Uploaded by aisanledy2004

20. Budak Selir dan Kemewahan - Ciri Menonjol dalam Kekhilafaan Islam[1]

advertisement
BUDAK, SELIR DAN KEMEWAHAN:
Ciri-ciri Menonjol dalam Kekhalifah Islam
“Annual International Conference on Islamic Studies” (AICIS)
VII diselenggarakan pada 2007 dengan “tuan rumah” UIN Sultan Syarif
Kasim Riau. Dalam sebuah forum pleno ilmiah yang sangat berwibawa
salah seorang pembicara utamanya adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra,
M.Phil., MA., CBE. Pada saat sesi tanya Jawab, seorang dosen Perguruan
Tinggi di Pekanbaru --ada baik saya tidak sebut nama dan PT-mengajukan pertanyaan dan/ atau menyampaikan pikiran dan
perasaannya yang ditujukan kepada Prof. Azra, kurang lebih begini:
“Agak sulit kita untuk memperjuangan penekakan kekhalifahan Islam
di Indoensia, karena seorang intelektual seperti Prof. Azra bukannya
mendukung, tapi justru mempertanyakan kelayakan dan
keberlangsungannya, sebagaimana tulisanya di Kompas (18/8/2007).”
Pada gilirannya, Prof. Azra menJawab dengan memberikan
menjelasakan sejumlah khalifah dari berbagai Dawlah Islamiyah yang
penguasanya bersifat dispotik dan kerap kali menyalahgunakan agama
demi melanggengkan kekuasannya. Di akhir Jawabanya, Prof. Azra
menyarankan agar dosen bersangkutan mempelajaran kembali sejarah
kekhalifahan Islam.
Saran Prof. Azra di atas saya maknai berlaku untuk umum bagi
siapapun melakukan kajian keIslaman, khusus bagi mereka yang
bergelut dalam sejarah dan pemikiran Islam. Saya sebagai murid Prof.
Azra di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menyahuti himbauan Sang Guru Besar untuk (kembali) mempelajari
sejarah kekhalifahan dengan sedikit kritis. Untuk itu, saya membaca di
antaranya “melembar-lembar” buku History of the Arabs karya Phillip K.
Hitti; Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam
Sejarah Kaum Muslim karya Farag Faudah; “Islamic History: New
Interpretation” (2 Volome) karya M.A. Shaban, dan Tārikh al-Khulafa’
karya Jalaluddin al-Suyūṭi. Di antara hasil dari bacaan saya itu, saya
paparkan berikut ini.
Dalam kekhalifah Islam, khusus kekhalifahan pada masa Dawlah
Umayyah dan Abbasyiah di kalangan penguasa/khalifah atau pangeran
di istana memiliki dua ciri utama. Pertama, bahwa kehidupan istana
diwarnai prilaku pesta pora dan foya-foya dengan bergelimang harta
dan meteri melimpah serta makan dan minum yang bercita rasa lezat
tiada tara. Kedua, bahwa kehidupan seksual di lingkungan istana dengan
dikelilingi wanita-wanita muda serta cantik yang kadang jumlahnya
tidak terkirakan banyaknya sejalan dengan era perbudakan dan
perseliran pada masanya.
Dalam mengurai kehidupan seksul yang bebas ditopang
tersedianya wanita yang dijadikan budak dan selir, Philip K. Hitti dan
Farag Fauda merujuk kepada karya sejarawan Islam awal yang
dipandang otoritatif dan terpercaya, seperti al-Mas’udi, ibn al-Atsir, alṬabari, dan lainnya. Baik Hitti maupun Fauda menyebutkan betapa
perseliran sebegitu dahsyat baik pada masa Bani Umayyah maupun Bani
Abbasyiah. Misalnya, disebutkan bahwa khalifah Harun al-Rasyid yang
masyhur dengan kisah “alfu layl wa layl” (1001 Malam) ternyata memiliki
selir (gundik) sekitaar 1.000 (seribu) orang. Dan belakangan lebih hebat
lagi khalifah al-Mutawakkil, seorang khalifah Abbasyiah, diriwayatkan
memiliki selir sebanyak 4.000 (empat ribu) orang kesemuanya telah
diajak “menemaninya tidur” selama seperempat abad kekuasaannya.
(Philip K. Hitti, History of the Arabs: 342; Farag Fauda, Kebenaran yang
Hilang Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim ,
2003:, 145.
Para budak gadis-gadis cantik hampir semuanya direkrut secara
paksa dari kalangan non-Muslim, baik yang ditawan pada masa perang
mupun dibeli pada masa damai. Gadis-gadis cantik tersebut menjadi
penguasa dan keluarga istina (kerajaan) dengan berbagai
kecenderungan profesi, misalnya menjadi penyanyi, penari, dan pada
umumnya menjadi pembantu dan selir. Selain itu, pada masa khalifah
Harun al-Rasyid mulai muncul para ghilman (budak laki-laki yang
dikebiri). Akan tetapi, khlafiah al-Amin adalah khalifah pertama
mengikuti tradisi Persia dengan memperkenalkan praktek ghilman ke
dunia Arab untuk menyalurkan kebiasaan seksual yang tidak wajar
(menyimpang), demikian tulis Phillip K. Hitti, sebagaimana ia kutip
dari kitab sejarah otoritatif karya al-Thabari.
Belakangan, praktek ghilman ini semakin menjadi-jadi, misalnya
pada masa khalifah al-Ma’mun, seorang hakim memiliki empat ratus
lelaki semacam itu. Para penyair, seperti Abu Nuwâs tidak malu-malu
menyebutkan penyimpangan seksual mereka. Mereka menyebut
berbagai ungkapan cinta yang ditujukan kepada “para pemuda tidak
berjenggot itu (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 426). Lebih
tragis dan memalukan, seorang khalifah Abbasyiah, yaitu Walid bin
Yazid, sebagaimana perkataan al-Dzahabi dikutip oleh Imam al-Suyuti,
“Tidak benar bahwa al-Walid itu kafir dan ateis. Akan tetapi, dia
dikenal sebagai peminum khamar dan pelaku homoseks.” Kemudian,
untuk menggambarkan kebejatan khalifah ini, Imam al-Sayuti menulis:
“Walid adalah penguasa yang kejam dan sombong. Dia selalu
menghabisi orang yang memusuhinya. Dia menumpuh jalan yang
menyimpang dari hidayah. Da adalah Fir’aun paada zamanya.” Pada
bagian lain, dengan mengutip Musnad Imam Ahmad, Imam al-Suyuti
menuliskan, “Akan ada di dalam umat ini seorang laki-laki yang disebut
Walid. Keberadaannya ditengah umat ini jauh lebih kejam daripada
Fir’aun terhadap kaumnya.” (Jalaluddin al-Suyūṭi, Tārikh al-Khulafa’,
2010: 312)
Kehidupan mewah, bergelimang harta, perbudakan dan
perseliran sedemikian marak pada kekhalifahan Islam, terutama pada
masa Bani ‘Abbashiyah dan Bani ‘Umayyah. Sedemikian maraknya
perbudakan dan perseliran pada masa Bani ‘Abbasyiah, sehingga hanya
ada tiga orang khalifah lahir dari rahim ibu merdeka, yaitu: Abu Abbas,
al-Mahdi dan al-Amin. Selain itu, khalifah-khalifah Abbasyiah adalah
keturunan wanita-wanita budak dari berbagai daerah dan bangsa.
Misalnya, ibu al-Mansur adalah budak Barbar; ibu al-Ma’mun adalah
seorang budak Persia; ibu al-Watsiq dan al-Muhtadi adalah seorang
budak Yunani-Abissinia; dan bahkan ibu Harun al-Rasyid sendiri
adalah juga seorang budak dari negeri lain yang dikenal sebagai “alkhayuran”, seorang wanita pertama yang memiliki pengaruh penting
dalam urusan kenegaraan/ pemerintahan Bani Abbasyiah. Disebutkan
bahwa Zubaidah, istri khalifah Harun al-Rasyid, juga memiliki
pengaruh kuat kepada suaminya. Misalnya, agar Harun al-Rasyid tidak
tertarik dengan biduanita lain, Zubaidah menghadiahkan suaminya 10
gadis muda. Dari 10 gadis muda ini salah seorang di antaranya menjadi
ibu al-Ma’mun, dan yang lainnya menjadi ibu al-Mu’tashi (Philip K.
Hitti, History of the Arabs, 427).
Para khalifah sudah terbiasa dan menjadi tradisi menerima
hadiah dari para gubernur dan para jenderalnya. Hadiah tersebut tidak
saja berupa materi, tetapi juga hadiah berupa anak gadis-gadis cantik
yang diambil baik secara suka rela maupun secara paksa di kalangan
warga kerajaan. Kalau para gubernur dan jenderal itu tidak
mempersembahkan gadis-gadis cantik dinilai sebagai bentuk
membangkangan (Philip K. Hitti, History of the Arabs, 332). Tradisi
pemberian hadiah gadis-gadis cantik semacam ini pada khususnya dan
pemberian budak-budak pada umumnya juga telah marak seiring
dengan penaklukan Islam, terutama pada dinasti kehalifahan Bani
‘Umayyah dan Bani Abbasyiah. Philip K. Hitti menyebutkan,
sebagimana ia kutip dari Maqqari dan Ibn al-Athir, bahwa Musa bin
Nusayr menawan 300.000 orang di Afrika kecil, seperlima di antaranya
diserahkan kepada al-Walid (meskipun angka-angka ini, sepertinya
terlalu dibesar-besarkan); selain itu ia juga menawan 30.000 gadis dari
kalangan bangsawan Gotik di Spanyol.
Bagi seorang bangsawan di kalangan Bani ‘Umayyah memiliki
1.000 budak bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa. Bahkan Zubair bin
Awwam, salah seorang di antara sepuluh sahabat yang Rasul Allah saw.
masuk surga, menurut al-Mas‘udi, mewariskan sebanyak 1.000 (seribu)
orang budak laki-laki dan perempuan. (Philip K. Hitti, History of the
Arabs, 335). Selain mewariskan budak sedemikian banyak itu, Zubair
bin Awwam --dan sejumlah sahabat yang dijamin surga lainnnya, yaitu
Sa‘ad bi Abi Waqas, Talhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Abd Rahman bin ‘Auf
-- juga memiliki harta peninggalan begitu banyak dan melimpah. Ibn
Sa’ad dalam al-Ṭabaqāt al-Kubrā, seperti dikutip Farag Fauda,
menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam meninggalkan kekayaan
(harta warisan kepada keluarganya) berupa: (i) uang dirham yang
jumlahnya sangat fantastik, yaitu kira-kira 51 juta dirham (bandingkan
dengan Ali bin Abi Thalib yang hanya meninggalkan sekitar 250 dirham
serta mushaf dan pedangnnya); (ii) beberapa armada di Mesir,
Aleksadria dan di Kufah; (iii) angkutan darat dan hasil panen yang
dipersembahkan kepadanya oleh penduduk di Basra. Prihal Sa‘ad bin
Abi Waqas, di akhir hayatnya, putrinya A‘isyah bin Sa‘ad bin Abi Waqas
mengisahkan bahwa: “Bapakku meninggal di istananya yang antik
sekitar sepuluh mil dari Madinah.” (Farag Fauda, Kebenaran yang
Hilang, 64-65 dan 67).
Melihat praktek perseliran di istana disebagian khalifah Islam,
dapat diduga kuat bahwa penguasa menghabiskan waktu sampai larut
malam bersama-sama istri dan gundik/selirnya dalam memuaskan hawa
nafsu dan hasrat libido seksual mereka. Sementara pada siang harinya
dapat diduga kuat terlelap tidur karena semalaman, sebagaimna
disebutkan tadi, bergadang “berasyik-mausyuk” dengan istri dan
gundik/selir dimilikinya. Tanpa bermaksud menafikan sejumlah
khalifah yang memang baik dan bijaksana, tetapi mengingat gambaran
nyata hampir merata prihal kehidupan penguasa nota bene muslim,
prilakunya tidak bermartabat dan bermarwah.
Ironisnya, sebagian mereka mengklaim dirinya sebagai “khalīfah
Allāh fī al-arḍ” (“wakil Allah di bumi”), dan memproklamasikan
kekhalifahan berasaskan Islam. Padahal, dalam kenyataannya penguasa
semacam itu acapkali tidak menjadikan dirinya sebagai wakil Allah. Dan
klaimnya bahwa Islam sebagai asas kekhalifahannya hanya sekedar
“alat” untuk menjastifikasi prilaku mereka yang tidak Islami (praktekpraktek aspirasi jahiliyah). Dengan kata lain, klaim khalifah berasas
Islam adalah demi melanggengkan kekuasaan dalam genggaman yang
memang mengasayikkannya, sebagaimana bisikan syaithan kepada
Adam: wa mulk lā yablā (dan kekuasaan yang tidak akan binasa). Firman
Allah: “Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya,
dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu
pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Q.s. Ṭāhā [20]:
120).
Belakangan, sebagian umat Islam merindukan ingin
menegakkan pemerintahan Islam di bawah bendera kekhalifahan.
Kekhalifahan dengan penguasa tidak memiliki rasa takut pada Allah,
tidak taat beragama dan memiliki akhlak bobrok serta tidak cakap
mengurus negara, berkuasa secara zalim dan sewenang-wenang.
Apakah ciri-ciri kekuasaan negatif semacam ini yang kebanyakan
dipraktek penguasa dalam sejarah kekhalifahan Islam, kembali
didambakan?
Nada pertanyaan “sarkesme” semacam itu terilhami dari
pertanyaan-pertanyaan retorik dari Farag Fouda. Menurut Fouda,
khalifah yang disematkan/ diselubungi dengan kata “Islamiyyah” dalam
sejumlah besar sejarah umat Islam tidak lebih merupakan sistem
kekuasaan monarki absolut yang totaliter dan disepotik. Farag Fouda
mempertanyakan lebel “Islamiyyah” di belakang penyebutan “khilafah”,
ia berusaha menunjukan bahwa yang sering mencuat dalam pentas
sejarah politik kekuasaan Islam justru praktek-prakter yang bertolak
belakang dengan ajaran Islam.
Penguasa khilafah Islam itu memisahkan ajaran Islam dari
praktek kekuasaan, maka praktek khilafah dalam sejarah dapat dikritik,
dicela. Untuk itu, Farag Fouda bertanya: Mengapa orang-orang yang
menuntut kembalinya khilafah begitu membenci bar, mencela biduan,
dan mengkafir-kafirkan para penarinya? Bukankah itu kelanjutan dari
masa lalu dan bahkan bagian dari kekhalifahan Islam? Mengapa saya
harus menerima ajakan mereka untuk menegakkan negara agama,
sementara mereka hanya berpegang pada kulit-kulit agama? (Farag
Fauda, Kebenaran yang Hilang, vi, vii, dan 35, 171).
Mohon maaf, karena tulisan sederhana dan terbatas ini hanya
melihat sisi "kelam" sejarah kekhalifahan Islam, sementara sisi
"gemilang"nya diabaikan. Bukan bermaksud mengangkat sisi buruk dan
meninggalkan sisi baiknya, ini persoalan perspektif semata.
Pertimbangannya adalah lantaran soal sisi baik dan gemilang sejarah
kekhalifahan ini sudah menjadi pengetuhuan yang "mengarus-utama"
(main stream). Sementara soal sisi buruk dan kelam sejarah kekhalifahan
Islam tidak/belum diketahui secara umum dan/atau baru menjadi
pengetahun "pinggiran", sehingga perlu ditarik agak sedikit “ke tengah”
agar kita dapat melihat sejarah Islam lebih objektif dan berimbang.
Begitu juga, mohon maaf kepada penggiat “khilafah Islam”, kalau tulisan
superficial (dangkal) ini sedikit mengganngu pikiran dan perasaan.
Teruslah perjuangkan menghadirkan “khilafah Islam”, meskipun ada
orang diseberang sana yang mengatakan bahwa menegakkan khilafah
Islam di Bumi Pertiwa bagaikan menegakkan "benang basah". Akan
tetapi, bukan mustahil benang basah bisa ditegakkan, bukan?
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.
20
BUDAK, SELIR DAN KEMEWAHAN:
Ciri-ciri Menonjol dalam Kekhalifah Islam
Alimuddin Hassan Palawa
“Annual International Conference on Islamic Studies” (AICIS)
VII diselenggarakan pada 2007 dengan “tuan rumah” UIN Sultan Syarif
Kasim Riau. Dalam sebuah forum pleno ilmiah yang sangat berwibawa
salah seorang pembicara utamanya adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra,
M.Phil., MA., CBE. Pada saat sesi tanya jawab, seorang dosen Perguruan
Tinggi di Pekanbaru --ada baik saya tidak sebut nama dan PT-mengajukan pertanyaan dan/ atau menyampaikan pikiran dan
perasaannya yang ditujukan kepada Prof. Azra, kurang lebih begini:
“Agak sulit kita untuk memperjuangan penekakan kekhalifahan Islam
di Indoensia, karena seorang intelektual seperti Prof. Azra bukannya
mendukung, tapi justru mempertanyakan kelayakan dan
keberlangsungannya, sebagaimana tulisanya di Kompas. Azra mema
(18/8/2007).” Pada gilirannya, Prof. Azra menjawab dengan
memberikan menjelasakan sejumlah khalifah dari berbagai Dawlah
Islamiyah yang penguasanya bersifat dispotik dan kerap kali
menyalahgunakan agama demi melanggengkan kekuasannya. Di akhir
jawabanya, Prof. Azra menyarankan agar dosen bersangkutan
mempelajar- kembali sejarah kekhalifahan Islam.
Dengan kata lain, penggunaan bahasa agama yang tercermin dari
gelar-gelar khalifah tersebut menjadi bahasa politik, menurut Azra,
tidak jarang oleh penguasa Muslim dimanipulasi dengan
memberikannya muatan atau menyelubunginya dengan aura
keagamaan. Dengan begitu, penguasa dapat memperoleh tambahan
legitimasi dan otoritas keagamaan yang sering dipandang sakral oleh
masyarakat pada umumnya (Azyumardi Azra, “Pengantar: Bahasa
Politik, Politik Bahasa dan Agama dan Kritik Terhadap Lewis” dalam
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam: xix-xx). Dalam konteks apa yang
disebutkan Azra di atas, penguasa dalam sejarah kekhalifahan Islam,
selain ada yang bersifat despotik dan lalim --ada di antara yang
menyebut dirinya khalifah lslam itu-- tidak jarang dengan pongahnya
melabrak doktrin-doktrin agama.
Saran Prof. Azra di atas agar mempelajari kembali sejarah
kekhalifahan Islam, saya maknai berlaku untuk umum bagi siapapun
melakukan kajian keislaman, khusus bagi mereka yang bergelut dalam
sejarah dan pemikiran Islam. Saya sebagai murid Prof. Azra di Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyahuti himbauan
Sang Guru Besar untuk (kembali) mempelajari sejarah kekhalifahan
dengan sedikit kritis. Untuk itu, saya membaca di antaranya “melembarlembar” buku History of the Arabs karya Phillip K. Hitti; Kebenaran yang
Hilang: Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim
karya Farag Faudah; “Islamic History: New Interpretation” (2 Volome)
karya M.A. Shaban, dan Tārikh al-Khulafa’ karya Jalaluddin al-Suyūṭi. Di
antara hasil dari bacaan saya itu, saya paparkan berikut ini.
Dalam kekhalifah Islam, khusus kekhalifahan pada masa Dawlah
Umayyah dan Abbasyiah di kalangan penguasa/khalifah atau pangeran
di istana memiliki dua ciri utama. Pertama, bahwa kehidupan istana
diwarnai prilaku pesta pora dan foya-foya dengan bergelimang harta
dan meteri melimpah serta makan dan minum yang bercita rasa lezat
tiada tara. Kedua, bahwa kehidupan seksual di lingkungan istana dengan
dikelilingi wanita-wanita muda serta cantik yang kadang jumlahnya
tidak terkirakan banyaknya sejalan dengan era perbudakan dan
perseliran pada masanya. Kehidupan pesta pora yag dilmbangkan
minuman khamar; dan kehidupan seksual yang menyimpang
diindikasikan prilaku homoskes, seperti tulis Imam al-Suyuti, dilakoni
oleh khalifah Walid bin Yazid bin Abdul Malik [746-747], (lihat Imam
al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, Jakarta, Hikmah, 2010, 321).
Dalam mengurai kehidupan seksul yang bebas ditopang
tersedianya wanita yang dijadikan budak dan selir, Philip K. Hitti dan
Farag Fauda merujuk kepada karya sejarawan Islam awal yang
dipandang otoritatif dan terpercaya, seperti al-Mas’udi, ibn al-Atsir, alṬabari, dan lainnya. Baik Hitti maupun Fauda menyebutkan betapa
perseliran sebegitu dahsyat baik pada masa Bani Umayyah maupun Bani
Abbasyiah. Misalnya, disebutkan bahwa khalifah Harun al-Rasyid yang
masyhur dengan kisah “alfu layl wa layl” (1001 Malam) ternyata memiliki
selir (gundik) sekitaar 1.000 (seribu) orang. Dan belakangan lebih hebat
lagi khalifah al-Mutawakkil, seorang khalifah Abbasyiah, diriwayatkan
memiliki selir sebanyak 4.000 (empat ribu) orang kesemuanya telah
diajak “menemaninya tidur” selama seperempat abad kekuasaannya.
(Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs: 342; Farag Fauda, Kebenaran
yang Hilang Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum
Muslim , 2003:, 145.
Para budak gadis-gadis cantik hampir semuanya direkrut secara
paksa dari kalangan non-Muslim, baik yang ditawan pada masa perang
mupun dibeli pada masa damai. Gadis-gadis cantik tersebut menjadi
penguasa dan keluarga istina (kerajaan) dengan berbagai
kecenderungan profesi, misalnya menjadi penyanyi, penari, dan pada
umumnya menjadi pembantu dan selir. Selain itu, pada masa khalifah
Harun al-Rasyid mulai muncul para ghilman (budak laki-laki yang
dikebiri). Akan tetapi, khlafiah al-Amin adalah khalifah pertama
mengikuti tradisi Persia dengan memperkenalkan praktek ghilman ke
dunia Arab untuk menyalurkan kebiasaan seksual yang tidak wajar
(menyimpang), demikian tulis Phillip K. Hitti, sebagaimana ia kutip
dari kitab sejarah otoritatif karya al-Thabari.
Belakangan, praktek ghilman ini semakin menjadi-jadi, misalnya
pada masa khalifah al-Ma’mun, seorang hakim memiliki empat ratus
lelaki semacam itu. Para penyair, seperti Abu Nuwâs tidak malu-malu
menyebutkan penyimpangan seksual mereka. Mereka menyebut
berbagai ungkapan cinta yang ditujukan kepada “para pemuda tidak
berjenggot itu (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 426). Lebih
tragis dan memalukan, seorang khalifah Abbasyiah, yaitu Walid bin
Yazid, sebagaimana perkataan al-Dzahabi dikutip oleh Imam al-Suyuti,
“Tidak benar bahwa al-Walid itu kafir dan ateis. Akan tetapi, dia
dikenal sebagai peminum khamar dan pelaku homoseks.” Kemudian,
untuk menggambarkan kebejatan khalifah ini, Imam al-Sayuti menulis:
“Walid adalah penguasa yang kejam dan sombong. Dia selalu
menghabisi orang yang memusuhinya. Dia menumpuh jalan yang
menyimpang dari hidayah. Da adalah Fir’aun paada zamanya.” Pada
bagian lain, dengan mengutip Musnad Imam Ahmad, Imam al-Suyuti
menuliskan, “Akan ada di dalam umat ini seorang laki-laki yang disebut
Walid. Keberadaannya ditengah umat ini jauh lebih kejam daripada
Fir’aun terhadap kaumnya.” (Lihat, Jalaluddin al-Suyūṭi, Tārikh alKhulafa’, 2010: 312)
Kehidupan mewah, bergelimang harta, perbudakan dan
perseliran sedemikian marak pada kekhalifahan Islam, terutama pada
masa Bani ‘Abbashiyah dan Bani ‘Umayyah. Sedemikian maraknya
perbudakan dan perseliran pada masa Bani ‘Abbasyiah, sehingga hanya
ada tiga orang khalifah lahir dari rahim ibu merdeka, yaitu: Abu Abbas,
al-Mahdi dan al-Amin. Selain itu, khalifah-khalifah Abbasyiah adalah
keturunan wanita-wanita budak dari berbagai daerah dan bangsa.
Misalnya, ibu al-Mansur adalah budak Barbar; ibu al-Ma’mun adalah
seorang budak Persia; ibu al-Watsiq dan al-Muhtadi adalah seorang
budak Yunani-Abissinia; dan bahkan ibu Harun al-Rasyid sendiri
adalah juga seorang budak dari negeri lain yang dikenal sebagai “alkhayuran”, seorang wanita pertama yang memiliki pengaruh penting
dalam urusan kenegaraan/ pemerintahan Bani Abbasyiah. Disebutkan
bahwa Zubaidah, istri khalifah Harun al-Rasyid, juga memiliki
pengaruh kuat kepada suaminya. Misalnya, agar Harun al-Rasyid tidak
tertarik dengan biduanita lain, Zubaidah menghadiahkan suaminya 10
gadis muda. Dari 10 gadis muda ini salah seorang di antaranya menjadi
ibu al-Ma’mun, dan yang lainnya menjadi ibu al-Mu’tashi (Lihat, Philip
K. Hitti, History of the Arabs, 427).
Para khalifah sudah terbiasa dan menjadi tradisi menerima
hadiah dari para gubernur dan para jenderalnya. Hadiah tersebut tidak
saja berupa materi, tetapi juga hadiah berupa anak gadis-gadis cantik
yang diambil baik secara suka rela maupun secara paksa di kalangan
warga kerajaan. Kalau para gubernur dan jenderal itu tidak
mempersembahkan gadis-gadis cantik dinilai sebagai bentuk
membangkangan (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 332). Tradisi
pemberian hadiah gadis-gadis cantik semacam ini pada khususnya dan
pemberian budak-budak pada umumnya juga telah marak seiring
dengan penaklukan Islam, terutama pada dinasti kehalifahan Bani
‘Umayyah dan Bani Abbasyiah. Philip K. Hitti menyebutkan,
sebagimana ia kutip dari Maqqari dan Ibn al-Athir, bahwa Musa bin
Nusayr menawan 300.000 orang di Afrika kecil, seperlima di antaranya
diserahkan kepada al-Walid (meskipun angka-angka ini, sepertinya
terlalu dibesar-besarkan); selain itu ia juga menawan 30.000 gadis dari
kalangan bangsawan Gotik di Spanyol.
Bagi seorang bangsawan di kalangan Bani ‘Umayyah memiliki
1.000 budak bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa. Bahkan Zubair bin
Awwam, salah seorang di antara sepuluh sahabat yang Rasul Allah saw.
masuk surga, menurut al-Mas‘udi, mewariskan sebanyak 1.000 (seribu)
orang budak laki-laki dan perempuan. (Lihat, Philip K. Hitti, History of
the Arabs, 335). Selain mewariskan budak sedemikian banyak itu, Zubair
bin Awwam --dan sejumlah sahabat yang dijamin surga lainnnya, yaitu
Sa‘ad bi Abi Waqas, Talhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Abd Rahman bin ‘Auf
-- juga memiliki harta peninggalan begitu banyak dan melimpah. Ibn
Sa’ad dalam al-Ṭabaqāt al-Kubrā, seperti dikutip Farag Fauda,
menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam meninggalkan kekayaan
(harta warisan kepada keluarganya) berupa: (i) uang dirham yang
jumlahnya sangat fantastik, yaitu kira-kira 51 juta dirham (bandingkan
dengan Ali bin Abi Thalib yang hanya meninggalkan sekitar 250 dirham
serta mushaf dan pedangnnya); (ii) beberapa armada di Mesir,
Aleksadria dan di Kufah; (iii) angkutan darat dan hasil panen yang
dipersembahkan kepadanya oleh penduduk di Basra. Prihal Sa‘ad bin
Abi Waqas, di akhir hayatnya, putrinya A‘isyah bin Sa‘ad bin Abi Waqas
mengisahkan bahwa: “Bapakku meninggal di istananya yang antik
sekitar sepuluh mil dari Madinah.” (Lihat, Farag Fauda, Kebenaran yang
Hilang, 64-65 dan 67).
Melihat praktek perseliran di istana disebagian khalifah Islam,
dapat diduga kuat bahwa penguasa menghabiskan waktu sampai larut
malam bersama-sama istri dan gundik/selirnya dalam memuaskan hawa
nafsu dan hasrat libido seksual mereka. Sementara pada siang harinya
dapat diduga kuat terlelap tidur karena semalaman, sebagaimna
disebutkan tadi, bergadang “berasyik-mausyuk” dengan istri dan
gundik/selir dimilikinya. Tanpa bermaksud menafikan sejumlah
khalifah yang memang baik dan bijaksana, tetapi mengingat gambaran
nyata hampir merata prihal kehidupan penguasa nota bene muslim,
prilakunya tidak bermartabat dan bermarwah.
Ironisnya, sebagian mereka mengklaim dirinya sebagai “khalīfah
Allāh fī al-arḍ” (“wakil Allah di bumi”), dan memproklamasikan
kekhalifahan berasaskan Islam. Padahal, dalam kenyataannya penguasa
semacam itu acapkali tidak menjadikan dirinya sebagai wakil Allah. Dan
klaimnya bahwa Islam sebagai asas kekhalifahannya hanya sekedar
“alat” untuk menjastifikasi prilaku mereka yang tidak islami (praktekpraktek aspirasi jahiliyah). Dengan kata lain, klaim khalifah berasas
Islam adalah demi melanggengkan kekuasaan dalam genggaman yang
memang mengasayikkannya, sebagaimana bisikan syaithan kepada
Adam: wa mulk lā yablā (dan kekuasaan yang tidak akan binasa). Firman
Allah: “Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya,
dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu
pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Q.s. Ṭāhā [20]:
120).
Belakangan, sebagian umat Islam merindukan ingin
menegakkan pemerintahan Islam di bawah bendera kekhalifahan.
Kekhalifahan dengan penguasa tidak memiliki rasa takut pada Allah,
tidak taat beragama dan memiliki akhlak bobrok serta tidak cakap
mengurus negara, berkuasa secara zalim dan sewenang-wenang.
Apakah ciri-ciri kekuasaan negatif semacam ini yang kebanyakan
dipraktek penguasa dalam sejarah kekhalifahan Islam, kembali
didambakan?
Nada pertanyaan “sarkesme” semacam itu terilhami dari
pertanyaan-pertanyaan retorik dari Farag Fouda. Menurut Fouda,
khalifah yang disematkan/ diselubungi dengan kata “Islamiyyah” dalam
sejumlah besar sejarah umat Islam tidak lebih merupakan sistem
kekuasaan monarki absolut yang totaliter dan disepotik. Farag Fouda
mempertanyakan lebel “Islamiyyah” di belakang penyebutan “khilafah”,
ia berusaha menunjukan bahwa yang sering mencuat dalam pentas
sejarah politik kekuasaan Islam justru praktek-prakter yang bertolak
belakang dengan ajaran Islam.
Penguasa khilafah Islam itu memisahkan ajaran Islam dari
praktek kekuasaan, maka praktek khilafah dalam sejarah dapat dikritik,
dicela. Untuk itu, Farag Fouda bertanya: Mengapa orang-orang yang
menuntut kembalinya khilafah begitu membenci bar, mencela biduan,
dan mengkafir-kafirkan para penarinya? Bukankah itu kelanjutan dari
masa lalu dan bahkan bagian dari kekhalifahan Islam? Mengapa saya
harus menerima ajakan mereka untuk menegakkan negara agama,
sementara mereka hanya berpegang pada kulit-kulit agama? (Lihat,
Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang, vi, vii, dan 35, 171).
Mohon maaf, karena tulisan sederhana dan terbatas ini hanya
melihat sisi "kelam" sejarah kekhalifahan Islam, sementara sisi
"gemilang"nya diabaikan. Bukan bermaksud mengangkat sisi buruk dan
meninggalkan sisi baiknya, ini persoalan perspektif semata.
Pertimbangannya adalah lantaran soal sisi baik dan gemilang sejarah
kekhalifahan ini sudah menjadi pengetuhuan yang "mengarus-utama"
(main stream). Sementara soal sisi buruk dan kelam sejarah kekhalifahan
Islam tidak/belum diketahui secara umum dan/atau baru menjadi
pengetahun "pinggiran", sehingga perlu ditarik agak sedikit “ke tengah”
agar kita dapat melihat sejarah Islam lebih objektif dan berimbang.
Begitu juga, mohon maaf kepada penggiat “khilafah Islam”, kalau tulisan
superficial (dangkal) ini sedikit mengganngu pikiran dan perasaan.
Teruslah perjuangkan menghadirkan “khilafah Islam”, meskipun ada
orang diseberang sana yang mengatakan bahwa menegakkan khilafah
Islam di Bumi Pertiwa bagaikan menegakkan "benang basah". Akan
tetapi, bukan mustahil benang basah bisa ditegakkan, bukan?
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.
Download