UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI Penulisan Ilmiah KEPEMIMPINAN DIGITAL SEBAGAI IMPLEMENTASI WORK-LIFE BALANCE KARYAWAN (Analisis Komunikasi Organisasi Pada PT Global Asia Sinergi) Nama : Vidi Pratama Jaya NPM : 10821963 Jurusan : Ilmu Komunikasi Pembimbing : Rizky Wulan Ramadhani Diajukan Guna Melengkapi Syarat Penulisan Ilmiah Universitas Gunadarma 2024 PERNYATAAN ORIGINALITAS DAN PUBLIKASI Nama : Vidi Pratama Jaya NPM : 10821963 Prodi : Ilmu Komunikasi Judul PI : KEPEMIMPINAN DIGITAL SEBAGAI IMPLEMENTASI WORK-LIFE BALANCE KARYAWAN (ANALISIS KOMUNIKASI ORGANISASI PADA PT GLOBAL ASIA SINERGI) Tanggal Sidang : (diisi sesuai tanggal sidang) Tanggal Lulus : (diisi sesuai tanggal sidang) Dengan ini menyatakan tulisan ini merupakan hasil karya saya sendiri dan dapat dipublikasikan sepenuhnya oleh Universitas Gunadarma. Segala kutipan dalam bentuk apa pun telah mengikuti kaidah dan etika yang berlaku. Mengenai isi dan tulisan, merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya, bukan Universitas Gunadarma. Demikian, pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan dengan penuh kesadaran. Depok, 06/02/2024 Materai Rp. 10.000 (Vidi Pratama Jaya) ii LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian Nama Mahasiswa : KEPEMIMPINAN DIGITAL SEBAGAI IMPLEMENTASI WORK-LIFE BALANCE KARYAWAN (ANALISIS KOMUNIKASI ORGANISASI PADA PT GLOBAL ASIA SINERGI) : Vidi Pratama Jaya NPM : 10821963 Tanggal Sidang : (diisi sesuai tanggal sidang) Tanggal Lulus : (diisi sesuai tanggal sidang) Menyetujui, Pembimbing Kasubag Sidang PI (Rizky Wulan Ramadhani, S.I.Kom., M.I.Kom) (Dr. Siti Masitoh, SE., M.I.Kom.) Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi (Dr. Dinda Rakhma Fitriani, S.I.Kom., M.I.Kom.) iii ABSTRAK Vidi Pratama Jaya. 10821963 KEPEMIMPINAN DIGITAL SEBAGAI IMPLEMENTASI WORK-LIFE BALNCE KARYAWAN (Analisis Komunikasi Organisasi Pada PT Global Asia Sinergi) Kata Kunci: Kepemimpinan Digital, Komunikasi Organisasi, Work-life Balance (ix + 90 + 25 - L) Perusahaan yang bergerak di bidang teknologi dan informasi (TI) mengalami peningkatan jumlahnya di Indonesia. Salah satu faktor kunci dalam keberlangsungan industri TI adalah para programmer yang rentan mengalami kelelahan secara fisik dan mental (burn-out) karena tidak mendapatkan keseimbangan waktu kerja dan waktu pribadi (work life balance). . Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui kepemimpinan digital dalam implementasi work-life balance karyawan di PT. Global Asia Sinergi. Penelitian ini menggunakan Teori Adaptive Strukturasi (adaptive structuration theory) dan Model ECAM (ELeadership Communication Adaption Model). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivisme dimana peneliti melakukan wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kepala Divisi Produk dan Emerging PT Global Asia Sinergi, Windy Hendwiananda, membentuk ekosistem kerja adaptif dan inklusif melalui kepemimpinan digital dengan menerapkan prinsip buy-in. Penerapan prinsip buyin dapat menciptakan proses komunikasi serta koordinasi yang lebih fleksibel dimana Windy tidak hanya berperan sebagai pemimpin namun juga sebagai agen perubahan yang melibatkan tim dalam pembuatan aturan. Windy menerapkan situational leadership untuk membangun komunikasi yang baik dan memotivasi karyawan, serta memperkuat hubungan interpersonal. Windy memiliki hak veto namun tetap mempertimbangkan keputusan bersama untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan perusahaan dan karyawan melalui forum diskusi santai yang menjadi ruang kreatif dalam menciptakan suasana kerja inklusif, adaptif dan berkelanjutan. PT. Global Asia Sinergi aktif menggunakan teknologi terbaru untuk mengoptimalkan kinerja karyawan sehingga karyawan dapat memiliki keseimbangan waktu kerja dan waktu pribadi (work life balance). Daftar Pustaka (2011 - 2023) iv ABSTRACT Vidi Pratama Jaya. 10821963 DIGITAL LEADERSHIP AS THE IMPLEMENTATION OF WORK-LIFE BALANCE FOR EMPLOYEES (Organizational Communication Analysis at PT Global Asia Sinergi) Keyword: Digital Leadership, Komunikasi Organizational Communication, Worklife Balance (viii + 90 + 25 - L) The increasing number of technology and information technology (IT) companies in Indonesia has become prominent. One crucial factor for the sustainability of the IT industry is the programmers who are susceptible to physical and mental exhaustion (burnout) due to the lack of work-life balance. This research aims to explore digital leadership in implementing employee work-life balance at PT. Global Asia Sinergi. The study utilizes the Adaptive Structuration Theory and the E-Leadership Communication Adaption Model. It adopts a qualitative approach with a constructivist paradigm, involving interviews, observations, and document analysis.The findings reveal that the Head of Product and Emerging Division at PT Global Asia Sinergi, Windy Hendwiananda, establishes an adaptive and inclusive work ecosystem through digital leadership by applying the buy-in principle. The implementation of the buy-in principle creates a more flexible communication and coordination process, where Windy not only acts as a leader but also as a change agent involving the team in rule-making. Windy employs situational leadership to foster effective communication, motivate employees, and strengthen interpersonal relationships. While Windy has the authority to veto decisions, she considers collective decision-making to achieve a balance between the company's needs and employee well-being through casual discussion forums that serve as creative spaces for cultivating an inclusive, adaptive, and sustainable work environment. PT. Global Asia Sinergi actively utilizes the latest technology to optimize employee performance, allowing them to achieve a work-life balance. Bibliography (2016 – 2023) v KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkat, anugerah dan karunia yang melimpah , sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Ilmiah ini. Penulisan Ilmiah ini disusun guna melengkapi sebagian syarat dalam mencapai gelar Setara Sarjana Muda pada jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Gunadarma. Adapun judul Penulisan Ilmiah ini adalah “KEPEMIMPINAN DIGITAL SEBAGAI IMPLEMENTASI WORKLIFE BALANCE KARYAWAN (Analisis Komunikasi Organisasi Pada PT Global Asia Sinergi)”. Walaupun banyak kesulitan yang penulis harus hadapi ketika menyusun Penulisan Ilmiah ini, namun berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak akhirnya tugas ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih, kepada : 1. Prof. Dr. E.S. Margianti, SE., MM selaku Rektor Universitas Gunadarma 2. Dr. Nuriyati Samatan, selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Gunadarma 3. Dr. Dinda Rakhma Fitriani, S.I.Kom., M.I.Kom selaku Kaprodi Ilmu Komunikasi Universitas Gunadarma 4. Rizky Wulan Ramadhani, S.I.Kom., M.I.Kom selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan karya penulisan ilmiah ini. 5. Dr. Siti Masitoh, SE., M.I.Kom Kepala Sub. Bagian Sidang PI Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Gunadarma 6. Bapak Welly dan Ibu Siti Suryani, selaku orang tua yang telah memberikan perhatian penuh untuk menyelesaikan penulisan ilmiah ini. 7. Narasumber Windy Hendwiananda, Edwin Sandhi, dan Misbahul Huda yang telah bersedia meluangkan waktu untuk wawancara. 8. Teman seperjuangan Kadek Giri Mahendra, Manasye Abraham Efraim Ciko vi Zahfran Pratama, dan Annisa Ghina Kamila. Akhir kata, hanya kepada Tuhan jualah segalanya dikembalikan dan penulis sadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, disebabkan karena berbagai keterbatasan yang penulis miliki. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menjadi perbaikan di masa yang akan datang. Depok, Februari, 2024 (Vidi Pratama Jaya) vii DAFTAR ISI UNIVERSITAS GUNADARMA............................................................... i FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI ......................................................... i PERNYATAAN ORIGINALITAS DAN PUBLIKASI .......................... ii LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... iii ABSTRAK ................................................................................................ iv ABSTRACT ............................................................................................... v KATA PENGANTAR ............................................................................... vi DAFTAR ISI ........................................................................................... viii BAB I .......................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 6 1.4 Batasan Masalah ............................................................................ 6 1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................... 6 BAB II ........................................................................................................ 8 2.1 Landasan Konseptual .................................................................... 8 2.2 Landasan Teori ............................................................................ 29 2.3 Penelitian Terdahulu .................................................................... 36 2.4 Kerangka Pemikiran .................................................................... 39 BAB III ..................................................................................................... 41 3.1 Subjek dan Objek Penelitian ....................................................... 41 3.2 Pendekatan Penelitian .................................................................. 42 3.3 Paradigma Penelitian ................................................................... 42 3.4 Metode Pengumpulan Data ......................................................... 43 viii 3.5 Teknik Penentuan Informan ........................................................ 45 3.6 Teknik Analisis Data.................................................................... 46 3.7 Teknik Keabsahan Data ............................................................... 47 BAB IV ..................................................................................................... 49 4.1 Hasil Penelitian............................................................................ 49 4.2 Pembahasan ................................................................................. 61 BAB V ....................................................................................................... 83 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 83 5.2 Saran ............................................................................................ 83 DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 85 LAMPIRAN ............................................................................................. 90 NARASUMBER: .................................................................................. 90 WAWANCARA WINDY HENDWIANANDA .................................... 90 WAWANCARA MISBAHUL HUDA................................................. 107 WAWANCARA EDWIN SANDHI .....................................................110 LAMPIRAN DOKUMENTASI ............................................................ 114 DAFTAR RIWAYAR HIDUP ................................................................ 115 ix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan teknologi informasi yang berlangsung dengan masif dan pesat telah berdampak pada semua aspek kehidupan, termasuk aspek bagaimana cara kepemimpinan di jalankan di dalam organisasi. Kepemimpinan tidak lagi hanya tentang mengelola sumber daya manusia, tetapi juga tentang beradaptasi dan mengimplementasikan pertumbuhan teknologi. Hal ini telah mengubah paradigma kepemimpinan tradisional menjadi apa yang dikenal sebagai kepemimpinan digital. Kepemimpinan digital mencapai tujuan yang sama dengan kepemimpinan tradisional melalui teknologi informasi (Iriqat & Khalaf, 2017). Menurut Sarjito (2018, dalam Maryati et al., 2022) Kepemimpinan digital merujuk pada suatu pendekatan yang cepat, kolaborasi lintas hierarki, kooperatif dan berorientasi pada tim yang sering kali mengintegrasikan inovasi. Dalam konteks ini, kepemimpinan digital umumnya mendorong inovasi sebagai aspek penting dalam proses kepemimpinan. Pemimpin memahami pentingnya bergerak cepat dalam bekerja sama dengan berbagai tingkat hierarki dalam organisasi serta mendorong kolaborasi tim untuk mencapai hasil yang inovatif dan responsif dengan transformasi digital dan berbagai aspek yang terpengaruhinya. Rudito & Sinaga (2017 dalam Purnomo et al., 2021) mendefinisikan kepemimpinan digital sebagai sebuah kombinasi dari budaya dan kompetensi pemimpin dalam mengoptimalkan penggunaan sumber daya teknologi digital untuk menciptakan nilai bagi perusahaan. Dalam konteks ini, kepemimpinan digital memiliki kaitan langsung dengan penciptaan nilai untuk perusahaan. Pemimpin yang mengoptimalkan penggunaan sumber daya teknologi digital dan mampu mengintegrasikannya ke dalam strategi bisnis perusahaan dapat menjadi aspek penting dalam meningkatkan kinerja, produktivitas, dan daya saing perusahaan. Mereka dapat mengidentifikasi peluang baru untuk berinovasi, meningkatkan efisiensi operasional, dan merespons perubahan pasar dengan lebih cepat. Dalam menjalankan fungsi dan peranannya sebagai pemimpin, seorang pemimpin umumnya menerapkan pendekatan dalam mengelola tim di dalam organisasi. Pendekatan ini lebih sering dikenal dengan istilah gaya kepemimpinan. Menurut Nurjaya et al. (2020), gaya kepemimpinan merupakan serangkaian pola tertentu yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam memberikan pengaruh kepada bawahannya. Dengan terjadinya perubahan paradigma kepemimpinan tradisional menjadi kepemimpinan digital, gaya kepemimpinan menjadi salah satu aspek penting dalam membentuk dinamika organisasi. Menurut Nanjumdeswaraswamy (2014 dalam Latifah, 2021), perbedaan dalam gaya kepemimpinan memiliki implikasi yang signifikan terhadap keefektivitasan atau kinerja organisasi. Dalam konteks ini, pemimpin yang mampu mengaplikasikan kepemimpinan digital dengan gaya kepemimpinan yang sesuai akan lebih efektif dan efisien dalam memadu organisasi menuju keberhasilan terutama dalam sektor-sektor industri yang dinamis dan intensif. Menurut Schein (1992), Nahavandi & Malekzadeh (1993), dan Kouzes & Posner (1987) yang dikutip dalam Amri et al. (2016), pemimpin memiliki peran sentral dalam menentukan keberhasilan organisasi. Dalam konteks industri yang dinamis dan intensif, kepemimpinan menjadi elemen krusial. Seorang pemimpin perlu mendalami tekanan yang dihadapi oleh karyawan, memberikan dukungan dalam pengembangan keterampilan, serta menciptakan lingkungan kerja yang seimbang. Strategisnya, pemimpin perlu memanfaatkan dan mengoptimalkan sumber daya teknologi yang tersedia. Gaya kepemimpinan yang adaptif dan transformasional menjadi landasan utama dalam memastikan bahwa karyawan dapat menghadapi tantangan pekerjaan yang intensif. Dengan demikian, pemeliharaan 2 produktivitas karyawan terjamin, menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan bagi perusahaan. Pengaplikasian kepemimpinan digital dan gaya kepemimpinan yang adaptif dan transformasional akan berdampak pada bagaimana komunikasi organisasi berjalan. Golddhaber (1986 dalam Romandona & Setiawan, 2020) mendefinisikan komunikasi organisasi sebagai proses penciptaan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau selalu berubahubah. Dalam komunikasi organisasi, terjadi proses di mana penciptaan dan pertukaran di antara anggota organisasi. Pesan-pesan ini berupa informasi, instruksi, ide atau pesan penting lainya. Proses penciptaan dan pertukaran ini tidak terjadi secara acak, namun berpindah melalui jaringan hubungan yang saling terkait untuk memastikan bahwa pesan berpindah dengan baik. Keterkaitan ini merujuk pada hubungan antara berbagai level di dalam organisasi untuk menghadapi lingkungan bisnis yang dinamis. Konsep komunikasi organisasi akan berdampak langsung pada performa perusahaan karena mencakup pengelolaan informasi di dalam organisasi, pengembangan pesan yang diteruskan, budaya organisasi yang membentuk konteks komunikasi, dan motivasi karyawan untuk berpartisipasi dalam proses komunikasi. Dalam konteks ini, komunikasi berperan sebagai jembatan yang menghubungkan semua elemen dalam organisasi dan membantu keberlangsungan operasionalnya. Dengan memadukan teknologi dan konsep komunikasi organisasi, pemimpin dapat membentuk budaya organisasi yang responsif terhadap lingkungan yang dinamis dan menciptakan proses komunikasi yang efektif dalam menghadapi dinamika lingkungan tersebut. Work-life balance memegang peran penting dalam menjaga kesejahteraan, meningkatkan produktivitas, memelihara motivasi karyawan, dan mendukung retensi sumber daya manusia yang berharga. Penelitian yang telah dilakukan oleh Aslam (2015), Saina et al. (2016), 3 Johari et al. (2018), Soomro et al. (2018), Isse et al. (2018), Rene & Wahyuni (2018), Bataineh (2019), dan Dousin et al. (2019) yang dikutip dalam Muliawati & Frianto (2020), mengindikasikan bahwa Work-life balance berdampak signifikan positif terhadap kinerja karyawan. Ketika karyawan mempunyai kepuasan yang tinggi terhadap keseimbangan hidup dan pekerjaan mereka, hal tersebut dapat berdampak pada kualitas performa atau kinerja karyawan tersebut. Namun di tengah pentingnya industri IT dan Programmer sebagai kunci keberlangsungan hidup manusia, muncul permasalahan yang cukup serius di dalam industri ini. Programmer sering kali dihadapkan dengan tuntutan pekerjaan yang tinggi, tekanan untuk bekerja dalam waktu yang lebih lama, Serta tuntutan untuk beradaptasi terhadap perubahan teknologi, agar mereka dapat memperbarui keterampilan mereka sehingga tetap relevan dalam lingkungan kerja. Kondisi ini dapat membawa dampak negatif pada kinerja karyawan, yang pada akhirnya berpotensi mengurangi kinerja perusahaan secara keseluruhan. Menurut riset yang dilakukan oleh Paola Peralta (2021) perusahaan teknologi seperti Oracle, Apple, dan T-Mobile menempati tiga peringkat teratas dalam masalah burnout karyawan. Burnout ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti beban kerja yang berlebihan, imbalan yang tidak memadai, dan kurangnya pengakuan. Lebih lanjut, Menurut riset yang dilakukan oleh Tim Editor Teknis ACG (2023), ditemukan bahwa kepemimpinan dan komunikasi yang kurang efektif mendominasi sebagai penyebab utama burnout karyawan, diikuti oleh beban kerja yang berat dan budaya organisasi yang toxic. Perusahaan di sektor industri IT perlu menerapkan kebijakan yang memfasilitasi tercapainya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, yang kerap disebut sebagai work-life balance. Work-life balance mengacu pada individu yang memiliki cukup waktu untuk memiliki keseimbangan dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi, seperti mendapatkan 4 waktu luang untuk bersantai, menghabiskan waktu dengan keluarga, adanya komunikasi yang baik dengan rekan kerja, dan mampu menyelesaikan pekerjaan dengan baik (Vyas & Shirivastava, 2017). Work-life balance juga merupakan suatu cara untuk karyawan memiliki gaya hidup sehat dan bermanfaat, sehingga hal tersebut dapat memengaruhi peningkatan kinerja mereka (Larasti & Hasanati, 2019). PT Global Asia Sinergi (GAS) merupakan perusahaan konsultasi TI yang telah berdiri sejak tahun 2013, didirikan oleh Jul Darmawan, Sim Bong, dan Teddy Pohan. Perusahaan ini berfokus pada bidang ITSM (IT Service Management) dan otomasi, dengan basis operasional di Jakarta dan Singapura. Perusahaan ini mengkhususkan diri dalam menyediakan solusi dalam pengelolaan teknologi informasi, mulai dari IT security untuk melindungi perusahaan dari ancaman digital dari dalam dan luar perusahaan hingga Unfield Enterprise Management untuk mengelola seluruh ekosistem teknologi informasi perusahaan. PT Global Asia Sinergi telah berhasil membangun tim yang terdiri dari 20 programmer ahli dan berpengalaman. Tim ini dipimpin oleh pemimpin yang berkompetensi dalam pengoptimalan sumber daya teknologi digital untuk menciptakan nilai tambah bagi perusahaan klien mereka. Dengan lebih dari 10 tahun pengalaman di industri IT Service Management, Global Asia Sinergi telah membuktikan kredibilitasnya melalui hubungan jangka panjang dengan klien terkemuka seperti BRI, BNI, DANAMON, BPJS Kesehatan, Krakatau Steel, dan Pertamina. Selain itu, GAS juga menjalin kerjasama dengan klien internasional di Singapura, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Vietnam, dan Selandia Baru. Pengoptimasian sumber daya teknologi digital memberikan fasilitas yang memungkinkan karyawan mencapai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dengan meningkatkan efisiensi dalam menjalankan tugas mereka, sehingga mencapai tujuan mereka secara efektif. Hal ini juga disertai dengan kemudahan dan 5 fleksibilitas akses pekerjaan, memungkinkan mereka untuk bekerja di mana saja. Seorang pemimpin yang mengimplementasikan kepemimpinan digital dapat menciptakan lingkungan yang mendukung work-life balance. Dalam konteks ini, pemimpin kepala divisi produk dan emerging di PT Global Asia Sinergi menggunakan Zoom sebagai "kantor kedua" untuk memfasilitasi komunikasi ketika karyawan sedang bekerja dari mana saja, sementara manajemen tugas dilakukan secara remote melalui layanan Invgate service desk. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan digital dapat mendorong adopsi model kerja yang lebih fleksibel dan dapat mengakomodasi kebutuhan individu. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana kepemimpinan digital sebagai implementasi Work-life balance karyawan di PT. Global Asia Sinergi? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepemimpinan digital sebagai implementasi Work-life balance karyawan di PT. Global Asia Sinergi. 1.4 Batasan Masalah Penelitian ini terbatas pada PT. Global Asia Sinergi sebagai studi kasus, dan hasil dari penelitian ini mungkin tidak dapat langsung digeneralisasi ke perusahaan lain. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi teoritis dalam pemahaman tentang peran kepemimpinan digital sebagai implementasi 6 Work-life balance di lingkungan kerja. Penelitian ini juga dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya tentang topik serupa. 2. Manfaat akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada PT. Global Asia Sinergi tentang cara meningkatkan keberlanjutan implementasi Work-life balance dengan memanfaatkan kepemimpinan digital. Penelitian ini juga diharapkan untuk memberikan panduan praktisi bagi perusahaan lain dalam industri IT yang ingin memperbaiki Work-life balance karyawan 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Konseptual 2.1.1 Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi diartikan sebagai suatu proses dimana pesanpesan diciptakan dan pertukaran dalam suatu jaringan hubungan interpenden, bertujuan untuk mengatasi ketidakpastian lingkungan (Goldhaber,1993). Dalam dinamika pertukaran pesan di lingkungan informasi, aliran komunikasi organisasi terbagi menjadi empat katagori: ke atas, ke bawah, Horizontal, dan diagonal. Setiap arus komunikasi ini memegang peran khusus dalam menyampaikan informasi seperti perintah kerja, laporan, intruksi, dan lain sebagainya. Menurut Gondowahjudi et al. (2018) selain empat jenis pertukaran informasi tersebut, persepsi karyawan juga memiliki dampak signifikan terhadap kualitas komunikasi organisasi. Melalui persepsi, karyawan mencoba mewujudkan pemahaman kognitifnya dan menimbulkan sikap atau perilaku tertentu yang mempengaruhi interaksi dengan karyawan lainnya. Karakteristik komunikasi organisasi mencakup kerangka kerja yang terstruktur, di mana hubungan struktural ini berterkait dengan otoritas, yaitu kewenangan yang melekat pada jabatan. Walaupun dalam interaksi antar individu yang berkomunikasi tidak terdapat jabatan formal, struktur ini tetap hadir secara informal, serta bersifat stabil dan terencana. Karakteristik selanjutnya dalam komunikasi organisasi seringkali melibatkan aturan atau standar yang disepakati oleh anggota organisasi. Komunikasi organisasi cenderung dapat diprediksi, menunjukan upaya membangun hubungan untuk mengurangi ketidakpastian lingkungan. Hal ini dipengaruhi oleh kerangka kerja yang terstruktur dan stabil, sehingga proses komunikasi bisa terprediksi. Ketidakpastian 8 dan kemampuan memprediksi kemungkinan yang akan terjadi merupakan aspek penting dalam konteks organisasi yang melibatkan berbagai peran dengan karakteristik yang bervariasi tergantung pada individunya. Konsentrasi komunikasi organisasi adalah anggota-anggota dalam struktur organisasi (Riinawati, 2019). Proses penciptaan makna melalui interkasi menjadi titik sentral dalam membentuk, merawat, dan mengubah dinamika organisasi. Komunikasi yang terjadi di dalam organisasi tidak sekedar alat, melainkan juga mencerminkan cara berfikir. Sasaran komunikasi dalam konteks organisasi adalah mencapai pemahaman bersama (mutual understanding), mencapai penyetaraan dalam kerangka refensi (frame of refences) dan bidang pengalaman (field of experiences). sesuai dengan yang diungkapkan Redi panuju (1999 dalam Riinawati, 2019), meskipun menyejajarkan ranah kognitif individu-individu dalam organisasi mungkin nyaris mustahil, namun melalui kegiatan komunikasi yang terencana dan substansinya terdesain, setidaknya dapat terjadi proses penyebarluasan (difusi) dimensi-dimesi organisasi kepada setiap individu dalam organisasi. Terdapat tiga pendekatan utama dalam komunikasi organisasi, yakni pendekatan makro, mikro, dan individual. Pendekatan makro melibatkan pemahaman terhadap struktur organisasi secara keseluruhan dan interaksinya terhadap lingkungan. Ini melibatkan aktivitas organisasi dalam memperoses informasi atau pesan dari lingkungan, melakukan indentifikasi, integrasi, dan menentukan tujuan organisasi. Pendekatan mikro, di sisi lain, menitikberatkan pada komunikasi di unit atau subunit organisasi. Dalam konteks ini, kemampuan komunikasi antar anggota kelompok menjadi krusial dan peran pemimpin sangat penting untuk memberikan informasi tentang tujuan organisasi dan menjelaskan keterkaitan antara tujuan kelompok dengan tujuan organisasi, sehingga anggota dalam organisasi menjadi termotivasi. Terakhir, pendekatan individual menitikberatkan pada perilaku 9 komunikasi individu dalam organisasi, melibatkan interaksi antar individu, kelompok, dan organisasi secara keseluruhan, Komunikasi organisasi terkait dengan frekuensi, suatu aspek yang krusial terkait dengan Upaya penyampaian informasi oleh pihak pemimpin atau manejemen. Frekuensi ini berkaitan dengan seberapa banyak waktu yang digunakan untuk menyampaikan pesan informasi perubahan organisasi (Baauchamp et al, 2016 dalam Romandona & Setiawan, 2020). Pentingnya frekuensi ini terletak pada kemampuannya untuk memastikan transfer informasi yang akurat dan pemahaman yang menyeluruh dalam organisasi. Menurut Pace & Faules (2002 dalam Romandona & Setiawan, 2020), komunikasi organisasi melibatkan tiga aspek penting. Pertama, aspek peristiwa komunikasi mengukur sejauh mana informasi dihasilkan, disajikan, dan disebarluaskan di seruluh bagian organisasi. Kedua, iklim komunikasi organisasi yang kondusif melibatkan persepsi, merupakan interaksi antara pimpinan organisasi dan komunikator. Hal ini melibatkan penggunaan metode dan teknik komunikasi yang tepat sesuai dengan situasi dan waktu komunikasi. Terakhir, aspek kepuasaan komunikasi organisasi menjelaskan tingkat kepuasaan komunikasi yang dirasakan oleh setiap individu di organisasi selama melakukan proses komunikasi. 2.1.1.1 Dimensi Komunikasi Organisasi Berdasarkan ruang lingkupnya, Lawrence D. Brennan (dalam Harivarman, 2018), mengkategorikan komunikasi organisasi menjadi dua aspek, yaitu komunikasi organisasi internal dan komunikasi eksternal. Komunikasi internal merujuk pada pertukaran gagasan diantara administrator dan karyawan didalam suatu perusahaan atau organisasi, melibatkan struktur organisasi dan pertukaran gagasan secara horizontal dan vertikal. Ini menfasilitasi pelaksaanaan pekerjaan dan pengelolaan 10 tugas secara efektif di didalam organisasi. Sementara itu, komunikasi eksternal melibatkan arus informasi dari organisasi kepada publik dan sebaliknya, menciptakan saluran interaksi yang dinamis antara organisasi dan lingkungannya. 2.1.1.2 Fungsi Komunikasi Organisasi Menurut sendjaja (1999 dalam Jumrad & Mayang Sari 2019), fungsi komunikasi organisasi dapat diidentifikasi dalam empat fungsi yaitu: 1. Fungsi Informatif Organisasi dianggap sebagai sistem pemerosesan informasi dimana seluruh anggota berupaya untuk memperoleh informasi yang lebih memadai, akurat, dan tepat wkatu. Dengan ketersediaan informasi tersebut, anggota organisasi mampu menjalankan tugas-tugas mereka dengan tingkat ketepatan yang optimal. 2. Fungsi Regulatif Fungsi regulatif dalam konteks komunikasi organisasi terkait dengan keberadaan peraturanperaturan yang mengatur aktivitas di dalamnya. Dalam setiap organisasi, dua elemen penting yang mempengaruhi manejemen atau fungsi atasan ini selaku adalah pemilik wewenang untuk mengkontrol seluruh informasi yang disampaikan, dan message atau pesan-pesan yang bersifat regulatif. Pada dasarnya, pesanpesan ini ditunjukan untuk memberikan arahan yang jelas mengenai tugas dan tanggung jawab,menciptakan kerangka kerja yang memastikan karyawan memiliki pemahaman 11 yang tepat tentang kebijakan dan aturan yang mengatur pekerjaan mereka 3. Fungsi Persuasif Dalam menjalankan kepemimpinan organisasi, kekuasaan dan kewenangan tidak selalu menjamin hasil yang diharapkan. Oleh karena itum banyak pemimpin yang lebih memilih untuk mempersuasi bawahannya daripada memberikan perintah. Strategi ini dipilih karena pekerjaan yang dilakukan dengan sukarela cenderung menghasilkan tingkat keterlibatan dan kepedulian yang lebih besar dibandingkan dengan situasi menunjukan dimana kekuasaan pimpinan dan hanya kewenangan terhadap karyawan. Pendekatan persuasif dapat menciptakan hubungan yang lebih baik antara pimpinan dan bawahan, sehingga memperkuat keterlibatan dan komitmen karyawan terhadap organisasi. 4. Fungsi Integratif Fungsi yang berhubungan dengan penyediaan saluran komunikasi yang memungkinkan karyawan menjalankan tugas dan pekerjaan mereka dengan efektif. Dua saluran komunikasi yang dapat mendukung tujuan tersebut melibatkan saluran informasi komunikasi formal, seperti penerbitan khusus dalam organisasi (newsletter, bulletin, dan laporan kemajuan organisasi), dan saluran komunikasi informal, yang mencakup perbincangan antarpribadi selama masa istirahat kerja, partisapasi dalam 12 pertandingan olahraga, atau kegiatan darmawisata. 2.1.1.3 Arah Komunikasi Organisasi Arah atau aliran informasi dalam organisasi merupakan suatu proses dinamis yang terus berlangsung. Dalam proses ini, pesan-pesan diciptakan, ditampilkan, dan intrepertasikan secara terus-menerus dan berubah seiring waktu. Komunikasi organisasi tidaklah sesuatu yang hanya terjadi sesaat, namun berlangsung secara berlanjut. Menurut Pace & Faules (dalam Hasanti, 2019), arah komunikasi organisasi terbagi menjadi empat, yaitu: 1. Komunikasi ke bawah (Downward Communication) Informasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih tinggi kepada jabatan yang secara hierarkis yang lebih rendah. 2. Komunikasi ke atas (Upward Communication) Informasi mengalir dari tingkat yang lebih rendah (bawahan) ke tingkat yang lebih tinggi (top Management). 3. Komunikasi Horizontal Terdiri dari penyampaian informasi diantara rekan-rekan sejawat dalam unit kerja yang sama. Unit kerja melibatkan individu-individu yang ditempatkan pada tingkat organisasi yang sama dalam organisasi dan memiliki atasan yang sama. 4. Komunikasi Diagonal Penyampaian informasi yang melibatkan individu-individu tanpa memandang posisis 13 atasan maupun bawahan, melewati batas-batas fungsional Gambar 2.1 empat arah komunikasi organisasi Sumber: Hasanti (2019) 2.1.1.4 Hambatan Komunikasi Organisasi Dalam sebuah organisasi, kelancaran komunikasi tidak selalu terjamin. Faktor-faktor tertentu dapat menghabat dan mengganggu jalannya proses komunukasi di dalam organisasi, menyebabkan munculnya ketidakpahaman atau misunderstanding diantara para anggota organisasi. Menurut Hubeis et al (dalam Pahlevi, 2018) ada beberapa faktor yang menyebabkan komunikasi organisasi terhambat, antara lain: 1. Gangguan teknis, yang terjadi jika timbul gangguan dalam sebuah alat komunikasi sehingga informasi yang disampaikan sulit diterima atau dipahami oleh komunikan. 2. Gangguan semantik, yang muncul apabila terjadi kesalahan pada bahasa yang digunakan. 3. Gangguan psikologis, yang terjadi karena adanya gangguan yang disebabkan oleh persoalanpersoalan dalam diri individu. 4. Rintangan fisik atau organik, yang disebabkan karena kondisi geografis. 14 5. Rintangan kerangka berfikir, yang disebabkan adanya perbedaan persepsi antara komunikator dan komunikan, yang dilatarbelakangi oleh perbedaan pengalaman dan pendidikan. 6. Rintangan budaya, yang disebabkan oleh adanya perbedaan norma, kebiasaan dan nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi. 2.1.2 Kepemimpinan Digital Dalam mencapai tujuan organisasi pada era transformasi digital terdapat banyak faktor dalam pemenuhannya, di antaranya adalah faktor kepemimpinan atau pemimpinan yang bersifat digital. Kesuksesan dalam mencapai tujuan organisasi tidak hanya bergantung pada kinerja staf atau personel, tetapi lebih pada kompentensi pemimpin organisasi. Dalam konteks ini, diperlukan gaya kepemimpinan yang inovatif dengan keterampilan kewirausahaan serta sifat kepemimpinan digital yang dinamis untuk mendorong proses tranformasi digital (Cahyarini, 2021). Kepemimpinan digital merupakan proses pengaruh sosisal yang difasilitasi oleh teknologi digital, bertujuan merangsang perubahan pada sikap, perasaan, pola pikir, perilaku, dan kinerja pada level, individu maupun kelompok dalam organisasi (Ajabar et al., 2021). Berdasarkan definisi tersebut terlihat jelas bahwa kepemimpinan digital adalah kepemimpinan berbasis teknologi yang bertujuan menghasilkan perubahan pada organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Dalam penelitian yang dilakukan Cortelazzo et al. (2019 dalam Ajabar et al., 2021) mengenai kepemimpinan digital atau digital leadership, menggolongkannya ke dalam dua perspektif utama, yaitu: pembahasan dalam perspektif makro dan pembahasan dalam perspektif mikro. Dalam pembahasan pada perspektif makro mengidentifikasi empat tema utama, yaitu: (1) hubungan antara pemimpin dengan 15 organisasi, (2) bagaimana pemimpin mengadopsi teknologi untuk menangani masalah kompleks dalam organisasi, (3) dampak dari teknologi digital terhadap etika kepemimpinan, dan (4) pemimpin menggunakan teknologi untuk mempengaruhi pergerakan sosial. Disisi lain, dalam perspektif mikro, kepemimpinan digital dianalisis melalui tiga aspek, yaitu: (1) peran pemimpin puncak (C-level leaders) yang semakin kompleks; (2) keterampilan yang diperlukan untuk menjadi pemimpin digital; dan (3) praktik-praktik efektif dalam memimpin tim virtual. Gambar 2.2 Model adopsi komunikasi kepemimpinan digital Sumber: Liu et al. (2018) Dalam konteks penggunaan teknologi digital dalam kepemimpinan, Liu et al. (2018 Ajabar et al., 2021) memperkenalkan konsep ECAM (ELeadership Communication Adaption Model). Seperti dalam gambar 2.2. Model ini menjelaskan bahwa untuk mencapai tingkat adopsi teknologi secara individual, seorang pemimpin harus memiliki intensi atau keinginan kuat untuk menngunakan teknologi digital. Intesi tersebut berasal dari tiga aspek kunci, yaitu: (1) kesadaran aktfif, (2) evaluasi mutu, dan (3) keinginan untuk melakukan. Ketiga aspek tersebut diperoleh dari sifat-sifat dan keterampilan-keterampilan tertentu yang dimiliki oleh pemimpin, termaksuk antusiasme, kebutuhan untuk berprestasi, rasa tanggung jawab yang tinggi, kemampuan analitis, fleksibilitas, semangat belajar yang tinggi dan keterampilan teknis tertentu. Peningkatan kepemimpinan digital seorang pemimpin dalam organisasi akan terjadi sejalan dengan ketersediaan lingkungan 16 dan fasilitas yang mendukung kepemimpinan digital di dalam organisasi. Dalam menilai keterampilan yang terkait dengan kepemimpinan digital, terdapat pebedaan sudut pandang antara Liu et al. (2018). Dan Cortelazzo at al. (2019). Liu et al. (2018) lebih berfokus pada identifikasi keterampilan dan sifat yang mendukung adopsi teknologi digital dalam memimpin. Sementara itu, Cortellazo et al. 2019 mengemukakan setidaknya ada lima keterampilan essensial bagi pemimpin dalam era digital, meliputi: (1) kemampuan berkomunikasi melalui media digital; (2) pengambilan keputusan cepat; (3) manejemen kolaborasi (4) penanganan perubahan disrutif, dan (5) keterampilan teknis tertentu. Meskipun memiliki perbedaan sudut pandang, kedua sepakat bahwa keterampilan teknis memainkan peran utama dalam kepemimpinan digital untuk menguasai dan memanfaatkan teknologi digital secara efektif sesuai dengan tuntutan era digital. Selain keterampilan teknis, pentingnya keterampilan soft skills menjadi aspek krusial dalam konteks kepemimpinan digital yang dirumuskan sebagai berikut: Gambar 2.3 Tujuh Pilar Pendukung Digital Leadership Sumber: Cahyarini (2021) Dalam tujuh pilar di atas, menunjukan dominasi soft skill dalam karakteristik kepemimpinan digital. Seorang pemimpin digital peruh melangkah lebih jauh, memiliki pandangan yang luas, dan memiliki kemampuan untuk menggerakan pemikitan individu yang dipimpinnya 17 melintasi batas geografis, budaya, serta batasan lainnya dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital untuk mencapai kesuksesan organisasi, meningkatkan kinerja, dan memberikan pelayan publik yang lebih baik. Karakteristik yang dibutuhkan pemimpinan digital atau digital leadership menurut Klein (2020 dalam Cahyarini, 2021): 1. Characteristic-Digital Business, yaitu digital leadership harus memiliki karakteristik innovative visionary yang hanya terbatas pada pemikiran yang jauh ke depan tetapi juga kemampuan untuk menghasilkan inovasi. Selain itu kecerdasan dalam membangun jaringan (network intelligence) menjadi karakteristik penting, dimana digital leadership harus dapat mengoordinasikan pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya tim dengan efektif. Tidak kalah penting kemampuan untuk bertindak sebagai penjaring bakat digital (digital talent scout), di mana pemimpin digital mampu mengedintifikasi dan mengembangkan potensi digital di dalam timnya. Diharapkan juga pemimpin digital memehuni karakteristik complexity mastery, yaitu seorang digital leadership mampu memahami situasi yang rumit serta memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah dengan konteks yang sulit. Terdapat karakteristik penting lainnya, yaitu business intelligence yang berguna dalam membangun model bisnis baru yang sesuai dengan era digital. 2. Characteristic-Social Attitude yaitu seorang digital leader berperan sebagai motivating coach, seseorang yang memberikan motivasi dan menjadi panutan bagi anggota timnya. Aspek lain untuk karakteristik digital leadership adalah penerapan democrative delegative style, perancangan organisasi dengan struktur hierarki dan birokrasi yang sederhana, mengedepankan orientasi pada personal, serta fokus pada pengembangan dan 18 kemajuan individu. Selain itu, karakteristik openness yang menunjukan sifat transparansi menjadi aspek lain dalam karakteristik digital leadership. 3. Characteristic-General Mindset selain karakteristik diatas terdapat karakteristik umum seorang digital leader, yaitu (agile) kecapan dalam menyeseuaikan diri dengan model bisinis baru dan kemampuan merancang strategi transformasi (transformation strategies). Aspek menarik dalam karakteristik digital leader adalah kemampuan untuk selalu berlajar dari kesalahan (learning by errors), menandakan betapa pentingnya pembelajaran sebagai langkah menuju langkah yang lebih baik. Karakteristik penting lainnya dari digital leader adalah memiliki knowledge oriented dan life-long learner, mencerminkan tekad untuk terus belajar. Kevin Olp dari Digtal Workplace Group (dalam Cahyarini, 2021) merincikan keterampilan yang diperlukan bagi seorang pemimpin digital menjadi beberapa aspek, yaitu: 1. Literasi Digital (Digital Literacy), merupakan kebutuhan kemampuan dan pengetahuan dalam menggunakan media digital, teknologi informasi, dan internet, tidak hanya keterampilan teknis, melainkan juga keterampilan kognitif, kritis, dan kreatif. 2. Visi Digital (Digital Vision), kemampuan dalam memprediksi dan meyakinkan orang lain mengenai peluang jangka Panjang dari teknologi dan merancang strategi digital 3. Pertahanan (Defense), kemampuan seorang pemimpin digital untuk menetapkan kondisi yang dibutuhkan oleh organisasi. Pertahanan ini akan memberikan motivasi kepada sumber daya manusia untuk mencapai visi digital. Komitmen pemimpin 19 digital dalam meningkatkan literasinya sendiri mendorong orang lain untuk mengikutinya 4. Kehadiran (Presence), kehadiran seorang pemimpin digital sebagai bentuk keteladanan yang nyata dan dapat diamati. Meskipun seorang pemimpin digital memiliki visi digital yang jelas dan dapat menjelaskannya dengan baik, tanpa kehadiran atau teladan yang terlihat oleh bawahannya, kemungkinan besar tidak ada yang akan mengikutinya 5. Komunikasi (Communication), merupakan kemampuan pemimpim dalam mendukung kekuatan pesan yang disampaikan dan merancang strategi komunikasi yang mendukung visi digital dengan cermat 6. Adaptabilitas (Adaptabillity), toleransi terhadap inovasi merupakan aspek adaptaasi yang paling menantang bagi seorang pemimpin. 7. Kesadaran Diri (Self-Awareness), pendekatan pemimpin dan proses mempengaruhi orang lain secara alami dan berkelanjutan. 8. Kesadaran Budaya (Curtural-Awareness), pemahaman pemimpin dalam potensi perbedaan budaya yang mungkin muncul, dengan memahami perbedaan gaya berkerja dan berkomuninasi yang disebabkan oleh kebudayaan individu, terutama dalam penggunaan teknologi digital Dalam rangka memahami kepemimpinan digital secara komprensif. Hensellek (2020 dalam Ajabar et al., 2021) mengembakan kerangka kerja kepemimpinan digital, sebagai berikut: 20 Gambar 2.4 digital leadership framework Sumber: Hansellek (2020) Tergambar dalam gambar 2.4. Kerangka kerja ini menyoroti empat elemen utama, meliputi: (1) Visi digital- yang terartikulasi dengan ambisius, makna, holistik, dan berkelanjutan; (2) Perilaku digital-untuk mewujudkan visi digital yang sudah dirancang, pemimpin harus menampilkan kepemimpinan berdasarkan contoh (Leading by examples), mengatasi hambatan melalui keterlibatan inklusif seluruh anggota, dan aktif mendorong perubahan kultural yang berkelanjutan; (3) Keahlian digital-sebagai prasyarat untuk menampilkan perilaku digital, mencakup pemahaman dan pengoptimalan teknologi digital, mencari peluang dan merancang langkah-langkah preventif terhadap risiko dari teknologi digital, dan pengembangan kemampuan kewirausahaan (enterpreneurial capability); (4) Pola pikir digital- selain keterampilan digital, perilaku digital juga didukung oleh pola pikir yang terus belajar, terbuka dengan teknologi baru, dan keinginan untuk terus berkembang. Sementara untuk mengevaluasi sejauh mana pengembangan seseorang terhadap kepemimpinan digital, operasionalisasi yang 21 dikembangkan oleh Van War et al. (2019 dalam Ajabar et al., 2021) dapat diaplikasikan. operasionalisasi ini menjelaskan kepemimpinan digital ke dalam enam dimensi, yakni : (1) Technological skill, keterampilan teknis terkait teknologi digital yang harus dikuasi oleh pemimpin, (2) Communication skill, keterampilan menggunakan teknologi untuk berkomunikasi secara efektif tanpa terikat oleh batasan waktu dan tempat, (3) Social skill, keterampilan dalam membangun sistem sosial yang mendukung perubahan menuju kematangan digital yang lebih baik, (4) Team building skilll, kemampuan dalam membangun dan membimbing tim kerja secara virtual untuk mencapai tujuan sinergi yang diharapkan, (5) Change management, kemampuan untuk mengelola perubahan strategis secara kultural dalam organisasi, dan (6) Trustworthnessl, kemampuan untuk mengembangkan, memperbaiki, dan menjaga kepercayaan pengikut maupun mitra agar terus bersinergi dan berkoloborasi dalam mencapai tujuan organisasi. Gambar 2.5 enam Kompetensi Kepemimpinan Digital Sumber: Van Wart et al (2019) 2.1.3 Work-life balance (WLB) Menurut Greenhaus (2003 dalam Hizkia Panjaitan et al, 2023), Work-life balance adalah keseimbangan yang terikat pada individu dalam menjalankan tanggung jawab pekerjaan, keluarga, dan kehidupan secara keseluruhan. Sejalan dengan hal tersebut, Rinfanda et al dalam (Muliawati, 2020:607) mendefenisikan Work-life balance sebagai 22 kemampuan individu untuk memenuhi tugas dari pekerjaan dan tuntutan dari luar pekerjaan, dan hal tersebut menjadi faktor yang membuat individu Bahagia Konsep mengenai Work-life balance berkaitan dengan penentuan prioritas yang tepat antara tuntutan pekerjaan dan aspek kehidupan lainnya, seperti pengelolaan waktu luang, keluarga, dan pengembangan spiritual. Selain itu, Work-life balance menjadi penanda sejauh mana seorang karyawan mengalami pemenuhan kebutuhan mereka. Hal ini mencakup aspek-aspek yang terkait dengan pekerjaan, sekaligus mempertimbangkan kebutuhan individu yang bersifat lebih personal dan melibatkan ranah kehidupan lainya. Berdasarkan perspektif diatas, menurut Lockwood (2003 dalam Nurhabiba et al. 2020) Work-life balance adalah suatu keadaan seimbang antara dua tuntutan utama, yakni pekerjaan dan kehidupan individu. Dalam pemahaman karyawan, Work-life balance mengacu pada kebijakan untuk mengelola secara baik kewajiban pekerjaan dan aspek pribadi, termaksuk tanggung jawab terhadap keluarga. Disisi lain, dari perspektif perusahaan melihat Work-life balance sebagai sebuah tantangan strategis untuk membentuk budaya perusahaan yang mendukung, di mana karyawan dapat dengan optimal menyeimbangkan fokus mereka pada pekerjaan ketika berada di tempat kerja. 2.1.3.1 Dimensi Work-life Balance Menurut Fisher et al (2009 dalam Wicaksana et al. 2020) menyatakan bahwa terdapat empat dimensi yang membentuk work-life balance, yaitu: 1. Work Interference with Personal Life (WIPL) merujuk pada sejauh mana pekerjaan dapat menggangu kehidupan pribadi individu. Sebagai contoh, tuntutan pekerjaan dapat menyulitkan individu untuk mengatur waktu secara optimal dalam kehidupan pribadinya. 23 2. Personal Life Interference with Work (PLIW) merujuk pada sejauh mana kehidupan pribadi dapat mengganggu kinerja pekerjaannya. Sebagai contoh, masalah yang muncul dalam ranah kehidupan pribadi dapat berdampak negatif terhadap fokus dan produktivitas individu selama bekerja. 3. Personal Life Enhancement of Work (PLEW) merujuk pada sejauh mana kehidupan meningkatkan kinerja pekerjaan. Sebagai individu contoh, pribadi dapat dalam lingkup kebahagiaan yang dirasakan individu dari aspek kehidupan pribadinya dapat menciptakan suasana hati atau mood yang positif dan berdampak positif pada produktivitas dan kinerja individu di lingkungan kerja. 4. Work Enhancement of Personal Life (WEPL) merujuk pada sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas hidu pribadi individu. Sebagai contoh, keterampilan yang diperoleh individu selama bekerja dapat memberikan kontribusi positif pada kehidupan sehari-hari, memungkinkan penerapan keterampilan tersebut dalam konteks kehidupan pribadi. 2.1.3.2 Indikator Work-life Balance Menurut McDonald (2005 dalam Rondowunu et al. 2018) terdapat indikator-indikator yang bisa digunakan untuk menilai sejauh mana karyawan dapat mencapai keseimbangan antara kewajiban pekerjaan dan kehidupan pribadi, yaitu: 1. Keseimbangan waktu (Time Balance) merujuk pada alokasi waktu individu untuk pekerjaan dan kegiatan diluar pekerjaan, seperti waktu untuk keluarga atau 24 melakukan hobi. Tingkat keseimbangan waktu karyawan dapat diukur dari seberapa efektif karyawan mengalokasikan jumlah waktu pada kewajiban pekerjaan maupun kehidupan pribadi. 2. Keseimbangan Keterlibatan (Involvement Balance) merujuk pada tingkat keterlibatan psikologis dan komitmen individu dalam pekerjaan dan aspek diluar pekerjaan. Pengalokasian waktu yang efektif tidak cukup sebagai dasar pengukuran Work-life balance karyawan, hal ini harus didukung oleh keterlibatan berkualitas dalam setiap kegiatan yang dijalani oleh karyawan tersebut. Oleh karena itu, karyawan perlu terlibat secara fisik dan pskilogis dalam pekerjaan, keluarga, serta kegiatan sosial lainnya agar mencapai keseimbangan keterlibatan yang optimal. 3. Kesimbangan Kepuasan (Sastification Balance) merujuk pada tingkat kepuasaan individu terhadap kegiataan pekerjaan dan aspek diluar pekerjaan. Kepuasaan ini muncul ketika karyawan merasa bahwa apa yang telah mereka lakukan sejauh ini sudah cukup baik dalam memenuhi kebutuhan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Tingkat kepuasaan ini dapat diamati dari kondisi keluarga, hubungan interpersonal dengan teman dan rekan kerja, serta kualitas dan kuantitas pekerjaan yang telah diselesaikan. 2.1.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work-life balance Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wulansari (2023), terdapat tiga faktor yang dapat berpengaruh terhadap worklife balance, yaitu: 25 1. Faktor Individual a. Kepribadian, merujuk pada dimensi-dimensi yang terdapat dalam konsep Big Five Personality Traits, yaitu kestabilan emosional, keterbukaan, kecerdasan, ketergantungan, dan keakraban, b. Psychological well-being, merujuk pada aspekaspek psikologi seseorang seperti kepuasan, penerimaan diri, harapan, dan optimisme. c. Emotional Intellegence, kemampuan individu mengekspresikan, mencakup Merujuk untuk dan aspek-aspek mengenali, mengelola yang pada emosi, melibatkan pemahaman diri, kemampuan beradptasi, serta keterampilan Kecerdasan dalam berinteraksi emosional juga sosial. mencakup kemampuan menyampaikan emosi dengan tepat dan mengelola respon emosional terhadap berbagai berbagai situasi 2. Faktor Organisasi a. Pekerjaan, merujuk pada fleksibilitas waktu dan struktur pekerjaan yang adaptif dapat mendukung karyawan untuk mencapai work-life balance. Hill et al dalam Pouluse dan Sudarsan (2014) mengungkapkan bahwa manejemen jam kerja yang fleksibel dapat memberikan dukungan kepada karyawan dalam menjaga keseimbangan antara tuntuntan pekerjaan dan peran dalam lingkungan pribadi. b. Work-life Policies, merujuk pada Kebijakan dan program organisasi, termasuk fleksibilitas kerja, 26 cuti, jam kerja, dan fasilitas pengasuhan anak yang diterapkan di dalam organisasi. c. Dukungan, merujuk pada partisipasi rekan kerja dan atasan dalam memberikan bantuan, pengakuan, dan pemahaman. Semakin besar dukungan yang diperoleh karyawan dari lingkungan kerja akan berdampak positif dalam menciptakan kesimbangan antara tuntutan kerja dan kehidupan pribadinya d. Stress kerja, merujuk pada persepsi individu terhadap ancaman dan ketidaknyamanan di lingkungaan kerja, keberadaan stress kerja dapat menjadi penghambat terciptanya Work-life balance yang diinginkan e. Teknologi, teknologi merujuk dalam pada membuka perkembangan peluang bagi karyawan untuk mengakses pekerjaan secara fleksibel. Meskipun memberikan kemudahan pekermbangan teknologi juga membawa dampak positif dan negatif dalam Upaya karyawan mencapai worklife balance. f. Peran, merujuk pada peran-peran yang dimiliki seseorang, dan konflik antara peran-peran tersebut dapat menciptakan ketidakseimbangan yang menghasilkan work-life conflict. Tingkat kekacauan peran yang dimiliki oleh individu dapat menjadi hambatan dalam mencapai worklife balance. 3. Faktor kehidupan Faktor ini merujuk pada tanggung jawab rumah tangga, pengasuhan anak, bantuan dukungan dari 27 keluargam dukungan orang tua dan pasangan, serta faktor ekonomi. Aspek – aspek ini turut berperan dalam membentuk Work-life balance seseorang, menggambarkan kompleksitas tantangan yang dihadapi individu dalam mencapai keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kebutuhan pribadi 2.1.4 PT Global Asia Sinergi PT Global Asia Sinergi, perusahaan konsultan IT yang didirikan pada tahun 2013 oleh Jul Darmawan, Sim Bong, dan Teddy Pohan, telah menjadi pemain sentral dalam industri teknologi informasi di Kawasan ASEAN. Dengan fokus utama pada IT Service Management (ITSM) dan otomasi, perusahaan ini memiliki basis operasional di Jakarta dan Singapura, menjadikannya distributor eksklusif untuk Kaseya di Indonesia dan menawarkan produk-produk unggulan seperti Uila, InvGate, Hexnode, Unitrends, dan NeuShield. Pengalaman lebih dari 10 tahun dalam industri ITSM telah membuktikan kredibilitas Global Asia Sinergi melalui kemitraan jangka panjang dengan klien ternama seperti BRI, BNI, DANAMON, BPJS Kesehatan, Krakatau Steel, dan Pertamina. Tidak hanya berfokus dalam negeri, perusahaan ini juga menjalin kerjasama dengan klien internasional dari Singapura, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Vietnam, dan Selandia Baru. Dengan portofolio layanan yang beragam, seperti IT Service Management , IT Asset Management, IT Security, dan Unified Enterprise Management Solution, Global Asia Sinergi menawarkan solusi inovatif untuk mendorong transformasi digital perusahaan di seluruh ASEAN. Keahlian mereka dalam pengelolaan operasional teknologi informasi, perlindungan keamanan digital, dan manajemen aset perusahaan menjadikan perusahaan ini pilihan utama bagi klienklien terkemuka di dalam dan luar negeri. 28 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Teori Strukturasi adaptif (Adaptive Structuration Theory) Adaptive Structuration Theory (AST) diperkenalkan dan dikembangkan oleh DeSanctis dan Poole (1994) sebagai turunan dari Gidden’s Structuration Theory untuk menganalisis interaksi kelompok dan organisasi dengan teknlogi informasi (TI). Giddens melalui teori strukturasinya berusaha menjelaskan dualitas struktur, yaitu hubungan timbal balik antara agensi dan sturktur yang saling mempengaruhi. Giddens (1976) menyatakan bahwa tindakan manusia adalah proses produksi dan reproduksi dalam berbagai sistem sosial (LittleJohn, 2002). Dalam perspektif Giddens (1976), sistem sosial diartikan sebagai suatu rangkaian praktik sosial, yang melibatkan hubungan antar pelaku yang terus direproduksi dan diulang-ulang sehingga membentuk pola hubungan sosial. Reproduksi sosial terjadi melalui dualitas struktur dan praktek sosial, yang selalu melibatkan interaksi antara sarana-sarana. Struktur dalam konteks sosial diartikan sebagai sarana, yakni aturan (rules) dan sumber daya (resources) yang di organisir sebagai kepemilikan sistem sosial dan muncul saat diaktifkan oleh pelaku dalam suatu praktik sosial. Oleh karena itu, struktur bukanlah objek fisik (benda), melainkan skemata yang memberikan arahan atau membimbing dalam interaksi sosial. Struktur memiliki kemampuan untuk melampaui batasan ruang dan waktu, sehingga dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi. Aturan dapat dijelaskan sebagai pola dan teknik yang diketahui pelaku, dapat digunakan atau diikuti dalam kehidupan sosial. Beberapa karakteristik pasti yang melekat pada aturan: (1) penggunaanya yang sering dalam percakapan, tata cara interaksi, dan rutinitas sehari-hari setiap individu; (2) dipahami dan tersedia sebagai pengetahuan bersama (mutual knowledge) bagi pelaku;bersifat informal,tidak tertulis dan 29 tidak diungkapkan secara eksplisit, dan jika dilanggar hukumanya ringan dan diterapkan melalui cara-cara komunikasi interpersonal. Pelaku membutuhkan kapasitas untuk menerapkan aturan dalam tindakan. Beberapa kapasitas ini memerlukan sumberdaya, yang mencakup perlengkapan materi dan keterampilan keorganisasian untuk bertindak dalam suatu situasi. Sumberdaya bukanlah kekuasaan itu sendiri, namun ketika sumber daya diaktifkan atau digunakan, pelaku memperoleh kekuasaan untuk mewujudkan sesuatu. Kekuasaaan selalu terkait dengan kapasitas transformatif. Struktur bukan hanya alat (medium), melainkan juga hasil dari praktik yang diatur diorganisasikan secara berulang (recursive), yang dalam teori strukturasi dikenal sebagai dualitas struktur. Dengan demikian, struktur tidak bersifat eksternal bagi individu. struktur tidak dapat dianggap sama dengan kekangan (constraint); namun, selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling) melalui hubungan yang ada antara struktur dan agensi. Sistem sosial memiliki tiga jenis struktur, yaitu: (1) Signifikasi atau penandaan sebagai struktur yang menciptakan makna melalui jaringan bahasa yang terorganisir, seperti kode semantik, skema interpretative, dan praktif diskursif. (2) Legitimasi atau pembenaran sebagai struktur yang menghasilkan aturan moral melalui pengakuan dalam norma, nilai, standar masyarakat, dan terutama terlihat dalam hukum. (3) Dominasi atau penguasaan sebagai struktur yang menghasilkan kekuasaan yang berasal dari kontrol terhadap sumberdaya. Dominasi bergantung pada pemanfaatan dua jenis sumberdaya, yakni sumberdaya alokatif alokatif dan sumberdaya otoratif. Sumber daya alokatif mengacu pada bentuk kapasitas transformatif, dalam memberi perintah terhadap barang, objek, atau fenomena material. Sementara itu, sumber daya otoritatif mengacu pada jenis kapasitas transformatif yang menghasilkan perintah terhadap pelaku(agen). 30 Pelaku (agen) merupakan individu yang memiliki pengetahuan tentang sebagian besar tindakan yang mereka lakukan. Pengetahuan ini termanifestasi melalui tindakan rutin mereka dalam kesadaran praktisi. Kesadaran praktis merupakan aspek kunci dalam memahami bagaimana tindakan dan praktik sosial seiring waktu menjadi struktur, serta bagaimana struktur tersebut membatasi dan memberdayakan tindakan dan praktik sosial kita Agensi memiliki keterkaitan erat dengan struktur sosial, di mana keduanya saling mempengaruhi dan menciptakan masyarakat bersama. Pelaku (agen) membawa pengetahuan tentang masyarakatnya, dan pengetahuan kolektif ini menciptakan struktur. Meskipun pelaku (agen) memiliki kebebasan dalam bertindak di dalam struktur, mereka juga berkontribusi dalam pemeliharaan dan pembaruan masyarakat, seraya mempertimbangkan kemungkinan perubahan masyarakat. Giddens menjelaskan konsep ini melalui ‘reflexive monitoring of actions’ yaitu kemampuan dalam mengevaluasi efektivitasan dalam mencapai tujuan. Pelaku (agen) mampu menciptakan struktur melalui tindakan mereka dan memiliki kemapuan untuk mengubahnya. Namun, tindakan yang disengaja juga dapat menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan bagi pelaku, dan konsekuensi tersebut memungkinkan juga membentuk kondisi tindakan yang tidak diakui dalam suatu umpan balik. Giddens berpendapat bahwa manusia memiliki kapasitas sebagai agensi, memungkinkan mereka untuk menyebabkan perubahan dalam organisasi sosial. Meskipun demikian, agensi tidak selalu mampu menggunakan keterampilan mereka secara efektif karena dibatasi oleh peluang struktural. Dualitas struktur dalam teori Anthony Giddens, yang dirumuskan oleh DeSanctis dan Poole (1994) dalam Adaptive Structuration Theory (AST), dapat dijelaskan sebagai “the production and reproduction of the social systems through members’ use of rules and resources in interaction” (Ali-Hassan 2005). Teori ini disebut adaptif karena, 31 menurut DeSanctis dan Poole (1994), anggota kelompok dengan sengaja menyesuaikan aturan dan sumberdaya untuk meningkatkan pencapaian tujuan (Computer Mediated Communication, n.d.). Poole dan Desanctis menggunakan konsep GDSS (Group Decition Support Sytem) untuk menggambarkan implementasi prinsip teori strukturasi adaptif dalam penggunaan teknologi informasi (IT). GDSS adalah sistem kerja yang dapat diimplementasikan melalui berbagai teknologi. Sistem ini mengintegrasikan kapabilitas komputasi, komunikasi, dan kemampuan dukungan keputusan (decision support capabilities) untuk mendukung proses generasi ide kelompok, perencanaan, pemecahan masalah, dan pengambilan Keputusan (DeSanctis & Poole, 1994). Struktur sosial dari teknologi dapat dipahami melalui dua aspek utama: fitur struktural (structural features) yang mencakup aturan, sumber daya, dan kemampuan khusus yang ditawarkan sistem, serta spirit atau niat yang menggerakan serangkaian fitur tersebut. Fitur struktural (structural features) adalah jenis dari aturan, sumber daya, dan kapabilitas yang disediakan atau terdapat dalam sitem. Fitur struktural membawa makna apa yang disebut Giddens sebagai signifikasi dan dominasi atau kontrol. Sedangkan Spirit mencerminkan niat umum, nilai-nilai, dan tujuan yang melandasi fitur struktural. Spirit mebawa makna apa yang disebut Giddens sebagai legitimasi dan berperan sebagai sarana signifikasi. 2.2.1.1 Asumsi Teori Strukturasi Adaptif (Adaptive Structuration Theory) Menurut West dan Turner (2009) Terdapat 3 asumsi dari teori strukturasi adaptif: 1. Kelompok atau perusahaan diproduksi dan direproduksi melalui aturan dan sumber daya Asumsi ini menjelaskan dinamika komunikasi dalam suatu organisasi sebagai langkah 32 awal dalam menciptakan memodifikasi aturan aturan yang baru sudah ada, untuk atau menekankan kembali aturan yang sejak lama telah diterapkan guna memperbaiki harapan. Dengan demikian, struktur ini dianggap sebagai bagian dari penciptaan interaksi yang terjadi dalam konteks organisasi 2. Aturan Komunikasi berfungsi baik sebagai medium untuk maupun hasil dari interaksi. Asumsi ini menafsirkan keberadaan aturan terkait dengan penyediaan norma dan pembatasan terhadap prilaku kelompok, dengan menerapkan peraturan berdasarkan harapan sebelumnya. Dengan demikian, struktur kelompok dapat melibatkan rangkaian aturan dan sumber daya yang digunakan oleh anggotanya untuk membuat Keputusan mengenai jenis perilaku komunikasi yang diinginkan. 3. Struktur kekuasaan ada di didalam organisasi dan menuntun proses pengambilan keputusan dengan menyediakan informasi mengenai strategi terbaik dalam mencapai tujuan organisasi. Asumsi ini menyatakan bahwa kekuasaan merupakan faktor yang signifikan dalam pembentukan keputusan di dalam suatu organisasi. Dalam teori stukturasi, konsep kekuasaan diartikan sebagai kemampuan untuk mencapai hasil, yang memungkinkan individu mencapai individu mencapai tujuan mereka. Kekuasaan juga dipahami sebagau hubungan dua arah, dan fakta bahwa seorang agen diundang untuk berpatisipasi dalam diksusi dan proses pengambilan 33 keputusan menunjukan bahwa.agen tersebut memiliki sejumlah kekuasaaan tertentu terhadap pihak lain. 2.2.2 Model ECAM (E-Leadership Communication Adaption Model) ECAM (E-Leadership Communication Adaption Model) adalah adaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Venkatesh et al (2003 dalam Liu et al, 2018). Penelitian Venkatesh et al (2003) berfokus pada pola adopsi teknologi oleh anggota organisasi melalui upaya sistematis dalam penyebaran teknologi dengan mempertimbangkan efek teknologi, difusi industri dan dukungan organisasi, serta bagaimana individu akan menerima atau menolak adopsi teknologi. Namun, penerimaan pengguna terhadap ICT (Information and Communication Technology) berbeda dari adopsi pemimpin terhadap ICT, terutama karena hanya sebagaian kecil teknologi yang digunakan pemimpin difasilitasi oleh institusi. Para pemimpin cenderung jarang mengalami kegagalan dalam mengadopsi ICT di tingkat organisasi, walaupun demikian, hal tersebut tidak menjamin penggunaan teknologi digunakan dengan efektif. Meskipun model ECAM memiliki dasar teoritis dan operasionalnya mirip dengan model Vankatesh (2003), tetapi juga memiliki perbedaan signifikan. Model ECAM lebih menekankan peran aktif pemimpin dalam mengadopsi ICT, bukan efek teknologi pada pemimpin sebagai anggota organisasi biasa. Sebagai hasilnya model ini lebih memeriksa karakteristik pemimpin daripada karakteristik pengikut. Liu et al (2018 ) mengemukakan bahwa penggunaan ICT untuk keperluaan kepemimpinan di tingkat individu bergantung pada sejumlah sifat dan keterampilan tertentu (Select Leadership Traits and Skills or STS). Sifat dan keterampilan tertentu ini mempengaruhi kesadaran aktif (active awareness) pemimpin terhadap teknologi, Mengevaluasi mutu dari teknologi, dan keinginan untu melakukan upaya lebih. Dampak dari ketiga faktor terakhir pada keputusan seorang pemimpin untuk mengadopsi 34 teknologi dalam keperluan kepemimpinan dimediasi oleh intensi untuk menggunakan ICT. Peningkatan intensi pemimpinan untuk menggunakan ICT digital dalam organisasi akan terjadi sejalan dengan ketersediaan lingkungan dan fasilitas (facilitating condition) yang mendukung kepemimpinan digital di dalam organisasi Gambar 2.6 Model ECAM (E-Leadership Communication Adaption Model) Sumber: Liu et al. (2018) ECAM (E-Leadership Communication Adaption Model) memiliki fokus pada aspek kepemimpinan digital, khususnya dalam konteks adopsi teknologi secara individual (ajabar et al, 2021). Sementara adaptive structuration theory (AST) lebih umum membahas interaksi manusia dengan teknologi dalam konteks struktur sosial dan organisasi (Kharisma, 2018 dalam ajabar et al, 2021). Meskipun keduanya memiliki fokus yang berbeda, namun ada beberapa titik persamaan yang dapat digunakan untuk menganalisis kepemimpinan digital dalam implementasi work-life balance: 1. Pentingnya interaksi manusia dengan teknologi Baik ECAM maupun AST mengakui pentingnya interaksi manusia dengan teknologi. ECAM menyoroti bahwa pemimpin perlu memiliki intensi kuat untuk menggunakan teknologi digital, sementara AST memahami bahwa teknologi memainkan peran penting dalam membentuk interaksi sosial dan struktur organisasi modern 2. Faktor individu dan lingkungan 35 ECAM menekankan faktor individu, seperti sifat-sifat dan keterampilan-keterampilan tertentu, dalam menentukan intensi penggunaan teknologi. Di sisi lain, AST juga memperhitungkan faktor lingkungan, di mana keberhasilan adaptasi teknologi tergantung aspek konteks sosial dan budaya yang mendukung. 3. Adaptasi dan pembentukan struktur Sementara ECAM lebih fokus pada adopsi teknologi secara individu, AST menggambarkan bagaimana teknologi dapat membentuk struktur sosial secara lebih luas. Dalam konteks work-life balance, kedua pendekatan dapat melibatkan pertimbangan tentang bagaimana teknologi membentuk pola interaksi yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dengan memadukan ECAM dengan AST, analisis kepemimpinan digital dalam konteks Work-life balance dengan mempertimbangkan aspek individu (seperti intensi, sifat-sifat, dan keterampilan) dan lingkungan (dukungan organisasi dan fasilitas teknologi). Ini dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang bagaimana kepemimpinan digital dapat mempengaruhi organisasi dan implementasi Work-life balance dalam organisasi. 2.3 Penelitian Terdahulu TABEL 2.1 Tinjauan Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Dilakukan NO 1 Penyusun dan Tahun Dewi Widowati, Judul Penelitian Organisatio nal Commnucati Tujuan Penelitian mengamati implementasi komunikasi Metode Penelitian Kualitatif 36 Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan Keseimbangan antara kerja dan kehidupan Persamaan utama dalam Perbedaan utama dalam Vidya Alisya, Yuni Rahayu, Mufid Salim, Steven Sakasmita, Institut Komunikasi dan Bisnis Indonesia LSPR Tahun 2023 on Towards Work-life balance in Achieving Working Homeostatic at JOOX Indonesia internal dalam perusahaan dan bagaimana perusahaan menerapkan keseimbangan antara kerja dan kehidupan karyawan 2 Anik Nur Kholifah, Jul Aidin Fadli, Universitas Esa Unggul 2023 Pengaruh Kepemimpin an Transformas ional dan Work-life balance terhadap Keterikatan Kerja dan Kinerja Karyawan Mengeksplora si keterkaitan antara kepemimpinan transformasional dan work life balance terhadap keterikatan kerja dan kinerja karyawan. Kuantitatif 3 Farida Dwi Cahyarini, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai – Balitbang Implementas i Digital Leadership dalam Pengembang an Kompetensi Digital pada Menganalisis implementasi kepemimpinan digital yang diharapkan menjadi salah satu kunci dalam pengembangan Kualitatif studi kasus 37 karyawan tidak merata di perusahaan, terlihat dari ketidaksetaraan posisi dalam hierarki organisasi. Posisi manajerial dan di atasnya lebih merasakan keseimbangan antara kerja dan kehidupan dibandingkan dengan karyawan biasa. Kepemimpinan transformasional, work-life balance, dan keterikatan kerja secara bersamaan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan, diukur dengan hasil uji F sebesar 108,249 dan nilai signifikan 0,000. Terdapat juga pengaruh tidak langsung, dimana kepemimpinan transformasional memengaruhi kinerja karyawan melalui keterikatan kerja, dengan nilai 0,412 yang lebih dominan dibandingkan pengaruh langsung sebesar 0,185. Implementasi kepemimpinan digital mendorong untuk memaksimalkan pemanfaatan teknologi penelitian ini terletak pada objek yang digunakan dalam penelitian yaitu worklife balance penelitian ini terletak pada subjek dan teori yang digunakan dalam penelitian Persamaan utama dalam penelitian ini terletak pada objek yang digunakan dalam penelitian yaitu worklife balance Perbedaan utama dalam penelitian ini terletak pada metode dan subjek digunakan dalam penelitian Persamaan utama dalam penelitian ini terletak pada objek yang digunakan Perbedaan utama dalam penelitian ini terletak pada subjek yang SDM Kemkominf o Tahun 2021 Pelayanan Publik kompetensi digital pelayanan publik perizinan Spektrum Frekuensi Radio pada Direktorat Operasi Sumber Daya Ditjen SDPPI 4 Sri Maryati, Muhamad Ichsan Siregar, Universitas Sriwijaya, Tahun 2020 Kepemimpin an Digital dalam Meningkatk an Kinerja Organisasi Peran Teknologi Informasi dan Komunikasi Menguji peran Inovasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam hubungan antara faktor kepemimpinan dan kinerja organisasi. Kuantitatif 5 Tiara Kharisma, Firman Kurniawan Sujono, Ilmu Komunikasi , Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Tahun 2018 Analisis Strukturasi Adaptif: Implikasi Penggunaan Teknologi Informasi dalam Pelayanan Informasi Publik Organisasi Pemerintaha n membahas proses strukturasi adaptif yang terjadi ketika suatu organisasi pemerintahan melakukan transformasi pelayanan informasi publik dari cara manual menjadi berbasis teknologi informasi. Kualitatif 38 informasi, menghasilkan perbaikan pelayanan publik digital dan capaian prestasi. Meskipun indikator pelayanan sudah memuaskan, terdapat harapan perbaikan pada bidang tertentu, mendorong Unit Layanan untuk meningkatkan layanan publik dengan pengembangan kompetensi digital petugas sesuai standar jabatan secara terencana dan terukur di masa depan. kepemimpinan memiliki pengaruh terhadap kinerja organisasi dan Inovasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memediasi hubungan kepemimpinan dengan kinerja organisasi. agen berinteraksi dengan struktur pelayanan informasi publik yang telah beralih menjadi berbasis teknologi informasi, tindakan agen di organisasi pemerintahan menunjukkan interplay antara struktur dalam penelitian yaitu kepemimpi nan digital digunakan dalam penelitian Persamaan utama dalam penelitian ini terletak pada objek yang digunakan dalam penelitian yaitu kepemimpi nan digital Perbedaan utama dalam penelitian ini terletak pada metode dan subjek digunakan dalam penelitian Persamaan utama dalam penelitian ini terletak pada teori yang digunakan dalam penelitian yaitu adaptive structuratio n theory Perbedaan utama dalam penelitian ini terletak pada subjek digunakan dalam penelitian pelayanan informasi publik berbasis teknologi informasi, struktur sosial lain (tugas, lingkungan internal dan eksternal) serta sistem internal organisasi pemerintahan yang berlaku. Dalam interaksinya para agen menggunakan komunikasi formal (horizontal, vertikal dan diagonal) serta informal. Hasil interaksi tersebut teridentifikasi munculnya struktur sosial baru yang menjadi pemahaman bersama di antara agen, mengatur tindakan agen ketika melakukan pelayanan serta terlegitimasi dalam pemahaman agen, sehingga pelayanan informasi publik berbasis teknologi informasi dapat terus berjalan. 2.4 Kerangka Pemikiran TABEL 2.2 39 Kerangka Pemikiran Penelitian 40 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian dapat diidentifikasi sebagai narasumber yang memegang peran penting sebagai salah satu kompenen utama dalam penelitian atau individu yang berhubungan erat dengan latar belakang penelitian. Subjek penelitian ini kemudian dimanfaatkan untuk memberikaninformasi tentang situasi, keadaan dan kondisi latar belakang penelitian (Moloeng, 2010 dalam Khadafi, 2023). Adapun subjek penelitian ilmiah ini adalah Pemimpin divisi atau team PT Global Asia Sinergi yang menerapkan kepemimpinan digital, serta berhasil mencapai Work-life balance yang baik di dalam divisi atau timnya 3.1.1 Subjek Penelitian Subjek penelitian dapat diidentifikasi sebagai narasumber yang memegang peran penting sebagai salah satu kompenen utama dalam penelitian atau individu yang berhubungan erat dengan latar belakang penelitian. Subjek penelitian ini kemudian dimanfaatkan untuk memberikaninformasi tentang situasi, keadaan dan kondisi latar belakang penelitian (Moloeng, 2010 dalam Khadafi, 2023). Adapun subjek penelitian ilmiah ini adalah Pemimpin divisi atau team PT Global Asia Sinergi yang menerapkan kepemimpinan digital, serta berhasil mencapai Work-life balance yang baik di dalam divisi atau timnya 3.1.2 Objek Penelitian Menurut Sugiyono (2018) objek penelitian merujuk pada atribut dari orang, obyek, atau kegiatan yang menpunyai variasi khusus yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan mengambil kesimpulan berdasarkan kumpulan data yang ada. Adapun objek penelitian ilmiah ini adalah kepemimpinan digital dalam implementasi Work-life balance karyawan PT Global Asia Sinergi 41 3.2 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan memahami gejala-gejala yang tidak memerlukan kuantifikasi. Sugiyono (2018) mendefenisikan pendekatan kualitatif sebagai suatu pendekatan yang berakar pada filsafat yang digunakan untuk menyelidiki kondisi ilmiah. Dalam pendekatan ini, peneliti berfungsi sebagai instrument utama, sementara teknik pengambilan data dan analisis data bersifat kualitatif, lebih menekankan pada pengungkapan makna. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan fenomena atau obyek penelitian melalui pemahaman aktivitas sosial, sikap dan persepsi individu atau kelompok. Dalam penelitian ini, peneliti mengadopsi pendekatan kualitatif untuk menganalisis dan memahami fenomena dan dinamika kepemimpinan digital dalam mewujudkan Work-life balance karyawan PT Global Asia Sinergi melalui pemahaman aktivitas sosial, sikap, dan persepsi pemimpin atau karyawan perusahaan. 3.3 Paradigma Penelitian Paradigma merupakan suatu cara pandang yang digunakan untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Dalam penelitian ini, peneliti mengadopsi paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis merupakan suatu paradigma yang hampir bertentangan dengan pandangan yang menekankan pada pengamatan dan objektivitas dalam penemuan realitas atau ilmu pengetauan. Paradigma konstruktivis merupakan salah satu perspektif dalam tradisi sosiokultural. Pandangan ini menyatakan bahwa identitas suatu objek terbentuk melalui bagaimana kita berbicara tentang objek tersebut, bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan konsep kita, dan adaptasi kelompok sosial terhadap pengalaman umum mereka. Simbol atau bahasa memainkan menjadi penting dalam proses pembentukan realitas. Berbagai kelompok dengan identitas, interpretasi, kepentingan, dan pengalaman yang berbeda 42 berusaha untuk mengungkapkan diri dan pada akhirnya memberikan kontribusi dalam pembentukan realitas secara simbolik. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme sebagai suatu cara dalam memandang untuk memahami dan menganalisa bagaiamana realitas tentang kepemimpinan digital dan Work-life balance di PT Global Asia Sinergi dibentuk, dipahami, dan didefenisikan oleh berbagai pihak yang terlibat, termasuk pemimpin, karyawanm dan kelompok lainnya yang relevan. 3.4 Metode Pengumpulan Data Menurut Sugiyono (2018), dalam proses pengumpulan data penelitian,penting untuk melibatkan kondisi yang alamiah, mengandalkan sumber data primer,dan fokus pada teknik pengumpulan data, terutama obeservasi berperanserta, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data menurut Sugiyono (2018) mencakup observasi, wawancara, angket dan dokumentasi. Dalam penelitian ini, peneliti memilih teknik pengumpulan data dengan menggugakan teknik obeservasi, wawancara dan dokumentasi: 1. Wawancara Menurut Moleong (2005 dalam Herdiansyah, 2014) wawancara dapat diartikan sebagai percakapan yang disengaja antara dua pihak, yaitu pewawancara sebagai pihak yang mengajukan pertanyaan (interviewer) dan individu yang diwawancarai sebagai pihak yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut (respondent). Tujuan dari pelaksanaan wawancara tidak hanya sebatas untuk memahami suatu fenomena atau masalah tertentu, tetapi juga ketika peneliti ingin memperoleh informasi yang detail dan komprehensif dari respondent (sugiyono, 2019). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data yaitu wawancara untuk menggali dan 43 memperoleh informasi yang detail dan komprehensif tentang bagaimana kepemimpinan digital dan Work-life balance di PT Global Asia Sinergi dipahami, diinterpretasikan dan diimplementasikan oleh pemimpin dan karyawan. 2. Observasi Mashall (dalam Sugiyono, 2019) menyatakan bahwa “through observation, the research learns about behaviour and the meaning attached to those behaviour”. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa observasi adalah suatu metode yang digunakan oleh peneliti untuk memahami perilaku dan makna yang terkait dengan perilaku tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti mengadopsi teknik observasi sebagai pendukung wawancara. Peneliti tidak hanya membatasi diri pada pertanyaan, tetapi juga secara aktif mengamati lingkungan sekitar. Selain itu, selama sesi wawancara, observasi digunakan untuk mengamati gerak-gerik responden sebagai bagaian dari analisis mendalam terhadap data yang diperoleh 3. Dokumentasi Menurut Sugiyono (2019) dokumentasi menjadi pelengkap dari penggunaan metode wawancara dan observasi dalam penelitian kualitatif. Hasil penelitian dari metode wawancara dan observasi akan validitasnya menjadi apabila lebih kredibel didukung dengan dan meperkuat sumber-sumber dokumentasi seperti Sejarah, foto-foto, karya tulis akademik, profil dan karya seni yang telah ada. Dalam penelitian ini, peneliti mengadopsi teknik dokumentasi guna memperoleh data terkait dengan para informan penelitian dan mengabadikan momen-momen yang terjalin dalam kegiatan PT Global Asia Sinergi. 44 3.5 Teknik Penentuan Informan Sugiyono (2018) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, sumber informasi utama adalah informan atau narasumber yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Mereka memiliki kemampuan untuk menyapaikan informasi yang relevan dan komprehensif dengan situasi dan kondisis latar belakang penelitian. Dalam penelitian ini teknik yang digunakan dalam penentuan informan dalam penilitian ini adalah purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik penentuan informan yang disesuaikan berdasarkan atribut-atribut khusus yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Dalam teknik ini, pemilihan informan tidak dilakukan secara acak, melainkan dengan pertimbangan yang teliti untuk memastikan bahwa informan yang dipilih memiliki kualifikasi atau karakteristik tertentu yang relevan dengan fokus penelitian. Dalam penelitian ini, pemilihan informan dalam penelitian ini didasarkan dengan karakteristik, yaitu: (1) Pemimpin divisi atau team, (2) Menerapkan kepemimpinan digital, (3) Bekerja di PT Global Asia Sinergi, (4) Divisi atau teamnya memiliki Worklife balance yang baik. Berdasarkan uraian di atas, dalam konteks penelitian ini, informan yang dipilih untuk memberikan informasi yang relevan dan komprehensif sesuai dengan fokus penelitian adalah sebagai berikut: 1. Informan Kunci Informan kunci atau Key Informant adalah perwakilan kelompok yang menjadi fokus penelitian, yang memiliki pengetahuan yang lebih mendalam terkait dengan aturan, rutinitas dan bahasa dalam kelompoknya (Daymon & Holloway, 2002). Adapun key informant penelitian ilmiah ini adalah Windy Hendwiananda selaku head of product & emerging technologies. 2. Informan 45 Informan adalah individu yang berfungsi dalam memberikan informasi terkait dengan realitas dan kondisi yang menjadi latar belakang dalam rumusan masalah penelitian (Moleong, 2006). Adapun informan penelitian ilmiah ini adalah Edwin Sandhi sebagai Technical Account Executive dan Misbahul Huda sebagai Application Developer 3.6 Teknik Analisis Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Menurut I Made Winartha (2006), metode Analisis Deskriptif Kualitatif bertujuan untuk menganalisis, menggambarkan, dan merangkum berbagai kondisi dan situasi dari berbagai data yang dikumpulkan, seperti hasil wawancara atau observasi mengenai masalah yang diteliti yang terjadi dilapangan. Teknik analisis data penelitian kualitatif ini mengadopsi proses analisis Miles dan Huberman 1992, yang membagi kompenen analisis menjadi tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, dapat dilihat pada gambar 3.1. 1. Pengumpulan data Pengumpulan data merupakan cara untuk mendapatkan informasi terkait suatu fenomena atau permasalah yang diteliti. Pencarian, pencatatan, dan pengumpulan hal-hal secara objektif sesuai dengan hasi wawancara dan observasi di lapangan. 2. Penyajian data Penyajian data melibatkan presentasi data yang telah disaring setelah pengumpulan data dilakukan. Tujuan dari penyajian data adalah untuk menganalisis masalah sehingga memudahkan pencariaan solusinya. Proses ini juga membantu peneliti dalam melihat gambaran di lapangan secara tertulis (Rasyad, 2005) 3. Reduksi data 46 Reduksi data mencakup pemilihan dan penyaringan data yang dihasilkan dari pengumpulan data. Menurut Sugiyono (2018), proses ini melibatkan pengurangan data, pemilihan faktor kunci, fokus pada faktor penting yang relevan dengan topik penelitian, pencarian tema dan pola, dengan tujuan akhir untuk memberikan gambaran jelas serta memfasilitasi pengumpulan data tambahan 4. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan merupakan tahap penyederhanaan data dari awal hingga akhir, menghasilkan suatu kesimpulan atau pokok pikiran. Menurut sugiyono (2018), kesimpulan dalam penelitian kualitatif dapat mejawab masalah yang telah dirumuskan sejak awal, namun bersifat dinamis dan berkembang seiring dengan perkembanga penelitian yang bersifat praktisi. Gambar 3.1 Teknik Analisis Data 3.7 Teknik Keabsahan Data Dalam penelitian ini, teknik pengecekan dan keabsahan data yang digunakan adalah teknik triangulasi. Teknik triangulasi didefinisikan oleh Sugiyono (2015:83) sebagai suatu teknik pengumpulan data yang melibatkan gabungan berbagai data dan sumber yang telah ada. Lebih lanjut, Norman K. Dekin menjelaskan bahwa triangulasi data melibatkan penggabungan berbagai metode untuk mengkaji suatu fenomena tertentu yang memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sering 47 menggunakan teknik triangulasi untuk memastikan keabsahan data yang mereka peroleh. Dekin mengklasifikasikan teknik triangulasi menjadi empat jenis, yakni triangulasi metode, triangulasi sumber data, triangulasi teori, dan triangulasi antar-peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi sumber data untuk menguji validitas dan reliabilitas data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa informan yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, peneliti juga menguji kredibilitas data yang berasal dari wawancara melalui observasi dan dokumentasi 48 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum PT Global Asia Sinergi Global Asia Sinergi (GAS) merupakan perusahaan konsultasi TI yang telah berdiri sejak tahun 2013, didirikan oleh Jul Darmawan, Sim Bong, dan Teddy Pohan. Perusahaan ini berfokus pada bidang ITSM (IT Service Management ) dan otomasi, dengan basis operasional di Jakarta dan Singapura. Sebagai distributor eksklusif untuk Kaseya di Indonesia, GAS juga menawarkan sejumlah produk lain seperti Uila, InvGate, Hexnode, Unitrends, dan NeuShield. GAS melayani berbagai kebutuhan dukungan IT untuk perusahaan, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga telah memberikan dukungan kepada berbagai perusahaan di luar negeri. Layanan yang disediakan oleh Global Asia Sinergi sangat beragam, antara lain adalah 1. AKAMAI: Layanan keamanan digital yang memberikan solusi untuk memastikan kelangsungan dan keamanan operasional perusahaan di era digital yang cepat. 2. Invgate: Solusi Manajemen Layanan TI (ITSM) inovatif dan komprehensif yang dirancang untuk mengubah cara organisasi mengelola layanan IT dan operasional dukungan perusahaan. Dengan fokus kuat pada pengalaman pengguna, efisiensi, dan otomatisasi. 3. KASEYA: Solusi manajemen dan keamanan yang membantu mengambil kendali atas infrastruktur IT, mengotomatisasi tugas, dan mengoptimalkan sumber daya. 4. MiniOrange: Solusi identitas dan manajemen akses untuk mengamankan dan mengelola identitas pengguna, 49 memungkinkan akses yang lancar ke aplikasi, dan menjamin perlindungan data. 5. SOCIALWIFI: Solusi interaksi bisnis melalui koneksi Wi-fi yang stabil dan aman. 6. SOTI: Solusi mobile & Internet of Things untuk menyederhanakan dan mengoptimalkan operasi bisnis perusahaan. 7. UILA: Platform AIOps (Artificial Intelligence for IT Operations) kecerdasan bauta yang dirancang untuk mengoptimalkan kinerja IT, meningkatkan pengalaman pengguna, dan secara proaktif menyelesaikan masalah secara real-time. 4.1.2 Visi dan Misi PT Global Asia Sinergi • Visi Menjadi penyedia layanan Manajemen & Solusi otomasi di kawasan ASEAN. Kami berkomitmen untuk memberdayakan bisnis di seluruh ASEAN dengan teknologi inovatif dan layanan luar biasa yang mengoptimalkan operasi TI. Melalui pendekatan yang berpusat pada klien, tim ahli, dan solusi khusus kami, kami bertujuan untuk menjalin kemitraan yang langgeng dengan organisasi. Bersama-sama, kami berusaha untuk membuka potensi penuh keunggulan TI dan mendorong bisnis menuju masa depan yang sukses. • Misi 1. Pendahuluan dan Komitmen untuk Keunggulan 2. Membangun Kepercayaan dan Kemitraan 3. Pemimpin dalam Solusi ITSM dan RMM 4. Memberdayakan Pertumbuhan dan Efisiensi 5. Mendorong Transformasi Digital\ 50 4.1.3 Struktur PT Global Asia Sinergi 4.1.4 Profil Informan Pada penelitian ini, peneliti membutuhkan informan yang dapat membuat suatu pernyataan untuk memberikan bukti bukti yang akurat dan untuk melengkapi penelitian ini. Peneliti menentukan informan yang memenuhi kriteria dan yang terikat secara penuh di dalam PT Globla Asia Sinergi. Berikut profil informan yang melakuakan wawancara: 1. Key Informan Nama Informan : Windy Hendwiananda Jabatan : Kepala Divisi Produk dan Emerging Tempat Wawancara : Global Asia Sinergi Waktu Wawancara 2. Informan 1 Nama Informan : 24 Desember 2023 : Edwin Sandhi Jabatan : Technical Account Executive Tempat Wawancara : Kediaman Windy Hendwiananda Waktu Wawancara 51 : 24 Desember 2023 3. Informan 2 Nama Informan : Misbahul Huda Jabatan : Application Developer Tempat Wawancara : Kediaman Windy Hendwiananda Waktu Wawancara : 24 Desember 2023 4.1.5 Produksi dan Reproduksi Aturan PT Global Asia Sinergi Berdasarkan hasil wawancara, PT Global Asia Sinergi di bawah kepemimpinan Windy Hendwiananda sebagai Kepala Divisi Produk dan Emerging, menjelaskan bahwa dalam proses produksi dan reproduksi aturan kolaboratif, Windy menggunakan prinsip reward and punishment dan prinsip buy-in. Prinsip ini merupakan strategi komunikasi dan kepemimpinan yang bertujuan untuk mendapatkan keterlibatan aktif dari anggota tim atau karyawan terkait aturan yang akan diimplementasikan atau memodifikasi yang sudah ada di dalam perusahaan. Windy Hendwiananda menerapkan prinsip ini untuk menanamkan rasa memiliki dan keterlibatan aktif dari seluruh tim. Hal ini bertujuan agar saat implementasi aturan, semua orang dapat menjalani aturan tersebut dengan baik tanpa adanya rasa tekanan, karena aturan dianggap memberatkan karyawan. Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda yang menjelaskan penggunaan prinsip reward and punishment dan prinsip buy-in: “Pertama kali, kalau membuat satu aturan di satu perusahaan, yang paling penting adalah mesti ngerti prinsip reward and punishment. Kalau om lebih condong ke reward, bukan punishment. Ada hukumannya, tapi titik beratnya bukan dihukuman. Mesti lebih pada ke reward terus. Yang kedua adalah buy-in untuk satu aturan, supaya orang bisa, semua orang bisa melakukannya dengan senang, gembira, bahagia, sejahtera. Harus ada buy-in. Artinya, mereka harus merasa melakukan itu senang, ada ownershipnya. Kalau misalkan membuat satu aturan, biasanya ajak mereka ngobrol semua mau, akan lempar satu ide. Eh, lebih baik kita begini kira-kira. Yang lain, menurut yang lain, di mana 52 itu akan muncul ide baru kan? Nah, dari ide itu, itu pasti bisa diambil. Dijamin 100 persen bisa diambil ide karena apa itu dari mereka yang melakukan sendiri di lapangan dan sebagainya.” (wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka, Jakarta 23 Desember 2024). Windy Hendwiananda menerapkan prinsip buy-in dengan cara mengadakan forum diskusi santai, di mana Windy memperkenalkan ide terkait aturan yang akan diimplementasikan dan mengajukan pertanyaan kepada timnya mengenai perspektif mereka terhadap aturan tersebut. Dalam forum diskusi tersebut, terjadi dialog antara anggota tim, yang dapat memunculkan ide-ide baru yang mungkin lebih baik daripada ide yang diajukan oleh Windy Hendwiananda. Namun, pada saat yang sama, Windy Hendwiananda tetap mempertimbangkan dampak dari ide-ide tersebut terhadap perusahaan. Jika ada ide yang dianggap dapat memberikan dampak negatif, Windy akan dengan jujur memberi tahu dan menjelaskan di forum bahwa ide tersebut mungkin tidak sesuai atau bahkan berpotensi merugikan perusahaan. Selanjutnya, Windy akan mengajak tim untuk berdiskusi ulang guna menyesuaikan aturan sehingga dapat memenuhi kebutuhan baik dari tim maupun perusahaan secara keseluruhan. Pendekatan ini mencerminkan kerjasama tim dan komunikasi terbuka untuk mencapai aturan yang sesuai dengan tujuan bersama. Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda yang menjelaskan pemimpin sebagai mediator kedua belah pihak: “Betul, tapi pada saat yang sama, juga om akan berpikir bahwa, ‘Ok, kira-kira aturan ini ada impact negatif tidak dengan perusahaan?’ Dengan secara garis besar, kalau emang tidak ada jalanin, kalau ada, nah, itu maka om akan masuk, dan sisi perusahaan itu kalau misalnya segini, misalnya itu, kayaknya akan nanti konflik dengan ini-ini yang mungkin teman-teman di tim tidak tahu. Itulah gunanya salah satu leader.” 53 (wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka, Jakarta 23 Desember 2024). Prinsip buy-in tidak hanya terbatas pada penyusunan kebijakan atau aturan, melainkan juga diterapkan saat memilih teknologi untuk mendukung efisiensi Hendwiananda aturan terhadap tersebut. berbagai Keterbukaan teknologi Windy memungkinkan pengaruhnya dalam pembentukan aturan. Keterbukaan ini pada akhirnya memberikan dampak pada proses pembentukan aturan dengan melibatkan teknologi. Lebih lanjut, Windy Hendwiananda menggunakan prinsip buy-in untuk mendorong partisipasi dan keterlibatan tim dalam melakukan riset terhadap teknologi mana yang paling efektif dan efisien untuk digunakan dalam menunjang aturan yang memenuhi kebutuhan tim dan aturan yang berlaku. Dalam konteks ini, Windy Hendwianda menjadikan Zoom sebagai “kantor kedua”, menunjukkan bagaimana prinsip buy-in dapat diterapkan dalam pemilihan teknologi untuk mendukung proses kerja sehari-hari. Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda yang menggambarkan penggunaan prinsip buy-in dalam penerapan teknologi: “Itu juga salah satunya, jadi om akan terbuka dengan semua teknologi baru. Banyak contohnya, misalnya sesimple Om cuma melempar ide aja ke tim bahwa kayaknya kita perlu bikin suatu list yang bisa dilihat semua orang di tim kita di situ mengenai status semua project (Real time). Kira-kira kita pakai tools apa ya? Itu om lempar ke forum mereka, akan cari wah mendingan pakai ini, pakai Slack aja, pakai Trello, pakai project pake segala macam. Dari situ idenya oke, ambil 3 kita sama-sama riset. Risetnya maah enggak lama, sebentar, kira-kira cocok ke mana. Semua akan coba, mendingan ini enggak bisa, enggak bisa begini, enggak bisa begini. Oke, ini yang paling bagus, ya udah kita pakai. Karena dengan begitu, mereka akan commit bahwa mereka sendiri yang nyari, bukan om yang nyari.” (wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka, Jakarta 23 Desember 2024). 54 Windy menerapkan aturan "work from anywhere" dari Senin hingga Kamis dan "work from office" pada hari Jumat, yang muncul karena penggunaan Zoom dianggap sebagai "kantor kedua". Pengoptimalan sumber daya teknologi ini tidak hanya terbatas pada urusan internal perusahaan, seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan dua akun pada platform Zoom oleh PT Global Asia Sinergi. Akun pertama digunakan untuk pertemuan internal, secara otomatis aktif dari jam 9 pagi hingga 5:30 sore, sementara akun lainnya digunakan untuk pertemuan eksternal dengan klien. Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda tentang PT Global Asia Sinergi memiliki dua akun zoom: “Secara company Global Asia Sinergi itu punya 2 akun Zoom. Yang pertama itu Zoom regular sebagai kantor kedua yang dibuka dari 8:30 pagi sampai 5:30 sore, dan satu lagi untuk client.” (wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka, Jakarta 23 Desember 2024). Penerapan peraturan "work from anywhere" oleh Windy Hendwiananda tidak hanya berhasil meningkatkan efisiensi internal perusahaan, tetapi juga memberikan tingkat fleksibilitas yang tinggi kepada karyawan. Kebijakan ini mengizinkan penggunaan Zoom sebagai "kantor kedua" pada hari-hari tertentu dalam seminggu. Peran teknologi dalam menunjang kebutuhan tim dan implementasi aturan tidak hanya terbatas pada WFA, melainkan mencakup hampir semua aspek pekerjaan.Peran teknologi dalam mendukung kebutuhan tim dan implementasi aturan di PT Global Asia Sinergi terlihat dari beberapa aspek, seperti: 1. Collaboration Company-Wide menggunakan Zoho Clip 2. Internal and External Meeting menggunakan Zoom dan Zoho clip 55 3. Monitoring Employees Work and Team Collaboration menggunakan Zoho project 4. Client service, Task assignment and Progress monitoring by clients menggunakan Invgate service desk dan e-ticketing 5. Documents Repository menggunakan Filerun 6. Secure Credentials Repository menggunakan Google Keep 7. Sketch Collaboration menggunakan Excalidraw 8. Diagram Collaboration menggunakan Lucidchart 9. Sandbox Server menggunakan VMWare Esxi 7 10. Cloud Instance menggunakan Linode 11. Finance and Accounting menggunakan Zoho Books 12. Sales and Marketing CRM menggunakan Hubspot 13. Interactive Presentation menggunakan Canva 14. Internal Tools (expense/perf appraisal/visit report) menggunakan asiasinergi.com/internal 15. Internal Screen Sharing Collab menggunakan screego.net 16. Asset Management menggunakan Invgate Insight 17. PC/Server Remoting menggunakan MS RDP/Anydesk/VNC 18. Team Collab Discussion menggunakan discord dan WA Group 19. HR Management menggunakan Hadirr.com dan Gadjian.com 20. Repository Source Code Development menggunakan Gitlab.com 21. Secure Network Access menggunakan tailscale.com Tools diatas mencerminkan bahwa PT Global Asia Sinergi mengoptimalkan penggunaan sumber daya teknologi untuk menunjang kebutuhan tim serta penerapan aturan yang berlak 4.1.6 Struktur Kekuasaan sebagai Pihak Pengambilan Keputusan dalam Memperkuat Aturan di PT Global Asia Sinergi 56 Windy Hendiananda, pemimpin divisi Produk dan Emerging di PT Global Asia Sinergi, menerapkan struktur kekuasaan yang demokratis. Otoritasnya digunakan dengan melibatkan tim dalam pengambilan keputusan, terutama untuk keputusan yang melibatkan banyak orang atau tim. Meskipun memiliki hak veto dan kekuasaan mutlak, Windy membuka ruang diskusi dan kontribusi dari anggota tim, mencerminkan pendekatan demokratisnya. Wawancara menggambarkan bahwa struktur kekuasaan di perusahaan ini memperhitungkan keterlibatan tim dalam pengambilan keputusan. Windy, meskipun memiliki kendali mutlak, tetap menerapkan diskusi terbuka dengan tim, terutama untuk keputusan yang tidak bersifat rahasia atau langsung terkait dengan direktif Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda tentang pemanfaatan kekuasaan: “Kalau gaya manajemen Om adalah seperti yang dari awal, yaitu buy-in. Jadi, kalau misalnya ada keputusan yang harus dibuat yang menyangkut banyak orang atau tim member, biasanya, dan tidak terlalu rahasia, itu biasanya didiskusikan dan dilempar ke teman-teman untuk kita coba cari pendapat dan solusi. Karena pasti mendingan begini, mendingan begitu, tapi yang memutuskan tetap Om, dari sekian banyak. Jadi, kayak tetap punya hak veto. Berarti, Om tetap otoritas. Tapi, balik lagi, tidak serta-merta bahwa keputusan itu adalah keputusan dari Om sendiri, kecuali yang tadi bentuknya konfidensial, terus tidak menyangkut langsung ke direktif, itu mungkin langsung tanpa komunikasi ke member tim, itu Om keputusannya.” (wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka, Jakarta 23 Desember 2024) Hak veto Windy menegaskan kekuasaannya, sementara keputusan diambil melalui kolaborasi aktif, memperkuat gambaran bahwa struktur kekuasaan hadir di dalam perusahaan dan membimbing proses pengambilan keputusan.menciptakan kolaborasi yang mencerminkan dinamika kekuasaan dalam membimbing proses pengambilan keputusan. 57 Pentingnya struktur kekuasaan ini tercermin dalam implementasi prinsip buy-in, di mana keputusan tidak hanya berasal dari pemimpin sendiri, melainkan melibatkan partisipasi aktif dari anggota tim. Proses ini menunjukkan bahwa kekuasaan tidak bersifat unilateral, melainkan merupakan hubungan dua arah antara pemimpin dan karyawan. Dalam konteks pengambilan keputusan yang melibatkan banyak orang, forum diskusi terbuka menjadi sarana untuk mencari pendapat dan solusi bersama. Konsep demokratis ini memungkinkan berbagai sudut pandang diperhitungkan, sehingga keputusan yang diambil menjadi lebih matang. Struktur kekuasaan yang diterapkan oleh Windy juga menciptakan kondisi di mana karyawan merasa dihargai dan diakui. Penerapan prinsip buy-in tidak hanya sekadar formalitas, tetapi menciptakan rasa saling menghargai antara pemimpin dan anggota tim. Dengan demikian, keputusan yang diambil tidak berpihak pada satu entitas, namun berpihak kepada kedua entitas, yakni perusahaan dan karyawan Dalam aspek teknis, Windy menggunakan berbagai alat seperti tiket dan portal tiket untuk memonitor pekerjaan karyawan. Hal ini mencerminkan upaya untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas-tugas individu. Meskipun demikian, aspek teknis ini juga diimbangi dengan pendekatan humanis, di mana Windy membangun interaksi dengan karyawan melalui pertemuan mingguan dan grup WhatsApp, menciptakan lingkungan kerja yang terbuka dan mendukung. Lebih lanjut, dalam aspek yang lebih interpersonal Windy Hendwiananda juga menggunakan metode situasional leadership, yang terbagi menjadi empat tahapan (four stages): directing, coaching, supporting, delegating. Metode ini digunakan Windy untuk mengadaptasi cara komunikasi yang efektif sesuai dengan tahapan perkembangan setiap anggota tim. 58 Secara keseluruhan, wawancara dengan Windy Hendwiananda menyoroti bahwa struktur kekuasaan yang seimbang dan demokratis menjadi dasar penting dalam membimbing proses pengambilan keputusan di dalam organisasi dan arah tujuan sesuai dengan visi misi perusahaan. Hal ini menciptakan kolaborasi yang kuat antara pemimpin dan anggota tim, dengan tujuan mencapai keseimbangan antara kebutuhan perusahaan dan karyawan, serta menciptakan lingkungan di mana setiap individu merasa dihargai dan dapat berkembang, baik dari segi hardskill maupun softskill. 4.1.7 Kesadaran Aktif Seorang Pemimpin PT Global Asia Sinergi Terhadap Teknologi Digital Windy Hendwiananda menunjukan upaya menjaga relevansi perusahaan terhadap perkembangan teknologi dengan giat mencari dan mengumpulkan informasi terbaru. Windy menggunakan tools information gathering untuk memfasilitasi pengumpulan informasi terkini seputar teknologi. Hasil informasi yang berhasil dikumpulkan olehnya kemudian disampaikan melalui saluran komunikasi internal perusahaan, yang berfungsi sebagai wadah list berisi perkembangan terbaru dalam dunia teknologi. Dengan pendekatan ini, Windy memastikan bahwa seluruh tim dapat dengan efisien mengakses dan berbagi informasi terkini, sehingga perusahaan tetap dapat beradaptasi dengan perubahan teknologi yang dinamis. Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda menjelaskan upaya menjaga relevansinya: “Dulu, untuk mencari informasi tentang IT, hal yang baru itu masih gampang. Cycle-nya itu masih bisa, paling tidak mungkin 6 bulan sekali baru ada teknologi baru. Begitu sampai kesini, 6 bulannya mulai surut nih, jadi 5 bulan, jadi 4 bulan, 3 bulan, 2 bulan. Sekarang, seminggu sekali muncul yang baru. Kalau tidak update, itu akan ketinggalan, kehilangan relevansi betul. Tapi dengan sekian banyak yang baru, nggak mungkin dong kalau misalnya cekin satu-satu bisa dapat. Jadi, Om punya satu tools. 59 Tools itu yang akan collect semua informasi, apa pun itu, juga mengenai hal yang baru. Dan Om tinggal setiap hari buka aja tools itu, "Oh, nggak ada yang baru ini, baru-baru ini, nggak lihat aja kira-kira mana yang relevan." Dan tools itu tidak selalu cuma teknologi, ada hal baru juga. Tapi memang mostly teknologi. (wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka, Jakarta 23 Desember 2024). Windy Hendwiananda turut menerapkan "kewajiban yang tidak tertulis" di timnya, mendorong setiap anggota untuk secara aktif memperbarui perkembangan teknologi terbaru dan membagikannya melalui saluran komunikasi perusahaan. Langkah ini diambil karena kesadaran bahwa dengan dinamika perkembangan teknologi yang cepat saat ini, upaya pencarian yang dilakukan oleh satu orang saja mungkin tidak akan memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu, Windy menciptakan budaya di mana setiap individu di tim memiliki tanggung jawab untuk selalu mengikuti dan memahami perkembangan terbaru dalam dunia teknologi. Dengan melibatkan seluruh tim, informasi tentang teknologi baru dapat lebih efektif dikumpulkan dan didistribusikan, sehingga memastikan bahwa perusahaan tetap terhubung dengan inovasi-inovasi terkini yang dapat memberikan dampak positif pada operasional dan pertumbuhan perusahaan. Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda menjelaskan kewajiban tidak tertulis: “Semua orang, semua orang itu punya—bisa dibilang punya—kewajiban, walaupun tidak tertulis. Jadi, kalau cuma satu orang yang mencari, itu belum tentu dapat, belum tentu semuanya. Apalagi dengan sebanyak IT seperti sekarang, ya, jadi semua orang punya kewajiban yang tidak tertulis karena passion mereka. Mereka akan selalu mencari teknologi baru, semua, tidak terkecuali. Dan kalau misalnya ada yang baru, itu mereka masukkan di channel kita. "Ini ada yang baru nih, gini-gini-gini, ini kayaknya lucu juga nih kalau dipakai buat ini—perkara mau dipakai atau tidak—semua belakangan.” (wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka, Jakarta 23 Desember 2024). 60 Kesadaran aktif Windy Hendwiananda terhadap teknologi digital dan upaya lebih untuk beradaptasi telah memberikan peluang untuk suatu teknologi baru dievaluasi dan diimplementasikan di dalam perusahaan. Windy menekankan pentingnya evaluasi mutu teknologi sebelum diimplementasikan di perusahaan. Dalam konteks ini, evaluasi dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek, seperti potensi penggunaan teknologi untuk kebutuhan internal perusahaan atau untuk dijual di pasar. Selain itu, pemimpin harus mempertimbangkan aspek finansial, dampak pada pelanggan, dan potensi kompleksitas yang mungkin timbul. Windy melakukan hal tersebut dalam upaya menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan keberlanjutan bisnis, dengan memastikan bahwa teknologi yang diadopsi memiliki dampak positif dan dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan. 4.2 Pembahasan 4.2.1 Hubungan Hasil Penelitian dengan Teori Adaptive Structuration: Peran Kepemimpinan Digital Dalam Konteks Menjaga Work-life balance Karyawan Work-life balance atau keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan adalah kemampuan individu untuk menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, menciptakan kondisi di mana mereka dapat memenuhi tanggung jawab pekerjaan dan kehidupan diluar konteks pekerjaan, serta meraih kenyamanan untuk memenuhi tanggung jawab tersebut. Konsep mengenai Work-life balance berkaitan dengan penentuan prioritas yang tepat antara tuntutan pekerjaan dan aspek kehidupan lainnya, seperti pengelolaan waktu luang, keluarga, dan pengembangan spiritual. Konsep mengenai Work-life balance menjadi penanda sejauh mana seorang karyawan mengalami pemenuhan kebutuhan mereka. Hal ini mencakup aspek-aspek yang terkait dengan pekerjaan, sekaligus mempertimbangkan kebutuhan individu yang bersifat lebih personal dan melibatkan ranah kehidupan lainya. Dalam konteks ini, terdapat 61 indikator – indikator untuk menilai sejauh mana individu dapat mencapai keseimbangan antara kewajiban pekerjaan dan kehidupan pribadi, yaitu keseimbangan waktu (Time Balance), keseimbangan keterlibatan (Involvement Balance), kesimbangan kepuasan (Sastification Balance). PT Global Asia Sinergi sebagai perusahaan konsultasi IT yang berfokus pada bidang ITSM (IT Service Management ) dan otomasi, menunjukkan komitmen terhadap pemenuhan indikator-indikator Worklife balance melalui strategi kepemimpinan yang adaptif dan komunikasi yang efektif. Hasil wawancara dengan Windy Hendwiananda, Kepala Divisi Produk dan Emerging, mengungkapkan strategi kepemimpinan adaptif nya dengan menerapkan prinsip reward and punishment dan buyin. dengan demikian, aturan yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan perusahaan, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan karyawan, menciptakan lingkungan di mana seluruh tim dapat dengan baik menerima aturan perusahaan. Windy Hendwiananda, Kepala Divisi Produk dan Emerging di PT Global Asia Sinergi, mengimplementasikan metode situational leadership sebagai pendekatan dalam menyesuaikan cara komunikasi yang efektif sesuai dengan kebutuhan individu di setiap tahap perkembangan anggota timnya. Pendekatan ini memperkuat hubungan interpersonal, memastikan bahwa setiap anggota tim mendapatkan komunikasi yang sesuai dengan situasi dan tahap perkembangannya dalam mencapai tujuan bersama. 4.2.1.1 Produksi dan Reproduksi Aturan dalam Implementasi Worklife balance PT Global Asia Sinergi Melalui Perspektif Adaptive Structuration Theory Pembahasan ini didasari pada asumsi pertama dari Adaptive structuration theory yang menyatakan bahwa kelompok atau perusahaan diproduksi dan direproduksi melalui aturan dan sumber daya. Dalam konteks ini, Windy Hendwiananda menggunakan Prinsip 62 buy-in sebagai strategi untuk menghasilkan aturan baru atau memodifikasi yang sudah ada. Proses pembuatan aturan terjadi melalui forum diskusi terbuka, memfasilitasi interaksi, dinamika komunikasi, dan munculnya ide-ide baru dari anggota tim sebagai dasar utama produksi dan reproduksi aturan Penerapan Prinsip Buy-In oleh Windy Hendwiananda sesuai dengan teori strukturasi Giddens, yang menyatakan bahwa struktur tidak hanya dianggap sebagai kekangan (constraint) tetapi selalu sebagai mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Dalam konteks ini, Hendwiananda membentuk aturan dan keputusan melalui forum diskusi, yang tidak hanya berfungsi sebagai pembatas tetapi juga menciptakan ruang bagi keterlibatan aktif dan partisipasi dari anggota tim, menciptakan kondisi pemberdayaan. Dengan demikian, Prinsip buy-in yang diterapkan bukan hanya sebagai alat untuk membentuk suatu aturan yang mengikat di dalam organisasi tetapi juga sebagai medium yang membebaskan kreativitas dan partisipasi tim, menggambarkan dinamika kompleks antara struktur dan agensi sebagaimana dijelaskan oleh Teori Strukturasi Giddens. Aturan yang dibentuk akan berdampak pada keseimbangan kerja-hidup karyawan karena. penggunaan prinsip buy-in akan berpengaruh pada pemenuhan indikator work-life balance, khususnya keseimbangan keterlibatan (Involvement Balance) dan kesimbangan Kepuasan (Satisfaction Balance). Dalam skenario ini, prinsip buy-in mendorong karyawan untuk aktif berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan tanpa adanya intervensi yang berlebihan dari seorang pemimpin, dan prinsip ini akan berdampak positif terhadap aktualisasi diri karyawan. Karyawan akan merasa terlibat dan dihargai 63 partisipasinya, yang pada akhirnya dapat memenuhi indikator kesimbangan kepuasan (Satisfaction Balance). Windy Hendwiananda terbuka terhadap berbagai teknologi, memungkinkan teknologi tersebut mempengaruhi aturan yang ada dan kesimbangan hidup-kerja karyawan. Dalam skenario ini, Hendwiananda menerapkan aturan "work from anywhere" dari Senin hingga Kamis dan "work from office" pada hari Jumat. Aturan ini muncul karena penggunaan Zoom sebagai "kantor kedua". Pengoptimalan sumber daya teknologi ini tidak hanya terbatas pada urusan internal perusahaan, sebagaimana ditunjukkan oleh penggunaan dua akun pada platform Zoom oleh PT Global Asia Sinergi; akun pertama digunakan untuk pertemuan internal, secara otomatis aktif dari jam 9 pagi hingga 5:30 sore, dan akun lainnya digunakan untuk pertemuan eksternal dengan klien. Penerapan peraturan "work from anywhere" yang diterapkan oleh Windy Hendwiananda tidak hanya berhasil meningkatkan efisiensi internal perusahaan, tetapi juga memberikan tingkat fleksibilitas yang tinggi kepada karyawan. Kebijakan untuk menggunakan zoom sebagai “kantor kedua” pada hari-hari tertentu dalam seminggu mencerminkan respons positif terhadap kemajuan teknologi. Dampak positif dari kebijakan ini terlihat pada pemenuhan indikator keseimbangan waktu (Time Balance) di antara karyawan, karyawan memiliki kebebasan untuk mengelola dan mengalokasikan waktu mereka antara pekerjaan dan kegiatan diluar pekerjaan. Peraturan ini mencerminkan pengoptimalan sumber daya teknologi mendukung kesejahteraan karyawan. Peran peraturan yang melibatkan teknologi tidak berhenti pada WFA saja, namun hampir semua aspek pekerjaan seperti komunikasi virtual di dalam tim yang menggunakan berbagai 64 tools, seperti Zoho Cliq dan Grup Whatsapp; pemantauan pekerjaan karyawan dan kolaborasi tim dalam proyek yang dijalankan melalui Zoho Project; pelayanan klien dan penanganan aduan error yang memanfaatkan Invgate Service Desk serta pembagian pekerjaan dan pemantauan progress oleh klien yang menggunakan E-ticketing dan Invgate Service Desk. Lebih lanjut, Windy Hendwiananda meyakini bahwa di luar konteks pekerjaan, setiap individu memiliki dimensi kehidupan lain yang tidakk kalah penting. Keyakinan ini mendorongnya menyadari bahwa, dalam konteks pekerjaan, Kesehatan karyawan jauh lebih penting daripada pekerjaan itu sendiri. Pandangan ini telah menciptakan tindakan preventif untuk menghadapi ketidakpastiaan. Dalam skenario ini, Windy Hendiana memiliki kriteria minimun dalam tim nya; setiap individu harus memiliki skill set yang sama; semua tahu menggunakan teknologi yang sama. Sebagai hasilnya, ketika karyawan menghadapi hambatan terkait aturan yang telah diimplementasikan, seperti karyawan yang berhalang hadir, terdapat banyak backup plan untuk menghadapi masalah tersebut, sehingga karyawan dapat leluasa menjalankan kegiataannya diluar pekerjaan tanpa adanya intervensi dari perusahaan dan tim dapat berkerja dengan baik tanpa hambatan yang berarti. 4.2.1.2 Aturan Komuikasi Sebagai Medium dan Hasil interaksi implementasi Work-life balance PT Global Asia Sinergi Melalui Adaptive Structuration Theory Pembahasan ini didasari pada asumsi kedua dari Adaptive Structuration Theory yang menyatakan bahwa aturan komunikasi memiliki berperan ganda, yaitu sebagai medium atau alat yang digunakan dalam interaksi. Aturan ini 65 menciptakan jawaban atas pertanyaan dimana anggota kelompok berinteraksi dan juga menciptakan norma-norma dan batasan yang memandu bagaiamana anggota kelompok bertinteraksi.aturan komunikasi juga akan berperan sebagai hasil interaksi, karena dengan terciptanya norma-norma dan batasan hal ini akan mempengaruhi bagaimana suatu kelompok itu berinteraksi. Interaksi ini merupakan respon terhadap norma-norma yang sudah ada di dalam kelompok. Dalam skenario ini, Windy Hendiananda menerapapkan prinsip buy-in dalam kepemimpinannya, yang dimana aturan di dalam prinsip buy- in ini adalah kolaborasi atau keterlibatan aktif karyawan adalah hal yang penting. Aturan yang memandang bahwa karyawan dan pemimpin memiliki suara yang sama, dan hak berbicara yang sama tanpa adanya interupsi, aturan ini kemudian dijadikan medium saat tim berkomunikasi dan berinteraksi secara daring maupun luring, serta aturan ini menjadi hasil atau produk dari interaksi, dimana ketika anggota yang berbicara, tim akan mengetahui dan mengenali bahwa penting untuk memberikan hak bicara yang adil kepada setiap anggota. Windy Hendwiananda menggunakan metode situational leadership untuk pendekatan yang lebih interpersonal. Dalam penggunaan situational leadership yang terbagi dalam empat tahapan, Windy menjelaskan bagaimana aturan komunikasi menjadi medium yang penting untuk memadu interaksi antara pemimpin dan anggota. Setiap tahapan memiliki kebutuhan aturan komunikasi yang berbeda, mulai dari komunikasi yang sangat jelas dan spesifik pada tahap directing hingga kepercayaan penuh dengan memberikan jawab pada tahap delegating. 66 Aturan komunikasi dalam hal ini berperan sebagai pedoman yang mengarahkan bagaimana interaksi dan komunikasi harus dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangan individu dalam tim. Aturan komunikasi tidak hanya berperan sebagai medium untuk mengistruksikan tugas, tetapi juga sebagai alat untuk memahami tahapan perkembangan masing-masing individu dalam tim, memberikan dukungan, dan memastikan keseimbangan yang baik antara memberikan arahan dan memberikan otonomi (kebebasan). Selain itu, dalam wawancara tersebut, terlihat bahwa aturan komunikasi juga menjadi hasil dari interaksi tersebut. Dengan menjalankan metode situational leadership, aturan komunikasi yang efektif terbentuk secara alami sebagai respon terhadap kebutuhan dan tahapan perkembangan individu dalam tim. Metode situational leadership yang diterapkan oleh Windy mencerminkan keahliannya dalam menyesesuaikan pendekatan komunikasi interpersonal yang efektif sesuai dengan tahapan perkembangan individu di dalam tim. Penerapan metode kepemimpinan situasional oleh Windy secara tidak langsung memberikan dukungan terhadap keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan karyawan dengan mencegah terjadinya burn-out melalui penyesuaian strategi dalam berkomunikasi. Saat karyawan berada pada tahap directing, Windy menggunakan komunikasi yang spesifik dan jelas, bertujuan untuk mengurangi kemungkinan kesalahan dalam pelaksanaan tugas akibat ketidaktahuan karyawan. Di sisi lain, pada tahap delegating, Windy memberikan kepercayaan penuh kepada karyawan tanpa intervensi langsung, sambil menggunakan komunikasi yang bersifat mendukung untuk memfasilitasi perkembangan karyawan pada tahap tersebut. Pendekatan ini tidak hanya 67 bertujuan untuk menghindari kelelahan dan kejenuhan karyawan, tetapi juga memastikan bahwa komunikasi efektif dan mendukung diterapkan sesuai dengan kebutuhan masingmasing situasi karyawan. Pemanfaatan metode kepemimpinan situasional secara tidak langsung turut memenuhi salah satu indikator keseimbangan kehidupan kerja, yakni keseimbangan kepuasan. Hal ini tergambar dari perkembangan karyawan melalui berbagai tahapan. Pencapaian tahap delegasi dianggap sebagai indikator kepuasan karena mencerminkan kepercayaan penuh terhadap anggota tim, memberikan tanggung jawab sepenuhnya tanpa intervensi langsung. Keberhasilan mencapai tahap ini diartikan bukan hanya sebagai kepuasan penyelesaian tugas, melainkan juga dari perkembangan soft skill dan hard skill karyawan yang terus berkembang. Dengan demikian, pendekatan ini tidak hanya mengoptimalkan keseimbangan kehidupan kerja, tetapi juga meningkatkan kepuasan karyawan melalui pengembangan individu. 4.2.1.3 Struktur Kekuasaan sebagai Pihak Pengambilan Keputusan dalam Memperkuat Implementasi Work-life balance PT Global Asia Sinergi Melalui Perspektif Adaptive Structuration Theory Pembahasan ini didasari pada asumsi ketiga dari Adaptive Structuration Theory yang menyatakan bahwa struktur kekuasaan hadir didalam organisasi dan membimbing proses pengambilan Keputusan, menyediakan informasi strategis untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam skenario ini, Windy Hendiananda, sebagai Kepala Divisi Produk dan Emerging, menggunakan gaya kepemimpinan yang diterapkan di divisinya melibatkan Keputusan yang demokratis (Hal ini 68 dapat terlihat dalam penggunaan prinsip buy-in). Meskipun windy memiliki kekuasaan mutlak (hak Veto), pendekatan demokratis tetap di junjung tinggi, dimana Keputusan yang menyangkut banyak orang dibahas secara terbuka melalui forum diskusi bersama tim. Meskipun windy tetap memiliki hak veto, Keputusan yang diambil melalui kolaborasi tim, mencerminkan interaksi kekuasaan hadir dan membimbing proses pengambilan Keputusan. Struktur kekuasaan sebagai pihak pengambilan keputusan dalam memperkuat suatu aturan didefinisikan oleh Windy Hendiananda melalui pandangan bawah konsep kekuasaan didalam perusahaan adalah hubungan dua arah antara pemimpin dan karyawan expisilit ketika Windy mengatakan “Pada saat lo jadi pemimpin, hidup lo itu untuk anggota lo”. Hal ini menjelaskan bahwa pemimpin adalah pihak yang memberikan keputusan final karena memiliki informasi yang lebih menyeluruh tentang permasalahan yang ada, serta memiliki hak veto, namun hal ini tidak menutup bahwa karyawan juga memiliki kuasa atau power untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan tersebut. Penerapan prinsip buy-in oleh Windy Hendwianda menciptakan aturan dan Keputusan melalui forum diskusi terbuka, sejalan dengan asusmi pertama Adaptive Structuration Theory, bahwa kelompok atau perusahaan diproduksi dan direproduksi melalui aturan dan sumber daya. Ini menciptakan kondisi di mana aturan baru dihasilkan atau aturan yang sudah ada dimodifikasi, mencerminkan dualitas antara karyawan dan perusahaan. Dengan menerapkan Prinsip Buy-In, Windy memastikan bahwa keputusan yang diambil sejalan dengan visi, misi, dan tujuan perusahaan. Pandangannya ini sejalan dengan asumsi 69 ketiga teori, bahwa struktur kekuasaan di organisasi membimbing proses pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan dan memperkuat aturan tersebut. Dalam skenario ini, pengoptimalan teknologi yang ide nya datang dari karyawan, diberlakukan sebagai aturan oleh Windy Hendiananda selaku pihak yang memberikan keputusan final seperti pemberlakuan zoom sebagai kantor kedua. 4.2.2 Hubungan Hasil Penelitian dengan Model E-Leadership Communication Adaption: Keterkaitan Kepemimpinan Digital dalam Konteks Pengoptimalan Sumber Daya Teknologi Pertumbuhan teknologi informasi yang pesat telah memberikan dampak signifikan pada seluruh aspek kehidupan, termasuk bagaimana kepemimpinan dijalankan di dalam perusahaan agar pemimpin dapat beradaptasi dengan perkembangan jaman. Kepemimpinan tidak lagi hanya berfokus pada pengelolaan sumber daya manusia, melainkan juga menuntut kemampuan untuk beradaptasi dan mengimplementasikan pertumbuhan teknologi. Perubahan ini membawa transformasi pada konsep kepemimpinan tradisional, menjadi apa yang dikenal sebagai kepemimpinan digital. Kepemimpinan digital tetap bertujuan mencapai tujuan yang sama dengan kepemimpinan tradisional, namun dengan memanfaatkan teknologi informasi sebagai alat bantu utama. Terdapat model yang digunakan dalam mencapai tingkat adopsi teknologi yang optimal secara individual, yaitu E-Leadership Communication Adaption Model atau ECAM. Model ini menjelaskan bahwa untuk mencapai tingkat adopsi teknologi secara individu, seorang pemimpin perlu memiliki intensi atau keinginan kuat untuk menggunakan teknologi digital. Intensi tersebut berasal dari tiga aspek kunci, yaitu kesadaran aktif terhadap teknologi, evaluasi kualitas teknologi, dan keinginan untuk melakukan usaha lebih. Windy Hendwiananda, Kepala Divisi Produk dan Emerging di PT Global Asia Sinergi, menjadi contoh nyata yang menunjukkan intensi 70 yang kuat dalam menjaga relevansi perusahaan terhadap perkembangan teknologi. Beliau menunjukkan komitmen dengan memenuhi aspekaspek yang diuraikan dalam model ECAM, termasuk kesadaran terhadap teknologi, evaluasi kualitas teknologi, dan keinginan untuk melakukan usaha lebih. 4.2.2.1 Kesadaran Aktif Seorang Pemimpin Terhadap Teknologi Digital Melalui Perspektif E-Leadership Communication Adaption Model Pembahasan ini didasarkan pada aspek penting dalam model ECAM, yaitu kesadaran aktif terhadap teknologi digital. Dalam konteks ini, Windy Hendwiananda, Kepala Divisi Produk dan Emerging di PT Global Asia Sinergi, menunjukkan kesadaran aktif terhadap teknologi dengan menggunakan alat pengumpulan informasi untuk memfasilitasi pengumpulan informasi terkini seputar teknologi. Hasil informasi yang berhasil dikumpulkan olehnya kemudian disampaikan melalui saluran komunikasi internal perusahaan, berfungsi sebagai platform berisi perkembangan terbaru dalam dunia teknologi. Dengan cara ini, Windy memastikan bahwa ia tetap mengikuti setiap perkembangan yang terjadi dalam ranah teknologi. Kesadaran aktif ini juga ditularkan kepada tim yang dipimpinnya dengan menerapkan suatu kewajiban yang tidak tertulis di timnya. Kewajiban ini merupakan suatu tanggung jawab di mana seluruh anggota tim harus secara aktif mengikuti perkembangan teknologi dan membagikannya melalui saluran komunikasi perusahaan. Kewajiban ini didasarkan pada kesadaran Windy bahwa dengan pesat dan massifnya perkembangan teknologi, upaya pencarian yang dilakukan oleh satu orang tidak akan memberikan hasil yang optimal. 71 Melalui pendekatan ini, Windy Hendwiananda tidak hanya menjaga relevansinya dalam menghadapi dinamika perkembangan teknologi, tetapi juga menciptakan lingkungan di mana kesadaran aktif terhadap teknologi menjadi nilai yang diterapkan secara kolektif. Dengan demikian, kesadaran aktif ini bukan hanya menjadi prinsip individu, tetapi juga menjadi fondasi bagi timnya untuk tetap relevan dan responsif terhadap perkembangan teknologi yang terus berkembang. 4.2.2.2 Evaluasi Mutu Teknologi Digital di dalam perusahaan Melalui Perspektif E-Leadership Communication Adaption Model Pembahasan ini didasarkan pada aspek penting dalam model ECAM, yaitu evaluasi kualitas pada teknologi digital. Dalam konteks ini, Windy Hendwiananda dan timnya melakukan riset terhadap teknologi mana yang paling efektif dan efisien untuk mendukung kebutuhan tim. Evaluasi dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek, seperti potensi penggunaan teknologi untuk kebutuhan internal perusahaan atau untuk dijual di pasar. Selain itu, pemimpin harus mempertimbangkan aspek finansial, dampak pada pelanggan, dan potensi kompleksitas yang mungkin muncul. Windy melakukan hal tersebut dalam upaya menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan keberlanjutan bisnis, dengan memastikan bahwa teknologi yang diadopsi memiliki dampak positif dan dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Melalui pendekatan evaluasi mutu ini, Windy Hendwiananda tidak hanya mengutamakan aspek teknis dari suatu teknologi, tetapi juga memperhatikan implikasinya terhadap berbagai aspek bisnis. Evaluasi yang komprehensif tersebut memastikan bahwa teknologi yang dipilih bukan hanya memenuhi kebutuhan tim secara efektif, tetapi juga sesuai dengan strategi keseluruhan perusahaan. Dengan 72 demikian, keputusan terkait adopsi teknologi menjadi lebih terinformasi dan terarah, mendukung visi perusahaan untuk inovasi berkelanjutan dan pertumbuhan yang berkelanjutan. 4.2.2.3 Fighting Spirit seorang pemimpin perusahaan dalam Beradaptasi dengan Teknologi Digital Melalui Perspektif ELeadership Communication Adaption Model Pembahasan ini didasarkan pada aspek penting dalam model ECAM, yaitu keinginan untuk melakukan usaha lebih. Dalam konteks ini, Windy Hendwiananda menyatakan bahwa teknologi adalah passionnya, dan salah satu cara untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi selain dengan aktif mencari dan mencoba teknologi baru adalah belajar teknologi tersebut. Windy juga menegaskan bahwa begadang untuk belajar dengan teknologi baru merupakan bagian dari semangatnya, karena teknologi menjadi sumber kegembiraan dan minat baginya. Semangat ini mendorongnya untuk melakukan usaha mempertahankan lebih, seperti relevansinya begadang, guna terhadap perkembangan Windy Hendwiananda teknologi terbaru. Dengan semangat tersebut, menunjukkan komitmen dan keinginan untuk terlibat secara aktif dalam pengembangan pengetahuan dan keterampilan teknologi. Upaya begadang untuk belajar bukan hanya menjadi rutinitas, tetapi juga menjadi manifestasi nyata dari keinginan untuk melakukan usaha lebih agar terus mengikuti perkembangan teknologi. Dalam aspek penting model ECAM, keinginan ini menjadi salah satu poin kunci yang mendukung pemimpin dalam mencapai tingkat adopsi teknologi yang optimal secara individual. 73 4.2.3 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian-Penelitian Terdahulu 4.2.3.1 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian yang berjudul “Organizational Communication towards Work-life balance in Achieving Working Homeostatic at JOOX Indonesia” Penelitian terdahulu yang berjudul “Organisational communication towards Work-life balance in achieving working homeostatic at JOOX Indonesia” mengungkapkan beberapa temuan terkait komunikasi internal dan implementasi keseimbangan kerjahidup di JOOX Indonesia. Beberapa aspek yang ditemukan termasuk efektivitas komunikasi internal, implementasi work-from-home (WFH), kontrol organisasi terhadap alur kerja, serta dampaknya terhadap keseimbangan kerja-hidup karyawan. Komunikasi menunjukkan internal bahwa dalam meskipun penelitian JOOX terdahulu Indonesia telah mengimplementasikan proses komunikasi internal dengan baik, terdapat tantangan terutama dalam aspek work-from-home (WFH). Misalnya, ada kesulitan dalam mendistribusikan informasi secara efektif selama komunikasi internal online. Beberapa karyawan juga mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan WFH dikarenakan miscommunication dalam menerima arahan baru. PT Global Asia Sinergi di bawah kepemimpinan Windy Hendwiananda menerapkan metode situasional leadership sebagai langkah preventif untuk menghindari terjadi nya miscommunication. Windy memahami Windy memahami bahwa setiap individu dalam tim memiliki tahapan perkembangan yang berbeda. Oleh karena itu, metode ini digunakan untuk memilih komunikasi yang efektif sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu dalam tim. Kontrol organisasi terhadap alur kerja dalam penelitian terdahulu menunjukan bahwa Joox Indonesia memiliki tugas harian yang telah diatur dalam alur kerjanya. Namun, beberapa karyawan, terutama yang berdapa di divisi penjualan, mengalami kesulitan 74 dalam menjalani kehidupan pribadi mereka karena distribusi tugas yang tidak merata dan pekerjaan serta jadwal yang fleksibel dengan klien. PT Global Asia Sinergi di bawah kepemimpinan Windy Hendwiananda menerapkan kebijakan yang memanfaatkan teknologi untuk mengatasi distribusi tugas yang tidak merata dengan menggunakan E-ticketing dan Invigate service desk. hal ini ditunjang dengan pandangan Windy Hendwiananda yang menitikberatkan kesehatan tim diatas pekerjaan atau tugas itu sendiri. Kedua aspek di atas menjadi pemicu ketidakmerataan dalam keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Terutama di tingkat manajerial dan di atasnya, terdapat persepsi bahwa mereka memiliki keseimbangan yang lebih baik dibandingkan dengan para karyawan biasa.Sebaliknya, hal ini berbeda dengan PT Global Asia Sinergi, di mana baik karyawan maupun manajemen puncak merasa memiliki keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang baik. 4.2.3.2 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian terdahulu yang berjudul Pengaruh “kepemimpinan transformasional dan Work-life balance terhadap keterikatan kerja dan kinerja karyawan” Penelitian terdahulu yang berjudul "Kepemimpinan Transformasional dan Work-life balance terhadap Keterikatan Kerja dan Kinerja Karyawan" mengungkapkan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh positif terhadap keterikatan kerja. Hal ini disebabkan oleh kemampuan pimpinan PT. Pan Pacific Nesia dalam memberikan dukungan emosional, menanamkan rasa bangga terhadap bawahan, menciptakan perasaan aman, dan mendorong keterlibatan aktif di tempat kerja. Perilaku ini mendorong bawahan untuk berusaha maksimal sehingga secara 75 tidak langsung karyawan PT. Pan Pacific Nesia memiliki keterikatan psikologis terhadap tempat kerja. Kepemimpinan digital dan kepemimpinan transformasional menunjukkan sejumlah perbedaan, keduanya juga memiliki kesamaan tertentu. Kepemimpinan digital menitikberatkan pada implementasi teknologi digital dan inovasi, sementara kepemimpinan transformasional lebih menfokuskan pada perubahan budaya dan nilai-nilai organisasi secara menyeluruh. Walaupun demikian, dalam lingkungan bisnis modern, kepemimpinan digital dan transformasional saling terkait dan melengkapi satu sama lain untuk mencapai tujuan transformasi dan pertumbuhan yang berkelanjutan. PT Global Asia Sinergi di bawah kepemimpinan Windy Hendwiananda menerapkan prinsip buy-in untuk mendorong keterlibatan aktif dari anggota tim atau karyawan terkait permasalahan di dalam perusahaan. Lebih lanjut, dalam aspek interpersonal, Windy menggunakan metode situasional leadership untuk mengadaptasi cara komunikasi yang efektif sesuai dengan tahapan perkembangan setiap anggota tim. Penelitian terdahulu juga mengungkapkan bahwa Work-life balance memiliki pengaruh positif terhadap keterikatan kerja. PT Pan Pacific Nesia menerapkan sistem lima hari kerja dan mengutamakan fasilitas atau strategi yang membantu karyawan dalam memenuhi tuntutan kehidupan pribadi dan pekerjaan, bertujuan agar karyawan tetap senang dan nyaman dalam terlibat dalam pekerjaan. PT Global Asia Sinergi menggambarkan sistem atau aturan yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dengan menerapkan aturan Zoom sebagai "kantor kedua." Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi internal perusahaan dan memberikan tingkat fleksibilitas yang tinggi kepada 76 karyawan. Penggunaan teknologi tidak hanya terbatas pada aturan Zoom, namun juga tercermin dalam implementasi e-ticketing dan layanan help desk melalui Invgate. Tujuan dari langkah-langkah ini adalah untuk mendukung pemerataan pembagian tugas, menciptakan lingkungan kerja yang seimbang, dan meningkatkan Work-life balance bagi para karyawan. 4.2.3.3 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian terdahulu yang berjudul “Implementasi digital leadership dalam pengembangan kompetensi digital pada pelayanan publik” Penelitian terdahulu yang berjudul “Implementasi digital leadership dalam pengembangan kompetensi digital pada pelayanan publik” mengungkapkan bahwa teknologi, khususnya implementasi digital leadership, memiliki peran positif dalam mengatasi beberapa hambatan dalam pelayanan perizinan spektrum radio oleh Ditjen SDPPI. Beberapa kontribusi teknologi dalam mengatasi hambatan tersebut meliputi: 1. Percepatan layanan Implementasi teknologi, seperti perizinan secara online, One Day Service, dan Online Single Submission (OSS), telah membantu dalam mempercepat proses pelayanan. Tanda tangan digital dan pemanfaatan teknologi lainnya juga berkontribusi pada percepatan dan efisiensi proses perizinan. 2. Costumer Engagement Adanya contact center, pusat layanan terpadu, sistem antrian online, serta sarana konsultasi dan pengaduan membantu dalam meningkatkan interaksi dan keterlibatan dengan masyarakat. Hal ini dapat meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap layanan yang diberikan. 3. Peningkatan kualitas layanan Meskipun terdapat harapan peningkatan terhadap waktu pelayanan dan responsivitas call center, hasil survei IKM 77 menunjukkan kategorisasi "sangat baik" pada kinerja pelayanan Ditjen SDPPI. Pemanfaatan teknologi memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas layanan secara keseluruhan. 4. Pengembangan kompetensi digital Teknologi digunakan untuk pengembangan kompetensi digital ASN, baik pada tingkat front-end maupun back-end. Training, team building, dan bimbingan teknis dilakukan secara rutin, mencerminkan upaya untuk mengatasi kelemahan dalam hal kualifikasi skill yang berbeda. Hal ini juga selaras dengan hasil penelitian peneliti, dimana teknologi berperan positif dalam mengatasi beberapa hambatan dalam mencapai keseimbangan pekerjaan dan kehidupan pribadi di PT Global Asia Sinergi. Lebih lanjut, optimasi sumber daya teknologi dilakukan hingga tahap implementasi aturan baru atau merevisi peraturan lama di lingkungan PT Global Asia Sinergi 4.2.3.4 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian terdahulu yang berjudul “Kepemimpinan digital dalam meningkatkan kinerja organisasi peran teknologi informasi dan komunikasi” Penelitian terdahulu yang berjudul “Kepemimpinan Digital dalam meningkatkan kinerja organisasi peran Teknologi Informasi dan Komunikasi” mengungkapkan bahwa kepemimpinan digital dan inovasi TIK berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan. Hasil penelitian ini menyoroti pentingnya pemahaman teknologi dalam konteks kepemimpinan digital, dengan gaya kepemimpinan partisipasi dan inovatif merupakan aspek kunci dalam menghadapi revolusi industry 4.0 dan meningkatkan kinerja perusahaan. Hasil penelitian peneliti mengungkapkan bahwa pemahaman terhadap teknologi di PT Global Asia Sinergi dilakukan oleh Windy 78 Hendwiananda. Windy menunjukkan kesadaran aktif terhadap teknologi digital dengan menggunakan berbagai alat pengumpul informasi untuk tetap relevan dengan perkembangan teknologi terbaru. Kesadaran aktif Windy terhadap teknologi digital dan dedikasinya untuk menjaga relevansinya dengan perkembangan teknologi mendorongnya memiliki keinginan yang kuat untuk terus beradaptasi dan terus belajar mengikuti perubahan teknologi. Gaya kepemimpinan partisipatif dan inovatif ditunjukkan oleh Windy melalui kepemimpinannya. penerapan Prinsip ini prinsip digunakan buy-in sebagai dalam strategi komunikasi dan kepemimpinan dengan tujuan untuk mendapatkan keterlibatan aktif anggota tim atau karyawan dalam menangani permasalahan di dalam perusahaan. 4.2.3.5 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian terdahulu yang berjudul “Analisis strukturasi adaptif: Implikasi penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan informasi publik organisasi pemerintahan” Penelitian terdahulu yang berjudul “IAnalisis strukturasi adaptif: Implikasi penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan informasi publik organisasi pemerintahan” mengungkapkan bahwa agen di organisasi pemerintahan berinteraksi dengan struktur pelayanan informasi publik yang telah berubah menjadi berbasis TI, tindakan agen-agen di organisasi pemerintahan menunjukkan interplay antara struktur pelayanan informasi publik berbasis TI, struktur sosial lain (tugas, lingkungan internal dan eksternal) serta sistem internal organisasi pemerintahan yang berlaku. Dalam interaksinya ini para agen menggunakan jenis komunikasi formal horizontal, terutama dilakukan untuk penyelesaian masalah teknis serta sharing pengalaman dan pengetahuan antar agen; komunikasi formal vertikal secara top down terutama dilakukan untuk penyampaian arahan pimpinan tetapi 79 belum bersifat berkala. Sedangkan secara bottom up terutama dilakukan untuk penyampaian laporan pelaksanaan informasi publik secara berkala dan interaksi lain yang bersifat pemecahan masalah teknis antara agen di level teknis (staf dan eselon IV); komunikasi formal diagonal, terutama dilakukan dengan agen yang memiliki spesialisasi bidang TI; dan komunikasi informal, biasanya dilakukan pada level teknis (staf) dalam satu unit kerja atau dengan agen unit kerja lain yang memiliki. Penjabaran diatas merupakan gambaran asumsi kedua dari Adaptive Structuration theory dimana Aturan Komunikasi berfungsi baik sebagai medium untuk maupun hasil dari interaksi.Aturan ini menciptakan jawaban atas pertanyaan dimana anggota kelompok berinteraksi dan juga menciptakan norma-norma dan batasan yang memandu bagaiamana anggota kelompok bertinteraksi.aturan komunikasi juga akan berperan sebagai hasil interaksi, karena dengan terciptanya norma-norma dan batasan hal ini akan mempengaruhi bagaimana suatu kelompok itu berinteraksi. Interaksi ini merupakan respon terhadap norma-norma yang sudah ada di dalam kelompok. PT global asia sinergi menggambarkan asumsi kedua dari Adaptive Structuration theory dalam penerapan prinsip buy-in dimana aturan dimana aturan di dalam prinsip buy-in ini adalah kolaborasi atau keterlibatan aktif karyawan adalah hal yang penting. Aturan yang memandang bahwa karyawan dan pemimpin memiliki suara yang sama, dan hak berbicara yang sama tanpa adanya interupsi, aturan ini kemudian dijadikan medium saat tim berkomunikasi dan berinteraksi secara daring maupun luring, serta aturan ini menjadi hasil atau produk dari interaksi, dimana ketika anggota yang berbicara, tim akan mengetahui dan mengenali bahwa penting untuk memberikan hak bicara yang adil kepada setiap anggota. 80 Penelitian terdahulu juga mengungkapkan bahwa terdapat struktur sosial baru yang diproduksi dan direproduksi dari hasil interaksi antara agen dan struktur pelayanan informasi publik berbasis TI di organisasi pemerintahan yang kemudian menjadi pemahaman bersama di antara agen, mengatur tindakan sehari-hari agen serta terlegitimasi dalam pemahaman agen, sehingga pelayanan informasi publik berbasis TI dapat terus berjalan. Agen yang terlibat langsung dalam pelayanan informasi publik berbasis TI tidak dapat menegosiasikan lebih untuk melahirkan struktur sosial baru menuju tujuan perubahan yang konsisten karena agen tidak memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan atau kebijakan organisasi untuk menyelesaikan kendala yang dihadapi. Tetapi, bukan berarti agen pada level pelaksana tidak berdaya, agen menunjukkan kekuasaannya dengan menggunakan sumber daya yang dimilikinya, berupa keterampilan penggunaan perangkat TI dan pengetahuan tentang KIP, serta kemampuan memainkan peran dalam penyelesaian kerja, sebagai dasar agen untuk menjaga terlaksananya pelayanan informasi publik berbasis TI. Penjabaran diatas merupakan gambaran asumsi pertama dari Adaptive Structuration theory dimana kelompok atau perusahaan diproduksi dan direproduksi melalui aturan dan sumber daya. asumsi ini menjelaskan dinamika komunikasi dalam suatu organisasi sebagai langkah awal dalam menciptakan aturan baru untuk memodifikasi aturan yang sudah ada, atau menekankan kembali aturan yang sejak lama telah diterapkan guna memperbaiki harapan. Dengan demikian, struktur ini dianggap sebagai bagian dari penciptaan interaksi yang terjadi dalam konteks organisasi. PT global asia sinergi menggambarkan asumsi kedua dari Adaptive Structuration theory dalam penerapan prinsip buy-in sebagai strategi untuk menghasilkan aturan baru atau memodifikasi yang sudah ada. Proses pembuatan aturan terjadi melalui forum 81 diskusi terbuka, memfasilitasi interaksi, dinamika komunikasi, dan munculnya ide-ide baru dari anggota tim sebagai dasar utama produksi dan reproduksi aturan. dalam konteks ini aturan terkait kehadiran fisik kantor direproduksi menjadi suatu aturan yang baru. 82 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan dapat di simpulkan bahwa Kepala Divisi Produk dan Emerging PT Global Asia Sinergi, Windy Hendwiananda, membentuk ekosistem kerja adaptif dan inklusif melalui kepemimpinan digital dengan menerapkan prinsip buy-in. Penerapan prinsip buy-in dapat menciptakan proses komunikasi serta koordinasi yang lebih fleksibel dimana Windy tidak hanya berperan sebagai pemimpin namun juga sebagai agen perubahan yang melibatkan tim dalam pembuatan aturan. Windy menerapkan situational leadership untuk membangun komunikasi yang baik dan memotivasi karyawan, serta memperkuat hubungan interpersonal. Windy memiliki hak veto namun tetap mempertimbangkan keputusan bersama untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan perusahaan dan karyawan melalui forum diskusi santai yang menjadi ruang kreatif dalam menciptakan suasana kerja inklusif, adaptif dan berkelanjutan. PT. Global Asia Sinergi aktif menggunakan teknologi terbaru untuk mengoptimalkan kinerja karyawan sehingga karyawan dapat memiliki keseimbangan waktu kerja dan waktu pribadi (work life balance). 5.2 Saran 5.2.1 Saran Praktis Disarankan kepada perusahaan di industri teknologi informasi untuk mengadopsi kepemimpinan digital yang dinamis dan proaktif, menerapkan pendekatan demokratis dalam struktur kekuasaan, menggunakan strategi komunikasi yang adaptif dan responsif guna menghindari miskomunikasi dalam tim, serta memanfaatkan teknologi secara efektif dan efisien untuk mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan. Dengan langkah-langkah ini, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan antara 83 pekerjaan dan kehidupan serta meningkatkan kesejahteraan karyawan, yang pada akhirnya akan meningkatkan performa kinerja perusahaan secara keseluruhan. 5.2.2 Saran Akademis Disarankan bagi peneliti lain agar dapat melakukan penelitian yang menggunakan objek penelitian yang lebih luas dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif untuk melihat korelasi kepemimpinan digital dengan Work-life balance karyawan 84 antara DAFTAR PUSTAKA Ajabar, Daisy Iriany, Erny Sundah, David Tjahjana, Diena Dwidienawati Tjiptadi, Johny Natu Prihanto, Laila Refiana Said, Meldasari Said, Muhammad Arif Surana, Nancy Henrietta, Jessamine Mandey, Nopriadi Saputra, Prio Utomo, S. H., & Wulan Purnamasari. (2021). HRM Essentials: Win your workplace, Win your marketplace. www.diandracreative.com Annamaria Rondonuwu, F., Rumawas, W., Asaloei, S., Studi Administrais Bisnis, P., Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, J., & Sam Ratulangi, U. (2018). Pengaruh Work-life Balance Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Pada Hotel Sintesa Peninsula Manado. Jurnal Administrasi Bisnis, 7(2). Cahyarini, F. D. (2021). Implementasi Digital Leadership dalam Pengembangan Kompetensi Digital pada Pelayanan Publik. Jurnal Studi Komunikasi Dan Media, 25(1), 47. https://doi.org/10.31445/jskm.2021.3780 Cooren, F., Kuhn, T., Cornelissen, J. P., & Clark, T. (2011). Communication, organizing and organization: An overview and introduction to the special issue. Organization Studies, 32(9), 1149–1170. https://doi.org/10.1177/0170840611410836 Cortellazzo, L., Bruni, E., & Zampieri, R. (2019). The role of leadership in a digitalized world: A review. Frontiers in Psychology, 10(AUG). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01938 Deden Suherman, U. (2019). PENTINGNYA KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI. Jurnal Ilmu Akuntansi Dan Bisnis Syariah, 1(2), 260–274. 85 Fabiano Amri, R., & Rahardja, E. (2016). PENGARUH KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP LOYALITAS YANG BERDAMPAK PADA KINERJA KARYAWAN DI PERUSAHAAN (Studi Pada PT. Kimia Farma Plant Manufacturing Semarang). In Jurnal Bisnis STRATEGI (Vol. 25, Issue 1). FOUAD A. B, K. (2019). Digital Transformation and Leadership Style: A Multiple Case Study. The ISM Journal of International Busines, 3(1), 28. Harivarman, D. (2017). HAMBATAN KOMUNIKASI INTERNAL DI ORGANISASI PEMERINTAH. Jurnal ASPIKOM, 3(3), 508–519. Hasanti, I. D. (2019). Analisis Komunikasi Organisasi Antara Event Project Team dan Account Executive di Event Organizer Twisbless. Jurnal Komunika : Jurnal Komunikasi, Media Dan Informatika, 8(1), 32– 41. https://doi.org/10.31504/komunika.v8i1.2072 Jumrad, O. T., Dwi, I., & Sari, M. (2019). FUNGSI KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI MELALUI GROUP CHAT WHATSAPP ORIFLAME. In Jurnal Common | (Vol. 3). http://www.mlmlegal.com/profiles/Oriflame.ht Kharisma, T., & Kurniawan Sujono, F. (2018). ANALISIS STRUKTURASI ADAPTIF: IMPLIKASI PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PELAYANAN INFORMASI PUBLIK ORGANISASI PEMERINTAH. Jurnal Penelitian Komunikasi Dan Opini Publik, 22(2), 110–115. Lana Emilia Gondowahjudi, Devita Rahmani Ratri, & Lukman Hakim. (2018). Pengaruh Komunikasi Organisasi Terhadap Kinerja Tenaga Kesehatan Yang Dimediasi Oleh Motivasi di RSUD Kota Malang. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik (JIAP), 4(4), 331–342. 86 Larasati, D. P., & Hasanati, N. (2019). The Effects of Work-Life Balance towards Employee Engagement in Millennial Generation. Latifah, Z. (2021). PENTINGNYA KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI. Magister Manajemen Pendidikan, 234(243). Liu, C., Ready, D., Roman, A., van Wart, M., Wang, X. H., McCarthy, A., & Kim, S. (2018). E-leadership: an empirical study of organizational leaders’ virtual communication adoption. Leadership and Organization Development Journal, 39(7), 826–843. https://doi.org/10.1108/LODJ-10-2017-0297 Maryati, S., & Siregar, M. I. (2022). Kepemimpinan Digital dalam meningkatkan kinerja organisasi peran Teknologi Informasi dan Komunikasi. Owner, 6(4), 3616–3624. https://doi.org/10.33395/owner.v6i4.1176 Meningkatkan Pelayanan Krisna Mulawarman, U., -Yeni Rosilawati, Ms., Mulawarman, K., Yeni Rosilawati, Ms., & Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, M. (2014). Komunikasi Organisasi pada Dinas Perijinan Kota Yogyakarta. 10.30659/JIKM.5.1.31-41 Muliawati, T., & Surabaya, U. N. (2020). PERAN WORK-LIFE BALANCE DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN MILENIAL: STUDI LITERATUR Agus Frianto. Muliawati Triyana, & Frianto Agus. (2020). PERAN WORK-LIFE BALANCE DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN MILENIAL: STUDI LITERATUR.Jurnal Ilmu Manajemen, 20(20), 606–620. Nur Kholifah, A., & Aidil Fadli, J. (2022). PENGARUH KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN WORK LIFE BALANCE TERHADAP KETERIKATAN KERJA DAN KINERJA KARYAWAN. SIBATIK JOURNAL: Jurnal Ilmiah Bidang Sosial, 87 Ekonomi, Budaya, Teknologi, Dan Pendidikan, 1(10), 2301–2318. https://doi.org/10.54443/sibatik.v1i10.340 Nurjaya, Mukhtar Afiah, & Achasanuddin. (2020). GAYA KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI, PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA PEGAWAI. Balance, 2(1), 35–43. Oberer, B., & Erkollar, A. (2018). INTERNATIONAL JOURNAL OF ORGANIZATIONAL LEADERSHIP Leadership 4.0: Digital Leaders in the Age of Industry 4.0. In International Journal of Organizational Leadership (Vol. 7). Pahlevi Rizky Nadia. (2018). HAMBATAN DAN STRATEGI KOMUNIKASI ANTARPRIBADI PEKERJA SOSIAL DI PANTI PELAYANAN SOSIAL WANITA “WANODYATAMA” SURAKARTA. JURNAL KOMUNITAS. Panjaitan, H., Eryanto, H., Perkantoran Digital, A., & Ekonomi, F. (2023). Analisis Sistem Work Life Balance Pada Pegawai X. Jurnal Media Administrasi, 8(1), 103–115. http://repository.umj.ac.id Riinawati. (2019). PENGANTAR TEORI MANAJEMEN KOMUNIKASI DAN ORGANISASI. Romadona, M. R., & Setiawan, S. (2020). Communication of Organizations in Organizations Change’s Phenomenon in Research and Development Institution. Journal Pekommas, 5(1), 91. https://doi.org/10.30818/jpkm.2020.2050110 Sarjito, A. (2019). MODEL KEPEMIMPINAN DIGITAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0. Steven Vianaldo Purnomo, V., & Augusto Tejasukmana, S. (2021). Pengaruh Digital Leadership terhadap Kinerja Perusahaan Startup di Jawa Timur. Business Accounting Review, 9(2). 88 Tulungen, E., Maramis, J., Saerang, D., Tulungen, E. E., Saerang, D. P., Maramis, J. B., Studi Doktor Ilmu Manajemen, P., Ekonomi dan Bisnis, F., & Kunci, K. (2022). DIGITAL TRANSFORMATION: ROLE OF DIGITAL LEADERSHIP. 1116 Jurnal EMBA, 10(2), 1116–1123. Van Ruler, B. (2018). Communication Theory: An Underrated Pillar on Which Strategic Communication Rests. International Journal of Strategic Communication, 12(4), 367–381. https://doi.org/10.1080/1553118X.2018.1452240 Vyas, A., AhilyaVishwavidhyalaya, D., & Deepak Shrivastava, I. (2017). Article Section. In Pacific Business Review International (Vol. 9). 10.30659/JIKM.5.1.31-41 Wicaksana, S. A., Pia Asrunputri, A., Psikologi, F., Pancasila Jl Srengseng Sawah, U., & -Jakarta Selatan, J. (2020). Identifikasi DimensiDimensi Work-Life Balance pada Karyawan Generasi Milenial di Sektor Perbankan. Jurnal Sekretari Dan Manajemen, 4(2). http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/widyacipta Widowati, D., Alisya, V., Rahayu, Y., Salim, M., & Sakasasmita, S. (2023). Organisational communication towards work-life balance in achieving working homeostatic at JOOX Indonesia. Jurnal Studi Komunikasi (Indonesian Journal of Communications Studies), 7(2), 383– 400. https://doi.org/10.25139/jsk.v7i2.6231 Wulansari Oktufiani Dwi. (2023). NARRATIVE LITERATURE REVIEW: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work-life Balance. In Psychopreneur Journal (Vol. 7, Issue 1, pp. 15–28). ABDO Publishing. 89 LAMPIRAN NARASUMBER: a. Windy Hendwiananda. Head of Product & Emerjing Division b. Edwin Sandhi. Technical Account Executive c. Misbahul Huda. Application Developer WAWANCARA WINDY HENDWIANANDA Bagaimana om menciptakan aturan dan mengimplementasikan aturan sehingga karyawan nyaman? V W V W V W Om merupakan kepala divisi dari perusahaan Global Asia Sinergi. Gimana si Om produksi dan reproduksi aturan biar karyawan nyaman? Pertama kali, kalau membuat satu aturan di satu perusahaan, yang paling penting adalah mesti ngerti prinsip reward and punishment. Kalau Om lebih condong ke reward bukan punishment Berarti yang tidak melenceng apa ya? Misalkan, kayak dia keluar deadline, tuh nggak dihukum apa-apa? Ada hukumannya, tapi titik beratnya pada reward, bukan punishment. Terus, yang kedua, buy-in untuk satu aturan. Supaya orang semua bisa melakukannya dengan senang gembira, bahagia, sejahtera, itu harus ada buy-in. "Buy-in" itu artinya adalah mereka harus merasa melakukan itu senang, ada ownership-nya. Kalau misalkan membuat satu aturan, biasanya, ajak mereka ngobrol semua. Mau akan lempar satu ide, eh lebih baik kita begini, kira-kira yang lain menurut yang lain di mana itu akan muncul ide baru kan. Nah, dari ide itu, itu pasti bisa diambil, dijamin 100 persen bisa diambil ide, karena itu dari mereka yang melakukan sendiri di lapangan dan sebagainya. Dari ide itu, baru kita bikin aturan, tapi jangan lupa juga bahwa nanti pada saat kita implementasi aturan itu, kita kasih kredit untuk si yang ngasih ide-nya. Contohnya gimana tuh? Contohnya, misalnya, kayak kerja aja. Misalnya, yang kerja kita lebih baik yang kerja itu fleksibel atau non-fleksibel. Muncul nih banyak ide, kan? Ada beberapa-berapa yang punya ide bagus. Misalnya, menurut kita fleksibel sekian hari. Kemudian, nanti ada waktu kita strict dengan aturan. Kalau semuanya setuju, pasti ada perdebatan. Itu ada yang bisa diambil dari situ. Pada saat nanti, oke kita kemarin sudah ngobrol dan semua sebagian besar sudah setuju, kita akan 90 V W V W V W V menentukan aturan ini dan aturan itu. Ide didasarnya adalah dari si ini, itu harus diakui. Ada motif tertentu nggak? Kayak misalnya, untuk dia supaya merasa dihargai? Nggak. Kalau bagus, kita harus kasih credit. Tidak bisa bahwa sebagai leader terus itu ide-nya dari Pidi, misalnya. Terus sudah diambil aja ide Pidi, terus bilang nanti semua orang di seluruh dunia bilang, ini bukan ide Pidi. Karena pada saat jadi leader, sudah tidak boleh lagi berpikir untuk diri sendiri, berfikir semuanya untuk tim. Pada saat kita udah pasti kredit seperti itu, otomatis semua orang tahu bahwa oh iya kita ini barengan, ini ide kita ayo kita jalan sama-sama. Itu akan meminimalkan bahkan menghilangkan friksi lain kalau misalnya gini tiba-tiba Om datang, eh besok masuk jam 7 pagi sampai jam 5 sore tanpa bertanya, tanpa melihat kondisi di lapangan apa yang terjadi. Apa akan menguntungkan jam 7 pagi jam 5 sore itu bedanya. Kalau aturan yang top-down, tanpa melihat apa yang terjadi di bawah, itu pasti tidak akan populer, tidak akan dilaksanakan. Kalau pun dikerjain pasti di belakangnya ngedumel Berarti Om lebih fokus ketika membuat aturan itu membuka forum dulu biar lebih sesuai sama kebutuhan karyawan dan tidak semena-mena kayak Om. Wah, kayaknya ini paling bagus deh, jadi Om tetap membuka forum untuk diskusi. Betul, tapi pada saat sama juga, Om akan berpikir bahwa ok kira-kira aturan ini ada impact negatif tidak dengan perusahaan secara garis besar. Kalau emang tidak ada, nah itu, maka Om akan masuk dan sisi perusahaan itu. Kalau misalnya segini, misalnya itu, kayaknya akan nanti konflik dengan ini-ini yang mungkin teman-teman di tim tidak tahu. Itulah gunanya salah satu leader. Jadi Om tidak semena-mena, cuma mikirin karyawan, tapi Om juga tetap mikirin tujuan perusahaan, dan itu harus bersinambung di jalan satu gitu ya Betul, gak bisa cuma perusahaan doang atau karyawan doang, gak bisa. Karena dua-duanya kan ini dua entity yang hidup bareng gak mungkin bertentangan, pasti jadinya konflik. Oke baiklah. 91 Apakah teknologi mempengaruhi implementasi aturan tersebut? V W V W W W V W Terus, kan, Om ini cukup banyak mengadopsi berbagai teknologi dalam pekerjaan. apakah teknologi itu mempengaruhi dalam membuat aturan itu? Itu juga salah satu faktornya. Jadi, Om akan terbuka dengan semua teknologi baru. Banyak contohnya, misalnya, sesimple Om cuma melempar ide aja ke tim bahwa kayaknya kita perlu bikin suatu list yang bisa dilihat semua orang di tim kita di situ mengenai status semua project (Real time). Kira-kira kita pakai tools apa ya? Itu Om lempar ke forum mereka akan cari, wah mendingan pakai ini, pakai Slack aja, pakai Trello, pakai project pake segala macam Berarti yang tidak melenceng apa ya? Misalkan, kayak dia keluar deadline, tuh nggak dihukum apa-apa? Ada hukumannya, tapi titik beratnya pada reward, bukan punishment. Terus, yang kedua, buy-in untuk satu aturan. Supaya orang semua bisa melakukannya dengan senang gembira, bahagia, sejahtera, itu harus ada buy-in. "Buy-in" itu artinya adalah mereka harus merasa melakukan itu senang, ada ownership-nya. Kalau misalkan membuat satu aturan, biasanya, ajak mereka ngobrol semua. Mau akan lempar satu ide, eh lebih baik kita begini, kira-kira yang lain menurut yang lain di mana itu akan muncul ide baru kan. Nah, dari ide itu, itu pasti bisa diambil, dijamin 100 persen bisa diambil ide, karena itu dari mereka yang melakukan sendiri di lapangan dan sebagainya. Dari ide itu, baru kita bikin aturan, tapi jangan lupa juga bahwa nanti pada saat kita implementasi aturan itu, kita kasih kredit untuk si yang ngasih ide-nya. Dari situ ide-ide oke diambil 3 kita sama-sama riset. Risetnya mah enggak lama, sebentar, kira-kira cocok ke mana. Semua akan coba, mendingan ini enggak bisa, enggak bisa begini, enggak bisa begini, oke, ini yang paling bagus ya udah kita pakai. Karena dengan begitu mereka akan commit bahwa mereka sendiri yang nyari, bukan Om yang nyari. Jadi Om melakukan itu untuk mengikat mereka juga dan secara bersamaan membebaskan juga? Iya, karena misalkan Om dapat direction dari salah satu direktur. Mereka cuma bilang, "Bro, gue pengen tahu nih proyek kita apa aja, kayak apa sih." Itu doang bilangnya biasanya. Karena mereka cuma ngerancang overview aja. Oke, dari instruksi itu enggak mentah-mentah. Om ngomong, "Hh, kita pakai ini aja ya," enggak. Percuma, enggak bakal make. Tapi begitu ide dari mereka, dari tim, itu dengan senang hati mereka menjalankan. Mereka merasa bahwa oh itu ide gua, 92 V W V W V W V W punya rasa memiliki. Jangan sampai ide gua ini jelek. Dan itu namanya buy-in. Oke, selain itu ada lagi? Sebagian besar itu sih karena semua, misalnya kita punya kemarin punya satu. Banyak problem pemecahan teknologi nya dari situ. Misal kita punya tim berapa orang tuh. Kita punya tes insert buat server, segala macam aplikasi. Terus biasanya mungkin ada orang bikin ini penting begini, begini, begini. Kan mereka rata-rata kan ada password-password nya itu. Kan sebetulnya karena ini untuk keperluan tim, passwordnya ya paling tidak semua harus tahu itu yang gimana caranya supaya semua orang tahu password yang dibikin sama yang lainnya bukan password pribadi, ya password untuk tim. Nah itu baru muncul. Ya udah kita pake Keep dari Google Jadi Om pokoknya adalah bikin peraturan di mana dia bisa sebagai pembebas namun tetap terikat, dan teknologi cukup berperan di situ ya. kemudian untuk misalnya kayak, eh kita pengen bikin diagram, tapi diagram yang kira-kira bisa dipakai semua orang gampang terus jaga jaringan network segala macam aplikasi itu apa ya kira-kira mulai muncul ini, ini bayar aja nih bagusnya tapi wah ini tapi lambat ini itu muncul dapat Excalidraw untuk diagram kita pake Excalidraw. Terus ada lagi kita pernah, gimana caranya kita kerja dalam satu ruangan satu meja, lah misalnya laptop masing-masing dan pengen sharing screen-nya dari masing-masing individu. Jadi kita nggak perlu "liat sini dong" tanpa perlu suara. Tinggal ngomong di ruangan itu dan fokusnya screen laptop masingmasing doang udah. Oh iya ketemu screen, begitu konek ya udah enggak ngomong tapi screen-nya masing-masing nggak musti buka proyektor, musti buka TV atau musti Zoom dulu. Oke, berhubungan Zoom, Om ngomong tadi kalo menerapkan waktu yang cukup fleksibel dalam berapa hari (WFA) dan waktu yang strikt WFO (work from office) di hari Jumat. Om untuk berkomunikasi di hari pas WFA (work from anywhere) itu pake Zoom? Kita pakai Zoom untuk kalau memang ada yang mau di-share, secara perusahaan Global Asia Sinergi itu punya 2 akun Zoom yang pertama itu Zoom regular sebagai kantor, kedua yang di buka dari 8:30 pagi sampai 5:30 sore, dan satu lagi untuk client. Oh jadi, yang satu kayak kantor regular yang satu itu buat customer, terus cara kerja untuk regular itu gmna? Iya, jadi yang kantor jam 8:30 dibuka. Kalau misalkan Om WA di grup tim nih karena perlu ngobrol sama si A tinggal ngomong, "Eh, gua perlu ngomong nih, masuk yuk Zoom," 93 V terus ngobrol nih berdua. Abis selesai ngobrolin keperluan Om misalnya cuma setengah jam ngobrolnya yaudah leave abis itu dan Zoom nya tetap bisa diakses sama tim sampai 5:30 dan otomatis bakal off setelah jam itu Oalah asik juga Bagaimana membangun interaksi dengan karyawan om sehingga membuat karyawan om nyaman. V W V W W W V W Nah, saya mau nanya lagi, terus, gimana om ngebangun interaksi dengan karyawan yang tadi menggunakan banyak teknologi dan segala macam itu biar karyawannya tetap nyaman dan tetap on track gitu? Ya, yang jelas kita juga pakai tiketing. Jadi biasanya ada task, dari sekian banyak orang itu pasti mereka punya task masingmasing. Nah, itu tasknya itu akan dibikin tiket, selalu dibuat tiket. Jadi, misalnya om sendiri kasih task, misalnya yang server kemarin tolong diberesin sampai ini ini ini. Nah, itu dibikin tiket, dibikin tiket di-assign ke orang itu. Yang bersangkutan punya kerjaan, dan dia dapat nomor tiketnya. Di sisi om cuma lihat aja di tiket ini sudah berapa hari, berapa lama, progres mereka update di situ. Dan itu dalam satu hari itu mereka punya kewajiban, kalau ini emang diharuskan. Walaupun simple, tapi mereka tidak keberatan. Jadi paling tidak dalam sehari tiga kali buka email dan tiga kali buka portal tiket Untuk ngecek kerjaan? Iya, walaupun sebenarnya kalau ada tiket masuk, masuk ke email. Oke, terus kalau itu kan untuk secara teknis kerjaan. Kalau om sendiri ngebangun interaksi antara karyawan biar ngeblend? Ya, kalau ngeblend itu biasanya kita punya weekly meeting. Weekly-nya itu bisa untuk tim. Jadi setiap Jumat itu ada weekly meeting seluruh orang, satu kantor. Ke kantor, kalau bisa ke kantor gak bisa gak apa-apa. Oh, gak ada diwajibkan. Ya, karena di hari Jumat itu tetap ada Zoom juga. Jadi yang gak bisa masuk Zoom. Tapi itu bareng semua. Itu satu kantor semua orang, mau dari sales, finance, programmer, semua masuk semua, hadir semua. Dan om punya weekly untuk tim aja. Om punya yang langsung untuk divisi om. Itu mingguan itu juga ada? Ya, dan itu fleksibelnya artinya pokoknya dalam satu minggu itu harus satu sekali 94 V W V W V Oke, selain itu ada lagi? Itu untuk ngebangun interaksi yang bagus sama tim. Dan kalau spesifik untuk perorangan? Oh, oke, mereka jadi secara gamblang datang ke om dan mereka bisa ngomong apa aja? Itu karena dibangun dari awalnya om tidak memposisikan sebagai bos lu. Enggak, lu kacung gue. Kenapa? Gak ada gunanya pemimpin kalau gak ada anak buahnya. Asik Sebagai pemimpin divisi, bagaimana om memanfaatkan kekuasaan dalam struktur organisasi untuk membentuk arah dan pengambilan keputusan di divisi om? V W V W W Selanjutnya, sebagai pemimpin divisi, bagaimana om memanfaatkan kekuasaan dalam struktur organisasi untuk membentuk arah dan pengambilan keputusan di divisi om? Kembali lagi pada tadi, gaya manajemen om adalah seperti dari awal, yaitu dengan mendapatkan persetujuan bersama. Jadi kalau ada keputusan yang melibatkan banyak orang atau anggota tim, biasanya itu melibatkan diskusi dan diserahkan kepada teman-teman untuk mencari pendapat dan solusi bersama. Karena lebih baik begini atau begitu, tetapi yang membuat keputusan tetaplah om, dari sekian banyak. Jadi, om tetap memiliki hak veto. Ini berarti om tetap memiliki otoritas. Tetapi, sekali lagi, tidak serta-merta bahwa keputusan tersebut berasal dari om sendiri, kecuali jika itu bersifat rahasia dan tidak langsung terkait dengan direktur, keputusan seperti itu mungkin diambil langsung oleh om tanpa berkonsultasi dengan anggota tim, itu merupakan keputusan dari top management. Oke, berarti om tetap memiliki kekuasaan mutlak, namun tetap menjalankan prinsip demokrasi dengan mendengarkan pendapat orang lain Iya, walaupun sebenarnya kalau ada tiket masuk, masuk ke email. Iya, karena terkadang ketika kita memikirkan sendiri, kita merasa bahwa pendapat kita adalah yang paling benar. Namun, saat om melibatkan teman-teman lain, mengapa sudut pandang mereka berbeda? Itu menarik, kadang-kadang kita sadar, "Oh, benar juga ya, saya tidak memikirkan hal itu." Tidak mungkin otak satu orang dibandingkan dengan otak tujuh orang, enam orang mungkin memiliki pandangan yang benar sendiri. Ada 95 situasi di mana kita perlu berbicara dengan teman-teman, mendengar ide mereka, yang ternyata mungkin lebih bagus daripada yang kita pikirkan. Dan itu harus diakui, karena sebagai pemimpin, hidup kita bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk orang lain. Oleh karena itu, harus diakui bahwa ide tersebut berasal dari rekan kita. Dengan cara ini, setiap orang akan saling menghormati, termasuk penghormatan terhadap om. V W V W Jadi, om sangat mengapresiasi kontribusi dari para karyawan? Seharusnya seorang pemimpin tidak mengambil seluruh kredit untuk dirinya sendiri. Mengapa? Karena seorang pemimpin tidak akan berhasil maju tanpa timnya. Jika seorang pemimpin tidak memiliki tim, itu bukanlah seorang pemimpin. Misalnya, seorang ustadz tanpa jemaat, dengan siapa dia akan berbicara? Ada seorang pendeta tanpa jemaat, siapa yang mau dengerin? Oke, berarti om memiliki pemikiran bahwa sebagai pemimpin, om harus mengabdikan diri untuk orang lain? benar, dan sebenarnya itu adalah hal yang klise, tetapi benar. Pada saat om menjadi seorang pemimpin, hidup om menjadi untuk anggota tim om, mirip dengan seorang presiden yang hidupnya untuk rakyat Indonesia. Itu seharusnya menjadi cara berpikir om, sebagai ketua MPRK atau DPRK, om berada di sana untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri Bagaimana om mengetahui teknologi teknologi terbaru yang telah beredar dan jika ada yang sesuai dengan tujuan perusahaan, apakah om mengimplementasikan teknologi itu kedalam perusahaan? V W Nah, untuk pertanyaan selanjutnya, gimana, Om, mengetahui teknologi terbaru yang ada di dunia, di berbagai dunia ini, dan apakah sesuai dengan tujuan perusahaan, apakah Om akan mengimplementasikan teknologi itu ke dalam perusahaan? Iya, semua orang, bisa dibilang punya, bisa dibilang memiliki kewajiban ya, walaupun tidak tertulis. Jadi kalau cuma satu orang yang mencari, itu belum tentu dapat, belum tentu semuanya. Apalagi dengan sebanyak itu teknologi , jadi semua orang punya kewajiban yang tidak tertulis karena passion mereka. Mereka akan selalu mencari teknologi baru, semuanya, tidak terkecuali. Dan kalau misalnya ada yang baru, itu mereka masukkan ke dalam channel kita. "Ini ada yang baru nih, gini gini gini, ini kayaknya menarik juga nih kalau 96 V W dipakai untuk ini. Mau dipakai atau tidak dipakai, semuanya belakangan." Ohh, jadi Om dan tim tetap mencari ya, dan kalau sudah ketemu dimasukkan ke dalam channel untuk di-list? iyak Bagaimana suatu teknologi dapat dikatakan sesuai dengan kriteria tujuan perusahaan, bagaiamana om mengevaluasi teknologi tersebut? V W V W Next, om, bagaimana suatu teknologi dapat dikatakan sesuai dengan kriteria tujuan perusahaan dan bagaimana cara om mengevaluasi teknologi tersebut? Ya, kalau mengevaluasi bukan cuma satu ya, jadi ada beberapa kategori mengevaluasi untuk dipakai sendiri, atau dievaluasi untuk dijual, karena itu ada perbedaan. Karena di global Asia kan kita akan memberikan solusi, solusi IT. Jadi beberapa solusi mungkin cocok untuk dijual di pasar Indonesia misalnya, itu kalau yang keluar. Tapi kalau untuk ke dalam, berbeda sama, semua orang punya hak untuk mencoba dan melihat teknologi baru dan semua akan coba. Kalau memang itu sesuai dengan apa yang kita butuhkan, biasanya kita adaptasi. Kayak dulu itu, kita nggak punya satu tempat di mana semua dokumentasi ada di situ. Yang dokumentasinya itu bisa kita share dengan gampang ke customer. Jadi kita cari ini, kita dapatkan aplikasinya. Kita coba, cocok, kita pilih. Sampai sekarang dipakai semua dokumentasi di situ. Misalnya ada customer minta data sheet, use case, white paper, segala macam. Kita tinggal kumpulkan dalam satu folder, kita share link-nya. Itu kita cari bareng bareng abis itu kita evaluasi bareng bareng akhirnya kita implementasi deh buat solve masalah Oh oke, jadi IT depend ya, tapi tetap semua bukan hanya om harus mengevaluasi mutu dari suatu teknologi iyak Tentunya sebagai kepala divisi dari perusahaan it om sudah memiliki kredibilitas yang baik dalam urusan keteramplian teknis, bagaiamana cara om untuk terus beradaptasi dengan teknologi yang 97 terus berkembang dan menjaga keinginan buat usaha yang lebih untuk terus belajar V W V W V W V W V Next, om, sebagai kepala divisi IT, pasti om punya kredibilitas soal keterampilan teknis programming, deh. Bagaimana cara om untuk terus beradaptasi dengan teknologi yang terus berkembang dan menjaga keinginan buat melakukan usaha yang lebih untuk belajar sama teknologi itu? Begadang Masuk akal padat singkat jelas, tapi gimana cara om munculin hasrat, kayak, gue harus tetap relevan nih sama hal ini I think kalau dulu untuk cari informasi tentang IT hal yang baru itu masih gampang. Cycle-nya itu masih bisa paling tidak mungkin 6 bulan sekali baru ada teknologi baru. Begitu sampai kesini 6 bulannya mulai surut nih, jadi 5 bulan, jadi 4 bulan, 3 bulan, 2 bulan. Sekarang seminggu sekali muncul yang baru. Kalau nggak update, itu akan ketinggalan. Kehilangan relevansi betul. Tapi dengan sekian banyak yang baru, nggak mungkin dong kalau misalnya cekin satu-satu bisa dapat. Jadi om punya satu tools yang tools itu yang akan collect semua informasi apa pun itu juga mengenai hal yang baru. Dan om tinggal setiap hari buka aja tools itu, oh nggak ada yang baru ini, baru-baru ini, nggak lihat aja kira-kira mana yang relevan. Dan tools itu nggak selalu cuma teknologi, ada hal baru ya. Tapi memang mostly teknologi. Dan tools itu adalah? Ada deh, itu confidential stuff Oke, oke. Berarti tools itu adalah program yang om buat atau apa? Bukan, sebetulnya toolsnya, kalau generik toolsnya itu adalah news gathering lah. Jadi banyak tipenya news gathering. Sebenarnya sama, mau pakai tools apa pun juga sama. Cuman kalau mau setiap orang punya skill masing-masing, punya passion masing-masing kan. Tools itu bisa dikustom sesuai dengan malunya. Kalau mau cari mengenai desain doang yang update setiap hari, ada. Mau cari mengenai finance, update setiap hari, ada. Jadi kalau om bukan cari informasinya awalnya, tapi cari toolsnya. Karena dari tools itu gue dapet informasi. Jadi kalau misalnya pidi mau cari toolsnya banyak, banyak banget. Mungkin toolsnya yang om pakai nggak sesuai dengan pidi. Tapi ada lagi tools yang lain, tapi lebih pada news gathering tad Jadi intinya tools itu fokusnya cuma buat ngumpulin informasi aja. Informasi doang. Tapi om sendiri yang milah gitu. Terus 98 misalkan kalau ada suatu teknologi yang berbeda banget sama keterampilan om. Kayak misalkan, wah ini teknologi baru banget nih. Gimana om tetap mau belajar sama hal itu? Om memaksakan diri om untuk belajar? Atau om itu emang, kayaknya gue harus deh belajar, kayak memaksakan gitu. Atau om, ini kewajiban gue gitu. W Fortunately, bukannya contak, bukannya sombong. Itu semua yang berhubungan sama IT ya. Itu pasti punya base-nya, punya dasarnya. Karena kebetulan om tahu dasarnya, walaupun belajar sesuatu untuk tahu hal yang baru sama sekali. Itu nggak perlu terlalu ribet si karena om udah tau base nya. Bagaimana Om menjaga Relevansi sama Perkembangan teknologi dan karyawan? V W W sama orang om kan banyak . Dan juga tetap bisa beradaptasi dengan teknologi-teknologi yang barunya, kayak AI atau gimana? itu balik lagi ke personal passion-nya. Om kan membawahi teman-teman yang bergerak di bidang teknologi yang semuanya itu kalau bisa dibilang sih bukan abal-abal, mereka juga punya skill, punya cara berfikir, punya pengetahuan yang ada. Kalau om merasa paling hebat sendiri itu salah, justru malah om banyak belajar dari mereka teknologi apa yang baru. Kenapa? Sekarang gini, yang sudah senior tidak bisa hidup sendiri tanpa yang junior. Yang junior pun tidak bisa hidup sendiri tanpa yang senior. jadi ada beberapa misalnya begini, kita ngomong teknologi lah misalnya, ada satu anak yang, pak mendingan kita pakai yang ini, ini teknologi baru nih. Kalau pakai yang ini aja deh. Tapi kalau pakai teknologi itu langsung serta mertanggal kita review dulu sebetulnya itu impact-nya apa? Impact-nya apa? Itu kan harus bisa bicara pengalaman. Mereka belum punya pengalaman. Yang punya pengalaman om, om akan bicara soal pengalaman, soal kendalakendalanya, dan mereka bicara soal teknologi yang paling barunya. Jadi bisa enggak kendala-kendala ini yang berdasarkan pengalaman tadi itu diselesaikan dengan teknologi baru ini? Ya, enggak semuanya bisa. Tapi kalau bisa, itu kan kita jadi semakin kaya. Oh, ternyata teknologi baru ini bisa menyelesaikan masalah-masalah yang sebetulnya secara fundamental itu masalah-masalah lama misalnya. Yang 99 V W W W W V W W memang orang harus merasakan dulu baru ketemu masalahnya gitu Itu contohnya gimana om Dan tools itu adalah? Kayaknya misalnya gini. Anggap kita bisa bikin lagi bikin aplikasi. Kalau anak-anak yang baru memang fresh cara berfikirnya. Oke, kita pakai ini misalnya pakai satu aplikasi untuk antrian lah, queuing. Queuing tuh bukan queuing ngantri orang-orang tapi antrian pekerjaan. Oke. Pakain aja nih, bagus nih. Lebih cepat, lebih segala macam. Nah, itu bagus ya. Mungkin bisa dipakai. Tapi yang akan om masukkan ke mereka adalah wisdom. Misalnya, kalau dengan ini kebutuhan hardware-nya berapa? Terus kalau kebutuhan hardware-nya itu besar, customer-nya sanggup nggak dibakal beli ini? Terus ini sudah terbukti belum? Sudah kita coba belum? Terus kalau misalnya ini dipakai, akan menambah kompleksitas di sisi customer nggak? Karena gitu. Biasanya kan kalau anak muda mereka ngerti, oke ini jalanin bagus. Tapi wisdom di sekelilingnya kayak misalnya tadi kira-kira nih customer-nya mampu belinya apa nggak. Terus cuma dong kita bikin canggih nih, tapi nggak ada yang bisa beli. Kalau nggak oke canggih, tapi kebutuhan hardware-nya besar banget. Yang ujung-ujungnya adalah customer-nya nggak sanggup juga. Karena nggak selalu bahwa ada teknologi baru gitu, itu selalu tepat. Karena tepatnya ini bukan cuma tepat secara teknologi, tapi secara finansial juga. Ujungnya kita kan cari duit Dan dalam pencarian informasi malah kadang-kadang seringnya kecepatan mencarinya itu masih lebih cepatan om dibandingkan anak-anak yang baru Karena apa tuh om? Karena basicnya, mungkin karena om sudah punya pengalaman dan punya secara fundamental kuat ya. Buat anakanak baru itu yang agak lama. Jadi misalnya gini, om. Kalau om sudah tahu intinya, kalau misalnya, biasanya gini. Kalau misalnya ada sesuatu misalnya, kalau misalnya anggap kita bikin aplikasi ya. Kalau anak-anak yang baru itu, biasanya dia akan selalu coba berpikirnya adalah, ini, bikin aplikasi ini pakai bahasa programing apa?, bahasanya dulu. Kenapa? Dia selalu mengacu pada diri sendiri bahwa, kalau pakai bahasa ini, gue nggak tahu, tapi kalau pakai bahasa ini gue tahu. Terus gue condong ke apa yang mereka punya ini. Kalau gue pakai ini, gue harus belajar lagi. Biasanya mereka ke bahasa dulu. Padahal sebetulnya untuk satu aplikasi, galau om, berpikirnya. Aplikasi itu, itu language agnostic. Language agnostic itu adalah aplikasi tidak tergantung pada bahasa pembeberaman atau cara kerja. Lebih pada fungsinya. Yang 100 V dicari fungsi dulu. Oke, fungsinya ini bisa bikin seperti ini, jalannya seperti ini. Udah? Baru kita berpikir dengan fungsi ini, pakai bahasanya yang mana? Bukan bahasanya dulu untuk bikin fungsi ini. Kenapa yang kadang-kadang nggak dipikirin sama teman-teman yang masih muda ini adalah, pada saat menentuin bahasa atau pembeberamannya, itu kan dia selalu melihat diri sendiri. Padahal kita kalau lihat satu aplikasi itu, fungsinya ini, baru kita menentukan bahasanya. Pada saat kita menentukan bahasa itu, kita akan menentukan resource. Misalnya, bikin aplikasi dengan bahasa paling baru. Yaudah, siapa yang bisa menrogram pakai bahasa paling baru? Lu buka lowongan juga, yang lamar juga nggak ada. Bukan cuma, oh biar keren nih bahasa paling baru. Tapi siapa yang bikin? Yang jarang. Bukan berarti bawa bahasa paling baru, pasti hasilnya selalu harus lebih bagus. Kalau nggak ada yang bikin, nggak ada programmernya, ya cuma. Terus, itu satu resource. Setelah dapat resource, karena bahasa baru jarang yang tahu misalnya, ada resource yang harganya mahal. Karena jarang masih yang bisa itu. Harganya mahal, pada saat kita hitung-hitung kalkulasi, keseluruhan aplikasi jadi mahal. Balik lagi, siapa yang mau beli? Wisdom seperti itu. Kecuali kalau misalnya kita bikin aplikasi bukan untuk tujuan komersial, itu terserahlah. Tapi kalau tujuan komersial, ujung-ujungnya adalah, ada yang beli nggak? Karena, orang IT, programmer bikin aplikasi, banyak jago-jago hebat-hebat di akun. Tapi bisa dijual nggak? Yang susah itu cari duitnya, bukan bikin aplikasinya. Makanya, wisdom seperti itu kan nggak bakal bisa dapat sama anak muda. Tapi kalau ujung-ujung ngerasakan bahwa, sebetulnya ujung sendiri ngerasakan bahwa setelah sekian lama itu, yang paling susah itu adalah gimana lu bikin produk yang bisa dijual. Bikinnya segampang kalau ujung-ujung mau bikin aplikasi. Bikin aplikasi bisa, nggak ada yang nggak bisa bikin aplikasi. Dia bilang, mungkin nggak bikin ini? Mungkin. Semua itu mungkin dan semua itu bisa. Sekarang apa sih nggak bisa bikin aplikasi? Tapi sekarang kejualannya bisa nggak? Lu bikin bagus-bagus tapi nggak bisa kejual, percuma. Itu karena kita mikirnya kan, ini komersial. Bukan organisasi apa, NGO, non-governmental, non-profit, organization Nice info terima kasih Bagaimana om membangun hubungan interpersonal yang baik dengan karyawan 101 V W V W oke om, om ngomong kalo buat nyaman sama kerjaan itu pake eticketing, kalo buat ngeblend sama tim pake weekly meeting sama punya group whatsapp, saya mau tanya nih om, ada nggak si teknik atau pendekatan yang lebih personal, kan orang punya latar yang berbeda beda nih om, itu om gmana tu untuk urusan interpersonal nya ada untuk pendekatan yang lebih personal om gunain teknik metode “situasional leadership” yang terbagi dalam empat tahapan (four stages). Secara alami manusia itu pasti ada di salah satu tahapan itu, oh iya tahapan nya itu ada directing, coaching, supporting, delegating. Itu orang itu pasti mulai dari awal sampe akhir tapi semakin akhir itu makin sulit, dan persentase manusia yang cocok untuk setiap tahapan itu juga sedikit, jadi pasti ada yang stak emg di salah satu tahapan karena mereka nggak sesuai dengan tahapan lanjutan nya, misalnya vidi dan efra ada di tahap supporting nih, ternyata yang berhasil masuk ke tahap delegating cuman vidi, efra nggak, ya artinya bukan efra bodoh, tapi kapasitas diri nya cuman sampe supporting. Jadi ketika menggunakan metode ini om juga bisa menyesuaikan komunikasi yang efektif buat dia. ohhhh oke oke, karena semakin tinggi kriteria yang dibutuhkan itu semakin banyak, dan nggak semua orang itu bakal fit yaaa? yaak, Itu setiap karyawan tu pasti ada di salah satu tahapan, dan om dengan harapan bahwa karyawan itu bisa sampai dengan tahapan delegating, jadi ketika om merekut orang ke dalam tim om akan memetakan orang itu ada di stage mana, misalnya directing, oh oke om tau akan cape, karena pada saat di stage directing komunikasi yang paling efektif adalah kasih tau semua bahkan sampe caranya om harus kasih tau, contoh pidi kamu lakuin X, caranya kamu pake A,B,C,D,E,F. harus jelas spesifik dan detail mereka nggak ush problem solve om yang problem solve om kasih tau direction nya mereka kerjain. Itu directing, oke semakin lama kalo progress nya bagus mereka naik tingkat, ke stage coaching, coaching itu lebih pada idenya dari om, mereka yang problem solve, misal om mau X, yaudah ngomong ke mereka, mereka yang problem solve. Oke kalo emg dia progressnya bagus lagi, dia bakal naik ke supporting, nah supporting itu adalah ide dari dia dan problem solve juga dari dia, misalnya permasalahanan itu X, yaudah ide dan problem solve nya dia, dan om hanya ngeliat bener apa nggak, kalo bener lanjutin, kalo salah om kasih saran 102 V W V W V W munkin cara nya ini, mau dicoba atau dia punya problem solve lain terserah dia, om hanya bertindak sebagai support. Yang terakhir adalah yang paling susah yaitu delegating, delegating itu adalah om menyerahkan pekerjaan itu sama dia dari bikin ide, problem solve, detail detail lain, dan om juga harus bisa melepas full pekerjaan itu, percaya bahwa dia bisa mengerjakannya dari A-Z. itu delegating, dan tiap tiap tim member tu beda beda stage nya, jadi komunikasi nya juga berbeda beda. Itu yang sebetulnya mereka secara tidak sadar bahwa mereka itu punya stage masing masing sesuai kapasitas nya. Intinya juga adalah semakin banyak om develop mereka sampe bisa tahap delegating, yaaa pekerjaan om juga semakin sedikit karena bisa dikerjain sama mereka, dan mereka sendiri pun berkembang menjadi lebih bagus entah dari hardskill nya maupun softskill nya oke, berarti itu adalah cara om untuk lebih tau komunikasi kayak apa si yang dibutuhin karyawan, contohnya misalnya directing komunikasi nya di sesuaikan, biar mereka nggak stress karena mereka nggak tau, atau yang supporting om gunain komunikasi yang bersifat support supaya mereka nggak merasa di usik atau pusing sama om tentang pekerjaan okee, terus kan kalo dalam proses 4 stages tadi apakah om menggunakan teknologi untuk menunjang atau emg pure pendeketan sosial? Oke, oke. Berarti tools itu adalah program yang om buat atau apa? dua duanya, nggak teknologi doang, nggak sosial doang, gini kalo misalkan kita mau dapet impact paling besar dari pendekatan sosial di kehidupan tatap muka ya harus ketemu mesti ngobrol, tapi kan dengan kondisi sekarang dimana kita ada WFA nya ya om harus gunain teknologi untuk dapet impact paling besar dari wfa, sesimple zoom, teams, atau lainnya. Tapi ngga berhenti disitu aja, bahkan teknologi bukan hanya ngecover pertemuan, tapi untuk shareworking yaitu apa yang karyawan om kerjakan om bisa tau secara real time dan om bisa kasih arahan misalnya deh, sesimple buka exel deh, dia ketik apa om bisa liat, dan om bisa ngetik juga di dokumen yang sama, untuk koreksi atau kolaborasi ama dia, itu juga bukan cuman excel, tapi bahkan sampe word, project dia, diagram itu om bisa cek real time. Dan itu gunanya teknologi untuk kolaborasi penuh tanpa adanya batasan jarak dan delay. berarti teknologi di digunakan sebagai penunjang aturan dan pola interaksi di global asia ya om? iyak 103 Bagaimana Cara om meminimalisir Kepemimpinan dan komunikasi yang buruk serta kerja yang berlebih pada karyawan V W V W V W Global asia kan bergerak dalam dunia teknologi dan informasi lebih spesifik it support saya melakukan riset. Bahwa tahun 2020 itu top 3 perusahaan yang paling burn out itu, paling parah burn outnya itu Apple, Oracle, T-Mobile. Terus tahun 2023, informasional teknologi dan publishing itu adalah industri paling buruk karena karyawannya banyak yang burn out kedua. Dan lebih jauhnya bahwa di industri IT itu disebabkan, karyawan burn out itu disebabkan oleh 2 faktor yang paling besar. Pertama itu poor leadership and communication, sama yang kedua overload work gitu deh. Gimana sih om minimalisir hal tersebut? oke, ada satu missconception yang kurang tepat ya buat leaderleader. Bahwa kalau misalnya bekerja bukan di kantor, misalnya WFH, mereka bisa bekerja 24 jam. Merekan berfikir karena lu kan dirumah, lu bisa kerja kapan aja. Nah, itu yang persepsi yang salah dari leader-leadernya. Karena berpikirnya bahwa itu bisa bekerja 24 jam, ya udah. Beban pekerjaan yang mestinya, misalnya, kalau normal misalnya 8 jam sehari itu, itu ya dikasih beban pekerjaan yang mesti dikerjain 12 jam sampai dengan 24 jam malah. Itu yang bikin burn out. Jadi om selalu mau dimanapun platform, mau dimanapun situasinya, bahwa 8 jam tetep 8 jam? Iya. Dan 8 jam itu susahnya adalah kalau misalnya, kalau tradisional mikirnya kan kalau dia ada di kamar, dia bekerja. Padahal kan belum tentu juga. Walaupun dia bekerja 8 jam, tapi sebetulnya efektif dia bekerja itu 8 jam enggak sih? Bukan karena dia muncul di kantor, ada duduk di kantor itu bekerja kan. Siapa tahu dia main Mobile Legends. Atau dia cuma scroll-scroll TikTok sama Instagram, kan bisa aja. Nah, dari sisi om lebih pada, bukan berarti kuantiti atau kuantitas itu nggak dilihat, tapi lebih pada kekualitasnya. Jadi misalnya, oke lu kerja di rumah 4 jam selesai. Yaudah, 4 jam selesai. Nggak usah lu panjang-panjangin deh, lu panjang-panjangin juga. Gue juga nggak lihat juga. Jadi om lebih menuntut kayak, misalnya lu bisa produktifitas 4 jam, ya udah 4 jam aja kerjanya gitu. Ya, artinya gini ya, dia kasih task misalnya. Task ini misalnya selesai, bisa berapa jam, task kira-kira 4 jam, ya udah, selesain 4 jam 104 V W V W V W V W V W V W Abis itu udah nggak ada task lagi tuh abis itu? Nggak ada task lagi. Kalau misalnya lu mau ambil task lagi, ya udah ambil task lagi. Kalau dia merasa saya sanggup, Tapi kalau emang sudah 4 jam itu sebetulnya lebih produktif dibandingkan 8 jam, ya kenapa harus memaksakan diri 8 jam? Toh dia di rumah juga, nggak ada yang bisa ngeliat. Dia mau bohong juga terserah kan. : Berarti tetap pada penekanan bahwa om melihat kualitas dari pekerjaannya itu, bisa tasnya diselesaikan berapa jam, om nanya nih ke dia, berapa jam, misalnya dia 4 jam, dan kalau kelar pun, kalau bisa tas kelar, om mau ngasih kerjaan lebih? Nggak, kerjaan lebih itu lebih pada mereka, kalau memang mereka merasa bahwa itu mereka sanggup, mereka bisa ambil. Jadi, cara kerja kita adalah, kecuali ya, kecuali, kecuali ada pekerjaan yang berhubungan dengan customer, karena itu tidak bisa kita kontrol waktunya. oh iya karena langsung berhubungan sama server client yaa Iya itu baru urgent. nah untuk pembagian tasknya gmna nih om? di global asia kita punya SLA, jadi global asia itu punya SLA, ke customer SLA itu adalah service level agreement. Itu adalah kontrak antara gas dan customer. misalnya ada problem, jadi gas sendiri kita punya leveling, level 1, level 2, level 3. Di level 1 itu, mereka punya batasan waktu itu 48 jam. Jadi misalnya ada masalah di customer, level 1 yang handle pertama kali harus selesai di 48 jam. Kalau nggak selesai, dia harus eskalasi ke level 2. Kalau level 2 nggak selesai juga, eskalasi ke level 3. Nah, itu pembagian nya seperti itu. Jadi misalnya gini, ada masalah di server, misalnya. Servernya down. Level 1 dulu kerjain, sorry om saya potong, untuk penentuan tingkat-tingkat level itu gimana? Level 1 itu lebih pada junior. Junior, level 2 intermediate, level 3 baru yang advance . Karena masalah kan kita nggak tahu. Kalau misalnya ada problem, ada issue dari customer, mungkin masalahnya kecil, masalahnya besar. Kalau masalahnya kecil, seharusnya selesai di level, Kalau masalahnya ternyata sedikit besar, level 1 nggak sanggup, dia bisa minta bantuan eskalasi ke level 2 yang isinya intermediate engineer. Di intermediate engineer, kompleks ini nggak selesai juga, baru minta eskalasi ke level 3. Oke, tapi itu untuk koordinirnya dan eskalasinya gmna om? itulah peran teknologi, kita pakai Infigate Service Test. Jadi, disitu semua eskalasi. Bahkan, customer itu pun tahu bahwa ini ada di level berapa, sudah berapa lama dikerjakan. Itu 105 semua ada. Jadi, secara kualitatif ketahuan, pekerjaannya, kuantitatif juga. Karena juga kita punya waktu keliatan V W V W V W dan semua pekerjaan yang diberikan dari customer, itu harus selesai dalam waktu 48 jam atau setiap 48 jam berpindah ke level atas Tergantung kompleksitasnya. Kalau kelihatan misalnya di level satu, masalahnya begitu dilihat. Dia kan level satu biasanya information gathering. Cari tahu dulu semua masalahnya, informasi dulu semua. oh masalahnya ini simple.Tiga jam selesai, itu karena setiap ada isu dengan customer bahkan sebetulnya internal juga kita sudah mulai pakai. Itu semua, apapun itu juga pekerjaannya itu, itu ada, kita punya ticketing system, ada nomornya. Nomornya UNIQ. Jadi, kalau misalnya, oke, ada isu ini, kita akan buatkan tiketnya. Kita dikasih nomornya, si customer tahu, semua orang dikantor tahu nomornya. Kita kerjakan, misalnya dalam waktu empat jam selesai, berarti kan masih di level satu, itu dia close tiketnya. tiketnya di close, terus nanti sistem akan ngirim notifikasi ke customer bahwa ini masalahnya sudah close, solusinya ini, ini, ini, ini. Nah, customer tinggal lihat, oke ini setuju, customernya close task. Kalau customernya approve pekerjaan selesai. Kalau misalnya ternyata di dalam tiga jam pun si L1-nya udah ngelihat, wah ini kayaknya nggak mungkin yang dua hari nih, 48 jam. Gue eskalasi dah. Itu dia eskalasi bisa, nggak harus menunggu 48 jam habis terus dia baru eskalasi. Oh, jadi mereka bisa, oke, oke, jadi mereka sendiri bisa langsung koordinasi ke level atas ya? betul, Dan posisi om di level tiga. Jadi, ya dong, jadi untuk satu isu sampai koordinasi itu jarang, mungkin sebulan paling satu apa dua, tapi di bawah bisa 10, 15, tapi selesai di bawah di level satu, level dua. nah berarti kan rata-rata pekerjaan itu selesai sampai level 2, dan om sendiri ada di level 3 artinya pekerjaan om lebih sedikit dari 2 level lainnya. Apakah 2 level dibawah memiliki keseimbang hidup yang baik om? Nah, itu lagi, karena kita punya sistem, sistem itu, jadi pada saat ada isu masuk, itu dia akan masuk level satu. Level satu masuk, kita punya dua SLA. SLA dari service level. Pertama kali adalah first response. First response kita itu adalah empat jam. Jadi dalam empat jam setelah isu masuk, itu harus diresponse. Walaupun responnya misalnya terima kasih, oke, nanti kita akan lihat masalahnya seperti apa. Itu respon. Setelah respon masuk, respon jamnya berhenti, masuk ke resolusi. Resolusi itu penyelesaian masalah. Itu yang 48 jam, 106 V W jadi empat jam. Pertama, baru 48 jam. Nah, itu baru jalan juga jamnya. Kalau misalnya jamnya itu menurut si L-1 wah ini terlalu rumit nih. Buat gue gitu. Nah, di level, level dua. Dan assignment-nya atau penunjukannya, misalnya di level satu itu ada sekitar tiga orang tergantung produknya. Terus siapa? Gimana caranya? Si A, B, C dapat ada isu masuk, dia mengendalikan ini, mengendalikan ini. Itu ada banyak cara, dan itu di otomatisasi. Jadi yang kita pakai adalah, sebetulnya ada empat. Cuma kita pakai Ron Robin. Ron Robin itu sistem bergantian. Kayak misalnya Gojek mumpul, ada order masuk, Pidi dapat. Nanti ada masuk lagi, Pidi nggak bakal dapat. Tapi temennya yang dapat. ohh jadi, eskalasi itu otomatis, dan pembagian kerja otomatis yaa yoi WAWANCARA MISBAHUL HUDA Merunutmu, pak windy adalah pemimpin yang bagaimana? V M V M V M V M Menurut Mas Baul, om Windy itu pemimpin yang gimana sih? Pemimpin dalam hal apa ini. Kan, gue di Sama Pa win itu ada pembagian tugas sama yang human. Maksudnya, dalam proyek, dalam projek gitu kan. Misalnya lo bagian fasilitas dan segala macam, atau bagian orangnya nih. Dalam hal apa dulu nih. Jadi maksudnya, Mas Baul tuh biasanya disuruh urusin ini juga orang juga? Atau gimana nih? Kalau dalam kerjaan yang sekarang, iya. Oh, berarti perintah dari om itu gimana, terus nyampein ke karyawan lain. Ke bawah yang lain. iya oke Selama interaksi itu deh, misalkan tugas, ada task apapun itu, itu gimana? Dari yang ditangkap selama kerja sama om win So far, selama gue tentang Pa win ini sih. Penyampainnya sih, tapi kan ini lebih ke individu gue, nangkep dari tugas Pa win ini kan? 107 V M V M V iya Dari yang Pa win jelasin sih, gue ngerti. Dan gue juga bisa langsung membagi tasks ini yang dibawah gue. itu jadi cukup bagus antara komunikasi gue sama Pa win ini. Berarti komunikasi dari atasnya pun clear? betul sangat amat clear Dan ada pun case-case atau probality pertanyaa dari bawah gua atau yang lain bisa langsung ditanyain ke Pa win itu, bisa langsung gue tanya ini, misalnya dalam kondisi A ini bisa apa segala macem. Jadi dalam gue nyampein ke bawah gue pun, gue juga menjelaskan secara detail karena komunikasi diatas clear. Oh, berarti apapun yang ditanyain ke Pa win itu pasti, atau task apapun itu pasti secara komphersif dan detail semua. Apakah peraturan di PT Global Asia Sinergi Menunjang Work-life balance mu? V M V M V M Nah, terus kalau menurut Mas, peraturan di divisi Om Windy tuh menunjang nggak sih, worklife balance nya, menunjang worklife balance Mas sendiri nggak? maksudnya? sesuai pandangan gua? Iya, soalnya gue disini datang neliti ini itu, karena gue coba research dulu bahwa pekerjaan paling buruk nomor 5 itu IT. Dan tahun 2022 itu perusahaan IT pokoknya paling gampang burnout, itu karena kepemimpinan yang buruk dan komunikasi yang buruk sama kerjaan yang banyak. menurut Mas, Om Windy ini bikin peraturan menunjang nggak sih? Dalam tim sih, manager dia, managerial dia membagi tugas, menurut gue itu udah pas. Jadi manage itu, pak win juga tau nih kapasitas karyawan dari misalnya pekerjaan ini dihandle sama ini, nah itu udah sesuai semua tuh, dan itu pasti di komunikasinya sama Pak Windy juga. Jadi misalnya nih gue disuruh tugas a, sedangkan gue dalam tugas a ini masih belum clear, mungkin dalam hal ini ditugasin ke orang lain. Jadi Pak Windy sendiri mengerti kapasitas bawahannya. Jadi apapun itu sesuai kemampuan. Berarti dia cukup memikirkan karyawan-karyawannya juga ya? iya 108 Apakah lingkungan kerja di divisi pak windy nyaman V M V M V M Nah, terus kalau menurut Mas, peraturan di divisi Om Windy tuh menunjang nggak sih, worklife balance nya, menunjang worklife balance Mas sendiri nggak? maksudnya? sesuai pandangan gua? Iya, soalnya gue disini datang neliti ini itu, karena gue coba research dulu bahwa pekerjaan paling buruk nomor 5 itu IT. Dan tahun 2022 itu perusahaan IT pokoknya paling gampang burnout, itu karena kepemimpinan yang buruk dan komunikasi yang buruk sama kerjaan yang banyak. menurut Mas, Om Windy ini bikin peraturan menunjang nggak sih? Dalam tim sih, manager dia, managerial dia membagi tugas, menurut gue itu udah pas. Jadi manage itu, pak win juga tau nih kapasitas karyawan dari misalnya pekerjaan ini dihandle sama ini, nah itu udah sesuai semua tuh, dan itu pasti di komunikasinya sama Pak Windy juga. Jadi misalnya nih gue disuruh tugas a, sedangkan gue dalam tugas a ini masih belum clear, mungkin dalam hal ini ditugasin ke orang lain. Jadi Pak Windy sendiri mengerti kapasitas bawahannya. Jadi apapun itu sesuai kemampuan. Berarti dia cukup memikirkan karyawan-karyawannya juga ya? iya Apakah om windy dalam mengambil Keputusan melibat kan karyawan V M V M Terus apakah di divisi Mas itu cukup nyaman? Nyaman sampai buat menuntut produktivitas lingkungannya? Sejauh ini, dalam over time segala macam, dengan adanya wfa itu bisa ditolerin. Dan waktu kemarin Om Windy ngomong gini, misalkan lu bisa produktifnya 4 jam, yaudah lu kerjain produktif 4 jam, setelah itu setelah lu mau ngapain? Karena gue juga nggak tau kan, apa itu benar? bener dan itu juga kepercayaan. Lu udah di tugas ini, gue percaya lu bisa dalam, ya intinya, gimana caranya lu beres, gue taunya itu doang. Lu mau ngerjain 4 jam segala macam, gue nggak peduli. Yang penting tugas ini selesai. Gitu nggak? 109 Apakah Ketika work-life balance mu bagus, kamu merasa lebih produktif untuk melakukan effort lebih untuk pekerjaan? V M V M V M sama, berarti kan worklife balance di mas sendiri pun terasa dari peraturan segala macam itu. Apakah itu merasa lebih terikat keterikatan tentang pekerjaan yang meningkatin produktif kita segala macam? kasih contoh case deh Misalkan gini, karena mungkin worklife balance lu bagus, terus lu punya lingkungan yang nyaman, jadi lu berusaha untuk I do my best for this job gitu.apa itu benar? pastinya Itu semua karena lingkungan dan work life balance yang bagus itu? betul Apakah om windy memberikan dukungan emosional yang baik? V M Nah, sama yang terakhir. Om Windy itu memberi dukungan emosional yang bagus nggak? mensupport lu semua termaksuk mas, memberikan dukungan emosional yang bagus nggak? pastinya, di dalam ataupun diluar pekerjaan, dengan pengetahuan dan pengalamannya dia selalu memberi yang baik. Dia nggak menyuruh kita, lu jangan ngelakuin ini, tapi dia menyarankan ini yang lebih baik. Dan semua itu keputusan dari kita. WAWANCARA EDWIN SANDHI Merunutmu, pak windy adalah pemimpin yang bagaimana? V E Oke Mas, menurut Mas Edwin Om Wind itu pemimpinan gimana sih? satu terbuka, apalagi kan dia seorang manajer ada beberapa informasi yang antara manajer dan direktur itu sifatnya rahasia Tapi kayaknya mungkin bagi dia itu perlu disampaikan ke bawahannya dia Terus secara komunikasi dalam bekerja, dalam proyek, menurut saya juga bagus Terutama dalam pembagian tugas, dia bisa melihat porsi kebisaan seseorang untuk mengerjakan sesuatu Terus juga di 110 V E luar dari pekerjaan bisa memahami posisi orang misalnya Satu orang lagi ada masalah pribadi, butuh cuti atau libur, atau butuh saran sesuatu Jadi dia bisa, ada yang mau untuk melakukan itu, meskipun di luar pekerjaan Oh berarti dia itu sangat ini ya, berarti Mas sendiri ke Om Wind cukup terbuka Ya karena cara dia untuk mendekati bawahannya juga ada membuka diri Jadi dengan secara tidak kesadar kita juga membuka diri sama dia Apakah lingkungan kerja di divisi pak windy nyaman V E V E V E Oke, terus next questionnya, di gas itu lingkungannya nyaman gak sih untuk kerja atau apapun? Kalau kita ngomong keseluruhan, gas sebenernya lumayan Untuk gasnya lumayan. Tapi karena gue di bawah manajemennya pak windy itu jadi, divisi ini jadi beda sendiri sama gas it,u sebenernya untuk cara kerja Oh berarti divisi Om Windi pun itu sangat menunjang, tapi secara keseluruhan perusahaan itu sebenernya lumayan? Nah kalau misalnya pak Windi ngikutin peraturan yang ada di gas, itu ada yang kurang enak kerja di situ Karena pak windy top level manajemennya salah satunya, jadi dia bisa bikin peraturan di luar dari gas itu yang berlaku cuma divisi pak Windi doang Apakah om windy dalam mengambil Keputusan melibat kan karyawan V E V E V Oke, terus dalam penerapan soal peraturan tadi, apakah Mas Edwin dilibatkan bersama karyawan lainya ? Kalau kita ngomong keseluruhan, gas sebenernya lumayan Untuk gasnya lumayan. Ya tentu, pertama biasanya kalau ada mau nentapin peraturan biasanya ditanya dulu, Adapun kita punya saran, kita diperbolehkan untuk ngasih saran pak windy Sejauh ini ya, saran-saran semua pekerjaan ditampung sama dia Dikonsolidasi gitu, dari banyaknya saran, dibikin satu kesimpulan, ini jalan tengahnya nah itu kan berarti sebuah peraturan itu diciptakan dari banyak sekali pandangan pasti ada satu dari masalah, pandangan si A itu adalah pandangan yang paling benar Jadi disari yang 111 E V E diambil kesimpulannya dari pandangan A Nah itu apakah dikasih kredit tuh? Ini tuh dari si A, gini-gini? Kreditnya apa dulu? Kayak disebut namanya atau memang dia mau ngomong ini kesimpulan dari tim? Kalau berdasarkan teknis ya, kayaknya dalam pekerjaan nggak perlu kredit sih Paling menurut gua, karena kita ngumpul semua dalam pengambilan ide tersebut Jadi semua orang tahu kalau dia itu ide dia gitu Tapi kalau secara kredit, sebenernya gak perlu lah namanya kerja Apakah Ketika work-life balance mu bagus, kamu merasa lebih produktif untuk melakukan effort lebih untuk pekerjaan? V E V E Nah tadi dibilang bahwa divisi Om Windy itu nyaman Apakah itu membuat keterikatan yang lebih dalam gitu misalkan Yang kayak tadi Mas Baul, saya tanya ke Mas Baul Kayak karena ini nyaman dan Om Windy juga interpersonal cukup dekat nih sama mas-mas kalian Jadi oke, gue mau ngelakuin hal yang terbaik deh, gue usaha lebih gitu oh iya pasti, Jadi salah satu contohnya adalah memang dikasih ini kerjaan itu utama ya. Lo juga udah tahu banyak burnoutnya Apalagi waktunya kadang banyak kerja di luar jam kerja Nah salah satu contohnya adalah dia memberi kebebasan pekerjanya Kalau udah kerja sampai pagi, dari malam sampai pagi Jadi kita dibebasin buat nggak kerja siangnya, buat istrirahat Buat hari besoknya? Hari besoknya, di jam kerja Makanya meskipun memang mau melakukan kerja kayak gitu Tapi karena dikasih kelonggaran, jadi nyaman kita juga kerja Dan sejauh ini ya pernah denger cerita cerita dari temen-temen yang IT juga di perusahaan lain Nggak ada kayak begitu Maksudnya di Pukul rata ya, kalau sampe malam itu besok.besok masuk. Apakah om windy memberikan dukungan emosional yang baik? V E Sama yang terakhir Om Windy tuh ngedukung emosional, memberikan dukungan emosional yang bagus nggak sih? Oh iya, salah satu contohnya kayak saya pribadi cerita tentang masalah tanggal Ngomong-ngomongin rumah kayak gini, punya masalah tentang rumah cerita, ngasih saran Ya itu sebenarnya sih nggak perlu juga sih buat dia untuk 112 menjawabnya Tapi ya dia jawab, tapi sama dia ditanggepin dan kasih saran 113 LAMPIRAN DOKUMENTASI 114 DAFTAR RIWAYAR HIDUP Nama lengkap : Vidi Pratama Jaya Alamat : Jln. Raya Bogor Km 27,5 No. 8E, Pekayon, Pasar Rebo Kota Jakarta Timur, DKI Jakarta 13710 Nomor Telepon : 085155225473 Email : jvidipratama@gmail.com Jenis Kelamin : Laki-Laki Tempat Tanggal Lahir : Sukabumi, 20 Oktober 2003 Agama : Islam Status : Mahasiswa Instansi : Universitas Gunadarma Jurusan : Ilmu Komunikasi Angkatan : 2021 Semester :5 Riwayat Pendidikan : 1. SD Pekayon 018 2. SMP 184 Jakarta 3. SMA 106 Jakarta 115