Uploaded by pdinantio18

Mitologi Jawa: Ujian Tengah Semester - Definisi, Bahasa, Sejarah

advertisement
Nama: Putra Dinantio Nugroho
NPM: 2106746032
Mata Kuliah: Mitologi dan Tradisi Lisan Jawa
Ujian Tengah Semester
Mitologi Jawa
Secara etimologis, kata mitos atau mythic berasal dari bahasa Yunani kuno, muthos, yang berarti
cerita atau fabel (Humaeni dalam Roibin, 2023). Selanjutnya, jika merujuk pada bahasa Inggris,
mitologi diartikan sebagai studi tentang mitos, isi mitos, atau bagian tertentu dari suatu mitos
(Ghazali dalam Roibin, 2023). Mitos biasanya berupa suatu narasi simbolis yang secara umum
asal-usulnya tidak diketahui (Bolle et al., 2024). Itu biasanya bersifat tradisional dan seolah-olah
menceritakan peristiwa-peristiwa nyata yang berkaitan dengan keyakinan atau agama.
Mitos adalah sistem kepercayaan yang dianut oleh sekelompok manusia berdasarkan
cerita-cerita suci tentang masa lalu (Harjoso dalam Nasrimi, 2021). Hal ini selaras dengan apa
yang dinyatakan oleh J. van Baal. Ia mengartikan mitos sebagai cerita dalam suatu kerangka sistem
keagamaan yang posisinya layaknya kebenaran agama (Roibin, 2023). Secara umum, bahasan dari
mitos ini mencakup hal-hal, seperti proses terciptanya dunia, petualangan para dewa, keajaiban di
suatu tempat, dan lain sebagainya.
Dari berbagai penjelasan tentang konsep mitos di atas, mitos dapat diartikan sebagai salah
satu bentuk cerita yang pembahasannya tidak dapat dijangkau oleh akal sehat atau rasionalitas
manusia. Sebagai bagian dari suatu kepercayaan, mitos juga terkadang berupa “larangan” bagi
suatu orang atau kelompok yang menganutnya. Perbedaan kelompok, wilayah, atau budaya
seringkali menghasilkan mitos yang berbeda pula.
Salah satu mitos atau mitologi di Indonesia yang menarik untuk dibahas adalah mitos di
Jawa. Mitologi Jawa adalah sistem kepercayaan dan legenda yang berkembang di Pulau Jawa,
Indonesia, dan merupakan bagian penting dari kebudayaan Jawa. Mitologi ini mencakup berbagai
aspek, dari penciptaan alam semesta, dewa-dewi, hingga cerita rakyat dan tokoh legendaris. Ini
mencerminkan penggabungan berbagai pengaruh spiritual, termasuk animisme, Hinduisme,
Budhisme, dan Islam, yang semuanya telah berkontribusi pada kekayaan spiritual dan budaya
Jawa.
1
Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan rumpun dari bahasa Austronesia (Melayu-Polinesia) Barat, atau
Indonesia. Pengguna dari bahasa ini diperkirakan berjumlah sekitar 80 juta orang pada tahun 2023,
terutama yang tinggal di Pulau Jawa, Indonesia. Bahasa Jawa ini memiliki perbedaan gaya status
dalam penggunaannya, seperti gaya ngoko (informal), karma (hormat), dan madya (tengah)
(Britannica, 2024). Bentuk ngoko pada umumnya digunakan untuk berbicara dengan orang yang
secara hubungan akrab dengan diri kita. Bentuk krama pada umumnya digunakan untuk berbicara
secara formal pada seseorang yang secara derajat sosial biasanya lebih tinggi dari kita. Terakhir,
bentuk madya biasa digunakan untuk berbicara dengan derajat formalitas yang sedang.
Tradisi tertulis dari Bahasa Jawa dimulai sekitar tahun 750. Bentuk awalnya adalah bahasa
Jawa kuno yang selanjutnya berevolusi menjadi bahasa Jawa Baru sekitar abad ke-15. Itu tidak
bisa terlepas dari pengaruh sastra India dan Islam dan pada gilirannya mempengaruhi sastra
Melayu, Bali, dan Indonesia. Huruf-huruf atau aksara dalam bahasa Jawa kuno ditulis dalam
bentuk Pallawa selatan (Britannica, 2024). Lambat laun, itu berevolusi menjadi aksara jawa dan
pada akhirnya lebih sering menggunakan bahasa latin. Bahasa ini memiliki tradisi sastra tertua
kedua dalam bahasa Austronesia setelah bahasa Melayu.
Bahasa Jawa kuno pertama kali ditemukan dalam Prasasti Sukabumi yang berasal dari tahun
804 Masehi (Wedhawati, 2006). Bahasa ini mulai umum digunakan oleh masyarakat Pulau Jawa
pada abad ke-9 Masehi sampai abad ke-15. Hampir setengah dari keseluruhan kosakata dalam
bahasa Jawa kuno berasal dari bahasa Sansekerta dan bahasa-bahasa lain di Nusantara. Bahasa ini
pada umumnya digunakan dalam bentuk puisi berbait.
Sementara itu, bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam, tumbuhlah Bahasa Jawa baru di
Nusantara pada abad ke-16. Ragam bahasa wilayah pantai utara jawa yang masyarakatnya sudah
mulai beralih menjadi Islam menjadi dasar dari ragam baku Bahasa Jawa Baru. Selain itu, huruf
arab juga banyak diadopsi oleh Bahasa Jawa Baru menjadi huruf pegon. Bangkitnya mataram
menjadi awal dari masuknya Bahasa Jawa Baru ke pedalaman. Pelestarian bahasa tersebut oleh
penulis-penulis di Surakarta dan Yogyakarta menjadi dasar dari ragam baku Bahasa Jawa sekarang
(Ogobin, 2005).
Pengguna bahasa Jawa pada umumnya tinggal di wilayah tengah dan timur Pulau Jawa.
Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan D.I. Yogyakarta memuat sekitar 83% dari total seluruh
pengguna Bahasa Jawa di Indonesia (Wulandari, 2023). Bahasa Jawa juga dipakai secara umum
2
pada wilayah-wilayah transmigrasi, seperti Lampung, Jambi, dan Kalimantan Tengah. Di luar
Indonesia, juga terdapat wilayah-wilayah yang masyarakatnya merupakan pengguna Bahasa Jawa,
seperti Suriname, Kaledonia Baru, dan sebagian Belanda (Ogloblin, 2005)
Prasejarah Jawa
Terdapat beberapa teori mengenai asal-usul masyarakat Suku Jawa berdasarkan penemuan dari
arkeolog, seperti Pithecanthropus Erectus dan Homo erectus. Manusia tertua di dunia, berusia 1,8
juta tahun, ditemukan di Pulau Jawa, tepatnya di Perning, Mojokerto. Dalam ilmu
paleoantropologi, ia dikategorikan sebagai Pithecantropus Modjokertensis atau dalam
terminology baru disebut sebagai Homo Erectus Modjokertensis (Glinka, 2001). Homo Erectus
tinggal di Jawa dan sebagian lain Nusantara 200 ribu tahun yang lalu. Jenis Homo Erectus terakhir
yang ditemukan di Pulau Jawa adalah Homo Erectus Soloensis. Dalam kesehariannya, Homo
Erectus bertahan hidup dari mengumpulkan hasil tanah liat dan berburu, serta memproduksi alatalat yang bercorak paleolitis (Glinka, 2001). Berakhirnya masa Homo Erectus di Pulau Jawa ini
sendiri kurang jelas. Ada teori yang menyatakan bahwa berakhirnya mereka disebabkan
migrasinya ke arah Timur dan Tenggara sampai dengan Australia. Selain itu, ada teori lain yang
menyatakan bahwa mereka kalah secara persaingan dengan Homo Sapiens. Namun, semua teori
itu masih belum kuat dalam pembuktiannya terkait berakhirnya masa Homo Erectus di Pulau Jawa.
Sementara itu, 40 ribu tahun yang lalu, juga ditemukan fosil manusia di Wajak dengan
sebutan Homo Wadjakensis. Ia tergolong sejenis dengan Homo Sapiens. Homo Wadjakensis
memiliki ciri badan intermedier, yakni campuran antara Austro-melaneseid dengan Mongoloid
primitif (Glinka, 2001). Homo Wadjakensis dianggap sebagai leluhur masyarakat seluruh
Nusantara dan orang Jawa tertua. Namun, itu semua masih sulit juga untuk dibuktikan karena
penemuan fosilnya yang sedikit.
Semenjak masa itu, di sebagian besar Kepulauan Indonesia, telah ditemukan alat batu.
Berdasarkan bukti tersebut, Nusantara telah masuk tahap Paleolit akhir yang mana alat batu yang
sudah agak sempurna dipergunakan. Batu tersebut pada penggunaannya seringkali digabungkan
dengan kayu untuk membuat alat-alat, seperti pemukul, tombak, dan panah (Glinka, 2001). Di
masa itu, Holtikultura berkembang yang dicirikan dengan domestikasi ubi-ubian dan tumbuhan
berbiji, seperti padi. Domestikasi binatang baru terjadi setelahnya, yakni sekitar 3.000 tahun yang
lalu.
3
Selanjutnya, terdapat teori yang menyatakan bahwa orang Jawa lahir karena adanya
migrasi populasi Mongoloid dari Utara ke Selatan Asia. Proses tersebut dapat dipahami karena
pada masa Pleistosin Pulau Jawa, Sumatera, Bali, dan Kalimantan tergabung dengan daratan Asia
menjadi satu benua yang dinamakan Sundaland (Glinka, 2001). Jembatan tersebut baru terputus
karena naiknya permukaan air laut pada 11.000 tahun silam. Oleh karena itu, adanya migrasi di
masa tersebut tidaklah mengherankan. Namun, karena kurangnya bukti berupa fosil,
pembuktiannya menjadi sulit untuk dilakukan. Sampai saat ini, itu hanya diduga sebagai migrasi
kecil-kecilan sehingga yang terjadi hanyalah peresapan gen (gene flow) terhadap populasi asli. Itu
disebabkan oleh dominasi gen Mongoloid terhadap penduduk asli dalam masa yang agak lama.
Populasi asli yang berciri Austromelanosoid perlahan-lahan berubah dengan dominasi dari ciri
Mongoloid, seperti yang dapat kita lihat pada populasi Jawa (Glinka, 2001).
Suku Jawa sendiri adalah masyarakat dengan peradaban yang sangat maju. Ini dapat dilihat
dari peninggalan kerajaan-kerajaan adidaya yang berdiri di tanah Jawa, seperti Kerajaan Mataram
dan Majapahit, serta candi-candi seperti Borobudur dan Prambanan. Selain itu, asyarakat Jawa
juga memiliki kebudayaan yang cukup terkenal, yang mengajarkan tentang gabungan adat,
istiadat, budaya, pandangan sosial, dan filosofi orang Jawa.
Sastra Jawa
Sastra Jawa merupakan bagian dari budaya Jawa. Sastra seringkali dianggap cerminan dari
keadaan sosial-budaya suatu masyarakat. Oleh karena itu, pengungkapan kebudayaan masa lalu
seringkali menggunakan karya sastra sebagai bahan pengujinya. Salah satu karya sastra yang
terkenal di Indonesia adalah sastra Jawa.
Sastra Jawa memuat sebagian dari kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa sendiri tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh-pengaruh luar. Itu juga tercermin dari Sastra Jawa. Salah satu metode
penyebaran sastra adalah melalui bahasa. Dalam konteks sastra Jawa, bahasa Jawa yang banyak
mendapatkan pengaruh dari bahasa-bahasa asin, seperti bahasa Sansekerta, bahasa Arab, dan
bahasa-bahasa lain telah membantu perkembangan sastra Jawa dengan warisan-warisan yang
ditinggalkannya (Widayat & Suwardi, 2005).
Animisme dan dinamisme tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Jawa. Dari bentuk
kebudayaan tersebut, wujudnya dapat dilihat dari sastra lisan. Misalnya adalah do’a-do’a yang
dikumandangkan dalam proses sesaji kepada sing mbaureksa, yaitu makhluk tak kasat mata yang
4
menguasai suatu tempat, kayu besar, batu keramat, goa-goa, dan lain sebagainya (Widayat &
Suwardi, 2005). Do’a-do’a tersebut bisa tergolong ke dalam karya sastra karena estetikanya. Itu
sama halnya dengan mantra-mantra yang dibuat oleh dukun dalam rangka mengajarkan ilmu
(ngelmu) (Widayat & Suwardi, 2005).
Pada masa masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Jawa, masyarakat Jawa dan
kebudayaannya jadi banyak terpengaruh oleh nilai-nilai dan ajaran mereka. Berbagai bentuk cerita
suci oleh orang Hindu-Buddha mengalami penyesuaian dengan kebudayaan Jawa sehingga
terbentuklah cerita milik orang Jawa yang terpengaruh oleh nilai-nilai Hindu-Buddha. Misalnya
adalah kisah wayang purwa dari kitab suci Mahabharata dan Ramayana yang dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga relevan dengan masyarakat Jawa. Itu pada akhirnya menjadi cerita
kepahlawanan yang diteladani oleh masyarakat Jawa (Widayat & Suwardi, 2005). Beberapa
konsep kebudayaan Hindu pada cerita Mahabharata disesuaikan dengan nilai-nilai di Jawa. Itu
salah satunya ditunjukkan dengan diubahnya konsep budaya poliandri yang dialami oleh Drupadi
menjadi konsep monogami dalam cerita di Jawa (Widayat & Suwardi, 2005). Pada masa awal
masuknya kebudayaan Hindu-Buddha ke Jawa pula, bahasa yang berlaku pada masa itu adalah
bahasa Jawa kuna yang banyak dipengaruhi oleh Bahasa Sansekerta.
Pada masa berakhirnya kejayaan dari kebudayaan Hindu-Buddha di Jawa, sekitar abad ke14, berkembanglah kebudayaan Jawa yang banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai dan ajaran Islam
karena besarnya pengaruh kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu di Jawa, salah satunya
Kerajaan Demak (Widayat & Suwardi, 2005). Beberapa dari pengaruhnya bisa dilihat dari karya
sastra pesisiran dan karya sastra mistik-Kejawen. Sastra mistik-kejawen ini terkenal dalam bentuk
suluk atau wirid (Widayat & Suwardi, 2005). Namun, sastra mistik-Kejawen ini sejatinya sudah
dipengaruhi oleh kebudayaan lain sebelum Islam masuk. Oleh karenanya itu bukanlah merupakan
kombinasi dari kebudayaan Islam dan kebudayaan Jawa secara murni, tetapi ada pengaruh dari
kebudayaan lain.
Pada abad ke-20, sastra-sastra Jawa banyak dipengaruhi oleh budaya barat melalui
kolonialisme yang ada di Nusantara. Contoh-contoh dari sastra Jawa pada masa itu, seperti roman
Jawa modern, novel Jawa modern, dan cerita Jawa pendek (cerkak). Karya-karya sastra tersebut
banyak merekam berbagai pergulatan budaya yang dikenal dengan istilah globalisasi (Widayat &
Suwardi, 2005).
5
Sumber-Sumber Mitologi Jawa
Mitologi Jawa yang memuat kumpulan kisah-kisah, legenda, dan kepercayaan masyarakat Jawa
berasal dari berbagai sumber, salah satunya teks-teks kuno dan kitab, seperti adaptasi kisah dari
kitab suci Ramayana dan Mahabharata. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, cerita asli dari
kitab-kitab tersebut selanjutnya disesuaikan dengan konteks masyarakat Jawa supaya relevan.
Dalam bentuk penyampaiannya pun juga mengalami modifikasi, yakni dengan menggunakan
pertunjukkan seni wayang kulit.
Selain dari teks dan literatur, mitologi Jawa juga diperkaya oleh cerita rakyat dan legenda
yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Kisah-kisah seperti asal-usul Gunung
Merapi, romansa antara Jaka Tarub dan Nawang Wulan, serta legenda Nyai Roro Kidul, tidak
hanya mengandung unsur-unsur mitologis tetapi juga mengajarkan nilai-nilai moral dan sosial
kepada masyarakat. Legenda-legenda ini sering kali terkait dengan lokasi geografis tertentu dan
menjadi bagian dari identitas budaya dan spiritual masyarakat Jawa. Asal-usul Gunung Merapi
sendiri menceritakan tentang asal-usul Gunung Merapi yang berhubungan dengan kisah spiritual
dan kekuatan alam semesta. Selanjutnya, Jaka Tarub dan Nawang Wulan menceritakan tentang
kisah cinta antara manusia dan bidadari yang turun dari kayangan. Terakhir, Nyai Roro Kidul
memuat cerita tentang legenda Ratu Selatan yang menguasai laut selatan Jawa.
Sumber mitologi Jawa lainnya adalah praktik kepercayaan dan ritual adat yang juga memegang
peranan penting dalam memelihara dan menyebarluaskan mitologi Jawa. Kejawen, sebagai
contoh, adalah sistem kepercayaan yang unik menggabungkan elemen-elemen dari HinduBuddha, Islam, dan animisme. Itu mencerminkan filosofi Jawa tentang keseimbangan dan harmoni
alam semesta. Selain itu, dalam konteks ritual adat, itu dapat dilihat melalui praktik-praktik, seperti
Slametan, Ruwatan, dan Tumpengan. Praktik-praktik tersebut juga digunakan untuk
mengkomunikasikan nilai-nilai agama dan spiritualitas, sekaligus menjaga keseimbangan dan
keselarasan dalam komunitas. Slametan, misalnya, adalah ritual yang melibatkan makan bersama
untuk merayakan peristiwa penting atau sebagai bentuk doa bersama untuk kesejahteraan,
menunjukkan pentingnya komunalitas dan solidaritas. Ruwatan, di sisi lain, adalah upacara
pembersihan yang bertujuan untuk menghilangkan sial atau kesialan. Itu menggambarkan
kepercayaan pada kekuatan-kekuatan tak terlihat dan perlunya perlindungan spiritual. Tumpengan,
6
yang sering kali menjadi pusat perayaan, merupakan bentuk simbolisasi dari rasa syukur terhadap
kemakmuran dan keberkahan yang diterima, serta penghormatan terhadap alam semesta.
Sejarah Raja-raja Jawa
Kesultanan Yogyakarta
Pada akhir abad ke-16, Kerajaan Mataram Islam yang berdiri di Jawa Tengah dan Selatan,
mengalami pergolakan akibat intervensi Belanda. Perlawanan Kerajaan tersebut dipimpin oleh
Pangeran Mangkubumi dan menghasilkan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang
membagi Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian
tersebut, Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan Hamengku Buwono I di Yogyakarta. Itu
selanjutnya disusul dengan adanya Perjanjian Jatisari yang membahas tentang dasar kebudayaan
antar kerajaan dan menandai dimulainya pembangunan Keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1755
(DPAD Yogyakarta, 2018).
Kasultanan Yogyakarta mengalami instabilitas kekuasaan akibat pengaruh kolonial,
dengan peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1812 ketika Sultan Hamengku Buwono II turun
tahta karena tekanan Inggris, dan wilayah kekuasaan dipecah dengan pembentukan Kadipaten
Pakualaman (DPAD Yogyakarta, 2018). Namun, dukungan kepada Republik Indonesia mengubah
cerita sejarah yang memungkinkan Sultan Hamengku Buwono IX untuk menyatakan dukungan
pada republik baru. Pernyataan tersebut selanjutnya membuahkan status khusus bagi Yogyakarta
dalam konstitusi Indonesia.
Peristiwa ini melanjutkan tradisi dan kebudayaan kerajaan dalam lingkup modern. Kesultanan
Yogyakarta akhirnya diakui melalui Undang-Undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Undang-undang tersebut memperkuat status Yogyakarta
sebagai entitas kultural dan politik unik di Indonesia dan menjamin pelestarian warisan budaya
Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman dalam bingkai negara republik.
Raja pertama Kesultanan Yogyakarta, Bendara Raden Mas (BRM) Sujono, yang dikenal
sebagai Pangeran Mangkubumi terlahir pada tanggal 5 Agustus 1717. Ia merupakan keturunan
Sunan Amangkurat IV melalui selir. Ia dipercaya tak hanya memberi pengaruh bagi Keraton
7
Yogyakarta, tetapi seluruh masyarakat Yogyakarta. Ia sedari dini terkenal akan kecapakannya
dalam hal keprajuritan melalui kemampuan berkuda dan senjatanya, serta ketaatan ibadah dan
penghormatannya terhadap nilai-nilai luhur Budaya Jawa (Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat,
2024).
Kadipaten Pakualaman
Kadipaten Pakualaman, yang didirikan pada 17 Maret 1813 sebagai sebuah kerajaan dependen di
bawah Republik Indonesia, mendapat status daerah istimewa setingkat provinsi dalam Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 1950 (DPAD Yogyakarta, 2018). Penobatan itu terjadi
setelah pemerintahan kolonial Inggris yang dipimpin oleh Sir Thomas Raffles mengakui Pangeran
Notokusumo sebagai Paku Alam I dan memisahkan sebagian wilayah Kasultanan Yogyakarta
untuk mendirikan Kadipaten Pakualaman. Status ini merupakan hasil dari peristiwa politik yang
melibatkan konflik internal Kasultanan Yogyakarta dan intervensi kolonial Inggris dan Belanda.
Konflik itu pada akhirnya memengaruhi struktur kekuasaan dan pembagian wilayah di
Yogyakarta.
Konflik internal dan eksternal yang berlangsung pada awal abad ke-19, termasuk
pertempuran antara Kasultanan Yogyakarta dengan pemerintah kolonial dan Inggris, memainkan
peran penting dalam pembentukan Kadipaten Pakualaman. Pertempuran yang mencakup
pemberontakan lokal dan intervensi oleh Inggris ini berakhir dengan penurunan Sultan Hamengku
Buwono II. Itu selanjutnya juga berkontribusi pada pembentukan Kadipaten Pakualaman sebagai
bentuk kompensasi dan pengakuan terhadap Pangeran Notokusumo dan dukungannya kepada
Inggris (DPAD Yogyakarta, 2018).
Paku Alam I, sebagai penguasa pertama Kadipaten, memerintah dalam periode transisi
yang penuh tantangan. Itu ditandai dengan berbagai perjanjian politik yang membatasi kekuasaan
dan wilayahnya. Namun, di sisi lain, itu juga memberikan kedaulatan tertentu terhadapnya. Selama
pemerintahannya, ia berusaha menavigasi kepentingan kolonial Inggris dan Belanda serta
kebutuhan rakyatnya. Pengukuhan gelar Pangeran Adipati oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda pada tahun 1822 menandai pengakuan resmi terhadap statusnya dan kedaulatannya,
meskipun dalam konteks kekuasaan, ia sangat dibatasi (DPAD Yogyakarta, 2018).
8
Kadipaten Mangkunegaran
Praja Mangkunegaran, yang berdiri sejak tahun 1757 sebagai kadipaten otonom di Jawa Tengah,
merupakan hasil dari Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada 17 Maret 1757 sebagai solusi
atas perlawanan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa terhadap Belanda dan Kasunanan
Surakarta (Wasino, 2014). Akibat hal itu, Raden Mas Said juga dianugerahi gelar Pangeran Adipati
dan otonomi atas wilayah penting di sekitar Surakarta. Mangkunegaran yang dipimpin oleh Raden
Mas Said sebagai entitas politik memiliki hak militer tersendiri, tetapi memiliki status adat yang
tidak setara dengan Kasunanan Surakarta atau Kesultanan Yogyakarta. Itu di antaranya
ditunjukkan dengan berbagai tradisi khas, salah satunya jumlah penari bedhaya dan pemimpinnya
yang tidak boleh memakai gelar “Sunan” (Wasino, 2014).
Mangkunegaran didirikan dengan latar belakang konflik dan perjanjian politik yang
melibatkan kekuatan kolonial dan kerajaan lokal Jawa. Wilayah yang dikuasai Mangkunegara I
mencakup sebagian dari Jawa Tengah, termasuk sebagian Kota Surakarta dan kabupatenkabupaten di sekitarnya (Adiwardoyo, 1974). Itu makin menegaskan posisi Mangkunegaran
sebagai entitas politik dan budaya yang penting. Penguasanya, yang memegang gelar Adipati,
mendirikan Pura Mangkunegaran di Kota Surakarta sebagai pusat kekuasaan dan budaya, dengan
legiun militer independen yang membedakannya dari struktur feodal Jawa lainnya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Mangkunegara VIII menyatakan kesetiaan kepada
Republik Indonesia, tetapi selanjutnya terjadi ketidakstabilan politik yang mengakibatkan
hilangnya kedaulatan politik Kadipaten Mangkunegaran sebagai satuan politik independen. Meski
demikian, Pura Mangkunegaran tetap mempertahankan peranannya sebagai monarki seremonial
dan penjaga budaya Jawa, terutama budaya Surakarta sub-Mangkunegaran. Pewaris tahta setelah
Mangkunegara VIII, G.P.H. Sujiwakusuma, bergelar Mangkunegara IX, melanjutkan tradisi dan
pelestarian budaya keratin (Adiwardoyo, 1974). Tradisi pemakaman para penguasa Praja
Mangkunegaran, yang berbeda dari Kasunanan Surakarta dengan Astana Mangadeg dan Astana
Girilayu sebagai lokasi pemakaman, serta simbol-simbol budaya seperti warna bendera dan
lambang yang khas, menggambarkan identitas dan keunikan Mangkunegaran. Hal ini
menunjukkan kontinuitas dan adaptasi budaya Mangkunegaran dalam konteks historis dan politik
Indonesia yang berubah.
9
Kasunanan Surakarta
Awal sejarah Kasunanan Surakarta tidak bisa dilepaskan dari cerita Kesultanan Mataram yang
mengalami pemberontakan besar oleh Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said pada
pertengahan abad ke-18. Situasi ini makin menjadi rumit ketika Pakubuwana II, di ambang
kematiannya pada tahun 1749, menyerahkan kedaulatan Mataram kepada VOC. Sejak itu, VOC
dan kemudian pemerintah Hindia Belanda, memiliki hak untuk melantik raja-raja Mataram, sebuah
praktik yang berlanjut hingga pendudukan Jepang di tahun 1942. Konflik internal dan perubahan
kekuasaan ini menandai periode penting dalam sejarah Surakarta karena mempengaruhi struktur
politik dan sosial di Jawa di kemudian hari.
Perjanjian Giyanti, yang disepakati pada 13 Februari 1755 antara VOC dan Pangeran
Mangkubumi, membagi Mataram menjadi dua entitas kerajaan: Kesunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta (Firdausi, 2017). Perjanjian ini akhirnya mengakhiri konflik dengan Raden
Mas Said dan mengizinkan Mangkubumi memerintah sebagian wilayah Mataram dengan gelar
Sultan Hamengkubuwana. Pakubuwana III, sebagai Susuhunan Surakarta, dan Sultan
Hamengkubuwana I dari Yogyakarta, masing-masing mengambil peran dalam memelihara budaya
dan tradisi Mataram, termasuk pembagian pusaka warisan.
Pembagian wilayah Mataram melalui Perjanjian Giyanti dan kemudian Perjanjian Salatiga
pada 17 Maret 1757, yang mengakui Raden Mas Said sebagai pangeran miji dengan wilayah
otonom hampir setengah dari Nagara Agung Surakarta, menciptakan Kadipaten Mangkunegaran
(Wasino, 2014). Penurunan wilayah kekuasaan Surakarta terus berlanjut, terutama setelah Perang
Diponegoro pada tahun 1830. Itu selanjutnya juga mengakibatkan penyerahan lebih banyak daerah
kepada Belanda. Peristiwa-peristiwa ini secara signifikan mengubah lanskap politik Surakarta
melalui. Wilayah dan pengaruhnya di Jawa jadi berkurang karena itu semua.
10
Daftar Pustaka
Adiwardoyo, Sutrisno (1974). Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai Masuknya ke
Provinsi Jawa Tengah. Surakarta: Institut Keguruan Ilmu Pendidikan.
Bolle, K. W. , Buxton, . Richard G.A. and Smith, . Jonathan Z. (2024, March 28). myth.
Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/topic/myth
Britannica, T. Editors of Encyclopaedia (2024, January 23). Javanese language. Encyclopedia
Britannica. https://www.britannica.com/topic/Javanese-language
Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) D.I Yogyakarta. (2018). Cikal Bakal Keraton
Kasultanan
Yogyakarta.
Diakses
dari:
http://dpad.jogjaprov.go.id/article/news/vieww/cikal-bakal-keraton-kasultananyogyakarta-1483
Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) D.I Yogyakarta. (2018). Sejarah Singkat tentang
Kadipaten
Pakualaman.
Diakses
dari:
http://dpad.jogjaprov.go.id/article/news/vieww/sejarah-singkat-tentangkadipatenpakualaman-1484
Firdausi,
F.
A.
(2017).
Perjanjian
Giyanti
Membelah
Mataram.
Diakses
dari:
https://historia.id/politik/articles/perjanjian-giyanti-membelah-mataram-DWV1k
Glinka, J. (2001). Asal-mula Orang Jawa: Suatu Tinjauan Antropologis. Masyarakat Kebudayaan
dan Politik, 14(2), 1-8.
Kraton
Ngayogyakarta
Hadiningrat.
(2024).
Sejarah
Raja-raja.
Diakses
dari:
https://www.kratonjogja.id/raja-raja/
Nasrimi. (2021). Mitos-mitos dalam Kepercayaan Masyarakat. Serambi Akademica Jurnal
Pendidikan Sains dan Humaniora, 9(11). pISSN 2337–8085; eISSN 2657-0998
11
Ogloblin, Alexander K. (2005). "Javanese". Dalam K. Alexander Adelaar; Nikolaus
Himmelmann. The Austronesian Languages of Asia and Madagascar. London dan New
York: Routledge. hlm. 590–624. ISBN 9780700712861.
Roibin, A. D. D. (2023). The role and function of myths for religion in everyday life. MIMBAR
Agama Budaya, 40(2), 69-78. http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/mimbar
Wasino (2014). Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944. Jakarta:
Kompas Media Nusantara.
Wedhawati.TATA Bahasa Jawa Mutakhir / Wedhawati...[et Al] .2006
Widayat, A., & Suwardi. (2005). Sejarah sastra Jawa. Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas
Bahasa dan Seni.
Wulandari, T. (2023). Badan Bahasa: Ada Kemungkinan Penutur Bahasa Jawa, Bagaimana agar
Tak Punah?. Diakses dari: https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6625656/badanbahasa-ada-kemunduran-penutur-bahasa-jawa-bagaimana-agar-tak-punah
12
Download