Kuliah Kerja Lapang III – Kabupaten Majalengka © 2021 Departemen Geografi FMIPA UI Perilaku Keruangan Pengunjung di Masjid di Majalengka Kulon, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka (Studi Kasus: Pengunjung Laki-Laki Masjid Agung Al-Imam dan Masjid AsSakkinah) Ahmad Amanatunnawfal Ammar Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia Email: ahmad.amanatunnawfal@ui.ac.id Abstrak. Perilaku keruangan adalah tindakan di dalam ruang yang dibentuk oleh sistem ruang yang juga dimotivasi oleh kebutuhan dan nilai personal/kolektif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perilaku keruangan pengunjung laki-laki dan perbandingan perilaku keruangan pengunjung laki-laki berdasarkan karakteristik lokasi masjid di Kelurahan Majalengka Kulon. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode kualitatif studi kasus deskriptif. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan studi literatur. Kemudian, ditriangulasi dari sudut pandang pengunjung, sudut pandang petugas, dan lokasi yang berbeda. Hasil menunjukkan bahwa aspek afektif dari pengunjung yang bermotivasi rekreasi cenderung dibentuk oleh aspek kognitif yang terkait dengan arsitektur masjid. Hal ini ditemukan di Masjid Agung Al-Imam saja sebagai tempat pariwisata religi, biasanya asal mereka dari wilayah perkotaan luar Kabupaten Majalengka. Kebanyakan dari mereka memiliki emosi bahagia. Untuk pengunjung nonpariwisata lebih banyak memiliki emosi tenang, tetapi untuk yang tempat tinggalnya berjarak 300 m, memiliki emosi sense of ‘home’. Lalu, untuk aspek konatif menunjukkan bahwa baik untuk motivasi pariwisata maupun nonpariwisata menghabiskan waktu dalam ruang yang cenderung seragam. Jadi, diambil kategori baru, yakni pengunjung yang berlama-lama di zona transisi dan yang berlama-lama zona lainnya. Motivasi menunggu cenderung membuat pengunjung berlama-lama di kawasan transisi, yakni teras masjid. Kata kunci: perilaku, keruangan, masjid, pariwisata, kualitatif Abstract. Spatial behavior is action in space formed by the spatial system, also motivated by personal/collective needs and values. The purpose of this study was to determine how the spatial behavior of male visitors and the comparison of the spatial behavior of male visitors based on the characteristics of the location of the mosque in Kelurahan Majalengka Kulon. The research used a descriptive qualitative approach. Data were collected through observation, interviews, and literature study. Then, it is triangulated from the visitor's point of view, the officer's point of view, 1 Kuliah Kerja Lapang III – Kabupaten Majalengka © 2021 Departemen Geografi FMIPA UI and different locations. The results show that the affective aspects of recreationally motivated visitors tend to be shaped by the cognitive aspects associated with mosque architecture. This is found in Masjid Agung Al-Imam as a place of religious tourism, their origins are usually from urban areas outside Majalengka Regency. Most of them have happy emotions. Non-recreationally motivated visitors tend to have calm emotions, but those who live 300 m away have an emotional sense of 'home'. Then, for the conative aspect, it shows that both tourism and non-tourism motivations spend time in a space that tends to be uniform. So, a new category is taken, namely visitors who linger in the transition zone and those who linger in other zones. The motivation to wait tends to make visitors linger in the transition area, namely the mosque terrace. However, overall, spatial behavior has been explained by activities related to motivation and cognition. Keywords: behavior, spatial, mosque, tourism, qualitative 2 3 1. Pendahuluan Majalengka adalah salah satu kabupaten yang cukup terpengaruh penyebaran Islam. Majalengka terkena pengaruh Cirebon dalam paham berbau Islam (Syukur, 2017). Beberapa wilayah yang terakhir menerima Islam pun sudah cukup lama, yakni tahun 1530 di wilayah Galuh (Syukur, 2017). Jadi, budaya Islam sudah berkembang di Majalengka. Masjid sebagai tempat peribadatan umat Muslim memegang peranan penting dalam kehidupan, yakni kehidupan beragama. Masjid menjadi identitas umat Islam, bersama dengan makam suci dan tanah suci yang menyimpan memori kejadian masa lalu kehidupan Nabi Muhammad SAW (Diener dan Hagen, 2020). Perilaku keruangan pengunjung laki-laki juga penting, karena laki-laki yang sudah balig wajib pergi ke masjid (Darussalam, 2016). akibatnya komunitas masjid lebih banyak dibentuk oleh laki-laki (Darussalam, 2016; Utami, 2019). Perilaku keruangan dalam geografi menjadi penting karena setting spasial dapat menjadi evaluasi masjid ke depannya apakah sesuai dengan harapan image yang terbentuk atau tidak dan apakah hal tersebut sudah terwujud dalam aspek perilakunya (Lynch, 1960; Golledge dan Stimson, 1990). Setting tempat berbeda dapat menghasilkan perilaku yang berbeda pula. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses kognitif, afektif, dan konatif perilaku keruangan pengunjung laki-laki masjid serta bagaimana perbandingan perilaku keruangan berdasarkan karakteristik lokasi masjid yang berbeda. 1.1. Kognitif Perilaku keruangan adalah respon pribadi terhadap objek dan benda di lingkungannya (Skinner, 1993; Prakoso dan Fatah, 2017). Perilaku keruangan juga dipengaruhi oleh sensasi dan sistem ruang. Perilaku keruangan dijelaskan dari tiga tahap pembentukan sikap, yaitu kognitif, afektif, dan konatif (Golledge dan Stimson, 1990; Putri et al., 2017). Tahap kognitif lebih berhubungan dengan proses memandang, mengetahui dan memikirkan sehingga individu mengetahui lingkungannya (Golledge dan Stimson, 1990). Salah satu aspek kognitif yang dapat diresap oleh seseorang mengenai sebuah tempat adalah daya tarik dari masjid. Daya tarik masjid ini dapat dibagi menjadi enam, yakni yang berhubungan dengan nilai biografis, nilai spiritual, nilai ideologis, nilai komodifikasi, nilai dependen, dan nilai naratif (Jennifer, 2001; Dewiyanti, 2015). Nilai biografis adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan keterikatan seseorang dengan sebuah tempat (Jennifer, 2001; Dewiyanti, 2015). Kemudian nilai spiritual adalah nilai yang intuitif dan tidak dapat dijelaskan, sulit disadari namun dapat dirasakan (Jennifer, 2001; Dewiyanti, 2015). Lalu, nilai ideologis adalah nilai yang dibentuk oleh norma, peraturan, dan kepercayaan (Jennifer, 2001; Dewiyanti, 2015). Nilai komodifikasi adalah nilai yang berhubungan dengan atribut dan pertimbangan setelah membandingkannya dengan tempat yang lain (Jennifer, 2001; Dewiyanti, 2015). Setelah itu, nilai dependen adalah nilai yang berhubungan dengan ketiadaan pilihan lain. Biasanya dibatasi oleh kemampuan ekonomi yang membentuk nilai ekonomi dan moral (Jennifer, 2001; Dewiyanti, 2015). Terakhir adalah nilai naratif yang merupakan nilai yang diperoleh dari cerita turuntemurun. 1.2. Afektif Dari aspek kognitif, kemudian kemampuan seseorang mengenali sarana dan prasarana dan daya tarik dari masjid membentuk aspek afektif. Dari aspek afektif, dikaji motivasi dan emosi dari pengunjung yang kemudian membentuk aspek konatif (Widodo et al., 2017). Di mana emosi adalah pola reaksi yang kompleks, melibatkan elemen pengalaman, behavioral, dan fisiologis (APA, tt; UWA, 2019). Aktivitas dalam ruang sendiri dapat mempengaruhi emosi seseorang (Yan dan Halpenny, 2019). Emosi positif dari aktivitas keagamaan yang dapat menggerakkan jiwa manusia di tempat peribadatan sendiri dapat dibagi menjadi 3, yaitu bahagia, tenang, dan sense of ‘home’ (Finlayson, 2012). Lalu, juga dibahas motivasi dari pengunjung (Scannell dan Gifford, 2010). Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 4 Secara istilah, motivasi adalah proses yang melibatkan intensitas individu, arah, dan kegigihan usaha untuk mencapai sebuah tujuan (Wicaksono, 2018). Penggolongan motivasi lain, dapat digolongkan menjadi motivasi pariwisata dan nonpariwisata, sejajar dengan penelitian Putri et al (2017) yang membedakan motivasi ziarah dan nonziarah di makam suci. Lebih lanjut, Goeldner dan Ritchie (1999; Rani et al., 2019) menggolongkan motivasi pariwisata berupa motivasi fisik yang bertujuan untuk relaksasi, olahraga, serta penyegaran fisik. Kemudian motivasi budaya adalah keinginan untuk mengetahui budaya, adat, tradisi, dan kesenian daerah lain. Lalu, motivasi sosial interpersonal untuk mengunjungi teman/keluarga. Terakhir adalah motivasi status untuk bisnis, pendidikan, dan hobi pribadi. 1.3. Konatif Terakhir dari konatif adalah hal yang menunjukkan pola aktivitas (proses, transisi, dan sosial) (Zhang dan Lawson, 2009; Putri et al., 2016). Kajian seperti ini penting untuk dibahas untuk mengetahui apakah seseorang memiliki kecenderungan aktivitas tertentu dalam ruang. Konatif adalah bagian yang nampak dari sikap, perilaku yang terlihat, dan juga tahap akhir dari pembentukan sikap (Golledge dan Stimson, 1990). Perilaku seseorang sudah dibentuk sejak lama, tetapi lingkungan tertentu dapat membentuk wujud nyata perilaku dari seseorang yang dijelaskan sebagai faktor lokasi site (Putri et al., 2017; Safitri, 2020; Tambunan et al., 2015). Hasil dari perilaku individu dalam penelitian Putri et al (2017) dijelaskan bahwa aktivitas dalam ruang dapat didefinisikan dalam pola aktivitas berlama-lama di ruang tertentu (Safitri, 2020). Pola aktivitas tersebut dapat berupa aktivitas berlama-lama di kawasan utama atau pendukung yang dibentuk oleh sarana dan prasarana dalam masing-masing ruangan. Ada pula klasifikasi ruangan lain di masjid, yaitu ruang haram, transisi (teras/serambi), dan ruang luar (Putrie dan Maluscha, 2013). 1.4. Lokasi Perilaku keruangan dari pengunjung dapat dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik lokasi, salah satunya adalah site dan situation (Putri et al., 2017). Faktor lokasi lain adalah faktor jarak (panjang antara dua titik), di mana aktivitas pengunjung yang berjarak kurang dari 300 m cenderung lebih sering ke masjid sehingga lebih terikat dengan masjid (Suryani, 2013; Elhag et al., 2019; Ivis, 2006). Faktor asal pengunjung dari daerah perdesaan dan perkotaan juga membedakan, di mana pengunjung dari wilayah perkotaan cenderung terikat dengan kehidupan hedonisme dan konsumtif, perjalanan wisata seringkali berkaitan dengan eksotisme dan bukan spiritualisme layaknya di perdesaan (Shepherd, 2002; Smiley dan Emerson, 2020). Untuk yang berasal dari domestik, meskipun sama-sama dari wilayah perkotaan, seringkali lebih sadar terhadap sarana dan prasarana masjid dan bukan keindahannya, jadi kunjungannya kurang spesifik (Bonn et al., 2015; Ngwira dan Kabkhuni, 2018). Faktor lokasi lain adalah situation (lokasi objek relatif dari objek lain), yakni penggunaan tanah sekitar masjid dan klasifikasi jalan yang mencerminkan aksesibilitas masjid. 2. Metodologi Penelitian Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 5 2.1. Wilayah Studi Gambar 1. Lokasi Wilayah Studi Lokasi absolut dari Masjid Agung Al-Imam Majalengka adalah 108o13’36,18 BT dan 6o50’07,96” LS. Kemudian untuk Masjid Assakinah adalah 108o12’56,04” BT dan 6o50’04,26” LS. Kedua masjid ini berada di Kelurahan Majelengka Kulon. Masjid Agung Al-Imam Majalengka dibagun sejak 1884 M, awalnya merupakan masjid yang kecil (Bagus, 2021). Renovasi terakhir dilakukan pada tahun 2019 untuk mengakomodasi makmum yang lebih banyak dan berperan sebagai daya tarik wisata religi (Kementerian Agama, 2019). Kemudian untuk Masjid Assakinah Majalengka merupakan masjid yang telah dibangun sejak tahun 1986 dengan jumlah jamaah 150 – 200 orang (DKM, 2021). 2.2. Data Secara umum, dalam penelitian ini terdapat beberapa data yang dikumpulkan berdasarkan faktorfaktornya. Faktor pertama adalah faktor aspek kognitif yang subfaktornya adalah daya tarik dari masjid menurut pengunjung. Kemudian faktor afektif, yang subfaktornya merupakan motivasi dan emosi pengunjung. Lalu, faktor konatif berupa aktivitas pengunjung di dalam masjid berupa waktu dari tiaptiap aktivitas. Data dari faktor pertama dan kedua merupakan data tekstual, sedangkan data dari faktor ketiga adalah data sketsa spasial. Faktor lainnya adalah faktor yang berhubungan dengan lokasi masjid dan asal pengunjung, di mana faktor lokasi masjid diperoleh dari faktor situs dan situasi, data situs yang digunakan adalah sarana dan prasarana di masjid. Kemudian untuk data situasi yang digunakan adalah penggunaan tanah di sekitar masjid dan klasifikasi jenis jalan berdasarkan fungsi sesuai Kementerian Pekerjaan Umum (1990). Faktor terakhir adalah asal pengunjung, asal pengunjung berupa subfaktor jarak dan asal regional administratif. Data faktor lokasi adalah data spasial. 2.3.1. Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data secara langsung dengan survei lapangan. Data primer spasial diperoleh melalui observasi partisipan terfokus, objek observasinya adalah tempat dan aktivitas pengunjung. Jenis partisipasi yang dilakukan adalah observasi aktif untuk mengetahui aktivitas kunjungan dari masingmasing pengunjung. Pemetaan berdasarkan pelaku (person-centered mapping) dilakukan untuk sekelompok orang atau seseorang dengan mengikuti pergerakan orang yang diamati. Pengamatan ini dilakukan dengan membuat sketsa dan catatan pada peta dasar (Fitria, 2018). Kemudian waktu dari tiap noda aktivitas direkam waktunya. Meskipun site and situation masjid dapat diperoleh dari data sekunder, detail dari penggunaan tanah diperoleh dari observasi titik POI di lapang (Jiang, 2015). Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 6 Data primer tekstual diperoleh melalui wawancara terhadap pengunjung dan petugas dengan pertanyaan semi-terstruktur terbuka. Hal ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut permasalahan (Sugiyono, 2013). Terdapat 15 informan yang diwawancarai, termasuk 2 informan kunci. Keseluruhannya kemudian direkam dengan recorder untuk diolah lebih lanjut. Adapun untuk kriteria informan yang diwawancara adalah: 1. 2. 3. 4. 5. Generasi milenial dan Z (kelahiran 1980 - 2012) Menggunakan pakaian nonagamis Laki-Laki Merupakan pengunjung Masjid Agung Al-Imam atau Masjid As-Sakinah Bersedia untuk diwawancara Kriteria pakaian nonagamis dilakukan untuk mengeksplor tidak hanya komunitas yang terbentuk di sekitar masjid saja yang cenderung memakai pakaian agamis sehingga eksploratif (Lestari, 2013; Sugiyono, 2013; Arozy, 2016). Komunitas keagamaan ini sendiri biasanya memiliki ciri khas pakaian agamis dan adab lainnya (Lestari, 2013). Untuk kriteria pengunjung laki-laki didasarkan pada akses observasi pengunjung. Generasi milenial dan Z dipilih karena adalah generasi pertama yang meninggalkan tradisi dan prinsip kolektif lain, kehidupannya sangat dekat dengan teknologi, budaya pop, dan hiburan untuk aktualisasi diri (Wood, 2020; ARA, 2016). Lalu, untuk data sekunder yang berhubungan dengan kondisi umum sebuah masjid diperoleh melalui studi literatur yang juga berguna untuk pelengkap (Sugiyono, 2013). Data dikumpulan berdasarkan kaidah triangulasi, yakni dengan triangulasi metode, berupa observasi, analisis dokumen, foto, dan wawancara. Kemudian untuk triangulasi sumber, diperoleh melalui observasi di dua masjid berbeda dan wawancara dengan sudut pandang petugas maupun pengunjung. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kredibilitas mengenai data yang diperoleh (Sugiyono, 2013). 2.3.2. Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan reduksi data untuk menemukan temuan tertentu, kemudian dilakukan coding, penyajian data dalam bagan, serta kesimpulan. Penyajian data dalam bagan dimaksudkan untuk mengetahui kecenderungan dari kategori-kategori tertentu. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan hasil kecenderungan dan sudah ditriangulasi dari berbagai sumber dan metode yang sudah direncanakan. Pengolahan data dilakukan secara berulang untuk mengurangi bias (Sugiyono, 2013). Selain data tekstual, dilakukan pula pengolahan data keruangan dalam aplikasi SIG. Hasil keduanya kemudian dibahas melalui analisis deskriptif tekstual dan keruangan, antara domain perilaku pengunjung dan lokasi, serta bagaimana tahap-tahap pembentukan sikap untuk perilaku pengunjung yang digambarkan dalam gambar 2. Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 7 Gambar 2. Diagram Alur Pikir Penelitian 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Lokasi 3.1.1. Sarana dan Prasarana Terdapat tiga jenis sarana dan prasarana, yaitu sarana dan prasarana utama, pendukung, dan lainnya. Sarana dan prasarana yang utama cenderung digunakan untuk melakukan aktivitas ibadah saja, untuk sarana dan prasarana pendukung cenderung digunakan untuk menunjang aktivitas ibadah, dan sarana serta prasarana lainnya adalah yang tidak berhubungan dengan aktivitas ibadah (Putri et al., 2017). Secara umum, masjid pariwisata cenderung lebih lengkap sarana dan prasarananya (Putri et al., 2017). Tabel 1. Sarana dan Prasarana Masjid Masjid Masjid Imam Utama Agung Pendukung Lainnya Al- Ruang ibadah tanpa Tempat wudhu, lemari Alquran, lemari karpet pakaian ibadah, mimbar, speaker Masjid As-Sakkinah Ruang ibadah dengan Tempat karpet mimbar Kamar kecil, AC, Tangga, kedai makanan, teras, halaman hijau, tempat parkir, pos satpam, CCTV, kantor administrasi, penitipan sepatu, ruang remaja masjid, lemari peletakan sepatu, boks koin wudhu, Kamar kecil, AC, tempat parkir, teras, CCTV, kantor administrasi, penitipan sepatu, lemari peletakan sepatu, boks koin Sarana dan prasarana ini kemudian membentuk penggunaan ruang dari masjid, di mana kawasan utama adalah kawasan untuk ibadah saja di kedua masjid. Sedangkan penggunaan kawasan pendukung di Masjid Agung Al-Imam di antaranya untuk menyucikan diri, istirahat, buang hajat di kamar kecil, berbelanja, hingga berfoto-foto. Lalu di Masjid As-Sakkinah ditemukan aktivitas menyucikan diri, istirahat, buang hajat di kamar kecil, dan berbelanja. Aktivitas berfoto hanya ditemukan di Masjid Agung Al-Imam karena merupakan tempat pariwisata, tentunya masjid pariwisata seringkali menjadi tempat berfoto karena arsitekturnya, kesempatan ini yang mendorong seseorang untuk berwisata ke masjid (Moghavvemi et al., 2021). Ada pula yang berkunjung ke masjid untuk berbelanja, ditemukan di tempat pariwisata yang memiliki sarana dan prasarana untuk aktivitas ekonomi seperti penelitian Putri et al (2017). 3.1.2. Situation Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 8 Situation menjelaskan lokasi masjid dari penggunaan lahan di sekitarnya, di mana Masjid Agung Al-Imam Majalengka cenderung dikelilingi oleh perkantoran pemerintahan, permukiman, tempat menarik (alun-alun), dan perdagangan/jasa. Kemudian untuk masjid AsSakkinah cenderung dikelilingi oleh permukiman dan perdagangan/jasa. Gambar 3. Peta Situation Masjid Kemudian apabila dipandang dari segi aksesibilitas masjid, dapat dipandang dari jenis jalan yang dimilikinya menurut fungsinya. Masjid Agung Al-Imam berada di jalan lokal yang berhubungan dengan pelayanan angkutan umum setempat dengan perjalanan jarak dekat, kecepatan rerata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Kemudian untuk Masjid AsSakkinah berada di jalan lainnya berupa gang yang dapat dibatasi jumlah kendaraannya. Jadi, untuk masjid yang berorientasi pariwisata cenderung memiliki jalan dengan akses lebih tinggi, serta dikelilingi oleh perkantoran, pemerintahan, dan tempat menarik. 3.2. Kognitif Dari aspek kognitif, diketahui bahwa lebih banyak pengunjung yang mendapatkan informasi mengenai masjid dari berbagai macam sumber. Pengunjung cenderung memperoleh informasi dari teman atau dari pengalaman pribadi. Untuk pengunjung yang berasal dari radius 300 m mendapatkan informasinya dari pengalaman pribadi, sedangkan untuk pengunjung yang berasal dari luar tersebut dapat memperoleh informasi dari pengalaman pribadi maupun teman. Apabila ditinjau dari asal secara regional, pengunjung yang berasal dari wilayah Cirebon saja yang memperoleh informasi mengenai masjid dari sosial media, tetapi hal ini hanya berlaku bagi pengunjung yang mengunjungi Masjid Agung Al-Imam. Untuk di masjid As-Sakkinah, juga ada yang berasal dari luar wilayah Kabupaten Majalengka, yakni dari Kabupaten Sumedang, tetapi mengetahui tempat tersebut karena pengalaman pribadi. Dari segi jarak dijelaskan bahwa semakin dekat dengan lokasi masjid, biasanya pengunjung lebih sering ke masjid. Hal ini menyebabkan pengunjung yang berasal dari radius 300 m dan dari dalam Kabupaten Majalengka cenderung memperoleh informasi dari pengalaman pribadi (Suryani, 2010). Berdasarkan keterangan dari pengunjung mengenai informasi masjid dan alasan kunjungannya, dapat dikategorikan beberapa kategori daya tarik. Daya tarik ini dikategorikan menurut Cross (2001), yakni daya tarik dengan nilai biografis, nilai spiritual, nilai ideologis, nilai naratif, nilai komodifikasi, dan nilai dependen. Berdasarkan temuan, pengunjung cenderung memiliki daya tarik nilai biografis, nilai ideologis, nilai komodifikasi, dan nilai dependensi. Nilai naratif yang bersifat turun-temurun dan nilai spiritual yang sangat subjektif dan sulit dinarasikan tidak ditemui. Nilai-nilai ini tentunya memiliki bermacam fungsi menurut pribadi masing-masing. Para pengunjung yang berasal dari Kota Cirebon cenderung menunjukkan nilai komodifikasi, dimulai dari pemandangan alun-alun yang bagus, kebersihan, kemegahan masjid dan alun-alun, dan tempat yang adem. Hal ini disebabkan karena popularitas Masjid Agung Al-Imam dan Alun-Alun Majalengka sebagai pariwisata religi atau tempat yang indah yang tentunya mendorong nilai-nilai komodifikasi, sesuai dengan karakteristik pengunjung yang berasal dari perkotaan. Biasanya karakteristiknya bersifat kapitalistik, mendorong kelupaan Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 9 terhadap nilai aktual budaya dan komoditas (Yonda, 2016). Sedangkan yang berasal dari domestik dan luar Kabupaten Majalengka tetapi perdesaan banyak yang menyebutkan nilai dependensi karena berharganya kedekatan masjid dari aktivitas lain pengunjung (Shepherd, 2002; Smiley dan Emerson, 2020). Karakteristik wilayah dari masing-masing asal pengunjung kelurahan/desa digolongkan menjadi 2, yakni wilayah perdesaan/perkotaan dari hasil analisis BPS yang tercantum dalam Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010. Ketiganya berasal dari Kelurahan Kertawinangun (wilayah perkotaan di Kab. Cirebon), Sunyaragi (wilayah perkotaan di Kota Cirebon), dan Pekiringan (wilayah perkotaan di Kota Cirebon) seperti pada informan 1, 7, dan 13. Sedangkan untuk yang berasal dari luar Kabupaten Majalengka, yakni Kec. Cipicung dan Kec. Jatigede (wilayah perdesaan di Kabupaten Sumedang) memiliki nilai dependensi (informan 11). Pengunjung yang berasal dari dalam Kabupaten Majalengka, aspek kognitifnya mengandung nilai dependensi (informan 2, 3, 4, dan 9), hal ini disebabkan karena anggapan pengunjung terhadap masjid yang berperan sebagai pelengkap fasilitas dari alun-alun saja. Tempat pariwisata memang dapat dianggap hanya sebagai fasilitas untuk pemenuhan aktivitas nonpariwisata, seperti temuan bahwa pengunjung domestik yang bukan berkunjung untuk pariwisata tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhannya saja (Bonn et al., 2005). Ditambah lagi apabila tempat pariwisata tersebut menyediakan banyak fasilitas yang tidak berhubungan dengan aktivitas pariwisata (Tavares dan Kozak, 2015; Bonn et al., 2015). Selain nilai dependensi, diikuti dengan komodifikasi arsitektur (informan 1, 5, 7, 13), nilai komodifikasi ini cenderung ditemukan pada pengunjung di Masjid Agung Al-Imam Majalengka dari wilayah perkotaan luar. Hal ini disebabkan karena memang arsitektur yang universal dan estetika sendiri mengandung komodifikasi sebagai budaya massal (Shirvani, 1999). Terdapat pula pengunjung yang ditemukan di Masjid Agung Al-Imam yang memiliki aspek kognitif yang mengandung nilai ideologis berhubungan dengan derajat penerimaan dari masjid terhadap masyarakat nonmuslim (Informan 8). Hal ini disebabkan karena masjid ini cenderung lebih aktif petugasnya dibandingkan Masjid As-Sakkinah. Selain itu tentunya sebagai masjid pariwisata religi, Masjid Agung Al-Imam juga harus bersifat inklusif bagi siapapun selama tidak melanggar norma, hal ini akan meningkatkan pendapatan dari tempat pariwisata tersebut karena pengunjung merasa aman menyebabkan mereka ‘betah’ di dalamnya (Tavares dan Kozak, 2015). Sedangkan sisanya adalah yang berhubungan dengan nilai komodifikasi kenyamanan dan sosial. Lalu di Masjid As-Sakkinah cenderung beragam, tetapi terdapat hal yang tidak ditemukan di Masjid Agung Al-Imam Majalengka, yakni adanya pengalaman selama bersekolah di dekat masjid tersebut sehingga mengandung nilai biografis (informan 12). Kedua masjid memiliki lebih banyak pengunjung yang memiliki nilai komodifikasi, tetapi Masjid Agung Al-Imam juga dipengaruhi oleh arsitekturnya dibandingkan Masijd As-Sakkinah yang daya tariknya berhubungan dengan kebersihan dari masjid (informan 9 dan 10). Tempat tinggal pengunjung memang jauh dari masjid, tetapi pengalaman spasiotemporal menyebabkan kedekatan, baik jarak fisik maupun budaya dapat membentuk memori (Sapkota et al., 2016). Hal ini yang menyebabkan seseorang selalu mengaitkan sebuah pengalaman di suatu tempat dan waktu juga kepada objek-objek di sekitarnya, yang disebut dengan visual short-term memory (VSTM), pada kali objek tersebut adalah Masjid As-Sakkinah yang dekat dengan Madrasah As-Sakkinah (Sapkota et al., 2016). Lalu, informan 11 hanya memiliki daya tarik berhubungan dengan nilai dependensi. Hal ini menjelaskan bahwa faktor lokasi membentuk kognisi daya tarik yang berbeda pula. 3.3. Afektif Terdapat beberapa motivasi pengunjung untuk berkunjung ke masjid, di antaranya adalah refreshing, rekreasi, meningkatkan kognisi sosial (mencari spot foto), memenuhi kewajiban spiritual, meningkatkan kondisi mental (mencari ketenangan dan mencari ketenangan dengan nostalgia), istirahat (meningkatkan kondisi fisik), memenuhi kebutuhan dasar (membuang hajat dan menghilangkan dahaga), minat (membeli rokok), imbalan (menambah pahala). Penggolongan ini disesuaikan dengan beberapa penelitian motivasi sebelumnya, seperti Sadeghpour et al (2019) yang meneliti motivasi Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 10 berolahraga, Goeldner dan Ritchie (1999) dalam Rani et al (2019) tentang motivasi pariwisata, serta Anwar et al (2019) mengenai motivasi dan emosi. Di mana dari beberapa motivasi di atas, motivasi berupa refreshing, rekreasi, dan meningkatkan kognisi sosial, termasuk ke dalam motivasi pariwisata, sedangkan yang lainnya adalah motivasi nonpariwisata. Klasifikasi motivasi pariwisata dan nonpariwisata lebih cocok untuk digunakan sebagai basis kategori dibandingkan nonibadah dan ibadah, karena pengunjung cenderung menunjukkan kognisi yang mengandung nilai nonspiritual, selain itu pengunjung cenderung menjelaskan lebih detail mengenai motivasi nonibadah, jadi tidak menimbulkan perbedaan yang signifikan. Tidak seperti ziarah ke kuburan yang bervariasi keinginannya (Putri et al., 2017). Untuk pengunjung yang memiliki motivasi pariwisata baik nonibadah maupun campuran berasal dari luar Kabupaten Majalengka, baik dari Wilayah Kabupaten Cirebon (Kelurahan Kertawinangun) dan Kota Cirebon (Kelurahan Sunyaragi dan Pekiringan) (informan 1, 5, 7, dan 13), kecuali untuk Kabupaten Sumedang yang merupakan wilayah perdesaan (informan 11). Lebih lanjut hal ini disebabkan karena pengunjung yang berasal dari luar kota dianggap wisatawan dan kunjungannya biasanya disebabkan karena popularitas dari masjid (satu hingga 3 hari) (UNWTO, 2012; Bock, 2015). Penduduk ini lebih banyak mendapatkan informasi dari ICT dalam membentuk pilihannya (Bock, 2015). Wisatawan sendiri memang lebih banyak mencari perbedaan budaya, arsitektur, gastronomi, infrastruktur, lanskap, acara, dan perbelanjaan (Ngwira dan Kankhuni, 2018). Informan 1 dan 13 memiliki motivasi pariwisata, di mana arsitektur dari bangunan dapat memberikan kesan imajinasi yang menyegarkan juga untuk berfoto karena narsisisme (Leach, 1997; Peak et al., 2014; Kalla, 2016). Pengunjung yang bermotivasi pariwisata juga ada yang mengaku mengunjungi masjid karena dalam perjalanan pulang ingin pergi ke alun-alun dan shalat. Rekreasi ke alun-alun hanya sebagai tambahan seperti pengunjung modern di Yerusalem yang juga mengunjungi lokasi wisata nonreligius lain, hal ini ditemukan pada informan 5 dan 7 (Bar dan Cohen-Hattab, 2003). Keduanya pergi ke Kabupaten Majalengka untuk bekerja dengan motivasi pariwisata, jadi tetap dapat digolongkan sebagai wisatawan berdasarkan pekerjaan meskipun berbeda tujuannya. Motivasi pariwisata cenderung berhubungan dengan kebutuhan yang berordo tinggi atau spesifik (Bonn et al., 2015; Ngwira dan Kabkhuni, 2018). Pengunjung yang bermotivasi pariwisata biasanya melahirkan emosi yang bahagia karena berhubungan dengan atribut keindahan dari tempat peribadatan (Finlayson, 2012). Pengunjung yang memiliki motivasi pariwisata hanya menunjukkan nilai-nilai yang berhubungan dengan komodifikasi. Motivasi pariwisata dan emosi bahagia ini hanya ditemukan di masjid Agung Al-Imam dibandingkan AsSakkinah, karena popularitas Masjid Agung Al-Imam sebagai tempat pariwisata religi (Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, 2019). Kognisi pengunjung yang berhubungan dengan kebersihan ditemukan pada pengunjung yang bermotivasi pariwisata maupun nonpariwisata, karena memang dibutuhkan, terutama untuk ibadah yang diwajibkan menjaga kesucian (Sinaga, 2015). Lalu hal yang tidak ditemukan di pengunjung yang berasal dari wilayah perkotaan adalah pengunjung yang memiliki motivasi berordo rendah seperti untuk bernostalgia, kebutuhan sosial (menunggu seseorang), minat pembelian, dan memenuhi kebutuhan dasar (informan 12, 9, 11, 6, 8, 4) (Bonn et al., 2015; Ngwira dan Kabkhuni, 2018). Selain itu juga terdapat yang bermotivasi untuk istirahat layaknya dari luar Kabupaten Majalengka (informan 6, 10, 12). Motivasi berupa nostalgia oleh informan 12 disebabkan karena pengalaman pengunjung saat bersekolah di Madrasah As-Sakkinah, tentunya sebagai komunitas lokal, seringkali masyarakat membentuk memori terhadap aktivitasaktivitas (Bateman, 2002; Barcus dan Shugatai, 2021). Sisanya adalah yang berasal dari dalam Kabupaten Majalengka yang bermotivasi ibadah, tentunya masjid sebagai tempat peribadatan (informan 2), terdapat beberapa pengunjung lain yang bermotivasi ibadah, tetapi bercampur dengan motivasi lain. Pengunjung yang memiliki motivasi nonpariwisata ini menunjukkan aspek kognitif yang berhubungan dengan nilai-nilai dependen dan komodifikasi. Nilai dependensi biasanya hanya ditemukan bagi pengunjung yang memiliki motivasi meningkatkan kesehatan fisik, mencari imbalan pahala, dan memenuhi kebutuhan beribadah (informan 2, 3, 4, 6). Nilai komodifikasi pada pengunjung Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 11 yang bermotivasi nonpariwisata ini hanya berhubungan dengan kenyamanan (dingin dan bersih, petugas yang sopan santun, pengalaman indah, keramaian) dibandingkan arsitektur (informan 9 dan 10). Untuk masjid yang ideal memang harus memiliki kamar kecil yang bersih dan tidak pengap, karena juga sebagai tempat istirahat (Sinaga, 2015). Lantai marmer, ventilasi, dan bukaan di masjid dapat memberikan perasaan dingin (Kamoru, 2010; Fontenelle et al., 2021). Ada pula yang kognisinya mengandung nilai ideologis, yakni derajat penerimaan terhadap siapapun, aspek kognisinya ini lebih moderat sehingga motivasinya ke masjid juga untuk minat pembelian rokok (informan 8). Memang, seringkali nilai-nilai ideologis yang berhubungan dengan agama maupun nonagama dapat mempengaruhi kepuasan pengunjung yang moderat pula (Preko et al., 2020). Kemudian pengunjung yang bermotivasi untuk bernostalgia disebabkan karena aspek kognitifnya yang berhubungan dengan nilai biografis, yakni pengalaman bersekolah di Madrasah As-Sakkinah (informan 12). Perasaan bahagia dan sense of home hanya ditemukan di Masjid Agung Al-Imam, sisanya adalah ketenangan untuk pengunjung yang bermotivasi nonpariwisata. Pengunjung yang merasakan kebahagiaan berasal dari wilayah perkotaan di luar Kabupaten Majalengka (informan 1, 5, dan 13). Terdapat pengunjung yang bermotivasi campuran pariwisata tetapi tidak merasakan kesenangan, melainkan ketenangan, karena ia cenderung memiliki motivasi pribadi dibandingkan kolektif (informan 7). Hal ini menunjukkan bahwa memang kolektivitas penting dalam membentuk emosi pengunjung selama di tempat pariwisata (Finlayson, 2012; Fan et al., 2019). Kemudian, seorang pengunjung yang merasa seperti di rumah kedua (informan 6) disebabkan karena keakrabannya dengan masjid tersebut dengan jarak kurang dari 300 m sebagai jarak berjalan kaki ke masjid (Elhag et al., 2019). Selain itu juga disebabkan karena daya tarik masjid yang berhubungan dengan sopan santun dari petugasnya. Hal ini juga ditemukan di gereja Metodis oleh Finlayson (2012), bahwa pengunjung yang memiliki motivasi nonpariwisata menghilangkan stres di rumah memiliki kognisi. Hal ini juga hanya ditemukan di Masjid Agung Al-Imam, karena petugas di masjid Al-Imam lebih aktif dibandingkan di Masjid As-Sakkinah. Selanjutnya, perasaan emosional dari keseluruhan pengunjung dengan motivasi nonpariwisata umumnya tenang, seperti yang umumnya yang terjadi di tempat peribadatan karena kehadiran Tuhan, baik di Masjid Agung Al-Imam maupun As-Sakkinah, baik domestik maupun dari wilayah perdesaan di luar Kabupaten Majalengka (Finlayson, 2012). Motivasi-motivasi nonpariwisata ini ditemukan di masjid Agung Al-Imam secara lengkap, sedangkan di Masjid As-Sakkinah hanya berupa pemenuhan kebutuhan ibadah, biologis, tempat peristirahatan, dan menunggu orang lain karena memang sarana dan prasarananya lebih sedikit. Tidak ada pengunjung yang memiliki emosi negatif karena kebutuhannya sudah merasa terpenuhi (Anwar et al., 2019). Masyarakat dari dalam Kabupaten Majalengka dan dari wilayah perdesaan luar sadar dengan keberadaan arsitektur masjid yang bagus, tetapi lebih peduli untuk menjadikan masjid sebagai fungsi pemenuhan kebutuhan ordo rendah. Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 12 Gambar 4. Peta Asal Pengunjung Masjid di Kelurahan Majalengka Kulon 3.4. Konatif Aktivitas pengunjung di masjid cenderung sesuai dengan motivasinya, kecuali untuk beberapa responden, yaitu motivasi refreshing dan campuran rekreasi dan istirahat pada informan 1 dan 7. Keduanya memiliki motivasi refreshing, tetapi juga melakukan ibadah. Hal ini disebabkan karena di tempat wisata seringkali fokus pengunjung tidak terjadi, akibatnya perasaan afektif juga tidak terungkapkan dengan baik, terutama apabila sebuah aktivitas tidak memiliki makna yang terlalu berarti bagi seseorang (Dennis et al., 2012; Peak et al., 2014). Hal ini juga berlaku bagi informan 2 yang melakukan ibadah, namun melakukan aktivitas memenuhi kebutuhan dasar ke kamar kecil. Aktivitas proses ibadah juga belum tentu dilakukan lebih lama dibandingkan aktivitas nonibadah transisi maupun proses. Akibatnya, aktivitas di kawasan pendukung lebih lama dibandingkan di kawasan utama untuk seluruh informan (Putri, 2017). Hal ini disebabkan karena geomer pada kali ini berbeda dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, ruang untuk aktivitas ibadah dan nonibadah di makam sangat berbeda dibandingkan masjid. Selain itu, masjid yang tidak mengandung nilai spiritual artinya juga tidak mengandung makna sebagai tempat sakral yang lebih spesifik dan tinggi (Camhi, 2012). Tabel 2. Ringkasan Komponen Afektif, Kognitif, dan Konatif Kognisi Daya Tarik Dependensi Jenis Daya Tarik (Kognitif) Tidak ada pilihan lain Komodifikasi Arsitektur Keterangan Jenis Motivasi (Afektif) Emosi (Afektif) Waktu Aktivitas (Konatif) Kurang Informasi Mengenai Masjid Lain yang Dekat Nonibadah nonpariwisata Kolektif (ke kamar kecil dan menghilangkan dahaga bersama teman), pribadi (ke kamar kecil), dan kolektif (istirahat dan menunggu orang sakit sebagai tetangga) [3, 4, dan 11] Ibadah pribadi (menambah pahala) [2] Campuran nonpariwisata kolektif (Memenuhi kewajiban shalat dan menunggu istri) dan pribadi (memenuhi kewajiban ibadah dan istirahat) [9 dan 6] Campuran pariwisata kolektif (rekreasi bersama teman, mencari spot foto, dan memenuhi kewajiban spiritual) [13] Nonibadah pariwisata kolektif (refreshing) [1] Tenang Zona transisi < zona lainnya [3], zona transisi > zona lainnya [4], zona transisi > zona lainnya [11] Tenang Zona lainnya Tenang dan Sense of ‘Home’ Zona transisi > zona lainnya [9], zona transisi < zona lainnya [6] Bahagia Zona lainnya [13] Bahagia Zona transisi < zona lainnya [1] Campuran pariwisata pribadi (memenuhi kewajiban ibadah dan rekreasi) [5] Pemandangan Campuran nonpariwisata pribadi Bagus (memenuhi kewajiban ibadah dan rekreasi) [7] Tenang Zona transisi < zona lainnya [5] Tenang Zona transisi < zona lainnya [7] Alun-Alun dan Masjid sebagai Tempat Wisata Megah Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 13 Fasilitasnya Baik, Bagus untuk Berfoto Sosial Sopan Santun Kenyamanan Tidak Terlalu Ramai Dingin Bersih Biografis Sosial Nostalgia Pengalaman Bersekolah Ideologis Sosial Derajat Penerimaan terhadap Siapapun Campuran pariwisata kolektif (rekreasi bersama teman, mencari spot foto, dan memenuhi kewajiban spiritual) [13] Campuran nonpariwisata pribadi (memenuhi kewajiban ibadah dan istirahat) [6] Campuran nonpariwisata (memenuhi kewajiban shalat dan menunggu istri) dan campuran pariwisata kolektif (rekreasi bersama teman, mencari spot foto, dan memenuhi kewajiban spiritual) [9 dan 13] Campuran pariwisata kolektif (rekreasi bersama teman, mencari spot foto, dan memenuhi kewajiban spiritual) [13] Campuran nonpariwisata dan pariwisata pribadi (memenuhi kewajiban ibadah dan rekreasi), pribadi (memenuhi kewajiban ibadah dan rekreasi), kolektif (memenuhi kewajiban shalat dan menunggu istri), dan kolektif (menambah pahala dan istirahat) [5, 7, 9, dan 10] Campuran nonpariwisata pribadi (memenuhi kewajiban shalat dan mencari ketenangan dengan bernostalgia) [12] Nonibadah nonpariwisata pribadi (membeli rokok) [8] Bahagia dan Tenang Zona lainnya [13] Sense of ‘home’ Zona transisi < zona lainnya [6] Tenang dan Bahagia Zona transisi > zona lainnya [9], zona lainnya [13] Bahagia dan Tenang Zona lainnya [13] Tenang Zona transisi < zona lainnya [5], zona transisi < zona lainnya [7], zona transisi > zona lainnya [9], zona transisi > zona lainnya [10] Tenang Zona lainnya [12] Tenang Zona lainnya [2] Keterangan: [1 – 13] = informan, di mana informan 1 – 8 dan 13 mengunjungi Masjid Agung Al-Imam Majalengka, sedangkan informan 9 – 12 mengunjungi Masjid As-Sakkinah. Kemudian, informan 1, 5, dan 13 berasal dari Kota Cirebon. Sedangkan informan 7 berasal dari Kabupaten Cirebon. Sisanya adalah yang berasal dari Kabupaten Majalengka, dengan informan 6 berasal dalam radius 300 m dari masjid. Campuran = bermotivasi ibadah dan nonibadah Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 14 Terdapat kategori aktivitas lain yang dipertimbangkan untuk menimbulkan perbedaan, yakni antara motivasi campuran dan noncampuran, tetapi hal ini juga tidak menimbulkan perbedaan. Pertimbangan lain adalah perbandingan antara kategori aktivitas transisi dan proses. Pada kali ini aktivitas sosial dianggap sebagai aktivitas proses karena dapat dianggap demikian (Zhang dan Lawson, 2009; Puteri et al., 2016). Hal ini dihubungkan dengan lamanya aktivitas transisi (aktivitas cenderung tanpa niat dan tidak terstruktur) berupa duduk, tentunya di kawasan transisi (Putrie, 2013). Kawasan transisi di masjid biasanya berada di teras, seperti pada kali ini, tidak ada pengunjung yang menunggu waktu shalat di dalam masjid (Putrie dan Maslucha, 2013). Aktivitas transisi pada motivasi noncampuran biasanya tidak ada. Meskipun pada informan 4 yang memiliki aktivitas transisi, namun hal ini disebabkan karena ia menunggu temannya yang ke kamar kecil saja dan tidak diungkapkan sebagai motivasi utama. Lalu untuk pengunjung yang bermotivasi campuran pariwisata cenderung melakukan aktivitas di kawasan transisi lebih sedikit. Terakhir, yang bermotivasi untuk meningkatkan kondisi fisik atau mental memiliki waktu yang tidak menentu dalam aktivitas transisi maupun proses. Kecuali yang bermotivasi nonpariwisata campuran ini memiliki motivasi menunggu orang yang sakit, menunggu seseorang berdasarkan relasi sosial, atau memang menunggu aktivitas selanjutnya dalam pekerjaan. Gambar 5. Peta Pergerakan Pengunjung di Masjid Agung Al-Imam berdasarkan Motivasi Menunggu dan Lainnya Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 15 Gambar 6. Peta Pergerakan Pengunjung di Masjid As-Sakkinah berdasarkan Motivasi Menunggu dan Lainnya Tampaknya, aktivitas menunggu menjadi kategori yang menyebabkan pengunjung masjid melakukan aktivitas berlama-lama di kawasan transisi. Informan 11 menunggu tetangganya yang sakit di rumah sakit sekitar masjid, hal ini berkaitan dengan loyalitas dari seseorang sebagai komunitas perdesaan (tetangga). Dengan motivasi menyelamatkan nyawa, tentunya mengompromikan kerelaan untuk mengorbankan waktu (informan 11). Lalu, informan 9 menunggu istrinya, tentunya hal ini dilakukan untuk mempertahankan hubungan sosial. Informan 9 menunjukkan tingkat pengorbanan dan toleransi untuk orang lain biasanya ditemukan untuk hubungan sosial yang erat (Wrench et al., 2021; Kitishat dan Freihat, 2015). Selanjutnya, informan 12 yang bermotivasi untuk menunggu aktivitas pekerjaan selanjutnya dilakukan untuk mempertahankan hubungan pekerjaan yang bersifat kapitalis. Ia memang tidak berhubungan langsung dengan atasannya, namun tetap harus melakukannya demi kelangsungan hidup. Informan 11 dan 12 menunjukkan kondisi di mana seseorang rela untuk mengorbankan waktunya demi mencari keuntungan untuk memenuhi kebutuhannya/mencari nafkah serta menyelamatkan nyawa orang lain (Bélanger et al., 2018). Gambar 6. Peta Zonasi di Masjid Agung Al-Imam Majalengka (kiri) dan Masjid AsSakkinah (kanan) berdasarkan Putrie dan Maluscha (2013) Tempat ibadah memang seringkali menjadi tempat shelter untuk menunggu, bahkan ekstremnya lagi digunakan sebagai tempat evakuasi bencana (Hadi dan Hadiguna, 2015). Aktivitas nonpariwisata menunggu hanya dilakukan oleh pengunjung dari dalam Kabupaten Majalengka dan wilayah perdesaan Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 16 luar Kabupaten Majalengka, hal ini disebabkan karena pengunjung domestik dan perdesaan lebih menghargai fasilitas dari masjid (Shepherd, 2002; Bonn et al., 2015; Ngwira dan Kabkhuni, 2018; Smiley dan Emerson, 2020). Aktivitas menunggu cenderung lebih banyak dilakukan di Masjid AsSakkinah dibandingkan Masjid Agung Al-Imam, karena jarang terdapat pejalan kaki di pusat kota dan cenderung dikelilingi perkantoran di negara berkembang (Pojani dan Stead, 2015). Kemungkinan besar, di Masjid Agung Al-Imam juga terdapat aktivitas menunggu akibat pusat kegiatan di sekitarnya. Namun, hal ini hanya terjadi di akhir pekan berdasarkan keterangan dari informan kunci karena cukup ramai. Jadi, motivasi nonpariwisata menunggu dapat menimbulkan aktivitas transisi lebih lama di kawasan transisi. Hal ini terjadi apabila seseorang rela untuk mengorbankan waktunya untuk menunggu demi mempertahankan relasi sosial dan kelangsungan hidup diri sendiri maupun orang lain. 4. Kesimpulan Terdapat 2 kategori afektif pengunjung laki-laki di masjid Majalengka Kulon, yakni motivasi pariwisata dan nonpariwisata. Aspek afektif dari pengunjung yang bermotivasi rekreasi cenderung dibentuk oleh aspek kognitif yang terkait dengan arsitektur masjid. Hal ini ditemukan di Masjid Agung Al-Imam saja sebagai tempat pariwisata religi, biasanya asal mereka dari wilayah perkotaan luar Kabupaten Majalengka. Untuk yang bermotivasi nonpariwisata berasal dari wilayah perdesaan luar Kabupaten Majalengka dan dalam Kabupaten Majalengka saja. Dari segi emosi, untuk pengunjung nonpariwisata lebih banyak memiliki emosi tenang, baik yang berasal dari dalam Kabupaten Majalengka maupun wilayah perdesaan luar Kabupaten Majalengka. Tetapi untuk yang lokasi tempat tinggalnya berjarak 300 m, dapat memiliki emosi sense of ‘home’. Lalu, untuk aspek konatif menunjukkan bahwa baik untuk motivasi pariwisata maupun nonpariwisata menghabiskan waktu dalam ruang yang cenderung seragam. Jadi, diambil 2 kategori baru untuk menjelaskannya, yaitu kategori yang berlama-lama di zona transisi atau zona selain transisi. Motivasi menunggu cenderung membuat pengunjung berlama-lama di zona transisi, yakni teras masjid. Namun, secara keseluruhan, perilaku keruangan sudah dijelaskan dengan aktivitas yang berhubungan dengan motivasi dan kognisinya. Ke depannya, dapat dilakukan evaluasi secara kuantitatif apakah image / kognisi representasional masjid sudah sesuai yang diharapkan. Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 17 Daftar Pustaka ARA. (2016). INDONESIA 2020: Urban Middle-Class Millennials. Jakarta: ALVARA Research Center. Arozy, A. M. (2016). Perubahan Sosial Komunitas Masjid Kampung Jogokariyan Yogyakarta Tinjauan Sosiologi-Sejarah. Jurnal Analisa Sosiologi, 5(1), 92 – 112. Anwar et al. (2019). Psychology Textbook for Class XI. New Delhi: National Council of Educational Research and Training. Bagus, Erizky. (2021). Tak Banyak yang Tahu, Ternyata Begini Sejarah Berdirinya Masjid Agung AlImam Majalengka. https://akurat.co/tak-banyak-yang-tahu-ternyata-begini-sejarah-berdirinyamasjid-agung-al-imam-majalengka, diakses pada 22 Oktober 2021. Barcus, H. R., dan Shugatai, A. (2021). The Role of Nostalgia in (Re)Creating Place Attachments for a Diasporic Community. Geographical Review. Bar, D., dan Cohen-Hattab, K. (2003). A New Kind of Pilgrimage:The Modern Tourist Pilgrim ofNineteenth-Century and EarlyTwentieth-Century Palestine. Middle Eastern Studies, 39(2), 131 – 148. Bateman, H. V. (2002). Sense of Community in the School. Psychological Sense of Community, 161 – 179. Battour, M., dan Ismail, M. N. (2014). The Role of Destination Attributes in Islamic Tourism. SHS Web of Conferences, 12. Bélanger et al. (2018). Self-Sacrifice for a Cause: A Review and an Integrative Model. The Sage Handbook of Personality and Individual Differences. 465 – 483. Bonn, M. A., Joseph, S. M., dan Dai, M. (2005). International versus Domestic Visitors: An Examination of Destination Image Perceptions. Journal of Travel Research, 20. BPS Kabupaten Majalengka. (2020). Kecamatan Majalengka dalam Angka 2020. Majalengka: BPS Kabupaten Majalengka. Bock, K. (2015). The Changing Nature of City Tourism and Its Possible Implications for the Future of Cities. European Journal of Futures Research, 3. Camhi, N. T. (2012). The Manipulation of Sacred Places: The Role of Jerusalem's Temple Mount In The Construction of Identity. Tesis. Middletown: Wesleyton University. Darussalam, A. (2016). Indahnya Kebersamaan dengan Shalat Berjamaah. Tafsere, 4(1), 24 – 39. Dennis et al. (2012). Cognitive, Affective, and Conative Theory of Mind (ToM) in Children with Traumatic Brain Injury. Developmental Cognitive Neuroscience, 25 – 39. Diener, A. C., dan Hagen, J. (2020). Geographies of Place Attachment: A Place-Based Model Of Materiality, Performance, And Narration. Geographical Review, 1 – 16. DKM. (2021). Masjid As-Sakinah. https://dkm.or.id/dkm/76642/masjid-as-sakinah-majalengka-kabmajalengka.html, diakses pada 22 Oktober 2021. Elhag, A., Elsheikh, R. F., dan Yousif, F. A. (2017). Analysis of Site Suitability of Mosques Locations Using GIS: A Case Study of Khartoum State. Journal of Geoscience and Environment Protection, 5, 37 – 45. Fan et al. (2019). Understanding Trip Happiness Using Smartphone-Based Data: The Effects of Tripand Person-Level Characteristics. Transport Findings, 7124. Hadi, W. Z., Hadiguna, R. A. (2015). Model Kebijakan Penetapan Institusi Masjid sebagai Shelter dalam Sistem Logistik Bencana di Kota Padang. Jurnal Optimasi Sistem Industri, 14(1), 16 – 32. Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 18 Finlayson, C. C. (2012). Spaces of Faith: Incorporating Emotion and Spirituality in Geographic Studies. Environment and Planning, 44, 1763 – 1778. Fitria, T. A. Pengaruh Seting Ruang Terhadap Perilaku Pengguna Dengan Pendekatan Behavioral Mapping. Jurnal Arsitektur dan Perencanaan, 1(2), 183 – 206. Golledge, R. G., dan Stimson, R. J. (1990). Analytical Behavioural Geography. London: Routledge. Harahap, A. P., Thahir, A. R., dan Handjajanti, S. (2020). Peran Masjid sebagai Pembentuk Identitas Tempat. Jurnal AGORA, 17(1), 53 – 63. Hashemnezhad, H., Heidari, A. A., dan Hoseini, P. M. (2013). “Sense of Place” and “Place Attachment”. International Journal of Architecture and Urban Development, 3(1), 5 – 12. Ivis, Frank. (2006). Calculating Geographic Distance: Concept and Methods. NESUG. Jiang et al. (2015). Mining point-of-interest data from social networks for urban land use classification and disaggregation. Computers, Environment, and Urban Systems, 53, 36 – 46. Kalla, S. M. (2016). Impulse Buying: What Instills This Desire to Indulge?. Journal of Business and Retail Management Research, 10(2), 94 – 104. Kamoru, S. A. (2010). Effect of Building Design for Natural Ventilation on the Comfort Of Building Occupants in South – Western Nigeria. (A Case Study of Ibadan, Oyo State). Tesis. Ibadan: The Polytechnic Ibadan. Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat. (2019). Inilah Progres Pembangunan Masjid Agung Al Imam Majalengka, ASDA II: Insya Allah Ramadhan Siap Digunakan Shalat Tarawih. https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/inilah-progres-pembangunan-masjid-agung-al-imammajalengka-asda-ii-insya-allah-r, diakses pada 21 Oktober 2021. Kementerian Pekerjaan Umum. (1990). Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum. Kitishat, A. R., dan Freihat, H. M. (2015). The Role of the Social Relations in Successful Social Interactions and Language Acquisition. Research on Humanities and Social Sciences, 5(4), 194 – 198. Leach, N. (1997). Rethinking Architecture: A Reader in Cultural Theory. London: Routledge. Lestari, I. P. (2013). Interaksi Sosial Komunitas Samin dengan Masyarakat Sekitar. Jurnal Komunitas, 5(1), 74 – 86. Peak et al. (2014). User Perceptions of Aesthetic Visual Design Variables within the Informing Environment: A Web-Based Experiment. Informing Science, 17(1), 25 – 57. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistin Nomor 37 Tahun 2010. https://sirusa.bps.go.id/webadmin/doc/MFD_2010_Buku_2.pdf, diakses pada 19 November 2021. Pojani, D., dan Stead, D. (2015). Sustainable Urban Transport in the Developing World: Beyond Megacities. Sustainability, 7(6), 7784 – 7805. Prakoso, G. D., dan Fatah, M. Z. (2017). Analisis Pengaruh Sikap, Kontrol Perilaku, dan Norma Subjektif terhadap Perilaku Safety. Jurnal Promkes, 5(2), 193 – 204. Preko, A., Mohammed, I., dan Ameyibor, L. E. K. (2020). Muslim Tourist Religiosity, Percived Values, Satisfaction, and Loyalty. Tourism Review International, 24, 109 – 125. Puteri, F. E., Sachari, A., dan Destiarmand, A. H. (2016). Aktivitas Sosial di Area Publik Masjid Salman ITB dan pengaruhnya terhadap Layout. Jurnal Sosioteknologi, 15(2), 15(2), 200 - 212. Putri, S. L., Susilowati, M. H. D., dan Rizqihandari, N. (2017). Perilaku Keruangan Pengunjung Objek Wisata Ziarah di Kota Serang, Provinsi Banten. 8th Industrial Research Workshop and National Seminar. Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III 19 Putrie, Y. E., dan Maslucha, L. (2013). Seting Perilaku dan Teritorialitas Ruang sebagai Perwujudan Adab Kota Malang. El Harakah, 15(2), 185 – 198. Ngwira, C., dan Kankhuni, Z. (2018). What attracts tourists to a destination? Is it attractions?. African Journal of Hospitality, Tourism, and Leisure, 7(1), 1 – 19. Rani, F. P., Kusuma, H. E., dan Tampubolon, A. C. (2019). Hubungan Motivasi, Kegiatan, dan Karakter Tempat Wisata pada Pusaka Saujana Imogiri Yogyakarta. JUMPA, 6(2), 470 – 495. Sadeghpour et al. (2019). Qualitative Investigation of Personal Factors Affecting the Students’ Physical Activity (Needs And Motivations): Based on Self-Determination Theory. Journal of Human Sport and Exercise, 14, S516 – S534. Safitri, Ulia. (2020). Kajian Place Attachment pada Kawasan Masjid Raya Kota Baiturrahman Kota Bandar Aceh. Tesis. Medan: Universitas Sumatra Utara. Sapkota, R. P., Pardhan, S., dan Linde, L. V. D. (2016). Spatiotemporal Proximity Effects in Visual Short-Term Memory Examined by Target-Nontarget Analysis. Journal of Experimental Psychology Learning Memory and Cognition, 42(8), 1 – 46. Scannell, L., dan Gifford, R. (2010). Defining Place Attachment: A Tripartite Organizing Framework. Journal of Environmental Psychology, 30, 1 – 10. Shepherd, R. (2002). Commodification, Culture, and Tourism. Tourist Studies, 2(2), 183 – 201. Shirvani, H. (1999). Post, Past, or Post-Past: The Commodification of Architecture. Differentia: Review of Italian Thought, 8(9), 67 – 82. Sinaga, I. A. (2015). Kriteria Masjid Ideal. TEMU ILMIAH IPLBI, E107 – E110. Smiley, K. T., dan Emerson, M. O. (2018). A Spirit of Urban Capitalism: Market Cities, People Cities, and Cultural Justifications. Urban Research and Practice, 330 – 347. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Suryani. (2010). Analisis Sebaran Masjid dan Kemakmurannya di Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali dengan Bantuan Sistem Informasi Geografis. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tambunan, S. M. K. (2014). Pengaruh Site dan Situation terhadap Aktivitas Pengunjung Taman di Kota Medan. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. Tavares, J. M., Kozak, M. (2015). Tourists’ Preferences for the All-Inclusive System and Its Impacts on the Local Economy. European Journal of Tourism, Hospitality, and Recreation, 6(2), 7 – 23. UWA. (2019). The Science of Emotion: Exploring the Basics of Emotional Psychology. Perth: University of Western Australia. Wicaksono, Nugroho. (2018). The Motivations and Tourist Satisfaction Roles on Desination Loyalty. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Wrench, J. S., Punyanunt-Carter, N. M., dan Thweatt, K. S. (2021). Interpersonal Communication – A Mindful Approach to Relationships. Davis: Libretexts. Wood, A. D., Borja, K., dan Hoke, L. (2020). Narcissism for Fun and Profit: An Empirical Examination of Narcissism and Its Determinants in a Sample of Generation Z Business College Students. Journal of Management Education, 45(4). Yan, N., dan Halpenny, E. A. (2019). Tourists’ Savouring of Positive Emotions and Place Attachment Formation: A Conceptual Paper. Tourism Geographies. Yonda, D. R. (2016). Social Transformation on Traditional Society (Case Study on Dayak Iban Society of Kapuas Hulu, Kalimantan Barat). International Conference on Ethics of Business, Economics, and Social Science, 452 – 460. Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III