Perempuan dalam Hukum Keluarga 1072010 – Heru Susetyo

advertisement

By : Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si

Wanita Keluarga dan Hukum dalam Pembangunan Nasional

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

18 November 2010 .

Perempuan dalam Hukum

Perkawinan dan Keluarga

Mengapa tema ini menjadi penting?

Apa saja masalah yang dialami oleh perempuan dalam Hukum

Perkawinan dan Hukum Keluarga?

Wilayah kritis perempuan

 Perempuan dalam perkawinan dan hukum keluarga> stereotype, diskriminasi, marjinalisasi, subordinasi

 Perempuan dan ketenagakerjaan > diskriminasi, eksploitasi PRT dan TKW

 Perempuan dan peran publik & politik

 Perempuan dan pendidikan

 Perempuan dan kesehatan

 Perempuan korban konflik, korban bencana dan tinggal di wilayah tertinggal

 Perempuan dan ekonomi> peminggiran, kemiskinan,

SMES

AGENDA POLITIK PEREMPUAN

(Abdul Aziz Hoessein)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Agenda dalam Beijing Women Conference 1995 :

Perempuan dan kemiskinan

Perempuan dan pelatihan perempuan

Perempuan dan kesehatan

Tindak kekerasan terhadap perempuan

Perempuan dan konflik bersenjata

Perempuan dan ekonomi

SOPHIE - Social Policy and Human Rights

Institute- WORKSHOP 2009

7.

8.

9.

Perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan

Mekanisme kelembagaan dan kemajuan perempuan

Hak Asasi Perempuan

Perempuan dan Media massa 10.

11.

12.

Perempuan dan lingkungan hidup

Anak perempuan

(YJP, 2004)

SOPHIE - Social Policy and Human Rights

Institute- WORKSHOP 2009

3.

4.

5.

6.

Bagian-Bagian Hukum Keluarga

1.

2.

Keturunan : asal usul anak, anak sah, anak yang lahir di luar perkawinan.

Kekuasaan orang tua : hak dan kewajiban orang tua, pemeliharaan orang tua, pemeliharaan anak, pencabutan kekuasaan orang tua.

Perwalian

Pendewasaan

Pengampuan

Perkawinan dan Perceraian

Hukum Keluarga

Adat

Islam

Perdata Barat

Hukum Keluarga dalam Agama lain

Masalah Perempuan dalam

Perkawinan

 Peran dan tanggungjawab suami istri

 Pembagian peran dalam keluarga dan rumah tangga

 Perkawinan poligami

 Perkawinan di bawah tangan

 Perkawinan di bawah umur

 Kekuasaan orang tua dan anak perempuan

 Hak-hak perempuan dalam proses perceraian dan pasca perceraian

 Kekerasan Dalam Rumah Tangga

 dll

Kisah Tragis perempuan :

Remaja 17 tahun punya 7 anak kandung

 Kasus unik terjadi di Leones, Argentina. Remaja putri berusia 17 tahun memiliki tujuh anak kandung. Uniknya lagi, atau tragisnya, anak-anak itu memiliki tiga ayah berbeda yang saat ini tidak diketahui keberadaannya.

Tujuh anak tersebut diperolehnya dalam tiga kelahiran.

Dua di antara tiga kehamilannya memang kembar tiga.

Kalangan kedokteran menyebut kasus Pamela itu sebagai

"kelangkaan ilmu pengetahuan". Dia melahirkan anak pertama ketika berusia 14 tahun.Kemudian, dia dua kali melahirkan bayi kembar tiga pada usia 15 tahun dan 16 tahun.

SOPHIE - Social Policy and Human Rights

Institute- WORKSHOP 2009

SOPHIE - Social Policy and Human Rights

Institute- WORKSHOP 2009

 Yang unik, atau tragis, tiga kehamilan itu dia dapatkan setelah berhubungan badan dengan tiga lelaki berbeda. Kini, dia tidak tahu keberadaan tiga ayah anak-anak tersebut. Dia mengakui bahwa merawat tujuh anak adalah pekerjaan melelahkan. Namun, dia merasa bahagia karena anak-anaknya sehat dan bahagia. "Saya berusaha menjadi ibu terbaik bagi mereka, sebisa yang saya lakukan," ujarnya.

Perkawinan di Bawah Umur

 Dampaknya bagi perempuan

 Ketiadaan surat nikah

 Perkawinan di bawah tangan dan legalitas perkawinan di mata hukum negara

 Kemandirian dan posisi tawar perempuan

 Keberlangsungan pendidikan perempuan

Kasus SYEKH PUJI & ULFA :

Perkawinan di Bawah Umur

SOPHIE - Social Policy and Human Rights

Institute- WORKSHOP 2009

Bagaimana perkawinan di bawah umur dalam UU Indonesia?

 KUHP

 UU Perlindungan Anak?

Convention on Consent to Marriage, Minimum

Age for Marriage and Registration of Marriage

1964

Indonesia belum menjadi signatory maupun party dari konvensi ini

Pembagian Peran Suami Isteri dalam UU No. 1 tahun 1974

 Pasal 31

(1). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3). Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pembagian Peran Suami Isteri dalam UU No. 1 tahun 1974

 Pasal 34

(1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2). Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaikbaiknya.

(3). Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada

Pengadilan.

Bagaimana kalau hal seperti ini terjadi?

Prime Minister Becomes First World Leader to Marry Lesbian Partner

Icelandic leader in milestone gay marriage

Wednesday, June 30, 2010

By Louise Nordstrom, Associated Press

www.cnsnews.com/public/checker.aspx?rsrcID=68794 - 4 hours ago

Stockholm (AP) - Iceland's prime minister made history last week when she wed her longtime girlfriend, becoming the world's first head of government to enter a gay marriage.

But fellow Nordic nations hardly noticed when 67-year-old

Johanna Sigurdardottir tied the knot with her longtime partner a milestone that would still, despite advances in gay rights, be all but inconceivable elsewhere.

Perkawinan di Bawah Tangan

 Ada yang menyebutnya nikah sirri

 Terjadi karena pasangan belum siap menikah resmi, pernikahan poligami, pernikahan di bawah umur, pernikahan karena ‘kecelakaan’ , dll

 Bisa jadi pernikahan di bawah umur adalah ‘sah’ di mata hukum agama, namun tak berkekuatan hukum di mata hukum negara.

 Pernikahan di bawah tangan adalah tidak dicatatkan di muka PPN KUA atau Petugas KCS

 Apabila ada pasangan yang kemudian memiliki surat nikah, boleh jadi surat nikahnya ‘Aspal’

Dasar Hukum Pencatatan

Perkawinan

Pasal 2 UU No. 1 tahun 1974

(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengapa Perkawinan Tidak

Dicatatkan?

 Tidak memenuhi syarat-syarat dalam UU Perkawinan

 Perkawinan poligami

 Perkawinan di bawah umur

 Perkawinan berbeda agama

 Perkawinan berbeda kewarganegaraan

 Pasangan yang menikah, salah satu atau keduaduanya menganut agama atau kepercayaan yang ‘tidak diakui’ di Indonesia

Perkawinan Poligami

 UU Perkawinan Indonesia No. 1 tahun 1974 menganut prinsip monogami terbuka, alias poligami diperbolehkan sepanjang memenuhi syarat-syarat alternatif dan kumulatif.

 Kebolehan poligami di dalam hukum Indonesia berbeda dengan di dalam hukum Islam

Poligami dalam Al Qur’an

 Al-Quran surat Al-Nisa' [4]: 3 menyatakan : Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim

(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (dalam hal-hal yang bersifat lahiriah jika mengawini lebih dari satu), maka

kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya

Pengaturan tentang poligami

 Pasal 3

(1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

Syarat Alternatif (pasal 4)

Pasal 4

(1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)

Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Syarat Kumulatif

Pasal 5

(1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Perkawinan Berbeda

Kewarganegaraan

 UU Kewarganegaraan No. 12 tahun 2006 memberikan perlindungan lebih kuat terhadap istri (Indonesia) dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

 Namun tetap saja di lapangan posisi tawar istri yang

WNI seringkali lebih rendah, terutama apabila pendidikan dan status ekonomi mereka rendah (i.e.

BMI/ TKW)

Anak yang Dilahirkan dari

Perkawinan Campuran

Pasal 29

(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara

Republik Indonesia dan warga negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya.

 (3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.

UU Kewarganegaraan 2006

Pasal 4

Warga Negara Indonesia adalah: b.

anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga

Negara Indonesia; c.

anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara

Indonesia dan ibu warga negara asing; d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia.

 e. l.

anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.

m.

anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia

e. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asala ayahnya tidak memberikan kewargaanegaraan kepada anak tersebut; f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indonesia; g.

anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia;

Kasus

h.

anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara

Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun dan/atau belum kawin; i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; j. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara

Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; k.

anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.

 Pasal 5

 (1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.

 (2) Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara

Indonesia.

Pasal 6

 (1) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik

Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf f, huruf m, dan

Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.

 ( 2) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.

 (3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

 Pasal 21

(1) Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik

Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia

(2) Anak warga negara asing yang belum berusia 5 (lima) tahun yang diangkat secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh

Warga Negara Indonesia memperoleh Kewarganegaraan Republik

Indonesia.

(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) memperoleh kewarganegaraan ganda, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya sebagaimana diatur dalam Pasal 6.

Kasus Kekuasaan Orang Tua

Perlindungan Perempuan dalam

Hukum Keluarga (CEDAW)

Article 15

1. State parties shall accord to women equality with men before the law.

2. State parties shall accord to women, in civil matters, a legal capacity identical to that of men and the same opportunities to exercise that capacity. In particular, they shall give women equal rights to conclude contracts and to administer property and shall treat them equally in all stages of procedure in courts and tribunals.

Article 16 CEDAW

a.

b.

c.

d.

e.

Same rights to enter into marriage;

Same rights freely to choose a spouse and to enter into marriage only with their free and full consent;

Same rights and responsibilities during marriage and dissolution;

Same rights and responsibilities as parents, irrespective of their marital status

Etc.

Perempuan dalam Perceraian

 Pasal 39 UU No. 1 tahun 1974

(1). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang

Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

(2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

(3). Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Alasan untuk Bercerai

Pasal 19 PP No. 9 tahun 1975

 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

By :

Heru Susetyo

Attorney & Lecturer

Faculty of Law University of Indonesia, Depok - INDONESIA

1.

2.

3.

Background (1)

4.

Indonesia has enacted some laws on marriage/divorce affairs.

The source of laws are : Western European civil laws, customary laws (adat) and religious laws.

The divorce laws for muslim citizens are :

Law No. 1/1974 on marriage

Government Regulation No. 9 year 1975

Law No. 7 year 1989 on Religious judicature (civil procedures)

Islamic Law Compilation (disseminated through

Presidential Instruction No. 1 year 1991).

Background (2)

The divorce laws enable and secure the man and woman`s rights to divorce (before 1974, woman would find it difficult to claim a divorce)

However, to date, woman still find it difficult to secure her rights after the divorce took place.

The post-divorce main problems for women are : alimony, child custody, child support, and joint matrimonial property.

Women will gain their post-divorce rights `only if the men willing to do so`

Therefore, women usually win `on the paper` and `men always win`

Research question

 Why do women have weaker bargain in securing their rights after the divorce took place before

Indonesian religious court ?

method

 Primary data : interview, observation (the author`s cases, other people`s cases)

 Secondary data : court verdicts, related statutory, books, internet sources, etc

 Place : Jakarta & greater Jakarta area

 Time : 2007 - 2008

INTRODUCTION :

RELIGIOUS COURT (Islamic Court)

INDONESIAN JUDICIAL SYSTEM

INDONESIAN

JUDICIAL

SYSTEM

SUPREME

COURT

CONSTITUTIONAL

COURT

CORRUPTION

COURT

LABOR

COURT

MILITARY COURT

APPELLATE

RELIGIOUS COURT

COMMERCIAL

COURT

DISTRICT

RELIGIOUS COURT

APPELLATE

COURT

APPELLATE

ADMINISTRATIVE

COURT

DISTRICT COURT

ADMINISTRATIVE

COURT

Indonesian Religious Courts :

Facts and Figures

 In 2008, Indonesia has :

 326 religious district court (district level)

 25 appellate religious court (provincial level, total

Indonesian provinces = 33)

 2700 judges (283 female and 2119 male judges at district court; 15 female and 291 male judges at appellate court)

 3740 registrar (panitera)

 2500 administrator (jurusita)

Jurisdiction of Religious Courts

1.

2.

3.

4.

5.

The religious courts have jurisdiction for

Muslims in following fields :

Nikah/ talak (Marriage/ divorce)

Waris (Inheritance), wasiat (will & testament), hibah (charitable bequest)

Wakaf (charitable trust) and shadaqah (other forms of alms)

Infaq and zakat (charitable donations/ alms)

Syari`ah economy (Islamic banking & insurance)

8

9

6

7

4

5

2

3

Cases Received by Religious Court 2006 (Sumner,

2006)

no Kind of cases 1 st level religious court

% (of total

1 st level)

Appellate religious court

% (of total appeal)

1 Divorce 178.913

98.8% 1288 84.69%

Inheritance

Testament

Bequest

Property donation/wakaf

Alms (shadaqah)

Request for division of deceased estate

Syariah economy

Other

2

318

0

432

1311

22

58

21

0.72%

0.01%

0.03%

0.01%

0.01%

0.18%

0%

0.24%

0

14

0

0

195

4

16

4

12.82%

0.26%

1.05%

0.26%

0%

0%

0%

0.92%

Divorce cases are religious courts` main business…

 Make up 98.8% out of total cases in 1 st level/ district religious courts nationwide in 2006

 Make up 84.69% out of total cases in appellate religious courts nationwide in 2006

Religious court`s verdict

bismillahirrahmanirrrahim for the sake of justice in

One Supreme God woman as plaintiff man as defendant

Religious court`s verdict

divorce claim is granted

Joint matrimonial property : a car to be sold

Divorce in Islam & Indonesian Law

 Both Islam and Indonesian Law No. 1 year 1974 do not simply consent to divorce.

 Prophet Muhammad SAW earlier warned that divorce, though permissible, is disliked by Allah (God).

 Article 39 of Law No. 1 year 1974 makes divorce difficult, by setting certain prerequisites to be met.

Grounds for Divorce (1)

(art. 19 of Govt Regulation No. 9/ 1975

1.

2.

3.

One of the parties committed adultery, becoming alcoholic, drug abuser, gambler, or similar hard-to-cure vices.

One of the parties abandoned the other for two years continuously without the permission of the other party and without any legal reason or other reason outside the capabilities of the party.

One of the parties received a sentence amounting 5 years or more after the marriage was carried out.

Grounds for Divorce (2)

4.

5.

6.

One of the parties committed serious violence or battering against the other party.

One of the parties caught a bodily disability or disease resulting in their inability to fulfill their duty as husband or wife.

Between both parties there were continual disputes and conflicts, with no hope of restoring peace in the family.

Grounds for Divorce (3)

Additional grounds

(vide article 116 of Islamic Law Compilation)

(6) Continuous disputes between husband and wife;

(7) Either party breach of conditions in the marriage contract;

(9) Either party committed apostasy.

Forms of Divorce (1)

 Islamic tradition (Baderin, 2003) :

1.

unilateral repudiation by the husband (talaq).

2.

discharge at wife`s request (khuluk);

3.

dissolution by mutual agreement (mubara`ah);

4.

dissolution through judicial order (fasakh).

Unilateral repudiation (talaq) is a right of the husband while the other three forms (khuluk, mubara`ah and fasakh) are invocable by the wife

Forms of Divorce in Indonesian Law

1.

a.

b.

Talak (unilateral repudiation) by the husband; consist of :

Talak raj`i

Talak bain (shugra and kubra)

2.

a.

b.

Divorce claim by the wife:

Khuluk > wife has to pay iwadl money Rp 1000,-

Fasakh (through court decision)

Legality of divorce

Article 39 Indonesian Law No. 1 year 1974

 A divorce shall be carried out only before a session of a court of Law after the Court concerned has endeavored and has been unsuccessful in bringing about a conciliation between the two parties.

 In order to carry out a divorce, sufficient reasons shall be present indicative of the incapability of the husband and the wife living together in harmony.

 the “out of court divorce” is considered “unregistered divorce” and has no legal power”

1.

2.

3.

4.

Problem for Women in Divorce Cases

In a divorce claim (lawsuit), usually women request the judges to decide on following matters :

Dissolving the marriage by divorce

Deciding the division of joint matrimonial property

Deciding the children custody

Deciding the alimony (nafkah iddah and mut`ah) and child support

Problem 1 : dissolving the marriage by divorce

 Usually the divorce claims will be granted by the judges.

 If the husband has never appeared three times before the court then the claims will be granted.

 Problem : what about joint matrimonial property, alimony, and child support if the husband never come up?

Problem 2 : Joint Matrimonial Property

Article 35 Indonesian Law No. 1 year 1974

 Property acquired during marriage shall become joint property.

 Property brought in by the husband or the wife respectively and property acquired by either one of them as a gift or an inheritance shall be under the respective control of either one of them, provided the parties have not decided otherwise.

 Article 97 of Islamic Law Compilation

The divorce and divorcee have equally half of the joint property except there is a certain agreement in the marriage.

Problem :

 Most of the properties are registered in husbands` names

 If the properties are currently under husband`s custody then it will be difficult to force him to surrender (court? police? Legal mechanism?)

Problem 3 : Children Custody

Article 156 Law No. 7 year 1989 :

 Children who are not mummayiz (grown up) has the right to have the hadhanah (custody) from the mother.

 The grown up children have the right to choose whether they have the hadhanah (custody) from the father of the mother.

the Kompilasi Hukum Islam provides the following:

 The mother has custody of children not yet mumayyiz or under the age of 12 years.

 Children already mumayyiz may choose between the father and the mother.

Problem in Child Custody :

If the children are in her husband`s custody before or during the trial process, then it will be difficult to force him to surrender the children, unless he is willing to do so

(police? Court? Legal mechanism?)

 In the mixed marriage (different religion), a women who married in Islam then revert to her previous religion other than Islam, will mostly lost her claim over child custody

Problem 4 : Alimony and Child Support

Article 149 Law No. 7 year 1989

If a marriage is broken due to talak, the ex husband is obliged to :

Submit a proper amount of mut`ah to his ex wife either in a form of goods or money, except the divorce takes place before an intercourse.

Provide a living cost, maskan, and kiswah to his ex wife during the period of `iddah` except when the wife is divorced by talak ba`in or nusyuz and not in pregnancy.

Pay off the whole credited `mahar`, or in half if the divorce is happens before intercourse.

Provide the hadhana allowances for his children who are under 21 years old.

Problem :

 Difficult to obtain husband`s payroll and proves his financial availability

 Need a good relationship with husband`s employer

 What if the husband does not earn monthly salary?

(running entrepreneurship)

Findings

 `Men always win`

 Women win mostly `on the paper` (court verdict)

 The post-divorce settlement rely largely on ex husband`s good faith

 Legal mechanism is insufficient

 What is the role of the state ? (Indonesia has ratified

CEDAW, ICCPR & ICESCR)

Causes of Women`s

Weaker Bargain

LAW/

STATUTORY

JUDICIAL

STRUCTURE

WOMEN`S

WEAKER

BARGAIN

JUDICIAL

CORRUPTION

WOMEN`S SOCIAL

STATUS

PATRIARCHAL

CULTURE

INSUFFICIENT

CIVIL/

CRIMINAL

PROCEDURES

Download