mengerikan, yang bagaimanapun juga, hampir lebih tidak bisa
dipercaya lagi bahwa apa yang telah dilakukan oleh FBA telah
mencapai hasil sedemikian rupa. Hal ini telah merintis hadirnya
sebuah filosofi dan sebuah struktur untuk membantu mereka
tidak hanya dalam hal keuangan, tetapi juga menyebarkan kemakmuran dalam hal kecakapan teknik, membangun jaringan
dan kepercayaan diri dalam mencapai kemakmuran itu sendiri.
Luka Aceh terlihat sedang menyembuh pelan-pelan tiga tahun
setelah tsunami, dan FBA melanjutkan usaha mereka dengan
menempatkan pengalaman-pengalaman mereka sebagai acuan
untuk kerja yang lebih efektif. Saya yakin bahwa ini akan berlanjut seperti itu untuk waktu yang sangat panjang ke depan.
Saya berterima kasih kepada para Motivator Lokal dan staf FBA
yang telah menjadikan kerja sukarela saya di Aceh sebagai
pendidikan dan inspirasi di saat yang bersamaan.
Jane Kubke
Forum Bangun Aceh
34
FBA Team
FBA Volunteers / FBA Voluntér
Wan Putra
Potro Soeprapto
Luciana Ferrero
Robert Cowherd
Heather Foley
Amanda Ikert
Jessica Wattman
Jake Mather
Cassidy Fry
35
Ryan James
Pickard
Asha Bertsch
Stephen Lee
Therese Condit
Sharon Hughes
Jarlath Molloy
Dan Crilly
Ross Humphreys
Tamalyn Dallal
Juliette Lizeray
Bella David
Thomas Harding
Myint Kyaw
Jane Kubke
Kendartanti Subroto
Guillaume Jest
Thank You Donors / Terima Kasih Donatur
Agencia Catalana de Coorporacio al Desenvolupament
American Jewish World Service (AJWS)
Asia Crime Prevention Foundation (ACPF)
Creative Associates
Diakonie Katastrophenhilfe
Dublin Port Company
Electric Aid, UK
Force of Nature Aid Foundation (FON)
Green Grant Fund (GGF)
JANNI (Japan NGOs Network on Indonesia)
International Baccalaureate Organization of Singapore (IBO)
King Khalid Islamic College, Melbourne Australia
McKee Military Barracks, Ireland
One World Organization
PPI Gottingen Germany
The Samdhana Institute
Wahid Institute
Yayasan Bumi Kita
M. Al Arief
Eric Audard
James Beal
Therese Condit
Robert Cowherd
Tamalyn Dallal
Luciana Ferrero, Family &
Friends
Heather Foley
Paula Heavey
Jennifer Hegarty Owens
Jeff Herbert
Sharon Hughes & Family
Guy Janssen & Family
Jesse, Family & Friends
Sri Dato Sanusi Junid
Prof. Sue Kenny
Kubke Family
Stephen Lee
Juliette Yu-Ming Lizeray
Jarlath Molloy & family
Nora Newson
Ryan Pickard
Barry Potter
Retno Smith
Soeprapto family
Mark Sungkar
Prof Uri Tandmor
John Wagee
Yenny Zannuba Wahid
David Week
Bernadette Whitelum
Joe Woods
Forum Bangun Aceh is a local NGO based in Banda Aceh, Indonesia.
Our mission is to assist tsunami survivors in Aceh to rebuild their
lives through their own potential. Our education and livelihood programs are based on a philosophy of direct people-to-people assistance, enabling the community to rebuild from within.
Contact Information:
FORUM BANGUN ACEH
Jl. Soekarno Hatta No. 41, Geuce Meunara,
Banda Aceh—23237
INDONESIA
phone/fax: +62 651 45204
e-mail: info@forumbangunaceh.org
website: www.forumbangunaceh.org
Download