Uploaded by nrahmahnur

erbss palsyy

advertisement
PENDAHULUAN
Informasi mengenai insiden brachial plexus injuries cukup sulit untuk ditemukan.Sampai saat ini
tidak ada data epidemiologi yang mencatat insiden brachial plexus injury per setiap negara di
seluruh dunia.Tetapi, menurut Office of Rare Disease of National Institutes of Health, brachial
plexus injury termasuk dalam penyakit yang jarang terjadi.Kejadiannya kurang dari 200.000 jiwa
per tahun dihitung pada populasi di Amerika Serikat.Sebagian besar korbannya adalah pria muda
yang berusia 15-25 tahun. Narakas menuliskan mengenai rule of seven seventies.
Penelitian oleh Foad SL, et al mencatat insiden obstetrical brachial plexus injury di Amerika
Serikat sebesar 1-2 kasus per 1000 kelahiran. Terdapat 3 macam obstetrical brachial plexus
injury: Erb’s palsy adalah yang paling sering terjadi, insidennya sekitar 90% kasus, total plexus
injury sebesar 9% kasus, dan Klumpke’s palsy sebesar 1% kasus. Insiden ini semakin menurun
setiap tahunnya. Dari berbagai analisis, didapati bahwa kejadian shoulder dystocia memiliki
resiko 100 kali lebih besar terjadinya obstetrical brachial plexus injury, sedangkan forceps
delivery memiliki resiko 9 kali lebih besar, dan bayi besar dengan berat >4,5 kg memiliki resiko
4 kali lebih besar untuk terjadinya cedera. Setidaknya 46% kejadian obstetrical brachial plexus
injury memiliki satu atau lebih faktor resiko, sedangkan 54%-nya tidak ditemukan adanya faktor
resiko.
Pengobatan cederaplexus brachialisada yang memerlukan operasi dan ada yang tidak,
disesuaikan dengan kasusnya.Terdapat berbagai macam tindakan operasi pada cederaplexus
brachialis, tergantung jenis cedera saraf yang terjadi.Saat ini banyak kemajuan yang telah dicapai
dalam bidang pembedahan, tetapi trauma plexus brachialis seringkali masih menjadi masalah
karena membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama.
Secara keseluruhan, kecelakaan motor merupakan penyebab tersering. Menurut Narakas, dari
seluruh kecelakaan motor, 2%-nya menyebabkan cedera plexus brachialis. Sekalipun jarang
terjadi,
high
injury
pada
plexus
brachialis
seringkali
menibulkan
kecatatan
bagi
penderitanya.Referat ini membahas sebagian kecil dari trauma ini mulai dari anatomi hingga
pengobatan dan macam-macam operasinya.
1
BRACHIALIS PLEXUS INJURY
Definisi
Cedera plexus brachialisadalah cedera jaringan saraf yang berasal dari C5-T1.Plexus brachialis
adalah persarafan yang berjalan dari leher ke arah axilla yang dibentuk oleh ramus ventral saraf
vertebra C5-T1. Cedera pada plexus brachialis dapat mempengaruhi fungsi saraf motorik dan
sensorik pada membrum superium.
Epidemiologi
Penelitian oleh Foad SL, et al mencatat insiden obstetrical brachial plexus injury di Amerika
Serikat sebesar 1-2 kasus per 1000 kelahiran.Terdapat 3 macam obstetrical brachial plexus
injury: Erb’s palsy adalah yang paling sering terjadi, insidennya sekitar 90% kasus, total plexus
injury sebesar 9% kasus, dan Klumpke’s palsy sebesar 1% kasus. Insiden ini semakin menurun
setiap tahunnya. Dari berbagai analisis, didapati bahwa kejadian shoulder dystocia memiliki
resiko 100 kali lebih besar terjadinya obstetrical brachial plexus injury, sedangkan forceps
delivery memiliki resiko 9 kali lebih besar, dan bayi besar dengan berat >4,5 kg memiliki resiko
4 kali lebih besar untuk terjadinya cedera. Setidaknya 46% kejadian obstetrical brachial plexus
injury memiliki satu atau lebih faktor resiko, sedangkan 54%-nya tidak ditemukan adanya faktor
resiko.
Informasi mengenai insiden cedera brachial plexuscukup sulit untuk ditemukan.Sampai saat ini
tidak ada data epidemiologi yang mencatat insiden cederabrachial plexus per setiap negara di
seluruh dunia.Tetapi, menurut Office of Rare Disease of National Institutes of Health, brachial
plexus injury termasuk dalam penyakit yang jarang terjadi.Kejadiannya kurang dari 200.000 jiwa
per tahun dihitung pada populasi di Amerika Serikat.Sebagian besar korbannya adalah pria muda
yang berusia 15-25 tahun. Narakas menuliskan mengenai rule of seven seventies:
2
Kira-kira 70% disebabkan oleh kecelakan kendaraan bermotor.
Darikecelakaan kendaraan bermotor tersebut, 70%-nya disebabkan oleh sepeda motor.
Dari pengendara-pengendara tersebut, 70%-nya disertai dengan multiple injuries.
Dari kejadian multiple injuries tersebut, 70%-nya termasuk dalam supraclavicular injuries.
Dari kejadian supraclavicular injuries tersebut, 70%-nya didapati root avulsed.
Dari kejadian avulsed roots tersebut, 70%-nya termasuk lower C7, C8, T1.
Dari kejadian avulsed roots tersebut, 70%-nya berhubungan dengan nyeri kronik.
Etiologi
Ditemukan lebih dari 30 penyebab terjadinya cedera plexus brachialis. Tetapi etiologi yang lebih
sering, antara lain:
Trauma
Secara keseluruhan, kecelakaan motor merupakan penyebab tersering. Menurut Narakas, dari
seluruh kecelakaan motor, 2%-nya menyebabkan cederaplexus brachialis.Trauma olahraga juga
merupakan salah satu penyebab cedera plexus brachialis yang sering terjadi.
Trauma persalinan
Menurut Ruchelsman DE, et al, setidaknya terdapat 8 faktor resiko yang menjadi penyebab
terjadinya obstetrical brachial plexus injury:
-
Shoulder dystocia
-
Vacuum atau forceps delivery
-
Macrosomia atau bayi besar dengan berat >4,5 kg
-
Kelahiran sunsang
-
Prolonged second stage of labor
3
-
Riwayat kelahiran anak dengan obstetrical brachial plexus injury
-
Multiparitas
-
Maternal diabetes
Compression syndrome(Gambar 15)
Sindrom kompresi di daerah bahu seringkali menyebabkan cedera plexus brachialis, seperti:
scalene syndrome, kompresi oleh sabuk pengaman, kompresi akibat membawa beban berat di
bahu, costoclavicular syndrome, hyperabduction syndrome).
Tumor
Salah satu tumor yang sering menyebabkan cedera plexus brachialis adalah tumor apikal paru.
Klasifikasi : Terdapat berbagai macam versi sistem klasifikasi brachial plexus injury, tetapi yang
paling banyak digunakan adalah Leffert’s classification system, yang digolongkan berdasarkan
etiologi dan level injuri. Cedera plexus brachialis dapat mengenai lebih dari 1 lesi.
Gambar 15.Kompresi akibat hiperekstensi pada scalene syndrome.
Gambar 15 kompresi akibat hperektensi pada scalene sindrom
4
Macam-MacamNerve Injuries
Spinal nerves terdiri dari 3 layer jaringan penyambung (Gambar 16) yang membungkus axon: (1)
Endoneurium yang mengelilingi individual axon; (2) Perineurium yang mengelilingi
fascicles(bundles of axons); (3) Epineurium yang mengelilingi seluruh nervus.
Gambar 16.Spinal nerve pada potongan transversus.
Sumber: Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. Unites States of
America: Wiley; 2009.
Terdapat 2 klasifikasi nerve injuries.Klasifikasi pertama dipublikasikan oleh Seddon pada tahun
1943, kemudian yang kedua dipublikasikan oleh Sunderland tahun 1951.Klasifikasi Seddon
digunakan untuk memahami dasar anatomi dari cedera.Klasifikasi Sunderland baik untuk
menentukan prognosis dan strategi pengobatan.Kombinasi klasifikasi ini membagi nerve injury
menjadi 5. Perbedaannya dapat dilihat padaTabel 8 dan Tabel 9 di bawah:
Tingkat 1 (neuropraxia)
Neuropraxia adalah nerve injury yang paling sering terjadi.Lokasi kerusakan pada serabut
myelin,
hanya
terjadi
gangguan
kondisi
saraf
tanpa
terjadinya
degenerasi
wallerian.Karakteristiknya, defisit motorik > sensorik.Saraf akan sembuh dalam hitungan hari
5
setelah cedera, atau sampai dengan 4 bulan. Penyembuhan akan sempurna tanpa ada masalah
motorik dan sensorik.
1. Tingkat 2 (axonotmesis)
Pada axonotmesis (axon cutting) erjadi diskotinuitas myelin dan aksonal, tidak melibatkan
jaringan encapsulating, epineurium, dan perineurium, juga akan sembuh sempurna.
Bagaimanapun, penyembuhan akan terjadi lebih lambat daripada cedera tingkat pertama.
2. Tingkat 3
Cedera ini melibatkan kerusakan myelin, akson, dan endoneurium. Cedera juga akan sembuh
dengan lambat, tetapi penyembuhannya hanya sebagian.penyembuhan akan tergantung pada
beberapa faktor, sepertisemakin rusak saraf, semakin lama pula penyembuhan terjadi.
3. Tingkat 4
Cedera ini melibatkan kerusakan myelin, akson, endoneurium, dan perineurium. Cedera derajat
ini terjadi bila terdapat skar pada jaringan saraf, yang menghalangi penyembuhan.
4. Tingkat 5 (neurotmesis)
Cedera pada neurotmesis (nerve cutting) melibatkan pemisahan sempurna dari saraf, seperti
nerve avulsion. Cedera saraf tingkat 4 dan 5 memerlukan tindakan operasi untuk sembuh.
Untuk menentukan derajat cedera, diperlukan:
Anamnesis
Low energy injury seringkali menyebabkan neuropraxia; pasien sebaiknya diobservasi.High
energy injury lebih sering menyebabkan axonal dan endoneurial disruption (derajat 3 dan 4
klasifikasi Sunderland), sedangkan very high energy closed injury dapat menyebabkan nerve
avulsion.
6
Tinel’s Sign
Tinel’s sign positif ditandai oleh munculnya peripheral tingling atau dysaesthesia yang
diprovokasi oleh perkusi saraf. Pada neuropraxia, Tinel’ sign negatif. Pada axonotmesis, Tinel’s
sign postitif pada lokasi cedera karena sensitivitas regenerasi axon. Rata-rata regenerasi axon
sekitar 1 mm setiap hari sepanjang Schwann-cell.
EMG (Electromyography)
Apabila otot kehilangan suplai sarafnya, EMG akan menunjukkan loss of nerve supply pada
minggu ke-3. Dari pemeriksaan EMG, cedera neuropraxia dapat dieksklusi, tetapi axonotmesis
dan neurotmesis tidak dapat dibedakan.
Lesi Pre-ganglionik dan Post-Ganglionik
Plexus brachialis dibentuk oleh pertemuan nerve roots dari C5 sampai T1. Plexus berasal dari
vertebra yang melewati otot-otot leher dan di bawah clavicle yang berjalan ke arah
lengan.Karena letak anatomisnya, maka daerah ini rentan terhadap cedera. Cedera plexus
brachialis dibagi menjadi supraclavicular (65%), infraclavicular (25%), dan kombinasi (10%)
(Gambar 17).Lesi supraclavicular umumnya terjadi akibat kecelakaan motor.Pada kasus berat,
terjadi avulsi dari trunkus dengan rupture pada a. subclavia. Lesi infraclavicular biasanya
berhubungan dengan fracture atau dislokasi bahu, pada seperempat kasus, a. axillaris ikut robek.
7
Cedera dapat mempengaruhi setiap tingkat plexus, bahkan seringkali melibatkan cedera roots,
trunks, dan nervussecara bersamaan. Penting untuk membedakan antara lesi yang berasal dari
pre-ganglion atau post-ganglion untuk mengetahui seberapa dekat jarak lesi dengan spinal
cord.Nerve root avulsion dari spinal cord termasuk dalam lesi pre-ganglion, misalnya gangguan
proksimal hingga dorsal root ganglion; ini tidak dapat disembuhkan sekalipun dengan operasi.
Rupture of nerve root distal ke arah ganglion, atau rupture trunkus, atau rupture saraf perifer,
termasuk dalam lesi post-ganglion yang masih dapat disembuhkan dan diperbaiki dengan
operasi.
Ciri-ciri root avulsion adalah: (1) crushing atau burningpain pada anaesthetic hand; (2) paralisis
m. scapularis atau diafragma; (3) adanya Horner’s syndrome, yang terdiri dari: ptosis, miosis,
enoftalmos, dan anhidrosis; (4) cedera vaskular berat; (5) berhubungan dengan fracture tulang
servikal; dan (6) disfungsi spinal cord (hiperefleks pada lower limbs).
Lesi derajat 1-4 umumnya mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan lesi
derajat 5 (complete ruptures).
Untuk membedakan lesi pre-ganglion atau post-ganglion dapat dilakukan pemeriksaan:
Histamine test
Injeksi histamine intradermal biasanya menyebabkan 3 reaksi di sekitar kulit: (1) dilatasi central
capillary; (2) wheal (munculnya reaksi alergi); (3) surrounding flare. Jika flare reaction pada
anaesthetic area, lokasi lesi pasti berada di bagian proksimal dari posterior root ganglion, dengan
kata lain, kemungkinannya adalah root avulsion.Pada lesi post-ganglion, histamine test negatif
karena saraf antara kulit dan dorsal root ganglion mengalami gangguan.
CT myelography atau MRI :Hasil yang mungkin ditemukan adalah pseudomeningoceles yang
diproduksi oleh root avulsion, tetapi hasil yang positif tidak selalu dapat diandalkan karena dura
dapat robek tanpa adanya root avulsion.
Electrophysiology
8
Electromyography (EMG) dan Nerve Conduction Studies (NCS) sangat berguna untuk
mengkonfirmasi
diagnosis,
melokalisasi
letak
lesi,
dan
menentukan
derajat
axonal
loss.Pemeriksaan ini dilakukan 3-4 minggu setelah cedera. Perubahan denervasi dapat terjadi 1014 hari setelah trauma, ketika wallerian degeneration pada lesi post-ganglionik akan memblok
konduksi saraf. Respon motorik terganggu lebih dulu dibanding respon sensorik; karena itu,
tanda awal kerusakan dapat terlihat sebagai reduksi pada aksi potensial otot. Jika terdapat
konduksi sensorik dari anaesthetic dermatome, berarti lokasi lesi pre-ganglionik.
Manifestasi Klinis
General brachial plexus injury umumnya bersifat unilateral, tetapi kadang-kadang bersifat
bilateral, seperti cedera akibat diffuse polyneuropathy, inflammatory demyelinating neuropathy,
danmultifocal motor neuropathy.Banyak hal yang menjadi penyebab, tetapi inflitrasi tumor,
radiation plexitis, dan idiopathic plexitis adalah yang paling sering.MRI dengan kontras dapat
mengkonfirmasi ada atau tidaknya lesi ini.Penyebab lain adalah cedera selama persalinan.
Jika seluruh plexus cedera, maka keseluruhan anggota gerak atas paralisis dan mati rasa,
terkadang ditemukan unilateral Horner’s syndrome, yaitu tanda ptosis, miosis, dan
anhidrosisyang timbul akibat kerusakan saraf di bagian servikal spinalis.
Root and Trunk Injury
Upper Radicular Syndrome (Erb-Duchenne Palsy)
Upper radicular syndrome (Erb-Duchenne palsy) adalah akibat dari cedera pada upper roots (C4,
C5, atau C6) atau upper trunk.Lesi ini paling sering disebabkan oleh cedera selama persalinan
akibat sulitnya bayi keluar dari birth canalketika bahu bayi tertinggal pada birth canal yang
disebut denganshoulder dystocia(ilustrasi Gambar 18).Penyebab lain adalah penggunaan forceps
dan bayi besar dengan berat >4,5 kg.
Kelainan ini mengakibatkan paralisis m. deltoid, m. biceps brachii, m. brachioradialis, m.
pectoralis mayor, m. supraspinatus, m. infraspinatus, m. subscapularis, dan m. teres major.Jika
9
lesi berada di dekat akar (roots), m. serratus, m. rhomboideus, dan m. levator scapulae juga dapat
mengalami paralisis.
Gambar 18.Cedera plexus brachialis saat persalinan.
Secara klinis, akan ditemukan kelemahan fleksi pada cubiti, kelemahan abduksi, kelemahan
endorotasi dan eksorotasibrachii. Selain itu, juga ditemukan paralisis aposisi gerakan skapula dan
paralisis abduksi dan adduksi brachii.Sensory loss inkomplit yang terdiri dari hipestesia di
superficialis brachii dan antebrachii.Refleks bisep tidak ada. Jika tidak dilatih dengan latihan
gerakan pasif, gejala dapat berkembang menjadi kontraktur kronik dengan lengan menyamping,
posisi adduksi, tangan pronasi (dapat dilihat pada Gambar 19), sampai dengan munculnya
waiter’s tip position.
10
Gambar 19.Cedera persalinan yang menyebabkanErb’s palsy.
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan brachial plexus injury, anamnesis dan
pemeriksaan fisik sangat penting untuk dilakukan:
Anamnesis
Anamnesis yang penting untuk ditanyakan adalah riwayat trauma sebelumnya, kronologi
kejadian, dan gejala klinis yang dirasakan oleh pasien.
Pada pasien dengan lesi plexus brakhialis akibat trauma lahir, perlu diketahui riwayat kehamilan,
kelahiran, usia kehamilan, berat badan lahir, presentasi bayi, riwayat penggunaan forcep, distosia
bahu, apgar skor dan kebutuhan akan resusitasi saat kelahiran.
Pemeriksaan fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik, akan ditemukan adanya perubahan anatomi dan fisiologis di bagian
ekstremitas atas, kelemahan pergerakan motorik, parestesia atau anestesia pada daerah tertentu.
Pemeriksaan fisik untuk lesi plexus brachialis dilakukan dengan inspeksi, yaitu melihat posisi
lengan terutama saat istirahat.Avulsi pada radiks saraf dapat diketahui dengan adanya sindroma
Horner dan kelemahan pada otot-otot paraspinal.Sisi kontralateral dan ekstremitas bawah perlu
juga dinilai untuk menyingkirkan adanya lesi di medula.
Pada pasien trauma, palpasi clavicula, costae dan humerus disertai foto sendi bahu jika dicurugai
adanya fracture atau dislokasi.Mengevaluasi otot-otot pada punggung termasuk m. trapezius, m.
rhomboideus, m. supraspinatus, m. infraspinatus, m. latissimus dorsi, m. teres mayor, dan m.
teres minor.Lebih lanjut, nilai fungsi motorik m. deltoideus, m. biceps, m. triceps, juga
pergelangan tangan, muskulus fleksor, dan ekstensor.Nilai pergerakan sendi, seperti abduksi pada
11
sendi bahu, adduksi, rotasi interna dan eksterna, juga fleksi dan ekstensi pada sendi siku,
pergelangan tangan dan sendi pada jari-jari.Adanya kontraktur pada m. pectoralis mayor dapat
dinilai dengan palpasi pada regio axillaris anterior pada saat rotasi eksterna.Demikian pula
kontraktur pada m. subscapularis dinilai pada palpasi regio aksillaris posterior saat abduksi bahu.
Pemeriksaan penunjang
Beratnya lesi saraf yang ditemukan dapat berupa neuropraxia, axonotmesis ataupun neurotmesis.
Beberapa pemeriksaan tersebut juga akan membantu menentukan penanganan selanjutnya dan
perlu tidaknya prosedur bedah dilakukan
X-Ray (tergantung kebutuhan)
Foto vertebra servikal untuk mengetahui apakah ada fracture pada vertebra cervical.
Foto bahu untuk mengetahui apakah ada fracturescapula, clavicula, atau humerus.
Foto thorak untuk melihat disosiasi scapulothoracic (depresi scapula dengan lateral
displacement), fracturecostae, massa tumor pulmonari, dan untuk kepentingan extraplexus (n.
intercostalis) nerve transfer.
MRI atau CT Scan
MRI atau CT Scan (sesuai dengan kebutuhan) untuk melihat detail struktur anatomi dan jaringan
lunak saraf perifer, deformitas sendi, kapsul yang robek, atrofi otot, dan untuk melihat adanya
avulsi saraf, juga mendiagnosa adanya pseudomeningocele. MRI merupakan pemeriksaan utama
untuk menilai adanya rootlet avulsion pada lesi plexus brachialis
CT Myelography
Hasil yang mungkin ditemukan adalah pseudomeningoceles yang diproduksi oleh root avulsion,
tetapi hasil yang positif tidak selalu dapat diandalkan karena dura dapat robek tanpa adanya root
avulsion. CT myelography lebih sering dikerjakan pada pasien yang akan melakukan operasi.
Kesimpulan hasil CT myelography:
-
Dorsal dan ventral rootlets yang intak tanpa adanya meningocele mengeksklusi
kemungkinan avulsi.
12
-
Adanya meningocele tidak selalu menyatakan adanya avulsi.
-
Jika meningocele meluas hingga keluar foramen, kemungkinan adanya avulsi sangat
besar.
Angiography
Angiography seringkali sudah digantikan oleh MRA (Magnetic Resonance Angiography).Pada
beberapa kasus dapat dilakukan pemeriksaan angiografi untuk menilai kerusakan pada pembuluh
darah akibat trauma yang juga menyebabkan lesi pada plexus brachialis. Angiografi dapat
membantu menentukan tingkat lesi pada saraf oleh karena arteri dan plexus sering mengalami
trauma pada tingkat yang sama. Angiography juga sering dikerjakan setelah vaskular
rekonstruksi.
Electrophysiology
EMG (Electromyography)
Pemeriksaan EMG dapat membantu menentukan letak lesi dan fungsi inervasi saraf.
NCV (Nerve-Conduction Velocity)
Pemeriksaan NCV untuk mengetahui sistem motorik dan sensorik, kecepatan hantar saraf, serta
latensi distal.
SNAPs (Sensory Nerve Action Potentials)
SNAPs berguna untuk membedakan lesi preganglionik atau lesi postganglionik.Pada lesi
postganglionik, SNAPs tidak didapatkan tetapi positif pada lesi preganglionik.
SSEP (Somato-Sensory Evoked Potensials)
SSEP berguna untuk membedakan lesi proksimal misalnya pada root avulsion.
3.10 Guideline Penanganan Obstetrical Brachial Plexus Injury
13
Langkah-langkah yang harus dilakukan pada neonatal brachial plexus palsy:
Menegakkan diagnosis
Riwayat kehamilan dan persalinan: lama kehamilan, jumlah persalinan, presentasi normal janin
atau sunsang, berat janin.
Kesulitan persalinan: shoulder dystocia.
Apgar score
Pemeriksaan neurologik
Pemeriksaan motorik
Pemeriksaan sensorik
Pemeriksaan khusus lain: Tinel’s sign, Horner’s syndrome
Tes
EMG pada hari pertama jika dicurgai adanya lesi intra-uterine
Pemeriksaan radiologi thoraks, clavicle, humerus jika dicurigai adanya paralisis n. phrenicus,
dan/atau fracture.
Terapi
Posisi istirahat selama 3 minggu dengan lengan di depan dada.
Kriteria untuk neurosurgical treatment
Fungsi biceps M0 setelah 3 bulan
Bukti adanya severe lesion: Horner’s syndrome, persisting hypotonic paralysis, persisting
phrenic paralysis, gangguan sensorik berat.
Hasil EMG menunjukkan persisting denervation
Hasil CT-myelography menunjukkan adanya meningocele di luar foramen vertebralis.
3.11 Pengobatan
Pembedahan adalah pilihan untuk adultbrachial plexus injury, baik pada closed maupun open
injury. Setidaknya ada 4 hal yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan pembedahan:
14
Donor saraf yang digunakan (supraclavicular, infraclavicular dissection, dan donor nerve
dissection)
Strategi rekonstruktif (fungsi pergerakan yang menjadi prioritas rekonstruktif)
Teknik pembedahan
Setidaknya terdapat 5 teknik pembedahan untuk brachial plexus injury:
Nerve transfer
Nerve transfer mengambil saraf lain atau cabang saraf yang kurang penting untuk ditransfer pada
saraf krusial yang mengalami kerusakan dengan tujuan mengembalikan fungsinya dengan
caradirect suturingatau nerve grafting pada sisi distal. Nerve transfer dapat diambil dari saraf
proksimal (extraplexus dan intraplexus nerve transfer) atau saraf distal (closed-target nerve
transfer).
Functioning free muscle transplantation
Functioning free muscle transplantation adalah transfer otot menggunakan microvascular
anastomoses untuk revaskularisasi dan penyambungan microneural pada recipient motor nerve
dengan tujuan reinervasi.
Neurolysis
Neurolysis merupakan suatu prosedur melepaskan neuroma (constrictive scar tissue) di sekitar
saraf. Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan kembali dengan teknik end-to-end
atau nerve grafts.
Neurolysis diindikasi pada kasus neuropraxia atau konduksi blok yang tidak membaik secara
spontan. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh perineural fibrosis yang dipicu oleh hematoma
post-traumatik maupun stretch injuries. Saraf terdiri dari banyak fiber (axon).Ketika terjadi
cedera saraf, fiber-fiber ini berusaha menyebar keluar supaya tersambung, kadang-kadang, fiber
ini dapat membentuk gumpalan sehingga terjadi jaringan parut pada saraf.
15
Nerve repair
Prosedur nerve repair berarti menjahit antara ujung dan ujung saraf yang terputus yang
dikerjakan di bawah mikroskop. Saraf tidak akan pernah kembali secara sempurna jika telah
terpotong. Kesembuhan maksimal hanya terjadi sekitar 80%.Pertumbuhan saraf sekitar 1 mm
setiap harinya.
Nerve grafting
Bila gap antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin dilakukan tarikan.Saraf yang sering
dipakai adalah n. suralis, n. cutaneous antebrachial lateralis dan medialis, dan cabang terminal
sensoris n. interosseus posterior.
Waktu pembedahan yang tepat (primary atau secondary repair)
Immediate atau early surgery
Pada kasus open injury di bagian leher oleh pisau atau benda tajam lainnya menyebabkan defisit
motorik maupun sensorik dan kecurigaan adanya avulsi saraf. Eksplorasi dan immediately nerve
repair beberapa hari setelah trauma sangat diindikasikan. Golden time untuk supraclavicular
penetrating lesions adalah 1 minggu, sedangkan infraclavicular penetrating lesions selama 2
minggu. Setelah golden time, biasanya dibutuhkan nerve grafts setelah neuroma resection.
Secondary nerve repair: delayed repair
Terdapat 3 tipe secondary repair:
Early delayed repair (nerve repair dalam waktu 1 bulan untuk diagnosis open injury atau 5 bulan
untuk closed injury).
Untuk kasus closed brachial plexus injury, tujuan utama delayed repair untuk menegakkan
diagnosis, termasuk mencari derajat, letak, dan luas lesi. Managemen untuk kasus ini terdiri dari
3 tahap:
-
Stage 1 : stabilization stage selama 1 bulan pertama, temasuk stabilisasi tanda-tanda vital,
fracture tulang, dan dislokasi sendi.
16
-
Stage 2 : diagnostic stage pada bulan ke-2, termasuk pemeriksaan klinis dan investigasi
untuk menegakkan diagnosis, mulainya fisioterapi dengan stimulasi elektrik untuk
mencegah soft tissue swelling, kekuan sendi, dan atrofi otot. Selain itu, pada tahap ini
juga dilakukan psychological education sebelum operasi.
-
Stage 3 : pada bulan ke-3 hingga ke-5 perawatan. Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan
fungsi saraf pada 3 bulan pertama, maka diindikasikan operasi.
Perbedaan derajat dan perbedaan level cedera membutuhkan strategi rekonstruksi yang berbeda.
Hampir 70% cederaplexus brachialis termasuk dalamclosed injury yang menyebabkan avulsi
saraf spinal. Ini adalah lesi yang tidak dapat diperbaiki.Nerve transfer dan functioning free
muscle transplantation menjadi satu-satunya pilihan jika terjadi avulsi pada cederaplexus
brachialis.
Pilihan rekonstruktif untuk cedera level 1 adalah nerve transfer dan functioning free muscle
transplantation. Palliative surgerydikerjakan untuk lesi level 1 sampai dengan 4.Functioning free
muscle transplantation termasuk dalam palliative surgery dan dapat dikerjakan pada lesi selain
lesi level 1.Neurolysis, nerve repair, nerve graft (free nerve graft atau vascularized ulnar nerve
graft), nerve transfer dikerjakan pada lesi level 2. Clavicle osteotomy seringkali dibutuhkan pada
lesi level 3. Nerve grafts juga sering dikerjakan pada lesi level 4.
Post-Operasi Nerve Repair dan Nerve Grafting
Setelah pembedahan immobilisasi bahu dilakukan selama 3-4 minggu.Terapi rehabilitasi
dilakukan setelah 4 minggu paska operasi dengan gerakan pasif pada semua sendi anggota gerak
atas untuk mempertahankan luas gerak sendi.Stimulasi elektrik diberikan pada minggu ketiga
sampai ada perbaikan motorik.Pasien secara terus menerus diobservasi dan apabila terdapat
tanda-tanda perbaikan motorik, latihan aktif bisa segera dimulai. Latihan biofeedback bermanfaat
bagi pasien agar otot-otot yang mengalami reinnervasi bisa mempunyai kontrol yang lebih baik.
17
Post-Operasi Free Functioning Muscle Transplantation
Setelah transfer otot, ekstremitas atas diimobilisasi dengan bahu abduksi 30°, fleksi 60° dan
rotasi internal, siku fleksi 100°. Pergelangan tangan posisi neutral, jari-jari dalam posisi fleksi
atau ekstensi tergantung jenis rekonstruksinya.
Ekstremitas dibantu dengan arm brace dan cast selama 8 minggu, selanjutnya dengan sling untuk
mencegah subluksasi sendi glenohumeral sampai pulihnya otot gelang bahu.
Statik splint pada pergelangan tangan dengan posisi netral dan ketiga sendi-sendi dalam posisi
intrinsik plus untuk mencegah deformitas intrinsik minus selama rehabilitasi. Dilakukan juga
latihan gerak sendi gentle pasif pada sendi bahu, siku dan semua jari-jari, kecuali pada
pergelangan tangan.
Pemberian elektro stimulasi pada transfer otot dan saraf yang di repair dilakukan pada target otot
yg paralisa seperti pada otot gracilis, tricep brachii, supraspinatus dan infraspinatus. Elektro
stimulasi intensitas rendah diberikan mulai pada minggu ke-3 paska operasi dan tetap dilanjutkan
sampai EMG menunjukkan adanya reinervasi.
Enam minggu paska operasi selama menjaga regangan berlebihan dari jahitan otot dan tendon,
dilakukan ekstensi pergelangan tangan dan mulai dilatih pasif ekstensi siku. Sendi metacarpal
juga digerakkan pasif untuk mencegah deformitas claw hand.
Ortesa fungsional digunakan untuk mengimobilisasi ekstremitas atas.Dapat digunakan tipe
airbag (nakamura brace) untuk imobilisasi sendi bahu dan siku.Sembilan minggu paska operasi,
ortesa airbag dilepas dan ortesa elbow sling dipakai untuk mencegah subluksasi bahu.
Prognosis
Lebih dari 70% kasus obstetric brachial plexus injury sembuh secara spontan. Hal ini
dikarenakan hampir sebagian besar nervus injury pada kasus obstetrikal termasuk dalam cedera
neuropraxia yang dapat pulih secara spontan.
18
Sembuh spontan pada kasus brachial plexus injury jarang terjadi, tetapi masih mungkin pada
beberapa lower plexus root injuries. Pada brachial plexus injury, setelah nerve reconstruction
atau free functioning muscle transplantation, fungsi motorik dinilai kekuatannya sesuai dengan
pemeriksaan British Medical Research Council grading system.
Pada cedera plexus brachialis level 4 setelah nerve grafting, keberhasilan operasi ditandai dengan
pergerakan elevasi bahu M4 180, pergerakan fleksi dan ekstensi cubiti M4 atau lebih, pergerakan
fleksi dan ekstensi digiti M3 atau lebih. Pada post-opertive total root avulsion dengan multiple
nerve transfer, keberhasilan operasi ditandai dengan pergerakan abduksi 60, pergerakan fleksi
cubiti M4, dan pergerakan digiti M2 atau lebih. Keberhasilan operasi tambahan, yaitu
functioning free muscle transplantation ditandai dengan pergerakan carpi M2-3 dan pergerakan
ekstensi digiti.
Rorabeck CH, et al meneliti 112 kasus cedera plexus brachialis dan menyimpulkan bahwa
trauma upper trunk memiliki prognosis yang paling baik, trauma pada cords, upper roots, dan
lower trunk umumnya memiliki prognosis yang kurang baik. Complete plexus injuriesmemiliki
prognosis yang paling buruk. Nyeri persisten yang lebih dari 6 bulan mengindikasikan tanda
prognosis neurologikal yang buruk.Adanya pseudomeningocele yang terdeteksi biasanya
berhubungan dengan prognosis yang buruk. Penelitian Rorabeck CH, et al dapat dilihat pada
Tabel 16 di bawah.
KESIMPULAN
Cedera plexus brachialis adalah cedera jaringan saraf yang berasal dari C5-T1.Plexus brachialis
adalah persarafan yang berjalan dari leher ke arah axilla yang dibentuk oleh ramus ventral saraf
vertebra C5-T1.
Insiden obstetrical brachial plexus injury di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus per 1000
kelahiran. Insiden Erb’s palsy sekitar 90%, total plexus injury sebesar 9%, dan Klumpke’s palsy
sebesar 1%.[1][2] Menurut Office of Rare Disease of National Institutes of Health, angka
19
kejadian brachial plexus injury kurang dari 200.000 jiwa per tahun dihitung pada populasi di
Amerika Serikat. Sebagian besar korbannya adalah pria muda yang berusia 15-25 tahun.
Ditemukan lebih dari 30 penyebab terjadinya cedera plexus brachialis. Tetapi etiologi yang lebih
sering, antara lain: trauma, cedera persalinan, compression syndrome, dan tumor.
Terdapat berbagai macam versi sistem klasifikasi brachial plexus injury, tetapi yang paling
banyak digunakan adalah Leffert’s classification system.
Tipe 1 termasuk brachial plexus injury yang disebabkan oleh open trauma.
Tipe 2 termasuk brachial plexus injury yang disebabkan oleh closed trauma, dibagi menjadi:
-
A: Supraclavicular, dibagi menjadi: preganglionik dan postganglionik.
-
B. Infraclavicular
-
C: Kombinasi
Tipe 3 termasuk brachial plexus injury yang disebabkan oleh radiotherapy induced.
Tipe 4 termasuk brachial plexus injury yang disebabkan oleh cedera selama persalinan.
-
A: Erb’s palsy
-
B: Klumpke’s palsy
-
C: Kombinasi
Manifestasi klinis cedera plexus brachialis tergantung dari tingkat lesi yang terjadi (roots, trunks,
divisions, cords, terminal branches, atau total plexus). Manifestasi klinis yang timbul adalah
gangguan motorik dan sensorik sesuai dengan distribusi nervus.
20
Pemeriksaan fisik yang diperlukan, meliputi: (1) pemeriksaan motorik sesuai dengan
distribusinya yang dinilai dari skala 0 hingga 5 disesuaikan dengan Medical Research Council
Scale for Assessment of Muscle Power. (2) pemeriksaan sensorik pada setiap dermatom,
propioceptive, temperatur, taktil, perabaan, vibrasi dengan turning fork 30 dan 256 cycles per
second, dan ninhydrin test. (3) Pemeriksaan khusus, meliputi Tinel’s sign dan Horner’s
syndrome.
Diagnosis cedera plexus brachialis, meliputi: anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang disesuaikan dengan kebutuhan (x-ray, CT Scan, MRI, CT myelography,
angiography, electrophysiology).
Penanganan untuk cedera plexus brachialis tergantung level cedera yang terjadi menurut
pembagian David Chuang. Pilihan rekonstruktif untuk cedera level 1 adalah nerve transfer dan
functioning free muscle transplantation. Palliative surgery dikerjakan untuk lesi level 1 sampai
dengan 4.Functioning free muscle transplantation termasuk dalam palliative surgery dan dapat
dikerjakan pada lesi selain lesi level 1. Neurolysis, nerve repair, nerve graft (free nerve graft atau
vascularized ulnar nerve graft), nerve transfer dikerjakan pada lesi level 2. Clavicle osteotomy
seringkali dibutuhkan pada lesi level 3. Nerve grafts juga sering dikerjakan pada lesi level 4.
Prognosis obstetric brachial plexus injury umumnya baik, karena lebih dari 70% kasus sembuh
secara spontan karenakan hampir sebagian besar nervus injury pada kasus obstetrikal termasuk
dalam cedera neuropraxia yang dapat pulih secara spontan.
Penelitian oleh Rorabeck CH, et al dapat disimpulkan, full recovery pada kasus upper roots
sekitar 23%, pada kasus upper trunk sekitar 53%, pada kasus lower trunk sekitar 17%, pada
kasus cords trauma sekitar 26%, dan 0% pada kasus complete brachial plexus injury.
21
Download