BUDAK, SELIR DAN KEMEWAHAN: Ciri-ciri Menonjol dalam Kekhalifah Islam “Annual International Conference on Islamic Studies” (AICIS) VII diselenggarakan pada 2007 dengan “tuan rumah” UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Dalam sebuah forum pleno ilmiah yang sangat berwibawa salah seorang pembicara utamanya adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.Phil., MA., CBE. Pada saat sesi tanya Jawab, seorang dosen Perguruan Tinggi di Pekanbaru --ada baik saya tidak sebut nama dan PT-mengajukan pertanyaan dan/ atau menyampaikan pikiran dan perasaannya yang ditujukan kepada Prof. Azra, kurang lebih begini: “Agak sulit kita untuk memperjuangan penekakan kekhalifahan Islam di Indoensia, karena seorang intelektual seperti Prof. Azra bukannya mendukung, tapi justru mempertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya, sebagaimana tulisanya di Kompas (18/8/2007).” Pada gilirannya, Prof. Azra menJawab dengan memberikan menjelasakan sejumlah khalifah dari berbagai Dawlah Islamiyah yang penguasanya bersifat dispotik dan kerap kali menyalahgunakan agama demi melanggengkan kekuasannya. Di akhir Jawabanya, Prof. Azra menyarankan agar dosen bersangkutan mempelajaran kembali sejarah kekhalifahan Islam. Saran Prof. Azra di atas saya maknai berlaku untuk umum bagi siapapun melakukan kajian keIslaman, khusus bagi mereka yang bergelut dalam sejarah dan pemikiran Islam. Saya sebagai murid Prof. Azra di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyahuti himbauan Sang Guru Besar untuk (kembali) mempelajari sejarah kekhalifahan dengan sedikit kritis. Untuk itu, saya membaca di antaranya “melembar-lembar” buku History of the Arabs karya Phillip K. Hitti; Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim karya Farag Faudah; “Islamic History: New Interpretation” (2 Volome) karya M.A. Shaban, dan Tārikh al-Khulafa’ karya Jalaluddin al-Suyūṭi. Di antara hasil dari bacaan saya itu, saya paparkan berikut ini. Dalam kekhalifah Islam, khusus kekhalifahan pada masa Dawlah Umayyah dan Abbasyiah di kalangan penguasa/khalifah atau pangeran di istana memiliki dua ciri utama. Pertama, bahwa kehidupan istana diwarnai prilaku pesta pora dan foya-foya dengan bergelimang harta dan meteri melimpah serta makan dan minum yang bercita rasa lezat tiada tara. Kedua, bahwa kehidupan seksual di lingkungan istana dengan dikelilingi wanita-wanita muda serta cantik yang kadang jumlahnya tidak terkirakan banyaknya sejalan dengan era perbudakan dan perseliran pada masanya. Dalam mengurai kehidupan seksul yang bebas ditopang tersedianya wanita yang dijadikan budak dan selir, Philip K. Hitti dan Farag Fauda merujuk kepada karya sejarawan Islam awal yang dipandang otoritatif dan terpercaya, seperti al-Mas’udi, ibn al-Atsir, alṬabari, dan lainnya. Baik Hitti maupun Fauda menyebutkan betapa perseliran sebegitu dahsyat baik pada masa Bani Umayyah maupun Bani Abbasyiah. Misalnya, disebutkan bahwa khalifah Harun al-Rasyid yang masyhur dengan kisah “alfu layl wa layl” (1001 Malam) ternyata memiliki selir (gundik) sekitaar 1.000 (seribu) orang. Dan belakangan lebih hebat lagi khalifah al-Mutawakkil, seorang khalifah Abbasyiah, diriwayatkan memiliki selir sebanyak 4.000 (empat ribu) orang kesemuanya telah diajak “menemaninya tidur” selama seperempat abad kekuasaannya. (Philip K. Hitti, History of the Arabs: 342; Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim , 2003:, 145. Para budak gadis-gadis cantik hampir semuanya direkrut secara paksa dari kalangan non-Muslim, baik yang ditawan pada masa perang mupun dibeli pada masa damai. Gadis-gadis cantik tersebut menjadi penguasa dan keluarga istina (kerajaan) dengan berbagai kecenderungan profesi, misalnya menjadi penyanyi, penari, dan pada umumnya menjadi pembantu dan selir. Selain itu, pada masa khalifah Harun al-Rasyid mulai muncul para ghilman (budak laki-laki yang dikebiri). Akan tetapi, khlafiah al-Amin adalah khalifah pertama mengikuti tradisi Persia dengan memperkenalkan praktek ghilman ke dunia Arab untuk menyalurkan kebiasaan seksual yang tidak wajar (menyimpang), demikian tulis Phillip K. Hitti, sebagaimana ia kutip dari kitab sejarah otoritatif karya al-Thabari. Belakangan, praktek ghilman ini semakin menjadi-jadi, misalnya pada masa khalifah al-Ma’mun, seorang hakim memiliki empat ratus lelaki semacam itu. Para penyair, seperti Abu Nuwâs tidak malu-malu menyebutkan penyimpangan seksual mereka. Mereka menyebut berbagai ungkapan cinta yang ditujukan kepada “para pemuda tidak berjenggot itu (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 426). Lebih tragis dan memalukan, seorang khalifah Abbasyiah, yaitu Walid bin Yazid, sebagaimana perkataan al-Dzahabi dikutip oleh Imam al-Suyuti, “Tidak benar bahwa al-Walid itu kafir dan ateis. Akan tetapi, dia dikenal sebagai peminum khamar dan pelaku homoseks.” Kemudian, untuk menggambarkan kebejatan khalifah ini, Imam al-Sayuti menulis: “Walid adalah penguasa yang kejam dan sombong. Dia selalu menghabisi orang yang memusuhinya. Dia menumpuh jalan yang menyimpang dari hidayah. Da adalah Fir’aun paada zamanya.” Pada bagian lain, dengan mengutip Musnad Imam Ahmad, Imam al-Suyuti menuliskan, “Akan ada di dalam umat ini seorang laki-laki yang disebut Walid. Keberadaannya ditengah umat ini jauh lebih kejam daripada Fir’aun terhadap kaumnya.” (Jalaluddin al-Suyūṭi, Tārikh al-Khulafa’, 2010: 312) Kehidupan mewah, bergelimang harta, perbudakan dan perseliran sedemikian marak pada kekhalifahan Islam, terutama pada masa Bani ‘Abbashiyah dan Bani ‘Umayyah. Sedemikian maraknya perbudakan dan perseliran pada masa Bani ‘Abbasyiah, sehingga hanya ada tiga orang khalifah lahir dari rahim ibu merdeka, yaitu: Abu Abbas, al-Mahdi dan al-Amin. Selain itu, khalifah-khalifah Abbasyiah adalah keturunan wanita-wanita budak dari berbagai daerah dan bangsa. Misalnya, ibu al-Mansur adalah budak Barbar; ibu al-Ma’mun adalah seorang budak Persia; ibu al-Watsiq dan al-Muhtadi adalah seorang budak Yunani-Abissinia; dan bahkan ibu Harun al-Rasyid sendiri adalah juga seorang budak dari negeri lain yang dikenal sebagai “alkhayuran”, seorang wanita pertama yang memiliki pengaruh penting dalam urusan kenegaraan/ pemerintahan Bani Abbasyiah. Disebutkan bahwa Zubaidah, istri khalifah Harun al-Rasyid, juga memiliki pengaruh kuat kepada suaminya. Misalnya, agar Harun al-Rasyid tidak tertarik dengan biduanita lain, Zubaidah menghadiahkan suaminya 10 gadis muda. Dari 10 gadis muda ini salah seorang di antaranya menjadi ibu al-Ma’mun, dan yang lainnya menjadi ibu al-Mu’tashi (Philip K. Hitti, History of the Arabs, 427). Para khalifah sudah terbiasa dan menjadi tradisi menerima hadiah dari para gubernur dan para jenderalnya. Hadiah tersebut tidak saja berupa materi, tetapi juga hadiah berupa anak gadis-gadis cantik yang diambil baik secara suka rela maupun secara paksa di kalangan warga kerajaan. Kalau para gubernur dan jenderal itu tidak mempersembahkan gadis-gadis cantik dinilai sebagai bentuk membangkangan (Philip K. Hitti, History of the Arabs, 332). Tradisi pemberian hadiah gadis-gadis cantik semacam ini pada khususnya dan pemberian budak-budak pada umumnya juga telah marak seiring dengan penaklukan Islam, terutama pada dinasti kehalifahan Bani ‘Umayyah dan Bani Abbasyiah. Philip K. Hitti menyebutkan, sebagimana ia kutip dari Maqqari dan Ibn al-Athir, bahwa Musa bin Nusayr menawan 300.000 orang di Afrika kecil, seperlima di antaranya diserahkan kepada al-Walid (meskipun angka-angka ini, sepertinya terlalu dibesar-besarkan); selain itu ia juga menawan 30.000 gadis dari kalangan bangsawan Gotik di Spanyol. Bagi seorang bangsawan di kalangan Bani ‘Umayyah memiliki 1.000 budak bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa. Bahkan Zubair bin Awwam, salah seorang di antara sepuluh sahabat yang Rasul Allah saw. masuk surga, menurut al-Mas‘udi, mewariskan sebanyak 1.000 (seribu) orang budak laki-laki dan perempuan. (Philip K. Hitti, History of the Arabs, 335). Selain mewariskan budak sedemikian banyak itu, Zubair bin Awwam --dan sejumlah sahabat yang dijamin surga lainnnya, yaitu Sa‘ad bi Abi Waqas, Talhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Abd Rahman bin ‘Auf -- juga memiliki harta peninggalan begitu banyak dan melimpah. Ibn Sa’ad dalam al-Ṭabaqāt al-Kubrā, seperti dikutip Farag Fauda, menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam meninggalkan kekayaan (harta warisan kepada keluarganya) berupa: (i) uang dirham yang jumlahnya sangat fantastik, yaitu kira-kira 51 juta dirham (bandingkan dengan Ali bin Abi Thalib yang hanya meninggalkan sekitar 250 dirham serta mushaf dan pedangnnya); (ii) beberapa armada di Mesir, Aleksadria dan di Kufah; (iii) angkutan darat dan hasil panen yang dipersembahkan kepadanya oleh penduduk di Basra. Prihal Sa‘ad bin Abi Waqas, di akhir hayatnya, putrinya A‘isyah bin Sa‘ad bin Abi Waqas mengisahkan bahwa: “Bapakku meninggal di istananya yang antik sekitar sepuluh mil dari Madinah.” (Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang, 64-65 dan 67). Melihat praktek perseliran di istana disebagian khalifah Islam, dapat diduga kuat bahwa penguasa menghabiskan waktu sampai larut malam bersama-sama istri dan gundik/selirnya dalam memuaskan hawa nafsu dan hasrat libido seksual mereka. Sementara pada siang harinya dapat diduga kuat terlelap tidur karena semalaman, sebagaimna disebutkan tadi, bergadang “berasyik-mausyuk” dengan istri dan gundik/selir dimilikinya. Tanpa bermaksud menafikan sejumlah khalifah yang memang baik dan bijaksana, tetapi mengingat gambaran nyata hampir merata prihal kehidupan penguasa nota bene muslim, prilakunya tidak bermartabat dan bermarwah. Ironisnya, sebagian mereka mengklaim dirinya sebagai “khalīfah Allāh fī al-arḍ” (“wakil Allah di bumi”), dan memproklamasikan kekhalifahan berasaskan Islam. Padahal, dalam kenyataannya penguasa semacam itu acapkali tidak menjadikan dirinya sebagai wakil Allah. Dan klaimnya bahwa Islam sebagai asas kekhalifahannya hanya sekedar “alat” untuk menjastifikasi prilaku mereka yang tidak Islami (praktekpraktek aspirasi jahiliyah). Dengan kata lain, klaim khalifah berasas Islam adalah demi melanggengkan kekuasaan dalam genggaman yang memang mengasayikkannya, sebagaimana bisikan syaithan kepada Adam: wa mulk lā yablā (dan kekuasaan yang tidak akan binasa). Firman Allah: “Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Q.s. Ṭāhā [20]: 120). Belakangan, sebagian umat Islam merindukan ingin menegakkan pemerintahan Islam di bawah bendera kekhalifahan. Kekhalifahan dengan penguasa tidak memiliki rasa takut pada Allah, tidak taat beragama dan memiliki akhlak bobrok serta tidak cakap mengurus negara, berkuasa secara zalim dan sewenang-wenang. Apakah ciri-ciri kekuasaan negatif semacam ini yang kebanyakan dipraktek penguasa dalam sejarah kekhalifahan Islam, kembali didambakan? Nada pertanyaan “sarkesme” semacam itu terilhami dari pertanyaan-pertanyaan retorik dari Farag Fouda. Menurut Fouda, khalifah yang disematkan/ diselubungi dengan kata “Islamiyyah” dalam sejumlah besar sejarah umat Islam tidak lebih merupakan sistem kekuasaan monarki absolut yang totaliter dan disepotik. Farag Fouda mempertanyakan lebel “Islamiyyah” di belakang penyebutan “khilafah”, ia berusaha menunjukan bahwa yang sering mencuat dalam pentas sejarah politik kekuasaan Islam justru praktek-prakter yang bertolak belakang dengan ajaran Islam. Penguasa khilafah Islam itu memisahkan ajaran Islam dari praktek kekuasaan, maka praktek khilafah dalam sejarah dapat dikritik, dicela. Untuk itu, Farag Fouda bertanya: Mengapa orang-orang yang menuntut kembalinya khilafah begitu membenci bar, mencela biduan, dan mengkafir-kafirkan para penarinya? Bukankah itu kelanjutan dari masa lalu dan bahkan bagian dari kekhalifahan Islam? Mengapa saya harus menerima ajakan mereka untuk menegakkan negara agama, sementara mereka hanya berpegang pada kulit-kulit agama? (Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang, vi, vii, dan 35, 171). Mohon maaf, karena tulisan sederhana dan terbatas ini hanya melihat sisi "kelam" sejarah kekhalifahan Islam, sementara sisi "gemilang"nya diabaikan. Bukan bermaksud mengangkat sisi buruk dan meninggalkan sisi baiknya, ini persoalan perspektif semata. Pertimbangannya adalah lantaran soal sisi baik dan gemilang sejarah kekhalifahan ini sudah menjadi pengetuhuan yang "mengarus-utama" (main stream). Sementara soal sisi buruk dan kelam sejarah kekhalifahan Islam tidak/belum diketahui secara umum dan/atau baru menjadi pengetahun "pinggiran", sehingga perlu ditarik agak sedikit “ke tengah” agar kita dapat melihat sejarah Islam lebih objektif dan berimbang. Begitu juga, mohon maaf kepada penggiat “khilafah Islam”, kalau tulisan superficial (dangkal) ini sedikit mengganngu pikiran dan perasaan. Teruslah perjuangkan menghadirkan “khilafah Islam”, meskipun ada orang diseberang sana yang mengatakan bahwa menegakkan khilafah Islam di Bumi Pertiwa bagaikan menegakkan "benang basah". Akan tetapi, bukan mustahil benang basah bisa ditegakkan, bukan? Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb. Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh. 20 BUDAK, SELIR DAN KEMEWAHAN: Ciri-ciri Menonjol dalam Kekhalifah Islam Alimuddin Hassan Palawa “Annual International Conference on Islamic Studies” (AICIS) VII diselenggarakan pada 2007 dengan “tuan rumah” UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Dalam sebuah forum pleno ilmiah yang sangat berwibawa salah seorang pembicara utamanya adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.Phil., MA., CBE. Pada saat sesi tanya jawab, seorang dosen Perguruan Tinggi di Pekanbaru --ada baik saya tidak sebut nama dan PT-mengajukan pertanyaan dan/ atau menyampaikan pikiran dan perasaannya yang ditujukan kepada Prof. Azra, kurang lebih begini: “Agak sulit kita untuk memperjuangan penekakan kekhalifahan Islam di Indoensia, karena seorang intelektual seperti Prof. Azra bukannya mendukung, tapi justru mempertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya, sebagaimana tulisanya di Kompas. Azra mema (18/8/2007).” Pada gilirannya, Prof. Azra menjawab dengan memberikan menjelasakan sejumlah khalifah dari berbagai Dawlah Islamiyah yang penguasanya bersifat dispotik dan kerap kali menyalahgunakan agama demi melanggengkan kekuasannya. Di akhir jawabanya, Prof. Azra menyarankan agar dosen bersangkutan mempelajar- kembali sejarah kekhalifahan Islam. Dengan kata lain, penggunaan bahasa agama yang tercermin dari gelar-gelar khalifah tersebut menjadi bahasa politik, menurut Azra, tidak jarang oleh penguasa Muslim dimanipulasi dengan memberikannya muatan atau menyelubunginya dengan aura keagamaan. Dengan begitu, penguasa dapat memperoleh tambahan legitimasi dan otoritas keagamaan yang sering dipandang sakral oleh masyarakat pada umumnya (Azyumardi Azra, “Pengantar: Bahasa Politik, Politik Bahasa dan Agama dan Kritik Terhadap Lewis” dalam Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam: xix-xx). Dalam konteks apa yang disebutkan Azra di atas, penguasa dalam sejarah kekhalifahan Islam, selain ada yang bersifat despotik dan lalim --ada di antara yang menyebut dirinya khalifah lslam itu-- tidak jarang dengan pongahnya melabrak doktrin-doktrin agama. Saran Prof. Azra di atas agar mempelajari kembali sejarah kekhalifahan Islam, saya maknai berlaku untuk umum bagi siapapun melakukan kajian keislaman, khusus bagi mereka yang bergelut dalam sejarah dan pemikiran Islam. Saya sebagai murid Prof. Azra di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyahuti himbauan Sang Guru Besar untuk (kembali) mempelajari sejarah kekhalifahan dengan sedikit kritis. Untuk itu, saya membaca di antaranya “melembarlembar” buku History of the Arabs karya Phillip K. Hitti; Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim karya Farag Faudah; “Islamic History: New Interpretation” (2 Volome) karya M.A. Shaban, dan Tārikh al-Khulafa’ karya Jalaluddin al-Suyūṭi. Di antara hasil dari bacaan saya itu, saya paparkan berikut ini. Dalam kekhalifah Islam, khusus kekhalifahan pada masa Dawlah Umayyah dan Abbasyiah di kalangan penguasa/khalifah atau pangeran di istana memiliki dua ciri utama. Pertama, bahwa kehidupan istana diwarnai prilaku pesta pora dan foya-foya dengan bergelimang harta dan meteri melimpah serta makan dan minum yang bercita rasa lezat tiada tara. Kedua, bahwa kehidupan seksual di lingkungan istana dengan dikelilingi wanita-wanita muda serta cantik yang kadang jumlahnya tidak terkirakan banyaknya sejalan dengan era perbudakan dan perseliran pada masanya. Kehidupan pesta pora yag dilmbangkan minuman khamar; dan kehidupan seksual yang menyimpang diindikasikan prilaku homoskes, seperti tulis Imam al-Suyuti, dilakoni oleh khalifah Walid bin Yazid bin Abdul Malik [746-747], (lihat Imam al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, Jakarta, Hikmah, 2010, 321). Dalam mengurai kehidupan seksul yang bebas ditopang tersedianya wanita yang dijadikan budak dan selir, Philip K. Hitti dan Farag Fauda merujuk kepada karya sejarawan Islam awal yang dipandang otoritatif dan terpercaya, seperti al-Mas’udi, ibn al-Atsir, alṬabari, dan lainnya. Baik Hitti maupun Fauda menyebutkan betapa perseliran sebegitu dahsyat baik pada masa Bani Umayyah maupun Bani Abbasyiah. Misalnya, disebutkan bahwa khalifah Harun al-Rasyid yang masyhur dengan kisah “alfu layl wa layl” (1001 Malam) ternyata memiliki selir (gundik) sekitaar 1.000 (seribu) orang. Dan belakangan lebih hebat lagi khalifah al-Mutawakkil, seorang khalifah Abbasyiah, diriwayatkan memiliki selir sebanyak 4.000 (empat ribu) orang kesemuanya telah diajak “menemaninya tidur” selama seperempat abad kekuasaannya. (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs: 342; Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim , 2003:, 145. Para budak gadis-gadis cantik hampir semuanya direkrut secara paksa dari kalangan non-Muslim, baik yang ditawan pada masa perang mupun dibeli pada masa damai. Gadis-gadis cantik tersebut menjadi penguasa dan keluarga istina (kerajaan) dengan berbagai kecenderungan profesi, misalnya menjadi penyanyi, penari, dan pada umumnya menjadi pembantu dan selir. Selain itu, pada masa khalifah Harun al-Rasyid mulai muncul para ghilman (budak laki-laki yang dikebiri). Akan tetapi, khlafiah al-Amin adalah khalifah pertama mengikuti tradisi Persia dengan memperkenalkan praktek ghilman ke dunia Arab untuk menyalurkan kebiasaan seksual yang tidak wajar (menyimpang), demikian tulis Phillip K. Hitti, sebagaimana ia kutip dari kitab sejarah otoritatif karya al-Thabari. Belakangan, praktek ghilman ini semakin menjadi-jadi, misalnya pada masa khalifah al-Ma’mun, seorang hakim memiliki empat ratus lelaki semacam itu. Para penyair, seperti Abu Nuwâs tidak malu-malu menyebutkan penyimpangan seksual mereka. Mereka menyebut berbagai ungkapan cinta yang ditujukan kepada “para pemuda tidak berjenggot itu (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 426). Lebih tragis dan memalukan, seorang khalifah Abbasyiah, yaitu Walid bin Yazid, sebagaimana perkataan al-Dzahabi dikutip oleh Imam al-Suyuti, “Tidak benar bahwa al-Walid itu kafir dan ateis. Akan tetapi, dia dikenal sebagai peminum khamar dan pelaku homoseks.” Kemudian, untuk menggambarkan kebejatan khalifah ini, Imam al-Sayuti menulis: “Walid adalah penguasa yang kejam dan sombong. Dia selalu menghabisi orang yang memusuhinya. Dia menumpuh jalan yang menyimpang dari hidayah. Da adalah Fir’aun paada zamanya.” Pada bagian lain, dengan mengutip Musnad Imam Ahmad, Imam al-Suyuti menuliskan, “Akan ada di dalam umat ini seorang laki-laki yang disebut Walid. Keberadaannya ditengah umat ini jauh lebih kejam daripada Fir’aun terhadap kaumnya.” (Lihat, Jalaluddin al-Suyūṭi, Tārikh alKhulafa’, 2010: 312) Kehidupan mewah, bergelimang harta, perbudakan dan perseliran sedemikian marak pada kekhalifahan Islam, terutama pada masa Bani ‘Abbashiyah dan Bani ‘Umayyah. Sedemikian maraknya perbudakan dan perseliran pada masa Bani ‘Abbasyiah, sehingga hanya ada tiga orang khalifah lahir dari rahim ibu merdeka, yaitu: Abu Abbas, al-Mahdi dan al-Amin. Selain itu, khalifah-khalifah Abbasyiah adalah keturunan wanita-wanita budak dari berbagai daerah dan bangsa. Misalnya, ibu al-Mansur adalah budak Barbar; ibu al-Ma’mun adalah seorang budak Persia; ibu al-Watsiq dan al-Muhtadi adalah seorang budak Yunani-Abissinia; dan bahkan ibu Harun al-Rasyid sendiri adalah juga seorang budak dari negeri lain yang dikenal sebagai “alkhayuran”, seorang wanita pertama yang memiliki pengaruh penting dalam urusan kenegaraan/ pemerintahan Bani Abbasyiah. Disebutkan bahwa Zubaidah, istri khalifah Harun al-Rasyid, juga memiliki pengaruh kuat kepada suaminya. Misalnya, agar Harun al-Rasyid tidak tertarik dengan biduanita lain, Zubaidah menghadiahkan suaminya 10 gadis muda. Dari 10 gadis muda ini salah seorang di antaranya menjadi ibu al-Ma’mun, dan yang lainnya menjadi ibu al-Mu’tashi (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 427). Para khalifah sudah terbiasa dan menjadi tradisi menerima hadiah dari para gubernur dan para jenderalnya. Hadiah tersebut tidak saja berupa materi, tetapi juga hadiah berupa anak gadis-gadis cantik yang diambil baik secara suka rela maupun secara paksa di kalangan warga kerajaan. Kalau para gubernur dan jenderal itu tidak mempersembahkan gadis-gadis cantik dinilai sebagai bentuk membangkangan (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 332). Tradisi pemberian hadiah gadis-gadis cantik semacam ini pada khususnya dan pemberian budak-budak pada umumnya juga telah marak seiring dengan penaklukan Islam, terutama pada dinasti kehalifahan Bani ‘Umayyah dan Bani Abbasyiah. Philip K. Hitti menyebutkan, sebagimana ia kutip dari Maqqari dan Ibn al-Athir, bahwa Musa bin Nusayr menawan 300.000 orang di Afrika kecil, seperlima di antaranya diserahkan kepada al-Walid (meskipun angka-angka ini, sepertinya terlalu dibesar-besarkan); selain itu ia juga menawan 30.000 gadis dari kalangan bangsawan Gotik di Spanyol. Bagi seorang bangsawan di kalangan Bani ‘Umayyah memiliki 1.000 budak bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa. Bahkan Zubair bin Awwam, salah seorang di antara sepuluh sahabat yang Rasul Allah saw. masuk surga, menurut al-Mas‘udi, mewariskan sebanyak 1.000 (seribu) orang budak laki-laki dan perempuan. (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 335). Selain mewariskan budak sedemikian banyak itu, Zubair bin Awwam --dan sejumlah sahabat yang dijamin surga lainnnya, yaitu Sa‘ad bi Abi Waqas, Talhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Abd Rahman bin ‘Auf -- juga memiliki harta peninggalan begitu banyak dan melimpah. Ibn Sa’ad dalam al-Ṭabaqāt al-Kubrā, seperti dikutip Farag Fauda, menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam meninggalkan kekayaan (harta warisan kepada keluarganya) berupa: (i) uang dirham yang jumlahnya sangat fantastik, yaitu kira-kira 51 juta dirham (bandingkan dengan Ali bin Abi Thalib yang hanya meninggalkan sekitar 250 dirham serta mushaf dan pedangnnya); (ii) beberapa armada di Mesir, Aleksadria dan di Kufah; (iii) angkutan darat dan hasil panen yang dipersembahkan kepadanya oleh penduduk di Basra. Prihal Sa‘ad bin Abi Waqas, di akhir hayatnya, putrinya A‘isyah bin Sa‘ad bin Abi Waqas mengisahkan bahwa: “Bapakku meninggal di istananya yang antik sekitar sepuluh mil dari Madinah.” (Lihat, Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang, 64-65 dan 67). Melihat praktek perseliran di istana disebagian khalifah Islam, dapat diduga kuat bahwa penguasa menghabiskan waktu sampai larut malam bersama-sama istri dan gundik/selirnya dalam memuaskan hawa nafsu dan hasrat libido seksual mereka. Sementara pada siang harinya dapat diduga kuat terlelap tidur karena semalaman, sebagaimna disebutkan tadi, bergadang “berasyik-mausyuk” dengan istri dan gundik/selir dimilikinya. Tanpa bermaksud menafikan sejumlah khalifah yang memang baik dan bijaksana, tetapi mengingat gambaran nyata hampir merata prihal kehidupan penguasa nota bene muslim, prilakunya tidak bermartabat dan bermarwah. Ironisnya, sebagian mereka mengklaim dirinya sebagai “khalīfah Allāh fī al-arḍ” (“wakil Allah di bumi”), dan memproklamasikan kekhalifahan berasaskan Islam. Padahal, dalam kenyataannya penguasa semacam itu acapkali tidak menjadikan dirinya sebagai wakil Allah. Dan klaimnya bahwa Islam sebagai asas kekhalifahannya hanya sekedar “alat” untuk menjastifikasi prilaku mereka yang tidak islami (praktekpraktek aspirasi jahiliyah). Dengan kata lain, klaim khalifah berasas Islam adalah demi melanggengkan kekuasaan dalam genggaman yang memang mengasayikkannya, sebagaimana bisikan syaithan kepada Adam: wa mulk lā yablā (dan kekuasaan yang tidak akan binasa). Firman Allah: “Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Q.s. Ṭāhā [20]: 120). Belakangan, sebagian umat Islam merindukan ingin menegakkan pemerintahan Islam di bawah bendera kekhalifahan. Kekhalifahan dengan penguasa tidak memiliki rasa takut pada Allah, tidak taat beragama dan memiliki akhlak bobrok serta tidak cakap mengurus negara, berkuasa secara zalim dan sewenang-wenang. Apakah ciri-ciri kekuasaan negatif semacam ini yang kebanyakan dipraktek penguasa dalam sejarah kekhalifahan Islam, kembali didambakan? Nada pertanyaan “sarkesme” semacam itu terilhami dari pertanyaan-pertanyaan retorik dari Farag Fouda. Menurut Fouda, khalifah yang disematkan/ diselubungi dengan kata “Islamiyyah” dalam sejumlah besar sejarah umat Islam tidak lebih merupakan sistem kekuasaan monarki absolut yang totaliter dan disepotik. Farag Fouda mempertanyakan lebel “Islamiyyah” di belakang penyebutan “khilafah”, ia berusaha menunjukan bahwa yang sering mencuat dalam pentas sejarah politik kekuasaan Islam justru praktek-prakter yang bertolak belakang dengan ajaran Islam. Penguasa khilafah Islam itu memisahkan ajaran Islam dari praktek kekuasaan, maka praktek khilafah dalam sejarah dapat dikritik, dicela. Untuk itu, Farag Fouda bertanya: Mengapa orang-orang yang menuntut kembalinya khilafah begitu membenci bar, mencela biduan, dan mengkafir-kafirkan para penarinya? Bukankah itu kelanjutan dari masa lalu dan bahkan bagian dari kekhalifahan Islam? Mengapa saya harus menerima ajakan mereka untuk menegakkan negara agama, sementara mereka hanya berpegang pada kulit-kulit agama? (Lihat, Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang, vi, vii, dan 35, 171). Mohon maaf, karena tulisan sederhana dan terbatas ini hanya melihat sisi "kelam" sejarah kekhalifahan Islam, sementara sisi "gemilang"nya diabaikan. Bukan bermaksud mengangkat sisi buruk dan meninggalkan sisi baiknya, ini persoalan perspektif semata. Pertimbangannya adalah lantaran soal sisi baik dan gemilang sejarah kekhalifahan ini sudah menjadi pengetuhuan yang "mengarus-utama" (main stream). Sementara soal sisi buruk dan kelam sejarah kekhalifahan Islam tidak/belum diketahui secara umum dan/atau baru menjadi pengetahun "pinggiran", sehingga perlu ditarik agak sedikit “ke tengah” agar kita dapat melihat sejarah Islam lebih objektif dan berimbang. Begitu juga, mohon maaf kepada penggiat “khilafah Islam”, kalau tulisan superficial (dangkal) ini sedikit mengganngu pikiran dan perasaan. Teruslah perjuangkan menghadirkan “khilafah Islam”, meskipun ada orang diseberang sana yang mengatakan bahwa menegakkan khilafah Islam di Bumi Pertiwa bagaikan menegakkan "benang basah". Akan tetapi, bukan mustahil benang basah bisa ditegakkan, bukan? Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb. Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.