ADAWIAH et al.: Respon kualitas susu suplementasi kacang kedelai sangrai dan sabun kalsium serta mineral organik dalam ransum sapi perah Respons Kualitas Susu pada Suplementasi Kacang Kedelai Sangrai dan Sabun Kalsium serta Mineral Organik dalam Ransum Sapi Perah ADAWIAH1, TOHA SUTARDI2, TOTO TOHARMAT2, WASMEN MANALU3 dan NAHROWI2 1. Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor 2. 3. (Diterima dewan redaksi 13 April 2006) ABSTRACT ADAWIAH, T. SUTARDI, T. TOHARMAT, W. MANALU and NAHROWI. 2006. Responses of milk quality to roasted soybeans, calcium soap and organic mineral supplementation in dairy cattle diets. JITV 11(4): 280-286. Milk quality is affected by feed nutrient either macronutrient or micronutrient. Roasted soybeans and calcium soap were used to increase supply of by-pas protein and fat for dairy cattle. While organic mineral was used to increase bioavailability of feed mineral to animal. The objective of this study was to evaluate roasted soybean, mineral soap and organic mineral supplementation on milk quality of dairy cattle. Twenty lactating Frisian Holstein cows (initial weight 361.4 ± 40.39 kg) were assigned into a randomized complete block design with 5 treatments and 4 blocks. The treatments were A: basal diet, B: A + roasted soybean, C: B + calcium soap of corn oil, D: C + calcium soap of corn oil, E: C + calcium soap of fish oil. The experimental diets were offered for 9 and 2 weeks preliminary. The results of the experiment showed that milk protein and lactose were not affected by diets. Milk dry matter of cows fed A, B, and D diets were higher (P<0.05) than those of fed C and E diets. Milk fat of cows fed A, B and D diets were higher (P<0.05) than those of fed C and E diets. Milk density of cows fed B and E diets were higher (p<0.05) than those of fed A, C and D diets. Milk TPC of cows fed B diet were higher (0.05) than those of fed A, C, D, and E diets. It is concluded that milk quality especially milk protein and lactose concentration are not affected by roasted soybeans, Ca-soap, and organic mineral. Calcium soap of fish oil and organic mineral decrease population of milk bacteria. Key Words: Calcium Soap, Organic Mineral, Roasted Soyabeans, Dairy Cattle, Quality Milk ABSTRAK ADAWIAH, T. SUTARDI, T. TOHARMAT, W. MANALU dan NAHROWI. 2006. Respons kualitas susu pada suplementasi kacang kedelai sangrai dan sabun kalsium serta mineral organik dalam ransum sapi perah. JITV 11(4): 280-286. Kualitas susu dipengaruhi oleh nutrien pakan baik makronutrien maupun mikronutrien. Penggunaan kedelai sangrai dan sabun kalsium adalah untuk memasok protein dan lemak tahan degradasi pada sapi perah. Selanjutnya, mineral organik adalah untuk meningkatkan ketersediaan biologis mineral pakan pada ternak. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh kedelai sangrai, sabun kalsium dan mineral organik pada kualitas susu sapi perah. Dua puluh sapi FH laktasi (bobot hidup 361,4 ± 40,39 kg) dirancang pada percobaan rancangan Acak Kelompok dengan lima perlakuan dan empat kelompok. Percobaannya adalah: A: Ransum basal; B: A + kedelai sangrai; C: B + mineral organik; D: C + sabun kalsium minyak jagung; E: C + sabun kalsium minyak ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein dan laktosa susu tidak dipengaruhi oleh ransum. Bahan kering ransum susu sapi yang diberi ransum A, B, dan D lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan ransum C dan E. Lemak susu sapi yang diberi ransum A, B, dan D lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan ransum C dan E. Berat jenis susu sapi yang diberi ransum B dan E lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan ransum A, C dan D. TPC susu sapi yang diberi ransum B lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan ransum A, C, D dan E. Kesimpulan percobaan ini adalah kualitas susu khususnya konsentrasi protein dan laktosa susu tidak dipaengaruhi oleh kedelai sangrai, sabun kalsium, dan mineral organik. Sabun kalsium minyak ikan dan mineral organik menurunkan populasi bakteri susu. Kata Kunci: Sabun Kalsium, Mineral Organik, Kedelai Sangrai, Sapi Perah, Kualitas Susu PENDAHULUAN Produktivitas dan kualitas hasil ternak sangat ditentukan oleh kualitas pakan. Bahan pakan ternak ruminansia yang mengandung protein dan lemak tinggi, seringkali menjadi tidak efisien bagi ternak ruminansia 280 karena protein tersebut didegradasi dalam rumen, sementara lemaknya tidak tersedia bagi mikroba rumen karena terikat oleh struktur organik lainnya. Proses pemanasan (sangrai) akan meningkatkan efisiensi pakan kualitas tinggi sehingga protein akan diproteksi dari degradasi rumen dan lemak menjadi tersedia bagi JITV Vol. 11 No. 4 Th. 2006 mikroba rumen. Oleh karena itu diharapkan kacang kedelai sangrai dapat meningkatkan mutu ransum ternak ruminansia. Di samping itu, kacang kedelai merupakan sumber asam linoleat yang merupakan asam lemak esensial. Suplementasi lemak dalam ransum ternak ruminansia sering digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas ternak. Penggunaan minyak dalam ransum ternak ruminansia dapat mengganggu pertumbuhan mikroba rumen, karena asam lemak tak jenuh toksik bagi mikroba rumen bahkan asam linoleat adalah racun bagi protozoa. Oleh karena itu, suplementasi minyak dalam bentuk lemak yang diproteksi bertujuan supaya lemak tidak mengganggu fermentasi dalam rumen dan menyediakan asam lemak bagi induk semangnya. Penggunaan minyak jagung dan minyak ikan dalam ransum ternak ruminansia selain memasok asam lemak esensial juga diharapkan menjadi prekursor bagi sintesis asam lemak yang bermanfaat bagi kesehatan. Suplementasi mineral esensial merupakan upaya alternatif untuk mengatasi distorsi status mineral khususnya defisiensi mineral. Pemakaian mineral organik menjadi pilihan karena lebih mudah diserap oleh tubuh dan resiko antagonis mineral lebih kecil. Defisiensi status mineral Zn dilaporkan oleh LITTLE (1986) bahwa kandungan Zn pakan ternak ruminansia berkisar antara 20 dan 38 mg kg-1bahan kering. Jika defisiensi terus terjadi, dapat menyebabkan parakeratosis pada jaringan usus dan kelenjar ambing sehingga menurunkan produksi dan kualitas susu. Tembaga dibutuhkan sebagai komponen seruloplasmin, dismutase superoksida, oksida lisil dan oksidase sitokrom (NRC, 2001). SUTRISNO (1983) melaporkan bahwa pada ruminansia status Cu adalah mulai dari marjinal sampai defisien. Sementara pada kebanyakan ternak, Cu sangat sulit diserap, pada ternak ruminansia hanya 1 sampai 3% (MCDOWELL, 1992). Selenium merupakan bagian integral dari enzim glutation peroksidase. Selenium kurang dapat diabsorbsi oleh ternak ruminansia terutama dalam bentuk selenit. Oleh karena itu, penggunaan bentuk organik lebih efektif dibandingkan dengan anorganik karena proses penyerapannya mengikuti proses penyerapan nutrien yang mengikatnya. Kromium adalah mineral esensial yang berhubungan dengan kerja insulin. Kromium yang esensial adalah Cr3+, namun sulit diserap, sedangkan Cr6+ mudah larut tetapi bersifat toksik. Oleh karena itu, satu-satunya bentuk pasokan kromium ke dalam tubuh ternak adalah dalam bentuk ikatan ligand organik (SUTARDI, 2002). Suplementasi Cr-organik dapat meningkatkan kinerja insulin, sehingga penyerapan glukosa pada sel meningkat. Pada sapi perah, hal ini menjadi penting karena erat kaitannya dengan produksi laktosa susu. Percobaan bertujuan melihat respons kualitas susu sapi perah yang diberi ransum dengan suplementasi sabun kalsium, kedelai sangrai dan mineral organik. MATERI DAN METODE Percobaan in vivo pada sapi perah dilaksanakan di Peternakan Swadaya Sapi Perah Pondok Ranggon, Jakarta. Suplemen yang diberikan pada ransum sapi perah adalah sabun kalsium, kedelai sangrai, dan mineral organik. Metode pembuatan suplemen tersebut adalah: Pembuatan sabun kalsium Sebelum membuat sabun kalsium atau sabun zink, bilangan penyabunan minyak yang digunakan ditentukan terlebih dahulu. Bilangan penyabunan digunakan untuk mengetahui KOH yang dibutuhkan untuk mengikat gugus karboksil dari asam lemak yang terdapat dalam minyak tersebut. Bilangan penyabunan Lima mililiter minyak dimasukkan ke dalam tabung erlenmyer 250 ml, kemudian ditambahkan 50 ml KOH 0,5 N. Erlenmeyer tersebut dihubungkan dengan refluks selama 30 menit sampai tidak ada lapisan minyak. Selanjutnya ditambahkan 1 ml fenolftalein dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0,5 N. Bilangan penyabunan = (Vb – Vs) x 0,02805 g/5 x BJ Vb: volume titer blanko Vs: volume titer sampel Bj: berat jenis minyak. Sabun kalsium Dua ratus gram minyak jagung atau minyak ikan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 1000 ml, kemudian ditambahkan 500 ml KOH alkohol dan dipanaskan dengan menggunakan hot plate. Labu erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin tegak hingga semua minyak larut. Setelah itu ditambahkan mineral CaCl2 atau ZnCl2 sampai jenuh, sehingga larutan tersebut mengendap. Endapan dipisahkan dan ditambahkan onggok sebagai carrier dengan perbandingan 1:1 dan siap dicampurkan ke dalam konsentrat. Pembuatan mineral organik Enam ratus gram singkong segar dicampurkan dengan 400 ml larutan mineral (Zn, Cu, Se dan Cr) dalam plastik tahan panas. Mineral yang digunakan adalah ZnCl2, CuCl2.2H2O, CrCl3.6H2O, SeO2. 281 ADAWIAH et al.: Respon kualitas susu suplementasi kacang kedelai sangrai dan sabun kalsium serta mineral organik dalam ransum sapi perah Konsentrasi larutan mineral untuk unsur Zn, Se dan Cr adalah 1000 ppm, sementara untuk Cu digunakan 500 ppm. Singkong bermineral tersebut dikukus atau diautoklaf hingga matang. Setelah itu singkong diangkat dan disimpan dalam wadah plastik. Sebanyak 0,5 g ragi tape komersial ditaburkan di atas singkong tersebut. Wadah dibungkus kertas dan diinkubasikan selama 3 hari. Pada hari ke-3 mineral organik dipanen lalu ditambahkan pollard sebagai carrier dengan rasio 2:1 dan dikeringkan dengan oven pada suhu 42ºC. Setelah kering kemudian digiling dan siap untuk digunakan dalam ransum. Khusus pada pembuatan kromium organik, sebanyak 100 ppm asam amino triptofan ditambahkan ke dalam media tumbuh yeast. Sampel produk yang dihasilkan, diambil untuk penentuan kadar mineral yang terinkorporasi ke dalam protein yeast dengan menggunakan AAS. Satu gram sampel dimasukkan ke dalam tabung dan ditambahkan 10 ml larutan TCA 20%. Tabung disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, endapan yang didapatkan ditimbang sebanyak 0,8 g dan dimasukkan ke dalam labu destruksi lalu ditambahkan HNO3 pekat sebanyak 10 ml. Labu dipanaskan mula-mula dengan api kecil kemudian ditingkatkan dan larutan dibiarkan mendidih selama 5 menit. Setelah larutan dingin ditambah 2 ml H2SO4 pekat, 2 ml HClO4 70% dan 0,2 ml AgNO3 10% dan pemanasan kembali dilakukan sampai larutan jernih. Kadar mineral dibaca dengan menggunakan AAS sebagai mineral yang terinkorporasi dalam ragi. Pembuatan kedelai sangrai Kacang kedelai sangrai dipanaskan dengan menggunakan kompor minyak selama 20 menit pada suhu mencapai 100°C, kemudian didinginkan dan digiling untuk dicampurkan ke dalam ransum. Rancangan percobaan Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok 5 x 4. Pengelompokan dilakukan berdasarkan kepemilikan ternak. Penelitian dilakukan dalam waktu dua bulan dengan masa preliminari dua minggu. Bobot hidup awal sapi perah laktasi percobaan adalah 361,4 ± 40,39 kg. Ransum basal yang digunakan disesuaikan dengan ransum yang diberikan pada peternakan tersebut. Pemberian pakan adalah konsentrat 1,4 kg hari-1 ekor-1, ampas tahu 36 kg hari-1 ekor-1 dan rumput 10 kg hari-1 ekor-1. Pakan diberikan dua kali sehari yaitu pada waktu pagi dan sore. Air minum diberikan ad libitum. Perlakuan pada sapi perah laktasi adalah: A = Ransum Basal B = A + Kedelai sangrai C = B + Zn, Cu, Se, Cr-organik 282 D = C+ Sabun kalsium minyak jagung E = C + Sabun kalsium minyak ikan Komposisi dan nutrien bahan pakan ransum percobaan sapi perah pada Tabel 1 dan 2. Peubah yang diukur adalah bahan kering susu, lemak susu, protein, dan laktosa susu (dengan menggunakan lactoscope Model C4/2.0 LK.419 218 1) serta total plate count (TPC). Data dianalisis dengan Sidik Ragam (Analysis of Variance) dan efek perlakuan dibandingkan dengan kontras ortogonal (STEEL dan TORRIE, 1980). Tabel 1. Komposisi bahan pakan komponen ransum sapi perah laktasi Bahan (bahan kering) Ransum A B C D E Rumput lapangan (%) 55 50 Ampas tahu (%) 35 35 35 35 35 Konsentrat (%) 47,37 44,37 44,37 10 10 10 10 10 Kedelai sangrai (%) - 5 5 5 5 Mineral/CM(%) - - 2,63 2,63 2,63 CaMJ (%) - - - 3 - CaMI (%) - - - - 3 CM = Campuran mineral Zn, Cu, Cr dan Se organik CaMJ = Sabun kalsium minyak jagung CaMI = Sabun kalsium minyak ikan PEMBAHASAN Kadar bahan kering susu sapi yang diberi ransum dengan suplementasi dan kedelai sangrai (B) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan kadar bahan kering susu sapi yang diberi ransum suplementasi campuran mineral, sabun kalsium minyak jagung, dan sabun kalsium minyak ikan. Kadar lemak susu sapi perah yang diberi ransum basal dan suplementasi kedelai sangrai, dan sabun kalsium minyak jagung lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan kadar lemak susu sapi yang mendapat ransum suplementasi campuran mineral dan sabun kalsium minyak ikan. Berat jenis (BJ) susu pada sapi percobaan berkisar antara 1,0280 dan 1,0294. Berat jenis susu yang dihasilkan sapi yang mendapat ransum basal lebih rendah (P<0,5) dibandingkan dengan yang dihasilkan sapi yang mendapat ransum suplementasi kedelai sangrai, mineral organik, sabun kalsium minyak ikan dan sabun kalsium minyak jagung. Sapi perah yang diberi ransum suplementasi campuran mineral dan sabun kalsium minyak ikan menghasilkan TPC susu lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan yang diberi ransum basal, ransum basal yang disuplementasi kedelai sangrai, dan sabun kalsium minyak jagung (Tabel 3). JITV Vol. 11 No. 4 Th. 2006 Tabel 2. Nutrien bahan pakan komponen ransum sapi perah laktasi Bahan pakan Nutrien Konsentrat yang diberi suplemen AT RL 87,74 32,45 37,37 7,78 1,16 3,97 10,81 13,74 8,24 2,83 2,65 6,10 5,92 3,01 0,42 9,98 11,13 8,60 9,00 7,13 11,79 65,0 74,9 76,4 77,6 78,0 80,7 69,0 A B C D E Bahan kering(%) 87,39 87,55 87,36 88,30 Abu (%) 11,01 7,93 7,07 7,68 Protein (%) 10,26 12,06 14,62 Lemak (%) 5,71 4,57 Serat Kasar (%) 11,76 TDN (%) ME (Mkal/kg) 2,44 2,89 2,95 3,01 3,02 3,15 2,62 Zn (ppm) 56 226 280 170 253 27 53 Cu (ppm) 6 5 28 14 24 5 7 Cr (ppm) 1,70 0,77 6,28 7,65 5,52 0,33 1,28 Se (ppm) - 1,29 1,03 1,45 0,26 - 1,38 Pb (ppm) - 1,05 0,76 0,66 0,83 0,18 2,31 AT= Ampas tahu; RL= Rumput lapang Tabel 3. Kualitas susu sapi perah yang diberi ransum yang disuplementasi sabun kalsium, kedelai sangrai dan mineral organik Ransum Peubah A B b Bahan kering (%) C b D E 11,08± 0,4a 12,16± 1,0 Lemak (%) 4,37±0,6b 4,53±0,8b 3,51±0,8a 4,13±0,7b 3,82±0,6a BKTL (%) 7,80±0,5 7,63±0,3 7,52±0,2 7,61±0,3 7,26±0,6 Protein (%) 3,11±0,2 3,02±0,3 3,16±0,1 3,20±0,2 3,20±0,3 Laktosa (%) 4,54±0,2 4,59±0,1 a pH 5 -1 TPC (10 CFU ml ) 11,32± 0,9 a 12,17± 1,0 BJ 11,04± 1,0 a 4,41±0,1 4,44±0,1 1,0296±0,001 1,0288±0,001 1,0288±0,001 1,0294±0,001c 6,65±0,04 6,63±0,08 6,65±0,08 6,66±0,02 6,61±0,06 b c a b 0,40±0,1a 2,07±1,0 b 4,56±0,1 1,0280±0,001 1,06±1,2 c 0,86±0,4 b 1,03±1,1 Huruf sama pada peubah yang sama, tidak berbeda nyata (P>0,05) A= Ransum basal; B = B + Kedelai sangrai; C= B + Campuran mineral Zn, Cu, dan Se D= CM+ Ca-minyak jagung; E= CM+ Ca-minyak ikan BKTL = Bahan kering tanpa lemak; BJ = Berat jenis; TPL = Total Plate Count Penurunan kadar bahan kering susu diindikasikan oleh kecenderungan penurunan kadar bahan kering tanpa lemak. Kisaran bahan kering tanpa lemak adalah 7,26 sampai 7,80%. Kisaran kadar lemak dalam percobaan ini adalah 3,51 sampai 4,53%. Suplementasi lemak pada sapi perah tidak selalu meningkatkan kadar lemak susu bahkan cenderung selalu menurun atau tidak berubah (CHILLIARD et al., 2001). Suplementasi mineral organik dan sabun kalsium minyak ikan pada ransum sapi perah menurunkan kadar lemak susu, namun pada sapi perah yang mendapat ransum suplementasi sabun kalsium minyak jagung tetap. TANUWIRIA (2004) melaporkan kadar lemak susu cenderung menurun pada sapi yang disuplementasi dengan Zn-Cu proteinat dan Ca-minyak ikan. Sapi perah yang diberi ransum suplementasi campuran mineral Zn, Cu, Cr dan Se menurunkan kadar lemak susu. Penurunan kadar lemak susu tersebut diduga 283 ADAWIAH et al.: Respon kualitas susu suplementasi kacang kedelai sangrai dan sabun kalsium serta mineral organik dalam ransum sapi perah karena adanya peran mineral Cu. ESSIG et al. (1972) melaporkan bahwa sapi Angus yang mendapat ransum konsentrat 75% dengan kadar Cu 4,4 g CuSO4 per 100 kg bobot hidup (melalui bolus) dapat menurunkan asetat, propionat, butirat dan VFA total cairan rumen in vivo setelah 2 jam diberi makan. Penurunan asam lemak rantai pendek dan VFA total dalam rumen menurunkan kadar lemak susu, karena VFA selain sebagai sumber energi untuk ternak juga sebagai prekursor sintesis komponen susu. Asetat adalah prekursor utama lemak susu (COLLIER, 1985). Sapi yang mendapat ransum suplementasi sabun kalsium minyak ikan menghasilkan kadar lemak susu rendah (3,82%). Penurunan kadar lemak susu dengan suplementasi Ca-minyak ikan diduga karena peranan Pufa (omega-3) yang terdapat dalam minyak ikan. Konsumsi Pufa (n=3) mempengaruhi transkripsi gen hati yang menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap metabolisme lemak. Asam lemak tersebut menekan ekspresi gen lipogenik dan secara simultan mempengaruhi transkripsi protein kode gen dalam oksidasi dan termogenesis lemak (BERARD et al., 2004). Oleh karena itu CaMI yang disuplementasi pada sapi perah justru menurunkan kadar lemak. Penelitian pada kambing yang diberi perlakuan kontrol dan minyak ikan tuna tanpa proteksi dan diproteksi menghasilkan kadar lemak susu 4,15, 4,33 dan 4,07%. Hasil tersebut menunjukkan minyak ikan yang diproteksi cenderung menurunkan kadar lemak dibandingkan dengan tanpa proteksi dan kontrol. Hasil ini juga memperlihatkan asam lemak omega-3 yang terproteksi dapat lolos dari degradasi rumen sehingga mempengaruhi sintesis lemak susu (KITESSA et al., 2001). Hal yang sama dilaporkan oleh TANUWIRIA (2004) bahwa kadar lemak cenderung menurun pada saat sapi disuplementasi dengan Ca-minyak ikan. Namun hal ini berbeda dengan hasil penelitian MUHTARUDIN (2002) bahwa kadar lemak meningkat dengan penambahan lisin-Zn-minyak ikan lemuru. Kadar protein susu yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 3,02 dan 3,20%. Menurut LARSON (1985) kadar protein susu sapi Holstein adalah 3,11% ± 0,25. Pada sapi yang mendapat suplementasi campuran mineral relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak disuplementasi dengan campuran mineral. Salah satu mineral tersebut adalah mineral Zn. Mineral ini berperan dalam enzim polimerase DNA, RNA dan sintesis protein. Di samping itu mineral Cr juga berperan dalam metabolisme protein khususnya inkorporasi asam amino. Oleh karena itu, penambahan mineral dapat meningkatkan sintesis protein susu. Kadar laktosa susu sapi pada percobaan ini sekitar 4,41 sampai 4,56%. Kadar laktosa susu sapi Holstein 4,61% (LARSON, 1985), dan sapi Holstein di Indonesia 3,6 sampai 5,5% (HADIWIYOTO, 1994). Suplementasi mineral Cr dalam ransum sapi perah tidak 284 meningkatkan kadar laktosa susu. Fungsi mineral kromium adalah meningkatkan kinerja insulin untuk memasok glukosa ke dalam sel. Glukosa tersebut tidak dipakai untuk sintesis laktosa tetapi untuk menghasilkan energi atau disimpan sebagai glikogen. Oleh karena itu, sapi perah yang diberi ransum yang disuplementasi mineral mempunyai pertambahan bobot hidup yang cukup tinggi namun produksi susu dan kadar laktosa yang lebih rendah. MUKTIANI (2002) melaporkan kadar laktosa susu tidak berbeda melalui suplementasi mineral Cr-organik. Kadar laktosa yang dihasilkan dari percobaan tersebut mencapai 3,71 sampai 4,57%. Total plate count (TPC) adalah metode penghitungan mikroba dalam susu untuk menggambarkan kesehatan ambing sapi perah. Jumlah bakteri patogen dalam susu dapat menjadi petunjuk adanya gejala mastitis subklinis (HOLMES dan WILSON, 1984). Jumlah bakteri yang dihitung dengan metode tersebut tidaklah murni berasal dari bakteri pada ambing, tapi ada kaitannya dengan manajemen atau kebersihan dalam pemerahan. Oleh karena itu TPC merupakan indikator kehigienisan susu. Jumlah bakteri (TPC) pada percobaan ini berkisar mulai dari 0,4 sampai 2,07 x 105 CFU ml-1. Penurunan TPC pada susu yang dihasilkan oleh sapi yang mendapat ransum suplementasi mineral disebabkan oleh pengaruh mineral terhadap fungsi kekebalan. Beberapa mineral mikro, terutama yang paling banyak dilaporkan adalah Zn, Cu, Cr dan Se, sebagai suplemen nutrien dalam pakan yang berpotensi memperbaiki fungsi kekebalan (GALYEAN et al., 1999). Mineral Zn sudah lama dikenal sebagai nutrien yang mampu mencegah mastitis. Defisiensi mineral Zn dapat menyebabkan parakeratosis yaitu penebalan atau hiperkeratinisasi kulit akibat gagalnya degenerasi inti sel secara lengkap pada sel epitel kulit atau jaringan usus. Penebalan tersebut mengakibatkan puting susu keras, rapuh, pecah, dan mengundang infeksi bakteri patogen ke dalam kelenjar ambing sehingga menyebabkan mastitis. SCALETTI et al. (2003) melaporkan suplementasi Cu (20 ppm) menghasilkan jumlah bakteri, somatic cell count (SCC), nilai kesehatan, dan suhu rektal lebih rendah. Respons tersebut diduga akibat peningkatan kemampuan neutrofil dalam ternak yang disuplementasi untuk membunuh invasi bakteri E. coli. Kemampuan ternak yang mendapat Cu untuk membatasi pertumbuhan E. coli dalam kelenjar ambing mungkin dapat dilihat dari respons temperatur tubuh yang lebih rendah. NRC (2001) merekomendasikan level Cu dalam ransum 10 ppm. Level itu tampaknya cukup untuk pertumbuhan dan produksi susu tetapi mungkin tidak cukup untuk respons dan fungsi kekebalan optimal (SCALETTI et al., 2003). Suplementasi Se pada sapi perah mampu menurunkan jumlah bakteri kelenjar ambing, SCC dan JITV Vol. 11 No. 4 Th. 2006 meningkatkan kemampuan neutrofil dalam membunuh bakteri (SWECKER et al., 1995). Pemberian vitamin E dan Se mampu mencegah mastitis (ERSKINE dan BARLETT, 1993). Jumlah bakteri susu terendah diproduksi oleh sapi yang diberikan ransum yang disuplementasi sabun kalsium minyak ikan. Suplementasi sabun kalsium minyak ikan mampu menurunkan TPC dengan populasi bakteri 0,4 x 105 CFU ml-1. Hal tersebut diduga karena EPA dan DHA pada minyak ikan berperan dalam produksi leukotrien (LT4) yaitu komponen sel darah putih dan mediator dalam sistem pembentukan kekebalan tubuh (SINCLAIR, 1993). KESIMPULAN DAN SARAN Suplementasi kacang kedelai sangrai, sabun kalsium, dan mineral organik tidak mempengaruhi kadar laktosa, protein, dan bahan kering tanpa lemak susu. Campuran mineral organik menurunkan kadar lemak susu, sementara itu berat jenis susu meningkat dengan penambahan kedelai sangrai, sabun kalsium minyak ikan, dan campuran mineral. Total plate count (TPC) menurun dengan penambahan campuran mineral dan sabun kalsium minyak ikan pada ransum. Kemampuan mineral organik dan sabun kalsium menurunkan TPC pada penelitian ini belum memberi jawaban apakah bakteri tersebut adalah akibat mastitis. Oleh karena itu, dapat dilanjutkan dengan melihat pengaruh mineral organik dan sabun kalsium minyak ikan pada mastitis. DAFTAR PUSTAKA BERARD, A.M., M.F. DUMON and M. DARMON. 2004. Dietary fish oil up-regulates cholesterol 7α-hydroxylase mRNA in mouse liver leading to an increase in bile acid and cholesterol excretion. FEBS Letters 559: 125-128. CHILLIARD, Y., A. FERLAY and M. DOREAU. 2001. Effect of different types of forage, animal fat or marine oils in cows diet on milk fat secretion and composition, especially conjugated linoleic acids (CLA) and polyunsaturated fatty acids. Livest. Prod. Sci. 70: 31:48. COLLIER, R.J. 1985. Nutritional metabolic and environmental aspect of lactation. In: Larson BL. Lactation. The Iowa State University Press-USA. Ames, Iowa. ERSKINE, R.J. and P.C. BARLETT. 1993. Serum concentration of copper, iron, and zinc during Escherichia coli induced mastitis. J. Dairy Sci. 76: 408-413. ESSIG, H. W., J.D. DAVIS and L.J. SMITHSON. 1972. Copper sulfate in steer ration. J. Dairy Sci. 35: 436-439. GALYEAN, M.L., L.J. PERINO and G.C. DUFF. 1999. Interaction of cattle health/immunity and nutrition. J. Anim. Sci. 77: 1120-1134. HADIWIYOTO, S. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Liberty. Jogyakarta. HOLMES, C.W. and G.F. WILSON. 1984. Milk Production from Pasture. Butterworth. New Zealand. KITESSA, S.M., S.K. GULATI, J.R. ASHES, E. FLECK, T.W. SCOTT and P.D. NICOLOSI. 2001. Utilization of fish oil in ruminant II. Transfer of fish oil fatty acids into goats milk. Anim. Feed Sci. Technol. 89: 210-218. LARSON, B.L. 1985. Biosynthesis and cellular Secretion. In: Larson BL, editor. Lactation. The Iowa State University Press. Iowa. LITTLE, D.A. 1986. The mineral content of ruminant feeds and potential for mineral supplementation in South-East Asia with particular reference to Indonesia. In: Dixon RM (Ed). Ruminant Feeding Systems Utilizing Fibrous. Agricultural Residues, IDP. Canberra. MCDOWELL, L.R. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. Academic Press. London. MUHTARUDIN. 2002. Pengaruh Amoniasi Hidrolisat Bulu Ayam Daun Singkong dan Campuran Lisin-Zn-Minyak Lemuru terhadap Penggunaan Pakan pada Ruminansia. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. MUKTIANI, A. 2002. Penggunaan Hidrolisat Bulu Ayam dan Sorgum serta Suplemen Kromium Organik untuk Meningkatkan Produksi Susu pada Sapi Perah. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. NATIONAL RESEARCH COUNCIL. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Updated 2001. National Academy Press. Washington D.C. SCALETTI, R.W., D.S. TRAMMELL, B.A. SMITH and R.J. HARMON. 2003. Role of dietary copper in enhancing resistance to Esherichia coli mastitis. J. Dairy Sci. 86: 1240-1249. SINCLAIR, A.J. 1993. The nutritional significant of omega-3 polyunsaturated fatty acid for human. Asean Food J. 8: 3-10. STEEL, R.G.D. nad J.H. TORRIE. 1980. Principles and Procedures of Statistics. Ed ke-2. McGraw-Hill. International Book Co. Singapore. SUTARDI, T. 2002. Teknologi pakan dan aplikasinya. Dikemukakan pada Pelatihan Manajemen Pengelolaan Ternak Potong. Pemerintah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung Dinas Pertanian dan Kehutanan. Pangkalpinang, 29 Oktober-2 November 2002. SUTRISNO, CI. 1983. Pengaruh Minyak Nabati dalam Mengatasi Defisiensi Zn pada Sapi yang Memperoleh Ransum Berbahan Dasar Jerami Padi. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. SWECKER, JR.W.S., C.D. THATCHER, D.E. EVERSOLE, D.J. BOLDGETT and G.G. SCHUNG. 1995. Effect of selenium supplementation on colostral IgG concentration in cos grazing selenium-deficient pastures and possuckle 285 ADAWIAH et al.: Respon kualitas susu suplementasi kacang kedelai sangrai dan sabun kalsium serta mineral organik dalam ransum sapi perah serum IgG concentration in their calves. Am. J. Vet. Res. 56: 450-453. TANUWIRIA UH. 2004. Suplemen Seng dan Tembaga Organik serta Kompleks Kalsium-Minyak Ikan dalam Ransum 286 Berbasis Limbah Industriagro untuk Pemacu Pertumbuhan dan Produksi Susu pada Sapi Perah. Disertasi. Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.