MEMBANGUN KAPASITAS PONED DI PUSKESMAS PAKET INVESTASI Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health AIPMNH is managed by Coffey on behalf of the Australian Government Konteks, dasar pemikiran, hasil 1.1 Gambaran singkat Apa intervensi yang dilakukan dan bagaimana cara kerjanya? Paket investasi ini berisi serangkaian langkah dalam membangun dan mempertahankan kapasitas Puskesmas dalam memberikan Pelayanan Obstetri dan Neonatus Emergensi Dasar (PONED). Paket ini memiliki keterkaitan dengan paket investasi untuk mengembangkan kapasitas Pelayanan Obstetri dan Neonatus Emergensi Komprehensif (PONEK) di RSUD, sehingga tercipta jejaring rujukan dan dukungan pendampingan pelayanan obstetri dan neonatus terpadu. Intervensi ini dikembangkan dalam konteks provinsi NTT, dengan banyak penduduk yang tinggal di desa dan tersebar di berbagai pulau dengan wilayah yang sulit diakses. Akses ke RSUD seringkali sulit sehingga Puskesmas menjadi tempat pertama mendapatkan pelayanan emergensi obstetri dan neonatus. 1.2 Konteks dan dasar pemikiran dalam desain awal Membangun kapasitas PONED di Puskesmas yang dilengkapi ruang rawat inap memberikan akses kepada pelayanan emergensi dasar, dan bisa menjadi tempat rujukan pertama bagi Puskesmas terdekat yang tidak memiliki ruang rawat inap. Dalam konteks NTT, kesulitan dalam menarik dan mempertahankan tenaga kesehatan terlatih menjadi tantangan tersendiri terhadap upaya penyediaan pelayanan PONED di semua Puskesmas. Namun, jika ada satu Puskesmas-mampu-PONED sebagai Puskesmas satelit (yang dapat menjangkau 3–4 Puskesmas), hal ini memberi peluang untuk rujukan dari Puskesmas non-PONED dalam gugus yang sama. Pengembangan kapasitas PONED adalah bagian dari program pendanaan multi-sektor (AIPMNH) untuk mengurangi kematian ibu dan bayi. AIPMNH juga berupaya untuk menangani elemen-elemen lainnya seperti pengembangan kapasitas PONEK di RSUD, peningkatan kapasitas Dinkes di kabupaten, memperbaiki pengumpulan dan pelaporan data, pelibatan masyarakat untuk meningkatkan sisi permintaan; dan mendukung program pemerintah provinsi dalam mengurangi angka kematian ibu dan bayi (Revolusi KIA). -1- 1.3 Masalah atau kebutuhan Kebutuhan di sini adalah akses terhadap pelayanan obstetrik dan neonatus emergensi dasar, khususnya bagi masyarakat yang perlu waktu tempuh lebih dari dua jam ke rumah sakit rujukan di kabupaten. Tujuan dari pengembangan kapasitas PONED ini adalah memberikan penanganan emergensi awal dan jika mungkin, penanganan menyeluruh, penanganan pertama dan stabilisasi sebelum dirujuk ke RSUD. Upaya ini melengkapi dan mendukung upaya lain untuk meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan, dengan memberikan dukungan pelayanan bagi ibu hamil yang melahirkan di Puskesmas yang tidak memiliki kapasitas PONED. Hambatan dalam membangun kapasitas PONED antara lain: Kurangnya infrastruktur utama di fasilitas kesehatan (air, listrik, ruang yang memadai dan privasi untuk pasien) Kurangnya peralatan dan obat-obatan esensial dan pasokan seperti oxytocin dan oksigen Mutasi tenaga kunci kesehatan yang sering terjadi, khususnya dokter yang umumnya adalah dokter PTT yang dikontrak berdasarkan batas waktu tertentu Kurangnya supervisi atau akses untuk mendapatkan pelayanan dokter spesialis saat terjadi emergensi, karena dokter spesialis tidak berada di tempat atau sibuk di RSUD Tempat tinggal anggota tim PONED jauh dari Puskesmas sehingga tidak bisa merespons cepat saat terjadi kasus emergensi Tingkat kepadatan penduduk yang relatif rendah dan kasus yang jarang terjadi sehingga sulit untuk mempertahankan keterampilan yang telah diperoleh Kurangnya kemampuan RSUD dalam memberikan pelatihan dan pendampingan kepada Puskesmas PONED -2- 1.4 Tujuan Mengembangkan dan mempertahankan kompetensi tim PONED yang terdiri dari paling kurang satu dokter, dua bidan dan dua perawat, untuk menangani pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar. Menyediakan infrastruktur, peralatan, pasokan dan obat-obatan serta menjamin ketersediaannya dalam memberikan pelayanan PONED. Memberikan dukungan dan supervisi berkelanjutan untuk mempertahankan kompetensi dan keterampilan tim PONED. Memberdayakan Puskesmas PONED agar bisa berfungsi sebagai elemen utama dalam jejaring rujukan ke kabupaten, terhubung dengan Puskesmas non-PONED lainnya dan RSUD. Membangun komitmen pemerintah daerah dalam mempertahankan penyajian pelayanan PONED dengan mengalokasikan anggaran dan tenaga kesehatan agar tim PONED tetap lengkap. -3- 1.5 Hasil yang dicapai 1.5.1 Evaluasi tahun 2012 Selama periode 2009 sampai 2012, AIPMNH mendukung peningkatan status 56 Puskesmas menjadi Puskesmas PONED, di 14 kabupaten. Evaluasi dilakukan pada akhir tahun 2012 di 28 Puskesmas, dengan menggunakan standar pelayanan PONED nasional; 18 di antaranya dilakukan dengan perbandingan antara baseline (2010) dan endline (2012). Perbandingan data baseline dan endline menunjukkan 17 dari 18 Puskesmas masih memiliki setidaknya satu bidan dan perawat yang terlatih PONED, tetapi hanya 10 Puskesmas yang masih memiliki dokter terlatih PONED. Sepuluh dari 18 Puskesmas tersebut menerima sertifikat penuntasan pelatihan PONED, dan 5 di antaranya mendapat SK Bupati atau Dinkes untuk menyediakan pelayanan PONED. Namun, hanya 14 Puskesmas yang memiliki air bersih dan 13 memiliki toilet, meskipun 16 dari 18 Puskesmas tersebut memenuhi standar kebersihan, meningkat dari 11 Puskesmas pada data baseline tahun 2010. Peningkatan dalam hal ketersediaan alat juga ditemukan di 17 dari 18 Puskesmas, dengan 30 item peralatan dan 26 obat-obatan esensial yang tersedia. Meski demikian, masih ditemukan ketiadaan atau kerusakan alat, dimana ada 2 Puskesmas yang kehabisan persediaan sarung tangan, dan hanya setengah dari 19 Puskesmas yang memiliki kanula. Penilaian terhadap pelayanan menunjukkan bahwa 14 dari 18 Puskesmas memberikan pelayanan emergensi 24 jam sehari, dan 12 dari 18 Puskesmas memberikan pelayanan emergensi sesuai SOP. Hasilnya, di 18 Puskesmas terjadi peningkatan 228 kasus emergensi ibu yang ditangani (164-nya adalah perdarahan post-partum), dan 187 peningkatan kasus emergensi neonatus (110-nya adalah asfiksia). 1.5.2 Perkembangan selanjutnya Pada akhir tahun 2013, 26 dari 56 Puskesmas dukungan AIPMNH telah memiliki tim PONED lengkap; sedangkan pada akhir 2014, 28 Puskesmas masih memiliki tim PONED yang lengkap. Halangan utama dalam mempertahankan tim PONED adalah ketiadaan dokter yang bersertikat PONED, karena para dokter pengganti kurang terlatih PONED. Namun, Puskesmas dengan tim yang tidak lengkap masih memberikan pelayanan emergensi dasar sesuai kewenangan sebelum dirujuk ke rumah sakit. -4- Penelitian mengenai penanganan komplikasi di 8 Puskesmas PONED dan 8 Puskesmas non-PONED di 4 kabupaten pada bulan April-Mei 2015 menemukan bahwa Puskesmas PONED menangani 36% komplikasi obstetrik dan 60% komplikasi neonatus, sedangkan Puskesmas non-PONED hanya menangani 2% komplikasi obstetrik dan 36% komplikasi neonatus. Puskesmas PONED juga menangani 70% kasus obstetrik dan 79% kasus neonatus secara tepat sesuai standar; sedangkan Puskesmas non-PONED tidak memberikan penanganan pra-rujuk secara tepat untuk lebih dari 50% kasus obstetrik dan 75% kasus neonatus. Di sini jelas terlihat manfaat dari pengembangan dan pemeliharaan Puskesmas PONED. 1.6 Organisasi yang terlibat: syarat dan peran P2KS (Pusat Pelatihan Klinis Sekunder) di tingkat provinsi. Staf P2KS telah diakreditasi oleh Jaringan Nasional Pelatihan Klinis (JNPK) untuk memberikan pelatihan bagi tim-tim PONED. P2KP (Pusat Pelatihan Klinis Primer). Staf P2KP bisa memberikan supervisi klinis dan magang kepada tim PONED agar dapat mempertahankan keterampilan mereka. Untuk itu, RSUD perlu memiliki dokter spesialis obgyn dan anak, dan staf P2KP (dokter, perawat dan bidan) telah menyelesaikan pelatihan sebagai fasilitator di P2KS. Pemerintah kabupaten. Memberi pengakuan hukum untuk setiap Puskesmas PONED dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bupati. SK ini memberi kekuatan hukum kepada Puskesmas untuk memberikan pelayanan PONED. Pemerintah kabupaten juga harus menyediakan alokasi tambahan anggaran untuk peralatan PONED, pasokan dan obat-obatan esensial serta memastikan penempatan lima orang anggota tim PONED. Dinas Kesehatan Kabupaten. Bidan koordinator atau Bikor. Bikor membutuhkan pelatihan setingkat instruktur klinis (clinical instructor) untuk melakukan supervisi klinis berkelanjutan kepada tim PONED dan memastikan bahwa standar mutu tetap dipertahankan. Organisasi profesi bertemu secara rutin untuk melakukan pengawasan klinis, melihat kembali prosedur operasional standar, dan mengawasi kualitas pelayanan. -5- 5 1.7 Isu-isu kontekstual Adanya permintaan dan kemauan dari masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan Pemerintah kabupaten menyadari perlunya perbaikan pelayanan di tingkat Puskesmas dan menyiapkan pendanaannya Organisasi prosesi di daerah setuju untuk berpartisipasi dalam program pengembangan kapasitas PONED P2KS dan dokter spesialis di RSUD siap untuk mendukung program ini dengan membantu memberi pelatihan dan melakukan evaluasi Secara umum terdapat komitmen kebijakan, seperti Revolusi KIA, yang merupakan panduan bagi pemerintah daerah dalam memastikan ketersediaan fasilitas yang memadai agar ibu hamil bisa melahirkan di fasilitas kesehatan -6- 55 Desain intervensi dan pelaksanaan 2.1 Elemen-elemen intervensi 1 Sebuah tim yang terdiri dari Dinkes Provinsi, organisasi profesi, dan Dinkes Kabupaten mengidentifikasi Puskesmas PONED. Kriteria: infrastruktur yang memadai (rawat inap); SDM yang cukup, berkomitmen untuk melaksanakan pelatihan dan menyajikan pelayanan pascapelatihan; letak geografis yang tepat sehingga bisa diakses oleh masyarakat, dan menerima rujukan bagi Puskesmas non-PONED yang berada dalam gugus yang sama. 2 Tim pengkaji melakukan kajian awal mengenai kualifikasi dan kompetensi dari anggota tim PONED yang diusulkan. 3 Pelatihan awal kepada lima staf dari setiap Puskesmas: 1 dokter, 2 bidan, 2 perawat di P2KS. 4 Satu pelatihan untuk 10 peserta atau 2 Puskesmas selama 14 hari; 6 hari untuk teori dan praktik di kelas, dilanjutkan dengan 8 hari praktik klinik terdampingi. 5 Evaluasi Pasca-Pelatihan (EPP) dilakukan tiga bulan setelah pelatihan untuk menentukan apakah semua peserta sudah memenuhi standar kompetensi. Evaluasi dilakukan oleh tim pelatih: dokter obgyn, dokter anak dan koordinator pelatihan. Masing-masing anggota tim dinilai dan kinerja mereka dikaji secara kelompok. Hasil evaluasi dan rekomendasi dipresentasikan kepada semua staf Puskesmas. Rata-rata 10-15% peserta tidak memenuhi kompetensi dan perlu dinilai ulang dalam tiga bulan. 6 Fasilitas dan peralatan. Banyak Puskesmas di NTT butuh renovasi, peralatan dan pasokan tambahan agar bisa memberikan pelayanan PONED. Sertifikasi PONED (SK Bupati). Setelah menerima laporan pelatihan, Dinkes Kabupaten mengusulkan dikeluarkannya SK Bupati untuk Puskesmas PONED. -7- 7 Sertifikasi PONED (SK Bupati). Setelah menerima laporan pelatihan, Dinkes Kabupaten mengusulkan dikeluarkannya SK Bupati untuk Puskesmas PONED. 8 Supervisi fasilitatif berkelanjutan dari instruktur klinis (Clinical Instructor/CI) RSUD, dan Bidan Koordinator (Bikor). CI berfokus pada kinerja tim PONED, sedangkan Bikor berfokus pada kepatuhan pada SOP ANC, INC, PNC, pascapersalinan FP, dan perawatan bayi baru lahir. Supervisi dilakukan setiap 6 bulan, dan sejalan dengan supervisi yang dilakukan oleh Bikor Puskesmas kepada bidan desa di Pustu dan Polindes. Kegiatan supervisi mencakup kajian terhadap pencatatan dan pelaporan, pembukuan register, kesiapan KIA, ruangan bersalin dan pascapersalinan serta prosedur operasional standar/SOP. 9 Magang di RSUD dilakukan setiap 3 bulan oleh semua anggota tim PONED, terdiri dari 8−10 peserta selama 8–10 hari di RSUD. Magang ini didampingi oleh dokter spesialis obgyn dan dokter spesialis anak, serta instruktur klinis. 10 Monitoring dan evaluasi (monev) dilaksanakan setiap 6 bulan oleh dokter spesialis obgyn dan anak. Pada setiap kunjungan monev, dokter spesialis bertemu dengan semua staf Puskesmas, termasuk bidan desa dari Polindes dan Pustu untuk melihat kembali penanganan semua kasus dan mencari solusi untuk isu-isu dan persoalan yang ada. -8- 2.2 Input yang dibutuhkan dan biaya Item Perkiraan biaya (Rp) dan input Pelatihan awal P2KS Rp 100 juta per pelatihan yang terdiri dari 10 peserta (durasi 14 hari) EPP Rp 20 juta untuk kunjungan 2 dokter spesialis, 2 Puskesmas dalam 2 hari Magang di RSUD Rp 25−30 juta untuk 9–10 peserta selama 8–10 hari Supervisi fasilitatif Rp 12–15 juta per kunjungan (dari kabupaten ke Puskesmas dan dari Puskesmas ke Polindes/pustu, untuk 2 Puskesmas) Kunjungan monitoring dan evaluasi oleh dokter spesialis dari P2KS Rp 20−30 juta / kunjungan (untuk 2 Puskesmas) -9- Potensi Sumber dana/ opsi untuk replikasi APBD didukung oleh SK Bupati. BPJS pembayaran untuk setiap pelayanan, sejauh ada sertifikat dan bukti terlampir. Risiko/tantangan dan cara mengatasi Mutasi tenaga kesehatan yang telah terlatih: pelatihan untuk staf baru sebelum penempatan. Pemeliharaan infrastruktur: penting untuk menyediakan air dan sanitasi yang memadai dan perlu dimasukkan dalam SK Bupati. Penggantian rutin peralatan, pasokan (termasuk oksigen), obat-obatan: memperbaiki perencanaan dan pengelolaan Puskesmas serta tingkat pendanaan yang tepat dari APBD. Etika kerja dan kapasitas manajemen: berkaitan dengan program akreditasi, PML Puskesmas dan Puskesmas reformasi. Peningkatan kualitas: Monitoring oleh RSUD dan umpan balik berkelanjutan mengenai rujukan dan penanganan komplikasi. Referensi: Buklet PONED AIPMNH Juni 2015 Laporan Evaluasi PONED 2012 Analisis dan Laporan mengenai Kompetensi Pascapelatihan 2014 dan 2015 Studi mengenai Penanganan Komplikasi 2015 www.aipmnh.org - 10 - Potential Sources of funding / options for replication APBD supported by SK Bupati BPJS reimbursement for procedures conducted, if certified and evidence of procedures provided. Risks / challenges and how to resolve Transfer and loss of trained workforce: Training of new staff prior to placement Maintenance of infrastructure: Essential to provide adequate water and sanitation and should be included in SK Bupati Regular replacement of equipment, supplies (including oxygen), pharmaceuticals: Improve Puskesmas planning and management and appropriate levels of funding from APBD Work ethic and management capacity: Link with accreditation program, the PML Puskesmas program and Puskesmas reformasi Quality improvement: Monitoring by the RSUD and ongoing feedback on referral and management of complications References Booklet PONED AIPMNH June 2015 PONED evaluation report 2012 Analysis and report on post training competencies 2014 and 2015 Study of management of complications 2015 www.aipmnh.org - 10 - 2.2 Inputs required and costs Rp 12 – 15 million per visit (from district to Puskesmas and from Puskesmas to Polindes/ pustu, for 2 Puskesmas) Facilitative supervision Rp 25-30 million for 9 – 10 participants over 8 – 10 days. Magang (on the job training in the RSUD Rp 20 million for visit by 2 specialists, covering 2 Puskesmas in 2 days EPP Rp 100 million per course of 10 participants (duration 14 days) Initial P2KS training Approximate cost (Rp) and input Item Monitoring and evaluation visits by P2KS specialists Rp 20-30 million / visit (covering 2 Puskesmas) -9- 7 8 9 10 PONED certification (SK Bupati). Following receipt of the training report, the DHO requests issuance of an SK from the Bupati authorising the Puskesmas to provide PONED services. Ongoing facilitative supervision from the district hospital clinical instructor (CI), and from the district midwife coordinator (BK). The hospital CI focuses on the performance of the PONED team, while the district BK focuses on compliance with ANC, INC, PNC, post natal FP, and care of newborns standard operating procedures. Supervision is undertaken every 6 months, and is aligned with supervision by the Puskesmas midwife coordinator to village midwives in Pustu and Polindes. Supervisory activities cover reviews of recording and reporting, maintenance of registers, readiness of the MCH, delivery and post-natal rooms and standard operating procedures. Refresher training of clinical practice (magang) at district hospitals is undertaken every 3 months by all PONED team members, with 8 -10 participants for a period of 8 – 10 days at the district hospital. This is supervised by obstetric and paediatric specialists and the clinical instructor. Monitoring and evaluation (monev) is undertaken every 6 months by the obstetric and paediatric specialists. At each monev visit, the specialists meet with all Puskesmas staff, including village midwives from the Polindes and Pustu to review management of all cases and develop solutions to issues and problems. -8- Desain intervensi Intervention design dan pelaksanaan and implementation 2.1 elements 1 2 3 4 5 6 A team consisting of the Provincial health office, professional organisations, and relevant District Health Office identify appropriate Puskesmas for PONED services. Criteria include: adequate infrastructure (in-patient facilities); adequate workforce, committed to undertake training and provide services post training; suitable geographic location to provide access to the community, and provide referral for a cluster of non PONED Puskesmas The assessment team undertake an Initial assessment of the basic qualifications and competencies of the proposed PONED team members. Initial training of five staff from each Puskesmas: 1 doctor, 2 midwives, 2 nurses at the P2KS. One training course caters for 10 participants or 2 Puskesmas and requires 14 days;6 days of theory and classroom practice, followed by 8 days of supervised clinical practice. Post training evaluation (EPP) is undertaken 3 months after completion of training to determine if all participants meet competency standards. Evaluation is conducted by the training team from the course: obstetric specialist, paediatric specialist and training coordinator. Each team member is assessed individually, and team performance reviewed collectively. Results and recommendations are presented to all Puskesmas staff. On average 10-15% of participants do not to meet EPP competencies and require re-assessment after a further 3 months. Facilities and equipment. Many of the Puskesmas in NTT required renovation, additional equipment and supplies in order to deliver PONED level services. -7- 1.7 Contextual issues Communities demonstrate demand and willingness to use services provided District governments recognise the need for improved services at Puskesmas level and are prepared to invest funds Local professional organisations agree to participate in the program P2KS and specialists at the provincial hospital are prepared to support the program by contributing to training and follow up assessments There is an overall policy commitment, such as the Revolusi KIA in NTT, which directs local governments to ensure adequate facilities (fasilitas yang memadai) are available to support women to deliver in a health facility -6- 55 A study of complications managed in 8 PONED and 8 non PONED Puskesmas across 4 districts in April-May 2015 found that PONED Puskesmas managed 36% of obstetric complications, and 60% of neonatal complications presenting to the Puskesmas, while non PONED managed only 2% of obstetric and 36% of neonatal complications. PONED Puskesmas also managed 70% of obstetric cases according to standards, and 79% of neonatal cases; while non-PONED Puskesmas did not provide appropriate pre-referral treatment in more than 50% of obstetric cases and 75% of neonatal cases. There are therefore clear benefits to establishment and maintenance of PONED Puskesmas. 1.6 Provincial hospital secondary level clinical training centre requirements and role (P2KS). Staff of the P2KS are accredited under the National Clinical Training Network (JNPK) to provide training to PONED teams. District hospital primary level clinical training centre (P2KP). Staff of the P2KP can provide clinical supervision and clinical practice (magang) for the PONED team to maintain skills following initial training. This requires that the district hospital has an obstetric and paediatric specialist, and the P2KP staff (doctor, nurse and midwife) have completed training as facilitators of the P2KS. District government. Provides legal recognition of PONED capacity for each Puskesmas by issuing an SK Bupati. This provides the legal authority for the Puskesmas to provide PONED level services. The district government must also provide additional budget allocation to cover essential PONED equipment, supplies and pharmaceuticals as well as ensuring allocation of the required five member PONED team. District Health Office. Midwife supervisor (Bidan coordinator or BK). The BK requires training to the level of clinical instructor to provide on going clinical supervision to the PONED team and ensure maintenance of quality standards. Professional associations meet regularly to provide clinical oversight, to review standard operating procedures, and to oversight quality of care -5- 5 1.5 Outcomes achieved Over the period 2009 to 2012, AIPMNH supported the upgrading of 56 Puskesmas to PONED status, in 14 districts. An evaluation was undertaken at the end of 2012 of 28 of the Puskesmas, using the national standards for PONED services, with 18 comparing baseline (2010) and endline (2012). Of the 18 Puskesmas compared over 2 years, 17 still had at least one PONED trained midwife and nurse, but only 10 had retained a trained doctor. Ten of the 18 achieved certificate of completion of PONED training, and 5 received authorisation to provide PONED from the Bupati or DHO. However, only 14 of the Puskesmas had clean water, and 13 toilets, although 16 of the 18 satisfied standards of cleanliness, an increase of 11 from baseline. Improvements in availability of equipment and supplies were also found in 17 of the 18 Puskesmas, with 30 items of equipment more available and 26 essential medicines more available. Despite this, shortages or broken equipment was still common, with 2 Puskesmas out of gloves, and only half the 19 having cannula available. Assessment of services showed that 14/18 Puskesmas had emergency services available 24 hours / day, and 12/18 provided emergency treatment according to standard protocols. As a result, across the 18 Puskesmas, an additional 228 maternal emergency cases were managed (an additional 164 cases of post-partum haemorrhage), and 187 additional neonatal emergency cases (110 of which were neonatal asphyxia). 1.5.2 Further development By end 2013, 26 of 56 AIPMNH supported Puskesmas have a full team of 5 trained providers; while by the end of 2014, 28 Puskesmas maintained a full complement PONED team. The main obstacle to maintaining the full PONED team, is the absence of a doctor certified with PONED training, as replacement doctors lack this training. However Puskesmas with incomplete teams still provide initial care to emergency cases according to their authority, before referral to hospital. -4- 1.4 Develop and maintain the competencies of a PONED team, consisting of at least one doctor, two midwives and two nurses, to manage basic obstetric and neonatal emergency care. Provide the infrastructure, equipment, supplies and pharmaceuticals and ensure ongoing supply to enable provision of PONED. Provide ongoing support and supervision to maintain the competencies and skills of the PONED team. Enable the PONED Puskesmas to function as a key element in a district referral network, linked to other non-PONED Puskesmas, and to the district referral hospital. Build the commitment of local government to sustain the provision of PONED services by allocating required budget and staff to maintain the full complement PONED team. -3- 1.3 Problem or need The need is for access to basic emergency obstetric and neonatal care. Particularly for populations more than two hours travel time from district referral hospitals. The aim is to provide immediate initial management of emergencies, complete management where possible, and first aid care and stabilisation for cases requiring referral to district hospitals. This complements and supports efforts to increase deliveries in health care facilities, by providing back up services for women who deliver in Puskesmas without PONED capacity. Problems encountered in building PONED capacity include: Lack of and poor quality of key infrastructure in the health facility (water, electricity, adequate space and privacy for clients) Lack of equipment and essential pharmaceuticals and supplies such as oxytocin, oxygen Frequent rotation of key medical staff, particularly doctors who are mainly PTT doctors on fixed time-defined contracts Lack of supervision or access to specialist advice when confronted with emergencies, as specialist doctors are absent from or busy at district hospitals Members of the PONED team have accommodation at some distance from the Puskesmas and are not able to respond quickly to emergency calls Relatively low population densities, resulting in relatively infrequent presentation of cases, and therefore difficult to maintaining skills Lack of capacity in district hospitals to provide the training and supervision of PONED Puskesmas -2- 1.1 Brief Context, rationale, outcomes What is the intervention and what will it do? This investment package provides a series of steps to build and maintain capacity in Puskesmas to provide basic obstetric and neonatal emergency services (PONED). It links with the investment package to build comprehensive obstetric and neonatal emergency services (PONEK) at district hospitals, thereby creating an integrated referral and supervisory support network for obstetric and neonatal emergency care. This intervention was developed in the context of the province of NTT, with largely rural populations, widely dispersed over rugged terrain and numerous islands. Access to the district hospital is often difficult, and the Puskesmas may be the first point of care for obstetric and neonatal emergencies. 1.2 Context and original design Building PONED capacity in Puskesmas with inpatient beds provides access to basic emergency care, and can provide an intermediate referral level from a cluster of Puskesmas without beds. In the context of NTT, difficulties in attracting and retaining a skilled health workforce make it impractical to provide PONED care in all Puskesmas. However, providing PONED capacity in one Puskesmas in a cluster of 3 – 4 Puskesmas enables referral from non-PONED Puskesmas within the cluster to the PONED Puskesmas. PONED capacity building was part of a larger multi-sectoral donor funded program (AIPMNH) to reduce maternal and neonatal mortality. AIPMNH also addressed other elements such as building PONEK capacity in district referral hospitals, improving capacity of the DHO, improving collection and reporting of data, community engagement to improve demand; and in support of a provincial level initiative to prioritize efforts to reduce maternal and neonatal mortality (Revolusi KIA). -1- BUILDING PONED CAPACITY IN PUSKESMAS Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health INVESTMENT PACKAGE AIPMNH is managed by Coffey on behalf of the Australian Government