LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK 3 SEKELUMIT KISAH INTOLERAN KEAGAMAAN DI INDONESIA SERTA KAJIANNYA DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN OPINI KELOMPOK Kelompok 3 Disusun Oleh: 1. Elisa Lintang Ratri Arianna 477224 2. Evita Oktaviani 477145 3. Fairus Akbar 477211 4. Irfan Septia Dwisantana 476938 5. Listya Nur Aini 477129 6. Nadifa Silvia Maharani 477175 7. Nicolas Ekaputera Samuel 477009 8. Nikodemus Hanwey Karyadi 476924 9. Putri Vanya Larasati 476991 10. Raihan Mufid Rufiano 477191 11. Sri Utami 477050 12. Sylvia Tellanisdar Gulo 477177 13. Zaidan Naufal Grajanara 476955 Pendidikan Pancasila 2021 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Kasus 212 1.2.2 Kasus Bom Bali 1.3 Tujuan 1.3.1 Untuk menganalisis secara kritis terhadap Kasus 212 dengan berlandaskan pada hukum, kebijakan pemerintah, dan pandangan kelompok. 1.3.2 Untuk menganalisis secara kritis terhadap Kasus Bom Bali dengan berlandaskan pada hukum, kebijakan pemerintah, dan pandangan kelompok. 5 BAB II ISI 2.1 Kasus 212 2.1.1 Latar Belakang 2.1.2 Peraturan yang Dilanggar 2.1.2.1 UU PNPS No 1 Tahun 1965 Pasal 1 2.1.2.2 KUHP Pasal 156 2.1.2.3 KUHP Pasal 156 ayat a 2.1.2.4 Pasal 29 Undang-Undang Negara RI 2.1.3 Linimasa Kejadian 2.1.4 Tanggapan Pemerintah 2.1.4.1 Penyangkalan 2.1.4.2 Evasion Responsibility 2.1.4.3 Reducing Offensiveness 2.1.4.4 Corrective Action 2.1.4.5 Mortification 2.1.5 Kaitannya dengan Nilai-Nilai Pancasila 2.1.5.1 Sila ke-1 Menjunjung Tinggi Agama Memanfaatkan Agama Demi Kepentingan Politik 2.1.5.2 Sila ke-2 Ketidaktegasan Penegak Hukum 2.1.5.3 Sila ke-3 Provokasi dan Penggiringan Opini 2.1.5.4 Sila ke-4 Perwujudan Demokrasi 2.1.5.5 Sila ke-5 8 2 5 6 6 6 7 7 7 8 8 8 8 8 9 9 10 10 10 11 11 11 12 12 12 12 12 13 13 13 13 13 13 13 Mewujudkan Keadilan Hukum 13 2.1.6 Pandangan Terhadap Kebijakan Pemerintah 14 2.1.6.1 Kesetaraan Derajat di Mata Hukum 14 2.1.6.2 Respon Krisis yang Tepat 14 2.2 Kasus Bom Bali 14 2.2.1 Latar Belakang 14 2.2.2 Linimasa Kejadian 15 2.2.3 Kebijakan Pemerintah 15 2.2.4 Kaitan dengan Nilai Ideal Pancasila 16 2.2.4.1 Sila Ke-1 16 2.2.4.2 Sila Ke-2 16 2.2.4.3 Sila Ke-3 16 2.2.5 Kesimpulan 16 2.2.6 Pandangan Bagaimana Merumuskan Kebijakan Terkait Sesuai dengan Pancasila 17 BAB III PENUTUP 18 3.1 Kesimpulan 18 3.1.1 Kasus 212 18 3.1.2 Kasus Bom Bali 19 3.2 Saran 20 3.2.1 Saran bagi pemerintah 20 3.2.1.1 Pemerintah hendaknya mengidentifikasi siapa oknum yang dengan sengaja menunggangi kepentingan golongan yang berdemo saat 212 karena akibat oknum tersebut suasana saat aksi 212 menjadi ricuh. 20 3.2.1.2 Pemerintah seharusnya melakukan pengawasan yang ketat melalui TNI dan Polri untuk mencegah tindakan terorisme oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. 20 20 3.2.2 Saran bagi masyarakat 3.2.2.1 Masyarakat hendaknya memupuk rasa toleransi dalam dirinya masing-masing demi menjaga kerukunan beragama dalam keberagaman Indonesia. 20 3.2.2.2 Menghargai kepercayaan dan kewajiban umat beragama satu sama lain. 20 3.2.2.3 Tidak terpancing dengan provokasi dan isu yang belum jelas kebenarannya yang mengarah pada destruktifisme. 20 3.2.2.4 Meningkatkan rasa iman dan taqwa terhadap Tuhan masing-masing sesuai kepercayaannya. 20 3.2.2.5 Sabar dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku ketika terdapat kasus yang berhubungan dengan agama. 20 3.3 Pertanyaan dan Jawaban 20 3.3.1 Muhammad Rizqy Al Farisi 20 3.3.2 Wandana Karuna Pradopo 21 3 3.3.3 3.3.4 3.3.5 3.3.6 3.3.7 Sylvia Magdalena Ferdiawan Hadi Susanto Muhammad Rizqy Al Farisi Dio Kriswara Muh. Ridho Kurniawan Saadi 21 21 22 23 23 DAFTAR PUSTAKA 24 LAMPIRAN 26 4 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia, agama memegang peranan yang penting dalam kehidupan setiap masyarakatnya. Hal ini dibuktikan dengan kentalnya setiap kegiatan yang dilakukan masyarakat pasti setidaknya ada agama yang mempengaruhi di sana. Kondisi ini akan berbeda 360 derajat dengan negara Tiongkok. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingginya angka atheisme pada negara tersebut. Berdasarkan data world population review, pada 2021 China merupakan negara dengan jumlah penganut non agama atau ateis terbesar di dunia dengan persentase penduduknya yang mengaku atheis adalah mendekati sebesar 4049%. Negara Indonesia sampai saat ini mengakui 6 agama yang ada, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu dengan persentase penganut agamanya masingmasing menurut proyeksi data BPS Tahun 2018 seperti yang ditunjukkan dalam tabel. Tabel 1 Persentase Penganut Agama di Indonesia Berdasarkan Proyeksi Data BPS Tahun 2018 Agama Persentase Islam 86,7% Kristen Protestan 7,6% Kristen Katolik 3,12% Hindu 1,74% Budha 0,77% Konghucu 0,03% Lainnya 0,04% 5 Meskipun begitu, sebenarnya masih banyak terdapat agama-agama lain yang berupa kepercayaan leluhur. Menurut proyeksi data BPS pada tahun 2018, terdapat 0,04% penduduk Indonesia yang menganut agama “lainnya” selain keenam agama mayoritas tadi. Keberagaman agama tersebut dapat menjadi suatu anugerah tersendiri bagi kekayaan warna dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, di sisi lain seringkali karena keberagaman tersebut dapat menciptakan api permusuhan di antara masyarakat. Berbagai faktor dapat menyebabkan permusuhan tersebut, tetapi yang paling sering terjadi adalah kesalahpahaman di antara penganut agama. Kesalahpahaman tersebut tentunya dapat mengarah ke kasus intoleransi beragama. Sudah banyak kasus intoleransi beragama yang terjadi di negeri ini. Bahkan, tak hanya berfokus pada permasalahan agama saja tetapi kasus intoleransi tersebut ada yang disengajakan untuk diakulturasikan dengan kepentingan suatu golongan untuk mencapai sebuah kemenangan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah kami buat, maka kami merumuskan masalah untuk dibahas secara lebih mendalam yakni seperti berikut. 1.2.1 Kasus 212 1.2.1.1 Bagaimana latar belakang Kasus 212? 1.2.1.2 Apa saja peraturan yang dilanggar pada Kasus 212? 1.2.1.3 Bagaimana linimasa kejadian Kasus 212? 1.2.1.4 Bagaimana tanggapan pemerintah terhadap Kasus 212? 1.2.1.5 Bagaimana Kasus 212 berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila? 1.2.1.6 Bagiamana pandangan kelompok kami terhadap Kasus 212? 1.2.2 Kasus Bom Bali 1.2.2.1 Bagaimana latar belakang Kasus Bom Bali? 1.2.2.2 Bagaimana linimasa kejadian Kasus Bom Bali? 1.2.2.3 Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap Kasus Bom Bali? 1.2.2.4 Bagaimana Kasus Bom Bali berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila? 1.2.2.5 Bagaimana pandangan kelompok kami terhadap Kasus Bom Bali? 6 1.3 Tujuan Adapun tujuan ditulisnya laporan ini adalah sebagai berikut. 1.3.1 Untuk menganalisis secara kritis terhadap Kasus 212 dengan berlandaskan pada hukum, kebijakan pemerintah, dan pandangan kelompok. 1.3.2 Untuk menganalisis secara kritis terhadap Kasus Bom Bali dengan berlandaskan pada hukum, kebijakan pemerintah, dan pandangan kelompok. 7 BAB II ISI 2.1 Kasus 212 2.1.1 Latar Belakang Aksi 212 merupakan aksi unjuk rasa yang diadakan pada tanggal 2 Desember 2016. Peserta aksi ini tidak hanya berasal dari Jakarta, melainkan juga daerah lain di Indonesia seperti Aceh, Palembang dan Makassar. Aksi ini memiliki tujuan untuk “menyingkirkan” calon gubernur petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang dikenal dengan panggilan “Ahok”. Hal ini disebabkan oleh salah satu kalimat dalam pidato Ahok, pada 27 September 2016, yang mengungkapkan bahwa ada sejumlah oknum yang memprovokasi masyarakat untuk tidak mendukungnya dengan dalih Surat Al-Maidah ayat 51. Kutipan pidato Ahok adalah sebagai berikut "Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu". 2.1.2 Peraturan yang Dilanggar 2.1.2.1 UU PNPS No 1 Tahun 1965 Pasal 1 “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok agama itu.” 2.1.2.2 KUHP Pasal 156 Barang siapa di rnuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu 8 atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. 2.1.2.3 KUHP Pasal 156 ayat a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2.1.2.4 Pasal 29 Undang-Undang Negara RI Negara Indonesia dilandasi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa. 9 2.1.3 Linimasa Kejadian 2.1.4 Tanggapan Pemerintah 2.1.4.1 Penyangkalan Pemerintah tidak melakukan penyangkalan secara keseluruhan mengenai Kasus 212. Pemerintah berarti tidak melakukan bantahan keras mengenai krisis yang terjadi. Pemberitaan oleh media dalam kategori ini cenderung sedikit menghindari dari sisi hukum maupun politik atas pemberitaan terkait respon pemerintah. Pemerintah melakukan adanya penolakan terkait ancaman bahwa pemerintah terkesan diam dalam menangani kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama. Fase penyangkalan merupakan tindakan 10 organisasi menolak keterlibatan tentang krisis yang terjadi. Penyangkalan berupaya menghindari tanggung jawab atas kasus yang dihadapi atau krisis yang terjadi. 2.1.4.2 Evasion Responsibility Pemberitaan respon pemerintah pada kategori ini menunjukkan bahwa pemerintah melakukan tanggapan terkait isu yang diterima organisasi atau instansinya. Pemberitaan tersebut meliputi atas pernyataan dari pihak jajaran maupun aparat pemerintahan. Evasion Responsibility lebih banyak digunakan pemerintah menghadapi fase krisis ini daripada melakukan Penyangkalan. Pemerintah tidak menolak keras atas penyebab ancaman krisis ini. Pemerintah tidak bisa melawan krisis ini, tapi pemerintah membatasi tanggung jawab apa yang harus dilakukan. Hal ini disebabkan krisis yang terjadi berakar bukan murni kesalahan dari organisasi atau pemerintah. 2.1.4.3 Reducing Offensiveness Respon pemerintah yang dominan lebih mengurangi dampak dari aksi damai 212 terhadap krisis yang terjadi. Pengurangan dampak terkait krisis reputasi sangat terlihat melalui pemberitaan media. Pemerintah cenderung melakukan pengurangan dampak aksi atau meminimalisasi kerusakan yang diakibatkan oleh aksi damai 212. Respon yang dilakukan pemerintah berupaya mengatasi pengurangan dampak negatif dari aksi ini kepada berbagai pihak. Reducing offensiveness memang dominan dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi atau merespon krisis karena pemerintah tidak secara keras menolak ataupun melawan sehingga pemerintah secara tidak langsung ikut terlibat. Pemerintah lebih cenderung tidak menolak krisis, melainkan lebih menghadapi krisis terkait dampak apa saja yang bisa disebabkan untuk selanjutnya. 2.1.4.4 Corrective Action Kategori ini didasarkan bahwa organisasi melakukan perbaikan atau tanggung jawab atas krisis yang terjadi. Pemerintah dalam hal ini tidak 11 membenarkan bahwa krisis karena kesalahan instansi atau organisasi. Akan tetapi pemerintah melakukan corrective action hanya sekali, hal ini menunjukkan adanya respon pemerintah untuk memperbaiki kerusakan atau dampak yang diakibatkan krisis. Pemerintah lebih cenderung untuk meminimalisasi akibat krisis daripada memperbaiki krisis. Hal ini bisa disebabkan karena krisis yang ditimbulkan aksi damai bukan karena kesalahan oleh pihak organisasi atau pemerintah. 2.1.4.5 Mortification Aksi 212 tidak membuat pemerintah mengambil tindakan ini. Hal ini disebabkan pemerintah tidak menganggap bahwa krisis disebabkan murni kesalahan organisasi. 2.1.5 Kaitannya dengan Nilai-Nilai Pancasila 2.1.5.1 Sila ke-1 a. Menjunjung Tinggi Agama Aksi damai 212 merupakan kegiatan yang bertujuan untuk saling bermuhasabah dan berdoa bersama untuk masa depan umat muslim dan Bangsa Indonesia. Aksi ini dilatarbelakangi oleh tindakan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau kerap disebut Ahok. Tindakan ini ditanggapi oleh aksi damai 212 sebagai tindakan pembelaan terhadap agama islam di Indonesia. b. Memanfaatkan Agama Demi Kepentingan Politik Tuntutan atas penistaan agama sebenarnya hanyalah kedok untuk menyembunyikan niat pihak tertentu yang menginginkan lawan politiknya, Ahok, untuk gugur. Hilangnya rasa keimanan pihak tertentu terhadap Tuhan menyebabkan agama pun dijadikan cara dan kesempatan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. 12 2.1.5.2 Sila ke-2 Ketidaktegasan Penegak Hukum Tindakan aksi demo dilakukan karena ketidaktegasan hukum dalam menanggapi kasus penistaan agama ini. Ahok diduga melanggar Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun, polisi memutuskan tidak menahan Ahok karena dinilai kooperatif. Aksi damai 212 bertujuan untuk mencapai keadilan agar pengadilan menindaklanjuti kasus penistaan agama oleh Ahok. 2.1.5.3 Sila ke-3 Provokasi dan Penggiringan Opini Perpecahan terpicu di antara para demonstran, dimana ada pihak yang melakukan provokasi sehingga menyulut emosi sebagian demonstran dan menyebabkannya untuk bertindak anarkis. Awalnya, aksi ini diniatkan menjadi demonstrasi yang damai, tetapi malah menjadi demonstrasi yang diwarnai kekerasan. 2.1.5.4 Sila ke-4 Perwujudan Demokrasi Salah satu perwujudan ataupun konsekuensi dari negara demokrasi adalah adanya demokrasi. Demonstrasi damai 212 merupakan bentuk dari demokrasi yang ada di Indonesia melalui umat muslim yang merasa tersinggung dan menuntut haknya agar Ahok segera diadili karena telah melanggar Pasal 156a KUHP. 2.1.5.5 Sila ke-5 Mewujudkan Keadilan Hukum Aksi Damai 212 membuahkan hasil dengan keputusan hakim yang memenjarakan Ahok selama 2 tahun. Dijatuhinya Ahok hukuman penjara selama 2 tahun merupakan tindakan yang tepat dan sesuai dengan sila ke-5. Hal ini dapat dinilai bahwa penegak hukum berhasil dalam upaya menyetarakan derajat semua pihak. 13 2.1.6 Pandangan Terhadap Kebijakan Pemerintah 2.1.6.1 Kesetaraan Derajat di Mata Hukum Penegak hukum terlihat lambat lambat dan bertele-tele dalam merespon kasus penistaan agama ini. Polisi juga tidak segera merespon fatwa tentang kasus Ahok yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemerintah dan penegak hukum diekspektasikan dapat bergerak cepat. Lambatnya respon pemerintah memiliki dampak, yaitu terjadinya kasus 212 ini. Dalam aksi tersebut, masyarakat muslim menunjukkan kekecewaannya terhadap pemerintah karena timbulnya prasangka bahwa pemerintah “pilih kasih” dalam masalah penghukuman kepala daerah tersebut. 2.1.6.2 Respon Krisis yang Tepat Pemerintah bertindak dengan strategi Reducing Offensiveness dalam merespon krisis yang terjadi. Mereka berfokus antisipasi pada dampak reputasi atau citra yang diakibatkan krisis. Pemerintah membentuk kembali reputasi dengan tindakan yang tidak berlawanan dengan aksi 212 dan menggunakan stabilitas pluralisme untuk mengurangi dampak negatif. Pemerintah tidak menolak atau melarang adanya aksi damai ini, mereka mendukung dengan melakukan tindakan baik untuk memperlancar aksi damai tersebut. Pemerintah melakukan hal tersebut untuk menepis adanya isu penolakan atau perlawanan yang menyebabkan kecemasan di masyarakat. Pemerintah melakukan good intention, yaitu dengan melaksanakan hal baik untuk meringankan tanggung jawab atas krisis yang dihadapi. Tindakan ini tercermin dari pihak aparat yang menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh para demonstran demi kelancaran aksi ini. 2.2 Kasus Bom Bali 2.2.1 Latar Belakang Pelaku penyerangan teror, Bom Bali, merupakan ekstremis islam yang menganggap bahwa Bali merupakan tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan dan 14 tidak sesuai dengan ajaran islam. Selain itu, pengeboman di Bali dijadikan simbol atas kekafiran. Para pelaku Bom Bali, Ali Imron, Ali Ghufron, Imam Samudera, Umam Patek, dan yang lainnya pernah mengikuti pendidikan militer di Afghanistan yang kemudian merasa ingin melanjutkan jihadnya di tanah air. Tidak hanya itu, aksi teror kali ini juga bentuk protes kepada pemerintah seperti terjadinya ketidakstabilan ekonomi pada masa itu. 2.2.2 Linimasa Kejadian 2.2.3 Kebijakan Pemerintah Pertama, pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme, serta Perppu No. 2 Tahun 2002 tentang penggunaan Perppu No.1 untuk melakukan penyidikan terhadap kasus peledakan bom di Kuta Bali. Kedua, pemerintah menyatakan organisasi Jamaah Islamiyah sebagai organisasi teroris yang bertanggung jawab atas terjadinya aksi peledakan bom di Bali dan lewat Departemen Luar Negeri mendaftarkan organisasi Jemaah Islamiyah sebagai organisasi teroris yang seluruh kegiatannya dapat dikategorikan melanggar Perppu No.1 tahun 2002. 15 2.2.4 Kaitan dengan Nilai Ideal Pancasila 2.2.4.1 Sila Ke-1 Peristiwa bom Bali ini berkaitan dengan sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pelaku bom Bali mengaku bahwa mereka melakukan aksi tersebut sebagai simbol atas kekafiran. Mereka menganggap bahwa Bali merupakan tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Padahal sebenarnya, mungkin saja hal-hal yang mereka maksud hanya dilarang di Islam dan tidak di agama lain yang ada di Bali seperti contohnya Hindu. 2.2.4.2 Sila Ke-2 Peristiwa bom Bali merupakan salah satu peristiwa kelam yang telah mencederai rasa kemanusiaan. Peristiwa ini menyeleweng dari sila ke-2 Pancasila, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Peristiwa teror ini telah merenggut hak masyarakat untuk menjalankan aktivitasnya tanpa adanya tekanan dan rasa takut. 2.2.4.3 Sila Ke-3 Perilaku oknum bom Bali ini juga tidak sesuai dengan sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia”. Mereka secara tidak langsung memecah belah masyarakat Islam dan Hindu (karena mayoritas masyarakat Bali beragama Hindu). Sehingga dapat timbul konflik-konflik lain yang tidak seharusnya terjadi. 2.2.5 Kesimpulan Hal tersebut tidak berlangsung lama. Masyarakat Bali dapat membuktikan bahwa setiap masyarakat mampu hidup bangkit dari momen kelam tersebut dan hidup bersama-sama dengan toleransi yang sangat kuat. Setiap masyarakat dari agama yang berbeda hidup berdampingan dan saling tolong-menolong. Seperti pada saat perayaan Nyepi, masyarakat lainnya ikut ambil andil untuk memastikan kegiatan dapat berjalan dengan khusyuk, menjalankan ronda dan menjaga ketertiban lingkungan ketika masyarakat sedang beribadah. Peristiwa tersebut 16 memang tidak akan hilang dari ingatan, tetapi dapat dijadikan pelajaran untuk dapat memaknai setiap keberagaman. Dengan peristiwa ini, masyarakat Bali mencoba menerapkan kelima nilai Pancasila dalam hidup bermasyarakat. 2.2.6 Pandangan Bagaimana Merumuskan Kebijakan Terkait Sesuai dengan Pancasila Pandangan dari kelompok kami terdiri dari beberapa point diantaranya: Pengeboman yang terjadi di Bali adalah kejadian yang seharusnya tidak terjadi karena Indonesia adalah salah satu negara multikultural yang menjunjung tinggi rasa toleransi. Hal-hal seperti ini juga dapat membawa dampak buruk bagi nama baik agama islam yang mengajarkan kedamaian namun dirusak oleh oknum oknum tertentu dan juga merugikan masyarakat lain di Bali. Banyak spekulasi muncul bahwa toleransi di Bali akan semakin surut dengan adanya kejadian yang menyakiti hati masyarakat Bali oleh oknum tertentu. Namun, setelah kejadian pengeboman oleh ekstrimis islam tersebut, rasa toleransi yang ada di Bali ternyata semakin mengakar kuat, seperti pada perayaan hari raya Nyepi di bali, seluruh kegiatan di pulau bali dibatasi. Tidak hanya berlaku pada umat Hindu saja, tetapi seluruh masyarakat Bali selain umat Hindu pun ikut menghormati nyepi dan ikut membatasi kegiatan mereka. Pemerintah juga ikut andil dalam pembatasan ketika hari raya Nyepi di Bali ini seperti mematikan jaringan internet sehingga perayaan Nyepi di Bali dapat semakin khusyuk dan khidmat. Banyak masyarakat yang bahu membahu membantu masyarakat Hindu di Bali ketika melaksanakan perayaan yang ada di pinggir pantai dengan menyediakan kardus berisi minuman kemasan untuk diambil secara gratis oleh masyarakat Hindu yang lewat. Masyarakat juga ikut melindungi dan mengamankan jalanan yang sedang digunakan untuk beribadah merayakan hari raya umat Hindu. Sebagai mahasiswa, kita dapat menumbuhkan sikap-sikap toleransi dalam diri kita serta menghindari terjadinya kejadian intoleransi yang merugikan masyarakat lain dengan cara berpikiran terbuka, mau menerima perbedaan agama suku dan ras, dan menghargai kepercayaan masing-masing masyarakat. Selain itu, dapat juga dengan cara menanamkan rasa toleransi melalui pengajaran di kelas dan tidak membedakan antar golongan. 17 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.1.1 Kasus 212 Aksi 212 merupakan aksi unjuk rasa yang diadakan pada tanggal 2 Desember 2016. Aksi ini memiliki tujuan untuk “menyingkirkan” calon gubernur petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang dikenal dengan panggilan “Ahok”. Hal ini disebabkan oleh salah satu kalimat dalam pidato Ahok, pada 27 September 2016. Ahok dinilai telah melanggar UU PNPS No 1 Tahun 1965 Pasal 1, KUHP Pasal 156, KHUP Pasal 156 ayat a, dan Pasal 29 UUD Negara RI Tahun 1945. Perjalanan Ahok dalam perguliran kasus ini dimulai 27 September 2016 hingga 9 Mei 2017 ketika hakim memutuskan bahwa Ahok bersalah dan memidanakannya dengan penjara selama dua tahun. Respon pemerintah menyikapi kasus ini adalah dengan cara reducing offensiveness yakni pemerintah lebih cenderung tidak menolak krisis, melainkan lebih menghadapi krisis terkait dampak apa saja yang bisa disebabkan untuk selanjutnya. Kaitan kasus 212 ini jika dikaji dengan kelima sila dalam Pancasila yakni untuk sila pertama terdapat poin penting yakni menjunjung tinggi nilai agama serta memanfaatkan agama demi kepentingan politik (populisme). Untuk sila kedua terdapat poin penting yakni adanya ketidaktegasan penegakan hukum. Untuk sila ketiga terdapat poin penting yakni provokasi dan penggiringan opini. Untuk sila keempat terdapat poin penting yakni adanya perwujudan demokrasi. Untuk sila kelima terdapat poin penting yakni adanya mewujudkan keadilan hukum. Pandangan kelompok kami terhadap kebijakan pemerintah untuk menangani kasus ini adalah bahwa pemerintah telah menyelenggarakan kesetaraan derajat hukum serta telah mengambil respon yang tepat. 18 3.1.2 Kasus Bom Bali Kasus Bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002 merupakan tindakan teror yang dilandasi ideologi agama yang ekstrem di Indonesia. Kasus ini menunjukkan bahwa kondisi keberagaman agama di Indonesia tidaklah damai dan harmonis. Pelaku pengeboman merencanakan terorisme ini dengan matang dan rentang waktu yang tidak dekat. Setelah kasus terorisme ini pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme, serta Perppu No. 2 Tahun 2002 tentang penggunaan Perppu No.1 untuk melakukan penyidikan terhadap kasus peledakan bom di Kuta Bali. Kaitan kasus terorisme ini dengan sila Pancasila yakni untuk sila pertama menjadikan agama lain (Hindu) sebagai simbol kekafiran. Untuk sila kedua yakni merenggut kebebasan untuk melakukan kegiatan secara bebas dan tanpa rasa takut. Untuk sila ketiga yakni memecah belah masyarakat berbeda agama (Islam dan Hindu) sehingga timbul konflik lain yang seharusnya tidak terjadi. Pandangan kelompok kami mengenai kasus terorisme Bom Bali bahwa peristiwa ini seharusnya tidak terjadi karena Indonesia merupakan negara multikultural yang menjunjung tinggi toleransi. Peristiwa ini juga mencoreng nama baik dan pandangan mengenai Islam di mata masyarakat Indonesia dan dunia. Akan tetapi setelah peristiwa ini, kondisi antar agama kembali membaik dengan menguatnya sikap toleransi masyarakat di Bali juga dukungan pemerintah. 19 3.2 Saran 3.2.1 Saran bagi pemerintah 3.2.1.1 Pemerintah hendaknya mengidentifikasi siapa oknum yang dengan sengaja menunggangi kepentingan golongan yang berdemo saat 212 karena akibat oknum tersebut suasana saat aksi 212 menjadi ricuh. 3.2.1.2 Pemerintah seharusnya melakukan pengawasan yang ketat melalui TNI dan Polri untuk mencegah tindakan terorisme oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. 3.2.2 Saran bagi masyarakat 3.2.2.1 Masyarakat hendaknya memupuk rasa toleransi dalam dirinya masingmasing demi menjaga kerukunan beragama dalam keberagaman Indonesia. 3.2.2.2 Menghargai kepercayaan dan kewajiban umat beragama satu sama lain. 3.2.2.3 Tidak terpancing dengan provokasi dan isu yang belum jelas kebenarannya yang mengarah pada destruktifisme. 3.2.2.4 Meningkatkan rasa iman dan taqwa terhadap Tuhan masing-masing sesuai kepercayaannya. 3.2.2.5 Sabar dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku ketika terdapat kasus yang berhubungan dengan agama. 3.3 Pertanyaan dan Jawaban 3.3.1 Muhammad Rizqy Al Farisi Pertanyaan: Setelah sikap pemerintah, ada blok-blok masyarakat, apakah pemerintah dapat membuat kebijakan yang membuat suasana damai? Jawaban: Sikap Reducing Offensiveness yang dilakukan oleh pemerintah telah membuat konsekuensi bahwa pemerintah lebih bersikap netral terhadap kasus yang terjadi. Kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam menyikapi adanya blok-blok masyarakat agar tercipta suasana damai yakni pemerintah melakukan transparansi hukum terhadap berbagai pihak yang terkait. 20 3.3.2 Wandana Karuna Pradopo Pertanyaan: Apa saja faktor indonesia menjadi rawan terorisme dan akibatnya jika terorisme dilandaskan agama? Jawaban: Letak geografis Indonesia yang memudahkan berbagai macam budaya dan pola pikir dapat masuk ke Indonesia yang kemudian mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat, seperti Islam. Akan tetapi kondisi masyarakat Indonesia yang masih memiliki tingkat pendidikan rendah dan pemahaman mengenai agama yang kurang sesuai dengan yang seharusnya membuat masyarakat lebih mudah dipengaruhi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, pandangan orang awam mengenai tindakan terorisme yang dilandaskan dengan agama ini membuat mereka menganggap bahwa agama tertentu merupakan hal yang buruk dan membentuk stereotip di masyarakat tentang agama tertentu. 3.3.3 Sylvia Magdalena Pertanyaan: Sudah terdapat beberapa kebijakan yang dapat mencegah peristiwa seperti bom bali. Menurut kalian, solusi apa lagi yang dapat diberikan agar peristiwa tersebut tidak terjadi lagi? Jawaban: Solusi lain yang dapat kami berikan adalah perbaikan moral melalui pendekatan pendidikan. Dengan menerapkan pendidikan moral yang ditanamkan sejak dini, masyarakat Indonesia diharapkan mampu berperilaku sesuai dengan norma-norma yang ada di Indonesia. Selain itu, sosialisasi norma sosial dan hukum dapat menjadi terapi bagi masyarakat yang mudah terprovokasi oleh ideologi yang menyimpang. Harapan dari sosialisasi adalah setiap masyarakat mampu menyelaraskan perilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku di Indonesia. Selain itu, peran dari pendidikan pancasila di lingkungan sekolah sangat diperlukan untuk meningkatkan rasa nasionalisme dari rakyat Indonesia sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi di masa yang akan datang. 3.3.4 Ferdiawan Hadi Susanto Pertanyaan: Apakah kebijakan pemerintah sesuai dengan menjaga nilai pancasila, jika tidak apakah ada solusi membuat kebijakan yang membuat perpecahan terhadap nilai pancasila? 21 Berbicara mengenai permasalahan pelecehan agama ahok, pada slide hukum PNPS 1965, disebutkan bahwa “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokokpokok agama itu.”. Maka dari itu, apa kriteria dari pasal tersebut sehingga kalimat Ahok dapat mengarah pada pelecehan agama dan dinyatakan melanggar terhadap pasal tersebut? Jawaban: Kebijakan pemerintah saat menangani kasus 212 telah sesuai dengan prosedur. Pemerintah yang lebih bersikap reducing offensiveness dinilai telah tepat dalam menangani kasus ini. Respon yang dilakukan pemerintah berupaya mengatasi pengurangan dampak negatif dari aksi ini kepada berbagai pihak. Reducing offensiveness memang dominan dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi atau merespon krisis karena pemerintah tidak secara keras menolak ataupun melawan sehingga pemerintah secara tidak langsung ikut terlibat. Pemerintah lebih cenderung tidak menolak krisis, melainkan lebih menghadapi krisis terkait dampak apa saja yang bisa disebabkan untuk selanjutnya. Dalam UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 Pasal 1 terdapat konjungsi “atau” setelah kalimat ...agama yang dianut di Indonesia… Jika kita menganalisis lebih dalam lagi bahwa konjungsi “atau” pada UU tersebut bermakna pilihan/alternatif. Maksudnya adalah, ketika terdapat beberapa pernyataan dan di dalam pernyataanpernyataan tersebut terdapat konjungsi “atau” maka suatu kondisi dapat dikatakan memenuhi kriteria jika salah satu pernyataan saja terpenuhi. Melihat kembali bunyi UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 yakni “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai 3.3.5 Muhammad Rizqy Al Farisi Pertanyaan: Pemerintah bersifat netral, mengapa pemerintah tidak melakukan penyalahan terhadap Ahok? 22 Jawaban: Respon pemerintah yang lebih bersikap netral karena pemerintah tidak mau membela salah satu pihak yang berkepentingan di sana, melainkan pemerintah melakukan prosedur hukum terlebih dahulu untuk menilai siapa pihak yang salah dan siapa pihak yang benar. Rangkaian prosedur hukum ini dimulai pada tanggal 7 November 2016 ketika Ahok pertama kali diperiksa. Lalu pada tanggal 22 November 2016 Ahok menjalani pemeriksaan lanjutan hingga pada akhirnya pada tanggal 9 Mei 2017 Ahok dinyatakan bersalah oleh Hakim Ketua Dwiarso memutuskan bahwa Ahok bersalah dalam perkara penistaan agama (melanggar Pasal 156 huruf a KUHP) dan dipidana penjara selama 2 tahun. 3.3.6 Dio Kriswara Pertanyaan: Mengapa kasus intoleransi yg dilakukan oleh kaum minoritas menjadi persoalan yang lebih besar jika dibandingkan dengan kasus intoleransi yang dilakukan oleh kaum mayoritas? Jawaban: Di Indonesia terdapat berbagai macam agama, tidak hanya satu. Hal ini disebabkan oleh masyarakatnya yang cenderung lebih sensitif apabila berbicara tentang agama sehingga agama seringkali digunakan oleh oknum untuk menimbulkan kasus terorisme. Kejadian ini pun didukung dengan jumlah penganut agama mayoritas memiliki populasi yang jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan jumlah penganut agama minoritas. Maka dari itu, apabila terjadi kasus intoleransi terhadap kasus agama mayoritas, sudah pasti hal ini menjadi persoalan yang lebih besar karena korban dari kasus intoleransi ini sangat banyak. 3.3.7 Muh. Ridho Kurniawan Saadi Pertanyaan: Pada kasus 212, terdapat berbagai aksi anarkis yang merusak fasilitas dan mengakibatkan kerugian ekonomi. Lantas, apa pendapat kalian terhadap side effect yang merugikan ini? Jawaban: Pendapat kami terkait berbagai kerusakan yang terjadi tersebut adanya oknum yang menunggangi berbagai pihak yang terlibat sehingga suasana semakin keruh saat terjadinya aksi 212 padahal pihak yang terlibat tidak berlaku anarkis. Tentunya side effect ini seharusnya bisa dihindari dengan menanamkan sikap toleransi dan kenetralan dalam melakukan aksi 212. 23 DAFTAR PUSTAKA Aji, W. ”Pandangan Hary Tanoe soal Aksi 212 dan 'Kita Indonesia'.” Tribun News. Last modified 2016. Accessed September 26, 2021. https://m-tribunnews- com.cdn.ampproject.org/v/s/m.tribunnews.com/amp/metropolitan/2016/12/05/pand angan-hary-tanoe-soal-aksi-212-dan-kitaindonesia?amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3 D%3D#aoh=16325715137265&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google Arbi, Ivany A. “Mengenal Reuni 212, dari Aksi Melawan Ahok hingga Kritik Pemerintah.” Megapolitan Kompas. Last modified 2020. Accesed September 26, 2021. https://megapolitan.kompas.com/read/2020/12/02/17531761/mengenal-reuni212-dari-aksi-melawan-ahok-hingga-kriitik-pemerintah?page=all Arjanto, Dwi. “Ahok Bebas, Ini Perjalanan Waktu Kasus Penistaan Agama.” Metro tempo. Last modified 2019. Accesed September 26, 2021. https://metro.tempo.co/read/1168267/ahok-bebas-ini-perjalanan-waktu-kasuspenistaan-agama Ibad, M. Syaiful. (2020). Bom Bali 2002. Avatara, 9(1), 4–7. Accessed September 27, 2021. https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/34379 Jogloabang. 2018. “UU PNPS No 1 Tahun 1965 Pasal 1, Pencegahan Penodaan Agama.” Jogloabang.com. Last modified 2018. Accesed September 27, 2021. https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-pnps-1-1965-pencegahan-penodaanagama. Praptono D. 2021. “Tak Lihat Perbedaan, Saling Membantu Saat Umat Lain Gelar Hari Raya.” Radarbali.jawapos.com . Last modified 2021. Accesed September 27, 2021. https://radarbali.jawapos.com/read/2021/03/16/247474/tak-lihat-perbedaan-salingmembantu-saat-umat-lain-gelar-hari-raya 24 Solehudin, D. “Nyepi, Toleransi Konkret ala Bali.” Detik News. Last modified 2018. Accesed September 27, 2021. https://news.detik.com/kolom/d-3918261/nyepitoleransi-konkret-ala-bali Utami, S. “Ini Toleransi Umat Hindu dan Muslim di Bali Jelang Hari Raya Nyepi.” Suara.com. Last modified 2019. Accesed September 27, 2021. https://www.suara.com/lifestyle/2019/03/04/162000/ini-tolerasi-umat-hindu-danmuslim-di-bali-jelang-hari-raya-nyepi?page=all Wijayanto, T. D., & Purworini, D. (2016). Respon Pemerintah pada Aksi Damai 411 dan 212: Analisis Isi Harian Kompas Edisi November 2016 – Desember 2016. Jurnal Komunikasi dan Teknologi Informasi. 212, 10(1), 11–25. Accesed September 26, 2021. https://journals.ums.ac.id/ 25 LAMPIRAN Daftar Nilai Anggota Kelompok 3 PPS65 Penilaian dilakukan dengan cara tiap anggota kelompok menilai anggota lain tanpa menilai dirinya sendiri melalui google form (dalam skala 100). Kemudian hasil penilaian tersebut dicari nilai reratanya. Selanjutnya untuk mengkonversi ke skala 5 maka nilai rerata dikalikan dengan 0,05 (5/100=0,05). Nilai Rerata Konversi ke dalam skala 5 (Nilai Rerata x 0,05) 1 Nikodemus Hanwey Karyadi 21/476924/EK/23433 97,00 4,85 2 Irfan Septia Dwisantana 21/476938/EK/23434 95,73 4,79 3 Zaidan Naufal Grajanara 21/476955/EK/23435 96,00 4,80 4 Putri Vanya Larasati 21/476991/EK/23436 97,09 4,85 5 21/477009/EK/23437 97,17 4,86 6 Sri Utami 21/477050/EK/23438 95,73 4,79 7 Listya Nur Aini 21/477129/EK/23440 96,45 4,82 8 Evita Oktaviani 21/477145/EK/23442 95,55 4,78 9 Nadifa Silvia Maharani 21/477175/EK/23443 96,91 4,85 10 Sylvia Tellanisdar Gulo 21/477177/EK/23444 96,18 4,81 11 Raihan Mufid Rufiano 21/477191/EK/23445 97,82 4,89 12 Fairus Akbar 21/477211/EK/23446 95,42 4,77 13 Elisa Lintang Ratri Arianna 21/477224/EK/23447 96,00 4,80 No Nama Nicolas Ekaputera Samuel NIM 26