PEDOMAN TEKNIS TATA KELOLA AIR TAMBANG BATUBARA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP 2014 P E N G A N TA R i D A F TA R I S I Pengantar i Daftar Isi ii Daftar Tabel iii Daftar Gambar iv 1 Pendahuluan 1 2 Tata Kelola Air Tambang Saat Ini 3 Tata Kelola Air Tambang 3.1 Pengertian Air Tambang 2 7 7 3.2 Daerah Tangkapan Hujan 7 3.3 Curah Hujan 8 3.4 Debit Aliran Permukaan 3.5 Saluran Air 10 18 3.6 Kolam Tampungan Air 24 3.7 Bangunan Ukur Debit Aliran 4 Penutup 25 27 5 Contoh PERENCANAAN Tata Kelola Air Tambang 28 5.1 Contoh Data 28 5.2 Contoh Penetapan Daerah Tangkapan Hujan 28 5.3 Contoh Pengolahan Data Curah Hujan 28 5.4 Contoh Penghitungan Debit Aliran 28 5.5 Contoh Perencanaan Luas Kolam Tampungan Air ii 28 D A F TA R TA B E L Tabel 1 Kedalaman hujan maksimum di tambang batubara PT Bukit Asam, Tanjungenim, Sumatera Selatan 3 Tabel 2 Kedalaman hujan rancangan di tambang batubara PT Bukit Asam, Tanjungenim, Sumatera Selatan 4 Tabel 3 Koefisien kekasaran dasar saluran menurut Manning iii 20 D A F TA R G A M B A R Gambar 1 Alat ukur curah hujan automatik tipe pelampung 2 Gambar 2 Alat ukur curah hujan automatik tipe tipping bucket 2 Gambar 3 Intensity duration curve hujan di tambang batubara PT Bukit Asam, Tanjungenim, Sumatera Selatan 5 Gambar 4 Contoh tiipikal daerah tangkapan hujan (catchment area) 8 Gambar 5 Alat ukur curah hujan tipe tipping bucket 9 Gambar 6 Skema pemilihan metode perhitungan debit Gambar 7 Hidrograf Satuan Sintetik Gama I 11 14 Gambar 8 Hidrograf satuan sintetik Nakayasu 16 Gambar 9 Contoh pola distribusi hujan 17 Gambar 10 Contoh pola distribusi hujan ABM 17 Gambar 11 Tampang saluran tipikal 19 Gambar 12 Diagram aliran permanen berubah beraturan (steady gradually varied flow) 22 Gambar 13 Volume tampungan sebagai fungsi waktu 25 Gambar 14 Bangunan ukur debit aliran jenis peluap ambang tajam 26 Gambar 15 Bangunan ukur debit aliran Crump Weir 27 Gambar 16 Bangunan ukur debit aliran Parshall flume iv 27 P E D O M A N TATA K E LO L A A I R TA M B A N G B AT U B A R A N A S KA H A KA D E M I K P E D O M A N P E N G E LO L A A N A I R TA M B A N G B AT U B A RA 1 PENDAHULUAN Air tambang adalah air hujan yang turun di kawasan tambang, yang harus dialirkan keluar kawasan tambang, dan air limbah tambang yang utamanya adalah air hujan yang turun di daerah produksi, yang harus dialirkan keluar dari daerah produksi. Tata kelola air di tambang batubara, dengan demikian, menyangkut pengelolaan air di dua tempat, yaitu (1) air di daerah produksi dan (2) air di kawasan tambang. Air tambang di daerah produksi berasal dari air hujan yang masuk ke dalam kolam tampungan utama tambang (main sump). Air tanah ke dalam sump biasanya kecil dan oleh karena itu dianggap telah dicakup dalam air hujan. Air tambang di kawasan tambang berasal dari air hujan di daerah tangkapan hujan di luar daerah produksi, misal dari lapangan penumpukan batubara (stockpile), drainase jalan, lingkungan tambang. Air tambang, baik air dari daerah produksi maupun air dari kawasan tambang dikategorikan sebagai air limbah. Air tambang harus diolah terlebih dulu sebelum dialirkan kembali ke badan air alam untuk memenuhi baku mutu air menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor … Tahun … Pengolahan air limbah tambang batubara dilakukan dengan beberapa cara, antara lain pengendapan sedimen di kolam pengendap sedimen, pengolahan keasaman air dengan penambahan kapur untuk menaikkan pH air, serta percampuran air limbah dengan bahan kimia. Pengolahan air limbah dilakukan di instalasi pengolah air limbah, yang umumnya berupa kolam air. Dimensi kolam air ditetapkan sebagai fungsi kuantitas air tambang yang berasal dari dewatering daerah produksi maupun air yang berasal dari kawasan tambang. Dimensi kolam air memperhitungakan tidak hanya kuantitas air tambang yang masuk ke kolam air (inflow), namun telah memasukkan pula faktor waktu tinggal air tambang dalam kolam air. Waktu tinggal berkaitan dengan proses pengubahan air limbah menuju ke air yang memenuhi baku mutu air sehingga aman untuk dialirkan ke badan air alam. Waktu tinggal air dalam 1 kolam air dicapai dengan membuat lintasan aliran yang panjang. Kolam air dibagi menjadi sejumlah kompartemen yang saling dihubungkan sedemikian hingga aliran dalam kolam berkelok-kelok dengan lintasan aliran yang panjang. Hal ini memfasilitasi waktu tinggal air yang lama dalam kolam air. Outlet kolam air umumnya berupa ambang. Air melimpas (overflow) keluar dari kolam air melalui ambang. Pada saat debit aliran air tambang ke dalam kolam air lebih besar daripada debit rancangan kolam air, ada risiko bahwa air melimpas ambang, keluar dari kolam air, sebelum waktu tinggal yang diperlukan untuk proses pengolahan air dicapai. Pada peristiwa seperti ini, maka kualitas air yang keluar dari kolam belum memenuhi baku mutu air yang disyaratkan sesuai pasal … Permen LH Nomor … Tahun … Kapasitas tampung kolam secara keseluruhan masih mampu menampung volume aliran air tambang sehingga tidak terjadi limpasan air keluar kolam melalui tanggul kolam. Yang terjadi adalah air kolam yang belum memenuhi syarat baku mutu melimpas keluar kolam melalui ambang. Permasalahan ini dicurigai sebagai akibat dari kurang tepatnya perhitungan debit aliran rancangan yang dipakai sebagai dasar dalam penetapan kapasitas kolam. Pedoman tata kelola air tambang yang berlaku saat ini mengatur aspek kualitas air. Pedoman belum mengatur aspek kuantitas air dalam pengelolaan air tambang. Memperhatikan permasalahan yang dipaparkan pada paragraf di atas, tampak bahwa aspek kuantitas air, yang berpengaruh terhadap rancangan kapasitas kolam, pada akhirnya dapat berpengaruh pula terhadap kualitas air. Aspek kuantitas air diperlukan pula untuk menjamin bahwa tambahan beban air dari kolam ke badan air alam (sungai) tidak menyebabkan debit aliran melebihi kapasitas alur sungai tersebut. Memperhatikan hal ini, maka pedoman tata kelola air tambang perlu mengatur aspek kuantitas air di samping mengatur aspek kualitas air. 2 TATA KELOLA AIR TAMBANG SAAT INI Tata kelola air tambang batubara saat ini mengacu pada praktik yang dilaksanakan di tambang batubara PT Bukit Asam, Tanjungenim, Sumatera Selatan dan di tambang batubara PT Adaro, Tanjungbara, Kalimantan Selatan. Paparan dibatasi pada praktik yang dilaksanakan dalam perhitungan atau penentuan besaran hujan rancangan yang menjadi dasar dalam perencanaan tata kelola air tambang, baik yang menyangkut estimasi volume air yang masuk ke tambang, maupun perencanaan saluran air, kolam air, serta operasi instalasi pengolah air limbah tambang. Penentuan hujan rancangan diawali dengan pengukuran curah hujan di kawasan tambang. Pengukuran curah hujan dilakukan, pada umumnya, dengan alat ukur hujan automatik di satu atau beberapa stasiun. Foto pada Gambar 1 menunjukkan salah satu contoh alat ukur yang dipakai di tambang batubara PT Bukit Asam, Tanjungenim. Tampak bahwa alat ukur hujan yang dipakai adalah tipe pelampung dengan alat pencatat mekanik dan medium penyimpanan data berupa kertas grafik. Tipe alat ukur lain yang lazim digunakan untuk pengukuran curah hujan secara automatik adalah tipe tipping bucket. Foto pada Gambar 2 menunjukkan contoh alat 2 ukur hujan automatik tipe tipping bucket yang ada di tambang batubara PT Adaro, Tanjungbara. foto alat ukur hujan di Tanjungenim GAMBAR 1 ALAT UKUR CURAH HUJAN AUTOMATIK TIPE PELAMPUNG foto alat ukur hujan tipping bucket GAMBAR 2 ALAT UKUR CURAH HUJAN AUTOMATIK TIPE TIPPING BUCKET Pengolahan data curah hujan dibawa ke besaran intensitas hujan atau yang lebih dikenal sebagai kedalaman hujan, dalam satuan milimeter, per durasi hujan dalam berbagai satuan waktu, yaitu: 5 menit, 10 menit, 15 menit, 30 menit, 1 jam, 2 jam, 6 jam, 12 jam, 1 hari, 1 bulan, dan 1 tahun. Intensitas hujan dihitung di setiap stasiun pengukur curah hujan dan kemudian dipilih nilai maksimum per tahun (annual series) di antara nilai-nilai intensitas hujan di semua stasiun yang ada di kawasan tambang. Tabel 1 menampilkan contoh intensitas hujan maksimum di tambang batubara PT Bukit Asam, Tanjungenim, Sumatera Selatan. TABEL 1KEDALAMAN HUJAN MAKSIMUM DI TAMBANG BATUBARA PT BUKIT ASAM, TANJUNGENIM, SUMATERA SELATAN Tahu n 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 5 mnt 20 14 13 20 20 13 19 20 19 21 18 20 14 11 10 11 14 18 21 20 21 10 15 13 12 10 11 10 8 9 10 15 10 mnt 27 27 21 31 30 20 34 30 29 32 27 31 26 18 20 22 28 26 34 31 30 21 29 25 23 23 21 17 16 17 20 20 15 mnt 36 31 31 44 39 28 45 38 39 47 41 41 29 22 25 33 38 28 42 41 38 31 40 36 28 32 27 23 20 25 24 30 30 mnt 55 51 54 52 68 39 68 59 47 58 51 55 38 38 41 59 57 55 53 61 53 60 58 51 54 43 53 31 40 50 44 60 1 jam 59 78 78 70 76 74 70 83 78 110 65 101 50 42 61 78 62 73 76 104 78 77 103 102 110 66 91 62 63 80 83 120 Durasi hujan 2 6 jam jam 86 115 81 90 81 109 77 103 76 85 81 111 108 108 128 162 104 136 143 143 65 113 119 134 77 81 50 69 77 113 85 97 80 102 74 111 80 84 156 171 80 102 98 131 117 133 136 226 137 148 87 98 124 135 74 80 81 142 95 142 93 136 151 198 3 12 jam 154 90 137 110 100 116 108 180 143 156 113 134 81 76 127 97 114 118 96 171 112 131 144 226 160 108 169 80 142 142 136 198 1 hari 154 90 156 110 100 116 108 180 151 156 113 134 138 83 135 97 114 118 99 171 119 131 144 226 167 108 177 80 142 142 136 198 1 bln 497 477 449 500 550 540 573 544 512 684 521 420 507 472 668 355 450 375 471 598 420 584 431 679 607 556 456 460 613 360 410 760 1 thn 2785 3052 3542 3142 3751 2807 3399 3579 3671 3338 3832 3116 2327 2827 3133 1797 2808 2300 2708 2791 2922 3040 2870 3717 2523 3151 2928 2461 3587 2560 2591 15 25 33 52 79 97 21 34 47 68 120 156 8 16 20 31 42 50 4 5 7 9 18 27 n 32 32 32 32 32 32 Catatan: Kedalaman hujan dinyatakan dalam satuan milimeter. 122 226 69 34 32 130 226 76 35 32 134 226 80 34 32 516 760 355 99 32 3002 3832 1797 487 31 Intensitas hujan tahunan dalamTabel 1selanjutnya diolah dengan metode analisis frekuensi untuk mendapatkan perkiraan kedalaman hujan yang memiliki probabilitas kejadian tertentu, atau lebih dikenal sebagai hujan yang memiliki kala ulang tertentu. Hubungan antara probabilitas hujan dan kala ulang hujan adalah bahwa probabilitas kedalaman hujan melebihi kedalaman hujan berkala-ulang T tahun adalah 1/T dalam periode waktu satu tahun. Konsep probabilitas dan kala ulang hujan adalah konsep yang lazim dipakai dalam estimasi atau prakiraan kedalaman hujan. Dalam analisis frekuensi, hujan maksimum tahunan dianggap mengikuti suatu distribusi probabilitas teoretis tertentu. Distribusi probabilitas teoretis yang sering dipakai di bidang hidrologi, antara lain, adalah Distribusi Gumbel, Distribusi Log Normal, Distribusi Log Pearson Tipe III, atau Distribusi Normal. Di tambang batubara PT Bukit Asam, Tanjungenim, distribusi data hujan maksimum tahunan dianggap mengikuti Distribusi Gumbel. Dengan asumsi ini, maka nilai-nilai kedalaman hujan dalam berbagai kala ulang kejadian dapat dihitung dan diperoleh (Tabel 2). Nilai-nilai ini kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik hubungan antara kedalaman hujan dan kala ulang hujan untuk setiap durasi hujan pada Tabel 1, yang dikenal sebagai intensity duration curve (IDF).Gambar 3 menampilkan IDF curah hujan di tambang batubara PT Bukit Asam, Tanjungenim. TABEL 2 KEDALAMAN HUJAN RANCANGAN DI TAMBANG BATUBARA PT BUKIT ASAM, TANJUNGENIM, SUMATERA SELATAN Kala Durasi hujan ulang 5 10 15 30 1 2 6 [tahu mnt mnt mnt mnt jam jam jam n] 2 21 33 46 67 117 152 221 5 25 38 54 76 136 180 256 10 28 42 59 82 148 198 279 20 31 45 63 88 160 215 301 25 32 46 65 89 163 220 308 50 34 49 70 95 175 237 329 100 37 53 74 100 186 254 351 Catatan: Kedalaman hujan dinyatakan dalam satuan milimeter. 12 jam 1 hari 1 bln 1 thn 221 256 279 302 309 331 353 221 255 278 300 307 328 349 745 845 911 975 995 1057 1119 3758 4252 4580 4894 4994 5301 5606 Nilai-nilai hujan pada IDF menjadi dasar untuk penghitungan estimasi kuantitas air yang masuk ke daerah produksi dan ke kawasan tambang. Estimasi volume air yang masuk ke daerah produksi, sebagai dasar dalam perencanaan main sump, mengacu pada nilai curah hujan tahunan kala ulang dua tahun. Sebagai contoh, data di tambang batubara PT Bukit Asam, Tanjungenim, curah hujan tahunan yang memiliki kala ulang dua tahun adalah 3758 mm (lihatTabel 2). 4 GAMBAR 3INTENSITY DURATION CURVE HUJAN DI TAMBANG BATUBARA PT BUKIT ASAM, TANJUNGENIM, SUMATERA SELATAN Estimasi Debit Aliran Permukaan Perancangan Saluran Air 5 Perancangan dan Operasi Kolam Tampungan Air 6 3 TATA KELOLA AIR TAMBANG 3.1 PENGERTIAN AIR TAMBANG Air tambang adalah air hujan yang turun di kawasan tambang dan air limbah tambang. Kawasan tambang dapat dibedakan menjadi daerah produksi dan daerah di dalam kawasan tambang yang bukan daerah produksi. Kedua jenis air tambang dikelola untuk dapat didaya-gunakan atau dialirkan ke badan air penerima. Asal air tambang pada dasarnya adalah air hujan yang turun di daerah tangkapan hujan kawasan tambang. Air hujan akan mengalir dalam dua bentuk, yaitu aliran permukaan (direct run-of) dan aliran air tanah (groundwater flow).Sebagian besar air tambang mengalir dalam bentuk aliran permukaan. Aliran air tanah lazimnya hanya merupakan bagian kecil dari air tambang. Sebagian air tanah ini pun, pada akhirnya berubah menjadi bagian dari aliran permukaan. Air hujan, yang menjadi air tambang, mengalami degradasi kualitas air karena berinteraksi dengan bukaan lahan dan udara. Sebelum dialirkan (dibuang) ke badan air penerima, air tambang harus dioleh agar memenuhi baku mutu air limbah tambang sesuai Permen KLH Nomor … Permen ini mengatur aspek kualitas air limbah tambang dalam tata kelola air tambang, yang memberikan syarat kualitas air tambang yang dibolehkan untuk dialirkan ke badan penerima air. Selain memperhatikan kualitas air, tata kelola air tambang harus pula mempertimbangkan aspek kuantitas air. Beban kuantitas air merupakan faktor penting dalam berbagai segi pengelolaan air tambang. Kapasitas instalasi pengolah air limbah tambang merupakan fungsi kuantitas air. Penghitungan kuantitas air menjadi salah satu faktor penting dalam desain teknis instalasi pengolah air limbah dan fasilitas pendukung tata kelola air tambang, utamanya penetapan dimensi dan operasi instalasi pengolah air limbah dan saluran air. Karena sumber paling hulu dari air tambang adalah air hujan, maka penghitungan kuantitas air tambang selaiknya dirunut dari penghitungan kuantitas air hujan. Kesulitan yang lazim ditemui dalam memperkirakan kuantitas air hujan adalah sifat sebaran hujan yang tidak rata, baik di sisi waktu kejadian hujan (temporal distribution), maupun di sisi lokasi hujan (spatial distribution). Penghitungan kuantitas air hujan, sebagai prediksi masukan pada instalasi pengolah air limbah tambang maupun pada fasilitas penunjang operasi tambang (kolam dan saluran air) menjadi langkah pertama dan utama dalam penetapan kuantitas air tambang yang akan dikelola. Pedoman ini memberikan arahan dalam penghitungan kuantitas air tambang untuk perencanaan tata kelola air tambang, utamanya yang berkaitan dengan kapasitas dan operasi instalasi pengolah air limbah 7 tambang, serta kapasitas fasiltas penunjangnya, seperti kolam dan saluran air. 3.2 DAERAH TANGKAPAN HUJAN Daerah tangkapan hujan (catchment area) adalah kawasan atau daerah yang merupakan asal air limpasan permukaan yang mengalir ke tempat atau titik yang menjadi tinjauan. Titik tinjauan ini dikenal sebagai titik kontrol (control point), yang lazimnya adalah titik hilir tempat air keluar dari daerah tangkapan hujan. Titik kontrol tidak selalu merupakan titik paling hilir. Titik kontrol adalah lokasi tempat debit aliran ingin dihitung atau diukur. Sketsa pada Gambar 4 menampilkan contoh tipikal daerah tangkapan hujan. GAMBAR 4 CONTOH TIIPIKAL DAERAH TANGKAPAN HUJAN (CATCHMENT AREA) Metode penetapan daerah tangkapan hujan, atau cara deliniasi daerah tangkapan hujan, dilakukan dengan observasi lapangan dengan memperhatikan topografi kawasan dan alur saluran aliran air yang ada di kawasan tersebut, baik alur alam maupun alur buatan. Pada umumnya, aliran air mengikuti kontur lahan. Sifat topografi kawasan yang paling mencolok sebagai batas daerah tangkapan hujan adalah lahan tertinggi. Deliniasi daearah tangkapan hujan dilakukan pada peta topografi kawasan. Peta topografi yang dipakai untuk deliniasi batas daerah tangkapan hujan hendaknya menampakkan dengan jelas kontur lahan. Peta topografi dengan selang kontur 1 meter merupakan peta yang ideal untuk melakukan deliniasi daerah tangkapan hujan. Pada kawasan yang luas (lebih daripada 50 km2), peta dengan selang kontur sampai 2.5 meter telah mencukupi untuk keperluan deliniasi daerah tangkapan hujan. Daerah tangkapan hujan harus diketahui untuk setiap fasilitas terkait tata kelola air tambang. Setiap instalasi pengolah air limbah harus dilengkapi dengan informasi mengenai daerah tangkapan hujan. Hal yang sama berlaku pula untuk setiap kolam pengumpul (sump), saluran air buatan, serta alur alam yang ada di kawasan tambang. Pada kawasan yang akan mengalami perubahan karena operasi tambang harus dilengkapi dengan informasi mengenai daerah tangkapan hujan saat ini,daerah tangkapan hujan selama masa perubahan kawasan, serta daerah tangkapan hujan setelah perubahan kawasan. 3.3 CURAH HUJAN 3.3.1 JENIS DAN PENEMPATAN ALAT UKUR CURAH HUJAN Curah hujan dapat diukur dengan memasang alau ukur hujan (rainfall station) baik manual maupun otomatik. Alat ukur hujan manual dibaca sehari sekali (biasanya setiap jam 07:00 pagi). Curah hujan yang tercatat selanjutnya disebut sebagi hujan satu hari (hujan harian). Alat ukur curah hujan otomatis, sebaiknya tipe tipping bucket dengan ketelitian 0.1 mm dan 8 dapat mencatat kedalaman curah hujan sesuai interval yang diinginkan misal setiap 5 menit. Alat ukur ini minimal dilengkapi dengan data logger. Alat ukur hujan ditempatkan merata di DAS, apabila hanya satu stasiun di tempatkan di tengah DAS. GAMBAR 5 ALAT UKUR CURAH HUJAN TIPE TIPPING BUCKET 3.3.2 METODE PENGOLAHAN DATAHUJAN Pengolahan data hujan terdiri dari pengolahan kedalaman hujan durasi pendek (kurang dari 1 hari), dan durasi panjang mulai hujan harian hingga bulanan. Kumulatif hujan selama durasi hujan (misal 1 hari) selanjutnya disebut hujan untuk durasi tersebut (hujan harian). Demikian pula untuk durasi hujan yang lain misal hujan dua harian adalah kumulatif hujan selama dua hari. Data hujan yang diperoleh dari stasiun pencatat curah hujan adalah hujan titik di lokasi tersebut. Untuk suatu kawasan, maka perlu dihitung hujan kawasan atau hujan rata-rata kawasan dari data hujan di stasiun yang berada di dekat dan di dalam kawasan tersebut. Perhitungan hujan kawasan (DAS) dapat dilakukan dengan metode polygon Thiessen atau rata-rata aljabar Seri data hujan untuk analisis hujan rancangan dengan metode statistic (analisis frekuensi) diperoleh dari hasil analisis hujan DAS/kawasan. Pemilihan seri data hujan dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu annual maximum series dan partial series atau peok over threshold (POT). Pendekatan dengan annual maximum series bila data hujan tersedia paling tidak 20 tahun data. Dalam satu tahun dari hasil rata-rata hujan di ambil satu nilai yang maksimum. Bila data hujan kurang dari 20 tahun dan lebih 9 dari 10 tahun, pemilihan data dilakukan dengan cara POT atau partial series. Pemilihan dilakukan dengan menetapkan ambang batas bawah tertentu (misal kedalaman hujan yang telah menyebabkan banjir). Semua data hasil analisis hujan di atas besaran ambang tersebut dipilih dan selanjutnya di urutkan dari besar ke kecil untuk memilih 20 seri data terbesar. Hasil analisis frekuensi tersebut berupa hujan rancangan. Khusus untuk hujan rancangan durasi pendek, selanjutnya digambarkan dalam kurva intensitas-durasi dan frekuensi atau sering disebut sebagai kurva IDF. Kurva ini selanjutnya digunakan untuk analisis debit dengan metode rasional. 3.4 DEBIT ALIRAN PERMUKAAN 3.4.1 DEBIT AIR TAMBANG Debit aliran permukaan akibat hujan dapat dihitung dengan Metode Rasional dengan persamaan berikut: QT 0.278Ci i ,T A dengan C I(t,T) (mm/jam), A QT : debit aliran untuk kala ulang T tahun (m 3/s) : koefisien limpasan, : intensitas hujan untuk durasi t dengan kala ulang T tahun : luas DAS (km2), Koefisien limpasan merupakan prosentasi air hujan yang menjadi limpasan. Semakin tinggi nilai koefisien limpasan, maka akan semakin besar volume air hujan yang menjadi limpasan. Besarnya koefisien limpasan dipengaruhi oleh jenis tanah, tutupan lahan dan kemiringan lahan seperti terlihat pada tabel berikut (Chow et al., 1988). tabel nilai c Untuk perencanaan dimensi saluran drainasi, saluran pembawa air limbah dari sump pit ke settling pond, durasi hujan dapat didekati dengan waktu konsentrasi yaitu waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh di bagian hulu hingga sampai ke titik kontrolnya. Waktu konsentrasi dapat dihitung dengan persamaan Kirpich (misal Chow et al., 1988) tc 0.0663L0.77 S0.385 [jam] dengan S L : panjang sungai utama (km), : kemiringan. Intensitas hujan untuk durasi hujan t, dapat ditentukan berdasarkan kurva IDF hasil analisis frekuensi data hujan otomatik durasi pendek. Apabila IDF 10 tidak tersedia karena terbatasnya data hujan otomatik, kurva IDF dapat dibuat berdasarkan rumus empiris Haspers (PU, 1989?). 120t 1 t 600.0008 i i ,T 60 60 RT dengan t RT 2 260 R T : hujan harian dengan kala ulang T tahun, : durasi hujan (menit). 3.4.2 DEBIT BADAN AIR PENERIMA/SUNGAI Transformasi hujan menjadi aliran/perhitungan debit aliran di badan sungai penerima air tambang dapat diperkirakan dengan beberapa metode tergantung dari ketersediaan data, luas DAS hasil yang diingnkan. Prosedur pemilihan metode dapat dilihat pada skema berikut. GAMBAR 6 SKEMA PEMILIHAN METODE PERHITUNGAN DEBIT 3.4.3 ANALISIS FREKUENSI Perhitungan banjir dengan analisis frekuensi (statistik) dibutuhkan data sekurang-kurangnya 10 tahun. Pemilihan seri data dapat dilakukan dengan AMS atau POT (PS) seperti uraian di atas (sub bab…). Besarnya debit banjir selanjutnya dihitung dengan persamaan: QT Q sQ KT dengan 11 3 QT : debit dengan kala ulang T tahun (m /s), X : debit rerata dari seri data terpilih (m3/s), KT : faktor frekuensi dengan besaran tergantung jenis distribusi probabilitas dan kala ulang, sQ : simpangan baku dari seri data terpilih (m3/s), 3.4.4 METODE HIDROGRAF SATUAN Besarnya debit dengan metode hidrograf satuan dapat dihitung dengan persamaan: nm Qn Pe,mUnm1 m1 Dengan Qn : debit pada waktu ke-n (m3/s) Pe : kedalaman hujan efektif (mm) U : ordinat hidrograf satuan M : lama hujan efektif N : waktu Hujan efektif adalah kedalaman hujan yang menjadi limpasan permukaan yaitu kedalaman hujan dikurangi dengan kehilangan hujan akibat adanya infiltrasi, pengisian cekungan dll. Besarnya kehilangan air hujan dapat diperkirakan dengan metode Φ-indeks dimana laju kehilangan dianggap konstan, selanjutnya hujan efektif dihitung dengan persamaan berikut: Pe P Dengan Pe : kedalaman hujan efektif (mm) P : kedalaman hujan (mm) : laju kehilangan konstan (mm/jam). Nilai laju kehilangan konstan (Φ-indeks) merupakan nilai rerata dari Φindeks hasil analisis pasangan data hujan-aliran dengan persamaan berikut: m P m1 m tll m Dengan tll : tinggi limpasan langsung yaitu total hujan efektif atau total hujan yang menjadi limpasan (mm) M : durasi hujan 12 Selain metode Φ-indeks, besarnya hujan efektif untuk waktu i, dapat dihitung dengan metode SCS-CN (Chow et al., 1988): PI P 2 a P I S 0 ; P I e a a Dengan Pe : total hujan efektif (mm) Ia : kehilangan air hujan awal (=0.2 S), mm S :retensi maksimum potensial (mm). Besarnya S dapat dihitung dengan persamaan berikut: 1000 10 x25.4(mm) CN S Dimna CN adalah Curve Number dengan nilai antara 0-100. Nilai CN dipengaruhi oleh jenis tanah, tutupan lahan seperti pada Tabel berikut ini. - tabel CN 3.4.5 METODE HIDROGRAF SATUAN TERUKUR DAN SINTETIK Selain besaran debit puncak limpasan seperti pada metode analisis frekuensi dan metode rasional, metode unit hidrograf dapat memberikan volume dalam bentuk hidrograf secara keseluruhan. Hidrograf satuan adalah hidrograf limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan efektif satu satuan yang terjadi merata di DAS dengan intensitas konstan. Terdapat dua jenis hidrograf satuan yaitu hidrograf satuan terukur dan hidrograf satuan sintetis. Apabila tersedia data pasangan hujan- hidrograf aliran, maka digunakan hidrograf satuan terukur. Apabila pasangan data hujan-hidrograf aliran tidak tersedia, dapat digunakan teori hidrograf satuan sintetis. Hidrograf satuan terukur diturunkan dari data pasangan hujan-hidrograf aliran.Sebaiknya jumlah pasangan data-hujan aliran tidak kurang dari 10 buah. Penurunan hidrograf satuan dapat dilakukan dengan metode polynomial atau metode Collins. Dalam setiap DAS hanya terdapat satu hidrograf satuan yang representative yang mewakili DAS tersebut. Untuk itu perlu dilakukan perataan terhadap hasil penurunan hidrograf satuan. Perataan dilakukan dengan merata-ratakan besaran pokok suatu hidrograf satuan yaitu debit puncak, waktu puncak dan waktu dasarnya. Bentuk hidrografnya baik sisi naik dan sisi resesi sedapat mungkin mewakili bentuk hidrograf satuan yang ada dengan tinggi limpasan sama dengan satu satuan (1mm). Hidrograf satuan sintetik (HSS) dapat diturunkan dari data peta topografi dengan skala sekurang-kurangnya 1:50.000. Beberapa HSS dapat digunakan untuk perhitungan banjir rancangan seperti HSS Gama I (Sri Harto, 2009) dan Nakayasu. 13 Hidrograf satuan sintetik Gama I dapat dihitung dengan persamaan berikut: 3 L TR 0,43 1,0665 SIM 1,2775 100SF Qp 0,1836A0,5886 TR0,4008 JN0,2381 TB 27,4132TR0,1457S0,0986SN0,7344 RUA0,2574 Selain persamaan di atas, untuk penggambaran hidrograf satuan dan penerapannya, diperlukan persamaan berikut (Sri Harto, 2009): 3 L TR 0,43 1,0665 SIM 1,2775 100SF Qp 0,1836A0,5886 TR0,4008 JN0,2381 TB 27,4132TR0,1457S0,0986SN0,7344 RUA0,2574 GAMBAR 7HIDROGRAF SATUAN SINTETIK GAMA I dengan TR : waktu puncak (jam) 14 Qp : debit puncak (m3/s) TB : waktu dasar (jam) SF : faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai-sungai tingkat satu dengan panjang sungai semua tingkat SN : frekuensi sumber yaitu perbandingan antara jumlah pangsa sungai tingkat satu dengan jumlah pangsa sungai semua tingkat WF : faktor lebar yaitu perbandingan lebar DAS yang diukur di titik di sungai yang berjarak 0,75L dan di titik di sungai yang berjarak 0,25 L dari titik control. L : panjang sungai utama/terpanjang (km) RUA : luas DAS sebelah hulu relative yaitu berbandingan antara luas DAS sebelah hulu dan luas DAS. Luas DAS sebelah hulu dibatasi oleh batas DAS dan garis tegak lurus terhadap garis yang ditarik dari titik control dengan titik di sungai terdekat dengan titik berat DAS. SIM : faktor simetri yaitu perkalian antara WF dan RUA JN : jumlah pertemuan sungai yaitu jumlah pangsa sungai-sungai tingkat satu dikurangi satu. D : kerapatan jaringan kuras yaitu jumlah panjang sungai semua tingkat per satuan luas DAS. Hidrograf satuan sintetik Nakayasu dapat dihitung dengan persamaan berikut: Qp ARo 3.6(0.3Tp T0.3 ) Tp t g 0.8tr t g 0.21L0.7 untuk L 15km t g 0.40.058L untuk L15km tr 0.5t g sampai t g T0.3 t g dengan 1.53.0 dengan: Qp : debit puncak (m3/s) Ro : hujan satuan (mm) Tp : waktu puncak (jam) T0.3 : waktu yang diperlukan dari Qp sampai 0.3 Qp 15 Selain persamaan di atas, untuk penggambaran hidrograf satuan Nakayasu (Gambar….), diperlukan persamaan berikut: 2.4 t Qa Qp Tp tT p Qd1 0.3Qp T 0.3 Qd1 Qp 0.3 tT 0.5T p 0.3 0.3Qp Qd2 0.32Qp Qd2 Qp 0.3 1.5T0.3 tT 1.5T p 0.3 0.3 Qp Qd3 2 Qd3 Qp 0.3 2.0T0.3 GAMBAR 8 HIDROGRAF SATUAN SINTETIK NAKAYASU Dalam transformasi hujan dan aliran dengan metode hidrograf satuan, selain besaran hujan rancangan, diperlukan pula pola distribusi hujannya. Pola distribusi hujan dapat diperoleh dari analisis hujan otomatik. Contoh pola distribusi hujan disajikan dalam gambar berikut. 16 GAMBAR 9 CONTOH POLA DISTRIBUSI HUJAN Apabila data hujan otomatik tidak diperoleh, pola distribusi hujan dapat ditentukan sembarang. Namun demikian ada suatu pola yang sering digunakan yaitu alternating block method (ABM) (Chow et al., 1988), seperti contoh gambar berikut ini. GAMBAR 10 CONTOH POLA DISTRIBUSI HUJAN ABM Pola distribusi hujan ABM dapat ditentukan apabila diketahui besaran hujan rancangan dan lama hujannya. Hujan rancangan harian diubah kedalam intensitas hujan durasipendek dengan persamaan Mononobe berikut: R 24 n It 24 24 t dengan: It R24 : intensitas hujan pada waktu t (mm/jam) : hujan harian rencana (mm) 17 n : konstanta Durasi hujan dapat didekati dengan lama hujan dominan yang terjadi di daerah yang ditinjau. Apabila informasi tersebut tidak ada, durasi hujan dapat didekati dengan waktu konsentrasi (tc) yang dapat dihitung dengan peramaan Kirpich berikut (Chow et al., 1988): tc 0.0663L0.77 S0.385 ( jam) dengan tc : waktu konsentrasi (jam) L : panjang sungai utama (km) S : rerata kemiringan DAS. 3.5 SALURAN AIR 3.5.1 JENIS SALURAN AIR Tata saluran air meliputi berbagai saluran air yang ada di kawasan tambang, antara lain saluran drainase air hujan, pipa yang mengalirkan air dari main sump keluar daerah produksi (pipa dewatering), saluran pengantar dari outlet pipa dewatering ke kolam IPAL tambang, saluran pengantar dari outlet kolam IPAL ke badan air penerima (sungai), sungai, serta saluran pengalih atau pengganti sebagian atau seluruh badan air (diversion channel). Setiap analisis aliran air di saluran mencakup pula aliran melalui struktur hidraulik yang ada di saluran, antara lain jembatan, gorong-gorong, bendung, pintu air, atau pompa. Analisis aliran memperhatikan pula adanya kawasan genangan, seperti misal kolam, kolam detensi, kolam retensi, kolam IPAL. Aliran air di saluran dibedakan antara aliran di saluran terbuka dan aliran dalam pipa. Aliran di saluran terbuka (open channel flow) adalah aliran yang memiliki muka air. Tekanan di permukaan air adalah tekanan atmosfer. Aliran dalam pipa terjadi manakala aliran memenuhi seluruh tampang basah saluran sehingga aliran tidak memiliki muka air. Pada aliran dalam pipa, tekanan di setiap titik di saluran lebih besar daripada tekanan atmosfer. Aliran dalam pipa dijumpai pada dewatering. Di luar itu, hampir semua aliran di tambang masuk dalam kategori aliran di saluran terbuka. Lingkup bahasan pada pedoman ini adalah aliran di saluran terbuka. Pedoman ini memberikan arahan untuk melakukan analisis aliran di saluran terbuka dan dalam mendesain saluran. Di tambang, saluran dapat dibedakan menjadi saluran sederhana dan jaring saluran. Saluran sederhana adalah saluran tunggal dan tidak memiliki struktur hidraulik di sepanjang alurnya. 3.5.2 SALURAN SEDERHANA Persamaan Aliran 18 Aliran di saluran dapat dinyatakan dalam hubungan sederhana antara debit aliran, dimensi saluran, dan kecepatan aliran: Q AV Dalam persamaan tersebut, Q adalah debit aliran [m3/s], A adalah luas tampang aliran [m2], dan V adalah kecepatan aliran [m/s]. Dalam tata kelola air tambang, tantangan tugas yang dihadapi adalah penyediaan saluran untuk mengalirkan air dengan debit Q yang telah ditetapkan. Luas tampang aliran A mengikuti bentuk dan dimensi tampang lintang saluran. Tampang saluran persegi-panjang dan trapesium merupakan dua bentuk tampang saluran yang paling sering dipakai. 1 h m b b GAMBAR 11 TAMPANG SALURAN TIPIKAL Kecepatan aliran bergantung pada kemiringan saluran pada arah aliran dan material saluran. Salah satu persamaan yang sering dipakai dalam praktik adalah Persamaan Manning: 1 V Rh2 3Se1 2 n Dalam persamaan tersebut, Se adalah kemiringan garis energi, Rh adalah radius hidraulik, dan n adalah koefisien kekasaran dasar saluran menurut Manning, atau sering dituliskan secara ringkas sebagai koefisien Manning. Jika debit konstan dan tampang lintang tidak banyak berubah, maka aliran di saluran akan memiliki kecepatan dan kedalaman yang sama di sepanjang saluran, yang dikenal sebagai aliran seragam-permanen (steady uniform flow). Pada aliran seperti ini, kemiringan garis energi sama dengan kemiringan dasar saluran, So. 1 V Rh2 3So1 2 n Radius hidraulik adalah rasio antara luas tampang aliran A dan keliling tampang aliran P. Saluran persegi panjang: 19 Rh A bh P b2h Saluran trapesium: Rh bmh h A P b2h 1m2 Koefisien kekasaran dasar saluran menurut Manning merupkan fungsi material pembentuk saluran. Tabel 3 memberikan nilai n untuk berbagai jenis dasar saluran yang lazim ada di tambang batubara. TABEL 3 KOEFISIEN KEKASARAN DASAR SALURAN MENURUT MANNING Jenis dasar saluran Saluran beton Saluran bata lapis mortar Saluran pasangan batu diberi semen Saluran tanah, bersih Saluran tanah Saluran dengan dasar batu dan tebing rumput Saluran pada galian batu padas n 0.013 0.015 0.025 0.022 0.030 0.040 0.040 Apabila dasar saluran berupa tanah biasa, koefisien kekasaran dasar saluran dapat pula diperkirakan berdasarkan diameter butir dasar saluran mengikuti persamaan Strickler: 16 R 1 K s 26 h n d35 Ks dikenal sebagai koefisien kekasaran Strikckler, d35 adalah diameter butir material dasar saluran pada 0.35 percentile (35% butir material dasar saluran berdiameter lebih kecil daripada d35). Kecepatan aliran dapat pula dihitung dengan Persamaan Chezy: V C Rh So Hubungan antara koefisien Chezy C dan koefisien Manning n adalah: 1 C Rh1 6 n Langkah Perancangan Saluran Sederhana 1) Tetapkan alur saluran sesuai dengan asal dan tujuan aliran, serta memperhatikan situasi dan kemiringan lahan. 2) Apabila kemiringan saluran besar, pertimbangkan untuk melindungi dasar saluran dengan material yang mampu mencegah erosi. 20 3) Perkirakan nilai koefisien kekasaran dasar saluran dengan menggunakan tabel koefisien Manning atau persamaan Strickler. 4) Tetapkan bentuk dan lebar tampang saluran. 5) Dengan masukan data debit aliran, hitung kedalaman aliran. Bentuk persamaan adalah persamaan non-linear. Kedalaman aliran h dicari dengan bantuan program aplikasi spreadsheet. 6) Tambahkan 0.5 meter atau lebih kepada kedalaman aliran untuk menetapkan kedalaman saluran. 3.5.3 JARING SALURAN Jaring saluran adalah saluran yang memiliki alur jamak yang saling berhubungan dan membentuk satu kesatuan aliran. Dua atau lebih alur saluran bersambung di pertemuan atau percabangan alur (junction). Saluran beralur tunggal digolongkan sebagai jaring saluran apabila memenuhi salah satu atau semua kondisi berikut: 1) tampang saluran atau kemiringan saluran beragam, 2) ada struktur atau bangunan hidraulik di saluran (jembatan, goronggorong, bendung, pintu air, pompa, dsb), 3) saluran berhubungan dengan kolam (kolam detensi, kolam retensi, kawasan genangan). Aliran Berubah Beraturan Analisis aliran pada jaring saluran dan desain jaring saluran dilakukan dengan memandang bahwa aliran di jaring saluran adalah aliran permanen berubah beraturan (steady gradually varied flow). Pada aliran ini, berlaku persamaan energi: Y2 Z2 V22 2g Y1 Z1 1 V12 2g he Arti variabel-variabel dalam persamaan di atas adalah: Y1, Y2 Z1, Z2 V1, V2 1, 2 g he = = = = = = kedalaman aliran, elevasi dasar saluran, kecepatan rata-rata (debit dibagi luas tampang basah), koefisien, percepatan gravitasi, kehilangan tinggi energi. Kehilangan (tinggi) energi, he, di antara dua tampang lintang terdiri dari dua komponen, yaitu kehilangan energi karena gesekan (friction losses) dan kehilangan energi karena perubahan tampang (contraction or expansion losses). Kehilangan energi antara tampang 2 dan 1 dihitung dengan persamaan berikut: V22 1 V12 he LSf C 2g 2g Dalam persamaan di atas, 21 L Sf C = panjang penggal saluran antar kedua tampang yang diberi bobot menurut debit, = kemiringan garis energi (gesekan) antar kedua tampang, = koefisien kehilangan energi akibat perubahan tampang (kontraksi atau ekspansi). GAMBAR 12 DIAGRAM ALIRAN PERMANEN BERUBAH BERATURAN (STEADY GRADUALLY VARIED FLOW) Hitungan aliran berubah beraturan ditujukan untuk menemukan posisi (elevasi) muka air di suatu tampang. Hitungan dilakukan dengan cara iterasi menggunakan kedua persamaan di atas. Langkah hitungan dipaparkan pada paragraf di bawah ini. Langkah Hitungan Aliran Berubah Beraturan. 1) Tentukan (asumsikan) elevasi muka air di tampang hulu (atau tampang hilir apabila aliran superkritik). 2) Berdasarkan elevasi muka air tersebut, hitung kapasitas angkut total dan tinggi kecepatan. 3) Dengan nilai yang diperoleh pada langkah kedua, hitung kemiringan garis energi (friction slope), Sf dan selesaikan persamaan kehilangan energi untuk memperoleh kehilangan energi, he. 4) Dengan nilai-nilai yang diperoleh pada langkah kedua dan ketiga, selesaikan persamaan aliran berubah beraturan untuk Y2 dan hitung elevasi muka air di tampang hulu. 5) Bandingkan elevasi muka air di tampang hulu yang diperoleh dari langkah keempat tersebut dengan elevasi muka air yang ditetapkan pada langkah pertama. 6) Ulangi langkah pertama hingga kelima hingga elevasi muka air konvergen dengan toleransi kesalahan 0.003 m. Simulasi Aliran dengan Bantuan Model Hidrodinamika 22 Langkah hitungan aliran berubah beraturan pada jaring saluran merupakan langkah hitungan iteratif. Walau hitungan dapat dilakukan secara “manual” dengan bantuan program aplikasi spreadsheet, namun hitungan akan menjadi tidak efisien apabila dilakukan secara “manual”. Ditambah lagi, hitungan dengan cara ini akan menjadi terlalu sulit dilakukan apabila ada struktur atau bangunan di saluran. Pemakaian program aplikasi komputer model hidrodinamika sangat disarankan untuk keperluan analisis aliran di jaring saluran. Salah satu model hidrodinamika yang disarankan untuk dipakai dalam melakukan simulasi aliran di jaring saluran adalah HEC-RAS, akronim dari Hydrologic Engineering Center River Analysis System. HEC-RAS dibuat oleh US Army Corps of Engineers. HEC-RAS dapat diperoleh secara gratis dengan mengunduhnya dari situsweb http://www.hec.usace.army.mil/software/hec-ras/. Kemampuan HEC-RAS antara lain adalah melakukan simulasi aliran di jaring saluran dengan berbagai konfigurasi jaring saluran, antara lain jaring saluran yang memiliki pertemuan dan percabangan, serta memiliki berbagai jenis struktur hidraulik seperti jembatan, gorong-gorong, bendung, bendung gerak, pintu air, stasiun pompa, pelimpah samping, kawasan genangan. Untuk jaring saluran atau saluran yang memiliki struktur hidraulik (goronggorong, jembatan, bendung, terjunan, tanggul, pintu air, kawasan retensi atau detensi, dan berbagai jenis struktur hidraulika yang mungkin ada di jaring saluran), perancangan tata saluran dan dimensi saluran didasarkan pada aliran tak-seragam. Perancangan saluran harus dibantu dengan program aplikasi komputer yang mampu menyimulasikan aliran di jaring saluran dan struktur hidraulik. HEC-RAS pun mampu melakukan simulasi aliran tak permanen (unsteady flow). Kemampuan ini diperlukan untuk melakukan simulasi aliran banjir di badan air penerima (sungai). 3.5.4 BADAN AIR PENERIMA (SUNGAI) Badan air penerima merupakan ujung hilir dari instalasi pengolah air limbah tambang dan biasanya berupa sungai. Aliran dari instalasi pengolah air limbah tambang merupakan beban aliran tambahan bagi badan air penerima. Beban tambahan ini tidak boleh menyebabkan aliran di sungai menjadi lebih besar daripada kapasitas angkut sungai atau menyebabkan peningkatan risiko genangan banjir. Untuk memeriksa pengaruh air tambang kepada aliran di badan air penerima, khususnya apabila tingkat besaran (order of magnitude) debit aliran air tambang dua tingkat di bawah tingkat besaran debit badan air penerima, maka harus dilakukan kajian aliran yang mencakup aliran di jaring saluran dan di badan air penerima tersebut. Kajian aliran atau penelusuran banjir (flood routing) menggunakan hidrograf debit kala ulang 50-tahun di badan air penerima. Persamaan Aliran Penelusuran Banjir Penelusuran banjir harus dilakukan melalui penyelesaian persamaan aliran tak permanen (unsteady flow). Persamaan aliran tak permanen (satu 23 dimensi) di saluran dan sungai dikenal sebagai Persamaan Saint Venant, yang terdiri dari persamaan konservasi massa (persamaan kontinuitas) dan persamaan momentum. Persamaan kontinuitas A Q q 0 t x Persamaan momentum Q QV z g A Sf 0 t x x Arti notasi variabel dalam dua persamaan di atas adalah: A = luas total tampang aliran (jumlah luas tampang aliran di alur utama dan di bantaran), = debit aliran, = debit lateral per satuan panjang, = kecepatan aliran, = percepatan gravitasi, = jarak, diukur searah aliran, = elevasi muka air, = waktu, = kemiringan garis energi (friction slope), dihitung dengan Persamaan Manning Q qℓ V g x z t Sf Sf n Rh n2 QQ A2Rh2 = = koefisien kekasaran Manning, radius hidraulik. Penyelesaian persamaan di atas tidak mungkin dilakukan tanpa bantuan model hidrodinamika. Dalam hal ini, model hidrodinamika HEC-RAS adalah salah satu model yang disarankan untuk keperluan penelurusan banjir di badan air penerima (sungai) ini. Langkah Penelusuran Banjir 1) Lakukan simulasi aliran di badan air penerima dengan beban hidrograf banjir 50-tahun tanpa beban aliran air tambang. 2) Ulangi simulasi aliran di badan air penerima seperti pada langkah pertama, ditambah dengan beban aliran dari instalasi pengolah air limbah. 3) Bandingkan hasil kedua simulasi aliran banjir di atas, khusunya muka air di kawasan penting (permukiman, fasilitas umum, kota) di sisi hulu dan hilir badan air penerima. 4) Apabila beban aliran air tambang menunjukkan adanya peningkatan risiko genangan banjir, lakukan upaya mitigasi genangan banjir. 5) Lakukan simulasi aliran di badan air penerima seperti pada langkah kedua dengan memperhitungkan upaya mitigasi genangan banjir yang dipilih. 24 3.6 KOLAM TAMPUNGAN AIR Menghitung kapasitas/volume tampungan: Untuk menghitung volume tampungan settling pond, diperlukan informasi tentang: a. aliran limpasan hujan/runof b. aliran dari sump-pit c. aliran yang keluar dari settling pond Analisis volume tampungan dapat dilakukan dengan metode behavior analysis yang didasarkan pada analisis imbangan air dari masukan, keluaran suatu tampungan, seperti persamaan berikut: Z t 1 Z t I t Q t Lt 0 Z t 1 S Dengan Zt+1 : volume tampungan pada saat t+1, Zt : volume tampungan pada saat t, It : aliran masuk ke kolam (m3) Qt : aliran keluar dari kolam (m3) Lt : aliran keluar akibat penguapan dan infiltrasi (m 3) S : volume tampungan efektif. Dalam analsis, kehilangan air akibat infiltrasi dan penguapan dapat diabaikan. Analisi volume tampungan yang dalam sistem pengoperasiannya harian dalam satu tahun, ada baiknya menggunakan data harian atau mingguan. Contoh analisis volume tampungan disajikan di Lampiran, sedang contoh gambar hubungan antara waktu dengan volume tampungan disajikan pada gambar berikut ini. 25 GAMBAR 13 VOLUME TAMPUNGAN SEBAGAI FUNGSI WAKTU Metode operasi: pengendalian debit outflow ke badan sungai alam, monitoring debit Kapasitas alur sungai atau badan air penerima Monitoring debit aliran di pertemuan atau hilir outlet titik penaatan dengan sungai 3.7 BANGUNAN UKUR DEBIT ALIRAN Bangunan ukur/kontrol debit aliran berfungsi untuk mengukur atau mengendalikan debit aliran. Bangunan untuk mengukur debit aliran dipasang di atau sebelum inlet instalasi pengolah air limbah, serta di atau sesudah outlet instalasi pengolah air limbah. Dalam hal inlet atau outlet instalasi pengolah air limbah lebih dari satu, maka bangunan ukur debit harus ditempatkan disetiap inlet dan outlet. Jenis bangunan ukur debit adalah jenis bendung/peluap atau jenis saluran. Jenis bendung/peluap cocok dipakai apabila aliran tidak membawa sedimen. Sedimen berisiko mengisi dasar saluran di sisi hulu bangunan ukur debit yang akan menganggu kemampuan ukur bangunan. Jenis saluran (flume) tidak memiliki masalah terhadap sedimen. Bangunan ukur debit tipe bendung/peluap hendaknya berupa peluap ambang tajam. Muka air di sisi hilir peluap diupayakan tetap rendah untuk menjamin terjadinya aliran modular di atas peluap. Aliran di atas peluap tidak lagi modular apabila tinggi muka air di hilir (diukur dari mercu peluap) melebihi 2/3 tinggi muka air di hulu peluap. Besaran debit aliran pada semua bangunan ukur diperoleh dari pembacaan muka air di hulu mercu peluap. Debit aliran diperoleh dari hubungan antara elevasi muka air di atas mercu peluap dan debit aliran. Q CDb 2gH 26 Dalam persamaan di atas, CD adalah koefisien debit aliran melalui peluap dan H adalah tinggi energi di atas mercu peluap. Bentuk tampang peluap boleh persegi-panjang, segitiga siku-siku, atau gabungan keduanya (Gambar 14). GAMBAR 14 BANGUNAN UKUR DEBIT ALIRAN JENIS PELUAP AMBANG TAJAM Apabila aliran tidak modular, disarankan untuk memakai bangunan ukur Crump Weir yang memberikan hasil ukur lebih baik pada kondisi aliran tenggelam (Gambar 15). 27 GAMBAR 15 BANGUNAN UKUR DEBIT ALIRAN CRUMP WEIR Bangunan ukur debit jenis saluran adalah Parshall Flume (Gambar 16). GAMBAR 16 BANGUNAN UKUR DEBIT ALIRAN PARSHALL FLUME 4 PENUTUP 28 5 CONTOH PERENCANAAN TATA KELOLA AIR TAMBANG 5.1 CONTOH DATA 5.2 CONTOH PENETAPAN DAERAH TANGKAPAN HUJAN 5.3 CONTOH PENGOLAHAN DATA CURAH HUJAN 5.4 CONTOH PENGHITUNGAN DEBIT ALIRAN 5.5 CONTOH PERENCANAAN LUAS KOLAM TAMPUNGAN AIR 29