bab-iii-kontrol-tujuan-dan-strategi-dan-suplemen

advertisement
BAB III
TUJUAN DAN STRATEGI
Suatu perusahaan didirikan mempunyai tujuan. Tujuan setiap perusahaan akan berbedabeda. Ada kemungkinan bahwa tujuan perusahaan lebih dari satu. Namun secara umum
tujuan perusahaan dapat berupa:
Laba: bagi perusahaan yang berorientasi mendapatkan laba, laba merupakan faktor yang
penting dan biasanya menjadi tujuan utama perusahaan. Salah satu alat ukur laba adalah
return on investment
Bagi perusahaan nirlaba, laba bukan merupakan tujuan utama perusahaan namun tujuan
perusahaan pada perusahaan nirlaba lebih menekankan pada kesejahteraan umum:
1. Memaksimumkan nilai pemegang saham
2. Produktivitas
3. Posisi pasar
4. Kepemimpinan prod uk
5. Pengembangan personalia
6. Sikap karyawan
7. Pertanggungjawaban publik
8. Keseimbangan antara sasaranjangka pendek dan jangka panjang
Sistem pengendalian manajemen adalah alat untuk mengimplementasikan strategi.
Dengan demikian system pengendalian manajemen antara perusahaan yang satu dengan
perusahaan yang lain berbeda-beda karena masing-masing perusahaan mempunyai
karakteristik sendiri-sendiri. Dengan demikian system pengendalian manajemen harus
disesuaikan dengan strategi spesifik yang ada di perusahaan.
Strategi adalah rencana untuk mencapai tujuan organisasi. Perumusan strategi pada
umumnya mencakup tahap-tahap berikut:
Environmental Analysis:
Competitor
Supplier
Regulatory
Social/political
Internal Analysis:
Technology know-how
Manufacturing know-how
Marketing know-how
Distribution know-how
Logistic know-how
Opportunity and threats
indentify organization
Strengths and
weakness indentify
competitor
competencies
Fit Internal Competencies with external
opportunity
Firm strategy
Antony dan Govindarajan membedakan strategi menjadi dua yaitu strategi korporasi dan
strategi bisnis. Kedua strategi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Korporasi
Bisnis
Bisnis
Bisnis
Bisnis
Sedangkan Thompson mengklasifikasikan strategi menjadi empat kategori sebagai
berikut:
1. Corporate strategy
2. Business strategy
3. Functional strategy
4. Operational strategy
Keempat strategi tersebut di atas membentuk hirarki strategi secara berurutan dan masingmasing pimpinan pada setiap level bertanggung jawab terhadap terlaksana strategi.
Walaupun strategi pada masing-masing tingkatan berbeda tetapi masing-masing
strategi yang diterapkan pada tiap level saling mendukung tujuan. Corporate strategy
menekankan pada posisi di mana perusahaan akan bersaing, sedangkan business strategy
menekankan bagaimana perusahaan bersaing.
Corporate Level Strategy
Berkaitan dengan corporate level strategy, perusahaan dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kategori, yaitu:
High
Degree of
relatedness
Single industry
Related diversification
unrelated diversification
Low
Diversification
High
Hasil penelitian menunjukkan bahwa related diversification menempati rangking pertama
dalam strategi. Selanjutnya single business dan unrelated diversification. Hal ini karena
masing-masing manajer pada related business dapat men-share kemampuannya.
Kemampuan yang di-share-kan adalah core competencies dan mentransfer core
competencies. Core competencies yang dimaksud di sini adalah:
1. What a firm excel
2. What adds significant value for customer
Banyak perusahaan yang dapat diklasifikasikan sepanjang garis continuum sebagai
berikut:
A related diversified
A Single industry firm
An unrelated diversified
Business Unit Strategies
Business unit strategies berkaitan dengan bagaimana menciptakan dan mempertahankan
keunggulan kompetitif dalam masing-masing wilayah unggulan yang dimasuki. Strategi
bisnis tergantung pada dua aspek yang saling berhubungan yaitu:
1. Misi (apa tujuan umumnya)
2. Keunggulan kompetitif (bagaimana seharusnya unit bisnis bersaing dalam industrinya
untuk mencapai misinya)
Misi
Beberapa perencanaan model telah dikembangkan untuk membantu manajer tingkat
korporasi pada perusahaan yang terdiversifikasi untuk mengalokasikan sumber daya yang
dimiliki secara efektif.
Matrik Boston Consulting Group
Cash source
high
Star
Question Mark
Hold
Build
Cash Cow
Dog
Harvest
Divest
high
Market growth rate
Market growth rate
high
Low
Low
Low
high
Relative market share
Low
Business strategy yang perlu memperhatikan keunggulan kompetitif:
1. Industry analysis
2. Low cost
3. Differentiation
4. Value chain analysis
Suplemen I:
ANAL ISIS SWOT TINJAUAN AWAL PENDEKATAN MANAJEMEN
Sebuah Pengenalan Inovasi Program pada Sekolah Kejuman)
Gatot Subroto *)
*) StafTeknis pada Pusat Inovasi, Balitbang Diknas.
ABSTRAK
Analisa SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) telah menjadi salah satu alat
yang berguna dalam dunia industri. Namun demikian tidak menutup kemungkinan untuk digunakan
sebagai aplikasi alat Bantu pembuatan keputusan dalam pengenalan program-program barn di lembaga
pendidikan kejuruan
Proses penggunaan manajemen analisa SWOT menghendaki adanya suatu survei internal tentang
strengths (kekuatan) dan weaknesses (kelemahan) program, serta survei ekstemal atas opportunities
(ancaman) dan threats (peluanglkesempatan). Pengujian ekstemal dan intemal yang terstruktur adalah.
sesuatu yang unik dalam dunia perencanaan dan pengembangan kurikulum lembaga pendidikan.
Contoh pengembangan pendidikan menggunakan analisa SWOT, adalah suatu cara yang berguna
dalam menguji kondisi lingkungan tentang program barn yang ditawarkan suatu lembaga pendidikan.
Sebuah tinjauan atas aplikasi potensial SWOT dalam jangkauan yang luas juga merupakan tujuan dari pada
tulisan ini.
I. Pendahuluan
Lingkungan ekstemal mempunyai dampak yang sangat berarti pada sebuah lembaga pendidikan.
Selama dekade terakhir abad ke duapuluh, lembaga-lembaga ekonomi, masyarakat, struktur politik,
dan bahkan gaya hidup perorangan dihadapkan pada perubahan-perubahan barn. Perubahan dari
masyarakat industri ke masyarakat informasi dan dari ekonomi yang berorientasi manufaktur ke arah
orientasi jasa, telah menimbulkan dampak yang signifikan terhadap permintaan atas program bam
pendidikan kejuruan yang ditawarkan (Martin, 1989).
Program kejuruan pada sekolah-sekolah menengah umumnya mencakup bidang pelayanan (area
service) dalam spektrum yang luas, akan tetapi program-program sekolah kejuruan sekarang harus
dapat menyediakan program yang lebih baik daripada sekolah kejuruan maupun sekolah-sekolah
khusus (Weber, 1989). Programprogram yang ada, dan yang direncanakan untuk masa depan tanpa
memandang jenis sekolah, harns didasarkan pada pertimbangan yang seksama secara cermat tentang
kecenderungan (trend) dalam masyarakat di masa yang akan dating.
Para administrator atau pengelola sekolah kejuruan hams berperan sebagai penggagas atau
inovator dalam merancang masa depan lembaga yang mereka kelola. Strategi-strategi barn yang
inovatifharns dikembangkan untuk memastikan bahwa lembaga pendidikan akan melaksanakan
tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mendatang khusunya pada abad 21 dan
setelahnya Untuk melakukan hal ini, antara lain dibutuhkan sebuah pengujian mengenai bukan saja
lingkungan lembaga pendidikan itu sendiri tetapi juga lingkungan ekstemalnya (Brodhead, 1991).
Analisis kekuatan, kelemahan, kesempatan/peluang, dan ancaman atau SWOT (juga dikenal sebagai
analisis TOWS dalam beberapa buku manajemen), menyediakan sebuah kerangka pemikiran untuk
para administrator pendidikan dalam memfokuskan secara lebih baik pada layanan kebutuhan dalam
masyarakat.
Meskipun sebenarnya analisi ini banyak ditujukan untuk penerapan dalam bisnis, ide penggunaan
perangkat ini dalam bidang pendidikan bukanlah hal yang sarna sekali barn. Sebagai contoh, Gorski
(1991) menyarankan pendekatan ini untuk meningkatkan minat dalam masyarakat untuk memasuki
sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan khususnya sekolah kejuruan. Perangkat manajemen yang
sedianya ditujukan untuk bidang industri seringkali bisa diolah untuk diterapkan di bidang pendidikan,
karena adanya kemiripan yang fundamental dalam tugas-tugas administratif.
SWOT adalah sebuah teknik yang sederhana, mudah dipahami, dan juga bisa digunakan dalam
merumuskan strategi-strategi dan kebijakan-kebijakan untuk pengelolaan pegawai administrasi
(administrator). Sehingga, SWOT disini tidak mempunyai akhir, artinya akan selalu berubah sesuai
dengan tuntutanjaman. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menunjukkan bagaimana SWOT dapat
digunakan oleh para administrator dalam menganalisis dan memuIai pembuatan program barn yang
inovatif untuk ditawarkan dalam pendidikan kejuruan.
II. Konteks Dewasa Ini
Analisis SWOT secara sederhana dipahami sebagai pengujian terhadap kekuatan dan kelemahan
intemal sebuah organisasi, serta kesempatan dan ancaman lingkungan ekstemalnya SWOT adalah
perangkat umum yang didesain dan digunakan sebagai langkah awal dalam proses pembuatan
keputusan dan sebagai perencanaan strategis dalam berbagai terapan (Johnson, dkk., 1989; Bartol
dkk., 1991). Jika hal ini digunakan dengan benar, maka dimungkinkan bagi sebuah sekolah kejuruan
untuk mendapatkan sebuah gambaran menyeluruh mengenai situasi sekolah itu dalam hubungannya
dengan masyarakat, lembaga-Iembaga pendidikan yang lain, dan lapangan industri yang akan dimasuki
oleh murid-muridnya. Sedangkan pemahaman mengenai faktor-faktor ekstemal, (terdiri atas ancaman
dan kesempatan), yang digabungkan dengan suatu pengujian mengenai kekuatan dan kelemahan akan
membantu dalam mengembangkan sebuah visi tentang masa depan. Prakiraan seperti ini diterapkan
dengan mulai membuat program yang kompeten atau mengganti program-program yang tidak rei
evan serta berlebihan dengan program yang lebih inovatif dan relevan
Langkah pertama dalam analisis SWOT adalah membuat sebuah lembaran kerja dengan jalan
menarik sebuah garis persilangan yang membentuk empat kuadran, keadaan masing-masing satu
untuk kekuatan, kelemahan, peluang/kesempatan, dan ancaman. Secara garis besar lembaran kerja
tersebut diperlihatkan dalam lembar-l. Langkah berikutnya adalah membuat daftar item spesifik yang
berhubungan dengan masalah yang dihadapi di bawah topik masing. Dengan membatasi daftar sampai
10 poin atau lebih sedikit, untuk menghindari generalisasi yang berlebihan (Johnson, et al.,1989).
Contoh Lembaran Kerja Analisis SWOT
Potensi Kekuatan Internal (S)
Potensi Kelemahan Internal (W)
………………………………………………………
………………………………………………………
………………………………………………………
…………………………………………………
…………………………………………………
…………………………………………………
Potensi Kesempatan Eksternal (O)
Potensi Ancaman Eksternal (T)
………………………………………………………
………………………………………………………
……………………………………………………..
…………………………………………………
…………………………………………………
…………………………………………………
SWOT dapat dilaksanakan oleh para administrator secara individual atau secara kelompok dalam
organisasi. Teknik secara kelompok akan lebih efektifkhususnya dalam pengadaan struktur,
objektifitas, kejelasan dan fokus untuk diskusi mengenai strategi, sehingga tidak akan cenderung
melantur, dan bahkan akan terkena pengarnh politik atau kesenangan (interest) perseorangan yang
kuat (Glass, 1991). Sedangkan Sabie (1991) mencatat bahwa jika bekerja secara kelompok dalam
bidang pendidikan, maka akan muncul tiga sikap yang terangan-terangan dari para guru di mana
tergantung masa kerja mereka masing-masing. Guru-gum yang mempunyai pengalaman 0-6 tahun
cenderung menjadi yang paling partisipatif dan receptive akan ide-ide baru.
SWOT harus mencakup semua aspek/area berikut ini, yang masing-masing dapat mempakan
sumber kekuatan, kelemahan, kesempatan, atau ancaman, misalnya:
Beberapa contoh lingkungan internallembaga pendidikan:
1. tenaga kependidikan dan staf adminstrasi
2. ruang kelas, laboratorium, dan fasilitas sarana prasarana (lingkungan belajar)
3. siswa yang ada
4. anggaran operasional
5. program riset dan pengembangan iptek
6. organisasi atau dewan lainnya dalam sekolah
Beberapa contoh lingkungan eksternal lembaga pendidikan:
1. tempat kerja yang prospektif bagi lulusan
2. orang tua dan keluarga siswa
3. lembaga pendidikan pesaing lainnya
4. sekolah/lembaga tinggi sebagai persiapan lanjutan
5. demografi social dan ekonomi penduduk
6. badan-badan penyandang dana
III. Survei Internal tentang Kekuatan dan Kelemahan
Secara historis, para administrator berupaya menarik minat siswa agar memasukilmemlih
program yang ada pada lembaga pendidikan mereka dengan cara meningkatkan promosi dan iklan
tanpa memperhatikan kelemahan dan kekuatan lembaga pendidikan yang mereka kelola Apabila,
keadaan audit internal seperti ini dilaksanakan, maka akan timbul area/aspek yang menghendaki
beberapa perubahan. Lebih dari itu, potensi dan kemungkinan-kemungkinan akan adanya service dan
program-program inovasi barn bisa juga muncul. Dengan membuat seluruh daftar tentang kelemahan
internal maka akan tampak arealaspek yang bisa diubah guna untuk memperbaiki kinerja lembaga
pendidikan, termasuk segala sesuatunya yang berada di luar jangkauan kontrol. Contoh mengenai
kelemahan inheren adalah cukup banyak. Misalnya sebagai berikut: moral staf adminstrasi dan staf
pengajar yang rendah; bangunan infrastruktur yang kurang memadai; fasilitas sarana prasarana, serta
laboratorium di bawah standar; langkanya sumber-sumber daya instruksional; dan termasuk lokasi
lembaga pendidikan tersebut.
Sedangkan kekuatan yang ada perlu juga didaftar, sebagai contoh kekuatan potensial dapat
berupa: (a) pembebanan biaya pendidikan yang rasional terhadap siswa; (b) tenaga pengajar yang
berdedikasi dan bermoral tinggi; (c) akses dengan lembaga pendidikan lanjutan atau universitasuniversitas yang lain, dimana siswa dapat mentransfer kredit mata pelajaran yang telah diperoleh; (d)
reputasi yang baik dalam menyediakan pelatihan yang diperlukan untuk memperoleh pekerjaan; dan
(e) perbedaan populasi siswa.
Penaksiran kekuatan dan kelemahan juga bisa dilakukan melalui survei, kelompok-kelompok
fokus, wawancara dengan mood dan bekas mood, dan sumber-sumber lain yang dapat dipercaya.
Begitu kelemahan dan kekuatan tergambar, maka akan memungkinkan untuk mengkonfirmasi itemitem tersebut. Harns dimathumi bahwa persepsi yang berbeda-beda bisa timbul, tergantung pada
kelompok-kelompok representatif yang dihubungi dan dimintai pendapatnya.
IV. Survei Ekstemal tentang Ancaman dan Kesempatan
Gambaran ekstemal bersifat komplementer terhadap self-study internal di dalam analisis SWOT.
Pengaruh-pengaruh nasional dan regional seperti masalah-masalah lokal dan negara adalah yang
paling penting dalam memutuskan program barn apa saja yang perlu ditambah atau program yang
sudah ada dan perlu dimodifikasi atau diganti. Gilley dkk. (1986) menetapkan sepuluh dasar-dasar
institusi yang "on-themove" (sedang maju), salah satunya adalah kemampuan institusi atau lembaga
untuk menjaga pengawasan yang lebih dekat atas masyarakat. Tidak hanya administrator saja yang
harus mengawasi masyarakatnya, namun mereka juga rnemainkan perananan kepemimpinan dengan
memberikan isu-isu itu yang berkaitan secara langsung maupun tidak.
Informasi tentang iklim dan trend bisnis yang ada, perubahan penduduk, dan jumlah pegawai
serta tingkat lulusan sekolah menengah harns dipertimbangkan dalam tahap studi pengembangan ini.
Sejumlah sumber informasi harns diliput, tidak hanya terbatas kepada pengurus sekolah saja,
melainkan termasuk orang tua siswa, tokoh masyarakat, surat kabar, majalah, jumal pendidikan,
dewan penasehat, duma industri, dan lainnya. Sehingga masing-masing dapat merupakan sumber
potensial sebagai informasi yang sangat berharga.
Ancaman harns dikenali, sebab ancaman dapat berwujud dalam berbagai bentuk. Besarnya anggaran
pendidikan yang terbatas dianggap suatu peraturan daripada dianggap sebagai suatu pengecualian.
Anggaran pemerintah umumnya diperuntukkan pada usaha pengembangan pendidikan yang tidak
bersifat khusus, sehingga mempunyai dampak atas pelaksanaan program dengan anggaran-tinggi.
Terbatasnya industri/dunia kerja untuk menyerap tenaga kerja sebagai keluaran pendidikan. Lembaga
pendidikan lain yang sejenis atau perguruan tinggi telah lebih dulu membuat beberapa program barn
untuk menarik siswa lebih banyak atas program yang sarna. Di sarnping juga, menurunnya jumlah
lulusan sekolah menengah dapat menimbulkan suatu ancaman dengan adanya berkurangnya
permintaan siswa terhadap program yang telah direncanakan.
Adanya suatu perubahan kesadaran atau pola pikir masyarakat akan menciptakan kesempatan
potensial untuk memberikan isu-isu barn dengan jalan memberikan layanan pendidikan yang lebih
bermutu dan berkualitas. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan yang bersifat global, juga
mempunyai areallaspek kesempatan. Industri atau bisnis barn apa yang dapat muncul di masa akan
datang, dengan mencari siswa lulusan pendidikan kejuruan berketrampilan serta terlatih baik.
Harus dipahami juga bahwa kesempatan dan ancaman tidak absolut sifatnya. Apa yang pertamatama nampak akan menjadi suatu kesempatanlpeluang, mungkin tidak muncul bila dikaitkan dengan
sumber-sumber daya atau harapan masyarakat. Makin banyak sumber daya atau harapan masyarakat,
maka makin besar pula tantangan dalam menggunakan metode analisis SWOT, sehingga
memungkinkan untuk membuat penilaian yang benar dan tepat serta lebih menguntungkan baik
secara institusi maupun lingkungan masyarakat. Dalam lembar-2 dan 3 menggambarkan sebuah
contoh penggunaan lembaran kerja analisis SWOT.
Lembar-2
Contoh Penggunaan Analisis SWOT Sebagai Pertimbangan Kelayakan Dalam Memulai
Pembuatan Sebuah Program Teknologi Laser
Menimbang: lembaga pendidikan kejuruan teknik kemasyarakatan perlu menambah beberapa
program baru yang inovatif
Mengingat: selama masa brainstorming sebelumnya, muncul beberapa ide dan sebuah program
dalam teknologi laser yang dikembangkan oleh yayasanllembaga pendidikan dan tenaga pengajar
lain. Kerja sarna dengan sebuah kelompok yang dipilih dari tenaga pengajar bisa memenuhi dan
melakukan analisis SWOT untuk membantu mengembangkan strategi pengembangannya.
Contoh poin-poin berikut yang mungkin muncul dalam lembaran kerja:
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
Potensi Kekuatan Intemal (S)
Perangkat elektronik yang ada dan program elektrik dapat
menyediakan beberapa dasar yang diperlukan untuk
sebuah program teknologi laser
Tenaga pengajar yang antusias dan berminat untuk
memperoleh pengetahuan dan latihan lebih jauh dalam
bidang laser
Dana yang cukup untuk diinvestasikan dalam programprogram teknologi tinggi
Pengalaman masa lalu yang sukes dengan program barn
yang dinamis, sehingga mempunyai keahlian dan
pengalaman dalam menghadapi perubahan
Potensi Kesempatan Eksternal (O)
Beberapa rumah sakit, industri logam, dan perusahaan
komunikasi mengalami kekurangan akan teknologi laser
Permintaan dunia usaha dan negara secara keseluruhan
akan teknologi laser diperkirakan meningkat dalam 10
tahun ke depan
Antusiasme guru-guru dan siswa sekolah menengah
tentang program yang ditawarkan dan sangat
memungkinkan dilakukannya pemilihan atau penyaringan
terhadap siswa terbaik.
Teknolog laser dalam bidang rumah sakit dan industri
telah menawarkan keahlian mereka secara part-time
1.
2.
3.
Potensi Kelemahan Intemal (W)
T enaga pengajar yang ada kurang teram-pil dalam
penguasaan teknologi laser
Kurangnya ruangan untuk menampung peralatan ekstra
tambahan yang dibutuhkan
Situasi keselamatan, tidak cocok untuk mengatasi potensi
bahaya seperti laser
4.
Sebuah faksi di dalam lembaga Lebih sebuah program
teknologi mikroprosessor daripada teknologi laser
1.
2.
3.
4.
Potensi Ancaman Eksternal (T)
Lembaga pendidikan sejenis di negara tetangga telah
memimpin dan memiliki infrastruktur untuk memulai
sebuah program teknologi laser lebih cepat
Program dimungkinkan tidak mendapat persetujuan dari
dewan karena mengingat pengalaman sebelumnya
tentang 'kegagalan' yang pernah terjadi
Beberapa altematif lebih murah dan efisien dari
perangkat laser yang muncul akan memberikan masa
depan yang tidak prospektif bagi teknolog laser
Siswa sekolah lebih menunjukkan preferensi pada
program- program bisnis daripada program-program
teknik
V. Kelemahan SWOT
Pada umumnya SWOT hanya mencerminkan pandangan seseorang atau kelompok, dimana hanya
mencerminkan keberpihakan dalam menilai tindakan yang telah ditentukan sebelumnya, daripada
digunakan sebagai alat untuk menemukenali kemungkinan-kemungkinan peluang barn. Hal penting
yang perlu perhatikan bahwa kadang-kadang ancaman juga dapat dipandang sebagai kesempatan,
tergantung orang atau kelompok yang terlibat. Ada pepatah yang menyatakan, "Seorang yang pesimis
adalah orang yang melihat kegagalan di dalam suatu kesempatan, dan seorang yang optimis adalah
orang yang melihat kesempatan di dalam suatu kegagalan. "Dalam contoh lembar-2, kesempatan
yang diberikan para ahli dalam industri untuk melatih siswa, mungkin dianggap oleh sebagian anggota
lembaga pendidikan (pengajar dan stat) sebagai suatu ancaman terhadap posisi atau pekerjaan mereka
sendiri.
SWOT memungkinkan sebuah institusi untuk mengambil cara yang singkat daripada melakukan
sebuah penelitian khusus kekuatannya yang sesuai dengan kesempatan, sehingga mengabaikan
kesempatan yang tidak dirasakan. Metode yang lebih proaktif dalam identifikasi kesempatan/peluang
adalah paling menarik, barn kemudian merencanakan dan menemukembangkan strategi institusi
untuk memenuhi kesempatan-kesempatan tersebut. Hal ini akan menciptakan strategi efektif,
menurut Glass (1991), dalam menghadapi tantangan, daripada sekedar menemukan kekuatan yang
ada dan kesempatan yang dipilih untuk dikembangkan kemudian.
VI. Penutup
Analisa SWOT merupakan sebuah alat analisis yang cukup baik, efektif, dan efisien serta sebagai alat
yang cepat dalam menemukenali kemungkinan-kemungkinan yang berkaitan dengan pengembangan
awal program-program inovasi barn di dalam sekolah kejuruan, disamping dapat digunakan sebagai
alat pengambilan keputusan dalam organisasi atau komite bahkan individu. Juga sebagai alat bantu
untuk memperluas dan mengembangakan visi dan misi suatu organisasi. Analisa SWOT dapat melihat
seluruh kemungkinan perubahan masa depan sebuah institusi melalui pendekatan sistematik melalui
proses instropeksi dan mawas diri ke dalam, baik bersifat positif maupun negative.
Makna dan pesan yang paling mendalam dari analisa SWOT adalah apapun cara-cara serta
tindakan yang diambil, proses pembuatan keputusan harus mengandung dan mempunyai prinsip
berikut ini; kembangkan kekuatan, minimalkan kelemahan, tangkap kesempatan/peluang, dan
hilangkan ancaman.
Penggunaannya agar lebih efektifhendaknya analisa SWOT harns bersifat fleksibel. Mengingat
situasi dan kondisi yang cepat berubah seiring dengan berjalannya waktu, maka analisis harus sesering
mungkin dibuat dan disesuaikan. SWOT sangat praktis dan tidak boros terhadap waktu, serta
efektifkarena kesederhanaannya. Dapat digunakan secara kreatif, sehingga membentuk dan
membangun fondasi, dimana dapat menciptakan sejumlah rencana strategis untuk pengembangan
programprogram baru di sekolah kejuruan khususnya, semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Bartol, K.M., & Martin, D.C., (1991), Management, New York: McGraw Hill, Inc
Broadhead, C.W., (1991), Image 2000: A Vision for Vocational Education. To Look Good, We've got to Be
Good.
Vocational
Education
Journal,
66(1),
22-25.
Crispell, D., (1990), Wokers in 2000, American Demographics, 12(3),36-40
Gilley, 1W., Fulmer, K.A., & Reithlingschoefer, S.1., (1986), Searching for Academic Excellence: Twenty
Colleges and Universities on the Move and Their Leaders. New York: ACE/Macmillan
Glass, N.M., (1991), Pro-active Management: How to Improve Your Management Performance. East
Brunswick, NJ: Nichols Publishing
Gorski, S.B., (1991), The SWOT Team-focusing on Minorities. Community, Technical, and Junior College
Journal, 61(3), 30-33
Johnson, G., Scholes, K., & Sexty, RM., (1989), Exploring Strategic Management, Scarborough, Ontario:
Prentice Hall
Martin, W.R, (1989), Handbook on Marketing Vocational Education. Westerville: Ohio State Council on
Vocational Education
Sabie, A., (1991), The Industrial Arts/Technology Education: A Supervisor's Perspective. The Technology
Teacher, 51(2), 13-14
Weber, 1M., (1989). Variation in Selected Characteristics Across Three Type of High Schools that Offer
Vocational. Journal of industrial Teacher Education, 26(4), 5-37
Suplemen II:
Institutional strategy.
Author/s: Thomas B. Lawrence
Issue: March-April, 1999
Sumber: http://www.findarticles.com/cf_dls/m4256/2_25/54824257/p5/article.jhtml?term=
Introduction
Over the past decade, management research has increasingly paid attention to the manner in
which organizations work to influence and shape their environments. From such diverse
perspectives as strategic management (Hamel & Prahalad, 1989; Porter, 1991), institutional
theory (DiMaggio, 1988; Oliver, 1991), entrepreneurship (Aldrich & Fiol, 1994), and even
organizational ecology (Baum & Oliver, 1991), researchers are arguing that organizations actively
participate in the social construction of their environments. These perspectives do not, however,
suggest that managers have an unconstrained ability to make strategic choices. Rather, these
divergent approaches are converging on ah appreciation for the interplay of social structure and
agency, or even their mutual constitution, rather than the dominance of one over the other
(Barley, 1986; Pentland, 1992; Ranson, Hinings, & Greenwood, 1980). Thus, a central issue for
management research has become the manner in which organizational environments ate
constituted, reproduced and transformed through organizational action and relationships.
Institutional theory (Meyer & Rowan, 1977; Powell & DiMaggio, 1991) has contributed to this
discussion largely through its explanation of the processes by which legitimated forms of
organizing become dominant within an organizational field (DiMaggio & Powell, 1983; Hinings &
Greenwood, 1988). Central to institutional theory is its emphasis on the manner in which
organizations adopt structures, procedures, or ideas based, not on "efficiency," but rather on
external definitions of legitimacy (Meyer & Rowan, 1977). Recent reviews of institutional theory
(DiMaggio & Powell, 1991; Greenwood & Hinings, 1996; Scott, 1994) distinguish between old
and new streams of institutional theory. The old institutionalism emphasizes issues of conflicting
interests and values, and power and influence at the local community level (e.g., Selznick, 1949,
1957). In contrast, the new institutionalism is associated with a focus on routines, scripts and
schemas. In the new institutionalism, action is oriented toward habit and produces isomorphism,
where pressures for conformity within a field result in sets of homogeneous organizational forms
(DiMaggio & Powell, 1983, 1991).
The new institutionalism has focused on conformity and isomorphism to such an extent that
DiMaggio has argued that it:
provides a one-sided vision of institutional change that emphasizes taken-for-granted,
nondirected, nonconflictual evolution at the expense of intentional (if boundedly rational),
directive, and conflict-laden processes that define fields and set them upon trajectories that
eventually appear as "natural" development (DiMaggio, 1991: 268)
This paper is an attempt to counter this narrow vision of institutional processes by highlighting
the importance of both politics and routine in the structuring of organizational fields. Thus, the
position I develop here follows recent theoretical arguments that emphasize the growing
convergence of old and new institutional theories (Greenwood & Hinings, 1996; Scott, 1994) in
what has been referred to as "neo-institutionalism" (Greenwood & Hinings, 1996: 1022). If the
symbolic elements and attention to power associated with the old institutionalism can be
brought together with the new institutionalism's cognitive insights and attention to legitimacy,
institutional theory can provide an excellent foundation for understanding the relationship
between organizations, their strategies and their institutional contexts (Dougherty, 1994;
Greenwood & Hinings, 1996).
This paper contributes to the development of a broader institutional theory in three ways. First,
it develops a theoretical framework that sketches the contours of institutional strategy patterns of action that are concerned with managing the institutional structures within which
firms compete for resources. While the processes by which organizations adopt institutionally
legitimated forms and practices have been examined extensively (e.g., Hinings & Greenwood,
1988; Tolbert & Zucker, 1983), relatively little attention has been paid to the organizational work
of sponsoring new practices or transforming existing institutions (DiMaggio, 1991; Oliver, 1991;
Powell, 1991). Where the concept of strategy has been connected to institutional processes, it
has focused primarily on organizations' strategic responses to institutional pressures (Oliver,
1991), rather than the manner in which they bring about those pressures. In contrast, this paper
examines institutional processes and structures from the perspective of those managers and
organizations concerned with constructing new institutions, and dismantling or transforming
existing institutions.
The second major contribution of this paper is to delineate the conditions that foster the
development of institutional strategy. The potential for organizational actors to manage
institutional structures depends both on the nature of the institutional context and on the
resources held by the interested actors. The institutional context can be more or less conducive
to active engagement by organizations depending on the degree to which the rules and
relationships that characterize it are taken-for-granted or supported by intractable social
mechanisms (Jepperson, 1991). The resources necessary to enact institutional strategy differ
from those associated with competitive strategies: institutional strategy demands the ability to
articulate, sponsor and defend particular practices and organizational forms as legitimate or
desirable, rather than the ability to enact already legitimated practices of leverage existing social
rules.
The third major contribution of this paper is the empirical examination of institutional strategy in
action. The inspiration and empirical foundation for this paper is the set of strategies engaged in
by accountants as they develop and legitimate new services in the Canadian professional
accounting industry. In this paper, I examine the strategies associated with the development of
forensic accounting, which began in Canada in the mid 1970s but only began to grow
significantly in the late 1980s. Institutional strategies have been critical to the success of forensic
accounting in Canada as individuals, firms, and professional associations have worked to
legitimate and institutionalize particular practices, skills, abilities and credentials.
This paper is presented in three major sections. In the first section, I outline a theoretical
understanding of the institutional structures (DiMaggio & Powell, 1983, 1991; Meyer & Rowan,
1977) that provide the strategic context. Here, I draw on social constructionism (Berger &
Luckmann, 1966) and structuration theory (Giddens, 1984) to develop a conceptualization of
institutional rules and organizational fields that highlights their pragmatic nature and the
manner in which they are constructed in language. In the second section, I develop the concept
of institutional strategy. I argue that there ate two forms of institutional strategy that differ with
respect to the types of institutional rules at which they are directed, and that these different
forms are associated with specific contextual conditions and resource requirements. I then draw
on a study of the Canadian forensic accounting industry to provide an extended example of the
forms and dynamics of institutional strategy. In the final section, I examine the implications of
the concept of institutional strategy for theory and practice.
Institutional Structures
The conceptualization of institutional structures utilized here relies on an understanding of
reality as socially constructed and enacted in discourse (Berger & Luckmann, 1966; DiMaggio &
Powell, 1991; Meyer & Rowan, 1977). From this perspective, a key feature of institutions is their
pragmatic orientation (Berger & Luckmann, 1966): social actors draw on institutionalized
knowledge as a resource in their day-to-day lives. The practical orientation of everyday life is
elaborated in Giddens' (1984) structuration theory, which argues for the centrality of "practical
consciousness" in the negotiation of everyday life by knowledgeable actors:
The vast bulk of the 'stocks of knowledge' in Schutz's phrase . . . is not directly accessible to the
consciousness of actors. Most such knowledge is practical in character: it is inherent in the
capability to 'go on' within the routines of social life. (Giddens, 1984: 4).
Structuration theory suggests that the ability to "go on" within social routines, to enact social
practice, requires knowledge in the form of rules: "these rules can be seen to structure, to give
shape to, the practices that they help organize" (Cassell, 1993: 10). Rules, from this perspective,
ate understood as "techniques or generalizable procedures applied in the
enactment/reproduction of social practices" (Giddens, 1984: 21).
At the organizational level, Meyer and Rowan (1977) argue that "organizations are driven to
incorporate the practices and procedures defined by prevailing rationalized concepts of
organizational work and institutionalized in society" (Meyer & Rowan, 1977: 340). The
environment in this conceptualization supplies the organization with institutionalized rules or
"reciprocated typifications" (Meyer & Rowan, 1977: 341). These rules "define new organizing
situations, redefine existing ones, and specify the means for coping rationally with each" (Meyer
& Rowan, 1977: 344). "Coping rationally" from this perspective means being able to explain
one's actions to another actor. To do so, organizations draw on "prevailing rationalized
concepts" - those concepts (terms, knowledge) which are deeply embedded in a network
associated with a particular organizational form or purpose. Thus, institutional theory shifts the
understanding of knowledge away from common-sense notions of transparency and truth
(Weedon, 1987) to a concern for its social and historical accomplishment. The notions of
institutionalized rules and reciprocated typifications describe knowledge that is actively
achieved: rules must become institutionalized through action over time; beliefs must become
typical as they are reciprocated among a network of actors. Ah institutional approach focuses on
these processual aspects of knowledge; rules are enacted not divined.
The properties of language are such that institutionalized rules become structured within
"domains of meaning" (Berger & Luckmann, 1966) - fields of activity within which a common
language and social structure develop. At an organizational level, we refer to such domains as
"organizational fields," defined as "recognized areas of life" (DiMaggio & Powell, 1983) that
comprise sets of subject positions bound together by institutionalized rules and standards
(Bourdieu, 1993; Jepperson, 1991). Legitimacy in ah organizational field is predicated on ah
actor's understanding of and conformity to these rules, much like competency in ah individual' s
daily life is judged by his or her ability to negotiate everyday social situations (Goffman, 1967).
The structuring of an organizational field is of practical and strategic importance to its members.
In professional services, for instance, the definition of the industry is critical to its ongoing
profitability; it is the regulatory and cultural exclusion of lay people that protects the status and
incomes of professionals (Abbott, 1991). Since industry boundaries act as lines of fiscal, as well
as professional, demarcation, lawyers, doctors and professional accountants have vested
interests in their industry definitions.
Membership Rules and Standards of Practice
To maintain legitimacy in an organizational field, I argue that actors require practical roles that
respond to at least two questions: "Where can I go?;" and, "What can I do?" The first question
relates to the institutionalized boundaries which delimit our entry into particular forms of life, to
roles of membership, and the meanings attached to that membership (Clegg, 1989; Douglas,
1973). These boundaries might be based on culture, race, gender, profession, relationships or
any other divisive category. Although the concept of membership has not been prominent in the
theoretical development of institutional theory, it is central to the general concepts of
institutions and, especially, fields. According to Bourdieu, fields "present themselves
synchronically as structured spaces of positions" (Bourdieu, 1993: 72). Thus, an analysis of
subject positions, of membership, is essential to an understanding of the dynamics of
organizational fields.
One way in which rules of membership can become entrenched is in the formation of networks
of interested parties: "Certain fixtures of meaning are privileged, certain membership categories
are aligned with these meanings and, consequently, a specific organizational field . . . is
constructed" (Clegg, 1989: 225). Rules of membership define organizational fields that include
actors who are connected through some form of direct interaction, as well as those who are
structurally equivalent (DiMaggio & Powell, 1983). DiMaggio and Powell (1983: 148) argue that
the development of organizational fields is marked by four phenomena:
ah increase in the extent of interaction among organizations in the field; the emergence of
sharply defined structures of organizational domination and patterns of coalition; an increase in
the information load with which organizations in a field must contend; and the development of a
mutual awareness among participants in a set of organizations that they are involved in a
common enterprise.
Interactions, structures of domination, and information shared among actors engaged in a
common enterprise are organized by membership roles that delineate institutional boundaries
and the principles of differentiation employed within those boundaries (Douglas, 1973).
The second question - what can I do? - asks what the standards of practice are within an
organizational field: once I am allowed into a particular domain of life, how am I expected to
cope with its uncertainties, deal with the other actors I find there, and produce whatever tokens
of value and meaning are demanded of me (Clegg, 1989; Hinings & Greenwood, 1988; Meyer &
Rowan, 1977). Standards of practice provide guidelines, norms and legal prescriptions relating to
how practices are to be carried out within some determinate institutional setting. Spender
(1989) draws on Schutz (1967) and Berger and Luckmann (1966) to argue that an industry is
associated with a set of standards that acts as an "industry recipe," which is: "a guide to action,
not an abstraction. It assumes correspondence rules which tie it to a specific context or universe
of action" (Spender, 1989: 62). Standards of practice go beyond "common sense" in that they
represent the specialized knowledge associated with membership in a distinct area of life
(Giddens, 1984; Spender, 1989).
Institutional Structures and Organizational Action
The importance of membership rules and practice standards in an organizational field does not,
however, imply that organizational action is rule-determined: "Rather, actors must engage in the
sometimes tricky business of 'trying on' particular formulae to see if they fit" (Cassell, 1993: 10).
The need to adapt and modify roles and standards ensures that they do not simply constrain
actors. Indeed, Giddens (1984) argues that the roles that structure our social practices are
simultaneously constraining and enabling. Drawing on language as an example, Giddens argues:
No one 'chooses' his or her native language, although learning it involves definite elements of
compliance. Since any language constrains thought (and action) in the sense that it presumes a
range of framed, rule-governed properties, the process of language learning sets certain limits to
cognition and activity. But by the very same token, the learning of a language greatly expands
the cognitive and practical capacities of the individual. (Giddens, 1984: 170)
The standards associated with an organizational field work in much the same way as Giddens
suggests that language operates, providing both constraints on behavior and opportunities for
innovation: "a grammar does not specify a fixed outcome; it defines a set of possibilities from
among which members accomplish specific sequences of action" (Pentland & Rueter, 1994: 485).
Another important commonality between language grammars and the rules and standards
associated with an organizational field involves the relationship between their enactment,
production and transformation. Giddens argues that "one of the regular consequences of my
speaking or writing English in a correct way is to contribute to the reproduction of the English
language as a whole" (Giddens, 1984: 8). Similarly, conformity with standards of practice in an
organizational field works to reproduce those standards: producing a product that meets
customer expectations or collaborating with suppliers in the expected fashion is likely to be
rewarded by customers/suppliers and simultaneously reproduce those expectations. Giddens
refers to this relationship, in which action reproduces structures, as a process of "structuration"
(1984: 25); hence, we can say that fields with high levels of structuration are those in which
organizational action largely serves to reproduce existing institutional structures (DiMaggio &
Powell, 1983).
The fundamental relationship between action and social roles implies the possibility of change,
as well as reproduction. The legitimacy of roles and practices is dependent on their continual
reproduction in social action. Consequently, institutional roles are not fixed and determined, but
rather the subject of ongoing formations and transformations by motivated actors (Clegg, 1989;
Giddens, 1984). Furthermore, institutional roles create asymmetrical power relations among the
actors involved. The roles of membership and standards of practice that structure organizational
fields reward particular strategic positions and practices while sanctioning others, motivating
those actors less privileged by existing rules to work to overcome or transform them (Bourdieu,
1993). Thus, roles and standards provide both the motivation and the means for their own
transformation.
Latihan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sebutkan tujuan-tujuan perusahaan nirlaba!
Jelaskan perbedaan antara strategi korporasi dan strategi bisnis!
Sebutkan dan jelaskan empat klasifikasi strategi menurut Thompson!
Apakah yang dimaksud dengan core competencies itu?
Jelaskan perbedaan antara Visi, Misi, Tujuan, dan Strategi!
Carilah visi, misi, tujuan dan strategi perusahaan. Analisislah visi, misi, tujuan dan
strategi perusahaan tersebut (apakah strategi yang ditempuh perusahaan sudah tepat
dalam mencapai visi, misi dan tujuannya)
7. Menurut matrik Boston Consulting Group, kapan perusahaan “menuai”?
8. Menurut saudara apa yang dimaksud dengan SWOT?
Download