Materi NDP 1. Sejarah NDP HMI 1.1 Pengertian NDP HMI Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI yang kemudian lebih dikenal dengan NDP HMI adalah dokumen resmi organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah diresmikan pada kongres ke X di Palembang, memegang peranan penting sebagai pedoman dan penjelasan tentang peran HMI sebagai organisasi perjuangan.NDP merupakan perumusan tentang ajaran-ajaran pokok agama Islam, yaitu nilai-nilai dasarnya sebagaimana tercantum dalam Al Qur‘an dan As Sunnah. Islam sebagai ideologi HMI, telah menjadi sumber motivasi, pembenaran dan ukuran gerak, bagi langkah perjuangan organisasi ini dalam menunaikan misi ke-ummatan dan kebangsaannya. 1.2 Sejarah Perumusan NDP HMI Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI (NDP HMI) pada awalnya dirumuskan dari kesimpulan perjalanan Nurcholis Madjid berkunjung ke Amerika yang kemudian dilanjutkan ke Timur Tengah. Sebenarnya perjalanan ke Timur Tengah lah yang memberikan inspirasi beliau dalam pemikiran dan pemahamannya terhadap Islam sehingga muncullah NDP ini. Sebetulnya kesimpulan perjalanan itu akan diberikan nama Nilai-nilai Dasar Islam tetapi itu terlalu besar dan moralis, seakan-akan kita mngklaim bahwa inilah Nilai-nilai Dasar Islam. Sehingga nama yang pas itu adalah Nilai-nilai Dasar Perjuangan, kata perjuangan ini sebagai simbol semangat dan peran seorang mahasiswa/pemuda yang harus tetap berjuang dalam kebenaran. NDP dipresentasikan dalam bentuk draft pada Kongres ke IX di Malang tahun 1969 dan diberikan kekuasaan pada perumusnya yakni, Nurcholis Madjid, Endang Syaifudin Anshori, dan Syakib Machmud. Narasi singkat lahirnya NDP HMI adalah sebagai berikut: 1) Berawal dari Kertas Kerja PB HMI (1966 - 1969), disusun oleh CAK NUR – Nurcholish Madjid, Ketum PB HMI saat itu. 0 2) Awalnya, Cak Nur mendapat Beasiswa ―Council for Leader & Specialist‖ (1968) ke USA. 3) Di Washington, Cak Nur melakukan dialog2 & mengamati dunia mahasiswa. 4) Lalu berpetualang ke Timur tengah. 5) Cak Nur melihat dua kondisi mahasiswa yg berbeda (Amerika & Timur Tengah). 6) Hal tsb memberi inspirasi terhadap ide & sikap. 7) Maka lahirlah Draft NDP. 8) Draft tsb di presentasikan pd Kongres IX Malang, Th.1969. 9) Setelah itu dibentuk ―Komisi Khusus NDP‖ dg tiga (3) orang pengkaji: Cak Nur, Endang Saifuddin Anshari, Sakib Mahmud. 10) Draft NDP hasil kajian tersebut dipresentasikan pada ―Seminar Kader‖, Pekalongan Th.1970. 11) NDP kemudian disahkan pd Kongres X Palembang Th.1972, sbg Dokumen & Acuan Gerak Organisasi. 12) Lalu NDP disosialisasikan secara luas oleh PB HMI. 1.3 NDP sebagai kerangka pemikiran Ke-Islaman dan Ke- Indonesiaan HMI Pada mulanya perjalanan Nurcholis Madjid ke timur Tengah adalah atas dasar perkembangan Islam di Indonesia. Dan dari sana Ia mendapatkan jawaban bahwa Islam di Indonesia memang berbeda dan paling sedikit ter-arab-kan. Bisa kita lihat di berbagai Negara Muslim terbesar mereka menggunakan budaya arab, salah satu contohnya menggunakan bahasa arab, lain dari Indonesia Negara Muslin terbesar tetapi menggunakan bahasa dan tulisan latin. Selain itu Negara di Eropa seperti Romawi, Yunani, dan Spanyol yang menggunakan tulisan latin. Ini yang menjadi Semangat keislaman yang menyertai suasana kelahiran HMI, mengharuskan HMI menjadikan islam sebagai roh dan karakternya. Semangat kesejarahan ini memberikan pengertian bahwa dalam keadaan bagaimanapun HMI tidak dapat melepaskan keterikatannya pada ajaran-ajaran dan nilai-nilai islam. Islam telah menjadi kodrat dan fitrah 1 HMI sejak awal kelahirannya. Bagi HMI, islam diyakini sebagai kebenaran yang baik dan haq, tidak ada lagi kebenaran selain islam. 1.4 Hubungan antara NDP dan Mission HMI Islam merupakan identitas HMI yang menjadi pegangan dan sandaran kader dalam berucap, bertindak, dan bersikap dalam perjuangan HMI. Islam sebagai ideologi HMI berisi tentang misi-misi perjuangan HMI baik dari sisi organisasi dan personal kader HMI. Misi-misi tersebut menjadi kewajiban kader untuk di perjuangkan dan di realisasikan, karena HMI merupakan organisasi masa depan yang mencetak sumber daya manusia sesuai dengan ajaran Islam. Misi dan perjuangan HMI tidak lain yakni melepaskan belenggu kaum-kaum mustadh‘afin (orang-orang lemah). Mission HMI adalah sebuah modalitas dan dasar yang harus dicapai oleh organisasi HMI dalam memperjuangkan asas, tujuan, usaha, sifat, peran, fungsi dan kedudukanya sedangkan NDP HMI sebagai jalan untuk menuju itu semuanya. Dalam proses pencapaian misi HMI, NDP menjadi pegangan dan arah organisasi dalam mewujudkan cita-cita HMI. Untuk itu, hubungan NDP dengan Mission HMI sangatlah berkaitan, Mission adalah cita yang akan dicapai sedangkan NDP adalah jalan menuju cita HMI. 2. NDP HMI 2.1. Dasar-dasar Kepercayaan Kepercayaan adalah sebuah kebutuhan yang mendasar bagi manusia. Di samping kepercayaan merupakan fitrah manusia untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu yang mutlak dan absolute (hanifan musliman), kepercayaan juga merupakan sandaran nilai.1 Rudolf Otto, seorang yang berkebangsaan Jerman yang ahli dalam bidang sejarah agama-agama yang menulis buku The Id of the Holy (1971), meyakini bahwa setiap manusia memiliki apa yang disebutnya dengan nominus yang juga menjadi dasar dalam setiap 1 Azhari Ahmad Tarigan, ―Islam Mazhab HMI‖, 2007, hlm. 42 2 agama. Yang dimaksud dengan ―nominus‖ adalah perasaan dan keyakinan seseorang terhadap adanya yang Maha Kuasa yang lebih besar dan tinggi yang tidak bisa dijangkau dan dikuasai oleh manusia. Kekuatan nominus ini kemudian diyakini oleh umat manusia dengan berbagai cara yang berbeda-beda kadang-kadang ia diinspirasikan dengan suatu kebiasaan yang menyeramkan dan menakutkan, dan kadang-kadang pula dengan sesuatukekuatan yang misterius.2 Dalam realitanya masyarakat yang beraneka ragam tumbuh dengan perbedaan menimbulkan banyaknya bentuk-bentuk kepercayaan yang tercipta. Karena bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada Tuhan" meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "Selain Allah" memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.3 Orang bijak menagatakan: Barang siapa yang menyambah Allah bukan subtansinya, itu sama dengan kafir. Barang siapa yang menyembah Allah dan subtansinya, itu adalah syirik. Barang siapa yang menyembah Allah, melainkan subtansinya itu tauhid yang sejati. 2 3 Azhari Ahmad Tarigan, ―Islam Mazhab HMI‖, 2007, hlm. 42 Ibid. hlm. 20 3 Surat An-Naml Ayat 9 “Wahai Musa, sesungguhnya Akulah Allah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” Surat Al-Ikhlas; (4) ) 3) ) 2) ) 1) 1). Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa 2). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu 3). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan 4). Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia 2.2. Pengertian-pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan Manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief).4 Dalam kenyataan historis, perjuangan memperoleh dan memperjuangkan harkat dan martabat kemanusiaan merupakan ciri dominan deretan pengaalaman hidup manusia sebagai makhluk sosial. Sebab dalam kenayataan, manusia lebih banyak mengalami kehilangan fitrah dan kebahagiaan daripada sebalikny. Dan dari sudut pengihatan inilah kita juga dapat menafsirkan kedatangan rasul-rasul dan nabi-nabi, yaitu untuk memimpin umat manusia melawan kejatuhannya sendiri dan mengemansipasi harkat dan martabatnya dari kejatuhan itu. 4 Ibid, hlm. 28 4 Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”(QS. Al-Baqarah: 30) Kejatuhan manusia itu terlambangkan dalam terusirnya Adam dan Hawa dari surga (hubuth, jatuh, turun) karena melanggar laragan Tuhan. Adam dan Hawa terangkat (teremansipasi) hanya setelah menerima pengajaran Tuhan dan bertaubat, yaitu pengajaran tentang beriman dan beramal saleh.5 Seperti menurut Dr. M. Ratib an-Nabulsi (2010 : 75) mengatakan bahwa Di dalam ruang pikiran dan ke dalam nurani, Allah menciptakan sesuatu yang dengannya Anda bisa mengetahui akhlak terpuji dan akhlak tercela. Sesuatu inilah yang menjadikan manusia menganggap buruk perbuatan buruk lalu menghindarinya, dan menganggap baik perbuatan baik sehingga mersa nyaman dengannya. Pada gilirannya, ia memuji pelaku kebaikan dan mencela pelaku keburukan.6 ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Surat Az-Zariyat: 56)‖ Pada dasarnya manusia memiliki kekhususan dalam penciptannya, Allah meletakkan diri-Nya dalam nurani manusia sehingga tidak apapun yang bisa masuk dalam ruang itu, sehingga dalam diri manusia mempunyai nurani yang bersih dan benar. Seperti dalam Firman Allah Surat Ar-rum ayat 30 : 5 6 Nurcholish Madjid, ―Islam Doktrin Peradaban‖, 2015, hlm. 94 M. Ratib an-Nabulsi, ―7 Pilar Kehidupan‖, 2010, hlm. 75 5 Artinya :“Maka hadapkanlah wajahmu lurus kepada gama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati (insan kamil). Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancar dari hati nurani yang hanief atau suci.7 Hal tersebut terjadi karena manusia diberi akal dan hawa nafsu sebagai penguji mana yang paling baik perbuatanya. 2.3. Kemerdekaan Manusia (ikhtiar) dan Keharusan Universal (Taqdir) Apakah manusia memiliki kebebasan yang disebut kemerdekaan dalam mewujudkan keinginan dan perbuatannya atau tidak, sebagai upaya menjemput takdirnya. Dr. M. Ratib an-Nabulsi mengatakan bahwa hal terpenting di dalam agama adalah akidah. Bila akidah benar maka benar pula amal perbuatannya, dan bila amal perbuatan benar maka akan sampai pada cita-citanya. Tidak ada satupun akidah yang rusak kecuali ia melumpuhkan gerak manusia secara total dan menjadikannya duduk berpangku tangan, pasrah terhadap masa depan kelam yang menantinya.8 Aqidah adalah modal dan pondasi dasar manusia untuk berjuang dan berkeyakinan agar kehidupan manusia lebih terarah. Berbicara mengenai takdir, Drs. Azhari Akmal Tarigan menjelaskan makna kata takdir (taqdir) yang berasal dari kata qaddara yang berarti mengukur, member, kadar atau ukuran. Jika dikatakan bahwa Allah telah menakdirkan seseuatu, harus dipahami dalam makna Allah telah menetapkan ukuran, kadar, batas tertentu terhadap sesuatu itu.9 7 Hasil-hasil Kongres HMI XXIX, op cit, hlm. 146 M. Ratib an-nabulsi, op cit, hlm. 185 9 Azhari Akmal Tarigan, ―Islam Mazhab HMI‖, 2007, hlm. 114 8 6 Kehidupan manusia mengenal dua aspek, yaitu yang temporer berupa kehidupan sekarang di dunia, dan yang abadi (eternal) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akhirat. Dalam hal ini manusia mempunyai kebebasan memilih termasuk beban yang telah diamanahkan. Hal ini berkaitan erat dengan manusia yang dilahirkan sebagai individu yang mempunyai hak asasi kemerdekaannya. Tetapi manusia hidup sebagai makhluk social dalam suatu bentuk hubungan tertantu baik dengan alam maupun manusia sekitarnya. Dari segi ini manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu kesatuan. َ ش ْيئًب َو ََل يُ ْق َب ُم ِم ْن َهب َ س َع ْن نَ ْف ٍس َََ ُزو ٌ َواتَّقُىا َي ْى ًمب ََل تَجْ ِزي َن ْف َ شفَب َعةٌ َو ََل يُؤْ َخذُ ِم ْن َهب َعدْ ٌل َو ََل ُُ ْْ يُ ْن Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.(QS. Al-Baqarah: 48) Sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan sebagai individu dalam konteks hidup ditengah alam raya dan masyarakatnya tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam hokum yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya "keharusan universal" atau "kepastian umum" dan ―takdir”. 10 Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka 10 Hasil-hasil Kongres XXIX, ―Nilai-nilai Dasar Perjuangan‖, 2016, hlm. 148 7 sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(QS. Surat Ar-Ra’d: 11) (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (QS. Al-Hadid: 23) 2.4. Ketuhanan Yang Maha Esa dan Prikemanusiaan Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepadaNya.11 Dalam kajian keagamaan yang bersifat historis-kritis kebenaran mutlak itu "Tuhan", sebagaimana yang telah uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (27:9). Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pencaaian yang maha benar adalah pada hakikatnya Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang berketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho" 11 Ibid, hlm. 38 8 daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan (92:19-21).12 Iman (bahasa Yunani: πίστιν— pisti) adalah rasa percaya kepada Tuhan. Iman sering dimaknai "percaya" (kata sifat) dan tidak jarang juga diartikan sebagai kepercayaan (kata benda). Menurut Alkitab "Iman‖ adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat" (Ibrani 11:1). Dalam maknanya yang lengkap kata ―iman berasal dari akar kata yang sama dengan perkataan ―aman (Arab: ,yakni kesejahteraan dan kesentosaan) dan ―amanat (Arab: , yakni keadaan bisa dipercaya atau diandalkan [Inggris: trust-worthiness], lawan dari khianat). Karena itu ―imanl yang membawa rasa ―aman dan membuat orang mempunyai ―amanat itu tentu lebih daripada hanya ―percaya. Maka menengahi antara iman dan amal-perbuatan yang konkret itu ialah ibadat-ibadat. Dalam ibadat, seorang hamba Tuhan atau „abd-u „l-Lâh merasakan kehampiran spiritual kepada Khâliqnya. Kecenderung bahwa rasa keagamaan harus selalu berdimensi esoteris, dengan penegasan bahwa setiap tingkah laku eksoteris [lahiriah] absah hanya jika menghantar seseorang kepada pengalaman esoteris [batiniah] ini, pedekatan secara keruhanian ini dapat disebut sebagai inti rasa keagamaan atau relijiusitas. Tetapi, di samping makna intrinsiknya, ibadat juga mengandung makna instrumental, karena ia bisa dilihat sebagai usaha pendidikan pribadi dan kelompok (jamâ„ah) ke arah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku bermoral. Asumsinya, melalui 12 Hasil-hasil Kongres XXIX, ―Nilai-nilai Dasar Perjuangan‖, 2016, hlm. 148 9 ibadat, seseorang yang beriman memupuk dan menumbuhkan kesadaran individual dan kolektifnya akan tugas-tugas pribadi dan sosialnya untuk mewujudkan kehidupan bersama yang sebaikbaiknya di dunia ini. Akar kesadaran itu ialah keinsafan yang mendalam akan pertanggung-jawaban semua pekerjaan kelak di hadapan Tuhan dalam pengadilan Ilahi yang tak terelakkan, yang di situ seseorang tampil mutlak hanya sebagai pribadi. Karena sifatnya yang amat pribadi (dalam hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya), ibadat dapat menjadi instrumen pendidikan moral dan etik yang amat mendalam dan efektif. Dalam Kitab Suci dengan jelas diungkapkan harapan bahwa salah satu efek terpenting ibadat ialah tumbuhnya semacam solidaritas sosial. Bahkan ditegaskan, ibadat bukan saja sia-sia dan tidak akan membawa kepada keselamatan, malahan terkutuk oleh Tuhan, sekiranya tak melahirkan solidaritas sosial.13 BerkeTuhananan yang Maha Esa dan Berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan). Maka ketuhanan menimbulkan sikap yang adil kepada sesama manusia 2.5. Individu dan Mayarakat Manusia sebagai pribadi itu dikatakan unik, karena hampir bisa dipastikan tidak ada manusia sebagai individu yang sama antara satu dengan yang lainya. Manusia tidak diciptakan sama dalam hal kecenderungan dan kecakapan. Sekiranya manusia diciptakan sesperti itu.14 ―Individu‖ berasal dari kata latin, ―individium‖ artinya ―yang tak terbagi‖. Jadi, merupakan suatu sebutan yang dapat digunakan untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Dalam ilmu sosial, individu menyangkut tabiatnya dengan kehidupan jiwanya yang majamuk, memegang peranan dalam pergaulan hidup 13 14 Nurcholish Madjid, ―Islam Doktrin Peradaban‖, 2015, hlm. 61-62 Azhari Akmal Tarigan, ―Islam Mazhab HMI‖, 2007, hlm. 93 10 manusia. Lebih lanjut disebutkan: ―untuk dapat mengerti tata kehidupan masyarakat (kelompok) perlu dibahas tata kehidupan individu yang menjadi pembentuk masyarakat itu‖ (Ahmadi, 2004:26). Maka dapat dikatakan tata kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh tata kehidupan individu.15 Masyarakat menurut Ansyar (1989:49) merupakan suatu kumpulan para individu yang menyatakan diri mereka menjadi satu kelompok. Dari pendapat tersebut dapat ditafsirkan bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang sudah terintegrasi dan terorganisasi. Jadi, dalam masyarakat bukan hanya sekelompok orang, melainkan juga terintegrasi dan terorganisasi dan juga mempunyai pola hidup tertentu.16 Selanjutnya penting untuk diperhatikan antara individu dan masyarakat dalam persepektif Al-Qur‘an. Bagi Fazlur Rahman, apakah individuyanglebih penting sedangkan masyarakat sebagai instrumen atau sebaliknya adalah sebuah masalah akademis, karena tampaknya individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Tidak ada individu yang hidup tanpa masyarakat. Malah menurut Rahman, konsep-konsep ajaran agama yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia seperti taqwa, adil, amanah, hanya memiliki arti dalam konteks sosial. Bahkan konsep agama yang menyatakan ―berbuat aniaya terhadap menghancurkan diri sendiri (zulm individu-individu juga al-nafs) yang akhirnya pada gilirannya akan menghancurkan masyarakat.17 Tinjauan dan penelitian modern terhadap masa klasik ilsam diberikan oleh Robert N. Bellah:18 “... Tidak diragukan lagi bahwa di bawah pimpinan Muhammad, masyarakat Arabia telah membuat lompatan ke depan 15 http://mettaadnyana.blogspot.co.id/2014/07/sosiologi-individu-dan-masyarakat.html jam 05.15 tgl 11/11/16 16 http://mettaadnyana.blogspot.co.id/2014/07/sosiologi-individu-dan-masyarakat.html jam 05.15 tgl 11/11/16 17 Azhari Akmal Tarigan, ―Islam Mazhab HMI‖, 2007, hlm. 95 18 Nurcholish Madjid, ―Islam Doktrin Peradaban‖, 2015, hlm. 113 11 luar biasa dalam kompleksitas sosial dan kapasitas politik. Ketika struktur yang telah mulai terbentuk di bawah pimpinan Nabi kemudian dikembangkan oleh para khalifah pertama untuk menyediakan dasar penyusunan emperium dunia, hasilnya ialah sesuatu yang untuk masa dan tempatnya luar biasa modern. Ia modern dalam hal tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang tinggi, yang diharapkan dari semua lapisan anggota masyarakat. Ia modern dalam hal keterbukaan posisi kepemimpinannya terhadap kemampuan yang dinilai menurut ukuran-ukuran universal, dan dilambangkan dalam usaha untuk melemba-gakan kepemimpinan puncak yang tidak bersifat warisan. Meskipun pada saat-saat permulaan beberapa kendala tertentu muncul untuk menghalangi komunitas (Muslim) dari sepenuhnya mewujudkan prinsip-prinsip tersebut, tapi akhirnya komunitas itu berhasil juga mewujudkan, suatu model bangunan komunitas nasional modern, yang lebih baik daripada yang bisa dibayangkan. Usaha orang-orang Muslim modern untuk melukiskan komunitas (Islam) pertama itu se-bagai contoh sesungguhnya bagi nasionalisme partisipan yang egaliter itu.” Tak hanya itu. Menempatkan teologi atau kalam ditengah kehidupan modern, juga tak mudah. Pada abad pertengan al-Ghazali mengeluh tentang manfaat ilmu kalam dalam islam, sedang di era modern ini, Fazlur Rahman juga menyatakan hal yang sama. Kaum pendukung positivisme di Barat menuduh teologi sebagai wacana yang meaningless. Manusia beraga dituntut mereformulasikan konsep teologi agar dapat menjawab tantangan riil kemanusiaan dalam kehidupan kontemporer.19 Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif. Tetapi sejarah ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat 19 Dr. M. Amin Abbdullah, ―Studi Agama‖, PUSTAKA PELAJAR 2015, hlm. 48 12 buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia (99:7-8). Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dalam hidup kemudian - sesudah sejarah (9:74, 16:30). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan (29:69).20 Bentuk dari hidup bermasyarakat adalah bisa menempatkan posisi dirinya sebagai bagian yang menyatu di dalamnya. Individu yang memberikan manfaat untuk kehidupan social karena manusia memiliki sifat interdependensi dengan yang lain. Islam memberikan pandangan dalam kehidupan bermasyarakat seyogyanya kita harus senantiasa berseru kebaikan (Amar Ma’ruf) dan memerangi perbuatan buruk (Nahi Munkar). Dalam kalimat itu terdapat seruan perjuangan, pembelaan, dan mencegah keburukan. Inilah sederhananya makna dari Indvidu dan Masyarakat. 2.6. Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi Perbaikan kondisi masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika kemerdekaan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak terbatas) maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan bebas segala keinginan pribadinya. Akibatnya pertarungan keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dalam kekacauan atau anarchi.21 Sedangkan bagi rakyat, agama sebagaimana yang sering dikhutbahkan adalah sarana yang dapat melumpuhkan akal, memacetkan pikiran, meruntuhkan kehendak, menyebabkan timbulnya pesimisme. Akibatnya agama rakyat menjadi agama yang hanya menguntungkan tiga golongan—kaum Fir‘aun (penguasa 20 Hasil-hasil Kongres XXIX, ―Nilai-nilai Dasar Perjuangan‖, 2016, hlm. 151 21 Hasil-hasil Kongres XXIX, Op cit, hlm. 151 13 politik), kaum Croesus (penguasa ekonomi), dan Bal‘am-e-Ba‘ura (kaum cerdik-pandai religius-gadungan) sementara satu golongan dikorbankan yaitu Rakyat.22 Akhirnya saya merujuk pada semangat yang mewariskan kepada umat manusia suatu literatur yang berlimpah dengan keindahan insani, dengan cita-cita keadilan, kesamaan derajat dan kesatuan manusia, dengan literatur yang mencerminkan perasaan batiniah terdalam umat manusia.23 Keterkaitan iman dengan rinsip keadilan nampak jelas dalam berbagai pernyataan Kitab Suci, bahwa Tuhan adaah Maha Adil, dan bagi manusia perbuatan adil adalah tindakan persaksian untuk Tuhan.24 Pengertian adil (‗adl) dalam Kitab Suci juga terkait erat dengan sikap seimbang dan menengahi (fair dealing), dalam semangat moderasi dan toleransi, yang dinyatakan dengan istilah wasath (pertengahan).214 Muhammad Asad menerangkan pengertian wasath itu sebagai sikap berkeseimbangan antara dua ekstremitas serta realistis dalam memahami tabiat dan kemungkin-an manusia, de-ngan menolak kemewahan maupun asketisme berlebihan. Sikap seimbang itu memancar langsung dari semangat tawhîd atau kein-safan mendalam akan hadirnya Tuhan Yang Maha Esa dalam hidup.25 Dalam buku The Rise and Fall of Economi Justice, MacPherson seperti yang dikutip oleh Mubyarto, menjelasakan yang dimaksud dengan keadilan ekonomi adalah, ―aturan main tentang hubungan ekonomiyang didasrkan pada prisp-prinsp etika, prinsipprinsip mana padagilirannya bersumber pada hukum-hukum alam, hukum Tuhan atau pada sifat-sifat manusia.‖26 Kualitas terpenting yang harus dipunyainya, ialah rasa kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran kecintaan yang tak terbatas pada Tuhan. Di samping itu diperlukan kecakapan yang 22 Dr. Ali Syari‘ati, ―Pembangunan Masa Depan Islam‖, MIZAN 1986, hlm. 76 Dr. Ali Syari‘ati, ―Pembangunan Masa Depan Islam‖, MIZAN 1986, hlm. 75 24 Nurcholish Madjid, ―Islam Doktrin Peradaban‖, 2015, hlm. 114 25 Nurcholish Madjid, ―Islam Doktrin Peradaban‖, 2015, hlm. 114 26 Azhari Akmal Tarigan, ―Islam Mazhab HMI‖, 2007, hlm. 149 23 14 cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.27 Hal itu semuanya merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan (10:55). Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberikan bagian yang wajar dari padanya.28 Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. (QS. Al-A’raF: 10) َّ َض ۗ أ َ ََل إِ ََّ َو ْعد َََّللاِ َح ٌّق َو َٰنَ ِك َّن أَ ْكث َ َز ُُ ْْ ََل يَ ْعهَ ُمى ِ س َم َبوا َّ أ َ ََل إِ ََّ ِ َّّلِلِ َمب فِي ان ِ ت َو ْاْل َ ْر Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di bumi. Ingatlah, sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui(nya). (QS. Yunus: 55) 2.7. Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan Dari seluruh uraian yang telah di kemukakan, dapatlah disimpulkan dengan pasti bahwa inti dari pada kemanusiaan yang suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau Amal Saleh29 َى ِ َب ِن َحب َّ ِإ ََّل انَّذِينَ آ َمنُىا َو َع ِمهُىا ان ٍ ُت فَهَ ُه ْْ أَجْ ٌز َغي ُْز َم ْمن kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.(QS. At-Tin: 6) Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak.30 27 Ibid, hlm. 152 Hasil-hasil Kongres XXIX, ―Nilai-nilai Dasar Perjuangan‖, 2016, hlm. 155 29 Ibid, hlm. 61 30 Ibid, hlm. 155 28 15 Dari uraian itu dapat dipahami bahwa era globalisasi ilmu dan budaya saat ini, terdapat kesulitan-kesulitan instrinsik pada ketiga jenis pendekatan agama, jika pendekatan ini berdiri sendiri, terpisah antara satu dengan yang lainnya. Kerja sama antara ketiga pendekatan tersebut—teologi, filsafat, dan studi agama—merupakan riset masa depan yang potensial memberikan sumbangan berharga untuk mengatasi tantangan kemanusiaan universal (humanpredicament)31 Dunia modern merindukan siraman spiritual yang hanya bisa diraih melalui rumusan-rumusan teologi yang dicerahkan oleh pemahaman filsafat. Moralitas yang tidak tidak dicerahkan oleh filsafat belum menangkap universitas pesan-pesan agama.32 Dengan menyeleksi masukan-masukan yang diperoleh dari pendekatan filsafat dan studi agama empiris, umat beragama dapat membedakan mana aspek agama yang universal, yang kategoris, yang intelektual, dan lokal, hipotesis, fisis. Keduanya tak dapat dipertentangkan karena keduanya ibarat dua sisi mata uang. Pinjam istilah Imanuel Kant: ―pemikiran-pemikiran keagamaan subtansial-intelektual-transendental-universal tanpa wadah yang yang matrial-empirikal-partikular adalah lamunan kosong.33 Disamping mencari, menemukan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai sebuah usaha untuk memahami ayat-ayat Allah swt. Dalam kerangka memelihara dan meningkatkan keimanan kita kepada-Nya, tuntutan untuk mencari ilmu pengetahuan adalah konsekuensi logis dari peranan kekhalifahan manusia.34 Manusia diberi anugerah suci oleh Allah Swt yaitu rasa ingin tahu dan akal sebagai instrumenya. Hal tersebut hanya dimiliki oleh manusia tidak dimiliki oleh yang lainya. 2.8. Kesimpulan dan Penutup 31 Dr. M. Amin Abbdullah, ―Studi Agama‖, PUSTAKA PELAJAR 2015, hlm. 53 Dr. M. Amin Abbdullah, ―Studi Agama‖, PUSTAKA PELAJAR 2015, hlm. 55 33 Dr. M. Amin Abbdullah, ―Studi Agama‖, PUSTAKA PELAJAR 2015, hlm. 55 34 Azhari Ahmad Tarigan, op cit, hlm. 165-166 32 16 Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta kecintaan kepadaNya, yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu mamancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya. Iman dan takwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan. Ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang tuguh kepada kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Dengan ibadah manusia dididik untuk memilki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah berbuat ikhlas, yaitu pemurniaan pengabdian kepada Kebenaran semata. Amal manusia menjadi usaha yang penuh dalam mewujudkan Amal Ma‘ruf Nahi Munkar. Sebagai individu yang merdeka harus berlaku adil dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam praktiknya tujuan hidup manusia adalah untuk membebaskan kaum-kaum lemah (mudtadh’afin). Dengan demikian, tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu dan beramal. 17