Uploaded by Alit Suastika

MMI 543 A. A. AYU TIRTAMARA 2280611029 Terstruktur

advertisement
TUGAS MATA KULIAH PERILAKU KEORGANISASIAN DAN KEPEMIMPINAN
Dosen Pengampu : Dr. Made Surya Putra, S.E., M.Si.
Oleh :
A. A. Ayu Tirtamara (NIM 2280611029)
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2023
BAB I
PERILAKU KEORGANISASIAN
a. Konsep dasar, tujuan dan ruang lingkup
Perilaku keorganisasian adalah studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan struktur
organisasi mempengaruhi perilaku dalam konteks organisasi. Konsep dasar dalam perilaku
keorganisasian meliputi:
1. Individu dalam Organisasi: Konsep ini mencakup studi tentang karakteristik individu seperti
kepribadian, sikap, persepsi, motivasi, dan pengambilan keputusan dalam konteks
organisasi.
2. Kelompok dalam Organisasi: Konsep ini membahas bagaimana kelompok dalam organisasi
terbentuk, berinteraksi, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi.
3. Kepemimpinan dalam Organisasi: Konsep ini mempelajari bagaimana kepemimpinan
mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam organisasi.
4. Struktur Organisasi: Konsep ini membahas bagaimana struktur organisasi, seperti tata
kelola, budaya organisasi, dan peran dan tanggung jawab, mempengaruhi perilaku individu
dan kelompok dalam organisasi.
5. Konflik dan Negosiasi: Konsep ini membahas bagaimana konflik antara individu dan
kelompok dapat diatasi melalui negosiasi dan manajemen konflik.
6. Etika dan Tanggung Jawab Sosial: Konsep ini mencakup studi tentang etika dan tanggung
jawab sosial dalam konteks organisasi, termasuk perilaku etis dan tanggung jawab sosial
perusahaan.
Dalam keseluruhan, ruang lingkup perilaku keorganisasian sangat luas dan mencakup
berbagai aspek yang mempengaruhi kinerja individu dan kelompok dalam organisasi. Studi
perilaku keorganisasian bertujuan untuk membantu manajemen memahami faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja organisasi dan bagaimana manajemen dapat meningkatkan efektivitas
organisasi melalui manajemen perilaku yang tepat.
Tujuan perilaku keorganisasian adalah memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja individu dan kelompok dalam konteks organisasi serta memberikan wawasan tentang
cara meningkatkan efektivitas organisasi. Beberapa tujuan khusus dari studi perilaku
keorganisasian antara lain:
1. Mempelajari karakteristik individu dalam organisasi seperti motivasi, kepemimpinan, sikap,
persepsi, dan pengambilan keputusan, dan bagaimana karakteristik tersebut mempengaruhi
kinerja individu.
2. Mempelajari bagaimana kelompok dalam organisasi terbentuk, berinteraksi, dan bekerja
sama untuk mencapai tujuan organisasi.
3. Mempelajari bagaimana struktur organisasi, seperti tata kelola, budaya organisasi, dan peran
dan tanggung jawab, mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam organisasi.
4. Mempelajari bagaimana konflik antara individu dan kelompok dapat diatasi melalui
negosiasi dan manajemen konflik.
5. Mempelajari etika dan tanggung jawab sosial dalam konteks organisasi, termasuk perilaku
etis dan tanggung jawab sosial perusahaan.
Dengan mempelajari perilaku keorganisasian, manajemen dapat mengembangkan
strategi untuk meningkatkan kinerja individu dan kelompok, mengelola konflik, dan
mempromosikan etika dan tanggung jawab sosial dalam organisasi. Selain itu, studi perilaku
keorganisasian juga dapat membantu manajemen memahami bagaimana struktur organisasi
dan lingkungan kerja dapat ditingkatkan untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif.
b. Definisi perilaku keorganisasian
Perilaku organisasi telah didefinisikan oleh para pakar secara berbeda berdasarkan
lingkup pengetahuan dan/atau pengalaman masing-masingnya. Perbedaan definisi ini pada
dasarnya dapat digunakan untuk saling melengkapi dalam memahami perilaku organisasi
tersebut. Beberapa definisi perilaku organisasi akan dikemukakan berikut ini. Perilaku
organisasi dapat didefinisikan sebagai pemahaman, prediksi, dan pengelolaan perilaku manusia
dalam organisasi (Luthans, 2011). Perilaku organisasi adalah bidang studi yang menyelidiki
dampak yang dimiliki individu, kelompok, dan struktur terhadap perilaku di dalam organisasi,
dengan tujuan menerapkan pengetahuan tersebut untuk meningkatkan efektivitas organisasi
(Robbins & Judge, 2013). Perilaku organisasi: bidang studi yang mengacu pada teori, metode,
dan prinsip dari berbagai disiplin ilmu untuk mempelajari tentang persepsi, nilai, kapasitas
belajar, dan tindakan individu saat bekerja dalam kelompok dan di dalam organisasi dan untuk
menganalisis dampak lingkungan eksternal pada organisasi dan sumber daya manusia, misi,
tujuan, dan strateginya (Gibson et al, 2012).
c. Pendekatan Multi Disiplin dalam Perilaku Organisasi
Manusia yang bekerjasama dalam organisasi memiliki keunikan masing-masingnya
karena mereka datang dengan latar belakang yang berbeda seperti budaya, umur, pendidikan,
pengalaman, kebutuhan, motivasi dan lain-lain. Oleh karena itu para manajer dalam
memahami, mengarahkan dan mengelola perilaku orang-orang yang ada dalam organisasinya,
baik secara individual maupun kelompok dapat memanfaatkan teori, metode dan prinsip
berbagai ilmu perilaku dan ilmu sosial seperti Psikologi, Psikologi Sosial, Sosiologi,
Antropologi, Ilmu Politik, Ilmu Ekonomi dan Ilmu Manajemen (Greenberg & Baron, 2008: 67; Robbins & Judge, 2013: 13-14, Gibson, 2012: 7). Kontribusi berbagai ilmu perilaku dan
ilmu sosial ini terhadap Perilaku Organisasi tampak dalam Tabel di bawah ini.
No.
1
Kategori Ilmu Perilaku dan
Kontribusi pada topik-topik
Ilmu Sosial
Perilaku Organisasi yang relevan
Psikologi.
(mempelajari
Persepsi, pembelajaran, kepribadian, emosi, stres
dan
berusaha kerja, sikap, motivasi, pengambilan keputusan
memahami perilaku individu pribadi, kepuasan kerja, kreativitas, rancangan
2
manusia)
pekerjaan, penilaian kinerja
Psikologi Sosial.
Perubahan perilaku, perubahan sikap, komunikasi,
(fokus mempelajari pengaruh proses
orang satu sama lain)
kelompok,
pengambilan
keputusan
kelompok, kekuasaan, konflik, perilaku antar
kelompok
3
4
Sosiologi.
Budaya organisasi, dinamika kelompok, struktur
(mempelajari orang dalam
organisasi,
hubungan dengan lingkungan
organisasi, sosialisasi, komunikasi, kekuasaan,
sosial mereka atau budaya)
konflik
Antropologi.
Budaya organisasi, kepemimpinan, lingkungan
teknologi
organisasi,
perubahan
(mempelajari masyarakat untuk organisasi, kekuasaan, nilainilai komparatif, sikapmengetahui keberadaan
sikap komparatif, analisa lintas budaya
manusia dan aktivitasnya
5
Ilmu Politik.
Konflik, kekuasaan, kepemimpinan, pengambilan
(mempelajari penggunaan
keputusan
kekuasaan dalam tindakan
kelompok
pribadi,
pengambilan
keputusan
seseorang mencapai tujuan)
6
Ilmu Ekonomi.
Pengambilan keputusan pribadi, pengambilan
(mempelajari perilaku manusia
keputusan kelompok, negosiasi, kekuasaan
untuk membuat pilihan dan
mencapai kemakmuran)
No.
7
Kategori Ilmu Perilaku dan
Kontribusi pada topik-topik
Ilmu Sosial
Perilaku Organisasi yang relevan
Ilmu Manajemen.
Teknologi
organisasi,
kualitas
organisasi,
(mempelajari tindakan
perubahan organisasi, pengambilan keputusan
mencapai tujuan melalui dan
pribadi, pengambilan keputusan kelompok
bersama orang lain secara
efisien dan efektif)
d. Tantangan dan Peluang Perilaku Organisasi
Lingkungan organisasi berubah sangat cepat seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Perubahan ini menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi para manajer dalam
mengimplementasikan Perilaku Organisasi sebagai suatu disiplin ilmu. Peluang dan tantangan
Perilaku Organisasi sebagai berikut:
1. Merespons Globalisasi
Era globalisasi telah membuka sekat-sekat antar negara melalui pemberlakuan pasar
bebas atau perdagangan bebas. Bisnis internasional merupakan salah satu ciri globalisasi akan
memungkinkan karyawan bekerja dengan karyawan atau manajer yang berbeda negara dan
budaya. Karyawan yang tidak dipersiapkan menghadapi kondisi ini bisa mengalami culture
shock, stres, frustrasi dan konflik sehingga kinerjanya tidak efektif. Manajer harus
meminimalkan kemungkinan terjadinya hal-hal ini pada diri karyawan.
2. Merespons Kemajuan Teknologi
Teknologi berkembang pesat dewasa ini dan hal ini telah mengubah sifat esensi pekerjaan
dan organisasi. Otomatisasi dan penggunaan teknologi informasi telah menggantikan manusia
dengan mesin dalam melakukan banyak pekerjaan. Konsekuensi dari pemanfaatan teknologi
terjadilah perampingan organisasi yang dilakukan melalui penciutan (downsizing) dan alih
daya (outsourcing). Selain itu, teknologi informasi memungkinkan terjadinya organisasi virtual
(virtual organization) dan bekerja jarak jauh (telecommuting/ telework). Manajer perlu
mempertimbangkan dampak kemajuan teknologi tersebut bagi karyawannya.
3. Merespons Diversitas Angkatan Kerja
Organisasi pada era globalisasi mempekerjakan orang-orang dengan latar belakang yang
beragam seperti jenis kelamin, pendidikan, kepribadian, ras, suku, agama, budaya, negara dan
lainnya. Kondisi ini mudah menimbulkan kesalahpahaman, saling curiga, konflik dan/atau
ketidakharmonisan dalam bekerja diantara karyawan. Manajer harus menciptakan iklim kerja
yang kondusif dan memadukan mereka agar bersinergi untuk menghasilkan kinerja yang
efektif.
4. Merespons Tekanan Ekonomi
Kondisi ekonomi yang buruk seperti inflasi yang tinggi dapat membuat karyawan
menjadi stres, frustrasi, tidak bahagia dalam bekerja. Pendapatan mereka dari pekerjaan
menurun secara ril, sehingga tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya. Hal ini membuat
karyawan tidak mampu berkonsentrasi dalam melakukan pekerjaannya, sehingga kinerja
mereka tidak efektif. Manajer perlu membangkitkan semangat karyawannya agar tetap bekerja
baik.
5. Merespons Persaingan
Persaingan bisnis saat ini dan di masa yang akan datang cenderung meningkat. Kunci
untuk memenangkan persaingan adalah pengembangan sumber daya manusia secara
berkelanjutan agar mereka menjadi profesional, kreatif, inovatif dan produktif. Manajer yang
mengabaikan pengembangan sumber daya manusia, maka organisasi yang dipimpinnya cepat
atau lambat akan menghadapi kehancuran. Oleh karena itu manajer harus meningkatkan
kemampuan karyawannya secara terprogram.
6. Merespons Tuntutan Konsumen/Pelanggan
Konsumen atau pelanggan merupakan pengguna dari barang atau jasa yang ditawarkan
organisasi dan karenanya mereka harus dipertahankan dengan memberikan layanan terbaik.
Banyak organisasi kehilangan pelanggan karena karyawannya tidak dapat memberikan layanan
yang memuaskannya, apalagi di era persaingan yang ketat saat ini. Manajemen perlu
menciptakan budaya yang tanggap terhadap kebutuhan dan keinginan pelanggannya.
Manajemen harus melatih karyawannya agar bersifat ramah dan bersahabat ketika melayani
pelanggannya.
BAB II
KERAGAMAN DALAM ORGANISASI
Keragaman dalam organisasi merujuk pada perbedaan yang ada di antara individu atau
kelompok yang tergabung dalam organisasi, seperti perbedaan budaya, latar belakang, jenis
kelamin, usia, dan sebagainya. Keragaman dianggap sebagai kekuatan dalam organisasi karena
dapat meningkatkan kreativitas, inovasi, dan perspektif yang berbeda dalam menyelesaikan
masalah. Namun, keragaman juga dapat menimbulkan konflik jika tidak dikelola dengan baik.
Untuk mengoptimalkan keragaman dalam organisasi, organisasi perlu menciptakan
lingkungan yang inklusif dan beragam, di mana setiap individu merasa dihargai dan diakui
keberadaannya. Organisasi perlu mendorong dialog terbuka, menghargai perbedaan, dan
memastikan keadilan dalam pengambilan keputusan. Pengelolaan keragaman juga dapat
meningkatkan efektivitas organisasi dengan menciptakan keberagaman dalam rekrutmen dan
seleksi karyawan, program pelatihan, dan promosi. Dengan cara ini, organisasi dapat
memanfaatkan keahlian dan kemampuan individu untuk mencapai tujuan organisasi.
Keragaman dalam organisasi mencakup berbagai macam aspek, seperti karakteristik biografis,
kemampuan, kepribadian, dan pembelajaran.
a. Karakteristik biografis
Karakteristik biografis dalam organisasi mencakup faktor-faktor seperti usia, jenis
kelamin, pendidikan, pengalaman kerja, ras/etnis, agama, dan sebagainya. Setiap karyawan
memiliki karakteristik biografis yang berbeda-beda, yang dapat mempengaruhi cara kerja dan
interaksi di antara mereka.Usia mempengaruhi perilaku dan preferensi kerja karyawan, dengan
karyawan yang lebih muda mungkin lebih terbuka terhadap inovasi dan teknologi, sementara
karyawan yang lebih tua mungkin lebih berpengalaman dan memiliki pengetahuan yang lebih
luas. Jenis kelamin juga dapat mempengaruhi perilaku dan preferensi kerja, dengan perempuan
mungkin lebih cenderung untuk mengambil tanggung jawab dan bekerja dengan lebih
kolaboratif, sedangkan laki-laki mungkin lebih cenderung untuk bersaing dan mengambil
risiko. Pendidikan dan pengalaman kerja memainkan peran penting dalam menentukan
kemampuan dan keterampilan karyawan, dan dapat mempengaruhi posisi dan gaji mereka
dalam organisasi. Ras/etnis dan agama juga dapat mempengaruhi persepsi dan preferensi kerja,
dan organisasi harus memastikan bahwa tidak ada diskriminasi yang terjadi berdasarkan faktorfaktor tersebut. Dalam mengelola karakteristik biografis karyawan, organisasi perlu
memastikan keadilan dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam rekrutmen, promosi, dan
penggajian. Organisasi juga perlu memperhatikan perbedaan yang ada di antara karyawan dan
memastikan bahwa setiap karyawan merasa dihargai dan diakui keberadaannya dalam
organisasi.
b. Kemampuan
Kemampuan dalam organisasi merujuk pada keterampilan, pengetahuan, dan keahlian
yang dimiliki oleh karyawan untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawab mereka.
Kemampuan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kemampuan teknis dan kemampuan nonteknis. Kemampuan teknis mencakup keterampilan dan pengetahuan yang spesifik terkait
dengan pekerjaan atau fungsi yang dilakukan karyawan. Contoh kemampuan teknis termasuk
kemampuan dalam mengoperasikan peralatan kantor, menguasai bahasa pemrograman, atau
keterampilan dalam memasak. Kemampuan non-teknis, di sisi lain, mencakup keterampilan
dan pengetahuan yang lebih luas dan sering diperlukan untuk setiap pekerjaan. Contoh
kemampuan non-teknis termasuk kemampuan komunikasi, kepemimpinan, pemecahan
masalah, kerja sama tim, dan manajemen waktu. Dalam mengelola kemampuan karyawan,
organisasi perlu memastikan bahwa setiap karyawan memiliki kemampuan yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan tugas mereka dengan baik. Ini dapat dilakukan dengan memberikan
pelatihan dan pengembangan yang diperlukan, serta dengan melakukan penilaian kinerja yang
teratur. Pengelolaan kemampuan juga dapat meningkatkan efektivitas organisasi dengan
memastikan bahwa karyawan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan organisasi. Organisasi dapat mempertimbangkan rekrutmen dan seleksi
karyawan yang berfokus pada kemampuan teknis dan non-teknis, serta mempertimbangkan
program pelatihan dan pengembangan untuk meningkatkan kemampuan karyawan yang ada.
c. Kepribadian
Kepribadian dalam organisasi mencakup karakteristik, sikap, dan perilaku karyawan
dalam lingkungan kerja. Kepribadian karyawan dapat mempengaruhi kinerja dan interaksi
mereka dengan rekan kerja, pelanggan, dan manajemen. Beberapa faktor kepribadian yang
dapat mempengaruhi kinerja karyawan meliputi tingkat kepercayaan diri, tingkat keterbukaan
terhadap pengalaman baru, kecenderungan untuk mengambil risiko, dan sikap terhadap
tanggung
jawab.
Organisasi
dapat
mengelola
kepribadian
karyawan
dengan
mempertimbangkan rekrutmen dan seleksi karyawan yang tepat, serta memberikan pelatihan
dan pengembangan yang sesuai. Hal ini dapat membantu mengembangkan kepribadian
karyawan dan memastikan bahwa mereka memiliki sikap yang positif dan perilaku yang sesuai
dengan nilai dan tujuan organisasi. Penting juga bagi organisasi untuk memastikan bahwa
karyawan merasa dihargai dan diakui atas kontribusi mereka, dan bahwa ada kesempatan bagi
mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi pekerjaan
mereka. Hal ini dapat membantu membangun hubungan yang positif antara karyawan dan
organisasi, serta meningkatkan motivasi dan kinerja karyawan.
d. Pembelajaran
Pembelajaran dalam organisasi merujuk pada proses di mana karyawan memperoleh
keterampilan, pengetahuan, dan pengalaman baru yang dapat membantu mereka meningkatkan
kinerja mereka di tempat kerja. Pembelajaran dalam organisasi memiliki beberapa manfaat,
seperti meningkatkan kinerja karyawan, meningkatkan produktivitas, meningkatkan kreativitas
dan inovasi, serta meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Organisasi dapat mempromosikan
pembelajaran dengan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung pembelajaran, seperti
memberikan akses ke sumber daya dan alat yang diperlukan, dan dengan menciptakan budaya
yang terbuka terhadap pembelajaran dan inovasi. Penting bagi organisasi untuk mengukur
efektivitas program pembelajaran dan memastikan bahwa investasi dalam program
pembelajaran memberikan hasil yang diharapkan. Organisasi dapat menggunakan evaluasi
kinerja karyawan, umpan balik dari peserta program, dan analisis biaya-manfaat untuk
mengukur efektivitas program pembelajaran.
Dengan memanfaatkan keragaman dalam organisasi, organisasi dapat menciptakan
lingkungan kerja yang inklusif dan beragam, yang dapat meningkatkan produktivitas dan
kinerja organisasi secara keseluruhan. Organisasi juga perlu memperhatikan kebutuhan dan
perspektif setiap karyawan untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan produktif.
BAB III
SIKAP DAN KEPUASAN KERJA
Sikap kerja adalah perilaku seseorang terhadap pekerjaannya yang tercermin dalam sikap
positif atau negatifnya terhadap tugas, lingkungan kerja, dan rekan kerjanya. Sikap kerja yang
positif cenderung meningkatkan produktivitas dan kinerja individu, sementara sikap kerja yang
negatif dapat merugikan diri sendiri dan organisasi tempat mereka bekerja. Beberapa faktor
yang mempengaruhi sikap kerja antara lain kondisi lingkungan kerja, kepuasan kerja,
kepercayaan pada pimpinan, pengakuan atas prestasi kerja, dan keseimbangan kehidupan kerja.
Kepuasan kerja adalah tingkat kepuasan seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan
kerja dapat memengaruhi sikap kerja individu, dan juga dapat mempengaruhi loyalitas dan
kinerja di tempat kerja. Beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja antara lain
keseimbangan kehidupan kerja, gaji dan tunjangan, kesempatan untuk pengembangan karir,
lingkungan kerja yang aman dan nyaman, dan hubungan yang baik dengan rekan kerja dan
atasan.
Untuk meningkatkan sikap dan kepuasan kerja, organisasi perlu memperhatikan faktorfaktor yang mempengaruhi keduanya dan menciptakan lingkungan kerja yang positif. Hal ini
dapat dilakukan dengan memberikan gaji dan tunjangan yang sesuai, memberikan kesempatan
pengembangan karir, memperbaiki kondisi lingkungan kerja, dan membina hubungan yang
baik antara atasan dan bawahan.
a. Konsep Persepsi
Persepsi adalah proses dengan mana para individu mengatur dan menginterpretasikan
kesan
-
kesan
sensoris
mereka
guna
memberikan
arti
bagi
lingkungannya.
Berdasarkan definisi tersebut bahwa setiap orang memberi arti sendiri terhadap stimulus
lingkungannya, individu yang berbeda dapat melihat hal yang sama tetapi memahaminya
secara berbeda, sehingga mempunyai persepsi yang berbeda. Sebagai contoh, jika semua
karyawan dalam sebuah perusahaan menganggapnya sebagai tempat yang baik, kondisi kerja
yang menyenangkan, pekerjaan yang menarik, gaji yang memadai, manajemen yang
pengertian, dan sebagainya, tetapi sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar kita sangat
sulit untuk menemukan kecocokan yang seperti itu.
Beberapa faktor yang membentuk dan terkadang mengubah persepsi. Faktor-faktor ini
bisa terletak dalam diri pembentuk persepsi, pada objek atau target yang diartikan, atau dalam
konteks situasi di mana persepsi dibuat. Ketika seorang individu melihat sebuah target dan
berusaha untuk menginterpretasikan apa yang dilihat. Interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh
berbagai karakteristik pribadi dari pembuat persepsi tersebut yang meliputi sikap, motif,
kepentingan, pengalaman, dan harapan-harapan seseorang. Faktor target yang diobservasi bisa
mempengaruhi apa yang diartikan. Individu yang bersuara keras cenderung diperhatikan dalam
sebuah kelompok dibandingkan individu yang lembut. Begitu pula dengan individu yang
menarik atau tidak menarik. Oleh karena target tidak dilihat secara khusus, hubungan sebuah
target dengan latar belakangnya juga mempengaruhi persepsi, seperti halnya kecenderungan
kita untuk mengelompokkan halhal yang dekat dan hal-hal yang mirip. Konteks di mana kita
melihat berbagai objek atau peristiwa juga penting. Waktu dimana sebuah objek atau peristiwa
dilihat, dapat mempengaruhi perhatian, seperti halnya lokasi, cahaya, panas, atau sejumlah
faktor situasional lainnya.
b. Konsep Sikap
Sikap adalah penentu perilaku karena sikap berkaitan dengan persepsi, kepribadian,
perasaan, dan motivasi. Sikap dan persepsi penting dalam mempelajari perilaku organisasi
karena perilaku individu didasarkan pada persepsi mereka tentang kenyataan. Sikap yang akan
dibahas di sini fokus pada sikap yang berkaitan dengan pekerjaan, yang mencakup kepuasan
kerja (job satisfaction), keterlibatan kerja (job involvement), komitmen organisasi
(organizational
commitment),
dukungan
organisasional
yang
dirasakan
(perceived
organizational support), dan keterlibatan karyawan (employee engagement).
Ada tiga komponen sikap yakni cognition, affect, dan behavior. Komponen kognitif dari
suatu sikap adalah segmen pendapat atau kesadaran akan suatu sikap. Komponen afektif dari
suatu sikap adalah segmen emosional atau perasaan dari suatu sikap. Komponen perilaku dari
suatu sikap adalah suatu maksud untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap
seseorang atau sesuatu.
Sikap kerja berisi evaluasi positif atau negatif yang dimiliki oleh karyawan tentang
aspek-aspek lingkungan kerja. Sebagian besar penelitian dalam perilaku organisasi
berhubungan dengan sikap seperti job satisfaction, job involvement, organizational
commitment, perceived organizational support, dan employee engagement.
c. Konsep Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah perasaan positif mengenai pekerjaan seseorang sebagai hasil
evaluasi dari karakteristikkarakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang
tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaannya, sementara seseorang yang
tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negative tentang pekerjaannya. Setiap pekerjaan
menuntut interaksi dengan rekan kerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijaksanaan
organisasi, memenuhi standar kinerja, menerima kondisi kerja yang seringkali tidak ideal, dan
lain-lain. Ini berarti, bahwa penilaian karyawan tentang seberapa ia merasa puas atau tidak puas
dengan pekerjaan merupakan hal yang kompleks dari sejumlah elemen pekerjaan yang
berlainan.
Untuk mengukur kepuasan kerja ada dua pendekatan yang sering digunakan yaitu
penilaian tunggal secara umum, dan penilaian atas sejumlah aspek atau dimensi pekerjaan.
Pada penilaian tunggal secara umum, sekedar meminta responden untuk merespons satu
pertanyaan; misalnya seberapa puaskah Anda dengan pekerjaan Anda? Kemudian responden
menjawab dengan cara memilih alternative jawaban yang telah disiapkan dari “sangat puas”
sampai “sangat tidak puas”. Penilaian atas dasar dimensi-dimensi pekerjaan, dilakukan dengan
mengidentifikasi elemen-elemen penting dalam suatu pekerjaan dan menanyakan perasaan
karyawaan tentang setiap elemen kemudian dinilai berdasarkan skala standar lalu
menjumlahkannya untuk mendapatkan nilai kepuasan kerja secara keseluruhan. Dimensidimensi pekerjaan terdiri dari the work itself, pay, promotion opportunities, supervision,
coworkers. Pekerjaan itu sendiri, dalam hal pekerjaan memberikan tugas yang menarik,
kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. Gaji merupakan
sejumlah upah yang diterima dan tingkat di mana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang
dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi. Kesempatan promosi, yaitu
kesempatan untuk maju dalam organisasi. Pengawasan, yaitu kemampuan supervisi untuk
memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku. Rekan kerja, tingkat di mana rekan kerja
pandai secara dan mendukung secara sosial.
d. Konsep tentang Stres
Stres sebagai suatu tanggapan penyesuaian, yang dimediasi oleh perbedaan-perbedaan
individual, yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau bahkan
peristiwa yang menetapkan permintaan khusus kepada seseorang.
Penyebab stres (stressors) di tempat kerja bersumber dari: individu, kelompok,
organisasi, maupun faktor di luar lingkungan kerja. Selanjutnya stress berdampak pada
(outcome) perilaku, kognitif, dan psikologis akan tetapi dampaknya tidak secara langsung
melainkan dimoderasi oleh faktor perbedaan-perbedaan individual (individual differences),
seperti keturunan, umur, jenis kelamin, dukungan sosial, dan kepribadian. Maksudnya
kemampuan setiap individu dalam menghadapi stres di tempat kerja sangat tergatung pada
perbedaan-perbedaan individual. Stress pada hakekatnya tidak selalu buruk atau negative,
melainkan juga memiliki sisi positif. Sebagai contoh dampak stress pada kinerja, pada saat
stress rendah atau tidak ada stress, orang pada umumnya bekerja pada tingkat kinerja yang
dicapainya saat itu. Jadi tidak ada dorongan untuk berkinerja lebih dari yang dilakukan selama
ini.
Penyebab stress yang berasal dari individu seperti konflik peran (role conflict). Konflik
peran terjadi manakala seseorang diperhadapkan untuk memenuhi harapan-harapan tentang
pekerjaan dan juga memenuhi harapan-harapan dari pekerjaan yang lain. Karyawan yang
mengalami konflik menunjukkan kepuasan kerja yang lebih rendah dan ketegangan yang
berkaitan dengan kerja yang lebih tinggi.
Karakteristik-karakteristik kelompok dapat menjadi penyebab stres yang kuat bagi
beberapa individu dalam kelompok, seperti norma-norma kelompok, kepemimpinan, dan
kedudukan secara hirarki. Para ilmuan perilaku menganggap bahwa memperbaiki hubungan
yang baik di antara anggota kelompok kerja merupakan faktor utama dalam kehidupan perilaku
individu yang baik. Stressors kelompok dapat berupa kurangnya kohesivitas kelompok,
terutama pada tingkat organisasi yang lebih rendah. Jika karyawan tidak mengalami
kesempatan kebersamaan karena desain kerja, penyelia melarang atau membatasinya, atau
karena anggota kelompok yang menyingkirkan karyawan lain, sehingga kurangnya kohesivitas
akan menyebabkan stres. Karyawan sangat dipengaruhi oleh dukungan anggota kelompok
yang kohesif. Jika dukungan kelompok berkurang pada individu maka situasi akan membuat
stres.
BAB IV
MOTIVASI
I. Pengertian motivasi
Motivasi menimbulkan semangat atau dorongan untuk mencapai tujuan tertentu.
Motivasi itu sendiri bisa bersifat internal dan eksternal. Motivasi internal adalah motivasi yang
berasal dari dalam diri individu dan biasanya bersifat lebih kekal, dan motivasi eksternal adalah
motivasi yang berasal dari luar diri individu yang bersifat sementara. Kedua jenis motivasi ini
memiliki implikasi yang penting bagi para manajer dalam pekerjaannya memotivasi karyawan
(Tewal, dkk., 2017).
Menurut Gibson et.al (2012), motivasi adalah konsep yang kita gunakan untuk
menggambarkan kekuatan bertindak pada atau di dalam setiap individu yang menggerakkan
dan mengarahkan perilaku. Motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan
ketekunan seorang individu untuk mencapai suatu tujuan. Intensitas menggambarkan seberapa
keras seseorang berusaha. Ini adalah elemen yang paling kita fokuskan ketika kita berbicara
tentang motivasi. Namun, intensitas tinggi tidak mungkin untuk mengarah pada hasil kinerja
yang baik kecuali upaya tersebut disalurkan dalam arah yang menguntungkan organisasi. Oleh
karena itu, kami mempertimbangkan kualitas upaya serta intensitasnya. Upaya yang diarahkan,
dan konsisten dengan tujuan organisasi adalah jenis upaya yang harus kita upayakan. Terakhir,
motivasi memiliki dimensi ketekukan. Ketekunan mengukur berapa lama seseorang dapat
mempertahankan usaha. Individu yang termotivasi bertahan dengan tugas cukup lama untuk
mencapai tujuan mereka (Robbins dan Judge, 2013).
Motivasi adalah proses yang dimulai dengan defisiensi secara fisiologis atau psikologis
yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditujukan untuk tujuan atau insentif (Luthans,
2011). Berdasarkan definisi tersebut ada tiga elemen penting yakni ada dorongan dari dalam
diri individu, ada tindakan, dan tujuan. Dorongan karena ada kebutuhan yang dirasakan yang
menggerakkan individu untuk bertindak dalam memenuhi kebutuhan yakni tujuan. Kebutuhan
adalah kekurangan yang dialami individu pada suatu waktu tertentu. Kekurangan tersebut dapat
bersifat fisik, psikologis, atau sosiologis. Motivasi adalah faktor-faktor yang ada dalam diri
seseorang yang menggerakkan dan mengarahkan perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu.
(Tewal, dkk., 2017).
II. Proses timbulnya motivasi
Proses timbulnya motivasi seseorang merupakan gabungan dari konsep kebutuhan,
dorongan, tujuan, dan imbalan. Menurut Gibson, et.al (2012), proses motivasi terdiri dari
beberapa tahapan yakni :
1. Munculnya suatu kebutuhan yang belum terpenuhi yang menyebabkan adanya
ketidakseimbangan dalam diri seseorang dan berusaha untuk menguranginya dengan
perilaku tertentu.
2. Seseorang kemudian mencari cara-cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
3. Seseorang mengarahkan perilakunya ke arah pencarian tujuan atau prestasi dengan caracara yang telah dipilih dengan didukung oleh kemampuan, keterampilan maupun
pengalamannya
4. Penilaian prestasi dilakukan oleh diri sendiri atau orang lain tentang keberhasilannya dalam
mencapai tujuan. Perilaku yang ditujukan untuk memuaskan kebutuhan misalnya,
kebanggaan biasanya dinilai oleh individu. Sedangkan perilaku yang ditujukan untuk
memenuhi suatu kebutuhan misalnya, finansial atau jabatan, umumnya dilakukan oleh
atasan atau pimpinan organisasi.
5. Imbalan atau hukuman yang diterima atau dirasakan tergantung pada evaluasi atas prestasi
yang dilakukan.
6. Seseorang menilai sejauh mana perilaku dan imbalan telah memuaskan kebutuhannya. Jika
siklus motivasi tersebut telah memuaskan kebutuhannya, maka suatu keseimbangan atau
kepuasan atas kebutuhan tertentu dirasakan. Akan tetapi masih ada kebutuhan yang belum
terpenuhi maka akan terjadi lagi proses pengulangan dari dari siklus motivasi dengan
perilaku yang berbeda.
Proses timbulnya motivasi menurut Gibson, et.al (2012)
III. Teori-teori motivasi
3.1 Teori awal motivasi
a. Teori hirarki kebutuhan (Maslow’s Hierarchy of Needs)
Teori motivasi yang paling terkenal adalah teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow
yang berhipotesis bahwa dalam diri setiap manusia terdapat hirarki lima kebutuhan. Menurut
Tewal, dkk. (2017), teori ini mengemukakan bahwa manusia di tempat kerjanya dimotivasi
oleh suatu keinginan untuk memuaskan sejumlah kebutuhan yang ada dalam diri seseorang.
Teori ini didasarkan pada tiga asumsi dasar yaitu:
1. Kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki, mulai dari hirarki kebutuhan yang paling
dasar sampai ke kebutuhan yang paling tinggi tingkatannya.
2. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan dapat mempengaruhi perilaku seseorang, di mana
hanya kebutuhan yang belum terpuaskan yang dapat menggerakkan perilaku. Kebutuhan
yang telah terpuaskan tidak dapat berfungsi sebagai motivator.
3. Kebutuhan yang lebih tinggi berfungsi sebagai motivator apabila kebutuhan yang hirarkinya
lebih rendah paling tidak telah terpuaskan secara minimal.
Menurut Robbins dan Judge (2013), hirarki lima kebutuhan manusia menurut Maslow
adalah sebagai berikut:
1. Physiological (kebutuhan fisiologis). Kebutuhan fisiologis merupakan hirarki kebutuhan
manusia yang paling dasar yang merupakan kebutuhan untuk dapat hidup. Termasuk rasa
lapar, haus, karyawan harus diberi waktu istirahat dan makan yang cukup. tempat berteduh,
seks, dan kebutuhan tubuh lainnya.
2. Safety and security (kebutuhan keselamatan dan keamanan). Apabila kebutuhan fisiologis
relative sudah terpuaskan maka muncul kebutuhan yang kedua yaitu kebutuhan keselamatan
dan rasa aman. Kebutuhan ini meliputi keamanan akan perlindungan dari bahaya kecelakaan
kerja, jaminan akan kelangsungan pekerjaan, dan jaminan akan hari tua pada saat seseorang
tidak lagi bekerja, keamanan dan perlindungan dari bahaya fisik dan emosional.
3. Belongingness, sosial, and love (kebutuhan sosial). Rasa memiliki secara sosial, kasih
sayang, rasa memiliki, penerimaan, dan persahabatan. Dalam konteks organisasi, berkaitan
dengan kebutuhan akan adanya kelompok kerja yang kompak, supervisi yang baik, rekreasi
bersama, dan sebagainya.
4. Esteem (kebutuhan penghargaan). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan keinginan untuk
dihormati, dihargai atas prestasi seseorang, pengakuan atas kemampuan dan keahlian
seseorang serta efektifitas kerja seseorang. Oleh karena itu, manajer harus menghargai dan
memberi reward, dan promosi bagi karyawan yang bekerja dengan baik. Faktor internal
seperti : harga diri, otonomi, dan prestasi, dan faktor eksternal seperti : status, pengakuan,
dan perhatian.
5. Self-actualization (kebutuhan aktualisasi diri). Aktualisasi diri berkaitan dengan proses
pengembangan akan potensi yang sesungguhnya dari seseorang: termasuk pertumbuhan,
mencapai potensi kita, dan pemenuhan diri.
Menurut Maslow, karena setiap kebutuhan secara substansial terpuaskan, kebutuhan
berikutnya menjadi dominan. Jadi, jika Anda ingin memotivasi seseorang, Anda perlu
memahami tingkat hierarki orang tersebut saat ini dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan
pada atau di atas tingkat tersebut.
b. Teori dua faktor (Herzberg’s Two-Factor Theory)
Menurut Tewal, dkk. (2017), teori dua faktor dikemukakan oleh Herzberg yang
dihasilkan dari suatu penelitian terhadap 200 orang akuntan dan insinyur. Dari hasil penelitian
tersebut Herzberg menyimpulkan dua hal atau dua faktor sebagai berikut :
1. Ada sejumlah kondisi extrinsic pekerjaan (konteks pekerjaan), yang apabila faktor atau
kondisi itu tidak ada, menyebabkan ketidakpuasan di antara para karyawan. Kondisi ini
disebut dengan dissatisfiers, atau hygiene factors, karena kondisi atau factor-faktor tersebut
dibutuhkan minimal untuk menjaga adanya ketidakpuasan. Faktor-faktor ini berkaitan
dengan keadaan pekerjaan yang meliputi factor-faktor sebagai berikut : gaji, status,
kemanan kerja, kondisi kerja, fringe benefits, kebijakan dan prosedurm dan hubungan
interpersonal.
2. Sejumlah kondisi intrinsic, tidak adanya kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi
sangat tidak puas. Tetapi jika kondisi atau faktor-faktor tersebut ada, akan membentuk
motivasi yang kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh karena itu, disebut
satisfiers (pemuas) atau motivators (motivator). Kondisi intrinsic meliputi: pencapaian
prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, kesempatan untuk
berkembang.
Teori dua faktor memprediksikan bahwa perbaikan dalam motivasi hanya akan Nampak
jika tindakan manajer tidak hanya dipusatkan pada kondisi ekstrinsik pekerjaan tetapi juga pada
faktor kondisi intrinsic pekerjaan itu sendiri.
c. Teori Kebutuhan McClelland (McClelland’s Theory of Needs)
Mc Clelland meneliti tiga jenis kebutuhan, yaitu the need for achievement (nAch), the
need for affiliation (nAff), dan the need for power (nPow). Kebutuhan untuk berprestasi (nAch)
adalah dorongan untuk unggul, untuk mencapai dalam hubungan dengan seperangkat standar.
Kebutuhan afiliasi (nAff), merupakan suatu keinginan untuk melakukan hubungan yang
bersahabat dan hangat dengan orang lain. Kebutuhan akan kekuasaan (nPow), adalah
kebutuhan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain dan bertanggung jawab
kepadanya (Robbins dan Judge, 2013).
3.2 Teori motivasi kontemporer
Teori kontemporer mewakili pemikiran terbaru dalam menjelaskan motivasi karyawan.
a. Teori penentuan nasib sendiri (Self-Determination Theory)
Self-determination theory mengemukakan bahwa orang lebih suka merasa memiliki
kendali atas tindakan mereka. Teori ini adalah sebuah meta-teori motivasi kerja yang
mementingkan otonomi, motivasi intrinsik, motivasi ekstrinsik, dan kepuasan kebutuhan
psikologis kerja. Teori evaluasi kognitif adalah sebuah sub-teori dari teori ini dimana imbalan
ekstrinsik untuk perilaku cenderung menurunkan tingkat keseluruhan motivasi, jika imbalan
dipandang sebagai pengendalian atau mengurangi rasa kompetensi mereka. Kesesuaian diri
(self concordance) adalah sejauh mana alasan orang untuk mengejar tujuan itu konsisten
dengan minat dan nilai inti mereka (Robbins dan Judge, 2013).
b. Teori penetapan tujuan (Goal-Setting Theory)
Konsep dasar goal-setting theory adalah bahwa karyawan yang memahami tujuan (apa
yang diharapkan organisasi terhadapnya) akan mempengaruhi perilaku kerjanya. Dengan
menetapkan tujuan yang menantang (sulit) dan dapat diukur hasilnya akan dapat meningkatkan
prestasi kerja. Dengan catatan bahwa karyawan tersebut memiliki kemampuan dan ketrampilan
yang diperlukan (Robbins dan Judge, 2013).
Proses goal-setting theory meliputi lima tahap, pertama, insentif tertentu yang disediakan
organisasi. Dalam tahap ini umumnya termasuk penetapan apa yang ingin dilakukan dilakukan
organisasi (target hasil) dan kejelasan imbalan yang berkaitan dengan pencapaian tujuan
tersebut (peningkatan upah, promosi, penghargaan). Kedua, proses partisipasi penetapan tujuan
meliputi bagaiman tujuan itu ditetapkan. Dalam proses penetapan tujuan, tujuan itu bisa
ditetapkan bersam-sama antara pimpinan dengan bawahan (disebut partisipatif) atau tujuan itu
ditetapkan sendiri oleh pimpinan (otoriter). Ketiga, atribut-atribut penetapan tujuan meliputi,
kejelasan, kesulitan, tantangan, persaingan dengan karyawan lain, dan umpan balik. Keempat,
adanya komitmen dari karyawan untuk melaksanakan tujuan termasuk perhatian dan usaha
untuk pencapaian tujuan tersebut oleh karyawan. Akhirnya, hasil penetapan tujuan yaitu
prestasi kerja dan kepuasan (Tewal, dkk., 2017).
c. Teori Self-Efikasi (Self-Efficacy Theory)
Self-efficacy theory komponen dari teori kognitif sosial atau teori pembelajaran sosial,
mengacu pada keyakinan individu bahwa ia mampu melakukan tugas. Semakin tinggi selfefficacy Anda, semakin percaya diri Anda pada kemampuan Anda untuk berhasil. Jadi, dalam
situasi sulit, orang dengan efikasi diri rendah lebih cenderung mengurangi usaha mereka atau
menyerah sama sekali, sedangkan orang dengan efikasi diri tinggi akan berusaha lebih keras
untuk menguasai tantangan (Robbins dan Judge, 2013).
Sumber yang paling penting untuk meningkatkan efikasi diri adalah penguasaan
enaktif—yaitu, mendapatkan pengalaman yang relevan dengan tugas atau pekerjaan. Jika Anda
dapat melakukan pekerjaan dengan sukses di masa lalu, Anda akan lebih yakin bahwa Anda
dapat melakukannya di masa depan. Sumber kedua adalah pemodelan perwakilan—menjadi
lebih percaya diri karena Anda melihat orang lain melakukan tugas itu. Jika teman Anda
berhenti merokok, kepercayaan diri Anda akan meningkat bahwa Anda juga bisa berhenti.
Pemodelan perwakilan paling efektif ketika Anda melihat diri Anda serupa dengan orang yang
Anda amati. Menonton Tiger Woods memainkan pukulan golf yang sulit mungkin tidak
meningkatkan kepercayaan diri Anda untuk dapat memainkan pukulan itu sendiri, tetapi
menonton pegolf dengan handicap yang mirip dengan Anda sangatlah persuasif. Sumber ketiga
adalah persuasi lisan: kita menjadi lebih percaya diri saat seseorang meyakinkan kita bahwa
kita memiliki keterampilan yang diperlukan untuk sukses. Pembicara motivasi menggunakan
taktik ini (Robbins dan Judge, 2013).
d. Teori Penguatan (Reinforcement Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Skinner, bahwa penguatan merupakan konsep belajar
(learning). Menurut reinforcement theory bahwa perilaku merupakan fungsi dari akibat yang
berhubungan dengan perilaku tersebut. Orang cenderung melakukan sesuatu yang mengarah
kepada konsekuensi yang positif dan menghindari konsekuensi yang tidak menyenangkan.
Reinforcement theory yang dalam hal ini menggunakan konsep pengkondisian operan dapat
dipandang sebagai suatu model motivasi yaitu berkaitan dengan membentuk, mengarahkan,
mempertahankan, dan mengubah perilaku dalam organisasi. Teori ini memiliki empat konsep
dasar yaitu perilaku dapat diukur, contingencies of reinforcement, skedul penguatan, dan nilai
penguat. Keempat konsep dasar tersebut dapat dijelaskan mengenai perilaku yang dapat diukur
seperti, jumlah yang dapat diproduksi, kualitas produksi, ketepatan pelaksanaan jadwal
produksi, dan sebagainya. Contingencies of reinforcement, yaitu berkaitan dengan urutanurutan antar stimulus, tanggapan dan konsekuensi dari perilaku yang ditimbulkan
(reinforcement). Suatu kondisi kerja tertentu yang dibentuk oleh organisasi (sebagai stimulus),
kemudian karyawan bertindak seperti yang diinginkan organisasi (tanggapan), seterusnya
organisasi memberikan imbalan yang sesuai dengan tindakan atau perilakunya (konsekuensi
dari perilaku). Dari sudut pandang motivasi, melalui penggunaan stimulus dan konsekuensi
atau imbalan, karyawan termotivasi untuk melakukan perilaku yang diinginkan organisasi,
dalam hal ini perilaku yang termotivasi melalui proses belajar. Semakin pendek interval waktu
antara tanggapan atau respon karyawan (misalnya prestasi kerja) dengan pemberian penguat
(imbalan), maka semakin besar pengaruhnya terhadap perilaku. Berkaitan dengan nilai dan
ukuran penguatan, semakin besar nilai penguat itu bagi karyawan semakin besar pengaruhnya
terhadap perilaku berikutnya (Tewal, dkk., 2017).
e. Teori Harapan (Expectancy Theory)
Teori ini dikembangkan oleh Victor Vroom. Ide dasar expectancy theory adalah bahwa
motivasi ditentukan oleh hasil yang diharapkan diperoleh seseorang sebagai akibat dari
tindakannya. Variabel-variabel kunci dalam teori ini adalah usaha (effort), dan hasil (outcome).
Usaha
atau
dorongan
seseorang
untuk
bertindak
tergantung
pada
pengharapan,
instrumentalitas, dan valensi (Tewal, dkk., 2017).
1. Harapan: hubungan upaya-kinerja. Probabilitas yang dirasakan oleh individu bahwa
mengerahkan sejumlah upaya tertentu akan mengarah pada kinerja.
2. Instrumentalitas: hubungan kinerja-penghargaan. Sejauh mana individu percaya tampil di
tingkat tertentu akan mengarah pada pencapaian hasil yang diinginkan.
3. Valensi: hubungan imbalan-tujuan pribadi. Sejauh mana imbalan organisasi memenuhi
tujuan atau kebutuhan pribadi individu dan daya tarik imbalan potensial tersebut bagi
individu.
Hasil merupakan tujuan akhir dari suatu perilaku tertentu. Hasil dibedakan menjadi hasil
tingkat pertama dan hasil tingkat kedua. Hasil tingkat pertama adalah hasil usaha seseorang
dalam melakukan pekerjaan, seperti jumlah yang dihasilkan, kualitas, dan produktivitas secara
umum. Hasil tingkat kedua adalah konsekuensi dari hasil tingkat pertama atau merupakan
tujuan akhir prestasi, seperti upah, promosi, penghargaan, dan imbalan lainnya. Model
expectancy theory bahwa prestasi kerja adalah merupakan kombinasi perkalian antara
kemampuan, usaha, ketrampilan, kejelasan tugas tanggung jawab (role perceptions). Jika
seseorang memiliki persepsi peran yang jelas atau memahami tugas dan tanggung jawabnya,
memiliki ketrampilan dan keahlian yang diperlukan dan jika mereka termotivasi menggunakan
usahanya/kemampuannya, maka prestasinya akan baik. Prestasi kerja menghasilkan imbalan
ekstrinsik dan intrinsik (Tewal, dkk., 2017).
f. Teori Keadilan (Equity Theory)
Equity Theory dikemukakan oleh Stacy Adams, bahwa manusia di tempat kerja menilai
tentang inputnya dalam hubungannya dengan pekerjaan dibandingkan dengan hasil (outcomes)
yang diperoleh. Mereka membandingkannya dengan orang lain dalam kelompoknya, dengan
kelompok yang lain atau dengan orang lain di luar organisasi dimana ia bekerja. Bila persepsi
seseorang menganggap bahwa imbalan atau hasil yang ia peroleh tidak sesuai dengan usahanya
atau input yang ia berikan pada organisasi, maka mereka termotivasi untuk menguranginya.
Semakin besar ketidaksesuaian (discrepancy) itu dirasakan seseorang, maka ia semakin
termotivasi untuk menguranginya. Discrepancy terjadi karena adanya perbedaan persepsi
diantara dua orang atau lebih tentang kaitan antara masukan dengan hasil yang diperolehnya.
Dalam equity theory, input meliputi tingkat pendidikan, keahlian, upaya, masa kerja,
kepangkatan, dan produktivitas. Sedangkan outcomes adalah semua imbalan yang dihasilkan
dari pekerjaan seseorang seperti gaji, promosi, penghargaan, prestasi, dan status (Tewal, dkk.,
2017).
Menurut Robbins dan Judge (2013), berdasarkan teori ekuitas, karyawan yang merasakan
ketidakadilan akan membuat satu dari enam pilihan berikut:
1. Ubah masukan (mengerahkan lebih sedikit usaha jika dibayar rendah atau lebih banyak jika
dibayar lebih).
2. Ubah hasil (individu yang dibayar berdasarkan upah per satuan dapat meningkatkan gaji
mereka dengan memproduksi jumlah unit yang lebih tinggi dengan kualitas yang lebih
rendah).
3. Mendistorsi persepsi diri (“Saya dulu berpikir saya bekerja dengan kecepatan sedang, tetapi
sekarang saya menyadari bahwa saya bekerja jauh lebih keras daripada orang lain”).
4. Mendistorsi persepsi orang lain (“Pekerjaan Mike tidak semenarik yang saya kira”).
5. Pilih referensi yang berbeda (“Penghasilan saya mungkin tidak sebanyak ipar laki-laki saya,
tetapi penghasilan saya jauh lebih baik daripada yang Ayah saya lakukan ketika dia seusia
saya”).
6. Keluar dari lapangan (berhenti dari pekerjaan).
Keadilan distributif berkaitan dengan persepsi keadilan dari jumlah dan alokasi imbalan
di antara individu. Keadilan prosedural adalah keadilan yang dirasakan pada proses yang
digunakan untuk menentukan distribusi imbalan. Keadilan informasi adalah sejauh mana
karyawan diberikan penjelasan yang jujur untuk pengambilan keputusan. Keadilan antar
pribadi adalah sejauh mana karyawan diperlakukan dengan bermartabat dan hormat (Robbins
dan Judge, 2013).
BAB V
KELOMPOK DAN KOHESIFITAS
I. Pengertian dan jenis kelompok
Kelompok sebagai kumpulan individu dimana perilaku dan/atau kinerja seorang anggota
dipengaruhi oleh perilaku dan/atau kinerja anggota lainnya (Gibson et al., 2012). Kelompok
sebagai dua atau lebih individu, berinteraksi dan saling bergantung, yang datang bersama-sama
untuk mencapai tujuan tertentu (Robbins & Judge, 2013). Berdasarkan kedua definisi tersebut,
maka sebuah kelompok harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Beranggotakan minimal 2 (dua) orang
b. Mereka saling berinteraksi dan saling ketergantungan satu sama lainnya
c. Perilaku dan kinerja mereka saling mempengaruhi satu sama lainnya
d. Ada tujuan tertentu yang ingin mereka capai
Menurut Luthans (2011), jika sebuah kelompok ada dalam sebuah organisasi, maka
anggotanya:
a. Termotivasi untuk bergabung
b. Menerima kelompok sebagai unit terpadu untuk berinteraksi
c. Berkontribusi dalam berbagai hal untuk proses kelompok (yakni beberapa orang
menyumbangkan lebih banyak waktu atau energi kepada kelompok daripada orang lain)
d. Mencapai kesepakatan dan memiliki ketidaksepakatan melalui berbagai bentuk interaksi
Kelompok adalah fenomena alami di dalam organisasi. Perkembangannya yang spontan
tidak dapat dihalangi dan dibutuhkan oleh para anggota sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Selain itu, perkembangannya begitu dinamis untuk merespons tuntutan dan perubahan
lingkungannya. Sebuah organisasi pada hakekatnya memiliki berbagai tipe kelompok
didalamnya. baik yang terbentuk karena pengaturan manajemennya maupun karena inisiatif
anggotanya. Kelompok dalam organisasi dibedakan dalam dua tipe yaitu: 1) Kelompok formal
(Formal group) dan 2) Kelompok informal (Informal group) (Gibson et al. 2012; Robbins dan
Judge, 2013) :
1. Kelompok formal adalah kelompok yang dibuat oleh keputusan manajerial untuk mencapai
tujuan organisasi yang dinyatakan. Kelompok formal ini terjadi karena adanya proses
pengorganisasian melalui pembagian kerja dan departemenisasi. Kelompok formal ini
dibedakan dalam dua tipe yaitu:
a. Kelompok komando (command group) adalah kelompok yang ditentukan oleh bagan
organisasi, terdiri dari bawahan yang melapor langsung ke supervisor tertentu.
Keberadaan kelompok ini lebih permanen, kecuali terjadi restrukturisasi organisasi
kelompok ini bisa bubar. Misalnya, Dosen Manajemen dan Ketua Program Studi
Manajemen merupakan suatu kelompok komando yang ada di Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UNSRAT.
b. Kelompok tugas (task group) adalah kelompok yang dibentuk untuk menyelesaikan
tugas atau proyek tertentu. Misalnya, Panitia Dies FEB, Penerimaan Mahasiswa Baru
UNSRAT, Tim Kerja Latihan Manajemen Mahasiswa, dan lainnya.
2. Kelompok informal adalah kelompok yang timbul dari usaha individu dan berkembang
seputar kepentingan bersama dan persahabatan daripada disain yang disengaja. Kelompok
informal ini muncul secara alami untuk merespons kebutuhan sosial anggotanya. Individu
yang mungkin bukan anggota dari kelompok komando atau kelompok tugas yang sama
dapat berafiliasi dalam kelompok informal ini. Kelompok informal dibedakan atas 2 tipe
yaitu:
a. Kelompok kepentingan (interest group) adalah kelompok yang dibentuk atas inisiatif
individu berdasarkan kepentingan, tujuan atau minat yang sama. Keberadaan kelompok
kepentingan ini bisa tidak terkait tujuannya dengan organisasi tetapi spesifik untuk
masing-masing kelompok. Misalnya, beberapa mahasiswa yang berkeinginan untuk
kerja di perusahaan asing membentuk kelompok belajar bahasa Inggris bersama.
b. Kelompok persahabatan (friendship group) adalah kelompok yang dibentuk atas inisiatif
individu karena memiliki kesamaan, seperti usia, jenis kelamin, kepercayaan politik,
keinginan untuk memainkan olah raga yang sama, atau latar belakang etnis. Kelompok
persahabatan ini sering memperluas interaksi dan komunikasi mereka dengan aktivitas
di luar pekerjaan. Misalnya, beberapa dosen lulusan Jepang membentuk kelompok untuk
saling mempererat hubungan diantara mereka.
II. Tahap perkembangan kelompok
Luthans (2011) dan Gibson et al. (2012), mengemukakan model lima tahap dalam
memahami perkembangan kelompok sebagai berikut :
1. Tahap pembentukan (forming). Tahap awal ini ditandai ketidakpastian atas tujuan, struktur
dan kepemimpinan. Anggota mempertimbangkan tipe perilaku apa yang cocok dan dapat
diterima. Tahap ini selesai ketika anggota merasa menjadi bagian dari kelompok.
2. Tahap keributan (storming). Seperti diindikasikan istilahnya (ribut), tahap ini ditandai oleh
konflik dan konfrontasi diantara anggota. Mereka masih saling curiga satu sama lainnya
karena belum begitu mengenal sifat dan tingkah laku masing-masingnya. Ketika tahap ini
selesai terdapat kepastian strukur.
3. Tahap penormaan (norming). Tahap ini struktur menjadi solid, kohesivitas tinggi, perbedaan
menjadi kerjasama.
4. Tahap berkinerja (performing). Tahap ini struktur sudah berfungsi dan fokus pada
penyelesaian tugas. Untuk kelompok kerja permanen berkinerja adalah tahap akhir. Untuk
tim, panitia, satgas dan sejenisnya terdapat tahap pembubaran.
5. Tahap pembubaran (adjourning). Untuk proyek tim atau tugas dengan tujuan khusus, saat
tujuan tercapai kelompok akan membubarkan diri atau memiliki komposisi baru dan
tahapan dimulai dari awal.
III. Kohesifitas dalam kelompok
Kelompok berbeda dalam kohesifitas atau kekompakannya—ikatan bersama mendorong
anggota kelompok untuk bekerja bersama dan tetap berada dalam kelompok. Beberapa
kelompok kerja bersifat kohesif karena para anggotanya telah menghabiskan banyak waktu
bersama, ukuran atau tujuan kelompok yang kecil memfasilitasi interaksi yang tinggi, atau
ancaman eksternal telah mendekatkan anggota (Robbins dan Judge, 2013).
Kohesifitas mempengaruhi produktivitas kelompok. Studi secara konsisten menunjukkan
bahwa hubungan antara kohesifitas dan produktivitas bergantung pada norma terkait kinerja
kelompok. Jika norma untuk kualitas, hasil, dan kerja sama dengan pihak luar tinggi, kelompok
yang kohesif akan lebih produktif daripada kelompok yang kurang kohesif. Tetapi jika
kohesifitas tinggi dan norma kinerja rendah, produktivitas akan rendah. Jika kohesifitas rendah
dan norma kinerja tinggi, produktivitas meningkat, tetapi kurang dari pada situasi kohesifitas
tinggi/norma tinggi. Ketika kohesifitas dan norma terkait kinerja sama-sama rendah,
produktivitas cenderung jatuh ke kisaran rendah hingga sedang (Robbins dan Judge, 2013).
Apa yang dapat Anda lakukan untuk mendorong kekompakan kelompok? Berikut adalah
beberapa ide: (1) Buat kelompok lebih kecil, (2) dorong kesepakatan dengan tujuan kelompok,
(3) tingkatkan waktu yang dihabiskan anggota bersama, (4) tingkatkan status kelompok dan
kesulitan yang dirasakan untuk mencapai keanggotaan, (5) merangsang persaingan dengan
kelompok lain, (6) memberikan penghargaan kepada kelompok daripada anggota individu, dan
(7) secara fisik mengisolasi kelompok (Robbins dan Judge, 2013).
IV. Efek kohesif pada produktivitas kelompok
Kohesifitas mempengaruhi produktivitas kelompok. Studi secara konsisten menunjukkan
bahwa hubungan antara kohesifitas dan produktivitas bergantung pada norma terkait kinerja
kelompok. Jika norma untuk kualitas, hasil, dan kerja sama dengan pihak luar tinggi, kelompok
yang kohesif akan lebih produktif daripada kelompok yang kurang kohesif. Tetapi jika
kohesifitas tinggi dan norma kinerja rendah, produktivitas akan rendah. Jika kohesifitas rendah
dan norma kinerja tinggi, produktivitas meningkat, tetapi kurang dari pada situasi kohesifitas
tinggi/norma tinggi. Ketika kohesifitas dan norma terkait kinerja sama-sama rendah,
produktivitas cenderung jatuh ke kisaran rendah hingga sedang (Robbins dan Judge, 2013).
BAB VI
KOMUNIKASI, HAMBATAN, DAN SOLUSI
I. Pengertian komunikasi
Komunikasi harus menyertakan transfer dan pemahaman makna. Berkomunikasi lebih
dari sekadar menyampaikan makna; makna itu juga harus dipahami. Hanya dengan demikian
kita dapat menyampaikan informasi dan gagasan. Dalam komunikasi yang sempurna, jika ada,
sebuah pemikiran akan ditransmisikan sehingga penerima memahami gambaran yang sama
seperti yang dimaksudkan oleh pengirim (Robbins dan Judge, 2022).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2002), komunikasi adalah pengiriman
dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat
dipahami, hubungan, kontak. Secara umum, berkomunikasi dapat diartikan mengadakan
komunikasi yakni dengan mengirimkan dan menerima pesan dalam mencapai kesamaan
pemahaman. Dua orang yang memandang sebuah gambar yang sama dapat memiliki
pemahaman yang berbeda tanpa adanya proses komunikasi.
II. Proses dan unsur komunikasi
Proses komunikasi melibatkan beberapa komponen komunikasi yaitu pengirim
informasi, penerima informasi, media atau sarana komunikasi, dan umpan balik terhadap
informasi yang disampaikan. Bila salah satu komponen hilang, maka komunikasi tidak dapat
berlangsung atau terjadi. Dalam proses komunikasi tersebut terdapat pengkodean untuk
menerjemahkan informasi dan gangguan yang mengganggu aliran informasi. Selain itu,
informasi yang disampaikan dalam proses komunikasi akan dipahami sama atau berbeda oleh
penerima. Jika informasi dipahami dengan benar maka maksud pengirim tercapai (Tewal, dkk.,
2017).
Gambar di atas menunjukkan model komunikasi sederhana beserta komponen
komunikasi, sebagai berikut :
a. Sebagai pihak utama dalam proses komunikasi adalah pengirim dan penerima. Pengirim
merupakan sumber informasi yang mengawali proses komunikasi dengan mengirimkan
informasi awal. Penerima merupakan pihak yang menerima informasi.
b. Terdapat dua alat komunikasi yakni informasi dan media/saluran. Informasi merupakan
pesan yang disampaikan baik itu peristiwa, data, atau penjelasan. Pesan yang disampaikan
akan disesuaikan dengan tingkat pemahaman, kepentingan, dan kebutuhan baik pihak
pengirim dan penerima. Media merupakan saluran komunikasi yang mengantarkan pesan
dari pengirim ke penerima seperti media lisan, tulisan, maupun elektronik.
c. Terdapat empat komponen yang merupakan fungsi komunikasi yakni pengkodean
(encoding and decoding), umpan balik, dan gangguan. Encoding merupakan proses
menerjemahkan informasi ke dalam bentuk kata, simbol, atau pun gambar. Decoding
merupakan proses menguraikan informasi ke dalam bentuk yang dipahami oleh penerima.
Umpan balik adalah tanggapan terhadap informasi yang dikirimkan baik negatif maupun
positif. Umpan balik menunjukkan kesamaan pengertian yang nantinya akan menghindari
kesalahan komunikasi. Gangguan merupakan hambatan yang mengacaukan kejelasan
selama mengirim dan menerima informasi.
Sebelum komunikasi dapat berlangsung diperlukan tujuan, pesan yang akan disampaikan
antara pengirim dan penerima. Pengirim menyandikan pesan (mengubahnya menjadi bentuk
simbolis) dan menyebarkannya melalui media (saluran) ke penerima yang menerjemahkannya.
Hasilnya adalah transfer makna dari satu orang ke orang lain (Robbins dan Judge, 2022).
Gambar di atas menggambarkan proses komunikasi. Bagian utama dari model ini adalah
(1) pengirim, (2) pengkodean, (3) pesan, (4) saluran, (5) decoding, (6) penerima, (7)
kebisingan, dan (8) umpan balik atau feedback (Robbins dan Judge, 2022).
Pengirim (sender) memulai pesan dengan menyandikan (encoding) sebuah pikiran.
Pesan adalah produk fisik hasil pengkodean dari pengirim. Saat kita berbicara, ucapan adalah
pesannya. Saat kita menulis, tulisan adalah pesannya. Saat kita memberi isyarat, gerakan
tangan kita dan ekspresi wajah kita adalah pesannya. Saluran (channel) adalah medium yang
dilalui pesan. Pengirim menentukan apakah akan menggunakan saluran formal atau informal.
Saluran formal ditetapkan oleh organisasi dan mengirimkan pesan yang berkaitan dengan
kegiatan profesional anggota. Bentuk pesan lain, seperti pribadi atau sosial, menyusul saluran
informal, yang spontan dan tergantung pada pilihan individu. Penerima (receiver) adalah orang
yang ditujukan oleh pengirim pesan, yang pertama-tama harus menerjemahkan (decoding)
simbol-simbol itu ke dalam bentuk yang dapat dimengerti. Kebisingan (noise) mewakili
hambatan komunikasi yang mendistorsi kejelasan pesan, seperti masalah persepsi, informasi
yang berlebihan, kesulitan semantik, atau perbedaan budaya. Tautan terakhir dalam proses
komunikasi adalah lingkaran umpan balik (feedback). Feedback adalah pemeriksaan seberapa
berhasil pengirim mentransfer pesan seperti yang dimaksudkan semula. Ini menentukan apakah
pemahaman telah tercapai. Feedback ini mungkin tercapai atau tidak, tergantung pada apakah
penerima terlibat dalam komunikasi loop tertutup (yaitu, ketika penerima mengakui, secara
verbal atau nonverbal, bahwa mereka mendengar dan/atau memahami pesan tersebut).
III. Komunikasi antar individu dalam kelompok
Menurut Robbins dan Judge (2022), komunikasi antar pribadi digolongkan menjadi tiga
jenis, yaitu : komunikasi lisan, komunikasi tertulis, dan komunikasi non verbal.
a. Komunikasi lisan
Sarana utama untuk menyampaikan pesan adalah komunikasi lisan. Pidato, diskusi
formal satu lawan satu dan kelompok, dan desas-desus informal atau selentingan adalah bentuk
komunikasi lisan yang populer. Keuntungan dari komunikasi lisan adalah kecepatan, umpan
balik, dan pertukaran. Kami dapat menyampaikan pesan verbal dan menerima tanggapan dalam
waktu cepat. Seperti yang dikatakan oleh seorang profesional, “komunikasi tatap muka secara
konsisten masih merupakan cara terbaik untuk mendapatkan informasi dari dan ke karyawan.”
Jika penerima tidak yakin dengan pesannya, umpan balik yang cepat memungkinkan pengirim
untuk mendeteksi dan memperbaikinya dengan cepat. Umpan balik yang diterima mencakup
informasi dan konten emosional; namun, kita harus mengakui bahwa kita biasanya adalah
pendengar yang buruk. Para peneliti menunjukkan bahwa kita rentan terhadap "kelelahan
pendengar", dimana kita mengabaikan orang lain dan terburu-buru menawarkan saran.
“Pendengar yang baik mengatasi kecenderungan alami mereka untuk memperbaiki masalah
orang lain dan membuat percakapan tetap singkat,” kata Profesor Graham Bodie.
Mendengarkan secara aktif dimana kita menghilangkan gangguan, bersandar, melakukan
kontak mata, memparafrase, dan mendorong pembicara untuk melanjutkan, membantu kita
belajar lebih banyak dan membangun kepercayaan jika kita tulus dan tidak menghakimi.
Pertukaran yang diberikan melalui komunikasi lisan memiliki komponen sosial, budaya, dan
emosional. Pertukaran sosial budaya, dimana kita dengan sengaja berbagi pertukaran sosial
yang melampaui batas budaya, dapat membangun kepercayaan, kerja sama, dan kesepakatan
antara individu dan tim.
Salah satu kelemahan utama dari komunikasi lisan muncul ketika sebuah pesan harus
melewati sejumlah orang: semakin banyak orang, semakin besar potensi distorsinya. Jika anda
pernah memainkan game telepon, anda tahu masalahnya. Setiap orang menafsirkan pesan
dengan caranya sendiri. Isi pesan, ketika sampai di tujuan, seringkali sangat berbeda dari
aslinya, meskipun menurut kita pesan itu sederhana dan lugas. Mari kita bahas beberapa
aplikasi komunikasi lisan secara lebih detail.
Rapat bisa formal atau informal, melibatkan dua orang atau lebih, dan berlangsung di
hampir semua tempat. Komunikasi interpersonal yang baik adalah kunci untuk membuat rapat
menjadi efektif. Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan humor sebagai pemecah
kebekuan; firma hubungan masyarakat Peppercomm bahkan menawarkan lokakarya stand-up
comedy untuk membantu bisnis mengajari orang cara menggunakan humor.
Konferensi video dan panggilan konferensi mengizinkan karyawan dan klien untuk
melakukan pertemuan real-time dengan orang-orang di lokasi yang berbeda. Gambar audio dan
video langsung memungkinkan kita melihat, mendengar, dan berbicara satu sama lain tanpa
secara fisik berada di lokasi yang sama. Panggilan konferensi umumnya terbatas pada
pertukaran telepon di mana beberapa orang dapat berkumpul di sekitar satu telepon speaker,
dan yang lainnya menelepon melalui saluran aman. Mungkin ada beberapa file atau video
bersama yang dapat dilihat semua orang di komputer mereka. Kedua mode tersebut digunakan
secara selektif, sesuai dengan aplikasinya.
Telepon telah ada begitu lama sehingga kita dapat mengabaikan efisiensinya sebagai alat
komunikasi. Komunikasi melalui telepon cepat, efektif, dan tidak terlalu ambigu dibandingkan
email. Namun, pesan telepon dapat dengan mudah diabaikan.
b. Komunikasi tertulis
Komunikasi tertulis meliputi surat, email, pesan instan, majalah organisasi, dan metode
lain apa pun yang menyampaikan kata-kata atau simbol tertulis. Komunikasi bisnis tertulis saat
ini biasanya dilakukan melalui surat, Power Point, email, pesan instan, pesan teks, media sosial,
aplikasi, dan blog.
Surat adalah yang tertua dan paling bertahan lama. Penulisan surat dapat digunakan untuk
memberikan efek yang besar dalam bisnis, menambahkan sentuhan pribadi pada komunikasi
atau, secara bergantian, membuat dokumen yang tahan lama untuk menandai komunikasi
resmi.
Power Point dan format slide lainnya seperti Prezi dapat menjadi mode komunikasi yang
sangat baik karena perangkat lunak penghasil slide menggabungkan kata-kata dengan elemen
visual untuk melibatkan pembaca dan membantu menjelaskan ide-ide kompleks. PowerPoint
sering digunakan bersamaan dengan presentasi lisan, namun daya tariknya sangat intuitif
sehingga dapat berfungsi sebagai mode komunikasi utama. Namun, bukan tanpa pencela yang
berpendapat bahwa itu terlalu impersonal, tidak menarik, dan seringkali sulit untuk diikuti.
Pertumbuhan e-mail sejak dimulainya hampir 50 tahun yang lalu sangat spektakuler, dan
penggunaannya begitu luas sehingga sulit membayangkan hidup tanpanya. Ada lebih dari 3,1
miliar akun email aktif di seluruh dunia, dan karyawan perusahaan rata-rata mengirim 105
email setiap hari.
Pesan singkat, seperti e-mail, instant messaging (IM) biasanya dilakukan melalui
komputer. Ada pro dan kontra yang berbeda untuk IM, tetapi sebagian besar negatif untuk
interaksi bisnis. Jika Anda hadir saat IM masuk, Anda dapat merespons secara real time untuk
terlibat dalam dialog yang diketik online, tetapi percakapan tersebut tidak akan disimpan untuk
referensi nanti. Jika Anda melewatkan IM yang masuk, Anda mungkin diberi tahu ketika Anda
masuk berikutnya bahwa seseorang mencoba menghubungi Anda, yang mungkin lama setelah
tanggapan diperlukan.
Pesan teks mungkin sedikit lebih baik daripada IM tetapi memiliki banyak kekurangan
yang sama dalam penggunaan bisnis. Pedoman untuk penggunaan SMS bisnis masih
berkembang, tetapi para ahli terus mengingatkan bahwa bahasa teks bisnis harus seformal
komunikasi bisnis lainnya. Tingkat informalitas dan singkatan yang kita gunakan dalam pesan
teks pribadi biasanya tidak dianjurkan di tempat kerja.
Situs Web Media Sosial, kebangkitan jejaring sosial seperti Facebook dan LinkedIn, dan
bisnis memanfaatkan peluang yang ada di media sosial ini. Banyak organisasi telah
mengembangkan aplikasi jejaring sosial internal mereka sendiri, yang dikenal sebagai
perangkat lunak sosial perusahaan, dan sebagian besar memiliki halaman Facebook dan umpan
Twitter sendiri. Jejaring sosial telah menjadi alat bagi calon karyawan, manajer perekrutan,
karyawan, dan divisi sumber daya manusia.
Aplikasi LinkedIn dan Twitter adalah dua platform media sosial yang paling banyak
digunakan untuk bisnis, tetapi mereka bukan satu-satunya. Salah satu aplikasi terbesar adalah
WhatsApp, dengan 450 juta pengguna aktif bulanan. Aplikasi paling populer di wilayah yang
mengutamakan penggunaan ponsel. Asia memiliki jumlah pengguna media sosial terbesar di
dunia, dan aplikasi memainkan peran besar di belahan dunia tersebut melalui Line (Jepang),
WeChat (China), dan Kakao (Korea Selatan).
Blog adalah situs web tentang satu orang atau perusahaan. Para ahli melihat blogging
sebagai kebutuhan bisnis untuk organisasi, sehingga tidak boleh diabaikan sebagai bentuk
komunikasi yang vital kepada karyawan dan pelanggan, yang dapat mengirimkan umpan balik
jika mereka mau. Namun, blog lama terlihat buruk bagi karyawan, pelanggan, dan publik, jadi
blog baru harus terus ditambahkan untuk menjaga relevansi.
c. Komunikasi nonverbal
Setiap kali kami menyampaikan pesan verbal, kami juga menyampaikan pesan yang tidak
terucapkan. Tidak ada diskusi komunikasi yang akan lengkap tanpa pertimbangan komunikasi
nonverbal yang mencakup gerakan tubuh, intonasi atau penekanan yang kita berikan pada katakata, ekspresi wajah, dan jarak fisik antara pengirim dan penerima.
Kita bisa berdebat bahwa setiap gerakan tubuh memiliki makna, dan tidak ada gerakan
yang kebetulan (walaupun ada yang tidak disadari). Kami memerankan keadaan kami dengan
bahasa tubuh nonverbal. Misalnya, kita tersenyum untuk menunjukkan sifat dapat dipercaya,
menyilangkan tangan agar terlihat mudah didekati, dan berdiri untuk menunjukkan otoritas.
Kita juga mungkin terlibat dalam komunikasi nonverbal secara tidak sadar dan secara otomatis
ketika suatu peristiwa terjadi, kita bereaksi dan mengekspresikan emosi kita, para pengamat
yang memahami emosi kita kemudian membuat penilaian berdasarkan ekspresi emosional
tersebut.
Bahasa tubuh dapat menyampaikan status, tingkat keterlibatan, dan keadaan emosi.
Bahasa tubuh menambah, dan seringkali memperumit, komunikasi verbal. Faktanya, penelitian
menunjukkan bahwa orang membaca lebih banyak tentang sikap dan emosi orang lain dari
isyarat nonverbal mereka daripada kata-kata mereka. Jika isyarat nonverbal bertentangan
dengan pesan verbal pembicara, isyarat tersebut terkadang lebih mungkin dipercaya oleh
pendengar.
Ekspresi wajah juga menyampaikan makna. Ekspresi wajah beserta intonasinya dapat
menunjukkan kesombongan, agresivitas, ketakutan, rasa malu, dan ciri-ciri lainnya. Jarak fisik
juga memiliki arti. Apa yang dianggap jarak yang tepat antara orang-orang sangat tergantung
pada norma-norma budaya. Jika seseorang berdiri lebih dekat dengan Anda daripada yang
dianggap pantas, itu mungkin menunjukkan agresivitas atau ketertarikan seksual; jika orang
tersebut berdiri lebih jauh, itu mungkin menandakan ketidaktertarikan atau ketidaksenangan
dengan apa yang dikatakan.
IV. Komunikasi keorganisasian
Muhammad (2009) mengutip beberapa pengertian komunikasi organisasi seperti :
komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang
kompleks, dan komunikasi organisasi merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan
pemindahan arti di dalam suatu organisasi. Dalam organisasi, komunikasi digunakan untuk
menyampaikan informasi baik internal maupun eskternal organisasi dalam meningkatkan
kinerja dan menunjang pembuatan keputusan organisasi. Informasi internal adalah informasi
yang berasal dari dalam organisasi seperti data konsumen sedangkan informasi eksternal adalah
informasi yang berasal dari luar organisasi seperti keadaan ekonomi. Arus informasi ini
digunakan oleh anggota organisasi, pelanggan, pemasok, ataupun pemegang saham.
Kekurangan informasi dapat menyebabkan organisasi sulit mengontrol aktifitas, sumber daya,
waktu dan biaya; mengganggu pembuatan keputusan; dan sulit bertahan menghadapi pesaing.
Menurut Robbins dan Judge (2022), komunikasi dapat mengalir secara vertikal atau
horizontal, melalui jaringan kelompok kecil formal atau selentingan informal. Kami membagi
dimensi vertikal menjadi arah ke bawah dan ke atas.
a. Komunikasi ke bawah (downward communication)
Komunikasi ke bawah adalah komunikasi yang mengalir dari satu tingkat kelompok atau
organisasi ke tingkat yang lebih rendah. Pemimpin dan manajer kelompok menggunakannya
untuk menetapkan tujuan, memberikan instruksi kerja, menjelaskan kebijakan dan prosedur,
menunjukkan masalah yang memerlukan perhatian, dan memberikan umpan balik. Secara lebih
informal, pemimpin dan manajer kelompok juga dapat menyampaikan sinyal tentang peringkat
mereka (misalnya prestise atau dominasi) melalui komunikasi ke bawah.
Dalam komunikasi ke bawah, manajer harus menjelaskan alasannya mengapa sebuah
keputusan dibuat. Meskipun ini mungkin tampak masuk akal, banyak manajer merasa mereka
terlalu sibuk untuk menjelaskan berbagai hal atau penjelasan akan menimbulkan terlalu banyak
pertanyaan. Namun, bukti dengan jelas menunjukkan bahwa penjelasan meningkatkan
komitmen karyawan dan mendukung keputusan. Manajer mungkin berpikir bahwa
mengirimkan pesan sekali sudah cukup untuk sampai ke karyawan tingkat bawah, tetapi
penelitian menunjukkan komunikasi manajerial harus diulang beberapa kali dan melalui
berbagai media yang berbeda agar benar-benar efektif.
Masalah lain dalam komunikasi ke bawah adalah sifatnya yang satu arah; umumnya,
manajer memberi tahu karyawan tetapi jarang meminta nasihat atau pendapat mereka.
Penelitian mengungkapkan bahwa hampir dua pertiga karyawan mengatakan atasan mereka
jarang atau tidak pernah meminta nasihat mereka. Karyawan tidak akan memberikan masukan,
bahkan ketika kondisinya menguntungkan, jika hal itu tampak bertentangan dengan
kepentingan terbaik mereka
b. Komunikasi ke atas (upward communication)
Komunikasi ke atas mengalir ke tingkat yang lebih tinggi dalam kelompok atau
organisasi. Ini digunakan untuk memberikan umpan balik kepada atasan, memberi tahu mereka
tentang kemajuan menuju tujuan, dan menyampaikan masalah saat ini. Komunikasi ke atas
membuat para manajer menyadari bagaimana perasaan karyawan tentang pekerjaan mereka,
rekan kerja, dan organisasi secara umum. Manajer juga mengandalkan komunikasi ke atas
untuk mendapatkan gagasan tentang bagaimana kondisi dapat diperbaiki. Juga penting bagi
bawahan untuk memberikan umpan balik yang jujur dan autentik, karena jika manajer tidak
diberi umpan balik negatif yang masuk akal tentang pengalokasian sumber daya, mereka
cenderung membuat keputusan yang mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan
bawahan mereka.
Mengingat sebagian besar tanggung jawab pekerjaan manajer telah meluas, komunikasi
ke atas semakin sulit karena manajer dapat kewalahan dan mudah teralihkan. Untuk terlibat
dalam komunikasi ke atas yang efektif, cobalah untuk berkomunikasi dalam ringkasan singkat
daripada penjelasan panjang, dukung ringkasan Anda dengan hal-hal yang dapat
ditindaklanjuti, dan siapkan agenda untuk memastikan Anda menggunakan perhatian atasan
Anda dengan baik. Dan perhatikan apa yang Anda katakan, terutama jika Anda sedang
berkomunikasi sesuatu kepada manajer Anda yang tidak diinginkan. Jika Anda menolak tugas,
misalnya, pastikan untuk memproyeksikan sikap bisa sambil meminta nasihat tentang dilema
beban kerja atau kurangnya pengalaman dengan tugas tersebut.
c. Komunikasi ke samping (lateral communication)
Komunikasi lateral adalah komunikasi yang terjadi antara anggota kelompok kerja yang
sama, anggota pada tingkat yang sama dalam kelompok kerja terpisah, atau pekerja lain yang
setara secara horizontal. Komunikasi lateral menghemat waktu dan memfasilitasi koordinasi.
Beberapa komunikasi lateral terjadi secara formal. Di sisi lain, beberapa komunikasi lateral
juga bisa bersifat informal, seperti ketika rekan kerja menyaksikan ekspresi emosional rekan
kerja lain. Misalnya, menyaksikan rekan kerja yang menangis meninggalkan kantor manajer
dapat menyampaikan pesan yang kuat ke seluruh kantor. Komunikasi lateral yang terjadi
dengan pengetahuan dan dukungan manajemen dapat bermanfaat. Tetapi konflik disfungsional
dapat terjadi ketika saluran vertikal formal diabaikan, seperti ketika manajer menemukan
bahwa tindakan telah diambil atau keputusan dibuat tanpa sepengetahuan mereka. Oleh karena
itu, komunikasi lateral dan vertikal harus digunakan dalam organisasi.
d. Jaringan Kelompok Kecil Formal
Jaringan organisasi formal bisa rumit, termasuk ratusan orang dan setengah lusin atau
lebih tingkat hierarki. Jaringan ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok kecil umum yang
masing-masing terdiri dari lima orang (lihat gambar di bawah): rantai, roda, dan semua saluran.
Rantai secara kaku mengikuti rantai komando formal; jaringan ini mendekati saluran
komunikasi yang mungkin Anda temukan dalam organisasi tiga tingkat yang kaku. Roda
bergantung pada tokoh sentral untuk bertindak sebagai saluran untuk semua komunikasi
kelompok; itu mensimulasikan jaringan komunikasi yang mungkin Anda temukan di tim
dengan pemimpin yang kuat. Semua saluran jaringan memungkinkan anggota kelompok untuk
berkomunikasi secara aktif satu sama lain; itu paling sering ditandai dengan tim yang dikelola
sendiri, di mana anggota kelompok bebas untuk berkontribusi dan tidak ada satu orang pun
yang mengambil peran kepemimpinan. Banyak organisasi saat ini suka mempertimbangkan
sendiri semua saluran, artinya siapa pun dapat berkomunikasi dengan siapa pun (tetapi
terkadang tidak seharusnya).
Keefektifan setiap jaringan ditentukan oleh variabel dependen yang menjadi perhatian.
Struktur roda memfasilitasi munculnya seorang pemimpin, jaringan semua saluran paling baik
jika Anda menginginkan kepuasan anggota yang tinggi, dan rantai paling baik jika akurasi
adalah yang paling penting. Kesimpulannya bahwa tidak ada jaringan tunggal yang terbaik
untuk semua kondisi.
e. Selentingan (grapevine)
Jaringan komunikasi informal dalam suatu kelompok atau organisasi disebut selentingan.
Biasanya, selentingan dan gosip dipandang negatif oleh kebanyakan orang. Memang,
penelitian menunjukkan bahwa gosip yang tidak dapat dipercaya dapat menyebabkan orang
menilai secara tidak adil dan tidak menyukai orang lain. Secara keseluruhan, selentingan adalah
pedang bermata dua, yang mengarah ke kinerja positif karena rasa tekanan sosial yang
dihasilkannya sekaligus merusak kesejahteraan karyawan. Selain itu, rumor dan gosip yang
disebarkan melalui selentingan dapat menjadi sumber informasi penting bagi karyawan dan
pelamar kerja. Grapevine atau informasi dari mulut ke mulut dari rekan kerja tentang
perusahaan memiliki efek penting pada apakah pelamar kerja bergabung dengan organisasi
atau tidak, bahkan di atas peringkat informal di situs web seperti Glassdoor.
Selentingan adalah bagian penting dari jaringan komunikasi kelompok atau organisasi
mana pun. Ini melayani kebutuhan karyawan: obrolan ringan menciptakan rasa kedekatan dan
persahabatan di antara mereka yang berbagi informasi, meskipun penelitian menunjukkan hal
itu sering kali merugikan mereka yang berada di luar kelompok. Ini juga memberi manajer
perasaan tentang moral organisasi mereka, mengidentifikasi masalah yang dianggap penting
oleh karyawan, dan membantu mereka memanfaatkan kecemasan karyawan. Bukti
menunjukkan bahwa manajer dapat mempelajari gosip yang sebagian besar didorong oleh
jejaring sosial karyawan untuk mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana informasi positif
dan negatif mengalir melalui organisasi. Manajer juga dapat mengidentifikasi pemberi
pengaruh (orang yang memiliki jaringan tinggi yang dipercaya oleh rekan kerja mereka)
dengan mencatat individu yang mana pembicara kecil (mereka yang secara teratur
berkomunikasi tentang masalah yang tidak penting dan tidak terkait).
Menurut Robbins dan Judge (2022), komunikasi memiliki lima fungsi utama dalam
kelompok atau organisasi: manajemen, umpan balik (feedback), berbagi emosi, persuasi, dan
pertukaran informasi.
a. Komunikasi bertindak untuk mengelola (manajemen) perilaku anggota dalam beberapa
cara. Organisasi memiliki hierarki otoritas dan pedoman formal yang harus diikuti oleh
karyawan. Ketika karyawan mengikuti deskripsi pekerjaan mereka atau mematuhi kebijakan
perusahaan, komunikasi melakukan fungsi manajemen. Komunikasi informal juga
mengendalikan perilaku. Ketika kelompok kerja menggoda atau melecehkan anggota yang
menghasilkan terlalu banyak (dan membuat anggota lainnya terlihat buruk), mereka
berkomunikasi secara informal, dan mengelola, perilaku anggota.
b. Komunikasi menciptakan umpan balik (feedback) dengan mengklarifikasi kepada karyawan
apa yang harus mereka lakukan, seberapa baik mereka melakukannya, dan bagaimana
mereka dapat meningkatkan kinerja mereka. Pembentukan tujuan, umpan balik tentang
kemajuan, dan penghargaan untuk perilaku yang diinginkan semuanya membutuhkan
komunikasi dan merangsang motivasi.
c. Kelompok kerja merupakan sumber utama interaksi sosial bagi banyak karyawan.
Komunikasi adalah mekanisme mendasar dimana anggota menunjukkan kepuasan dan
frustrasi. Oleh karena itu, komunikasi menyediakan tempat untuk berbagi emosional
perasaan dan pemenuhan kebutuhan sosial.
d. Seperti berbagi emosi, persuasi bisa baik atau buruk tergantung pada apakah, katakanlah,
seorang pemimpin mencoba membujuk kelompok kerja untuk percaya pada komitmen
organisasi terhadap tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) atau, sebaliknya, membujuk
kelompok kerja untuk melanggar hukum untuk memenuhi tujuan organisasi. Ini mungkin
contoh ekstrem, tetapi penting untuk diingat bahwa persuasi dapat menguntungkan atau
merugikan organisasi.
e. Fungsi terakhir dari komunikasi adalah pertukaran informasi untuk memudahkan
pengambilan keputusan. Komunikasi menyediakan informasi yang dibutuhkan individu dan
kelompok untuk membuat keputusan dengan mentransmisikan data yang diperlukan untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi pilihan.
Hampir setiap interaksi komunikasi yang terjadi dalam suatu kelompok atau organisasi
menjalankan satu atau lebih dari fungsi-fungsi tersebut, dan tidak satu pun dari kelima fungsi
tersebut yang lebih penting daripada yang lainnya. Untuk tampil secara efektif, kelompok perlu
mempertahankan beberapa kontrol atas anggota, memberikan umpan balik untuk merangsang
anggota untuk tampil, memungkinkan ekspresi emosional, memantau upaya persuasif individu,
dan mendorong pertukaran informasi (Robbins dan Judge, 2022).
Komunikasi dalam organisasi dilakukan dalam bentuk interaksi dua arah yang umumnya
terjadi antar atasan dan bawahan. Ketika anggota organisasi dapat berinteraksi dengan baik dan
proses penyampaian informasi berjalan efektif maka kesalah pahaman atau kesalahan
komunikasi dapat dicegah. Keterampilan komunikasi yang baik memampukan anggota
organisasi melakukan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan standar organisasi sehingga
tingkat kinerja menjadi semakin baik. Hal ini disebabkan informasi yang dikirim dan diterima
sesuai dengan yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan (Tewal, et.al., 2017).
V. Hambatan terhadap komunikasi
Menurut Robbins dan Judge (2022), beberapa hambatan dapat memperlambat atau
mendistorsi komunikasi yang efektif, hambatan perlu kita kenali dan kurangi, diantaranya :
a. Penyaringan
Penyaringan mengacu pada pengirim yang sengaja memanipulasi informasi sehingga
penerima akan melihatnya dengan lebih baik. Seorang manajer yang memberi tahu atasannya
apa yang menurutnya ingin didengar oleh atasannya sedang menyaring informasi. Semakin
banyak level vertikal dalam hierarki organisasi, semakin banyak peluang untuk memfilter.
Tetapi beberapa pemfilteran akan terjadi dimana pun ada perbedaan status. Faktor-faktor
seperti ketakutan untuk menyampaikan kabar buruk dan keinginan untuk menyenangkan atasan
sering membuat karyawan memberi tahu atasan mereka apa yang menurut mereka ingin
mereka dengar, sehingga mendistorsi komunikasi ke atas.
b. Persepsi selektif
Penerima dalam proses komunikasi secara selektif melihat dan mendengar berdasarkan
kebutuhan, motivasi, pengalaman, latarbelakang, dan karakteristik individu lainnya.
Pewawancara calon karyawan yang memperkirakan bahwa wanita pelamar kerja akan lebih
mementingkan kekeluarganya daripada karirnya kemungkinan besar akan melihat hal itu pada
pelamar itu, tidak peduli apakah pelamar itu merasa demikian atau tidak.
c. Kelebihan informasi
Individu memiliki batasan kapasitas dalam mengolah data. Ketika informasi yang ada
melebihi kapasitas pemrosesan maka hasilnya adalah informasi berlebih. Ketika individu
memliki lebih banyak informasi daripada yang dapat mereka pilah dan gunakan maka mereka
akan cenderung mengabaikan, melewati, melupakan informasi, ataupun menunda memroses
lanjut sampai situasi berlebihan selesai. Meskipun akibatnya adalah kehilangan informasi dan
komunikasi yang kurang efektif.
d. Emosi
Bagaimana perasaan penerima disaat menerima komunikasi pesan akan mempengaruhi
cara dia menginterpretasikan pesan tersebut. Pesan serupa yang diterima ketika marah atau
kesal sering diinterpretasikan secara berbeda dibandingkan ketika perasaan senang. Emosi
yang ekstrim seperti sorak kegirangan atau depresi paling mungkin menghambat komunikasi
yang efektif.
e. Bahasa
Bahkan ketika kita berkomunikasi dalam bahasa yang sama, kata-kata memiliki arti yang
berbeda bagi orang yang berbeda. Usia dan konteks adalah dua faktor terbesar yang
mempengaruhi perbedaan tersebut.
f. Kesunyian
Sangat mudah untuk mengabaikan kesunyian atau kurangnya komunikasi karena hal itu
ditentukan oleh tidak adanya informasi. Namun, ini sering kali merupakan kesalahan—
keheningan itu sendiri bisa menjadi pesan untuk mengomunikasikan ketidaktertarikan atau
ketidakmampuan menangani suatu topik. Karyawan lebih cenderung diam jika mereka
dianiaya oleh manajer, sering mengalami emosi dan perenungan negatif, atau merasa kekuatan
mereka berkurang dalam organisasi. Diam juga bisa menjadi hasil sederhana dari informasi
yang berlebihan atau periode penundaan untuk mempertimbangkan tanggapan. Untuk alasan
apa pun, penelitian menunjukkan bahwa menggunakan diam dan menahan komunikasi adalah
hal yang umum dan bermasalah. Satu survei menemukan bahwa lebih dari 85 persen manajer
melaporkan tetap diam tentang setidaknya satu masalah yang menjadi perhatian signifikan.
Dampak dari sikap diam dapat merugikan organisasi. Keheningan karyawan dapat berarti
manajer kekurangan informasi tentang masalah operasional yang sedang berlangsung; diamnya
manajemen dapat membuat karyawan bingung. Diam mengenai diskriminasi, pelecehan,
korupsi, dan pelanggaran berarti manajemen puncak tidak dapat mengambil tindakan untuk
menghilangkan perilaku bermasalah.
g. Ketakutan Komunikasi
Diperkirakan 20 persen mahasiswa menderita ketakutan komunikasi, atau kecemasan
sosial. Orang-orang ini mengalami ketegangan dan kecemasan yang tidak semestinya dalam
komunikasi lisan, komunikasi tertulis, atau keduanya. Mereka mungkin merasa sangat sulit
untuk berbicara dengan orang lain secara langsung atau menjadi sangat cemas ketika mereka
harus menggunakan telepon, mengandalkan memo atau e-mail ketika panggilan telepon akan
lebih cepat dan lebih tepat.
h. Berbohong
Penyajian informasi yang keliru, atau berbohong, merupakan penghalang untuk
informasi yang efektif (secara harfiah melibatkan distorsi informasi). Orang berbeda dalam
definisi mereka tentang kebohongan. Misalnya, apakah dengan sengaja menahan informasi
tentang kesalahan adalah kebohongan, atau apakah Anda harus secara aktif menyangkal peran
Anda dalam kesalahan? Orang mungkin mengatakan satu atau dua kebohongan per hari,
dengan beberapa orang mengatakan jauh lebih banyak. Bisakah Anda mendeteksi pembohong?
Frekuensi berbohong dan kesulitan dalam mendeteksi pembohong menjadikan ini penghalang
yang sangat kuat untuk komunikasi yang efektif.
VI. Mengatasi hambatan dalam komunikasi
Ada beberapa cara untuk mengatasi hambatan komunikasi, antara lain:
a. Gunakan umpan balik (feedback), setiap orang yang berbicara memperhatikan umpan balik
yang diberikan lawan bicaranya baik bahasa verbal maupun non verbal, kemudian
memberikan penafsiran terhadap umpan balik itu secara benar.
b. Pahami perbedaan individu atau kompleksitas individu dengan baik. Setiap individu
merupakan pribadi yang khas yang berbeda baik dari latar belakang psikologis, sosial,
ekonomi, budaya dan pendidikan. Dengan memahami, seseorang dapat menggunakan taktik
yang tepat dalam berkomunikasi.
c. Gunakan komunikasi langsung (face to face), Komunikasi langsung dapat mengatasi
hambatan komunikasi karena sifatnya lebih persuasif. Komunikator dapat memadukan
bahasa verbal dan bahasa non verbal. Disamping kata-kata yang selektif dapat pula
digunakan kontak mata, mimik wajah, bahasa tubuh lainnya dan juga meta-language (isyarat
diluar bahasa) yang membuat komunikasi lebih berdaya guna.
d. Gunakan bahasa yang sederhana dan mudah. Kosa kata yang digunakan hendaknya dapat
dimengerti dan dipahami jangan menggunakan istilah-istilah yang sukar dimengerti
pendengar. Gunakan pola kalimat sederhana (kanonik) karena kalimat yang mengandung
banyak anak kalimat membuat pesan sulit dimengerti.
Cara untuk menanggulangi akibat dari kendala-kendala dalam komunikasi adalah selama
proses komunikasi berlangsung periksalah secara terus-menerus apa sesungguhnya isi berita
yang akan diterima. Tindakan-tindakan yang dapat ditempuh untuk mencapai hal tersebut
adalah:
a. Pengirim:
-
Kepada siapa pesan harus disampaikan.
-
Mengapa berkomunikasi dan apa motivasinya.
-
Putuskan apa yang hendak disampaikan. Apa yang perlu dikomunikasikan itu harus
jelas.
-
Pilih waktu yang terbaik untuk penerimaan yang optimal.
-
Gunakan bahasa yang dapat dipahami penerima dan yang tidak bermakna ganda.
b. Penerima:
-
Sepenuhnya memperhatikan pengirim.
-
Mendengarkan secara aktif berita yang disampaikan.
-
Bila perlu mintalah penegasan atau pengulangan.
-
Tetap bekerja sama dengan pengirim.
c. Bersama-sama:
-
Menyadari bahwa kesalahpahaman sangat mungkin terjadi, dan waspadalah terhadap
gejala-gejalanya.
-
Dengarkan, dengarkan, dengarkan, dan dengarkan lagi.
-
Ujilah pemahaman anda terhadap pesan.
-
Bagikan pendapat, perasaan, dan persepsi yang dihasilkan oleh pesan.
VII. Isu-isu dalam komunikasi
Menurut Robbins (2006), ada empat isu terkini yang berhubungan dengan komunikasi
dalam sebuah organisasi, yaitu :
a. Penghalang komunikasi antara pria dan wanita
Adakalanya seorang pria merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan seorang wanita
atau dengan kata lain perbedaan gender sering kali menjadi penghalang dalam melakukan
komunikasi yang efektif. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Deborah Tannen (Robbins,
2006), yang menjadi penyebab dari hal itu adalah adanya perbedaan antara pria dan wanita
dalam gaya pembicaraan mereka. Biasanya, pria menggunakan pembicaraan untuk
menekankan status sedangkan wanita menggunakannya untuk mendapatkan koneksi.
Menurut Tannen (Robbins, 2006), komunikasi merupakan tindakan penyeimbangan
yang berkesinambungan, yang mengubah kebutuhan - kebutuhan yang berbenturan menjadi
keakraban dan independensi. Keakraban menekankan kedekatan dan kebersamaan.
Independensi menekankan keterpisahan dan perbedaan. Masalahnya adalah, wanita berbicara
dan mendengar bahasa untuk menciptakan hubungan dan keakraban sedangkan pria berbicara
dan mendengarbahasa untuk menekankan status kekuasaan dan independensi. Jadi untuk
banyak pria, pembicaraan merupakan cara untuk mempertahankan independensi dan status
dalam tertib sosial hierarkis. Sedangkan bagi banyak wanita, pembicaraan merupakan
negosiasi untuk menciptakan kedekatan dimana mereka mencoba mencari dan memberikan
informasi serta dukungan.
b. Diam sebagai komunikasi
Pengertian diam dalam konteks komunikasi adalah tidak adanya pembicaraan atau suara,
yang umumnya diabaikan sebagai bentuk komunikasi dalam perilaku organisasi karena
menggambarkan tiadanya tindakan atau perilaku. Tetapi diam kadang bukan berarti tidak ada
tindakan. Diam oleh banyak orang tidak dianggap sebagai gagal komunikasi, sebaliknya diam
dapat menjadi bentuk komunikasi yang sangat kuat. Diam dapat berarti seseorang sedang
memikirkan sesuatu, cemas, takut berbicara, serta dapat mengisyaratkan kesepakatan,
menolak, kecewa, atau marah.
Kegagalan dalam memberikan perhatian pada bagian diam dari percakapan dapat
berakibat kehilagan bagian penting dari pesan. Komunikasi yang cerdik memperhatikan
kesenjangan, jeda, dan keragu-raguan. Mereka mendengar dan menginterpretasikan. Kadang
kala pesan yang nyata dalam komunikasi terkubur dalam diam (Robbins, 2006).
c. Komunikasi yang benar secara politis
Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang
melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan,
pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan,
komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai
komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”.
Dalam pergaulan sehari-hari sering kali kita memodifikasi kata-kata yang kita gunakan
sehingga terkesan lebih halus dan lebih menjaga perasaan orang lain. Dan ini akan menjadi
suatu bekal bagi kita agar dapat melakukan komunikasi yang efektif. Kita harus peka terhadap
perasaan orang lain. Kata-kata tertentu dapat membuat stereotype, mengancam, dan menghina
individu. Begitu pula dalam sebuah organisasi yang memilik angkatan kerja yang beragam dan
hierakri kepemimpinan yang berbeda pula. Tetapi kadang kita pun mengalami kesulitan untuk
memodifikasi suatu kata yang memiliki ketepatan tertentu sehingga kita sulit untuk
memodofikasinya menjadi sebuah kata yang lebih halus.
Kita harus peka dengan pemilihan kata karena terkadang itu bisa melukai perasaan orang
lain. Tetapi kita pun harus hati-hati dalam menghilangkan atau memodifikasi kata-kata yang
kita gunakan karena hal tersebut bisa menjadi penghalang komunikasi yang efektif. Intinya
adalah kita harus menyadari bahaya dan perlunya menemukan keseimbangan yang tepat.
d. Komunikasi lintas budaya
Perbedaan kebiasaan dan kebudayaan kerap kali menjadi penghalang komunikasi yang
efektif. Menurut Robbins (2006), sedikitnya ada empat masalah yang menjadikan faktor
budaya ini menjadi penghambat dalam komunikasi, yaitu :
1. Hambatan yang disebabkan oleh semantik
Makna kata bisa berlainan untuk orang yang berbeda. Hal ini dikarenakan beberapa kata ada
yang tidak bisa diterjemahkan kedalam bahasa atau budaya lain.
2. Hambatan yang disebabkan oleh konotasi kata
Seringkali dalam beberapa bahasa terdapat kata yang sama, baik dalam penulisan maupun
dalam pengucapannya, tetapi memiliki makna yang bebeda. Tentu saja hal ini dapat
menyebabkan kesalah pahaman dan menjadikan komunikasi menjadi tidak efektif.
3. Hambatan yang disebabkan oleh perbedaan nada
Setiap daerah atau suku biasanya mempunyai kebudayaan yang berbeda tidak terkecuali
dengan nada berbicara. Bagi orang batak misalnya, mereka sudah terbiasa berbicara dengan
nada yang tingi. Tetapi bagi orang Sunda, biasanya nada yang tingi ini sering diidentikan
dengan keadaan marah atau tidak sopan dalam pembicaraan sehari-hari.
4. Hambatan yang disebabkan oleh beda persepsi
Biasanya orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda mempunyai
pandangan yang berbeda dalam mempersepsikan sesuatu.
BAB VII
KEPUTUSAN DALAM ORGANISASI
I. Hakekat Keputusan
Setiap organisasi akan menghadapi perubahan lingkungan eksternal dan internal yang
kompleks dan cepat berubah sehingga organisasi harus mengambil banyak keputusan yang
cepat dan tepat agar aktivitas organisasi dapat berjalan lancar. Keputusan merupakan sesuatu
yang ditetapkan berdasarkan faktor pertimbangan, pemikiran, dan penelitian yang menjadi
pedoman untuk tindakan selanjutnya. Membuat keputusan tidaklah mudah namun harus tidak
bisa dihindari dan cenderung harus dilakukan. Tidak ada fungsi manajerial yaitu perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, atau pengontrolan yang dapat dilakukan tanpa pengambilan
keputusan. Pengambilan keputusan dalam organisasi terjadi di semua tingkatan namun
merupakan peran sentral dari pemimpin karena setiap keputusan yang dihasilkan akan bersifat
penting, jangka panjang, berisiko, dan mempengaruhi organisasi serta lingkungan organisasi.
Pengambilan keputusan yang baik sangat vital karena keputusan menentukan bagaimana
organisasi menyelesaikan masalah, mengalokasikan sumber daya dan mencapai tujuan. Hal ini
berarti anggota organisasi terutama pemimpin harus memiliki keterampilan dan pengetahuan
terhadap pengambilan keputusan. Dalam proses pengambilan keputusan sering terjadi bias,
suatu kecenderungan preferensi kepada hasil tertentu, sehingga tidak netral dan tidak objektif.
Hal ini dapat terjadi karena lingkungan yang terus berubah, ketidakpastian informasi, risiko,
ataupun konflik yang bertentangan dengan pengambilan keputusan (Tewal, dkk., 2017).
II. Definisi Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah suatu proses yang menghasilkan satu pilihan dari
beberapa pilihan alternatif. Menurut Schermerhorn, dkk. (2012), pengambilan keputusan
adalah proses memilih tindakan dalam menghadapi suatu masalah atau peluang. Hasil
keputusan dapat berupa tindakan yang berasal dari adanya masalah, alternatif penyelesaian
masalah, dan berpengaruh terhadap organisasi. Kualitas keputusan tergantung pada
pengetahuan, pengalaman, persepsi dan situasi pengambil keputusan yang didukung dengan
adanya informasi yang lengkap dan komunikasi yang berkualitas. Dalam penelitian oleh
Negulescua dan Doval (2014), ditemukan bahwa sebagian besar manajer yang diwawancarai
menggunakan alternatif dengan kemungkinan hasil terkait ketika mengambil keputusan dan
bahkan jika mereka tidak memiliki cukup informasi, mereka memilih alternatif terbaik
berdasarkan penilaian risiko dan hasil yang efektif.
Pengambilan keputusan terjadi sebagai reaksi terhadap suatu masalah dimana terdapat
perbedaan antara keadaan saat ini dengan keadaan yang diinginkan sehingga dibutuhkan
pertimbangan beberapa tindakan alternatif. Faktor utama untuk pengambilan keputusan yang
baik adalah yang menggunakan pemikiran dan perasaan dalam setiap keputusan. Pengambilan
keputusan paling etis didasarkan pada proses kognitif tingkat tinggi sedangkan perasaan
(suasana hati dan emosi) memiliki efek penting pada pengambilan keputusan. Heidari dan
Ebrahimi (2016), menemukan ada hubungan antara kemampuan kemampuan berpikir kritis
dan keterampilan membuat keputusan melalui skor berpikir kritis dan skor pengambilan
keputusan (P <0,05).
Orang yang dalam suasana hati dan emosi positif akan membuat keputusan yang baik
dan menemukan solusi baik untuk mengatasi masalah. Virlics (2014), menemukan bahwa
suasana hati mempengaruhi pengambilan keputusan investasi, dan suasana hati yang positif
dan negatif mungkin memiliki efek yang sama terhadap keputusan investasi sedangkan Hu dkk
(2015), menemukan bahwa emosi memberi efek signifikan pada risiko pengambilan keputusan
(umumnya, emosi positif menyebabkan peserta lebih rentan terhadap resiko daripada emosi
negatif).
III. Proses Pengambilan Keputusan dan Elemennya
Dalam keberlangsungan setiap kegiatan berorganisasi akan terdapat situasi dimana
sebuah atau lebih pengambilan keputusan harus dilakukan. Pengambilan keputusan merupakan
serangkaian proses pemilihan diantara berbagai alternatif yang dihasilkan. Robbins (2003),
mengatakan bahwa pengambilan keputusan yang optimal adalah yang rasional yaitu membuat
pilihan nilai yang konsisten dan maksimal dalam batasan yang ditentukan.
Lebih lanjut, Robbins (2003), mengatakan bahwa pilihan tersebut dibuat dengan
mengikuti model enam langkah yaitu : mendefinisikan masalah, mengidentifikasi kriteria
keputusan, menimbang kriteria, menghasilkan alternatif, menilai semua alternatif pada masingmasing kriteria, dan menghitung keputusan optimal. Berikut ini merupakan penjabaran proses
pengambilan keputusan :
1. Mendefinisikan masalah. Model ini dimulai dengan menentukan masalahnya. Suatu
masalah terjadi jika terdapat ketidaksesuaian antara keadaan yang ada dan keadaan yang
diinginkan. Banyak keputusan yang buruk dapat ditelusuri kepada pembuat keputusan yang
mengabaikan masalah atau salah menentukan masalah.
2. Mengidentifikasi kriteria keputusan. Setelah pengambil keputusan menentukan masalah
maka perlu untuk mengidentifikasi kriteria keputusan yang penting dalam memecahkan
masalah. Pada tahap ini, pengambil keputusan menentukan apa yang relevan dalam
pengambilan keputusan. Langkah ini membawa kepentingan, nilai, dan preferensi personal
pengambil keputusan kedalam proses. Mengidentifikasi kriteria adalah penting karena apa
yang dipikirkan relevan oleh seseorang, mungkin tidak bagi orang lain. Juga perlu diingat
bahwa faktor apa pun yang tidak diidentifikasi dalam langkah ini dianggap tidak relevan
bagi pengambil keputusan.
3. Menimbang kriteria. Kriteria yang diidentifikasi jarang semuanya sama pentingnya
sehingga langkah ketiga mengharuskan pengambil keputusan untuk menimbang kriteria
yang telah diidentifikasi sebelumnya agar diberikan prioritas yang benar dalam keputusan
tersebut.
4. Menghasilkan alternatif. Langkah keempat mewajibkan pengambil keputusan untuk
menghasilkan alternatif yang mungkin bisa berhasil dalam menyelesaikan masalah. Tidak
ada upaya yang dilakukan dalam langkah ini untuk menilai alternatif, hanya untuk
mencantumkannya.
5. Menilai semua alternatif pada masing-masing kriteria. Setelah alternatif telah dihasilkan,
pengambil keputusan harus menganalisis dan mengevaluasi secara kritis masing-masing
alternatif. Hal ini dilakukan dengan menilai setiap alternatif pada setiap kriteria.
6. Menghitung keputusan optimal. Langkah terakhir dalam model ini membutuhkan
perhitungan keputusan yang optimal. Hal ini dilakukan dengan mengevaluasi setiap
alternatif terhadap kriteria tertimbang dan memilih alternatif dengan skor total tertinggi.
Dikarenakan pengambilan keputusan adalah suatu proses maka dengan adanya model
pengambilan keputusan akan membantu pengambil keputusan dalam mengambil keputusan
yang cepat dan benar. Terdapat dua pendekatan alternatif pada pengambilan keputusan yaitu :
klasik dan perilaku (Schermerhorn, 2012).
1. Model keputusan klasik memandang orang bertindak dalam dunia kepastian yang lengkap.
Model keputusan perilaku menerima gagasan tentang rasionalitas terbatas (konsep
keterbatasan seseorang dalam memproses informasi dan waktu yang dimiliki) dan
menyarankan agar orang bertindak hanya dalam hal apa yang mereka rasakan tentang situasi
tertentu. Secara singkat, pada model pengambilan keputusan klasik, pengambil keputusan
bertindak pada lingkungan yang penuh kepastian dimana masalah terdefinisi dengan jelas,
semua kemungkinan tindakan alternatif diketahui, dan konsekuensi jelas yang
memungkinan terjadinya keputusan optimal yang memberikan solusi terbaik untuk sebuah
masalah.
2. Model pengambilan keputusan perilaku melihat pengambil keputusan hanya bertindak
dalam hal apa yang mereka rasakan tentang situasi tertentu. Karena keterbatasan kognitif
yang memperlambat kemampuan pemrosesan informasi sehingga bertindak pengambil
keputusan dalam model perilaku cenderung memilih alternatif pertama yang tampak
memuaskan mereka.
Gambar 11.1 menunjukkan, bahwa manajer bertindak rasional dalam lingkungan yang
penuh dengan kepastian yaitu masalah terdefinisi jelas, semua kemungkinan alternatif tindakan
diketahui, dan konsekuensi jelas. Hal ini memungkinkan adanya keputusan optimal yang
memberikan solusi terbaik mutlak untuk suatu masalah. Model keputusan perilaku memandang
pengambil keputusan bertindak hanya dalam hal yang mereka rasakan tentang situasi tertentu.
Dikarenakan adanya batasan kognitif yang membatasi kemampuan pemrosesan informasi
maka manajer bertindak dengan rasionalitas terbatas dimana hal-hal diinterpretasi dan
dipahami sebagai persepsi dalam konteks situasi tertentu. Pengambil keputusan dalam model
perilaku cenderung memilih alternatif pertama yang tampak memuaskan bagi mereka.
Pengambilan keputusan juga dapat didasarkan atas intuisi atau perasaan yang dihasilkan
dari serangkaian proses pengalaman namun memiliki sifat subjektif. Pengambilan keputusan
secara intuisi terjadi karena terbatasnya informasi yang tersedia. Menurut Robbins (2003),
pengambilan keputusan yang intuitif adalah proses tak sadar yang diciptakan dari dalam
pengalaman yang tersaring. Hal ini berarti pengambilan keputusan berdasarkan rasional
bersama melengkapi dengan intuitif namun aspek perasaan lebih dominan. Khatri dan Ng
(2000), menemukan bahwa menemukan bahwa proses intuitif sering digunakan dalam
pengambilan keputusan organisasi dimana penggunaan sintesis intuitif berhubungan positif
dengan kinerja organisasi di lingkungan yang tidak stabil, namun secara negatif dilingkungan
yang stabil.
IV. Tipologi Pengambilan Keputusan
Umumnya suatu keputusan dibuat untuk memecahkan suatu permasalahan. Hal ini
berarti bahwa setiap keputusan untuk mencapai suatu tujuan. Jenis keputusan dalam sebuah
organisasi dapat didasarkan pada beberapa hal. Menurut Robbins dan Judge (2012), terdapat
dua jenis keputusan yaitu keputusan terprogram dan keputusan tidak terprogram. Keputusan
terprogram dibuat sebagai respon standar terhadap situasi berulang dan masalah rutin.
Keputusan ini berurusan dengan hal-hal dimana pengambil keputusan sudah pernah alami.
Pada dasarnya, keputusan ini menerapkan alternatif yang diketahui tepat untuk situasi yang
sering terjadi.
Keputusan yang tidak terprogram disusun atau disesuaikan secara khusus agar sesuai
dengan situasi yang unik. Keputusan ini menangani masalah baru atau tak terduga yang
menuntut tanggapan khusus. Meskipun pengalaman masa lalu dapat membantu mengatasi
ancaman persaingan namun keputusan yang cepat memerlukan suatu solusi kreatif berdasarkan
karakteristik unik dari situasi pasar saat ini.
Jenis keputusan tidak terprogam yang paling ekstrem adalah keputusan krisis dimana
masalah tak terduga mengancam kerugian besar dan bencana jika tidak diselesaikan dengan
cepat dan tepat. Hampir setiap organisasi mengembangkan program manajemen krisis formal
dengan melatih manajer dalam situasi krisis, menugaskan orang-orang dalam tim manajemen
krisis, dan mengembangkan rencana manajemen krisis untuk menghadapi berbagai
kemungkinan.
Tipologi pengambilan keputusan dalam organisasi adalah klasifikasi yang mengelompokkan
pengambilan keputusan berdasarkan cara atau pola dalam mengambil keputusan. Berikut
adalah beberapa tipologi pengambilan keputusan dalam organisasi:
1. Pengambilan keputusan individual: Keputusan diambil oleh satu orang tanpa
melibatkan orang lain dalam organisasi.
2. Pengambilan keputusan kelompok: Keputusan diambil oleh sekelompok orang dalam
organisasi melalui proses diskusi dan perdebatan.
3. Pengambilan keputusan partisipatif: Keputusan diambil melalui partisipasi dan
kolaborasi antara para pemimpin dan anggota organisasi.
4. Pengambilan keputusan otoritatif: Keputusan diambil oleh satu orang atau kelompok
kecil dalam organisasi, dengan pengambilan keputusan yang cepat dan tanpa
melibatkan pihak lain.
5. Pengambilan keputusan rasional: Keputusan diambil melalui analisis logis, kuantitatif,
dan sistematis dari alternatif solusi yang tersedia.
6. Pengambilan keputusan intuitif: Keputusan diambil berdasarkan naluri atau insting
tanpa proses analisis yang sistematis.
7. Pengambilan keputusan terprogram: Keputusan diambil berdasarkan prosedur atau
aturan yang telah ditetapkan sebelumnya.
8. Pengambilan keputusan tak terprogram: Keputusan diambil dalam situasi yang tidak
terduga atau tidak rutin, dan memerlukan proses pengambilan keputusan yang lebih
kreatif dan fleksibel.
Setiap tipologi pengambilan keputusan memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan
bisa dipilih tergantung pada kondisi dan kebutuhan organisasi.
Suatu
keputusan
akan
dianggap
keliru
ketika
pengambil
keputusan
tidak
memperhitungkan resiko dan ketidakpastian lingkungan ataupun tidak mempertimbangkan
berbagai alternatif yang tersedia. Jenis pengambilan keputusan dapat juga didasarkan pada
situasi kepastian, berisiko, ketidakpastian, dan konflik dengan uraian sebagai berikut :
1. Pada situasi kepastian, organisasi berada pada situasi yang ideal. Pemimpin dapat membuat
keputusan yang akurat karena memiliki informasi yang lengkap dan konsekuensi setiap
alternatif telah diketahui.
2. Pada situasi risiko, organisasi mengestimasi kemungkinan (probabilitas) dari konsekuensi
setiap pemilihan alternatif dikarenakan hasil pengambilan keputusan tidak dapat diketahui
dengan pasti.
3. Organisasi berada pada situasi ketidakpastian dimana hasil keputusan sama sekali tidak
diketahui karena belum pernah terjadi sebelumnya (pertama kali) sehingga perlu
mengumpulkan informasi untuk membuat beberapa alternatif keputusan untuk mengetahui
nilai probabilitas.
4. Organisasi berada pada situasi konflik apabila alternatif keputusan yang harus dipilih
berasal dari pertentangan dua atau lebih pengambil keputusan. Situasi ini dapat disamakan
dengan situasi risiko karena berada pada situasi yang tidak pasti namun dapat membuat
probabilitas kemungkinan terjadinya kondisi tersebut.
Penentuan hasil keputusan dalam organisasi dapat dilakukan oleh seorang pimpinan
ataupun beberapa orang pimpinan. Seorang pemimpin akan lebih mudah mengambil keputusan
tanpa harus menunggu atau melibatkan orang lain dalam proses pengambilan keputusan. Selain
itu, prosesnya lebih cepat dan tepat terutama dalam keadaan terdesak. Namun jika terjadi
keputusan yang salah maka tumpuan kesalahan akan berada pada orang tersebut dan dapat
menimbulkan konflik jika menghadapi hambatan dengan orang lain. Hal ini berbeda jika
pengambil keputusan terdiri dari beberapa orang. Hasil keputusan ini melibatkan banyak orang,
bersifat mengikat, dan tidak dapat diganggu gugat. Hasil keputusan didasarkan atas persetujuan
atau kesepakatan bersama melalui keputusan mayoritas, aklamasi, voting, ataupun
musyawarah untuk mufakat. Jika terjadi keputusan yang salah maka yang bertanggung jawab
adalah semua pihak yang menyepakati hasil keputusan bersama tersebut.
V. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
Faktor - faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yang berasal dari luar atau
ekternal :
1. Kedudukan
Jabatan atau kedudukan seseorang dapat dilihat berdasarkan pangkaatnya apakah sebagai
pimpinan atau bawahan, sehingga dapat ditentukan pantas atau tidaknya mengambil suatu
keputusan. Karea jika pimpinan yang mengambil tentu ia telah berpengalaman dalam
mengambil suatu keputusan jika sebaliknya seperti bawahan tentu mereka belum
berpengalaman dan belum lihai dalam mengambil suatu keputusan sehingga jabatan atau
kedudukan ini sangat berperan penting dalam mengambil suatu keputuan.
2. Masalah
Masalah adalah hal yang menjadi penghalang untuk tercapainya tujuan yang merupakan
penyimpanga dari hal hal yang diharapkan atau direncanaka.
3. Situasi
Situasi adalah keseluruhan faktor dalam keadaan yang berkaitan satu sama lain dan
secara bersama sama memencarkan pengaruh terhadap kita dan apa yang akan hendak kita
perbuat.
4. Pengaruh dari kelompok lain
Kelompok lain juga dapat berpengaruh terhadap suatu keputusan dikarenakan kelompok
lain atau organisasi mempunyai keputusan yang dapat dipertimbangkan oleh pemimpin
organisasi lain dalam menyikapi masalah dan pengaruh kelompok lain ini juga dapat
menjatuhkan organisasi serta mementingkan kelompok tersebut.
Faktor internal yang mempengaruhi pengambilan keputusan meliputi :
1. Kepribadian
Tingkah laku atau karakter seseorang dalam pengambilan suatu keputusan juga sangat
mempengaruhi dimana sifat manusia ini beragam ada yang tergesa - gesa dan dan juga yang
berhati - hati dalam menetapkan suatu pilihan sehingga kepribadian ini juga sangat
berpengaruh terhadap pemgambilan suatu keputusan. Dan juga dalam hal ini yang dibutuhkan
adalah kebijaksanaan dan ketegasan seseorang dalam mengambil suatu keputusan.
2. Faktor pengalaman
Semakin banyaknya seseorang tersebut mengambil keputusan maka ia akan berani dalam
mengambil keputusan dan hal ini juga berkaitan dengan keahlian yang dimiliki oleh pemimpin
atau skill yang ia miliki karena pengalaman yang pernah dialaminya.
Pengambilan keputusan dalam organisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk faktor
internal dan eksternal organisasi. Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi
pengambilan keputusan dalam organisasi:
1. Tujuan organisasi: Tujuan organisasi mempengaruhi pengambilan keputusan karena
keputusan harus selaras dengan tujuan yang telah ditetapkan.
2. Sumber daya: Ketersediaan sumber daya, termasuk tenaga kerja, modal, dan peralatan,
mempengaruhi keputusan karena setiap keputusan harus mempertimbangkan
ketersediaan dan penggunaan sumber daya yang efisien.
3. Kebijakan organisasi: Kebijakan organisasi mempengaruhi pengambilan keputusan
karena harus sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
4. Kondisi pasar: Kondisi pasar, seperti persaingan dan permintaan pelanggan,
mempengaruhi pengambilan keputusan karena organisasi harus mengambil keputusan
yang tepat untuk memenangkan persaingan dan memenuhi kebutuhan pelanggan.
5. Lingkungan eksternal: Faktor lingkungan seperti politik, sosial, ekonomi, dan teknologi
mempengaruhi
pengambilan
keputusan
karena
setiap
keputusan
harus
mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan eksternal.
6. Risiko dan ketidakpastian: Risiko dan ketidakpastian mempengaruhi pengambilan
keputusan karena setiap keputusan harus mempertimbangkan tingkat risiko dan
ketidakpastian yang terkait dengan alternatif solusi yang tersedia.
7. Nilai dan keyakinan: Nilai dan keyakinan individu mempengaruhi pengambilan
keputusan karena keputusan seringkali didasarkan pada pandangan dan prinsip pribadi.
Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam organisasi dan
harus dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan organisasi
secara efektif dan efisien.
VI. Pengambilan Keputusan Kelompok
Proses pengambilan keputusan kelompok adalah salah satu corak proses pengambilan
keputusan dalam organisasi. Ciri dari prosesnya ditandai dengan keterlibatan dan partisipasi
banyak orang. Keputusan semacam ini sering dianggap ideal dan digunakan secara luas.
Keuntungan Pengambilan Keputusan Kelompok
§ Kumpulan Pengetahuan : Pengambilan keputusan dalam suatu kelompok
melibatkan banyak orang selama proses tersebut. Ini membawa lebih banyak pengetahuan dan
keahlian pada saat pengambilan keputusan.
§ Penerimaan: Karena keputusan diambil secara kolektif, para anggota dengan mudah
menerima keputusan.
§ Ragam Alternatif: Sebuah kelompok dapat menghasilkan lebih banyak alternatif
daripada individu.
§ Pengembangan Keseluruhan: Pengambilan keputusan kelompok adalah proses
interaktif di mana anggota kelompok berbagi keterampilan dan pengetahuan mereka. Ini
menghasilkan pengembangan keseluruhan anggota kelompok.
§ Keragaman Pandangan: Individu yang berbeda memiliki pandangan yang berbeda
terhadap suatu situasi. Seseorang menerima ide yang berbeda untuk masalah tertentu pada saat
pengambilan keputusan.
§ Keputusan Seimbang: Berbagai konsekuensi dan risiko dipastikan oleh anggota
kelompok yang berbeda menghasilkan pengambilan keputusan yang seimbang.
Kekurangan Pengambilan Keputusan Kelompok
§ Dominasi : Anggota kelompok harus setuju dengan satu atau lebih anggota yang
mendominasi untuk membuat keputusan.
§ Konflik : Ketidaksepakatan di antara anggota kelompok dapat menyebabkan konflik
dalam kelompok.
§ Proses Pengambilan Waktu : Mungkin perlu banyak waktu jika anggota kelompok
tidak dapat mencapai keputusan yang sesuai.
§ Tekanan : Anggota kelompok mungkin merasakan tekanan untuk menerima
keputusan yang diambil oleh orang lain.
VII. Implikasi Manajerial dalam Pengambilan Keputusan
Implikasi manajerial dalam pengambilan keputusan organisasi adalah faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan oleh manajer dalam memastikan keputusan yang diambil dapat membawa
dampak positif bagi organisasi. Beberapa implikasi manajerial yang perlu diperhatikan dalam
pengambilan keputusan organisasi adalah sebagai berikut:
1. Peran manajer: Manajer memiliki peran yang sangat penting dalam pengambilan
keputusan organisasi. Mereka harus memastikan bahwa keputusan yang diambil
didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan relevan. Selain itu, manajer juga
harus memilih strategi pengambilan keputusan yang tepat untuk memastikan keputusan
yang diambil dapat menghasilkan hasil yang optimal.
2. Pengambilan keputusan tim: Pengambilan keputusan tim juga dapat menjadi pilihan
yang tepat bagi manajer. Dalam hal ini, manajer dapat melibatkan anggota tim dalam
proses pengambilan keputusan. Hal ini akan memungkinkan manajer untuk
memperoleh sudut pandang yang berbeda dan perspektif yang lebih luas dari berbagai
anggota tim.
3. Faktor manusia: Faktor manusia seperti bias kognitif, emosi, dan norma sosial dapat
mempengaruhi keputusan yang diambil. Oleh karena itu, manajer harus memahami dan
mengelola faktor-faktor tersebut dalam pengambilan keputusan organisasi.
4. Perubahan lingkungan: Lingkungan yang berubah dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan organisasi. Manajer harus memperhatikan perubahan lingkungan seperti
perubahan
teknologi,
kondisi
pasar,
dan
kebijakan
pemerintah
dalam
mempertimbangkan keputusan yang diambil.
5. Evaluasi keputusan: Manajer harus melakukan evaluasi terhadap keputusan yang
diambil untuk memastikan keputusan tersebut dapat menghasilkan dampak yang
diinginkan bagi organisasi. Evaluasi keputusan akan membantu manajer untuk
memperbaiki keputusan yang salah dan menghindari kesalahan yang sama di masa
depan.
Dengan memperhatikan implikasi manajerial dalam pengambilan keputusan organisasi,
manajer dapat membuat keputusan yang lebih baik dan memastikan keberhasilan organisasi
dalam jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Gibson, L. J.; Ivancevich, M. J.; Konopaske, R. (2012). Organizations: Behavior, Structure,
Processes. Fourteenth Edition. McGraw-Hill Irwin, New York.
Greenberg, J. & Baron, R. A. 2008. Behavior in Organizations. Ninth Edition. Pearson Prentice
Hall. New Jersey.
Heidari, M., dan Ebrahimi, P., (2016), Examining the relationship between critical-thinking
skills and decision-making ability of emergency medicine students, Indian Journal of
Critical Care Medicine, 20(10), 581–586
Hu, Y.X., Wang, D.W., Pang, K.Y., Xu,G.X., dan Guo, J.H., (2015), The effect of emotion and
time pressure on risk decision-making, Journal of Risk Research, Vol. 18, Issue 5, 637650.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2002). Departemen Pendidikan Nasional Edisi ke-3. Balai
Pustaka, Jakarta. Gramedia.
Khatri, N., dan Ng, H.A., (2000), The Role of Intuition in Strategic Decision Making, Human
Relations, Vol.53, Issue: 1, 57-86.
Luthans, F. (2011). Organizational Behavior, Twelfth Edition. McGraw-Hill Irwin, New York.
Muhammad, A. (2009). Komunikasi Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara.
Negulescua, O., dan Doval, E. (2014), The quality of decision making process related to
organizations’ effectiveness, Procedia Economics and Finance, 15, 858 – 863.
Robbins, S.P. (2003). Essentials of Organizational Behavior, Seventh Edition, Pearson
Education, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Robbins, P. S. dan Judge, A. T. (2013). Organizational Behavior, 15th edition. Pearson
Education, Inc. United States of America.
Robbins, P. S. dan Judge, A. T. (2022). Organizational Behavior, 18th edition. Pearson
Education, Inc. United States of America.
Schermerhorn, Jr. J. R., Osborn, R.N., Uhl-Bien, M., dan Hunt, J.G. (2012). Organizational
Behavior. John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Tewal, Bernhard, Adolfina, Merinda H. Ch. Pandowo, dan Hendra N. Twawas. (2017).
Perilaku Organisasi. Bandung : CV. Patra Media Grafindo Bandung.
Virlics, A., (2014), Emotions, Mood and Decision Making, International Journal of Applied
Behavioral Economics (IJABE), 3(2).
Download