Uploaded by Vidi Pratama jaya

PENELITIAN ILMIAH-VIDI PRATAMA JAYA-10821963

advertisement
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
Penulisan Ilmiah
KEPEMIMPINAN DIGITAL SEBAGAI IMPLEMENTASI
WORK-LIFE BALANCE KARYAWAN
(Analisis Komunikasi Organisasi Pada PT Global Asia Sinergi)
Nama
: Vidi Pratama Jaya
NPM
: 10821963
Jurusan
: Ilmu Komunikasi
Pembimbing : Rizky Wulan Ramadhani
Diajukan Guna Melengkapi Syarat Penulisan Ilmiah
Universitas Gunadarma
2024
PERNYATAAN ORIGINALITAS DAN PUBLIKASI
Nama
: Vidi Pratama Jaya
NPM
: 10821963
Prodi
: Ilmu Komunikasi
Judul PI
: KEPEMIMPINAN DIGITAL SEBAGAI
IMPLEMENTASI WORK-LIFE BALANCE KARYAWAN
(ANALISIS KOMUNIKASI ORGANISASI PADA PT
GLOBAL ASIA SINERGI)
Tanggal Sidang
: (diisi sesuai tanggal sidang)
Tanggal Lulus
: (diisi sesuai tanggal sidang)
Dengan ini menyatakan tulisan ini merupakan hasil karya saya sendiri dan dapat
dipublikasikan sepenuhnya oleh Universitas Gunadarma. Segala kutipan dalam
bentuk apa pun telah mengikuti kaidah dan etika yang berlaku. Mengenai isi dan
tulisan, merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya, bukan Universitas
Gunadarma.
Demikian, pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan dengan penuh
kesadaran.
Depok, 06/02/2024
Materai Rp. 10.000
(Vidi Pratama Jaya)
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian
Nama Mahasiswa
: KEPEMIMPINAN DIGITAL SEBAGAI
IMPLEMENTASI WORK-LIFE BALANCE
KARYAWAN
(ANALISIS KOMUNIKASI ORGANISASI PADA PT
GLOBAL ASIA SINERGI)
: Vidi Pratama Jaya
NPM
: 10821963
Tanggal Sidang
: (diisi sesuai tanggal sidang)
Tanggal Lulus
: (diisi sesuai tanggal sidang)
Menyetujui,
Pembimbing
Kasubag Sidang PI
(Rizky Wulan Ramadhani, S.I.Kom., M.I.Kom)
(Dr. Siti Masitoh, SE., M.I.Kom.)
Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
(Dr. Dinda Rakhma Fitriani, S.I.Kom., M.I.Kom.)
iii
ABSTRAK
Vidi Pratama Jaya. 10821963
KEPEMIMPINAN DIGITAL SEBAGAI IMPLEMENTASI WORK-LIFE
BALNCE KARYAWAN
(Analisis Komunikasi Organisasi Pada PT Global Asia Sinergi)
Kata Kunci: Kepemimpinan Digital, Komunikasi Organisasi, Work-life Balance
(ix + 90 + 25 - L)
Perusahaan yang bergerak di bidang teknologi dan informasi (TI)
mengalami peningkatan jumlahnya di Indonesia. Salah satu faktor kunci dalam
keberlangsungan industri TI adalah para programmer yang rentan mengalami
kelelahan secara fisik dan mental (burn-out) karena tidak mendapatkan
keseimbangan waktu kerja dan waktu pribadi (work life balance). . Penelitian ini
bertujuan untuk untuk mengetahui kepemimpinan digital dalam implementasi
work-life balance karyawan di PT. Global Asia Sinergi. Penelitian ini menggunakan
Teori Adaptive Strukturasi (adaptive structuration theory) dan Model ECAM (ELeadership Communication Adaption Model). Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivisme dimana peneliti
melakukan wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Kepala Divisi Produk dan Emerging PT Global Asia Sinergi,
Windy Hendwiananda, membentuk ekosistem kerja adaptif dan inklusif melalui
kepemimpinan digital dengan menerapkan prinsip buy-in. Penerapan prinsip buyin dapat menciptakan proses komunikasi serta koordinasi yang lebih fleksibel
dimana Windy tidak hanya berperan sebagai pemimpin namun juga sebagai agen
perubahan yang melibatkan tim dalam pembuatan aturan. Windy menerapkan
situational leadership untuk membangun komunikasi yang baik dan memotivasi
karyawan, serta memperkuat hubungan interpersonal. Windy memiliki hak veto
namun tetap mempertimbangkan keputusan bersama untuk mencapai
keseimbangan antara kebutuhan perusahaan dan karyawan melalui forum diskusi
santai yang menjadi ruang kreatif dalam menciptakan suasana kerja inklusif, adaptif
dan berkelanjutan. PT. Global Asia Sinergi aktif menggunakan teknologi terbaru
untuk mengoptimalkan kinerja karyawan sehingga karyawan dapat memiliki
keseimbangan waktu kerja dan waktu pribadi (work life balance).
Daftar Pustaka (2011 - 2023)
iv
ABSTRACT
Vidi Pratama Jaya. 10821963
DIGITAL LEADERSHIP AS THE IMPLEMENTATION OF WORK-LIFE
BALANCE FOR EMPLOYEES
(Organizational Communication Analysis at PT Global Asia Sinergi)
Keyword: Digital Leadership, Komunikasi Organizational Communication, Worklife Balance
(viii + 90 + 25 - L)
The increasing number of technology and information technology (IT)
companies in Indonesia has become prominent. One crucial factor for the
sustainability of the IT industry is the programmers who are susceptible to physical
and mental exhaustion (burnout) due to the lack of work-life balance. This research
aims to explore digital leadership in implementing employee work-life balance at
PT. Global Asia Sinergi. The study utilizes the Adaptive Structuration Theory and
the E-Leadership Communication Adaption Model. It adopts a qualitative approach
with a constructivist paradigm, involving interviews, observations, and document
analysis.The findings reveal that the Head of Product and Emerging Division at PT
Global Asia Sinergi, Windy Hendwiananda, establishes an adaptive and inclusive
work ecosystem through digital leadership by applying the buy-in principle. The
implementation of the buy-in principle creates a more flexible communication and
coordination process, where Windy not only acts as a leader but also as a change
agent involving the team in rule-making. Windy employs situational leadership to
foster effective communication, motivate employees, and strengthen interpersonal
relationships. While Windy has the authority to veto decisions, she considers
collective decision-making to achieve a balance between the company's needs and
employee well-being through casual discussion forums that serve as creative spaces
for cultivating an inclusive, adaptive, and sustainable work environment. PT. Global
Asia Sinergi actively utilizes the latest technology to optimize employee
performance, allowing them to achieve a work-life balance.
Bibliography (2016 – 2023)
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah
memberikan berkat, anugerah dan karunia yang melimpah , sehingga penulis
dapat menyelesaikan Penulisan Ilmiah ini.
Penulisan Ilmiah ini disusun guna melengkapi sebagian syarat dalam
mencapai gelar Setara Sarjana Muda pada jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas
Ilmu Komunikasi, Universitas Gunadarma. Adapun judul Penulisan Ilmiah ini
adalah “KEPEMIMPINAN DIGITAL SEBAGAI IMPLEMENTASI WORKLIFE BALANCE KARYAWAN
(Analisis Komunikasi Organisasi Pada PT Global Asia Sinergi)”.
Walaupun banyak kesulitan yang penulis harus hadapi ketika menyusun
Penulisan Ilmiah ini, namun berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak
akhirnya tugas ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih, kepada :
1. Prof. Dr. E.S. Margianti, SE., MM selaku Rektor Universitas Gunadarma
2. Dr. Nuriyati Samatan, selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas
Gunadarma
3. Dr. Dinda Rakhma Fitriani, S.I.Kom., M.I.Kom selaku Kaprodi Ilmu
Komunikasi Universitas Gunadarma
4. Rizky Wulan Ramadhani, S.I.Kom., M.I.Kom selaku Dosen Pembimbing
yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan karya penulisan ilmiah
ini.
5. Dr. Siti Masitoh, SE., M.I.Kom Kepala Sub. Bagian Sidang PI Fakultas
Ilmu Komunikasi, Universitas Gunadarma
6. Bapak Welly dan Ibu Siti Suryani, selaku orang tua yang telah memberikan
perhatian penuh untuk menyelesaikan penulisan ilmiah ini.
7. Narasumber Windy Hendwiananda, Edwin Sandhi, dan Misbahul Huda yang
telah bersedia meluangkan waktu untuk wawancara.
8. Teman seperjuangan Kadek Giri Mahendra, Manasye Abraham Efraim Ciko
vi
Zahfran Pratama, dan Annisa Ghina Kamila.
Akhir kata, hanya kepada Tuhan jualah segalanya dikembalikan dan penulis
sadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, disebabkan karena berbagai
keterbatasan yang penulis miliki. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk menjadi perbaikan di masa yang akan datang.
Depok, Februari, 2024
(Vidi Pratama Jaya)
vii
DAFTAR ISI
UNIVERSITAS GUNADARMA............................................................... i
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI ......................................................... i
PERNYATAAN ORIGINALITAS DAN PUBLIKASI .......................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................ iv
ABSTRACT ............................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................... viii
BAB I .......................................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang Penelitian ............................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah ......................................................................... 6
1.3
Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
1.4
Batasan Masalah ............................................................................ 6
1.5
Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
BAB II ........................................................................................................ 8
2.1
Landasan Konseptual .................................................................... 8
2.2
Landasan Teori ............................................................................ 29
2.3
Penelitian Terdahulu .................................................................... 36
2.4
Kerangka Pemikiran .................................................................... 39
BAB III ..................................................................................................... 41
3.1
Subjek dan Objek Penelitian ....................................................... 41
3.2
Pendekatan Penelitian .................................................................. 42
3.3
Paradigma Penelitian ................................................................... 42
3.4
Metode Pengumpulan Data ......................................................... 43
viii
3.5
Teknik Penentuan Informan ........................................................ 45
3.6
Teknik Analisis Data.................................................................... 46
3.7
Teknik Keabsahan Data ............................................................... 47
BAB IV ..................................................................................................... 49
4.1
Hasil Penelitian............................................................................ 49
4.2
Pembahasan ................................................................................. 61
BAB V ....................................................................................................... 83
5.1
Kesimpulan .................................................................................. 83
5.2
Saran ............................................................................................ 83
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 85
LAMPIRAN ............................................................................................. 90
NARASUMBER: .................................................................................. 90
WAWANCARA WINDY HENDWIANANDA .................................... 90
WAWANCARA MISBAHUL HUDA................................................. 107
WAWANCARA EDWIN SANDHI .....................................................110
LAMPIRAN DOKUMENTASI ............................................................ 114
DAFTAR RIWAYAR HIDUP ................................................................ 115
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian
Pertumbuhan teknologi informasi yang berlangsung dengan masif
dan pesat telah berdampak pada semua aspek kehidupan, termasuk aspek
bagaimana cara kepemimpinan di jalankan di dalam organisasi.
Kepemimpinan tidak lagi hanya tentang mengelola sumber daya manusia,
tetapi juga tentang beradaptasi dan mengimplementasikan pertumbuhan
teknologi. Hal ini telah mengubah paradigma kepemimpinan tradisional
menjadi apa yang dikenal sebagai kepemimpinan digital. Kepemimpinan
digital mencapai tujuan yang sama dengan kepemimpinan tradisional
melalui teknologi informasi (Iriqat & Khalaf, 2017).
Menurut Sarjito (2018, dalam Maryati et al., 2022) Kepemimpinan
digital merujuk pada suatu pendekatan yang cepat, kolaborasi lintas
hierarki, kooperatif dan berorientasi pada tim yang sering kali
mengintegrasikan inovasi. Dalam konteks ini, kepemimpinan digital
umumnya mendorong inovasi sebagai aspek penting dalam proses
kepemimpinan. Pemimpin memahami pentingnya bergerak cepat dalam
bekerja sama dengan berbagai tingkat hierarki dalam organisasi serta
mendorong kolaborasi tim untuk mencapai hasil yang inovatif dan responsif
dengan transformasi digital dan berbagai aspek yang terpengaruhinya.
Rudito & Sinaga (2017 dalam Purnomo et al., 2021) mendefinisikan
kepemimpinan digital sebagai sebuah kombinasi dari budaya dan
kompetensi pemimpin dalam mengoptimalkan penggunaan sumber daya
teknologi digital untuk menciptakan nilai bagi perusahaan. Dalam konteks
ini, kepemimpinan digital memiliki kaitan langsung dengan penciptaan nilai
untuk perusahaan. Pemimpin yang mengoptimalkan penggunaan sumber
daya teknologi digital dan mampu mengintegrasikannya ke dalam strategi
bisnis perusahaan dapat menjadi aspek penting dalam meningkatkan
kinerja, produktivitas, dan daya saing perusahaan. Mereka dapat
mengidentifikasi peluang baru untuk berinovasi, meningkatkan efisiensi
operasional, dan merespons perubahan pasar dengan lebih cepat.
Dalam menjalankan fungsi dan peranannya sebagai pemimpin,
seorang pemimpin umumnya menerapkan pendekatan dalam mengelola tim
di dalam organisasi. Pendekatan ini lebih sering dikenal dengan istilah gaya
kepemimpinan. Menurut Nurjaya et al. (2020), gaya kepemimpinan
merupakan serangkaian pola tertentu yang dilakukan oleh seorang
pemimpin dalam memberikan pengaruh kepada bawahannya.
Dengan terjadinya perubahan paradigma kepemimpinan tradisional
menjadi kepemimpinan digital, gaya kepemimpinan menjadi salah satu
aspek
penting
dalam
membentuk
dinamika
organisasi.
Menurut
Nanjumdeswaraswamy (2014 dalam Latifah, 2021), perbedaan dalam gaya
kepemimpinan memiliki implikasi yang signifikan terhadap keefektivitasan
atau kinerja organisasi. Dalam konteks ini, pemimpin yang mampu
mengaplikasikan kepemimpinan digital dengan gaya kepemimpinan yang
sesuai akan lebih efektif dan efisien dalam memadu organisasi menuju
keberhasilan terutama dalam sektor-sektor industri yang dinamis dan
intensif.
Menurut Schein (1992), Nahavandi & Malekzadeh (1993), dan
Kouzes & Posner (1987) yang dikutip dalam Amri et al. (2016), pemimpin
memiliki peran sentral dalam menentukan keberhasilan organisasi. Dalam
konteks industri yang dinamis dan intensif, kepemimpinan menjadi elemen
krusial. Seorang pemimpin perlu mendalami tekanan yang dihadapi oleh
karyawan, memberikan dukungan dalam pengembangan keterampilan, serta
menciptakan lingkungan kerja yang seimbang. Strategisnya, pemimpin
perlu memanfaatkan dan mengoptimalkan sumber daya teknologi yang
tersedia. Gaya kepemimpinan yang adaptif dan transformasional menjadi
landasan utama dalam memastikan bahwa karyawan dapat menghadapi
tantangan pekerjaan yang intensif. Dengan demikian, pemeliharaan
2
produktivitas karyawan terjamin, menciptakan nilai tambah yang
berkelanjutan bagi perusahaan.
Pengaplikasian kepemimpinan digital dan gaya kepemimpinan yang
adaptif dan transformasional akan berdampak pada bagaimana komunikasi
organisasi berjalan. Golddhaber (1986 dalam Romandona & Setiawan,
2020) mendefinisikan komunikasi organisasi sebagai proses penciptaan dan
saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung
sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau selalu berubahubah. Dalam komunikasi organisasi, terjadi proses di mana penciptaan dan
pertukaran di antara anggota organisasi. Pesan-pesan ini berupa informasi,
instruksi, ide atau pesan penting lainya. Proses penciptaan dan pertukaran
ini tidak terjadi secara acak, namun berpindah melalui jaringan hubungan
yang saling terkait untuk memastikan bahwa pesan berpindah dengan baik.
Keterkaitan ini merujuk pada hubungan antara berbagai level di dalam
organisasi untuk menghadapi lingkungan bisnis yang dinamis.
Konsep komunikasi organisasi akan berdampak langsung pada
performa perusahaan karena mencakup pengelolaan informasi di dalam
organisasi, pengembangan pesan yang diteruskan, budaya organisasi yang
membentuk
konteks
komunikasi,
dan
motivasi
karyawan
untuk
berpartisipasi dalam proses komunikasi. Dalam konteks ini, komunikasi
berperan sebagai jembatan yang menghubungkan semua elemen dalam
organisasi dan membantu keberlangsungan operasionalnya. Dengan
memadukan teknologi dan konsep komunikasi organisasi, pemimpin dapat
membentuk budaya organisasi yang responsif terhadap lingkungan yang
dinamis dan menciptakan proses komunikasi yang efektif dalam
menghadapi dinamika lingkungan tersebut.
Work-life balance memegang peran penting dalam menjaga
kesejahteraan,
meningkatkan
produktivitas,
memelihara
motivasi
karyawan, dan mendukung retensi sumber daya manusia yang berharga.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Aslam (2015), Saina et al. (2016),
3
Johari et al. (2018), Soomro et al. (2018), Isse et al. (2018), Rene &
Wahyuni (2018), Bataineh (2019), dan Dousin et al. (2019) yang dikutip
dalam Muliawati & Frianto (2020), mengindikasikan bahwa Work-life
balance berdampak signifikan positif terhadap kinerja karyawan. Ketika
karyawan mempunyai kepuasan yang tinggi terhadap keseimbangan hidup
dan pekerjaan mereka, hal tersebut dapat berdampak pada kualitas performa
atau kinerja karyawan tersebut.
Namun di tengah pentingnya industri IT dan Programmer sebagai
kunci keberlangsungan hidup manusia, muncul permasalahan yang cukup
serius di dalam industri ini. Programmer sering kali dihadapkan dengan
tuntutan pekerjaan yang tinggi, tekanan untuk bekerja dalam waktu yang
lebih lama, Serta tuntutan untuk beradaptasi terhadap perubahan teknologi,
agar mereka dapat memperbarui keterampilan mereka sehingga tetap
relevan dalam lingkungan kerja. Kondisi ini dapat membawa dampak
negatif pada kinerja karyawan, yang pada akhirnya berpotensi mengurangi
kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Menurut riset yang dilakukan oleh Paola Peralta (2021) perusahaan
teknologi seperti Oracle, Apple, dan T-Mobile menempati tiga peringkat
teratas dalam masalah burnout karyawan. Burnout ini disebabkan oleh
faktor-faktor seperti beban kerja yang berlebihan, imbalan yang tidak
memadai, dan kurangnya pengakuan. Lebih lanjut, Menurut riset yang
dilakukan oleh Tim Editor Teknis ACG (2023), ditemukan bahwa
kepemimpinan dan komunikasi yang kurang efektif mendominasi sebagai
penyebab utama burnout karyawan, diikuti oleh beban kerja yang berat dan
budaya organisasi yang toxic.
Perusahaan di sektor industri IT perlu menerapkan kebijakan yang
memfasilitasi tercapainya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan
pribadi, yang kerap disebut sebagai work-life balance. Work-life balance
mengacu pada individu yang memiliki cukup waktu untuk memiliki
keseimbangan dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi, seperti mendapatkan
4
waktu luang untuk bersantai, menghabiskan waktu dengan keluarga, adanya
komunikasi yang baik dengan rekan kerja, dan mampu menyelesaikan
pekerjaan dengan baik (Vyas & Shirivastava, 2017). Work-life balance juga
merupakan suatu cara untuk karyawan memiliki gaya hidup sehat dan
bermanfaat, sehingga hal tersebut dapat memengaruhi peningkatan kinerja
mereka (Larasti & Hasanati, 2019).
PT Global Asia Sinergi (GAS) merupakan perusahaan konsultasi TI
yang telah berdiri sejak tahun 2013, didirikan oleh Jul Darmawan, Sim
Bong, dan Teddy Pohan. Perusahaan ini berfokus pada bidang ITSM (IT
Service Management) dan otomasi, dengan basis operasional di Jakarta dan
Singapura. Perusahaan ini mengkhususkan diri dalam menyediakan solusi
dalam pengelolaan teknologi informasi, mulai dari IT security untuk
melindungi perusahaan dari ancaman digital dari dalam dan luar perusahaan
hingga Unfield Enterprise Management untuk mengelola seluruh ekosistem
teknologi informasi perusahaan.
PT Global Asia Sinergi telah berhasil membangun tim yang terdiri
dari 20 programmer ahli dan berpengalaman. Tim ini dipimpin oleh
pemimpin yang berkompetensi dalam pengoptimalan sumber daya
teknologi digital untuk menciptakan nilai tambah bagi perusahaan klien
mereka. Dengan lebih dari 10 tahun pengalaman di industri IT Service
Management, Global Asia Sinergi telah membuktikan kredibilitasnya
melalui hubungan jangka panjang dengan klien terkemuka seperti BRI,
BNI, DANAMON, BPJS Kesehatan, Krakatau Steel, dan Pertamina. Selain
itu, GAS juga menjalin kerjasama dengan klien internasional di Singapura,
Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Vietnam, dan Selandia Baru.
Pengoptimasian sumber daya teknologi digital memberikan fasilitas
yang memungkinkan karyawan mencapai keseimbangan antara pekerjaan
dan kehidupan pribadi dengan meningkatkan efisiensi dalam menjalankan
tugas mereka, sehingga mencapai tujuan mereka secara efektif. Hal ini juga
disertai
dengan
kemudahan
dan
5
fleksibilitas
akses
pekerjaan,
memungkinkan mereka untuk bekerja di mana saja. Seorang pemimpin
yang mengimplementasikan kepemimpinan digital dapat menciptakan
lingkungan yang mendukung work-life balance. Dalam konteks ini,
pemimpin kepala divisi produk dan emerging di PT Global Asia Sinergi
menggunakan Zoom sebagai "kantor kedua" untuk memfasilitasi
komunikasi ketika karyawan sedang bekerja dari mana saja, sementara
manajemen tugas dilakukan secara remote melalui layanan Invgate service
desk. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan digital dapat mendorong
adopsi model kerja yang lebih fleksibel dan dapat mengakomodasi
kebutuhan individu.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka
rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana kepemimpinan digital
sebagai implementasi Work-life balance karyawan di PT. Global Asia
Sinergi?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepemimpinan digital
sebagai implementasi Work-life balance karyawan di PT. Global Asia
Sinergi.
1.4
Batasan Masalah
Penelitian ini terbatas pada PT. Global Asia Sinergi sebagai studi
kasus, dan hasil dari penelitian ini mungkin tidak dapat langsung
digeneralisasi ke perusahaan lain.
1.5
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi teoritis dalam
pemahaman tentang peran kepemimpinan digital sebagai implementasi
6
Work-life balance di lingkungan kerja. Penelitian ini juga dapat menjadi
referensi untuk penelitian selanjutnya tentang topik serupa.
2. Manfaat akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada PT.
Global Asia Sinergi tentang cara meningkatkan keberlanjutan
implementasi Work-life balance dengan memanfaatkan kepemimpinan
digital. Penelitian ini juga diharapkan untuk memberikan panduan praktisi
bagi perusahaan lain dalam industri IT yang ingin memperbaiki Work-life
balance karyawan
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Konseptual
2.1.1 Komunikasi Organisasi
Komunikasi organisasi diartikan sebagai suatu proses dimana pesanpesan diciptakan dan pertukaran dalam suatu jaringan hubungan
interpenden, bertujuan untuk mengatasi ketidakpastian lingkungan
(Goldhaber,1993). Dalam dinamika pertukaran pesan di lingkungan
informasi, aliran komunikasi organisasi terbagi menjadi empat
katagori: ke atas, ke bawah, Horizontal, dan diagonal. Setiap arus
komunikasi ini memegang peran khusus dalam menyampaikan
informasi seperti perintah kerja, laporan, intruksi, dan lain sebagainya.
Menurut Gondowahjudi et al. (2018) selain empat jenis pertukaran
informasi tersebut, persepsi karyawan juga memiliki dampak signifikan
terhadap kualitas komunikasi organisasi. Melalui persepsi, karyawan
mencoba mewujudkan pemahaman kognitifnya dan menimbulkan
sikap atau perilaku tertentu yang mempengaruhi interaksi dengan
karyawan lainnya.
Karakteristik komunikasi organisasi mencakup kerangka kerja yang
terstruktur, di mana hubungan struktural ini berterkait dengan otoritas,
yaitu kewenangan yang melekat pada jabatan. Walaupun dalam
interaksi antar individu yang berkomunikasi tidak terdapat jabatan
formal, struktur ini tetap hadir secara informal, serta bersifat stabil dan
terencana. Karakteristik selanjutnya dalam komunikasi organisasi
seringkali melibatkan aturan atau standar yang disepakati oleh anggota
organisasi. Komunikasi organisasi cenderung dapat diprediksi,
menunjukan
upaya
membangun
hubungan
untuk
mengurangi
ketidakpastian lingkungan. Hal ini dipengaruhi oleh kerangka kerja
yang terstruktur dan stabil, sehingga proses komunikasi bisa
terprediksi.
Ketidakpastian
8
dan
kemampuan
memprediksi
kemungkinan yang akan terjadi merupakan aspek penting dalam
konteks
organisasi
yang
melibatkan
berbagai
peran
dengan
karakteristik yang bervariasi tergantung pada individunya.
Konsentrasi komunikasi organisasi adalah anggota-anggota dalam
struktur organisasi (Riinawati, 2019). Proses penciptaan makna melalui
interkasi menjadi titik sentral dalam membentuk, merawat, dan
mengubah dinamika organisasi. Komunikasi yang terjadi di dalam
organisasi tidak sekedar alat, melainkan juga mencerminkan cara
berfikir. Sasaran komunikasi dalam konteks organisasi adalah mencapai
pemahaman bersama (mutual understanding), mencapai penyetaraan
dalam kerangka refensi (frame of refences) dan bidang pengalaman
(field of experiences). sesuai dengan yang diungkapkan Redi panuju
(1999 dalam Riinawati, 2019), meskipun menyejajarkan ranah kognitif
individu-individu dalam organisasi mungkin nyaris mustahil, namun
melalui kegiatan komunikasi yang terencana dan substansinya
terdesain, setidaknya dapat terjadi proses penyebarluasan (difusi)
dimensi-dimesi organisasi kepada setiap individu dalam organisasi.
Terdapat tiga pendekatan utama dalam komunikasi organisasi, yakni
pendekatan makro, mikro, dan individual. Pendekatan makro
melibatkan pemahaman terhadap struktur organisasi secara keseluruhan
dan interaksinya terhadap lingkungan. Ini melibatkan aktivitas
organisasi dalam memperoses informasi atau pesan dari lingkungan,
melakukan indentifikasi, integrasi, dan menentukan tujuan organisasi.
Pendekatan mikro, di sisi lain, menitikberatkan pada komunikasi di unit
atau subunit organisasi. Dalam konteks ini, kemampuan komunikasi
antar anggota kelompok menjadi krusial dan peran pemimpin sangat
penting untuk memberikan informasi tentang tujuan organisasi dan
menjelaskan keterkaitan antara tujuan kelompok dengan tujuan
organisasi, sehingga anggota dalam organisasi menjadi termotivasi.
Terakhir, pendekatan individual menitikberatkan pada perilaku
9
komunikasi individu dalam organisasi, melibatkan interaksi antar
individu, kelompok, dan organisasi secara keseluruhan,
Komunikasi organisasi terkait dengan frekuensi, suatu aspek yang
krusial terkait dengan Upaya penyampaian informasi oleh pihak
pemimpin atau manejemen. Frekuensi ini berkaitan dengan seberapa
banyak waktu yang digunakan untuk menyampaikan pesan informasi
perubahan organisasi (Baauchamp et al, 2016 dalam Romandona &
Setiawan, 2020). Pentingnya frekuensi ini terletak pada kemampuannya
untuk memastikan transfer informasi yang akurat dan pemahaman yang
menyeluruh dalam organisasi.
Menurut Pace & Faules (2002 dalam Romandona & Setiawan,
2020), komunikasi organisasi melibatkan tiga aspek penting. Pertama,
aspek peristiwa komunikasi mengukur sejauh mana informasi
dihasilkan, disajikan, dan disebarluaskan di seruluh bagian organisasi.
Kedua, iklim komunikasi organisasi yang kondusif melibatkan
persepsi, merupakan interaksi antara pimpinan organisasi dan
komunikator. Hal ini melibatkan penggunaan metode dan teknik
komunikasi yang tepat sesuai dengan situasi dan waktu komunikasi.
Terakhir, aspek kepuasaan komunikasi organisasi menjelaskan tingkat
kepuasaan komunikasi yang dirasakan oleh setiap individu di organisasi
selama melakukan proses komunikasi.
2.1.1.1
Dimensi Komunikasi Organisasi
Berdasarkan
ruang
lingkupnya,
Lawrence
D.
Brennan (dalam Harivarman, 2018), mengkategorikan
komunikasi
organisasi
menjadi
dua
aspek,
yaitu
komunikasi organisasi internal dan komunikasi eksternal.
Komunikasi internal merujuk pada pertukaran gagasan
diantara administrator dan karyawan didalam suatu
perusahaan atau organisasi, melibatkan struktur organisasi
dan pertukaran gagasan secara horizontal dan vertikal. Ini
menfasilitasi pelaksaanaan pekerjaan dan pengelolaan
10
tugas secara efektif di didalam organisasi. Sementara itu,
komunikasi eksternal melibatkan arus informasi dari
organisasi kepada publik dan sebaliknya, menciptakan
saluran interaksi yang dinamis antara organisasi dan
lingkungannya.
2.1.1.2
Fungsi Komunikasi Organisasi
Menurut sendjaja (1999 dalam Jumrad & Mayang
Sari
2019),
fungsi
komunikasi
organisasi
dapat
diidentifikasi dalam empat fungsi yaitu:
1. Fungsi Informatif
Organisasi dianggap sebagai sistem pemerosesan
informasi dimana seluruh anggota berupaya
untuk
memperoleh
informasi
yang
lebih
memadai, akurat, dan tepat wkatu. Dengan
ketersediaan
informasi
tersebut,
anggota
organisasi mampu menjalankan tugas-tugas
mereka dengan tingkat ketepatan yang optimal.
2. Fungsi Regulatif
Fungsi regulatif dalam konteks komunikasi
organisasi terkait dengan keberadaan peraturanperaturan yang mengatur aktivitas di dalamnya.
Dalam setiap organisasi, dua elemen penting
yang
mempengaruhi
manejemen
atau
fungsi
atasan
ini
selaku
adalah
pemilik
wewenang untuk mengkontrol seluruh informasi
yang disampaikan, dan message atau pesan-pesan
yang bersifat regulatif. Pada dasarnya, pesanpesan ini ditunjukan untuk memberikan arahan
yang jelas mengenai tugas dan tanggung
jawab,menciptakan
kerangka
kerja
yang
memastikan karyawan memiliki pemahaman
11
yang tepat tentang kebijakan dan aturan yang
mengatur pekerjaan mereka
3. Fungsi Persuasif
Dalam menjalankan kepemimpinan organisasi,
kekuasaan
dan
kewenangan
tidak
selalu
menjamin hasil yang diharapkan. Oleh karena
itum banyak pemimpin yang lebih memilih untuk
mempersuasi bawahannya daripada memberikan
perintah. Strategi ini dipilih karena pekerjaan
yang dilakukan dengan sukarela cenderung
menghasilkan
tingkat
keterlibatan
dan
kepedulian yang lebih besar dibandingkan
dengan
situasi
menunjukan
dimana
kekuasaan
pimpinan
dan
hanya
kewenangan
terhadap karyawan. Pendekatan persuasif dapat
menciptakan hubungan yang lebih baik antara
pimpinan dan bawahan, sehingga memperkuat
keterlibatan dan komitmen karyawan terhadap
organisasi.
4. Fungsi Integratif
Fungsi yang berhubungan dengan penyediaan
saluran
komunikasi
yang
memungkinkan
karyawan menjalankan tugas dan pekerjaan
mereka dengan efektif. Dua saluran komunikasi
yang
dapat
mendukung
tujuan
tersebut
melibatkan saluran informasi komunikasi formal,
seperti penerbitan khusus dalam organisasi
(newsletter, bulletin, dan laporan kemajuan
organisasi), dan saluran komunikasi informal,
yang
mencakup
perbincangan
antarpribadi
selama masa istirahat kerja, partisapasi dalam
12
pertandingan
olahraga,
atau
kegiatan
darmawisata.
2.1.1.3
Arah Komunikasi Organisasi
Arah atau aliran informasi dalam organisasi
merupakan suatu proses dinamis yang terus berlangsung.
Dalam proses ini, pesan-pesan diciptakan, ditampilkan,
dan intrepertasikan secara terus-menerus dan berubah
seiring waktu. Komunikasi organisasi tidaklah sesuatu
yang hanya terjadi sesaat, namun berlangsung secara
berlanjut.
Menurut Pace & Faules (dalam Hasanti, 2019), arah
komunikasi organisasi terbagi menjadi empat, yaitu:
1. Komunikasi
ke
bawah
(Downward
Communication)
Informasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih
tinggi kepada jabatan yang secara hierarkis yang
lebih rendah.
2. Komunikasi ke atas (Upward Communication)
Informasi mengalir dari tingkat yang lebih
rendah (bawahan) ke tingkat yang lebih tinggi
(top Management).
3. Komunikasi Horizontal
Terdiri dari penyampaian informasi diantara
rekan-rekan sejawat dalam unit kerja yang sama.
Unit kerja melibatkan individu-individu yang
ditempatkan pada tingkat organisasi yang sama
dalam organisasi dan memiliki atasan yang sama.
4. Komunikasi Diagonal
Penyampaian
informasi
yang
melibatkan
individu-individu tanpa memandang posisis
13
atasan maupun bawahan, melewati batas-batas
fungsional
Gambar 2.1 empat arah komunikasi organisasi
Sumber: Hasanti (2019)
2.1.1.4
Hambatan Komunikasi Organisasi
Dalam sebuah organisasi, kelancaran komunikasi
tidak selalu terjamin. Faktor-faktor tertentu dapat
menghabat dan mengganggu jalannya proses komunukasi
di
dalam
organisasi,
menyebabkan
munculnya
ketidakpahaman atau misunderstanding diantara para
anggota organisasi. Menurut Hubeis et al (dalam Pahlevi,
2018) ada beberapa faktor yang menyebabkan komunikasi
organisasi terhambat, antara lain:
1. Gangguan teknis, yang terjadi jika timbul
gangguan
dalam
sebuah
alat
komunikasi
sehingga informasi yang disampaikan sulit
diterima atau dipahami oleh komunikan.
2. Gangguan semantik, yang muncul apabila terjadi
kesalahan pada bahasa yang digunakan.
3. Gangguan psikologis, yang terjadi karena adanya
gangguan yang disebabkan oleh persoalanpersoalan dalam diri individu.
4. Rintangan fisik atau organik, yang disebabkan
karena kondisi geografis.
14
5. Rintangan kerangka berfikir, yang disebabkan
adanya perbedaan persepsi antara komunikator
dan komunikan, yang dilatarbelakangi oleh
perbedaan pengalaman dan pendidikan.
6. Rintangan budaya, yang disebabkan oleh adanya
perbedaan norma, kebiasaan dan nilai yang
dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
komunikasi.
2.1.2 Kepemimpinan Digital
Dalam mencapai tujuan organisasi pada era transformasi digital
terdapat banyak faktor dalam pemenuhannya, di antaranya adalah
faktor kepemimpinan atau pemimpinan yang bersifat digital.
Kesuksesan dalam mencapai tujuan organisasi tidak hanya bergantung
pada kinerja staf atau personel, tetapi lebih pada kompentensi
pemimpin
organisasi.
Dalam
konteks
ini,
diperlukan
gaya
kepemimpinan yang inovatif dengan keterampilan kewirausahaan serta
sifat kepemimpinan digital yang dinamis untuk mendorong proses
tranformasi digital (Cahyarini, 2021).
Kepemimpinan digital merupakan proses pengaruh sosisal yang
difasilitasi oleh teknologi digital, bertujuan merangsang perubahan
pada sikap, perasaan, pola pikir, perilaku, dan kinerja pada level,
individu maupun kelompok dalam organisasi (Ajabar et al., 2021).
Berdasarkan definisi tersebut terlihat jelas bahwa kepemimpinan digital
adalah kepemimpinan berbasis teknologi yang bertujuan menghasilkan
perubahan pada organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Dalam penelitian yang dilakukan Cortelazzo et al. (2019 dalam
Ajabar et al., 2021) mengenai kepemimpinan digital atau digital
leadership, menggolongkannya ke dalam dua perspektif utama, yaitu:
pembahasan dalam perspektif makro dan pembahasan dalam perspektif
mikro. Dalam pembahasan pada perspektif makro mengidentifikasi
empat tema utama, yaitu: (1) hubungan antara pemimpin dengan
15
organisasi, (2) bagaimana pemimpin mengadopsi teknologi untuk
menangani masalah kompleks dalam organisasi, (3) dampak dari
teknologi digital terhadap etika kepemimpinan, dan (4) pemimpin
menggunakan teknologi untuk mempengaruhi pergerakan sosial. Disisi
lain, dalam perspektif mikro, kepemimpinan digital dianalisis melalui
tiga aspek, yaitu: (1) peran pemimpin puncak (C-level leaders) yang
semakin kompleks; (2) keterampilan yang diperlukan untuk menjadi
pemimpin digital; dan (3) praktik-praktik efektif dalam memimpin tim
virtual.
Gambar
2.2
Model
adopsi
komunikasi
kepemimpinan
digital
Sumber: Liu et al. (2018)
Dalam konteks penggunaan teknologi digital dalam kepemimpinan,
Liu et al. (2018 Ajabar et al., 2021) memperkenalkan konsep ECAM (ELeadership Communication Adaption Model). Seperti dalam gambar
2.2. Model ini menjelaskan bahwa untuk mencapai tingkat adopsi
teknologi secara individual, seorang pemimpin harus memiliki intensi
atau keinginan kuat untuk menngunakan teknologi digital. Intesi
tersebut berasal dari tiga aspek kunci, yaitu: (1) kesadaran aktfif, (2)
evaluasi mutu, dan (3) keinginan untuk melakukan. Ketiga aspek
tersebut diperoleh dari sifat-sifat dan keterampilan-keterampilan
tertentu yang dimiliki oleh pemimpin, termaksuk antusiasme, kebutuhan
untuk berprestasi, rasa tanggung jawab yang tinggi, kemampuan
analitis, fleksibilitas, semangat belajar yang tinggi dan keterampilan
teknis tertentu. Peningkatan kepemimpinan digital seorang pemimpin
dalam organisasi akan terjadi sejalan dengan ketersediaan lingkungan
16
dan fasilitas yang mendukung kepemimpinan digital di dalam
organisasi.
Dalam menilai keterampilan yang terkait dengan kepemimpinan
digital, terdapat pebedaan sudut pandang antara Liu et al. (2018). Dan
Cortelazzo at al. (2019). Liu et al. (2018) lebih berfokus pada
identifikasi keterampilan dan sifat yang mendukung adopsi teknologi
digital dalam memimpin. Sementara itu, Cortellazo et al. 2019
mengemukakan setidaknya ada lima keterampilan essensial bagi
pemimpin dalam era digital, meliputi: (1) kemampuan berkomunikasi
melalui media digital; (2) pengambilan keputusan cepat; (3) manejemen
kolaborasi (4) penanganan perubahan disrutif, dan (5) keterampilan
teknis tertentu. Meskipun memiliki perbedaan sudut pandang, kedua
sepakat bahwa keterampilan teknis memainkan peran utama dalam
kepemimpinan digital untuk menguasai dan memanfaatkan teknologi
digital secara efektif sesuai dengan tuntutan era digital.
Selain keterampilan teknis, pentingnya keterampilan soft skills
menjadi aspek krusial dalam konteks kepemimpinan digital yang
dirumuskan sebagai berikut:
Gambar 2.3 Tujuh Pilar Pendukung Digital Leadership
Sumber: Cahyarini (2021)
Dalam tujuh pilar di atas, menunjukan dominasi soft skill dalam
karakteristik kepemimpinan digital. Seorang pemimpin digital peruh
melangkah lebih jauh, memiliki pandangan yang luas, dan memiliki
kemampuan untuk menggerakan pemikitan individu yang dipimpinnya
17
melintasi batas geografis, budaya, serta batasan lainnya dengan
mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital untuk mencapai
kesuksesan organisasi, meningkatkan kinerja, dan memberikan pelayan
publik yang lebih baik. Karakteristik yang dibutuhkan pemimpinan
digital atau digital leadership menurut Klein (2020 dalam Cahyarini,
2021):
1. Characteristic-Digital Business, yaitu digital leadership harus
memiliki karakteristik innovative visionary yang hanya terbatas
pada pemikiran yang jauh ke depan tetapi juga kemampuan
untuk menghasilkan inovasi. Selain itu kecerdasan dalam
membangun
jaringan
(network
intelligence)
menjadi
karakteristik penting, dimana digital leadership harus dapat
mengoordinasikan pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya
tim dengan efektif. Tidak kalah penting kemampuan untuk
bertindak sebagai penjaring bakat digital (digital talent scout),
di mana pemimpin digital mampu mengedintifikasi dan
mengembangkan potensi digital di dalam timnya. Diharapkan
juga pemimpin digital memehuni karakteristik complexity
mastery, yaitu seorang digital leadership mampu memahami
situasi yang rumit serta memiliki keterampilan untuk
memecahkan masalah dengan konteks yang sulit. Terdapat
karakteristik penting lainnya, yaitu business intelligence yang
berguna dalam membangun model bisnis baru yang sesuai
dengan era digital.
2. Characteristic-Social Attitude yaitu seorang digital leader
berperan sebagai motivating coach, seseorang yang memberikan
motivasi dan menjadi panutan bagi anggota timnya. Aspek lain
untuk karakteristik digital leadership adalah penerapan
democrative delegative style, perancangan organisasi dengan
struktur hierarki dan birokrasi yang sederhana, mengedepankan
orientasi pada personal, serta fokus pada pengembangan dan
18
kemajuan individu. Selain itu, karakteristik openness yang
menunjukan sifat transparansi menjadi aspek lain dalam
karakteristik digital leadership.
3. Characteristic-General Mindset selain karakteristik diatas
terdapat karakteristik umum seorang digital leader, yaitu (agile)
kecapan dalam menyeseuaikan diri dengan model bisinis baru
dan
kemampuan
merancang
strategi
transformasi
(transformation strategies). Aspek menarik dalam karakteristik
digital leader adalah kemampuan untuk selalu berlajar dari
kesalahan (learning by errors), menandakan betapa pentingnya
pembelajaran sebagai langkah menuju langkah yang lebih baik.
Karakteristik penting lainnya dari digital leader adalah memiliki
knowledge oriented dan life-long learner, mencerminkan tekad
untuk terus belajar.
Kevin Olp dari Digtal Workplace Group (dalam Cahyarini,
2021) merincikan keterampilan yang diperlukan bagi seorang
pemimpin digital menjadi beberapa aspek, yaitu:
1. Literasi Digital (Digital Literacy), merupakan kebutuhan
kemampuan dan pengetahuan dalam menggunakan media
digital, teknologi informasi, dan internet, tidak hanya
keterampilan teknis, melainkan juga keterampilan kognitif,
kritis, dan kreatif.
2. Visi
Digital
(Digital
Vision),
kemampuan
dalam
memprediksi dan meyakinkan orang lain mengenai peluang
jangka Panjang dari teknologi dan merancang strategi digital
3. Pertahanan (Defense), kemampuan seorang pemimpin
digital untuk menetapkan kondisi yang dibutuhkan oleh
organisasi. Pertahanan ini akan memberikan motivasi
kepada sumber daya manusia untuk mencapai visi digital.
Komitmen
pemimpin
19
digital
dalam
meningkatkan
literasinya
sendiri
mendorong
orang
lain
untuk
mengikutinya
4. Kehadiran (Presence), kehadiran seorang pemimpin digital
sebagai bentuk keteladanan yang nyata dan dapat diamati.
Meskipun seorang pemimpin digital memiliki visi digital
yang jelas dan dapat menjelaskannya dengan baik, tanpa
kehadiran atau teladan yang terlihat oleh bawahannya,
kemungkinan besar tidak ada yang akan mengikutinya
5. Komunikasi (Communication), merupakan kemampuan
pemimpim dalam mendukung kekuatan pesan yang
disampaikan dan merancang strategi komunikasi yang
mendukung visi digital dengan cermat
6. Adaptabilitas (Adaptabillity), toleransi terhadap inovasi
merupakan aspek adaptaasi yang paling menantang bagi
seorang pemimpin.
7. Kesadaran Diri (Self-Awareness), pendekatan pemimpin dan
proses mempengaruhi orang lain secara alami dan
berkelanjutan.
8. Kesadaran Budaya (Curtural-Awareness), pemahaman
pemimpin dalam potensi perbedaan budaya yang mungkin
muncul, dengan memahami perbedaan gaya berkerja dan
berkomuninasi yang disebabkan oleh kebudayaan individu,
terutama dalam penggunaan teknologi digital
Dalam rangka memahami kepemimpinan digital secara
komprensif. Hensellek (2020 dalam Ajabar et al., 2021)
mengembakan kerangka kerja kepemimpinan digital, sebagai
berikut:
20
Gambar 2.4 digital leadership framework
Sumber: Hansellek (2020)
Tergambar dalam gambar 2.4. Kerangka kerja ini menyoroti
empat elemen utama, meliputi: (1) Visi digital- yang terartikulasi
dengan ambisius, makna, holistik, dan berkelanjutan; (2) Perilaku
digital-untuk mewujudkan visi digital yang sudah dirancang, pemimpin
harus menampilkan kepemimpinan berdasarkan contoh (Leading by
examples), mengatasi hambatan melalui keterlibatan inklusif seluruh
anggota, dan aktif mendorong perubahan kultural yang berkelanjutan;
(3) Keahlian digital-sebagai prasyarat untuk menampilkan perilaku
digital, mencakup pemahaman dan pengoptimalan teknologi digital,
mencari peluang dan merancang langkah-langkah preventif terhadap
risiko dari teknologi digital, dan pengembangan kemampuan
kewirausahaan (enterpreneurial capability); (4) Pola pikir digital- selain
keterampilan digital, perilaku digital juga didukung oleh pola pikir yang
terus belajar, terbuka dengan teknologi baru, dan keinginan untuk terus
berkembang.
Sementara untuk mengevaluasi sejauh mana pengembangan
seseorang terhadap kepemimpinan digital, operasionalisasi yang
21
dikembangkan oleh Van War et al. (2019 dalam Ajabar et al., 2021)
dapat diaplikasikan. operasionalisasi ini menjelaskan kepemimpinan
digital ke dalam enam dimensi, yakni : (1) Technological skill,
keterampilan teknis terkait teknologi digital yang harus dikuasi oleh
pemimpin, (2) Communication skill, keterampilan menggunakan
teknologi untuk berkomunikasi secara efektif tanpa terikat oleh batasan
waktu dan tempat, (3) Social skill, keterampilan dalam membangun
sistem sosial yang mendukung perubahan menuju kematangan digital
yang lebih baik, (4) Team building skilll, kemampuan dalam
membangun dan membimbing tim kerja secara virtual untuk mencapai
tujuan sinergi yang diharapkan, (5) Change management, kemampuan
untuk mengelola perubahan strategis secara kultural dalam organisasi,
dan (6) Trustworthnessl, kemampuan untuk mengembangkan,
memperbaiki, dan menjaga kepercayaan pengikut maupun mitra agar
terus bersinergi dan berkoloborasi dalam mencapai tujuan organisasi.
Gambar 2.5 enam Kompetensi Kepemimpinan Digital
Sumber: Van Wart et al (2019)
2.1.3 Work-life balance (WLB)
Menurut Greenhaus (2003 dalam Hizkia Panjaitan et al, 2023),
Work-life balance adalah keseimbangan yang terikat pada individu
dalam menjalankan tanggung jawab pekerjaan, keluarga, dan kehidupan
secara keseluruhan. Sejalan dengan hal tersebut, Rinfanda et al dalam
(Muliawati, 2020:607) mendefenisikan Work-life balance sebagai
22
kemampuan individu untuk memenuhi tugas dari pekerjaan dan tuntutan
dari luar pekerjaan, dan hal tersebut menjadi faktor yang membuat
individu Bahagia
Konsep mengenai Work-life balance berkaitan dengan penentuan
prioritas yang tepat antara tuntutan pekerjaan dan aspek kehidupan
lainnya, seperti pengelolaan waktu luang, keluarga, dan pengembangan
spiritual. Selain itu, Work-life balance menjadi penanda sejauh mana
seorang karyawan mengalami pemenuhan kebutuhan mereka. Hal ini
mencakup aspek-aspek yang terkait dengan pekerjaan, sekaligus
mempertimbangkan kebutuhan individu yang bersifat lebih personal
dan melibatkan ranah kehidupan lainya.
Berdasarkan perspektif diatas, menurut Lockwood (2003 dalam
Nurhabiba et al. 2020) Work-life balance adalah suatu keadaan
seimbang antara dua tuntutan utama, yakni pekerjaan dan kehidupan
individu. Dalam pemahaman karyawan, Work-life balance mengacu
pada kebijakan untuk mengelola secara baik kewajiban pekerjaan dan
aspek pribadi, termaksuk tanggung jawab terhadap keluarga. Disisi lain,
dari perspektif perusahaan melihat Work-life balance sebagai sebuah
tantangan strategis untuk membentuk budaya perusahaan yang
mendukung, di mana karyawan dapat dengan optimal menyeimbangkan
fokus mereka pada pekerjaan ketika berada di tempat kerja.
2.1.3.1 Dimensi Work-life Balance
Menurut Fisher et al (2009 dalam Wicaksana et al. 2020)
menyatakan bahwa terdapat empat dimensi yang membentuk
work-life balance, yaitu:
1.
Work Interference with Personal Life (WIPL)
merujuk
pada
sejauh
mana
pekerjaan
dapat
menggangu kehidupan pribadi individu. Sebagai
contoh, tuntutan pekerjaan dapat menyulitkan
individu untuk mengatur waktu secara optimal dalam
kehidupan pribadinya.
23
2.
Personal Life Interference with Work (PLIW)
merujuk pada sejauh mana kehidupan pribadi dapat
mengganggu kinerja pekerjaannya. Sebagai contoh,
masalah yang muncul dalam ranah kehidupan pribadi
dapat berdampak negatif terhadap fokus dan
produktivitas individu selama bekerja.
3.
Personal Life Enhancement of Work (PLEW) merujuk
pada
sejauh
mana
kehidupan
meningkatkan kinerja
pekerjaan.
Sebagai
individu
contoh,
pribadi
dapat
dalam lingkup
kebahagiaan
yang
dirasakan individu dari aspek kehidupan pribadinya
dapat menciptakan suasana hati atau mood yang
positif dan berdampak positif pada produktivitas dan
kinerja individu di lingkungan kerja.
4.
Work Enhancement of Personal Life (WEPL) merujuk
pada sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan
kualitas hidu pribadi individu. Sebagai contoh,
keterampilan yang diperoleh individu selama bekerja
dapat memberikan kontribusi positif pada kehidupan
sehari-hari, memungkinkan penerapan keterampilan
tersebut dalam konteks kehidupan pribadi.
2.1.3.2 Indikator Work-life Balance
Menurut McDonald (2005 dalam Rondowunu et al. 2018)
terdapat indikator-indikator yang bisa digunakan untuk
menilai
sejauh
mana
karyawan
dapat
mencapai
keseimbangan antara kewajiban pekerjaan dan kehidupan
pribadi, yaitu:
1. Keseimbangan waktu (Time Balance) merujuk pada
alokasi waktu individu untuk pekerjaan dan
kegiatan diluar pekerjaan, seperti waktu untuk
keluarga
atau
24
melakukan
hobi.
Tingkat
keseimbangan waktu karyawan dapat diukur dari
seberapa efektif karyawan mengalokasikan jumlah
waktu
pada
kewajiban
pekerjaan
maupun
kehidupan pribadi.
2. Keseimbangan Keterlibatan (Involvement Balance)
merujuk pada tingkat keterlibatan psikologis dan
komitmen individu dalam pekerjaan dan aspek
diluar pekerjaan. Pengalokasian waktu yang efektif
tidak cukup sebagai dasar pengukuran Work-life
balance karyawan, hal ini harus didukung oleh
keterlibatan berkualitas dalam setiap kegiatan yang
dijalani oleh karyawan tersebut. Oleh karena itu,
karyawan perlu terlibat secara fisik dan pskilogis
dalam pekerjaan, keluarga, serta kegiatan sosial
lainnya agar mencapai keseimbangan keterlibatan
yang optimal.
3. Kesimbangan Kepuasan (Sastification Balance)
merujuk pada tingkat kepuasaan individu terhadap
kegiataan pekerjaan dan aspek diluar pekerjaan.
Kepuasaan ini muncul ketika karyawan merasa
bahwa apa yang telah mereka lakukan sejauh ini
sudah cukup baik dalam memenuhi kebutuhan
pekerjaan
dan
kehidupan
pribadi.
Tingkat
kepuasaan ini dapat diamati dari kondisi keluarga,
hubungan interpersonal dengan teman dan rekan
kerja, serta kualitas dan kuantitas pekerjaan yang
telah diselesaikan.
2.1.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work-life balance
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wulansari (2023),
terdapat tiga faktor yang dapat berpengaruh terhadap worklife balance, yaitu:
25
1. Faktor Individual
a. Kepribadian, merujuk pada dimensi-dimensi
yang terdapat dalam konsep Big Five Personality
Traits, yaitu kestabilan emosional, keterbukaan,
kecerdasan, ketergantungan, dan keakraban,
b. Psychological well-being, merujuk pada aspekaspek psikologi seseorang seperti kepuasan,
penerimaan diri, harapan, dan optimisme.
c. Emotional
Intellegence,
kemampuan
individu
mengekspresikan,
mencakup
Merujuk
untuk
dan
aspek-aspek
mengenali,
mengelola
yang
pada
emosi,
melibatkan
pemahaman diri, kemampuan beradptasi, serta
keterampilan
Kecerdasan
dalam
berinteraksi
emosional
juga
sosial.
mencakup
kemampuan menyampaikan emosi dengan tepat
dan mengelola respon emosional terhadap
berbagai berbagai situasi
2. Faktor Organisasi
a. Pekerjaan, merujuk pada fleksibilitas waktu dan
struktur
pekerjaan
yang
adaptif
dapat
mendukung karyawan untuk mencapai work-life
balance. Hill et al dalam Pouluse dan Sudarsan
(2014) mengungkapkan bahwa manejemen jam
kerja yang fleksibel dapat memberikan dukungan
kepada karyawan dalam menjaga keseimbangan
antara tuntuntan pekerjaan dan peran dalam
lingkungan pribadi.
b. Work-life Policies, merujuk pada Kebijakan dan
program organisasi, termasuk fleksibilitas kerja,
26
cuti, jam kerja, dan fasilitas pengasuhan anak
yang diterapkan di dalam organisasi.
c. Dukungan, merujuk pada partisipasi rekan kerja
dan
atasan
dalam
memberikan
bantuan,
pengakuan, dan pemahaman. Semakin besar
dukungan
yang
diperoleh
karyawan
dari
lingkungan kerja akan berdampak positif dalam
menciptakan kesimbangan antara tuntutan kerja
dan kehidupan pribadinya
d. Stress kerja, merujuk pada persepsi individu
terhadap ancaman dan ketidaknyamanan di
lingkungaan kerja, keberadaan stress kerja dapat
menjadi
penghambat
terciptanya
Work-life
balance yang diinginkan
e. Teknologi,
teknologi
merujuk
dalam
pada
membuka
perkembangan
peluang
bagi
karyawan untuk mengakses pekerjaan secara
fleksibel. Meskipun memberikan kemudahan
pekermbangan teknologi juga membawa dampak
positif dan negatif dalam Upaya karyawan
mencapai worklife balance.
f. Peran, merujuk pada peran-peran yang dimiliki
seseorang, dan konflik antara peran-peran
tersebut dapat menciptakan ketidakseimbangan
yang menghasilkan work-life conflict. Tingkat
kekacauan peran yang dimiliki oleh individu
dapat menjadi hambatan dalam mencapai worklife balance.
3. Faktor kehidupan
Faktor ini merujuk pada tanggung jawab rumah
tangga, pengasuhan anak, bantuan dukungan dari
27
keluargam dukungan orang tua dan pasangan, serta
faktor ekonomi. Aspek – aspek ini turut berperan
dalam membentuk Work-life balance seseorang,
menggambarkan kompleksitas tantangan yang
dihadapi individu dalam mencapai keseimbangan
antara tuntutan pekerjaan dan kebutuhan pribadi
2.1.4 PT Global Asia Sinergi
PT Global Asia Sinergi, perusahaan konsultan IT yang didirikan
pada tahun 2013 oleh Jul Darmawan, Sim Bong, dan Teddy Pohan, telah
menjadi pemain sentral dalam industri teknologi informasi di Kawasan
ASEAN. Dengan fokus utama pada IT Service Management (ITSM)
dan otomasi, perusahaan ini memiliki basis operasional di Jakarta dan
Singapura, menjadikannya distributor eksklusif untuk Kaseya di
Indonesia dan menawarkan produk-produk unggulan seperti Uila,
InvGate, Hexnode, Unitrends, dan NeuShield.
Pengalaman lebih dari 10 tahun dalam industri ITSM telah
membuktikan kredibilitas Global Asia Sinergi melalui kemitraan
jangka panjang dengan klien ternama seperti BRI, BNI, DANAMON,
BPJS Kesehatan, Krakatau Steel, dan Pertamina. Tidak hanya berfokus
dalam negeri, perusahaan ini juga menjalin kerjasama dengan klien
internasional dari Singapura, Filipina, Malaysia, Papua Nugini,
Vietnam, dan Selandia Baru.
Dengan portofolio layanan yang beragam, seperti IT Service
Management , IT Asset Management, IT Security, dan Unified
Enterprise Management Solution, Global Asia Sinergi menawarkan
solusi inovatif untuk mendorong transformasi digital perusahaan di
seluruh ASEAN. Keahlian mereka dalam pengelolaan operasional
teknologi informasi, perlindungan keamanan digital, dan manajemen
aset perusahaan menjadikan perusahaan ini pilihan utama bagi klienklien terkemuka di dalam dan luar negeri.
28
2.2
Landasan Teori
2.2.1 Teori Strukturasi adaptif (Adaptive Structuration Theory)
Adaptive
Structuration
Theory
(AST)
diperkenalkan
dan
dikembangkan oleh DeSanctis dan Poole (1994) sebagai turunan dari
Gidden’s Structuration Theory untuk menganalisis interaksi kelompok
dan organisasi dengan teknlogi informasi (TI). Giddens melalui teori
strukturasinya berusaha menjelaskan dualitas struktur, yaitu hubungan
timbal balik antara agensi dan sturktur yang saling mempengaruhi.
Giddens (1976) menyatakan bahwa tindakan manusia adalah proses
produksi dan reproduksi dalam berbagai sistem sosial (LittleJohn,
2002).
Dalam perspektif Giddens (1976), sistem sosial diartikan sebagai
suatu rangkaian praktik sosial, yang melibatkan hubungan antar pelaku
yang terus direproduksi dan diulang-ulang sehingga membentuk pola
hubungan sosial. Reproduksi sosial terjadi melalui dualitas struktur dan
praktek sosial, yang selalu melibatkan interaksi antara sarana-sarana.
Struktur dalam konteks sosial diartikan sebagai sarana, yakni aturan
(rules) dan sumber daya (resources) yang di organisir sebagai
kepemilikan sistem sosial dan muncul saat diaktifkan oleh pelaku
dalam suatu praktik sosial. Oleh karena itu, struktur bukanlah objek
fisik (benda), melainkan skemata yang memberikan arahan atau
membimbing dalam interaksi sosial. Struktur memiliki kemampuan
untuk melampaui batasan ruang dan waktu, sehingga dapat diterapkan
dalam berbagai situasi dan kondisi.
Aturan dapat dijelaskan sebagai pola dan teknik yang diketahui
pelaku, dapat digunakan atau diikuti dalam kehidupan sosial. Beberapa
karakteristik pasti yang melekat pada aturan: (1) penggunaanya yang
sering dalam percakapan, tata cara interaksi, dan rutinitas sehari-hari
setiap individu; (2) dipahami dan tersedia sebagai pengetahuan bersama
(mutual knowledge) bagi pelaku;bersifat informal,tidak tertulis dan
29
tidak diungkapkan secara eksplisit, dan jika dilanggar hukumanya
ringan dan diterapkan melalui cara-cara komunikasi interpersonal.
Pelaku membutuhkan kapasitas untuk menerapkan aturan dalam
tindakan. Beberapa kapasitas ini memerlukan sumberdaya, yang
mencakup perlengkapan materi dan keterampilan keorganisasian untuk
bertindak dalam suatu situasi. Sumberdaya bukanlah kekuasaan itu
sendiri, namun ketika sumber daya diaktifkan atau digunakan, pelaku
memperoleh kekuasaan untuk mewujudkan sesuatu. Kekuasaaan selalu
terkait dengan kapasitas transformatif.
Struktur bukan hanya alat (medium), melainkan juga hasil dari
praktik yang diatur diorganisasikan secara berulang (recursive), yang
dalam teori strukturasi dikenal sebagai dualitas struktur. Dengan
demikian, struktur tidak bersifat eksternal bagi individu. struktur tidak
dapat dianggap sama dengan kekangan (constraint); namun, selalu
mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling) melalui
hubungan yang ada antara struktur dan agensi.
Sistem sosial memiliki tiga jenis struktur, yaitu: (1) Signifikasi atau
penandaan sebagai struktur yang menciptakan makna melalui jaringan
bahasa yang terorganisir, seperti kode semantik, skema interpretative,
dan praktif diskursif. (2) Legitimasi atau pembenaran sebagai struktur
yang menghasilkan aturan moral melalui pengakuan dalam norma,
nilai, standar masyarakat, dan terutama terlihat dalam hukum. (3)
Dominasi atau penguasaan sebagai struktur yang menghasilkan
kekuasaan yang berasal dari kontrol terhadap sumberdaya. Dominasi
bergantung pada pemanfaatan dua jenis sumberdaya, yakni sumberdaya
alokatif alokatif dan sumberdaya otoratif. Sumber daya alokatif
mengacu pada bentuk kapasitas transformatif, dalam memberi perintah
terhadap barang, objek, atau fenomena material. Sementara itu, sumber
daya otoritatif mengacu pada jenis kapasitas transformatif yang
menghasilkan perintah terhadap pelaku(agen).
30
Pelaku (agen) merupakan individu yang memiliki pengetahuan
tentang sebagian besar tindakan yang mereka lakukan. Pengetahuan ini
termanifestasi melalui tindakan rutin mereka dalam kesadaran praktisi.
Kesadaran praktis merupakan aspek kunci dalam memahami
bagaimana tindakan dan praktik sosial seiring waktu menjadi struktur,
serta bagaimana struktur tersebut membatasi dan memberdayakan
tindakan dan praktik sosial kita
Agensi memiliki keterkaitan erat dengan struktur sosial, di mana
keduanya saling mempengaruhi dan menciptakan masyarakat bersama.
Pelaku (agen) membawa pengetahuan tentang masyarakatnya, dan
pengetahuan kolektif ini menciptakan struktur. Meskipun pelaku (agen)
memiliki kebebasan dalam bertindak di dalam struktur, mereka juga
berkontribusi dalam pemeliharaan dan pembaruan masyarakat, seraya
mempertimbangkan kemungkinan perubahan masyarakat. Giddens
menjelaskan konsep ini melalui ‘reflexive monitoring of actions’ yaitu
kemampuan dalam mengevaluasi efektivitasan dalam mencapai tujuan.
Pelaku (agen) mampu menciptakan struktur melalui tindakan
mereka dan memiliki kemapuan untuk mengubahnya. Namun, tindakan
yang disengaja juga dapat menghasilkan konsekuensi yang tidak
diinginkan bagi pelaku, dan konsekuensi tersebut memungkinkan juga
membentuk kondisi tindakan yang tidak diakui dalam suatu umpan
balik. Giddens berpendapat bahwa manusia memiliki kapasitas sebagai
agensi, memungkinkan mereka untuk menyebabkan perubahan dalam
organisasi sosial. Meskipun demikian, agensi tidak selalu mampu
menggunakan keterampilan mereka secara efektif karena dibatasi oleh
peluang struktural.
Dualitas struktur dalam teori Anthony Giddens, yang dirumuskan
oleh DeSanctis dan Poole (1994) dalam Adaptive Structuration Theory
(AST), dapat dijelaskan sebagai “the production and reproduction of
the social systems through members’ use of rules and resources in
interaction” (Ali-Hassan 2005). Teori ini disebut adaptif karena,
31
menurut DeSanctis dan Poole (1994), anggota kelompok dengan
sengaja menyesuaikan aturan dan sumberdaya untuk meningkatkan
pencapaian tujuan (Computer Mediated Communication, n.d.).
Poole dan Desanctis menggunakan konsep GDSS (Group Decition
Support Sytem) untuk menggambarkan implementasi prinsip teori
strukturasi adaptif dalam penggunaan teknologi informasi (IT). GDSS
adalah sistem kerja yang dapat diimplementasikan melalui berbagai
teknologi. Sistem ini mengintegrasikan kapabilitas komputasi,
komunikasi, dan kemampuan dukungan keputusan (decision support
capabilities) untuk mendukung proses generasi ide kelompok,
perencanaan, pemecahan masalah, dan pengambilan Keputusan
(DeSanctis & Poole, 1994).
Struktur sosial dari teknologi dapat dipahami melalui dua aspek
utama: fitur struktural (structural features) yang mencakup aturan,
sumber daya, dan kemampuan khusus yang ditawarkan sistem, serta
spirit atau niat yang menggerakan serangkaian fitur tersebut. Fitur
struktural (structural features) adalah jenis dari aturan, sumber daya,
dan kapabilitas yang disediakan atau terdapat dalam sitem. Fitur
struktural membawa makna apa yang disebut Giddens sebagai
signifikasi dan dominasi atau kontrol. Sedangkan Spirit mencerminkan
niat umum, nilai-nilai, dan tujuan yang melandasi fitur struktural. Spirit
mebawa makna apa yang disebut Giddens sebagai legitimasi dan
berperan sebagai sarana signifikasi.
2.2.1.1 Asumsi Teori Strukturasi Adaptif (Adaptive Structuration
Theory)
Menurut West dan Turner (2009) Terdapat 3 asumsi dari
teori strukturasi adaptif:
1. Kelompok atau perusahaan diproduksi dan
direproduksi melalui aturan dan sumber daya
Asumsi
ini
menjelaskan
dinamika
komunikasi dalam suatu organisasi sebagai langkah
32
awal
dalam
menciptakan
memodifikasi
aturan
aturan
yang
baru
sudah
ada,
untuk
atau
menekankan kembali aturan yang sejak lama telah
diterapkan guna memperbaiki harapan. Dengan
demikian, struktur ini dianggap sebagai bagian dari
penciptaan interaksi yang terjadi dalam konteks
organisasi
2. Aturan Komunikasi berfungsi baik sebagai medium
untuk maupun hasil dari interaksi.
Asumsi ini menafsirkan keberadaan aturan
terkait dengan penyediaan norma dan pembatasan
terhadap prilaku kelompok, dengan menerapkan
peraturan berdasarkan harapan sebelumnya. Dengan
demikian, struktur kelompok dapat melibatkan
rangkaian aturan dan sumber daya yang digunakan
oleh
anggotanya
untuk
membuat
Keputusan
mengenai jenis perilaku komunikasi yang diinginkan.
3. Struktur kekuasaan ada di didalam organisasi dan
menuntun proses pengambilan keputusan dengan
menyediakan informasi mengenai strategi terbaik
dalam mencapai tujuan organisasi.
Asumsi ini menyatakan bahwa kekuasaan
merupakan
faktor
yang
signifikan
dalam
pembentukan keputusan di dalam suatu organisasi.
Dalam teori stukturasi, konsep kekuasaan diartikan
sebagai kemampuan untuk mencapai hasil, yang
memungkinkan
individu
mencapai
individu
mencapai tujuan mereka. Kekuasaan juga dipahami
sebagau hubungan dua arah, dan fakta bahwa seorang
agen diundang untuk berpatisipasi dalam diksusi dan
proses
pengambilan
33
keputusan
menunjukan
bahwa.agen tersebut memiliki sejumlah kekuasaaan
tertentu terhadap pihak lain.
2.2.2 Model ECAM (E-Leadership Communication Adaption Model)
ECAM (E-Leadership Communication Adaption Model) adalah
adaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Venkatesh et al (2003
dalam Liu et al, 2018). Penelitian Venkatesh et al (2003) berfokus pada
pola adopsi teknologi oleh anggota organisasi melalui upaya sistematis
dalam penyebaran teknologi dengan mempertimbangkan efek
teknologi, difusi industri dan dukungan organisasi, serta bagaimana
individu akan menerima atau menolak adopsi teknologi. Namun,
penerimaan pengguna terhadap ICT (Information and Communication
Technology) berbeda dari adopsi pemimpin terhadap ICT, terutama
karena hanya sebagaian kecil teknologi yang digunakan pemimpin
difasilitasi oleh institusi.
Para pemimpin cenderung jarang mengalami kegagalan dalam
mengadopsi ICT di tingkat organisasi, walaupun demikian, hal tersebut
tidak menjamin penggunaan teknologi digunakan dengan efektif.
Meskipun model ECAM memiliki dasar teoritis dan operasionalnya
mirip dengan model Vankatesh (2003), tetapi juga memiliki perbedaan
signifikan. Model ECAM lebih menekankan peran aktif pemimpin
dalam mengadopsi ICT, bukan efek teknologi pada pemimpin sebagai
anggota organisasi biasa. Sebagai hasilnya model ini lebih memeriksa
karakteristik pemimpin daripada karakteristik pengikut.
Liu et al (2018 ) mengemukakan bahwa penggunaan ICT untuk
keperluaan kepemimpinan di tingkat individu bergantung pada
sejumlah sifat dan keterampilan tertentu (Select Leadership Traits and
Skills or STS). Sifat dan keterampilan tertentu ini mempengaruhi
kesadaran aktif (active awareness) pemimpin terhadap teknologi,
Mengevaluasi mutu dari teknologi, dan keinginan untu melakukan
upaya lebih. Dampak dari ketiga faktor terakhir pada keputusan seorang
pemimpin
untuk
mengadopsi
34
teknologi
dalam
keperluan
kepemimpinan dimediasi oleh intensi untuk menggunakan ICT.
Peningkatan intensi pemimpinan untuk menggunakan ICT digital
dalam organisasi akan terjadi sejalan dengan ketersediaan lingkungan
dan fasilitas (facilitating condition) yang mendukung kepemimpinan
digital di dalam organisasi
Gambar 2.6 Model ECAM (E-Leadership Communication Adaption Model)
Sumber: Liu et al. (2018)
ECAM (E-Leadership Communication Adaption Model) memiliki
fokus pada aspek kepemimpinan digital, khususnya dalam konteks
adopsi teknologi secara individual (ajabar et al, 2021). Sementara
adaptive structuration theory (AST) lebih umum membahas interaksi
manusia dengan teknologi dalam konteks struktur sosial dan organisasi
(Kharisma, 2018 dalam ajabar et al, 2021). Meskipun keduanya
memiliki fokus yang berbeda, namun ada beberapa titik persamaan
yang dapat digunakan untuk menganalisis kepemimpinan digital dalam
implementasi work-life balance:
1. Pentingnya interaksi manusia dengan teknologi
Baik ECAM maupun AST mengakui pentingnya interaksi
manusia dengan teknologi. ECAM menyoroti bahwa
pemimpin perlu memiliki intensi kuat untuk menggunakan
teknologi digital, sementara AST memahami bahwa
teknologi memainkan peran penting dalam membentuk
interaksi sosial dan struktur organisasi modern
2. Faktor individu dan lingkungan
35
ECAM menekankan faktor individu, seperti sifat-sifat dan
keterampilan-keterampilan tertentu, dalam menentukan
intensi penggunaan teknologi. Di sisi lain, AST juga
memperhitungkan faktor lingkungan, di mana keberhasilan
adaptasi teknologi tergantung aspek konteks sosial dan
budaya yang mendukung.
3. Adaptasi dan pembentukan struktur
Sementara ECAM lebih fokus pada adopsi teknologi secara
individu, AST menggambarkan bagaimana teknologi dapat
membentuk struktur sosial secara lebih luas. Dalam konteks
work-life balance, kedua pendekatan dapat melibatkan
pertimbangan tentang bagaimana teknologi membentuk pola
interaksi yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan
dan kehidupan pribadi.
Dengan memadukan ECAM dengan AST, analisis kepemimpinan
digital dalam konteks Work-life balance dengan mempertimbangkan aspek
individu (seperti intensi, sifat-sifat, dan keterampilan) dan lingkungan
(dukungan organisasi dan fasilitas teknologi). Ini dapat memberikan
gambaran yang lebih lengkap tentang bagaimana kepemimpinan digital
dapat mempengaruhi organisasi dan implementasi Work-life balance
dalam organisasi.
2.3
Penelitian Terdahulu
TABEL 2.1
Tinjauan
Perbandingan
Penelitian
Sebelumnya
dengan
Penelitian yang Dilakukan
NO
1
Penyusun
dan Tahun
Dewi
Widowati,
Judul
Penelitian
Organisatio
nal
Commnucati
Tujuan
Penelitian
mengamati
implementasi
komunikasi
Metode
Penelitian
Kualitatif
36
Hasil Penelitian
Persamaan
Perbedaan
Keseimbangan
antara kerja dan
kehidupan
Persamaan
utama
dalam
Perbedaan
utama
dalam
Vidya
Alisya,
Yuni
Rahayu,
Mufid
Salim,
Steven
Sakasmita,
Institut
Komunikasi
dan Bisnis
Indonesia
LSPR
Tahun 2023
on Towards
Work-life
balance in
Achieving
Working
Homeostatic
at
JOOX
Indonesia
internal
dalam
perusahaan dan
bagaimana
perusahaan
menerapkan
keseimbangan
antara kerja dan
kehidupan
karyawan
2
Anik Nur
Kholifah,
Jul Aidin
Fadli,
Universitas
Esa Unggul
2023
Pengaruh
Kepemimpin
an
Transformas
ional
dan
Work-life
balance
terhadap
Keterikatan
Kerja
dan
Kinerja
Karyawan
Mengeksplora
si
keterkaitan antara
kepemimpinan
transformasional
dan work life
balance terhadap
keterikatan kerja
dan
kinerja
karyawan.
Kuantitatif
3
Farida Dwi
Cahyarini,
Pusat
Pendidikan
dan
Pelatihan
Pegawai –
Balitbang
Implementas
i
Digital
Leadership
dalam
Pengembang
an
Kompetensi
Digital pada
Menganalisis
implementasi
kepemimpinan
digital
yang
diharapkan
menjadi salah satu
kunci
dalam
pengembangan
Kualitatif
studi kasus
37
karyawan tidak
merata
di
perusahaan,
terlihat
dari
ketidaksetaraan
posisi
dalam
hierarki
organisasi. Posisi
manajerial dan di
atasnya
lebih
merasakan
keseimbangan
antara kerja dan
kehidupan
dibandingkan
dengan karyawan
biasa.
Kepemimpinan
transformasional,
work-life
balance,
dan
keterikatan kerja
secara bersamaan
berpengaruh
positif terhadap
kinerja
karyawan, diukur
dengan hasil uji F
sebesar 108,249
dan
nilai
signifikan 0,000.
Terdapat
juga
pengaruh tidak
langsung, dimana
kepemimpinan
transformasional
memengaruhi
kinerja karyawan
melalui
keterikatan kerja,
dengan
nilai
0,412 yang lebih
dominan
dibandingkan
pengaruh
langsung sebesar
0,185.
Implementasi
kepemimpinan
digital
mendorong
untuk
memaksimalkan
pemanfaatan
teknologi
penelitian
ini terletak
pada objek
yang
digunakan
dalam
penelitian
yaitu worklife balance
penelitian
ini terletak
pada
subjek dan
teori yang
digunakan
dalam
penelitian
Persamaan
utama
dalam
penelitian
ini terletak
pada objek
yang
digunakan
dalam
penelitian
yaitu worklife balance
Perbedaan
utama
dalam
penelitian
ini terletak
pada
metode dan
subjek
digunakan
dalam
penelitian
Persamaan
utama
dalam
penelitian
ini terletak
pada objek
yang
digunakan
Perbedaan
utama
dalam
penelitian
ini terletak
pada
subjek
yang
SDM
Kemkominf
o
Tahun
2021
Pelayanan
Publik
kompetensi digital
pelayanan publik
perizinan
Spektrum
Frekuensi Radio
pada Direktorat
Operasi Sumber
Daya
Ditjen
SDPPI
4
Sri Maryati,
Muhamad
Ichsan
Siregar,
Universitas
Sriwijaya,
Tahun 2020
Kepemimpin
an
Digital
dalam
Meningkatk
an Kinerja
Organisasi
Peran
Teknologi
Informasi
dan
Komunikasi
Menguji
peran
Inovasi Teknologi
Informasi
dan
Komunikasi (TIK)
dalam hubungan
antara
faktor
kepemimpinan
dan
kinerja
organisasi.
Kuantitatif
5
Tiara
Kharisma,
Firman
Kurniawan
Sujono,
Ilmu
Komunikasi
, Fakultas
Ilmu Sosial
dan Politik
Universitas
Indonesia,
Tahun 2018
Analisis
Strukturasi
Adaptif:
Implikasi
Penggunaan
Teknologi
Informasi
dalam
Pelayanan
Informasi
Publik
Organisasi
Pemerintaha
n
membahas proses
strukturasi adaptif
yang terjadi ketika
suatu organisasi
pemerintahan
melakukan
transformasi
pelayanan
informasi publik
dari cara manual
menjadi berbasis
teknologi
informasi.
Kualitatif
38
informasi,
menghasilkan
perbaikan
pelayanan publik
digital
dan
capaian prestasi.
Meskipun
indikator
pelayanan sudah
memuaskan,
terdapat harapan
perbaikan pada
bidang tertentu,
mendorong Unit
Layanan untuk
meningkatkan
layanan publik
dengan
pengembangan
kompetensi
digital petugas
sesuai
standar
jabatan
secara
terencana
dan
terukur di masa
depan.
kepemimpinan
memiliki
pengaruh
terhadap kinerja
organisasi
dan
Inovasi
Teknologi
Informasi
dan
Komunikasi
(TIK) memediasi
hubungan
kepemimpinan
dengan kinerja
organisasi.
agen berinteraksi
dengan struktur
pelayanan
informasi publik
yang
telah
beralih menjadi
berbasis
teknologi
informasi,
tindakan agen di
organisasi
pemerintahan
menunjukkan
interplay antara
struktur
dalam
penelitian
yaitu
kepemimpi
nan digital
digunakan
dalam
penelitian
Persamaan
utama
dalam
penelitian
ini terletak
pada objek
yang
digunakan
dalam
penelitian
yaitu
kepemimpi
nan digital
Perbedaan
utama
dalam
penelitian
ini terletak
pada
metode dan
subjek
digunakan
dalam
penelitian
Persamaan
utama
dalam
penelitian
ini terletak
pada teori
yang
digunakan
dalam
penelitian
yaitu
adaptive
structuratio
n theory
Perbedaan
utama
dalam
penelitian
ini terletak
pada
subjek
digunakan
dalam
penelitian
pelayanan
informasi publik
berbasis
teknologi
informasi,
struktur
sosial
lain
(tugas,
lingkungan
internal
dan
eksternal) serta
sistem internal
organisasi
pemerintahan
yang
berlaku.
Dalam
interaksinya para
agen
menggunakan
komunikasi
formal
(horizontal,
vertikal
dan
diagonal) serta
informal. Hasil
interaksi tersebut
teridentifikasi
munculnya
struktur
sosial
baru
yang
menjadi
pemahaman
bersama di antara
agen, mengatur
tindakan
agen
ketika
melakukan
pelayanan serta
terlegitimasi
dalam
pemahaman
agen, sehingga
pelayanan
informasi publik
berbasis
teknologi
informasi dapat
terus berjalan.
2.4
Kerangka Pemikiran
TABEL 2.2
39
Kerangka Pemikiran Penelitian
40
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian dapat diidentifikasi sebagai narasumber yang
memegang peran penting sebagai salah satu kompenen utama dalam
penelitian atau individu yang berhubungan erat dengan latar belakang
penelitian.
Subjek
penelitian
ini
kemudian
dimanfaatkan
untuk
memberikaninformasi tentang situasi, keadaan dan kondisi latar belakang
penelitian (Moloeng, 2010 dalam Khadafi, 2023). Adapun subjek penelitian
ilmiah ini adalah Pemimpin divisi atau team PT Global Asia Sinergi yang
menerapkan kepemimpinan digital, serta berhasil mencapai Work-life
balance yang baik di dalam divisi atau timnya
3.1.1 Subjek Penelitian
Subjek penelitian dapat diidentifikasi sebagai narasumber yang
memegang peran penting sebagai salah satu kompenen utama
dalam penelitian atau individu yang berhubungan erat dengan latar
belakang penelitian. Subjek penelitian ini kemudian dimanfaatkan
untuk memberikaninformasi tentang situasi, keadaan dan kondisi
latar belakang penelitian (Moloeng, 2010 dalam Khadafi, 2023).
Adapun subjek penelitian ilmiah ini adalah Pemimpin divisi atau
team PT Global Asia Sinergi yang menerapkan kepemimpinan
digital, serta berhasil mencapai Work-life balance yang baik di
dalam divisi atau timnya
3.1.2 Objek Penelitian
Menurut Sugiyono (2018) objek penelitian merujuk pada atribut
dari orang, obyek, atau kegiatan yang menpunyai variasi khusus
yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan mengambil
kesimpulan berdasarkan kumpulan data yang ada. Adapun objek
penelitian ilmiah ini adalah kepemimpinan digital dalam
implementasi Work-life balance karyawan PT Global Asia Sinergi
41
3.2
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan
memahami gejala-gejala yang tidak memerlukan kuantifikasi. Sugiyono
(2018) mendefenisikan pendekatan kualitatif sebagai suatu pendekatan yang
berakar pada filsafat yang digunakan untuk menyelidiki kondisi ilmiah.
Dalam pendekatan ini, peneliti berfungsi sebagai instrument utama,
sementara teknik pengambilan data dan analisis data bersifat kualitatif, lebih
menekankan pada pengungkapan makna. Pendekatan kualitatif bertujuan
untuk menganalisis dan mendeskripsikan fenomena atau obyek penelitian
melalui pemahaman aktivitas sosial, sikap dan persepsi individu atau
kelompok.
Dalam penelitian ini, peneliti mengadopsi pendekatan kualitatif untuk
menganalisis dan memahami fenomena dan dinamika kepemimpinan digital
dalam mewujudkan Work-life balance karyawan PT Global Asia Sinergi
melalui pemahaman aktivitas sosial, sikap, dan persepsi pemimpin atau
karyawan perusahaan.
3.3
Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan suatu cara pandang yang digunakan untuk
memahami kompleksitas dunia nyata. Dalam penelitian ini, peneliti
mengadopsi paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis merupakan
suatu paradigma yang hampir bertentangan dengan pandangan yang
menekankan pada pengamatan dan objektivitas dalam penemuan realitas
atau ilmu pengetauan.
Paradigma konstruktivis merupakan salah satu perspektif dalam tradisi
sosiokultural. Pandangan ini menyatakan bahwa identitas suatu objek
terbentuk melalui bagaimana kita berbicara tentang objek tersebut, bahasa
yang digunakan untuk mengungkapkan konsep kita, dan adaptasi kelompok
sosial terhadap pengalaman umum mereka. Simbol atau bahasa memainkan
menjadi penting dalam proses pembentukan realitas. Berbagai kelompok
dengan identitas, interpretasi, kepentingan, dan pengalaman yang berbeda
42
berusaha untuk mengungkapkan diri dan pada akhirnya memberikan
kontribusi dalam pembentukan realitas secara simbolik.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme
sebagai suatu cara dalam memandang untuk memahami dan menganalisa
bagaiamana realitas tentang kepemimpinan digital dan Work-life balance di
PT Global Asia Sinergi dibentuk, dipahami, dan didefenisikan oleh berbagai
pihak yang terlibat, termasuk pemimpin, karyawanm dan kelompok lainnya
yang relevan.
3.4
Metode Pengumpulan Data
Menurut
Sugiyono
(2018),
dalam
proses
pengumpulan
data
penelitian,penting untuk melibatkan kondisi yang alamiah, mengandalkan
sumber data primer,dan fokus pada teknik pengumpulan data, terutama
obeservasi berperanserta, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Teknik
pengumpulan data menurut Sugiyono (2018) mencakup observasi,
wawancara, angket dan dokumentasi. Dalam penelitian ini, peneliti memilih
teknik pengumpulan data dengan menggugakan teknik obeservasi,
wawancara dan dokumentasi:
1. Wawancara
Menurut Moleong (2005 dalam Herdiansyah, 2014)
wawancara dapat diartikan sebagai percakapan yang disengaja
antara dua pihak, yaitu pewawancara sebagai pihak yang
mengajukan pertanyaan (interviewer) dan individu yang
diwawancarai sebagai pihak yang memberikan jawaban terhadap
pertanyaan tersebut (respondent). Tujuan dari pelaksanaan
wawancara tidak hanya sebatas untuk memahami suatu fenomena
atau masalah tertentu, tetapi juga ketika peneliti ingin
memperoleh informasi yang detail dan komprehensif dari
respondent (sugiyono, 2019).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode
pengumpulan data yaitu wawancara untuk menggali dan
43
memperoleh informasi yang detail dan komprehensif tentang
bagaimana kepemimpinan digital dan Work-life balance di PT
Global
Asia
Sinergi
dipahami,
diinterpretasikan
dan
diimplementasikan oleh pemimpin dan karyawan.
2. Observasi
Mashall (dalam Sugiyono, 2019) menyatakan bahwa
“through observation, the research learns about behaviour and
the meaning attached to those behaviour”. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa observasi adalah suatu metode yang
digunakan oleh peneliti untuk memahami perilaku dan makna
yang terkait dengan perilaku tersebut.
Dalam penelitian ini, peneliti mengadopsi teknik observasi
sebagai pendukung wawancara. Peneliti tidak hanya membatasi
diri pada pertanyaan, tetapi juga secara aktif mengamati
lingkungan sekitar. Selain itu, selama sesi wawancara, observasi
digunakan untuk mengamati gerak-gerik responden sebagai
bagaian dari analisis mendalam terhadap data yang diperoleh
3. Dokumentasi
Menurut Sugiyono (2019) dokumentasi menjadi pelengkap
dari penggunaan metode wawancara dan observasi dalam
penelitian kualitatif. Hasil penelitian dari metode wawancara dan
observasi
akan
validitasnya
menjadi
apabila
lebih
kredibel
didukung
dengan
dan
meperkuat
sumber-sumber
dokumentasi seperti Sejarah, foto-foto, karya tulis akademik,
profil dan karya seni yang telah ada.
Dalam
penelitian
ini,
peneliti
mengadopsi
teknik
dokumentasi guna memperoleh data terkait dengan para informan
penelitian dan mengabadikan momen-momen yang terjalin dalam
kegiatan PT Global Asia Sinergi.
44
3.5
Teknik Penentuan Informan
Sugiyono (2018) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, sumber
informasi utama adalah informan atau narasumber yang memiliki
keterkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Mereka memiliki
kemampuan untuk menyapaikan informasi yang relevan dan komprehensif
dengan situasi dan kondisis latar belakang penelitian. Dalam penelitian ini
teknik yang digunakan dalam penentuan informan dalam penilitian ini
adalah purposive sampling.
Teknik purposive sampling adalah teknik penentuan informan yang
disesuaikan berdasarkan atribut-atribut khusus yang ditetapkan berdasarkan
tujuan penelitian. Dalam teknik ini, pemilihan informan tidak dilakukan
secara acak, melainkan dengan pertimbangan yang teliti untuk memastikan
bahwa informan yang dipilih memiliki kualifikasi atau karakteristik tertentu
yang relevan dengan fokus penelitian. Dalam penelitian ini, pemilihan
informan dalam penelitian ini didasarkan dengan karakteristik, yaitu: (1)
Pemimpin divisi atau team, (2) Menerapkan kepemimpinan digital, (3)
Bekerja di PT Global Asia Sinergi, (4) Divisi atau teamnya memiliki Worklife balance yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, dalam konteks penelitian ini, informan yang
dipilih untuk memberikan informasi yang relevan dan komprehensif sesuai
dengan fokus penelitian adalah sebagai berikut:
1. Informan Kunci
Informan kunci atau Key Informant adalah perwakilan
kelompok yang menjadi fokus penelitian, yang memiliki
pengetahuan yang lebih mendalam terkait dengan aturan,
rutinitas dan bahasa dalam kelompoknya (Daymon & Holloway,
2002). Adapun key informant penelitian ilmiah ini adalah Windy
Hendwiananda selaku head of product & emerging technologies.
2. Informan
45
Informan adalah individu yang berfungsi dalam memberikan
informasi terkait dengan realitas dan kondisi yang menjadi latar
belakang dalam rumusan masalah penelitian (Moleong, 2006).
Adapun informan penelitian ilmiah ini adalah Edwin Sandhi
sebagai Technical Account Executive dan Misbahul Huda sebagai
Application Developer
3.6
Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Menurut I Made Winartha (2006), metode Analisis Deskriptif
Kualitatif bertujuan untuk menganalisis, menggambarkan, dan merangkum
berbagai kondisi dan situasi dari berbagai data yang dikumpulkan, seperti
hasil wawancara atau observasi mengenai masalah yang diteliti yang terjadi
dilapangan.
Teknik analisis data penelitian kualitatif ini mengadopsi proses analisis
Miles dan Huberman 1992, yang membagi kompenen analisis menjadi tiga
tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, dapat
dilihat pada gambar 3.1.
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan cara untuk mendapatkan
informasi terkait suatu fenomena atau permasalah yang diteliti.
Pencarian, pencatatan, dan pengumpulan hal-hal secara objektif
sesuai dengan hasi wawancara dan observasi di lapangan.
2. Penyajian data
Penyajian data melibatkan presentasi data yang telah disaring
setelah pengumpulan data dilakukan. Tujuan dari penyajian data
adalah untuk menganalisis masalah sehingga memudahkan
pencariaan solusinya. Proses ini juga membantu peneliti dalam
melihat gambaran di lapangan secara tertulis (Rasyad, 2005)
3. Reduksi data
46
Reduksi data mencakup pemilihan dan penyaringan data yang
dihasilkan dari pengumpulan data. Menurut Sugiyono (2018),
proses ini melibatkan pengurangan data, pemilihan faktor kunci,
fokus pada faktor penting yang relevan dengan topik penelitian,
pencarian tema dan pola, dengan tujuan akhir untuk
memberikan gambaran jelas serta memfasilitasi pengumpulan
data tambahan
4. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan tahap penyederhanaan data
dari awal hingga akhir, menghasilkan suatu kesimpulan atau
pokok pikiran. Menurut sugiyono (2018), kesimpulan dalam
penelitian kualitatif dapat mejawab masalah yang telah
dirumuskan
sejak
awal,
namun
bersifat
dinamis
dan
berkembang seiring dengan perkembanga penelitian yang
bersifat praktisi.
Gambar 3.1 Teknik Analisis Data
3.7
Teknik Keabsahan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengecekan dan keabsahan data yang
digunakan adalah teknik triangulasi. Teknik triangulasi didefinisikan oleh
Sugiyono (2015:83) sebagai suatu teknik pengumpulan data yang
melibatkan gabungan berbagai data dan sumber yang telah ada. Lebih
lanjut, Norman K. Dekin menjelaskan bahwa triangulasi data melibatkan
penggabungan berbagai metode untuk mengkaji suatu fenomena tertentu
yang memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya dari berbagai sudut
pandang yang berbeda. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sering
47
menggunakan teknik triangulasi untuk memastikan keabsahan data yang
mereka peroleh.
Dekin mengklasifikasikan teknik triangulasi menjadi empat jenis, yakni
triangulasi metode, triangulasi sumber data, triangulasi teori, dan triangulasi
antar-peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik
triangulasi sumber data untuk menguji validitas dan reliabilitas data yang
diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa informan yang telah
ditentukan sebelumnya. Selain itu, peneliti juga menguji kredibilitas data
yang berasal dari wawancara melalui observasi dan dokumentasi
48
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum PT Global Asia Sinergi
Global Asia Sinergi (GAS) merupakan perusahaan konsultasi TI
yang telah berdiri sejak tahun 2013, didirikan oleh Jul Darmawan, Sim
Bong, dan Teddy Pohan. Perusahaan ini berfokus pada bidang ITSM
(IT Service Management ) dan otomasi, dengan basis operasional di
Jakarta dan Singapura. Sebagai distributor eksklusif untuk Kaseya di
Indonesia, GAS juga menawarkan sejumlah produk lain seperti Uila,
InvGate, Hexnode, Unitrends, dan NeuShield. GAS melayani berbagai
kebutuhan dukungan IT untuk perusahaan, tidak hanya di dalam
negeri, tetapi juga telah memberikan dukungan kepada berbagai
perusahaan di luar negeri.
Layanan yang disediakan oleh Global Asia Sinergi sangat beragam,
antara lain adalah
1. AKAMAI: Layanan keamanan digital yang memberikan solusi
untuk memastikan kelangsungan dan keamanan operasional
perusahaan di era digital yang cepat.
2. Invgate: Solusi Manajemen Layanan TI (ITSM) inovatif dan
komprehensif yang dirancang untuk mengubah cara organisasi
mengelola layanan IT dan operasional dukungan perusahaan.
Dengan fokus kuat pada pengalaman pengguna, efisiensi, dan
otomatisasi.
3. KASEYA: Solusi manajemen dan keamanan yang membantu
mengambil kendali atas infrastruktur IT, mengotomatisasi
tugas, dan mengoptimalkan sumber daya.
4. MiniOrange: Solusi identitas dan manajemen akses untuk
mengamankan dan mengelola identitas pengguna,
49
memungkinkan akses yang lancar ke aplikasi, dan menjamin
perlindungan data.
5. SOCIALWIFI: Solusi interaksi bisnis melalui koneksi Wi-fi
yang stabil dan aman.
6. SOTI: Solusi mobile & Internet of Things untuk
menyederhanakan dan mengoptimalkan operasi bisnis
perusahaan.
7. UILA: Platform AIOps (Artificial Intelligence for IT
Operations) kecerdasan bauta yang dirancang untuk
mengoptimalkan kinerja IT, meningkatkan pengalaman
pengguna, dan secara proaktif menyelesaikan masalah secara
real-time.
4.1.2 Visi dan Misi PT Global Asia Sinergi
•
Visi
Menjadi penyedia layanan Manajemen & Solusi otomasi di
kawasan ASEAN. Kami berkomitmen untuk memberdayakan
bisnis di seluruh ASEAN dengan teknologi inovatif dan
layanan luar biasa yang mengoptimalkan operasi TI. Melalui
pendekatan yang berpusat pada klien, tim ahli, dan solusi
khusus kami, kami bertujuan untuk menjalin kemitraan yang
langgeng dengan organisasi. Bersama-sama, kami berusaha
untuk membuka potensi penuh keunggulan TI dan mendorong
bisnis menuju masa depan yang sukses.
•
Misi
1. Pendahuluan dan Komitmen untuk Keunggulan
2. Membangun Kepercayaan dan Kemitraan
3. Pemimpin dalam Solusi ITSM dan RMM
4. Memberdayakan Pertumbuhan dan Efisiensi
5. Mendorong Transformasi Digital\
50
4.1.3 Struktur PT Global Asia Sinergi
4.1.4 Profil Informan
Pada penelitian ini, peneliti membutuhkan informan yang dapat
membuat suatu pernyataan untuk memberikan bukti bukti yang akurat
dan untuk melengkapi penelitian ini. Peneliti menentukan informan
yang memenuhi kriteria dan yang terikat secara penuh di dalam PT
Globla Asia Sinergi. Berikut profil informan yang melakuakan
wawancara:
1. Key Informan
Nama Informan
: Windy Hendwiananda
Jabatan
: Kepala Divisi Produk dan Emerging
Tempat Wawancara : Global Asia Sinergi
Waktu Wawancara
2. Informan 1
Nama Informan
: 24 Desember 2023
: Edwin Sandhi
Jabatan
: Technical Account Executive
Tempat Wawancara : Kediaman Windy Hendwiananda
Waktu Wawancara
51
: 24 Desember 2023
3. Informan 2
Nama Informan
: Misbahul Huda
Jabatan
: Application Developer
Tempat Wawancara : Kediaman Windy Hendwiananda
Waktu Wawancara
: 24 Desember 2023
4.1.5 Produksi dan Reproduksi Aturan PT Global Asia Sinergi
Berdasarkan hasil wawancara, PT Global Asia Sinergi di bawah
kepemimpinan Windy Hendwiananda sebagai Kepala Divisi Produk
dan Emerging, menjelaskan bahwa dalam proses produksi dan
reproduksi aturan kolaboratif, Windy menggunakan prinsip reward and
punishment dan prinsip buy-in. Prinsip ini merupakan strategi
komunikasi dan kepemimpinan yang bertujuan untuk mendapatkan
keterlibatan aktif dari anggota tim atau karyawan terkait aturan yang
akan diimplementasikan atau memodifikasi yang sudah ada di dalam
perusahaan. Windy Hendwiananda menerapkan prinsip ini untuk
menanamkan rasa memiliki dan keterlibatan aktif dari seluruh tim. Hal
ini bertujuan agar saat implementasi aturan, semua orang dapat
menjalani aturan tersebut dengan baik tanpa adanya rasa tekanan,
karena aturan dianggap memberatkan karyawan.
Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda yang
menjelaskan penggunaan prinsip reward and punishment dan prinsip
buy-in:
“Pertama kali, kalau membuat satu aturan di satu
perusahaan, yang paling penting adalah mesti ngerti prinsip
reward and punishment. Kalau om lebih condong ke reward, bukan
punishment. Ada hukumannya, tapi titik beratnya bukan
dihukuman. Mesti lebih pada ke reward terus. Yang kedua adalah
buy-in untuk satu aturan, supaya orang bisa, semua orang bisa
melakukannya dengan senang, gembira, bahagia, sejahtera. Harus
ada buy-in. Artinya, mereka harus merasa melakukan itu senang,
ada ownershipnya. Kalau misalkan membuat satu aturan, biasanya
ajak mereka ngobrol semua mau, akan lempar satu ide. Eh, lebih
baik kita begini kira-kira. Yang lain, menurut yang lain, di mana
52
itu akan muncul ide baru kan? Nah, dari ide itu, itu pasti bisa
diambil. Dijamin 100 persen bisa diambil ide karena apa itu dari
mereka yang melakukan sendiri di lapangan dan sebagainya.”
(wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka, Jakarta
23 Desember 2024).
Windy Hendwiananda menerapkan prinsip buy-in dengan cara
mengadakan forum diskusi santai, di mana Windy memperkenalkan ide
terkait aturan yang akan diimplementasikan dan mengajukan
pertanyaan kepada timnya mengenai perspektif mereka terhadap aturan
tersebut. Dalam forum diskusi tersebut, terjadi dialog antara anggota
tim, yang dapat memunculkan ide-ide baru yang mungkin lebih baik
daripada ide yang diajukan oleh Windy Hendwiananda.
Namun, pada saat yang sama, Windy Hendwiananda tetap
mempertimbangkan dampak dari ide-ide tersebut terhadap perusahaan.
Jika ada ide yang dianggap dapat memberikan dampak negatif, Windy
akan dengan jujur memberi tahu dan menjelaskan di forum bahwa ide
tersebut mungkin tidak sesuai atau bahkan berpotensi merugikan
perusahaan. Selanjutnya, Windy akan mengajak tim untuk berdiskusi
ulang guna menyesuaikan aturan sehingga dapat memenuhi kebutuhan
baik dari tim maupun perusahaan secara keseluruhan. Pendekatan ini
mencerminkan kerjasama tim dan komunikasi terbuka untuk mencapai
aturan yang sesuai dengan tujuan bersama.
Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda yang
menjelaskan pemimpin sebagai mediator kedua belah pihak:
“Betul, tapi pada saat yang sama, juga om akan berpikir
bahwa, ‘Ok, kira-kira aturan ini ada impact negatif tidak dengan
perusahaan?’ Dengan secara garis besar, kalau emang tidak ada
jalanin, kalau ada, nah, itu maka om akan masuk, dan sisi perusahaan
itu kalau misalnya segini, misalnya itu, kayaknya akan nanti konflik
dengan ini-ini yang mungkin teman-teman di tim tidak tahu. Itulah
gunanya salah satu leader.”
53
(wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka, Jakarta
23 Desember 2024).
Prinsip buy-in tidak hanya terbatas pada penyusunan kebijakan atau
aturan, melainkan juga diterapkan saat memilih teknologi untuk
mendukung
efisiensi
Hendwiananda
aturan
terhadap
tersebut.
berbagai
Keterbukaan
teknologi
Windy
memungkinkan
pengaruhnya dalam pembentukan aturan. Keterbukaan ini pada
akhirnya memberikan dampak pada proses pembentukan aturan dengan
melibatkan
teknologi.
Lebih
lanjut,
Windy
Hendwiananda
menggunakan prinsip buy-in untuk mendorong partisipasi dan
keterlibatan tim dalam melakukan riset terhadap teknologi mana yang
paling efektif dan efisien untuk digunakan dalam menunjang aturan
yang memenuhi kebutuhan tim dan aturan yang berlaku. Dalam konteks
ini, Windy Hendwianda menjadikan Zoom sebagai “kantor kedua”,
menunjukkan bagaimana prinsip buy-in dapat diterapkan dalam
pemilihan teknologi untuk mendukung proses kerja sehari-hari.
Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda yang
menggambarkan penggunaan prinsip
buy-in dalam penerapan
teknologi:
“Itu juga salah satunya, jadi om akan terbuka dengan semua
teknologi baru. Banyak contohnya, misalnya sesimple Om cuma
melempar ide aja ke tim bahwa kayaknya kita perlu bikin suatu list yang
bisa dilihat semua orang di tim kita di situ mengenai status semua
project (Real time). Kira-kira kita pakai tools apa ya? Itu om lempar ke
forum mereka, akan cari wah mendingan pakai ini, pakai Slack aja,
pakai Trello, pakai project pake segala macam. Dari situ idenya oke,
ambil 3 kita sama-sama riset. Risetnya maah enggak lama, sebentar,
kira-kira cocok ke mana. Semua akan coba, mendingan ini enggak bisa,
enggak bisa begini, enggak bisa begini. Oke, ini yang paling bagus, ya
udah kita pakai. Karena dengan begitu, mereka akan commit bahwa
mereka sendiri yang nyari, bukan om yang nyari.”
(wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka, Jakarta
23 Desember 2024).
54
Windy menerapkan aturan "work from anywhere" dari Senin hingga
Kamis dan "work from office" pada hari Jumat, yang muncul karena
penggunaan Zoom dianggap sebagai "kantor kedua". Pengoptimalan
sumber daya teknologi ini tidak hanya terbatas pada urusan internal
perusahaan, seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan dua akun pada
platform Zoom oleh PT Global Asia Sinergi. Akun pertama digunakan
untuk pertemuan internal, secara otomatis aktif dari jam 9 pagi hingga
5:30 sore, sementara akun lainnya digunakan untuk pertemuan
eksternal dengan klien.
Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda tentang PT
Global Asia Sinergi memiliki dua akun zoom:
“Secara company Global Asia Sinergi itu punya 2 akun
Zoom. Yang pertama itu Zoom regular sebagai kantor kedua yang
dibuka dari 8:30 pagi sampai 5:30 sore, dan satu lagi untuk client.”
(wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka, Jakarta
23 Desember 2024).
Penerapan
peraturan
"work
from
anywhere"
oleh Windy
Hendwiananda tidak hanya berhasil meningkatkan efisiensi internal
perusahaan, tetapi juga memberikan tingkat fleksibilitas yang tinggi
kepada karyawan. Kebijakan ini mengizinkan penggunaan Zoom
sebagai "kantor kedua" pada hari-hari tertentu dalam seminggu. Peran
teknologi dalam menunjang kebutuhan tim dan implementasi aturan
tidak hanya terbatas pada WFA, melainkan mencakup hampir semua
aspek pekerjaan.Peran teknologi dalam mendukung kebutuhan tim dan
implementasi aturan di PT Global Asia Sinergi terlihat dari beberapa
aspek, seperti:
1. Collaboration Company-Wide menggunakan Zoho Clip
2. Internal and External Meeting menggunakan Zoom dan
Zoho clip
55
3. Monitoring Employees Work and Team Collaboration
menggunakan Zoho project
4. Client service, Task assignment and Progress monitoring by
clients menggunakan Invgate service desk dan e-ticketing
5. Documents Repository menggunakan Filerun
6. Secure Credentials Repository menggunakan Google Keep
7. Sketch Collaboration menggunakan Excalidraw
8. Diagram Collaboration menggunakan Lucidchart
9. Sandbox Server menggunakan VMWare Esxi 7
10. Cloud Instance menggunakan Linode
11. Finance and Accounting menggunakan Zoho Books
12. Sales and Marketing CRM menggunakan Hubspot
13. Interactive Presentation menggunakan Canva
14. Internal
Tools
(expense/perf
appraisal/visit
report)
menggunakan asiasinergi.com/internal
15. Internal Screen Sharing Collab menggunakan screego.net
16. Asset Management menggunakan Invgate Insight
17. PC/Server Remoting menggunakan MS RDP/Anydesk/VNC
18. Team Collab Discussion menggunakan discord dan WA
Group
19. HR
Management
menggunakan
Hadirr.com
dan
Gadjian.com
20. Repository Source Code Development
menggunakan
Gitlab.com
21. Secure Network Access menggunakan tailscale.com
Tools diatas mencerminkan bahwa PT Global Asia Sinergi
mengoptimalkan penggunaan sumber daya teknologi untuk menunjang
kebutuhan tim serta penerapan aturan yang berlak
4.1.6 Struktur Kekuasaan sebagai Pihak Pengambilan Keputusan dalam
Memperkuat Aturan di PT Global Asia Sinergi
56
Windy Hendiananda, pemimpin divisi Produk dan Emerging di PT
Global Asia Sinergi, menerapkan struktur kekuasaan yang demokratis.
Otoritasnya digunakan dengan melibatkan tim dalam pengambilan
keputusan, terutama untuk keputusan yang melibatkan banyak orang
atau tim. Meskipun memiliki hak veto dan kekuasaan mutlak, Windy
membuka ruang diskusi dan kontribusi dari anggota tim, mencerminkan
pendekatan demokratisnya. Wawancara menggambarkan bahwa
struktur kekuasaan di perusahaan ini memperhitungkan keterlibatan tim
dalam pengambilan keputusan. Windy, meskipun memiliki kendali
mutlak, tetap menerapkan diskusi terbuka dengan tim, terutama untuk
keputusan yang tidak bersifat rahasia atau langsung terkait dengan
direktif
Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda tentang
pemanfaatan kekuasaan:
“Kalau gaya manajemen Om adalah seperti yang dari awal, yaitu
buy-in. Jadi, kalau misalnya ada keputusan yang harus dibuat yang
menyangkut banyak orang atau tim member, biasanya, dan tidak terlalu
rahasia, itu biasanya didiskusikan dan dilempar ke teman-teman untuk
kita coba cari pendapat dan solusi. Karena pasti mendingan begini,
mendingan begitu, tapi yang memutuskan tetap Om, dari sekian
banyak. Jadi, kayak tetap punya hak veto. Berarti, Om tetap otoritas.
Tapi, balik lagi, tidak serta-merta bahwa keputusan itu adalah
keputusan dari Om sendiri, kecuali yang tadi bentuknya konfidensial,
terus tidak menyangkut langsung ke direktif, itu mungkin langsung
tanpa komunikasi ke member tim, itu Om keputusannya.”
(wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka, Jakarta
23 Desember 2024)
Hak veto Windy menegaskan kekuasaannya, sementara keputusan
diambil melalui kolaborasi aktif, memperkuat gambaran bahwa struktur
kekuasaan hadir di dalam perusahaan dan membimbing proses
pengambilan keputusan.menciptakan kolaborasi yang mencerminkan
dinamika kekuasaan dalam membimbing proses pengambilan
keputusan.
57
Pentingnya struktur kekuasaan ini tercermin dalam implementasi
prinsip buy-in, di mana keputusan tidak hanya berasal dari pemimpin
sendiri, melainkan melibatkan partisipasi aktif dari anggota tim. Proses
ini menunjukkan bahwa kekuasaan tidak bersifat unilateral, melainkan
merupakan hubungan dua arah antara pemimpin dan karyawan.
Dalam konteks pengambilan keputusan yang melibatkan banyak orang,
forum diskusi terbuka menjadi sarana untuk mencari pendapat dan
solusi bersama. Konsep demokratis ini memungkinkan berbagai sudut
pandang diperhitungkan, sehingga keputusan yang diambil menjadi
lebih matang.
Struktur kekuasaan yang diterapkan oleh Windy juga menciptakan
kondisi di mana karyawan merasa dihargai dan diakui. Penerapan
prinsip buy-in tidak hanya sekadar formalitas, tetapi menciptakan rasa
saling menghargai antara pemimpin dan anggota tim. Dengan
demikian, keputusan yang diambil tidak berpihak pada satu entitas,
namun berpihak kepada kedua entitas, yakni perusahaan dan karyawan
Dalam aspek teknis, Windy menggunakan berbagai alat seperti tiket dan
portal
tiket
untuk
memonitor
pekerjaan
karyawan.
Hal
ini
mencerminkan upaya untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas
dalam pelaksanaan tugas-tugas individu. Meskipun demikian, aspek
teknis ini juga diimbangi dengan pendekatan humanis, di mana Windy
membangun interaksi dengan karyawan melalui pertemuan mingguan
dan grup WhatsApp, menciptakan lingkungan kerja yang terbuka dan
mendukung.
Lebih lanjut, dalam aspek yang lebih interpersonal Windy
Hendwiananda juga menggunakan metode situasional leadership, yang
terbagi menjadi empat tahapan (four stages): directing, coaching,
supporting,
delegating.
Metode
ini
digunakan Windy
untuk
mengadaptasi cara komunikasi yang efektif sesuai dengan tahapan
perkembangan setiap anggota tim.
58
Secara keseluruhan, wawancara dengan Windy Hendwiananda
menyoroti bahwa struktur kekuasaan yang seimbang dan demokratis
menjadi dasar penting dalam membimbing proses pengambilan
keputusan di dalam organisasi dan arah tujuan sesuai dengan visi misi
perusahaan. Hal ini menciptakan kolaborasi yang kuat antara pemimpin
dan anggota tim, dengan tujuan mencapai keseimbangan antara
kebutuhan perusahaan dan karyawan, serta menciptakan lingkungan di
mana setiap individu merasa dihargai dan dapat berkembang, baik dari
segi hardskill maupun softskill.
4.1.7 Kesadaran Aktif Seorang Pemimpin PT Global Asia Sinergi Terhadap
Teknologi Digital
Windy Hendwiananda menunjukan upaya menjaga relevansi
perusahaan terhadap perkembangan teknologi dengan giat mencari dan
mengumpulkan informasi
terbaru. Windy
menggunakan
tools
information gathering untuk memfasilitasi pengumpulan informasi
terkini seputar teknologi. Hasil informasi yang berhasil dikumpulkan
olehnya kemudian disampaikan melalui saluran komunikasi internal
perusahaan, yang berfungsi sebagai wadah list berisi perkembangan
terbaru dalam dunia teknologi. Dengan pendekatan ini, Windy
memastikan bahwa seluruh tim dapat dengan efisien mengakses dan
berbagi informasi terkini, sehingga perusahaan tetap dapat beradaptasi
dengan perubahan teknologi yang dinamis.
Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda
menjelaskan upaya menjaga relevansinya:
“Dulu, untuk mencari informasi tentang IT, hal yang baru itu
masih gampang. Cycle-nya itu masih bisa, paling tidak mungkin 6
bulan sekali baru ada teknologi baru. Begitu sampai kesini, 6
bulannya mulai surut nih, jadi 5 bulan, jadi 4 bulan, 3 bulan, 2
bulan. Sekarang, seminggu sekali muncul yang baru. Kalau tidak
update, itu akan ketinggalan, kehilangan relevansi betul. Tapi
dengan sekian banyak yang baru, nggak mungkin dong kalau
misalnya cekin satu-satu bisa dapat. Jadi, Om punya satu tools.
59
Tools itu yang akan collect semua informasi, apa pun itu, juga
mengenai hal yang baru. Dan Om tinggal setiap hari buka aja tools
itu, "Oh, nggak ada yang baru ini, baru-baru ini, nggak lihat aja
kira-kira mana yang relevan." Dan tools itu tidak selalu cuma
teknologi, ada hal baru juga. Tapi memang mostly teknologi.
(wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka,
Jakarta 23 Desember 2024).
Windy Hendwiananda turut menerapkan "kewajiban yang tidak tertulis"
di timnya, mendorong setiap anggota untuk secara aktif memperbarui
perkembangan teknologi terbaru dan membagikannya melalui saluran
komunikasi perusahaan. Langkah ini diambil karena kesadaran bahwa
dengan dinamika perkembangan teknologi yang cepat saat ini, upaya
pencarian yang dilakukan oleh satu orang saja mungkin tidak akan
memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu, Windy menciptakan
budaya di mana setiap individu di tim memiliki tanggung jawab untuk selalu
mengikuti dan memahami perkembangan terbaru dalam dunia teknologi.
Dengan melibatkan seluruh tim, informasi tentang teknologi baru dapat
lebih efektif dikumpulkan dan didistribusikan, sehingga memastikan bahwa
perusahaan tetap terhubung dengan inovasi-inovasi terkini yang dapat
memberikan dampak positif pada operasional dan pertumbuhan perusahaan.
Berikut ini adalah pernyataan dari Windy Hendwiananda menjelaskan
kewajiban tidak tertulis:
“Semua orang, semua orang itu punya—bisa dibilang punya—kewajiban,
walaupun tidak tertulis. Jadi, kalau cuma satu orang yang mencari, itu
belum tentu dapat, belum tentu semuanya. Apalagi dengan sebanyak IT
seperti sekarang, ya, jadi semua orang punya kewajiban yang tidak tertulis
karena passion mereka. Mereka akan selalu mencari teknologi baru, semua,
tidak terkecuali. Dan kalau misalnya ada yang baru, itu mereka masukkan
di channel kita. "Ini ada yang baru nih, gini-gini-gini, ini kayaknya lucu
juga nih kalau dipakai buat ini—perkara mau dipakai atau tidak—semua
belakangan.”
(wawancara dengan Windy Hendwiananda secara tatap muka, Jakarta 23
Desember 2024).
60
Kesadaran aktif Windy Hendwiananda terhadap teknologi digital dan
upaya lebih untuk beradaptasi telah memberikan peluang untuk suatu
teknologi baru dievaluasi dan diimplementasikan di dalam perusahaan.
Windy menekankan pentingnya evaluasi mutu teknologi sebelum
diimplementasikan di perusahaan. Dalam konteks ini, evaluasi dilakukan
dengan mempertimbangkan beberapa aspek, seperti potensi penggunaan
teknologi untuk kebutuhan internal perusahaan atau untuk dijual di pasar.
Selain itu, pemimpin harus mempertimbangkan aspek finansial, dampak
pada pelanggan, dan potensi kompleksitas yang mungkin timbul. Windy
melakukan hal tersebut dalam upaya menjaga keseimbangan antara inovasi
teknologi dan keberlanjutan bisnis, dengan memastikan bahwa teknologi
yang diadopsi memiliki dampak positif dan dapat memberikan nilai tambah
bagi perusahaan.
4.2
Pembahasan
4.2.1 Hubungan Hasil Penelitian dengan Teori Adaptive Structuration: Peran
Kepemimpinan Digital Dalam Konteks Menjaga Work-life balance
Karyawan
Work-life balance atau keseimbangan antara pekerjaan dan
kehidupan adalah kemampuan individu untuk menjaga keseimbangan
antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, menciptakan kondisi di mana
mereka dapat memenuhi tanggung jawab pekerjaan dan kehidupan diluar
konteks pekerjaan, serta meraih kenyamanan untuk memenuhi tanggung
jawab tersebut. Konsep mengenai Work-life balance berkaitan dengan
penentuan prioritas yang tepat antara tuntutan pekerjaan dan aspek
kehidupan lainnya, seperti pengelolaan waktu luang, keluarga, dan
pengembangan spiritual.
Konsep mengenai Work-life balance menjadi penanda sejauh mana
seorang karyawan mengalami pemenuhan kebutuhan mereka. Hal ini
mencakup aspek-aspek yang terkait dengan pekerjaan, sekaligus
mempertimbangkan kebutuhan individu yang bersifat lebih personal dan
melibatkan ranah kehidupan lainya. Dalam konteks ini, terdapat
61
indikator – indikator untuk menilai sejauh mana individu dapat mencapai
keseimbangan antara kewajiban pekerjaan dan kehidupan pribadi, yaitu
keseimbangan waktu (Time Balance), keseimbangan keterlibatan
(Involvement Balance), kesimbangan kepuasan (Sastification Balance).
PT Global Asia Sinergi sebagai perusahaan konsultasi IT yang
berfokus pada bidang ITSM (IT Service Management ) dan otomasi,
menunjukkan komitmen terhadap pemenuhan indikator-indikator Worklife balance melalui strategi kepemimpinan yang adaptif dan komunikasi
yang efektif. Hasil wawancara dengan Windy Hendwiananda, Kepala
Divisi Produk dan Emerging, mengungkapkan strategi kepemimpinan
adaptif nya dengan menerapkan prinsip reward and punishment dan buyin. dengan demikian, aturan yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan
perusahaan, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan karyawan,
menciptakan lingkungan di mana seluruh tim dapat dengan baik
menerima aturan perusahaan.
Windy Hendwiananda, Kepala Divisi Produk dan Emerging di PT
Global Asia
Sinergi,
mengimplementasikan
metode
situational
leadership sebagai pendekatan dalam menyesuaikan cara komunikasi
yang efektif sesuai dengan kebutuhan individu di setiap tahap
perkembangan anggota timnya. Pendekatan ini memperkuat hubungan
interpersonal, memastikan bahwa setiap anggota tim mendapatkan
komunikasi yang sesuai dengan situasi dan tahap perkembangannya
dalam mencapai tujuan bersama.
4.2.1.1 Produksi dan Reproduksi Aturan dalam Implementasi Worklife balance PT Global Asia Sinergi Melalui Perspektif
Adaptive Structuration Theory
Pembahasan ini didasari pada asumsi pertama dari Adaptive
structuration theory yang menyatakan bahwa kelompok atau
perusahaan diproduksi dan direproduksi melalui aturan dan
sumber daya. Dalam konteks ini, Windy Hendwiananda
menggunakan
Prinsip
62
buy-in
sebagai
strategi
untuk
menghasilkan aturan baru atau memodifikasi yang sudah ada.
Proses pembuatan aturan terjadi melalui forum diskusi
terbuka, memfasilitasi interaksi, dinamika komunikasi, dan
munculnya ide-ide baru dari anggota tim sebagai dasar utama
produksi dan reproduksi aturan
Penerapan Prinsip Buy-In oleh Windy Hendwiananda
sesuai dengan teori strukturasi Giddens, yang menyatakan
bahwa struktur tidak hanya dianggap sebagai kekangan
(constraint) tetapi selalu sebagai mengekang (constraining)
dan
membebaskan
(enabling).
Dalam
konteks
ini,
Hendwiananda membentuk aturan dan keputusan melalui
forum diskusi, yang tidak hanya berfungsi sebagai pembatas
tetapi juga menciptakan ruang bagi keterlibatan aktif dan
partisipasi
dari
anggota
tim,
menciptakan
kondisi
pemberdayaan. Dengan demikian, Prinsip buy-in yang
diterapkan bukan hanya sebagai alat untuk membentuk suatu
aturan yang mengikat di dalam organisasi tetapi juga sebagai
medium yang membebaskan kreativitas dan partisipasi tim,
menggambarkan dinamika kompleks antara struktur dan
agensi sebagaimana dijelaskan oleh Teori Strukturasi Giddens.
Aturan yang dibentuk akan berdampak pada keseimbangan
kerja-hidup karyawan karena. penggunaan prinsip buy-in akan
berpengaruh pada pemenuhan indikator work-life balance,
khususnya keseimbangan keterlibatan (Involvement Balance)
dan kesimbangan Kepuasan (Satisfaction Balance). Dalam
skenario ini, prinsip buy-in mendorong karyawan untuk aktif
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan tanpa
adanya intervensi yang berlebihan dari seorang pemimpin, dan
prinsip ini akan berdampak positif terhadap aktualisasi diri
karyawan. Karyawan akan merasa terlibat dan dihargai
63
partisipasinya, yang pada akhirnya dapat memenuhi indikator
kesimbangan kepuasan (Satisfaction Balance).
Windy Hendwiananda terbuka terhadap berbagai teknologi,
memungkinkan teknologi tersebut mempengaruhi aturan yang
ada dan kesimbangan hidup-kerja karyawan. Dalam skenario
ini, Hendwiananda menerapkan aturan "work from anywhere"
dari Senin hingga Kamis dan "work from office" pada hari
Jumat. Aturan ini muncul karena penggunaan Zoom sebagai
"kantor kedua". Pengoptimalan sumber daya teknologi ini
tidak hanya terbatas pada urusan internal perusahaan,
sebagaimana ditunjukkan oleh penggunaan dua akun pada
platform Zoom oleh PT Global Asia Sinergi; akun pertama
digunakan untuk pertemuan internal, secara otomatis aktif dari
jam 9 pagi hingga 5:30 sore, dan akun lainnya digunakan untuk
pertemuan eksternal dengan klien.
Penerapan peraturan "work from anywhere" yang diterapkan
oleh Windy Hendwiananda tidak hanya berhasil meningkatkan
efisiensi internal perusahaan, tetapi juga memberikan tingkat
fleksibilitas yang tinggi kepada karyawan. Kebijakan untuk
menggunakan zoom sebagai “kantor kedua” pada hari-hari
tertentu dalam seminggu mencerminkan respons positif
terhadap kemajuan teknologi. Dampak positif dari kebijakan
ini terlihat pada pemenuhan indikator keseimbangan waktu
(Time Balance) di antara karyawan, karyawan memiliki
kebebasan untuk mengelola dan mengalokasikan waktu
mereka antara pekerjaan dan kegiatan diluar pekerjaan.
Peraturan ini mencerminkan pengoptimalan sumber daya
teknologi mendukung kesejahteraan karyawan.
Peran peraturan yang melibatkan teknologi tidak berhenti
pada WFA saja, namun hampir semua aspek pekerjaan seperti
komunikasi virtual di dalam tim yang menggunakan berbagai
64
tools, seperti Zoho Cliq dan Grup Whatsapp; pemantauan
pekerjaan karyawan dan kolaborasi tim dalam proyek yang
dijalankan melalui Zoho Project; pelayanan klien dan
penanganan aduan error yang memanfaatkan Invgate Service
Desk serta pembagian pekerjaan dan pemantauan progress
oleh klien yang menggunakan E-ticketing dan Invgate Service
Desk.
Lebih lanjut, Windy Hendwiananda meyakini bahwa di luar
konteks
pekerjaan,
setiap
individu
memiliki
dimensi
kehidupan lain yang tidakk kalah penting. Keyakinan ini
mendorongnya menyadari bahwa, dalam konteks pekerjaan,
Kesehatan karyawan jauh lebih penting daripada pekerjaan itu
sendiri. Pandangan ini telah menciptakan tindakan preventif
untuk menghadapi ketidakpastiaan. Dalam skenario ini, Windy
Hendiana memiliki kriteria minimun dalam tim nya; setiap
individu harus memiliki skill set yang sama; semua tahu
menggunakan teknologi yang sama. Sebagai hasilnya, ketika
karyawan menghadapi hambatan terkait aturan yang telah
diimplementasikan, seperti karyawan yang berhalang hadir,
terdapat banyak backup plan untuk menghadapi masalah
tersebut, sehingga karyawan dapat leluasa menjalankan
kegiataannya diluar pekerjaan tanpa adanya intervensi dari
perusahaan dan tim dapat berkerja dengan baik tanpa
hambatan yang berarti.
4.2.1.2 Aturan Komuikasi Sebagai Medium dan Hasil interaksi
implementasi Work-life balance PT Global Asia Sinergi
Melalui Adaptive Structuration Theory
Pembahasan ini didasari pada asumsi kedua dari Adaptive
Structuration Theory yang menyatakan bahwa aturan
komunikasi memiliki berperan ganda, yaitu sebagai medium
atau alat yang digunakan dalam interaksi. Aturan ini
65
menciptakan jawaban atas pertanyaan dimana anggota
kelompok berinteraksi dan juga menciptakan norma-norma
dan batasan yang memandu bagaiamana anggota kelompok
bertinteraksi.aturan komunikasi juga akan berperan sebagai
hasil interaksi, karena dengan terciptanya norma-norma dan
batasan hal ini akan mempengaruhi bagaimana suatu
kelompok itu berinteraksi. Interaksi ini merupakan respon
terhadap norma-norma yang sudah ada di dalam kelompok.
Dalam skenario ini, Windy Hendiananda menerapapkan
prinsip buy-in dalam kepemimpinannya, yang dimana aturan
di dalam prinsip buy- in ini adalah kolaborasi atau keterlibatan
aktif karyawan adalah hal yang penting. Aturan yang
memandang bahwa karyawan dan pemimpin memiliki suara
yang sama, dan hak berbicara yang sama tanpa adanya
interupsi, aturan ini kemudian dijadikan medium saat tim
berkomunikasi dan berinteraksi secara daring maupun luring,
serta aturan ini menjadi hasil atau produk dari interaksi,
dimana ketika anggota yang berbicara, tim akan mengetahui
dan mengenali bahwa penting untuk memberikan hak bicara
yang adil kepada setiap anggota.
Windy Hendwiananda menggunakan metode situational
leadership untuk pendekatan yang lebih interpersonal. Dalam
penggunaan situational leadership yang terbagi dalam empat
tahapan, Windy menjelaskan bagaimana aturan komunikasi
menjadi medium yang penting untuk memadu interaksi antara
pemimpin dan anggota. Setiap tahapan memiliki kebutuhan
aturan komunikasi yang berbeda, mulai dari komunikasi yang
sangat jelas dan spesifik pada tahap directing hingga
kepercayaan penuh dengan memberikan jawab pada tahap
delegating.
66
Aturan komunikasi dalam hal ini berperan sebagai pedoman
yang mengarahkan bagaimana interaksi dan komunikasi harus
dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangan individu
dalam tim. Aturan komunikasi tidak hanya berperan sebagai
medium untuk mengistruksikan tugas, tetapi juga sebagai alat
untuk memahami tahapan perkembangan masing-masing
individu dalam tim, memberikan dukungan, dan memastikan
keseimbangan yang baik antara memberikan arahan dan
memberikan otonomi (kebebasan).
Selain itu, dalam wawancara tersebut, terlihat bahwa aturan
komunikasi juga menjadi hasil dari interaksi tersebut. Dengan
menjalankan metode situational leadership, aturan komunikasi
yang efektif terbentuk secara alami sebagai respon terhadap
kebutuhan dan tahapan perkembangan individu dalam tim.
Metode situational leadership yang diterapkan oleh Windy
mencerminkan
keahliannya
dalam
menyesesuaikan
pendekatan komunikasi interpersonal yang efektif sesuai
dengan tahapan perkembangan individu di dalam tim.
Penerapan metode kepemimpinan situasional oleh Windy
secara tidak langsung memberikan dukungan terhadap
keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan karyawan
dengan mencegah terjadinya burn-out melalui penyesuaian
strategi dalam berkomunikasi. Saat karyawan berada pada
tahap directing, Windy menggunakan komunikasi yang
spesifik dan jelas, bertujuan untuk mengurangi kemungkinan
kesalahan dalam pelaksanaan tugas akibat ketidaktahuan
karyawan. Di sisi lain, pada tahap delegating, Windy
memberikan kepercayaan penuh kepada karyawan tanpa
intervensi langsung, sambil menggunakan komunikasi yang
bersifat mendukung untuk memfasilitasi perkembangan
karyawan pada tahap tersebut. Pendekatan ini tidak hanya
67
bertujuan untuk menghindari kelelahan dan kejenuhan
karyawan, tetapi juga memastikan bahwa komunikasi efektif
dan mendukung diterapkan sesuai dengan kebutuhan masingmasing situasi karyawan.
Pemanfaatan metode kepemimpinan situasional secara
tidak langsung turut memenuhi salah satu indikator
keseimbangan
kehidupan
kerja,
yakni
keseimbangan
kepuasan. Hal ini tergambar dari perkembangan karyawan
melalui berbagai tahapan. Pencapaian tahap delegasi dianggap
sebagai
indikator
kepuasan
karena
mencerminkan
kepercayaan penuh terhadap anggota tim, memberikan
tanggung jawab sepenuhnya tanpa intervensi langsung.
Keberhasilan mencapai tahap ini diartikan bukan hanya
sebagai kepuasan penyelesaian tugas, melainkan juga dari
perkembangan soft skill dan hard skill karyawan yang terus
berkembang. Dengan demikian, pendekatan ini tidak hanya
mengoptimalkan keseimbangan kehidupan kerja, tetapi juga
meningkatkan kepuasan karyawan melalui pengembangan
individu.
4.2.1.3 Struktur Kekuasaan sebagai Pihak Pengambilan Keputusan
dalam Memperkuat Implementasi Work-life balance PT
Global Asia Sinergi Melalui Perspektif Adaptive Structuration
Theory
Pembahasan ini didasari pada asumsi ketiga dari Adaptive
Structuration Theory yang menyatakan bahwa struktur
kekuasaan hadir didalam organisasi dan membimbing proses
pengambilan Keputusan, menyediakan informasi strategis
untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam skenario ini, Windy
Hendiananda, sebagai Kepala Divisi Produk dan Emerging,
menggunakan gaya kepemimpinan yang diterapkan di
divisinya melibatkan Keputusan yang demokratis (Hal ini
68
dapat terlihat dalam penggunaan prinsip buy-in). Meskipun
windy memiliki kekuasaan mutlak (hak Veto), pendekatan
demokratis tetap di junjung tinggi, dimana Keputusan yang
menyangkut banyak orang dibahas secara terbuka melalui
forum diskusi bersama tim. Meskipun windy tetap memiliki
hak veto, Keputusan yang diambil melalui kolaborasi tim,
mencerminkan interaksi kekuasaan hadir dan membimbing
proses pengambilan Keputusan.
Struktur kekuasaan sebagai pihak pengambilan keputusan
dalam memperkuat suatu aturan didefinisikan oleh Windy
Hendiananda melalui pandangan bawah konsep kekuasaan
didalam perusahaan adalah hubungan dua arah antara
pemimpin dan karyawan expisilit ketika Windy mengatakan
“Pada saat lo jadi pemimpin, hidup lo itu untuk anggota lo”.
Hal ini menjelaskan bahwa pemimpin adalah pihak yang
memberikan keputusan final karena memiliki informasi yang
lebih menyeluruh tentang permasalahan yang ada, serta
memiliki hak veto, namun hal ini tidak menutup bahwa
karyawan juga memiliki kuasa atau power untuk ikut serta
dalam pengambilan keputusan tersebut.
Penerapan prinsip buy-in oleh Windy Hendwianda
menciptakan aturan dan Keputusan melalui forum diskusi
terbuka,
sejalan
dengan
asusmi
pertama
Adaptive
Structuration Theory, bahwa kelompok atau perusahaan
diproduksi dan direproduksi melalui aturan dan sumber daya.
Ini menciptakan kondisi di mana aturan baru dihasilkan atau
aturan yang sudah ada dimodifikasi, mencerminkan dualitas
antara karyawan dan perusahaan.
Dengan menerapkan Prinsip Buy-In, Windy memastikan
bahwa keputusan yang diambil sejalan dengan visi, misi, dan
tujuan perusahaan. Pandangannya ini sejalan dengan asumsi
69
ketiga teori, bahwa struktur kekuasaan di organisasi
membimbing proses pengambilan keputusan untuk mencapai
tujuan dan memperkuat aturan tersebut. Dalam skenario ini,
pengoptimalan teknologi yang ide nya datang dari karyawan,
diberlakukan sebagai aturan oleh Windy Hendiananda selaku
pihak yang memberikan keputusan final seperti pemberlakuan
zoom sebagai kantor kedua.
4.2.2
Hubungan Hasil Penelitian dengan Model E-Leadership
Communication Adaption: Keterkaitan Kepemimpinan Digital dalam
Konteks Pengoptimalan Sumber Daya Teknologi
Pertumbuhan teknologi informasi yang pesat telah memberikan dampak
signifikan pada seluruh aspek kehidupan, termasuk bagaimana
kepemimpinan dijalankan di dalam perusahaan agar pemimpin dapat
beradaptasi dengan perkembangan jaman. Kepemimpinan tidak lagi
hanya berfokus pada pengelolaan sumber daya manusia, melainkan juga
menuntut kemampuan untuk beradaptasi dan mengimplementasikan
pertumbuhan teknologi. Perubahan ini membawa transformasi pada
konsep kepemimpinan tradisional, menjadi apa yang dikenal sebagai
kepemimpinan digital. Kepemimpinan digital tetap bertujuan mencapai
tujuan yang sama dengan kepemimpinan tradisional, namun dengan
memanfaatkan teknologi informasi sebagai alat bantu utama.
Terdapat model yang digunakan dalam mencapai tingkat adopsi
teknologi yang optimal secara individual, yaitu
E-Leadership
Communication Adaption Model atau ECAM. Model ini menjelaskan
bahwa untuk mencapai tingkat adopsi teknologi secara individu, seorang
pemimpin perlu memiliki intensi atau keinginan kuat untuk
menggunakan teknologi digital. Intensi tersebut berasal dari tiga aspek
kunci, yaitu kesadaran aktif terhadap teknologi, evaluasi kualitas
teknologi, dan keinginan untuk melakukan usaha lebih.
Windy Hendwiananda, Kepala Divisi Produk dan Emerging di PT
Global Asia Sinergi, menjadi contoh nyata yang menunjukkan intensi
70
yang kuat dalam menjaga relevansi perusahaan terhadap perkembangan
teknologi. Beliau menunjukkan komitmen dengan memenuhi aspekaspek yang diuraikan dalam model ECAM, termasuk kesadaran terhadap
teknologi, evaluasi kualitas teknologi, dan keinginan untuk melakukan
usaha lebih.
4.2.2.1 Kesadaran Aktif Seorang Pemimpin Terhadap Teknologi
Digital Melalui Perspektif E-Leadership Communication
Adaption Model
Pembahasan ini didasarkan pada aspek penting dalam model
ECAM, yaitu kesadaran aktif terhadap teknologi digital.
Dalam konteks ini, Windy Hendwiananda, Kepala Divisi
Produk dan Emerging di PT Global Asia Sinergi, menunjukkan
kesadaran aktif terhadap teknologi dengan menggunakan alat
pengumpulan informasi untuk memfasilitasi pengumpulan
informasi terkini seputar teknologi. Hasil informasi yang
berhasil dikumpulkan olehnya kemudian disampaikan melalui
saluran komunikasi internal perusahaan, berfungsi sebagai
platform berisi perkembangan terbaru dalam dunia teknologi.
Dengan cara ini, Windy memastikan bahwa ia tetap mengikuti
setiap perkembangan yang terjadi dalam ranah teknologi.
Kesadaran aktif ini juga ditularkan kepada tim yang
dipimpinnya dengan menerapkan suatu kewajiban yang tidak
tertulis di timnya. Kewajiban ini merupakan suatu tanggung
jawab di mana seluruh anggota tim harus secara aktif
mengikuti perkembangan teknologi dan membagikannya
melalui saluran komunikasi perusahaan. Kewajiban ini
didasarkan pada kesadaran Windy bahwa dengan pesat dan
massifnya perkembangan teknologi, upaya pencarian yang
dilakukan oleh satu orang tidak akan memberikan hasil yang
optimal.
71
Melalui pendekatan ini, Windy Hendwiananda tidak hanya
menjaga
relevansinya
dalam
menghadapi
dinamika
perkembangan teknologi, tetapi juga menciptakan lingkungan
di mana kesadaran aktif terhadap teknologi menjadi nilai yang
diterapkan secara kolektif. Dengan demikian, kesadaran aktif
ini bukan hanya menjadi prinsip individu, tetapi juga menjadi
fondasi bagi timnya untuk tetap relevan dan responsif terhadap
perkembangan teknologi yang terus berkembang.
4.2.2.2 Evaluasi Mutu Teknologi Digital di dalam perusahaan Melalui
Perspektif E-Leadership Communication Adaption Model
Pembahasan ini didasarkan pada aspek penting dalam model
ECAM, yaitu evaluasi kualitas pada teknologi digital. Dalam
konteks ini, Windy Hendwiananda dan timnya melakukan riset
terhadap teknologi mana yang paling efektif dan efisien untuk
mendukung kebutuhan tim. Evaluasi dilakukan dengan
mempertimbangkan
beberapa
aspek,
seperti
potensi
penggunaan teknologi untuk kebutuhan internal perusahaan
atau untuk dijual di pasar. Selain itu, pemimpin harus
mempertimbangkan aspek finansial, dampak pada pelanggan,
dan potensi kompleksitas yang mungkin muncul. Windy
melakukan hal tersebut dalam upaya menjaga keseimbangan
antara inovasi teknologi dan keberlanjutan bisnis, dengan
memastikan bahwa teknologi yang diadopsi memiliki dampak
positif dan dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
Melalui
pendekatan
evaluasi
mutu
ini,
Windy
Hendwiananda tidak hanya mengutamakan aspek teknis dari
suatu teknologi, tetapi juga memperhatikan implikasinya
terhadap berbagai aspek bisnis. Evaluasi yang komprehensif
tersebut memastikan bahwa teknologi yang dipilih bukan
hanya memenuhi kebutuhan tim secara efektif, tetapi juga
sesuai dengan strategi keseluruhan perusahaan. Dengan
72
demikian, keputusan terkait adopsi teknologi menjadi lebih
terinformasi dan terarah, mendukung visi perusahaan untuk
inovasi berkelanjutan dan pertumbuhan yang berkelanjutan.
4.2.2.3 Fighting
Spirit
seorang
pemimpin
perusahaan
dalam
Beradaptasi dengan Teknologi Digital Melalui Perspektif ELeadership Communication Adaption Model
Pembahasan ini didasarkan pada aspek penting dalam model
ECAM, yaitu keinginan untuk melakukan usaha lebih. Dalam
konteks ini, Windy Hendwiananda menyatakan bahwa
teknologi adalah passionnya, dan salah satu cara untuk
beradaptasi dengan perkembangan teknologi selain dengan
aktif mencari dan mencoba teknologi baru adalah belajar
teknologi tersebut. Windy juga menegaskan bahwa begadang
untuk belajar dengan teknologi baru merupakan bagian dari
semangatnya, karena teknologi menjadi sumber kegembiraan
dan minat baginya. Semangat ini mendorongnya untuk
melakukan
usaha
mempertahankan
lebih,
seperti
relevansinya
begadang,
guna
terhadap
perkembangan
Windy
Hendwiananda
teknologi terbaru.
Dengan
semangat
tersebut,
menunjukkan komitmen dan keinginan untuk terlibat secara
aktif dalam pengembangan pengetahuan dan keterampilan
teknologi. Upaya begadang untuk belajar bukan hanya
menjadi rutinitas, tetapi juga menjadi manifestasi nyata dari
keinginan untuk melakukan usaha lebih agar terus mengikuti
perkembangan teknologi. Dalam aspek penting model ECAM,
keinginan ini menjadi salah satu poin kunci yang mendukung
pemimpin dalam mencapai tingkat adopsi teknologi yang
optimal secara individual.
73
4.2.3
Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian-Penelitian Terdahulu
4.2.3.1 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian yang berjudul
“Organizational Communication towards Work-life balance in
Achieving Working Homeostatic at JOOX Indonesia”
Penelitian
terdahulu
yang
berjudul
“Organisational
communication towards Work-life balance in achieving working
homeostatic at JOOX Indonesia” mengungkapkan beberapa temuan
terkait komunikasi internal dan implementasi keseimbangan kerjahidup di JOOX Indonesia. Beberapa aspek yang ditemukan termasuk
efektivitas komunikasi internal, implementasi work-from-home
(WFH), kontrol organisasi terhadap alur kerja, serta dampaknya
terhadap keseimbangan kerja-hidup karyawan.
Komunikasi
menunjukkan
internal
bahwa
dalam
meskipun
penelitian
JOOX
terdahulu
Indonesia
telah
mengimplementasikan proses komunikasi internal dengan baik,
terdapat tantangan terutama dalam aspek work-from-home (WFH).
Misalnya, ada kesulitan dalam mendistribusikan informasi secara
efektif selama komunikasi internal online. Beberapa karyawan juga
mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan WFH dikarenakan
miscommunication dalam menerima arahan baru.
PT Global Asia Sinergi di bawah kepemimpinan Windy
Hendwiananda menerapkan metode situasional leadership sebagai
langkah preventif untuk menghindari terjadi nya miscommunication.
Windy memahami Windy memahami bahwa setiap individu dalam
tim memiliki tahapan perkembangan yang berbeda. Oleh karena itu,
metode ini digunakan untuk memilih komunikasi yang efektif sesuai
dengan kebutuhan masing-masing individu dalam tim.
Kontrol organisasi terhadap alur kerja dalam penelitian
terdahulu menunjukan bahwa Joox Indonesia memiliki tugas harian
yang telah diatur dalam alur kerjanya. Namun, beberapa karyawan,
terutama yang berdapa di divisi penjualan, mengalami kesulitan
74
dalam menjalani kehidupan pribadi mereka karena distribusi tugas
yang tidak merata dan pekerjaan serta jadwal yang fleksibel dengan
klien.
PT Global Asia Sinergi di bawah kepemimpinan Windy
Hendwiananda
menerapkan
kebijakan
yang
memanfaatkan
teknologi untuk mengatasi distribusi tugas yang tidak merata dengan
menggunakan E-ticketing dan Invigate service desk. hal ini
ditunjang
dengan
pandangan
Windy
Hendwiananda
yang
menitikberatkan kesehatan tim diatas pekerjaan atau tugas itu
sendiri.
Kedua aspek di atas menjadi pemicu ketidakmerataan dalam
keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Terutama di
tingkat manajerial dan di atasnya, terdapat persepsi bahwa mereka
memiliki keseimbangan yang lebih baik dibandingkan dengan para
karyawan biasa.Sebaliknya, hal ini berbeda dengan PT Global Asia
Sinergi, di mana baik karyawan maupun manajemen puncak merasa
memiliki keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi
yang baik.
4.2.3.2 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian terdahulu yang
berjudul Pengaruh “kepemimpinan transformasional dan Work-life
balance terhadap keterikatan kerja dan kinerja karyawan”
Penelitian
terdahulu
yang
berjudul
"Kepemimpinan
Transformasional dan Work-life balance terhadap Keterikatan Kerja
dan Kinerja Karyawan" mengungkapkan bahwa kepemimpinan
transformasional memiliki pengaruh positif terhadap keterikatan
kerja. Hal ini disebabkan oleh kemampuan pimpinan PT. Pan Pacific
Nesia dalam memberikan dukungan emosional, menanamkan rasa
bangga terhadap bawahan, menciptakan perasaan aman, dan
mendorong keterlibatan aktif di tempat kerja. Perilaku ini
mendorong bawahan untuk berusaha maksimal sehingga secara
75
tidak langsung karyawan PT. Pan Pacific Nesia memiliki keterikatan
psikologis terhadap tempat kerja.
Kepemimpinan digital dan kepemimpinan transformasional
menunjukkan sejumlah perbedaan, keduanya juga memiliki
kesamaan tertentu. Kepemimpinan digital menitikberatkan pada
implementasi
teknologi
digital
dan
inovasi,
sementara
kepemimpinan transformasional lebih menfokuskan pada perubahan
budaya dan nilai-nilai organisasi secara menyeluruh. Walaupun
demikian, dalam lingkungan bisnis modern, kepemimpinan digital
dan transformasional saling terkait dan melengkapi satu sama lain
untuk mencapai tujuan transformasi dan pertumbuhan yang
berkelanjutan.
PT Global Asia Sinergi di bawah kepemimpinan Windy
Hendwiananda menerapkan prinsip buy-in untuk mendorong
keterlibatan aktif dari anggota tim atau karyawan terkait
permasalahan di dalam perusahaan. Lebih lanjut, dalam aspek
interpersonal, Windy menggunakan metode situasional leadership
untuk mengadaptasi cara komunikasi yang efektif sesuai dengan
tahapan perkembangan setiap anggota tim.
Penelitian terdahulu juga mengungkapkan bahwa Work-life
balance memiliki pengaruh positif terhadap keterikatan kerja. PT
Pan Pacific Nesia menerapkan sistem lima hari kerja dan
mengutamakan fasilitas atau strategi yang membantu karyawan
dalam memenuhi tuntutan kehidupan pribadi dan pekerjaan,
bertujuan agar karyawan tetap senang dan nyaman dalam terlibat
dalam pekerjaan.
PT Global Asia Sinergi menggambarkan sistem atau aturan
yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan
pribadi dengan menerapkan aturan Zoom sebagai "kantor kedua."
Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi internal
perusahaan dan memberikan tingkat fleksibilitas yang tinggi kepada
76
karyawan. Penggunaan teknologi tidak hanya terbatas pada aturan
Zoom, namun juga tercermin dalam implementasi e-ticketing dan
layanan help desk melalui Invgate. Tujuan dari langkah-langkah ini
adalah
untuk
mendukung
pemerataan
pembagian
tugas,
menciptakan lingkungan kerja yang seimbang, dan meningkatkan
Work-life balance bagi para karyawan.
4.2.3.3 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian terdahulu yang
berjudul “Implementasi digital leadership dalam pengembangan
kompetensi digital pada pelayanan publik”
Penelitian terdahulu yang berjudul “Implementasi digital
leadership dalam pengembangan kompetensi digital pada pelayanan
publik” mengungkapkan bahwa teknologi, khususnya implementasi
digital leadership, memiliki peran positif dalam mengatasi beberapa
hambatan dalam pelayanan perizinan spektrum radio oleh Ditjen
SDPPI. Beberapa kontribusi teknologi dalam mengatasi hambatan
tersebut meliputi:
1. Percepatan layanan
Implementasi teknologi, seperti perizinan secara online, One
Day Service, dan Online Single Submission (OSS), telah
membantu dalam mempercepat proses pelayanan. Tanda
tangan digital dan pemanfaatan teknologi lainnya juga
berkontribusi pada percepatan dan efisiensi proses perizinan.
2. Costumer Engagement
Adanya contact center, pusat layanan terpadu, sistem antrian
online, serta sarana konsultasi dan pengaduan membantu
dalam meningkatkan interaksi dan keterlibatan dengan
masyarakat.
Hal
ini
dapat
meningkatkan
kepuasan
masyarakat terhadap layanan yang diberikan.
3. Peningkatan kualitas layanan
Meskipun terdapat harapan peningkatan terhadap waktu
pelayanan dan responsivitas call center, hasil survei IKM
77
menunjukkan kategorisasi "sangat baik" pada kinerja
pelayanan
Ditjen
SDPPI.
Pemanfaatan
teknologi
memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas layanan
secara keseluruhan.
4. Pengembangan kompetensi digital
Teknologi digunakan untuk pengembangan kompetensi
digital ASN, baik pada tingkat front-end maupun back-end.
Training, team building, dan bimbingan teknis dilakukan
secara rutin, mencerminkan upaya untuk mengatasi
kelemahan dalam hal kualifikasi skill yang berbeda.
Hal ini juga selaras dengan hasil penelitian peneliti, dimana
teknologi berperan positif dalam mengatasi beberapa hambatan
dalam mencapai keseimbangan pekerjaan dan kehidupan pribadi di
PT Global Asia Sinergi. Lebih lanjut, optimasi sumber daya
teknologi dilakukan hingga tahap implementasi aturan baru atau
merevisi peraturan lama di lingkungan PT Global Asia Sinergi
4.2.3.4 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian terdahulu yang
berjudul “Kepemimpinan digital dalam meningkatkan kinerja
organisasi peran teknologi informasi dan komunikasi”
Penelitian terdahulu yang berjudul “Kepemimpinan Digital
dalam meningkatkan kinerja organisasi peran Teknologi Informasi
dan Komunikasi” mengungkapkan bahwa kepemimpinan digital dan
inovasi TIK berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
perusahaan. Hasil penelitian ini menyoroti pentingnya pemahaman
teknologi dalam konteks kepemimpinan digital, dengan gaya
kepemimpinan partisipasi dan inovatif merupakan aspek kunci
dalam menghadapi revolusi industry 4.0 dan meningkatkan kinerja
perusahaan.
Hasil penelitian peneliti mengungkapkan bahwa pemahaman
terhadap teknologi di PT Global Asia Sinergi dilakukan oleh Windy
78
Hendwiananda. Windy menunjukkan kesadaran aktif terhadap
teknologi digital dengan menggunakan berbagai alat pengumpul
informasi untuk tetap relevan dengan perkembangan teknologi
terbaru. Kesadaran aktif Windy terhadap teknologi digital dan
dedikasinya untuk menjaga relevansinya dengan perkembangan
teknologi mendorongnya memiliki keinginan yang kuat untuk terus
beradaptasi dan terus belajar mengikuti perubahan teknologi.
Gaya kepemimpinan partisipatif dan inovatif ditunjukkan
oleh
Windy
melalui
kepemimpinannya.
penerapan
Prinsip
ini
prinsip
digunakan
buy-in
sebagai
dalam
strategi
komunikasi dan kepemimpinan dengan tujuan untuk mendapatkan
keterlibatan aktif anggota tim atau karyawan dalam menangani
permasalahan di dalam perusahaan.
4.2.3.5 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian terdahulu yang
berjudul “Analisis strukturasi adaptif: Implikasi penggunaan
teknologi informasi dalam pelayanan informasi publik organisasi
pemerintahan”
Penelitian terdahulu yang berjudul “IAnalisis strukturasi
adaptif: Implikasi penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan
informasi publik organisasi pemerintahan” mengungkapkan bahwa
agen di organisasi pemerintahan berinteraksi dengan struktur
pelayanan informasi publik yang telah berubah menjadi berbasis TI,
tindakan agen-agen di organisasi pemerintahan menunjukkan
interplay antara struktur pelayanan informasi publik berbasis TI,
struktur sosial lain (tugas, lingkungan internal dan eksternal) serta
sistem internal organisasi pemerintahan yang berlaku.
Dalam interaksinya ini para agen menggunakan jenis
komunikasi
formal
horizontal,
terutama
dilakukan
untuk
penyelesaian masalah teknis serta sharing pengalaman dan
pengetahuan antar agen; komunikasi formal vertikal secara top down
terutama dilakukan untuk penyampaian arahan pimpinan tetapi
79
belum bersifat berkala. Sedangkan secara bottom up terutama
dilakukan untuk penyampaian laporan pelaksanaan informasi publik
secara berkala dan interaksi lain yang bersifat pemecahan masalah
teknis antara agen di level teknis (staf dan eselon IV); komunikasi
formal diagonal, terutama dilakukan dengan agen yang memiliki
spesialisasi bidang TI; dan komunikasi informal, biasanya dilakukan
pada level teknis (staf) dalam satu unit kerja atau dengan agen unit
kerja lain yang memiliki.
Penjabaran diatas merupakan gambaran asumsi kedua dari
Adaptive Structuration theory dimana Aturan Komunikasi berfungsi
baik sebagai medium untuk maupun hasil dari interaksi.Aturan ini
menciptakan jawaban atas pertanyaan dimana anggota kelompok
berinteraksi dan juga menciptakan norma-norma dan batasan yang
memandu bagaiamana anggota kelompok bertinteraksi.aturan
komunikasi juga akan berperan sebagai hasil interaksi, karena
dengan terciptanya norma-norma dan batasan hal ini akan
mempengaruhi bagaimana suatu kelompok itu berinteraksi. Interaksi
ini merupakan respon terhadap norma-norma yang sudah ada di
dalam kelompok.
PT global asia sinergi menggambarkan asumsi kedua dari
Adaptive Structuration theory dalam penerapan prinsip buy-in
dimana aturan dimana aturan di dalam prinsip buy-in ini adalah
kolaborasi atau keterlibatan aktif karyawan adalah hal yang penting.
Aturan yang memandang bahwa karyawan dan pemimpin memiliki
suara yang sama, dan hak berbicara yang sama tanpa adanya
interupsi, aturan ini kemudian dijadikan medium saat tim
berkomunikasi dan berinteraksi secara daring maupun luring, serta
aturan ini menjadi hasil atau produk dari interaksi, dimana ketika
anggota yang berbicara, tim akan mengetahui dan mengenali bahwa
penting untuk memberikan hak bicara yang adil kepada setiap
anggota.
80
Penelitian terdahulu juga mengungkapkan bahwa terdapat
struktur sosial baru yang diproduksi dan direproduksi dari hasil
interaksi antara agen dan struktur pelayanan informasi publik
berbasis TI di organisasi pemerintahan yang kemudian menjadi
pemahaman bersama di antara agen, mengatur tindakan sehari-hari
agen serta terlegitimasi dalam pemahaman agen, sehingga pelayanan
informasi publik berbasis TI dapat terus berjalan. Agen yang terlibat
langsung dalam pelayanan informasi publik berbasis TI tidak dapat
menegosiasikan lebih untuk melahirkan struktur sosial baru menuju
tujuan perubahan yang konsisten karena agen tidak memiliki
kekuasaan untuk membuat keputusan atau kebijakan organisasi
untuk menyelesaikan kendala yang dihadapi. Tetapi, bukan berarti
agen pada level pelaksana tidak berdaya, agen menunjukkan
kekuasaannya dengan menggunakan sumber daya yang dimilikinya,
berupa keterampilan penggunaan perangkat TI dan pengetahuan
tentang
KIP,
serta
kemampuan
memainkan
peran
dalam
penyelesaian kerja, sebagai dasar agen untuk menjaga terlaksananya
pelayanan informasi publik berbasis TI.
Penjabaran diatas merupakan gambaran asumsi pertama dari
Adaptive Structuration theory dimana kelompok atau perusahaan
diproduksi dan direproduksi melalui aturan dan sumber daya. asumsi
ini menjelaskan dinamika komunikasi dalam suatu organisasi
sebagai langkah awal dalam menciptakan aturan baru untuk
memodifikasi aturan yang sudah ada, atau menekankan kembali
aturan yang sejak lama telah diterapkan guna memperbaiki harapan.
Dengan demikian, struktur ini dianggap sebagai bagian dari
penciptaan interaksi yang terjadi dalam konteks organisasi.
PT global asia sinergi menggambarkan asumsi kedua dari
Adaptive Structuration theory dalam penerapan prinsip buy-in
sebagai strategi untuk menghasilkan aturan baru atau memodifikasi
yang sudah ada. Proses pembuatan aturan terjadi melalui forum
81
diskusi terbuka, memfasilitasi interaksi, dinamika komunikasi, dan
munculnya ide-ide baru dari anggota tim sebagai dasar utama
produksi dan reproduksi aturan. dalam konteks ini aturan terkait
kehadiran fisik kantor direproduksi menjadi suatu aturan yang baru.
82
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan dapat di simpulkan bahwa Kepala
Divisi Produk dan Emerging PT Global Asia Sinergi, Windy
Hendwiananda, membentuk ekosistem kerja adaptif dan inklusif melalui
kepemimpinan digital dengan menerapkan prinsip buy-in. Penerapan
prinsip buy-in dapat menciptakan proses komunikasi serta koordinasi yang
lebih fleksibel dimana Windy tidak hanya berperan sebagai pemimpin
namun juga sebagai agen perubahan yang melibatkan tim dalam
pembuatan aturan. Windy menerapkan situational leadership untuk
membangun komunikasi yang baik dan memotivasi karyawan, serta
memperkuat hubungan interpersonal. Windy memiliki hak veto namun
tetap
mempertimbangkan
keputusan
bersama
untuk
mencapai
keseimbangan antara kebutuhan perusahaan dan karyawan melalui forum
diskusi santai yang menjadi ruang kreatif dalam menciptakan suasana
kerja inklusif, adaptif dan berkelanjutan. PT. Global Asia Sinergi aktif
menggunakan teknologi terbaru untuk mengoptimalkan kinerja karyawan
sehingga karyawan dapat memiliki keseimbangan waktu kerja dan waktu
pribadi (work life balance).
5.2 Saran
5.2.1 Saran Praktis
Disarankan kepada perusahaan di industri teknologi informasi untuk
mengadopsi kepemimpinan digital yang dinamis dan proaktif,
menerapkan
pendekatan
demokratis
dalam
struktur
kekuasaan,
menggunakan strategi komunikasi yang adaptif dan responsif guna
menghindari miskomunikasi dalam tim, serta memanfaatkan teknologi
secara efektif dan efisien untuk mendukung keseimbangan antara
pekerjaan dan kehidupan. Dengan langkah-langkah ini, perusahaan dapat
menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan antara
83
pekerjaan dan kehidupan serta meningkatkan kesejahteraan karyawan,
yang pada akhirnya akan meningkatkan performa kinerja perusahaan
secara keseluruhan.
5.2.2 Saran Akademis
Disarankan bagi peneliti lain agar dapat melakukan penelitian yang
menggunakan objek penelitian yang lebih luas dengan menggunakan
metode
penelitian
kuantitatif
untuk
melihat
korelasi
kepemimpinan digital dengan Work-life balance karyawan
84
antara
DAFTAR PUSTAKA
Ajabar, Daisy Iriany, Erny Sundah, David Tjahjana, Diena
Dwidienawati Tjiptadi, Johny Natu Prihanto, Laila Refiana Said,
Meldasari Said, Muhammad Arif Surana, Nancy Henrietta, Jessamine
Mandey, Nopriadi Saputra, Prio Utomo, S. H., & Wulan Purnamasari.
(2021). HRM Essentials: Win your workplace, Win your marketplace.
www.diandracreative.com
Annamaria Rondonuwu, F., Rumawas, W., Asaloei, S., Studi
Administrais Bisnis, P., Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik, J., & Sam Ratulangi, U. (2018). Pengaruh Work-life Balance
Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Pada Hotel Sintesa Peninsula
Manado. Jurnal Administrasi Bisnis, 7(2).
Cahyarini, F. D. (2021). Implementasi Digital Leadership dalam
Pengembangan Kompetensi Digital pada Pelayanan Publik. Jurnal Studi
Komunikasi Dan Media, 25(1), 47.
https://doi.org/10.31445/jskm.2021.3780
Cooren, F., Kuhn, T., Cornelissen, J. P., & Clark, T. (2011).
Communication, organizing and organization: An overview and
introduction to the special issue. Organization Studies, 32(9), 1149–1170.
https://doi.org/10.1177/0170840611410836
Cortellazzo, L., Bruni, E., & Zampieri, R. (2019). The role of
leadership in a digitalized world: A review. Frontiers in Psychology,
10(AUG). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01938
Deden Suherman, U. (2019). PENTINGNYA KEPEMIMPINAN
DALAM ORGANISASI. Jurnal Ilmu Akuntansi Dan Bisnis Syariah, 1(2),
260–274.
85
Fabiano Amri, R., & Rahardja, E. (2016). PENGARUH
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN KEPUASAN KERJA
TERHADAP LOYALITAS YANG BERDAMPAK PADA KINERJA
KARYAWAN DI PERUSAHAAN (Studi Pada PT. Kimia Farma Plant
Manufacturing Semarang). In Jurnal Bisnis STRATEGI (Vol. 25, Issue 1).
FOUAD A. B, K. (2019). Digital Transformation and Leadership
Style: A Multiple Case Study. The ISM Journal of International Busines,
3(1), 28.
Harivarman, D. (2017). HAMBATAN KOMUNIKASI
INTERNAL DI ORGANISASI PEMERINTAH. Jurnal ASPIKOM, 3(3),
508–519.
Hasanti, I. D. (2019). Analisis Komunikasi Organisasi Antara
Event Project Team dan Account Executive di Event Organizer Twisbless.
Jurnal Komunika : Jurnal Komunikasi, Media Dan Informatika, 8(1), 32–
41. https://doi.org/10.31504/komunika.v8i1.2072
Jumrad, O. T., Dwi, I., & Sari, M. (2019). FUNGSI
KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI MELALUI GROUP CHAT
WHATSAPP ORIFLAME. In Jurnal Common | (Vol. 3).
http://www.mlmlegal.com/profiles/Oriflame.ht
Kharisma, T., & Kurniawan Sujono, F. (2018). ANALISIS
STRUKTURASI ADAPTIF: IMPLIKASI PENGGUNAAN
TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PELAYANAN INFORMASI
PUBLIK ORGANISASI PEMERINTAH. Jurnal Penelitian Komunikasi
Dan Opini Publik, 22(2), 110–115.
Lana Emilia Gondowahjudi, Devita Rahmani Ratri, & Lukman
Hakim. (2018). Pengaruh Komunikasi Organisasi Terhadap Kinerja
Tenaga Kesehatan Yang Dimediasi Oleh Motivasi di RSUD Kota Malang.
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik (JIAP), 4(4), 331–342.
86
Larasati, D. P., & Hasanati, N. (2019). The Effects of Work-Life
Balance towards Employee Engagement in Millennial Generation.
Latifah, Z. (2021). PENTINGNYA KEPEMIMPINAN DALAM
ORGANISASI. Magister Manajemen Pendidikan, 234(243).
Liu, C., Ready, D., Roman, A., van Wart, M., Wang, X. H.,
McCarthy, A., & Kim, S. (2018). E-leadership: an empirical study of
organizational leaders’ virtual communication adoption. Leadership and
Organization Development Journal, 39(7), 826–843.
https://doi.org/10.1108/LODJ-10-2017-0297
Maryati, S., & Siregar, M. I. (2022). Kepemimpinan Digital dalam
meningkatkan kinerja organisasi peran Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Owner, 6(4), 3616–3624.
https://doi.org/10.33395/owner.v6i4.1176
Meningkatkan Pelayanan Krisna Mulawarman, U., -Yeni
Rosilawati, Ms., Mulawarman, K., Yeni Rosilawati, Ms., & Dosen
Program Studi Ilmu Komunikasi, M. (2014). Komunikasi Organisasi pada
Dinas Perijinan Kota Yogyakarta. 10.30659/JIKM.5.1.31-41
Muliawati, T., & Surabaya, U. N. (2020). PERAN WORK-LIFE
BALANCE DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA
KARYAWAN MILENIAL: STUDI LITERATUR Agus Frianto.
Muliawati Triyana, & Frianto Agus. (2020). PERAN WORK-LIFE
BALANCE DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA
KARYAWAN MILENIAL: STUDI LITERATUR.Jurnal Ilmu Manajemen,
20(20), 606–620.
Nur Kholifah, A., & Aidil Fadli, J. (2022). PENGARUH
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN WORK LIFE
BALANCE TERHADAP KETERIKATAN KERJA DAN KINERJA
KARYAWAN. SIBATIK JOURNAL: Jurnal Ilmiah Bidang Sosial,
87
Ekonomi, Budaya, Teknologi, Dan Pendidikan, 1(10), 2301–2318.
https://doi.org/10.54443/sibatik.v1i10.340
Nurjaya, Mukhtar Afiah, & Achasanuddin. (2020). GAYA
KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI, PENGARUHNYA TERHADAP
KINERJA PEGAWAI. Balance, 2(1), 35–43.
Oberer, B., & Erkollar, A. (2018). INTERNATIONAL JOURNAL
OF ORGANIZATIONAL LEADERSHIP Leadership 4.0: Digital Leaders
in the Age of Industry 4.0. In International Journal of Organizational
Leadership (Vol. 7).
Pahlevi Rizky Nadia. (2018). HAMBATAN DAN STRATEGI
KOMUNIKASI ANTARPRIBADI PEKERJA SOSIAL DI PANTI
PELAYANAN SOSIAL WANITA “WANODYATAMA” SURAKARTA.
JURNAL KOMUNITAS.
Panjaitan, H., Eryanto, H., Perkantoran Digital, A., & Ekonomi, F.
(2023). Analisis Sistem Work Life Balance Pada Pegawai X. Jurnal Media
Administrasi, 8(1), 103–115. http://repository.umj.ac.id
Riinawati. (2019). PENGANTAR TEORI MANAJEMEN
KOMUNIKASI DAN ORGANISASI.
Romadona, M. R., & Setiawan, S. (2020). Communication of
Organizations in Organizations Change’s Phenomenon in Research and
Development Institution. Journal Pekommas, 5(1), 91.
https://doi.org/10.30818/jpkm.2020.2050110
Sarjito, A. (2019). MODEL KEPEMIMPINAN DIGITAL DI ERA
REVOLUSI INDUSTRI 4.0.
Steven Vianaldo Purnomo, V., & Augusto Tejasukmana, S. (2021).
Pengaruh Digital Leadership terhadap Kinerja Perusahaan Startup di Jawa
Timur. Business Accounting Review, 9(2).
88
Tulungen, E., Maramis, J., Saerang, D., Tulungen, E. E., Saerang,
D. P., Maramis, J. B., Studi Doktor Ilmu Manajemen, P., Ekonomi dan
Bisnis, F., & Kunci, K. (2022). DIGITAL TRANSFORMATION: ROLE
OF DIGITAL LEADERSHIP. 1116 Jurnal EMBA, 10(2), 1116–1123.
Van Ruler, B. (2018). Communication Theory: An Underrated
Pillar on Which Strategic Communication Rests. International Journal of
Strategic Communication, 12(4), 367–381.
https://doi.org/10.1080/1553118X.2018.1452240
Vyas, A., AhilyaVishwavidhyalaya, D., & Deepak Shrivastava, I.
(2017). Article Section. In Pacific Business Review International (Vol. 9).
10.30659/JIKM.5.1.31-41
Wicaksana, S. A., Pia Asrunputri, A., Psikologi, F., Pancasila Jl
Srengseng Sawah, U., & -Jakarta Selatan, J. (2020). Identifikasi DimensiDimensi Work-Life Balance pada Karyawan Generasi Milenial di Sektor
Perbankan. Jurnal Sekretari Dan Manajemen, 4(2).
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/widyacipta
Widowati, D., Alisya, V., Rahayu, Y., Salim, M., & Sakasasmita, S.
(2023). Organisational communication towards work-life balance in
achieving working homeostatic at JOOX Indonesia. Jurnal Studi
Komunikasi (Indonesian Journal of Communications Studies), 7(2), 383–
400. https://doi.org/10.25139/jsk.v7i2.6231
Wulansari Oktufiani Dwi. (2023). NARRATIVE LITERATURE
REVIEW: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work-life Balance. In
Psychopreneur Journal (Vol. 7, Issue 1, pp. 15–28). ABDO Publishing.
89
LAMPIRAN
NARASUMBER:
a. Windy Hendwiananda. Head of Product & Emerjing Division
b. Edwin Sandhi. Technical Account Executive
c. Misbahul Huda. Application Developer
WAWANCARA WINDY HENDWIANANDA
Bagaimana om menciptakan aturan dan mengimplementasikan
aturan sehingga karyawan nyaman?
V
W
V
W
V
W
Om merupakan kepala divisi dari perusahaan Global Asia
Sinergi. Gimana si Om produksi dan reproduksi aturan biar
karyawan nyaman?
Pertama kali, kalau membuat satu aturan di satu perusahaan,
yang paling penting adalah mesti ngerti prinsip reward and
punishment. Kalau Om lebih condong ke reward bukan
punishment
Berarti yang tidak melenceng apa ya? Misalkan, kayak dia
keluar deadline, tuh nggak dihukum apa-apa?
Ada hukumannya, tapi titik beratnya pada reward, bukan
punishment. Terus, yang kedua, buy-in untuk satu aturan.
Supaya orang semua bisa melakukannya dengan senang
gembira, bahagia, sejahtera, itu harus ada buy-in. "Buy-in" itu
artinya adalah mereka harus merasa melakukan itu senang, ada
ownership-nya. Kalau misalkan membuat satu aturan,
biasanya, ajak mereka ngobrol semua. Mau akan lempar satu
ide, eh lebih baik kita begini, kira-kira yang lain menurut yang
lain di mana itu akan muncul ide baru kan. Nah, dari ide itu,
itu pasti bisa diambil, dijamin 100 persen bisa diambil ide,
karena itu dari mereka yang melakukan sendiri di lapangan
dan sebagainya. Dari ide itu, baru kita bikin aturan, tapi jangan
lupa juga bahwa nanti pada saat kita implementasi aturan itu,
kita kasih kredit untuk si yang ngasih ide-nya.
Contohnya gimana tuh?
Contohnya, misalnya, kayak kerja aja. Misalnya, yang kerja
kita lebih baik yang kerja itu fleksibel atau non-fleksibel.
Muncul nih banyak ide, kan? Ada beberapa-berapa yang punya
ide bagus. Misalnya, menurut kita fleksibel sekian hari.
Kemudian, nanti ada waktu kita strict dengan aturan. Kalau
semuanya setuju, pasti ada perdebatan. Itu ada yang bisa
diambil dari situ. Pada saat nanti, oke kita kemarin sudah
ngobrol dan semua sebagian besar sudah setuju, kita akan
90
V
W
V
W
V
W
V
menentukan aturan ini dan aturan itu. Ide didasarnya adalah
dari si ini, itu harus diakui.
Ada motif tertentu nggak? Kayak misalnya, untuk dia supaya
merasa dihargai?
Nggak. Kalau bagus, kita harus kasih credit. Tidak bisa bahwa
sebagai leader terus itu ide-nya dari Pidi, misalnya. Terus
sudah diambil aja ide Pidi, terus bilang nanti semua orang di
seluruh dunia bilang, ini bukan ide Pidi. Karena pada saat jadi
leader, sudah tidak boleh lagi berpikir untuk diri sendiri,
berfikir semuanya untuk tim. Pada saat kita udah pasti kredit
seperti itu, otomatis semua orang tahu bahwa oh iya kita ini
barengan, ini ide kita ayo kita jalan sama-sama. Itu akan
meminimalkan bahkan menghilangkan friksi lain kalau
misalnya gini tiba-tiba Om datang, eh besok masuk jam 7 pagi
sampai jam 5 sore tanpa bertanya, tanpa melihat kondisi di
lapangan apa yang terjadi. Apa akan menguntungkan jam 7
pagi jam 5 sore itu bedanya. Kalau aturan yang top-down,
tanpa melihat apa yang terjadi di bawah, itu pasti tidak akan
populer, tidak akan dilaksanakan. Kalau pun dikerjain pasti di
belakangnya ngedumel
Berarti Om lebih fokus ketika membuat aturan itu membuka
forum dulu biar lebih sesuai sama kebutuhan karyawan dan
tidak semena-mena kayak Om. Wah, kayaknya ini paling
bagus deh, jadi Om tetap membuka forum untuk diskusi.
Betul, tapi pada saat sama juga, Om akan berpikir bahwa ok
kira-kira aturan ini ada impact negatif tidak dengan perusahaan
secara garis besar. Kalau emang tidak ada, nah itu, maka Om
akan masuk dan sisi perusahaan itu. Kalau misalnya segini,
misalnya itu, kayaknya akan nanti konflik dengan ini-ini yang
mungkin teman-teman di tim tidak tahu. Itulah gunanya salah
satu leader.
Jadi Om tidak semena-mena, cuma mikirin karyawan, tapi Om
juga tetap mikirin tujuan perusahaan, dan itu harus
bersinambung di jalan satu gitu ya
Betul, gak bisa cuma perusahaan doang atau karyawan doang,
gak bisa. Karena dua-duanya kan ini dua entity yang hidup
bareng gak mungkin bertentangan, pasti jadinya konflik.
Oke baiklah.
91
Apakah teknologi mempengaruhi implementasi aturan tersebut?
V
W
V
W
W
W
V
W
Terus, kan, Om ini cukup banyak mengadopsi berbagai
teknologi dalam pekerjaan. apakah teknologi itu
mempengaruhi dalam membuat aturan itu?
Itu juga salah satu faktornya. Jadi, Om akan terbuka dengan
semua teknologi baru. Banyak contohnya, misalnya, sesimple
Om cuma melempar ide aja ke tim bahwa kayaknya kita perlu
bikin suatu list yang bisa dilihat semua orang di tim kita di situ
mengenai status semua project (Real time). Kira-kira kita
pakai tools apa ya? Itu Om lempar ke forum mereka akan cari,
wah mendingan pakai ini, pakai Slack aja, pakai Trello, pakai
project pake segala macam
Berarti yang tidak melenceng apa ya? Misalkan, kayak dia
keluar deadline, tuh nggak dihukum apa-apa?
Ada hukumannya, tapi titik beratnya pada reward, bukan
punishment. Terus, yang kedua, buy-in untuk satu aturan.
Supaya orang semua bisa melakukannya dengan senang
gembira, bahagia, sejahtera, itu harus ada buy-in. "Buy-in" itu
artinya adalah mereka harus merasa melakukan itu senang, ada
ownership-nya. Kalau misalkan membuat satu aturan,
biasanya, ajak mereka ngobrol semua. Mau akan lempar satu
ide, eh lebih baik kita begini, kira-kira yang lain menurut yang
lain di mana itu akan muncul ide baru kan. Nah, dari ide itu,
itu pasti bisa diambil, dijamin 100 persen bisa diambil ide,
karena itu dari mereka yang melakukan sendiri di lapangan
dan sebagainya. Dari ide itu, baru kita bikin aturan, tapi jangan
lupa juga bahwa nanti pada saat kita implementasi aturan itu,
kita kasih kredit untuk si yang ngasih ide-nya.
Dari situ ide-ide oke diambil 3 kita sama-sama riset. Risetnya
mah enggak lama, sebentar, kira-kira cocok ke mana.
Semua akan coba, mendingan ini enggak bisa, enggak bisa
begini, enggak bisa begini, oke, ini yang paling bagus ya udah
kita pakai. Karena dengan begitu mereka akan commit bahwa
mereka sendiri yang nyari, bukan Om yang nyari.
Jadi Om melakukan itu untuk mengikat mereka juga dan
secara bersamaan membebaskan juga?
Iya, karena misalkan Om dapat direction dari salah satu
direktur. Mereka cuma bilang, "Bro, gue pengen tahu nih
proyek kita apa aja, kayak apa sih." Itu doang bilangnya
biasanya. Karena mereka cuma ngerancang overview aja. Oke,
dari instruksi itu enggak mentah-mentah. Om ngomong, "Hh,
kita pakai ini aja ya," enggak. Percuma, enggak bakal make.
Tapi begitu ide dari mereka, dari tim, itu dengan senang hati
mereka menjalankan. Mereka merasa bahwa oh itu ide gua,
92
V
W
V
W
V
W
V
W
punya rasa memiliki. Jangan sampai ide gua ini jelek. Dan itu
namanya buy-in.
Oke, selain itu ada lagi?
Sebagian besar itu sih karena semua, misalnya kita punya
kemarin punya satu. Banyak problem pemecahan teknologi
nya dari situ. Misal kita punya tim berapa orang tuh. Kita
punya tes insert buat server, segala macam aplikasi. Terus
biasanya mungkin ada orang bikin ini penting begini, begini,
begini. Kan mereka rata-rata kan ada password-password nya
itu. Kan sebetulnya karena ini untuk keperluan tim,
passwordnya ya paling tidak semua harus tahu itu yang gimana
caranya supaya semua orang tahu password yang dibikin sama
yang lainnya bukan password pribadi, ya password untuk tim.
Nah itu baru muncul. Ya udah kita pake Keep dari Google
Jadi Om pokoknya adalah bikin peraturan di mana dia bisa
sebagai pembebas namun tetap terikat, dan teknologi cukup
berperan di situ ya.
kemudian untuk misalnya kayak, eh kita pengen bikin
diagram, tapi diagram yang kira-kira bisa dipakai semua orang
gampang terus jaga jaringan network segala macam aplikasi
itu apa ya kira-kira mulai muncul ini, ini bayar aja nih
bagusnya tapi wah ini tapi lambat ini itu muncul dapat
Excalidraw untuk diagram kita pake Excalidraw. Terus ada
lagi kita pernah, gimana caranya kita kerja dalam satu ruangan
satu meja, lah misalnya laptop masing-masing dan pengen
sharing screen-nya dari masing-masing individu. Jadi kita
nggak perlu "liat sini dong" tanpa perlu suara. Tinggal
ngomong di ruangan itu dan fokusnya screen laptop masingmasing doang udah. Oh iya ketemu screen, begitu konek ya
udah enggak ngomong tapi screen-nya masing-masing nggak
musti buka proyektor, musti buka TV atau musti Zoom dulu.
Oke, berhubungan Zoom, Om ngomong tadi kalo menerapkan
waktu yang cukup fleksibel dalam berapa hari (WFA) dan
waktu yang strikt WFO (work from office) di hari Jumat. Om
untuk berkomunikasi di hari pas WFA (work from anywhere)
itu pake Zoom?
Kita pakai Zoom untuk kalau memang ada yang mau di-share,
secara perusahaan Global Asia Sinergi itu punya 2 akun Zoom
yang pertama itu Zoom regular sebagai kantor, kedua yang di
buka dari 8:30 pagi sampai 5:30 sore, dan satu lagi untuk
client.
Oh jadi, yang satu kayak kantor regular yang satu itu buat
customer, terus cara kerja untuk regular itu gmna?
Iya, jadi yang kantor jam 8:30 dibuka. Kalau misalkan Om WA
di grup tim nih karena perlu ngobrol sama si A tinggal
ngomong, "Eh, gua perlu ngomong nih, masuk yuk Zoom,"
93
V
terus ngobrol nih berdua. Abis selesai ngobrolin keperluan Om
misalnya cuma setengah jam ngobrolnya yaudah leave abis itu
dan Zoom nya tetap bisa diakses sama tim sampai 5:30 dan
otomatis bakal off setelah jam itu
Oalah asik juga
Bagaimana membangun interaksi dengan karyawan om sehingga
membuat karyawan om nyaman.
V
W
V
W
W
W
V
W
Nah, saya mau nanya lagi, terus, gimana om ngebangun
interaksi dengan karyawan yang tadi menggunakan banyak
teknologi dan segala macam itu biar karyawannya tetap
nyaman dan tetap on track gitu?
Ya, yang jelas kita juga pakai tiketing. Jadi biasanya ada task,
dari sekian banyak orang itu pasti mereka punya task masingmasing. Nah, itu tasknya itu akan dibikin tiket, selalu dibuat
tiket. Jadi, misalnya om sendiri kasih task, misalnya yang
server kemarin tolong diberesin sampai ini ini ini. Nah, itu
dibikin tiket, dibikin tiket di-assign ke orang itu. Yang
bersangkutan punya kerjaan, dan dia dapat nomor tiketnya. Di
sisi om cuma lihat aja di tiket ini sudah berapa hari, berapa
lama, progres mereka update di situ. Dan itu dalam satu hari
itu mereka punya kewajiban, kalau ini emang diharuskan.
Walaupun simple, tapi mereka tidak keberatan. Jadi paling
tidak dalam sehari tiga kali buka email dan tiga kali buka
portal tiket
Untuk ngecek kerjaan?
Iya, walaupun sebenarnya kalau ada tiket masuk, masuk ke
email.
Oke, terus kalau itu kan untuk secara teknis kerjaan. Kalau om
sendiri ngebangun interaksi antara karyawan biar ngeblend?
Ya, kalau ngeblend itu biasanya kita punya weekly meeting.
Weekly-nya itu bisa untuk tim. Jadi setiap Jumat itu ada
weekly meeting seluruh orang, satu kantor. Ke kantor, kalau
bisa ke kantor gak bisa gak apa-apa. Oh, gak ada diwajibkan.
Ya, karena di hari Jumat itu tetap ada Zoom juga. Jadi yang
gak bisa masuk Zoom. Tapi itu bareng semua. Itu satu kantor
semua orang, mau dari sales, finance, programmer, semua
masuk semua, hadir semua. Dan om punya weekly untuk tim
aja.
Om punya yang langsung untuk divisi om. Itu mingguan itu
juga ada?
Ya, dan itu fleksibelnya artinya pokoknya dalam satu minggu
itu harus satu sekali
94
V
W
V
W
V
Oke, selain itu ada lagi?
Itu untuk ngebangun interaksi yang bagus sama tim. Dan kalau
spesifik untuk perorangan?
Oh, oke, mereka jadi secara gamblang datang ke om dan
mereka bisa ngomong apa aja?
Itu karena dibangun dari awalnya om tidak memposisikan
sebagai bos lu. Enggak, lu kacung gue. Kenapa? Gak ada
gunanya pemimpin kalau gak ada anak buahnya.
Asik
Sebagai pemimpin divisi, bagaimana om memanfaatkan kekuasaan
dalam struktur organisasi untuk membentuk arah dan pengambilan
keputusan di divisi om?
V
W
V
W
W
Selanjutnya, sebagai pemimpin divisi, bagaimana om
memanfaatkan kekuasaan dalam struktur organisasi untuk
membentuk arah dan pengambilan keputusan di divisi om?
Kembali lagi pada tadi, gaya manajemen om adalah seperti
dari awal, yaitu dengan mendapatkan persetujuan bersama.
Jadi kalau ada keputusan yang melibatkan banyak orang atau
anggota tim, biasanya itu melibatkan diskusi dan diserahkan
kepada teman-teman untuk mencari pendapat dan solusi
bersama. Karena lebih baik begini atau begitu, tetapi yang
membuat keputusan tetaplah om, dari sekian banyak. Jadi, om
tetap memiliki hak veto. Ini berarti om tetap memiliki otoritas.
Tetapi, sekali lagi, tidak serta-merta bahwa keputusan tersebut
berasal dari om sendiri, kecuali jika itu bersifat rahasia dan
tidak langsung terkait dengan direktur, keputusan seperti itu
mungkin diambil langsung oleh om tanpa berkonsultasi
dengan anggota tim, itu merupakan keputusan dari top
management.
Oke, berarti om tetap memiliki kekuasaan mutlak, namun tetap
menjalankan prinsip demokrasi dengan mendengarkan
pendapat orang lain
Iya, walaupun sebenarnya kalau ada tiket masuk, masuk ke
email.
Iya, karena terkadang ketika kita memikirkan sendiri, kita
merasa bahwa pendapat kita adalah yang paling benar. Namun,
saat om melibatkan teman-teman lain, mengapa sudut pandang
mereka berbeda? Itu menarik, kadang-kadang kita sadar, "Oh,
benar juga ya, saya tidak memikirkan hal itu." Tidak mungkin
otak satu orang dibandingkan dengan otak tujuh orang, enam
orang mungkin memiliki pandangan yang benar sendiri. Ada
95
situasi di mana kita perlu berbicara dengan teman-teman,
mendengar ide mereka, yang ternyata mungkin lebih bagus
daripada yang kita pikirkan. Dan itu harus diakui, karena
sebagai pemimpin, hidup kita bukan untuk diri sendiri,
melainkan untuk orang lain. Oleh karena itu, harus diakui
bahwa ide tersebut berasal dari rekan kita. Dengan cara ini,
setiap orang akan saling menghormati, termasuk
penghormatan terhadap om.
V
W
V
W
Jadi, om sangat mengapresiasi kontribusi dari para karyawan?
Seharusnya seorang pemimpin tidak mengambil seluruh kredit
untuk dirinya sendiri. Mengapa? Karena seorang pemimpin
tidak akan berhasil maju tanpa timnya. Jika seorang pemimpin
tidak memiliki tim, itu bukanlah seorang pemimpin. Misalnya,
seorang ustadz tanpa jemaat, dengan siapa dia akan berbicara?
Ada seorang pendeta tanpa jemaat, siapa yang mau dengerin?
Oke, berarti om memiliki pemikiran bahwa sebagai pemimpin,
om harus mengabdikan diri untuk orang lain?
benar, dan sebenarnya itu adalah hal yang klise, tetapi benar.
Pada saat om menjadi seorang pemimpin, hidup om menjadi
untuk anggota tim om, mirip dengan seorang presiden yang
hidupnya untuk rakyat Indonesia. Itu seharusnya menjadi cara
berpikir om, sebagai ketua MPRK atau DPRK, om berada di
sana untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri
Bagaimana om mengetahui teknologi teknologi terbaru yang telah
beredar dan jika ada yang sesuai dengan tujuan perusahaan,
apakah
om
mengimplementasikan
teknologi
itu
kedalam
perusahaan?
V
W
Nah, untuk pertanyaan selanjutnya, gimana, Om, mengetahui
teknologi terbaru yang ada di dunia, di berbagai dunia ini, dan
apakah sesuai dengan tujuan perusahaan, apakah Om akan
mengimplementasikan teknologi itu ke dalam perusahaan?
Iya, semua orang, bisa dibilang punya, bisa dibilang memiliki
kewajiban ya, walaupun tidak tertulis. Jadi kalau cuma satu
orang yang mencari, itu belum tentu dapat, belum tentu
semuanya. Apalagi dengan sebanyak itu teknologi , jadi semua
orang punya kewajiban yang tidak tertulis karena passion
mereka. Mereka akan selalu mencari teknologi baru,
semuanya, tidak terkecuali. Dan kalau misalnya ada yang baru,
itu mereka masukkan ke dalam channel kita. "Ini ada yang
baru nih, gini gini gini, ini kayaknya menarik juga nih kalau
96
V
W
dipakai untuk ini. Mau dipakai atau tidak dipakai, semuanya
belakangan."
Ohh, jadi Om dan tim tetap mencari ya, dan kalau sudah
ketemu dimasukkan ke dalam channel untuk di-list?
iyak
Bagaimana suatu teknologi dapat dikatakan sesuai dengan kriteria
tujuan perusahaan, bagaiamana om mengevaluasi teknologi
tersebut?
V
W
V
W
Next, om, bagaimana suatu teknologi dapat dikatakan sesuai
dengan kriteria tujuan perusahaan dan bagaimana cara om
mengevaluasi teknologi tersebut?
Ya, kalau mengevaluasi bukan cuma satu ya, jadi ada beberapa
kategori mengevaluasi untuk dipakai sendiri, atau dievaluasi
untuk dijual, karena itu ada perbedaan. Karena di global Asia
kan kita akan memberikan solusi, solusi IT. Jadi beberapa
solusi mungkin cocok untuk dijual di pasar Indonesia
misalnya, itu kalau yang keluar. Tapi kalau untuk ke dalam,
berbeda sama, semua orang punya hak untuk mencoba dan
melihat teknologi baru dan semua akan coba. Kalau memang
itu sesuai dengan apa yang kita butuhkan, biasanya kita
adaptasi. Kayak dulu itu, kita nggak punya satu tempat di mana
semua dokumentasi ada di situ. Yang dokumentasinya itu bisa
kita share dengan gampang ke customer. Jadi kita cari ini, kita
dapatkan aplikasinya. Kita coba, cocok, kita pilih. Sampai
sekarang dipakai semua dokumentasi di situ. Misalnya ada
customer minta data sheet, use case, white paper, segala
macam. Kita tinggal kumpulkan dalam satu folder, kita share
link-nya. Itu kita cari bareng bareng abis itu kita evaluasi
bareng bareng akhirnya kita implementasi deh buat solve
masalah
Oh oke, jadi IT depend ya, tapi tetap semua bukan hanya om
harus mengevaluasi mutu dari suatu teknologi
iyak
Tentunya sebagai kepala divisi dari perusahaan it om sudah
memiliki kredibilitas yang baik dalam urusan keteramplian teknis,
bagaiamana cara om untuk terus beradaptasi dengan teknologi yang
97
terus berkembang dan menjaga keinginan buat usaha yang lebih
untuk terus belajar
V
W
V
W
V
W
V
W
V
Next, om, sebagai kepala divisi IT, pasti om punya kredibilitas
soal keterampilan teknis programming, deh. Bagaimana cara
om untuk terus beradaptasi dengan teknologi yang terus
berkembang dan menjaga keinginan buat melakukan usaha
yang lebih untuk belajar sama teknologi itu?
Begadang
Masuk akal padat singkat jelas, tapi gimana cara om munculin
hasrat, kayak, gue harus tetap relevan nih sama hal ini
I think kalau dulu untuk cari informasi tentang IT hal yang
baru itu masih gampang. Cycle-nya itu masih bisa paling tidak
mungkin 6 bulan sekali baru ada teknologi baru. Begitu sampai
kesini 6 bulannya mulai surut nih, jadi 5 bulan, jadi 4 bulan, 3
bulan, 2 bulan. Sekarang seminggu sekali muncul yang baru.
Kalau nggak update, itu akan ketinggalan. Kehilangan
relevansi betul. Tapi dengan sekian banyak yang baru, nggak
mungkin dong kalau misalnya cekin satu-satu bisa dapat. Jadi
om punya satu tools yang tools itu yang akan collect semua
informasi apa pun itu juga mengenai hal yang baru. Dan om
tinggal setiap hari buka aja tools itu, oh nggak ada yang baru
ini, baru-baru ini, nggak lihat aja kira-kira mana yang relevan.
Dan tools itu nggak selalu cuma teknologi, ada hal baru ya.
Tapi memang mostly teknologi.
Dan tools itu adalah?
Ada deh, itu confidential stuff
Oke, oke. Berarti tools itu adalah program yang om buat atau
apa?
Bukan, sebetulnya toolsnya, kalau generik toolsnya itu adalah
news gathering lah. Jadi banyak tipenya news gathering.
Sebenarnya sama, mau pakai tools apa pun juga sama. Cuman
kalau mau setiap orang punya skill masing-masing, punya
passion masing-masing kan. Tools itu bisa dikustom sesuai
dengan malunya. Kalau mau cari mengenai desain doang yang
update setiap hari, ada. Mau cari mengenai finance, update
setiap hari, ada. Jadi kalau om bukan cari informasinya
awalnya, tapi cari toolsnya. Karena dari tools itu gue dapet
informasi. Jadi kalau misalnya pidi mau cari toolsnya banyak,
banyak banget. Mungkin toolsnya yang om pakai nggak sesuai
dengan pidi. Tapi ada lagi tools yang lain, tapi lebih pada news
gathering tad
Jadi intinya tools itu fokusnya cuma buat ngumpulin informasi
aja. Informasi doang. Tapi om sendiri yang milah gitu. Terus
98
misalkan kalau ada suatu teknologi yang berbeda banget sama
keterampilan om. Kayak misalkan, wah ini teknologi baru
banget nih. Gimana om tetap mau belajar sama hal itu? Om
memaksakan diri om untuk belajar? Atau om itu emang,
kayaknya gue harus deh belajar, kayak memaksakan gitu. Atau
om, ini kewajiban gue gitu.
W
Fortunately, bukannya contak, bukannya sombong. Itu semua
yang berhubungan sama IT ya. Itu pasti punya base-nya, punya
dasarnya. Karena kebetulan om tahu dasarnya, walaupun
belajar sesuatu untuk tahu hal yang baru sama sekali. Itu nggak
perlu terlalu ribet si karena om udah tau base nya.
Bagaimana Om menjaga Relevansi sama Perkembangan teknologi
dan karyawan?
V
W
W
sama orang om kan banyak . Dan juga tetap bisa beradaptasi
dengan teknologi-teknologi yang barunya, kayak AI atau
gimana?
itu balik lagi ke personal passion-nya. Om kan membawahi
teman-teman yang bergerak di bidang teknologi yang
semuanya itu kalau bisa dibilang sih bukan abal-abal, mereka
juga punya skill, punya cara berfikir, punya pengetahuan yang
ada. Kalau om merasa paling hebat sendiri itu salah, justru
malah om banyak belajar dari mereka teknologi apa yang baru.
Kenapa? Sekarang gini, yang sudah senior tidak bisa hidup
sendiri tanpa yang junior. Yang junior pun tidak bisa hidup
sendiri tanpa yang senior. jadi ada beberapa misalnya begini,
kita ngomong teknologi lah misalnya, ada satu anak yang, pak
mendingan kita pakai yang ini, ini teknologi baru nih. Kalau
pakai yang ini aja deh. Tapi kalau pakai teknologi itu langsung
serta mertanggal kita review dulu sebetulnya itu impact-nya
apa? Impact-nya apa? Itu kan harus bisa bicara pengalaman.
Mereka belum punya pengalaman. Yang punya pengalaman
om, om akan bicara soal pengalaman, soal kendalakendalanya, dan mereka bicara soal teknologi yang paling
barunya.
Jadi bisa enggak kendala-kendala ini yang berdasarkan
pengalaman tadi itu diselesaikan dengan teknologi baru ini?
Ya, enggak semuanya bisa. Tapi kalau bisa, itu kan kita jadi
semakin kaya. Oh, ternyata teknologi baru ini bisa
menyelesaikan masalah-masalah yang sebetulnya secara
fundamental itu masalah-masalah lama misalnya. Yang
99
V
W
W
W
W
V
W
W
memang orang harus merasakan dulu baru ketemu masalahnya
gitu
Itu contohnya gimana om
Dan tools itu adalah?
Kayaknya misalnya gini. Anggap kita bisa bikin lagi bikin
aplikasi. Kalau anak-anak yang baru memang fresh cara
berfikirnya. Oke, kita pakai ini misalnya pakai satu aplikasi
untuk antrian lah, queuing. Queuing tuh bukan queuing ngantri
orang-orang tapi antrian pekerjaan. Oke. Pakain aja nih, bagus
nih. Lebih cepat, lebih segala macam. Nah, itu bagus ya.
Mungkin bisa dipakai. Tapi yang akan om masukkan ke
mereka adalah wisdom. Misalnya, kalau dengan ini kebutuhan
hardware-nya berapa? Terus kalau kebutuhan hardware-nya
itu besar, customer-nya sanggup nggak dibakal beli ini?
Terus ini sudah terbukti belum? Sudah kita coba belum? Terus
kalau misalnya ini dipakai, akan menambah kompleksitas di
sisi customer nggak? Karena gitu. Biasanya kan kalau anak
muda mereka ngerti, oke ini jalanin bagus. Tapi wisdom di
sekelilingnya kayak misalnya tadi kira-kira nih customer-nya
mampu belinya apa nggak. Terus cuma dong kita bikin
canggih nih, tapi nggak ada yang bisa beli. Kalau nggak oke
canggih, tapi kebutuhan hardware-nya besar banget. Yang
ujung-ujungnya adalah customer-nya nggak sanggup juga.
Karena nggak selalu bahwa ada teknologi baru gitu, itu selalu
tepat. Karena tepatnya ini bukan cuma tepat secara teknologi,
tapi secara finansial juga. Ujungnya kita kan cari duit
Dan dalam pencarian informasi malah kadang-kadang
seringnya kecepatan mencarinya itu masih lebih cepatan om
dibandingkan anak-anak yang baru
Karena apa tuh om?
Karena basicnya, mungkin karena om sudah punya
pengalaman dan punya secara fundamental kuat ya. Buat anakanak baru itu yang agak lama. Jadi misalnya gini, om. Kalau
om sudah tahu intinya, kalau misalnya, biasanya gini. Kalau
misalnya ada sesuatu misalnya, kalau misalnya anggap kita
bikin aplikasi ya. Kalau anak-anak yang baru itu, biasanya dia
akan selalu coba berpikirnya adalah, ini, bikin aplikasi ini
pakai bahasa programing apa?, bahasanya dulu. Kenapa?
Dia selalu mengacu pada diri sendiri bahwa, kalau pakai
bahasa ini, gue nggak tahu, tapi kalau pakai bahasa ini gue
tahu. Terus gue condong ke apa yang mereka punya ini. Kalau
gue pakai ini, gue harus belajar lagi. Biasanya mereka ke
bahasa dulu. Padahal sebetulnya untuk satu aplikasi, galau om,
berpikirnya. Aplikasi itu, itu language agnostic. Language
agnostic itu adalah aplikasi tidak tergantung pada bahasa
pembeberaman atau cara kerja. Lebih pada fungsinya. Yang
100
V
dicari fungsi dulu. Oke, fungsinya ini bisa bikin seperti ini,
jalannya seperti ini. Udah? Baru kita berpikir dengan fungsi
ini, pakai bahasanya yang mana? Bukan bahasanya dulu untuk
bikin fungsi ini. Kenapa yang kadang-kadang nggak dipikirin
sama teman-teman yang masih muda ini adalah, pada saat
menentuin bahasa atau pembeberamannya, itu kan dia selalu
melihat diri sendiri. Padahal kita kalau lihat satu aplikasi itu,
fungsinya ini, baru kita menentukan bahasanya. Pada saat kita
menentukan bahasa itu, kita akan menentukan resource.
Misalnya, bikin aplikasi dengan bahasa paling baru. Yaudah,
siapa yang bisa menrogram pakai bahasa paling baru? Lu buka
lowongan juga, yang lamar juga nggak ada. Bukan cuma, oh
biar keren nih bahasa paling baru. Tapi siapa yang bikin? Yang
jarang. Bukan berarti bawa bahasa paling baru, pasti hasilnya
selalu harus lebih bagus. Kalau nggak ada yang bikin, nggak
ada programmernya, ya cuma. Terus, itu satu resource. Setelah
dapat resource, karena bahasa baru jarang yang tahu misalnya,
ada resource yang harganya mahal. Karena jarang masih yang
bisa itu. Harganya mahal, pada saat kita hitung-hitung
kalkulasi, keseluruhan aplikasi jadi mahal. Balik lagi, siapa
yang mau beli? Wisdom seperti itu. Kecuali kalau misalnya
kita bikin aplikasi bukan untuk tujuan komersial, itu
terserahlah. Tapi kalau tujuan komersial, ujung-ujungnya
adalah, ada yang beli nggak? Karena, orang IT, programmer
bikin aplikasi, banyak jago-jago hebat-hebat di akun. Tapi bisa
dijual nggak? Yang susah itu cari duitnya, bukan bikin
aplikasinya. Makanya, wisdom seperti itu kan nggak bakal
bisa dapat sama anak muda. Tapi kalau ujung-ujung
ngerasakan bahwa, sebetulnya ujung sendiri ngerasakan
bahwa setelah sekian lama itu, yang paling susah itu adalah
gimana lu bikin produk yang bisa dijual. Bikinnya segampang
kalau ujung-ujung mau bikin aplikasi. Bikin aplikasi bisa,
nggak ada yang nggak bisa bikin aplikasi. Dia bilang, mungkin
nggak bikin ini? Mungkin. Semua itu mungkin dan semua itu
bisa. Sekarang apa sih nggak bisa bikin aplikasi? Tapi
sekarang kejualannya bisa nggak? Lu bikin bagus-bagus tapi
nggak bisa kejual, percuma. Itu karena kita mikirnya kan, ini
komersial. Bukan organisasi apa, NGO, non-governmental,
non-profit, organization
Nice info terima kasih
Bagaimana om membangun hubungan interpersonal yang baik
dengan karyawan
101
V
W
V
W
oke om, om ngomong kalo buat nyaman sama kerjaan itu pake
eticketing, kalo buat ngeblend sama tim pake weekly meeting
sama punya group whatsapp, saya mau tanya nih om, ada
nggak si teknik atau pendekatan yang lebih personal, kan
orang punya latar yang berbeda beda nih om, itu om gmana tu
untuk urusan interpersonal nya
ada untuk pendekatan yang lebih personal om gunain teknik
metode “situasional leadership” yang terbagi dalam empat
tahapan (four stages). Secara alami manusia itu pasti ada di
salah satu tahapan itu, oh iya tahapan nya itu ada directing,
coaching, supporting, delegating. Itu orang itu pasti mulai dari
awal sampe akhir tapi semakin akhir itu makin sulit, dan
persentase manusia yang cocok untuk setiap tahapan itu juga
sedikit, jadi pasti ada yang stak emg di salah satu tahapan
karena mereka nggak sesuai dengan tahapan lanjutan nya,
misalnya vidi dan efra ada di tahap supporting nih, ternyata
yang berhasil masuk ke tahap delegating cuman vidi, efra
nggak, ya artinya bukan efra bodoh, tapi kapasitas diri nya
cuman sampe supporting. Jadi ketika menggunakan metode ini
om juga bisa menyesuaikan komunikasi yang efektif buat dia.
ohhhh oke oke, karena semakin tinggi kriteria yang
dibutuhkan itu semakin banyak, dan nggak semua orang itu
bakal fit yaaa?
yaak, Itu setiap karyawan tu pasti ada di salah satu tahapan,
dan om dengan harapan bahwa karyawan itu bisa sampai
dengan tahapan delegating, jadi ketika om merekut orang ke
dalam tim om akan memetakan orang itu ada di stage mana,
misalnya directing, oh oke om tau akan cape, karena pada saat
di stage directing komunikasi yang paling efektif adalah kasih
tau semua bahkan sampe caranya om harus kasih tau, contoh
pidi kamu lakuin X, caranya kamu pake A,B,C,D,E,F. harus
jelas spesifik dan detail mereka nggak ush problem solve om
yang problem solve om kasih tau direction nya mereka kerjain.
Itu directing, oke semakin lama kalo progress nya bagus
mereka naik tingkat, ke stage coaching, coaching itu lebih
pada idenya dari om, mereka yang problem solve, misal om
mau X, yaudah ngomong ke mereka, mereka yang problem
solve. Oke kalo emg dia progressnya bagus lagi, dia bakal naik
ke supporting, nah supporting itu adalah ide dari dia dan
problem solve juga dari dia, misalnya permasalahanan itu X,
yaudah ide dan problem solve nya dia, dan om hanya ngeliat
bener apa nggak, kalo bener lanjutin, kalo salah om kasih saran
102
V
W
V
W
V
W
munkin cara nya ini, mau dicoba atau dia punya problem solve
lain terserah dia, om hanya bertindak sebagai support. Yang
terakhir adalah yang paling susah yaitu delegating, delegating
itu adalah om menyerahkan pekerjaan itu sama dia dari bikin
ide, problem solve, detail detail lain, dan om juga harus bisa
melepas full pekerjaan itu, percaya bahwa dia bisa
mengerjakannya dari A-Z. itu delegating, dan tiap tiap tim
member tu beda beda stage nya, jadi komunikasi nya juga
berbeda beda. Itu yang sebetulnya mereka secara tidak sadar
bahwa mereka itu punya stage masing masing sesuai kapasitas
nya. Intinya juga adalah semakin banyak om develop mereka
sampe bisa tahap delegating, yaaa pekerjaan om juga semakin
sedikit karena bisa dikerjain sama mereka, dan mereka sendiri
pun berkembang menjadi lebih bagus entah dari hardskill nya
maupun softskill nya
oke, berarti itu adalah cara om untuk lebih tau komunikasi
kayak apa si yang dibutuhin karyawan, contohnya misalnya
directing komunikasi nya di sesuaikan, biar mereka nggak
stress karena mereka nggak tau, atau yang supporting om
gunain komunikasi yang bersifat support supaya mereka
nggak merasa di usik atau pusing sama om tentang pekerjaan
okee, terus kan kalo dalam proses 4 stages tadi apakah om
menggunakan teknologi untuk menunjang atau emg pure
pendeketan sosial?
Oke, oke. Berarti tools itu adalah program yang om buat atau
apa?
dua duanya, nggak teknologi doang, nggak sosial doang, gini
kalo misalkan kita mau dapet impact paling besar dari
pendekatan sosial di kehidupan tatap muka ya harus ketemu
mesti ngobrol, tapi kan dengan kondisi sekarang dimana kita
ada WFA nya ya om harus gunain teknologi untuk dapet
impact paling besar dari wfa, sesimple zoom, teams, atau
lainnya. Tapi ngga berhenti disitu aja, bahkan teknologi bukan
hanya ngecover pertemuan, tapi untuk shareworking yaitu apa
yang karyawan om kerjakan om bisa tau secara real time dan
om bisa kasih arahan misalnya deh, sesimple buka exel deh,
dia ketik apa om bisa liat, dan om bisa ngetik juga di dokumen
yang sama, untuk koreksi atau kolaborasi ama dia, itu juga
bukan cuman excel, tapi bahkan sampe word, project dia,
diagram itu om bisa cek real time. Dan itu gunanya teknologi
untuk kolaborasi penuh tanpa adanya batasan jarak dan delay.
berarti teknologi di digunakan sebagai penunjang aturan dan
pola interaksi di global asia ya om?
iyak
103
Bagaimana Cara om meminimalisir Kepemimpinan dan komunikasi
yang buruk serta kerja yang berlebih pada karyawan
V
W
V
W
V
W
Global asia kan bergerak dalam dunia teknologi dan informasi
lebih spesifik it support saya melakukan riset. Bahwa tahun
2020 itu top 3 perusahaan yang paling burn out itu, paling
parah burn outnya itu Apple, Oracle, T-Mobile. Terus tahun
2023, informasional teknologi dan publishing itu adalah
industri paling buruk karena karyawannya banyak yang burn
out kedua. Dan lebih jauhnya bahwa di industri IT itu
disebabkan, karyawan burn out itu disebabkan oleh 2 faktor
yang paling besar. Pertama itu poor leadership and
communication, sama yang kedua overload work gitu deh.
Gimana sih om minimalisir hal tersebut?
oke, ada satu missconception yang kurang tepat ya buat leaderleader. Bahwa kalau misalnya bekerja bukan di kantor,
misalnya WFH, mereka bisa bekerja 24 jam. Merekan berfikir
karena lu kan dirumah, lu bisa kerja kapan aja. Nah, itu yang
persepsi yang salah dari leader-leadernya. Karena berpikirnya
bahwa itu bisa bekerja 24 jam, ya udah. Beban pekerjaan yang
mestinya, misalnya, kalau normal misalnya 8 jam sehari itu,
itu ya dikasih beban pekerjaan yang mesti dikerjain 12 jam
sampai dengan 24 jam malah. Itu yang bikin burn out.
Jadi om selalu mau dimanapun platform, mau dimanapun
situasinya, bahwa 8 jam tetep 8 jam?
Iya. Dan 8 jam itu susahnya adalah kalau misalnya, kalau
tradisional mikirnya kan kalau dia ada di kamar, dia bekerja.
Padahal kan belum tentu juga. Walaupun dia bekerja 8 jam,
tapi sebetulnya efektif dia bekerja itu 8 jam enggak sih? Bukan
karena dia muncul di kantor, ada duduk di kantor itu bekerja
kan. Siapa tahu dia main Mobile Legends. Atau dia cuma
scroll-scroll TikTok sama Instagram, kan bisa aja. Nah, dari
sisi om lebih pada, bukan berarti kuantiti atau kuantitas itu
nggak dilihat, tapi lebih pada kekualitasnya. Jadi misalnya,
oke lu kerja di rumah 4 jam selesai. Yaudah, 4 jam selesai.
Nggak usah lu panjang-panjangin deh, lu panjang-panjangin
juga. Gue juga nggak lihat juga.
Jadi om lebih menuntut kayak, misalnya lu bisa produktifitas
4 jam, ya udah 4 jam aja kerjanya gitu.
Ya, artinya gini ya, dia kasih task misalnya. Task ini misalnya
selesai, bisa berapa jam, task kira-kira 4 jam, ya udah, selesain
4 jam
104
V
W
V
W
V
W
V
W
V
W
V
W
Abis itu udah nggak ada task lagi tuh abis itu?
Nggak ada task lagi. Kalau misalnya lu mau ambil task lagi,
ya udah ambil task lagi. Kalau dia merasa saya sanggup, Tapi
kalau emang sudah 4 jam itu sebetulnya lebih produktif
dibandingkan 8 jam, ya kenapa harus memaksakan diri 8 jam?
Toh dia di rumah juga, nggak ada yang bisa ngeliat. Dia mau
bohong juga terserah kan.
: Berarti tetap pada penekanan bahwa om melihat kualitas dari
pekerjaannya itu, bisa tasnya diselesaikan berapa jam, om
nanya nih ke dia, berapa jam, misalnya dia 4 jam, dan kalau
kelar pun, kalau bisa tas kelar, om mau ngasih kerjaan lebih?
Nggak, kerjaan lebih itu lebih pada mereka, kalau memang
mereka merasa bahwa itu mereka sanggup, mereka bisa ambil.
Jadi, cara kerja kita adalah, kecuali ya, kecuali, kecuali ada
pekerjaan yang berhubungan dengan customer, karena itu
tidak bisa kita kontrol waktunya.
oh iya karena langsung berhubungan sama server client yaa
Iya itu baru urgent.
nah untuk pembagian tasknya gmna nih om?
di global asia kita punya SLA, jadi global asia itu punya SLA,
ke customer SLA itu adalah service level agreement. Itu adalah
kontrak antara gas dan customer. misalnya ada problem, jadi
gas sendiri kita punya leveling, level 1, level 2, level 3. Di level
1 itu, mereka punya batasan waktu itu 48 jam. Jadi misalnya
ada masalah di customer, level 1 yang handle pertama kali
harus selesai di 48 jam. Kalau nggak selesai, dia harus eskalasi
ke level 2. Kalau level 2 nggak selesai juga, eskalasi ke level
3. Nah, itu pembagian nya seperti itu. Jadi misalnya gini, ada
masalah di server, misalnya. Servernya down. Level 1 dulu
kerjain,
sorry om saya potong, untuk penentuan tingkat-tingkat level
itu gimana?
Level 1 itu lebih pada junior. Junior, level 2 intermediate, level
3 baru yang advance . Karena masalah kan kita nggak tahu.
Kalau misalnya ada problem, ada issue dari customer,
mungkin masalahnya kecil, masalahnya besar. Kalau
masalahnya kecil, seharusnya selesai di level, Kalau
masalahnya ternyata sedikit besar, level 1 nggak sanggup, dia
bisa minta bantuan eskalasi ke level 2 yang isinya intermediate
engineer. Di intermediate engineer, kompleks ini nggak selesai
juga, baru minta eskalasi ke level 3.
Oke, tapi itu untuk koordinirnya dan eskalasinya gmna om?
itulah peran teknologi, kita pakai Infigate Service Test. Jadi,
disitu semua eskalasi. Bahkan, customer itu pun tahu bahwa
ini ada di level berapa, sudah berapa lama dikerjakan. Itu
105
semua ada. Jadi, secara kualitatif ketahuan, pekerjaannya,
kuantitatif juga. Karena juga kita punya waktu keliatan
V
W
V
W
V
W
dan semua pekerjaan yang diberikan dari customer, itu harus
selesai dalam waktu 48 jam atau setiap 48 jam berpindah ke
level atas
Tergantung kompleksitasnya. Kalau kelihatan misalnya di
level satu, masalahnya begitu dilihat. Dia kan level satu
biasanya information gathering. Cari tahu dulu semua
masalahnya, informasi dulu semua. oh masalahnya ini
simple.Tiga jam selesai, itu karena setiap ada isu dengan
customer bahkan sebetulnya internal juga kita sudah mulai
pakai. Itu semua, apapun itu juga pekerjaannya itu, itu ada, kita
punya ticketing system, ada nomornya. Nomornya UNIQ.
Jadi, kalau misalnya, oke, ada isu ini, kita akan buatkan
tiketnya. Kita dikasih nomornya, si customer tahu, semua
orang dikantor tahu nomornya. Kita kerjakan, misalnya dalam
waktu empat jam selesai, berarti kan masih di level satu, itu
dia close tiketnya. tiketnya di close, terus nanti sistem akan
ngirim notifikasi ke customer bahwa ini masalahnya sudah
close, solusinya ini, ini, ini, ini. Nah, customer tinggal lihat,
oke ini setuju, customernya close task. Kalau customernya
approve pekerjaan selesai. Kalau misalnya ternyata di dalam
tiga jam pun si L1-nya udah ngelihat, wah ini kayaknya nggak
mungkin yang dua hari nih, 48 jam. Gue eskalasi dah. Itu dia
eskalasi bisa, nggak harus menunggu 48 jam habis terus dia
baru eskalasi.
Oh, jadi mereka bisa, oke, oke, jadi mereka sendiri bisa
langsung koordinasi ke level atas ya?
betul, Dan posisi om di level tiga. Jadi, ya dong, jadi untuk
satu isu sampai koordinasi itu jarang, mungkin sebulan paling
satu apa dua, tapi di bawah bisa 10, 15, tapi selesai di bawah
di level satu, level dua.
nah berarti kan rata-rata pekerjaan itu selesai sampai level 2,
dan om sendiri ada di level 3 artinya pekerjaan om lebih sedikit
dari 2 level lainnya. Apakah 2 level dibawah memiliki
keseimbang hidup yang baik om?
Nah, itu lagi, karena kita punya sistem, sistem itu, jadi pada
saat ada isu masuk, itu dia akan masuk level satu. Level satu
masuk, kita punya dua SLA. SLA dari service level. Pertama
kali adalah first response. First response kita itu adalah empat
jam. Jadi dalam empat jam setelah isu masuk, itu harus diresponse. Walaupun responnya misalnya terima kasih, oke,
nanti kita akan lihat masalahnya seperti apa. Itu respon.
Setelah respon masuk, respon jamnya berhenti, masuk ke
resolusi. Resolusi itu penyelesaian masalah. Itu yang 48 jam,
106
V
W
jadi empat jam. Pertama, baru 48 jam. Nah, itu baru jalan juga
jamnya. Kalau misalnya jamnya itu menurut si L-1 wah ini
terlalu rumit nih. Buat gue gitu. Nah, di level, level dua. Dan
assignment-nya atau penunjukannya, misalnya di level satu itu
ada sekitar tiga orang tergantung produknya. Terus siapa?
Gimana caranya? Si A, B, C dapat ada isu masuk, dia
mengendalikan ini, mengendalikan ini. Itu ada banyak cara,
dan itu di otomatisasi. Jadi yang kita pakai adalah, sebetulnya
ada empat. Cuma kita pakai Ron Robin. Ron Robin itu sistem
bergantian. Kayak misalnya Gojek mumpul, ada order masuk,
Pidi dapat. Nanti ada masuk lagi, Pidi nggak bakal dapat. Tapi
temennya yang dapat.
ohh jadi, eskalasi itu otomatis, dan pembagian kerja otomatis
yaa
yoi
WAWANCARA MISBAHUL HUDA
Merunutmu, pak windy adalah pemimpin yang bagaimana?
V
M
V
M
V
M
V
M
Menurut Mas Baul, om Windy itu pemimpin yang gimana
sih?
Pemimpin dalam hal apa ini. Kan, gue di Sama Pa win itu ada
pembagian tugas sama yang human. Maksudnya, dalam
proyek, dalam projek gitu kan. Misalnya lo bagian fasilitas
dan segala macam, atau bagian orangnya nih. Dalam hal apa
dulu nih.
Jadi maksudnya, Mas Baul tuh biasanya disuruh urusin ini
juga orang juga? Atau gimana nih?
Kalau dalam kerjaan yang sekarang, iya.
Oh, berarti perintah dari om itu gimana, terus nyampein ke
karyawan lain. Ke bawah yang lain.
iya
oke Selama interaksi itu deh, misalkan tugas, ada task apapun
itu, itu gimana? Dari yang ditangkap selama kerja sama om
win
So far, selama gue tentang Pa win ini sih. Penyampainnya sih,
tapi kan ini lebih ke individu gue, nangkep dari tugas Pa win
ini kan?
107
V
M
V
M
V
iya
Dari yang Pa win jelasin sih, gue ngerti. Dan gue juga bisa
langsung membagi tasks ini yang dibawah gue. itu jadi cukup
bagus antara komunikasi gue sama Pa win ini.
Berarti komunikasi dari atasnya pun clear?
betul sangat amat clear Dan ada pun case-case atau probality
pertanyaa dari bawah gua atau yang lain bisa langsung
ditanyain ke Pa win itu, bisa langsung gue tanya ini, misalnya
dalam kondisi A ini bisa apa segala macem. Jadi dalam gue
nyampein ke bawah gue pun, gue juga menjelaskan secara
detail karena komunikasi diatas clear.
Oh, berarti apapun yang ditanyain ke Pa win itu pasti, atau
task apapun itu pasti secara komphersif dan detail semua.
Apakah peraturan di PT Global Asia Sinergi Menunjang Work-life
balance mu?
V
M
V
M
V
M
Nah, terus kalau menurut Mas, peraturan di divisi Om Windy
tuh menunjang nggak sih, worklife balance nya, menunjang
worklife balance Mas sendiri nggak?
maksudnya? sesuai pandangan gua?
Iya, soalnya gue disini datang neliti ini itu, karena gue coba
research dulu bahwa pekerjaan paling buruk nomor 5 itu IT.
Dan tahun 2022 itu perusahaan IT pokoknya paling gampang
burnout, itu karena kepemimpinan yang buruk dan
komunikasi yang buruk sama kerjaan yang banyak. menurut
Mas, Om Windy ini bikin peraturan menunjang nggak sih?
Dalam tim sih, manager dia, managerial dia membagi tugas,
menurut gue itu udah pas. Jadi manage itu, pak win juga tau
nih kapasitas karyawan dari misalnya pekerjaan ini dihandle
sama ini, nah itu udah sesuai semua tuh, dan itu pasti di
komunikasinya sama Pak Windy juga. Jadi misalnya nih gue
disuruh tugas a, sedangkan gue dalam tugas a ini masih belum
clear, mungkin dalam hal ini ditugasin ke orang lain. Jadi Pak
Windy sendiri mengerti kapasitas bawahannya.
Jadi apapun itu sesuai kemampuan. Berarti dia cukup
memikirkan karyawan-karyawannya juga ya?
iya
108
Apakah lingkungan kerja di divisi pak windy nyaman
V
M
V
M
V
M
Nah, terus kalau menurut Mas, peraturan di divisi Om Windy
tuh menunjang nggak sih, worklife balance nya, menunjang
worklife balance Mas sendiri nggak?
maksudnya? sesuai pandangan gua?
Iya, soalnya gue disini datang neliti ini itu, karena gue coba
research dulu bahwa pekerjaan paling buruk nomor 5 itu IT.
Dan tahun 2022 itu perusahaan IT pokoknya paling gampang
burnout, itu karena kepemimpinan yang buruk dan
komunikasi yang buruk sama kerjaan yang banyak. menurut
Mas, Om Windy ini bikin peraturan menunjang nggak sih?
Dalam tim sih, manager dia, managerial dia membagi tugas,
menurut gue itu udah pas. Jadi manage itu, pak win juga tau
nih kapasitas karyawan dari misalnya pekerjaan ini dihandle
sama ini, nah itu udah sesuai semua tuh, dan itu pasti di
komunikasinya sama Pak Windy juga. Jadi misalnya nih gue
disuruh tugas a, sedangkan gue dalam tugas a ini masih belum
clear, mungkin dalam hal ini ditugasin ke orang lain. Jadi Pak
Windy sendiri mengerti kapasitas bawahannya.
Jadi apapun itu sesuai kemampuan. Berarti dia cukup
memikirkan karyawan-karyawannya juga ya?
iya
Apakah om windy dalam mengambil Keputusan melibat kan
karyawan
V
M
V
M
Terus apakah di divisi Mas itu cukup nyaman? Nyaman
sampai buat menuntut produktivitas lingkungannya?
Sejauh ini, dalam over time segala macam, dengan adanya
wfa itu bisa ditolerin.
Dan waktu kemarin Om Windy ngomong gini, misalkan lu
bisa produktifnya 4 jam, yaudah lu kerjain produktif 4 jam,
setelah itu setelah lu mau ngapain? Karena gue juga nggak tau
kan,
apa itu benar?
bener dan itu juga kepercayaan. Lu udah di tugas ini, gue
percaya lu bisa dalam, ya intinya, gimana caranya lu beres,
gue taunya itu doang. Lu mau ngerjain 4 jam segala macam,
gue nggak peduli. Yang penting tugas ini selesai. Gitu nggak?
109
Apakah Ketika work-life balance mu bagus, kamu merasa lebih
produktif untuk melakukan effort lebih untuk pekerjaan?
V
M
V
M
V
M
sama, berarti kan worklife balance di mas sendiri pun terasa
dari peraturan segala macam itu. Apakah itu merasa lebih
terikat keterikatan tentang pekerjaan yang meningkatin
produktif kita segala macam?
kasih contoh case deh
Misalkan gini, karena mungkin worklife balance lu bagus,
terus lu punya lingkungan yang nyaman, jadi lu berusaha
untuk I do my best for this job gitu.apa itu benar?
pastinya
Itu semua karena lingkungan dan work life balance yang
bagus itu?
betul
Apakah om windy memberikan dukungan emosional yang baik?
V
M
Nah, sama yang terakhir. Om Windy itu memberi dukungan
emosional yang bagus nggak? mensupport lu semua
termaksuk mas, memberikan dukungan emosional yang bagus
nggak?
pastinya, di dalam ataupun diluar pekerjaan, dengan
pengetahuan dan pengalamannya dia selalu memberi yang
baik. Dia nggak menyuruh kita, lu jangan ngelakuin ini, tapi
dia menyarankan ini yang lebih baik. Dan semua itu
keputusan dari kita.
WAWANCARA EDWIN SANDHI
Merunutmu, pak windy adalah pemimpin yang bagaimana?
V
E
Oke Mas, menurut Mas Edwin Om Wind itu pemimpinan
gimana sih?
satu terbuka, apalagi kan dia seorang manajer ada beberapa
informasi yang antara manajer dan direktur itu sifatnya
rahasia Tapi kayaknya mungkin bagi dia itu perlu
disampaikan ke bawahannya dia Terus secara komunikasi
dalam bekerja, dalam proyek, menurut saya juga bagus
Terutama dalam pembagian tugas, dia bisa melihat porsi
kebisaan seseorang untuk mengerjakan sesuatu Terus juga di
110
V
E
luar dari pekerjaan bisa memahami posisi orang misalnya
Satu orang lagi ada masalah pribadi, butuh cuti atau libur, atau
butuh saran sesuatu Jadi dia bisa, ada yang mau untuk
melakukan itu, meskipun di luar pekerjaan
Oh berarti dia itu sangat ini ya, berarti Mas sendiri ke Om
Wind cukup terbuka
Ya karena cara dia untuk mendekati bawahannya juga ada
membuka diri Jadi dengan secara tidak kesadar kita juga
membuka diri sama dia
Apakah lingkungan kerja di divisi pak windy nyaman
V
E
V
E
V
E
Oke, terus next questionnya, di gas itu lingkungannya nyaman
gak sih untuk kerja atau apapun?
Kalau kita ngomong keseluruhan, gas sebenernya lumayan
Untuk gasnya lumayan.
Tapi karena gue di bawah manajemennya pak windy itu jadi,
divisi ini jadi beda sendiri sama gas it,u sebenernya untuk cara
kerja
Oh berarti divisi Om Windi pun itu sangat menunjang, tapi
secara keseluruhan perusahaan itu sebenernya lumayan?
Nah kalau misalnya pak Windi ngikutin peraturan yang ada di
gas, itu ada yang kurang enak kerja di situ Karena pak windy
top level manajemennya salah satunya, jadi dia bisa bikin
peraturan di luar dari gas itu yang berlaku cuma divisi pak
Windi doang
Apakah om windy dalam mengambil Keputusan melibat kan
karyawan
V
E
V
E
V
Oke, terus dalam penerapan soal peraturan tadi, apakah Mas
Edwin dilibatkan bersama karyawan lainya ?
Kalau kita ngomong keseluruhan, gas sebenernya lumayan
Untuk gasnya lumayan.
Ya tentu, pertama biasanya kalau ada mau nentapin peraturan
biasanya ditanya dulu, Adapun kita punya saran, kita
diperbolehkan untuk ngasih saran pak windy Sejauh ini ya,
saran-saran semua pekerjaan ditampung sama dia
Dikonsolidasi gitu, dari banyaknya saran, dibikin satu
kesimpulan, ini jalan tengahnya
nah itu kan berarti sebuah peraturan itu diciptakan dari banyak
sekali pandangan pasti ada satu dari masalah, pandangan si A
itu adalah pandangan yang paling benar Jadi disari yang
111
E
V
E
diambil kesimpulannya dari pandangan A Nah itu apakah
dikasih kredit tuh? Ini tuh dari si A, gini-gini?
Kreditnya apa dulu?
Kayak disebut namanya atau memang dia mau ngomong ini
kesimpulan dari tim?
Kalau berdasarkan teknis ya, kayaknya dalam pekerjaan
nggak perlu kredit sih Paling menurut gua, karena kita
ngumpul semua dalam pengambilan ide tersebut Jadi semua
orang tahu kalau dia itu ide dia gitu Tapi kalau secara kredit,
sebenernya gak perlu lah namanya kerja
Apakah Ketika work-life balance mu bagus, kamu merasa lebih
produktif untuk melakukan effort lebih untuk pekerjaan?
V
E
V
E
Nah tadi dibilang bahwa divisi Om Windy itu nyaman Apakah
itu membuat keterikatan yang lebih dalam gitu misalkan Yang
kayak tadi Mas Baul, saya tanya ke Mas Baul Kayak karena
ini nyaman dan Om Windy juga interpersonal cukup dekat nih
sama mas-mas kalian Jadi oke, gue mau ngelakuin hal yang
terbaik deh, gue usaha lebih gitu
oh iya pasti, Jadi salah satu contohnya adalah memang dikasih
ini kerjaan itu utama ya. Lo juga udah tahu banyak
burnoutnya Apalagi waktunya kadang banyak kerja di luar
jam kerja Nah salah satu contohnya adalah dia memberi
kebebasan pekerjanya Kalau udah kerja sampai pagi, dari
malam sampai pagi Jadi kita dibebasin buat nggak kerja
siangnya, buat istrirahat
Buat hari besoknya?
Hari besoknya, di jam kerja Makanya meskipun memang mau
melakukan kerja kayak gitu Tapi karena dikasih kelonggaran,
jadi nyaman kita juga kerja Dan sejauh ini ya pernah denger
cerita cerita dari temen-temen yang IT juga di perusahaan lain
Nggak ada kayak begitu Maksudnya di Pukul rata ya, kalau
sampe malam itu besok.besok masuk.
Apakah om windy memberikan dukungan emosional yang baik?
V
E
Sama yang terakhir Om Windy tuh ngedukung emosional,
memberikan dukungan emosional yang bagus nggak sih?
Oh iya, salah satu contohnya kayak saya pribadi cerita tentang
masalah tanggal Ngomong-ngomongin rumah kayak gini,
punya masalah tentang rumah cerita, ngasih saran Ya itu
sebenarnya sih nggak perlu juga sih buat dia untuk
112
menjawabnya Tapi ya dia jawab, tapi sama dia ditanggepin
dan kasih saran
113
LAMPIRAN DOKUMENTASI
114
DAFTAR RIWAYAR HIDUP
Nama lengkap
: Vidi Pratama Jaya
Alamat
: Jln. Raya Bogor Km 27,5 No. 8E, Pekayon, Pasar Rebo
Kota Jakarta Timur, DKI Jakarta 13710
Nomor Telepon
: 085155225473
Email
: jvidipratama@gmail.com
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Tempat Tanggal Lahir : Sukabumi, 20 Oktober 2003
Agama
: Islam
Status
: Mahasiswa
Instansi
: Universitas Gunadarma
Jurusan
: Ilmu Komunikasi
Angkatan
: 2021
Semester
:5
Riwayat Pendidikan
:
1. SD Pekayon 018
2. SMP 184 Jakarta
3. SMA 106 Jakarta
115
Download