REKONSTRUKSI HUKUM KEPAILITAN KOPERASI SIMPAN PINJAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN Mata Kuliah: Hukum Perbankan Dan Lembaga Keuangan Dosen: Dr. Dhoni Martien, SH., MH Oleh: Adhy Adhyaksa Elma Raharja 2202230020 PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BUNG KARNO JAKARTA 2024 DAFTAR ISI I. Abstrak II. Pendahuluan II. Metode Penelitian III. Hasil IV. Pembahasan V. Simpulan I. ABSTRAK Indonesia berkomitmen untuk mensejahterakan rakyatnya melalui berbagai mekanisme yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, salah satunya adalah dengan mendirikan koperasi. Koperasi adalah bentuk badan hukum yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggotanya, terutama bagi mereka dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, koperasi memiliki landasan operasional yang berbeda dari badan hukum komersial lainnya, karena menekankan pada kepentingan anggota sebagai pemilik sekaligus pengguna layanan koperasi. Koperasi juga memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia dengan menyatukan modal dari anggota untuk kemudian disalurkan kembali melalui mekanisme simpan pinjam. Meskipun koperasi memiliki fungsi sosial-ekonomi yang krusial, tantangan keuangan sering kali muncul ketika kebutuhan dana melebihi jumlah dana yang berhasil dihimpun dari anggota, sehingga koperasi terkadang membutuhkan tambahan pendanaan dari pihak eksternal, seperti bank atau kreditur lain. Koperasi simpan pinjam, atau yang kadang disebut sebagai koperasi kredit, adalah jenis koperasi yang paling sering memerlukan tambahan pendanaan. Koperasi ini menyelenggarakan layanan tabungan dan pemberian kredit kepada anggotanya, namun karena jumlah dana yang dihimpun sering kali tidak mencukupi untuk menutup kebutuhan dana, koperasi kerap meminjam dana dari pihak ketiga. Kondisi ini menyebabkan koperasi berada dalam situasi yang berisiko, terutama ketika koperasi tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada kreditur pada saat jatuh tempo. Dalam konteks hukum, koperasi yang berada dalam kondisi ini dapat dimohonkan kepailitannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Menurut UU tersebut, badan hukum koperasi yang memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak mampu melunasi sedikitnya satu utang yang jatuh tempo dapat dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan. Namun, di Indonesia, persoalan yang sering muncul dalam pengaturan kepailitan koperasi adalah adanya ketidaksesuaian antara karakteristik koperasi dengan aturan kepailitan yang umumnya berlaku untuk badan usaha komersial. Sebagai badan hukum berbasis kekeluargaan, koperasi memiliki struktur kepemilikan yang unik, di mana anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna layanan koperasi tersebut. Hal ini menimbulkan masalah tersendiri dalam penerapan UU Kepailitan, karena koperasi tidak sepenuhnya beroperasi dengan tujuan komersial dan lebih berfokus pada kesejahteraan anggotanya. Penanganan kepailitan koperasi yang disamakan dengan badan usaha komersial dapat mengancam keberlangsungan koperasi dan menimbulkan dampak negatif bagi anggotanya. Salah satu kasus yang menunjukkan kompleksitas dalam kepailitan koperasi adalah kasus Koperasi Bank Pasar Karyawan Swantara yang melawan Bank Indonesia. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 67 K/TUN/2006, Bank Indonesia mencabut izin operasional koperasi tersebut karena dinilai tidak memenuhi ketentuan permodalan minimum. Namun, dalam proses pencabutan izin ini, Bank Indonesia dianggap tidak mengikuti prosedur yang berlaku, khususnya yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang penetapan status pengawasan khusus bagi bank atau koperasi yang dianggap bermasalah sebelum pencabutan izin usaha dilakukan. Mahkamah Agung memutuskan bahwa pencabutan izin tersebut tidak sah karena Bank Indonesia tidak memberikan kesempatan bagi koperasi untuk memperbaiki kondisi keuangan dan mematuhi aturan pengawasan yang seharusnya diberlakukan. Kasus ini menggambarkan pentingnya penyesuaian antara peraturan kepailitan dengan karakteristik koperasi yang berbasis kekeluargaan. Koperasi berbeda dengan badan usaha komersial dalam hal tujuan dan struktur operasionalnya, sehingga memerlukan pengaturan khusus dalam hal kepailitan. Sebagai badan hukum yang mengutamakan kesejahteraan anggota, proses kepailitan koperasi seharusnya lebih memperhatikan aspek sosial dan ekonomi yang melekat pada koperasi. Tanpa adanya peraturan yang mempertimbangkan kekhasan koperasi, proses kepailitan yang diterapkan secara sama dengan badan usaha komersial dapat merugikan anggota yang telah berinvestasi dalam koperasi dan bergantung pada layanan koperasi untuk kebutuhan finansial mereka. Oleh karena itu, diperlukan kajian mendalam mengenai ketentuan kepailitan yang berlaku bagi koperasi, terutama untuk memastikan bahwa proses kepailitan tidak hanya berpihak pada kepentingan kreditur, tetapi juga memperhitungkan kesejahteraan anggota koperasi. Studi kasus dari putusan pengadilan terkait kepailitan koperasi menunjukkan bahwa pendekatan hukum yang ada saat ini belum sepenuhnya mendukung kepentingan koperasi sebagai badan hukum berbasis kekeluargaan. Melalui kajian yang lebih menyeluruh, diharapkan ada perubahan regulasi yang dapat menciptakan perlindungan hukum yang lebih sesuai dengan karakteristik koperasi di Indonesia. II. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, koperasi berperan penting sebagai salah satu landasan perekonomian. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, koperasi dirancang sebagai badan hukum yang menitikberatkan pada prinsip kekeluargaan dan gotong royong. Koperasi menyediakan layanan keuangan bagi anggotanya, terutama bagi mereka dari golongan ekonomi menengah ke bawah, melalui mekanisme simpan pinjam. Namun, koperasi sering menghadapi kendala keuangan ketika kebutuhan dana melebihi dana yang berhasil dihimpun dari anggotanya. Kondisi ini mengharuskan koperasi untuk mencari sumber pendanaan eksternal, seperti pinjaman dari kreditur lain atau lembaga keuangan. Ketika koperasi gagal memenuhi kewajibannya kepada kreditur, status pailit dapat diajukan kepada pengadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Kendati demikian, penerapan hukum kepailitan pada koperasi seringkali dianggap kurang tepat karena karakter koperasi berbeda dengan badan hukum komersial lainnya. Sebagai badan usaha yang berlandaskan asas kekeluargaan, anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna layanan. Kondisi ini menimbulkan dilema hukum dalam penanganan kasus kepailitan koperasi, mengingat dampak dari kepailitan tidak hanya memengaruhi kreditur tetapi juga anggota koperasi yang bergantung pada layanan koperasi untuk kesejahteraan mereka. Kasus Koperasi Bank Pasar Karyawan Swantara yang diadili dalam putusan Mahkamah Agung No. 67 K/TUN/2006 adalah salah satu contoh yang mencerminkan kompleksitas tersebut. Bank Indonesia mencabut izin usaha koperasi ini tanpa melalui tahapan pengawasan khusus terlebih dahulu, yang seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Keputusan ini dinilai tidak memberikan kesempatan kepada koperasi untuk memperbaiki kondisi finansialnya, sehingga dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan dan perlindungan anggota koperasi. Studi ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan ini secara hukum dengan harapan dapat memberikan rekomendasi untuk mengatasi kesenjangan regulasi dalam mengatur kepailitan koperasi di Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa rumusan masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana penerapan hukum kepailitan terhadap koperasi di Indonesia? 2. Bagaimana peraturan kepailitan yang berlaku saat ini sudah sesuai dengan karakteristik koperasi sebagai badan hukum berbasis kekeluargaan? C. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan mengkaji penerapan hukum kepailitan terhadap koperasi di Indonesia. 2. Untuk menemukan kepastian hukum peraturan kepailitan yang berlaku dengan karakteristik koperasi, yang berbeda dari badan hukum komersial lainnya. D. Tinjauan Pustaka 1. Undang-Undang Perkoperasian dan Kepailitan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU adalah landasan utama dalam regulasi hukum bagi koperasi yang menghadapi kondisi pailit. UUK-PKPU memberikan prosedur hukum yang dapat ditempuh ketika suatu badan hukum, termasuk koperasi, tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Namun, regulasi ini kerap dinilai kurang memperhatikan karakteristik koperasi yang berbeda dari perusahaan komersial. 2. Hukum Kepailitan: Teori Kepailitan Buku karya Elyta Ras Ginting yang membahas kepailitan secara holistik. Dimulai dari sejarah hukum kepailitan, asas dan teori yang membentuknya, makna kepailitan dan insolvensi. Keadaan insolven akan dibahas secara mendalam dari perspektif praktik bisnis dan perspektif sistem hukum civil law dan common law dan bagaimana keadaan insolven dimaknai dalam hukum ke- pailitan yang berlaku saat ini di Indonesia. Di samping itu, buku ini juga menguraikan tentang perbedaan antara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), bagaimana Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengatur keduanya sebagai sarana pembayaran utang secara kolektif, hukum acara pembayaran utang, prosedur renvoi dan akibat kepailitan bagi debitor, kreditor, dan akibat kepailitan bagi badan hukum (legal entity). 3. Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 67 K/TUN/2006 Putusan ini mengkaji legalitas pencabutan izin usaha Koperasi Bank Pasar Karyawan Swantara oleh Bank Indonesia, yang dilakukan tanpa melalui pengawasan khusus. Mahkamah Agung menyatakan bahwa pencabutan izin tersebut tidak sah karena melanggar prosedur yang berlaku dan tidak memberikan kesempatan bagi koperasi untuk memperbaiki kondisi finansialnya. Kasus ini menjadi referensi penting dalam menilai relevansi dan efektivitas UU Kepailitan terhadap koperasi dan membuka wacana pentingnya revisi peraturan yang lebih sesuai dengan karakteristik koperasi sebagai badan hukum berbasis kekeluargaan F. Metode Penelitian Sesuai dengan judul dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dan supaya dapat memberikan hasil yang bermanfaat maka penelitian ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif (metode penelitian hukum normatif). Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder belaka. Penelitian ini dilakukan guna untuk mendapatkan bahan-bahan berupa: teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan hukum yang berhubungan dengan pokok bahasan. Ruang lingkup penelitian hukum normative menurut Soerjono Soekanto meliputi: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum. b. Penelitian terhadap sistematika hukum. c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum secara vertikal dan horisontal. d. Perbandingan hukum. e. Sejarah hukum. Dalam penelitian ini, ruang lingkup penelitian ini akan dilakukan penelitian dengan cara menarik asas hukum, dimana dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis. Penelitian ini dapat digunakan untuk menarik asas-asas hukum dalam menafsirkan peraturan peundang-undangan. Selain itu, penelitian ini juga, dapat digunakan untuk mencari asas hukum yang dirumuskan baik secara tersirat maupun tersurat. III. Hasil Penelitian Koperasi di Indonesia didirikan sebagai badan hukum yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggotanya, terutama dari kalangan ekonomi lemah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, koperasi beroperasi dengan prinsip kekeluargaan. Namun, koperasi juga menghadapi tantangan keuangan, khususnya ketika kebutuhan pendanaan melebihi dana yang dimiliki. Dalam konteks ini, koperasi seringkali mengajukan pinjaman eksternal, yang dapat berisiko bila kewajiban pembayaran utang tidak terpenuhi, hingga berujung pada kepailitan. Pada kasus ini, Bank Indonesia mencabut izin usaha Koperasi Bank Pasar Karyawan Swantara tanpa penetapan pengawasan khusus sebelumnya. Hal ini menimbulkan keberatan dari pihak koperasi, yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pengadilan menolak permohonan koperasi, yang kemudian dilanjutkan ke tingkat kasasi. Mahkamah Agung menegaskan penolakan tersebut dengan alasan bahwa Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mencabut izin tanpa harus menetapkan status pengawasan khusus sebelumnya Analisis dan Implikasi Hukum pada Putusan Mahkamah Agung ini menunjukkan kompleksitas penerapan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan terhadap koperasi. Meskipun UU tersebut mengatur bahwa badan hukum yang tidak mampu membayar utangnya dapat dinyatakan pailit, penerapannya pada koperasi memunculkan permasalahan karena koperasi berlandaskan prinsip kekeluargaan. Dalam kasus ini, pencabutan izin oleh Bank Indonesia dianggap tidak mempertimbangkan karakteristik koperasi, yang berbeda dari badan usaha komersial. Menurut UU Perkoperasian dan PKPU, suatu badan hukum koperasi seharusnya diberi kesempatan untuk memperbaiki kondisi keuangannya sebelum dinyatakan pailit atau izin usahanya dicabut. Prosedur yang digunakan oleh Bank Indonesia dianggap oleh koperasi sebagai tindakan yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku, sehingga putusan ini menimbulkan kontroversi mengenai pelaksanaan pengawasan pada koperasi. Putusan ini memperlihatkan bahwa regulasi yang ada kurang mempertimbangkan aspek kekeluargaan dalam koperasi dan cenderung menggunakan standar yang sama dengan badan usaha komersial lainnya. Hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa diperlukan revisi regulasi agar kepailitan dan pencabutan izin usaha koperasi dapat dilakukan dengan prosedur yang lebih sesuai dengan karakter koperasi. Revisi ini penting untuk melindungi hak anggota koperasi yang juga merupakan pemilik lembaga tersebut, serta untuk menjaga stabilitas keuangan dan kredibilitas koperasi di mata anggotanya. IV. Pembahasan Dalam penelitian mengenai kepailitan koperasi dengan studi kasus Koperasi Bank Pasar Karyawan Swantara, ditemukan beberapa permasalahan pokok terkait penerapan hukum kepailitan pada koperasi. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 67 K/TUN/2006, pencabutan izin usaha koperasi oleh Bank Indonesia dilakukan tanpa melalui penetapan status pengawasan khusus sebelumnya. Padahal, sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No. 3/15/PBI/2001 tentang Penetapan Status Bank Perkreditan Rakyat dalam Pengawasan Khusus, koperasi yang bermasalah seharusnya diberikan kesempatan untuk memperbaiki kondisi keuangannya melalui pengawasan khusus sebelum izin usaha dicabut. Koperasi sebagai badan hukum memiliki karakteristik kekeluargaan yang berbeda dari perusahaan komersial. Oleh karena itu, pengaturan hukum yang diterapkan pada koperasi seharusnya mempertimbangkan prinsip tersebut. UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyatakan bahwa tujuan koperasi adalah menyejahterakan anggotanya, bukan semata-mata mengejar keuntungan komersial. Namun, dalam putusan kasus ini, Mahkamah Agung tetap menolak kasasi yang diajukan oleh koperasi, yang menunjukkan bahwa aturan kepailitan yang berlaku saat ini kurang fleksibel dalam mempertimbangkan perbedaan karakteristik koperasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa UU Kepailitan dan PKPU masih menerapkan prosedur yang sama pada koperasi dengan badan hukum komersial lainnya, tanpa mempertimbangkan implikasi sosial-ekonomi bagi anggota koperasi yang merupakan pemilik bersama. Hal ini berpotensi mengakibatkan hilangnya kepercayaan anggota terhadap koperasi sebagai lembaga yang seharusnya melindungi kepentingan mereka. Dalam kasus ini, pencabutan izin secara sepihak tanpa pemberian kesempatan perbaikan bagi koperasi dianggap merugikan pihak-pihak yang bergantung pada keberlanjutan usaha koperasi tersebut. V. Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa regulasi kepailitan di Indonesia, khususnya yang diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, masih memerlukan penyesuaian agar lebih sesuai dengan karakteristik koperasi. Proses kepailitan dan pencabutan izin usaha yang diterapkan pada koperasi sebaiknya mempertimbangkan prinsip kekeluargaan yang menjadi landasan koperasi, sehingga hak anggota sebagai pemilik koperasi dapat lebih terlindungi. Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 K/TUN/2006 mengindikasikan perlunya reformasi dalam aturan kepailitan yang berlaku pada koperasi. Sebaiknya, proses pencabutan izin usaha pada koperasi dilakukan secara bertahap dengan memberikan kesempatan kepada koperasi untuk memperbaiki kondisi keuangannya, sebelum langkah drastis seperti pencabutan izin usaha dilakukan. Revisi terhadap UU Kepailitan dan PKPU atau pengaturan tambahan dalam UU Perkoperasian perlu dilakukan agar dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi koperasi, mencegah dampak sosial yang merugikan, dan menjaga keberlanjutan lembaga koperasi di Indonesia.