MAKALAH PENGANTAR HUKUM INDONESIA (Pengertian Hukum Islam, Sumber, Tujuan, dan Peradilan agama) DisusunOleh: AL HAFIZH RAHMAT DARWIS MUHAMMAD FADHIL AFRIMAL MUHAMMAD TSAQIF ALBARI KELAS: HTN D DosenPembimbing: Dr. Taufik Hidayat, SHI., M.A, M.H. PRODI HUKUM TATANEGARA FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG 1446 H/2024 M A. Istilah dan pengertian Hukum islam Hukum Islam bertindak sebagai pedoman hidup yang harus dipatuhi oleh seluruh Muslim. Hukum Islam dapat menginformasikan setiap aspek kehidupan sehari-hari bagi seorang Muslim. Pengertian hukum Islam atau syariah adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul Al-Qur'an menurut bahasa berarti bacaan atau yang dibaca. Menurut istilah, Al-Qur'an adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril sebagai petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur'an diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Dalam penerapannya, pengertian hukum Islam merupakan sistem yang menjadi kewajiban semua Muslim. Seperti yang disinggung sebelumnya, pengertian hukum Islam sama dengan syariah. Syariah secara harfiah berarti "jalan yang bersih dan dilalui dengan baik menuju air". Makna linguistik Syariah bergema dalam penggunaan teknisnya: seperti halnya air sangat penting bagi kehidupan manusia, begitu pula kejelasan dan kebenaran Syariah adalah sarana kehidupan bagi jiwa dan pikiran. Syariat Islam menurut bahasa berarti jalan yang dilalui umat manusia untuk menuju kepada Allah. Pengertian hukum Islam bertindak sebagai pedoman hidup yang harus dipatuhi oleh semua Muslim, termasuk salat, puasa dan sedekah kepada orang miskin. Al Fayumi dalam buku Zainudin Ali Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam di Indonesia menyebutkan bahwa hukum bermakna memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan setiap permasalahan. Muhammad Daud Ali menyebutkan bahwa kata hukum yang berasal dari lafadz arab tersebut bermakna norma, kaidah, ukuran, tolak ukur, pedoman yang digunakan, untuk menilai dan melihat tingkah laku manusia dengan lingkungan sekitarnya. Selanjutnya islam menurut ahmad marson munawir (1997:654) adalah bentuk mashdar dari akar kata aslama-yuslimu-islaman yang mengandung arti ketundukan dan kepatuhan serta juga bisa bermaknaislam, damai, dan selamat. Islam bermakna sebagai sebuah ketundukan dan penyerahan diri seorang hamba saat berhadapan dengan tuhannya. Hukum islam adalah aturan yang berasal dari Allah SWT sebagai pedoman untuk manusia, hal ini berarti manusia dalam berhadapan dengan tuhannya haruslah merasa kerdil, bersikap mengakui kelemahan dan membenarkan kekuasaan ALLAH SWT. Hukum Islam adalah hukum yang berasal dari agama islam, yaitu hukum yang diturunkan oleh Allah untuk kemaslahatan hamba-hamba Nya di dunia dan akhirat dimanapun mereka berada. B. Sumber Hukum islam Sumber hukum islam menurut Roshidin dalam buku pengantar hukum islam (2016:91) yaitu: 1. Al-Qur'an Sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Qur'an Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Tulisannya berbahasa Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril. Al-Quran memuat kandungan-kandungan yang berisi perintah, larangan, anjuran, kisah Islam, ketentuan, hikmah dan sebagainya. Al-Quran menjelaskan secara rinci bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya. Al Quran juga merupakan hujjah atau argumentasi kuat bagi Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah kerasulan dan pedoman hidup bagi manusia serta hukum-hukum yang wajib dilaksanakan.. Al Quran sebagai kalam Allah SWT dapat dibuktikan dengan ketidak sanggupan atau kelemahan yang dimiliki oleh manusia untuk membuatnya sebagai tandingan, walaupun manusia itu adalah orang pintar. Dalam surat Al Isra ayat 88, yang artinya, Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain." 2. Hadits Hadis adalah sesuatu yang berlandaskan pada Nabi Muhammad SAW. Hukum ini didapat melalui perkataan, tindakan, dan teladan Nabi. Dalam hadis, terkandung aturan-aturan yang merinci segala aturan yang masih global dalam Al-Qur'an. Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa sabda, perbuatan dan persetujuam Rasulullah Muhammad SAW tersebut adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam Al Quran yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah SAW seperti firman Allah SWT dalam Q.S Ali Imran ayat 32: Katakanlah (Muhammad), "Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir." Al Hadits sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat, sebagai pemberi keterangan, sebagai pentakhshis keumuman, dan membuat hukum baru yang ketentuannya tidak ada di dalam Al Quran. Hukumhukum yang ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW ada kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah SWT, dan adakalanya berasal dari ijtihad. 3. Ijma Selain Al-Qur'an, sumber hukum Islam yang bisa dipertimbangkan adalah kesepakatan ulama atau Ijma. Kesepakatan ulama yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai hukum Islam adalah yang terjadi di zaman sahabat Nabi. Imam Syafi'i memandang ijma (kesepakatan ulama) sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan sunah Rasul. Dalam moraref atau portal akademik Kementerian Agama bertajuk Pandangan Imam Syafi'i tentang Ijma sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam dan Relevansinya dengan perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini karya Sitty Fauzia Tunai, Ijma' adalah salah satu metode dalam menetapkan hukum atas segala permasalahan yang tidak didapatkan di dalam Al-Quran dan Sunnah. Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf, merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa. Ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma sukuti. Ijma sharih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sharih ini juga sangat langka terjadi, bahkan jangankan yang dilakukan dalam suatu majelis, pertemuan tidak dalam forum pun sulit dilakukan. Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya tentang hukum satu masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui orang banyak. Tidak ada seorangpun di antara mujtahid lain yang menggungkapkan perbedaan pendapat atau menyanggah pendapat itu setelah meneliti pendapat itu. 4. Qiyas Qiyas atau analogi hukum adalah alat yang ampuh untuk mendapatkan putusan untuk masalah baru. Qiyas menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al-Qur'an ataupun hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya tersebut. Contohnya narkoba telah dianggap tidak diperbolehkan, melalui analogi hukum dari larangan alkohol yang diatur dalam Al-Qur'an. Qiyas adalah bentuk sistematis dan yang telah berkembang fari ra'yu yang memainkan peran yang amat penting. Sebelumnya dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas menduduki tempat terakhir karena ia memandang qiyas lebih lemah dari pada ijma. Qiyas juga dapat diartikan sebagai kegiatan melakukan padanan suatu hukum terhadap hukum lain. C. Tujuan Hukum Islam Hukum Islam bertujuan untuk membantu umat Islam memahami bagaimana mereka harus menjalani setiap aspek kehidupan mereka sesuai dengan perintah Allah SWT. Hukum Islam merupakan hukum yang kompleks. menurut Roshidin dalam buku pengantar hukum islam (2016:30) Pembentukan hukum islam memiliki tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajiyyah), serta kebutuhan pelengkap (tahsiniyyah). para ahli hukum islam mengklasifikasikan tujuan-tujuan yang luas dari syariat atau hukum islam sebagai berikut: 1. Dharuriyyah Dalam kehidupan manusia, kebutuhan ini merupakan hal penting sehingga tidak dapat diabaikan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban di manamana. Kelima kebutuhan hidup primer ini dalam kepustakaan hukum islam disebut dengan istilah al-maqashid al khamsah atau disebut juga al-kulliyat al-khoms sebagai berikut: a. Hifzdz ad-din (Memelihara agama) Keberadaan agama merupakan fitrah bagi setiap manusia, hukum positif bahkan memberikan perlindungan sebagai bentuk hak asasi manusia yang harus mendapat perlindungan dari ancaman atau gangguan dari pihak manapun. Dalam keberagaman syariat islam selalu mengembangkan sikap tasamuh (toleransi) terhadap pemeluk agama lain, sepanjang tidak mengganggu satu sama lain. b. Hifdz an-nafs (Memelihara jiwa) Islam seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak untuk merasakan hidup merdeka dan merasakan keamanan. Islam melarang bunuh diri (an-nisa ayat 29) dan membunuh. c. Hifdz an-nasl (Memelihara keturunan) islam dalam mewujudkan perlindungan terhadap keturunan manusia disyriatkan perkawinan agar mempunyai yang shaleh dan jelas nasab (keturunannya). d. hifdz al mal (memelihara hak milik/harta) berbagai macam transaksi dan perjanjian muamalah dalam perdagangan (tjiarah), barter (mubadalah), bagi hasil (mudharabah), dan sebagainya dianjurkan dalam islam guna melindungi harta seorang muslim agar dapat melangsungkan kehidupansecara sejahtera. Islam sangat melarang keras tindakan pencurian, korupsi, memakan harta secara batil, penipuan, dan perampokan, karena hal ini dapat menyebabkan pihak lain yang tertindas. 2. Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat, contoh: syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal. 3. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, contoh: ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermu’ammalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama. Dalam setiap peringkat, seperti telah dijelaskan di atas, terdapat hal-hal atau kegiatan yang bersifat penyempurnaan terhadap pelaksanaan tujuan syari’at Islam. Dalam peringkat daruriyyat, misalnya ditentukan batas minimal minimum yang memabukkan dalam rangka memelihara akal, atau ditetapkan adanya perimbangan (tamasul) dalam hukum qisas, untuk memelihara jiwa. Dalam peringkat hajiyyat, misalnya ditetapkan khiyar dalam dalam jual-beli untuk memelihara harta, atau ditetapkan kafa’ah dalam perkawinan, untuk memelihara keturanan. Sedangkan dalam peringkat tahsiniyyat, misalnya ditetapkan tatacara taharah dalam rangka pelaksanaan salat, unutuk memelihara agama. Macam-Macam Hukum Islam Hukum Islam yaitu hukum yang mengatur semua tindakan manusia. Hukum Islam dibagi ke dalam lima kategori. Ini meliputi hukum wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah. a. Wajib. Wajib adalah sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas. Aktivitas yang berstatus hukum wajib harus dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat-syarat wajibnya. Aktivitas ini bila b. c. d. e. dilaksanakan maka pelaku akan diberikan ganjaran kebaikan (pahala), sedang bila ditinggalkan maka akan menjadikan yang meninggalkannya berdosa. Sunah. Sunnah ialah sesuatu perbuatan yang dituntut agama untuk dikerjakan tetapi tuntutannya tidak sampai ke tingkatan wajib. Sunah merupakan perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak akan mendapatkan hukuman atau dosa. Haram. Haram adalah sesuatu perbuatan yang jika dikejakan pasti akan mendapatkan dosa dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Makruh. Makruh adalah perbuatan yang dilarang namun tidak terdapat konsekuensi bila melakukannya. Dengan kata lain perbuatan makruh dapat diartikan sebagai perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan. Perbuatan makruh bila dikerjakan tidak mendapatkan dosa, apabila ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Mubah. Mubah adalah perbuatan yang boleh dilakukan, bahkan lebih condong kepada dianjurkan (bersifat perintah), tetapi tidak ada janji berupa konsekuensi berupa pahala terhadapnya. Mubah yakni apabila dikerjakan tidak berpahala dan tidak berdosa, jika ditinggalkanpun tidak berdosa dan tidak berpahala D. Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 pada pasal 2 menyebutkan bahwa : ‘Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu”, serta untuk menujang dan memenuhi harapan lembaga Peradilan yang sederhana, cepat dan dengan biaya murah sebagai mana tersebut dalam Pasal 57 ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989. Peradilan agama adalah merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi para pencari keadilan yang beraga Islam mengenai perkara perdata tertentu, yakni hukum keluarga Islam. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 21 Tahun 2004 bahwa Organisasi, administrasi dan financial di lingkungan Peradilan Agama beralih ke Mahkamah Agung RI. Sesuai pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 bahwa Pengadilan agama berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Berdasarkan pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undangundang Nomor 50 Tahun 2009 bahwa Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang orang yang beragama Islam di bidang: 1. Perkawinan 2. Waris 3. Wasiat 4. Hibah 5. Wakaf 6. Zakat 7. Shadaqah, dan 8. Ekonomi syariah. Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya Tugas Pokok Dan Fungsi Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yg telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Dalam melaksanakan kekuasaannya tersebut Pengadilan Agama mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai berikut : 1. Tugas Pokok Pengadilan Agama Tugas Pokok Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, yakni: memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq; h. Shadaqah; dan i. Ekonomi Syari'ah 2. Fungsi Pengadilan Agama Pengadilan Agama mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut: Fungsi Administratif , yakni menyelenggarakan administrasi peradilan yang meliputi: Administrasi Teknis/Kepaniteraan (Administrasi Perkara dan Administrasi Persidangan) Administrasi Umum/Kesekretariatan (Administrasi Kepegawaian, Administrasi Keuangan, dan Administrsi Perlengakapan). Fungsi Pembinaan , yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan Fungsi Pengawasan , yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas, Fungsi Pelayanan Publik Pelayanan penyuluhan hukum; Pelayanan riset/penelitian; Pelayanan informasi peradilan, Pelayanan pengaduan, Pelayanan Memberikan Keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam pada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. Fungsi Lainnya Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain. DAFTAR PUSTAKA Ahmad Marson Munawwir, Kamus Al Munawwir Kamus ArabIndonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progresif 1997). Hlm 654. Roshidin, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam Dari Semenanjung Arabia Hingga Indonesia, D.I. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016. Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta:Sinar Grafika, 2006) Hlm 1. https://www.pa-ampana.go.id/arsip-artikel/1352-mengenal-peradilanagama https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/impleme ntasi-hukum-islam-progresif-dalam-putusan-pengadilan-agama https://papua.kemenag.go.id/#!/detail/39a8b9c2-405d-4420-8c95ce90c63ba192#topPage