See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/318711339 ADAT PERKAWINAN MELAYU: GAGASAN, TERAPAN, FUNGSI, DAN KEARIFANNYA Book · August 2014 CITATIONS 0 3 authors, including: Muhammad Takari University of Sumatera Utara 58 PUBLICATIONS 7 CITATIONS SEE PROFILE Some of the authors of this publication are also working on these related projects: My current project is research about senam Melayu in Serdang culture area. View project All content following this page was uploaded by Muhammad Takari on 27 July 2017. The user has requested enhancement of the downloaded file. i ADAT PERKAWINAN MELAYU : GAGASAN, TERAPAN, FUNGSI, DAN KEARIFANNYA Muhammad Takari A. Zaidan B.S. Fadlin Muhammad Dja’far Penerbit: USUPress 2014 ii USU Press Art Design, Publishing & Printing Gedung F Jl. Universitas No. 9, Kampus USU Medan, Indonesia Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737 Kunjungi kami di: http://usupress.usu.ac.id Terbitan Pertama 2014 © USU Press 2014 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN: 979 458 678 1 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya/ Muhammad Takari [et al.] --Medan: USU Press, 2014. xv, 379 p.; ilus.; 24 cm Bibliografi ISBN: 979-458-678-1 Dicetak di Medan, Indonesia iii Ulasan Walikota Medan Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Buku yang bertajuk Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya ditulis oleh tiga penulis budaya Melayu Sumatera Utara, dengan pendekatan multidisiplin ilmu. Dengan terbitnya buku ini, semua warga Kota Medan menyambut dengan senang hati, dalam konteks menambah ilmu, wawasan, pemahaman, dan penghayatan terhadap keberadaan adat perkawinan dalam peradaban Melayu. Buku-buku bertemakan budaya dan adat, memang sangat diperlukan dalam membina dan membentuk karakter setiap warga di Indonesia. Buku-buku semacam ini dapat menjadi pencerah terhadap identitas yang mengacu kepada kebudayaan bangsa sendiri di tengahtengah proses globalisasi yang kian hari kian padat densitasnya. Globalisasi apabila tidak dihadapi dengan bijaksana dan penuh kearifan, akan berdampak buruk bagi perkembangan peradaban kita. Oleh karena itu, salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah mengkaji, meneliti, dan mempublikasikan karya-karya di bidang ilmu budaya. Karya-karya seperti ini akan dapat memperkuat ketahanan kebudayaan bagi kita semua. Selain itu, akan mempolarisasikan ke arah yang benar karakter kita masing-masing dalam mengisi peradaban. Buku yang bertema adat perkawinan Melayu ini, diharapkan akan menjadi salah satu sumber bagaimana ide mengenai perkawinan, penerapannya dalam upacara, serta fungsi dan kearifannya pada kebudayaan Melayu. Buku ini juga menjelaskan bagaimana beragamnya kekayaan adat istiadat perkawinan Melayu itu yang ditransmisikan melalui tradisi lisan. Kekayaan variatif adat perkawinan Melayu ini perlu terus diteliti dan digali, sambil kita mencari norma-norma umum yang melandasi apa yang diarahkan oleh adat Melayu. iv Di dalam buku ini juga dijelaskan secara rinci urutan-urutan pelaksanaan istiadat perkawinan Melayu, dengan contoh khusus budaya Melayu Sumatera Utara. Namun ketiga penulis buku ini juga menyediakan ruangnya untuk mendeskripsikan beberapa upacara perkawinan Melayu, di kawasan dunia Melayu seperti: Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia. Tujuan penulis buku ini adalah untuk mencari kesamaan-kesamaan dan kekayaan variasi budaya adat perkawinan Melayu, yang menjadi karakteristik umum budaya Dunia Melayu. Tepatnya adalah kekayaan variatif dalam satu kesatuan budaya Melayu. Nilai-nilai kebersamaan dalam variasi ini menjadi denyut utama dalam mempraktikkan kebudayaan Melayu secara umum. Semoga saja buku-buku tentang budaya Melayu dan juga budaya-budaya etnik lain terus terbit di Kota Medan ini. Terbitnya bukubuku seperti ini adalah tanggung jawab dari semua pihak yang berkompeten, seperti para ilmuwan, budayawan, ahli-ahli adat, pengamat kebudayaan, lembaga-lembaga adat, pemerintah, dan masyarakat pendukung. Akhirnya kita berharap agar setiap kita akan menjadi warga yang berkarakter dan mencintai budaya. Medan, Oktober 2014 wasalam, Drs. T. Dzulmi Eldin S., M.Si. v Dari Penulis Kami para penulis mengucapkan syukur alhamdulillah, atas karunia Allah Subhana Wata’ala yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya, terutama dalam konteks menulis buku ini. Dalam waktu yang begitu singkat dan kesibukan sosial yang padat, kami diberi Allah kekuatan, kesehatan, dan ilmu untuk dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Demikian pula selawat dan salam kami tujukan kepada Nabi Muhammad yang diharapkan kelak syafaatnya di yaumil akhir. Berkat ajaran-ajaran Nabi Muhammad, maka dunia ini penuh dengan ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, dan menuju ridha Ilahi. Dalam rangka penulisan buku ini kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh masyarakat Melayu dan pendukung budaya Melayu atas semua data-data empiris budaya yang hidup dan berkembang, sehingga sangat memudahkan kami dalam meneliti, mengkaji, dan menuliskannya dalam bentuk buku. Terima kasih yang sebesar-besarnya diucapkan kepada Bapak Walikota Medan, Drs. T. Dzulmi Eldin S., M.Si.; dan segenap jajarannya, yang telah sudi memberikan dukungan moral dan material dalam konteks penelitian dan penulisan buku ini. Bapak Walikota sangat antusias dan apresiatif dalam rangka membangun peradaban Melayu sebagai simbol, ikon, dan indeks Kota Medan, dan juga peradaban-peradaban etnik lainnya. Terima kasih diucapkan kepada segenap Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (PB MABMI), yang dinakhodai oleh Dato’ Sri Syamsul Arifin, S.E. Gelar Datuk Lelawangsa Sri Hidayatullah (Suku Melayu Sahabat Semua Suku). Demikian pula Tengku Yos Rizal, selaku Pengurus Harian, Syahril Tambusai, selaku sekretaris, dan yang lainnya. Majelis ini sangat mendukung dilakukannya penelitian dan vi penulisan buku dengan tema-tema budaya Melayu, dan itu ditugaskan kepada kami. Ucapan terima kasih juga ditujukan khusus kepada divisi adat dalam PB MABMI, yaitu Bapak Yuscan, Muhammad Yamin, dan lainnya. Kepada pihak penerbit, yaitu Universitas Sumatera Utara Press, di Kampus USU Padangbulan, diucapkan terima kasih sebesar-besarnya yang telah membantu proses penyuntingan dan penerbitan buku ini. Terutama kepada pimpinan USU Press, Bapak Drs. Sis Mujito, M.Si., dan khususnya kepada Saudara Mukhsin dan Ichsan, yang telah meluangkan waktunya dalam pengerjaan buku ini. Semoga Allah Subhana Wata’ala mencucuri limpahan karunia-Nya. Terima kasih yang sebesar-besarnya diucapkan kepada dua telangkai Melayu Sumatera Utara, yaitu Tengku Syahdan Saputra dan Tengku Ismail, sebagai informan kunci dalam rangka penelitian adat perkawinan Melayu ini. Semoga Allah mencucuri rahmat kepada keduanya dan segenap keluarganya selalu. Akhir kata kami para penulis merasa bahwa buku ini belumlah sempurna dalam ukuran saintifik ilmu-ilmu budaya. Oleh karena itu, kami memohon masukan dan saran-saran dari para pembaca untuk memperbaiki buku ini dalam edisi terbitan yang berikutnya. Tujuan penulisan buku ini adalah untuk menambah dokumentasi budaya mengenai institusi adat perkawinan Melayu. Buku ini diharapkan akan dapat memperkaya wawasan keilmuan kita semua, terutama para generasi muda. Kita berharap para tunas bangsa ini sadar akan sejarah budaya, dan dengan langkah pasti mengamalkan dan mempraktikkan kebudayaannya dalam rangka menghadapi dan menyongsong globalisasi. Medan, Oktober 2014 wasalam kami penulis, Takari, Zaidan, dan Fadlin vii Daftar Isi Kata Pengantar Dari Walikota Medan ................................................... iv Dari Penulis ......................................................................................... vi Daftar Isi ........................................................................................... viii Daftar Bagan, Peta, Tabel, Gambar, dan Notasi ................................... xii BAB I: PENDAHULUAN ................................................................... 1 1.1 Pengantar ...................................................................................... 1 1.2 Fenomena Menarik pada Institusi Perkawinan Adat Melayu .......... 8 1.3 Pendekatan Multidisiplin .............................................................12 1.4 Pentingnya Kajian terhadap Adat Perkawinan Melayu .................. 22 BAB II: ADAT DALAM PERADABAN MELAYU ........................25 2.1 Pengenalan ...................................................................................25 2.2 Arti Adat ......................................................................................27 2.3 Empat Kategori Adat Melayu ........................................................30 2.3.1 Adat yang Sebenar Adat .....................................................31 2.3.2 Adat yang Diadatkan.............................................................39 2.3.2.1 Sidik .............................................................................44 2.3.2.2 Amanah ........................................................................45 2.3.2.3 Tabligh .........................................................................46 2.3.2.4 Fathonah ......................................................................48 2.3.2.5 Sifat-sifat Umum Pemimpin dalam Perspektif Budaya Melayu .........................................................................49 2.3.3 Adat yang Teradat.................................................................50 2.3.3 Adat-istiadat .........................................................................53 2.4 Fungsi Adat ...................................................................................56 2.5 Nilai-nilai Adat .............................................................................57 viii BAB III. GAGASAN PERKAWINAN DALAM BUDAYA MELAYU ..........................................................66 3.1 Pengenalan ...................................................................................66 3.2 Ajaran Islam mengenai Perkawinan ..............................................67 3.3 Perkawinan dalam Perpektif Budaya Melayu ................................ 73 3.4 Tentang Pemilihan Jodoh ..............................................................77 3.5 Beberapa Kegiatan Sosial sebagai Sarana Pemilihan Jodoh ...........78 3.6 Perubahan-perubahan yang Terjadi ................................................81 BAB IV. IDENTITAS DAN STRUKTUR KEKERABATAN MASYARAKAT MELAYU ................................................ 85 4.1 Pengenalan ....................................................................................85 4.2 Dunia Melayu atau Alam Melayu ..................................................86 4.3 Konsep tentang Melayu ................................................................89 4.3.1 Melayu Terbentuk dari Proses Campuran dalam Satu Integrasi Kultural ......................................................94 4.3.2 Sifat-sifat .........................................................................95 4.4 Tingkatan Kebangsawanan Melayu ...............................................97 4.5 Sistem Kekerabatan .................................................................... 100 BAB V. UPACARA ADAT PERKAWINAN MELAYU SEBAGAI TERAPAN GAGASAN BUDAYA ................... 107 5.1 Pengenalan ................................................................................. 107 5.2 Variasi Upacara Adat Perkawinan Melayu ................................... 109 5.3 Contoh Deskripsi Upacara Adat Perkawinan Melayu ................... 116 5.3.1 Merisik Kecil Melalui Seorang Telangkai ........................ 119 5.3.2 Merisik Resmi dan Meminang ......................................... 125 5.3.3 Menyorong Tanda (Bertunangan) ................................... 145 5.3.4 Jamu Sukut...................................................................... 147 5.3.5 Berinai ............................................................................ 150 5.3.6 Akad Nikah ..................................................................... 158 5.3.7 Menghantar Pengantin..................................................... 173 5.3.8 Meminjam Pengantin, Memulangkan Pengantin, dan Membawa Pindah Pengantin Perempuan ......................... 200 ix 5.3.9 Malam Pengantin, Kunjungan, dan hari Megang.............. 203 5.3.10 Resepsi Perkawinan ........................................................ 205 BAB VI. FUNGSI PERKAWINAN ................................................. 212 6.1 Pengenalan ................................................................................ 212 6.2 Fungsi untuk Keberlanjutan Generasi Manusia Melayu ................ 213 6.3 Fungsi sebagai Kontinuitas dan Perubahan Budaya ...................... 215 6.4 Fungsi untuk Menjaga Struktur Kekerabatan .............................. 215 6.5 Fungsi untuk Pemenuhan Kebutuhan Biologis ............................ 216 6.6 Fungsi sebagai Kesempurnaan sebagai Makhluk Manusia ........... 217 6.7 Fungsi untuk Menghindari Perbuatan Dosa ................................. 218 6.8 Fungsi Etika dan Norma-norma Sosial ........................................ 219 6.9 Fungsi Ekspresi Hubungan kepada Allah dan Makhluk ............... 220 BAB VII. SENI PERTUNJUKAN DALAM RANGKAIAN UPACARA PERKAWINAN .......................... 222 7.1 Pengenalan ................................................................................ 222 7.2 Penggunaan Seni Pertunjukan .................................... 223 7.3 Seni Tari dan Musik Inai ............................................................. 225 7.3.1 Struktur Tari Inai ............................................................... 228 7.3.2 Penari Inai ......................................................................... 238 7.3.3 Busana dan Properti Tari Inai ............................................ 239 7.3.4 Inai..................................................................................... 240 7.3.5 Alat-alat Musik................................................................... 242 7.3.6 Struktur Musik ................................................................... 245 7.3.6.1 Rentak Patam-patam .............................................. 250 7.3.6.2 Melodi Patam-patam .............................................. 255 7.4 Zapin atau Gambus ..................................................................... 257 7.5 Seni Hadrah ................................................................................ 275 7.6 Seni Barzanji dan Marhaban ....................................................... 278 7.7 Tari Persembahan dan Lagu Makan Sirih .................................... 280 7.8 Rinjis-rinjis dan Anak Ikan .......................................................... 281 7.9 Ronggeng .................................................................................... 282 7.10 Keyboard ................................................................................... 296 x BAB VIII. KEARIFAN DALAM ADAT PERKAWINAN MELAYU............................................................................... 298 8.1 Pengenalan ................................................................................ 298 8.2 Pengertian Kearifan Lokal ........................................................... 299 8.3 Kearifan Menjadikan Diri sebagai Manusia yang Sempurna (Insan Al-Kamil) ......................................................... 304 8.4 Kearifan Membina Hubungan dengan Tuhan, Sesama Manusia, dan Makhluk ................................................................ 305 8.5 Kearifan Menjaga Struktur Kekerabatan ...................................... 306 8.6 Kearifan Menjadikan Seseorang Masuk Melayu .......................... 307 8.7 Kearifan Melahirkan Generasi Muda yang Berkualitas................. 309 8.8 Kearifan Membentuk dan Menjaga Adat...................................... 310 8.9 Kearifan Mengelola Peradaban Dunia dalam Budaya Melayu ...... 311 8.10 Kearifan Memutus Perkara dalam Konteks Hukum Adat ............. 312 8.11 Kearifan Mengarahkan Kontinuitaas dan Perubahan Kebudayaan ................................................................................ 313 BAB IX. KESIMPULAN, SARAN, DAN EPILOG ......................... 315 9.1 Kesimpulan ................................................................................. 315 9.2 Saran ........................................................................................... 319 9.3 Epilog ......................................................................................... 321 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 323 LAMPIRAN ...................................................................................... 329 xi Daftar Bagan, Peta, Tabel, Gambar, dan Notasi Bagan 2.1 Hubungan Budaya, Adat, dan Ragam Adat dalam Kebudayaan Melayu ......................................................65 Peta 4.1 Wilayah Budaya Dunia Melayu .....................................88 Bagan 4.1 Tingkat Kebangsawanan Melayu di Sumatera Utara dan Hubungannya dengan Masyarakat .......................... 100 Bagan 4.2 Kekekrabatan Melayu Secara Vertikal ......................... 102 Bagan 4.3 Struktur dan Sebutan Anak pada Keluarga Inti Melayu Sumatera Timur ............................................... 103 Tabel 5.1 Perbandingan Proses Perkawinan Adat Melayu oleh Beberapa Penulis ......................................................... 112 Gambar 5.1 Beberapa Perlengkapan untuk Acara Merisik dan Meminang .................................................................. 126 Gambar 5.2 Salah Satu Suasana Merisik dan Meminang ................. 127 Gambar 5.3 Calon Pengantin Perempuan pada Upacara Malam Berinai ........................................................................ 153 Gambar 5.4 Tari Persembahan Dipersembahkan di Depan Calon Pengantin Perempuan pada Upacara Malam Berinai ........................................................................ 154 Gambar 5.5 Inai yang Siap Digunakan ............................................ 155 Gambar 5.6 Gerak Sembah Awal Tari Inai pada Upacara Malam Berinai ....................................................................... 155 Gambar 5.7 Dua Penari Inai Menampilkan Keahlian Menggerakkan Pring pada Upacara Malam Berinai ....................... 156 Gambar 5.8 Penari Inai Sedang Melakukan Atraksi Gerak di Atas Pahar ................................................................... 156 Gambar 5.9 Acara Hibura Meronggeng Selepas Pertunjukan Tari Inai pada Upacara Malam Berinai................................. 157 Gambar 5.10 Akad Nikah .................................................................. 164 Gambar 5.11 Doa Selesai Akad Nikah Dipimpin Tuan Kadi .............. 168 xii Gambar 5.12 Pengantin Lelaki Dijulang dalam Ritual Prosesi Menghantar Pengantin Lelaki Bersanding ..................... 176 Gambar 5.13 Rombongan Pengantin Lelaki Berhenti di Halamn Rumah Pengantin Perempuan ...................................... 177 Gambar 5.14 Pertunjukan Silat Menyambut Kedatangan Rombongan Mempelai Lelaki ..................................... 178 Gambar 5.15 Suasana Hempang Batang ............................................ 178 Gambar 5.16 Tukar Tepak di Tengah Halaman ................................. 179 Gambar 5.17 Pertunjukan Tari Persembahan di Tengah Halaman ..... 179 Gambar 5.18 Suasana Hempang Pintu ............................................. 182 Gambar 5.19 Pijak Batu Lagan ......................................................... 184 Gambar 5.20 Suasana Hempang Kipas .............................................. 186 Gambar 5.21 Kedua Mempelai Duduk Bersanding di Pelaminan ....... 187 Gambar 5.22 Sembah Istri kepada Suami ........................................... 188 Gambar 5.23 Sembah kepada Orang Tua............................................ 188 Gambar 5.24 Tepung Tawar dan Doa dari Ayahanda .......................... 189 Gambar 5.25 Tepung Tawar dan Doa dari Ibunda .............................. 189 Gambar 5.26 Tepung Tawar dari Kerabat .......................................... 192 Gambar 5.27 Persembahan Barzanji dan Marhaban Mengiringi Acara Tepung Tawar .................................................... 193 Gambar 5.28 Berbagai Jenis Makanan yang Disediakan pada Acara Makan Nasi Hadap-hadapan ............................. 194 Gambar 5.29 Salah Satu Suasana Acara Makan Nasi Hadaphadapan ...................................................................... 195 Gambar 5.30 Suasana Mandi Bedimbar ........................................... 199 Gambar 5.31 Tengku Syahdan, Salah Seorang Telangkai Senior Sumatera Utara ........................................................... 202 Gambar 5.32 Tengku Ismail, Salah Seorang Telangkai Senior Sumatera Utara ............................................................ 203 Gambar 5.33 Contoh Foto Suntingan Upacara Resepsi Pernikahan di Medan yang Dijadikan Bahan Promosi bagi Fotografer dan Ahli Shooting Video ............................. 209 Gambar 5.34 Salah Satu Suasana Resepsi Adat Perkawinan Melayu yang Diselenggarakan di Gedung ................... 210 Gambar 5.35 Busana Pengantin Melayu dalam gaya Selayar Eropa .... 210 xiii Gambar 5.36 Papan Bunga pada Resepsi Adat Perkawinan Melayu sebagai Kecenderungan Budaya Masa Kini ................... 211 Tabel 7.1 Kegiatan Upacara dan Seni yang Digunakan ................ 222 Tabel 7.2 Deskripsi Gerak Tari Inai (Dengan Teknik Kinisiologi) dan Pesan Komunikasi yang Disampaikan................................................................. 231 Gambar 7.1 Penari Inai dan Busananya ........................................... 237 Gambar 7.2 Lilin dan Inai sebagai Properti Tari ............................. 239 Gambar 7.3 Para Pemusik Iringan Tari Inai (Pemain Gendang Ronggeng dan Biola) .................................................. 240 Gambar 7.4 Serunai ........................................................................ 241 Gambar 7.5 Taksonomi Gendang Ronggeng yang Biasa Dipakai Mengiringi Tari Ronggeng dan Inai ............................. 243 Gambar 7.6 Motif Tumbuhan pada Baluh Luar Gendang Khas Buatan Yusuf Wibisono di Medan .............................. 244 Gambar 7.7 Struktur Gendang Ronggeng ....................................... 245 Gambar 7.8 Biola ........................................................................... 246 Gambar 7.9 Tawak-tawak atau Gong untuk mengiringi Tari Inai .... 247 Gambar 7.10 Struktur Tawak-tawak atau Gong ................................. 248 Notasi 7.1 Pola Dasar Ritme Rentak Mak Inang ........................... 250 Notasi 7.2 Kombinasi Tangan Kiri dan Tangan Kanan pada Pola Rentak Mak Inang ................................................ 251 Bagan 7.1 Struktur Rentak Mak Inang ......................................... 252 Notasi 7.3 Variasi Rentak Mak Inang .......................................... 253 Notasi 7.4 Pola Dasar Ritme Rentak Patam-patam ...................... 253 Notasi 7.5 Patam-patam .............................................................. 255 Notasi 7.6 Tangga Nada Lagu Patam-patam ................................ 256 Notasi 7.7 Rentak Dasar Zapin .................................................... 264 Notasi 7.8 Teknik Interloking dalam Permainan Rentak Zapin .... 265 Tabel 7.3 Beberapa Lagu Zapin yang Lazim Dipersembahkan di Dunia Melayu ......................................................... 266 Notasi 7.9 Melodi Zapin Bulan Mengambang .............................. 267 Notasi 7.10 Lagu Zapin Lancang Kuning ....................................... 270 Notasi 7.11 Gerak Dasar Tari Zapin ............................................... 273 xiv Gambar 7.11 Suasana Pertunjukan Tari Zapin Bulan Mengambang di Salah Satu Pesta Resepsi Perkawinan di Medan .................................................. 274 Notasi 7.12 Contoh Hadrah, Lagu Bismillah Mula-mula ................ 275 Notasi 7.13 Cuplikan Melodi Marhaban ........................................ 278 Gambar 7.12 Beberapa Ronggeng, Pemusik, dan Penyanyi Persembahan Ronggeng di Sumatera Utara ................. 284 Notasi 7.14 Tanjung Katung .......................................................... 287 Notasi 7.15 Laksmana ................................................................... 291 Gambar 7.13 Tiga Penyanyi Diiringi Ensambel Keyboard ................ 296 xv Bab I: Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengenalan Manusia adalah makhluk Tuhan, yang tumbuh dan berkembang, dalam dimensi ruang dan waktu yang dilaluinya. Dalam kerangka demikian ini, manusia baik secara pribadi atau kelompok, selalu mengadakan upacara-upacara. Selagi masih dalam kandungan diadakan upacara penyambutan datangnya sang janin. Kemudian pada saat kelahiran diadakan upacara kelahiran, yang terdiri dari berbagai ritus pula seperti mencukur rambut bayi, memberi nama, orang tuanya memberikan sedekah berupa makanan kepada masyarakat luas, mengayunkannya, mendendangkan lagu-lagu khusus, turun tanah, dan lainnya. Begitu juga ketika manusia ini berusia remaja, mencapai usia pubertas (akil baligh), tidak jarang pula dilakukan upacara inisiasi pubertas. Begitu pula ketika dua insan akan membina rumah tangga, selalu dilakukan upacara perkawinan. Bentuk-bentuk upacara perkawinan ini, ada yang relatif sederhana, ringkas, dan cepat—namun di kalangan kelompok adat manusia yang lainnya, ada yang relatif kompleks, memakan waktu yang panjang, biaya yang relatif besar, penuh dengan simbol-simbol, dan seterusnya. Namun pada umumnya semua kelompok manusia di dunia ini dapat dipastikan selalu mengadakan upacara-upacara yang berkaitan dengan perkawinan ini. Seterusnya, ketika manusia tersebut berumah tangga dan menjadi anggota masyarakat luas, tidak jarang pula mereka melakukan upacara memasuki persekutuan kelompoknya. Kadangkala sebagai sepasang suami istri mereka mengadakan kenduri untuk menjamu orang satu desa atau beberapa desa. Kegiatan ini sekaligus sebagai pertanda ia telah 1 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya mampu secara ekonomis, dan sekaligus menyatakan diri sebagai anggota masyarakat tersebut yang penuh dengan aturan-aturan dan sistem kebudayaannya. Dalam konteks ini, ketika keduanya memiliki keturunan, maka upacara yang biasa dilakukan terhadap mereka ketika janin, balita, dan dewasa juga akan diterapkan kepada anak-anaknya. Sehingga terjadilah siklus upacara, yang dilakukan secara turuntemurun. Tidak cukup sampai di situ saja, ketika ia mengalami sakit, baik itu secara fisik atau psikis, maka selain melalui pengobatan (apakah secara kedokteran atau supernatural), selalu pula dilakukan upacara adat. Begitu pula ketika ia sembuh dari suatu penyakit. Seterusnya ketika ia meninggal pun, maka keluarga yang ditinggalkannya selalu pula melakukan upacara, baik itu pembacaan doa dan sejenisnya, sembahyang jenazah, penguburan (ada pula yang mengkremasinya, melakukan upacara pembakaran mayat),1 pascapenguburan, 1 Dalam kebudayaan masyarakat Hindu Bali, upacara yang demikian ini disebut dengan ngaben. Upacara ngaben merupakan salah satu upacara yang tergolong kepada upacara pitra yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api (dalam bahasa Sanskerta agni) yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen,yang lama-kelamaan terjadi pergeseran bunyi menjadi ngaben. Upacara ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada dua, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari puja mantra pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada leluhur yang telah meninggalkan dunia, untuk perjalannya ke Sunia Loka. Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut: (1) Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan sang atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam); (2) Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur panca maha bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu: a. pertiwi, unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dan lain-lain, b. apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dan lain-lain, c. bayu: unsur udara yang membentuk nafas; d. teja: unsur panas yang membentuk suhu tubuh; e. akasa: unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh. (3) Bagi pihak 2 Bab I: Pendahuluan memindahkan tulang-belulang ke kuburan baru,2 peringatan hari wafat, dan hal-hal sejenis. Selain itu, manusia senantiasa mengisi kehidupannya berdasarkan respons dan adaptasi dengan alam di sekitar ia hidup. Dalam hal ini, manusia memerlukan berbagai kebutuhan hidup, baik yang bersifat material maupun spiritual. Kebutuhan akan material ini diperoleh melalui kemampuannya mengelola alam sekitar melalui daya intelektual dan keterampilannya. Sehingga dalam kebudayaan manusia, muncul berbagai bidang pekerjaan yang dapat memenuhi keperluan-keperluan hidup, misalnya ia bekerja sebagai petani, nelayan, pedagang (saudagar), penambang emas, penambang batubara, tentara, ahli disainer busana, ahli tata ruang, ahli disain interior dan eksterior, ahli komputer (programming, ahli perangkat lunak, ahli perangkat keras), dokter, perawat, hakim, pengacara, jaksa, polisi, tentara, seniman, ulama, ilmuwan, dan lain-lainnya. Berdasarkan kebutuhan akan materi ini, biasanya manusia baik dalam kelompok kecil maupun besar membentuk perkumpulan yang memiliki cita-cita yang sama. Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia sebagai makhluk individu, memiliki berbagai kelebihan alamiah yang dianugerahi oleh Allah. Selain itu, manusia keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan. (id.wikipedia.org). 2 Di kawasan Sumatera Utara, dalam kebudayaan Karo, baik itu masyarakat Karo Gugung (Pegunungan) maupun Karo Jahe (Karo Pesisir), dijumpai adat istiadat yang disebut ngampaken tulan-tulan, yaitu kegiatan upacara memindahkan tulang-tulang kerabat yang telah meninggal dan menempatkannya ke kuburan yang baru. Demikian pula dalam kebudayaan Batak Toba dijumpai ritual seperti itu yang disebut dengan mangongkal [dibaca mangokkal] holi. Tradisi mangongkal holi yaitu menggali dan memindahkan tulang belulang leluhur, dalam konsep masyarakat Batak Toba di Sumatra Utara, merupakan salah satu upaya menghormati para leluhurnya. Melalui aktivitas ini orang Batak Toba berharap mendapat limpahan berkat, yaitu banyak keturunan, panjang umur, dan kekayaan. Melalui upacara ini juga akan mengangkat martabat sebuah marga (klen). Biasanya upacara ini disertai dengan pembangunan kuburan dan tugu baru bagi leluhur yang megah dan indah. Semakin indah dan mahal sebuah makam atau tugu, menjadi semakin jelas status sosioekonomis dan martabat marga pemilik tugu tersebut. 3 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya biasanya membentuk kelompok sosial berdasarkan berbagai persamaan dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja berbentuk keluarga inti, keluarga luas, etnik, kelompok profesi, ras, bangsa, dan seterusnya. Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya dan generasi keturunannya. Kesinambungan generasi ini penting, agar manusia tidak musnah di muka bumi. Oleh sebab itu, manusia dianugerahi Tuhan untuk meneruskan keturunan ini, melalui hubungan perkawinan yang diatur oleh norma-norma agama dan adat sekaligus. Dalam sebahagian besar masyarakat dunia, perkawinan tidak diperkenankan bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma adat, bahkan perkawinan harus mengacu kepada ajaran agama dan adatnya. Dalam mengisi siklus hidup, kegiatan yang berkait dengan mata pencaharian, serta kepentingan individu dan kelompok dalam dimensi sosial, manusia harus menempatkan dirinya dalam institusi budaya atau adat. Institusi inilah yang mengatur konsistensi internal kebudayaan masyarakat tersebut dalam konteks integrasi dan polarisasi sosial. Demikian pula dalam konteks perkawinan. Di dalam kebudayaan manusia di seluruh dunia ini, terdapat institusi yang sama tuanya dengan usia manusia sebagai keturunan Adam dan Hawa, yaitu perkawinan. Di Indonesia sebagai contoh, perkawinan terdapat pada semua etnik, dan umumnya diatur oleh adat (serta agama yang dianutnya). Adat perkawinan ini konsep dan terapannya dalam kebudayaan berbeda-beda. Namun demikian, tujuan dasar perkawinan ini adalah sama, sebagai fenomena universal makhluk manusia untuk melanjutkan keturunannya, dan berbagai fungsi sosiobudaya lain. Perkawinan dalam peradaban umat manusia adalah untuk memenuhi eksistensinya sebagai makhluk, yang terus menjaga kesinambungan keturunannya. Selain itu, manusia dianugerahi Tuhan keinginan atau hasrat seksual. Namun kebutuhan ini, mestilah diabsahkan oleh institusi budaya yang selalu disebut dengan adat. Tujuan perkawinan lainnya adalah untuk mengeratkan dan menjaga sistem kekerabatan, yang terdapat dalam sistem sosial dan budaya manusia. Selain itu, tujuan perkawinan juga adalah untuk 4 Bab I: Pendahuluan menyelaraskan kepentingan bersama, baik itu berupa politik, kekuasaan, perdamaian, keadilan sosial, keberlanjutan budaya, dan motif-motif sosial lainnya. Dalam ajaran agama Islam, melalui Al-Qur’an, dalam konteks perkawinan ini, dijelaskan bahwa di antara kelompok manusia di dunia ini pernah ada dan akhirnya dimusnahkan oleh Allah, karena berbagai sebab terutama moralitas. Di antara puak manusia yang pernah ada dan kemudiannya dimusnahkan Allah adalah: suku Ad, Tsamud, Madyan, kaum Nabi Luth, kaum Nabi Nuh, dan sebagainya. Kaum Nabi Luth misalnya, dimusnahkan Allah karena para kaum lelakinya menyukai sesama lelaki. Jikalau praktik menyimpang begini dibiarkan, tentu saja generasi manusia akan musnah, karena hubungan seksual antara lelaki dengan lelaki atau antara perempuan dengan perempuan sudah bisa dipastikan tidak akan dapat menghasilkan generasi manusia baru. Yang benar adalah hubungan antara lelaki dan perempuan yang sehat ruh dan fisiknya, disahkan agama, berhubungan suami-istri, insya Allah akan menghasilkan generasi manusia. Agar generasi yang baru ini menjadi pintar, sehat, saleh dan menjadi rahmat kepada orang lain dan lingkungan sekitar, maka diperlukan pendidikan, baik pendidikan agama atau ilmu-ilmu lainnya. Dalam konteks ilmu antropologi, seorang pakar antropologi Eropa, Gough (1959) melihat perkawinan, dalam sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat-istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang bisa diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas wanita yang diperoleh berdasarkan kontrak sosial. Perkawinan adalah satu transaksi yang menghasilkan satu kontrak, yaitu seorang (laki-laki atau perempuan, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil, memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang perempuan secara seksual–hak ini memiliki keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut, 5 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan yang bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13). Dalam pelbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan pada perkawinan monogami (satu laki-laki bisa kawin dengan satu wanita saja dan sebaliknya), adapula yang memperbolehkan poligami (satu lelaki bisa kawin dengan beberapa wanita), namun ada pula yang memperbolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial umum dan moralitas, yaitu perkawinan poliandri, yaitu satu perempuan kawin dengan lebih dari satu suami, atau bersuami banyak. Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang lelaki atau lebih bisa bersama-sama menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan sekelompok saudara laki-laki (poliandri fraternal). Poliandri sering dikait-kaitkan dengan ketidakseimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi perempuan. Di Himalaya sebagai contoh, poliandri dilakukan karena tujuannya mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan pertanian terbatas luasnya. Dalam Islam praktik demikian sangatlah dilarang. Begitu juga hubungan sedarah (incest). Semua ini adalah aturan Allah bagi makhluk manusia ciptaan-Nya agar manusia menjadi rahmat kepada alam, bukan merusak alam atau generasi keturunannya. Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang perkawinan. Agama Kristen (Protestan dan Katolik) pada umumnya hanya membenarkan satu lelaki kawin dengan satu perempuan. Namun demikian, beberapa sekte agama ini (misalnya Mormon di Amerika Serikat) membenarkan perkawinan poligami. Dalam ajaran agama Islam, sesuai dengan panduan Al-Qur’an, satu lelaki Islam bisa kawin dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan, tetapi ada syaratnya yaitu adil. Allah mengingatkan bahwa jika seorang lelaki muslim tidak dapat berlaku adil kepada istri-istrinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi pembelajaran ayat ini adalah bahwa Allah menciptakan lebih banyak perempuan dibanding6 Bab I: Pendahuluan kan lelaki. Agar perempuan-perempuan dapat suami, maka tentu saja secara umum harus ada lelaki yang beristri lebih dari satu untuk melakukan respons terhadap kenyataan eksistensi jenis kelamin manusia yang penuh dengan rahasia Ilahi. Dalam realitasnya, di negaranegara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara monogami. Selengkapnya tentang aturan poligami dalam Islam lihat Al-Qur’an surat Annisa ayat 3 berikut ini. Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,3 maka (kawinilah) seorang saja,4 atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. 3 Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam memenuhi keperluan istri seperti pakaian, makanan, perhiasan, kesehatan, hiburan, tempat tinggal, giliran kunjungan, rasa aman, dan lain-lain yang bersifat lahiriah dan juga batiniah. Dalam konteks yang demikian, tentu saja kebijakan dari seorang suami terhadap istri-istrinya sangat diutamakan. Suami harus secara rinci memahami keperluan dan polarisasi biduk rumah tangganya yang lebih besar, dibanding dengan biduk rumah tangga yang monogami. 4 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini, poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. Bagi Allah sebagai pencipta manusia, pastilah tahu dan paham betul, bahwa kemampuan maksimum manusia untuk kawin adalah satu lelaki dengan empat wanita, kalau lebih pasti tidak mampu, terutama untuk berlaku adil terhadap para istrinya. Selain itu pasti ada tunjuk ajar lain dari Allah atas turunnya ayat ini. 7 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Secara sosiologis dan religi, fungsi utama perkawinan adalah untuk melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan menjaga peradaban manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya adalah: memuaskan nafsu biologis manusia, menerima dan memberi kasih sayang kepada pasangan hidup, membina keluarga, menyatukan dua keluarga besar, menjaga struktur sosial dan kekerabatan, dan sebagainya. Dalam hal ini agama memegang peran utama dalam upacara perkawinan. Pengabsahan perkawinan selalu melibatkan para pemuka agama pada semua agama di dunia. Ritual perkawinan melibatkan aspek adat dan agama sekaligus. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Melayu. 1.2 Fenomena Menarik pada Institusi Perkawinan Adat Melayu Dengan melihat latar belakang institusi perkawinan dalam kebudayaan manusia, seperti terurai di atas, maka dalam kebudayaan Melayu pun institusi perkawinan ini memiliki beberapa fenomena yang menarik. Di antaranya adalah sebagai berikut. (a) Institusi perkawinan dalam adat Melayu, telah ada sebelum masuknya agama Islam. 5 Oleh karena itu, di dalam institusi perkawinan adat Melayu ini, tergambarkan gagasan-gagasan dan kegiatan yang berasal dari era pra-Islam. Namun demikian, sesuai dengan perkembangan zaman, ketika Islam masuk ke dalam kebudayaan Melayu, berbagai gagasan dan kegiatan tersebut “diislamisasi.” Misalnya adat tepung tawar yang tadinya adalah sarana agar mendapat berkah dari Dewa dan Dewi, maka setelah Islam masuk, diubah gagasan dan doanya agar mendapat berkah dari Allah Yang Ahad. Ini tercermin 5 Maksudnya adalah agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. yang tumbuh dan berkembang seputar abad ketujuh Masehi, di Tanah Arab, dengan pusat persebarannya di Medinah dan Mekah. Namun dalam konteks ruang dan waktu yang lebih luas, dalam persepsi masyarakat Islam pada umumnya, agama ini telah lahir sejak Nabi Adam Alaihissalam diciptakan Allah, yang kemudian berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia. 8 Bab I: Pendahuluan dari konsep budaya Melayu melalui sebait pantun berikut ini yang amat populer. Hati-hati memetik mawar, Salah petik kena durinya, Hati-hati bertepung tawar, Salah niat syirik jadinya. (b) Institusi perkawinan dalam peradaban Melayu adalah cerminan dari konsep adat Melayu yang berdasar kepada ajaran-ajaran agama Islam, yang dikenal dengan konsep: adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Artinya bahwa budaya (adat) Melayu adalah berdasar kepada ajaran-ajaran agama Islam, melalui syarak (hukum Islam). Seterusnya menuju dasar yang lebih rinci lagi adalah bahwa hukum Islam itu berakar dari kitab suci yang diturunkan Allah, yaitu Al-Qur’an. Bagaimana pun Al-Qur’an ini adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril, untuk kemaslahatan manusia dan semua makhluk di dunia ini. AlQur’an juga merupakan kitab terakhir dari semua agama samawi, yang juga adalah sebagai kontinuitas dari kitab suci yang pernah Allah turunkan kepada umat-umat terdahulu, yaitu Kitab Zabur kepada Nabi Daud dan umatnya, Kitab Taurat untuk Nabi Musa dan umatnya, dan Kitab Injil untuk Nabi Isa dan umatnya. (c) Institusi upacara adat perkawinan Melayu merupakan ekspresi dari adat Melayu, yang terdiri dari empat ragam yang saling berkaitan. Keempatnya adalah: (i) adat yang sebenar adat, yaitu hukum Allah terhadap alam semesta, (ii) adat yang diadatkan, yang dimaknakan sebagai sistem sosial terutama kepemimpinan, (iii) adat yang teradat, yaitu kebiasaan-kebiasaan dalam budaya yang lama-lama masuk ke dalam adat, ini juga mengandung makna kesinambungan dan perubahan, dan (iv) adat-istiadat, yang biasanya dimaknakan sebagai upacara. Keempat ragam adat dalam kebudayaan Melayu ini, sebenarnya juga didapati dan diekspresikan dalam adat perkawinannya. 9 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya (d) Dalam kebudayaan Melayu, upacara adat perkawinan ini, sejak awal dilakukan dalam suasana tradisi lisan. 6 Artinya adalah institusi perkawinan ini berlangsung melalui kelisanan, atau bentuk-bentuk verbal. Dalam tradisi lisan ini, enkulturasi budaya ditumpukan pada kemampuan menyerap, mengingat, menerapkan, dan mengembangkannya. Dalam kenyataan di lapangan, enkulturasi budaya secara lisan ini, menyebabkan sangat beragamnya adat perkawinan Melayu, baik ditinjau dari sisi wilayah budaya, kemampuan tokoh-tokoh adat dalam menerjemahkan konsep budaya, kedalaman wawasan dan keilmuan, serta aspek-aspek lainnya. Demikian pula terhadap keberadaan juru telangkai (dari pihak keluarga lelaki maupun perempuan calon mempelai), memiliki variasi kata-kata, kalimat, pantun, pepatah, umpama, yang sangat variatif. Bagi kami para penulis, variasi-variasi dalam institusi perkawinan Melayu ini adalah sebagai sebuah kekayaan budaya. Bagi kami, upaya “menyeragamkannya” adalah sebagai menyalahi adat, dan “memiskinkannya.” Namun demikian sebenarnya ada pola-pola upacara, yang dilandasi oleh gagasan budaya yang sama antara masyarakat Melayu di mana pun di dunia ini. Namun untuk dapat mengetahuinya, mestilah dilakukan pengkajian yang mendalam dan holistik. Untuk itulah dilakukan penelitian ini. 6 Jan Vansina, dalam tulisannya yang bertajuk Oral Tradition as History (1985:27-28), yang diterbitkan oleh James Currey Publishers, New York, Amerika Serikat, mendefinisikan tradisi lisan sebagai "pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini, dan pesan itu haruslah berupa pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik. Lebih jauh menurutnya haruslah ada penyampaian melalui tutur kata dari mulut sekurang-kurangnya sejarak satu generasi.” Lebih jauh Vansina menyatakan bahwa definisi yang diajukannya adalah yang berfungsi untuk kalangan sejarawan. Para sosiolog, pakar bahasa, atau sarjana seni verbal mengajukan pendekatannya masing-masing, yang untuk kasus khusus (sosiologi) mungkin saja menekankan pengetahuan umum, fitur kedua yaitu membedakan bahasa dari dialog (bahasawan) biasa, dan fitur terakhir adalah bentuk dan isi yang mendefinisi seni (pendongeng)." 10 Bab I: Pendahuluan (e) Dalam budaya masyarakat Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, khusus pada upacara perkawinan, bahagian-bahagian upacara dan waktu tertentu, dimeriahkan dengan berbagai jenis seni, seperti silat, inai, ronggeng, marhaban, barzanji, hadrah, inai, dan lain-lain. Ini memperlihatkan dengan jelas bahwa berbagai unsur kebudayaan difungsikan dalam upacara adat perkawinan Melayu. (f) Adat perkawinan Melayu memiliki berbagai fungsi sosiobudaya. Fungsi ini pada hakekatnya adalah menuju kepada pencapaian konsistensi internal budaya Melayu. Adat perkawinan itu sendiri memiliki berbagai tahapan dan aktivitas-aktivitas yang lebih kecil lagi, yang kemudian menyumbang kepada keseluruhan kegiatan upacara adat perkawinan yang lebih besar. Kemudian upacara adat yang besar ini juga menyumbang berbagai fungsi kepada peradaban Melayu secara umum. Di antara fungsi adat perkawinan Melayu ini adalah melegalisasi secara religi dan sosiobudaya hubungan antara pria dan wanita dalam membentuk rumah tangga, untuk integrasi sosial, sebagai ekpresi kebudayaan Melayu, sebagai sarana komunikasi verbal dan nonverbal yang penuh dengan nilai etika dan estetika, dan lain-lainnya. (g) Dalam kajian lebih jauh dan mendalam, sebenarnya adat perkawinan Melayu ini memiliki berbagai kearifan (wisdom) yang hidup, tumbuh, dan berkembang dalam kebudayaan Melayu secara luas. Di antara kearifan yang terdapat di dalamnya adalah: menjaga kesinambungan generasi Melayu, menjaga dan mengembangkan peradaban Melayu, kebijaksanaan dalam menentukan pasangan hidup, nilai kebersamaan antara dua pihak kerabat besar, menimbang dan memutuskan dengan tepat berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat, menjaga turai (susunan) sosial, dan lain-lainnya, Seterusnya untuk mengetahui kedalaman makna di balik upacara adat perkawinan Melayu ini, maka fokus kajian yang kami lakukan mencakup empat pokok masalah, yaitu: (1) Bagimana gagasan atau ide yang terkandung dalam adat perkawinan Melayu? 11 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya (2) Bagaimana masyarakat Melayu menerapkan gagasan-gagasan perkawinan tadi dalam aktivitas sosial, budaya, atau lebih menjurus dalam kajian ini adalah dalam upacara adat perkawinan? (3) Fungsi-fungsi apa saja yang dikontribusikan oleh adat perkawinan dalam kebudayaan Melayu? (4) Kearifan-kearifan apakah yang terkandung di dalam adat perkawinan Melayu? Melalui buku ini, kami para penulis mendeskripsikan dan menganalisis dengan pendekatan kualitatif, terhadap upacara adat perkawinan Melayu dari tahapan persiapan, saat pelaksanaan, sampai selepas pelaksanaan. Kemudian mengkaji seni pertunjukan yang dilakukan dalam upacara perkawinan. 1.3 Pendekatan Multidisiplin Secara keilmuan pendekatan yang digunakan adalah multidisiplin, yaitu menggunakan ilmu-ilmu: antropologi, sosiologi, etnomusikologi, dan antropologi tari. Secara pengelompokan bidang ilmu, antropologi masuk ke dalam disiplin ilmu-ilmu humaniora dan sosial sekaligus. Sementara sosiologi cenderung masuk ke dalam disiplin ilmu sosial. Di sisi lain etnomusikologi dan etnokoreologi juga masuk ke dalam disiplin ilmu humaniora dan sosial. Walau demikian, ada perbedaanperbedaan ruang lingkup dan fokus kajian disiplin-disiplin ini. Namun yang tidak dapat dipungkiri adalah keempat bidang ilmu tersebut selalu terkait dalam memecahkan pokok masalah penelitian. Apalagi dikaitkan dengan konteks interdisiplin, multidisiplin, dan konterdisiplin ilmu. Antropologi merupakan sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang mengkaji manusia dan kebudayaannya. Ilmu ini berasal dari dua kata yaitu anthropos dan logos. Dalam bahasa Yunani, anthropos berarti manusia dan logos berarti pikiran atau ilmu. Dengan demikian, secara sederhana pengertian antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia. Menurut Haviland (1999), ahli antropologi yang berasal dari Amerika Serikat, antropologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari keanekaragaman manusia dan kebudayaannya. Melalui 12 Bab I: Pendahuluan kajian keilmuan terhadap keanekaragaman dan budaya manusia, maka disiplin antropologi fokus melakukan studi yang berusaha menjelaskan tentang berbagai macam bentuk perbedaan dan persamaan dalam aneka ragam kebudayaan manusia. Pakar lainnya, yaitu Koentjaraningrat, pakar antropologi Indonesia, mengemukakan bahwa pengertian antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya, dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkan. Dalam konteks sejarah perkembangan ilmu pengetahuan manusia, antropologi merupakan cabang ilmu, yang usia perkembangannya relatif lebih muda, dibandingkan dengan cabang ilmu lainnya. Antropologi sebenarnya mulai berkembang bersamaan dengan abad pelayaran dunia. Sebagai sebuah ilmu, antropologi banyak bersinggungan dengan ilmuilmu sosial lainnya, bahkan ilmu alam (eksakta), seperti biologi dan kedokteran. Antropologi acapkali memperoleh pengaruh dari berbagai ilmu tersebut, baik dalam bentuk teori, metode, bahkan hasil penelitiannya. Secara sistematis keilmuan, para ahli antropologi terusmenerus mengembangkan teori, metode, dan hasil penelitiannya yang sangat khas. Pengaruh dari berbagai ragam ilmu tersebut membuat cara pemahaman seorang antropolog terhadap sebuah kebudayaan dan masyarakat yang ada di dalamnya, menjadi jauh lebih kaya, luas, dan mendalam. Dalam perkembangannya terbagi dalam beberapa cabang, seperti uraian berikut ini. (a) Antropologi fisik, yaitu cabang antropologi yang mengkaji hubungan antara kebudayaan dan manusia dengan pendekatan biologis (fisik). Kadangkala disebut juga dengan antropologi ragawi. Pada awal-awal perkembangan antropologoi, kajian antropologi fisik lebih ditekankan pada usaha untuk membandingkan manusia dengan primata lain, seperti simpanse, gorila, dan orang utan. Antropologi fisik juga mencari hubungan antara manusia modern (homo sapiens) dengan nenek moyang manusia seperti homo erectus, homo pekinensis, homo wajakensis, homo neandertal, dan lainnya. (b) Antropologi budaya, yaitu cabang yang terbesar dalam ilmu antropologi. Cabang ilmu ini memfokuskan kajiannya yang meliputi 13 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya anekaragam kebudayaan, usaha mencari unsur-unsur kebudayaan universal, mengungkapkan hubungan antara struktur sosial masyarakat dengan kebudayaannya, juga membahas mengenai interpretasi simbolik. Dalam kaitannya dengan penulisan buku ini, dengan tema utama adat perkawinan Melayu, yang memfokuskan kajian pada gagasan, terapan (dalam upacara), fungsi, dan kearifannya, maka pendekan antropologi budaya inilah, yang banyak kami gunakan. Cabang antropologi selanjutnya adalah (c) antropologi linguistik (kadang disebut antropolinguistik) adalah cabang disiplin antropologi yang mengkaji tentang keanekaragaman bahasa. Namun, ruang lingkupnya jauh lebih kecil dari ilmu linguistik. Antropologi linguistik melihat bahasa dalam konteks latar belakang kebudayaan masyarakat penuturnya. (d) Arkeologi, cabang ini seringkali dianggap sebagai ilmu tersendiri yang terpisah dari antropologi. Namun, menurut sebagian besar antropolog, arkeologi sebenarnya adalah sebuah cabang ilmu dari antropologi. Kajian pada arkeologi adalah menunjukkan hubungan antara manusia masa lampau dengan habitat hidupnya, serta struktur sosial dan budaya masyarakatnya. (d) Etnologi, adalah cabang antropologi yang secara khusus mempelajari sejarah perkembangan kebudayaan manusia. Dari persprektif disiplin antropologi, maka dalam penelitian ini, digunakan teori etnosains, yaitu teori yang berdasar kepada konsepkonsep yang digunakan oleh masyarakat pendukung budaya. Dalam hal ini adalah masyarakat Melayu yang mendukung kebudayaan Melayu, khususnya pada adat perkawinan. Teori etnosains yang seperti ini mencakup konsep adat, perkawinan, makna-makna kegiatan dan bendabenda upacara, sistem kosmologi Melayu, dan hal-hal sejenis. Begitu juga konsep tentang kekerabatan Melayu adalah sebagai ekspresi dari etnosains ini. Bahwa sebagai sebuah masyarakat (etnik), orang-orang Melayu memiliki kekerabatan yang khas seperti galur keturunan seperti ayah, atok, oyang, nini, dalam hubungan vertikal ke atas, atau anak, cucu, cicit, dan seterusnya secara vertikal ke bawah. Demikian pula kerabat-kerabat seperti pak cik, mak cik, bisan, biras, impal (larangan, langgisan, biasa), dan lain-lainnya. 14 Bab I: Pendahuluan Ilmu lainnya yang kami gunakan adalah sosiologi. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, sosiologi berasal dari dua kata dalam bahasa Latin yaitu socius yang artinya teman atau kawan, dan logos artinya ilmu. Dalam sejarah perkembangan ilmu ini, awal kali definisi sosiologi ini dipublikasikan dalam buku Cours De Philosophie Positive" karya Auguste Comte (hidup 1798-1857). Pada umumnya sosiologi dimaknakan sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Apa yang dimaksud masyarakat dalam perspektif disiplin sosilogi adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan, kepentingan bersama, dan budaya. Sosiologi bertujuan mempelajari prilaku sosial masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu tentang masyarakat yang tumbuh dari hasil pemikiran ilmiah (saintifik) yang bisa dikontrol secara kritis oleh orang lain. Kelompok atau masyarakat tersebut bisa saja terdiri atas keluarga, negara, suku bangsa (etnik), berbagai organisasi sosial, politik, ekonomi, religi, dan lain-lainnya. Lebih jauh lagi, sosiologi dapat dipamahi sebagai studi ilmiah tentang prilaku sosial manusia, organisasi, asal-usul, lembaga, dan pembinaannya. Sosiologi merupakan ilmu sosial, yang selalu menggunakan berbagai macam metode penelitian empiris dan analisis kritis untuk menambah ilmu tentang kegiatan sosial manusia. Sebagian para sosiolog menyatakan bahwa tujuan sosiologi adalah untuk mengadakan penelitian ilmiah, yang bisa diterapkan secara langsung pada kebijakan sosial dan kesejahteraan. Sebagian sosiolog lainnya memfokuskan kajian terutama untuk memperbaiki pemahaman teoretis mengenai proses sosial. Subjek kajian berkisar pada level mikro dari setiap instansi dan interaksi ke tingkat makro dari sistem dan struktur sosial. Selanjutnyam sosiologi tradisional memfokuskan perhatian kepada stratifikasi, mobilitas, kelas sosial, agama, budaya, hukum, sekulerisasi, dan penyimpangan. Landasan berpikirnya adalah bahwa segala aspek kegiatan manusia dipengaruhi oleh interaksi antara lembaga individual dan struktur sosial. Sosiologi sedikit demi sedikit memperlebar fokus ke kajian berikutnya, seperti lembaga medis, kesehatan, pidana, militer, 15 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya internet, dan peran aktivitas sosial pada pengembangan ilmu pengetahuan secara ilmiah. Para peneliti dalam disiplin sosiologi biasanya menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Selain itu, sejak pertengahan abad kedua puluh pengaruh dari ilmu budaya dan linguistik menyebabkan pendekatan sosiologi semakin hermeneutik, interpretatif, dan filosofis, dengan fokus analisis masyarakat. Selanjutnya pada beberapa dasawarsa terakhir muncul pula pemutakhiran matematis, analitis, dan teknik ketat komputasi (seperti analisis jaringan sosial dan agen berbasis pemodelan). Dalam konteks penelitian ini, dari perspektif sosiologis, kami gunakan teori organis. Dalam sosiologi, teori ini dikenalkan awalnya oleh seorang filosof Romawi, Plato, yang bermaksud merumuskan suatu teori tentang bentuk negara yang dicita-citakan, yang organisasinya didasarkan pada pengamatan kritis terhadap sistem-sistem sosial yang ada pada zamannya. Dengan jalan menganalisis berbagai institusi di dalam masyarakat, maka Plato berhasil menunjukkan hubungan fungsional antara lembaga-lembaga tersebut yang pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh. Dengan demikian, maka Plato berhasil merumuskan suatu teori organis tentang masyarakat, yang mencakup bidang-bidang kehidupan ekonomis dan sosial. Suatu unsur yang menyebabkan masyarakat berdinamika adalah adanya sistem hukum yang identik dengan moral, oleh karena didasarkan pada keadilan. Dalam konteks adat perkawinan Melayu, maka dapat dipandang bahwa institusi ini merupakan bahagian dari sistem sosial masyarakat Melayu, yang memiliki fungsi. Untuk mengkaji fenomena komunikasi antara telangkai yang mewakili pihak lelaki dan pihak perempuan, digunakan disiplin ilmu komunikasi. Menurut Melvin L. De Fleur (1988:157) komunikasi manusia dan kesan tingkah lakunya telah dikaji dalam berbagai bidang. Hasil penelitian disiplin ini telah membantu kita menyimpulkan bahwa komunikasi manusia harus ditinjau berdasarkan lima perspektif: (1) komunikasi adalah proses semantik, yang bergantung kepada simbol dan peraturan yang digunakan untuk dipilih oleh komunitas bahasa 16 Bab I: Pendahuluan berkenaan; (2) komunikasi adalah proses neurobiologi melalui maknamakna untuk sesuatu simbol tertentu direkam dalam fungsi ingatan individu, oleh karena itu sistem syaraf memainkan peranan penting menyimpan dan memulihkan pengalaman makna di dalam diri; (3) komunikasi adalah proses psikologi, makna perkataan dan simbol kepada seseorang individu diperoleh melalui pembelajaran. Makna sedemikian memainkan peranan penting untuk menganggap dunia dan memberi balasan; (4) komunikasi manusia adalah proses budaya, bahasa merupakan satu set konvensi budaya, bahasa dalam masyarakat di dunia ini adalah suatu kumpulan sikap, tingkah laku, simbol, dan persiapan yang dimiliki bersama atau penafsiran yang disetujui bersama; (5) komunikasi adalah proses sosial, ia adalah cara utama manusia berinteraksi dengan lebih bermakna. Terdapat tiga unsur penting dalam perlakuan komunikasi. Tiga unsur itu adalah komunikator (penutur), pesan (message), serta penerima, dan tujuan komunikasi. Tujuan ini lebih bersifat untuk mempengaruhi atau membujuk khalayak dengan cara yang dianggap sesuai oleh komunikator. Selain itu, dalam mengkaji adat perkawinan Melayu dari sudut estetika, digunakan dua ilmu utama. Yang pertama adalah etnomusikologi sebagai ilmu yang mempelajari musik dalam konteks kebudayaan manusia. Yang kedua adalah etnokoreologi yaitu ilmu yang mempelajari tari dalam kebudayaan manusia. Untuk mengkaji struktur dan nilai esetika seni musik (inai, Makan Sirih, zapin, hadrah, dan lainnya) pada upacara perkawinan Melayu, penulis menggunakan disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis ketahui dari salah seorang pakar etnomusikologi yaitu Merriam, yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut. Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon 17 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to 7 technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4). Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemung-kinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sarjana lain 7 Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis di seluruh dunia. 18 Bab I: Pendahuluan memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan. Begitu juga dengan kajian terhadap fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik. Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaan. Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, 19 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.8 Untuk mengkaji tari-tarian yang digunakan pada upacara perkawinan Melayu ini, penulis menggunakan disiplin etnokoreo-logi. Dalam konteks disiplin ilmu-ilmu pengetahuan seni, yang dimaksud antropologi tari atau disebut juga etnologi tari dan etnokoreologi (dalam wikipedia), adalah sebagai berikut. Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of ethnic dance”, though this is not exclusive of research on more formalized dance forms, such as classical ballet, for example. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of 8 Buku ini diedit oleh Rahayu Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan Bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya. 20 Bab I: Pendahuluan the thousands of external forms of dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture: “The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences.” (Blacking, 1964) Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war. Dari kutipan tersebut digambarkan dengan jelas bahwa etnokoreologi atau yang sering juga disebut etnologi tari dan antropologi tari, adalah kajian tentang tari melalui aplikasi sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi (etnomusikologi), etnografi, dan lain-lainya. Dari asal-usul katanya sendiri, disiplin ilmu ini dapat dimaknakan sebagai studi tentang tarian etnik, yang merupakan penelitian yang tidak eksklusif terhadap bentuk-bentuk tarian formal, seperti balet klasik. Etnokoreologi merefleksikan usaha akademis melalui pertanyaan mengapa orang menari dan apa arti tarian tersebut. Kajian dalam disiplin ini bukan hanya mengkatalogkan ribuan bentuk-bentuk tari—seperti gerak musik tari, busana, dan lainnya—di berbagai tempat di belahan bumi ini, namun lebih jauh menjangkau tarian tersebut sebagai peristiwa sosial dalam masyarakatnya, termasuk pula sejarah budaya masyarakat pendukung tarian tersebut. Tari tidak hanya dipandang sebagai representasi statis dari sejarah, dan juga bukan repositori makna-makna dalam dimensi waktunya—juga bukan hanya sekedar cermin dari kehidupan, tetapi tari juga adalah bagian pembentuk kebudayaan, sebuah kekuatan budaya. Kekuatan tari terdapat dalam pertunjukannya, dalam proses membuat perasaan tari, dan dalam hubungan pengalaman tari kepada berbagai bentuk gagasan dan pengalaman sosial. Etnologi tari mengkaji tari dalam konteks natif 21 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya dan kelompok etniknya. Tarian ini dipertunjukkan oleh para penari yang dihubungkan dengan kelompok-kelompok kebangsaan dan kebudayaan. Upacara religi dalam tarian etnik, didisain dalam bentuk seperti himne, pujian kepada Yang Maha Kuasa, untuk memberikan keberuntungan dalam perdamaian atau peperangan. 1.4 Pentingnya Kajian terhadap Adat Perkawinan Melayu Adat perkawinan Melayu adalah sebuah institusi tradisi yang tidak lapuk di hujan dan lekang di panas. Adat ini mengandung berbagai sistem nilai yang diwariskan dari zaman ke zaman dan dari generasi ke generasi. Adat ini kontinu dalam budaya Melayu karena ia fungsional. Artinya selagi masih dijumpai institusi perkawinan dalam konteks budaya Melayu, pastilah adat Melayu ini yang digunakan oleh orangorang Melayu. Adat ini juga pasti mengalami perubahan di sana-sini. Oleh karenanya dalam rangka melestarikan keberadaanya disadari perlunya dokumentasi baik visual, auditif, dan juga adalah dokumen tertulis, terutama dalam bentuk buku ini. Adat perkawinan Melayu mengandung proses kreatif, baik yang datangnya dari dalam kebudayaan Melayu sendiri, yakni proses inovasi, maupun pengelolaan peradaban dari luar kebudayaan Melayu yang kita sebut dengan akulturasi. Proses kreativitas ini menjadi sebuah identitas tersendiri dalam kebudayaan Melayu. Kreativitas budaya dalam adat perkawinan Melayu ini menjadi suatu bidang telaah yang menarik dalam konteks budaya Melayu sebagai salah satu kebudayaan dunia, yang mengandung unsur peradaban dunia, tidak tersekat secara sempit dan lokal saja, tetapi telah memperhitungkan keberadaan budaya global. Karena adat perkawinan Melayu ini sangat luas cakupannya, yaitu terdapat dalam semua kebudayaan Melayu, baik di Asia Tenggara sebagai pusat peradabannya, maupun juga diaspora Melayu, atau keserumpunan Melayu-Austronesia (Melayu-Polinesia), maka perlu dilakukan kajian mengenai apa-apa saja persamaan konseptual, aktivitas, dan artefak dalam upacara ini di seluruh kawasan budaya 22 Bab I: Pendahuluan Melayu. Ini penting untuk mendapatkan norma-norma adat yang menjadi landasan dari upacara perkawinan Melayu tersebut. Kemudian pentingnya kajian ini adalah untuk melengkapi tulisantulisan terdahulu yang umumnya baru mendeskripsikan upacara adat perkawinan Melayu di berbagai kawasan Melayu. Tulisan ini mencoba menggali hal-hal yang lebih mendalam dan abstrak, baik itu dalam lingkup filsafat, ide, fungsi, maupun kearifan-kearifan yang terkandung di dalamnya. Pentingnya kajian ini adalah untuk melihat dengan pasti hal-hal yang abstrak tetapi amat penting bagi mewujudkan kesinambungan kebudayaan terutama adat perkawinan Melayu, bukan hanya setakat melihat apa saja yang tampak secara kasat mata, tetapi juga apa yang dapat dirasakan, dihayati, dan diteroka makna-makna sosiokultural dan religi yang terkandung di dalamnya. Hal-hal konseptual yang abstrak ini, jika dituliskan dan dipublikasikan, tentu saja akan menambah wawasan kepada semua orang yang membacanya, terutama pelaku dan pendukung budaya Melayu. Khususnya bagi pribadi-pribadi yang selalu bertungkus-lumus dalam adat Melayu dan adat perkawinan Melayu, seperti telangkai, mak andam, peniaga catering, ahli shooting video, ahli pembuat pelaminan, percetakan undangan perkawinan, tokoh-tokoh adat, keluarga-keluarga yang berkait dengan upacara adat perkawinan, ilmuwan, peneliti, seniman musik, seniman tari, penulis budaya, ahli-ahli kuliner, para pemantun, ahli sastra, tokoh-tokoh agama (tuan kadi, petugas P3NTR, ulama), dan lainnya. Selain itu, kajian ini dilakukan dalam rangka menggalakkan setiap orang Melayu atau mereka yang perduli kepada budaya Melayu, untuk dapat mendalami tentang adat perkawinan Melayu, yang menjadi jatidirinya dan sekaligus menyumbang kepada kebudayaan rumpun Melayu yang lebih luas. Di dalamnya terkandung nilai-nilai integrasi budaya, yang memang amat diperlukan bukan saja masa kini tetapi ke masa depan, dan diwarisakan kepada segenap umat Melayu. Selanjutnya, kajian ini dilakukan dalam rangka menggali nilai-nilai yang terkandung di dalam adat perkawinan Melayu. Demikian pula lebih jauh perlu ditelisik mengenai kearifan-kearifan yang terkandung 23 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya dalam adat perkawinan Melayu tersebut. Nilai-nilai dan kearifan ini bersifat abstrak sosial, yang hanya dapat dilihat melalui kajian, penghayatan, dan peresapannya pada setiap umat Melayu. Dengan demikian kajian ini akan memperlihatkan polarisasi istiadat perkawinan Melayu dari masa ke masa dan ruang yang dilaluinya. 24 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu BAB II ADAT DALAM PERADABAN MELAYU 2.1 Pengenalan Adat merupakan inti atau nukleus dari peradaban atau sivilisasi Melayu. Dapat ditafsirkan bahwa adat dalam kebudayaan Melayu ini, telah ada sejak manusia Melayu ada. Adat selalu dikaitkan dengan bagaimana manusia mengelola dirinya, kelompok, serta hubungan manusia dengan alam (baik alam nyata maupun gaib atau supernatural), dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dengan demikian adat memiliki makna yang “sinonim” dengan kebudayaan. Menurut Husin Embi et al. (2004:85) adat merupakan peraturan yang dilaksanakan (diamalkan) secara tutun-temurun dalam sebuah masyarakat, hingga menjadi hukum dan peraturan yang harus dipatuhi. Sementara istiadat adalah peraturan atau cara melakukan sesuatu yang diterima sebagai adat. Adat dan istiadat memiliki hubungan yang rapat, dan dipandang sebagai alat yang berupaya mengatur kehidupan masyarakat, yang tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan dan kerukunan hidup. Adat-istiadat membentuk budaya, yang kemudian mengangkat martabat masyarakat yang mengamalkannya. Menurut Zainal Kling (2004:41) kebiasaan dan ketetapan corak kehidupan kelompok manusia tidak hanya ditentukan oleh sifat saling respons sesama mereka saja, tetapi juga ditentukan oleh kesatuan dengan alam—atau kebiasaan sikap terhadap alam di tempat manusia itu tinggal dan berusaha mencari kehidupan. Setiap hari, secara tetap manusia mencari rezeki dari sumber-sumber alam (dan juga jasa), baik siang maupun malam, juga menurut perjalanan matahari dan bulan, turun naik dan pasang surut air laut, dan juga ketetapan perubahan musim hujan, 25 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya panas, dan angin. Di daerah-daerah di luar khatulistiwa, bahkan dikenal empat musim, yaitu: panas, daun gugur, dingin, dan semi. Sifat alam yang sangat tetap ini menetapkan pula prilaku manusia, yang berhubung dengan keadaan alamnya untuk dapat menetukan jadwal kerja dan mencari sumber kehidupan mereka. Menurut penulis, keadaan alam lingkungan manusia inilah yang kemudian melahirkan peradaban-peradaban mereka sendiri, yang berbeda dari satu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. Dalam masyarakat yang tinggal di kawasan laut, pastilah mereka menumpukan kehidupannya pada ekosistem laut. Mereka akan mencari ikan dengan berbagai spesiesnya, menanam rumput laut, membangun kerambah untuk budidaya ikan, mengolah hutan bakau dengan segala kekayaan alamnya, menanam kelapa dan tumbuhan khas pesisir pantai, sampai juga mengadakan sarana wisata maritim, membuat perahu dengan teknologinya, sampan, jermal, dan sejenisnya. Sehingga kebudayaan yang dihasilkan mereka adalah kebudayaan maritim. Demikian pula bagi mereka yang tinggal di wilayah daratan, maka kegiatan-kegiatan dalam rangka kehidupannya selalu berkait erat dengan wilayah darat, seperti bercocok tanam padi, jagung, sagu, ubi kayu, ubi jalar, kelapa, juga sayur-mayur seperti: kol, wortel, sawi, kangkung, dan lainnya. Ada pula yang bercocok tanam di persawahan. Dalam perkembangan zaman, ada pula yang menanam tanam-tanaman keras seperti kelapa sawit, karet, coklat, kayu manis, dan lain-lain. Mereka ini pun membentuk kebudayaan darat atau kalau berada di pegunungan disebut juga highland cultures. Begitu pula untuk masyarakat manusia yang hidup di daerah kutub (utara atau selatan) mereka memiliki identitas budaya seperti pakaian yang relatif tebal untuk menjaga temperatur tubuh. Mereka juga makan makanan yang banyak mengandung protein dan lemak seperti daging, juga minum minuman yang dapat memanaskan tubuh selalu seperti sake, bir, anggur, vodka, dan lain-lainnya. Dalam konteks itu, kelompok manusia terpaksa pula harus menyusun sistem sosial dan budaya yang mengatur hubungan mereka ini dalam konteks merespons alam sebagai sumber mencari nafkahnya. Tanpa upaya bertindak bersama dan secara tersusun secara sistemik ini, maka manusia akan menghadapi masalah kehidupan. Oleh karena itu, 26 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu muncullah kelakuan yang menjadi kebiasaan, dan hubungan sosiologis berupa pengelompokkan. Semua ini melahirkan norma, adat, dan undangundang untuk mengawal, mengatur, serta menyelaraskan kekuasaan semua individu yang terlibat dalam kegiatan kelompok masyarakat manusia tersebut. Respons manusia baik secara individu dan kemudian berkembang menjadi kelompok, terhadap semua hukum alam ini, membuat manusia menjalin organisasi. Kelompok organisasi-organisasi sosial dan budaya manusia ini adalah ekspresi segala respons manusia terhadap alam atau ekologinya. Norma-norma atau hukum yang diberlakukan secara bersama inilah yang di dalam kebudayaan masyarakat Nusantara disebut dengan adat. Dengan demikian adat sebenarnya manifestasi kebudayaan manusia pada umumnya. Termasuk juga dalam kebudayaan Melayu. 2.2 Konsep tentang Adat Melayu Menurut Zainal Kling (2004), dari segi etimologis, adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Masyarakat Alam Melayu yang telah menerima pengaruh Islam dan peradaban Arab, mengetahui arti dan konsep adat. Walau demikian halnya, ternyata bahwa hampir semua masyarakat Alam Melayu atau Nusantara, baik masyarakat itu telah menerima pengaruh peradaban Islam atau tidak, telah memadukan konsep itu dengan arti yang hampir sama dalam kebudayaan mereka. Mereka ini termasuk masyarakat tradisional yang masih mengamalkan kepercayaan tradisi (animisme dan dinamisme), atau telah menganut agama Kristen— seperti masyarakat Iban, Bidayuh, Kenyah, Kayan, dan Kalabit di Sarawak; Murut, Kadazan (Dusun) di Sabah; Dayak Kalimantan; Batak Toba, Karo, di Sumatera Utara; dan Toraja di Sulawesi, dan juga suku bangsa Filipina, hingga melahirkan sebuah kesatuan dasar budaya serantau yang sangat menarik. Dalam masyarakat tradisi Alam Melayu, konsep adat memancarkan hubungan mendalam dan bermakna di antara manusia dengan manusia juga manusia dengan alam sekitarnya, termasuk bumi dan segala isinya, alam sosiobudaya, dan alam gaib. Setiap hubungan itu disebut dengan adat, diberi bentuk tegas dan khas, yang diekspresikan melalui sikap, 27 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya aktivitas, dan upacara-upacara. Adat ditujukan maknanya kepada seluruh kompleks hubungan itu, baik dalam arti intisari eksistensi sesuatu, dasar ukuran buruk dan baik, peraturan hidup seluruh masyarakat, maupun tata cara perbuatan serta perjalanan setiap kelompok institusi. Adat muncul sebagai struktur dasar dari seluruh kehidupan dan menegaskan ciri kepribadian suatu masyarakat. Oleh karena itu, adat biasanya memiliki cerita atau mitos suci, watak-watak asal-usul yang gagah dan unggul, serta memberikan dasar makna terhadap setiap peristiwa dalam siklus hidup manusia, serta eksistensi institusi dalam masyarakatnya. Dengan demikian, dalam masyarakat tradisi, adat memiliki kedudukan suci hingga mencapai martabatnya; dipancarkan oleh kelakuan yang benar serta halus; sebuah ciri kehidupan yang menyerap sistem kepercayaan, hukuman, dan denda. Setiap individu yang melanggar, menyelewengkan, melebihi, mengurangi, atau menafikannya, akan menerima balasan dan hukuman, baik melalui pemegang kekuasaan adat itu sendiri maupun Tuhan dalam kepercayaan mereka. Sebaliknya, setiap yang berhasil melaksanakan adat, akan berkuasa, berwibawa, juga memegang, menjalankan, dan patuh kepada adat. Dengan demikian, adat memberi makna konfigurasi yang mendalam, serta makna kestrukturan dalam sebuah masyarakat dan kebudayaannya. Adat merupakan identitas yang berfungsi untuk mengintegrasikan seluruh masyarakat dan kelompok kecil masyarakat tersebut. Setiap kelompok akan dikenali oleh kelompok lain dengan perbedaan adatnya. Dalam rangka ini, adat juga menjadi identitas subkultur tertentu, seperti masyarakat Melayu membedakan adat orang Kelantan, Melaka, Perak, Johor, Deli, Riau, Bengkulu, Bangka-Belitung, Palembang, Kutai, Pontianak, dan lainnya. Demikian pula konsep yang sama dipergunakan untuk membedakan atau mengenali orang asing di luar konteks masyarakat Melayu. Kegagalan kultural orang bukan Melayu, dalam rangka mengikuti cara orang Melayu duduk, makan, atau bersalaman pada upacara perkawinan misalnya, adalah karena adat yang mereka gunakan berbeda dengan adat Melayu. Jika kesalahan adat ini berlaku sesama masyarakat Melayu, maka dengan sendirinya ia akan mendatangkan hukuman atau sanksi. Paling tidak seseorang itu dilarang berbuat atau menyebut sesuatu, 28 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu kalau pun tidak dimarahi dengan hukuman tidak tahu adat atau tidak beradat. Dengan demikian adat memiliki fungsi (pengenalan) dan juga normatif (hukuman). Kedua fungsi ini berlaku dalam rangka hubungan manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam (baik alam kasat mata maupun alam gaib). Menurut Tenas Effendy salah satu yang dihindari oleh orang Melayu adalah ia tidak tahu adat atau tidak beradat. Pernyataan ini bukan hanya sekedar hinaan, yang dimaknai secara budaya adalah kasar, liar, tidak bersopan santun, tidak berbudi—tetapi juga ia tidak beragama, karena adat Melayu adalah berdasar pada agama. Jadi tidak beradat sinonim maknanya dengan tidak beragama (2004:57). Ungkapan adat Melayu menjelaskan, biar mati anak, jangan mati adat mencerminkan betapa pentingnya eksistensi adat dalam kehidupan masyarakat Melayu. Dalam konsep etnosains Melayu, dikatakan bahwa mati anak duka sekampung, mati adat duka senegeri, yang menegaskan keutamaan adat yang menjadi anutan seluruh lapisan masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari sisi lain, makna ungkapan adat biar mati anak jangan mati adat mengandung makna bahwa adat (hukum adat) wajib ditegakkan, walaupun harus mengorbankan keluarga sendiri. Maknanya adalah adat adalah aspek mendasar dalam menjaga harmoni dan konsistensi internal budaya, yang menjaga keberlangsungan struktur sosial dan kesinambungan kebudayaan secara umum. Jika adat mati maka mati pula peradaban masyarakat pendukung adat tersebut. Menurut Husin Embi et al. (2004:85) masyarakat Melayu kaya dengan adat-istiadat, yang diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Komitmen yang ditunjukkan oleh masyarakat Melayu terhadap adat ini, jelas tergambar dalam ungkapan berikut ini. Kecil dikandung ibu, Besar dikandung adat, Mati dikandung tanah. 29 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Biar mati anak, Jangan mati adat. Laksmana berbaju besi, Masuk ke hutan melanda-landa, Hidup berdiri dengan saksi, Adat berdiri dengan tanda. Lebih jauh menurut Tenas Effendi (2004:58) masyarakat Melayu menyatakan bahwa, Apa tanda Melayu sejati? Adat resamnya pakaian diri. Apa tanda Melayu terbilang? Adat dipakai pusaka disandang. Apa tanda Melayu bertuah? Memegang amanat ia amanah. Jadi tipe ideal seorang Melayu adalah ia memahami, menjalankan, dan menghayati adat. Sehingga ia akan selalu menggunakan adat dan pusaka budaya dalam kehidupannya, dan ia menjadi orang yang amanah (salah satu tipe ideal kepemimpinan dalam Islam). Pentingnya adat dalam kehidupan masyarakat Melayu adalah berfungsi untuk mengatur hampir semua sisi kehidupan, memberikan arahan dan landasan dalam semua kegiatan, mulai dari hal yang besar sampai kepada hal yang paling kecil. Adat mengajar orang untuk menjadi manusia beradab, bersopan-santun, toleran, saling menghormati, tahu diri, tolong-menolong—agar dapat menciptakan suasana kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, adat Melayu bersumber dan mengacu kepada ajaran Islam. Oleh karena itu adat dijadikan identitas setiap pribadi orang Melayu. Sesuai dengan ajaran adat Melayu, kalau hendak tahu kemuliaan umat, tengok kepada adat-istiadatnya, bahasa menunjukkan bangsa, adat menunjukkan umat. 2.3 Empat Kategori Adat Melayu Dalam rangka menentukan kebijakan dan arah peradaban Melayu, maka masyarakat Melayu mendasarkannya kepada institusi generik yang disebut adat. Dalam rangka menghadapi dan mengisi globalisasi, masyarakat Melayu telah membuat strategi budayanya. Strategi ini 30 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu diarahkan dalam adat Melayu. Adat Melayu berasas kepada ajaran-ajaran agama Islam, yang dikonsepkan sebagai adat bersendikan syarak—dan sayarak bersendikan kitabullah. Yang dimaksud syarak adalah hukum Islam atau tamadun Islam. Di sisi lain kitabullah artinya adalah Kitab Suci Allah (Al-Qur’an), atau merujuk lebih jauh dan dalam adalah wahyu Allah sebagai panduan manusia dalam mengisi kebudayaannya. Dalam melakukan arah budayanya orang Melayu memutuskan untuk menerapkan empat bidang (ragam) adat. Menurut Lah Husni (1986) adat pada etnik Melayu tercakup dalam empat ragam, yaitu: (1) adat yang sebenar adat; (2) adat yang diadatkan; (3) adat yang teradat, dan (4) adatistiadat. Keempat bidang adat ini saling bersinerji dan berjalin seiring dalam mengawal polarisasi kebudayaan Melayu secara umum. Apapun yang diperbuat orang Melayu seharusnya berdasar kepada ajaran-ajaran adat ini. Namun perlu diketahui bahwa beberapa pakar dan pelaku budaya Melayu, menyebutkan hanya tiga kategori adat saja, tidak sampai empat yaitu adat-istiadat. Namun ada pula yang menyebutkannya dalam empat kategori. Yang jelas keempat-empatnya memiliki hubungan yang sinerji dan saling menguatkan. Namun jika ditilik dari sudut pandang, maka kategori pertama adalah yang paling dasar, holistik, menyeluruh, Sedangkan kategori kedua, ketiga, dan keempat adalah turunan dari yang pertama. Begitu juga ketiga adalah turunan dari pertama dan kedua. Juga keempat adalah turunan dari pertama, kedua, dan ketiga. Kategori yang pertama adalah mutlak dan absolut menurut hukum yang diciptakan Allah. Kategori kedua, ketiga, dan keempat, adalah bersifat perkembangan ruang dan waktu di dalam kebudayaan, baik itu berupa aktivitas sosial, maupun juga benda-benda atau artefak kebudayaan. Berikut ini diuraikan tentang empat kategori adat Melayu. 2.3.1 Adat yang Sebenar Adat Menurut Tenas Effendi (2004:61) adat yang sebenar adat adalah inti adat yang berdasar kepada ajaran agama Islam. Adat inilah yang tidak boleh dianjak-alih, diubah, dan ditukar. Dalam ungkapan adat dikatakan, 31 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya dianjak layu, diumbat mati; bila diunjuk ia membunuh, bila dialih ia membinasakan. Adat berdasar kepada pengertian manusia terhadap eksistensi dan sifat alam yang kasat mata ini. Berdasarkan pengertian ini, maka muncullah ungkapan-ungkapan seperti adat api membakar, adat air membasahi, adat lembu melenguh, adat kambing mengembik, dan lainlain. Sifat adalah sesuatu yang melekat dan menjadi penciri khas benda atau keadaan, yang membedakannya dengan benda atau keadaan lain. Itulah sebenarnya adat, sesuatu yang tidak dapat disangkal sebagai sifat keberadaannya. Tanpa sifat itu benda atau keadaan tadi, tidak wujud seperti keadaannya yang alami. Manusia Melayu membuat penyesuaian dalam masa yang lama berdasarkan pengetahuan terhadap semesta alam, atau adat yang sebenar adat yakni hukum alam yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dari adaptasi ini muncul sistem kepercayaan yang tegas dan formal terhadap alam, kekuatan alam, dan fungsi alam. Menurut tanggapan mereka seluruh alam ini menjadi hidup dan nyata, terdiri dari makhluk dan kekuatan yang mempunyai hubungan dengan manusia dalam susunan kosmologi yang telah diatur oleh Allah. Melalui respons terhadap alam ini, maka cara hubungan yang teratur diadakan berdasarkan sikap hormat dan saling bergantung antara manusia dengan alam. Satu rangka sikap yang terpancar dalam sistem tabu (pantangan) diwujudkan untuk mengatur hubungan harmoni tersebut. Menurut Zainal Kling (2004:42) satu himpunan ilmu kepawangan, kebomohan, dan kedukunan diwujudkan untuk memastikan hubungan tersebut selalu seimbang dan tenteram. Di sinilah fungsi watak-watak dalam masyarakat diperankan oleh pawang, dukun, bomoh, belian, manang, dan sejenisnya. Mereka ini berfungsi penuh menghubungkan alam manusia (alam sosial) dan pengalaman pancaindra dengan alam gaib melalui kegiatan jampi, mantera, serapah, dan sejenisnya. Oleh karena itu, bukan saja golongan perantara alam gaib itu mengetahui tentang benda dan sumber alam seperti tumbuhan, hewan, dan ciri-ciri alam nyata seperti air, api, udara, dan lainnya, namun mereka juga mempunyai pengetahuan dan kekuatan untuk berhubungan dengan makhluk gaib yang terdapat dalam sistem kosmologinya. Mereka adalah 32 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu kelompok perantara dan titik pangkal antara dua alam: alam sosial dan alam supernatural. Mereka inilah yang selanjutnya juga menjadi ahli teori dan ideolog sistem adat masyarakatnya. Dalam gagasan masyarakat Alam Melayu hubungan manusia dengan alam senantiasa dijaga agar terbentuk keseimbangan dan ketenteraman. Mereka menjaga segenap kelakuan manusia yang bisa mencemari, merusak, atau merubah keseimbangan dan ketenteraman hubungan dengan alam gaib yang menjadi pernyataan dan manifestasi kepada hidupnya alam. Sistem pantang dan larang memastikan supaya kelakuan atau tabiat manusia senantiasa hormat terhadap perwujudan alam. Jika berlaku pelanggaran terhadap adat yang mengatur hubungan manusia dengan alam, yang dampaknya adalah mengacau hubungan, seperti berlakunya pelanggaran pantang larang, perlakuan kelintasan atau sebagainya, maka perlu diadakan sebuah upacara yang dilakukan oleh pawang, bomoh, atau manang untuk memujuk makhluk gaib dan mengembalikan keadaan hubungan yang baik kembali antara kedua alam. Dengan demikian, maka timbul pula adat-istiadat atau upacara perobatan untuk mengobati sakit yang telah dikenakan terhadap seorang manusia yang melanggar hubungan baik itu. Dalam bentuk yang sangat berkepanjangan, seorang pawang akan mengadakan seperti main puteri di Kelantan, berkebas di Melaka, berayun atau bebelian di Sarawak, bobohizan di Sabah, ulit mayang di Terengganu, gebuk di Serdang Sumatera Utara, gubang di Asahan Sumatera Utara, belian di Riau, untuk menghubungi alam gaib, memujuk, memuji, dan meminta dengan jaminan baru bahwa kesilapan tidak dilakukan lagi, memohon maaf, dan membantu si sakit agar sembuh. Seorang pawang Melayu akan selalu membawa jampi atau mantra dengan kalimat seperti: “Aku tahu asalmu,” apabila meminta atau menghalau anasir sakit yang dibuat oleh makhluk gaib. Demikianlah pengetahuan manusia Melayu terhadap alam kasat mata dan supernatural dengan segala makhluknya, menentukan hubungan manusia dengan alam dalam keadaan harmoni. Pengetahuan ini memastikan sistem ekologi dan alam alam sekitar yang tidak dirusak dan tidak dihormati. Pengetahuan ini juga memastikan ekosistem yang bersimbiosis antara manusia dan alam (nyata dan supernatural). Tidak 33 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya ada eksploitasi yang berlebihan, sehingga terjadi pelanggaran terhadap eksistensi semua makhluk, termasuk datangnya bencana alam seperti banjir, tsunami, gunung meletus, dan lain-lainnya. Ini semua adalah realitas kultural adat yang sebenar adat, yang tidak lapuk di hujan, dan tak lekang di panas, hukum alam yang tidak berubah dalam dimensi ruang dan waktu. Adat yang sebenar adat adalah apabila menurut waktu dan keadaan, jika dikurangi akan merusak, jika dilebihi akan mubazir (sia-sia). Proses ini berdasar kepada: (a) hati nurani manusia budiman, yang tercermin dalam ajaran adat: Pisang emas bawa belayar, Masak sebiji di dalam peti, Hutang emas dapat dibayar, Hutang budi dibawa mati. Askar berperang gagah berani, Melawan Feringgi dengan bismillah, Apa yang terjadi di dunia ini, Sudah menjadi hukumnya Allah. (b) kebenaran yang sungguh ikhlas, dengan berdasar kepada berbuat karena Allah bukan karena ulah; (c) keputusan yang berpadan, dengan berdasar kepada hidup sandar-menyandar, pisang seikat digulai sebelanga, dimakan bersama-sama. yang benar itu harus dibenarkan, yang salah disalahkan. Adat murai berkicau, tak mungkin menguak. Adat lembu menguak, tak mungkin berkicau. Adat sebenar adat ini menurut konsep etnosains Melayu adalah sebagai berikut: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang, yang besar dibesarkan, yang tua dihormati, yang kecil disayangi, yang sakit diobati, yang bodoh diajari, yang benar diberi hak, yang kuat tidak melanda, yang tinggi tidak menghimpit, yang pintar tidak menipu, hidup berpatutan, makan berpadanan. Jadi ringkasnya, hidup itu seharusnya harmonis, baik mencakup diri sendiri, seluruh negara, dan lingkungan hidupnya. Tidak ada hidup yang bernafsi-nafsi. Inilah adat yang tak boleh berubah (Lah Husni, 1986:51). 34 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu Dalam konteks globalisasi budaya, ragam adat ini diterapkan kepada realitas bahwa Allah menetapkan hukumnya kepada alam. Oleh karena itu, ketetapan Allah ini harus dibaca sebagai kenyataan bahwa Allah itu Maha Kuasa. Realitas alam yang pasti dan eksak tersebut haruslah dijadikan sandaran dalam mengisi kebudayaan. Adat air laut asin misalnya adalah ketentuan Allah. Kemudian manusia bisa mengelolanya menjadi garam. Demikian juga lautan tersebut adalah sebuah habitat alam yang menyediakan berbagai sumber alam seperti ikan dengan berbagai spesiesnya, tumbuhan laut, dan lainnya yang dapat difungsikan untuk kehidupan manusia, bahkan bernilai ekonomis. Dalam kebudayaan misalnya, orang di Dunia Timur selalu cenderung bergotong-royong dan mengisi spiritualnya, orang di Dunia Barat (Oksidental) cenderung berpikir rasional, tepat waktu, dan tanpa basa-basi. Ini juga hukum alam yang diberikan Tuhan. Oleh karena itu, orang Melayu harus bijaksana mengambil nilai-nilai yang benar untuk peradabannya yang diambil dari Dunia Timur maupun Barat. Dengan demikian proses mengadun budaya secara bijaksana sangatlah penting. Ini dibuktikan melalui sumbangan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara. Ke depan sangatlah mungkin kebudayaan Melayu menjadi cultura franca di Nusantara ini. Hukum alam yang bersumber dari ketetapan Allah ini, ada yang telah diungkap oleh manusia dengan ilmu pengetahuan yang serba terbatas dibanding ilmu pengetahuan Allah. Berbagai rahasia Ilahi terhadap alam yang diciptakannya yang telah diungkap manusia adalah hukum Archimedes, hukum gravitasi bumi oleh Newton, hukum kekekalan energi dan hukum relativitas oleh Einstein, hukum aerodinamika oleh B.J. Habibie, dan masih banyak lagi yang lainnya. Tetapi masih lebih banyak lagi rahasia Allah yang belum dapat diungkapkan oleh manusia dan ilmu pengetahuannya sampai saat ini. Dalam ajaran agama Islam, alam dan hukum yang dibuat oleh Allah untuknya terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai penciptaan, seperti penciptaan Arsy, kursi Allah (kekuasaan dan ilmu-Nya); penciptaan lawhul mahfuz, penciptaan langit dan bumi, gunung, laut, sungai, hewan, serangga, makhluk hidup di air, bintang, udara, bulan, matahari, malam, siang, hujan, penciptaan jin, pengusiran iblis dari rahmat Allah, dan lain-lainnya. Dengan demikian 35 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya masalah alam dan hukumnya yang telah ditentukan Tuhan meliputi alam makrokosmos dan mikrokosmos. Selain alam yang kasat mata, ada pula alam supernatural sesuai dengan iman dalam Islam. Namun inti ajaran Allah mengenai alam dan hukumnya ini adalah Allah berkuasa atas semua ciptaan-Nya. Allah yang mengatur apa yang diciptakannya itu. Dengan demikian adat yang sebenar adat ini dalam kebudayaan Melayu, mengacu kepada konsep Allah adalah Khalik, sementara manusia dan alam semesta (termasuk jin dan iblis) adalah makhluk Allah. Keadaan yang seperti ini dijelaskan melalui firman Allah pada Al-Qur’an sebagai berikut. (1) Surah Al-Baqarah ayat 22 Artinya: 22. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. 36 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu (2) Surah Al-Baqarah ayat 164 Artinya: 164. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (3) Surah Al-Kahfi ayat 51 Artinya: 51. Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong. 37 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Surah Al-Baqarah ayat 22 di atas memberikan dimensi pembelajaran bagi umat Islam, yaitu Allah yang menjadikan bumi dan segala isinya sebagai hamparan bagi segenap manusia. Di sisi lain, di bahagian atasnya ada langit sebagai atap. Seterusnya Allah menurunkan air (hujan) dari langit. Berkat air hujan ini, di bumi tumbuhlah berbagai tumbuhan, dan menghasilkan buah-buahan yang juga sebagai rezeki kepada semua manusia. Hanya satu permintaan Allah akan kasih dan sayangnya yang tidak terhingga ini, yakni kita sebagai manusia jangan membuat sekutusekutu bagi Allah. Selanjutnya pada surah Al-Baqarah ayat 164, Allah berfirman bahwa dalam menciptakan langit dan bumi Allah juga mengatur terjadinya siang dan malam. Begitu juga apa-apa yang ada di laut adalah untuk digunakan oleh segenap manusia. Selain itu, Allah menurunkan air dari langit, dan air ini mengaliri bumi kembali setelah kemarau. Allah juga menciptakan berbagai jenis hewan di bumi. Demikian pula udara (angin) dan awan yang berada antara langit dan bumi. Semua ini adalah tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah, bagi kaum yang memikirkan. Dalam kenyataannya ada pula kaum yang tidak memikirkannya dan tidak mengakui keesaan dan kebesaran Allah, bahkan ada yang tidak percaya akan adanya Allah. Kedua firman Allah dalam Al-Qur’an tersebut menyebutkan tentang alam nyata atau alam kasat mata. Walaupun sebenarnya keseluruhan alam ciptaan Tuhan ini, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan manusia yang juga diberikan Tuhan kepadanya, belum mampu mengetahui secara sempurna mengenai alam dan makhluk kasat mata ciptaan Tuhan ini, seperti jasad renik, amuba, protozoa, hewan-hewan, tumbuhan, bumi, bulan, bintang, planet, satelit, galaksi, tata surya, dan seterusnya. Selain ciptaan Allah yang kasat mata, terdapat juga makhlukmakhluk ciptaan Allah yang bersifat gaib, yang berada dalam alam supernatural. Ini juga difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an, salah satunya pada surah Al-Kahfi ayat 51 seperti terurai di atas. Melalui firman-Nya ini, Allah menerangkan bahwa ketika Allah menciptakan langit dan bumi, Allah tidak menghadirkan iblis dan segenap 38 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu keturunannya untuk menyaksikan penciptaan alam. Allah tidak pula mengambil orang-orang yang menyesatkan manusia itu sebagai penolong. Dari tiga ayat Al-Qur’an tersebut terbersit dengan jelas kepada kita yang mau berpikir dan mengimani Allah. Pertama adalah Allah Maha Kuasa, dan dengan kekuasan-Nya Allah menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Kedua, Allah juga yang mengatur segala ciptaan-Nya tersebut. Tujuannya adalah untuk kepentingan manusia. Ketiga Allah juga menciptakan makhluk-makhluk dalam dua bentuk, yaitu yang kasat mata dan yang gaib. Ini juga tanda-tanda Allah itu Maha Kuasa. Keempat, hanya satu permintaan Allah kepada manusia, yaitu jangan menyekutukan Allah, mengakui adanya Ilah (Tuhan) lain selain Allah Subhana Wata’ala. 2.3.2 Adat yang Diadatkan Adat yang diadatkan adalah adat itu bekerja pada suatu landasan tertentu, menurut mufakat dari penduduk daerah tersebut. Kemudian pelaksanaannya diserahkan oleh rakyat kepada yang dipercayai mereka. Sebagai pemangku adat adalah seorang raja atau penghulu. Pelaksanaan adat ini wujudnya adalah untuk kebahagiaan penduduk, baik lahir ataupun batin, dunia dan akhirat, pada saat itu dan saat yang akan datang. Adat yang diadatkan ini maknanya mengarah kepada sistem-sistem sosial yang dibentuk secara bersama, dalam asas musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Adat yang diadatkan juga berkait erat dengan sistem politik dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan nilainilai keagamaan, kebenaran, keadilan, kesejahteraan, dan polarisasi yang tepat sesuai dengan perkembangan dimensi ruang dan waktu yang dilalui masyarakat Melayu. Lebih jauh Tenas Effendy (2004:61) menjelaskan bahwa adat yang diadatkan adalah semua ketentuan adat-istiadat yang dilakukan atas dasar musyawarah dan mufakat serta tidak menyimpang dari adat sebenar adat. Adat ini dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman dan perkembangan masyarakat pendukungnya. Adat yang diadatkan ini dahulu dibentuk melalui undang-undang kerapatan adat, terutama di 39 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya pusat-pusat kerajaan, sehingga terbentuklah ketentuan adat yang diberlakukan bagi semua kelompok masyarakatnya. Tiap-tiap negeri itu mempunyai situasi yang berbeda dengan negerinegeri lainnya, lain lubuk lain ikannya lain padang lain belalangnya. Perbedaan keadaan, tempat, dan kemajuan sesuatu negeri itu membawa resam dan adatnya sendiri, yang sesuai dengan kehendak rakyatnya, yang diwarisi dari leluhurnya. Perbedaan itu hanyalah dalam lahirnya saja, tidak dalam hakikinya. Adat yang diadatkan ini adalah sesuatu yang telah diterima untuk menjadi kebiasaan atau peraturan yang diperbuat bersama atas mufakat menurut ukuran yang patut dan benar, yang dapat dimodifikasi sedemikian rupa secara fleksibel. Dasar dari adat yang diadatkan ini adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang, terapung tidak hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni, 1986:62). Arah adat yang diadatkan ini adalah berasas kepada sistem pemerintahan atau pengelolaan masyarakat. Dalam konteks kekinian, strategi adat yang diadatkan ini diterapkan oleh negara-negara rumpun Melayu. Indonesia menerapkan sistem demokrasi, yaitu kekuasaan ada di tangan rakyat. Bentuk pemerintahan presidensial. Pemilihan umum dilakukan lima tahun sekali. Kemudian disertai dengan otonomi daerah. Gejolak sosial pun terjadi seeiring dengan pemilihan kepala-kepala daerah (pilkada). Malaysia sebagai negeri rumpun Melayu lainnya menerapkan sistem kesultanan, yang dipimpin secara bergilir oleh Yang Dipertuan Agong secara musyawarah di antara sultan-sultan (dan Tuan Yang Terutama) seluruh Malaysia. Sistem pemerintahannya juga menerapkan demokrasi parlementer, dan kebijakan multipartai, yang berbasis nasional dan agama. Dalam kebudayaan Melayu, raja (ada juga yang menyebut sultan) adalah pemimpin tertinggi. Sultan adalah wakil Allah di muka bumi, yang harus ditaati dan dihormati segala keputusan dan kebijakannya. Raja juga sebagai seorang pemimpin tertinggi dalam pemerintahan dan kenegaraan, ia juga adalah pempimpin agama, yaitu imam bagi seluruh umat yang dipimpinnya. Bagaimanapun seorang sultan juga memikul tanggung jawab untuk rakyat yang dipimpinnya, yang dipandu oleh ajaran-ajaran agama Islam. Raja di dalam peradaban Melayu adalah raja yang bijaksana, rendah hati, mengutamakan 40 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu kepentingan umat yang dipimpinnya, dan bertanggung jawab langsung kepada Allah SWT. Dalam konteks Malaysia kini, gejolak politik pun muncul karena gesekan antara kepentingan Barisan Nasional dan Barisan Alternatif. Yang jelas apa pun bentuk pemerintahan di negeri-negeri rumpun Melayu tujuan utamanya adalah untuk menuju masyarakat yang madani, adil, dan makmur (baldatun thoyibatun warabbun ghofur). Dalam konteks ajaran Islam pun, sistem kepemimpinan ini juga telah diarahkan oleh Allah melalui Al-Qur’an. Di antara ayat-ayat yang memuat tema tentang kepemimpinan dalam perspektif Islam adalah sebagai berikut. (a) Surah As-Sajdah ayat 24 Artinya: 24. Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (b) Al-Anbiyaa’ ayat 73 Artinya: 73. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpinpemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan 41 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah. (c) Surah An-Nisaa’ ayat 34 Artinya: 34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Sesuai dengan firman Allah tersebut, maka pemimpin dalam budaya masyarakat Melayu adalah diturunkan Allah kepada umat (termasuk masyarakat Melayu). Pemimpin ini memberikan petunjuk berdasarkan arahan dari Allah, dan pemimpin itu adalah orang yang sabar (menghadapi semua tantangan) dalam membawa kesejahteraan umat yang dipimpinnya. Seterusnya, pemimpin umat itu selalu mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang (shalat), menunaikan zakat, dan yang terpenting 42 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu adalah hanya menyembah kepada Allah saja (tidak menyekutukan Allah). Dengan demikian pemimpin (sebenar, bukan pemimpin untuk cobaan) yang diturunkan Allah itu adalah orang yang saleh dan patuh kepada perintah Allah, menjauhi segala larangan Allah, dan mengerjakan semua perintah Allah. Selanjutnya dalam konteks kajian gender (terutama dalam konteks rumah tangga Islam atau yang lebih luas negeri Islam), maka di dalam ajaran agama Islam, laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Ini merupakan petunjuk Allah, bahwa laki-laki memang diciptakan Allah untuk memimpin wanita, bukan sebaliknya. Antara laki-laki dan wanita adalah saling melengkapi atau komplementer. Sementara wanita yang saleh dan taat kepada Allah, memelihara diri ketika suaminya tidak ada, maka Allah memelihara mereka, dan akan menjadi penghuni surga. Dimensi pembelajaran kepemimpinan dari firman Allah ini adalah laki-laki memang diciptakan untuk memimpin wanita dengan karakteristik yang diberikan Allah kepadanya. Namun demikian, laki-laki juga tidak boleh semena-mena terhadap wanita yang dipimpinnya. Atau juga setiap wanita yang beriman kepada Allah tidak akan pernah melakukan kesetaraan gender, karena memang tidak diciptakan untuk setara dalam segala-galanya, tetapi saling melengkapi. Jadi yang benar adalah kemitraan gender. Ada hal-hal yang tidak terdapat dalam diri lakilaki dan juga sebaliknya. Nabi Muhammad SAW merupakan seorang yang sangat sopan dalam bertutur kata, jujur, tidak pernah berdusta, dan luhur budi pekertinya. Hal inilah yang membuat setiap muslim dan umat manusia mengagumi Nabi Muhammad. Sampai saat ini, Rasulullah Muhammad dikagumi ramai orang di seluruh pelosok dunia karena kepribadiannya yang amat luar biasa. Michael H. Hart di dalam bukunya yang bertajuk The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History menempatkan Nabi Muhammad sebagai manusia paling berpengaruh di dunia ini, di dalam sejarah dunia. Dalam hal ini Nabi Muhammad memiliki prilaku dan akhlak yang mulia terhadap sesama manusia, khususnya terhadap umat beliau. Nabi Muhammad tidak memandang seseorang dari status sosial, ras, warna kulit, suku bangsa, atau golongan. Ia selalu berbuat baik kepada siapa 43 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya saja—bahkan kepada orang jahat atau orang yang tidak baik kepadanya. Di dalam Al-Quran pula, beliau disebut sebagai manusia yang memiliki akhlak yang paling agung. Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Q.S. Al-Ahzab: 21). Rasulullah Muhammad SAW. memiliki akhlak dan sifat-sifat yang sangat mulia. Oleh karena itu hendaklah kita berpedoman dan menghayati sifat-sifat Nabi ini dalam kehidupan yang kita jalani. Adapun secara garis besar, ada empat sifat Nabi Muhammad dalam konteks kepemimpinannya, yaitu sidik, amanah, tabligh, dan fathonah. 2.3.2.1 Sidik Siddiq yang berasal dari kata bahasa Arab arti harfiahnya adalah benar. Benar adalah suatu sifat yang mulia yang menghiasi akhlak seseorang yang beriman kepada Allah dan kepada hal-hal yang gaib. Ia merupakan sifat pertama yang wajib dimiliki para Nabi dan Rasul yang dikirim Tuhan ke alam dunia ini untuk membawa wahyu dan agamanya. Pada diri Rasulullah SAW. bukan hanya perkataannya yang benar, tetapi perbuatannya juga benar, yakni sejalan dengan ucapannya. Jadi mustahil bagi Rasulullah SAW itu bersifat pembohong, penipu, pendusta, dan sebagainya. 44 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya (Q.S. An-Najm, 4-5). Dalam konteks ini, sebagai pemimpin Melayu, termasuk pemimpin adat, sudah semestinya dan wajib berkata benar. Dasar dari kebenaran itu adalah wahyu-wahyu Allah, yaitu Al-Qur’an. Apa tanda pemimpin sejati, dengan Al-Qur’an ia bersebati; apa tanda pemimpin Melayu, bersifat sidik setiap waktu; apa tanda seorang pemimpin, di jalan Allah ia berjalin. 2.3.2.2 Amanah Sifat Rasulullah berikutnya adalah amanah, yang artinya benar-benar dipercaya. Ia sangat menjaga sesuatu yang dibebankan dan diberikan wewenang kepadanya. Jikalau sebuah urusan diserahkan kepada Rasulullah, maka orang yang menyerahkan urusan tersebut percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sebab itulah penduduk Kota Mekah memberi gelar kepada Nabi Muhammad SAW dengan Al-Amin yang artinya terpercaya, jauh sebelum beliau diangkat jadi seorang Rasul. Apa saja yang beliau ucapkan, dipercayai dan diyakini penduduk Mekah, karena beliau terkenal sebagai seorang yang tidak pernah berdusta. Sifat amanah Rasulullah ini tercermin dalam ayat Al-Qur’an berikut ini. Artinya: Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu (Q.S. Al-A'raaf: 68). 45 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Dengan demikian, maka mustahillah Nabi Muhammad SAW. itu berlaku khianat terhadap orang-orang yang memberinya amanah (kepercayaan penuh). Nabi Muhammad tidak pernah menggunakan kedudukannya sebagai Rasul atau sebagai pemimpin bangsa Arab untuk kepentingan pribadinya, atau kepentingan keluarganya, namun yang dilakukan Rasulullah adalah semata-mata untuk kepentingan Islam melalui ajaran Allah SWT. Pada saat Rasulullah Muhammad SAW ditawarkan pemerintahan, harta, dan wanita oleh kaum Quraisy, agar Nabi meninggalkan tugas yang diembankan Allah kepadanya yaitu menyiarkan agama Islam, Nabi Muhammad menjawab dengan tegas: ”Demi Allah… wahai paman, seandainya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas suci ini, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan Islam atau aku hancur karenanya.” Walaupun kaum kafir Quraisy kemudian mengancam akan membunuh Nabi Muhammad, namun Rasulullah tidak gentar dan tetap menjalankan amanah Allah yang diterimanya. Setiap orang muslim seharusnya memiliki sifat amanah seperti Rasulullah SAW. Amanah dalam konteks kepemimpinan Melayu adalah tercermin dalam ungkapan berikut. Apa tanda Melayu jati, dengan amanah ia berdiri; apa tanda Melayu jati, dipercaya orang di seluruh negeri, apa tanda Melayu jati, membela yang benar tegas dan berani. 2.3.2.3 Tabligh Tabligh artinya menyampaikan. Dalam hal ini, segala firman Allah SWT. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril, disampaikan oleh Rasulullah. Tidak ada yang disembunyikan walaupun firman Allah tersebut menyinggung Nabi Muhammad sendiri, seperti pada ayat Al-Qur’an berikut ini. 46 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu Artinya: Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu (Q.S. AlJin: 28). Artinya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya” (Q.S. 'Abasa: 1-2). Dalam suatu riwayat hadits, dikemukakan bahwa firman Allah (Q.S. 'Abasa: 1) turun berkaitan dengan Ibnu Ummi Maktum yang buta yang datang kepada Rasulullah SAW sambil berkata: “Berilah petunjuk kepadaku, ya Rasulullah.” Pada waktu itu Rasulullah SAW sedang menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, oleh karena itu Rasulullah berpaling darinya dan tetap melayani pembesar-pembesar Quraisy. Ummi Maktum berkata: “Apakah yang saya katakan ini mengganggu tuan?” Rasulullah menjawab: “Tidak.” Maka ayat ini turun sebagai teguran atas perbuatan Rasulullah SAW (Diriwayatkan oleh AtTirmidzi dan Al-Hakim yang bersumber dari ‘Aisyah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Ya’la yang bersumber dari Anas.) Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW tersebut menurut norma acuan etika yang umum adalah hal yang wajar. Pada saat sedang berbicara di depan umum atau dengan seseorang, tentu kita tidak suka diganggu oleh orang lain. Namun untuk standar seorang Nabi, itu tidak cukup bagi Allah. Oleh karena itulah Allah SWT telah menegur Nabi Muhammad SAW, melalui firman-Nya seperti terurai di atas. Sebagai seorang yang bersifat tabligh, meskipun ayat tersebut menyindirnya, Nabi Muhammad SAW tetap menyampaikannya kepada 47 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya seluruh umatnya, bahkan seluruh manusia dan jin. Itulah sifat seorang Nabi. Jadi, mustahil Nabi itu kitman atau menyembunyikan wahyu Allah. Sifat tabligh atau menyampaikan ini, dalam konteks budaya Melayu, dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan adat berikut ini. Apa tanda Melayu jati, bersifat tabligh di dalam diri; apa tanda Melayu jati, menyampaikan yang benar tiada menafi; apa tanda Melayu jati, ajaran Allah disampainya pasti. 2.3.2.4 Fathonah Secara etimologis, kata fathonah di dalam bahasa Arab artinya dalam bahasa Melayu adalah bijaksana. Dalam koteks kenabian, mustahillah seorang Rasul Allah itu bersifat bodoh atau jahlun. Dalam menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an dan kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits, maka Rasulullah Muhamamd SAW memerlukan kebijaksanaan yang luar biasa. Nabi Muhammad harus mampu menjelaskan firman-firman Allah SWT kepada kaumnya sehingga mereka mau memeluk Islam. Nabi Muhammad juga harus pandai berdebat (berhujah) dengan orang-orang kafir dengan cara yang sebaik-baiknya: santun, beretika, berwibawa, dan tegas. Dalam sejarah peradaban dunia, tercacat bahwa Rasulullah SAW, mampu mengatur dan mengelola umatnya sehingga berhasil mentransformasikan bangsa Arab jahiliah yang pada awalnya bodoh, kasar, bengis, berpecah-belah, dan serta selalu berperang antarsuku— kemudian menjadi bangsa yang berperadaban dan berpengetahuan. Semuanya itu memerlukan kebijaksanaan yang luar biasa, yang terdapat dalam diri Rasulullah SAW. Dalam konteks kepemimpinan Melayu sifat fathonah atau bijaksana ini tercermin dalam ungkapan berikut. Apa tanda Melayu jati, dengan bijaksana ia menyeri; apa tanda pemimpin bijaksana, berpadu benar kata dan amalnya; apa tanda pemimpin Melayu, arif dan bijak tiada ragu. 48 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu 2.3.2.5 Sifat-sifat Utama Pemimpin dalam Perspektif Budaya Melayu Dalam kebudayaan Melayu, pemimpin itu memiliki sifat-sifat utama. Menurut Tenas Effendi (2013), adat Melayu sangat mengutamakan pemimpinnya, yang disanjung dengan bermacam sebutan, dan dijadikan lambang budaya yang sarat nilai-nilai dasar identitas Melayu yang Islami. Melalui ungkapan adat dinyatakan bahwa pemimpin adalah: orang yang dituakan oleh kaumnya, yang dikemukakan oleh bangsanya, yang ditinggikan seranting, yang didahulukan selangkah, yang disanjung dijunjung tinggi, yang disayang serta dihormati. Selain itu, pemimpin dalam adat Melayu adalah bagaikan kayu besar di tengah padang, yang dari jauh mula nampak, yang dari dekat mula bersua, yang ke atas ia berpucuk, yang di tengah ia berbatang, dan yang di bawah berurat tunggang, rimbun daunnya tempat berteduh, kuat dahannya tempat bergantung, besar batangnya tempat bersandar, dan kukuh akarnya tempat bersila. Seterusnya pemimpin dalam konteks adat Melayu adalah bagaikan tanjung pumpunan angin, bagaikan teluk timbunan kapar, bagai pucuk jala pumpunan ikan, bagaikan kemuncak payung panji. Yang disebut dengan pemimpin umat adalah yang menjunjung amanah laut dan darat, sumpah dipegang, janji diingat, mengabdi untuk kepentingan umat, kepentingan sendiri tiadalah ingat. Kewajiban pemimpin menurut adat Melayu adalah membawa kesejahteraan umat, mana yang kusut wajib diselesaikan, mana yang keruh wajib dijernihkan, mana yang melintang wajib diluruskan, mana yang berbonggol wajib ditarahkan, mana yang kesat wajib diampelaskan, mana yang menyalah wajib dibetulkan. Pemimpin berkewajiban memberikan contoh teladan, menyampaikan tunjuk ajaran, memelihara kampung halaman, menjaga alam lingkungan berpijak pada keadilan, berdiri di atas kebenaran, menjaga marwah diri, umat, kampung, bangsa, adat dan lembaga, serta hukum dan undangnya. Begitu beratnya tugas dan kewajiban pemimpin, maka seorang pemimpin dalam adat Melayu wajib mendasarkan semua keputusan dan kegiatannya pada nilai-nilai agama Islam. Pemimpin yang mendasarkan diri pada agama akan menjadi seorang yang berkepribadian terpuji, 49 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya handal, piawi, arif, bijaksana, adil, jujur, amanah, cerdas, berani, tabah, dan berbagai akhlak terpuji lainnya (Tenas Effendi, 2013:4). Sifat-sifat utama pemimpin dalam budaya Melayu adalah sebagai berikut. 1 Berpegang teguh kepada agama Allah, 2. amanah, menunaikan sumpah, mengabdi, dan membela umat, 3. jujur dan sangat anti kepada khianat, 4. berakhlak mulia dalam pergaulan sosialnya, 5. memahami diri dan sistem sosial yang dibangun bersama, 6. arif, 7. bijaksana, 8. berilmu dan memahami pranata sosial, 9. berani, 10. berhati tabah, 11. berlapang dada, 12. tulus dan ikhlas, 13. bertimbang rasa, 14. rendah hati, 15. pemurah hati, 16. hemat dan cermat, 17. tunak dan rajin, dan 18. tangkas dan tegas (Tenas Effendi, 2013:5-13). Demikian kira-kira pemahaman mengenai adat yang diadatkan di dalam peradaban Melayu pada umumnya. 2.3.3 Adat yang Teradat Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan yang secara berangsur-angsur atau cepat menjadi adat. Sesuai dengan pepatah: sekali air bah, sekali tepian berpindah, sekali zaman beredar, sekali adat berkisar. Walaupun terjadi perubahan adat itu, inti adat tidak akan lenyap: adat pasang turun-naik, adat api panas, dalam gerak berseimbangan, antara akhlak dan pengetahuan. Adat yang teradat ini merupakan konsep masyarakat Melayu terhadap kesinambungan dan perubahan, yang merupakan respons terhadap dimensi ruang dan waktu yang dijalani manusia di dunia ini. Manusia, alam, dan seisinya, pastilah berubah menurut waktu dan zamannya. Namun demikian, perubahan pastilah tetap disertai dengan kesinambungan. Artinya hal-hal yang berubah sedrastis apapun pastilah tetap disertai dengan kesinambungan yang berasal dari era-era dan keadaan sebelumnya. Memang perubahan tersebut ada yang perlahan dan pasti, namun tidak jarang pula perubahan itu bersifat cepat, drastis, dan spontan. Dalam kajian sejarah perubahan ini ada yang sifatnya evolutif dan ada pula yang revolutif. Itulah inti konseptual dari adat yang teradat menurut orang-orang Melayu. 50 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu Menurut Lah Husni, perubahan itu hanya terjadi dalam bentuk ragam, bukan dalam hakiki dan tujuan semula. Umpamanya jika dahulu orang memakai tengkuluk atau ikat kepala dalam suatu perhelatan adat, kemudian sekarang memakai kopiah itu menjadi pakaian yang teradat. Jika dahulu berjalan berkeris atau disertai pengiring, sekarang tidak lagi. Jika dulu warna kuning hanya raja yang boleh memakainya, sekarang siapa pun boleh memakainya (Lah Husni, 1986:62). Demikian pula, kalau dahulu kala dalam adat perkawinan Melayu digunakan serunai untuk mengiringi persembahan tari inai, maka sekarang alat musik ini digantikan oleh akordion. Kalau dahulu orang Melayu selalu menggunakan teater makyong, kini lebih sering menonton drama serial di televisi-televisi. Jikalau dahulu kala orang Melayu bertanam padi di sawah dan memanennya dengan disertai acara mengirik padi kemudian dijemur dan ditumbuk, kini pada masa panen padi tersebut tidak lagi diirik, langsung diolah dengan mesin pengirik, dan kemudian digiling. Kalau dahulu anak-anak muda Melayu bercinta malu-malu, kini sudah berubah yakni terang-terangan bergandeng tangan, seperti yang digambarkan melalui lantunan lagu oleh Tan Sri S.M. Salim. Cinta dulu-dulu, Cinta malu-malu, Cinta zaman sekarang, Di depan orang, Ia pegang-pegang tangan. Dengan demikian, dalam konteks zaman, adat yang teradat inilah yang memberikan ruang bagi umat Melayu untuk mengikuti perkembangan zaman. Kata kunci perubahan adalah merujuk kepada strategi adat yang teradat ini. Menurut ajaran Islam perubahan dan kontinuitas alam (termasuk kebudayaan) pastilah terjadi, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an. 51 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya (a) Surah Al-An’aam ayat 73. Artinya: 73. Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah," dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (b) As Sajdah ayat 4 Artinya: 4. Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari pada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? Dalam melihat ruang dan waktu, termasuk perubahan dan kontinuitasnya, maka setiap muslim menyandarkannya kepada Allah, bahwa waktu dan ruang itu Allah yang menciptakan dan mengaturnya. 52 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu Termasuk pula penciptaan alam semesta beserta isinya dan juga proses alam serta datangnya hari kiamat ketika ditiup sangkakala. Selanjutnya, dalam menciptakan langit, bumi, dan apa yang ada di antaranya (seperti angin, awan, dan lainnya), Allah melakukan proses selama enam masa. Allah bersemayam di atas ‘Arsy. Dengan demikian dalam proses penciptaan ini terjadi perubahan dan kontinuitas, baik dari sisi ruang maupun waktu. Ini pun terus terjadi dari zaman ke zaman. Ini pula yang menjadi dasar dari konsep adat yang teradat. Dalam hal kesenian, perubahan-perubahan juga terjadi di sepanjang masa hidup dan berkembangnya kesenian tersebut. Misanya dalam seni zapin, awalnya adalah difungsikan dalam upacara perkawinan dan hanya ditarikan oleh penari laki-laki. Kini telah difungsikan dalam berbagai konteks sosial lain seperti menyambut tetamu, festival, eksplorasi gerak dan musik yang baru, dan juga ditarikan oleh kaum wanita. Demikian juga selain dari seni pertunjukan tradisional, para seniman Melayu juga sangat kreatif membuat tari-tari dan musik garapan baru yang berakar dari kesenian tradisi. Dari Malaysia kita dapat sumbangan kesenian seperti lagu Cindai karya cipta Pak Ngah Suhaimi yang dipopulerkan oleh Datuk Siti Nurhalijah. Begitu juga dari Indonesia kita kenal lagu Laksmana Raja Di Laut yang dipopulerkan oleh Iyeth Bustami. Dari Medan lagu Makan Sireh untuk iringan tari Persembahan, diberi sentuhan budaya kekinian oleh Cek Dahlia Abu Kasim Sinar dengan vokalnya oleh Darmansyah. 2.3.4 Adat-istiadat Adat-istiadat adalah kumpulan dari berbagai kebiasaan, yang lebih banyak diartikan tertuju kepada upacara khusus seperti adat: perkawinan, penobatan raja, dan pemakaman raja. Jika hanya adat saja maka kecenderungan pengertiannya adalah sebagai himpunan hukum, misalnya: hukum ulayat, hak azasi, dan lainnya. Adat-istiadat ini adalah ekspresi dari kebudayaan Melayu. Upacara di dalam kebudayaan Melayu juga mencerminkan pola pikir atau gagasan masyarakat Melayu. Upacara jamu laut misalnya adalah sebagai kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Kuasa akan memberikan rezeki melalui laut. Oleh karenanya kita 53 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya mestilah bersyukur dengan cara menjamu laut. Begitu juga upacara seperti gebuk di Serdang yang mengekspresikan kepada kepercayaan akan pengobatan melalui dunia supernatural. Demikian pula upacara mandi berminyak, merupakan luahan dari sistem kosmologi Melayu yang mempercayai bahwa dengan hidayah Allah seseorang itu bisa kebal terhadap panasnya minyak makan yang dipanaskan di atas belanga. Demikian pula upacara mandi bedimbar dalam kebudayaan Melayu adalah sebagai aplikasi dari ajaran Islam, bahwa selepas hubungan suami dan istri keduanya haruslah melakukan mandi wajib (junub). Seterusnya upacara raja mangkat raja menanam di Kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur adalah ekspresi dari kontinuitas kepemimpinan, yaitu dengan wafatnya sultan maka ia digantikan oleh sultan yang baru yang menanamkan (menguburkannya). Demikian juga untuk upacara-upacara yang lainnya dalam kebudayaan Melayu sebenarnya adalah aktivitas dalam rangka menjalankan strategi kebudayaan Melayu, agar berkekalan dan tidak pupus ditelan oleh ruang dan waktu. Dalam realitasnya, sejauh penelitian yang kami lakukan, adatistiadat (upacara) Melayu itu dapat dikategorikan sebagai berikut. I. Adat-istiadat yang berkaitan dengan siklus hidup: 1. Adat-istiadat bersalin. a. Adat-istiadat melenggang perut, b. Adat-istiadat menempah mak bidan, c. Adat-istiadat mandi sampat, d. Adat-istiadat potong tali pusat, e. Adat-istiadat naik buaian (mengayun anak), f. Adat-istiadat mencecah tanah (turun tanah), g. Adat-istiadat bercukur. 2. Adat semasa anak-anak. a. Adat-istiadat bercukur, b. Adat-istiadat berkhitan (berkhatan atau sunnat), c. Adat-istiadat belajar dan mengaji, d. Adat-istiadat berkhatam Al-Qur’an, e. Adat-istiadat bertindik. 3. Adat-istiadat perkawinan. a. Adat-istiadat merisik, 54 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu b. Adat-istiadat meminang, c. Adat-istiadat berinai, d. Adat-istiadat berandam dan menempah mak andam, e. Adat-istiadat berbesan, f. Adat-istiadat mandi bedimbar (berhias), g. Adat-istiadat bertandang, h. Adat-istiadat menyalang, i. Adat-istiadat menjemput atau berkampung. 4. Adat kematian. II. Adat yang berkait dengan kegiatan pertanian dan maritim. a. Adat-istiadat membuka tanah (mulaka ngerbah), b. Adat-istiadat bercocok tanam (tabur benih, mulaka nukal), c. Adat-istiadat berahoi (mengirik padi), d. Adat-istiadat turun perahu, e. Adat-istiadat bersimah berpuar, puja kampung, bersih kampung, atau berobat kampung, f. Adat-istiadat menjamu laut. III. Adat pengobatan melalui bomoh (dukun, pawang). a. Adat-istiadat berobat, b. Adat-istiadat berkebas, c. Adat-istiadat memutus obat, d. Adat-istiadat menilik bomoh, e. Adat-istiadat gebuk. IV. Adat olahraga tradisi dan seni pertunjukan. 1. Bersilat atau lintau. a. Adat-istiadat membuka gelanggang, b. Adat-istiadat menghadap guru atau sembah guru, c. Adat-istiadat tamat silat. 2. Pertujukan, musik, tari, dan teater, a. Adat-istiadat buka panggung, b. Adat-istiadat pertunjukan, c. Adat-istiadat tamat panggung. V. Adat makan atau jamuan. a. Adat-istiadat makan dan minum, b. Adat-istiadat berhidang: seperah, dulang, kepala lauk 55 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya (menghidang), c. Adat-istiadat menjamu ketua atau pengurus adat, d. Adat-istiadat bersirih puan (sebelum makan), e. Adat-istiadat kenduri (jamu sukut). VI. Adat-istiadat pelantikan pengurus adat. VII. Adat-istiadat komunikasi budi bahasa. a. Adat-istiadat berbahasa, b. Adat-istiadat bertegur sapa. VIII. Adat-istiadat takwim Islam. a. Menyambut awal Muharram, b. Hari Asyura 10 Muharram, c. Safar, d. Maulid Nabi (Maulidur Rasul), e. Kenduri arwah (bulan Sya’ban), f. Puasa (Ramadhan), g. Hari Raya Idul Fitri, h. Hari Raya Kurban (Idul Adha), dan lain-lain. Dalam konteks perkembangan zaman, adat-istiadat yang bermakna kepada upacara atau ritual ini juga mengalami perkembanganperkembangan. Upacara ini ada yang berkaitan dengan kegiatan budaya seperti politik, pemerintahan, sosial, pendidikan, agama, ekonomi, dan lain-lainnya. Pada masa kini, dalam konteks Indonesia, upacara atau adat-istiadat ini dapat juga ditemui seperi upacara pembukaan pekan olahraga, pembukaan gedung baru, upacara melepas jamaah haji, upacara menyambut kepulangan haji, upacara pembukaan kampanye partai politik, upacara bendera, upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia, upacara pembukaan dan penutupan pekan budaya, dan lain-lain. Dengan demikian adat-istiadat ini juga mengalami perkembangan-perkembangan selaras dengan perkembangan zaman. 2.4 Fungsi Adat Menurut Tenas Effendy (2004:66-67) fungsi adat dalam kebudayaan Melayu adalah sebagai berikut. 56 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu 1. Menjabarkan nilai-nilai dasar Islam. Tidak dapat dipungkiri bahwa adat Melayu pada hakekatnya adalah penjabaaran nilai-nilai agama Islam, yang dianut masyarakatnya. Melalui adat dan kelembagaan adat inilah beragam nilai yang Islami dikembangkan, kemudian disebarkan ke tengah masyarakat. Nilai ini kemudian dijadikan identitas kemelayuan yang bersebati dengan Islam. Dari sini muncul pendapat yang menyatakan bahwa kemelayuan seseorang tidak hanya ditentukan oleh etnisitas saja tetapi juga melalui agama yang dianut yaitu Islam, beradat Melayu, dan berbahasa Melayu. Dengan demikian kemelayuan seseorang menjadi luas, yang terwujud dari berbagai latar belakang suku dan puak. 2. Menjadi identitas yang Islami. Adat Melayu yang berakar dari agama Islam ini kemudian menjadi identitas kemelayuan, sehingga tidak dapat dipisahkan dari semua aspek kehidupan mereka. Oleh karena itu seorang yang bukan beragama Islam kemudian menganut agama Islam, sejak dahulu disebut sebagai masuk Melayu. Sebaliknya jika seorang Melayu keluar dari agama Islam ia disebut dengan keluar dari Melayu, dan gugurlah hak-haknya sebagai orang Melayu, dan adat kemelayuannya. 3. Menjadi perekat persebatian dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Fungsi utama institusi adat adalah sebagai perekat persebatian (integrasi) masyarakaat dalam kehidupan sosialnya. Fungsi ini amat penting karena masyarakat Melayu di Nusanatara ini hidup dalam komunitas yang heterogen. Kemajemukan ini memerlukan simpai dan perekat yang dapat menyatukan masyarakat yang beragam itu daalam tatanan kehidupan yang aman dan damai, saling hormat-menghormati, saling bantumembantu, dan lainnya. Hal ini diungkapkan dalam adat senasib sepenanggungan, seaib, dan semalu. 2.5 Nilai-nilai Adat Dalam konteks mewujudkan fungsi institusi adat, tentulah harus mengacu kepada nilai dasar adat dan budaya Melayu yang telah teruji ketangguhan dan keluhurannya. Adat ini diterapkan sejak berabad-abad 57 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya yang lampau, seiring dengan adanya orang Melayu di dunia ini. Nilainilai dasar inilah yang selama berabad-abad silam mampu menciptakan kehidupan yang sejahtera lahir dan batin dengan keberagaman suku dan puak, kaum, dan bangsa di bumi Melayu. Nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam adat inilah yang perlu dikembangkan dan disebarluaskan dalam kehidupan berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam adat Melayu menurut Tenas Effendy (204:69-78) adalah sebagai berikut. 1. Nilai keterbukaan Budaya Melayu yang selalu disebut sebagai budaya bahari1 adalah kebudayaan yang sifatnya terbuka. Melalui keterbukaan inilah masyarakatnya menjadi mejemuk demikian pula budayanya menjadi ikut heterogen juga. Pembauran lintas suku, umat, dan lintas negara, selama ratusan tahun telah melahirkan masyarakat Melayu yang heterogen. Kemelayuam tidak lagi semata-mata mengacu kepada etnik, yang mendasarkan pada genealogis atau hubungan darah, melainkan terbentuk dari keberagaman keturunan yang disimpai oleh kesamaan nilai Islam, budaya, dan bahasa. Islam pun mengajarkan kepada segenap umatnya untuk terbuka. Islam tidak memandang kasta dan derajat manusia. Islam menerima siapa pun tanpa syarat untuk menjadi muslim. Islam sangat menghargai perbedaan-perbedaan di antara manusia, yang memang diciptakan oleh Allah sedemikian rupa. Islam tidak membedakan 1 Kata bahari berasal dari bahasa yaitu bahar yang artinya laut. Budaya bahari ini, sifat utamanya adalah terbuka terhadap semua budaya dunia. Orang-orang di dunia yang berada dalam kebudayaan maritim umumnya adalah orang yang terbuka, dan selalu mengelola berbagai kebudayaan dunia. Kota-kota atau bandar-bandar besar juga dalam sejarah peradaban dunia selalu tumbuh di kawasan pesisir atau sungai-sungai. Budaya bahari atau maritim ini, biasanya bertumpu pada kegiatan perdagangan, mengelola hasilhasil laut, saling meminjam dan mengelola budaya dalam lingkup global, dan sejenisnya. Berbagai bandar di Alam Melayu mengekspresikan budaya bahari ini, seperti Melaka yang menjadi pelabuhan perdagangan terkenal di abad-abad pertengahan, Siak Sri Indrapura sebagai kawasan maritim di Riau, Kerajaan Haru di Sumatera Utara, dan lainlainnya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bahwa budaya bahari ini menjadi tulang punggung dalam perkembangan peradaban masyarakat Melayu. 58 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu antara kaum Quraisy dengan Habsyi, Melayu, Pashtun, Kurdi, Tamil, Benggali, Hokkian, Kwong Fu, Korea, India, Anglo Sakson, Latin, dan seterusnya. Islam mendudukkan posisi manusia berdasarkan nilainilai universal kemanusiaan, melalui panduan ajaran-ajaran Allah. 2. Nilai keislaman Budaya Melayu adalah budaya yang menyatu dengan ajaran agama Islam. Nilai keislaman sangatlah dominan dan menjadi acuan dasar budaya Melayu. Budaya Melayu menyatu dengan Islam ini tercermin dalam ungkapan adat, adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, syarak mengata, adat memakai; sah kata syarak, benar kata adat, bila bertelikai adat dengan syarak, tegaklah syarak, dan sebagainya. Namun demikian, tidaklah bermakna bahwa budaya orang Melayu menolak masyarakat yang tidak ada akidah, bahkan sebaliknya menganjurkan untuk hidup saling hormat-menghormati, saling menghargai, saling bertenggang rasa, tolong-menolong, dan seterusnya. Nilai inilah yang sejak dahulu mampu mewujudkan kerukunan hidup antara umat beragama di bumi Melayu. 3. Nilai keturunan bersama Nilai ini mengajarkan orang untuk merasa seasal dan seketurunan, yaitu sama-sama keturunan Adam dan Hawa. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, menyadarkan seseorang akan nenek moyangnya yang sama, yakni berasal dari rumpun Melayu yang satu. Nilai ini mampu menumbuhkan rasa kekeluargaan dalam arti yang seluas-luasnya. Nilai ini menyebabkan setiap individu dan kelompok maupun puak untuk berpikir jernih menjaga tali keturunan yang seasal tersebut, sehingga mereka terhindar dari perpecahan dan disintegrasi sosial. Hal ini terungkap dalam pantun Melayu. Ketuku batang ketakal, Kedua batang keladi mayang, Sesuku kita seasal, Senenek kita semoyang. 59 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Melalui nilai keturunan bersama inilah masyarakat Melayu dapat menyatu dalam sebuah kebudayaan. Yang menyatukan orang-orang Melayu itu di mana pun adalah nilai ini. Mereka itu bisa saja berasal dari etnik-etnik rumpun Melayu di Nusantara dan menjadi dirinya sebagai warga masyarakat Melayu. Bahkan orang-orang India, China, Arab, atau yang lainnya dapat menjadi Melayu, dengan cara masuk ke dalam kultur dan agama orang Melayu yang berpaksikan kepada agama Islam. Di Sumatera Timur sebagai contoh, etnik mana pun dapat menjadi Melayu, selaras dengan kearifan lokalnya. Melayu di kawasan Langkat, Deli, Serdang, sampai Batubara menyatukan Melayu, dan memasukkan siapapun menjadi pada tiga kategorial yaitu: Melayu asli, Melayu semenda, dan Melayu seresam. Melayu asli maksudnya keturunan dan nenek moyangnya memang orang Melayu, apakah itu dari Sumatera sendiri, Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan lainnya. Kategori kedua adalah Melayu semenda, 2 yakni orang yang awalnya merupakan etnik bukan Melayu, kemudian kawin dengan orang Melayu, mengamalkan kebudayaan Melayu dan menjadi Melayu. Kategori yang ketiga adalah Melayu seresam, artinya orang yang awalnya adalah etnik-etnik di Nusantara, karena kesadarannya akan budaya Melayu, kemudian mengamalkannya, dan menganggap dirinya sebagai orang Melayu. Kesemua kategori ini didasari oleh nilai-nilai budaya dan agama bahwa kita adalah satu keturunan bersama. Dahulunya adalah satu keluarga yakni keturunan Adam dan Hawa. Kemudian berkembang dan terdiri dari berbagai macam suku dan bangsa, agar saling mengenal dan mengasihi sesamanya. Yang mulai di depan Allah adalah mereka yang bertakwa. 2 Pada kebudayaan masyarakat Pesisir (yang juga sebagai bagian dari masyarakat Melayu) di pantai barat Sumatera Utara sampai ke Sumatera Barat dan Nanggroe Aceh Darussalam, kebudayaan mereka secara umum disebut dengan adat sumando, yang menempatkan hubungan perkawinan ini menjadi kunci utama dalam integrasi sosialnya. Adat sumando juga mengacu kepada konsep adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. 60 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu 4. Nilai etika dan moral Nilai adat lainnya adalah etika dan moral. Di dalam adat ini terkandung nilai saling memelihara hubungan antar individu maupun kelompok. Nilai ini mengajarkan dan menyadarkan agar hidup saling menjaga sopan dan santun baik pribadi maupun sosial. Kita harus menjaga hubungan baik, menjaga marwah, menghindari prilaku hujatmenghujat, maki-memaki, caci-mencaci, fitnah-memfitnah, dan seterusnya yang dapat menimbulkan aib dan malu bagi orang maupun dirinya sendiri. Ungkapan adat Melayu mengatakan bahwa tanda hidup seaib semalu, yang buruk sama dibuang, yang keruh sama dijernihkan, yang kusut sama diselesaikan; salah besar diperkecil, salah kecil dihabisi. Selanjutnya dikatakan pula aib jangan didedahkan, malu jangan disingkapkan, juga aib orang jangan dibilang, aib diri yang kita kaji. 5. Nilai kebersamaan Nilai kebersamaan ini mencakup hal-hal yang berkait dengan nilai senasib dan sepenanggungan, nalai seanak dan sekemanakan, seinduk sebahasa, senenek dan semamak, seadat sepusaka, sepucuk setali darah, sesampan dan sehaluan, dan seterusnya. Nilai kebersamaan yang terkandung dalam adat Melayu, merupakan pemahaman dan penghayatan terhadap sistem sosial, yang memang perlu ada di dalam sebuah masyarakat. Sistem sosial inilah yang diatur oleh adat. Sistem sosial akan memandu kepada polarisasi yang benar dan terarah. Demikian juga apabila terjadi penyimpanganpenyimpangan sosial, maka adat memberikan sanksi-sanksi berupa sanksi sosial dan budaya, sampai terusirnya seseorang dalam masyarakat adat. Jadi nilai-nilai kebersamaan ini dikandung dalam adat Melayu, untuk menjaga konsistensi internal kebudayaan. Nilai kebersamaan ini dalam konteks sosial diterapkan dalam musyawarah, komunikasi secara kultural, dan seterusnya. 6. Nilai cita-cita bersama Adat Melayu juga mengandung niali-nilai untuk mencapai citacita bersama. Di dalam ajaran aadat ini setiap individu pastilah mempunyai cvita-cita, baik cita-cita di dunia dan terlebih lagi untuk menuju akhirat. Cita-cita setiap individu ini bisa saja berbeda sesuai 61 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya dengan amanah yang diberikan Allah kepada dirinya. Ada pula citacita tersebut yang sama atau hampir sama dengan orang lain. Namun demikin, adat Melayu mengatur arah yang benar tentang cita-cita bersama ini, yang tumbuh dari cita-cita individu, kelompok kecil, sampai kumpulan besar, yaitu Melayu secara umum. Cita-cita bersama masyarakat Melayu adalah menegakkan ajaran Allah di muka bumi ini sebagai rahmat kepada seluruh alam. Selain itu cita-cita bersama masyarakat Melayu adalah melakukan kontinuitas dan perubahan kebudayaan sesuai dengan perkembangan zaman. Cita-cita bersama lainnya adalah menegakkan sistem sosial dunia, yang heterogen, berkeadilan, dan tidak ada penistaan terhadap satu kelompok manusia pun di dunia ini. Cita-cita seterusnya orang Melayu di dunia ini adalah membentuk persatuan dan kesatuan geobudaya, yaitu sama-sama dalam kebudayaan Melayu yang sama, yang terdiri dari beberapa negara bangsa. Namun intinya kebersamaan juga dapat dijalin dengan bangsa serumpun Melayu di mana pun di dunia ini. Kebersamaan ini bagi orang Melayu adalah hakikat dari kekuatan politik, budaya, dan sosial. Semakin menjadi kecil dan berkabilah-kabilah (berkelompok kecil), maka semakin tidak kuatlah posisi politiknya. Sebaliknya apabila bersatu, maka kita akan menjadi kuat. 7. Nilai kekuasaan dan martabat Nilai lainnya yang terdapat dalam adat Melayu adalah nilai kekuasaan dan martabat. Di dalam kebudayaan Melayu, pada hakekatnya setiap orang diberikan Allah kekuasaannya masingmasing. Manusia adalah khalifah di muka bumi. Dialah yang memimpin alam ini. Selain itu setiap individu diberikan berbagai kelebihan dan perannya masing-masing. Ia akan menjadi kuat dan terpolarisasi dengan baik dan benar ketika ia mampu mensinerjikan kemampuannya ini dengan orang lain atau kelompok lain. Ia akan menjadi terhormat dan bermartabat ketika ia mampu menjadi sumber inspirasi atau sumber keadilan dan kebersamaan sosial terhadap sesamanya. Kekuasaan dan martabat seorang Melayu sebenarnya tidak ditentukan oleh kedudukan sosial yang diperolehnya atau materi yang 62 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu dikumpulkannya. Kekuasaan dan martabat orang Melayu mencakup aspek yang multidimensional. Artinya kekuasaan dan martabat tetap mengacu kepada perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah, panduannya adalah ajaran Islam. Seorang yang dikatakan berkuasa dan bermartabat jika ia dapat menjadi rahmat kepada seluruh alam (rahmatan lil’alamin). Dengan demikian berbagai sifat-sifat agung akan muncul dari dalam dirinya, seperti: rendah hati, tidak sombong, suka menolong sesama, bertakwa, tujuan hidupnya dunia dan akhirat sekaligus, dan hal-hal sejenisnya. Kekuasaan dan martabat seorang Melayu, mencakup kecerdasan sosialnya. Artinya kekuasaan dan martabat ini ditentukan juga oleh interaksi seorang melayu dengan masyarakat sekitar, dan juga masyarakat secara luas. Kecerdasan sosial ini, didukung oleh faktorfaktor: intelegensia, emosional, dan juga spiritual. Pada hakekatnya, setiap orang di dunia ini dianugerahi oleh Allah kemampuan intelektual, yaitu berpikir secara logis, dalam konteks menggunakan pikirannya. Namun selain itu di dalam diri manusia juga harus diasah kemampuan mencerdaskan emosionalnya. Artinya ia harus mampu memanajemeni dirinya terhadap perasaan yang muncul. Kalau sedih tidak terlalu dalam, kalau marah tidak terlalu meledak-ledak, kalau gembira tidak terlalu tertawa terbahak-bahak, dan seterusnya. Jadi emosi adalah bahagian dari pengendalian diri. Ini dapat diperoleh melalui latihan-latihan berpuasa, yang gunanya adalah mengendalikan diri dari hawa nafsu. Namun hawa nafsu juga tidak dimatikan, hanya diarahkan ke arah yang benar. Selain itu, terdapat juga kecerdasan spiritual. Ini penting dilakukan sebagai bahagian mengarahkan diri seseorang ke jalan yang diridhai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kecerdasan spiritual adalah salah satu bahagian dari cara kontemplasi diri akan hakekat hidup, juga mengarahkan seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan dan segala makhluk serta alam lingkungan yang diciptakan oleh Tuhan. Jadi dengan selalu mengasah kecerdasan spiritual ini, seseorang akan mendapatkan berkah di dalam hidup, baik itu berupa material, dan terutama spiritualnya akan menjadi lebih kaya. Dampaknya ia akan selalu beribadah dan ingat kepada Tuhan, ia akan menjadi manusia yang menyayangi sesamanya, 63 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya tanpa membeda-bedakan segala perbedaan, karena pada dasarnya setiap manusia adalah awalnya satu. 8. Nilai musyawarah Nilai lainnya dari adat Melayu adalah nilai musyawarah. Nilai musyawarah ini adalah substansi dari kebersamaan sosial dan religiusitas dalam rangka merembukkan kepentingan secara bersama. Setiap permasalahan sosial dan budaya dapat dipecahkan dan diselesaikan dengan cara bermusyawarah. Institusi musyawarah ini juga sebagai salah satu pengendalian dan pengawasan sosial, yang tujuannya adalah untuk kepentingan bersama. Dalam musyawarah ini juga terkandung nilai-nilai mufakat, yang artinya walaupun keputusan bersama itu berbeda dengan apa yang kita pikirkan dan konsepkan, namun karena telah menjadi keputusan bersama, maka dengan ikhkas kita menerimanya dan bahkan mempertahankan keputusan itu dengan sekuat tenaga dan upaya. Nilai musyawarah untuk mencapai mufakat ini adalah ekspresi dari nilainilai demokrasi dalam adat Melayu dan Dunia Islam. Dalam menjalankan musyawarah untuk mencapai mufakat ini, yang diutamakan adalah ketulusan untuk menyelesaikan secara bersama-sama. Dalam musyawarah mufakat sebenarnya sangat dihindari voting atau keputusan yang sifatnya mempertentangkan dua atau beberapa pilihan yang berbeda, dan cenderung melihatnya secara praktis yaitu suara yang terbanyak ialah yang menang. Dalam musyawarah mufakat sebenarnya intinya bukan demikian, tetapi adalah kebulatan sikap, dan pembelajaran dengan wawasan kultural yang holistik, serta menimba ilmu pengetahuan dari semua orang, dan hal-hal sejenis. Demikianlah kira-kira nilai-nilai yang terkandung di dalam adat Melayu. 64 Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu Bagan 2.1: Hubungan Budaya, Adat, dan Ragam Adat dalam Kebudayaan Melayu 65 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya BAB III GAGASAN PERKAWINAN DALAM BUDAYA MELAYU 3.1 Pengenalan Institusi atau lembaga perkawinan terdapat dalam semua kebudayaan manusia di seluruh dunia ini. Perkawinan adalah fitrah dasar manusia, termasuk juga hewan. Perkawinan ini adalah kehendak Allah, yang gunanya adalah untuk meneruskan keturunan manusia. Tentu saja perkawinan dilakukan menurut hukum alam yang telah digariskan oleh Tuhan. Dalam konteks ini, perkawinan yang benar adalah yang berdasar pada perkawinan antara laki-laki dan perempuan (heteroseksual), bukan sejenis. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam, tidak diperbolehkan perkawinan antara sesama jenis. Ini merupakan penyimpangan dalam konteks ajaran Ilahi. Perkawinan memiliki bebagai tujuan dan fungsi, baik dilihat secara sosial, budaya, maupun agama. Tujan perkawinan adalah menjaga struktur sosial, terutama kekerabatan dalam kelompok etnik atau yang lebih besar adalah seluruh kelompok manusia di dunia. Dengan diadakannya perkawinan, maka akan terjaga hubungan kekerabatan yang berakar dari hubungan darah (melalui perkawinan) ini. Institusi perkawinan ini akan menjaga eksistensi dan istilah kekerabatan seperti: ayah, ibu, nini, moyang, anak, cucu, cicit, piut, dan seterusnya. Juga hubungan kekerabatan seperti: mak cik, pak cik, uak, biras, bisan, dan seterusnya. Dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Timur, sebagai contoh hubungan kekerabatan karena faktor perkawinan ini menjadi dirinya menjadi Melayu. Contohnya ia seorang laki-laki dari etnik Karo, karena ia kawin dengan seorang perempuan Melayu, maka ia dapat dikatakan masuk menjadi Melayu semenda, yaitu masuk menjadi orang Melayu 66 Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu karena faktor perkawinan. Demikian pentingnya institusi perkawinan ini dalam kebudayaan Melayu, sehingga ia diatur oleh adat Melayu, secara rinci, berlapis-lapis, namun menjadi identitas yang khas. Namun demikian, selaras dengan konsep adat yang dipakai dalam kebudayaan Melayu yaitu adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, maka adat perkawinan Melayu juga mengacu kepada ajaran Islam mengenai perkawinan. Terapannya dalam kebudayaan Melayu, selain menggunakan konsep perkawinan dalam Islam, juga diselaraskan dengan budaya Melayu, yang membedakan upacara perkawinan ini dengan negeri-negeri Islam di seluruh dunia. Upacara perkawinan adat Melayu tentu saja berbeda dengan upacara perkawinan masyarakat Islam di Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, Eropa, Amerika, Australia, dan lain-lainnya. Inilah yang menjadi keeksotisan tersendiri perkawinan dalam Dunia Islam. Untuk itu, mari kita pahami terlebih dahulu ajaran Islam mengenai perkawinan ini. 3.2 Ajaran Islam Mengenai Perkawinan Islam bagi pengikutnya dipandang agama yang sempurna dan paripurna. Islam mengajarkan semua hal, termasuk perkawinan. Dalam Al-Qur’an, salah satu surat yang banyak mendedahkan tentang perkawinan adalah surat An-Nisaa’, yang terdiri dari 176 ayat, adalah surat Madaniyyah yang terpanjang selepas surat Al-Baqarah. Dinamakan An Nisaa' karena dalam surat ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan wanita serta merupakan surat yang paling luas membicarakan perempuan, dibanding dengan surat-surat yang lain. Surat yang lain banyak juga yang membicarakan tentang hal wanita ialah surat Ath-Thalaq. Dalam hubungan ini biasa disebut surat An-Nisaa' dengan sebutan Surat An-Nisaa' Al Kubraa (surat An-Nisaa' yang besar), sedang surat Ath-Thalaq disebut dengan sebutan Surat An-Nisaa' Ash-Shughraa (surat An-Nisaa' yang kecil). Pokok-pokok kandungan Surat An-Nisaa’ ialah: (1) Keimanan: syirik (dosa yang paling besar) dan akibat kekafiran di hari kemudian. (2) Hukum-hukum, kewajiban para washi dan para wali; hukum poligami; mas kawin; memakan harta anak yatim dan orang-orang yang tak dapat 67 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya mengurus hartanya; pokok-pokok hukum warisan; perbuatan-perbuatan keji dan hukumannya, wanita-wanita yang haram dikawini; hukumhukum mengawini budak wanita; larangan memakan harta secara bathil; hukum syiqaq dan nusyuq; kesucian lahir dan batin dalam shalat; hukum suaka; hukum membunuh seorang Islam; shalat khauf; larangan melontarkan ucapan-ucapan buruk; dan masalah pusaka kalalah. (3) Kisah-kisah tentang Nabi Musa a.s. dan pengikut-pengikutnya. (4) Hal ihwal lain: asal muasal manusia adalah satu; keharusan menjauhi adatadat zaman jahiliyah dalam perlakuan terhadap perempuan; norma-norma bergaul dengan istri; hak seseorang sesuai dengan kewajibannya; perlakuan ahli kitab terhadap kitab-kitab yang diturunkan kepadanya; dasar-dasar pemerintahan; cara mengadili perkara; keharusan siap siaga terhadap musuh; sikap-sikap orang munafik dalam menghadapi peperangan; berperang di jalan Allah adalah kewajiban tiap-tiap mukallaf; norma dan adab dalam peperangan; cara menghadapi orangorang munafik; dan derajat orang-orang yang berjihad. Di antara ajaran-ajaran perkawinan menurut Islam adalah tercermin dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini. (a) Ar-Ruum 21 Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. 68 Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu (b) Annisa 4 Artinya: Berikanlah emas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.1 Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebahagian dari emas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (c) Annur 32 Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. 1 Pemberian itu ialah emas kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Dalam konteks social dan budaya, pemberian emas kawin ini adalah sebagai symbol awal tanggung jawab seorang calon suami nantinya, akan memberikan apapun untuk sang istri tercinta dan anak-anak keturunan mereka. Bagaimanapun seorang istri adalh imam, yaitu pemimpin di dalam keluarga. 69 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya (d) Al-Baqarah 221 Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. 70 Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu (e) Annisa’ 23 Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;2 saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 2 Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Seterusnya yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedang yang dimaksud dengan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. 71 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya (f) Annisa 24 Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dari firman-firman Allah seperti yang dikutip di atas, maka dapat kita ambil beberapa pembelajaran dalam hal perkawinan menurut perspektif agama Islam. Di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Bahwa Allah menciptakan setiap manusia berpasang-pasangan yaitu suami dan istri, yang berasal jenisnya sendiri, agar tenteram, dan itu adalah salah satu tanda kebesaran Allah sebagai Sang Khalik. 2. Berilah emas kawin (mahar) kepada wanita yang dinikahi. 3. Di depan Allah, secara hakiki bagi setiap manusia dianjurkan untuk kawin, dan rezeki dalam rumah tangga itu Allah yang mengaturnya. 72 Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu 4. Jangan menikahi wanita musyrik sebelum mereka beriman, dan jangan menikahkan lelaki musyrik kepada wanita muslim sebelum mereka beriman, sebab kaum musyrik ini akan mengajak umat Islam ke neraka. 5. Adanya larangan Allah untuk mengawini ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang lakilaki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istriistri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, mengawini wanita yang sudah bersuami. Allah memiliki tujuan atas pelarangan ini, baik dari sudut keturunan, moralitas, menjaga struktur sosial manusia, dan hal-hal lainnya. Kesemua firman Alllah tersebut mengarahkan bagaimana seharusnya setiap individu Islam (termasuk orang Melayu), melakukan institusi yang disebut perkawinan ini. Dalam ajaran agama Islam ini, perkawinan mengandung nilai-nilai luhur dalam konteks kontinuitas generasi manusia dan sekaligus juga menjaga struktur sosial yang telah wujud sejak adanya manusia. 3.3 Perkawinan dalam Perspektif Adat Melayu Dikaji dari aspek bahasa, kawin (nikah) artinya adalah berkumpul atau berhimpun. Selanjutnya lebih mendalam lagi jika dimaknai dari sudut istilahnya, maka kawin adalah bermaksud menemukan dan menyatukan pasangan suami dan istri berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Allah SWT. Melalui upacara perkawinan atau nikah kawin, maka sahihlah persatuan hidup antara sepasang suami dan istri ini, 73 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya dalam naungan akidah, syariah, dan akhlak seperti yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan hadits (Husin Embi et al., 2004:86). Pengertian kawin dalam konteks budaya Melayu juga memenuhi maksud ungkapan nikah gantung yang digunakan oleh masyarakat Melayu. Ungkapan ini memiliki makna bahwa terjadi perkawinan yang sah, tetapi belum diresmikan dengan perayaan atau pesta adatnya, suami dan istrinya belum tinggal satu rumah. Nikah gantung diterima sebagai adat dengan tujuan untuk memenuhi kehendak masyarakat. Misalnya adalah pihak lelaki atau perempuan masih belum cukup dana untuk menyelenggarakan upacara perkawinan (walimatul ursy dan lainnya). Boleh juga dengan alasan karena suaminya masih bertugas di tempat yang jauh, dan belum dapat meninggalkannya untuk cuti. Selain konsep yang seperti itu, perkawinan dalam kebudayaan Melayu juga biasanya dipandang memiliki berbagai hikmah tersendiri. Perkawinan merupakan sebuah ibadah yang diridhai oleh Allah, yaitu menghalalkan hubungan dalam konteks berumah tangga antara lelaki dan perempuan. Hasil dari hubungan manusiawi ini akan melahirkan generasi keturunan (zuriat). Anak-anak yang mereka lahirkan akan mewarisi tugas untuk membangun dan memajukan kehidupan manusia baik di dunia dan juga akhirat. Melalui perkawinan maka akan terpelihara turai atau sistem kekerabatan. Jika tidak maka akan kacaulah struktur kekerabatan dan hubungan darah yang dibangun oleh nenek moyang manusia ini. Institusi perkawinan ini dapat membentuk sifat kasih, sayang, dan tanggung jawab. Selain untuk memenuhi libido seksualnya yang diabsahkan secara religi dan budaya, maka melalui perkawinan ini juga terjalin kasih sayang yang sifatnya universal, mendalam, dan memang memenuhi sunatullah. Selanjutnya pasangan suami dan istri tersebut akan bertanggung jawab dan berjuang untuk kepentingan keluarga inti dan lebih jauh lagi keluarga batihnya. Sifat-sifat ini kemudian akan diteruskan dan dipupuk kepada anak-anak mereka. Dengan demikian, maka akan tumbuh dan berkembanglah masyarakat yang maju, harmonis, dan beretika (Husin Embi et al., 2004:87). Dalam perspektif adat Melayu, perkawinan merupakan salah satu masa dalam siklus kehidupan setiap manusia yang bernilai religius dan budaya. Apabila dibandingkan dengan fase kehidupan yang lainnya, 74 Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu maka perkawinan dapat dikatakan sangat khas dan dipandang sebagai peristiwa yang sangat khusus. Perhatian kultural berbagai pihak yang berkepentingan dengan acara (istiadat) perkawinan ini, akan banyak tertumpu kepadanya. Di antaranya adalah mulai dari memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari perkawinan, hingga setelah upacara usai dilaksanakan. Dalam konteks kekerabatan dan kepanitiaan, secara sosial, yang ikut memikirkan dan mengerjakan, bukan saja kedua calon pengantin, baik laki-laki maupun perempuan, tetapi juga melibatkan skala kuantitatif pelaku yang relatif masif, termasuk orang tua (mempelai lelaki dan perempuan), keluarganya, juga para panitia dan pelaku-pelaku sosial yang lazim berurusan dengan perkawinan seperti mak andam, telangkai, tuan kadi, penghulu, penyedia jasa catering (makanan), penyewa pelaminan, pencetak kartu undangan, ahli shooting video perkawinan, penyedia gedung untuk upacara perkawinan, dan seterusnya. Semua ini dilakukan dan diselengarakan agar upacara perkawinan memberikan kesan dan dampak religius, kultural, dan sosial, baik kepada kedua pengantin, kedua kerabat yang telah menjadi keluarga besar yang baru, serta kenangan sepanjang hidup mereka yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian perkawinan adalah sebuah institusi yang sangat diagungkan di dalam kebudayaan masyarakat Melayu di mana pun mereka berada. Bagi orang awam, adat perkawinan dalam budaya Melayu terkesan rumit, bertele-tele, memakan waktu yang panjang, membutuhkan dana yang tidak sedikit, serta banyak tahapan yang harus dilalui. Semua ini muncul karena perkawinan dalam pandangan orang Melayu harus mendapat restu dari kedua orang tua, dan keluarga besarnya, serta harus mendapat pengabsahan yang resmi dari tetangga dan masyarakat secara umum. Secara mendasar, agama Islam juga mempolarisasikan hal yang sama. Walaupun tidak masuk dalam rukun perkawinan Islam, upacaraupacara (istiadat) yang berkaitan dengan aspek sosial menjadi penting karena di dalamnya juga terkandung makna-makna bagaimana mengkomunikasikan berita perkawinan tersebut kepada masyarakat secara umum, serta berbagai fungsi sosial dan religius, serta kandungan 75 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya nilai-nilai dan kearifan lokalnya yang begitu dalam bagi masyarakat Melayu. Dalam adat perkawinan Melayu, rangkaian upacara perkawinan, umumnya dilakukan secara rinci dan tersusun rapi, yang keseluruhannya wajib dilaksanakan oleh pasangan calon mempelai beserta keluarganya. Secara umum, adat-istiadat perkawinan Melayu di manapun adalah sama, namun, memang ada sejumlah tradisi atau upacara yang dipraktikkan secara berbeda-beda di sejumlah daerah dalam wilayah geobudaya Melayu. Inilah yang berupa varian dalam upacara, dan sekaligus memperkaya budaya Melayu pada umumnya. Jika merujuk kepada ajaran Islam yang syumul (universal), tahapan upacara perkawinan cukup dilakukan secara sederhana, ringkas, dan mudah. Dalam ajaran agama Islam, perkawinan itu sudah dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Namun demikian, agama Islam juga sangat adaptif, artinya selalu melibatkan identitas kebudayaan setempat di mana Islam itu hidup dan berkembang. Selain syarat dan rukun nikah dipenuhi, maka upacara-upacara adat setempat yang telah diwarisi dari masa sebelum datangnya Islam, tetap diperkenankan dan dipolarisasikan menurut ajaran Islam. Misalnya dalam kebudayaan Melayu bisa saja menggunakan istiadat tepung tawar, nasi balai, hempang pintu, hempang batang, hempang kipas, dan seterusnya. Dalam adat Jawa, disertai dengan midodareni, panggih pengantin, paesan, dan lain-lainnya. Dalam kebudayaan Mandailing menyertakan gondang, tortor nauli bulung, dan hal-hal sejenis. Dalam perspektif adat Melayu secara umum, syariat Islam ini perlu “dibumikan” dengan adat budaya masyarakat setempat. Integrasi seperti ini kemudian dikonsepkan dengan adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak mengata, adat memakai. Artinya apa yang ditetapkan oleh syarak itulah yang harus digunakan dalam adat. Dalam perspektif peradaban Melayu, kehadiran keluarga, saudaramara, tetangga, dan masyarakat yang diundang pada majelis (pesta) perkawinan tujuannya adalah untuk mempererat hubungan sosial, serta memberikan kesaksian dan doa restu atas perkawinan yang dilangsungkan. Perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan pada adat Melayu setempat akan menyebabkan masyarakat tidak merestuinya. Bahkan, perkawinan yang dilakukan secara singkat akan menimbulkan 76 Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu desas-desus tidak sedap di masyarakat, berupa dugaan-dugaan sosial yang negatif. Institusi perkawinan dalam pandangan orang Melayu merupakan sejarah dalam kehidupan seseorang. Nilai-nilai, kearifan, dan normanorma dari kejujuran dan kasih sayang yang terbangun antara suami dan istri, merupakan nilai yang teramat penting, yang terkandung dalam istiadat perkawinan Melayu. Oleh karena itu, perkawinan perlu dilakukan menurut adat yang berlaku dalam masyarakat, agar perkawinan tersebut mendapat pengakuan dan restu dari seluruh pihak dan masyarakat. Jadi dalam perkawinan ini terlibatlah dua individu yang membentuk rumah tangga, kemudian meluas lagi keterlibatan keluarga besar dari kedua mempelai, dan lebih umum lagi adalah diketahuinya telah terjadi perkawinan tersebut, secara sosial dan budaya oleh masyarakat luas, dalam konteks tamadun Melayu. 3.4 Tentang Pemilihan Jodoh Bagi orang Melayu, jodoh, rezeki (ekonomi), dan kematian sepenuhnya adalah rahasia Ilahi. Ini adalah bahagian dari rukun iman seorang muslim. Namun demikian, sesuai dengan konsep dalam Islam, jodoh mestilah dicari, tidak ditunggu, terutama yang aktif adalah lakilaki. Pencarian jodoh ini adalah bahagian dari perintah Allah. Karena jodoh merupakan qadha dan qadhar setiap insan di dunia, dan itu rahasia Allah, maka manusia wajib berikhtiar, tidak pasrah begitu saja. Menurut Yuscan (2007:18) dalam budaya Melayu zaman dahulu, anak dara tidak dipekenankan keluar rumah, kecuali untuk beberapa hal, seperti pergi mandi dan mencuci pakaian, menghadiri undangan, mengaji di mushala, ke sawah bekerja menanam, menuai, dan mengemping. Walaupun begitu anak dara ini biasanya didampingi oleh orang tua atau saudara-maranya. Selanjutnya bagaimana anak dara ini mencari jodohnya? Pada masa lampau kegiatan sosial dan budaya tentang perjodohan ini sebahagian besar ditentukan oleh kedua orang tuanya, seperti yang terkandung dalam ungkapan Melayu berikut ini (Yuscan, 2007). 77 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Bukan kawin untuk mata, Tetapi kawin untuk hati, Walaupun rupa bulan purnama, Menabur cinta ke mana-mana. Diletakkan bulan di tempat rendah, Diperjualkan dengan harga yang murah, Sukarlah orang dapat merasa, Apakah bulan tergolong berbangsa. Bagi para orang tua Melayu zaman dahulu ada beberapa kriteria dalam menentukan jodoh bagi anak-anaknya. Di antara kriteria itu adalah: agama, keturunan, harta, dan rupa. Namun selaras dengan ajaran Islam, maka kriteria yang pertamalah yang diutamakan dalam konteks pemilihan jodoh ini, bukan kriteria-kriteria berikutnya. Pada dasarnya adat dan budaya Melayu telah mengajarkan kepada kita mengenai pembentukan generasi yang unggul. Ungkapan Melayu mengatakan bahwa bibit yang baik akan menghasilkan buah yang baik. Adat dan budaya Melayu telah memberikan tunjuk ajar yang berarti bagi kita tentang bagaiman merencanakan dan membentuk generasi Melayu ke depan. 3.5 Beberapa Kegiatan Sosial sebagai Sarana Pemilihan Jodoh Lebih jauh lagi menurut Yuscan (2007:19) meskipun jodoh ditentukan kedua orang tua, tidaklah berarti menghilangkan sepenuhnya hak anak dara dan jejaka Melayu dalam mencari jodohnya masingmasing. Berbagai aktivitas sosial seperti ketika keluar rumah mengaji, mananam, mengetam, dan mengemping padi, anak bujang dan dara Melayu mengambil kesempatan untuk saling berkenalan. Cara perkenalannya adalah tidak sama dengan masa sekarang ini. Umumnya komunikasi dilakukan dengan menggunakan pantun-pantun dan sinandung yang berisi kata sindiran dan pujian untuk menyatakan niat di hatinya. 78 Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu Berikut ini diuraikan tentang berbagai aktivitas sosial sebagai sarana pemilihan jodoh para bujang dan dara Melayu, terutama dalam kultur pertanian Melayu. Aktivitas itu adalah: (a) acara turun ke sawah, (b) acara mengetam padi, (c) malam mengemping, dan (d) menculuk. Adat-istiadat turun ke sawah selalunya dilakukan oleh orang Melayu yang sumber utamanya adalah bercocok tanam padi. Dalam istiadat ini pemilik tanah akan memanggil seorang pawang untuk menentukan hari yang baik untuk memulakan menanam padi di lahan tanah atau sawahnya tersebut. Kemudian dilakukan upacara kenduri, dengan cara mengundang dan memberikan makanan kepada segenap masyarakat lingkungan di sekitarnya. Seorang alim-ulama biasanya memimpin upacara memulakan tanam padi ini, memohon kepada Allah agar nantinya padi yang ditanam akan tumbuh subur dan menghasilkan padi-padi yang baik, dan panen melimpah. Selepas acara kenduri ini, maka acara selanjutnya adalah penanaman benih padi . Sambil menunggu benih padi siap untuk ditanam, maka para petani Melayu menggarap lahan sawah atau tanah daratan, dengan cara mencangkulnya. Acara menanam padi baik di sawah atau di lahan darat sangatlah ditunggu oleh para bujang dan dara Melayu. Karena pada saat inilah mereka dapat saling berkenalan dan sekaligus secara diam-diam memilih pujaan dan tambatan hatinya. Dalam siklus bertani padi tersebut, saat yang dinanti berikutnya oleh para bujang dan dara Melayu adalah upacara mengetam dan mengirik padi. Acara mengetam padi adalah memotong tangkai-tangkai padi yang berisi bulir-bulirnya dari pohon padi. Dahulu ketika padi masih berusia enam bulan satu siklus panen, maka digunakan pemotong ani-ani. Kini seiring dengan perkembangan zaman, padi langsung dipotong dengan batangnya, karena bentuk padi yang pendek dan tidak mungkin diketam seperti halnya padi zaman dahulu. Pada saat mengetam padi ini pulalah dimeriahkan dengan senda gurau dan canda tawa, serta saling menyindir antara bujang dan dara Melayu. Aktivitas sosial ini juga yang menjadi sarana pencarian jodoh dalam kebudayaan Melayu yang agraris. 79 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Setelah acara mengetam padi, maka acara berikutnya dalam siklus menabur, menanam, memanen, dan mengolah hasil panen padi, maka acara berikutnya adalah malam mengemping atau berahoi. Malam mengemping ini adalah acara mengirik padi, yaitu aktivitas melepaskan bulir padi dari tangkainya dengan cara dipijak-pijak. Biasanya acara ini disertai dengan dendangan lagu Ahoi, yang berupa pantun-pantun yang dinyanyikan secara responsorial, dan kontekstual sifatnya. Selain komunikasi verbal melalui pantun, dalam konteks pemilihan jodoh ini sang teruna dan dara biasanya juga menggunakan komunikasi nonverbal, seperti tatapan mata, gerak tubuh, mimik muka, dan termasuk juga menggunakan benda simbolis budaya yaitu sirih, yang memiliki makna-makna semiosis yang begitu dalam pada kebudayaan Melayu. Yang mengirim sirih awal adalah sang jejaka kemudian diterima sang dara. Jika sirih tersebut dibalas pula oleh kiriman sirih oleh sang dara, maka secara simbolis cinta sang pemuda telah diterima gadis suntingan hatinya. Artinya cinta telah terbalas dan cinta tidak bertepuk sebelah tangan. Selepas itu, maka acara informal berikutnya dalam rangka pemilihan jodoh, untuk tujuan luhur membina rumah tangga yang sakinah, mawardah, dan warohmah, diadakanlah acara menculuk.3 Acara menculuk atau menyucuk adalah kebiasaan kaum muda Melayu pada zaman dahulu, untuk menemui tambatan hatinya dan berkomunikasi mesra. Dalam acara ini pemuda dan pemudi yang lagi kasmaran tersebut berbicara dengan cara berbisik, yang dibatasi oleh lantai rumah (biasanya panggung), dengan posisi si pemuda berada di luar rumah. Zaman dahulu, “pacaran” langsung bertandang ke rumah sang gadis dan bercengkerama langsung dengan si gadis tidak diperkenankan. Namun demikian, jika 3 Di dalam kebudayaan etnik-etnik di Sumatera Timur atau Sumatera Utara sekarang ini, tradisi komunikasi verbal secara senyap-senyap seperti ini terdapat di dalam beberapa kebudayaan etniknya. Di antaranya adalah pada etnik Mandailing, yang disebut tradisi markusip. Dalam hal ini pemuda mendatangi gadis pujaannya, biasanya memainkan alat musik tiup yang disebut tulila terbuat dari bambu. Kemudian mereka berkomunikasi mesra dalam konteks “pacaran” secara berbisik-bisik dengan dibatasi dinding rumah. Ini adalah salah satu bentuk kearifan lokal berupa etika dalam pemilihan jodoh, yang akan mendampingi dirinya seumur hidup. 80 Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu pemuda tersebut datang ke rumah sang pujaan hatinya, biasanya ia akan diterima oleh kerabat si gadis. Demikian garisan adat Melayu untuk masa itu. Namun demikian, sesuai dengan lingkungan masyarakat Melayu, ada pula mereka yang bermukim dalam lingkungan pesisir pantai, yang biasanya bermatapencaharian sebagai nelayan, atau lebih luas lagi mereka ini berada dalam kebudayaan bahari (maritim), maka mereka ini dalam konteks memilih jodohnya selalu dilakukan pada berbagai aktivitas nelayan. Misalnya adalah upacara jamu laut, panen hasil ikan dari laut yang dilakukan di tangkahan, upacara-upacara siar mambang, gubang, pertunjukan budaya sinandong, dan lain-lainnya. Demikian pula dalam konteks masyarakat Melayu yang berada di perkotaan, maka sarana dalam konteks pemilihan jodoh ini, bisa saja di kampus, kantor, mall, plaza, tempat-tempat hiburan, dan sejenisnya. Ini merupakan konsekuensi dari perkembangan zaman. 3.6 Perubahan-perubahan yang Terjadi Apa yang dideskripsikan di atas adalah fenomena adat perkenalan dalam konteks memilih jodoh di masa lampau. Artinya itu terjadi di masa-masa awal umat Melayu sampai datangnya modernisasi di abad kedua puluh. Kemudian terjadi modernisasi di sana sini di seluruh dunia. Kemudian selepas itu muncul pula fenomena sosial dan budaya yang disebut dengan globalisasi. Istilah globalisasi adalah merepresentasikan proses penyatuan sosiobudaya di seluruh dunia, karena faktor teknologi dan informasi. Artinya dunia ini dipandang sebagai satu kampung besar, dan sangat cairlah batas-batas kebudayaan, nasionalisme, ekonomi, teknologi, dan lainnya. Setiap orang menjadi warga di kampung global ini yang mendunia sifat dan jangkauannya. Globalisasi yang terjadi secara alamiah, masif, dan sistemik tersebut memiliki berbagai dampak, baik yang positif maupun negatif kepada setiap kebudayaan yang ada di dunia ini. Misalnya, jika ada suatu bangsa yang mengalami krisis ekonomi, maka dampaknya bangsa-bangsa lain di seluruh dunia atau di beberapa negara terkait dengannya akan mengalami 81 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya krisis yang sama dan selaras pula. Contohnya adalah krisis moneter tahun 1998 dan seterusnya. Demikian pula berbagai nilai budaya yang tidak sesuai dengan kebudayaan etnik atau bangsa tertentu akan membentur nilai-nilai budayanya. Misalnya ada sebuah bangsa yang menyanjung tinggi nilainilai kegotong-royongan dan kebersamaan. Nilai ini akan berhadapan dengan nilai budaya yang sangat mendukung hak-hak individual dan kurang menempatkan hak-hak komunnal. Masih banyak fenomena sosiobudaya lain yang terjadi dengan masif di seluruh dunia ini, tidak terkecuali bagi masyarakat Melayu. Selaras dengan perubahan zaman, maka nilai-nilai perkawinan dan kebudayaan Melayu, dalam konteks adat yang sebenar adat (hukum alam yang telah ditetapkan Allah) tidaklah berubah. Misalnya tujuan perkawinan untuk meneruskan generasi manusia, untuk menjalani hidup sebagai manusia yang berpasang-pasangan, untuk ketenteraman hati, dan seterusnya. Namun demikian dalam konteks pemilihan jodoh, upacara adatnya, konteks sosial dan budaya dalam pemilihan jodoh, dan hal-hal sejenis adalah mengalami perubahan. Di antara perubahan-perubahan tersebut adalah seperti diuraikan berikut ini. Kalau zaman dahulu orang tua sangat dominan menentukan jodoh anaknya, maka kini jodoh lebih “dominan” ditentukan oleh anak itu sendiri, karena perubahan pola-pola sosialisasi manusia, seperti pada lingkup pendidikan formal dan nonformal, lingkungan sosial, gaya hidup, dan juga perkembangan teknologi dan media, dan faktor-faktor sejenis. Kalau zaman dahulu para bujang dan dara Melayu berkenalan dalam berbagai aktivitas sosial yang berkaitan dengan siklus bercocok tanam padi, atau ke laut dan panen hasil laut, maka kini mereka berkenalan di berbagai tempat yang juga telah berkembang, seperti di mal-mal, supermarket, tempat-tempat rekreasi, pusat kebudayaan, menonton film, plaza-plaza, dan seterusnya sebagai simbol artefak dan gaya hidup di masa kini. Jadi perkenalan tersebut tidak begitu terawasi oleh kedua orang tuanya. Dalam perkembangan yang seperti ini, para bujang dan dara ini dapat saja melakukan penyimpangan sosial yang tidak terlalu ketat pengawasannya dan sanksinya secara sosial dan budaya. Misalnya 82 Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu ia pagi hari permisi pergi ke sekolah, namun karena lebih mementingkan “pacaran,” kedua insan yang masih sekolah ini “cabut” dari sekolah dan berpacaran di suatu tempat. Kepada bapak dan ibu guru, keduanya permisi tidak masuk sekolah karena sakit, dan dapat dibuktikannya dengan surat sakit dari dokter. Dengan demikian yang sangat mengetahui dirinya adalah kedua insan ini dan Tuhan saja. Perubahan lain yang terjadi adalah di kalangan generasi muda Melayu ini terjadi polarisasi budaya, menuju kepada budaya global. Bagi kalangan muda Melayu simbol-simbol kemodernan adalah apabila ia menggunakan dan menerapkan kebudayaan global, terutama budaya Eropa. Ia akan lebih bangga kepada gaya hidup Eropa, seperti yang dilihatnya melalui media-media. Akibatnya ia dapat tercerabut dari akar budayanya. Dengan tercerabutnya akar budaya di kalangan anak-anak muda Melayu, maka tentu saja adat resam Melayu akan berangsur-angsur pupus ditelan zaman ini. Keadaan ini akan berdampak terhadap ketahanan budaya Melayu, dalam ungkapannya biar mati anak asal jangan mati adat. Kini keadaannya telah mengalami perubahan. Kelompok orang-orang tua pula harus kreatif mempertahankan kebudayaan Melayu ini di tengah-tengah globalisasi. Misalnya menyadarkan kepada kita semua termasuk generasi muda, bahwa sejak awal umat Melayu adalah umat yang terbuka terhadap perubahan dan globalisasi. Semua budaya dunia diadun di dalam budaya Melayu, yang semakin memperkuat identitas kemelayuan, bukan sebaliknya. Di dalam kebudayaan Melayu terkandung nilai-nilai dari Timur Tengah, India, Eropa, dan semuanya, namun tetap menjadi Melayu. Selain aspek perubahan negatif, tentu saja globalisasi mengandung dan membuat perubahan positif. Di antaranya adalah dalam era global, semua manusia dipaksa untuk mengetahui semua kebudayaan dengan berbagai varian dan persamaan. Hal ini sesuai dengan tunjuk ajar Melayu bahwa kita semua manusia adalah seasal, dan perbedaan adalah menjadi hukum Tuhan, dan kita harus saling kenal-mengenal, menghormati, dan akhirnya toleransi terhadap semua perbedaan, dan jangan memaksakan kehendak. 83 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Demikian pula kalau di masa tradisi, orang-orang Melayu itu selalu menekankan kepada budaya kebersamaan dan gotong-royong, maka di era glibalisasi ini individu mendapatkan perhatian utama. Maka sudah sepatutnya orang-orang Melayu mensintesiskan kedua fokus kepentingan ini secara bersama-sama, yaitu kepentingan bersama dan individu harus ada, dan digunakan pada saat apa, dengan landasan kebijakan adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kutabullah. Dalam adat Melayu pun perubahan juga dibenarkan, bahkan menjadi salah satu ragam adat, yaitu pada adat yang teradat. Dalam dimensi ini terdapat makna bahwa adat itu mengalami perubahan, namun di samping perubahan tentu saja harus ada unsur-unsur yang lestari atau sinambung, agar kebudayaan Melayu melintasi zaman secara alamiah, wajar, dan mengikut kepada hukum-hukum Allah. Demikian pula dalam konsep, terapan, dan fungsi institusi yang disebut perkawinan dalam adat Melayu. 84 Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu BAB IV IDENTITAS DAN STUKTUR KEKERABATAN MASYARAKAT MELAYU 4.1 Pengenalan Tujuan umum perkawinan dalam kebudayaan Melayu adalah menjalankan perintah agama yaitu dalam konteks meneruskan generasi keturunan manusia. Selain itu, perkawinan juga dilakukan untuk menjaga turai atau struktur sosial, yang mencakup struktur kekerabatan dan struktur masyarakat secara luas. Perkawinan diatur dan ditentukan oleh adat Melayu. Oleh karena itu, sebelum menguraikan bagaimana proses upacara perkawinan dan penggunaan seni pertunjukan, perlu diperikan struktur kekerabatan dan derajat sosial dan keturunan dalam kebudayaan Melayu. Ini sangat penting untuk melihat hubungan institusi perkawinan dengan struktur masyarakat. Pada masa sekarang ini, masyarakat Melayu mendiami kawasan Asia Tenggara yang terdiri dari beberapa negara seperti: Thailand (terutama di bahagian Selatan), Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, Filipina (bahagian Selatan), Indonesia, dan di beberapa negeri lain. Secara geobudaya mereka disebut dengan Melayu Polinesia atau Melayu Austronesia. Pengertian Melayu Polinesia pula mencakup ras Melayu yang terdapat di kawasan Oseania yaitu terdiri dari gugusan kepulauan Mikronesia, Polinesia, dan Melanesia. Kadang termasuk pula orangorang ras Melayu di Madagaskar. Sementara itu, diaspora Melayu juga merentasi berbagai kawasan, seperti Afrika Selatan, Suriname, Sri Langka, Indochina, dan lain-lain. Aspek kemelayuan yang universal, termasuk ras dan alur bahasa yang sama—serta identitas lokal, menjadi bahagian identitas kebudayaan kelompok-kelompok masyarakat Dunia Melayu ini. 85 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang mayoritas penduduknya terdiri dari ras Melayu, baik Melayu Tua (Proto Melayu) maupun Melayu Muda (Deutro Melayu). Namun biasanya rasa kemelayuan sebagai ras mereka, tidaklah begitu kuat, dibandingkan kesukuan kecil (etnik)nya. Namun dalam konteks integrasi budaya, biasanya mereka sama-sama sadar sebagai rumpun Melayu, yang terdiri dari berbagai suku atau etnik seperti: Gayo, Alas, Aceh Rayeuk, Simeuleu, Karo, Dairi, Simalungun, Toba, Minangkabau, Banjar, Jawa, Sunda, Bugis, Makasar, Sasak, Ambon, dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun ada juga yang langsung menyebut kelompoknya dan diakui oleh kelompok lain sebagai Melayu, seperti yang ada di Sumatera Utara, Tamiang Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan, dan di berbagai tempat lainnya. 4.2 Dunia Melayu atau Alam Melayu Selama ini, pegertian dan pemahaman mengenai Melayu itu berbeda-beda, baik yang dikemukakan oleh para ilmuwan ataupun masyarakat awam sendiri. Perbedaan itu menyebabkan makna Melayu bisa meluas atau menyempit menurut definisi dan konsep yang dipergunakan. Namun demikian, istilah Melayu memang telah terwujud dan dipergunakan baik oleh masyarakat atau etnik yang disebut Melayu atau oleh para ilmuwan pengkaji kebudayaan Melayu. Dalam perkembangan terkahir, muncul pula istilah Dunia Melayu atau Alam Melayu serta Dunia Melayu Dunia Islam, terutama yang digagas para pakar kebudayaan dan politikus dari Negeri Melaka, Malaysia. Menurut Ismail Hussein (1994) kata Melayu merupakan istilah yang meluas dan agak kabur. Istilah ini maknanya mencakup suku bangsa serumpun di Nusantara yang pada zaman dahulu dikenal oleh orangorang Eropa sebagai bahasa dan suku bangsa dalam perdagangan dan perniagaan. Masyarakat Melayu adalah orang-orang yang terkenal dan mahir dalam ilmu pelayaran dan turut terlibat dalam aktivitas perdagangan dan pertukaran barang perdagangan dan kesenian dari berbagai wilayah dunia. 86 Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu Istilah Melayu, maknanya selalu merujuk kepada Kepulauan Melayu yang merangkumi kepulauan di Asia Tenggara. Perkataan ini juga bermakna sebagai etnik atau orang Melayu Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dan tempat-tempat lain yang menggunakan bahasa Melayu. Melayu juga selalu dihubungkan dengan kepulauan Melayu yang mencakup kepulauan Asia Tenggara dan ditafsirkan menurut tempat dan kawasan yang berbeda. Seperti di Sumatera, istilah Melayu dikaitkan dengan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Palembang; dan di Borneo (Kalimantan) pula perkataan Melayu dikaitkan dengan masyarakat yang beragama Islam—sementara di Semenanjung Malaysia arti Melayu dikaitkan dengan orang yang berkulit coklat atau sawo matang (ciku masak). Istilah Melayu berasal dari bahasa Sanskerta yang dikenal sebagai Malaya, yaitu sebah kawasan yang dikenali sebagai daratan yang dikelilingi lautan (Hall, 1994). Kelompok ras Melayu dapat digolongkan kepada kumpulan Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami Gugusan Kepuluan Melayu, Polinesia dan Madagaskar. Gathercole (1983) seorang pakar antropologi Inggris telah melihat bukti-bukti arkeologi, linguistik, dan etnologi, yang menunjukkan bahwa bangsa Melayu-Polinesia ialah golongan pelaut yang pernah menguasai kawasan Samudera Pasifik dan Hindia. Ia menggambarkan bahwa ras Melayu-Polinesia sebagai kelompok penjajah yang dominan pada suatu masa dahulu, yang meliputi kawasan yang luas di sebelah barat hingga ke Madagaskar, di sebelah timur hingga ke Kepulauan Easter, di sebelah utara hingga ke Hawaii dan di sebelah selatan hingga ke Selandia Baru. Sementara itu Wan Hasim (1991) mengemukakan bahwa Melayu dikaitkan dengan beberapa perkara seperti sistem ekonomi, politik, dan juga budaya. Dari sudut ekonomi, Melayu-Polinesia adalah masyarakat yang mengamalkan tradisi pertanian dan perikanan yang masih kekal hingga ke masa sekarang ini. Dari sudut ekonomi, orang Melayu adalah golongan pelaut dan pedagang yang pernah menjadi penguasa dominan di Lautan Hindia dan Pasifik sebelum kedatangan penguasa Eropa. Dari segi politik pula, sistem kerajaan Melayu berdasarkan pemerintahan beraja yang dimulai di Campa dan Funan, yaitu di Kamboja dan Vietnam Selatan pada awal abad Masehi. Dari kerajaan Melayu tua ini telah 87 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya berkembang pula kerajaan Melayu di Segenting Kra dan di sepanjang pantai timur Tanah Melayu, termasuk Kelantan dan Terengganu. Kerajaan Melayu Segenting Kra ini dikenal dengan nama Kerajaan Langkasuka kemudian menjadi Pattani (Wan Hashim, 1991). Peta 4.1 Wilayah Dunia Melayu Sumber: The Encyclopedia of Malaysia (jilid 4, h. 76) Untuk menentukan kawasan kebudayaan Melayu, ada dua perkara menjadi kriterianya, yaitu kawasan dan bahasa. Dari segi kawasan, Dunia Melayu tidak terbatas kepada Asia Tenggara saja, namun meliputi kawasan di sebelah barat mencakup Lautan Hindia ke Malagasi dan pantai timur benua Afrika; di sebelah timur merangkumi Gugusan Kepulauan Melayu-Mikronesia dan Paskah di Lautan Pasifik, kira-kira 103,6 kilometer dari Amerika Selatan; di sebelah selatan meliputi Selandia Baru; dan di sebelah utara melingkupi kepulauan Taiwan dan Hokkaido, Jepang (Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1994). Dari sudut bahasa pula, Melayu memiliki ciri-ciri persamaan dengan rumpun keluarga bahasa Melayu-Austronesia, menurut istilah 88 Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu arkeologi--atau keluarga Melayu-Polinesia, menurut istilah linguistik (Haziyah Husein, 2006:6). Demikian pula keberadaan masyarakat Melayu di Sumatera Utara, mereka menyadari bahwa mereka adalah berada di negara Indonesia, menjadi bahagian dari Dunia Melayu, dan merasa saling memiliki kebudayaan Melayu. Mereka merasa bersaudara secara etnisitas dengan masyarakat Melayu di berbagai tempat seperti yang disebutkan tadi. Secara budaya, baik bahasa atau kawasan, memiliki alur budaya yang sama, namun tetap memiliki varian-varian yang menjadi ciri khas atau identitas setiap kawasan budaya Melayu. Secara geopolitik, Dunia Melayu umumnya dihubungkan dengan negara-negara bangsa yang ada di kawasan Asia Tenggara dengan alur utama budaya Melayu. Di antaranya adalah: Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Selatan Thailand, Selatan Filipina, sebahagian etnik Melayu di Kamboja, Vietnam, dan lain-lain tempat. 4.3 Konsep tentang Melayu Peradaban Melayu adalah cerminan dari identitas etnik (wangsa dan ras) Melayu. Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, di dalam budaya Melayu terdapat unsur heterogenitas budaya, akulturasi, pemungsiannya pada segenap strata sosial (awam dan bangsawan), dan lain-lain. Keberadaan budaya Melayu ini didasari oleh identitas etnik Melayu. Untuk dapat memahami siapakah orang Melayu, yang menjadi pendukung budaya Melayu, maka sebelumnya dijelaskan pengertian kelompok etnik (ethnic group). Naroll memberikan pengertian kelompok etnik sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Naroll, 1965:32). Selain dari itu, pendekatan untuk menentukan sebuah kelompok etnik harus melibatkan beberapa faktor: etnosains, yaitu pendapat yang berasal dari masyarakatnya; bantuan ilmu-ilmu pengetahuan dan 89 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya ilmuwan dari beberapa disiplin; wilayah budaya; masalah-masalah pembauran (integrasi), disintegrasi, kepribadian, perkawinan, kekerabatan, sistem galur keturunan, religi, dan sejumlah faktor sosial lainnya. Kelompok etnik (suku bangsa) merupakan golongan sosial yang dibedakan dari golongan-golongan sosial lainnya, karena mempunyai ciri-ciri yang paling mendasar dan umum berkaitan dengan asal-usul, tempat, serta budayanya. Kelompok etnik adalah segolongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitasnya yang diperkuat oleh kesamaan bahasa. Kesamaan dalam kesenian, adat-istiadat, dan nenek moyang merupakan ciri-ciri sebuah kelompok etnik. Jika ras lebih dilihat dari perbedaan fisik, maka etnik lebih dilihat dari perbedaan kebudayaan dalam arti yang luas. Satu ras bisa saja terdiri dari berbagai macam kelompok etnik yang berbeda. Di dalam sebuah kelompok etnik bisa saja terjadi diferensiasi sosial. Sebuah kelompok etnik terbentuk dari sejumlah orang yang menghendaki hidup bersama, dalam waktu yang lama, dan di suatu tempat yang sama. Mereka ini mengadakan interaksi yang tetap, memiliki sistem nilai, norma, dan kebudayaan yang mengikat mereka menjadi satu kesatuan. Dengan adanya berbagai kesamaan yang mereka miliki, maka mereka menjadi satu kesatuan dalam masyarakat. Namun, di dalam suatu masyarakat ada pemisahan dan pembagian karena adanya perbedaan tertentu, seperti: jenis kelamin, klen, pekerjaan, politik, dan lainnya. Perbedaan-perbedaan sosial ini menyebabkan masyarakat terbagi dalam kelompok-kelompok tertentu, namun tidak berarti terpisah dari masyarakatnya. Keadaan ini disebut diferensiasi sosial, yang dapat diartikan sebagai suatu proses setiap individu di dalam masyarakat memperoleh hak-hak dan kewajiban yang berbeda dengan orang lain di dalam masyarakat, atas dasar perbedaan-perbedaan sosial. Demikian pula yang terjadi dalam kebudayaan Melayu. Melayu adalah sebuah bangsa (wangsa) yang agung dan besar. Ia menyumbang peradaban kepada dunia ini, baik secara gagasan atau artefak, yang dapat dibuktikan dengan berbagai peninggalannya di masa kini. Istilah Melayu biasanya dipergunakan untuk mengidentifikasi semua orang dalam rumpun Austronesia yang meliputi wilayah Semenanjung Malaya, kepulauan Nusantara, kepulauan Filipina, dan 90 Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu Pulau-pulau di Lautan Pasifik Selatan. Dalam pengertian umum, orang Melayu adalah mereka yang dapat dikelompokkan pada ras Melayu. Dengan demikian, istilah Melayu sebagai ras ini mencakup orangorang yang merupakan campuran dari berbagai suku di kawasan Nusantara. Ras Melayu yang sudah memeluk agama Islam pada abad ke-13, identitas budanyanya selalu dipandang berbeda dengan masyarakat ras Proto-Melayu pedalaman, yang masih menganut kepercayaan mereka sendiri; baik oleh mereka sendiri maupun orang luar. Namun demikian, di sisi lain terjadi adaptasi dan asimilasi ras Melayu pedalaman dengan orang Melayu jika masuk agama Islam. Ada perbedaan mengenai pengertian Melayu ini di Indonesia, Malaysia, dan Singapura, seperti yang dikemukakan oleh Vivienne Wee. As we shall see further below, it is clear that 'Malayness' in Indonesia is indeed different from 'Malayness' in Singapore and Malaysia. This difference is directly related to the perception of the respective governments. The Singapore government regards 'Malay' as a 'race', a genetically engendered category in the state-imposed system of ethnicity. ... In Singapore, a Christian English speaking 'Malay' is still legally considered 'Malays'. Indeed there is apparently a sufficient number of Christian 'Malays', that they are considering setting up a Malay Christian Association. ... In Malaysia, however, 'Malayness' is constitutionally tied to Islam, such that a 'Malay' convert to Christianity would no longer the legally considered 'Malay'. This was stated to me categorically by Anwar Ibrahim, a Minister in the Malaysian Cabinet. But not all Malaysian Muslims qualify as 'Malays': the constitutional category 'Malay' includes only Muslims who speak Malay, conform to Malay custom, and who were born in Malaysia or born of Malaysia parents. In contrast to the governments of Singapore and Malaysia, the Indonesian government evidently has no interest in giving a legal definition of 'Malayness'. In Indonesia, 'Malay' or Melayu is just one label in the loose array of regional identities that people may profess. In other words, from the Indonesian governement's point of view, anyone who wants to identify herself/himself as Melayu may do so; conversely, if she/he does not want to do so, then she/he may choose practically any other regional identity. The Indonesian government's laissez-faire attitude towards the ethnic labelling of the population is evident in the identity cards issued to all citizens.Whereas the identity cards issued by the Singapore and Malaysia governments 91 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya stipulate the respective ethnic labels of their citizens, the Indonesian identity card does not include any ethnic labelling. So in Indonesia, 'Malayness' is a matter of subjective-identification, rather than objective category belonging to legally imposed set (Vivienne Wee, 1985:7-8). Untuk menjangkau pengertian Melayu dalam wawasan yang lebih luas, perlu juga diperhatikan pendapat dari orang-orang dari luar Melayu. Dalam pandangan orang-orang Eropa pada umumnya, yang dimaksud Melayu itu selalu dikaitkan dengan istilah yang dipakai oleh I-Tsing. Malayan; Malay; (occasionally) Moslem, e.g. masok Melayu (to turn Mohammedan). In early times the word did not cover the whole Malay word; and even Abdullah draws a distinction between anak Melaka [Melaka native] and Orang Melayu (Hikayat Abdullah 183). It would seem from one passage (Hang Tuah 200) that the word limited geographically to one area, became associated with a standard of language and was extended to all who spoke 'Malay'. The Malay Annals speak as a sungai Melayu [Melayu River]; I-tsing speaks of Sri Vijaya conquering the 'Moloyu' country; Minangkabau has a 'Malayu' clan (suku); Rajendracola's conquests (A.D. 1012 to 1042) covered Melayu and Sri Vijaya as a separate countries; the Siamese records claim Malacca and Melayu as a separate entities. Rouffaer identifies Melayu with Jambi (Wilkinson, 1959:755). Dalam kebudayaan Melayu, garis keturunan ditentukan berdasarkan pada garis keturunan bilateral, yaitu garis keturunan dari pihak ayah ataupun ibu—namun dengan masuknya agama Islam dalam kehidupan etnik Melayu yang dijadikan pandangan hidupnya, maka garis keturunan cenderung ke arah garis keturunan patriachart, yaitu berdasar kepada pihak ayah. Menurut Zein, yang dimaksud dengan Melayu adalah bangsa yang menduduki sebagian besar pulau Sumatera serta pulau-pulau RiauLingga, Bangka, Belitung, Semenanjung Melaka, dan Pantai Laut Kalimantan. Banyak orang menyangka bahwa nama Melayu itu artinya lari, yang berasal dari bahasa Jawa--yaitu lari dari bangsa sendiri dan menganut agama Islam. Namun nyatanya nama Melayu sudah lama terpakai sebelum agama Islam datang ke Nusantara ini. Jadi menurut Zein pernyataan di atas adalah salah. Menurutnya, istilah Melayu itu adalah kependekan dari Malayapura, yang artinya adalah kota di atas 92 Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu bukit Melayu, kemudian dipendekkan menjadi Malaipur, kemudian menjadi Malaiur, dan akhirnya menjadi Melayu (Zein, 1957:89). Dalam konteks Sumatera Timur, menurut Tengku Lah Husni, orang Melayu adalah kelompok yang menyatukan diri dalam ikatan perkawinan antar suku, dan selanjutnya memakai adat resam serta bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari (Lah Husni, 1975:7). Selanjutnya Husny menyebutkan lagi, bahwa orang Melayu Pesisir Sumatera Timur merupakan turunan campuran antara orang Melayu yang memang sudah menetap di Pesisir Sumatera Timur dan suku-suku Melayu pendatang, seperti Johor, Melaka, Riau, Aceh, Mandailing, Jawa, Minangkabau, Karo, India, Bugis, dan Arab, yang selanjutnya memakai adat resam dan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan antara sesamanya atau dengan orang dari daerah lain, serta yang terpenting adalah beragama Islam. Suku Melayu itu berdasarkan filsafat hidupnya, terdiri dari lima dasar: Islam, beradat, berbudaya, berturai, dan berilmu (Lah Husni, 1975:100). Berturai maksudnya adalah mempunyai susunan-susunan sosial, dan berusaha menjaga integrasi dalam perbedaan-perbedaan di antara individu. Demikian pengertian siapa orang Melayu itu. Contoh lain adalah tentang identitas Melayu di Kalimantan, khususnya masyarakat Melayu Ketapang. Orang Melayu Ketapang adalah puak Melayu yang mendiami wilayah pesisir pantai, pulau-pulau besar maupun kecil, dan daerah pedalaman Kabupaten Ketapang, serta beragama Islam, berbahasa Melayu, dan beradat-istiadat Melayu. Jika dilihat dari aspek genealogis, maka Melayu Ketapang itu terdiri dari beberapa keturunan, yaitu: (a) Penduduk asli yang beragama Islam, (b) Pendatang dari Jawa yang disebut Prabu Jaya, (c) Pendatang dari Palembang yang disebut Sang Maniaka, (d) Pendatang dari Bugis yang disebut Daeng Manambon, (e) Pendatang dari Brunai Darussalam yang disebut Raja Tengah, (f) Pendatang dari Arab, dan (g) Pendatang dari Siak yang disebut Tengku Akil. Meskipun Melayu Ketapang berasal keturunan yang berbeda-beda, itu tidak menyebabkan terpecah-pecahnya Melayu Ketapang, melainkan 93 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya ikut memperkaya Khasanah budaya Tanah Kayung (Ketapang). Raja Kerajaan Tanjungpura sebagai pemegang adat tertinggi memang adil. Raja telah memperhitungkan dengan masak-masak, bahwa raja, kaum bangsawan dan rakyat jelata memiliki kemampuan yang berbeda. Karena itu, maka dengan mengadopsi syariat Islam, raja membagi adat menjadi tiga, yaitu: (a) Wajib, melaksanakan adat secara penuh merupakan kewajiban bagi raja yang maksudnya adalah untuk diketahui seluruh rakyat negeri, serta memberi contoh teladan pelaksanaan adat-istiadat. (b) Sunnat, bagi kerabat raja dan kaum bangsawan pelaksanaan adat menjadi sunnat, artinya tidak perlu sama dengan raja. Pelaksanaannya menurut kemampuan kerabat tersebut. Berhubungan kaum bangsawan juga merupakan panutan bagi rakyat jelata, maka kaum bangsawan hendaknya berusaha melaksanakan adat-istiadat secara penuh kalau memang sanggup. (c) Jaiz, bagi rakyat jelata pelaksanaan adat-istiadat menjadi jaiz, artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan sebagian atau seluruhnya berdasarkan kemampuannya. Secara keseluruhan adat-istiadat Melayu Kayung itu mengacu kepada syariat Islam, karena adat bersendi syarak, syarak bersendikan kitabullah. Kalau kita bekunjung ke seluruh kecamatan di Kabupaten Ketapang dan berbicara dengan orang Melayu, maka bahasa Melayu yang digunakan sehari-hari di kota Ketapang dapat dimengerti oleh mereka dari tempat terpencil seperti di Cali, di hulu sungai Law, dan lain-lain. Yang berbeda hanyalah dialeknya. Kalau di Ketapang menyebut kamu atau anda adalah kau, maka di pedalaman menyebut mpuk, sementara masyarakat di Kendawangan menyebutnya mika’, Melano Telok Batang dan PMK menyebutnya ika’. 4.3.1 Melayu Terbentuk dari Proses Campuran dalam Satu Integrasi Kultural Menurut Tengku Lah Husni, orang Melayu adalah kelompok yang menyatukan diri dalam ikatan perkawinan antar suku, dan selanjutnya 94 Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu memakai adat resam serta bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari (Lah Husni, 1975:7). Selanjutnya Husni menyebutkan lagi, bahwa orang Melayu Pesisir Sumatera Timur merupakan turunan campuran antara orang Melayu yang memang sudah menetap di Pesisir Sumatera Timur dan suku-suku Melayu pendatang, seperti Johor, Melaka, Riau, Aceh, Mandailing, Jawa, Minangkabau, Karo, India, Bugis, dan Arab, yang selanjutnya memakai adat resam dan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan antara sesamanya atau dengan orang dari daerah lain, serta yang terpenting adalah beragama Islam. Suku Melayu itu berdasarkan falsafah hidupnya, terdiri dari lima dasar: Islam, beradat, berbudaya, berturai, dan berilmu (Lah Husni,1975:100). Berturai maksudnya adalah mempunyai susunan-susunan sosial, dan berusaha menjaga integrasi dalam perbedaan-perbedaan di antara individu. Ketika seorang pejabat pemerintah Inggris, yang bernama John Anderson berkunjung ke Sumatera Timur pada tahun 1823, dia menjelaskan bahwa pemukiman orang Melayu merupakan jalur yang sempit terbentang di sepanjang pantai. Penghuni-penghuni di Sumatera Timur tersebut, diperkirakan sebagai keturunan para migran dari berbagai daerah kebudayaan, seperti: Semenanjung Malaya, Jambi, Palembang, Jawa, Minangkabau, dan Bugis, yang telah menetap dan bercampur baur di daerah setempat (Pelzer, 1985:18-19). Percampuran dan adaptasi Melayu dalam pengertian sebagai kelompok etnik dengan kelompok etnik lain, terjadi di sepanjang pantai pulau Sumatera, Semenanjung Malaysia, dan pesisir Kalimantan. 4.3.2 Sifat-sifat Sifat-sifat orang yang dikategorikan dalam Melayu sering dibicarakan dalam berbagai kesempatan, yaitu mereka yang tingkah dan lakunya lemah lembut, ramah-tamah, mengutamakan sopan-santun, menghormati tamu-tamu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dikaitkan dengan adanya pengaruh-pengaruh dari luar dan sejumlah pendatang yang mengunjungi daerah pesisir yang dihuni mereka. Kepentingan dagang menghendaki orang Melayu menciptakan suasana penegakan orde dan hukum. Mereka pemberani, perajin, dan 95 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya mementingkan keharmonisan dalam melaksanakan mata pencaharian mereka. Kesemuanya tidak bertentangan malah diajurkan oleh agama Islam yang mereka anut (Luckman Sinar, 1985:3). Metzger yang mengkaji kekuatan dan kelemahan orang Melayu berdasar sifat-sifat dan tingkah lakunya, secara tegas menyatakan bahwa orang Melayu itu "unggul" dalam bahasa, adat-istiadat, dan sistem pemerintahan. Kelemahan orang Melayu [tertama di Malaysia] adalah suka mencampurbaurkan bahasa, misalnya: "I telefon you nanti." Selain itu, kelemahan orang Melayu adalah kurang menghargai budaya lama, "pemalas," dan kurangnya sifat ingin tahu (Metzger, 1994:158-175). Apa yang dikemukakan Metzger ini mungkin ada benarnya, namun kalau melihat asas kebudayaan Melayu itu Islam, tentu sifat tersebut hanyalah distorsi dari nilai-nilai positif Islam, dan sifatnya tidaklah umum. Lebih lanjut, menurut Zainal Arifin AKA (2002:17-21) terdapat lima sifat dan ciri-ciri orang Melayu [yang kuat memegang teguh ajaran Islam], yaitu: (1) Orang Melayu mengutamakan ilmu dan pendidikan. Artinya adalah orang Melayu gemar belajar untuk menambah ilmu pengetahuan terutama ilmu agama Islam, karena sebagai seorang muslim orang Melayu wajib menuntut ilmu untuk mendalami ajaran agamanya. (2) Orang Melayu mementingkan budaya dan adat. Maknanya adalah bahwa orang Melayu sangat patuh pada adat, senang berkesenian, bersyair, bergurindam, berpantun, menghormati orang lain, berbudi pekerti, sopan, dan santun dalam berbahasa. (3) Orang Melayu ramah dan terbuka kepada tetamu. Artinya tidak menyombongkan diri sopan bertutur, santun bersapa, suka bergaul (bermasyarakat), dalam berkomunikasi tidak egois, suka menolong sesama, senang bertutur sapa, bersenda gurau, bergaul kepada siapapun baik internal etnik atau di luar etniknya, orang Melayu sahabat semua suku. 1 (4) Orang Melayu 1 Dalam kehidupan sosiopolitis di Sumatera Utara, istilah Melayu sahabat semua suku ini, dipopulerkan oleh Dato’ Seri Syamsul Arifin. Di dalam kalimat ini terkandung nilai-nilai multikulturalisme, yang sinerji dengan konsep kebangsaan Indonesia yaitu bhinneka tunggal ika, biar berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Selain itu, istilah ini juga mengekspresikan bahwa orang Melayu itu dalam memandang manusia serta bergaul secara sosial dengan semua manusia, yang sesuai dengan ajaran Islam, bahwa setiap 96 Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu melawan jika terdesak. Artinya orang Melayu tidak suka mencari lawan, sabar dan mengalah diutamakan. Namun demikian, kesabaran ada batasnya, jika sudah hilang kesabaran dan terdesak, maka orang Melayu pastilah melawan. (5) Orang Melayu bersifat setia, tidak ingkar janji. Bagi orang Melayu kesetiaan adalah di atas segala-galanya. Mereka ini sangat segan pada orang alim, setia pada pemimpin, hormat pada orang tua, menyayangi yang lebih muda, serta patuh kepada ketentuan dan kaidah yang berlaku. Hal mendasar yang dijadikan identitas etnik Melayu adalah adat resam, termasuk aplikasinya dalam sastra, bahasa, dan kesenian. Dalam bahasa Arab adat berarti kebiasaan, lembaga, peraturan, atau hukum. Sedangkan dalam bahasa Melayu dapat dipadankan dengan kata resam. Resam adalah jenis tumbuhan pakis besar, tangkai daunnya biasanya dipergunakan untuk kalam, alat tulis untuk menulis huruf-huruf Arab. Arti lain kata resam adalah adat. Jadi dalam bahasa Melayu yang sekarang ini, adat dan resam sudah digabung menjadi satu yaitu adat resam. 4.4 Tingkatan Kebangsawanan Melayu Sastra dan budaya Melayu bukan hanya didukung oleh masyarakat kebanyakan (rakyat), tetapi juga oleh golongan bangsawan. Dalam kebudayaan Melayu dikenal beberapa tingkat kebangsawanan. Menurut Tengku Luckman Sinar (wawancara pada 23 September 2006), bangsawan dalam konsep budaya Melayu adalah golongan yang dipercayakan secara turun-temurun menguasai sautu kekuasaan tertentu. Namun demikian, seorang bangsawan yang berbuat salah dalam ukuran norma-norma yang berlaku dalam kebudayaan, dapat saja dikritik bahkan diturunkan dari kekuasaannya, seperti yang tercermin dalam konsep raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Hirarki kekuasaan adalah dari Allah, kemudian berturut-turut ke negara, raja, pimpinan, rakyat, keluarga, dan keturunannya. muslim adalah rahmat kepada seluruh alam. Lebih jauh lagi setiap orang Melayu adalah rahmat kepada semua orang dan makhluk di dunia ini. 97 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Dalam kebudayaan Melayu, tingkatan golongan bangsawan itu adalah sebagai berikut. (a) Tengku (di Riau disebut juga Tengku Syaid) adalah pemimpin atau guru--baik dalam agama, akhlak, maupun adat-istiadat. Menurut penjelasan Tengku Lah Husni (wawancara 17 Maret 1988), istilah Tengku pada budaya Melayu Sumatera Timur, secara resmi diambil dari Kerajaan Siak pada tahun 1857. Dalam konteks kebangsawanan, seseorang dapat memakai gelar Tengku apabila ayahnya bergelar Tengku dan ibunya juga bergelar Tengku. Atau ayahnya bergelar Tengku dan ibunya bukan Tengku. Jadi gelar Tengku secara genealogis diwariskan berdasarkan hubungan darah, terutama secara patrilineal. (b) Syaid, adalah golongan orang-orang keturunan Arab dan dianggap sebagai zuriat dari Nabi Muhammad. Gelar ini terdapat di Riau adalah Semenanjung Malaysia. (c) Raja, yaitu gelar kebangsawanan yang dibawa dari Indragiri (Siak), ataupun anak bangsawan dari daerah Labuhanbatu: Bilah, Panai, Kualuh, dan Kotapinang. Pengertian raja di daerah Melayu tersebut adalah sebagai gelar yang diturunkan secara genealogis, bukan seperti yang diberikan oleh Belanda. Oleh pihak penjajah Belanda, gelar raja itu diberikan baik mereka yang mempunyai wilayah pemerintahan hukum yang luas ataupun hanya mengepalai sebuah kampung kecil saja. Pengertian raja yang diberikan Belanda ini adalah kepala atau ketua. Menurut keterangan Sultan Kesebelas Kesultanan Deli, Tengku Amaluddin II, seperti yang termaktub dalam suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur tahun 1933, jika seorang wanita Melayu bergelar Tengku nikah dengan seorang bangsawan yang bergelar Raden dari Tanah Jawa atau seorang bangsawan yang bergelar Sutan dari Minangkabau (Kerajaan Pagaruyung), maka anak-anak yang diperoleh dari perkawinan ini berhak memakai gelar Raja. (d) Wan, jika seorang wanita Melayu bergelar Tengku kawin dengan seorang yang bukan Tengku, dengan seseorang dari golongan bangsawan lain atau masyarakat awam, maka anak-anaknya berhak memakai gelar wan. Anak lelaki keturunan mereka seterusnya dapat 98 Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu memakai gelar ini, sedangkan yang wanita tergantung dengan siapa dia menikah. Jika martabat suaminya lebih rendah dari wan, maka gelar ini berubah untuk anaknya, mengikuti gelar suaminya—dan hilang jika kawin dengan orang kebanyakan. (e) Datuk, istilah kebangsawanan datuk ini, awalnya berasal dari Kesultanan Aceh, baik langsung ataupun melalui perantaraan Wakil Sultan Aceh di Deli. Gelar ini diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan daerah pemerintahan otonomi yang dibatasi oleh dua aliran sungai. Batas-batas ini disebut dengan kedatukan atau kejeruan. Anak-anak lelaki dari datuk dapat menyandang gelar datuk pula. Sultan atau raja dapat pula memberikan gelar datuk kepada seseorang yang dianggap berjasa untuk kerajaan dan bangsanya. Di beberapa kesultanan Melayu di Malaysia, gelar datuk diperoleh oleh orang-orang yang dianggap berjasa dalam pengembangan budaya Malaysia. Kemudian tingkatan datuk lainnya adalah datuk seri dan datuk wira. (f) Kaja, gelar ini dipergunakan oleh anak-anak wanita seorang datuk. (g) Encik dan Tuan adalah sebuah terminologi untuk memberikan penghormatan kepada seseorang, lelaki atau wanita, yang mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu dalam berbagai bidang sosial dan budaya seperti: kesenian, dagang, bahasa, agama, dan lainnya. Panggilan itu bisa diucapkan oleh sultan, raja, bangsawan, atau masyarakat kebanyakan.2 2 Tingkatan-tingkatan bangsawan Melayu Sumatera Timur ini, diolah dari penjelasan yang dikemukakan para narasumber, yang diperoleh dari penelitian lapangan. Wilayah penelitian mencakup: Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Bilah, Pane, Kotapinang, dan Kualuh. 99 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Bagan 4.1: Tingkat Kebangsawanan Melayu di Sumatera Utara dan Hubungannya dengan Rakyat Sesuai dengan peralihan zaman, maka penggolongan kebangsawanan ini tidak lagi dominan dan memberi pengaruh yang luas dalam konteks sosial dan budaya etnik Melayu di Sumatera Utara, walaupun biasanya golongan bangsawan tetap mempergunakan gelarnya. Kini yang menjadi orientasi kehidupan sebagian besar etnik Melayu adalah menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan didasari oleh adatistiadat Melayu. 4.5 Sistem Kekerabatan Dalam kebudayaan Melayu sistem kekerabatan berdasar baik dari pihak ayah maupun ibu, dan masing-masing anak wanita atau pria 100 Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu mendapat hak hukum adat yang sama. Dengan demikian termasuk ke dalam sistem parental atau bilateral. Sistem kekerabatan etnik Melayu di Sumatera Utara, berdasar kepada hirarki vertikal adalah dimulai dari sebutan yang tertua sampai yang muda: (1) nini, (2) datu, (3) oyang (moyang), (4) atok (datuk), (5) ayah (bapak, entu), (6) anak, (7) cucu, (8) cicit, (9) piut, dan (10) entah-entah. Hirarki horizontal adalah: (1) saudara satu emak dan ayah, lelaki dan wanita; (2) saudara sekandung, yaitu saudara seibu, laki-laki atau wanita, lain ayah (ayah tiri); (3) saudara seayah, yaitu saudara laki-laki atau wanita dari satu ayah lain ibu (emak tiri); (4) saudara sewali, yaitu ayahnya saling bersaudara; (5) saudara berimpal, yaitu anak dari makcik, saudara perempuan ayah; (6) saudara dua kali wali, maksudnya atoknya saling bersaudara; (7) saudara dua kali impal, maksudnya atok lelaki dengan atok perempuan bersaudara, (8) saudara tiga kali wali, maksudnya moyang laki-lakinya bersaudara; (9) saudara tiga kali impal, maksudnya moyang laki-laki sama moyang perempuan bersaudara. Demikian seterusnya empat kali wali, lima kali wali, empat kali impal, dan lima kali impal. Sampai tiga kali impal atau tiga wali dihitung alur kerabat yang belum jauh hubungannya. Dalam sistem kekerabatan Melayu Sumatera Utara, dikenal tiga jenis impal: (1) impal larangan, yaitu anak-anak gadis dari makcik kandung, saudara perempuan ayah. Anak gadis makcik ini tidak boleh kawin dengan pihak lain tanpa persetujuan dari impal larangannya. Kalau terjadi, dan impal larangan mengadu kepada raja, maka orang tua si gadis didenda 10 tail atau 16 ringgit. Sebaliknya jika si gadis itu cacat atau buruk sekali rupanya, impal larangan wajib mengawininya untuk menutup malu "si gadis yang tidak laku;" (2) impal biasa, yaitu anak laki-laki dari makcik; (3) impal langgisan, yaitu anak-anak dari emakemak yang bersaudara. 101 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Bagan 4.2: Kekerabatan Melayu Secara Vertikal 102 Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu Bagan 4.3: Struktur dan Sebutan Anak pada Keluarga Inti Melayu Sumatera Timur 103 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Terminologi kekerabatan lainnya untuk saling menyapa adalah sebagai berikut: (1) ayah, (2) mak (emak, asal katanya mbai); (3) abang (abah); (5) akak (kakak); (6) uwak, dari kata tua, yaitu saudara ayah atau mak yang lebih tua umurnya; (7) uda, dari kata muda, yaitu saudara ayah atau mak yang lebih muda umurnya; (8) uwak ulung, uwak sulung, saudara ayah atau mak yang pertama baik laki-laki atau perempuan; (9) uwak ngah, uwak tengah, saudara ayah atau emak yang kedua baik laki-laki atau perempuan; (10) uwak alang atau uwak galang (benteng), saudara ayah atau mak yang ketiga baik laki-laki atau perempuan; (11) uwak utih, uwak putih, saudara ayah atau mak yang keempat baik laki-laki atau perempuan; (12) uwak andak, wak pandak, saudara ayah atau mak yang kelima baik laki-laki atau perempuan; (13) uwak uda, wak muda, saudara ayah atau mak yang keenam baik laki-laki atau perempuan; (14) uwak ucu, wak bungsu, saudara ayah atau mak yang ketujuh baik laki-laki atau perempuan; (15) wak ulung cik, saudara ayah atau mak yang kedelapan baik laki-laki atau perempuan; dilanjutkan ke uwak ngah cik, uwak alang cik, dan seterusnya. Jika anak yang dimaksud adalah anak dari andak misalnya, maka panggilan pada nomor 8 sampai 11 tetap uwak, dan nomor 12 dan seterusnya ke bawah disebut dengan: (1) ayah uda, (2) ayah ucu, (3) ayah ulung cik, (4) ayah ngah cik, (5) ayah alang cik, dan seterusnya. Terminologi kekerabatan lainnya adalah sebagai berikut: (1) mentua atau mertua, kedua orang tua istri; (2) bisan (besan) sebutan antara orang tua istri terhadap orang tua sendiri atau sebaliknya; (3) menantu, panggilan kepada suami atau istrinya anak; (4) ipar, suami saudara perempuan atau istri saudara laki-laki, demikian juga panggilan pada saudara-saudara mereka; (5) biras, suami atau istri saudara istri sendiri. Misalnya Ahmad berbiras dengan Hamid, karena istri Ahmad adalah kakak kandung istri Hamid. Kedua saudara itu dalam keadaan bersaudara kandung. Dapat juga sebaliknya. (6) semerayan (semberayan), yaitu manantu saudara perempuan dari mertua perempuan; (7) kemun atau anak kemun, yaitu anak laki-laki atau perempuan dari saudara-saudara kita; (8) bundai, yaitu panggilan aluran ibu yang bukan orang bangsawan; (9) bapak, kata asalnya pak, yang berarti ayah atau entu (artinya suci), dapat juga dipanggil abah; (10) emak, berasal dari kata 104 Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu mak, yang bererti ibu atau bunda, yang melahirkan kita (embai); (11) abang, yang berasal dari kata bak atau bah yang artinya saudara tua laki-laki; (12) kakak, berasal dari kata kak, yang berarsaudara tua perempuan; (13) adik, yang berasal dari kata dik, artinya saudara lelaki atau perempuan yang lebih muda; (14) empuan, artinya sama dengan istri, tempat asal anak; (15) laki, yaitu suami. Dalam kebudayaan Melayu Sumatera Timur dikenal pula istilah puang, yaitu saudara laki-laki atau wali dari pihak ayah atau ibu. Seterusnya dikenal pula istilah kekerabatan anak beru, yang terdiri dari anak beru kontan dan anak beru condong. Yang dimaksud anak beru kontan adalah suami atau istri dari anak kandung. Di sisi lain, anak beru condong adalah aluran menantu dari pihak ayah atau ibu.3 Jadi institusi perkawinan adalah berfungsi pula untuk menjaga turai kekerabatan ini, yang menjamin keturunan menurut hukum Allah. 3 Istilah puang, anak beru, serta impal ini, dalam konteks kebudayaan Sumatera Utara, memperlihatkan adanya hubungan antara kebudayaan Melayu dan Karo. Di dalam kebudayaan Karo, dikenal tiga unsur kekerabatan utama, yang ditarik dari dua faktor yaitu hubungan darah dan perkawinan, yaitu: (a) senina (saudara satu klen yang ditarik dari garis keturunan ayah); (b) kalimbubu, yaitu pihak yang memberikan istri; dan (c) anak beru, yaitu pihak yang menerima istri. Secara umum, dalam kebudayaan Karo ini, dikenal rakut sitelu (tiga kerabat utama), merga silima (lima klen utama orang Karo: Karo-karo, Sembiring, Perangin-angin, Tarigan, dan Ginting), dan tutur siwaluh (pertuturan yang delapan). Ketiga aspek ini, yaitu rakut sitelu, merga silima, dan tutur siwaluh, dapat digambarkan sebagai berikut. 105 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Melalui perkawinan, struktur kekerabatan dan juga hubungan darah akan berlaku sebagaimana ketentuan adat dan hukum Tuhan. Jika normanorma ini dijalankan dan dilestarikan, maka akan sinambunglah kebudayaan Melayu tersebut. Salah satu ekspresinya adalah dalam upacara atau istiadat perkawinan. 106 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya BAB V UPACARA ADAT PERKAWINAN MELAYU SEBAGAI TERAPAN GAGASAN BUDAYA 5.1 Pengenalan Upacara adat perkawinan dalam kebudayaan mana pun di seluruh dunia ini, merupakan terapan atau aplikasi dari gagasangagasan tentang perkawinan. Selanjutnya, institusi perkawinan itu sendiri adalah fenomena yang universal, yang terdapat dalam semua kelompok manusia. Institusi perkawinan ini melibatkan semua unsur kebudayaan masyarakatnya. Di dalamnya terkandung nilainilai religi, filsafat hidup, adat-istiadat, norma-norma, sistem-sistem sosial, sanksi-sanksi sosial, dan lain-lainnya. Namun bagaimanapun, perkawinan ini biasanya memerlukan tiga masa proses, yaitu (a) pendekatan terhadap calon pasangan hidup dan persiapan, (b) upacara perkawinan itu sendiri, dan (c) berbagai aktivitas selepas upacara perkawinan. Dalam bahasa yang singkat ketiga adalah praupacara perkawinan, upacara perkawinan, dan pasca upacara perkawinan. Sebagai sebuah terapan dari gagasan budaya, maka upacara perkawinan ini, biasanya memiliki nilai-nilai universal, serta sekaligus berbagai karakteristik yang khas, yang membedakan antara satu perkawinan dengan perkawinan yang lain, baik dalam sebuah budaya etnik atau antara berbagai budaya etnik. Di antara nilai-nilai universalnya adalah melaksanakan kehendak Tuhan dalam mengisi salah satu siklus hidup, yaitu lahir, tumbuh dan berkembang, kawin, mengembangkan generasi manusia, dan akhirnya meninggal. Nilai-nilai lain adalah peran manusia dalam 107 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya melanjutkan keturunan. Selain itu, perkawinan juga mengandung nilai mengeratkan kekerabatan, serta nilai-nilai lainnya. Karakteristik khas perkawinan di dalam kebudayaan Melayu, di antaranya tercermin dalam kenyataan sosial bahwa antara satu kawasan dengan kawasan lain, walau dasar adatnya sama, namun tejadi perbedaan-perbedaan, baik dalam skala kecil maupun besar. Bahkan dalam satu kawasan budaya yang sama pun, misalnya sama-sama di dalam kebudayaan Melayu Bilah di Labuhanbatu Sumatera Utara misalnya, antara satu kampung dengan kampung lainnya juga terjadi perbedaan. Demikian pula antara satu telangkai dengan telangkai lainnya juga pasti memiliki variasi pantun, ungkapan, pepatah, juga kalimat-kalimat komunikasi verbal1 yang saling berbeda. Semua persamaan dan perbedaan di dalam aktivitas upacara adat perkawinan Melayu ini, merupakan kekayaan khasanah di dalam kebudayaan. Upaya menyeragamkan dari para pelaku dan pakar budaya Melayu memang dapat dilakukan. Namun upaya ini yang paling relevan adalah berupa penentuan tata aturan garis-garis besar dalam upacara adat perkawinan, yang merupakan inti dari upacara tersebut. Di sisi lain, perbedaan-perbedaan yang telah terjadi di dalam tradisi lisan ini, janganlah dihapuskan atau dicoba untuk diseragamkan dan direduksi. Upaya memperkecil perbedaan dalam aktivitas upacara adat perkawinan Melayu ini, akan 1 Dalam konteks upacara adat perkawinan Melayu ini, komunikasi verbal memegang peranan utama. Komunikasi verbal ini terutama dikendalikan dan diarahkan oleh dua orang telangkai yang mewakili pihak laki-laki dan pihak perempuan. Bahasa yang digunakan sepenuhnya adalah bahasa Melayu, yang memiliki nilai-nilai etika dan estetikanya tersendiri. Bahasa ini adalah mengekspresikan peradaban Melayu, seperti yang diungkap dalam pribahasa: yang kurik kundi, yang merah saga; yang baik budi, yang indah bahasa. Dalam konteks ilmu komunikasi, telangkai menjadi komunikator (sumber pesan), dan sekaligus sebagai komunkate (penerima pesan). Peserta upacara adalah sebagai komunikate juga. Dalam konteks ilmu linguistik, telangkai adalah tenor, peserta upacara adalah pelibat, dan lingkungan upacara adalah medan (fields). 108 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya menyebabkan “pemiskinan” kreativitas, dan mendistorsikan kekayaan budaya Melayu di bidang upacara perkawinan. Untuk itu, di dalam buku ini, sebelum kami mendeskripsikan upacara adat perkawinan Melayu, yang berbasis pada penelitian lapangan, 2 terlebih dahulu kami melakukan studi terhadap variasivariasi ipacara adat perkawinan Melayu. Studi ini melibatkan beberapa tulisan tentang adat perkawinan Melayu yang ditulis oleh beberapa penulis Melayu. Kemudian kami membandingkannya, dan seterusnya mencari berbagai perbedaan dan persamaan. Akhirnya kami akan memerikan tata aturan secara garis-garis besar dalam upacara adat perkawinan Melayu, sesuai dengan studi yang kami lakukan ini. 5.2 Variasi Upacara Adat Perkawinan Melayu Variasi-variasi adat perkawinan Melayu, seperti sudah diuraikan di atas, dapat dilihat dari berbagai tulisan mengenai adatistiadat ini. Variasi-variasi tersebut, menurut penafsiran kami dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Yang pertama adalah upacara adat perkawinan Melayu secara umum tumbuh dan berkembang dalam tradisi lisan. Dalam tradisi lisan, semua hal dicatat dalam memori para pelaku dan yang menyaksikannya. Dengan transmisi yang seperti ini, maka akurasi detil-detil upacara memang tidaklah seragam, namun beragam. Kedua, dalam tradisi lisan Melayu pun selain transmisi kelisanan, kebebasan para pelaku dan pendukung budaya untuk melakukan variasi-variasi memang menjadi bahagian dari pengayaan budaya, bukan sebaliknya. Dalam tradisi musik Melayu sebagai contoh, variasi melodi, bukan saja terjadi antara kawasan 2 Dalam konteks kerja di dalam ilmu pengetahuan, seperti pada antropologi, sosiologi, etnomusikologi, antropologi, komunikasi, dan lainnya; studi lapangan menjadi ciri utamanya. Kerja ini meliputi pengamatan terlibat, wawancara, perekaman kegiatan yang diteliti, pemilihan peristiwa, pendekatan kepada informan kunci dan pangkal, dan lain-lainnya. 109 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya yang satu dengan yang lainnya, misalnya antara Melayu Deli dengan Melayu Riau, tetapi juga antara penyanyi atau antara pemusik. Misalnya variasi atau improvisasi gaya melodi yang dinyanyikan Nur ‘Ainun adalah berbeda dengan yang dinyanyikan oleh Asnidar Darwis atau Laila Hasyim. Gaya permainan akordion Amat Setia dengan Tengku Muhammad Daniel, Al-Haj, dalam mengiringi Serampang Dua Belas juga dapat dikatan berbeda variasinya. Demikian pula dalam konteks upacara perkawinan, pantun-pantun dan ungkapan-ungkapan yang disajikan oleh Tengku Syahdan tentu saja berbeda dengan pantun-pantun dan ungkapanungkapan yang ditampilkan oleh Tengku Ismail. Demikian pula untuk berbagai tradisi lisan lainnya. Yang ketiga, para penulis yang menulis mengenai upacara adat perkawinan Melayu pun, variasi-variasi tulisan yang mereka hasilkan juga mengacu kepada sistem tradisi lisan yang seperti itu. Para penulis ini, baik sebagai telangkai, budayawan, ilmuwan budaya, seniman, dan lainnya umumnya dilatarbelakangi oleh pengalaman hidupnya dalam mengingat, mencatat, menganalisis, dan menafsirkan tentang upacara adat perkawinan ini. Pengalaman hidup itu termasuk di antaranya ilmu pengetahuan yang diterima, kemampuan intelektual, kemampuan menganalisis dan menafsir, dan hal-hal sejenis. Tetapi bagaimanapun, tulisan-tulisan mereka ini sangatlah berguna dalam rangka mendukung tradisi lisan upacara adat perkawinan Melayu yang secara umum ditransmisikan secara kelisanan. Berikut ini adalah beberapa contoh deskripsi upacara perkawinan adata Melayu yang menjadi fokus kajian kami. Bahan tulisannya berbentuk deskripsi ringkas, makalah, blog, website, dan buku. Materi kajian komparatif terhadap variasi dan persamaan upacara adat perkawinan Melayu ini, adalah buku-buku dan tulisan singkat berikut. 1. Yuscan, tahun 2007 yang lalu, menulis sebuah buku yang bertajuk Falsafah Luhur Adat Istiadat Perkawinan Melayu Sumatera Timur, yang diterbitkan di Medan oleh Biro Adat Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia. Buku 110 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya 2. 3. 4. 5. 6. 7. ini juga diedit oleh dua orang editor yaitu Noor Fuady, S.E. dan Edi Syahputra, S.T. Terdiri dari 122 halaman isi ditambah v halaman bahagian awal. Menggunakan huruf font Time New Roman 12 dengan satu setengah spasi. O.K. Moehad Sjah, tahun 2012 menulis buku yang temanya perkawinan Melayu, yang bertajuk Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur. Buku ini diterbitkan di Medan oleh Universitas Sumatera Utara Press. Secara keseluruhan buku ini terdiri dari bahagian isi sebanyak 172 halaman ditambah bahagian awal sebanyak vii halaman, disertai ilustrasi berupa foto-foto yang dicetak berwarna. Menggunakan huruf font arial 11, dengan spasi satu setengah. O.K. Gusti bin O.K. Zakaria bin H. O.K. M. Saad bin Datuk Muda Thaib, menulis sebuah buku yang juga bertema adat perkawinan Melayu, yang bertajuk Upacara Adat-Istiadat Suku Melayu Pesisir Sumatera Timur. Buku ini terdiri atas 66 halaman, menggunakan huruf font Times New Roman ukuran 11. Happy Susanto, M.A. dan Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M. menulis sebuah artikel yang bertema upacara adat perkawinan Melayu, dengan judul “Adat Perkawinan Melayu” yang diunggahnya dalam laman web yang beralamat di http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1545) Ari Ansera, menulis sebuah artikel yang bertajuk “Tradisi Pernikahan Adat Melayu Kepulauan Riau.” Artikel ini dimuat (diunggah) penulisnya dalam sebuah situs web yang beralamat di http://arigentser29serasan.blogspot.com/2013/11/tradisi-pernikahan-adat-melayu.html. Wardah Fazri yang menulis artikel tentang proses perkawinan adat Melayu Palembang dari satu upacara ke upacara lainnya. Ia menguraikan secara general perkawinan ini. Adapun alamat laman webnya adalah pada http://female.kompas.com/read/2010/ 02/02/19150389/Prosesi.Pernikahan.Adat.Palembang Chandra, menulis sebuah artikel yang bertajuk “Adat-istiadat Melayu Kayung Kalimantan Barat.” Tulisan ini diunggahnya 111 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya dalam laman web. Yang beralamat di http://makalahkuchandras.blogspot.com/2011/04/adat-istiada-melayu-kayungkalimantan.html). 8. Satu blog yang tidak menuliskan nama penulisnya. Blog ini secara umum mendeskripsikan “Adat Perkawinan Melayu di Melaka” Malaysia. Blog ini secara umum memerikan tahapantahapan upacara yang terdapat di dalam kebudayaan masyarakat Melayu yang ada di Melaka Semnanjung Malaysia. Hampir sama dengan di tempat-tempat lainnya, adat perkawinan Melayu di Melaka juga terdiri dari upacara pra perkawinan, pelaksanaan perkawinan, dan pasca perkawinan. Namun bagaimana pun, upcara adat perkawinan Melayu Melaka ini memiliki ciri-ciri khususnya juga. Adapun blog tersebut adalah pada http://www. jalan-akhirat.wordpress.com/2010/03/01/adat-per-kawinanmelayu-melaka Tabel 5.1: Perbandingan Proses Perkawinan Adat Melayu Oleh Beberapa Penulis Proses Perkawinan Adat Melayu Penulis 1. Yuscan 112 Keterangan Pra-Upacara Nikah Kawin Upacara Nikah Kawin Pasca Upacara Nikah Kawin merisik dan meminang 1. merisik berbisi 2. merisik kecil 3. merisik besar 4. meminang akad nikah 1. persiapan keluarga lelaki 2. persiapan keluarga perempuan malam berinai a. berinai curi b. berinai kecil c. berinai besar pengantin bersanding 1. mengantar pengantin a. persiapan kel. lelaki b. persiapan keluarga perempuan c. tertib acara pelaksanaan 1. naik sembah 2. malam bersatu (lepas pantang) 3. meminjam pengantin Upacara nikah kawin kawasan Sumatera Timur (Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, dan Labuhanbatu) Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya 2. menyambut kedatangan rombongan pengantin lelaki a. silat tarik b. hempang batang c. silat laga d. tukar tepak sirih di halaman e. tukar memayungi pengantin f. perang bertih/ bunga rampai g. tari persembahan h. sepatah kata di halaman i. hempang pintu j. pijak batu lagan k. sembah mertua l. hempang kipas/ pelaminan m. tepung tawar n. makan nasi hadaphadapan/ nasi belam o. mandi bedimbar 2. O.K. Moehad Sjah 1. merisik halus (tepi) 2. memanggil penghulu telangkai 3. merisik tengah/ besar dan meminang 4. menjamu sukut 5. mengantar sirih besar 1. mengucap/akad nikah 2. penyerahan mahar 3. berandam dan mandi berhias 4. berinai curi 5. berinai tengah 6. berinai besar/malam berinai 7. mengantar pengantin a. hempang batang (batang-batang) b. hempang pintu c. pengembang tikar d. buka tabir e. buka kipas 8. acara tampung tawar 9. makan nasi adap-adapan 10. cemetuk pertama dari suami 11. naik sembahan 12. cemetuk dari keluarga 13. serah terima pengantin 1. mandi bedimbar/ mandi berhias 2. meminjam pengantin 3. malam bersatu/ malam pengantin a. naik halangan b. cemetuk kedua dari suami 4. kunjungan pengantin baru 5. hari megang Upacara nikah kawin kawasan Sumatera Timur (Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, dan Labuhanbatu) 3. O.K. Gusti 1. merintis 2. jamu sukut 3. risik kecil 4. risik besar 5. meminang 1. akad nikah 2. ikat janji 3. malam berinai curi 4. malam berinai kecil 5. malam berinai besar 1. naik sembahan 2. malam bersatu 3. naik halangan 4. meminjam pengantin Upacara nikah kawin kawasan Sumatera Timur (Tamiang, Langkat, Deli, 113 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 6. naik emas 6. mengantar pengantin lelaki 7. hempang pintu 8. buka kipas 9. bersanding 10. tepung tawar 11. cemetuk 12. makan nasi ulam 13. serah terima pengantin Lelaki 14. mandi bedimbar 5. memulangkan pengantin 6. mebat 7. membawa pindah pengantin perempuan Serdang, Batubara, Asahan, dan Labuhanbatu) 4. Hapy Susanto dan Mahyudin Al Mudra A.Proses Perkawinan 1. merisik dan meninjau 2. merasi 3. melamar, meminang, dan bertunangan B. Persiapan menuju hari perkawinan 1. gotong royong 2. pembacaan barzanji dan persediaan jamuan C. Upcara Perkawinan 1. upacara menggantunggantung 2. upacara berinai 3. upacara berandam 4. upacara khatam Quran 5. Upacara perkawinan 5.1 upacara antar belanja atau seserahan 5.2 upacara akad nikah 5.3 upacara menyembah 5.4 upacara tepung tawar 5.5 upacara nasehat perkawinan 5.6 upacara jamuan santap bersama 6. Upacara langsung 6.1 Upacara mengarak pengantin lelaki 6.2 Upacara menyambut arak-arakan pengantin lelaki 6.3 upacara bersanding 6.4 upacara resepsi perkawinan 6.5 upacara ucapan aluAluan dan tahniah 6.6 upacara pembacaan doa 6.7 upacara santap nasi hadap-hadapan 6.8 ucapan tahniah D.Pasca-Upacara Perkawinan 1. malam keluarga 2. upacara mandi damai Upacara nikah kawin kawasan Riau (Riau Daratan dan Kepulaun Riau) 5. Ari Ansera 1. menjodoh 2. merisik 3. memberitahu/ 1. bertanggas 2. gantung-gantung 3. berandam 114 Upacara nikah kawin kawasan Riau (Riau Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya menyampaikan hajat 4. meminang 5. berjanji waktu 6. mengantar belanja 7. ajak-mengajak 8. beganjal 4. berinai kecil 5. serah terima hantaran 6. akad nikah 7. berinai besar dan tepuk tepung tawar 8. berarak Daratan dan Kepulaun Riau) 6. Wardah Fajri 1. madek (melihat) 2. menyenggung 3. ngebet 4. berasan 5. mutuske kato 6. ngantarke belanjo 1. akad nikah 2. munggah Upacara nikah kawin kawasan Palembang dan Sumatera Selatan 7. Chandra 1. meresik-resik 2. membuk mulut 3. ngantar tande 4. ngantar barang 1. akad nikah 2. ngundoh menantu 3. malam pacar 4. bepepinjam 5. bepepajang 6. bepapar 7. ngunjam bale 8. begegantung 9. mengarak 10. mandi 11. makan nasi adap 12. ngaleh turun Upacara nikah kawin Melayu Kayung Kalimantan Barat 8.[blog jalanakhirat] 1. mencari jodoh 2. penentuan jodoh 3. merisik 4. meminang 5. hantar tanda 6. hantaran belanja 7. menyerambi bertunang 8. menjemput tetamu 9. berinai curi 10. berinai kecil 11. berandam 12. mandi berhias 1. pernikahan 2. berinai besar 3. hari langsung 4. sirih lat-lat 5. suap-suap 6. masuk ke bilik pengantin 7. makan damai 8. makan waris 1. jemput menantu 2. malam satu 3. membalas tidur Upacara nikah kawin Melayu Melaka, Malaysia Seperti terurai di dalam tabel di atas, yaitu delapan upacara perkawinan, baik dalam tahap pra-upacara nikah, saat nikah, dan selepas nikah, di berbagai kawasan di dunia Melayu, terdapat berbagai kesamaan, dan sekaligus juga perbedaan. Semua ini memang menjadi sifat dari adat perkawinan Melayu yang 115 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya ditransmisikan melalui tradisi lisan. Perbedaan ini menjadi kekayaan untuk adat perkawinan Melayu. 5.3 Contoh Deskripsi Upacara Adat Perkawinan Melayu Pada bahagian ini, kami para penulis mendeskripsikan tahaptahap, terminologi, dan ciri-ciri khas adat perkawinan etnik Melayu—dengan contoh kasus dalam wilayah kebudayaan Sumatera Utara. Sumber-sumber deksripsi upacara adat perkawinan ini, terutama berdasarkan kepada penelitian lapangan, ditambah dengan buku-buku mengenai perkawinan Melayu, seperti: Rais B.N. (1983); Hasbullah Ma’ruf (1977); O.K. Gusti (2005); O.K. Moehad Sjah (2012); Muhammad Ali Zainuddin dan O.K. Gusti (1995); Yuscan (2007), dan lainnya—yang kami lakukan dalam dua dasawarsa terakhir, dengan tumpuan para informan kunci, yaitu para telangkai di Sumatera Utara (lihat daftar informan). Sumbersumber ini didapati langsung di lapangan, dengan cara melihat, merekam, kemudian menganalisis melalui kerja laboratorium ilmuilmu sosial, budaya, dan seni. Dalam kontkes kebudayaan masyarakat Melayu di kawasan Sumatera Utara (yang menjadi fokus deskripsi dalam sub bab ini), biasanya dalam tataran konseptual dan praktik, menjadi sebuah pikiran sebuah keluarga, jikalau anaknya yang telah dewasa (melampaui usia akil baligh), baik laki-laki maupun perempuan belum mendapatkan jodoh untuk berumah tangga. Biasanya syarat dewasa ini selalu dihubungkan dengan pengertian dalam agama Islam. Pengertian dewasa menurut agama Islam bagi kaum wanita adalah telah mendapat haid (menstruasi) sekitar umur 12 tahun, sedangkan untuk jenis kelamin lelaki apabila suaranya telah menjadi parau (berubahnya suara untuk dari suara khas anak-anak menjadi suara yang khas dewasa). Maknanya seorang lelaki ataupun wanita dapat dinikahkan oleh tuan kadi apabila telah dewasa (akil baligh atau mukalaf menurut hukum Islam). Menurut penjelasan para informan, sebuah perkawinan yang normal, menurut kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan 116 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya masyarakat Melayu, biasanya melalui satu masa pertunangan (ikat janji antara pihak wanita dan pihak pria) yang lamanya sekitar satu tahun. Dalam masa pertunangan itulah seorang anak dara (gadis) dan jejaka (bujang) berkenalan. Masa perkenalan itu, pada umumnya, selalu terjadi pada beberapa musim yang berkenaan dengan aktivitas mengolah makanan pokok etnik Melayu yaitu padi, seperti: (a) musim menanam padi, (b) musim mengetam padi, dan (c) musim mengirik padi. Ini terjadi dalam masyarakat Melayu yang agraris. Dalam masyarakat Melayu yang bercorak bahari atau maritim, proses perkenalan itu bias saja melalui berbagai pesta adat, seperti menghanyut lancang (jamu laut), upacara gebuk, pesta perkawinan, dan lain-lainnya. Masa perkenalan dan pertunangan ini, biasanya akan dinaikkan tarafnya dengan masa perkawinan. Dalam tata cara perkawinan yang direstui kedua orang tua ataupun keluarga masing-masing pihak, biasanya menurut konsep budaya tradisional Melayu di kawasan ini, menurut pengamatan yang telah kami lakukan, dilaksanakan dengan mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut, yaitu: 1. merisik kecil melalui seorang telangkai (perantara); 2. merisik resmi dan meminang; 3. menyorong tanda sebagai pengabsahan pertunangan; 4. ikat janji; 5. jamu sukut, yaitu kenduri untuk memberitahukan kepada keluarga masing-masing pihak; 6. berinai; 6.1 berinai curi 6.2 berinai kecil 6.3 berinai besar 6.4 pertunjukan tari dan musik inai 6.5 hiburan pertunjukan budaya 7. akad nikah; 117 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 7.1 keluarga lelaki, 7.2 keluarga perempuan, 7.3 tuan kadi, 7.4 saksi-saksi akad nikah, 7.5 pelaksanaan akad nikah, 7.6 pembacaan sighat taklid oleh mempelai lelaki, 7.7 doa 7.8 marhaban dan barzanji 8. mengantar pengantin; 8.1silat tarik 8.2 hempang batang 8.3 silat laga 8.4 tukar tepak sirih di halaman 8.5 tukar memayungi pengantin 8.6 perang bertih/ bunga rampai 8.7 Tari Persembahan (Makan Sirih) 8.8 sepatah kata di halaman 8.9 hempang pintu 8.10 pijak batu lagan 8.11 sembah mertua 8.12 hempang kipas/ pelaminan 8.13 tepung tawar 8.14 makan nasi hadap-hadapan/ nasi belam 8.15 hiburan seni pertunjukan 9. mandi bedimbar/mandi berhias 10. resepsi pernikahan (rumah atau di hotel) 11. meminjam pengantin 12. malam bersatu/malam pengantin 13. naik halangan 14. cemetuk kedua dari suami 15. kunjungan pengantin baru 16. hari megang 118 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya 5.3.1 Merisik Kecil Melalui Seorang Telangkai Dalam kebudayaan Melayu, apabila dalam sebuah keluarga tertentu terdapat seorang anak lelaki yang telah dewasa, maka biasanya orang tua selalu membicarakan dan memberikan arahanarahan mengenai jodoh anaknya. Secara umum, pihak lelaki yang mencari pasangan hidupnya—sedangkan pihak perempuan hanya menunggu datangnya seorang jejaka yang dapat menjadi pasangan hidupnya. Jika kedua orang tua dari pemuda tersebut telah mendapatkan calon untuk anaknya, maka secara diam-diam, tanpa diketahui orang lain, dia memanggil seorang wanita yang berusia relatif tua, yang sudah biasa mengerjakan tugas sebagai telangkai.3 Tugas perempuan tua ini, antara lain melihat tingkah laku si gadis dan kemungkinan orang tua si gadis menerima peminangan. Pekerjaannya itu dilakukan dengan beberapa cara, misalnya membawa kain untuk dijual kepada si gadis, untuk mendapatkan informasi yang diinginkan oleh orang tua si pemuda. Wanita tua yang mempunyai tugas tersebut dinamakan juga “penghubung tidak resmi”—sedangkan pekerjaannya dinamakan merisik tidak resmi. Situasi awal ini sepenuhnya adalah untuk mengetahui tentang anak gadis yang direncanakan akan dijodohkan dengan pemuda tersebut, dengan keterlibatan kedua orang tua si pemuda. Setelah telangkai tidak resmi tadi, yaitu biasanya perempuan tua, menyelesaikan tugasnya, maka peranan penghubung berikutnya dialihtugaskan kepada penghulu telangkai tidak resmi. Kadangkala pihak keluarga pemuda tersebut langsung saja mengangkat penghulu telangkai resmi, tanpa merujuk dahulu kepada penghulu telangkai tidak resmi. 3 Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) versi elektronik, yang dimaksud dengan telangkai (te-lang-kai) n 1. Perantara dalam perkawinan juga dalam perundingan: akhirnya pemuda itu menyuruh seorang telangkai meminang gadis idamannya untuk menjadi istrinya; dalam telangkai artinya sudah dipinang orang; 2. Perantara atau wakil, orang tua yang menjadi telangkai di penjualan kerbau itu; menelangkai, v menanyakan (meminang) gadis untuk: dia menelangkai anaknya yang tertua; penelangkaian, artinya n peminangan (dengan perantara telangkai). 119 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Penghulu telangkai resmi ini diangkat oleh pihak yang berkuasa, yaitu pihak keluarga yang memberi tugas, menelangkai. Biasanya sebagai jerih payahnya, dia diberi sepasang kain, setelah pekerjaan selesai, yaitu selepas upacara perkawinan berlangsung. Pada umumnya penghulu telangkai resmi meneruskan pekerjaan yang dilakukan oleh penghulu telangkai tidak resmi. Pertanyaan maupun pembicaraan tidak lagi secara sembunyisembunyi atau diam-diam, melainkan secara terus terang oleh pihak lelaki. Merisik ini juga dilakukan oleh perempuan tua sebagai perantara pihak perempuan dengan pihak laki-laki. Penghulu telangkai dilambangkan sebagai jembatan maksud (kepentingan dalam konteks adat perkawinan Melayu) oleh pihak laki-laki maupun perempuan. Meskipun seorang penghulu telangkai dapat berkata terus terang, namun dalam konteks peradaban masyarakat Melayu, pembicaraan untuk menyatakan maksud mestilah dengan memakai bahasa-bahasa kiasan yang sarat dengan makna-makna tersembunyi, dan lazim pula menggunakan pantun. Ini sesuai dengan ungkapan Melayu: Yang kurik kundi, Yang merah saga, Yang baik budi, Yang indah bahasa. Ungkapan Melayu tersebut menunjukkan bagaimana seorang yang menjadi tipe ideal di dalam masyarakat. Ada dua ciri utamanya, yaitu orang yang baik, yang tentunya menjadi tauladan kepada semua orang adalah ia yang baik budinya, seperti bertakwa kepada Allah, suka membantu kepada sesama, sopan santun dalam perbuatannya, tidak menyakiti hati orang lain, dan secara umum ia sangat menjaga hubungan antara sesama manusia dan makhluk. Tipe ideal yang kedua adalah seseorang itu akan dinilai baik, apabila ia sopan dalam berkomunikasi melalui bahasa verbal dan juga nonverbal. Bahasa adalah sebuah sarana komunikasi yang 120 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya perlu diekspresikan dengan segala keindahannya. Demikian maksud ungkapan tersebut di atas, yang sangat populer di kalangan masyarakat Melayu. Kembali lagi ke dalam deskripsi upacara adat perkawinan Melayu. Dalam tahap awal ini, telangkai tidak resmi, yaitu perempuan setengah baya tadi, mengemukakan maksud dari pihak keluarga lelaki, dengan contoh kalimat-kalimat sebagai berikut. Jikalau saya perhatikan secara seksama, maka kini anak gadis encik itu sudah remaja yang sempurna, bukan saja lahiriahnya tetapi juga batinnya. Anak dara encik itu oleh Tuhan dianugerahi kecantikan, sehingga “kumbang” mana pun sangat mengaguminya. Selain itu, gadis encik sangat rajin menjalankan ibadah, sopan dan santun, tutur kata, dan prilakunya mencerminkan wanita sholehah. Tentu saja akan berbahagialah pemuda yang dapat mempersunting bunga encik di Taman Firdausi ini, yang serba sempurna. Oleh karena itu, saya datang bukan sembarang datang, datang saya berlandas adat negeri, seperti kata pantun: Kalau pergi ke Kota Lama, Singgahlah pula di Kuala Linggi, Kami bawakan ikan tenggiri, Kami datang hendak bertanya, Bunga semerbak harum mewangi, Bolehkah kumbang kami menyeri? Ibunda atau bisa juga utusan dari pihak si gadis menjawab pertanyaan telangkai dengan kalimat-kalimat seperti contoh berikut ini. Wahai encik telangkai, tersanjung benar kami keluarga bekeluarga di rumah ini, atas pujian encik. Namun begitu pun, usahlah terlalu diangkat benar, nanti kami 121 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya jatuh pula, ibarat manusia lupa tempat bumi berpijak, terlalu terkagum pada angkasa lepas. Tentang anak gadis kami, usia masih setahun jagung, darah pun baru setampuk pinang, bak tumbuhan masih baru tumbuh. Namun demikian, usul puan akan kami terima dan pertimbangkan, dan akan kami musyawarahkan secara keluarga. Namun seperti kata pantun Melayu Luas sungguh padang sabana, Merata-rata pokok ilalang, Kalau boleh kami bertanya, Dari mana datangnya kumbang? Berdasarkan komunikasi verbal melalui kalimat demi kalimat dan sekerat pantun di atas, ucapan penghulu telangkai dijawab oleh orang tua perempuan si gadis, dengan bekata pula dengan maksud tidak menolak dan tidak menerima langsung, karena sangat tercela secara kultural, jika pada merisik pertama berterus terang mengatakan hal yang sebenarnya. yakni ingin mengawinkan anak daranya. Namun sebaliknya berbahaya pula, jika langsung menolak sesuatu pertanyaan orang, karena boleh saja diguna-gunai melalui ilmu kebatinan (supernatural) dan dapat mendatangkan penyakit, misalnya sijundai (polong). Dengan mempertimbangkan hal-hal religi, budaya, dan sosial tersebut, maka ibu si gadis berusaha menerangkan dengan kata-kata yang baik dan merayu, siapa yang menyuruhnya mencari menantu untuk anak lelakinya dan dengan mengemukakan segala kebaikan yang ada pada pihak lelaki. Selepas telangkai ini pulang dan menemui pihak keluarga lelaki, maka bermusyawarah dan bermufakatlah keluarga si anak dara, apakah pinangan tersebut diterima atau tidak dengan sangat rahasia. Musyawarah internal keluarga ini tidak boleh didengar oleh orang-orang luar. Sebab kemungkinan ada pihak keluarga lain yang mempunyai anak gadis, yang ingin menjodohkan anaknya ini dengan lelaki yang diam-diam telah merisik tadi. 122 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Biasanya, sebelum keputusan diambil, maka pihak keluarga si gadis ini mengirimkan seorang kepercayaannya untuk mencari keterangan mengenai asal-usul dan keadaan keluarga pemuda (bujang) tersebut untuk menjadi pertimbangan. Apabila keterangan tersebut memuaskan dan dapat diterima, maka pihak si gadis memanggil beberapa kerabat keluarganya (orang tua-tua) untuk meminta pertimbangan. Jika keputusan dalam musyawarah tersebut menerima risikan pertama, maka dikabarkan dan diberitahu kepada perempuan sebagai telangkai dari pihak laki-laki untuk datang ke rumah si gadis tersebut. Pihak si gadis menyatakan melalui kalimat-kalimat yang beridentitas kental kultural Melayu sebagai berikut. Apa yang encik telangkai tanyakan tempo hari itu, kami telah pun memusyawarahkannya dalam situasi yang mesra. Apa yang telah ditanyakan itu, telah kami pahami maksud, tujuan, dan makna-makna di balik pertanyaan tersebut. Bak kata ungkapan Melayu, gayung telah pun bersambut nampaknya, layar pun telah terkembang, kapal pun siap untuk menuju lautan dalam. Namun demikian encik puan, ada yang menjadi ketidaknyamanan kami, yaitu anak gadis kami ini sebenarnya masihlah remaja, belum sempat belajar sempurna, baik ilmu dunia dan juga ilmu akhirat, anak kami ini serba kekurangan di sana-sini. Kami pun takut kelak di kemudian hari menjadi bahan umpatan masyarakat pula. Hisap rokok tembakau Cina, Dibawa pedagang dari Palembang, Bunga kami tiada sempurna, Baru mekar kemarin petang. Namun demikian, sepenuhnya kami serahkan keputusan ini kepada pihak encik. 123 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Telangkai yang menjadi utusan pihak keluarga pemuda, akan memberikan pandangan pula, dengan contoh kalimat-kalimat seperti berikut ini. Wahai encik yang kami muliakan, apa yang telah menjadi perhatian kami selama ini, telah kami kaji secara mendalam dan meluas. Apa yang kami kemukakan dan ketahui tentang anak gadis mak cik itu, benar adanya, bukan menyanjung dan juga bukan menghibur, memang demikianlah adanya. Tanak beras menjadi bubur, Dimakan dengan garam dan santan, Kumbang kami tak dapat tidur, Ibarat pungguk rindukan bulan. Keputusan kami sudah bulat, bak bulat kata di mufakat, bulat air di pembuluh. Apa yang menjadi jawaban encik sekeluarga ini, akan saya sampaikan sepenuhnya kepada pihak sang jaka dan keluarganya. Semoga Allah merestui niat dan keinginan baik ini. Dari penjelasan kalimat demi kalimat seperti terurai di atas, maka dapat dipahami secara komunikasi verbal, bahwa pihak si gadis sebenarnya menerima pinangan dari pihak pemuda melalui telangkai yang diutusnya. Seterusnya, tentu saja berita gembira ini akan segera disampaikan telangkai tersebut kepada pihak orang tua pemuda. Dalam budaya Melayu, oleh karena telangkai ini telah berhasil melakukan tugas risikannya, maka biasanya ia mendapat upah berupa pakaian atau baju (atau apapun) sebagai cenderamata dari pihak laki-laki. Juga sebagai ucapan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada telangkai ini. 124 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya 5.3.2 Merisik Resmi dan Meminang Proses selanjutnya dalam konteks upacara perkawinan ini adalah merisik resmi dan meminang. Acara ini, menurut adat Melayu dilakukan oleh penghulu telangkai secara resmi. Keluarga pihak laki-laki biasanya ingin mengetahui apa saja syarat-syarat menurut adat Melayu dan agama Islam yang harus dipenuhi, untuk melengkapi proses ini. Hal-hal yang menyangkut persyaratan tersebut, ditanyakan dengan pasti dan rinci oleh pihak perempuan kepada penghulu telangkai resmi. Selepas saja mendengar dan menerima keputusan dari pihak perempuan, maka pihak laki-laki mengadakan musyawarah di antara sanak keluarga untuk membicarakan masalah merisik dan meminang secara resmi, yang harinya telah disepakati bersama antara kedua-dua belah pihak. Proses merisik dan meminang menurut adat dilakukan secara terpisah. Masing-masing dilaksanakan dengan waktu yang berbeda. Namun yang lazim dikerjakan, biasanya dilakukan sekaligus mengingat akan waktu dan tenaga yang besar. Oleh karena itulah, maka banyak yang melakukan dua pekerjaan ini agar ringkas. Acara merisik dan meminang ini dilakukan oleh anak beru (menantu laki-laki dan perempuan) serta beberapa orang tua lakilaki dan perempuan yang telah berumah tangga, yang jumlahnya sekitar 10 orang. Dalam konteks ini, penghulu telangkai bertugas sebagai saksi, sebab penghulu tersebut dahulu sudah bertugas sebagai penghulu (penghubung) resmi. Dalam perspektif adat perkawinan Melayu di Sumatera Timur, umumnya anak gadis atau janda-janda muda tidak dibenarkan ikut, karena alasan tata susila, etika, moral, dan norma adat Melayu memang mengaturnya sedemikian rupa. Pada saat kunjungan acara risikan atau peminangan ini, secara adat pihak laki-laki membawa tepak sirih yang akan ditunjukkan secara visual dan disertai penjelasan verbal untuk acara tersebut. Biasanya jumlah tepak sirih yang dibawa paling sedikit 5 buah, 125 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya kadang kala berjumlah 7 buah atau lebih. Jumlah ini selaras dengan tingkat kedudukan sosialnya. Tepak-tepak yang berjumlah ganjil tersebut ialah: (1) tepak pembuka kata atau tepak merisik, (2) tepak meminang, (3) tepak janji, (4) tepak bertukar tanda, dan (5) beberapa tepak penggiring. Gambar 5.1: Beberapa Perlengkapan untuk Acara Merisik dan Meminang Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013 Di sisi lain, di rumah keluarga perempuan telah pula disediakan beberapa tepak pula. Diantaranya ialah: (1) tepak nanti, (2) tepak janji, dan (3) tepak bertukar tanda. Selain dari tepak-tepak tersebut, disediakan pula makanan-makanan yang dihidangkan apabila acara peminangan telah pun selesai. Ini merupakan jamuan bersama antara pihak utusan (biasanya keluarga) laki-laki dan perempuan, yang menjalin silaturahmi lebih akrab lagi. 126 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Dalam acara peminangan ini, kedua-dua orang tua tidak boleh hadir—baik orang tua perempuan maupun orang tua laki-laki. Hanya sanak keluargalah yang saling berhadapan, terutama anak beru yang paling penting dalam konteks pertemuan peminangan ini. Merekalah sebagai orang semenda (semando). Selain itu, tata cara adat Melayu menentukan bahwa kaum perempuan biasanya masuk dan duduk di ruangan dalam rumah, di sisi lain golongan laki-laki, baik dari pihak perempuan maupun laki-laki duduk di ruangan depan atau tengah rumah, yang disaksikan oleh penghulu telangkai sebagai penengah (wasit) adat, apabila ada kesalahpahaman antara kedua belah pihak, yang berkepentingan ini. Gambar 5.2: Salah Satu Suasana Merisik dan Meminang Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013 Dalam kebudayaan Melayu, biasanya, selain anak beru, masing-masing pihak menyediakan seorang ahli dalam bersilat lidah dalam konteks merisik ini. Bersilat lidah ini kadang-kadang memerlukan masa yang berjam-jam lamanya. Ada pula pihak laki127 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya laki terpaksa kembali untuk lain kali (diulangi kembali) karena tidak bisa memaparkan kehendak secara teratur. Apabila hal ini terjadi sangat memalukan bagi pihak laki-laki. Pada umumnya untuk mencapai atau memberi tahu kehendak yang diwakilinya dipakailah bahasa kiasan, ibarat, ungkapan, bidal, pantun, dan sejenisnya. Apabila maksud dikatakan dengan tegas, eksplisit, atau terang-terangan, maka juru bicara tersebut dapat dikatakan kasar dan tidak tahu adat sopan santun. Jika dikatakan secara berterus terang, maka datanglah pantun sindiran yang berbunyi sebagai berikut. Yang merah hanya saga, Yang kurik hanya kundi, Yang indah hanya bahasa, Yang baik hanyalah budi. Dari pantun di atas menyatakan bahwa berbahasa yang baik dan indah menandakan budi yang baik pula. Apabila terdengar pantun seperti di atas maka sangatlah malu dan jika orang yang mendapat celaan tersebut kurang sabar, maka boleh saja terjadi perdebatan. Pada waktu meminang, anak beru diapit oleh ahli-ahli bersilat lidah dan duduk berdekatan berhadapan. Apabila anak beru tidak boleh bersilat lidah maka diserahkan pimpi¬nan berkata kepada ahli tersebut, setelah anak beru memberikan sepatah dua kata sebagai pembuka kata. Sebenarnya segala sesuatunya telah diketahui oleh kedua belah pihak, misalnya siapa yang akan dipinang, berapa emas kawinnya, kapan menikah dan bersatu. Namun agar permasalahan diselesaikan dengan kata mufakat, maka dalam peminangan inilah waktu yang tepat untuk menguji kepintaran berkata-kata dengan tidak langsung menerusi kiasan, sehingga maksud yang akan dicapai tidak boleh dielakkan lagi oleh pihak lain. Apabila kedua belah pihak telah bertemu dalam konteks komunikasi peminangan, maka pihak perempuan menyorongkan 128 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya sebuah tepak sirih (sirih nanti) kepada pihak tamu sebagai penyambut tamu. Salah seorang wakil bicara pihak perempuan berkomunikasi verbal dengan contoh sebagai berikut. Luas nian alam ciptaan Tuhan, Terbentang luas bumi dan lautan, Kita lihat matahari pun bersinar terang, Sang bayu pula bertiup sepoi, Di angkasa sana awan berarak mesra, Burung-burung pun ria bersenandung ceria, Kami lihat tetamu datang dengan tujuan, Berbinar wajah alamat sentosa, Maaf kami terima di gubuk usang, Membuat kami ahlil bait bersuka cita, Sesuai kata pantun: Pokok dadap tumbuh di pantai, Ditanam juga di tepi muara, Mohon dan maaf majelis ramai, Sambutlah salam dengan suara. Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Puji dan syukur kepada Allah, Salawat dan salam kepada Rasulullah, Semua kita mendapat rahmah, Sebagai umat yang bertuah. Burung belibis terbang mangawan, Hinggap sebentar di pohon alpukat, Tetamu datang apa gerangan, Harus disambut secara adat. Kalau pergi ke Kota Pinang, Luasnya kebun merata-rata, 129 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Makan sirih sekapur seorang, Pertanda mula asalnya kata. Kalimat demi kalimat dan dua kerat pantun di atas sebenarnya mengkomunikasikan dan mengekspesikan kegembiraan pihak perempuan sebagai tuan rumah, kedatangan para tetamu yang bukan sembarang tetamu. Pesan komunikasinya disampaikan dengan katakata yang merendah hati. Setelah itu salah satu juru bicara yang mewakili pihak perempuan menyorongkan tepak sirih, untuk dimakan, dan resmilah pembuka kata dari tuan rumah. Setelah itu, maka pihak utusan laki-laki memakan sirih tersebut, dan selanjutnya menyorongkan sebuah tepak pembuka kata yang telah terbuka. Di beberapa daerah di kawasan budaya Melayu Sumatera Timur, norma adatnya adalah gagang atau (hulu) sirih tersebut menuju ke arah pihak perempuan. Arah yang sedemikian rupa, selalu diibaratkan dengan sebilah keris. Jadi gagang keris yang menghadap pihak perempuan, kalau sebaliknya dapat diartikan sebagai “menghunus” keris. Namun di beberapa tempat ada juga yang sebaliknya. Juru bicara dari pihak laki-laki kemudian berkomunikasi, dengan menggunakan contoh beberapa bait (kerat) pantun sebagai berikut. Kalau pergi ke Kota Palembang, Bawalah majun barang secawan, Bukan datang sembarang datang, Datang kami membawa pesan, Sampan tertambat di tepi kuala, Anak dagang berniaga batik, Semoga kita dalam lindungan Allah, Akan diijabah-Nya niat yang baik. Tuan rumah yang amat kami hormati, datang kami bukan sembarang datang, datang dengan sebuah tujuan, sesuai amanah pihak keluarga, yaitu: 130 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Tinggilah tinggi si matahari, Anak kerbau mati terlambat, Sudah lama kami mencari, Tempat berteduh di hujan lebat. Di ufuk timur mentari jingga, Awan berarak berlarat-larat, Menuju hari menjelang siang, Selaras dengan amanah keluarga, Kami pun sudah bulat dan mufakat, Kumbang kami nak menyeri kembang. Pada saat menyodorkan tepak, maka secara budaya pihak laki-laki haruslah berhati-hati, yaitu jangan sampai “ekor” sirih tersorong lebih dahulu. Jikalau terjadi hal yang seperti ini, maka akan terjadi respons verbal dan isyarat dari pihak perempuan. Mereka akan mengatakan, "Ganjil juga tetamu kita ini, ekor pula duluan maju.” Mereka berbicara tidak secara langsung ditujukan kepada pihak laki-laki, tetapi seolah-olah mereka berbicara sesamanya sambil tertawa. Maka pihak laki-laki yang mendapat “malu,” dan berarti “kemenangan adat” berada di pihak perempuan. Walaupun begitu, biasanya pihak laki-laki cepat memperbaiki kesalahan melalui pantun, dengan contoh sebagai berikut. Nelayan menangkap ikan siakap, Buritan berpindah arah daksina, Manusia itu tempatnya khilaf, Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Anak nelayan pulang ke daik, Membawa sesukat buliran padi, Kami ibarat telurnya itik, Kasih ayam barulah menjadi. 131 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Secara umum, dalam konteks kebudayaan Melayu, pihak lakilaki harus lebih banyak menerima sindiran dan bersifat mengalah. Ini merupakan prinsip dari kalah untuk menang, biarlah mengalah asal saja maksudnya meminang tercapai. Lebih jauh lagi, apa yang dikomunikasi-kan melalui ungkapan, kias, ibarat, tamsil, kalimat, seloka, dan seterusnya ini merupakan bentuk ekspresi budaya, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan silaturrahmi, bukan kalah atau menang dalam berhujah. Kemudian selepas itu, tepak sirih bagi pihak laki-laki tersebut diedarkan oleh pihak perempuan sambil masing-masing mengambil sirih sekapur lalu dimakan. Setelah tepak pertama selesai, dilanjutkan dengan menyorong tepak sirih oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, sambil berkomunikasi secara verbal sebagai berikut. Wahai Datuk yang amat kami hormati, telah jauh perjalanan kami, banyak lembah yang telah dituruni, banyak bukit telah didaki, jalan berkelok kanan dan kiri, karena satu hajatlah maka kami datang kemari. Begitu pula sudah lengkap rasanya para utusan kami yang hadir, disertai sirih adat dan sirih iring-iringan. Semua ini terungkap di dalam pantun Melayu. Tangkaplah tangkap anak sembilang, Ditangkap nelayan di pagi hari , Duduk kami duduk berbilang, Karena hajat memberi sirih. Menandak indah tuan puteri, Diiring rentak alunan rodat, Bukan sirih sembarang sirih, Sirih kami berpandu adat, Musafir lata bermain rebab, Indah alunan menyentuh hati, 132 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Sirih menyembah pinang menghadap, Jari sepuluh junjungan duli. Demikianlah kata mula dari kami, moga-moga tanya berjawab, gayung pun bersambut. Kata-kata dan pantun terurai di atas, adalah cara tetamu (pihak lakilaki) menyatakan maksud dengan memulakan kata-kata yang bersifat menghormati tuan rumah (pihak perempuan). Selepas saja pihak lelaki berkata, maka pihak perempuan menjawab atau membalasnya dengan berpantun pula, dengan contoh sebagai berikut. Leka benar terbangnya elang, Terbang tinggi di bawah awan, Duduk kita duduk berbilang, Adat yang mana nak dikeluarkan? Anak dara pergi ke pekan, Pergi membeli setumpuk limau, Sirih risik belum pun dimakan, Apa hajat rombongan tetamu? Seterusnya, pihak laki-laki memulai kalimat demi kalimat dengan berhati-hati dan penuh dengan makna-makna kultural, untuk mengkomunikasikan maksud mereka datang ke rumah pihak perempuan. Contohnya adalah sebagai berikut. Ampunkan kami datuk! Sebenarnya, sebesar-besar bumi, lebih besar lagi maksud yang kami kandung. Setinggi-tinggi gunung, lebih tinggi harapan yang kami gantungkan pada datuk. Seluas-luas samudera, lebih luas lagi cita-cita yang kami titipkan kepada datuk. Oleh karena itulah, maka kami rombongan datang kemari, tidak menghiraukan panas, tidak menghiraukan hujan, tidak 133 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya pula hirau atas haus dan dahaga. Tujuh tempat, tujuh sungai, tujuh samudera telah kami lalui. Seterusnya onak dan duri pun dilanda, dilanggar, dikuakkan, agar tujuan dapat dicapai. Sesuai dengan yang kami dengar, datuk adalah orang yang arif lagi bijaksana, tahu dikias tahu di umpama, paham di adat paham di resam, memegang adat dan kebiasaan, amanah dengan janji dan kata-kata, dari dahulu sampai sekarang. Datuk juga tahu siapa salah siapa ditimbang, adat dan agama jadi pegangan. Seterusnya dari pada itu datuk, kami lihat besarlah sudah anak emas dan sibiran tulang di rumah, anak dari Wan Ulong Syahruddin dan Encik Maimunah binti Harun, umur sudah setahun jagung, darah sudah setampuk pinang, laki-laki remaja lajang, menjadi hutang ibu dan bapa, menjadi tanggungan seluruh keluarga, baru sebahagian hutang dibayar, pertama karat pusat dan berayun; kedua berkhitan sunat Rasul; ketiga mengaji khatam Qur'an; keempat diajar sopan dan santun. Hanya tinggal satu lagi, Ikan todak ikan tenggiri, Dimakan dengan daun pegaga, Menjamu semua si warga desa, Hukum adat hukum negeri, Wajib disuruh berumah tangga. Baru sempurna umat manusia. Desau angin telah berlalu, risik merisik himbau menghimbau, berdesir meninggalkan kesan, kait berkait rotan di hutan, berjalin menjadi satu. Datuk yang kami muliakan, jika kami umpamakan, anak kami ini bak seekor kumbang sedang terbang, telah melintas melalui taman, terpandang ia pada jambangan, indah letaknya di tengah ruang, berisi pula bunga rupawan sedang mengembang. Pulanglah kumbang 134 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya mendapatkan keluarga, menceritakan bunga yang sedang mekar, siang malam teringat saja, tiada lupa barang sebentar. Singapura berupa-rupa, Sapu tangan jatuh di lumpur, Hendak lupa tak bisa lupa, Lupa sebentar di kala tidur. Naik tinggi menjulang asap, Sampailah pula di atas kayangan, Kalau cinta sudah meresap, Mabuk kepayang berkepanjangan. Hati kumbang dilanda asmara, pungguk merindukan bulan purnama, Adam pun mencari Siti Hawa, Khais pula rindukan Laila, begitu pula Romi sayangkan Yulia, kekasih hati sepanjang masa, dengan harapan dan ridhanya Allah. Oleh karena itu datuk, seluruh keluarga telah bermusyawarah, dan kemudian diberi tugas kepada kami, untuk bertanya secara adat, menyampaikan maksud dengan resmi, agar sampai hajat di hati. Bolehkah kami dengan cerana, memberi sirih dengan setangan, bolehkah kami datang bertanya, adakah kembang dalam jambangan? Sekian kata dari kami datuk. Seterusnya juru bicara dari pihak wanita pun menjawab pertanyaan dan maksud dari pihak laki-laki, dengan untaian kalimat demi kalimat, seperti contoh berikut ini. Wahai tuan-tuan yang kami hormati, semua kalimat sebagai penyampai hajat telah kami dengar, telah kami pahami isi, tujuan, dan maknanya. Sepertinya sang kumbang ini tukang pesiar, pengalaman terbang diasah benar, sampai-sampai kembang kami yang tersepuk di 135 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya ujung dunia pun tak lewat sasar. Oleh karena tuan datang menjenguk, maka hati kami pun menjadi sejuk, dan seluruh keluarga sudah pun berembuk. Kata ini kami sampaikan, sebelum sirih kami makan. Namun demikian wahai tuan, memang hanya satu taman kami, tetapi banyak kembang tumbuh di sini, lebih satu di dalam puri. Ikan bilis si ikan teri, Dimakan orang masa kenduri, Tidak takutkah kumbang menyeri, Melihat bunga melingkar duri? Lain dari itu tuan-tuan dan puan-puan, sungguhpun kembang belum bertali, bunga tetap dijaga famili, para pengawal menjaga silih berganti, mengharap keamanan dari Ilahi, berguru tujuh langit dan bumi. Itulah kata dari kami. Berikutnya, pihak laki-laki yang mendengar ucapan dari juru bicara pihak perempuan ini tambahlah gembira, sebab pihak perempuan nampaknya memberikan harapan-harapan baik. Oleh karena itu, pihak laki-laki kembali meneruskan kata-katanya, seperti contoh berikut ini. Tuan-tuan dan puan-puan yang kami hormati dan muliakan sekalian, puri mulia ini punya penunggu, masyhur semerbak ke segenap rantau, ke hilir sampai tanjung, ke hulu juga sampai ke gunung. Bukan kembang sembarang kembang, mawar hidup jadi suntingan, suci dan bersih sangat cemerlang, berkelip rupawan bagaikan bintang. Berulang kepada pangkal, dikaji dari alif, dihitung dari mula, hidup manusia dikandung adat, mati dikandung tanah, kunci kata pada kias. Sirih bersusun, pinang berlombok, tepak berbaris menunggu sapa, anak beru 136 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya beriring menunggu ijin, dari datuk seluruhnya, menyuruh mengabdi kepada kembang, mawar bunga suntingan, yang tertua dalam jambangan, untuk dijaga dan disayangi, lebih dari anak sendiri. Segala syarat jadi pikulan, tiada ingkar dari janji, baik yang sudah, baik yang kemudian, asalkan lulus adat dan syarat. Bagaimanapun, jika ringan akan kami jinjing, jika berat akan kami pikul, bukan maksud berada-ada, hanya takut akan Ilahi. Seperti dikemukakan dalam pantun Melayu, datuk. Mari menjolok buah pepaya, Ditadah dengan selembar batik, Tolonglah jawab kami bertanya, Bolehkah bunga hendak dipetik? Tuan-tuan dan puan-puan yang kami hormati sekalian, demikianlah kata-kata pangkal dari kami. Seperti yang sudah dideskripsikan sebelumnya, ketika proses perisikan yang tidak resmi, yang dilakukan oleh utusan berupa seorang wanita tua, dan kemudian semuanya akan diselesaian pada proses pinangan ini, sebenarnya tuan rumah yaitu pihak perempuan telah berjanji akan menerimanya. Namun kemudian, dalam konteks adat, tuan rumah bertindak seolah-olah dia bertahan dan “tidak mudah” meluluskan hajat dan permintaan dari pihak laki-laki yang datang. Setelah melalui beberapa "cengkerama" (yaitu bersahut-sahutan komunikasi verbal), secara budaya segala persoalan jadi selesai dengan sendirinya dan semuanya akan gembira sambil bercengkerama pula, terutama pada waktu makan bersama. Ketika pihak laki-laki mengemukakan hajat atau keinginan pada saat kedatangannya itu, seluruh yang hadir di dalam ruangan dalam (yaitu kelompok perempuan) dan ruang muka (yaitu kelompok laki-laki) mendengarkan dengan penuh perhatian sopan santun, tiada bercakap-cakap. Selepas saja pihak laki-laki berhenti 137 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya berkata untuk menanti kalimat sambutan, maka pihak perempuan menguraikan pula sambil berkata-kata dan berpantun secara estetis, dengan contoh sebagai berikut. Wahai tetamu kami yang terhormat, teringatkan kami akan pantun Melayu, Pohon cendawan pokok kerakap, Hidup berlambak di batang kayu, Sirih pinang sudah pun dihadap, Syarat dan janji tentukan dahulu. Gunung Sinabung di atas bukit, Asap keluar sedikit pekat, Bukan niatan hendak mempersulit, Tetapi itulah tuntutan adat. Wahai tuan-tuan yang budiman, dari pangkalan kami melihat perahu datang berlayar, menentang arus pasang dan naik, sarat pula muatan berbagai ragam, penuh haluan sampai ke buritan. Sampai pula pada syarat kiasan. Menyuruh berpikir dan berpedoman, takut bencana datang, hidup manusia dikandung adat. Hukum adat hukum negeri, adat belum lagi bertukar. Dari kampung menuju kota, Dengan tujuan mengambil gaji, Sumpah Melayu tetap setia, Tiada ingkar terhadap janji. Lain dari itu datuk, kita belajar dari sumpah Demang Lebar Daun, asal adat Melayu lama, siapa mengubah janji, bubungan rumah akan terjungkir, kaki tiang meninjau langit. Lembah sama ditimbun, gunung sama diratakan, ke hulu sama berakit, ke hilir sama berenang, 138 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya rotan berjalin tetap berjalin, berjalin menjadi satu, kutuk manusia engkar janji, mawar tetap belum bertali, hanya berdetik di dalam hati. Tuan-tuan dan puan-puan sekalian, bunga ditanam belum terkopek, jumlah mawar lebih dari satu, sama tua sama muda, sama umur setahun jagung, sama darah setampuk pinang, sama akal tumbuh keluar, dunia akhirat sedang dituntut, mungkin nanti jadi umpatan, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna. Kemudian pula tuan-tuan, semua kata telah didengar, semua kalimat telah dikaji, kunci kata pada kias, awal pangkal bagi kami, untuk rembukan anak beru, menentukan hajat yang baik. Semua untuk mengikat silaturrahmi. Tuan-tuan dan puan-puan yang kami muliakan, kembali lagi kepada pangkal kata. Anak beru penggalang perahu, berdasarkan adat bersendikan syarak, timbul dan tenggelam untuk kaum, segala kata cukup rukunnya, manusia cukup dengan syaratnya, lajang remaja tiada cedera, tiada sakit tiada cacat, berdaya lahir disertai batin, boleh mengikat anak tangga, mengganti kayu selang, bernama bergelar seperti orang, kalau sah dapat dikata, kalau dijanji baru menjadi, baru disambung soal lanjutan, jika tidak hanya berjamu, kaum kerabat dari jauh. Tuan-tuan, demikian kata dari kami (Rais, 1983). Selepas saja pihak perempuan mengemukakan jawaban seperti contoh terurai di atas, makapihak laki-laki berembuk dan bermusyawarah untuk memberi jawaban tentang segala pernyataan pihak perempuan tersebut. Biasanya pertanyaan-pertanyaan pihak perempuan berkisar kepada hal-hal berikut ini: (1) siapa yang hendak meminang? (2) siapa yang hendak dipinang? (3) apakah yang meminang itu dalam keadaan sehat? (4) apakah yang meminag tersebut tidak cacat dan cedera? Dalam konteks dan norma adat Melayu, pihak perempuan dan laki-laki yang telah membuat kesepakatan adat dalam peminangan 139 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya ini, tidak dibenarkan ingkar janji dan tidak keberatan pula untuk melanjutkan pembicaraan tentang risikan (peminangan) ini, biasanya mereka mendapat jawaban yang menyenangkan. Pertanyaan seperti tersebut di atas lazim dikemukakan, untuk menghindarkan perselisihan yang kemudian mungkin timbul. Risikan dan pinangan yang dilakukan sekarang ini adalah resmi, disaksikan oleh penghulu telangkai. Misalnya, lain yang dihajat untuk dipinang, lain yang didapat waktu bersanding atau jadi istri, karena salah sebut nama waktu meminang. Yang dihindari adalah lain nama laki-laki yang disebut waktu merisik, lain pula laki-laki yang datang waktu menikah. Di sisi lain, harus pula diketahui dan berjanji bahwa calon-calon pengantin ini tidak cedera dan harus waras pikirannya, dan bila nanti waktu nikah ada cacat ataupun sesuatu yang tidak memenuhi janji, maka masing-masing pihak bisa menolak. Setelah pihak laki-laki berembuk, maka mereka pun berkomunikasi secara verbal yang ditujukan kepada pihak perempuan dengan contoh sebagai berikut. Tuan-tuan dan puan-puan sekalian bak kata pantun Melayu, Pisang emas bawa berlayar, Masak sebiji di atas peti, Hutang emas dapat dibayar, Hutang budi dibawa mati. Pulau Pandan jauh di tengah, Di balik pulau Si Angsa Dua, Hancur badan dikandung tanah, Budi yang baik dikenang juga. Matahari terang bersinar, Bunga seroja bunga kesturi, Sidik itu artinya benar, Amanah berarti menepati janji, 140 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Tuan-tuan dan puan-puan sekalian, seperti sirih pulang ke gagang, seperti pinang pulang ke tampuk. Tidak ada sultan menolak sembah, hidup dikandung adat, mati dikandung tanah, bar mati anak asal jangan mati adat, adat diisi lembaga dituang, hidup sandar menyandar, hukum tiada berat sebelah, janji berlaku kedua belah pihak. Dari kami, diakukan siapa engkar siapa ditimbang, cacat tidak cedera pun tidak, sawan gila luar janji, lain dijanji lain tiba, tiada kembali pulang balik, bila mati pulang tanda, tanda hilang dengan percuma, bila pria mungkir janji, dara ingkar ganda tanda, nilai lipat dua kali. Kemudian selain dari itu tuan-tuan, banyak rantau telah ditempuh, yang kecil sudah besar, yang bingung sudah cerdik, yang lajang sudah remaja putra, Awang Abdullah nama timangan, Awang Abdullah bin Andak Zakaria nama lengkap Melayunya, oleh keluarga dihajatkan akan berumah tangga, dengan mawar kuntum utama, Zubaidah binti Wan Ulong Syahruddin. Pemuda kami serahkan, untuk membawa kain basahan, untuk menyisip lantai yang patah, untuk mengikat si anak tangga, untuk merumput jalan ke tepian, untuk dijadikan suruhsuruhan, timbul-tenggelam dengan kerabat, hidup mati di tangan datuk. Tuan-tuan dan puan-puan sekalian, sekianlah kabar dari kami (diolah dari Rais, 1983) Pembicaraan pada saat peminangan, terutama yang terfokus pada janji kedua belah pihak, sebenarnya sangat meriah antara yang merisik dan yang kena risik. Kadang-kadang timbul sindirsindiran, umpama-umpama, kiasan-kiasan, tamsil, pantun-pantun, dan sebagainya. Komunikasi yang terjadi biasanya adalah spontanitas, dengan makna-makna yang mengandung dampak kultural. 141 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Oleh karena pihak laki-laki telah memberikan janji yang dituntut oleh adat yang berdasar kepada hukum Islam (syarak), maka pihak perempuan berpura-pura bermusyawarah dan berembuk lagi untuk memberi kata-kata putus. Adapun contohnya adalah seperti yang terurai di bawah ini. Tuan-tuan yang mulia, teringat kami akan pantun Melayu yang mengatakan sebagai berikut. Majun itu menjadi obat, Cepat diminum agar mujarab, Sesuai dengan aturan adat, Pinangan tuan kami kan jawab. Jika digantang tiga gantang, Jika disukat tiga sukat, Jika direntang akan panjang, Elok dipuntal supaya singkat. Oleh karena itu tuan, anak beru telah berembuk, impal larangan pun telah ditanya, saudara ayah telah berpesan, saudara ibu telah berkata, mencari rasi baik agar bertuah, ternak membiak padi pun melimpah, kaum sekampung turut gembira, terang nampaknya cuaca. Semua ini tercermin dalam pantun orang tua-tua kita di zaman dahulu. Tangkap gurami tangkaplah sotong, Diletak pula di atas batu, Kalau Allah hendak menolong, Air pasang kapal pun lalu. Tuan-tuan yang mulia, mawar belum lagi bertali, datang kumbang hendak menyeri, lulus adat luluslah syarak, sirih risik akan dimakan. Hanya sebuah pesan lagi, tuantuan yang mulia. Pantun tua pantunlah hikmat, berguna 142 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya untuk semua masyarakat, baik di dunia maupun akhirat, yaitu: Dari Kisaran ke Tebingtinggi, Lanjutkan jalan ke Kota Gebang, Jikalau bunga asalnya wangi, Sampai layu pun jangan dibuang. Ikan kerapu dan cumi-cumi, Dimakan anak di tengah laman, Walau runtuh langit dan bumi, Cinta abadi sepanjang zaman. Tumbuh bunga di semak belukar, Wangi menebar sampai ke pekan, Manusia hanya bisa ikhtiar, Allah yang akan menentukan, Sekianlah kata putus dari kami. Mendengar kata-kata komunikatif berupa keputusan bulat ini, maka pihak mempelai laki-laki pun meresponnya dengan senang hati dan lega. Ada yang tersenyum, ada pula yang berbisik-bisik riang, ada yang diam-diam saja, namun dipendam rasa gembira tersebut di dalam hati. Pihak pengantin perempuan pun mulai memakan sirih risik yang dari tadi hanya dihadap saja. Kemudian proses berikutnya sirih ini disorongkan ke ruang dalam untuk dimakan oleh wanita-wanita yang ada di sana. Selepas saja acara menyorongkan tepak merisik selesai, maka acara berikutnya dilanjutkan dengan menyorong tepak janji sekali gus meminang. Pada saat menyorongkan tepak janji ini, tidak sesulit seperti acara merisik sebelumnya. Ini dilakukan oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan sambil berkomunikasi verbal, dengan contoh komunikasi verbal yang estetis sebagai berikut. 143 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Tuan-tuan dan puan-puan sekalian, yang kami muliakan dan dirahmati Allah, kami ini nampaknya seperti minta tanah, lulus satu minta dua, dikasih dua minta tiga, diberi suasa minta emas, diberi emas meminta intan, diberi bumi minta langit, diberi bulan minta bintang, tak ada puasnya. Namun maksud kami tidak begitu, hanya menunaikan adat negeri, menempati bisikan janji. Jika ada ijin dari datuk, dari seluruh kaum kerabat, ingin kami menunaikan tugas, setelah merisik, maka langsung meminang, Zubaidah binti Wan Ulong Syahruddin, untuk Awang Abdullah bin Andak Zakaria. Namun demikian pun terserahlah kepada datuk, apalagi kami sadar sesadarsadarnya sebagai orang yang meminta, hanya mengharap kasihnya orang, hanya menanti sayang yang dimohonkan, sekian pinta kepada datuk. Sesudah itu pula, pihak perempuan akan menjawab apa yang ditanyakan oleh pihak laki-laki tadi, dengan contoh kalimat demi kalimat sebagai berikut. Tuan-tuan yang kami muliakan, demi Allah Subhana Wataala, Sang Khalik pencipta bumi, galaksi, alam dan seisinya, kami tiada akan ingkar janji, begitu di lidah begitu di hati, begitu diucap begitu dilakukan, begitu diputus begitu diterapkan. Tidak usahlah tuan merendah benar, yang besar tetap besar, sekali emas tetaplah emas, pinangan bersyarat kami terima, dengan seijin kerabat dan keluarga. Kalimat tersebut di atas menandakan bahwa pihak perempuan menerima sirih pinangan dari pihak laki-laki, lalu dimakan dan dibagikan oleh kaum wanita yang ada di ruangan dalam. Dengan demikian selesailah acara peminangan ini, dan kemudian dilanjutkan dengan acara menyorong tanda (bertunangan). 144 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya 5.3.3 Menyorong Tanda (Bertunangan) Pada acara menyorong tanda ini, pihak laki-laki mengeluarkan sebuah cincin dalam sebuah kotak, yang telah dihiasi dengan kain berwarna kuning dengan manik-manik keemasan sehingga kelihatan indah. Cincin beserta tempatnya, diberikan kepada pihak perempuan bersama sebuah tepak pengiring. Demikian juga pihak perempuan menyorongkan sebuah tanda dalam suatu wadah yang telah dihiasi pula dan disertai sebuah tepak. Tanda tersebut boleh berupa cincin (biasanya emas) ataupun perhiasan lainnya seperti kalung, atau gelang. Perhiasan-perhiasan tersebut berfungsi sebagai tanda bahwa kedua calon mempelai telah terikat pada tali pertunangan. Pihak laki-laki akan menyatakan maksudnya, melalui kalimat, dengan contoh sebagai berikut. Setelah itu datuk, mengantar sirih bersatu, bersanding seminggu kemudian, serentak dengan mahar yang ketinggalan, di waktu bulan purnama raya, menyinari alam bahagia. Moga-moga berhasil dengan pinta. Demikianlah dari kami datuk. Seterusnya pihak perempuan pun akan menyahut hajat dari pihak laki-laki tersebut, dengan komunikasi verbal, seperti terurai pada wacana berikut ini. Wahai tuan-tuan yang kami muliakan, memang sudah menjadi hal biasa yang sedemikian, demi waktu tuan-tuan melakukan desakan, supaya semua cepat dikerjakan, mungkin sebab kerjanya ringan, tak menunggu lagi waktu berterusan. Namun demikian, lain situasinya untuk kami, atap yang bocor harus diganti, lantai rumah haruslah rapi, segala persiapan harus direncanakan, kaum kerabat diberi tahu. Wahai tuan-tuan, maklumlah kami akan menerima 145 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya pengantin baru, tak dapat bekerja separuh hati, padi di lalang dikaut dulu, lembu dan kerbau dijerat pula. Oleh karena itu wahai tuan-tuan yang mulia, ijinkan pula kami meminta dan mengharap, persetujuan nikah pada pagi Syawal, tepat pada sepuluh hari bulan, serentak naik setengah mahar, sama dengan tiga puluh dua ringgit, mengantar sirih dan bersanding, menaikkan mahar setengah lagi, pada petang empat belas hari Syawal. Kemudian dari itu tuan-tuan, adat lama jangan dibuang, hak kaum wajib diberikan. Batang-batang dan hempang pintu, masing-masing seperempat mahar, buka tabir, kembang tikar, buka kipas masing-masing seperdelapan mahar. Begitulah adat Melayu Lama, jadi pegangan anak cucu. Demikianlah tuan-tuan adat di sini, waktu nikah pakaian haji. Seperti terurai dalam paragraf-paragraf di atas, maka sebenarnya pihak laki-laki meminta agar acara adat perkawinan dilangsungkan secepatnya jika disetujui oleh pihak perempuan, dan juga pihak perempuan menyatakan kesanggupannya untuk mempersiapkan dan melaksanakan acara adat perkawinan ini dalam masa yang tidak begitu lama lagi. Kedua belah pihak juga bermusyawarah untuk memutuskan syarat-syarat adat beserta harinya yang telah ditentukan. Setelah pembicaraan tersebut, maka pihak laki-laki memusyawarahkan pula pada anggota keluarga tentang permintaan pihak wanita. Apabila disetujui, sirihpun ditukarkan dan dimakan bersama-sama antara kedua belah pihak. Jika ada sirih pengiring, maka sirih ini diberikan kepada pihak wanita. Dengan selesainya aktivitas di atas, maka acara peminangan telah rampung. Biasanya secara budaya diadakan jamuan makan oleh pihak perempuan, disertai dengan doa selamat. Biasanya tepak dan tanda ikat janji tersebut ditepungtawari oleh pihak perempuan ketika selesai upacara dimaksud. Selanjutnya adalah dilakukan acara jamu sukut. 146 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya 5.3.4 Jamu Sukut Dalam kebudayaan Melayu Sumatera Timur, acara jamu sukut merupakan acara yang tujuan utamanya adalah untuk memberitahukan atau mengabarkan kepada keluarga masingmasing, bahwa telah terjadi acara peminangan, antara dua kerabat besar ini. Acara ini juga sekaligus sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas segala rahmat dan hidayah-Nya kepada kedua keluarga besar ini. Selepas saja peminangan secara resmi diterima oleh pihak perempuan, maka baik ibu dan ayah dari calon pengantin perempuan maupun kedua orang tua dari calon pengantin laki-laki masing-masing mengadakan sebuah jamuan (kenduri) untuk mengabarkan keluarga besar mereka masing-masing tentang peminangan yang baru diterima. Pada beberapa tempat di daerah Sumatera Timur pada umumnya acara kenduri yang seperti ini disebut jamu sukut. Sesudah acara jamuan makan selesai, maka orang yang tertua dalam acara tersebut bertanya secara singkat kepada tuan rumah. Adapun pertanyaannya berkisar kepada tujuan dari acara jamuan makan ini, yaitu dengan merujuk ada apa dengan menyembelih lembu atau kambing yang disajikan dalam jamuan tersebut. Tentu saja memotong lembu atau kambing untuk jamuan, bukan peristiwa biasa. Merespons apa yang ditanyakan tersebut, maka tuan rumah langsung saja membuka kata. Bahwasanya sejak awal ia hanya diam saja, memang demikian yang ia lakukan. Akan tetapi dengan adanya pertanyaan seperti itu, maka tuan rumah memberitahukan tentang adanya pinangan yang telah diterima. Selain itu, disebutkan pula siapa yang meminang dan yang dipinang. Begitu juga tentang hari pernikahan, acara mengantar, berinani, dan bersanding, dan kapan "kerja adat" mulai dilaksanakan. Demikian pula panitia, peralatan untuk pesta, makanan, minuman, undangan, dan segala sesuatunya telah pun dipersiapkan. Dengan kata-kata 147 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya pembukaan tersebut, tuan rumah menyerahkan seluruh kerja pada anak beru dan seluruh hadirin. Dalam kebudayaan Melayu, anak berulah yang diharapkan paling dominan bekerja di dalam acara pesta kawin ini. Sejak hari itu, biasanya tuan rumah hanya memperhatikan perjalanan pekerjaan dan menyediakan bahan dan benda seperlunya, untuk pesta nikah dan kawin ini. Pelaksana dan yang bertanggung jawab atas lancarnya pekerjaan tersebut terserah kepada anak beru dan keluarga lainnya. Setelah saja selesai jamu sukut, maka pihak laki-laki dan pihak perempuan memberitahu dan mengundang semua keluarga besarnya dan handai taulan. Secara tradisional, cara mengabari dan mengundang ini bukan hanya berupa memberikan sepucuk surat, melainkan membawa tepak sirih dan isinya yang dibungkus dengan kain. Cara membawanya adalah dengan teknik menggendongnya dengan kain panjang, ke rumah yang hendak diundang (dijemput). Untuk kaum wanita, yang mengundangnya adalah anak beru perempuan, sedangkan untuk laki-laki, adalah anak beru laki-laki. Cara untuk memberitahukan adalah orang yang mengundang menyodorkan tepak yang telah dibuka tersebut untuk dimakan sirihnya. Sesudah itu, maka diberitahukanlah dengan hormat maksud kedatangannya sebagai utusan dari keluarga pihak calon pengantin wanita yang akan mengadakan acara adat perkawinan. Mengundang dengan cara menydorkan sirih tersebut adalah undangan secara adat yang mengikat sifatnya. Sehingga orang yang diundang berkewajiban untuk datang menghadiri upacara yang dimaksud pada hari yang telah ditentukan, apabila tidak ada halangan yang sangat besar. Demikian tunjuk ajar adat Melayu mengenai undangan melalui tepak sirih ini. Apabila waktu upacara tersebut telah dekat, maka masingmasing orang yang telah diserahi tugas, menjalankan fungsinya masing-masing. Mereka yang akan membuat pelaminan (tempat duduk kedua pengantin) mulai bekerja dengan berangsur-angsur, karena tidak mungkin pekerjaan ini dilakukan dengan tergesagesa. 148 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Pelaminan Melayu ini dibuat menurut nilai estetik dan rasa keindahan yang membuatnya, atau dapat juga menurut petunjukpetunjuk tuan rumah. Kepada segenap handai taulan diminta oleh orang tua pengantin laki-laki agar ikut membuat tepak untuk mengantar sirih besar kepada pihak perempuan. Merupakan suatu kemegahan budaya pula, jikalau kaum kerabat ikut serta memberikan setepak sirih masing-masing, yang dibuat menurut berbagai bentuk: seperti bentuk sampan, burung, perahu, dan lain-lain. Jumlah tepak tersebut menunjukkan banyaknya keluarga dan handai taulan. Pada setiap tepak disisipkan secarik kertas yang berisi pantun ataupun sindiran manis, untuk kedua calon mempelai. Seperti contoh-contoh berikut ini. Tanamlah tanam si pokok jati, Batangnya tumbuh berdepa-depa, Semoga cinta akan abadi, Seperti kisah Khais dan Laila. Terang sungguh sinarnya bulan, Jadi penyejuk hati yang gundah, Kami berdoa kepada Tuhan, Semoga sakinah, mawaddah, warohmah. Lancang Kuning berlayar malam, Haluan menuju ke laut dalam, Kalau nakhoda kuranglah paham, Alamatlah kapal akan tenggelam. Jeruk nipis si jeruk purut, Jeruk bali hijau warnanya, Asam di gunung ikan di laut, Dalam belanga bertemu juga. Padi menguning jelapang sawah, Siap dituai di siang hari, 149 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Hancur badan dikandung tanah, Cinta yang suci pasti abadi. Kalau encik pergi ke Medan, Bawakan kami buah durian, Dahulu pungguk rindukan bulan, Kini berdua di satu laman. Pergi musafir ke Kota Stabat, Menimba pengetahuan ilmu agama, Doa kami setiap saat, Cinta abadi selama-lamanya. 5.3.5 Berinai Upacara berinai biasanya diadakan sehari sebelum menikah (akad nikah) di rumah pengantin masing-masing dan dihadiri oleh keluarga dan teman-teman terdekat dari kedua calon pengantin. Ada tiga upacara berinai yaitu berinai curi, berinai kecil, dan berinai besar. Namun sekarang, malam berinai dilaksanakan satu malam saja karena untuk mempersingkat waktu dan dana. Malam berinai yang dilakukan pihak laki-laki hanya tepung tawar oleh keluarga dan teman-temannya saja, sedangkan malam berinai yang dilakukan oleh pihak perempuan ialah serangkaian acara sakral malam berinai diawali dengan bersalaman kepada kedua orang tua sebelum calon pengantin wanita duduk di pelaminan, kemudian dilanjutkan dengan acara hiburan dan kemudian tari inai sebagai pelengkap kesakralan upacara malam berinai tersebut. Dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Timur, biasanya malam berinai dilakukan selama 3 malam berturut-turut yakni: (a) malam berinai pertama disebut malam inai curi. Kegiatannya ialah calon pengantin wanita diberi inai oleh teman-temannya sewaktu ia tidur sehingga tidak ketahuan. (b) Malam kedua disebut malam inai kecil, calon pengantin wanita dihiasi, didandani, dan didudukkan di atas pelaminan yang dihadiri oleh sanak keluarga, tetangga, dan 150 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya kerabat untuk ditepungtawari. (c) Lalu dilanjutkan dengan malam inai besar.4 Kegiatannya terlebih dahulu tari inai disertai tarian Melayu lainnya, kemudian pengantin wanita dipasangi inai pada kuku jari-jari tangan dan kakinya oleh kedua orang tuanya, keluarga, dan teman-teman dekatnya. Setelah semua acara selesai, selanjutnya pengantin wanita dipasangkan inai yang sebenarnya yang disebut berinai besar. Sesuai dengan perkembangan zaman, kini malam berinai hanya dilakukan satu malam saja dan acara sakralnya diadakan di rumah pihak perempuan saja, biasanya karena alasan faktor menghemat dana dan waktu. Sehingga, malam berinai yang dilakukan hanya malam berinai besar saja yang dihadiri seluruh keluarga dan kerabat pihak perempuan. Tari inai merupakan salah satu seni yang difungsikan pada upacara adat perkawinan dalam budaya masyarakat Melayu. Seni pertunjukan ini dapat dikatakan sebagai pelengkap dan pengabsah upacara adat perkawinan tersebut. Jika pertunjukan tari inai atau upacara malam berinai tidak diadakan, upacara pernikahan keesokan harinya tetap berlangsung. Namun upacara malam berinai ini, memiliki nilai-nilai religius dan kultural tersendiri dalam persepsi masyarakat Melayu. Apalagi jika keluarga yang tingkat ekonominya relatif baik, mengadakan upacara adat perkawinan Melayu, maka biasanya keluarga ini akan mengadakan upacara malam berinai. Selain berfungsi budaya, religi, sakralitas, kegiatan tersebut juga memiliki “gengsi sosial.” Kegiatan tarian inai tersebut adalah merupakan seni pertunjukan yang melibatkan tari dan musik sekaligus. Dahulu kala, malam berinai dilakukan setelah akad nikah dan kedua mempelai didudukkan untuk diberikan inai pada kuku jari tangan dan kaki kedua mempelai. Namun, sesuai dengan perkembangan zaman, kini hanya dilakukan di rumah pengantin wanita saja, sedangkan di 4 Di beberapa tempat di wilayah kebudayaan Melayu Sumatera Timur, ada pula yang menyebut malam pertama berinai ini disebut inai curi, sedangkan malam kedua dan ketiga yang tadinya masing-masing disebut malam inai kecil dan malam inai besar, kedua-duanya disebut saja sebagai malam inai adat. 151 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya rumah pengantin pria tidak dilakukan upacara malam berinai. Hanya saja inai akan dihantar dari rumah pengantin wanita kerumah si calon pengantin pria. Kemudian menurut adat diadakan tepung tawar dan dilanjutkan pemasangan inai ke kuku jari-jari tangan dan kakinya oleh keluarga dan teman-teman dekat calon pengantin pria. Pada masa sekarang, yang lazim adalah upacara malam berinai dilakukan menjelang akad nikah pada keesokan harinya. Secara umum, gerakan-gerakan tari inai yang dilakukan merupakan kombinasi dari gerak-gerak hewan atau kejadiankejadian alam. Sebahagian gerakannya diambil dari gerak-gerak silat, merupakan olahraga beladiri tradisional Melayu. Pada dasarnya alat-alat musik yang biasa digunakan untuk mengiringi tari inai ini, pada masa-masa awal adalah: (a) sebuah serunai Melayu yang berfungsi sebagai pembawa melodi, (b) satu atau dua buah gendang Melayu satu muka (gendang ronggeng), dan (c) sebuah gong atau tetawak. Rentak musik yang disajikan berdasarkan irama musik silat yaitu rentak patam-patam, dan juga judul lagu Patam-patam. Namun, sesuai dengan perkembangan zaman, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, pada masa kini alat-alat musik yang biasa digunakan untuk mengiringi tari inai ini adalah: (i) sebuah biola, (ii) sebuah akordion, (iii) dua buah gendang ronggeng, dan adakalanya ditambah (iv) sebuah keyboard. 152 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Gambar 5.3 Calon Pengantin Perempuan pada Upacara Malam Berinai (Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013) 153 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Struktur pertunjukan inai ini baik tarian dan musiknya, lebih rinci dikaji pada bab khusus, tepatnya Bab VII pada buku ini. Pertunjukan inai ini merupakan salah satu bahagian saja dari berbagai seni pertunjukan dalam satu rangkaian upacara adat perkawinan Melayu secara lengkap. Jadi pertunjukan inai bukanlah satu-satunya pertunjukan dalam konteks upacara perkawinan adat Melayu. Gambar 5.4: Tari Makan Sirih Dipersembahkan di Depan Calon Pengantin Perempuan pada Upacara Malam Berinai (Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013) 154 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Gambar 5.5: Inai yang Siap Digunakan (Dokumentasi: Syarifah Aini, 2013) Gambar 5.6: Gerak Sembah Awal Tari Inai pada Upacara Malam Berinai (Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013) 155 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Gambar 5.7: Dua Penari Inai Menampilkan Keahlian Menggerakkan Piring pada Upacara Malam Berinai (Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013) Gambar 5.8: Penari Inai Sedang Melakukan Atraksi Gerak di Atas Pahar (Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013) 156 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Gambar 5.9: Acara Hiburan Meronggeng Selepas Pertunjukan Tari Inai Pada Upacara Malam Berinai (Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013) Di saat pengantin duduk di pelaminan inilah tari inai dan kesenian-kesenian Melayu lainnya seperti rodat, hadrah, gambus, ronggeng, dimainkan untuk memeriahkan acara tersebut. Menurut informasi yang dikemukakan oleh Tengku Syahdan tari inai ditampilkan di depan pelaminan, gunanya untuk menghormati pengantin, dan menambah kekuatan serta ketahanan jasmani dan rohani (menurut konsep religi animisme Melayu, sebelum masuknya Islam). Menurut persepsi masyarakat Melayu, pada masa itu inai diartikan sebagai penambah tenaga jasmani dan rohani yang memakainya serta menolak marabahaya, terutama bahaya yang ditimbulkan oleh makhluk-makhluk halus yang jahat. Dalam sistem kosmologinya, etnik Melayu pada umumnya 157 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya percaya bahwa penyakit awal kali datang dari ujung kaki dan tangan, maka pada bahagian inilah inai ditempelkan. Setelah masuknya Islam, guna tari inai untuk memperkuat ketahanan jasmani dan rohani pengantin berangsur-angsur tidak lagi dipercayai. Setelah masuknya agama Islam dalam kehidupan etnik Melayu, dan dijadikan sebagai pandangan hidup berupa adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah, maka guna tari inai adalah sebagai hiburan yang mengandung nilai-nilai estetis dan sedikit ritual, sebagai salah satu identitas budaya Melayu dalam aktivitas perkawinan. Sedangkan fungsinya, dapat saja sebagai pengabsahan pengantin secara adat, meneruskan generasi, pengintegrasian masyarakat, perlambangan, pengungkapan esetetis, emosi jasmani, dan lainnya. Setelah selesainya upacara malam berinai ini, maka selalu juga malam tersebut diselenggarakan hiburan dengan pertunjukan musik dan tarian Melayu lainnya, seperti hadrah, burdah, rodat, ronggeng, dan lain-lain. Ini semua dilakukan di rumah pihak calon mempelai perempuan. Keesokan harinya dilaksanakan upacara akad nikah atau lazim juga disebut istiadat nikah kawin Melayu. 5.3.6 Akad Nikah Secara kultural, hari pernikahan dapat saja dilakukan pada waktu pagi ataupun malam hari. Ketentuan waktu ini, didasarkan kepada musyawarah dan mufakat kedua belah pihak keluarga calon pengantin lelaki dan perempuan, pada saat pertemuan sebelumnya. Selain itu, dalam kebudayaan Melayu, hari dan saat akad nikah ini selalu diadakan pada hari baik dan bulan baik, menurut kalender Islam. Kegiatan yang seperti ini disebut dengan merasi. Pada acara tersebut calon pengantin laki-laki diantar oleh sekitar sepuluh orang keluarganya yang tua-tua laki-laki atau perempuan ke rumah pihak perempuan untuk mengucapkan akad nikah. Biasanya pakaian calon pengantin pada waktu akad nikah ini, haruslah sesuai dengan apa yang telah dijanjikan sewaktu meminang. Misalnya telah dijanjikan bahwa sewaktu nikah calon 158 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya pengantin laki-laki harus memakai pakaian haji, yaitu serban tegang dan jubah panjang, maka pakaian ini jugalah yang harus dipakai pada saat akad nikah tersebut. Demikian pula jika disepakati memakai pakaian teluk belanga, maka pakaian ini pula yang dipakai. Jika pada musyawarah itu disepakati memakai pakaian haji, tetapi calon pengantin laki-laki datang pakai baju teluk belanga dan kupiah saja misalnya, maka ada hak pihak perempuan untuk menolaknya. Dalam realitasnya, selalu pula ada kejadian penolakan seperti ini, yaitu seperti yang telah dijanjikan: uang mahar dinaikkan juga pada waktu nikah, yaitu ditambah lagi setengah dari jumlah seluruhnya, karena perjanjian pakaian yang dilanggar ini. Dahulu kala, uang mahar itu di Sumatera Timur dibayar dengan uang ringgit, kini biasanya dibayar dengan uang rupiah. Uang mahar itu dibungkus dalam kain tiga lapis yang berlainan warna. Ada pula yang membuat sampai sembilan lapis, dengan ditambahi bertih (beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak, digongseng), beras kuning (beras yang direndam pada air kunyit), dan bunga rampai (beraneka ragam bunga-bungaan), serta uang. Kesemuanya ini dibungkus dan diikat dengan benang pancawarna yang diikat dengan simpul hidup. Kemudian uang yang telah dibungkus itu dimasukkan ke dalam cepu (peti kecil) dan cepu tersebut dibungkuskan pula baik-baik pada sehelai kain panjang. Setelah selesai, maka diletakkan di atas sebuah dulang kecil yang dinamakan semerip. Uang mahar tersebut digendong untuk dibawa ke rumah pihak perempuan. Peralatan-peralatan yang turut dibawa yakni: pahar (tempat yang terbuat dari kuningan berbentuk bulat ceper dan memiliki kaki), yang berisi pulut kuning, ayam panggang, dan sebuah tepak nikah. Di dalamnya dimasukkan sebahagian biaya nikah untuk tuan kadi. Biasanya biaya nikah dibayar oleh kedua belah pihak masing-masing. Kemudian di rumah pihak perempuan telah menanti sebuah tepak sirih dan sebuah pahar pulut kuning. Pahar tersebut nantinya ditukarkan sewaktu hendak pulang. Acara pernikahan ini ditempatkan di ruangan bahagian dalam, tempatnya tersendiri, di 159 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya atas tikar pandan yang disebut tikar ciau, yang di atasnya dibentangkan sebuah tilam (katil) yang dilapisi kain. Di sinilah calon pengantin didudukkan. Pada saat rombongan pihak laki-laki telah sampai di rumah perempuan, maka kaum laki-laki dipersilahkan duduk di ruang muka, dan kaum ibu di ruang dalam. Alatalat perlengkapan upacara akad nikah ini berupa: tepak sirih nikah, pulut kuning, dan bungkusan uang mahar yang dibawa tersebut, diletakkan di ruang muka, di tengah-tengah hadapan majelis dan hadirin yang telah menghadirinya. Selepas itu, pihak perempuan mulai berkomunikasi verbal sebagai pembuka kata dengan cara berpantun, ditujukan ke pihak laki-laki, dengan contoh sebagai berikut ini. Makan sirih berpinanglah tidak, Pinang tertinggal di Labuhan Ruku, Makan sirih mengenyanglah tidak, Adatlah resam pusaka Melayu. Jikalau pergi ke Labuhanruku, Bawakan kami seekor selindit, Duduk kami bagai terpukau, Datang rombongan bukan sedikit. Rasa gulai sangatlah sedap, Ditambah lauk ikan tenggiri, Pinta kami sirih disantap, Apa hajat di dalam hati? Ketiga rangkap atau bait pantun tersebut berdasarkan filsafat hidup orang Melayu memberi tahu bahwa tuan rumah mempersilahkan untuk memakan sirih, agar pelaksanaan segera dapat dimulai. Maka selepas itu, pihak laki-laki memakan sirih tersebut. Setelah selesai makan sirih ini, maka pihak laki-laki mulai berkomunikasi secara verbal menyambut pantun tanya tadi, dengan contoh sebagai berikut ini. 160 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Wahai tuan-tuan dan puan-puan sekalian yang amat kami hormati, pada hari baik dan bulan baik ini, datang pula kami kemari, menagih, dan menepati janji. Janji yang dimuliakan, yakni remaja putra kami bawakan, untuk diambil akad nikahnya. Selain itu pula, mahar pun kami antarkan. Pembayar hutang yang diucapkan, hutang adat hutang syarak, harus selesai seluruhnya. Demikian pinta dari kami. Selepas itu, pihak perempuan menyambut komunikasi verbal di atas dengan berkata-kata sebagai ekspresi komunikasi responsif, dengan gaya tuturan sebagai berikut. Tuan-tuan dan puan-puan yang kami muliakan, pertama-tama syukur kita panjatkan ke hadirat Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas kesehatan dan pertemuan yang telah Dia gariskan. Maka sesuai janji, tanda manusia tetap beradat, tanda kampung tetap berpenghulu, tanda luhak tetap beraja, tanda syarak tetap dipegang, tetap adat jadi pusaka. Selanjutnya tuan-tuan dan puan-puan, sudah menanti tepak nikah, sudah terhampar tikar ciau, sudah tergantung tabir di dinding, sudah terentang langit-langit, sudah terhidang pulut kuning, sudah terbilang orang duduk, sudah cemerlang niat semua orang, sudah menanti tuan kadi, sedah sekata anak beru. Oleh sebab itu tuantuan dan puan-puan sekalian, usaha baik kita percepat, teruna disilakan mengambil tempat. Demikianlah kata dari kami. Setelah pihak laki-laki dan perempuan berbalas-balas pantun dan kalimat-kalimat yang penuh dengan nilai-nilai adat, untuk mengutarakan maksud kedua belah pihak, maka anak beru pihak perempuan membuka bungkusan uang mahar, yang dibawa pihak 161 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya laki-laki dengan cermat dan hati-hati, serta dihitung jumlah isinya, apakah sesuai dengan yang telah dijanjikan atau tidak. Menghitung uang di dalam cepu (peti kecil) tidak boleh sampai mengeluarkan bunyi gemerisik. Pada masa dahulu ketika pada kehidupan etnik Melayu memakai uang ringgit, apabila kedengaran bunyi berdenting, maka "semangat" kedua pengantin bisa hilang, dan akibatnya dipercayai mereka nantinya saling bertengkar. Apabila telah dihitung dengan jumlah yang cukup, maka uang tersebut dibungkus kembali seperti semula dan disorongkan ke ruang dalam, agar didukung (ditimang-timang) oleh keluarga yang tua-tua secara bergantian. Hal ini dimaksudkan agar perkawinan itu nantinya mendapat keselamatan dan kekal atas izin Allah. Setelah dipegang bergantian, lalu diserahkanlah kepada orang tua pengantin perempuan, yang selanjutnya diberikan kepada pengantin perempuan. Pengantin laki-laki telah duduk di atas tilam yang diapit kiri kanan oleh tuan guru ataupun keluarganya yang memiliki ilmu supernatural, agar dalam pelaksanaan pernikahan tersebut tidak ada halangan apa-apa, dan diridhai Allah. Di hadapan pengantin laki-laki duduk seorang tuan kadi dan disertai dua orang saksi untuk mendengar akad nikah tersebut. Keluarga yang lain duduk menyaksikan upacara secara cermat, lalu tuan kadi mengucapkan doa nikah, setelah itu berkata yang nantinya dijawab oleh pengantin laki-laki, dengan contoh sebagai berikut. Tuan kadi: “Awang Abdullah bin Andak Zakaria!” Pengantin lelaki: “Saya, Tuan.” Tuan kadi: “Saya nikahkan Tuan dengan Zubaidah binti Wan Ulong Syahruddin, yang berwakil walinya kepada saya, dengan mahar 30 gram emas tunai.” Ini adalah teks akad nikah kalau walinya adalah tuan kadi. Jika ayahnya langsung, maka teks akad nikah itu adalah sebagai berikut. 162 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Wan Ulong Syahruddin (ayah mempelai wanita): “Awang Abdullah bin Andak Zakaria!” Pengantin lelaki: “Saya.” Wan Ulong Syahruddin: “Saya nikahkan anak kandung saya Zubaidah denganmu, dengan mahar 30 gram emas tunai.” Kemudian pengantin laki-laki ini, menjawab pernyataan tuan kadi tersebut dengan ucapan sebagai berikut: Pengantin lelaki: “Saya terima nikah Zubaidah binti Wan Ulong Syahruddin dengan mahar 30 gram emas tunai.” Jika ia menjawab teks ucapan langsung dari ayah kandung sang mempelai wanita maka jawabannya adalah sebagai berikut. Pengantin lelaki: “Saya terima nikah Zubaidah dengan mahar 30 gram emas tunai.” Apabila ucapan nikah tersebut lancar dan terang didengar oleh tuan kadi beserta dua orang saksi, maka sahlah nikah itu. Tuan kadi juga menanyakan perihal tersebut, “Apakah sah jawaban akad nikah yang baru saja diucapkan mempelai pria?” Dalam kenyataan kultural, sering juga akad nikah ini tidak dapat dilakukan dengan sempurna, diulang-ulang beberapa kali sampai jelas. Keadaan tersebut biasanya diakibatkan oleh sesuatu gangguan secara supernatural yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak yang tidak senang serta menghendaki gagalnya acara ini. Dalam budaya Melayu, dipercayai bahwa masalah ini adalah berasal dari gangguan makhluk halus terhadap pengantin pria, wanita, dan juga keluarganya. 163 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Gambar 5.10: Akad Nikah Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013 Seterusnya adalah dilakukan pembacaan sighat taklik oleh pengantin lelaki. Dalam ajaran Islam, dalam konteks pernikahan ini, sighat taklik adalah suatu janji secara tertulis yang ditandatangani dan dibacakan oleh suami setelah selesai prosesi akad nikah di depan penghulu (kadi), istri, orang tua (wali), saksisaksi, dan para hadirin yang menghadiri akad perkawinan tersebut. Sighat taklik ini diucapkan jika proses akad nikah telah selesai dan sah secara ketentuan hukum dan agama Islam. Adapun janji serta ucapan yang diucapkan oleh mempelai pria (suami) adalah sebagai berikut. 164 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Bismillahirrohmanirrohim Wa aufuu bil-ahdi innal-ahda kaana mas-uulaa (Tepatilah janjimu, sesungguhnya janji itu kelak akan dituntut) Sesudah akad nikah, saya (Nama Mempelai Pria) bin (Nama Ayah Mempelai Pria) saya berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama (Nama Mempelai Wanita) binti (Nama Ayah Mempelai Wanita) dengan baik (muasyarah bil maruf) menurut syariat agama Islam. Selanjutnya saya membaca sighat talik atas istri saya itu sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya: 1. Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut. 2. Atau saya tiada memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya. 3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu, 4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya, Kemudian istri saya tidak ridho dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan tersebut tadi kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Cq. Direktorat Urusan Agama Islam untuk keperluan Ibadah Sosial. 165 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya (Nama Kota), (Tanggal) Suami, (Tandatangan) (Nama Jelas Mempelai Pria) Sighat taklik ini adalah salah satu aktivitas yang lazim dilakukan dalam upacara nikah kawin dalam masyarakat Islam di seluruh dunia, termasuk juga di dalam kebudayaan Melayu. Sighat taklik ini memiliki dasar hukum Islam, yang salah satunya dapat kita rujuk dari Kompolasi Hukum Islam (KHI) dan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral dalam pandangan agama Islam. Oleh karena itu, pernikahan bermakna ibadah kepada Allah Azza Wa Jalla, mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dalam melangsungkan pernikahan, peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku mesti diindahkan. Terlebih lagi peraturan agama Islam harus sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunnya. Secara yuridis formal, sahnya sebuah perkawinan menurut Negara Indonesia, adalah tertuang dalam pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan. Di sini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, termasuk ketentuan perundangundangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan tersebut. Selain itu, setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat 166 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. (Lihat Pasal 2 ayat (2) beserta penjelasan umum UU Perkawinan) Sighat taklik adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Pada KHI Pasal 1 huruf e, sighat taklik ini terdapat pada buku nikah bagian belakang. Pada umumnya, setelah ijab kabul selesai, mempelai laki-laki diminta untuk membacanya. Sebagian dari masyarakat kita, beranggapan bahwa hal yang demikian (sighat taklik talak) tidak ada tuntunannya dalam Islam. Tidak ada sunnahnya dalam Islam. Hal tersebut dianggap sebagai bid'ah (sesuatu yang baru, yang diada-adakan, tidak ada asalnya dalam Islam, menyerupai syariat, dan dianggap beribadah), dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan ada di neraka. Hal ini membuat mereka tidak mau untuk mengucapkannya. Kalaupun mengucapkan, itu karena terpaksa. Terkadang, mempelai yang mempunyai keyakinan seperti di atas, ribut-ribut dengan Pegawai Pencatat Perkawinan (biasanya dari Kantor Urusan Agama setempat). Mempelai yang bersangkutan berpendirian perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya terpenuhi syarat dan rukunnya. Oleh karena itu, ia tidak harus melakukan sighat taklik talak tersebut. Sementara pegawai pencatat perkawinan ataupun pihak lainnya yang berkepentingan (misalnya keluarga mempelai wanita), berkeras agar mempelai laki-laki membaca sighat taklik talak. Mereka tidak sepakat terhadap mempelai laki-laki; aturan negara mesti ditegakkan. Sangat disayangkan apabila ribut-ribut tersebut terjadi di hadapan tamu undangan pada hari akad nikah. Di satu pihak mengharuskan membaca, pihak lainnya bersikeras menolak. Selain mengganggu kekhidmatan acara, juga terlihat janggal bagi tamu undangan. 167 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Gambar 5.11: Doa Selesai Akad Nikah Dipimpin Tuan Kadi Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013 Menurut KHI, perjanjian sighat taklik bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan. Hal ini kita dapat kita baca di dalam pasal 46 ayat (3), "Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali." Ayat tersebut jelas menyebutkan bahwa perjanjian taklik talak bukanlah suatu keharusan bagi setiap muslim. Hasil sidang Komisi Fatwa MUI, yang berlangsumg di Ruang Rapat MUI, Masjid Istiqlal Jakarta, pada 23 Rabi'ul Akhir 1417 H/ 7 September 1996, berpendapat bahwa materi yang tercantum dalam sighat taklik talak pada dasarnya telah dipenuhi dan tercantum dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. KHI pasal 46 ayat (3) mengatur 168 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya bahwa perjanjian taklik talak bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan. Berdasarkan uraian di atas jelas bagi kita kedudukan sighat talik talak ini di dalam peraturan negara. Menurut KHI hal tersebut bukanlah suatu keharusan (tidak wajib), demikian juga dengan Komisi Fatwa MUI. Oleh karena itu, bagi kaum muslimin yang tidak mau membaca sighat taklik talak, tak perlu risau. Tidak ada yang mengharuskan untuk membaca hal tersebut seusai akad nikah. Bagi yang ingin melakukan akad nikah, agar segala sesuatu dibicarakan beberapa hari sebelum akad nikah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan. Demikian untuk dapat dimengerti dan dipahami oleh para pembaca. Dalam konteks penelitian di lapangan, pada masa sekarang ini, sebahagian besar pengantin lelaki membacakan sighat taklik talak. Apa yang dilakukan ini, biasanya adalah sesuai dengan saransaran yang dikemukakan oleh para tuan kadi. Pembacaan ini lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya. Di antaranya adalah memberikan kepastian hak dan kewajiban suami istri dalam membina rumah tangga, yang dinakhodai oleh sang suami. Jika tidak dibacakan, mungkin pengantin laki-laki tidak mengetahui apa saja hak dan kewajibannya sebagai suami. Demikian pula istri. Apabila acara akad nikah telah selesai, maka tuan kadi membacakan doa selamat. Berikut adalah contoh dari sepenggal doa berbahasa Arab, yang dibacakan tuan kadi setelah selesainya upacara akad nikah. 169 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 170 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya 171 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 172 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Selain itu, dalam ajaran dan peradaban Islam, setelah akad nikah ini, disunnahkan mempelai laki-laki memegang ubun-ubun mempelai wanita sambil mengucapkan doa berikut. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya. Selepas itu, acara dilanjutkan dengan jamuan makan. Dalam kebudayaan Melayu biasanya disajikan makanan khas Melayu seperti: gulai ayam, ikan, nasi lemak, kari kambing, roti jala, pengat, manisan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Pada waktu pulang, pihak laki-laki membawa pulut kuning beserta isinya yang disediakan pihak pengantin wanita. Pulut kuning ini juga ditempatkan di sebuah tempat yang disebut balai. Rangkaian berikutnya adalah pada keesokan harinya pihak lelaki menghantar pengantin lelaki ke rumah pengantin perempuan. 5.3.7 Menghantar Pengantin Upacara menghantar (mengantar) pengantin ini, dalam keseluruhan rangkaian upacara adat perkawinan Melayu, terdiri lagi 173 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya dari bahagian-bahagian yang lebih kecil. Dimulai dari prosesi rombongan pengantin lelaki. Kemudian dilanjutkan dengan hempang batang. Seterusnya adalah hempang pintu, kemudian pijak batu lagan. Diteruskan dengan pengembang tikar, buka tabir, buka kipas, tepung tawar, makan nasi hadap-hadapan, acara naik sembahan, serah terima pengantin, dan mandi bedimbar atau mandi berhias. Pada zaman dahulu, tepatnya sejak adanya institusi perkawinan adat orang Melayu, yang lazim dilakukan adalah setelah pengantin perempuan duduk di pelaminan, maka dikirimlah utusan ke rumah pihak pengantin laki-laki untuk memberitahukan bahwa pengantin perempuan telah siap untuk bersanding di pelaminan. Pada siang harinya pengantin laki-laki dihantar ke rumah pengantin perempuan bersama-sama dengan sanak keluarga dan handai taulan. Pengantin laki-laki berpakaian pengantin lengkap (yaitu memakai destar di kepala, baju bertabur atau telepuk (kerah kecak musang, celana panjang, berkain samping untuk menutup pinggang, memakai keris sebelah kanan pinggang, dan memakai pending diikatkan di tangan. Ia memegang sebuah tabung perak berisi beraneka ragam bunga dan daun sirih (yang disebut dengan sirih genggam). Demikian juga di atas pelaminan, pengantin perempuan memegang sirih genggam pula. Apabila pengantin lakilaki telah sampai di tempat pengantin wanita, di atas pelaminan, kedua sirih genggam ini dipertukarkan, karena sirih genggam pengantin laki-laki adalah yang dibawa untuk istrinya, sedangkan sirih genggam pengantin wanita adalah untuk menyambut suaminya. Lebih jauh menurut Moehad Sjah, mengikut adat berbusana dalam kebudayaan Melayu ini, pakaian pengantin terdiri dari unsurunsur berikut ini. (1) Kepiyah atau detar lingkaran selilit kepala, setengah lingkaran di atas dari kiri ke kanan, yang dihiasi berbagai manik-manik, dan rantai emping terbuat dari perak atau emas; (2) Sepasang baju teluk belanga kecak musang, terbuat dari kain sutera bertabur atau berbunga telepuk, sehelai kain sarung, dan 174 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya sutera bertabur atau berbunga telepuk yang berfungsi menjadi kain samping; (3) Sebuah tali penggang lebar berkepala terbuat dari emas atau perak yang disebut pending; (4) Sebuah terapang atau keris pandak, yang disipkan di pinggang sebelah depan agak ke kiri; (5) Sirih genggam, yang terbuat dari tembaga atau suasa, yang berbentuk kelongsong dan diisi daun sirih, dipegang dengan tangan kanan, pada saat naik dan ketika duduk di atas pelaminan (Moehad Sjah, 2012:28). Di halaman rumah pengantin perempuan, sebelum sampai ke atas pelaminan, pengantin laki-laki diapit oleh dua orang anak kecil (gading-gading) yang nantinya bekerja mengipasi kedua pengantin. Pengantin laki-laki yang datang, diarak beramai-ramai dengan aktivitas musikal. Biasanya adalah seni yang disebut hadrah. Sebuah balai, yaitu bangunan beberapa kotak papan, semakin ke atas semakin kecil (jumlahnya ganjil), yang berisi pulut kuning, seekor ayam dipanggang, dan beberapa buah telur yang dibungkus dan dihiasi oleh kertas (kertas minyak atau manila), beberapa tepak sirih dan bunga sirih, serta uang yang belum diberikan yaitu kekurangannya, dibawa oleh anak beru di barisan bahagian depan. Bahagian depan barisan ini ada beberapa orang bersilat untuk menjaga-jaga apabila ada sesuatu gangguan terhadap prosesi tersebut. Pengantin laki-laki di barisan bahagian tengah, dijulang langsung atau ditandu di atas sebuah kursi—yang mengangkatnya adalah anak beru pihak pengantin laki-laki. Pada barisan bahagian belakang, adalah kaum wanita dan bapakbapak—berdasarkan persepsi tradisi Melayu mereka harus memakai pakaian adat Melayu. Kaum wanita memakai baju kebaya panjang, kain songket, dan selendang. Kaum lelaki memakai baju teluk belanga, celana (seluar) panjang, dan kain samping serta memakai peci (tutup kepala). Di depan pintu masuk pekarangan rumah pengantin wanita, telah menunggu dan berjaga-jaga beberapa anak beru pihak pengantin wanita. Selembar kain panjang ataupun seutas tali yang 175 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya berbunga direntangkan mereka, sehingga rombongan pengantin laki-laki tidak dapat masuk. Kelompok prosesi pihak pengantin laki-laki berhenti, tidak dapat berjalan masuk, karena ditahan oleh kelompok pengantin wanita. Peristiwa penahanan prosesi kelompok pengantin laki-laki oleh kelompok pengantin wanita ini, secara adat disebut dengan gatang-gatang (yang merupakan hak adat anak beru). Gambar 5.12: Pengantin Lelaki Dijulang dalam Ritual Prosesi Menghantar Pengantin Lelaki Bersanding Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. 176 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Gambar 5.13: Rombongan Pengantin Lelaki Berhenti di Halaman Rumah Pengantin Perempuan Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. 177 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Gambar 5.14: Pertunjukan Silat Menyambut Kedatangan Rombongan Mempelai Lelaki Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. Gambar 5.15: Suasana Hempang Batang Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. 178 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Gambar 5.16: Tukar Tepak di Tengah Halaman Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. Gambar 5.17: Pertunjukan Tari Persembahan di Tengah Halaman Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. 179 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Karena rombongan pengantin lelaki ini dihadang oleh pihak keluarga mempelai perempuan, maka juru telangkai pengantin lakilaki bertanya secara komunikasi verbal yang estetis sebagai berikut. Asalamualaikum kami ucapkan, Kepada tuan orang budiman, Kami datang berserta rombongan, Mengapa dihadang kami berjalan? Telangkai dari pihak pengantin perempuan (pihak menanti) segera menjawab pertanyaan secara berpantun pula, dengan contoh sebagai berikut. Wa’alaikum salam kami ucapkan, Pada tetamu yang sangat terhormat, Sesuai istiadat yang jadi dasaran, Mohon sediakan syaratnya adat. Tuan-tuan, adat diisi, lembaga dituang. Di mana ranting dipatah, di situ air disauk, di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung, siapa melanggar akan dilanggar, penyelesaian hanya diperoleh jika adat dipenuhi. Sesuai pantun Melayu, Ditimbang sudah bersukat-sukat, Setelah lelah mohon hentikan, Jika disediakan syaratnya adat, Hempang batang kami singkirkan Pihak telangkai pengantin laki-laki bertanya melalui media puisi tradisional Melayu, yaitu pantun sebagai berikut. 180 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Makan bersama sekotak kuaci, Dimakan sudah di hari petang, Apa syaratnya sebagai kunci, Agar kami tidak dihempang. Pihak telangkai pengantin perempuan, seketika saja menjawab pertanyaan dari juru telangkai pihak pengantin lelaki itu sebagai berikut. Hormat menantu kepada besan, Beri lukisan di atas kanvas, Penghuni kampung menitip pesan, Tolong berikan si kunci emas. Maka terjadilah pertengkaran yang “dibuat-buat" dan tawarmenawar tentang penyelesaian adat. Akhirnya pihak pengantin laki-laki membayar uang batang-batang (sebagai kunci emas tadi) sebesar seperempat mahar. Setelah uang batang-batang ini dipenuhi, maka kain penghalang (dapat juga disebut penghalang pintu) ini dibuka, dan rombongan pihak pengantin laki-laki dipersilahkan untuk melanjutkan prosesinya, dengan komunikasi estetis dari telangkai pihak pengantin perempuan. Contoh pantun itu adalah sebagai berikut. Tangkap-tangkap si ikan momah, Ditangkap nelayan di bibir pantai, Silahkan masuk ke halaman rumah, Masih banyak halangan menanti. 181 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Gambar 5.18: Suasana Hempang Pintu Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. Oleh pihak pengantin wanita, di depan pintu pekarangan telah disediakan tiga orang untuk mengangkat pengantin laki-laki dan kedua gading-gading sampai ke depan pintu rumah pengantin wanita, di tempat inilah mereka diturunkan. Di depan pintu telah menanti pula beberapa impal (anak laki-laki dari saudara ibu yang laki-laki atau kemanakan). Mereka berhak atas adat hempang pintu sebanyak seperempat mahar. Sebelum uang adat tersebut dibayar, pengantin laki-laki tidak dibenarkan masuk—maka timbullah pertengkaran yang juga "dibuat-buat" atau “direkayasa.” Pihak impal pengantin wanita (melalui telangkai) berkomunikasi secara verbal sebagai berikut Datuk-datuk yang kami muliakan, Tinggilah terbang burung merpati, Hinggap sekejap di atas dahan, Apakah maksud datang kemari, Adat yang mana tuan bawakan? 182 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Impal larangan menghempang pintu, Bahu membahu berbanjar-banjar, Menuntut bahagian adat dahulu, Rela berkorban kalau dilanggar. Pihak telangkai yang mewakili pihak pengantin laki-laki pun menjawab sebagai berikut. Datuk-datuk yang kami hormati, serta keluarga sekalian yang kami muliakan, Tatkala dulu burung terbang, Panji sudah kita tanamkan, Orang kini mendapatkannya, Tatkala dulu kami datang, Janji sudah kita simpulkan, Sekarang kami menepatinya. Wahai ahlil bait yang baik hati, Menyambut kami datang kemari, Sangat pula berkenan hati, Hajat kami datang kemari, Sesuai mufakat beserta janji, Menghantar pengantin muda bestari. 183 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Gambar 5.19: Pijak Batu Lagan Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. Sudah terkembang payung adat, Sudah tersusun pulut balai, Sudah beriring bunga sirih, Disambut dengan tepung tawar, maka itu, Kami datang membawa adat, Hempang pintu mohon diurai, 184 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Inilah uncang orang yang letih, Hak impal seperempat mahar. Pihak telangkai pengantin wanita pun menyambutnya. Sudah terdinding kain tabir, sudah terbentang langitlangit, sudah terbentang tikar ciau, sudah berdiri pelaminan, sudah tersimpuh mempelai putri, hutang adat telah dibayar, hutang letih ditepung tawar, kain hempang kami turunkan, silahkan pengantin masuk ke dalam. Hempang pintu telah dibuka, pengantin laki-laki serta rombongan masuk ke ruangan tengah, dipimpin oleh anak beru perempuan pihak pengantin laki-laki. Kaum bapak tidak boleh masuk, melainkan duduk di ruangan depan. Setelah berada di ruangan tengah, pengantin laki-laki dan rombongan (terdiri dari kaum ibu) ditahan lagi—karena belum membayar hutang adat, yaitu penahanan tabir pendinding pelaminan yang dijaga oleh anak beru pihak perempuan. Pada saat ini terjadi lagi "pertengkaran." Apabila pihak pengantin laki-laki membayar uang adat sebesar seperdelapan mahar, maka dibukalah tabir pendinding pelaminan. Setelah itu, pengantin laki-laki memijak batu lagan. Seterusnya ia menuju pelaminan, tetap antara dua sampai tiga meter kembali berhenti, karena tikar dan kain belum dibentangkan, untuk menjadi tempat berjalan pengantin. Tikar tersebut dijaga oleh saudarasaudara ibu pengantin wanita. Pada saat ini saudara-saudara ibu pengantin wanita mempunyai hak adat yang disebut kembang tikar dan pihak pengantin laki-laki harus membayar seperdelapan mahar lagi. Setelah dibayar, maka tikar pun dikembangkan—dan pengantin laki-laki dibawa ke pelaminan. Sebelum menginjakkan tikar, terlebih dahulu menginjakkan sebuah talam sebagai lambang membersihkan kaki. Setelah itu pengantin tersebut dipersilahkan duduk pada kursi pelaminan, di sebelah kanan pengantin perempuan, yang dari semula telah duduk di kursi pelaminan. Pada 185 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya saat ini, wajah pengantin wanita masih ditutupi dengan kipas, dipegang oleh istri dari saudara laki-laki dari pengantin wanita. Gambar 5.20: Suasana Hempang Kipas Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. Maka pihak laki-laki dan hadirin yang saling bertanya-tanya, pertengkaran "berpura-pura" pun terjadi. Pihak pengantin wanita menyatakan bahwa hak adat yang terakhir belum dipenuhi, yakni membayar seperdelapan mahar lagi, untuk hak adat hempang kipas. Setelah mahar diberikan, maka kipas yang menutupi wajah pengantin wanita dibuka—dan hadirin dapat melihat kedua pengantin di pelaminan. Sirih genggam kedua pengantin tersebut ditukarkan. Pada sisi kiri dan kanan pengantin, duduk orang yang menjaga dan mengatur masing-masing pengantin. Maka bersandinglah kedua mempelai, dikipasi oleh kedua anak gading-gading dan dilihat beramai-ramai oleh sanak keluarga, tetangga, handai tolan, dan segenap yang hadir dengan penuh suka cita dalam konteks budaya. 186 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Gambar 5.21: Kedua Mempelai Duduk Bersanding di Pelaminan Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. Di atas tangga pelaminan sebelah bawah terletak sebuah tepak sirih, yaitu simbol menyambut mereka datang. Balai pulut yang dibawa oleh pihak pengantin laki-laki diletakkan sejajar dengan balai pulut pihak perempuan. Kemudian kedua pengantin ditepungtawari oleh kedua orang tua masing-masing, yang kemudian disusul oleh para kerabatnya, alim-ulama, tokoh-tokoh masyarakat, tetangga, dan lain-lainnya, sesuai dengan konteks dan keadaan para hadirin yang menghadiri acara ini. 187 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Gambar 5.22: Sembah Istri kepada Suami Dokumentasi: Junaidi Maimun dan Lailan Syafinah, 2001. Gambar 5.23: Sembah kepada Orang Tua Dokumentasi: Junaidi Maimun dan Lailan Syafinah, 2001. 188 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Gambar 5.24: Tepung Tawar dan Doa Dari Ayahanda Dokumentasi: Junaidi Maimun dan Lailan Syafinah, 2001. Gambar 5.25: Tepung Tawar dan Doa Dari Ibunda Dokumentasi: Junaidi Maimun dan Lailan Syafinah, 2001. 189 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Gambar 5.26: Tepung Tawar dari Kerabat Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. Menurut Lah Husni telah menjadi adat kebiasaan pula, bahwa puak Melayu memakai tampung (tepung) tawar5 pada beberapa upacara dan kejadian-kejadian penting, seperti perkawinan, pertunangan, khitanan, seseorang yang kembali dengan selamat dari suatu perjalanan, terlepas dari marabahaya, atau mendapat rahmat dari Tuhan di luar dugaannya.6 Menurutnya istilah tepung 5 Dalam penelitian lapangan, diperoleh data kultural, bahwa istilah tepung tawar ini berasal dari dua kata yaitu tampung dan tawar. Artinya seseorang itu menampung penawar, berupa doa-doa yang disertai ramuan-ramuan yang mengandung makna budaya. Istilah tampung tawar ini, lama kelamaan berdasarkan situasi zaman dan perubahan bahasa menjadi tepung tawar. 6 O.K. Moehad Sjah (2012:41) merinci penggunaan tampung tawar dalam kebudayaan Melayu itu, ke dalam beberapa konteks kebudayaan. Konteks tersebut adalah: (1) untuk pengantin pada saat, a. malam berinai, b. bersanding, c. lepas halangan (jika pengantin perempuan masih perawan); (2) wanita lepas bersalin atau melahirkan; (3) mencukur anak; (4) anak berkhitan atau sunat Rasul; (5) memasuki 190 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya tawar ini berasal dari kata tampung tawar yang maknanya tangan menampung penawar (obat). Susunan tepung tawar yang biasa digunakan oleh masyarakat Melayu, secara umum terdiri dari tiga bahagian pokok, yaitu sebagai berikut. (1) ramuan penabur yang terdiri dari: a. beras putih yang melambangkan kesuburan; b. beras kuning yang melambangkan kemuliaan dan kesungguhan; c. bertih yang melambangkan perkembangan, d. bunga rampai yang melambangkan keharuman nama, e. tepung beras yang melambangkan kebersihan hati; (2) ramuan rinjisan yang terdiri dari: daun kalinjuhang (silinjuhang; tangkai dan daun pohon pepulut (sipulut); daun gandarusa atau daun sitawar; daun jejerun (jerun-jerun); daun sepenuh; daun sedingin; dan pohon dan akar sembau; (3) perdupaan yang terdiri dari kemenyan atau setanggi yang dibakar—yang dapat diartikan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (Lah Husni, 1977:74-79), oleh sanak keluarga dari kedua belah pihak, 7 juga tokoh-tokoh adat, dan masyarakat sekitar. rumah baru yang ditempati; (6) orang yang akan berjalan jauh; (7) pulang selamat dari merantau atau perjalanan jauh; (8) permulaan membuka hutan untuk berladang; (9) permulaan menukal, membuat lubang di tanah untuk menanam padi, pada tujuh lubang pertama saja: a. kayu penukal dari batang sekapung, b. tampung tawar pada tanah yang akan ditugal, c. diletakkan air di dalam geluk (tempurung kelapa); (10) benih padi yang akan ditanam; (11) permulaan mengetam padi; (12) menyimpan padi dalam lumbung; (13) sembuh dari penyakit yang berat, dan (14) anak selesai berkelahi dan mengeluarkan darah. 7 Di dalam kebudayaan Melayu Riau (daratan dan kepulauan), istilah tepung tawar ini lazim disebut dengan tepuk tepung tawar. Menurut Tenas Effendy (2013), upacara tepuk tepung tawar ini, hakekatnya adalah doa untuk keselamatan dan kesejahteraan pemberi dan penerima, serta cerminan kesucian hati pihak penepuk tepung tawar dalam menerima dan melepaskannya dari Bumi Lancang Kuning (Riau) ini. Menurutnya, berbagai ramuan (alat kelengkapan) yang dibuat, memiliki makna-makna sebagai berikut: (a) daun setawar melambangkan adat penawar yang berbisa atau beracun, dan disebut juga membuang segala yang sial, menolak segala yang merusak, menawar segala perbuatan buruk manusia, jin, dan setan. (b) Daun sedingin, melambangkan kesabaran, ketenangan, kedamaian, 191 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Acara berikutnya, setelah tepung tawar adalah pemberian cemetuk dan makan nasi hadap-hadapan—yaitu segala macam "hiasan" yang dihadapkan kepada kedua pengantin serta hadirin dari kedua belah pihak yang dihormati atau dituakan. Kesemua hiasan tersebut terbuat dari makanan. Yang pertama adalah nasi sulang-sulangan—maksudnya agar kedua pengantin saling tolongmenolong. Lalu saling memberikan minuman dan keduanya saling berlomba mengambil hidangan berupa seekor ayam yang telah dimasak, dimasukkan pada tempat tertentu (kotak) ditimbuni dengan nasi minyak (lemak), yaitu nasi yang dimasak dengan santan kelapa). Di atas nasi tersebut dihiasi bunga-bungaan yang terbuat dari buah-buahan dan sayur-sayuran. kenyamanan, dan ketenteraman di dalam kehidupan. Disebut juga sebagai penyejuk hati atau pelapang dada, atau dikatakan supaya yang panas menjadi dingin, supaya yang marah tidak menyalah. (c) Daun ati-ati, melambangkan sikap kehati-hatian, waspada, cermat, yang juga lazim disebut supaya bercakap dengan beradab, berbual dengan akal, berbicara berkira-kira, bergaul secara betul, duduk pada yang elok, tegak pada yang layak, mencontoh pada yang senonoh, meneladan pada yang sepadan, meniru pada yang sejudu, memakai pada yang sesuai, supaya nasehat membawa manfaat, supaya petuah membawa faedah. (d) Daun ganda rusa, melambangkan obat dari segala penyakit dari luar, yang lazim disebut penolak bala, sihir, fitnah, hasad, dengki, dan lainnya; sebagai lambang menegakkan tuah dan marwah. (e) Bedak limau, melambangkan ketulusan dan kebersihan hati dalam kehidupan pribadi, berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Juga dikatakan membuang segala karat dunia. Membersihkan yang lahir, mensucikan hati, membersihkan yang nampak, mensucikan yang tidak nampak. (f) Daun percung, wewangian yang melambangkan menjaga nama baik, atau keharuman nama pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, pengarum tuah dan marwah, pewangi harkat dan martabat. (g) Beras kunyit, melambangkan kemurahan rezeki dan melimpahnya rahmat Allah, cerminan kesuburan, rezeki tak putus, rahmat tak habis. (h) Beras basuh, melambangkan kesucian diri lahir dan batin, kesucian harta, usaha, pekerjaan, membasuh yang kotor, mensucikan yang baru, agar rezeki menjadi halal dan bertugas secara ikhlas. (i) Bertih, melambangkan sikap timbang rasa, toleran, senasib sepenanggungan, seaib semalu, yakni perpaduan hidup, direndang sama pecah, dibakar sama hangus. (j) Bunga rampai, melambangkan keberagaman hidup yang penuh kasih sayang, dengan nama baik, harum, dan semerbak. 192 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Gambar 5.27: Persembahan Barzanji dan Marhaban Mengiringi Acara Tepung Tawar Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. Lebih rinci lagi Moehad Sjah (2012:42-44) menjelaskan bahwa selesai acara tampung tawar, bidan pengantin menurunkan kedua mempelai dari pelaminan. Etikanya kelingking kanan pengantin perempuan dikaitkan dengan kelingking kiri pengantin lelaki, lalu berjalan memasuki bilik tempat diselenggarakannya pemberian cemetuk. Setelah sampai di bilik, kedua mempelai duduk di atas tilam berlapiskan tikar ciau. Kemudian pengantin wanita menyembah dan mencium tangan suaminya. Mempelai lelaki memasangkan sebuah cincin ke jari istrinya. Cincin ini disebut cemetuk. Keduanya kemudian dibawa ke ruangan untuk upacara makan nasi hadaphadapan. Dalam kebudayaan Melayu, makan nasi hadap-hadapan (adapadapan) ini dimaknai dalam konteksnya sebagai berikut: (a) nasi minyak di dalam pahar, yaitu santapan raja dengan permaisurinya, 193 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya dan sebagai hidangan kehormatan; (b) jambar istimewa di muka pengantin yang disediakan untuk tetamu terhormat, yang bermakna sifat dermawan raja, makan enak bukan untuk raja dan kerabatnya saja tetapi untuk semua orang. Gambar 5.28: Berbagai Jenis Makanan yang Disediakan pada Acara Makan Nasi Hadap-hadapan Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. Adapun materi nasi adap-adapan ini, adalah sebagi berikut: (1) sebuah pahar atau dulang penuh berisikan nasi minyak, di dalamnya dibenamkan seekor ayam masak bulat; (2) sebuah pahar atau dulang yang berisi penuh dengan pelbagai macam kueh. Di depan kedua pahar ini dihidangkan jambar berseprah indah berisi lengkap dengan piring, gelas, makanan, dan lauk-pauk yang istimewa. Di antaranya dilengkapi pula dengan halua (dari berbagai jenis buah-buahan 194 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya seperti betik, asam gelugur muda, buah kundur, mergat, bunga betik, cabai, dan lainnya. Demikian pula beberapa buah pinggan yang berisikan ulam mentah dan masak. Dibentuk menjadi berbagai macam benda, misalnya betik yang direbus dibentuk seperti burung, ikan, dan lainnya. Begitu juga lauk-pauk istimewa seperti ikan sembam, udang galah, ayam panggang, anyang kepah, kepala kambing, nasi minyak, nasi briyani, kari kambing, pajri terong dan nenas, dan berbagai buah-buahan. Gambar 5.29: Salah Satu Suasana Acara Makan Nasi Hadap-hadapan Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. Kedua mempelai disuruh berlomba dengan tertip mencari ayam masak bulat yang telah dibenamkan di dalam onggokan nasi minyak tadi. Jika terpegang kaki atau sayap ayam oleh sang lelaki, dapat ditafsirkan sang suami akan selalu pergi merantau. Makna dari makan nasi hadap-hadapan ini adalah penghormatan kepada 195 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya semenda. Dihidangkan khusus untuk semenda kaum wanita, ibu-ibu terhormat di sekitar rumah mempelai wanita tempat ia tinggal. Acara selanjutnya adalah naik sembahan. Kedua pengantin diarahkan oleh mak bidan untuk menuju ke ruang tengah. Di bilik ini telah duduk kedua ibu bapak pengantin dan segenap kerabatnya, sahabat dan teman-temannya, dan tetamu khusus yang ingin mengikuti acara ini. Kedua pengantin menyorongkan tepak dan menyembah kepada ibu dan bapaknya, kemudian nenek dan atoknya, dan segenap kerabat. Selepas acara naik sembahan ini, acara berikutnya adalah serah terima pengantin. Acaranya berupa pihak keluarga mempelai lakilaki menyerahkan secara resmi pengantin ini kepada pihak keluarga mempelai perempuan, terutama mertua lelaki dan perempuannya. Pihak mertua secara resmi menerimanya tinggal bersama di rumah mereka ini. Selanjutnya rombongan kerabat mempelai laki-laki pulang ke rumahnya masing-masing, sementara pengantin lelaki tinggal di rumah mintuanya. Dalam filsafat adat Melayu, kegiatan-kegiatan dalam rangkaian adat perkawinan ini merupakan suatu ikatan lahir dan batin antara kedua mempelai dan keluarganya—karena pada mulanya mereka (kedua pengantin) tidak saling kenal. Berbeda dengan zaman sekarang, umumnya mereka menentukan pilihannya sendiri, dan saling kenal sebelum beranjak ke jenjang perkawinan. Acara berikutnya adalah mandi bedimbar atau mandi berhias. Pada petang hari setelah semua acara selesai, maka kedua mempelai malakukan acara mandi bedimbar. Kegiatan ini dilakukan di sebuah tempat yang disebut panca persada di halaman rumah pengantin perempuan. Di halaman rumah disediakan empat tiang pada area yang berukuran sekitar 1 ½ kali 2 meter, di tiap sudutnya dipacakkan tiang tersebut. Tiang itu dihiasi dengan bunga hidup. Pada setiap sisi ruangan yang terbentuk tersebut dihiasi dengan daun kelapa muda dan diberi atap dari kain. Menurut Moehad Sjah (2012:46), panca persada ini dilengkapi dengan Sembilan perlengkapan (benda-benda) upacara, yaitu sebagai berikut. 196 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya (1) Sebuah pasu besar berisi air dicampur bunga rampai, yang disebut air taman, leher pasu tersebut dililit dengan daun kelambir (nyiur) muda yang dianyam dan diberi nama lipanlipan. (2) Sebuah pasu besar berisi air dicampur bunga rampai, irisan limau mungkur, dan setanggi, dinamakan air ukuf, yang secara budaya berfungsi untuk menolak bala, leher pasu ini dililit pula dengan lipan-lipan. (3) Empat gebuk yang pertama berisi empat batang gumba-gumba, yang kedua berisi empat batang menyerupai burung, yang ketiga berisikan empat buah berbentuk bola, dan terakhir berisi bentuk empat tangga mesjid, tiap leher gebuk dihiasi lipanlipan juga. (4) Dua buah mayang pinang yang masih bulat menyatu, diletakkan pada dua pasu tadi. (5) Satu gebuk berisi air doa selamat dan satu gebuk lagi berisi air tolak bala. (6) Dua buah kelapa muda dikupas sampai licin tinggal tempurungnya saja, dan dua butir telur ayam. (7) Dua batang lilin ditempatkan di dalam baki. (8) Sebuah pahar berisi perlengkapan tampung tawar dan sebuah perdupaan. (9) Sebuah baki berisi alat-alat hias, seperti bedak, celak, dan minyak wangi. Prosesnya adalah kedua mempelai didudukkan di atas kursi, lalu dilingkung di atas bahunya dengan sehelai kain panjang. Keduanya memakai kain basahan lalu ditepungtawari oleh tiga perempuan tua. Selanjutnya kedua pengantin tegak berdekatan di atas sepotong ujung daun pisang, lalu bidang melilitkan tujuh helai benang bola ke pinggang kedua pengantin seperti dua batang buluh yang diikat menjadi satu. Kemudian gumba-gumba diambil lalu disapukan tujuh kali dari kepala sampai ke kaki kedua pengantin. Selanjutnya masing-masing mulut pengantin diisi air melalui mayang pinang yang masih utuh, dan setelah masing-masing mulut mempelai penuh berisi air, mereka saling menyemburkan ke arah 197 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya wajah masing-masing pasangannya, dilakukan selama tiga kali berurutan. Selepas itu bidan memecahkan mayang pinang di atas kepala kedua mempelai, setelah pecah maka mak bidan menyapukannya kepada kedua pengantin mulai dari wajah hingga ke kaki, kemudian meletakkan telur ke dekat kaki masing-masing, lalu keduanya memijak telur tersebut sampai pecah. Kemudian, mak bidan memasang lilin lalu mengelilingkan tujuh kali kepada kedua pengantin dengan air ukuf, kemudian air taman, dan dimandikanlah keduanya. Sebagai penutup, mak bidan memandikan pengantin dengan air tolak bala dan di akhir sekali dengan air doa selamat. Seterusnya kedua pengantin makan sirih sambil bercermin. Mak bidan menyolokkan benang tiga untai ke pinggang kedua mempelai, diikat menjadi satu, ujung benang disimpul mati. Mak bidan memasang lilin, lalu mengedarkan lilin tadi mengelilingi kedua pengantin. Kedua bidan berlomba membakar simpulan benang dengan lilin sampai putus, lalu lilin dihadapkan ke wajah pengantin, dan dihembus oleh kedua mempelai sampai padam. Selepas itu kedua pengantin memakai pakaian yang indah, dibawa naik ke rumah, dan didudukkan di atas sebuah tilam yang tebal, dan disorongkan sebuah semerip (baki) yang berisikan aneka macam kue: piring berisi lepat berinti, buah Melaka, dua mangkuk bubur kacang hijau, piring berisi kueh rasidah, dan piring berisi kueh cucur. Keesokan harinya kedua pengantin dihiasi dengan pakaian pengantin kembali, untuk mengadakan sembah keliling yaitu untuk memperjumpakan keduanya dengan ayah, bunda, dan kaum keluarga dari pihak perempuan yang ada di rumah tersebut. Keduanya pun menyembah dengan bergantian dan memberikan cemetuk (hadiah) kepada sanak keluarga yang telah membantu pelaksanaan perkawinannya tersebut. Setelah itu dilanjutkan dengan acara para kaum kerabat memberikan nasehat-nasehat kepada kedua pengantin. 198 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Gambar 5.30: Suasana Mandi Bedimbar Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. 199 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 5.3.8 Meminjam Pengantin, Memulangkan Pengantin, dan Membawa Pindah Pengantin Perempuan Selepas semua kegiatan tersebut di atas, maka giliran selanjutnya dalam rangkaian adat perkawinan Melayu ini, adalah apa yang disebut dengan meminjam pengantin. Yang datang menjemput pengantin, biasanya tiga orang anak beru laki-laki dan tiga orang anak beru perempuan dari pihak pengantin laki-laki. Yang menemani pengantin wanita adalah tiga orang keluarganya pula. Apabila rombongan pengantin sampai ke rumah mertua pengantin wanita, maka kedua pengantin mencuci kaki di dekat pintu rumah, dilakukan di atas talam. Lalu pengantin wanita diperlihatkan beberapa bahan baku makanan yang telah disiapkan oleh pihak pengantin laki-laki, seperti: asam, garam, beras, dan lesung batu. Tujuannya adalah pengantin wanita telah menjadi bahagian dari keluarga pihak pengantin laki-laki dan dipersilahkan nantinya masak seperti yang dilakukan di rumahnya sendiri. Pada saat ini salah satu dari keluarga pengantin laki-laki berkata: "Inilah beras, asam, garam di rumah mertua; kalau datang sekali lagi, janganlah segan dan malu-malu, masaklah sendiri, karena ini rumah kamu juga." Kata-kata itu diartikan bahwa pengantin perempuan harus menganggap sebagai rumahnya sendiri. Apabila ia ingin memasak atau mengerjakan pekerjaan lainnya jangan ragu-ragu, sungkan-sungkan, dan malu-malu (Rais, 1983). Di rumah pihak pengantin laki-laki, kedua pengantin didudukkan juga di atas pelaminan dan ditepungtawari oleh keluarga pihak pengantin laki-laki. Setelah itu diadakan sembah keliling seperti yang dilaksanakan di rumah pihak pengantin wanita. Setelah tiga malam berada di rumah pengantin laki-laki, dan adatistiadat telah dijalani, maka kedua pengantin baru dihantar kembali pulang ke rumah keluarga pengantin wanita. Acara berikutnya adalah memulangkan pengantin. Menurut Gusti (2005:32) sampai pada hari yang sudah dijanjikan, kedua pengantin dihantar kembali ke rumah orang tua pengantin perempuan. Keduanya dibekali hidangan serta beberapa buah 200 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya peralatan dapur dan peralatan makan dan minum. Sampai di rumah pengentin perempuan, maka diserahkan kembali pengantin baru tersebut kepada kedua orang tua pengantin perempuan oleh para anak beru yang menghantarkannya dengan menyembahkan setepak sirih. Acara berikutnya adalah membawa pindah pengantin perempuan. Menurut Gusti (2005:33) sesudah beberapa hari kemudian datanglah anak beru dari pihak pengantin lelaki ke rumah orang tua pengantin perempuan, sebagai utusan dari kerabat pengantin lelaki. Tujuannya adalah membicarakan maksud hendak membawa pindah pengantin perempuan. Tepat pada hari yang telah ditentukan, maka datanglah utusan dari orang tua penagntin lelaki menjemput kedua pengantin. Utusan ini menyorongkan tepak sirih kepada orang tua pengantin perempuan sambil memohon ijin untuk membawa pindah kedua pengantin. Selepas saja mendapat ijin, maka dibawa pindahlah kedua pengantin. Dengan selesainya adat meminjam pengantin, memulangkan pengantin, dan membawa pindah pengantin perempuan ini, maka adat perkawinan telah selesai dikerjakan. Seterusnya tinggal kedua pengantinlah yang paling menentukan dalam mengarahkan perjalanan rumah tangganya. Yang penting disadari adalah perkawinan yang dijalani oleh kedua mempelai pastilah akan berisikan suka dan duka sekaligus. Dalam adat Melayu, perkawinan yang dipandang baik adalah perkawinan yang abadi, dalam membina biduk rumah tangganya. Kekal sampai munculnya keturunan mereka baik anak, cucu, cicit, dan seterusnya. Perkawinan ideal dalam budaya Melayu adalah perkawinan yang abadi ini. Namun jika di pertengahan jalan biduk rumah tangga mereka mengalami guncangan, bisa saja karena faktor internal atau eksternal, maka perceraian pun diperbolehkan. Namun demikian, dalam ajaran Islam, kegiatan halal yang “dibenci” Allah adalah perceraian. Namun seorang suami atau istri tidak diperkenankan bersikap dayus, yaitu membiarkan saja penyelewengan pasangan 201 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya hidupnya, dengan berpura-pura tidak tahu, untuk menyelamatkan biduk rumah tangga. Perceraian lebih baik dari sikap dayus ini. Gambar 5.31: Tengku Syahdan Salah Seorang Telangkai Senior Sumatera Utara Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. 202 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Gambar 5.32: Tengku Ismail Salah Seorang Telangkai Senior Sumatera Utara Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013. 5.3.9 Malam Pengantin, Kunjungan, dan Hari Megang Menurut Moehad Sjah (2012:50) pada masa dahulu di sekitar dasawarsa dua puluhan abad ke-20, masih terjadi hal yang aneh menurut adat masyarakat Melayu masa sekarang. Ada lima hal yang “aneh” itu, yaitu sebagai berikut. (1) Anak dara dipingit, ditempatkan di atas para atau loteng, tidak boleh sembarangan keluar rumah, jika ada kepentingan harus keluar bertudung lingkup, atau terselubung kain sarung, yang tampak hanya kedua mata saja, dan dikawal seorang perempuan kerabatnya yang telah berusia relatif tua; (2) Lelaki muda yang hendak kawin, tidak diperkenankan mencari jodohnya sendiri, harus mengikut pilihan ibu atau kerabatnya; 203 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya (3) Banyak pengantin lelaki yang tidak mengerti melakukan coitus (jimak, persetubuhan), sehingga harus diajari langsung oleh mak bidan pengantin. (4) Ayah, ibu, serta kerabat kedua belah pihak menanti dengan harap-harap cemas apakah telah dilaksanakan jimak, sehingga tiap hari mak bidan pengantin ditanyai. Oleh karenanya mak bidan pengantin tidak diperbolehkan pulang sebelum jimak dilakukan oleh kedua pengantin, dan mak bidan ini berusaha sekaut mungkin agar hubungan suami istri itu segera dilakukan. (5) Jika lebih dari tiga malam keduanya belum melakukan jimak, maka pengantin lelaki dianggap tidak mampu “melaksanakan tugasnya.” Namun jika malam pertama sudah dilakukan ia dikatakan sebagai “lelaki rakus.” Kesucian seorang gadis sebagai istri dan pendamping, memang mendapat prioritas utama di kala itu. Jika sang mempelai perempuan itu adalah gadis yang suci, maka ibu pengantin lelaki mengirimi sebuah talam yang berisi: 1. tiga buah kelapa yang sudah dikupas, dan tidak ditebuk, 2. seekor ikan daing (talang) yang besar, biasanya dalam bentuk ikan kering, 3. sepiring pulut kuning berinti, dan 4. alat tampung tawar. Ini sebagai ekspresi kegembiraan mereka sekeluarga karena sang mempelai wanita masih perawan. Selanjutnmya, pada masa dahulu itu dilakukan juga kunjungan pengantin baru kepada unsur-unsur sosial berikut ini: (a) raja yang bertempat tinggal terdekat, (b) datuk yang bertempat tinggal terdekat, (c) penghulu kampung, dan (d) keluarga-keluarga akrab ayah dan ibu kedua mempelai. Kunjungan kepada unsur-unsur sosial tersebut harus berpakaian pengantin lengkap dan diiringi dua kerabat yang perempuan. Dalam peradaban Melayu, kunjungan kedua pengantin ini disebut dengan mebat. Orang yang dikunjungi ini akan memberikan buah tangan kepada kedua pengantin, bisa berupa hadiah atau cemetuk. Perlu pula di sini dijelaskan tentang hari megang puasa atau megang hari raya. Jika kedua calon pengantin masih dalam masa pertunangan atau sudah dilakukan peminangan, tetapi belum 204 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya dilakukan upacara istiadat perkawinan (akad nikah), dan keduanya bertemu dengan: (1) hari megang, yaitu sehari sebelum puasa, maka calon mempelai lelaki mengirimkan daging bantai. Yaitu daging lembu beserta dengan rempah-rempahnya, ke rumah orang tua calon mempelai perempuan. Kemudian ibu calon mempelai perempuan mengirim seperangkat hidangan lengkap ke rumah keluarga calon mempelai lelaki. (2) hari megang hari raya, maka calon mempelai lelaki mengirimkan daging bantai dan sepasang kain baju serta alat perhiasan ke rumah calon mempelai wanita. Kemudian keluarga calon mempelai wanita mengirimkan balasan berupa seperangkat hidangan lengkap serta air ukuf ke rumah calon mempelai lelaki (Moehad Sjah, 2012:54). Demikian aktivitas malam pengantin, kunjungan kepada unsur sosial pimpinan umat Melayu, dan hari megang, yang terjadi pada masa-masa awal abad kedua puluh tersebut, yang berhasil direkam oleh beberapa penulis budaya Melayu. 5.3.10 Resepsi Perkawinan Pada masa sekarang ini, sesuai dengan perkembangan zaman, dalam dimensi ruang dan waktunya, tidak jarang pula, setelah semua rangkaian upacara adat perkawinan Melayu seperti terurai di atas dilaksanakan, maka ada satu lagi rangkaian upacara perkawinan Melayu yang selalu diselenggarakan, yaitu pesta atau resepsi perkawinan. Acara ini sesuai dengan perkembangan zaman biasanya dilakukan di rumah kediaman mempelai wanita. Juga lazim diselenggarakan di hotel-hotel, gedung-gedung yang memang disewakan untuk kepentingan seperti ini, dan tempat-tempat lain yang dipandang layak untuk diselenggarakannya resepsi perkawinan. Agak berbeda dengan upacara adat seperti diurai di atas, yang penuh dengan aspek ritual dan religi, maka acara resepsi perkawinan ini, lebih syarat dengan hiburan, kegembiraan, dan silaturahmi sosial. Tujuan utama resepsi perkawinan ini adalah mengumpulkan dengan cara mengundang kerabat, handai tolan, 205 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya teman-teman, dan semua pihak yang memang dipandang perlu untuk diundang dalam acara dimaksud. Dalam resepsi perkawinan ini, biasanya terlibat berbagai pihak, seperti penyedia makanan dan minuman untuk tetamu undangan, shooting audiovisual, pengambilan foto-foto pernikahan, sewa tempat perkawinan, sewa penginapan, pembawa acara resepsi pernikahan, pihak-pihak yang harus berpidato atau memberikan kata-kata nasehat. Begitu pula biasanya dibentuk panitia yang disiapkan untuk mengelola resepsi pernikahan ini. Meskipun acara resepsi perkawinan ini, tidak begitu menonjolkan aspek ritual dan religi, namun sebagaimana lazimnya kegiatan di dalam kebudayaan Melayu, tetap saja unsur agama menjadi akar tunjang utama di sini. Dalam upacara resepsi ini, biasanya diadakan kata-kata nasehat dari ulama, tokoh-tokoh masyarakat, juga yang mewakili kedua pihak keluarga besar pengantin. Kedua pengantin juga didudukkan di pelaminan yang telah disediakan untuk acara ini. Selain itu, sesuai dengan perkembangan zaman, pada acara resepsi pernikahan ini, pada masa sekarang lazim oleh para pihak yang diundang untuk menghadiri upacara tersebut, juga mengirimkan papan bunga yang isinya adalah ucapan selamat berbahagia kepada kedua mempelai. Papan-papan bunga ini merupakan ekspresi dari budaya material masyarakat di kawasan ini. Semakin banyak papan bunga yang dikirimkan biasanya dapat dimaknai bahwa kedua pengantin memiliki pergaulan yang luas di semua strata dan kalangan masyarakat. Budaya pengiriman papan bunga ini, dalam konteks Sumatera Utara, bukan hanya untuk resepsi pernikahan dalam kebudayaan Melayu saja, tetapi meluas di semua kalangan—baik itu agama, etnik, ras, dan lain-lainnya. Tampaknya budaya papan bunga ini menjadi sebuah kecenderungan budaya di Sumatera Utara. Selain dari papan bunga, biasanya dalam konteks acara resepsi pernikahan ini, selalu pula disediakan tempat berupa kotak yang dihias, untuk para undangan memberikan sejumlah uang yang dimasukkan ke dalam amplop dan dimasukkan ke dalamnya. 206 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Tujuan dari kegiatan ini adalah para undangan turut merasakan kebahagian kedua mempelai dan memberikan hadiah berupa sejumlah uang kepada keduanya. Ini adalah sebuah kegiatan yang bersifat kultural di kawasan ini. Selain itu, bagi mereka yang mau memberikan kado, berupa benda-benda seperti jam dinding, jam tangan, kipas angin, seprei, kompor masak, gelas, piring, dan sebagainya juga dapat diberikan kepada panitia yang mengurusinya. Pihak panitia juga biasanya menyediakan cenderamata kepada semua undangan yang hadir. Cenderamata ini bisa berupa tas kecil, pulpen, bingkai foto, lampu kecil, gantungan kunci, dan bendabenda sejenis. Di dalamnya biasanya diselipkan ucapan terima kasih dari kedua mempelai bersama keluarga besarnya. Dalam acara resepsi perkawinan ini, aspek yang paling menonjol adalah hiburan berupa seni pertunjukan musik dan tarian. Yang paling sering diadakan adalah pertunjukan musik keyboard, yang cukup banyak tersedia di kawasan ini. Musik keyboard ini, biasanya terdiri dari seorang pemain keyboard, dua atau lebih penyanyi perempuan dan laki-laki, disertai dengan rodes (mengurusi peralatan dan sound system), dan lain-lainnya. Mereka akan membawakan lagu-lagu sesuai dengan suasana yang ada, apakah lagu-lagu pop Melayu, daerah Sumatera Utara, musik populer Indonesia dan Barat, dan lain-lainnya. Dalam konteks acara hiburan dalam resepsi perkawinan ini, ada pula yang menanggap band yang cukup ternama di Sumatera Utara, atau mendatangkan artis dan band dari Jakarta. Semua ini tergantung dari keinginan penyelenggara pesta, keuangan, dan orientasi acara tersebut. Acara resepsi pernikahan di hotel atau gedung ini, biasanya dimulai dengan prosesi kedua pengantin beserta kedua keluarga besarnya menuju pelaminan yang telah ditata sedemikian rupa. Pada saat masuk ini, lazim juga dipertunjukkan tari Persembahan atau tari Zapin. Acara ini dipandu oleh juru acara. Selanjutnya kedua mempelai duduk di kursi di pelaminan. Pengantin pria di sebelah kanan pengantin perempuan. Ayah dan ibunya mengapit di sisi 207 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya kanan untuk pengantin pria dan di sisi kiri kedua orang tua pengantin perempuan. Selanjutnya dilakukan pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang ulama atau ustadz. Seterusnya adalah kata sambutan dari ulama. Diteruskan dari tokoh masyarakat. Kemudian dilanjutkan dengan kata sambutan dari yang mewakili keluarga pengantin perempuan, juga yang mewakili dari keluarga mempelai laki-laki. Setelah itu, dilakukan upacara tepung tawar dari kedua keluarga besar. Selepas itu, salam-salaman dari para hadirin yang diundang. Biasanya selepas salaman diadakan acara foto bersama pengantin untuk para undangan ini, dari satu undangan ke undangan berikutnya, tergantung situasi yang ada. Sementara para tetamu biasanya makan makanan yang telah disediakan oleh panitia penyelenggara, sambil menikmati hiburan musik atau tarian. 208 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya Gambar 5.33: Contoh Foto Suntingan Upacara Resepsi Pernikahan di Medan Yang Dijadikan Bahan Promosi bagi Fotografer dan Ahli Shooting Video Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 20 209 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Gambar 5.34: Salah Satu Suasana Resepsi Adat Perkawinan Melayu yang Diselenggarakan di Gedung Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013 Gambar 5.35 Busana Pengantin Melayu dalam Gaya Selayar Eropa Dokumentasi: Junaidi Maimun dan Lailan Syafinah, 2001 210 Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan gagasan Budaya Gambar 5.36 Papan Bunga pada Resepsi Adat Perkawinan Melayu sebagai Kecenderungan Budaya Masa Kini Dokumentasi: Junaidi Maimun dan Lailan Syafinah, 2001. 211 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya BAB VI FUNGSI PERKAWINAN 6.1 Pengenalan Semua ide (gagasan), kegiatan, dan benda-benda yang terdapat di dalam kebudayaan manusia, memilki fungsi-fungsi tersendiri, sesuai dengan tujuannya. Kegiatan atau aktivitas manusia ini merupakan salah satu perwujudan kebudayaan, yang di dalamnya juga pastilah terkandung aspek-aspek sosial kemasyarakatan. Fungsi-fungsi dari semua kegiatan yang dilakukan manusia, adalah untuk mendukung sistem sosial yang telah dibangun bersama, terutama untuk terciptanya konsistensi internal di dalam sebuah kebudayaan masyarakat. Contohnya para nelayan yang menangkap ikan di laut. Kegiatan sosial dan budaya ini, fungsinya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, menafkahi anak dan istrinya. Dengan menangkap ikan ia akan menjualnya dan menerima uang dari hasil penjualan tersebut. Selanjutnya uang yang diterimanya dibelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan hidup, seperti bahan-bahan pokok: beras, gula, minyak makan, gas, sayur-mayur, lauk-pauk, garam, dan seterusnya. Dengan menafkahi keluarganya, maka akan terjadi harmoni sosial dan konsistensi internal budaya. Artinya sebuah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, atau bahkan secara ekonomis melebihi kebutuhan hidupnya, maka akan sejahteralah keluarga tersebut. Dampaknya akan terjadi harmoni sosial, keluarga ini akan mendukung stabilitas dan ketahanan ekonomi masyarakat, bahkan mungkin akan memberikan sebahagian hartanya untuk kepentingan orang-orang lain yang membutuhkannya di dalam masyarakat tersebut. Demikian pula yang terjadi di dalam adat perkawinan Melayu Sumatera Utara. Untuk mengkaji fungsi adat perkawinan di dalam kebudayaan masyarakat Melayu ini digunakan teori fungsionalisme dalam ilmu 212 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya antropologi yang ditawarkan oleh beberapa pakar. Mereka menggagas teori fungsi itu sebagai berikut. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu yang ada dapat saja berganti setiap saat. Oleh karena itu, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya secara jelas dan tegas melalui kutipan berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a particular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181). Dalam kaitannya dengan adat perkawinan dalam kebudayaan Melayu, maka institusi ini adalah salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas masyarakat Melayu, yang tujuannya adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi internal. Adat adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung tegaknya budaya Melayu secara keseluruhan. Adapun secara rinci berbagai fungsi adat perkawinan Melayu ini adalah seperti yang diurai berikut ini. 6.2 Fungsi untuk Keberlanjutan Generasi Manusia Melayu Di antara fungsi perkawinan yang paling menonjol di dalam kebudayaan masyarakat Melayu adalah untuk keberlanjutan (kontinuitas) generasi manusia Melayu. Dengan digagasnya perkawinan dan dilaksanakannya istiadat perkawinan Melayu, maka akan memberikan 213 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya fungsi lebih jauh yaitu manusia Melayu akan berlanjut. Karena untuk mendapatkan keturunan, aspek yang wajib dilakukan adalah menyelenggarakan adat perkawinan Melayu, dimulai dari merisik, meminang, jamu sukut, akad nikah, berinai, mengantar pengantin bersanding, hempang batang, hempang pintu, hempang kipas, bersanding, sembah orang tua, tepung tawar, marhaban, barzanji, mandi bedimbar, meminjam pengantin, dan seterusnya. Dengan melakukan upacara adat perkawinan ini, maka kedua pasang suami dan istri yang baru ini diabsahkan secara agama dan adat sekaligus. Keduanya diharapkan dan didoakan semoga akan segera mendapat anak, dan abadi sampai keturunan-keturunan selanjutnya, yaitu cucu, cicit, dan seterusnya. Dalam perspektif ini, keluarga baru ini menambah aset kepada tegaknya generasi Melayu dalam konteks mengisi ruang dan waktu dari zaman ke zaman. Dengan memiliki anak, maka jumlah umat Melayu akan bertambah, dan menjadi daya dorong untuk lebih meningkatkan daya gerak kebudayaan Melayu secara umum. Dalam perspektif budaya Melayu, anak ini nantinya akan meneruskan apa yang menjadi cita-cita kedua orang tuanya, yaitu umumnya berharap dan berdoa agar anaknya ini menjadi manusia yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsanya. Bahkan ketika orang tua meninggal dunia, maka putuslah semua pahala yang didapatinya di dunia, kecuali tiga hal yakni: sedekah zariah, ilmu yang diamalkan orang lain, serta anak yang saleh. Oleh karena itu, harapan setiap orang tua Melayu adalah mendapatkan anak yang saleh, yang akan dapat memberinya pahala, dan diterima di sisi Tuhan nanti setelah meninggal dunia. Anak adalah amanah Allah kepada orang tuanya. Demikian pentingnya institusi adat perkawinan ini dalam konteks untuk keberlanjutan generasi Melayu. Institusi adat perkawinan ini pun selaras dengan semboyan Hang Tuah, “Tak Melayu hilang di bumi.” Artinya kebudayaan Melayu akan terus tegak di bumi Allah ini, yang salah satunya adalah melalui kontinuitas dalam regenarasi manusia-manusia Melayu melalui terbinanya keluarga yang salah satunya diabsahkan melalui perkawinan. 214 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 6.3 Fungsi sebagai Kontinuitas dan Perubahan Budaya Institusi adat perkawinan dalam konteks kebudayaan Melayu secara meluas adalah berfungsi untuk kontinuitas dan perubahan kebudayaan. Artinya melalui adat perkawinan ini, maka kebudayaan Melayu itu akan kontinu dan berubah dari zaman ke zaman. Dua sisi dimensional ini, yaitu kontinuitas dan perubahan jelas terjadi. Kontinuitas kebudayaan terjadi berdasarkan konsep adat sebenar adat, berupa hukum-hukum Allah terhadap semua ciptaan-Nya, termasuk manusia. Demikian pula perubahan terjadi menurut konsep adat yang diadatkan, menurut era dan ruang yang dilaluinya. Institusi adat perkawinan berfungsi untuk melanjutkan dan melestarikan kebudayaan Melayu serta tidak lupa mengembangkannya berdasarkan semua kejadian di dunia ini. Melaui institusi ini, maka terciptalah generasi-generasi Melayu berikutnya menggantikan generasigenerasi Melayu sebelumnya. Dengan pergantian generasi ini, maka terjadi pula estafet dalam pengendalian dan polarisasi kebudayaan. Generasi penerus ini perlu pula harus diarahkan ke arah yang baik bagi kebudayaan Melayu. Aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian dalam hal ini adalah perlunya kebijaksanaan, kearifan, kemandirian, keteguhan, dan seterusnya dalam merspons segala perubahan. 6.4 Fungsi untuk Menjaga Struktur Kekerabatan Fungsi perkawinan di mana pun di dunia ini, termasuk di dalam masyarakat Melayu adalah untuk menjaga struktur kekerabatan. Perkawinan sebagai suatu ritual suci, bahkan sebagai ibadah, memiliki kaitan langsung dengan struktur kekerabatan. Tanpa adanya institusi perkawinan akan kacaulah susunan kekerabatan umat manusia. Tanpa perkawinan akan musnah struktur kekerabatan yang ditetapkan Tuhan kepada makhluk manusia. Pada dasarnya, institusi adat perkawinan adalah menyatukan dua insan keturunan Adam dan Hawa, dalam sebuah rumah tangga. Tujuannya amatlah mulia, yakni saling memberikan kasih sayang dan 215 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya cinta yang diabsahkan oleh agama dan adat sekaligus. Selain menyatunya dua insan ini, maka secara langsung akan menyatu pula dua keluarga besar, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan yang membina rumah tangga tersebut. Seterusnya di mana pun di dunia ini, dengan terwujudnya sebuah perkawinan, maka akan diatur tutur atau panggilan kekerabatan, baik secara vertikal maupun horizontal. Struktur kekerabatan inilah yang menjadikan manusia secara kelompok, baik kecil maupun besar, menjadi harmoni. Hidup dalam suasana kekeluargaan. Yang satu menyayangi yang lainnya, yang muda menghormati yang lebih tua, yang tua memberikan kasih sayang kepada yang muda sebagai sebuah keluarga besar. Nilai-nilai kebersamaan sebagai sebuah keluarga besar, sebagai dampak dari terwujudnya perkawinan ini begitu menonjol. Melalui institusi adat perkawinan ini, maka pihak-pihak yang tadinya mungkin berseteru atau berkonflik secara sosial, kini menjadi damai, karena telah menjadi sebuah keluarga besar. Begitu juga yang tadinya agak “menjaga jarak” karena berbagai perbedaan, apakah itu perbedaan budaya, ras, etnik, bahasa, tingkat sosioekonomi, jabatan, kekuasaan, dan lainnya—kini menjadi tidak berjarak lagi. Bahkan dalam sebuah keluarga besar, yang memiliki “kelebihan” apa pun memiliki kewajiban untuk membantu keluarganya yang membutuhkan. Dengan demikian, institusi adat perkawinan ini sangat berfungsi dalam menjaga struktur kekerabatan, dan sekaligus menjaga eksistensi setiap individu dalam sistem sosial masyarakat secara umum. 6.5 Fungsi untuk Pemenuhan Kebutuhan Biologis Fungsi institusi adat perkawinan lainnya adalah untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia diciptakan ke dunia ini memang berpasang-pasangan dalam konteks membentuk rumah tangga. Setiap manusia (yang telah akil baligh) diberikan Tuhan nafsu (libido seksual), yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya. Berbeda dengan makhluk malaikat, yang tidak diberi nafsu seperti ini. Oleh karena itu, malaikat secara fitrah akan selalu beribadah kepada Allah dalam mengisi keseluruhan hidupnya. 216 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Sebagai makhluk yang dianugerahi libido seksual ini, maka dalam ajaran Islam, dianjurkan hanya ada satu orientasi seksual, yaitu heteroseksual. Artinya laki-laki secara fitrahnya menyukai perempuan atau sebaliknya. Jika melanggar ketetapan Allah ini, maka itu termasuk kepada penyimpangan, baik psikologis, fisik, budaya, sosial, agama, dan seterusnya. Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan oleh Allah bahwa beberapa kaum manusia pernah diciptakan oleh Allah ke dunia, namun karena penyimpangannya dalam orientasi seksual ini, maka Allah kemudian menghapus kaum tersebut dari dunia ini, dan menggantikannya dengan kaum yang baru, yang mematuhi hukum Allah tersebut. Institusi adat perkawinan adalah berfungsi sebagai pengabsah hubungan biologis antara dua anak manusia. Pengabsahan ini selalu berdimensi agama dan kebudayaan sekaligus. Dengan melalui institusi perkawinan ini, maka dua orang yang secara alamiah memang ingin menyatu dalam biduk rumah tangga, disyahkan, dan diajurkan memenuhi kebutuhan libidonya dalam polarisasi yang benar, tepat, dan terarah. Dampak selanjutnya, dengan tersalurnya libido manusia ini, maka setiap orang yang berumah tangga akan merasakan bahwa dirinya adalah makhluk sempurna, yang tunduk kepada perintah Tuhan dalam konteks menjadikan dirinya manusia yang seutuhnya. Berbagai dampak positif akan ia peroleh melalui “tersalurnya” kebutuhan biologis ini, seperti: penuh dengan tanggung jawab, memiliki orientasi kuat ke masa depan untuk menjadi lebih baik, mengasah dan mengaplikasikan sikap toleransi kepada pasangan hidup dan akhirnya kepada semua orang dan makhluk, merasa mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari pasangan, dan lainlainnya. 6.6 Fungsi sebagai Kesempurnaan sebagai Makhluk Manusia Fungsi institusi adat perkawinan lainnya adalah bagi mereka yang telah melaksanakannya adalah merasakan kesempurnaan sebagai makhluk manusia. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan Allah di dunia ini. Manusia sebagai makhluk sempurna ini, selalu juga disebut sebagai khalifah di muka bumi. Ini bermakna bahwa manusialah yang wajib menjadi pemimpin bagi semua 217 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya makhluk di muka bumi. Jika manusia rusak, maka akan rusak pulalah alam ini, karena diakibatkan oleh kepemimpinan yang tersandang pada setiap manusia. Sebaliknya, jika manusia itu sebagai makhluk yang sempurna menjadi rahmat kepada seluruh alam, maka akan damai dan sejahteralah semua yang ada di dunia ini, baik itu lingkungan, hewan, tumbuhan, alam makrokosmos, alam mikrokosmos, sampai juga makhluk-makhluk yang berada di alam gaib. Dengan melakukan perkawinan ini, maka sempurnalah ia sebagai manusia ciptaan Tuhan. Perkawinan adalah sebagai sebuah anugerah dan juga takdir yang diturunkan Allah kepada manusia. Maka dengan melakukan perkawinan, yang diabsahkan oleh agama dan adat, merasa dan dipandang sempurnalah mereka itu. Bahkan ketika seseorang itu sebenarnya mampu untuk melakukan perkawinan, baik dari sudut batin, fisik, harta, kedudukan dan pangkat, dan lainnya yang mendukung, dan ia dengan sengaja tidak melakukan perkawinan, maka ia dipandang menyalahi hukum Tuhan. Bahkan dalam Islam, orang yang mampu melakukan perkawinan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah, dan ia tidak melakukan itu, maka Nabi Muhammd menyatakan bahwa ia bukan umatnya. Apa maksud dari sunnah Rasulullah ini adalah bahwa seorang muslim yang taat kepada perintah Allah (sebagai cara menjadi orang takwa), jika ia mampu untuk berumah tangga, maka lakukanlah, jangan menghindarinya. Itu adalah sebagai bagian dari menuju manusia yang sempurna (insan al-kamil). Namun demikian, bagi setiap muslim yang belum mampu untuk melakukan pernikahan, baik itu material, fisik, dan spiritualnya, maka ia dianjurkan untuk melakukan puasa. Inti ajaran puasa ini adalah untuk mengelola nafsu agar tidak liar dan tak dapat dikendalikan. Seorang muslim yang baik diajarkan untuk dapat memanajemeni libido yang dianugerahi Tuhan. 6.7 Fungsi untuk Menghindari Perbuatan Dosa Fungsi institusi perkawinan lainnya adalah untuk menghindari perbuatan dosa. Sebagimana diketahui, setiap manusia diciptakan Tuhan disertai dengan nafsu seksual. Nafsu ini haruslah dikendalikan dan 218 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya diarahkan ke arah yang benar menurut ajaran Tuhan—bukan dimatikan, ditiadakan, atau diselewengkan. Hampir semua agama atau kepercayaan yang ada di dunia ini, tidak membenarkan perzinahan dilakukan oleh manusia. Perzinahan, seperti layaknya hewan adalah perbuatan dosa, yang menyimpang dari ajaran yang telah ditetapkan oleh agama apapun. Dampak dari perzinahan ini, memang akan menggerus peradaban manusia secara keseluruhan. Bukan hanya dosa dan dampaknya bagi yang melakukan, tetapi juga struktur sosial yang telah ada secara harmonis akan terganggu bahkan ditiadakannya. Perzinahan akan menghasilkan susunan masyarakat yang tak tentu arah, dan rusaklah turai sosial dan kekerabatan yang telah dibangun oleh institusi perkawinan. Oleh karena itu, setiap manusia yang melakukan perkawinan sebenarnya adalah untuk menghindari perbuatan dosa. Orang yang melakukan perkawinan akan mendapat ridha Tuhan, serta ketenteraman hidup bersama pasangannya. Dengan disertai berbagai dampak positif, baik secara sosial maupun budaya. Dengan melakukan perkawinan, maka kalau dilakukan di luar perkawinan akan menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti tidak jelasnya status anak, tidak jelasnya status wanita yang hamil dan melahirkan di luar nikah, dan lainnya, maka di dalam perkawinan akan menjadi dampak dan energi positif. Kalau dilakukan di luar perkawinan akan menjadi dosa, maka di dalam perkawinan akan menjadi pahala. Dalam Islam, hubungan suami istri ini merupakan ibadah, sedekah kepada pasangan. Bahkan di dalam ajaran Islam, secara metaforik digambarkan istrimu adalah pakaianmu, demikian pula suamimu adalah pakaianmu pula. Istri ibarat ladang yang harus perlu selalu ditanami dengan pepohonan “cinta,” dirawat, diperhatikan sepanjang waktu, dan akhirnya akan menghasilkan tanaman-tanaman yang memberikan manfaat dalam keluarga tersebut. 6.8 Fungsi Etika dan Norma-norma Sosial Fungsi institusi perkawinan lainnya adalah sebagai ekspresi dari etika dan norma-norma sosial. Di manapun di dunia ini, setiap kelompok 219 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya manusia memiliki etika (moralitas) dan norma-norma sosial yang menjadi panduan di dalam menjalani kehidupannya. Salah satu etika manusia adalah melakukan perkawinan. Manusia yang yang tidak melakukan perkawinan dengan sengaja yang sebenarnya ia mampu, maka ia telah menyalahi etika sosial yang berlaku dalam kelompok masyarakatnya. Demikian juga seseorang yang memiliki rasa kebersamaan secara sosial, ia akan memperdulikan norma-norma yang menjadi acuan adat dalam kehidupannya. Di antara norma-norma sosial manusia yang universal adalah melaksanakan perkawinan ketika ia telah mampu untuk itu. Perkawinan adalah sebuah manifestasi dari etika yang dibangun oleh sekelompok manusia di mana pun di dunia ini. Di dalam perkawinan terkandung nilai-nilai etika (moralitas). Orang yang beretika adalah orang yang melakukan perkawinan ketika ia mampu, bukan sebaliknya. Demikian pula norma-norma sosial ini mengatur bagiamana sebuah keluarga inti melakukan perkawinan menuju rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. 6.9 Fungsi Ekspresi Hubungan kepada Allah dan Makhluk Fungsi institusi perkawinan lainnya adalah ekspresi atau pengejewantahan hubungan manusia yang melaksanakannya kepada Allah dan juga semua makhluk ciptaaan Allah. Sebagai mahluk ciptaan Allah, memang dirinya sadar bahwa dirinya adalah makhluk Tuhan. Sebagai makhluk ia harus mematuhi segala ajaran-ajaran dan petunjukpetunjuk yang datangnya dari Tuhan, sebagai pencipta dirinya. Dalam membentuk hubungan yang baik ini, maka seorang manusia menuruti perintah Tuhan, yang salah satunya melakukan perkawinan. Sebagai makhluk yang memiliki daya berpikir melebihi makhluk-makhluk lain, maka seorang manusia dapat berpikir bahwa di balik perkawinan ini banyak fungsi sosial dan budaya yang terkandung di dalamnya. Dengan melakukan perkawinan, maka seorang manusia itu sebenarnya telah menjaga hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta dirinya. Selain kepada Tuhan, perkawinan juga merupakan ekspresi menjaga hubungan dengan manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Melalui 220 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya perkawinan, maka seorang itu telah melakukan kontak sosial dan budaya dengan suami atau istrinya. Lebih jauh lagi kepada keluarga besar suami atau istrinya. Lebih luas lagi, dengan terjalinnya hubungan yang semacam ini, akan berdampak positif bagi konsistensi internal peradaban manusia secara keseluruhan. Selain itu, perkawinan juga mendekatkan setiap manusia dengan lingkungan dan semua makhluk yang ada di dunia ini, berdasarkan konsep sebagai sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, jangan saling menyakiti, tetapi saling menjaga harmoni. Demikian kira-kira tafsiran kami terhadap fungsi institusi adat perkawinan dalam semua kelompok manusia di dunia, termasuk dalam kebudayan Melayu. 221 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya BAB VII SENI PERTUNJUKAN DALAM RANGKAIAN UPACARA PERKAWINAN 7.1 Pengenalan Masyarakat Melayu pada umumnya adalah masyarakat yang menjunjung tinggi kesenian, sebagai pemberi ciri utama terhadap tamadun (peradaban) mereka. Masyarakat Melayu adalah masyarakat yang mencintai estetika, sesuai ajaran Islam, bahwa Allah itu indah dan Allah menyukai keindahan. Oleh karena itu, sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pastilah setiap manusia juga mencintai keindahan. Keindahan ini merupakan kebutuhan dalam kehidupan yang ditempuh manusia. Keindahan tersebut dapat berupa gerak, yang dihubungkaitkan dengan seni tari. Jika keindahan tersebut diekspresikan melalui titik, garis, bentuk, warna, komposisi, dan sejenisnya maka keindahan ini disebut dengan seni rupa. Apabila keindahan tersebut diekspresikan melalui melodi, harmoni, atau ritme, maka ia disebut dengan seni musik. Selanjutnya apabila keindahan tersebut diekspresikan melalui prolog, dialog, epilog, pertunjukan panggung, pencahayaan, musik, tari, dan lainnya, yang kemudian mendukung sebuah seni pertunjukan, maka seni ini disebut teater atau drama. Demikian pula dalam konteks rangkaian adat upacara perkawinan Melayu, dalam beberapa tahapnya selalu menggunakan seni. Penggunaan seni ini merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dari adat, terutama dalam konteks adat-istiadat Melayu. Penggunaan seni itu di antaranya mencakup seni kuliner, seni arsitektur terutama dalam konteks pelaminan dan hiasan-hiasannya, 222 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan busana (pengantin dan peserta upacara), seni pertunjukan (musik dan tari), dan lain-lainnya. Penggunaan seni persembahan dalam rangkaian upacara adat perkawinan Melayu ini dapat diuraikan seperti berikut ini. 7.2 Penggunaan Seni Persembahan Seni persembahan atau pertunjukan biasanya digunakan dan berfungsi dalam setiap upacara adat perkawinan Melayu. Di dalam pertunjukan ini terkandung nilai-nilai budaya. Yang penting pula adalah memperkuat identitas kebudayaan, terutama adat perkawinan Melayu. Berbagai seni pertunjukan dilakukan oleh para seniman Melayu di dalam rangkain upacara adat perkawinan ini. Genre-genre seni pertunjukan tersebut, ada yang memang hanya dilakukan dalam tahapan upacara tertentu, tetapi ada pula yang diselenggarakan untuk berbagai acara dalam rangkaian upacara adat perkawinan Melayu ini. Selengkapnya, berbagai seni pertunjukan yang digunakan itu dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 7.1: Kegiatan Upacara dan Seni yang Digunakan No. Kegiatan Upacara Seni yang Digunakan 1. merisik kecil melalui seorang telangkai (perantara); merisik resmi, dan meminang; menyorong tanda sebagai pengabsahan pertunangan; ikat janji; jamu sukut; berinai; berinai curi; berinai kecil; berinai besar; pertunjukan tari dan musik inai; hiburan pertunjukan budaya; Tari inai dan seni pertunjukan (hadrah, burdah, zapin, 2. 3. 4. 5. 6. 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 223 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya ronggeng, dan sejenisnya) 7. 7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6 7.7 7.8 8. 8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 8.6 8.7 akad nikah keluarga lelaki, keluarga perempuan, tuan kadi, saksi-saksi akad nikah, pelaksanaan akad nikah, pembacaan sighat taklid oleh mempelai lelaki, doa barzanji dan marhaban menghantar pengantin silat tarik hempang batang silat laga tukar tepak sirih di halaman tukar memayungi pengantin perang bertih/ bunga rampai Tari Persembahan (Makan Sirih) 8.8 8.9 8.10 8.11 8.12 8.13 8.14 8.15 sepatah kata di halaman hempang pintu pijak batu lagan sembah mertua hempang kipas/ pelaminan tepung tawar makan nasi hadap-hadapan/ nasi belam hiburan seni pertunjukan 9. 10. mandi bedimbar/mandi berhias resepsi pernikahan (di rumah atau di hotel) 11. meminjam pengantin 224 Barzanji dan marhaban Silat dan musik Patam-patam Silat dan musik Patam-patam Tari Persembahan dan Lagu Makan Sirih Barzanji dan marhaban Seni pertunjukan (musik dan tari) Seni pertunjukan (musik dan tari) Seni pertunjukan (musik dan tari) Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan 12. 13. 14. 15. 16. malam bersatu/malam pengantin naik halangan cemetuk kedua dari suami kunjungan pengantin baru hari megang Seperti terdapat di dalam tabel tersebut, maka dapat diketahui bahwa berbagai genre seni pertunjukan ada yang digunakan dalam acara tertentu dan ada pula yang digunakan dalam berbagai acaranya. Seperti terlihat di atas, bahwa seni tari dan musik inai, digunakan dalam acara malam berinai. Kemudian barzanji dan marhaban diselenggarakan ketika selesainya akad nikah dan acara tepung tawar. Begitu juga lagu Rinjisrinjis diperdengarkan ketika acara tepung tawar. Di sisi lain, tari Persembahan dan Lagu Makan Sirih dipertunjukkan ketika acara menyambut kedatangan pengantin lelaki di tengah halaman rumah. Seterusnya berbagai seni pertunjukan Melayu, dipertunjukkan dalam acara-acara yang sifatnya hiburan dalam kerangka upacara adat perkawinan Melayu. Genre yang dipilih pun bebas, disesuaikan dengan keinginan tuan rumah dan penyelenggara pesta, juga keuangan yang tersedia. Di antara genre-genre seni pertunjukan yang dilakukan dalam konteks hiburan ini, adalah: (1) seni zapin (gambus); (2) seni ronggeng, (3) Serampang Dua Belas; (4) keyboard Melayu; dan lain-lainnya. 7.3 Seni Tari dan Musik Inai Menurut Curt Sachs (1963:5) dalam bukunya yang berjudul History of The Dance mengemukakan bahwa perkembangan tari sebagai seni yang tinggi telah ada pada zaman prasejarah. Pada awal kebudayaan tari telah mencapai tingkat kesempurnaan yang belum tercapai oleh seni atau ilmu pengetahuan lainnya. Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari, ditambah dengan penyesuaian dengan ruang, sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang 225 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dimana koreografi ini memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk tarian yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan penontonnya. Dimana di dalam penyajian tarian inai ini menggunakan gerakan variatif pencak silat khas Melayu. Hal ini berarti gerakan-gerakan yang terbentuk dalam tari adalah terstruktur ataupun terpola di dalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri. Adapun kata struktur di sini adalah bagianbagian yang melengkapi tari inai dalam pertunjukannya saling berhubungan satu dengan yang lain, ataupun tahapan-tahapannya. Dalam menyajikan seni inai ada dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam penampilannya, yakni unsur seni tari dan musik. Apabila penampilan seni inai tersebut dilakukan secara terpisah, maka unsur seni tari tidak dapat disebut sebagai tari inai (dalam konteks upacara inai dalam perkawinan tradisional Melayu). Sedangkan unsur musik dapat saja berjalan dengan diiringi gerakan silat. Kesenian inai ditampilkan khusus pada upacara perkawinan Melayu Sumatera Timur, di saat pengantin wanita duduk di atas pelaminan sehari sebelum upacara secara adat dimulai. Pengantin wanita duduk di atas pelaminan untuk ditepungtawari oleh pihak orang tua pengantin wanita serta kerabat tetangga yang dituakan. Upacara malam berinai yang dimeriahkan oleh seni inai, gambus, dan ronggeng, biasanya hanya dilakukan di rumah pengantin wanita. Di rumah pengantin pria tidak diadakan keramaian, hanya saja menurut adat resam, diadakan acara tepung tawar dan dilanjutkan pemasangan inai ke kuku jari-jari tangan dan kakinya, oleh temanteman dekatnya. Pada upacara malam berinai ini, pengantin pria tidak dibenarkan hadir di rumah pengantin wanita. Menurut penjelasan para informan, ini merupakan larangan, karena menurut adat Melayu, jika larangan tersebut tidak dipatuhi akan mendatangkan marabahaya yang tidak diinginkan, dan masyarakat setempat akan mencela keluarga pihak perempuan bahwa si calon pengantin pria tidak mempunyai adat sopan santun. Menurut keterangan mereka, malam inai dapat dilakukan selama tiga malam, yang dibagi menjadi: malam pertama disebut malam inai 226 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan curi, malam kedua inai adat, dan malam ketiga inai besar. Inai curi berarti pengantin diberi inai oleh teman-temannya sewaktu pengantin tidur, sehingga tidak ketahuan. Pada malam berinai adat, pengantin wanita dihiasi, didandani, dan didudukkan di atas pelaminan yang dihadiri oleh sanak keluarga, tetangga, dan kerabat, untuk ditepungtawari oleh beberapa orang yang berhak menurut adat. Yang berhak ini adalah kelurga pengantin wanita, seperti kedua orang tuanya, kakek dan neneknya, pakcik dan makciknya, pengetua adat, dan yang sejajar kedudukannya dengan yang disebutkan di atas. Lalu dilanjutkan dengan penampilan tari inai, gambus, ronggeng, dan hadrah. Setelah selesai penampilan tari inai, pengantin wanita diberi inai pada kuku jari-jari tangan dan kakinya oleh kedua orang tuanya, keluarga, teman-teman dekatnya (khususnya wanita). Setelah acara demi acara ditampilkan, maka pengantin wanita dibawa masuk ke kamarnya untuk berinai yang sebenarnya, yang juga disebut malam berinai besar (Rais, 1983:40). Properti adalah suatu alat atau benda yang dapat dilihat dan menempati dimensi ruang. Istilah properti sering dipergunakan pada seni tari. Pada umumnya, dalam suatu tari properti berfungsi sebagai pelengkap saja, atau juga sebagai alat pendukung gerak tari tersebut. Properti tersebut sering dipakai sebagai nama atau judul dari sebuah tari, misalnya properti payung untuk tari payung, properti piring untuk tari piring, keris untuk tari keris, begitu juga selendang, kipas, lilin, dan lainnya. Properti yang digunakan pada tari inai Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, umumnya memakai dua buah piring kecil (misalnya piring untuk tempat kue) dan di bahagian tengahnya dilengketkan masing-masing sebatang lilin kecil, di pinggiran piring tersebut diletakkan daun inai yang telah ditumbuk halus dicampur dengan gambir dan kapur. Seorang penari masing-masing memegang dua buah piring untuk tangan kanan dan kiri. Di dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Utara, properti yang dipergunakan disebut rumah inai. Rumah inai terbuat dari sebatang kayu kapuk (kabu-kabu), karena kayu ini relatif ringan, sehingga jika dipegang oleh kedua jari-jari tangan tidak membutuhkan tenaga yang besar, sehingga mudah pula digerak-gerakkan 227 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya (dimainkan). Pada keempat sisi kayu tersebut dilengketkan daun bunga cempaka (kantil) dan di sela-sela daun tersebut, daun inai yang telah ditumbuk halus dilekatkan pada rumah inai yang telah dilubangi. Sedangkan lilin kecil dilengketkan di atas rumah inai (yang telah dilubangi sesuai dengan besarnya lilin). Dahulu kala (sebelum kemerdekaan Indonesia) menurut keterangan para narasumber, lilin dibuat dari sarang lebah yang dibentuk seperti lilin. Pada masa sekarang ini, dipergunakan lilin, karena mudah didapat. Rumah inai yang terdiri dari daun cempaka, saat kini sering pula digantikan dengan kertas manila. 7.3.1 Struktur Tari Inai Tari inai dalam upacara perkawinan dalam adat Melayu Sumatera Timur biasanya dipertunjukan pada saat malam hari.Tari ini mengandung makna religius dan menggambarkan sistem kosmologi Melayu. Gerakgerik tarian adalah mengakomodasikan gerak-gerik fauna atau kejadiankejadian alam, sesuai dengan konsep budaya Melayu kembali ke alam semula jadi, dan alam yang terkembang menjadi guru. Adapun jenis geraknya terbagai ke dalam dua belas macam, sebagai dijelaskan berikut ini. (1) Lelo sembah, gerakan ini adalah duduk bersimpuh, torso tegak, kedua tangan disatukan (sikap sembah), hitungan satu kali delapan, pada hitungan delapan tangan kanan ditarik dari bawah, jari-jari tangan kiri lurus ke atas, lalu kedua tangan membuat gerakan menyilang. (2) Ular todung membuka lingkar, hitungan satu kali delapan, kedua tangan dibawa ke kanan, jari-jari tangan kiri ke atas, kanan ke bawah. Hitungan tujuh dan delapan, tangan kanan dan tangan kiri disilang dan diputar. Hitungan satu kali delapan, dibawa ke samping kiri, proses gerakan tangan sama seperti di atas, tetapi gerakan ini dilakukan di sebelah kiri, hitungan satu kali delapan, dibawa ke depan dada, hitungan tujuh kali delapan proses gerakan tangan dilakukan dua kali. 228 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan (3) (4) (5) (6) Ular todung meniti riak, hitungan satu kali delapan, tangan kanan dibawa ke atas sejajar dengan mata. Hitungan satu kali delapan, mengambil rumah inai. Pada hitungan satu sampai empat, tangan kanan mengambil rumah inai dari arah kanan. Hitungan lima sampai delapan, dibawa ke atas sambil diputar, hitungan satu kali delapan, dibawa ke samping kanan, dan rumah inai dimainkan di samping kanan. Hitungan satu kali delapan, dibawa ke samping kiri dan dimainkan (dengan gerakan tangan). Pada hitungan satu kali empat, tangan kiri mengambil rumah inai. Hitungan lima sampai delapan, kedua rumah inai dimainkan ke depan dada. Hitungan satu kali delapan, rumah inai dibawa ke samping kanan, lalu dimainkan dengan kedua tangan. Hitungan satu kali delapan, dibawa lagi ke samping kiri. Hitungan satu kali delapan, rumah inai dibawa lagi ke depan dada dengan proses yang sama. Itik bangun dari tidur, hitungan satu kali delapan, lutut kaki kiri mencecah di lantai (sikap berdiri dengan tumpuan pada lutut), sedangkan kaki kanan menapak. Hitungan tujuh sampai delapan, rumah inai dimainkan dengan tangan. Itik berdiri kaki sebelah dan menggamit langit. Hitungan satu kali delapan, kaki kiri diangkat, kaki kanan sebagai tumpuan dan arah badan berputar ke kanan, badan agak rendah, mata melihat ke atas, sedangkan kedua tangan memegang rumah inai, sambil badan berputar rumah inai juga dimainkan. Hitungan satu kali delapan, digerakkan ke arah kiri, gerakan ini dilanjutkan dengan empat kali delapan hitungan, dengan cara bergantian dan badan dalam keadaan rendah. Puting beliung berbalik arah. Hitungan satu kali delapan, kaki kanan dilangkahkan ke depan, sehingga seluruh badan condong ke kanan. Lutut kanan ditekuk hingga hitungan tujuh sampai delapan, rumah inai digerakkan dan badan lurus ke depan. Hitungan satu kali delapan, badan berbalik ke kiri. Hitungan tujuh sampai delapan sama dengan gerakan di atas. Hitungan satu kali delapan, kaki kanan diangkat, sedangkan kaki kiri menapak inai dan dimainkan. Hitungan satu kali delapan, kaki kanan diletakkan, lutut ditekuk hingga seluruh badan condong ke kanan. Hitungan 229 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya tujuh sampai delapan sama dengan gerakan di atas. Hitungan satu kali delapan, badan diputar ke kanan, hitungan tujuh sampai delapan sama seperti gerakan di atas. Hitungan satu kali delapan, kaki kanan diangkat, lalu badan berputar ke kanan, kemudian kaki kanan diletakkan kembali dan digantikan dengan kaki kiri. Arah badan berputar ke depan, kaki kiri diletakkan kembali. (7) Bonang solai, hitungan satu kali delapan, langkah maju dan kedua ujung kaki jinjit, hitungan tujuh sampai delapan menggerakkan rumah inai. (8) Buaya melintang tasik, hitungan dua kali delapan: hitungan satu kaki kiri menapak, sedangkan kaki kanan diangkat lurus ke belakang, kaki kiri sebagai tumpuan, lututnya ditekuk, gerakan dilakukan bergantian. (9) Olang balega, hitungan satu kali delapan, hitungan satu, kaki kanan diangkat, tangan kanan dibuka sejajar pinggang, lalu berputar 180 derajat ke arah kanan, kaki kiri sebagai tumpuan, hitungan delapan kaki kanan menapak sikap kuda-kuda. (10) Berokik mengisai bulu. Hitungan dua kali delapan: hitungan satu sampai dua tangan dibuka, sedangkan badan menghadap ke kiri, hitungan dua berbalik arah ke kanan, tangan kiri dilipat, sedangkan tangan kanan bersiku, kaki pada hitungan satu masih tetap, hitungan dua kaki kiri ditarik ke belakang dan begitu seterusnya. (11) Berokik melintas batas. Hitungan satu kali delapan: pada hitungan satu sampai empat kaki kanan ditekuk dekat kaki kiri, kaki kiri sebagai tumpuan, sikap badan agak membungkuk, pada hitungan kedua kaki berjinjit di atas lantai berjalan seperti berlari-lari kesil lima sampai enam, dan hitungan tujuh sampai delapan kaki kanan diangkat kembali, proses gerakan tangan tetap dilakukan. (12) Sembah akhir. Kaki kiri ditarik ke belakang, lalu lutut dicecahkan ke lantai. Kaki kiri juga disentuhkan ke lantai, sehingga duduk bersimpuh, lalu kedua rumah inai dibawa ke samping kanan, sedangkan badan membungkuk. Hitungan satu kali delapan, bawa ke depan, lalu rumah inai dimainkan lagi, kedua inai diletakkan lalu kedua tangan disatukan dengan sikap sembah. 230 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Alat-alat musik yang dipergunakan untuk mengiringi tari inai, biasanya adalah sebagai berikut: (a) dua buah gendang dua sisi yang berbentuk barel, kadang disebut dengan gendang silat—atau kadang menggunakan gendang ronggeng, frame drum; (b) sebuah serunai (shawm) Melayu; (c) sebuah tawak-tawak (hand gong); (d) seperangkat calempong (canang) yang biasanya terdiri dari dua buah, diletakkan pada dua utas tali yang diikat secara horizontal pada sebuah rak. Namun sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman, alatalat musik tersebut, kini cenderung digantikan oleh alat-alat musik yang lebih “kekinian.” Di antaranya adalah: (a) gendang ronggeng, (b) biola menggantikan serunai, dan (c) tawak-tawak. Adakalanya disertai pula dengan keyboard. Pada kebudayaan etnik Melayu, tari inai yang ditampilkan pada upacara perkawinan di waktu malam berinai merupakan kegiatan yang penting dalam suatu perkawinan dan pada upacara tersebutlah tari inai ditampilkan. Gerakan-gerakan tari inai ini, menurut konsep etnosains Melayu, memiliki makna-makna religius. Gerakannya adalah kombinasi dari gerakan-gerakan silat. Selanjutnya menurut penjelasan para informan, gerakan-gerakan tari inai merupakan gerakan silat memiliki hitungan variatif dan memiliki makna tersendiri. Gerakannya seolah menggambarkan sebagai lentera yang selalu menerangi pengantin di sepanjang perjalanannya, dalam konteks mengharungi hidupnya, dalam bahtera rumah tangga dalam masa yang tidak lama lagi. Gerakan-gerakan tarian tersebut, dapat dilihat dari deskripsi secara kinisiologis sebagai berikut. 231 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Tabel 7.2: Deskripsi Gerak Tari Inai (Dengan Teknik Kinisiologi) dan Pesan Komunikasi yang Disampaikan Nbr Ragam Gerak Hitungan 1. Lelo somba (2 kali 8) Deskripsi Gerak Penari Inai 1.1 1 sampai 7 Duduk bersimpuh, torso tegak, kedua tangan disatukan dan dirapatkan. 1.2 8 Sikap tangan berubah, jari-jari tangan kanan mengarah ke bawah sedangkan kiri tetap ke atas. 1.3 1 sampai 8 Tangan kanan diarahkan ke kanan, kedua tangan membuat proses menyilang, di depan dada dan posisi jari tangan di atas. 2. 2.1 2.2 2.3 232 Ular todung Membuka lingkar (5 kali 8) 1 sampai 6 Kedua tangan dibawa ke arah kanan, badan dicondongkan ke arah kiri. 7 sampai 8 Kedua tangan disilangkan, posisi badan tetap seperti dfeskripsi di atas 1 sampai 8 Kedua tangan melakukan proses gerakan memutar 2 kali 8 Proses gerak sama dengan seluruh numerik 2.1 tetapi arahnya ke kiri 1 sampai 6 Kedua tangan dibawa ke depan dada 7 sampai 8 Membuat proses gerakan kedua tangan memutar, gerakan ini dilakukan dua kali. Sketsa Gerak Komunikasi yang Disampaikan Melakukan sembah, perlunya menghormati manusia, termasuk manusia yang sedang menonton seniman. Penari menirukan gerak ular todung dengan ciri utama gerakan tangan memutar, artinya adalah bahwa dalam menyikapi tantangan hidup harus berani membuka diri dari kehidupan pribadi menuju kehidupan bermasyarakat. Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan 3. 3.1 Ular todung Meniti riak (9 kali 8) 1 sampai 6 Tangan kanan dibawa ke atas sejajar dengan arah pandang mata ke depan. 3.2 7 sampai 8 Melakukan proses memutar oleh kedua tangan. 3.3 1 sampai 8 Kedua tangan dibawa ke arah kanan, dan melakukan proses gerakan memutar, sedangkan badan dicondongkan ke kiri. 3.4 1 sampai 4 Tangan kanan mengambil rumah inai, lalu badan dicondongkan ke kanan. 3.5 5 sampai 8 Rumah inai dibawa ke atas sejajar pandangan mata sambil diputarputar 3.6 1 sampai 8 Rumah inai dibawa ke samping kanan dengan proses gerakan memutar seperti numerik 3.4, badan dicondongkan ke kiri. 3.7 1 sampai 8 Gerakan sama dengan numerik 3.5 tetapi gerakan ke samping kiri, badan dicondongkan ke kanan. 3.8 1 sampai 4 Mengambil rumah inai pada tangan kiri 3.9 5 sampai 8 Kedua rumah inai dibawa mendekati dada. 3.10 1 sampai 8 Kedua rumah inai kembali dibawa ke samping kanan, dilakukan proses gerakan memutar pada kedua tangan. 1 sampai 8 Kebalikan numerik 3.9 Setelah diri terbuka, maka jalan seterusnya adalah beranikan diri berjalan di dunia ini dengan segala suka dan dukanya. 3.11 233 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 1 sampai 8 4. Itik bangun dari tidur 4.1 Dibawa ke dekat dada, juga diputar oleh kedua tangan. (4 kali 8) 1 sampai 6 Sikap berdiri tertumpu pada lutut (lutut kiri mencecah lantai, lutut kanan menapak lantai). 7 sampai 8 Melakukan proses memutar pada tangan dengan memegang rumahinai di depan dada. 4.3 1 sampai 8 Melakukan proses gerak yang sama ke arah samping kanan. 4.4 1 sampai 8 Dilanjutkan ke arah kiri. 4.5 1 sampai 8 Kembali ke arah depan 4.2 5. 5.1 5.2 Itik berdiri kaki sebelah dan memandang langit (2 kali 8) 1 sampai 8 Kaki kiri diangkat, kaki kanan sebagai tumpuan badan berputar ke kanan agak rendah, mata melihat ke atas, kedua tangan melakukan proses gerakan memutar dengan memegang kedua rumah inai. 1 sampai 8 Gerak dilakukan ke arah kiri, dengan proses gerak yang sama dengan numerik 5.1 Catatan: Gerakan ini dilakukan sebanyak empat kali, yaitu: dua kali ke kanan, dua kali ke kiri secara bergantian, sikap badan tetap membentuk kudakuda. 234 Gerakan ini menirukan gerakan itik, yang memiliki makna dan pesan bahwa hidup ini selalu harus sadar akan bumi dipijak dan langit dijunjung, janganlah sombong ingatlah di mana manusia berasal. Setelah diri terbuka maka jalan seterusnya adalah beranikan diri berjalan di dunia ini dengan segala suka dan dukanya. Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan 6. 6.1 Puting beliung berbalik arah (4 kali 8) 1 sampai 6 Kaki kanan melangkah ke depan, sikap badan condong ke depan, arah menghadap ke kanan, lutut kanan ditekuk, kaki kiri lurus. 7 sampai 8 Sikap statis, hanya kedua tangan membuat proses gerakan memutar. 6.2 1 sampai 4 Sikap badan tegak kembali dan kaki kiri ke depan. 6.3 5 sampai 8 Badan berbalik ke kiri, sehingga condong badan ke depan hadap kiri, dan tangan melakukan proses gerakan memutar. 2 kali 8 Gerakan ini dilakukan bergantian, hanya arah hadap bertukar ke belakang, dan pada gerak yang terakhir kembali ke arah depan. 7. Bonang solai (1 kali 8) 7.1 1 sampai 6 Melangkah maju ke depan dengan kaki berjinjit. 7.2 7 sampai 8 Menggerakkan rumah inai dengan proses memutar dengan posisi kaki kiri diangkat, kaki kanan sebagai tumpuan 8. 8.1 8.2 Buaya melin-tang tasik Pesan yang ingin disampaikan bahwa angin puting beliung memiliki kekuatan dahsyat dan manusia sebagai khalifah di muka bumi harus mampu merekayasa peristiwa yang diciptakan Allah. Pesan yang ingin disampaikan adalah merajut berbagai-bagai nilai-nilai persatua dalam masyarakat. (2 kali 8) 1 sampai 2 Posisi kaki kiri menapak, 3 sampai 6 Kaki kanan diangkat lurus ke belakang, berat badan bertumpu pada kaki kiri. 7 sampai 8 Lutut kiri agak ditekuk, kedua tangan melakukan proses gerakan memutar. Pesan yang akan disampaikan, berkorbanlah sekalisekala untuk orang yang memerlukan pertolongan. 235 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 8.3 9. 9.1 1 kali 8 Elang balega (1 kali 8) 1 sampai 6 Kaki kanan diangkat, kaki kiri sebagai tumpuan, kedua tangan merentang sejajar pinggang, lalu berputar 180 darjah ke arah kanan. 7 sampai 8 Kedua kaki menapak dengan sikap kuda-kuda, kaki terbuka 90 darjah dengan tangan membuat gerakan bersilang. 9.2 10 10.1 Berokik mengi-sai bulu 10.2 11 11.1 236 Berokik melintas batas Gerakan ini dilakukan bergantian kanan dan kiri, dengan gerakan maju. Pesan budaya yang hendak disampaikan adalah bergerak seperti burung elang yang sedang terbang di udara, mengisyaratkan bebas dan penuh perhatian. (2 kali 8) 1 sampai 4 Kedua tangan terbuka sejajar pinggang ke arah kiri, kaki membentuk posisi kuda-kuda. 5 sampai 8 Badan membalik ke arah kanan, posisi kaki kiri lurus ke belakang, kaki kanan agak direndahkan (tumpuan pada kaki kanan) posisi tangan membentuk siku-siku dilanjutkan dengan proses memutar. 1 kali 8 Gerak ini berupa gerakan mundur bergantian kanan dan kiri sebanyak empat kali. Pesannya menirukan gerak elang terbang yang bermakna awas terhadap alam dengan memperhatikan sekeliling persekitara. (2 kali 8) 1 sampai 4 Kaki kanan ditekuk dekat ke kiri, tumpuan pada kaki kiri, badan agak mermbungkuk. 5 sampai 6 Gerak berlari kecil dengan kaki Pesannya masih teap mimesis gerakan elang, dan menembusi batas biasa ia terbang, artinya selalu Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan berjinjit. 11.2 12 12.1 12.2 12.3 12.4 12.5 12.6 dan 12.7 Sem-bah akhir 7 sampai 8 Kaki kanan diangkat kembali dengan membuat proses gerakan tangan menyilang. 1 kali 8 Dilakukan sebanyak dua kali. menjelajahi sesuatu yang baru dalam kehidupan ini. (5 kali 8) 1 sampai 4 Kaki kiri ditarik ke belakang, lutut dicecahkan ke lantai. 5 sampai 8 Dilanjutkan menarik kaki kanan, sehingga duduk bersimpuh, sikap badan agak membungkuk. 1 sampai 8 Dibawa ke samping kanan dengan membuat proses gerakan memutar pada tangan. 1 sampai 8 Dibawa ke samping kiri dengan proses yang sama dengan gerakan pada numerik 12.3. 1 sampai 8 Dibawa ke arah depan dengan proses gerakan tangan yang sama. 1 sampai 8 Kedua properti rumah inai diletakkan di atas lantai dan kemudian kedua tangan disatukan, membentuk sikap sembah. Memberi hormat kepada semua makhluk da persekitaran, di mana kita menjadi bahagian darinya. Diolah dari Linda Asmita, 1994. 237 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 7.3.2 Penari Inai Penari merupakan bagian terpenting dalam pertunjukan tari inai ini, karena penari yang akan mempertunjukan tarian tersebut. Penari menjadi pusat perhatian penonton, sehingga diperlukan penari yang memiliki kecakapan dan kemampuan menarikan tari inai tersebut di pelataran depan pelaminan pengantin. Gambar 7.1 Penari Inai dan Busananya Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013 238 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Dalam penyajian tari inai pada masyarakat Melayu pada konteks upacara adat perkawinan biasanya harus menggunakan penari laki-laki berjumlah genap atau berpasangan misalnya 2 penari, 4 penari, ataupun 6 penari. Alasannya adalah jika lilin salah satu penari mati maka penari yang lainnya memberikan api agar lilin tersebut dapat menyala lagi. Diawali dari posisi depan, sebelum memulai tarian dilakukan penghormatan kepada pengantin dan para tamu, yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan gerakan silat yang bersifat refleks dan saling berlawanan (saling mengisi gerakan dan ruangan yang kosong antara penari yang satu dengan penari yang lainnya. Namun dalam penyajian tari inai yang penulis dapatkan di lapangan penari berjumlah dua orang dan menampilkan secara bergilir. Struktur penyajiannya diawali dari posisi depan juga sebelum memulai tarian dilakukann penghormatan kepada pengantin dan para tamu. Pemilihan penari inai yang penulis dapatkan di lapangan merupakan anggota dari Sanggar Pusaka Serumpun Binjai Bakung, Pantai Labu. Para penari yang dipilih mempunyai waktu akan berlatih lagi untuk mempelajari sebelum hari pelaksanaan. Pada saat pertunjukan, penari secara bergantian menghadap pengantin. 7.3.3 Busana dan Properti Tari Inai Pakaian merupakan bahan pelengkap kebutuhan manusia yang berfungsi untuk melindungi tubuh manusia dari keadaan panas maupun dingin. Pakain yang dimaksud bukanlah pakaian sehari-hari, melainkan pakaian yang khusus untuk kepentingan upacara. Kostum yang dipakai penari dan pemusik pada upacara inai, biasanya memakai kostum pesilat, berwarna hitam atau warna lainnya. Biasanya pakaian antara penari dan pemusik dibedakan oleh warnanya saja. Pakaian yang dipakai oleh penari dan pemusik inai terdiri dari: (1) Baju gunting Cina dengan celana (seluar) yang longgar; (2) destar yaitu kain yang dilapisi kain kertas yang dihiasi manik-manik, diikatkan di kepala penari; (3) sesamping yaitu kain sarung (seperti songket atau pelekat) yang diikatkan di pinggang—dapat dibentuk segitiga atau 239 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya sejajar, tepatnya di atas lutut (tidak sampai mata kaki). Bahan yang dipilih jenis kain satin yang lembut dan mengkilat, agar memperlancar gerakan-gerakan penari dan pemusiknya. Untuk penari, warna yang dipilih lebih "menyala" dibanding warna pakaian pemusiknya. Misalnya merah, kuning, hijau, dan sebagainya, disesuaikan dengan kehendak penari, pemusik, dan kelompoknya. 7.3.4 Inai Inai adalah tumbuhan yang hidup didataran tinggi yang memiliki daun yang lebat dan berukuran relatif kecil. Daun yang telah tua ditandai dengan adanya bintik-bintik hitam yang terdapat pada daun tersebut, daun yang tua itulah yang digiling halus dicampur dengan gambir dan kapur dan dibubuhkan pada kuku atau kulit sehingga menghasilkan warna kemerah-merahan. Pemakaian inai pada upacara perkawinan memiliki pengaruh dari Arab, karena inai dipercaya dapat menangkal roh jahat dan sebagai obat untuk luka dikulit, tetapi seiring berkembangnya pengetahuan masyrakat, sekarang inai digunakan dalam masyarakat Melayu sebagai tanda sudah menikah. Jadi, properti yang digunakan penari pada acara malam berinai adalah 2 buah lilin, 2 buah piring dan inai secukupnya, lilin di tegakkan di atas piring kemudian pinggiran lilin dikelilingkan inai yang sudah digiling halus. Gambar 7.2 Lilin dan Inai sebagai Properti Tari Dokumentasi: Syarifah Aini, 2013 240 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Gambar 7.3 Para Pemusik Iringan Tari Inai (Pemian Gendang Ronggeng dan Biola) Dokumentasi: Syarifah Aini, 2013 241 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Gambar 7.4 Ensambel Musik Inai Tradisional Gambar tangan: Muhammad Takari, 2014 7.3.5 Alat-alat Musik Alat musik Melayau dapat dikelompokkan menurut pendapat Curt Sachs dan Hornbostel (1914) yaitu: (1) idiofon penggetar utamanya badannya sendiri, (2) membranofon, penggetar utamanya membran, (3) kordofon, penggetar utamanya senar, dan (4) aerofon penggetar utamanya adalah melalui udara. Alat musik Melayu pengiring tari inai adalah sebuah biola dan gendang ronggeng, berikut penjelasannya. Biola adalah sebuah alat musik yang tergolong ke dalam klasifikasi kordofon (bersenar) yang dimainkan dengan cara digesek. Biola memiliki empat senar (G-D-A-E) yang dilaras berbeda satu sama lain dengan interval sempurna kelima. Nada yang paling rendah adalah G. Tanda klef untuk biola selalu menggunakan atau ditulis pada kunci G. Sebuah nama yang lazim dipakai untuk biola ialah fiddle, dan biola seringkali 242 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan disebut fiddle jika digunakan untuk memainkan lagu-lagu tradisional. Di sisi lain, gendang ronggeng terbuat dari kulit kambing dan kayu (kelapa, nangka, mahoni), termasuk ke dalam klasifikasi membranofon dan dimainkan dengan cara dipukul dengan kedua telapak tangan pemainnya, sehingga penghasil utama bunyi adalah membran. Gambar 7.5 Ensambel Musik Inai Masa Kini Gambar tangan: Muhammad Takari, 2014 243 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Gambar 7.6 Taksonomi Gendang Ronggeng yang Biasa dipakai Mengiring Tari Ronggeng dan Inai Dokumentasi dan gambar tangan: Muhammad Takari, 1997 Pada masa-masa awal perkembangan ensambel musik inai, alat musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi utama adalah serunai, sebagai pembawa fungtuatis ritmik adalah gendang Melayu (gendang ronggeng) atau gendang silat. Dilihat dari rentak musik yang dipergunakan, berdasarkan informasi yang diperoleh adalah irama patampatam, yang juga terdapat di daerah Karo. Irama musik ini juga disebut dengan paporangan (untuk berperang). Lagunya disebut dengan Lagu Inai atau Paporangan Selapis, secara konseptual berarti lagu dan tari peperangan yang dilakukan oleh seorang penyaji. Lagu peperangan ini adalah bertujuan memerangi makhluk-makhluk halus yang hendak mengganggu jalannya upacara perkawinan, khususnya pada ritual malam berinai. 244 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Gambar 7.7 Motif Tumbuhan pada Baluh Luar Gendang Khas Buatan Yusuf Wibisono di Medan Dokumentasi: Muhammad Takari, 1997 7.3.6 Struktur Musik Menurut Nettl (1964:98) ada dua pendekatan berkenaan dengan pendeskripsian musik yaitu: (1) kita dapat mendeskripsikan dan menganalisis apa yang kita dengar; (2) kita dapat menuliskan berbagai cara ke atas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat. Dari dua hal di atas untuk memvisualisasikan musik iringan tari Inai, penulis melakukan transkripsi agar lebih muda menganalisisnya terutama tangga nada, motif, kadensa, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat membantu kita untuk mengkomunikasikan kepada pihak lain tentang apa yang kita pikirkan dari apa yang kita dengar. Dalam pentranskripsian, penulis menggunakan notasi Barat untuk memperlihatkan bunyi musikal yang terdengar. Sebagaimana dikatakan oleh Nettl (1964:94) yang mengutip pendapat Seegers tentang penulisan notasi musik bahwa notasi musik terdiri dari dua bagian yaitu notasi deskriptif dan notasi preskriptif. 245 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Gambar 7.8 Struktur Gendang Ronggeng Diolah dari Fadlin, 1988 246 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Gambar 7.9 Biola Sumber: www.concertgoersguide.org 247 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Gambar 7.10 Tawak-tawak atau Gong Untuk Mengiringi Tai Inai Gambar tangan: Muhammad Takari, 1997 248 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Gambar 7.11 Struktur Tawak-tawak atau Gong Gambar tangan: Muhammad Takari, 1997 249 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Lebih lanjut dikatakan bahwa notasi deskriptif ialah notasi yang menggambarkan secara terperinci aspek-aspek musikal yang terdapat pada musik. Sedangkan notasi preskriptif hanya menuliskan bagianbagian yang dianggap menonjol dalam suatu musik tanpa harus menuliskan secara lengkap hal-hal yang ada dalam musik. Oleh karena itu, dalam buku ini penulis menggunakan pendekatan yang pertama yaitu notasi deskriptif. Salah satu dari notasi deskriptif adalah penggunaan notasi balok. Hal ini didukung oleh keberadaannya yang dianggap secara efektif dalam pentranskripsian. Demikian pula tinggi rendahnya nada, simbol-simbol nada pada garis paranada, durasi, ritmis, dan lain-lain. Alasan dalam hal ini karena notasi Barat dapat mewakili nada-nada yang terdapat dalam musik iringan tarian ini, dan juga sering digunakan dalam penulisan suatu musik. Musik dalam pertunjukan tari inai pada perkawinan masyarakat Melayu di Sumatera Utara adalah sebagai musik pengiring dengan memakai alat musik biola dan gendang ronggeng sebagai tempo. Keberadaan musik iringan dalam tari Inai merupakan hal yang berkaitan, dan tak dapat dipisahkan. Iringan musik menjadi pembentuk suasana, dan untuk memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola gerakan yang ada. 7.3.6.1 Rentak Patam-patam Rentak mak inang dan rentak patam-patam di dalam tulisan ini didiskusikan secara bersamaan, karena pada prinsipnya pola ritme kedua rentak ini adalah sama. Bila dibandingkan antara keduanya dengan rentak senandung, maka pola ritmenya jauh lebih sederhana. Pola ritme rentak mak inang terdiri dari empat buah not bernilai seperempat yang digantungi oleh empat onomatopeik (tung, tak, ding, dang), yang terdapat di dalam permainan gendang Melayu. Keempat onomatopeik bunyi ini dimainkan dengan tangan kanan, sementara tangan kiri memberikan respons sebagai peningkah saja. Sekalipun kedua rentak ini pola ritmenya yang sama, namun masing-masing mempunyai pendekatan berbeda. Pola rentak patam-patam merupakan kelipatan pola ritmis mak inang 250 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan sedangkan tempo keduanya relatif sama, yaitu antara delapan puluh sampai dengan seratus enam puluh ketukan setiap menit. Jenis meter adalah empat untuk mak inang dan dua untuk patam-patam. Motif dasar dari rentak mak inang hanya merupakan kumpulan empat buah not seperempat ( ) yang masing-masing diisi oleh onomatopeik tung, tak, ding, dang. Keadaan ini berlaku terus berulangulang sepanjang lagu. Aksentuasi terletak pada hitungan satu dan empat, sedangkan pada pola ritme rentak patam-patam terletak pada hitungan satu dan ketukan atas (anacrusik) hitungan dua, dengan jenis bunyi tung dan dang. Jenis meter yang terdepat di dalam rentak mak inang adalah empat. Sedangkan jenis meter pada rentak patam-patam adalah dua. Hal ini ditentukan dengen jatuhnya suara gong, yaitu jatuh pada ketukan pertama. Untuk menghidupkan bunyi rentak mak inang atau rentak patampatam, tangan kiri pemain ikut meningkahi pola dasar ini dengan cara menempatkan pukulan-pukulannya pada ketukan atas setiap ketukan. Onomatopeik yang dihasilkan oleh tangan kiri ini dapat bervariasi. Akan tetapi menurut kebiasaannya menggunakan onomatopeik ka, ke, gen, dan ngen. Kerjasama antara tangan kanan dan tangan kiri dalam menghasilkan pola ritme mak inang dan patam-patam dapat diperhatikan pada Notasi 7.1 dan 7.2, sedangkan dasar pola ritmenya dapat dilihat pada Bagan 7.1. Notasi 7.1: Pola Dasar Ritme Rentak Mak Inang 251 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Notasi 7.2: Kombinasi Tangan Kiri dan Tangan Kanan pada Pola Rentak Mak Inang Keterangan: kn: kanan (tangan kanan) kr: kiri (tangan kiri) Variasi-variasi yang selalu muncul pada pola ritme ini adalah singkopasi-singkopasi (sincopation) yang terjadi pada ketukan dalam hitungan tiga dan empat, yaitu diletakkan pada ketukan atasnya dengan menggunakan onomatopeik dang yang diberi aksen kuat (forte). Sementara ketukan pada hitungan dua, onomatopeiknya diganti dari ding menjadi dang. Variasi-variasi ini adalah variasi yang sangat umum di dalam rentak mak inang. Kadang-kadang variasi ini dipanjangkan dua kali. Akan tetapi di dalam birama kedua suara dang dimajukan ke ketukan kedua, sehingga suara terjadi lima kali. Dari uraian di atas pola ritme rentak mak inang dan rentak patampatam dapat diringkaskan sebagai berikut: 252 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Bagan 7.1: Struktur Rentak Mak Inang 253 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Notasi 7.3: Variasi Rentak Mak Inang Notasi 7.4: Pola Dasar Ritme Rentak Patam-patam 254 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan 7.3.6.2 Melodi Patam-patam Pada dasarnya melodi lagu Patam-patam yang lazim digunakan untuk mengiringi tari inai adalah juga selalu digunakan untuk mengiringi silat dalam berbagai konteks sosial dan budaya. Melodi lagu ini, berciri khas musik Melayu. Di antaranya adalah berorientasi melodis satu suara, disertai dengan gerenek, cengkok, dan patah lagu. Melodi ini cenderung diulang-ulang dan disesuaikan dengan konteks mengiringi pertunjukan tari inai. Selengkapnya melodi patam-patam itu, yang dibawakan biola, dan disertai dengan iringan ritme gendang Melayu adalah seperti contoh berikut ini. 255 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Notasi 7.5: Patam-patam Pentranskripsi: Syarifah Aini dan Kiki Alpinsyah 256 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Seperti telihat dalam hasil transkripsi di atas, lagu Patampatam ini dibentuk oleh tangga nada tujuh nada (heptatonik). Tangga nadanya tersdiri dari rangkaian nada-nada: E-Fis-G-A-B-CD, yang dapat digambarkan dalam notasi berikut ini. Notasi 7.6: Tangga Nada Lagu Patam-patam 7.4 Seni Zapin atau Gambus Selain seni inai, dalam malam berinai ini juga kadang dipersembahkan seni zapin atau seni gambus. Seni zapin seperti dimahfumi bersama adalah seni Islamik yang amat populer dalam kehidupan budaya orang Melayu. Dalam konteks negara bangsa, Malaysia menentapkan seni zapin ini sebagai kesenian nasionalnya. Bahkan Negeri Johor menganggap dan memandang zapin sebagai identitas kawasannya. Kerajaan Johor begitu aktif membina, melestarikan, dan mengembangkan seni zapin. Menurut sejarah seni, zapin berasal daripada kawasan Yaman di Semenanjung Arabia. Kesenian ini memang digunakan sebagai seni hiburan saat diadakannya pesta perkawinan di kawasan tersebut. Kemudian seiring dengan perkembangan Islam ke Asia Tenggara, maka kesenian zapin ini dibawa serta. Di Nusantara ini seni zapin juga mengalami perkembangan-perkembangan menurut kawasan-kawasan. Di kawasan Dunia Melayu dikenali pula zapin Arab dan zapin Melayu. Biasanya zapin Arab adalah zapin yang gerak, musik pengiring asli dari Semenanjung Arabia. Sementara zapin Melayu adalah zapin yang telah digarap menurut estetika orang-orang Melayu, dengan ciri khas gerakan 257 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya tangan dan badan yang khas Melayu seperti: melayang, mendayung, genggam tak sudah, dan seterusnya. Musik yang digunakan juga sudah dikembangkan dengan lagu-lagu berbasis Melayu. Di dalam Dunia Melayu zapin yang khas Melayu juga tercipta, misalnya Zapin Anak Ayam, Zapin Bunga Hutan, Zapin Kasih dan Budi, Zapin Serdang, Zapin Deli, Zapin Menjelang Maghrib, Zapin Sulalah, Zapin Persebatian, Zapin Bulan Mengambang, dan sebagainya. Bahkan pengucapan kata zapin pun kemudian berubah pula. Misalnya ada yang menyebutnya jepin, japin, dana, bedana, dan marawis. Namun struktur dan fungsinya hampir sama saja. Namun bagaimana pun, masyarakat Nusantara juga memandang bahwa zapin adalah seni Islam, yang memuat unsur-unsur dan ajaran-ajaran Islam. Contoh lagu zapin yang amat terkenal di Sumatera Utara yang digunakan untuk mengiringi upacara inau atau digunakan pula saat pesta pernikahan (walimatul ursy). Zapin ini disebut dengan Bulan Mengambang di kawasan Melayu Deli dan Serdang. Secara etimologis, kata zapin berasal dari Bahasa Arab, yang memiliki berbagai makna. Kata zapin sendiri berkaitan dengan kata-kata turunan seperti zafa, zaffa, zafana, zaffan, dan lain-lainnya. Kalau ditelisik lebih jauh, memang kesemua kata itu dalam bahasa Arab memiliki hubungan dengan kata tari dalam bahasa Melayu. Namun sebelum dibedah maknanya, alangkah baik kita lihat dahulu apa arti zapin dalam wikipedia Indonesia. Zapin berasal dari bahasa Arab yaitu kata "Zafn" yang mempunyai arti pergerakan kaki cepat mengikut rentak pukulan. Zapin merupakan khasanah tarian rumpun Melayu yang mendapat pengaruh dari Arab. Tarian tradisional ini bersifat edukatif dan sekaligus menghibur, digunakan sebagai media dakwah Islamiyah melalui syair lagu-lagu zapin yang didendangkan. Musik pengiringnya terdiri dari dua alat yang utama yaitu alat musik petik gambus dan tiga buah alat musik tabuh gendang kecil yang disebut marwas. Sebelum tahun 1960, zapin hanya ditarikan oleh penari laki-laki namun kini sudah biasa ditarikan oleh penari perempuan bahkan penari campuran laki-laki dengan perempuan. Tari Zapin sangat banyak ragam gerak tarinya, walaupun pada dasarnya gerak dasar zapinnya sama, ditarikan oleh rakyat di pesisir timur dan barat Sumatera, Semenanjung Malaysia, Sarawak, Kepulauan Riau, pesisir 258 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Kalimantan dan Brunei Darussalam (sumber: http//id. wikipedia.org/ wiki/Zapin) Berdasarkan kutipan seperti terurai di atas, maka dapat dikatakan bahwa istilah zapin berasal dari bahasa Arab. Kemudian zapin adalah salah satu tari Melayu, yang diadopsi dari Arab. Zapin adalah media enkulturasi dak dakwah Islam. Ensambel musik terdiri dari dua peran yaitu yang membawa melodi adalah musik petik (gambus atau ‘ud) dan pembawa ritme yaitu tiga buah alat pukul kecil (maksudnya gendang marwas). Awalnya ditarikan lelaki, akhirnya perempuan, atau campuran laki-laki dan perempuan. Ragam tari berkembang dan tari ini muncul di Alam Melayu. Kemudian seorang profesor tarian Melayu Mohd Anis Md Nor menguraikan secara panjang lebar tentang arti kata zapin ini dan kata-kata turunannya sebagai berikut. In Malaysia, Singapore, the Riau Islands and Sumatera, Zapin designates a performing arts genre which encompasses a repertoire of dances and a body of music. But first and foremost, Zapin means dance, a particular kind of dance usually performed by men. In his Unabridged Malay-English Dictionary, Richard Winsted noted that the word Zapin is of Arabic origin with its most frequent usage found in the state of Johor on the southernmost part of the Malay Peninsula. Wilkinson explains that Zapin is an Arabic derived word which denotes the term for an Arab dance performed by two persons. Wilkinson, however, added further that the word Zafin generally stands for the etymology of dancing. … The word Zapin may have come from the Arabic root word Zaffa ( ) which mean to lead the bridge to her groom in a wedding procession. It is important to trace Zapin from the Arabic root word or masdar ( ) since the Arabic-derived word or Arabic-loaned word in the Malay vocabulary may have undergone modification in sound and may have taken a specific meaning other than the original Arabic word. This is all the more important when a word like Zapin cannot be directly associated with an Arabic performance genre. One can only speculate from the manner in which the root word I conjugated and in due course try to associate the conjugated Arabic with the word Zapin. The closest association of Zapin with the most word Zaffa is in Zafah ( ) which means wedding, while Zafana ( ) means to dance in a wedding. Wehr interpreted Zafana as to dance or gambol, thus allowing the word be associated with some form of prancing or frolic. Lane explained Zafanan ( ) as 259 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya danced, played or sported, and that ( ) ia a sentence implies that “ a person (she) used to the dance to El-Hasan”. A dance is called Zaffan ( ). Dance is this context cannot be associated with raqasa ( ), which implies dance as in a less respected and less honoured gathering than a wedding. Raqasa are performed in places such as entertainment clubs or an establishment which solicits money from patrons. Zsfana implies an honored and respected dance tradition which is associated with a wedding celebration (Mohd Anis Md Nor, 1990:32-33). Menurut kajian Mohd Anis Md Nor, bahwa di Dunia Melayu zapin adalah sebuah genre seni pertunjukan yang di dalamnya menampilkan tarian dan musik sekaligus. Biasanya tarian zapin dipersembahkan oleh penari lelaki. Seperti yang dikutipnya dari Winsted, kata zapin berasal dari bahasa Arab, yang banyak digunakan oleh orang Melayu Johor. Zapin dalam bahasa Arab ini menurut Wilkinson adalah tarian yang dilakukan dua orang penari laki-laki. Kata turunan zapin yaitu zaffa maknanya adalah sehelai kain yang dibawa oleh pengantin wanita kepada mempelai lelaki dalam prosesi pernikahan. Kemungkinan besar pula istilah zapin ini disesuaikan dengan lidah Melayu sehingga kemungkinan bisa memiliki arti lain. Namun arti-arti itu jika ditelusuri dari bahasa Arab memiliki makna yang dekat, seperti maknanya adalah upacara pernikahan atau menari untuk upacara pernikahan. Kata zapin ini pula tidak dapat dihubungkan dengan kegiatan menari yang bertujuan memperoleh uang yang disebut dengan kegiatan raqasa. Zapin berhubung erat dengan tari yang dipersembahkan pada upacara pernikahan. Dengan demikian, zapin memuat penuh ajaran-ajaran Islam, yaitu memperbolehkan menari di majelis (upacara) pernikahan (walimatul ursy) Dalam ajaran agama Islam, lagu dan tari boleh dilakukan pada tempat dan situasi tertentu, atas panduan Rasulullah SAW. Antara diperbolehkannya kegiatan menyanyikan lagu dan tari itu menurut perspektif Islam, dapat dilihat dalam dua hadits yang dikutip berikut ini. 260 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Artinya: Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Bahwa Umar melihat Hassan menyanyikan lagu di dalam masjid, langsung ditegurnya, tetapi Hassan menjawab, “Saya pernah menyanyi dan orang yang lebih baik (Rasulullah SAW.) dari kamu berada di sampingku.” (Hadits Riwayat Muslim, Fadlail Shahabah: 4539). Artinya: Dari Abi Hurairah berkata, “Rasulullah s.a.w. masuk ke masjid, di situ ada para habasyah/negro sedang menari-nari (mempersembahkan tari), diherdiklah mereka oleh Umar.” Nabi SAW mengatakan: “Biarkanlah hai Umar, mereka adalah Bani Arfidah.” (Hadis Riwayat Ahmad: 10544). Para pakar sejarah seni umumnya sepaham bahwa zapin yang datang ke Nusantara ini berasal dari Hadhramaut. Kini kawasan Hadhramaut itu 261 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya berada di Negara Yaman, tepatnya di selatan Jazirah Arabiah. Orangorang Hadramaut ini atau yang lazim disebut Hadhrami datang ke Nusantara di abad-abad ke-13. Masuknya zapin ke Nusantara ini pada abad ke-13 ditulis oleh Tom Ibnur sebagai berikut. Zapin reached the archipelago in parallel with the region's Islamic rise in the 13th century. Arabic and Gujarati traders came with Muslim missionaries and artists, plying their trade in the archipelago. Some of them stayed on and others returned back to their homeland when their trade and business were done. Those that stayed assimilated into the local community by marrying the locals. Zapin, among other Muslim arts and culture, was introduced by these traders, which then flourished among the Muslim communities. Now, we can find Zapin throughout the region, such as Northern Sumatra, the Riau islands, Jambi, southern Sumatra, Bangka, Belitung, Bengkulu, Lampung, Jakarta, northwestern and southern Java, Nagara, Mataram, Sumbawa, Maumere, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Ternate and Ambon. In the neighbouring countries, Zapin can be found in Brunei Darussalam, Malaysia and Singapore. In the region, zapin consists of two forms, Zapin Arab (Arabic Zapin), which does not change much since, and still practiced by local Arabs. The second form is Zapin Melayu (Malay Zapin) which was derived from its original form and modified to suit the local communities. Zapin Arab only has one form whereas Zapin Melayu consists of a variety of forms and styles. The terminology was also diversified, depending on the language and local dialects of the region. The terminology Zapin is used in North Sumatra and Riau, and in Jambi, Southern Sumatra and Bengkulu, beside called Zapin it is known as Dana. Zapin is known as Bedana in Lampung, and in Java it is called Zafin. Kalimantan is inclined to call it Jepin or Jepen, in Sulawesi it is Jippeng and in Maluku Jepen. In Nusatenggara, it is known as Dana-Dani. Zapin is performed in occasions such as weddings, circumcision, thanksgiving, village festivals, even Islam's major celebrations. Generally, Zapin dancers are males. The dance is accompanied by a musical ensemble comprising of marwas, gendang, flute, violin, accordion, dumbuk, harmonium and vocal. The dance is moderate and repetitive. Its movement is inspired from human nature and the environment. For example: titi batang, anak ayam patah, siku keluang, sut patin, pusing tengah, alif and others. Zapin performance generally inspire the performers to showcase their dance skills and craftsmanship by improvising with the 262 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan accompanying music. For hundreds of years, Zapin has been a source of entertainment to local communities as well as conveying good advice to its audience with its pantuns (verses, quatrains) and songs. Even if the art form have been changed, its evolution comes naturally. Problems with continuity for traditional arts and crafts, culture, religious implications and other factors are some of the reasons hampering the progress of this art form. (Tom Ibnur dalam http://sriandalas.multiply. com/journal/ item/25) Mohd Anis Md Nor yang mengutip pendapat William R. Roff dalam disertasinya menjelaskan bahwa adalah penting untuk mengetahui hubungan antara orang-orang Arab dari Hadhramaut dengan masyarakat Melayu di Asia Tenggara. Berdasarkan sejarah, orang-orang Arab dari Hadhramaut ini dalam jumlah yang besar datang ke Asia Tenggara pada awal abad kesembilan belas (Mohd Anis Md Nor, 1990:33). Populasi masyarakat Arab di Singapura, Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa menjadikan kondisi perekonomian di kawasan ini lebih maju. Menurut Drewes perpindahan orang-orang Arab dari Hadhramaut ke Asia Tenggara ini datangnya lebih belakangan dibandingkan dengan kelahiran Islam di Tanah Arab (Drewes, 1985:7-17). Dalam sejarah Islam di Asia Tenggara, khususnya Dunia Melayu, zapin menyebar ke semua penjuru Nusantara, seperti di Semenanjung Malaysia, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Jambi, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan lain-lainnya. Persebaran zapin ini amatlah didukung oleh para penyebar agama Islam di Nusantara, karena zapin dipandang sebagai ekspresi seni Islam. Kini salah satu negeri Melayu yaitu Johor menetapkan zapin sebagai tarian identitas kawasan itu yang juga telah menjadi tarian nasional Malaysia. Kawasan-kawasan lain juga tidak tinggal diam dalam konteks mewarisi seni zapin ini. Setiap kali ada festival tari atau musik Melayu, berbagai kawasan Dunia Melayu selalu mempagelarkan seni zapin sebagai identitas kawasannya. Misalnya dalam kegiatan Pesta Gendang Nusantara di Melaka, Festival Tari Melayu di Palembang, Festival Zapin di Johor, Pesta Khatulistiwa di Kalimantan Barat, Pesta Budaya Melayu di Medan, dan lain-lainnya. Zapin memiliki struktur tari dan musik, yang dihasilkan oleh sistem estetika di mana ia tumbuh dan berkembang Struktur musik zapin dapat 263 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya dilihat dari instrumentasi ensambel, tangga nada, wilayah nada, nada dasar, ambitus, pola ritme, metrum, dan sejenisnya. Struktur musik dan struktur tari memiliki kaitan yang sangat erat. Pertunjukan zapin biasanya dimulai dengan bunyi alat musik pembawa maqam dalam gaya free meter. Ini disebut dengan taksim. Pada saat ini biasanya penari masuk ke pentas dengan disertai gerak sembah. Selepas itu masuklah lagu dan tari zapin secara bersamaan yang diikat dalam rentak zapin dan meter empat secara siklusnya. Tari di sini dikembangkan dengan berbagai ragam gerak seperti alif, pecah, langkah, sut, anak ayam, dan tahto. Di ujung persembahan musik memainkan bahagian tahtim atau tahto sebagai coda persembahan. Suara gendang dalam densitas kuat atau senting. Kemudian berakhirlah persembahan satu repertoar tari dan musik zapin tersebut. Ini pola umum pertunjukan zapin di Alam Melayu. Ensambel musik zapin di Alam Melayu dikembangkan dari gabungan dua jenis alat musik, yaiu alat musik pebawa melodi dan alat musik pembawa ritme (rentak). Alat musik pembawa melodi untuk mengiringi zapin adalah: (a) gambus Melayu atau ‘ud Arab, (b) harmonium, (c) akordion, dan (d) biola. Bisa dipilih salah satu atau gabungan antara alat-alat musik pembawa melodi itu. Orientasi garapan musik adalah melodis yang membentuk tekstur heterofoni. Masingmasing alat pembawa melodi membentuk melodi yang sama dan saling memberikan improvisasi. Sementara alat musik pembawa rentak adalah: (a) beberapa (2 atau lebih) gendang marwas, (b) dok (gendang silindris), (c) gendang ronggeng, (d) marakas, (e) nekara, dan lainnya. Struktur ritme yang dibangun berdasarkan kepada teknik interloking. Setiap pemain alat musik ritme ini memainkan pola ritmenya sambil membentuk pola-pola ritme gabungan. Pemain alat musik perkusi juga harus memahami kapan densitas lemah, sedang, atau kuat yang diistilahkan sebagai senting. Hubungan musik dengan tari adalah sama-sama menggunakan meter empat. Siklus hitungan empat ini, ditambah dengan pola ritme dan gerak tari muncul dalam pertunjukan zapin. Sejauh pengamatan penulis rentak zapin dan gerak dasar zapin inilah yang menjadi ciri utama kenapa seni pertunjukan Islam ini disebut dengan zapin. 264 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Khusus untuk rentak zapin dalam gendang, secara garis besar menggunakan dua onomatope yaitu tum dan tak. Tum dipukul agak ke tengah gendang, sedangkan tak dipukul di bahagian tepi membran gendang. Adapun ritme atau rentak dasar gendang dalam seni zapin adalah sebagai berikut. Notasi 7.7: Rentak Dasar Zapin Rentak dasar tersebut menjadi panduan keseluruhan pemain musik dan penari zapin dalam pertunjukan zapin. Struktur rentak dasar itu terdiri dari not seperempat yang menggunakan onomatope tum (tung) kemudian dilanjutkan dengan tanda istirahat seperdelapan ditambah not seperdelapan yang menggunakan onomatope tak, jatuh pada pukulan upbeat. Ini terjadi pada ketukan kedua. Kemudian pada ketukan ketiga, rentak diisi oleh tanda istirahat seperdelapan dan seperelapan not yang menggunakan onomatopeik tung. Ketukan keempat pula diteruskan dengan durasi tanda istirahat seperdelapan ditambah dengn not seperdelapan dalam pukulan up-beat yang menggunakan onomatope tak. Demikian seterusnya rentak dasar ini menjadi ruh kepada pertunjukan musik dan tari zapin. Kalau diperhatikan secara seksama, maka yang unik di dalam rentak dasar zapin ini adalah hitungan ganjil dan genap yang saling mengisi, dan menjadikan rentak ini harus menuju ke pukulan pertama karena adanya stressing up-beat pada pukulan dua, tiga, dan empat. Kalau dihitung berdasarkan not seperdelapan, rangkaian rentak dasar zapin adalah 3 + 2 + 2 + 1 not perdelapanan, atau digambarkan dalam pecahan taktus sebagai berikut (*** + ** + ** + *). 265 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Unuk membentuk rentak gabungan yang sifatnya interloking dan ostinato, maka setiap pemain memainkan pola-pola ritme yang berbeda. Inilah yang dikembangkan oleh para pemain gendang dalam pertunjukan zapin di Nusantara. Setiap pemain memiliki kretivitas sendiri dalam mengembangkan pola-pola ritme zapin itu. Beriut adalah salah satu contoh ritme gabungan dari teknik interloking yang terjadi dalam persembahan zapin di Nusantara. Notasi 7.8: Teknik Interloking dalam Permainan Rentak Zapin Lagu-lagu yang dipergunakan dalam pertunjukan zapin Melayu di Nusanara adalah lagu-lagu yang diolah dan diciptakan oleh seniman Melayu di Nusantara ini. Ada yang hanya dalam bentuk melodi saja, namun ada pula yang disertai dengan teks atau lirik lagu. Lagu-lagu zapin Melayu ini diolah menjadi khas musik Melayu. Namun demikian untuk zapin Arab atau marawis lagu-lagu yang digunakan umumnya adalah lagu-lagu Arab. Setiap kawasan di Dunia Melayu memiliki lau-lagu andalan dan menjadi ciri khas daerah setempat. Sebagai contoh dari Riau terdapat lagu Zapin Lancang Kuning dan Persebatian. Di Serdang 266 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan terdapat lagu Zapin Bulan Mengambang. Sementara di Johor terdapat lagu Zapin Bunga Hutan dan Ya Salam. Di Palembang pula terdapat lagu Zapin Palembang. Di antara lagu-lagu zapin yang umum digunakan dalam zapin Melayu adalah seperti pada tebel berikut ini. Tabel 7.3: Beberapa Lagu Zapin yang Lazim Dipersembahkan di Dunia Melayu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Judul Anak Ayam Bulan Mengambang Bunga Hutan Gambus Palembang Kamaruzzaman Lancang Kuning Maulana Naamsidi Persebatian Selabat Laila Ya Salam Zapin Deli Zapin Kasih dan Budi 14 Zapin Menjelang Maghrib 15 Zapin Serdang Keterangan Lagu zapin tradisi Melayu Lagu zapin tradisi Serdang Lagu zapin trdisi Melayu Johor Lagu zapin tradisi Melayu Palembang Lagu zapin tradisi Arab Lagu zapin tardisi Melayu dari Kepulauan Riau Lagu zapin tradisi Melayu Lagu zapin tradisi Arab Lagu zapin tradisi Riau Lagu zapin tradisi Arab Lagu zapin tradisi Melayu Lagu zapin Melayu Deli Lagu zapin Melayu, ciptaan Ngah Suhaimi Lagu ciptaan Rizaldi Siagian, tari Yose Rizal Firdaus Lagu zapin Melayu Serdang 267 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Notasi 7.9: Melodi Zapin Bulan Mengambang 268 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Tangga nada yang digunakan dalam zapin Melayu adalah hasil sintesis antara tangga-tangga nada mayor, minor (zigana, harmonik, melodik, dan natural) serta sistem maqamat Arab. Ada pula yang menggabungkan antara beberapa tangga nada tersebut. Yang paling menonjol, dalam lagu-lagu zapin Melayu, supaya persembahan melodi menjadi khas Melayu, para pemusik dan penyanyi zapin Melayu biasanya menggunakan sistem estetika melodi musik Melayu yang terbagi ke dalam teknik patah lagu, cengkok, dan gerenek. Ini menjadi nafas utama lagu-lagu zapin Melayu. Contoh ganbungan antara tangga-tangga nada dunia ini dalam seni zapin dapat dikaji pada lagu Lancang Kuning. Di dalam lagu ini digabungkan tiga jenis tangga nada yang benar-benar padu yaitu mayor, minor natural, dan sedikit warna tangga nada blues. Ini memperlihatkan bahwa seniman Melayu itu sangat kreatif dalam menggarap dan mengdun musik-musik di dunia ini, dan menjadi citarasa dan estetika Melayu sendiri. Pengguaan pantun banyak mendapatkan peran utama dalam lagulagu Melayu termasuk dalam zapin Melayu. Oleh karena itu, pantun menjadi ciri khas dari sebuah pertunjukan zapin Melayu. Lagu-lagu yang digarap berdasarkan pantun, teksnya selalu diubah terus-menerus. Perubahan teks tersebut menjadi karakteristik khas musik Melayu. Untuk lagu yang berjudul sama, oleh seorang penyanyi yang sama, dalam selang waktu beberap menit, jika diulang, biasanya akan menghasilkan teks yang berbeda. Dalam lagu-lagu zapin Melayu, unsur-unsur pantun sering digunakan. Di antaranya penggunaan sampiran dan isi. Satu baris teks terdiri dari empat kata, disertai beberapa suku katanya, menggunakan persajakan, dan lain-lain. Namun, karena pantun ini disajikan secara musikal, akan ada lagi beberapa ciri pantun lagu-lagu zapin Melayu, yaitu: (1) pantun biasanya disajikan berulang-ulang mengikuti ulanganulangan melodi. (2) Walau prinsipnya teks lagu-lagu Melayu mempergunakan pantun, namun pantun ini tidak sembarangan dimasukkan, misalnya untuk lagu-lagu seperti Ya Salam, Zapin Bunga Hutan, sudah ada melodi yang khusus dipergunakan untuk teks yang menjadi ciri utama lagu-lagu tersebut. Pada bahagian ini pantun tak boleh masuk. (3) Pantun dalam lagu-lagu zapin Melayu juga selalu dapat diulur 269 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya atau dipadatkan sesuai dengan kebutuhan melodi musik yang dimasukinya. (4) Pantun-patun dalam lagu-lagu zapin Melayu juga dapat disisipi oleh kata-kata seperti: ala sayang, sayang, hai, ala hai, abang, bang, tuan, puan, akak, abah, ai, uo, dan lain-lainnya, di tempat-tempat awal, tengah, atau akhir baris. (5) Selain itu, dalam satu baris tidak harus mutlak terdiri dari empat kata atau sepuluh suku kata, tetapi bisa lebih melebar dari ketentuan pantun secara umum. Hal ini memungkinkan terjadi, karena teks tersebut disampaikan secara melodis, bukan dalam gaya berpantun. Misalnya untuk memperpanjang beat, dapat dipergunakan dengan teknik melismatik, sebaliknya dengan teknik silabik dengan durasi yang relatif pendek. Keadaan seperti ini terjadi pada keseluruhan repertoar lagu zapin Melayu, yang berdasarkan kepada pantun. Sifatnya lebih fleksibel terhadap tata aturan pantun, dibanding dengan seni pantun yang disampaikan dengan cara berpantun. Berikut adalah kerja analisis terhadap salah satu lagu zapin Melayu yaitu lagu Lancang Kuning. Lagu ini penulis analisis melalui teori semiotik yang lazim digunakan dalam ilmu-ilmu seni. Lagu ini menjadi pilihan karena sangat luas dikenal masyarakat Melayu atau rumpun Melayu. Lagu ini memiliki identitas kemelayuan yang kuat, bak ditinjau dari tangga nada maupun onamentasi yang digunakan di dalamnya. Selain itu, syair lagu Lancang Kuning ini juga sarat dengan makna-makna budaya yang dianut oleh sebahagian besar masyarakat Melayu. Lagu ini juga bisa dikatakan sebagai ungakapan sistem simbol yang lazim digunakan oleh orang-orang Melayu dalam konteks komunikasi budaya. Selengkapnya transkripsi lagu ini secara preskriptif adalah sebagai berikut. 270 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Notasi 7.10: Lagu Zapin Lancang Kuning 271 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Lancang Kuning Lancang kuning lancang kuning belayar malam belayar malam Lancang kuning lancang kuning belayar malam belayar malam Haluan menuju haluan menuju ke laut dalam Haluan menuju haluan menuju ke laut dalam Lancang kuning belayar malam Lancang kuning belayar malam Lancang kuning lancang kuning menentang badai hai menentang badai Lancang kuning lancang kuning menentang badai hai menentang badai Tali kemudi tali kemudi berpilin tiga Tali kemudi tali kemudi berpilin tiga Lancang kuning belayar malam Lancang kuning belayar malam Kalau nakhoda kalau nakhoda kuranglah paham hai kuranglah paham Kalau nakhoda kalau nakhoda kuranglah paham hai kuranglah paham Alamatlah kapal alamatlah kapal akan tenggelam Alamatlah kapal alamatlah kapal akan tenggelam Lancang kuning belayar malam Lancang kuning belayar malam Teks lagu Lancang Kuning ini juga mengandungi lambang dalam konteks budaya Melayu. Lancang kuning itu adalah lambang orang Melayu dan kebudayaannya dalam mengharungi dunia ini, termasuk zaman globalisasi budaya sekarang, yang dilambangkan dengan lautan luas. Pada bait pertama dengan teks sebagai berikut: Lancang kuning lancang kuning brlayar malam belayar malam; Haluan menuju haluan menuju ke laut dalam; Lancang kuning belayar malam. Teks ini coba menyampaikan pesan bahwa lancang kuning (perahu tradisional yang 272 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan berwarna kuning, sebagai simbol kebudayaan Melayu) sedang berlayar malam, yang itu lebih merbahaya ketimbang berlayar siang hari, malam gelap, perlu suluh, lampu atau penerangan yang cukup agar boleh belayar malam. Sementara haluannya pun menuju laut dalam bukan laut tepi, sehingga perlu berhati-hati seluruh anak kapalnya, terutama nakhoda. Teks ini melambangkan kebudayaan Melayu yang dihimpit oleh berbagai-bagai tekanan budaya asing. Bait kedua menggambarkan lebih jauh tekanan kebudayaan asing kepada budaya Melayu melalui teks sebagai berikut ini. Lancang kuning lancang kuning menentang badai hai menentang badai; Tali kemudi tali kemudi berpilin tiga; Lancang kuning belayar malam. Dalam pelayaran lancang kuning menghadapi badai lautan, yang perlu diatasi dengan perjuangan seluruh awak kapal. Keadaan ini menggambarkan sekian besarnya tantangan yang dihadapi masyarakat dan kebudayaan Melayu dalam merentas dan menjalani hidup di dunia ini. Namun pada kalimat (ayat) berikutnya disebutkan bahwa tali kemudi berpilin tiga, artinya untuk menghadapi cabaran budaya ini masyarakat Melayu sudah bersiapsiap dengan pilinan tali kemudi berjumlah tiga. Maknanya dalam menghadapi tantangan peradaban (tamadun), masyarakat Melayu sudah menyiapkan unsur ulama, pemerintah, dan rakyat yang bekerja bersamasama. Bait ketiga lagu ini mengingatkan pentingnya kewaspadaan dan keberpihakan pihak penguasa (pemerintah atau kerajaan) kepada rakyat yang dipimpinnya, dengan berdasarkan kepada pemahaman ilmu yang diturunkan oleh generasi pendahulu orang-orang Melayu. Dalam hal ini nakhoda harus paham akan ilmu kelautan, ke arah mana yang hendak dituju, bagaimana menghadapi gelombang. Dalam arti lain, pemimpin Melayu harus paham dengan sistem pendidikan Melayu yang tercakup dalam adat Melayu, seperti yang dikonsepkan dalam adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Dengan mengikuti ajaran ini, insya Allah pimpinan dan rakyat Melayu akan selamat menghadapi gelombang zaman, seperti yang tercermin dalam teks berikut: Kalau nakhoda kalau nakhoda kuranglah paham hai kuranglah paham; Alamatlah kapal alamatlah kapal akan tenggelam; Lancang kuning belayar malam. 273 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Dalam kebudayaan Melayu, untuk memohon kepada Allah agar sebuah kampung terhindar dari musibah dan malapetaka, maka masyarakat Melayu hingga hari ini mengadakan upacara yang disebut melepas lancang. Upacara ini dilakukan pada masa-masa ketika sebuah desa mengalami musibah, seperti beberapa warganya hilang di laut, banjir besar, wabah penyakit dan sebagainya. Jadi lancang (perahu) mempunyai makna dan lambang tersendiri dalam kebudayaan Melayu. Demikian kira-kira makna lagu ini dalm konteks budaya Melayu. Notasi 7.11: Gerak Dasar Tari Zapin 274 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Gambar 7.11: Suasana Pertunjukan Tari Zapin Bulan Mengambang di Salah Satu Pesta Resepsi Perkawinan di Medan Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013 7.5 Seni Hadrah Hadrah adalah salah satu kesenian Islam yang terdapat dalam budaya Melayu. Menurut sejarahnya, kesenian ini awalnya adalah bahagian daripada kehidupan kaum sufi di Dunia Islam, antaranya adalah sekte Rifa’iyah dan Naqsabandiyah dari Asia Selatan. Genre seni ini memiliki puluhan repertoar lagu (kajian hadrah di Sumatera Utara dalam peringkat sarjana muda lihat Takari 1990). Notasi 7.12 adalah salah satu lagu yang bertajuk Bismillah Mula-mula. 275 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Notasi 7.12: Contoh Hadrah, Lagu Bismillah Mula-mula 276 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan 277 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 7.6 Seni Barzanji dan Marhaban Seni barzanji dan marhaban amatlah populer digunakan dalam upacara-upacara keagamaan Islam dalam kebudayaan Melayu. Misalnya untuk mengabsahkan upacara perkawinan, sunat (khatan), musabaqah tilawatil Qur’an, maulid Nabi, melepas dan menyambut haji dan sebagainya. Dalam konteks kebudayaan Melayu, penyajian barzanji memang selalu digandengkan dengan marhaban. Keduanya memang dua genre seni yang selalu berpasangan. Secara struktural, barzanji terdiri daripada dua bentuk, yaitu barzanji nathar, merupakan bentuk prosa berirama dan barzanji puisi, dengan norma-norma aturannya. Barzanji ini di Semenanjung Malaysia, biasanya menggunakan bentuk nazam dan syair yang dilagukan, rimanya a-a-a-a. Pesan yang disampaikan biasanya memuji keesaan dan keagungan Allah dan memuji Nabi Muhammad SAW. Biasanya barzanji dan marhaban dipersembahkan di majelis-majelis upacara gembira seperti perkawinan, cukur rambut, maulid Nabi, dan sebagainya. Di Semenanjung Malaysia barzanji ini sekarang lazim pula diterjemahkan dalam bahasa Melayu. Di Sumatera Utara barzanji dan marhaban ini mengikut pengamatan penulis, masih menggunakan bahasa Arab, tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu (Indonesia). Notasi berikut ini adalah contoh penyajian marhaban dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Utara. 278 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Notasi 7.13: Cupklikan Melodi Marhaban 279 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 7.7 Tari Persembahan dan Lagu Makan Sirih Selepas perarakan pengantin lelaki melaksanakan berbagai hempangan, maka berikutnya adalah kedua mempelai bersanding di tempat duduk pelaminan. Pada saat ini biasanya dipertunjukkan tari Persembahan dengan iringan lagu Makan Sirih. Gerak tari yang digunakan sepenuhnya gerak senandung. Biasanya persembahan ini juga dilakukan dalam acara-acara lainnya seperti wisuda (bahasa Melayu Malaysia, konvokesyen), pembukaan gedung yang baru, penyambutan tetamu agung dan sebagainya. Temponya lambat, menggunakan irama senandung, dalam satu pusingan memerlukan delapan ketukan dasar, 60 ketukan dasar per menit. Sementara tangga nada yang digunakan adlaah major. Biasanya untuk penyanyi lelaki dinyanyikan dalam kunci C, sedang penyanyi perempuan dalam kunci G atau F. Di antara lagu Makan Sirih yang terkenal adalah gubangan Hajjah Dahlia Kasim, dengan lirik sebagai berikut. Makan sirih berpinang tidak Adatlah resam pusaka Melayu .... Makan sirih berpinang tidak Makanlah sirih berpinanglah tidak berpinanglah tidak Sirihlah dimakan sirih dimakan di Tanahlah Deli Makan sirih berpinang tidak Makanlah sirih berpinanglah tidak berpinanglah tidak Sirihlah dimakan sirih dimakan di Tanahlah Deli Walaupun sirih mengenyanglah tidak mengenyanglah tidak Adatlah resam pusaka Melayu Walaupun sirih mengenyanglah tidak mengenyanglah tidak Adatlah resam pusaka Melayu Makan sirih mengenyang tidak Adatlah resam pusaka Melayu 280 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Selepas pertunjukan tari Persembahan dan lagu Makan Sirih ini, maka acara persembahan berkutnya adalah tepung tawar yang disertai dengan lagu yang khas untuk upacara perkawinan, yaitu lagu Rinjis-Rinjis dan Anak Ikan. 7.8 Rinjis-rinjis dan Anak Ikan Lagu Rinjis-rinjis dan Anak Ikan adalah dua lagu yang paling umum digunakan untuk mengiringi upacara tepung tawar yang menjadi salah satu bahagian dari keseluruhan rangkaian upacara perkawinan adat Melayu. Lagu ini akan terus mengiringi para sanak keluarga dan tetamu yang menepungtawari kedua mempelai. Panjang dan pendeknya persembahkan disesuaikan dengan konteks. Penyanyi pula bisa berhenti sementara musik terus saja dipersembahkan. Di antara teks lagu Rinjisrinjis yang lazim digunakan dalam mengiringi tepung tawar dalam upacara perkawinan adalah seperti yang diturunkan berikut ini. Rinjis-rinjis dipilis Ditepungilah tawar Hai beras kuning ditabur Disiram si air mawar Banyak orang yang datang Datang berhati senang Jiwa di dada pun tenag Hai datang di saat riang Pengantin duduk bersanding Ditabur beraslah kuning Hai kelompok beriring Orang ramai keliling Hidup mesti mufakat Ruamh tangga yang damai Hai jangan gaduh bersilat 281 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Sampai bercerai berai Hidup seia sekata Di dalam rumah tangga Upat puji rahsia Jangan sekali ada Turut kata berdua Hormat pada famili Ibu bapak taati Pada Allah berbakti 7.9 Ronggeng Selepas upacara-upacara ang bersifat ritual keagamaan Islam, maka acara berikutnya adalah yang lebih menumpukan kepada hiburan untuk santai dan bersenang-senang di hari kebahagiaan kedua mempelai. Adapun di antara seni yang dipertunjukan adalah ronggeng atau joget. Ronggeng adalah satu genre tari pergaulan sosial dalam kebudayaan Melayu Sumatera Utara yang begitu populer. Ronggeng digunakan dalam pelbagai aktiviti budaya seperti untuk merayakan perkawinan, hiburan ditempat-tempat hiburan di Sumatera Utara, di Pekan Budaya Melayu, Medan Fair dan sebagainya. Seni ronggeng ini adalah satu kegiatan kesenian yang melibatkan beberapa ronggeng (perempuan) menyanyi dan menari melayani para penonton untuk menari bersama mereka, dan tak lupa adalah nyanyian itu berupa berbalas pantun. Para penonton yang hendak menari atau menyanyi bersama biasanya membeli tiket dengan harga nominal tertentu. Namun dalam upacara perkawinan biasanya cukup meminta secara tertulis atau lisan saja. Dalam konteks Sumatera Utara persembahan ronggeng biasanya terdiri dari tiga bahagian, yaitu awal lagu yang disebut dengan Basmallah Lagu, terdiri dari tiga rangkaian lagu, yaitu: (a) Gunung Sayang, (b) Serampang Laut, dan (c) Pulau Sari. Kemudian isi persembahan yang terdiri dari pasangan-pasangan lagu dan tarian, yang berawal dari yang bertempo lambat atau sedang ke tempo yang lebih cepat. Pasangan lagu 282 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan dan tarian yang kedua ini disebut dengan pecahan. Persembahan isi ini adalah yang terpanjang masanya mengikut konteks. Bahagian persembahan akhir biasanya menggunakan lagu Si Paku Gelang. Ini adalah norma umum persembahan ronggeng Melayu Sumatera Utara. Pada bahagian isi, sesuai dengan komposisi etnik yang terdapat di Sumatera Utara, maka di antara lagu-lagu dan tarian yang digunakan dalam ronggeng diselitkan pula lagu-lagu dari etnik di Sumatera Utara. Misalnya dari Aceh digunakan lagu Bungong Jeumpa, dari Batak Toba lagu Sipegge Supir dan Raja Doli. Dari budaya Minangkabau digunakan lagu Babendi-bendi dan Haji Lahore, dari budaya Sunda digunakan lagu Es Lilin, dari budaya Jawa digunakan lagu Kembang Kates, Rek Ayo Rek, dan lain-lainnya. Selain itu, dalam konteks upacara perkawinan ini sering pula dipersembahkan tarian Serampang Dua Belas, sebagai tarian nasional Indonesia. Tarian ini berasal dari kawasan Serdang Sumatera Utara, yang dipolakan oleh Guru Sauti dari tarian tradisional Melayu Pulau Sari. Tarian Serampang Dua Belas adalah tarian yang menceritakan perkenalan pemuda dan pemudi dari awal, jatuh cinta, sampai bersanding di pelaminan, yang terdiri dari dua belas ragam. Setiap ragam menceritakan kejadian di masa percintaan mereka. Tarian ini diangkat menjadi tarian nasional oleh Presiden Sukarno pada dasawarsa 1960-an. Kemudian tarian ini sangat populer di seluruh Indonesia. Tarian ini pada masa sekarang sering diperlombakan di berbagai peringkat seperti kabupaten, kota, dan provinsi. Pemain akordion untuk tarian ini, adalah Dahlan Siregar, dan kemudian diteruskan oleh Ahmad Setia, dan menurunkan muridnya yaitu Erwansyah dan Kudri. Lagu-lagu Melayu dalam pertunjukan ronggeng ini adalah lebih mengutamakan garapan teks dibandingkan garapan melodi atau instrumentasinya. Hal ini dapat dilihat dari garapan teks yang terus menerus berubah, sedangkan melodinya sama atau hampir sama. Dengan demikian musik Melayu ini dapat dikategorikan sebagai musik logogenik. 1 Teksnya berdasar kepada pantun empat baris, kuatrin, yang 1 Jika sebuah genre musik mengutamakan aspek melodi dan ritme saja, dapat dikategorikan sebagai musik melogenik. Contoh pertunjukan musik yang dikategorikan 283 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya terdiri dari dua baris sampiran dan dua baris isi. Kecenderungan mempergunakan ulangan-ulangan apakah itu sampiran atau isinya. Menurut Harun Mat Piah, pantun ialah sejenis puisi pada umumnya, yang terdiri dari: empat baris dalam satu rangkap, empat perkataan sebaris, mempunyai rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit variasi dan kekecualian. Tiap-tiap rangkap terbagi ke dalam dua unit: pembayang (sampiran) dan maksud (isi). Setiap rangkap melengkapi satu ide. Ciriciri pantun Melayu dapat dibicarakan dari dua aspek penting, yaitu eksternal dan internal. Aspek eksternal adalah dari segi struktur dan seluruh ciri-ciri visual yang dapat dilihat dan didengar, yang termasuk hal-hal berikut ini. (1) Terdiri dari rangkap-rangkap yang berasingan. Setiap rangkap terdiri dari baris-baris yang sejajar dan berpasangan, 2, 4, 6, 8, 10 dan seterusnya, tetapi yang paling umum adalah empat baris (kuatrin). (2) Setiap baris mengandung empat kata dasar. Oleh karena kata dalam bahasa Melayu umumnya dwisuku kata, bila termasuk imbuhan, penanda dan kata-kata fungsional, maka menjadikan jumlah suku kata pada setiap baris berjumlah antra 8-10. Berarti unit yang paling penting ialah kata, sedangkan suku kata adalah aspek sampingan. (3) Adanya klimaks, yaitu perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau perkataan ada dua kuplet maksud. (4) Setiap stanza terbagi kepada dua unit yaitu pembayang (sampiran) dan maksud (isi); karena itu sebuah kuatrin mempunyai dua kuplet: satu kuplet pembayang dan satu kuplet maksud. (5) Adanya skema rima yang tetap, yaitu rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit variasi a-a-a-a. Mungkin juga terdapat rima internal, atau rima pada perkataan-perkataan yang sejajar, tetapi tidak sebagai ciri penting. Selain rima, asonansi juga merupakan aspek yang dominan dalam sebagai logogenik adalah pertunjukan ronggeng dan joget Melayu yang memang mengutamakan teks berbentuk pantun yang disajikan oleh ronggeng dan pengunjung. Aspek jual beli pantun secara spontanias merupakan ruh pertunjukan ronggeng. Sementara contoh pertunjukan musik melogenik, yang hanya mengutamakan aspek nada atau ritme saja, misalnya adalah pertunjukan gonrang bolon di Simalungun, yang tanpa menggunakan vokal penyanyi, hanya mengutamakan melodi sarune bolon dan bunyi gonrang sipitu-pitu, serta gong. 284 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan pembentukan sebuah pantun. (6) Setiap stanza pantun, apakah itu dua, empat, enam, dan seterusnya, mengandung satu pikiran yang bulat dan lengkap. Sebuah stanza dipandang sebagai satu kesatuan. Aspek-aspek internal adalah unsur-unsur yang hanya dapat dirasakan secara subjektif berdasar pengalaman dan pemahaman pendengar, termasuk: (7) Penggunaan lambang-lambang yang tertentu berdasarkan tanggapan dan dunia pandangan (world view) masyarakat. (8) Adanya hubungan makna antara pasangan pembayang dengan pasangan maksud, baik itu hubungan konkrit atau abstrak atau melalui lambang-lambang (Harun Mat Piah, 1989: 91,123, 124). Gambar 7.12: Beberapa Ronggeng, Pemusik, dan Penyanyi Persembahan Ronggeng di Sumatera Utara Dokumentasi: Yusuf Wibisono 1995 285 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Dalam lagu-lagu Melayu Sumatera Utara, ciri-ciri pantun seperti yang dikemukakan Harun Mat Piah tersebut juga berlaku. Namun, karena pantun ini disajikan secara musikal, aka ada lagi beberapa ciri pantun lagu-lagu Melayu, yaitu sebagai berikut. (1) pantun biasanya disajikan berulang-ulang mengikuti ulangan-ulangan melodi. (2) Walau prinsipnya teks lagu-lagu Melayu mempergunakan pantun, namun pantun ini tidak sembarangan dimasukkan, misalnya untuk lagu-lagu seperti Hitam Manis, Selendang Mayang, Siti Payung, sudah ada melodi yang khusus dipergunakan untuk teks yang menjadi ciri utama lagu-lagu tersebut. Pada bagian ini pantun tak boleh masuk. (3) Pantun dalam lagu-lagu Melayu juga selalu dapat diulur atau dipadatkan sesuai dengan kebutuhan melodi musik yang dimasukinya. (4) Pantun-patun dalam lagu-lagu Melayu juga dapat disisipi oleh katakata seperti: ala sayang, sayang, hai, ala hai, abang, bang, tuan, puan, pak ucok, bang ucok, akak, abah, juga judul-judul lagu seperti Gunung Sayang, Dondang Sayang, Serampang Laut, dan lainlainnya, di tempat-tempat awal, tengah, atau akhir baris. (5) Selain itu, dalam satu baris tidak harus mutlak terdiri dari empat kata atau sepuluh suku kata, tetapi bisa lebih melebar dari ketentuan pantun secara umum. Hal ini memungkinkan terjadi, karena teks tersebut disampaikan secara melodis, bukan dalam gaya berpantun. Misalnya untuk memperpanjang beat, dapat dipergunakan dengan teknik melismatik, sebaliknya dengan teknik silabik dengan durasi yang relatif pendek. Keadaan seperti ini terjadi pada keseluruhan repertoar kesenian Melayu, yang berdasarkan kepada pantun. Sifatnya lebih fleksibel terhadap tata aturan pantun, dibanding dengan seni pantun yang disampaikan dengan cara berpantun. Contoh-contoh masuknya pantun dalam lagu Melayu, (khususnya seni ronggeng) secara fleksibel adalah sebagai berikut. 286 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan (1) lagu: Tanjung Katung pantun asal: Tanjung Katung airnya biru, Tempat hendak mencuci muka, Lagi sekampung hatiku rindu, Konon pula jauh di mata. Digarap menjadi: Tanjung Katung airnya biru (nyawa), Tempat hendak mencucilaj muka, Tanjung Katung airnya biru (sayang), Tempat hendak (ah muka) mencuci muka, Lagi sekampung hatiku rindu, Konon pula (ah mata) jauh di mata, Lagi sekampung hatiku rindu (nyawa), Konon (ah konon mata) jauh di mata. Digarap ke dalam melodi musik menjadi sebagai berikut. 287 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Notasi 7.14: Tanjung Katung 288 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan 289 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 290 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan (2) Lagu: Laksmana pantun asal: Sayang Laksmana mati dibunuh, Mati ditikam Radin Amperi, Mujurlah kilat menjadi suluh, Barulah tampak tanah daratan. digarap menjadi: Sayang Laksmana mati dibunuh (Laksmana sayang), Matilah ditikam Radin Amperi, Sayang Laksmana mati dibunuh (Laksmana sayang), Matilah ditikam Radin Pangeran, Mujurlah kilat menjadi suluh (Laksmana sayang), Barulah tampak tanah daratan, Mujurlah kilat menjadi suluh (Laksmana sayang), Barulah tampak tanah daratan. Digarap ke dalam melodi musik menjadi sebagai berikut. 291 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Notasi 7.15: Laksmana 292 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan 293 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 294 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan 295 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 7.10 Keyboard Memasuki era dekade 1980-an, di Sumatera muncul sebuah fenomena yang cukup meluas, yaitu dengan wujudnya musik keyboard, yang mengandalkan satu persembahan dengan menggunakan alat musik keyboard (buatan Jepang). Musik keyboard ini digunakan untuk pelbagai aktivitas sosial, terutama unutk memeriahkan pesta perkawinan dalam berbagai etnik dan agama di Sumatera Utara. Di antaranya adalah untuk perkawinan adat Melayu. Keyboard ini dipersembahkan sianga tau malam hari di desa-desa maupun kota-kota di seluruh Sumatera Utara. Di antara pemusik keyboard Melayu yang terkenal adalah Zulfan Effendi, Syaiful Amri, Ahmad, dan lainnya. Bahkan Suaiful Amri dan Laila Hasyim mencoba memproduksi jenis musik ini di era 1980-an dan kemudian karya mereka ini menjadi meledak di pasaran industri musik Sumatera Utara. Walau bagaimanapun, musik keyboard Melayu ini terus mendapat sambutan hingga hari ini. Penyajiannya tetap meneruskan lagu-lagu tradisi Melayu ditambah dengan lagu-lagu populer Sumatera Utara dan Indonesia, mahupun Malaysia. Sampai sekarang sebahagaian besar orang Melayu atau masyarakat Islam di Sumatera Utara, jika melakukan pesta pernikahan atau khatanan anak, selalunya menggunakan musik keyboard ini. 296 Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan Gambar 7.13: Tiga Penyanyi diiringi Ensambel Keyboard Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013 297 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya BAB VIII KEARIFAN DALAM ADAT PERKAWINAN MELAYU 8.1 Pengenalan Sebagai sebuah institusi budaya yang eksis sejak dan selama adanya masyarakat Melayu, maka perkawinan dalam kebudayaan Melayu dengan segala gagasan, kegiatan, dan artefaknya mengandung berbagai kearifan. Namun demikian, yang perlu dipahami adalah bahwa kebijaksanaan atau kearifan dalam kebudayaan Melayu, tidak semata-mata bersifat lokal (daerah). Orang-orang Melayu sebagai umat yang terbuka, inklusif, dan terbiasa dalam mengelola berbagai peradaban, selalu menyandarkan kearifannya pada nilai-nilai universal peradaban, tidak hanya bersifat kelokalan saja. Oleh karena itu, pada bahagian ini, digunakan terminologi kearifan saja, tidak kearifan lokal. Maknanya adalah kearifan yang digagas dan dijalankan oleh orang-orang Melayu secara fungsional tidak terbatas untuk kalangan orang-orang Melayu saja, tetapi kepada siapapun dan di mana pun. Dalam hal ini sesuai dengan konsep kebudayaan Melayu, bahwa setiap umat Melayu adalah menjadi rahmat kepada seluruh alam semesta. Demikian pula diakui bahwa manusia diciptakan Tuhan memang terdiri dari berbagai kelompok, baik itu ras, bangsa, kelompok etnik (suku), namun pada dasarnya dalam gagasan peradaban Melayu, semua manusia awalnya adalah satu. Dalam konteks agama samawiyah semua manusia diturunkan dari Adam dan Siti Hawa. Jadi kelokalan di sini memang diakui oleh orang Melayu, tetapi keuniversalan adalah hal yang juga dijunjung dalam kearifannya. Dalam konteks perkawinan ini, pada kebudayaan Melayu terkandung kearifan-kearifan yang sifatnya universal, dan juga berciri khas kebudayaan Melayu. Kearifan tersebut sebenarnya telah digariskan 298 Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu dalam adat Melayu. Seperti yang tertuang di dalam gagasan adat bersendikan syarak—syarak bersendikan kitabullah, syarak mengata adat memakai. Demikian pula selanjutnya ada empat stratifikasi adat ini, seperti sudah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Namun demikian, secara keilmuan alangkah baiknya kita pahami apa itu kearifan, dan yang sering dikemukakan oleh para antropolog dan ilmuwan budaya adalah kearifan lokal (local wisdom). 8.2 Pengertian Kearifan Lokal Dalam konteks pemikiran Islam, kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al-’addah ma’rifah), yang dilawankan dengan al-’addah aljahiliyyah. Kearifan dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari oleh ilmu pengetahuan, diakui akal, serta dianggap baik oleh ketentuan agama (sistem religi). Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan dipandang baik, karena merupakan tindakan sosial yang berulangulang dan mengalami penguatan (reinforcement), bukan sebaliknya. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Terminologi kearifan lokal adalah padanan dari bahasa Inggris local wisdom. Di dalam kamus, kata bentukan ini terdiri dari dua kata, yaitu, kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily, kata local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasangagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh segenap anggota masyarakatnya. Dalam konteks disiplin antropologi, dikenal pula istilah sejenis yaitu local genius. Dalam bahasa Indonesia dapat dimaknakan sebagai genius lokal. Dalam sejarah perkembangan ilmu antropologi, terminologi local genius ini merupakan istilah yang pada awalnya dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio 299 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya ada lima, yaitu sebagai berikut: (1) mampu bertahan terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; (3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli; (4) mempunyai kemampuan mengendalikan; dan (5) mampu memberi arah perkembangan budaya. Lebih jauh lagi, Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang, dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya. Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakan pada peringkat lokal di berbagai bidang sosiobudaya, seperti: kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, kegiatan masyarakat pedesaan, penanganan bencana alam, dan lain-lainnya. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya, serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Selanjutnya Ridwan (2007:2) menjelaskan bahwa kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal 300 Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa, yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut, disusun secara etimologis, yaitu wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan atau kebijaksanaan. Selanjutnya local secara khusus merujuk kepada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didisain (dirancang) sedemikian rupa, yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terancang tersebut disebut setting. Istilah setting dapat dimaknai sebagai sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Selanjutnya nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku mereka. Pakar lainnya, Keraf (2010: 369) menyatakan bahwa kearifan lokal atau kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan, adat kebiasaan, atau etika yang menuntun prilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi kearifan lokal ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, tetapi juga menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan yang gaib. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa, pertama, kearifan tradisional adalah milik komunitas. Demikian pula, yang dikenal sebagai pengetahuan tentang manusia, alam dan relasi dalam alam juga milik 301 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya komunitas. Tidak ada pengetahuan atau kearifan tradisional yang bersifat individual. Selanjutnya, kedua, kearifan tradisional lebih bersifat praktis, atau “pengetahuan bagaimana.” Pengetahuan dan kearifan masyarakat adat adalah pengetahuan bagaimana hidup secara baik dalam komunitas ekologis, sehingga menyangkut bagaimana berhubungan secara baik dengan semua isi alam. Pengetahuan ini juga mencakup bagaimana memperlakukan setiap bagian kehidupan dalam alam sedemikian rupa, baik untuk mempertahankan kehidupan masing-masing spesies maupun untuk mempertahankan seluruh kehidupan di alam itu sendiri. Itu sebabnya, selalu ada berbagai aturan yang sebagian besar dalam bentuk larangan atau tabu tentang bagaimana menjalankan aktivitas kehidupan tertentu di alam ini. Ketiga, kearifan tradisional bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta. Alam adalah jaring kehidupan yang lebih luas dari sekedar jumlah keseluruhan bagian yang terpisah satu sama lain. Alam adalah rangkaian relasi yang terkait satu sama lain, sehingga pemahaman dan pengetahuan tentang alam harus merupakan suatu pengetahuan menyeluruh. Keempat, berdasarkan kearifan tradisional dengan ciri seperti itu, maka masyarakat adat juga memahami semua aktivitasnya sebagai aktivitas moral. Kegiatan bertani, berburu, dan menangkap ikan, bukanlah sekedar aktivitas ilmiah berupa penerapan pengetahuan ilmiah tentang dan sesuai dengan alam, yang dituntun oleh prinsip-prinsip dan pemahaman ilmiah yang rasional. Aktivitas tersebut juga merupakan kegiatan moral yang dituntun dan didasarkan pada prinsip atau tabu-tabu moral yang bersumber dari kearifan tradisional. Kelima, berbeda dengan ilmu pengetahuan Barat, yang mengkalim dirinya sebagai universal, kearifan tradisional umumnya bersifat lokal, karena terkait dengan tempat yang partikular dan konkret. Kearifan dan pengetahuan tradisional selalu menyangkut pribadi manusia yang partikular (komunitas masyarakat adat itu sendiri), alam (di sekitar tempat tinggalnya), dan relasinya dengan alam itu. Namun demikian, karena manusia dan alam bersifat universal, kearifan dan pengetahuan 302 Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu tradisional dengan tidak direkayasa pun menjadi universal pada dirinya sendiri. Kendati tidak memiliki rumusan universal sebagaimana dikenal dalam ilmu pengetahuan modern, kearifan tradisional ternyata ditemukan di semua masyarakat adat atau suku asli di seluruh dunia, dengan substansi yang sama, baik dalam dimensi teknis maupun dalam dimensi moralnya. Lebih jauh lagi, Teezzi (dalam Ridwan, 2007:3) mengatakan bahwa "akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama." Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari, dan lain-lainnya. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan, yang dapat diamati melalui sikap dan prilaku mereka sehari-hari. Bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses uji coba terus-menerus (trial and error) dari berbagai macam pengetahuan empiris, non-empiris, estetis, maupun intuitif. Ardhana (dalam Apriyanto, 2008:4) menjelaskan bahwa menurut perspektif kebudayaan, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan, dan dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka. Termasuk berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, bertingkah laku dan bertindak yang dituangkan sebagai suatu tatanan sosial. Di dalam pernyataan tersebut terlihat bahwa terdapat lima dimensi kultural tentang kearifan lokal, yaitu sebagai berikut. (1) Pengetahuan lokal, yaitu informasi dan data tentang karakter keunikan lokal serta pengetahuan dan pengalaman masyarakat untuk menghadapi masalah serta solusinya. Pengetahuan lokal penting untuk diketahui sebagai dimensi kearifan lokal sehingga diketahui derajat keunikan pengetahuan yang dikuasai oleh masyarakat setempat untuk menghasilkan inisiasi lokal; 303 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya (2) Budaya lokal, yaitu yang berkaitan dengan unsur-unsur kebudayaan yang telah terpola sebagai tradisi lokal, yang meliputi sistem nilai, bahasa, tradisi, dan teknologi; (3) Keterampilan lokal, yaitu keahlian dan kemampuan masyarakat setempat untuk menerapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki; (4) Sumber lokal, yaitu sumber yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan melaksanakan fungsi-fungsi utamanya; dan (5) Proses sosial lokal, berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsinya, sistem tindakan sosial yang dilakukan, tata hubungan sosial, serta kontrol sosial yang ada. Demikian kira-kira pemahaman kami tentang kearifan yang diperoleh dari bahan-bahan bacaan dari rumpun ilmu-ilmu budaya dan sosial. Selanjutnya diuraikan tentang keraifan-kearifan yang terdapat di dalam institusi adat perkawinan Melayu, sebagai berikut. 8.3 Kearifan Menjadikan Diri sebagai Manusia yang Sempurna (Insan Alkamil) Perkawinan dalam adat Melayu adalah ekspresi dari manusia yang sempurna sebagai makhluk ciptaan Allah di dunia ini. Mereka yang melaksanakan perkawinan adalah dipandang dan menganggap dirinya baik secara religi maupun hakekat hidup, adalah manusia yang sempurna. Manusia sempurna ini, mengandung beberapa pengertian. Pertama, manusia adalah khalifah di muka bumi. Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah untuk menjadi pemimpin di mana pun di dunia ini. Manusia dalam konteks ajaran Islam adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya yang diciptakan Allah, dibandingkan jin, setan, hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun alam semesta lainnya. Dalam ajaran agama Islam, mereka yang mampu dan kemudian melaksanakan perkawinan, dalam konteks menuju ridha Allah dalam membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah, adalah masuk ke dalam umat Nabi Muhammad. Artinya ia akan menjadi umat Islam yang sempurna yang sesuai dengan yang disarankan dan 304 Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Mereka yang melaksanakan pernikahan, berarti menyadari dan memahami dirinya sebagai manusia memang harus melaksanakan perintah Allah ini. Tujuan utamanya agar manusia akan terus abadi di muka bumi, dalam rangka beribadah kepada Allah, sekaligus juga membina hubungan dengan sesama manusia, makhluk, dan lingkungan sekitar. Dengan melakukan perkawinan, maka tanggung jawab sebagai manusia yang sempurna telah dilakukan. Perkawinan secara hakikatnya bukan hanya untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan nafsu semata. Di sebalik institusi perkawinan ada tanggung jawab humaniora (kemanusiaan) dan juga keberlanjutan keturunan dan tentu saja kesinambungan kebudayaan. Dengan melaksanakan dan melakukan perkawinan, maka berarti seseorang itu telah menjadikan dirinya manusia yang sempurna, baik menurut nilainilai yang terdapat dalam kelompoknya, maupun menurut ajaran-ajaran religius yang berasal dari Tuhan. 8.4 Kearifan Membina Hubungan dengan Tuhan, Sesama Manusia, dan Makhluk Kearifan yang terkandung dalam intitusi perkawinan lainnya adalah membina hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan juga makhluk. Sebagaimana diketahui bahwa setiap umat Melayu, di mana pun, dan dalam keadaan yang bagaimana pun, tetap wajib melakukan kontak dengan Allah dan juga manusia serta makhluk-makhluk Allah. Dengan melaksanakan dan menjalankan perkawinan, seseorang itu sebenarnya telah melakukan hubungan rohaniah dan juga “fisik” dengan Tuhan dan sekaligus juga membina hubungan dengan sesama makhluk. Dalam Islam, konsepnya tegas dan jelas, yaitu setiap muslim haruslah membina hubungan dengan Allah dan juga membina hubungan dengan manusia dan makhluk Allah lainnya. Ini diekspresikan dalam istilah hablum minallah wal hablum minannas. Seorang Melayu menempatkan dirinya sebagai bahagian yang tidak terpisahkan dari alam. Dalam filsafat orang Melayu, kebersatuan (persebatian) antara manusia dengan alam ini digambarkan dalam konsep: alam yang besar dikecilkan, alam yang kecil dihabiskan, alam 305 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya yang telah dihabiskan dimasukkan ke dalam diri. Artinya adalah Allah menciptakan alam dan segala isinya, baik itu berupa planet, satelit, matahari, galaksi, tatasurya, bintang, dan lain-lainnya. Alam makrokosmos ini kemudian direnungkan, sebagai ekspresi betapa Maha Kuasanya Allah. Selanjutnya alam besar itu terdiri dari berbagai alam kecil, yaitu dunia dan seisinya, termasuklah lingkungan sekitar, gunung, lembah, sungai, bukit, jelapang padi, perkebunan, sampai juga makhluk-makluk tak kasat mata seperti: amuba, protozoa, virus, dan seterusnya. Baik alam makrokosmos maupun mikrokosmos ini, kemudian disatukan dengan diri manusia, yaitu manusia bersama makhluk-makhluk ciptaan Allah itu adalah sama-sama memiliki kebutuhan dan kepentingan. Oleh karena itu, perlu dilakukan saling menjaga keseimbangan. Perkawinan yang dilakukan manusia juga merupakan pengejewantahan dari membina hubungan dengan Tuhan dan makhluk ciptaan Tuhan. Dengan melakukan perkawinan, yang pertama adalah terjadinya kerabat baru, yang tadinya bukan kerabat, yaitu dari pihak laki-laki dan juga perempuan yang melakukan perkawinan tersebut. Melalui perkawinan ini, maka segala benci menjadi cinta, segala permasalahan menjadi kemaslahatan, segala upaya menjadi berkah. Selain itu, mereka yang melaksanakan perkawinan, dalam pengalamannya pastilah dipandang dapat menyelesaikan permasalah sosial dan budaya secara bijaksana. Bagaimanapun seorang pemimpin di dalam adat Melayu diutamakan untuk laki-laki, yang telah berumah tangga, dan menjadi seorang ayah yang bijaksana. Demikian pula untuk imam dalam kegiatan ibadah dalam Islam, tetap mempertimbangkan aspek-aspek tersebut. 8.5 Kearifan Menjaga Struktur Kekerabatan Dengan melakukan perkawinan, maka sebenarnya seseorang Melayu itu, sekaligus baik disadari atau tidak adalah arif dalam menjaga struktur kekerabatan. Dengan melakukan perkawinan yang dipandu oleh ajaran-ajaran adat dan agama Islam, maka seorang Melayu itu turut menjaga kekerabatan yang diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya, termasuk juga hubungan horizontalnya. Dengan melakukan perkawinan, maka akan lestarilah kekerabatan Melayu, seperti: nini, datu, 306 Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu oyang, atok, ayah, anak, cucu, cicit, piut, entah-entah. Demikian pula kerabat dan sebutannya seperti: saudara kandung, saudara tiri, saudara seayah, saudara sewali, saudara dua kali wali, saudara dua kali impal, saudara tiga kali wali, saudara tiga kali impal, dan seterusnya. Demikian juga tutur: ayah, emak, abah, akak, uwak, pak cik, bisan, minantu, ipar, semerayan, kemun, dan seterusnya. Melalui perkawinanlah struktur kekerabatan itu terjaga dan lestari dari masa ke masa. Bayangkan apabila tidak terdapat institusi perkawinan dalam kebudayaan Melayu, apa yang terjadi? Tentu saja akan pupus segala sistem kekerabatan yang telah dibentuk tadi, dan rusak pula tatanan keluarga dan tatanan sosial dan budaya. Maka dampaknya akan hancur dan rusak binasalah umat Melayu. Demikian pula umat-umat lain, akan mengalami nasib yang sama apabila ditiadakannya institusi perkawinan ini. Dengan demikian di dalam institusi perkawinan ini terdapat kearifan dalam rangka menjaga kekerabatan atau turai sosial secara umum. Tujuannya adalah mencapai konsistensi internal, yang terpolakan dengan sangat baik, dan disahkan oleh adat dan agama Islam. 8.6 Kearifan Menjadikan Seseorang Masuk Melayu Secara identitas, yang dimaksud orang Melayu itu, agak berbeda dengan etnik-etnik yang ada di Nusantara ini, yang umumnya menarik klen atau kelompok etniknya yang sangat kuat berorientasi dan berdasarkan kepada garis hubungan darah, baik yang ditarik dari pihak garis ayah maupun ibu. Orang Melayu dalam hal ini, sangat terbuka menerima etnik-etnik lain untuk menjadi Melayu, berdasarkan ikatan budaya. Di Sumatera Utara misalnya dikenal tentang masuknya orang Batak menjadi Melayu ini terekspresi dalam pantun: Bukan kapak sembarang kapak, Kapak untuk membelah kayu, Bukan Batak sembarang Batak, Batak sudah masuk Melayu. 307 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Pantun tersebut di atas bukan asal dan sembarang membuatnya. Pantun tersebut yang berkembang di dalam tradisi lisan Melayu, muncul karena menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Sejak awal orang Melayu memiliki hubungan budaya dan kekerabatan dengan masyarakat Batak, yang terdiri dari: Karo, Simalungun, Toba, Pakpak, dan MandailingAngkola. Mereka yang berasal dari kelompok etnik ini, oleh orang-orang Melayu diterima sebagai orang Melayu dengan ketentuan masuk menjadi Islam dan mengamalkan budaya Melayu, termasuk di antaranya berbahasa Melayu, memakai adat Melayu, dan memenuhi berbagai persyaratan setempat. Dalam persebarannya, orang Batak yang menjadi Melayu adalah sebagai berikut. Pada umumnya orang Karo yang menjadi Melayu ada di Langkat, Deli, dan Serdang; Simalungun ada di Serdang dan Bedagai. Orang-orang Batak Toba umumnya di Asahan dan Labuhanbatu. Sementara orang-orang Mandailing-Angkola yang menjadi Melayu umumnya berada di Labuhanbatu. Selaras dengan perkembangan zaman, berbagai keturunan orang Melayu yang secara genealogis berasal dari etnik Batak ini, ada yang menggunakan pencirian Batak, seperti penggunaan marga kembali. Namun umumnya, mereka ini berada dalam dua identitas atau dwietnisitas, yaitu Melayu dan Batak sekaligus. Inilah fenomena budaya dan identitas mereka yang menarik. Demikian pula orang-orang Melayu Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan, sejak perpindahannya awal kali di abad ke-19 dalam proyek persawahan (bendang) di Serdang, diterima dan menjadi bahagian tidak terpisahkan dari kebudayaan Melayu. Mereka ini sekarang tersebar di kawasan Langkat, Deli, dan Serdang. Bahkan dalam seni ronggeng Melayu, mereka ini turut serta mengembangkannya dan istilah galuh untuk sebutan ronggeng, yang memang berasal dari kebudayan Melayu Banjar ini. Selanjutnya etnik lain yang masuk Melayu, terutama melalui perkawinan adalah berasal dari etnik Jawa. Mereka sudah ada sejak masa Majapahit, ketika melakukan ekspansi ke Sumatera Timur. Namun, gelombang yang besar migrasi mereka di kawasan ini adalah ketika tumbuh dan berkembangnya perusahaan tembakau Deli di Sumatera 308 Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu Timur abad ke-19. Mereka ini kemudian sebahagian masuk Melayu, menjadi Melayu, dan mendukung kebudayaan Melayu. Begitu pula dengan etnik Minangkabau, yang hijrah ke kawasan ini, dan memandang Deli sebagai wilayah rantaunya. Sebahagian di antara mereka ini ada yang masuk menjadi Melayu dan terutama melalui institusi perkawinan. Bahkan sejak awal masyarakat Melayu yang berasal dari Minangkabau ini telah ada sejak zaman Pagaruyung. Mereka hijrah terutama di kawasan Batubara. Di antara hubungan itu dapat dilihat dari nama-nama kawasan di Batubara yang berkait dengan wilayah Ranah Minang, seperti: Lima Laras, Lima Puluh (di Minang Lima Puluah Koto), dan lain-lainnya. Dalam menentukan masuknya seseorang dari etnik lain menjadi Melayu, di Sumatera Timur, dikenal tiga pengkategorian. Yang pertama adalah Melayu “asli,” artinya kedua orang tuanya memang sebagai orang Melayu, baik itu dari Sumatera Timur, Riau, Semenanjung Malaya, Sumatera Selatan, Bangka dan Belitung, Kalimantan, dan lainnya. Kategori kedua, yang sangat berkait erat dengan institusi perkawinan, adalah mereka yang disebut orang Melayu semenda. Kelompok ini dapat diartikan sebagai kelompok masyarakat pendukung budaya Melayu, dan menjadi orang Melayu, dan mereka berasal dari kelompok etnik lain, yang kemudian kawin dengan orang Melayu asli tersebut. Mereka secara adat disyahkan sebagai Melayu semenda. Hak-haknya sama dengan orang Melayu lainnya. Yang ketiga adalah kelompok yang berasal dari etnik lain, yang atas kesadaran dan keikhlasannya menyatakan diri sebagai orang Melayu (beragama Islam dan menggunakan adat Melayu), walau mereka tidak melakukan perkawinan dengan kelompok Melayu asli atau Melayu semenda. Dengan demikian, maka institusi perkawinan ini memiliki kearifan masuknya seseorang menjadi Melayu. 8.7 Kearifan Melahirkan Generasi Muda yang Berkualitas Kearifan institusi dalam kebudayaan Melayu yang lainnya adalah melahirkan generasi muda yang berkualitas. Istilah berkualitas di sini maknanya adalah manusia yang sempurna, yang bertakwa, yakni menjalankan segala perintah Allah dan menjahi segala yang dilarang 309 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Allah. Melalui institusi perkawinan, nilai-nilai keilahian atau keagamaan sudah ditanamkan sejak dini. Melalui institusi ini, sepasang suami-istri selalu menyerahkan arah rumah tangganya dalam lindungan Allah. Doa, usaha, dan ikhtiar selalu diupayakan oleh pasangan ini untuk menjadikan rumah tangganya menjadi rumah tangga yang diridhai Allah, selalu berada di jalan yang telah diajarkan oleh agama. Mereka selalu bahu-membahu dalam membina rumah tangganya. Demikian pula mereka menginginkan dan berharap kelak anak-anak yang mereka terima dari Allah sebagai titipan Allah kelak menjadi anak yang berkualitas, yakni mendalami ilmu agama dan ilmu-ilmu lain untuk kemaslahatan umat, bangsa, dan negara. Generasi yang dihasilkan dari rumah tangga yang sedemikian rupa ini menjadi tumpuan harapan peradaban Melayu, dalam rangka menghadapi kehidupan di dunia, termasuk juga kepentingan di akhirat kelak. Jadi, salah satu kearifan yang terdapat dalam institusi perkawinan adat Melayu adalah menghasilkan generasi muda yang berkualitas. 8.8 Kearifan Membentuk dan Menjaga Adat Di antara kearifan yang terkandung dalam institusi adat perkawinan Melayu adalah kearifan membentuk dan menjaga adat. Bagaimana pun, adat adalah dasar utama orang-orang Melayu dalam merespons alam ini. Adat berisi petunjuk dan arah dalam mengisi kehidupan mereka. Dalam persepsi umat Melayu adat harus diisi dan dijaga. Seperti yang tertuang dalam moto adat Melayu: biar mati anak, asal jangan mati adat. Artinya yang diutamakan dalam hidup ini adalah kesinambungan kebudayaan (adat) secara keseluruhan. Kepentingan keluarga, kelompok, dan golongan, adalah di bawah dari kepentingan adat yang dibentuk dan dijaga secara bersama itu. Dengan melakukan perkawinan, maka akan lestarilah generasi umat Melayu dari zaman ke zaman. Dengan lestarinya generasi ini, maka turut serta dienkulturasikan pendidikan keilmuan kepadanya. Seterusnya ia akan menjadi manusia yang sempurna. Oleh karena itu, maka semakin kuatlah adat Melayu. Kekuatan ini datangnya langsung dari Sang Khalik, yaitu Allah Subhana Wata’ala. 310 Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu Perkawinan adalah salah satu institusi yang penuh dengan nilai-nilai adat. Di dalamnya terkandung tunjuk ajar Melayu, bagaimana etika, estetika, fungsi dalam melakukan perkawinan dan juga membina rumah tangga yang selalu dilindungi dan diberkahi Tuhan. Dengan melaksanakan dan menghayati adat perkawinan Melayu, berarti seseorang Melayu itu telah membentuk dan menjaga adat Melayu, yang penuh dengan nilai-nilai,. Baik yang sifatnya universal atau yang sifatnya partikular saja. Tujuannya adalah untuk kesinambungan budaya Melayu. 8.9 Kearifan Mengelola Peradaban Dunia dalam Budaya Melayu Sebagai masyarakat yang terbuka, egaliter, dan inklusif, orang-orang Melayu sangat kreatif mengelola semua peradaban di dunia ini menjadi fungsional dan terpolarisasi dengan jelas dan mantap. Salah satu kearifan yang sedemikian rupa diekspresikan di dalam adat perkawinan Melayu. Di dalam adat perkawinan Melayu ini ada unsur-unsur pengelolaan budaya yang berasal dari dalam kebudayaan Melayu itu sendiri dalam proses yang disebut inovasi. Selain itu, berbagai aspek yang berasal dari peradaban dunia diambil, disesuaikan, dan diaplikasikan ke dalam budaya Melayu menurut kebijakannya sendiri. Proses ini selalu disebut dengan akulturasi. Kedua proses tersebut menyatu di dalam kebudayaan Melayu, khususnya dalam istiadat perkawinan. Contoh inovasi adalah penggunaan busana, destar, sirih genggam, dan lain-lain yang sangat berciri Melayu. Demikian pula dalam komunikasi verbal digunakan pantun, ibarat, tamsil, nazam, gurindam, dan kalimat-kalimat yang penuh dengan estetika bahasa Melayu juga sebagai aspek inovasi dalam adat Melayu. Kemudian unsur-unsur istiadat perkawinan seperti tepung tawar dengan segala perlengkapannya, pelaminan, dan lain-lain, nampak unsur peradaban India. Namun diubahsuaikan dengan kebudayaan Melayu. Demikian pula penggunaan seni seperti zapin atau gambus, burdah, marhaban, barzanji, diadun dari tradisi Islam yang berasal dari Timur Tengah. Selanjutnya dari budaya Barat di antaranya adalah dondang sayang, band, dan juga pakaian pengantin yang disebut dengan selayar. 311 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Tidak jarang pula orang-orang Melayu yang merupakan keturunan India, selalu menggunakan unsur-unsur adat India seperti malam berinai khas India, atau juga menggunakan pakaian sari India. Demikian pula orang-orang Melayu keturunan Arab, ada pula yang menggunakan unsurunsur budaya Arab, seperti makanan kebab Arab, tari dan musik marawis khas dari Timur Tengah, lagu-lagu kasidah khas Timur Tengah, dan lainlain. Inilah di antara keunikan peradaban Melayu di dunia ini. Ia amat terbuka dan sekaligus memiliki nilai-nilai globalisasi, tetapi tidak melunturkan identitas kemelayuannya. Dengan demikian, di dalam institusi adat perkawinan Melayu ini, terkandung kearifan mengelola atau mengadun peradaban dunia dalam budaya Melayu. Jadi sesuai dengan pendapat para pakar tradisi lisan maupun antropologi, kearifan dalam kebudayaan Melayu bukan hanya sekedar kearifan lokal, tetapi juga mengandung kearifan global. 8.10 Kearifan Memutuskan Perkara dalam Hukum Adat Perkawinan Kearifan lainnya di dalam institusi adat perkawinan Melayu adalah kearifan memutuskan perkara dalam hukum adat perkawinan. Di dalamnya terkandung kebijakan bagaimana memutuskan secara adil, jika berlaku persengketaan, teritama dalam proses perkawinan ini. Pada dasarnya manusia adalah sebagai makhluk indovidu dan sekaligus juga makhluk sosial. Oleh karena itu, kepentingan individu, adakalanya berseberangan dengan kepentingan sosial. Dalam berbagai kasus, beberapa individu selalu menyimpang dari norma-norma sosial. Jika terjadi sedemikian rupa, maka para pemuka adat Melayu biasanya secara musyawarah akan memutuskan dengan seadil-adilnya permasalahan yang sedemikian rupa. Dalam adat perkawinan Melayu ini, telah ditetapkan norma-norma aturannya agar diikuti oleh semua pihak yang terlibat. Di antara norma adat tersebut adalah: (a) harus jelas siapa yang melamar dan siapa yang dilamar, jangan ada kesalahan orang ketika terjadi proses perkawinan ini, Jika terjadi kesalahan, maka prosesnya dapat dibatalkan secara adat; 312 Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu (b) musyawarah keluarga pengantin lelaki dan perempuan mengenai mahar dan perlengkapan perkawinan lainnya; (c) penentuan hari pernikahan dan semua proses upacara perkawinan; (d) pentingnya pemahaman mengenai hak dan kewajiaban sebagai suami dan istri; dan hal-hal lain. Dalam konteks upacara adat perkawinan Melayu ini telah ditetapkan dengan jelas dan tegas mengenai norma-norma dan tatacara pelaksanaannya. Dengan demikian dalam adat perkawinan Melayu telah terkandung hukum adat yang tujuannya adalah mencapai konsistensi dan harmoni sosial dalam kebudayaa. Jadi orang Melayu secara kultural adalah orang yang memiliki hukum dan taat kepada hukum yang diciptakan untuk harmoni sosial ini. 8.11 Kearifan Mengarahkan Kontinuitas dan Perubahan Kebudayaan Kearifan lainnya yang terkandung di dalam adat perkawinan Melayu adalah mengarahkan kontinuitas dan perubahan kebudayaan Melayu secara umum. Dalam kalimat ini, terkandung makna bahwa dengan diselenggarakannya adat perkawinan Melayu, maka telah dilestarikan kebudayaan Melayu secara umum. Pelestarian ini mencakup berbagai gagasan, tindakan, dan artefak budaya Melayu, terutama yang terdapat dalam upacara perkawinan Melayu ini. Gagasan tersebut dapat berupa aplikasi adat bersendikan syarak dalam upacara. Selain itu ada pula gagasan mengenai hempang dalam upacara perkawinan, yang dapat dimaknai sebagai “permainan” dalam konteks mengakrabkan kerabat pengantin pria dengan kerabat pengantin wanita. Demikian pula gagasan tentang simbol rasa asin pada garam, manis pada gula, dan masam pada asam, merupakan lambang dari kehidupan ini. Segala aktivitas dalam upacara adat perkawinan ini adalah juga merupakan pengejewantahan dari pelestarian kebudayaan Melayu, baik dari kegiatan yang nampak dan kasat mata, termasuk pula nilai-nilai kebudayaan yang terkandung di dalamnya. Aktivitas istiadat ini 313 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya sebenarnya terangkum di dalam adat-istiadat, yang menggambarkan adat yang sebenar adat, dan adat yang diadatkan, dan adat yang teradat. Kemudian benda-benda upacara khas perkawinan ini, seperti: pelaminan, destar, baju gunting China, kebaya, sanggul, kasut, seluar pengantin, kain sesamping, sirih genggam, ramuan rinjisan, dan lain-lain adalah manifestasi dari pemeliharaan kebudayaan, di samping juga tetap mempertimbangkan segala perubahan yang terjadi. Di dalam konsep adat Melayu telah digariskan bahwa dalam menempuh kehidupan ini, manusia pastilah melalui perubahan-perubahan yang tergantung dalam kondisi dan masa di mana kebudayaan itu hidup. Perubahan adalah hukum alam, dan ini diintegrasikan ke dalam konsep adat yang teradat. Namun demikian, di dalam perubahan pastilah ada halhal yang perlu dilestarikan. Perubahan bukan secara revolutif, tetapi evolutif menurut pemikiran di dalam adat Melayu. Jadi perubahan harus diimbangi oleh kekekalan yang perlu dilestarikan. Tidak berubah segalagalanya. Contoh kontinuitas dalam upacara adat perkawinan adalah konsep tentang perkawinan itu sendiri, serta penciri kebudayaan Melayu, dan lainnya. Adapun perubahan itu di antaranya adalah penggunaan pakaian ala Timur Tengah saat akad nikah, perubahan kesenian untuk acara hiburan, perubahan tempat resepsi perkawinan, perubahan teknologi yang menyebabkan dapat direkamnya semua hal yang berkaitan dengan upacara, sampai juga penggunaan media sosial di internet, seperti facebook, twitter, website, dan lain-lain. Jadi dengan demikian, pelaksanaan upacara adat perkawinan Melayu adalah mengandung kearifan mengarahkan kontinuitas dan perubahan kebudayaan Melayu pada umumnya. Kontinuitas menekankan kepada kesinambungan dan peruibahan menekankan kepada situasi ruang dan waktu. 314 Bab IX: Kesimpulan, Saran, dan Epilog BAB IX KESIMPULAN, SARAN, DAN EPILOG 9.1 Kesimpulan Setelah diuraikan secara meluas dari bab pertama sampai delapan, maka pada bab ini ditarik kesimpulan dari tema besar buku ini yaitu adat perkawinan Melayu. Kesimpulan ini digunakan untuk menjawab pokok masalah atau pertanyaan pengkajian dalam buku ini, yaitu: (a) gagasan, (b) terapan, (c) fungsi, dan (d) kearifannya. Yang pertama, yaitu gagasan perkawinan dalam kebudayaan Melayu adalah berlandaskan kepada konsep adat bersendikan syarak— syarak bersendikan kitabullah (ABS-SBK). Artinya gagasan perkawinan dalam kebudayaan Melayu adalah berdasar kepada adat Melayu. Selanjutnya adat Melayu berdasarkan kepada ajaran agama Islam. Dengan demikian semua gagasan tentang perkawinan dalam adat Melayu berdasar kepada agama Islam. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi rujukan dari gagasan perkawinan ini adalah surat An-Nisaa’ dan surat Ath-Thalaq. Gagasan itu di antaranya adalah sebagai berikut: (i) Bahwa Allah menciptakan setiap manusia berpasang-pasangan yaitu suami dan istri, yang berasal jenisnya sendiri, agar tenteram, dan itu adalah salah satu tanda kebesaran Allah sebagai Sang Khalik. (ii) Berilah mas kawin (mahar) kepada wanita yang dinikahi. (iii) Di depan Allah, secara hakiki bagi setiap manusia dianjurkan untuk kawin, dan rezeki dalam rumah tangga itu Allah yang mengaturnya. (iv) Jangan menikahi wanita musyrik sebelum mereka beriman, dan jangan menikahkan lelaki musyrik kepada wanita muslim sebelum mereka beriman, sebab kaum musyrik ini akan mengajak umat Islam ke neraka. (v) Adanya larangan Allah untuk mengawini ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; 315 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anakanak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, mengawini wanita yang sudah bersuami. Allah memiliki tujuan atas pelarangan ini, baik dari sudut keturunan, moralitas, menjaga struktur sosial manusia, dan hal-hal lainnya. Kesemua firman Alllah tersebut mengarahkan bagaimana seharusnya setiap individu Islam (termasuk orang Melayu), melakukan institusi yang disebut perkawinan ini. Dalam ajaran agama Islam ini, perkawinan mengandung nilai-nilai luhur dalam konteks kontinuitas generasi manusia dan sekaligus juga menjaga struktur sosial yang telah wujud sejak adanya manusia. Gagasan perkawinan dalam konteks kebudayaan Melayu adalah bertujuan untuk menemukan dan menyatukan pasangan suami dan istri berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Allah SWT. Melalui upacara perkawinan atau nikah kawin, maka sahihlah persatuan hidup antara sepasang suami dan istri ini, dalam naungan akidah, syariah, dan akhlak seperti yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan hadits Yang kedua, gagasan tadi diterapkan dalam tiga fase utama, yaitu pra pernikahan, pernikahan, dan pasca pernikahan. Terdapat kekayaan variasi dalam pelaksanaan gagasan perkawinan dalam kebudayaan Melayu. Bukan saja antara kawasan dalam Dunia Melayu, melainkan juga satu tempat yang sama pun memiliki variasi yang membuat kekayaan adat perkawinan Melayu tersebut. Berikut ini adalah penerapan istiadat perkawinan Melayu yang terdapat di Sumatera Timur, berdasarkan penelitian yang kami lakukan dalam tiga dasawarsa terakhir ini. 316 Bab IX: Kesimpulan, Saran, dan Epilog 1. merisik kecil melalui seorang telangkai (perantara); 2. merisik resmi dan meminang; 3. menyorong tanda sebagai pengabsahan pertunangan; 4. ikat janji; 5. jamu sukut, yaitu kenduri untuk memberitahukan kepada keluarga masing-masing pihak; 6. berinai; 6.1 berinai curi, 6.2 berinai kecil, 6.3 berinai besar, 6.4 pertunjukan tari dan musik inai, 6.5 hiburan pertunjukan budaya; 7. akad nikah; 7.1 keluarga lelaki, 7.2 keluarga perempuan, 7.3 tuan kadi, 7.4 saksi-saksi akad nikah, 7.5 pelaksanaan akad nikah, 7.6 pembacaan sighat taklid oleh mempelai lelaki, 7.7 doa, 7.8 marhaban dan barzanji; 8. mengantar pengantin; 8.1 silat tarik, 8.2 hempang batang, 8.3 silat laga, 8.4 tukar tepak sirih di halaman, 8.5 tukar memayungi pengantin, 8.6 perang bertih/ bunga rampai, 8.7 Tari Persembahan (Makan Sirih), 8.8 sepatah kata di halaman; 8.9 hempang pintu, 8.10 pijak batu lagan, 8.11 sembah mertua, 8.12 hempang kipas/ pelaminan 8.13 tepung tawar, 317 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya 8.14 makan nasi hadap-hadapan/ nasi belam, 8.15 hiburan seni pertunjukan; 9. mandi bedimbar/mandi berhias; 10. resepsi pernikahan (rumah atau di hotel); 11. meminjam pengantin; 12. malam bersatu/malam pengantin; 13. naik halangan; 15. cemetuk kedua dari suami; 15. kunjungan pengantin baru; 16. hari megang. Dalam setiap upacara perkawinan selalu digunakan seni persembahan, yang dapat dibagi dalam dua fungsi utama, yaitu (a) yang ritual menggunakan seni: inai, hadrah, zapin, marhaban, barzanji, silat, Rinjis-rinjis, Anak Ikan, Tari Persembahan, dan lainnya. Sedangkan seni untuk fungsi (b) hiburan terdiri dari seni: ronggeng atau joget, serampang dua belas, dan keyboard. Seni keyboard ini populer sejak dasawarsa 1980-an, hinga ke hari ini. Yang ketiga, fungsi perkawinan dalam kebudayaan Melayu, menurut kami adalah: (a) fungsi keberlanjutan generasi manusia Melayu, (b) fungsi sebagai perubahan dan kontinuitas budaya, (c) fungsi untuk menjaga struktur kekerabatan, (d) fungsi untuk pemenuhan kebutuhan biologis, (e) fungsi sebagai kesempurnaan sebagai makhluk manusia, (f) fungsi untuk menghindari perbuatan dosa, (g) fungsi etika dan normanorma sosial, dan lain-lainnya. Yang keempat, kearifan-kearifan yang terdapat dalam upacara adat perkawinan Melayu adalah sebagai berikut: (i) kearifan menjadikan diri sebagai manusia yang sempurna (insan al-kamil); (ii) kearifan membina hubungan dengan Tuhan, manusia, dan makhluk, (iii) kearifan menjaga struktur kekerabatan; (iv) kearifan menjadikan seseorang masuk Melayu, (v) kearifan melahirkan generasi muda yang berkualitas; (vi) kearifan membentuk dan menjaga adat, (vii) kearifan mengelola peradaban dunia di dalam budaya Melayu; (viii) kearifan memutus perkara dalam konteks adat perkawinan; (ix) kearifan mengarahkan kontinuitas dan perubahan kebudayaan. 318 Bab IX: Kesimpulan, Saran, dan Epilog Keempat-empat aspek yang kami kaji ini, yaitu: gagasan, terapan, fungsi, dan kearifan upacara adat perkawinan Melayu adalah menjadi bahagian dari jatidiri manusia Melayu, yang telah melintasi ruang dan waktunya selama berabad-abad di dunia ini. Dalam konteks upacara pun ajaran Islam memang menjadi panduannya. Namun demikian unsur-unsur budaya sebelum masuknya Islam tetap dilestarikan sesuai dengan ajaran Islam. Pemungsian ajaran Islam dalam konteks adat perkawinan Melayu adalah prosesnya dalam “pembumian” atau “penerapan lokal.” Bagi masyarakat Melayu Islam adalah paripurna, namun bagaimana ia diterapkan dalam kebudayaan Melayu, harus penuh dengan kebijaksanaan. Dengan demikian adat perkawninan Melayu, sangat kuat mengekspresikan nilai-nilai keagamaan Islam, yang menyatu secara berjalin, memperkuat, dan sinerji—bukan merupakan pertentangan dua kutub yang berbeda, tetapi sebaliknya. 9.2 Saran-saran Dalam semua masa dan ruang yang telah dilalui oleh masyarakat Melayu, maka adat perkawinan terus kontinu, sekaligus mengalami perubahan-perubahan di sana-sini. Apapun yang terjadi dalam institusi adat perkawinan Melayu, semestinya polarisasinya haruslah mengarah kepada penguatan identitas kebudayaan Melayu. Lebih jauh lagi adalah menuju umat yang menjadi rahmat kepada semesta alam. Dalam mengisi dimensi ruang dan waktu ini, perlu mempertimbangkan kontinuitas (kesinambungan atau kelestarian) dan perubahan sekaligus. Diupayakan oleh orang-orang Melayu agar kontinuitas dan perubahan yang terjadi tidak revolutif tetapi evolutif dan secara alamiah saja. Bukan berupa pemaksaan-pemaksaan yang sifatnya formal, dan masyarakat dengan sangat terpaksa harus mematuhinya. Sebaiknya kontinuitas dan perubahan dalam intitusi adat perkawinan Melayu adalah penuh dengan kewajaran, kebijaksanaan, dan keadilan sosiobudaya. Selain itu, karena seperti disadari, berdasarkan realitas yang terjadi, upacara atau istiadat perkawinan Melayu memiliki variasi yang begitu kaya, bukan hanya variasi berdasarkan geografi saja, tetapi juga variasi berdasarkan pribadi pelakunya, maka sudah selayaknya dilakukan 319 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya penelitian-penelitian yang sifatnya integral, menyeluruh, dan holistik, terhadap eksistensi istiadat perkawinan Melayu ini. Dalam konteks tersebut, diperlukan kerjasama, bukan hanya masyarakat Melayu yang satu dengan masyarakat Melayu lainnya, tetapi juga antar pemerintah, dan juga antar tokoh-tokoh adat di semua negeri Melayu di Asia Tenggara ini. Kita memiliki institusi seperti MABBIM (Majelis Bahasa Indonesia Brunai dan Malaysia), yang telah berhasil menghimpun kebersamaan bahasa Melayu. Ini dapat diperluas dalam konteks mendokumentasikan istiadat perkawinan Melayu yang penuh dengan makna-makna. Dalam konteks mendokumentasikan kekayaan dan keanekaragaman istiadat perkawinan Melayu ini, sebenarnya dalam rangka memperluas wawasan kebudayaan kita, diperlukan ensiklopedia Melayu atau lebih khusus lagi ensiklopedia perkawinan Melayu. Tujuannya adalah untuk kita sumbangkan ilmu tersebut kepada generasi yang akan datang. Oleh karena itu, saran kami, sangat diperlukan dokumentasi yang meluas dan mendalam tentang adat perkawinan Melayu ini. Tentu saja dengan pendekatan multidisiplin ilmu. Dalam rangka enkulturasi ilmu-ilmu budaya seperti halnya adat perkawinan Melayu ini, diperlukan pembelajaran dalam skala prioritas jangka pendek, menengah, dan panjang, kepada para generasi muda. Pada saat ini diperlukan bengkel atau workshop kepada para generasi muda untuk menjadi telangkai yang jumlahnya kian hari kian menyusut. Pentingnya pembelajaran menjadi telangkai ini selain dari faktor menjaga kelestarian budaya, juga adalah untuk kepentingan ekonomi pelakunya. Menjadi telangkai biasanya menjadi salah satu pendukung ekonomi keluarga. Selain itu, setiap saat ada orang Melayu yang melaksanakan adat perkawinan Melayu, dan pasti memerlukan telangkai, mak andam, pengusaha catering, fotografer, ahli shooting video, dan lain-lain. Kesemua bidang ini diperlukan pelatihan secara terjadwal, kontinu, dan terukur, terutama difasilitasi oleh lembaga-lembaga adat Melayu seperti MABMI, MABIN, AMMI, GAMMI, dan lain-lainnya. Upacara adat perkawinan Melayu ini juga dapat difungsikan dalam konteks dunia kepariwisataan kita. Contoh-contoh perkawinan adat Melayu dan semua pendukungnya ini dapat dilakukan atau dipergelarkan 320 Bab IX: Kesimpulan, Saran, dan Epilog di berbagai tempat tujuan wisata. Begitu juga dengan seni budaya yang terkait dengan upacara adat perkawinan Melayu ini, juga dapat berfungsi sebagai seni wisata kultural di kawasan ini. Oleh karena itu, kerjasama antara lembaga-lembaga adat Melayu dan kementerian pariwisata, budaya, dan juga ekonomi (kreatif) perlu terus digalakkan, bukan hanya sekedar kata-kata, tetapi yang lebih penting adalah aplikasinya. Bagaimanapun di dalam wisata terkandung kegiatan kultural, ekonomis, dan tentu saja strategi pemeliharaan dan pengembangan adat. 9.3 Epilog Di era yang disebut dengan globalisasi ini, dunia semakin menyatu dan meninggalkan sedikit demi sedikit perbatasan negara-negara bangsa. Hakikatnya dalam proses ini, semua manusia berada di dalam satu “kampung” dunia. Apapun yang tejadi di setiap pelosok di dunia ini, dengan cepat saja kita ketahui melalui media. Dalam keadaan yang sedemikian rupa ini, ada kecenderungan terjadinya “penyeragaman” kebudayaan sejagad. Setiap manusia dipaksa dan terpaksa mengikuti budaya “dominan” yang menjadi trend di saat ini. Apalagi dalam selera pasar budaya pop kecenderungan itu sangat tampak di depan mata semua manusia di dunia ini. Di sisi lain, setiap kelompok manusia dan kebudayaannya mempunyai resistensi untuk menolak penyeragaman tersebut. Identitas etnik, budaya, bahasa, kultur tertentu sangat diperlukan dalam menyikapi dan merespons proses globalisasi ini. Dalam globalisasi ini kelompokkelompok manusia malah cenderung pula untuk memelihara dan mempertahankan identitasnya masing-masing. Mereka tidak mau didikte oleh proses globalisasi tersebut. Mereka ingin mempertahankan identitas khasnya. Dalam menyikapi keadaan tersebut di atas, umat Melayu selalu mengadunnya secara bijaksana. Secara historis, umat Melayu telah melakukan globalisasi budaya, sebelum istilah ini akrab di telinga kita dalam empat dasawarsa terakhir. Umat Melayu selalu mengadun semua peradaban dunia dalam konteks tauhid kepada Allah. Kita sudah terbiasa dengan proses akulturasi yaitu menerima unsur budaya asing dan diolah 321 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya kembali sesuai dengan fitrah kebudayaan Melayu. Berbagai peradaban dunia seperti India, Arab, China, Jepang, Eropa, Amerika, dan lainnya telah diadun dengan kreatif dalam kebudayaan Melayu. Namun orang Melayu juga tetap mengembangkan budayanya yang berasal darai dalam kebudayaan Melayu itu sendiri. Kebijakan mengelola peradaban secara multidimensional dalam polarisasi menuju ridha Allah adalah sebuah keinginan besar masyarakat Melayu dari zaman ke zaman. Dengan demikian kita akan menjadi khalifah di muka bumi ini, sekaligus menjadi rahmat kepada seluruh semesta alam. Tentu saja dengan bimbingan dan ridha dari Allah Subhana Wata’ala, insya Allah. Tinggi terbang si rama-rama, Hinggap kembali di pokok padi, Melalui adat serta agama, Perkawinan Melayu bersifat suci. Tanam-tanam si pokok jati, Ditanam pula si ganda rusa, Apa tanda Melayu sejati, Memegang adat sepanjang masa. Rantauprapat sungainya Bilah, Anak nelayan tangkap gurami Seperti kata Wira Hang Tuah Tak kan Melayu hilang di bumi 322 Daftar Pustaka DAFTAR PUSTAKA a. Kitab Suci Al-Qur’an. b. Buku, Artikel, Majalah, Jurnal, Koran, Skripsi, Tesis, Disertasi, Makalah, Kamus, Ensiklopedi, dan Sejenisnya Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.), 2004. Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka. A. Rais B.N., 1983. Peranan, Nelayan, dan Perkawinan dalam Tata Cara Adat-istiadat Melayu Deli Serdang. Lubuk Pakam: (Tanpa Penerbit). Amran Kasimin, 2002. Perkawinan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. A.S. Keraf, 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Ayatrohaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Blacking, John. 1964. How Musical is Man? Seattle: University of Washington Press. DeFleur, Melvin L., 1985. Understanding Mass Communication. Boston: Houghton Mifflin Company. de Jong, J.P.B de Josselin, 1971. Kepulauan Indonesia sebagai Lapangan Penelitian Etnologi (Terjemahan P. Mitang). Jakarta: Bhratara. Djelantik. 1990. Estetika, Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Drewes, 1985. The Islamization of Indonesia Began in the 1300s as Sufi Mysticism. Jakarta. Echols, John M. dan Hassan Shadily, 1996. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia. Ediruslan Amanriza, t.t. Adat Perkawinan Melayu Riau. Riau: Unri Press. Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1994. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Goodenough, W.H., 1970. Description and Comparison in Cultural Anthropology. Chicago: Aldine Publishing Company. Gough, E.K., 1959. “The Nayars and the Definition of Marriage.” Journal of the Royal Anthropological Institute, pp. 23-34. 323 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Hall, D.G.E., 1968, A History of South-East Asia. New YorK: St. Martin's Press. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, 1994, (diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo), Surabaya: Usaha Nasional. Hart, Michael H., 1990. The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History. New York: Carol Publishing Group. Harun Mat Piah, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Pembicaraan Genre dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hasbullah Ma’ruf, 1977. Naskah Cara-cara Nikah-Kawin Adat Melayu Sumatera Timur. Medan. Haviland, William A., 1999. Antropologi (penerjemah R.G. Soekadijo). Jakarta: Erlangga. Hilman Hadikusuma, 1990. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya. Husin Embi (et al.), 2004. “Adat Perkawinan di Melaka.” di dalam, Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.), 2004. Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka. Ismail Husein, 1994. Antara Dunia Melayu dengan Dunia Indonesia. Kuala Lumpur: University Kebangsaan Malaysia. Koentjaraningrat. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (ed.), 1990. Tribal Peoples and Development in Southeast Asia. Kuala Lumpur: Department of Anthropology and Sociology, University of Malaya (Special Unnumbered Issue of Manusia dan Masyarakat). Linda Asmita, 1994. Studi Deskriptif Musik Inai dalam Konteks Upacara Perkawinan Melayu di Desa Batang Kuis dan Desa Nagur, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Deli Serdang. Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (Skripsi Sarjana Seni). Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chichago: Northwestern University Press. Metzger, Laurent, 1994. “Kekuatan dan Kelemahan Orang Melayu: Suatu Pandangan Seorang Asing,” Alam Melayu, Yaacob Harun (ed.), Kuala Lumpur: Akademi Pengkajian Melayu Universiti Malaya, pp. 158-175. Mohd Anis Md Nor, 1990. The Zafin Melayu Dance of Johor: From Village to A National Performance Tradition (Disertasi Doktoral). Michigan: The University of Michigan. Muhammad Ali Zainuddin dan O.K. Gusti, 1995. Intisari Adat dalam Hal Pinang-meminang dan Perkawinan Menurut Adat Resam Melayu 324 Daftar Pustaka Pesisir Sumatera Timur. Medan: Grup Tepak Melayu Telangkai Pelestari Adat Kebudayaan Melayu. Muhammad Takari, 1990. Kesenian Hadrah dalam Kebudayaan Melayu di Deli Serdang dan Asahan: Studi Deskriptif Musikal. Medan: Jurusan Etnomusikoligi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (Skripsi Sarjana Seni). Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Muhammad Takari dan Fadlin, 2008. Sastra Melayu Sumatera Utara. Medan: Bartong Jaya. Muhammad Takari dan Fadlin, 2014. Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ulmu Seni. Medan: Universitas Sumatera Utara Press. N.A. Ridwan, 2007. “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal.” Jurnal Studi Islam dan Budaya. Vol.5, (1), 27-38. Narrol, R., 1965. "Ethnic Unit Classification." Current Anthropology, volume 5 No. 4." Nasruddin et al., 2011. Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Nettl, Bruno, 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. Indiana: Colier Macmillan. Nettl, Bruno, 1973. Folk and Traditional of Western Continents, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Nettl, Bruno, 1992. “Ethnomusicology: Some Definitions, Problems and Directions.” Music in Many Cultures: An Introduction. Elizabeth May (ed.). California: University California Press. O.K. Gusti bin O.K. Zakaria, 2005. Upacara Adat-Istiadat Perkawinan Suku Melayu Pesisir Sumatera Timur. Medan: (Tanpa Penerbit). O.K. Moehad Sjah, 2012. Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur. Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Panuti Sudjiman. 1994. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya. Pelzer, Karl J., 1962. “Western Impact on East Sumatra and North Tapanuli.” Journal of Southeast Asian History. 2(2). Pelzer, Karl J., 1978. Planters and Peasant Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatra 1863-1847. s’Gravenhage: Martinus Nijhoff. Juga terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Karl J. Pelzer, 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947 (Terjemahan J. Rumbo). Jakarta: Sinar Harapan. 325 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press. Ramlan Damanik, 2002. “Fungsi dan Peranan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Deli.” Medan: Universitas Sumatera Utara. R. Supanggah (ed.), 1995. Etnomusikologi. Surakarta: yayasan Bentang, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Sachs, Curt, 1962. World History of the Dance. California: University of California. Sutan Muhammad Zein, 1957. Kamus Modern Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Syarifah Aini, 2013. Tari Inai dalam Konteks Upacara Adat Perkawinan Melayu di Batang Kuis: Deskripsi Gerak, Musik Iringan, dan Fungsi. Medan: Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara (Skripsi Sarjana Seni). Tamrin Amal Tamagola dan Alpha Amirrachman, 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso. Jakarta: International Center for Islam and Pluralism. Tenas Effendy, 1994. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu. Tenas Effendy, 2004. Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu. Tenas Effendy, 2013a. Sifat-sifat Utama Pemimpin Melayu. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau. Tenas Effendy, 2013b. Tunjuk Ajar Melayu tentang Wakil. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau. Tenas Effendy, 2013c. Tunjuk Ajar Melayu tentang Pemberi dan Penerima Amanah. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau. Tenas Effendy, 2014. “Pentingnya Amalan Adat dalam Masyarakat Melayu.” dalam Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.), 2004. Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka. Tengku Admansyah, 1987. Peranan Budaya Melayu Sebagai Sub Kultur Kebudayaan. Rantauprapat. Tengku Luckman Sinar, 1985. Sejarah Deli Serdang. Lubuk Pakam: Badan Penerbit Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang. Tengku Luckman Sinar, 1986. Sari Sejarah Serdang. Medan. 326 Daftar Pustaka Tengku Luckman Sinar, 1994. Adat Perkawinan dan Tata Rias Pengantin Melayu. Medan: Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Seni Budaya Melayu. Tengku Lah Husni, 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Sumatera Timur 1612-1950. Medan: B.P. Lah Husni. Tengku Muhammad Lah Husni, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Melayu.” Makalah Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, di Medan. Tengku Muhammad Lah Husni,1986. Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tim Penulis dan Pemrogram, Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi elektronik luar jaringan/ luring). Jakarta: Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia. Vansina, Jan. 1985. Oral Tradition as History. Wisconsin: University of Wisconsin. Hashim Wan Teh, 1997, Tamadun Melayu dan Pembinaan Tamadun Abad Kedua Puluh Satu, Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Wee, Vivienne, 1985. Melayu: Heirarchies of Being in Riau. Disertasi doktor falsafah. Canberra: The Australian National University. Wilkinson, R.J., 1959. A Malay-English Dictionary (Romanised). London: Mcmillan Co. Ltd. Y. Apriyanto, et al., 2008. “Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan.” Makalah Pada PKM IPB, Bogor. Yuscan, 2007. Falsafah Luhur Adat Istiadat Perkawinan Melayu Sumatera Timur. Medan: Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia. Zainal Arifin AKA, 2002. Cinta Tergadai, Kasih Tak Sampai: Riwayat Tengku Amir Hamzah. Langkat: Dewan Kesenian Langkat. Zainal Arifin AKA, 2005. Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan. Medan: Penerbit Mitra. Zainal Kling, 2004. “Adat Melayu.” di dalam Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.), 2004. Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka. c. Internet I Ketut Gobyah, “Berpijak pada Kearifan Lokal”, dalam http://www.balipos. co.id , didownload 17/9/03. Nyamai-Kisia, Caroline. 2010. Kearifan Lokal dan Pembangunan Indonesia. http://phenomenaaroundus. blogspot. com/2010/06/ kearifan-lokal … Tom Ibnur, dalam http://sriandalas.multiply.com/journal/item/25 327 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Wardah Fazri, menulis artikel dalam http://female.kompas.com/read/2010/02/02 /19150389/Prosesi.Pernikahan.Adat.Palembang http://jalanakhirat.wordpress.com/2010/03/0/adatperkawinan-melayu-melaka http://id.wikipedia.org/wiki/Zapin http://wikipedia.org 328 Lampiran LAMPIRAN ADAT PERKAWINAN MELAYU Oleh: Happy Susanto, M.A. dan Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M. (dalam melayuonline.com/ind/culture/dig/1545) 1. Konsep Perkawinan Melayu Perkawinan merupakan fase kehidupan manusia yang bernilai sakral dan amat penting. Dibandingkan dengan fase kehidupan lainnya, fase perkawinan boleh dibilang terasa sangat spesial. Perhatian pihak-pihak yang berkepentingan dengan acara tersebut tentu akan banyak tertuju kepadanya, mulai dari memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari perkawinan, hingga setelah upacara usai digelar. Yang ikut memikirkan tidak saja calon pengantinnya saja, baik laki-laki maupun perempuan, tetapi yang paling utama juga termasuk orang tua dan keluarganya karena perkawinan mau tidak mau pasti melibatkan mereka sebagai orang tua-tua yang harus dihormati. Adat perkawinan dalam budaya Melayu terkesan rumit karena banyak tahapan yang harus dilalui. Kerumitan tersebut muncul karena perkawinan dalam pandangan Melayu harus mendapat restu dari kedua orang tua serta harus mendapat pengakuan yang resmi dari tentangga maupun masyarakat. Pada dasarnya, Islam juga mengajarkan hal yang sama. Meski tidak masuk dalam rukun perkawinan Islam, upacara-upacara yang berhubungan dengan aspek sosialkemasyarakatan menjadi penting karena di dalamnya juga terkandung makna bagaimana mewartakan berita perkawinan tersebut kepada masyarakat secara umum. Dalam adat perkawinan Melayu, rangkaian upacara perkawinan dilakukan secara rinci dan tersusun rapi, yang keseluruhannya wajib dilaksanakan oleh pasangan calon pengantin beserta keluarganya. Hanya saja, memang ada sejumlah tradisi atau upacara yang dipraktekkan secara berbeda-beda di sejumlah daerah dalam wilayah geo-budaya Melayu. Sebenarnya jika mengikuti ajaran Islam yang murni, tahapan upacara perkawinan cukup dilakukan secara ringkas dan mudah. Dalam ajaran Islam, perkawinan itu sudah dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Ajaran Islam perlu diterapkan di berbagai daerah dengan menyertakan adat-istiadat yang telah menjadi pegangan hidup masyarakat tempatan. Dalam pandangan Melayu secara umum, prinsip (syariat) Islam perlu “dikawinkan” dengan adat budaya masyarakat. Sehingga, integrasi ini sering diistilahkan sebagai “Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah”, atau “Syarak mengata, adat memakai” (apa yang ditetapkan oleh syarak itulah yang harus digunakan dalam adat). Dalam pandangan budaya Melayu, kehadiran keluarga, saudara-mara, tetangga, dan masyarakat kepada majelis perkawinan tujuannya tiada lain adalah untuk mempererat hubungan kemasyarakatan dan memberikan kesaksian dan doa restu atas perkawinan yang dilangsungkan. Perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan pada adat Melayu setempat akan menyebabkan masyarakat tidak merestuinya. Bahkan, perkawinan yang dilakukan secara singkat akan menimbulkan desas-desus tidak sedap di masyarakat, mulai dari dugaan kumpul kebo, perzinaan, dan sebagainya. Menurut Amran Kasimin, perkawinan dalam pandangan orang Melayu merupakan sejarah dalam kehidupan seseorang. Rasa kejujuran dan kasih sayang yang terbangun antara suami-istri merupakan nilai penting yang terkandung dalam makna perkawinan Melayu. Untuk itulah, perkawinan perlu dilakukan menurut adat yang berlaku dalam masyarakat, sehingga perkawinan tersebut mendapat pengakuan dan restu dari seluruh pihak dan masyarakat. 2. Proses Perkawinan Ketika seorang laki-laki atau perempuan hendak menikah tentu diawali dengan proses yang panjang. Proses paling awal menuju perkawinan yang dimaksud adalah penentuan siapa jodoh 329 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya yang cocok untuk dirinya atau yang dalam adat Melayu biasa disebut dengan istilah merisik dan meninjau. Setelah jodoh yang dirasa sesuai sudah dipilih, maka kemudian dilakukan tahap kegiatan merasi, yaitu mencari-cari tahu apakah jodoh yang telah dipilih itu cocok (serasi) atau tidak. Jika kedua tahapan tersebut dirasa sesuai dengan harapan diri orang yang akan menikah maka kemudian dilakukan tahapan melamar, meminang, dan kemudian bertunangan. Setelah kedua calon tersebut bertunangan, maka upacara perkawinan dapat segera dilangsungkan. 2. 1. Merisik dan Meninjau Merisik adalah kegiatan memilih jodoh yang dilakukan orang tua untuk mencarikan calon istri bagi anak laki-lakinya. Kegiatan merisik biasanya dilakukan apabila seorang laki-laki yang hendak menikah dengan seorang gadis tetapi belum mengenali jati diri gadis tersebut atau jika sudah kenal namun baru sebatas kenal sekilas saja. Tujuan dari kegiatan merisik adalah untuk memastikan apakah gadis tersebut sudah memiliki pasangan atau belum. Tentunya, jika gadis tersebut telah memiliki tunangan maka laki-laki tersebut tidak bisa lagi berniat untuk menikahinya. Sebab, dalam hukum Islam seseorang itu dilarang untuk meminang tunangan orang lain. Para orang tua biasanya mulai berpikir jika anak laki-lakinya dipandang sudah siap untuk berkeluarga mereka akan mencari dan memperhatikan beberapa gadis yang dikenalinya. Di samping sebagai jalan untuk mencari jodoh, kegiatan merisik juga dimaksudkan untuk mengetahui latar belakang calon menantu perempuan, kesuciannya, dan juga kepribadiannya. Kegiatan merisik juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan keterampilan rumah tangga, adab sopan-santun, tingkah laku, bagaimana paras wajahnya, dan juga pengetahuan gadis tersebut tentang agamanya. Secara prinsipil, kegiatan ini sebenarnya positif saja dilakukan agar para orang tua tidak salah dalam upaya mencari calon istri yang terbaik untuk anak laki-lakinya. Namun, kegiatan seperti ini lambat laun jarang dilakukan mengingat zaman sekarang yang sudah begitu modern, sehingga anak laki-laki pada masa kini lebih suka memilih sendiri jodoh yang diharapkannya. Pada masa lalu, orang tua sering khawatir jika anak lak-lakinya hendak menikah dengan seorang gadis yang tidak diketahui bagaimana latar belakangnya. Artinya bahwa pada masa lalu kegiatan merisik lebih dimaksudkan untuk mengantisipasi agar anaknya tidak salah memilih orang. Adat merisik biasanya dilakukan oleh pihak laki-laki, sedangkan adat meninjau dilakukan oleh kedua pihak. Setelah kegiatan merisik dapat menentukan bahwa gadis tersebut belum memiliki pasangan, selanjutnya dilakukan tahapan meninjau. Kegiatan ini kadang dilakukan sekaligus dengan kegiatan merisik. Kegiatan meninjau dimaksudkan untuk mengetahui tempat asal calon yang akan dinikahi. Kegiatan meninjau dilakukan oleh seorang wakil yang dipercaya dapat melakukannya. Kegiatan meninjau akan dirasa mudah jika wakil tersebut sudah mengenal gadis tersebut. Jika belum mengenalnya maka diperlukan waktu untuk melakukan tahapan peninjauan. Apa saja yang perlu ditinjau? Aspek-aspek yang ditinjau biasanya berkenaan dengan kepribadian perempuan, termasuk kesopanan tingkah laku dan bahasanya. Selain itu juga perlu diperhatikan bagaimana cara dia berbicara. Sebagai contoh, bagaimana cara dia menghindangkan makanan dan minuman kepada tamu. Aspek-aspek yang berkaitan dengan bagaimana cara dia membersihkan dirinya, seperti berpakaian dan berhias juga perlu diperhatikan untuk menilai apakah gadis tersebut berkepribadian baik atau tidak. Sebenarnya masih banyak aspek lain yang perlu ditinjau, di antaranya adalah soal pendidikan, seluk beluk tentang siapa saja orang-orang dalam keluarga intinya, dan juga latar belakang ekonomi keluarganya. Pada masa lalu, ketika memilih calon istri aspek yang lebih diutamakan adalah latar belakang pengetahuan agama, tata susila, dan kesantunan dalam berbahasa. Kegiatan meninjau juga dapat dilakukan oleh pihak perempuan. Bapak dan ibu pihak perempuan misalnya bisa meninjau keadaan sesungguhnya seputar diri dan keluarga calon suami dari anak gadisnya. Kegiatan peninjauan ini biasanya dimaksudkan untuk memastikan status bujang laki-laki tersebut dan bagaimana latar belakanng ekonominya. Orang tua pihak perempuan biasanya perlu memastikan bahwa calon suami dari anaknya mampu membiayai hidup rumah tangga yang kelak dibangun. 330 Lampiran 2. 2. Merasi Kegiatan merasi sudah sangat jarang dilakukan dalam masyarakat Melayu. Tujuan merasi adalah untuk memastikan apakah pasangan yang hendak dijodohkan itu sebenarnya cocok atau tidak. Artinya, merasi adalah kegiatan meramal atau menilik keserasian antara pasangan yang hendak dijodohkan. Kegiatan ini biasanya dilakukan melalui perantaraan seorang ahli yang sudah terbiasa bertugas mencari jodoh kepada orang yang hendak menikah. Pencari jodoh tersebut akan memberikan pendapatnya bahwa pasangan tersebut dinilai cocok (sesuai) atau tidak. Pada masa lalu, masyarakat adat mempercayai bahwa kegiatan ini dirasa penting karena kerukunan rumah tangga ditentukan oleh adanya keserasian antara pasangan suami-istri. Jika hasil keputusan merasi adalah bahwa pasangan tersebut tidak cocok, maka biasanya orang tua dari masing-masing pasangan akan membatalkan rencana perkawinan anak-anak mereka. Alasannya, jika mereka tetap dijodohkan maka konsekuensinya akan berdampak pada ketidakharmonisan, ketidakrukunan, dan keutuhan rumah tangga mereka akan hancur. Masyarakat pada masa lalu percaya bahwa pasangan yang tidak serasi akan didera dengan kemiskinan, perceraian, dan bencana lainnya. 2. 3 Melamar, Meminang, dan Bertunangan Setelah dirasa bahwa pasangan yang akan menikah sudah cocok, langkah kemudian adalah tahapan melamar dan meminang. Sebelum meminang, keluarga pihak laki-laki melamar terlebih dahulu gadis yang akan dinikahi. Maksud dari kegiatan melamar adalah menanyakan persetujuan dari pihak calon pengantin perempuan sebelum dilangsungkannya acara meminang. Jika masih dalam tahap melamar, maka rencana perkawinan belum dapat dipastikan. Artinya, meskipun pihak calon pengantin laki-laki telah merisik dan meninjau latar belakang perempuan yang akan dinikahi, namun dalam tahap melamar jawaban yang akan diterima darinya masih belum bisa dipastikan. Lain lagi jika telah perempuan tersebut telah dipinang, maka jawaban darinya bisa diakatakan telah pasti. Lamaran dilakukan oleh pihak calon pengantin laki-laki, yaitu dengan cara mengantarkan beberapa wakil yang terdiri dari beberapa orang yang percaya dapat memikul tanggung jawab tersebut. Dalam pertemuan tersebut terjadi pembicaraan untuk mendapatkan jawaban yang pasti dari pasangan yang akan dijodohkan. Biasanya pihak perempuan akan memberikan jawaban dalam tempo beberapa hari. Adanya tenggat waktu adalah agar perempuan tersebut tidak dianggap “menjual murah” yang begitu mudah langsung menerima lamaran. Masa tenggang tersebut juga difungsikan untuk berunding dengan keluarga dan saudara pihak perempuan, di samping juga untuk menyelidik latar belakang laki-laki secara teliti dan hati-hati. Setelah calon laki-laki disetujui oleh keluarga pihak perempuan, mereka kemudian menemui wakil pihak laki-laki untuk memberitahukan keputusan tersebut. Dalam adat Melayu, biasanya pihak laki-laki sendiri yang akan datang ke rumah pihak perempuan untuk menanyakan keputusan tersebut. Setelah kedua pihak berbincang dan bersepakat, utusan dari wakil pihak laki-laki akan datang lagi untuk menetapkan kapan hari pertunangan. Dalam pertemuan ini juga diperbincangkan seputar jumlah barang antaran dan jumlah rombongan pihak laki-laki yang akan datang secara bersama. Hal itu dimaksudkan agar pihak perempuan mudah membuat persiapan dalam menerima kedatangan mereka. Istilah “meminang” digunakan karena buah pinang merupakan bahan utama yang dibawa saat acara meminang beserta daun sirih dan bahan lainnya. Buah pinang adalah lambang untuk laki-laki karenanya bentuknya yang keras. Sirih adalah lambang untuk perempuan. Buah pinang dan sirih adalah lambang laki-laki dan perempuan yang bersatu dan tidak dapat dipisahkan. Artinya bahwa seseorang itu tidak mungkin makan sirih tanpa pinang. Dalam perkembangan adat Melayu saat ini, buah pinang tidak lagi sebagai satu-satunya bahan yang dibawa untuk meminang, namun dibelah-belah secara halus dan diantar beserta dengan daun sirih sebagai pelengkapnya. Tidak ada masa atau waktu tertentu yang ditetapkan dalam tradisi perkawinan Melayu. Biasanya adat ini dilakukan pada Bulan Maulud (Rabiulawal), yaitu saat petang atau malam hari. Jika dilakukan pada malam hari karena banyak orang yang bekerja pada siang hari, sehingga malam hari dipilih sebagai waktu yang tepat. Pada saat acara meminang, rombongan pihak laki-laki 331 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya beserta antarannya akan disambut oleh keluarga pihak perempuan. Antaran diletakkan di tengah majelis yang disaksikan di depan para hadirin. Sebelum memulai adat meminang, biasanya wakil pihak perempuan duduk berhadapan dengan ketua wakil pihak laki-laki. Sirih junjung diletakkan di hadapan mereka berdua. Bukan uang dibilang, bukan emas-berlian dipandang, namun ketulusan hati membalut barang antaran sebagai wujud kasih sayang. Mereka kemudian memulai acara meminang dengan saling berkenalan terlebih dahulu. Setelah berkenalan wakil pihak perempuan memulai adat ini dengan bertanya kepada wakil pihak laki-laki tentang siapa yang memiliki sirih tersebut. Wakil pihak laki-laki akan menjawab dengan menyebutkan nama laki-laki diwakilinya dan juga nama perempuan yang hendak dipinang. Mereka juga menyatakan maksud kedatangan mereka. Setelah itu tepak sirih yang diterima oleh wakil pihak perempuan kemudian dikembalikan kepada wakil pihak laki-laki sambil mengatakan bahwa pinangan mereka diterima atau ditolak. Wakil pihak laki-laki kemudian mendatangi calon pengantin perempuan untuk mengenakan cincin di jari manisnya. Perempuan tersebut biasanya berada di balik bilik yang telah berpakaian indah. Dengan demikian, calon pengantin perempuan tersebut telah resmi bertunangan dengan calon pengantin laki-laki. Setelah itu calon pengantin perempuan bersalaman dengan para hadirin, terutama dengan beberapa orang perempuan yang mewakili rombongan pihak laki-laki. 3. Persiapan Menuju Hari Perkawinan Hari perkawinan merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh semua anggota masyarakat yang berkenaan dengan perhelatan acara ini. Pada hari itu semua keluarga, saudara, termasuk tetangga berkumpul dalam satu majelis. Untuk menyambut hari perkawinan diperlukan persiapan yang sungguh matang. Persiapan yang dimaksud biasanya mencakup kegiatan bergotong-royong, pembacaan barzanzi, dan persediaan jamuan. Tugas utama yang perlu dilakukan untuk mempersiapkan kegiatan-kegiatan tersebut adalah dengan cara membangun bangsal penanggah terlebih dahulu. Bangsal ini nantinya digunakan untuk kegiatan masak-memasak. Di daerah pedalaman, bangsal penanggah biasanya terbuat dari kayu dan atapnya terbuat dari daun nipah atau rumbia. Di samping bangsal, yang juga perlu disediakan adalah tungku-tungku dapur yang diperlukan untuk alat memasak. 3. 1. Gotong-Royong Sebelum datangnya hari perkawinan perlu dilakukan acara gotong-royong atau rewang (jw). Pihak tuan rumah perlu menyediakan berbagai macam kue Melayu untuk mereka yang bergotongroyong. Kegiatan gotong-royong biasanya dilakukan hingga larut malam sambil menikmati kue-kue yang dihidangkan. Kue yang tahan lama biasanya disediakan oleh tuan rumah melalui pertolongan tetangga terdekat, yaitu beberapa hari sebelum berlangsungnya majelis perkawinan. Sedangkan kue yang tidak tahan lama disediakan sehari menjelang perhelatan majelis. Kue-kue ini juga diantarkan kepada mereka yang memberikan sumbangan tetapi tidak bisa datang. Kegiatan gotong-royong ini dimulai dengan membagi aktivitas yang perlu dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Pada pagi harinya, pihak perempuan biasanya sibuk menyediakan berbagai keperluan dalam rumah, sedangkan pihak laki-lakinya mengeluarkan semua alat yang diperlukan, seperti piring, tempat penyajian makanan, gelas, dan sebagainya yang tersusun secara rapi. Pada petang harinya, dilakukan penyembelihan ayam, kambing, atau lembu. Setelah disembelih, sebagian dari pihak laki-laki membuang kulit, membersihkan dan memotong daging sesuai urutan yang dikehendaki. Sebagian yang lain mencabut bulu ayam dan kemudian menyerahkannya kepada petugas yang sudah terbiasa memotong dagingnya. Tukang masak akan menggoreng daging yang telah dipotong agar keesokan harinya dapat dimakan. 332 Lampiran 3. 2. Pembacaan Barzanzi dan Persediaan Jamuan Kegiatan (majelis) membaca barzanzi dilakukan selepas shalat isya. Majelis ini biasanya diikuti oleh mereka yang telah melakukan kegiatan gotong-royong selama sehari-semalam, juga diikuti oleh keluarga dan saudara dari tuan rumah, termasuk para jemputan yang diundang secara khusus pada majelis ini. Pada masa kini, kegiatan ini tidak populer lagi. Untuk mengadakan kegiatan ini masih diperlukan usaha gotong-royong sebagaimana dilakukan sebelumnya. Dalam kegiatan pembacaan barzanzi juga dihidangkan jamuan, yang biasanya terdiri dari nasi beserta lauk-pauknya. Setiap hidangan disediakan untuk empat atau lima orang. Persediaan jamuan biasanya ditentukan secara berbeda-beda, tergantung pada bagaimana keinginan keluarga dari tuan rumah. Seorang ayah yang hanya mempunyai anak tunggal atau tingal satu anaknya yang belum menikah, maka dia biasanya akan mengadakan majelis perkawinan secara besar-besaran, meski di luar kesanggupan keuangannya sendiri. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang kemudian rela berhutang hanya untuk memenuhi keinginan besarnya itu. Dalam acara gotong royong selalu tersedia juadah khas Melayu, seperti, khasyidah, pelita daun, bolu kembojo, wajit dan nasi kunyit, serta rendang atau panggang ayam. Untuk melakukan kegiatan persediaan jamuan, biasanya dipilih terlebih dahulu ketua panitia yang banyak berhubungan secara intens dengan tuan rumah berkenaan dengan segala sesuatu hal yang berhubungan dengan jamuan. Ia juga bertanggung jawab membeli bahan-bahan keperluan di pasar. Ia perlu berkoordinasi dengan anggota panitianya yang dibagi berdasarkan tugasnya masing-masing, ada yang bertugas menyambut tamu, mengatur tempat duduk tamu, menyediakan air minum, dan mencuci piring atau gelas yang telah digunakan. Di samping ada yang bertugas memasak, juga ada yang bertugas menyediakan makanan yang dibawa pulang oleh hadirin yang datang. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan secara sukarela karena merupakan adat dalam budaya Melayu untuk hidup saling bergotong-royong. 4. Upacara Perkawinan Setelah melalui proses dan tahapan yang begitu panjang, maka kini saatnya melangsungkan upacara perkawinan. Istilah upacara perkawinan dapat juga disebut dengan istilah lain, seperti “upacara nikah kawin”, “upacara helat jamu pernikahan”, dan “upacara perhelatan nikah kawin”. Upacara ini merupakan hari “H” yang ditunggu-tunggu oleh siapa saja yang berhubungan dengan perkawinan ini, baik bagi calon pengantinnya sendiri maupun seluruh keluarga dan saudarasaudaranya. Dalam adat Melayu, upacara perkawinan biasanya dilakukan secara amat terinci, lengkap, dan bahkan tidak boleh ada yang tertinggal satupun. 4. 1. Upacara Menggantung-Gantung Upacara ini dilakukan dalam tenggang waktu yang cukup panjang, biasanya 3 hari sebelum hari perkawinan. Bentuk kegiatan dalam upacara ini biasanya disesuaikan dengan adat di masingmasing daerah yang berkisar pada kegiatan menghiasi rumah atau tempat akan dilangsungkannya upacara pernikahan, memasang alat kelengkapan upacara, dan sebagainya. Yang termasuk dalam kegiatan ini adalah: membuat tenda dan dekorasi, menggantung perlengkapan pentas, menghiasi kamar tidur pengantin, serta menghiasi tempat bersanding kedua calon mempelai. Upacara ini menadakan bahwa budaya gotong-royong masih sangat kuat dalam tradisi Melayu. Upacara ini harus dilakukan secara teliti dan perlu disimak oleh orang-orang yang dituakan agar tidak terjadi salah pasang, salah letak, salah pakai, dan sebagainya. Ungkapan adat mengajarkan hal ini sebagai berikut: Pengantin ibarat raja dan ratu sehari, maka untuk keduanya disiapkan pelaminan yang megah bak singgasana. Adat orang berhelat jamu Menggantung-gantung lebih dahulu Menggantung mana yang patut Memasang mana yang layak 333 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Sesuai menurut alur patutnya Sesuai menurut adat lembaga Supaya helat memakai adat Supaya kerja tak sia-sia Supaya tidak tersalah pasang Supaya tidak tersalah pakai 4. 2. Upacara Berinai Adat atau upacara berinai merupakan pengaruh dari ajaran Hindu. Makna dan tujuan dari perhelatan upacara ini adalah untuk menjauhkan diri dari bencana, membersihkan diri dari hal-hal yang kotor, dan menjaga diri segala hal yang tidak baik. Di samping itu tujuannya juga untuk memperindah calon pengantin agar terlihat lebih tampak bercahaya, menarik, dan cerah. Upacara ini merupakan lambang kesiapan pasangan calon pengantin untuk meninggalkan hidup menyendiri dan kemudian menuju kehidupan rumah tangga. Dalam ungkapan adat disebutkan: Malam berinai disebut orang Membuang sial muka belakang Memagar diri dari jembalang Supaya hajat tidak terhalang Supaya niat tidak tergalang Supaya sejuk mata memandang Muka bagai bulan mengambang Serinya naik tuah pun datang Berinai bukan sekadar memerahkan kuku, namun mempersiapkan pengantin agar dapat menjalani pernikahan tanpa aral halangan. Upacara ini dilakukan pada malam hari, yaitu 3 hari sebelum upacara perkawinan dilangsungkan. Bentuk kegiatannya bermacam-macam asalkan bertujuan mempersiapkan pengantin agar tidak menemui masalah di kemudian hari. Dalam upacara ini yang terkenal biasanya adalah kegiatan memerahkan kuku, tetapi sebenarnya masih banyak hal lain yang perlu dilakukan. Upacara ini dilakukan oleh Mak Andam dibantu oleh sanak famili dan kerabat dekat. Upacara berinai bagi pasangan calon pengantin dilakukan dalam waktu yang bersamasama. Hanya saja, secara teknis tempat kegiatan ini dilakukan secara terpisah, bagi pengantin perempuan dilakukan di rumahnya sendiri dan bagi pengantin laki-laki dilakukan di rumahnya sendiri atau tempat yang disinggahinya. Namun, dalam adat perkawinan Melayu biasanya pengantin lak-laki lebih didahulukan. Seri kecantikan diperoleh melalui kesabaran. Pengantin harus berdiam diri sabar menanti, agar inai yang dipasang di jemari tangan dan kaki menghasilkan warna cerah yang berseri. 4. 3. Upacara Berandam Upacara berandam dilakukan pada sore hari ba‘da Ashar yang dipimpin oleh Mak Andam didampingi oleh orang tua atau keluarga terdekat dari pengantin perempuan. Awalnya dilakukan di kediaman calon pengantin perempuan terlebih dahulu yang diringi dengan musik rebana. Setelah itu baru kemudian dilakukan kegatan berandam di tempat calon pengantin laki-laki. Sebelum berandam kedua calon pengantin harus mandi berlimau dan berganggang terlebih dahulu. 334 Lampiran Makna dari upacara berandam adalah membersihkan fisik (lahiriah) pengantin dengan harapan agar batinnya juga bersih. Makna simbolisnya adalah sebagai lambang kebersihan diri untuk menghadapi dan menempuh hidup baru. Sebagaimana disebutkan dalam ungkapan adat: Adat Berandam disebut orang Membuang segala yang kotor Membuang segala yang buruk Membuang segala sial Membuang segala pemali Membuang segala pembenci Supaya seri naik ke muka Supaya tuah naik ke kepala Supaya suci lahir batinnya Kecantikan budi mestilah yang utama, namun keelokan paras tiada boleh terlupa. Untuk itulah, Mak Andam merias calon pengantin agar kemolekan makin ternampak nyata. Berandam yang paling utama adalah mencukur rambut karena bagian tubuh ini merupakan letak kecantikan mahkota perempuan. Di samping itu, berandam juga mencakup kegiatan: mencukur dan membersihkan rambut-rambut tipis sekitar wajah, leher, dan tengkuk; memperindah kening; menaikkan seri muka dengan menggunakan sirih pinang dan jampi serapah. Setelah berandam kemudian dilakukan kegiatan “mandi tolak bala”, yaitu memandikan pengantin dengan menggunakan air bunga dengan 5, 7, atau 9 jenis bunga agar terlihat segar dan berseri. Kegiatan ini harus dilakukan sebelum waktu shalat ashar. Mandi tolak bala kadang disebut juga dengan istilah “mandi bunga”. Tujuan mandi ini adalah menyempurnakan kesucian, menaikkan seri wajah, dan menjauhkan dari segala bencana. Dalam ungkapan adat disebutkan: Mandi Bunga atau Mandi Tolak Bala bukan sekadar untuk mengharumkan raga, namun agar jiwa bersih suci, jauh dari iri dengki. Hakekat mandi tolak bala Menolak segala bala Menolak segala petaka Menolak segala celaka Menolak segala yang berbisa Supaya menjauh dendam kesumat Supaya menjauh segala yang jahat Supaya menjauh kutuk dan laknat Supaya setan tidak mendekat Supaya iblis tidak melekat Supaya terkabul pinta dan niat Supaya selamat dunia akhirat 4. 4. Upacara Khatam Qur‘an Pelaksanaan upacara khatam Qur‘an biasanya dilakukan setelah upacara berandam dan mandi tolak bala sebagai bentuk penyempurnaan diri, baik secara lahir maupun batin. Upacara khatam Qur‘an sebenarnya bermaksud menunjukkan bahwa pengantin perempuan sudah diajarkan oleh kedua orang tuanya tentang bagaimana mempelajari agama Islam dengan baik. Dengan 335 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya demikian, sebagai pengantin perempuan dirinya telah dianggap siap untuk memerankan posisi barunya sebagai istri sekaligus ibu dari anak-anaknya kelak. Di samping itu tujuan lainnya adalah untuk menunjukkan bahwa keluarga calon pengantin perempuan merupakan keluarga yang kuat dalam menganut ajaran Islam, sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan adat: Pendidikan boleh tiada tamat, ijazah boleh tiada dapat, tetapi khatam Al Qur‘an tiada boleh terlewat. Dari kecil cincilak padi Sudah besar cincilak Padang Dari kecil duduk mengaji Sudah besar tegakkan sembahyang Upacara ini dipimpin oleh guru mengajinya atau orang tua yang ditunjuk oleh keluarga dari pihak pengantin. Upacara ini khusus dilakukan oleh calon pengantin perempuan yang biasanya perlu didampingi oleh kedua orang tua, atau teman sebaya, atau guru yang mengajarinya mengaji. Mereka duduk di atas tilam di depan pelaminan. Mereka membaca surat Dhuha sampai dengan surat al-Fatihah dan beberapa ayat al-Qur‘an lainnya yang diakhiri dengan doa khatam al-Qur‘an. 4. 5. Upacara Perkawinan Upacara perkawinan dilakukan secara berurutan. Artinya, upacara ini tidak hanya mencakup upacara akad saja tetapi juga mencakup kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan proses akad nikah, baik sebelum maupun sesudahnya. Kegiatan dalam upacara ini biasanya diawali dengan kedatangan calon pengantin laki-laki yang dipimpin oleh seorang wakilnya ke rumah calon pengantin perempuan. Calon pengantin laki-laki biasanya diapit oleh dua orang pendamping yang disebut dengan gading-gading atau pemuda yang belum menikah. Rombongan pihak pengantin laki-laki datang menuju kediaman pihak calon pengantin perempuan dengan membawa sejumlah perlengkapan atau yang disebut dengan antar belanja. 4. 5. a. Upacara Antar Belanja atau Seserahan Antar belanja atau yang biasanya dikenal dengan seserahan dapat dilakukan beberapa hari sebelum upacara akad atau sekaligus menjadi satu rangkaian dalam upacara akad nikah. Jika antar belanja diserahkan pada saat berlangsungnya acara perkawinan, maka antar belanja diserahkan sebelum upacara akad nikah. Beramai-ramai, beriring-iringan, kerabat calon pengantin laki-laki membawa antara belanja kepada calon pengantin wanita. Konsep pemikiran dari upacara antar belanja adalah simbol dari peribahasa-peribahasa seperti “rasa senasib sepenanggungan”, “rasa seaib dan semalu”, dan “yang berat sama dipikul yang ringan sama dijinjing”. Makna dalam upacara antar belanja ini adalah rasa kekeluargaan yang terbangun antara keluarga pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Oleh karena makna dan tujuannnya adalah membangun rasa kekeluargaan, maka tidak dibenarkan jumlah seserahan yang diantarkan menimbulkan masalah yang menyakiti perasaan di antara mereka. Ungkapan adat mengajarkan: Adat Melayu sejak dahulu Antar belanja menebus malu Tanda senasib seaib semalu Berat dan ringan bantu-membantu. 4. 5. b. Upacara Akad Nikah Ketika rombongan calon pengantin laki-laki Upacara akad nikah merupakan inti dari seluruh rangkaian upacara perkawinan. Sebagaimana lazimnya dalam adat perkawinan menurut ajaran Islam, upacara akad nikah harus mengandung pengertian ijab dan qabul. Dalam ungkapan adat disebutkan bahwa: 336 Lampiran Seutama-utama upacara pernikahan Ialah ijab kabulnya Di situlah ijab disampaikan Si situlah kabul dilahirkan Di situlah syarak ditegakkan Di situlah adat didirikan Di situlah janji dibuhul Di situlah simpai diikat Di situlah simpul dimatikan Tanda sah bersuami istri Tanda halal hidup serumah Tanda bersatu tali darah Tanda terwujud sunnah Nabi Dengan terucapnya ijab dan kabul, tanggung jawab ayah atas anak gadisnya beralih sudah kepada menantu laki-laki. Pemimpin upacara ini biasanya adalah kadi atau pejabat lain yang berwenang. Setelah penyataan ijab dan qabul telah dianggap sah oleh para saksi, kemudian dibacakan doa walimatul urusy yang dipimpin oleh kadi atau orang yang telah ditunjuk. Setelah itu, baru kemudian pengantin laki-laki mengucapkan taklik (janji nikah) yang dilanjutkan dengan penandatanganan Surat Janji Nikah. Penyerahan mahar oleh pengantin laki-laki baru dilakukan sesudahnya. 4. 5. c. Upacara Menyembah Setelah upacara akad nikah selesai dilakukan seluruhnya, kedua pengantin kemudian melakukan upacara menyembah kepada ibu, bapak, dan seluruh sanak keluarga terdekat. Makna dari upacara ini tidak terlepas dari harapan agar berkah yang didapat pengantin nantinya berlipat ganda. Acara ini dipimpin oleh orang yang dituakan bersama Mak Andam. Sembah sujud kepada orang tua tiada boleh lupa, agar tuah dan berkah turun berlipat ganda. 4. 5. d. Upacara Tepuk Tepung Tawar Setelah upacara menyembah selesai, kemudian dilanjutkan dengan upacara tepuk tepung tawar. Makna dari upacara adalah pemberian doa dan restu bagi kesejahteraan kedua pengantin dan seluruh keluarganya, di samping itu juga bermakna sebagai simbol penolakan terhadap segala bala dan gangguan yang mungkin diterimanya kelak. Upacara ini dilakukan oleh unsur keluarga terdekat, unsur pemimpin atau tokoh masyarakat, dan unsur ulama. Yang melakukan tepung tawar terakhir juga bertindak sebagai pembaca doa. Tepuk Tepung Tawar hakikatnya adalah pertanda, bahwa para tetua melimpahkan restu dan doa, bahwa marwah pengantin kekal terjaga. Dalam ungkapan adat disebutkan bahwa makna dari Tepuk Tepung Tawar adalah “menawar segala yang berbisa”, “menolak segala yang menganiaya”, “menepis segala yang berbahaya”, “mendingin segala yang menggoda”, dan “menjauhkan dari segala yang menggila”. Jadi, upacara Tepuk Tepung Tawar bermakna sebagai doa dan pengharapan. Dalam pantun nasehat disebutkan: “Di dalam Tepuk Tepung Tawar, terkandung segala restu, terhimpun segala doa, terpateri segala harap, tertuang segala kasih sayang”. Dalam pantun lain disebut juga bahwa: “Tepung tawar untuk penawar, Supaya hidup tidak bertengkar, wabah penyakit tidak menular, Semua urusan berjalan lancar”. Kegiatan ini dilakukan dengan rincian: menaburkan tepung tawar ke telapak tangan kedua pengantin, mengoleskan inai ke telapak tangan mereka, dan menaburkan beras kunyit dalam 337 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya bunga rampai kepada kedua pengantin. Setelah upacara ini selesai berarti telah selesai upacara inti perkawinan. Setelah itu tinggal melakukan upacara-upacara pendukung lainnya, seperti upacara nasehat perkawinan dan jamuan makan bersama. 4. 5. e. Upacara Nasehat Perkawinan Seperti halnya adat upacara lainnya, setelah upacara akad nikah diadakan upacara nasehat perkawinan. Maksud dari perhelatan upacara ini adalah penyampaian petuah, pesan, dan nasehat bagi kedua pengantin agar mereka mampu membangun rumah tangga yang sejahtera (lahir sekaligus batin), rukun, dan damai. Yang menyampaikan nasehat perkawinan sudah seharusnya adalah seseorang yang benar-benar telah mempraktekkan bagaimana caranya membangun keluarga yang sakinah sehingga dapat dijadikan teladan bagi yang lain. Dalam menempuh hidup baru, cinta kasih mestilah ada, harta kelak boleh dicari bersama, namun petuah dan ilmu dari tetua rengkuhlah dahulu. Setelah nasehat perkawinan selesai disampaikan, maka kemudian upacara perkawinan ditutup. Berikut adalah ungkapan kalimat penutupnya : 4. 5. f. Upacara Jamuan Santap Bersama Setelah upacara perkawinan selesai ditutup, maka acara selanjutnya adalah upacara jamuan santap bersama sebagai akhir dari prosesi upacara akad nikah secara keseluruhan. Upacara ini boleh dikata adalah sama di berbagai adat perkawinan manapun. Tuan rumah memberikan jamuan makan bersama terhadap seluruh pengunjung yang hadir pada acara perkawinan tersebut. 4. 6. Upacara Langsung Setelah upacara perkawinan dan akad nikah selesai, prosesi selanjutnya adalah melakukan upacara hari langsung. Yang dimaksud dengan upacara ini adalah kegiatan yang berkaitan dengan bagaimana mengarak pengantin laki-laki, upacara menyambut arak-arakan pengantin laki-laki, upacara bersanding, upacara resepsi, upacara ucapan alu-aluan dan tahniah, upacara pembacaan doa, upacara santap nasi hadap-hadapan, hingga memberikan ucapan tahniah atau terima kasih kepada para pengunjung yang telah datang. 4. 6. a. Upacara Mengarak Pengantin Lelaki Upacara ini bentuknya adalah mengarak pengantin laki-laki ke rumah orang tua pengantin perempuan. Tujuan dari upacara ini sebagai media pemberitahuan kepada seluruh masyarakat sekitar tempat dilangsungkannya perkawinan bahwa salah seorang dari warganya telah sah menjadi pasangan suami-istri. Di samping itu, tujuanya adalah memberitahukan kepada semua lapisan masyarakat agar turut meramaikan acara perkawinan tersebut, termasuk ikut memberikan doa kepada kedua pengantin. Upacara ini beragam bentuknya, tergantung adat yang berlaku di masing-masing daerah Melayu. Bernaung payung iram, diiringi rentak rebana dan gendang, pengantin laki-laki datang kepada dewi pujaan. Dalam upacara arak-arakan ini, yang dibawa adalah beragam alat kelengkapan. Namun, yang paling utama dibawa adalah jambar, di Riau lebih dikenal dengan semerit, pahar (poha), atau dulang berkaki. Isi dalam jambar terdiri dari tiga unsur, yaitu: unsur kain baju atau pakaian dengan kelengkapan perias, unsur makanan, dan unsur peralatan dapur. Ketiga unsur tersebut mengandung makna tentang kehidupan manusia sehari-hari. Jumlah jambar ditentukan berdasarkan adat setempat, asalkan maknanya sesuai dengan nilai Islam. Jumlah 17 adalah sama dengan jumlah rukun shalat, jumlah 17 terkait dengan jumlah rakaat sehari semalam, dan jumlah 25 terkait dengan jumlah rasul pilihan. 338 Lampiran 4. 6. b. Upacara Menyambut Arak-arakan Pengantin Lelaki Sesampainya rombongan arak-arakan pengantin laki-laki di kediaman keluarga pengantin perempuan, kemudian dilanjutkan dengan upacara penyambutan. Dalam budaya Melayu, upacara penyambutan tersebut mempunyai makna yang sangat dalam. Oleh karenanya, pengantin laki-laki perlu disambut dengan penuh kegembiraan sebagai bentuk ketulushatian dalam menerima kedatangan mereka. Upacara pencak silat merupakan perlambang kepiawaian pengantin laki-laki menghadapi tantangan. Upacara penyambutan arak-arakan pengantin laki-laki biasanya bentuknya tiga macam, yaitu permainan pencak silat, bertukar tepak induk, dan berbalas pantun pembuka pintu. Dalam kegiatan permainan pencak silat, makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa pengantin laki-laki sebagai calon kepala rumah tangga perlu ditantang kejantanan dan kepiawainnya. Meski hanya sebagai simbol, pencak silat juga mengandung makna persahabatan dan kasih sayang yang dibungkus dengan jiwa kepahlawanan. Setelah permainan silat, rombongan pengantin melanjutkan perjalanannya, biasanya diteruskan dengan kegiatan “perang beras kunyit” antara pihak pengantin laki-laki dan pihak yang menyambutnya. Perang Beras Kunyit antar kedua pihak pengantin, bukan mengobarkan permusuhan, melainkan menyuburkan persaudaraan. Setelah permainan silat dan perang beras kunyit selesai, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan bertukar tepak induk. Kenapa tepak perlu ditukar? Sebab, simbol tepak melambangkan rasa tulus hati dalam menyambut tamu dan juga sebagai lambang persaudaraan. Isi dalam tepak berupa daun sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau. Kegiatan ini dilakukan setelah rombongan pengantin laki-laki masuk ke halaman rumah pengantin perempuan. Kegiatan ini dapat dilakukan di dalam atau di luar rumah. Bertukar Tepak melambangkan ketulusan hati dan bersebatinya dua keluarga menjadi satu. Kegiatan terakhir dalam upacara langsung adalah berbalas pantun pembuka pintu yang dilakukan di ambang pintu rumah pengantin perempuan. Kegiatan ini bentuknya adalah saling bersahutan pantun antara pemantun pihak pengantin laki-laki dengan pemantun pihak pengantin perempuan yang disaksikan oleh Mak Adam. Fungsi dari kegiatan ini biasanya dipahami sebagai bentuk izin untuk memasuki rumah pengantin perempuan. Setelah Mak Adam atau pemantun pihak pengantin perempuan membuka kain penghalang pintu dan mempersilahkan tamu untuk masuk, maka kegiatan ini dianggap selesai. Berbalas pantun Pembuka Pintu menunjukkan adab sopan santun pengantin laki-laki memasuki kehidupan pengantin perempuan. 4. 6. c. Upacara Bersanding Acara bersanding merupakan puncak dari seluruh upacara perkawinan. Setelah pasangan pengantin berijab-kabul, pengantin laki-laki akan balik ke tempat persinggahannya untuk beristirahat sejenak. Demikian halnya pengantin perempuan perlu kembali ke balik bilik untuk istirahat juga. Setelah keduanya beristirahat kemudian dilangsungkan upacara bersanding. Wakil pihak pengantin perempuan menemui wakil pihak pengantin laki-laki dengan membawa sebuah bunga yang telah dihias dengan begitu indah. Bunga yang diberikan ini menandakan bahwa pengantin perempuan telah siap menanti kedatangan pengantin laki-laki ke tempat persandingan. Pengantin laki-laki kemudian dijemput untuk disandingkan dengan pasangannya. Acara bersanding adalah menyandingkan penganting laki-laki dengan pengantin perempuan yang disaksikan oleh seluruh keluarga, sahabat, dan jemputan. Inti dari kegiatan ini adalah mengumumkan kepada khalayak umum bahwa pasangan pengantin sudah sah sebagai pasangan suami-istri. Seperti halnya dilakukan dalam upacara akad nikah, dalam upacara langsung juga dilakukan tepuk tepung tawar untuk mengantisipasi jika ada yang belum sempat menyaksikannya pada upacara akad. Sebagaimana disebutkan dalam ungkapan adat sebagai berikut: Tiada saat seindah ketika bersanding di pelaminan, bertabur senyum, salam, dan sejahtera. Apabila pengantin duduk bersanding Sampailah niat usailah runding Tanda pasangan sudah sebanding Hilanglah batas habis pendinding 339 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Dalam ungkapan adat lain disebutkan: Pengantin bersanding bagaikan raja Disaksikan oleh tua dan muda Tanda bersatu kedua keluarga Pahit dan manis sama dirasa 4. 6. d. Upacara Resepsi Perkawinan Upacara ini merupakan lanjutan dari upacara bersanding yang disaksikan oleh masyarakat umum secara lebih luas. Upacara ini dimulai dengan proses kedatangan iring-iringan rombongan pengantin memasuki pintu gerbang tempat dilangsungkannya resepsi perkawinan. Rombongan pengantin akan disambut dengan bunyi-bunyian kopang dan diarak sampai pengantin duduk di pelaminan. Upacara ini biasanya dimulai dengan pembacaan ayat-ayat suci al-Qur‘an. Berikut ini adalah ungkapan pada pembukaan resepsi perkawinan : 4. 6. e. Upacara Ucapan Alu-aluan dan Tahniah Upacara ini merupakan penyampaian rasa syukur kepada Allah SWT dan rasa terima kasih yang dilakukan pihak keluarga pengantin perempuan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam perhelatan acara perkawinan. Dalam ungkapan adat disebutkan: Tanda orang memegang agama Tahu mensyukuri nikmat Allah Tahu membalas budi manusia Ungkapan adat lain juga menyebutkan: Tanda orang memegang adat Tahu mengenang budi kaum kerabat Tahu mengingat jasa sahabat Tahu membalas kebaikan umat Sedangkan ucapan tahniah adalah sambutan penyampaian salam tahniah dari wakil jemputan kepada kedua pengantin juga kepada seluruh keluarganya, yang tentunya diiringi dengan doa dan harapan baik terhadap masa depan perkawinan mereka. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah ungkapan adat: Adat masuk ke helat jamu Menyampaikan doa memberi restu Di mana kurang bantu-membantu Memberi maaf ianya mau Hilang sengketa habislah seteru Rentang antara ucapan alu-aluan dan ucapan tahniah biasanya diselingi dengan adanya penyampaian nasehat perkawinan oleh seseorang yang telah ditunjuk. 4. 6. f. Upacara Pembacaan Doa Upacara pembacaan doa sudah umum dilakukan di berbagai adat perkawinan, termasuk dalam adat Melayu. Dengan dibacakannya doa diharapkan bahwa semua yang dihadir dalam majelis perkawinan, termasuk kedua pengantinnya, agar diberikan rahmat, karunia, dan keselamatan dalam mengarungi bahtera hidup ini. Dalam ungkapan adat disebutkan: Walau tinggi derajat dan pangkat pengantin, walau lanjut pendidikan, pernikahan adalah hidup baru, maka petuah dan doa tetua amatlah perlu. 340 Lampiran Elok kerja karena bersama Elok helat karena sepakat Elok manusia karena berdoa Kalau berdoa dengan sungguh Sengketa usai celaka menjauh Hati panas menjadi teduh Rahmat melimpah rezeki pun penuh 4. 6. g. Upacara Santap Nasi Hadap-hadapan Upacara ini bentuknya adalah makan bersama antara kedua pengantin dengan para tetua keluarga yang dilakukan di depan pelaminan. Pesan yang ingin disampaikan dalam kegiatan ini adalah kerukunan yang terbina antara pasangan pengantin dengan seluruh keluarga, saudara, dan sahabatnya. Makan Nasi Hadap-hadapan mencerminkan kerukunan pasangan suami istri dengan sanak keluarga, sahabat handai, serta saudara mara. 4. 6. h. Ucapan Tahniah Sebagai penutup dalam upacara hari langsung biasanya ditandai dengan ucapan tahniah (penyampaian ucapan selamat) dari seluruh yang hadir kepada kedua pasangan pengantin. Bedanya dengan ucapan tahniah sebelumnya, dalam kegiatan ini yang disampaikan adalah ucapan selamat yang langsung tertuju pada pasangan pengantin dengan cara bersalam-salaman. Tahniah, selamat, dan tuah dilimpahkan kepada sepasang pengantin oleh segenap jemputan. 5. Pasca-Upacara Perkawinan Setelah upacara perkawinan dilangsungkan, kemudian dilanjutkan dengan sejumlah kegiatan yang juga perlu dilakukan sebagai bagian dari seluruh adat perkawinan Melayu. Dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah acara malam keluarga dan upacara mandi damai sebagai acara paling akhir dari adat perkawinan Melayu. 5. 1. Malam Keluarga Setelah melakukan upacara hari langsung, kedua pengantin kemudian berkunjung ke rumah orang tua pengantin laki-laki untuk “menyembah” (menghormati) mereka termasuk bertemu dengan seluruh keluarganya. Sebelum melakukan upacara menyembah, perlu dilakukan perkenalan keluarga pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan jika hal itu dirasa perlu oleh karena letak kedua keluarga yang jauh. Dalam upacara menyembah, yang “disembah” bukan hanya kedua orang tua pengantin laki-laki tetapi juga bagian dari keluarga tersebut yang termasuk dihormati. Acara ini bisa dilakukan setelah selesainya seluruh rangkaian upacara pekawinan. Sebuah ungkapan adat menyebutkan: Mertua sama jua orang tua, maka sembah sujud pun diunjukkan pula. Adat menyembah ke orang tua Tanda hidup beradat lembaga Tanda menjunjung tuah dan marwah Tanda memuliakan yang tua-tua Tanda menyatu dalam keluarga Tanda berkekalan kasih sayangnya 5. 2. Upacara Mandi Damai Kegiatan yang pertama kali dilakukan dalam upacara ini adalah mandi damai atau mandi hias. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa kedua pengantin telah bersatu menjadi pasangan suami-istri yang sah. Untuk itulah, pihak keluarga menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada seluruh sahabat dan handai taulan yang telah menyukseskan terselenggaranya upacara pernikahan mereka. Dalam sebuah ungkapan adat disebutkan: 341 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Bila pengantin dah mandi damai Habislah bimbang ragu pun usai Niat terkabul pinta pun sampai Dunia akhirat rukun dan damai Pasangan pengantin dimandikan dengan air bunga dan tolak bala yang maknanya adalah sebagai perlambang terhadap pensucian niat mereka dalam menghadapi bahtera hidup berumah tangga dan agar mereka dapat terhindar dari segala malapetaka, hasrat dengki, dan sebagainya. Menjejakkan kaki di atas padi dan beras maknanya adalah sebagai perlambang harapan agar mereka dapat hidup makmur, aman, dan dikaruniai keturunan yang baik. Sedangkan berjalan meniti gelang cincin adalah sebagai perlambang agar mereka dapat sabar dalam menghadapi segala bahaya dan tantangan dalam hidup. Jika dua hati telah bersebati, ijab-kabul telah pula dilalui, maka tiada lagi penghalang memadu hati. Setelah melakukan kegiatan mandi damai, kemudian dilakukan kegiatan suruk-surukan. Dalam kegiatan ini, pengantin perempuan “disurukkan” di antara kumpulan ibu-ibu dan neneknenek secara terselubung. Pengantin laki-laki kemudian diminta untuk mencari mana istrinya di antara kumpulan-kumpulan tersebut. Upacara ini ditutup dengan jamuan santap siang bersama sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas terselengaranya upacara perkawinan dengan sukses. Di samping itu, upacara ini juga sebagai bentuk pernyataan rasa terima kasih terhadap seluruh keluarga dan masyarakat yang ikut menyukseskan acara ini. Kegiatan ini menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara perkawinan. 6. Penutup Secara umum, adat perkawinan melayu adalah sebagaimana telah dijelaskan dalam tahapan-tahapan di atas, mulai dari proses perkawinan, persiapan menuju hari perkawinan, upacara perkawinannya sendiri, hingga pasca upacaranya. Hanya saja, perbedaan adat perkawinan di berbagai daerah yang termasuk dalam geo-budaya Melayu adalah terletak pada perbedaan istilah, nama, dan dialeknya. Ada juga sejumlah daerah yang memiliki keunikan tersendiri dalam adat atau upacara perkawinan. Varian-varian inilah yang akan dibahas dalam bagian tersendiri. Wallahu A‘lam. Ungkapan Lengkap dalam Perkawinan Melayu (contoh): Ungkapan pada Upacara Akad Nikah (contoh): Assalamu‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Alhamdulillahi robbil ‘alamin, Wal akibatu lil muttaqin wash sholatu wassalamu ‘alaa asyrofil ambiya-i wal mursalin, sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa ash haa bihii rasulillahi ajma‘in; Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan majelis yang mulia Yang kecil tak disebut nama Yang besar tak dihimbau gelar Yang bertuah dengan marwahnya Yang berhormat dengan berkatnya Yang alim dengan amanahnya Yang tua dengan petuahnya Yang muda dengan takahnya 342 Lampiran Yang Datuk dengan kuasanya Ninik-mamak dengan adat pusakanya Yang bijak dengan arifnya Yang cerdik dengan pandainya Yang datang dari hulu dan hilir Yang jauh tundan bertundan Yang dekat sogo bergesa Yang terlingkup alam nan empat Yang tersungkup oleh adat Yang ternaung oleh lembaga Yang terlindung oleh ico dan pakaian Pertama-tama perkenankanlah saya menyampaikan ucapan tahniah serta setinggi-tinggi terima kasih dari keluarga besar Bapak DR. NAWAR DJAZULI Atas perkenan Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Yang telah datang meringankan langkah Memenuhi jemputan majelis ini Kedatangan Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Kami terima dengan muka yang jernih Kami sambut dengan hati yang suci Kami tunggu dengan dada yang lapang Namun, Bila di dalam menyambut kedatangan Pihak calon Pengantin Pria Dan keluarga besar Bapak DR. H. AHMAD NAJIB Serta Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Entah terdapat salah dan silih Entah tersalah adat dengan adab Entah tersalah tegak dan letak Yang patut tidak dipatutkan Yang tua lupa didahulukan Yang alim lupa dimuliakan Yang adat lupa diadatkan Yang dahulu terkemudiankan Lupa didahulukan selangkah Lupa ditinggikan seranting Maka dari itu Dari jauh kami menjunjung duli Kepada yang dekat diangkat sembah Memohon maaf beserta ampun Atas segala kesalahan dan kealpaan Maklumlah Seperti dibidalkan orang tua-tua 343 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Tak ada tebu yang tak beruas Tak ada kayu yang tak berbongkal Tak ada sungai yang tak bersampah Tak ada gading yang tak retak Tak ada manusia yang tak mengandung khilaf Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan Majelis yang mulia Kini berbalik kita ke pangkal kaji Karena yang ditunggu sudah datang Karena yang dinanti sudah tiba Cukup lengkap dengan adatnya Serta sepadan dengan lembaga Sebagaimana sama-sama kita ketahui Bahwa sebulan yang lalu Antara kedua belah pihak Sudah membuat kata putus Seperti kata orang tua-tua Kok tali sudah disimpul Kok takuk sudah ditanggam Kok simpai sudah dibaji Sudah tersusun bagai daun Sudah berdiri bagai tiang Di sana tuah orang berunding Di sana hikmah orang mufakat Maka atas kesepakatan kedua belah pihak tersebut Sekarang akan dilaksanakan Akad Nikah antara AWAN LAZUARDI, ST. MT. BIN DR. H. AHMAD NAJIB dengan INTAN BAIDURI PERMATASARI, SE. MM. BINTI DR. H. NAWAR DJAZULI Yang akan dipimpin langsung oleh Kepala KUA Kecamatan ......... Untuk itu marilah kita awali Dengan pembacaan ayat-ayat Suci Al-Quran Yang dibacakan oleh Qoriah Putri Aisyah ------Pembacaan Ayat-ayat Suci Al-Quran---------Akad Nikah---------Serah Terima Mahar----Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan Majelis yang mulia Orang tua-tua meninggalkan pesan Minta petuah kepada yang alim 344 Lampiran Minta akal kepada yang adil Karena, Orang berdaulat memberi tuah Orang alim mengungkung syarak Yang adat mengungkung hidup Yang lembaga mengungkung raga Orang cerdik penyambung lidah Yang berani pelapis dada Yang tua punca amanah Untuk itu marilah sama-sama Kita ikuti upacara menyembah Kembali ke Upacara Akad Nikah Ungkapan pada Upacara Tepuk Tepung Tawar (contoh) : Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan Majelis yang mulia, Banyak batang perkara batang Banyak putat dahannya pandak Banyak hutang perkara hutang Hutang adat dengan syarak Hutang syarak sudah selesai Sudah berlangsung akad dan nikah Sudah berjawab ijab dan kabul Sudah diturut sunnah nabi Semua yang tersurat di kitabullah Kini tinggal utang adat Adat disarung tidak berjahit Adat kelindan tidak bersimpul Adat berjarum tidak berbenang Adat yang tumbuh tidak bertanam Yang kembang tidak berkuntum Yang bertunas tidak berpucuk Adat yang datang kemudian Yang terbawa burung lalu Tapi, Hutang tak boleh dianjak-anjak Hutang tak boleh dialih-alih Bila dianjak dia layu Bila dialih dia mati Maka bagi kebahagiaan kedua Pengantin Kita segera melaksanakan upacara Tepuk Tepung Tawar 345 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Orang berlayar ke pulau Rupat Membawa kundur berkati-kati Tepung tawar memberi berkat Do‘a dan syukur kepada Illahi Bagi memulakan upacara ini kami persilahkan untuk menepungtawari: Bapak DR. H. NAWAR DJAZULI , ayah dari Ananda INTAN Bapak DR. H. AHMAD NAJIB, ayah dari Ananda AWAN Ibu HJ. LAYLA MUNAWARAH, ibu dari Ananda INTAN Ibu HJ. ZAENAB MAHMADAH ibu dari Ananda AWAN Nenek dari INTAN – pihak ayah Nenek dari INTAN – pihak ibu Nenek dari INTAN – pihak ayah Nakek dari INTAN – pihak ayah Nenek dariINTAN – pihak ayah Kakek dari AWAN – pihak ibu Nenek dari AWAN – pihak ibu Wakil dari keluarga .... Wakil dari keluarga ..... Wakil dari keluarga besar ...... Sebagai penutup kami persilahkan Bapak H. Taufik sekaligus dilanjutkan dengan memimpin pembacaan do‘a selamat. Tepung tawar sudah direnjis Sudah dibilas pula dengan do‘a Semoga berkekalan persaudaraan dua keluarga Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan Majelis yang mulia, Orang tua-tua meninggalkan pesan Minta petuah kepada yang alim Minta akal kepada yang adil Minta nasehat kepada yang berpengalaman Yang banyak memakan asam dan garam Yang sudah menempuh onak dan duri Yang sudah diterpa gelombang laut kehidupan Maka untuk memberikan nasehat ini Kami persilahkan kepada Bapak K.H. Syamsuni. Kembali ke Upacara Tepuk Tepung Tawar Ungkapan pada kalimat penutup Upacara Nasehat Perkawinan (contoh): Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan Majelis yang mulia, Ibarat berjalan sudah sampai ke batas Umpama berkayuh sampai ke pulau Bila unut sampai ke bakal Umpama sungai sampai ke guguk Ibarat memanjat sampai ke puncak 346 Lampiran Ke atas tercium harum langit Ke bawah tampak kerak bumi Yang ruas sampai ke buku Ibarat kaji sudah berkhatam Dengan demikian selesai sudah upacara ini Perkenankanlah saya menyampaikan ucapan Terima kasih atas kesabaran hadirin Mengikuti senarai acara majelis ini Dan sekaligus memohon ma‘af dan ampun Entah kami tersalah tingkah Entah kami tersalah kata Entah kami tersalah langkah Selama kami memandu acara ini Sekali lagi mohon diberi maaf Wabillahi taufiq wal hidayah Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Kembali ke Upacara Nasehat Perkawinan. Ungkapan pada pembukaan Resepsi Perkawinan (contoh) : Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Wal akibatu lil muttaqin wash sholatu wassalamu ‘alaa asyrofil ambiya-i wal mursalin, sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa ash haa bihii rasulillahi ajma‘in; Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan majelis yang mulia Marilah kita mulai acara resepsi pernikahan ini dengan mendengarkan lantunan ayat-ayat suci AlQuran yang dibacakan oleh Qoriah Rosmani -----Pembacaan Ayat-ayat Suci Al Quran----Demikianlah tadi pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran yang te­lah kita simak dengan penuh khidmat. Semoga Kita semua men­da­pat limpahan rahmat dari Allah SWT. Amin ya robbal alamin. Selanjutnya kita beranjak ke acara berikutnya, yaitu sepatah kata pengganti sekapur sirih dari ahli bait Keluarga DR. H. NAWAR DJAZULI dan Keluarga DR. H. AHMAD NAJIB. Dalam hal ini ahli bait akan diwakili oleh Bp. H. MUHAMMAD ASAD. Kepada Bp. H. MUHAMMAD ASAD kami persilahkan. -----Sekapur Sirih dari Ahli Bait----Kembali ke Upacara Resepsi Perkawinan Ungkapan pada upacara alu-aluan (contoh) : Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Alhamdulillahi robbil ‘alamin, Wal akibatu lil muttaqin wash sholatu wassalamu ‘alaa asyrofil ambiya-i 347 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya wal mursalin, sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa ash haa bihii rasulillahi ajma‘in; Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan majelis yang mulia Yang kecil tak disebut nama Yang besar tak dihimbau gelar Yang bertuah dengan marwahnya Yang berhormat dengan berkatnya Yang alim dengan amanahnya Yang tua dengan petuahnya Yang muda dengan takahnya Yang Datuk dengan kuasanya Ninik-mamak dengan adat pusakanya Yang bijak dengan arifnya Yang cerdik dengan pandainya Yang datang dari hulu dan hilir Yang jauh tundan bertundan Yang dekat sogo bergesa Yang terlingkup alam nan empat Yang tersungkup oleh adat Yang ternaung oleh lembaga Yang terlindung oleh ico dan pakaian Pertama-tama perkenankanlah saya Menyampaikan ucapan tahniah serta setinggi-tinggi terima kasih dari keluarga besar Bapak DR. NAWAR DJAZULI dan keluarga besar Bapak DR. AHMAD NAJIB serta KEDUA PENGANTIN Ananda INTAN BAIDURI PERMATASARI, SE. MM. dan Ananda AWAN LAZUARDI, ST. MT. Atas perkenan Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Yang telah datang meringankan langkah Memenuhi jemputan majelis ini Kedatangan Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Kami terima dengan muka yang jernih Kami sambut dengan hati yang suci Kami tunggu dengan dada yang lapang Namun, Bila di dalam menyambut kedatangan Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Entah terdapat salah dan silih Entah tersalah adat dengan adab 348 Lampiran Entah tersalah tegak dan letak Yang patut tidak dipatutkan Yang tua lupa didahulukan Yang alim lupa dimuliakan Yang adat lupa diadatkan Yang dahulu terkemudiankan Lupa didahulukan selangkah Lupa ditinggikan seranting Maka dari itu Dari jauh kami menjunjung duli Kepada yang dekat diangkat sembah Memohon maaf beserta ampun Atas segala kesalahan dan kealpaan Maklumlah Seperti dibidalkan orang tua-tua Tak ada tebu yang tak beruas Tak ada kayu yang tak berbongkal Tak ada sungai yang tak bersampah Tak ada gading yang tak retak Tak ada manusia yang tak mengandung khilaf Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan Majelis yang mulia Kini berbalik kita ke pangkal kaji Karena yang ditunggu sudah datang Karena yang dinanti sudah tiba Cukup lengkap dengan adatnya Serta sepadan dengan lembaga Sebagaimana sama-sama kita ketahui Seperti kata orang tua-tua Kok tali sudah disimpul Kok takuk sudah ditanggam Kok simpai sudah dibaji Sudah tersusun bagai daun Sudah berdiri bagai tiang Di sana tuah orang berunding Di sana hikmah orang mufakat Atas kesepakatan kedua belah pihak tersebut Maka, tadi pa-gi, bertempat di rumah kediaman pengantin perempuan, telah di­laksanakan Akad Nikah. antara Ananda AWAN LAZUARDI, ST. MT. BIN DR. H. AHMAD NAJIB dengan Ananda INTAN BAIDURI PERMATASARI, SE. MM. BINTI DR. H. NAWAR DJAZULI Yang diijabkan langsung oleh Bapak DR. H. NAWAR DJAZULI Sekarang kedua pengantin sudah sah dan resmi sebagai suami dan istri 349 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Sudah membentuk sebuah rumah tangga yang baru Sudah terbeban hak dan tanggung jawab Resepsi malam ini diadakan dalam rangka mera‘ikan pernikah­an tersebut sekaligus mohon do‘a restu dari anggota majelis un­tuk kedua mempelai. Semoga Allah SWT memberikan keber­kah­­an, kebahagiaan berupa anak keturunan yang soleh dan taat ke­­­pa­da Allah SWT, yang akan berbakti kepada kedua orang tua­nya, bangsa dan negaranya. Amin ya robbal alamin. Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan Majelis yang mulia, Ibarat berjalan sudah sampai ke batas Umpama berkayuh sampai ke pulau Bila unut sampai ke bakal Umpama sungai sampai ke guguk Ibarat memanjat sampai ke puncak Ke atas tercium harum langit Ke bawah tampak kerak bumi Yang ruas sampai ke buku Ibarat kaji sudah berkhatam Dengan demikian selesai sudah ungkapan kami Pengganti tepak sekapur sirih Perkenankanlah kami menyampaikan ucapan Terima kasih atas kesabaran hadirin Mengikuti senarai acara majelis ini Dan sekaligus memohon ma‘af dan ampun Entah kami tersalah tingkah Entah kami tersalah kata Entah kami tersalah langkah Sekali lagi mohon diberi maaf Wabillahi taufiq wal hidayah Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan Majelis yang mulia Orang tua-tua meninggalkan pesan Minta petuah kepada yang alim Minta akal kepada yang adil Minta nasehat kepada yang berpengalaman Yang banyak memakan asam dan garam Yang sudah menempuh onak dan duri Yang sudah diterpa gelombang laut kehidupan Maka untuk memberikan nasehat pernikahan ini Kami persilahkan kepada Bapak K. H. Syamsuni -----Nasehat Pernikahan Sekaligus Sambutan Tamu Jemputan (Ucapan Tahniah)----Kembali ke Upacara Alu-aluan 350 Lampiran Ungkapan pada Pembacaan Doa (contoh): Hendaknya nasehat pernikahan ini bukan saja tertuju dan men­­­jadi perhatian bagi kedua pengantin yang baru ini, akan tetapi bisa juga tertuju dan akan menjadi lebih baik bila menjadi perhatian dan peringatan bagi pengantin yang sudah lama dan kita semua. Se­moga Allah memberkahi kita semua. Amin. Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan Majelis yang mulia Untuk menyempurnakan acara resepsi ini, marilah kita berserah diri kepada Allah SWT sambil memohonkan do‘a semoga kita semua selalu mendapatkan rahmat dan hidayah dan kesela-matan di dunia dan akhirat. Do‘a akan dipimpin oleh Bapak K.H. UMAR ABDUH. -----Pembacaan Do‘a Penutup----Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan Majelis yang mulia Ibarat berjalan sudah sampai ke batas Umpama berkayuh sampai ke pulau Dengan demikian selesai sudah acara ini Perkenankanlah kami menyampaikan ucapan Terima kasih atas kesabaran hadirin Mengikuti senarai acara majelis ini Dan sekaligus memohon ma‘af dan ampun Entah kami tersalah tingkah Entah kami tersalah kata Entah kami tersalah langkah Sekali lagi mohon diberi maaf Sebelum kami tutup, kami menjemput Bapak-bapak/Ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan kiranya berkenan bersantap malam bersama atas hidangan yang telah kami sediakan. Namun sebelum menuju ke meja hidangan, kami persilahkan memberikan ucapan selamat bersalaman dengan kedua pengantin. Ucapan selamat didahului dengan berfoto bersama kami mohonkan dengan hormat berturut-turut: - Yang terhormat: Bapak Gubernur beserta Ibu (misalnya) - Yang terhormat: Bapak Wakil Gubernur beserta Ibu (misalnya) - Yang terhormat: Bapak Sekda beserta Ibu (misalnya) - Yang terhormat: Ketua Adat Melayu beserta Datin (misalnya) - Yang terhormat: Ketua DPRD beserta Ibu (misalnya) - Yang terhormat: Bapak Rektor Universitas Hang Tuah beserta Ibu Kemudian, diikuti oleh hadirin jemputan majelis yang mulia. Wabillahi taufiq wal hidayah, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Kembali ke Upacara Pembacaan Doa (HS/bdy/13/9-07) Happy Susanto, MA., adalah redaktur Budaya dan Litbang MelayuOnline.com. Mahyudin Al Mudra, SH. MM., adalah pendiri dan pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BPKBM), serta pemimpin umum (PU) MelayuOnline.com. 351 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya TRADISI PERNIKAHAN ADAT MELAYU KEPULAUAN RIAU Ari Ansera (http://arigentser29serasan.blogspot.com/2013/11/tradisi-pernikahan-adat-melayu.html) A. Adat Pernikahan Dalam adat melayu kepulauan riau banyak cara atau upacara yang di lakukan sebelum seseorang menikah.hal ini di lakukan sampai sekarang yang bertujuan menjaga budaya warisan agar tidak hilang di makan zaman yang semakin modern ini. Secara umum, tradisi perkawinan masyarakat Melayu Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia terbagi dalam beberapa tahapan, antara lain; (1) Menjodoh, Merisik, (2) Memberitahu/Menyampaikan Hajat, (3) Meminang, (4) Berjanji Waktu, (5) Mengantar Belanja, (6) Ajak Mengajak, (7) Beganjal, (8) Betangas, (9) Gantung-gantung, (10) Berandam, (11) Berinai Kecil, (12) Serah Terima Hantaran, (13) Akad Nikah, (14) Berinai Besar, (15) Tepuk Tepung Tawar, (16) Berarak, dan (17) Bersanding (Ishak Thaib, 2009). 1) Menjodoh Menjodoh adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua untuk mencari dan mencocokkan calon suami/istri untuk anaknya. Mencari jodoh merupakan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya dan oleh sebab itulah pekerjaan ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan sangat rahasia, yang diawali dengan niat dan penglihatan. Penglihatan ini tidak hanya dengan mata kasar akan tetapi juga dengan mata hati. Umumnya yang menjadi penilaian di dalam kegiatan mencari jodoh adalah tentang kepercayaan. Calon pasangan anak harus se-iman, ya sudah tentu Islam, garis keturunannya, pekerjaannya, tingkah laku dan perangainya, dan terkhir adalah tentang status. Dalam proses menjodoh ini sering sekali orang tua yang langsung mencari, namun ada beberapa juga yang memercayakannya pada orang lain yang dipercaya. Biasanya orang ini disebut dengan tali barut atau mak comblang. Orang tua zaman dulu memang memiliki kemampuan untuk melihat sifat dan prilaku seseorang dari berbagai media; telaah nama, tanggal kelahiran, tanda badan, dan lain-lain yang sifatnya abstrak. Proses ini merupakan langkah awal untuk menentukan apakah nantinya pasangan yang dipilih cocok atau tidak dengan anaknya. Seiring perkembangan zaman, masyarakat Melayu Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia secara umum sudah tidak lagi melakukan proses menjodoh ini. Orang tua secara utuh memberikan kepercayaan kepada anaknya untuk memilih jodohnya sendiri. Dan peranan orang tua zaman sekarang hanya me-monitor pilihan anaknya jangan sampai salah. 2) Merisik Merisik atau menyelidiki adalah pekerjaan yang sering dilakukan oleh perempuan separuh baya. Perempuan ini ditugaskan untuk pergi melihat dari dekat keadaan sesungguhnya dari dekat perihal sigadis yang akan dipersunting. Orang yang ditunjuk menjadi perisik haruslah sopan, ramah dan amanah. Ahli dalam bertutur kata yang bermakna tersirat atau berupa bahasa kias. Biasanya orang tersebut berasal dari keluarga atau kerabat terdekat yang mempunyai hubungan keakraban yang kuat dengan orang tua si gadis. Perisik melaksanakan tugasnya dengan cara bertamu, atau ada juga yang sambil mencari kutu. Sering sekali hal ini dilakukan dengan bersenda gurau. Jika seluk beluk si gadis baik yang menyangkut sifat dan prilaku maupun yang menyangkut ibadah telah diketahui secara pasti, barulah hasilnya disampaikan kepada orang tua yang mengutus. Jika masih ada yang diragukan, biasanya perisik akan berkunjung lagi dengan alasan yang berbeda, agar tidak dietahui oleh pihak perempuan maksud dan tujuan yang sebenarnya. Pada hakekatnya merisik bertujuan untuk mendapatkan informasi lebih teliti, penuh kearifan dan bijaksana tentang calon yang dirisik atau yang diinginkan. 352 Lampiran 3) Memberitahu/ Menyampaikan hajat Setelah proses merisik terlaksana dengan baik, lalu diutuslah keluarga atau orang tua yang “dituakan” sebagai wakil pihak laki-laki untuk memberitahu orang tua si gadis bahwa akan ada utusan pihak lelaki untuk menyampaikan hajat meminang. Pada saat ini terjadi perundingan kedua belah pihak untuk menentukan waktu yang tepat untuk meminang. Pemberitahuan ini merupakan etika adat Melayu yang berguna agar pihak perempuan dapat memberitahu sanak keluarga atau kerabatnya untuk hadir dalam acara tersebut dan atau dengan kata lain agar pihak perempuan “punya” persiapan untuk menerima tamu yang akan datang. Secara umum tujuan memberitahu ini adalah meluahkan apa yang tersirat di hati untuk disampaikan kepada pihak perempuan. 4) Meminang Sebelum proses meminang dilaksanakan, terlebih dahulu perlu mempersiapkan se-tepak sirih lengkap, masing-masing kelengkapan yang diletakkan di dalam tepak sirih juga mengandung lambang tertentu. Adapun isi dari tepak sirih dan perlambangan tersebut : a. Buah pinang Sebutir pinang yang telah diupas kulitnya dan diraci. Tidak boleh dibelah dua (utuh). Dalam adat Melayu Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia, buah pinang melambangkan keikhlasan dan ketulusan hati seseorang. Lurusnya hati seumpama mempulur pinang. Buah tersebut diletakkan di dalam cembul, yaitu tempat di dalam tepak sirih. b. Kapur sirih Kapur sirih berwarna putih melambangkan kebersihan dan kesucian hati. Kapur ini juga diletakkan di dalam cembul. c. Gambir Melambangkan keberkatan dan obat penawar. Gambir juga diletakkan di dalam cembul. d. Tembakau Tembakau diletakkan di dalam cembul, gunanya untuk menyugi gigi sesudah memakan sirih. Tembakau melambangkan kebersihan jasmani. e. Daun sirih Daun sirih melambangkan kebesaran, persaudaraan, dan persatuan. Hal tersebut disebabkan sifat dari sirih yang mudah tumbuh dan memiliki khasiat untuk mengobati beragam penyakit. Daun sirih dari pihak laki-laki disusun dalam posisi telungkup dalam jumlah ganjil. Daun sirih telungkup bermakna rendah hati dan berserah diri. Lain halnya sirih dari pihak perempuan yang disusun telentang. Hal ini melambangkan penerimaan dan penyerahan diri. Daun sirih yang bertemu ujung bermakna tercapainya kesepakatan di kedua belah pihak. f. Kacip Merupakan alat pembelah atau peracik buah pinang. Terbuat dari besi. Selain untuk meracik juga digunakan untuk mengupas kulit pinang. Kacip melambangkan se-iya se-kata, kemufakatan bersama dalam keputusan yang baik. Semua peralatan di atas disusun di dalam cembul tepak. Penyusunan dimulai dari cembul kapur, cembul pinang, cembul gambir, cembul tembakau, dan kacip di sebelahnya serta daun sirih. Secara keseluruhan tepak sirih melambangkan persaudaraan, keterbukaan, persatuan, dan kesatuan dalam keutuhan saling melengkapi. Persiapan selanjutnya, pihak laki-laki menunjuk orang yang di-tuakan dan sangat paham dalam hal pinang meminang. Biasanya orang tersebut juga memiliki pengaruh dalam masyarakat, seperti; tok lebai, tok haji, tokoh adat, pemantun, dan pak imam. Sebelum berangkat meminang, di rumah pihak laki-laki diadakan pembacaan doa selamat dan hidangan. Perundingan dalam acara pinang meminang ini selalu dibuka dengan bait-bait pantun. Disebabkan perubahan zaman, sekarang ini acara meminang disejalankan dengan membawa tanda jadi (tanda pinangan). Hal ini dikarenakan kedua calon pengantin sudah saling suka atau saling kenal (berpacaran). Berbanding terbalik jika dibandingkan dengan zaman dahulu, anak gadis 353 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya dilarang keluar rumah, apalagi berpacaran. Hal tersebut sudah barang tentu menyebabkan laki-laki dan perempuan yang akan menikah tidak saling kenal. Begitu juga dengan halnya mengantar tanda (bertunangan). Di zaman dahulu, acara ini tidak banyak diketahui orang, karena sifatnya sangat rahasia dan tertutup. Acara mengantar tanda dahulunya tidaklah merupakan suatu adat, ini disebabkan antara kedua belah pihak tidak lama bertangguh tempo, sehingga tidaklah perlu acara mengantar tanda dilaksanakan. Tidak halnya dengan zaman sekarang, acara mengantar tanda telah menjadi satu kebiasaan dalam masyarakat Melayu Tanjungpinang. Hal ini disebabkan di antara kedua belah pihak berjanji untuk melangsungkan pernikahan dalam waktu yang lama, untuk itu perlu diberikan cincin sebagai tanda (tunangan). Sewaktu mengantar tanda dibuat juga perjanjian antara kedua belah pihak, perjanjian terbut berbunyi: “... Jika pihak laki-laki mengingkar janji, maka tanda yang telah diberikan menjadi milik perempuan, atau dengan istilah lain “hangus”. Namun, jika pihak perempuan yang mengingkar janji, maka harus mengganti dua kali lipat dari tanda yang diberikan...” 5) Berjanji Waktu Setelah pinangan diterima maka kedua belah pihak berunding untuk menentukan hari pelaksanaan pernikahan yang tepat (hari baik, bulan baik). Waktu yang lazim digunakan untuk melaksanakan pernikahan tersebut adalah pada bulan Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadi Akhir, Sa’ban, dan Zulhijah. Bulan yang jarang diambil untuk pelaksanaan pernikahan adalah bulan Syafar dan Zulkaedah atau disebut juga dengan nama bulan Apit, pada umumnya ada kepercayaan dalam masyarakat, pada bulan apit ini banyak mendatangkan mudaharat. Dalam memilih hari, yang dianggap hari baik adalah hari senin, kamis, jum’at, sabtu, dan minggu. Sedangkan hari selasa dan rabu dianggap juga mendatangkan mudharat. Maksud dan tujuan diadakan berjanji waktu ini adalah untuk mencari hari baik dan bulan baik agar pasangan yang menikah nanti mendapatkan hal yang baik-baik dan terhindar dari kemudharatan. 6) Mengantar Belanja Mengantar tanda bermaksud menunjukkan rasa tanggung jawab dari pihak laki-laki untuk mempersunting gadis idamannya. Pada hakekatnya mengantar belanja mencerminkan rasa senasib sepenanggungan, se-aib se-malu, yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing. Dalam ungkapan Melayu disebutkan: Adat orang mengantar belanja Tanda beban sama dipikul Tanda hutang sama dibayar Tanda adat sama diisi Tanda lembaga sama dituang Antar belanja bukan bersifat jual beli atau menghitung untung rugi, tetapi sepenuhnya mengacu pada nilai kekeluargaan dan kekerabatan, seperti dalam ungkapan sebagai berikut; Yang lebih tambah menambah Yang kurang isi mengisi Yang berat sama dipikul Yang ringan sama dijinjing Yang pahit sama dirasa Yang manis sama dicecah Adat Melayu melarang serta memantangkan tawar menawar dalam menentukan besar kecilnya hantaran. Dalam memberikan hantaran terbagi atas dua cara, yaitu ; (i) Hantaran tidak sama naik, dan (ii) Hantaran sama naik. Hantaran tidak sama naik maksudnya, uang hantaran (uang hangus) dihantarkan jauh-jauh hari sebelum acara pernikahan dilaksanakan. Sedangkan uang hantaran sama naik bermaksud, uang hantaran diberikan pihak laki-laki sewaktu pelaksanaan pernikahan. Jumlah uang hantaran tidak 354 Lampiran menjadi konsumsi umum, yang mengetahui besaran uang hantaran yang diberikan hanya keluarga dan kerabat dekat pengantin saja. 7) Ajak Mengajak Prosesi ini dilakukan untuk meminta pertolongan kerabat, sekaligus memberi kabar baik pada sanak saudara, kaum kerabat, dan tetangga terdekat yang secara khusus diminta datang untuk menolong mempersiapkan acara. Prosesi ini dilakukan sekurang-kurangnya tiga hari sebelum acara gantung-gantung. Maksud dan tujuan mengajak adalah untuk membantu bergotong royong membuat bangsal, tempat berkhatam – berzanzi, mencari kayu api, dan segala hal yang perlu disiapkan. 8) Beganjal Sama istilah dengan gotong royong. Pekerjaan yang digotongrotongkan antara lain; mengambil kayu untuk membangun bangsal (rumah perlengkapan dan masak); meminjam barang pecah belah; mengupas kelapa, dan lain-lain. Dengan perkembangan zaman, adat beganjal ini sudah jarang ditemukan. Apatah lagi pelaksnaan pernikahan tidak dilaksanakan di rumah, dan tuan rumah tidak juga masak melainkan menyewa jasa tukang masak (catering). 9) Betanggas Manfaat bertanggas adalah untuk mengeluarkan serta menghilangkan bau keringat serta untuk mengharumkan dan menyegarkan badan calon pengantin perempuan. Peralatan dan bahanbahan yang diperlukan; (a) satu buah bangku, (b) tepak bara lengkap, (c) setanggi, serai wangi, kayu cendana, gaharu, (d) air panas, dan (e) tikar. Cara bertanggas dimulai dengan mendudukkan calon pengantin (perempuan) di atas bangku, pengantin duduk tanpa baju. Dibawah bangku diletakkan tepak bara dan ramuan, kemudian calon pengantin ditutup dengan kain sebatas leher. Mengenai lamanya calon pengantin berada di dalam kain tersebut, tidak ditentukan secara pasti. Setelah bertanggas selesai, dilanjutkan dengan belangi. Bahan-bahan untuk belangi, antara lain; (a) beras kunyit, (b) daun kemuning, (c) bedak sejuk, dan (d) air limau purut. Pengantin zaman sekarang lebih senang menempuh jalur praktis untuk bertanggas dan belangi ini. Mereka lebih suka ke Salon karena dianggap lebih praktis, efektif, dan efisien. 10) Gantung-gantung Mengagantung adalah prosesi serangkaian acara penggantungan. Yang digantung terlebih dahulu adalah tabir. Prosesi penggantunga diawali dengan doa selamat, agar apa yang dilakukan mendapat ridha dari Allah. Kemudian dilanjutkan dengan pekerjaan yang lain, seperti perakne, dan pelaminan. 11) Berandam Berandam pada hakikatnya adalah membersihkan lahiriah untuk menuju kebersihan batiniah. Berandam dilakukan oleh tukang andam. Di Tanjungpinang tukang andam tidak hanya dari kaum perempuan, namun ada juga tukang andam laki-laki. Orang-orang yang menjadi tukang andam umumnya mempunyai kepandaian yang dipusakai secara turun temurun, atau bisa juga dari menuntut dengan tukang andam terdahulu. Ungkapan adat dalam berandam: Adat berandam disebut orang Membuang segala yang kotor Membuang segala yang buruk Membuang segala yang sial Membuang segala pemali Membuang segala pembenci Agar seri naik ke muka 355 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Agar tuah naik ke kepala Agar cahaya melekat di dada. Peralatan dan bahan-bahan yang digunakan untuk berandam, serta perlambang yang terkandung di dalamnya : 1. tempat duduk calon pengantin, pondasi kehidupan 2. kain songket atau sejenisnya, menghimpun yang berserak dan menampung sega-la permasalahan yang lalu, sekarang, dan masa depan. 3. kain putih, ketulusan, kesucian, dan kebersihan hati. 4. lilin berkaki, penerang hati 5. pisau lipat, gunting, dan sikat, pembersih jasmani maupun rohani 6. benang tukal, mempererat silaturahmi 7. beras kunyit, beretih padi dan beras basuh, tepuk tepung tawar, pemberkah hidup. 8. kelapa yang dibuang kulit, kesuburan dan cita-cita 9. padi, rezeki 10. talam tembaga yang berkaki, keutuhan rumah tangga 11. seperangkat alat belangi, penegap semangat hidup. 12. tepak bara, rasa cinta sesama. 13. air limau purut, pembuang kotoran hati 14. penepuk tepung tawar, ucapan tahniah. Pelaksanaan berandam dimulai dengan mendudukkan calon pengantin pada alas tempat duduk yang dibuat dari kain songket atau sejenisnya yang dilipat sebesar ukuran pengantin bersila. Calon pengantin perempuan memakai kain sarung pelekat atau sejenisnya serta tidak memakai baju (berkemban). Selanjutnya barulah tepak bara dihidupkan, lilin dinyalakan dan semua peralatan berandam diletakkan di hadapan calon pengantin yang akan diandam. Untuk langkah awalnya mak andam memulaikannya dengan menabur beras kunyit, di pakai kain putih, di tepuk tepung tawar untuk 3 orang ( keluarga terdekat membaca doa selamat ). Leher dikalungkan dengan benang tukal, yang dilanjutkan dengan mencukur rambut/bulu diatas kening (dahi).kedua pelipis dan bulu roma , mulai dari wajah , tangan hingga kaki ( bulu di daerah sendisendi ) setelah itu keseluruhan badan yang di anggap perlu. Kemudian dilanjutkan dengan memperelok alis mata , kumis dan ada juga yang sampai mengasah atau membersihkan gigi calon pengantin. Apabila telah selesai pelaksanaannya, kain pengalas tempat duduk, bulu dan roma yang jatuh dikumpul dan dibungkus serta diserahkan kepada masing-masing pihak calon pengantin. Setelah itu barulah calon pengantin didudukan di kursi dan mak andam pun mulailah melakukan meremas rambut dengan air limau purut dan berlangi. Hal ini berujuan agar kotoran di seluruh badan menjadi bersih dan badan berbau harum. Setelah beberapa menit kemudian lalu dibilas dengan air bersih dan diteruskan dengan mandi biasa. Setelah kegiatan itu calon pengantin dipakaikan baju kurung lengkap seperti sebelum berandam. Kebiasaan yang tidak pernah dilupakan mak andam sewaktu akan mulai pencukuran/menggunting rambut ialah membaca mantra/jampi-jampi. Setiap mak andam memunyai mantra/jampinya masing-masing. Diantara jampi-jampi tersebut ada yang bunyinya sebagai berikut : Bismillahirahmanirrahim Limau manis limau setawa Bedak langir pembuang sial Aku mencukur kaki rambut si dare Bertambah cantek sri naek muke Ku semangat , .... Cantik mulai hendak dipakai Cantik molek dipandang mate Berkat aku yang memakaikan sri muke, kasihlah orang melihatnye 356 Lampiran Berkat doa laillahaillallah...“ Kalau calon pengantin perempuan lagi berhalangan, rambut yang dicukur dikumpulkan dulu, kemudian harus dimandikan bersama-sama di saat calon pengantin mandi hadas besar. 12) Berinai Kecil Berinai kecil disebut juga dengan curi inai. Berinai kecil maksudnya adalah menginai calon pengantin laki-laki dan perempuan sebelum waktu diinaikan. Sedangkan waktu berinai yang sebenarnya adalah setelah acara tepuk tepung tawar dilaksanakan. Oleh karena itu hal semacam ini disebut dengan curi inai atau inai curi ( inai sendi ). Biasanya pelaksanaan berinai kecil dilakukan sehari sebelum prosesi akad nikah. Pelaksanaannya dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang saudara mara calon pengantin baik laki-laki maupun perempuan. Maksud berinai kecil ( inai curi atau inai sendi ) adalah sebagai pertanda bahwa calon penganti telah siap memasuki gerbang pernikahan dan karena itulah yang diinai hanya pada ujung jari jemari saja dan tidak sampai pada telapak tangan dan telapak kaki. Inai yang akan digunakan calon pengantin laki-laki diantar dari rumah calon pengantin perempuan, biasanya diambil sedikit saja karena inai tersebut akan dipersiapkan pada acara berinai besar. 13) Serah Terima Hantaran Serah terima hantaran adalah penyerahan mahar mas kawin dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang kemudian dilanjutkan dengan acara ijab kabul atau akad nikah. Ijab kabul merupakan acara yang paling dinantikan dan merupakan acara puncak dari segala prosesi pernikahan. Acara ini terkesan sakral. Dalam ungkapan adat Melayu dikatakan : Seutama-utama upacara pernikahan ialah ijab kabulnya Di situlah ijab disampaikan D isitulah kabul dilahirkan D isitulahsyara ditegakkan Di situlah adat didirikan Di situlah janji dibubul Di situlah simpul dimatikan Tanda sah bersuami istri Tanda halal hidup serumah Tanda bersatu tali darah Tanda terwujud sunnah nabi Alat yang disediakan untuk melangsungkan aakd nikah antara lain: * Tepak sirih * Sirih nikah yang diletakkan dalam senjong besar * Sirih puan yang diletakkan dalam senjong kecil * Tikar niah * Lilin berkaki * Tempat bara / cungap dari kuningan * Bunga rampai dalam dulang perak / tembaga Sebelum mempelai laki-laki menuju ke rumah mempelai perempuan terlebih dahulu diadakan doa selamat dengan maksud agar seluruh prosesi yang akan dijalani mendapat kemudahan. Selesai membaca doa, dilanjutkan dengan menyantap hidangan se-adanya, langsung masuk dalam proses perjalanan menuju ke rumah mempelai perempuan dengan melalui tahapan: (1) Utusan pihak perempuan mengantar seperangkat pakaian untuk menikah, biasanya baju kurung degan songkok berhias. Sedangkan alas kaki memakai sendal capal. Pihak perempuan memakai baju kurung dan tudung manto. Sebelum mengenakan baju, mempelai wajib mengambil wudhu. 357 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya (2) Sebelum pengantin turun dari rumah terlebih dahulu dibacakan doa selamat. (3) Calon pengantin bersalam dengan orang tua dan beberapa kerabat keluarga yang hadir. (4) Calon pengantin turun dari rumah, diawali dengan pembacaan salawat nabi sebanyak tiga kali. (5) Mak inang menaburkan beras kunyit bercampur uang logam. (6) Susun urut barisan pengiring pengantin laki-laki: a. Barisan depan terdiri dari beberapa orang perempuan atau barisan ini disebut juga barisan pengiring. b. Barisan pembawa hantaran i. Pembawa tepak sirih ii. Pembawa mas kawin iii. Pembawa bunga rampai iv. Dikuti pembawa pengiring tambahan (kue, buah, alat sholat, kosmetik, dll) c. Mempelai laki-laki yang diapit oleh gading kiri dan gading kanan (pengapit). d. Rombongan pengiring laki-laki (7) Sampai di halaman rumah mempelai perempuan, mak inang kembali menaburkan beras kunyit bercampur uang logam (8) Rombongan dipersilahkan masuk, dan pengantin laki-laki dipersilakan duduk. Pada saat pengantin duduk, tidak boleh “terduduk” dan tikar alas nikah tidak boleh terlipat. (9) Acara serah terima hantaran dimulai dengan penyerahan tepak sirih dilanjutkan dengan seluruh hantaran yang dibawa. (10) Barang hantaran yang telah diterima dibawa masuk ke dalam kamar pengantin. (11) Sebelum akad nikah dimulai, tok kadi mencari dua orang saksi, satu orang merupakan saksi wakil pihak perempuan, satu orang lagi merupakan saksi wakil dari pihak laki-laki. (12) Melangsungkan Akad nikah 14) Akad nikah Dalam prosesi ini terbagi menjadi dua jenis tahapan, yaitu (1) Tahapan satu kali pengantin naik ke rumah pengantin perempuan, dan (2) tahapan pengantin laki-laki naik dua kali ke rumah pengantin perempuan. Ø tahapan satu kali pengantin laki-laki naik ke rumah perempuan * khatam Al-Quran, * Serah terima hantaran dan mahar, * Akad nikah, * Tepuk tepung tawar dan Berinai besar, dan * Bersanding dan bersatu. Maksud dari pengantin laki-laki naik satu kali ke rumah perempuan adalah apabila selesai tahapan mulai dari khatam al quran hingga tepuk tepung tawar, pengantin laki-laki tidak dibawa pulang akan tetapi langsung disandingkan dan bersatu. Jika yang mempunyai hajat cara seperti tersebut di atas, maka malam berinai kecil dijadikan malam berinai penuh, dan acara menghadang pintu dengan tali lawe juga tidak ada. Biasanya tahap satu kali pengantin laki-laki naik ke rumah perempuan ini diadakan karena rumah pengantin laki-laki sangat jauh, sehingga tidak memungkinkan untuk kembali ke rumah. Ø tahapan dua kali pengantin laki-laki naik ke rumah perempuan * penyerahan hantaran dan mahar, * ijab kabul akad nikah, * tepuk tepung tawar dan berinai besar, * khatam al Quran, dan * bersanding dan bersatu. Tahapan ini berbeda dengan tahapan yang sudah dipaparkan di atas. Pada tahapan ini setelah pengantin di tepuk tepung tawari, pengantin laki-laki dibawa pulang ke rumah terlebih dahulu. Setelah pengantin laki-laki kembali kerumah, pihak perempuan mengadakan acara khtaman dan juga diselingi dengan berzanzi atau hadrah. setelah itu barulah pengantin laki-laki datang kembali, acara dilanjutkan dengan bersanding dan tepuk tepung tawar. Pada masa 358 Lampiran pengantin laki-laki kembali untuk yang kedua kalinya inilah terdapat acara menghaddang pintu dan buka kipas. 15) Berinai Besar dan Tepuk Tepung Tawar Berinai besar adalah upacara berinai yang dilakukan diatas peterakne. Tahap pelaksanaan berinai besar dan tepuk tepung tawar dimulai dengan mempelai laki laki didudukkan diatas peterakne yang dipandu oleh mak inang. Caranya yaitu pengantin laki laki duduk pada posisi bersila, di atas paha mempelai laki laki diletakkan bantal susu ari sebagai pengalas tangan dengan posisi tangan telungkup. Barulah pelaksanaannya dimulai, yang didahulukan adalah unsur keluarga, tokoh agama dan adat sebanyak 3-7 orang ( jumlah ganjil ) dan begitu juga untuk mempelai perempuan. Setelah selesai mempelai laki laki barulah mempelai perempuan didudukan di atas peterakne dengan posisi duduk bersimpuh dan bantal susu ari diletakkan di atas pahanya, telapak tangan ditelentangkan diatas bantal susu ari diletakkan diatas bantal susu ari. Pelaksanaannya dimulai oleh keluarga tertua , tokoh agama dan adat yang (berjumlah 3 s.d 7 orang perempuan berjumlah ganjil , jika 7 orang diambil wakil dari pihak laki laki 3 orang dan pihak perempuan 3 orang serta satu orang tok lebai/Ka. Kua sekaligus untuk membaca doa). Mempelai yang akan didudukkan pada peterakne terlebih dahulu pengantin laki laki, setelah selesai dan dikembalikan ketempat semula (duduk disamping peterakne) ,barulah digantikan dengan mempelai perempuan hingga selesai . saat pengantin laki laki tepuk tepung tawar, pengantin perempuan berada dibelakang pelamin/dalam bilik). Di dalam ungkapan adat Melayu dikatakan : Yang disebut tepuk tepung tawar Menawar segala yang berbisa Menolak segala yang menganiaya Menjauhkan segala yang menggila Meninding segala yang menggoda Menepis segala yang berbahaya Selain ungkapan tersebut ada juga ungkapan lain: Di dalam tepuk tepung tawar Terkandung segala restu Terhimpun segala doa Terpatri segala harap Tertuang segala kasih sayang Setelah selesai tepuk tepung tawar, lalu orang yang menepuk tepung tawar mengambil sedikit inai langsung mencolet pada telapak pengantin, begitulah seterusnya. Apabila selesai si penepuk melakukan tepuk tepung tawar maka mak inang memberi berekat yang telah berisi wajik didadalam gelas/sejenisnya, dengan setangkai bunga yang terpasang pada secelis bambu (buluh) yang telah diraut dan ditusuk pada sebutir telur merah yang dibuat sedemikian rupa. Acara tepuk tepung tawar pada pelaksanaannya ada yang dilaksanakan dengan cara duduk satusatu (pengantin laki-laki dan perempuan terpisah), dan ada pula kedua mempelai duduk berdua sekaligus. Pelaksanaan duduk satu-satu dengan partimbangan bahwa kedua pengantin belum melakukan mahar batin dan akan melaksanakan tebus kipas. Sedangkan tepuk tepung tawar duduk berdua dapat dilakukan dengan partimbangan kedua mempelai sudah menikah. Bahan-bahan yang digunakan pada prosesi tepuk tepung tawar terdiri dari: a. Beras kunyit, yaitu beras yang diaduk dengan kunyit yang sudah dihaluskan b. Beras basuh, yaitu beras yang direndam dan atau dicuci dengan air biasa. c. Beretih, yaitu padi yang digonseng (digoreng tanpa menggunakan minyak goreng) d. Air tepung tawar, yaitu air yang diadu dengan beras giling 359 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya e. Perenjis (alat untuk merenjis) merepukan gabungan atau ikatan dari beberapa jenis daun yang berjumlah ganjil (5—7) helai. f. Embat-embat, yang berisikan air wewangian Tata cara menepuk tepuk tawar: 1. Ambil “sejemput” beras kunyit[i], beras putih, dan beretih lalu taburkan melewati atas kepala, ke bahu kanan dan bahu kiri pengantin. Pada saat menaburkan, lafaskan salawat nabi 1 kali. 2. Mencecahkan daun perenjis ke dalam air tepung tawar, lalu direnjiskan di atas dahi, ba-hu kanan dan kiri, lalu belakang telapak kedua tangan (posisi tangan pengantin harus telungkup). Untuk merenjis digambarkan dalam bentuk lam alif yang bermakana Allah Berkehendak. 3. Mengambil sebutir telur, lalu meutari telur di muka pengantin. Setelah itu telur tersebut diletakkan di tempat semula. 4. Mengambil sejemput inai lalu dioleskan di telapak tangan kanan dan kiri. 5. Setelah semua orang yang ditunjuk sebagai penepuk tepung tawar selessai, acara ditu-tup dengan doa selamat. Jumlah penepuk tepuk tawar adalah bilangan ganjil, dimulai dari 3,5,7,9, dan 13. Makna tepuk tepung tawar: 1. Beras kunyit, beras basuh, dan beretih yang dihamburkan bermakana ucapan selamat dan turut bergembira. 2. Merenjis kening bermakna berfikirlah sebelum bartindak atau teruslah menggunakan akal yang sehat. 3. Merenjis di bau kanan dan kiri bermakna haru siap memikul beban dengan penuh rasa tanggung jawab. 4. Merenjis punggung tangan bermakna jangan pernah putus asa dalam mencari rezeki, selalu dan terus berusaha.dalam menjalani kehidupan 5. Mengalin telur bermakna pengharapan untuk dapat melahirkan keturuanan yang saleh dan ketulusan hati yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah. 6. Menginai telapak tangan bermakna penanda bahwa mempelai sudah berakad nikah. Dalam konsekuensinya penyadaran bahwa “sekarang” sudah tidak bujang atau dara lagi (sudah ada pendamping). Doa selamat di penutup acara bermakna pengharapan apa yang dilakukan mendapat berkah dan ridho dari Allah Swt. 16) Berarak Merupakan kegiatan mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan. Pada saat berarak pengantin laki-laki diusung, atau bisa juga berjalan kaki. Iringan pengantin disertai bunyi kompang dan rebana di sepanjang perjalanan. Ketika sampai di depan rumah pengantin perempuan, rombongan disambut dengan pencak silat, lalu silat tersebut “disambut” dari pihak lakilaki. Setelah bersilat, rombongan pengantin laki-laki tersebut tidak serta merta melenggang ke dalam rumah. Mereka dihadang di pintu masuk dengan tali lawe (biasanya digunakan kain panjang yang direntang sebagai penghalang). Untuk membuka tali lawe, selalu diikuti dengan berbalas pantun dan tebus uang pintu. Uang tebusan ini sepenuhnya milik orang yang menjaga tali. Jumlah tebusan tidak ditentukan secara pasti, mengikut kesepakatan dari dua belah pihak saja. Setelah tebusan disetujui, maka tali penghadang akan dibuka, selanjutnya iring-iringan pengantin laki-laki dipersilakan masuk. Di depan pintu beberapa perempuan sudah menunggu untuk menaburkan beras kunyit yang bercampur dengan uang logam. Rombongan terus berjalan menuju peterakne. Baik lah teman ”semoga apa yang saya poskan ini bisa bermanfaat untuk teman” semua dan semoga bisa menambah pengetahuan kita bersaama.dan tak kalah penting nya semoga dengan membaca pos ini kita bisa sama” menjaga budaya yang telah di warisi oleh leluhur kita yang terdahulu. 360 Lampiran Prosesi Pernikahan Adat Palembang Wardah Fajri (http://female.kompas.com/read/2010/02/02/19150389/Prosesi. Pernikahan.Adat.Palembang) KOMPAS.com - Bagi calon pengantin, urusan memilih konsep prosesi pernikahan bukan perkara sederhana. Apalagi jika keluarga punya andil besar dalam pernikahan. Baik dari segi dana maupun tradisi yang harus diwariskan kepada anak. Anda yang berdarah Sumatera memiliki konsep pernikahan melayu sarat tradisi dan makna. Palembang punya ciri khas tersendiri yang tak kalah uniknya. Ritual pernikahan tradisi kesultanan masih kuat menempel dalam keluarga Palembang. Zainal Arifin, penerus tradisi Songket Palembang, keturunan dari Sultan Mahmud Badaruddin, mengaku masih mempertahankan prosesi pernikahan khas Palembang di bawah arahannya. Pemilik brand ZainalSongket ini memberikan jasa perencana pernikahan (wedding organizer) khas Palembang. Pilihannya bisa adat tradisi utuh termasuk busana pengantin, atau modifikasi dengan memberikan pilihan gaun pengantin yang lebih modern. "Tata cara pernikahan pada umumnya masih menggunakan adat tradisi secara utuh," papar Zainal kepada Kompas Female. Zainal mengakui, prosesi sesuai adat-istiadat keluarga besar kesultanan Palembang membutuhkan minimal tiga hari, bahkan hingga dua minggu untuk pelaksanaannya. "Faktor waktu juga yang membuat banyak orang mempertimbangkan kembali untuk mengikuti prosesi sesuai adat-istiadat. Namun tak sedikit juga yang masih mempertahankan tradisi dan menyesuaikan dengan kebutuhan, misalkan jika pelaksanaan pernikahannya di gedung," Zainal menjelaskan. Zainal lebih menyarankan agar prosesi lengkap pernikahan adat Palembang dilakukan di rumah, karena pertimbangan waktu tersebut. Pembagian waktu garis besarnya adalah untuk prosesi lamaran (biasanya dilakukan tiga bulan sebelumnya), akad nikah, munggah, dan resepsi. Suasana dan makna religi sangat kental dalam prosesi pernikahan Palembang. Hampir di setiap tahapan mengandung pengharapan dan doa. Prosesi hingga barang hantaran juga punya makna mendalam, terkait dengan kehidupan rumah tangga, etika, serta kewajiban dan hak suamiistri. Nilai budaya yang diyakini bisa membawa biduk rumah tangga bahagia, tergambar dalam setiap gerak dan tahapan prosesi. Calon pengantin perempuan pun harus belajar tari, untuk persembahan kepada pasangannya sebagai tahap akhir prosesi. Tarian merupakan bentuk pelepasan masa lajang dari sang pengantin perempuan. Tandanya, si perempuan perlu mengkomunikasikan kepada pasangannya jika ingin beraktivitas di luar ranah domestik. Tahapan pernikahan adat Palembang secara berurutan dan terkait terdiri atas: Madik (melihat). Utusan dari pihak keluarga pria berkenalan dengan pihak keluarga wanita untuk mengetahui asal-usul dan silsilah keluarga. Menyenggung. Utusan pihak pria secara resmi membawa hantaran yang disebut tenong atau sangkek. Ngebet (diikat). Keluarga pihak pria berkunjung dengan membawa tenong tiga buah pertanda nemuke kato, atau kedua pihak telah sepakat dan perempuan sudah diikat. Berasan (bermusyawarah). Musyawarah untuk menentukan apa yang diminta pihak wanita, dan yang diberikan pihak lelaki. Selain itu menentukan adat yang akan dilaksanakan (dari lima pilihan adat). Tahapan ini sarat dengan pantun. Mutuske Kato. Pertemuan kedua keluarga untuk membuat keputusan terkait dengan ritual dan prosesi pernikahan, termasuk hari pernikahan. Nganterke Belanjo. Mirip serah-serahan dalam tradisi Jawa, dilakukan sebulan sebelum munggah. 361 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Ritual menjelang akad nikah. Ritual yang dilakukan calon pengantin wanita untuk kesehatan, kecantikan, dan lambang magis yang dipengaruhi kepercayaan tradisi. Akad nikah. Dilakukan di rumah calon pengantin pria, jika dilakukan di rumah calon pengantin wanita dikatakan "Kawin Numpang". Munggah. Puncak acara perkawinan adat Palembang. Melibatkan kedua belah pihak dan juga tamu undangan. Prosesi dimeriahkan dengan tabuhan rebana mengiringi pengantin pria, silat, adu pantun, dan sejumlah prosesi lainnya yang sarat makna seperti buka tirai (tanda pertemuan pertama lelaki dengan wanitanya), dan diakhiri dengan persembahan tari dari pengantin wanita. Jika diperhatikan, baik dari segi bahasa maupun prosesinya, ritual kesultanan Palembang memiliki kemiripan dengan keraton Jawa. Budaya tradisi memang tak jauh dari akar sejarah. Kerajaan Sriwijaya menjadi target sasaran Majapahit menguasai nusantara. Akhirnya, budaya Jawa (Majapahit) mempengaruhi Sriwijaya. Paduan budaya inilah yang membuat prosesi pernikahan khas Palembang menjadi unik dan menarik, ditambah lagi pengaruh Cina, Arab, dan juga Hindu yang memperkaya adat istiadat dan busananya. ADAT-ISTIADAT MELAYU KAYUNG KALIMANTAN BARAT Chandra (dalam http://makalahku-chandras.blogspot.com/2011/04/adat-istiadamelayu-kayung-kalimantan.html) BAB1 PENDAHULUAN Orang Melayu Ketapang adalah puak Melayu ysng mendiami wilayah pesisir pantai, pulaupulau besar maupun kecil, dan daerah pedalaman Kabupaten Ketapang, serta beragama Islam, berbahasa Melayu serta beradat-istiadat Melayu. Jika dilihat deri keturunannya, maka Melayu Ketapang itu terdiri dari beberapa keturunan, yaitu: * Penduduk asli yang beragam Islam * Pendatang dari Jawa (Prabu Jaya) * Pendatang dari Palembang (Sang Maniaka) * Pendatang dari Bugis (Daeng Manambon) * Pendatang dari Berunai (Raja Tengah) * Pendatang dari Arab * Pendatang dari Siak (Tengku Akil) Meskipun Melayu Ketapang berasal keturunan yang berbeda-beda, itu tidak menyebabkan terpecah-pecahnya Melayu Ketapang, melainkan ikut memperkaya Khasanah budaya Tanah Kayung (Ketapang). Raja Kerajaan Tanjungpura sebagai pemegang adat tertinggi memang adil. Raja telah memperhitungkan dengan masak-masak, bahwa Raja, Kaum Bangsawan dan Rakyat Jelata memiliki kemampuan yang berbeda. Karena itu, maka dengan mengadopsi syariat Islam, Raja membagi adat menjadi tiga, yaitu: a) Wajib Melaksanakan adat secara penuh merupakan kewajiban bagi Raja yang maksudnya adalah untuk diketahu seluruh rakyat negeri, serta memberi contoh teladah pelaksanaan adat-istiadat. b) Sunnat Bagi kerabat Raja dan Kaum Bangsawan pelaksanaan adat menjadi Sunnat, artinya tidak perlu sama dengan Raja. Pelaksanaannya menurut kemampuan kerabat tersebut. Berhubungan Kaum Bangsawan juga merupakan panutan bagi Rakyat Jelata, maka Kaum Bangsawan hendaknya berusaha melaksanakan adat istiada secara penuh kalau memang sanggup. c) Jaiz 362 Lampiran Bagi Rakyat Jelata pelaksanaan adat-istiadat menjadi Jaiz, artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan sebagian atau seluruhnya berdasarkan kemampuannya. Secara keseluruhan adat-istiadat Melayu Kayung itu mengacu kepada syariat Islam, karena adat bersendi Syarak, Syarak Bersendikan KItabullah. ASAL USUL MELAYU KETAPANG Kalau kita bekunjung ke seluruh kecamatan di Kabupaten Ketapang dan berbicara dengan orang Melayu, maka bahasa Melayu yang kita gunakan sehari-hari di kota Ketapang dapat dimengerti oleh merekakendati di tempat terpencil seperti di Cali, dihulu sungai law dll. Yang brbeda hanyalah dialeknya. Kalau diketapang menyebut kamu atau anda adalah kau, maka dipedalaman menyebut mpuk, Kendawangan mika’, Melano Telok Batang dan PMK menyebutnya ika’, namun tidak semua daerah berbeda dialeknya seperti di Manismata menyebut kamu atau anda juga kau. Ini sekedar contoh yang menyatakan kepada kita bahwa orang Melayu Kayung itu bahasanya sama. Masalah beda dialek hanya karena pemukiman dan interaksi dengan penduduk sekitar. Ada yang mengatakan bahwa Dayak maupun Melayu Kayung itu dahulu berasal dari keturunan yang sama (yang masuk Islam disebut Melayu dan yang tidak masuk Islam (Kristen) disebut Dayak). Jika kita melihat dari dongeng Danau Pateh Inte dan Demung Juru, jelas bahwa terpisahnya orang ulu/ orang darat dan orang ilir/ orang laut ketika terjadi malapetaka dipemukiman yang sekarang menjadi danau Demung Juru dan Pateh Inte yang terletak di desa Ulak Medang Kecamatan Muara Pawan. Orang-orang yang mengungsi ke hilir akibat malapetaka tersebut inilah yang menjadi cikal bakal orang Melayu Kayung. Sedangkan yang mengungsi kehulu merupakan cikal bakal orang Dayak yang kemudian dipopulerkan oleh orang Kristen. Inilah kenapa kalau kita lihat yang beragama Kristen itu kebanyakan orang dari ulu. BAB 2 ADAT-ISTIADAT 1. Adat-istiadat Perkawinan * Meresik-resik Meresik-resik adalah upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang perempuan yang ditaksir. Bagi orangtua yang ingin meminang seseorang gadis untuk anak laki-lakinya, langkah pertama adalah mencari informasi sebanyakbanyaknya tentang gadis idaman anakanya itu. Setelah terkumpul data yang akurat, maka biasanya mengirim seseorang yang disebut telangke atau mak comblang mengajuk-ajuk sigadis dan orangtunya kalau-kalau berkenan menerima pinangan dari si laki-laki tersebut. Kalau pembicaraan pendahuluan beres, maka orangtua lelaki mengirim utusan secara resmi. * Membuk mulut Membuka mulut adalah proses yang dilakukan pihak laki-laki untuk memberitahukan niat meminang kepada pihak perempuan dengan mengutus orang yang biasanya adalah sepasang suami-istri yang sudah dikenal baik oleh keluarga pihak perempuan. Proses ini biasanya dilakukan dengan berbicara panjang lebar dan pada saat yang tepat barulah disampaikan niat untuk meminang tersebut, serta memberikan tempat sirih terlebih dahulu yang berisi sirih, pinang gambir serta tembakau. Biasanya pihak tuan rumah meminta tempo sehari-duari untuk berunding deng keluarga. Lalu jika tempat sirih dikembalikan dalam keadaan kosong berarti peminangan diterima, sebaliknya jika dikembalikan dalam keadaan seperti semula masih berisi lengkap berarti pinangan ditolak. * Ngantar tande Ngantar tande adalah proses yang dilakukan oleh pihak laki-laki dengan masuk menandai (bertunangan) dengan mengantar barang seperti pakaian lengkap, handuk, sandal dan sepatu, alat-alat make up, paying yang jumlahnya 1-3 pasang dan sebentuk cincin. Ngantar tande biasanya dilakukan setelah ditentukan hari baik dan bulan baik, biasanya ditentukan berdasarkan perhitungan Islam. 363 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya * Ngantar barang Ngantar barang adalah proses yang dilakukan oleh pihak laki-laki untuk melakukan persiapan perkawinan. Kegiatan ini dilakukan setelah ada kesepakatan dari kedua belah pihak. Barangbarang yang diantar berupa: a) Tempat sirih b) Seperangkat tempat tidur c) Selimut tebal d) Pakaian perumpuan lengkap e) Sandal dan sepatu perempuan f) Handuk g) Payung h) Alat-alat make up lengkap i) Barang perhiasan perempuan j) Dulang berisi bunga rampai k) Uang asap sesuai kesepakatan Barang tersebut biasanya dikemas sedemikian rupa yang berbentuk angsa, ular, buaya, bunga dll, dengan maksud agar lebih meriah. * Aqad nikah Aqad nikah ini dilaksanakan jauh sebelum hari besarnya. Ini dinamakan Nikah Gantung, karena keduanya belum boleh tidur bersama. Aqad nikah dilaksanakan oleh Penghulu (disertai wali atau boleh diwalikan oleh penghulunya) dengan didahului dengan pembacaan qalam ilahi seorang qari/aqri’ah. Kemudian Penghulu menyampaikan Khutbah Nikahdan kemudian melakukan Aqad Nikah. * Ngundoh menantu Acara ini di lakukan oleh 7 orang perempuan baya atau sekurang kurangnya 3 orang yang member minyak rambut, menyisiri dan membedaki serta mengganti pakaian dengan pakaian milik orang tua perempuan atau pakaian yang telah dipersiapkan oleh pihak perempuan. * Malam pacar Malam pacar merupakan bagian dari prosesi adat perkawinan masyarakat Melayu Kayung. Peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Pelaminan (sederhana sampai yang mewah) b. Payung api (tempat lilin menyala) c. Ungkaran rotan d. Pacar yang sudah di tumbuk e. Minyak kembang setaman (wangi-wangian) f. Kekayun Upacara dimulai dengan pemberian pacar yang di sebut menggulung pacar, yaitu memberikan pacar yang diletakkan diatas telapak tangan kedua mempelai oleh 7 orang lelaki. Acara selanjutnya di sebut menguku yang di lakukan oleh 7 orang perempuan baya secara bergantian. Menguku dimaksud agar keduanya terhindar dari penyakit restung pada kukunya. Kemudian dilanjutkan dengan menyiram minyak kembang setaman kepada kedua mempelai secara bergiliran, kemudian memasukkan uang kedalam tempat yang disediakan, kegiatan ini di sebut mengecor. Setelah upacara mengecor selesai, maka diberikan hidanganringa kepada hadirin dan kemudian mempelai laki-laki dan rombongan pulang kerumah orang tuanya dengan membawa dulang yang brisi juadah dari keluarga perempuan sebagai balasan. * Bepepinjam Untuk melaksanakan pesta pernikahan , maka piring mangkuk serta perlengkapan lainnya milik tuan rumah tidaklah mencukupi. Untuk itu terpaksa harus meminjam dengan sanak keluarga dan tetangga. 364 Lampiran * Bepepajang Bepepajang adalah kegiatan yang dilakukan oleh dukun sehari sebelum hari besar. Pada hakekatnya upacara bepepajang adalah sebagai pemberitahuan kepada penghuni sekitar rumah dari makhluk ghaib agar tidak mengganggu jalannya hajatan. * Bepapar Bepapar adalah meratakan gigi dengan kikir yang dilakukan oleh dukun. Kalau jaman dahulu maka dilakukan benar-benar meratakan gigi, namun pada saat sekaranghanya sekedar melakukan adat. Peralatan yang dipakai adalah : a. Kikir yang bersih b. Paku dan keminting c. Asam garam * Ngunjam bale Balai atau tarubuat terpaksa harus dibuat karena rumah tak mungkin menampung para undangan. Sebelum ada tenda biru, maka perkerjaan pertama adalah menyucok atap. Kegiatan ini adalah membuat atap dari daun nipah atau rumbia atau daun tepus. * Begegantung Maksud acara ini adalah memasang kelambu pada tempat tidur penganten. Prosesnya adalah 4 orang lelaki membaca surat Yasin yang masing-masing menghadap keempat penjuru tempat tidur. * Mengarak (Hari Besar) Mengarak penganten merupakan puncak acara pernikahan. Penganten lelaki di arak dengan kendaraan atau berjalan kaki. Dengan didahului pembacaan shalawat, maka penganten diarak menuju rumah penganten perempuan dengan iringan gendang tar, 2. Mandi 3 Malam Prosesi mandi 3 malam adalah sebagai berikut : * Betimbang Bagi turunan bangsawan, maka dilakukan upacara betimbang sebelum mandi. Untuk melaksanakan adat ini, diperlukan alat perlengkapan sebagai berikut : a. Alat timbangan b. Beras segantang c. Pisang d. Kundur e. Rempah-rempah f. Kelapa setampang g. Gula merah Pelaksanaannya, barang-barang tersebut diletakan pada daun timbangan sebelah dan sebelahnya di “letak”kan kedua mempelai. Setelah dibacakan do’a tolak bala, maka kedua mempelai dibawa ketempat mandi. * Mandi a. Tempat mandi Perlengkapan yang dipakai adalah sebagai berikut : · Tetawak (gong) · Kepala sapi/kerbau · Sangku (yang berisi hiasan daun dari kelapa muda, yang berbentuk burung, pedang, keris, gorah, dll) · Payung kerajaan · Kain basahan (berwarna kuning dua lembar masing masing 2 meter) · Air kembang setaman berupa air yang di beri bunga-bungaan · Air tolak bala berupa air putih biasa yang sudah dibacakan doa tolak bala. · Bokor berisi tepung tawar dan daun puring emas. · Mangkuk berisi sesumpitan berupa ketupat lepas untuk menyemburkan air. · Talam berisi kaca,lilin menyala,benang dan jarum b. Acara mandi Pelaksanaannya adalah sebagai berikut : 365 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Pertama kedua mempelai diangkat dan diletakan ketengah tempat mandi. Kemudian duduk diatas tetawak dengan kaki menginjak kepala kerbau/sapi. Kedua ada tujuh orang wanita memandikan dengan air kembang setaman dan disudahi dengan air tolak bala. Mula-mula acara betulus yaitu benang dan jarum dilingkarkan kepada keduanya dari atas dan dilepas dikaki berturut 7 kali oleh 7 orang yang memandikan. Dilanjutkan lagi dengan mengelilingkan cermin dan lilin menyala sebanyak 7 kali. Terakhir diserahkan kelapa cengkir berukir dan sesumpitan kepada keduanya. Air kelapanya disedot dan disemprotkan kepada orang sekitar. Maksudnya agar berbagi kebahagiaan denga orang sekitar. Setelah selesai kedua mempelai dilap dengan handuk dan kain yang basah diganti dengan kain yang kering berupa kain pelekat, dan penganten pria mangangkat pasangannya menuju kamar. 3. Makan Nasi Adap Kedua penganten duduk bersanding didepan kamar dengan bersila sambil menghadapi “nasi adap” yang terdiri: · Nasi ketan warna kuning ( nasi kuning ) · Panggang ayam · Hiasan telor · Air minum Dan saling menyupai. 4. Ngaleh Turun Upacara ngaleh turun adalah kedua mempelai setelah upacara mandi 3 malam pergi kerumah orang tua laki-laki dengan diiringi keluarga pihak perempuan bagi yang mampu, maka rombongan penganten diarak dengan iringan gendang tar dan dirumah orangtua laki-laki di laksanakan acara besar-besaran. 1. Hukum Adat Perkawinan a. Batal bertunangan Batal dari pihak lelaki Pihak perempuan tidak mengembalikan barang antaran yang diberikan waktu mengantar tande. Selanjutnya boleh atau bebas bertunangan atau kawin dengan lelaki lain. Batal dari pihak perempuan Apabila batal dari pihak perempuan, maka ia harus mengganti barang antaran sebagai pemberian waktu mengantar tande sebanyak 2 kali lipat. b. Bayar pelangkahan Apabila seorang adik kawin sedang abang atau kakak perempuannya belum menikah, maka si adik wajib membayar pelangkahan kepada abang dan atau kakaknya yang dilangkahi tersebut biasanya berupa 1 stel pakaian. c. Naik basuh kaki Seorang lelaki karena di kehendaki oleh pihak perempuan untuk suaminya,namun sang lelaki tadi belum punya apa dan pihak perempuan kaya, maka boleh dinikahkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. d. Kebabaran Adalah apabila kedapatan 2 orang lelaki dan perempuan yang bukan muhrim berdua duaan di tempat sepi ,maka saksi dapat melapor kepada Penghulu Desa. Jika laporannya diteriam, maka keduanya wajib di nikahkan. e. Tebus thalak Jika seorang lelaki berselingkuh dengan seorang perempuan yang bersuami, jika ada saksi melapor kepada Penghulu, maka mereka harus dikawinkan. f. Mengampang Perempuan yang belum bersuami apabila hamil di luar nikah dengan seseorang atau beberapa orang lelaki, maka harus dinikahkan segera. Kalau yang dihamili itu adik/kakak iparnya sendiri, maka ia harus bercerai terlebih dahulu dengan istrinya, kemudian dinikahkan dengan yang di hamili tadi. 366 Lampiran Kalau sumbang, biasanya dinikahkan dengan orang lain. g. Sumbang Adalah suatu perkawinan yang sangat terlarang di lakukan oleh orang melayu. Kalau hal ini dilakukan, maka hukumannya adalah diusir dari lingkungannya,karena dianggap membawa kutukan dari Allah bagi seluruh masyarakat desa tersebut, pada masa lalu hukumnnya adalah dirajam sampai mati. BAB III Pelaksanaan Adat-istiadat dan Hukum Adat Kehamilan 1. Adat-istiadat Kehamilan § Adat ketika istri ngidam. Setelah pemeriksaan bidan/dukun beranak bahwa yang bersangkutan positif hamil, maka wajib di beri bantaan, berupa mangga muda, dengan sambel berupa cabe digiling bersama garam, kecap dll. Selesai makan bantaan tadi, maka dibacakan do’a selamat minta perlindungan Allah bagi ibu dan anaknya yang dikandung. § Mandi Tujuh Bulan Diadakannya upacara Betumbang Apam yaitu pembacaan surat Yasin dimana perempuan hamil berdiri dengan dikiri kanannya didirikan apam merah dan apam putih. Ada juga yang melaksanakan betumbang apam terlebih dahulu kemudian melaksanakan acara mandi 7 bulan yang prosesinya sama dengan mandi 3 malam. BAB IV Pelaksanaan Adat-istiadat dan Hukum Adat Melahirkan 1. Adat-istiadat Melahirkan § Melahirkan Bayi Diadakannya adat bebuang keaik, yaitu mengantar sesaji ke sungai atau keparit yang cukup besar yang terdiri atas: a. Paku & keminting b. Sirih sekapur c. Rokok sepucok Kemudian kepada sang ibu yang akan melahirkan diberikan selusoh, yaitu air putih dijampi berupa do’a kepada Allah agar diberikan kemurahan dalam melahirkan. § Ngerat pusat Dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim dan mengucap Dua kalimat Syahadat maka tali pusat bayi dipotong dan kemudian diperban setelah di beri obat. § Tembuni Bagi yang adat turunannya dibuang keair, maka tembuni tersebut tersebut dibawa kesungai yang cukup besar atau kelaut lalu dihanyutkan. Ada juga yang adat turunannya ditanam, maka bakul tembuni tersebut ditanam kedalam tanah. § Tanggal pusat Kalu sudah bertemu wayah (24 jam) maka sang bayi diletakkan diatas talam besar yang dibawahnya ada beras dan uang logam, baru dialas kain. Setelah dibacakan doa selamat tolak bala, maka prosesi tanggal pusat selesai. § Bebereseh Yaitu si ibu yang lepas melahirkan itu dimandikan untuk mandi nifas. Kelengkapan bebereseh ini adalah: a. Nasi ketan b. Air gula merah c. Tetohong d. Ayam seekor e. Kain basahan untuk mandi f. Bedak dan langir secukupnya 367 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Proses mandi nifas dan sekaligus mandi wiladah adalah seperti mandi biasanya, hanya berbeda karena dibantu dukun untuk memandikannya siibu diberi bedak dan langir untuk menjamin agar benar-benar bersih dari hadas. § Tetohong Yang dimaksud dengan tetohong adalah sebuah talam kecil disebut tafsi yang berisi: a. Gula merah b. Kelapa setampang c. Pisang 20 biji d. Telor ayam 2 biji § Berayun Adat Banjar Ketika anak bayi pertama kali diayunkan maka diadakan upacara betumpang apam dan naik ayunan. Disengkang ayunan diikatkan bermacam-macam juadah yang terdiri atas: a. Cucor b. Ariadam c. Ketupat tulak bale d. Lelingkar e. Dopak Untuk tali ayunan dianyam benang 7 warna yang terdiri atas: a. Benang putih b. Benang merah c. Benang hijau d. Benang hitam e. Benang ungu f. Benang coklat g. Benang kuning Naik Tojang Untuk upacara naik tojang, maka ayunan berbentuk box digantung ditali ayunan dan diatasnya ditaruh juadah yang sama dengan turunan banjar. Ayun Sandah Yang dimaksud dengan ayunan adalah ayunan kecil dibawah rumah persis dibawah ayunan sang bayi. § Gunting Rambut Upacara gunting rambut merupakan satu paket yang terdiri atas: a. Gunting rambut b. Tijak tanah c. Betimbang d. Mandi-mandi e. Makan nasi adap Pelaksanaan Gunting rambut Upacara ini didahului pembacaan kitab Al Barjanzi. Yang di persiapkan: 1. Pemasangan kendit 2. Pemasangan gelang benang 3. Rambut diikat-ikat 4. Sebuah talam berisi: gunting, cincin emas, kelapa cengkir yang sudah dihias dan masih berisi airnya sebatang lilin yang menyala, bunga rampai, mata beliung, serta tepung tawar. 5. Sebuah talam lagi berisi bunga cucok telor. § Tijak tanah Bahan yang dipersiapkan adalah: 1. Balai Jawe Sebuah bangunan berupa rumah mini tanpa dinding 2. Tebu kuning secukupnya untuk dibuat tangga dan bangunan seperti atap. 3. Juadah sebanyak 6 jenis 4. Sepiring lagi berisi tanah dan sebiji telor ayam kampung. 368 Lampiran Kue-kue yang didalam 6 buah piring dan piring ketujuh yang berisi tanah dan telor disusun didepan ‘’tangga” dengan urutan: 1. Dodol merah 2. Dodol putih 3. Cucor 4. Ariadam 5. Cengkarok 6. Sesagun 7. Tanah, telor ayam, paku keminting. Makna dari kegiatan Tijak Tanah ini adalah 1. Sang bayi turun dari rumah yang dilambangkan dengan Balai Jawa 2. Dalam mengharungi kehidupan ada naik dan turunnya dengan perlambang tangga tebu. 3. Dalam mengharungi kehidupan mengalami pahit manisnya kehidupan dengan perlam-bang juadah. 4. Lambang paku keminting merupakan doa bagi sang bayi agar tegar dalam mengharungi kehidupan kelak. 5. Akhirnya disadarkan kepada sang anak bahwa kita ini berasal dari tanah dan kembali ke tanah dengan perlambang memecahkan telor ayam diatas tanah pada piling terakhir. 6. Adapun rebutan tangga tebu adalah suatu perlambang bagi sang bayi, bahwa rezeki dari Allah tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus diusahakan dengan tangan, akal dan pikiran. § Betimbang Bagi anak turunan bangsawan di timbang dengan dacing kayu yang dalam daun timbangan berisi: 1. Beras 2. Gula merah 3. Kelapa setampang 4. Pisang sesisir 5. Rempah rempahan 6. Buah kundor Makna dari upacara betimbang ini adalah suatu do’a kekhadirat Allah SWT agar kelak sang bayi menjadi orang yang bermanfaat bagi orang tua dan masyarakat dengan kata lain memiliki bobot. § Mandi-mandi Untuk upacara mandi ini tidak terbatas hanya kepada anak turunan bangsawan,namun rakyat biasapun melaksanakan. § Makan nasi adap Secara simbolis nasi dengan kelengkapan disuapkan kepada sang bayi. Kemudian dibacakan do’a selamat tolak bala. 2. Adat Anak/Remaja § Bersunat: 1. Anak lelaki Untuk acara tunggal besunat prosesinya adalah: a. Mengunjam bale (Sama dengan adat perkawinan) b. Bepepinjam (Sama dengan adat perkawinan) c. Bepepajang (Sama dengan adat perkawinan) d. Bepapar (Sama dengan adat perkawinan) e. Mengarak (Sama dengan adat perkawinan) f. Khataman Qur’an Selesai khataman Al Qur’an maka penganten sunat sembah sujud kepada orangtuanya, serta kepada para ketua dan hadirin yang hadir. g. Begandang Rebana atau Gendang Tar Malam hari dilaksanakan hiburan dengan mengundang grup Rebana yang biasanya hingga pagi hari. 369 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya h. Besunat Setelah matahari terbit, maka mereka dibawa kerumah lalu disunat oleh dukun sunat Pada saat sekarang, maka acara berendam tidak dilakukan lagi, karena penyunatan dilakukan oleh para medis. i. Pacat kundang Upacara pacat kundang yaitu mengganti obat kalau disunat oleh dukun atau buka perban oleh para medis. Acara hanya berupa pembacaan do’a selamat tolak bala dan hidangan sederhana saja. 2. Anak Perempuan § Mandi tumbuh susu Anak-anak perempuan berumur 8-9 tahun diikutkan mandi dengan prosesi mandi seperti penganten atau wanita hamil 7 bulan juga. Mereka juga di hiasi seperti penganten. § Belamin Belamin itu adalah si ABG tersebut dimasukkan kedalam kamar yang tak boleh kena sinar matahari untuk beberapa hari sampai beberapa bulan. Didalam lamin itu sang anak bekase’, yaitu membedaki dirinya dengan bedak buatan sendiri. Apabila sudah selesai, maka dilakukan upacara Turun Lamin, yaitu: a. Mengunjam bale b. Bepepinjam c. Bepepajang d. Bepapar e. Khataman Qur’an f. Begendang Rebana atau Gendang Tar. BAB IV Pelaksanaan Adat-istiadat dan Hukum Adat Kematian 1. Adat Istiadar Kematian § Menjenguk orang sakit Apabila mendengar ada orang sakit, maka merupakan “kewajiban” bagi para sanak keluarga, tetangga, handai tolan untuk menjenguk sisakit. Pada kesempatan tersebut saling bermaaf-maafan dengan sisakit dan mendoakan agar cepat sembuh. § Mengantar pelelawat Pada kesempatan tersebut para pelawat hendaklah membawa beras pelelawat yang terdiri atas beras, cabe, garam serta belacan. Tujuan mengantar beras pelelawat ini adalah untuk 1 meringankan beban keluarga yang ditinggalkan oleh simati. § Nyusor tanah Merupakan selamatan dengan membaca do’a arwah setelah selesai menguburkan mayat. § Tahlilan Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah dirumah duka pada malam pertama setelah penguburan dengan membaca tahlil. § Nige hari Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah dirumah duka pada hari ke tiga dengan membaca tahlil. § Nujoh hari Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah dirumah duka pada hari ke tujuh dengan membaca tahlil. § Ngelat Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah dirumah duka pada hari ke lima belas dengan membaca tahlil. § Nyelawe Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah dirumah duka pada hari ke 25 dengan membaca tahlil. § Ngempat puloh 370 Lampiran Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah dirumah duka pada hari ke 40 dengan membaca tahlil. Undangan pulangnya di bagikan kue baulu yang dimasukkan kedalam piring yang dibungkus dengan sapu tangan dan di tambah lagi surat Yassin. § Nyeratus Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah dirumah duka pada hari ke 100 dengan membaca tahlil. § Nyeribu Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah dirumah duka pada hari ke 1000 dengan membaca tahlil. § Bulan ruah Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah dirumah yang mengadakan kenduri pada bulan Sya’ban untuk membaca Tahlil dan dilanjutkan dengan membaca doa Arwah bagi sanak keluarga yang telah meninggal. Diposkan oleh Chandra di 01.47 Adat Istiadat Perkawinan Orang Melayu Melaka http://jalanakhirat.wordpress.com/2010/03/09/adatperkawinan-melayu-melaka/ Unsur-unsur kebudayaan dalam perkawinan orang Melayu Melaka, berjalan berperingkat mengikut tertib dan menjadikan warisan adat resam ini sesuatu yang unik. Masyarakat di pinggir pantai Melaka mengamalkan unsur adat yang berlainan dengan masyarakat di bahagian barat. Begitu juga dengan masyarakat yang terletak berhampiran dan berdekatan dengan Negeri Sembilan. Berikut dihuraikan secara ringkas unsur-unsur adat dan resam dalam bidang tersebut mengikut peringkat ketertibannya. Mencari Jodoh Terdapat dua cara digunakan bagi amalan dalam menentukan jodoh atau mencari jodoh yaitu berdasarkan kesanggupan kedua belah pihak lelaki dan perempuan. Kaedah pertama adalah pemilihan pihak lelaki itu sendiri dan kaedah keduanya melalui pilihan ibu bapanya. Melalui kaedah pertama, pemilihan jodoh dicari sendiri oleh si teruna yaitu setelah menemui gadis pilihan hatinya, si teruna akan menyatakan hasrat kepada ibu bapanya. Kaedah kedua pula, pemilihan dibuat oleh ibu bapa si teruna setelah berkenan akan seseorang gadis yang dipilih untuk menjadi bakal menantunya dan diberitahu kepada anak terunanya. Kerap kali berlaku bakal menantu itu terdiri dari ahli keluarga seperti anak saudara atau yang bertujuan untuk merapatkan lagi hubungan persaudaraan di samping terjaga harta benda dari jatuh ke tangan orang lain. Bagaimanapun, dalam hal ini, selalunya si ibu akan memerhatikan gelagat serta tingkah laku gadis itu untuk menentukan kesesuaian bakal menantunya. Penentuan Jodoh Terdapat beberapa syarat dalam memilih gadis bakal menantu. Misalnya gadis itu mestilah mempunyai sifat yang baik dari segi agama, rupa paras yang cantik, berakhlak, banyak keturunan serta mempunyai kebijaksanaan dan kepandaian khususnya dalam mengurus rumahtangga. Bagi bakal menantu lelaki pula, hendaklah mempunyai pelajaran agama yang tinggi, sifat yang sempurna, mempunyai kedudukan (harta benda) yang baik dan mempunyai pengetahuan yang baik mengenai ilmu rumahtangga. 371 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Merisik Merisik ialah cara untuk mengetahui sama ada si gadis sudah berpunya atau belum. Rombongan merisik biasanya dibuat oleh saudara atau keluarga terdekat. Seandainya pihak atau keluarga gadis bersetuju, maka perundingan akan dibuat untuk menentukan hari pertunangan. Di sini sebentuk cincin belah rotan akan diberi sebagai tanda persetujuan. Meminang Upacara meminang si gadis akan dibuat hanya setelah keluarga gadis itu memberi persetujuan. Kerja meminang dilakukan oleh wakil kedua-dua belah pihak. Selalunya dijalan oleh ketua adat dan syarak. Sewaktu meminang, akan ditetapkan tarikh menghantar tanda. Lain-lain perkara yang dibincangkan ialah bersangkutan dengan hantaran belanja, persalinan dan tempoh bertunang. Dengan berbuat demikian, tidak ada teruna lain akan masuk meminang gadis itu. Ini memberi peluang kepada sahabat handai serta kaum keluarga untuk bersiap sedia berderau (bersama-sama menjalankan tugas di hari perkawinan nanti). Hantar Tanda Semasa upacara menghantar tanda, sebentuk cincin akan dihantar untuk disarungkan ke jari tunangannya. Adat menyampai dan menerima cincin dilakukan di rumah gadis tersebut. Pihak si gadis akan menyambut rombongan si teruna. Dalam menghantar cincin tanda ini, sering juga diiringi dengan sebahagian wang hantaran belanja. Walau bagaimanapun, ini terpulang kepada perjanjian kedua belah pihak. Biasanya upacara menghantar tanda ini dilangsungkan dengan katakata adat seperti ‘helah lelaki hancur, helah perempuan ganda’. Sekiranya si teruna memutuskan pertunangan itu, cincin dan hantaran itu akan hilang dan jikalau si gadis pula yang menolak, maka terpaksa pihak gadis menggandakan pemulangan cincin tanda dan hantaran itu. Hantaran Belanja Upacara hantar belanja dijalankan pada tarikh yang telah dipersetujui dan sekali lagi rombongan pihak lelaki datang ke rumah pihak perempuan. Kedua pihak itu selalunya diwakili oleh ketua kampung. Mereka akan saling bertukar hantaran serta iringan setelah kedua pihak menghuraikan janji dan menyelesaikan masalah yang bersangkutan. Wang hantaran itu biasanya diiringi dengan persalinan untuk si gadis dan mengikut apa yang telah dijanjikan. Perjanjian biasanya dalam bentuk ‘serba satu atau serba dua’. Serba satu bererti persalinan iringan itu setiap jenis dan digubah dalam pelbagai bentuk seperti bentuk itik, burung dan keris. Wang hantaran pula digubah biasanya dalam bentuk buah-buahan ataupun pokok bunga. Sementara itu, iringan lain sering kali turut disertakan adalah bunga rampai, sirih junjung, pahar telur merah dan alat solek. Kesemua kelengkapan yang dibawa oleh rombongan pihak pengantin lelaki disampaikan ke rumah gadis itu. Apabila selesai upacara penerimaan di serambi, yaitu setelah diselesaikan oleh pihak lelaki, hantaran serta iringannya itu diedarkan ke dapur. Ini adalah untuk disaksikan oleh pihak perempuan. Bekas-bekas kosong itu kemudiannya diisikan dengan barang-barang balasan daripada pihak gadis, biasanya kuih-muih, nasi dan lauk-pauk yang akan dibawa pulang oleh rombongan itu untuk si teruna. Menyerambi Bertunang Jika dijalankan upacara menghantar belanja pada siang hari, maka malamnya pula diadakan majlis ‘menyerambi bertunang’. Adat ini dilakukan di serambi rumah. Wakil dari kedua belah pihak bergilir-gilir membaca doa dan marhaban. Menjemput Tetamu Pihak ibu bapa pengantin lelaki akan menjemput orang-orang tua kampung untuk memberitahu majlis perkawinan yang akan diadakan. Mereka akan membuat tepak sirih dan meminta sanak saudara serta sahabat handai datang ke rumahnya untuk bersama-sama meraikan majlis itu. Majlis ini diadakan di rumah bakal pengantin dan segala tanggungjawab majlis akan 372 Lampiran ditentukan oleh mereka yang ada dalam majlis tersebut. Biasanya majlis kenduri kawin dimulakan di rumah pengantin perempuan. Berinai Curi Majlis berinai curi diadakan pada waktu malam di rumah pengantin perempuan. Majlis ini bergantung kepada kesanggupan dan kemahuan pihak pengantin. Mulai malam tersebut, jari-jari dan tapak tangan serta keliling tapak kaki pengantin perempuan diinai. Selepas itu pengantin akan naik ke pelamin. Kemudian sanak saudara dan sahabat handai akan bergilir-gilir menginaikannya. Masa ini jugalah pihak pengantin lelaki atau keluarganya berpeluang melihat dari dekat wajah pengantin perempuan. Berinai curi biasanya diadakan sekurang-kurangnya satu malam tapi biasanya ia diadakan tiga malam. Berinai Kecil Malam berikutnya majlis berinai kecil diadakan. Ianya disertai oleh pengantin lelaki. Tetapi pengantin lelaki berinai di serambi rumah sahaja. Sementara pengantin perempuan di ruang tengah rumah di atas pelamin. Majlis ini kadangkala dipanggil ‘menyerambi kawin’. Berandam Keesokan harinya diadakan istiadat berandam di mana upacara memotong rambut di bahagian depan kepala dijalankan oleh tukang andam. Pengantin perempuan biasanya dicukur anak rambut di dahi serta di pelipisnya. Pengantin perempuan akan merasa perubahan wajahnya ditambah pula warna merah di jarinya selepas berandam. Upacara berandam dijalankan untuk persediaan pengantin lelaki pergi ke rumah pengantin perempuan untuk upacara berinai besar pada malamnya. Pada petang itu juga diadakan upacara mandi berhias. Biasanya upacara ini memerlukan sebiji kelapa muda ditebuk berbentuk pucuk rebung, beras basuh, sirih berkapur, gunting, kain putih, tepung tawar dan ikatan dua sepilih dan daun ribu-ribu. Mandi Berhias Dijalankan ke atas kedua pasangan pengantin dan biasanya dibuat di serambi atau pelantar tengah berhadapan dengan pintu luar rumah didahului oleh pengantin lelaki dan diikuti oleh pengantin perempuan. Pengantin akan duduk menghala ke pintu luar dan di depannya disediakan dulang beras basuh serta tepung tawar. Sanak saudara dan waris akan menabur beras basuh dan menepung tawar pengantin itu. Pernikahan Upacara akad nikah dijalankan pada malam selepas mandi berhias dan sebelum majlis berinai. Pakaian pengantin lelaki serba putih kecuali songkok dan kasut. Imam mewakili pengantin perempuan menjadi jurunikah. Selain dari itu juga disahkan hantaran dan lain-lain yang bersangkutan. Mas kawin biasanya berbentuk wang tunai. Mas kawin diwajibkan dan diserahkan kepada pengantin perempuan. Berinai Besar Setelah selesai upacara akad nikah, majlis berinai besar dilakukan di atas pelamin dengan dimulai oleh pengantin lelaki. Ahli-ahli keluarga akan bergilir-gilir menjalankan upacara itu. Pengantin perempuan pula akan mengambil tempat selepas pengantin lelaki dan berjalan sehingga selesai. Hari Langsung Hari persandingan juga disebut hari langsung yang diadakan pada hari esoknya. Jamuan di rumah pengantin perempuan akan diadakan secara besar-besaran. Pengantin lelaki akan menuju ke rumah pengantin perempuan dengan diiringi dengan pukulan rebana dan sanak saudaranya untuk upacara persandingan. 373 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Sirih Lat-lat Sirih lat-lat ialah gubahan pokok bunga daripada daun sirih yang dipegang oleh pengantin lelaki untuk diletakkan atas pangkuan pengantin perempuan apabila sampai di pelamin untuk bersanding. Suap-suap Sebuah pahar telur merah dan nasi adab-adab disediakan di depan pelamin dan ianya berwarna kuning dan diperbuat daripada pulut. Ahli waris akan mengambil sekepal nasi adab-adab lalu diletakkan di tapak tangan pengantin lelaki dan disuapkan kepada pengantin perempuan dan sebaliknya. Masuk ke Bilik Pengantin Jari kelingking pengantin lelaki yang sebelah kanan mencangkuk jari kelingking pengantin perempuan dan pengantin lelaki akan melangkah masuk ke bilik pengantin sambil memimpin pengantin perempuan. Makan Damai Makanan disediakan di bilik pengantin di mana peneman-peneman pengantin lelaki turut bersama dan mereka akan dilayan oleh pengantin perempuan. Mak Andam merupakan orang utama di dalam majlis itu. Makan Waris Pada malamnya pula, sekali lagi diadakan majlis makan yang dihadiri oleh waris dari kedua belah pihak. Di dalam majlis ini, besan dengan besan akan duduk bersama dan kedua pengantin akan berkenalan dengan waris dan sanak saudara dari kedua belah pihak. Jemput Menantu Majlis ini diadakan untuk pengantin perempuan yang dijemput ke rumah pengantin lelaki berserta pengiring-pengiringnya. Rombongan pengantin perempuan tidak akan ke rumah bapa mertuanya selagi pengantin lelaki dan pengiring-pengiringnya tidak datang menjemput . Kedatangan pengantin lelaki digelar sebagai ‘balik minum air’. Pengantin perempuan akan tidur semalaman di rumah pihak lelaki. Malam Satu Setelah pengantin perempuan pulang ke rumahnya, pengantin lelaki akan tidur di rumah istrinya pula. Pengantin lelaki akan menyembahkan tepak sirih ketika menjelang subuh kepada bapa mertuanya. Perlakuan yang ditunjukkan oleh pengantin lelaki akan dapat diketahui sama ada pengantin perempuan itu masih dara atau tidak semasa dikawini. Membalas Tidur Bagi adat membalas tidur, pengantin perempuan buat kali keduanya akan tidur di rumah suaminya. Pengantin masih lagi memakai pakaian pengantin tetapi hanya sekadar pakaian ‘kondeh’ sahaja. Dengan huraian yang dinyatakan, jelasnya bahasa masyarakat Melayu Melaka mempunyai adat istiadat perkawinan tersendiri dan begitu unik sekali. Walau bagaimanapun, dewasa ini kebanyakan unsur-unsur adat yang dikira kurang penting tidak diamalkan oleh masyarakat Melayu Melaka. 374 Lampiran PERANAN PANTUN DALAM ADAT PERKAWINAN MELAYU ASAHAN Penyusun: H. ARIFIN SARAGIH (dalam http://mancacima.blogspot.com/p/peranan-pantun-dalam-adat-perkawinan.html) Ku tulis ulang ini sebagai tanda hormatku pada beliau (alm) sebagai orang tua yang penuh perhatian pada perkembangan adat budaya melayu di Asahan. Dan hingga saat ini putri beliau meneruskan langkahnya mencintai budaya melayu Asahan dengan mendirikan Sanggar Tari "INTAN TIARA" sekaligus juga putri beliau menjadi pelatih tarinya... (manca-cima) I. PENDAHULUAN Bila seorang pemuda menginginkan gadis untuk dipersunting menjadi istri, didahului dengan mengutus" Penghulu Telangkai" (seorang penghubung yang dipercaya oleh pihak laki-laki untuk merintis keinginan pemuda terhadap gadis yang menjadi idamannya) Penghulu telangkai berusaha untuk menemukan permasalahan pada waktu dan saat yang tepat untuk diungkapkan maksud dan tujuan terhadap gadis (pihak perempuan). Penghulu Telangkai berusaha untuk menemukan permasalahan pada waktu dan saat yang tepat untuk diungkapkan maksud dan tujuan terhadap gadis (pihak perempuan). Setelah diperoleh ketentuan dari Penghulu Telangkai, pihak laki-laki mengadakan musyawarah dengan famili untuk merembukkan pelaksanaan: merisik meminang menikahkan melangsungkan peresmian/perkawinan Hal ini akan dilaksanakan pada hari/jadwal yang telah disepakati antara kedua belah pihak. II. MERISIK DAN MEMINANG SECARA RESMI Mersisik dan meminang secara resmi dilaksanakan setelah risikan dilakukan setengah resmi yang dilangsungkan olh Penghulu Tealngkai berjalan baik. Menurut adapt risikan dan pinangan dilaksanakan dihadapan keluarga pihak gadis. Dahulu merisik dan meminang selalu dilaksanakan secara terpisah (tersendiri), namun selalu juga dilaksanakan sekaligus. Pada hari yang telah disepakati pihak lelalki dating kerumah pihak perempuan membawa beberapa persiapan: Tepak Sirih Pembuka Kata Tepak Sirih Perisik Tepak Sirih Meminang Tepak Sirih Bertukar Tanda Tepak Sirih Ikat Janji Beberapa buah Tepak Pengiring Tepak-tepak siriyh ini terdiri dari tepak biasa, dan tepak Palembang. Tepak-tepak ini diisi dengan sirih yang tersusun rapid an cembul-cembul diisi dengan tembakau, kapur,gambir dan pinang ditebuk/diukir, ada pinang berkait dan gambir diukir. (cembul-cembul ini ada yang terdiri dari perak, tembaga, kuningan, suasa dan bahkan emas) Hal ini melihat kemampuan dari sipelaksana. Dahulu tepak ini dibungkus dengan kain selendang tetapi sekarang dipilih kain yang lebih indah. Sementara di rumah pihak perempuan telah menanti pula beberapa tepak: Tepak Nanti Tepak Bertukar Tanda Tepak Ikat Janji Yang tersedia diatur diatas hamparan permadani indah dibawah langit-langit bertabir aneka corak. 375 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Umumnya sebelum acara merisik dan meminang dimulai, tepak-tepak yang dibawa rombongan laki-laki disusun menurut urutan,kemudian ditepung tawari. Pada acara ini masing-masing pihak menyediakan seorang “ahli bersilat lidah” yang disebut: BENTARA SABDA (Juru Bicara) yang diapit BENTARA KANAN dan BENTARA KIRI (Keluarga terdekat orang yang dapat mengambil keputusan bila tumbuh hal-hal diluar yang tidak digariskan). Sebenarnya segala sesuatu telah diketahui oleh kedua belah pihak lewat pembicaraan setengah resmi dari “ PENGHULU TELANGKAI ” misalnya, Siapa yang akan dipinangkan dan dipinang Berapa mahar (mas kawin dan syarat-syarat) Bila nikah dan bersatu Bertukar tanda (cincin, gelang, rantai, misalnya) Bersilat lidah ini kadang-kadang memakan waktu berjam-jam. Malulah rasanya bagi pihak yang tidak dapat memaparkan kehendaknya dengan teratur dan jelas. Biasanya untuk memaparkan maksud tidak secara langsung tetapi selalu dengan cara “ Kias dan Ibarat “ Disinilah letaknya kehalusan budi orang melayu, jangan sampai dikatakan kasar dan tidak beradat. Yang kurik gundi Yang merah saga Yang baik budi Yang indah bahasa Di sinilah adapt itu diasah dan diuji dengan kemampuan bersilat lidah, secara tidak langsung sehingga akhirnya sama-sama diakui oleh kedua belah pihak. Jika kedua belah pihak telah berhadapan, maka oleh “ Bentara sabda pihak perempuan menyorongkan sebuah tepak sirih-tepak nanti-sebagai penyambut tamu sambil berkata memberi salam pada para tamu/rombongan dan tak lupa mengucapkan puja puji kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas ridhoNYA mengharapkan safaat akan junjungan nabi Muhammad SAW. Bentara Sabda melanjutkan kata-katanya Sedang matahari bersinar cerah Ketika angin berhembus sepoi-sepoi basah Awan berarak hanyut pasrah Diiringi suara burung berkicau ria Ketika ramai sorak anak-anak dihalaman Dilihat tamu datang berbondong Sampai dipintu pekarangan Lalu masuk kehalaman, memberi salam dengan takjim, membuat kami tertegun gembira. Patut disambut secara adat. Menurut adat resam Melayu semenjak dari sejak dahulu kala, jika kita kedatangan tamu sirih ditepak disorong selalu, sebagai tanda keihklasan hati, terimalah tepak sirih…….sirih nanti dari kami Sekapur sirih Seulas pinang Disantap Cik Puan dari Malaka Kami ucapkan selamat datang Semoga kita sama bahagia Makanlah tuan sirih kami Yang kami sebut sirih penanti Marilah kita sama menanti Untuk pengikat silaturrahmi (sembari menyorongkan/menyuguhkan tepak..) 376 Lampiran Tinggi berdiri gunung ledang Di kaki gunung terhampar sawah Makanlah sirih sekapur seorang Untuk kita memulai kata (Sirih dimakan pihak lelaki sekapur seorang/sebagai mewakili rombongan 2 atau 3 orang memakannya). (Setelah itu bentara Sabda pihak laki-laki menyorongkan sirihnya/tepak pembuka kata. Tutup tepak dibuka dan tutupnya diletakkan miring di sebelah kiri tepak. Bentara Sabda laki-laki menyerahkan tepak tersebut kehadapan Bentara Sabda pihak perempuan dengan tangkai sirih mengarah kepada Bentara Sabda pihak perempuan, lalu Bentara Sabda pihak laki-laki berpantun: Kami datang membawa pesan Salam takjim penuh keikhlasan Dari… yang jadi pangkalan Semoga kita bersama dilindungi Tuhan Tinggi-tinggi simatahari Anak kerbau mati tertambat Sudah lama kami mencari Tempat berteduh dihujan lebat. Tepak sirih dari pihak laki-laki diedarkan oleh pihak perempuan, kepada pihak mereka lalu memakan sirih sekapur pinang sekacip. Kemudian pihak laki-laki menyorongkan Tepak Perisik sambil berkata. Tuan-tuan/Saudara/I jauh sudah kami berjalan, banyak bukit yang telah kami daki, banyak lembah yang telah kami turuni, karena besarnya hajat dihati kami sampai kemari, lengkaplah hadir dalam majelis utusan dari… (menyebutkan nama orang tua laki-laki disertai sirih adat dan sirih irinngan. Tumbuh kemiri didalam dulang, Uratnya besar silih menyalih, Duduk kami duduk berbilang, Karena hajat datang kemari. Limau purut jatuh ke lembah, Jika dilembah ditumbuh duri, Pinang menghadap sirih menyembah, Jari sepuluh menjunjung duli. Demikianlah kata mula dari kami, moga-moga kata berjawab, gayung bersambut (pihak perempuan menyambut dan membalas pantun) Kedudukan tumbuh di dalam dulang, Uratnya panjang jalur-jaluran, Duduk kita duduk berbilang, Alat yang mana kita pakaikan? Sorong papan tarik papan, Buah langsat di dalam peti, Sirih risik belum dimakan, Apa hajat di dalam hati. 377 Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya Pihak laki-laki menjawab menguraikan maksudnya Maaf tuan-tuan…., besar gunung dan setinggi gunung, lebih besar dan lebih tinggi maksud yang terkandung didalam hati. Itulah sebabnya kami dating kemari, tidak menghiraukan lapar dahaga, onak dan duri, dilanggar, dilanda, dikuakkan rintangan dan kendala disingkirkan. Kami mendengar tuan-tuan orang budiman arif cendekiawan dan bijaksana, Paham dikias, arif diumpama, Memegang adat dan kebiasaan menepati janji dan kata-kata, Dari dahulu sampai sekarang, Siapa salah siapa ditimbang, Adat dan syarat jadi pegangan. Kemudian dari pada itu tuan-tuan yang budiman … Besarlah sudah remaja dirumah putra dari … Umur sudah setahun jagung, Darah sudah setampuk pinang, Laki-laki remaja lajang, Menjadi hutang ibu bapanya, Baru sebahagian hutang dibayar. Pertama: Kerat pusat dan berbuai/berayun, Kedua: Berkhitan/Sunat Rasul, Ketiga: Mengaji khatam Qur’an, Keempat: Diajar bersopan santun, hanya yang Kelima: yang belum. Hukum adat hukum negeri, Wajib disuruh berumah tangga, Mencukupkan syarat manusiawi, Menambah turunan anak manusia. Desau angin telah berlalu, risik merisik himbau menghimbau, berdesir-desir berkesan di kalbu, kait berkait rotan di hutan, jalin-berjalin menjadi satu. Tuan-tuan yang kami muliakan, jika "remaja" dimisalkan seekor kumbang, terbang tinggi di sawang lapang, terbang melintas melalui taman, jatuhlah pandangan pada jambangan, indah letaknya ditengah ruang, berisi kembang sedang mengembang. pulanglah kumbang menghadap keluarga, menceritakan bunga menawan hati, siang malam teringat saja, teringat-ingat termimpi-mimpi. 378 Lampiran seluruh keluarga telah berapat, diberilah tugas kepada kami, untuk bertanya secara adat, menyampaikan maksud dengan resmi. bolehkah kami dengan cerana, memberi sirih dengan setangan, bolehkah kami datang bertanya, adakah kembang dalam jambangan. sekian dahulu kami bertanya (Bentara Sabda: Pihak Perempuan) Tuan-tuan yang kami hormati Semua kata telah didengar, nampaknya "Kumbang tukang pesiar" Karena tuan datang menjenguk Membuat hati menjadi sejuk Seluruh keluarga sudah berembug Kata ini kami sampaikan sebelum sirih kami makan banyaklah kembang ditaman lebih dari satu didalam puri beranikah kumbang datang menyeri karena bunga dilingkungi duri sesungguhnya kembang belum bertali bunga dirawat dikawal rapi oleh keluarga sanak famili itulah kata dari kami (Mendengar jawaban ini pihak laki-laki nampak menjadi gembira, sebab pihak perempuan telah memberi harapan) (Maka Benatara Sabda pihak laki-laki kembali meneruskan kata-kata) Maaf kami tuan, Rumah mulia punya penunggu Masyhur semerbak segenap penjuru Kehlir melalui seluruh Tanjung Kehulu sampai kegunung-gunung Bukan bunga sembarang bunga Mawar idaman suntingan utama Bunga penghias indah sempurna Untuk semerbak penghuni rumah 379 View publication stats