Document

advertisement
MEMBANGUN KAPASITAS PONED DI PUSKESMAS
PAKET INVESTASI
Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health
AIPMNH is managed by Coffey on behalf of the Australian Government
Konteks,
dasar pemikiran,
hasil
1.1
Gambaran
singkat
Apa intervensi yang dilakukan dan
bagaimana cara kerjanya?
Paket investasi ini berisi serangkaian langkah dalam membangun dan
mempertahankan kapasitas Puskesmas dalam memberikan Pelayanan
Obstetri dan Neonatus Emergensi Dasar (PONED). Paket ini memiliki
keterkaitan dengan paket investasi untuk mengembangkan kapasitas
Pelayanan Obstetri dan Neonatus Emergensi Komprehensif (PONEK) di
RSUD, sehingga tercipta jejaring rujukan dan dukungan pendampingan
pelayanan obstetri dan neonatus terpadu.
Intervensi ini dikembangkan dalam konteks provinsi NTT,
dengan banyak penduduk yang tinggal di desa dan tersebar di
berbagai pulau dengan wilayah yang sulit diakses. Akses ke RSUD
seringkali sulit sehingga Puskesmas menjadi tempat pertama
mendapatkan pelayanan emergensi obstetri dan neonatus.
1.2
Konteks dan
dasar pemikiran
dalam desain awal
Membangun kapasitas PONED di Puskesmas yang dilengkapi ruang rawat inap
memberikan akses kepada pelayanan emergensi dasar, dan bisa menjadi tempat
rujukan pertama bagi Puskesmas terdekat yang tidak memiliki ruang rawat inap.
Dalam konteks NTT, kesulitan dalam menarik dan mempertahankan tenaga kesehatan
terlatih menjadi tantangan tersendiri terhadap upaya penyediaan pelayanan PONED di semua
Puskesmas. Namun, jika ada satu Puskesmas-mampu-PONED sebagai Puskesmas satelit
(yang dapat menjangkau 3–4 Puskesmas), hal ini memberi peluang untuk rujukan dari
Puskesmas non-PONED dalam gugus yang sama.
Pengembangan kapasitas PONED adalah bagian dari program pendanaan multi-sektor
(AIPMNH) untuk mengurangi kematian ibu dan bayi. AIPMNH juga berupaya untuk menangani
elemen-elemen lainnya seperti pengembangan kapasitas PONEK di RSUD, peningkatan
kapasitas Dinkes di kabupaten, memperbaiki pengumpulan dan pelaporan data, pelibatan
masyarakat untuk meningkatkan sisi permintaan; dan mendukung program pemerintah
provinsi dalam mengurangi angka kematian ibu dan bayi (Revolusi KIA).
-1-
1.3
Masalah atau
kebutuhan
Kebutuhan di sini adalah akses terhadap pelayanan
obstetrik dan neonatus emergensi dasar, khususnya
bagi masyarakat yang perlu waktu tempuh lebih dari
dua jam ke rumah sakit rujukan di kabupaten.
Tujuan dari pengembangan kapasitas PONED ini
adalah memberikan penanganan emergensi awal dan
jika mungkin, penanganan menyeluruh, penanganan
pertama dan stabilisasi sebelum dirujuk ke RSUD.
Upaya ini melengkapi dan mendukung upaya lain
untuk meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan,
dengan memberikan dukungan pelayanan bagi
ibu hamil yang melahirkan di Puskesmas yang tidak
memiliki kapasitas PONED.
Hambatan dalam membangun kapasitas PONED antara lain:
Kurangnya infrastruktur utama di fasilitas kesehatan (air, listrik, ruang yang memadai
dan privasi untuk pasien)
Kurangnya peralatan dan obat-obatan esensial dan pasokan seperti oxytocin dan oksigen
Mutasi tenaga kunci kesehatan yang sering terjadi, khususnya dokter yang umumnya
adalah dokter PTT yang dikontrak berdasarkan batas waktu tertentu
Kurangnya supervisi atau akses untuk mendapatkan pelayanan dokter spesialis saat
terjadi emergensi, karena dokter spesialis tidak berada di tempat atau sibuk di RSUD
Tempat tinggal anggota tim PONED jauh dari Puskesmas sehingga tidak bisa merespons
cepat saat terjadi kasus emergensi
Tingkat kepadatan penduduk yang relatif rendah dan kasus yang jarang terjadi sehingga
sulit untuk mempertahankan keterampilan yang telah diperoleh
Kurangnya kemampuan RSUD dalam memberikan pelatihan dan pendampingan kepada
Puskesmas PONED
-2-
1.4
Tujuan
Mengembangkan dan mempertahankan kompetensi tim
PONED yang terdiri dari paling kurang satu dokter, dua bidan
dan dua perawat, untuk menangani pelayanan obstetri dan
neonatal emergensi dasar.
Menyediakan infrastruktur, peralatan, pasokan dan obat-obatan
serta menjamin ketersediaannya dalam memberikan pelayanan PONED.
Memberikan dukungan dan supervisi berkelanjutan untuk mempertahankan
kompetensi dan keterampilan tim PONED.
Memberdayakan Puskesmas PONED agar bisa berfungsi sebagai elemen utama dalam
jejaring rujukan ke kabupaten, terhubung dengan Puskesmas non-PONED lainnya
dan RSUD.
Membangun komitmen pemerintah daerah dalam mempertahankan penyajian pelayanan
PONED dengan mengalokasikan anggaran dan tenaga kesehatan agar tim PONED tetap
lengkap.
-3-
1.5
Hasil yang
dicapai
1.5.1 Evaluasi tahun 2012
Selama periode 2009 sampai 2012, AIPMNH mendukung
peningkatan status 56 Puskesmas menjadi Puskesmas PONED,
di 14 kabupaten. Evaluasi dilakukan pada akhir tahun 2012
di 28 Puskesmas, dengan menggunakan standar pelayanan
PONED nasional; 18 di antaranya dilakukan dengan perbandingan
antara baseline (2010) dan endline (2012).
Perbandingan data baseline dan endline menunjukkan 17 dari 18 Puskesmas masih
memiliki setidaknya satu bidan dan perawat yang terlatih PONED, tetapi hanya 10
Puskesmas yang masih memiliki dokter terlatih PONED. Sepuluh dari 18 Puskesmas
tersebut menerima sertifikat penuntasan pelatihan PONED, dan 5 di antaranya mendapat
SK Bupati atau Dinkes untuk menyediakan pelayanan PONED.
Namun, hanya 14 Puskesmas yang memiliki air bersih dan 13 memiliki toilet, meskipun
16 dari 18 Puskesmas tersebut memenuhi standar kebersihan, meningkat dari 11
Puskesmas pada data baseline tahun 2010. Peningkatan dalam hal ketersediaan alat
juga ditemukan di 17 dari 18 Puskesmas, dengan 30 item peralatan dan 26 obat-obatan
esensial yang tersedia. Meski demikian, masih ditemukan ketiadaan atau kerusakan alat,
dimana ada 2 Puskesmas yang kehabisan persediaan sarung tangan, dan hanya setengah
dari 19 Puskesmas yang memiliki kanula. Penilaian terhadap pelayanan menunjukkan
bahwa 14 dari 18 Puskesmas memberikan pelayanan emergensi 24 jam sehari, dan 12
dari 18 Puskesmas memberikan pelayanan emergensi sesuai SOP.
Hasilnya, di 18 Puskesmas terjadi peningkatan 228 kasus emergensi ibu yang ditangani
(164-nya adalah perdarahan post-partum), dan 187 peningkatan kasus emergensi neonatus
(110-nya adalah asfiksia).
1.5.2 Perkembangan selanjutnya
Pada akhir tahun 2013, 26 dari 56 Puskesmas dukungan AIPMNH telah memiliki tim
PONED lengkap; sedangkan pada akhir 2014, 28 Puskesmas masih memiliki tim PONED
yang lengkap. Halangan utama dalam mempertahankan tim PONED adalah ketiadaan
dokter yang bersertikat PONED, karena para dokter pengganti kurang terlatih PONED.
Namun, Puskesmas dengan tim yang tidak lengkap masih memberikan pelayanan
emergensi dasar sesuai kewenangan sebelum dirujuk ke rumah sakit.
-4-
Penelitian mengenai penanganan komplikasi di 8 Puskesmas PONED dan 8 Puskesmas
non-PONED di 4 kabupaten pada bulan April-Mei 2015 menemukan bahwa Puskesmas
PONED menangani 36% komplikasi obstetrik dan 60% komplikasi neonatus, sedangkan
Puskesmas non-PONED hanya menangani 2% komplikasi obstetrik dan 36% komplikasi
neonatus. Puskesmas PONED juga menangani 70% kasus obstetrik dan 79% kasus
neonatus secara tepat sesuai standar; sedangkan Puskesmas non-PONED tidak memberikan penanganan pra-rujuk secara tepat untuk lebih dari 50% kasus obstetrik dan 75%
kasus neonatus. Di sini jelas terlihat manfaat dari pengembangan dan pemeliharaan
Puskesmas PONED.
1.6
Organisasi yang terlibat:
syarat dan peran
P2KS (Pusat Pelatihan Klinis Sekunder) di tingkat provinsi.
Staf P2KS telah diakreditasi oleh Jaringan Nasional Pelatihan
Klinis (JNPK) untuk memberikan pelatihan bagi tim-tim PONED.
P2KP (Pusat Pelatihan Klinis Primer). Staf P2KP bisa memberikan
supervisi klinis dan magang kepada tim PONED agar dapat mempertahankan keterampilan mereka. Untuk itu, RSUD perlu memiliki dokter spesialis
obgyn dan anak, dan staf P2KP (dokter, perawat dan bidan) telah menyelesaikan
pelatihan sebagai fasilitator di P2KS.
Pemerintah kabupaten. Memberi pengakuan hukum untuk setiap Puskesmas PONED
dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bupati. SK ini memberi kekuatan hukum
kepada Puskesmas untuk memberikan pelayanan PONED. Pemerintah kabupaten juga
harus menyediakan alokasi tambahan anggaran untuk peralatan PONED, pasokan dan
obat-obatan esensial serta memastikan penempatan lima orang anggota tim PONED.
Dinas Kesehatan Kabupaten. Bidan koordinator atau Bikor. Bikor membutuhkan
pelatihan setingkat instruktur klinis (clinical instructor) untuk melakukan supervisi klinis
berkelanjutan kepada tim PONED dan memastikan bahwa standar mutu tetap
dipertahankan.
Organisasi profesi bertemu secara rutin untuk melakukan pengawasan
klinis, melihat kembali prosedur operasional standar, dan mengawasi
kualitas pelayanan.
-5-
5
1.7
Isu-isu kontekstual
Adanya permintaan dan kemauan dari masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan
kesehatan
Pemerintah kabupaten menyadari perlunya perbaikan pelayanan di tingkat Puskesmas
dan menyiapkan pendanaannya
Organisasi prosesi di daerah setuju untuk berpartisipasi dalam program pengembangan
kapasitas PONED
P2KS dan dokter spesialis di RSUD siap untuk mendukung program ini dengan
membantu memberi pelatihan dan melakukan evaluasi
Secara umum terdapat komitmen kebijakan, seperti Revolusi KIA, yang merupakan
panduan bagi pemerintah daerah dalam memastikan ketersediaan fasilitas yang
memadai agar ibu hamil bisa melahirkan di fasilitas kesehatan
-6-
55
Desain intervensi
dan pelaksanaan
2.1
Elemen-elemen
intervensi
1 Sebuah tim yang terdiri dari Dinkes Provinsi, organisasi profesi, dan Dinkes
Kabupaten mengidentifikasi Puskesmas PONED. Kriteria: infrastruktur yang
memadai (rawat inap); SDM yang cukup, berkomitmen untuk melaksanakan
pelatihan dan menyajikan pelayanan pascapelatihan; letak geografis yang
tepat sehingga bisa diakses oleh masyarakat, dan menerima rujukan bagi
Puskesmas non-PONED yang berada dalam gugus yang sama.
2 Tim pengkaji melakukan kajian awal mengenai kualifikasi dan kompetensi
dari anggota tim PONED yang diusulkan.
3 Pelatihan awal kepada lima staf dari setiap Puskesmas: 1 dokter, 2 bidan,
2 perawat di P2KS.
4 Satu pelatihan untuk 10 peserta atau 2 Puskesmas selama 14 hari; 6 hari
untuk teori dan praktik di kelas, dilanjutkan dengan 8 hari praktik klinik
terdampingi.
5 Evaluasi Pasca-Pelatihan (EPP) dilakukan tiga bulan setelah pelatihan untuk
menentukan apakah semua peserta sudah memenuhi standar kompetensi.
Evaluasi dilakukan oleh tim pelatih: dokter obgyn, dokter anak dan koordinator
pelatihan. Masing-masing anggota tim dinilai dan kinerja mereka dikaji secara
kelompok. Hasil evaluasi dan rekomendasi dipresentasikan kepada semua staf
Puskesmas. Rata-rata 10-15% peserta tidak memenuhi kompetensi dan perlu
dinilai ulang dalam tiga bulan.
6 Fasilitas dan peralatan. Banyak Puskesmas di NTT butuh renovasi, peralatan
dan pasokan tambahan agar bisa memberikan pelayanan PONED.
Sertifikasi PONED (SK Bupati). Setelah menerima laporan pelatihan, Dinkes
Kabupaten mengusulkan dikeluarkannya SK Bupati untuk Puskesmas PONED.
-7-
7 Sertifikasi PONED (SK Bupati). Setelah menerima laporan pelatihan, Dinkes
Kabupaten mengusulkan dikeluarkannya SK Bupati untuk Puskesmas PONED.
8 Supervisi fasilitatif berkelanjutan dari instruktur klinis (Clinical Instructor/CI)
RSUD, dan Bidan Koordinator (Bikor). CI berfokus pada kinerja tim PONED,
sedangkan Bikor berfokus pada kepatuhan pada SOP ANC, INC, PNC,
pascapersalinan FP, dan perawatan bayi baru lahir. Supervisi dilakukan setiap
6 bulan, dan sejalan dengan supervisi yang dilakukan oleh Bikor Puskesmas
kepada bidan desa di Pustu dan Polindes. Kegiatan supervisi mencakup kajian
terhadap pencatatan dan pelaporan, pembukuan register, kesiapan KIA,
ruangan bersalin dan pascapersalinan serta prosedur operasional standar/SOP.
9 Magang di RSUD dilakukan setiap 3 bulan oleh semua anggota tim PONED,
terdiri dari 8−10 peserta selama 8–10 hari di RSUD. Magang ini didampingi
oleh dokter spesialis obgyn dan dokter spesialis anak, serta instruktur klinis.
10 Monitoring dan evaluasi (monev) dilaksanakan setiap 6 bulan oleh dokter
spesialis obgyn dan anak. Pada setiap kunjungan monev, dokter spesialis
bertemu dengan semua staf Puskesmas, termasuk bidan desa dari Polindes
dan Pustu untuk melihat kembali penanganan semua kasus dan mencari solusi
untuk isu-isu dan persoalan yang ada.
-8-
2.2
Input yang dibutuhkan dan biaya
Item
Perkiraan biaya (Rp) dan input
Pelatihan awal P2KS
Rp 100 juta per pelatihan yang terdiri dari
10 peserta (durasi 14 hari)
EPP
Rp 20 juta untuk kunjungan 2 dokter spesialis,
2 Puskesmas dalam 2 hari
Magang di RSUD
Rp 25−30 juta untuk 9–10 peserta selama
8–10 hari
Supervisi fasilitatif
Rp 12–15 juta per kunjungan (dari kabupaten
ke Puskesmas dan dari Puskesmas ke
Polindes/pustu, untuk 2 Puskesmas)
Kunjungan monitoring dan
evaluasi oleh dokter spesialis
dari P2KS
Rp 20−30 juta / kunjungan
(untuk 2 Puskesmas)
-9-
Potensi Sumber dana/
opsi untuk replikasi
APBD didukung oleh SK Bupati.
BPJS pembayaran untuk setiap pelayanan,
sejauh ada sertifikat dan bukti terlampir.
Risiko/tantangan
dan cara mengatasi
Mutasi tenaga kesehatan yang telah terlatih: pelatihan untuk staf baru sebelum
penempatan.
Pemeliharaan infrastruktur: penting untuk menyediakan air dan sanitasi yang
memadai dan perlu dimasukkan dalam SK Bupati.
Penggantian rutin peralatan, pasokan (termasuk oksigen), obat-obatan: memperbaiki
perencanaan dan pengelolaan Puskesmas serta tingkat pendanaan yang tepat
dari APBD.
Etika kerja dan kapasitas manajemen: berkaitan dengan program akreditasi, PML
Puskesmas dan Puskesmas reformasi.
Peningkatan kualitas: Monitoring oleh RSUD dan umpan balik berkelanjutan mengenai
rujukan dan penanganan komplikasi.
Referensi:
Buklet PONED AIPMNH Juni 2015
Laporan Evaluasi PONED 2012
Analisis dan Laporan mengenai Kompetensi Pascapelatihan 2014 dan 2015
Studi mengenai Penanganan Komplikasi 2015
www.aipmnh.org
- 10 -
Potential Sources of
funding / options for
replication
APBD supported by SK Bupati
BPJS reimbursement for procedures conducted,
if certified and evidence of procedures provided.
Risks / challenges
and how to resolve
Transfer and loss of trained workforce: Training of new staff prior to placement
Maintenance of infrastructure: Essential to provide adequate water and sanitation and
should be included in SK Bupati
Regular replacement of equipment, supplies (including oxygen), pharmaceuticals:
Improve Puskesmas planning and management and appropriate levels of funding from APBD
Work ethic and management capacity: Link with accreditation program, the PML
Puskesmas program and Puskesmas reformasi
Quality improvement: Monitoring by the RSUD and ongoing feedback on referral and
management of complications
References
Booklet PONED AIPMNH June 2015
PONED evaluation report 2012
Analysis and report on post training competencies 2014 and 2015
Study of management of complications 2015
www.aipmnh.org
- 10 -
2.2
Inputs required and costs
Rp 12 – 15 million per visit (from district to
Puskesmas and from Puskesmas to Polindes/
pustu, for 2 Puskesmas)
Facilitative supervision
Rp 25-30 million for 9 – 10 participants over
8 – 10 days.
Magang (on the job training
in the RSUD
Rp 20 million for visit by 2 specialists, covering
2 Puskesmas in 2 days
EPP
Rp 100 million per course of 10 participants
(duration 14 days)
Initial P2KS training
Approximate cost (Rp) and input
Item
Monitoring and evaluation
visits by P2KS specialists
Rp 20-30 million / visit (covering 2 Puskesmas)
-9-
7
8
9
10
PONED certification (SK Bupati). Following receipt of the training report, the DHO
requests issuance of an SK from the Bupati authorising the Puskesmas to provide
PONED services.
Ongoing facilitative supervision from the district hospital clinical instructor (CI),
and from the district midwife coordinator (BK). The hospital CI focuses on the
performance of the PONED team, while the district BK focuses on compliance with
ANC, INC, PNC, post natal FP, and care of newborns standard operating procedures.
Supervision is undertaken every 6 months, and is aligned with supervision by the
Puskesmas midwife coordinator to village midwives in Pustu and Polindes.
Supervisory activities cover reviews of recording and reporting, maintenance of
registers, readiness of the MCH, delivery and post-natal rooms and standard
operating procedures.
Refresher training of clinical practice (magang) at district hospitals is undertaken
every 3 months by all PONED team members, with 8 -10 participants for a period
of 8 – 10 days at the district hospital. This is supervised by obstetric and paediatric
specialists and the clinical instructor.
Monitoring and evaluation (monev) is undertaken every 6 months by the obstetric
and paediatric specialists. At each monev visit, the specialists meet with all
Puskesmas staff, including village midwives from the Polindes and Pustu to review
management of all cases and develop solutions to issues and problems.
-8-
Desain intervensi
Intervention
design
dan
pelaksanaan
and
implementation
2.1
elements
1
2
3
4
5
6
A team consisting of the Provincial health office, professional organisations, and
relevant District Health Office identify appropriate Puskesmas for PONED services.
Criteria include: adequate infrastructure (in-patient facilities); adequate workforce,
committed to undertake training and provide services post training; suitable
geographic location to provide access to the community, and provide referral for
a cluster of non PONED Puskesmas
The assessment team undertake an Initial assessment of the basic qualifications
and competencies of the proposed PONED team members.
Initial training of five staff from each Puskesmas: 1 doctor, 2 midwives, 2 nurses at
the P2KS.
One training course caters for 10 participants or 2 Puskesmas and requires 14
days;6 days of theory and classroom practice, followed by 8 days of supervised
clinical practice.
Post training evaluation (EPP) is undertaken 3 months after completion of training
to determine if all participants meet competency standards. Evaluation is conducted
by the training team from the course: obstetric specialist, paediatric specialist and
training coordinator. Each team member is assessed individually, and team
performance reviewed collectively. Results and recommendations are presented to
all Puskesmas staff. On average 10-15% of participants do not to meet EPP
competencies and require re-assessment after a further 3 months.
Facilities and equipment. Many of the Puskesmas in NTT required renovation,
additional equipment and supplies in order to deliver PONED level services.
-7-
1.7
Contextual issues
Communities demonstrate demand and willingness to use services provided
District governments recognise the need for improved services at Puskesmas level and
are prepared to invest funds
Local professional organisations agree to participate in the program
P2KS and specialists at the provincial hospital are prepared to support the program
by contributing to training and follow up assessments
There is an overall policy commitment, such as the Revolusi KIA in NTT, which directs
local governments to ensure adequate facilities (fasilitas yang memadai) are available
to support women to deliver in a health facility
-6-
55
A study of complications managed in 8 PONED and 8 non PONED Puskesmas across 4 districts
in April-May 2015 found that PONED Puskesmas managed 36% of obstetric complications,
and 60% of neonatal complications presenting to the Puskesmas, while non PONED managed
only 2% of obstetric and 36% of neonatal complications. PONED Puskesmas also managed 70%
of obstetric cases according to standards, and 79% of neonatal cases; while non-PONED
Puskesmas did not provide appropriate pre-referral treatment in more than 50% of obstetric
cases and 75% of neonatal cases. There are therefore clear benefits to establishment and
maintenance of PONED Puskesmas.
1.6
Provincial hospital secondary level clinical training centre
requirements and role
(P2KS). Staff of the P2KS are accredited under the National
Clinical Training Network (JNPK) to provide training to PONED teams.
District hospital primary level clinical training centre (P2KP). Staff of
the P2KP can provide clinical supervision and clinical practice (magang)
for the PONED team to maintain skills following initial training. This requires
that the district hospital has an obstetric and paediatric specialist, and the P2KP
staff (doctor, nurse and midwife) have completed training as facilitators of the P2KS.
District government. Provides legal recognition of PONED capacity for each Puskesmas
by issuing an SK Bupati. This provides the legal authority for the Puskesmas to provide
PONED level services. The district government must also provide additional budget
allocation to cover essential PONED equipment, supplies and pharmaceuticals as well
as ensuring allocation of the required five member PONED team.
District Health Office. Midwife supervisor (Bidan coordinator or BK). The BK requires
training to the level of clinical instructor to provide on going clinical supervision to the
PONED team and ensure maintenance of quality standards.
Professional associations meet regularly to provide clinical oversight,
to review standard operating procedures, and to oversight quality of care
-5-
5
1.5
Outcomes
achieved
Over the period 2009 to 2012, AIPMNH supported the upgrading of
56 Puskesmas to PONED status, in 14 districts. An evaluation was
undertaken at the end of 2012 of 28 of the Puskesmas, using the
national standards for PONED services, with 18 comparing baseline
(2010) and endline (2012).
Of the 18 Puskesmas compared over 2 years, 17 still had at least one PONED trained midwife
and nurse, but only 10 had retained a trained doctor. Ten of the 18 achieved certificate of
completion of PONED training, and 5 received authorisation to provide PONED from the Bupati
or DHO.
However, only 14 of the Puskesmas had clean water, and 13 toilets, although 16 of the 18
satisfied standards of cleanliness, an increase of 11 from baseline. Improvements in
availability of equipment and supplies were also found in 17 of the 18 Puskesmas, with 30
items of equipment more available and 26 essential medicines more available. Despite this,
shortages or broken equipment was still common, with 2 Puskesmas out of gloves, and only
half the 19 having cannula available. Assessment of services showed that 14/18 Puskesmas
had emergency services available 24 hours / day, and 12/18 provided emergency treatment
according to standard protocols.
As a result, across the 18 Puskesmas, an additional 228 maternal emergency cases were
managed (an additional 164 cases of post-partum haemorrhage), and 187 additional neonatal
emergency cases (110 of which were neonatal asphyxia).
1.5.2 Further development
By end 2013, 26 of 56 AIPMNH supported Puskesmas have a full team of 5 trained providers;
while by the end of 2014, 28 Puskesmas maintained a full complement PONED team.
The main obstacle to maintaining the full PONED team, is the absence of a doctor certified
with PONED training, as replacement doctors lack this training. However Puskesmas with
incomplete teams still provide initial care to emergency cases according to their authority,
before referral to hospital.
-4-
1.4
Develop and maintain the competencies of a PONED team,
consisting of at least one doctor, two midwives and two nurses,
to manage basic obstetric and neonatal emergency care.
Provide the infrastructure, equipment, supplies and pharmaceuticals
and ensure ongoing supply to enable provision of PONED.
Provide ongoing support and supervision to maintain the competencies and skills
of the PONED team.
Enable the PONED Puskesmas to function as a key element in a district referral network,
linked to other non-PONED Puskesmas, and to the district referral hospital.
Build the commitment of local government to sustain the provision of PONED services
by allocating required budget and staff to maintain the full complement PONED team.
-3-
1.3
Problem or
need
The need is for access to basic emergency obstetric
and neonatal care. Particularly for populations more
than two hours travel time from district referral
hospitals. The aim is to provide immediate initial
management of emergencies, complete management
where possible, and first aid care and stabilisation for
cases requiring referral to district hospitals.
This complements and supports efforts to increase
deliveries in health care facilities, by providing back
up services for women who deliver in Puskesmas
without PONED capacity.
Problems encountered in building PONED capacity include:
Lack of and poor quality of key infrastructure in the health facility (water, electricity,
adequate space and privacy for clients)
Lack of equipment and essential pharmaceuticals and supplies such as oxytocin, oxygen
Frequent rotation of key medical staff, particularly doctors who are mainly PTT doctors
on fixed time-defined contracts
Lack of supervision or access to specialist advice when confronted with emergencies,
as specialist doctors are absent from or busy at district hospitals
Members of the PONED team have accommodation at some distance from the Puskesmas
and are not able to respond quickly to emergency calls
Relatively low population densities, resulting in relatively infrequent presentation of cases,
and therefore difficult to maintaining skills
Lack of capacity in district hospitals to provide the training and supervision of PONED
Puskesmas
-2-
1.1
Brief
Context,
rationale,
outcomes
What is the intervention and what will it do?
This investment package provides a series of steps to build and maintain
capacity in Puskesmas to provide basic obstetric and neonatal emergency
services (PONED). It links with the investment package to build
comprehensive obstetric and neonatal emergency services (PONEK) at
district hospitals, thereby creating an integrated referral and supervisory
support network for obstetric and neonatal emergency care.
This intervention was developed in the context of the
province of NTT, with largely rural populations, widely dispersed
over rugged terrain and numerous islands. Access to the district
hospital is often difficult, and the Puskesmas may be the first point
of care for obstetric and neonatal emergencies.
1.2
Context and
original design
Building PONED capacity in Puskesmas with inpatient beds provides access
to basic emergency care, and can provide an intermediate referral level from
a cluster of Puskesmas without beds. In the context of NTT, difficulties in attracting
and retaining a skilled health workforce make it impractical to provide PONED care in
all Puskesmas. However, providing PONED capacity in one Puskesmas in a cluster
of 3 – 4 Puskesmas enables referral from non-PONED Puskesmas within the cluster
to the PONED Puskesmas.
PONED capacity building was part of a larger multi-sectoral donor funded program (AIPMNH)
to reduce maternal and neonatal mortality. AIPMNH also addressed other elements
such as building PONEK capacity in district referral hospitals, improving capacity of the DHO,
improving collection and reporting of data, community engagement to improve demand;
and in support of a provincial level initiative to prioritize efforts to reduce maternal and
neonatal mortality (Revolusi KIA).
-1-
BUILDING PONED CAPACITY IN PUSKESMAS
Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health
INVESTMENT PACKAGE
AIPMNH is managed by Coffey on behalf of the Australian Government
Download