PERUNDUNGAN DAN KEKERASAN SISWA DI DUNIA PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN AKSIOLOGI PENDIDIKAN 𝐅𝐚𝐮𝐳𝐢𝐚𝟏 , 𝐍𝐢𝐡𝐳𝐚 𝐙𝐚𝐳𝐤𝐢𝐚𝐡 𝐘𝐮𝐬𝐮𝐟 𝟐 Prodi Pendidikan Biologi, Universitas Negeri Makassar fauziaaizuaf@gmail.com 1 , nihza.icca@gmail.com 2 ABSTRAK Perundungan umumnya dilakukan oleh individu yang memiliki kekuasaan atau kekuatan yang lebih kuat dibandingkan dengan korban yang dianggap lemah. Perundungan dapat terjadi dalam intensitas yang berulang-ulang. Pelaku cenderung melakukan perundungan di tempat-tempat yang ramai, walaupun tidak menutup kemungkinan dapat terjadi di tempat-tempat yang jarang dilalui oleh warga sekolah. Bentuk perundungan yang umumnya diterima oleh korban yaitu dapat secara verbal maupun non verbal. Tindakan perundungan dapat memberikan dampak yang negatif terhadap korban. Remaja yang menjadi korban perundungan memiliki risiko untuk mengalami berbagai macam gangguan kesehatan. Dampak dari perundungan ini dapat mencakup berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kondisi fisik maupun psikis korban. Dampak lain yang dirasakan oleh korban yaitu korban menjadi membatasi dirinya dengan lingkungan sosial. Kondisi tersebut tentunya membuat interaksi sosial individu tidak dapat berjalan dengan semestinya, sehingga perlunya upaya untuk membantu meningkatkan kepercayaan diri remaja agar ia mampu untuk menjalankan tugas perkembangannya, mampu untuk menghadapi orang lain, serta mampu untuk menerima bantuan dari orang lain. Kata kunci: perundungan/bullying, kesehatan, psikososial 1. PENDAHULUAN Kasus kekerasan yang terjadi pada lingkungan masyarakat dapat dialami oleh berbagai rentang usia, baik usia dewasa maupun anak-anak dapat berisiko mengalami tindak kekerasan. Salah satu contoh kekerasan yang dialami oleh anak khususnya remaja yaitu kekerasan di lingkungan sekolah atau perundungan. Lingkungan sekolah dapat menjadi salah satu pemicu yang dapat mempengaruhi kondisi perkembangan remaja. Ketika lingkungan sekolah buruk, maka tidak dapat terhindarkan akan terjadinya kasus perundungan. Kasus perundungan dapat terjadi pada berbagai jenjang pendidikan seperti SD, SMP, serta SMA/SMK. Padahal semestinya di dalam dunia pendidikan seharusnya sekolah menjadi tempat untuk mencari dan menuntut ilmu, bukan menjadi tempat untuk mendapatkan perlakuan buruk yang dapat memberikan dampak negatif pada anak. Fenomena kekerasan di lingkungan sekolah akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Kekerasan yang menimpa peserta didik di lingkungan sekolah menjadi topik hangat pemberitaan di media massa. Kasus kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan, mengindikasikan bahwa mainstream kekerasan masih digunakan dalam pola pembelajaran di dunia pendidikan. Kekerasan kerap kali dilakukan terhadap siswa di sekolah dengan dalih menumbuhkan kedisiplinan. Ada beberapa bentuk kekerasan yang umumnya dialami siswa, antara lain kekerasan fisik, yaitu bentuk kekerasan yang mengakibatkan luka pada siswa, seperti dipukul dan dianiaya. Selain itu juga kekerasan psikis, yaitu kekerasan secara emosional yang dilakukan dengan cara menghina, melecehkan, mencela atau melontarkan perkataan yang menyakiti perasaan, melukai harga diri, menurunkan rasa percaya diri, membuat orang merasa hina, kecil, lemah, jelek, tidak berguna dan tidak berdaya (Nurani, 2010:86). Sebagai bahan refleksi, fenomena kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan pada kenyataannya bertolak belakang dengan larangan pemberian hukuman fisik kepada peserta didik. Larangan pemberian hukuman fisik kepada peserta didik diberlakukan pemerintah melalui UndangUndang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2003, pada BAB 54 yang menyatakan, “guru (pendidik) dan siapapun di sekolah dilarang memberikan hukuman fisik kepada anakanak” (UU,2002). Berdasarkan perspektif teori perilaku menyimpang, tindakan kekerasan terhadap anak dianggap sebagai masalah sosial. Meskipun demikian, asumsi-asumsi yang digunakan dalam perspektif teori ini masih dalam satu payung teori struktural fungsional. Perilaku kekerasan terhadap anak dalam perspektif perilaku menyimpang dianggap sebagai perilaku yang menyimpang dari pranata-pranata sosial yang berlaku dalam sistem sosial. Pranata sosial berperan sebagai penegak keteraturan dan keseimbangan sistem sosial dengan cara membatasi sikap tindakan anggota masyarakat sebagai pedoman tingkah laku. Penyimpangan terjadi apabila individu menyimpang dari pedoman tingkah laku sehingga dianggap sebagai sumber masalah (Rahayu, 2009:10). Perilaku menyimpang pada anak merupakan salah satu ekspresi kekecewaan terhadap masalah yang sedang mereka rasakan. Ekspresi meningkatnya emosi ini dapat berupa kebingungan dan agresif yang meningkat. Rasa superior yang terkadang dikompesasikan ke dalam tindakan yang negatif, seperti pasif dalam segala hal, apatis, agresif secara fisik dan verbal, menarik diri, dan melarikan diri dari realita kehidupan ke minuman alkohol, ganja atau narkoba (Wijaya, 2010:2). 2. METODOLOGI PENELITIAN Tujuan dalam tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisa dengan menggunakan kajian aksiologi pendidikan mengenai masalah sosial dalam hal ini bullying yaitu kekerasan dalam dunia pendidikan. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode studi kasus yaitu metode dalam rangka mengeksplorasi masalah sosial secara terbatas namun mendalam. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Perundungan dan Kekerasan pada Siswa Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan, baik dari guru terhadap murid, murid terhadap guru, dan sesama murid, tidak terlepas dari pengaruh pola relasi subjekobjek yang terbangun dalam ilmu pengetahuan. Pola relasi yang demikian berakar pada perkara objektivitas ilmu pengetahuan. Materi pelajaran berciri ilmu pengetahuan dan menekankan kecakapan intelektual. Dengan ciri dan penekanannya yang demikian, pembelajaran terhadap materi pelajaran, menuntut guru dan murid bersikap objektif terhadap isi materi pelajaran. Dengan demikian, ciri ilmiah dari materi pelajaran merupakan hal yang paling utama dalam mempelajari materi pelajaran. Karena isi materi pelajaran menekankan ciri ilmiah, maka proses pembelajaran materi pelajaran merupakan proses transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid. Dalam proses yang demikian, sedapat mungkin emosi dan sikap batin murid dan guru tidak memengaruhi kadar objektivitas ilmu pengetahuan. Secara harfiah, kata bully berarti menggertak dan mengganggu orang yang lebih lemah. Istilah bullying kemudian digunakan untuk menunjuk perilaku agresif seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan secara berulang-ulang terhadap orang atau sekelompok orang lain yang lebih lemah untuk menyakiti korban secara fisik maupun mental. Bullying bisa berupa kekerasan dalam bentuk fisik (misal: menampar, memukul, menganiaya, menciderai), verbal (misal: mengejek, mengolok-olok, memaki), dan mental/psikis (misal: memalak, mengancam, mengintimidasi, mengucilkan ) atau gabungan di anatara ketiganya (Olweus, 1993: 24). b. Jenis-Jenis Perundungan dan Kekerasan pada Siswa Secara umum, peneliti (Hatta, 2018). mengklasifikasikan bullying ke dalam tiga kategori, yaitu fisik, verbal (lisan) dan antisosial. Penindasan fisik dan verbal dikenal sebagai perilaku Pelecehan atau pelecehan langsung terhadap korban, seperti penghinaan, Namun, penindasan kategori antisosial adalah penindasan yang dilakukan secara tidak langsung terhadap orang lain. Korban, misalnya mengucilkan seorang siswa dari sekelompok teman di sekolah atau dari semua orang Siswa terpaksa menjauhi berbagai aktivitas dan interaksi sosial. Perundungan verbal dapat berupa komentar yang tidak menyenangkan, menyindir atau mengancam merupakan contoh perundungan verbal. Berdasarkan hasil penelitian (syahida, dkk., 2020), perundungan verbal di lingkungan sekolah dapat terjadi beredasarkan jenis kelamin, dengan berbagai bentuk, factor penyebab, dan dampak yang berbeda. Dalam penelitian tersebut mengidentifikasi bahwa perundungan verbal melibatkan pemanggilan berdasarkan penampilan fisik, pemanggilan nama dengan nama hewan , penyebutan nama orang tua, penghinaan terhadap tugas teman, perlakuan kasar saat berkelompok dan pembentakan teman karena ketidakpatuhan. Perundungan fisik, berupa perilaku kekerasan seperti menendang, memukul, meninju, memukul, dan mendorong. Sedangkan menurut (Rizal. 2021). perundungan (bullying) fisik termasuk menampar, menginjak kaki, menjambak, mencakar, meludahi, mendorong dan menggigit. Menurut (Hatta, 2018). di era digital dengan teknologi informasi yang sangat maju, perundungan bukanlah satu-satunya hal dilakukan dengan cara konvensional, namun dapat pula dilakukan di dunia maya (Internet), misalnya melalui telepon. melalui Facebook dan Twitter, BBM, WhatsApp atau Instagram dengan maksud untuk menimbulkan kerugianatau mempermalukan korban. c. Dampak Perundungan dan Kekerasan pada Siswa Siswa yang menjadi korban perundungan dapat mengalami gangguan terhadap kepercayaan diri. Mereka mungkin merasa minder dan tidak nyaman dalam lingkungan sekolah. Disampaikan pada Kegiatan Sosialisasi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta LLDikti WIlayah V DIY 13-14 Oktober 2021 oleh A. Rizkyarini & L. Alfani dampak dari perundungan diantaranya dapat memunculkan rasa tertekan, murung,sering menangis, perubahan pola tidur dan pola makan, konsep diri yang lemah, tidak memiliki support system, luka fisik, penyakit dalam, serta khusus kekerasan seksual kehamilan dan HIV. Siswa yang menjadi korban perundungan mungkin mengalami trauma psikologis yang mendalam. Mereka mungkin mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan bahkan berisiko tinggi untuk bunuh diri (Amin, dkk. 2023). Berdasarkan hal tersebut penting untuk diakui bahwa siswa yang menjadi korban perundungan tidak hanya memberi dampak pada psikologis, tetapi juga memberi dampak yang serius terhadap kesejahteraan fisik dan emosional mereka. Penurunan prestasi akademik adalah salah satu hasil yang mungkin, di mana kesulitan berkonsentrasi dan belajar menjadi kendala utama,dengan lingkungan yang kurang nyaman bagi mereka akibat trauma yang mereka alami. Gangguan emosional juga tidak dapat diabaikan, dengan siswa yang mengalami perundungan mungkin merasa takut, cemas, tidak aman dan merasa kesepian (Fadilah, 2023). Selain itu, gangguan fisik, termasuk kekerasan dan pelecehan seksual, dapat merugikan kesehatan siswa dan menjadi factor penularan penyakit menular (PMS). Filsafat Pendidikan Filsafat bersumber dari kata Philos yang berarti cinta, dan sophos atau sophia yang bermakna kebajikan. Istilah pendidikan bersumber dari bahasa Yunani, “paedagogie”, bermakna penyampaian pendidikan kepada siswa. Selanjutnya dalam bahasa Inggris didefinisikan “education” dan pada bahasa Arab disebut “Tarbiyah”. Berdasarkan keterangan tersebut Filsafat pendidikan dapat disimpulkan sebagai cabang ilmu dalam mendalami prinsip pembelajaran (Alamin, dkk,. 2022). Filsafat pendidikan di Indonesia menganggap seseorang mampu : a. Menjalani kehidupan sesuai bakatnya; b. Melaksanakan aktivas sesuai dengan kemampuannya; c. Mampu berinteraksi, gotong royong, peduli dan bekerjasama satu sama lainnya. Secara etimologi, yaitu disiplin ilmu yang membahas asal usul kata, maka aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yang berasal dari perkataan axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mengkaji atau membahas teori tentang nilai. Jalaludin dalam bukunya Filsafat Pendidikan menyatakan, aksiologi adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai- nilai (value) yang dibedakan dalam tiga bagian, yaitu: a. Moral Conduct, tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. b. Esthetic Expression, ekspresi keindahan, yang melahirkan estetika. c. Socio-politica Life, kehidupan sosiopolitik, bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio- politik . Aksiologi diartikan juga sebagai suatu teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Pristiwiyanto, 2021). Berdasarkan definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis (Fithriani, F. 2019). Berdasarkan (Hatta, 2018) yang mengklasifikasikan perundungan ke dalam tiga kategori, yaitu verbal fisik, dan antisosial. Dalam sisi kajian aksiologi, khususnya etika, Perundungan dapat dilihat sebagai tindakan yang melibatkan penilaian terhadap nilai-nilai moral. Misalnya, perundungan verbal dijelaskan seperti komentar yang tidak menyenangkan, menyindir dapat dianggap sebagai pelanggaran norma- norma dan etika. Selain itu, dari sudut pandang moral dan etika, perundungan menciptakan ketidakadilan, merugikan kesejahteraan siswa, dan melanggar prinsip-prinsip moral dalam interaksi social. Nilai-nilai seperti empati, penghargaan terhadap keberagamaan, dan sikap hormat terhadap sesame menjadi dasar dalam menilai keberlanjutan tindakan perundungan yang dilakukan. Pristiwiyanto (2021) menyebutkan bahwa aksiologi mencoba untuk merumuskan suatu teori konsisten untuk perilaku etis sebagai suatu teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dengan demikian, perundungan di lingkungan sekolah dapat dianalisis sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan normanorma etika dalam interaksi social. Dampak perundungan, seperti yang disampaikan oleh (Amin & Imanduddin, 2023; Fadilah, 2023) juga dapat dilihat dari sudut pandang aksiologi. Dampak psikologi dan emosional, perasaan takut, cemas, kesepian, dan kehilangan kepercayaan diri pada korban perundungan adalah indicator ketidaksesuaian dengan nilai-nilai etika dan moral. Analisis Kasus Perundungan dan Kekerasan pada Siswa dari Sisi Aksiologi Mempertimbangkan nilai-nilai etika dan moral yang seharusnya melandasi interaksi social, khususnya di lingkungan pendidikan, dari sisi kajian aksiologi memunculkan pertanyaan bagaimana perundungan (bullying) dilihat dari sudut pandang etika dan moral? Di tengah perkembangan zaman yang semakin pesat, karakter tiap peserta didik tentu mengalami perubahan bahkan penyimpangan. Dalam kurun waktu 9 tahun, yaitu dari tahun 2011 hingga tahun 2019, KPAI mencatat bahwa pengaduan kekerasan terhadap anak ini mencapai 37.381 kasus. Kekerasan itu merupakan tindakan bullying baik dalam pendidikan maupun di dalam media sosial, yang mencapai angka 2.473 laporan dan hingga kini. terus meningkat (Tim KPAI, 2020). (Hadi, 2017) dilihat dari segi aksiologi, menggarisbawahi bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, pendidikan, dan peningkatan kualitas hidup sesuai dengan hak asasi manusia. Dalam hal ini, perundungan pada siswa dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk memperoleh pendidikan dan pengembangan pribadi yang berkhlak mulia. Kasus bullying yang sempat hangat menjadi perbincangan terjadi pada tahun 2017. Kasus bullying ini mengakibatkan korban sampai bunuh diri karena tidak tahan menerima tindak kekerasan yang dilakukan oleh teman-temannya (Pratiwi, dkk,. 2021), dapat dilihat sebagai ketidaksesuaian dengan nilai-nilai etika dan moral yang seharusnya melindungi hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup. Lebih lanjut, Tim KPAI (2020) mencatat bahwa kekerasan terhadap anak, termasuk bullying, menjadi perhatian serius. Kasus-kasus kekerasasn tersebut mencerminkan ketidaksesuaian dengan nilainilai moral dan etika dalam pergaulan social, khususnya di kalangan pelajar. Kasus perundungan terbaru di tahun 2023 yang sempat viral di cilacap dan Balikpapan menurut berita yang ditulis oleh (Beni Jo) para pelaku memukul korban dan menendang berkali-kali hingga terjatuh, tidak ada perlawanan dari korban yang sudah tidak berdaya. Kemudian kasus perundungan lainnya sebuah video viral menunjukkan dua pelajar SMP merundung dengan cara memukuli korban di pelataran Masjid Darussalam, Kota Balikpapan, menunjukkan ketidaksesuaian dengan nilai-nilai etika yang mendasari hak asasi manusia. Tindakan kekerasan tersebut menciptakan ketidakadilan, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dalam masyarakat. Solusi untuk Mengatasi Kasus Perundungan dan Kekerasan pada Siswa Solusi untuk tindakan bullying ini terbagi menjadi dua cara yaitu solusi untuk pencegahan dan solusi untuk penanganan. Beberapa solusi untuk pencegahan terjadinya tindakan bullying sebagai berikut: 1. Pengadaan Edukasi dilingkungan Sekolah Edukasi tindakan bullying tidak hanya diperuntukan untuk para remaja dalam lingkup sekolah saja, namun edukasi tersebut juga diperuntukkan untuk para guru dingkup sekolah agar dapat mengetahui dan mencegah para remaja yang berpotensi menjadi pelaku tindak bullying dilingkungan sekolah. Adapun edukasi yang ditujukan kepada para pelajar dan komunitas remaja yang berada dilingkup sekolah sebagai berikut: a. Berbagi dan mencurahkan kepada teman dekat atau yang dapat memberi solusi agar tidak terjadi seperti itu lagi, dengan mendapatkan motivasi sehingga dapat menyikapi tentang bagaimana yang harus dirinya lakukan pada saat kejadian seperti itu lagi. b. Percaya diri. Dengan memiliki percaya diri yang tinggi dan pada semestinya, dengan cara menebarkan kebaikan kepada setiap orang sudah dapat memberikan kesan yang dapat dilihat dengan menunjukkan kepada seseorang bahwa anda bukanlah seseorang yang lemah. c. Membela diri. Dengan cara membela diri saat dibully, dapat membuat pelaku menjadi jera dan tidak akan membully lagi dengan menunjukan bahwa korban bullying bukanlah orang yang lemah, tidak seperti apa yang dirinya pikirkan. 2. Edukasi tentang Peraturan Perundangudangan Mengenai Bullying a. Menyampaikan edukasi tentang undangundang perlindungan anak b. Memastikan bahwa guru dan staf sekolah memahami peeraturan yang berkaitan dengan bullying. Beberapa solusi untuk penanganan terjadinya tindak bullying sebagai berikut: 1. Fasilitas Rehabilitas Mental a. Memberikan fasilitas rehabilitasi mental untuk korban depresi akibat bullying. b. Pelayanan kesehatan mental khusus untuk pemulihan pasien. 2. Penegakan Hukum a. Menindak tegas tindakan bullying secara hukum. b. Mengacu pada pasal-pasal KUHP yang terkait dengan cyberbullying. 3. Pembentukan Badan pencegahan dan penanganan tindak bullying di sekolah a. Membangun sistem pencegahan dan penanganan kasus bullying di sekolah. b. Menetapkan aturan sekolah atau kode etik yang mendukung lingkungan aman. Pendekatan lainya, yang dapat digunakan dalam memerangi perundungan adalah dengan memperkuat implementasi Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila secara aksiologis diciptakan untuk menjawab sekaligus menghadapi tantangan, profil pelajar pancasila telah menyediakan enam kompetensi yang dirumuskan sebagai dimensi kunci. Dimensi kunci tersebut beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, beriman, berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, bergotong rotong, dan berkebinekaan global Semua saling terkait Semua dimensi itu memberikan petunjuk profil pelajar Pancasila fokusnya tidak di kemampuan kognitif saja, tetapi pada pendidikan karakter, perilaku yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai warga dunia (Aristiawan, dkk,.2023). Pendidikan karakter, dalam membentuk karakter siswa harus didukung dengan berbagai faktor yang memungkinkan tercapainya tujuan dari pembentukan karakter itu sendiri. Faktor penting yang mendukung proses pembentukan karakter adalah adanya pendidikan karakter dan keteladanan dari orang tua, guru, serta orang dewasa disekitar siswa. Filsafat aksiologi juga memiliki keterkaitan erat dengan sosok guru Berdasarkan filsafat aksiologi guru dalam menjalankan perannya sebagai seorang teladan yang harus mengajarkan, menanamkan, dan memberikan keteladanan nilai-nilai kehidupan dalam upaya membentuk karakter siswa Guru harus memiliki pengetahuan akan nilai-nilai dan moral yang merupakan fokus dari aksiologi sehingga dapat menerapkan dan memberikan keteladanan nilai-nilai tersebut serta membentuk karakter siswa (Sianipar, & Irawati,. 2022) 5. KESIMPULAN Secara harfiah, kata bully berarti menggertak dan mengganggu orang yang lebih lemah. Istilah bullying kemudian digunakan untuk menunjuk perilaku agresif seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan secara berulang-ulang terhadap orang atau sekelompok orang lain yang lebih lemah untuk menyakiti korban secara fisik maupun mental. Bullying bisa berupa kekerasan dalam bentuk fisik (misal: menampar, memukul, menganiaya, menciderai), verbal (misal: mengejek, mengolok-olok, memaki), dan mental/psikis (misal: memalak, mengancam, mengintimidasi, mengucilkan ) atau gabungan di anatara ketiganya. Penindasan fisik dan verbal dikenal sebagai perilaku Pelecehan atau pelecehan langsung terhadap korban, seperti penghinaan, Namun, penindasan kategori antisosial adalah penindasan yang dilakukan secara tidak langsung terhadap orang lain. Korban, misalnya mengucilkan seorang siswa dari sekelompok teman di sekolah atau dari semua orang Siswa terpaksa menjauhi berbagai aktivitas dan interaksi sosial. Perundungan verbal dapat berupa komentar yang tidak menyenangkan, menyindir atau mengancam merupakan contoh perundungan verbal. Siswa yang menjadi korban perundungan dapat mengalami gangguan terhadap kepercayaan diri. Mereka mungkin merasa minder dan tidak nyaman dalam lingkungan sekolah. dampak dari perundungan diantaranya dapat memunculkan rasa tertekan, murung,sering menangis, perubahan pola tidur dan pola makan, konsep diri yang lemah, tidak memiliki support system, luka fisik, penyakit dalam, serta khusus kekerasan seksual kehamilan dan HIV. Dilihat dari segi aksiologi, menggarisbawahi bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, pendidikan, dan peningkatan kualitas hidup sesuai dengan hak asasi manusia. Dalam hal ini, perundungan pada siswa dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk memperoleh pendidikan dan pengembangan pribadi yang berkhlak mulia. Berdasarkan filsafat aksiologi guru dalam menjalankan perannya sebagai seorang teladan yang harus mengajarkan, menanamkan, dan memberikan keteladanan nilai-nilai kehidupan dalam upaya membentuk karakter siswa Guru harus memiliki pengetahuan akan nilai-nilai dan moral yang merupakan fokus dari aksiologi sehingga dapat menerapkan dan memberikan keteladanan nilai-nilai tersebut serta membentuk karakter siswa. Saran Melihat masih adanya tindakan perundungan dikalangan siswa dilingkungan sekolah maka peneliti menyarankan beberapa hal yang mungkin berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Berikut beberapa saran dan rekomendasi yang dapat peneliti berikan : 1. Kepala Sekolah Kepala sekolah memiliki beberapa program untuk mensosialisasikan pemahaman kepada baik siswa atau siswi maupun seluruh warga sekolah akan pengertian dari perundungan itu sendiri serta bahaya perundungan dan dampaknya bagi siswa sekolah, agar apabila telah mengetahui apa itu perundungan dan bagaimana dampaknya maka siswa lebih menjaga pergaulan sesama temannya dan mengurangi tindakan perundungan, serta mewadahi siswa dengan bimbingan konseling dalam mengatasi permasalahannya agar siswa dapat lebih terarah dalam mengenali diri dan permasalahan di lingkungan sosialnya. Sekolah juga dapat memasang banner, spanduk, slogan, untuk himbauan anti perundungan yang ditujukan kepada seluruh warga sekolah agar dapat menciptakan kondisi lingkungan anti perundungan. 2. Guru Memberikan pengendalian yang sesuai dengan permasalahan sosial anak, apakah tindakan yang dilakukan harusnya secara persuasif atau koersif terhadap siswa sehingga apabila diberikan penanganan yang benar maka dapat mengurangi tindakan perundungan di kalangan siswa sekolah dasar. Lebih aktif dalam mengontrol siswa, tidak hanya di dalam kelas tapi juga memberi perhatian seperti saat istirahat, pergantian jam pelajaran, istirahat sholat maupun saat pulang sekolah. 3. Orangtua Siswa Agar dapat memberikan perhatian khusus dan kotribusi terhadap kebijakan sekolah serta dapat memberikan keseimbangan antara perhatian dari sekolah dengan perhatiaan yang dilakukan di rumah oleh orangtua, seperti mengikuti setiap kegiatan rapat orangtua yang diadakan oleh sekolah, tanggap apabila ada laporan dari anak atau sekolah terhadap perkembangan perilaku anak, rutin untuk memantau perkembangan anak ke sekolah dan konsultasi dengan guru kelas terkait dengan pendidikan dan lingkungan anak di sekolah, sehingga pengendalian dapat berjalan maksimal. DAFTAR PUSTAKA Alamin, A., Nurwahidin, M., & Sudjarwo, S. (2022). MEMBANGUN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN. Jurnal Pendidikan Dasar dan Sosial Humaniora, 1(12), 2427-2438. Amin, M., & Imaduddin, M. A. (2023). Pencegahan Kekerasan Seksual dan Perundungan Di Sekolah. SEWAGATI: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, 2(2), 99-104. Aristiawan, A., Masitoh, S., & Nursalim, M. (2023). Profil Pelajar Pancasila Menghadapi Tantangan Era Revolusi Indusri 4.0 Dan Human Society 5.0 Dalam Kajian Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jurnal Ilmiah Mandala Education, 9(1). Fadilah, N., Ariantini, N., & Ningsih, S. W. (2023). Fenomena bullying di kawasan pondok pesantren. Jurnal Bimbingan dan Konseling Borneo, 5(1). Fikri, R. N., Rasyada, A. T., Dewi, E. H., Safytra, F., Adhatiyah, M., Yansu, S. P., ... & Latifah, L. (2022, December). Solusi Mengatasi Fenomena Bullying Pada Komunitas Remaja. In Proceeding Conference On Psychology and Behavioral Sciences (Vol. 1, No. 1, pp. 78-79). Fithriani, F. (2019). Implikasi Aksiologi dalam Filsafat Pendidikan. Intelektualita, 5(1). Hadi, S. (2017). Hak Mendapatkan Pendidikan Tinjauan Epistimologi dan Aksiologi Filsafat Pendidikan Islam. Palapa, 5(2), 78-91. Hatta, M. (2018). Tindakan perundungan (bullying) dalam dunia pendidikan ditinjau berdasarkan hukum pidana Islam. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 41(2). Indriani, L., Falihin, D., & Said, M. (2020). Perilaku Bullying Siswa di SMP Negeri 23 Makassar. Social Landscape Journal, 1(2), 31-38. Pratiwi, E. F., Saâ, S. S., Dewi, D. A., & Furnamasari, Y. F. (2021). Implementasi Pendidikan Kewarganegaraan melalui Nilai Pancasila dalam Menangani Kasus Bullying. Jurnal Basicedu, 5(6), 54725480. Pristiwiyanto, P. (2021). Pancasila Dalam Kajian Filsafat: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi. FATAWA: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 1(2), 253-262. Rizal, R. S. (2021). Bentuk Dan Faktor Perundungan Pada Siswa SMP. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 9(1), 129-136. Sianipar, H. M., & Irawati, W. (2022). Peran Guru Sebagai Teladan Dalam Upaya Pembentukan Karakter Siswa Berdasarkan Kajian Filsafat Aksiologi Kristen. Journal of Christian Education, 3(1), 58-73. Syahida, D. K., & Christiana, E. (2020). Studi Kasus Perundungan Verbal Siswa Pada Sekolah Dasar Ditinjau Dari Jenis Gender. Jurnal BK UNESA, 11(3).