Uploaded by Keo LAA

Perlindungan Hukum Media Alternatif di Indonesia

advertisement
Masduki • Engelbertus Wendratama • Rahayu • Putri Laksmi Nurul Suci
Perlindungan Hukum
Media Alternatif
di Indonesia
Riset dan Rekomendasi Kebijakan
Masduki
Engelbertus Wendratama
Rahayu
Putri Laksmi Nurul Suci
2025
Perlindungan Hukum Media Alternatif di Indonesia:
Riset dan Rekomendasi Kebijakan
Penulis : Masduki
Engelbertus Wendratama
Rahayu
Putri Laksmi Nurul Suci
Diterbitkan oleh:
Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media)
Jl. Lempongsari Raya, Gg. Masjid RT 9/RW 37 No. 88B
Jongkang Baru, Sariharjo, Sleman, DIY, 55581
Email: kontak.pr2media@gmail.com, office@pr2media.or.id
Edisi pertama: Januari 2025
Rekomendasi pengutipan:
Masduki, Wendratama, E., Rahayu, & Suci, P. L. (2025). Perlindungan Hukum
Media Alternatif di Indonesia: Riset dan Rekomendasi Kebijakan. Yogyakarta:
PR2Media.
Penelitian ini terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID.
Isinya adalah tanggung jawab PR2Media dan tidak mencerminkan pandangan
Internews, USAID, maupun Pemerintah Amerika Serikat.
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit.
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR – TABEL .....................................................
vi
KATA PENGANTAR ...................................................................
vii
PENGANTAR PENULIS ............................................................... viii
RINGKASAN EKSEKUTIF ..........................................................
1
PENDAHULUAN .........................................................................
Tujuan Riset ..........................................................................
Metode Riset ........................................................................
4
5
5
TEMUAN RISET ........................................................................
A. Kajian Atas Persyaratan Dewan Pers ...............................
B. Independensi Redaksi .....................................................
C. Sumber Daya Keuangan ..................................................
D. Kebutuhan akan Verifikasi Dewan Pers ...........................
E. Ruang Lingkup Media Alternatif .....................................
F. Rekomendasi Kebijakan ..................................................
12
12
28
31
42
44
47
PENUTUP ..................................................................................
54
UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................
57
REFERENSI ................................................................................
58
iii
DAFTAR GAMBAR – TABEL
GAMBAR
Gambar 1. Tangkapan Layar Laporan Konde.co ........................
Gambar 2. Laporan Audit Konde.co ..........................................
Gambar 3. Donasi Publik Floresa ..............................................
Gambar 4. Penggalangan Dana Suara Kita ................................
Gambar 5. Pemasangan Iklan di Bincang Perempuan ...............
Gambar 6. Donasi Bincang Perempuan ....................................
Gambar 7. Iuran Keanggotaan Project Multatuli ......................
34
35
36
37
38
39
40
TABEL
Tabel 1. Kondisi Struktural Media Arus Utama
dan Media Alternatif ................................................... xxiii
Tabel 2. Profil Media Alternatif yang Berpartisipasi
dalam Survei ................................................................
7
Tabel 3. Syarat Pendataan Perusahaan Pers ............................. 13
Tabel 4. Sumber Daya Keuangan Media Alternatif ................... 32
Tabel 5. Perbedaan Media Alternatif dan
Media Arus Utama ....................................................... 45
iv
KATA PENGANTAR
M
edia alternatif di Indonesia saat ini menjadi pilar penting dalam
menjaga keberagaman informasi dan mendukung demokrasi. Di
tengah dominasi media arus utama yang sering kali terjebak dalam
klikbait dan kepemilikan oligarkis, media alternatif menawarkan
jurnalisme yang kritis dalam format jurnalisme investigatif, dan
liputan mendalam. Mereka hadir bukan semata sebagai medium
penyebar informasi, dan tidak berlebihan jika disebut sebagai ruang
perjuangan untuk mengangkat suara-suara yang terpinggirkan dan
menyuarakan ketidakadilan.
Namun, keberadaan media alternatif di Indonesia hari ini tidak
terlepas dari tantangan besar. Beroperasi dalam kondisi yang serba
terbatas, mereka menghadapi tekanan dari berbagai arah: kekerasan
fisik dan digital, kriminalisasi, serta hambatan administratif untuk
mendapatkan pengakuan hukum. Dalam ekosistem media yang
semakin tergantung pada kapital dan algoritma digital, media
alternatif terus berjuang untuk bertahan tanpa mengorbankan
prinsip independensi.
Media alternatif berperan penting dalam menciptakan ruang
informasi yang lebih adil dan inklusif. Mereka mendorong jurnalisme
berkualitas di tengah krisis kepercayaan terhadap media arus
utama. Dengan memprioritaskan isu-isu seperti hak asasi manusia,
keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan atau keadilan gender,
media alternatif memainkan peran strategis dalam memperkuat
v
fungsi kontrol sosial yang seharusnya menjadi inti dari kebebasan
pers.
Namun, tanpa dukungan regulasi yang memadai, media
alternatif berada dalam risiko. Sampai saat ini, UU Pers di
Indonesia masih memprioritaskan pada organisasi pers dalam
bentuk perusahaan yang secara alamiah dibentuk untuk mencari
keuntungan. Bentuk organsasi pers berbentuk non-profit mengalami
kesulitan untuk bisa memenuhi kriteria yang ditetapkan untuk
verifikasi oleh Dewan Pers. Padahal verifikasi ini cukup penting bagi
organisasi pers, terutama untuk bisa mendapat perlindungan dan
kepastian hukum.
Untuk itu Internews mendukung PR2Media (Pemantau
Regulasi dan Regulator Media) untuk melakukan riset guna
menggali lebih dalam bagaimana media alternatif ini beroperasi.
Riset ini diharapkan bisa melihat operasi media alternatif dari
dalam untuk membandingkannya dengan kriteria yang di­
bu­
tuhkan untuk mendapatkan verifikasi dari Dewan Pers, serta
untuk mengidentifikasi lebih jauh dukungan-dukungan apa yang
dibutuhkan.
Laporan ini menawarkan jawaban atas tantangan-tantangan
yang ada, dengan memberikan rekomendasi konkret untuk me­
lindungi dan memperkuat media alternatif. Regulasi yang adaptif
dan ekosistem yang mendukung bukan hanya kebutuhan, tetapi
keharusan untuk menjamin keberlanjutan jurnalisme independen.
Dukungan terhadap media alternatif tidak hanya berarti
melindungi hak atas kebebasan berekspresi, tetapi juga memastikan
akses publik terhadap informasi yang berkualitas. Dalam jangka
panjang, penguatan media alternatif akan menjadi investasi bagi
demokrasi yang sehat, di mana semua pihak memiliki ruang untuk
bersuara dan didengar.
Kami berharap laporan ini tidak hanya menjadi referensi
akademik, tetapi juga menjadi panduan kebijakan bagi para
vi
pembuat keputusan. Dengan memperhatikan rekomendasi yang
disampaikan, kita bersama-sama dapat menciptakan ekosistem
media yang lebih inklusif, independen, dan berorientasi pada
kepentingan publik.
Eric Sasono
Direktur Internews di Indonesia
vii
PENGANTAR PENULIS
Mengapa Indonesia Memerlukan Media Alternatif?
S
ebuah artikel bertajuk How to save Indonesia’s independent
media voices (Masduki, 2023) menyebutkan adanya dualisme
kontradiktif yang dihadirkan oleh platform digital bagi kegiatan
jurnalistik, terutama yang dikelola media alternatif di Indonesia.
The digital revolution can be seen as either a gift or a disaster.
It brings more transparency, ensures equality of voices in
public debate, allows almost anyone to own an outlet or
become a journalist without economic and geographical
constraints, and has less bureaucracy of news production. It
has, however, loosened stringent demands for high journalistic
skills and opened up political-economic control over the social
and political behaviour of its users, including journalists, being
overseen by giant forces from both government and global
corporations with vested interests.
Artikel ini menegaskan adanya ancaman serius dari segi
pendanaan—di samping soal legalitas—terhadap media alternatif
pengusung jurnalisme berkualitas, dan pentingnya peran negara
melakukan mitigasi, melalui Dewan Pers.
viii
The media face more battlefronts, especially with money.
The public has little idea of how much quality news costs to
produce. The lack of funding puts quality journalism and the
economic wellbeing of journalists at risk. Platforms such as
Facebook and Google cannot be controlled by Indonesian
news corporations. With not-for-profit journalism, which relies
on idealists and volunteers, in danger of being unsustainable,
government intervention (or crowdfunding and corporate
donations) is key to maintain quality journalism for the public
good.
Berangkat dari persoalan manajerial keuangan di atas,
problematika media alternatif di Indonesia sesungguhnya lebih
kompleks. Secara historis terdapat politik dikotomi media dan
berlanjut kepada diskriminasi hukum sebagai risiko pilihan
kebijakan neoliberalisme dalam pers Indonesia. Tulisan ini di­
maksudkan sebagai pengantar konseptual dan kontekstual untuk
para pembaca sekalian, sebelum mencermati haril riset yang
bertajuk: perlindungan hukum media alternatif di Indonesia yang
disajikan buku ini.
Krisis Media Arus Utama
Media berita secara global tercatat sebagai sektor yang mengalami
krisis terus menerus baik oleh bencana ekologis, kesehatan maupun
krisis politik (Scott, Bunce, Wrigt, 2019). Prakarsa menyelamatkan
media dari krisis berkepajangan misalnya antara lain tersimpul
dalam dokumen bernama: media viability index (MVI), yang
diterbitkan Deutsche Welle (DW) di Jerman pada tahun 2020. MVI
ini didukung oleh UNESCO dan diharapkan menjadi indikator untuk
mengukur keberlangsungan media secara umum, dan jurnalisme
secara khusus sebagai entitas bisnis dan sosial. Dua nilai utama
ix
yang diusung indeks DW adalah keberlangsungan (secara bisnis)
dan reputasi (institusi) media di publik. Kedua nilai ini saling
berpengaruh dan menentukan masa depan media.
Mengapa media jurnalisme penting? Dalam sistem politik
demokratis, media massa memiliki fungsi sosial sebagai ruang
publik (public sphere) untuk mendiskusikan berbagai isu ke­
publikan. Fungsi ini diwujudkan melalui berita yang berkualitas
dan kolom komentar publik yang terbuka dan setara di media.
Produk utama media adalah berita dan peran paling kunci dari
berita adalah melakukan kontrol terhadap kekuasaan agar tidak
terjadi penyimpangan. Dengan kata lain, media menjadi bagian
dari masyarakat sipil yang berperan membentuk opini perubahan.
Peran ini hanya bisa dimainkan oleh media yang modal produksinya
berasal dari kemitraan dengan pihak yang peduli terhadap investasi
pengetahuan.
Pasca COVID-19 dan disrupsi digital, terjadi krisis pendapatan
keuangan media arus utama dan berdampak pada krisis produksi
berita. Krisis terjadi pada jantungnya: biaya produksi dan diseminasi
berita. Akibat efisiensi, produk jurnalistik berkualitas yang
berbiaya tinggi mengalami pengurangan bahkan tersingkir. Upaya
pemerintah untuk memberi subsidi terhadap media berita masih
terbatas dan memiliki risiko politik tinggi. Memperhatikan kondisi
ini, nasib media dan jurnalisme media arus utama di ujung tanduk.
Analisis ekonomi politik Herman dan Chomsky (1988)
menyebutkan adanya firewall (dinding api) antara ruang redaksi
dan ruang bisnis. Herman dan Chomsky (1988) secara kritis
melihat faktor bisnis atau sumber dana membentuk karakter
berita, termasuk keputusan untuk liputan investigasi atau meng­
hindarinya. Dalam konteks ini, sumber dana dan bagaimana
gambaran ideologi politik pemberi dana menjadi faktor yang
harus dicermati. Mencermati model bisnis jurnalisme dalam era
kompetisi pasar terbuka, pemasang iklan memengaruhi konten
x
media. Di sektor media non-profit, lembaga-lembaga filantropi
berskala internasional dan nasional adalah aktor yang potensial
memengaruhi redaksi.
Isi media akan identik atau mencerminkan hasrat para
penyuplai ongkos produksinya. Apabila dana media bersumber dari
iklan suatu korporasi besar, maka berita yang muncul akan sangat
ramah kepada perusahaan pemasang iklan tersebut. Sebaliknya,
jika media jurnalisme mencoba berpijak pada iuran publik, donasi,
atau pelanggan, maka beritanya akan cenderung berorientasi
kepada pelayanan kepentingan publik yang mendukungnya.
Di Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir, muncul dua arus
kerja jurnalisme investigasi. Arus pertama diwakili oleh majalah dan
koran Tempo sebagai media komersial yang mengandalkan iklan
dan kemitraan komersial sebagai pilar pendanaan. Grup Tempo
juga memproduksi berita rutin sebagai penyeimbang layanan
jurnalisme investigasi, menggelar kegiatan penunjang seperti
pelatihan dan layanan database dan podcast untuk memperkuat
pendanaan. Tempo mewakili model korporasi komersial yang
memiliki jangkauan pembaca meluas, memiliki reputasi panjang
sebagai media berita dan dikelola jurnalis profesional. Arus kedua
diwakili pegiat media alternatif berbasis digital seirama dengan
tumbuhnya pengguna media internet dan sosial media di Indonesia.
Mereka antara lain dimotori Watchdoc sebagai perusahaan mikro/
start up penyedia video investigasi. Disusul kemudian antara lain
oleh Konde.co, Jaring.id, dan Project Multatuli. Mereka mewakili
model non-profit, dikelola para jurnalis-cum aktivis dan terhubung
dengan lembaga internasional.
Secara umum setelah UU Pers berusia lebih dari 25 tahun, belum
ada perubahan pada struktur kepemilikan dan isi media arus utama.
Bahkan memasuki era berita berbasis digital, pemberitaan yang
diwarnai polarisasi politik kebijakan, disinformasi, dan pemberitaan
informasi yang insinuatif masih tinggi. Salah satu problem besar
xi
yang terancam dari situasi ini adalah krisis jurnalisme berkualitas,
jurnalisme yang memberikan pencerahan, advokasi kebijakan dan
kontrol kekuasaan koruptif. Krisis jurnalisme berkualitas dipicu
oleh krisis korporasi media arus utama yang sebelumnya selama
puluhan tahun rutin menyuguhkan berita mendalam dan kritis.
Misalnya krisis keuangan yang dihadapi oleh Majalah Tempo, Koran
Tempo, Jakarta Post, dan Kompas. Pada saat pandemi, krisis ini
dilipatgandakan dengan krisis keamanan pekerja pers dari inveksi
virus COVID-19. Dalam riset Masduki yang disponsori UNESCO dan
Public Media Alliance (2021) yang berbasis di London, ditemukan
bahwa lebih dari 70% korporasi media mengalami krisis, 40% lebih
mengurangi jumlah karyawan, gaji bulanan, dll.
Selanjutnya, pagar api yang dijaga jurnalis idealis runtuh
oleh hasrat komersialisasi yang ekstrem terhadap berita. Berita
sepenuhnya menjadi produk komersial, bergeser dari fungsi sebagai
public good menjadi commercial good bahkan political good.
Sejumlah jurnalis idealis tidak nyaman atas situasi ini, memilih
keluar untuk bekerja secara independen, yang kemudian menjadi
motor media berita alternatif. Terdapat konflik kepentingan dalam
ruang redaksi media: politik, ekonomi dan publik. Media arus
utama komersial akan selalu meyakini bahwa intervensi politik dan
ekonomi dari pemiliknya sebagai hal yang wajar. Adapun redaksi
media alternatif akan selalu memisahkan antara kepentingan
redaksi (publik) dan aspirasi politik jurnalis atau pengelola redaksi
lainnya. Dalam sejarah politik kontemporer Indonesia, pernah
terjadi keberpihakan Jakarta Post secara terbuka ke Joko Widodo
(2014) dan dukungan terbuka Washington Post kepada calon
Presiden Barrack Obama.
Struktur mental/kognisi para profesional media arus utama
di ranah digital cenderung pragmatis. Konsep pagar api dalam
redaksi jurnalisme, berupa pemisahan yang jelas antara marketing,
newsroom dan kepemilikan yang mirip konsep fair doctrine dalam
xii
dunia penyiaran nyaris tidak lagi berlaku jurnalisme dalam era
digital dan dalam sistem pers yang liberalistik selalu memiliki
dua sisi. Pertama, ia adalah produk informasi kepentingan publik,
memiliki misi sosial dan misi kontrol atas praktik ekonomi dan
politik tertentu. Kedua, ia adalah kerja produksi informasi yang
bernilai bisnis, bagian dari industri kreatif penopang kehidupan
ekonomi pekerja profesional. Selain soal kognisi, teknologi digital
juga memengaruhi kinerja berita media arus utama. Pada awalnya,
berita yang tersaji di platform media konvensional adalah produk
jurnalisme dengan idealisme tinggi. Namun, model produksi dan
diseminasi yang pendek dan cepat di platform digital menggerus
segalanya.
Media ‘Alternatif’ Tapi Mutlak
Kita semua meyakini bahwa jurnalisme tidak akan mati. Kematian
hanya terjadi pada platform tradisionalnya. Regenerasi jurnalisme
justru terjadi ketika disrupsi digital memunculkan aktor dan
ekosistem baru. Faktor yang memengaruhi merupakan determinasi
teknologi digital. Dalam kerangka pikir ini, muncul jurnalisme
konvensional dan digital. Nah, jurnalisme digital yang kini semakin
menggeser jurnalisme konvensional telah melahirkan puluhan
media alternatif digital baru yang merujuk Fuch (2010) sebagai
tipe redaksi kecil (small newsroom) dengan genre jurnalisme yang
mengadvokasi publik.
Jurnalisme digital dalam pengertian di sini adalah aktivitas
produksi dan diseminasi informasi jurnalistik, yang menggunakan
berbagai platform berbasis internet. Internet membantu jurnalis
mampu membuat berita secara cepat, menjalin perencanaan
dan evaluasi berita secara partisipatif. Lebih penting lagi, internet
membuat informasi jurnalisme menjadi efisien dalam produksi dan
distribusi. Survei Katadata (2021) menyebutkan pengguna intenet
xiii
di Indonesia mencapai 196,7 juta, atau hampir 70% penduduk.
Penetrasi internet mencapai 72% kawasan Indonesia. Mereka
adalah konsumen aktual dan potensial dari bisnis jurnalisme digital
di Indonesia.
Adalah pers mahasiswa sebagai salah satu media alternatif
turut merespons fenomena digital dengan perlahan melakukan
migrasi dari platform konvensional, seraya terus menjalin dengan
gerakan sosial dalam platform atau aktivisme digital. Masduki,
dkk. (2024) mencatat, pasca 2016 sampai 2024, saat internet
menjadi semakin masif, gerakan mahasiswa jalanan dan persma
berkolaborasi lagi menyuarakan isu-isu yang luput diberitakan
media arus utama yang cenderung memuat informasi monolitik dan
monopolistik. Kesadaran tidak dapat melawan modal konglomerasi
media arus utama, membuat persma memilih jalur perlawanan
baru lewat media sosial dan media online, dengan spirit kritik sosial
yang tak berubah. Misalnya di Medan, persma menyuarakan isu
keberagaman identitas.
Secara umum, model bisnis (istilah ini tidak harus identik
dengan usaha komersial) jurnalisme apa pun selaras dengan model
bisnis layanan pada umumnya. Antara lain dari sektor pendanaan
dapat dibagi menjadi dua: Pertama, bersifat profit atau melekat
sebagai usaha media dengan berita sebagai produk komoditas yang
dijual kepada audiens selaku konsumen. Model klasik ini masih
bertahan hingga sekarang.
Kedua, model bisnis non-profit yang jika merujuk Lugo dan
Aleman (2014) tumbuh subur di Amerika Latin. Mendasarkan studi
pada fenomena intervensi berbagai lembaga donor internasional
terhadap praktik jurnalisme di Amerika Latin, kedua penulis melihat
fenomena yang diklasifikasi sebagai ‘non-profit investigative
journalism agency’ dari beberapa aspek: bagaimana proses pen­
diriannya, bagaimana media media ini memperoleh pendanaan
publik, bagaimana proses kerja jurnalistik dan editorial di redaksi
xiv
sebagai model baru dalam produksi berita mendalam. Peluang
keberlanjutan media ini tergantung inisiatif menyajikan produk
jurnalisme berkualitas sebagai pilar demokrasi sebuah negara.
Diskursus akademik menyoroti problematika pola relasi antara
media media non-profit yang umumnya dikelola para aktivis
dan jurnalis dengan organisasi nasional dan internasional yang
mendukung pendanaan jurnalisme serta model kemitraan yang
terjalin. Studi yang dilakukan Scott, Bunce, dan Wright (2019)
menemukan yayasan swasta lintas negara dan lintas ideologi politik
tercatat menjadi sumber pendanaan penting bagi produk jurnalistik
non-profit di berbagai belahan dunia. Mereka menjadi pemberi
solusi jangka pendek bagi keberlanjutan jurnalisme mendalam,
dengan lembaga non-profit sebagai kolaborator utamanya.
Namun para peneliti juga mencatat, yayasan ini membawa misi
yang berisiko pada pilihan isu dan pola pikir pekerja jurnalisme
investigasi. Dampaknya tidak hanya pada otonomi jurnalistik itu
sendiri, tetapi keseluruhan budaya kerja (boundary work) pekerja
media terutama sikap politik mereka sebagai warga negara. Scott,
Bunci dan Wright misalnya menegaskan masih kuatnya pengaruh
lembaga donor internasional terhadap pola pikir awak redaksi yang
mendikte bentuk jurnalisme tertentu atau isu yang diangkat oleh
redaksi media.
Intinya, media alternatif yang bercirikan partisipasi publik
perlu steril dari pendanaan eksternal non-publik di satu sisi,
dan perlu dukungan perlindungan hukum holistik (pendataan,
pendanaan, dll.) terutama karena perannya menyediakan
informasi publik. Media berita secara umum mengelola kerja
jurnalistik termasuk berita investigasi yang kini identik dengan
media alternatif. Jurnalis selalu bertugas mengumpulkan, menulis,
mengedit, dan menerbitkan berita, atau melakukan penelusuran
panjang terhadap sebuah kasus yang memiliki kejanggalan politik.
Selain itu, investigasi merupakan penelusuran kasus yang kerap
xv
dirahasiakan, menyangkut reputasi dan perilaku politik ekonomi
pejabat publik di sebuah negara. Dapat disimpulkan, investigasi
oleh media alternatif adalah kerja berbiaya tinggi, waktunya
panjang, dan berisiko. Kegiatan ini tak hanya melibatkan jurnalis,
tetapi sumber berita whistleblower dan bahkan aparat keamanan
serta para korban (Wiesand, 2016).
Investigasi sebagai pola kerja mempunyai ciri yang tidak sama
dengan jurnalistik pada umumnya, karena investigasi memiliki
keharusan untuk menyelidiki dan membuktikan lebih mendalam
tentang kebenaran atau kesimpulan sementara (disebut juga
dengan istilah hipotesis) terhadap fenomena kejahatan ekonomi
dan politik, suatu kasus publik yang sedang atau diasumsikan
terjadi dengan memakai teknik yang dari segi konsekuensi logis,
emosional dan lainnya hampir setara dengan cara kerja seorang
intelijen. Mengingat pada jurnalisme investigasi seorang jurnalis
dituntut untuk memerankan diri sebagai bagian dari sebuah
kelompok atau organisasi yang diselidiki serta sangat hati-hati
dalam segala hal, maka kondisi rentan yang tidak diiinginkan oleh
jurnalis dapat terjadi.
Peneliti sepakat dengan pandangan Karasova (2023) bahwa
media alternatif secara ekonomi politik berbeda dengan media arus
utama. Media alternatif memiliki orientasi layanan komunitas publik
yang kuat, tanpa pamrih, dan keberadaannya terhubung dengan
masyarakat sipil sektor demokrasi komunikasi. Media alternatif
bersifat radikal dalam penyediaan konten, ada model partisipasi
yang melibatkan korban sebagai subjek, model pengambilan
keputusan redaksi yang lebih setara, egaliter, berperspektif gender.
Media alternatif bersikap kritis atau critical media organization,
yang mencakup praktik citizen journalism, grassroot media and
alternative content distribution. Sementara itu, redaksi media arus
utama cenderung elitis, birokratis, berorientasi kepada propaganda
pemasaran komersial.
xvi
Jurnalisme berkualitas adalah oksigen bagi masyarakat di
tengah pandemi. Ketika media sosial dan media arus utama yang
masih eksis terjebak pada publikasi click bait news, maka media
jurnalisme alternatif sangat dibutuhkan. Ciri khas berita berkualitas
yang dikerjakan media alternatif antara lain pemeriksaan fakta (fact
checking) dan liputan mendalam (indept-news). Kebijakan negara
yang mendorong keberlangsungan jurnalisme berkualitas secara
permanen sangat diperlukan, bukan hanya untuk memastikan
adanya subsidi negara atas nama public good, tetapi agar
mekanisme pemberian subsidi dan bentuknya tidak mencederai
prinsip independensi media alternatif itu sendiri.
Politik Dikotomi Media Jurnalisme
Politics over media and journalism merujuk Hallin dan Mancini
(2004) kiranya menjadi penjelas bagi munculnya beragam wacana
sloganistik dalam pers Indonesia sejak era kolonial Belanda hingga
sekarang. Misalnya, muncul beragam wacana di kalangan akademik
dan para profesional pers untuk menegaskan genre atau peran
sosial politik tertentu dari media pers. Ada istilah: pers perjuangan,
pers Pancasila yang cenderung heroik dan nasionalistik. Di sisi lain,
muncul istilah pers partisan dan/atau pers alternatif yang berangkat
dari upaya kritik. Intinya, ada perang wacana terkait posisi ideologis
pers, dari kiri ke kanan. Dalam kasus media alternatif, terdapat
dua arus pemikiran: alternatif sebagai pilihan layanan dalam
suatu praktik bisnis dan alternatif sebagai bentuk perlawanan
atas hegemoni oligarki. Ada kompetisi arah kebijakan dari liberal
(pembiaran media berkompetisi terbuka) ke arah demokrasi sosial
yang meminta tanggungjawab para pihak khususnya Dewan Pers.
Politik dikotomis di atas dan kompleksitas yang menyertainya
sejalan dengan dua hal yang kontradiktif. Pertama, potret
demografis dan geopolitik Indonesia sebagai nusantara, bhinneka
xvii
atau negara yang bersifat pluralistik, disertai sejarah panjang
sebagai rezim politik pasca kolonial dan pasca otoriter. Kedua,
politik monoloyolitas yang diterapkan Soeharto di era Orde Baru.
Rezim Soeharto hanya mengakui media pendukung pembangunan,
termasuk dengan cara memberi ruang bagi media komersial dengan
fokus kepada layanan hiburan bukan berita politik. Media alternatif
yang kritis terhadap pembangunan akan dikebiri, dilakukan represi
dan dianggap ilegal secara hukum. Diskriminasi hukum dan politik
yang berlawanan dengan semangat kultural pluralisme di atas
berlanjut hingga sekarang.
Di era kolonial Belanda, sejarah dualisme media sudah
bermula, antara media yang pro kolonial dan anti kolonial, diwakili
kelompok radio NIROM milik pemerintah Belanda vs. SRV yang
dikelola pribumi di Solo dan Jawa pada umumnya. Di era demokrasi
terpimpin Presiden Soekarno, berkembang dualisme antara pers
partisan atau media yang terafiliasi ke partai politik dengan media
yang dikelola independen seperti koran Indonesia Raya. Pada era
Orde Baru, Soeharto menjadikan RRI dan TVRI sebagai media resmi
pemerintah, berhadapan dengan radio swasta dan radio komunitas
yang berbasis warga. Dikotomi media publik dan media pemerintah
mengemuka dalam perdebatan UU Penyiaran hingga disahkan
tahun 2002. Sejalan dengan ini, muncul televisi yang hanya fokus ke
layanan hiburan berupa sinetron dan film dan munculnya televisi
berita seperti Metro TV dan TVOne.
Dalam sejarah media perlawanan sosial, muncul pers
mahasiswa sebagai antitesis pers arus utama. Keduanya mewakili
dua model kepemilikan, peran, orientasi dan pendanaan yang
kontradiktif: kampus vs non-kampus, pro-kapitalisme media vs
sosialisme. Pers yang dikelola mahasiswa ini sejalan dengan prinsip
pers atau media alternatif, yang menjadi fokus bahasan laporan
riset ini. Pasca reformasi politik 1998, posisi pers mahasiswa
sebagai media alternatif meredup, digantikan atau beralih rupa
xviii
dengan media berita berbasis digital yang dikelola alumni pers
mahasiswa dan jurnalis idealis. Kedatangan media sosial yang
egaliter menandai “musim semi” media alternatif berbasis platform.
Namun, perayaan atas layanan digital yang bebas dan terbuka
menghadirkan dua model jurnalisme yang juga kontradiktif: Fast/
click journalism vs. Slow/deep journalism. Perlahan tetapi pasti,
fast/click journalism lebih dominan karena didukung algoritma
digital yang pro komersialisme pers.
Urgensi melindungi media alternatif—secara historis—
adalah upaya merawat sejarah panjang pers perlawanan dan
pers perjuangan di Indonesia. Dalam struktur pers yang sehat,
upaya menjaga dualisme model seperti digambarkan di atas. Ini
sejalan merawat prinsip universal pluralisme media (adanya media
komersial, media alternatif, dll.) yang diperlakukan secara setara.
Pasca Orde Baru runtuh tahun 1998, patut diakui di Indonesia terjadi
hegemoni komersialisme dalam struktur media. Media komersial
mendominasi ruang publik, disertai aksi politisi ruang redaksi
yang menggerus kualitas berita. Riset PR2Media (2024) terkait
kepemilikan dan afiliasi politik media di Indonesia menggambarkan
dengan mendalam situasi ini disertai rekomendasi kebijakan yang
diperlukan ke depan. Jika Indonesia ingin menjaga demokrasi
khususnya media dan jurnalisme yang sehat, maka reformasi
kebijakan diperlukan, dengan pendekatan afirkasi, pengakuan
kembali media alternatif.
Lebih jauh, riset penulis tahun 2021 terhadap kekerasan yang
dialami jurnalis dan media alternatif di Indonesia menemukan
relasi yang kuat antara media alternatif dan gerakan aktivisme
di ruang digital dalam bentuk reaksi balik. Tiga kasus: peliputan
peristiwa tambang Wadas, Purworejo Jawa Tengah oleh jurnalis
di Yogyakarta, kekerasan digital yang diikuti perlawanan dalam
kasus Project Multatuli dan peretasan akun media sosial Sasmito
Madrim, menjadi contoh menarik fenomena aktivisme digital
xix
yang terhubung dengan gerakan kebebasan pers lewat media
alternatif. Ada medan yang saling terkait dan selaras: kekerasan
atas jurnalistik dan media jurnalistik alternatif yang memakai ranah
digital: seperti hacking, bulliying akan disusul aksi perlawanan
atas kekerasan itu sendiri dalam pola pikir digital: mobilisasi warga
digital dengan karakteristik yang meluas, metode re-share, poster
digital, republikasi, memakai media digital dan cara cara kerja
aktivisme lintas sektor yang dilakukan warga urban dimana media
digital menjadi wadah yang fleksibel.
Merujuk pada Trere dan Kaun (2021), terjadi dua fenomena
penting. Pertama, hibrida aktivisme media digital dan diteruskan/
diselaraskan dengan aktivisme offline dalam upaya mengejar
tatget khalayak dan engagement yang lebih luas. Kedua, integrasi
kerja dan pola pikir yang melingkupi aktivisme sebagai komitmen
perubahan sosial, dengan gerakan sosial (social movement) secara
luas melalui media alternatif. Perbedaannya terletak pada media
digital sebagai pusat aktivisme, bukan lagi media konvensional.
Merujuk George dan Leidner (2019), dalam aktivisme digital di
media alternatif ada fenomena spectator: partisipan dan penggagas
aktivisme terlibat dalam kegiatan clicktivism, metavoicing dan
assertion, ketika partisipan dan pengelola media mengembangkan
kegiatan yang lebih sistematik, seperti petisi digital bersama,
botivism dan penggalangan dana untuk keberlangsungan aktivisme.
Riset tersebut juga menemukan model gladiatorial: pengelola
media selaku korban sekaligus aktivis, melibatkan jejaring dalam
kegiatan yang terorganisir, dalam format pernyataan publik kolektif,
seruan publik di ranah digital.
Diskriminasi Hukum Media Alternatif
Situs Konde.co yang aktif memberitakan isu kekerasan seksual
terhadap perempuan, tercatat mengalami peretasan pada 25
xx
Oktober 2022. Peristiwa ini menyusul pemberitaan media itu tentang
kasus perkosaan yang melibatkan oknum pejabat Kementerian
Koperasi dan UKM di Jakarta. Konde mengalami serangan kategori
DDoS (distributed denial of service), suatu aktivitas penghentian
paksa layanan konten dari host ke jaringan internet sehinga tidak
bisa diakses publik. Ini kasus DDoS kedua bagi situs Konde.co
sejak beroperasi tahun 2016. Dua pekan sebelumnya, situs berita
Narasi juga mengalami hal serupa. Narasi tidak hanya mengalami
DDoS tetapi akun digital milik jurnalisnya mengalami peretasan
dan surveillance. Situs jurnalisme digital semakin menjadi sasaran
serangan, bukan lagi media konvensional atau televisi terrestrial.
Jurnalisme yang beroperasi pada platform digital rawan peretasan.
Patut dipahami, landskap media digital di Indonesia sejak 2000
tanpa regulasi yang memadai. Dalam situasi ini, berbagai platform
pengusung konten berita bisa saja lahir dari siapa pun dan untuk
tujuan apa pun. Konde dan Narasi adalah “anak kandung” dari
kebebasan bermedia di ruang maya yang memberi kesempatan
siapa pun menjalankan peran “orang baik”. Di sisi yang lain, situs
berita abal abal atau akun akun palsu turut hadir sebagai alat untuk
merepresi “orang baik” dalam dunia media digital.
Kanal-kanal berita digital seperti Konde.co dan Project
Multatuli hadir sebagai alternatif pengisi ruang kosong di tengah
merebaknya click-bait journalism, oase atas krisis jurnalisme
berkualitas di Indonesia pasca revolusi digital. Para pengkaji
jurnalisme seperti Tofel (2012), Friedland dan Konieczna (2009)
menyebutnya non-profit journalism, kategori yang merujuk pada
praktik pengelolaan media berita tanpa motif bisnis dengan
mengusung genre kritis.
Masalahnya, jurnalisme digital secara umum dan jurnalisme
non-profit secara khusus muncul di tengah iklim sosial politik
media yang tidak ramah pada media alternatif. Belum ada regulasi
yang khusus melindungi keberadaan dan menjamin keberlanjutan
xxi
jurnalisme digital bergenre alternatif yang melawan kekuasaan. UU
Pers No. 40/1999 masih terlalu umum mengatur pers, dan lebih
berpihak pada media jurnalisme arus utama.
Berdasarkan riset yang dilakukan penulis, setidaknya ada dua
problem utama yang dihadapi jurnalisme digital. Pertama, adaptasi
manajemen media digital, termasuk mitigasi serangan digital.
Kedua, krisis pembiayaan operasional. Riset Nurhajati, dkk. (2023)
berjudul Kolaborasi Menolak Mati menyebutkan bahwa media
alternatif perempuan sudah tumbuh sejak tahun 2000 menyusul
kemudahan perizinan dan aktivisme demokrasi yang tinggi. Jurnal
Perempuan menjadi salah satu contoh. Namun, mereka mengalami
gagap teknologi digital, krisis sumber daya manusia yang kompeten,
dan budaya kerja redaksi yang voluntaristik, bergantung pada
individu tertentu. Problem manajemen paling besar adalah mitigasi
redaksi atas represi politik. Oleh peran mengkritik ketimpangan
sosial dan struktur kekuasaan yang menindas, kekerasan kerapkali
menyerang situs media dan para jurnalisnya. Pelaku kekerasan bisa
beragam atau tidak selalu pemerintah. Ironisnya, mayoritas pelaku
ini tidak bisa dilacak. Di sisi lain, teknologi yang dipakai pengelola
situs berita masih belum canggih menahan serangan digital,
mitigasi belum bisa dilakukan dengan baik.
Masalah krusial kedua adalah sumber pembiayaan. Praktik
jurnalisme non-profit pada umumnya berbasis idealisme, volun­
terisme yang rendah jaminan keberlanjutan. Dalam situasi ini,
bantuan lembaga donor internasional masih menjadi andalan,
padahal dukungan ini sifatnya sementara dan berbasis pada isu
publik tertentu yang tidak selalu selaras dengan misi redaksi
media alternatif. Bentuk lain seperti crownfund yang dikelola
dari komunitas digital atau sumber dana tanggungjawab sosial
perusahaan negara belum menjanjikan. Penyebab utamanya adalah
rendahnya kesadaran publik bahwa berita berkualitas merupakan
kebutuhan dasar dan produksinya mahal sehingga perlu didukung.
xxii
Dari kedua problem empirik ini, dan dari perspektif ekonomi politik,
permasalahan utamanya adalah diskriminasi hukum, antara lain
tiadanya klasifikasi media alternatif dalam seluruh regulasi pers.
Tabel berikut ini merangkum beberapa kelebihan dan
kekurangan sebagai tantangan media alternatif di Indonesia
dibandingkan media arus utama.
Tabel 1. Kondisi Struktural Media Arus Utama dan Media Alternatif
Klaster Isu
Media Arus Utama
Media Alternatif
Kebebasan
berekspresi
Terbatas, ada kurasi,
ada proses birokrasi
redaksi yang panjang
Otonom,
lebih terbuka,
birokrasinya
pendek,
partisipatif
Media alternatif
lebih berpeluang
menjalankan
amanat konstitusi
UUD 1945
Struktur
kepemilikan
Individu atau
korporasi yang
bersifat komersial
Komunitas atau
organisasi nirlaba
Model kepemilikan
media alternatif
belum dikenal
dalam UU Pers No.
40/1999
Model
pendanaan
Iklan dan kerjasama
komersial dari
perusahaan swasta
atau pemerintah
Hibah, iuran
individu/
komunitas,
bantuan negara
atau lembaga
internasional
Dukungan regulasi
untuk penggalian
iuran publik tidak
tersedia
Model bisnis
Ketergantungan pada
iklan menempatkan
berita sebagai
produk komersial
utama
Mengandalkan
dinamika
minat/ aspirasi/
kebutuhan publik
yang fluktuatif
Model bisnis media
alternatif belum
mendapat tempat
dalam UU Pers No.
40/1999
Posisi hukum
Terlindungi secara
eksplisit dalam UU
Pers No. 40/1999
Ada jaminan
konstitusi sebagai
media untuk
kebebasan
berekspresi
Ada diskriminasi,
kelangkaan
regulasi yang
menindaklanjuti
amanat konstitusi
(Diolah dari berbagai sumber oleh tim penulis)
xxiii
Aspek Regulasi
Tabel di atas menunjukkan bahwa secara umum media
alternatif memiliki urgensi dan hak serta peluang perlindungan
hukum yang sama dengan media jurnalisme arus utama. Tampak
juga terjadinya diskriminasi hukum, ketiadaan hukum yang me­
nerjemahkan amanat konstitusi UUD 1945 terkait kebebasan
berpendapat. Baik media arus utama maupun media alternatif
memiliki tantangan yang sama untuk keberlanjutannya. Buku
laporan riset ini akan menyajikan data problematika perlindungan
hukum media alternatif secara mendetail.
Yogyakarta, 20 Januari 2025
Tim peneliti dan penulis buku:
1. Masduki (Peneliti dan Ketua PR2Media. Staf Pengajar Jurusan
Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)
2. Engelbertus Wendratama (Peneliti PR2Media)
3. Rahayu (Peneliti PR2Media dan Staf Pengajar Departemen
Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
4. Putri Laksmi Nurul Suci (Peneliti PR2Media)
xxiv
RINGKASAN EKSEKUTIF
D
alam satu dekade terakhir, sejumlah media alternatif telah
muncul dan berkembang sebagai oase atas krisis jurnalisme
berkualitas di Indonesia, melalui ikhtiar jurnalisme yang se­inde­
penden mungkin, tanpa campur tangan pemilik modal maupun
penguasa. Sebagai konsekuensi keberanian mengkritisi kekuasaan
ekonomi dan politik, mereka rentan menerima serangan, kri­mi­
nalisasi, dan diskriminasi hukum.
Misalnya, selama ini mereka kesulitan memenuhi semua per­
syaratan pendataan perusahaan pers untuk mendapatkan status
media terverifikasi dari Dewan Pers. Riset ini – yang dilakukan
melalui survei, FGD, dan wawancara mendalam terhadap 10 media
alternatif – memetakan tantangan apa saja yang mereka alami
dalam melengkapi berkas pendataan perusahaan pers.
Dari sembilan kategori syarat tersebut, kategori sumber daya
manusia, kondisi fisik, dan kesejahteraan pegawai menjadi kategori
yang paling menjadi kendala bagi media alternatif. Kendala tersebut
bermuara dari kenyataan bahwa media alternatif memiliki redaksi
dan sumber daya mereka yang unik dan berskala kecil, tanpa
campur tangan pemodal besar, yang sengaja mereka pilih sebagai
upaya membangun dan mempertahankan independensi dalam
melakukan jurnalisme. Media alternatif memperoleh sumber
keuangan dari iuran keanggotaan audiens, hibah, iklan dari usaha
berskala mikro dan kecil, donasi publik, serta wirausaha modal kecil
seperti pelatihan dan konsultasi media.
1
Status terverifikasi tersebut penting untuk mereka men­
dapatkan perlindungan hukum dan menjaga keberlanjutan. Karena
itu, untuk memberikan dukungan keberlanjutan kepada mereka
sebagai salah satu pilar penting kebebasan pers dan demokrasi,
riset ini mengajukan tiga rekomendasi utama.
Pertama, mengusulkan kepada Dewan Pers untuk melakukan
revisi pada Peraturan Dewan Pers No. 1 Tahun 2023 tentang
Pendataan Perusahaan Pers atau pembuatan Peraturan Dewan
Pers baru, khusus pendataan perusahaan pers untuk media
alternatif. Sebagai argumentasi hukum, Pasal 3 pada UndangUndang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menunjukkan bahwa pers
sebagai perwujudan kedaulatan rakyat pada negara demokrasi
setidaknya memiliki empat fungsi utama yakni sebagai (1) media
informasi, (2) pendidikan, (3) hiburan, dan (4) kontrol sosial,
sebagaimana termaktum pada ayat 1. Meski demikian, UU Pers
juga memberi kesempatan kepada perusahaan pers untuk dapat
menjalankan fungsi sebagai lembaga ekonomi.
Jika merujuk ketentuan tersebut, sudah semestinya per­
usahaan pers alternatif yang telah menjalankan fungsi pertama
dan keempat tapi tidak menjalankan fungsi bisnis juga mendapat
pengakuan dan pendataan dari Dewan Pers. Namun jika merujuk
pada Peraturan Dewan Pers No. 1 Tahun 2023 tentang Pendataan
Perusahaan Pers, perusahaan pers yang dapat memenuhi syarat
verifikasi cenderung perusahaan pers yang menjalankan fungsi
bisnis saja. Rekomendasi detail tentang hal ini bisa dibaca di
bagian Rekomendasi Kebijakan pada laporan ini.
Kedua, merekomendasikan adanya dana publik dari negara
yang diberikan kepada media alternatif yang mengusung jurnalisme
berkualitas, yang pengelolaan dananya bisa dilakukan di bawah
koordinasi Dewan Pers. Dukungan dana ini bisa diberikan kepada
media dan/atau karya jurnalistiknya seperti melalui dana hibah,
manajemen, dan beasiswa liputan.
2
Ketiga, para pengelola media alternatif perlu membentuk
asosiasi agar lebih solid dalam melakukan advokasi sekaligus
sebagai jembatan kolaborasi nasional dan internasional untuk
upaya keberlanjutan.
3
PENDAHULUAN
S
elama 10 tahun terakhir, inisiatif media alternatif di Indonesia,
seperti Konde.co, Project Multatuli.org, Independen.id, Jaring.
id, dan Floresa.id, telah berkembang pesat sejalan dengan model
aktivisme digital. Media nirlaba ini sering kali dijalankan oleh
jurnalis veteran dan aktivis media dengan cita-cita luhur dalam
bentuk karya jurnalistik yang independen dan “tanpa kompromi”.
Untuk menjaga independensi dan kebebasan dalam melakukan
liputan terhadap penguasa politik dan ekonomi, media alternatif
memiliki kesamaan dalam mengambil kebijakan berupa tidak
berorientasi pada laba atau akumulasi modal dan mengandalkan
pendanaan dari donasi masyarakat atau organisasi nirlaba.
Media alternatif telah menjadi “anak kandung” dari kebebasan
bermedia di ruang digital yang memberi kesempatan siapa pun
menjalankan peran “orang baik”. Mereka hadir mengisi ruang
kosong di tengah merebaknya clickbait journalism, oase atas krisis
jurnalisme berkualitas di Indonesia pasca revolusi digital, ketika
media konvensional kurang berdaya memberikan liputan yang
kritis. Para pengkaji jurnalisme seperti Tofel (2012), Friedland dan
Konieczna (2009) menyebutnya non-profit journalism, kategori
yang merujuk pada praktik pengelolaan media berita tanpa motif
bisnis dengan mengusung genre kritis.
Masalahnya, jurnalisme digital secara umum dan jurnalisme
non-profit secara khusus muncul di tengah iklim sosial politik
media yang tidak ramah pada media alternatif. Belum ada regulasi
yang khusus melindungi keberadaan dan menjamin keberlanjutan
4
jurnalisme digital bergenre alternatif, melawan kekuasaan. UU
Pers No. 40/1999 masih terlalu umum mengatur pers, dan lebih
berpihak pada media jurnalisme arus utama. Kekerasan menjadi
problem utama yang dihadapi jurnalisme digital: keamanan dari
serangan digital dan dukungan biaya untuk mitigasi digital.
Karena peran mengkritik ketimpangan sosial dan struktur
kekuasaan yang menindas, kekerasan kerap menyerang situs
media dan para jurnalisnya. Pelaku kekerasan bisa beragam atau
tidak selalu dari unsur pemerintah. Ironisnya, mayoritas pelaku
ini tidak bisa dilacak. Di sisi lain, media alternatif pada umumnya
belum terdaftar dan terverifikasi pada Dewan Pers sehingga sulit
diadvokasi dan teknologi yang dipakai pengelola situs berita masih
belum canggih menahan serangan digital. Intinya, mitigasi dan
advokasi belum bisa dilakukan dengan baik.
Padahal, secara formal, perlindungan hukum terhadap media
alternatif memiliki legitimasi kuat dari Undang-Undang Pers No. 40
Tahun 1999, khususnya Pasal 3, yang berbunyi:
(1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
(2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat
berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 3 di atas menunjukkan bahwa fungsi pertama media
adalah sebagai “media informasi, pendidikan, hiburan, dan
kontrol sosial sekaligus ia merupakan lembaga ekonomi”, sehingga
perlindungan hukum terhadap media alternatif yang nirlaba adalah
penting karena amanat undang-undang.
Perlindungan hukum oleh Dewan Pers semakin urgen
karena redaksi media alternatif berorientasi pada pengungkapan
“penyelewengan atau pembiaran oleh penguasa”, sehingga media
alternatif menjadi rentan dikriminalisasi dan mengalami serangan,
baik di ranah digital maupun fisik. Metode dan alat yang dipakai
5
pelaku bisa bervariasi, tapi tujuan utamanya sama: mendiskreditkan
media dan menutupi kebenaran yang ingin diungkap oleh jurnalisme
media alternatif.
Namun, banyak media alternatif yang belum mendapatkan
status verifikasi Dewan Pers padahal verifikasi ini penting sebagai
bagian dari perlindungan hukum mereka. Riset ini dilakukan untuk
mengidentifikasi tantangan tersebut dan merumuskan rekomendasi
kebijakan supaya media alternatif bisa mendapatkan perlindungan
hukum yang dibutuhkan.
Tujuan Riset
1.
2.
Mengidentifikasi tantangan perlindungan hukum yang di­
hadapi oleh media alternatif di Indonesia.
Menyusun rekomendasi kebijakan perlindungan hukum bagi
media alternatif di Indonesia.
Metode Riset
PR2Media melakukan survei dengan melibatkan 10 perwakilan
media alternatif, baik yang sudah terverifikasi Dewan Pers maupun
yang belum terverifikasi. Survei dilaksanakan secara daring dimulai
dari 12 November s.d. 11 Desember 2024. Kesepuluh media
alternatif ditentukan dengan teknik purposive sampling dengan
mempertimbangkan status verifikasinya dan sebagai media alter­
natif nirlaba. Survei dilakukan untuk dapat memperoleh data
empiris yang terstruktur, sehingga memungkinkan untuk melihat
pola-pola persoalan yang menjadi perhatian penelitian. Survei
menggunakan instrumen kuesioner yang memuat 63 pertanyaan
tentang persyaratan verifikasi Dewan Pers, profil lembaga, dan
rekomendasi bagi Dewan Pers. Data survei kemudian diolah untuk
mendapatkan data deskriptif.
6
7
Konde.co
2.
Floresa
Bale
Bengong
1.
3.
Nama
Media
No.
Padang SMIP, Jalan
Tedor, Gang Verhouven
– Labuan Bajo, Kel. Batu
Cermin, Kec. Komodo,
Kab. Manggarai Barat,
Provinsi Nusa Tenggara
Timur
Email: redaksi.floresa@
gmail.com
Jl. Raya Kebayoran Lama
18 CD, Grogol Selatan,
Kebayoran Lama, Jakarta
Selatan 12220
Email: kondeinstitute@
gmail.com
Jl. Gita Sura III no
55 Banjar Umadesa,
Peguyangan Kaja
Denpasar 80115 Bali
Email: kabar@
balebengong.id
Alamat
Portal berita dan penyajian
berita di berbagai platform
media (Facebook, Instagram,
dan Twitter).
Penerbitan artikel di
website serta medsos
(Facebook, Twitter, YouTube,
dan Instagram, produksi
video/ film, dan informasi/
pengetahuan publik
Portal media jurnalisme
warga dan penyajian berita
di berbagai platform media
(Facebook, Twitter, YouTube,
Podcast, Instagram)
Layanan
Proses-proses
pembangunan
di provinsi Nusa
Tenggara Timur
dan Flores
khususnya.
Perspektif
perempuan dan
minoritas
Jurnalisme warga
di Bali
Segmen Berita/
Informasi
Tabel 2. Profil Media Alternatif yang Berpartisipasi dalam Survei
https://floresa.co
https://www.konde.
co
https://balebengong.
id
Website
2014
2016
2007
Tahun
Berdiri
8
Progresip
Independen
4.
5.
Nama
Media
No.
18 Office Park, Lantai
25 Suite A2, Jl. TB
Simatupang, Kav 18,
RT. 002, RW. 001, Kel.
Kebagusan, Kec. Pasar
Minggu, Jakarta Selatan
– 12520
Jalan Kembang Raya
No. 6, Kwitang, Senen,
Jakarta Pusat 10420
Telepon/ faks: 62213151214/ 6221-3151261
email: redaksi@
independen.id
Alamat
Portal berita/jurnalisme dan
penyajian berita di berbagai
platform media sosial
(Youtube, Twitter, TikTok,
• Independen.id
mengembangkan karya
jurnalistik yang berbentuk
jurnalisme data, cek fakta,
berita mendalam dan berita
investigasi.Kami fokus
pada isu-isu penegakan
HAM, anti korupsi,
lingkungan hidup, layanan
publik (pendidikan dan
kesehatan), perempuan dan
kelompok marjinal.
• Independen.id memiliki
Sindikasi Independen, yaitu
kolaborasi media-media
lokal atau isu khusus yang
ada di berbagai wilayah
Indonesia.
Layanan
Jurnalisme kolektif
dari inisiatif kelas
pekerja untuk
kelas pekerja
HAM, korupsi,
lingkungan hidup,
layanan publik,
dan kelompok
marjinal
Segmen Berita/
Informasi
https://progresip.id
http://independen.
id/
Website
2023
2010
Tahun
Berdiri
9
Jaring.id
Suara Kita
6.
7.
Nama
Media
No.
Layanan
Sona Topas Tower Lantai
15 Ruang 1501 Jl. Jend.
Sudirman Kav. 26, Jakarta
Selatan 12920
Email: info@jaring.id
Email: office@psk.or.id
Tidak tersedia informasi
alamat kantor.
Portal berita dan penyajian
berita di berbagai platform
media sosial (Facebook,
instagram, Twitter, dan
Youtube)
Portal berita dan penyajian
berita di berbagai platform
media sosial (instagram,
Youtube, dan Podcast)
Email:
dan Podcast), serta kolaborasi
progresippodcast@gmail. dalam produksi video
com
podcast, liputan kolaboratif,
sewa studio, sewa peralatan
podcast, strategi komunikasi,
pengelolaan media sosial, dsb.
Alamat
https://suarakita.org
Website
Jurnalisme
https://jaring.id
mendalam
dan investigasi
tentang yang
berkaitan dengan
kepentingan publik
Liputan yang
memperjuangkan
kesetaraan dan
keadilan bagi
kelompok ragam
gender dan
seksualitas di
Indonesia sebagai
warga negara
Segmen Berita/
Informasi
2015
2009
Tahun
Berdiri
10
Project
Multatuli
9.
Serat.id
Bincang
Perempuan
8.
10.
Nama
Media
No.
Jl. Nakula II No. 5,
Pendrikan Kidul,
Semarang Tengah, Kota
Semarang 50131
Email: redaksiserat@
gmail.com
Jl. Kebayoran Lama No.
18CD, Jakarta Selatan
Email: redaksi@
projectmultatuli.org
Jalan Mahakam 2 No 145
RT 15 RW 3 Kelurahan
Jalan Gedang Kecamatan
Gading Cempaka, Kota
Bengkulu
Email: redaksi@
bincangperempuan.com
Alamat
Portal berita dan penyajian
berita di berbagai platform
media sosial (Facebook,
instagram, Twitter, dan
Youtube)
Portal berita dan penyajian
berita di berbagai platform
media sosial (Facebook,
instagram, Twitter, TikTok, dan
Youtube)
Portal berita dan penyajian
berita di berbagai platform
media sosial (Facebook,
instagram, Twitter, TikTok,
Podcast, dan Youtube)
Layanan
Data jurnalisme
terkait isu-isu yang
berkaitan dengan
kepentingan
publik, HAM, dan
korupsi
Jurnalisme yang
mengangkat
suara-suara yang
dipinggirkan,
komunitaskomunitas yang
diabaikan, dan
isu-isu mendasar
yang disisihkan
Isu utama
perempuan
dan anak muda
dalam berbagai
perspektif
Segmen Berita/
Informasi
https://serat.id
https://
projectmultatuli.org
https://
bincangperempuan.
com
Website
2018
2020
2022
Tahun
Berdiri
Selanjutnya, PR2Media juga melakukan Focus Group Discussion
(FGD) sebanyak dua kali. FGD pertama dilakukan secara daring
dengan melibatkan 10 responden yang telah mengisi kuesioner
yang dilaksanakan pada Kamis, 12 Desember 2024. FGD ini ber­
tujuan mengeksplorasi lebih mendalam temuan-temuan survei,
seperti tantangan yang mereka hadapi dalam memenuhi syarat
verifikasi dan usulan serta harapan mereka kepada Dewan Pers
dan pemangku kepentingan, supaya ada dukungan terhadap kerja
jurnalisme berkualitas yang mereka lakukan. Untuk kepentingan
pendalaman data, peneliti juga melakukan wawancara mendalam
dengan perwakilan media alternatif.
FGD kedua dilaksanakan secara luring di Jakarta dengan me­
libatkan beberapa pemangku kepentingan yaitu perwakilan Dewan
Pers, AJI Indonesia, LBH Pers, PPMN, dan akademisi. FGD kedua
ini dilaksanakan pada Kamis, 19 Desember 2024 dengan tujuan
mendapatkan masukan terkait dengan tantangan yang dihadapi
media alternatif dan menghasilkan rekomendasi kebijakan atau
rencana kerja untuk mendukung jurnalisme yang mereka lakukan.
Peneliti juga melakukan studi dokumen terhadap riset ter­
dahulu dan pemberitaan mengenai media alternatif, yang mencakup
profil, pola kerja, sumber pendanaan operasional, hinggal model
kolaborasinya yang dikembangkan.
11
TEMUAN RISET
D
ari 10 media alternatif yang menjadi responden survei, terdapat
satu media yang baru saja mendapatkan status verifikasi Dewan
Pers (Project Multatuli) dan satu media yang telah mengajukan
verifikasi tapi ditolak (Konde).
Sementara itu, delapan media (Independen, Floresa, Progresip,
Bincang Perempuan, Bale Bengong, Jaring, Suara Kita, dan Serat)
menyatakan belum mengajukan karena belum bisa memenuhi
semua persyaratan yang diminta Dewan Pers. Meski demikian,
delapan media alternatif ini menyatakan akan mengurus verifikasi
untuk perlindungan hukum dan mendukung kerja jurnalistik mereka.
Dilihat dari status badan hukumnya, enam media alternatif
berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), dua perkumpulan, dan
dua yayasan. Dari sisi badan hukum, sebenarnya tidak ada kendala
bagi responden untuk mengajukan verifikasi ke Dewan Pers. Meski
demikian, sejumlah persyaratan masih dirasa memberatkan. Per­
syaratan yang memberatkan tersebut diuraikan pada bagian berikut
ini.
A. Kajian Atas Persyaratan Dewan Pers
Dalam melakukan pendataan perusahaan pers atau media berita,
Dewan Pers menerapkan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi.
Persyaratan yang telah terpenuhi akan menjadi pertimbangan bagi
Dewan Pers untuk memberikan status verifikasi kepada perusahaan
pers atau media berita.
12
Temuan survei menunjukkan tidak semua media alternatif
mampu memenuhi persyaratan verifikasi yang ditetapkan oleh
Dewan Pers. Tabel berikut menunjukkan rekapitulasi data per­
syaratan yang dapat dipenuhi dan tidak dapat dipenuhi oleh
pengelola media alternatif.
Tabel 3. Syarat Pendataan Perusahaan Pers
Tidak ada
kendala
Ada
kendala
Akte pendirian perusahaan pers
9
1
2.
Pengesahan Kementerian Hukum & HAM
9
1
3.
Kode Perilaku Perusahaan Pers bagi Wartawan/
Karyawan
9
1
4.
Peraturan Perusahaan (termasuk aturan tentang
Jenjang Karier Wartawan)
5
5
5.
SK Disnaker tentang Pengesahan Peraturan
Perusahaan
1
9
6.
Sertifikasi uji kompetensi wartawan utama bagi
pemimpin redaksi/penanggung jawab
7
3
7.
SK pengangkatan pemimpin redaksi dengan masa
kerja/periode jabatan
8
2
No.
Persyaratan
1.
A. Legalitas
B. Sumber Daya Manusia
1.
Data karyawan tetap (Redaksi)
7
3
2.
Data karyawan tidak tetap (Redaksi)
10
0
3.
Data karyawan freelance (Redaksi)
9
1
4.
Data karyawan lainnya (Non-redaksi)
9
1
C. Kondisi Fisik
1.
Menyediakan foto kantor tampak depan
6
4
2.
Menyediakan foto ruang kerja
7
3
3.
Menyediakan foto ruang rapat redaksi
7
3
4.
Menyediakan bukti fisik media/visual media
yang mencantumkan nama penanggung jawab,
dan alamat redaksi di media yang diterbitkan/
ditayangkan
10
0
13
Tidak ada
kendala
Ada
kendala
Menyediakan bukti fisik media/visual media yang
menunjukkan updating dan konsistensi berita/
liputan
10
0
6.
Menyediakan bukti fisik media/visual media
yang menunjukkan pencantuman klausul yang
menyatakan bahwa seluruh konten media
menjadi tanggung jawab penanggung jawab
redaksi
9
1
7.
Menyediakan bukti fisik media/visual media yang
menunjukkan Pedoman Pemberitaan Media Siber
(khusus media online)
10
0
No.
Persyaratan
5.
D. Kompetensi
1.
Pemimpin/Penanggung jawab redaksi telah
memiliki sertifikat wartawan utama
5
5
2.
Memiliki mekanisme untuk internalisasi dan
sosialisasi kode etik jurnalistik di lingkungan
perusahaan pers
10
0
3.
Memiliki dan/atau mengikuti program pelatihan
jurnalistik
9
1
4.
Mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW)
7
3
5.
Proporsi jumlah wartawan (Muda, Madya, Utama)
dan dibuktikan dengan sertifikat kompetensi
5
5
1.
Memenuhi gaji wartawan, minimal setara UMP
7
3
2.
Memenuhi gaji ke-13 atau THR bagi wartawan/
karyawan
5
5
3.
Menyediakan scan sertifikat kepesertaan asuransi
ketenagakerjaan
6
4
4.
Menyediakan scan kartu kepesertaan asuransi
ketenagakerjaan bagi wartawan dan karyawan
7
3
5.
Menyediakan scan sertifikat kepesertaan asuransi
kesehatan bagi perusahaan pers dengan jumlah
karyawan di atas 50 orang
3
7
6.
Menyediakan scan sertifikat kepesertaan asuransi
kesehatan bagi wartawan dan karyawan
5
5
E. Kesejahteraan
14
No.
Persyaratan
Tidak ada
kendala
Ada
kendala
F. Perlindungan
1.
Memiliki ombudsman
2
8
2.
Memiliki kuasa hukum
6
4
3.
Memiliki SOP perlindungan wartawan
6
4
1.
Visi dan misi perusahaan
10
0
2.
Logo perusahaan
10
0
3.
Nama media tidak melanggar hak kekayaan
intelektual
10
0
4.
Mencantumkan akun media sosial perusahaan
pers (bagi yang mempunyai akun media sosial)
10
0
G. Logo dan lain-lain
Keterangan: Jumlah responden (N) = 10
Berikut penjelasan untuk masing-masing bagian:
1.
Legalitas dan Identitas Organisasi
Persyaratan terkait legalitas mewajibkan perusahaan pers
untuk memenuhi tujuh persyaratan, yaitu (1) Akte pendirian
perusahaan pers; (2) Pengesahan Kementerian Hukum dan
HAM; (3) Kode perilaku perusahaan pers bagi wartawan dan
karyawan; (4) Peraturan perusahaan, termasuk mengatur
jenjang karier wartawan; (5) SK Disnaker tentang pengesahan
peraturan perusahaan yang masih berlaku; (6) Sertifikat
uji kompetensi Wartawan Utama bagi Pemimpin Redaksi/
Penanggung Jawab; (7) SK Pengangkatan Pemimpin Redaksi
dengan masa kerja/periode jabatan.
Beberapa media alternatif mengaku bahwa masih berada
pada tahap penyusunan dalam memenuhi akta pendirian
perusahaan pers, pengesahan Kementerian Hukum dan
HAM, dan kode perilaku perusahaan pers bagi wartawan
dan karyawan. Selanjutnya, berkas peraturan perusahaan–
15
termasuk aturan mengenai jenjang karier, masih menjadi
persoalan bagi media alternatif yang hanya terdiri dari tim
kecil, serta yang menjalankan kegiatannya atas prinsip sukarela.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, media alternatif juga
mulai mempertimbangkan penyusunan peraturan perusahaan
karena berusaha menyesuaikan dengan perkembangan or­ga­
nisasi, serta situasi dan aturan yang dipengaruhi oleh pihak
Dewan Pers dan Dinas Tenaga Kerja.
Kepemilikan SK Disnaker tentang pengesahan peraturan
perusahaan juga masih belum dimiliki oleh banyak media
alternatif. Persoalan ini terutama diakibatkan urusan birokrasi
dianggap yang berlapis dan merepotkan.
“Memiliki SK Disnaker cenderung sulit untuk kami
(BaleBengong.id) yang bukan perusahaan. Dilihat dari
prosedurnya, SK Disnaker sepertinya diperuntukkan bagi
perusahaan yang memiliki profit. Takutnya akan bermasalah
di proses pengurusan. Karena kami juga hanya media
nonprofit.” (BaleBengong.id, FGD Daring 12 Desember 2024)
Terakhir ialah berkas yang berhubungan dengan pemimpin
redaksi. Masih terdapat media alternatif yang kesulitan untuk
memenuhi sertifikasi uji kompetensi wartawan utama dan
SK pengangkatan pemimpin redaksi. Alasannya, pemimpin
redaksi dipilih berdasarkan kemampuan, bukan kelengkapan
administratif. Pemimpin redaksi yang terpilih pun masih ada
yang belum mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW), salah
satu kendalanya adalah permasalahan biaya dan lokasi UKW
yang sulit dijangkau oleh beberapa media alternatif di daerah
terpencil.
Perusahaan media diwajibkan untuk melengkapi per­
syaratan terkait keberlangsungan yang merujuk pada identitas
16
organisasi, seperti visi dan misi perusahaan pers. Seluruh
media alternatif sudah mampu memenuhi persyaratan ini
mengingat visi dan misi dapat dengan mudahnya ditemukan di
situs web resmi tiap media alternatif.
Kemudian, perusahaan media juga diharuskan memiliki
logo perusahaan yang diharapkan tidak mengandung, men­
cerminkan, atau menyerapi lembaga resmi negara, serta tidak
melanggar hak kekayaan intelektual. Sepuluh media alternatif
dapat dengan mudahnya memenuhi persyaratan ini.
Terakhir adalah persyaratan mengenai nama media yang
tidak melanggar hak kekayaan intelektual dan mencantumkan
akun media sosial perusahaan pers (jika ada). Seluruh me­
dia alternatif yang menjadi responden penelitian mampu
memenuhi persyaratan ini.
2.
SDM dan Kompetensi
Terdapat empat persyaratan yang harus dipenuhi pada bagian
Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu (1) Data karyawan tetap
(Redaksi); (2) Data karyawan tidak tetap (Redaksi); (3) Data
karyawan freelance (Redaksi); dan (4) Data karyawan lainnya
(Non-redaksi).
Kendala yang dialami oleh media alternatif terhadap
penyediaan data karyawan tetap diakibatkan oleh pengelolaan
media yang masih dijalankan atas dasar sukarela. Ditambah lagi
dengan belum adanya sumber dana berkelanjutan, sehingga
sulit untuk mempertahankan karyawan secara tetap. Salah
satu media alternatif yang berafiliasi dengan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Indonesia menyatakan bila tidak memiliki
karyawan non-redaksi karena ketersediaan karyawan masih
disokong oleh asosiasi jurnalis tersebut.
Pernyataan perwakilan redaksi dari BaleBengong.id me­
nambah perspektif dari media alternatif yang menjalankan
kegiatannya atas dasar sukarela.
17
“Prosedur mengenai ini (SDM) sepertinya agak sulit untuk
kami, kecuali kami hendak bohong-bohongan dengan
memalsukan dokumen. Sejak 2020, BaleBengong.id belum
bisa menyelesaikan salah satu persyaratan, yaitu memenuhi
jumlah SDM yang diharuskan minimal lima orang, dengan
gaji minimal UMP. Secara kesejahteraan, kami bisa me­
menuhi. Namun, hingga saat ini kami hanya memiliki tiga
staf dengan gaji masih di atas UMP, yang juga mendapatkan
gaji ke-13, BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan.
Media kami yang berbasis sukarela dibantu oleh hampir
1.500 kontributor yang tidak kami bayar.” (BaleBengong.id,
FGD Daring 12 Desember 2024)
Kemudian, persoalan kompetensi mengulas beberapa
kebutuhan yang harus dipenuhi, yaitu (1) Pemimpin/
penanggung jawab redaksi telah memiliki sertifikat wartawan
utama; (2) Memiliki mekanisme untuk internalisasi dan
sosialisasi kode etik jurnalistik di lingkungan perusahaan
pers; (3) Memiliki dan/atau mengikuti program pelatihan
jurnalistik; (4) Mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW);
dan (5) Proporsi jumlah wartawan (muda, madya, utama) dan
dibuktikan dengan sertifikat kompetensi.
Beberapa media alternatif masih mengalami kendala untuk
memenuhi syarat pemimpin/penanggung jawab redaksi harus
memiliki sertifikasi jenjang wartawan utama. Permasalahan ini
disebabkan oleh masih banyaknya pemimpin redaksi di media
alternatif yang belum mengikuti sertifikasi. Selain itu, terdapat
pula pemimpin redaksi yang belum dipekerjakan secara penuh
waktu (full-time).
Selanjutnya, mengenai program pelatihan jurnalistik,
salah satu media alternatif menyatakan bahwa program pe­
latihan ini tidak dilakukan secara internal, namun mengikuti
18
pelatihan yang diselenggarakan oleh asosiasi jurnalis, seperti
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Kewajiban mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW)
turut memengaruhi proporsi jumlah wartawan yang memiliki
sertifikasi. Akan tetapi, masih terdapat sejumlah kendala
bagi jurnalis media alternatif untuk memenuhinya. Pertama,
pelaksanaan UKW membutuhkan biaya yang membebani.
Tidak hanya biaya pendaftaran, namun juga biaya akomodasi
akibat pelaksanaan UKW yang belum tersedia di beberapa
kota. Kendala ini jelas dialami oleh media alternatif yang
berada di daerah terpencil. Kedua, proses ikut serta UKW
dirasa cukup sulit untuk diikuti oleh beberapa jurnalis.
Akibatnya, jumlah jurnalis yang memiliki sertifikasi pun
cenderung masih sedikit. Seperti halnya salah satu media
alternatif yang mengakui bahwa dari keseluruhan tim, hanya
pemimpin redaksi mereka yang memiliki sertifikasi. Ketiga,
terdapat media alternatif yang masih merekrut mahasiswa
atau fresh graduate akibat baru merintis perjalanan mereka.
Perekrutan jurnalis dengan usia relatif muda mengakibatkan
jumlah jurnalis jenjang kompetensi muda, madya, dan utama
cenderung minim.
Salah satu kendala untuk mengikuti UKW sempat
diceritakan oleh Ryan dari Floresa.co.
“Sampai saat ini, UKW lebih banyak diselenggarakan di
Kupang. Jika dipaksa, biayanya mahal sekali dari Flores ke
Kupang. Sehingga kami sering kali memilih untuk tidak bisa
ikut akibat masalah biaya. Masukan saya, wilayah kepulauan
seperti di NTT seharusnya bisa disediakan lebih banyak
pilihan, misalnya di tempat lain yang jauh dari Kupang.”
(Ryan – Floresa.co, FGD Daring 12 Desember 2024)
19
Menurut perwakilan redaksi dari BaleBengong.id, adanya
asosiasi jurnalis dapat membantu persoalan uji kompetensi
para wartawan.
“Kami (BaleBengong.id) bisa mengakses uji kompetensi karena
berjejaring dengan AJI Indonesia. Ini sangat memudahkan
kami agar seluruh staf bisa ikut UKW.” (BaleBengong.id, FGD
Daring 12 Desember 2024)
3.
Perlindungan dan Kesejahteraan
Persyaratan selanjutnya adalah bagian perlindungan yang
terdiri dari tiga syarat, yaitu (1) Memiliki Ombudsman; (2)
Memiliki kuasa hukum; dan (3) Memiliki SOP perlindungan
wartawan.
Pada ranah perusahaan media, Ombudsman ditugaskan
untuk memberikan masukan dan arahan agar perusahaan
media tetap sesuai pada visi, misi, dan nilai yang dianut. Namun,
mayoritas media alternatif belum memiliki Ombudsman yang
bertugas untuk mengawasi peran perusahaan pers sebagai
pelayan publik. Sebagai gantinya, terdapat media alternatif
yang memiliki editorial adviser, atau mengganti peran
Ombudsman dengan Dewan Pengawas yang sedang menjabat.
Memiliki kuasa hukum adalah persyaratan selanjutnya
yang harus dipenuhi oleh perusahaan media. Akan tetapi,
media alternatif cenderung sulit untuk menyanggupinya.
Alasan yang paling banyak ditemukan adalah tidak adanya
anggaran atau biaya khusus untuk mempekerjakan kuasa
hukum khusus dan bersifat tetap. Oleh karenanya, terkadang
media alternatif memanfaatkan keberadaan Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Pers atau kuasa hukum yang disediakan langsung
oleh Dewan Pers.
20
Terakhir, persoalan perlindungan lekat dengan harus
tersedianya Standard Operating Procedure (SOP) Perlindungan
Wartawan. Beberapa media alternatif yang sudah mulai
mengurus sertifikasi mengatakan bahwa sudah terdapat
format SOP yang disediakan oleh Dewan Pers. Sayangnya, hal
ini dirasa menyulitkan bagi media alternatif sebab mereka
memiliki cara tersendiri dalam penyusunan SOP. Walaupun
begitu, masih terdapat pula media alternatif yang sama sekali
belum menyusun dan memiliki SOP perlindungan wartawan.
Selanjutnya, kriteria yang harus terpenuhi yaitu
berkaitan dengan kesejahteraan pekerja. Terdapat enam
syarat yang ditentukan Dewan Pers, yakni (1) Memenuhi
gaji wartawan, minimal Upah Minimum Provinsi (UMP); (2)
Memenuhi gaji ke-13 atau THR bagi wartawan/karyawan;
menyediakan scan untuk beberapa hal, seperti (3) Sertifikat
kepesertaan asuransi ketenagakerjaan; (4) Kartu kepesertaan
asuransi ketenagakerjaan bagi wartawan dan karyawan; (5)
Sertifikat kepesertaan asuransi kesehatan bagi perusahaan
pers dengan jumlah karyawan di atas 50 orang; dan (6)
Sertifikat kepesertaan asuransi kesehatan bagi wartawan dan
karyawan.
Beberapa media alternatif masih cenderung kesulitan
untuk memenuhi gaji jurnalis yang minimal setara UMP.
Salah satu media alternatif menyatakan bahwa baru bisa
memberikan gaji setara UMP kepada anggota tim redaksi.
Akan tetapi, perlu diketahui bila banyak media alternatif yang
mempekerjakan kontributor. Oleh karenanya, kontributor
diberikan upah berdasarkan produktivitas atau jumlah berita
yang mampu mereka hasilkan. Terdapat pula media alternatif
yang menggunakan prinsip sukarela, sehingga mengakibatkan
tidak adanya kewajiban bagi mereka untuk memberikan
upah. Persoalan ini dialami oleh media alternatif yang belum
21
memiliki pendanaan bersifat berkelanjutan, yang diceritakan
dalam pernyataan di bawah ini.
“Floresa.co sudah berdiri selama 10 tahun. Akan tetapi, baru
dua tahun ini kami memberikan gaji sesuai UMP di NTT
untuk teman-teman yang bekerja full-time. Selama delapan
tahun hampir semuanya bersifat sukarela, tidak ada yang
digaji. Pada akhirnya, untuk pendanaan, kami memiliki tim
yang secara sukarela membantu untuk mencari dana. Kami
tidak mendapatkan iklan maupun dana dari pemerintah.
Oleh karenanya, sekarang kami mencari dana lewat
dana hibah ataupun dana fellowship yang mengharuskan
jurnalis untuk melakukan liputan. Belakangan ini, kami juga
mendapatkan banyak dukungan dari dana publik walaupun
hasilnya tidak terlalu signifikan. Pers mahasiswa juga
banyak yang mendukung kami. Selain itu. Kami sekarang
juga sedang mengerjakan satu ide, yaitu membuat kafe di
Labuan Bajo. Kami berpikir bahwa agar bisa survive, kami
harus melakukan banyak cara dan mencari berbagai opsi.”
(Ryan – Floresa.co, FGD Daring 12 Desember 2024)
“Serat.id merupakan media yang berbasis sukarela.
Secara ekonomi, belum bisa menyejahterakan teman-teman
karena belum ada karyawan tetap. Untuk menjalankan
kegiatan, kami mendapatkan uang dari dana hibah. Itu
pun tidak tentu. Belum tentu setiap bulan kami bisa men­
dapatkannya. Kami pernah mendapatkan tawaran iklan dari
salah satu pejabat publik, namun kami tidak bisa menerima.
Karena rilis (informasi) yang dikirimkan hanya tentang
kegiatan tokoh tersebut. Padahal media alternatif adalah
salah satu ujung tombak perjuangan untuk menyuarakan
hak-hak yang terpinggirkan.” (Wibby – Serat.id, FGD Daring
12 Desember 2024)
Selanjutnya, penyediaan gaji ke-13 atau Tunjangan Hari
Raya (THR) untuk karyawan masih menjadi kendala bagi media
22
alternatif. Dikarenakan belum memiliki cukup dana, media
alternatif cenderung memberikan insentif atau bonus. Ada
pula yang memberikan THR tetapi jumlahnya tidak setara
dengan upah bulanan mereka. Selain itu, terdapat media
alternatif yang hanya bertumpu kepada kontributor atau
pekerja lepas (freelance) dan belum memiliki karyawan tetap,
sehingga berujung pada tidak adanya keharusan bagi mereka
untuk memberikan gaji ke-13.
Selanjutnya, kesejahteraan juga berkaitan dengan ke­ter­
sediaan asuransi bagi seluruh karyawan perusahaan pers, baik
asuransi ketenagakerjaan maupun kesehatan. Beberapa media
alternatif menyatakan belum mengurus sertifikat kepesertaan
asuransi ketenagakerjaan atau BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini
diakibatkan belum adanya karyawan tetap yang mereka miliki.
Namun, ada salah satu media alternatif yang menyediakan
asuransi ketenagakerjaan selama para jurnalis menjalani masa
kontrak liputan.
Persoalan serupa juga ditemui pada asuransi kesehatan
bagi karyawan. Mayoritas media alternatif menegaskan belum
mengurus dan memiliki asuransi kesehatan, khususnya BPJS
Kesehatan. Rangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh BPJS
Kesehatan untuk memberikan sertifikat dirasa cukup sulit dan
merepotkan. Tidak hanya itu, terdapat pula karyawan yang
sudah membayar BPJS Kesehatan secara mandiri. Maka terjadi
tumpang tindih apabila perusahaan media tempat mereka
bekerja hendak membayarkan tagihannya setiap bulan.
4.
Kondisi Fisik
Hal selanjutnya adalah berkas mengenai kondisi fisik dari
perusahaan pers, yaitu menyediakan foto (1) kantor tampak
depan; (2) ruang kerja; (3) ruang rapat redaksi; serta
menyediakan bukti fisik media/visual yang mencantumkan
23
dan menunjukkan (4) nama penanggung jawab, dan alamat
redaksi di media yang diterbitkan/ditayangkan; (5) updating
dan konsistensi berita/liputan; (6) pencantuman klausul
yang menyatakan bahwa seluruh konten media menjadi
tanggung jawab penanggung jawab redaksi; dan (7) Pedoman
Pemberitaan Media Siber (khusus media online).
Tiga dari tujuh berkas masih cenderung sulit dilengkapi
oleh media alternatif. Tidak seluruh media alternatif memiliki
kantor secara fisik. Kemudian, tidak seluruh kantor fisik yang
dimiliki menyediakan ruangan tersendiri untuk kerja dan
rapat. Ruangan yang tersedia cenderung digunakan untuk
berbagai kegiatan, sehingga lebih cocok disebut dengan ruang
bersama yang dapat mengakomodasi beragam kegiatan.
Karena itu, pembedaan ruang kerja dan ruang rapat redaksi
ini menjadi tantangan tersendiri bagi media alternatif.
Selain itu, salah satu media alternatif mengakui bahwa
untuk masalah kantor, mereka masih bergabung dengan
asosiasi jurnalis yang menaungi. Tidak adanya kantor fisik juga
mengakibatkan pekerja media alternatif selalu melakukan
rapat secara daring. Sementara itu, ada juga media alternatif
yang, karena alasan keamanan, hanya mencantumkan alamat
tidak resmi di situs web mereka.
Perwakilan redaksi dari Independen.id menyampaikan
tanggapannya perihal kantor fisik yang harus dimiliki oleh
media alternatif.
“Bagi media kecil berbasis komersial, mungkin persyaratan
adanya kantor fisik boleh untuk diterapkan. Namun, untuk
media kecil berbasis public interest, menurut saya tidak
relevan semisal diharuskan memiliki kantor. Akan lebih
baik jika persyaratan mengenai ini dihilangkan saja dan
lebih berfokus kepada persoalan kesejahteraan jurnalis.”
(Independen.id, FGD Daring 12 Desember 2024)
24
5.
Kekerasan terhadap Media Alternatif
Terkait kekerasan terhadap media alternatif, riset ini meng­
ajukan dua pertanyaan kepada responden.
a. Apakah media Anda pernah mengalami serangan, baik di
ranah digital maupun fisik, terkait dengan pemberitaan?
Riset ini menemukan, sebanyak 8 dari 10 perwakilan
media alternatif yang mengisi survei menyatakan pernah
mengalami serangan, baik di ranah digital maupun ranah
fisik, terkait pemberitaan.
Contoh kasus yang mereka alami antara lain:
1. “Doxing, Ddos, dll ketika memberitakan kasus
kekerasan seksual dan LGBT, penyerang tidak ter­
identifikasi.” –Konde.co
2. “Pada Mei 2023, setelah kami menerbitkan laporan
berjudul ‘Mereka yang Suaranya Diabaikan dan
Dibungkam di Tengah Gegap Gempita ASEAN Summit
di Labuan Bajo’. Liputan kolaborasi dengan Project
Multatuli ini juga mengangkat masalah pengabaian
hak warga dan rencana mereka menggelar aksi unjuk
rasa pada 9 Mei, hari pertama ASEAN Summit di
Labuan Bajo. Hari berikutnya, 6 Mei, akun Telegram
dan WhatsApp salah satu jurnalis Floresa yang
terlibat mengerjakan laporan kolaborasi itu diambilalih pihak lain. Sementara pada 7 Mei, muncul
serangan malware terhadap website Floresa, sehingga
dinyatakan ‘hacked’ dan butuh tindakan segera.
Ketiga pada 2 Oktober 2024, pemimpin redaksi
kami dianiaya saat meliput aksi warga di Poco Leok,
Kabupaten Manggarai menolak proyek geotermal. Saat
ini kasusnya sedang ditangani Polda NTT.” –Floresa.co
3. “DDos dan usaha pengambilalihan akun surel milik
staf. Pelakunya tidak diketahui.” –Jaring.id
25
b. Apakah media Anda pernah mengalami tindakan kri­mi­
nalisasi?
Riset ini menemukan, sebanyak 3 dari 7 perwakilan
media alternatif yang mengisi survei menyatakan pernah
mengalami tindakan kriminalisasi akibat pemberitaan
yang mereka lakukan.
Contoh kasus yang mereka alami antara lain:
a. Somasi dan pemeriksaan, yang dialami oleh
BaleBengong.id
b. Somasi, yang dialami oleh Progresip.id
c. Kriminalisasi oleh pihak kepolisian dengan pe­nang­
kapan jurnalis, dan ancaman dari pihak tak dikenal,
yang dialami oleh ProjectMultatuli.org
Selain contoh kasus di atas, terjadi beberapa kasus
kekerasan terhadap media alternatif sepanjang 2020-2024.
Misalnya, Konde.co, media yang aktif memberitakan kasus
kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, mengalami
peretasan pada 25 Oktober 2022. Peristiwa ini menyusul
pemberitaan media itu tentang kasus perkosaan yang
melibatkan oknum pejabat Kementerian Koperasi dan
UKM di Jakarta. Konde mengalami serangan kategori DDoS
(Distributed Denial of Service), suatu aktivitas penghentian
paksa layanan konten dari host ke jaringan internet
sehingga website tidak bisa diakses publik. Ini kasus DDoS
kedua bagi Konde.co sejak beroperasi tahun 2016.
Serangan digital lainnya yang mendapat banyak
perhatian dari industri media dan publik adalah serangan
terhadap website Project Multatuli pada 2021. Situs
Projectmultatuli.org diserang dengan DDos pada 6 Oktober
2021, tak lama setelah merilis laporan tentang pemerkosaan
anak di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Laporan
26
berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi.
Polisi Menghentikan Penyelidikan” itu bercerita tentang
seorang perempuan yang melaporkan mantan suaminya
untuk dugaan pemerkosaan pada ketiga anaknya yang
masih di bawah usia 10 tahun. Saat itu, Projectmultatuli.
org tidak bisa dibuka publik, sehingga informasi serangan
itu hanya bisa disampaikan melalui akun Instagram
mereka. Namun, puluhan perusahaan media, antara lain
Vice Indonesia, Suara.com, Kompas.com, IDN Times, dan
Tempo.co, mendukung kerja jurnalistik Project M dengan
melakukan publikasi ulang (Kompas TV, 2021) terhadap
liputan tersebut. Ini merupakan bentuk solidaritas dari
media lain sehingga publik tetap bisa membaca liputan yang
mengungkap kinerja buruk Polres Luwu Timur tersebut.
Hal penting selanjutnya setelah publikasi ulang oleh
media lain adalah solidaritas dari pembaca, terutama
solidaritas yang ditunjukkan secara digital melalui ko­
mentar terhadap akun Instagram Polres Luwu Timur (@
humasreslutim), karena menyebut nama asli pelapor kasus
dan mengecap liputan Project M sebagai hoaks. Solidaritas
warga ini juga mendorong popularitas tanda pagar
#PercumaLaporPolisi di media sosial, yang merupakan
aktivisme digital warga sebagai bagian dari demokrasi siber
(Wuriani, 2021).
Contoh-contoh kasus di atas menunjukkan, serangan
digital terhadap media alternatif juga bisa memunculkan
gerakan sipil dari warga untuk melakukan perlawanan,
sebagai bentuk dukungan terhadap kebebasan pers yang
jamak terjadi di konteks global (Masduki, Wendratama,
Suci, 2023).
27
B. Independensi Redaksi
Persoalan kepemilikan pada perusahaan pers dapat memunculkan
pengaruh terhadap konten berita, otonomi jurnalistik, kebebasan
berekspresi dan berpendapat, serta praktik organisasi dan pro­
fesional dari perusahaan pers tersebut. Penelitian Sjøvaag dan
Ohlsson (2019) mengungkapkan bahwa motivasi kepemilikan di­
asumsikan terletak pada potensi keuntungan finansial dan politik
bagi pemilik media, seperti adanya konsentrasi dan monopoli pasar,
serta homogenisasi pada pembentukan opini publik. Dalam konteks
perusahaan pers di Indonesia, penelitian PR2Media (Masduki et
al., 2023) menunjukkan bahwa perusahaan pers berskala nasional
memiliki kecenderungan conglomerate ownership. Sedangkan,
perusahaan pers tingkat lokal menunjukkan adanya kecenderungan
chain ownership–yang berjejaring dengan perusahaan pers nasional
yang memiliki kecenderungan conglomerate ownership. Pengaruh
kepemilikan itu tentu muncul dalam kebijakan redaksi dan peliputan
yang dilakukan media arus utama, yang banyak terjadi terutama
dalam masa pemilihan umum (Masduki et al., 2023), mengingat
sebagian besar perusahaan media konvensional yang berpengaruh
di Indonesia, terutama stasiun televisi, berafiliasi secara politik atau
dimiliki oleh elite partai politik dan pejabat di pemerintahan (Lim,
2012; Tapsell, 2015; McCoy, 2019).
Oleh karenanya, kepemilikan media dapat menjadi salah
satu faktor penentu model bisnis dan jurnalisme yang diusung
perusahaan pers. Faktor ini yang menjadi salah satu pendorong
utama kelahiran media alternatif di Indonesia, yang berusaha
mewujudkan produk jurnalistik yang “lebih independen” dari
media arus utama, terutama dalam bentuk keberanian mengkritisi
kekuasaan. Menurut Ihlebaæk (2022), media alternatif beroperasi
cukup berbeda dalam hal posisi, produksi, dan produk–yang
mengakibatkan hadirnya kontribusi lebih beragam terhadap konten
28
berita. Selain itu, jumlah karyawan media alternatif cenderung
tidak banyak.
Pada penelitian ini, media alternatif yang menjadi responden
pun cenderung memiliki struktur redaksi yang kecil sebagai upaya
membangun dan mempertahankan independensi mereka dalam
melakukan jurnalisme. Di bawah ini adalah profil redaksi mereka,
yang mayoritas merupakan jurnalis veteran dan aktivis media
dengan cita-cita jurnalisme yang seindependen mungkin, tanpa
campur tangan pemilik modal maupun penguasa.
Pertama, BaleBengong.id terdiri dari seorang pemimpin re­
daksi (Luh De Suriyani) dan tiga staf redaksi. Portal media alternatif
yang berbasis di Bali ini dijalankan dengan memanfaatkan sudut
pandang warga atau jurnalisme warga.
Kedua yaitu Konde.co. Dengan topik utama perempuan dan
minoritas, Konde.co hadir pada tahun 2016 dan diinisiasi oleh
enam orang, yaitu Eko Bambang Subiantoro, Estu Fanani, Luviana,
Melly Setyawati, Poedjiati Tan, dan Rini Susanti. Jika ditelusuri,
pendiri Konde.co merupakan gabungan dari jurnalis dan aktivis
yang bergerak di bidang perempuan. Kini, Konde.co dipimpin oleh
Luviana yang sudah berkecimpung di dunia jurnalistik sebagai
jurnalis media mainstream selama lebih dari 20 tahun.
Ketiga adalah media alternatif dari Nusa Tenggara Timur, yaitu
Floresa.co. Media alternatif ini telah berkembang selama 10 tahun
di Flores. Saat ini, Floresa.co dipimpin oleh Ryan Dagur–seorang
jurnalis, yang berperan sebagai pemimpin umum dan editor.
Keempat, Independen.id bergerak sebagai media alternatif
yang tidak hanya memiliki karya jurnalistik hasil investigatif, namun
turut menyediakan wadah untuk berkolaborasi dengan media
alternatif lainnya (Sindikasi Independen). Struktur organisasi
Independen.id diduduki oleh Bayu Wardhana sebagai pemimpin
umum, Nani Afrida sebagai pemimpin redaksi, dan Betty Herlina
29
sebagai redaktur pelaksana. Ketiganya merupakan jurnalis senior
yang telah lama bekerja dalam jurnalisme. Independen.id juga
memiliki empat staf redaksi dan satu staf bidang komunikasi.
Selanjutnya, kelima, yaitu Progresip.id, sebuah jurnalisme
kolektif dari inisiatif kelas pekerja yang mengangkat isu ketena­
gakerjaan dan isu terkait lainnya dengan sudut pandang para
pekerja. Progresip.id didirikan oleh Nur Aini–yang saat ini menjabat
sebagai Direktur Eksekutif Progresip.id, Bimo Aria Fundrika, Guruh
Riyanto, Setyo A. Saputro. Melalui informasi yang tertera di situs
web Progresip.id, keempatnya merupakan jurnalis senior dari
sejumlah jenis media sekaligus pengurus Serikat Pekerja Media dan
Industri Kreatif (SINDIKASI), sebuah serikat pekerja yang mengelola
Progresip.id.
Keenam adalah Suara Kita.org, sebuah perkumpulan yang
berfokus pada hak asasi kelompok ragam gender dan seksualitas.
Suara Kita memilih disahkan sebagai perkumpulan agar lebih
bisa melibatkan individu yang memiliki ketertarikan terhadap
perjuangan isu identitas seksual dan gender. Suara Kita tidak
melampirkan secara bebas informasi mengenai kepemilikan dan
struktur organisasinya di situs web resmi mereka.
Ketujuh, Jaring.id, sebuah media nirlaba independen yang
didirikan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
(PPMN)–yang mengedepankan produk jurnalistik berupa liputan
mendalam dan investigatif. Jaring.id dipimpin oleh Fransisca Ria
Susanti sebagai direktur eksekutif, Muhammad Kholikul Alim se­
bagai pemimpin redaksi, dan Damar Fery Ardiyan sebagai redaktur
pelaksana. Ketiganya memiliki pengalaman yang panjang dalam
jurnalisme.
Kedelapan adalah BincangPerempuan.com yang merupakan
jurnalisme dengan perspektif gender. Betty Herlina berperan se­
bagai pendiri dan pemimpin redaksi BincangPerempuan.com, serta
Retno Wahyuningtyas sebagai managing director. Berdasarkan
30
informasi yang tertera di situs web resmi, Bincang Perempuan
dibangun sebagai bentuk kegelisahan atas minimnya representasi
perempuan di media, khususnya perempuan lokal.
Media
alternatif
selanjutnya,
kesembilan,
yaitu
ProjectMultatuli.org (PM). PM merupakan jurnalisme nirlaba yang
menyediakan produk jurnalistik berbasis riset dan data. Terdapat
empat orang pendiri PM, yaitu Ahmad Arif, Evi Mariani, Fahri
Salam, dan Ary Hermawan. Keempatnya merupakan jurnalis senior
yang sudah bekerja di berbagai jenis media. Saat ini, PM sudah
mendapatkan verifikasi dari Dewan Pers.
Terakhir, kesepuluh, ialah Serat.id, sebuah media alternatif
yang diinisiasi oleh anggota AJI Kota Semarang untuk menjawab
kegelisahan terhadap pesatnya perkembangan teknologi dan
komunikasi digital yang memunculkan banyaknya misinformasi
dan ujaran kebencian. AJI Kota Semarang berperan sebagai pe­
nanggungjawab dari Serat.id. Di sisi lain, Praditya Wibisono
menjabat sebagai pemimpin redaksi dari Serat.di. Seluruh karyawan
Serat.id merupakan anggota dari AJI Kota Semarang dan berprofesi
sebagai jurnalis.
C. Sumber Daya Keuangan
Estimasi jumlah modal yang dimiliki oleh media alternatif yang
menjadi responden survei cukup beragam, berkisar antara 20
juta s.d. 1 milyar rupiah. Meski demikian ada responden yang
menyatakan tidak memiliki modal karena badan hukum medianya
adalah perkumpulan. Ada pula responden yang tidak bersedia
menjawab pertanyaan tentang kepemilikan modal ini, kemungkinan
karena dana yang diperoleh sebagian besar dari donasi. Temuan
yang menarik berkaitan dengan kepemilikan modal ini adalah,
meski media alternatif memiliki status badan hukum “Yayasan” dan
“PT (Perseroan Terbatas)” tidak seluruhnya memiliki modal yang
besar (tidak identik dengan modal besar).
31
Adapun sumber dana media alternatif cukup beragam, seperti
hibah, donasi, iklan, membership, memberikan layanan produksi
konten, dan pelatihan.
Tabel 4. Sumber Daya Keuangan Media Alternatif
No.
Nama
Media
Status Badan
Hukum
Sumber Dana
Estimasi
Jumlah Modal
1.
Bale
Bengong
Yayasan
Jaringan lembaga/
komunitas dan iklan
Rp 200 juta
2.
Konde.co
Yayasan
Organisasi nirlaba,
working room, iklan, dan
negara lewat dana publik
Rp 1 miliar
3.
Floresa
PT
Hibah dari organisasi
filantropi, beasiswa
liputan, donasi publik,
dan lain-lain (penjualan
merchandise, proyek
riset).
Saat berdiri
Rp 10 juta,
sekarang ini
memiliki dana
Rp 500 juta,
dari hibah dan
donasi publik
4.
Independen
PT
Grant/funding
Rp 50 juta
5.
Progresip
PT
Grant, vendor
produksi audio visual,
penjualan merchandise,
keanggotaan, penyewaan
studio dan peralatan
podcast, penyelenggara
pelatihan, dan konsultan
media sosial
Rp 500 juta
6.
Suara Kita
Perkumpulan Penggalangan dana,
donor
Rp 500 jutaan
7.
Jaring.id
Perkumpulan Grant/funding
Tidak ada
8.
Bincang
Perempuan
PT
Grant/funding, donasi
tidak mengikat, Iklan,
bisnis produksi konten,
pelatihan, dan donasi
Rp 20 juta
9.
Project
Multatuli
PT
Kemitraan
Tidak bersedia
menjawab
10.
Serat.id
PT
Belum ada sumber
pendapatan
Rp 6 juta
32
Selain menerima pendanaan dari jaringan lembaga/
komunitas, Bale Bengong juga menerima iklan dengan berbagai
klasifikasi bentuk dan tarif. Sebagai gambaran, ada 6 klasifikasi
bentuk iklan (mulai dari “iklan Twitter” dengan tarif Rp 50 ribu per
twit pada jam tertentu hingga “iklan atas utama” dengan tarif 1
juta per bulan). Selain itu Bale Bengong juga menawarkan paket
iklan yang merupakan kombinasi dari beberapa klasifikasi bentuk
iklan dengan tarif tertentu (BaleBengong.id, 2024). Namun, Bale
Bengong tidak menerima iklan rokok, perusahaan yang tidak
mendukung lingkungan, atau iklan atau kontrak dari pemerintah.
Sumber dana Konde.co berasal dari organisasi nirlaba, working
room (layanan produksi konten media), iklan, dan negara lewat dana
publik. Media alternatif ini menerima iklan untuk produk-produk
Konde.co, website, dan kampanye melalui sosial media. Konde.
co juga menerima dukungan dana dari publik untuk memproduksi
film dan video. Konde.co pun menerima dukungan untuk ber­
bagai macam acara terkait dengan informasi dan pengetahuan
perempuan dan minoritas. Acara ini antara lain seminar, diskusi,
pelatihan, penerbitan buku, dan pertemuan komunitas. Media
alternatif ini menyampaikan laporan tahunan dan juga rencana
kerja tahunan. Laporan menjelaskan program/kegiatan, tantangan,
rencana kerja di tahun berikutnya, dsb.
Konde.co juga menyajikan laporan transparansi tentang
penggunaan dana, termasuk di sini hasil audit keuangan. Ini praktik
bagus di media alternatif dalam menunjukkan pertanggungjawaban
pengelolaan dana publik. Berikut tangkapan layar, laporan tahun
2023 dan laporan auditnya.
33
Gambar 1. Tangkapan Layar Laporan Konde.co
Sumber: Laporan Tahunan Konde. https://drive.google.com/file/d/1M7Eops0ROrr_
HqghTL8JZjm0hA7msjnf/view?pli=1
34
Gambar 2. Laporan Audit Konde.co
Sumber: Laporan Audit (https://drive.google.com/file/d/1kvbRF8rVuUyJn8cxBHHXm9
UTXCP1LiGT/view)
Selanjutnya, Floresa memperoleh sumber dana dari hibah
organisasi filantropi (70 persen), beasiswa liputan (10 persen),
donasi publik (10 persen), dan lain-lain (pernjualan merchandise,
proyek riset) sebanyak 10 persen.
Untuk donasi publik, jumlah donasi yang terkumpul, jumlah
pendukung (donatur), dan sejumlah nama donatur bisa dilihat
secara terbuka pada portal https://sociabuzz.com/floresa/tribe.
35
Gambar 3. Donasi Publik Floresa
Sumber: https://sociabuzz.com/floresa/tribe diakses pada 12 Januari 2024.
Selanjutnya, Progresip mendapatkan dana dari hibah, produksi
audio visual, penjualan merchandise, keanggotaan, penyewaan
studio dan peralatan podcast, penyelenggara pelatihan, dan
konsultan media sosial.
Sebagai media yang dikelola oleh serikat pekerja dan memiliki
basis audiens para pekerja, Progresip juga menerapkan sistem
36
donasi untuk mengumpulkan dana dengan format keanggotaan
dengan pembayaran iuran bulanan. Donatur di sini disebut sebagai
“sekutu progreSIP”. Donatur dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu individu dan kelompok/institusi. Untuk donatur individu
disajikan tiga kategori pilihan dukungan: (1) Prekariat dengan
dukungan Rp 20.000/bulan, (2) Proletar dengan dukungan Rp
50.000/bulan, dan (3) Kamerad dengan dukungan Rp 100.000/
bulan (Progresip, 2024).
Upaya yang hampir sama dilakukan oleh Suara Kita. Media
alternatif ini menyelenggarakan kegiatan penggalangan dana
untuk membangun kemandirian dan resiliensi. Penggalangan dana
dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya “Garage Sale” dan
menjual barang-barang bekas layak pakai.
Gambar 4. Penggalangan Dana Suara Kita
Sumber: https://suarakita.org/2023/09/artikel-bisnis-eco-friendly-untuk-fundraisingkenapa-tidak/
37
Selanjunya, Bincang Perempuan memiliki beberapa sumber
pendanaan, seperti grant/funding, donasi tidak mengikat, iklan,
bisnis produksi konten, pelatihan, dan donasi. Untuk pemasangan
iklan, Bincang Perempuan memiliki tautan khusus di portalnya
yang dapat digunakan untuk pemesanan pemasang iklan. Sebagai
ilustrasi, berikut tautan untuk pemasangan iklan.
Gambar 5. Pemasangan Iklan di Bincang Perempuan
Sumber: https://bincangperempuan.com/working-room/working-room-2/
Untuk layanan produksi konten, Bincang Perempuan me­na­
mainya sebagai working room yang berkonsep “agency atau toko
kreatif”. Ini mencakup pembuatan dan pengeditan buku, desain
38
kreatif, dan konsultasi strategi media. Bincang Perempuan juga
menawarkan pelatihan, seperti penulisan berita, pengenalan alat
digital dan cek fakta, jurnalisme data, pelatihan dasar keamanan
holistik, kampanye media, dan pengelolaan media sosial,. Berkaitan
dengan donasi, Bincang Perempuan menerbitkannya di laman
mereka.
Gambar 6. Donasi Bincang Perempuan
Sumber: https://bincangperempuan.com/working-room/working-room-2/
Project Multatuli menggalang dana melalui “Kawan M” yaitu
mereka yang berpartisipasi dalam program keanggotaan Project
Multatuli. Kawan M merupakan bagian dari strategi Project
Multatuli yang mengembangkan jurnalisme publik untuk melayani
mereka yang dipinggirkan demi mengawasi kekuasaan. Oleh
39
karena itu, Project Multatuli mengandalkan publik sebagai sumber
pendanaan, bukan iklan, agar terus bekerja secara independen
dan setia pada kepentingan publik. Donasi dari “Kawan M” cukup
beragam, berikut ilustrasi besaran donasi tersebut.
Gambar 7. Iuran Keanggotaan Project Multatuli
Sumber: https://projectmultatuli.org/tentang/dukung-kami/
Berdasarkan temuan penelitian, media alternatif tidak
mengandalkan iklan sebagai sumber dana utama. Iklan yang
mengharuskan media bekerja berdasarkan prinsip dual-product
market, yaitu di satu sisi menjual media kepada audiens dan di
sisi lain menjual audiens untuk mendapatkan iklan, dipandang
mengganggu independensi dan idealisme media alternatif. Oleh
sebab itu, media alternatif terus berupaya mengembangkan
“model bisnis” yang selaras dengan visi, misi, dan tujuan pendirian
media.
Merujuk pada laporan riset tim Dewan Pers tentang “Lanskap &
Dampak Digitalisasi Terhadap Model Bisnis Serta Dinamika Redaksi
Industri Media di Indonesia” (2024), sumber pendanaan lain selain
iklan juga telah dikembangkan oleh Magdelene, the Conversation,
dan sebagainya. Mereka mengembangkan sumber pendapatan
dari sponsor program (misalnya sponsor untuk produksi artikel,
40
media sosial, dan video), sponsor kegiatan (misalnya sebagai event
organizer/EO), dan aktivitas-aktivitas out of media (seperti in-house
training dan layanan pembuatan ragam konten).
Keterbatasan dana diakui oleh sebagian besar pengelola media
alternatif. Produksi berita investigatif membutuhkan pembiayaan
yang besar. Biaya ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan
reportasi, namun juga untuk berlangganan data untuk mendukung
pemberitaan. Berikut kutipan salah satu peserta FGD tentang
pembiayaan tersebut:
“Kami membutuhkan biaya yang relatif mahal untuk memenuhi
biaya produksi berita mendalam. Ongkosnya bukan hanya untuk
reportase, tetapi juga berlangganan untuk menggunakan data.”
(Damar – Jaring.id, FGD Daring 12 Desember 2024).
Berkaitan dengan pendanaan ini, berdasarkan temuan survei,
sejumlah responden yang mewakili media alternatif mengharapkan
dukungan dana dari negara. Salah satu responden menyatakan
bahwa “dukungan dana dari pemerintah dapat melalui dana
publik”. Responden lainnya menyatakan dukungan dana ini dapat
diwujudkan melalui pemberian subsidi domain, server, program
liputan, pelatihan pengelolaan media siber, dsb.
Di Indonesia dana bantuan negara sejauh ini masih dialokasikan
untuk lembaga penyiaran publik, namun belum untuk media
alternatif. Bantuan negara untuk media alternatif diberikan oleh
lembaga pemerintah yang meyakini bahwa dukungan mereka dapat
membantu jurnalisme independen dan profesional berkembang
pesat di masa yang didominasi oleh teknologi digital, seluler, dan
platform. Dukungan pemerintah dalam bentuk hibah keuangan
langsung atau pengurangan pajak tidak langsung bertujuan untuk
menjaga independensi jurnalisme dan kualitas hasilnya (Murschetz,
2020).
41
Dukungan dana dari negara seperti itu disampaikan oleh
perwakilan redaksi Independen.id dalam FGD riset ini.
“Saat ini, dana publik dari negara hanya diakses oleh RRI dan
TVRI sebagai lembaga penyiaran publik. Seharusnya ada dana
publik yang diberikan kepada media yang melayani kepentingan
publik, seperti media alternatif. Dukungan dana ini bisa diberikan
kepada media atau karya jurnalistiknya. Hal ini akan sangat
membantu.” (Perwakilan Redaksi Independen.id, FGD Daring 12
Desember 2024).
Dukungan dari negara seperti itu jamak dilakukan di negara
demokrasi lain, misalnya Australia dan Selandia Baru yang
mengalokasikan dana publik untuk media yang melayani kelompok
minoritas dan indigenous peoples (Backhaus, 2024; Australia
Government, 2024; NZ On Air. 2024).
D. Kebutuhan akan Verifikasi Dewan Pers
Seluruh pengelola media alternatif yang terlibat dalam riset ini
menyatakan bahwa mereka membutuhkan status verifikasi dari
Dewan Pers, dengan perlindungan hukum menjadi alasan utama.
Sebagai contoh, perwakilan redaksi dari Independen.id
dalam FGD riset ini menyatakan bahwa mereka akan mengajukan
permohonan status itu ke Dewan Pers “meski syaratnya berat”.
Ia mengatakan, “Kami ingin melindungi teman-teman agar tidak
mudah diperkarakan.” Menurutnya, “verifikasi menjadi pengaman,
yaitu mengamankan bila digugat dan menjadi kekuatan.”
Sementara itu, Ryan dari Floresa.id menyatakan bahwa mereka
sedang mempersiapkan diri memenuhi syarat-syarat verifikasi dari
Dewan Pers karena “verifikasi penting agar kami aman”.
Ryan mengatakan, “Kami akhirnya berpikir membuat badan
hukum setelah dikasuskan oleh Pemda. Kendala kami adalah di
42
persoalan UKW. UKW adanya di Kupang, jauh dari Flores. Bisa
tidak untuk wilayah kepulauan disediakan juga UKW?. Karena kami
merasa rentan mengalami represi.”
Luviana dari Konde.co sepakat bahwa “kalau ada verifikasi
maka akan lebih aman”, sambil menambahkan, perjuangan sudah
dilakukan Konde.co sejak 2016 dengan membuat aksi dan seminar
untuk mengupayakan adanya klaster khusus bagi media alternatif
dalam verifikasi Dewan Pers.
“Setelah itu, ada pernyataan dari Dewan Pers bahwa akan ada
klaster khusus media alternatif. Kami merasa aman. Tiba-tiba
klaster ini tidak ada, setelah terjadi perubahan anggota Dewan
Pers. Kami menemui DP dan mereka mengatakan bahwa tidak
bisa, harus sertifikasi. Ketika kami lihat, persyaratan sangat
banyak,” kata Luviana, yang menceritakan perubahan kebijakan
akibat perubahan anggota Dewan Pers di masa lalu. (FGD daring,
12 Desember 2024)
Catatan lain disampaikan oleh Aris dari Serat.id, yang men­
contohkan tentang sejumlah media yang sudah tersertifikasi, tetapi
mereka melanggar UU Pers. sehingga proses verifikasi juga perlu
diperbaiki.
“Faktanya, di Semarang ada media yang mengambil berita dari
media-media lain, tapi dia terverifikasi. Ini kan sama saja dengan
mencuri karya. Sedangkan media alternatif atau independen ini
selalu berjuang untuk menghadirkan suara-suara dari publik
yang tidak bisa bersuara. Kawan-kawan yang berjuang ini perlu
mendapat dukungan khusus dari Dewan Pers.” (Aris - Serat.id,
FGD Daring 12 Desember 2024).
Verifikasi dari Dewan Pers juga dibutuhkan media alternatif
untuk mendukung peliputan, seperti disampaikan oleh Retno dari
BincangPerempuan.com.
43
“Verifikasi sangat penting untuk meningkatkan jaringan di tingkat
lokal, khususnya masyarakat adat. Banyak sekali tantangan dalam
menuliskan isu ini. Kami juga mengangkat isu kesetaraan gender,
misalnya bekerja sama dengan BKKBN. Kalau belum ada verifikasi,
kami menjadi terkendala, karena yang dilirik hanya media arus
utama yang memiliki nama besar. Jadi ini bisa membatasi kami,”
kata Retno, yang juga menyatakan pentingnya verifikasi untuk
perlindungan hukum dan keamanan jurnalis (FGD Daring 12
Desember 2024).
E. Ruang Lingkup Media Alternatif
Terdapat setidaknya tiga definisi terhadap media berbasis ruang
redaksi kecil (small newsroom) yang berkembang di Indonesia
dan dunia, yaitu media independen (independent newsroom),
media alternatif (alternative media) dan non-profit (not-forprofit journalism). Jika merujuk pada posisi ideologis dan karakter
kontennya, maka terdapat dua model media jurnalisme di dunia:
yaitu media alternatif dan media arus utama. Lebih jauh, merujuk
beberapa literatur, karakter media alternatif dapat digambarkan
berikut ini:
Menurut Christian Fuchs (2010), media alternatif ada tiga
jenis:
1. Alternatif karena berbasis komunitas tertentu (pembacanya)
2. Alternatif karena sifat pendanaan dan pengelolaan yang nonprofit dan merupakan media yang radikal secara kontennya
3. Alternatif dari segi newsroom dan platform digital (homeless)
Lebih lanjut, ciri khas media alternatif dengan merujuk Fuchs
(2010) dan Houston (2023) yang berkembang di platform digital
melingkupi:
1. Mengutamakan konten berkualitas (quality news), bukan
44
2.
3.
4.
5.
kuantitas berita yang diproduksi apalagi mengejar jumlah
pembaca/traffic.
Struktur redaksinya kecil, mudah beradaptasi dengan digital
dan inovatif dan kerapkali merupakan kolaborasi jurnalisaktivis.
Dikelola komunitas/lembaga nirlaba, suatu antitesis model
kepemilikan pada model media arus utama: konvensionaldigital konglomerasi.
Strategi konten yang membongkar kesadaran publik, ruang
kebebasan ekspresi atas marginalisasi suara warga dalam
suatu negara.
Kerja jurnalistiknya berpola investigatif, mendalam, dan bagian
dari kegiatan aktivisme demokrasi (slow, in-depth journalism).
Tabel 5. Perbedaan Media Alternatif dan Media Arus Utama
Kategori
Kapasitas
Redaksi
Model Bisnis
Misi dan Posisi
Sifat dan
sumber dana
Media
arus
utama
Berskala
besar,
berjaringan
nasional dan
internasional
dalam
kepemilikan
dan konten
Komprehensif:
analog, digital,
agregasi,
konglomerasi
oleh individu
pengusaha
Komodifikasi
informasi,
bagian dari
usaha komersial
besar melayani
konsumen dan
pro-status quo
Profit dan
mengandalkan
iklan
komersial,
programatik,
sponsorship,
dll.
Media
alternatif
Berskala
kecil,
berjaringan
dengan
gerakan
sosial
Hanya di kanal
digital atau
analog, single
ownership
oleh
komunitas/
asosiasi
nirlaba
Bagian dari
demokrasi
informasi,
melayani
kelompok
terbatas sebagai
warga negara,
kadangkala
beroposisi
terhadap
pemerintah
Non-profit dan
mengandalkan
iuran
komunitas
atau
donasi dan
voluntaristik
45
Selanjutnya, berdasarkan survei, FGD, dan wawancara yang
peneliti lakukan dengan para pengelola media alternatif, riset ini
mencatat ruang lingkup media alternatif sebagai basis untuk aturan
klaster media alternatif dalam proses pendataan perusahaan pers
oleh Dewan Pers. Ruang lingkup ini mencakup definisi, badan
hukum, sumber pendapatan, dan sumber daya manusia yang
mengelola media, sebagai berikut.
1. Memproduksi karya jurnalisme berkualitas, yang memiliki ciriciri:
a. melakukan pengawasan terhadap penguasa politik dan
ekonomi,
b. mengadvokasi hak asasi manusia,
c. memperjuangkan kepentingan masyarakat, dan
d. menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers
2. Merupakan organisasi nirlaba, yaitu keuntungan ekonomi
yang diperoleh tidak diberikan kepada pengurus, tetapi untuk
operasional produksi berita. Tidak menerima pendanaan
yang berasal dari iklan komersial, kecuali dari usaha kategori
mikro dan kecil sesuai Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
20211, dan/atau dari pihak lain yang berpotensi memunculkan
konflik kepentingan bagi kerja jurnalistik atau mempengaruhi
independensi media alternatif.
3. Merupakan redaksi berskala kecil (small newsroom) yang
dikelola oleh komunitas atau lembaga nirlaba dengan prinsip
transparansi dan akuntabilitas yang tinggi.
Adapun syarat untuk bisa masuk ke dalam klaster media
alternatif, adalah:
1
Menurut PP No. 7 Tahun 2021 (PP UMKM), usaha mikro dan kecil memiliki modal
usaha paling banyak lima miliar rupiah. Bagi usaha yang telah berdiri sebelum PP
UMKM berlaku, yang termasuk kategori usaha mikro dan kecil adalah usaha yang
hasil penjualan tahunannya paling banyak 15 miliar rupiah.
46
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Memiliki badan hukum sebagai media (dapat berbentuk
Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, Perkumpulan, dan
badan hukum lainnya), alamat, dan penanggung jawab media
yang jelas.
Memiliki stuktur redaksi sebagai media dan AD/ART, termasuk
mencantumkan rencana dan praktik keberlangsungan ope­
rasional media.
Menunjukkan bukti keteraturan terbit (menerbitkan karya
jurnalistik setidaknya dua kali dalam sebulan melalui platform
media apa pun) dalam enam bulan terakhir.
Surat keterangan yang menunjukkan komitmen tidak me­
nerima pendanaan yang berasal dari iklan komersial, kecuali
dari usaha kategori mikro dan kecil, dan/atau pihak lain yang
berpotensi memunculkan konflik kepentingan bagi kerja
jurnalistik atau mempengaruhi independensi media alternatif.
Memberikan laporan transparansi pendanaan atau keuangan
dan audit keuangan jika mendapat dana dari donasi publik,
APBN/D, atau sumbangan masyarakat.
Memiliki pegawai tetap untuk mengelola keberlangsungan
media.
Pimpinan redaksi tertinggi telah memiliki sertifikasi wartawan
utama yang diakses melalui uji kompetensi wartawan (UKW)
secara gratis.
F. Rekomendasi Kebijakan
Riset ini mengajukan rekomendasi perubahan kebijakan dan
penguatan ekosistem yang ramah bagi media alternatif dalam
jangka panjang dan jangka pendek.
1. Dalam jangka panjang, berdasarkan hasil survei, dua kali
FGD dengan pengelola dan stakeholders disertai wawancara
mendalam, riset ini merekomendasikan suatu dukungan
regulasi yang menyeluruh–tidak terbatas pada kemudahan
47
2.
2
akses atas layanan Dewan Pers terkait verifikasi–tetapi
perlindungan atas kerja jurnalistik dan keberlanjutan
media alternatif sebagai pilar demokrasi. Beragam regulasi
yang terkait perlu dilakukan harmonisasi agar selaras dan
mendukung ekosistem yang sehat bagi jurnalisme berkualitas
di media alternatif, yang mencakup antara lain UU No.
40/1999 tentang Pers, UU No. 1/2024 tentang tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 11/2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, dan Peraturan Presiden No. 32/2024
tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk
Mendukung Jurnalisme Berkualitas.
Selain itu, para pengelola media alternatif perlu
membentuk asosiasi2 agar lebih solid dalam melakukan
advokasi sekaligus sebagai jembatan kolaborasi nasional dan
internasional untuk upaya keberlanjutan. Asosiasi seperti ini
bisa bermuara pada adanya dana yang berkelanjutan untuk
jurnalisme media alternatif, dalam bentuk dana publik dari
negara maupun dari pihak lain, termasuk kerjasama untuk
pengembangan media alternatif.
Dalam jangka pendek, riset ini merekomendasikan revisi pada
Peraturan Dewan Pers No. 1 Tahun 2023 tentang Pendataan
Perusahaan Pers atau pembuatan Peraturan Dewan Pers
baru, khusus pendataan perusahaan pers untuk media
alternatif. Dalam hal ini perlu pembuatan klaster baru untuk
media alternatif di luar klaster media umum. Melalui klaster
ini, media alternatif yang mengusung jurnalisme berkualitas
bisa mendapatkan status verifikasi dari Dewan Pers. Lebih
jauh, setelah mendapat status terverifikasi, media alternatif
Salah satu contohnya adalah Institute for Nonprofit News yang beranggotakan media
nirlaba di Amerika Serikat dan negara-negara sekitarnya.
48
berpeluang mengakses layanan penguatan kompetensi
jurnalis dari Dewan Pers dan sharing revenue digital dari
komite tanggung jawab platform digital untuk jurnalisme
berkualitas.
Adapun penjelasan ruang lingkup media alternatif diuraikan di
bawah ini.
Terdapat setidaknya tiga definisi terhadap media berbasis
ruang redaksi kecil (small newsroom) yang berkembang di
Indonesia dan dunia, yaitu media independen (independent
newsroom), media alternatif (alternative media) dan nonprofit (not-for-profit journalism). Jika merujuk pada posisi
ideologis dan karakter kontennya, maka terdapat dua model
media jurnalisme di dunia: yaitu media alternatif dan media
arus utama. Lebih jauh, merujuk beberapa literatur, karakter
media alternatif dapat digambarkan berikut ini:
Menurut Christian Fuchs (2010), media alternatif ada tiga
jenis:
1. Alternatif karena berbasis komunitas tertentu (pem­
bacanya)
2. Alternatif karena sifat pendanaan dan pengelolaan yang
non-profit dan merupakan media yang radikal secara
kontennya
3. Alternatif dari segi newsroom dan platform digital
(homeless)
Lebih lanjut, ciri khas media alternatif dengan merujuk
Fuchs (2010) dan Houston (2023) yang berkembang di platform
digital melingkupi:
1. Mengutamakan konten berkualitas (quality news), bukan
kuantitas berita yang diproduksi apalagi mengejar jumlah
pembaca/traffic.
49
2. Struktur redaksinya kecil, mudah beradaptasi dengan
digital dan inovatif dan kerapkali merupakan kolaborasi
jurnalis-aktivis.
3. Dikelola komunitas/lembaga nirlaba, suatu antitesis
model kepemilikan pada model media arus utama yang
konvensional-digital konglomerasi.
4. Strategi konten yang membongkar kesadaran publik,
sebagai ruang kebebasan ekspresi atas marginalisasi suara
warga dalam suatu negara.
5. Kerja jurnalistiknya berpola investigatif, mendalam, dan
bagian dari kegiatan aktivisme demokrasi (slow, in-depth
journalism).
Di bawah ini adalah argumentasi dan draf usulan revisi
Peraturan Dewan Pers No. 1/2023 untuk syarat verifikasi bagi
media alternatif.
1.
Argumentasi filosofis
Kemerdekaan pers merupakan hak asasi manusia dan kegiatan
jurnalistik (dengan penekanan pada kategori informasi yang
mendalam, kritis, investigatif, dan melibatkan sebanyak
mungkin warga negara–tidak terbatas pelaku bisnis menjadi
keniscayaan). Upaya menjaga kebebasan pers dan kebebasan
berekspresi dalam suasana politik oligarkis menjadi tanggung
jawab semua pihak, termasuk media alternatif. Keberadaan
mereka harus mendapat perlindungan atas nama hak warga
negara akan informasi berkualitas.
2.
Argumentasi sosiologis
Dalam iklim disrupsi digital berskala global dan pasca
COVID-19, media komersial arus utama di Indonesia telah
mengalami krisis manajemen dan keuangan yang bermuara
pada krisis produksi berita. Media arus utama yang migrasi ke
digital kemudian tersandera model bisnis berita digital yang
50
click bait, sehingga cenderung menghasilkan fast news dengan
kualitas yang rendah. Dalam situasi ini, peran media alternatif
pengusung jurnalisme menjadi krusial sebagai pengisi ruang
kosong layanan jurnalisme yang berkualitas bagi publik.
3.
Argumentasi ekonomi
Dalam ekosistem pers yang sehat, perlu keseimbangan antara
perusahaan media yang bersifat profit dan non-profit, yang
tidak hanya dikuasai oleh oligarki sebagaimana kecenderungan
media arus utama di Indonesia saat ini. Tapi memberi peluang
bagi pelaku usaha mikro dan kecil untuk menjalankan usaha
pers yang bersifat pemberdayaan sosial dan independen
dari kepentingan pemiliki modal (equality access to media
business).
4.
Argumentasi hukum
Secara formal, keberadaan media jurnalisme alternatif dan
perlindungan hukum terhadap media alternatif di Indonesia
memiliki legitimasi kuat dari Undang-Undang No. 40 Tahun
1999 tentang Pers, khususnya Pasal 3, yang berbunyi:
(1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
(2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional
dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 3 di atas menunjukkan bahwa Pers sebagai perwujudan
kedaulatan rakyat pada negara demokrasi setidaknya memiliki
empat fungsi utama yakni: sebagai (1) media informasi, (2) pen­
didikan, (3) hiburan, dan (4) kontrol sosial, sebagaimana termaktum
pada ayat 1. Meski demikian, UU Pers juga memberi kesempatan
kepada perusahaan pers untuk dapat menjalankan fungsi sebagai
lembaga ekonomi. Jika merujuk ketentuan tersebut, sudah
semestinya perusahaan pers alternatif atau nirlaba yang telah
51
menjalankan fungsi pertama dan keempat tapi tidak menjalankan
fungsi bisnis juga mendapat pengakuan dan pendataan dari Dewan
Pers. Namun jika merujuk pada Peraturan Dewan Pers No. 1 Tahun
2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers, perusahaan pers yang
dapat memenuhi syarat verifikasi cenderung perusahaan pers
yang menjalankan fungsi bisnis saja.
Selain itu, media alternatif pengusung jurnalisme berkualitas
juga menunjukkan ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik, sebagai
konsekuensi dari idealisme yang mereka bawa.
Berdasarkan hasil FGD, survei, dan wawancara mendalam,
dalam upaya menjamin agar media alternatif yang tidak layak
bisa mendapatkan status verifikasi, maka terdapat kesepakatan
terkait definisi media alternatif yang akan dimasukkan dalam
usulan perubahan peraturan terkait pendaftaran perusahaan pers
diuraikan di bawah ini:
1. Memproduksi karya jurnalisme berkualitas, yang memiliki ciriciri:
a. melakukan pengawasan terhadap penguasa politik dan
ekonomi,
b. mengadvokasi hak asasi manusia,
c. memperjuangkan kepentingan masyarakat, dan
d. menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers.
2. Merupakan organisasi nirlaba, yaitu keuntungan ekonomi
yang diperoleh tidak diberikan kepada pengurus, tetapi untuk
operasional produksi berita. Tidak menerima pendanaan yang
berasal dari iklan komersial, kecuali dari usaha kategori mikro
dan kecil sesuai Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 20213,
dan/atau dari pihak lain yang berpotensi memunculkan
3
Menurut PP No. 7 Tahun 2021 (PP UMKM), usaha mikro dan kecil memiliki modal
usaha paling banyak lima miliar rupiah. Bagi usaha yang telah berdiri sebelum PP
UMKM berlaku, yang termasuk kategori usaha mikro dan kecil adalah usaha yang
hasil penjualan tahunannya paling banyak 15 miliar rupiah.
52
3.
konflik kepentingan bagi kerja jurnalistik atau mempengaruhi
independensi media alternatif.
Merupakan redaksi berskala kecil (small newsroom) yang
dikelola oleh komunitas atau lembaga nirlaba dengan prinsip
transparansi dan akuntabilitas yang tinggi.
Adapun syarat untuk bisa masuk ke dalam klaster media
alternatif, adalah:
1. Memiliki badan hukum sebagai media (dapat berbentuk
Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, Perkumpulan, dan
badan hukum lainnya), alamat, dan penanggung jawab media
yang jelas.
2. Memiliki stuktur redaksi sebagai media dan AD/ART, termasuk
mencantumkan rencana dan praktik keberlangsungan ope­
rasional media.
3. Menunjukkan bukti keteraturan terbit (menerbitkan karya
jurnalistik setidaknya dua kali dalam sebulan melalui platform
media apa pun) dalam enam bulan terakhir.
4. Surat keterangan yang menunjukkan komitmen tidak menerima
pendanaan yang berasal dari iklan komersial kecuali dari usaha
kategori mikro dan kecil dan/atau pihak lain yang berpotensi
memunculkan konflik kepentingan bagi kerja jurnalistik atau
mempengaruhi independensi media alternatif.
5. Memberikan laporan transparansi pendanaan atau keuangan
dan audit keuangan jika mendapat dana dari donasi publik,
APBN/D, atau sumbangan masyarakat.
6. Memiliki pegawai tetap untuk mengelola keberlangsungan
media.
7. Pimpinan redaksi tertinggi telah memiliki sertifikasi wartawan
utama yang diakses melalui uji kompetensi wartawan (UKW)
secara gratis.
53
PENUTUP
B
uku berjudul Democracy without Journalism (Pickard, 2020)
memberikan konteks penting ancaman runtuhnya jurnalisme
berkualitas oleh tatanan bisnis media digital yang erat dengan
kecepatan, clickbait, dan misinformasi. Pasca COVID-19 peran
media arus utama menurun karena ada krisis manajemen. Disrupsi
digital secara umum membawa dampak perubahan model bisnis
berita, juga perubahan orientasi atas layanan berita. Di Indonesia,
fenomena kepemilikan oligarkis dan aksi politisasi media arus
utama menambah problem soal kepercayaan terhadap berita.
Dalam situasi di atas, jurnalisme harus tetap diselamatkan
sebagai pilar demokrasi. Sebut saja menyelamatkan jurnalisme
digital. Ada dua cara: mendorong media publik berskala nasional
seperti RRI/TVRI, atau mendorong alternatif media berskala lokal,
kecil tapi kuat pada komitmen untuk mengusung genre jurnalisme
kritis (Tofel, 2012). Jurnalisme (berkualitas) tidak mati tetapi
berpindah platform, model bisnis, dan pelakunya.
Kebebasan pers dan berekspresi adalah pilar demokrasi.
Namun, keduanya tidak akan fungsional ketika jurnalisme tidak
tumbuh secara sehat. Pilar keempat adalah media jurnalisme
terutama dengan pola anjing penjaga. Dalam konteks ini, merawat
jurnalisme investigasi, mendalam, dan kritis berarti merawat
demokrasi, yang kini sedang sekarat. Dalam Pilpres 2024,
media tersandera kepentingan jangka pandek: keberlanjutan
ekonominya. Pagar api yang memisahkan antara ruang redaksi
54
dan ruang bisnis kian dilonggarkan, bahkan cenderung runtuh,
sebagaimana temuan riset AJI Indonesia berjudul Kapasitas
Jurnalis dalam Meliput Pemilu 2024 (Wendratama, et. al. 2024).
Dalam konteks inilah, riset dan rekomendasi media alternatif
mendapat relevansinya. Ia berada di level menyajikan data kebijakan
untuk menjamin jurnalisme berkualitas yang pada lima tahun
terakhir diwakili oleh media berita anti mainstream di platform
digital. Ada Konde, Floresa, Independen, Jaring, Bale Bengong,
Project Multatuli, dan lain-lain. Di belakangnya ada ratusan jurnalis
idealis.
Sebagai pendatang baru, media alternatif masih dipandang
sebelah mata oleh industri media arus utama. Advokasi atas
keberadaan mereka akan mendapat perlawanan diam atau terbuka
karena menganggu kemapanan. Dalam situasi ini komitmen
regulator sangat penting kepada kebebasan pers di atas. Proteksi
terhadap media alternatif harus berupa produksi kebijakan, revisi
regulasi atau apa pun yang menunjang ekosistem media jurnalisme
nirlabat, di luar arus utama. Logika market failure juga harus
dipakai. Jurnalisme komersial selamanya akan tidak berpihak pada
publik sebagai warga negara.
Riset ini menunjukkan kompleksitas agenda yang dihadapi
pengelola, notabene jurnalis dan aktivis media alternatif. Legalitas
jadi salah satu isu utama, di samping kemampuan teknis jurnalisme
dan keberlanjutan media. Di tengah upaya memperoleh pengakuan
legal, mereka menghadapi kekerasan fisik, digital, dan kekerasan
struktural atas pemberitaan yang kritis kepada penguasa politik
ekonomi. Kembali ke Picard (2020), perlu reformasi kebijakan
mengatasi market failure dan policy inaction dalam sejarah media
di Indonesia.
PR2Media secara khusus menyampaikan rekomendasi jangka
pendek dan panjang bagi Dewan Pers dan pihak terkait lainnya.
55
Kami tentu siap bergabung mengawal aksi lanjutan pada level
pengambilan keputusan hingga penguatan ekosistem secara luas.
Sejak berdiri tahun 2010 hingga usia 15 tahun PR2Media aktif
mendorong reformasi atas regulasi media dari paradigma yang
otoriter ke regulasi demokratik-partisipatif-pro publik.
Terima kasih kepada Internews Indonesia, Mas Eric Sasono dan
tim yang memberi kepercayaan PR2Media untuk melakukan studi
ini. Terima kasih Ketua Dewan Pers Bu Ninik Rahayu yang mendukung
penuh, para pengelola media alternatif selaku informan surveiwawancara mendalam, dan teman-teman pemangku kepentingan
yang telah memberikan masukan terhadap rekomendasi riset ini.
Terima kasih tim peneliti yang bekerja keras menyajikan data ini.
Terima kasih para pembaca sekalian.
56
UCAPAN TERIMA KASIH
PR2Media mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah mendukung dan berkontribusi terhadap pelaksanaan riset ini,
yaitu:
• Sepuluh perwakilan media alternatif yang telah membagikan
pengalaman dan wawasan mereka untuk riset dan rekomendasi
kebijakan ini.
• Kepada para pemangku kepentingan yang telah memberikan
masukan terhadap rekomendasi kebijakan ini melalui FGD,
yaitu Mustafa Layong (LBH Pers), Fransisca Susanti (PPMN),
Lusia Arumningtyas (AJI Indonesia) Christiana Chelsia Chan
(Universitas Katolik Atma Jaya), Winarto (tenaga ahli Dewan
Pers), dan Firmansyah Syamsi (Internews).
• Kepada Internews yang telah memberikan dukungan terhadap
pelaksanaan riset dan advokasi ini.
57
REFERENSI
Undang-undang dan Peraturan
Undang-Undang No. 1/2024 tentang tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang No. 11/2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
Undang-Undang No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik
Peraturan Presiden No. 32/2024 tentang Tanggung Jawab
Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme
Berkualitas
Peraturan Pemerintah No. 7/2021 tentang Kemudahan,
Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah
Peraturan Dewan Pers No. 1/2023 tentang Pendataan Perusahaan
Pers
Buku, Jurnal, dan Artikel
Australian Government. (2024). News media assistance program.
Australian Government, Department of Infrastructure,
Transport, Regional Development, Communication and the Arts.
https://www.infrastructure.gov.au/media-communicationsarts/news-map
Backhaus, B. (2024, December 17). The government is spending
millions on news, but crucial community media remains
underfunded. Theconversation.com. https://theconversation.
58
com/the-government-is-spending-millions-on-news-butcrucial-community-media-remains-underfunded-246123
Fuchs, C. (2010). Alternative media as critical media. European
Journal of Social Theory, 12(2), 173–192. https://doi.
org/10.1177/1368431010362294
George, J. J. & Leidner, D. E. From clicktivism to hacktivism:
Understanding digital activism. Information and Organization,
29(3). https://doi.org/10.1016/j.infoandorg.2019.04.001
Herman, E. S., & Chomsky, N. (1998). Manufacturing consent: The
political economy of the mass. Pantheon Books.
Houston, B. (2023). Changing models for journalism: Reinventing
the newsroom. Routledge.
Karasová, E. (2023). Mainstream versus alternative media.
Megatrends and Media. https://journals.indexcopernicus.
com/api/file/viewByFileId/475358
KompasTV. (2021). Media ramai-ramai publikasi ulang reportase
Project Multatuli. [Video]. https://www.youtube.com/
watch?v=rvdlASu2mOo
Lim, M. (2012). The league of thirteen: Media concentration in
Indonesia. Participatory Media Lab, Arizona State University.
Masduki, Prastya, N., Anisa, D., dan Pambudi, W. (2024). Persma
dalam bingkai gerakan Mahasiswa. Jurnal Dewan Pers, 52–68.
https://dewanpers.or.id/assets/ebook/jurnal/2408230317_8_
Jurnal_Pers_vol_27_terbit_juli_2024.pdf
Masduki., Utomo, W. P., Rahayu., Wendratama, E., Kurnia, N., Rianto,
P., Aprilia, M. P., Zuhri, S., Edvra, P. A., Tristi. M. A., Paramastri,
M. A., Adiputra, W. M., Suci, P. L. (2023). Kepemilikan dan
afiliasi politik media di Indonesia. Pemantau Regulasi dan
Regulator Media (PR2Media).
Masduki, Wendratama, E., & Suci, P. L. (2023). Aktivisme digital
advokasi kebebasan pers di Indonesia: Studi di Jakarta dan
Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia.
59
Masduki. (2023, May 2). How to save Indonesia’s independent
media voices. Eco-business.com. https://www.eco-business.
com/opinion/how-to-save-indonesias-independent-mediavoices/
Masduki. (2021). Media freedom and the safety of journalists
in Southeast Asian: Indonesia. Public Media Alliance and
UNESCO.
McCoy, M. (2019). Scandal & democracy: Media politics in
Indonesia. Cornell University Press.
Murschetz, P. C. (2020). State aid for independent news journalism
in the public Interest? A critical debate of government funding
models and principles, the market failure paradigm, and policy
efficacy. Digital Journalism, 8(6), 720–739. https://doi.org/10.
1080/21670811.2020.1732227
Nurhajati, L., Afrida, N. dan Nur Aini (2023). Kolaborasi menolak
mati: Pemetaan kondisi media perempuan di Indonesia.
Konde.co dan Google News Initiative.
NZ On Air. (2024). About NZ On Air. NZ On Air. https://www.nzonair.
govt.nz/about/
Pickard, V. (2020). Democracy without journalism? Confronting the
misinformation society. Oxford University Press.
Priyonggo, A., Haryanto, I., Pramadiba, I. M., Winaldi, I., Presianta,
A. M. (2024). Lanskap & dampak digitalisasi terhadap model
bisnis serta dinamika redaksi industri media di Indonesia.
Dewan Pers.
Requejo-Alemán, J. L., & Lugo-Ocando, J. (2014). Assessing the
sustainability of Latin American investigative non-profit
journalism. Journalism Studies, 15(5), 522–532. https://doi.or
g/10.1080/1461670X.2014.885269
Scott, M., Bunce, M., & Wright, K. (2019). Foundation funding and
the boundaries of journalism. Journalism Studies. 20(14), 2034–
2052. https://doi.org/10.1080/1461670X.2018.1556321
60
Sjøvaag, H., & Ohlsson, J. (2019). Media ownership
and journalism. Oxford Research Encyclopedia of
Communication.
https://oxfordre.com/communication/
view/10.1093/acrefore/9780190228613.001.0001/acrefore9780190228613-e-839/version/0.
Tapsell, R. (2015). Indonesia’s media oligarchy and the “Jokowi
Phenomenon”. Indonesia, 99, 29–50. https://doi.org/10.5728/
indonesia.99.0029
Trere, E., & Kaun, E. (2021). Digital media activism: A situated,
historical, and ecological approach beyond the technological
sublime. In Digital roots: Historicizing media and
communication concepts of the digital age (pp. 193–208).
https://doi.org/10.1515/9783110740202-011
Wendratama, E., Masduki., Suci, P. L., & Rohmah, F. N. (2024).
Kapasitas jurnalis dalam meliput Pemilu 2024. Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Indonesia.
Wiesand, A. (2016). Investigative Journalism. Investigative
Journalism. In Weisand, Chainuglou, Simon (Eds.). Culture and
human rights: The wroclaw commentaries. https://doi.org/
10.1515/9783110432251-089.
Welle, D. (2020). Media viability index. Deutsche Welle.
Wuriani, N. U. (2021). Aktivisme tagar #percumalaporpolisi sebagai
zeitgeist demokrasi siber di Indonesia. WACANA: Jurnal Ilmiah
Ilmu Komunikasi, 20(2), 171–183. https://doi.org/10.32509/
wacana.v20i2.1702
61
Dalam satu dekade terakhir, sejumlah media alternatif nirlaba
telah muncul dan berkembang sebagai oase atas krisis jurnalisme
berkualitas di Indonesia, melalui ikhtiar jurnalisme yang
seindependen mungkin.
Sebagai konsekuensi keberanian mengkritisi kekuasaan
ekonomi dan politik, mereka rentan menerima serangan,
kriminalisasi, dan diskriminasi hukum. Namun, mereka kesulitan
memenuhi semua persyaratan pen­dataan perusahaan pers untuk
mendapatkan status media terverifikasi dari Dewan Pers—sebagai
jaminan perlindungan hukum yang lebih baik.
Kendala tersebut bermuara dari kenyataan media alternatif
memiliki redaksi dan sumber daya yang unik dan berskala kecil,
tanpa campur tangan pemodal besar, yang sengaja mereka pilih
sebagai upaya membangun dan mempertahankan independensi
dalam jurnalisme.
Buku ini berisi temuan riset tentang kondisi dan tantangan
yang mereka hadapi, serta rekomendasi supaya media alternatif
bisa men­
dapatkan perlindungan hukum yang dibutuhkan dan
dukungan untuk keberlanjutan mereka.
Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) adalah pusat riset,
publikasi, advokasi kebijakan yang berdiri pada 14 Juni 2010, bersamaan
dengan peluncuran buku hasil riset pertama berjudul Pelarangan Buku di
Indonesia.
PR2Media adalah lembaga non-profit yang percaya bahwa indikator
negara yang demokratis tercermin dari terdapatnya jaminan kemerdekaan
berekspresi, berbicara dan kemerdekaan pers, yang disertasi jaminan
terhadap diversity of voices, diversity of media content and ownership.
Indonesia masih menghadapi masalah regulasi media yang belum
menjamin kebebasan berekspresi dan regulator media yang secara formal
independen tetapi belum memenuhi mandatnya dengan baik.
Download