1 A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya, korupsi sistematis menimbulkan kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif investasi, kerugian politik karena meremehkan lembagalembaga pemerintahan, kerugian sosial karena kekayaan dan kekuasaan jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Tindak pidana korupsi di Indonesia disamping merugikan secara langsung bagi pertumbuhan perekonomian dan pemerataan pembangunan nasional, juga berdampak negatif bagi masuknya investasi asing ke Indonesia, serta melunturkan citra dan martabat bangsa di dunia Internasional. 1 Korupsi mempunyai otonomi sendiri. Struktur ekonomi, politik, maupun sosial, bukan tidak mungkin dapat terjangkit korupsi. Pelaku korupsi biasanya menyerang segala struktur. Di setiap struktur terdapat interaksi konflik antara koruptor dan mereka yang membenci perilaku korupsi (orang yang lurus). Struktur menampung keduanya tergantung pada siapa yang mampu menyusupkan kekuasaan lebih besar.2 Korupsi pada intinya dapat dipetakan dalam dua cara pandang. Di satu sisi, beberapa pemikir meletakkan korupsi sebagai berasal dari individu itu sendiri. Di sisi lain, beberapa ilmuwan alih-alih mendefinisikan korupsi sebagai sebuah praktik sosial dalam sebuah sistem. Gould di dalam suatu tulisannya, melukiskan tentang korupsi dalam standar kaum moralis dan sosialis.3 Bagi kaum moralis, korupsi diartikan sebagai “Penyimpangan individual, kegagalan moral di pihak individu Faisal Santiago, “Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Kajian Legal Sosiologis,” Jurnal Lex Publica, Vol 1 No 1, Januari 2014, hal.65 2 Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hal.40 3 Mochtar Lubis, Mafia dan Korupsi Birokratis, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1987, hal. 16 1 2 yang berwatak lemah dan tidak terlatih dengan baik”. Gould menambahkan, bahwa secara teoritis sedikit berseberangan dengan kaum moralis bahwa dalam sistem sosialis, korupsi itu ada sebagai pengecualian atas peraturan dan sebagai gangguan sistem. Setiap sistem sosial dalam masyarakat, diciptakan dalam keadaan yang isinya menjadikan korupsi bersifat determinis. Setiap orang dalam sebuah sistem telah melakukannya dengan senang hati.4 Korupsi sudah mengakar kuat, dan bahkan menjadi aspek yang disepakati secara tidak sadar namun hati nurani dan akal sehat menolak untuk mengakui bahwa korupsi itu baik dan benar, artinya bahwa kita menolak korupsi, tetapi untuk kepentingan aktual dan memenuhi kebutuhan pribadi korupsi tetap dilakukan. Korupsi, sebagai penggunaan milik publik untuk kepentingan pribadi merupakan contoh kewenangan tidak berdasar hukum. 5 Kehadiran politik dan hukum pada hakikatnya semata-mata untuk kesejahteraan rakyat dan keadilan. Korupsi menjadi fenomena yang berbahaya, bahkan dalam skala besar, praktik haram tersebut dapat menghancurkan tatanan suatu negeri khususnya dalam menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi antar individu dalam masyarakat. Korupsi adalah simbol dari pemerintahan yang tidak benar, yang dicerminkan oleh patronase, prosedur berbelit-belit, unit pemungut pajak yang tidak efektif, korupsi besar-besaran dalam pengadaan barang dan jasa, dan layanan masyarakat yang sangat buruk. Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan atau menggunakan wewenang, untuk mencapai tujuan yang 4 Mochtar Lubis, Op Cit, hal.73 Suparji, Keadilan Sosial Sistem Hukum dan Analisa Ekonomi Atas Hukum, Jakarta:UAI Press, 2022, hal.60 5 3 tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja. Korupsi bisa mencakup kegiatan yang sah dan tidak sah. Korupsi dapat terjadi di dalam tubuh organisasi (misalnya, penggelapan uang) atau di luar organisasi (misalnya, pemerasan). Korupsi kadang-kadang dapat membawa dampak positif di bidang sosial, namun pada umumnya korupsi menimbulkan inefisiensi, ketidakadilan, dan ketimpangan. Apabila perbuatan itu dilakukan berulang-ulang dan terus menerus maka dia akan menjadi sempurna sebagaimana dikatakan Baudrillard, Data Perfect Crime (1996), menurut Yasraf Amir Piliang, kejahatan menjadi sempurna apabila menyatu dengan kekuasaan, menyatu dengan hukum atau dengan kata lain kejahatan mendapat tempat yang nyaman untuk memamah biak di dalam hukum dan kekuasaan. Pelaku sudah tidak merasa bahwa perbuatan yang dilakukannya jahat, bahwa perbuatan merusak moral dan merugikan masyarakat. Kejahatan dilakukan dengan kesenangan, kejahatan yang mengarah pada kegilaan (madness). Kejahatan yang para pelakunya merasakan nikmat luar biasa. Itulah kejahatan sempurna dan itulah korupsi. 6 Artidjo Alkostar memaknai korupsi sebagai perbuatan melawan hukum dan norma-norma sosial. Korupsi dapat dilihat secara ontologis (apa adanya/keberadaannya), yakni perbuatan yang keberadaaannya tidak dikehendaki oleh masyarakat. Secara aksiologis artinya dari segi nilai perbuatan, korupsi bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan yang berlaku di masyarakat. Jadi 6 Asep Dedi Suwasta, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : CV. Agung Ilmu, 2013. hal 259. 4 mengapa korupsi itu dilarang oleh hukum, dapat didasarkan pada dasar ontologis dan aksiologis tersebut. Tidak ada dasar pembenar perbuatan korupsi itu. Termasuk juga meskipun pelakunya tidak dapat menikmati hasilnya seperti pada kasus Pak Rustandi (Ketua Komisi Pemilihan Jawa Barat) itu tidak menikmati hasilnya, tetapi dia salah secara hukum. Seperti juga kasus Abdullah Puteh, itu juga korupsi karena ia memasukkan uang negara ke dalam rekening pribadinya. Korupsi yang menjangkiti bangsa Indonesia sudah seperti kanker yang amat kronis. Negara tidak akan selamat jika sudah terjadi kanker korupsi seperti ini. Korupsi yang membahayakan bangsa ini adalah korupsi politik dan itu sudah terjadi secara sistemik. 7 7 Ibid. 5 Untuk kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, modus-modus korupsi dapat dilihat dalam tabel 1 berikut ini. 8 Tabel 1 Jenis Proyek dan Modus Korupsi No 1. Jenis Proyek Pengadaan barang. 2 4. Penghapusan inventaris/aset negara. Kenaikkan pangkat dan pengurusan pensiun Bantuan sosial dan subsidi 5. Bantuan fiktif 6. Penyelewengan dana proyek 7. Proyek fiktif fisik 8. Manipulasi hasil penjualan dan retribusi 9. 12. Manipulasi proyek-proyek fisik Daftar gaji atau honor fisik Manipulasi data renovasi fisik. Pemotongan dana bantuan 13. Proyek SDM fiktif 14. Pungli perizinan 3. 10. 11. Modus Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender. Mengambil inventaris kantor untuk kepentingan pribadi Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi. Pemotongan dana bantuan sosial, yang biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja). Membuat surat permohonan fiktif seolaholah ada bantuan pemerintah kepada pihak luar. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi. Memotong dana ptoyek tanpa sepengetahuan orang lain. Dana dialokasikan dlaam laporan resmi padahal nihil. Jumlah riil penjualan dan pajak tidak dilaporkan. Penetapan target penerimaan pajak lebih rendah dari penerimaan riil. Mark up nilai proyek. Pungutan komisi tidak resmi terhadap kontraktor. Pembuatan pekerjaan fiktif. Pemotongan dana pemeliharaan. Mark up dana renovasi fisik. Pemotongan langsung atau tidak langsung oleh pegawai atau pejabat berwenang. Tidak ada proyek/tidak ada laporan (kegiatan dua hari dilaporkan empat hari). Memungut biaya tak resmi kepada masyarakat. Mark up biaya pengurusan izin. Rustamadji, “Habis Otonomi, Terbitlah Korupsi”, dalam Jurnal Demokrasi; Jurnal Demokrasi;Jurnal Forum LSM DIY, Vol.II No.7, hal.37-38. 8 6 Beberapa perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan jasa konstruksi yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, menunjukkan kerugian negara yang cukup signifikan merupakan fakta hukum yang telah ada, beberapa kasus tindak pidana itu diantaranya terdapat dalam daftar tabel 2 dibawah ini : Tabel 2 Putusan Mahkamah Agung tentang Tindak Pidana Korupsi Jasa Konstruksi No Reg. Perkara MA No: Tentang Kerugian Negara 1. 7149 K/Pid.Sus/2022 Peningkatan Jalan 59 Milyard 2 6035 K/Pid.Sus/2022 Pembangunan Jembatan 2.5 Milyard 3. 2068 K/Pid.Sus/2022 Pembangunan Transmisi 107 Milyard Listrik 4. 339 PK/Pid.Sus/2022 Peningkatan Jalan 40 Milyard 5. Nomor 28/Pid. SusKonsultan Pengawas 523 Juta TPK/2022/PN Pal Pembangunan Sarana Olah Raga Sumber Data : Direktori Mahkamah Agung Sebagian kalangan berpendapat bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi pandemi, yakni wabah atau penyakit yang sulit sekali diberantas. Sebagian kalangan ada yang berpendapat bahwa korupsi memang sudah membudaya hampir diseluruh lapisan masyarakat Indonesia. Korupsi itu sudah masuk secara meluas dan mendalam dalam ranah mentalitas dan sukma masyarakat. Korupsi hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat, mulai dari mengurus akte kelahiran, perkawinan, kartu tanda penduduk (KTP), ijin mendirikan bangunan (IMB), proyek pengadaan/lelang di instansi-instansi pemerintah dan bahkan sudah masuk dalam lingkungan penegakan hukum sendiri, yakni dengan adanya mafia peradilan (judicial corruption). Menurut Jimly Asshiddiqie selaku Ketua Mahkamah Konstitusi (waktu itu) dalam Moh. Mahfud MD mengatakan bahwa, jika dibandingkan dengan masa lalu 7 sekarang ini keadaan tidak lebih baik, bahkan korupsi semakin banyak. Bahwa kasus korupsi sekarang menjadi banyak (dibanding masa lalu), bukan karena pada masa lalu korupsi tidak terungkap atau akibat ditutup-tutupi oleh pemerintahan yang ototriter-represif, sementara sekarang kasus korupsi dapat dengan mudah dibeberkan oleh media massa, akan tetapi “sekarang ini kasus korupsi memang lebih banyak”. 9 Salah satu cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi dilakukan melalui pengadaan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh seluruh perangkat pemerintahan baik pusat maupun daerah. Kegiatan ini dimaksudkan agar pemerintah dapat memenuhi kewajibannya untuk melengkapi sarana dan prasarana publik, sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat dengan penggunaan keuangan negara yang terkontrol baik dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai mekanisme yang berlaku. Anggaran pengadaan jasa konstruksi pada proyek pemerintah yang begitu besar ternyata menjadi lahan bagi tindakan korupsi yang berakibat terjadinya kerugian negara. Terdapat beberapa faktor dan hal yang berpotensi meningkatkan resiko korupsi dalam pengadaan jasa konstruksi pada proyek pemerintah, antara lain ; a. “Belanja Mendesak di akhir tahun anggaran 9 Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta; Rajawali Press, 2011, hal.157. 8 Belanja yang mendesak pada akhir tahun anggaran kerap menjadi subjek terjadinya praktik korupsi. Sebab, biasanya transaksi pada periode ini kurang diawasi secara ketat. b. Masa tanggap darurat saat bencana alam atau bencana lainnya Pengadaan barang/jasa saat terjadi bencana beresiko terjadi korupsi. Hal ini terjadi karena adanya jumlah dana yang besar dan harus dibelanjakan secara cepat untuk menanggulangi permasalahan kemanusiaan. Seperti tempat tinggal sementara, penyediaan air bersih. c. Penetapan peserta tender Pada umumnya, kecenderungan untuk menentukan peserta tender tertentu akan berisiko mengurangi tingkat fairness dalam proses pengadaan dan biasanya diikuti dengan peningkatan biaya pembelian. d. Keikutsertaan perusahaan milik pejabat publik Jika perusahaan peserta tender dimiliki atau sebahagian sahamnya oleh pejabat publik, maka sistem transparansi dan akutanbilitas tidak dapat berjalan dengan baik. e. Keikutsertaan perusahaan ‘boneka” Perusahaan –perusahaan boneka biasanya berbadan hukum resmi, namun tidak beroperasi secara aktif dan hanya dibuat untuk membantu menyembunyikan identitas pemilik. Selain itu, biasanya perusahaan semacam ini hanya dijadikan sebagai kedok oleh pejabat publik atau anggota keluarganya, sub kontraktor untuk membuat perjanjian kolutif sesama peserta tender. 9 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kecurangan dalam pengadaan jasa konstruksi untuk proyek pemerintah, antara lain : 1. Kualitas panitia pengadaan Panitia pengadaan merupakan salah satu subyek (pelaku) pengadaan jasa konstruksi pemerintah dan aktivitasnya serta keputusan yang dilakukannya akan sangat menentukan jalannya proses pengadaan. Faktor kualitas panitia pengadaan dapat dilihat dari beberapa dimensi, yaitu ; 1) Integritas Integritas merupakan hal pertama dan mendasar yang perlu ditekankan dalam setiap subyek (pelaku) suatu sistem, termasuk sistem pengadaan jasa konstruksi untuk proyek pemerintah. Tanpa adanya integritas pada setiap individu, maka sebuah sistem tidak akan dapat berjalan sesuai dengan visi misi suatu organisasi atau lembaga. 2) Kompetensi Mengingat strategisnya posisi panitia pengadaan, mak diperlukan kompetensi minimal untuk dapat menjabat sebagai panitia pengadaan. Tuntutan kompetensi minimal antara lain pemahaman mengenai sistem dan prosedur pengadaan serta pemahaman yang cukup memadai mengenai barang/jasa yang akan diadakan. 3) Obyektifitas dan Independensi Proses pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan proses yang penuh dengan berbagai muatan kepentingan masing-masing subyek 10 pengadaan barang/jasa. Untuk itu seluruh proses pengadaan barang/jasa haruslah berjalan secara obyektif dan independen. Untuk mewujudkan hal ini, panitia pengadaan sebagai personil yang menyelenggarakan proses ini harus mengedapankan prinsip obyektifitas dan ketidakberpihakan kepada kepentingan salah satu atau sekelompok peserta proses pengadaan barang/jasa. 2. Kualitas penyedia jasa konstruksi Kualitas penyedia jasa konstruksi juga merupakan salah satu elemen penting dalam sistem pengadaan barang/jasa. Jika suatu pengadaan jasa konstruksi tidak diikuti dengan kualis penyedia yang baik maka akan terdapat banyak kesalahpahaman/misunderstanding di antara panitia dan penyedia jasa yang nantinya akan menimbulkan merugikan kedua belah pihak. 3. Penghasilan panitia pengadaan Dalam melakukan tindak kejahatan (kriminologi) apalagi yang bersinggungan dengan hukum, seseorang pasti mempunyai suatu alasan yang kuat yang benar-benar mempengaruhi keadaan psikologis dirinya, yang kemudian dapat memicu atau memperkuat motif dalam melaksanakan tindak kejahatan melawan hukum tersebut, yang salah satu nya disebabkan oleh tidak berbanding lurus antara besarnya tanggung jawab dipikul dengan hak yang diterima. Oleh sebab itu, antara tanggung jawab dengan hak harus proporsional. Upaya untuk mensejahterakan pelaku pengadaan sudah dilakukan dan terus dilakukan dengan peningkatan kenaikan gaji, kesejahteraan, tunjangan 11 kinerja/fungsional, tunjangan hari raya di hari raya, gaji ketiga belas sudah diberikan dalam menekan tingkat korupsi di kalangan pelaku pengadaan yang diharapkan pelaku pengadaan tidak menerima suap dan gratifikasi. Menurut Andi Hamzah (2012:227) dalam bukunya Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, bertambah besar volume pembangunan bertambah pula kemungkinan kebocoran. Ditambah dengan gaji pegawai negeri yang memang sangat minim di negara-negara berkembang seperti Indonesia, pegawai negeri terdorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menggunakan kekuasaannya untuk menambah penghasilannya. Terjadi pula korupsi besar-besaran bagi mereka yang telah memperoleh pendapatan yang memadai disebabkan karena sifatnya yang serakah, tetapi ini bukan hal yang menyeluruh. Tepat pada tanggal 31 Januari 2023, Transparency International meluncurkan hasil dari Corruption Perception Index (CPI) untuk tahun ukur 2022, serentak di seluruh dunia dengan tema : Korupsi, Konflik dan Keamanan . CPI adalah indikator komposit untuk mengukur persepsi sektor publik pada skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih) berdasarkan kombinasi dari 13 survei global dan penilaian korupsi menurut persepsi pelaku usaha dan penilaian ahli sedunia sejak tahun 1995. Sejak diluncurkan pada tahun 1995, Indonesia merupakan salah satu negara yang secara rutin dipantau situasi korupsinya. Pada tahun 2022 Corruption Perception Index (CPI) Indonesia berada di skor 34/100 dan ada diperingkat 110 12 dari 180 negara yang di survei, skor ini turun 4 poin dari tahun 2021 dan merupakan penurunan paling drastis sejak 1995. 10 Dengan hasil ini, Indonesia hanya mampu menaikkan skor CPI 2 poin dari skor 32 sejak tahun 2012. Situasi ini memperlihatkan respon terhadap praktik korupsi masih cenderung berjalan lambat bahkan terus memburuk akibat minimnya dukungan yang nyata dari para pejabat pemangku kepentingan. Menurut Sekretaris Jenderal Transperancy International Indonesia, J Danang Widyoko dengan turunnya skor CPI Indonesia secara drastis di tahun 2022, ini menunjukkan bahwa strategi dan program pemberantasan korupsi tidak efektif. Revisi UU KPK pada tahun 2019 sesungguhnya merupakan perubahan strategi pemerintah untuk mengurangi penegakan hukum dan menggeser ke pencegahan korupsi. Berbagai program pemberantasan korupsi dalam pelayanan publik dan pelayanan bisnis, seperti digitalisasi pelayanan publik dan bahkan UU Cipta Kerja diklaim sebagai strategi besar pencegahan korupsi. Namun dengan menurunnya skor CPI menujukkan strategi tersebut tidak berjalan. Dalam 10 tahun terakhir, 53% dari tender pengadaan barang dan jasa di Indonesia berkaitan dengan konstruksi. Tercatat, kasus korupsi proyek infrastruktur meningkat 50% di Indonesia antara tahun 2015 dan 2018. Pada tahun 2020, Indonesia melaksanakan 48,83% tender infratruktur (36.871 tender) dari total 75.326 tender. Secara total, selama tahun 2020, nilai kontrak untuk semua tender infrastruktur adalah Rp.183,77 Triliun (USD 12,8 miliar). Sebagian besar proyekproyek konstruksi tersebut telah diberikan kepada perusahaan yang menjadi 10 10 ti.or.id, diakses pada tanggal 19 Mei 2023, jam 13.20 13 besar perusahaan penerima nilai kontrak publik terbesar antara 2011-2020. Sepuluh perusahaan yang sama tersebut juga merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kesemuanya terlibat kasus korupsi. 11 Bentuk-bentuk korupsi di BUMN antara lain adalah penerimaan suap dari pengusaha yang ditunjuk langsung sebagai mitra, yang mengerjakan proyek infrastruktur dan penggelapan atau penggelembungan dana untuk pengerjaan terutama proyek-proyek infrastruktur. Perbuatan korupsi dilakukan baik sendiri-sendiri maupun bersama dengan bawahan, atasan, atau rekan kerja dan pengusaha. Salah satu kasus korupsi yang baru-baru ini terjadi adalah kasus korupsi pada pembangunan infrastruktur (jasa konstruksi) untuk telekomunikasi atau pengadaan base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukungnya yang dilaksanakan oleh Badan Aksebilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo tahun anggaran 2020. Penyidik Kejaksaan Agung RI telah menetapkan Menteri Komunikasi dan Informatika Jhonny G Plate dan empat (4) orang lainnya sebagai tersangka dan telah dilakukan penahanan untuk 20 hari kedepan. Total nilai proyek BTS 4G itu sebesar Rp.28,3 triliun, pemerintah sudah menggelontorkan Rp.10 triliun. Hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) diduga terjadi kerugian negara hingga Rp.8,03 triliun. Kerugian negara yang luar biasa besar, sekitar 80% dari uang yang digelontorkan menguap entah kemana. 12 11 12 ICW, Indonesia dan Tender Infrastruktur 2020, Jakarta, April 2022, hal. 6 Majalah Tempo, 21 Mei 2023. 14 Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memperkirakan kerugian negara berasal dari tiga aspek. Pertama biaya yang dikeluarkan untuk penyusunan kajian pendukung, kedua, peningkatan harga barang yang tidak wajar (mark up), terakhir adanya pembayaran proyek kepada rekanan padahal menara BTS belum terbangun semua. Para tersangka diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-Undang No 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara.13 Dari fakta tersebut diatas menunjukkan bahwa belum sepenuhnya efektif instrumen aturan hukum yang mengatur pelaksanaan pengadaan barang dan jasa seperti Peraturan Presiden No 12 Tahun Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam pencegahan praktik korupsi. Untuk itu diperlukan strategi pemberantasan korupsi yang dibangun dengan adanya itikad kolektif berupa kemauan dan kesungguhan (willingness) dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi terhadap kejahatan korupsi. 14 Dalam hal menetapkan strategi yang tepat, BPKP melalui lokakarya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia telah merumuskan tiga bentuk strategi pemberantasan korupsi secara nasional, yaitu : (i) strategi persuasif, (ii) strategi detektif, (iii) strategi represif. Jika mengacu kepada ketiga strategi tersebut, maka pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan dan 13 14 Ibid Faisal Santiago, 2014, Op Cit hal.57 15 terintegrasi, tidak hanya semata-mata menggunakan strategi represif saja, yaitu isntrumen pidana, mengingat instrumen pidana hanya bersifat simptomatik. Jadi, agar pemberantasan korupsi dapat berhasil dengan baik, diharapkan seluruh komponen bangsa dilibatkan, disamping menanggulangi juga faktor-faktor yang menstimulasinya, seperti kesejahteraan, keimanan/integritas moral, sikap hidup yang konsumtif dan meningkatkan pengawasan secara efektif dan efisien. 15 Jika dibuat sederhana, korupsi terjadi karena ada ketidakseimbangan antara kapasitas negara dan masyarakat, di satu sisi, dan ketidakseimbangan peluang partisipasi politik dan ekonomi dalam menghasilkan kekayaan, di sisi lain. Di katakan oleh Johnston (1997:74) bahwa “…various corruption grow out of imbalances between state and society, and between wealth and power,..” Oleh karena itu resep pokok (inti) pemberantasannya adalah merubah kedua ketidakseimbangan itu menjadi relatif seimbang. Dalam bahasanya, dikatakan bahwa “…effort to restore (or institute) greater balance might contribute both democratization and to corruption reform”.16 Kapasitas negara dan masyarakat dibuat menjadi relatif seimbang, demikian pula diusahakan terjadi keseimbangan antara peluang partisipasi melalui jalur politik dan ekonomi. Proses penyeimbangan kembali kapasitas negara dan masyarakat sipil dilakukan lebih banyak melalui pendekatan reformasi politik, termasuk didalamnya reformasi hukum, Sedangkan proses penyeimbangan mendapatkan kekayaan melalui pintu partisipasi politik dan ekonomi lebih banyak 15 Chaerudin dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Bandung; PT Refika Aditama, 2009, hal.20 16 Suwarsono Muhammad, Anti Korupsi : Teori & Strategi, Grup Bisnis, Makelar Kasus, dan KPK, Yogyakarta;UPP STIM YKPN, 2016, hal.34 16 dilakukan dengan pendekatan reformasi ekonomi, dengan tanpa meninggalkan reformasi politik.17 Secara agak rinci dapat diuraikan sebagai berikut ini. Pertama, jika akses masyarakat sipil terhadap elit pemerintah jauh lebih besar dibanding kapasitas dan otonomi (elit) pemerintah, maka strategi pokoknya adalah meningkatkan kapasitas dan otonomi pemerintah, yang pada umumnya dilakukan dengan cara; mengatur ulang jalur-jalur komunikasi dari pengaruh masyarakat kepada negara, peningkatan (efektivitas) manajemen birokrasi, dan meningkatkan kapasitas negara. Kedua, sebailknya, jika otonomi elit pemerintah jauh lebih tinggi dibanding kekuatan dan akses masyarakat, maka strategi pokoknya adalah membuka jalur pasrtisipasi massa, akses ke birokrasi, dan akuntabilitas pejabat publik. Ketiga jika ternyata peluang partisipasi (dalam sektor) ekonomi lebih besar dibanding peluang partisipasi dalam politik, maka strategi pokoknya adalah membuka peluang partisipasi dan kompetisi politik lebih lebar dan merata (the depth and equality of political competition). Keempat, sebaliknya jika peluang partisipasi politik lebih besar dibanding peluang pasrtisipasi ekonomi, maka strategi pokoknya adalah mendorong dan memperluas pertumbuhan ekonomi (broad based economic growth).18 Setiap upaya untuk menyembuhkan korupsi (society of corruption) harus mulai dengan menekankan kewajiban adanya kepemimpinan yang jujur dan penuh pengabdian untuk mengikis korupsi. Upaya tersebut harus mencari cara dan sarana 17 18 Ibid Ibid 17 untuk menciptakan gaya kepemimpinan seperti itu. Lebih dari itu, upaya tersebut harus berhasil menanamkan rasa enggan berkorupsi di kalangan para pemegang kekuasaan. Untuk memberi kesan kuat kepada masyarakat, kekuasaan pemaksa bagi kemaslahatan pelaku korupsi, ditandaskan oleh beberapa penulis, tidak bisa lain adalah agama. Hanya agamalah yang telah mampu bertindak sebagai medium yang efektif bagi perilaku moral pada tataran kolektivitas. Tentu saja kesadaran agama yang murni yang lebih menekankan kepada falsafah dan nilai dasarnya daripada simbol dan peribadatannya yang dapat membimbing ke arah dipikirkannya kembali sasaran dan tujuann hidup itu sendiri yang selanjutnya dapat membantu melawan godaan korupsi. Masyarakat yang bebas adalah check yang paling ampuh untuk menghadapi korupsi. Selama rakyat memiliki kebebasan untuk menentang dan mengkritik kebijakan pemerintah dan orang-orang politik, maka terbersit harapan bahwa mereka yang memegang kekuasaan akan lebih hati-hati dengan tindakannya. Mereka akan sadar karena mereka harus bertanggungjawab kepada rakyat. Pada akhirnya, perubahan struktur dan organisasi juga diperlukan untuk mengawasi korupsi. Reorganisasi harus dibarengi dengan desentralisasi yang efektif. Desentralisasi merupakan penyebaran kekuasaan lebih luas, bila kondisi yang lain sudah benar, maka langkah tersebut akan mempersempit ruang korupsi. Pertanyaan paling mendasar kepada setiap ahli mengenai korupsi dan tindak penyuapan, bahwa apakah setiap ahli memberikan jalan keluar untuk tidak terjadinya tindakan korupsi, bahkan untuk segala bentuk penyimpangan yang memungkinkan ? Pope dengan tegas dalam bukunya “Confronting Corruption: The 18 Elements of National Integrity System” (2003), menjelaskan dengan panjang lebar tawarannya akan Sistem Integrasi Nasional, sebagai pilar-pilar kelembagaan yang dapat memungkinkan sebuah sistem kelembagaan pada satu negara untuk lepas dan terjaga dari korupsi. Sistem Integrasi Nasional, sebagai draft tawaran dari Pope, meletakkan sistem pemerintahan yang ideal, yang harus disisipkan oleh setiap negara sebagai upaya pemberantasan korupsi. Sebuah pemerintahan, menurut Pope, mengandung banyak unsur yang antara satu dan lainnya saling berhubungan. Pemerintahan menurut Pope, ibarat sebuah mobil mewah yang memiliki segudang jejalin perangkat, berfungsi secara bersamaan, berjalan secara teratur, berkelindan memutar atau bekerja bersama yang lain, untuk dapat menggerakkan kendaraan yang dikenali sebagai mobil. Mobil dapat berjalan mulus bila tidak ada kerusakan pada bagian-bagiannya. Begitu pula negara akan berjalan lancar layaknya kendaraan mewah, bila setiap elemen di dalamnya melakukan fungsi idealnya dalam roda pemerintahan. Setidaknya ada dua belas elemen dalam negara yang harus senantiasa diperiksa, kata Pope. Dianataranya, legislatif yang terpilih, peranan eksekutif, sistem peradilan yang independen, pelayanan publik untuk melayani publik, pemerintah daerah, media yang independen dan bebas, masyarakat sipil, sektor perusahaan swasta, pelaku dan mekanisme Internasional. Menurut Mochtar Lubis salah satu solusi penanganan korupsi adalah dengan melakukan transformasi budaya. Transformasi kebudayaan dalam pengertian Mochtar adalah spirit pengembangan, redifinisi arti, dan penanaman nilai budaya 19 baru dalam masyarakat Indonesia. Barulah ketika budaya dan perangkat nilainya telah dapat didefinisikan dan diidentifikasikan secara benar dan membuang kebudayaan lama yang kerap menjadi batu sandungan terberat bagi tercapainya kemakmuran rakyat, dan mengetahui secara pasti nilai-nilai budaya apa yang harus dipertahankan, barulah langkah awal untuk memerangi tindak pidana korupsi dapat dilakukan. 19 Agenda pertama yang mesti dilakukan ungkap Mochtar, adalah menyusupkan nilai-nilai budaya ke tengah masyarakat hingga berakar dalam perilaku dan tindakan masyarakat. Setelah itu, secara sadar maka transformasi budaya dapat dilakukan melalui peranti-peranti pendidikan, melalui pemberian dan penanaman nilai teladan di dalam kelaurga dan lain-lain. Maka barulah kata Mochtar, “perjuangan melawan korupsi dapat dilakukan di atas landasan yang benar.” 20 Memberantas korupsi di Indonesia memang bukan pekerjaan mudah dan perlu kerjasama berkelanjutan diantara semua pihak. Ada tiga strategi pemberantasan korupsi yang dijalankan saat ini di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutnya : Trisula Pemberantasan Korupsi. Trisula Pemberantasan Korupsi ini memiliki tiga strategi utama, yaitu penindakan, pencegahan, dan pendidikan. Sula penindakan menyasar pada peristiwa hukum yang aktual yang telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi sesuai undang-undang. Sula ini tidak hanya mengganjar hukuman penjara dan denda bagi para pelaku korupsi, tapi memberikan efek jera bagi koruptor dan masyarakat. Sementara Sula Pencegahan 19 20 Mansyur Semma, 2008, Op Cit, hal.206 Mansyur Semma, 2008, Op Cit, hal.207 20 adalah memperbaiki sistem dengan cara menutup celah-celah korupsi, dilengkapi dengan sosialisasi dan kampanye antikorupsi melalui Sula Pendidikan. 21 Butuh komitmen dan political will dari pemerintah dan publik untuk menuntut standar etis dan norma yang lebih tinggi, bahwa korupsi bukan hanya soal melawan hukum tapi jua merusak sendi-sendi kebangsaan. Pihak swasta yang kerap terlibat kasus korupsi harus juga berperan dalam strategi pemberantasan korupsi ini, karena itulah strategi pemeberantasan Trisula Pemberantasan Korupsi juga diarahkan ke sektor swasta secara proporsional. Masyarakat sipil yang bersemangat antikorupsi dan pers yang independen menjadi salah satu kunci pemberantasan korupsi di tanah air. Sinergitas para aparat penegak hukum (Kejaksaan Agung, KPK, Kepolisian RI, Lembaga Kehakiman dan Mahkamah Agung), kementrian atau lembaga, organisasi pemerintah dan non pemerintah mesti ditingkatkan untuk mendeteksi dan menindak para pelaku korupsi. B. Rumusan Masalah 1. Mengapa terjadi tindak pidana korupsi pengadaan jasa konstruksi pada proyek pemerintah ? 2. Bagaimana dengan penggantian kerugian negara yang dilakukan oleh terpidana ? 3. Bagaimana rekonstruksi regulasi tindak pidana korupsi pengadaan jasa konstruksi pada proyek pemerintah di Indonesia ? 21 aclc.kpk.go.id di akses pada tanggal 25 Mei 2023 jam 13.34 21 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk menggali dan menganalisis faktor-faktor penyebab tindak pidana korupsi pada pengadaan jasa konstruksi. 2. Untuk menggali dan menganalisis cara-cara terpidana dalam pengembalian kerugian keuangan negara. 3. Untuk merekonstruksi regulasi tindak pidana korupsi pada pengadaan jasa konstruksi pada proyek pemerintah di Indonesia. D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis, sebagai berikut : 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan menemukan teori baru dalam bidang ilmu hukum khususnya tentang strategi pemberantasan tindak pidana korupsi pengadaan jasa konstruksi pada proyek pemerintah. 2. Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bagi pemerintah agar kasus tindak pidana korupsi pada pengadaan jasa konstruksi dapat dicegah dan diselesaikan dengan cara yang adil dan tidak multitafsir. 22 E. Originalitas Penelitian Penulis telah melakukan penelusuran terhadap penstudi terdahulu untuk memastikan originalitas dari studi ini, hasil penelusuran penulis belum menemukan disertasi yang khusus memfokuskan pada kajian mengenai Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Jasa Konstruksi Pada Proyek Pemerintah. Oleh karenanya perlu dilakukan suatu penelitian ilmiah dalam bentuk disertasi. Agar terjamin originalitas penelitian ini, telah dilakukan penelusuran hasilhasil penelitian yang pernah dilakukan melalui studi kepustakaan yaitu : 1. Agus Kasiyanto (2013) disertasinya yang berjudul Tindak Pidana Korupsi pada Proses Pengadaan Barang dan Jasa. 2. Tutuko Wahyu Minulyo (2022) disertasinya yang berjudul Rekonstruksi Regulasi Pemidanaan Suap Dalam Kasus Pidana Korupsi Yang Berbasis Nilai Keadilan. 3. Ali Fikri Noor (2020) disertasinya yang berjudul Penanggulangan Korupsi Melalui Pendekatan Teologis. Issue penelitian yang seperti diuraikan diatas, menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh peneliti variabelnya berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Pada penelitian ini difokuskan pada Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Jasa Konstruksi Pada Proyek Pemerintah. 23 F. Sistematika Penelitian Penelitian disertasi ini terdiri dari 5 (lima) bab, dimana sistematika penulisan dalam disertasi ini adalah sebagai berikut : Bab pertama merupakan Pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, originalitas penelitian, kerangka berfikir dan sistematika penulisan disertasi. Bab kedua, merupakan kajian teori yang memuat kumpulan keterangan penunjang yang diperoleh dari pustaka dan disusun secara bersistem. Bab ketiga, berisi uraian secara rinci mengenai pendekatan penelitian, spesifikasi penelitian, sumber data, teknik dan alat pengumpulan data, populasi sampel dan teknik sampling, teknik analisis data. Bab keempat, memuat hasil penelitian dan pembahasan yang sifatnya terpadu, pembahasan disesuaikan dengan urutan ungkapan permasalahan yang diteliti. Bab kelima, merupakan bab penutup yang akan menyimpulkan hasil penelitian, yang kemudian akan diikuti dengan pemberian saran-saran atau rekomendasi terhadap hasil penemuan penelitian disertasi ini. 24 G. Kerangka Berfikir Tindak pidana korupsi pengadaan jasa konstruksi pada proyek pemerintah Wishdom International di beberapa negara: - Hongkong - Malaysia - Singapore TEORI Rumusan Masalah : 1. Mengapa terjadi tindak pidana korupsi pengadaan jasa konstruksi pada proyek pemerintah? 2. Bagaimana dengan penggantian kerugian negara yang dilakukan oleh terpidana? 3. Bagaimana rekonstruksi regulasi tindak pidana korupsi pengadaan jasa konstruksi pada proyek pemerintah di Indonesia ? 1. Teori Efektivitas Hukum sebagai Grand Theory 2. Teori Negara Kesejahteraan sebagai Middle Theory 3. Teori Hukum Progresif sebagai Applied Theory Metode Penelitian : 1. Studi lapangan 2. Wawancara 3. Observasi T Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Jasa Konstruksi Pada Proyek Pemerintah NILAI NORMA Bagan1. Kerangka Berfikir 25 H. Kerangka Teori Dan Tinjauan Pustaka I. Kerangka Teori Dalam menjawab permasalahan penelitian di atas maka kerangka teori yang akan digunakan meliputi : 1. Teori Efektivitas Hukum sebagai Grand Theory Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer mendefinisikan efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai berlakunya suatu Undang-Undang atau peraturan.22 Sedangkan efektivitas itu sendiri adalah keadaan dimana dia diperankan untuk memantau.23 Jika dilihat dari sudut hukum, yang dimaksud dengan “dia” disini adalah pihak yang berwenang yaitu aparat penegak hukum. Kata efektivitas sendiri berasal dari kata efektif, yang berarti terjadi efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Setiap pekerjaan yang efisien berarti efektif karena dilihat dari segi hasil tujuan yang hendak dicapai atau dikehendaki dari perbuatan itu. Pada dasarnya efektivitas merupakan tingkat keberhasilan dalam pencapaian tujuan. Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya 22 Alwi Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hal.284 23 Ibid. 26 sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi sebagai a tool of social control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai a tool of social engineering yang maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern. Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana hukum itu ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita akan mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif. Namun demikian, sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi kita tetap masih dapat mempertanyakan lebih jauh derajat efektivitasnya karena seseorang menaati atau tidak suatu aturan hukum tergantung pada kepentingannya. 24 Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa kepentingan itu ada bermacam-macam, diantaranya yang bersifat compliance, identification, internalization. 24 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta; Penerbit Kencana, 2009, hal.375. 27 Kelemahan-kelemahan yang mengukur ketaatan terhadap hukum secara umum antara lain: 25 a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu. b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum. c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu. d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogyanya aturan bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang (prohibitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan (mandatur). e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut. f. Berat ringannya sanksi yang diancam dalam aturan hukum harus proporsional dan memungkinkanuntuk dilaksanakan. g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum terssebut, adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penghukuman). 25 Ibid., hal.376 28 h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. i. Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan aturan hukum tersebut. j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat. Berbeda dengan pendapat dari C.G. Howard & R.S. Mummres yang berpendapat bahwa seyogyanya yang dikaji, bukan ketaatan terhadap aturan hukum pada umumnya, melainkan ketaatan terhadap aturan hukum tertentu saja. Achmad Ali sendiri berpendapat bahwa kajian tetap dapat dilakukan terhadap keduanya : a. Bagaimana ketaatan terhadap hukum secara umum dan kelemahankelemahan apa yang mempengaruhinya; b. Bagaimana ketaatan terhadap suatu aturan hukum tertentu dan kelemahan-kelemahan apa yang mempengaruhinya. Jika yang akan dikaji adalah efektivitas perundang-undangan, maka dapat dikatan bahwa tentang efektifnya suatu perundang-undangan, banyak tergantung pada beberapa kelemahan, antara lain : a. Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan. 29 b. Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut. c. Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan didalam masyarakatnya. d. Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai sweep legislation (undangundang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jadi, Achmad Ali berpendapat bahwa pada umumnya kelemahan yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam penjelasan tugas yang dibebankan terhdap diri mereka maupun dalam penegakkan perundang-undangan tersebut. Sedangkan Soerjono Soekanto menggunakan tolak ukur efetivitas dalam penegakan hukum pada lima hal yakni : 26 a. Kelemahan Hukum Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara 26 Soerjono Soekanto, Kelemahan-Kelemahan yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, , 2007, hal.5 30 penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja. b. Kelemahan Penegakan Hukum Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalaan karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum. Hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut. c. Kelemahan Sarana atau Fasilitas Pendukung Kelemahan sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, menurut Soerjono Soekanto bahwa para penegak hukum tidak dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan 31 mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. d. Kelemahan Masyarakat Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadran hukum. Persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. e. Kelemahan Kebudayaan Kebuadayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Maka, kebudayaan Indonesia merupakan dasar atau mendasari hukum adat yang berlaku. Disamping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan), yang dibentuk oleh golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk itu. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat, agar hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara aktif. Kelima kelemahan di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari 32 efektivitas penegakan hukum. Dari lima kelemahan penegakkan hukum tersebut kelemahan penegakkan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakkan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas. 2. Teori Negara Kesejahteraan Sebagai Middle Theory Ide konsep negara kesejahteraan berangkat dari upaya negara dalam mengelola sumber daya yang dmiliki dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tujuan mulia untuk mensejahterakan rakyat, kemudian direalisasikan oleh negara lewat regulasi-regulasi pelayanan sosial (social service). Dengan demikian dalam negara kesejahteraan menuntut adanya peranan yang dominan dalam pengelolaan sektor publik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi negara kesejahteraan adalah negara yang mengusahakan kesejahteraan rakyat dengan mengatasi anarki produksi dan krisi ekonomi, meningkatkan jaminan hidup warga dengan memberantas pengangguran. 27 Sedangkan Edi Suharto dalam bukunya berjudul Regulasi Sosial : Sebagai Regulasi Publik mendefinisikan negara kesejahteraan (welfare state) sebagai model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Jadi fokus dari sistem negara 27 Save M.Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, LKPN, Jakarta, 2000, hal.708. 33 kesejahteraan adalah untuk menciptakan sebuah sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap warga negara sebagai gambaran adanya hak warga negara dan kewajiban negara. 28 Negara kesejahteraan sebenarnya tidak hanya menciptakan pelayananpelayanan sosial untuk orang miskin saja, akan tetapi pelayanan sosial ditunjukkan untuk semua penduduk seperti orang tua, anak-anak, pria, wanita, miskin dan kaya. Hal ini dimasksudkan agar pelayanan sosial yang diselenggarakan negara bisa tersebar secara merata dan adil. Karya Richard Titmuss, Essay on the Welfare State telah mendapat tempat istimewa dalam studi-studi tentang negara kesejahteraan, buku Titmuss ini dapat dikatakan sebagai magnum-opus yang secara mendalam mengupas ide negara kesejahteraan sebagai berikut : “a welfare state is a state in which organized power is deliberately used through politics and administration in an effort to modify the play of market forces to achieve social prosperity and economic well-being of the people.”29 Pemikiran tersebut dapat disarikan menjadi tiga hal esensial. Pertama, negara harus menjamin tiap individu dan keluarga untuk memperoleh pendapatan minimum agar mampu memenuhi kebutuhan hidup paling pokok. Kedua, negara harus memberi perlindungan sosial jika individu dan keluarga ada dalam situasi rawan/rentan sehingga mereka dapat menghadapi masa- 28 Edi Suharto, Regulasi Sosial : Sebagai Regulasi Publik, ALFABET, Bandung, 2007, hal.57 Richard Titmuss, “Essay on the Welfare State” dalam Triwibowo dan Bahagijo, ed. Mimpi Negara Kesejahteraan, LP3ES, Jakarta, 2006, hal.11 29 34 masa kritis, seperti sakit, usia lanjut, menganggur dan miskin yang berpotensial mengarah atau berdampak pada krisis sosial. Ketiga, semua warga negara, tanpa membedakan status dan kelas sosial, harus dijamin untuk bisa memperoleh akses pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi (anak balita), air bersih dan sanitasi. Negara bagian barat seperti di negara Inggris, konsep Welfare State dipahami sebagai alternative terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma, karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin. Berbeda dengan sistem dalam the Poor Law, Negara Kesejahteraan difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang memlembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of citizenship), di satu pihak dan kewajiban Negara (state obligation) di pihak lain. Negara kesejahteraan ditujukan orang tua, anak-anak, pria, wanita, miskin dan kaya, sebaik dan sedapat mungkin. Ia berupaya untuk mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan pelayanan yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) warga negara secara adil dan berkelanjutan. Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith, ide dasar Negara kesejahteraan beranjak dari abad ke 18 ketika Jeremy Bentham, mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greates number of their citizens. Bentham menggunakan istilah “utility” atau kegunaan untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip 35 utilitarianisme yang ia kembangkan. Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik, dan sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksiaksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagiaan sebanyak mungkin. Secaraa umum, suatu negara bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan jika mempunyai empat pilar utamanya, yaitu: (i) socialcitenzenship; (ii) full democrazy; (iii) modern industrial relation system ; serta (iv) rights to education and the expansion of modern masseducation system. Keempat pilar ini dimungkinkan dalam negara kesejahteraan karena negara memperlakukan penerapan regulasi sosial sebagai “penganugerahan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada warganya yang diberikan berdasarkan basis kewarganegaraan (citizenship) dan bukan atas dasar kinerja atau kelas. Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan yang (kemudian disebut sebagai dekomodifikasi) dengan menjadikannya sebagai hak setiap warga yang diperoleh melalui perangkat regulasi sosial yang disediakan oleh negara. Lebih jauh lagi, keberadaan hak-hak sosial dan social citizenship ini digunakan oleh negara untuk menataulang relasi kelas 36 dalam masyarakat, serta menghapuskan kesenjangan kelas yang terjadi. Seperti di ungkapkan oleh Esping-Andersen:30 “..negara kesejahteraan bukan hanya suatu mekanisme untuk melakukan intervensi atau mengoreksi struktur ketidaksetaraan yang ada. Namun, merupakan suatu sistem stratifikasi sosial yang khas. Negara kesejahteraan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam penataan ulang relasi sosial..” Dari pandangan Esping Anderson, bahwa negara kesejahteraan bukanlah satu konsep dengan pendekatan baku. Negara kesejahteraan lebih sering ditengarai dari atribut-atribut regulasi pelayanan dan transfer sosial yang disediakan oleh negara (pemerintah) kepada warganya, seperti pelayanan pendidikan, transfer pendapatan, pengurangan kemiskinan, sehingga keduanya (negara kesejahteraan dan regulasi sosial) sering diidentikkan. 31 Negara kesejahteraan, pada dasarnya mengacu pada peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisir perekonomian yang didalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi) dengan menjadikannya sebagai hak setiap warga yang dapat diperoleh melalui perangkat regulasi sosial yang disediakan oleh negara. Esping Andersen, “Three World of Welfare Capitalism” dalam Triwibowo dan Bahagijo, ed., Mimpi Negara Kesejahteraan, LP3ES, Jakarta, 2006, hal.9 31 Siswo Yudo Husodo, Mimpi Negara Kesejahteraan, Pengantar Cetakan ke 1, LP3ES, Jakarta, 2006, hal. 8 30 37 3. Teori Hukum Progresif sebagai Applied Theory Pemikiran-pemikiran hukum progresif yang selama ini dikembangkan memiliki beberapa implikasi. Pertama, terdapat efek langsung bagi perkembangan ilmu hukum secara perlahan, meskipun baru dalam tataran wacana yang belum sampai pada riset mendalam. Kedua, akibat campur tangan ilmu lain untuk memasuki domain ilmu hukum, maka muncul resistensi cukup keras disebabkan intervensi ilmu-ilmu tersebut masuk ke “dapur” ilmu hukum. Hal ini dimaklumi karena pandangan positivistik lebih mengedepankan hukum sebagai sesuatu yang unik, khas tanpa harus “direcoki” oleh ilmu-ilmu lain. Ketiga, problem epistemologis, artinya metodologi yang kini dikembangkan secara tradisional, tidak memadai lagi untuk mengembangkan ilmu hukum. Diperlukan metode baru untuk bisa mengungkapkan secara penuh realitas hukum yang kasat mata dan makna dibalik yang empirik itu. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, Indonesia membutuhkan suatu tipe penegakan hukum prograsif, hal ini didasarkan pengamatan empiris yang menunjukkan, meskipun bangsa ini meneriakkan supremasi hukum dengan keras, hasilnya tetap mengecewakan, untuk menangani kasus korupsi yang telah menjalar di hampir seluruh sektor birokrasi di pusat sampai daerah, mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif masih memperlihatkan hasil yang maksimal. Aliran Neomarxis mencatat dua kritik dengan tema dominan yaitu Pertama, institusi hukum sudah tercemar dari dalam sehingga ikut 38 menyebabkan hilangnya ketertiban sosial secara keseluruhan. Akhirnya hukum hanya bekerja sebagai alat kekuasaan belaka. Substansinya hanya menguntungkan golongan yang kaya dan merugikan serta menipu golongan miskin. Kedua, kritik terhadap Legalisme Liberal mengenai gagasan bahwa tujuan keadilan dapat dicapai melalui sistem peraturan dan prosedur yang objektif (bersifat otonom) yang ternyata tidak mampu menciptakan keadilan tetapi justru menjadi pendukung utama kekuasaan serta turut ambil bagian dalam korupsi yang lebih dalam. 32 Plato, mengkualifikasi keadilan dalam tiga hal yaitu pertama, suatu karakteristik atau “sifat” yang terberi secara alami dalam diri tiap individu manusia, kedua, keadilan memungkinkan orang mengerjakan pengkoordinasian serta memberi batasan pada tingkat “emosi” mereka dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat Ia bergaul dan ketiga, keadilan merupakan hal yang memungkinkan masyarakat manusia menjalankan kodrat kemanusiannya dalam cara-cara yang utuh dan semestinya. 33 Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak didasarkan atas kekuasaan. Hukum harus dijadikan panglima dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping kepastian dan keadilan hukum juga berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia. Sehingga boleh dikatakan bahwa berhukum adalah sebgai medan perjuangan 32 Philip Nonet dan Philip Selznick. Law and Society in Transaction : Toward Responsive Law. Edisi Asli Terjemahan Rafael Edy Bosco. Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HUMA), Jakarta, 2003. hal 1-4. 33 Herman Bakir, Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.177 39 manusia dalam konteks mencari kebahagian hidup.34 Satjipto Rahardjo mengatakan : “…, baik kelemahan ; peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan kedepan, sehingga hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. Hukum tidak untuk diri dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia”. 35 Namun di dalam realita kehidupan masyarakat, hukum mengalami sebuah masalah krusial yang mengaburkan makna dari hukum tersebut. Hukum dijadikan alat untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu dan hukum dijadikan sebuah alat untuk melegalkan tindakan-tindakan yang menistakan nilai-nilai keadilan ditengah-tengah masyarakat. Hukum hanya dijadikan alat dan bukan tujuan. Hukum dan keadilan merupakan dua buah sisi mata uang yang tidak dapat disipisahkan, hukum bertujuan untuk mewujudkan dan keadilan tanpa hukum ibarat macan ompong. Namun untuk mendapatkan keadilan maka pencari keadilan harus melalui prosedurprosedur yang tidak adil. Sehingga hukum menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat, hukum bukan lagi untuk membahagiakan masyarakat tetapi malah menyengsarakan masyarakat. Hukum gagal memberikan keadilan ditengah masyarakat. Supremasi hukum yang selama ini didengungkan hanyalah seagai tanda (sign) tanpa makna. Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (language of game) yang cenderung menipu dan mengecewakan. 34 Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta; Pustaka Belajar, 2009, hal.1. Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Jakarta; Penerbit Buku Kompas, 2007, hal.9. 35 40 Reformasi yang telah bergulir di Indonesia telah membawa pola kehidupan bernegara yang lebih demokrasi, dan hal ini juga membawa perubahan sistem hukum yang ada, dari model yang tertutup hingga menjadi model terbuka dengan lebih mengedapankan keadilan di tengah masyarakat dari pad keadilan yang dikebiri oleh penguasa. Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang-Undang sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.36 Keadilan bukan verifikasi saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang dirumuskan dalam pasal-pasal undang-undang. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa kemanusiaanya, yang dibutuhkan bahwasanyakeadilan adalah keberanian tafsir atas Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia. Sehingga keadilan hanya diasumsikan kepada rutinitas polisi, jaksa dan hakim sebagai mata pencaharian di dalam sebuah gedung. Sebab, bagi aparat, menjadi PNS atau polisi bertujuan untuk bekerja. Karena itu, hukum hanya bagian dari tumpukan file dimeja penegak hukum yang harus diselesaikan. Isu umum yang terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu pada prinsip 36 Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 Januari 2010 41 pekerjaan yang diukur dengan nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan dengan makna dari istilah-istilah yang popular dalam dunia hukum. Seperti mafia hukum, UUD (ujung-ujung duit), pasal karet dan penyelesaian dibalik meja. Keadilan dihayati sebagai pekerjaan mencari uang di dalam institusi pengadilan. Hukum progresif memecahkan kebuntuan itu, dia menuntut keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila proses tersebut benar, identitas yang dibangun dalam penegakkan hukum di Indonesia sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga Indonesia di masa depan tidak ada lagi diskriminasi hukum. Apabila kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan dan kesejahteraan. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakkan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakkan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual , melainkan dengan kecerdasan spritual. Dengan kata lain, penegakkan hukum yang dilakukan dengan penuh 42 determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan. 37 Kegiatan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dalam penyelesaian sengketa lainnya. Dalam arti sempit penegakkan hukum itu mencakup kegiatan penegakkan terhadap setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya melalui proses peradilan pidana yang melibatkan aparat penegak hukum. Penegakkan hukum merupakan bagian dari dari pelaksanaan politik kenegaraan suatu Negara. Oleh karena itu sistem politik dan suasana politik sangat berpengaruh dalam proses penegakkan hukum itu sendiri. Sistem politik yang baik dibarengi suasana politik yang kondusif akan memudahkan dalam penegakkan hukum begitupun sebaliknya jika sistem dan suasana politik carut marut akan sangat menghambat terhadap penegakkan hukum. Untuk mewujudkan penegakkan hukum yang baik perlu tatanan dan praktek politik yang baik juga. Terutama hukum harus mampu merespon dinamika perkembangan berpikir masyarakat sehingga hukum tidak berjalan di tempat. Dalam hal penegakkan hukum di Indonesia khususnya, jika dipahami secara kaku dan seadanya maka tidak ada hakim keliru dalam setiap memutuskan 37 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal.13 43 suatu perkara, walaupun keputusan itu keliru, salah, tidak tepat, bertentangan dengan keadilan, bahkan bertentangan dengan hati nuraninya sendiri. Sehingga ini memunculkan aparat-aparat penegak hukum rimba yang sewenang-wenang dan menindas.38 Semestinya aparat penegak hukum harus benar-benar memahami fungsi hukum dan mengedapankan hukum dalam bertindak, artinya dalam melakukan aktifitas penegakkan hukum mereka harus bersandar pada hukum yang berlaku. Salah satu aspek yang terpenting dalam penegakkan hukum adalah bagaimana mengenalkan hukum pada masyarakat dan menggalakkan kesadaran hukum mereka. Penegak hukum juga jangan hanya menganggap masyarakat sebagai objek dalam penegakkan hukum belaka. Banyak pula yang memanfaatkan hukum untuk memperkaya diri sendiri tanpa memedulikan rasa keadilan yang didamba oleh semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, disinilah perlunya penegakkan hukum yang responsive. II. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Tindak Pidana Korupsi 1.1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang banyak dilakukan oleh koruptor. Tindak pidana ini tidak hanya dilakukan oleh kalangan pemerintah (eksekutif), tetapi juga dilakukan oleh oknum- 38 Jimly Asshidiqie, Pranata Hukum dan Penegakkannya di Indonesia, Unnisula Press, Semarang, 2010, hal.60. 44 oknum yang berada di lembaga legislatif, yudikatif, maupun swasta. Banyaknya oknum yang melakukan tindak pidana korupsi karena ingin menguntungkan diri sendiri dan orang lain. Tindak pidana korupsi, yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan criminal acts of corruption terdiri atas dua suku kata, yang meliputi tindak pidana dan korupsi. 39 Tindak pidana, yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan criminal act, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan misdriff dikonsepkan sebagai perbuatan yang berkaitan kejahatan. 40 Korupsi, dapat dianalisis dari pengertian pandangan ahli maupun yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Korupsi berasal dari bahasa latin “corruptus” atau “corruptio” yang kemudian diturunkan ke banyak bahasa seperti Bahasa Inggris yaitu “corruption” dari kata dasar “corrupt” dan dalam Bahasa Belanda yaitu “corruptie” yang kemudian diadaptasi ke Bahasa Indonesia sebagai korupsi. Istilah korupsi dalam bahasa latin “corruptus” atau “corruptio” diartikan sebagai kerusakan atau kebobrokan, perbuatan tidak jujur dalam hal keuangan. Menurut Subekti, korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya diri sendiri yang secara langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara. Definisi korupsi menurut World Bank pada tahun 2000, yaitu “korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk 39 Rodliyah dan Salim HS, Pengantar Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT Rajagrafindo Persada, Depok, 2022, hal.17. 40 Ibid. 45 keuntungan pribadi”. Lembaga Transparency International yang setiap tahunnya merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) mendefinsikan korupsi sebagai perbuatan tidak pantas dan melanggar hukum oleh pejabat publik, baik politisi atau pegawai negeri, demi memperkaya diri sendiri atau orang-orang terdekat dengan menyalahgunakan wewenang yang dipercayakan oleh publik. Sementara Independent Commission Againts Corruption (ICAC) Hong Kong menyebutkan bahwa korupsi adalah penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik dengan melakukan pelanggaran hukum terkait tugas mereka, demi mencari keuntungan untuk diri dan pihak ketiga. Pengertian korupsi yang tercantum dalam perundang-undangan, sebagai berikut : 1. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah : “Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Ada tiga unsur yang tercantum pada definisi di atas, yang meliputi : a. Setiap orang; b. Jenis perbuatan yang dilakukannya, yaitu : 1) melawan hukum; 2) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri; 46 3) menguntungkan ; diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi 4) menyalahgunakan ; kewenangan; maupun kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan c. Akibat perbuatan yang dilakukannya, yaitu merugikan : 1) keuangan negara; atau 2) perekonomian negara. 1.2. Landasan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis Tindak Pidana Korupsi Undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi cukup banyak, namun undang-undang yang ada merupakan perubahan dari undang-undang sebelumnya. Untuk menganalisis tentang landasan filosifis dari tindak pidana korupsi harus dianalisis dari undang-undang yang pernah berlaku. Berikut landasan filosofis tersebut.41 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Landasan filosofis dibentuknya atau ditetapkan undang-undang ini tercantum dalam konsideran menimbang, yang menyatakan : a. bahwa perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional. b. bahwa Undang-Undang No 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubungan dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, dan oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti. 41 Ibid 47 Landasan filosofis ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah karena perbuatan korupsi sangat : a. merugikan keuangan/perekonomian negara; dan b. menghambat pembangunan nasional. 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tercantum dalam pertimbangan hukum undang-undang tersebut. Di dalam pertimbangan itu, disebutkan bahwa : a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Ada dua hal yang tercantum dalam pertimbangan hukum UndangUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang meliputi : a. akibat perbuatan yang dilakukan oleh koruptor; dan b. perlu dilakukan pemberantasan. Akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, yaitu merugikan ; a. keuangan negara;atau b. perekonomian negara;dan c. menghambat pembangunan nasional. 48 Mengingat akibat yang ditimbulkan tindak pidana korupsi cukup besar, maka perlu diberantas sampai ke akar-akarnya. Pemberantasan dikonsepkan sebagai proses atau perbuatan untuk memberantas. Memberantas dikonsepkan sebagai melenyapkan atau meniadakan tindak pidana korupsi. Filosofi dari pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Landasan filosofis ditetapkan undangundang ini tercantum dalam konsiderans menimbang, yang menyatakan : a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa; b. Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 49 Ada empat hal yang tercantum dalam pertimbangan hukum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi : 1. tingginya jumlah tindak pidana korupsi; 2. akibat dari tindak pidana korupsi; 3. penggolongan tindak pidana korupsi; dan 4. filosofi ditetapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Walaupun pertimabangan hukum di atas menunjukkan bahwa alasan perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena jumlah tindak pidana korupsi cukup tinggi, data tentang jumlah perkara korupsi dari tahun 1999 sampai dengan 2023 tidak tampak, namun yang ada, yaitu data tentang Indeks Persepsi Korupsi tahun 2022 Corruption Perception Index (CPI) Indonesia berada di skor 34/100 dan ada diperingkat 110 dari 180 negara yang di survei, skor ini turun 4 poin dari tahun 2021 dan merupakan penurunan paling drastis sejak 1995.42 Akibat dari tindak pidana korupsi, yaitu: 1. merugikan keuangan negara; 2. pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. 42 ti.or.id, diakses pada tanggal 19 Mei 2023, jam 13.20 50 Esensi tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa karena pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Sementara itu, menjadi filosofi ditetapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu : 1. 2. 3. 4. menjamin kepastian hukum menghindari keragaman penafsiran hukum; memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat; serta perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Landasan yuridis, tentang tindak pidana korupsi telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan berikut ini. 1. 2. 3. 4. 5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara itu, ketentuan yang mengatur sanksi pidana bagi pelaku yang telah melakukan tindak pidana korupsi ditentukan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sanksi pidananya diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pada 51 6. 7. 8. 9. 10. pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masingmasing pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diacu. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Undang-Undang ini mengatur tentang lembaga yang diberi tugas, wewenang dan kewajiban untuk melakukan pemberantasan korupsi. Lembaga yang berwenang untuk itu adalah Komisi Pemberantasasan Korupsi (KPK). Tujuannya dibentuk KPK, yaitu meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak korupsi.43 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atasa Undanaag-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Landasan sosiologis ditetapkannya dari berbagai peraturan perundangundangan diatas, yaitu karena banyaknya baik orang, koorporasi maupun swasta yang melakukan tindak pidana korupsi di Indonesia. Secara sosiologis, penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi belum efektif karena masih cukup banyak pelaku melakukan tindak pidana korupsi. Namun, diharapkan ke depannya pelaku tindak pidana korupsi menjadi berkurang, bahkan tidak ada sama sekali. 44 1.3. Subjek Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi Subjek pidana, yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan criminal subject, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan crimineel 43 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 44 Op.Cit hal 225 52 onderwerp dikonsepkan sebagai pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi. Ada sembilan sebutan subjek pidana dalam tindak pidana korupsi, yang meliputi : 1. Setiap orang; Setiap orang, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan each person, sedangkan dalam bahsa Belanda, disebut dengan iedereen, ditujukan kepada masing-masing orang atau manusia yang melakukan tindak pidana korupsi. Agar setiap orang dapat dipidana, ia harus memenuhi syarat, seperti ia telah dewasa. Ukuran kedewasaan, yaitu telah berumur 16 tahun.45 2. Pegawai negeri; Pegawai Negeri Sipil atau PNS adalah : “Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintah”. 46 Ada empat unsur yang tercantum dalam konsep PNS di atas, yang meliputi : a. WNI, b. Diangkat sebagai Pegawai ASN, c. Adanya yang mengangkat, dimana yang mengangkat ASN adalah pejabat pembina, d. Tujuan pengangkatannya. 3. Penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji; 45 46 Pasal 45 Kitab Undaang-Undang Hukum Pidana Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. 53 Tujuan pengangkatan PNS, yaitu untuk menduduki jabatan pemerintahan. Penyelenggara negara dikonsepkan sebagai : “Pejabat Negara yang menjalankan fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara”. 47 4. Pemborong; Pemborong dikonsepkan sebagai orang yang menangani suatu pekerjaan seluruhnya sampai selesai. Sementara itu, dalam UndangUndang No 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, istilah pemborong diganti dengan istilah Penyedia Jasa. Penyedia Jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi. Penyedia Jasa Konstruksi terdiri atas ; orang per seorangan; atau badan usaha. 5. Ahli bangunan; Ahli bangunan dikonsepkan sebagai orang yang mempunyai kemahiran atau paham sekali tentang bangunan. 6. Penjual bahan-bahan bangunan; Penjual bahan-bahan bangunan merupakan orang yang menjual bahan-bahan bangunan, seperti semen, besi, kaca, dan lain-lain. 7. Pemberi hadiah; Pemberi hadiah (gratifikasi) merupakan orang yang menyerahkan uang kepada PNS atau penyelenggara negara. 8. Hakim; 47 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 54 Secara gramatikal, hakim dikonsepkan sebagai orang yang mengadili perkara di pengadilan, baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung. Sementara itu pengertian hakim secara normatif telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Hakim adalah : “Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“.48 9. Advokat. Advokat adalah : “Orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini”. 49 1.4. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi Secara normatif, jenis-jenis tindak pidana korupsi telah ditentukan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahhun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hasil kajian terhadap ketentuan itu, maka telah ditemukan sepuluh jenis tindak pidana korupsi. Kesepuluh jenis tindak pidana itu berikut ini: 1. Memperkaya diri. Memperkaya diri, yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan to enrich themselves, sedangkan dalam bahasa 48 49 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. 55 Belanda, disebut dengan zichzelf te verrijken merupakan upaya menjadikan orang perorangan menjadi kaya. Kaya artinya bahwa orang perorangan tersebut mempunyai harta atau uang yang banyak dari hasil korupsi.50 2. Menyalahgunakan jabatan dan kedudukan. Menyalahgunakan jabatan atau kedudukan, yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan abuse of office or position, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan misbruik van het mandaat of de positie adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pejabat untuk melakukan perbuatan yang keliru dan menyimpang dari jabatan atau kedudukan yang diberikan kepadanya. 3. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat atau hakim. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat atau hakim, yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan give or promise anything to an official or judge, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan geven of beloven aan een ambtenaar of rechter adalah menyerahkan atau menyatakan kesanggupan dan kesediaan untuk menyerahkan barang kepada pejabat atau hakim. 4. Melakukan perbuatan curang. Melakukan perbuatan curang yang dalam bahasa Inggris disebut dengan fraudulent acts, 50 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, hal.399. 56 sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan frauduleuze handelingen adalah mengerjakan atau mengadakan suatu perbuatan atau tindakan yang tidak jujur. 5. Melakukan penggelapan uang atau surat berharga. Melakukan penggelapan uang atau surat berharga, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan embezzlement of money or commercial paper, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan verduistering van geld of waardepapieren adalah mengerjakan atau menggunakan uang atau surat berharga secara tidak sah. 6. Melakukan pemalsuan buku-buku daftar-daftar yang khusus. Melakukan pemalsuan buku-buku daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan falsifying books that are specific to the administrtion of examinations, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan vervalsen van boeken lijsten die specifiek zijn voor de administratie van de examens zijn adalah mengerjakan atau melakukan perbuatan memalsukan. Yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa adalah memalsukan buku-buku daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. 7. Melakukan penggelapan, perusakan, dan penghancuran barangbarang. Melakukan penggelapan , perusakan , dan penghancuran barang-barang, yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan 57 embezzlement, vandalism and destruction of goods, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan verduistering, vandalisme en vernietiging van goederen artinya mengerjakan perbuatan secara tidak sah, dan menjadikan barang menjadi rusak atau tidak sempurna atau pecah atau remuk sehingga barang-barang itu tidak dapat dipergunakan lagi. 8. Menerima hadiah. Menerima hadiah yang dalam bahasa Inggris disebut dengan receive a prize, sedangkan dalam bahas Belanda, disebut dengan ontvangt een geschenk adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan hadiah atau pemberian dari orang lain. 9. Menerima, pemerasan, dan pemborongan. Menerima, pemerasan, dan pemborongan yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan recevieng, extortion and chartering, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan ontvangen, afpersing en het charteren, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa untuk menerima uang dengan cara ancaman atau suatu perbuatan untuk membeli semuanya. 10. Pemberian hadiah. Pemberian hadiah, yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan gift-giving, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan het geven van geschenken, yaitu penyerahan hadiah atau cenderamata secara cuma-cuma kepada pihak lainnya. 58 1.5. Jenis-Jenis Sanksi yang Dijatuhkan kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi Sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi, tidak hanya berupa pidana penjara dan denda, tetapi dapat juga dijatuhkan pidana tambahan. Pidana tambahan itu : 1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. 2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyakbanyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. 3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. 4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepadana terpidana. 51 51 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 59 2. Tinjauan Pengadaan Jasa Konstruksi 2.1. Pengertian Jasa Konstruksi dan Ruang Lingkupnya Sektor Jasa Konstruksi merupakan kegiatan masyarakat yang mewujudkan bangunan yang berfungsi sebagai pendukung atau prasarana aktivitas sosial ekonomi kemasyarakatan guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Pemerintah Indonesia sebelumnya mengeluarkan peraturan di bidang Jasa Konstruksi, yakni Undang-Undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, dikarenakan adanya kebutuhan tata kelola yang baik dan dinamika perkembangan penyelenggaraan jasa konstruksi. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, secara tegas dikatakan bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi harus menjamin ketertiban dan kepastian hukum. UndangUndang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengatur lebih jelas mengenai hal-hal dalam bidang Jasa Konstruksi yang sebelumnya tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi. Layanan jasa konsultansi konstruksi merupakan layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan. Sedangkan pekerjaan 60 konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 diatur pula mengenai Sifat, Klasifikasi dan Layanan Usaha dalam Jasa Konstruksi. Usaha jasa konstruksi berbentuk usaha perseorangan atau badan usaha, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Penyelenggaraan jasa konstruksi di Indonesia juga mengacu pada asas-asas berikut ini : 1. Kejujuran dan keadilan. Asas kejujuran dan keadilan adalah bahwa kesadaran akan fungsinya dalam penyelenggaraan tertib jasa konstruksi serta bertanggung jawab memenuhi berbagai kewajiban guna memperoleh haknya. 2. Manfaat. Asas manfaat adalah bahwa segala kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan berlandaskan pada prinsip profesionalitas dalam kemampuan dan tanggung jawab, efisiensi, dan efektivitas yang dapat menjamin terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para pihak dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional. 61 3. Kesetaraan. Asas kesetaraan adalah bahwa kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan dengan memperhatikan kesetaraan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa. 4. Keserasian. Asas keserasian adalah bahwa harmoni dalam interaksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat tinggi. 5. Keseimbangan. Asas keseimbangan adalah bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin terwujudnya keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya. Pengguna jasa dalam menetapkan penyedia jasa wajib mematuhi asas ini, untuk menjamin terpilihnya penyedia jasa yang sesuai, dan di sisi lain dapat memberikan peluang pemerataan yang proporsional dan kesempatan kerja pada penyedia jasa. 6. Profesionalitas. Asas profesionalitas adalah bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi kegiatan profesi yang menjunjung tinggi nilai profesionalisme. 62 7. Kemandirian. Asas kemandirian adalah bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya nasional di bidang jasa konstruksi. 8. Keterbukaan. Asas keterbukaan adalah bahwa ketersediaan informasi dapat diakses oleh para pihak sehingga terwujudnya transparansi dalam penyelenggaraan jasa konstruksi yang memungkinkan para pihak dapat melaksanakan kewajibannya secara optimal, memperoleh kepastian akan haknya, dan melakukan koreksi sehingga dapat dihindari adanya kekurangan dan penyimpangan. 9. Kemitraan. Asas kemitraan adalah bahwa hubungan kerja para pihak yang bersifat timbal balik, harmonis, terbuka, dan sinergis. 10. Keamanan dan keselamatan. Asas keselamatan dan keamanan adalah bahwa terpenuhinya tertib penyelenggaraan jasa konstruksi, keamanan lingkungan dan keselamatan kerja, serta pemanfaatan hasil jasa konstruksi dengan tetap memperhatikan kepentingan umum. 11. Kebebasan. Asas kebebasan adalah bahwa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi terdapat kebebasan berkontrak antara penyedia jasa dan 63 pengguna jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 12. Pembangunan berkelanjutan. Asas pembangunan berkelanjutan adalah bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi dilaksanakan dengan memikirkan dampak yang timbul pada lingkungan yang terjaga secara terus-menerus menyangkut aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. 13. Wawasan lingkungan. Asas wawasan lingkungan adalah bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Penyelenggaraan jasa konstruksi bertujuan untuk : 1. Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kukuh, andal berdaya saing tinggi, dan hasil jasa konstruksi yang berkualitas. Jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam sistem pembangunan nasional, untuk mendukung berbagai bidang kehidupan masyarakat dan menumbuhkembangkan berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 2. Mewujudkan ketertiban penyelenggaraan jasa konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam menjalankan hak dan kewajiban, serta meningkatkan 64 kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satuupaya untuk menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dilakukan dengan menertibkan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria termasuk penerapan dokumen pelelangan dan dokumen kontrak standar. 3. Mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang jasa konstruksi. Partisipasi masyarakat meliputi partisipasi baik yang bersifat langsung sebagai penyedia jasa, pengguna jasa, masyarakat jasa konstruksi, dan pemanfaat hasil penyelenggaraan jasa konstruksi, maupun partisipasi yang bersifat tidak langsung sebagai warga negara yang berkewajiban turut melaksanakan pengawasan untuk menegakkan ketertiban penyelenggaraan Jasa Konstruksi dan melindungi kepentingan umum. 4. Menata sistem jasa konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan lingkungan terbangun. Kenyamanan lingkungan terbangun adalah suatu kondisi bangunan sebagai hasil penyelenggaraan jasa konstruksi yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan yang direncanakan. 5. Menjamin tata kelola penyelenggaraan jasa konstruksi yang baik. 6. Menciptakan integrasi nilai penyelenggaraan jasa konstruksi. tambah dari seluruh tahapan 65 2.2. Pengadaan Jasa Konstruksi melalui Penyedia A. Perencanaan pengadaan melalui Penyedia meliputi tahapan : 1. Identifikasi kebutuhan. 2. Penetapan jenis jasa konstruksi. 3. Jadwal pengadaan. 4. Anggaran pengadaan jasa konstruksi. 5. Penyusunan spesifikasi teknis/kerangka acuan kerja. 6. Penyusunan perkiraan biaya/RAB. 7. Pemaketan pengadaan jasa konstruksi. 8. Konsolidasi pengadaan jasa konstruksi. 9. Penyusunan biaya pendukung. Penyusunan perencanaan pengadaan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan kementrian/lembaga, untuk tahun anggaran berikutnya sebelum berakhir tahun anggaran berjalan. Perencanaan pengadaan untuk pekerjaan konstruksi, selain memenuhi tahapan diatas juga harus memenuhi tahapan penyusunan detailed engineering design sebelum tahapan penyusunan spesifikasi teknis dan penyusunan biaya pendukung. Perencanaan pengadaan Jasa Konstruksi mengacu pada pendekatan Konstruksi Berkelanjutan dengan menerapkan prinsip Konstruksi Berkelanjutan. Perencanaan pengadaan dituangkan dalam dokumen perencanaan pengadaan. 66 Identifikasi kebutuhan disusun berdasarkan rencana kerja kementrian/lembaga. Identifikasi kebutuhan dituangkan ke dalam dokumen penetapan jenis Jasa Konstruksi. B. Persiapan Pengadaan Melalui Penyedia Persiapan pengadaan melalui Penyedia meliputi kegiatan sebagai berikut : 1. Reviu dan penetapan spesifikasi teknis/Kerangka Acuan Kerja 2. Penetapan detailed engineering design untuk pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi. 3. Penyusunan dan penetapan HPS. 4. Penyusunan dan penetapan rancangan Kontrak. 5. Penetapan uang muka, Jaminan uang muka, Jaminan pelaksanaan, Jaminan pemeliharaan, dan/atau penyesuaian harga. Persiapan pengadaan melalui penyedia dilaksanakan oleh PPK dan dapat dibantu oleh Tim Pendukung, Tim/Tenaga Ahli, dan/atau Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Spesifikasi teknis, HPS, detailed engineering design untuk pemilihan Penyedia, rancangan kontrak dan uang muka, Jaminan uang muka, Jaminan Pelaksanaan, Jaminan pemeliharaan, dan/atau penyesuaian harga yang telah ditetapkan dituangkan menjadi dokumen persiapan pengadaan. Dokumen persiapan pengadaan untuk metode pemilihan Pengadaan Langsung disampaikan kepada Pejabat Pengadaan. 67 Dokumen persiapan pengadaan untuk metode pemilihan Tender Terbatas atau Tender/Seleksi disampaikan kepada UKPBJ. C. Persiapan Pemilihan Penyedia Pejabat Pengadaan melakukan persiapan pemilihan Penyedia melalui Pengadaan Langsung yang meliputi : 1. Reviu dokumen persiapn pengadaan 2. Penetapan persyaratan Penyedia 3. Penetapan jadwal pemilihan. 4. Penetapan Dokumen Pemilihan Pengadaan Langsung. D. Pelaksanaan Pengadaan Langsung Jasa Konstruksi Proses pelaksanaan Pengadaan Langsung Jasa Konstruksi melalui Penyedia dilakukan melalui ; 1. Sistem pengadaan langsung secara elektronik. 2. Secara manual dan dicatatkan dalam sistem pengadaan secara elektronik. Proses pelaksanaan Pengadaan Langsung Jasa Konstruksi melalui Penyedia dilaksanakan oleh Pejabat Pengadaan. E. Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi Surat penunjukkan Penyedia barang/jasa ditetapkan oleh PPK setelah dilaksanakannya rapat persiapan penunjukkan Penyedia. Dalam hal tender terbatas atau tender/seleksi dilakukan mendahului tahun anggaran, surat penunjukkan Penyedia barang/jasa dapat ditetapkan 68 setelah persetujuan rencana kerja dan anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rapat Persiapan Penandatanganan Kontrak, PPK dan Penyedia wajib melaksanakan rapat persiapan penandatanganan Kontrak setelah ditetapkan surat penunjukkan Penyedia barang/jasa. F. Pengadaan Jasa Konstruksi Untuk Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua Dan Provinsi Papua Barat Pengadaan Langsung Jasa Konstruksi yang dipergunakan untuk percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Penyedia diutamakan untuk Pelaku Usaha Papua dengan kualifikasi usaha kecil. Dalam hal Pengadaan Langsung Jasa Konsultasi Konstruksi dengan nilai HPS paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dokumen penawaran disampaikan hanya berupa surat penawaran dan penawaran biaya. Dalam hal Pengadaan Langsung Pekerjaan Konstruksi dengan nilai HPS paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dokumen penawaran yang disampaikan hanya berupa surat penawaran dan penawaran harga. Pekerjaan Konstruksi dengan nilai pagu anggaran paling sedikit di atas Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,00 ( dua miliar lima ratus juta rupiah) dilaksanakan melalui tender terbatas. Tender terbatas diperuntukkan kepada Pelaku Usaha Papua. Pelaku Usaha non kecil yang mengikuti pengadaan Jasa Konstruksi di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat wajib melakukan 69 pemberdayaan Pelaku Usaha Papua dalam bentuk kemitraan dan/atau sub kontrak. G. Standar Dokumen Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi Standar dokumen pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi Konstruksi dan Pekerjaan Konstruksi terdiri atas : 1. Standar Dokumen Pemilihan Pengadaan Langsung Jasa Konstruksi. Tercantum dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No 14 Tahun 2020 Tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia. 2. Standar Dokumen Pemilihan Jasa Konsultansi Konstruksi. Tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.14 Tahun 2020 Tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia. 3. Standar Dokumen Pemilihan Pekerjaan Konstruksi Tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.14 Tahun 2020 Tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia. 1. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Metode pendekatan dalam penelitian disertasi ini adalah menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan sosiologis atau socio normative legal research. Metode pendekatan yuridis normatif dan 70 sosiologis merupakan salah satu jenis penelitian hukum yang menganalisis dan mengkaji bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Penelitian hukum sosiologis atau empiris ini menjelaskan bahwa penelitian hukum tersebut dilakukan dengan cara meneliti data primer. 52 Penelitian sosio legal hanya menempatkan hukum sebagai gejala sosial. Dalam hal demikian, hukum dipandang dari segi luarnya saja. Oleh karena itu, di dalam penelitian sosio legal hukum selalu dikaitkan dengan masalah sosial. Penelitian-penelitian demikian merupakan penelitian yang menitikberatkan pada perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum. 53 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum deskriptif analitis. Penelitian hukum deskriptif analitis adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. 54 Penelitian mengenai strategi pencegahan tindak pidana korupsi pada pengadaan jasa konstruksi ini dilakukan dengan menggunakan deskriptif analitis karena dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai data yang terkait dengan penelitian, kemudian data tersebut disajikan secara 52 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, 2010, hal.14 53 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2009, hal.87. 54 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2009, hal.29. 71 deskriptif (pemaparan) dan dianalisa sesuai dengan hukum yang terkait dan teori-teori yang terkait. 3. Sumber Data Penelitian Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari data primer dan data sekunder, yaitu sebagai berikut : a. Data primer ialah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan dan dilakukan langsung di dalam masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan studi lapangan di lingkungan Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Serta guna memperoleh data primer yang relevan dengan penelitian, penulis menggunakan metode wawancara (interview). Wawancara merupakan proses tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik, dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan berbeda satu pihak berfungsi sebagai pencari berita atau interviewer, sedang pihak yang lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau disebut interviewe atau informan atau responden. 55 Responden dalam penelitian ini adalah penyidik, jaksa maupun hakim yang menangani perkara tindak pidana korupsi. b. Data sekunder ialah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan 55 Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia, Jakarta, 1998, hal.34. 72 pustakan yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian. 56 Data sekunder dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Bahan hukum primer Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peraturan perundang-undangan yaitu ; Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Serta peraturan perundang-undangan lainnya yang dapat mendukung dalam penlitian disertasi ini. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder tersebut adalah pendapat ahli hukum, hasil penelitian hukum, hasil 56 Mukti Fajar N.D. dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum-Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015, hal.34. 73 ilmiah dari kalangan hukum, buku-buku mengenai hukum pidana dan buku-buku yang terkait pembahasan penelitian ini. 3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier tersebut adalah media internet dengan menyebut nama situsnya. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Studi Pustaka Studi pustaka merupakan pengumpulan data dengan cara menggunakan dan mempelajari dokumentasi atau dokumen yang berupa arsip-arsip catatan, maupun tempat yang dijadikan penelitian, dimana dokumen yang ada akan memberikan gambaran yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti. b. Observasi Lapangan Observasi merupakan pengamatan yang mencakup seluruh konteks sosial secara alamiah dari perilaku manusia yang nyata. Menangkap gejala atau peristiwa yang penting, yang mempengaruhi hubungan sosial antara orang-orang yang diamati perilakunya dan menentukan apakah yang disebut sebagai kenyataan dari sudut pandangan hidup 74 atau falsafat hidup dari pihak-pihak yang diamati, serta mengidentifikasikan keteraturan perilaku atau pola-polanya. c. Wawancara Wawancara adalah melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan responden atau narasumber untuk mendapat informasi. 57 Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering digunakan dalam penelitian hukum empiris, sebab tanpa wawancara peneliti akan kehilangan informasi yang hanya diperoleh dengan jalan bertanya secara langsung oleh responden atau narasumber. 5. Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisa data deskriptif kualitatif. Dalam analisis data deskriptif kualititatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai jenuh. Teknis analisis data ini meliputi 3 (tiga) komponen analisis yaitu :58 a. Reduksi Data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan tranformasi data kasar yang muncul dari data-data tertulis dilapangan. Selain itu reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menanjamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data 57 Ibid, hal.61. Miles dan Huberman, Analisis Data Kualitatif Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, UIP, Jakarta, 1992, hal.16. 58 75 dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat ditarik kesimpulan dan diverivikasi, cara yang dipakai dalam reduksi data dapat melalui seleksi yang panjang, melalui ringkasan atau singktan menggolongkan kedalam suatu pola yang lebih luas. b. Penyajian data (Display) Penyajian data yaitu sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan menganalisis. Penyajian data lebih baik merupakan suatu cara yang utama bagi analisi kualitatif yang valid. c. Penarikan kesimpulan (Verifikasi Data) Mencari arti benda-benda, mencatat keterangan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi, Kesimpulan-kesimpulan dan alur sebab senantiasa akibat diuji dan proposi. kebenarannya, kekompakannya dan kecocokan, yang merupakan validitasnya sehingga akan memperoleh kesimpulan yang jelas kebenarannya. 76 J. Jadwal Penelitian TABEL WAKTU PENELITIAN 2024 – 2025 WAKTU PENELITIAN 2024 - 2025 NO. KEGIATAN 1 Penyusunan Proposal 2 Ujian Proposal 3 Penelitian Disertasi 4 Seminar Hasil Penelitian 5 Perbaikan SHP 6 Sidang Tertutup 7 Perbaikan Sidang Tertutup Juli Agst Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr