UNIVERSITAS INDONESIA Makalah Presentasi 13 September 2024 Mata Kuliah Politik Di Timur Tengah Dan Afrika Perkembangan Nasionalisme Arab dan Penerapannya (Studi Kasus: Liga Arab sebagai Manifestasi Nasionalisme Arab) Dosen Pengampu: Ali Muhyidin, MA Prof. Yon Machmudi, Ph.D Teuku Harza Mauludi, M.P.P. Drs. M. Hamdan Basyar, M.Si, APU Disusun oleh: Kelompok 1 Rakha Akbar Aryaputra (2206076175) Nadia Aini Rini Kando (2206076540) Nadia Dwitama (2106746051) Rafli Wardana Alamsyah (22060763651) Ayatullah Batjo (2006591875) DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2024 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nasionalisme Arab, sebagai sebuah ideologi politik, muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 sebagai reaksi terhadap penjajahan dan dominasi kekuatan Barat di wilayah Timur Tengah. Gerakan ini bertujuan untuk membangkitkan kembali identitas kebangsaan yang bersatu berdasarkan sejarah, bahasa, budaya, dan agama yang sama di antara negara-negara Arab (Riyadi, A., Priyangga, Z. G., & Mustolehudin, M. 2021). Di bawah pengaruh kekaisaran Utsmaniyah dan kolonialisme Eropa, semangat nasionalisme ini menekankan pembebasan dari dominasi asing dan upaya untuk mencapai kedaulatan politik bagi negara-negara Arab. Puncak perkembangan nasionalisme Arab terjadi pada pertengahan abad ke-20, terutama di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Nasser di Mesir, yang menjadi simbol gerakan pan-Arabisme. Gerakan ini bertujuan untuk menyatukan seluruh negara Arab ke dalam satu entitas politik yang kuat, berdasarkan kesamaan bahasa, budaya, dan sejarah, dengan visi untuk membebaskan diri dari dominasi kolonial Barat dan kekuatan asing lainnya (Andien, H. S., Delia, A., Khotimah, F. A., Arissaputra, R., & Parhan, M. 2024). Pan-Arabisme tidak hanya menekankan persatuan politik, tetapi juga mengedepankan pembebasan Palestina sebagai isu sentral dalam perjuangan nasionalisme Arab. Dukungan terhadap gerakan anti-imperialisme dan solidaritas Arab dalam menghadapi tantangan eksternal semakin memperkuat ideologi ini sebagai kekuatan dominan di kawasan Timur Tengah pada masa tersebut, menciptakan gelombang persatuan yang sebelumnya belum pernah terlihat. Seiring dengan berjalannya waktu, ideologi nasionalisme Arab menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks. Perpecahan politik di antara negara-negara Arab seringkali dipicu oleh kepentingan yang berbeda, terutama dalam hal kebijakan luar negeri dan aliansi internasional, yang secara langsung melemahkan semangat persatuan pan-Arabisme. Intervensi asing dari kekuatan besar dunia, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Barat lainnya, juga memperburuk situasi dengan mendukung pihak-pihak tertentu dalam konflik regional, sehingga menambah ketegangan di kawasan tersebut (Galle, P. T. 2022). Konflik internal, seperti perang saudara di Suriah dan Yaman, semakin memperuncing perpecahan di antara negara-negara Arab (Aji, G. B. 2020). Di tengah situasi ini, pengaruh globalisasi yang memperkuat keterikatan negara-negara Arab pada ekonomi 1 dan politik global turut mengikis solidaritas pan-Arab. Sementara itu, tumbuhnya Islamisme politik dan munculnya identitas nasional yang lebih kuat di setiap negara Arab menciptakan dinamika baru yang menantang dominasi ideologi nasionalisme Arab tradisional yang pernah menjadi fondasi persatuan kawasan tersebut. Dalam konteks ini, Liga Arab didirikan pada tahun 1945 sebagai wadah untuk mempromosikan solidaritas dan kerjasama di antara negara-negara Arab. Liga ini memiliki peran penting dalam mengartikulasikan nilai-nilai nasionalisme Arab melalui upaya diplomasi dan penyelesaian konflik regional (Rokhim, M. 2021). Meski Liga Arab telah berhasil menyatukan negara-negara Arab dalam beberapa isu penting, seperti konflik Palestina-Israel, Liga Arab juga menghadapi banyak kendala, termasuk perbedaan politik dan ekonomi antar anggotanya yang sering kali menghambat efektivitasnya. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa nasionalisme Arab tetap relevan dalam berbagai bentuk, namun dengan tantangan baru yang lebih kompleks. Pengaruh Liga Arab dalam menangani isu-isu regional juga mencerminkan dinamika baru dalam politik Arab modern, di mana nasionalisme tradisional bersaing dengan kekuatan lain seperti Islamisme, identitas nasional yang lebih kuat, dan tekanan global (Arif, S. M., & Zaman, A. N. 2023). Studi kasus yang diangkat dalam makalah ini, yakni Liga Arab, merupakan contoh konkret dari bagaimana ideologi nasionalisme Arab diterapkan dalam hubungan internasional dan kerjasama antarnegara di kawasan Timur Tengah.` 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dijabarkan, tim penulis merumuskan pertanyaan rumusan masalah sebagai berikut “Bagaimana sejarah munculnya nasionalisme di Arab dan perkembangannya hingga masa kontemporer, serta contoh relevansi penerapan ideologinya?” 2 BAB II PEMBAHASAN 2.2 Sejarah Nasionalisme Arab Sejarah munculnya nasionalisme di Arab dan Timur Tengah dapat ditelusuri ke abad ke-19 dan awal abad ke-20, dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kolonialisme, reformasi dalam kekhalifahan Ottoman, kebangkitan kesadaran identitas nasional, dan pengaruh ide-ide Eropa (Jannah, et al., 2020). Banyak negara di Timur Tengah berada di bawah kekuasaan atau pengaruh kolonial Eropa pada abad ke-19. Imperium Ottoman, yang selama berabad-abad menguasai sebagian besar dunia Arab, melemah, dan negara-negara Eropa seperti Inggris dan Prancis semakin mendominasi wilayah tersebut. Penjajahan dan kontrol politik serta ekonomi oleh kekuatan-kekuatan Barat memicu reaksi perlawanan dan kesadaran akan pentingnya kedaulatan nasional. Pada pertengahan abad ke-19, Kekaisaran Ottoman berusaha melakukan reformasi internal yang dikenal sebagai Tanzimat. Reformasi ini bertujuan untuk memodernisasi struktur politik dan militer Ottoman, sebagian sebagai respons terhadap ancaman eksternal dari kekuatan-kekuatan Eropa. Meskipun reformasi ini memperkenalkan konsep kesetaraan dan kewarganegaraan bagi semua kelompok etnis di dalam kekaisaran, termasuk orang Arab, reformasi ini juga memicu perasaan ketidakpuasan, terutama di kalangan elit Arab yang merasa diabaikan. Ide-ide nasionalisme yang berkembang di Eropa, seperti hak-hak kebangsaan, kedaulatan, dan identitas nasional, mulai memasuki dunia Arab melalui hubungan intelektual dan kontak dengan bangsa-bangsa Barat. Intelektual Arab yang terdidik di Eropa membawa kembali gagasan tentang kebangsaan, kesatuan, dan kemerdekaan. Gerakan kebangkitan Arab, dikenal sebagai Nahda, muncul pada akhir abad ke-19, dipimpin oleh para intelektual Arab yang mengadvokasi reformasi sosial, budaya, dan politik untuk membebaskan bangsa Arab dari dominasi Ottoman dan Eropa (Djamaluddin & Nurlailah, 2024). Pada awal abad ke-20, gerakan pan-Arabisme mulai mendapatkan momentum. Gerakan ini didorong oleh gagasan untuk menyatukan semua bangsa Arab ke dalam satu entitas politik, berdasarkan identitas dan budaya bersama. Salah satu momen penting dalam perkembangan nasionalisme Arab adalah pemberontakan Arab selama Perang Dunia I (1916-1918), di mana suku-suku Arab, dengan dukungan dari Inggris, berperang melawan kekuasaan Ottoman. Perang ini menandai awal dari usaha-usaha serius untuk mencapai 3 kemerdekaan nasional Arab. Setelah pemberontakan Arab selama Perang Dunia I, aspirasi bangsa Arab untuk meraih kemerdekaan semakin kuat, namun hasil yang mereka harapkan tidak sepenuhnya terpenuhi (Sholawati, 2021). Meskipun suku-suku Arab berhasil membantu Inggris mengalahkan Kekaisaran Ottoman, janji-janji kemerdekaan yang diberikan oleh Inggris melalui korespondensi McMahon-Hussein tidak sepenuhnya terealisasi. Sebaliknya, kawasan Arab dibagi antara Inggris dan Prancis melalui Perjanjian Sykes-Picot (1916), yang secara diam-diam menetapkan pembagian wilayah Timur Tengah menjadi zona pengaruh kedua negara kolonial tersebut. Ini menimbulkan kekecewaan besar di kalangan nasionalis Arab. Mandat Liga Bangsa-Bangsa yang diberikan kepada Inggris di Palestina, Yordania, dan Irak serta kepada Prancis di Suriah dan Lebanon hanya memperkuat perasaan bahwa kekuatan Barat terus mendominasi dunia Arab, bukan memberikan kemerdekaan sejati. Situasi ini memicu munculnya gerakan-gerakan perlawanan dan memperkuat tuntutan kemerdekaan di seluruh wilayah Arab (Sudarman, et al., 2018). Setelah Perang Dunia I, Kekaisaran Ottoman runtuh, dan wilayah Arab dibagi menjadi zona-zona pengaruh di bawah mandat Inggris dan Prancis, melalui perjanjian Sykes-Picot (1916). Pembagian ini menimbulkan rasa dikhianati di kalangan bangsa Arab yang merasa bahwa janji kemerdekaan tidak dipenuhi. Hal ini semakin memicu gerakan-gerakan nasionalis yang ingin mengakhiri kekuasaan kolonial dan menciptakan negara Arab yang merdeka. Pada pertengahan abad ke-20, banyak negara Arab mulai meraih kemerdekaan dari kekuatan kolonial. Kemerdekaan Mesir pada tahun 1922 dan kemudian kemerdekaan Suriah, Lebanon, Yordania, dan Irak setelah Perang Dunia II merupakan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah nasionalisme Arab. Gerakan ini diiringi oleh kebangkitan pemimpin-pemimpin nasionalis seperti Gamal Abdel Nasser di Mesir, yang mendorong persatuan Arab dan perlawanan terhadap imperialisme Barat. Secara keseluruhan, nasionalisme Arab di Timur Tengah berkembang dari kombinasi faktor politik, sosial, dan budaya, dengan pengaruh signifikan dari kolonialisme dan ide-ide modern yang diimpor dari Barat, serta upaya bangsa-bangsa Arab untuk membangun identitas dan kedaulatan nasional mereka sendiri. 2.3 Perkembangan Nasionalisme Arab Perkembangan nasionalisme Arab mulai muncul pada akhir abad ke-19 sebagai respons terhadap dominasi kekaisaran Utsmaniyah dan pengaruh imperialisme Barat. Di Mesir, Lebanon, dan Suriah, intelektual Arab memulai gerakan Al-Nahda (kebangkitan), yang 4 mendorong literasi dan identitas budaya Arab melalui penguatan bahasa Arab. Perang Dunia I menjadi titik penting dengan adanya Korespondensi McMahon-Hussein (1915-1916), di mana Inggris menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Arab jika mereka memberontak melawan kekaisaran Utsmaniyah. Pemberontakan Arab tahun 1916 yang dipimpin oleh Sharif Hussein dari Mekkah berhasil, namun perjanjian Sykes-Picot yang membagi wilayah Arab antara Inggris dan Prancis menimbulkan kekecewaan besar. (Eugene Rogan, 2009) Pada abad ke-20, tokoh seperti Gamal Abdel Nasser dari Mesir muncul sebagai simbol nasionalisme Arab dan pan-Arabisme, dengan tujuan menyatukan seluruh negara Arab di bawah satu identitas dan pemerintahan. Revolusi Mesir tahun 1952 memperkuat semangat nasionalis di dunia Arab, dan Nasser memainkan peran penting dalam Gerakan Non-Blok (James L. Gelvin, 2011). Meskipun upaya penyatuan, seperti pembentukan Republik Arab Bersatu (1958-1961) antara Mesir dan Suriah, menunjukkan potensi persatuan Arab, perbedaan politik, ekonomi, dan budaya menyebabkan kegagalan (Adeed Dawisha, 2003). Pada akhir abad ke-20, nasionalisme Arab menghadapi tantangan baru seperti konflik internal, Islamisme, dan pengaruh kekuatan asing, yang melemahkan gerakan ini di berbagai wilayah Arab (Michael Scott Doran, 1992). 2.3.1 Nasionalisme Arab Pra Islam Nasionalisme Arab pra-Islam mengacu pada kesadaran identitas dan kebanggaan yang dirasakan oleh suku-suku Arab sebelum munculnya agama Islam. Pada masa ini, masyarakat Arab hidup dalam struktur kesukuan, di mana loyalitas utama seseorang adalah kepada suku atau klan mereka. Meskipun tidak ada nasionalisme yang terorganisir seperti dalam konteks modern, ada elemen budaya dan sosial yang membentuk fondasi identitas Arab. Sebelum Islam, kawasan Arab dikenal sebagai Zaman Jahiliah, di mana suku-suku hidup terpisah dan sering berperang untuk sumber daya seperti air dan padang rumput. Bahasa Arab Kuno, terutama dalam bentuk puisi, menjadi alat untuk mengekspresikan kebanggaan suku dan membangun ikatan di antara suku-suku yang tersebar di Semenanjung Arab. Puisi ini sering merayakan keberanian, kebesaran suku, dan kemenangan dalam pertempuran, yang kemudian menjadi simbol kebanggaan etnis Arab (Hitti, 1937). Sistem kesukuan sangat dominan dalam membentuk identitas Arab pra-Islam, di mana kepemimpinan suku menjadi struktur politik utama. Loyalitas kepada suku lebih kuat daripada ikatan teritorial atau nasional, sehingga meskipun orang Arab berbagi bahasa dan budaya, tidak ada rasa nasionalisme yang melampaui identitas kesukuan. Suku-suku besar seperti Quraisy dan Ghassanid memiliki pengaruh signifikan di wilayah mereka (Hourani, 5 1991). Selain itu, beberapa kota seperti Mekah dan Yathrib menjadi pusat perdagangan penting, di mana Mekah terkenal sebagai pusat ziarah dan perdagangan, menarik suku-suku Arab dari seluruh Semenanjung untuk berpartisipasi dalam kegiatan komersial dan ritual keagamaan di sekitar Ka'bah. Interaksi ini memperkuat kesadaran identitas Arab di antara suku-suku yang berbeda (Rogan, 2009). Sebelum kedatangan Islam, mayoritas orang Arab menganut kepercayaan politeistik, dengan banyak suku menyembah dewa-dewa lokal dan berhala. Namun, ada juga kelompok kecil yang menganut agama monoteistik, seperti Yahudi dan Kristen, terutama di wilayah utara seperti Yaman dan Suriah (Peters, 1994). Meskipun demikian, tidak ada agama yang menjadi pusat identitas Arab secara keseluruhan sebelum Islam. Identitas Arab yang lebih besar mulai terbentuk setelah kedatangan Islam, yang menyatukan berbagai suku di bawah satu kepercayaan dan pemerintahan, menciptakan landasan untuk persatuan sebagai satu bangsa (William, 1968). 2.3.2 Nasionalisme Arab Masa Islam Nasionalisme Arab pada era Islam tumbuh sebagai tanggapan atas tantangan yang dihadapi dunia Muslim di abad ke-19 dan 20. Salah satu tokoh penting dalam perkembangan ide ini adalah Jamaluddin Al-Afghani yang merupakan reformis Muslim yang memperkenalkan konsep Pan-Islamisme. Dalam konsep ini, Al-Afghani menekankan pentingnya persatuan umat Islam di bawah visi Islam untuk menghadapi tantangan zaman, termasuk perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, dan dinamika politik yang terjadi (Robby, 2020). Selain itu, ada pun Muhammad Abduh yang turut mengkritisi kaitan kontribusi Islam terhadap nasionalisme Arab bahwa kesatuan umat Islam dibawah satu kekhalifahan sangatlah penting. Meski keduanya lebih mengedepankan Pan-Islamisme ketimbang nasionalisme Arab, ide-ide keduanya menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh Arab seperti Gamal Abdel Nasser dan Muammar Qaddafi yang mengembangkan konsep Pan-Arabisme. Dalam konsep Pan-Islamisme, pendekatan "negara-bangsa" yang hanya melihat dari etnis, budaya, bahasa, dan wilayah sering kali mengabaikan peran agama sebagai faktor penyatu (Mugiyono, 2014). Secara historis, konsep nasionalisme secara umum dapat ditemukan dalam sejarah nasionalisme Barat sejak abad ke-15. Nasionalisme Arab yang berkembang pada era pasca-kolonialisme Barat tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kuat ideologi sekuler dan reaksi terhadap kolonialisme (Esposito & Piscatori, 1991). Pada 1950-an dan 1960-an, nasionalisme Arab yang berlandaskan sekularisme dan sosialisme mendominasi berbagai negara Arab. Namun, kegagalan pendekatan ini akhirnya menciptakan gerakan fundamentalisme Islam 6 yang menawarkan ideologi nasionalis berbasis agama. Fundamentalisme ini menarik banyak kalangan masyarakat melalui ideologi agama dan simbol-simbol keagamaan yang mampu merangkul massa. Menurut Hisham Sharabi, fundamentalisme Islam mengekspresikan sentimen dan keyakinan massa yang belum pernah dilakukan oleh ideologi nasionalis atau ideologi manapun sebelumnya (Esposito & Piscatori, 1991). Di Eropa, nasionalisme berkembang secara sekuler sehingga memisahkan paham nasionalisme dengan paham ajaran agama. Pada beberapa negara, paham nasionalisme terbukti efektif sebagai alat pemersatu untuk merebut kemerdekaan. Gerakan nasionalisme yang dilakukan bangsa Eropa, pada awalnya digunakan untuk mempersatukan negara-negara Barat dan sekaligus memecah belah bangsa-bangsa Timur khususnya umat Islam. Akan tetapi, hal ini justru terjadi sebaliknya dimana gagasan nasionalisme yang dibawa Eropa justru membangkitkan kesadaran kaum Muslim untuk melawan kolonialisme. Para kaum Muslim menggunakan nasionalisme sebagai alat pemersatu untuk lepas dari belenggu kolonialisme Eropa. Hal inilah yang menjadikan nasionalisme Islam akhirnya melahirkan gerakan pembaruan yang dipimpin oleh para mujaddid di berbagai negara Islam (Nasution, 1982). Gerakan-gerakan Islam yang muncul saat itu bukan hanya merupakan gerakan spiritual, tetapi juga menjadi bagian penting dari identitas politik dan sosial masyarakat Arab. Dalam konteks politik, Islam memainkan peran sentral sebagai alat untuk memperoleh legitimasi. Pemerintah di beberapa negara Timur Tengah juga menggunakan Islam untuk memperkuat otoritas mereka. Selain itu, gerakan oposisi juga mengadopsi Islam sebagai sarana perjuangan politik dan sosial untuk menekan pemerintah agar melakukan reformasi. Transisi dari nasionalisme Arab sekuler menuju bentuk nasionalisme berbasis Islam ini juga dapat dilihat dalam dinamika politik di beberapa negara seperti Mesir, Tunisia, dan Aljazair. Di Mesir, gerakan Ikhwanul Muslimin diizinkan berpartisipasi dalam pemilihan umum meskipun bukan sebagai partai politik resmi. Sementara itu, di Aljazair Front Keselamatan Islam (FIS) berhasil memenangkan pemilihan lokal tahun 1990 dengan memperoleh 54 persen suara yang mencerminkan kuatnya pengaruh Islam dalam politik nasional (Esposito & Piscatori, 1991). Dalam konteks ini, Islam memainkan peran penting dalam mempengaruhi gerakan nasionalis Arab. Sejak era Jamaluddin al-Afghani, Islam menjadi fondasi bagi para pemikir dan nasionalis Arab untuk merumuskan konsep kebangkitan dan persatuan bangsa Arab (Robby, 2020). Nilai-nilai Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan nasionalisme Arab hingga akhirnya nasionalisme Arab kemudian tumbuh sebagai bagian dari semangat persatuan yang berlandaskan agama bukan sekedar kebangsaan (Narasanti, 1990). 7 2.3.3 Nasionalisme Arab Kontemporer Menurut para peneliti nasionalisme Arab modern, munculnya nasionalisme Arab didorong oleh kebutuhan untuk membentuk negara persatuan Arab yang kuat. Persatuan ini diharapkan mampu memperkuat dunia Arab dalam menghadapi dominasi politik imperialisme Barat. Salah satu tantangan utama adalah menentukan ideologi yang akan mendasari negara Arab bersatu, terutama karena kehidupan bernegara tidak lagi diwarnai oleh agama. Nasionalisme Arab modern mengusulkan perubahan dalam dasar kehidupan bernegara, yang bergerak dari negara berbasis agama menuju negara yang didasari oleh nasionalisme. Dengan demikian, persatuan bangsa Arab tidak lagi dibangun atas dasar nilai-nilai keagamaan, melainkan nilai-nilai kebangsaan atau nasionalitas. Gerakan Nasionalisme Arab berpendapat bahwa dalam konteks zaman modern, nilai-nilai agama tidak lagi relevan sebagai prioritas dalam kehidupan bernegara. Sebaliknya, untuk mencapai kemajuan dan persatuan, agama harus dipisahkan dari politik, dengan peran agama dibatasi sebagai pengawas moral masyarakat. Prinsip ini dikenal sebagai politik sekularisasi (Nuseibeh, 1969). Selain itu, nasionalisme Arab modern menegaskan bahwa orang Arab sudah memenuhi syarat untuk disebut sebagai bangsa, karena terdapat kesamaan latar belakang historis dan kultural di antara negara-negara Arab. Tokoh-tokoh nasionalisme Arab setuju bahwa kesamaan tersebut dapat menjadi dasar kebangkitan nasionalisme Arab yang bersatu. Menurut peneliti nasionalisme Arab modern, terdapat tiga faktor utama yang dapat memperkuat gerakan nasionalisme Arab. Pertama, persamaan bahasa. Kedua, kesamaan latar belakang sejarah. Ketiga, kesamaan kepentingan. Ketiga faktor ini umumnya dianggap sebagai elemen penting dalam membentuk nasionalisme Arab. Para tokoh nasionalisme Arab memberikan pandangan dan alasan mereka, menjelaskan mengapa ketiga faktor tersebut dianggap mampu membangun dan memperkuat gerakan nasionalisme Arab (Nuseibeh, 1969). a. Persamaan Bahasa Bahasa Arab dianggap sebagai faktor utama dalam membangun persatuan Arab dan diterima secara luas sebagai elemen pokok nasionalisme Arab. Bahasa Arab digunakan sebagai bahasa ibu oleh penduduk Jazirah Arab dan Afrika Utara, dan perkembangannya sejalan dengan penyebaran Islam. Islam mendorong penggunaan bahasa Arab oleh orang-orang non-Arab, karena selain menjadi bahasa komunikasi, bahasa Arab juga merupakan bahasa Al-Qur'an. Islam dan Arab begitu erat terkait, sehingga bahasa Arab menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat di kawasan tersebut. Kini, dalam pandangan nasionalisme Arab modern, identitas bangsa 8 lebih didasarkan pada penggunaan bahasa Arab, bukan asal usul etnis (Nuseibeh, 1969). Cendekiawan Arab, Sati Al Husri, menekankan pentingnya bahasa sebagai unsur persatuan. Menurutnya, bahasa adalah faktor utama yang menentukan loyalitas dan identitas sosial, bahkan dapat mengatasi perbedaan agama atau etnis. Bahasa memainkan peran sentral dalam membentuk gagasan nasional, karena merupakan hasil paling khas dari kebudayaan suatu rakyat (Nuseibeh, 1969). Namun, penggunaan bahasa Arab tidak sepenuhnya bebas dari hambatan, seperti perbedaan antara bahasa Arab klasik dan bahasa sehari-hari. Media massa seperti radio, surat kabar, dan film diharapkan mampu memperkuat persatuan bahasa. Orang-orang Arab dikenal memiliki keunggulan dalam hal bahasa, yang juga menjadi sumber kebanggaan. Nuseibah mengungkapkan bahwa meskipun dunia Arab tidak memiliki kepemimpinan politik atau ekonomi yang dominan, mereka memiliki kepemimpinan intelektual yang melampaui batas politik. Karya-karya para penyair, penulis, dan intelektual Arab dibaca dan dihargai di seluruh dunia Arab, membangun kesadaran nasional yang kuat. Para ahli teori nasionalisme Arab menempatkan bahasa sebagai faktor penting dalam membina nasionalisme Arab, seiring dengan tingginya nilai kesusastraan Arab dan penghargaan yang diberikan oleh rakyat Arab terhadap kebudayaan mereka (Nuseibeh, 1969). b. Persamaan Latar Belakang Sejarah Faktor penting kedua yang mendukung kuatnya gerakan nasionalisme Arab adalah kesamaan tradisi sejarah. Menurut Sati Al Husri, sejarah bersama menjadi pengingat yang menghidupkan bangsa, karena kesatuan sejarah Arab membangkitkan rasa simpati dan kecenderungan yang serupa, membuat mereka merasa bangga terhadap kejayaan masa lalu, dan menciptakan kesamaan aspirasi untuk masa depan. Bangsa Arab memilih tradisi dan sejarah yang sama, dibentuk oleh peradaban Islam yang telah ada sejak abad ke-7 M, yang menjadi pondasi utama bagi kemunculan bangsa Arab modern. Kejayaan Islam di masa lalu membangkitkan kebanggaan dan semangat nasionalisme Arab, karena prestasi pada masa itu dianggap sebagai bukti kehebatan nenek moyang mereka. Zaman Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, dengan segala pencapaiannya, menjadi sejarah yang paling dibanggakan dan sering dijadikan inspirasi bagi kebangkitan nasionalisme Arab (Nuseibeh, 1969). 9 Namun, dalam nasionalisme Arab modern yang cenderung bersifat sekuler, aspek sejarah Arab yang dipengaruhi oleh Islam tidak selalu menonjolkan sisi keagamaannya. Sejarah yang diangkat adalah sejarah yang benar-benar menunjukkan identitas Arab, sementara unsur Islam dalam sejarah, meskipun kuat, tidak selalu dipertimbangkan jika tidak menguntungkan tujuan nasionalisme modern. Ada dua cara menafsirkan masa lalu untuk kepentingan nasionalisme. Yang pertama adalah menafsirkan sejarah Arab di zaman Islam dengan penekanan pada kebesaran bangsa Arab, bukan Islam itu sendiri. Misalnya, Umar bin Khattab, yang dulu dipandang sebagai pahlawan Islam dan khalifah yang saleh, dalam konteks nasionalisme dilihat sebagai seorang nasionalis yang memperjuangkan keunggulan Arab. Prestasi bangsa Arab diperbesar, sementara unsur lainnya diperkecil. Cara kedua adalah mengakui kebesaran Islam dalam sejarah Arab, namun tetap melihat nasionalisme sebagai produk modern. Dalam pandangan ini, Islam diakui sebagai bagian dari sejarah bangsa Arab modern, namun nasionalisme dianggap sebagai dorongan modern yang dipicu oleh faktor politik, ekonomi, dan sosial. Contoh penafsiran yang lebih seimbang diungkapkan oleh Constantin Zurayk, yang menegaskan bahwa Islam adalah bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Arab, dan setiap orang Arab, tanpa memandang agamanya, harus mempelajari Islam karena ia merupakan dasar dari budaya mereka. Meskipun sejarah bersama dianggap sebagai faktor pembina nasionalisme Arab modern, sejarah yang diangkat adalah yang telah disaring dan dibersihkan dari elemen-elemen yang merugikan persatuan. c. Persamaan Kepentingan Faktor ketiga yang mendukung nasionalisme Arab, menurut para tokoh nasionalis, adalah kesamaan kepentingan. Kepentingan ini merujuk pada hak dan keinginan bangsa Arab untuk bersatu demi mencapai tujuan nasional, yaitu kemerdekaan, keamanan, kemuliaan, dan persaudaraan bagi bangsa Arab, baik di masa kini maupun masa depan. Cita-cita yang paling mendesak pada saat itu adalah kemerdekaan dari politik imperialisme Barat serta mencegah pembentukan negara Israel di tanah Palestina. Jika kesamaan bahasa dan latar belakang sejarah merupakan faktor objektif yang secara alami telah ada dalam bangsa Arab, kesamaan kepentingan dianggap sebagai faktor subjektif. Ini berarti kesamaan kepentingan bergantung pada keinginan 10 bersama dari individu-individu bangsa Arab untuk mewujudkan cita-cita nasional mereka. Selain ketiga faktor utama tersebut, ada beberapa faktor lain yang sebelumnya diajukan sebagai unsur penting nasionalisme Arab tetapi tidak disetujui secara umum. Faktor pertama yang ditolak adalah jenis bangsa, karena kenyataannya bangsa Arab tidak berasal dari satu nenek moyang yang sama. Contohnya, orang Mesir menolak disebut sebagai keturunan Arab karena mereka berasal dari leluhur Mesir Kuno, meskipun percampuran antara pribumi dan Arab terjadi setelah penaklukan Islam. Demikian pula, orang Lebanon sebagian besar bukan keturunan Arab, melainkan berasal dari Phunesia, Aramia, dan lainnya. Meskipun begitu, baik orang Mesir maupun Lebanon tetap memiliki semangat nasionalisme Arab yang kuat karena budaya dan bahasa Arab yang mereka anut. Kesimpulannya, nasionalisme Arab tidak didasarkan pada keturunan, tetapi pada ikatan sosial, mental, dan spiritual. Faktor kedua yang ditolak sebagai unsur nasionalisme adalah agama. Sejak awal, agama sengaja disingkirkan karena sering menimbulkan perpecahan. Meskipun Islam adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah dan peradaban Arab, prinsip nasionalisme Arab jauh dari konsep-konsep keagamaan. Nasionalisme Arab mengikuti model Barat dari era Renaissance, di mana kemajuan dicapai dengan memisahkan agama dari kehidupan politik ( Nuseibeh, 1969). Alasan utama lainnya untuk menolak agama sebagai dasar nasionalisme adalah agar unsur-unsur Arab non-Muslim, terutama Arab Kristen, bisa berpartisipasi dalam membentuk negara dan mewujudkan cita-cita nasional. Arab Kristen, khususnya dari Suriah dan Lebanon, memiliki peran penting dalam gerakan nasionalisme Arab, bahkan melebihi jumlah mereka. Banyak tokoh nasionalisme Arab berasal dari kalangan Arab Kristen dan intelektual Muslim moderat. Pandangan terkait hubungan antara agama dan nasionalisme juga dibahas oleh tokoh-tokoh nasionalisme Arab. Constantin Zurayk, misalnya, berpendapat bahwa nasionalisme sejati tidak bertentangan dengan agama, karena keduanya adalah gerakan spiritual yang membangkitkan potensi bangsa. Sementara itu, Mohammad Haykal, seorang intelektual Muslim, menegaskan bahwa persatuan Arab tidak boleh disamakan dengan persatuan Islam, karena dunia Islam jauh lebih luas dan beragam. Namun, ia juga menganjurkan memperkuat hubungan budaya dan keagamaan dengan negara-negara Islam lainnya, meskipun menolak gagasan Pan-Islamisme yang dianggap tidak realistis. Kedua tokoh nasionalisme Arab ini, baik yang Kristen maupun Muslim, sepakat bahwa nasionalisme 11 Arab adalah gerakan duniawi yang bertujuan untuk membangkitkan kekuatan spiritual demi kemajuan bangsa dan negara (Nuseibeh, 1969). 2.4 Studi Kasus: Liga Arab Liga Arab atau the League of Arab States berdiri pada 22 Maret 1945 yang menjadi organisasi pemerintahan antarbangsa dengan membawahi 22 negara Arab. Liga Arab hadir sebagai respon dari adanya pergerakan Pan Arabisme, dalam arti lain bahwa Liga Arab memiliki semangat nasionalisme Arab. Liga Arab bertujuan untuk menyatukan bangsa-bangsa Arab yang mengalami kolonialisme dan juga dipengaruhi oleh kemunduran Kekhalifahan Utsmani (Little, T., 1956). Peran yang dimiliki oleh Liga Arab juga dianggap penting bagi negara-negara yang menjadikan Liga Arab menjadi garda terdepan dalam menanggapi isu-isu politik, budaya, ekonomi, dan juga sosial (Nor, M. dan Rozi, R., 2016). Sebagai organisasi regional Liga Arab turut mengalami beberapa tantangan dalam menyelesaikan konflik internal dari bangsa-bangsa yang memiliki kepentingan nasional yang berbeda-beda. Dewan Liga Arab berkewajiban untuk melakukan intervensi terhadap isu yang berpotensi timbulnya konflik internal Liga Arab. Dewan - dewan yang dapat melakukan intervensi, terdiri dari Dewan (the Council), Sekretariat Permanen, dan Komite Permanen. (Pradana & Yulianti, 2017). Beberapa tantangan membuktikan bahwa Liga Arab masih sulit untuk mencapai konsensus di antara dua belah pihak yang berbeda kepentingan. Tak jarang bahwa intervensi dari kekuatan eksternal menjadi hambatan Liga Arab dalam menyelesaikan permasalahan. Di Timur Tengah, peran Liga Arab dalam menjalankan perannya sebagai penengah konflik berhasil sejumlah 5 dari 22 perang sipil besar. Yang pertama, konflik Irak-Kuwait (1961) Liga Arab mengirimkan pasukan perdamaian atas respon Irak yang tidak menerima bahwa Kuwait telah merdeka dan Inggris mengirimkan pasukannya untuk membalas Irak. Atas adanya intervensi dari Liga Arab, Kuwait yang telah dilindungi oleh Liga Arab akhirnya diakui kemerdekaannya oleh Irak. Selanjutnya, pada tahun 1976 “Pasukan Penyeimbang Arab” ke Lebanon, Liga Arab juga mengirimkan pasukan perdamaian kembali. Yang ketiga, Liga Arab melakukan intervensinya untuk mengambil keputusan penentangan invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990 yang masih mengalami kegagalan dan Liga Arab kembali memperjuangkan kebebasan Kuwait dengan membentuk pasukan koalisi AS yang berisikan Mesir, Suriah, Maroko, dan negara Teluk. Selanjutnya, peran Liga Arab juga mencakup adanya pembentukan Observer Mission di Suriah dan menandatangani perjanjian dengan Suriah pada 19 Desember 2011. Misi ini menghasilkan Suriah yang dicabut keanggotaannya 12 dari Liga Arab dikarenakan maraknya aksi bom bunuh diri. Hingga pada penyelesaian konflik terakhir yang berhasil diselesaikan oleh Liga Arab adalah upaya mediasi di Yaman meskipun pada akhirnya upaya pengecaman itu gagal karena kondisi yang kian memanas dan dianggap sebagai formalitas untuk menyelesaikan konflik sebagaimana yang terjadi kembali di Israel - Palestina. Terbentuknya Liga Arab ditujukan untuk tercapainya resolusi konflik, namun negara-negara kuat yang berperan di Liga Arab pada konflik kontemporer seperti Yaman dan Suriah justru menjadi dalang konflik tersebut. Terdapat dua faktor yang menyebabkan kegagalan Liga Arab dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah diantaranya; (1) Kerjasama dan ketergantungan ekonomi antara AS dan negara-negara kaya Arab penghasil minyak dan gas, (2) Hubungan yang erat antara AS dan Israel sehingga memanfaatkan ekonomi negara-negara Arab untuk kepentingan Israel. Hal tersebut sempat terjadi dalam konflik Suriah, dimana negara anggota Liga Arab terpecah pandangan yang sebenarnya Suriah salah satu anggota Liga Arab, bahkan mengeluarkan Suriah dari Liga Arab (Pradana & Yulianti, 2017). 13 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Nasionalisme Arab yang muncul pada abad ke-19 sebagai respon terhadap imperialisme Barat dan dominasi Utsmaniyah telah berkembang dari masa Nasionalisme Arab Pra-Islam, Nasionalisme Arab Islam hingga Nasionalisme Arab Modern. Dalam perkembangannya masing-masing memiliki ciri yang berbeda. Berawal dari Nasionalisme Arab Pra-Islam yang menekankan sistem kesukuan sebagai struktur politik utama, selanjutnya Nasionalisme Arab Islam yang memiliki tokoh Jamaluddin Al-Afghani penggagas konsep Pan-Islamisme yang mengutamakan persatuan umat Islam dibawah visi islam, sedangkan Nasionalisme Arab Modern yang memisahkan agama dengan politik serta menekankan negara dibangun dengan nilai-nilai kebangsaan bukan nilai-nilai keagamaan. Dengan dibentuknya Liga Arab sebagai organisasi regional yang bertujuan untuk menyatukan negara-negara Arab melawan kolonialisme menjadi contoh penerapan ideologi Nasionalisme Arab. Peran organisasi tersebut dalam menanggapi isu-isu politik, budaya, ekonomi dan sosial menjadi penting. Liga Arab juga ditujukan untuk menghasilkan resolusi konflik negara-negara anggotanya, hal ini sesuai dengan nilai-nilai Nasionalisme Arab yang memperkuat negara-negara Arab dari kolonialisme. 14 DAFTAR PUSTAKA Aji, G. B. (2020). Karakter Keberagamaan di Java Pasca Geertz. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Andien, H. S., Delia, A., Khotimah, F. A., Arissaputra, R., & Parhan, M. (2024). PERAN MUSLIM DALAM KONFLIK GEOPOLITIK: ANALISIS PERANG ISRAEL-PALESTINA. Pendas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 9(2), 152-168. Arif, S. M., & Zaman, A. N. (2023). ANALISIS KEPENTINGAN NASIONAL UNI EMIRAT ARAB MELAKUKAN PROSES NORMALISASI HUBUNGAN DIPLOMATIK DENGAN ISRAEL 2020. Triwikrama: Jurnal Ilmu Sosial, 2(1), 8-18. Adeed Dawisha, 2003. Arab Nationalism in the Twentieth Century: From Triumph to Despair Princeton: Princeton University Press. Dipoyudo, K. (2023, Mei 10). Eskalasi Pertarungan Super Power di Timur Tengah. Timur Tengah Pusaran Strategis, 10(6). Djamaluddin, B. & Nurlailah, N., 2024. Nasionalisme dalam Sastra Arab Kontemporer: Studi Karya Saad Pasha Zaghlul. JILSA (Jurnal Ilmu Linguistik dan Sastra Arab), 4(1), pp. 31-39. Esposito, J. L., & Piscatori, J. P. (1991). Democratization and islam. Middle East Journal, 45(3), 427-440. Eugene Rogan. 2009. The Arabs: A History London: Penguin Books. Galle, P. T. (2022). Konstruksi pemikiran hans küng tentang dialog katolik dengan islam dan relevansinya untuk konteks indonesia. Hitti, Philip K. 1937. History of the Arabs. London: Macmillan. Hourani, Albert.1991. A History of the Arab Peoples. Cambridge, MA: Harvard University Press. Issawi, C. (1964). An Arab Philosophy of History. Oxford University Press. Jannah, M., Sukino, P. & Sadikin, M., 2020. Nasionalisme Di Dunia Islam. MASA: Journal of History, 2(1). James L. Gelvin, 2011. The Modern Middle East: A History. New York: Oxford University Press Little, T. R. (1956). The Arab League: A Reassessment. Middle East Journal, 10(2), 138-150 15 https://www.jstor.org/stable/4322798?casa_token=Wcr60eczqLUAAAAA:lKY5KlwEGnvU E-XKmlkcf4ZWOynlJbLXwnw6cucGtoUOrSE4mGAuvXfZ8nsWekUkoaSA7AP0 WifTc9JMS_q-gMkqccr98jDDdXer1VxNrNOM_6J2pieX Lewis, B. (1950). The Arabs In History. London an New York. Mugiyono, M. (2014). Relasi Nasionalisme Dan Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Kebangkitan Dunia Islam Global. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, dan Fenomena Agama, 15(2), 97-115. Michael Scott Doran. 1992. "Pan-Arabism before Nasser," International Journal of Middle East Studies 24, no. 2 Nuseibah, H. Z. (1969). Gagasan-Gagasan Nasionalisme Arab. Djakarta : Bhatara. Nasution, H. (1982). Pembaharuan dalam Islam: sejarah pemikiran dan gerakan. Narasanti, A. (1990). Nasionalisme Arab Gagasan Pemikiran dan Perkembangan Gerakannya: Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Budaya Arab. Universitas Indonesia. Nor, M. R. M., & Rozi, R. M. (2016). Penglibatan Liga Arab Dalam Konflik Palestin-Israel (Involvement of Arab League on Palestine-Israel Conflict). Journal of Al-Tamaddun, 11(2), 57-66 http://ijie.um.edu.my/index.php/JAT/article/view/8701 Pradana, A. M. N., & Yulianti, D. (2017). Peran Liga Arab Pada Konflik di Timur Tengah Dalam Perspektif Ekonomi-Politik Internasional. Jurnal ICMES, 1(1), 99-120 https://www.ic-mes.org/jurnal/index.php/jurnalICMES/article/view/7 Peters, F. E. 1994. Muhammad and the Origins of Islam. Albany: State University of New York Press. Robby, H. M. F. (2020). Arab Nationalism: Past, Present, and Future. Journal of Integrative International Relations, 5(1), 1-32. Rogan, Eugene. 2009. The Arabs: A History. London: Penguin Books. Sholawati, S. (2021). Sejarah Pendidikan dan Dakwah Islam pada Masa Arab Modern. Jurnal Studi Islam dan Kemuhammadiyahan (JASIKA), 1(1), pp. 54-63. Sudarman, S., Hidayaturrahman, M. & Siregar, Z. (2018). Sejarah dalam Kajian Studi Islam: Analisis Terhadap Pemikiran Abu Rabi’. Khazanah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, pp. 91-101. Watt, Montgomery. 1968. Islamic Political Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press. Zaidan, J. (1970). History of Islamic Civilization. London. 16