Uploaded by Nihza Zazkiah Yusuf

ARTIKEL FILSAFAT

advertisement
PERUNDUNGAN DAN KEKERASAN SISWA DI DUNIA PENDIDIKAN DALAM
PANDANGAN AKSIOLOGI PENDIDIKAN
𝐅𝐚𝐮𝐳𝐢𝐚𝟏 , 𝐍𝐢𝐡𝐳𝐚 𝐙𝐚𝐳𝐤𝐢𝐚𝐡 𝐘𝐮𝐬𝐮𝐟 𝟐
Prodi Pendidikan Biologi, Universitas Negeri Makassar
fauziaaizuaf@gmail.com 1 , nihza.icca@gmail.com 2
ABSTRAK
Perundungan umumnya dilakukan oleh individu yang memiliki kekuasaan atau kekuatan yang
lebih kuat dibandingkan dengan korban yang dianggap lemah. Perundungan dapat terjadi dalam
intensitas yang berulang-ulang. Pelaku cenderung melakukan perundungan di tempat-tempat
yang ramai, walaupun tidak menutup kemungkinan dapat terjadi di tempat-tempat yang jarang
dilalui oleh warga sekolah. Bentuk perundungan yang umumnya diterima oleh korban yaitu
dapat secara verbal maupun non verbal. Tindakan perundungan dapat memberikan dampak yang
negatif terhadap korban. Remaja yang menjadi korban perundungan memiliki risiko untuk
mengalami berbagai macam gangguan kesehatan. Dampak dari perundungan ini dapat
mencakup berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kondisi fisik maupun psikis korban.
Dampak lain yang dirasakan oleh korban yaitu korban menjadi membatasi dirinya dengan
lingkungan sosial. Kondisi tersebut tentunya membuat interaksi sosial individu tidak dapat
berjalan dengan semestinya, sehingga perlunya upaya untuk membantu meningkatkan
kepercayaan diri remaja agar ia mampu untuk menjalankan tugas perkembangannya, mampu
untuk menghadapi orang lain, serta mampu untuk menerima bantuan dari orang lain.
Kata kunci: perundungan/bullying, kesehatan, psikososial
1. PENDAHULUAN
Kasus kekerasan yang terjadi pada
lingkungan masyarakat dapat dialami oleh
berbagai rentang usia, baik usia dewasa
maupun anak-anak dapat berisiko mengalami
tindak kekerasan. Salah satu contoh kekerasan
yang dialami oleh anak khususnya remaja
yaitu kekerasan di lingkungan sekolah atau
perundungan. Lingkungan sekolah dapat
menjadi salah satu pemicu yang dapat
mempengaruhi
kondisi
perkembangan
remaja. Ketika lingkungan sekolah buruk,
maka tidak dapat terhindarkan akan terjadinya
kasus perundungan.
Kasus perundungan dapat terjadi pada
berbagai jenjang pendidikan seperti SD, SMP,
serta SMA/SMK. Padahal semestinya di
dalam dunia pendidikan seharusnya sekolah
menjadi tempat untuk mencari dan menuntut
ilmu, bukan menjadi tempat untuk
mendapatkan perlakuan buruk yang dapat
memberikan dampak negatif pada anak.
Fenomena kekerasan di lingkungan
sekolah akhir-akhir ini mendapat sorotan
tajam dari masyarakat. Kekerasan yang
menimpa peserta didik di lingkungan sekolah
menjadi topik hangat pemberitaan di media
massa. Kasus kekerasan yang terjadi di
institusi pendidikan, mengindikasikan bahwa
mainstream kekerasan masih digunakan
dalam pola pembelajaran di dunia pendidikan.
Kekerasan kerap kali dilakukan terhadap
siswa di sekolah dengan dalih menumbuhkan
kedisiplinan.
Ada beberapa bentuk kekerasan yang
umumnya dialami siswa, antara lain kekerasan
fisik, yaitu bentuk kekerasan yang
mengakibatkan luka pada siswa, seperti
dipukul dan dianiaya. Selain itu juga
kekerasan psikis, yaitu kekerasan secara
emosional yang dilakukan dengan cara
menghina, melecehkan, mencela atau
melontarkan perkataan yang menyakiti
perasaan, melukai harga diri, menurunkan rasa
percaya diri, membuat orang merasa hina,
kecil, lemah, jelek, tidak berguna dan tidak
berdaya (Nurani, 2010:86).
Sebagai bahan refleksi, fenomena
kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan
pada kenyataannya bertolak belakang dengan
larangan pemberian hukuman fisik kepada
peserta didik. Larangan pemberian hukuman
fisik kepada peserta didik diberlakukan
pemerintah
melalui
UndangUndang
Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2003,
pada BAB 54 yang menyatakan, “guru
(pendidik) dan siapapun di sekolah dilarang
memberikan hukuman fisik kepada anakanak” (UU,2002).
Berdasarkan perspektif teori perilaku
menyimpang, tindakan kekerasan terhadap
anak dianggap sebagai masalah sosial.
Meskipun demikian, asumsi-asumsi yang
digunakan dalam perspektif teori ini masih
dalam satu payung teori struktural fungsional.
Perilaku kekerasan terhadap anak dalam
perspektif perilaku menyimpang dianggap
sebagai perilaku yang menyimpang dari
pranata-pranata sosial yang berlaku dalam
sistem sosial. Pranata sosial berperan sebagai
penegak keteraturan dan keseimbangan sistem
sosial dengan cara membatasi sikap tindakan
anggota masyarakat sebagai pedoman tingkah
laku. Penyimpangan terjadi apabila individu
menyimpang dari pedoman tingkah laku
sehingga dianggap sebagai sumber masalah
(Rahayu, 2009:10).
Perilaku menyimpang pada anak
merupakan salah satu ekspresi kekecewaan
terhadap masalah yang sedang mereka
rasakan. Ekspresi meningkatnya emosi ini
dapat berupa kebingungan dan agresif yang
meningkat. Rasa superior yang terkadang
dikompesasikan ke dalam tindakan yang
negatif, seperti pasif dalam segala hal, apatis,
agresif secara fisik dan verbal, menarik diri,
dan melarikan diri dari realita kehidupan ke
minuman alkohol, ganja atau narkoba
(Wijaya, 2010:2).
2. METODOLOGI PENELITIAN
Tujuan dalam tulisan ini adalah untuk
mendeskripsikan dan menganalisa dengan
menggunakan kajian aksiologi pendidikan
mengenai masalah sosial dalam hal ini
bullying yaitu kekerasan dalam dunia
pendidikan. Metode yang digunakan dalam
tulisan ini adalah metode studi kasus yaitu
metode dalam rangka mengeksplorasi
masalah sosial secara terbatas namun
mendalam.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Perundungan dan Kekerasan pada
Siswa
Kekerasan yang terjadi dalam dunia
pendidikan, baik dari guru terhadap murid,
murid terhadap guru, dan sesama murid, tidak
terlepas dari pengaruh pola relasi subjekobjek
yang terbangun dalam ilmu pengetahuan. Pola
relasi yang demikian berakar pada perkara
objektivitas ilmu pengetahuan. Materi
pelajaran berciri ilmu pengetahuan dan
menekankan kecakapan intelektual. Dengan
ciri dan penekanannya yang demikian,
pembelajaran terhadap materi pelajaran,
menuntut guru dan murid bersikap objektif
terhadap isi materi pelajaran. Dengan
demikian, ciri ilmiah dari materi pelajaran
merupakan hal yang paling utama dalam
mempelajari materi pelajaran. Karena isi
materi pelajaran menekankan ciri ilmiah,
maka proses pembelajaran materi pelajaran
merupakan proses transfer ilmu pengetahuan
dari guru kepada murid. Dalam proses yang
demikian, sedapat mungkin emosi dan sikap
batin murid dan guru tidak memengaruhi
kadar objektivitas ilmu pengetahuan.
Secara harfiah, kata bully berarti
menggertak dan mengganggu orang yang
lebih lemah. Istilah bullying
kemudian
digunakan untuk menunjuk perilaku agresif
seseorang atau sekelompok orang yang
dilakukan secara berulang-ulang terhadap
orang atau sekelompok orang lain yang lebih
lemah untuk menyakiti korban secara fisik
maupun mental. Bullying bisa berupa
kekerasan dalam bentuk fisik (misal:
menampar,
memukul,
menganiaya,
menciderai), verbal (misal: mengejek,
mengolok-olok, memaki), dan mental/psikis
(misal:
memalak,
mengancam,
mengintimidasi,
mengucilkan
) atau gabungan di anatara ketiganya (Olweus,
1993: 24).
b. Jenis-Jenis
Perundungan
dan
Kekerasan pada Siswa
Secara umum, peneliti (Hatta, 2018).
mengklasifikasikan bullying ke dalam tiga
kategori, yaitu fisik, verbal (lisan) dan
antisosial. Penindasan fisik dan verbal dikenal
sebagai perilaku Pelecehan atau pelecehan
langsung terhadap korban, seperti penghinaan,
Namun, penindasan kategori antisosial adalah
penindasan yang dilakukan secara tidak
langsung terhadap orang lain. Korban,
misalnya mengucilkan seorang siswa dari
sekelompok teman di sekolah atau dari semua
orang Siswa terpaksa menjauhi berbagai
aktivitas dan interaksi sosial. Perundungan
verbal dapat berupa komentar yang tidak
menyenangkan, menyindir atau mengancam
merupakan contoh perundungan verbal.
Berdasarkan hasil penelitian (syahida,
dkk., 2020), perundungan verbal di
lingkungan sekolah dapat terjadi beredasarkan
jenis kelamin, dengan berbagai bentuk, factor
penyebab, dan dampak yang berbeda. Dalam
penelitian tersebut mengidentifikasi bahwa
perundungan verbal melibatkan pemanggilan
berdasarkan penampilan fisik, pemanggilan
nama dengan nama hewan , penyebutan nama
orang tua, penghinaan terhadap tugas teman,
perlakuan kasar saat berkelompok dan
pembentakan teman karena ketidakpatuhan.
Perundungan fisik, berupa perilaku kekerasan
seperti menendang, memukul, meninju,
memukul, dan mendorong. Sedangkan
menurut
(Rizal. 2021). perundungan
(bullying) fisik termasuk menampar,
menginjak kaki, menjambak, mencakar,
meludahi, mendorong dan menggigit.
Menurut (Hatta, 2018). di era digital
dengan teknologi informasi yang sangat maju,
perundungan bukanlah satu-satunya hal
dilakukan dengan cara konvensional, namun
dapat pula dilakukan di dunia maya (Internet),
misalnya melalui telepon. melalui Facebook
dan Twitter, BBM, WhatsApp atau Instagram
dengan
maksud
untuk
menimbulkan
kerugianatau mempermalukan korban.
c. Dampak Perundungan dan Kekerasan
pada Siswa
Siswa
yang
menjadi
korban
perundungan dapat mengalami gangguan
terhadap kepercayaan diri. Mereka mungkin
merasa minder dan tidak nyaman dalam
lingkungan sekolah. Disampaikan pada
Kegiatan Sosialisasi Mahasiswa Perguruan
Tinggi Swasta LLDikti WIlayah V DIY 13-14
Oktober 2021 oleh A. Rizkyarini & L. Alfani
dampak dari perundungan diantaranya dapat
memunculkan rasa tertekan, murung,sering
menangis, perubahan pola tidur dan pola
makan, konsep diri yang lemah, tidak
memiliki support system, luka fisik, penyakit
dalam, serta khusus kekerasan seksual
kehamilan dan HIV.
Siswa
yang
menjadi
korban
perundungan mungkin mengalami trauma
psikologis yang mendalam. Mereka mungkin
mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan
bahkan berisiko tinggi untuk bunuh diri
(Amin, dkk. 2023). Berdasarkan hal tersebut
penting untuk diakui bahwa siswa yang
menjadi korban perundungan tidak hanya
memberi dampak pada psikologis, tetapi juga
memberi dampak yang serius terhadap
kesejahteraan fisik dan emosional mereka.
Penurunan prestasi akademik adalah salah
satu hasil yang mungkin, di mana kesulitan
berkonsentrasi dan belajar menjadi kendala
utama,dengan lingkungan yang kurang
nyaman bagi mereka akibat trauma yang
mereka alami. Gangguan emosional juga tidak
dapat diabaikan, dengan siswa yang
mengalami perundungan mungkin merasa
takut, cemas, tidak aman dan merasa kesepian
(Fadilah, 2023). Selain itu, gangguan fisik,
termasuk kekerasan dan pelecehan seksual,
dapat merugikan kesehatan siswa dan menjadi
factor penularan penyakit menular (PMS).
Filsafat Pendidikan
Filsafat bersumber dari kata Philos
yang berarti cinta, dan sophos atau sophia
yang bermakna kebajikan. Istilah pendidikan
bersumber dari bahasa Yunani, “paedagogie”,
bermakna penyampaian pendidikan kepada
siswa. Selanjutnya dalam bahasa Inggris
didefinisikan “education” dan pada bahasa
Arab disebut “Tarbiyah”. Berdasarkan
keterangan tersebut Filsafat pendidikan dapat
disimpulkan sebagai cabang ilmu dalam
mendalami prinsip pembelajaran (Alamin,
dkk,. 2022).
Filsafat pendidikan di Indonesia
menganggap seseorang mampu :
a. Menjalani kehidupan sesuai bakatnya;
b. Melaksanakan aktivas sesuai dengan
kemampuannya;
c. Mampu berinteraksi, gotong royong,
peduli dan bekerjasama satu sama lainnya.
Secara etimologi, yaitu disiplin ilmu
yang membahas asal usul kata, maka aksiologi
berasal dari bahasa Yunani, yang berasal dari
perkataan axios yang berarti nilai dan logos
yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah salah
satu cabang filsafat yang mengkaji atau
membahas teori tentang nilai. Jalaludin dalam
bukunya Filsafat Pendidikan menyatakan,
aksiologi adalah suatu bidang yang
menyelidiki nilai- nilai (value) yang
dibedakan dalam tiga bagian, yaitu:
a. Moral Conduct, tindakan moral, bidang
ini melahirkan disiplin khusus, yakni
etika.
b. Esthetic Expression, ekspresi keindahan,
yang melahirkan estetika.
c. Socio-politica Life, kehidupan sosiopolitik, bidang ini melahirkan ilmu
filsafat sosio- politik .
Aksiologi diartikan juga sebagai suatu
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh, pada
umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan (Pristiwiyanto, 2021).
Berdasarkan definisi aksiologi di atas,
terlihat dengan jelas bahwa permasalahan
utama adalah mengenai nilai. Nilai yang
dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki
manusia
untuk
melakukan
berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori
tentang nilai yang dalam filsafat mengacu
pada permasalahan etika dan estetika. Etika
menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat
kalau dikatakan bahwa objek formal etika
adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan
dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari
tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik
dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang
normative, yaitu suatu kondisi yang
melibatkan norma-norma.
Sedangkan estetika berkaitan dengan
nilai tentang pengalaman keindahan yang
dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan
dan fenomena di sekelilingnya. Aksiologi
mencoba merumuskan suatu teori yang
konsisten untuk perilaku etis (Fithriani, F.
2019).
Berdasarkan (Hatta, 2018) yang
mengklasifikasikan perundungan ke dalam
tiga kategori, yaitu verbal fisik, dan antisosial.
Dalam sisi kajian aksiologi, khususnya etika,
Perundungan dapat dilihat sebagai tindakan
yang melibatkan penilaian terhadap nilai-nilai
moral. Misalnya, perundungan verbal
dijelaskan seperti komentar yang tidak
menyenangkan, menyindir dapat dianggap
sebagai pelanggaran norma- norma dan etika.
Selain itu, dari sudut pandang moral
dan etika, perundungan menciptakan
ketidakadilan, merugikan kesejahteraan
siswa, dan melanggar prinsip-prinsip moral
dalam interaksi social. Nilai-nilai seperti
empati, penghargaan terhadap keberagamaan,
dan sikap hormat terhadap sesame menjadi
dasar dalam menilai keberlanjutan tindakan
perundungan yang dilakukan.
Pristiwiyanto (2021) menyebutkan
bahwa aksiologi mencoba untuk merumuskan
suatu teori konsisten untuk perilaku etis
sebagai suatu teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh. Dengan demikian, perundungan di
lingkungan sekolah dapat dianalisis sebagai
tindakan yang tidak sesuai dengan normanorma etika dalam interaksi social.
Dampak perundungan, seperti yang
disampaikan oleh (Amin & Imanduddin,
2023; Fadilah, 2023) juga dapat dilihat dari
sudut pandang aksiologi. Dampak psikologi
dan emosional, perasaan takut, cemas,
kesepian, dan kehilangan kepercayaan diri
pada korban perundungan adalah indicator
ketidaksesuaian dengan nilai-nilai etika dan
moral.
Analisis
Kasus
Perundungan
dan
Kekerasan pada Siswa dari Sisi Aksiologi
Mempertimbangkan nilai-nilai etika
dan moral yang seharusnya melandasi
interaksi social, khususnya di lingkungan
pendidikan, dari sisi kajian aksiologi
memunculkan
pertanyaan
bagaimana
perundungan (bullying) dilihat dari sudut
pandang etika dan moral? Di tengah
perkembangan zaman yang semakin pesat,
karakter tiap peserta didik tentu mengalami
perubahan bahkan penyimpangan. Dalam
kurun waktu 9 tahun, yaitu dari tahun 2011
hingga tahun 2019, KPAI mencatat bahwa
pengaduan kekerasan terhadap anak ini
mencapai 37.381 kasus. Kekerasan itu
merupakan tindakan bullying baik dalam
pendidikan maupun di dalam media sosial,
yang mencapai angka 2.473 laporan dan
hingga kini. terus meningkat (Tim KPAI,
2020).
(Hadi, 2017) dilihat dari segi aksiologi,
menggarisbawahi bahwa setiap orang berhak
atas perlindungan bagi pengembangan
pribadinya, pendidikan, dan peningkatan
kualitas hidup sesuai dengan hak asasi
manusia. Dalam hal ini, perundungan pada
siswa dianggap sebagai pelanggaran terhadap
hak asasi manusia, terutama hak untuk
memperoleh pendidikan dan pengembangan
pribadi yang berkhlak mulia.
Kasus bullying yang sempat hangat
menjadi perbincangan terjadi pada tahun
2017. Kasus bullying ini mengakibatkan
korban sampai bunuh diri karena tidak tahan
menerima tindak kekerasan yang dilakukan
oleh teman-temannya (Pratiwi, dkk,. 2021),
dapat dilihat sebagai ketidaksesuaian dengan
nilai-nilai etika dan moral yang seharusnya
melindungi hak asasi manusia, termasuk hak
untuk hidup.
Lebih lanjut, Tim KPAI (2020)
mencatat bahwa kekerasan terhadap anak,
termasuk bullying, menjadi perhatian serius.
Kasus-kasus
kekerasasn
tersebut
mencerminkan ketidaksesuaian dengan nilainilai moral dan etika dalam pergaulan social,
khususnya di kalangan pelajar.
Kasus perundungan terbaru di tahun
2023 yang sempat viral di cilacap dan
Balikpapan menurut berita yang ditulis oleh
(Beni Jo) para pelaku memukul korban dan
menendang berkali-kali hingga terjatuh, tidak
ada perlawanan dari korban yang sudah tidak
berdaya. Kemudian kasus perundungan
lainnya sebuah video viral menunjukkan dua
pelajar SMP merundung dengan cara
memukuli korban di pelataran Masjid
Darussalam, Kota Balikpapan, menunjukkan
ketidaksesuaian dengan nilai-nilai etika yang
mendasari hak asasi manusia. Tindakan
kekerasan
tersebut
menciptakan
ketidakadilan, yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip moral dalam masyarakat.
Solusi
untuk
Mengatasi
Kasus
Perundungan dan Kekerasan pada Siswa
Solusi untuk tindakan bullying ini
terbagi menjadi dua cara yaitu solusi untuk
pencegahan dan solusi untuk penanganan.
Beberapa solusi untuk pencegahan terjadinya
tindakan bullying sebagai berikut:
1. Pengadaan Edukasi dilingkungan Sekolah
Edukasi tindakan bullying tidak
hanya diperuntukan untuk para remaja
dalam lingkup sekolah saja, namun edukasi
tersebut juga diperuntukkan untuk para guru
dingkup sekolah agar dapat mengetahui dan
mencegah para remaja yang berpotensi
menjadi
pelaku
tindak
bullying
dilingkungan sekolah. Adapun edukasi yang
ditujukan kepada para pelajar dan komunitas
remaja yang berada dilingkup sekolah sebagai
berikut:
a. Berbagi dan mencurahkan kepada teman
dekat atau yang dapat memberi solusi
agar tidak terjadi seperti itu lagi, dengan
mendapatkan motivasi sehingga dapat
menyikapi tentang bagaimana yang harus
dirinya lakukan pada saat kejadian
seperti itu lagi.
b. Percaya diri. Dengan memiliki percaya
diri yang tinggi dan pada semestinya,
dengan cara menebarkan kebaikan
kepada setiap orang sudah dapat
memberikan kesan yang dapat dilihat
dengan menunjukkan kepada seseorang
bahwa anda bukanlah seseorang yang
lemah.
c. Membela diri. Dengan cara membela
diri saat dibully, dapat membuat pelaku
menjadi jera dan tidak akan membully
lagi dengan menunjukan bahwa korban
bullying bukanlah orang yang lemah,
tidak seperti apa yang dirinya pikirkan.
2. Edukasi tentang Peraturan Perundangudangan Mengenai Bullying
a. Menyampaikan edukasi tentang undangundang perlindungan anak
b. Memastikan bahwa guru dan staf sekolah
memahami peeraturan yang berkaitan
dengan bullying.
Beberapa solusi untuk penanganan terjadinya
tindak bullying sebagai berikut:
1. Fasilitas Rehabilitas Mental
a. Memberikan fasilitas rehabilitasi
mental untuk korban depresi akibat
bullying.
b. Pelayanan kesehatan mental khusus
untuk pemulihan pasien.
2. Penegakan Hukum
a. Menindak tegas tindakan bullying
secara hukum.
b. Mengacu pada pasal-pasal KUHP
yang terkait dengan cyberbullying.
3. Pembentukan Badan pencegahan dan
penanganan tindak bullying di sekolah
a. Membangun sistem pencegahan dan
penanganan kasus bullying di
sekolah.
b. Menetapkan aturan sekolah atau kode
etik yang mendukung lingkungan
aman.
Pendekatan lainya, yang dapat
digunakan dalam memerangi perundungan
adalah dengan memperkuat implementasi
Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Dengan
mengintegrasikan nilai-nilai Profil Pelajar
Pancasila secara aksiologis diciptakan untuk
menjawab sekaligus menghadapi tantangan,
profil pelajar pancasila telah menyediakan
enam kompetensi yang dirumuskan sebagai
dimensi kunci. Dimensi kunci tersebut
beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dan berakhlak mulia, beriman, berakhlak
mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif,
bergotong rotong, dan berkebinekaan global
Semua saling terkait Semua dimensi itu
memberikan petunjuk profil pelajar Pancasila
fokusnya tidak di kemampuan kognitif saja,
tetapi pada pendidikan karakter, perilaku yang
sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia dan
sekaligus sebagai warga dunia (Aristiawan,
dkk,.2023).
Pendidikan karakter, dalam membentuk
karakter siswa harus didukung dengan
berbagai faktor yang memungkinkan
tercapainya tujuan dari pembentukan karakter
itu sendiri. Faktor penting yang mendukung
proses pembentukan karakter adalah adanya
pendidikan karakter dan keteladanan dari
orang tua, guru, serta orang dewasa disekitar
siswa. Filsafat aksiologi juga memiliki
keterkaitan erat dengan sosok guru
Berdasarkan filsafat aksiologi guru
dalam menjalankan perannya sebagai seorang
teladan
yang
harus
mengajarkan,
menanamkan, dan memberikan keteladanan
nilai-nilai kehidupan dalam upaya membentuk
karakter siswa Guru harus memiliki
pengetahuan akan nilai-nilai dan moral yang
merupakan fokus dari aksiologi sehingga
dapat
menerapkan
dan
memberikan
keteladanan
nilai-nilai
tersebut
serta
membentuk karakter siswa (Sianipar, &
Irawati,. 2022)
5. KESIMPULAN
Secara harfiah, kata bully berarti
menggertak dan mengganggu orang yang
lebih lemah. Istilah bullying
kemudian
digunakan untuk menunjuk perilaku agresif
seseorang atau sekelompok orang yang
dilakukan secara berulang-ulang terhadap
orang atau sekelompok orang lain yang lebih
lemah untuk menyakiti korban secara fisik
maupun mental. Bullying bisa berupa
kekerasan dalam bentuk fisik (misal:
menampar,
memukul,
menganiaya,
menciderai), verbal (misal: mengejek,
mengolok-olok, memaki), dan mental/psikis
(misal:
memalak,
mengancam,
mengintimidasi,
mengucilkan
) atau gabungan di anatara ketiganya.
Penindasan fisik dan verbal dikenal
sebagai perilaku Pelecehan atau pelecehan
langsung terhadap korban, seperti penghinaan,
Namun, penindasan kategori antisosial adalah
penindasan yang dilakukan secara tidak
langsung terhadap orang lain. Korban,
misalnya mengucilkan seorang siswa dari
sekelompok teman di sekolah atau dari semua
orang Siswa terpaksa menjauhi berbagai
aktivitas dan interaksi sosial. Perundungan
verbal dapat berupa komentar yang tidak
menyenangkan, menyindir atau mengancam
merupakan contoh perundungan verbal.
Siswa
yang
menjadi
korban
perundungan dapat mengalami gangguan
terhadap kepercayaan diri. Mereka mungkin
merasa minder dan tidak nyaman dalam
lingkungan
sekolah.
dampak
dari
perundungan diantaranya dapat memunculkan
rasa tertekan, murung,sering menangis,
perubahan pola tidur dan pola makan, konsep
diri yang lemah, tidak memiliki support
system, luka fisik, penyakit dalam, serta
khusus kekerasan seksual kehamilan dan HIV.
Dilihat
dari
segi
aksiologi,
menggarisbawahi bahwa setiap orang berhak
atas perlindungan bagi pengembangan
pribadinya, pendidikan, dan peningkatan
kualitas hidup sesuai dengan hak asasi
manusia. Dalam hal ini, perundungan pada
siswa dianggap sebagai pelanggaran terhadap
hak asasi manusia, terutama hak untuk
memperoleh pendidikan dan pengembangan
pribadi yang berkhlak mulia.
Berdasarkan filsafat aksiologi guru
dalam menjalankan perannya sebagai seorang
teladan
yang
harus
mengajarkan,
menanamkan, dan memberikan keteladanan
nilai-nilai kehidupan dalam upaya membentuk
karakter siswa Guru harus memiliki
pengetahuan akan nilai-nilai dan moral yang
merupakan fokus dari aksiologi sehingga
dapat
menerapkan
dan
memberikan
keteladanan
nilai-nilai
tersebut
serta
membentuk karakter siswa.
Saran
Melihat masih adanya tindakan
perundungan dikalangan siswa dilingkungan
sekolah maka peneliti menyarankan beberapa
hal yang mungkin berguna bagi pihak-pihak
yang berkepentingan. Berikut beberapa saran
dan rekomendasi yang dapat peneliti berikan :
1. Kepala Sekolah
Kepala sekolah memiliki beberapa
program untuk mensosialisasikan pemahaman
kepada baik siswa atau siswi maupun seluruh
warga sekolah akan pengertian dari
perundungan itu sendiri serta bahaya
perundungan dan dampaknya bagi siswa
sekolah, agar apabila telah mengetahui apa itu
perundungan dan bagaimana dampaknya
maka siswa lebih menjaga pergaulan sesama
temannya
dan
mengurangi
tindakan
perundungan, serta mewadahi siswa dengan
bimbingan konseling dalam mengatasi
permasalahannya agar siswa dapat lebih
terarah
dalam
mengenali
diri
dan
permasalahan di lingkungan sosialnya.
Sekolah juga dapat memasang banner,
spanduk, slogan, untuk himbauan anti
perundungan yang ditujukan kepada seluruh
warga sekolah agar dapat menciptakan kondisi
lingkungan anti perundungan.
2. Guru
Memberikan pengendalian yang sesuai
dengan permasalahan sosial anak, apakah
tindakan yang dilakukan harusnya secara
persuasif atau koersif terhadap siswa sehingga
apabila diberikan penanganan yang benar
maka
dapat
mengurangi
tindakan
perundungan di kalangan siswa sekolah dasar.
Lebih aktif dalam mengontrol siswa, tidak
hanya di dalam kelas tapi juga memberi
perhatian seperti saat istirahat, pergantian jam
pelajaran, istirahat sholat maupun saat pulang
sekolah.
3. Orangtua Siswa
Agar dapat memberikan perhatian
khusus dan kotribusi terhadap kebijakan
sekolah
serta
dapat
memberikan
keseimbangan antara perhatian dari sekolah
dengan perhatiaan yang dilakukan di rumah
oleh orangtua, seperti mengikuti setiap
kegiatan rapat orangtua yang diadakan oleh
sekolah, tanggap apabila ada laporan dari anak
atau sekolah terhadap perkembangan perilaku
anak, rutin untuk memantau perkembangan
anak ke sekolah dan konsultasi dengan guru
kelas terkait dengan pendidikan dan
lingkungan anak di sekolah, sehingga
pengendalian dapat berjalan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Alamin, A., Nurwahidin, M., & Sudjarwo, S.
(2022). MEMBANGUN KARAKTER
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT
PENDIDIKAN. Jurnal Pendidikan Dasar
dan Sosial Humaniora, 1(12), 2427-2438.
Amin, M., & Imaduddin, M. A. (2023).
Pencegahan Kekerasan Seksual dan
Perundungan Di Sekolah. SEWAGATI:
Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat,
2(2), 99-104.
Aristiawan, A., Masitoh, S., & Nursalim, M.
(2023).
Profil
Pelajar
Pancasila
Menghadapi Tantangan Era Revolusi
Indusri 4.0 Dan Human Society 5.0
Dalam Kajian Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Jurnal Ilmiah Mandala Education, 9(1).
Fadilah, N., Ariantini, N., & Ningsih, S. W.
(2023). Fenomena bullying di kawasan
pondok pesantren. Jurnal Bimbingan dan
Konseling Borneo, 5(1).
Fikri, R. N., Rasyada, A. T., Dewi, E. H.,
Safytra, F., Adhatiyah, M., Yansu, S. P., ...
& Latifah, L. (2022, December). Solusi
Mengatasi Fenomena Bullying Pada
Komunitas Remaja. In Proceeding
Conference On Psychology and
Behavioral Sciences (Vol. 1, No. 1, pp.
78-79).
Fithriani, F. (2019). Implikasi Aksiologi
dalam Filsafat Pendidikan. Intelektualita,
5(1).
Hadi, S. (2017). Hak Mendapatkan
Pendidikan Tinjauan Epistimologi dan
Aksiologi Filsafat Pendidikan Islam.
Palapa, 5(2), 78-91.
Hatta, M. (2018). Tindakan perundungan
(bullying) dalam dunia pendidikan
ditinjau berdasarkan hukum pidana
Islam. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman, 41(2).
Indriani, L., Falihin, D., & Said, M. (2020).
Perilaku Bullying Siswa di SMP Negeri
23 Makassar. Social Landscape Journal,
1(2), 31-38.
Pratiwi, E. F., Saâ, S. S., Dewi, D. A., &
Furnamasari, Y. F. (2021). Implementasi
Pendidikan Kewarganegaraan melalui
Nilai Pancasila dalam Menangani Kasus
Bullying. Jurnal Basicedu, 5(6), 54725480.
Pristiwiyanto, P. (2021). Pancasila Dalam
Kajian Filsafat: Ontologi, Epistemologi
Dan Aksiologi. FATAWA: Jurnal
Pendidikan Agama Islam, 1(2), 253-262.
Rizal, R. S. (2021). Bentuk Dan Faktor
Perundungan
Pada
Siswa
SMP.
Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi,
9(1), 129-136.
Sianipar, H. M., & Irawati, W. (2022). Peran
Guru Sebagai Teladan Dalam Upaya
Pembentukan
Karakter
Siswa
Berdasarkan Kajian Filsafat Aksiologi
Kristen. Journal of Christian Education,
3(1), 58-73.
Syahida, D. K., & Christiana, E. (2020). Studi
Kasus Perundungan Verbal Siswa Pada
Sekolah Dasar Ditinjau Dari Jenis
Gender. Jurnal BK UNESA, 11(3).
Download