Uploaded by MG Amanullah

naskah buku sejarah jepang (cetak) (3) final-92-132 HEIAN

advertisement
BAB 7
ZAMAN HEIAN (平安時代)
794~1185 M
Ciri Peradaban:
• Puncak budaya aristokrasi (Dinasti Fujiwara).
• Politik dibersihkan dari agama Buddha.
• Sistem politik perwalian “sessho-kanpaku” disingkat “sekkan”
seiji.
• Misi ke Tiongkok dihentikan (th 894). Jepang
mengembangkan budaya mandiri (kokufuu bunka).
• Tanah dibebaskan, tidak lagi sepenuhnya semua tanah milik
kaisar, wajib militer dihapus.
• Tuan tanah pribadi (shoen) makin berkembang.
• Muncul militer bayaran/ sewaan (cikal samurai).
• Pada paruh akhir Heian terjadi perselisihan di istana
menggunakan kekuatan samurai/bushi.
P
ada awal periode Heian di Jepang (794-967 M), terjadi
perpindahan ibu kota dari Nara ke Heian-kyo, yang sekarang
dikenal sebagai Kota Kyoto, oleh Kaisar Kammu pada tahun
794 M. Perpindahan ini menjadi awal dari periode Heian yang
berlangsung hingga tahun 1185. Nama “Heian” terdiri dari dua
karakter kanji, yaitu “平” yang berarti “damai” atau “tenang", dan
“安” yang berarti “aman” atau “tentram". Secara leksikal, Heian dapat
diartikan sebagai “kedamaian dan ketentraman". Nama ini dipilih
dengan harapan menciptakan masyarakat yang hidup dalam keadaan
damai dan sejahtera setelah masa-masa kekacauan dan pertikaian pada
periode sebelumnya.
Pada tahun 784, Kaisar Kammu memutuskan untuk meninggalkan ibu
kota Heijo (Nara) dan memilih ibu kota baru di Nagaoka. Namun
kemudian ia menolak tempat tersebut dan memilih untuk membangun
ibu kota baru lainnya. Ibu kota baru yang dipilihnya terletak di lembah
dekat Danau Biwa dan dinamai Heian-kyo yang artinya adalah “Ibu
86 | MG. Amanullah
Kota Damai". Ibukota ini menjadi tempat kediaman Kaisar Jepang
hingga nanti di tahun 1869 pindah ke Edo (Tokyo). Jadi antara Heijokyo (Nara) dan Heian sebenarnya tidaklah terlalu jauh. Lokasi-lokasi
ini berdekatan dengan jarak kurang lebih 30 km.
Terdapat banyak versi mengenai alasan mengapa Heijo ditinggalkan.
Salah satu pendapat mengatakan bahwa alasan dibalik pemindahan ibu
kota dari Nara adalah untuk menjauh dari pengaruh negatif kuil
Buddha yang terpusat di sana. Peran Buddha sebagai “pelindung
negara” terkadang menarik para biksu ke dalam urusan dunia seperti
politik dan ekonomi. Dalam banyak kasus, mereka bahkan melakukan
manipulasi, melanggar hak prerogatif kaisar, dan melakukan
penyelewengan. Alasan lainnya adalah karena pada akhir abad ke-8,
ibu kota Heijo (Nara) diyakini telah menjadi tempat tinggal bagi
sekitar 10.000 pejabat pemerintah dan sekitar 200.000 penduduk
dengan banyak kuil besar dan kecil di sekitarnya. Hal ini
menyebabkan kota menjadi padat dan penuh keramaian. Dengan
memindahkan ibu kota ke wilayah baru, penyediaan air dan
transportasi darat akan lebih praktis.
Heian-kyo sebagai ibu kota baru didesain dengan konsep yang
berbeda dari Nara sebelumnya. Heian-kyo dibangun dengan tata letak
yang lebih maju dibandingkan era sebelumnya dengan jalan-jalan
yang membentuk pola koordinat sumbu x dan y secara horizontal-danSejarah Jepang | 87
vertical, serta dibagi menjadi beberapa wilayah yang dikelilingi oleh
tembok dan pintu gerbang. Istana kekaisaran dibangun di pusat kota
ini dan menjadi pusat pemerintahan Jepang.
Kehidupan Politik Dan Puncak Keemasan Dinasti Fujiwara
Selama zaman Heian, istana kekaisaran Jepang menjadi pusat
kekuatan politik yang berpengaruh. Meskipun kaisar memiliki
kedaulatan negara, namun kekuasaan politik sebenarnya berada di
tangan sekelompok bangsawan yang dikenal sebagai klan Fujiwara.
Klan Fujiwara mengendalikan istana melalui sistem perkawinan
nepotis dan penunjukan birokrasi, yang memungkinkan mereka
mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan cara yang besar.
Sistem pemerintahan pada masa itu sangat terstruktur dan kompleks.
Terdapat berbagai departemen dan pejabat yang bertanggung jawab
atas berbagai aspek pemerintahan. Badan administrasi tertinggi yang
bertanggung jawab atas pengambilan keputusan penting dan
pengawasan departemen di tingkat bawah adalah Daijou-kan. Namun,
penting untuk dicatat bahwa para bangsawan pada umumnya lebih
fokus pada apresiasi seni seperti kaligrafi, puisi, dan aktivitas budaya
lainnya daripada urusan pemerintahan praktis.
Selama periode Heian dari abad ke-9 hingga abad ke-12 di Jepang,
sistem pemerintahan terus beroperasi dengan masih mempertahankan
kode hukum “Ritsuryo". Istilah ini mengacu pada pentingnya
membangun masyarakat yang terstruktur dan tertib dalam arti hukum
serta tata aturan. Sistem hukum ini terdiri dari dua kode utama: Yoro
Ritsuryo dan Taiho Ritsuryo.
Yoro Ritsuryo, yang diberlakukan pada awal abad ke-8, menjadi dasar
struktur hukum pada saat itu. Kode ini menetapkan peraturan
terperinci mengenai berbagai aspek pemerintahan, termasuk
administrasi peradilan, perpajakan, kepemilikan tanah, dan struktur
sosial dalam hierarki. Undang-undang ini diciptakan untuk menjaga
ketertiban dan stabilitas sosial, memastikan bahwa setiap individu
dalam masyarakat memahami peran dan tanggung jawab mereka.
Taiho Ritsuryo, yang ditetapkan pada tahun 701, diperbaiki dan
diperluas dari Yoro Ritsuryo. Ini mencakup aturan baru dan panduan
88 | MG. Amanullah
untuk mengatasi masalah dan tantangan yang dihadapi oleh
pemerintah. Tujuan Taiho Ritsuryo adalah untuk memperkuat
kekuasaan pusat di istana kekaisaran dan menjaga kendali atas
provinsi.
Dalam sistem Ritsuryo, pemerintahan Jepang dijalankan melalui
birokrasi yang mengacu pada undang-undang tersebut. Pejabat istana,
termasuk bangsawan, secara aktif bersaing untuk mendapatkan
pengaruh dan kekuasaan di dalam istana kekaisaran. Posisi dan
pangkat mereka erat terhubung dengan garis keturunan, hubungan
keluarga, dan pencapaian mereka. Lingkungan dinamis ini
menumbuhkan persaingan, intrik, dan manuver politik yang intens
saat individu berusaha meningkatkan status mereka untuk
mendapatkan posisi yang menguntungkan.
Kehidupan di istana kekaisaran selama periode Heian ditandai oleh
budaya yang gemerlap, anggun, dan megah. Para abdi dalem terlibat
dalam berbagai bentuk ekspresi seni seperti puisi, kaligrafi, musik.
Menghargai keindahan dan kesempurnaan menjadi fokus utama
budaya istana ini, yang mempengaruhi seni, mode, tata krama, dan
etiket sosial.
Klan Fujiwara adalah keluarga bangsawan yang memiliki peran dan
kekuasaan yang besar dalam politik kekaisaran zaman Heian di Jepang.
Mereka adalah klan keluarga yang terlama menguasai tahta kaisar
selama era Heian (1185-1333). Mereka memiliki pengaruh besar dan
berhasil memanipulasi sistem politik demi kepentingan mereka sendiri.
Ambisi mereka satu adalah untuk terus berkuasa, meningkatkan
pengaruh politik, serta mempertahankan kekuasaan dan kekayaan
mereka. Untuk memperluas pengaruhnya, mereka menempatkan
anggota keluarga di posisi-posisi penting di istana kekaisaran. Mereka
juga menjalin aliansi dengan keluarga bangsawan lainnya dan
mengatur pernikahan anggota keluarga mereka dengan putri
bangsawan lain untuk mendapatkan dukungan politik yang kuat.
Selain itu, mereka menggunakan taktik manipulasi dan intrik politik
dari belakang layar untuk mengendalikan pemerintahan.
Pengendalian politik semacam ini dikenal sebagai “insei” atau
pemerintahan biara/kuil. Ketika seorang kaisar turun tahta atau
Sejarah Jepang | 89
pensiun (joukou), ia masih dapat mempertahankan pengaruh
politiknya dengan mengangkat kaisar pewaris yang dapat dikendalikan
olehnya. Biasanya, anak atau kerabat dekat dipilih menjadi kaisar
pewaris. Karena ada banyak keluarga dalam klan Fujiwara sendiri,
agar terhindari konflik mengenai siapa yang menjadi kaisar atau
pewarisnya, rotasi atau giliran kerap dilakukan. Misalnya, ketika sang
kaisar/tenno belum ada pasangan, maka salah satu keluarga Fujiwara
akan mengajukan calon istri kepada tenno. Jika terpilih, maka ayah
atau keluarga mempelai memiliki kesempatan besar menjadi wali
tenno (meskipun tidak selalu, tergantung pada kesepakatan dengan
pihak lain).
Bergantian seperti ini kerap kali menimbulkan konflik dan intrik.
Awalnya, hal ini terjadi karena ada anggota keluarga Fujiwara yang
tidak sabar ingin mendekatkan keluarganya dengan kaisar atau
menjadi wali tenno. Dalam banyak kasus, tidak perlu menunggu
anggota keluarga Fujiwara dewasa, mereka dapat menawarkan
keluarganya untuk menjadi tenno bahkan jika mereka masih anakanak.
Wali yang melakukan cara seperti ini disebut “sesshou". Jika kaisar
yang dijadikan wali sudah remaja atau dewasa, maka walinya disebut
“kanpaku". Sistem ini dapat disingkat sebagai “sekkan” dan sistem
politiknya dikenal sebagai “sekkan seiji". Keluarga Fujiwara terus
menjalankan praktik politik ini hingga akhir periode Heian. Di satu
sisi, cara ini berhasil membuat dinasti tersebut bertahan begitu lama,
tetapi di sisi lain juga memicu konflik, pertikaian, bahkan
pembunuhan antara sesama kerabat. Konflik dalam hal suksesi tenno
adalah faktor utama yang mengikis kekuasaan dinasti Fujiwara.
Salah satu bangsawan Fujiwara yang dominan dalam mengatur
perkawinan dengan tenno adalah Fujiwara no MIchinaga. Ia
merupakan salah satu anggota keluarga Fujiwara yang paling kuat dan
terkenal dalam sejarah politik Jepang selama periode Heian. Ia
berhasil memanfaatkan sistem politik insei untuk memperkuat
kekuasaan keluarganya serta meningkatkan pengaruhnya dalam
pemerintahan. Ia mengatur jabatan tenno dan perkawinan tenno,
bahkan dapat memaksa tenno untuk turun takhta dan digantikan oleh
90 | MG. Amanullah
yang lain, termasuk memberikan jabatan tenno kepada anggota
keluarga yang baru berussia 9 tahun.
Michinaga juga menjadi seorang bangsawan yang sangat kaya karena
kerap menerima upeti dari para gubernur di daerah. Dia berhasil
mempertahankan posisinya selama lebih dari 20 tahun dan menjadi
salah satu pemimpin politik yang sangat berpengaruh pada zamannya.
Dengan menggunakan kebijakan politik insei dan strategi lainnya,
Michinaga mampu menjaga kekuasaannya dan memperkuat
kedudukan keluarga Fujiwara dalam politik Jepang saat itu. Namun,
setelah wafatnya, pengaruh keluarga Fujiwara mulai menurun dan
pemerintahan Jepang mengalami perubahan yang besar.
Tokoh-tokoh lain dari Klan Fujiwara yang memiliki pengaruh besar
dalam politik kekaisaran Jepang pada zaman Heian meliputi:
• Fujiwara no Fuhito, seorang tokoh utama di awal karirnya yang
mendirikan sistem administrasi di istana kekaisaran.
• Fujiwara no Yorimichi, cucu MIchinaga yang juga merupakan
seorang politikus berpengaruh pada masa itu.
• Fujiwara no Sanesuke, seorang pegawai negeri dan penulis
terkenal yang mencatat pentingnya pengelolaan negara pada masa
itu dalam karyanya “Sanesuke Shosoin Zoyo".
Mereka semua memainkan peran penting dalam mengendalikan
pemerintahan kekaisaran Heian dan mempertahankan kekuasaan Klan
Fujiwara selama periode Heian. Selain kelima tokoh tersebut, masih
ada banyak anggota Klan Fujiwara lainnya yang berperan penting
dalam politik kekaisaran Jepang pada masa Heian, baik sebagai
permaisuri, selir, atau bahkan sebagai pengatur di balik layar. Karena
kekuatan dan pengaruh yang sangat besar dari Klan ini, istana
kekaisaran sangat bergantung pada mereka untuk urusan berbagai
macam.
Dominasi Klan Fujiwara dalam memegang kendali politik pada zaman
Heian mendorong kaum aristokrat mencapai puncak kemakmuran.
Pada saat itu, kaum aristokrasi menguasai pemerintahan dan
mendominasi kehidupan sosial budaya serta seni. Pengaruh kaum
aristokrasi tercermin dalam gaya hidup mereka yang mewah, penuh
apresiasi seni dan dekorasi. Mereka tinggal di istana-istana yang
Sejarah Jepang | 91
cantik dan megah, dipenuhi dengan sentuhan arsitektur tradisional
Jepang dan didekorasi dengan lukisan, ukiran, serta karya seni lainnya.
Selain itu, keluarga kekaisaran dan bangsawan terkenal karena
kemampuan mereka dalam menulis puisi, menari, dan memainkan alat
musik.
Kekaisaran Heian juga terkenal dengan upacara adat yang rumit
seperti pakaian resmi pengadilan, musik, tarian, dan puisi. Kegiatan
budaya ini dianggap sangat penting dalam menjaga ketertiban sosial
dan hierarki. Budaya istana sangat dipengaruhi oleh budaya Tiongkok
dan ajaran Konfusius yang menekankan pentingnya hierarki, tanggung
jawab, serta kebajikan. Sistem politik ditandai dengan penekanan kuat
pada budaya aristokrat, birokrasi yang kompleks, serta peran simbolis
Kaisar walaupun kekuasaan sebenarnya dipegang oleh kelompok
bangsawan dan keluarganya. Di antara para bangsawan terdapat
jabatan-jabatan tinggi seperti daimyo (penguasa provinsi), kokushi
(gubernur provinsi), serta kuge (bangsawan).
Namun sayangnya, di balik kemakmuran yang dinikmati oleh kaum
bangsawan tersebut, masyarakat pada masa Heian juga menghadapi
ketidakstabilan politik dan sosial. Peperangan dan konflik antara
kelompok bangsawan serta pertikaian dalam keluarga kerajaan akan
menjadi warna-warni dari masa akhir zaman ini.
Nama Kaisar/Tenno yang Bertahta pada Zaman Heian 792 - 1185
Nama
Tahun bertahta
1.
Ate Heizei
806-809
2.
Kamino Saga
809-823
3.
Otomo Junna
823-833
4.
Masara Ninmyo
833-850
5.
Michiyasu Montoku
850-858
6.
Korehito Seiwa
858-876
7.
Sadaakira Yozei
876-884
8.
Tokiyatsu Koko
884-887
9.
Sadami Uda
887-897
10. Atsuhito Daigo
897-930
11. Hiroakira Suzaku
930-946
12. Nariakira Murakami
946-967
92 | MG. Amanullah
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
Norihira Reizei
Morihira En'yu
Morosada Kazan
Kanehito Ichijo
Iyasada Sanjo
Atsuhira Go-Ichijo
Atsunaga Go-Suzaku
Chikahito Go-Reizei
Takahito Go-Sanjo
Sadahito Shirakawa
Taruhito Horikawa
Munehito Toba
Akihito Sutoku
Narihito Konoe
Masahito Go-Shirakawa
Morihito Nijo
Nobuhito Rokujo
Norihito Takakura
Tokohito Antoku
967-969
969-984
984-986
986-1011
1011-1016
1016-1036
1036-1045
1045-1068
1068-1073
1073-1086
1087-1107
1107-1123
1123-1142
1142-1155
1155-1158
1158-1165
1165-1168
1168-1180
1180-1185
Sumber : https://www.metmuseum.org/toah/hd/jaru/hd_jaru.htm
Lahan Pribadi Shoen / 荘 園 Dan Dampaknya Terhadap
Perubahan Struktur Sosial-Politik
Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam mengubah struktur
masyarakat zaman Heiang secara besar adalah kemunculan tanah
perdikan atau tanah swasta yang dapat dimiliki secara pribadi, yang
dikenal sebagai “shoen". Sejak zaman kuno, tanah telah menjadi
sumber daya berharga dan kekayaan bagi semua orang, termasuk para
penguasa. Pada masa Yamato hingga Heian, sistem pengaturan tanah
diatur dan dikuasai oleh institusi kekaisaran. Kekaisaran adalah
pemilik tunggal termasuk tanah-tanah tersebut. Namun seiring
berjalannya waktu, hal ini mulai berubah. Muncul sistem pengaturan
tanah bernama “shoen” yang mengizinkan kepemilikan pribadi atas
tanah dalam masyarakat, sesuatu yang sebelumnya pada zaman Nara
sudah mulai diijinkan tetapi kurang populer.
Sejarah Jepang | 93
Sistem shoen muncul pada periode Heian (794-1185), saat istana
kekaisaran Jepang mengalami krisis ekonomi dan politik.
Pemerintahan pusat menghadapi penurunan pendapatan akibat korupsi
dan kelalaian dalam sistem pajak oleh gubernur setempat (kokushi).
Gubernur setempat yang seharusnya bertanggung jawab untuk
memantau pembayaran pajak dari petani kepada kekaisaran, justru
banyak dari mereka melakukan tindakan korupsi. Akibatnya, mereka
menekan petani agar tetap memberikan hasil pertanian sebagai pajak
dengan jumlah lebih tinggi untuk meningkatkan manfaat mereka
sendiri. Hal ini menyebabkan beban perpajakan menjadi sangat berat
bagi rakyat jelata yang memiliki tanah, di tengah menurunnya
pendapatan kekaisaran. Sebagai hasilnya, banyak petani yang akhirnya
melarikan diri daripada membayar pajak yang tinggi. Situasi yang
terjadi pula di zaman Nara. Para bangsawan dan pejabat pemerintah
kekaisaran menghadapi simalakama akibat situasi ini. Apapun
kebijkannya pendapatan dari pajak yang seharusnya mereka terima
tetap menurun.
Untuk mengatasi masalah tersebut, kekaisaran memperbolehkan
individu untuk memiliki dan membuka tanah yang sebelumnya
dikuasai oleh negara atau kekaisaran. Syaratnya, pemilik tanah harus
menanggung biaya untuk membuka lahan tersebut dan tanah tersebut
akan dikelola secara independen. Bahkan, mereka dapat memiliki
tanah itu selamanya (sedangkan dalam sistem Ritsuryo, tanah negara
harus dikembalikan pada usia 60 tahun).
Shoen muncul sebagai alternatif bagi bangsawan untuk mendapatkan
pendapatan tambahan selain dari pajak. Shoen memungkinkan orang
kaya, terutama bangsawan, untuk memiliki tanah yang sebelumnya
tidak tersedia bagi mereka. Namun penting untuk dicatat bahwa
karena membuka dan mengembangkan lahan membutuhkan modal
besar, hanya bangsawan dan biara yang memiliki modal untuk itu
sehingga hanya kelompok mereka yang diuntungkan dengan sistem
baru ini.
Rakyat biasa tetap hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.
Kekayaan kembali terpusat pada orang-orang kaya dan berkuasa, yaitu
bangsawan dan pejabat pemerintah, yang pada akhirnya menciptakan
94 | MG. Amanullah
kelas baru pemilik tanah. Selain menjadi bangsawan atau pejabat
pemerintahan, mereka juga menjadi tuan tanah.
Akhirnya, sistem shoen telah menjadi sumber kekuatan dan rivalitas
bagi tanah yang dimiliki kekaisaran (negara). Tanah negara ditarik
pajak, tanah shoen tidak. Mereka yang memilikinya dapat
menggunakan kekayaan dan status mereka untuk mengendalikan tanah
dan orang-orang yang bekerja di atasnya.
Dengan demikian, mereka menjadi penguasa tanah sekaligus
bangusawan. Petani yang tidak kuat mengelola tanah jatah dari negara
akhirnya lebih memilih menggarap tanah shoen. Selain tidak perlu
bayar pajak mereka dilindungi bangsawan yang memilikinya. Sistem
shoen ini membuka jalan bagi terjadinya hubungan feodal di mana
kesetiaan dan kewajiban diberikan kepada tuan tanah daripada kepada
negara atau pemerintah pusat (kekaisaran).
Orang biasa cenderung bekerja sebagai petani penyewa atau buruh di
shoen yang dimiliki oleh kaum bangsawan alih-alih memiliki shoen
sendiri. Bahkan, banyak rakyat biasa dengan sukarela memberikan
lahan mereka kepada bangsawan demi harapan mendapatkan
perlindungan dari mereka. Lebih baik berlindung di bawah
perlindungan bangsawan daripada ditindas oleh gubernur setempat
yang menarik pajak seenaknya.
Hal inilah yang membawa perubahan penting dalam struktur sosial
dan ekonomi Jepang. Pemilik shoen semakin kuat sedangkan rakyat
jelata semakin bergantung pada mereka. Seiring berjalannya waktu,
kepemilikan shoen oleh kaum bangsawan semakin meluas dan banyak
dari mereka yang menggabungkan kepemilikan sehingga menjadi
perkebunan atau lahan pertanian yang sangat luas.
Sistem shoen memiliki dampak yang besar pada masyarakat dan
budaya Jepang. Hal ini menciptakan kelas baru pemilik tanah yang
kaya dan berkuasa, yang mengontrol ekonomi dan orang-orang yang
bekerja di tanah mereka. Selain itu, sistem ini juga mengubah persepsi
orang terhadap kepemilikan dan penguasaan tanah. Kepemilikan
pribadi menjadi lebih umum sedangkan kepemilikan negara semakin
berkurang. Sistem shoen juga membuka jalan bagi perkembangan
Sejarah Jepang | 95
sistem feodal yang mendominasi Jepang selama berabad-abad
kemudian.
Sistem shoen ini mau tak mau akhirnya mengikis sistem Ritsuryo,
yang mengatur secara administratif bahwa tanah, alam, rakyat adalah
milik negara dalam hal ini kekaisaran. Sistem Ritsuryo mengatur
bahwa tanah dibagi oleh pemerintah, sementara sistem shoen
memungkinkan adanya kepemilikan pribadi atas tanah. Akibatnya,
otoritas pemerintahan pusat melemah dan para penguasa lokal muncul
untuk menguasai wilayah mereka sendiri. Perubahan sistem
pertahanan ini nantinya yang akan menjdi biang dari munculnya kelas
samurai.bushi.
Lahirnya Kaum Samurai/Bushi
Samurai adalah kelompok militer dari masa lalu Jepang yang terkenal
karena kemampuan seni bela diri dan keberanian dalam pertempuran.
Mereka muncul di Jepang pada abad ke-12. Kemunculan samurai ini
erat kaitannya dengan perkembangan sistem kepemilikan tanah di
Jepang pada saat itu yang dikenal sebagai shoen, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Pada abad ke-10, Jepang menghadapi tantangan serangan dari suku
barbar di wilayah utara. Hal ini menyebabkan bangsawan Jepang yang
memiliki banyak tanah merasa kesulitan untuk mengawasi lahan
mereka, terutama yang berjarak jauh dari ibukota Heian. Terjadi
ancaman dan penjarahan di daerah-daerah terpencil yang tidak
terlindungi dengan baik. Untuk mengatasi masalah ini, bangsawan
mempekerjakan petani sebagai penggarap tanah dan penjaga
keamanan.
Petani awalnya bertugas sebagai petani biasa tetapi kemudian dilatih
menjadi penjaga keamanan, diberi pelatihan, dan senjata oleh
bangsawan untuk melindungi tanah yang mereka kelola. Seiring
berjalannya waktu, petani-petani ini menjadi semakin terampil dalam
penggunaan senjata mereka. Akhirnya, mereka membentuk kelompok
bernama bushidan atau prajurit ahli dalam bela diri, dan individuindividunya disebut samurai.
96 | MG. Amanullah
Kata “samurai” berasal dari kata “saburau” yang berarti “melayani",
terutama melayani bangsawan. Seiring berjalannya waktu, makna
samurai menjadi lebih luas, istilah ini mulai mencakup prajurit yang
melayani bangsawan, dan akhirnya mencakup seluruh kelas prajurit di
Jepang pada zaman feodal. Sistem militer yang diajarkan kepada
samrai atau bushidan ini dipelajari dari Tiongkok, dengan pengaruh
ajaran Sun Tzu, Buddha Zen, dan Kongfusianisme. Dari sistem militer
ini, nantinya akan muncul kode etik kesatria khas Jepang yang dikenal
sebagai bushido. Bushido mengajarkan nilai-nilai kebenaran,
keberanian, kemanusiaan, kesopanan, kehormatan, ketulusan hati, dan
loyalitas yang harus dipegang teguh oleh samurai.
Apa yang membedakan militer atau prajurit biasa pada masa Heian
adalah, bahwa militer biasa terdiri dari petani wajib militer sebagai
bagian dari bentuk pajak yang harus mereka “bayarkan” pada
kekaisaran. Mereka bukan tentara profesional dan tidak dilatih untuk
perang. Mereka biasanya dipersenjatai dengan senjata sederhana
seperti busur, anak panah, tombak, dan pedang.
Sedangkan samurai adalah pejuang profesional yang dilatih sejak usia
muda untuk bertarung. Mereka biasanya dipersenjatai dengan senjata
yang lebih canggih untuk ukuran masa itu yaitu katana (pedang),
busur, anak panah, nagita (tombak pedang). Samurai juga terampil
menunggang kuda dan memanah.
Kemunculan samurai di Jepang pada abad ke-12 bukanlah hal yang
terjadi secara tiba-tiba, tetapi merupakan hasil dari konflik dan
dinamika di kalangan bangsawan-bangsawan Jepang dalam
lingkungan kekaisaran mereka terutama dalam pemilihan tenno atau
kaisar.
Bangsawan-bangsawan kerap kali bertikai di istana dan pertikaian
tersebut tidak selalu dapat diselesaikan dengan cara damai. Ketika
penyelesaian damai tidak memungkinkan lagi maka mereka memilih
menggunakan kekerasan sebagai solusinya. Setiap bangsawan
memiliki kelompok bersenjata samurai di atas yang menjaga tanah
shoen mereka masing-masing. Kelompok-kelompok bersenjata ini
digunakan untuk menyelesaikan konflik antar bangsawan tersebut.
Ketika seorang bangsawan berhasil memenangkan pertikaian tersebut
Sejarah Jepang | 97
maka dia memberikan hadiah kepada kelompok bersenjatanya sebagai
bentuk imbalan. Besarnya hadiah disesuaikan dengan besarnya
masalah yang dihadapi oleh mereka sehingga semakin besar
masalahnya maka semakin besar pula hadiah yang diberikan.
Samurai awalnya adalah petani pengabdi
Untuk masalah yang lebih besar, hadiah yang diberikan bisa berupa
tanah atau posisi di dalam kekaisaran. Ini adalah cara bagi samurai
untuk memiliki tanah sendiri dan menduduki posisi di dalam
kekaisaran. Dengan memiliki tanah sendiri, artinya samurai memiliki
wilayah kekuasaan mereka sendiri dan mereka juga memiliki petani
yang bekerja di bawah mereka. Ketika konflik semakin meluas, hadiah
bagi samurai adalah jabatan di dalam kekaisaran. Dengan
mendapatkan jabatan tersebut, samurai dapat dekat dengan lingkungan
bangsawan dan kekaisaran. Kedua hal ini menjadi dasar penting bagi
para samurai yang kelak akan memimpin Jepang.
Salah satu kisah tentang peran dan pengaruh samurai dalam institusi
kekaisaran adalah ketika Shirakawa Tenno menggunakan kekuatan
para samurai untuk mengatasi pemberontakan di wilayah Utara Jepang
pada akhir abad kesepuluh. Pada saat itu, pemberontakan di wilayah
utara Jepang menjadi ancaman serius bagi pemerintahan Shirakawa
Tenno. Oleh karena itu, ia meminta bantuan dari Minamoto no
Yoshiie, seorang samurai terkenal pada masa itu, untuk menghentikan
pemberontakan tersebut.
98 | MG. Amanullah
Yoshiie berhasil mengatasi pemberontakan dengan strategi perangnya
yang ahli. Keberhasilan Yoshiie dalam menumpas pemberontakan ini
memberikan dampak positif pada pemerintahan Shirakawa Tenno dan
memperkuat posisi kekaisaran. Selain itu, kesuksesan Yoshiie juga
berdampak penting dalam sejarah Jepang, yaitu meningkatkan
pengaruh samurai dalam politik dan membuka jalan bagi kelas
samurai untuk menjadi kekuatan yang lebih besar dalam masyarakat
Jepang. Namun, Shirakawa Tenno tidak memberikan hadiah tanah
yang dijanjikan kepada Yoshiie, meskipun telah berhasil menumpas
pemberontakan di utara Jepang.
Keluarga Minamoto merasa bahwa prestasi mereka tidak dihargai dan
dibalas dengan setimpal. Kekecewaan Yoshiie terhadap keluarga
Minamoto semakin memburuk ketika putranya, Yoshichika,
menggantikannya setelah Yoshiie meninggal dunia. Khawatir akan
balas dendam dari kubu Minamoto, Shirakawa Tenno memutuskan
untuk menyewa samurai kuat dari klan Taira bernama Masamori.
Tidak dapat dihindari, pertempuran antara klan Minamoto dan klan
Taira pun terjadi. Pasukan Masamori berhasil mengalahkan pasukan
Yoshichika dan meraih kemenangan. Sebagai imbalan atas
keberhasilannya menghadapi Yoshichika, Shirakawa Tenno
memberikan hadiah berupa tanah dan jabatan yang besar kepada
Masamori. Namun sayangnya, keberhasilan Masamori tidak bertahan
lama karena ia kemudian diserang oleh pasukan Minamoto dan
akhirnya tewas.
Konflik antara tenno versus klan samurai serta antara klan samurai itu
sendiri menunjukkan pengaruh yang semakin meningkat dari para
samurai dalam sistem kekaisaran Jepang pada masa Heian. Meskipun
mereka menjadi kekuatan penting dalam menjaga keamanan negeri,
namun kekuatan politik mereka juga semakin kuat dan dapat
mempengaruhi keputusan-keputusan yang dilakukan oleh pihak
kekaisaran. Dampaknya akan terasa dalam perkembangan politik
Jepang di masa depan yaitu saat klan Minamoto berhasil mengambil
alih kendali Jepang dan mendirikan Keshogunan Kamakura pada abad
ke-12.
Sejarah Jepang | 99
Perselisihan Akhir Heian
Perang Hogen 保元の乱 1156
Institusi kaisar di zaman Heian di Jepang, seperti dijelaskan
sebelumnya terbagi menjadi dua, yaitu kaisar dan wali kaisar. Kaisar
berfungsi sebagai boneka seremonial, sedangkan wali kaisar atau
joukou menjadi pengendali politik utama yang tinggal di istana Utara
(In). Kedua institusi ini dibagi agar kegiatan politik praktis dapat
dijalankan tanpa diganggu oleh seremonial kekaisaran. Meskipun
demikian, perselisihan kerap terjadi antara kaisar dan wali kaisar atau
pejabat istana di sekitarnya dalam menentukan kebijakan, suksesi, dan
lain sebagainya.
Perselisihan terbesar dalam kekasisaran Heian dimulai misalnya ketika
terjadi konflik antara Go-Shirakawa Tenno versus Sutoku Tenno
dalam hal suksesi tenno berikutnya. Sebelumnya Toba Tenno, kaisar
Jepang ke 74 yang bertahta dari 1107-1123, memiliki tiga anak, yaitu
Go-Shirakawa, Konoe, dan Sutoku. Saat Sutoku menjabat tenno,
ayahnya Toba menjadi wali tenno dan di tengah jalan memaksa
Sutoku menyerahkan jabatan tenno ke adiknya yaitu Konoe yang
berasal dari lain ibu. Sutoku sendiri kemudian dijadikan wali tenno. Di
luar dugaan Konoe tenno yang baru saja diberi kesempatan menjabat
tenno tidak hidup lama, sehingga ketika ia mangkat, jabatan kaisar
menjadi kosong.
Situasi ini menjadi sumber perselisihan dalam istana, bahkan antar
ayah-anak, antar saudara yang sebenarnya masih dalam ikatan darah.
Kaisar dan wali kaisar serta pejabat istana lainnya memiliki
pandangan yang berbeda-beda tentang siapa yang harus menjadi
pengganti Konoe tenno. Wali tenno Toba yang telah menjadi pendeta
Buddha lebih memilih putranya yang lain yaitu, Go-Shirakawa untuk
menggantikan Konoe daripada Sutoku. Sementara itu, Sutoku yang
adalah wali tenno yang berkuasa menginginkan posisi tersebut
diberikan kepada putranya yang bernama Shigehito. Namun GoShirakawa akhirnya tetap naik tahta, dan hal ini membuat Sutoku
merasa terhina dan marah.
Dalam perjalanannya Toba tenno mangkat, maka konflik suksesi
antara wali tenno Sutoku dan Go-Shirakawa yang menjabat sebagai
100 | MG. Amanullah
tenno tidak terhindarkan. Dalam konflik ini baik kaum bangsawan
maupun kelompok samurai terpecah menjadi dua. Kedua belah pihak
sama-sama meminta bantuan (menyewa) samurai yang terkuat saat itu
yaitu dari klan bernama: Taira dan Minamoto.
Go-Shirakawa meminta bantuan pada Taira no Kiyomori dan
Minamoto no Yoshitomo, sedangkan Sutoku meminta bantuan pada
samurai Taira no Tadamasa dan Minamoto no Tameyoshi. Sementara
itu bangsawan juga terpecah yang mana Fujiwara no Tadamichi, putra
pertama bangsawan Fujiwara no Tadazane, memihak Go-Shirakawa,
sementara adik laki-lakinya yaitu Fujiwara no Yorinaga memihak
Sutoku. Terjadilah perseteruan antara dua belah pihak yang bila
dipetakan didapatkan bagan seperti berikut ini:
Konflik ini akhirnya memuncak dengan terjadinya Perang Hogen 28
Juli 1156. Dua kubu yang berlawanan, yang masing-masing didukung
oleh klan samurai yang berbeda, saling bertempur di Kyoto pada 28
Juli 1156. Kubu kaisar Go-Shirakawa melancarkan serangan
mendadak ke kubu Kaisar Sutoku karena dia telah diberi tahu tentang
potensi diserang terlebih dahulu.
Di pihak Sutoku, Minamoto no Tametomo (putra Minamoto no
Tameyoshi dan adik laki-laki Yoshitomo) menyarankan agar serangan
dilakukan malam di sebuah istana musuh, tetapi Fujiwara no Yorinaga
menolak strategi ini. Ternyata musuh mereka Minamoto no
Yoshitomo menyarankan hal yang sama, dan disetujui oleh kubunya.
Sejarah Jepang | 101
Oleh karena itu, pada tanggal 29 Juli 1156, periode Hogen, Kiyomori
dan Yoshitomo memimpin 600 kavaleri menyerang Sutoku di
Pengepungan Shirakawa-den. Kiyomori menyerang gerbang Barat
yang dijaga oleh Tametomo, namun Tametomo berhasil
mempertahankannya dengan keahlian memanahnya yang luar biasa
sehingga pasukan Kiyomori bisa dipaksa mundur. Meski demikian
kubu Tametomo akhirnya kalah.
Kemudian Minamoto no Yoshitomo menyerang Minamoto no
Tametomo tetapi dia dapat dipukul mundur. Samurai pendukung
Sutoku tenno berjuang keras, dan pertempuran sengit berlanjut.
Yoshitomo membakar istana musuh dan pasukan samurai pendukung
Sutoku dapat dikalahkan. Go-Shirakawa yang memenangkan konflik
dengan Sutoku lalu turun tahta namun tetap menjalankan kekuasaan
kekaisaran dari balik layar, dengan mengatur jabatan lima kaisar yaitu:
Kaisar Nijou, Kaisar Rokujou, Kaisar Takakura, Kaisar Antoku, dan
Kaisar Go-Toba. Namun pengaruhnya berhenti ketika ia mangkat pada
tahun 1192. Sutoku tenno sendiri dibuang ke Provinsi Sanuki,
Shikoku. Fujiwara no Yorinaga tewas dalam pertempuran, dan
Minamoto no Tameyoshi dan Taira no Tadamasa dieksekusi.
Minamoto no Tametomo selamat dari pertempuran dan terpaksa
melarikan diri. Minamoto no Yoshitomo menjadi kepala klan setelah
kematian ayahnya dan bersama dengan Taira no Kiyomori, menjadi
kekuatan politik baru yang besar di Heian.
Perang Hogen adalah peristiwa penting dalam periode Heian, karena
menandai pertama kalinya prajurit samurai digunakan dalam
pertempuran skala besar. Hal Itu juga menandai awal dari persaingan
dua klan samurai terkuat masa itu yaitu: Klan Taira dan Minamoto,
yang nantinya akan menyebabkan perang yang lebih besar, perang
Heiji dan Genpei beberapa tahun kemudian.
Persaingan dua klan samurai Taira dan Minamoto menandai
bergesernya konflik yang tadinya antar bangsawan dalam suksesi
kaisar, kali ini antar samurai yang sebelumnya adalah pihak yang
diminta dukungan militernya. Dalam perang Hogen masing-masing
klan samurai pecah dengan mendukung tenno yang berbeda. Hal
semacam ini juga terjadi pada konflik-konflik setelahnya.
102 | MG. Amanullah
Taira no Kiyomori muncul sebagai sosok yang kuat setelah Perang
Hogen, dan dia menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh pada
periode akhir Heian. Meski perang Hogen dimenangkan kubu GoShirakawa, namun tidak mengakhiri perebutan kekuasaan antara
kedua bersaudara tersebut. Konflik, intrik, dan persaingan akan terus
berlanjut selama bertahun-tahun, yang pada akhirnya akan
menyebabkan perang baru yaitu Heiji dan Genpei beberapa tahun
kemudian.
Konflik antara Sutoku dan Go-Shirakawa merupakan cerminan dari
perubahan politik dan sosial yang lebih luas yang terjadi di Jepang
pada saat itu, dan merupakan momen penting dalam sejarah Jepang.
Titik ini juga menandai masuknya klan baru yaitu Taira dalam
lingkaran kekasisaran Heian.
Perang I Taira vs Minamoto (Perang Heiji) 1159
Pasca perang Hogen, kekaisaran Heian menjadi semakin kacau karena
perebutan kekuasaan antar keluarga aristokrat. Go-Shirakawa tenno
yang sebelumnya memimpin kaisar dan terlibat dalam perang,
mengundurkan diri dan menyerahkan tahta pada putranya, Nijo. GoShirakawa menjadi wali tenno dan mengendalikan institusi kaisar dari
balik layar, yaitu di biara. Namun, kekuasaannya tidak selalu diakui,
sehingga memicu perselisihan baru antara keluarga Fujiwara lainnya,
terutama yang pada perang Hogen mendukung kubu Sutoku Tenno.
Perselisihan ini misalnya terjadi antara bangsawan klan Fujiwara
bernama Fujiwara no Michinori (Shinzei) dan Fujiwara Nobuyori
dalam memperebutkan pengaruh dalam institusi kaisar pada tahun
1158. Fujiwara no Michinori bersekutu dengan Go Shirakawa tenno
dan samurai Taira no Kiyomori, sementara Fujiwara Nobuyori
bersekutu dengan Nijo tenno dan samurai Minamoto no Yoshitomo.
Kedua belah pihak saling memperebutkan pengaruh, namun situasi
semakin buruk ketika Taira no Kiyomori melakukan ziarah ke Kuil
Kumano. Saat Taira no Kiyomori tidak berada di istana, Minamoto no
Yoshitomo dan Fujiwara Nobuyori merasa mendapat kesempatan
untuk melakukan pemberontakan dengan mengisolasi Kaisar Nijo dan
menculik ayahnya Kaisar Go Shirakawa. Pada saat kaisar Nijo dan
walinya yaitu Go Shirakawa berada di kubu Minamoto no Yoshitomo,
ia memanfaatkan situasi ini dengan memasukkan kerabatnya
Sejarah Jepang | 103
menduduki birokrasi istana selama beberapa bulan karena pemberi
legitimasi ada di pihaknya.
Saat Taira Kiyomori kembali ke Heian, ia menyusun kekuatan namun
tidak langsung menyerang kubu Yoshitomo karena dua kaisar ada di
pihak Yoshitomo. Ia kawatir dituduh sebagai pemberontak karena
tidak cukup legitimasi untuk menyerang kubu Yoshitomo. Keberadaan
kaisar tetaplah penting dan menjadi acuan kebenaran. Ia berpura-pura
menyerah pada Yoshitomo, mengumpulkan lagi simpatisan dari
kalangan bangsawan dan samurai dan mencoba merebut kembali Nijo
tenno dan Go Shirakawa wali tenno.
Penculikan Nijo Tenno oleh pasukan Taira no Kiyomori
Begitu tiba timing yang tepat, pasukan Taira menyerang istana Nijo
tenno dengan sebelumnya melakukan pembakaran untuk mengalihkan
perhatian pasukan Yoshitomo. Di saat lengah, Taira menculik Nijo
tenno dengan menyamarkan sebagai perempuan dengan dinaikkan
kereta tandu. Setelah Nijo tenno dan Go Shirakawa wali tenno di
pihaknya, barulah Taira mengumumkan serangan terbuka pada
Minamoto Yoshitomo karena telah mendapat keabsahan dari kaisar.
Dua kepala samurai yang berada pada kubu yang sama saat perang
Hogen 1156 kali ini saling berhadap-hadapan.
104 | MG. Amanullah
Terjadilah perang Heiji pada tahun 1159 antara pasukan Taira no
Kiyomori dan pasukan Minamoto no Yoshitomo. Perang Heiji
berlangsung selama beberapa bulan, dimulai pada bulan Januari 1159
dan berakhir pada bulan Maret. Pertempuran sengit terjadi di sekitar
Kyoto dan Nara, termasuk di Istana Nijo, yang menjadi markas besar
pasukan Minamoto Yoshitomo. Selama perang, pasukan Taira no
Kiyomori berhasil mengalahkan pasukan Minamoto Yoshitomo.
Yoshitomo sendiri berhasil melarikan diri, tetapi kemudian ditangkap
dan dihukum mati oleh Taira no Kiyomori. Anak-anak Yoshitomo
yang masih hidup, termasuk Minamoto no Yoritomo yang kelak
menjadi shogun, dan adiknya Minamoto no Yoshitsune yang
keduanya masih anak-anak, dibuang ke pulau Izu. Sebagai balas jasa,
Taira no Kiyomori sendiri dianugrahi gelar "daijodaijin" atau perdana
menteri di bawah kaisar pada tahun 1167. Dari sinilah pintu masuk
Taira menguasai institusi kekaisaran Jepang sebagai seorang samurai.
Taira no Kiyomori yang mengalami masa eforia tidak mereformasi
sistem aristokrasi kekaisaran Heian. Sebaliknya, ia menggunakan
sistem ini apa adanya untuk kepentingan klannya sendiri. Selama dua
puluh tahun dari tahun 1160 hingga 1180, Taira no Kiyomori dan klan
Taira melakukan kolusi dan nepotisme dengan cara menikahkan
keturunannya dengan tenno meniru apa yang dilakukan oleh keluarga
bangsawan Fujiwara. Hal ini tidak disukai oleh banyak pihak terutama
para bangsawan istana. Seorang samurai yang dahulunya adalah
pelayan bangsawan tiba-tiba punya hak prerogratif setara bangsawan
istana. Namun, pemerintahan Taira tidak berlangsung lama. Pada
tahun 1180, Minamoto no Yoritomo yang telah cukup dewasa kembali
ke kekaisaran dan memimpin pemberontakan melawan Taira no
Kiyomori. Pemberontakan inilah yang menjadi awal dari Perang
Gempei, keruntuhan klan Taira.
Perang II Taira vs Minamoto (Genpei no Ran) 1180-1185
Tindakan Taira no Kiyomori dalam memonopoli kekaisaran dengan
kroninya dan meniru apa yang dilakukan klan Fujiwara tidak disukai
kalangan bangsawan karena dianggap terlalu ikut campur dalam
segala urusan kekaisaran, padahal dia tak lebih hanya sekedar samurai.
Go Shirakawa, yang selama ini mendukung Taira, mulai merasa tidak
nyaman dengan campur tangan Taira yang terlalu jauh dalam urusan
kekaisaran. Hal ini memicu persekongkolan pada tahun 1177 untuk
Sejarah Jepang | 105
menjatuhkan Taira no Kiyomori. Ketika persekongkolan tercium oleh
Taira, kaisar Go Shirakawa yang selama ini mendukungnya justru
dihukum dan institusi wali kaisar (In) dibubarkan. Hal ini makin
menyulut kebencian pada Taira dan hal itu memuncak pada tahun
1180 takala Pangeran Mochihito dan Minamoto no Yorimasa
mencoba menyerang Taira Kiyomori namun gagal dan keduanya mati.
Keadaan ini terdengar oleh klan Genji (Minamoto no Yoritomo) yang
dahulu saat perang Heiji masih kanak-kanak dan diasingkan. Mereka
yang telah beranjak remaja dewasa menjadikannya kesempatan untuk
membalas dendam saat kekalahan dalam perang Heiji. Mereka
menuntut membalas dendam dan dibantu oleh Hojo Tokimasa, klan
dari kawasan Utara. Dalam pertempuran dengan kubu Taira di
Ishibashiyama pada tahun 1180, mereka sempat kalah. Namun,
Minamoto berhasil mendirikan basis pertahanan di Kamakura dekat
Tokyo saat ini. Adik Yoritomo, Minamoto Yoshitsune, berhasil
melarikan diri dari Gunung Kurama dan bergabung dengan kubu
Genji.
Pada tahun 1183, sepupu Yoritomo, Minamoto (Kiso) Yoshinaka
berhasil mengalahkan Taira di Kurikara dan memasuki Heian setelah
Taira melarikan diri ke Kyushu bersamanya pangeran Antoku yang
masih kecil. Yoshinaka dikenal sebagai seorang panglima perang yang
berani dan pandai dalam berbagai jenis pertempuran. Ia awalnya
106 | MG. Amanullah
bekerja untuk pamannya, Minamoto no Yoshitomo, tetapi setelah
Yoshitomo dieksekusi oleh klan Taira pada tahun 1160, Yoshinaka
melarikan diri ke wilayah utara Jepang. Di wilayah utara, Yoshinaka
memimpin pasukan Minamoto dan berhasil merebut kembali beberapa
kota dari klan Taira.
Meskipun Minamoto Yoshinaka berhasil mengalahkan Taira, ia tidak
memiliki keinginan untuk terlibat dalam intrik kekaisaran, hanya
memukul mundur pasukan Taira saja. Namun, hal ini ternyata
membuat marah sang kakak yaitu Minamoto no Yoritomo. Oleh
karena itu, Go Shirakawa menyuruh Yoritomo sendiri ke Kyoto untuk
mengusir sepupunya, Yoshinaka. Namun, Yoritomo tidak berangkat
sendiri, justru menyuruh adiknya, Minamoto Yoshitsune, yang dikenal
sebagai pemberani, untuk menghabisi sepupunya, Yoshinaka di sungai
Ujigawa.
Di sisi lain, klan Taira membangun kembali kekuatannya saat
Yoritomo menundukkan Yoshinaka. Pada tahun 1184, Yoshitsune
berhasil mengalahkan Taira di Ichinotani, tetapi armada lautnya
mundur ke Yashima. Pada tahun 1185 terjadi pertempuran terakhir
antara Yoshitsune dan kubu Taira, yang kali ini terjadi di laut.
Pertempuran ini berlangsung di pantai Dan-no-ura selat Shimonoseki,
yang kemudian dikenal dengan nama Pertempuran Genpei.
Pertempuran ini merupakan pertempuran laut terbesar di Jepang pada
masa itu. Pada Pertempuran Genpei, pasukan Taira yang dipimpin
oleh Taira no Kiyomori dikalahkan oleh pasukan Genji yang dipimpin
oleh Minamoto no Yoshitsune. Banyak dari anggota klan Taira yang
memilih untuk bunuh diri, termasuk Kaisar Antoku yang masih kecil,
yang diajak bunuh diri oleh neneknya dengan cara menceburkan diri
ke laut. Kepiting Heikigani diyakini reinkarnasi prajurit Taira yang
kalah di Dan no Ura. Cangkang kepiting itu menyerupai wajah
manusia yang dianggap menyerupai wajah Taira no Kiyomori.
Pertempuran di Dan no Ura Shimonoseki
Kekalahan klan Taira dalam Pertempuran Genpei menandai
berakhirnya dominasi mereka terhadap institusi kekaisaran, dan
dimulainya dominasi klan baru yaitu Minamoto atas kekaisaran.
Setelah kemenangan ini, Minamoto no Yoritomo nyaris tak ada lawan
sepadan dalam menguasai kekaisaran dan merebut kekuasaan politik
Sejarah Jepang | 107
kekaisaran. Yoritomo memaksa Go Shirakawa tenno untuk
memberikan kekuasaan mendirikan pemerintahan militer oleh
Samurai di Kamakura, yang kemudian dikenal sebagai Kamakura
Bakufu pada tahun 1185. Go Shirakawa yang sudah tak memiliki
kekuatan tidak ada pilihan selain menerima tuntutan Minamoto. Hal
ini menandai secara de-facto hilangnya kedaulatan kaisar dan
berpindah ke tangan tenno. Dengan berdirinya Kamakura Bakufu,
Jepang memasuki periode baru dalam sejarahnya, yaitu zaman
Kamakura.
Perseteruan Minamoto no Yoritomo dan Minamoto no
Yoshitsune: Intrik Adik Kakak
Perseteruan antara Minamoto no Yoritomo dan Minamoto no
Yoshitsune adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Jepang
pada abad ke-12. Perseteruan antara Yoritomo dan Yoshitsune
bermula dari peristiwa Perang Gempei 1180 - 1185, yaitu perang
saudara antara dua klan samurai yang bersaing untuk memperebutkan
kekuasaan di Jepang, yaitu klan Taira dan Minamoto. Pada awalnya,
Taira berhasil menguasai kekuasaan di Jepang, tetapi kemudian
berhasil dikalahkan oleh pasukan Minamoto yang dipimpin oleh
Yoshitsune. Setelah berhasil mengalahkan Taira, Yoshitsune kembali
ke Kyoto dan diberi hadiah tempat kedudukan pada kekaisaran Go
Shirakawa serta diberikan hadiah tanah pada pengikutnya sebagai
balasan dukungan selama perang.
Yoshitsune dapat dikatakan merupakan salah satu panglima perang
yang sangat sukses dalam perang Gempei. Dalam perang tersebut,
Yoshitsune memimpin pasukan Minamoto yang berhasil mengalahkan
pasukan Taira dalam Pertempuran Dan-no-ura, yang merupakan
pertempuran terakhir dalam perang saudara tersebut. Meskipun ia
berhasil mengalahkan Taira, tindakannya setelah perang ternyata tidak
disukai oleh kakaknya Minamoto no Yoritomo. Yoritomo merasa
cemburu dan mencurigai Yoshitsune, meski ia adalah adiknya lain ibu
dan telah berjasa mengalahkan klan Taira. Yoritomo khawatir bila
suatu saat adiknya akan punya pengaruh besar di kekaisaran daripada
dirinya. Selain itu, hak untuk memberi tanah dianggap sebagai hak
prerogatif-nya. Hal ini tidak disukai Yoritomo yang berada di
Kamakura, karena tugasnya hanya mengalahkan Taira dan tidak lebih
dari itu. Selain itu, tiga benda suci kekaisaran tidak diserahkan pada
108 | MG. Amanullah
Yoritomo, sehingga menimbulkan kecurigaan akan direbutnya
kekuasaan kekaisaran oleh Yoshitsune.
Saat Yoshitsune kembali ke Kamakura, sebelum memasuki kota, ia
diusir oleh Yoritomo sehingga terpaksa kembali ke Kyoto. Namun,
Yoshitsune sebaliknya justru mencari bantuan ke keluarga Fujiwara
Hidehira di Tohoku. Yoritomo memaksa kekaisaran untuk menangkap
Yoshitsune karena menganggapnya melanggar titahnya. Permohonan
ini ternyata disetujui kekaisaran Kyoto. Yoritomo mengutus samurai
sekutu dari klan Hojo bernama Hojo Tokimasa untuk menyerang
Yoshitsune. Dalam perjalanan menuju tempat persembunyian
Yoshitsune, Hojo Tokimasa dan pasukannya menemukan keluarga
Fujiwara Yasuhira yang mendukung Yoshitsune dan meminta
bantuannya. Mereka menyerang Fujiwara Yasuhira dan memaksanya
untuk menyerahkan Yoshitsune.
Pada tahun 1189, Yoshitsune dikhianati dan diserang oleh Fujiwara
Yasuhira di tempat persembunyiannya. Fujiwara Yasuhira adalah anak
dari Fujiwara Hidehira yang mendukung Yoshitsune. Yasuhira ditekan
oleh Yoritomo untuk menghabisi Yoshitsune dan tak ada pilihan
selain menyerah. Fujiwara Yasuhira dapat mengalahkan Yoshitsune
dalam pertempuran dan membunuh pengikut setia Yoshitsune, Benkei.
Setelah kekalahan Yoshitsune, ia dipaksa untuk melakukan bunuh diri
oleh pengikutnya yang tersisa.
Ada beberapa versi tentang bagaimana kematian Yoshitsune terjadi.
Beberapa sumber mengatakan bahwa ia ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati, sementara yang lain mengatakan bahwa ia melarikan
diri ke laut dan mati karena tenggelam. Yang pasti, kematian
Yoshitsune adalah akhir dari pemberontakan Fujiwara dan Taira, serta
berakhirnya masa perang saudara di Jepang.
Yoritomo berhasil menguasai Jepang dan memerintah melalui bakufu
di Kamakura. Sejak itulah kekaisaran dan Jepang di bawah Minamoto
Yoritomo, seorang samurai dari klan Genji, yang nantinya akan
mendirikan pemerintahan militer (samurai) atau bakufu di Kamakura.
Minamoto Yoritomo mengangkat dirinya sendiri sebagai penguasa
politik Jepang bergelar: "Seiitai Shogun" (panglima militer tertinggi)
pasca kematian Kaisar Go-Shirakawa pada tahun 1192. Sejak itu,
Sejarah Jepang | 109
Jepang memasuki periode baru yang berbeda secara drastis dalam hal
struktur politik dan budaya dari zaman sebelumnya. Jepang terbelah
dua, pemerintahan kekaisaran di Heian dan pemerintahan militer ala
samurai di Kamakura.
Namun, meskipun Yoritomo telah berhasil menguasai Jepang dan
mendirikan bakufu di Kamakura, dia masih memiliki tantangan besar
dalam menjaga kestabilan politik dan keamanan negara. Salah satu
tantangan terbesar yang dihadapinya adalah melawan pasukan Kaisar
Go-Shirakawa yang memprotes pengangkatannya sebagai Seiitai
Shogun dan menganggapnya sebagai pengkhianat.
Konflik antara bakufu dan kekaisaran ini mengancam stabilitas politik
Jepang selama beberapa dekade. Selain itu, dalam sistem politik baru
ini, samurai menjadi kelas yang dominan di Jepang. Mereka memiliki
hak istimewa dan priviledge, seperti memiliki tanah dan mengenakan
senjata, sementara rakyat biasa tidak memiliki hak-hak tersebut.
Namun, ini tidak berarti bahwa kehidupan samurai selalu mudah.
Mereka harus siap untuk berperang setiap saat dan mempertahankan
kehormatan dan martabat klan mereka.
Kekuasaan Yoritomo dan pengkhianatan terhadap Yoshitsune
menunjukkan betapa kompleksnya politik di Jepang pada zaman itu.
Selain itu, perseteruan antara kakak dan adik yang sama-sama
memiliki prestasi dalam perang menunjukkan bahwa kekuasaan bisa
menjadi pemicu konflik antaranggota keluarga, bahkan dalam budaya
yang sangat terikat dengan kekerabatan seperti Jepang pada zaman itu.
Meskipun demikian, kisah perseteruan antara Yoritomo dan
Yoshitsune masih menjadi bagian penting dalam sejarah Jepang dan
menjadi inspirasi untuk banyak karya sastra dan seni di masa depan.
Budaya Khas Jepang Pada Periode Heian (Kokufuu Bunka
/国風文化)
Salah satu ciri penting pada periode Heian adalah munculnya budaya
khas Jepang yang dikenal sebagai Kokufuu Bunka. Budaya ini
mencakup kesenian tradisional yang lahir pada saat itu. Perubahan
kebijakan di kekaisaran Heian memiliki peran penting dalam
perkembangan Kokufuu Bunka di Jepang. Pada awal periode Heian,
110 | MG. Amanullah
hubungan antara Jepang dan Dinasti Tang di Tiongkok sangat erat,
dengan banyak pertukaran budaya dan perdagangan antara kedua
negara.
Salah satu bentuk pertukaran yang berlangsung selama beberapa abad
adalah pengiriman “Misi resmi ke Tang” dari Jepang ke Tiongkok.
Namun, pada tahun 894, Kaisar Uda dari Jepang secara resmi
menghentikan misi tersebut. Keputusan ini didasarkan pada beberapa
faktor, termasuk krisis keuangan di Jepang dan situasi politik yang
tidak stabil di Tiongkok. Pada saat itu, Jepang sedang menghadapi
masalah keuangan dan tidak mampu lagi membiayai misi tersebut
dengan biaya tinggi. Selain itu, Dinasti Tang sendiri sedang
menghadapi penurunan kekuasaan dan digantikan oleh Dinasti Liang.
Hal ini menyebabkan ketidakstabilan politik di Tiongkok dan
membuat misi tersebut tidak lagi aman atau efektif.
Kaisar Uda (kaisar ke-59) memutuskan untuk menghentikan misi
tersebut dan fokus pada reformasi politik dan budaya dalam negeri di
Jepang. Dengan demikian, secara resmi Jepang berhenti menjadi
“murid” dari Tiongkok.
Kekaisaran Heian meyakini bahwa pengetahuan yang telah diperoleh
dari Tiongkok selama 200-300 tahun sejak zaman Yamato sudah
cukup dan dapat dikembangkan secara mandiri. Meskipun begitu,
hubungan antara Jepang dan Tiongkok terus berlanjut melalui
pertukaran perdagangan dan budaya, meskipun tidak lagi melibatkan
misi resmi. Penghentian misi ke Tang pada tahun 894 menandai akhir
dari era hubungan erat antara Jepang dan Tiongkok, serta menandakan
pergeseran fokus Jepang ke dalam negeri. Kekaisaran Heian percaya
bahwa apa yang telah dipelajari dari Tiongkok sudah memadai dan
dapat dikembangkan secara independen. Hasil pengembangan budaya
yang diimpor dari Tiongkok kemudian diadaptasi dan diakulturasi
dengan budaya lokal disebut “Kokufuu bunka".
Kokufu Bunka adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
budaya yang berkembang di ibu kota Heian-kyo (sekarang Kyoto)
pada zaman Heian di Jepang. “Kokufu bunka” (国風文化) adalah
istilah dalam bahasa Jepang yang secara leksikal berarti “budaya gaya
Sejarah Jepang | 111
nasional” atau “budaya gaya Jepang". Istilah ini merujuk pada gaya
seni dan budaya yang dianggap sebagai ciri khas Jepang, tumbuh dan
berkembang selama periode Heian (794-1185). Budaya ini mencakup
sastra, seni, arsitektur, serta gaya hidup aristokrasi Jepang pada masa
itu.
Kokufu Bunka, juga dikenal sebagai “budaya ibu kota,” berkembang
dan dipraktikkan terutama oleh elit dan aristokrasi di pusat kekuasaan
politik dan budaya Jepang pada zaman Heian. Meskipun masih terlihat
pengaruh budaya Tiongkok, seiring berjalannya waktu, budaya Jepang
semakin menunjukkan karakteristiknya sendiri yang berbeda.
Kokufu Bunka memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat
Heian. Bidang-bidang seperti arsitektur, kesusastraan, pendidikan,
seni lukis, hiburan, musik, sistem tulisan, dan lain-lain semuanya
berkembang dalam Kokufu Bunka. Arsitektur adalah salah satu bentuk
seni dan kebudayaan yang penting pada masa Heian. Pada saat itu,
arsitektur Kokufu Bunka sangat dipengaruhi oleh gaya arsitektur
Tiongkok namun tetap memiliki ciri khas budaya Jepang. Salah satu
contoh arsitektur Kokufu Bunka yang terkenal adalah istana
kekaisaran Heian yang disebut “Heiankyou Gosho.”
Istana ini dibangun pada abad ke-8 oleh Kaisar Kammu dan menjadi
pusat pemerintahan dan budaya Jepang selama beberapa abad
berikutnya. Arsitektur istana Heian mencerminkan pengaruh kuat dari
gaya arsitektur Tiongkok, terutama dalam penggunaan atap bertingkat
dan dekorasi dinding. Namun demikian, istana ini juga memiliki ciri
khas Jepang, seperti penggunaan kayu besar dengan atap bertingkat,
atap yang terbuat dari jerami atau genting, dan beberapa tingkat yang
saling menyatu. Semua ini menciptakan kesan yang sangat megah.
"Ogaku Monjo” merupakan area di dalam istana yang digunakan
untuk acara seni dan budaya. Pada zaman Heian, anggota keluarga
kekaisaran akan duduk di sini sambil menikmati pemandangan taman
dan menulis waka (puisi pendek).
Selain itu, eksterior dan fasad bangunan terbuat dari kayu dan dihiasi
dengan ukiran halus serta ornamen batu atau kayu, seperti pilar yang
dihiasi dengan motif hiasan pahatan. Di dalam istana terdapat berbagai
112 | MG. Amanullah
ruangan luas dan mewah, dengan dinding dan langit-langit yang
dihiasi lukisan-lukisan indah dan patung-patung halus. Salah satu
ruangan yang terkenal adalah ruangan Matsu no ma atau “ruangan
pinus", yang didekorasi dengan lukisan pinus oleh pelukis ternama
pada masa itu.
Selain bangunan utama, kompleks istana Heian juga memiliki taman
Heian yang indah. Taman ini meliputi kolam, jembatan, serta pohonpohon cantik yang memberikan suasana artistik. Saat ini istana asli
sudah tidak ada lagi, namun banyak bangunan dan taman yang telah
direkonstruksi dapat ditemukan di kompleks tersebut.
Selain Istana Kekaisaran Heian, ada juga banyak kuil, kuil Shinto, dan
bangunan lainnya yang dibangun pada zaman Heian dengan gaya
arsitektur Kokufu Bunka. Beberapa contoh lain termasuk Kuil
Byodoin di Uji dan Kuil Todaiji yang sudah ada sejak zaman Nara.
Bangunan-bangunan ini mencerminkan keindahan dan kemegahan
dari arsitektur Kokufu Bunka, dengan penggunaan bahan-bahan alami,
desain yang artistik, dan proporsi yang seimbang.
Kuil Byodoin terletak di Uji, Prefektur Kyoto, Jepang. Kuil ini
terkenal karena keindahan bangunannya. Awalnya merupakan sebuah
vila yang dibangun oleh seorang bangsawan pada abad ke-10, kuil
Byodoin kemudian diubah menjadi sebuah kuil Buddha oleh Fujiwara
no Yorimichi pada tahun 1052. Gedung utama kuil adalah Amida Hall
yang menjadi ciri khasnya. Dibangun pada tahun 1053, gedung ini
awalnya berada di lokasi lain namun dipindahkan pada abad ke-13 ke
tempatnya sekarang di atas kolam yang mencerminkan bayangan
gedung tersebut, menciptakan efek visual bayangan yang indah.
Selama bertahun-tahun, kuil Byodoin mengalami kerusakan dan
direstorasi berkali-kali. Pada abad ke-16 selama periode perang
saengoku, hampir hancur total namun berhasil direnovasi pada abad
ke-17 dan masih dirawat dengan baik hingga saat ini.
Unsur asli Jepang dapat dilihat dari beberapa bagian seperti bentuk
atap. Atap kuil Byodoin memiliki ciri khas Jepang. Arsitektur Jepang
memiliki ciri khas yang berbeda dengan arsitektur Tiongkok. Salah
Sejarah Jepang | 113
satu perbedaannya adalah bentuk atap yang lebih tajam dan berbentuk
melengkung, yang dikenal sebagai atap karahafu (唐破風).
Kuil Byodoin menampilkan seni lukis yang terinspirasi oleh seni
Jepang klasik, berbeda dengan pengaruh seni lukis Tiongkok. Contoh
seni lukis khas Jepang adalah Yamato-e, yang menggambarkan
pemandangan alam seperti pegunungan, pohon, dan bunga-bunga.
Seni lukis ini sangat populer pada zaman Heian dan kerap digunakan
untuk menghiasi dinding-dinding kuil atau istana kekaisaran.
Di Kuil Byodoin, pintu gerbang memiliki ciri khas Jepang yang
berbeda dari arsitektur Tiongkok karena ditempatkan di tengah pagar
kuil, sedangkan dalam gaya Tiongkok mereka biasanya ditempatkan
di tepi pagar. Pintu gerbang di Kuil Byodoin juga dihiasi dengan
gambar-gambar terinspirasi dari seni lukis Jepang klasik.
Karya Sastra Zaman Heian
Pada zaman Heian banyak karya sastra yang dihasilkan. Ada beberapa
jenis karya sastra yang sangat terkenal dan populer pada saat itu,
seperti novel (monogatari), catatan harian (nikki), puisi/syair (waka),
puisi bersambung (renga), esai (zuihitsu), kisah perang (gunki
monogatari), dan puisi berbahasa Tiongkok (kanshi).
Novel atau monogatari adalah jenis sastra naratif Jepang yang
menceritakan cerita fiksi. Beberapa novel terkenal yang ditulis pada
zaman Heian adalah:
1. Tosa Nikki. Sebuah karya yang ditulis secara anonim oleh
seorang penyair Jepang abad ke-10 bernama Ki no Tsurayuki.
Karya ini dibuat selama 55 hari perjalanan dari provinsi Tosa
ke Kyoto pada tahun 935. Karya ini dianggap sebagai salah
satu contoh awal buku harian Jepang, yang berbeda dari
catatan resmi konvensional tentang urusan pemerintahan atau
keluarga.
2. Kagero Nikki. Sebuah karya yang dapat dikategorikan sebagai
sastra buku harian (nikki bungaku), dibuat sekitar tahun 974
pada periode Heian. Pengarangnya, Michitsuna, menggunakan
perpaduan puisi waka dan prosa untuk menggambarkan
dengan jelas kehidupan seorang wanita bangsawan di era
sejarah ini.
114 | MG. Amanullah
3. Genji Monogatari (Kisah si Genji) ditulis antara tahun 10081010. Ini merupakan salah satu novel klasik Jepang yang
dibuat oleh seorang perempuan bernama Murasaki Shikibu.
Kisah Genji ini menceritakan tentang kehidupan seorang
bangsawan bernama Hikaru Genji, serta cerita-cerita cinta dan
kehidupan di istana pada masa Heian.
4. Ise Monogatari (Kisah Ise). Berisi kumpulan puisi klasik
Jepang yang ditulis antara abad ke-10 dan awal abad ke-11.
Buku ini terdiri dari serangkaian puisi yang menceritakan
perjalanan seorang bangsawan ke kota Ise, di mana ia
mengalami berbagai cerita romantis dan pengalaman spiritual.
5. Taketori Monogatari atau “Kisah Gadis Bambu” adalah
sebuah cerita legenda Jepang yang berasal dari abad ke-10
hingga ke-11. Cerita ini menceritakan tentang seorang
pemuda bernama Katsushika yang menemukan seorang bayi
yang cantik tersembunyi dalam bambu. Kemudian,
Katsushika dan istrinya membesarkan bayi tersebut. Namun,
saat Kaguya-hime dewasa, dia menolak lamaran dari para pria
dan mengungkapkan bahwa dia sebenarnya berasal dari bulan
dan harus kembali ke bulan.
6. Kagero Nikki ditulis pada tahun 974 oleh Michitsuna no Haha.
Ia mencatat pengalaman hidupnya yang penuh dengan tragedi
dan kegagalan. Dia menuliskan rasa kecewanya terhadap
pernikahannya yang tidak bahagia dan hubungan yang buruk
dengan suaminya. Karya sastra ini menggambarkan kehidupan
seorang wanita bangsawan yang merasa kesepian dan tidak
bahagia
7. Sarashina Nikki (Catatan Harian Sarashina) adalah catatan
pribadi seorang perempuan tak dikenal yang ditulis pada awal
abad ke-11. Sarashina Nikki berisi catatan pengalaman hidup
dan perjalanan seorang wanita bernama Sugawara no Takasue
no Musume selama hidupnya,
8. Makura no Soshi. Ditulis sekitar tahun 1002 oleh Sei
Shōnagon, atau Permaisuri Teishi zaman Heian. Isinya berupa
kumpulan esai, anekdot, puisi, dan deskripsi yang
memberikan gambaran unik tentang kehidupan sehari-hari
Shonagon, mencakup berbagai topik mulai dari daftar pribadi
dan pemikiran hingga peristiwa di pengadilan dan pandangan
Sejarah Jepang | 115
orang-orang sezamannya. Ia mengkombinasikan elemen
pribadi dan sastra.
Waka adalah salah satu bentuk puisi klasik yang populer di Jepang.
Biasanya, waka terdiri dari 31 suku kata dengan pola 5-7-5-7-7.
Dalam bahasa Jepang klasik, waka juga disebut sebagai tanka. Puisi
ini kerap kali mengangkat tema tentang alam, musim, perasaan, dan
cinta. Pada zaman Heian (794-1185), waka digunakan sebagai bentuk
ekspresi sastra oleh kalangan aristokrat seperti kaisar dan kaum
bangsawan. Beberapa contoh karya waka pada masa itu antara lain:
1. Kokinshuu atau Kokin Wakashu diterbitkan pada tahun 905
dan penyusunnya tidak secara spesifik disebutkan. Ini adalah
salah satu antologi waka yang terkenal pada zaman Heian.
Kokinshū terdiri dari 1.111 puisi yang dibagi ke dalam 20
buku yang ditulis oleh berbagai penyair dari berbagai lapisan
masyarakat. Kumpulan puisi ini merupakan karya yang ditulis
dengan huruf kana terbesar pertama, dan dikompilasi oleh
penyair Ki Tsurayuki dan lainnya.
2. Kin'you Wakashuu adalah sebuah antologi waka kekaisaran
Jepang yang selesai ditulis pada tahun 1127. Antologi ini
terdiri dari sepuluh volume dengan total 716 puisi. Kaisar
Shirakawa meminta kepada Minamoto no Shunrai untuk
membuatnya.
Karakteristik khas dari karya sastra zaman Heian misalnya:
1. Gaya penulisan yang lebih subjektif dan romantis, dengan
fokus pada ekspresi emosi dan perasaan individu.
2. Menitikberatkan tema-tema seputar kehidupan sehari-hari,
seperti hubungan antara pria dan wanita, cinta, kesedihan, dan
kegembiraan.
3. Ditulisdan disusun dalam bentuk yang lebih pendek dengan
fokus utama pada ungkapan emosi dan perasaan pribadi.
4. Salah satu genre sastra yang sangat identik dengan Jepang
adalah “monogatari,” yaitu cerita panjang mirip novel yang
terdiri dari beberapa bagian. Contoh terkenal dari monogatari
di zaman Heian adalah Genji Monogatari oleh Murasaki
Shikibu.
116 | MG. Amanullah
5. Mencerminkan nilai-nilai dan tradisi yang khas dari Jepang,
seperti kehidupan di istana kekaisaran, pengaruh agama
Buddha, dan serangkaian upacara seni di istana.
6. Menonjolkan nilai-nilai estetika dan moral yang penting bagi
budaya Jepang, seperti keindahan, kesederhanaan, dan kasih
sayang. Melalui karya-karya tersebut, juga digambarkan
dengan sangat rinci kehidupan masyarakat Jepang pada masa
itu.
Budaya seni lukis pada zaman Heian di Jepang melibatkan beberapa
aliran seperti Yamato-e, Kara-e, Tosa, Rinpa, dan lukisan Buddha.
Seni lukis pada saat itu sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Buddha
sehingga tema-tema religius umum ditemukan dalam karya seni
tersebut. Lukisan juga digunakan sebagai medium untuk merekam
serta mengabadikan kehidupan sehari-hari, sejarah, dan mitologi
Jepang. Namun karena pelukis terbatas hanya dari kalangan istana
atau kuil maka tema lukisan didominasi oleh kehidupan sehari-hari
mereka.
Untuk menciptakan karya seni yang halus serta indah dalam teknik cat
air dan gofun (cat dari pigmen dan serbuk mutiara) digunakan dengan
mahir. Seni lukis pada zaman Heian juga mencerminkan kehidupan di
istana dan gaya hidup bangsawan, dengan menggambarkan tokohtokoh yang anggun dan pemandangan alam yang indah.
Selain itu, seni lukis pada zaman Heian juga menampilkan unsurunsur asing, terutama dari Dinasti Tang di Tiongkok, yang
mempengaruhi gaya dan teknik seni lukis Jepang. Para seniman pada
waktu itu, khususnya dari kalangan bangsawan, kerap
mengekspresikan perasaan mereka dalam karya seni dengan
menggunakan warna yang kuat dan memberikan penekanan pada
detail-detail tertentu. Meskipun dipengaruhi oleh unsur-unsur asing
dari Tiongkok, seniman Jepang berhasil menciptakan gaya dan teknik
unik mereka sendiri sehingga seni lukis Jepang pada saat itu menjadi
salah satu bentuk seni yang sangat dihargai dan terus berkembang di
masa-masa berikutnya.
Terdapat beberapa aliran seni lukis yang berkembang pada zaman
Heian. Beberapa di antaranya adalah:
Sejarah Jepang | 117
1. Gaya lukisan Yamato-e:
 Menggunakan cat air dan cat warna di atas kertas
dengan sapuan yang halus dan detail.
 Menggunakan teknik: “Tarashikomi” - meneteskan
cat yang lebih encer di atas lapisan cat kering untuk
mencapai efek transparansi.
 Mengangkat tema-tema Jepang seperti pemandangan
alam, kehidupan sehari-hari, mitologi, dan tokoh
terkenal.
 Pelukis terkenal: Kose Kanaoka, Tosa Mitsuoki, Tosa
Mitsunobu, Awataguchi Takamitsu.
2. Gaya lukisan Kara-e:
 Menggunakan cat air dan cat minyak di atas kertas
atau sutra.
 Elemen dekoratif: Bingkai dengan motif bunga, daun,
atau hiasan geometris.
 Isi lukisan: Adegan-adegan istana dengan tokoh-tokoh
elegan yang ditampilkan dengan detail halus dan
menggunakan warna-warna lembut.
 Pengaruh seni lukis Dinasti Tang dari Tiongkok
terlihat dalam gaya ini.
 Pelukis terkenal: Kose Kanaoka.
3. Gaya lukisan Tosa:
 Menggunakan cat air untuk menciptakan tampilan
yang halus. Lukisan kerap menggambarkan tokoh
bangsawan dan cerita-cerita mitologi.
 Tema utama: Kehidupan di istana termasuk upacaraupacara penting, pakaian bangsawan yang elegan
serta penggambaran tokoh-tokoh istana dengan gaya
yang indah.
 Teknik
khusus “karako” digunakan
untuk
memberikan detail dan presisi yang tinggi pada figurfigur kecil.
 Pelukis terkenal: Tosa Mitsunobu.
4. Aliran Buddha muncul dengan mengangkat tema-tema
agama Buddha, terutama gambaran dewa-dewi Buddha,
Bodhisattva, dan adegan kehidupan Budha. Lukisan-lukisan
ini kerap menggambarkan adegan-adegan kehidupan dan
118 | MG. Amanullah
cerita-cerita yang terkait dengan kitab-kitab suci Buddha. Ada
beberapa pelukis terkenal pada zaman Heian di Jepang,
misalnya, Kukai. Ia tidak hanya dikenal sebagai seorang
pendeta Buddha, tetapi juga sebagai seorang penulis, filosof,
ilmuwan, arsitek, dan seniman. Dia dijuluki “Bapak Kaligrafi
Jepang” karena sumbangsihnya dalam seni kaligrafi.
Meskipun tidak ada catatan yang menyatakan bahwa Kukai
secara langsung melukis gambar-gambar, dia terlibat dalam
desain dan pembuatan benda-benda seni seperti ukiran kayu,
patung Buddha, dan tempat suci. Meskipun tidak ada bukti
konkret mengenai karya lukisan dari Kukai sendiri, karyakarya kaligrafinya sangat dipuja pada masanya dan masih
menjadi sumber inspirasi bagi para seniman kaligrafi di
Jepang maupun di seluruh dunia.
Pada masa Heian di Jepang, kehidupan seni pertunjukan sangat erat
kaitannya dengan kehidupan keluarga bangsawan dan golongan elit
pada saat itu. Pertunjukan seperti gagaku (musik istana) dan bugaku
(tarian istana) biasanya hanya diselenggarakan di istana kekaisaran
atau tempat-tempat keagamaan yang dikunjungi oleh bangsawan dan
orang-orang penting pada masa itu. Pertunjukan ini kerap kali digelar
dalam rangka upacara keagamaan atau perayaan istimewa, dan
dianggap sebagai simbol status dan kemakmuran keluarga kerajaan
serta golongan elit.
Tetapi juga ada seni pertunjukan yang dapat dinikmati oleh orangorang biasa seperti sarugaku dan kusemai yang lebih terhubung
dengan kehidupan sehari-hari orang-orang biasa. Seni pertunjukan ini
kerap diadakan di kuil-kuil atau tempat umum, dan dihadiri oleh orang
dari berbagai lapisan masyarakat. Berikut adalah seni pertunjukan
yang berkembang pada zaman Heian:
1. Bugaku: seni pertunjukan yang berasal dari Tiongkok dan
diperkenalkan ke Jepang pada abad ke-7. Bugaku mencakup tarian,
musik, dan drama, dan dipentaskan di istana kekaisaran serta kuilkuil Buddha. Pertunjukan bugaku biasanya menampilkan kostum
yang indah, aksesori, serta gerakan yang serasi.
2. Sarugaku: seni pertunjukan yang berasal dari kalangan masyarakat
biasa dan dianggap sebagai cikal bakal teater Noh. Pertunjukan
sarugaku melibatkan drama, tarian, dan pantomim, serta kerap
Sejarah Jepang | 119
mengisahkan cerita-cerita sehari-hari daripada cerita mitologis
yang ditampilkan dalam pertunjukan istana. Sarugaku semakin
populer pada abad ke-11 dan 12, kemudian berkembang menjadi
teater Noh.
3. Daidengaku: seni pertunjukan yang berasal dari ritual pertanian
dan dipertontonkan di ladang-ladang sawah. Dengaku melibatkan
tarian, musik, dan drama untuk memohon kesuburan serta
keberuntungan dalam bertani. Pertunjukan dengaku kerapkali
melibatkan topeng yang unik dan gerakan yang lincah.
4. Kusemai adalah seni tari dan drama yang diadakan di kuil-kuil
atau tempat-tempat umum dan dihadiri oleh orang-orang dari
berbagai lapisan masyarakat. Pertunjukan kusemai mencakup
cerita-cerita yang menghibur, seperti kisah cinta dan petualangan.
Pada abad ke-10 dan 11, Kusemai menjadi sangat populer dan
menjadi salah satu seni pertunjukan paling terkenal pada zaman
Heian.
Selain itu, perkembangan seni musik juga sangat penting pada masa
Heian, terutama di kalangan istana dan golongan elit. Gagaku, yaitu
musik istana yang berasal dari Tiongkok dan Korea, dipertunjukkan
dalam upacara resmi, sementara saibara digunakan dalam pertunjukan
teater dan drama.
Musik upacara Buddha yang disebut Shomyo serta togaku, yaitu
musik istana yang juga berasal dari Tiongkok, juga semakin populer.
Seni musik ini sangat dipengaruhi oleh budaya Tiongkok namun juga
berhasil diintegrasikan dengan seni dan kehidupan Jepang.
Murasaki Shikibu dan Genji Monogatari
Murasaki Shikibu, seorang bangsawan perempuan dari klan Fujiwara
di Jepang, lahir pada tahun 973 dan hidup hingga tahun 1014.
Meskipun wanita pada masa itu dibatasi dalam pendidikan, Murasaki
belajar kanbun dan aksara Tiongkok kanji. Pada usia 25 tahun, dia
menikah dan menyaksikan aneka hubungan romantis dan affair di
istana. Setelah suaminya meninggal dunia, dia merasa kesepian dan
mulai menulis “Genji Monogatari” saat dia berussia 30-an.
Genji Monogatari mengisahkan kehidupan Pangeran Genji dan
menjadi novel pertama yang diketahui ditulis oleh seorang perempuan
120 | MG. Amanullah
serta dianggap sebagai karya sastra paling terkenal di Jepang. Meski
hidup dalam keterbatasan perempuan pada zamannya, Murasaki
membuktikan kecerdasan dan kemampuan menulisnya. Novelnya
mencerminkan kompleksitas kehidupan bangsawan Heian dengan
bahasa yang halus.
Murasaki juga aktif dalam pengembangan budaya dan intelektual serta
berinteraksi dengan elit istana yang mempengaruhi berbagai bidang.
Meskipun menghadapi batasan sosial bagi perempuan, ia berhasil
keluar dan menampilka pemikiran atau ide seorang perempuan yang
kala itu kerap terpinggirkan atau didominasi oleh pemikiran laki-laki.
Genji Monogatari dianggap sebagai salah satu karya sastra terkenal
dalam sejarah Jepang karena alasan berikut:
1. Pertama kali ditulis oleh seorang wanita:
Novel ini adalah bukti bahwa wanita juga mampu
mengekspresikan diri melalui karya sastra.
2. Bahasa yang indah dan elegan:
Penggunaan bahasa yang indah dan elegan dalam novel
ini membawa pembaca merasakan atmosfer sosial Jepang
pada zaman Heian.
3. Karakter yang dalam dan kompleks:
Novel ini menghadirkan karakter-karakter kuat dengan
kedalaman emosi, membuka pandangan baru tentang
kehidupan bangsawan Jepang pada masa Heian.
4. Pengaruh dan referensi:
Karya ini memiliki pengaruh besar terhadap sastra dan
seni Jepang lainnya, menjadi acuan penting pada
masanya.
5. Gambaran detail tentang kehidupan bangsawan:
Novel ini memberikan gambaran detail tentang
kehidupan dan budaya bangsawan Jepang pada zaman
Heian, menjadi referensi penting untuk studi sejarah dan
budaya.
6. Mengisahkan karakter manusia yang kompleks, menyentuh
hati, dan penuh dilema:
Pangeran Genji sebagai tokoh utama ditampilkan dengan
kompleksitas manusia yang memiliki kelebihan sekaligus,
Sejarah Jepang | 121
kelemahan dan kesalahan, sehingga membuat pembaca
dapat merasa terhubung dengannya.
7. Menjadi sumber inspirasi yang luas. Kehadirannya diadaptasi
dalam drama, opera, film, dan banyak digunakan dalam studi
sastra dan budaya baik di Jepang maupun secara global.
Sinopsis Genji Monogatari
"Genji Monogatari,” sebuah karya yang ditulis oleh Murasaki Shikibu,
seorang bangsawan wanita pada masa Heian, terdiri dari 54 volume
dengan total sekitar 800 waka atau 75.000 kata. Novel ini
menceritakan kehidupan Pangeran Hikaru Genji dari usia 12 hingga
kematiannya pada usia 70, dengan kelanjutan cerita melalui
keturunannya.
Genji, yang memiliki darah kerajaan tetapi kurang disukai di istana,
lebih mencintai ibu angkatnya Fujitsubo daripada istri resminya, Aoi.
Dengan banyak perselingkuhan, termasuk dengan Murasaki yang
menjadi istrinya, Genji menghadapi intrik, konflik, dan kesedihan.
Novel ini mencakup sengketa dan persaingan di kalangan bangsawan
istana yang mengungkapkan sisi manusiawi, dilema moral, dan
kehidupan yang rumit pada masa itu.
Pada akhirnya, cerita beralih kepada anak Genji yaitu Kaoru dan
cucunya Niou yang jatuh cinta kepada wanita yang sama. Hal ini
memunculkan konflik dan perdebatan di antara mereka.
"Genji Monogatari” adalah sebuah kisah romantis di lingkungan istana
Heian yang dipenuhi dengan intrik, keserakahan, konflik, dan ironi.
Melalui karyanya ini Murasaki Shikibu mengungkapkan aspek
kehidupan bangsawan Jepang pada masa tersebut serta mencakup
tradisi budaya dan moralitas mereka. Dengan karakter-karakter
kompleksnya terutama Genji, pembaca merasa terhubung dengan sisi
manusiawi yang terkadang terabaikan dalam sastra klasik Jepang.
Novel ini menggambarkan kerumitan hidup di lingkungan istana
Heian, di mana persaingan dan intrik dapat mempengaruhi kehidupan
dan karier seseorang. Selain itu, novel ini juga menyoroti peran
perempuan, mencerminkan perjuangan mereka untuk kesetaraan.
Meskipun terjadi pada masa yang sangat lama, “Genji Monogatari”
122 | MG. Amanullah
tetap memikat pembaca modern dengan tema-tema yang universal
seperti cinta, persahabatan, keluarga, serta kehidupan yang penuh
dengan tragedi dan kegembiraan.
Pada akhirnya, “Genji Monogatari” tetap menjadi salah satu karya
sastra Jepang yang penting dan dihargai karena memberikan wawasan
yang mendalam tentang kehidupan bangsawan Heian. Ditulis pada
awal abad ke-11, novel ini masih relevan dan menarik bagi pembaca
modern. Ia terus menjadi salah satu karya terbaik dalam sejarah sastra.
Religi pada Zaman Heian
Heian merupakan periode penting dalam sejarah Jepang, terutama
dalam perkembangan agama atau religi. Pada masa ini, agama-agama
seperti Buddha, Shinto, Taoisme, dan Konfusianisme memainkan
peran yang penting dalam membentuk kehidupan masyarakat dan
pemerintahan kekaisaran Heian.
Buddha yang diperkenalkan ke Jepang pada abad ke-6 Masehi dapat
dikatakan merupakan agama yang dominan pada zaman Heian dan
berkembang pesat khususnya di kalangan elit kekaisaran. Hal ini tak
bisa dilepaskan dari peran para wali Buddha yang mengembangkan
agama sehingga muncul beragam aliran.
Aliran-aliran tersebut diantaranya adalah:
1. Saicho (Dengyo Daishi):
• Seorang biksu Buddha pada abad ke-9 di Jepang.
• Dia adalah pendiri kuil Enryakuji yang terletak di
Gunung Hiei.
• Ia
mengembangkan
aliran
Tendai
yang
menggabungkan ajaran Buddha, Taoisme, dan
Shintoisme.
• Selain itu, ia menerjemahkan banyak sutra dari bahasa
Tiongkok ke dalam bahasa Jepang.
2. Kukai (Kobo Daishi):
• Biksu Buddha pada abad ke-9.
• Dia memperkenalkan aliran Shingon.
• Belajar di Tiongkok dan membawa ajaran Vajrayana
ke Jepang.
3. Ennin (Jikaku Daishi):
Sejarah Jepang | 123
• Seorang biksu Buddha pada abad ke-9.
• Ia melakukan perjalanan ke Tiongkok dan
mengembangkan aliran Tendai.
• Setelah kembali, ia memperkenalkan ritual
keagamaan baru kepada umat.
4. Genshin:
• Seorang biksu Buddha dari kuil Tendai pada abad ke10.
• Dia adalah penulis “Ojoyoshu” yang membahas
tentang kematian dan kehidupan setelahnya.
5. Myoe:
• Seorang biksu Buddha dari kuil Kegon pada abad ke12.
• Ia mengembangkan ajaran Kegon melalui tulisannya
yang berjudul “Kegon-shu no Shido".
6. Honen:
• Biksu Buddha pada abad ke-12.
• Dia memperkenalkan aliran Jodo dan mengajarkan
keselamatan melalui pengulangan nama Amitabha
Buddha.
7. Shinran:
• Murid Honen pada abad ke-13.
• Ia memperkenalkan aliran Shinshu dan mengajarkan
keselamatan melalui keyakinan tulus kepada Amida
Buddha.
8. Dogen:
• Seorang biksu Zen pada abad ke-13.
• Dia memperkenalkan ajaran Zen di Jepang dan
menekankan pentingnya meditasi dalam mencapai
pencerahan.
9. Myoan Eisai:
• Seorang biksu Zen pada abad ke-12.
• Dia memperkenalkan aliran Rinzai di Jepang dan
mengenalkan praktik meditasi yang melibatkan teh
dan ritual minum teh.
10. Nichiren adalah seorang biksu Buddha pada abad ke-13 yang
dikenal karena memperkenalkan aliran Nichiren di Jepang.
Dia mengajarkan pentingnya keselamatan melalui praktik
membaca ayat-ayat dari Lotus Sutra secara berulang-ulang.
124 | MG. Amanullah
Pada masa itu, pengaruh Buddha sangat terasa dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat dan pemerintahan, termasuk seni, sastra,
arsitektur, dan pendidikan. Ajaran dan simbolisme Buddha memiliki
dampak yang besar pada seni dan sastra zaman Heian. Karya-karya
seperti Genji Monogatari dan Makura no Soshi banyak
menggambarkan pengaruh Buddha melalui penggunaan ajarannya.
Misalnya, dalam Genji Monogatari, tokoh-tokohnya kerap
menggunakan ajaran agama Buddha untuk merenungkan tentang
kehidupan dan kematian. Selain itu, simbolisme seperti gunung dan
sungai juga kerap muncul dalam karya-karya tersebut sebagai
representasi perubahan, keabadian, dan kekosongan.
Contoh lainnya adalah esai Makura no Soshi yang menggunakan
metafora dan simbolisme untuk menunjukkan pengaruh Buddha. Esai
ini kerap menggunakan tidur sebagai metafora untuk kematian,
sementara gunung digunakan sebagai simbol kekosongan. Selain itu,
arsitektur pada masa itu juga dipengaruhi oleh Buddha dengan adanya
kuil-kuil seperti Kuil Todaiji yang merupakan salah satu kuil Buddha
terbesar di dunia.
Shintoisme adalah agama asli Jepang yang fokus pada penghormatan
leluhur serta dewa-dewa yang berhubungan dengan alam.
Pada era Heian, Shintoisme memegang peranan penting dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat dan pemerintahan, namun ajarannya
lebih terasa di kehidupan sehari-hari orang biasa saat itu daripada
dalam bentuk lembaga resmi.
Shinto pada zaman Heian mengajarkan tentang pentingnya
menghormati nenek moyang dan dewa-dewa, serta merayakan
festival-festival yang berkaitan dengan alam. Festival seperti Bon
Festival, yang diadakan untuk menghormati roh nenek moyang, dan
Festival Shogatsu yang dirayakan pada awal tahun masih dirayakan
sampai sekarang.
Konfusianisme masuk ke Jepang pada abad ke-6 atau ke-7 Masehi,
dan menjadi salah satu agama yang diakui pada masa Heian. Pada
waktu itu, Konfusianisme lebih merupakan sistem ajaran moral dan
Sejarah Jepang | 125
sosial daripada agama formal. Konfusianisme pada masa Heian
mengajarkan tentang pentingnya tindakan moral dan konsep kebaikan
dalam kehidupan sehari-hari. Aliran ini menempatkan keluarga
sebagai struktur masyarakat yang paling penting, dan menekankan
betapa pentingnya etika dan tindakan moral dalam pemerintahan.
Salah satu pengaruh besar Konfusianisme pada masa Heian adalah
pemikiran Mencius, seorang filsuf Konfusius dari Tiongkok.
Pemikiran Mencius mengajarkan tentang konsep “tianming,” yaitu
takdir yang diberikan oleh langit, serta betapa pentingnya kebaikan
dan tindakan moral dalam mencapai takdir tersebut.
Taoisme masuk ke Jepang pada abad ke-7 atau ke-8 Masehi, dan
memainkan peran yang relatif kecil dalam kehidupan masyarakat dan
pemerintahan pada masa Heian.
Walaupun demikian, ajaran Taoisme masih dipelajari dan dihargai
oleh sekelompok kecil masyarakat, terutama di kalangan para
intelektual. Ajaran Taoisme mengajarkan tentang pentingnya hidup
dalam keseimbangan dengan alam dan melaksanakan prinsip
kesederhanaan. Pada era Heian, pengaruh Taoisme terlihat dalam seni
dan sastra seperti lukisan, puisi, dan cerita rakyat. Lukisan-lukisan dan
puisi-puisi kerap kali menggambarkan keindahan alam serta
menggunakan simbol-simbol yang berasal dari ajaran Taoisme seperti
gunung, air, dan bulan.
Pada masa Heian, agama-agama seperti Buddha, Shintoisme,
Konfusianisme, dan Taoisme memainkan peranan yang penting dalam
kehidupan masyarakat Jepang serta pemerintahannya. Walaupun ada
perbedaan dalam ajaran dan praktik keagamaannya, namun semua
empat agama ini memberikan pengaruh yang kuat pada berbagai aspek
kehidupan di Jepang pada masa itu.
Buddha menjadi agama dominan pada saat itu yang mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan masyarakat maupun pemerintahan.
Shintoisme tetap memegang peranan penting dalam kehidupan seharihari sementara Konfusianisme lebih menekankan sistem ajaran moral
dan sosial. Meskipun peranan Taoisme relatif lebih kecil pada masa
Heian namun tetap dipelajari serta dihormati oleh sekelompok kecil
masyarakat khususnya di kalangan para intelektual.
126 | MG. Amanullah
Download