Senja Yang Terlukis Risya Nurcholis “Kring……Kriiing…..Kriiiing..” Dering alarm terdengar nyaring di tengah suasana pagi yang masih sunyi. Selama beberapa menit, deringan tersebut terus terdengar dan menyebabkan suara bising bagi penghuni sebuah kamar minimalis berdinding hijau yang merupakan orang yang menyetel alarm itu. Tak tahan dengan suara bising dari alarm tersebut, sang penghuni kamar pun terbangun dari tidurnya dan segera melompat dari tempat tidur untuk mematikan alarm itu. “Udah jam berapa nih? Gue harus ngapain dulu nih?” Sang penghuni kamar yang merupakan seorang gadis itu terlihat gelagapan. Jarum jam menunjukkan pukul empat lewat sepuluh menit. Zalina, nama si gadis itu, yang biasanya bangun pukul setengah lima pagi, kini harus bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan sendiri karena Ibunya sedang menginap di rumah Tantenya. Setengah jam kemudian, seporsi nasi goreng dengan potongan sawi yang melimpah sudah siap dihidangkan di atas meja makan. Jangan lupakan aroma smoky yang menguar dari nasi goreng itu. Bukan disengaja, tapi aroma smoky itu adalah hasil dari proses penggorengan yang berlebihan karena ia memasaknya sembari menyiapkan buku-buku kuliahnya. Pukul tujuh lewat 25 menit, ia sudah berdiri di depan pintu rumahnya untuk berangkat ke kampus. Hari ini ia menggunakan kaus lengan panjang berwarna merah muda dipadukan dengan rok kodok panjang dan kerudung krem. Sebenarnya, perjalanan ke kampusnya hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit menggunakan transportasi umum angkot. Namun, hari ini ia harus pergi ke bank dekat kampusnya untuk mengurus penggantian PIN ATM sebelum kelas pertamanya dimulai pukul sepuluh. Oleh karena itu, ia memilih untuk berangkat lebih awal agar mendapatkan nomor antrian awal pula dan bisa segera menyelesaikan urusannya sebelum kelas dimulai. Zalina berhasil. Ia tiba di depan bank tersebut pukul delapan kurang lima menit setelah berlari tergopoh-gopoh karena takut akan ada orang lain yang sevisi dengannya, yaitu datang lebih awal untuk mendapat nomor antrian awal. Di depan pintu kaca bank itu, tergantung tulisan “Tutup”. “Ah, gapapa kepagian. Paling jam delapan juga udah buka.” Ujarnya sambil mengelap peluh di kening dan pipinya. Bedak tabur yang dipoles tipis di mukanya telah tersapu peluh yang terus menetes. Benar saja. Tak lama kemudian, seorang security bank membuka pintu kaca itu dan memutar tulisan yang tergantung disana menjadi “Buka” lalu menyambutnya dengan ramah, “Silakan, Mbak.” Ujar security itu kepada Zalina. Ia pun melangkah masuk ke dalam bank itu dengan wajah sumringah karena ia berhasil mendapatkan antrian awal untuk menyelesaikan urusannya hari itu. Saat ini ia sedang duduk di sofa panjang dekat pintu masuk dan mengisi sebuah formulir yang sebelumnya diberikan oleh security bank. Sesampainya di kolom alamat, ia bingung harus mengisinya dengan alamat yang tertera di KTPnya atau alamat domisilinya sekarang ini. Kedua alamat tersebut berbeda karena ia dan Ibunya pindah rumah setelah KTPnya tercetak sedangkan KTP tersebut masih menerangkan alamat rumah lamanya. Ia pun berinisiatif untuk menanyakan hal itu kepada security yang sedang bertugas di dekat pintu masuk itu. “Maaf, Pak, ini alamatnya alamat domisili atau sesuai KTP ya?” tanyanya sambil menunjukkan formulir itu kepada security. Security itu pun memindai formulir yang dipegang Zalina kemudian berkata, “Sesuai KTP saja, Mbak.” Namun, beberapa detik kemudian, sepasang mata security itu belum terlepas dari formulir Zalina. Security itu masih terlihat memindai formulir itu lalu terpaku pada satu kolom. “Zalina Adya Narata?” Ujar security itu dengan nada seperti orang bertanya. Ia menjawab dengan jawaban yang nadanya pun seperti orang bertanya karena ia bingung dengan tingkah security itu, “Iya, Pak?” Akhirnya security itu melepaskan pandangannya dari formulir Zalina dan berkata, “Nama yang bagus.” Kebingungannya pun bertambah. Baru kali ini ada security bank yang memerhatikan nama yang tertulis di formulir seorang customer dan bahkan memuji nama itu. Dengan salah tingkah, ia membalas pujian itu lalu ia segera kembali ke sofa panjang itu untuk melengkapi formulirnya. “Serius lo, Zal? Aneh banget. Gue belum pernah tuh digituin sama security bank. Ya mereka jawab seperlunya sesuai pertanyaan gue. Jangan-jangan… itu security suka sama lo!” Tanggapan Mitha setelah mendengar cerita Zalina tentang kejadian antara ia dan security bank pagi tadi membuat Zalina tertawa. Sekarang sedang jam istirahat. Usai kelas pertama, ia dan Mitha, teman akrabnya, pergi ke kantin untuk makan siang. Di kantin itu lah Zalina menceritakan kejadian yang menurutnya aneh pagi tadi ke Mitha untuk menanyakan pendapat teman akrabnya itu. Puas tertawa, Zalina menimpali tanggapan Mitha, “Itu security udah bapak-bapak banget kali. Ngaco, lo!” “Ya kali aja. Walau pun lo gak cantik, tapi lo manis. Kali aja dia suka.” “Jujur banget sih, lo. Iya deh gue emang gak secantik lo yang abis masa orientasi langsung diuber-uber banyak kakak tingkat.” Zalina pun sengaja memasang wajah memelas dan menundukkan kepalanya. “Dih baper. Kan gue bilang lo gak cantik tapi manis. Gue serius. Coba senyum deh senyum.” Ujar Mitha yang lalu menarik kedua ujung sudut bibir Zalina dengan kedua tangannya agar Zalina tersenyum. “Tuh walau pun senyum terpaksa aja udah manis.” Zalina segera menyingkirkan kedua tangan Mitha dari wajahnya. “Gombal banget lo, ya.” Ujar Zalina sambil menusuk sepotong cumi goreng di piring makan Mitha menggunakan garpunya lalu langsung melahapnya. Mitha yang melihat kejadian barusan itu pun protes, “Asal telen aja lo. Punya gue tuh.” Hari berikutnya berjalan seperti biasa. Ibu Zalina sudah kembali dari rumah Tantenya. Jadi, ia tidak lagi kelabakan pagi-pagi seperti kemarin. Lagi pula hari ini ia hanya mengikuti satu mata kuliah dan itu pun pukul setengah tiga sore. Biasanya, jika ia kuliah sore seperti ini, pagi hari akan ia manfaatkan untuk melukis. Ia gemar sekali melukis sejak kecil. Kamarnya selalu penuh dengan tempelan-tempelan hasil lukisannya yang setiap dua bulan sekali tempelan-tempelan itu terus diganti agar tidak bosan. Lukisannya pun sangat detil dan rapi. Setiap orang yang melihat hasil lukisannya pasti akan terpana dibuatnya. Meskipun begitu, ia belum pernah berniat mempublikasikan lukisan-lukisannya baik dalam perlombaan atau pameran. Baginya, melukis adalah caranya mengekspresikan segala hal yang ia rasakan dan pikirkan. Jadi cukup lah baginya untuk mengekspresikan segala hal itu lewat lukisan tanpa perlu repot-repot mempublikasikannya. Meski pun sedari dulu sudah banyak sekali tawaran yang datang menghampirinya, baik itu untuk mengikut sertakan lukisan-lukisannya pada berbagai perlombaan dan pameran atau bahkan untuk menjual lukisan-lukisan itu dengan harga yang cukup tinggi. Namun, ia tetap berpegang pada prinsipnya itu untuk tidak mempublikasikan lukisan-lukisannya. Awan kelabu bergerak perlahan menutupi gumpalan-gumpalan awan putih yang sejak siang menaungi kampus Zalina. Sudah 15 menit lamanya ia mengamati awan kelabu itu dari jendela kelasnya yang berada di lantai delapan hingga mengabaikan dosennya yang sedang menjelaskan materi kuliah di depan kelas. Ia gelisah karena hari ini ia memakai tas yang berbeda dari hari kemarin dan di dalam tas yang dipakainya itu tidak terdapat payung. Dengan pandangan yang bergantian dari jendela kelas ke dosen di depan sana, ia berharap dapat segera pulang sebelum hujan turun. Sore menjelang petang, ia masih berdiri termenung mengamati hujan yang sudah satu jam lebih mengguyur wilayah tempatnya berpijak. Harapan untuk dapat pulang sebelum hujan turun itu sirna karena hujan sudah turun saat ia berlari ke halte tempat pemberhentian angkot yang biasa mengantarnya pulang. Ia pun tak dapat memaksakan diri untuk menerobos rintikan-rintikan air hujan itu karena beberapa detik setelah rintikan-rintikan pertama itu jatuh langsung disusul dengan hujan yang deras, sedangkan halte yang ia tuju pun masih jauh. Akhirnya ia memutuskan untuk berteduh di depan bank tempat ia mengurus PIN ATM-nya kemarin. Saat ia sampai, bank itu sudah tutup karena sudah lewat dari jam operasional hariannya. Namun, disana sudah ada lima orang yang juga ingin berteduh dan sekarang menjadi enam orang ditambah dengan dirinya. Sudah hampir pukul setengah enam petang namun hujan belum juga reda. Semakin petang, semakin sedikit pula jumlah orang yang bertahan menunggu. Dari yang awalnya ada enam orang di depan bank itu, kini tersisa tiga orang termasuk Zalina. Dua dari tiga orang itu yang merupakan sepasang suami istri sepertinya sudah tidak bisa bersabar lagi. Sesekali kepala mereka menengadah ke langit lalu menengok ke arah kiri dan kanan. Tak lama kemudian, mereka akhirnya memutuskan untuk menerobos hujan yang masih turun dengan derasnya itu. Dengan mengandalkan tas ransel sebagai pelindung kepala yang mereka pun sebenarnya tahu bahwa itu tidak bisa melindungi mereka dari air hujan yang mengguyur, sepasang suami istri itu pun berhamburan ke trotoar dan menerjang hujan. Benar saja, mereka sudah terlihat basah kuyup bahkan belum sampai sepuluh langkah dari tempat mereka berteduh sebelumnya. Lama kelamaan, ia pun lelah menunggu. Perutnya terasa lapar dan kini ia sendirian di depan bank yang sudah tutup itu. Hawa dingin mulai menusuk-nusuk tubuhnya yang berbalut kemeja biru, rok panjang abu-abu, dan kerudung hitam. Tiba-tiba, seseorang muncul dari belakang gedung bank itu. Samar-samar terlihat olehnya karena terhalang hujan deras petang itu, namun seseorang itu tampak seperti seorang bapak. Ia memakai setelan kemeja hitam dan celana coklat dan menenteng sebuah payung ditangannya. Bapak itu terus melangkah hingga mendekati tempatnya berteduh. Sesampainya disana, bapak itu memberikan payung yang dipegangnya kepadanya. “Pakai payung ini, Dek. Cepat pulang, nanti Ibu kamu khawatir.” Ujar bapak itu yang lalu menengadahkan kepalanya yang tadi agak menunduk untuk melihat Zalina. Ia sedikit terkejut melihat wajah bapak itu. “Bapak security?” Ujarnya dalam hati. “Eh, jangan, Pak. Nanti Bapak gimana pulangnya?” Ia berkata setengah gugup karena mengenali wajah bapak itu. “Saya nginap disini, Dek. Ayo cepat pulang.” Bapak itu lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. “Ini buat nanti beli makan sama Ibu kamu.” “Jangan, Pak, makasih banyak. Iya, saya pinjam payungnya, tapi uang itu…” Belum selesai ia bicara, bapak itu memotong, “Gak baik menolak rizki. Ambil payung dan uang ini. Cepat pulang. Ibu kamu nunggu di rumah.” Bapak itu langsung menyerahkan payung dan uang itu ke tangannya. “Makasih banyak, Pak. Saya pulang dulu.” Bapak itu hanya membalas dengan senyuman. Ia pun membuka payung pemberian bapak itu dan berjalan pulang. Ia sangat bersyukur dapat pulang ke rumah setelah kakinya hampir kram karena berdiri sekian lama di depan bank itu. Namun, ternyata berteduh di depan bank itu memberikannya berkah berupa bantuan dari bapak security yang sudah berbaik hati meminjamkannya sebuah payung dan bahkan beberapa lembar uang 50 ribuan. “Ya Allah, Pak. Uang sebanyak ini sih bisa buat makan aku sama Ibu seminggu lebih.” Ujarnya dalam hati saat melihat jumlah uang yang ia genggam. Kabut belum berganti dengan aroma sukma. Matahari tampak mengintip dari balik gumpalan-gumpalan awan kelabu, seperti berusaha memberikan sedikit demi sedikit kehangatan di pagi yang terasa dingin ini. Hujan di sore hari kemarin terus berlanjut hingga tengah malam dan baru mereda dini hari. Udara dingin serta merta menerpa tubuhnya saat ia membuka jendela kamarnya dan membuatnya segera menutup jendela itu kembali. Hari ini kelas pertamanya dimulai pukul delapan dan ia harus berangkat lebih awal untuk mengembalikan payung milik bapak security itu sebelum memulai kelas. Pagi ini Ibunya pun akan pergi mengantarkan baju jahitan pesanan dari beberapa pelanggannya. Oleh karena itu, ia harus membantu Ibunya merapikan rumah sebelum mereka berangkat. Jalanan tampak masih basah sisa hujan yang mengguyur hampir setengah hari kemarin. Beberapa anak kecil tengah berdiri mengelilingi sebuah pohon. Satu anak yang badannya lebih besar dari yang lain berada di atas pohon itu dan berusaha menggapai sebuah dahan yang cukup besar kemudian menggoyang-goyangkannya. Percikan-percikan air pun keluar dari dahan itu dan mengenai anak-anak yang ada di bawahnya. Namun bukannya menghindar, mereka malah menengadahkan kepala dan mengangkat kedua tangan setinggi-tingginya lalu melompat-lompat kegirangan. Ia melewati anak-anak itu sambil tersenyum. Ia dulu pernah merasakan pengalaman yang sama dengan anak-anak itu. Kala itu, ia yang memanjat pohon sementara temantemannya menunggunya di bawah. Sayangnya, belum ada lima menit mereka bersenang-senang, ia sudah jatuh dari pohon itu dan teman-temannya pun memapahnya untuk pulang karena kakinya terkilir. Ia sudah sampai di depan bank tempatnya berteduh kemarin untuk mengembalikan payung milik bapak security itu. Bank itu sudah buka. Bapak security itu terlihat sedang bertugas dibalik pintu kaca depan bank. Melihat kedatangan Zalina, bapak itu pun segera membukakan pintu untuknya, “Silakan, Mbak” Ujarnya pada Zalina. “Ini, Pak. Saya mau ngembaliin payung yang kemarin. Makasih banyak ya, Pak.” Zalina menyerahkan payung itu kepada bapak security. “Salam dari Ibu saya buat bapak. Katanya terima kasih atas bantuannya.” Ujarnya lagi. Bapak security itu mengambil payung miliknya dari tangan Zalina, “Waalaikumusalam. Sama-sama.” Ia menoleh sebentar ke arah kanan lalu berkata, “Sebentar ya.” Bapak security itu berjalan ke meja di ujung kanannya dan kembali dengan menenteng sebuah plastik hitam kecil. “Kamu sarapan dulu sebelum kuliah. Tapi kalau udah sarapan, ini bisa buat makan siang nanti.” Ia memberikan bungkusan itu kepada Zalina. Zalina terdiam sebentar namun setelah itu segera menerima bungkusan tersebut. “Makasih banyak, Pak. Saya kuliah dulu ya, Pak.” “Iya, hati-hati.” Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Zalina terus memikirkan apakah alasan dibalik sikap dan perilaku bapak security itu. Bagaimana pun juga, ini terasa ganjil baginya karena ia belum pernah mengenal bapak itu sebelumnya. Tapi mengapa bapak itu berperilaku begitu baik padanya sejak awal pertemuan mereka? Tiba-tiba perkataan Mitha kemarin terlintas begitu saja dibenaknya. “Jangan-jangan bapak itu beneran suka sama gue?” Ujarnya dalam hati. Ia pun bergidik antara geli dan ngeri. Ia segera menyingkirkan pikiran itu saat sudah sampai di ambang pintu kelasnya. Hari terus berganti. Sudah hampir dua minggu sejak pertemuan pertama ia dan bapak security itu, sampai sekarang bapak itu masih bersikap sama kepadanya. Karena bank tempat bapak itu bertugas adalah tempat yang selalu dilewatinya tiap kali ia berangkat dan pulang kuliah, maka bapak itu pun jadi lebih mudah untuk menghampirinya meski pun sekedar memberikan sarapan saat ia berangkat kuliah pagi, makan siang saat ia berangkat kuliah siang, atau makan malam saat ia pulang usai kuliah. Memang hal itu tidak terjadi setiap hari, karena ia pun kuliah hanya empat hari dalam seminggu. Dan juga, meski pun mereka sering kali bertemu, namun komunikasi antara mereka tidak pernah lebih dari ungkapan pemberian makanan-makanan itu, ungkapan terima kasih darinya, dan tanya jawab mengenai kabar masing-masing di hari itu. “Kayaknya lo jadi suka ngebungkus makanan ya sekarang. Beli dimana sih?” tanya Mitha yang lagi-lagi melihat Zalina datang ke kelas membawa bungkusan makanan yang biasanya akan dimakannya siang nanti. Zalina mengambil bangku dan duduk disamping Mitha. Ia lalu mengintip isi bungkusan yang sedari tadi dipegangnya itu dan berkata, “Dari bapak security yang waktu itu.” Mendengar jawaban teman akrabnya itu, Mitha pun terkejut, “Hah? Jadi selama ini lo bawa-bawa bungkusan makanan tuh dari bapak itu?” Zalina hanya mengangguk lalu mengeluarkan sebuah binder di tasnya. “Lo gak ngerasa aneh apa? Kok baik banget sih itu orang.” Ujar Mitha lagi. “Ya gimana? Kata Ibu, kita jangan mencegah orang lain yang mau berbuat baik ke kita, karena sama aja kita mencegah pahala yang tadinya mau dikasih ke orang itu.” “Tapi emang lo udah kenal sama bapak itu?” Mendengar pertanyaan Mitha, Zalina tersadar akan satu hal. Selama ini ia ternyata belum mengetahui nama bapak security itu. Jangan kan bertanya langsung, berinisiatif untuk melihat name tag di seragam bapak itu saja tidak ia lakukan. “Udah belum ya? Tapi gue belum tau namanya sih.” Jawabnya. Mitha tercengang mendengarnya. Ia menenggelamkan wajahnya di meja sebentar lalu mengangkatnya kembali, “Heran gue sama lo. Padahal hampir tiap hari lo nerima bungkusan makanan dari bapak itu, tapi namanya aja lo gak tau.” Lalu ia menenggelamkan wajahnya lagi, entah apa yang ada di pikirannya melihat tingkah teman akrabnya itu. Mendengar pengakuan Zalina tadi sepertinya membuatnya tak bisa berkata apa-apa lagi. Berjalan di tengah keramaian suasana kampus sore ini justru membuat Zalina merasa sunyi. Bising yang dihasilkan keramaian itu seolah tidak terdengar olehnya karena ia sedang tenggelam dalam bising di pikirannya sendiri. Setelah Mitha membuatnya tersadar tadi, ia bertekad untuk benar-benar berkenalan dengan bapak security yang selama hampir dua minggu terakhir ini selalu memberikannya bekal makanan dan selalu disertai dengan uang. Biasanya, bapak itu akan menghampirinya saat ia melewati bank itu untuk pulang. Saat itu lah nanti ia akan mengajak bapak itu untuk berbincang. Benar saja, melihat Zalina yang melewati bank tempatnya bertugas, bapak itu segera keluar untuk menghampirinya. Masih dengan kebiasaannya, yaitu menenteng sebuah bungkusan untuk diberikan kepada Zalina. “Pak, aku mau ngobrol sama Bapak, bisa?” Tanyanya setelah mengucapkan terima kasih atas bungkusan makanan yang diberikan bapak itu. Bapak itu terlihat sedikit terkejut namun segera menutupi keterkejutannya itu dengan senyum tipisnya. “Bisa. Tapi tunggu, ya. Sebentar lagi bank mau tutup. Kamu bisa tunggu di depannya.” Ujar bapak itu. “Iya, Pak, gak papa.” Jawabnya yang lalu memusatkan pandangannya ke name tag di seragam bapak itu. Disana tertera, “ARDI K. NASUTION”. Setelah lebih dari setengah jam menunggu, akhirnya bapak itu muncul dan menghampiri Zalina yang sedang duduk di kursi panjang depan bank tersebut. Ia datang membawa sebotol teh dingin untuk Zalina dan langsung duduk di sebelahnya. “Dek, maaf ya nunggunya lama. Ini minum dulu.” Ujar bapak itu seraya memberikan botol itu kepadanya. “Makasih banyak, Pak.” Ia menerima botol itu lalu membukanya. Kini, ia dan bapak itu duduk bersama menghadap ke arah jalan raya yang sore itu ramai dan riuh oleh bising kendaraan. Beberapa detik kemudian, ia membuka percakapan, “Bapak tinggal dimana, Pak?” “Gak jauh dari sini, Dek.” “Tinggal di rumah atau kost, Pak?” “Di rumah, sama istri. Anak Bapak kuliah di luar kota, dia ini yang nge-kost.” “Oh gitu. Bapak sering kangen dong sama anak Bapak?” “Ya kangen, tapi kan dia lagi belajar disana. Ya kayak kamu gini, kuliah. Usianya juga sebaya lah sama kamu.” Tiba-tiba, sebuah pertanyaan yang terlintas dibenaknya mengalir begitu saja dari mulutnya, “Bapak kok baik banget sama aku? Padahal sebelumnya kita gak saling kenal.” Mendengar pertanyaan itu terlontar dari diri Zalina, bapak itu langsung menoleh ke arah Zalina dan pandangannya terpaku pada Zalina. Hal itu entah mengapa membuat Zalina gugup dan spontan menundukkan kepalanya. Beberapa detik kemudian, bapak itu kembali menolehkan pandangannya ke arah jalan raya di depannya lalu berkata, “Bapak udah kenal kamu sejak dulu. Dari kamu masih bayi.” Zalina terkejut mendengar jawaban bapak itu. Segera ia meminta penjelasan maksud dari perkataan bapak itu tadi, “Maksudnya, Pak? Kok bisa? Aku ngerasa baru kenal Bapak akhir-akhir ini.” Bapak itu terlihat menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan mata yang terpejam. Setelah itu baru lah ia mulai menjelaskan semuanya pada Zalina dengan perlahan. “Bapak ini sahabat baik Ayah kamu. Pertemuan pertama Bapak sama Ayah kamu itu waktu Ayah kamu nolongin Bapak yang mau bunuh diri karena Bapak gak sanggup lagi dengan banyaknya beban hidup yang Bapak tanggung. Bapak dihibur, disemangati, dikasih pekerjaan sama Ayah kamu di studio lukisnya. Walau pun gaji yang bisa Ayah kamu kasih jumlahnya gak besar, tapi kebaikan Ayah kamu melebihi uang-uang itu. Bapak inget banget, setiap sore Ibu kamu dateng ke studio sambil ngegendong kamu. Kamu yang waktu itu masih bayi dikenalin semua lukisan yang ada disana sama Ayah kamu. Beliau sayang banget sama kamu dan selalu bilang kalau kamu akan jadi pelukis hebat melebihinya.” Bapak itu berhenti sejenak. Ia menoleh kembali ke arah Zalina. Di sana, ia mendapati bayi mungil, anak sahabat baiknya itu, kini telah menjelma menjadi seorang gadis yang beranjak dewasa. Zalina masih terdiam di sana. Kemudian, bapak itu melanjutkan, “Sampai akhirnya kebakaran di studio itu terjadi waktu menjelang magrib. Waktu itu Bapak gak disana karena harus nemenin istri yang mau lahiran. Bapak tau info kebakaran itu beberapa jam setelah kejadian dan langsung ke lokasi. Ternyata studio itu udah gak bersisa dan Ayah kamu gak selamat. Sepeninggal Ayah kamu, tiga hari kamu terus-terusan nangis. Kamu gak mau minum, gak mau tidur, cuma nangis. Walau pun kamu masih bayi, tapi kamu udah bisa ngerasain sedihnya kehilangan. Akhirnya Ibu kamu mutusin buat pindah ke luar kota, ke tempat orangtua Ibu kamu. Dan waktu Ibu kamu pamit ke Bapak itu lah pertemuan terakhir Bapak sama kamu saat itu. Makanya Bapak kaget banget waktu liat nama kamu di bank waktu itu. Bapak sama sekali gak nyangka bisa ketemu kamu lagi. Awalnya Bapak mau langsung ngenalin diri Bapak sebagai sahabat Ayah kamu, tapi karena Bapak keinget kalau kamu pernah begitu menderita waktu ditinggal Ayah kamu, Bapak gak jadi ngelakuinnya. Bapak takut ingatan itu bikin kamu terluka lagi.” Setelah lama terdiam mendengarkan penjelasan bapak itu, Zalina pun bersuara, “Ibu hampir gak pernah bahas tentang Ayah. Mungkin Ibu juga takut kalau aku bakalan sedih kayak dulu.” “Iya, mungkin seperti itu. Tapi percaya sama Bapak, Pak Adya Narata, Ayah kamu itu, orang baik. Banyak banget kebaikan Pak Nata yang dari dulu pengin banget Bapak balas. Makanya waktu Bapak dikasih kesempatan buat ketemu anaknya lagi, Bapak berusaha buat menuhin janji Bapak itu. Yah, meski pun Bapak tau kalau Bapak gak bisa sepenuhnya membalas semua kebaikan Ayah kamu, tapi setidaknya Bapak mau berusaha. Dan meski pun bukan membalas langsung ke orangnya, tapi setidaknya ke anak yang beliau sangat sayangi.” Tabir kini telah tersingkap. Cukup lah semua ini sebagai jawaban atas pertanyaan yang selama ini bersarang di pikirannya. Sedari tadi selama bapak itu menjelaskan banyak hal yang baru ia ketahui, ia hanya duduk terdiam mendengarkan dan meresapi apa yang disampaikan. Ekspresi wajahnya terlihat tenang. Sepasang matanya yang sayu tetap terlihat bersahaja. Mata sayu nan bersahaja itu juga lah yang dimiliki oleh ayahnya. Mata itu juga lah yang membuat bapak itu tak sanggup menahan gejolak di hatinya yang sudah sangat merindukan Zalina, anak dari sahabat baiknya yang tak pernah dilupakannya. “Anak Bapak laki-laki atau perempuan?” Hanya itu lah pertanyaan yang terlontar darinya setelah semua penjelasan panjang itu terurai. “Perempuan, namanya juga Zalina.” “Zalina?” Tanyanya lagi. “Iya, namanya Zalina. Dia lahir empat hari setelah peristiwa kebakaran itu. Nama itu Bapak kasih ke anak Bapak sebagai bentuk kerinduan Bapak ke Ayah kamu dan kamu.” Lalu bapak itu mengelus kepala Zalina dan melanjutkan, “Jadi lah anak yang baik ya, Nak. Mudah-mudahan Bapak bisa ngejaga kamu sama Ibumu, seperti dulu Ayah kamu ngejaga Bapak.” Sesampainya di rumah, ia langsung menceritakan pertemuannya hari ini dengan Pak Ardi, bapak security yang merupakan sahabat baik Ayahnya itu, kepada Ibunya. Ibunya pun tak menyangka bahwa anaknya ternyata dipertemukan kembali dengan Pak Ardi. Terkenang kembali momen-momen saat dulu ia dan suaminya sering kali menghabiskan waktu dengan Pak Ardi yang sangat humoris itu. Usai bercerita, ia dan Ibunya berpelukan erat dengan diselimuti oleh perasaan haru yang mendominasi petang itu. “Besok Ibu mau ketemu Pak Ardi ya, Lina. Ibu juga rindu sahabat baik Ayah kamu itu.” Ujar Ibu Zalina yang lalu mengusap kedua matanya yang berair itu dengan ibu jari kanannya. Saat ini Zalina sedang duduk termenung menghadap ke jendela yang terbuka di kamarnya. Angin malam masuk dari jendela yang terbuka itu dan menerpa tubuhnya yang berbalut piyama berwarna putih. Pandangannya tertuju pada sebuah lukisan yang ia gantung di dekat jendela itu. Lukisan yang menggambarkan pemandangan sebuah gedung bank tempat pertemuannya dengan Pak Ardi lengkap dengan latar belakang pesona senja itu baru saja dibuatnya dan ia sengaja menggantungnya agar cepat kering. Atas semua hal yang terjadi hari ini, ia sangat bersyukur. Ia dapat dipertemukan kembali dengan orang yang menjadi sahabat baik Ayahnya semasa Ayahnya hidup. Ia juga dapat mengetahui apa yang selama ini belum pernah ia ketahui, terutama tentang betapa eratnya persahabatan Ayahnya dan Pak Ardi itu yang bahkan dapat membentuk sebuah persahabatan baru antara dirinya dengan Pak Ardi kini. Ia sering kali mendapatkan nasihat-nasihat kehidupan dari Ibunya, termasuk nasihat untuk berbuat baik. Ibunya menasihatinya untuk selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun dan kapan pun. Karena menurut Ibunya, kebaikan akan selalu dibalas oleh kebaikan. Jikalau bukan kita yang merasakan manfaat dari kebaikan itu, maka orang sekeliling kita lah yang akan merasakannya, termasuk juga anak cucu kita nantinya. Dan kini ia membuktikan nasihat yang disampaikan Ibunya itu. Atas kehendak Allah, kebaikankebaikan Ayahnya itu mampu mengantarkan dirinya merasakan manfaat dari kebaikan itu lewat persahabatan Ayahnya dengan Pak Ardi. Setelah sekian lama termenung di ujung kamarnya sana, ia akhirnya menutup jendela lalu menuju tempat tidurnya. Ia mengambil smartphone yang tergeletak di atas tempat tidur itu lalu mencari kontak Mitha di aplikasi WhatsApp dan mengetikkan sesuatu untuk teman akrabnya itu. “Mit, bapak security itu ternyata sahabat baik Ayah gue.” **************