Masduki • Engelbertus Wendratama • Rahayu • Putri Laksmi Nurul Suci Perlindungan Hukum Media Alternatif di Indonesia Riset dan Rekomendasi Kebijakan Masduki Engelbertus Wendratama Rahayu Putri Laksmi Nurul Suci 2025 Perlindungan Hukum Media Alternatif di Indonesia: Riset dan Rekomendasi Kebijakan Penulis : Masduki Engelbertus Wendratama Rahayu Putri Laksmi Nurul Suci Diterbitkan oleh: Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) Jl. Lempongsari Raya, Gg. Masjid RT 9/RW 37 No. 88B Jongkang Baru, Sariharjo, Sleman, DIY, 55581 Email: kontak.pr2media@gmail.com, office@pr2media.or.id Edisi pertama: Januari 2025 Rekomendasi pengutipan: Masduki, Wendratama, E., Rahayu, & Suci, P. L. (2025). Perlindungan Hukum Media Alternatif di Indonesia: Riset dan Rekomendasi Kebijakan. Yogyakarta: PR2Media. Penelitian ini terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab PR2Media dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, maupun Pemerintah Amerika Serikat. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit. DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR – TABEL ..................................................... vi KATA PENGANTAR ................................................................... vii PENGANTAR PENULIS ............................................................... viii RINGKASAN EKSEKUTIF .......................................................... 1 PENDAHULUAN ......................................................................... Tujuan Riset .......................................................................... Metode Riset ........................................................................ 4 5 5 TEMUAN RISET ........................................................................ A. Kajian Atas Persyaratan Dewan Pers ............................... B. Independensi Redaksi ..................................................... C. Sumber Daya Keuangan .................................................. D. Kebutuhan akan Verifikasi Dewan Pers ........................... E. Ruang Lingkup Media Alternatif ..................................... F. Rekomendasi Kebijakan .................................................. 12 12 28 31 42 44 47 PENUTUP .................................................................................. 54 UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................... 57 REFERENSI ................................................................................ 58 iii DAFTAR GAMBAR – TABEL GAMBAR Gambar 1. Tangkapan Layar Laporan Konde.co ........................ Gambar 2. Laporan Audit Konde.co .......................................... Gambar 3. Donasi Publik Floresa .............................................. Gambar 4. Penggalangan Dana Suara Kita ................................ Gambar 5. Pemasangan Iklan di Bincang Perempuan ............... Gambar 6. Donasi Bincang Perempuan .................................... Gambar 7. Iuran Keanggotaan Project Multatuli ...................... 34 35 36 37 38 39 40 TABEL Tabel 1. Kondisi Struktural Media Arus Utama dan Media Alternatif ................................................... xxiii Tabel 2. Profil Media Alternatif yang Berpartisipasi dalam Survei ................................................................ 7 Tabel 3. Syarat Pendataan Perusahaan Pers ............................. 13 Tabel 4. Sumber Daya Keuangan Media Alternatif ................... 32 Tabel 5. Perbedaan Media Alternatif dan Media Arus Utama ....................................................... 45 iv KATA PENGANTAR M edia alternatif di Indonesia saat ini menjadi pilar penting dalam menjaga keberagaman informasi dan mendukung demokrasi. Di tengah dominasi media arus utama yang sering kali terjebak dalam klikbait dan kepemilikan oligarkis, media alternatif menawarkan jurnalisme yang kritis dalam format jurnalisme investigatif, dan liputan mendalam. Mereka hadir bukan semata sebagai medium penyebar informasi, dan tidak berlebihan jika disebut sebagai ruang perjuangan untuk mengangkat suara-suara yang terpinggirkan dan menyuarakan ketidakadilan. Namun, keberadaan media alternatif di Indonesia hari ini tidak terlepas dari tantangan besar. Beroperasi dalam kondisi yang serba terbatas, mereka menghadapi tekanan dari berbagai arah: kekerasan fisik dan digital, kriminalisasi, serta hambatan administratif untuk mendapatkan pengakuan hukum. Dalam ekosistem media yang semakin tergantung pada kapital dan algoritma digital, media alternatif terus berjuang untuk bertahan tanpa mengorbankan prinsip independensi. Media alternatif berperan penting dalam menciptakan ruang informasi yang lebih adil dan inklusif. Mereka mendorong jurnalisme berkualitas di tengah krisis kepercayaan terhadap media arus utama. Dengan memprioritaskan isu-isu seperti hak asasi manusia, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan atau keadilan gender, media alternatif memainkan peran strategis dalam memperkuat v fungsi kontrol sosial yang seharusnya menjadi inti dari kebebasan pers. Namun, tanpa dukungan regulasi yang memadai, media alternatif berada dalam risiko. Sampai saat ini, UU Pers di Indonesia masih memprioritaskan pada organisasi pers dalam bentuk perusahaan yang secara alamiah dibentuk untuk mencari keuntungan. Bentuk organsasi pers berbentuk non-profit mengalami kesulitan untuk bisa memenuhi kriteria yang ditetapkan untuk verifikasi oleh Dewan Pers. Padahal verifikasi ini cukup penting bagi organisasi pers, terutama untuk bisa mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Untuk itu Internews mendukung PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media) untuk melakukan riset guna menggali lebih dalam bagaimana media alternatif ini beroperasi. Riset ini diharapkan bisa melihat operasi media alternatif dari dalam untuk membandingkannya dengan kriteria yang di­ bu­ tuhkan untuk mendapatkan verifikasi dari Dewan Pers, serta untuk mengidentifikasi lebih jauh dukungan-dukungan apa yang dibutuhkan. Laporan ini menawarkan jawaban atas tantangan-tantangan yang ada, dengan memberikan rekomendasi konkret untuk me­ lindungi dan memperkuat media alternatif. Regulasi yang adaptif dan ekosistem yang mendukung bukan hanya kebutuhan, tetapi keharusan untuk menjamin keberlanjutan jurnalisme independen. Dukungan terhadap media alternatif tidak hanya berarti melindungi hak atas kebebasan berekspresi, tetapi juga memastikan akses publik terhadap informasi yang berkualitas. Dalam jangka panjang, penguatan media alternatif akan menjadi investasi bagi demokrasi yang sehat, di mana semua pihak memiliki ruang untuk bersuara dan didengar. Kami berharap laporan ini tidak hanya menjadi referensi akademik, tetapi juga menjadi panduan kebijakan bagi para vi pembuat keputusan. Dengan memperhatikan rekomendasi yang disampaikan, kita bersama-sama dapat menciptakan ekosistem media yang lebih inklusif, independen, dan berorientasi pada kepentingan publik. Eric Sasono Direktur Internews di Indonesia vii PENGANTAR PENULIS Mengapa Indonesia Memerlukan Media Alternatif? S ebuah artikel bertajuk How to save Indonesia’s independent media voices (Masduki, 2023) menyebutkan adanya dualisme kontradiktif yang dihadirkan oleh platform digital bagi kegiatan jurnalistik, terutama yang dikelola media alternatif di Indonesia. The digital revolution can be seen as either a gift or a disaster. It brings more transparency, ensures equality of voices in public debate, allows almost anyone to own an outlet or become a journalist without economic and geographical constraints, and has less bureaucracy of news production. It has, however, loosened stringent demands for high journalistic skills and opened up political-economic control over the social and political behaviour of its users, including journalists, being overseen by giant forces from both government and global corporations with vested interests. Artikel ini menegaskan adanya ancaman serius dari segi pendanaan—di samping soal legalitas—terhadap media alternatif pengusung jurnalisme berkualitas, dan pentingnya peran negara melakukan mitigasi, melalui Dewan Pers. viii The media face more battlefronts, especially with money. The public has little idea of how much quality news costs to produce. The lack of funding puts quality journalism and the economic wellbeing of journalists at risk. Platforms such as Facebook and Google cannot be controlled by Indonesian news corporations. With not-for-profit journalism, which relies on idealists and volunteers, in danger of being unsustainable, government intervention (or crowdfunding and corporate donations) is key to maintain quality journalism for the public good. Berangkat dari persoalan manajerial keuangan di atas, problematika media alternatif di Indonesia sesungguhnya lebih kompleks. Secara historis terdapat politik dikotomi media dan berlanjut kepada diskriminasi hukum sebagai risiko pilihan kebijakan neoliberalisme dalam pers Indonesia. Tulisan ini di­ maksudkan sebagai pengantar konseptual dan kontekstual untuk para pembaca sekalian, sebelum mencermati haril riset yang bertajuk: perlindungan hukum media alternatif di Indonesia yang disajikan buku ini. Krisis Media Arus Utama Media berita secara global tercatat sebagai sektor yang mengalami krisis terus menerus baik oleh bencana ekologis, kesehatan maupun krisis politik (Scott, Bunce, Wrigt, 2019). Prakarsa menyelamatkan media dari krisis berkepajangan misalnya antara lain tersimpul dalam dokumen bernama: media viability index (MVI), yang diterbitkan Deutsche Welle (DW) di Jerman pada tahun 2020. MVI ini didukung oleh UNESCO dan diharapkan menjadi indikator untuk mengukur keberlangsungan media secara umum, dan jurnalisme secara khusus sebagai entitas bisnis dan sosial. Dua nilai utama ix yang diusung indeks DW adalah keberlangsungan (secara bisnis) dan reputasi (institusi) media di publik. Kedua nilai ini saling berpengaruh dan menentukan masa depan media. Mengapa media jurnalisme penting? Dalam sistem politik demokratis, media massa memiliki fungsi sosial sebagai ruang publik (public sphere) untuk mendiskusikan berbagai isu ke­ publikan. Fungsi ini diwujudkan melalui berita yang berkualitas dan kolom komentar publik yang terbuka dan setara di media. Produk utama media adalah berita dan peran paling kunci dari berita adalah melakukan kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyimpangan. Dengan kata lain, media menjadi bagian dari masyarakat sipil yang berperan membentuk opini perubahan. Peran ini hanya bisa dimainkan oleh media yang modal produksinya berasal dari kemitraan dengan pihak yang peduli terhadap investasi pengetahuan. Pasca COVID-19 dan disrupsi digital, terjadi krisis pendapatan keuangan media arus utama dan berdampak pada krisis produksi berita. Krisis terjadi pada jantungnya: biaya produksi dan diseminasi berita. Akibat efisiensi, produk jurnalistik berkualitas yang berbiaya tinggi mengalami pengurangan bahkan tersingkir. Upaya pemerintah untuk memberi subsidi terhadap media berita masih terbatas dan memiliki risiko politik tinggi. Memperhatikan kondisi ini, nasib media dan jurnalisme media arus utama di ujung tanduk. Analisis ekonomi politik Herman dan Chomsky (1988) menyebutkan adanya firewall (dinding api) antara ruang redaksi dan ruang bisnis. Herman dan Chomsky (1988) secara kritis melihat faktor bisnis atau sumber dana membentuk karakter berita, termasuk keputusan untuk liputan investigasi atau meng­ hindarinya. Dalam konteks ini, sumber dana dan bagaimana gambaran ideologi politik pemberi dana menjadi faktor yang harus dicermati. Mencermati model bisnis jurnalisme dalam era kompetisi pasar terbuka, pemasang iklan memengaruhi konten x media. Di sektor media non-profit, lembaga-lembaga filantropi berskala internasional dan nasional adalah aktor yang potensial memengaruhi redaksi. Isi media akan identik atau mencerminkan hasrat para penyuplai ongkos produksinya. Apabila dana media bersumber dari iklan suatu korporasi besar, maka berita yang muncul akan sangat ramah kepada perusahaan pemasang iklan tersebut. Sebaliknya, jika media jurnalisme mencoba berpijak pada iuran publik, donasi, atau pelanggan, maka beritanya akan cenderung berorientasi kepada pelayanan kepentingan publik yang mendukungnya. Di Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir, muncul dua arus kerja jurnalisme investigasi. Arus pertama diwakili oleh majalah dan koran Tempo sebagai media komersial yang mengandalkan iklan dan kemitraan komersial sebagai pilar pendanaan. Grup Tempo juga memproduksi berita rutin sebagai penyeimbang layanan jurnalisme investigasi, menggelar kegiatan penunjang seperti pelatihan dan layanan database dan podcast untuk memperkuat pendanaan. Tempo mewakili model korporasi komersial yang memiliki jangkauan pembaca meluas, memiliki reputasi panjang sebagai media berita dan dikelola jurnalis profesional. Arus kedua diwakili pegiat media alternatif berbasis digital seirama dengan tumbuhnya pengguna media internet dan sosial media di Indonesia. Mereka antara lain dimotori Watchdoc sebagai perusahaan mikro/ start up penyedia video investigasi. Disusul kemudian antara lain oleh Konde.co, Jaring.id, dan Project Multatuli. Mereka mewakili model non-profit, dikelola para jurnalis-cum aktivis dan terhubung dengan lembaga internasional. Secara umum setelah UU Pers berusia lebih dari 25 tahun, belum ada perubahan pada struktur kepemilikan dan isi media arus utama. Bahkan memasuki era berita berbasis digital, pemberitaan yang diwarnai polarisasi politik kebijakan, disinformasi, dan pemberitaan informasi yang insinuatif masih tinggi. Salah satu problem besar xi yang terancam dari situasi ini adalah krisis jurnalisme berkualitas, jurnalisme yang memberikan pencerahan, advokasi kebijakan dan kontrol kekuasaan koruptif. Krisis jurnalisme berkualitas dipicu oleh krisis korporasi media arus utama yang sebelumnya selama puluhan tahun rutin menyuguhkan berita mendalam dan kritis. Misalnya krisis keuangan yang dihadapi oleh Majalah Tempo, Koran Tempo, Jakarta Post, dan Kompas. Pada saat pandemi, krisis ini dilipatgandakan dengan krisis keamanan pekerja pers dari inveksi virus COVID-19. Dalam riset Masduki yang disponsori UNESCO dan Public Media Alliance (2021) yang berbasis di London, ditemukan bahwa lebih dari 70% korporasi media mengalami krisis, 40% lebih mengurangi jumlah karyawan, gaji bulanan, dll. Selanjutnya, pagar api yang dijaga jurnalis idealis runtuh oleh hasrat komersialisasi yang ekstrem terhadap berita. Berita sepenuhnya menjadi produk komersial, bergeser dari fungsi sebagai public good menjadi commercial good bahkan political good. Sejumlah jurnalis idealis tidak nyaman atas situasi ini, memilih keluar untuk bekerja secara independen, yang kemudian menjadi motor media berita alternatif. Terdapat konflik kepentingan dalam ruang redaksi media: politik, ekonomi dan publik. Media arus utama komersial akan selalu meyakini bahwa intervensi politik dan ekonomi dari pemiliknya sebagai hal yang wajar. Adapun redaksi media alternatif akan selalu memisahkan antara kepentingan redaksi (publik) dan aspirasi politik jurnalis atau pengelola redaksi lainnya. Dalam sejarah politik kontemporer Indonesia, pernah terjadi keberpihakan Jakarta Post secara terbuka ke Joko Widodo (2014) dan dukungan terbuka Washington Post kepada calon Presiden Barrack Obama. Struktur mental/kognisi para profesional media arus utama di ranah digital cenderung pragmatis. Konsep pagar api dalam redaksi jurnalisme, berupa pemisahan yang jelas antara marketing, newsroom dan kepemilikan yang mirip konsep fair doctrine dalam xii dunia penyiaran nyaris tidak lagi berlaku jurnalisme dalam era digital dan dalam sistem pers yang liberalistik selalu memiliki dua sisi. Pertama, ia adalah produk informasi kepentingan publik, memiliki misi sosial dan misi kontrol atas praktik ekonomi dan politik tertentu. Kedua, ia adalah kerja produksi informasi yang bernilai bisnis, bagian dari industri kreatif penopang kehidupan ekonomi pekerja profesional. Selain soal kognisi, teknologi digital juga memengaruhi kinerja berita media arus utama. Pada awalnya, berita yang tersaji di platform media konvensional adalah produk jurnalisme dengan idealisme tinggi. Namun, model produksi dan diseminasi yang pendek dan cepat di platform digital menggerus segalanya. Media ‘Alternatif’ Tapi Mutlak Kita semua meyakini bahwa jurnalisme tidak akan mati. Kematian hanya terjadi pada platform tradisionalnya. Regenerasi jurnalisme justru terjadi ketika disrupsi digital memunculkan aktor dan ekosistem baru. Faktor yang memengaruhi merupakan determinasi teknologi digital. Dalam kerangka pikir ini, muncul jurnalisme konvensional dan digital. Nah, jurnalisme digital yang kini semakin menggeser jurnalisme konvensional telah melahirkan puluhan media alternatif digital baru yang merujuk Fuch (2010) sebagai tipe redaksi kecil (small newsroom) dengan genre jurnalisme yang mengadvokasi publik. Jurnalisme digital dalam pengertian di sini adalah aktivitas produksi dan diseminasi informasi jurnalistik, yang menggunakan berbagai platform berbasis internet. Internet membantu jurnalis mampu membuat berita secara cepat, menjalin perencanaan dan evaluasi berita secara partisipatif. Lebih penting lagi, internet membuat informasi jurnalisme menjadi efisien dalam produksi dan distribusi. Survei Katadata (2021) menyebutkan pengguna intenet xiii di Indonesia mencapai 196,7 juta, atau hampir 70% penduduk. Penetrasi internet mencapai 72% kawasan Indonesia. Mereka adalah konsumen aktual dan potensial dari bisnis jurnalisme digital di Indonesia. Adalah pers mahasiswa sebagai salah satu media alternatif turut merespons fenomena digital dengan perlahan melakukan migrasi dari platform konvensional, seraya terus menjalin dengan gerakan sosial dalam platform atau aktivisme digital. Masduki, dkk. (2024) mencatat, pasca 2016 sampai 2024, saat internet menjadi semakin masif, gerakan mahasiswa jalanan dan persma berkolaborasi lagi menyuarakan isu-isu yang luput diberitakan media arus utama yang cenderung memuat informasi monolitik dan monopolistik. Kesadaran tidak dapat melawan modal konglomerasi media arus utama, membuat persma memilih jalur perlawanan baru lewat media sosial dan media online, dengan spirit kritik sosial yang tak berubah. Misalnya di Medan, persma menyuarakan isu keberagaman identitas. Secara umum, model bisnis (istilah ini tidak harus identik dengan usaha komersial) jurnalisme apa pun selaras dengan model bisnis layanan pada umumnya. Antara lain dari sektor pendanaan dapat dibagi menjadi dua: Pertama, bersifat profit atau melekat sebagai usaha media dengan berita sebagai produk komoditas yang dijual kepada audiens selaku konsumen. Model klasik ini masih bertahan hingga sekarang. Kedua, model bisnis non-profit yang jika merujuk Lugo dan Aleman (2014) tumbuh subur di Amerika Latin. Mendasarkan studi pada fenomena intervensi berbagai lembaga donor internasional terhadap praktik jurnalisme di Amerika Latin, kedua penulis melihat fenomena yang diklasifikasi sebagai ‘non-profit investigative journalism agency’ dari beberapa aspek: bagaimana proses pen­ diriannya, bagaimana media media ini memperoleh pendanaan publik, bagaimana proses kerja jurnalistik dan editorial di redaksi xiv sebagai model baru dalam produksi berita mendalam. Peluang keberlanjutan media ini tergantung inisiatif menyajikan produk jurnalisme berkualitas sebagai pilar demokrasi sebuah negara. Diskursus akademik menyoroti problematika pola relasi antara media media non-profit yang umumnya dikelola para aktivis dan jurnalis dengan organisasi nasional dan internasional yang mendukung pendanaan jurnalisme serta model kemitraan yang terjalin. Studi yang dilakukan Scott, Bunce, dan Wright (2019) menemukan yayasan swasta lintas negara dan lintas ideologi politik tercatat menjadi sumber pendanaan penting bagi produk jurnalistik non-profit di berbagai belahan dunia. Mereka menjadi pemberi solusi jangka pendek bagi keberlanjutan jurnalisme mendalam, dengan lembaga non-profit sebagai kolaborator utamanya. Namun para peneliti juga mencatat, yayasan ini membawa misi yang berisiko pada pilihan isu dan pola pikir pekerja jurnalisme investigasi. Dampaknya tidak hanya pada otonomi jurnalistik itu sendiri, tetapi keseluruhan budaya kerja (boundary work) pekerja media terutama sikap politik mereka sebagai warga negara. Scott, Bunci dan Wright misalnya menegaskan masih kuatnya pengaruh lembaga donor internasional terhadap pola pikir awak redaksi yang mendikte bentuk jurnalisme tertentu atau isu yang diangkat oleh redaksi media. Intinya, media alternatif yang bercirikan partisipasi publik perlu steril dari pendanaan eksternal non-publik di satu sisi, dan perlu dukungan perlindungan hukum holistik (pendataan, pendanaan, dll.) terutama karena perannya menyediakan informasi publik. Media berita secara umum mengelola kerja jurnalistik termasuk berita investigasi yang kini identik dengan media alternatif. Jurnalis selalu bertugas mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita, atau melakukan penelusuran panjang terhadap sebuah kasus yang memiliki kejanggalan politik. Selain itu, investigasi merupakan penelusuran kasus yang kerap xv dirahasiakan, menyangkut reputasi dan perilaku politik ekonomi pejabat publik di sebuah negara. Dapat disimpulkan, investigasi oleh media alternatif adalah kerja berbiaya tinggi, waktunya panjang, dan berisiko. Kegiatan ini tak hanya melibatkan jurnalis, tetapi sumber berita whistleblower dan bahkan aparat keamanan serta para korban (Wiesand, 2016). Investigasi sebagai pola kerja mempunyai ciri yang tidak sama dengan jurnalistik pada umumnya, karena investigasi memiliki keharusan untuk menyelidiki dan membuktikan lebih mendalam tentang kebenaran atau kesimpulan sementara (disebut juga dengan istilah hipotesis) terhadap fenomena kejahatan ekonomi dan politik, suatu kasus publik yang sedang atau diasumsikan terjadi dengan memakai teknik yang dari segi konsekuensi logis, emosional dan lainnya hampir setara dengan cara kerja seorang intelijen. Mengingat pada jurnalisme investigasi seorang jurnalis dituntut untuk memerankan diri sebagai bagian dari sebuah kelompok atau organisasi yang diselidiki serta sangat hati-hati dalam segala hal, maka kondisi rentan yang tidak diiinginkan oleh jurnalis dapat terjadi. Peneliti sepakat dengan pandangan Karasova (2023) bahwa media alternatif secara ekonomi politik berbeda dengan media arus utama. Media alternatif memiliki orientasi layanan komunitas publik yang kuat, tanpa pamrih, dan keberadaannya terhubung dengan masyarakat sipil sektor demokrasi komunikasi. Media alternatif bersifat radikal dalam penyediaan konten, ada model partisipasi yang melibatkan korban sebagai subjek, model pengambilan keputusan redaksi yang lebih setara, egaliter, berperspektif gender. Media alternatif bersikap kritis atau critical media organization, yang mencakup praktik citizen journalism, grassroot media and alternative content distribution. Sementara itu, redaksi media arus utama cenderung elitis, birokratis, berorientasi kepada propaganda pemasaran komersial. xvi Jurnalisme berkualitas adalah oksigen bagi masyarakat di tengah pandemi. Ketika media sosial dan media arus utama yang masih eksis terjebak pada publikasi click bait news, maka media jurnalisme alternatif sangat dibutuhkan. Ciri khas berita berkualitas yang dikerjakan media alternatif antara lain pemeriksaan fakta (fact checking) dan liputan mendalam (indept-news). Kebijakan negara yang mendorong keberlangsungan jurnalisme berkualitas secara permanen sangat diperlukan, bukan hanya untuk memastikan adanya subsidi negara atas nama public good, tetapi agar mekanisme pemberian subsidi dan bentuknya tidak mencederai prinsip independensi media alternatif itu sendiri. Politik Dikotomi Media Jurnalisme Politics over media and journalism merujuk Hallin dan Mancini (2004) kiranya menjadi penjelas bagi munculnya beragam wacana sloganistik dalam pers Indonesia sejak era kolonial Belanda hingga sekarang. Misalnya, muncul beragam wacana di kalangan akademik dan para profesional pers untuk menegaskan genre atau peran sosial politik tertentu dari media pers. Ada istilah: pers perjuangan, pers Pancasila yang cenderung heroik dan nasionalistik. Di sisi lain, muncul istilah pers partisan dan/atau pers alternatif yang berangkat dari upaya kritik. Intinya, ada perang wacana terkait posisi ideologis pers, dari kiri ke kanan. Dalam kasus media alternatif, terdapat dua arus pemikiran: alternatif sebagai pilihan layanan dalam suatu praktik bisnis dan alternatif sebagai bentuk perlawanan atas hegemoni oligarki. Ada kompetisi arah kebijakan dari liberal (pembiaran media berkompetisi terbuka) ke arah demokrasi sosial yang meminta tanggungjawab para pihak khususnya Dewan Pers. Politik dikotomis di atas dan kompleksitas yang menyertainya sejalan dengan dua hal yang kontradiktif. Pertama, potret demografis dan geopolitik Indonesia sebagai nusantara, bhinneka xvii atau negara yang bersifat pluralistik, disertai sejarah panjang sebagai rezim politik pasca kolonial dan pasca otoriter. Kedua, politik monoloyolitas yang diterapkan Soeharto di era Orde Baru. Rezim Soeharto hanya mengakui media pendukung pembangunan, termasuk dengan cara memberi ruang bagi media komersial dengan fokus kepada layanan hiburan bukan berita politik. Media alternatif yang kritis terhadap pembangunan akan dikebiri, dilakukan represi dan dianggap ilegal secara hukum. Diskriminasi hukum dan politik yang berlawanan dengan semangat kultural pluralisme di atas berlanjut hingga sekarang. Di era kolonial Belanda, sejarah dualisme media sudah bermula, antara media yang pro kolonial dan anti kolonial, diwakili kelompok radio NIROM milik pemerintah Belanda vs. SRV yang dikelola pribumi di Solo dan Jawa pada umumnya. Di era demokrasi terpimpin Presiden Soekarno, berkembang dualisme antara pers partisan atau media yang terafiliasi ke partai politik dengan media yang dikelola independen seperti koran Indonesia Raya. Pada era Orde Baru, Soeharto menjadikan RRI dan TVRI sebagai media resmi pemerintah, berhadapan dengan radio swasta dan radio komunitas yang berbasis warga. Dikotomi media publik dan media pemerintah mengemuka dalam perdebatan UU Penyiaran hingga disahkan tahun 2002. Sejalan dengan ini, muncul televisi yang hanya fokus ke layanan hiburan berupa sinetron dan film dan munculnya televisi berita seperti Metro TV dan TVOne. Dalam sejarah media perlawanan sosial, muncul pers mahasiswa sebagai antitesis pers arus utama. Keduanya mewakili dua model kepemilikan, peran, orientasi dan pendanaan yang kontradiktif: kampus vs non-kampus, pro-kapitalisme media vs sosialisme. Pers yang dikelola mahasiswa ini sejalan dengan prinsip pers atau media alternatif, yang menjadi fokus bahasan laporan riset ini. Pasca reformasi politik 1998, posisi pers mahasiswa sebagai media alternatif meredup, digantikan atau beralih rupa xviii dengan media berita berbasis digital yang dikelola alumni pers mahasiswa dan jurnalis idealis. Kedatangan media sosial yang egaliter menandai “musim semi” media alternatif berbasis platform. Namun, perayaan atas layanan digital yang bebas dan terbuka menghadirkan dua model jurnalisme yang juga kontradiktif: Fast/ click journalism vs. Slow/deep journalism. Perlahan tetapi pasti, fast/click journalism lebih dominan karena didukung algoritma digital yang pro komersialisme pers. Urgensi melindungi media alternatif—secara historis— adalah upaya merawat sejarah panjang pers perlawanan dan pers perjuangan di Indonesia. Dalam struktur pers yang sehat, upaya menjaga dualisme model seperti digambarkan di atas. Ini sejalan merawat prinsip universal pluralisme media (adanya media komersial, media alternatif, dll.) yang diperlakukan secara setara. Pasca Orde Baru runtuh tahun 1998, patut diakui di Indonesia terjadi hegemoni komersialisme dalam struktur media. Media komersial mendominasi ruang publik, disertai aksi politisi ruang redaksi yang menggerus kualitas berita. Riset PR2Media (2024) terkait kepemilikan dan afiliasi politik media di Indonesia menggambarkan dengan mendalam situasi ini disertai rekomendasi kebijakan yang diperlukan ke depan. Jika Indonesia ingin menjaga demokrasi khususnya media dan jurnalisme yang sehat, maka reformasi kebijakan diperlukan, dengan pendekatan afirkasi, pengakuan kembali media alternatif. Lebih jauh, riset penulis tahun 2021 terhadap kekerasan yang dialami jurnalis dan media alternatif di Indonesia menemukan relasi yang kuat antara media alternatif dan gerakan aktivisme di ruang digital dalam bentuk reaksi balik. Tiga kasus: peliputan peristiwa tambang Wadas, Purworejo Jawa Tengah oleh jurnalis di Yogyakarta, kekerasan digital yang diikuti perlawanan dalam kasus Project Multatuli dan peretasan akun media sosial Sasmito Madrim, menjadi contoh menarik fenomena aktivisme digital xix yang terhubung dengan gerakan kebebasan pers lewat media alternatif. Ada medan yang saling terkait dan selaras: kekerasan atas jurnalistik dan media jurnalistik alternatif yang memakai ranah digital: seperti hacking, bulliying akan disusul aksi perlawanan atas kekerasan itu sendiri dalam pola pikir digital: mobilisasi warga digital dengan karakteristik yang meluas, metode re-share, poster digital, republikasi, memakai media digital dan cara cara kerja aktivisme lintas sektor yang dilakukan warga urban dimana media digital menjadi wadah yang fleksibel. Merujuk pada Trere dan Kaun (2021), terjadi dua fenomena penting. Pertama, hibrida aktivisme media digital dan diteruskan/ diselaraskan dengan aktivisme offline dalam upaya mengejar tatget khalayak dan engagement yang lebih luas. Kedua, integrasi kerja dan pola pikir yang melingkupi aktivisme sebagai komitmen perubahan sosial, dengan gerakan sosial (social movement) secara luas melalui media alternatif. Perbedaannya terletak pada media digital sebagai pusat aktivisme, bukan lagi media konvensional. Merujuk George dan Leidner (2019), dalam aktivisme digital di media alternatif ada fenomena spectator: partisipan dan penggagas aktivisme terlibat dalam kegiatan clicktivism, metavoicing dan assertion, ketika partisipan dan pengelola media mengembangkan kegiatan yang lebih sistematik, seperti petisi digital bersama, botivism dan penggalangan dana untuk keberlangsungan aktivisme. Riset tersebut juga menemukan model gladiatorial: pengelola media selaku korban sekaligus aktivis, melibatkan jejaring dalam kegiatan yang terorganisir, dalam format pernyataan publik kolektif, seruan publik di ranah digital. Diskriminasi Hukum Media Alternatif Situs Konde.co yang aktif memberitakan isu kekerasan seksual terhadap perempuan, tercatat mengalami peretasan pada 25 xx Oktober 2022. Peristiwa ini menyusul pemberitaan media itu tentang kasus perkosaan yang melibatkan oknum pejabat Kementerian Koperasi dan UKM di Jakarta. Konde mengalami serangan kategori DDoS (distributed denial of service), suatu aktivitas penghentian paksa layanan konten dari host ke jaringan internet sehinga tidak bisa diakses publik. Ini kasus DDoS kedua bagi situs Konde.co sejak beroperasi tahun 2016. Dua pekan sebelumnya, situs berita Narasi juga mengalami hal serupa. Narasi tidak hanya mengalami DDoS tetapi akun digital milik jurnalisnya mengalami peretasan dan surveillance. Situs jurnalisme digital semakin menjadi sasaran serangan, bukan lagi media konvensional atau televisi terrestrial. Jurnalisme yang beroperasi pada platform digital rawan peretasan. Patut dipahami, landskap media digital di Indonesia sejak 2000 tanpa regulasi yang memadai. Dalam situasi ini, berbagai platform pengusung konten berita bisa saja lahir dari siapa pun dan untuk tujuan apa pun. Konde dan Narasi adalah “anak kandung” dari kebebasan bermedia di ruang maya yang memberi kesempatan siapa pun menjalankan peran “orang baik”. Di sisi yang lain, situs berita abal abal atau akun akun palsu turut hadir sebagai alat untuk merepresi “orang baik” dalam dunia media digital. Kanal-kanal berita digital seperti Konde.co dan Project Multatuli hadir sebagai alternatif pengisi ruang kosong di tengah merebaknya click-bait journalism, oase atas krisis jurnalisme berkualitas di Indonesia pasca revolusi digital. Para pengkaji jurnalisme seperti Tofel (2012), Friedland dan Konieczna (2009) menyebutnya non-profit journalism, kategori yang merujuk pada praktik pengelolaan media berita tanpa motif bisnis dengan mengusung genre kritis. Masalahnya, jurnalisme digital secara umum dan jurnalisme non-profit secara khusus muncul di tengah iklim sosial politik media yang tidak ramah pada media alternatif. Belum ada regulasi yang khusus melindungi keberadaan dan menjamin keberlanjutan xxi jurnalisme digital bergenre alternatif yang melawan kekuasaan. UU Pers No. 40/1999 masih terlalu umum mengatur pers, dan lebih berpihak pada media jurnalisme arus utama. Berdasarkan riset yang dilakukan penulis, setidaknya ada dua problem utama yang dihadapi jurnalisme digital. Pertama, adaptasi manajemen media digital, termasuk mitigasi serangan digital. Kedua, krisis pembiayaan operasional. Riset Nurhajati, dkk. (2023) berjudul Kolaborasi Menolak Mati menyebutkan bahwa media alternatif perempuan sudah tumbuh sejak tahun 2000 menyusul kemudahan perizinan dan aktivisme demokrasi yang tinggi. Jurnal Perempuan menjadi salah satu contoh. Namun, mereka mengalami gagap teknologi digital, krisis sumber daya manusia yang kompeten, dan budaya kerja redaksi yang voluntaristik, bergantung pada individu tertentu. Problem manajemen paling besar adalah mitigasi redaksi atas represi politik. Oleh peran mengkritik ketimpangan sosial dan struktur kekuasaan yang menindas, kekerasan kerapkali menyerang situs media dan para jurnalisnya. Pelaku kekerasan bisa beragam atau tidak selalu pemerintah. Ironisnya, mayoritas pelaku ini tidak bisa dilacak. Di sisi lain, teknologi yang dipakai pengelola situs berita masih belum canggih menahan serangan digital, mitigasi belum bisa dilakukan dengan baik. Masalah krusial kedua adalah sumber pembiayaan. Praktik jurnalisme non-profit pada umumnya berbasis idealisme, volun­ terisme yang rendah jaminan keberlanjutan. Dalam situasi ini, bantuan lembaga donor internasional masih menjadi andalan, padahal dukungan ini sifatnya sementara dan berbasis pada isu publik tertentu yang tidak selalu selaras dengan misi redaksi media alternatif. Bentuk lain seperti crownfund yang dikelola dari komunitas digital atau sumber dana tanggungjawab sosial perusahaan negara belum menjanjikan. Penyebab utamanya adalah rendahnya kesadaran publik bahwa berita berkualitas merupakan kebutuhan dasar dan produksinya mahal sehingga perlu didukung. xxii Dari kedua problem empirik ini, dan dari perspektif ekonomi politik, permasalahan utamanya adalah diskriminasi hukum, antara lain tiadanya klasifikasi media alternatif dalam seluruh regulasi pers. Tabel berikut ini merangkum beberapa kelebihan dan kekurangan sebagai tantangan media alternatif di Indonesia dibandingkan media arus utama. Tabel 1. Kondisi Struktural Media Arus Utama dan Media Alternatif Klaster Isu Media Arus Utama Media Alternatif Kebebasan berekspresi Terbatas, ada kurasi, ada proses birokrasi redaksi yang panjang Otonom, lebih terbuka, birokrasinya pendek, partisipatif Media alternatif lebih berpeluang menjalankan amanat konstitusi UUD 1945 Struktur kepemilikan Individu atau korporasi yang bersifat komersial Komunitas atau organisasi nirlaba Model kepemilikan media alternatif belum dikenal dalam UU Pers No. 40/1999 Model pendanaan Iklan dan kerjasama komersial dari perusahaan swasta atau pemerintah Hibah, iuran individu/ komunitas, bantuan negara atau lembaga internasional Dukungan regulasi untuk penggalian iuran publik tidak tersedia Model bisnis Ketergantungan pada iklan menempatkan berita sebagai produk komersial utama Mengandalkan dinamika minat/ aspirasi/ kebutuhan publik yang fluktuatif Model bisnis media alternatif belum mendapat tempat dalam UU Pers No. 40/1999 Posisi hukum Terlindungi secara eksplisit dalam UU Pers No. 40/1999 Ada jaminan konstitusi sebagai media untuk kebebasan berekspresi Ada diskriminasi, kelangkaan regulasi yang menindaklanjuti amanat konstitusi (Diolah dari berbagai sumber oleh tim penulis) xxiii Aspek Regulasi Tabel di atas menunjukkan bahwa secara umum media alternatif memiliki urgensi dan hak serta peluang perlindungan hukum yang sama dengan media jurnalisme arus utama. Tampak juga terjadinya diskriminasi hukum, ketiadaan hukum yang me­ nerjemahkan amanat konstitusi UUD 1945 terkait kebebasan berpendapat. Baik media arus utama maupun media alternatif memiliki tantangan yang sama untuk keberlanjutannya. Buku laporan riset ini akan menyajikan data problematika perlindungan hukum media alternatif secara mendetail. Yogyakarta, 20 Januari 2025 Tim peneliti dan penulis buku: 1. Masduki (Peneliti dan Ketua PR2Media. Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta) 2. Engelbertus Wendratama (Peneliti PR2Media) 3. Rahayu (Peneliti PR2Media dan Staf Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) 4. Putri Laksmi Nurul Suci (Peneliti PR2Media) xxiv RINGKASAN EKSEKUTIF D alam satu dekade terakhir, sejumlah media alternatif telah muncul dan berkembang sebagai oase atas krisis jurnalisme berkualitas di Indonesia, melalui ikhtiar jurnalisme yang se­inde­ penden mungkin, tanpa campur tangan pemilik modal maupun penguasa. Sebagai konsekuensi keberanian mengkritisi kekuasaan ekonomi dan politik, mereka rentan menerima serangan, kri­mi­ nalisasi, dan diskriminasi hukum. Misalnya, selama ini mereka kesulitan memenuhi semua per­ syaratan pendataan perusahaan pers untuk mendapatkan status media terverifikasi dari Dewan Pers. Riset ini – yang dilakukan melalui survei, FGD, dan wawancara mendalam terhadap 10 media alternatif – memetakan tantangan apa saja yang mereka alami dalam melengkapi berkas pendataan perusahaan pers. Dari sembilan kategori syarat tersebut, kategori sumber daya manusia, kondisi fisik, dan kesejahteraan pegawai menjadi kategori yang paling menjadi kendala bagi media alternatif. Kendala tersebut bermuara dari kenyataan bahwa media alternatif memiliki redaksi dan sumber daya mereka yang unik dan berskala kecil, tanpa campur tangan pemodal besar, yang sengaja mereka pilih sebagai upaya membangun dan mempertahankan independensi dalam melakukan jurnalisme. Media alternatif memperoleh sumber keuangan dari iuran keanggotaan audiens, hibah, iklan dari usaha berskala mikro dan kecil, donasi publik, serta wirausaha modal kecil seperti pelatihan dan konsultasi media. 1 Status terverifikasi tersebut penting untuk mereka men­ dapatkan perlindungan hukum dan menjaga keberlanjutan. Karena itu, untuk memberikan dukungan keberlanjutan kepada mereka sebagai salah satu pilar penting kebebasan pers dan demokrasi, riset ini mengajukan tiga rekomendasi utama. Pertama, mengusulkan kepada Dewan Pers untuk melakukan revisi pada Peraturan Dewan Pers No. 1 Tahun 2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers atau pembuatan Peraturan Dewan Pers baru, khusus pendataan perusahaan pers untuk media alternatif. Sebagai argumentasi hukum, Pasal 3 pada UndangUndang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menunjukkan bahwa pers sebagai perwujudan kedaulatan rakyat pada negara demokrasi setidaknya memiliki empat fungsi utama yakni sebagai (1) media informasi, (2) pendidikan, (3) hiburan, dan (4) kontrol sosial, sebagaimana termaktum pada ayat 1. Meski demikian, UU Pers juga memberi kesempatan kepada perusahaan pers untuk dapat menjalankan fungsi sebagai lembaga ekonomi. Jika merujuk ketentuan tersebut, sudah semestinya per­ usahaan pers alternatif yang telah menjalankan fungsi pertama dan keempat tapi tidak menjalankan fungsi bisnis juga mendapat pengakuan dan pendataan dari Dewan Pers. Namun jika merujuk pada Peraturan Dewan Pers No. 1 Tahun 2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers, perusahaan pers yang dapat memenuhi syarat verifikasi cenderung perusahaan pers yang menjalankan fungsi bisnis saja. Rekomendasi detail tentang hal ini bisa dibaca di bagian Rekomendasi Kebijakan pada laporan ini. Kedua, merekomendasikan adanya dana publik dari negara yang diberikan kepada media alternatif yang mengusung jurnalisme berkualitas, yang pengelolaan dananya bisa dilakukan di bawah koordinasi Dewan Pers. Dukungan dana ini bisa diberikan kepada media dan/atau karya jurnalistiknya seperti melalui dana hibah, manajemen, dan beasiswa liputan. 2 Ketiga, para pengelola media alternatif perlu membentuk asosiasi agar lebih solid dalam melakukan advokasi sekaligus sebagai jembatan kolaborasi nasional dan internasional untuk upaya keberlanjutan. 3 PENDAHULUAN S elama 10 tahun terakhir, inisiatif media alternatif di Indonesia, seperti Konde.co, Project Multatuli.org, Independen.id, Jaring. id, dan Floresa.id, telah berkembang pesat sejalan dengan model aktivisme digital. Media nirlaba ini sering kali dijalankan oleh jurnalis veteran dan aktivis media dengan cita-cita luhur dalam bentuk karya jurnalistik yang independen dan “tanpa kompromi”. Untuk menjaga independensi dan kebebasan dalam melakukan liputan terhadap penguasa politik dan ekonomi, media alternatif memiliki kesamaan dalam mengambil kebijakan berupa tidak berorientasi pada laba atau akumulasi modal dan mengandalkan pendanaan dari donasi masyarakat atau organisasi nirlaba. Media alternatif telah menjadi “anak kandung” dari kebebasan bermedia di ruang digital yang memberi kesempatan siapa pun menjalankan peran “orang baik”. Mereka hadir mengisi ruang kosong di tengah merebaknya clickbait journalism, oase atas krisis jurnalisme berkualitas di Indonesia pasca revolusi digital, ketika media konvensional kurang berdaya memberikan liputan yang kritis. Para pengkaji jurnalisme seperti Tofel (2012), Friedland dan Konieczna (2009) menyebutnya non-profit journalism, kategori yang merujuk pada praktik pengelolaan media berita tanpa motif bisnis dengan mengusung genre kritis. Masalahnya, jurnalisme digital secara umum dan jurnalisme non-profit secara khusus muncul di tengah iklim sosial politik media yang tidak ramah pada media alternatif. Belum ada regulasi yang khusus melindungi keberadaan dan menjamin keberlanjutan 4 jurnalisme digital bergenre alternatif, melawan kekuasaan. UU Pers No. 40/1999 masih terlalu umum mengatur pers, dan lebih berpihak pada media jurnalisme arus utama. Kekerasan menjadi problem utama yang dihadapi jurnalisme digital: keamanan dari serangan digital dan dukungan biaya untuk mitigasi digital. Karena peran mengkritik ketimpangan sosial dan struktur kekuasaan yang menindas, kekerasan kerap menyerang situs media dan para jurnalisnya. Pelaku kekerasan bisa beragam atau tidak selalu dari unsur pemerintah. Ironisnya, mayoritas pelaku ini tidak bisa dilacak. Di sisi lain, media alternatif pada umumnya belum terdaftar dan terverifikasi pada Dewan Pers sehingga sulit diadvokasi dan teknologi yang dipakai pengelola situs berita masih belum canggih menahan serangan digital. Intinya, mitigasi dan advokasi belum bisa dilakukan dengan baik. Padahal, secara formal, perlindungan hukum terhadap media alternatif memiliki legitimasi kuat dari Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, khususnya Pasal 3, yang berbunyi: (1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. (2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Pasal 3 di atas menunjukkan bahwa fungsi pertama media adalah sebagai “media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial sekaligus ia merupakan lembaga ekonomi”, sehingga perlindungan hukum terhadap media alternatif yang nirlaba adalah penting karena amanat undang-undang. Perlindungan hukum oleh Dewan Pers semakin urgen karena redaksi media alternatif berorientasi pada pengungkapan “penyelewengan atau pembiaran oleh penguasa”, sehingga media alternatif menjadi rentan dikriminalisasi dan mengalami serangan, baik di ranah digital maupun fisik. Metode dan alat yang dipakai 5 pelaku bisa bervariasi, tapi tujuan utamanya sama: mendiskreditkan media dan menutupi kebenaran yang ingin diungkap oleh jurnalisme media alternatif. Namun, banyak media alternatif yang belum mendapatkan status verifikasi Dewan Pers padahal verifikasi ini penting sebagai bagian dari perlindungan hukum mereka. Riset ini dilakukan untuk mengidentifikasi tantangan tersebut dan merumuskan rekomendasi kebijakan supaya media alternatif bisa mendapatkan perlindungan hukum yang dibutuhkan. Tujuan Riset 1. 2. Mengidentifikasi tantangan perlindungan hukum yang di­ hadapi oleh media alternatif di Indonesia. Menyusun rekomendasi kebijakan perlindungan hukum bagi media alternatif di Indonesia. Metode Riset PR2Media melakukan survei dengan melibatkan 10 perwakilan media alternatif, baik yang sudah terverifikasi Dewan Pers maupun yang belum terverifikasi. Survei dilaksanakan secara daring dimulai dari 12 November s.d. 11 Desember 2024. Kesepuluh media alternatif ditentukan dengan teknik purposive sampling dengan mempertimbangkan status verifikasinya dan sebagai media alter­ natif nirlaba. Survei dilakukan untuk dapat memperoleh data empiris yang terstruktur, sehingga memungkinkan untuk melihat pola-pola persoalan yang menjadi perhatian penelitian. Survei menggunakan instrumen kuesioner yang memuat 63 pertanyaan tentang persyaratan verifikasi Dewan Pers, profil lembaga, dan rekomendasi bagi Dewan Pers. Data survei kemudian diolah untuk mendapatkan data deskriptif. 6 7 Konde.co 2. Floresa Bale Bengong 1. 3. Nama Media No. Padang SMIP, Jalan Tedor, Gang Verhouven – Labuan Bajo, Kel. Batu Cermin, Kec. Komodo, Kab. Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur Email: redaksi.floresa@ gmail.com Jl. Raya Kebayoran Lama 18 CD, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12220 Email: kondeinstitute@ gmail.com Jl. Gita Sura III no 55 Banjar Umadesa, Peguyangan Kaja Denpasar 80115 Bali Email: kabar@ balebengong.id Alamat Portal berita dan penyajian berita di berbagai platform media (Facebook, Instagram, dan Twitter). Penerbitan artikel di website serta medsos (Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik Portal media jurnalisme warga dan penyajian berita di berbagai platform media (Facebook, Twitter, YouTube, Podcast, Instagram) Layanan Proses-proses pembangunan di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Flores khususnya. Perspektif perempuan dan minoritas Jurnalisme warga di Bali Segmen Berita/ Informasi Tabel 2. Profil Media Alternatif yang Berpartisipasi dalam Survei https://floresa.co https://www.konde. co https://balebengong. id Website 2014 2016 2007 Tahun Berdiri 8 Progresip Independen 4. 5. Nama Media No. 18 Office Park, Lantai 25 Suite A2, Jl. TB Simatupang, Kav 18, RT. 002, RW. 001, Kel. Kebagusan, Kec. Pasar Minggu, Jakarta Selatan – 12520 Jalan Kembang Raya No. 6, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat 10420 Telepon/ faks: 62213151214/ 6221-3151261 email: redaksi@ independen.id Alamat Portal berita/jurnalisme dan penyajian berita di berbagai platform media sosial (Youtube, Twitter, TikTok, • Independen.id mengembangkan karya jurnalistik yang berbentuk jurnalisme data, cek fakta, berita mendalam dan berita investigasi.Kami fokus pada isu-isu penegakan HAM, anti korupsi, lingkungan hidup, layanan publik (pendidikan dan kesehatan), perempuan dan kelompok marjinal. • Independen.id memiliki Sindikasi Independen, yaitu kolaborasi media-media lokal atau isu khusus yang ada di berbagai wilayah Indonesia. Layanan Jurnalisme kolektif dari inisiatif kelas pekerja untuk kelas pekerja HAM, korupsi, lingkungan hidup, layanan publik, dan kelompok marjinal Segmen Berita/ Informasi https://progresip.id http://independen. id/ Website 2023 2010 Tahun Berdiri 9 Jaring.id Suara Kita 6. 7. Nama Media No. Layanan Sona Topas Tower Lantai 15 Ruang 1501 Jl. Jend. Sudirman Kav. 26, Jakarta Selatan 12920 Email: info@jaring.id Email: office@psk.or.id Tidak tersedia informasi alamat kantor. Portal berita dan penyajian berita di berbagai platform media sosial (Facebook, instagram, Twitter, dan Youtube) Portal berita dan penyajian berita di berbagai platform media sosial (instagram, Youtube, dan Podcast) Email: dan Podcast), serta kolaborasi progresippodcast@gmail. dalam produksi video com podcast, liputan kolaboratif, sewa studio, sewa peralatan podcast, strategi komunikasi, pengelolaan media sosial, dsb. Alamat https://suarakita.org Website Jurnalisme https://jaring.id mendalam dan investigasi tentang yang berkaitan dengan kepentingan publik Liputan yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi kelompok ragam gender dan seksualitas di Indonesia sebagai warga negara Segmen Berita/ Informasi 2015 2009 Tahun Berdiri 10 Project Multatuli 9. Serat.id Bincang Perempuan 8. 10. Nama Media No. Jl. Nakula II No. 5, Pendrikan Kidul, Semarang Tengah, Kota Semarang 50131 Email: redaksiserat@ gmail.com Jl. Kebayoran Lama No. 18CD, Jakarta Selatan Email: redaksi@ projectmultatuli.org Jalan Mahakam 2 No 145 RT 15 RW 3 Kelurahan Jalan Gedang Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu Email: redaksi@ bincangperempuan.com Alamat Portal berita dan penyajian berita di berbagai platform media sosial (Facebook, instagram, Twitter, dan Youtube) Portal berita dan penyajian berita di berbagai platform media sosial (Facebook, instagram, Twitter, TikTok, dan Youtube) Portal berita dan penyajian berita di berbagai platform media sosial (Facebook, instagram, Twitter, TikTok, Podcast, dan Youtube) Layanan Data jurnalisme terkait isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan publik, HAM, dan korupsi Jurnalisme yang mengangkat suara-suara yang dipinggirkan, komunitaskomunitas yang diabaikan, dan isu-isu mendasar yang disisihkan Isu utama perempuan dan anak muda dalam berbagai perspektif Segmen Berita/ Informasi https://serat.id https:// projectmultatuli.org https:// bincangperempuan. com Website 2018 2020 2022 Tahun Berdiri Selanjutnya, PR2Media juga melakukan Focus Group Discussion (FGD) sebanyak dua kali. FGD pertama dilakukan secara daring dengan melibatkan 10 responden yang telah mengisi kuesioner yang dilaksanakan pada Kamis, 12 Desember 2024. FGD ini ber­ tujuan mengeksplorasi lebih mendalam temuan-temuan survei, seperti tantangan yang mereka hadapi dalam memenuhi syarat verifikasi dan usulan serta harapan mereka kepada Dewan Pers dan pemangku kepentingan, supaya ada dukungan terhadap kerja jurnalisme berkualitas yang mereka lakukan. Untuk kepentingan pendalaman data, peneliti juga melakukan wawancara mendalam dengan perwakilan media alternatif. FGD kedua dilaksanakan secara luring di Jakarta dengan me­ libatkan beberapa pemangku kepentingan yaitu perwakilan Dewan Pers, AJI Indonesia, LBH Pers, PPMN, dan akademisi. FGD kedua ini dilaksanakan pada Kamis, 19 Desember 2024 dengan tujuan mendapatkan masukan terkait dengan tantangan yang dihadapi media alternatif dan menghasilkan rekomendasi kebijakan atau rencana kerja untuk mendukung jurnalisme yang mereka lakukan. Peneliti juga melakukan studi dokumen terhadap riset ter­ dahulu dan pemberitaan mengenai media alternatif, yang mencakup profil, pola kerja, sumber pendanaan operasional, hinggal model kolaborasinya yang dikembangkan. 11 TEMUAN RISET D ari 10 media alternatif yang menjadi responden survei, terdapat satu media yang baru saja mendapatkan status verifikasi Dewan Pers (Project Multatuli) dan satu media yang telah mengajukan verifikasi tapi ditolak (Konde). Sementara itu, delapan media (Independen, Floresa, Progresip, Bincang Perempuan, Bale Bengong, Jaring, Suara Kita, dan Serat) menyatakan belum mengajukan karena belum bisa memenuhi semua persyaratan yang diminta Dewan Pers. Meski demikian, delapan media alternatif ini menyatakan akan mengurus verifikasi untuk perlindungan hukum dan mendukung kerja jurnalistik mereka. Dilihat dari status badan hukumnya, enam media alternatif berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), dua perkumpulan, dan dua yayasan. Dari sisi badan hukum, sebenarnya tidak ada kendala bagi responden untuk mengajukan verifikasi ke Dewan Pers. Meski demikian, sejumlah persyaratan masih dirasa memberatkan. Per­ syaratan yang memberatkan tersebut diuraikan pada bagian berikut ini. A. Kajian Atas Persyaratan Dewan Pers Dalam melakukan pendataan perusahaan pers atau media berita, Dewan Pers menerapkan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan yang telah terpenuhi akan menjadi pertimbangan bagi Dewan Pers untuk memberikan status verifikasi kepada perusahaan pers atau media berita. 12 Temuan survei menunjukkan tidak semua media alternatif mampu memenuhi persyaratan verifikasi yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Tabel berikut menunjukkan rekapitulasi data per­ syaratan yang dapat dipenuhi dan tidak dapat dipenuhi oleh pengelola media alternatif. Tabel 3. Syarat Pendataan Perusahaan Pers Tidak ada kendala Ada kendala Akte pendirian perusahaan pers 9 1 2. Pengesahan Kementerian Hukum & HAM 9 1 3. Kode Perilaku Perusahaan Pers bagi Wartawan/ Karyawan 9 1 4. Peraturan Perusahaan (termasuk aturan tentang Jenjang Karier Wartawan) 5 5 5. SK Disnaker tentang Pengesahan Peraturan Perusahaan 1 9 6. Sertifikasi uji kompetensi wartawan utama bagi pemimpin redaksi/penanggung jawab 7 3 7. SK pengangkatan pemimpin redaksi dengan masa kerja/periode jabatan 8 2 No. Persyaratan 1. A. Legalitas B. Sumber Daya Manusia 1. Data karyawan tetap (Redaksi) 7 3 2. Data karyawan tidak tetap (Redaksi) 10 0 3. Data karyawan freelance (Redaksi) 9 1 4. Data karyawan lainnya (Non-redaksi) 9 1 C. Kondisi Fisik 1. Menyediakan foto kantor tampak depan 6 4 2. Menyediakan foto ruang kerja 7 3 3. Menyediakan foto ruang rapat redaksi 7 3 4. Menyediakan bukti fisik media/visual media yang mencantumkan nama penanggung jawab, dan alamat redaksi di media yang diterbitkan/ ditayangkan 10 0 13 Tidak ada kendala Ada kendala Menyediakan bukti fisik media/visual media yang menunjukkan updating dan konsistensi berita/ liputan 10 0 6. Menyediakan bukti fisik media/visual media yang menunjukkan pencantuman klausul yang menyatakan bahwa seluruh konten media menjadi tanggung jawab penanggung jawab redaksi 9 1 7. Menyediakan bukti fisik media/visual media yang menunjukkan Pedoman Pemberitaan Media Siber (khusus media online) 10 0 No. Persyaratan 5. D. Kompetensi 1. Pemimpin/Penanggung jawab redaksi telah memiliki sertifikat wartawan utama 5 5 2. Memiliki mekanisme untuk internalisasi dan sosialisasi kode etik jurnalistik di lingkungan perusahaan pers 10 0 3. Memiliki dan/atau mengikuti program pelatihan jurnalistik 9 1 4. Mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW) 7 3 5. Proporsi jumlah wartawan (Muda, Madya, Utama) dan dibuktikan dengan sertifikat kompetensi 5 5 1. Memenuhi gaji wartawan, minimal setara UMP 7 3 2. Memenuhi gaji ke-13 atau THR bagi wartawan/ karyawan 5 5 3. Menyediakan scan sertifikat kepesertaan asuransi ketenagakerjaan 6 4 4. Menyediakan scan kartu kepesertaan asuransi ketenagakerjaan bagi wartawan dan karyawan 7 3 5. Menyediakan scan sertifikat kepesertaan asuransi kesehatan bagi perusahaan pers dengan jumlah karyawan di atas 50 orang 3 7 6. Menyediakan scan sertifikat kepesertaan asuransi kesehatan bagi wartawan dan karyawan 5 5 E. Kesejahteraan 14 No. Persyaratan Tidak ada kendala Ada kendala F. Perlindungan 1. Memiliki ombudsman 2 8 2. Memiliki kuasa hukum 6 4 3. Memiliki SOP perlindungan wartawan 6 4 1. Visi dan misi perusahaan 10 0 2. Logo perusahaan 10 0 3. Nama media tidak melanggar hak kekayaan intelektual 10 0 4. Mencantumkan akun media sosial perusahaan pers (bagi yang mempunyai akun media sosial) 10 0 G. Logo dan lain-lain Keterangan: Jumlah responden (N) = 10 Berikut penjelasan untuk masing-masing bagian: 1. Legalitas dan Identitas Organisasi Persyaratan terkait legalitas mewajibkan perusahaan pers untuk memenuhi tujuh persyaratan, yaitu (1) Akte pendirian perusahaan pers; (2) Pengesahan Kementerian Hukum dan HAM; (3) Kode perilaku perusahaan pers bagi wartawan dan karyawan; (4) Peraturan perusahaan, termasuk mengatur jenjang karier wartawan; (5) SK Disnaker tentang pengesahan peraturan perusahaan yang masih berlaku; (6) Sertifikat uji kompetensi Wartawan Utama bagi Pemimpin Redaksi/ Penanggung Jawab; (7) SK Pengangkatan Pemimpin Redaksi dengan masa kerja/periode jabatan. Beberapa media alternatif mengaku bahwa masih berada pada tahap penyusunan dalam memenuhi akta pendirian perusahaan pers, pengesahan Kementerian Hukum dan HAM, dan kode perilaku perusahaan pers bagi wartawan dan karyawan. Selanjutnya, berkas peraturan perusahaan– 15 termasuk aturan mengenai jenjang karier, masih menjadi persoalan bagi media alternatif yang hanya terdiri dari tim kecil, serta yang menjalankan kegiatannya atas prinsip sukarela. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, media alternatif juga mulai mempertimbangkan penyusunan peraturan perusahaan karena berusaha menyesuaikan dengan perkembangan or­ga­ nisasi, serta situasi dan aturan yang dipengaruhi oleh pihak Dewan Pers dan Dinas Tenaga Kerja. Kepemilikan SK Disnaker tentang pengesahan peraturan perusahaan juga masih belum dimiliki oleh banyak media alternatif. Persoalan ini terutama diakibatkan urusan birokrasi dianggap yang berlapis dan merepotkan. “Memiliki SK Disnaker cenderung sulit untuk kami (BaleBengong.id) yang bukan perusahaan. Dilihat dari prosedurnya, SK Disnaker sepertinya diperuntukkan bagi perusahaan yang memiliki profit. Takutnya akan bermasalah di proses pengurusan. Karena kami juga hanya media nonprofit.” (BaleBengong.id, FGD Daring 12 Desember 2024) Terakhir ialah berkas yang berhubungan dengan pemimpin redaksi. Masih terdapat media alternatif yang kesulitan untuk memenuhi sertifikasi uji kompetensi wartawan utama dan SK pengangkatan pemimpin redaksi. Alasannya, pemimpin redaksi dipilih berdasarkan kemampuan, bukan kelengkapan administratif. Pemimpin redaksi yang terpilih pun masih ada yang belum mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW), salah satu kendalanya adalah permasalahan biaya dan lokasi UKW yang sulit dijangkau oleh beberapa media alternatif di daerah terpencil. Perusahaan media diwajibkan untuk melengkapi per­ syaratan terkait keberlangsungan yang merujuk pada identitas 16 organisasi, seperti visi dan misi perusahaan pers. Seluruh media alternatif sudah mampu memenuhi persyaratan ini mengingat visi dan misi dapat dengan mudahnya ditemukan di situs web resmi tiap media alternatif. Kemudian, perusahaan media juga diharuskan memiliki logo perusahaan yang diharapkan tidak mengandung, men­ cerminkan, atau menyerapi lembaga resmi negara, serta tidak melanggar hak kekayaan intelektual. Sepuluh media alternatif dapat dengan mudahnya memenuhi persyaratan ini. Terakhir adalah persyaratan mengenai nama media yang tidak melanggar hak kekayaan intelektual dan mencantumkan akun media sosial perusahaan pers (jika ada). Seluruh me­ dia alternatif yang menjadi responden penelitian mampu memenuhi persyaratan ini. 2. SDM dan Kompetensi Terdapat empat persyaratan yang harus dipenuhi pada bagian Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu (1) Data karyawan tetap (Redaksi); (2) Data karyawan tidak tetap (Redaksi); (3) Data karyawan freelance (Redaksi); dan (4) Data karyawan lainnya (Non-redaksi). Kendala yang dialami oleh media alternatif terhadap penyediaan data karyawan tetap diakibatkan oleh pengelolaan media yang masih dijalankan atas dasar sukarela. Ditambah lagi dengan belum adanya sumber dana berkelanjutan, sehingga sulit untuk mempertahankan karyawan secara tetap. Salah satu media alternatif yang berafiliasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan bila tidak memiliki karyawan non-redaksi karena ketersediaan karyawan masih disokong oleh asosiasi jurnalis tersebut. Pernyataan perwakilan redaksi dari BaleBengong.id me­ nambah perspektif dari media alternatif yang menjalankan kegiatannya atas dasar sukarela. 17 “Prosedur mengenai ini (SDM) sepertinya agak sulit untuk kami, kecuali kami hendak bohong-bohongan dengan memalsukan dokumen. Sejak 2020, BaleBengong.id belum bisa menyelesaikan salah satu persyaratan, yaitu memenuhi jumlah SDM yang diharuskan minimal lima orang, dengan gaji minimal UMP. Secara kesejahteraan, kami bisa me­ menuhi. Namun, hingga saat ini kami hanya memiliki tiga staf dengan gaji masih di atas UMP, yang juga mendapatkan gaji ke-13, BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan. Media kami yang berbasis sukarela dibantu oleh hampir 1.500 kontributor yang tidak kami bayar.” (BaleBengong.id, FGD Daring 12 Desember 2024) Kemudian, persoalan kompetensi mengulas beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi, yaitu (1) Pemimpin/ penanggung jawab redaksi telah memiliki sertifikat wartawan utama; (2) Memiliki mekanisme untuk internalisasi dan sosialisasi kode etik jurnalistik di lingkungan perusahaan pers; (3) Memiliki dan/atau mengikuti program pelatihan jurnalistik; (4) Mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW); dan (5) Proporsi jumlah wartawan (muda, madya, utama) dan dibuktikan dengan sertifikat kompetensi. Beberapa media alternatif masih mengalami kendala untuk memenuhi syarat pemimpin/penanggung jawab redaksi harus memiliki sertifikasi jenjang wartawan utama. Permasalahan ini disebabkan oleh masih banyaknya pemimpin redaksi di media alternatif yang belum mengikuti sertifikasi. Selain itu, terdapat pula pemimpin redaksi yang belum dipekerjakan secara penuh waktu (full-time). Selanjutnya, mengenai program pelatihan jurnalistik, salah satu media alternatif menyatakan bahwa program pe­ latihan ini tidak dilakukan secara internal, namun mengikuti 18 pelatihan yang diselenggarakan oleh asosiasi jurnalis, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Kewajiban mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) turut memengaruhi proporsi jumlah wartawan yang memiliki sertifikasi. Akan tetapi, masih terdapat sejumlah kendala bagi jurnalis media alternatif untuk memenuhinya. Pertama, pelaksanaan UKW membutuhkan biaya yang membebani. Tidak hanya biaya pendaftaran, namun juga biaya akomodasi akibat pelaksanaan UKW yang belum tersedia di beberapa kota. Kendala ini jelas dialami oleh media alternatif yang berada di daerah terpencil. Kedua, proses ikut serta UKW dirasa cukup sulit untuk diikuti oleh beberapa jurnalis. Akibatnya, jumlah jurnalis yang memiliki sertifikasi pun cenderung masih sedikit. Seperti halnya salah satu media alternatif yang mengakui bahwa dari keseluruhan tim, hanya pemimpin redaksi mereka yang memiliki sertifikasi. Ketiga, terdapat media alternatif yang masih merekrut mahasiswa atau fresh graduate akibat baru merintis perjalanan mereka. Perekrutan jurnalis dengan usia relatif muda mengakibatkan jumlah jurnalis jenjang kompetensi muda, madya, dan utama cenderung minim. Salah satu kendala untuk mengikuti UKW sempat diceritakan oleh Ryan dari Floresa.co. “Sampai saat ini, UKW lebih banyak diselenggarakan di Kupang. Jika dipaksa, biayanya mahal sekali dari Flores ke Kupang. Sehingga kami sering kali memilih untuk tidak bisa ikut akibat masalah biaya. Masukan saya, wilayah kepulauan seperti di NTT seharusnya bisa disediakan lebih banyak pilihan, misalnya di tempat lain yang jauh dari Kupang.” (Ryan – Floresa.co, FGD Daring 12 Desember 2024) 19 Menurut perwakilan redaksi dari BaleBengong.id, adanya asosiasi jurnalis dapat membantu persoalan uji kompetensi para wartawan. “Kami (BaleBengong.id) bisa mengakses uji kompetensi karena berjejaring dengan AJI Indonesia. Ini sangat memudahkan kami agar seluruh staf bisa ikut UKW.” (BaleBengong.id, FGD Daring 12 Desember 2024) 3. Perlindungan dan Kesejahteraan Persyaratan selanjutnya adalah bagian perlindungan yang terdiri dari tiga syarat, yaitu (1) Memiliki Ombudsman; (2) Memiliki kuasa hukum; dan (3) Memiliki SOP perlindungan wartawan. Pada ranah perusahaan media, Ombudsman ditugaskan untuk memberikan masukan dan arahan agar perusahaan media tetap sesuai pada visi, misi, dan nilai yang dianut. Namun, mayoritas media alternatif belum memiliki Ombudsman yang bertugas untuk mengawasi peran perusahaan pers sebagai pelayan publik. Sebagai gantinya, terdapat media alternatif yang memiliki editorial adviser, atau mengganti peran Ombudsman dengan Dewan Pengawas yang sedang menjabat. Memiliki kuasa hukum adalah persyaratan selanjutnya yang harus dipenuhi oleh perusahaan media. Akan tetapi, media alternatif cenderung sulit untuk menyanggupinya. Alasan yang paling banyak ditemukan adalah tidak adanya anggaran atau biaya khusus untuk mempekerjakan kuasa hukum khusus dan bersifat tetap. Oleh karenanya, terkadang media alternatif memanfaatkan keberadaan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers atau kuasa hukum yang disediakan langsung oleh Dewan Pers. 20 Terakhir, persoalan perlindungan lekat dengan harus tersedianya Standard Operating Procedure (SOP) Perlindungan Wartawan. Beberapa media alternatif yang sudah mulai mengurus sertifikasi mengatakan bahwa sudah terdapat format SOP yang disediakan oleh Dewan Pers. Sayangnya, hal ini dirasa menyulitkan bagi media alternatif sebab mereka memiliki cara tersendiri dalam penyusunan SOP. Walaupun begitu, masih terdapat pula media alternatif yang sama sekali belum menyusun dan memiliki SOP perlindungan wartawan. Selanjutnya, kriteria yang harus terpenuhi yaitu berkaitan dengan kesejahteraan pekerja. Terdapat enam syarat yang ditentukan Dewan Pers, yakni (1) Memenuhi gaji wartawan, minimal Upah Minimum Provinsi (UMP); (2) Memenuhi gaji ke-13 atau THR bagi wartawan/karyawan; menyediakan scan untuk beberapa hal, seperti (3) Sertifikat kepesertaan asuransi ketenagakerjaan; (4) Kartu kepesertaan asuransi ketenagakerjaan bagi wartawan dan karyawan; (5) Sertifikat kepesertaan asuransi kesehatan bagi perusahaan pers dengan jumlah karyawan di atas 50 orang; dan (6) Sertifikat kepesertaan asuransi kesehatan bagi wartawan dan karyawan. Beberapa media alternatif masih cenderung kesulitan untuk memenuhi gaji jurnalis yang minimal setara UMP. Salah satu media alternatif menyatakan bahwa baru bisa memberikan gaji setara UMP kepada anggota tim redaksi. Akan tetapi, perlu diketahui bila banyak media alternatif yang mempekerjakan kontributor. Oleh karenanya, kontributor diberikan upah berdasarkan produktivitas atau jumlah berita yang mampu mereka hasilkan. Terdapat pula media alternatif yang menggunakan prinsip sukarela, sehingga mengakibatkan tidak adanya kewajiban bagi mereka untuk memberikan upah. Persoalan ini dialami oleh media alternatif yang belum 21 memiliki pendanaan bersifat berkelanjutan, yang diceritakan dalam pernyataan di bawah ini. “Floresa.co sudah berdiri selama 10 tahun. Akan tetapi, baru dua tahun ini kami memberikan gaji sesuai UMP di NTT untuk teman-teman yang bekerja full-time. Selama delapan tahun hampir semuanya bersifat sukarela, tidak ada yang digaji. Pada akhirnya, untuk pendanaan, kami memiliki tim yang secara sukarela membantu untuk mencari dana. Kami tidak mendapatkan iklan maupun dana dari pemerintah. Oleh karenanya, sekarang kami mencari dana lewat dana hibah ataupun dana fellowship yang mengharuskan jurnalis untuk melakukan liputan. Belakangan ini, kami juga mendapatkan banyak dukungan dari dana publik walaupun hasilnya tidak terlalu signifikan. Pers mahasiswa juga banyak yang mendukung kami. Selain itu. Kami sekarang juga sedang mengerjakan satu ide, yaitu membuat kafe di Labuan Bajo. Kami berpikir bahwa agar bisa survive, kami harus melakukan banyak cara dan mencari berbagai opsi.” (Ryan – Floresa.co, FGD Daring 12 Desember 2024) “Serat.id merupakan media yang berbasis sukarela. Secara ekonomi, belum bisa menyejahterakan teman-teman karena belum ada karyawan tetap. Untuk menjalankan kegiatan, kami mendapatkan uang dari dana hibah. Itu pun tidak tentu. Belum tentu setiap bulan kami bisa men­ dapatkannya. Kami pernah mendapatkan tawaran iklan dari salah satu pejabat publik, namun kami tidak bisa menerima. Karena rilis (informasi) yang dikirimkan hanya tentang kegiatan tokoh tersebut. Padahal media alternatif adalah salah satu ujung tombak perjuangan untuk menyuarakan hak-hak yang terpinggirkan.” (Wibby – Serat.id, FGD Daring 12 Desember 2024) Selanjutnya, penyediaan gaji ke-13 atau Tunjangan Hari Raya (THR) untuk karyawan masih menjadi kendala bagi media 22 alternatif. Dikarenakan belum memiliki cukup dana, media alternatif cenderung memberikan insentif atau bonus. Ada pula yang memberikan THR tetapi jumlahnya tidak setara dengan upah bulanan mereka. Selain itu, terdapat media alternatif yang hanya bertumpu kepada kontributor atau pekerja lepas (freelance) dan belum memiliki karyawan tetap, sehingga berujung pada tidak adanya keharusan bagi mereka untuk memberikan gaji ke-13. Selanjutnya, kesejahteraan juga berkaitan dengan ke­ter­ sediaan asuransi bagi seluruh karyawan perusahaan pers, baik asuransi ketenagakerjaan maupun kesehatan. Beberapa media alternatif menyatakan belum mengurus sertifikat kepesertaan asuransi ketenagakerjaan atau BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini diakibatkan belum adanya karyawan tetap yang mereka miliki. Namun, ada salah satu media alternatif yang menyediakan asuransi ketenagakerjaan selama para jurnalis menjalani masa kontrak liputan. Persoalan serupa juga ditemui pada asuransi kesehatan bagi karyawan. Mayoritas media alternatif menegaskan belum mengurus dan memiliki asuransi kesehatan, khususnya BPJS Kesehatan. Rangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan untuk memberikan sertifikat dirasa cukup sulit dan merepotkan. Tidak hanya itu, terdapat pula karyawan yang sudah membayar BPJS Kesehatan secara mandiri. Maka terjadi tumpang tindih apabila perusahaan media tempat mereka bekerja hendak membayarkan tagihannya setiap bulan. 4. Kondisi Fisik Hal selanjutnya adalah berkas mengenai kondisi fisik dari perusahaan pers, yaitu menyediakan foto (1) kantor tampak depan; (2) ruang kerja; (3) ruang rapat redaksi; serta menyediakan bukti fisik media/visual yang mencantumkan 23 dan menunjukkan (4) nama penanggung jawab, dan alamat redaksi di media yang diterbitkan/ditayangkan; (5) updating dan konsistensi berita/liputan; (6) pencantuman klausul yang menyatakan bahwa seluruh konten media menjadi tanggung jawab penanggung jawab redaksi; dan (7) Pedoman Pemberitaan Media Siber (khusus media online). Tiga dari tujuh berkas masih cenderung sulit dilengkapi oleh media alternatif. Tidak seluruh media alternatif memiliki kantor secara fisik. Kemudian, tidak seluruh kantor fisik yang dimiliki menyediakan ruangan tersendiri untuk kerja dan rapat. Ruangan yang tersedia cenderung digunakan untuk berbagai kegiatan, sehingga lebih cocok disebut dengan ruang bersama yang dapat mengakomodasi beragam kegiatan. Karena itu, pembedaan ruang kerja dan ruang rapat redaksi ini menjadi tantangan tersendiri bagi media alternatif. Selain itu, salah satu media alternatif mengakui bahwa untuk masalah kantor, mereka masih bergabung dengan asosiasi jurnalis yang menaungi. Tidak adanya kantor fisik juga mengakibatkan pekerja media alternatif selalu melakukan rapat secara daring. Sementara itu, ada juga media alternatif yang, karena alasan keamanan, hanya mencantumkan alamat tidak resmi di situs web mereka. Perwakilan redaksi dari Independen.id menyampaikan tanggapannya perihal kantor fisik yang harus dimiliki oleh media alternatif. “Bagi media kecil berbasis komersial, mungkin persyaratan adanya kantor fisik boleh untuk diterapkan. Namun, untuk media kecil berbasis public interest, menurut saya tidak relevan semisal diharuskan memiliki kantor. Akan lebih baik jika persyaratan mengenai ini dihilangkan saja dan lebih berfokus kepada persoalan kesejahteraan jurnalis.” (Independen.id, FGD Daring 12 Desember 2024) 24 5. Kekerasan terhadap Media Alternatif Terkait kekerasan terhadap media alternatif, riset ini meng­ ajukan dua pertanyaan kepada responden. a. Apakah media Anda pernah mengalami serangan, baik di ranah digital maupun fisik, terkait dengan pemberitaan? Riset ini menemukan, sebanyak 8 dari 10 perwakilan media alternatif yang mengisi survei menyatakan pernah mengalami serangan, baik di ranah digital maupun ranah fisik, terkait pemberitaan. Contoh kasus yang mereka alami antara lain: 1. “Doxing, Ddos, dll ketika memberitakan kasus kekerasan seksual dan LGBT, penyerang tidak ter­ identifikasi.” –Konde.co 2. “Pada Mei 2023, setelah kami menerbitkan laporan berjudul ‘Mereka yang Suaranya Diabaikan dan Dibungkam di Tengah Gegap Gempita ASEAN Summit di Labuan Bajo’. Liputan kolaborasi dengan Project Multatuli ini juga mengangkat masalah pengabaian hak warga dan rencana mereka menggelar aksi unjuk rasa pada 9 Mei, hari pertama ASEAN Summit di Labuan Bajo. Hari berikutnya, 6 Mei, akun Telegram dan WhatsApp salah satu jurnalis Floresa yang terlibat mengerjakan laporan kolaborasi itu diambilalih pihak lain. Sementara pada 7 Mei, muncul serangan malware terhadap website Floresa, sehingga dinyatakan ‘hacked’ dan butuh tindakan segera. Ketiga pada 2 Oktober 2024, pemimpin redaksi kami dianiaya saat meliput aksi warga di Poco Leok, Kabupaten Manggarai menolak proyek geotermal. Saat ini kasusnya sedang ditangani Polda NTT.” –Floresa.co 3. “DDos dan usaha pengambilalihan akun surel milik staf. Pelakunya tidak diketahui.” –Jaring.id 25 b. Apakah media Anda pernah mengalami tindakan kri­mi­ nalisasi? Riset ini menemukan, sebanyak 3 dari 7 perwakilan media alternatif yang mengisi survei menyatakan pernah mengalami tindakan kriminalisasi akibat pemberitaan yang mereka lakukan. Contoh kasus yang mereka alami antara lain: a. Somasi dan pemeriksaan, yang dialami oleh BaleBengong.id b. Somasi, yang dialami oleh Progresip.id c. Kriminalisasi oleh pihak kepolisian dengan pe­nang­ kapan jurnalis, dan ancaman dari pihak tak dikenal, yang dialami oleh ProjectMultatuli.org Selain contoh kasus di atas, terjadi beberapa kasus kekerasan terhadap media alternatif sepanjang 2020-2024. Misalnya, Konde.co, media yang aktif memberitakan kasus kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, mengalami peretasan pada 25 Oktober 2022. Peristiwa ini menyusul pemberitaan media itu tentang kasus perkosaan yang melibatkan oknum pejabat Kementerian Koperasi dan UKM di Jakarta. Konde mengalami serangan kategori DDoS (Distributed Denial of Service), suatu aktivitas penghentian paksa layanan konten dari host ke jaringan internet sehingga website tidak bisa diakses publik. Ini kasus DDoS kedua bagi Konde.co sejak beroperasi tahun 2016. Serangan digital lainnya yang mendapat banyak perhatian dari industri media dan publik adalah serangan terhadap website Project Multatuli pada 2021. Situs Projectmultatuli.org diserang dengan DDos pada 6 Oktober 2021, tak lama setelah merilis laporan tentang pemerkosaan anak di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Laporan 26 berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” itu bercerita tentang seorang perempuan yang melaporkan mantan suaminya untuk dugaan pemerkosaan pada ketiga anaknya yang masih di bawah usia 10 tahun. Saat itu, Projectmultatuli. org tidak bisa dibuka publik, sehingga informasi serangan itu hanya bisa disampaikan melalui akun Instagram mereka. Namun, puluhan perusahaan media, antara lain Vice Indonesia, Suara.com, Kompas.com, IDN Times, dan Tempo.co, mendukung kerja jurnalistik Project M dengan melakukan publikasi ulang (Kompas TV, 2021) terhadap liputan tersebut. Ini merupakan bentuk solidaritas dari media lain sehingga publik tetap bisa membaca liputan yang mengungkap kinerja buruk Polres Luwu Timur tersebut. Hal penting selanjutnya setelah publikasi ulang oleh media lain adalah solidaritas dari pembaca, terutama solidaritas yang ditunjukkan secara digital melalui ko­ mentar terhadap akun Instagram Polres Luwu Timur (@ humasreslutim), karena menyebut nama asli pelapor kasus dan mengecap liputan Project M sebagai hoaks. Solidaritas warga ini juga mendorong popularitas tanda pagar #PercumaLaporPolisi di media sosial, yang merupakan aktivisme digital warga sebagai bagian dari demokrasi siber (Wuriani, 2021). Contoh-contoh kasus di atas menunjukkan, serangan digital terhadap media alternatif juga bisa memunculkan gerakan sipil dari warga untuk melakukan perlawanan, sebagai bentuk dukungan terhadap kebebasan pers yang jamak terjadi di konteks global (Masduki, Wendratama, Suci, 2023). 27 B. Independensi Redaksi Persoalan kepemilikan pada perusahaan pers dapat memunculkan pengaruh terhadap konten berita, otonomi jurnalistik, kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta praktik organisasi dan pro­ fesional dari perusahaan pers tersebut. Penelitian Sjøvaag dan Ohlsson (2019) mengungkapkan bahwa motivasi kepemilikan di­ asumsikan terletak pada potensi keuntungan finansial dan politik bagi pemilik media, seperti adanya konsentrasi dan monopoli pasar, serta homogenisasi pada pembentukan opini publik. Dalam konteks perusahaan pers di Indonesia, penelitian PR2Media (Masduki et al., 2023) menunjukkan bahwa perusahaan pers berskala nasional memiliki kecenderungan conglomerate ownership. Sedangkan, perusahaan pers tingkat lokal menunjukkan adanya kecenderungan chain ownership–yang berjejaring dengan perusahaan pers nasional yang memiliki kecenderungan conglomerate ownership. Pengaruh kepemilikan itu tentu muncul dalam kebijakan redaksi dan peliputan yang dilakukan media arus utama, yang banyak terjadi terutama dalam masa pemilihan umum (Masduki et al., 2023), mengingat sebagian besar perusahaan media konvensional yang berpengaruh di Indonesia, terutama stasiun televisi, berafiliasi secara politik atau dimiliki oleh elite partai politik dan pejabat di pemerintahan (Lim, 2012; Tapsell, 2015; McCoy, 2019). Oleh karenanya, kepemilikan media dapat menjadi salah satu faktor penentu model bisnis dan jurnalisme yang diusung perusahaan pers. Faktor ini yang menjadi salah satu pendorong utama kelahiran media alternatif di Indonesia, yang berusaha mewujudkan produk jurnalistik yang “lebih independen” dari media arus utama, terutama dalam bentuk keberanian mengkritisi kekuasaan. Menurut Ihlebaæk (2022), media alternatif beroperasi cukup berbeda dalam hal posisi, produksi, dan produk–yang mengakibatkan hadirnya kontribusi lebih beragam terhadap konten 28 berita. Selain itu, jumlah karyawan media alternatif cenderung tidak banyak. Pada penelitian ini, media alternatif yang menjadi responden pun cenderung memiliki struktur redaksi yang kecil sebagai upaya membangun dan mempertahankan independensi mereka dalam melakukan jurnalisme. Di bawah ini adalah profil redaksi mereka, yang mayoritas merupakan jurnalis veteran dan aktivis media dengan cita-cita jurnalisme yang seindependen mungkin, tanpa campur tangan pemilik modal maupun penguasa. Pertama, BaleBengong.id terdiri dari seorang pemimpin re­ daksi (Luh De Suriyani) dan tiga staf redaksi. Portal media alternatif yang berbasis di Bali ini dijalankan dengan memanfaatkan sudut pandang warga atau jurnalisme warga. Kedua yaitu Konde.co. Dengan topik utama perempuan dan minoritas, Konde.co hadir pada tahun 2016 dan diinisiasi oleh enam orang, yaitu Eko Bambang Subiantoro, Estu Fanani, Luviana, Melly Setyawati, Poedjiati Tan, dan Rini Susanti. Jika ditelusuri, pendiri Konde.co merupakan gabungan dari jurnalis dan aktivis yang bergerak di bidang perempuan. Kini, Konde.co dipimpin oleh Luviana yang sudah berkecimpung di dunia jurnalistik sebagai jurnalis media mainstream selama lebih dari 20 tahun. Ketiga adalah media alternatif dari Nusa Tenggara Timur, yaitu Floresa.co. Media alternatif ini telah berkembang selama 10 tahun di Flores. Saat ini, Floresa.co dipimpin oleh Ryan Dagur–seorang jurnalis, yang berperan sebagai pemimpin umum dan editor. Keempat, Independen.id bergerak sebagai media alternatif yang tidak hanya memiliki karya jurnalistik hasil investigatif, namun turut menyediakan wadah untuk berkolaborasi dengan media alternatif lainnya (Sindikasi Independen). Struktur organisasi Independen.id diduduki oleh Bayu Wardhana sebagai pemimpin umum, Nani Afrida sebagai pemimpin redaksi, dan Betty Herlina 29 sebagai redaktur pelaksana. Ketiganya merupakan jurnalis senior yang telah lama bekerja dalam jurnalisme. Independen.id juga memiliki empat staf redaksi dan satu staf bidang komunikasi. Selanjutnya, kelima, yaitu Progresip.id, sebuah jurnalisme kolektif dari inisiatif kelas pekerja yang mengangkat isu ketena­ gakerjaan dan isu terkait lainnya dengan sudut pandang para pekerja. Progresip.id didirikan oleh Nur Aini–yang saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Progresip.id, Bimo Aria Fundrika, Guruh Riyanto, Setyo A. Saputro. Melalui informasi yang tertera di situs web Progresip.id, keempatnya merupakan jurnalis senior dari sejumlah jenis media sekaligus pengurus Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI), sebuah serikat pekerja yang mengelola Progresip.id. Keenam adalah Suara Kita.org, sebuah perkumpulan yang berfokus pada hak asasi kelompok ragam gender dan seksualitas. Suara Kita memilih disahkan sebagai perkumpulan agar lebih bisa melibatkan individu yang memiliki ketertarikan terhadap perjuangan isu identitas seksual dan gender. Suara Kita tidak melampirkan secara bebas informasi mengenai kepemilikan dan struktur organisasinya di situs web resmi mereka. Ketujuh, Jaring.id, sebuah media nirlaba independen yang didirikan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN)–yang mengedepankan produk jurnalistik berupa liputan mendalam dan investigatif. Jaring.id dipimpin oleh Fransisca Ria Susanti sebagai direktur eksekutif, Muhammad Kholikul Alim se­ bagai pemimpin redaksi, dan Damar Fery Ardiyan sebagai redaktur pelaksana. Ketiganya memiliki pengalaman yang panjang dalam jurnalisme. Kedelapan adalah BincangPerempuan.com yang merupakan jurnalisme dengan perspektif gender. Betty Herlina berperan se­ bagai pendiri dan pemimpin redaksi BincangPerempuan.com, serta Retno Wahyuningtyas sebagai managing director. Berdasarkan 30 informasi yang tertera di situs web resmi, Bincang Perempuan dibangun sebagai bentuk kegelisahan atas minimnya representasi perempuan di media, khususnya perempuan lokal. Media alternatif selanjutnya, kesembilan, yaitu ProjectMultatuli.org (PM). PM merupakan jurnalisme nirlaba yang menyediakan produk jurnalistik berbasis riset dan data. Terdapat empat orang pendiri PM, yaitu Ahmad Arif, Evi Mariani, Fahri Salam, dan Ary Hermawan. Keempatnya merupakan jurnalis senior yang sudah bekerja di berbagai jenis media. Saat ini, PM sudah mendapatkan verifikasi dari Dewan Pers. Terakhir, kesepuluh, ialah Serat.id, sebuah media alternatif yang diinisiasi oleh anggota AJI Kota Semarang untuk menjawab kegelisahan terhadap pesatnya perkembangan teknologi dan komunikasi digital yang memunculkan banyaknya misinformasi dan ujaran kebencian. AJI Kota Semarang berperan sebagai pe­ nanggungjawab dari Serat.id. Di sisi lain, Praditya Wibisono menjabat sebagai pemimpin redaksi dari Serat.di. Seluruh karyawan Serat.id merupakan anggota dari AJI Kota Semarang dan berprofesi sebagai jurnalis. C. Sumber Daya Keuangan Estimasi jumlah modal yang dimiliki oleh media alternatif yang menjadi responden survei cukup beragam, berkisar antara 20 juta s.d. 1 milyar rupiah. Meski demikian ada responden yang menyatakan tidak memiliki modal karena badan hukum medianya adalah perkumpulan. Ada pula responden yang tidak bersedia menjawab pertanyaan tentang kepemilikan modal ini, kemungkinan karena dana yang diperoleh sebagian besar dari donasi. Temuan yang menarik berkaitan dengan kepemilikan modal ini adalah, meski media alternatif memiliki status badan hukum “Yayasan” dan “PT (Perseroan Terbatas)” tidak seluruhnya memiliki modal yang besar (tidak identik dengan modal besar). 31 Adapun sumber dana media alternatif cukup beragam, seperti hibah, donasi, iklan, membership, memberikan layanan produksi konten, dan pelatihan. Tabel 4. Sumber Daya Keuangan Media Alternatif No. Nama Media Status Badan Hukum Sumber Dana Estimasi Jumlah Modal 1. Bale Bengong Yayasan Jaringan lembaga/ komunitas dan iklan Rp 200 juta 2. Konde.co Yayasan Organisasi nirlaba, working room, iklan, dan negara lewat dana publik Rp 1 miliar 3. Floresa PT Hibah dari organisasi filantropi, beasiswa liputan, donasi publik, dan lain-lain (penjualan merchandise, proyek riset). Saat berdiri Rp 10 juta, sekarang ini memiliki dana Rp 500 juta, dari hibah dan donasi publik 4. Independen PT Grant/funding Rp 50 juta 5. Progresip PT Grant, vendor produksi audio visual, penjualan merchandise, keanggotaan, penyewaan studio dan peralatan podcast, penyelenggara pelatihan, dan konsultan media sosial Rp 500 juta 6. Suara Kita Perkumpulan Penggalangan dana, donor Rp 500 jutaan 7. Jaring.id Perkumpulan Grant/funding Tidak ada 8. Bincang Perempuan PT Grant/funding, donasi tidak mengikat, Iklan, bisnis produksi konten, pelatihan, dan donasi Rp 20 juta 9. Project Multatuli PT Kemitraan Tidak bersedia menjawab 10. Serat.id PT Belum ada sumber pendapatan Rp 6 juta 32 Selain menerima pendanaan dari jaringan lembaga/ komunitas, Bale Bengong juga menerima iklan dengan berbagai klasifikasi bentuk dan tarif. Sebagai gambaran, ada 6 klasifikasi bentuk iklan (mulai dari “iklan Twitter” dengan tarif Rp 50 ribu per twit pada jam tertentu hingga “iklan atas utama” dengan tarif 1 juta per bulan). Selain itu Bale Bengong juga menawarkan paket iklan yang merupakan kombinasi dari beberapa klasifikasi bentuk iklan dengan tarif tertentu (BaleBengong.id, 2024). Namun, Bale Bengong tidak menerima iklan rokok, perusahaan yang tidak mendukung lingkungan, atau iklan atau kontrak dari pemerintah. Sumber dana Konde.co berasal dari organisasi nirlaba, working room (layanan produksi konten media), iklan, dan negara lewat dana publik. Media alternatif ini menerima iklan untuk produk-produk Konde.co, website, dan kampanye melalui sosial media. Konde. co juga menerima dukungan dana dari publik untuk memproduksi film dan video. Konde.co pun menerima dukungan untuk ber­ bagai macam acara terkait dengan informasi dan pengetahuan perempuan dan minoritas. Acara ini antara lain seminar, diskusi, pelatihan, penerbitan buku, dan pertemuan komunitas. Media alternatif ini menyampaikan laporan tahunan dan juga rencana kerja tahunan. Laporan menjelaskan program/kegiatan, tantangan, rencana kerja di tahun berikutnya, dsb. Konde.co juga menyajikan laporan transparansi tentang penggunaan dana, termasuk di sini hasil audit keuangan. Ini praktik bagus di media alternatif dalam menunjukkan pertanggungjawaban pengelolaan dana publik. Berikut tangkapan layar, laporan tahun 2023 dan laporan auditnya. 33 Gambar 1. Tangkapan Layar Laporan Konde.co Sumber: Laporan Tahunan Konde. https://drive.google.com/file/d/1M7Eops0ROrr_ HqghTL8JZjm0hA7msjnf/view?pli=1 34 Gambar 2. Laporan Audit Konde.co Sumber: Laporan Audit (https://drive.google.com/file/d/1kvbRF8rVuUyJn8cxBHHXm9 UTXCP1LiGT/view) Selanjutnya, Floresa memperoleh sumber dana dari hibah organisasi filantropi (70 persen), beasiswa liputan (10 persen), donasi publik (10 persen), dan lain-lain (pernjualan merchandise, proyek riset) sebanyak 10 persen. Untuk donasi publik, jumlah donasi yang terkumpul, jumlah pendukung (donatur), dan sejumlah nama donatur bisa dilihat secara terbuka pada portal https://sociabuzz.com/floresa/tribe. 35 Gambar 3. Donasi Publik Floresa Sumber: https://sociabuzz.com/floresa/tribe diakses pada 12 Januari 2024. Selanjutnya, Progresip mendapatkan dana dari hibah, produksi audio visual, penjualan merchandise, keanggotaan, penyewaan studio dan peralatan podcast, penyelenggara pelatihan, dan konsultan media sosial. Sebagai media yang dikelola oleh serikat pekerja dan memiliki basis audiens para pekerja, Progresip juga menerapkan sistem 36 donasi untuk mengumpulkan dana dengan format keanggotaan dengan pembayaran iuran bulanan. Donatur di sini disebut sebagai “sekutu progreSIP”. Donatur dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu individu dan kelompok/institusi. Untuk donatur individu disajikan tiga kategori pilihan dukungan: (1) Prekariat dengan dukungan Rp 20.000/bulan, (2) Proletar dengan dukungan Rp 50.000/bulan, dan (3) Kamerad dengan dukungan Rp 100.000/ bulan (Progresip, 2024). Upaya yang hampir sama dilakukan oleh Suara Kita. Media alternatif ini menyelenggarakan kegiatan penggalangan dana untuk membangun kemandirian dan resiliensi. Penggalangan dana dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya “Garage Sale” dan menjual barang-barang bekas layak pakai. Gambar 4. Penggalangan Dana Suara Kita Sumber: https://suarakita.org/2023/09/artikel-bisnis-eco-friendly-untuk-fundraisingkenapa-tidak/ 37 Selanjunya, Bincang Perempuan memiliki beberapa sumber pendanaan, seperti grant/funding, donasi tidak mengikat, iklan, bisnis produksi konten, pelatihan, dan donasi. Untuk pemasangan iklan, Bincang Perempuan memiliki tautan khusus di portalnya yang dapat digunakan untuk pemesanan pemasang iklan. Sebagai ilustrasi, berikut tautan untuk pemasangan iklan. Gambar 5. Pemasangan Iklan di Bincang Perempuan Sumber: https://bincangperempuan.com/working-room/working-room-2/ Untuk layanan produksi konten, Bincang Perempuan me­na­ mainya sebagai working room yang berkonsep “agency atau toko kreatif”. Ini mencakup pembuatan dan pengeditan buku, desain 38 kreatif, dan konsultasi strategi media. Bincang Perempuan juga menawarkan pelatihan, seperti penulisan berita, pengenalan alat digital dan cek fakta, jurnalisme data, pelatihan dasar keamanan holistik, kampanye media, dan pengelolaan media sosial,. Berkaitan dengan donasi, Bincang Perempuan menerbitkannya di laman mereka. Gambar 6. Donasi Bincang Perempuan Sumber: https://bincangperempuan.com/working-room/working-room-2/ Project Multatuli menggalang dana melalui “Kawan M” yaitu mereka yang berpartisipasi dalam program keanggotaan Project Multatuli. Kawan M merupakan bagian dari strategi Project Multatuli yang mengembangkan jurnalisme publik untuk melayani mereka yang dipinggirkan demi mengawasi kekuasaan. Oleh 39 karena itu, Project Multatuli mengandalkan publik sebagai sumber pendanaan, bukan iklan, agar terus bekerja secara independen dan setia pada kepentingan publik. Donasi dari “Kawan M” cukup beragam, berikut ilustrasi besaran donasi tersebut. Gambar 7. Iuran Keanggotaan Project Multatuli Sumber: https://projectmultatuli.org/tentang/dukung-kami/ Berdasarkan temuan penelitian, media alternatif tidak mengandalkan iklan sebagai sumber dana utama. Iklan yang mengharuskan media bekerja berdasarkan prinsip dual-product market, yaitu di satu sisi menjual media kepada audiens dan di sisi lain menjual audiens untuk mendapatkan iklan, dipandang mengganggu independensi dan idealisme media alternatif. Oleh sebab itu, media alternatif terus berupaya mengembangkan “model bisnis” yang selaras dengan visi, misi, dan tujuan pendirian media. Merujuk pada laporan riset tim Dewan Pers tentang “Lanskap & Dampak Digitalisasi Terhadap Model Bisnis Serta Dinamika Redaksi Industri Media di Indonesia” (2024), sumber pendanaan lain selain iklan juga telah dikembangkan oleh Magdelene, the Conversation, dan sebagainya. Mereka mengembangkan sumber pendapatan dari sponsor program (misalnya sponsor untuk produksi artikel, 40 media sosial, dan video), sponsor kegiatan (misalnya sebagai event organizer/EO), dan aktivitas-aktivitas out of media (seperti in-house training dan layanan pembuatan ragam konten). Keterbatasan dana diakui oleh sebagian besar pengelola media alternatif. Produksi berita investigatif membutuhkan pembiayaan yang besar. Biaya ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan reportasi, namun juga untuk berlangganan data untuk mendukung pemberitaan. Berikut kutipan salah satu peserta FGD tentang pembiayaan tersebut: “Kami membutuhkan biaya yang relatif mahal untuk memenuhi biaya produksi berita mendalam. Ongkosnya bukan hanya untuk reportase, tetapi juga berlangganan untuk menggunakan data.” (Damar – Jaring.id, FGD Daring 12 Desember 2024). Berkaitan dengan pendanaan ini, berdasarkan temuan survei, sejumlah responden yang mewakili media alternatif mengharapkan dukungan dana dari negara. Salah satu responden menyatakan bahwa “dukungan dana dari pemerintah dapat melalui dana publik”. Responden lainnya menyatakan dukungan dana ini dapat diwujudkan melalui pemberian subsidi domain, server, program liputan, pelatihan pengelolaan media siber, dsb. Di Indonesia dana bantuan negara sejauh ini masih dialokasikan untuk lembaga penyiaran publik, namun belum untuk media alternatif. Bantuan negara untuk media alternatif diberikan oleh lembaga pemerintah yang meyakini bahwa dukungan mereka dapat membantu jurnalisme independen dan profesional berkembang pesat di masa yang didominasi oleh teknologi digital, seluler, dan platform. Dukungan pemerintah dalam bentuk hibah keuangan langsung atau pengurangan pajak tidak langsung bertujuan untuk menjaga independensi jurnalisme dan kualitas hasilnya (Murschetz, 2020). 41 Dukungan dana dari negara seperti itu disampaikan oleh perwakilan redaksi Independen.id dalam FGD riset ini. “Saat ini, dana publik dari negara hanya diakses oleh RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik. Seharusnya ada dana publik yang diberikan kepada media yang melayani kepentingan publik, seperti media alternatif. Dukungan dana ini bisa diberikan kepada media atau karya jurnalistiknya. Hal ini akan sangat membantu.” (Perwakilan Redaksi Independen.id, FGD Daring 12 Desember 2024). Dukungan dari negara seperti itu jamak dilakukan di negara demokrasi lain, misalnya Australia dan Selandia Baru yang mengalokasikan dana publik untuk media yang melayani kelompok minoritas dan indigenous peoples (Backhaus, 2024; Australia Government, 2024; NZ On Air. 2024). D. Kebutuhan akan Verifikasi Dewan Pers Seluruh pengelola media alternatif yang terlibat dalam riset ini menyatakan bahwa mereka membutuhkan status verifikasi dari Dewan Pers, dengan perlindungan hukum menjadi alasan utama. Sebagai contoh, perwakilan redaksi dari Independen.id dalam FGD riset ini menyatakan bahwa mereka akan mengajukan permohonan status itu ke Dewan Pers “meski syaratnya berat”. Ia mengatakan, “Kami ingin melindungi teman-teman agar tidak mudah diperkarakan.” Menurutnya, “verifikasi menjadi pengaman, yaitu mengamankan bila digugat dan menjadi kekuatan.” Sementara itu, Ryan dari Floresa.id menyatakan bahwa mereka sedang mempersiapkan diri memenuhi syarat-syarat verifikasi dari Dewan Pers karena “verifikasi penting agar kami aman”. Ryan mengatakan, “Kami akhirnya berpikir membuat badan hukum setelah dikasuskan oleh Pemda. Kendala kami adalah di 42 persoalan UKW. UKW adanya di Kupang, jauh dari Flores. Bisa tidak untuk wilayah kepulauan disediakan juga UKW?. Karena kami merasa rentan mengalami represi.” Luviana dari Konde.co sepakat bahwa “kalau ada verifikasi maka akan lebih aman”, sambil menambahkan, perjuangan sudah dilakukan Konde.co sejak 2016 dengan membuat aksi dan seminar untuk mengupayakan adanya klaster khusus bagi media alternatif dalam verifikasi Dewan Pers. “Setelah itu, ada pernyataan dari Dewan Pers bahwa akan ada klaster khusus media alternatif. Kami merasa aman. Tiba-tiba klaster ini tidak ada, setelah terjadi perubahan anggota Dewan Pers. Kami menemui DP dan mereka mengatakan bahwa tidak bisa, harus sertifikasi. Ketika kami lihat, persyaratan sangat banyak,” kata Luviana, yang menceritakan perubahan kebijakan akibat perubahan anggota Dewan Pers di masa lalu. (FGD daring, 12 Desember 2024) Catatan lain disampaikan oleh Aris dari Serat.id, yang men­ contohkan tentang sejumlah media yang sudah tersertifikasi, tetapi mereka melanggar UU Pers. sehingga proses verifikasi juga perlu diperbaiki. “Faktanya, di Semarang ada media yang mengambil berita dari media-media lain, tapi dia terverifikasi. Ini kan sama saja dengan mencuri karya. Sedangkan media alternatif atau independen ini selalu berjuang untuk menghadirkan suara-suara dari publik yang tidak bisa bersuara. Kawan-kawan yang berjuang ini perlu mendapat dukungan khusus dari Dewan Pers.” (Aris - Serat.id, FGD Daring 12 Desember 2024). Verifikasi dari Dewan Pers juga dibutuhkan media alternatif untuk mendukung peliputan, seperti disampaikan oleh Retno dari BincangPerempuan.com. 43 “Verifikasi sangat penting untuk meningkatkan jaringan di tingkat lokal, khususnya masyarakat adat. Banyak sekali tantangan dalam menuliskan isu ini. Kami juga mengangkat isu kesetaraan gender, misalnya bekerja sama dengan BKKBN. Kalau belum ada verifikasi, kami menjadi terkendala, karena yang dilirik hanya media arus utama yang memiliki nama besar. Jadi ini bisa membatasi kami,” kata Retno, yang juga menyatakan pentingnya verifikasi untuk perlindungan hukum dan keamanan jurnalis (FGD Daring 12 Desember 2024). E. Ruang Lingkup Media Alternatif Terdapat setidaknya tiga definisi terhadap media berbasis ruang redaksi kecil (small newsroom) yang berkembang di Indonesia dan dunia, yaitu media independen (independent newsroom), media alternatif (alternative media) dan non-profit (not-forprofit journalism). Jika merujuk pada posisi ideologis dan karakter kontennya, maka terdapat dua model media jurnalisme di dunia: yaitu media alternatif dan media arus utama. Lebih jauh, merujuk beberapa literatur, karakter media alternatif dapat digambarkan berikut ini: Menurut Christian Fuchs (2010), media alternatif ada tiga jenis: 1. Alternatif karena berbasis komunitas tertentu (pembacanya) 2. Alternatif karena sifat pendanaan dan pengelolaan yang nonprofit dan merupakan media yang radikal secara kontennya 3. Alternatif dari segi newsroom dan platform digital (homeless) Lebih lanjut, ciri khas media alternatif dengan merujuk Fuchs (2010) dan Houston (2023) yang berkembang di platform digital melingkupi: 1. Mengutamakan konten berkualitas (quality news), bukan 44 2. 3. 4. 5. kuantitas berita yang diproduksi apalagi mengejar jumlah pembaca/traffic. Struktur redaksinya kecil, mudah beradaptasi dengan digital dan inovatif dan kerapkali merupakan kolaborasi jurnalisaktivis. Dikelola komunitas/lembaga nirlaba, suatu antitesis model kepemilikan pada model media arus utama: konvensionaldigital konglomerasi. Strategi konten yang membongkar kesadaran publik, ruang kebebasan ekspresi atas marginalisasi suara warga dalam suatu negara. Kerja jurnalistiknya berpola investigatif, mendalam, dan bagian dari kegiatan aktivisme demokrasi (slow, in-depth journalism). Tabel 5. Perbedaan Media Alternatif dan Media Arus Utama Kategori Kapasitas Redaksi Model Bisnis Misi dan Posisi Sifat dan sumber dana Media arus utama Berskala besar, berjaringan nasional dan internasional dalam kepemilikan dan konten Komprehensif: analog, digital, agregasi, konglomerasi oleh individu pengusaha Komodifikasi informasi, bagian dari usaha komersial besar melayani konsumen dan pro-status quo Profit dan mengandalkan iklan komersial, programatik, sponsorship, dll. Media alternatif Berskala kecil, berjaringan dengan gerakan sosial Hanya di kanal digital atau analog, single ownership oleh komunitas/ asosiasi nirlaba Bagian dari demokrasi informasi, melayani kelompok terbatas sebagai warga negara, kadangkala beroposisi terhadap pemerintah Non-profit dan mengandalkan iuran komunitas atau donasi dan voluntaristik 45 Selanjutnya, berdasarkan survei, FGD, dan wawancara yang peneliti lakukan dengan para pengelola media alternatif, riset ini mencatat ruang lingkup media alternatif sebagai basis untuk aturan klaster media alternatif dalam proses pendataan perusahaan pers oleh Dewan Pers. Ruang lingkup ini mencakup definisi, badan hukum, sumber pendapatan, dan sumber daya manusia yang mengelola media, sebagai berikut. 1. Memproduksi karya jurnalisme berkualitas, yang memiliki ciriciri: a. melakukan pengawasan terhadap penguasa politik dan ekonomi, b. mengadvokasi hak asasi manusia, c. memperjuangkan kepentingan masyarakat, dan d. menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers 2. Merupakan organisasi nirlaba, yaitu keuntungan ekonomi yang diperoleh tidak diberikan kepada pengurus, tetapi untuk operasional produksi berita. Tidak menerima pendanaan yang berasal dari iklan komersial, kecuali dari usaha kategori mikro dan kecil sesuai Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2021 , dan/atau dari pihak lain yang berpotensi memunculkan konflik kepentingan bagi kerja jurnalistik atau mempengaruhi independensi media alternatif. 3. Merupakan redaksi berskala kecil (small newsroom) yang dikelola oleh komunitas atau lembaga nirlaba dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Adapun syarat untuk bisa masuk ke dalam klaster media alternatif, adalah: 1. Memiliki badan hukum sebagai media (dapat berbentuk Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, Perkumpulan, dan badan hukum lainnya), alamat, dan penanggung jawab media yang jelas. 46 2. 3. 4. 5. 6. 7. Memiliki stuktur redaksi sebagai media dan AD/ART, termasuk mencantumkan rencana dan praktik keberlangsungan ope­ rasional media. Menunjukkan bukti keteraturan terbit (menerbitkan karya jurnalistik setidaknya dua kali dalam sebulan melalui platform media apa pun) dalam enam bulan terakhir. Surat keterangan yang menunjukkan komitmen tidak me­ nerima pendanaan yang berasal dari iklan komersial, kecuali dari usaha kategori mikro dan kecil, dan/atau pihak lain yang berpotensi memunculkan konflik kepentingan bagi kerja jurnalistik atau mempengaruhi independensi media alternatif. Memberikan laporan transparansi pendanaan atau keuangan dan audit keuangan jika mendapat dana dari donasi publik, APBN/D, atau sumbangan masyarakat. Memiliki pegawai tetap untuk mengelola keberlangsungan media. Pimpinan redaksi tertinggi telah memiliki sertifikasi wartawan utama yang diakses melalui uji kompetensi wartawan (UKW) secara gratis. F. Rekomendasi Kebijakan Riset ini mengajukan rekomendasi perubahan kebijakan dan penguatan ekosistem yang ramah bagi media alternatif dalam jangka panjang dan jangka pendek. 1. Dalam jangka panjang, berdasarkan hasil survei, dua kali FGD dengan pengelola dan stakeholders disertai wawancara mendalam, riset ini merekomendasikan suatu dukungan regulasi yang menyeluruh–tidak terbatas pada kemudahan akses atas layanan Dewan Pers terkait verifikasi–tetapi perlindungan atas kerja jurnalistik dan keberlanjutan media alternatif sebagai pilar demokrasi. Beragam regulasi yang terkait perlu dilakukan harmonisasi agar selaras dan 47 2. mendukung ekosistem yang sehat bagi jurnalisme berkualitas di media alternatif, yang mencakup antara lain UU No. 40/1999 tentang Pers, UU No. 1/2024 tentang tentang Perubahan Kedua atas UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan Peraturan Presiden No. 32/2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Selain itu, para pengelola media alternatif perlu membentuk asosiasi* agar lebih solid dalam melakukan advokasi sekaligus sebagai jembatan kolaborasi nasional dan internasional untuk upaya keberlanjutan. Asosiasi seperti ini bisa bermuara pada adanya dana yang berkelanjutan untuk jurnalisme media alternatif, dalam bentuk dana publik dari negara maupun dari pihak lain, termasuk kerjasama untuk pengembangan media alternatif. Dalam jangka pendek, riset ini merekomendasikan revisi pada Peraturan Dewan Pers No. 1 Tahun 2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers atau pembuatan Peraturan Dewan Pers baru, khusus pendataan perusahaan pers untuk media alternatif. Dalam hal ini perlu pembuatan klaster baru untuk media alternatif di luar klaster media umum. Melalui klaster ini, media alternatif yang mengusung jurnalisme berkualitas bisa mendapatkan status verifikasi dari Dewan Pers. Lebih jauh, setelah mendapat status terverifikasi, media alternatif berpeluang mengakses layanan penguatan kompetensi jurnalis dari Dewan Pers dan sharing revenue digital dari komite tanggung jawab platform digital untuk jurnalisme berkualitas. * Salah satu contohnya adalah Institute for Nonprofit News yang beranggotakan media nirlaba di Amerika Serikat dan negara-negara sekitarnya. 48 Adapun penjelasan ruang lingkup media alternatif diuraikan di bawah ini. Terdapat setidaknya tiga definisi terhadap media berbasis ruang redaksi kecil (small newsroom) yang berkembang di Indonesia dan dunia, yaitu media independen (independent newsroom), media alternatif (alternative media) dan nonprofit (not-for-profit journalism). Jika merujuk pada posisi ideologis dan karakter kontennya, maka terdapat dua model media jurnalisme di dunia: yaitu media alternatif dan media arus utama. Lebih jauh, merujuk beberapa literatur, karakter media alternatif dapat digambarkan berikut ini: Menurut Christian Fuchs (2010), media alternatif ada tiga jenis: 1. Alternatif karena berbasis komunitas tertentu (pem­ bacanya) 2. Alternatif karena sifat pendanaan dan pengelolaan yang non-profit dan merupakan media yang radikal secara kontennya 3. Alternatif dari segi newsroom dan platform digital (homeless) Lebih lanjut, ciri khas media alternatif dengan merujuk Fuchs (2010) dan Houston (2023) yang berkembang di platform digital melingkupi: 1. Mengutamakan konten berkualitas (quality news), bukan kuantitas berita yang diproduksi apalagi mengejar jumlah pembaca/traffic. 2. Struktur redaksinya kecil, mudah beradaptasi dengan digital dan inovatif dan kerapkali merupakan kolaborasi jurnalis-aktivis. 3. Dikelola komunitas/lembaga nirlaba, suatu antitesis 49 model kepemilikan pada model media arus utama yang konvensional-digital konglomerasi. 4. Strategi konten yang membongkar kesadaran publik, sebagai ruang kebebasan ekspresi atas marginalisasi suara warga dalam suatu negara. 5. Kerja jurnalistiknya berpola investigatif, mendalam, dan bagian dari kegiatan aktivisme demokrasi (slow, in-depth journalism). Di bawah ini adalah argumentasi dan draf usulan revisi Peraturan Dewan Pers No. 1/2023 untuk syarat verifikasi bagi media alternatif. 1. Argumentasi filosofis Kemerdekaan pers merupakan hak asasi manusia dan kegiatan jurnalistik (dengan penekanan pada kategori informasi yang mendalam, kritis, investigatif, dan melibatkan sebanyak mungkin warga negara–tidak terbatas pelaku bisnis menjadi keniscayaan). Upaya menjaga kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dalam suasana politik oligarkis menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk media alternatif. Keberadaan mereka harus mendapat perlindungan atas nama hak warga negara akan informasi berkualitas. 2. Argumentasi sosiologis Dalam iklim disrupsi digital berskala global dan pasca COVID-19, media komersial arus utama di Indonesia telah mengalami krisis manajemen dan keuangan yang bermuara pada krisis produksi berita. Media arus utama yang migrasi ke digital kemudian tersandera model bisnis berita digital yang click bait, sehingga cenderung menghasilkan fast news dengan kualitas yang rendah. Dalam situasi ini, peran media alternatif pengusung jurnalisme menjadi krusial sebagai pengisi ruang kosong layanan jurnalisme yang berkualitas bagi publik. 50 3. Argumentasi ekonomi Dalam ekosistem pers yang sehat, perlu keseimbangan antara perusahaan media yang bersifat profit dan non-profit, yang tidak hanya dikuasai oleh oligarki sebagaimana kecenderungan media arus utama di Indonesia saat ini. Tapi memberi peluang bagi pelaku usaha mikro dan kecil untuk menjalankan usaha pers yang bersifat pemberdayaan sosial dan independen dari kepentingan pemiliki modal (equality access to media business). 4. Argumentasi hukum Secara formal, keberadaan media jurnalisme alternatif dan perlindungan hukum terhadap media alternatif di Indonesia memiliki legitimasi kuat dari Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 3, yang berbunyi: (1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. (2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Pasal 3 di atas menunjukkan bahwa Pers sebagai perwujudan kedaulatan rakyat pada negara demokrasi setidaknya memiliki empat fungsi utama yakni: sebagai (1) media informasi, (2) pen­ didikan, (3) hiburan, dan (4) kontrol sosial, sebagaimana termaktum pada ayat 1. Meski demikian, UU Pers juga memberi kesempatan kepada perusahaan pers untuk dapat menjalankan fungsi sebagai lembaga ekonomi. Jika merujuk ketentuan tersebut, sudah semestinya perusahaan pers alternatif atau nirlaba yang telah menjalankan fungsi pertama dan keempat tapi tidak menjalankan fungsi bisnis juga mendapat pengakuan dan pendataan dari Dewan Pers. Namun jika merujuk pada Peraturan Dewan Pers No. 1 Tahun 2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers, perusahaan pers yang 51 dapat memenuhi syarat verifikasi cenderung perusahaan pers yang menjalankan fungsi bisnis saja. Selain itu, media alternatif pengusung jurnalisme berkualitas juga menunjukkan ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik, sebagai konsekuensi dari idealisme yang mereka bawa. Berdasarkan hasil FGD, survei, dan wawancara mendalam, dalam upaya menjamin agar media alternatif yang tidak layak bisa mendapatkan status verifikasi, maka terdapat kesepakatan terkait definisi media alternatif yang akan dimasukkan dalam usulan perubahan peraturan terkait pendaftaran perusahaan pers diuraikan di bawah ini: 1. Memproduksi karya jurnalisme berkualitas, yang memiliki ciriciri: a. melakukan pengawasan terhadap penguasa politik dan ekonomi, b. mengadvokasi hak asasi manusia, c. memperjuangkan kepentingan masyarakat, dan d. menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers. 2. Merupakan organisasi nirlaba, yaitu keuntungan ekonomi yang diperoleh tidak diberikan kepada pengurus, tetapi untuk operasional produksi berita. Tidak menerima pendanaan yang berasal dari iklan komersial, kecuali dari usaha kategori mikro dan kecil sesuai Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2021 , dan/atau dari pihak lain yang berpotensi memunculkan konflik kepentingan bagi kerja jurnalistik atau mempengaruhi independensi media alternatif. 3. Merupakan redaksi berskala kecil (small newsroom) yang dikelola oleh komunitas atau lembaga nirlaba dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Adapun syarat untuk bisa masuk ke dalam klaster media alternatif, adalah: 52 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Memiliki badan hukum sebagai media (dapat berbentuk Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, Perkumpulan, dan badan hukum lainnya), alamat, dan penanggung jawab media yang jelas. Memiliki stuktur redaksi sebagai media dan AD/ART, termasuk mencantumkan rencana dan praktik keberlangsungan ope­ rasional media. Menunjukkan bukti keteraturan terbit (menerbitkan karya jurnalistik setidaknya dua kali dalam sebulan melalui platform media apa pun) dalam enam bulan terakhir. Surat keterangan yang menunjukkan komitmen tidak menerima pendanaan yang berasal dari iklan komersial kecuali dari usaha kategori mikro dan kecil dan/atau pihak lain yang berpotensi memunculkan konflik kepentingan bagi kerja jurnalistik atau mempengaruhi independensi media alternatif. Memberikan laporan transparansi pendanaan atau keuangan dan audit keuangan jika mendapat dana dari donasi publik, APBN/D, atau sumbangan masyarakat. Memiliki pegawai tetap untuk mengelola keberlangsungan media. Pimpinan redaksi tertinggi telah memiliki sertifikasi wartawan utama yang diakses melalui uji kompetensi wartawan (UKW) secara gratis. 53 PENUTUP B uku berjudul Democracy without Journalism (Pickard, 2020) memberikan konteks penting ancaman runtuhnya jurnalisme berkualitas oleh tatanan bisnis media digital yang erat dengan kecepatan, clickbait, dan misinformasi. Pasca COVID-19 peran media arus utama menurun karena ada krisis manajemen. Disrupsi digital secara umum membawa dampak perubahan model bisnis berita, juga perubahan orientasi atas layanan berita. Di Indonesia, fenomena kepemilikan oligarkis dan aksi politisasi media arus utama menambah problem soal kepercayaan terhadap berita. Dalam situasi di atas, jurnalisme harus tetap diselamatkan sebagai pilar demokrasi. Sebut saja menyelamatkan jurnalisme digital. Ada dua cara: mendorong media publik berskala nasional seperti RRI/TVRI, atau mendorong alternatif media berskala lokal, kecil tapi kuat pada komitmen untuk mengusung genre jurnalisme kritis (Tofel, 2012). Jurnalisme (berkualitas) tidak mati tetapi berpindah platform, model bisnis, dan pelakunya. Kebebasan pers dan berekspresi adalah pilar demokrasi. Namun, keduanya tidak akan fungsional ketika jurnalisme tidak tumbuh secara sehat. Pilar keempat adalah media jurnalisme terutama dengan pola anjing penjaga. Dalam konteks ini, merawat jurnalisme investigasi, mendalam, dan kritis berarti merawat demokrasi, yang kini sedang sekarat. Dalam Pilpres 2024, media tersandera kepentingan jangka pandek: keberlanjutan ekonominya. Pagar api yang memisahkan antara ruang redaksi 54 dan ruang bisnis kian dilonggarkan, bahkan cenderung runtuh, sebagaimana temuan riset AJI Indonesia berjudul Kapasitas Jurnalis dalam Meliput Pemilu 2024 (Wendratama, et. al. 2024). Dalam konteks inilah, riset dan rekomendasi media alternatif mendapat relevansinya. Ia berada di level menyajikan data kebijakan untuk menjamin jurnalisme berkualitas yang pada lima tahun terakhir diwakili oleh media berita anti mainstream di platform digital. Ada Konde, Floresa, Independen, Jaring, Bale Bengong, Project Multatuli, dan lain-lain. Di belakangnya ada ratusan jurnalis idealis. Sebagai pendatang baru, media alternatif masih dipandang sebelah mata oleh industri media arus utama. Advokasi atas keberadaan mereka akan mendapat perlawanan diam atau terbuka karena menganggu kemapanan. Dalam situasi ini komitmen regulator sangat penting kepada kebebasan pers di atas. Proteksi terhadap media alternatif harus berupa produksi kebijakan, revisi regulasi atau apa pun yang menunjang ekosistem media jurnalisme nirlabat, di luar arus utama. Logika market failure juga harus dipakai. Jurnalisme komersial selamanya akan tidak berpihak pada publik sebagai warga negara. Riset ini menunjukkan kompleksitas agenda yang dihadapi pengelola, notabene jurnalis dan aktivis media alternatif. Legalitas jadi salah satu isu utama, di samping kemampuan teknis jurnalisme dan keberlanjutan media. Di tengah upaya memperoleh pengakuan legal, mereka menghadapi kekerasan fisik, digital, dan kekerasan struktural atas pemberitaan yang kritis kepada penguasa politik ekonomi. Kembali ke Picard (2020), perlu reformasi kebijakan mengatasi market failure dan policy inaction dalam sejarah media di Indonesia. PR2Media secara khusus menyampaikan rekomendasi jangka pendek dan panjang bagi Dewan Pers dan pihak terkait lainnya. 55 Kami tentu siap bergabung mengawal aksi lanjutan pada level pengambilan keputusan hingga penguatan ekosistem secara luas. Sejak berdiri tahun 2010 hingga usia 15 tahun PR2Media aktif mendorong reformasi atas regulasi media dari paradigma yang otoriter ke regulasi demokratik-partisipatif-pro publik. Terima kasih kepada Internews Indonesia, Mas Eric Sasono dan tim yang memberi kepercayaan PR2Media untuk melakukan studi ini. Terima kasih Ketua Dewan Pers Bu Ninik Rahayu yang mendukung penuh, para pengelola media alternatif selaku informan surveiwawancara mendalam, dan teman-teman pemangku kepentingan yang telah memberikan masukan terhadap rekomendasi riset ini. Terima kasih tim peneliti yang bekerja keras menyajikan data ini. Terima kasih para pembaca sekalian. 56 UCAPAN TERIMA KASIH PR2Media mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung dan berkontribusi terhadap pelaksanaan riset ini, yaitu: • Sepuluh perwakilan media alternatif yang telah membagikan pengalaman dan wawasan mereka untuk riset dan rekomendasi kebijakan ini. • Kepada para pemangku kepentingan yang telah memberikan masukan terhadap rekomendasi kebijakan ini melalui FGD, yaitu Mustafa Layong (LBH Pers), Fransisca Susanti (PPMN), Lusia Arumningtyas (AJI Indonesia) Christiana Chelsia Chan (Universitas Katolik Atma Jaya), Winarto (tenaga ahli Dewan Pers), dan Firmansyah Syamsi (Internews). • Kepada Internews yang telah memberikan dukungan terhadap pelaksanaan riset dan advokasi ini. 57 REFERENSI Undang-undang dan Peraturan Undang-Undang No. 1/2024 tentang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Undang-Undang No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Peraturan Presiden No. 32/2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas Peraturan Pemerintah No. 7/2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Peraturan Dewan Pers No. 1/2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers Buku, Jurnal, dan Artikel Australian Government. (2024). News media assistance program. Australian Government, Department of Infrastructure, Transport, Regional Development, Communication and the Arts. https://www.infrastructure.gov.au/media-communicationsarts/news-map Backhaus, B. (2024, December 17). The government is spending millions on news, but crucial community media remains underfunded. Theconversation.com. https://theconversation. 58 com/the-government-is-spending-millions-on-news-butcrucial-community-media-remains-underfunded-246123 Fuchs, C. (2010). Alternative media as critical media. European Journal of Social Theory, 12(2), 173–192. https://doi. org/10.1177/1368431010362294 George, J. J. & Leidner, D. E. From clicktivism to hacktivism: Understanding digital activism. Information and Organization, 29(3). https://doi.org/10.1016/j.infoandorg.2019.04.001 Herman, E. S., & Chomsky, N. (1998). Manufacturing consent: The political economy of the mass. Pantheon Books. Houston, B. (2023). Changing models for journalism: Reinventing the newsroom. Routledge. Karasová, E. (2023). Mainstream versus alternative media. Megatrends and Media. https://journals.indexcopernicus. com/api/file/viewByFileId/475358 KompasTV. (2021). Media ramai-ramai publikasi ulang reportase Project Multatuli. [Video]. https://www.youtube.com/ watch?v=rvdlASu2mOo Lim, M. (2012). The league of thirteen: Media concentration in Indonesia. Participatory Media Lab, Arizona State University. Masduki, Prastya, N., Anisa, D., dan Pambudi, W. (2024). Persma dalam bingkai gerakan Mahasiswa. Jurnal Dewan Pers, 52–68. https://dewanpers.or.id/assets/ebook/jurnal/2408230317_8_ Jurnal_Pers_vol_27_terbit_juli_2024.pdf Masduki., Utomo, W. P., Rahayu., Wendratama, E., Kurnia, N., Rianto, P., Aprilia, M. P., Zuhri, S., Edvra, P. A., Tristi. M. A., Paramastri, M. A., Adiputra, W. M., Suci, P. L. (2023). Kepemilikan dan afiliasi politik media di Indonesia. Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media). Masduki, Wendratama, E., & Suci, P. L. (2023). Aktivisme digital advokasi kebebasan pers di Indonesia: Studi di Jakarta dan Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia. 59 Masduki. (2023, May 2). How to save Indonesia’s independent media voices. Eco-business.com. https://www.eco-business. com/opinion/how-to-save-indonesias-independent-mediavoices/ Masduki. (2021). Media freedom and the safety of journalists in Southeast Asian: Indonesia. Public Media Alliance and UNESCO. McCoy, M. (2019). Scandal & democracy: Media politics in Indonesia. Cornell University Press. Murschetz, P. C. (2020). State aid for independent news journalism in the public Interest? A critical debate of government funding models and principles, the market failure paradigm, and policy efficacy. Digital Journalism, 8(6), 720–739. https://doi.org/10. 1080/21670811.2020.1732227 Nurhajati, L., Afrida, N. dan Nur Aini (2023). Kolaborasi menolak mati: Pemetaan kondisi media perempuan di Indonesia. Konde.co dan Google News Initiative. NZ On Air. (2024). About NZ On Air. NZ On Air. https://www.nzonair. govt.nz/about/ Pickard, V. (2020). Democracy without journalism? Confronting the misinformation society. Oxford University Press. Priyonggo, A., Haryanto, I., Pramadiba, I. M., Winaldi, I., Presianta, A. M. (2024). Lanskap & dampak digitalisasi terhadap model bisnis serta dinamika redaksi industri media di Indonesia. Dewan Pers. Requejo-Alemán, J. L., & Lugo-Ocando, J. (2014). Assessing the sustainability of Latin American investigative non-profit journalism. Journalism Studies, 15(5), 522–532. https://doi.or g/10.1080/1461670X.2014.885269 Scott, M., Bunce, M., & Wright, K. (2019). Foundation funding and the boundaries of journalism. Journalism Studies. 20(14), 2034– 2052. https://doi.org/10.1080/1461670X.2018.1556321 60 Sjøvaag, H., & Ohlsson, J. (2019). Media ownership and journalism. Oxford Research Encyclopedia of Communication. https://oxfordre.com/communication/ view/10.1093/acrefore/9780190228613.001.0001/acrefore9780190228613-e-839/version/0. Tapsell, R. (2015). Indonesia’s media oligarchy and the “Jokowi Phenomenon”. Indonesia, 99, 29–50. https://doi.org/10.5728/ indonesia.99.0029 Trere, E., & Kaun, E. (2021). Digital media activism: A situated, historical, and ecological approach beyond the technological sublime. In Digital roots: Historicizing media and communication concepts of the digital age (pp. 193–208). https://doi.org/10.1515/9783110740202-011 Wendratama, E., Masduki., Suci, P. L., & Rohmah, F. N. (2024). Kapasitas jurnalis dalam meliput Pemilu 2024. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Wiesand, A. (2016). Investigative Journalism. Investigative Journalism. In Weisand, Chainuglou, Simon (Eds.). Culture and human rights: The wroclaw commentaries. https://doi.org/ 10.1515/9783110432251-089. Welle, D. (2020). Media viability index. Deutsche Welle. Wuriani, N. U. (2021). Aktivisme tagar #percumalaporpolisi sebagai zeitgeist demokrasi siber di Indonesia. WACANA: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, 20(2), 171–183. https://doi.org/10.32509/ wacana.v20i2.1702 61 Dalam satu dekade terakhir, sejumlah media alternatif nirlaba telah muncul dan berkembang sebagai oase atas krisis jurnalisme berkualitas di Indonesia, melalui ikhtiar jurnalisme yang seindependen mungkin. Sebagai konsekuensi keberanian mengkritisi kekuasaan ekonomi dan politik, mereka rentan menerima serangan, kriminalisasi, dan diskriminasi hukum. Namun, mereka kesulitan memenuhi semua persyaratan pen­dataan perusahaan pers untuk mendapatkan status media terverifikasi dari Dewan Pers—sebagai jaminan perlindungan hukum yang lebih baik. Kendala tersebut bermuara dari kenyataan media alternatif memiliki redaksi dan sumber daya yang unik dan berskala kecil, tanpa campur tangan pemodal besar, yang sengaja mereka pilih sebagai upaya membangun dan mempertahankan independensi dalam jurnalisme. Buku ini berisi temuan riset tentang kondisi dan tantangan yang mereka hadapi, serta rekomendasi supaya media alternatif bisa men­ dapatkan perlindungan hukum yang dibutuhkan dan dukungan untuk keberlanjutan mereka. Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) adalah pusat riset, publikasi, advokasi kebijakan yang berdiri pada 14 Juni 2010, bersamaan dengan peluncuran buku hasil riset pertama berjudul Pelarangan Buku di Indonesia. PR2Media adalah lembaga non-profit yang percaya bahwa indikator negara yang demokratis tercermin dari terdapatnya jaminan kemerdekaan berekspresi, berbicara dan kemerdekaan pers, yang disertasi jaminan terhadap diversity of voices, diversity of media content and ownership. Indonesia masih menghadapi masalah regulasi media yang belum menjamin kebebasan berekspresi dan regulator media yang secara formal independen tetapi belum memenuhi mandatnya dengan baik.