97 Daftar Acuan Buku __________ . _________. Panindangion Haporseaon (Pengakuan Iman) HKBP. Pematangsiantar: Percetakan HKBP. __________. 1996. Laporan Komis Ibadah/Liturgi HKBP. Tarutung: Seminarium Teologia HKBP Sipoholon. __________. 2002. Aturan dohot Paraturan HKBP 2002. Pearaja: Kantor Pusat HKBP. __________. 2008. Hukum Penggembalaan dan Siasat Gereja HKBP. Jakarta: HKBP Tanah Tinggi. __________. 2015. Agenda HKBP. Pematangsiantar: Percetakan HKBP. __________. 2015. Aturan dohot Paraturan HKBP 2002 Dung Amandemen II ‘Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP 2002 Setelah Amandemen II’. Pearaja: Kantor Pusat HKBP. Clinebell, Howard. 2002. Tipe-tipe dasar pendampingan dan konseling pastoral. Yogyakarta: Kanisius. Cooke, Bernard dan Gary Macy. 2005. Christian symbol and ritual: An Introduction. New York: Oxford University Press. Grimes, Ronald L. 2014. The Craft of ritual studies. New York: Oxford University Press. Hogue, David A. 2003. Remebering the future, imagining the past: Story, ritual, and the human brain. Ohio: The Pilgrim Press. Hutauruk, J. R. 2011. Lahir, berakar, dan bertumbuh di dalam Kristus. Pearaja: Kantor Pusat HKBP. Lothar, Schreiner. 1994. Adat dan Injil: Perjumpaan adat dengan iman Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 98 Malau, Gens G. 2000. Budaya Batak. Jakarta: Yayasan Bina Budaya Nusantara Tao Toba Nusa Budaya. Napitupulu, Bonar. 2012. Beberapa catatan tentang beberapa topik pemahaman teologi HKBP. Pearaja: Kantor Pusat HKBP. Pardede, Lumonga R.A. 2012. Masisisean di ulaon adat Batak Toba. Pasaribu, John B. 2002. Pengaruh Injil dalam adat Batak: Pendekatan praktisi. Jakarta: Papas Sinar Sinanti. Pembroke, Neil. 2010. Pastoral care in worship: Litugy and Psychology in dialogue. London: T&T Clark International Sibuea, David F. 2014. Percakapan dengan lanjut usia: Suatu bentuk konseling pastoral yang relevan di jemaat. Medan: LAPIK Schreiner, Lothar. 2011. Pengakuan Percaya (Konfesi) HKBP 1951. Dalam Pemikiran tentang Batak, peny. Bungaran A. Simanjuntak, 9-17. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Siahaan, Bisuk. 2005. Batak Toba: Kehidupan di balik tembok bambu. Jakarta: Kempala Foundation. Siahaan, Nalom. 1982. Adat dalihan natolu: Prinsip dan pelaksanaanya. Jakarta: Grafina Sihombing, T.M. 1985. Jambar hata: Dongan tu ulaon adat. Jakarta: CV. Tulus Karya Sihombing, T.M. 1986. Filsafat Batak: Tentang kebiasaan-kebiasaan adat istiadat. Jakarta: Balai Pustaka Silitonga, Saut H. M. 2010. Manusia Batak Toba: Analisis filosofis tentang esensi dan aktualisasi dirinya. Situmorang, Helman Billy. 1983. Ruhutruhut ni adat Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia 99 Stauffer, S. Anita., peny. 1994. Worhsip and culture in dialogue. Geneva: Department for Theology and Studies & The Lutheran World Federation. Vergouwen, J. C. 1986. Masyarakat dan Hukum adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka Azet. Whipp, Margaret. 2013. Pastoral Theology. London: SCM Press Widiasih, Ester Pudjo. 2010 Ritual dalam kehidupan berjemaat. Dalam Seberkas Bunga Puspa Warna, peny. Binsar Pakpahan, 129-163. Jakarta; Yayasan Musik Gereja Indonesia Willimon, William H. 1992. Worship as pastoral care. Nashville: Abingdon Press Jurnal Berrinyuu, Abraham Adu. 1992. Change, Ritual, and Grief: Continuity and Discontinuity of Pastoral Theology in Ghana. The Journal of Pastoral Care 46, no. 2: 141-152. Clark, M. Anne. 1999. A Ritual for the Closure of a Life (When Life is Artificially Supported, When the Quality of Life Has Gone). The Journal of Pastoral Care 53, no. 4: 489:492. Mitchell, Kenneth R. 1989. Ritual in Pastoral Care. The Journal of Pastoral Care 47, no. 1 : 68-77 Artikel Merritt, Carol Howard. 2016. Church in the Making: New rituals for nee realities. Christian Century 12 Oktober. Wawancara Nainggolan, Simon. 2018. Wawancara oleh saya. Tarutung, Indonesia, 15 Februari. Purba, Effendi. 2018. Wawancara oleh saya. Palembang, Indonesia, 19 Februari Sihombing, Rusli. 2018. Wawancara oleh saya. Sipoholon Indonesia, 13 Februari. Nainggolan, M. 2018. Wawancara oleh saya. Sipoholon, Indonesia, 14 Februari Sitorus, R. 2018. Wawancara oleh saya, Sipoholon, Indonesia, 16 Februari. Naipospos, Monang. 2018. Wawancara oleh saya. Huta Tinggi, Indonesia, 17 Februari. 100 Lampiran Pedoman Wawancara Catatan: 1. Dimulai dengan merumuskan tujuan, metode dan tehnik penelitian. Misalnya: Penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengetahui latar belakang digelarnya ritual mangupaupa dalam masyarakat Batak b. Mengetahui proses pelaksanaan ritual mangupaupa di kalangan masyarakat Batak c. Mengetahui sejauh mana manfaat pelaksanaan ritual mangupaupa bagi masyarakat adat batak? d. Mengetahui sejauh mana masyarakat adat Batak dan gereja HKBP melihat pentingnya mengadopsi ritual mangupaupa sebagai alat pelayanan pastoral dalam gereja? 2. Setuju dengan point-point yang akan ditanyakan. Karena itu, hanya merapikan point-point pertanyaan yang sudah disusun supaya jangan tumpang tindih. 3. Ada tiga pihak yang perlu diwawancarai, yaitu: (a) keluarga/orangtua yang menggelar upacara mangupaupa (b) orang yang menjalani upacara mangupaupa (c) pendeta yang setuju ataupun tidak setuju dengan gagasan untuk mengadopsi ritual mangupaupa dalam pelaksanaan pelayanan pastoral dalam gereja A. Perkenalan (a) Saya mengucapkan salam (b) Memperkenalkan diri dan berkenalan dengan orang atau keluarga yang akan diwawancara (c) Mengutarakan maksud kedatangan dan meminta kesediaan orang atau keluarga yang didatangi untuk diwawancara (d) Mengucapkan terimaksih atas kesediaan diwawancara B. Pendalaman 3.1 Wawancara dengan keluarga yang menggelar ritual mangupaupa 1. Bolehkah Bapak/Ibu menceritakan peristiwa atau kejadian apa yang mendorong Bapak/Ibu melakukan ritual mangupaupa? 2. Apa maksud atau tujuan Bapak/Ibu menggelar ritual tersebut? 101 3. Bolehkah Bapak/Ibu menceritakan apa akibat yang dialami oleh merekamereka yang tidak melakukan ritual mangupaupa padahal seharusnya ritual itu digelar bagi mereka? 4. Apakah Bapak/Ibu memiliki contoh konkrit tentang hal ini? 5. Bagaimana ritual mangupaupa itu digelar oleh bapa Ibu? 6. Kapan dan dimanan ritual itu dilakukan? 7. Siapa sajakah yang terlibat? 8. Sarana-sarana apa yang digunakan dalam ritual? 9. Siapa yang hadir atau diundang dalam pelaksanaan ritual itu? 10. Apa alasananya sehingga orang-orang tersebut diundang? 11. Bagaimana prosesnya? 12. Berapa besar biaya yang waktu itu dikeluarkan? 13. Menurut pengamatan Bapak/Ibu, apa manfaat ritual mangupaupa yang digelar? Apakah BapakIbu merasakan perbedaan sebelum dan sesudah mengelar ritual mangupaupa? 14. Menurut Bapak/Ibu, sejauhmana gereja mesti terlibat dalam pelaksanaan ritual mangupaupa? Jelaskan 15. Apakah pendeta boleh memimpin pelaksanaan ritual mangupaupa? Jelaskan pandangan anda? 3.2. Wawancara dengan orang-orang yang menjalani ritual mangupaupa (a) Mohon dijelaskan kapan, dimana, bagaimana, dan siapa-siapa yang terlibat dalan ritual mangupaupa yang anda jalani? (b) Alasan apa yang mendorong atau membuat anda bersedia menjalani ritual mangupaupa? (c) Sejauh pengamatan anda, apakah mereka yang tidak melakukan ritual mangupapa memang mengalami hal-hal yang tidak diinginkan? Mohon diceritakan? (d) Mohon diceritakan perbedaan perasaan seperti apa yang anda rasakan sebelum dan sesudah anda menjalani ritual mangupa-upa? Mohon disentukan contoh kongkritnya! (e) Sejauh mana anda yakin bahwa ritual mangupangupa yang anda jalani benarbenar bisa berfungsi dalam hidup anda? (f) Kemukakan alasan anda, mengapa yakin atau tidak yakin pada ritual mangupaupa yang dijalani? 102 3.3. Wawancara dengan pendeta tentang ritual mangupaupa a. Apakah anda secara pribadi pernah menggelar atau diundang dalam pelaksanaan ritual mangupaupa? Mohon diceritakan peran anda di sana? b. Bagaimana anda mendefinisikan diri dan kehadiran serta peran anda dalam ritual mangupaupa yang dijalani? c. Menurut anda sebagai pendeta, apakah anda setuju dengan gagasan dimanfaatkannya ritual mangupaupa sebagai ritual yang berguna bagi pelayanan pastoral dalam gereja? Mohon kemukakan alasan. d. Menurut anda sejuah mana ritual mangupaupa boleh diadopsi oleh HKBP sebagai ritual gerejawi? e. Mohon dijelaskan apa alasan mendasar yang anda ketahui dari HKBP sebagai gereja dalam menerima atau menolak pelaksanaan ritual mangupaupa? C. Penutup Saya mengucapkan terimakasih dan meminta kesediaan mereka yang diwawancara untuk tetap bersedia diwawancara menggunakan telepon, jika masih ada yang hendak ditanyakan. 103 Verbatim Narasi I Keterangan: Pewawancara (Pw) dan Narasumber (N) Data Umum N Nama : Situmeang Kelamin : Laki-Laki Usia : 65 tahun Ketika sampai di tempat keluarga yang akan diwawancarai, saya berjumpa dengan pihak keluarga. Ada dua orang yang menyambut, yaitu seorang perempuan tua, yang saya panggil Ompung Boru dan laki-laki tua, yang saya sebut Ompung Doli. Saya bersalaman sambil memperkenal diri di depan pintu untuk kemudian diajak masuk dan dipersilahkan duduk. Setelah itu, saya menegaskan maksud dan tujuan kedatangan kepada beliau dan seraya mengambil waktu sejenak untuk mulai mewawancarai. Pw : Sebelumnya, Ompung… Dapatkah saya tahu nama Ompung Doli? N1 : (berbicara keras kepada Ompung Doli meminta agar Ompung Doli menyebutkan langsung namanya sendiri). Ehhhhh, Amang… (keluhan dengan ungkapan kesedihan karena Ompung Doli tidak dapat menyebutkan namanya sendiri secara jelas)… Nama Ompung Doli, suamiku ini Rusli Situmeang. PW : Sudah berapa umur Ompung Doli sekarang ya? N : 65-an lah Amang... Pw : Sebelumnya Ompung, dapatkah Ompung menceritakan kembali bagaimana peristiwa atau apa yang melatarbelakangi sehingga dilakukan upacara mangupaupa kepada Ompung Doli? N : Kalau waktu kecil ibarat kepada anak-anak dilakukan upaupa, itu orangtua berdoa memohon kepada Tuhan untuk diberi berkat, itulah cara manusia meminta, kan… tetapi yang memberi berkat tentu adalah Tuhan. Tetapi, untuk dan melalui anak ini, orangtua meminta doa kepada Tuhan supaya anak-anak diberkati, dipelihara, bertumbuh besar dirawat oleh orangtuanya dan sehat-sehat. Itulah upaupa seperti pada waktu anak-anak. Seperti itulah kemanusiaan orang Batak itu. Pw : Nah, kalau Ompung Doli bagaimana Ompung? N : Seperti Ompung Doli ini sekarang kan sudah tua. Lalu, Ompung Doli sakit. Lalu, keadaan ini sampai dan diketahui oleh hulahulaku. Pw : Permisi, Ompung… Maksud saya apakah sesuatu yang melatarbelakangi akhirnya keadaan Ompung Doli yang demikian sekarang sehingga akhirnya Ompung Doli diupaupa pada waktu itu. N : Ohhh… Kira-kira begini, Amang… Pergilah Ompung Doli berkunjung ke tempat keluarga. Di dalam perjalanannya, dia mengalami sakit seperti tertekan dibuat oleh keluarga disana. Pw : Bisakah Ompung memberitahukan lokasi tempatnya Ompung? N : Di Ledong, Amang… Pw : Baik, Ompung boleh dilanjutkan kembali menceritakan kisahnya. N : Jadi tersiksalah dia di sana, terancamlah dia termasuk juga terancam makannya. Akhirnya dia meminta pulang. 104 Pw : Oh… Begitu ya, Ompung. N : Iya, Amang. Sebelum pergi, Ompung Doli ini masih sehat dan tidak begini keadaannya. Berbicaranya juga tidak seperti sekarang ini. Tetapi setelah pulang dari sana beginilah keadaannya. Sehatnya awal pertama dia pergi ke tempat keluarga. Pw : Kira-kira sudah berapa lama kejadiannya Ompung? N : Bulan Juli tahun 2017 yang lalu Amang. Tepatnya pada tanggal 11 yang lalu Amang kejadiannya. Masih baru peristiwanya Amang. Lalu dia pulang kembali ke sini di bulan 10. Pw : Jadi demikian awal mulanya ya, Ompung. N : Iya, Amang. Jadi setelah pulang dari sana ketahuan oleh hulahulaku, kepada saudarasaudaraku yang sakit begini keadaannya Ompung Doli. Pw : Bagaimana caranya hulahula Ompung mengetahui peristiwa yang terjadi ini? N : Ya melalui cerita-cerita orang yang bertemu dan berjumpa dengan mereka. Ujungnya mereka datang ke rumah. Mereka datang membawa ikan dan makanan untuk mengupa Ompung Doli.. Pw : Hanya itu saja, Ompung? N : Ya, ikan dan nasi. Lalu, dikasihlah makanan ke Ompung Doli, disampaikanlah ikan dan makanan ini. Lalu didoakanlah. Lalu dibuatlah katanya: “sembuhlah penyakitmu ya Lae, jalan kami ini memohon doa kepada Tuhan supaya setiap obat yang engkau makan diberkati oleh Tuhan. Kira-kira seperti itulah Amang. Pw : Apakah Ompung Doli tidak bercerita kepada Ompung Boru apa yang membuat Ompung Doli tertekan selama di sana? N : Gimanalah ya, Amang... Ada sebenarnya… (sembari dengan suara yang terbata).. Beginilah Amang… Bisalah karena dosa lampau yang terjadi jalannya untuk Amang mendoakan kami sekeluarga. Menyesali dosa dan memohon doa melalui Amang. Pw : Iya, Ompung. Saya akan mendoakan Ompung Boru dan Ompung Doli. N : Begini mulanya dulu, Amang. Ompung Doli ini waktu muda termasuk suka dekat-dekat dengan perempuan. Tapi, ya seperti Amang kembali lagi, ya akulah yang tahu apa yang kulakukan. Apapun yang kulakukan baik atau salah menurut aku sendiri. Kalau Ompung Doli kesalahan dan kebaikannya dialah yang tahu. Adalah sesuatu yang dilakukannya yang tidak berkenan dengan kehendak Tuhan dan juga kehendak kita. Berzinahlah dia. Tapi di perzinahannya, perempuan ini sebelumnya juga sudah perempuan sundal kata Ompung Doli. Jadi kehamilan yang ada pada perempuan itu jadi kepada Ompung Doli dikenai. Kira-kira begitulah. Aku berumah tangga dengan Ompung Doli tahun 1976 bulan Januari. Kejadian ini yang kutahu terjadi pada tahun 1979. Tapi, dibuat oleh perempuan inilah tanggal lahirnya 1976 untuk menjebak Ompung Doli pada waktu tua. Jadi waktu itu Ompung Doli cerita ia dijebak seperti akan dikeroyok sehingga akhirnya memilih mengakulah Ompung Doli daripada mati. Jadi diakuilah. Setelah ada pengakuan itu dibawalah Ompung Doli ke satu ladang yang dikeliling sungai di suatu daerah Kolang. Ompung Doli mencoba lari dari lokasi itu setelah dua minggu. Jadi di situlah mereka dua minggu. Jadi perempuan sundal ini bersama Ompung Doli selama dua minggu dibuat seperti berumah tangga. Untung Ompung Doli bisa berenang. Keluarlah dia dari sana dan ditinggalkan. Itulah jalannya Ompung Doli pulang. 105 Aku tidak tahu apa-apa awalnya. Setelah sampai di sini baru aku tahu ceritanya. Dan akhirnya diceritakan Ompung Dolilah yang sebenarnya. Aku sudah sempat berprinsip begini Amang, aku gak mau susahin kau dan jangan susahi aku. Menurutku kau sudah curang sama aku. Rusaknya rumah tangga kami pada waktu itu tetapi tidak ada orang yang tahu. Hanya aku dan Ompung Doli yang tahu. Dan pernah kubuat cobaan sama Ompung Doli dan orang juga tidak tahu. Kalau Tuhan bilang yang disatukan Allah tidak dapat diceraikan manusia, tapi kau sudah berzinah jadi pergilah kau dari aku. Tapi Ompung Doli tidak mau pergi. Aku sudah sempat buang semua pakaiannya dari rumah dan kuusir. Tapi dia tetap tidak mau pergi. Akhirnya keluarlah dia dari rumah tapi hanya duduk-duduk di Lapo, ada kira-kira seminggu tidak pulang ke rumah itu. Setelah seminggu kembalilah dia lagi ke rumah pada waktu malam-malam. Buka dulu, kata Ompung Doli. Tapi aku hanya diam. Aku berpikir jahat bagaimana biar dia pergi dan aku senang besarkan anak-anak. Kuambillah termos berisi air panas, kubuka pintu dan air panas itu kusiram ke wajah Ompung Doli. Itulah yang terjadi waktu itu dan kudorong jatuh terus kututup pintu. Tapi dia menulis surat di halaman dan datanglah semua orang, lalu dibawalah dia ke rumah sakit. Begitulah Ompung cerita awalnya yang terjadi ini. Setelah kusiram, aku tetap takut kalau ada orang yang bertanya kenapa begitu karena aku tak pintar menjelaskan. Jadi aku antarkan ke keluarga. Aku antar ke keluarga Ompung Doli. Setelah kuantar ke hahadoliku dan kuceritakan yang terjadi. Ternyata mereka juga sudah tahu. Jadi biarlah dia di sini. Tapi Ompung Doli tidak mau tinggal di sini. Datanglah lagi dia ke rumah ini lagi. Lama kelamaan, kupikir habis waktuku dan kerja pun akhirnya terhambat. Jadi kuanggaplah dia, kalau datang ya sudah, pergi ya pergi. Tapi ke anak-anak tidak kuberitahu bagaimana kelakuan Bapaknya ini. Kejadiannya Ompung Doli jadi pergi seperti ini. Anak laki-laki yang kulahirkan ada satu. Anakku ini seperti satu hati dengan Ompung Doli untuk melawan aku. Memang tidak kukasih tahu ke anakku yang laki-laki ini. Tapi dia merasa, bukan anak satu-satunya. Seperti itulah perasaannya. Jadi dibuatlah hubungannya ke anak laki-laki dari perempuan yang satu lagi. Jadi dekatlah mereka. Suatu waktu, berbohonglah dia dengan berkata sudah sakit Bapak agar anak yang dari perempuan itu datang. Besoknya ditunggu tidak datang. Akhirnya pada hari ketiga diteleponlah dan dikabarkan kalau Bapak sudah mati. Dibilangnyalah sampai mati Bapak ini nggak kau lihat? Dibohongi supaya datang, supaya bersama mereka melawan aku. Aku keras membantah ini. Seperti Ompung Doli sikapnya anakku yang laki-laki ini. Gak mau kerja.. Nggak dipelihara anak perempuannya. Kebetulan ada teman sekampung dari anak perempuan yang mengaku ini dekat sini keluarganya. Ada yang kawin dengan orang dari kampung anak yang mengaku ini di Ledong. Jadi anak laki-laki ku menitip pesan disuruhlah lihatlah bapaknya yang sudah mati. Tujuannya agar datang kesini. Jadi datanglah kesini. Kebetulan aku pas di luar. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan. Pulang aku dari ladang, Ompung Doli sudah kemas koper. Dimasukkanlah semua bajunya. Aku pun bertanya mau ke mana kau? Jawab Ompung Doli, aku mau ke Ledong. Ompung Doli bilang sekarang sudah baiknya si Enris (nama anak laki-laki dari perempuan yang satu). Ada ladangnya, ada traktornya. Spontan aku katakan: ohh. Begitu ya… Setelah baik kehidupannya jadi anakmulah ya. Kalau begitu ya sudahlah, terserah kaulah. Tapi tidak ada uangku. Lalu Ompung Doli bilang lagi, ditransfer mereka pun nanti, tidak usah pikirkan aku. 106 Ompung cuma bisa bilang ke Ompung Doli, kalau kau jadi pergi baik-baik disana supaya mereka tahan denganmu. Ompung Doli bilang gak perlu kau atur aku jawab Ompung Doli. Akhirnya kubelilah kacang sihobuk beberapa bungkus, kubilang kalau mau pergi ya pergilah dan inilah bawa. Itulah keberangkatannya. Tahunya, aku malah difitnah oleh Ompung Doli kepada keluarga yang di sana. Bahkan, Ompung Doli sudah bilang kalau mati aku biarlah aku dikubur disini. Tapi nggak tahu apa yang terjadi di sana. Ompung Doli disana nggak diurus dan dikasi makan. Jadi dibuanglah dan itulah mulai sakitnya. Itu pula jalannya pulang. Setelah pulang dan sampai ke sini keadaan Ompung Doli sudah parah sekali. Sudah kukira dia tidak akan bisa hidup lagi. Jadi bagaimanalah kubilang. Keadaannya semuanya kaki dan wajahnya bengkak. Berjalan tidak bisa sudah kaku dan seret-seret merangkak dari jalan sampai ke rumah ini. Begitulah ceritanya. Berbicara pun gak bisa lagi, makan pun nggak ada selera. Nggak terpikir Amang yang bisa hidup sampai sekarang. Akhirnya kubawa berobat. Ya prinsipku semampuku diobati dan diurus. Pw : Pengobatan apa yang dilakukan Ompung? N : Pengobatan medis, Amang. Pw : Jadi kapan mangupa itu dilakukan kepada Ompung Doli? N : Setelah pulang dari rumah sakit yang pertama kali Amang. Pw : Kalau begitu, mangupa itu bukan inisiatif dari Ompung ya, melainkan dari hulahula. N : Iya. Aku pun terkejut waktu itu. Tidak ada pemberitahuan buatku. Hanya ditelpon ditanya di mana keberadaanku dan sedang apa. Kujawab di halaman rumah berkebun. Nggak pernah ini aku ceritakan sama orang sebelumnya, Amang. Pw : Baik, Ompung. Aku paham dengan ini. Aku akan jaga kerahasiaannya. N Bisa ompung ceritakan bagaimana mangupa itu dilakukan? Pw : Ya, mereka datang. Waktu itu adik, eda, paramanku, inang naposo, maenku, adekku, dan anak-anak mereka. Dibawa merekalah ikan dengan nasinya dan semua makanan. Pw : Ompung masih ingat prosesnya? Bisa Ompung berbagi cerita? N : Inilah yang bisa kuingat Ompung. Duduklah kami melingkar. Dibuatlah ikan dan makanan itu ke depan Ompung Doli. Lalu, diucapkanlah begini Amang; “makanan ini bukanlah makanan yang aneh-aneh atau macam-macam, tidak ada yang asing. Kami mengetahui Lae kalau engkau sakit. Jadi kami datang seperti ini melihatmu. Kami bawa ikan pora-pora, jalan kami berdoa memohon kepada Tuhan supaya kiranya engkau sembuh. Jadi supaya kuat obat yang kau pakai selama ini.” Sesudah itu, ditutup doa dan makan bersama. Pw : Kalau boleh tahu, apakah Ompung sendiri berkenan menerima upaupa itu? Apakah Ompung menolak kehadiran dan yang akan dilakukan kepada Ompung Doli? N : Tidak, Amang. Justru aku terima. Pw : Bisa sebutkan alasannya Ompung? N : Ya, karena itu tradisi masyarakat Batak kalau sudah lansia dan sakit mana tahu jadi meninggal, jadi seperti makanan terakhir dari hulahulanya. Tapi karena sehat dianya tetap bersyukur. Pw : Kalau Ompung sendiri bagaimana? Perasaan Ompung sebelum dilakukan dan sesudah dilakukan upaupa? Apa yang Ompung rasakan? Samakah atau ada yang berbeda? 107 N : Sebelum diupa dia menurutku sedihlah, terlihat sekali dari wajahnya. Aku sendiri merasakah kesedihan yang besar. Segala perasaan bercampur aduk, Amang… Tapi setelah diupaupa, aku bersyukur kepada Tuhan. Yang aku rasakan seperti ada kekuatan baru, semangat baru, bahkan, dari saat itu aku berkomitmen untuk kuobati suamiku ini. Dan di dalam hatiku, aku berdoa dan memohon Tuhan menerima doa kami. Pw : Seandainya Ompung, diberi penilaian angka 1 (tidak sama sekali) – 10 (sangat), nilai berapa yang bisa Ompung Boru kasih untuk menunjukkan besarnya daya guna dari mangupaupa itu Ompung? N : Kalau menurutku Amang nilai delapan (8). Pw : Seberapa besar kepercayaan Ompung terhadap upacara mangupa ini? N : Kepercayaanku besar kali Ompung. Sesuai dengan melihat sakitnya waktu pertama datang. Dan sekarang sudah sehat dan bisa makan dengan baik. Dan sekarang membuang kotorannya juga sudah baik. Kalau baru datang waktu itu pertama kali Ompung, ngerilah. Nggak ada bayanganku bisa jadi begini Ompung Doli. Pw : Ompung doli (dengan suara yang besar agar bisa didengar).. Bisa berbagi Ompung yang Ompung rasakan sebelum dan sesudah mangupaupa? N : Sedih... (dengan suara yang tidak terlalu jelas) Pw : Setelah diupa bagaimana? Apa yang Ompung Doli rasakan? N : Hilang… (dengan suara yang tidak terlalu jelas). Aku merasa sukacita. Pw : Apa yang dipercayai Ompung Doli melalui upaupa itu? N : Sembuh dari sakit… Pw : Adakah semacam biaya atau pengeluaran lainnya Ompung dalam penyelenggaraan ritual mangupa itu? N : Tidak, Amang. Semua difasilitasi oleh rombongan yang datang. Pw : Secara singkat, apakah yang Ompung pahami tentang mangupa? N : Jalannya untuk berdoa bersama keluarga meminta petolongan Tuhan untuk keluar dari sakit dan bahaya. Seperti pernah kudengar di Alkitab, dua tiga orang berkumpul dan berdoa besar kuasanya. Narasi II Keterangan: Pewawancara (Pw) dan Narasumber (N) Dalam kehadiran awal pewanwancara ke rumah narasumber hanya anak-anak mereka yang ada di rumah. Sedangkan kedua orangtua mereka yang akan menjadi narasumber sedang pergi sebentar ke ladang membawa kerbau-kerbau mereka. Tak lama kemudian, mereka pulang dan saya memperkenalkan diri, maksud serta tujuan kehadiran saya untuk bertemu dengan mereka. Lalu, setelah narasumber menyatakan bersedia, saya segera memulai percakapan. Saya memanggil narasumber dengan sebutan Uda (Bapak) dan Inanguda (Istri) dari narasumber Pw : Uda… Dapatkah Uda menceritakan kembali apakah yang melatarbelakangi sehingga dilakukan upacara mangupaupa ke Uda? N : Waktu itu Uda mengalami sebuah kecelakaan. Jadi, ya pemahamannya kalau kata orangtua upaupa itu semacam cara untuk mangulosi tondi. Begitulah dibuat oleh orangtua ke Uda. Tanpa kami tahu kalau datang orangtua membawa makanan kami dan untuk diupa. 108 Pw : Dapatkah Uda menceritakan kembali peristiwa proses kecelakaan yang dialami oleh Uda waktu itu? N : Begini… Masih Uda inget jelas peristiwanya… Waktu itu jam 5 sore di hari Sabtu, pulanglah istriku dari pasar. Lalu kata istriku “makanlah dulu martabak ini.” Lalu aku menjawab: “nanti aku makan martabaknya, setelah kembali dari mengambil kerbau yang ada di ladang baru kumakan.” Setelah berbicara begitu, pergilah aku kira-kira berjalan mengarah ke atas (berjalan maju) ke rumah tetangganya bermarga Pasaribu karena kebetulan pas di sana motorku. Pas waktu Uda keluar dari rumah, Uda lihat sebuah mobil yang melaju kencang. Bertanyatanya Uda mobil apa itu? Tidak jelas, karena datang dari arah yang agak jauh. Namun, mobil itu berlari begitu kencang. Entah apa yang terjadi, mobil itu datang mengarah ke arahku. Aku berusaha bergerak mengelak. Tetapi tidak sempat untuk mengelak dan bergerak, mobil itu malah menabrakku hingga aku terjepit ke tembok rumah tetangga Bapak Tota Situmeang. Jadi ada sejauh berapa meter itu aku terseret ke tembok sampai lengketlah wajahku dan badanku ke tembok itu dan jatuhlah aku ke parit. Ya buktinya inilah sekarang wajah Uda, ini bekas dari peristiwa waktu itu [sambil menunjukkan bekas kulit wajah yang rusak pada bagian sebelah kiri wajahnya]. Waktu itu rambutku juga gondrong. Waktu itu orang mengira aku sudah mati. Di situlah aku tidak sadar selama Sembilan hari. Jadi ketika aku sadar kulihatlah ada saudara dari Medan. Pas dia datang aku sadar. Menangislah saudara yang dari Medan ini. Lalu saudara dari Medan ini berkata: bagaimana seandainya kalau kau meninggal? Di situlah aku baru tahu dan sadar kalau aku di rumah sakit. Yang kurasakan waktu itu ada semacam rasa panas di badanku, khususnya di tangan yang patah karena kulihat sudah di gips. Mungkin karena sembilan hari harus terkujur kaku. Lalu ketika dokter datang, ia katakan kalau tanganku yang patah itu harus diamputasi. Lalu aku jawab: “tidak mau.” Dan bersikeras tidak. Bahkan, aku memberanikan diri pulang ke rumah tanpa sepengetahuan dokter. Aku suruh abangku untuk tidur di tempat tidur di rumah sakit ini supaya aku dibawa pulang. Lalu, istriku katakan cobalah kita pergi ke beberapa ahli pengobatan. Di daerah kami ada mantri Lambok. Ketika kami berobat dengannya, mantri ini juga berkata: “sudah nggak bisa lagi, itu memang harus diamputasi.” Tidak ada harapan kalau tidak diamputasi. Karena ada bagian dari tangannya sudah mengenai bagian saraf. Kalau pun dia sembuh, dia tidak akan normal lagi. Itu yang kuingat kata mantri itu. Jadi habis dari situ kami langsung berangkat ke Lobu Pining. Di sana ada pengobatan tradisional (Obat Kampung) dengan cara memijat (urut). Lalu, diambillah batang pisang dan dibungkuskanlah ke tanganku. Sementara perasaan panas itu menjadi agak dingin. Tapi ternyata itu tidak berefek besar. Setelah sebulan berangkatlah aku lagi ke Pahae. Kalau kata orang pengobatannya hanya pakai air liur. Jadi waktu aku ke sana dipeganglah tanganku lalu disemburkanlah air liurnya ke tanganku yang patah ini dan dioleskan. Lalu dia katakan: “sembuhlah.” Ternyata ini juga belum memberikan hasil. Setelah itu aku pergi lagi berobat ke Medan. Lalu abang bilang datanglah dulu ke Medan. Di sini ada orang Melayu yang pintar mengobati yang patah. Kalau ini, barulah memang aku akui dia ahli. Sebelumnya tidak kuakui karena sudah dua bulan tanganku tidak ada perubahan. Lalu ketika dia melihat tanganku dia katakan ada urat-urat yang ada di tangan ini sudah 109 sempat menyatu dan juga ada tulang rawan yang saling menyatu. Jadi waktu itu abangku dengan dua orang menahan tubuhku. Lalu ditariklah tanganku. Memang dia katakan, ini bisa saja sembuh tapi tidak akan bisa kembali lagi seperti semula. [Uda pun menunjukkan tangannya yang menang tidak sempurna lagi]. Jadi kalau mandi aku harus pakai tangan kiri dan juga makan. Pw : Apakah ada efeknya sampai saat ini Uda? N : Ada. Kalau terlalu lelah bekerja tangan ini kembali terasa panas lagi dan kalau malam rasanya suka gatal-gatal. Pw : Kalau boleh tahu Uda, kapan kejadiannya kira-kira Uda? N : Sekitar tahun 2002... Pw : Jadi waktu itu upaupa dilakukan tanpa sepengetahuan dari Uda ya… Dan rombongan datang sendiri waktu itu. N : Ya maksud orangtua supaya pergilah segala sial atau bala, dan bergantilah dengan yang baik. Pw : Di mana dilakukan waktu itu upacara mangupanya? N : Di rumah ini. Saat rombongan itu datang, aku sedang tidur. Lalu aku dibangunkan oleh istriku. Pw: Siapa saja yang datang pada waktu mangupaupa itu Uda? N : Saudara, kakak dan anggota sekeluarga. Pw : Apa yang dibawa waktu itu Uda? N : Ikan, ikan mas. Itu yang dibawa. Pw : Ada diberikan ulos atau ditaburkan beras ke kepala? N : Ya kalau ditaburkan beras ada. Beras sipir ni tondi ke kepalaku. Pw : Apakah uda ingat kata-kata yang diucapkan pada waktu pemberian ikan itu Uda? N : Yang kuingat waktu itu dibilang begini: “Di sini kami datang untuk mangupa menantuku karena secara tiba-tiba datang peristiwa yang mengejutkan untuk menantuku ini. Jadi di sini kami bawa ikan. Kiranya melalui upaupa ini pergilah segala yang buruk dan bergantilah dengan yang baik, cepatlah sembuh. Pw : Apakah uda tahu makna Ikan yang dibawa? N : Ya artinya. Begini. Ini dengke na mokmok dengke simudurudur. Ya sukacita yang memberi, sukacita yang menerima. Pw : Nah Uda. Ada waktu sebelum dan sesudah diupaupa. Menurut uda, adakah perasaan yang berbeda yang dirasakan oleh Uda sendiri? Adakah perubahannya? N : Kalau perbedaan itu wajib ada. Pw : Bisa dijelaskan Uda? N : Kalau waktu itu yang kuingat aku merasakan bahwa tubuhku ini sangat berat. Setelah disampaikan oleh orangtua upaupa itu, seperti ada semangat, enteng dan ringan badanku. Dan rohku pun seperti sudah ada kembali kepadaku. Istilahnya sudah mulak tondi tu badan. Perasaanku sudah ringan sekali. Perasaanku pada waktu itu rasanya sakit itu seperti sudah tidak ada. Pw : Kira-kira Uda, sudah berapa lama setelah kejadian itu dilakukan upaupa? N : Sesudah tiga hari pulang dari rumah sakit. Dan itu sudah dilakukan sebelum pergi berjalan untuk berobat. 110 Pw : Bagaimana dengan Inanguda? N : Kalau aku seperti ada perasaan sukacita. Aku pun menjadi semangat untuk membawa dia berobat. Ada semangat dan kekuatan serta komitmen untuk mengurus Uda dengan baik. Pw : Kalau menurut uda sendiri, apakah uda percaya dengan kuasa dari upacara mangupa ini? N : Karena aku percaya, maka jadi bermanfaat upaupa itu. Semangatlah aku. Ya, kalau sakit itu memang tetap ada. Tapi perasaanku seperti sudah tidak ada lagi. Pw : Berfungsikah sampai saat ini? Masih ada dampaknya sampai saat ini? N : Ya, inilah sekarang sehatnya kami semua. Tidak ada kami hinggap kepada kami sakit penyakit. Lihat adik-adikmu seperti robot yang bekerja. Dan bertambah rezeki untuk anak-anak sehingga bisa sekolah. Dan kiranya bisa segera tamat adik-adikmu dari perkuliahannya. Pw : Itu saja Uda. Terima kasih Uda dan sekeluarga yang berkenan menyambut dan bersedia menjadi narasumber. (Ditutup dengan doa).