TUGAS MATA KULIAH PERILAKU KEORGANISASIAN DAN KEPEMIMPINAN Dosen Pengampu : Dr. Made Surya Putra, S.E., M.Si. Oleh : A. A. Ayu Tirtamara (NIM 2280611029) PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI & BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA 2023 BAB I PERILAKU KEORGANISASIAN a. Konsep dasar, tujuan dan ruang lingkup Perilaku keorganisasian adalah studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan struktur organisasi mempengaruhi perilaku dalam konteks organisasi. Konsep dasar dalam perilaku keorganisasian meliputi: 1. Individu dalam Organisasi: Konsep ini mencakup studi tentang karakteristik individu seperti kepribadian, sikap, persepsi, motivasi, dan pengambilan keputusan dalam konteks organisasi. 2. Kelompok dalam Organisasi: Konsep ini membahas bagaimana kelompok dalam organisasi terbentuk, berinteraksi, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi. 3. Kepemimpinan dalam Organisasi: Konsep ini mempelajari bagaimana kepemimpinan mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam organisasi. 4. Struktur Organisasi: Konsep ini membahas bagaimana struktur organisasi, seperti tata kelola, budaya organisasi, dan peran dan tanggung jawab, mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam organisasi. 5. Konflik dan Negosiasi: Konsep ini membahas bagaimana konflik antara individu dan kelompok dapat diatasi melalui negosiasi dan manajemen konflik. 6. Etika dan Tanggung Jawab Sosial: Konsep ini mencakup studi tentang etika dan tanggung jawab sosial dalam konteks organisasi, termasuk perilaku etis dan tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam keseluruhan, ruang lingkup perilaku keorganisasian sangat luas dan mencakup berbagai aspek yang mempengaruhi kinerja individu dan kelompok dalam organisasi. Studi perilaku keorganisasian bertujuan untuk membantu manajemen memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi dan bagaimana manajemen dapat meningkatkan efektivitas organisasi melalui manajemen perilaku yang tepat. Tujuan perilaku keorganisasian adalah memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja individu dan kelompok dalam konteks organisasi serta memberikan wawasan tentang cara meningkatkan efektivitas organisasi. Beberapa tujuan khusus dari studi perilaku keorganisasian antara lain: 1. Mempelajari karakteristik individu dalam organisasi seperti motivasi, kepemimpinan, sikap, persepsi, dan pengambilan keputusan, dan bagaimana karakteristik tersebut mempengaruhi kinerja individu. 2. Mempelajari bagaimana kelompok dalam organisasi terbentuk, berinteraksi, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi. 3. Mempelajari bagaimana struktur organisasi, seperti tata kelola, budaya organisasi, dan peran dan tanggung jawab, mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam organisasi. 4. Mempelajari bagaimana konflik antara individu dan kelompok dapat diatasi melalui negosiasi dan manajemen konflik. 5. Mempelajari etika dan tanggung jawab sosial dalam konteks organisasi, termasuk perilaku etis dan tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan mempelajari perilaku keorganisasian, manajemen dapat mengembangkan strategi untuk meningkatkan kinerja individu dan kelompok, mengelola konflik, dan mempromosikan etika dan tanggung jawab sosial dalam organisasi. Selain itu, studi perilaku keorganisasian juga dapat membantu manajemen memahami bagaimana struktur organisasi dan lingkungan kerja dapat ditingkatkan untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif. b. Definisi perilaku keorganisasian Perilaku organisasi telah didefinisikan oleh para pakar secara berbeda berdasarkan lingkup pengetahuan dan/atau pengalaman masing-masingnya. Perbedaan definisi ini pada dasarnya dapat digunakan untuk saling melengkapi dalam memahami perilaku organisasi tersebut. Beberapa definisi perilaku organisasi akan dikemukakan berikut ini. Perilaku organisasi dapat didefinisikan sebagai pemahaman, prediksi, dan pengelolaan perilaku manusia dalam organisasi (Luthans, 2011). Perilaku organisasi adalah bidang studi yang menyelidiki dampak yang dimiliki individu, kelompok, dan struktur terhadap perilaku di dalam organisasi, dengan tujuan menerapkan pengetahuan tersebut untuk meningkatkan efektivitas organisasi (Robbins & Judge, 2013). Perilaku organisasi: bidang studi yang mengacu pada teori, metode, dan prinsip dari berbagai disiplin ilmu untuk mempelajari tentang persepsi, nilai, kapasitas belajar, dan tindakan individu saat bekerja dalam kelompok dan di dalam organisasi dan untuk menganalisis dampak lingkungan eksternal pada organisasi dan sumber daya manusia, misi, tujuan, dan strateginya (Gibson et al, 2012). c. Pendekatan Multi Disiplin dalam Perilaku Organisasi Manusia yang bekerjasama dalam organisasi memiliki keunikan masing-masingnya karena mereka datang dengan latar belakang yang berbeda seperti budaya, umur, pendidikan, pengalaman, kebutuhan, motivasi dan lain-lain. Oleh karena itu para manajer dalam memahami, mengarahkan dan mengelola perilaku orang-orang yang ada dalam organisasinya, baik secara individual maupun kelompok dapat memanfaatkan teori, metode dan prinsip berbagai ilmu perilaku dan ilmu sosial seperti Psikologi, Psikologi Sosial, Sosiologi, Antropologi, Ilmu Politik, Ilmu Ekonomi dan Ilmu Manajemen (Greenberg & Baron, 2008: 67; Robbins & Judge, 2013: 13-14, Gibson, 2012: 7). Kontribusi berbagai ilmu perilaku dan ilmu sosial ini terhadap Perilaku Organisasi tampak dalam Tabel di bawah ini. No. 1 Kategori Ilmu Perilaku dan Kontribusi pada topik-topik Ilmu Sosial Perilaku Organisasi yang relevan Psikologi. (mempelajari Persepsi, pembelajaran, kepribadian, emosi, stres dan berusaha kerja, sikap, motivasi, pengambilan keputusan memahami perilaku individu pribadi, kepuasan kerja, kreativitas, rancangan 2 manusia) pekerjaan, penilaian kinerja Psikologi Sosial. Perubahan perilaku, perubahan sikap, komunikasi, (fokus mempelajari pengaruh proses orang satu sama lain) kelompok, pengambilan keputusan kelompok, kekuasaan, konflik, perilaku antar kelompok 3 4 Sosiologi. Budaya organisasi, dinamika kelompok, struktur (mempelajari orang dalam organisasi, hubungan dengan lingkungan organisasi, sosialisasi, komunikasi, kekuasaan, sosial mereka atau budaya) konflik Antropologi. Budaya organisasi, kepemimpinan, lingkungan teknologi organisasi, perubahan (mempelajari masyarakat untuk organisasi, kekuasaan, nilainilai komparatif, sikapmengetahui keberadaan sikap komparatif, analisa lintas budaya manusia dan aktivitasnya 5 Ilmu Politik. Konflik, kekuasaan, kepemimpinan, pengambilan (mempelajari penggunaan keputusan kekuasaan dalam tindakan kelompok pribadi, pengambilan keputusan seseorang mencapai tujuan) 6 Ilmu Ekonomi. Pengambilan keputusan pribadi, pengambilan (mempelajari perilaku manusia keputusan kelompok, negosiasi, kekuasaan untuk membuat pilihan dan mencapai kemakmuran) No. 7 Kategori Ilmu Perilaku dan Kontribusi pada topik-topik Ilmu Sosial Perilaku Organisasi yang relevan Ilmu Manajemen. Teknologi organisasi, kualitas organisasi, (mempelajari tindakan perubahan organisasi, pengambilan keputusan mencapai tujuan melalui dan pribadi, pengambilan keputusan kelompok bersama orang lain secara efisien dan efektif) d. Tantangan dan Peluang Perilaku Organisasi Lingkungan organisasi berubah sangat cepat seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan ini menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi para manajer dalam mengimplementasikan Perilaku Organisasi sebagai suatu disiplin ilmu. Peluang dan tantangan Perilaku Organisasi sebagai berikut: 1. Merespons Globalisasi Era globalisasi telah membuka sekat-sekat antar negara melalui pemberlakuan pasar bebas atau perdagangan bebas. Bisnis internasional merupakan salah satu ciri globalisasi akan memungkinkan karyawan bekerja dengan karyawan atau manajer yang berbeda negara dan budaya. Karyawan yang tidak dipersiapkan menghadapi kondisi ini bisa mengalami culture shock, stres, frustrasi dan konflik sehingga kinerjanya tidak efektif. Manajer harus meminimalkan kemungkinan terjadinya hal-hal ini pada diri karyawan. 2. Merespons Kemajuan Teknologi Teknologi berkembang pesat dewasa ini dan hal ini telah mengubah sifat esensi pekerjaan dan organisasi. Otomatisasi dan penggunaan teknologi informasi telah menggantikan manusia dengan mesin dalam melakukan banyak pekerjaan. Konsekuensi dari pemanfaatan teknologi terjadilah perampingan organisasi yang dilakukan melalui penciutan (downsizing) dan alih daya (outsourcing). Selain itu, teknologi informasi memungkinkan terjadinya organisasi virtual (virtual organization) dan bekerja jarak jauh (telecommuting/ telework). Manajer perlu mempertimbangkan dampak kemajuan teknologi tersebut bagi karyawannya. 3. Merespons Diversitas Angkatan Kerja Organisasi pada era globalisasi mempekerjakan orang-orang dengan latar belakang yang beragam seperti jenis kelamin, pendidikan, kepribadian, ras, suku, agama, budaya, negara dan lainnya. Kondisi ini mudah menimbulkan kesalahpahaman, saling curiga, konflik dan/atau ketidakharmonisan dalam bekerja diantara karyawan. Manajer harus menciptakan iklim kerja yang kondusif dan memadukan mereka agar bersinergi untuk menghasilkan kinerja yang efektif. 4. Merespons Tekanan Ekonomi Kondisi ekonomi yang buruk seperti inflasi yang tinggi dapat membuat karyawan menjadi stres, frustrasi, tidak bahagia dalam bekerja. Pendapatan mereka dari pekerjaan menurun secara ril, sehingga tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya. Hal ini membuat karyawan tidak mampu berkonsentrasi dalam melakukan pekerjaannya, sehingga kinerja mereka tidak efektif. Manajer perlu membangkitkan semangat karyawannya agar tetap bekerja baik. 5. Merespons Persaingan Persaingan bisnis saat ini dan di masa yang akan datang cenderung meningkat. Kunci untuk memenangkan persaingan adalah pengembangan sumber daya manusia secara berkelanjutan agar mereka menjadi profesional, kreatif, inovatif dan produktif. Manajer yang mengabaikan pengembangan sumber daya manusia, maka organisasi yang dipimpinnya cepat atau lambat akan menghadapi kehancuran. Oleh karena itu manajer harus meningkatkan kemampuan karyawannya secara terprogram. 6. Merespons Tuntutan Konsumen/Pelanggan Konsumen atau pelanggan merupakan pengguna dari barang atau jasa yang ditawarkan organisasi dan karenanya mereka harus dipertahankan dengan memberikan layanan terbaik. Banyak organisasi kehilangan pelanggan karena karyawannya tidak dapat memberikan layanan yang memuaskannya, apalagi di era persaingan yang ketat saat ini. Manajemen perlu menciptakan budaya yang tanggap terhadap kebutuhan dan keinginan pelanggannya. Manajemen harus melatih karyawannya agar bersifat ramah dan bersahabat ketika melayani pelanggannya. BAB II KERAGAMAN DALAM ORGANISASI Keragaman dalam organisasi merujuk pada perbedaan yang ada di antara individu atau kelompok yang tergabung dalam organisasi, seperti perbedaan budaya, latar belakang, jenis kelamin, usia, dan sebagainya. Keragaman dianggap sebagai kekuatan dalam organisasi karena dapat meningkatkan kreativitas, inovasi, dan perspektif yang berbeda dalam menyelesaikan masalah. Namun, keragaman juga dapat menimbulkan konflik jika tidak dikelola dengan baik. Untuk mengoptimalkan keragaman dalam organisasi, organisasi perlu menciptakan lingkungan yang inklusif dan beragam, di mana setiap individu merasa dihargai dan diakui keberadaannya. Organisasi perlu mendorong dialog terbuka, menghargai perbedaan, dan memastikan keadilan dalam pengambilan keputusan. Pengelolaan keragaman juga dapat meningkatkan efektivitas organisasi dengan menciptakan keberagaman dalam rekrutmen dan seleksi karyawan, program pelatihan, dan promosi. Dengan cara ini, organisasi dapat memanfaatkan keahlian dan kemampuan individu untuk mencapai tujuan organisasi. Keragaman dalam organisasi mencakup berbagai macam aspek, seperti karakteristik biografis, kemampuan, kepribadian, dan pembelajaran. a. Karakteristik biografis Karakteristik biografis dalam organisasi mencakup faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman kerja, ras/etnis, agama, dan sebagainya. Setiap karyawan memiliki karakteristik biografis yang berbeda-beda, yang dapat mempengaruhi cara kerja dan interaksi di antara mereka.Usia mempengaruhi perilaku dan preferensi kerja karyawan, dengan karyawan yang lebih muda mungkin lebih terbuka terhadap inovasi dan teknologi, sementara karyawan yang lebih tua mungkin lebih berpengalaman dan memiliki pengetahuan yang lebih luas. Jenis kelamin juga dapat mempengaruhi perilaku dan preferensi kerja, dengan perempuan mungkin lebih cenderung untuk mengambil tanggung jawab dan bekerja dengan lebih kolaboratif, sedangkan laki-laki mungkin lebih cenderung untuk bersaing dan mengambil risiko. Pendidikan dan pengalaman kerja memainkan peran penting dalam menentukan kemampuan dan keterampilan karyawan, dan dapat mempengaruhi posisi dan gaji mereka dalam organisasi. Ras/etnis dan agama juga dapat mempengaruhi persepsi dan preferensi kerja, dan organisasi harus memastikan bahwa tidak ada diskriminasi yang terjadi berdasarkan faktorfaktor tersebut. Dalam mengelola karakteristik biografis karyawan, organisasi perlu memastikan keadilan dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam rekrutmen, promosi, dan penggajian. Organisasi juga perlu memperhatikan perbedaan yang ada di antara karyawan dan memastikan bahwa setiap karyawan merasa dihargai dan diakui keberadaannya dalam organisasi. b. Kemampuan Kemampuan dalam organisasi merujuk pada keterampilan, pengetahuan, dan keahlian yang dimiliki oleh karyawan untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawab mereka. Kemampuan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kemampuan teknis dan kemampuan nonteknis. Kemampuan teknis mencakup keterampilan dan pengetahuan yang spesifik terkait dengan pekerjaan atau fungsi yang dilakukan karyawan. Contoh kemampuan teknis termasuk kemampuan dalam mengoperasikan peralatan kantor, menguasai bahasa pemrograman, atau keterampilan dalam memasak. Kemampuan non-teknis, di sisi lain, mencakup keterampilan dan pengetahuan yang lebih luas dan sering diperlukan untuk setiap pekerjaan. Contoh kemampuan non-teknis termasuk kemampuan komunikasi, kepemimpinan, pemecahan masalah, kerja sama tim, dan manajemen waktu. Dalam mengelola kemampuan karyawan, organisasi perlu memastikan bahwa setiap karyawan memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas mereka dengan baik. Ini dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan dan pengembangan yang diperlukan, serta dengan melakukan penilaian kinerja yang teratur. Pengelolaan kemampuan juga dapat meningkatkan efektivitas organisasi dengan memastikan bahwa karyawan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi. Organisasi dapat mempertimbangkan rekrutmen dan seleksi karyawan yang berfokus pada kemampuan teknis dan non-teknis, serta mempertimbangkan program pelatihan dan pengembangan untuk meningkatkan kemampuan karyawan yang ada. c. Kepribadian Kepribadian dalam organisasi mencakup karakteristik, sikap, dan perilaku karyawan dalam lingkungan kerja. Kepribadian karyawan dapat mempengaruhi kinerja dan interaksi mereka dengan rekan kerja, pelanggan, dan manajemen. Beberapa faktor kepribadian yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan meliputi tingkat kepercayaan diri, tingkat keterbukaan terhadap pengalaman baru, kecenderungan untuk mengambil risiko, dan sikap terhadap tanggung jawab. Organisasi dapat mengelola kepribadian karyawan dengan mempertimbangkan rekrutmen dan seleksi karyawan yang tepat, serta memberikan pelatihan dan pengembangan yang sesuai. Hal ini dapat membantu mengembangkan kepribadian karyawan dan memastikan bahwa mereka memiliki sikap yang positif dan perilaku yang sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi. Penting juga bagi organisasi untuk memastikan bahwa karyawan merasa dihargai dan diakui atas kontribusi mereka, dan bahwa ada kesempatan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi pekerjaan mereka. Hal ini dapat membantu membangun hubungan yang positif antara karyawan dan organisasi, serta meningkatkan motivasi dan kinerja karyawan. d. Pembelajaran Pembelajaran dalam organisasi merujuk pada proses di mana karyawan memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan pengalaman baru yang dapat membantu mereka meningkatkan kinerja mereka di tempat kerja. Pembelajaran dalam organisasi memiliki beberapa manfaat, seperti meningkatkan kinerja karyawan, meningkatkan produktivitas, meningkatkan kreativitas dan inovasi, serta meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Organisasi dapat mempromosikan pembelajaran dengan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung pembelajaran, seperti memberikan akses ke sumber daya dan alat yang diperlukan, dan dengan menciptakan budaya yang terbuka terhadap pembelajaran dan inovasi. Penting bagi organisasi untuk mengukur efektivitas program pembelajaran dan memastikan bahwa investasi dalam program pembelajaran memberikan hasil yang diharapkan. Organisasi dapat menggunakan evaluasi kinerja karyawan, umpan balik dari peserta program, dan analisis biaya-manfaat untuk mengukur efektivitas program pembelajaran. Dengan memanfaatkan keragaman dalam organisasi, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan beragam, yang dapat meningkatkan produktivitas dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Organisasi juga perlu memperhatikan kebutuhan dan perspektif setiap karyawan untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan produktif. BAB III SIKAP DAN KEPUASAN KERJA Sikap kerja adalah perilaku seseorang terhadap pekerjaannya yang tercermin dalam sikap positif atau negatifnya terhadap tugas, lingkungan kerja, dan rekan kerjanya. Sikap kerja yang positif cenderung meningkatkan produktivitas dan kinerja individu, sementara sikap kerja yang negatif dapat merugikan diri sendiri dan organisasi tempat mereka bekerja. Beberapa faktor yang mempengaruhi sikap kerja antara lain kondisi lingkungan kerja, kepuasan kerja, kepercayaan pada pimpinan, pengakuan atas prestasi kerja, dan keseimbangan kehidupan kerja. Kepuasan kerja adalah tingkat kepuasan seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja dapat memengaruhi sikap kerja individu, dan juga dapat mempengaruhi loyalitas dan kinerja di tempat kerja. Beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja antara lain keseimbangan kehidupan kerja, gaji dan tunjangan, kesempatan untuk pengembangan karir, lingkungan kerja yang aman dan nyaman, dan hubungan yang baik dengan rekan kerja dan atasan. Untuk meningkatkan sikap dan kepuasan kerja, organisasi perlu memperhatikan faktorfaktor yang mempengaruhi keduanya dan menciptakan lingkungan kerja yang positif. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan gaji dan tunjangan yang sesuai, memberikan kesempatan pengembangan karir, memperbaiki kondisi lingkungan kerja, dan membina hubungan yang baik antara atasan dan bawahan. a. Konsep Persepsi Persepsi adalah proses dengan mana para individu mengatur dan menginterpretasikan kesan - kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungannya. Berdasarkan definisi tersebut bahwa setiap orang memberi arti sendiri terhadap stimulus lingkungannya, individu yang berbeda dapat melihat hal yang sama tetapi memahaminya secara berbeda, sehingga mempunyai persepsi yang berbeda. Sebagai contoh, jika semua karyawan dalam sebuah perusahaan menganggapnya sebagai tempat yang baik, kondisi kerja yang menyenangkan, pekerjaan yang menarik, gaji yang memadai, manajemen yang pengertian, dan sebagainya, tetapi sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar kita sangat sulit untuk menemukan kecocokan yang seperti itu. Beberapa faktor yang membentuk dan terkadang mengubah persepsi. Faktor-faktor ini bisa terletak dalam diri pembentuk persepsi, pada objek atau target yang diartikan, atau dalam konteks situasi di mana persepsi dibuat. Ketika seorang individu melihat sebuah target dan berusaha untuk menginterpretasikan apa yang dilihat. Interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh berbagai karakteristik pribadi dari pembuat persepsi tersebut yang meliputi sikap, motif, kepentingan, pengalaman, dan harapan-harapan seseorang. Faktor target yang diobservasi bisa mempengaruhi apa yang diartikan. Individu yang bersuara keras cenderung diperhatikan dalam sebuah kelompok dibandingkan individu yang lembut. Begitu pula dengan individu yang menarik atau tidak menarik. Oleh karena target tidak dilihat secara khusus, hubungan sebuah target dengan latar belakangnya juga mempengaruhi persepsi, seperti halnya kecenderungan kita untuk mengelompokkan halhal yang dekat dan hal-hal yang mirip. Konteks di mana kita melihat berbagai objek atau peristiwa juga penting. Waktu dimana sebuah objek atau peristiwa dilihat, dapat mempengaruhi perhatian, seperti halnya lokasi, cahaya, panas, atau sejumlah faktor situasional lainnya. b. Konsep Sikap Sikap adalah penentu perilaku karena sikap berkaitan dengan persepsi, kepribadian, perasaan, dan motivasi. Sikap dan persepsi penting dalam mempelajari perilaku organisasi karena perilaku individu didasarkan pada persepsi mereka tentang kenyataan. Sikap yang akan dibahas di sini fokus pada sikap yang berkaitan dengan pekerjaan, yang mencakup kepuasan kerja (job satisfaction), keterlibatan kerja (job involvement), komitmen organisasi (organizational commitment), dukungan organisasional yang dirasakan (perceived organizational support), dan keterlibatan karyawan (employee engagement). Ada tiga komponen sikap yakni cognition, affect, dan behavior. Komponen kognitif dari suatu sikap adalah segmen pendapat atau kesadaran akan suatu sikap. Komponen afektif dari suatu sikap adalah segmen emosional atau perasaan dari suatu sikap. Komponen perilaku dari suatu sikap adalah suatu maksud untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu. Sikap kerja berisi evaluasi positif atau negatif yang dimiliki oleh karyawan tentang aspek-aspek lingkungan kerja. Sebagian besar penelitian dalam perilaku organisasi berhubungan dengan sikap seperti job satisfaction, job involvement, organizational commitment, perceived organizational support, dan employee engagement. c. Konsep Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah perasaan positif mengenai pekerjaan seseorang sebagai hasil evaluasi dari karakteristikkarakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaannya, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negative tentang pekerjaannya. Setiap pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan kerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijaksanaan organisasi, memenuhi standar kinerja, menerima kondisi kerja yang seringkali tidak ideal, dan lain-lain. Ini berarti, bahwa penilaian karyawan tentang seberapa ia merasa puas atau tidak puas dengan pekerjaan merupakan hal yang kompleks dari sejumlah elemen pekerjaan yang berlainan. Untuk mengukur kepuasan kerja ada dua pendekatan yang sering digunakan yaitu penilaian tunggal secara umum, dan penilaian atas sejumlah aspek atau dimensi pekerjaan. Pada penilaian tunggal secara umum, sekedar meminta responden untuk merespons satu pertanyaan; misalnya seberapa puaskah Anda dengan pekerjaan Anda? Kemudian responden menjawab dengan cara memilih alternative jawaban yang telah disiapkan dari “sangat puas” sampai “sangat tidak puas”. Penilaian atas dasar dimensi-dimensi pekerjaan, dilakukan dengan mengidentifikasi elemen-elemen penting dalam suatu pekerjaan dan menanyakan perasaan karyawaan tentang setiap elemen kemudian dinilai berdasarkan skala standar lalu menjumlahkannya untuk mendapatkan nilai kepuasan kerja secara keseluruhan. Dimensidimensi pekerjaan terdiri dari the work itself, pay, promotion opportunities, supervision, coworkers. Pekerjaan itu sendiri, dalam hal pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. Gaji merupakan sejumlah upah yang diterima dan tingkat di mana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi. Kesempatan promosi, yaitu kesempatan untuk maju dalam organisasi. Pengawasan, yaitu kemampuan supervisi untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku. Rekan kerja, tingkat di mana rekan kerja pandai secara dan mendukung secara sosial. d. Konsep tentang Stres Stres sebagai suatu tanggapan penyesuaian, yang dimediasi oleh perbedaan-perbedaan individual, yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau bahkan peristiwa yang menetapkan permintaan khusus kepada seseorang. Penyebab stres (stressors) di tempat kerja bersumber dari: individu, kelompok, organisasi, maupun faktor di luar lingkungan kerja. Selanjutnya stress berdampak pada (outcome) perilaku, kognitif, dan psikologis akan tetapi dampaknya tidak secara langsung melainkan dimoderasi oleh faktor perbedaan-perbedaan individual (individual differences), seperti keturunan, umur, jenis kelamin, dukungan sosial, dan kepribadian. Maksudnya kemampuan setiap individu dalam menghadapi stres di tempat kerja sangat tergatung pada perbedaan-perbedaan individual. Stress pada hakekatnya tidak selalu buruk atau negative, melainkan juga memiliki sisi positif. Sebagai contoh dampak stress pada kinerja, pada saat stress rendah atau tidak ada stress, orang pada umumnya bekerja pada tingkat kinerja yang dicapainya saat itu. Jadi tidak ada dorongan untuk berkinerja lebih dari yang dilakukan selama ini. Penyebab stress yang berasal dari individu seperti konflik peran (role conflict). Konflik peran terjadi manakala seseorang diperhadapkan untuk memenuhi harapan-harapan tentang pekerjaan dan juga memenuhi harapan-harapan dari pekerjaan yang lain. Karyawan yang mengalami konflik menunjukkan kepuasan kerja yang lebih rendah dan ketegangan yang berkaitan dengan kerja yang lebih tinggi. Karakteristik-karakteristik kelompok dapat menjadi penyebab stres yang kuat bagi beberapa individu dalam kelompok, seperti norma-norma kelompok, kepemimpinan, dan kedudukan secara hirarki. Para ilmuan perilaku menganggap bahwa memperbaiki hubungan yang baik di antara anggota kelompok kerja merupakan faktor utama dalam kehidupan perilaku individu yang baik. Stressors kelompok dapat berupa kurangnya kohesivitas kelompok, terutama pada tingkat organisasi yang lebih rendah. Jika karyawan tidak mengalami kesempatan kebersamaan karena desain kerja, penyelia melarang atau membatasinya, atau karena anggota kelompok yang menyingkirkan karyawan lain, sehingga kurangnya kohesivitas akan menyebabkan stres. Karyawan sangat dipengaruhi oleh dukungan anggota kelompok yang kohesif. Jika dukungan kelompok berkurang pada individu maka situasi akan membuat stres. BAB IV MOTIVASI I. Pengertian motivasi Motivasi menimbulkan semangat atau dorongan untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi itu sendiri bisa bersifat internal dan eksternal. Motivasi internal adalah motivasi yang berasal dari dalam diri individu dan biasanya bersifat lebih kekal, dan motivasi eksternal adalah motivasi yang berasal dari luar diri individu yang bersifat sementara. Kedua jenis motivasi ini memiliki implikasi yang penting bagi para manajer dalam pekerjaannya memotivasi karyawan (Tewal, dkk., 2017). Menurut Gibson et.al (2012), motivasi adalah konsep yang kita gunakan untuk menggambarkan kekuatan bertindak pada atau di dalam setiap individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku. Motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai suatu tujuan. Intensitas menggambarkan seberapa keras seseorang berusaha. Ini adalah elemen yang paling kita fokuskan ketika kita berbicara tentang motivasi. Namun, intensitas tinggi tidak mungkin untuk mengarah pada hasil kinerja yang baik kecuali upaya tersebut disalurkan dalam arah yang menguntungkan organisasi. Oleh karena itu, kami mempertimbangkan kualitas upaya serta intensitasnya. Upaya yang diarahkan, dan konsisten dengan tujuan organisasi adalah jenis upaya yang harus kita upayakan. Terakhir, motivasi memiliki dimensi ketekukan. Ketekunan mengukur berapa lama seseorang dapat mempertahankan usaha. Individu yang termotivasi bertahan dengan tugas cukup lama untuk mencapai tujuan mereka (Robbins dan Judge, 2013). Motivasi adalah proses yang dimulai dengan defisiensi secara fisiologis atau psikologis yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditujukan untuk tujuan atau insentif (Luthans, 2011). Berdasarkan definisi tersebut ada tiga elemen penting yakni ada dorongan dari dalam diri individu, ada tindakan, dan tujuan. Dorongan karena ada kebutuhan yang dirasakan yang menggerakkan individu untuk bertindak dalam memenuhi kebutuhan yakni tujuan. Kebutuhan adalah kekurangan yang dialami individu pada suatu waktu tertentu. Kekurangan tersebut dapat bersifat fisik, psikologis, atau sosiologis. Motivasi adalah faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan dan mengarahkan perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu. (Tewal, dkk., 2017). II. Proses timbulnya motivasi Proses timbulnya motivasi seseorang merupakan gabungan dari konsep kebutuhan, dorongan, tujuan, dan imbalan. Menurut Gibson, et.al (2012), proses motivasi terdiri dari beberapa tahapan yakni : 1. Munculnya suatu kebutuhan yang belum terpenuhi yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan dalam diri seseorang dan berusaha untuk menguranginya dengan perilaku tertentu. 2. Seseorang kemudian mencari cara-cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. 3. Seseorang mengarahkan perilakunya ke arah pencarian tujuan atau prestasi dengan caracara yang telah dipilih dengan didukung oleh kemampuan, keterampilan maupun pengalamannya 4. Penilaian prestasi dilakukan oleh diri sendiri atau orang lain tentang keberhasilannya dalam mencapai tujuan. Perilaku yang ditujukan untuk memuaskan kebutuhan misalnya, kebanggaan biasanya dinilai oleh individu. Sedangkan perilaku yang ditujukan untuk memenuhi suatu kebutuhan misalnya, finansial atau jabatan, umumnya dilakukan oleh atasan atau pimpinan organisasi. 5. Imbalan atau hukuman yang diterima atau dirasakan tergantung pada evaluasi atas prestasi yang dilakukan. 6. Seseorang menilai sejauh mana perilaku dan imbalan telah memuaskan kebutuhannya. Jika siklus motivasi tersebut telah memuaskan kebutuhannya, maka suatu keseimbangan atau kepuasan atas kebutuhan tertentu dirasakan. Akan tetapi masih ada kebutuhan yang belum terpenuhi maka akan terjadi lagi proses pengulangan dari dari siklus motivasi dengan perilaku yang berbeda. Proses timbulnya motivasi menurut Gibson, et.al (2012) III. Teori-teori motivasi 3.1 Teori awal motivasi a. Teori hirarki kebutuhan (Maslow’s Hierarchy of Needs) Teori motivasi yang paling terkenal adalah teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow yang berhipotesis bahwa dalam diri setiap manusia terdapat hirarki lima kebutuhan. Menurut Tewal, dkk. (2017), teori ini mengemukakan bahwa manusia di tempat kerjanya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk memuaskan sejumlah kebutuhan yang ada dalam diri seseorang. Teori ini didasarkan pada tiga asumsi dasar yaitu: 1. Kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki, mulai dari hirarki kebutuhan yang paling dasar sampai ke kebutuhan yang paling tinggi tingkatannya. 2. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan dapat mempengaruhi perilaku seseorang, di mana hanya kebutuhan yang belum terpuaskan yang dapat menggerakkan perilaku. Kebutuhan yang telah terpuaskan tidak dapat berfungsi sebagai motivator. 3. Kebutuhan yang lebih tinggi berfungsi sebagai motivator apabila kebutuhan yang hirarkinya lebih rendah paling tidak telah terpuaskan secara minimal. Menurut Robbins dan Judge (2013), hirarki lima kebutuhan manusia menurut Maslow adalah sebagai berikut: 1. Physiological (kebutuhan fisiologis). Kebutuhan fisiologis merupakan hirarki kebutuhan manusia yang paling dasar yang merupakan kebutuhan untuk dapat hidup. Termasuk rasa lapar, haus, karyawan harus diberi waktu istirahat dan makan yang cukup. tempat berteduh, seks, dan kebutuhan tubuh lainnya. 2. Safety and security (kebutuhan keselamatan dan keamanan). Apabila kebutuhan fisiologis relative sudah terpuaskan maka muncul kebutuhan yang kedua yaitu kebutuhan keselamatan dan rasa aman. Kebutuhan ini meliputi keamanan akan perlindungan dari bahaya kecelakaan kerja, jaminan akan kelangsungan pekerjaan, dan jaminan akan hari tua pada saat seseorang tidak lagi bekerja, keamanan dan perlindungan dari bahaya fisik dan emosional. 3. Belongingness, sosial, and love (kebutuhan sosial). Rasa memiliki secara sosial, kasih sayang, rasa memiliki, penerimaan, dan persahabatan. Dalam konteks organisasi, berkaitan dengan kebutuhan akan adanya kelompok kerja yang kompak, supervisi yang baik, rekreasi bersama, dan sebagainya. 4. Esteem (kebutuhan penghargaan). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan keinginan untuk dihormati, dihargai atas prestasi seseorang, pengakuan atas kemampuan dan keahlian seseorang serta efektifitas kerja seseorang. Oleh karena itu, manajer harus menghargai dan memberi reward, dan promosi bagi karyawan yang bekerja dengan baik. Faktor internal seperti : harga diri, otonomi, dan prestasi, dan faktor eksternal seperti : status, pengakuan, dan perhatian. 5. Self-actualization (kebutuhan aktualisasi diri). Aktualisasi diri berkaitan dengan proses pengembangan akan potensi yang sesungguhnya dari seseorang: termasuk pertumbuhan, mencapai potensi kita, dan pemenuhan diri. Menurut Maslow, karena setiap kebutuhan secara substansial terpuaskan, kebutuhan berikutnya menjadi dominan. Jadi, jika Anda ingin memotivasi seseorang, Anda perlu memahami tingkat hierarki orang tersebut saat ini dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan pada atau di atas tingkat tersebut. b. Teori dua faktor (Herzberg’s Two-Factor Theory) Menurut Tewal, dkk. (2017), teori dua faktor dikemukakan oleh Herzberg yang dihasilkan dari suatu penelitian terhadap 200 orang akuntan dan insinyur. Dari hasil penelitian tersebut Herzberg menyimpulkan dua hal atau dua faktor sebagai berikut : 1. Ada sejumlah kondisi extrinsic pekerjaan (konteks pekerjaan), yang apabila faktor atau kondisi itu tidak ada, menyebabkan ketidakpuasan di antara para karyawan. Kondisi ini disebut dengan dissatisfiers, atau hygiene factors, karena kondisi atau factor-faktor tersebut dibutuhkan minimal untuk menjaga adanya ketidakpuasan. Faktor-faktor ini berkaitan dengan keadaan pekerjaan yang meliputi factor-faktor sebagai berikut : gaji, status, kemanan kerja, kondisi kerja, fringe benefits, kebijakan dan prosedurm dan hubungan interpersonal. 2. Sejumlah kondisi intrinsic, tidak adanya kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas. Tetapi jika kondisi atau faktor-faktor tersebut ada, akan membentuk motivasi yang kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh karena itu, disebut satisfiers (pemuas) atau motivators (motivator). Kondisi intrinsic meliputi: pencapaian prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, kesempatan untuk berkembang. Teori dua faktor memprediksikan bahwa perbaikan dalam motivasi hanya akan Nampak jika tindakan manajer tidak hanya dipusatkan pada kondisi ekstrinsik pekerjaan tetapi juga pada faktor kondisi intrinsic pekerjaan itu sendiri. c. Teori Kebutuhan McClelland (McClelland’s Theory of Needs) Mc Clelland meneliti tiga jenis kebutuhan, yaitu the need for achievement (nAch), the need for affiliation (nAff), dan the need for power (nPow). Kebutuhan untuk berprestasi (nAch) adalah dorongan untuk unggul, untuk mencapai dalam hubungan dengan seperangkat standar. Kebutuhan afiliasi (nAff), merupakan suatu keinginan untuk melakukan hubungan yang bersahabat dan hangat dengan orang lain. Kebutuhan akan kekuasaan (nPow), adalah kebutuhan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain dan bertanggung jawab kepadanya (Robbins dan Judge, 2013). 3.2 Teori motivasi kontemporer Teori kontemporer mewakili pemikiran terbaru dalam menjelaskan motivasi karyawan. a. Teori penentuan nasib sendiri (Self-Determination Theory) Self-determination theory mengemukakan bahwa orang lebih suka merasa memiliki kendali atas tindakan mereka. Teori ini adalah sebuah meta-teori motivasi kerja yang mementingkan otonomi, motivasi intrinsik, motivasi ekstrinsik, dan kepuasan kebutuhan psikologis kerja. Teori evaluasi kognitif adalah sebuah sub-teori dari teori ini dimana imbalan ekstrinsik untuk perilaku cenderung menurunkan tingkat keseluruhan motivasi, jika imbalan dipandang sebagai pengendalian atau mengurangi rasa kompetensi mereka. Kesesuaian diri (self concordance) adalah sejauh mana alasan orang untuk mengejar tujuan itu konsisten dengan minat dan nilai inti mereka (Robbins dan Judge, 2013). b. Teori penetapan tujuan (Goal-Setting Theory) Konsep dasar goal-setting theory adalah bahwa karyawan yang memahami tujuan (apa yang diharapkan organisasi terhadapnya) akan mempengaruhi perilaku kerjanya. Dengan menetapkan tujuan yang menantang (sulit) dan dapat diukur hasilnya akan dapat meningkatkan prestasi kerja. Dengan catatan bahwa karyawan tersebut memiliki kemampuan dan ketrampilan yang diperlukan (Robbins dan Judge, 2013). Proses goal-setting theory meliputi lima tahap, pertama, insentif tertentu yang disediakan organisasi. Dalam tahap ini umumnya termasuk penetapan apa yang ingin dilakukan dilakukan organisasi (target hasil) dan kejelasan imbalan yang berkaitan dengan pencapaian tujuan tersebut (peningkatan upah, promosi, penghargaan). Kedua, proses partisipasi penetapan tujuan meliputi bagaiman tujuan itu ditetapkan. Dalam proses penetapan tujuan, tujuan itu bisa ditetapkan bersam-sama antara pimpinan dengan bawahan (disebut partisipatif) atau tujuan itu ditetapkan sendiri oleh pimpinan (otoriter). Ketiga, atribut-atribut penetapan tujuan meliputi, kejelasan, kesulitan, tantangan, persaingan dengan karyawan lain, dan umpan balik. Keempat, adanya komitmen dari karyawan untuk melaksanakan tujuan termasuk perhatian dan usaha untuk pencapaian tujuan tersebut oleh karyawan. Akhirnya, hasil penetapan tujuan yaitu prestasi kerja dan kepuasan (Tewal, dkk., 2017). c. Teori Self-Efikasi (Self-Efficacy Theory) Self-efficacy theory komponen dari teori kognitif sosial atau teori pembelajaran sosial, mengacu pada keyakinan individu bahwa ia mampu melakukan tugas. Semakin tinggi selfefficacy Anda, semakin percaya diri Anda pada kemampuan Anda untuk berhasil. Jadi, dalam situasi sulit, orang dengan efikasi diri rendah lebih cenderung mengurangi usaha mereka atau menyerah sama sekali, sedangkan orang dengan efikasi diri tinggi akan berusaha lebih keras untuk menguasai tantangan (Robbins dan Judge, 2013). Sumber yang paling penting untuk meningkatkan efikasi diri adalah penguasaan enaktif—yaitu, mendapatkan pengalaman yang relevan dengan tugas atau pekerjaan. Jika Anda dapat melakukan pekerjaan dengan sukses di masa lalu, Anda akan lebih yakin bahwa Anda dapat melakukannya di masa depan. Sumber kedua adalah pemodelan perwakilan—menjadi lebih percaya diri karena Anda melihat orang lain melakukan tugas itu. Jika teman Anda berhenti merokok, kepercayaan diri Anda akan meningkat bahwa Anda juga bisa berhenti. Pemodelan perwakilan paling efektif ketika Anda melihat diri Anda serupa dengan orang yang Anda amati. Menonton Tiger Woods memainkan pukulan golf yang sulit mungkin tidak meningkatkan kepercayaan diri Anda untuk dapat memainkan pukulan itu sendiri, tetapi menonton pegolf dengan handicap yang mirip dengan Anda sangatlah persuasif. Sumber ketiga adalah persuasi lisan: kita menjadi lebih percaya diri saat seseorang meyakinkan kita bahwa kita memiliki keterampilan yang diperlukan untuk sukses. Pembicara motivasi menggunakan taktik ini (Robbins dan Judge, 2013). d. Teori Penguatan (Reinforcement Theory) Teori ini dikemukakan oleh Skinner, bahwa penguatan merupakan konsep belajar (learning). Menurut reinforcement theory bahwa perilaku merupakan fungsi dari akibat yang berhubungan dengan perilaku tersebut. Orang cenderung melakukan sesuatu yang mengarah kepada konsekuensi yang positif dan menghindari konsekuensi yang tidak menyenangkan. Reinforcement theory yang dalam hal ini menggunakan konsep pengkondisian operan dapat dipandang sebagai suatu model motivasi yaitu berkaitan dengan membentuk, mengarahkan, mempertahankan, dan mengubah perilaku dalam organisasi. Teori ini memiliki empat konsep dasar yaitu perilaku dapat diukur, contingencies of reinforcement, skedul penguatan, dan nilai penguat. Keempat konsep dasar tersebut dapat dijelaskan mengenai perilaku yang dapat diukur seperti, jumlah yang dapat diproduksi, kualitas produksi, ketepatan pelaksanaan jadwal produksi, dan sebagainya. Contingencies of reinforcement, yaitu berkaitan dengan urutanurutan antar stimulus, tanggapan dan konsekuensi dari perilaku yang ditimbulkan (reinforcement). Suatu kondisi kerja tertentu yang dibentuk oleh organisasi (sebagai stimulus), kemudian karyawan bertindak seperti yang diinginkan organisasi (tanggapan), seterusnya organisasi memberikan imbalan yang sesuai dengan tindakan atau perilakunya (konsekuensi dari perilaku). Dari sudut pandang motivasi, melalui penggunaan stimulus dan konsekuensi atau imbalan, karyawan termotivasi untuk melakukan perilaku yang diinginkan organisasi, dalam hal ini perilaku yang termotivasi melalui proses belajar. Semakin pendek interval waktu antara tanggapan atau respon karyawan (misalnya prestasi kerja) dengan pemberian penguat (imbalan), maka semakin besar pengaruhnya terhadap perilaku. Berkaitan dengan nilai dan ukuran penguatan, semakin besar nilai penguat itu bagi karyawan semakin besar pengaruhnya terhadap perilaku berikutnya (Tewal, dkk., 2017). e. Teori Harapan (Expectancy Theory) Teori ini dikembangkan oleh Victor Vroom. Ide dasar expectancy theory adalah bahwa motivasi ditentukan oleh hasil yang diharapkan diperoleh seseorang sebagai akibat dari tindakannya. Variabel-variabel kunci dalam teori ini adalah usaha (effort), dan hasil (outcome). Usaha atau dorongan seseorang untuk bertindak tergantung pada pengharapan, instrumentalitas, dan valensi (Tewal, dkk., 2017). 1. Harapan: hubungan upaya-kinerja. Probabilitas yang dirasakan oleh individu bahwa mengerahkan sejumlah upaya tertentu akan mengarah pada kinerja. 2. Instrumentalitas: hubungan kinerja-penghargaan. Sejauh mana individu percaya tampil di tingkat tertentu akan mengarah pada pencapaian hasil yang diinginkan. 3. Valensi: hubungan imbalan-tujuan pribadi. Sejauh mana imbalan organisasi memenuhi tujuan atau kebutuhan pribadi individu dan daya tarik imbalan potensial tersebut bagi individu. Hasil merupakan tujuan akhir dari suatu perilaku tertentu. Hasil dibedakan menjadi hasil tingkat pertama dan hasil tingkat kedua. Hasil tingkat pertama adalah hasil usaha seseorang dalam melakukan pekerjaan, seperti jumlah yang dihasilkan, kualitas, dan produktivitas secara umum. Hasil tingkat kedua adalah konsekuensi dari hasil tingkat pertama atau merupakan tujuan akhir prestasi, seperti upah, promosi, penghargaan, dan imbalan lainnya. Model expectancy theory bahwa prestasi kerja adalah merupakan kombinasi perkalian antara kemampuan, usaha, ketrampilan, kejelasan tugas tanggung jawab (role perceptions). Jika seseorang memiliki persepsi peran yang jelas atau memahami tugas dan tanggung jawabnya, memiliki ketrampilan dan keahlian yang diperlukan dan jika mereka termotivasi menggunakan usahanya/kemampuannya, maka prestasinya akan baik. Prestasi kerja menghasilkan imbalan ekstrinsik dan intrinsik (Tewal, dkk., 2017). f. Teori Keadilan (Equity Theory) Equity Theory dikemukakan oleh Stacy Adams, bahwa manusia di tempat kerja menilai tentang inputnya dalam hubungannya dengan pekerjaan dibandingkan dengan hasil (outcomes) yang diperoleh. Mereka membandingkannya dengan orang lain dalam kelompoknya, dengan kelompok yang lain atau dengan orang lain di luar organisasi dimana ia bekerja. Bila persepsi seseorang menganggap bahwa imbalan atau hasil yang ia peroleh tidak sesuai dengan usahanya atau input yang ia berikan pada organisasi, maka mereka termotivasi untuk menguranginya. Semakin besar ketidaksesuaian (discrepancy) itu dirasakan seseorang, maka ia semakin termotivasi untuk menguranginya. Discrepancy terjadi karena adanya perbedaan persepsi diantara dua orang atau lebih tentang kaitan antara masukan dengan hasil yang diperolehnya. Dalam equity theory, input meliputi tingkat pendidikan, keahlian, upaya, masa kerja, kepangkatan, dan produktivitas. Sedangkan outcomes adalah semua imbalan yang dihasilkan dari pekerjaan seseorang seperti gaji, promosi, penghargaan, prestasi, dan status (Tewal, dkk., 2017). Menurut Robbins dan Judge (2013), berdasarkan teori ekuitas, karyawan yang merasakan ketidakadilan akan membuat satu dari enam pilihan berikut: 1. Ubah masukan (mengerahkan lebih sedikit usaha jika dibayar rendah atau lebih banyak jika dibayar lebih). 2. Ubah hasil (individu yang dibayar berdasarkan upah per satuan dapat meningkatkan gaji mereka dengan memproduksi jumlah unit yang lebih tinggi dengan kualitas yang lebih rendah). 3. Mendistorsi persepsi diri (“Saya dulu berpikir saya bekerja dengan kecepatan sedang, tetapi sekarang saya menyadari bahwa saya bekerja jauh lebih keras daripada orang lain”). 4. Mendistorsi persepsi orang lain (“Pekerjaan Mike tidak semenarik yang saya kira”). 5. Pilih referensi yang berbeda (“Penghasilan saya mungkin tidak sebanyak ipar laki-laki saya, tetapi penghasilan saya jauh lebih baik daripada yang Ayah saya lakukan ketika dia seusia saya”). 6. Keluar dari lapangan (berhenti dari pekerjaan). Keadilan distributif berkaitan dengan persepsi keadilan dari jumlah dan alokasi imbalan di antara individu. Keadilan prosedural adalah keadilan yang dirasakan pada proses yang digunakan untuk menentukan distribusi imbalan. Keadilan informasi adalah sejauh mana karyawan diberikan penjelasan yang jujur untuk pengambilan keputusan. Keadilan antar pribadi adalah sejauh mana karyawan diperlakukan dengan bermartabat dan hormat (Robbins dan Judge, 2013). BAB V KELOMPOK DAN KOHESIFITAS I. Pengertian dan jenis kelompok Kelompok sebagai kumpulan individu dimana perilaku dan/atau kinerja seorang anggota dipengaruhi oleh perilaku dan/atau kinerja anggota lainnya (Gibson et al., 2012). Kelompok sebagai dua atau lebih individu, berinteraksi dan saling bergantung, yang datang bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu (Robbins & Judge, 2013). Berdasarkan kedua definisi tersebut, maka sebuah kelompok harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Beranggotakan minimal 2 (dua) orang b. Mereka saling berinteraksi dan saling ketergantungan satu sama lainnya c. Perilaku dan kinerja mereka saling mempengaruhi satu sama lainnya d. Ada tujuan tertentu yang ingin mereka capai Menurut Luthans (2011), jika sebuah kelompok ada dalam sebuah organisasi, maka anggotanya: a. Termotivasi untuk bergabung b. Menerima kelompok sebagai unit terpadu untuk berinteraksi c. Berkontribusi dalam berbagai hal untuk proses kelompok (yakni beberapa orang menyumbangkan lebih banyak waktu atau energi kepada kelompok daripada orang lain) d. Mencapai kesepakatan dan memiliki ketidaksepakatan melalui berbagai bentuk interaksi Kelompok adalah fenomena alami di dalam organisasi. Perkembangannya yang spontan tidak dapat dihalangi dan dibutuhkan oleh para anggota sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain itu, perkembangannya begitu dinamis untuk merespons tuntutan dan perubahan lingkungannya. Sebuah organisasi pada hakekatnya memiliki berbagai tipe kelompok didalamnya. baik yang terbentuk karena pengaturan manajemennya maupun karena inisiatif anggotanya. Kelompok dalam organisasi dibedakan dalam dua tipe yaitu: 1) Kelompok formal (Formal group) dan 2) Kelompok informal (Informal group) (Gibson et al. 2012; Robbins dan Judge, 2013) : 1. Kelompok formal adalah kelompok yang dibuat oleh keputusan manajerial untuk mencapai tujuan organisasi yang dinyatakan. Kelompok formal ini terjadi karena adanya proses pengorganisasian melalui pembagian kerja dan departemenisasi. Kelompok formal ini dibedakan dalam dua tipe yaitu: a. Kelompok komando (command group) adalah kelompok yang ditentukan oleh bagan organisasi, terdiri dari bawahan yang melapor langsung ke supervisor tertentu. Keberadaan kelompok ini lebih permanen, kecuali terjadi restrukturisasi organisasi kelompok ini bisa bubar. Misalnya, Dosen Manajemen dan Ketua Program Studi Manajemen merupakan suatu kelompok komando yang ada di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNSRAT. b. Kelompok tugas (task group) adalah kelompok yang dibentuk untuk menyelesaikan tugas atau proyek tertentu. Misalnya, Panitia Dies FEB, Penerimaan Mahasiswa Baru UNSRAT, Tim Kerja Latihan Manajemen Mahasiswa, dan lainnya. 2. Kelompok informal adalah kelompok yang timbul dari usaha individu dan berkembang seputar kepentingan bersama dan persahabatan daripada disain yang disengaja. Kelompok informal ini muncul secara alami untuk merespons kebutuhan sosial anggotanya. Individu yang mungkin bukan anggota dari kelompok komando atau kelompok tugas yang sama dapat berafiliasi dalam kelompok informal ini. Kelompok informal dibedakan atas 2 tipe yaitu: a. Kelompok kepentingan (interest group) adalah kelompok yang dibentuk atas inisiatif individu berdasarkan kepentingan, tujuan atau minat yang sama. Keberadaan kelompok kepentingan ini bisa tidak terkait tujuannya dengan organisasi tetapi spesifik untuk masing-masing kelompok. Misalnya, beberapa mahasiswa yang berkeinginan untuk kerja di perusahaan asing membentuk kelompok belajar bahasa Inggris bersama. b. Kelompok persahabatan (friendship group) adalah kelompok yang dibentuk atas inisiatif individu karena memiliki kesamaan, seperti usia, jenis kelamin, kepercayaan politik, keinginan untuk memainkan olah raga yang sama, atau latar belakang etnis. Kelompok persahabatan ini sering memperluas interaksi dan komunikasi mereka dengan aktivitas di luar pekerjaan. Misalnya, beberapa dosen lulusan Jepang membentuk kelompok untuk saling mempererat hubungan diantara mereka. II. Tahap perkembangan kelompok Luthans (2011) dan Gibson et al. (2012), mengemukakan model lima tahap dalam memahami perkembangan kelompok sebagai berikut : 1. Tahap pembentukan (forming). Tahap awal ini ditandai ketidakpastian atas tujuan, struktur dan kepemimpinan. Anggota mempertimbangkan tipe perilaku apa yang cocok dan dapat diterima. Tahap ini selesai ketika anggota merasa menjadi bagian dari kelompok. 2. Tahap keributan (storming). Seperti diindikasikan istilahnya (ribut), tahap ini ditandai oleh konflik dan konfrontasi diantara anggota. Mereka masih saling curiga satu sama lainnya karena belum begitu mengenal sifat dan tingkah laku masing-masingnya. Ketika tahap ini selesai terdapat kepastian strukur. 3. Tahap penormaan (norming). Tahap ini struktur menjadi solid, kohesivitas tinggi, perbedaan menjadi kerjasama. 4. Tahap berkinerja (performing). Tahap ini struktur sudah berfungsi dan fokus pada penyelesaian tugas. Untuk kelompok kerja permanen berkinerja adalah tahap akhir. Untuk tim, panitia, satgas dan sejenisnya terdapat tahap pembubaran. 5. Tahap pembubaran (adjourning). Untuk proyek tim atau tugas dengan tujuan khusus, saat tujuan tercapai kelompok akan membubarkan diri atau memiliki komposisi baru dan tahapan dimulai dari awal. III. Kohesifitas dalam kelompok Kelompok berbeda dalam kohesifitas atau kekompakannya—ikatan bersama mendorong anggota kelompok untuk bekerja bersama dan tetap berada dalam kelompok. Beberapa kelompok kerja bersifat kohesif karena para anggotanya telah menghabiskan banyak waktu bersama, ukuran atau tujuan kelompok yang kecil memfasilitasi interaksi yang tinggi, atau ancaman eksternal telah mendekatkan anggota (Robbins dan Judge, 2013). Kohesifitas mempengaruhi produktivitas kelompok. Studi secara konsisten menunjukkan bahwa hubungan antara kohesifitas dan produktivitas bergantung pada norma terkait kinerja kelompok. Jika norma untuk kualitas, hasil, dan kerja sama dengan pihak luar tinggi, kelompok yang kohesif akan lebih produktif daripada kelompok yang kurang kohesif. Tetapi jika kohesifitas tinggi dan norma kinerja rendah, produktivitas akan rendah. Jika kohesifitas rendah dan norma kinerja tinggi, produktivitas meningkat, tetapi kurang dari pada situasi kohesifitas tinggi/norma tinggi. Ketika kohesifitas dan norma terkait kinerja sama-sama rendah, produktivitas cenderung jatuh ke kisaran rendah hingga sedang (Robbins dan Judge, 2013). Apa yang dapat Anda lakukan untuk mendorong kekompakan kelompok? Berikut adalah beberapa ide: (1) Buat kelompok lebih kecil, (2) dorong kesepakatan dengan tujuan kelompok, (3) tingkatkan waktu yang dihabiskan anggota bersama, (4) tingkatkan status kelompok dan kesulitan yang dirasakan untuk mencapai keanggotaan, (5) merangsang persaingan dengan kelompok lain, (6) memberikan penghargaan kepada kelompok daripada anggota individu, dan (7) secara fisik mengisolasi kelompok (Robbins dan Judge, 2013). IV. Efek kohesif pada produktivitas kelompok Kohesifitas mempengaruhi produktivitas kelompok. Studi secara konsisten menunjukkan bahwa hubungan antara kohesifitas dan produktivitas bergantung pada norma terkait kinerja kelompok. Jika norma untuk kualitas, hasil, dan kerja sama dengan pihak luar tinggi, kelompok yang kohesif akan lebih produktif daripada kelompok yang kurang kohesif. Tetapi jika kohesifitas tinggi dan norma kinerja rendah, produktivitas akan rendah. Jika kohesifitas rendah dan norma kinerja tinggi, produktivitas meningkat, tetapi kurang dari pada situasi kohesifitas tinggi/norma tinggi. Ketika kohesifitas dan norma terkait kinerja sama-sama rendah, produktivitas cenderung jatuh ke kisaran rendah hingga sedang (Robbins dan Judge, 2013). BAB VI KOMUNIKASI, HAMBATAN, DAN SOLUSI I. Pengertian komunikasi Komunikasi harus menyertakan transfer dan pemahaman makna. Berkomunikasi lebih dari sekadar menyampaikan makna; makna itu juga harus dipahami. Hanya dengan demikian kita dapat menyampaikan informasi dan gagasan. Dalam komunikasi yang sempurna, jika ada, sebuah pemikiran akan ditransmisikan sehingga penerima memahami gambaran yang sama seperti yang dimaksudkan oleh pengirim (Robbins dan Judge, 2022). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2002), komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami, hubungan, kontak. Secara umum, berkomunikasi dapat diartikan mengadakan komunikasi yakni dengan mengirimkan dan menerima pesan dalam mencapai kesamaan pemahaman. Dua orang yang memandang sebuah gambar yang sama dapat memiliki pemahaman yang berbeda tanpa adanya proses komunikasi. II. Proses dan unsur komunikasi Proses komunikasi melibatkan beberapa komponen komunikasi yaitu pengirim informasi, penerima informasi, media atau sarana komunikasi, dan umpan balik terhadap informasi yang disampaikan. Bila salah satu komponen hilang, maka komunikasi tidak dapat berlangsung atau terjadi. Dalam proses komunikasi tersebut terdapat pengkodean untuk menerjemahkan informasi dan gangguan yang mengganggu aliran informasi. Selain itu, informasi yang disampaikan dalam proses komunikasi akan dipahami sama atau berbeda oleh penerima. Jika informasi dipahami dengan benar maka maksud pengirim tercapai (Tewal, dkk., 2017). Gambar di atas menunjukkan model komunikasi sederhana beserta komponen komunikasi, sebagai berikut : a. Sebagai pihak utama dalam proses komunikasi adalah pengirim dan penerima. Pengirim merupakan sumber informasi yang mengawali proses komunikasi dengan mengirimkan informasi awal. Penerima merupakan pihak yang menerima informasi. b. Terdapat dua alat komunikasi yakni informasi dan media/saluran. Informasi merupakan pesan yang disampaikan baik itu peristiwa, data, atau penjelasan. Pesan yang disampaikan akan disesuaikan dengan tingkat pemahaman, kepentingan, dan kebutuhan baik pihak pengirim dan penerima. Media merupakan saluran komunikasi yang mengantarkan pesan dari pengirim ke penerima seperti media lisan, tulisan, maupun elektronik. c. Terdapat empat komponen yang merupakan fungsi komunikasi yakni pengkodean (encoding and decoding), umpan balik, dan gangguan. Encoding merupakan proses menerjemahkan informasi ke dalam bentuk kata, simbol, atau pun gambar. Decoding merupakan proses menguraikan informasi ke dalam bentuk yang dipahami oleh penerima. Umpan balik adalah tanggapan terhadap informasi yang dikirimkan baik negatif maupun positif. Umpan balik menunjukkan kesamaan pengertian yang nantinya akan menghindari kesalahan komunikasi. Gangguan merupakan hambatan yang mengacaukan kejelasan selama mengirim dan menerima informasi. Sebelum komunikasi dapat berlangsung diperlukan tujuan, pesan yang akan disampaikan antara pengirim dan penerima. Pengirim menyandikan pesan (mengubahnya menjadi bentuk simbolis) dan menyebarkannya melalui media (saluran) ke penerima yang menerjemahkannya. Hasilnya adalah transfer makna dari satu orang ke orang lain (Robbins dan Judge, 2022). Gambar di atas menggambarkan proses komunikasi. Bagian utama dari model ini adalah (1) pengirim, (2) pengkodean, (3) pesan, (4) saluran, (5) decoding, (6) penerima, (7) kebisingan, dan (8) umpan balik atau feedback (Robbins dan Judge, 2022). Pengirim (sender) memulai pesan dengan menyandikan (encoding) sebuah pikiran. Pesan adalah produk fisik hasil pengkodean dari pengirim. Saat kita berbicara, ucapan adalah pesannya. Saat kita menulis, tulisan adalah pesannya. Saat kita memberi isyarat, gerakan tangan kita dan ekspresi wajah kita adalah pesannya. Saluran (channel) adalah medium yang dilalui pesan. Pengirim menentukan apakah akan menggunakan saluran formal atau informal. Saluran formal ditetapkan oleh organisasi dan mengirimkan pesan yang berkaitan dengan kegiatan profesional anggota. Bentuk pesan lain, seperti pribadi atau sosial, menyusul saluran informal, yang spontan dan tergantung pada pilihan individu. Penerima (receiver) adalah orang yang ditujukan oleh pengirim pesan, yang pertama-tama harus menerjemahkan (decoding) simbol-simbol itu ke dalam bentuk yang dapat dimengerti. Kebisingan (noise) mewakili hambatan komunikasi yang mendistorsi kejelasan pesan, seperti masalah persepsi, informasi yang berlebihan, kesulitan semantik, atau perbedaan budaya. Tautan terakhir dalam proses komunikasi adalah lingkaran umpan balik (feedback). Feedback adalah pemeriksaan seberapa berhasil pengirim mentransfer pesan seperti yang dimaksudkan semula. Ini menentukan apakah pemahaman telah tercapai. Feedback ini mungkin tercapai atau tidak, tergantung pada apakah penerima terlibat dalam komunikasi loop tertutup (yaitu, ketika penerima mengakui, secara verbal atau nonverbal, bahwa mereka mendengar dan/atau memahami pesan tersebut). III. Komunikasi antar individu dalam kelompok Menurut Robbins dan Judge (2022), komunikasi antar pribadi digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu : komunikasi lisan, komunikasi tertulis, dan komunikasi non verbal. a. Komunikasi lisan Sarana utama untuk menyampaikan pesan adalah komunikasi lisan. Pidato, diskusi formal satu lawan satu dan kelompok, dan desas-desus informal atau selentingan adalah bentuk komunikasi lisan yang populer. Keuntungan dari komunikasi lisan adalah kecepatan, umpan balik, dan pertukaran. Kami dapat menyampaikan pesan verbal dan menerima tanggapan dalam waktu cepat. Seperti yang dikatakan oleh seorang profesional, “komunikasi tatap muka secara konsisten masih merupakan cara terbaik untuk mendapatkan informasi dari dan ke karyawan.” Jika penerima tidak yakin dengan pesannya, umpan balik yang cepat memungkinkan pengirim untuk mendeteksi dan memperbaikinya dengan cepat. Umpan balik yang diterima mencakup informasi dan konten emosional; namun, kita harus mengakui bahwa kita biasanya adalah pendengar yang buruk. Para peneliti menunjukkan bahwa kita rentan terhadap "kelelahan pendengar", dimana kita mengabaikan orang lain dan terburu-buru menawarkan saran. “Pendengar yang baik mengatasi kecenderungan alami mereka untuk memperbaiki masalah orang lain dan membuat percakapan tetap singkat,” kata Profesor Graham Bodie. Mendengarkan secara aktif dimana kita menghilangkan gangguan, bersandar, melakukan kontak mata, memparafrase, dan mendorong pembicara untuk melanjutkan, membantu kita belajar lebih banyak dan membangun kepercayaan jika kita tulus dan tidak menghakimi. Pertukaran yang diberikan melalui komunikasi lisan memiliki komponen sosial, budaya, dan emosional. Pertukaran sosial budaya, dimana kita dengan sengaja berbagi pertukaran sosial yang melampaui batas budaya, dapat membangun kepercayaan, kerja sama, dan kesepakatan antara individu dan tim. Salah satu kelemahan utama dari komunikasi lisan muncul ketika sebuah pesan harus melewati sejumlah orang: semakin banyak orang, semakin besar potensi distorsinya. Jika anda pernah memainkan game telepon, anda tahu masalahnya. Setiap orang menafsirkan pesan dengan caranya sendiri. Isi pesan, ketika sampai di tujuan, seringkali sangat berbeda dari aslinya, meskipun menurut kita pesan itu sederhana dan lugas. Mari kita bahas beberapa aplikasi komunikasi lisan secara lebih detail. Rapat bisa formal atau informal, melibatkan dua orang atau lebih, dan berlangsung di hampir semua tempat. Komunikasi interpersonal yang baik adalah kunci untuk membuat rapat menjadi efektif. Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan humor sebagai pemecah kebekuan; firma hubungan masyarakat Peppercomm bahkan menawarkan lokakarya stand-up comedy untuk membantu bisnis mengajari orang cara menggunakan humor. Konferensi video dan panggilan konferensi mengizinkan karyawan dan klien untuk melakukan pertemuan real-time dengan orang-orang di lokasi yang berbeda. Gambar audio dan video langsung memungkinkan kita melihat, mendengar, dan berbicara satu sama lain tanpa secara fisik berada di lokasi yang sama. Panggilan konferensi umumnya terbatas pada pertukaran telepon di mana beberapa orang dapat berkumpul di sekitar satu telepon speaker, dan yang lainnya menelepon melalui saluran aman. Mungkin ada beberapa file atau video bersama yang dapat dilihat semua orang di komputer mereka. Kedua mode tersebut digunakan secara selektif, sesuai dengan aplikasinya. Telepon telah ada begitu lama sehingga kita dapat mengabaikan efisiensinya sebagai alat komunikasi. Komunikasi melalui telepon cepat, efektif, dan tidak terlalu ambigu dibandingkan email. Namun, pesan telepon dapat dengan mudah diabaikan. b. Komunikasi tertulis Komunikasi tertulis meliputi surat, email, pesan instan, majalah organisasi, dan metode lain apa pun yang menyampaikan kata-kata atau simbol tertulis. Komunikasi bisnis tertulis saat ini biasanya dilakukan melalui surat, Power Point, email, pesan instan, pesan teks, media sosial, aplikasi, dan blog. Surat adalah yang tertua dan paling bertahan lama. Penulisan surat dapat digunakan untuk memberikan efek yang besar dalam bisnis, menambahkan sentuhan pribadi pada komunikasi atau, secara bergantian, membuat dokumen yang tahan lama untuk menandai komunikasi resmi. Power Point dan format slide lainnya seperti Prezi dapat menjadi mode komunikasi yang sangat baik karena perangkat lunak penghasil slide menggabungkan kata-kata dengan elemen visual untuk melibatkan pembaca dan membantu menjelaskan ide-ide kompleks. PowerPoint sering digunakan bersamaan dengan presentasi lisan, namun daya tariknya sangat intuitif sehingga dapat berfungsi sebagai mode komunikasi utama. Namun, bukan tanpa pencela yang berpendapat bahwa itu terlalu impersonal, tidak menarik, dan seringkali sulit untuk diikuti. Pertumbuhan e-mail sejak dimulainya hampir 50 tahun yang lalu sangat spektakuler, dan penggunaannya begitu luas sehingga sulit membayangkan hidup tanpanya. Ada lebih dari 3,1 miliar akun email aktif di seluruh dunia, dan karyawan perusahaan rata-rata mengirim 105 email setiap hari. Pesan singkat, seperti e-mail, instant messaging (IM) biasanya dilakukan melalui komputer. Ada pro dan kontra yang berbeda untuk IM, tetapi sebagian besar negatif untuk interaksi bisnis. Jika Anda hadir saat IM masuk, Anda dapat merespons secara real time untuk terlibat dalam dialog yang diketik online, tetapi percakapan tersebut tidak akan disimpan untuk referensi nanti. Jika Anda melewatkan IM yang masuk, Anda mungkin diberi tahu ketika Anda masuk berikutnya bahwa seseorang mencoba menghubungi Anda, yang mungkin lama setelah tanggapan diperlukan. Pesan teks mungkin sedikit lebih baik daripada IM tetapi memiliki banyak kekurangan yang sama dalam penggunaan bisnis. Pedoman untuk penggunaan SMS bisnis masih berkembang, tetapi para ahli terus mengingatkan bahwa bahasa teks bisnis harus seformal komunikasi bisnis lainnya. Tingkat informalitas dan singkatan yang kita gunakan dalam pesan teks pribadi biasanya tidak dianjurkan di tempat kerja. Situs Web Media Sosial, kebangkitan jejaring sosial seperti Facebook dan LinkedIn, dan bisnis memanfaatkan peluang yang ada di media sosial ini. Banyak organisasi telah mengembangkan aplikasi jejaring sosial internal mereka sendiri, yang dikenal sebagai perangkat lunak sosial perusahaan, dan sebagian besar memiliki halaman Facebook dan umpan Twitter sendiri. Jejaring sosial telah menjadi alat bagi calon karyawan, manajer perekrutan, karyawan, dan divisi sumber daya manusia. Aplikasi LinkedIn dan Twitter adalah dua platform media sosial yang paling banyak digunakan untuk bisnis, tetapi mereka bukan satu-satunya. Salah satu aplikasi terbesar adalah WhatsApp, dengan 450 juta pengguna aktif bulanan. Aplikasi paling populer di wilayah yang mengutamakan penggunaan ponsel. Asia memiliki jumlah pengguna media sosial terbesar di dunia, dan aplikasi memainkan peran besar di belahan dunia tersebut melalui Line (Jepang), WeChat (China), dan Kakao (Korea Selatan). Blog adalah situs web tentang satu orang atau perusahaan. Para ahli melihat blogging sebagai kebutuhan bisnis untuk organisasi, sehingga tidak boleh diabaikan sebagai bentuk komunikasi yang vital kepada karyawan dan pelanggan, yang dapat mengirimkan umpan balik jika mereka mau. Namun, blog lama terlihat buruk bagi karyawan, pelanggan, dan publik, jadi blog baru harus terus ditambahkan untuk menjaga relevansi. c. Komunikasi nonverbal Setiap kali kami menyampaikan pesan verbal, kami juga menyampaikan pesan yang tidak terucapkan. Tidak ada diskusi komunikasi yang akan lengkap tanpa pertimbangan komunikasi nonverbal yang mencakup gerakan tubuh, intonasi atau penekanan yang kita berikan pada katakata, ekspresi wajah, dan jarak fisik antara pengirim dan penerima. Kita bisa berdebat bahwa setiap gerakan tubuh memiliki makna, dan tidak ada gerakan yang kebetulan (walaupun ada yang tidak disadari). Kami memerankan keadaan kami dengan bahasa tubuh nonverbal. Misalnya, kita tersenyum untuk menunjukkan sifat dapat dipercaya, menyilangkan tangan agar terlihat mudah didekati, dan berdiri untuk menunjukkan otoritas. Kita juga mungkin terlibat dalam komunikasi nonverbal secara tidak sadar dan secara otomatis ketika suatu peristiwa terjadi, kita bereaksi dan mengekspresikan emosi kita, para pengamat yang memahami emosi kita kemudian membuat penilaian berdasarkan ekspresi emosional tersebut. Bahasa tubuh dapat menyampaikan status, tingkat keterlibatan, dan keadaan emosi. Bahasa tubuh menambah, dan seringkali memperumit, komunikasi verbal. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa orang membaca lebih banyak tentang sikap dan emosi orang lain dari isyarat nonverbal mereka daripada kata-kata mereka. Jika isyarat nonverbal bertentangan dengan pesan verbal pembicara, isyarat tersebut terkadang lebih mungkin dipercaya oleh pendengar. Ekspresi wajah juga menyampaikan makna. Ekspresi wajah beserta intonasinya dapat menunjukkan kesombongan, agresivitas, ketakutan, rasa malu, dan ciri-ciri lainnya. Jarak fisik juga memiliki arti. Apa yang dianggap jarak yang tepat antara orang-orang sangat tergantung pada norma-norma budaya. Jika seseorang berdiri lebih dekat dengan Anda daripada yang dianggap pantas, itu mungkin menunjukkan agresivitas atau ketertarikan seksual; jika orang tersebut berdiri lebih jauh, itu mungkin menandakan ketidaktertarikan atau ketidaksenangan dengan apa yang dikatakan. IV. Komunikasi keorganisasian Muhammad (2009) mengutip beberapa pengertian komunikasi organisasi seperti : komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks, dan komunikasi organisasi merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti di dalam suatu organisasi. Dalam organisasi, komunikasi digunakan untuk menyampaikan informasi baik internal maupun eskternal organisasi dalam meningkatkan kinerja dan menunjang pembuatan keputusan organisasi. Informasi internal adalah informasi yang berasal dari dalam organisasi seperti data konsumen sedangkan informasi eksternal adalah informasi yang berasal dari luar organisasi seperti keadaan ekonomi. Arus informasi ini digunakan oleh anggota organisasi, pelanggan, pemasok, ataupun pemegang saham. Kekurangan informasi dapat menyebabkan organisasi sulit mengontrol aktifitas, sumber daya, waktu dan biaya; mengganggu pembuatan keputusan; dan sulit bertahan menghadapi pesaing. Menurut Robbins dan Judge (2022), komunikasi dapat mengalir secara vertikal atau horizontal, melalui jaringan kelompok kecil formal atau selentingan informal. Kami membagi dimensi vertikal menjadi arah ke bawah dan ke atas. a. Komunikasi ke bawah (downward communication) Komunikasi ke bawah adalah komunikasi yang mengalir dari satu tingkat kelompok atau organisasi ke tingkat yang lebih rendah. Pemimpin dan manajer kelompok menggunakannya untuk menetapkan tujuan, memberikan instruksi kerja, menjelaskan kebijakan dan prosedur, menunjukkan masalah yang memerlukan perhatian, dan memberikan umpan balik. Secara lebih informal, pemimpin dan manajer kelompok juga dapat menyampaikan sinyal tentang peringkat mereka (misalnya prestise atau dominasi) melalui komunikasi ke bawah. Dalam komunikasi ke bawah, manajer harus menjelaskan alasannya mengapa sebuah keputusan dibuat. Meskipun ini mungkin tampak masuk akal, banyak manajer merasa mereka terlalu sibuk untuk menjelaskan berbagai hal atau penjelasan akan menimbulkan terlalu banyak pertanyaan. Namun, bukti dengan jelas menunjukkan bahwa penjelasan meningkatkan komitmen karyawan dan mendukung keputusan. Manajer mungkin berpikir bahwa mengirimkan pesan sekali sudah cukup untuk sampai ke karyawan tingkat bawah, tetapi penelitian menunjukkan komunikasi manajerial harus diulang beberapa kali dan melalui berbagai media yang berbeda agar benar-benar efektif. Masalah lain dalam komunikasi ke bawah adalah sifatnya yang satu arah; umumnya, manajer memberi tahu karyawan tetapi jarang meminta nasihat atau pendapat mereka. Penelitian mengungkapkan bahwa hampir dua pertiga karyawan mengatakan atasan mereka jarang atau tidak pernah meminta nasihat mereka. Karyawan tidak akan memberikan masukan, bahkan ketika kondisinya menguntungkan, jika hal itu tampak bertentangan dengan kepentingan terbaik mereka b. Komunikasi ke atas (upward communication) Komunikasi ke atas mengalir ke tingkat yang lebih tinggi dalam kelompok atau organisasi. Ini digunakan untuk memberikan umpan balik kepada atasan, memberi tahu mereka tentang kemajuan menuju tujuan, dan menyampaikan masalah saat ini. Komunikasi ke atas membuat para manajer menyadari bagaimana perasaan karyawan tentang pekerjaan mereka, rekan kerja, dan organisasi secara umum. Manajer juga mengandalkan komunikasi ke atas untuk mendapatkan gagasan tentang bagaimana kondisi dapat diperbaiki. Juga penting bagi bawahan untuk memberikan umpan balik yang jujur dan autentik, karena jika manajer tidak diberi umpan balik negatif yang masuk akal tentang pengalokasian sumber daya, mereka cenderung membuat keputusan yang mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan bawahan mereka. Mengingat sebagian besar tanggung jawab pekerjaan manajer telah meluas, komunikasi ke atas semakin sulit karena manajer dapat kewalahan dan mudah teralihkan. Untuk terlibat dalam komunikasi ke atas yang efektif, cobalah untuk berkomunikasi dalam ringkasan singkat daripada penjelasan panjang, dukung ringkasan Anda dengan hal-hal yang dapat ditindaklanjuti, dan siapkan agenda untuk memastikan Anda menggunakan perhatian atasan Anda dengan baik. Dan perhatikan apa yang Anda katakan, terutama jika Anda sedang berkomunikasi sesuatu kepada manajer Anda yang tidak diinginkan. Jika Anda menolak tugas, misalnya, pastikan untuk memproyeksikan sikap bisa sambil meminta nasihat tentang dilema beban kerja atau kurangnya pengalaman dengan tugas tersebut. c. Komunikasi ke samping (lateral communication) Komunikasi lateral adalah komunikasi yang terjadi antara anggota kelompok kerja yang sama, anggota pada tingkat yang sama dalam kelompok kerja terpisah, atau pekerja lain yang setara secara horizontal. Komunikasi lateral menghemat waktu dan memfasilitasi koordinasi. Beberapa komunikasi lateral terjadi secara formal. Di sisi lain, beberapa komunikasi lateral juga bisa bersifat informal, seperti ketika rekan kerja menyaksikan ekspresi emosional rekan kerja lain. Misalnya, menyaksikan rekan kerja yang menangis meninggalkan kantor manajer dapat menyampaikan pesan yang kuat ke seluruh kantor. Komunikasi lateral yang terjadi dengan pengetahuan dan dukungan manajemen dapat bermanfaat. Tetapi konflik disfungsional dapat terjadi ketika saluran vertikal formal diabaikan, seperti ketika manajer menemukan bahwa tindakan telah diambil atau keputusan dibuat tanpa sepengetahuan mereka. Oleh karena itu, komunikasi lateral dan vertikal harus digunakan dalam organisasi. d. Jaringan Kelompok Kecil Formal Jaringan organisasi formal bisa rumit, termasuk ratusan orang dan setengah lusin atau lebih tingkat hierarki. Jaringan ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok kecil umum yang masing-masing terdiri dari lima orang (lihat gambar di bawah): rantai, roda, dan semua saluran. Rantai secara kaku mengikuti rantai komando formal; jaringan ini mendekati saluran komunikasi yang mungkin Anda temukan dalam organisasi tiga tingkat yang kaku. Roda bergantung pada tokoh sentral untuk bertindak sebagai saluran untuk semua komunikasi kelompok; itu mensimulasikan jaringan komunikasi yang mungkin Anda temukan di tim dengan pemimpin yang kuat. Semua saluran jaringan memungkinkan anggota kelompok untuk berkomunikasi secara aktif satu sama lain; itu paling sering ditandai dengan tim yang dikelola sendiri, di mana anggota kelompok bebas untuk berkontribusi dan tidak ada satu orang pun yang mengambil peran kepemimpinan. Banyak organisasi saat ini suka mempertimbangkan sendiri semua saluran, artinya siapa pun dapat berkomunikasi dengan siapa pun (tetapi terkadang tidak seharusnya). Keefektifan setiap jaringan ditentukan oleh variabel dependen yang menjadi perhatian. Struktur roda memfasilitasi munculnya seorang pemimpin, jaringan semua saluran paling baik jika Anda menginginkan kepuasan anggota yang tinggi, dan rantai paling baik jika akurasi adalah yang paling penting. Kesimpulannya bahwa tidak ada jaringan tunggal yang terbaik untuk semua kondisi. e. Selentingan (grapevine) Jaringan komunikasi informal dalam suatu kelompok atau organisasi disebut selentingan. Biasanya, selentingan dan gosip dipandang negatif oleh kebanyakan orang. Memang, penelitian menunjukkan bahwa gosip yang tidak dapat dipercaya dapat menyebabkan orang menilai secara tidak adil dan tidak menyukai orang lain. Secara keseluruhan, selentingan adalah pedang bermata dua, yang mengarah ke kinerja positif karena rasa tekanan sosial yang dihasilkannya sekaligus merusak kesejahteraan karyawan. Selain itu, rumor dan gosip yang disebarkan melalui selentingan dapat menjadi sumber informasi penting bagi karyawan dan pelamar kerja. Grapevine atau informasi dari mulut ke mulut dari rekan kerja tentang perusahaan memiliki efek penting pada apakah pelamar kerja bergabung dengan organisasi atau tidak, bahkan di atas peringkat informal di situs web seperti Glassdoor. Selentingan adalah bagian penting dari jaringan komunikasi kelompok atau organisasi mana pun. Ini melayani kebutuhan karyawan: obrolan ringan menciptakan rasa kedekatan dan persahabatan di antara mereka yang berbagi informasi, meskipun penelitian menunjukkan hal itu sering kali merugikan mereka yang berada di luar kelompok. Ini juga memberi manajer perasaan tentang moral organisasi mereka, mengidentifikasi masalah yang dianggap penting oleh karyawan, dan membantu mereka memanfaatkan kecemasan karyawan. Bukti menunjukkan bahwa manajer dapat mempelajari gosip yang sebagian besar didorong oleh jejaring sosial karyawan untuk mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana informasi positif dan negatif mengalir melalui organisasi. Manajer juga dapat mengidentifikasi pemberi pengaruh (orang yang memiliki jaringan tinggi yang dipercaya oleh rekan kerja mereka) dengan mencatat individu yang mana pembicara kecil (mereka yang secara teratur berkomunikasi tentang masalah yang tidak penting dan tidak terkait). Menurut Robbins dan Judge (2022), komunikasi memiliki lima fungsi utama dalam kelompok atau organisasi: manajemen, umpan balik (feedback), berbagi emosi, persuasi, dan pertukaran informasi. a. Komunikasi bertindak untuk mengelola (manajemen) perilaku anggota dalam beberapa cara. Organisasi memiliki hierarki otoritas dan pedoman formal yang harus diikuti oleh karyawan. Ketika karyawan mengikuti deskripsi pekerjaan mereka atau mematuhi kebijakan perusahaan, komunikasi melakukan fungsi manajemen. Komunikasi informal juga mengendalikan perilaku. Ketika kelompok kerja menggoda atau melecehkan anggota yang menghasilkan terlalu banyak (dan membuat anggota lainnya terlihat buruk), mereka berkomunikasi secara informal, dan mengelola, perilaku anggota. b. Komunikasi menciptakan umpan balik (feedback) dengan mengklarifikasi kepada karyawan apa yang harus mereka lakukan, seberapa baik mereka melakukannya, dan bagaimana mereka dapat meningkatkan kinerja mereka. Pembentukan tujuan, umpan balik tentang kemajuan, dan penghargaan untuk perilaku yang diinginkan semuanya membutuhkan komunikasi dan merangsang motivasi. c. Kelompok kerja merupakan sumber utama interaksi sosial bagi banyak karyawan. Komunikasi adalah mekanisme mendasar dimana anggota menunjukkan kepuasan dan frustrasi. Oleh karena itu, komunikasi menyediakan tempat untuk berbagi emosional perasaan dan pemenuhan kebutuhan sosial. d. Seperti berbagi emosi, persuasi bisa baik atau buruk tergantung pada apakah, katakanlah, seorang pemimpin mencoba membujuk kelompok kerja untuk percaya pada komitmen organisasi terhadap tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) atau, sebaliknya, membujuk kelompok kerja untuk melanggar hukum untuk memenuhi tujuan organisasi. Ini mungkin contoh ekstrem, tetapi penting untuk diingat bahwa persuasi dapat menguntungkan atau merugikan organisasi. e. Fungsi terakhir dari komunikasi adalah pertukaran informasi untuk memudahkan pengambilan keputusan. Komunikasi menyediakan informasi yang dibutuhkan individu dan kelompok untuk membuat keputusan dengan mentransmisikan data yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pilihan. Hampir setiap interaksi komunikasi yang terjadi dalam suatu kelompok atau organisasi menjalankan satu atau lebih dari fungsi-fungsi tersebut, dan tidak satu pun dari kelima fungsi tersebut yang lebih penting daripada yang lainnya. Untuk tampil secara efektif, kelompok perlu mempertahankan beberapa kontrol atas anggota, memberikan umpan balik untuk merangsang anggota untuk tampil, memungkinkan ekspresi emosional, memantau upaya persuasif individu, dan mendorong pertukaran informasi (Robbins dan Judge, 2022). Komunikasi dalam organisasi dilakukan dalam bentuk interaksi dua arah yang umumnya terjadi antar atasan dan bawahan. Ketika anggota organisasi dapat berinteraksi dengan baik dan proses penyampaian informasi berjalan efektif maka kesalah pahaman atau kesalahan komunikasi dapat dicegah. Keterampilan komunikasi yang baik memampukan anggota organisasi melakukan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan standar organisasi sehingga tingkat kinerja menjadi semakin baik. Hal ini disebabkan informasi yang dikirim dan diterima sesuai dengan yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan (Tewal, et.al., 2017). V. Hambatan terhadap komunikasi Menurut Robbins dan Judge (2022), beberapa hambatan dapat memperlambat atau mendistorsi komunikasi yang efektif, hambatan perlu kita kenali dan kurangi, diantaranya : a. Penyaringan Penyaringan mengacu pada pengirim yang sengaja memanipulasi informasi sehingga penerima akan melihatnya dengan lebih baik. Seorang manajer yang memberi tahu atasannya apa yang menurutnya ingin didengar oleh atasannya sedang menyaring informasi. Semakin banyak level vertikal dalam hierarki organisasi, semakin banyak peluang untuk memfilter. Tetapi beberapa pemfilteran akan terjadi dimana pun ada perbedaan status. Faktor-faktor seperti ketakutan untuk menyampaikan kabar buruk dan keinginan untuk menyenangkan atasan sering membuat karyawan memberi tahu atasan mereka apa yang menurut mereka ingin mereka dengar, sehingga mendistorsi komunikasi ke atas. b. Persepsi selektif Penerima dalam proses komunikasi secara selektif melihat dan mendengar berdasarkan kebutuhan, motivasi, pengalaman, latarbelakang, dan karakteristik individu lainnya. Pewawancara calon karyawan yang memperkirakan bahwa wanita pelamar kerja akan lebih mementingkan kekeluarganya daripada karirnya kemungkinan besar akan melihat hal itu pada pelamar itu, tidak peduli apakah pelamar itu merasa demikian atau tidak. c. Kelebihan informasi Individu memiliki batasan kapasitas dalam mengolah data. Ketika informasi yang ada melebihi kapasitas pemrosesan maka hasilnya adalah informasi berlebih. Ketika individu memliki lebih banyak informasi daripada yang dapat mereka pilah dan gunakan maka mereka akan cenderung mengabaikan, melewati, melupakan informasi, ataupun menunda memroses lanjut sampai situasi berlebihan selesai. Meskipun akibatnya adalah kehilangan informasi dan komunikasi yang kurang efektif. d. Emosi Bagaimana perasaan penerima disaat menerima komunikasi pesan akan mempengaruhi cara dia menginterpretasikan pesan tersebut. Pesan serupa yang diterima ketika marah atau kesal sering diinterpretasikan secara berbeda dibandingkan ketika perasaan senang. Emosi yang ekstrim seperti sorak kegirangan atau depresi paling mungkin menghambat komunikasi yang efektif. e. Bahasa Bahkan ketika kita berkomunikasi dalam bahasa yang sama, kata-kata memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Usia dan konteks adalah dua faktor terbesar yang mempengaruhi perbedaan tersebut. f. Kesunyian Sangat mudah untuk mengabaikan kesunyian atau kurangnya komunikasi karena hal itu ditentukan oleh tidak adanya informasi. Namun, ini sering kali merupakan kesalahan— keheningan itu sendiri bisa menjadi pesan untuk mengomunikasikan ketidaktertarikan atau ketidakmampuan menangani suatu topik. Karyawan lebih cenderung diam jika mereka dianiaya oleh manajer, sering mengalami emosi dan perenungan negatif, atau merasa kekuatan mereka berkurang dalam organisasi. Diam juga bisa menjadi hasil sederhana dari informasi yang berlebihan atau periode penundaan untuk mempertimbangkan tanggapan. Untuk alasan apa pun, penelitian menunjukkan bahwa menggunakan diam dan menahan komunikasi adalah hal yang umum dan bermasalah. Satu survei menemukan bahwa lebih dari 85 persen manajer melaporkan tetap diam tentang setidaknya satu masalah yang menjadi perhatian signifikan. Dampak dari sikap diam dapat merugikan organisasi. Keheningan karyawan dapat berarti manajer kekurangan informasi tentang masalah operasional yang sedang berlangsung; diamnya manajemen dapat membuat karyawan bingung. Diam mengenai diskriminasi, pelecehan, korupsi, dan pelanggaran berarti manajemen puncak tidak dapat mengambil tindakan untuk menghilangkan perilaku bermasalah. g. Ketakutan Komunikasi Diperkirakan 20 persen mahasiswa menderita ketakutan komunikasi, atau kecemasan sosial. Orang-orang ini mengalami ketegangan dan kecemasan yang tidak semestinya dalam komunikasi lisan, komunikasi tertulis, atau keduanya. Mereka mungkin merasa sangat sulit untuk berbicara dengan orang lain secara langsung atau menjadi sangat cemas ketika mereka harus menggunakan telepon, mengandalkan memo atau e-mail ketika panggilan telepon akan lebih cepat dan lebih tepat. h. Berbohong Penyajian informasi yang keliru, atau berbohong, merupakan penghalang untuk informasi yang efektif (secara harfiah melibatkan distorsi informasi). Orang berbeda dalam definisi mereka tentang kebohongan. Misalnya, apakah dengan sengaja menahan informasi tentang kesalahan adalah kebohongan, atau apakah Anda harus secara aktif menyangkal peran Anda dalam kesalahan? Orang mungkin mengatakan satu atau dua kebohongan per hari, dengan beberapa orang mengatakan jauh lebih banyak. Bisakah Anda mendeteksi pembohong? Frekuensi berbohong dan kesulitan dalam mendeteksi pembohong menjadikan ini penghalang yang sangat kuat untuk komunikasi yang efektif. VI. Mengatasi hambatan dalam komunikasi Ada beberapa cara untuk mengatasi hambatan komunikasi, antara lain: a. Gunakan umpan balik (feedback), setiap orang yang berbicara memperhatikan umpan balik yang diberikan lawan bicaranya baik bahasa verbal maupun non verbal, kemudian memberikan penafsiran terhadap umpan balik itu secara benar. b. Pahami perbedaan individu atau kompleksitas individu dengan baik. Setiap individu merupakan pribadi yang khas yang berbeda baik dari latar belakang psikologis, sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Dengan memahami, seseorang dapat menggunakan taktik yang tepat dalam berkomunikasi. c. Gunakan komunikasi langsung (face to face), Komunikasi langsung dapat mengatasi hambatan komunikasi karena sifatnya lebih persuasif. Komunikator dapat memadukan bahasa verbal dan bahasa non verbal. Disamping kata-kata yang selektif dapat pula digunakan kontak mata, mimik wajah, bahasa tubuh lainnya dan juga meta-language (isyarat diluar bahasa) yang membuat komunikasi lebih berdaya guna. d. Gunakan bahasa yang sederhana dan mudah. Kosa kata yang digunakan hendaknya dapat dimengerti dan dipahami jangan menggunakan istilah-istilah yang sukar dimengerti pendengar. Gunakan pola kalimat sederhana (kanonik) karena kalimat yang mengandung banyak anak kalimat membuat pesan sulit dimengerti. Cara untuk menanggulangi akibat dari kendala-kendala dalam komunikasi adalah selama proses komunikasi berlangsung periksalah secara terus-menerus apa sesungguhnya isi berita yang akan diterima. Tindakan-tindakan yang dapat ditempuh untuk mencapai hal tersebut adalah: a. Pengirim: - Kepada siapa pesan harus disampaikan. - Mengapa berkomunikasi dan apa motivasinya. - Putuskan apa yang hendak disampaikan. Apa yang perlu dikomunikasikan itu harus jelas. - Pilih waktu yang terbaik untuk penerimaan yang optimal. - Gunakan bahasa yang dapat dipahami penerima dan yang tidak bermakna ganda. b. Penerima: - Sepenuhnya memperhatikan pengirim. - Mendengarkan secara aktif berita yang disampaikan. - Bila perlu mintalah penegasan atau pengulangan. - Tetap bekerja sama dengan pengirim. c. Bersama-sama: - Menyadari bahwa kesalahpahaman sangat mungkin terjadi, dan waspadalah terhadap gejala-gejalanya. - Dengarkan, dengarkan, dengarkan, dan dengarkan lagi. - Ujilah pemahaman anda terhadap pesan. - Bagikan pendapat, perasaan, dan persepsi yang dihasilkan oleh pesan. VII. Isu-isu dalam komunikasi Menurut Robbins (2006), ada empat isu terkini yang berhubungan dengan komunikasi dalam sebuah organisasi, yaitu : a. Penghalang komunikasi antara pria dan wanita Adakalanya seorang pria merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan seorang wanita atau dengan kata lain perbedaan gender sering kali menjadi penghalang dalam melakukan komunikasi yang efektif. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Deborah Tannen (Robbins, 2006), yang menjadi penyebab dari hal itu adalah adanya perbedaan antara pria dan wanita dalam gaya pembicaraan mereka. Biasanya, pria menggunakan pembicaraan untuk menekankan status sedangkan wanita menggunakannya untuk mendapatkan koneksi. Menurut Tannen (Robbins, 2006), komunikasi merupakan tindakan penyeimbangan yang berkesinambungan, yang mengubah kebutuhan - kebutuhan yang berbenturan menjadi keakraban dan independensi. Keakraban menekankan kedekatan dan kebersamaan. Independensi menekankan keterpisahan dan perbedaan. Masalahnya adalah, wanita berbicara dan mendengar bahasa untuk menciptakan hubungan dan keakraban sedangkan pria berbicara dan mendengarbahasa untuk menekankan status kekuasaan dan independensi. Jadi untuk banyak pria, pembicaraan merupakan cara untuk mempertahankan independensi dan status dalam tertib sosial hierarkis. Sedangkan bagi banyak wanita, pembicaraan merupakan negosiasi untuk menciptakan kedekatan dimana mereka mencoba mencari dan memberikan informasi serta dukungan. b. Diam sebagai komunikasi Pengertian diam dalam konteks komunikasi adalah tidak adanya pembicaraan atau suara, yang umumnya diabaikan sebagai bentuk komunikasi dalam perilaku organisasi karena menggambarkan tiadanya tindakan atau perilaku. Tetapi diam kadang bukan berarti tidak ada tindakan. Diam oleh banyak orang tidak dianggap sebagai gagal komunikasi, sebaliknya diam dapat menjadi bentuk komunikasi yang sangat kuat. Diam dapat berarti seseorang sedang memikirkan sesuatu, cemas, takut berbicara, serta dapat mengisyaratkan kesepakatan, menolak, kecewa, atau marah. Kegagalan dalam memberikan perhatian pada bagian diam dari percakapan dapat berakibat kehilagan bagian penting dari pesan. Komunikasi yang cerdik memperhatikan kesenjangan, jeda, dan keragu-raguan. Mereka mendengar dan menginterpretasikan. Kadang kala pesan yang nyata dalam komunikasi terkubur dalam diam (Robbins, 2006). c. Komunikasi yang benar secara politis Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”. Dalam pergaulan sehari-hari sering kali kita memodifikasi kata-kata yang kita gunakan sehingga terkesan lebih halus dan lebih menjaga perasaan orang lain. Dan ini akan menjadi suatu bekal bagi kita agar dapat melakukan komunikasi yang efektif. Kita harus peka terhadap perasaan orang lain. Kata-kata tertentu dapat membuat stereotype, mengancam, dan menghina individu. Begitu pula dalam sebuah organisasi yang memilik angkatan kerja yang beragam dan hierakri kepemimpinan yang berbeda pula. Tetapi kadang kita pun mengalami kesulitan untuk memodifikasi suatu kata yang memiliki ketepatan tertentu sehingga kita sulit untuk memodofikasinya menjadi sebuah kata yang lebih halus. Kita harus peka dengan pemilihan kata karena terkadang itu bisa melukai perasaan orang lain. Tetapi kita pun harus hati-hati dalam menghilangkan atau memodifikasi kata-kata yang kita gunakan karena hal tersebut bisa menjadi penghalang komunikasi yang efektif. Intinya adalah kita harus menyadari bahaya dan perlunya menemukan keseimbangan yang tepat. d. Komunikasi lintas budaya Perbedaan kebiasaan dan kebudayaan kerap kali menjadi penghalang komunikasi yang efektif. Menurut Robbins (2006), sedikitnya ada empat masalah yang menjadikan faktor budaya ini menjadi penghambat dalam komunikasi, yaitu : 1. Hambatan yang disebabkan oleh semantik Makna kata bisa berlainan untuk orang yang berbeda. Hal ini dikarenakan beberapa kata ada yang tidak bisa diterjemahkan kedalam bahasa atau budaya lain. 2. Hambatan yang disebabkan oleh konotasi kata Seringkali dalam beberapa bahasa terdapat kata yang sama, baik dalam penulisan maupun dalam pengucapannya, tetapi memiliki makna yang bebeda. Tentu saja hal ini dapat menyebabkan kesalah pahaman dan menjadikan komunikasi menjadi tidak efektif. 3. Hambatan yang disebabkan oleh perbedaan nada Setiap daerah atau suku biasanya mempunyai kebudayaan yang berbeda tidak terkecuali dengan nada berbicara. Bagi orang batak misalnya, mereka sudah terbiasa berbicara dengan nada yang tingi. Tetapi bagi orang Sunda, biasanya nada yang tingi ini sering diidentikan dengan keadaan marah atau tidak sopan dalam pembicaraan sehari-hari. 4. Hambatan yang disebabkan oleh beda persepsi Biasanya orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda mempunyai pandangan yang berbeda dalam mempersepsikan sesuatu. BAB VII KEPUTUSAN DALAM ORGANISASI I. Hakekat Keputusan Setiap organisasi akan menghadapi perubahan lingkungan eksternal dan internal yang kompleks dan cepat berubah sehingga organisasi harus mengambil banyak keputusan yang cepat dan tepat agar aktivitas organisasi dapat berjalan lancar. Keputusan merupakan sesuatu yang ditetapkan berdasarkan faktor pertimbangan, pemikiran, dan penelitian yang menjadi pedoman untuk tindakan selanjutnya. Membuat keputusan tidaklah mudah namun harus tidak bisa dihindari dan cenderung harus dilakukan. Tidak ada fungsi manajerial yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, atau pengontrolan yang dapat dilakukan tanpa pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dalam organisasi terjadi di semua tingkatan namun merupakan peran sentral dari pemimpin karena setiap keputusan yang dihasilkan akan bersifat penting, jangka panjang, berisiko, dan mempengaruhi organisasi serta lingkungan organisasi. Pengambilan keputusan yang baik sangat vital karena keputusan menentukan bagaimana organisasi menyelesaikan masalah, mengalokasikan sumber daya dan mencapai tujuan. Hal ini berarti anggota organisasi terutama pemimpin harus memiliki keterampilan dan pengetahuan terhadap pengambilan keputusan. Dalam proses pengambilan keputusan sering terjadi bias, suatu kecenderungan preferensi kepada hasil tertentu, sehingga tidak netral dan tidak objektif. Hal ini dapat terjadi karena lingkungan yang terus berubah, ketidakpastian informasi, risiko, ataupun konflik yang bertentangan dengan pengambilan keputusan (Tewal, dkk., 2017). II. Definisi Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan adalah suatu proses yang menghasilkan satu pilihan dari beberapa pilihan alternatif. Menurut Schermerhorn, dkk. (2012), pengambilan keputusan adalah proses memilih tindakan dalam menghadapi suatu masalah atau peluang. Hasil keputusan dapat berupa tindakan yang berasal dari adanya masalah, alternatif penyelesaian masalah, dan berpengaruh terhadap organisasi. Kualitas keputusan tergantung pada pengetahuan, pengalaman, persepsi dan situasi pengambil keputusan yang didukung dengan adanya informasi yang lengkap dan komunikasi yang berkualitas. Dalam penelitian oleh Negulescua dan Doval (2014), ditemukan bahwa sebagian besar manajer yang diwawancarai menggunakan alternatif dengan kemungkinan hasil terkait ketika mengambil keputusan dan bahkan jika mereka tidak memiliki cukup informasi, mereka memilih alternatif terbaik berdasarkan penilaian risiko dan hasil yang efektif. Pengambilan keputusan terjadi sebagai reaksi terhadap suatu masalah dimana terdapat perbedaan antara keadaan saat ini dengan keadaan yang diinginkan sehingga dibutuhkan pertimbangan beberapa tindakan alternatif. Faktor utama untuk pengambilan keputusan yang baik adalah yang menggunakan pemikiran dan perasaan dalam setiap keputusan. Pengambilan keputusan paling etis didasarkan pada proses kognitif tingkat tinggi sedangkan perasaan (suasana hati dan emosi) memiliki efek penting pada pengambilan keputusan. Heidari dan Ebrahimi (2016), menemukan ada hubungan antara kemampuan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan membuat keputusan melalui skor berpikir kritis dan skor pengambilan keputusan (P <0,05). Orang yang dalam suasana hati dan emosi positif akan membuat keputusan yang baik dan menemukan solusi baik untuk mengatasi masalah. Virlics (2014), menemukan bahwa suasana hati mempengaruhi pengambilan keputusan investasi, dan suasana hati yang positif dan negatif mungkin memiliki efek yang sama terhadap keputusan investasi sedangkan Hu dkk (2015), menemukan bahwa emosi memberi efek signifikan pada risiko pengambilan keputusan (umumnya, emosi positif menyebabkan peserta lebih rentan terhadap resiko daripada emosi negatif). III. Proses Pengambilan Keputusan dan Elemennya Dalam keberlangsungan setiap kegiatan berorganisasi akan terdapat situasi dimana sebuah atau lebih pengambilan keputusan harus dilakukan. Pengambilan keputusan merupakan serangkaian proses pemilihan diantara berbagai alternatif yang dihasilkan. Robbins (2003), mengatakan bahwa pengambilan keputusan yang optimal adalah yang rasional yaitu membuat pilihan nilai yang konsisten dan maksimal dalam batasan yang ditentukan. Lebih lanjut, Robbins (2003), mengatakan bahwa pilihan tersebut dibuat dengan mengikuti model enam langkah yaitu : mendefinisikan masalah, mengidentifikasi kriteria keputusan, menimbang kriteria, menghasilkan alternatif, menilai semua alternatif pada masingmasing kriteria, dan menghitung keputusan optimal. Berikut ini merupakan penjabaran proses pengambilan keputusan : 1. Mendefinisikan masalah. Model ini dimulai dengan menentukan masalahnya. Suatu masalah terjadi jika terdapat ketidaksesuaian antara keadaan yang ada dan keadaan yang diinginkan. Banyak keputusan yang buruk dapat ditelusuri kepada pembuat keputusan yang mengabaikan masalah atau salah menentukan masalah. 2. Mengidentifikasi kriteria keputusan. Setelah pengambil keputusan menentukan masalah maka perlu untuk mengidentifikasi kriteria keputusan yang penting dalam memecahkan masalah. Pada tahap ini, pengambil keputusan menentukan apa yang relevan dalam pengambilan keputusan. Langkah ini membawa kepentingan, nilai, dan preferensi personal pengambil keputusan kedalam proses. Mengidentifikasi kriteria adalah penting karena apa yang dipikirkan relevan oleh seseorang, mungkin tidak bagi orang lain. Juga perlu diingat bahwa faktor apa pun yang tidak diidentifikasi dalam langkah ini dianggap tidak relevan bagi pengambil keputusan. 3. Menimbang kriteria. Kriteria yang diidentifikasi jarang semuanya sama pentingnya sehingga langkah ketiga mengharuskan pengambil keputusan untuk menimbang kriteria yang telah diidentifikasi sebelumnya agar diberikan prioritas yang benar dalam keputusan tersebut. 4. Menghasilkan alternatif. Langkah keempat mewajibkan pengambil keputusan untuk menghasilkan alternatif yang mungkin bisa berhasil dalam menyelesaikan masalah. Tidak ada upaya yang dilakukan dalam langkah ini untuk menilai alternatif, hanya untuk mencantumkannya. 5. Menilai semua alternatif pada masing-masing kriteria. Setelah alternatif telah dihasilkan, pengambil keputusan harus menganalisis dan mengevaluasi secara kritis masing-masing alternatif. Hal ini dilakukan dengan menilai setiap alternatif pada setiap kriteria. 6. Menghitung keputusan optimal. Langkah terakhir dalam model ini membutuhkan perhitungan keputusan yang optimal. Hal ini dilakukan dengan mengevaluasi setiap alternatif terhadap kriteria tertimbang dan memilih alternatif dengan skor total tertinggi. Dikarenakan pengambilan keputusan adalah suatu proses maka dengan adanya model pengambilan keputusan akan membantu pengambil keputusan dalam mengambil keputusan yang cepat dan benar. Terdapat dua pendekatan alternatif pada pengambilan keputusan yaitu : klasik dan perilaku (Schermerhorn, 2012). 1. Model keputusan klasik memandang orang bertindak dalam dunia kepastian yang lengkap. Model keputusan perilaku menerima gagasan tentang rasionalitas terbatas (konsep keterbatasan seseorang dalam memproses informasi dan waktu yang dimiliki) dan menyarankan agar orang bertindak hanya dalam hal apa yang mereka rasakan tentang situasi tertentu. Secara singkat, pada model pengambilan keputusan klasik, pengambil keputusan bertindak pada lingkungan yang penuh kepastian dimana masalah terdefinisi dengan jelas, semua kemungkinan tindakan alternatif diketahui, dan konsekuensi jelas yang memungkinan terjadinya keputusan optimal yang memberikan solusi terbaik untuk sebuah masalah. 2. Model pengambilan keputusan perilaku melihat pengambil keputusan hanya bertindak dalam hal apa yang mereka rasakan tentang situasi tertentu. Karena keterbatasan kognitif yang memperlambat kemampuan pemrosesan informasi sehingga bertindak pengambil keputusan dalam model perilaku cenderung memilih alternatif pertama yang tampak memuaskan mereka. Gambar 11.1 menunjukkan, bahwa manajer bertindak rasional dalam lingkungan yang penuh dengan kepastian yaitu masalah terdefinisi jelas, semua kemungkinan alternatif tindakan diketahui, dan konsekuensi jelas. Hal ini memungkinkan adanya keputusan optimal yang memberikan solusi terbaik mutlak untuk suatu masalah. Model keputusan perilaku memandang pengambil keputusan bertindak hanya dalam hal yang mereka rasakan tentang situasi tertentu. Dikarenakan adanya batasan kognitif yang membatasi kemampuan pemrosesan informasi maka manajer bertindak dengan rasionalitas terbatas dimana hal-hal diinterpretasi dan dipahami sebagai persepsi dalam konteks situasi tertentu. Pengambil keputusan dalam model perilaku cenderung memilih alternatif pertama yang tampak memuaskan bagi mereka. Pengambilan keputusan juga dapat didasarkan atas intuisi atau perasaan yang dihasilkan dari serangkaian proses pengalaman namun memiliki sifat subjektif. Pengambilan keputusan secara intuisi terjadi karena terbatasnya informasi yang tersedia. Menurut Robbins (2003), pengambilan keputusan yang intuitif adalah proses tak sadar yang diciptakan dari dalam pengalaman yang tersaring. Hal ini berarti pengambilan keputusan berdasarkan rasional bersama melengkapi dengan intuitif namun aspek perasaan lebih dominan. Khatri dan Ng (2000), menemukan bahwa menemukan bahwa proses intuitif sering digunakan dalam pengambilan keputusan organisasi dimana penggunaan sintesis intuitif berhubungan positif dengan kinerja organisasi di lingkungan yang tidak stabil, namun secara negatif dilingkungan yang stabil. IV. Tipologi Pengambilan Keputusan Umumnya suatu keputusan dibuat untuk memecahkan suatu permasalahan. Hal ini berarti bahwa setiap keputusan untuk mencapai suatu tujuan. Jenis keputusan dalam sebuah organisasi dapat didasarkan pada beberapa hal. Menurut Robbins dan Judge (2012), terdapat dua jenis keputusan yaitu keputusan terprogram dan keputusan tidak terprogram. Keputusan terprogram dibuat sebagai respon standar terhadap situasi berulang dan masalah rutin. Keputusan ini berurusan dengan hal-hal dimana pengambil keputusan sudah pernah alami. Pada dasarnya, keputusan ini menerapkan alternatif yang diketahui tepat untuk situasi yang sering terjadi. Keputusan yang tidak terprogram disusun atau disesuaikan secara khusus agar sesuai dengan situasi yang unik. Keputusan ini menangani masalah baru atau tak terduga yang menuntut tanggapan khusus. Meskipun pengalaman masa lalu dapat membantu mengatasi ancaman persaingan namun keputusan yang cepat memerlukan suatu solusi kreatif berdasarkan karakteristik unik dari situasi pasar saat ini. Jenis keputusan tidak terprogam yang paling ekstrem adalah keputusan krisis dimana masalah tak terduga mengancam kerugian besar dan bencana jika tidak diselesaikan dengan cepat dan tepat. Hampir setiap organisasi mengembangkan program manajemen krisis formal dengan melatih manajer dalam situasi krisis, menugaskan orang-orang dalam tim manajemen krisis, dan mengembangkan rencana manajemen krisis untuk menghadapi berbagai kemungkinan. Tipologi pengambilan keputusan dalam organisasi adalah klasifikasi yang mengelompokkan pengambilan keputusan berdasarkan cara atau pola dalam mengambil keputusan. Berikut adalah beberapa tipologi pengambilan keputusan dalam organisasi: 1. Pengambilan keputusan individual: Keputusan diambil oleh satu orang tanpa melibatkan orang lain dalam organisasi. 2. Pengambilan keputusan kelompok: Keputusan diambil oleh sekelompok orang dalam organisasi melalui proses diskusi dan perdebatan. 3. Pengambilan keputusan partisipatif: Keputusan diambil melalui partisipasi dan kolaborasi antara para pemimpin dan anggota organisasi. 4. Pengambilan keputusan otoritatif: Keputusan diambil oleh satu orang atau kelompok kecil dalam organisasi, dengan pengambilan keputusan yang cepat dan tanpa melibatkan pihak lain. 5. Pengambilan keputusan rasional: Keputusan diambil melalui analisis logis, kuantitatif, dan sistematis dari alternatif solusi yang tersedia. 6. Pengambilan keputusan intuitif: Keputusan diambil berdasarkan naluri atau insting tanpa proses analisis yang sistematis. 7. Pengambilan keputusan terprogram: Keputusan diambil berdasarkan prosedur atau aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. 8. Pengambilan keputusan tak terprogram: Keputusan diambil dalam situasi yang tidak terduga atau tidak rutin, dan memerlukan proses pengambilan keputusan yang lebih kreatif dan fleksibel. Setiap tipologi pengambilan keputusan memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan bisa dipilih tergantung pada kondisi dan kebutuhan organisasi. Suatu keputusan akan dianggap keliru ketika pengambil keputusan tidak memperhitungkan resiko dan ketidakpastian lingkungan ataupun tidak mempertimbangkan berbagai alternatif yang tersedia. Jenis pengambilan keputusan dapat juga didasarkan pada situasi kepastian, berisiko, ketidakpastian, dan konflik dengan uraian sebagai berikut : 1. Pada situasi kepastian, organisasi berada pada situasi yang ideal. Pemimpin dapat membuat keputusan yang akurat karena memiliki informasi yang lengkap dan konsekuensi setiap alternatif telah diketahui. 2. Pada situasi risiko, organisasi mengestimasi kemungkinan (probabilitas) dari konsekuensi setiap pemilihan alternatif dikarenakan hasil pengambilan keputusan tidak dapat diketahui dengan pasti. 3. Organisasi berada pada situasi ketidakpastian dimana hasil keputusan sama sekali tidak diketahui karena belum pernah terjadi sebelumnya (pertama kali) sehingga perlu mengumpulkan informasi untuk membuat beberapa alternatif keputusan untuk mengetahui nilai probabilitas. 4. Organisasi berada pada situasi konflik apabila alternatif keputusan yang harus dipilih berasal dari pertentangan dua atau lebih pengambil keputusan. Situasi ini dapat disamakan dengan situasi risiko karena berada pada situasi yang tidak pasti namun dapat membuat probabilitas kemungkinan terjadinya kondisi tersebut. Penentuan hasil keputusan dalam organisasi dapat dilakukan oleh seorang pimpinan ataupun beberapa orang pimpinan. Seorang pemimpin akan lebih mudah mengambil keputusan tanpa harus menunggu atau melibatkan orang lain dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, prosesnya lebih cepat dan tepat terutama dalam keadaan terdesak. Namun jika terjadi keputusan yang salah maka tumpuan kesalahan akan berada pada orang tersebut dan dapat menimbulkan konflik jika menghadapi hambatan dengan orang lain. Hal ini berbeda jika pengambil keputusan terdiri dari beberapa orang. Hasil keputusan ini melibatkan banyak orang, bersifat mengikat, dan tidak dapat diganggu gugat. Hasil keputusan didasarkan atas persetujuan atau kesepakatan bersama melalui keputusan mayoritas, aklamasi, voting, ataupun musyawarah untuk mufakat. Jika terjadi keputusan yang salah maka yang bertanggung jawab adalah semua pihak yang menyepakati hasil keputusan bersama tersebut. V. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Faktor - faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yang berasal dari luar atau ekternal : 1. Kedudukan Jabatan atau kedudukan seseorang dapat dilihat berdasarkan pangkaatnya apakah sebagai pimpinan atau bawahan, sehingga dapat ditentukan pantas atau tidaknya mengambil suatu keputusan. Karea jika pimpinan yang mengambil tentu ia telah berpengalaman dalam mengambil suatu keputusan jika sebaliknya seperti bawahan tentu mereka belum berpengalaman dan belum lihai dalam mengambil suatu keputusan sehingga jabatan atau kedudukan ini sangat berperan penting dalam mengambil suatu keputuan. 2. Masalah Masalah adalah hal yang menjadi penghalang untuk tercapainya tujuan yang merupakan penyimpanga dari hal hal yang diharapkan atau direncanaka. 3. Situasi Situasi adalah keseluruhan faktor dalam keadaan yang berkaitan satu sama lain dan secara bersama sama memencarkan pengaruh terhadap kita dan apa yang akan hendak kita perbuat. 4. Pengaruh dari kelompok lain Kelompok lain juga dapat berpengaruh terhadap suatu keputusan dikarenakan kelompok lain atau organisasi mempunyai keputusan yang dapat dipertimbangkan oleh pemimpin organisasi lain dalam menyikapi masalah dan pengaruh kelompok lain ini juga dapat menjatuhkan organisasi serta mementingkan kelompok tersebut. Faktor internal yang mempengaruhi pengambilan keputusan meliputi : 1. Kepribadian Tingkah laku atau karakter seseorang dalam pengambilan suatu keputusan juga sangat mempengaruhi dimana sifat manusia ini beragam ada yang tergesa - gesa dan dan juga yang berhati - hati dalam menetapkan suatu pilihan sehingga kepribadian ini juga sangat berpengaruh terhadap pemgambilan suatu keputusan. Dan juga dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kebijaksanaan dan ketegasan seseorang dalam mengambil suatu keputusan. 2. Faktor pengalaman Semakin banyaknya seseorang tersebut mengambil keputusan maka ia akan berani dalam mengambil keputusan dan hal ini juga berkaitan dengan keahlian yang dimiliki oleh pemimpin atau skill yang ia miliki karena pengalaman yang pernah dialaminya. Pengambilan keputusan dalam organisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk faktor internal dan eksternal organisasi. Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam organisasi: 1. Tujuan organisasi: Tujuan organisasi mempengaruhi pengambilan keputusan karena keputusan harus selaras dengan tujuan yang telah ditetapkan. 2. Sumber daya: Ketersediaan sumber daya, termasuk tenaga kerja, modal, dan peralatan, mempengaruhi keputusan karena setiap keputusan harus mempertimbangkan ketersediaan dan penggunaan sumber daya yang efisien. 3. Kebijakan organisasi: Kebijakan organisasi mempengaruhi pengambilan keputusan karena harus sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. 4. Kondisi pasar: Kondisi pasar, seperti persaingan dan permintaan pelanggan, mempengaruhi pengambilan keputusan karena organisasi harus mengambil keputusan yang tepat untuk memenangkan persaingan dan memenuhi kebutuhan pelanggan. 5. Lingkungan eksternal: Faktor lingkungan seperti politik, sosial, ekonomi, dan teknologi mempengaruhi pengambilan keputusan karena setiap keputusan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan eksternal. 6. Risiko dan ketidakpastian: Risiko dan ketidakpastian mempengaruhi pengambilan keputusan karena setiap keputusan harus mempertimbangkan tingkat risiko dan ketidakpastian yang terkait dengan alternatif solusi yang tersedia. 7. Nilai dan keyakinan: Nilai dan keyakinan individu mempengaruhi pengambilan keputusan karena keputusan seringkali didasarkan pada pandangan dan prinsip pribadi. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam organisasi dan harus dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. VI. Pengambilan Keputusan Kelompok Proses pengambilan keputusan kelompok adalah salah satu corak proses pengambilan keputusan dalam organisasi. Ciri dari prosesnya ditandai dengan keterlibatan dan partisipasi banyak orang. Keputusan semacam ini sering dianggap ideal dan digunakan secara luas. Keuntungan Pengambilan Keputusan Kelompok § Kumpulan Pengetahuan : Pengambilan keputusan dalam suatu kelompok melibatkan banyak orang selama proses tersebut. Ini membawa lebih banyak pengetahuan dan keahlian pada saat pengambilan keputusan. § Penerimaan: Karena keputusan diambil secara kolektif, para anggota dengan mudah menerima keputusan. § Ragam Alternatif: Sebuah kelompok dapat menghasilkan lebih banyak alternatif daripada individu. § Pengembangan Keseluruhan: Pengambilan keputusan kelompok adalah proses interaktif di mana anggota kelompok berbagi keterampilan dan pengetahuan mereka. Ini menghasilkan pengembangan keseluruhan anggota kelompok. § Keragaman Pandangan: Individu yang berbeda memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu situasi. Seseorang menerima ide yang berbeda untuk masalah tertentu pada saat pengambilan keputusan. § Keputusan Seimbang: Berbagai konsekuensi dan risiko dipastikan oleh anggota kelompok yang berbeda menghasilkan pengambilan keputusan yang seimbang. Kekurangan Pengambilan Keputusan Kelompok § Dominasi : Anggota kelompok harus setuju dengan satu atau lebih anggota yang mendominasi untuk membuat keputusan. § Konflik : Ketidaksepakatan di antara anggota kelompok dapat menyebabkan konflik dalam kelompok. § Proses Pengambilan Waktu : Mungkin perlu banyak waktu jika anggota kelompok tidak dapat mencapai keputusan yang sesuai. § Tekanan : Anggota kelompok mungkin merasakan tekanan untuk menerima keputusan yang diambil oleh orang lain. VII. Implikasi Manajerial dalam Pengambilan Keputusan Implikasi manajerial dalam pengambilan keputusan organisasi adalah faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan oleh manajer dalam memastikan keputusan yang diambil dapat membawa dampak positif bagi organisasi. Beberapa implikasi manajerial yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan organisasi adalah sebagai berikut: 1. Peran manajer: Manajer memiliki peran yang sangat penting dalam pengambilan keputusan organisasi. Mereka harus memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan relevan. Selain itu, manajer juga harus memilih strategi pengambilan keputusan yang tepat untuk memastikan keputusan yang diambil dapat menghasilkan hasil yang optimal. 2. Pengambilan keputusan tim: Pengambilan keputusan tim juga dapat menjadi pilihan yang tepat bagi manajer. Dalam hal ini, manajer dapat melibatkan anggota tim dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini akan memungkinkan manajer untuk memperoleh sudut pandang yang berbeda dan perspektif yang lebih luas dari berbagai anggota tim. 3. Faktor manusia: Faktor manusia seperti bias kognitif, emosi, dan norma sosial dapat mempengaruhi keputusan yang diambil. Oleh karena itu, manajer harus memahami dan mengelola faktor-faktor tersebut dalam pengambilan keputusan organisasi. 4. Perubahan lingkungan: Lingkungan yang berubah dapat mempengaruhi pengambilan keputusan organisasi. Manajer harus memperhatikan perubahan lingkungan seperti perubahan teknologi, kondisi pasar, dan kebijakan pemerintah dalam mempertimbangkan keputusan yang diambil. 5. Evaluasi keputusan: Manajer harus melakukan evaluasi terhadap keputusan yang diambil untuk memastikan keputusan tersebut dapat menghasilkan dampak yang diinginkan bagi organisasi. Evaluasi keputusan akan membantu manajer untuk memperbaiki keputusan yang salah dan menghindari kesalahan yang sama di masa depan. Dengan memperhatikan implikasi manajerial dalam pengambilan keputusan organisasi, manajer dapat membuat keputusan yang lebih baik dan memastikan keberhasilan organisasi dalam jangka panjang. DAFTAR PUSTAKA Gibson, L. J.; Ivancevich, M. J.; Konopaske, R. (2012). Organizations: Behavior, Structure, Processes. Fourteenth Edition. McGraw-Hill Irwin, New York. Greenberg, J. & Baron, R. A. 2008. Behavior in Organizations. Ninth Edition. Pearson Prentice Hall. New Jersey. Heidari, M., dan Ebrahimi, P., (2016), Examining the relationship between critical-thinking skills and decision-making ability of emergency medicine students, Indian Journal of Critical Care Medicine, 20(10), 581–586 Hu, Y.X., Wang, D.W., Pang, K.Y., Xu,G.X., dan Guo, J.H., (2015), The effect of emotion and time pressure on risk decision-making, Journal of Risk Research, Vol. 18, Issue 5, 637650. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2002). Departemen Pendidikan Nasional Edisi ke-3. Balai Pustaka, Jakarta. Gramedia. Khatri, N., dan Ng, H.A., (2000), The Role of Intuition in Strategic Decision Making, Human Relations, Vol.53, Issue: 1, 57-86. Luthans, F. (2011). Organizational Behavior, Twelfth Edition. McGraw-Hill Irwin, New York. Muhammad, A. (2009). Komunikasi Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara. Negulescua, O., dan Doval, E. (2014), The quality of decision making process related to organizations’ effectiveness, Procedia Economics and Finance, 15, 858 – 863. Robbins, S.P. (2003). Essentials of Organizational Behavior, Seventh Edition, Pearson Education, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. Robbins, P. S. dan Judge, A. T. (2013). Organizational Behavior, 15th edition. Pearson Education, Inc. United States of America. Robbins, P. S. dan Judge, A. T. (2022). Organizational Behavior, 18th edition. Pearson Education, Inc. United States of America. Schermerhorn, Jr. J. R., Osborn, R.N., Uhl-Bien, M., dan Hunt, J.G. (2012). Organizational Behavior. John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd. Tewal, Bernhard, Adolfina, Merinda H. Ch. Pandowo, dan Hendra N. Twawas. (2017). Perilaku Organisasi. Bandung : CV. Patra Media Grafindo Bandung. Virlics, A., (2014), Emotions, Mood and Decision Making, International Journal of Applied Behavioral Economics (IJABE), 3(2).