Hematologi Klinik Ringkas Kutipan Pasal 72: Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta (Undang-Undang No. 19 Tahun 2002) l. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda pal ing sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupial.r), arau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyialkan, mer.namerkan, mengedalkan, atau menjual kepada umurn suatu ciptaan atau barang hasil pelan-tgaran FIak Cipta atau Hak Telkart sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dipidana dengan pidana penjala paling lania 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.500.000 000.00 (lima ratus jura rupiahl. PeNrtNc Drxtrnlltrl Penerbit adalal-r rckanan pengarang untuk rnenerbitkan sebuah buku. Bersarna pengarang, pcnerbit menciptakan buku r-rntuk drtelbitkan. Penelbit mempunyai hak atas penerbitan buku tersebut serta distlibusinya, sedangkan pcngarang memegang hak penuh atas karangannya dan belhak mendapatkan royalti atas penjualan bukunya dari penerbit. Percetakan adalah pcrusahaan yang mcmiliki mesin cetak dan menjual jasa pencetakan. Percetakan tidak memiliki hak apa pun dari buku yang dicetaknya kecuali upah. Percetakan tidak bcltanggungjawab atas isi buku yang clicetaknya. Pengarang adalah pencipta buku yang menyerahkan naskahnya untuk ditcrbitkan di sebuah penerbit. Pengarang memiliki hak penuh atas karangannya, namun menyerahkan hak penerbitan dan distribusi bukunya kepada pencrbit yang ditunjuknya sesuai batas-batas yang ditentukan dalani peljanjian. Pengarang berhak mcndapatkan royalti atas karyanya dari penclbit, sesuai dengan ketentuan di dal am perj anj i an Pengaran g-Pcnerbi L Pembajak adalah pihak yang mengambil keuntungan dali kepakaran pengarang dan kebutuhan belajar masyarakat. Pembajak tidak niempunyai liak mencetak, tidak memiliki hak menggandakan, mendistlibusikan, dan rnenjual buku yang digandakannyakarenatidakdilindungi copyrightataupunpcljanjianpengarangpenerbit. Pembajak tidak peduli atas jerih payah pengarang. Buku pcmbajak dapat lebih murah karena rnereka tidak perlu mcmpersiapkan naskal-r mulai dari pemilihan judul, editing sampai persiapan pracetak, tidak membayar royalti, dan tidak terikat perlanjian dengan pihak mana pun. PBrrHaJnx,q.N Buxu Aoalarr KRTMTNAL! Anda jangan menggunakan buku bajakan, demi menghargai jerih payah para pcngarang yang notabene adalah para guru. Hematologi Klinik Ringkas Prof. Dr. I Made Bakta PENERBIT BUKU KEDOKTERAN ME ECC1629 HEMATOLOGI KLINIK RINGKAS Oleh: Prof. Dr. I Made Bakta Copy editor: Khastrifah & Daniel Letare Purba Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Buku Kedokteran EGC O 2003 Penerbit Buku Kedokteran EGC P.O. Box 4276lIakarta 1,0042 Telepon: 6530 6283 Anggota IKAPI Desain kulit muka: Yohanes Duta Kurnia Utama Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit. Cetakan 2012 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) I Made Bakta - Hematologi Klinik Ringkas / I Made Bakta. Jakarta : EGC,2006. vi,292 hlm. ; 14 x 21 cm. rsBN 979-448-800-3 1. Hematologi. I. Judul. 616.15 lsi di luar tanggung jawab percetakan KATA PENGANTAR Buku ini disusun unruk mahasiswa kedokteran (S1), para peserra didik pendidikan spesialis penyakit dalain dan mungkin juga pediatrik yang ingin mendalami dasar-dasar hematologi klinik. selain itu, buku ini juga ditujukan untuk mengatasi terbatasnya sumber bacaan terutama dalam bahasa Indonesia, dan adanya keinginan dari mahasiswa untuk mendapatkan bahan ySng praktis dan ringkas. Karena sifatnya yang ringkas maka mahasiswa tidak cukup hanya mempelajari buku ini, tetapi untuk hal-hal lang. lebih mendalam harus dicari pada buku hematologi klinik yang lebih lengkap. Hematologi klinik adalah bagian ilmu kedokteran yang bersifat lintas disiplin. Berbagai disiplin terlibat di dalamnya, rermasuk disiplin penyakit dalam, pediatri, patologi klinik, patologi anaromi, bedah, kebidanan, dan lainlain. Oleh karena itu, pendekarannya harus bersifat komprehensif. Perkembangan cabang ilmu ini sangar cepat maka seyogianya kita mengikuti perkembangan rersebut dengan saksama agar kita jangan ketinggalan. Oleh karena itu, buku ini harus rerus menerus direvisi agar dapat menyesuaikan perkembangan terakhir. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr Tjok. Gde Dharmayuda, SppD, staf divisi hematologi dan onkologi medik, Bagian/SMF penyakit Dalam Fakultas Kedokterin l-Iniversitas Udayana/RS Sanglah Denpasar yang telah ikut memeriksa naskah ini sebelum diterbitkan. Tentu saja buku ini penuh dengan kekurangan-kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangar diharapkan dari sidang pembaca untuk perbaikan pada edisi-edisi berikutnya. dr Ketut Suega, SpPD, dan Denpasar, Januari 2006 Penulis DAFTAR ISI Kata Pengantar v Bab Bab Bab I 2 3 4 Bab 5 Bab 6 BabT Bab 8 Bab 9 Bab 10 Bab 11 Bab 12 Bab 13 Bab 14 Bab Hematologi Dasar I Sistem Eriuoid 9 Anemia Hipokromik Mikrositer dengan Gangguan Metabolisme Besi 26 Anemia Megaloblastik 45 Anemia Hemolitik 50 Anemia karena Kegagalan Sumsum Tulang 97 Anemia pada Penyakit Sistemik 113 Keganasan Hematologik I 16 Leukemia dan Penyakit Mieloproliferarif 120 Limfoma Maligna' 192 Gamopati Monoklonal 220 Hemostasis 233 Thrombosis 255 Tiansfusi Darah 271 Daftar Rujukan280 Indela 281 vt Bab 1 HEMATOLOGI DASAR Pendahuluan Hematologi ialah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari darah, organ pembentuk darah dan jaringan limforetikuler serta kelainan- kelainan yang timbul darinya. Hematologi mernpelajari baik keadaan fisiologik maupun patologik organ-organ tersebut di atas sehingga hematologi meliputi bidang ilmu kedokteran dasar maupun bidang kedokteran klinik. Di bidang ilmu penyakit dalam, hematologi merupakan divisi tersendiri yang bergabung dengan subdisiplin onkologi medik. Hematologi dalam hal ini membahas hematologi dasar, hematologi klinik, dan imunohematologi. Perkembangan bidang hematologi demikian cepat terutama akibat perkembangan imunologi, biologi molekuleq dan genetika. Oleh karena itu, timbul pengkhususan mengenai anemia, keganasan hematologi, penyakit perdarahan (hemonhagic diathesis) dan transfusi darah, yang banyak menyang- kut imunohematologi.l-7 Darah Darah merupakan komponen esensial mahluk hidup, mulai dari binatang primitif sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam pembuluh darah sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai: (a) pembawa oksigen (oxygen carrier); (b) mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi; dan (c) mekanisme het-3 mostasis. Darah terdiri atas 2 kompo.,..r ut"-", l. Plasma darah: bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air, elektrolit, dan protein darah. 2. Butir-butir darah (blood corpuscle), yang terdiri atas: a. eritrosit: sel darah merah (SDM)-red blood cell (RBa b. leukosit: sel darah putih (SDP)-white blood cell MBC) Hematologi Klinik Ringkas c. trombosit: butir Plasma darah pembeku-platelet dikurangi protein pembekuan darah disebut sebagai serum. Hemopoesis (hematopoesis) Hemopoesis atau hematopoesis ialah proses pembentukan darah. Tempat_hemopoesis pada manusia berpindah-pindah sesuai dengan u-arr,1-7 a. yolh sac; umur 0-3 bulan inrauterin umur 3-6 bulan intrauterin c. sumsum tulang: umur 4 bulan intrauterin-dewasa. Perkembangan hemopoesis menurur umur ini dapat dilihat b. hati & lien: pada gambar 1-1. Bme manow (axial *detm) Hematopoess '.,,80ne mano i (dislal long bones) 012 3456 78 9 Mmlhs 10 20 30 40 50 60 70 Ymrs Gambar 1-1. Perkembangan hemopoesis menurut urrrur.6-7 Pada orang dewasa dalam keadaan fisiologik semua hemopoesis terjadi pada sumsum tulang. Dalam keadaan patologik, seperti pada mielofibrosis, hemopoesis terjadi di luar sumsum tulang, rerurama di lien, disebut sebagai hemopoesis ekstrameduler. Untuk kelangsung- an hemopoesis diperlukan: a-6 Dasar 3 l . Sel induk hemopoetik (hematopoietic ,rr-:t;"tosi Sel induk hemopoetik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi sel-sel darah, rermasuk sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), butir pembeku (trombosit), dan juga beberapa sel dalam surnsum nrlang sepeni fibroblast. Sel induk yang paling primitif disebut sebrgd pluipotenr (ntipoten) stem celL sel induk pluripotent mempunyai ,. 1-6 sltat: a. self renett,al: kemampuan memperbarui diri sendiri sehingga ddak akan pernah habis meskipun terus membelah; b. proliferarifi kemampuan membelah atau memperbanyak diri; c. diferensiatifi kemampuan untuk mematangkan diri menjadi sel-sel dengan fungsi rerrenru. Menurut sifat kemampuan diferensiasinya maka sel induk heniopoetik dapat dibagi menjadi: a. Pluripotent (totipztent) stem cell: sel induk yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan seluruh jenis sel-sel darah. b. Committed stem cell: sel induk yang mempunyai komitmen untuk berdiferensiasi melalui salah satu garis turuna n sel (cell line). Sel induk yang termasuk golo.rg"n ini ialah sel induk mieloid dan sel induk limfoid. c. Oligopotent stern cell: sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi hanya beberapa jenis sel. Misalnya, CFU-GM (cobny forming , unit-granubryte/monocyte) yang dapat berkembang hanya menjadi sel-sel granulosit dan sel-sel monosit. d. Unipotent stem cell: sel induk yang hanya mampu berkembang menjadi satu jenis sel saja. Contoh: CFU-E (colony forming unit-erythrocyte) hanya dapat menjadi eritrosit, CFU-G (cobny forming unit-granulocyte) hanya mampu berkembang menjadi sel-sel granulosir. Gambar skematik dan hierarki susunan sel induk hemopoetik dapar dilihat pada gambar dan gambar l-3. Semula sel induk dianggap hanya berada dalam sumsum rulang, setelah berdiferensiasi menjadi sel l-2 maang kemudian dilepaskan ke darah tepi. Sekarang dapat dibuktikan bahwa sel induk juga beredar dalam sirkulasi, tetapi tidak dapat dideteksi dengan teknik pengecatan konvensional. Keberadaan sel ini 4 Hematotogi Klinik Ringkas dalam darah tepi dapat dibuktikan dengan teknik immunopheno1/ping. Sel induk dalam darah tepi ini dapat dipisahkan dengan teknik hemapheresis, kemudian dapat dicangkokkan pada orang lain. Teknik ini disebut sebagai peripheral blood stem cell transplantation.l Gambar 1-2. Diagram skematik hierarki sel indr.rk hemopoetik nenurlrt Hoffbrand et al.8 ._----..--.-.-..11 r Hffiodolic !L-J s". iNl" u*aes I II Cqnmfin€nt I r II | ** I I ^ I I I | l- l-t* I .lI I r",u,"ilsllfll Cmmt{6d I or""t P,og-ir* c"s" tI --*.-O I lcensl *c -o I Bdtro!6dor! f{dltroedoB O-'C ^ -/O- - -o* l\ (O: ; r*\^ ..e i\^1- | i I .r,c' O: I I of O O( c'sueyetro!6n{o6 i*@ ro* r*@ Mdu,"*ec'+Me€sqsn'bs I wxu \e-* 1 Er'n'oid P'o{sno- t*a I r'!z Er/h'€f es t--€t I Gambar 1-3. Hierarki sel induk hematopoetik dan garis turunannya secara morfologik menurut Wintrobe et al1 HematoLogi 2. Lingkungan mikro Dasar 5 (microenuirontment) sumsum tulang Lrngkungan mil<ro sumzum nrlang adalah subsarui yang memungkinkan sel induk tumbuh secara kondusif, Komponen lingkungan meliputi berikut: a. mikrosirkulasi dalam sumsum tulang b. sel-sel srroma: i. Sel endotil ii. Sel lemak iii. Fib roblast iv. v. c. milro ini Makrofag Sel redkulum (bknhet ce$ matriks ekstraseluler: fibronektin, haemonektin, laminin, kolagen, dan proteoglikan. pfuripotent Stem cellr:r Gambar 1-4. Gambaran skematik lingkungan mikro sumsum tulang menurut Hoffbrand et al.8 Lingkungan mikro sangar penring dalam hemopoesis karena berfungsi untuk berikur: a. Menyediakan nutlisi dan bahan hemopoesis yang dibawa oleh peredaran darah mikro dalam sumsum tulang. b. Komunikasi antarsel (cell to cell communbation), rcruriama ditentukan oleh adanya adhesion molecule. 6 Hematologi Klinik Ringkas c. Menghasilkan zat yang mengatur hemopoesis: hematopoietic grouth factoa cytohine, dan lain-lain. Jalinan semua komponen tersebur membentuk suatu struktur yang sangat kompleks, seperri digambarkan secara skematik pada gambar 1-4. 3. Bahan-bahan pembentuk darah Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembentukan darah adalah: a. asam folat 6c vitamin B12: merupakan bahan pokok pembentuk inti sel b. besi: sangat diperlukan dalam pembentukan hemoglobin c. cobalt, magnesium, Cu, Zn d. asam amino e. vitamin lain: vitamin C, B komples, dan lain-lain. Sumsum tulang yang normal merupakan bagian esensial dari hemopoesis. Apabila struktur atau fungsi sumsum tulang rerganggu maka dapat menimbulkan kelainan. Gangguan sumsum tulang dapat terjadi oleh karena: 6 a. Kegagalan produksi sel: dijumpai pada anemia aplastik b. Kegagalan maturasi sel: dijumpai pada sindroma mielodisplastik c. Produksi sel-sel yang tidak normal: misalnya pada, thalasemia, hemoglobinopati, dan lain-lain. d. Hilartgnya mekanisme regulasi yang normal, seperti pada: i. leukemia akut ii. penyakit mieloproliferatif iii. penyakit limfoproliferatif. Gangguan sumsum tulang menimbulkan berbagai jenis penyakit. Penyakit-penyakit yang mengenai sel induk hemopoetik antara lain adalah:1-6 a. Leukemia mieloid akut b. Leukemia mieloid kronik c. Sindroma preleukemia (myelodysplastic d. Polisitemia vera e. Mlelofbrosis uith m1'eloid metapksia f. Anemia aplastik g. Cyclic neutropenia. syndrome) Hematologi Dasar 7 4. Mekanisme regulasi Mekanisme regulasi sangar penting unruk mengatur arah dan kuantitas pertumbuhan sel dan pelepasan sel darah yang matang dari sumsum tulang ke darah tepi sehingga sumsum tulang dapat merespons kebutuhan tubuh dengan tepar. Produksi komponen darah yang berlebihan ataupun kekurangan (defisiensi) sama-sarrra menimbulkan penyakit. Zat-zar yang berpengaruh dalam mekanisme regulasi ini adalah:1-6 a. Faktor pertumbuhan hemopoesis (hematopoietic growth factors): i. ii. iii. iv. v. vi. b. Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) Granulocyte colony stinukting factor (G-CSF) Macrophage-colony stimulating factor (M-CSF) Thrombopoietin Burst promoting actiuiry (BPA) Stem cell factor (hit ligand) Sitokin (cytohine) seperti misalnya: IL-3 (interleukin-3), lL-4,IL5, IL-7, IL-8, IL-9, IL-l0, IL.11. Grotuth factor dan sitokin sebagian besar dibentuk oleh sel-sel darah sendiri, seperti limfosit, monosit atau malrofag, serra sebagian oleh sel-sel penunjang, sepeni fibroblast dan endotil. Sitokin ada yang merangsang perrumbuhan sel induk (stimuktory qttohine), sebagian lagi menekan penumbuhan sel induk (inhibitory rytohine). Keseimbangan kedua jenis sitokin ini sangat menentukan proses hemopoesis normal. c. Hormon hemopoetik spesifik Erythropoietin' hormon yang dibentuk di ginjal khusus merangsang pertumbuhan prekursor eritroid. d. hormon nonspesifik: beberapa jenis hormon diperlukan dalam jumlah hemopoesis, seperri: i. ii. iii. iv. v. kecil untuk Androgen: yang berfungsi menstimulasi eritropoesis Estrogen: menimbulkan inhibisi eritropoesis Glukokortikoid Grouth ltormon Hormon tiroid 8 Hematologi Ktinik Ringkas Dalam regulasi hemopoesis normal terdapat feed bach mechanism: suatu mekanisme umpan balik yang dapat merangsang hemopoesis jika rubuh kekurangan komponen darah Qositiue hop) atau menekan hemopoesis jika tubuh kelebihan komponen darah tenentu (ncgatiue bop). Bab 2 SISTEM ERITROID Sistem eritroid terdiri atas sel darah merah (red cell) atau eritrosit (erythrocyte) dan prekursor eritroid (erythroid precurcor). IJnir fungsional dari sistem eritroid ini dikenal sebagai eritron (erythron) yang mempunyai fungsi penting sebagai pembawa oksigen (oxygen carcier). Prekursor eritroid dalam sumsum tulang berasal dari sel induk hemopoetik, melalui jalur sel induk mieloid, kemudian menjadi sel induk eritroid, yaitu BFU-E dan selanjutnya CFU-E. Prekursor eritorid yang dapat dikenal secara morfologik konvensional dalam sumsum tulang dikenal sebagai pronormoblnr, kemudian berkembang menjadi basop hilic (ear$ normo b /nt), selaryurnya po ly c hro matop hilic normo b lnst, dan acidophilic (kte) normoblat (llhat gambar 1-2 dan gambar t-3). Sel ini kemudian kehilangan intinya, masih tertinggal sisa-sisa RNA, yang jika dicat dengan pengecaran khusus akan tampak, seperti jala sehingga disebut retikulosit. Retikulosit akan dilepas ke darah repi, kehilangan sisa RNA sehingga menjadi eritrosit dewasa. Proses ini di kenal sebagai eritropoesis (erythropoiesis), yang terjadi dalam sumsum tulang. Apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis, eritropoesis terjadi di luar sumsum tulang, seperti di lien dan hati, maka proses ini disebut sebagai eritropoesis ekstrameduler.l-6 Proses pembentukan eritrosit memerl,ukan: a. sel induk: CFU-E, BFU-E, normoblast (eritroblast) b. bahan pembentuk eritrosit: besi, vitamin Bl2, asam folat, prtein, dan lainlain c. mekanisme regulasi: faktor perrumbuhan hemopoetik dan hormon eritropoetin Eritrosit hidup dan beredar dalam darah tepi (life span) rata-rara selama 120 hari. Setelah 120 hari eritrosit mengalami proses penuaan (senescence) kemudian dikeluarkan dari sirkulasi oleh sistem RES. Apabila destruksi eritrosit terjadi sebelum waktunya (<120 hari) maka proses ini disebut sebagai hemolisis. 10 Hematologi Klinik Ringkas Struktur Eritrosit Eritrosit marang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7 mikron. Eritrosit merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel ini hanya terdiri atas membran dan sitoplasma tanpa inti sel. Komponen eritrosit terdiri atas: 1 . Membran eritrosit 2. Sistem enzim; yang terpenting: dalam Embden Meyerhof pathraa!: ?lruuate hinasei dalam pentose ?athway enzim G6PD (glucose 6-p hosp hate dehydrogenase) 3. Hei.noglobin: berfungsi sebagai alat angkut oksigen. Komponennya terdiri atas: a. heme, yang merupakan gabungan proroporfirin dengan besi b. globin: bagian protein yang rerdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai beta. Perubahan struktur eritrosit akan menimbulkan kelainan. Kelainan yang timbul karena kelainan membran disebut sebagai membranopati, kelainan akibat gangguan sistem ensim eritrosit disebut ensimopati, s€danglsn kelainan akibat gangguan strukur hemoglobin disebur sebagai hemoglobinopati. r-6 Destruksi Eritrosit Proses penghancuran eritrosit dilukiskan dalam gambar 2-1. Destruksi yang terjadi karena proses penuaan disebut ptoses senescence, sedanglan destruksi patologik disebut hemolisis. Hemolisis dapat terjadi intravaskuler, dapat juga ekstravaskuler, rerutama pada sistem RES, yaitu lien dan hati. Hemolisis yang terjadi pada eritrosit akan mengakibatkan terurainya komponen-komponen hemoglobin menjadi berikut: l. komponen protein yaitu globin yang akan dikembalikanke pool protein dan dapat dipakai kembali. 2. komponen heme akan pecah menjadi dua, yaitu: a. Besi: yang akan dikembalikanke pool besi dan dipakai ulang. b. Bilirubini y^ng akan dielakresikan melalui hati dan empedu. Sistem Eritroid 11 Eritrosit hemolisis atau proses penuaan I v Hemoglobin ?===/-Hem 7 Globin I amino ttl Asam Pool protein tlll CO Fe pool besi i * Disimpan/ digunakan lagi Proto porfirin Bilirubin indirek HArl Disimpan/ digunakan lagi Bilirubin direk I EMPEDU ,l ''t Feses: Sterkobilinogen Urine Urobilinogen Gambar 2-1. Skema deshuksi eritrosif ANEMIA Anemia merupakan kelainan hematologi )xang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Untuk mendapatkan pengertian tentang anemia maka kita perlu menetapkin definisi anemia:l-6 12 Hematologi Klinik Ringkas l. 2. Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosir dan/atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrft (packed red cell). Kriteria Anemia Untuk menjabarkan definisi anemia di atas maka perlu ditetapkan batas hemoglobin atau hematokrit yang kita anggap sudah terjadi anemia. Batas ini disebut sebagai cat of point (titik pemilah), yang sangat dipengaruhi oleh: umur, jenis kelamin, ketinggian tempar tinggal dari permukaan laur, dan lainlain. Cut off point yang umum dipakai ialah kriteria 'WHO tahun l968.e Dinyatakan anemia bila: Laki-laki dewasa: hemoglobin < 73 gldl Perempuan dewasa tak hamil: hemoglobin < 12 gldl Perempuan hamil: Anak umur 6-14 tahun: Anak umur 6 bulan-6 tahun: A. Kriteria hemoglobin hemoglobin hemoglobin < ll g/dl < 12 gldl < ll g/dl Klinik Alasan praktis kriteria anemia di klinik (dr rumah sakit atau praktik klinik) untuk Indonesia pada umumnya adalah: 1. Hemoglobin < l0 g/dl 2. Hematokrit < 30o/o 3. Eritrosit < 2,8 jutalmm3 Hal ini dipertimbangkan untuk mengurangi beban klinisi melakukan uorh up anemia jika kita memakai kriteria'WHO. B. Derajat anemia Derajat anemia anrara lain ditentukan oleh kadar hemoglobin. Derajat anemia perlu disepakati sebagai dasar pengelolaan kasus anemia. Klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai adalah berikut'8-e sebagai Ststem 1. fungan Eritroid 13 sekali: Hb 2. Ringan: 3. Sedang: 4. Berar: 10 gldl-cut of point Hb 8 g/dl-Hb. 9,9 g/dl Hb 6 g/dl - Hb 7,9 gldl Hb < 6 g/dl C. Prevalensi Anemia Meskipun anemia dianggap kelainan yang sangar sering dijumpai di Indonesia, angka prevalensi yang resmi belum pernah direrbitkan. Angka-angka y^ng ada merupakan hasil dari penelitian-penelitian terpisah yang dilakukan di berbagai rempat di Indonesia. Angka prevalensi anemia di Indonesia menurur Husaini dkkl0 dapat dilihat pada tabel 2-l di bawah ini. Tabel 2-1 Perkiraan Prevalensi Anemia di Indonesiae Kelompok Populasi Angka Prevalensi Anak prase-kolah (balita) ,t, ' 2. Anak usia sekolah 3. Dewasa tidak hamil 30:40% 4. Hamil 5, Laki-laki dewasa 50-7A% 20-30To 6. Pekerja berpenghasilan rendah 30-40% 1. 25-350 30-4A% A"gk" prevalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada geografi. Salah satu faktor determinan utama adalah taraf sosial ekonomi masyarakat. Data anemia yang dikumpulkan oleh 'S7HO di seluruh dunia sampai dengan tahun 1985 dapat dilihat pada abel2-2.e D. KlasifikasiAnemia Anemia dapat diklasifikasikan dengan berbagai c:ra, rergantung dari sudut mana kita melihat dan tujuan kita melakukan klasifikasi tersebut. Klasifikasi yang paling sering dipakai adalah:r-7 l. Klasifikasi morfologiki yang berdasarkan morfologi eritrosit pada pemeril<saan apusan darah tepi atau dengan melihat indela eritrosit. Dengan pemakaian alat hitung hematologi automatik 16 Hematologi Klinik Ringkas Tabel 2-4 Klasifikasi Anemia Berdasarkan Etiopatogenesisl-7 A Produksi eritrosit menurun 1. Kekurangan bahan untuk eritrosit a. besi: anemia defisiensi besi b. vitamin 812 dan asam folat, disebut sebagai anemia megaloblastik 2. Gangguan utilisasi besi a. anemia akibat penyakit kronik 3. 4. b. anemia sideroblastik Kerusakan jaringan sumsum tulang a. atrofi dengan penggantian oleh jaringan lemak: anemia aplastiUhipoplastik b. penggantian oleh jaringan fibrotik/tumor: anemia leukoeritroblastik/mieloptisik Fungsi sumsum tulang kurang baik karena tidak diketahui. a. b. anemia diseritropoetik anemia pada sindrom mielodisplastik B. Kehilangan eritrosit dari tubuh. 1. 2. anemia pascaperdarahan akut anemia pascaperdarahan kronik C. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis). 1. Faktor ekstrakorpuskuler a. , 2. antibodi terhadap eritrosit: i. Autoantibodi-AlHA (autoimmune hemolytic anemia) ii. isoantibodi-HDN (henolytic dlsease of the newbom) b. hipersplenisme c. pemaparan terhadap bahan kimia d. akibat infeksi bakteri/parasit e. kerusakan mekanik Faktor intrakorpuskuler . a.: gangguan membran b. c. i. ii. hereditary spherocyfosis ii. defisiensi COPO lgtr"ose-6 phosph ate dehydrogenase) hereditary ettiptocytosis Gangguan ensim i. defisiensi pyruvate kinase Gangguan hemoglobin i. hemoglobinopati struktural ii. thalassemia D. Bentuk campuran E. Bentuk yang patogenesisnya belum jelas. Sistem Eritroid 17 Tabel 2-5 Patofisiologi Timbulnya Gejala Anemial'7 Anoksia organ target menimbulkan gejala tergantung pada organ mana yang terkena. 2. Mekanisme adaptasi (kompensasi) terhadap anemia: a. Penurunan afinitas Hb ierhadap oksigen den$an meningkatkan ensim 2,3 DPG (2,3 diphospho gtycerate) b. Meningkatkan curah jantung (COp = cardiac outputl) c. Redistribusi aliran darah d. Menurunkan tekanan oksigen vena 1. EritrosiUhemoglobin menurun I + Anoksia organ target Mekanisme kompensasi tubuh \ ,/ Gejala anemia Gambar 2-2. Skema patofisiologi anemia c. d. Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun; Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan halus. 2. Gejala khas masing-masing anemia Gejala yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia, seperti: a. anemia defisiensi besi: disfagia, arrofi papil lidah, stomatitis angularis; b. anemia defisiensi asam folat: lidah merah (bffi tongue); c. anemia hemolitik ikterus dan hepatosplenomegali; d. anemia aplastik: perdarahan kulir atau mukosa dan tanda- tanda infeksi. 18 Hematologi Klinik Ringkas 3. Gejala akibat penyakit dasar Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemi. Gejala ini dmbul karena penyakit-penyakit yang mendasari anemia rersebut. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejala seperti: pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Kanker kolon dapat menimbulkan gejala berupa perubahan sifat defekasi (change of bowel habit), feses bercampur darah atau lendir. Pendekatan Diagnostik untuk Penderita Anemia Diagnosis anemia dapat sederhana, tetapi sering juga bersifat sangat kompleks, oleh karena itu langkahJangkah diagnosis harus dilakukan secara sistematik dan efisien. Untuk menegakkan diagnosis anemia perlu dikerjaka.,r 1-6 1. Anamnesis Seperti anamnesis pada umumnya, anarnnesis pada kasus anemia harus ditujukan untuk mengeksplorasi riwayat penyakit sekarang; a. b. c. d. 2. riwayat penyakit terdahulu; riwayat gizi; anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia, dan fisik serta riwayat pemakaian obat; e. riwayar keluarga. Pemeriksaan fisik: Pemerilaaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh. Perhatian khusus diberikan pada berikut: a. warna kulit: pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti jerami; b. purpura: petechie dan echlmosis; c. kuku: koilonychia (kuku sendok) d. mata: ikterus, konyungtiva pucat, perubahan fundus; e. mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis dan stomatitis angularis; f. limfadenopati; g. hepatomegali; Sistem Eritroid h. splenomegali; k. nyeri tulang atau nyeri srernum; hemarthrosis atau ankilosis sendi; pembengkakan testis; i. j. l. 19 pembengkakan parotis; m. kelainan sistem sara. 4. Pemeriksaan laboratorium hematologik Pemeriksaan laboratorium hematologik dilakukan secara berrahap. Pemeriksaan berikutnya dilakukan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan terdahulu sehingga lebih terarah dan efisien. Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan meliputi: a. Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal pada setiap kasus anemia. Dengan pemeriksaan ini maka dapat dipasti- kan adanya anemia dan bentuk morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini melipuri: i. Kadar hemoglobin ii. Indela eritrosit (MCV, MCH dan MCHC). Dengan perkembangan electronic counting di bidang hematologi maka hasil Hb,'!7BC (darah putih) dan PLT (trombosit) serta indeks eritrosit dapat diketahui sekaligus. Dengan pemeriksaan yang baru ini maka juga diketahui RD\f (red cell distribution width) yang menunjukkan tingkat anisositosis sel darah merah. iii. Apusan darah b. tepi Pemeriksaan rutin: p€meritsaan ini juga dikerjakan pada semua kasus anemia, untuk mengetahui kelainan pada sistem leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yang harus dikerjakan adalah: i. ii. laju endap darah; hitung diferensial; iii. hitung retikulosit. c. Pemeriksaan sumsum tulang: pemerilsaan ini harus dikerjakan pada sebagian besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitif meskipun ada beberapa kasus yang diagnosisnya tidak memerlukan pemeriksaan sumsum dang. 20 Hematologi Klinik Ringkas d. Pemeriksaan atas indikasi khusus: pemeriksaan ini baru dikerjakan jika kita telah mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah unruk mengkonfirmasi dugaan diagnosis tersebut. Pemeriksaan rersebut antara lain: i. anemia defisiensi 6esi: serum iron, TIBC, saturasi transferin, ii. dan feritin serum; anemia megaloblastik: asarn folat darah/eritrosit, vitamin B12. iii. anemia hemolitilc hiturg raih:losit, tes C-oombs, eleknoforesis Hb; iv. anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia. 5. Pemeril<saan laboratorium nonhematologilc pemeriksaan-pemeril<saan yang perlu dikerjakan anrara lain: a. faal ginjal; b. faal endokrin; c. asam urat; d. faal hati; e. biakan kuman; f dan lain-lain. Berbagai jenis anemia dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik, dan hiporiroidisme. Ada juga kasus anemia yang disebabkan oleh penyakit dasar yang disertai hiperurisemia, seperri mieloma multipel. Pada kasus anemia yang disertai sepsis, seperri pada anemia aplastik diperlukan kultur darah. 6. Pemeriksaan penunjang lain Pada beberapa kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang seperri: a. Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemerilsaan histopatologi b. Radiologi: torak, bone suruey, USG, skening, limfangiografi. c. Pemeriksaan sitogenetik d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR = polymnase chain reaction, FISH--fluorescence in situ hybridization, dan lainJain). Sistem Eritroid 21 Strategi Diagnosis Kasus Anemia Untuk menegakkan diagnosis anemia harus ditempuh 3 langkah, yaitu: l. Langkah pertama: membuktikan adanya anemia. 2. Langkah kedua: menetapkan jenis anemia yang dijumpai. 3. Langkah ketiga: menentukan penyebab anemia tersebut. Untuk dapat melaksanakan ketiga langkah tersebut dilakukan. 1. pendekatan kiinik; 2. pendekatan laboratorik; 3. pendekatan epidemiologik. klinik bergantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik untuk dapat mencari adanya sindroma anemia, tanda-tanda Pendekatan khas masing-masing anemia, serta gejala penyakit dasar. Sementara itu, pendekatan laboratorik dilakukan dengan menganalisis hasil pemeriksaan laboratorium menurut tahapan-tahapannya: pemeriksaan penyaring, pemeriksaan rutin dan pemeriksaan khusus. Pendekatan epidemiologik sangat penting dalam tahap penentuan etiologi. Dengan mengetahui pola etiologi anemia di suatu daerah maka perunjuk menuju diagnosis etiologik lebih mudah dikeijakan. Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (gambar' 2-3 sampai dengan 2-6). Prinsip Terapi Pada setiap terapi kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:1 1. Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan 2. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional dan efisien Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah: 1. Terapi gawat-darurat 2. Terapr khas untuk masing-masing anemia 3. Terapi kausal 4. Terapr ex juuantiuus 22 Hematologi Klinik Ringkas Anemra t I Apusan darah tepi dan indeks eritrosit (MCV MCH, MCHC) Anemia Anemia hipokromik mikrositer makrositer normokxomik normositer . I I t Lihat gambar 8 Anemia ll Lihat gambar 9 Lihat gambar 10 Gambar 2-3. Algoritma pendekatan diagnostik anemia l. Terapi" untuk mengatasi keadaan gawat darurar. Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung maka harus segera diberikan terapi darurat dengan ransfusi sel darah merah yang dimampatkan (packed red cell) untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut. Dalam keadaan demikian, spesimen untuk pemeriksaan yang dipengaruhi oleh transfirsi harus diambil terlebih dahulu, seperti apusan darah tepi, bahan untuk pemeriksaan besi serum, dan lainlain. 2. Terapi khas untuk masing-masing anemia. Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang drjumpai. Misalnya, preparat besi untuk anemia defisiensi besi, asam folat untuk defisiensi asam folat, dan lain-lain. 3. Terapi untuk mengobati penyakit dasar. Penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia harus diobati dengan baik. Jika tidak, anemia akan kambuh kembali. Misalnya, Sistem Eritroid 23 ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITER I I t Besi serum Normal Menurun I .-TIBC TIBC f T Feritin J J JJ Feritin normal 2"*''. I Besi sumsum Besi sumsum Elektroforesis tulang negatif tulang positif I HB t Ring sideroblast dalam sumsum tulang HbA2T I "ol ' I I Anemia defisiensi Anemia akibat Thalassemia beta Anemia sideroblastik penyakit kronik besi Gambar 2-4. Algoritma pendekatan diagnostik penderita dengan anemra hipokromik mikrositer boi y""g disebabkan oleh infelai cacing tambang harus diberikan obat anti cacing tambang. Akan tetapi, sayang tidak semua penyebab anemia dapat dikoreksi, seperti anemia anemia defisiensi yang bersifat familier/herediter. 4. Terapi ex juuantiuus Terapi yang teqpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini berhasil berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi 24 Hematologi Klinik Ringkas ANEMIA NORMOKROMIK NORMOSITER I + Retikulosil Meninqkat Normal/menurun -----------\ l'yil:t-, o'*i":'^r,* Tanda-hemolisis ^ J SumsJmtutang ,,7Nt* ,*li,Tu '"7"::;::,/,h",,,, ^,:1-^----> ..- I I / ,,i^-- 1," loa I /neirz / lteui t\ / miel Gambar 2-5. Algorihna pendekatan diagnostik anemia normokromik normositer ini hanya dilakukan jika tidak tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini penderita harus diawasi dengan kerat. Jika rerdapat respons yang baik terapi diteruskan, teapi jika tidak terdapar respons maka harus dilakukan evaluasi kembali. Sistem Eritrold 25 ANEMIA MAKROSITER I Retikulosit Normal/menurun I srtlt Riwayat perdarahan akut tur"ns I I ' Megaloblastik Non-megaloblastik I Anemia pascaperdarahan akut Anemia def.B1 2/asam folat /\\ /\\ serum Asam folat F aal tiroid rendah rendah I Faal hati Diplastik 812 / dalam terapi r /l def.B12 / / Anemia def. I I asam folai Anemia pada hipotiroidi Anemia pada penyakit hati kronik Sindroma mielodisplastik Gambar 2-6. Algoritma pendekatan diagnostik anemia makrositer Bab 3 ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITER DENGAN GANGGUAN METABOLISME BESI Patogenesis dasar dari kelompok anemia ini ialah berkurangnya penyediaan besi atau gangguan utilisasi besi oleh progenitor eritroid dalam sumsum tulang. Anemia hipokromik mikrositer dengan gangguan metabolisme besi merupakan penyebab anemia tersering yang dijumpai, baik dalam praktek klinik maupun di lapangan.l-6 Termasuk dalam kelompok ini ialah: 1. Anemia defisiensi besi 2. Anemia akibat penyakit kronik 3. Anemia sideroblastik. ANEMIA DEFISIENSI BESI Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (dzpleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC (total iron binding capacity) meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun, pengecltan besi sumsum nrlang negatif dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat besi. Anemia jenis ini merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau negara dunia ketiga karena sangat berkaitan erat dangan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangar merugikan serta dampak sosial yang cukup serius.l-7 Metabolisme Besi Besi merupakan trAce element yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Besi di alam terdapat dalam jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat 26 Anemia Hipokromik Mikrositer 27 dari segi evolusinya, rnaka sejak awal manusia dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber hewani, retapi kemudian pola makanan berubah di mana sebagian besar besi berasal dari sumber nabati, terutama di negara tropik, tetapi perangkat absorpsi besi tidak mengalami evolusi yang sama, sehingga banyak menimbulkan defisiensi besi. Komposisi Besi dalam Tubuh Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh, berupa: (1) senyawa besi fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh; (2) besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi berkurang (3) besi transpo! besi yang berikatan dengan protein terrentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu komparremen ke kompartemen lainnya. Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk logam bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan protein rertenru. Besi bebas akan merusak jaringan, mempunyai sifat, seperti radikal bebas. Thbel 3-1 menggambarkan komposisi besi pada seorang lakilaki dengan berat badan 75 kg.Jumlah besi pada wanita pada umunrnya lebih kecil oleh karena massa tubuh yang juga lebih kecil. Tabel 3-1 Kandungan Besi Seorang Laki-Laki dengan BB 75 kg A Senyawa besi '''.' fungsional B. Senyawa '' besi transportasi C. Senyawa besi cadangan Total ', 'Hemoglobin .', Mioglobin Ensim-ensim 2300 mg 320 mg B0 mg' , Transferin 3mg Feritin Hemosiderin . 700 mg 300 mg 3803 mg Absorpsi Besi Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan dalam usus. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorpsi. Absorpsi besi paling banyak terjadi pada duodenum 28 Hematologi Klinik Ringkas dan jejunum proksimal disebabkan oleh struktur epitel usus yang memungkinkan untuk itu. Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase, yaitu: 1. luminal besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di duodenum. Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk sebagai berikut: a. Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, proporsi absorpsinya Fase tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat b. sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi. Besi nonheme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan, proporsi absorpsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah. Tergolong sebagai bahan pemacu absorpsi besi adalah "ment factori' dan vitamin C, sedangkan yang tergolong sebagai bahan penghambat ialah tanat, phytat dan serat ffibre). Dalam lambung karena pengaruh asam lambung *aka besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri ke fero yang siap untuk diserap. 2. Fase mukosal: proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses aktif. Penyerapan besi terjadi terurama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangar kompleks. Dikenal adanya macosal bloch, suatu mekanisme yang dapat mengatur penyerapan besi melalui mukosa usus. 3. Fase korporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, serra penyimpanan besi (storage) oleh tubuh. Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Tlansferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis. Banyaknya absorpsi besi tergantung pada berikut: 1. Jumlah kandungan besi dalam makanan. 2. Jenis besi dalam makanan: besi heme atau nonheme 3. Adanya bahan penghambat aau pemacu absoqpsi dalam makanan. Anemia Hipokromik Mikrositer 29 4. Jumlah cadangan besi dalam tubuh. 5. Kecepatan eritropoesis. Siklus Besi dalam Tubuh Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang rerurup yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar antara 7-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari malaofag dalam 22 mg untuk ,dapat memenuhi kebutuhan eritropoesis sebanyak 24 mg per hari. Eritrosit yang terbentuk secara efektif yang akan beredar melalui sirkulasi memerlukan besi 17 mg, sedangkan besi sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena sumsum tulang sebesar terjadinya eritropoesis inefekdf (hemolisis intramedular). Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar, setelah mengalami proses penuaan f Erit,op6sls inetektit Sum3um lulang 22 Gambar 3-1. Skema siklus perfukaran besi dalam tubuh 30 Hematologi Klinik Ringkas juga akan dikembalikan pada malrofag sumsum tulang sebesar 17 mg sehingga dapat dilihat suatu lingkaran tertutup Qlosed circuit) yang sangat efisien, seperti yang dilukiskan pada gambar 3-1. Klasifikasi Defisiensi Besi Menurut Beratnya Defisiensi Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yait.t:l-6 1. Deplesi besi (iron depleted state): cadansan besi menurun, tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu. 2. Eritropoesis defisiensi besi (iron defcient erythropoiesi): cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik. Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia 3. defisiensi besi. Prevalensi Anemia Defisiensi Besi Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat. Dari berbagai data yang dikumpulkan sampai saat ini, didapatkan gambaran prevalensi anemia defisiensi besi seperti tertera pada tabel 3-2. Etiologi Anemia Defisiensi Besi Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.'-6 1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang da- pat berasal dari: Tabel 3-2 Prevalensi Anemia Defisiensi Besi di Dunia Afrika dewasa '' , Laki 60/o wanita takr h a:mil',''2o,/, Wanitarhamil , '607q Amerika Latin 3o/a ,,',.':' 'll:lJo/o" 39.46% 8'e lndonesia ,;;,;,,,,.1 16-5'00/o ,i'.":' 25-48o/a '.". 46-920h Anemia Hipokromik Mikrositer a. saluran cerna: akibat dari tukak peptik, kanker 31 lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing b. c. d. tambang; saluran ienimlia wanira: menorrhagia, atau merrorhagia; saluren kemih: hematuria; saluran napas: hemoptoe. 2. Faktor nurrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas bqsi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (rnakanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging). 3. Kebutuhan besi meningkat: seperti pada premaruritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan. 4. Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik. Pada orang dewasa, anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab urama. Penyebab perdarahan paling sering pada lakilaki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara itu, pada wanita paling sering karena menormetrorhagia. Patogenesis Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadang an besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron depbted state. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai: iron deficient erythropoiesis. Selanjutnya timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga disebut sebagai iron drficiency anemia. Fada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan lejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya. Gejala Anemia Defisiensi Besi Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan . besar, yaitu: l-6 32 l. Hematologl Klinik Ringkas Gejala umum anemia Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-B gldl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga men- 2. denging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindrom anemia tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat. Gejala khas akibat defisiensi besi Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tidak dijumpai pada anemia jenis lain, seperti: a. hoilonychza: kuku sendok (spoon nail): kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip, seperti sendok (gambar 3-2); b. atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang; c. stomatitis angularis: adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan; d. disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring; e. atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia. Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly: adalah kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipkromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia. 3. Gejala penyakit dasar Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakir yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya, pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning, seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker dijumpai gejala tergantung pada lokasi kanker tersebut. Pemeriksaan Laboratorium Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah:t-6 Anemia Hipokromik Mikrositer 33 Gambar 3-2. Kuku sendok (koilonychia) pada seorang penderita anemia defisiensi besi A. pada jari tangan, B. pada jari kaki. 1. Kadar hemoglobin dan indeks erirrosir: didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV.MCHC dan MCH menuiun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalassemia mayor. RDW (red cell distibution width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis. Indela eritrosit sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering rurun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul perlahan-perlahan. Apusan darah (gambar 3-3) menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilosirosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan rhalassemia. 34 Hematologi Klinik Ringkas Leuko-sit dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan dengan derajat anemia. Pada kasus ankilostomiasis sering dijumpai 2. 3. eosinofilia, Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total irzn binding capaciry (TIBC) meningkat >350 mgldl, da., sat,rr"si transferin <-I5o/o. Kadar serun feritin < 20 pgldl (ada yang memakai < 15 Fg/dl, ada juga <12 pg/dl): Jika terdapat inflamasi maka feritin serum sampai dengan 60 pg/dl masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. 4. 5. 6. 7. Protoporfirin eritrosit meningkat (>100 pg/dl) Sumsum tulang: menunjukkan hiperplasia normoblastik dengan normoblast kecil-kecil (micronormoblast) dominan. Pada laboratorium yang maju dapat diperilaa reseptor transferin: kadar reseptor transferin meningkat pada defisiensi besi, normal pada anemia akibat penyakit kronik dan fialassemia. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif). B. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi: antara lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif (Kato-Kaz), pemerilaaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium intake a:av barium inbop, dan lainlain, tergantung dari dugaan penyebab defisiensi besi tersebut. Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang repar. Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al)11 sebagai berikut: Anemia hipolromik mikrositer pada apusan darah tepi, atau MCV < 80 fl dan MCHC < 3lo/o dengan salah satu dari a, b, c, atau d. 1. dua dari tiga parameter di bawah ini: a. Besi serum <50 mg/dl Anemia Hipokromik Mikrositer 35 Gambar 3-3. Apusan darah tepi penderita anemia defisiensi besi, menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis (A). Tarnpak beberapa sel pensil (panah), bandingkan dengan apusan darah tepi normal di sebelahnya (B). b. TIBC >350 mg/dl c. Saturasi transferin: <15o/o. feritin serum <20 pgldl pengecatan sumsum ulang dengan biru prusia (Perli stain) me' nunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif 4. dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mglhari (atau preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoslobin lebih dari 2 gldl. 2. 3. Diagnosis tsanding Anemia defisiensi besi periu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya, seperti: 1. Anemia akibat penyakit kronik 2. Thalassemia 3. Anemia sideroblastik. Cara membedakan keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat pada tabel 3-3. 36 Hematologi KLinik Ringkas Tabel 3-3 Diagnosis Diferensial Anemia Defisiensi Besi Anemia Anemia Trait defisiensi akibatpeny. thalassemia besi Anemia sideroblastik kronik MCV MCH Menurun Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N Menurun Besi serum Menurun Menurun Normal Menurun/N Menurun/N Normal TIBC Meningkat Menurun Normal/l Normal/l Saturasi Menurun Menurun/N Meningkat Meningkat transferin < 15o/o 10-20% > 20o/o >20% Besi Negatif Positif Positif kuat Positif sumsum dgn tulang ring , sideroblast Protoporfirin Meningkat Meningkat Nornral Normal eritrosit Feritin seium <20 Eiektrofoesis N Hb. Menurun Normal Meningkat Meningkat pg/dl 20-200 pg/dl >50 pg/dl >50 pg/dl N Hb. A2 N meningkat Terapi Setelah diagnosis diregakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa, 1-6 l Terapi kausal: tergantung penyebabnya, misalnya: pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobaran menoragia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali. 2. Pemberian preparar besi untuk mengganri kekurangan besi dalam tubuh: a. Besi per oral: merupakan obat pilihan perrama karena efektif, murah, dan aman. Preparat yang tersedia, yaitu: i. Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparar pilihan pertama (murah dan efektif). Dosis: 3 x 200 mg. Anemia Hipokromik ii. Mikrositer 37 Fenous gluconate, ferrous fumarat, fenous lactate, dan fenous succinate, harga lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir sama. Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih banyak dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Efek samping dapat berupa mual, muntah, sena konsdpasi. Pengobatan diberikan sampai 6 bulan setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Kalau tidak, anemia sering kambuh kembali. b. Besi parenteral Efek samping lebih berbahaya, serta harganya lebih mahal. Indikasi, yaitu: i. intoleransi oral berat; ii. kepatuhan berobat kurang; iii. kolitis ulserativa; iv. perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir). Preparat yang tersedia: iron dextran czmplex, iron sorbitol citric acid com?lex. Dapat diberikan secara intramuskuler dalam atau intravena pelan. Efek samping: realci anafilaftsis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop. Dosis besi parenteral: harus dihitung dengan tepat karena besi berlebihan akan membahayakan pasien. Besarnya dosis dapat dihitung dari rumus di bawah ini: Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 3 3. Pengobatan laina a. diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani b. vitamin c: vitamin c diberikan 3 x 100 mg per hari untuk c. meningkatkan absorpsi besi. transfusi darah: anemia kekurangan besi jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah: 38 Hematologi Klinik Ringkas i. ii. iii. Adanya penyakit jantung anermik dengan ancaman payah jantung Anemia yang sangar simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat mencolok Penderira memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat, seperd pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi. Jenis darah yang diberikan adalah PRC (pached red celt) untuk mengurangi bahaya ouerbad" Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid inrravena. Respons Terhadap Terapi Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang penderita dinyatakan memberikan respons baik bila: retikulosit naik pada minggu pertama, menjadi normal setelah hari 10-14, diikuti kenaikan Hb 0,15 g/hari atau 2 gldl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi normal setelah 4-10 minggu. Jika respons terhadap terapi tidak baik, perlu dipikirkan: l. Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum 2. 3. Dosis besi kurang Masih ada perdarahan cukup banyak Ada penyakit lain, sepeni penyakit laonih peradangan menahun 4. atau pada saat yang sama ada defisiensi asam folat 5. Diagnosis salah. Jika dijumpai keadaan di atas, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang tepar. Pencegahan Mengingat tingginya prwalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan s,ratu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa berikut: 1. Pendidikan kesehatan, yairu: a. kesehatan lingkungan, misalnya tenrang pemakaian jamban, dan perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki b. penyuluhan gizi: untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorpsi besi. Anemia Hipokromik Mikrositer 39 2. Pemberantasan infeksi cacing rambang sebagai sumber perdarahan kronik paling sering di daerah tropik. 3. Suplementasi besi: rerurama untuk segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Fortifikasi bahan makanan dengan besi. 4. ANEMIA AKIBAT PENYAKIT KRONIK (ANEMIA OF CHRONIC DISEASD Penyakit kronik sering kali disertai anemia, namun tidak semua anemia pada penyakit kronik dapat digolongkan sebagai anemia akibat penyakit laonik. Anemia akibat penyakir kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit laonik tertenru yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme besi, yaitu adanya hipoferemia sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang dibu- tuhkan untuk sintesis hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih cukup. Anemia ini tergolong anemia yang cukup sering dijumpai, baik di klinik maupun di lapangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anemia ini merupakan penyebab kedua tersering setelah anemia defisiensi besi.l-7 Penyebab Penyebab anemia akibat penyakit kronik belum diketahui dengan pasti. Penyakit yang mendasari (und.erlying disease) timbulnya anemia akibat penyakit kronik dapat dilihat pada tabel 34. Patogenesis Patogenesis anemia akibat penyakit kronik belum diketahui dengan pasti, tetapi beberapa teori yang diajukan anrara lain: 1-7 l. Gangguan pelepasan besi dari RES (sel makrofag) ke plasma 2. Pemendekan masa hidup eritrosit 3. Pembentukan eritropoetin tidak adekuat 4. Respons sumsum tulang terhadap eritropoetin tak adekuat. Diperkirakan semua perubahan di atas disebabkan oleh pengaruh sitokin proinflamasi Qtroinflammatory cytokines), IL-1 dan TNF-cr terhadap eritropoesis. Gangguan pelepasan besi ke plasma menyebabkan berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis yang berakibat pada 40 Hematologi Klinik Ringkas Tabel 3-4 Penyebab Anemia Akibat Penyakit Kronik 1. lnfeksi kronik. a. tuberkulosis paru b. infeksi jamur kronik c. bronkhiektasis d. penyakit radang panggul kronik e. osteomielitis kronik f. infeksi saluran kemih kronik S. kolitis kronik 2. lnflamasi kronik a. artritis rematoid b. lupus eritematosus sistemik c. inflammatory borarel dlsease d. sarkoidosis e. penyakit kolagen lain 3. Neoplasma a. b. ganas karsinoma: ginjal, hati, kolon, pankreas, uterus, dan lain-lain. limfoma maligna: limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin. gangguan pembentukan hemoglobin sehingga terjadi anemia hipokromik mikrositer.r Manifestasi Klinik dan Laboratorik Ge.;ala klinik anemia akibat penyakit kronik tidak khas karena lebih banyak didominasi oleh gejala penyakit dasar. Sindrom anemia tidak terlalu mencolok karena biasanya penurunan hemoglobin ridak terlalu berat. Anemia akibat penyakit kronik memberikan gambaran laboratorik sebagai berikut: l. Anemia ringan sampai sedang, hemoglobin jarang < 8 g/dl; 2. Anemia bersifat normositer atau mikrosirer ringan (MCV 753. 4. 5. 6. eo fl); Basi transferin sedikit menurun; Protoporfirin eritrosit meningkat; Feritin serum normal atau meningkat; Reseptor transferin normal; Anem[a Hipokromik 7. Mikrositer 41 Pada pengecatan sumsum tulang dengan biru Prusia, besi sumsum tulang normal atau meningkat dengan butir-butir hemosiderin yang kasar. Diagnosis Diagnosis anemia akibat penyakit kronik dibuat bila: 1. Dijumpai anemia ringan sampai sedang pada setting penyakit dasar yang sesuai (seperti disebutkan pada tabei 3-4 di depan). 2. Anemia hipokromik mikrositer ringan atau normokromik nor mositer. 3. 4. Besi serum menurun disertai dengan TIBC menurun dengan cadangan besi sumsum tulang masih positif. Dengan menyingkirkan adanya gagal ginjal klonik, penyakir hati kronrk dan hipotiroid. Diagnosis Diferensial Anemia akibat penyakit kronik perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya. seperri: l. anemia defisiensi besi; 2. uait thaiassemia; 3. anemia sideroblastik Cara membedakannya dapat dilihat pada tabel 3-3. Terapi Dalam terapi anemia akibat penyakit kronik, beberapa hal yang perlu mendapat perhatian adalah: 1. jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh dengan sendirinya. 2. Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat, atau vitamin B12. 3. Tiansfusi jarang diperlukan karena derajat anemia ringan. 4. Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan hemoglobin, tetapi harus diberikan terus menerus. Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi pemberian preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan berhenti setelah hemoglobin mencapai kadar 9-10 g/dl. 42 Hematologi Klinik Ringkas ANEMIA SIDEROBLASTIK Anemia sideroblastik adalah anemia dengan sideroblas cincin (ring sidzroblat) dalam sumsum tulang. Anemia ini relatif jarang dijumpai, tetapi perlu mendapat perhatian karena merupakan salah satu dignosis banding anemia hipokromik mikrositer.l-7 Klasifikasi I. Anemia sideroblastik primer l. "Hereditary sex linhed sideroblastic anemia 2. Primary acquired sidrroblastic anemia (PASA) atau idiopathic acquired sidzroblastic anemia (IASA). Dapat dimasukkan di sini adalah refactory anemia tuith ring sideroblast (RARS) yang II. IIl. tergolong dalam sindrom mielodisplastik. Anemia sideroblastik sekunder L Akibat obat: INH, pirasinamid dan sikloserin 2. Akibat alkohol 3. Akibat keracunan timah hitam Pyridoxin responsiue anernia. Patofisiologi Perubahan patofisiologi pada anemia sideroblastik pada dasarnya terjadi kegagalan inkorporasi besi ke dalam senyawa hem pada mitokhondria yang mengakibatkan besi mengendap pada mitokhondria sehingga jika dicat dengan cat besi akan kelihatan sebagai bintikbintik yang mengelilingi inti yang disebut sebagai sideroblas cincin (gambar 34). HaI ini menyebabkan kegagalan pembentukan hemoglobin yang disertai eritropoesis inefektif dan menimbulkan anemia hipokromik mikrosit.r. r-7 Bentuk Klinik Anemia sideroblastik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu bentuk herediter dan bentuk didapat (acquirefi. I . 2. Bentuk herediter a. jarang dijumpai, herediter dan sex linhed (X-linhed). Sebagian menunjukkan defek enzim AIA synthetase Idiopathic acquired sidrroblastic anemia Anemia Hipokromik Mikrostter 43 Gangguan inkorporasi besi ke dalam protoprfirin (pembentukan heme) Besi menumpuk dalam Gangguan pembentukan mitochondria hemoglobin I I I I i I I t Ring sideroblast Hipokromik.mi krositer EritroPoesis inefektif ) ANEMIA Gambar 3-4. Skema patofisiologi anemia sideroblastik a. mutasi somatik pada progenitor eritroid b. tergolong sebagai sindrom mielodisplastik c. menurut klasifikasi FAB disebut sebagai refactory 3. 4. tuith ring sideroblast (RARS) Anemia sideroblastik sekunder a. akibat alkohol, obat anti TBC: anemia INH, dan keracunan Pb Anemia yang responsif pada terapi piridol<sin (pyidoxine responsiue anemia). Gambaran Klinik Gambaran klinik anemia sideroblastik sangat bervariasi di mana pada bentuk yang didapat dijumpai anemia refrakter terhadap pengobatan. Gambaran Laboratorik Pada anemia sideroblastik dijumpai antara lain: l. Anemia bervariasi dari ringan sampai berat. 2. Anemia bersifat hipolaomik mikrositer dengan gambaran populasi ganda (dauble popuktion) dimana dijumpai eritrosit hipokromik mikrositer berdampingan dengan eritrosit normokromik normositer. 44 Hematologi Klinik Ringkas 3. Pada bentuk didapat (RARS) dijumpai tanda displastik terutama 4. 5. pada eritrosit, kalang-kadang juga lada leukosir dan trombosit. Besi serum dan feritin serum norrnal atau meningkat. Pada pengecatan besi sumsum tulang dengan cara Perl (memakai biru prusia) dijumpai sideroblas cincin lebih dari l5o/o dari sel eritroblas. Terapi Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan anemia sideroblastik adalah: l. Grapi 2. 3. untuk anemia sideroblastik herediter bersifat simtomatik dengan transfusi darah. Pemberian vitamin 85 dapat dicoba karena sebagian kecil penderita responsif terhadap piridoksin Untuk bentuk didapat (RARS) pengobatannya dapat dilihat pada bab sindroma mielodisplastik. Bab 4 ANEMIA MEGALOBLASTIK Anemia megaloblastik ialah anemia yang khas ditandai oleh adanya sel megaloblast dalam sumsum tulang. Sel megaloblast adalah sel prekursor eritrosit dengan bentuk sel yang besar disertai adanya kesenjangan pemarangan sitoplasma dan inti, di mana sitoplasma maturasinya normal tetapi inti besar dengan susunan kromosom yang ionggar. Anemia megaloblastik disebabkan oleh gangguan pembentukan DNA pada inti eritroblasr, terutama akibat defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Anemia defisiensi vitamin B12 relatif jarang dijumpai di Indonesia, tetapi anemia defisiensi asam folat cukup sering dijumpai, rerurama pada wanita hamil. Anemia defisiensi asam folat merupakan penyebab kedua anemia pada wanita hamil setelah defisiensi besi.l-7 Patogenesis Anemia megaloblastik disebabkan oleh terjadinya defisiensi vitamin B12 dan asam folat, di mana vitamin Bl2, dan asam folat. a. b. berfungsi dalam pembentukan a. b. maturasi DNA inti sel khusus untuk vitamin 812 penting dalam pembentukan myelin. Akibat gangguan sintesis DNA pada inti eritroblast ini maka: inti lebih lambat sehingga kromatin lebih longgar sel menjadi lebih besar karena pembelahan sel lambat. Sel eritroblast dengan ukuran yang lebih besar serta susunan kromatin yang lebih longgar disebut sebagai sel megaloblast. Sel megaloblast ini fungsinya ridak normal, dihancurkan semasih dalam sumsum tulang (hemolisis intramedular) sehingga terjadi eritropoesis inefektif dan masa hidup eritrosit lebih pendek, yang berujung pada terjadinya anemia. Kelainan yang sama, tetapi pada tingkat yang lebih ringan juga terjadi pada sistem mieloid dan megakariosit sehingga pada anegua megaloblastik sering diserai leukopenia &n uombositoperua . nngan. t-7 46 Hematologi Ktinik Ringkas Penyebab Anemia megaloblastik disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 atau asam folat. Penyebab dari kekurangan kedua bahan ini dapat dilihat pada tabel 4-1. Pada wanita hamil anemia defisiensi asam folat paling sering disebabkan karena faktor nutrisi, karena cadangan asam folat tubuh jauh lebih rendah dibandingkan dengan cadangan vitamin 812.1'6 Tabel 4-1 Penyebab Anemia Megaloblastik Defisiensi Vit 812 Defisiensi Folat Anemia pernisiosa (Addi s;onian\ Diit (vegetarian) Tropical sprue Gizi @nfitional) Penyakit Coeliac Gastrektomi Kehamilan Gambaran Tropical'sprue:' Klinik Secara hematologik anemia defisiensi vitamin 812 dan asam folat memberikan gambaran yang sama, tetapi defisiensi vitamin Bl2 disertai kelainan neurologik. Gambaran umum anemia megaloblas- tik adalah: 1. Anemia timbul 2. 3. perlahan dan progresif Kadang-kadang disertai ikterus ringan Glositis dengan lidah berwarna merah, seperti daging (bffi tongue). Pada defisiensi vitamin Bl2 dijumpai gejala neuropati, sedangkan defisiensi folat tidak disertai neuropati. Gejala neuropari berupa subacute combi ned degeneration. 1. neuritis perifer: mati rasa, rasa terbakar pada jari; 2. kerusakan columna plsterion gangguan posisi, vibrasi dan tes Romberg positif; 3. kerusakam columna lateralis: spastisitas dengan deep reflex hiper- aktif dan gangguan serebrasi. Anemia Megaloblastik 47 Gambaran Laboratorium Pada pemeriksaan darah tepi akan dijumpai: 1. Hemoglobin menurun, dari ringan sampai berat (3'4 gldl). 2. Dijumpai "oual macrocyte" dengan poikilositosis berat. MCV meningkat ll0-125 fl, sedangkan retikulosit normal. 3. Biasanya dijumpai leukopenia ringan dengan hipersegmentasi (rule of fiue dari Herbert). 4. Kadang-kadang dijumpai trombositopenia ringan. 5. Pada pemeriksaan sumsum tulang dapat dijumpai: a. hiperplasia eritroid dengan sel megaloblast 6. giant 6. netropil metamyelocyte c. sel megakariosit yang besar d. cadangan besi sumsum tulang meningkat Kadar bilirubin indirek serum dan LDH meningkat. Pemeriksaan Khusus untuk Defisiensi Folat dan Vitamin B12 Untuk membedakan anemia defisiensi obat atau vitamin 812 perlu dilakukan pemerilaaan khusus: 1. Pengukuran kadar vitamin B12 serum dan asam folat serum: vitamin 812<100 pglml, folat < 3 nglml 2. 3. Respons terhadap replzcement therapy dengan folatlBl2 fisiologik Ekskresi methymalonic acid urine meningkat pada defisiensi vitamin B12 ail 4. Elsl<raifirmingluamic folat 5. Tes supresi deoxyuridine, baik pada defisiensi 6. asam folat dijumpai supresi Tes untuk menilai absorpsi vitamin B12 yaitu Schilling tut. (FIGLIJ) urine meningkat pada defisiensi 812 atau defisiensi Diagnosis Diagnosis anemia megaloblastik dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan klinik di mana terjadi anemia, makrositer pada darah tepi yang disertai sel megaloblast dalam sumsum tulang. Pada defisiensi vitamin B12 dijumpai gejala neurologik, sedangkan pada defisiensi asam folat tidak dijumpai gejala neurologik. Kemudian dilanjutkan 48 Hematologi Klinik Ringkas dengan pemeriksaan khusus untuk membedakan defisiensi vitamin Bl2 dengan defisiensi asam folat.r-7 Untuk mencari etiologi diperiukan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang lainnya. lerapr Terapi utama anemia defisiensi vitamin Bl2 dan defisiensi asam folat adalah terapi ganti dengan vitamin B12 atau asam folat meskipun demikian terapi kausal dengan perbaikan gizi dan lain-lain tetap harus dilakukan.r-7 1. Untuk Bl2: Hydroxycobalamin intramuskuler 200 mg/hari; atau 1000 mg diberikan tiap minggu selama 7 defisiensi vitamin minggu. Dosis pemeliharaan 200 mg tiap bulan atau 1000 mg tiap 3 bulan. 2. Untuk defisiensi foiat: Berikan asam folat 5 mg/hari selama 4 bulan. 3. Respons terhadap terapi: Retikulosit mulai naik hari 2-3 dengan puncak pada hari 7-8. Hb harus naik 2-3 gldl tiap 2 minggu. Neuropati biasanya dapat membaik, tetapi kerusakan medulla spinalis biasanya ireversibei. ANEMIA PERNICIO S A=ADDISONIAN A NEMIA Suatu anemia megaloblastik karena atrofi berat mukosa gaster termasuk sei parietal sehingga tidak ada sekresi faktor intrinsik. Penyebabnya karena proses autoimun: timbulnya antibodi terhadap 1-7 sel parietal. Anemia jenis ini banyak dijumpai di Eropa lJtara. Gambaran Klinik Pada anemia pernisiosa didapatkan, seperti: a. lebih banyak pada wanita, puncak umur >60 tahun; b. c. d. e. di Eropa Utara dengan insiden 1/10.000/tahun, jarang di Asia Tenggara; gejala klinik sama dengan anemia megaloblastik karena penyebab lain; sering bersama penyakit autoimun lain; Insiden karsinoma lambung meningkat 3 kali. paling sering Anemia MegaLoblastik 49 Kelainan laboratorik Sama dengan anemia megaloblastik lain, anemia pernisiosa mem, berikan gambaran laboratorik sebagai berikut: 1-7 a. vitamin 812 serum < 100 pglml; b. tes Schilling positifi c. pada analisis gasrer dijumpai akhloridia; d. . antibodi: antibodi terhadap sel parietal dijumpai pada 90o/o kasus, sedangkan antibodi terhadap faktor intrinsik dijumpai pada 50% kasus. Terapi Sama dengan terapi anemia megaloblastik pada umumnya maka terapi utama untuk anemia pernisiosa adalah: 1-7 a. terapi ganti (replacement) dengan vitamin Bl2; b. terapi pemeliharaan; c. monitor kemungkinan karsinoma gaster. Bab 5 ANEMIA HEMOLITIK Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis. Hemolisis adalah pemecahan erirrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya (sebelum masa hidup rara-rara eritrosit yaitu 120 hari). Hemolisis berbeda dengan proses penuaan (senescence), yaitu pemecahan eritrosit karena memang sudah cukup umurnya. Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah (intravaskular) atau di luar pembuluh darah (ekstravaskuler) yang membawa konsekuensi patofisiologik yang berbeda.l-7 Pada orang dengan sumsum tulang yang normal, hemolisis pada darah tepi akan direspons oleh tubuh dengan peningkatan eritropoesis dalam sumsum tulang. Kemampuan maksimum sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoesis adalah 6 sampai 8 kali normal. Apabila derajat hemolisis ddak terlalu berat (pemendekan masa hidup eritrosit sekitar 50 hari) maka sumsum tulang masih mampu melakukan kompensasi sehingga tidak timbul anemia. Keadaan ini disebut sebagai keadaan hemolisis terkompensasi (cornpensated hemolytic state). Akan tetapi, jika kemampuan kompensasi sumsum tulang dilampaui maka akan terjadi anemia yang kita kenal sebagai anemia hemolitik.l-7' Anemia hemolitik merupakan anemia yang tidak terlalu sering dijumpai, tetapi bila dijumpai memerlukan pendekatan diagnostik yang tepat: Pada kasus-kasus penyakit dalam yang dirawat di RSUP Sanglah tahun 1997, anemia hemolitik merupakan 6%o dari kasus anemia, menempati ururan ketiga setelah anemia aplasrik dan anemia sekunder karena keganasan hematologik.12 Klasifikasi Klasifikasi anemia hemolitik berdasarkan penyebabnya dapat dilihat pada tabel 5-1. Pada dasarnya anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:1-7 1. 50 Anemia hemolitik karena faktor di dalam eritrosit sendiri (intrakorpuskuler), yang sebagian besar bersifat herediter-familier Anemia Hemolitik 51 Tabel 5-1 KI a s 1'7 ifik asi anemi n h em olitik Gangguan lntrakorpuskuler A. Herediter - Familier Gangg uan Ekstrakorpuskuler A 1. Gangguan membran eritrosit (membranopati) a. Hereditary spheroclosls b. Hereditary elliptacytosis c. Hereditary stomafoc;4osis 2. Gangguan metabolismeiensim eritrosit(Ensimopati) a. Defek pada jalur heksose- monofosfat Defisiensi G-6PD (g/ucose-6 phosphate dehydrogenase\ b. Defek pada jalur Embden-Meyerhoff Defisiensi piruvat-kinase c. Nucleotide enzyme defects 3.Gangguan pembentukan hemoglobin (Hemoglobinopati) a. Hemoglobinopati struktural (kelainan struktur asam amino pada rantai alfa atau beta: HbC, HbD, HbE, HbS, Didapat 1. lmun a. Autoimun i. warm antibody type ii. co/d antibody type b. Aloimun i. Hemolytic transfusion reactions ii. Hemolytic drsease of new born iii. Altograft (bone marrowtransplantation) 2. Drug assoclafed 3. Red cell fragmentation syndromes a. Graft arteri b. Katup jantung (buatan) unstable Hb, dll b. Sindrom thalassemia (gangguan sintesis rantai alfa atau beta) Thalassemia alfa, beta, dll. c. Heterosigot ganda , , : 4. Mikroangiopatik a. Thrombotic Thrombocytopenic purpura ffrP) b. Hemolytic uremic syndrome (HUS) hemoglobinopati dan thalassemia ThalassemiaHbE, dlt c. Dissemlnated intravascular coagulation (Dtc) B. Didapat 1. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH " d. Pre-eklampsia 5. March hemoglobinuria 6. lnfeksi a. Malaria b. Clostridia Berlanjut 52 Hematologl Klinik Rtngkas Tabel 5-1 Klasifikasi anemia hemolitik- Lanjutan 1-7 7. Bahan kimia dan fisik a. Obat b. Bahan kimia dan rumah tangga c. Luka bakar luas 8. Hipersplenisme 2. Anemia hemolitik karena faktor di luar eritrosit (ekstrakorpuskuler), yang sebagian besar belsifat didapat (acquirefi. Di klinik, khususnya penyakit dalam, anemia hemolitik yang paling banyak dijumpai adalah anemia hemolitik autoimun. Agaknva, anemia hemolitik herediter-familier hanya sebagian kecil yang dapat mencapai usia dewasa, sehingga lebih banyak dijumpai di bagian anak. Patofisiologi Proses hemolisis akan menimbulkan, sebagai berikut:2-a L Penurunan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia. Hemolisis dapat rerjadi perlahanJahan sehingga dapat diatasi oleh mekanisme kompensasi tubuh, tetapi dapat juga terjadi tiba-tiba sehingga segera menurunkan kadar hemoglobin. Tergan- tung derajat hemolisis, apabila derajat hemolisis ringan sampai sedang maka sumsum tulang masih dapat melakukan kompensasi 6 sampai 8 kali normal2 sehingga tidak terjadi anemia. Keadaan ini disebut sebagai keadaan hemolitik terkompensasi (compensated hemolytic state). Akan terapi, apabila derajat hemolisis berat maka mekanisme kompensasi tidak dapat mengatasi hal tersebut sehingga terjadi anemia hemolitik. Derajat penurunan hemoglobin dapat bervariasi dari ringan sampai sedang. Penurunan hemoglobin dapat terjadi perlahan-lahan, tetapi sering sekali sangar cepat (lebih dari 2 g/dl dalam waktu satu minggu).i-a 2. Peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam tubuh. Hemolisis berdasarkan rempatnya dibagi menjadi dua, yaitu: Anemia Hemolitik 53 a. Hemolisis elstravaskuler Hemolisis ekstravaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan dengan hemolisis intravaskuler. Hemolisis terjadi pada sel makrofag dari sistem retikuloendothelial (RES) terutama pada lien, hepar dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim /teme o*ygrnarr.' Lisis teriadi karena kerusakan membran (misalnya akibat reaksi antigen- antibodi), presipitasi hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Kapiler lien dengan diameter yang relatif kecil dan suasana relatif hipoksik akan memberi kesempatan destruksi sel eritrosit, mungkin melalui mekanisme fragmentasi.l'3 Pemecahan eritr-osit ini akan menghasilkan globin yang akan dikembalikan ke protein pool, serta besi yang dikembalikan ke makrofag (cadangan besi) selanjutnya akan dipakai kembali, sedangkan protoporfirin akan menghasilkan gas CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami konjugasi dalam hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam feses dan urobilinogen dalam urine (gambar 5._l). Sebagian hemoglobin akan lepas ke plasma dan diikat oleh haptoglobin sehingga kadar haptoglobin juga menurun, tetapi tidak serendah pada hemolisis intravaskul"r'. l-i' b. Flemolisis intravaskr.rler Pemecahan eritrosir irrii.-r lsliirlcr rucnyebabkan lepasnya hemoglobin bebas ke dalam p;iasrna. lit;nci;iobin bebas ini akan diikat oleh haptoglobin (suatu globulin rjfi) sehinega l<adar haptoglobin plasma akan menurun. Kompleks hemoglobin-haptoglobin akan dibersihkan oleh hati dan RES dalam beberapa menit. Apabila kapasitas haptoglobin dilampaui maka akan terjadilah hemoglobin bebas dalam piasma yang disebut sebagai hemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi menjadi methemogiobin sehingga terjadi methemoglobinen-ria. Heme juga diikat oleh hemopeksin (suatu giikoprotein beta-1) kemudian ditangkap oleh sel hepatosit. Hemoglobin bebas akan keluar melalui urine sehingga terjadi hemoglobinuria. Sebagian hemoglobin dalam tubulus ginjal .akan diserap oleh sel epitel kemudian besi disimpan dalam bentuk hemosiderin, jika epitel mengalami deskuamasi maka hemosiderin 54 Hematologi Klinik Ring kas Hemoglobin .-t ---'-- \ \ Haem Globin /"/ \ I I Pool protein I I I Makrofag (RES) J I '7"'\ *t-' Besi CO Bilirubin zrcoT'ugated l Reutilisasi Expired air j" Reutilisasi Hati Bilirubin conjugated I Empedu I I + Urobilinogen +Sterkobilinogen Urine I Feses Gambar 5-1. Skema pemecahan eritrosit ekstravaskuler dibuang melalui urine (hemosiderinuria) > yatng merupakan tanda hemolisis intravaskuler laonik (gambar 5-2). Pemecahan eritrosit intravaskuler akan melepaskan banyak LDH yang terdapat dalam eritrosit sehingga serum LDH akan meningkat. 3. Kompensasi sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoesis Desuuksi eritrosit dalam darah tepi akan merangsang mekanisme biofeedbach (melalui eritropoetin) sehingga sumsum tulang meningkatkan eritropoesis. Sumsum tulang normal dapat meningkatkan kemampuan eritropoesisnya 6-8 kali lipat. Peningkatan Anemia Hemolitik 55 Ilaptoglobin Kompleks Hb- Konipleks Hbhemopeksin I'Iaptoglobin Methemoglo- I'{emoglobinuria binemia I Y Epitel tubulus I + l + Cleurence RES oleh Clearance oleh I'Iemosiderinuria RES Gambar 5-2. Skema produk hemolisis intravaskuler L3 ini ditandai oleh peningkatan jumlah eritroblast (normoblast) dalam sumsum tulang sehingga terjadi hiperplasia normoblastik. Peningkatan normoblast terjadi pada semua tingkatan, baik normoblast basofilik, normoblast polikromatofilik, ataupun normoblast asidofilik atau ortolffomatik. Normoblast sering dilepaskan ke darah tepi sehingga terjadi normoblastemia. Sel eritrosit muda yang masih mengandung sisa inti (RNA) disebut sebagai retikulosit, akan dilepaskan ke darah tepi sehingga terjadi retikulositosis dalam darah tepi. Sel-sel eritrosit warnanya tidak merata (ada sel yang lebih gelap) disebut sebagai polikromasia. Produksi sistem lain dalam sumsum tulang sering ikut terpacu sehingga terjadi leukositosis dan trombositosis ringan.6 Gejala Klinik klinik anemia hemolitik sangat bervariasi disebabkan oleh perjalanan penyakit (akut atau kronik) dan tempat kejadian Gambaran hemolisis (intravaskuler atau ekstravaskuler) sehingga pada umumnya dilihat dari gqala kliniknya anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu: a. Anemia hemolitik kronik herediter-familier b. Anemia hemolitik akut didapat (acquired) 56 Hematologt Klinik Rtngkas ini mempunyai gambaran klinik yang berbeda, di mana anemia hemolitik kronik herediter-famiiier didominiasi oleh gejala akibat hemolisis ekstravaskuler yang berlangsung perlahanlahan, sedangkan pada anemia hemolitik akut didapat terjadi hemolisis Kedua jenis hemolisis ekstravaskuler masif atau hemolisis intravaskuler. Namun, kedua golongan ini tidak selalu dapar dipisahkan secara regas (mutually exclusiur).1'3'6 Gejala klinik anemia hemolirik dapat di[agi menliii tig", yaitu: I. 2. 3. Gejala umum anemia (anemic syndrome) Gejala hemolisis baik ekstravaskuler maupun intravaskuler) Gejala penyakit dasar (penyebab) masing-masing anemia hemo- litik tersebut. Gejala UmumAnemia Seperti pada semua anemia lainnya, gejala umum anemia akan timbul jika hemoglobin turun <7-8 gldl. Makin berat penurunan kadar hemoglobin makin berat gejala yang timbul. Di samping itu, beratnya ggala juga ditentukan oleh kecepaan penurunan kadar hemoglobin. Pada anemia hemolitik akut di mana penurunan hemoglobin terjadi cepat pada umumnya gejala lebih menyolok dibandingkan dengan pada anemia hemolitik kronik.6 Gejala Hemolitik Pada anemia hemolitik kronik familier-herediter gejala klinik dapat timbul berupa ikterus, splenomegali arau hepatomlgdi, kholeli*riasis, kelainan tulang, ulkus pada kaki, serra rimbulnya krisis.l lkterus Ikterus timbul karena peningkatan bilirubin indirek (unconjugated bilirubin) dalam darah sehingga ikterus bersifat acholuric jaundice, bahwa dalam urine tidak dijumpai bilirubin. Ikterus dapat hanya ringan, tetapi dapat juga berat rerutama pada anemia hemolitik Anemia Hemolitik 57 pada bayi baru lahir sehingga dapat menimbulkan "hern icterui'. Ikterus tidak disertai rasa gatal.l'4 Splenomegali dan hepatomegali Splenomegali hampir selalu dijumpai pada anemia hemolitik kronik familier-herediter, kecuali pada anemia se1 sabit (sichle cell disease) dt mana iimpa mengecil karena terjadinya infark. Splenomegali pada umumnya ringan sampai sedang, tetapi kadang-kadang dapat besar r r. I-6 seKatl. Hepatomegali lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan splenomegali karena makrofag dalam limpa lebih aktif dibandingkan dengan makrofag pada hati.l Kholelithiasis Kholelithiasis merupakan salah satu gejala prominen pada anemia hemolitik kronik familier-herediter. Batu yang terbentuk disebut blach pigment stone, terdiri dari cross linh polymer dari bilirubinat. Sekitar 40-80o/o batu ini bersifat radioopak. Batu empedu paling sering dijumpai pada sferositosis herediter, dan juga sering pada anemia sel sabit yang bervariasi anrara 8-55o/o.1 Ulkus pada Kaki Ulkus pada kaki dapat dijumpai pada anemia sel sabit dan juga dijumpai pada anemia hemolitik kronik familier-herediter yang lain. Pada anemia sel sabit prevalensinya sekitar 5%. Ulkus terjadi di sebelah proksimal malleolus sferositosis herediter, dapat medialis dan lateralis dan sering bersifat bilateral.l Kelainan Tulang Apabila proses hemolisis terjadi pada saat fase pertumbuhan maka ekspansi sumsum tulang menimbulkan kelainan tulang seperti towersbaped shull, penebalan tulang frontalis dan parietalis. Kelainan ini 58 Hematologi Klinik Ringkas paling sering terjadi pada thalasemia major sehingga menimbulkan bentuk muka yang khusus: thalassemic face. Pada foto rontgen terlihat sebagai ltair on-end apprororrr.t'6 Krisis kronik sering terjadi penurunan kadar hemoglobin secara tiba-tiba. yang disebut krisis. IGisis pada anemia hemolitik dapat berupa:'-o a. Iftisis aplastik krisis yang paling sering dijumpai, yang menimbulkan kegagalan hemopoesis transien. Sebagian besar dihubungkan dengan infeksi parvovirus tipe 819. Krisis aplastik ditandai oleh penurunan hemoglobin secara drastis, kadangkadang disertai leukopenia dan trombositopenia ringan, dan retikulositopenia. b. Krisis hemolitik terjadi hemolisis masif sehingga menimbulkan penurunan hemoglobin secara tiba-tiba, disertai retikulo, sitosis dan pembesaran limpa. c. Krisis megaloblastik: krisis yang timbul karena relatif kekurangan asam folat karena kebutuhan akibat eritropoesis yang Pada anemia hemolitik sangat meningkat. Anemia Hemolitik Akut Didapat Anemia hemolitik akut didapat, seperri reaksi transfusi atau penderita anemia defisiensi G6PD yang mendapat obat oksidan, di mana terjadi hemolisis intravaskuler massif maka gejalanya menyerupai acute febrile illness. Gejala yang timbul berupa syok dan gagal ginjal akut: nyeri pinggang dan perut, sakit kepala, maleise, kramp perut, sehingga gqalanya menyerupai gejala abdomen akut. Syok kemudian timbul disertai prostration, oliguria sampai anuria. Kelainan fisik berupa pucat, ikterus, takikardia dan gejala anemia berat. Adanya hemoglobinuria ditandai oleh kencing yang berwarna kehitaman.l-6 Anemia hemolitik autoimun, ditandai oleh hemolisis ekstravaskuler, sering disertai oleh anemia berat dengan gejala acute febril illness, rkterus dan splenomegali. Kelainan Laboratorium Kelainan laboratorium pada anemia hemolitik dapat digolongkan menjadi: (1) anemia; (2) kelainan laboratorium akibat proses hemolisis; Anemia Hemolitik 59 Tabel5-2 Kelainan Laboratorium pada Anemia Hemolitikl A Adanya anemia: 1. Penurunan hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit 2. Penurunan Hb > i g/dl dalam waktu satu minggu khas pada hemolitik akut didapat B. Tanda-tanda hemolisis ' 1. Penurunan masa hidup (life span) eritrosit 2. Peningkatan katabolisme heme b. Peningkatan produksi karbon monoksid (CO) endogen c. Peningkatan urobilinogen urine dan sterkobilinogen feses 3. Peningkatan aktivitas dehidrogenase laktat serum 4. Penurunan haptoglobin serum 5. Penurunan hemoglobin terglikolisasi ' 6. Tanda-tanda hemolisis intravaskuler: a. Hemoglobinemia b. Hemoglobinuria , c. C. D. Hemosiderinuria d. Methemalbunemia e. Penurunan kadar hemopeksin serum Kompensasi sumsum tulang 1. Retikulositosis 2. Polikromasia pada darah tepi 3. Hiperplasia normoblastik pada sumsum tulang Kelainan laboratorium akibat penyakit dasar 1. Tes Coomb positif 2. Tes fragilitas osmotik 3. Kelainan morfologik eritrosit (3) keiainan laboratorium akibat kompensasi sumsum culang; dan (4) kelainan laboratorium akibat penyakit dasar penyebab hemolisis (tabel 5-2). Anemia Anemia pada anemia hemolitik sebagian besar bersifat normokromik normositer, tetapi dapat juga bersifat hipokromik mikrositer, seperti pada thalassemia. Penurunan kadar hemoglobin sangar bervariasi, mulai dari berat sampai ringan. Penurunan kadar Hb. dapat berlangsung cepat, tetapi dapat juga berlangsung perlahanJahan, sepeni pada 60 Hematologi Ktinik Ringkas anemia hemolitik l<ronik. Penurunan kadar Hb. >1 g/dl dalam waktu seminggu tanpa disenai perdarahan merupakan satu petunjuk ke arah . I r. .r anemla nemolrtlK. 1-6. Penurunan Masa Hidup (life span) Eritrosit Masa hidup eritrosit rata-rata adalah 120 hari. Masa hidup eritrosit ini dapat diukur dengan berbagai cara, tetapi yang paling umum dipakai adalah random labeling uith 5l chromium. Pemeriksaan ini sangat memakan waktu dan mahal karena jarang dipakai dalam praktek klinik, kecuali untuk kasus sulit.r Peningkatan Katabolisme Heme Peningkatan kadar bilirubin serum rerganrung dari kecepatan pembentukan dan kecepatan ekskresinya oleh had. Oleh karena itu, pening katan bilirubin serum merupakan indeks yang kurang reliabel. Pada penelitian 72 kasus sferositosis herediter, 25o/o menunjukkan bilirubin serum normal dan terjadi peningkatan (I4,8 mg/dl) pada 75o/o kasus. Akan tetapi, pada 120 kasus anemia hemolitik autoimun ternyata 55o/o disertai peningkatan bilirubin, dan 45o/o bilirubin masih dalam batas normal.l Hemoglobinemia Destruksi eritrosit 10,20 ml intravaskuler akan menimbulkan hemoglobinemia yang memberi warna merah muda pada plasma. Jika diukur maka kadar hemoglobin bebas dalam plasma sekitar 50 mgl dl. Jika hemoglobin bebas meningkat menjadi 150-200 mg/dl, plasma berwarna merah terang dan akan mulai terjadi hemoglobinuria.2 Hemoglobin bebas dalam urine dapat diukur dengan reaksi bensidin. Kadar >100 mg/dl dapat diukur dengan metode sianmet biasa.l 'Kadar di atas 1000 mg/dl hanya dijumpai pada kasus anemia hemolitik intravaskuler. Hemoglobin bebas sedikit meningkat pada anemia imunohemolitik berat.t Hemoglobinuria Hemoglobinuria dicurigai jika urine berwarna merah, kecoklatan, atau coklat hitam seperti koka kola (blach water), setelah dilakukan sentrifugasi untuk menghilangkan eritrosit yang inmk. Secara kualiatif Anemia Hemolitik 61 hemoglobinuria dapat diperiksa dengan Hemastix. Tes ini tidak dapat membedakan hemoglobinuria dengan mioglobinuria. Untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan elektroforesis.l'2 Hemosiderinuria Hemosiderinuria dapat diperiksa secara kualitatif dengan pengecatan biru Prusia. Eksresi besi dalam urine dapat diukur secara spektrofotometri. Eftskresi normal adalah 0,1 mg/hari, pada anemia hemolitik meningkat menjadi 3-11 mg/hari.l Haptoglobin Serum Haptoglobin serum menurun pada hemolisis intravaskuler dan juga pada hemolisis ekstravaskuler berat. Haptoglobin serum diperiksa dengan teknik turbidometrik. Harga normal adalah 50-100 mg/dl. Haptoglobin meningkat pada keadaan inflamasi.2. Methemalbumin dan Hemopeksin Methemalbumin dan hemopeksin dapat diperiksa dengan spektrofotometri dengan absorpsi pada band 624. Teknik kuantitatif yang lebih sensitif adalah dengan tes Schummls. Kedua protein ini berada dalam plasma sampai beberapa hari setelah hemolisis.l'2 Tanda-Tanda Eritropoesis Meningkat (Accelerated Erythropoiesis) Thnda-tanda peningkatan eritropoesis terutama dijumpai pada anemia hemolitik kronik, biasanya timbul 5-10 hari setelah episode hemolitik akut. Peningkatan eritropoesis juga dijumpai pada anemia posthemoragik akut, dan anemia defisiensi yang sedang dikoreksi, misalnya anemia defisiensi asam folat yang diterapi dengan asam folat atau anemia defisiensi besi yang diobati dengan preparat besi.l Thnda-tanda peningkatan eritropoesis dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu tanda-tanda peningkatan eritropoesis total, seperti: hiperplasia normoblastik sumsum tulang dan plasma iron turn ouer meningkat; dan tanda eritropoesis efektif, seperti retikulositosis dan erythroryte iron turn ouer yang meningkat Pada kasus dengan eritropoesis inefektif maka tanda eritropoesis total meningkat tetapi tanda eritropoesis efektif tidak meningkat (tabel 5-3). 62 Hematologi Klinik Ringkas Tabel 5-3 Tan da:Tanda Peningkatan Eritropo Erythropoiesis) es is (Ac c el er at e d Darah Retikulositosis, polikromasia, sfrpp/rng Makrositosis Normoblastemia Leukositosis dan trombositosis Sumsum tulang _ Hiperplasia eritroid = hiperplasia normoblastik Ferokinetik Plasma iron turn over meningkat Erythrocyte iron turn over meningkat Biokimiawi Peningkatan kreatin eritrosit Peningkatan enzim eritrosit yang lain Retikulositosis Hitung retikulosit merupakan pemeriksaan untuk menunjukkan peningkatan eritropoesis yang paling sering dipakai. Dengan teknik hitung elektronik (misalnya Technicon H-3) maka reliabilitas pemeriksaan makin meningkat. Angka normal retikulosit 0,5-1,5o/o, tetapi angka normal yang lebih teliti adalah 0,3-2,5o/o pada pria dan 0,8-4,Io/o pada wanita. Peningkaran retikulosit sebanding dengan beratnya proses hemolisis. Hanya l-5o/o kasus anemia hemolitik kronik menunjukkan retikulosit rror-"1.1'2 Petanda Kimiawi Umur Eritrosit Kadar kreatin eritrosit yang muda, 6-9 kali dibandingkan dengan yang tua. Pemeriksaan semiautomatik menyebabkan pemeriksaan ini cukup praktis untuk menggantikan hitung retikulosit. Pemeriksaan kreatin eritrosit lebih sensitif dan lebih reliabel dibandingkan dengan hitung retikulosit.l Pemeriksaan enzim eritrosit lain seperti: heksokinase dan glutamat-oksalat transaminase masih belum dilakukan secara rutin, hanya untuk penelitian. Anemia Hemolitik 63 Pemeriksaan Darah Tepi Lain Polikromasia dan stippling halus pada eritrosit sering dijumpai pada apusan darah tepi jika retikulosit meningkat. Sel eritrosit yang lebih muda lebih besar dari yang rua, oleh karena itu akan dijumpai makrositosis pada anemia' hemolirik, kecuali anemia sel sabit Jan thalassemia yang sering menunjukkan mikrositosis. Pada kasus yang berat dapat dijumpai normoblast dalam darah tepi tetapi <l% dari sel-sel berinti.l Leukosistosis dan trombositosis ringan sering dijumpai pada anemia hemolisis, terutama pada bentuk akut. Leukopenia atau rrombositopenia jarang dijumpai kecuali pada krisis aplastik, paroxysmal nocturnal hemoghbinuria, hemolisis pada SLE (slstemic lupus erythematzsus) dan anemia hemolitik autoimun rerrenru (sindrom Evan).1 Sumsum Tulang Kelainan yang paling sering dijumpai adalah hiperplasia normoblastik. Pemeriksaan ini bersifat kualitatif dan sangat subyektif Rasio ME (myeloid:eritroid). menurun di bawah 1,5 kadang-kadang . 0,5. Normoblast yang meningkat adalah pada semua tingkatan, berbeda dengan anemia defisiensi besi yang terurama meningkat adalah late normoblasr dan bersifat mikronormoblastik.l-6 Studi Ferokinetik Pksma iron turn luer rate (PITR) menunjukkan eritropoesis toral, meningkat 2 sampai 8 kali, sedangkan erytltrocyte iron turn ouer rAte (EITR) menunjukkkan eritropoesis efektif, meningkat 2 sampai 4 kali normal. Kedua pemeriksaan ini jarang dikerjakan untuk pemeriksaan rutin karena tersedia pemeriksaan lain yang lebih praktis dengan akurasi ya.rg s"-".1 Pemeriksaan Laboratorium untuk Menentukan Etiologi Kelainan morfologik eritrosit yang spesifif Pemeriksaan morfologi eritrosit pada darah tepi merupakan pemeriksaan yang sangar penting untuk menenrukan etiologi anemia hemolitik (tabel 5-4). Sferosit khas dijumpai pada sferositosis herediter. Sferosit, rerurama mikrosferosit juga dijumpai pada anemia imunohemolitik, anemia 64 Hematologi Klintk Ringkas Tabel 5-4 Kelainan Morfologi Eritrosit pada Anemia Hemolitikl'2 Kelainan klinis Sel Deskripsi Sferosit Sferis, tampak kecil, tak ada pucat bagian sentral i , Sferositosis herediter, anemia imunohemolitik, luka bakar, injuri kemikal Ovalositosis herediter, , . l Eliptosit' Set berbentuk oval Stomatosit Bentukan seperti mulut pengganti bagian pucat '.....: sentral Akantosit anemia megaloblastik .,., Stomatositosis herediter, alkoholisme .' 5-10 spikula dengan Spur-cell anemia dengan panjang bervariasi, jarak, r penyakit hati, dan tebalnya takteratur abetaliporproteinemia Ekhinosit 10-30 spikula yang tak Defisiensi piruvat kinase (echynocytes) merata di atas permukaan dan gliserat kinase, ure mta sel Sel'sabit Sel seperti bulan sabit, Anemia sel sabit (sick/e (slck/e cell) terjadi pada keadaan cell anemia) hipoksia Seltarge! Area solid pada bagian Thalassemia, Hb-C ds tengah yang seharusnya penyakit hati, defisiensi pucat LCAT, pascasplenektomi Skhistosit Segitiga, bentuk helmet, Anemia mikroangiopatik, (Schlsfocfie) fragmentasi atau sel ter- uremia, hipertensi distorsi, kecil-kecil. maligna, aliran darah mengalami turbulensi hemolitik mikroangiopatik, injuri termal dan bahan kimia. Akantosit menunjukkan kelainan lipid eritrosit dijumpai pada abetalipoproteinemia, sefta anemia spur cell pada sirosis hati. Autoaglutinasi terlihat pada hapusan darah dijumpai pada anemia imunohemolitik yang disebabkan oleh cold aglutinin. Autoaglutinasi harus dibedakan dengan formasi rouleaux yang khas dijumpai pada mieloma mulripel. Tes antiglobulin (Coombs test) Direct antiglobulin test (DNf), arau res Coombs merupakan tes yang paling banyak dipakai untuk diagnosis Anemia Hemolitik 65 anemia hemolitik autoimun. DAT positif menu,njukk ^n ^Ai,'ny^ antibodi yang terdiri atas IgG atau komplemen, terutama C3 yang menyelimuti permukaan eritrosit. Tes ini cukup reliabel, teapi sekitar 2-5o/o kasus AFIA tidak disertai tes Coombs positif karena antibodi/ komplemen yang menyelimuti eritrosit titernya sangat rendah. Pada penderita AiDS tes Coombs positif pada 34o/o kasus tanpa tandatanda anemia imunohemolitik. Sekitar 70o/o kasus AHA tipe panas menunjukkan DAI positif terhadap IgG dan negatif terhadap C3, sekitar 20% menunjukkan positif IgG dan positif terhadap C3, dan 10%o menunjukkan anti-IgG negatif dan positif lemah terhadap C3.z Tes Fragilitas Osmotik Tes ini menunjukkan resistensi eritrosit terhadap hemolisis akibat stres osmotik, dilakukan dengan pemaparan eritrosit pada salin hipotonik dan diukur derajat hemolisis yang terjadi. Hasilnya berupa grafik sigmoid, atau berupa konsentrasi salin pada saat hemolisis mulai (normal: 0,45-0,50 g/dl) dan hemolisis komplit (0,30-0,33 g/dl). Fragilitas osmotik meningkat pada kasus dengan sferositosis. Eritrosit lebih resisten pada salin hipotonik pada thalassemia, anemia sel sabit, dan anemia dengan leptosit. Tes ini menjadi penting jika pada pemeriksaan darah tepi dijumpai adanya sferositosis.l Autohemolisis Tes autohemolisis mengukur jumlah hemolisis sPontan jika darah steril, defbrinated diinkubasi pada 37'C selama 48 iam. Dibandingkan dengan hasil apabila sebelumnya diberikan glukosa atau ATP Pada orang normal hemolisis minimal (2o/o) terjadi setelah 48 jam, turun menjadi 0,3o/o jika ditambahkan ATP atau glukosa. Ada 3 tipe autohemolisis: a. l'6 I: ditandai oleh autohemolisis ringan sampai moderat dan dikorelai inkomplit setelah penambahan AIP atau glukosa. Tipe ini dijumpai pada anemia defisiensi G6PD. Tipe II: autohemolisis cukup berat (13%) dapat dikoreksi oleh AT! tetapi tidak oleh glukosa. Tipe ini dijumpai pada anemia defisiensi piruvat kinase. c. Tipe III: autohemolisis sangat meningkat, dapat dikoreksi baik oleh AIP maupun glukosa. Tipe ini dijumpai pada sferositosis herediter. b. Tipe 66 Hematologi Klinik Ringkas Tes autohemolisis sekarang jarang dikerjakan karena boros waktu, serta sensitivitas dan spesifisirasnya rendah. Tes untuk kelainan hemolitik yang disertai pembentukan Heinzbodies. Presipitasi hemoglobin menyebabkan pembentukan Heinzbodies yang kemudian dibuang oleh limfa. Pembentukan Heinz-bodies merupakan mekanisme utama hemolisis pada anemia defisiensi G6PD, unstable hemoglobin disease, thalassemia, dan injuri kimiawi teftentu. Tes yang paling praktis adalah ascorbate-cyanidc test.l Pendekatan Diagnostik Diagnosis anemia hemolitik dilakukan dalam 2 tahap, yaitu'r'6 Menentukan Adanya Anemia Hemolitik Anemia hemolirik dapat didiagnosis jika terdapat anemia yang disertai dengan randa-tanda destruksi eritrosit, dan/atau tanda-tanda peningkatan eritropoesis. Tetapi tidak ada tes tunggal yang realiabel untuk memastikan diagnosis karena harus dilakukan kombinasi beberapa macam tes, serra dengan menyisihkan penyebab-penyebab lain yang memberikan tanda-tanda y".rg ,"-".t-6 Peningkatan eritropoesis dijumpai juga pada perdarahan akut dan akibat respons terapi pada anemia defisiensi (besi, asam folat, dan Bl2) yang sedang diobati. Thnda-tanda destruksi eritrosit juga dijumpai pada eritropoesis inefektii gangguan katabolisme bilirubin, dan perdarahan ke dalam rongga tubuh. Jika keadaan ini dapar disisihkan, diagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan. Pada anemia hemolitik kronik tanda-tanda peningkatan eritropoesis lebih menoniol, sedangkan pada anemia hemolitik akut tanda peningkatan eritropoesis tidak begitu menonjol. Pada anemia hemo- litik akut dijumpai ge)ala acute febril illness, tanda-tanda intravaskuler hemolisis, atau penurunan hemoglobin tiba-tiba, lebih dari I g/dl dalam wakru I minggu. Penurunan hemoglobin tiba-tiba ini dijumpai juga pada perdarahan akut dan hemodilusi. Jika kedda hal ini dapat disingkirkan, diagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan. \Tintrobe memberikan petunjuk praktis.r Anemia hemolitik patut dicurigai jika didapatkan: Anemia Hemolitik 67 1. tnda-tanda destruksi eritrosit berlebihan bersamaan dengan tanda-tanda peningkatan eritropoesis. Hal ini ditandai oleh anemia, retikulositosis dan peningkatan bilirubin indirek dalam darah. Apabila tidak dijumpai tanda perdarahan ke dalam rongga tubuh atau jaringan maka diagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan. 2. Anemia persisten disertai retikulositosis tanpa ada tanda-tanda perdarahan yang jelas. Jika perdarahan dan pemulihan anemia defisiensi akibat terapi dapat disingkirkan, diagnosis anemia hemolitik ditegakkan. 3. Apabila terdapat penurunan hemoglobin lebih dari 1 g/dl dalam waktu satu minggu (melebihi kemampuan kompensasi eritropoesis) serta perdarahan akut dan hemodilusi dapat disingkirkan maka anemia hemolitik dapat ditegakkan. 4. Apabila dijumpai hemoglobinuria atau tanda hemolisis intra- vaskuler yang lain. Menentukan Penyebab Spesifik Anemia Hemolitik. Menentukan penyebab anemia hemolitik harus dimulai dari anamnesis yang teliti, pemeriksaan apusan darah dan tes Coombs. Untuk itu, pasien dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu:i 1. 2. 1 Kasus dengan diagnosis yang sudah jelas karena adanya pema- paran terhadap infeksi, bahan kimia dan bahan fisik. Kasus dengan tes Coombs direk positif maka ditetapkan sebagai anemia imunohemolitik. Langkah selanjutnya adalah mencari penyakit dasar (underfuing disease) dan tes serologi untuk menetapkan sifat antibodi yang dijumpai. Kasus dengan anemia sferositik disertai tes Coombs negatif. Kemungkinan adalah kasus sfreositosis herediter, maka dilanjutkan dengan pengambilan riwayat keluarga yang lebih teliti serta konfirmasi dengan tes fragilitas osmotik. Kadang-kadang anemia imunohemolitk (dengan milrosferosit) menunjukkan tes Coombs negatif oleh karena titer antibodi yang rendah. Perlu prosedur pemeriksaan tes Coombs yang lebih sensitif. 4. Kasus dengan kelainan morfologi eritrosit yang lain. Sel target menjurus ke arah thalassemia, sedangkan sel sabit patognomonik 68 5. Hematologi Klinik Ringkas untuk anemia sel sabit. Fragmentasi eritrosit ekstensif menjurus ke arah anemia hemolitik mikroangiopadk, injuri termal atau kimiawi. Kasus tanpa kelainan morfologi yang khas dan tes Coombs negatif memerlukan suatu baterai tes penyaring seperti elektroforesis hemoglobin, res denaturasi panas untuk unstable hemoglobin disease, dan tes penyaring unnk paroxysmal nocturnal hemoglobinuria. Jika semua prosedur di atas menghasilkan hasil normal, ini merupakan kasus yang sulit. Di sini diperlukan pemeriksaan spesifik yang sering hanya dilakukan di pusar-pusar yang maju. Diagnosis Banding Kelainan-kelainan yang sering dikelirukan dengan anemia hemolitik adalah,r 1. Anemia pascaperdarahan 2. 3. akut dan fase pemulihan anemia defisiensi yang sedang mendapat terapi. Di sini dapat dibedakan karena tidak adanya ikterus dan kadar hemoglobin meningkat pada pemeriksaan berikutnya. Anemia karena eritropoesis inefektif sering disertai ikterus akholurik dan hiperplasia normoblasdk sumsum tulang, tetapi di sini retikulosit tidak meningkat. Pada kasus yang meragukan dilakukan pemeriksaan suruiual eritrosit. Anemia yang disertai dengan perdarahan ke rongga retropenial atau ke jaringan lain sering kali sulit dibedakan dengan anemia Di sini hemoglobin turun dengan cepar disertai retikulositosis dan ikterus akholurik. Kasus ini hanya dapat dibedakan kalau dapat dilakukan pemeriksaan yang membuktikan adanya perdarahan ini. Kasus dengan ikterus ranpa anemia seperti pada sindrom Gilbert atau kelainan katabolisme yang lain perlu dibedakan dengan keadaan hemolitik terkompensasi. Di sini tidak dijumpai kelainan morfologi eritrosit dan retikulosir normal. Pada keadaan yang meragukan dilakukan pemeriksaan suruiual eritrosit. Adanya mioglobinuria, seperti pada kerusakan otot yang luas atau nuslt syndrome perlu dibedakan dengan hemoglobinuria. hemolitik. 4. 5. Hal ini dapat dibedakan dengan elektroforesis. Anemia Hemolitik 69 Pengobatan Pengobatan anemia hemolitik sangat tergantung keadaan klinik kasus tersebut serta penyebab hemolisisnya karena itu sangat bervariasi kasus per kasus. Akan tetapi, pada dasarnya terapi anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu'1-10 Terapi Gawat Darurat Pada hemolisis akut terurama hemolisis intravaskuleq dimana terjadi syok dan gagal ginjal akut maka harus diambil tindakan darurat untuk mengatasi syok, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta memperbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi anemia berat, pertimbangan transfusi darah harus dilakukan secara sangat hati. hati, meskipun dilakukan crzss matching, hemolisis tetap dapat ter.tetapi, jadi sehingga memberatkan fungsi organ lebih lanjut. Akan jika syok berat maka tiada pilihan selain transfusi. Dilakukan penentuan tipe genotipe golongan darah, dan penentuan antibodi spesifik. Darah yang cocok untuk sistem ABO dan sistem Rh harus di-cross match dengan darah penderita, hasil yang paling cocok dapat diberikan. Namun, pengawasan harus betul-betul ketat apabila hemolisis tetap terjadi dapat dipertimbangkan excltange transfusion.r'z Pada AIHA yang disertai hemolisis berat kadang-kadang diperlukan tindakan darurat karena anemia berat yang terjadi tiba-tiba dapat membalrayakan fungsi jantung sehingga terjadi gagal jantung. Dalam keadaan demikian, transfusi terpaksa harus dilakukan de' ngan kehati-hatian, seperti tersebut di atas. Sebaiknya diberikan darah merah yang dicuci (tuashed red cell) untuk mengurangi beban antibodi. Pada saat yang sama dapat diberikan steroid parenteral dosis tinggi untuk menekan fungsi makrofag atau pemberian hiperimun globulin dengan fungsi y"rg ."-".t't'6 Terapi Su portif-simtomatik Terapi suportif-simtomatik untuk anemia hemolitik diberikan untuk menekan proses hemolisis terutama di limpa (lien). Eritrosit dengan kerusakan ringan dikeluarkan lewat limpa, tetapi eritosit dengan kerusakan berat dikeluarkan lewat organ lain, terutama hati. Splenektomi dapat menimbulkan remisi atau mengurangi gejala pada beberapa bentuk anemia hemolitik kronik. Respons terbaik dan 70 Hematologi Klinik Ringkas konsisten terhadap splenektomi dijumpai pada sferositosis herediter. Respons cukup baik juga diberikan oleh penderita eliptositosis herediter. Respons parsial diberikan oleh anemia hemolitik dengan gangguan enzim, seperti defisiensi piruvat kinase dan heksokinase. Anemia imunohemolitik, terutama dengan antibodi panas memberikan respons cukup baik terhadap splenektomi, di samping karena berkurangnya tempat destruksi eritrosit, tetapi juga karena limpa merup"k".t r.rnpat pembentukan antibodi.l'2 Steroid memberikan respons pada kasus imunohemolitik tertentu, terutama yang disertai antibodi panas. Penderita yang tidak memberikan respons terhadap steroid dapat dicoba dengan obat imunosupresif lain, seperti azathioprin. Pada anemia hemolitik kronik familier-herediter sering diperlukan transfusi darah teratur untuk mempertahankan kadar hemoglobin. Bahkan pada thalassemia mayor dipakai teknik supertransfusi atau hipertransfusi untuk mempertahankan keadaan umum dan pertumbuha., p"rie.r.t-6 Pada anemia hemolitik kronik dianjurkan pemberian asam folat 0,15-0,3 mg/hari untuk mencegah krisis megaloblasiik.r Terapi Kausal Terapi kausal tentunya menjadi harapan untuk dapat memberikan kesembuhan total. Tetapi sayang sekali sebagian besar kasus bersifat idiopatik, atau disebabkan oleh penyebab herediter-familier yang belum dapat dikoreksi. Tetapi bagi kasus yang etiologinya jelas maka terapi kausal harus segera dilaksanakan. Pemaparan terhadap bahan kimia, fisik, atau obat harus dihentikan. Jika penyebabnya infeksi maka infeksi harus diobati dengan sebaik-baiknya.r'2 Tiansplantasi sumsum tulang memberikan harapan penyembuhan pada kasus anemia hemolitik herediter-familier terutama thalas- ,.-ia.l-6 Anemia Hemolitik 71 ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN (AUTOIMMUNE HEMOLWC ANEMIA) Batasan Anemia hemolitik autoimun (AHA) atau autoimmune bemofi'tic anemia (AIHA) adalah suatu anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan desrruksi (hemolisi$ erirrosit.i-6 Berdasarkan sifar reaksi antibodi, AHA dibagi 2 golongan, yaitu: 1. AHA Tipe Panas (lVarm AIHA): Reaksi antigen-antibodi terjadi maksimal pada suhu tubuh (37'C). 2. AIlATipe Dingin (Cold AIHA): Reaksi antigen-antibodi terjadi maksimal pada suhu rendah (4'C). Jika digabungkan dengan etiologinya, didapatkan klasifikasi sebagai berikut: 1. Tipe panas (warm autzdntibodl fitpe)-aur.oantibodi aktif maksimal pada suhu tubuh (37'C). a. b. idiopatik sekunder i. Penyakit limfoproliferatif, seperti leukemia limfositik kronik dan limfoma maligna. Penyakit kolagen, seperti SLE, dan lain-lain. iii. Penyakit-penyakit lain iv. Obat: (tipe hapten: penisilin; tipe komplek imun; tipe autoantibodi: metildopa) 2. Tipe dingin (cold autoantibody type)-autoantibodi aktif pada suhu <37'C idiopatik ii. ^. b. sekunder i. Penyakit limfoproliferatif 72 Hematologi Klinik Ringkas ii. Infeksi: Mycoplasma pneumonia; Infectious mononucleosis; virus Ebstein Bax dan lain-lain. iii. Lain-lain 3. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria a. pada sifilis stadium III b. pasca infeksi virus (self limited) 4. Campuran ripe panas dan tipe dingin Patofisiologi Karena sebab yang belum diketahui, mungkin akibat gangguan regulasi imun, terbentuk antibodi terhadap eritrosit sendiri (auto- antibodi). Eritrosit yang diselimuti antibodi ini (sering disertai komplemen, terutama C3b) akan mudah difagositir oleh makrofag terutama pada lien dan juga hati oleh adanya resepror Fc pada permukaan maftrofag yang kontak dengan porsi Fc dari antibodi. Hemolisis terurama terjadi dalam bentuk hemolisis ekstravaskuler yang akan menimbulkan anemia dan ikterus hemolitik. Pada AHA tipe dingin juga terbentuk krioglobulin.r-6 AHA TIPE PANAS (WAKM AIHA\ Etiologi AHA tipe panas dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu bentuk primer (idiopatik) dan bentuk Secara garis besarnya penyebab sekunder. l. Idiopatik: merupakan 2. Sekunder terdiri atas. a. b. c. 50o/o kasus AHA akibat gangguan reaktivitas imun: SLE, limfoma maligna, CLL; mieloma multipel, karsinoma dan kolitis ulserativa; setelah penggunaan obat methildopa. Patogenesis Sekitar 600/o AHA tipe panas menunjukkan IgG, 50olo kombinasi IgG dan komplemen, l0%o hanya komplemen saja. Eritrosit yang diselimuti IgG atau komplemen difagositir oleh makrofag dalam lien Anemia Hemolittk 73 dan hati sehingga rerjadi hemolisis ekstravaskuler yang menimbulkan anemia dan ikterus karena bilirubinemia indirek. GeialaKlinik AHA tipe panas terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering pada wanita muda. Gejala yang menonjoi adalah anemia, demam, ikterus dan splenomegali. Gejala sering hilang timbul. Kelainan Laboratorik AHA tipe panas drjumpai kelainan laboratorium Darah tepi: Pada i. a. sebagai berikut: anemia dapat sampai berat, terdapat mikrosferosit, polikromasia dan sering ada normoblast dalam darah tepi. Morfologi anemia pada umumnya ialah normokromik normositer (gambar 5-3). retikulosit sangat meningkat 2. Bilirubin serum meningkat 24 mg/dl, dengan bilirubin indirek lebih tinggi dari bilirubin direk. 3. Tes Coombs direk (DAT) positif. b. Gambar 5-3. Apusan darah tepi penderita AHA: menunjukkan eritrosit normokrornik normositer, rnikrosferosit, fragrnentosit dan sebuah normoblast (panah) 74 Hematologi Klinik Ringkas Diagnosis Diagnosis AHA tipe panas dapat l. 2. ditegakkan jika dijumpai. Tanda anemia hemolitik didapat (gejala klinik, anemia normokrom normositer, hemolisis ekstravaskuler, kompensasi sumsurn tulang-lihat pada topik pemeriksaan laboratorium). Tes antiglobulin direk (Coombs) positif. Hanya sebagian kecil penderita menunjukkan tes negatif, Jika gambaran klinik menjurus kearah AHA tipe panas, tetapi tes Coombs negatif maka terapi ex juuantiuus dengan obat imunosupresif dengan pengawasan ketat dapat dipertimbangkan. Terapi Grapi untuk AHA tipe panas meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Obati/hilangkan penyakit dasar: jika penyebab diketahui dan dapat diobati maka penyakit tersebut seperti SLE dan penyakit 2. 3. 4. Iimfoproliferatif diobati dengan sebaik-baiknya, Pemakaian obat, seperti methildopa harus dihentikan. Kortikosteroid dosis tinggi merupakan salah satu obat pilihan untuk AHA tipe panas. Steroid bekerja dengan memblok fungsi makrofag dan menurunkan sintesis antibodi. Prednison diberikan secara oral dengan dosis 60-100 mg per hari. Jika terdapat kenaikan Hb. yang baik maka dosis obat diteruskan selama 2 minggu setelah Hb. stabil, kemudian dilakukan tapering off untuk mendapatkan dosis pemeliharaan yang paling kecil yang dapat mempertahankan Hb. Usahakan dosis pemeliharaan kurang dari li mg/hari. Yang paling ideal jika dosis pemeliharaan diberikan selang-seling (ahernate day). Turunan steroid lain, seperti metilprednisolon dapat juga diberikan dengan dosis yang disesuaikan. Lebih dari 50%o kasus memberikan respons baik yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar Hb dalam dua minggu pertama. Efek samping steroid harus diawasi ketat.5 Splenektomi dipertimbangkan jika tidak ada respons terhadap steroid dalam waktu 2-3 minggu atau dosis pemeliharaan steroid (prednison) melebihi 15 mg/hari. Obat imunosupresif lain yang dapat dipakai adalah azathioprim atau siklofosfamid. Siklofosfamid diberikan dalam bentuk pulse Anemia Hemolitik 75 mg i.v. dalam 1-3 kali pemberian. Obat imunosupresif paling Lutakhir adalah *yripbrnolate mofetil (CeltceptR) yang bekerja selektif menekan proliferasi limfosit T dan B, menekan sintesis antibodi dan glikolisasi molekul adhesi dengan menghambat sintesis nukleotide purin. Obat ini mula-mula dipakai untuk mencegah rejeksi pada transplantasi ginjal, ternyata juga cukup efektif pada penyakit autoimun, termasuk AHA. Obat ini dapat dikombinasikan dengan steroid atau obat imunosupresif lain.6 Tiansfusi dipertimbangkan hanya jika terdapat anemia berat yang mengancam firngsi jantung. Sebaiknya dipakai washed red d.ose 1000 5. cell. 6. 7. Dalam keadaan gawat dapat dipertimbangkan pemberian hyper' immune globulin (high dase immunoglobuline). Penderita AFIA perlu diberikan tambahan asam folat untuk mencegah krisis megaloblastik' AHA TIPE DINGIN (COLD AIHA) AHA tipe dingin lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan AHA tipe panas. Di sini reaksi antigen-antibodi terjadi pada suhu dingin (<32'C), antibodi termasuk golongan. IgM, dapat bersifat monoklonal pada yang idiopatik, dapat juga poliklonal pada yang post' ar lnIeKsr. l-6 Etiologi Dilihat dari sudut penyebabnya maka digolongkan menjadi 3, yaitu: l. AHA tipe dingin dapat Idiopatik 2. Sekunder terdiri atas: a. infeksi: Mycoplasma pneumonia, Mononucleosis infectiosa, Cytomegalo virus; b. 3. limfoma maligna. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH) Patogenesis Pada AHA tipe dingin autoantibodi IgM mengikat antigen membran eritrosit (tmttama "I antigen") dan membawa Clq ketika melewati bagian 76 Hematologi Klinik Ringkas yang dingin, kemudian terbentuk kompleks penyerang membran (membrane attacking cornplex), yaitu suatu kompleks komplemen yang terdiri aras C56789. Kompleks penyerang ini menimbulkan kerusakan membran eritrosir, apabila terjadi kerusakan membran yang hebat akan terjadi hemolisis intravaskuler jika kerusakan minimal terjadi fagositosis oleh makrofag dalam RES sehingga terjadi hemolisis ekstravaskuler.'-6 Manifestasi Klinik AHA tipe dingin dapat l. bermanifestasi klinik dalam.3 bentuk: Acute Postinfectious Cold Agglutinin-Induced Hemolysis. Terjadi setelah infeksi, biasanya infeksi virus, dengan gambaran klinik yang terdiri atas: a. hemolisis transient tapi berat; b. tampak aglutinasi, polikromasi, makrosit, dan sferosit; c. titer aglutinin tinggi. Tes Coombs direk positifl 2. Chronic Cold Agglutinin Disease Merupakan AHA tipe dingin yang berjalan lebih perlahanJahan, dengan gambaran sebagai berikut: a. kulit jari rangan / kaki mati rasa pada udara dingin (akrosianosis) b. anemia bisa ada bisa tidak c. retikulosit tinggi, tampak autoaglutinasi; d. tes aglutinin dingin dijumpai titer tinggi dan tes Coombs direk positiF. e. terapi untuk tipe ini adalah menghindari udara dingin, mengobati penyakit dasar, kadang-kadang diperlukan splenektomi. Di sini kortikosteroid tidak efektif. Khlorambusil dapat memberikan hasil pada beberapa kasus. 3. Paroxysmal Cold Hemoghbinuria (PCH).: suatu bentuk AHA dingin yang jarang dijumpai, misalnya: a. adanya antibodi Donath-Landsteiner, suatu IgG yang spesifik terhadap P blood group antigen, mempunyai renrang panas yang sempit dan kemampuan mengikat komplenen sehingga dapat menimbulkan lisis eritrosit pada bagian tubuh yang dingin b. tes Donath-Landsreiner, khas unruk PCH . Anemia He,molitik 77 c. bentuk klasik dihubungkan dengan infeksi sifilis, bentuk acute trdnsient dihubungkan dengan infeksi virus seperti rnurnps atau measles. d. lebih sering bersifat sembuh sendiri (self limiting), tetapi kadang-kadang transfusi diperlukan. AHA karena Obat (Druglnduced AIHAI Obat dapat menimbulkan hemolisis dengan 3 cara: 1. Innocent by stander. Komplek Ag-Ab melekat secara pasif pada eritrosit, contoh: pbenacetin, quinine, quinidin, chlorpropamide. 2. Obat sebagai hapten: Obat sebagai hapten yang bergabung dengan protein membran eritrosit menjadi antigen komplit, contoh: penisilin dan cephalotin. 3. AIIA karena obat yang sebenarnya: obat menyebabkan perubah- an pada membran eritrosit sehingga membentuk autoantigen dari membran sendiri, contoh: methyldopa dan fludarabine. Gambaran klinik AHA karena obat sama dengan gambaran klinik AHA pada umumnya. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang teliti tentang adanya pemaparan pada obat tertentu. Terapi utama adalah menghindari obat tersebut. ANEMIA HEMOLITIK NON-IMUN Anemia hemolitik nonimun adalah anemia hemolitik ekstrakorpuskuler nonimun yang disebabkan oleh faktor-faktor luar bukan oleh proses imunologik, di mana eritrosit mengalami destruksi prematur r.r aKrDat. l-6 1. stres mekanik; 2. 3. akibat infeksi/toksin atau bahan kimia; defek didapat (acquired) pada membran. Anemia Hemolitik Mikroangiopatik Pada anemia hemolitik mikroangiopattk (microangiopathic hemolytic anemia), hemolisis terjadi akibat proses patologik tertentu'yang menyebabkan kapiler penuh fibrin sehingga eritrosit dipaksa melewati lubang yang sempit. Akibatnya terjadi kerusakan membran sampai fragmentasi eritrosit. Kerusakan yang berat akan menyebabkan hemolisis intravaskuler, sedangkan kerusakan ringan pada dinding 78 Hematologi Klinik Ringkas eritrosit menyebabkan sel tersebut difagositosis oleh makrofag dalam lien sehingga terjadi hemolisis ekstravaskuler. Anemia hemolitik mikroangiopatik dijumpai pada; a. b. c. d. e. f. g. h. i. disseminated cArcinoma, terutama yang "mucous secretin/'; purpura fulminans; collagen uascular disorders; toksemia kehamilan; hipertensi maligna; hemangioma cAuernosA; disseminated intrauascular coagulation; thrombotic thrombocytopenic purpura; I hemolytic uremic syndrome; Gambaran klinik anemia hemolitik mikroangiopatik didominasi oleh gambaran penyakit dasar. Dapat dijumpai tanda-tanda hemolisis intravaskuler, seperti hemoglobinemia atau hemoglobinuria, tandatanda hemolisis ekstravaskuler seperti retikulositosis, dan pening- katan bilirubin indirek dalam darah Anemia Hemolitik karena Malaria Mekanisme terjadinya kerusakan eritrosit pada infeksi malaria sangar kompleks. Beberapa faktor yang diperkirakan berperan adalah:r-6 a. destruksi langsung oleh parasit; b. c. d. sequestrasi eritrosit oleh limpa dan hipersplenisme; kegagalan temporer sumsum tulang; kerusakan karena obat anti-malaria, seperti primaquin atau qu in ine. Anemia yang terjadi bervariasi dari anemia hemolitik kronik ekstravaskuler yang ditandai oleh adanya anemia, ikterus, spleno- megali, retikulositosis, peningkatan bilirubin indirek dalam darah, serta tanda hemolisis ekstravaskuler yang lain. Pada kasus tertentu terutama pada malaria tropika (Pfalcifarum) dapat terjadi episode hemolitik intravaskuler berat yang menimbulkan hemoglobinemia dan hemoglobinuria sehingga terjadi black tuater feuer dengan mekanisme yang belum jelas. Penderita mengeluh mengeluarkan kencing coklat, seperti kopi. Diagnosis ditegakkan jika dijumpai tanda-tanda anemia hemolitik yang disertai parasit malaria positif dalam darah. Pada sebagian kasus, Anemia Hemolitik 7s parasit malaria sulit ditemukan sehingga diperlukan pemeriksaan khusus atau pemeriksaan imunologik. Pengobatan diberikan dalam bentuk obat anti malaria sebagai terapi kausal. Kadang-kadang diperlukan transfusi darah apabila hemoglobin turun di bawah 7 gldl atau anemia bersifat simtomatik. Penanganan black water feuer adalah sama dengan Penanganan ane- mia hemolitik intravaskuler akut, berupa usaha untuk syok, mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit, mengatasi mengatasi gagal ginjal akut serta mengatasi anemia yang terjadi. ANEMIA HEMOLITIK AKIBAT DEFEKYANG DIDAPAT PADA MEMBRAN ERITROSIT PAROXyS MAL NOCTIIRNAL HEMOGLOBINURTA (PNH) PNH merupakan kelainan klonal sel induk hematopoetik yang menyebabkan eritrosit, granulosit, monosit dan trombosit abnormal. Defek utama terjadi pada eritrosit. Pada PNH terdapat kelainan intrinsik membran eritrosit sehingga terjadi peningkatan sensitivitas terhadap lisis oleh komplemen. Secara biologi molekuler terjadi gangguan pada protein membran eritrosit, yaitu glycosy l-p h osp h atid/ inositol (GPI) anchor, suatu struktur yang mengikat bermacam molekul protein, yang antara lain menyebabkan menurunnya DAF (decay accelerating factor). DAF berfungsi meningkatkan inaktivasi C3b oleh faktor I. Aktivitas DAF yang menurun menyebabkan akumulasi C3b yang akan memb enruk membran attaching complex (C56789). Komplek penyerang ini akan menimbulkan lisis eritrosit intravaskuler. Pada malam hari terjadi retensi CO2 sehingga pH darah menurun yang mengakibatkan hemolisis lebih mudah terjadi. Akibat kelainan sel induk yang disertai instabilitas genetik maka PNH mudah mengalami transformasi menjadi anemia aplastik atau leukemia "k..t.1-6 Gambaran Klinik PNH lebih sering dijumpai pada umur 30-40 tahun. Terjadi he- molisis intravaskuler kronik dengan eksaserbasi akut sehingga memberikan gejala sebagai berikut: 80 Hematologi Klinik Ringkas Hemoglobinuria dengan kencing warna hitam, warna kencing bervariasi menurut wakru. b. Anemia, ikterus ringan, jarang disertai splenomegali. c. Tendensi thrombosis meningkat. a. Kelainan Laboratorium Pada PNH dijumpai tanda-tanda hemolisis intravaskular yang berlangsung kronik, disertai tanda-tanda percepatan eritropoesis. Kelainan laboratorium yang dijumpai dapat berupa sebagai berikut: a. Anemia, retikulositosis, kadang-kadang ada normoblast dalam darah tepi. b. Leukopenia sedang dengan trombositopenia bervariasi. Dapat dijumpai hemoglobinemia, haptoglobin menurun dan hemoglobinuria. d. Hemosiderinuria karena hemolisis intravaskuler kronik. e. Bukti-bukti meningkatnya sensitivitas terhadap komplemen, yaltu: i. Acid hemolysis test (Harn test) positif ri. Suuose/sugar Luater test posidf f. Pada pusat-pusat yang maju dapat dilakukan pemeriksaan untuk menentukan GPI. c. Terapi Untuk PNH tidak ada terapi yang definitifl mungkin transplantasi sumsum tulang dapat memberikan kesembuhan permanen. Sebagian besar usaha terapi berupa terapi simtomatik: a. jika perlu dapat diberikan transfusi pakai SDM yang dicuci; b. pemberian besi jika terdapat defisiensi besi (akibat hemosideriuria); antikoagulan oral (warfarin) untuk thrombosis; kortikosteroid memberi respons pada sebagian kecil penderita. n c. d. Perlu pengawasan yang baik untuk mengantisipasi kemungkinan transformasi menjadi leukemia akut atau anemia apalstik. Anemia Hemolitik 81 I. KELAINAN ENZIM ERITROSIT Defisiensi G6PD (Glukose 6 Phosphat Dehydrogenases) Epidemiologi di dunia cukup tinggi di mana seluruh dunia dijumpai lebih dari 100 juta penderita. Laporan mengenai anemia defisiensi G6PD di Indonesia belum banyak dijumpai, diperkirakan prevalensinya sekitar I-I,4o/o.'Wanita heterosigot terhadap defisiensi G6PD resisten terhadap malaria.6 Prevalensi anemia defisiensi G6PD di Patogenesis Mekanisme penyakit anemia defisiensi G6PD telah banyak diteliti, di mana anemia jenis ini:1-6 a. Timbul karena mutasi gen yang mengkode rangkaian asam amino enzim G6PD yang terletak pada lengan panjang dari kromosom-X. Ensim ini sangat diperlukan untuk mempertahankan eritrosit dari proses oksidasi akibat obat, infelai, dan lain-lain. b. Secara elektroforetik ada 2 tipe isoensim, yaitu: i. Tipe A: khusus pada orang Negro. ii. Tipe B: varian normal terbanyak. c. Defisiensi G6PD menyebabkan NADPH m€nurun sehingga reduced glutathion juga menurun yang menyebabkan eritrosit mudah terkena bahan olaidan yang mengakibatkan kerusakan membran dan pembentukan Heinzls bodies jika eritrosit mendapat pemaparan obat tertentu atau bahan toksis. Eritrosit yang mengalami kerusakan ini difagositir RES, jika berat dapat menimbulkan hemolisis intravaskuler. Jika tidak terjadi pemaparan, eritrosit akan berfungsi normal. Penyebab Hemolisis Hemolisis pada anemia defisiensi G6PD dapat dipicu oleh beberapa hal, seperti: 82 l. 2. Hematologi Klinik Ringkas Obat-obatan rerdiri atas: a. anti malaria: primakuin, pirimetamin, kinine dan khlorokuin b. antibakteri: sulfonamid, nitrofurantoin, penisilin, streptomisin dan INH c. analgetika: fenasetin, salisilat, parasetamol d. lainlain: vitamin K, probenesid, quinidin dan dapson Infeksi dan ketoasidosis diabetik 3. faua bean (mengandung conuiciene) sehingga menimbulkanfauism Gambaran Klinik Gambaran klinik anemia defisiensi G6PD sangar bervariasi, defi- siensi G6PD dapat menimbulkan. 1. drug induced hemolytic anemia; 2. fauism; 3. neonatal jaundice; 4. chronic hemofisis. Di luar serangan, penderita umumnya asimtomatik (tanpa gejala). Gejala klinik timbul akibat adanya hemolisis ekstravaskuler atau intravaskuler. Mulai yang ringan dan berjalan perlahan-lahan, sampai gejala hemolisis intravaskuler yang berat. Gambaran Laboratorium Gambaran laboratorium di luar serangan menunjukkan gambaran hematologik normal, hanya aktivitas enzim G5PD eritrosit menurun. Pada saat serangan gambaran laboratorium yang dapat dijumpai adalah: a. b. tanda-tanda hemolisis intravaskuler gambaran apusan darah tepi menunjukkan contracted and fagmented cells, bite cells, dan blister cells. Terdapat inclusion bodies pada eritrosit. Anemia Hemolitik 83 Diagnosis Diagnosis anemia defisiensi G6PD dibuat berdasarkan pada sebagai berikut: 1. riwayat klinis pemaparan obat atau infeksi; 2. 3. 4. tanda-anda hemolisis; adanya Heinzls body; aktivitas enzim G6PD menurun, yang dapat diukur secara langsung. Terapi Terapi anemia defisiensi G6PD tergantung dari derajat penyakit. Yang terpenting adalah menghentikan obat yang memicu terjadinya hemolisis. Jika terjadi hemolisis intravaskuler berat, terapi terPenting ditujukan untuk mempertahankan fungsi ginjal. Pertahankan outPut urine, atasi syok jika terjadi anemia berat dapat diberikan transfusi. II. GANGGUAN MEMBRAN ERITROSIT SFEROSITOSIS HEREDITER (HEREDITARY SPHEROCYTOSIS=HS) Sferositosis herediter adalah kelainan hematologi herediter-familier yang banyak dijumpai di Eropa Utara (Skandinavia). Kelainan ini khas.l-6 1. Diturunkan 2. 3. Dijumpai makrosferosit pada hapusan darah tepi. Memberi respons baik terhadap splenektomi. secara autosomal dominan dengan elspresi bervariasi. Patogenesis Kelainan dasar sferositosis herediter terletak pada protein struktural membran eritrosit. Sferositosis herediter timbul karena defek protein yang berfungsi dalam interaksi vertikal antara membrane sheleton 84 Hematologi Klinik Ringkas dengan lipid bi/ayer membran eritrosit, anrara lain karena defek pada anhyrin, spectrin a:au pallidin (protein 4.2). Hal ini mengakibatkan membran eritrosit menjadi longgar sehingga eritrosit berubah bentuk dari bikonkaf menjadi sferis. Deformabilitas eritrosit (perubahan bentuk menjadi bulat dan rigid) ini menyebabkan kerusakan membran eritrosit pada saat melewati kapiler yang berdiameter kecil pada lien. Eritrosit dengan defek membran ini akan dikenal dan kemudian difagositir oleh makrofag, sehingga terjadilah hemolisis ekstravaskuler yang kronik.r'6 Gambaran Klinik Sferositosis herediter menimbulkan anemia dari bayi sampai usia tua. Dijumpai ikterus yang berfluktuasi. Splenomegali hampir selalu dijumpai. Pada sebagian besar penderita dijumpai batu empedu. Gambaran Laboratorik Dijumpai anemia dengan derajat anemia hampir sama pada seluruh famili.5 Apusan darah tepi menunjukkan sferosit, eritrosit kelihatan lebih bulat dengan bagian pucar di tengah (central palbr) menghilang. Dijumpai juga polikromasia, kadang-kadang terdapat normoblast. Retikulosit meningkat 5-20o/o. Sumsum tulang menunjukkan aktivitas eritropoesis meningkat berupa hiperplasia normoblastik. Pemeriksaan biokimia darah menunjukkan bilirubin indirek darah meningkat. Untuk mengkonfirmasi diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus yaitu tes fragilitas osmotik. Eritrosit pada sferosistosis herediter lebih mudah lisis (fragilitasnya meningkat) jika diinkubasi pada larutan salin hipotonik sehingga memberikan kurva yang khas. Tes autohemolisis menunjukkan aurohemolisis tipe III, dimana autohemolisis sangat meningkat, tetapi dapat dikoreksi baik dengan glukosa maupun AIP. Tes Coombs akan memberikan hasil negarif, Terapi Grapi pilihan pada HS adalah splenektomi yang memberikan respons yang sangat baik pada sebagian besar penderita. Splenektomi sebaiknya jangan dilakukan pada umur di bawah 5 tahun karena penderita mudah mengalami sepsis pneumokokus. Sebaiknya diberikan valainasi pneumokokus setelah splenektomi. Asam folat diberikan untuk mencegah krisis megaloblastik. Anemia Hemolitik 85 III. HEMOGLOBINOPATI Hemoglobinopati ialah sekelompok kelainan herediter yang ditandai oleh gangguan pembentukan molekul hemoglobin. Kelainan ini dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:1-6 l. Hemoglobinopati struktural Di sini terjadi perubahan struktur hemoglobin (kualitatif) karena substitusi satu asam amino atau lebih pada salah satu rantai peptida hemoglobin. Hemoglobinopati yang penting sebagian besar merupakan varian rantai beta. Contoh hemoglobinopati struktural adalah: penyakit HbC, HbE, HbS, dan lain-lain. 2. Thalassemia Thalassemia adalah suatu sindrom yang ditandai oleh penurunan kecepatan sintesis atau absennya pembentukan satu atau lebih rantai globin sehingga mengurangi sintesis hemoglobin normal (kuantitatif). Sebagai akibatnya timbul ketidakseimbangan sintesis suatu rantai, salah satu rantai disintesis berlebihan sehingga mengalami presipitasi, membentuk Heinz bodies. Eritrosit yang mengandung I{einz bodies ini mengalami hemolisis intrameduler sehingga terjadi eritropoesis inefektif, disertai peme:rdekan masa hidup eritrosit yang beredar. Sering diikuti kompensasi pembentukan rantai globin lain sehingga membentuk konfigurasi lain. Misalnya, pada thalassemia beta, rantai beta tidak terbentuk, sehingga rantai alfa mengalami ekses yang mengakibatkan presipitasi rantai ini. Untuk mengurangi ekses rantai alfa maka dibentuk rantai gama yang mengikat rantai alfa yang berlebihan sehingga terjadi konfigurasi baru sebagai a2y2, yang dikenal sebagai HbF. PENYAKIT HEMOGLOBIN E Penyakit hemoglobin E merupakan hemoglobinopati struktural yang paling sering dijumpai di Asia Tenggara. HbE terjadi karena perubahan pada rantai beta di mana asam amino glutamine nomor 28 diganti oleh fisine (cL2B226Gl'-L). Bentuk homosigot akan memberikan anemia ringan sampai sedang, hipokromik mikrositer, dengan MCV rendah (60-70 fl). Pemerilsaan elektroforesis hemoglobin akan menunjukkan HbE .tinggi, sedangkan HbF normal (<5o/o). Bentuk 86 Hematologi Ktinik Ringkas heterosigot sering bersifat asimtomatik. Bentuk heterosigot ganda dengan thalassemia sering dijumpai berupa penyakit HbE-thalassemia yang memberikan gambaran klinik dan hematologik sangat mirip dengan Bo thalassemia.l-6 PENYAKIT HEMOGLOBIN S Penyakit hemoglobin S timbul karena adanya HbS, dapat bersifat homosigot, heterosigot, atau heterosigot ganda bergabung dengan hemoglobinopati lain. Spektrum penyakit hemoglobin S dapat dilihat pada tabel 5-5. Tabel 5-5 Spektrum Penyakit Hemoglobin Gambaran Sickle celltrait Sickle-cell anemia Klinik Asimtomatik Ss Elektroforesis Hb HbS (rasio 5/4:40/60) Krisis vasooklusif Hb. 7-10 g/dl Batu empedu, priapismusHbS (rasio S/A:100/0) Ulkus kaki HbF:2-25% t|' Krisis vasooklusif Hb. 7-10 gidl ssemial.''Nekrosistulangaseptiky.CJl60f0] S/ff-Thalla'- HbS (rasio S/A:100/0) HbF: 1-10% S/B'-Thattassemia Vasooklusif jarang Hb. 10-14 g/dl Nekrosis tulang jarang MCV 70-80 fl HbS (rasioS/A;60/40) Hemogtobin S/C Vasooklusif jarang Hb. 10-14 g/dl Nekrosis tulang jarang MCV:80-100fl Hematuria HbS (rasio S/A:50/0) HbC:50% Anemia Hemolitik 87 ANEMIA SEL SABIT (SICKLE CELL ANEMIA) Anemia sel sabit adalah bentuk homosigot penyakit HbS (cr2,B2'), dapat juga disebabkan oleh heterosigot ganda dengan Hbpati lain (HbC) atau thalassemia. Anemia sel sabit banyak dijumpai di Afrika Barat dan orang kulit hitam di Amerika Serikat. Sekitar 8%o orang kulit hitam di Amerika Serikat menderita heterosigot HbS dan 0,25o/o anemia sel sabit (homosigot). Gejala mulai pada bayi umur 6 bulan setelah HbF jumlahnya berkurang. Penderita sel sabit resisten terhadap infeksi malaria.5'6 Bioiogi Molekuler dan Patogenesis timbul karena mutasi satu kodon pada gen beta, yaitu adenine (A) diganti oleh thyminr (T) sehingga setelah translasi menghasilkan asam amino glutamic acid yang seharusnya ualine pada rantai beta. HbS pada tekanan oksigen yang rendah bersifat tidak larut, mengalami presipitasi (sichling) sehingga menyebabkan perubahan bentuk eritrosit, seperti bulan sabit. Sel sabit disekuestrasi oleh limpa sehingga timbul anemia hemolitik. Karena bentuknya abnormal, sel sabit sulit melalui kapiler dan menimbulkan penyumbatan pembuluh darah (vasooklusi).2'6 Secara molekuler HbS Gejala Klinik 1. Gejala klinik berupa anemia hemolitik kronik berat diselingi oleh krisis. 2. 3. 4. setelah umur 6 bulan, timbul dactylitis jari. Pada anak lebih besar timbul nyeri akut karena nekrosis tulang sendi, nyeri tulang, serta nyeri abdomen karena infark limfa. Penderita mudah mengalami infelai, terutarna pneumokokus, juga hemofilus dan salmonella karena berkurangnya fungsi limfa.5'6 Gejala anemia lebih ringan dari derajat penurunan hemoglobin karena HbS lebih mudah melepaskan oksigen.5'6 Ulkus pada kaki (sekitar malleolus) dijumpai pada 75%o kasus karena iskhemia akibat oklusi vaskuler.5'6 GeSaJa klinik mulai tampak 88 Hematologi Klinik Ringkas 5. Splemogali dijumpai pada anak kecil, setelah dewasa limfa sering mengecil karena infark berulang. Infark ginjal dapat menimbulkan hematuria. 6. 7. Komplikasi lain berupa retinopati proliferatif batu empedu, osteomielitis, mudah infelai penumokokus, hemofilus dan samonella. B. IGisis pada anemia sel sabit dipicu oleh infeksi, asidosis, dehidrasi, tekanan oksigen rendah (misalnya, di pesawar terbang), latihan berat, operasi/anesresi. Krisis dapar b.rupr, 5'6 e. Painfull uaso-occlusiue crisis: organ yang kena ialah tulang (femur, bahu, vertebra). Infark tulang jari menimbulkan sin- drom hand-foot. b. Visceral sequestration crisis: timbul karena sickling dalam organ serta pooling darah, disertai eksaserbasi anemia. Dapat timbul acute sichle chest syndrome dengan gejala sesak napas, tekanan oksigen arreri menurun, nyeri dada, infiltrat paru yang dapat c. d. bersifat fatal. Aplastic crisis: sering dipicu oleh infeksi parvovirus, disertai gejala pansitopenia dan retikulositopenia. Hemabtic crisis: hemoglobin tiba-tiba menurun disertai retikulosirosis dan nyeri. Kelainan Laboratorium Pada anemia sel sabit dapat dijumpai:5'6 Anemia sedang dengan Hb 6*9 g/dl. l. 2. 3. 4. 5. Pada apusan darah tepi ditemukan sel sabit, sel target dan tanda atrofi lien, yaitu Howell-lolly body. Tes sichling. darah dibuar mengalami deoksigenasi dengan penambahan dithionate dan Na2HpOa Tanda hemolisis seperti bilirubin indirek meningkat dan retikulosirosis. Pada elektroforesis Hb. Dijumpai HbS 2540o/o, HbA kosong dan HbF 5-I5o/o. lerapt Pada penderita anemia sel sabit, misalnya: 1. Berikan asam folat 5 mg/hari. 5'6 Anemia 2. Berikan makanan Hemolitik 89 bergizi dan minum yang cukup. 3. Jika terjadi lrisis: diberikan suasana hangat, berikan infus salin fisiologik 3 liter per hari, infelai diatasi, berikan.analgetik 4. secukupnya. Tlansplantasi sumsum tulang yang berhasil memberikan kesembuhan. Terapi gen: masih merupakan harapan di masa depan. Berikan perhatian khusus pada saat operasi dan kehamilan. 5. 6. 7. Pencegahan krisis terdiri atas: a. Tiansfusi teratur (supertransfusi) dapat dipertimbangkan pada penderita krisis berulang-ulang untuk mengurangi sintesis HbS internal. b. Hidroksiurea dengan dosis 15-20 mg/kg dapat meningkatkan HbF dan mengurangi sickling. Obat ini dapat diberikan dalam waktu lama. THALASSEMIA Thalassemia adalah suatu kelainan genetik yang sangat beraneka ragam yang ditandai oleh penurunan sintesis ranrai cx, atau B dari globin. Klasifikasi Thalassemia Terdapat 2 dpe urama, yairu: 1. Thalassemia alfa: di mana terjadi penurunan sintesis rantai alfa Thalassemia beta: di mana terjadi penurunan sintesis rantai bera. 2. Dalam kelompok ini dimasukkan juga: thalassemia delta-beta: penurunan sintesis ranrai beta dan a. delta; 6. d A B6 thakssemia: terjadi penurunan sintesis rantai beta, delta dan dA. Epidemiologi 1 Thalassemia beta Dilihat dari distribusi geografiknya maka thalassemia B banyak dijumpai di Mediterania, Timur Tengah, India/Pakistan dan Asia. Di Siprus dan Yunani lebih banyak dijumpai varian B*, sedangkan di Asia Tenggara lebih banyak varian Bo. 90 HematoLogi Klinik Rlngkas Prevalensi thalassemia di berbagai negara adalah sebagai berikut: Thalaseemia ///a Sickle cell anaemia flf Hbc @l HbD C: Hbe w Gambar S-4.Thalassemia dan hemoglobinopati di dunia. Sabuk thalassemia tampak melalui Indoneiia, Asii Tenggara, India, Timu Tengah dan Mediterania.ss Italia: l0%o, Yunani: 5-l0o/o, Cina: 2oh, India: l-5o/o, Negro: lo/o, Asia Tenggara: 5o/o. Jika dilukiskan dalam pera dunia, seolah-olah membentuk sebuah sabuk (thalassemic belt), di mana Indonesia termasuk di dalamnya (gambar 5-4). 2. Thalassemia alFa Sering dijumpai di Asia Tenggara, lebih sering dari thalassemia beta. THALASSEMIA BETA Gambaran Klinik Thalassemia beta memberikan gambaran klinik yang beraneka ragam, mulai dari yang paling berat sampai yang paling ringan: l. Thalasemia beta major = Cooley's anemia: merupakan bentuk homosigot yang rergantung pada transfusi danh (transfusion 2. 3. dependent). Thalassemia intermedia: dasar generiknya sangar bervariasi dengan gambaran klinik terletak antara thalassemia major dan minor. Thalassemia minor atau rrair merupakan bentuk heterosigot yang sering asimtomatik. Anemia Hemolitik 91 Kelainan Genetik Pada thalassemia beta lesi genetik sangat beraneka ragam, tetapi sebagian besar berupa 'point mutation". Mutasi terjadi pada kompleks gen sendiri, atau pada region promoters atau region en/tancer. Bentuk mutasi rertenru khas dijumpai pada masyarakat tertenru sehingga memudahkan diagnosis prenatal. Akibat kelainan genetik ini maka sintesis rantai beta terhenti atau berkurang. Jika sinresis terhenti sama sekali disebut sebagai varian B', apabila masih ada sintesis rantai beta maka disebut varian B*. Patofisiologi Pada dasarnya thalassemia beta timbul karena presipitasi rantai alfa yang berlebihan yang tidak mendapat pasangan rantai beta. presipitasi ini membentuk inclusion bodies yang menyebabkan lisis eritrosit intrameduler dan berkurangnya masa hidup sel eritrosit dalam sir- kulasi (gambar 5-5). Thalassemia Major Thalassemia major adalah bentuk homosigot dari thalassemia beta yang disertai anemia berat dengan segala konsekuensinya. Gambaran kliniknya dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu, r-6 1. Yang mendapat transfusi yang baik (tuell nansfused) sebagai akibat pemberian hipertransfusi maka produksi HbF dan hiperplasia eritroid menurun sehingga anak tumbuh normal sampai dekade ke 4-5. Setelah itu timbul gejala "iron ouerload' dan penderita meninggal karena diabetes melitus atau sirosis hati. 2. Yang tidak mendapat transfusi yang baik maka timbul anemia yang khas, yaitu Cooley's anemia. a. gejala mulai pada saat bayi berumur 3-6 bulan, pucar, anemis, kurus, hepatosplenomegali, dan ikterus ringan. b. gangguan pada tulang: thalassemic face c. rontgen tulang tengkorak: hair on end appearance d. gangguan pertumbuhan (kerdil) e. gejala iron ouerload: pigmentasi kulit, diabetes melitus, sirosis hati, atau gonadal failure. 92 Ilematologi Klinik Ringkas d gamma ct alfa P.lstu \\ ekses rantai s, frTi"u?'*' * (Hb.F & Hb A mcnurun ) prdsipitasi rantai o i pada eritrosist I i Allnitas O, mcningkat t Ilemolisis rl ,.'l I Hipoksi 1,''\ Produksi eritronoetin meninskat.' I\ I:,\ I AbiEMIA \l Transfusi i \." ITemopoesis .hKspansl r ss tulang lr'I Absorpsi Fe y' r dlm iarinaan I * dclbrmitas tulang * keadaan hiperkatabolik +gout Splenomegali * defisiensi I Deoosit Fe ekstramedulcr I ,..' II ,. ' *'' Eritropoesis --zlnefektif rl iaringan tasl ranlai o intra meduler asam Hipersplenisme folat / l" Hemokromatosis iarinpan '+" Gagal jantung Gagal endokrin Kerusakan hati Gambar 5-5. Skema patogenesis thalassemia beta Gambaran Hematologik Thalassemia major memberikan gambaran hematologik sebagai berikut: 1. Darah tepi terdiri atas: a. Anemia berat, Hb dapat 3-9 g/dl sehingga rerus menerus memerlukan transfusi darah. b. Apusan darah tepi: eritrosit hipokromik mikrositer, dijumpai sel target, normoblast, dan polikromasia. c. Retikulositosis. 2. Sumsum tulang: hiperplasia eritroid dan cadangan besi meningkat. Anemia 3. 4. Hemolitik 93 Red cell suruiual memendek. Tes fragilitas osmotik: eritrosit lebih tahan terhadap larutan salin hipotonik. 5. Elektroforesis hemoglobin rerdiri atas: a. Hb F meningkat: 10-98% b. Hb A bisa ada (pada B. ), bisa tidak ada (pada B") c. HbA2 sangat bervariasi, bisa rendah, normal, atau meningkat 6. Pemeriksaan khusus: pada analisis "globin cltain synthesis" dalam retikulosit akan dijumpai sintesis rantai beta menurun dengan rasio o/B meningkat. Tabel 5-6 Diagnosis Banding Thalassemia dan Anemia Defisiensi Besi Thalassemia Anemia defisiensibesi + , Perubahan Tak sebanding Sebanding dengan morfologik eritrosit dengan derajat anemi derajat anemi ++ Sel target +lResistensi osmotic Meningkat N Besi serum Meningkat Menurun TIBC Menurun Meningkat Cadangan besi Meningkat Kosong Feritin serum Meningkat Menurun HbM/HbF Meningkat Normal Splenomegali lkterus Thalassemia Intermedia 1. Pada thalassemia intermedia dijumpai: Anemia sedang (Hb.7-10 g/dl) oleh karena kan transfusi 2. Secara a. b. itu tidak memerlu- genetik bersifat beraneka ragam terdiri atas: thalassemia beta homosigot dengan defek sintesis rantai beta tidak begitu berat; bentuk heterosigot: kombinasi thalassemia beta trait dengan HbE atau Hb Lepore; 94 Hematologi Klinik Ringkas c. d. e. koeksistensi bersama thalassemia alfa trait sehingga ekses rantai alfa berkurang; gejala klinik menyerupai thalassemia major dengan deformitas tulang, hepatosplenomegali, iron ouerload terjadi setelah dewasa; gambaran hematologik sama dengan thalassemia major. Diagnosis Diagnosis thalassemia beta dibuat berdasarkan berikut: l. gejala klinik; 2. asal etnis; 3. riwayat keluarga; 4. pemeriksaan laboratorium. a. b. Hb: -HbF dan HbA2 studi "globin cltain synthesii'. elektroforesis Diagnosis Banding Thalassemia harus dibedakan dari bentuk anemia hipokromik mikro,i,.. y".rg lain, seperti anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit laonik dan anemia sideroblastik. Pada tabel 5-6 dapat dilihat perbedaan antara thalassemia dengan anemia defisiensi besi.l-6 Terapi Thalassemia major merupakan bentuk anemia berat yang rergantung pada transfusi darah (blood transfusion dependrnt). Pada dasarnya terapi thalassemia major terdiri atas: 1. Usaha untuk mengatasi penurunan hemoglobin, untuk mencapai kadar hemoglobin normal atau mendekati normal sehingga tidak terjadi gangguan perqumbuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian transfusi teratur. Sekarang dipakai teknik hipertransfusi, untuk mencapai hemoglobin di *r", 10 g/dl, dengan jalan pemberian transfusi 24 unit darah setiap 4-6 minggu, dengan demikian produksi hemoglobin abnormal ditekan. 2. Usaha untuk mencegah penumpukan besi (hemocltromatosis) akibat transfusi dan akibat patogenesis dari thalassemia sendiri. Hal ini dilakukan dengan pemberian iron chektor yaitu: desferioksamin (desferalR) sehingga meningkatkan ekskresi besi dalam Anemia 3. 4. 5. 6. Hemolitik 95 urine. Desferal diberikan dengan infusion bag atausecara subkutan. Sekarang di Eropa dan India dikembangkan preparat desferiprone yang dapat diberikan secara oral. Pemberian asam folat 5 mg/ hari secara oral untuk mencegah krisis megaloblastik. Usaha untuk mengurangi proses hemolisis dengan splenektomi. Splenektomi dilakukan jika splenomegali cukup besar serta terbukti adanya hipersplenisme. Terapi definitif dengan transplantasi sumsum tulang. Tiansplantasi yang berhasil akan menyebabkan kesembuhan permanen. Terapi eksperimental dengan rekayasa genetik transfer gen. THALASSEMIA ALFA Thalassemia alfa adalah bentuk thalassemia yang sangar sering dijumpai di Asia Tenggara, di mana terjadi penurunan sinresis rantai alfa. Dasar genetik dan molekulernya ialah"deletion" dari gen alfa,r-6 Berdasarkan genotipenya maka thalassemia alfa dibagi menjadi berikut: L Silent carrier u thalassemia 2 terjadi deletion 1 gen alfa (- crlao). 2. Trait thalassemia /.lfa=a thakssemia l. a. terjadi dcletion2genalfa (- - / crcr) atau (- ul - u). b. dijumpai anemi ringan dengan mikrositosis, }lCV 60-75 fl. c. HbH meningkat, tetapi tidak dapat dideteksi dengan elektroforesis hemoglobin. d. Diagnosis lebih banyak dilakukan dengan menyingkirkan penyebab lain (by exclusion). 3. Penyakit }JbH (HbH Disease). a. Terjadi deletion 3 gen (- - l- u) b. Terbentuk HbH ($4) yang mudah mengalami presipitasi da- lam eritrosit, membenruk inclusion bodies sehingga eritrosit mudah dihancurkan. c. d. Penderita dapat tumbuh sampai dewasa dengan anemia sedang (Hb 8-10 g/dl), anemia bersifat hipokromik mikrositer, MCV 60-70 fl, disertai basophybc sttppling dan retikulositosis Pada pengecatan supravital (brilliant cressyl blue): ampak mul- tipb inclusion bodies. Hematologi Klintk Ringkas 96 e. Sebagian besar penderita tidak memerlukan transfusi kecuali jika timbul anemia berat. Asam folat diberi 5 mg/hari. Hin- dari pemakaian obat oksidan. 4 Hb Barts Hydrops Fetalis Syndrome a. akibat delesi 4 gen alfa C -l- -) sehingga rantai alfa sama sekali tidak terbentuk, sebagai kompensasi terbentuk Hb Barts (6 4); b. merupakan penyebab lahir mati yang sering di Asia Tenggara; c. gejalanya menyerupai hydrops fetalis karena inkomptabilitas rhesus, dijumpai edema anasarka, hepatosplenomegali, ikterus berat dan janin yang sangat anemis. Janin mati intrauterin pada minggu 36-40; d. Hb 6 gldl, gambaran sama dengan thalassemia e. f. berat dengan normoblastemia; elektroforesis hemoglobin menunjukkan 80-90% Hb Barts, sedikit HbH tidak dijumpai HbA atau HbF; jika mungkin lakukan diagnosis prenatal dan jika positif se- baiknya dilakukan aborsi. Bab 5 ANEMIA KARENA KEGAGALAN SUMSUM TULANG ini, anemia terjadi karena kegagalan fungsi sumsum tulang (bone marrou failure). Gagal sumsum tulang bukan hanya mengganggu sistem eritroid, tetapi juga sistem mieloid dan megakariosit sehingga menimbulkan pansitopenia. Yang termasuk dalam kelompok ini ialah:r-6 Pada kelompok I. Primer: 1. Anemia aplastik dan pure red cell aplasia 2. Anemia diseritropoetik kongenital 3. Anemia pada sindroma mielodisplastik II. Sekunder: 1. Anemia mieloptisik 2. Supresi sumsum tulang karena keganasan hematologik lain: leukemia akut, limfoma maligna dan mieloma multipel. Gordon-Smith dan Lewis memberikan batasan lain untuk gagal sumsum tulang, yaitu murni karena kegagalan sel induk hemopoedk untuk membentuk turunannya, tanpa gangguan maturasi. ini dimasukkan dua jenis gagal sumsum tulang, yaitu kegagalan sel induk pluripoten yang menimbulkan anemia aplastik dan kegagalan sel induk komited yang menimbulkan sitopenia tunggal (single cytopenias), seperri pure red cell aplasia, anemia diseritropoetik atau netropenia. Sehingga ke dalam kelompok Pansitopenia Pansitopenia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya anemia, leukopenia, dan trombositopenia, dengan segala manifestasinya. Pada dasarnya pansitopenia disebabkan oleh kegagalan sumsum tu- lang untuk memproduksi komponen darah, atau akibat kerusakan komponen darah di darah tepi, atau akibat maldistribusi komponen darah. Penyebab pansitopenia yang lebih mendetail dapat dilihat pada tabel 6-1. 97 98 Hematologi Klinik Ringkas Tabel 5-1 Penyebab Pansitopenia A Kegagalan 'fungsi sumqum l.Anemia aplastik 2. tulang: . .. , . lnfiltrasi sumsum tulang terdiri atas: a. leukemia aleukemik b. mieloma multipel c. .,metastase :kaisinoma'dalam :sumsum tulang d. mielofibrosis atau mielosklerosis. e. rpenyakitr'metabolik: Gaucher;,Niembn Pick, Lettere Siwe. I llf..terkenanya.sumSum.tulango|ehlimfomamaligna , g:r iuberkulosis"milier:rdan penyakit'jamurisistemik,'',,, . 3.Anemia,defisiensi folat dan vitamin B12 , eritematosus .sistemik:,:..-'',''.::::, ::::' Paroxysmaf' Nocturnal'. Hemoglobinuria. .,,,. B-' Destruksi sel di daiah'tepi:'sequestrasi dan destruksi oleh antibodi (Sindrom Evans) G. MaldiSlribusi; poofhg' dalam RES yang'hiperaktif (sindrom,hiper: ', 4. Lupus,r : 5. splenisme). ANEMIA APLASTIK Definisi Anemia apalstik adalah anemia yang disertai oleh pansitopenia (atau bisitopenia) pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, suprgsi atau pendesakan sumsum tulang.l-6 Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus bersifat hipoplastik, bukan aplasdk total, maka anemia ini disebut juga sebagai anemia hipoplastik. Klasifikasi Anemia aplastik dapat diklasifikasikan sebagai berikut: A. Anemia aplastik didapat (acquired aplastic anemia) 1. Karena bahan kimia atau fisik. a. bahan-bahan yang "dose dependenf' b. bahan-bahan yang "dose independenf' Anemia karena Kegagalan Sumsum 2. Tulang 99 Anemia aplastik/hipoplastik karena sebab-sebab lain: infleksi virus (dengue, hepatitis), infelsi mikobakterial, kehamilan, penyakit Simmond, sklerosis tiroid. 3. Idiopatik B. Familial antara lain: 1. 2. 3. pansitopenia konstitusional Fanconi; defisiensi pankreas pada anak; gangguan herediter pemasukan asam folat ke dalam sel. Epidemiologi Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di negara maju: 3-G kasus/1 juta penduduk/tahun. Epidemiologi anemia aplastik di Timur Jauh mempunyai pola yang berbeda dengan di negara Barat.l-6 a. di negara Timur (Asia Tenggara dan Cina) insidennya lebih tinggi dibandingkan dengan di negara Barat; b. c. 2-3 kali laki-laki lebih sering terkena dibandingkan denlan wanita; faktor lingkungan, mungkin infeksi virus, antara lain virus hepatitis, diduga memegang peranan penting. Etiologi Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-707o) tidak diketahui, atau bersifat idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses penyakit yang berlangsung perlahanlahan. Di samping itu juga disebabkan oleh belum tersedianya model binatang percobaan yang tepat. Sebagian besar penelusuran etiologi dilakukan melalui penelitian epidemiologik. Penyebab anemia aplastik dapat dilihat pada ta6el 6-2. Terdapat berbagai jenis bahan kimia atau obat yang dapat menyebabkan anemia aplastik (tabel 6-3). Patofisiologi Mekanisme terjadinya anemia aplastik diperkirakan melalui: 1. Kerusakan sel induk (seed theory); 2. Kerusakan lingkungan mikro (soil theory); 3. Mekanisme imunologik. 100 Hematologi Klinik Ringkas Tabel 6-2 Penyebab Anemia Aplastik t. Primer 1. 2. il. Kelainan kongenital: a. Fanconi b. nonFanconi c. dyskerafosls congenita ldiopatik: penyebabnya tidak dapat ditentukan Sekunder: 1. Akibat radiasi, bahan kimia atau obat 2. Akibat obat-obat idiosinkratik 3. Karena penyebab lain: a. infeksi virus: hepatitis virus/virus lain b. akibat kehamilan Tabel 6-3 Bahan Kimia atau Obat Penyebab Anemia Aplastik Bahan kimia 1. hidrokarbon siklik: benzen a & trinitrotoluena 2. insektisida: chlordane atau DDT J. arsen anorgantK Obat-obat 1. 2. Obat-obatyang "dose dependenf\ a. obat sitostatika b. preparat emas Obat yang "dose independenf' (idiosinkratik): a. khloramfenikol: 1/60.000-1/20.000 pemakaian: b. frekuensi relatif obat penyebab anemia apla"tif. Khloramfenikol: Fenilbutason: Antikonvulsan: Sulfonamid: Preparat emas: Benzen: lnsektisida: Bahan Pelarut: terdiri atas: 61% 19% 4% 3% oot 3% 4% 4o/" Kerusakan sel induk telah dapat dibuktikan secara tidak langsung melalui keberhasilan transplantasi sumsum tulang pada penderita Anemia karena Kegagalan Sumsum Tulang 101 anemia aplastik, yang berarti bahwa pengganrian sel induk dapat memperbaiki proses patologik yang terjadi. Teori kerusakan lingkungan milao dibuktikan melalui tikus percobaan yang diberikan radiasi, sedangkan teori imunologik ini dibuktikan secara tidak langsung nelalui keberhasilan pengobatan imunosupresif, Kelainan imunologik diperkirakan menjadi penyebab dasar dari kerusakan sel induk atau lingkungan mikro sumsum tulang. Patofisiologi timbulnya anemia aplastik digambarkan secara skematik pada gambar 6-1. Sel induk hemopoetik n"rusakan sel induk I lingkungan mikro n"ngguan I I mekanisme imunologik + PANSITOPENIA Eritrosit ,_""t,, f1 u Sindrom anemia Trombosit lr tt+ I Perdarahan - kulit - ulkus muluV - - pharynx - organ dalam - mukosa sepsis Gambar 6-1. Patofisiologi anemia aplastik. GejalaKlinik Gejala klinik anemia aplastik timbul akibat adanya anemia, leukopenia dan trombositopenia. Gejala ini dapat berupa. a. Sindrom anemia: gejala anemia bervariasi mulai dari ringan b. sampai berat. Gejala perdarahan: paling sering darahan kulit timbul dalam bentuk per- seperti paechie dan echymoszs. Perdarahan mukosa dapat berupa epistaxis, perdarahan subkonjungtiva, perdarah- an gusi, hematemesis/melena dan pada wanita dapat berupa menorhagia. Perdarahan organ dalam lebih jarang dijumpai, tetapi jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal. 102 c. d. Hematologi Klinik Ringkas Tanda-tanda infeksi dapat berupa ulserasi mulut atau tenggorok selulitis leher, febris, dan sepsis atau syok septik. Organomegali berupa hepatomegali, splenomegali atau limfadenopati tidak dijumpai. Kelainan Laboratorik Kelainan laboratorik yang dapat dijumpai pada anemia aplastik adalah: a. b. c. d. e. f. anemia normokromik normositer disertai retikulositopenia anemia sering berat dengan kadar Hb <7 gldl leukopenia dengan relatif limfositosis, tidak dijumpai sel muda dalam darah tepi. trombositopenia, yang bervariasi dari ringan sampai sangat berat. sumsum tulang: hipoplasia sampai aplasia (gambar 6-2). Aplasia tidak menyebar secara merata pada seluruh sumsum tulang, sehingga sumsum tulang yang normal dalam satu kali pemeriksaan tidak dapat menyingkirkan diagnosis anemia aplastik, harus diulangi pada tempat-tempat yang lain. besi serum normal atau meningkat, ningkat. TIBC normal, HbF me- Diagnosis Pada dasarnya diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia atau bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sum- sum tulang, serta dengan menyingkirkan, adanya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang. Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut International Agranuhcytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG) adalah:1r 1. Satu dari tiga sebagai berikut: a. hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari 30o/o b. trombosit kurang dari 50xt0e/L c. leukosit kurang dari 3,5x10elL, netrofil kurang dari ^r^u 7,5 x loelL 2. Dengan retikulosit <30x10e/L (4o/o) 3. Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat): Anemia karena Kegagalan Sumsum Tulang 103 Gambar 6-2. Sumsum tulang penderita anemia aplastik. Tampak hipoplasia dengan penggantian oleh jaringan lemak (A) Bandingkan dengan sumsum tulang normal (B). a. 4. Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hemopoedk atau selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal dengan deplesi seri granulosit dan megakariosir. b. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi rerapeudk harus dieksklusi. Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia aplastik. Hal ini sangar penring dilakukan karena menentukan strategi terapi. Kriteria yang dipakai pada umumnya ialah kriteria Camitta et aI.12 Tergolong anemia aplastik berat (seuere aplastic anemia) bila memenuhi kriteria berikut: L Paling sedikit dua dari riga: a. granulosit <0,5x10e/L b. trombosit <z}xl}e lL c. corrected reticulocte <lo/o II Selularitas sumsum tulang <25o/o, atau selularitas <507o dengan <30%o sel-sel hematopoetik. 104 Hematologi Klinik Ringkas Tergolong anemia aplastik sangar berat bila nerrofil <0,2x70e lL Anemia aplastik yang lebih ringan dari anemia aplastik berat disebut anemia aplasdk tidak berat (nonseuere aplastic anemia). Diagnosis Diferensial Anemia aplastik perlu dibedakan dengan kelainan yang disertai pansitopenia atau bisitopenia pada darah tepi, antara lain: . l. Leukemia aleukemik; 2. Sindroma mielodisplastik (tipe hipoplastik); 3. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria; 4. Anemia mieloptisik; 5. Pansitopenia karena sebab lain. Terapi Secara garis besarnya terapi l 2. 3. untuk anemia aplastik terdiri atas: Terapi kausal; Terapi suportif; Grapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang: terapi untuk merangsang pertumbuhan sumsum mlang; 4. Terapi definitif yang terdiri a. b. atas: pemakaian anri-lynphoiyte globuline; transplantasi sumsum tulang. Terapi Kausal Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Hindarkan pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi sering hal ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya tidak dapat dikoreksi. Terapi Suportif Grapi untuk mengatasi akibat pansitopenia. 1. Untuk mengatasi infeksi antara lain: a. b. Higiene mulut Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat. Sebelum ada hasil biakan berikan antibiotika berspektrum luas yang dapat mengatasi kuman gram positif dan Anemia karena Kegagalan Sumsum Tulang .105 negatif. Biasanya dipakai derivat penisilin semisintetik (ampisilin) dan gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil biakan sudah datang, sesuaikan antibiotika dengan hasil tes kepekaan. Jika dalam 5-7 hari panas ddak turun, pikirkan infeksi jamur, dapat c. diberikan amphotericin-g 31311 flukonasol parenteral. Tiansfusi granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat kuman gram negatif, dengan netropenia berat yang tidak memberikan respons pada antibiotika adekuat. Granulosit konsentrat sangar sulit dibuat dan masa efektifnya sangat pendek. Usaha untuk mengarasi anemia: berikan transfusi pached red cell (PRC) jika hemoglobin <7 gldl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang sangar simtomatik. Koreksi sampai Hb 9-10 g%, tidak perlu sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang akan dipersiapkan untuk transplantasi sumsum tulang pemberian transfusi harus lebih berhati-hati. 3. Usaha untuk mengatasi perdarahan: berikan transfusi konsentrat trombosit jika terdapar perdarahan major atau trombosit < 20.OOOI mm'. Pemberian trombosit berulang dapar menurunkan efekrivi- 2. tas trombosit karena timbulnya antibodi anritrombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi perdarahan kulit. Terapi untuk Memperbaiki Fungsi Sumsum Tulang Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan sumsum tulang meskipun pgnelitian menunjukkan hasil yang tidak memuaskan, conrohnya: 1. Anabolik steroid: dapat diberikan oksimetolon atau stanozol. Oksimetolon diberikan dalam dosis 2-3 mglkgBB/hari. Efek terapi tampak setelah 6-12 minggu. Awasi efek samping berupa 2. 3. virilisasi dan gangguan fungsi hati. Kortikosteroid dosis rendah sampai menengah: fungsi steroid dosis rendah belum jelas. Ada yang memberikan prednison 60-i00 mg/hari, jika dalam 4 minggu tidak ada respons sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping yang serius. GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan untuk meningka&an jumlah netrofil, tetapi harus diberikan rerus menerus. Eritropoetin juga 106 Hematologi Klinik Ringkas dapat diberikan unruk mengurangi kebutuhan rransfusi sel darah merah. Terapi Definitif Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang. Terapi definitif 'untuk anemia aplastik terdiri atas 2 jenis pilihan terapi: 1. Terapi imunosupresif antara lain: a. pemberian anti lymphocyte globuline: Anti lymphocyu globulin (AtG) atau anti thymocyte ghbulin (ATG) dapat menekan proses imunologik. ALG mungkin juga bekerja melalui peningkatan pelepasan haemopoietic grotuth factor. Sekitar 4070olo kasus memberi respons pada ALG, meskipun sebagian respons bersifat tidak komplit (ada defek kualitatif/ kuantitatif). Pemberian ALG merupakan pilihan urama untuk penderita anemia aplastik yang berumur di atas 40 tahun. b. terapi imunosupresif lain: pemberian metilprednisolon dosis tinggi dengan/atau sisklosporin-A dilaporkan memberikan hasil pada beberapa kasus, tetapi masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut. Pernah juga dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid dosis tinggi. 2. tansplantasi sumsum tulang Thansplantasi sumsum tulang merupakan terapi definitif yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan dalam mencari donor yang kompatibel. Tiansplantasi sumsum tulang, yaitu: a. merupakan pilihan untuk kasus berumur di bawah 40 tahun; b. diberikan siklosporin A untuk mengatasi GvHD (grart uersus host disease); c. transplanasi sumsum tulang memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60-700lo kasus, dengan kesembuhan komplit. Prognosis dan Perjalanan Penyakit: Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis dapat dibagi tiga, yaitu: Anemia karena Kegagalan Sumsum 1 . 2. 3. Kasus berat dan progresi{ rata-rata mati dalam Tulang 1OT 3 bulan: merupakan 10-15% kasus. Penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan relapse. Meninggal dalam 1 tahun, merupakan 50% kasus. Penderita yang mengalami remisi sempurna atau parsial, hanya merupakan bagian kecil penderita. BENTUK-BENTUK KHUSUS ANEMIA APLASTIK 1. Anemia aplastik kongenital/familier Anemia aplastik yang diturunkan secara familier, dibagi menjadi beberapa bentuk antara lain: a. dengan anomali fisik tipe Fanconi b. tanpa anomali fisik tipe Estern-Dameshek c. d. e. 2. anemia dengan diskeratosis kongnita pada anak-anak dengan defisiensi pankreas. diskeratosis kongenita Aplasia sel darah merah murnilpure red cell apksia (PRCA) Aplasia sel darah merah murni merupakan anemia yang dmbul karena kegagalan murni sistem eritroid, yang dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu: a. bentuk kongenital b. bentuk didapat Anemia Fanconi (F anconi's Anemia = FA) Anemia Fanconi (Fanconi\ Anemia = ,!4) diturunkan secara autosomal resesif. Terdapat tiga Fanconi\ anemia gazei (FANCA, -C, -G). Perubahan pada FA genet mengganggt binding dan translokasi komplela protein tertentu pada inti sel yang menyebabkan instabilitas kromosom. Gangguan diduga pada mekanisme DN,4 repair.5'6 Gejala Klinik a. b. c. umur 5-10 tahun biasanya dijumpai 'gangguan pertumbuhan dan defek kongenital pada tulang berupa mikrosefali, absennya tulang radius atau ibu jari, kelainan ginjal (ginjal tapak kuda), serta kelainan pada kulit (daerah dengan hipopigmentasi atau hiperpigmentasi) kadang-kadang dijumpai retardasi mental gejala sering muncul pada 108 d. Hematologi Klinik Ringkas sekitar l07o kasus dapat mengalami transformasi maligna men- jadi leukemia mieloid akur )'u Diagnosis Diagnosis anemia Fanconi dibuatkan dengan ditemukannya triad, yaitu: a. anemia aplastik berupa pansitopenia dan hipoplasia sumsum tulang; b. defek fisik multipel; c. kelainan. kromosom. Kelainan kromosom ditunjukkan dengan pemeriksaan limfosit yang diinkubasi pada diepoxybutane yang menyebabkan terjadinya patahan kromosom (chromosomal breahage).5'6 Terapi Untuk anemia Fanconi dapat diberikan sebagai berikut: 5'6 a. terapi suportif seperti halnya pada anemia aplastik; b. androgen sering memberikan respons cukup baik, tetapi efek samping yang timbul sangat mengganggu, seperti virilisasi dan gangguan fungsi hati; c. stem cell transplantation dapat memberikan kesembuhan. Aplasia Sel Darah Merah Murni (Pure Red Cell Aplasia = PRCA) Pada PRCA terjadi aplasia selekrif sistem eritroid, tanpa kelainan sistem mieloid atau megakariosit. Klasifikasi aplasia sel darah murni adalah: 1. Bentuk kongenital antara lain: a. disebut sebagai sindrom Diamond-Blackfan; b. terjadi mutasi gen pada kromosom 19; c. timbul pada tahun pertama dengan anemia makrositik dan HbF serta I-andgen meningkat, sering disertai kelainan so- d. e. matik pada muka atau janrung; sering memberi respons pada kortikosteroid; dapat juga mengalami remisi spontan. Anemia karena Kegagalan Sumsum 2. Tulang 109 Bentuk didapat (acquired) antara lain: Bentuk akut: dijumpai sebagai ftrisis aplastik pada anemia hemolitik, sering didahului oleh infeksi parvovirus. Dapat juga sebagai akibat pemakaian obat: khloramfenikol dan phenytoin. b. Bentuk khronik sering bersama tlrymoma, limfoma atau dapat juga bersama penyakit autoimun lain seperti SLE. a. Diagnosis Diagnosis PRCA dibuat berdasarkan adanya anemia refrakter dengan aplasia selektif sistem eritroid sumsum tulang. Telusuri kemungkinan familier atau didapat.5'6 Terapi Terapi PRCA prinsipnya sama dengan terapi anemia aplastik, sebagian memberikan respons pada steroid. Tlansplantasi sumsum tulang merupakan salah satu terapi definitif. 5'6 ANEMIA DISERITROPOETIK KONGENITAL (CONGENITAL DYSERYTHRO P OIETIC ANEMIA = CDA) CDA merupakan suatu kelompok anemia herediter refrakter yang ditandai oleh eritropoesis inefektie sel eritroid (eritroblas) berinti banyak (erythroblast mubinunclearit) dan hemokromatosis. Dilihat dari morfologi eritroblas maka CDA dibagi menjadi 3 jenis:a'6 CDA Tipe I a. b. c. d. gejala mulai pada anak dan diturunkan secara resesif autosomal; sering dijumpai splenomegali, anemia moderat (hematokrir 25-35olo), dan splenomegali; dalam sumsurn tulang sebagian besar sel eritroid abnormal dengan perubahan megaloblastoid, sel besar dengan segmen inti yang belum pecah sempurna, sel berinti dua dan jembatan antarinti (internuclear bridging); transfusi jarang diperlukan, plebotomi atau terapi kelasi besi sering diperlukan untuk mengatasi hemol<romatosis.4'6 '110 Hematologi Klinik Ringkas CDA tipe a. b. c. d. e. f. g. CDA tipe a. II disebut juga sebagai HEMPAS (Hereditary Erythroblast Muhinuclearity associated with Positiue Acidifed Serum ten); diturunkan secara resesif autosomal dengan anemia bervariasi dari sedang sampai berat, rerikulosit normal atau menurun; pada apusan darah tepi dijumpai anisosirosis, poikilosirosis. anisositosis dan milrosferosit; pada pemeriksaan sumsum tulang eritroblas polikromatik atau ortokromatik menunjukkan inti banyak (2-7); dijumpai hemokromatosis dimana besi serum dan feritin serum meningkat; sel eritrosit penderita mengalami lisis pada serum normal yang diasamkan (acidified normal sera), aglutinasi meningkat dengan anti-i dan hemolisis meningkat dengan anti-I; mungkin memberikan respons pada splenektomi. Perlu dilakukan plebotomi dan terapi kelasi besi.a'6 III terjadi defek intrinsik pada sel progenitor yang diturunkan se- cara resesif autosomal; b. anemia bervariasi dari sedang sampai berat; sumsum tulang menunjukkan giant erythroblast dengan diameter sampai 50 pm, dengan inti sampai 12, disertai basophilic stippling; d. penderita tergantung pada transfusi darah, mungkin splenektomi memberikan r.rpo.rr.4'6 c. ANEMIA MIELOPTISIK DAN ANEMIA LEUKOERITROBLASTIK Anemia mieloptisik ialah anemia yang timbul karena infiltrasi sel asing (terutama rumor ganas) datam sumsum tulang.l-6 Anemia leukoeritroblastik ialah anemia yang disenai adanya sel normoblast dan seri granulosit muda (dari mieloblast sampai metamielosit) dalam darah tepi. Anemia mieloptisik sering disenai gambaran leukoeritroblastik. Anemia karena Kegagalan Sumsum Tulang 111 Penyebab Anemia Mieloptisik Proses sekunder dalam sumsum tulang yang mendesak sumsum tulang dapat menimbulkan anemia mieloptisik, adalah: l. Tirmor primer (hematologik) a. Limfoma maligna b. Leukemia c. Plasma cell mleloma d. Hairy cell leukemia 2. Metastase karsinoma ke dalam sumsum tulang a. Karsinoma payudara, prostat, gaster, paru, dan lain-lain b. Neuroblastoma 3. Mielofibrosis (mielosklerosis) a. Primer (IMF=idiopathic myelofbrosis) b. 4. Sekunder Penyakit merabolik a. Penyakii Gaucher b. Lipid storage disease yang lain 5. Infeksi a. Tirberkulosis milier b. Infeksi bakteri c. Infeksi jamur 6. Granuloma: a. b. Sarkoidosis Histiositosis Gambaran Klinik dan Laboratorik Gambaran klinik anemia mieloptisik pada umumnya didominir oleh gejala penyakit primer. Derajat anemia sangar bervariasi mulai ringan sampai berat. Pada pemeriksaan darah tepi dijumpai anemia normokromik normositer, sering disertai poikilositosis berar, rampak normoblast dalam darah tepi, sel mielosit, metamielosir, srab, kadang-kadang sel blast, gambaran ini disebut sebagai gambaran leukoeritrob lastik (leu co e ryh tro b las ti c p i c ture) .t -6 112 Hematologi Klinik Ringkas Diagnosis Diagnosis anemia mieloptisik dibuat jika dijumpai antara lain:1-6 a. gambaran leukoeritroblastik pada darah tepi; b. sel-sel asing dalam sumsum tulang; c. adanya penyakit primer. Terapi Terapi kausal dapat diberikan dengan menghilangkan pendesakan sumsum tulang oleh penyakit primer, tetapi hal ini sering sulit dikerjakan. Terapi suportif diberikan untuk memperbaiki anemia atau trombositopenia yang terjadi. Bab 7 ANEMIA PADA PENYAKIT SISTEMIK Anemia merupakan gejala obyekrif yang sangar sering dijumpai pada penyakit sistemik. Kelainan sistemik yang sering disertai anemia . r r l-6 laIan: 1. Penyakit kronik, seperti infeksi kronik, inflamasi kronik dan keganasan 2. Gagal ginjal kronik 3. Penyakit hati kronik 4. Hipotiroidisme Patofisiologi dmbulnya anemia pada keiainan di atas sangat ber, aneka ragam karena tidak dapat dikelompokkan sebagai suatu kesaruan penyakit. ANEMIA AKIBAT PENYAKIT KRONIK Sudah dibicarakan di depan ANEMIA PADA GAGAL GINIAL KRONIK Sebagian besar penderira gagal ginjal laonik (GGK) dengan kreatinin serum di a:ias 3,5 mg/dl atau klirens kreatinin kurang dari 30o/o disertai dengan anemia. Penyebab Utama Anemia pada Gagal Ginjal Kronik Patogenesis anemia pada gagal ginjal kronik sangat kompleks dan beraneka ragam. Teori-teori yang diajukan anrara lain,l-6 I. Menurunnya erirropoesis a. menurunnya produksi eritropoetin antara lain: i. berkurangnya parenkhim ginjal; ii. menurunnya afinitas Hb terhadap oksigen iii. merendahnya set point dari erythropoietin tissue oxygenation hematocrit feed bach mecltanism. b. adanya faktor-faktor di luar eritropoetin 113 114 Hematologi Klinik Ringkas i. ii. iii. hemolisis oleh efek toksin uremik terhadap membran eritrosit dan ensim eritrosit; defisiensi besi karena perdarahan kronik yang sering terjadi pada penderita GGK atau akibat hemodialisis; adanya defisiensi asam folat. Gambaran Klinik Pada GGK dijumpai anemia normokromik normositer yang bersifat hipoproliferatif (aregeneratif) dengan retikulositopenia. Dapat dijumpai bun cell. Anemia dapat juga bersifat hipokromik mikrositer jika ada defisiensi besi. Terdapat schistocyte jika ada anemia hemolitik mikroangiopatik. Sumsum tulang menunjukkan gambaran normoseluler tanpa kelainan matrrrasi.l-6 Terapi Karena bersifat sekunddr, terapi anemia pada GGK yang terpenting adalah memperbaiki penyakit ginjalnya, misalnya dengan transplantasi ginjal. Pada penderita dengan hemodialisis kronik perlu dilakukan monitor kadar besi dan asam folat untuk mengetahui defisiensi kedua zat tersebut lebih dini, jika perlu lakukan koreksi. Berikan besi jika feritin kuiang dari 35 pg/L, dan berikan asam folat I mg/hari jika asam folat rendah. Tiansfusi darah dengan sel darah merah yang dimampatkan (pached red cell atau PRC) diberikan jika anemia berat atau simtomatik, yaitu jika hemoglobin kurang dari 7 gldl atau hematokrit kurang dari 20o/o, Recombinant human erythropietin (rHuEpo) diberikan 20.00040.000 unit dua kali per minggu dapat menurunkan kebutuhan transfusi. Pada pemberian rHuEpo perlu diberikan tambahan preparat besi untuk mengoptimalkan kerja eritropoetin. ANEMIA PADA PENYAKIT HATI MENAHUN Anemia dijumpai pada lebih dari 30o/o kasus penyakit hati menahun. Penyebabnya sangat beraneka ragam dengan tiga faktor penyebab utama anemia ini adalah:1-6 1. Peningkatan volume plasma; Anemia pada Pengakit 2. 3. Sistemik 115 Hemolisis ringan sampai sedang. Diduga karena kelainan membran eritrosit akibat gangguan lipoprotein pada membran eritrosit; Respons eritropoesis tidak adekuat terhadap stimulus anemia, mungkin karena gangguan produlai eritropoetin, atau ganggu- an resePtor. Faktor lain yang membantu timbulnya anemia adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Perdarahan gastrointestinal; Defisiensi besi karena perdarahan kronik Defisiensi folat karena nutrisi yang kurang baik Pengaruh alkohol yang menekan sumsum tulang Hipersplenisme Kelainan metabolisme lipid sehingga dinding eritrosit menjadi longgar yang mengakibatkan timbulnya thin mauocyre sampai spun cell. Sel ini mudah difagositir oleh makrofag. Gambaran Hematologik Gambaran hematologik pada penyakit hati menahun sebagai berikut: 1. anemia derajat sedang kecuali jika terjadi perdarahan gastrointestinal akut; 2. anemia makrositer nonmegaloblastik dengan MCV 100-115 fl; 3. pada apusan darah tepi dijumpai: thin mauocyte, polikromasia, dan sel target; 4. dapat timbul leukopenia dan trombositopenia, jika penyakit hati menahun disertai splenomegali oleh karena terjadinya hipersplenisme; 5. sumsum tulang: hiperplasia eritroid dengan makronormbblast tanpa tanda megaloblastik. Terapi Terapi anernia pada penyakit hati kronik bersifat tidak spesifik. Tiansfusi darah diberikan jika anemia berat atau bersifat simtomatik. Dapat juga diberikan asam folat jika diduga adanya kekurangan asam folat. Perbaikan fungsi hati akan memperbaiki juga keadaan anemia. Bab B KEGANASAN HEMATOLOGIK Keganasan hematologik adalah proses neoplastik yang mengenai darah- dan jaringan pembentuk darah beserta seluruh komponennya.'-o Ke dalam kelompok keganasan hematologik ini dapat dimasukkan sebagai berikut: l. Penyakit mieloprolife radf (mye lopro liferatiue disorder) terdiri atas: a. b. leukemia mieloid akut dan kronik penyakir mieloproliferatiflain: polisitemia vera, mielosklerosis dengan mieloid metaplasia, thrombositemia esensial. 2. Penyakit a. b. limfoproliferatif terdiri atas: leukemia limfoid akut dan kronik limfoma maligna (Lymphomas) 3. Penyakit imunoproliferatif (gamopati monoklonal). Dua jenis gamopati monoklonal yang serin! dijumpai, yaitu: a. mieloma multipel (Multiph mleloma) b. makroglobulinemia \(/aldenstrom. Sifat-Sifat Keganasan Hematologik Seperti keganasan pada umumnya keganasan hematologik mempunyai sifat, sebagai berikur: 1. Monoklonalitas (monoclonalit): seluruh sel-sel ganas . 2. 3 4. 5. 116 berasal dari mutasi neoplastik satu buah sel. Progresi klonal (clona/ progression): sel ganas mempunyai keunggulan proliferatif dibandingkan dengan sel normal sehingga pertumbuhannya lebih progresif. Dominasi klonal (clonal dominance): pada fase selan,jutnya, klon sel ganas akan mendominasi klon sel noimal. Kepunahan klon normal (extinction of normal clone) Hon sel normal sangar rertekan sehingga akan menghilang sama sekali. Insabilitas genetik (genetic instability): sifat genetik sel ganas ini tidak srabil sehingga rerus menerus rerjadi perubahan kromosom yang akan mempengaruhi sifat keganasan sel tersebut. KeganasanHematologik 117 Leukemia Leukemia adalah proliferasi ganas sel induk hemopoetik dalam sumsum tulang. Sel ganas menggantikan sel normal dimana sel ini beredar secara sistemik kemudian dapat disertai infiltrasi ke organ Iain. Sel leukemia juga tumbuh pada jaringan hemopoetik primitif (ekstrameduler) sehingga menimbulkan pembesaran lien, hati dan kelenjar 11-1;.t-6't3-ta Leukemia dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Bentuk akut 2. Bentuk kronik Berdasarkan jenis sel yang terlibat, yaitu: l. 2. Leukemia limfoid Leukemia mieloid (leukemia nonlimfoblastik). Berdasarkan sel yang paling dominan dibagi menjadi subtipe, yaitu: a) mieloid, b) monositik, c) erythroleuhemia, dan d) megakariositik. Limfoma Maligna Limfoma maligna adalah neoplasma ganas dari limfosit T atau B, yang bersifat solid. Pada fase lanjut kadang-kadang dapat juga menyebar secara sistemik. Pada umumnya fokus primer mulai dari kelenjar limfe, kadang-kadang dapat juga dari jaringan ekstranodal. Gamopati Monoklonal Gamopati monokonal merupakan proliferasi ganas limfosit B yang telah teraktivasi (actiuated B lymphocyte) atau sel plasma dan menghasilkan imunoglobulin yang bersifat monoklonal. Ada dua jenis gamopati monoklonal yang menunjukkan keganasan yang.felas: 'Waldenstrom: 1. Makroglobulinemia menghasilkan IgM. 2. Mieloma multipel: proliferasi maligna sel plasma dalam sumsum tulang. proliferasi limfosit B yang Etiologi Keganasan Hematologik Penyebab keganasan hematologik bersifat multifaktorial dan proses patogenesisnya terjadi secara bertahap (mubistep). 118 l. Hematologi Klinik Ringkas Faktor-faktor etiologi yang diperkirakan bertanggung jawab ialah: enuirontmental agent yang merusak DNA antara lain: i. Ionizing radiation ii. Bahan kimia: benzen, dan lainlain. iii. Obat-obat: alhylating agent, dan lainlain. a. b. 2. virus, misalnya: i. HTLV I-untuk T cell leuhernia ii. Epstein Barr uirus-untuk limfoma Burkitt Faktor predisposisi yang memudahkan timbulnya proses keganasan: a. kelainan kromosom: i. anemia Fanconi, sindroma Down b. defek imunologik: i. bawaan: Chediac Higashi,'$Tiskott Aidrich ii. didapat: c. infelsiHlV/penyakitAIDS pemakaian imunosupresif defek hematologik i. ii. : sindromamielodisplastik penyakit mieloproliferatif. Patofisiologi Proses neoplastik pada sistem .hematologik akan menyebabkan se- bagai berikur: 1. Gagal sumsum tulang (bone manowfaiture) sehingga menimbulkan anemia, gangguan leukosit atau trombositopenia; 2. Proliferasi sel mieloid atau limfoid dalam sumsum tulang yang kemudian beredar secara sistemik; Infiltrasi ke dalam organ arau jaringan sehingga menimbulkan 3. organomegali; 4. Kelainan imunologik terdiri atas: gangguan pembentukan antibodi gangguan fungsi imun seluler Pengaruh 5. dari produk rumor terdiri atas: a. b. a. b. c. hiperviskosiras peningkaran aktivitas osteoclast menimbulkan lesi tulang gagal ginjal yang rimbul akibat asam urar meningkar Keganasan Hematologik 1'|'9 Prinsip Terapi pada Keganasan Hematologi Pada prinsipnya terapi untuk keganasan hematologik dapat berupa: l. Terapi yang bersifat kuratif: a. radioterapi, misalnya pada limfoma Hodgkin derajat IiII; b. kemoterapi intensif, pada limfoma non-Hodgkin derajat c. d. ke- ganasan tinggi; kemoterapi intensif terutama pada AI-L pada anak; transplantasi sumsum tulang dapat bersifat kuratif unmk beberapa jenis keganasan hematologik. Terapi kuratifsulit dicapai pada sebagai berikut: a. Limfoma yang tumbuh lambat; b. c. 2. Mieloma multipel. Terapi paliatif bertujuan. a. 3. Leukemia kronik; mengobati komplikasi pada penyakit tingkat lanjut sehingga mengurangi penderitaan pasien. b. memperlambat tumbuhnya penyakit pada penyakit dengan tingkat tidak begitu lanjut. Terapi suportiF bertujuan. a. untuk memperbaiki keadaan umum penderita; b. untuk mengatasi efek samping kemoterapi atau radiasi. Bab 9 LEUKEMIA DAN PENYAKIT MIELOPROLIFERATIF Leukemia ialah keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang disenai gangguan diferensiasi (maturation anest) pada berbagai tingkatan sel induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok (cbne) sel ganas tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemikl-3'14 Sel induk pluripoten.........---..-...> @ / Sel induk Limfoid i\ V Prekursor prekuisor sel-B selT prekursor prekursor granulosit eritroid l*1%6 db'@ Limfosit B Limfosit T \----l G:imbar 9-1. Bagan jenis leukemia yang dapat tirnbul dari berbagai tingkatan sel induk hemopoetik 1-3.14 120 Leukemla dan Pengakit Mieloproliferatif 121 Gambaran skematik berbagai jenis leukemia yang timbul dari sel induk hemopoetik beserta turunannya dapat dilihat pada gambar 9-1. Klasifikasi Leukemia dapat diklasifikasikan menurut berbagai cara: 1. Garis turunan sel (cell line) yang mengalami transformasi ganas. Tabel 9-1 Klasifikasi Leukemia Akut l. Kronik Acute myeloiel leukemial Chronic myeloid leukemia Acute (CML) l. nonlymphoblastic ll. Chronic lymphocytic leukemia (ANLL) Klasifikasi FAB , a. M0-myeloblastic differentiation b. Ml-myeloblastic c. d. e. f. without without maturation M2-myeloblastic with maturation M3-acute promyelocytic M4-acute myelomonocytic lll. Bentuk yang tidak biasa: a. hairy cell b. MS-monocytic leukemia Acute lymphoblastic leukemia (ALL) a. Common-ALL b. nutt-ALL c. Thy-ALL d. B.ALL Varian menurut FAB: a. Ll b. L2 c. L3 lll. Sindrom preleukemialsindrom Mielodisplastik leukemia prolymphocytic c. cutaneus cell leukemia d. mycosis funguides g. M1-erythroteukemia h. M7-acute megakaryocytic ll. leuke- mia (CLL) 122 Hematologi Klinik Ringkas 2. Onset penyal<tt: akur atau kronik Dengan demikian didapatkan klasifikasi, seperti yang terlihat pada tabel 9-1. Klasifikasi yang lain adalah klasifikasi MIC (morphologl, immunophenotyp;"g, cytogenetics). Klasifikasi ini m€merlukan pemeriksaan morfologi konvensional, tetapi jug memerlukan pemeriksaan imunofenotipe dan pemeriksaan sitogenetik yang memerlukan pemeriksaan yang lebih canggih. Epidemiologi Leukemia merupakan keganasan yang sering dijumpai tetapi hanya merupakan sebagian kecil dari kanker secara keseluruhan. Beberapa data epidemiologi yang terkumpul menunjukkan hal-hal berikut: l. Insiden Insiden leukemia di negara Barat adalah 131100.000 penduduk/ tahun. Leukemia merupakan 2,8o/o dari seluruh kasus kanker. Belum ada angka pasti mengenai insiden leukemia di Indonesia. 2. Frekuensi relatif Frekuensi relatif leukemia di Negara Barat menurut Gunz: Leukemia CLL: akut: CML: 50o/o 25o/o I5o/o Di Indonesia frekuensi CLL sangat rendah, CML merupakan leukemia kronik yang paling sering dijumpai. 3. Umur Mengenai insiden menurur umur didapatkan data-data sebagai berikut: ALL: terbanyak pada anak-anak dan dewasa muda AML: pada semua umur, lebih sering pada orang dewasa CML: pada semua umur, tersering umur 40-60 tahun CLL: terbanyak pada orang rua. 4. Jenis kelamin Leukemia lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan: 1,2-2 : 1. Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 123 LEUKEMIA AKUT Leukemia akut merupakan leukemia dengan perjalanan klinis yang cepat,.tanpa pengobatan penderita rata-rata meninggal dalam 24 bulan.'" Namun, dengan pengobaran yang baik rernyara leukemia akut mengalami kesembuhan lebih banyak dibandingkan dengan leukemia kronik. Klasifikasi Leukemia akut dapat diklasifikasikan menurur klasifikasi F,\B (French American British Group), tetapi dalam praktik klinik sehari-hari cukup dibagi menjadi l. 2 golong"r, bes"r,15-t6 Acute lympbobkstic leukemia (ALL) Secara morfologik, menurur F,\B (Frech, British and America), ALL dibagi menjadi tiga yairu: a. Ll: ALL dengan sel limfoblas kecil-kecil dan merupakan b. 84o/o dari ALL. L2: sel lebih besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli prominen dan sitoplasma agak banyak. Merupakan 14o/o dari '\LL. L3: ALL mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sitoplasma basofil dengan banyak vakuola, hanya merupakan l% dari ALL. Secara imunofenotipe ALL dapat dibagi menjadi 4 golongan besar seperti terlihar pada tabel 9-2. c. Tabel 9-2 Pembagian ALL Secara Imunofenotipe dan Frekuensi Relatifnya Subtipe Frekuensi relatif Dewasa Anak-anak 1. Common-ALL (c-ALL) 760h 51Yo 3. T-ALL 12% 12% 4. B-ALL 1jd/o 1Yo 2Yo 2. Null-ALL 38% 124 Hematologi Klinik Ringkas 2. Acute myeloid leuhemia (AML) a:.au acute non[rmpho blastic leuhe- mia (ANLL). Klasifikasi morfologik yang umum dipakai ialah klasifikasi dari FAB:15'16 a. M0 Acute myeloid leuhemia without dffirentiation b. Ml: Acute myeloid leukemia without maturatizn c. M2: Acute myeloid leuhemia with maturation d. M3: Acute promyelocytic leuhemia e. M4: Acute myelomonocytic leukemia f. M5: Acute monocytic leukemia i. Subtipe M5a: tanpa maturasi ii. Subtipe M5b: dengan maturasi g. M6: Erythroleuhemia h. M7: Megaharyoqrtic leukemia MI+M2+M3 disebut sebagai acute myeloblastic leuhemia yang merupakan 75o/o dari seluruh ANI-L. \7HO membuat klasifikasi untuk leukemia mieloid akut, yang pada dasarnya merupakan klasifikasi MIC (morphologt, immunophenotlPe, cltogenetil yang dapat dilihat pada tabel 9-3. Klasifikasi\7HO mempunyai hubungan yang lebih baik dengan prognosis. Pentingnya nilai prognostik dari kelainan genetik ditun- jukkan dengan jelas pada AML dengan recu/rent cltromosome translocatiznsi t(L5;17); t(8;21)(q22;q22) dan inul6(p13q22) yang secara umum menunjukkan prognosis yang lebih baik jika diobati dengan pengobatan yang tepat. Sebaliknya AML dengan kaqyotipe kompleks, delesi parsial atau hilangnya kromosom 5 danlatau 7 sering kali ditandai oleh mubilineage dysplasia, positif terhadap mubi-drug resistant glycoprotein disertai dengan respons yang ddak baik terhadap terapi.r6 Patofisiologi Proses patofisiologi leukemia akut dimulai dari transformasi ganas sel induk hematologik atau turunannya. Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel leukemia akan mengakibatkan: 1. Penekanan hemopoesis normal sehingga terjadi bone manota failure Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 125 Tabel 9-3 Klasifikasi Histotogik AML Menurut WHO16 Acute Myeloid Leukemia with Recurrent Genetic Abnormalifies 1. 2. AML with t (18;211 (q22;q22):(AML1/ETO) 3. Acute promyelocytic leukemia (AML with t(15;17)(q22:q12) (PMU RAR6) and varians. AML with 11q23(MLL) abnormalities 4. AML with abnormal bone marrow eosinophils inv(16) (p13q22); (cBFB/MYH1) Acute myeloid leukemia with muttilineage dysplasia 1. 2. Following myelodysplastic syndrome or myelodysplastic syndrome/myeloproliferative disorder Without antecedent myelodysplastic syndrome Acute myeloid leukemia and myetodysplastic syndrome, therapy related 1. 2. 3. Alkylating agent-related Topoisomerase type ll inhibitor-related (some may be lymphoid) Others type Acute myetoid leukemia not otherwise cafegorised 1. Acute myeloid leukemia minimally differentiated 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Acute myeloid leukemia without maturation Acute myeloid leukemia with maturation Acute myelomonocytic leukemia Acute monocytic and monoblastic leukemia Acute erythroid leukemia Acute megakaryoblastic leukemia Acute basophilic leukemia Acute panmyelosis with myelofibrosis Myeloid sarcoma 2. Infiltrasi sel leukernia ke dalam organ sehingga menimbulkan 3. Katabolisme sel meningkat sehingga terjadi keadaan hiperkatabolik. organomegali Skerrra patofisiologi rimbulnya gejala-gelaIa akut dapat dilihat pada gambar 9-2. klinik pada leukemia 126 Hematologi Klinik Ringkas Faktor predisposisi Faktor etiologi Faktor pencetus I Mutasi sornatik sel induk I Proliferasi neoplastik & Differentiatkn anesl I Akumulasi sel muda dalam sumsum iulang Kaheksia x"thi.r"r' GAGAL SUIVISUM TULANG x.ansA / matam / / Gagatt dinial t\ ----.\ ginjal I I t Anemia Perdarahan & lnfeksi HTPER- KATABOLIK tIl / -Asam urat Sel leukemia + lnhibisi hemopoesis normal I I INFILTRASI KE ORGAN Tulang t-llt +l+l Nyeri, tulans Darah RES Sindroma Hiperviskositas Gambar 9-2. Tempat ekstra meduler lain Linrfadenopati Meningilis, !;[?tg:ffiI Lesi kulit Pembesaran restis Skema patofisiologi leukemia akut Gejala Klinik Gejala klinik leukemia akut sangat bervariasi, tetapi pada umumnya timbul cepat, dalam beberapa hari sampai minggu. Gejala leukemia akut dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar: 1. Gejala kegagalan sumsum tulang, yaitu: a. anemia menimbulkan gejala pucat dan lemah. b. netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai oleh demam, infeksi rongga mulut, tenggorok, kulit, saluran napas, dan sepsis sampai syok sepdk. c. trombositopenia menimbulkan easy bruising, perdarahan kulit, perdarahan mukosa, seperti perdarahan gusi dan epistaksis. Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 127 2. Keadaan a. b. c. hiperkatabolik, yang ditandai oleh: kaheksia keringat malam hiperurikemia yang dapar menimbulkan gout dan gagal ginjal organ menimbulkan organomegali dan gejala 3. Infiltrasi ke dalam lain seperti: a. nyeri tulang dan nyeri srernum b. limfadenopati superfisial. c. d. e. 4. splenomegali atau hepatomegali, biasanya ringan hipertrofi gusi dan infiltrasi kulit sindrom meningeal: sakit kepala, mual munrah, mara kabur, kaku kuduk Gejala lain yang dapat dijumpai adalah: a. Leukostasis terjadi jika leukosit melebihi 50.000/pL. Penderita dengan leukositosis serebral ditandai oleh sakit kepala, confusion, dan gangguan visui. Leukostasis pulmoner diandai oleh sesak napas, takhipnea, ronchi dan adanya infiltrat pada foro ronrgen. b. Koagulapati dapat berupa DIC atau fibrinolisis primer. DIC lebih sering dijumpai pada leukemia promielositik akut (M3). DIC juga dapat timbul pada c. d. saat pemberian kemorerapi yaitu pada fase regimen induksi remisi. Hiperurikemia yang dapat bermanifestasi sebagai arthritis gout dan batu ginjal. Sindrom lisis tumor dapat dijumpai sebelum terapi, rerutama pada ALL. Tetapi sindrom lisis tumor lebih sering dijumpai akibat kemoterapi. Kelainan Laboratorik Pada leukemia akut sering dijumpai kelainan laboratorik, seperti berikut: l Darah tepi a. dijumpai anemia normokromik-normositer, anemia sering berat dan timbul cepat. b. trombositopenia, sering sangar berat di bawah 10 x 106/l c. leukosit meningkat, tetapi dapat juga normal arau menurun (abuhemic bukemia). Sekitar 25o/o menuryukkan leukosit normal 128 Hematologi Klinik Ringkas atau menurun, sekitar' 50% menujukkan leukosit meningkat 10.000-100.000/mm3, dan 25o/o meningkat di atas 100.000/ mmJ. d. 2. apusan darah tepi: khas menunjukkan adanya sel muda (mieloblast, promielosit, limfoblast, monoblast, erithroblast atau megakariosit) yang melebihi 5o/o dari sel berinti pada darah tepi. Sering dijumpai pseudo Pelger-Huet Anomaly, yaitu netrofil dengan lobus sedikit (dua atau satu) yang disertai dengan hipo atau agranular. Sumsum tulang Hiperseluler, hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (blast), tampak monoton oleh sel blast, dengan adanya leukemic gap (terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang, tanpa sel antara). Sistem hemopoesis normal mengalami depresi. Jumlah blast minimal 3}o/o dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam hitung 500 sel pada apusan sum- sum tulang). 3. Pemerikaan immunopheno4tping Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan klasifikasi imunologik leukemia akut. Pemeriksaan ini dikerjakan untuk pemeriksaan surface marher guna membedakan jenis leukemia (rabel 9-4). 4.'Pemeriksaan sitogenetik Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat diperlukan dalam diagnosis leukemia karena kelainan kromosom dapat dihubungkan dengan prognosis, seperti terlihat pada klasifikasi \X;&IO. Membedakan ALL dan AML Membedakan ALL dengan AML merupakan langkah yang harus dilakukan pada setiap leukemia akut, karena akan sangat menentukan jenis terapi dan prognosis penderita. Secara klinis AML sulit dibedakan dengan ALL karena pemeriksaan apusan darah tepi menjadi sangat penting. Cara membedakan kedua jenis leukemia tersebut dapat dilihat pada tabel 9-5. Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 129 Tabel 9-4 Petanda (markerl Imunologik untuk Membedakan AML dan ALL5 T + cCD22: cytoplasmic CD22 terminal deoxynucleotidyl transferase Tdt; Diagnosis Diagnosis leukemia akut harus dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan sumsum rulang. Pemeriksaan darah tepi yang normal tidak dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosis, terutama pada aleukemic leuhemia. Tahap-tahap diagnosis leukemia "pr.r,'1-6'13-14 1. Tentukan adanya leukemia akut a. Klinis i. adanya g€lala gagal sumsum tulang: anemia, perdarahan, dan infeksi, sering disertai tanda-tanda hiperkatabolik. 130 Hematologi Klinik Ringkas Gambar 9-3. Apusan darah tepi leukemia mieloid akut, panah menunjuk pada satu batang A:uer (Auer's rod) (A), dan leukemia lirnJoicl akut (B) ii. b. sering dijumpai organomegali: Iimfeadenopad, hepatome- gali, atau splenomegali Darah tepi dan sumsum tulang i. ii. c. blast dalam darah tepi lebih dari 5o/o blast dalam sumsum tulang lebih dari 30% Dari kedua pemeriksaan di atas kita dapat membuat diagnosis kiinis leukemia akut. Langkah berikutnya adalah menentukan jenis leukemia akut yang dihadapi. Tentukan jenisnya: dengan pengecatan sitokimia ditentukan klasifikasi FAB. Jika terdapat fasilitas, iakukan. i. ii. immunophenotyping pemeriksaan sitogenetika (kromosom) Dengan langkah-langkah di atas akan ditegakkan diagnosis leukemia akut serta klasifikasi morfologik maupun imunologiknya dan ditentukan status prognostiknya. Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 131 Tabel 9-5 Perbedaan ALL dan AML ALL 1. Morfologi: Limfoblast: Mieloblast: o Kromatin: bergumpal o lebih halus o Nukleoli: .lebih samar, o lebih prominent . r lebih sedikit Auer rod'. negatif Sel pengiring: limfosit 2. Sitokimia a. mieloperoksidase b. Sudan btack - c. esterase nonspesifik PAS d. e. acid phospha- 3. tase . platelet xidase Ensim: f o o positif netrofil + - + + (kasar) +(ThyALL) + (monositik) + (halus) pero- a.Tdt b.Serum AML + - + (M7) - +(monositik) lysozime 4. lmunofenotipe {lihat tabel 9-4) Di ,tempat-tempat dengan fasilitas rerbatas, yang terpenting ialah membedakan antara AML dan ALL dengan teknik morfologi konvensional Dengan pengecatan konvensional, misalnya dengan MGG ketepatan diagnosis hanya sekitar 30o/o. Membedakan AI-L dengan AML sangat penting karena akan menentukan jenis pengobatan. Terapi Terapi untuk leukemia akut dapar digolongkan menjadi dua, yaitu: 1. Terapi spesifik: dalam bentuk kemoterapi 2. Terapi suportif: untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang, baik karena proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi. 132 Hematologi Klinik Ringkas Kemoterapi Thhapan pengobatan kemoterapi terdiri l. atasrl-6'13-14 Fase induksi remisi Berupa kemoterapi intensif untuk mencapai remisi, yaitu suatu keadaan di mana gejala klinis menghilang, disertai blast dalam sumsum tulang kurang dari 5o/o. Dengan pemeriksaan morfologik tidak dapat dijumpai sel leukemia dalam sumsum tulang dan darah tepi. 2. Fase postremisi Suatu fase pengobatan untuk mempertahankan remisi selama mungkin yang pada akhirnya akan menuju kesembuhan. Hal ini dicapai dengan: a. kemoterapi lanjutan, terdiri atas: i. Terapi konsolidasi ii. Terapi pemeliharaan (maintenance) iii. Late intensifcation b. transplantasi sumsum tulang: merupakan terapi konsolidasi yang memberikan penyembuhan permanen pada sebagian penderita, temtarna penderita yang berusia di bawah 40 tahun. Kemoterapi untuk ALL Kemoterapi untuk ALL yang paling mendasar terdiri dari panduan obat (regimen): 1. Induksi remisi: a. Obat yang dipakai terdiri atas: i. Vincristiae (VCR): 1,5 mglmzlminggu, i.v ii. Prednison rii. L b. iv Asparaginase Daunorubicia 6 mglm2lhari, oral (L asp): 10.000 U/m2 (DNR): 25 mglm2lmtnggu4 minggu Regimen yang dipakai untuk AI-L dengan risiko standar ter- diri c. (Pred): i. ii. atas: Pred + VCR Pred+VCR+Lasp ALL dengan risiko tinggi atau ALL Regimen untuk orang dewasa antara lain: i. Pred + VCR + DNR dengan atau tanpa L asp. pada Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatil 133 ii. 2. Terapi a. Kelompok GIMEMA dari italia memberikan DNR VCR + Pred + Lasp dengan atau tanpa siklofosfamid.l + postremisi terapi untuk sdnctudty phase (membasmi sel leukemia yang bersembunyi dalam SSP dan testis) i. triple IT yang terdiri atas: intrathecal methltrexdte (MTX), Ara C (cytosine arabinosid), dan dexarnenthason ii. oanial radiotherapy GRT) terapi intensifikasi/konsolidasi: pemberian regimen noncrossresistant terhadap regimen induksi remisi Terapi pemeliharaan (maintenance): umumnya dipakai 6 mercaptopurine (6 MP) per oral dan MTX tiap minggu. Di- b. c. 2-3 berikan selama m.hun dengan diselingi terapi konsolidasi atau intensifikasi. Kelompok GIMEMA dari Italialmemberikan contoh skema protokol untuk suatu ALL pada orang dewasa seperri tampak pada gambar 94. INDUKSI INDUKSI I VPDAC I I lr Mrx. P ._--_.: II V HDMTX C Doxo, Dexa I I l----------bulan 0 I lT MTX tr MTX. Ara c, C, pexa Dexa --r----**--1 lntensifikasi V, HDMTX, Ara C, Dexa I Pemeliharaan @ MP, MTX, V, P F*x;l t------------------ 2aQ24 Gambar 9-4. Skema protokol terapi ALL menurut GIMEMA Keterangan: V = vinkristin, P= prednison, D = doksorubisin, AC = 1 'siklofosfamid, FIDMTX = high dose methotrcxate, Dexa = deksametason, IT MTX = metotreksat intratekal, MP = 5 mercaptopurine 134 Hematologi Klinik Ringkas Kemoterapi untuk AML Regimen kemoterapi untuk AML umumnya teridiri atas: 1. Induksi remisi a. "three plus seuen regimen": Daunorubicin: 60 mg/M2lhari, i.v., b. hari 1-3 Ara-C: 200 mglmzlhari,iv, kontinu selama 7 hari. ada juga yang memakai regimen DN (daunorubicin, ARA-C dan6Thioguanin=6fq. c. d. sekarang dipakai juga mitoxantrzne atau etz?zside pada kasus dengan cadangan jantung yang compromised. pilihan lain adalah "high dnse Ara-C'= HIDAC. fua-C diberi- e. kan 1-3 g/m2 setiap 12 sampai 24 jam sampai dengan 12 dosis. HIDAC dapat juga diberikan setelah regimen 7:3, yairu I hari 8 sampai hari 10, disebut sebagai regimen 3 + 7 + 3. untuk induksi remisi untuk kasus AML-M3 (leukemia promielositik akut) daunorubisin digabungkan dengan ATRA (all-transretinoic acid). Untuk kasus yang relap diberikan arsenic trioxide. 2. Terapi postremisi terdiri atas: a. Konsolidasi/intensifikasi 2-6 siklus Ara-C dan 6 TG dengan atau tanpa DNR dapat juga diberikan Ara-C dosis tinggi ataupun amsacrine; b. Terapi pemeliharaan Llmumnya, dengan terapi per oral jangka panjang meskipun manfaatnya masih diperdebatkan sehingga sebagian besar terapi pemeliharaan ddak diberikan pada AML; c. 3. Imunoterapi Imunoterapi dapat diberikan, misalnya dengan BCG meskipun manfaatnya masih belum terbukti. Thansplantasi sumsum tulang (bone marrow transplantation) ter- diri atas: a. merupakan terapi postremisi yang memberi harapan penyembuhan Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 135 b. efek sarr,rping dapat berupa: pneumonia interstitial (cytomegalo c. d. uirus), grafi uersus ltost diseasq, dan grafi rejection hasil baik jika umur penderita <40 tahun sekarang lebih sering diberikan dalam bentuk transplantasi sel induk dari darah tepi Qteripheral blood stem cell tansplantation) Terapi Suportif Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan terapi spesifik karena akan menentukan angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula, kalau tidak maka penderita dapat meninggal karena efek samping obat, suatu kematian iauogenik. Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping obat. Terapi suportif yang diberikan adalah: l. Terapi untuk mengatasi anemia: transfusi PRC untuk mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10 g/dl. Untuk calon transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya dihindari. 2. Terapi untuk mengatasi infeksi, sama seperti kasus anemia aplastik rerdiri atas: a. antibiotika adekuat b. transfusi konsentrat granulosit c. perawaran khusus (isolasi) d. hemopoietic grrwth factor (G-CSF atau GM-CSF) 3. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas: a. transfusi konsentrat trombosit untuk mempertahankan trombosit minimal 10x106/ml, idealnya di atas 20x106/ml. b. pada M3 diberikan heparin untuk mengatasi DIC 4. Tenpi untuk mengatasi hal-hal lain, yaitu: a. pengelolaan leukostasis: dilakukan dengan hidrasi intravenous dan leukapheresis. Segera lakukan induksi remisi untuk menurunkan jumlah leukosit. b. pengelolaan sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup, pemberian alopurinol dan alkalinisasi urine. 136 Hematologi Klinik Ringkas Hasil Pengobatan Hasil pengobatan tergantung pada berikut ini: l. Tipe leukemia: pada umumnya ALL mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan dengan AML. 2. Karakteristik faktor prognostik dari penderita. 3. Jenis regimen obat yang diberikan. Faktor prognosis untuk ALL dapat dilihat pada tabel 9-6 dan prognosis untuk AML pada tabel 9-7. Prognosis penderita leukemia akut sangat bervariasi dan bersifat individualistik, tetapi pada umumnya didapat hasil sebagai berikut: 1 . Hasil pengobatan ALL sangat baik, dengan terapi intensif dicapai kesembuhan pada 70-907o kasus ALL anak dan 40-50o/o pada kasus ALL dewasa, tetapi pada umur di atas 65 tahun hasilnya turun menjadi 5o/o. 2. Hasil pengobatan AML tidak sebaik ALL, tetapi akhir-akhir ini hasil pengobatan mencapai kemajuan yang sangat pesat. Remisi dicapai Tabel 9-6 Prognosis untuk ALL Sex Good Poor Low High (> 50.000) Grrls lmmunophenotyping ;-ALL(CDI0+) Age Child Cytogenetics Normal or Hyperdiploidy(> Time to clear from btood blast Timetoremisslon CNS disease at presentation Minimal residual disease Boys B-ALL Adult (or infant <2 years) Ph+,11q23 50) rearra ngeme nts TEL rearrangements < 1 week > 1 week <4weeks >4weeks Absent Present Negative at 1-3 months Still positive at 3-6 months Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 137 Tabel9-7 Prognosis untuk AML Cytogenetics Favourable Unfavourable t(15;17) Deletions of (8:21) chromosome 5 or 7 inv(16) FIl3 mutation 11q23 (6;9) abn (3q) Complex rearra- ngement >20% blast after after remission induction first course Bone marrow response lo <5%o blast Age <60 years >60 years pada 60-800/o kasus, 30%o diantaranya tetap bebas leukemia setelah 3-5 tahun, sebagian besar darinya akan mengalami kesembuhan. Namun, pada umur di atas 65 tahun hanya didapat hasil kesem, buhan sekitar 57o. LEUKEMIA MIELOID KRONIK (LMK) atau cbonic myeloid leukemia (CML) merupakan leukemia kronik, dengan gqala yang timbul perlahanlahan dan sel leukemia berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari pluripotent stem cell dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif (rryebproliferatiue dtsordzrs). Nama lain untuk leukemia mieloid kronik Leukemia mieloid kronik adalah:l-3'14 |. 2. c/tronic myelogenous leuhemia (Clrt9 chronic myelocytic leuleemia (CML) LMK terdiri atas enam jenis leukemia, yaitu: a. leukemia mieioid kronik, Ph positif (CML, Ph+) (chronic granubrytic leuhemia, CGL) b. leukemia mieloid kronik, Ph negatif (CML, Ph-) c. juuenile chronic myehid leuhemia 138 Hematologi Klinik Ringkas d. e. f. chronic neutrophilic leuhemia eosinopbilic leukemia chronic myelamonocytic leuhemia (CMML) Tetapi sebagian besar (>95%) CML tergolong sebagai CML, Ph+. Epidemiologi 1. CML merupakan l5-20o/o dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling sering dijumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat leukemia kronik lebih banyak di- 2. 3. jumpai dalam bentuk CLL. Insiden CML di negara Barat: 1-1,4/100.000/tahun. Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan puncak pada umur 40-50 tahun. Pada anak-anak dapat dijumpai benuk juuenile CML. Patogenesis Pada CML dijumpai Philadelphia cltromosom (Phi chr) suaru reciprocal transhcation 9,22 G 9;22), seperti terlihat pada gambar 9-5. Pada t(9;22) terjadi translokasi sebagian materi genetik pada lengan panjang kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9 yang bersifat resiprokal. Sebagai akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR pada lengan panjang kromosom 22. |kibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric oncogen) yaitu bcr-abl lnclgen. Gen baru akan mentranskripsikan chimeric RN,,4 sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 hd). Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui 4trosine hinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel-sel mieloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri mieloid.r-3'16 Fase Perialanan Penyakit Perjalanan penyakit CML dibagi menjadi 2 fase, yaitu: l. Fase kronik Fase ini berjalan sela-ma 2-5 ahun dan responsif ter- 2. hadap kemoterapi. Fase akselerasi atau transformasi akut: Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 139 Kromosom Phiiadephia e. b. Pada fase ini perangai klinik CML berubah mirip leukemia akut. Proporsi sel muda meningkat dan akhirnya masuk ke dalam " blast crisis" atau krisis blastik. Sekitar 213 menurytkkan sel blast seri mieloid, sedangkan l/3 menunjukkan seri limfoid. GejalaKlinik Gejala klinik CML tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit rersebur, yaitu: A. Fase kronik terdiri atas: 1. gejala hiperkatabolik: berat badan menurun, lemah, anorek- 2. 3. 4. sia, berkeringat malam (gambar 9-6). splenomegali hampir selalu ada, sering masif hepatomegali lebih janng dan lebih ringan gejala gout, gangguan penglihatan, dan priapismus 140 Hematologi Klinik Ringkas 5. Anemia pada fase awal sering hanya ringan 6. kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan B. pada saat check up atau pemeriksaan Fase transformasi akut terdiri atas: l. untuk penyakit lain Perubahan terjadi pelan-pelan dengan prodromal selama 6 bulan, disebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru: demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons terhadap kemoterapi menurun, leukositosis meningkat dan trombosit menurun dan akhirnya meniadi gambaran leukemia akut. 2. Pada sekitar sepefiiga penderita, perubahan terjadi secara men- dadak, tanpa didahului masa prodromal keadaan ini disebut Gambar 9-6. seorang penderita cML. penderita tampak kahektis dengan splenomegali yang sangat besar Leukemia dan Pengakit Mieloproliferattt 141 krisis blastik (blast crisis). Tanpa. pengobatan adekuat pericl.,. rita sering meninggal dalam 1-2 bulan. Kelainan Laboratorik CML dapat dijumpai kelainan laboratorik berikut: 1. Darah tepi Pada kasus a. b. c. d. e. Leukositosis berat 20.000-50.000 pada permulaan kemu- dian biasanya lebih dari 100.000/mm3 Apusan darah tepi: menunjukkan spektrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast sampai netrofil, dengan komponen paling menonjol ialah segemen netrofil dan mielosit (gambar 9-7 A). Stab, metamielosit, promielosit dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast kurang dari 5o/o. Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut, bersifat normokromik normositer. tombosit bisa meningkat, normal, atau menurun. Pada fase awal lebih sering meningkat. Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase INAPI score) selalu rendah. 2. Sumsum tulang Hiperseluler dengan sistem granulosit dominan. Gambarannya mirip dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap 4 a . :,.:t:;..rt:.,.a),:::,a:::,:):,ja:ra.:..t :;.... " :l t:::i,. :.-'.r.,t:ir'r:r....rlrrfr. .:t:r.. :.,;;;',,1''.;;,,;,,;''..i:t, V* .',,;{i*$ ::tt::,,.. 'W Wri tW' ' "i'"t w 142 Hematotogi Klinik Ringkas seri mieloid, dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30o/o. Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat. 3. Sitogenetik: dijumpai adanya Philadelphia (Ph1) chromosome pada 95% kasus. 4. Vitamin Bl2 serum dan 812 binding capacity meningkat. 5. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya chimeric protein bcr-abl pada 99olo kasus. 6. Vitamin B12 serum dan Bl2 binding capacity 7. Kadar asam urat serum meningkat. meningkat. Thnda:Tanda Transformasi akut Perubahan CML dari fase kronik ke fase transformasi akut ditandai oleh: 1. Timbulnya demam dan anemia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. 2. Respons penurunan leukosit terhadap kemoterapi yang semula baik menjadi tidak adekuat. 3. Splenomegali membesar yang sebelumnya sudah mengecil. 4. Blast dalam sumsum tulang >l0o/o. Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut \fHO adalah: 1. Blast l0-l9o/o dari \(/BC pada darah tepi dan/atau dari sel sumsum tulang berinti. 2. 3. 4. Basofil darah tepi >20o/o. Thrombositopenia persisten (<100x10e/L) yang tidak dihubungkan dengan terapi, atau thrombosistosis (>1000x10e/L) yang tidak responsif pada terapi. Peningkatan ukuran lien atau 'WBC yang tidak responsif pada terapi. 5. Bukti sitogenetik adanya evolusi klonal. Di pihak lain diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut \7HO adalah: 1. Blast >-2oo/o dari darah putih pada darah perifer atau sel sum- sum tulang berinti. Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 143 2. 3. Proliferasi blast esktramgduler. Fokus besar atau clulter sel blast dalam biopsi sumsum tulang. Terapi Terapi CML tergantung r .r I . FaSe KrOnlK: pada dari fase penyakit, yaitu: l-3.13-14 Obat pilihan: a. b. 2. Busulphan (Myleran), dosis: 0,i-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa tiap minggu. Dosis diurunkan setengahnya jika leukosit turun setengahnya. Obat dihentikan jika leukosit 20.0001 mm3. Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3 Efek samping dapat berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia akut. Hldroxiurea, memerlukan pengaturan dosis lebih sering, tetapi efek samping minimal. Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3. Efek samping Iebih sedikit dan bahaya. keganasan sekunder hampir tidak ada. c. Interferon cr biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol oleh hidroksiurea. Pada CML fase kronik interferon dapat memberikan remisi hematologik pada 8oo/o kasus, tetapi remisi sitogenetik hanya tercapai pada 5-10%o kasus. Terupi fase akselerasi: sama dengan terapi leukemia akut, tetapi respons sangat rendah. 3. Tiansplantasi sumsum tulang: memberikan harapan penyembuhan jangka panjang terutama untuk penderita yang berumur kurang dari 40 tahun. Sekarang yang umum diberikan adalah allogeneic peripheral blood. stem cell transplantatizn. Modus terapi ini merupakan satu-satunya yang dapat memberikan kesembuh- an total. 4. Sekarang sedang dikembangkan terapi yang memakai prinsip biologi molekuler (targeted therapy). Suatu obat baru imatinib mesylate (Gleeuec) dapat mendud:uki ATP*binding site of abl oncogen sehingga dapat menekan aktivitas tyrosine hinase sehingga menekan proliferasi seri mieloid. 144 Hematologt Ktinik Ringkas Tabel 9-8 |enis Leukemia Seri Limfoid Frekuensi Relatif Sel CLI (chronic lymphocytic leukemia) PLL (protymphocytic leukemial HCL (hairy cell leukemia) Asal Sel Sel B T 70oh 99% 1% 8% 80% 20% 6% 100% O% Pada trial fase II dan III terbukti imatinib lebih superior dibandingkan dengan interferon, di mana remisi hematologik tercapai pada 90o/o kasus dan remisi sitogenetik pada 30-50o/o k"sr.rr. 24 TEUKEMIA KRONIK SERI LIMFOID Leukemia limfoid kronik arau cltronic $mphoid leuhemia (CLL) ter- diri beberapa jenis kelainan yang ditandai oleh proliferasi m(tture looking lymphocytes, baik sel B maupun sei T. Leukemia kronik seri limfoid terdiri dari 3 jenis leukemia (lihat tabel l. 2. 3. 9-B):1-3'14 Leukemia limfositik kronik (chronic lymphocytic leuhemia-CLL) Leukemia prolimfositik (pro lymp h o cytic leuk em ia=PLL) Leukemia sel berambut (hairy cell leukemia) Epidemiologi Dari segi epidJmiologi pada CLL dijumpai fakta sebagai berikut: 1. CLL jarang dijumpai di Indonesia atau Timur Jauh; 2. di Barat merupakan leukemia kronik yang paling sering (30o/o); 3. terutama mengenai umur rua (lebih dari 50 tahun). Gejala CLL memberikan gejala klinik sebagai berikut: 1. 2. gejala sering perlahan-lahan dan 20o/o asimtomatik; gejala yang paling menonjol adalah pembesaran kelenjar gerah bening (limfadenopati) superfisial yang sifatnya simetris dan Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 145 3. 4. 5. 6. volumenya bisa cukup besar. Kelenjar bersifat tidak melekat kompak (discrete) dan tidak nyeri. anemia sering dijumpai; splenomegali pada 50%o kasus tetapi tidak masif; hepatomegali lebih jarang; sering disertai lterpes zoster dan pruritus. Laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai: 1. Darah tepi: a. limfositosis 30.000-300.000/mm3. Sebagian besar terdiri atas limfosit kecil. b. anemia normokromik normositer c. trombositopenia sering dijumpai d. sering disertai bashet cell atau smudged cell 2. Sumsum tulang: infiltrasi "small well dffirentiated lympbocyte" difus, dengan limfosit merupakan 25-95% dari sel sumsum tulang. 3. Pemeriksaan immunopheno4tping: pemeriksaan ini penting unruk membedakan jenis leukemia kronik seri limfoid, seperri terlihar pada rabel 9-9. Tabel 9-9 Imunofenotipe Leukemia/Limfoma Limfoid' CLL PLL HGL FL cD19 sig cD5 CD2ZFMCT cDTSb CD103 Sig: CLL: PLL: HCL: +++++ weak. ++ +-+ -++++ ++ - surface immunoglobuline chronic Qmphocytic leuhemia prolymphocytic leukemia hairy cell leukemia MCL ++ ++ + -l+ +- ++ ++ 146 Hematologi Klinik Ringkas FL: MCL: follicular lymphoma mantle cell lymphoma Diagnosis Diagnosis CLL menurvt "Interwttional l7orhshop on CLL (1989)" t'3'14 adalah: 1. limfositosis >5xl0e/L selama 4 minggu atau lebih; 2. sel dengan leapprt arau lambda light chain; 3. lou density cell sltrfice atttigen dan CD5 /tntigen positif; 4. limfosit matang yang disertai tidrk lebih dari 50olo sel limfosit; 5. atipik arau imatur. Sumsum tulang dengan > 30o/o limfosit. Derajat Penyakit Derajat penyakit CLL harus ditetapkan karena menentukan strategi terapi dan prognosis. Salah satu sistem penderajatan yang dipakai ialah klasifikasi Rai, r-3'r4 seperti yang terlihat pada tabel 9-10. Tabel 9-10 Derajat Penyakit CLL Menurut Kriteria Rai, dkk. Stage Limfosit Limfadeno- Hepato- Hb.<11 Thrombosit >15.000 pati , megali g/dl <100.000 Selanjutnya dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: A= lotu rish (stage 0) B= intermediate risk (stage f & fD. C= high ruk (stage flf (7 fW. Sistem penderajatan yang lain adalah dari International Working Party (Binet et al) pada tahun 1981. Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 147 Tabel 9-11 Derajat Penyakit CLL Menurut Binet; et al Sfage A (50-60%) B (30%) c (<20%) * Organ Hemoglobin** Platelet enlargement* (g/dl) (x 10s/L) 0,1 or 2 areas 3,4 or 5 areas >10 > not < considere,d one AreA = fumphnodes > lcm in 10 and/or 100 < 100 nech, axilla, groins or spleen, or liuer en/argement ** secondary causes of anemia (e.g. iron deficiencl or Autoimmune hemofitic anemia or autoimmune thrombocytopenia must be treated before xaging. Terapi Terapi untuk CLL jarang dapat mencapai kesembuhan karena tujuan terapi bersifat konvensional, terutama unruk mengendalikan gejala. Kemoterapi yang diberikan terlalu awal dapat memperPendek bukan memperpanjang suruiual. Obat yang umum dipakai adalah chlorambucil dengan dosis 4-6 mg/hari atau 5 .ttgl-2, biasanya diberikan selama 24 6ulan. Obat lain adalah fludarabine yang tergolong sebagai purine analogue. Dapat diberikan secara intravena maupun secara oral, dan merupakan obat pilihan pertama pada kasus yang resisten pada chlorambucil. Skema kemoterapi untuk CLL adalah: L Low risle: Chlorambttcil 0,T mg/kg, 4 hari setiap 3-4 minggu. 2. Intermediate risk: Sama dengan A 3. High risk: Sama dengan A ditambah prednison 40-60lhari untuk 7 hari seriap 34 minggu. PENYAKIT MIELOPROLIFERATIF Penyakit mieloproliferattf (myebproliferatiue disorder) adalah penyakit klonal akibat proliferasi sel yang berasal dari sel induk mieloid karena dapat'mengenai seri granulositik, monositik, eritroid, meg"kariosit.l3-'a 148 HematoLogi Ktinik Ringkas Penyakit mieloproliferatif dibagi 2 golongan besar: l. Penyakit mieloproliferatif yang jelas menunjukkan sifat maligna ffiank hematologic malignancies), yairu: leukemia mieloid akut; leukemia mielositik kronik; leukemia mielomonositik kronik. 2. Penyakit mieloproliferarif yang tingkat keganasannya masih per- a. b. c. lu dibuktika n (non huh emic mye lopro liferatiue diso rders), yaitu: a. b. c. d. polisitemia vera; mielofibrosis dengan mieloid metaplasia; thrombositemia essensial; metaplasia mieloid tanpa mielofibrosis. Sifat-sifat penyakit mieloproliferarif nonmaligna adalah: 1. Proses mengenai lebih dari satu seri sel 2. Selalu terjadi proliferasi megakariosit 3. Selalu terjadi proliferasi jaringan hemopoetik ekstra medule sehingga menimbulkan splenomegali. Penyakit-penyakit ini berhubungan sangat dekat, terdapat bentuk transisi dan dapat rerjadi evolusi dari satu bentuk ke bentuk yang lain dapat terjadi selama perjalanan penyakit (gambar 9-8). MIELOFIBROSIS DENGAN MIELOID METAPLASIA Penyakit mielofibrosis dengan metaplasia mieloid (MMM) ditandai oleh fibrosis progresif sumsum tulang disertai pembentukan hemopoesis dalam hati dan limpa (dikenal sebagai metaplasia mieloid). Hal ini menyebabkan anemia dan hepatosplenomegali massif,l-3'13 Gambar- an klinik penyakit a. b. c. d. ini adalah: umur penderita relatif tua, lebih dari 50 tahun; gejala hipermetabolik: penurunan berat badan, anoreksia, demam dan keringat malam; disertai splenomegali masif; leukositosis >50.000/mm3, tingginya jumlah leukosit tidak sebanding dengan besarnya splenomegali; Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 149 Bone manow stem cell Acquired abnormality Principle cellular proliferation Red cell Granulocyte precursors precursors + + Clinical Megaka-- Reactive ryocytes fibrosis *+ ryocytes * entity Acute Myeloid Leukemia 10% Gambar 9-8. Hubungan berbagai jenis penyakit mieloproliferatif e. f. g. h. anemia sering berat; tear drop cell dalam apusan darah tepi dan gambaran leukoeritroblastik; neutrophil alhaline phosphatase normal, lactic dehydrogenase, dan asam urat meningkat; sumsum tulang: fibrosis dengan cluster sel megakariosit. MMM perlu dibedakan dengan leukemia mieloid kronik, diMMM peningkatan leukosit tidak sebanding dengan mana pada splenomegali, fosfatase alkali netrofil normal, dan tidak dijumpai kromosom Philadelphia. Terapi untuk MMM berupa terapi paliatif untuk mengatasi anemia dan splenomegali. Ti'ansfusi dan asam folat folat diberikan secara teratur untuk mengatasi anemia. Hidrolsiurea dapat mengurangi splenomegali dan gejala hipermetabolik. Splenektomi hanya dipertimbangkan jika 150 Hematologi Klinik Ringkas gejala splenomengali sangat menyolok disertai sindroma hipersplenisme berat. Ada juga yang mempertimbangkan pemberian androgen atau alhylating agent. POLISITEMIAVERA Polisitemia vera adalah proliferasi berlebihan sel eritroid, disertai dengan seri mieloid dan megakariosit. Proliferasi maligna ini bersifat klonal dari sel induk hemapoerik.l-3'13 Polisitemia vera harus dibedakan dengan polisitemia sekunder. Penyebab pisitemia secara umum dapat dilihat pada abel 9-12. Ada 3 fase perjalanan penyakit polisitemia vera, yaitu: I . Fase preklinik 2. 3. Fase stabil Fase " spenf' Tabel 9-12 Penyebab Polisitemia Primer Polisitemia vera Sekunder Peningkatan kompensatoar eritropoetin pada keadaan sebagai berikut: 1. ketinggian 2. penyakit paru dan hipoventitasi alveoler ' 3. penyakit jantung kongenital dengan sianosis 4. perokok berat Peningkatan abnormal (inappropriate increase'1 eritropoetin pada keadaan berikut 1. penyakit ginjal (hidronefrosis, kista, karsinoma) 2. tumor, seperti fibromioma uteri, hepatoma, hemangioblastoma, dan cerebellum Relatif 1. stres atau pseudopolisitemia 2. perokok : 3. dehidrasi 4. kehilangan plasma: luka bakar, enteropati Leukemia dan Pengakit Mieloprotiferatif 151 Gejala Klinik Polisitemia vera pada umumnya mengenai umur tua disertai gambaran klinik berupa berikut: a. sakit kepala, sesak napas, penglihatan kabur, dan keringat malam; b. sering disertai gelala epigastreal distress, ulkus peptikum dijumpai pada 5-10% kasus; c. disertai rasa gatal, kesemutan dan rasa terbakar pada tungkai; d. sering disertai plethora (muka kemerah-merahan=rudd! ryanosis); e. splenomegali dapat dijumpai pada 75o/o kasus, tetapi tidak masif; f. g. h. perdarahan; seperti perdarahan gastrointestinal, uterus, serebral, gejala thrombosis arterial: jantung, serebral, perifer; gejala thrombosis vena: superfisial pada kal<t, deep uein tltrombosis, serebral, portal atau hepatik; hipertensi dijumpai pada sepertiga kasus; dapat dijumpai artritis gout karena hiperurisemia. Kelainan Laboratorium Pada polisitemia vera dapat dijumpai kelainan laboratorium sebagai beri kut: a. b. hemoglobin, hematolrit dan eritrosit meningkat; leukositosis moderat dan trombositosis ringan pada lebih dari c. 50%o kasus; massa sel darah merah meningkat, d. e. f. g. diukur dengan teknik Cr51, l25Ijuga meningkat, diukur dengatt total dan volume plasma albumin; neutrophil alhaline phosphatase (NAP) meningkat, vitamin B12; serum dan Bl2-binding capacity meningkat; viskositas darah meningkat; asam urat darah meningkau sumsum tulang hiperseluler dengan cluster megakariosit. Diagnosis Diagnosis polisitemia vera dibuat jika dijumpai peningkatan massa eritrosit dan dengan menyingkirkan penyebab polisitemia sekunder dan relatif, Po$cytltemia Wra Study Group membuat kriteria diagnosis sebagai berikut: I 152 l. Hematologi Ktinik Ringkas Karegori A a. Massa sel darah merah total, yaitu: i. ii. laki-laki >35 ml/kg perempuan >32 mllkg Saturasi oksigen arrcrial >92o/o b. c. Splenomegali 2. Karegori B a. Thrombosit >400x10e/l b. Leukosit >lzxl}ell c. Skor NAP meningkat d. Kadar vitamin B12 serum meningkat Di pihak lain WHO membuat kriteria diagnosis, seperti terlihat pada rabel 9-13. Terapi Terapi diusahakan unruk mempertahankan hematokrit sekitar 0,45 dan thrombosit di bawah 400x10911. Phlebotomi Venaseksi untuk phlebotomi dikerjakan pada pasien umur muda dan penyakit ringan. Sitostatika Hidroksiurea diberikan untuk mengendalikan eritrosit, leukosit dan thrombosit. Perlu diberikan terapi pemeliharaan bertahun-tahun. Busulfan dapat juga diberikan secara intermiten dengan beberapa efek samping yang merugikan. Fosfor 32 Fosfor 32 diberikan untuk penderita usia lanjut dengan stadium penyakit yang lebih berat. lnterferon Interferon alfa dilaporkan memberikan hasil cukup baik, tetapi masih memerlukan penelitian lebih lanjut. TROMBOSITEMIA ESENSIAL Thrombositemia esensial atau essential thrombocyihemia (ET) adalah kelainan mieloproliferatif klonal yang primer mengenai megakariosit Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatil 153 Tabel 9-13 Kriteria Diagnosis Polisitemia Vera Menurut WHO16 1. 41 Elevated or Hb > RBC rnass > 25% above mean normal predicted value, 18.5 g/dt in men, 16.5 g/dt in women 2. A2 No cause of secondary erythrocytosis, including: a. Absence of familial erythrocytosis b. No elevation of erythropoietin due to: i. hypoxia (arterial pO2 d" 92%) affintty hemoglobin iii. truncated EPO receptor w. inappropriate EPO production of tumor ii. high 3. A3 Splenomegaly 4. A4 Ctonal geietic abnormatity other than Ph chromosome or BCN ABL fusion gene in marrow cell A5 Endogenous erythroid colony in vitro 81 Thrombocytosls > 4A0 x 10s/t 5. 6. 7. 82WBC> 12x 10e/t 8. 83 Eone marrow biopsy showing panmyelosisi with erythroid and 9. . megakaryocytic protifetration 84 Low serum erythropoietin levels Diagnose PV when A1 + A2 and othercategory A1 + A2 and any two of category B are present A are present, orwhen yang ditandai oleh thrombositosis menetap dalam darah tepi dan peningkatan jumlah serta besar megakariosit dalam sumsum tulang. Insiden ET di Negara Barat diperkirakan 1-2,5 per 100.000 penduduk per tahun. Sebagian besar kasus berumur 50-60 tahun, hampir sama pada laki-laki maupun p...-p,r"n.tn Gejala Klinik Gejala klinik ET a. b. adalah: t-1't3'16 sekitar 50% bersifat asimtomatik; sekitar 20-50o/o menunjukkan gejala perdarahan abnormal atau thrombosis. Perdarahan terutama dari mukosa berupa: hematemesis melena atau hemoptoe. Oklusi mikrovaskuler menimbulkan transient ischemic attach, atau ischemia digital dengan parestesia atau gangrene. 154 Hematologi Klinik Ringkas Thrombosis arteri arau vena besar dapat terjadi, kadang-kadang disenai thrombosis pada vena hepar atau lien. c. d. splenomegali ringan dijumpai pada 5070 kasus: hepatomegali hanya dijumpai pada l5-20%o kasus. Kelainan Laboratorium a. b. c. d. trombosit meningkar, biasanya >600.000/mm;3 sering dijumpai leukositosis ringan; apusan darah tepi menunjukkan anemia normokromik-normositer thrombosit sangat meningkat, kadang-kadang dijumpai gambaran leukoeritroblastik dan tear drop cell; biopsi sumsum tulang normoseluler arau hiperseluler ringan. Yang khas adalah peningkatan jumlah megakariosit. Megakariosit besar-besar sampai giant megaharyocltes Tersusun dalam klaster longgar dengan sitoplasma banyak dan inti hiperlobulasi . Aspirasi sumsum tulang sering dry tap. Diagnosis Sampai saat ini belum terdapat petanda genetik maupun biologik yang khas untuk ET. Oleh karena itu, diagnosis rerurama ditegakkan dengan menyisihkan kemungkinan penyebab thrombositosis sekunder. \7HO membuat kriteria diagnosis ET seperti terlihat pada tabel 9-14. Terapi Tirjuan terapi pada ET adalah mengendalikan hitung thrombosit sehingga mencegah thrombosis. Untuk penderita dengan risiko tinggi thrombosis sebaiknya thrombosit dipertahankan di bawah 600 x 10e/1. Hidroksiurea merupakan obat yang sering diberikan untuk menurunkan jumlah thrombosit. Interferon-alpha dapar dipertimbangkan pada penderita dengan umur yang lebih muda. Anagrelide merupakan obat yang sangar efektif untuk menurunkan jumlah thromb-osit, saat ini sedang mengalami uji klinik fase lanjut. Busulfan d".r 32P dapat menurunkan thrombosit terapi efek samping jangka panjangnya kurang baik. Untuk pengelolaan jangka pendek dapat dipertimbangkan platelet pheresis. Aspirin dapat diberikan untuk mencegah thrombosis, sepanjang tidak ada riwayat perdarahan.6 Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 155 Tabel 9-14 Diagnostic Criteriu for Essential Thrombocythemiat6 Positive criteria 1. Susfarned platelet count> 600 x 1Ts/t Bone marrow biopsy specimen showing proliferation mainly of the megakaryocytic lineage with increased numbers of enlarged, ma' ture megakaryocytes. Criteria of exclusion 1. No evidence of polycythemia vera a. normal red cell rnass orHb <18.5 g/dl in men, and < 16.5 ldl in women. b. stainabte iron in marrow, normal serum ferritin or normal MCV c. if the former condition is not met, failure of iron trial to increase red cell rnass or hemoglobin levels to the PV range 2. No evidence of CML a. no Philadelphia chromosome and no BCNABL fusion gene 3. No evidence of chronic idiopathic myelofibrosis 2. a. collagen flbrosls absent b. reticutin flbrosls minimal or absent 4. No evidence of mylodysplastic syndrome a. no det(Sq), t(3;3)(q21 q26), inv(3)(q21q26) b. no significant of granutocytic dysplasia, few if any micromegakaryocytes. 5. No evidence that thrombocytosis ls reacfive due to: a. underlying infection or inftammation b. underlying neoplasm c. prior splenectomy SINDROM MIELODISPLASTIK (MYEL O DY S P L AST IC S }A\IDR O ME) Sindrom mielodisplastik (SMD) atau myelodyspkstic syndrome (MDS) adalah kelainan neoplastik hemopoetik klonal yang disebabkan oleh transformasi ganas sel induk mieloid sehingga menimbulkan gangguan maturasi dan diferensiasi (displastik) seri mieloid, eritroid atau megakariosit, y^ng ditandai oleh hematapoesis inefektif, sitopenia pada darah tepi, dan sebagian akan mengalami transformasi menjadi leukemia mieloid ak,,tt.1-t Sifat neoplastik klonal dari kelainan ini telah terbukti dan secara 156 Hematologi Klinik Ringkas klinik kelainan ini dapat dianggap sebagai suaur premalignant state sehingga disebut juga sebagai preJeukemia. MDS merupakan kelainan yang sangar heterogen, tetapi disatukan oleh adanya displasia pada satu atau lebih turunan seI (cell lineage), serta adanya kecenderungan transformasi maligna pada sebagian besar kas*s.1-6 Meskipun klasifikasi resmi MDS baru muncul sejak 2 dekade yang lalu, yaitu klasifikasi FAB,16 tetapi deskripsi kasus ini telah dimulai 60 tahun yang lalu. Rhoades dan Baker pada tahun 1938 telah mengajukan 60 kasus anemia refrakter yang mendahului leu- kemia mieloid akut. Istilah prelukemia dipakai oleh Block et al. tahun 1953, sedangkan Rheingold et al. pada tahun 1963 mengajukan istrlah smoldering acute leukemia. Meischer dan Farquet pada tahun 1974 mendeskripsikan kasus leukemia mielomonositik kronik, kemudian Dreyfus pada tahun 7976 mempublikasikan kasus refactory anemia tuitlt excess myelobkst. Istilah dysmyelopoietic diperkenalkan oleh Streuli et al. pada tahun 1980, kemudian Benner et al. dari grup FAB memakai istllah rnyelodysplastic syndrome mulai tahun 1982, terakhir Heaney dan Golde memakai isilah myelodyspksia.t'te'20 Sebelum istilah MDS diterima secara luas, para klinisi dibingungkan oleh berbagai terminologi lain seperti: preleukemia, subacute myeloid leukemia, smoldrring acute leuhemia, /temopoietic dltsplasia, herald state of leuhemia, preleukemic anemia, refractory dysrryelopoietic anemia, dysmyelopoietic syndrome, myloid dysplasia, untuk kasus-kasus yang sangar bervariasi ini. l-6'le Epidemiologi lnsiden MDS adalah penyakit yang relatif baru, sehingga data mengenai insiden penyakit ini belum banyak dijumpai. Linman dan Bagby, yang dikutip oleh Heaney dan Golde20 memperkirakan di Amerika Serikat pada tahun 1978 dijumpai 1500 kasus baru. Pada pertengahan tahun 1980-an, Leuhemia Research Fund di Inggris mendapatkan insiden 3,6/100.000/tahun, meskipun dengan variasi daerah per daerah yang cukup besar. Studi dari Dusseldorf yang diterbitkan pada tahun 1992, menunjukkan peningkatan insiden dari t,3l Leukemia dan Pengakit Mietoproliferatif 157 100.000/tahun untuk periode 1976-1990 menjadi 4,1/100.000/ tahun untuk periode 1986-1990.'Williamson et al.r yang melakukan penelitian di Bournemouth (Inggri$ pada periode 1981-1990 mendapatkan insiden 12,6/100.000/tahun. Insiden MDS pada umur tua lebih tinggi dibandingkan dengan leukemia mieloid akut. Data insiden MDS untuk Indonesia belum dijumpai sampai saat ini. Soebandiri et al21 yang meneliti di Surabaya tahun 1981-1986 mendapatkan sejumlah 38 kasus, dan terlihat kecenderungan yang melaporkan MDS se-akin meningkat setiap tahun. Suega .t "1.12 merupakan l4o/o dari 86 kasus yang dirawat pada Divisi Hematologi Bagian Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar, dan merupakan urutan kedua setelah anemia aplastik. .Terdapat kecenderungan adanya peningkatan insiden MDS, meskipun laporan ini perlu dikonfirmasi. Apakah peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan angka absolut, ataukah hanya bersifat relatif karena perhatian yang lebih besar, ataukah karena kriteria diagnostik yang lebih jelas, masih perlu diteliti lebih lanjut. Kesulitan dalam penelitian insiden MDS disebabkan oleh kesulitan di dalam mendapatkan penderita karena diagnostik MDS memerlukan pemeriksaan sumsum t,rl"rrg.19 Umur dan )enis Kelamin MDS merupakan penyakit usia lanjut dengan >80%o kasus berumur di atas 60 tahun, dengan umur rata-rata sekitar 65 tahun. Kasus dengan umur di bawah 50 tahun jarang dijumpai, meskipun kasus 'Williamson melaporkan MDS pada anak juga pernah di laporkan. insiden pada kelompok umur <50 tahun adalah 0,5/100.000/tahun, 5,3 untuk umur 50-59 tahun, 15 untuk umur 60-69 tahun, 49 untuk umur 70-79 tahun, dan 89 untuk umur >80 tahun. MDS dijumpai hampir dua kali lebih sering pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Soebandiri et al. Surabaya mendapatkan rasio laki-laki:perempuan= 1,9:1, sedangkan Suega et al. di Denpasar r2'2t mendapatkan rasio l:7. 158 Hematologi Klinik Ringkas Penyebab Seperti halnya penyebab kanker pada umumnya, penyebab MDS yang pasti belum diketahui. Studi epidemiologi menunjukkan pemaparan terhadap bahan kimia: MDS dihubungkan dengan benzen, halogenated hydrocarbon, hidrogen peroksida serta pemaparan terhadap sinar gama, thorium dan radium. Penelitian di Inggris8 menunjukkan pemaparan terhadap dental X-ray memberikan risiko 1,85 dan radioterapi memberi risiko 1,89. Pemaparan terhadap kemoterapi rernyara menimbulkan apa yang disebut therapy related MDS (t-MD$, y".rg bersama dengan tAML merupakan hal yang paling ditakuti setelah pengobatan kanker. Kemoterapi yang paling sering dituduh adalah alkylating agent (siHofosfamid, melphalan) dan DNA topoisomerase II inhibitor (Ara-C, teniposid, etoposid). Pemaparan terhadap radioterapi juga dicurigai tetapi dengan risiko lebih rendah. Masa laten anrara pema- paran sampai timbulnya MDS adalah 4-5 tahun.r' Thrrn11y related MDS lebih sering disertai kelainan sitogenetik, yaitu delesi atau'/lss kromosom 5 dan 7 setelah alhylating /xgent, sefia balanced trans/ocation yang mengenai band 3q26, Ilq23, dan 21q22 setelah pemakaian inhibitor tropoisomease II.r Frekuensi Bentuk-Bentuk Klinik MDS FAB membagi MDS atas 5 kategori: RA (refactory anemia), RARS (refactory anemia utith ringed sideroblast), RALB (refractoty anemin with excess blast), R-\EB-I (refactory anemia witb excess blast in trans- formation), dan CMML (chronic myelomonocytic leukemlal.ts Frekuensi jenis-jenis MDS menurut klasifikasi FAB di negara Bar-at ataupun di Indonesia dapat dilihat pada tabel 9-15. Laporan penelitian mengenai frekuensi MDS di Indonesia masih jarang dijumpai. Perbedaan dalam angka-angka yang dijunipai dapat disebabkan oleh perhatian dan fasilitas diagnosis yang l-rerbcda. Misalnya, di Denpasar, tidak dijumpai RARS karena fasilitas peng€catan besi sumsum tulang belum tersedia. Leukemia dan Pengaktt Mieloproliferatif 159 Tabel 9-15 Distribusi |enis MDS Menurut Klasifikasi FAB Jenis MDS Di negara Baratle Surabaya2l RA 25% RARS RAEB RAEB-t 15o/o CMML 35% 15% 10% Denpasarl2 29% 5B% 38% 29% 105% 29Yo 2,50 Klasifikasi MDS Pada tahun 1976, FABI7 (French American British group) membuat klasifikasi leukemia akut, yang memasukkan juga sindrom mielodisplastik sebagai diagnosis diferensial, yaitu untuk kasus dengan Per- jalanan penyakit yang lebih lambat dan terjadi pada umur yang lebih tua. Kasus ini disebut sebagai dysmyelopietic syndrome arau myelodysplastic syndrome. Kemudian pada tahun 1982, FAB18 membuat klasifikasi khusus untuk sindrom mielodisplastik yang diterima secara luas sampai saat ini. FAB membagi MDS menjadi 5 kategori (tabel 9-15) berdasarkan jumlah blast dalam darah tepi dan sumsum tulang, jumlah monosit dalam darah tepi, serta jumlah ringed sideroblast dalam sumsum tulang. MDS yang timbul setelah kemoterapi mempunyai gambaran klinik yang sama dengan MDS de nouo, tetapi mempunyai perbedaan dalam Tabel 9-15 Klasifikasi MDS Menurut FAB18 1. Refractory anemia (RA) 2.Refractory anemia with ringed stderob/asf (RARS) 3.Refractory anemia wifh excess blasl (RAEB) 4.Chronic myelomonocytic leukemia (CMML) 5. Refractory anemia with excess blast "in transformation" (RAEBa) 160 Hematologi Klinik Ringkas gambaran sitogenedk dan prognosis karena ada yang menggolongkannya sebagai bentuk tersendiri: therapy rekted MDS (I-MDS). t'a'le Uraian mengenai bentuk-bentuk MDS sesuai dengan klasifikasi FAB disampaikan di bawah ini. Refractory Anemia (RA) Pada RA dijumpai sitopenia, paling sedikit pada satu turunan sel (cell lineag), pada umumnya pada seri eritroid. Sumsum tulang hiperseluler arau normoseluler dengan perubahan displastik ter, utama pada sistem eritroid, sistem granulosit dan megakariosit mengalami perubahan displastik dalam derajar yang lebih ringan. Blast dalam darah tepi <lo/o dan dalam sumsum tulang .5o/o.t'te Refractory Anemia with Ring SrUerob/asf (RARS) Pada RARS dijumpai sitopenia (hampir selalu disertai anemia), per- ubahan displastik, jumlah blast seperti pada RA. Ringed sideroblast dijumpai >l5o/o dari sel eritroid berinti dalam sums,r^ t,rla.,g.1'te Refractory Anemia with Excess B/asf (RAEB) Pada RAEB dijumpai sitopenia dari dua atau lebih turunan sel (cell lineag) pada darah tepi. Perubahan displastik pada kedga lineage dalam sumsum tulang lebih nyata. Blast darah tepi <5o/o dan dalam sumsum tulang antara 5-20o/o.1'r9 Chronic Myelomonocytic Leukemia (CMML) Pada CMML dijumpai monositosis pada darah tepi (monosit >l 10e per liter). Blast dalam darah tepi sum tulang blast sampai dengan x <5o/o, sedangkan dalam sum- 20o/o.t'19 Refractory Anemia with Excess Blasf rn T ra n sf o rm ati o n ( RA E B -t) Pada RAEB-I gambaran hematologik sama dengan RAEB, tetapi blast darah rcpi >5o/o atau blast dalam sumsum tulang 2l sampai 30o/o arau adanya Auer rod pada sel bl"st.l'le Klasifikasi MDS Menurut WHO \7HO16 pada tahun 2001 membuar klasifikasi MDS yang lebih detail yang mungkin mempunyai hubungan lebih baik dengan Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 161 prognosis. Klasifikasi MDS menurut\7HO dapat dilihat pada tabel 9-r7. Kelainan darah tepi dan sumsum tulang pada berbagai jenis MDS menurut klasifikasi '!?HO dapat dilihat pada tabel 9-18. Tabel 9-17 Klasifikasi MDS Menurut WHO16 1. Refractory anemia (RA) 2.Refractory anemia with ringed slderoblasf (RARS) 3. Refractory cytopenia with muttitineage dysplasia (RCMD) 4.Refractory anemia wth excess b/asf 1 (RAEB-1) S.Refractory anemia with excess b/ast - 2 (RAEB-2) 6. Myelodysplastic syndrome u nclassified (MD S-U) 7.MDS associated with del(Sq) - Perbedaan Klasifikasi MDS Menurut FAB dan WHO Sebetulnya tidak terdapat perbedaan yang bermakna berdasarkan klasifikasi FAB dengan'WHO, tetapi klasifikasi \X/HO dimodifikasi untuk lebih menajamkan prognosis, yait,r:t6'20 a. \fHO memasukkan refactory cltopenia sebagai salah satu kategori MDS karena dalam kenyataannya ada kasus-kasus MDS tanpa disertai anemia sehingga tidak dapat dimasukkan dalam klasifikasi FAB. b. FAB memakai istilah RAIB dan RAEB-I, sedangkan WHO memakai istilah RAEB-I dan RAEB-2 dengan titik pemilah jumlah blast yang sedikit berbeda. c. \f-HO memasukkan satu kategori baru MDS associated with del(5q), di klinik dikenal sebagai 5q-slndrome yang mempunyai prognosis yang sangat baik. Beberapa Permasalahan dalam Klasifikasi FAB ini adalah:r a. Mengenai nama anemia refrakter masih menjadi perdebatan, karena anemia yang tidak reponsif pada pengobatan tidak dapat ditentukan sebelum pengobatan diberikan dan tidak dapat ditentukan secara morfologik. Anemia tidak selalu menjadi komponen MDS karena ada yang mengusulkan nama"refractzry cltzPenia". 162 HematoLogi Klinik Ringkas Tabel 9-18 Kelainan Darah Tepi dan Sumsum Tulang pada MDS Menurut Ktasifikasi WHO16 Jenis MDS Refractory anemia (RA) Darah tepi Sumsum tulang Anemia No or rare blast Erythroid dysplasia only < 5% blast < 15% ringed siderob/asf Refractory anemia with Anemia 215% ringed ringed sideroblast sideroblast No b/asf Erythroid dysplasia only < 5% blast Refractory cytopenia with Cytopenias (bicyto-Dysplasia in > 1A% of multilineage dysplasia penia/ pancyto- the celts in two or more and ringed siderob/ast penia) myeloid cetl lines (RCMD-RS) No or rare blast >15% ringed sideroblast (RARS) Refractory anemia with No Auer rods < 5To blasts Cytopenias No Auer rods lJnitineage or multifineage dysplasia excess btast-l (RAEB-I) < 5%o blasts y?it7;,:"::,. 5-9% blasts No Auer rods cytes Refractory anemia with Cytopenias excess blast-2 (RAEB-Z) G19% blasts Auer rods + Unilineage or multilineage dysplasia 10-19% blasts Auer rods + Myelodysplastic syndromeUnclassified (MDS-U) MDS associated with isolated del (5q) Cytopenia Unilineage dysptasia: one myeloid cell line No or rare blasts No Auer rods Anemia lJsually normal < 5% blast No Auer rods Normal to increased megakaryocytes with or increased hypolobulated nuclei platelet < 5%o blasts lsolated del(5q) cytoge <5%o blasts netic abnormality No Auer rods Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 163 b. Masalah kedua adalah mengenai kontroversi memasukkan CMML ke dalam MDS. CMML meskipun menunjukkan tandatanda displasia, tetapi lebih sering menunjukkan tanda-tanda mieloproliferatif: splenomegali dan leukositosis sehingga lebih tepat jika dimasukkan dalam MPD (myeloproliferatiue disorder). c. Masalah lain, seperti halnya pada setiap klasifikasi penyakit yang harus membuat perbatasan dari suatu " continuum" sebuah penyakit, adalah"bersifat arbitrer. Mengambil angka blast 300/o sebagai perbatasan adalah hal yang secara biologik inkonsisten. 'S7HO menganggap angka 20o/o lebih tepat. Meskipun dengan segala kelemahannya, klasifikasi MDS diterima secara luas karena merupakan "bench marh" dalam diagnosis dan merupakan petunjuk kasar unruk prognosis.l Aspek Biologi Asal-Usul Sel Neoplastik pada MDS Sifat monoklonalitas MDS telah dibuktikan melalui penelitian iso- ensim G6PD, analisis sitogenetik, atau penelitian lromosom dengan teknik yang lebih maju, yaitu FISH ffluorescent in situ hybridization), penelitian RJLP (restriction fagment length polymorphism) dengan Xlinhed restriction DNA. Transformasi neoplastik terjadi pada tingkat sel induk mieloid (CFU-GEMM) karena transformasi ke arah leukemia selalu menjadi AML belum pernah dilaporkan menjadi ALL. Di samping itu, petanda sitogenetik hanya dijumpai pada sel turunan mieloid (granulosit, eritroid, megakariosit, monosit), tidak pada turunan limfoid. Biarpun demikian, pernah dilaporkan pada limfosit-T, tetapi sangat jarang.l'6 Aspek Sitogenetik Kelainan kromosom (haryotype) sangat sering dijumpai pada kasus MDS dan mempunyai arti penting dalam hubungan dengan patobiologi, diagnosis dan prognosis MDS. Kelainan kromosom tunggal atau multipel dapat dijumpai sena dapat mengalami perubahan lebih lanjut selama perjalanan penyakit. Kelainan sitogenetik klonal dijumpai 164 Hematologi Klinik Ringkas pada 30-50o/o MDS de nouo, dan pada lebih dari 807o kasus MDS 6''o P"d" I-MDS kelainan sekunder (therapy related-MDS=t-MDS).1 kromosom lebih sering bersifat kompleks, mengenai 3 atau lebih kromosom.2o K.I"i.r"., sitogenetik pada MDS dapat berupa, seperti: l. Hilangnya (delesi) sebagian atau seluruh kromosom, terutama kromosom 5(-515q-), kromosom kromosom X 7 (-717q-), kromosom 20, atau Y. 2. 3. Penambahan (duplikasi) jumlah kromosom, misalnya nisomy B. Balanced translocation jarang dijumpai, jauh lebih jarang dibandingkan dengan pada AML. Insiden kelainan kromosom pada MDS de nouo dapat dilihat pada tabel 9-19. Hubungan antara kelainan sitogenetik dengan jenis MDS (menurut klasifikasi FAB) masih belum jelas. Kecuali 5q- yang khas dijumpai pada RA, kelainan sitogenetik terdistribusi hampir merata pada seluruh MDS. Beberapa bentuk klinik yang khas dijumpai pada kelainan sitogenetik tertentu dapat dijumpai pada tabel 9-20. Tabel 9-19 Kelainan Sitogenetik yang Paling Sering Diiumpai pada MDSl'1e'20 Abnormalitas Kromosom Frekuensi(%) nterstitiat alau terminal deletion Del 5q Del 7q Del 20q 20 20-1 0- I 3-5 Chromosome deletion Del (7) Del(Y) Del (17) 1 0-50. 3-1 0. 3-17* Chromosome duplication A 10-1s Translocation t(3,3) atau inv 3 (5,17) atau t(7,17) 2-8%) Insomy 2-6 *angka yang lebih tinggi menunjukkan frekuensi pada I-MDS Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 165 Sindrom 5q-(the 5q- syndromr) penama kali dilaporkan oleh van den Berghe et al pada tahun 1974, merupakan bentuk klinik yang khas. Lebih sering dijumpai pada perempuan (70o/o1, dijumpai anemia makrositik refrakter, nerropenia jarang ditemukan atau hanya ringan saja, trombosit sering normal atau meningkat, dan dijumpai mikromegakriosit-nonlobulated pada sumsum tulang. Perjalanan penyakit lebih ringan dengan angka transformasi menjadi leukemia rendah (<10%o).1'20 Kelainan sitogenetik yang khas sangar membantu diagnosis MDS dengan bentuk-bentuk yang tidak tipikal seperti hypoplastic MDS atau MDS dengan mielofibrosis. Kelainan sitogen*tik juga sangat menentukan prognosis penderita MDS di samping jumlah blast dalam sumsum tulang, seperri dapat kita lihat pada International Prognostic Scoring System for Myelodysplastic Syndrome. t'20 Tabel 9-20 Beberapa Bentuk Kelainan Sitogenetik yang Khas20 (Cy t o geneti cally D efine d Sy n dr o m e) Kelainan Sitogenetik Gambaran Klinikopatologi Deletion 5q31 (5q) RA (5q-syndrome) Deletion 17p Pelgeroid neutrophils dengan vakuolisasi sitoplasma Monosomi T Abnormal3q26 (EVl-1) Disfungsi netrofil Trombositosis dengan megakariosit displastik Abnormal 12p CMML atau RAEB Deletion 20q RA dengan prognosis baik Kelainan Hematopoesis Pada percobaan in vitro (in uitro cbnogenic assa) dr1umpai bahwa kapasitas pembentukan koloni dari sel induk hematopoetik (CFU-GEMM, BFU-E, CFU-E, CFU-GM, CFU-Mk) sangat menurun, sesuatu hal yang juga dijumpai pada kasus AML. Kemampuan pembentukan klaster juga menurun, disertai gangguan maturasi sel dalam koloni.l'\7 Penelitian awal menunjukkan gangguan marurasi sel disebabkan oleh defek intrinsik dari klon sel neoplastik, sangat mungkin karena 166 Hematologi Klinik Ringkas kinetik sumsum tulang menunjukkan kecepatan divisi sel lebih tinggi dari sel normal. 3H+hymidinr ke dalam DNA menurun jika Kecepatan inkorporasi terjadi transformasi dari MDS ke AML.t Penelitian in vitro (clonogenic assa) menunjukkan gangguan regulasi hemopoetik. Terjadi penurunan produksi ltemopoietic gruuth factors (HGF), seperti GM-CSF, G-CSF, IL-3, M-CSE IL-6, dan respons sel hemopoetik terhadap HGF juga menurun. Akan tetapi, kadar HGF penghambat (inhibitor), seperti: TNF-c, TGF-p, INF-y, MIP-1a meningkat pada kasus MDS.r'20 gangguan transduksi sinyal.l Penelitian Perubahan Molekuler dan Onkogen Perubahan molekuler (molecular euent) pada MDS yang menyebabkan gangguan proliferasi dan maturasi sangat heterogen dan belum diketahui pasti. Kelainan lromosom pada MDS sangat sering dijumpai yang memungkinkan terjadinya zncogene rearr/tngement. Perubahan ini bersifat multistep dengan mutasi sekuensial (sequential mutations) yang pada akhirnya menimbulkan transformasi neoplaspada tingkat feonotipe.l-6'20 Berbagai ekspresi onkogen abnormal dijumpai pada kasus MDS, seperti kelainan N-ras oncogene, turnzr suppressor genes: p53 dan.IRF-I, the antiapoptotic bcl-2 gene, the cell-cycle regulator gene: pIl"n"o, dan the transcription-factor gene: EVII dan MLL.|8 Gen-fms yang mengkode CSFl-receptzr (M-CSF-receptor) dljumpai pada 12-18%o kasus MDS, terutama pada kasus CMML. Famili ras-znclgene yang mengkode GTP-binding proteiz (penting dalam transduksi sinyal) dijumpai pada 3-35o/o kasus MDS, juga terutama pada CMML.T-6'20 tik Mutasi p53 tumor suppresszr gene dljumpai dalam frekuensi rendah pada MDS. Pada MDS sebagian besar kelainan kromosom berupa kehilangan seluruh atau sebagian materi kromosom terutama pada kromosom 5 dan 7, atau gain, seperti pada kromosom 8. Pada keadaan ini dihipotesiskan bahwa yang akan terjadi adalah berkurangnya pengaruh tumor supreiszr genet, berbeda dengan AML di mana kelainan kromosom terutama dalam bentuk balance-translocation sehingga menimbulka n chimeric-onrogrrr.' Pembuktian hipotesis ini masih menunggu penelitian lebih lanjut. Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 167 Apoptosis Qtrogrammed cell dtath) diperkirakan merupakan salah satu mekanisme terjadinya inffictuie hematopoiesis pada MDS. Pe- nelitian menunjukkan meningkatnya apoptosis pada sel sumsum tulang, terutama pada CD34-hematopoietic Precursor rel/ (sel induk yang lebih muda). Apoptosis lebih sering dijumpai pada early MDS (RA dan RARS) dibandingkan dengan RAEB atau RAEB-I. Peningkatan apoptosis pada MDS diperkirakan melalui peranan inhibitory cytokines (seperti TNF-o, IFN-y, dan MIP-1a). Rasio Prl-aPzPtltic zncogen (bcl-2) dengan anti-apzptotic znclgenes (bax, c-myc arau p53) meningkat pada sel-CD34+, dengan demikian diperkirakan akan meningkatkan apoptosis pada MDS.l-6'20 Kelainan Imunologi pada MDS Berbagai kelainan imunologi dapat dijumpai pada kasus MDS, baik kelainan sistem imun humoral ataupun sistem imun seluler. Penderita MDS sangat mudah terkena infeksi, terutama oleh adanya netropenia, tetapi pada kasus dengan angka netrofil normal infeksi juga sering terjadi, hal ini diduga karena kemampuan fagositosis netrofil sangat menurun. Penyakit autoimun juga lebih sering dijumpai pada MDS.l-6'20 Kelainan sistem imun humoral dijumpai berupa hipergamaglobulinemia poliklonal, hipergamaglobulinemia dan gamopati monoklonal. Jumlah limfosit-B normal, tetapi secara fungsional bersifat imatur. Kelainan sistem imun seluler dijumpai dalam bentuk limfopenia sel-T, gangguan fungsi limfosit-T, dan penurunan sel T-helper. Jumlah NK-cells juga menurun diserrai fungsi yang imatur. '-u''u Patogenesis Onkogenesis pada MDS bersifat multistep dimana terjadi proses akumulasi perubahan genetik yang pada akhirnya menuju suatu neo- plasma ganas, setelah sebelumnya melewati fase pre-maligna. Pada fase awal, sel induk normal dan abnormal sama-sama berfungsi, tetapi pada fase selanjutnya klon sel ganas lebih dominan. Kecepatan perubahan menjadi leukemia dan adanya fase preleukemia tergantung pdda mutasi spgsifik sel induk. Penderita dengan balanced cltromosomal translocation, seperti t(15;I7) dan t(8;21) biasanya langsung menuju ouert leukemia, rctapi unbalanced qttogenetic abnormalities 168 Hematologi Klinik Ringkas seperti trisomi atau delesi sebagian atau seluruh kromosom biasanya disertai hematopoesis inefektif dan mielodisplasia sebelum berkembang menjadi ouert leukemia. Balanced translocation akan menimbtrlkan oncogenic chimeric gene, sedangkan delesi menyebabkan kehilangan turnor suPresso, grrr.t Penyebab MDS belum diketahui secara pasri, dan sulit dipisahkan dari penyebab leukemia dan penyakit mieloproliferatif lainnya. Diajukan hipotesis bahwa pengaruh faktor lingkungan, kelainan genetik dan interaksi sel menimbulkan mutasi pada tingkat sel induk sehingga menimbulkan ketidakseimbangan proses proliferasi dan diferensiasi. Variasi perubahan kedua proses ini akan menyebabkan transformasi ke arah leukemia akut, MDS atau penyakit mieloproliferatif (MPD). Oleh karena itu, menjadi sangar rasional kalau terjadi perubahan dari satu bentuk ke bentuk lain (leukemia, MDS atau MPD) pada seorang penderita. Pada MDS terjadi ketidakserasian antara proliferasi dengan diferensiasi, di mana daya proliferasi masih cukup tetapi terjadi gangguan diferensiasi atau maturasi sehingga terjadi hemopoesis inefektif, dengan kematian prematur sel (eritroid, mieloid, megakariosit) dalam sumsum tulang sebelum sempat dilepaskan ke darah tepi. Hal ini berakibat terjadinya sumsum tulang hiperseluler, tetapi terjadi sitopenia pada darah tepi.2o Instabilitas genetik menyebabkan terjadinya perubahan sitogenetik lebih lanjut, perubahan DNA sehingga akan msnuju ke arah transformasi ganas dalam bentuk leukemia akut nonlimfoblastik (ANLL). Faktor-faktor yang menentukan kecepatan transformasi antara lain bentuk MDS berdasarkan klasifikasi FAB, dan kompleksitas kelainan sitogenetik. Manifestasi Klinik Gejala Klinik Gejala klinik MDS pada umumnya dihubungkan dengan anemia, leukopenia, atau trombositopenia. Sebagian kecil bersifat asimtomatik, penderita didiagnosis secara kebetulan pada saat pemeriksaan darah rutin. Sebagian besar penderita berumur lanjut dengan insiden tertinggi pada umur 65-70 tahun, retapi kasus MDS pada umur muda juga dijumpai, bahkan juga dilaporkan MDS pada anak dan Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 169 bayi. Hampir semua penderita (90o/o) disertai anemia dengan keluhan lemah, cepat lelah, dan pusing. Infeksi cukup sering dijumpai pada MDS yang dihubungkan dengan terjadinya netropenia dan penurunan fungsi netrofil. Infeksi merupakan keluhan utama dari 10% kasus dan penyebab kematian pada 2lo/o kasus. Gejala perdarahan mukosa pada MDS disebabkan oleh trombositopenia. Manifestasi perdarahan dijumpai dalam bentuk petechie dan echymosis pada 260/o kasus, atau dalam bentuk epistaksis, perdarahan gusi, dan perdarahan mukosa lainnya. Organomegali kadang-kadang dapat dijumpai pada MDS dalam bentuk splenomegali, hepatomegali atau limfadenopati. Splenomegali merupakan gejala klinik yang cukup sering dijumpai pada CMML (25o/o), sering bersifat masif. Pada kulit dan 14%o kasus dijumpai gejala kelainan autoimun, yang paling sering dalam bentuk cutaneous uasculitis, dan artritis monoartrikul.r.l-6'20 Schumaker dan Nand melaporkan bahwa 90% kasus MDS bersifat simtomatik pada saat dijumpai pertama kali. Simtom y^ng paling sering adalah rasa lelah (B7o/o), berat badan menurun (29o/o), demam 24o/o, dan perdarahan (24Vo). Berat badan menurun lebih sering dijumpai pada CMML, sedangkan perdarahan dan demam lebih banyak pada RAEB dan RA-EB-I. Gejala klinik yang dijumpai berupa petechie dan echymosis (260/o), splenomegali (l7o/o), dan hepatomegali (12o/o). Komplikasi dalam bentdk sepsis dijumpai pada 40%o kasus, dan berupa perdarahan pada 2to/o kasus.2O Kelainan Laboratorium Darah Tepi Kelainan hematologik pada MDS sangat heterogen, tetapi defisiensi kuantitatif saru arau lebih komponen darah tepi selalu terjadi. Sel<nar 50o/o penderita menunjukkan pansitopenia, sebagian lagi dengan bisitopenia, hanya sekitar 5o/o dengan isolated cytopenia atau monositosis.2o Sebagian besar penderita disertai anemia yang bersifat normokromik-normositer atau makrositer. Sebagian penderita menunjukkan anemia berat. Anemia disenai retikulositopenia (aregeneratiue anemia). Leukopenia karena netropenia absolut dijumpai pada sekitar 50-600/o kasus. Seri mieloid muda dapat dijumpai di darah tepi, tetapi dengan blast <50lo. Tiombositopenia dijumpai pada 25-600/o kasus MDS.r-6'20 170 Hematologi Klinik Ringkas Sumsum Tulang Sumsum tulang pada MDS sebagian besar bersifat hiperseluler, tetapi pada sebagian kecil penderita dijumpai sumsum rulang hiposeluler. Disparitas antara sumsum tulang yang hiperseluler dengan darah tepi yang menunjukkan sitopenia merupakan tanda khas dari MDS. Pada preparat histologi hasil biopsi sumsum tulang sering sekali dijumpai abnormal localization of immature precurszrs (ALIP) pada MDS. Di sini dijumpai lebih dari 5 prekursor mieloid mengelompok (clustering) pada bagian sentral sumsum tulang, berbeda dengan orang normal di mana sel prekursor selalu berada pada permukaan endosteal sumsum tulang. 20 Perubahan Displastik pada MDS Pada.MDS perubahan kualitatif sangat menyolok baik dalam darah tepi maupun sumsum tulang yang dikenal sebagai perubahan displastik, yang kemudian menimbulkan terminologi mielodisplasia. Perubahan displastik ini merupakan hall marh dan pengikat bersama (common thread) dari MDS. Perubahan terjadi pada ketiga garis turunan sel (trilineag): eritroid, mieloid, dan megakariosit.z Pada MDS perubahan displastik dijumpai pada lebih dari l0%5 atau lebih dari 20o/o sel berinti dalam sumsu- tulang.2'3 Tid"k "d" keJainan morfologik tunggal yang bersifat diagnostik, tetapi diagnosis hanya dapat dibuat apabila dijumpai kombinasi gambaran displastik pada darah tepi dan sumsum tula.rg.2'3 Perubahan Displastik pada Sistem Eritroid (diseritropoesis) Dalam darah tepi eritrosit bersifat sangat makrositik (MCV>100 fl), tetapi dapat juga normositik, bahkan mikrositik. Pada RARS dijumpai bentuk dimorfik. Dijumpai anisopoikilositosis, kadang-kadang terdapat bentuk abnormal, seperti tear drop cell, ovalositosis atau eliptositosis. Basophilic stippling menunjukkan sisa RNA akibat eritropoesis inefektif. Dapat juga dijumpai normoblast dalam darah tepi dengan inti ireguler (dyshinesis), fragmentasi inti atau perubahan mega lo bl as r oid.z-a'20 Perubahan displastik sistem eritroid dalam sumsum tulang jauh lebih menyolok. Dijumpai normoblast dengan kelainan inti: inti banyak (mubinucbariry), inti dengan benruk aneh (bizane arau missltapen), nuclear dyshinesis, abnnormal dense chromatin, internuclear bridging, Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatlf 171 broad-based nuclear budding. Perubahan sitoplasma dijumpai dalam bentuk: gangguan hemoglobinisasi (ghoxed cytoplasma), punctate basophilia, vakuolisasi sitoplasma, dan Houell-lolly bodies. Sering dijum- pai perubahan megaloblastoid berupa asinkroni inti-sitoplasma, di mana inti masih dengan kromatin yang halus, tetapi sitoplasma menunjukkan maturasi yang sudah jauh. Pada RARS dengan pengecaran biru Prusia (Perl's stain) dijumpai ringed sidzroblast, yaitu bintik siderotik lebih dari lima dan mengelilingi lebih dari sepertiga lingkaran inti. Jumlah sel normoblast berkisar antara 5-50o/o. Jika nucleated red cell dalam sumsum tulang lebih dari 50% dengan lebih dari 30% blast, kasus tersebut dapat digolongkan sebagai eritroleukem'a.1-4'20 Perubahan Displastik pada Sistem Mieloid (disgranulopoesis) Gambaran yang.paling khas adalah hipogranulasi dan hiposegmentasi n€tibfil. Netrofil hipogranuler dengan lobus inti dua, arau kadangkadang satu disebut sebagai anomali pseudo Pelger-Huet, atau acquired Pelger-Huet anomaly. Kromatin sering menggumpal dengan fragmentasi inti, nuclear stich, atau dijumpai sel dengan inti seperti cincin. Kadang-kadang dijumpai hipersegmentasi netrofil, tetapi jauh lebih jarang dibandingkan dengan hiposegmentasi. Sitoplasma menunjukkan basofilia per3istetrp-ada pinggir sel. Netrofil hipogranuler dan anomali pseudo Pelger-Huet dijumpai pada 92o/o kasus MDS.2'3 Sumsum tulang menunjuklcan peningkatan sel blast, baik tipe I: blast tanpa granula azurofilik, tipe II: blast dengan granula <15 dan tidak dijumpai zona Golgi, atau tipe III: blast dengan >20 granula azurofilik. Juga dijumpai anomali pseudo Pelger-Huet, ind berbentuk cincin, hipogranulasi, hipersegmentasi, atau sel dengan sitoplasma sangar basofil.2'J Perubahan Displastik pada Sistem Megakariosit Dalam darah tepi dijumpai trombosit hipogranuler atau hipergranuler, atau trombosit raksasa (giant platele,t). Dalam sumsum tulang jumlah megakariosit sering normal tetapi menunjukkan perubahan morfologi yang sangat khas: mikromegakariosit (duarf form), dapat juga dijumpai megakariosit besar dengan hiperlobulasi inti, megakariosit berinti satu dan nonbbukted, megakiriosit dengan inti banyak dan terpisah. Kelainan megakariosit dijumpai pada 50o/o kasus MDS. 172 Hematologi Ktinik Ringkas Dengan teknik antibodi terhadap glikoprotein trombosit didapatkan bahwa lebih dari 25o/o megakariosit pada MDS merupakan mikromegakariosit, berbeda dengan orang. normal yang hanya dijumpai < l5o/o. Menurut Kuriyama et al, kombinasi mikromegaka- riosit dan anomaii pseudo Pelger-Huet merupakan petanda displastik yang paling khas pada MDS.20 Ringkasan gambaran displastik yang dapat dijumpai pada darah tepi dan sumsum tulang dapat dilihat pada tabel 9-21. Tabel 9-21 Perubahan Displastik Darah Tepi dan Sumsum Tulang pada MDS20 Lineage Darah Eritroid Ovalosit Eliptosit Akantosit Stomatosit Tear drop cell Eritrosit berinti Basophilic stippling Howell-Jolly bodles Mieloid Pseudo tepi -Pelger-Huet anomaly Batang Auer Hipogranulasi Nuc/ear stlcks Hipersegmentasi Sumsum tulang Perubahan megaloblastoid -- -- - Nuctear nuAiii6- Ringed sideroblast lnternuclear bridging Karyorrhexis Fragmen inti Vakuolisasi sitoplasma Multinucteation Defective granulation (hipogranulasi) Uari"tion irntt ut myetocyte sfage gentut monositoid meningkat ALIP lnti bentuk cincin Megakariosit Giant ptatelets atau Hipogranular Trombosit agranuler Mikromegakariosit Hipogranulasi Muttiple small nuclei Penilaian Hasil Biopsi Sumsum Tulang Biopsi vefin (trephine biopsy) sumsum tulang merupakan prosedur standar yang perlu dikerjakan pada MDS. Hal ini berguna untuk mendapatkan spesimen yang cukup rerutama pada sumsum tulang yang mengalami fibrosis dan pada MDS hipoplastik. Pengecaran Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 173 retikulin pada hasil biopsi sumsum rulang sangat penring dalam menilai tingkat fibrosis sumsum tulapg. Selularitas dan distribusi sel sumsum tulang dapat dinilai lebih baik dari pemeriksaan histopatologi setelah biopsi. Pada MDS terjadi apa yang disebut abnormal hcalization of immature mleloid precursor (ALIP). Pada orang normal prekursor mieloid selalu berada pada permukaan periosteal .sumsum tulang (perifer), tidak pada bagian sentral sumsum tulang. Jika dijumpai prekursor mieloid lebih dari 5 sel mengumpul pada bagian tengah sumsum tulang, disebut sebagai ALIP AIIP hampir selalu dijumpai pada MDS dengan aspirasi sumsum tulang yang menunjukkan sel blast >5o/o. Pada kasus dengan blast <5% peran diagnosdk AIIP menjadi sangar pentin!.4 ALIP perlu dibedakan dengan pseudo-AllP yang merupakan agregat sel eritroid dan megakariosit pada bagian sentral sumsum tulang. Nilai prognostik ALIP masih kontroversial.5 Pemeriksaan Laboratorium untuk Diagnosis MDS Pemeriksaan apusan darah tepi dan sumsum tulang dengan pewarnaan standar (Romanowslqy: 'Wright atau Giemsa) dan pewarnaan biru prusia rnerupakan pemerilsaan paling penting pada MDS. Jika dilakukan dengan baik, akan dapat mendiagnosis sebagian besar kasus MDS. Dalam suatu penelitian 28 kasus MDS dengan pemeriksaan apusan dan biopsi sumsum tulang oleh suatu panel peneliti, didapatkan hasil konkordan pada 24 kasus.5 Pemeriksaan sitokemistri dapat membantu mengidendfikasi jenis sel blast yang dijumpai. Pengecatan dengan peroksidase dan Sudan black dapat memastikan sel mieloid, sedangkan pengecaran dengan esterase nonspesifik sangar penting untuk menentukan seri monosit. Pemeriksaan imunofenotiping dapat dilakukan unruk menetukan seri mieloid (CDl3, CDI4 dan peroksidase). Pemeriksaan imunologi ini kadang-kadang perlu dikerjakan untuk membedakan duarf micromegaharyocyte dengan limfoblast L2. Pemakaian antibodi antipktelet glycoprotein (CD41 atau CD6l) akan sangat membantu. Penentuan seri eritroid dilakukan memakai antibodi anti-glycophorin A. Pada MDS pemeriksaan sitokimia dan imunofenotiping tidak sepenting, seperti pada leukemia akut.5 1.74 Hematologi Klinik Ringkas Pemeriksaan sitogenetik sangat penting pada MDS. Pemeriksaan ini sangat rRembantu pada kasus-kasus sulit, seperti pada MDS hipoplastik atau MDS dengan fibrosis. Hasil pemeriksaan sitogenetik ternyata merupakan pararrreter prognosdk yang sangat penting. Diagnosis Langkah diagnosis MDS adalah sebagai berikut:l'20 l. Diagnosis MDS sangat dicurigai apabila dijumpai gejala klinik yang sesuai, terutama pada orang tua (meskipun MDS dapat dijumpai pada semua umur), yang disertai sitopenia (anemia, leukopenia, trombositopenia) persisten atau monositosis yang tidak dapat diterangkan (unexplained) 2. Kemudian dilakukan pemerilsaan teliti terhadap apusan darah tepi dan sumsum tulang untuk mencari tanda-tanda displastik (lihat tabel 9-21). 3. Jika dijumpai tanda displastik pada satu atau lebih lineage, penyebab displasia di luar MDS harus disingkirkan (dengan 4. anamnesis, pemeriksaan klinik, laboratorium, atau pemeriksaan lain). Penyebab displasia di luar MDS adalah: defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, infeksi virus, seperti infeksi HIV pemakaian antibiotika tertentu, agen kemoterapi, etanol, benzene, atau timah hitam. Apabila penyebab-penyebab ini telah dapat disingkirkan, diagnosis MDS sudah dapat ditetapkan. Langkah selanjutnya ialah melakukan klasifikasi menurut FAB (lihat tabel 9-22). 5. 6. Jika fasilitas tersedia pemeriksaan, sitogenetik dikerjakan untuk menilai prognosis. Pemeriksaan sitogenetik sangat dibutuhkan untuk kasus MDS yang diagnosisnya tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan rutin, seperti MDS hipolastik atau MDS dengan fibrosis. Pemeriksaan sitokemistri, imunofenotiping, imunokemistri, pemeriksaan onkogen, dan kultur jaringan (tissue culture) dapat membantu diagnosis, teapi secara rutin tidak selalu diperlukan. Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 175 Tabelg-22 Diagnosis MDS Sesuai Klasifikasi FABIe Klasifikasi RA F,AB: ::, Darah tepi Sumsum tulang ,.,, , Anemia:dan,,' ..,.BlaSt'<19%., . ' l', .'f 1.jytonos'rt,< Ix:1 RARS iri r Blast < 5%, rlnged slder+ , rr,.. I 091!,,,,,,,,. :,,lAhemia dan', ' : rBlast,.il% ", . btast 315o/o dari ritroblast ..... ::. :: .. ... . ... Blast <:s"2", rintged sideroblast >15o/o dari ritroblast : rt'*Ono"'a at'i.10e/l '..-,...':..1:,., RAEB , '' Anemja ataU 1, ,,.::'i.': Blast > 5%, tetapi< 20% Blast:!17o.tapi < 57o' .:,,. CMML ' ,.:... rr...r.1 -- : 1}efi', .. : ,:.:,ygn6s*:!,'l:X 1Qe/l'... .Granuloaif:sering t 81as1,1,57-oii ,, Blast sampai dengan 20% :l Blast > 1'o/o,tapi <SYo Blast > 207o tetapi < 30% nromonos t,, derir'ro t :r r' ,,, RAEB-t x MonoSit,<t a :. lr,,atau ' .::' : r'. i. , A,uel rbd pada dar:ah .,,, :,. :rr'.r t9pi .:, i ., -,,,,i,,::... . ...,,.,,.,.,.,,.,,,.,,,,, ., at€iur.,SUmSUm irtUlang . Diagnosis Diferensial Beberapa penyakit yang menyerupai MDS yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis diferensial adalah: 1. Anemia aplastik Anemia aplastik menyerupai MDS karena sama-sarna menunjukkan bisitopenia atau pansitopenia. Secara klinis anemia aplastik tidak pernah disenai organomegali. Secara definitif dapat dibedakan dengan pemerilsaan sumsum tulang. Anemia aplastik menunjukkan sumsum tulang hiposeluler (selularitas <1,0o/o), sedangkan MDS menunjukkan sumsum tulang hiperseluler atau 176 . 2. 3. Hematologi Ktinik Ringkas normoseluler. Pada anemia aplastik tidak dijumpai tanda-tanda displastik pada darah tepi atau sumsum tulang.' Anemia aplastik sangat sulit dibedakan dengan MDS hipo-plastik. Di sini diperlukan pemeriksaan biopsi sumsum tulang dengan spesimen cukup, dimana fokus utama untuk mencari tanda-tanda displastik dan adanya ALIP pada MDS. Pemeriksaan sitogenetik juga akan sangat membanru. Penyakit mieloproliferatif CMML sering sulit dibedakan dengan penyakit mieloproli- feratif (terutama CML atipik) karena adanya leukositosis (monositosis) dan splenomegali. Pemeriksaan sitogenetik untuk mencari kromosom Philadelphia atau pemeriksaan untuk mendeteksi onkogen abl dan bcr akan sangar membantu. MDS dan AML Secara diagnostik MDS dengan AML hanya dibedakan dari presentase blast dalam darah tepi (.5o/o1 dan sumsum tulang (< 30o/o). Pada kasus-kasus perbatasan sering kedua keadaan ini sulit dibedakan. Bentuk AML-M6 paling sulit dibedakan dengan MDS. Pada AML-M6 dijumpai prekursor eritroid (eritroblast) >50o/o dari sel-sel sumsum tulang dengan mieloblast >30o/o dari elemen 4. noneritroid.6'20 Mielodisplasia pada infeksi HIV Pada infeksi HIV dijumpai gambaran displastik pada darah tepi dan sumsum tulang, yaitu diseritropoerik 56%, dismegakariositik 31% dan disgranulopoetik 1B%o. Secara morfologik sangar menyerupai MDS, tetapi sampai saat ini mielodisplasia pada infeksi HIV belum pernah dilaporkan mengalami transformasi ke arah AML. Mekanisme perubahan displastik ini belum diketahui pasti, diperkirakan karena pengaruh langsung virus HIV akibat infeksi oportunistik, atau pengaruh obat, sepertl AZT. HIV dapat dibedakan dengan MDS karena terjadi pada umur relatif lebih muda, dijumpai tanda klinis AIDS yang khas (penurunan berat tradan, limfadenopati, atau Kaposi's sarcotntt, dan lainlain), pemeriksaan untuk deteksi virus HIV positif.2'6'20 Mielodisplasia pada Leukemia dan Pengakit Mieloprotiferatif 177 Varian Klinik MDS l. Sindrom 5q-(5q-$,ndrome) Sindrom 5q- pertama kali dikemukakan oleh Van den Berghe et al pada ahun 7974, yang terdiri atas anemia refrakter, pada umumnya makrositer, jumlah leukosit normal arau sedikit menurun, trombosit normal atau meningkat, serta mikromegakariosit hipolobus meningkat dalam sumsum tulang. Pada pemeriksaan sitogenetik dijumpai isolated deletion lengan panlang (l) kromosom no. 5 (del5q atau 5q). Lebih sering dijumpai pada wanita di atas umur 65 tahun. Ketahanan hidup penderita panjang dan angka transformasi menjadi AML hanya 15-25o/o.t'a'20 Kromosom 5 mengandung banyak onkogen yang mengatur sitokin dan reseptor sitokin, serta tumor su?lessor gen. Bagaimana hubungan antara kelainan gen dengan perubahan klinis yang timbul masih belum jelas. MDS dengan del5q tetapi disertai dengan perubahan kromosom kompleks lainnya maka tidak dapat disebut sebagai sindrom 5q-karena sifatnya sama dengan MDS lainnya.l hipoplastik 2. MDS Meskipun sebagian besar MDS disertai sumsum tulang hiperseluler atau normoseluler, sekitar l0-15o/o kasus MDS disertai sumsum tulang hiposeluler. Suatu MDS dinyatakan hiposeluler jika selularitas sumsum tulang kurang dari 25-30o/o, tetapi untuk umur di atas 60 tahun jika selularitas kurang dari 20%. Kasus MDS hipoplastik sangat sulit dibedakan dengan anemia aplastik. Untuk diagnostik sangat diperlukan pemeriksaan histopatologi sumsum tulang dari hasil biopsi trefin sehingga jumlah sel yang diperiksa cukup banyak. Grpenting adalah ditemukannya tanda-tanda displastik pada darah tepi dan sumsum tulang atau adanya ALIP Pemeriksaan sitogenetik harus dikerjakan, dengan ditemukannya kelainan sitogenetik yang lazim pada MDS akan dapat mengkomfirmasi diagnosis. Sebagian besar kasus tergolong pada klasifikasi RA atau RAEB. Perjalanan penyakit MDS hipoplastik hampir sama dengan MDS pada *-trrnny*.t'6'to 178 3. Hematologi Ktintk Ringkas MDS dengan fibrosis sumsum tulang. Fibrosis sumsum tulang (mielofibrosis) ditunjukkan oleh meningkatnya serabut retikulin pada pengecatan dengan impregnasi perak. Fibrosis sedang (mild) dljumpai pada 500/o kasus MDS, dan fibrosis berat pada sekitar l5% kasus. Pada therapyrelated MDS kejadian fibrosis lebih tinggi, fibrosis berat pada 50% kasus dan fibrosis sedang pada 80% k"rrrr. t'4'6'to MDS dengan fibrosis ditandai oleh adanya sitopenia (bi atau pansitopenia) ranpa organomegali mencolok, eritrosit menunjukkan anisopoikilositosis, sumsum tulang disertai fibrosis, trilineage displasia, jumlah megakariosit atipikal dengan hipolobus meningkat, dan blast dalam sumsum tulang meningkat.l'4'6,20 Diagnosis diferensial MDS yang disertai fibrosis dengan penyakit mieloproliferatif sering sulit sekali. Kasus ini perlu dibedakan dengan mielofibrosis primer (myelofbrosis ruith myeloid metap las i a=\/tly114), p o s t-p o $ ryt b e m ia u e ra m7 e lof b ro s is, dan leukemia megakariositik akut (AML-M7). MMM pada umumnya menunjukkan splenomegali berat, leukositosis berat, gambaran leukoeritroblastik,," hematopoesis ekstrameduler dan sumsum tulang mengalami fibrosis, sedangkan sel blast tidak terlalu menonjol. Untuk membedakan dengan AML-MZ diperlukan pengecaran imunohistokimia dengan antibodi anti-faktor MII, alav platelet -specrfic glycoproteins 4. MDS pada anak IIB/IIIA (CD 411.t'a'e'zo Frekuensi MDS pada anak jauh lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa arau orang tua. Sejak tahun 1985 sampai tahun 1990 dilaporkan sebanyak 50 kasus.r'2 Gambaran kliniknya sama dengan MDS pada orang dewasa, hanya lebih banyak yang simtomatik dengan anemia, febris, dan perdarahan, tidak pernah dijumpai bentuk RARS serra presentase rransformasi ke AML lebih besar, sekitar 40o/o.2 5. Therapy--related MDS Therapy-related MDS (I-MDS), atau MDS sekunder, seperti halnya I-AML telah menjadi masalah klinik yang semakin penting karena meningkatnya pemakaian radiasi dan kemoterapi pada tumor ganas, harapan hidup pascaterapi menjadi lebih panjang, Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 179 serta meningkatnya polusi bahan kimia dari lingkungan.6 Kelainan kromosom pada I-MDS dijumpai lebih tinggi dan lebih kompleks. Kromosom yang paling sering terkena adalah kromosom 5 dan 7.6 Kemorerapi alkylating agent lebrh sering menimbulkan kelainan kromosom 5 dan 7, pada MDS setelah ' pemaparan benzen lebih sering dijumpai trisomi 9, sedangkan kemoterapi topoisomerase-II inhibitor (seperti antrasiklin atau epipodophylhtoxin) menimbulkan translokasi yang melibatkan kromosom 3q26, Ilq23, ariu 2Iq22.1'6 I-MDS lebih sulit dimasukkan dalam klasifikasi FAB sehingga ada yang menggolongkannya sebagai bentuk tersendiri di luar FAB. Sebagai contoh, meskipun blast < 5o/o, tetapi tanda displastik pada seri eritroid, megakariosit dan monosit mencolok, serta tidak ada sel yang dominan maka bentuk seperti ini sulit dimasukkan dalam Salah satu bentuk FAB.2'3 Sumsum tulang pada I-MDS lebih sering disertai fibrosis. Kelainan sitogenetik yang lebih kompleks pada I-MDS membawa konsekuensi prognostik yang lebih buruk.l 6. Unclassified MDS Sebagian kasus MDS menunjukkan displasia trilineage yang berat tetapi jumlah blast dalam darah tepi atau sumsum tulang belum memenuhi kriteria salah satu bentuk klasifikasi FAB sehingga sulit dimasukkan dalam penggolongan tersebut. Kasus, seperti ini tidak dapat disebut sebagai RA atau RARS karena pada kedua bentuk ini displasia pada seri granulosit dan megakariosit harusnya minimal. Oleh karena itu, beberapa peneliti menyebutnya sebagai unclassifed-MDS (u-MDS). Ada juga yang menyebutnya sebagai anemia refrakter dengan displasia (refactoyanemia uith dysplasia-RAD). Prognosis kasus ini lebih buruk dari RA atau RARS, lebih menyerupai RAEB.a'2o Prognosis MDS adalah kumpulan beberapa penyakit dengan berbagai perangai biologik yang berbeda-beda sehingga prognosis MDS sangat bervariasi. Banyak studi yang telah dilakukan untuk dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dengan prognosis dan harapan hidup penderita MDS. Faktor yang telah dianalisis antara lain: klasifikasi FAB, 180 . Hematotogi Klinik Ringkas umur, jenis kelamin, kadar hemoglobin, jumlah nerrofil, jumlah trombosit, jumlah monosir, adanya sel muda (bkst) dalam sirkulasi, perubahan displastik dari sumsum tulang, prosenrase sel blast dalam sumsum tufalg, sitogenetik, kultur dari sumsum tulang dan lain sebagainy^.t-n''o Parameter Klinik Umur yang lebih tua terbulri mempunyai prognosis yang lebih jelek. Tiicot et al. melaporkan dari total 851 penderita yang dievaluasi, umur tua merupakan salah satu faktor prognosis, di samping sitopenia, blast dalam sumsum tulang, sitogenetik dan kultur sumsum tulang. Penderita yang berumur <50 tahun lebih sedikit yang meninggal dibandingkan dengan penderita yang merumur >70 tahun akan tetapi prosentase penderita yang mengalami transformasi leukemia sama pada semua golongan u*.r.. l-6'2u Parameter Darah Tepi Banyak studi yang mengakui nilai prognosis dari kadar hemoglobin, jumlah netrofil dan jumlah trombosit. Makin tinggi derajat sitopenianya makin buruk prognosisnya. Kadar trombosit mempunyai indeks prognosis yang lebih kuat dibandingkan dengan kadar he, moglobin dan netrofil. Pada kasus CMML, lekositosis rernyara menunjukkan prognosis yang jelek. Garcia'et al juga mendapatkan eritroblast pada darah tepi mempunyai hubungan yang signifikan dengan survival pada penderita SMD. Coiffer et al. dan Seigneurin et al mendapatkan jumlah sel blast >5o/o pada darah tepi mempunyai korelasi dengan prognosis yang jelek. 1'20 Parameter Sumsum Tulang Sejak pertama diajukan, klasifikasi FAB terbukti dan diterima oleh banyak senter sebagai salah satu faktor yang mempunyai nilai prognosis yang sangar kuat dan bahkan sebagai saru-sarunya faktor pre- diksi akan adanya perubahan ke arah transformasi leukemia.l'a'20 Survival penderita secara bermakna akan berkurang dengan meningkatnya jumlah sel muda (blast). Penderita RA dan RARS menunjukkan survival yang lebih baik kalau dibandingkan dengan RAEB dan Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 181 RAEB-I, sedangkan penderita CMML mempunyai survival yang terletak di antaranya. .Thicot et al. dan Valespi et al mendapatkan survival penderita CMML lebih jelek dari RA-EB akan tetapi di sini ternyata penderita CMML rersebut mempunyai jumlah sel blast yang jauh lebih tinggi.a'20 Adanya Auer rods oleh FAB dikategorikan sebagai faktor prognosis yang buruk dan penderita ini dimasukkan sebagai RAEB-I. Studi yang terbaru mendapatkan bahwa Auer rods sendiri tanpa diikuti oleh jumlah sel blast yang banyak tidak terbukti mempunyai nilai prognosis yang lebih jelek dibandingkan dengan jumlah sel blast itu sendiri. Lagi pula dalam salah satu studi penderita RAEB-I dengan Auer rods mempunyai respons terapi yang lebih baik dibandingkan dengan RAEB:-I tanpa Auer rods.z Adanya ALIP (Abnormal Localization of Immature Precursor) pada sediaan biopsi sumsum tulang terbukti mempunyai kaitan dengan prognosis yang buruk dan potensi untuk menjadi leukemia, terutama pada penderita dengan jumlah sel blast yang > 5%o-disertai dengan adanya ALIP Pada penderita RA dan RARS dengan AIIP (+) mempunyai median suruiual yang lebih pendek dibandingkan dengan penderita tanpa AIIP (416 hari berbanding 1465 hari). Berdasarkan perilaku pertumbuhan sel progenitor pada kultur sumsum tulang penderita MDS dapat dibagi menjadi 2, yaitu pertumbuhan dengan pola leukemia dan nonleukemia. Beberapa peneliti mendapatkan penderita dengan pola nonleukemia mempunyai prognosis yang lebih baik dan kecil kemungkinan untuk menjadi leukemia akut bila dibandingkan dengan pola leukemia yang terbentuk bersamaan dengan adanya sel blast yang berlebihan dalam sumsum tulang. Seperti dilaporkan oleh Spitzer et al. bahwa pasien dengan sel blast <5%o mempunyai pola pertumbuhan nonleukemia sebesar 74o/o, sebab,knya pada penderita dengan sel blast >5o/o hanya 260/o dengan pola nonleuk.*i". t-'3'20 Gozolla et al dapat menunjukkan penilaian tingkat eritropoesis mempunyai nilai prognosis juga. Pasien dengan inffictiue erythropoiesis dan turn-ouer besi yang rendah (RA dan RARS) memperlihatkan survival 182 Hematologi Klinik Ringkas yang lebih baik bila dibandingkan dengan pasien dengan tingkat inffictiue erythropoiesis yang rendah dan turn-ouer besi yang tinggi (RAEB dan RAEB-I). Hal ini juga didukung oleh studi May et al. yang mendapatkan korelasi yang terbalik antara jumlah sel blast dan turn-luer besi sumsum tnal.rg. t'20 Parameter Sitogenetik Hampir setengah penderita MDS mempunyai kelainan kromosom bahkan dengan teknik yang lebih baik, kelainan kromosom pada penderita MDS didapatkan pada 73o/o kasus. Beberapa kelainan yang umum ditemukan adalah monosomi 7, trisomi B, del 5 dan del 20.1'3'20 Dulu diperkirakan pasien MDS dengan karyotipe normal mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang memiliki kelainan kromosom. Akan tetapi, kini diketahui bahwa mereka yang mempunyai kelainan kompleks dan kelainan kromosom tunggal yang melibatkan kromosom 7 (7q-) atau +8 mempunyai prognosis yang jelek. Sebaliknya, mereka yang walaupun dengan kelainan kromosom tunggal dan hanya melibatkan kromosom 5 (5qJ murni mempunyai survival yang panjang.r Penderita RAEB dan RAEB-I mempunyai frekuensi kelainan kromosom yang lebih banyak dibandingkan dengan RA dan RARS. MDS dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu golongan pertama dengan analisis kromosom yang normal atau kelainan 5q-murni, mempunyai median suruiual >2 tahun. Golongan kedua dengan kelainan kromosom berupa trisomi B mempunyai median suruiual l-2 tahun, sedangkan golongan ketiga dengan prognosis terjelek mempunyai kelainan kromosom yang kompleks atau del 7 dengan median suruiualkurang dari I tahun. Pada suatu penelitian dengan"284 penderita MDS dan leukemia akut didapatkan kelainan sitogenetik merupakan faktor prognosis yang independen.a Studi lain melaporkan mereka yang tetap dengan kromosom yang.normal selama perawatan akan mempunyai harapan hidup yang lebih panjang dibandingkan dengan penderita dengan perubahan kromosom selama menjalani p.r"*"t"n. ' Gambaran patologik sendiri terbukti mempunyai nilai prognosis. Pada kasus MDS sekunder atau I-MDS Qherapy rekted MD$ yang umumnya menunjukkan tingkat displasia yang lebih berat dan mengalami transformasi yang cepat menjadi leukemia dengan survival Leukemta dan Pengakit Mieloproliferattf 183 yang pendek mempunyai gambaran fibrosis yang berlebihan (hyperfbrotic MDS).Masih belum jelas sekali apakah fibrosis ini sebagai faktor yang independen ataukah dia terkait dengan kelainan lain yang menyertai fibrosis itu, seperti adanya sitopenia perifer yang rDerat. 3-.6 Meskipun belum dapat ditarik kesimpulan yang pasti, akan tetasatu hal yang paling konsisten dari semua studi tersebut adalah nilai prognostik dari jumlah sel blast dalam sumsum tulang. MDS dengan sel blast dalam sumsum tulang >5o/o mempunyai survival yang lebih pendek dibandingkan dengan mereka yang jumlah sel blastnya <57o. Namun, seberapa besar faktor-faktor ini dapat memprediksi secara independen perjalanan penyakit MDS, masih belum jelas. Untuk mengatasi hal ini dikembangkan suatu model penilaian berdasarkan scoring system dengan menggabungkan parameter hematologi, sitogenetik dan gambaran klinis penderita MDS. l'2'4'20 Di dalam usaha untuk mencari sistem scoring ini, International 'W'orhshop MDS Rish Analysis mengkombinasikan faktor sitogenetik, morfologi, dan data klinis dari 816 penderita MDS yang belum mendapat terapi. Data tersebut dikumpulkan dari 7 penelitian besar dan datanya diolah secara sentral. Analisis rnultivariat dengan mengkombinasikan subklasifikasi dari sitogenetik, prosentase sel blast sumsum tulang, dan sitopenia, sehingga menghasilkan suatu model prognosis yang dikenal dengan International Prognostic Scoring System QPSS) seperti terlihat pada :'abel 9-23. pi Model ini memungkinkan penilaian prognosis lebih baik dibandingkan dengan beberapa sistem terdahulu karena model ini memakai kategori sitogenetik yang lebih baik, memasukkan faktor sitopenia, pembagian sel blast yang lebih teliti, dan 4 klasifikasi kategori risiko penderita serta dengan stratifikasi yang terpisah untuk masing-masing golongan umur penderita.2o Terapi Seperti diketahui, MDS umumnya menyerang penderita berumur lanjut sehingga perkembangan modalitas terapi untuk mengatasi keadaan sitopenia yang tidak menyebabkan oleh kerusakan yang berlebihan pada sumsum tulang adalah tantangan utama terapi pada MDS. Penderita umur tua umumnya juga menderita beberapa penyakit 184 Hematologi KLinik Ri.ngkas Tabel 9-23 S istem S c o ring M enurut Int ern ati o n al Scoring Systemt'3''o P r o gn o s ti c Suruival and AML Evolution Score Value Prognosls variable a Marrow btasts (%) Karyotype a Cytopenias b <5 0.5 1.0 Good 5-10 lntermediate Poor a-1 2-3 RiskCategory 1.5 11-20 2.0 21-30 Combined Score Low 0 tnt-1 0.5-1.0 Int-2 High > 2.5 1.5-2.0 a Good =NormaI,-Y, del (5q), del (20q); poor = complex (> 3 abnormalities) or chromosome 7 anomalies; intermedinte= other abnormalities. b Neilrophils < 1.800 / pl, platelets < 100.000 ,/ pl, hemoglobin < 10g / dl. penyerta lainnya sehingga membatasi pilihan terhadap modalitas terapi yang ada. Agaknya terobosan untuk mencari jenis obat de- ngan toksisiras yang lebih rendah tetap masih belum terwujud. Bermacam jenis regimen terapi telah dan sedang dicobakan pada penderita MDS namun, sampai saat ini transplantasi sumsum tulang masih merupakan saru-satunya terapi yang memberikan kepastian sehingga terapi simtomatik masih memegang peranan yang penting pada pasien MDS.r'3'20 Kemoterapi Pilihan kemoterapi pada penderita MDS bervariasi dari kemoterapi intensif sampai terapi sirostatika dosis rendah. Kemoterapi intensif ini pada penderira yang telah berumur lanjut sering tidak dapat ditoleransi dengan baik. Penggunaan kernorerapi pada MDS umumnya diberikan pada CMML, RAEB dan RAEB-I. Pada ketiga jenis ini kelainan klinik yang terlihat hampir menyerupai leukemia akut walaupun secara laboratorik belum memenuhi kriteria suatu leukemia akut sehingga pemberian kemoterapi agresif sebaiknya segera diberikan. Kemoterapi tunggal dan kombinasi dengan regimen yang Leukemia dan Pengakit Mieloproltferattf 185 Tabel9-24 Ketahanan Hidup Penderita MDS Berdasarkan Umur (Age-Related dan Perubahan ke Arah AML pada Subgrup IPSS)1'20 Median Survival (yr) Low Int-1 267 314 (33%) (38%) 3.5 3.5 5,2 20s (25%) 5.2 611 2.7 2.7 445 (54%) 4.4 4.4 371 2.4 No. of Total pts.:No.(%) Age < 60 yr >60yr <70yr >70yr 816 Patient lnt-2 High 176 59 (22%) (7%) 1.2 0.4 1.8 0.3 1.1 0.5 1.3 0.4 1.2 0.4 25%AML Evolution (yr) No. of Patient Total pts.:No.(%) 759 Age < 60 yr >60yr <70yr >70yr Low 235 (31%) 9.4 187(25%) 572 >9.4(NR) 414(55o/o) >9.4(NR) >5.8(NR) 345 9.4 lnt-l 295 Int-2 171 (3e%) (22%\ 3.3 6.9 2.7 5.5 2.2 1.1 0.7 1.3 '1.0 1.4 High 58 (8%) 0.2 0.2 0.2 0.2 0.4 sama dengan leukemia akut telah dicobakan pada penderita MDS. Cytarabine dosis rendah telah banyak dipakai. Suatu penelitian randomized membandingkan cytarabine dosis rendah dengan terapi suportif dilakukan oleh ECOG dan SOG. Dari total 140 penderita didapatkan 4o/o rcmisi komplit dan perbaikan pada sitopenia darah tepi sebesar l5o/o pada penderita dengan cytarabine akan tetapi diikuti oleh komplikasi sepsis yang berat. Total jumlah pasien yang mendapatkan terapi cltarabine dosis rendah sebanyak 250 orang, tetapi hanya l7o/o di antaranya dengan remisis komplit. Median suruiual tidak menampakkan perbaikan yang bermakna. Cytarabine dosis tinggi 2-3 grlm2 setiap 12 jam selama 6 hari juga terbukti tidak banyak memberi harapan. Hanya 13,3o/o mencapai remisi komplit dan 40o/o dengan komplikasi y^ng f^r^l.a'z} 186 Hematologi Klinik Ringkas Azacytidine juga pernah dicobakan, tetapi hasilnya tidak terlalu menggembirakan. Obat lain, seperti etoposide ltydroqturea, idarubicin oral juga sudah pernah diberikan pada penderita MDS.r'3'20 Terapi kombinasi dengan menggunakan daunorubicin plus cltara- bine, daunorubicin plus qttllrabine 6-thioguanine telah dicoba dengan respons komplit didapatkan bervariasi dari 15-560/o dengan respons berakhir dalam waktu singkat antara 1-8 bulan. Komplikasi akibat terapi ditemukan sangat tinggi l3-30o/o pada beberapa studi yang berbeda. Bahkan pada studi yang lainnya survival didapatkan lebih pendek dibandingkan dengan penderita yang tidak mendapat terapi. Dibandingkan dengan leukemia akut (de nouo) respons terapi terhadap kemoterapi pada penderita MDS lebih rendah walaupun alasannya belum diketahui dengan jelas (angka remisi 50-600/o dengan kekambuhan 90olo berbanding 70-80o/o dengan kekambuhan sebesar 55-B0o/o).t'2'zo Diduga walau tidak seluruhnya, muncul gen MDR (Multi Drug Resistence) pada penderita MDS lebih awal, merupakan penyebab terjadinya resistensi terhadap kemoterapi. Nampaknya terapi kombinasi pada penderita MDS sangat toksis dengan respons yang singkat. Toksisitas yang dnggi banyak dihubungkan dengan umur penderita MDS yang umumnya sudah berusia lanjut.zo Transplantasi Sumsum Tu lan g Pada pasien MDS yang prognosisnya jelek, transplantasi sumsum tulang merupakan satu-sarunya pilihan yang memberikan harapan. Akan tetapi, ini sulit terpenuhi karena kesulitan didalam menyediakan donor dan umur penderita yang sudah tua. Dalam salah satu studi yang besar didapatkan probaL,llitas disease fee suruiual,.relaps, kematian akibat penyakit lain dalam 4 tahun pascatransplantasi adalah sebesar masing-masing 41o/o, 28o/o, dan 43o/o. Dengan analisis multivariat ditemukan bahwa umur <40 tahun dan sel blast sumsum tulang yang rendah <5o/o mempunyai prognosis yang baik (disease jlee suruiual 620/o), tetapi pada penderita lebih tua (>40 tahun) dan sel blast >5% disease fee suruiual hanya l7-32o/o.3'20 Pada penelitian oleh European Bone Manou Tiansplantation Group, disease jiee suruiual pascatransplantasi pada penderita RAEB dan RAEB-I ternyata lebih tinggi yairu 50-747o. Peningkatan dari jumlah Leukemia dan Pengakit Mietoproliferatif 187 sel blast mempunyai pengaruh yang jelek terhadap hasil transplantasi. Studi lain oleh Fred Hurcbinson Cancer dan The International Bone Marrow Ti"ansplant Registry melaporkan bahwa penderita dengan kelainan kromosom yang kompleks mempunyai angka relaps yang tinggi dan disease fee suruiual yang lebih pendek dimana mereka y"ng d.ttg"" sitogenetik normal mempunyai hasil yang lebih baik' Secara keseluruhan dari data ini dapat disimpulkan bahwa transplantasi dari donor sedarah yang cocok bermanfaat pada penderita MDS yang prognosisnya baik. Donor yang tidak sedarah dan cangkok stem sel darah tepi telah banyak dikerjakan pada penderita MDS yang prognosisnya baik' Di sini didapatkan angka masingmasing 3\o/o, 2!o/o, dan 48o/o untuk disease fee suruiual, risiko rela.ps lauh fibih tinggi ditemukan pada RAEB-I dan MDS sekun de,.4'20 Tiansplantasi stem sel autologus akhir-akhir ini mulai mendapatkan perhatian mengingat pada beberapa kasus MDS dapat dijumpai hemopoesis poliklonal yang normal setelah mendapat kemoterapi' Satu studi mendapatkan angka disease free suruiual >30o/o setelah 2 1'20 tahun pascat.".tspi".ttari stem sel ",rtologus. Hormon Hematopoetik dan Sitokin sitokin (c\tohine) dan hematopoietic grotath f/lctors (HGF) memainkan peranan yang penting sebagai bagian dari terapi simtomatik pende- rita MDS, baik GM-CSF maupum G-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factors dan Granulocyte Colony Stimulating Fac' tor) dapat meningkatkan netrofil sampai 80-:90olo sehingga dapat menurunkan risiko terkena infeksi. Selama tahun 1987-1989 ada 5 studi tentang GM-CSF pada MDS. Total^ada 45 pasien yang diterapi denga-n dosis antara 30-750 pglmzlhari. Terjadi perbaikan jumlah leukosit dan trombosir. Sekitar l0-I5o/o penderita. disertai peningkatan retikulosit dan 8 orang dengan perbaikan jumlah trombosit. Sekitar l0-l5o/o penderita mengalami progresi dengan meningkatnya jumlah sel blast. Srudi multisenter membuktikan bahwa pemberian GM-CSF dapat meningkatkan granulosit dan tidak terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan trombosit. Dosis 1-3 pg/kg/hari untuk GM-CSF dan G-CSF cukup efektif dan aman di mana efeknya akan menghilang setelah 4 minggu obat ., 4.20 d I hentlKan. 188 Hematologi Klinik Ringkas Terapi dengan eritropoetin meningkatkan hematokrft pada 25o/o penderita sehingga kebutuhan akan transfusi menjadi jauh berkurang. Eritropoetin akan mempunyai respons yang terbaik pada penderita dengan kadar eritropoetin yang rendah walaupun pada kadar yang normal juga memberi respons. Pada studi randomized multisenter dari Lesin et al., 177 penderita diikutkan di mana didapatkan 28o/o penderita memberikan respons, tetapi responden kebanyakan mempunyai kadar eritropoerin yang lebih rendah dibandingkan dengan nonresponden. Pada penelitian lain dari 277 pasien yang mendapat eritropoetin 73o/o penderita memberi respons dengan peningkatan kadar hemoglobin dan 18% lainnya kebutuhan akan transfusinya berkurang. Dari sini dapat disimpulkan bahwa terapi eritropoetin akan memberikan hasil terbaik pada penderita MDS apabila kadar eritropoetin endogennya rendah (<l00mU/ml).20 Penelitian tenrang pemberian interleukin 6 atau interferon alfa hanya dapat menunjukkan perbaikan sitopenia pada sebagian kecil penderita saja, sedangkan sisanya tidak menunjukkan perbaikan kadar trombosit, seperti yang diharapkan semula. Pengobatannya dengan interleukin 3 dapat" memperbaiki jumlah netrofil pada 600/o penderita dan jumlah rrombosit pada 20o/o, tetapi disertai dengan efek samping berupa panas, lemah, mialgia dan eosinofilia. Penemuan tentang sitokin yang dikatakan dapat meningkatkan kadar trombosit yaitu interleukin 11 dan trombopoetin memungkinkan perdarahan yang fatal dapat dikurangi.l Srudi terbaru dapat menunjukkan bahwa kombinasi anrara eritro- poetin dan G-CSF dapat meningkatkan eritropoesis pada 3848o/o penderita dan peningkatan rletrofil pada hampir seluruh penderita. Kombinasi ini nampaknya sangar efektif untuk memperlebar cakupan rangsangan terhadap sel induk. Alan tetapi, kombinasi ini juga diikuti dengan peningkatan efek samping obat. Di samping itu harga obat yang mahal dan cara pemberian yang berbeda dan kebutuhan obat yang kontinu uhtuk mempertahankan hasil membuat penggunaan obat itu menjadi sangar terbaras.2o I Respons M od ifi e rs Pada penderita MDS akan terjadi gangguan reaktivasi imunitas, seperti menurunnya aktivitas sel NK dan produksi interferon yang B i ol og i ca Leukemta dan Pengakit Mietoprotiferatif 189 berkurang. Ada 2laporan kasus MDS yang mengalami remisi komplit setelah pemberian interferon alfa. Studi fase II yang lebih besar ternyata gagal membuktikan respons yang signifikan terhadap pemberian interferon 3 mU/hari subkutan, dimana respons hanya 5-I2o/o. Interferon alfa cukup toksik untuk MDS karena umur penderita yang sudah tua, sedangkan penggunaan interferon gama, TNF alfa, masih belum banyak diketahui. Secara keseluruhan biological resPons modif,ers tidak efektif sebagai terapi pada penderita MDS dan cukup 3'5''o toksik pada pasien t,,t". D ifferenti ati on In d u c i n g Age nt Pengamatan pada pertumbuhan sel leukemia memberikan informasi bahwa sel leukemia dapat diinduksi sehingga mengalami diferensiasi menjadi sel normal tanpa harus merusak sel sumsum tulang yang dengan sendirinya akan mengurangi risiko terjadinya infeksi dan perdarahan, seperti pada leukemia akut yang mendapat terapi . .e lntensll. 4.20 Cytarabine dosis rendah dulu diperkirakan sebagai dffirentiation inducing agent dan dilaporkan tidak ditemukan efek yang menguntungkan dari obat ini. Akhirnya, diketahui bahwa efek tersebut berasal dari efek cytoreduction sehingga Penggunaannya sebagai 20 diferentiating agent diragukan. Studi iz uino dari cis dan trans retinoic acid mampu menginduksi diferensiasi berbagai sel leukemia. Dalam beberapa penelitian transretinoic acid dengan dosis antara 20-125 mg/m2lhari selama 4-30 minggu, didapatkan 20o/o penderita menunjukkan perbaikan dari sel-sel darahnya. Namun, survival penderita tidak dipengaruhi oleh obat ini. Bahkan satu studi mendapatkan tidak ada efek menguntungkan dari pemberian cis-retiruoc acid' Tfiun 1993, studi dengan rctal 62 penderita SMD mendapat all trans-retinoic dosis berkisar anrara 10'250 mglm2lhari, tidak ditemukan perbaikan yang nYata pada sebagian besar penderita. klinik penggunaan 1,25 Dilrydroxyuitamin D3 sebagai dffirenting agent tidak seekstentif retinoat. Dalam 3 laporan yang terpisah dengan total 31 pasien diberikan 1,25 Dihydroxyuitamin D3 I-2,5 mg/hari, hanya 7 penderita menunjukkan sedikit perbaikan Pengalaman pada sel darah tepinya, 6 pasien mengalami progresi menjadi leukemia' 190 Hematologi Klinik Ringkas Vitamin B, Androgen, dan Kortikosteroid Dulu piridoksin pernah diberikan pada pasien MDS rerutama RARS karena pada RARS diketahui terjadi penurunan aktivitas piridoksal kinase. lJmumnya respons terapi sangat rendah, dan tidak ada efeknya pada jenis yang lain. Kortikosteroid yang diberikan pada MDS hanya memberikan respons pada <l0o/o penderita dan androgen yang diberikan pada 25 pasien MDS tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan dari hemopoesis. Terapi Suportif Terapi suportif masih tetap merupakan terapi pilihan pada penderita MDS oleh karena tidak ada terapi yang cukup efektif keluali cangkok sumsum tulang. Yang termasuk terapi suportif disini adalah pengawasan yang kerat, mempertahankan kadar hemoglobin yang optimal, menangani komplikasi yang timbul akibat trombositopenia dan netropenia berat. Penderita dengan netrofil <0,5x10e/1 akan berisiko terkena infeksi yang fatal sehingga apabila penderita ini disertai demam harus segera diberikan antibiotika secara inrravena. Demikian pula pada trombositopenia <lOxl0e/1 akan berisiko terjadinya perdarahan dan transfusi trombosit mungkin diperlukan. Pemberian terapi darah akan menyebabkan penderita t..pap". d.ngan risiko akibat produk darah yang kita berikan. pada transfusi darah yang berulang, kelebihan zat besi akan menimbulkan permasalahan baru. Setiap I kantong darah merah akan mengandung sekitar 200 mg besi dan ransfusi yang lebih dari 100 kantong akan memberikan kelebihan besi sekitar 20 gr, suatu kadar yang dapat menimbulkan keadaan yang disebut hemokromatosis. pada proses transfusi trombosit, terbentuknya antibodi antitrombosit akan sangar me- nyulitkantindakantransfusirrombositselanjutnya.l'3,20 Strategi Terapi Hoffo-rand et al. 6 mengategorikan MDS menjadi dua terdiri l. kelompok aras: Loru-rish MDS, yaitu penderita dengan blast <5%o dalam sumsum tulang. Low rish MDS dikelola secara konservatif, dengan transfusi sel darah merah atau trombosit dan pemberian anti- Leukemia dan Pengakit Mietoproliferatif 191 biotika jika terdapat infeksi. Dapat juga diberikan eritropoetin atau grouth factors seperti G-CSF untuk mengatasi leukopenia. Pemberian obat imunosupresif, seperti siklosporin dan AIG dapat dipertimbangkan. 2. High-rish MDS, yaitu penderita dengan blast sumsum tulang 5o/o atau lebih. Untuk high-rish MDS dapat dipertimbangkan pemberian kemoterapi, baik tunggal maupun intensif di samping terapi suportif. Untuk penderita berumur kurang dari 50 tahun stem cell nansplantdtion merupakan satu-satunya pengobatan yang dapat memberikan kemungkinan kesembuhan. Untuk high-rish MDS dengan umur tua (>65 tahun) dianjurkan hanya pemberian terapi suportif karena manfaat kemoterapi tidak sebanding dengan efek sampingnya. Terapi Masa Depan Mengingat kemajuan telah cukup banyak didapatkan pada terapi MDS juga akan mengikuti hal tersebut. Terapi yang lebih efekdf dan dengan toksisitas yang lebih rendah akan meningkatkan survival dan akan meningkatkan jumlah pasien yang dapat mentoleransi pengobatan. Pendekatan terapi genetik molekuler akan memberi terapi yang lebih spesifik dan individualistik. Memperbaiki sel hemopoetik merupakan tujuan al,},ir (ubimate goal) dari terapi MDS. Cangkok sumsum tulang alogenik merupakan terapi yang paling efektif, akan tetapi angka kematian yang diakibatkannya masih perlu diturunkan. Perlu dicarikan regimen yang bersifat nonablatiue yang dapat menyebabkan grafi-uersus leuhemia tanpa penekanan fungsi sumsum tulang yang berkepanjangan pada penderita khususnya penderita tua. Kemoterapi dosis tinggi diikuti dengan transplantasi autologus stem cell darah tepi dapat merangsang hemopoesis normal akibat kasus-kasus leukemia akut, kemajuan pada terapi engrafiment yang cepat tanpa disertat gnfi uersus host diseases. 1'3'20'21 Bab L0 LIMFOMA MALIGNA Limfoma maligna (malignant lymphomas) ialah penyakit keganasan primer dari jaringan limfoid yang bersifat padat (solid), meskipun kadang-kadang dapar menyebar secara sistemik. Secara klinik dan patologik, limfoma maligna dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu: l. Penyakit Hodgkin (Hodghin disease-HD), disebut juga sebagai limfoma Hodgkin: khas ditandai oleh adanya sel Reed Sternberg. 2. Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau non-Hodgkin lymphomas (NHL) ditandai oleh kumpulan limfosit abnormal, kadangkadang histiosit yang bersifat n6dular atau difus 5 Limfoma maligna merupakan keganasan hematologik yang iukup sering dijumpai. Banyak perkembangan yang terjadi, terutama dalam bidang terapi sehingga limfoma maligna merupakan salah satu contoh tumor padat yang dapat disembuhkan dengan kemoterapi.l5 PENYAKITHODGKIN Penyakit Hodgkin (Hodghin disease) atau limfoma Hodgkin ialah limfoma maligna yang khas ditandai oleh adanya sel Reei sternberg dengan latar belakang sel radang pleomorf. t-3,22'23 Epidemiologi Penyakit Hodgkin merupakan penyakit yang relatif jarang dijumpai, hanya merupakan lo/o dari seluruh kanker. Insidennya di negara Barat dilaporkan 3,5/100.000/tahun pada laki-lakj, dan 2,61 100.000/tahun pada wanita. Dilihat dari jenis kelamin, penyakit Hodgkin lebih banyak dijumpai pada lakiJaki dengan perbandingan laki:wanira = 1,2:1. Di negara barat, penyakit Hodgkin lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan limfoma non-Hodgkin, dengan perbandingan 5:2, tetapi di negara timur (Asia Tenggara, p"f,r" New Guinea, Cina dan Jepang) perbandingan ini menjadi lebih mencolok dengan rasio 9:1. Faktor ap^ yar.g menyebabkan perbedaan ini masih belum diketahui dengan jelas.l5 192 Limfoma Maligna 193 Seperti halnya dengan keganasan lain, penyebab penyakit Hodgkin belum diketahui secara pasti. Tetapi genom virus EpsteinBarr dijumpai pada lebih dari 50olo kasus, tetapi perannya pada patogenesis penyakit Hodgkin belum jelas.6 Patologi Susunan histopatologik penyakit Hodgkin bersifat khas, dimana sel ganas (sel R-S) merupakan minoritas, latar belakang sekelilingnya adalah sel-sel inflamasi yang bersifat nonneoplastik. Sel ganas dari penyakit Hodgkin terdiri 1. 2. 3. atas:r'2223 Sel Reed Sternber7 = seI R-S merupakan sel yang besar, berinti banyak dan polipoid. Jika khas menunjukkan dua buah inti dan menyerupai mata burung hantu (oul eye). Hanya sel R-S yang patognomonik untuk diagnostik penyakit Hodgkin. Sel Hodgkin= H-cell merupakan sel pre Reed Sternberg. Lacunar cell= sel lakuna dijumpai pada limfoma Hodgkin tipe nodular sclerosis. 4. Yafianl & H= the L & H uariant 5. Varian pleomorf Sel ganas penyakit Hodgkin, seperti halnya pada neoplasma ganas lainnya bersifat monoklonal, sedangkan sel-sel latar belakang merupakan sel inflamasi yang bersifat reaktif. Sel Latar Belakang pada Penyakit Hodgkin Sel latar belakang pada penyakit Hodgkin terdiri atas sel radang pleomorfik: limfosit, eosinofil, sel plasma dan histiosit. Patogenesis Sel R-S merupakan sel ganas, yang asal-usulnya masih belum jelas. Diperkirakan berasal dari early lymphoid cell arau histiosit. Penelitian terakhir dengan melihat rearrangemenl gen immunoglobulin, sel RS bersifat B-lymphoid lineage. Ada yang mengatakan sel R-S berasal dari sel B dari germinal centre.Z4 Penyakit Hodgkin disusun dalam suaru setting yang terdiri atas sel ganas (sel R-S) yang dikelilingi oleh sel radang pleomorf. Perbandingan komposisi sel ganas dengan sel radang bergantung pada derajat respons imunologik penderita. 194 Hematologi Klinik Ringkas Orang dengan srarus imunologik yang baik akan memberikan res, pons sel radang yang kuat sehingga sel-sel limfosit lebih dominan dibandingkan dengan sel R-S, sedangkan orang dengan srarus imunologik tidak baik akan memberikan respons imunologik yang rendah sehingga sel-sel limfosit tidak begitu banyak (dzpletea). Perbandingan sel R-S dengan limfosit ini akan menenrukan klasifikasi histologik penyakit Hodgkin dan juga berpengaruh pada prognos's. I'r' 2223 Penyakit Hodgkin pada awalnya terlokalisasi pada suatu regio kelenjar getah bening perifer kemudian akan menyebar melalui aliran limfe. Penyebaran penyakit Hodgkin jauh lebih konsisten melalui aliran limfe,'dibandingkan dengan penyebaran limfoma non-Hodgkin yang lebih sulit diramalkan, lebih banyak kemungkinan melalui penyebaran hematogenous. Prinsip ini dipakai dalam terapi radiasi penyakit Hodgkin. Radiasi diberikan bukan hanya terlokalisasi pada kelenjar getah bening yang terkena, tetapi juga pada kelenjar getah bening sekitarnya ke mana aliran limfe akan rerjadi. t'3' 22'23 Klasifikasi Histopatologik Pada umumnya, dipakai klasifikasi Rye, yang membagi penyakit Hodgkin menjadi 4 golongan, y^iruts'"''3 1. Tipe Lymphocyte Predominance LH tipe lymphocyte dominance merupakan 5o/o dari penyakit Hodgkin. Pada tipe ini limfosit kecil merupakan sel latar beiakang yang dominan, hanya sedikit sel R-S yang dijumpai. 2. 3. Dapat bersifat nodular atau difus. Tipe Mixed Cellularity Tipe ini merupakan 30o/o dari penyakit Hodgkin. Jumlah sel R-S mulai banyak dijumpai, dalam jumlah seimbang dengan limfiosit. Tipe Qmphoq,te Depbted LH tipe lymphoclte depleted merupakan kurang dari 5o/o dari limfoma Hodgkin, tetapi merupakan tipe yang paling agresif. Sebagian besar terdiri atas sel R-S sedangkan limfosit jara.ng drjumpai. Dibagi menjadi subtipe retikuler dengan sel R-S dominan dan sedikit limfosit, dan subtipe fibrosis difus di mana Limfoma Maligna 195 kelenjar getah bening diganti oleh jaringan ikat yang tidak 4. teratur, dijumpai sedikit limfosit, dan sel R-S juga kadangkadang sedikit jumlahnya. Tipe Nodular Sclerosis Tipe ini merupakan tipe yang paling sering dijumpai, yaitu 40-690/o dari seluruh penyakit Hodgkin, ditandai oleh fibrosis dan sklerosis yang luas, di mana suatu jaringan ikat muiai dari kapsul kelenjar kemudian masuk ke dalam, mengelilingi kumpulan sel abnormai, dijumpai sel lakuna dan sel R-S. Dilihat dari perbandingan limfosit dan sel R-S maka dibagi menjadi 3 subtipe: Iymphocyte predominant, mixed celluarity, dan lymphoctefupleted. Sel eosinofil banyak dijumpai. American European Lymphoma) dan \ffrHO membuat 6:16 klasifikasi baru sebagai berikut (Tabei 10-1). REN- (Reuised Tabel 10-1 Klasifikasi Histologik Penyakit Hodgkin Menurut REAL/WHO 6,16 Lymphocyte predo,minantl nodular t diffuse areas Sel RS tidak dijumpai, terdapat sel limfosit B polimorfik abnormal (limfositik dan histiositik) Penyakit Hodgkin klasik (C/asslcal Hodgkin Lymphoma = CHL) N od ul a r scl e rost's (NSHL) Mixed cellulanfy (MCHL) Lymphocyte depleted Pita kolagen masuk dari kapsula mengelilingi nodul jaringan abnormal. Sel lakunar yang khas sering dijumpai. lnfiltrat seluler mungkin bersifat lymphocyte predominant, mixed cellularity atau lymphocyte-depleted, eosinofilia sering dijumpai. Terdapat banyak sel RS, jumlah sel limfosit moderat (LDHL) Polanya dapat berupa pola retikuler dengan sel R-S dominant dengan sedikit iimfosit atau pola fibrotik difus di mana kelenjar getah bening diganti oleh Berlanjut 196 Hematologi Klintk Ringkas Tabel 10-1 Klasifikasi Histologik Penyakit Hodgkin Menurut REAL/WHO - Lanjutan 6'16 Lymphocyte rich (LRCHL) jaringan ikat dengan sedikit limfosit. Sel R-S mungkin juga sedikit pada tipe ini. Sel R-S sedikit, banyak dijumpai timfosit kecil dengan sedikit eosinofil dan sel plasma, dapat berpola difus atau noduler. GejalaKlinik Penyakit Hodgkin dapat dijumpai pada semua umur, tetapi insiden umur bersifat bimodal dengan puncak pada umur 20-30 tahun dan umur di atas 50 tahun. Gejala klinik yang dijumpai adalah: t-6'22,23 I . Gejala urama berupa pembesaran kelenjar getah benin g yang tidak nyeri, asimetrik, padat kenyai seperti karer. Urutan kelenjar yang terkena: leher (60-700/o), aksila (10*15%), inguinal (6l2o/o), mediastinal (6-110/o), hilus paru, kelenjar paraaorta dan rerroperi- toneal.6 2. Splenomegali dijumpai pada 35-50o/o kasus, terapi jarang massif. Hepatomegali lebih jarang dijumpai. 3. Mediastinum terkena pada 6-1 lolo kasus, lebih sering pada tipe noduler sklerosis dan wanita muda. Dapat disertai efusi pleura dan sindromavena cava superior.6 4. Kadang-kadang lesi muncul pada jaringan elatranodal secara primer, yaitu pada kulir, paru, otak dan sumsum tulang belakang. 5. Gejala konstitusionai terdiri atas: a. simtom B: demam, penurunan BB >10%o dan keringat malam; b. demam ripe Pel-Ebstein: l<has tapi jarang dijumpai; c. pruritus dijumpai pada 2570 kasus; d. rasa nyeri setelah minum alkohol. Gambaran Hematologik Pada pemeriksaan hematologik dapat dijumpai sebagai berikut: t-3' 22,23 a. Anemia pada 50ok kasus, anemia bersifat normokromik normo- Limfoma Maligna 197 siter. Kadang-kadang dijumpai gambaran leukoeritroblasdk oleh b. c. d. e. f. g. infiltrasi sumsum tulang. Leukositosis moderat dijumpai pada 30o/o kasus yang disebabkan oleh netrofilia. Eosinofilia sering dijumpai. Limfopenia dapat dijumpai pada fase-fase lanjut. Laju endap darah meningkat. Sumsum tulang terkena saat diagnosis pada 5-15o/o kasus. LDH (lactate dehldrogenase serum) meningkat pada 3040o/o . kasus. Diagnosis Diagnosis harus dibuat berdasarkan pemeriksaan histopatologik dengan menemukan adanya sel R-S dengan latar belakang histologik yang sesuai (appropriate). Diagnosis awal dapat dibuat secara akurat dari bahan kelenjar getah bening hasil biopsi eksisi, bukan dari biopsi aspirasi. Setelah diagnosis ditegakkan maka harus dilanjutkan dengan penentuan derajat penyakit, karena hal ini akan 22'23 menentukan .ir",.gi terapi dan prognosis petde.it".t-6' Penentuan Derajat Penyakit (Staging) Yang umum dipakai adalah kriteria Ann Arbor dengan revisi Costwold, seperti terlihat pada tabel 10-2. Diameter masa kelenjar melebihi 10 cm, atau pembesaran kelenjar mediastinum yang melebihi 1/3 diameter transversal torak pada T5-5 disebut sebagai bulhl' disease. Dikenal 2 jenis penentuan derajat penyakit, yaitu' l. 2. 1-3' zz'23 Clinical staging berdasarkan pemeriksaan klinik, radiologik, dan biopsi sumsum tulang. Pathological staging Clinical staging ditambah laparotomi, biopsi kelenjar, dan organ pada saat laparotomi. Laparotomi untuk staging dikerjakan pada penyakit Hodgkin derajat I dan II karena pada upstaging akan mengubah modalitas terapi. Dengan adanya teknik radiologik yang canggih, seperti CT sanning 1!"9- lyRI, 1't' 22'23 laparotomi uniuk staging sekarang jarang dikerjakan. 198 Hematologi Klinik Ringka.s Tabel 10-2 Penentuan Derajat Penyakit Hodgkin Menurut Kriteria Ann Arbor dengan Revisi Costwoldls Stage Definition I lnvolvement of single tymphnode region or lymphoid structure (e.g., spleen, thymus, Watdeyer's ing) lnvolvement af two or more lymph node regions on the sarne srrCe of the diaphragn (the mediastinum is a single site; hilar lymphnodes are lateralized); the number of ana ll tomic sites should be indicated by suffix (e g ,tlq lll llll lll2 tV Involvement of tymphnode regiois or structures on both srdes of diaphragm Wth or without splenic, hilar, celiac, or portal nodes Wth paraaortic, iliac, ormesenteic nodes lnvolvement of extranodal srTe(s,) beyond those designated E Annotation: A - No symptoms - Fever, drenching sweafs, or weight loss Bulky disease. > 1/3 widening of the mediastinum at T*6, or maximum nodal mass > 10 cm E - involvement of extranoda! site , or contigous or proximal to known noda! site of disease CS, Clinical stage PS, Pathological stage B X - NB: Masing-masing derajat dibagi menjadi kategori A: jika tidak ada simtom sistemik dan B jika ada sirntom sistemik: demam > 38'C tanpa sebab jelas, keringat malam dan penurunan BB > 10% dalam waktu 6 buian. Prosedur Penenfuan Derajat Penyakit Pada setiap penderita limfoma Hodgkin harus dilakukan prosedur penentuan derajar penyakir, yairu; r-J 2z z; I . Evaluasi awal terdiri acas: a. anamnesis dan pemeriksaan fisik; b. laboratorium: darah rutin, faal hati, faal ginjal, dan fosfatase - alkali; c. aspirasi/biopsi sumsum tulang, idealnya pada beberapa rempar. 2. Evaluasi torak terdiri aras: Limfoma Maligna 199 a. b. foto torak PA dan lateral; tomografi paru atau CT scan rcr'ak. 3. Evaluasi abdomen terdiri atas: a. b. c. bipedal lymphangiography atau CT scan abdomen; xaging laparotomi ( untuk stageI,II A dan B, serta III A). Terapi Terapi untuk penyakit Hodgkin terdiri atas terapi spesifik dan terapi suportif. Modalitas terapi spesifik untuk penyakit Hodgkin terdiri atas: 1-6,22,23 l. Radioterapi 2. Kemoterapi 3. Kombinasi radioterapi dan kernoterapi (combined modality) Radioterapi Radioterapi merupakan modalitas terapi utama untuk penyakit Hodgkin yang terlokalisasi (derajat I dan derajat II). Dapat juga diberikan untuk penyakit derajat III dan IV, tetapi dikombinasikan dengan kemoterapi jadi bersifat terapi ajuvan. Dosis raciiasi adalah 4000-5000 rad. Radioterapi diberikan dengan teknik penyinaran extendedfield (mantlefeld untuk lesi di atas diafragrna atau inuerted Y untuk di bawah diafragma) atau TNI (total nodal irradiation) untuk 1'3' 22'23 Iesi di atas dan di bawah diafragma. Kemoterapi Kemoterapi kombinasi merupakan pilihan utama untuk pelylkit derajat 1. 2. III dan IY atau derajat I atau II dengan bulhy disease.l'3'22'23 Kombinasi kemoterapi yang paling umum dipakai. Regimen MOPP yang terdiri atas: a. Mustargen (nitrogen mustard): 6 mglmz-i.v. hari 1 dan 8 b. Oncouin (Vincristine): 1,4 mglm2 i.v. hari 1 dan 8 c. Procarbazine: 100 mg/mz, oral hari I sid 14 d. Prednison: 60*80 mglm2lhari, oral hari 1-5 Siklus diulang setiap 4 minggu. Regimen ABVD, yang terdiri atas: 200 Hematologi Klini.k Ringkas a. Doxorubicin (Adriamycin) 25 mglmz,IV hari 1 dan 15 b. Bleomycine 10 mg/m2, IV hari I dan 15 c. Vinblastine 5 mglmzIV hari 1 dan 15 d. Dacarbazine (DTIC) 375 mglmz IV hari I dan 15 3. Kombinasi regimen MOPP dan ABVD (siklus berganti-ganti 4. antara MOPP dan ABVD) Regimen hybrid MOPP/ABV Regimen ABVD merupakan regimen yang paling sering di- gunakan saat ini. Regimen MOPP banyak ditinggalkan karena efek samping janglaoVaniangnya yang kurang baik, yaitu therapy related maugnanctes. Kemoterapi diberikan sampai terjadi remisi komplit, ditambah dengan 2 siklus. Jika setelah 6 siklus belum tercapai remisi komplit, sebaiknya diganti dengan regimen lain. Terapi Kombinasi Terapi kombinasi terdiri dari kombinasi radioterapi sebelum atau sesudah kemoterapi. Diberikan untuk penyakit derajat III atau IV dan pada penyakit yang tergolong bulky disease, penyakit dengan simtom B yang mencolok atau penyakit yang kambuh setelah pemberian radioterapi. 1'6' 22'23 Terapi Baru Modalitas baru yang memberikan harapan penyembuhan -terapi t-3' 22'23 adalah: a. transplantasi sumsum tulang atau transplantasi sel induk b. high dose chemotherapy dengan rescue peripheral blood stem cell transplantation Grapi ini merupakan saluage therapl untuk kasus yang mengalami kekambuhan setelah kemoterapi. Strategi Pengobatan l. Penyakit Hodgkin derajat .1-1 l) )l terapl' 2. Deralat IIB terdiri 4. b. I dan IIA: obat pilihan ialah radio- atas: sebagian besar dengan radioterapi kemoterapi dianjurkan untuk berikut: i. penyakit Hodgkin derajat IIB dengan simtom B lengkap Limfoma ii. llB dengan Maligna 2O'l resiko tinggi (buthy diseasedan tipe lymphocyte depleted a:au mixed cellulariq') 3. Untuk penyakit Hodgkin 4. 5. derajat IIB dengan massa mediastinal besar (bulky mediastinal disease=dtameter >10 cm) diberikan rerapi kombinasi (radioterapi+kemoterapi) Untuk penyakit Hodgkin derajat IIIA, yaitu: a. IIIA1 (lesi pada abdomen atas): diberikan radioterapi (TNI) b. IIIA2 (lesi abdomen bawah): kemoterapi atau rerapi kombinasi. Untuk derajat IIIB dan IV Kemoterapi dengan arau ranpa radioterapi merupakan obat pilihan. Komplikasi Akibat Terapi 1. Radioterapi Radioterapi dapat menimbulkan nausea, disfagia, esofagitis, dan hipotiroid. 2. Kemoterapi Kemoterapi dapat menimbulkan mielosupresi, sterilitas dan timbulnya keganasan hematologik sekunder: AML 3,9-6,90/o, limfoma nonhodgkin: 0,5-5,9o/o, dan MDS.r-6' 22'23 Prognosis Progiosis ditentukan oleh: derajat penyakit, umur, volume lesi, dan tipe histologlk. 1'3' 22'23 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prognosis dapat dilihat pada tabel l0-3. Secara umum, masa hidup penderita limfoma Hodgkin menurut derqat penyakitnya adalah: Masa bebas penyakit 5 tahun setelah terapi: Derajat I - II: B5o/o Derajat IIIA: 7 0o/o Derajat IIIB &IV: 50o/o Penyakit derajat IA mempunyai harapan hidup 10 tahun lebih dari 90o/o, sedangkan penderita dengan derajat IIA harapan hidup l0 tahunnya lebih dari 80%. Untuk penyakit derajat III atau IV kemoterapi memberi angka respons 80% dengan angka bebas penyasetelah l0 tahun 60%. Regimen hybrid MOPP/ABV memberi angka respons lebih dari 9oo/o dan angka bebas penyakit setelah l0 rahun adalah 75o/o. 5 kit 202 Hematologi Klinik Ringkas Tabel 10-3 Faktor-Faktor yang Tidak Faaourable pada Limfoma Hodgkin2a Early - stage disease , Bulky disease Any mass >10 cm Erythrocyte sediment rate >50 mm/hr More than three sites of disease Advanced disease Albumin < 4.0 g/dl Hemoglobin <10.5 g/dl Leucocytosis (>15,000nL) Lymphopenia (<600/ iL) Male Older than 45 years of age Stage lV disease LIMFOMA NON-HODGKIN (LNH) Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau non-Hodghin lymphomas (NHL) merupakan penyakit yang sangar heterogen dilihat dari segi patologi dan klinisnya. Penyebarannya juga tidak seteratur penyakit Hodgkin serta bentuk ekstra-nodal jauh lebih sering dijumpai. 1'3' zz'zt Insiden LNH merupakan neoplasma ganas padat yang cukup sering dijumpai dengan frekuensi 3o/o dari seluruh kanker. Di Indonesia frekuensi relatif LNH jauh lebih tinggi dibandingkan dengan limfoma Hodgkin. Di negara barat limfoma dari sel B jauh lebih tinggi dibandingkan dengan limfoma dari sel T. Akan tetapi, di Jepang limfoma sel T didapatkan dalam frekuensi yang cukup tinggi.l-j' rl'zz'z: Klasif ikasi Histopatolo gik Klasifikasi histopatologik merupakan topik yang paling membingung kan dalam studi limfoma maligna karena perkembangan klasifikasi ini demikian cepat dan dijumpai berbagai jenis klasifikasi yang saru sama lain tidak kompatibel. Limfoma nonhodgkin dianggap mutasi ganas dari salah satu tingkat perkembangan limfosit. Diketahui bahwa sebagian sel limfoma berasal dari follicular center cell (FCC), dapat berkembang menjadi bentuk difus atau noduler. Demikian juga perkembangan petanda imunologik, biologi molekuler, serta pengertian Limfoma Maligna 203 tentang ontogenesis limfosit telah memberikan pengertian yang lebih baik tentang limfoma -"lign*.l-3'22'23 Untuk dapat memahami lebih baik klasifikasi limfoma maka pemahaman tentang perkembangan limfosit serta struktur kelenjar getah bening sangar diperlukan. Perkembangan Limfosit Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblast. Perkembangan limfosit terbagi dalam dua tahap: (1) tahap yang tidak tergantung antigen (antigen independent); dan (2) rahap yang tergantung antigen (antigen dependent). Pada tahap 1, sel induk limfopid berkembang menjadi sel pre,B, kemudian menjadi sel B imatur dan sel B marur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal sebagai nai'ue B-cell. Apabila sel B terkena rangsang antigen, maka proses perkembangan akan masuk tahap 2 yang terjadi dalam berbagai komparremen folikel kelenjar getah bening, di mana terjadi immunoglobuline gene rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel plasma yerg akan pulang kembali (homing) ke sumsum tulang.,skema perkembangan limfosit B dapat dilihat pada gambar l0-1.16 Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiue B cell dapar langsung mengalami transformasi menjadi immunobkst kemudian menjadi sel plasma. Sebagian 6esar naitue B cell mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast, centroclte, monocytoid B cell dan sel plasma. Skema diferensiasi ini dapat dilihat pada gambar 10-2.16 Untuk memahami penggolongan limfoma perlu pengerrian tentang pembagian komparremen kelenjar getah bening, seperri terlihat pada gambar 10-3.'* Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-sel pada suatu dpe LNH dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi. Skema hubungan tipe LNH dengan limfosit normal pada kompartemen tersebut dapat dilihat pada gambar 104.16 Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta fasilitas yang tersedia. Dua jenis klasifikasi yang paling umum dipakai adalah klasifikasi Kiel dan Worhing Formulation. Di bawah ini diuraikan klasifikasi Rappapon yang merupakan awal klasfikasi LNH modern, uorking formuktion, sena klasifikasi terbaru REAL Gabel 10-4 sampai tabel 10-6).r'3'22'23 204 Hematologi Ktinik Ringkas Gambar 10-1. Skema diferensiasi limfosit B dan ekspresi antigen selama diferensiasil6 Klasifikasi Rappaport memakai dasar bentuk morfologik, makin mendekati bentuk limfosit kecil dianggdp sel yang berdiferensiasi baik, sedangkan sel yang lebih besar dianggap berdiferensiasi tidak baik. Sehubungan dengan itu, dilihat susunan sel, apakah noduler, atau difus. I A 8"n" tlrr"-.lrl T 'o G tttelrct N I I G E mlru Elood l{rrow Prlmtrytol0ch I N Y,q o. Gambar 10-2. Skema diferensiasi limfosit B dihubungkan dengan lokasi/ kompartemen dalam folikel kelenjar getah bening 16 Limfoma Maligna 205 Germinal center Mantle zone Marginal zone Gambar 10-3. Pembagian kompartemen kelenjar getah bening I,lrgc B-cch tymPnomll /- N T \\ (c, I tlrmph.phr,,r*yd.l lLymptoma )- o t\v/ /./_: ll.ruxcusl ./ f;Gffil llrnocvrr I I I G E fffil N Gambar 10-4. Skema yang menunjukkan tipe LNH dengan kounierpart sel limfosit normal 16 Klasifikasi Kiel Klasifikasi Kiel membagi a. LNH b. LNH LNH menjadi 2 golongan dengan derajat keganasan rendah; dengan derajat keganasan tinggi. besar, yaitu: 1'1'22'23 206 Hematologi Klinik Ringkas Tabel lG-4 Klasifikasi Rappaport 1. Lymphocytic, poorly differentiated a. nodular(NLPD) b. diffuse (DLPD) 2. Lym phocytic, well differentiated a. diffuse (DLWD) 3. Mixed lymphocytic histiocytic a. nodular(NMLH) b. dlffuse (DMLH) 5. Undifferentiated a. drffuse (DU) - Burkitt type *n (l ym phobt B on- u rkitt a sti cl type NB: istilah "nodular" akhir-akhir ini sering diganti dengan "folliular" Klasifikasi Kiel sesudah menyesuaikan dengan kompartemen dari kelenjar getah bening, serta membedakan asal sel, apakah dari lirn, fosit B atau limfosit T. Perumusan Praktis untuk Penggunaan Klinis Perumusan praktis untuk penggunaan klinik (worhing formu/ation for clinical usage) merupakan klasifikasi yang banyak dipakai. Sebetulnya klasifikasi ini merupakan jembatan antar berbagai klasifikasi yang ada. Tabel 10-5 Klasifikasi Kiel Sel B malignancy Lymphocytic Lymphoplasmacytic Plasmacytic Centroblastic/centrocytic follicular diffuse Low grade Sel T High grade malignancy Lymphocytic Small cerebriform cell mycosis funguides Sezary's syndrome Lymphoepitheloid (Lennert's lymphomas) Berlanjut Limfoma Maligna 207 Tabel 10-5 Klasifikasi Kiel - Lanj utan Centrocytic Angioimmunoblastic High grade malignancy Centroblastic !mmunoblastic Large cell anaplastic (K-1+) Pleomorphic smal! cell High grade malignancy Pleomorphic medium and large cell lmmunoblastic Burkitt's lymphoma Large cell anaplastic (Ki-1+) Lymphoblastic Rare types T Zone Lymphobtastic Rare types Klasifikasi yang baru dibuat berdasarkan perkembangan limfosit yang dengan demikian dapat dihubungkan dengan letak sel pada kompartemen kelenjar getah bening normal. Maka secara umum 2a klasifikasi limfoma yang berasal dari sel B adalah: l. Precursor B-cell lymphoma Limfoma dianggap berasal dari limfoblast. Dapat terjadi dalam benruk leukemia ataupun limfoma, yang keduanya identik atau disebut $mphoblastic leuhemia/lympltoma. 2. LNH yang berasal dari nai:ue B-cell LNH ini disebut sebagai small lymphocytic 3. lymphoma (SLL) yang identik dengan bentuk chronic lymphocytic leuhemia (CLL) dapat juga itu disel--ut sebagai chronic lympbocytic leuhemia lymphoma. LNH yang berasal dari germinal center dari suatu folikel limfoid LNH dari germinal cettter dlbagi menjadi 2 golongan besar, yaitu: ^. Foilicular lj'rnphonta: terdiri dari sel yang sangat mirip dengan sel dt"ri prrrninal center normal. LNH jenis ini biasanya bersifat indolen, rctapi incurable. Follicular lymphoma sertng disertai trirnslokasi kromosom 14 dan l8 it(14;18)l y"rg menyebabkan juxtaposisi bcl-2 gene yang mengatur apoptosis dengan Ig heauy chain gene. b. Large cell fi'mphomas: terdiri dari sel-sel besar yang terdapat dalam folikel normal (centroblast). Jenis ini lebih sering 208 Hematologi KLinik Ringkas Thbel 10-6 Perumusan Praktis untuk Penggunaan Klinik 1. Low grade a. small lymphocytic b. fotlicular, predominantly small cleaved cell c. follicular, mixed small cleaved and large cell. 2. lntermediate grade a. folticular, fredominantly targe cetl b. diffuse small cleaved c- diffuse, mixed small and large cell d. dlffuse large cell 3. High grade a. large cell, immunobtastic b. lymphobtastic c. small non cleaved cell d. Burkitt's lymphoma. bersifat difus karena itu disebut sebagai dffise large cell fimphoma. LNH jenis ini bersifat agresif, tetapi sangat responsif terhadap kemoterapi. 4. LNH yang berasal dari mantb zone LNH jenis ini disebut sebagai mantle cell lymphoma. Secara imunofenotipe mirip SLL, tetapi menunjukkan CD5 positif. Perjalanan Hinis slowly progressiue dan incurable dengan standard chemotberapy. yang berasal dari marginal zone atau parafollicular Termasuk dalam golongan ini adalah: B-cell monorytoid lymphoma, bw-grade mucosa-Associated lymphoid tissue (MALT) lympboma dan splenic marginal zone lymphoma. Dulu dikenal sebagai low-grade lymphomas. Terdiri dari sel-sel limfosit kecil yang menempati zone marginai atau parafolikuler dari folikel limfoid normal. Perhatian khustrs sekarang diberikan pada extranodal marginal zone B-cel/ lymphoma of mucosa-associated Qmpboid tissue, yang lebih dikenal sebagai MALT lymphomas. MALI lymphoma dijumpai pada gaster, kelenjar ludah dan kelenjar lakrimalis. MALT Qmphoma pada gaster dan duodenum dihubungkan dengan infeksi Helycobacter p/ori. Klasifikasi yang paling baru adalah klasifikasi REAL (Reuised EuropeAmerican Lymphoma) dari International Lymphoma Studlt Grouptl 5. LNH Limfoma Frekuensi Masing-Masing Jensis Limfoma WT{O16 memberikan gambaran perkiraan frekuensi terlihat pada tabel 10-8. Maligna 209 LNH, seperti Penentuan Derajat Penyakit Untuk menentukan derajat penyakit LNH umumnya dipakai klasifikasi derajat penyakit Ann Arbor meskipun nilai prognostiknya Tabel 10-7 KlasifikasiREAL B-CellNeoplasms Precursor B-Cell Neoplasm P rec u rsor B-ty m ph obla stic Ie u ke mi a/ly mph om a ,' Peripheral B-Cetl Neoplas(t , ' 1. B-CettCLLIPLIJSLL 2. Lymphoplasmacytoid lymphoma/immunocytoma 3' Mantle cell lYmPhoma " 4. Folticte cenler lymphoma, fotlicular 'i , 5. Provisional cytologic grades: I (small), ll (mixed), lll (arge) ' Provi sional subtype: diffuse, predominantly small cell. Margiial zone B-cell 6. 7. 8. 9. I lymphoma : , monacytoid cells) Provisional category : Nodal ( x monocytoid B cells) Provisionat! entity:Spteiic marginal zone lymphoma Hairy cell leukemia. Extraniodat (A4ALT Plasmacytoma/myelo,ma. Diffuse large B-cell lymphoma 10. Bu*ift's lymphoma : : 11. Provisioial entity: High - grade B - cett lymphoma, Burkitt's - Iike T-Cell and Putative NK-Cell Neoplasms r I-Cel/ Neop/asms r T-ly m p hoblasti c le ukemi a/ly m p hom a. Peripheral l:Cell and NK-,Cell Neop/asms P rec u rs o P re cu rso - 1. T-CeIICLUPLL 2. Largegranular tymphocyte leukemia 3. Mycosis funguidedSezary syndrome 4. Peripheral T-cell lymphomas, unspecified Berlanjut 210 Hematologi KLinik Rtngkas Tabel 10-7 Klasifikasi REAL - Lanjutan T-Cel I a n d Putative N K-Cell Neoplasrns Provisional categories: medium, mixed, targe, tymphoepitheloid Provisional subfypes; H e pato sp I e ni c g dT-cell ly m ph oma Subcutaneous pannicutitic T-celt tymphoma 5. Adutt T-celt tymphoma/teukemia 6. AngioimmunobtasticT-cetl lymphoma 7. Angiocentric lymphoma/nasal T/NK - cetl tymphoma) B. lntestinal T-cell lymphoma ( t enteropathy) 9. Anaplastic large cell lymphoma (T/Null) 10. ProvisionalALCL, Hodgkin's - Iike Hodgkin's Disease 1. Lymphocyte predominance (nodular t diffuse) 2. Nodular sc/erosrs 3. Mixed cettularity 4. Lymphocyte depletion 5. Lymphocyte-rich classic HD (provisional) tidak sebaik pada limfoma Hodgkin. A Haril'x1116 membagi penentuan derajat penyakir menjadi 4 ahap, yaitu,15 Tahap I: 1. Pengambilan riwayat penyakit yang cermar. 2. Pemeriksan fisik yang lengkap dengan perhatian khusus pada cincin \Taldeyer. 3. Pemeriksaan laboratorium lengkap ter-diri atas: a. hemogram lengkap b. apusan darah repi c. tes faal hati dan faal ginjal 4. Pemeriksaan radiologi terdiri atas: a. torak PA b. jika perlu survei kerangka Limfoma Maligna 211 Tabel 10-8 Frekuensi B dan T/NI( Cetl Lymphomas'q Diagnosis % Dari kasus total Diffuse large B-cell lymphoma Follicular lymphoma MALT lymphoma Mature T-cell lymphomas (except ALCL) Chronic lymphocytic leukemiai small Lymphocytic lymphoma 30,6% 22.1% 7,6% Mantle cell lymphoma Mediastinal large B-cell lymphoma Anaplastic large cell lymphoma Burkitt lymphoma Nodal marginal zone lymphoma Precursor T lymphoblastic 6,0% 2,4% Other types 7,60/0 6,70/o 2A% 25% 1,go/o 1,2% 7,4% 5. Fine needle aspiration pada kelenjar getah bening yang dicurigai pada sisi lain diafragma. Thhap II: Pada penderita dengan dugaan stadium I derajat keganasan tinggi atau stadium I dan II derajat keganasan menengah dilakukan biopsi sumsum tulang bilateral. Thhap III: Penderita dengan jangkitan pada cincin \Taldeyer dengan dugaan I derajat keganasan ringgi atau sradium I dan II deraiat keganasan menengah dilakukan penelitian radiologik traktus gasstadium trointestinal. Tahap IV: Penderita dengan dugaan stadium I derajat keganasan menengah setelah prosedur di atas dilakukan limfangiografi. Prosedur penderajatan penyakit wajib dilakukan sebelum pemberian terapi karena derajat penyakit sangat menentukan jenis terapi yang harus diberikan. 212 Hematologi Klinik Ringkas GejalaKlinik Gejala ldinik limfoma nonhodgkin dapat berupa berikut:5 1. Pembesaran kelenjar getah bening merupakan gelalayang paling sering dijumpai. Pembesaran kelenjar getah bening asimetrik (gambar I0-4), lokasi dan tanda fisik kelenjar getah bening persis sarha seperti pada penyakit Hodgkin. 2. Gelala konsritusional dapat berupa demam, keringat malam dan penurunan berat badan. Gejala konsdtusional ini lebih jarang dijumpai dibandingkan pada penyakit Hodgkin. 3. Jangkitan orofaringeal dijumpai pada 5-I0o/o kasus yang dapat menimbulkan keluhan sakit menelan (sore throat). 4. Anemia, infeksi, dan perdarahan dapat dijumpai pada kasus yang. mengenai sumsum tulang secara difus. 5. Dapat dijumpai hepato/splenomegali. 6. Gejala pada organ lain seperti kulit, otak, testis dan tiroid dijumpai. Kelainan kulit sering dijumpai pada mycosis dapat funguidrs dan Sezary syndrome. Kelainan Hematologi LNH dapat di.jumpai berikur:5 1. Dapat dijumpai anemia bersifat normokromik normositer. 2. Pada jangkitan sumsum tulang yang luas dapat dijumpai anemia, leukopenia dan trombositopenia serta gambaran leukoeritroblastik. 3. Dapat dijumpai fase leukemik dari LNH dengan >5%o sel muda dalam darah tepr. 4. Biopsi sumsum tulang menunjukkan lesi fokal pada 20olo kasus. Jangkitan sumsum tulang justru lebih sering LNH lotu*gradc. Pada pemeriksaan hematologik seorang penderita Pemeriksaan Lain Beberapa pemeriksaan lain sangat diperlukan dalam diagnosis LNH. 1. Pemeriksaan petanda imunologik (immu.nological marber) untuk melihat ekspresi antigen pada permukaan sel sangar penting untuk menenrukan jenis sel (sel B atau sel T) serta tingkat perkembangannya (tabel 10-9). Limfoma Maligna 213 l:r:!i::i*r: ::::u:aa),a:t Gambar 10-5. Limfadenopati masif asimetrik pada penderita LNH (A), bandingkan dengan limfadenopati yang sudah sangat mengecil setelah kemoterapi pada penderita yang sama (B). 2. Pemeriksaan kromosom (sitogenetik) penting dalam menentukan prognosis. Kelainan yang khas dijumpai pada bentuk tertentu. Burhitt's lymphoma t(8; 14), follicular lymphdma t(14; 8), mantle cell lymphoma r(ll; l4), anaplastic large cell lymphoma t(2; 5). Pemeriksaan biologi molekuler untuk menentukan adanya rearrengernent immunoglobulin genes pada LNH sel B dan 4. rearrangement T:cell receptar genes pada LNH sel T (lactic dehydrogenase) sering meningkat pada LNH dengan proliferasi sel yang cepat dan pada penyakit yang luas. Asam LDH urat serum iuga sering meningkat. Diagnosis Diagnosis LNH harus ditegakkan dari pemeriksaan histologi biopsi ekstsi (excisional biops) kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal. Pemeriksaan dari hasil aspirasi jarum halus tidak memadai unnrk diagnosis konfirmatif Dilakukan klasifikasi histopatologik menurut klasifikasi yang lazim dipakai (di indonesia pada umumnya gab,rtgat uorhingformuktion 2'14 Hematologi Klinik Ringkas Tabel 10-9 Petanda Imunologi dalam Diagnosis LNH6 T cell B cell Activation markers Leucocyte common antigen CD2 CD3 cD5 CD7 CD19 CD23 CD2O CD25 CD22 CD30 CD4 CDs CD45 CD24 T-cell subsets Rare B cell CD8 dan Kiel). Setelah itu dilakukan prosedur penderajatan sehingga derajat penyakit dapat ditentukan. r-3' penyakit 22'23 Terapi LNH terdiri atas rerapi spesifik untuk membasmi sel limfoma dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk menanggulangi efek samping kemoterapi atau 1,1 ll )t radioterapi. I'r' t:'zr Terapi spesifik untuk LNH dapat diberikan da, lam bentuk berikut: Terapi untuk 1. Radioterapi a. untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I) b. untuk ajuuan pada "bulky disease"' c. untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut 2. Kemoterapi a. kemoterapi tunggal (sing/e agent) Cblorambucil atau siklofosfamid unruk rendah b. LNH derajat keganasan kemoterapi kombinasidibagi menjadi tiga, yaitu: i. I terdiri atas: CHOP (ryclophosphamidz, doxontbicine, uinristine, pred- Kemoterapi kombinasi generasi I nison); r CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + bleomycine) I COMIA Qyclophosphamide, uincristine, metlto*exate with leucouorin rescue); Limfoma Maligna 2'15 I CW/COP (cyclophosphamide, uincristine, prednison); I C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine, uinois' ' tine, prednison, procarbazine). ii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas: r COP-Blam (cycbphoghamide, mechhretltamine, uincis' I tine, prednison, bleomycine, doxorubicine, procarbazine) (prednisone, metltatrexate uith leucou- Pro-MACE MOPP orin rescue, doxorubicine, rychphoghamide, etoPosidz, mec h loretltamine, uincristine, prednisone pro car bazine) r M-BACOD (methotrexate with leucouorin resnte, b.leomy' cine, doxorubicine, qtclophosphamide, uincristine, dexamethasone). iii. Kemoterapi kombinasi generasi I COPBiAM lII III terdiri atas: (q,cbphosphamide, infusional uinnistine, prednison, infusional bleomycine, doxorubicine, procarbazine) I PToMACE-CyIaBOM (prednison, methotrexate with r leucouorin rescue, doxorubicine,' cyclophosphamide, etoposide, cytarabine, bleomlcine, uinnistine, metltotrexate tuith leucouorin rescue) MACOP-B (methotrexate with leucouorin resc'ue, dnxorubi- amidn, inristine, prednison, b lro mycin ). Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi kombinasi CHOP terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi yang lain. Penambahan jenis kemoterapi ataupun lama pemberian tidak menambah angka kesembuhan, malahan dapat menambah efek samping. Oleh karena itu, kemoterapi generasi kedua dan ketiga jarang digunakan. 3. Tiansplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka paniang. 4. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem cell transplantation. cine, qtccbp 5. ho sp h Terapi dengan imunomodulator Terapi dengan interferon diberikan untuk indobnt lymphoma, dikombinasikan dengan kemoterapi atau diberikan setelah kemoterapi 216 Hematologi Klinik Ringkas unruk memperpanjalg masa remisi. Hasilnya sampai sekarang masih konrroversial.'n tr. )l Iargeted theraPJ" Antibodi monoklonal: rituximab (Mabthera) suatu chimeric monoclonal antibody (human-mouse hybrid) ditujukan untuk CD20 anti= gen yang diekspresikan oleh semua sel limfosit B. Pemberian , rituxima& intravena tiap minggu selama 4 minggu memberikan remisi parsial pada 50olo LNH indolen. Sekarang cenderung digabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada LNH agresif. Radiolabeled monoclonal antibodies: .anti CD20 antibody taged with radionuclide, seperti iodine-t3l (Bexxar) atau yttrium-9} (Zevalin) memberikan respons lebih tinggi (60-80%o) dengan 20-40o/o remisi komplit untuk LNH indolen yang refrakter. Sebaiknya dikuasai suatu regimen kemoterapi yang tersedia di tersebut. Regimen yang paling umum dipakai adalah CHOp: F-.n^p^"^! t-3, l. 22,23 Cyclophosphamide 750 mglmz i.v. hari I 2. Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mglm2 i.v. hari 1 3. Oncouin (uincristine) 2 mglmz, i.v. hari I dan 5 4. Prednison 100 mg per oral hari 1-5. Siklus diulangi tiap 3 minggu, sampai terjadi remisi komplit, kemudian ditambah 2 siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak terjadi remisi komplit, sebaiknya diganti regimen lain. Dokter harus mengenal betul efek samping dari regimen yang diberikan dan menyiapkan fasilitas untuk mengatasi hal tersebut. Makin intensif (dosis tinggi) suatu kemoterapi makin besar efek sampingnya. Sebaiknya jangan memakai kemoterapi intensif jika kita tidak mempunyai fasilitas untuk mengatasi efek samping tersebut dan belum mempunyai pengalaman yang cukup dalam penggunaan kemoterapi intensif tersebut. Strategi Pengobatan LNH LNH derajat keganasan rendah stdge I dan iI Pengobatan a. radioterapi merupakan obar pilihan LNH derajat keganasan rendah stage III dan IV tumbuh lambat: chbrambucillcyclophosphamid oral Pengobatan a. 1-3' 22'23 Limfoma Maligna 2'17 b. dengan jangkitan yang luas dapat diberikan CVP, C-MOPP atau BACOP Pengobatan LNH derajat keganasan menengah stage III dan IV a. obat pilihan kemoterapi kombinasi CHOP memberi remisi 50-75o/o Pengobatan LNH derajat keganasan tinggi a. kemoterapi dosis tinggi merupakan pilihan utama b. limfoma imunoblastik sangat resisten pada kemoterapi dan ra- c. d. dioterapi. limfoma limfoblastik diberikan regimen terapi seperti pada AIL limfoma undffirentiated (Burkin/non-Burkitd diberi kemoterapi kombin asi: uincristine, methotrexate dan cyc lop hosp h amide. Prognosis Prognosis LNH sangat beraneka ragam karena memang LNH me- rupakan kumpulan kelainan yang sangat beraneka ragam. Faktor yang paling menentukan adalah jenis dari LNH sendiri. Dilihat dari prognosisnya maka LNH dibagi menjadi:z4 |. Indolent, usually incurable non-Hodghin lymphomas Jenis ini merupakan sekitar 3040o/o limfoma. Pada umumnya menyerang umur lebih tua dengan umur rata-rata 50-60 tahun, pada umumnya dijumpai pada tingkat yang sudah lanjut. Perjalanan penyakit perlahan-lahan dengan median suruiual 7-I0 tahun, tetapi belum ada terapi yang menyebabkan kesembuhan. Dalam golongan ini termasuk: follicular lymphoma, small lymphocytic leuhemia, dan chronic lymphocytic leukemia/lymphoma dapat juga digolongkan pada jenis ini. 2. Moderately agressiue incurable non-Hodgkin lymphomas Contohnya, mantle cell lynphoma. Lebih banyak mengenai lakilaki dengan median suruiual 3-4 :'ahun, sering dijumpai dalam derajat lanjut. Biasnya memberi respons awal terhadap regimen CHOP tetapi masa remisinya pendek. Sering resisten terhadap saluage treatment termasuk transplantasi 3. Agressiue, ?ztentialb curable non-Hodghin lymphomas Jenis ini merupakan jenis yang tersering dijumpai. Yang paling 218 4 Hematologi Ktinik Ringkas sering adalah dffise large B-cell lymphoma. Yang lainnya adalah anaplastic large cell lymphoma dan peripheral T:cell lymphoma. Lebih sering dijumpai pada derajat penyakit yang lebih rendah dibandingkan dengan pada LNH indolen. Kemoterapi (CHOP) dapat bersifat kuratif. Untuk penyakit terlokalisir biasanya diberikan CHOP 3-4 siklus diikuti radioterapi lokal. Penambahan /znti-CD2} antibody araupun konsolidasi dengan tranplantasi sel induk dapat memperbaiki prognosis. Htg,hb agressiue, pltent;albt curable non-Hodghin lymphomas ini adalah Burhitt lymphoma dan lymphoblaxic lymphoma. LNH jenis ini meskipun berkem, bang sangat cepat tetapi sering responsif rerhadap kemoterapi. Yang termasuk dalam golongan Perhatian khusus diberikan terhadap jangkitan pada SSP. Lymphoblastic lymphona diobati seperti ALL. Unruk menilai prognosis LNH agresif dipakai International Prognostic Index tabel 10-10. for (IPI), seperri terlihat Aggressiue Qmphomas pada LNH agresif dengan pengobatan adekuat pr-ognosisnya sangar dipengaruhi oleh nilai IPI, sepelti terlihat pada rabel l0-11. Tabel L0-10 International Prognostic Index {IP{} f,,: Aggressive Lymphomas2a Riskfactor Score Age > 60 years Stage lll or IV 1 1 LDH elevation > 2 extralymphaflc slles Pefformance status (ECOG) 1 1 >2 1 Limfoma Maligna 219 Tabel L0-LL Prognosis LNH Agresif Berdasarkan Skor IiI24 Bab 11 GAMOPATI MONOKLONAL Gamopati monoklonal (monoclonal gammo?ath!) adalah suaru kelompok kelainan hematologik yang berasal dari limfosit yang menghasilkan paraprorein (globulin gamma) yang bersifat monoklonal. r-6Kelompok penyakit ini terdiri atas: A. Gamopati monoklonal yang keganasannya sudah dipastikan 1. Mieloma multipel (muhiple myeloma) 2. Makroglobulinemia'W'aldenstrom (Waldenstrom's mamoglobulinemia) B. Gamopati monoklon aI yang keganasannya belum dipastikan l. MGUS (monoclonal gammopathl of undetermined signifcance) 2. 3. Heauy chain disease Primary amyloidosis Nama lain penyakit ini adalah: a. penyakit imunoproliferatif b plasna cell dyscrasias c. plasma cell disorders d. paraproteinemias Frekunesi relatif gamopati monoklonal. relatif gamopati monoklonal adalah : l. MGUS: 2. Mieloma multipel: 3. Plasmacytoma: 4. Waldensnomls macroglobulinemia: Di negara barat frekuensi 630/o l4o/o lo/o 1o/o MIELOMA MULTIPEL Mieloma multipel ialah gamopati monokional karena keganasan sel plasma dalam sumsum tulang yang menghasilkan protein abnormal (paraprotein) dalam plasma atau urine, khas disertai lesi osteolitik, akumulasi sel plasma abnormal (sel mieloma) dalam sumsum rulang, dan adanya protein monoklonal dalam serum dan urine. 1-6 220 GamopatiMonoklonal 221 Epidemiologi Insiden penyakit ini di negara barat adalah 3/100.000/tahun. Sebagian besar mengenai umur tua (50-lO tahun), jarang dijumpai pada umur di bawah 40 tahun. Laki-laki cenderung lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita. Di Amerika Serikat, insiden pada orang kulit hitam hampir dua kali lipat dibandingkan dengan orang kulit putih. Tidak ada predileksi pekerjaan tertentu untuk terkena MM. Seperti halnya pada neoplasma ganas lainnya, penyebab MM belum diketahui pasti. Patofisiologi Gejala penyakit mieloma multipel timbul karena berikut: 1. 1-6 Pelepasan produk sel mieloma berupa: imunoglobulin monoklonal dalam serum (M-protein) a. b. fee i. ii. light chain, di mana paraprotein ini: 2. Dikatabolisisr dalam jaringan sehingga menimbulkan amiloid Dibuang ke urine berupa protein Bence Jones Peningkaran osteoclast actiuating faaor (IL-IB, TNF-u) sehingga 3. menimbulkan lesi osteolitik yang mengakibatkan timbulnya jala nyeri tulang dan penekanan saraf. Gangguan hematopoesis terdiri atas: a. ge- akibat pendesakan massa tumor pada jaringan hemopoetik normal b. 4. 5. produk sel tumor (IL-6) yang mengakibatkan anemia, netropenia dan trombositopenia Gangguan produksi antibodi, netropenia, dan imobilisasi menyebabkan penderita mudah terkena infelai. Infeksi berulang, terutama pada paru-paru dan saluran kencing. Hiperkalsemia karena reabsorpsi kalsium dari tulang menimbulkan gejala anoreksia, mual, muntah, konstipasi, poliuria dan gang- guan kesadaran. 6. Gagal ginjal karena kerusakan akibat light chain, hiperkalsemia, hiperurikemia, dan infeksi. 7. Perdarahan terjadi akibat menurunirya faal trombosit dan faal faktor 'koagulasi yang timbul karena pengaruh dari paraprotein. 222 Hematologi Klinik Ringkas 8. Sindrom hiperviskositas, darah menjadi pekat karena tingginya kadar paraprotein sehingga menimbulkan gangguan visus, vertigo, penurunan kesadaran dan gagal janrung. 9. Kelainan neurologi: neuropari karena paraprotein dan kompresi saraf dapat menimbulkan paraplegi. 10. Gejala amiloidosis terjadi karena deposit bahan amiloid dalam jaringan. Gejala Klinik Gambaran berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. klinik mieloma multipel dapat dijumpai dalam bentuk 1-6 Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri tulang, rerurama nyeri punggung. Gejala anemia berupa lemah, lesu, pucat dan sesak napas. Gejala infeksi yang berulang, terurama infeksi paru. Gejala gagal ginjal dan hiperkalsemia: podipsi, poliuri, anoreksia, mual, munrah, konstipasi dan gangguan mental. Gejala perdarahan. Sindrom hiperviskositas: gangguan penglihatan, kesadaran menurun atau payah jantung. Fraktur patologik oleh karena adanyalesi osteolitik Gangguan sarafberupa parestesia atau paraplegia/paraparesa Sebagian penderita bersifat asimtomatik dijumpai secara kebe- rulan pada saat chech up atav pemeriksaan untuk penyakit lain. Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium kasus mieloma muldpel dapat dil-6 JumPar: a. b. c. anemia normokromik normositer, laju endap darah meningkat, serta benrukan roulleaux pada apusan darah. Kadang-kadang dijumpai sel plasma di darah tepi. leukopenia dan trombositopenia dapat dijumpai pada fase lanjut pada .sumsum tulang dijumpai sel plasma lebih dari 10%. Sel mieloma adalah sel plasma abnormal den$an inti besar, bizarre, ukuran bervariasi. Sering ada bentukan rnulti nukleus (gambar l1-1). Camopati Monoklonal 223 ffi ,,!:..t:.. t'*,.,, Gambar 11-1. Gambaran surnsr.rn tulang penderita mieloma multipel. Sel plasma meningkat dengan sel mieloma yang khas Gambar 11-2. Elektroforesis protein pada penderita .mieloma multipel menunjukkan "spike" pada daerah globuiin gamma (A). Bandingkan dengan globulin ganuna pada orang normal (B). d. pada elektroforesis protein didapatkan paraprotein (M-protein) yang membentuk "spihd' Pada daerah gamma (gambar ll-2). Secara imunoelektroforesis didapatkan jenis: IgG (59%o), lg| (23o/o), IgD (1olo), hanya light chain (l5o/o) dan tidak ada M-protein 224 e. f. g. Hematologt Klinik Ringkas (1%). Pada mieloma multipel tipe IgA, spike sering dijumpai pada daerah globulin beta. Pada pemeriksaan urine dapar dijumpai: Bence Jones's protein positif Yang lebih sensitif adalah pengukuran light chain dalam urine selama 24 jam. sering dijumpai hiperkalsemia, hiperurikemi, peningkatan ureum dan kreatinin serum. pemeriksaan serum B2 microglobulin dan plasma cell labelling index diperlukan untuk menentukan prognosis. Foto Rontgen Tulang Pada penderita MM perlu dilakukan "bone sxtlue!", yaitu foto tulang pipih dan pangkal tulang panjang. Khas ditemukan adanya lesi osteolitik: punched out lesion pada tulang pipih: tengkorak (gambar I l-3), costae, srernum, juga pada tulang belakang, tulang-tulang pelvis, bagian proksimal femur dan humerus. Diagnosis Diagnosis _ mieloma i . I-6 Krrtena: multipel dapat diregakkan dengan beberapa A. Kriteria ldinik 1. 2. Jika sel plasma sumsum tulang lebih dari l0o/o dengan"ma, lignant loohing plasma cell' Jlka sel plasma menunjukkan gambaran mendekati normal, untuk diagnosis diperlukan tambahan: a. hipergamaglobulinemia (r2 g/dl) dengan spihe pada daerah gamma. b. c. protein Bence Jones positif dalam urine. lesi osteolitik pada tulang. B. \Wintrobe membuat kriteria diagnosis sebagai berikut:1 1. Kriteria sitologik a. sumsum tulang: sel plasma/sel mieloma >l0olo b" biopsi sumsum tulang/jaringan lain menunjul<kan plasmaqttqma 2. Kriteria klinik dan laboratorik terdiri atas: a. protein mieloma yang dibuktikan secara elektroforesis dalam plasma; Camopati Monoklonal 225 AB Gambar 11-3. Lesi osteoiitik pada tengkorak (A) dan pada pangkal tulang panjang (B) penderita mieloma multipel . b. protein c. d. mieloma yang dibuktikan secara elektroforesis dalam urine; lesi osteolitik pada tulang; ditemukan sel piasma darl, 2 sediaan hapus darah tepi. Diagnosis dibuat jika berikut: a. Ia dan ib positif; b. Ia atau Ib + salah satu dari II positif; c. Sel plasma/sel mieloma tulang >30o/o yang disertai lesi osteolitik. C. Kriteria menurut Durie dan Salmonl Kriteria diagnosis mieloma multipel dibagi menjadi dua, yaitu: Kriteria major: 1. Plasmasitoma pada biopsi jaringan 2. Plasmasitosis pada sumsum tulang dengan sel plasma >30%o 3. Spike dari globulin monoklonal pada elektroforesis: IgG >35 gll,IgA >20 glI, eksl.<resi light chain urine (elektroforesis) >1 gl24jam tanpa adanya amiloidosis. 226 Hematologi Ktinik Ringkas Krireria minor: 1. 2. Plasmasitosis sumsum tulang dengan sel plasma l0-30o/o. Grdapat spihe globulin monoklonal, tetapi nilainya kurang dari nilai di aras. 3. Lesi osteolirik. 4. IgM normal <0,5 gll,IgA .1 gll atau IgG <6 g/1. Diagnosis ditegakkan jika: 1 major dan 1 minor (tidak boleh 2+1) positif, atau 3 minor positif termasuk 1+2. lndolent Muttipte Myeloma (MM) Kriteria seperti MM tetapi dengan pembatasan: 1. Tidak terdapat lesi osteolitik arau lesi <3, tanpa ada fraktur kompresif 2. IgG <70 gll,IgA <50 g/l 3. Tidak ada gejala atau penyakit yang menyertai: Karnofslcy Hb >10 g/dl, kalsium serum normal, kreatinin serum <3 mg/dl, tidak ada infeksi. >70o/o, Smoldering myeloma (SMM) IMM dengan pembatasan 1. Tidak dijumpai lesi osteolitik Seperti kriteria 2. Sel plasma sumsum tulang 10-30o/o D. Kriteria dari Kyle dan Greippl Muhiple myeloma (MM) 1. Paraprotein dalam serum meningkat (biasanya >30 g/l) atau dalam urine positif. 2. Sel plasma sumsum tulang 3l0o/o atau dijumpai agregat sel plasma dalam biopsi. 3. Satu atau lebih penemuan penting, yang bukan disebabkan oleh penyakit lain: a. anemia b. lesi osteolitik, arau osteoporosis c. d. dan >30o/o sel plasma dalam sumsum rulang. bone maTrow labeling ind.ex >lo/o. insufisiensi renal (adub acquired Fanconi atau light chain deposition disease tidak cukup). Gamopati Monoklonal 227 Smoldering Myeioma (SMM) 1. Paraprotein serum meningkat (biasanya >30 g/l) dan 10%o atau lebih sel plasma dalam sumsum tulang atau dijumpai agregat sel plasma dalam biopsi. 2. Tidak 3. terdapat anemia, gagal ginjal atau hiperkalsemia yang disebabkan oleh mieloma. Tes penting lainnya negatif; a. tidak dijumpai lesi osteolitik dalam bone suruey b. bone marrow labeling index <1o/o c. d. tidak dijumpai plasmablast beta-2 microglobulin normal tanpa adanya insufisiensi renal, tidak terdapar isotype-specific plasma cells, peripheral blood Bcell labeling index <0,5 gl24 jam, paraprotein serum dan urine stabil dalam follotu up. Solitary Plasmacytoma l. "2. 3. 4. Tumor sel plasma tunggal. Tidak dijumpai kriteria untuk mieloma multipel sistemik. Tidak dijumpai atau sedikit sekali paraprotein setelah terapi lokal. Sel plasma sel sumsum tulang <10o/o. Prognosis MM sangat bervariasi, sebagian besar ditentukan oleh tingkat penyakit. Durie dan Salmon membuat kriteria klasifikasi Prognosis penderita tingkat penyakit sebagai berikut:r l. Stadium I Memenuhi semua kriteria di bawah ini, yaitu: a. Foto Rontgen normal atau dijumpai lesi osteolitik soliter b. 2. Laboratorium i. Kadar Hb. >10 g/dl ii. Kalsium serum ( 12 mgldl; iii. IgG <5gldI atau IgA <3 gldl dalam serum atau rantai ringan dalam urine <4 gl24 jam. Stadium II Terletak antara stadium I dan III, tetapi tidak memenuhi secara lengkap kriteria stadium I atau IIL 228 Hematologi Ktinik Ringkas 3. Stadium III Memenuhi satu atau lebih kriteria di bawah ini rerdiri atas: a. Pada foto Rontgen tulang dijumpai lesi osteolitik luas b. Laboratorium: i. ii. iii. Kadar Hb. < 8,5 g/dl; Kalsium serum > 12 mgldl; IgG >7 gldl atau IgA >5 gldl atau rantai ringan dalam urine >12 gl24 jam. Subklasifikasi: A: jika kreatinin B: jika kreatinin serum <2 mg/dl serum >2 mg/dl Tingkat penyakit mempunyai korelasi dengan prognosis, yaitu: 1. Penderita stadium IA mempunyai harapan hidup 19 bulan; 2. Penderita stadium IIIB mempunyai harapan hidup 5 bulan. Terapi Grapi untuk mieloma multipel terdiri "r"r:l-n 1. Terapi spesifik, yaitu terapi untuk membunuh sel mieloma: Terapi standar ialah regimen melphalan+prednison a. melphalan 9 mglmz oral, selama 4 hari b. prednison 80 mg oral, selama 4 hari Siklus diulang setiap 28 hari. Regimen Vr{,D: terdiri atas uincristine, adriamycine dan dexamethasone. Vinkristin 0,4 mglhari Doksorubisin 9 Deksametason mg/m2lhari 32 mg rds atau 40 mg/hari kontinu - selama 4 hari kondnu - selama 4 hari oral -selama5hari iv iv Berikan ranitidin 150 mg dua kali sehari selama pemberian V,t\D. Juga diberikan kotrimoksasol 2 kali sehari untuk mencegah pneumosistis. Dapat juga diberikan regimen kemoterapi dosis tinggi lainnya. Regimen melphalan dan prednison merupakan regimen standar yang memberikan hasil yang sama dengan regimen kemoterapi kombinasi dengan dosis tinggi lainnya. Untuk penderita yang dipersiapkan untuk transplantasi, VAD merupakan regimen pilihan. Gamopati Monoklonal 229 tansplantasi sumsum tulang memberikan harapan kesembuhan, tetapi komplikasi lebih sering terjadi karena umur penderita umumnya tua. Sekaran g thalidomide sedang diteliti untuk mieloma multipel yang resisten atau kambuh sementara dan hasilnya cukup menggembirakan. Obat baru lain yang sedang dikembangkan adalah bortezomid, suatu przteoszme iihibitor. 2. Terapi suporciF Terapi suportif, diberikan untuk mengatasi gejala atau komplikasi yang timbul, seperti: a. b. c. d. e. sindrom hiperviskositas: dilakukan plasmapheresis; hiperkalsemia: diatasi dengan pemberian cairan inravena yang adekuat. Dapat juga diberikan furosemid dan kortikosteroid. Jika tak berhasil dlberi calcitonin dan mithramycin, atau bifosFonar inrravena. penderita MM perlu mobilisasi secepat mungkin untuk mengurangi terjadinya hiperkalsemia dan infeksi radiasi lokal diberikan untuk nyeri tulang yang resisten untuk'pencegahan nyeri jangka panjang diberikan bifosfonat oral f. pengobatan infeksi, anemia, dan perdarahan: diberikan terapi, seperti pada keganasan hematologi lainnya. 3. Terapi dengan imunomodulator, seperti interferon, masih dalam taraf penelitian. Penderita MM derajat I dan smoldering MM tidak perlu diobati, hanya dilakukan observasi. Pengobatan dengan kemoterapi pada kasus seperti ini tidak memperpanjang masa hidup, malahan mungkin memperpendek masa hidup. Secara umum dapat dikatakan bahwa keberhasilan terapi MM belum memuaskan. Kemoterapi dilaporkan belum dapat memberikan kesembuhan sempurna. Satu-satunya harapan adalah dengan transplantasi sumsum tulang. MAKRO GLOBULINEMIA WALDENSTROM Makroglobulinemia'$7'aldenstrom merupakan varian'plasmacytoid lymphocytic fimpltoma" yang memproduksi IgM monoklonal dalam 230 HematoLogi Klinik Ringkas jumlah besar. Sel maligna berasal dari sel plasmasitoid, yaitu sel limfosit yang mengalami transformasi sebelum berkembang men; jadi sel pl"r-". 1-6 Patofisiologi IgM dalam jumlah besar sehingga menimbulkan makroglobulinemia yang mengakibatkan terjadinya hiperviskositas r-6 dan volume plasma meningkat dan pada akhirnya menyebabkan: Sel ganas memproduksi A. I . Gejala susunan saraf pusat: vertigo, ryncz?e, somnolence dan konvulsi. Kelainan ini timbul karena aliran darah lambat dan 2. 3. 4. 5. adanya pelebaran vena otak. Dilatasi vena dan edema perifer Payah jantung Edema paru Gangguan visual B. Makroglobulin menyelimuti trombosit dan faktor koagulasi menyebabkan penurunan fungsi sehingga menimbulkan perdarahan kulit dan mukosa. C. Malroglobulin mempunyai aktivitas cold aglutinin (cryogl"obulin) sehingga dapat timbul episode hemolisis dan sindrom Raynaud. Geiala Penyakit makroglobulinemia \Taldenstrom lebih banyak dijumpai pada umur tua dengan puncak insiden pada usia Secara di atas 60 tahun. klinik dijumpai' 1-6 a. gejala yang sering ialah lemah dan cepat lelah, perdarahan; b. c. d. e. berupa epistaksis, purpura dan rectal bleeding; limfadenopati moderat dan hepatosplenomegali; gejala hiperviskosiras; gejala cryoglobulinemia; pada funduskopi: dilatasi dan segmentasi vena retina, perdarahan f. sampai edema papil tidak dijumpai kelainan tulang (lesi osteolitik) Gamopati Monoklonal 231 Kelainan Laboratorik Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai:1-6 a. darah tepi: anemia normokromik normositer, LED meningkat. b. sumsum tulang: limfosit meningkat dengan gambaran sel plasmasitoid. c. elektroforesis serum: terdapat "spike" pada daerah antara beta dan d. gamma. Imunoelektroforesis menunjukkan peningkatan IgM > 1,5 g/dl. Dalam urine kadang-kadang dijumpai light chain. faal hemostasis: fungsi trombosit menurun. Diagnosis Diagnosis makroglobulinemia'Waldenstrom ditegakkan bila dijumpai berikut: klinik yang sesuai; a. gejala b. IgM serum >1,5 g/dl sumsum tulang: infiltrasi limfosit, sel plasma dan limfosit c. plasmasitoid; d. laju endap darah meningkat. histologi kelenjar getah bening: menunjukkan gambaran limfoplasmasitoid e. sel Terapi 'W'aldenstrom terdiri atas terapi Terapi untuk makroglobulinemia suportif untuk mengatasi: (1) hiperviskositas dengan plasmapheresis; (2) anemia dengan pemberian trasfusi darah; (3) infeksi dengan pemberian antibiotika adekuat. Terapi spesifik diberikan berupa alhykting agent (chlorambucil) yang sering dapat mengendalikan pe1-6 nyakit dalam beber"pa tahurr. M O N O CLONA L G AMM O PAT' HY O E TINI(NO I{TIJ ORIGIN (MGUS) MGUS adalah gamopati monoklonal di mana dalam serum dijumpai paraprotein tanpa bukti adanya mieloma multipel, makroglobulinemia, amiloidosis primer, limfoma maligna, atau penyakit dasar lainnya. 232 Hematologi Klintk Ringkas MGUS merupakan gamopari monoklonal yang paling banyak dijumpai, terurama dijumpai pada umur tua. Sebagian penderita berkembang menjadi MM, tetapi tidak dapat diramalkan sebelumnya. Diagnosis bersifat eksklusif dengan tidak dilumpainya gamopati monoklonal lain. Tidak dijumpai lesi tulang, protein Bence-Jones negatif dalam urine, dan sel plasma dalam sumsum tulang normal (<4o/o) atau sedikir meningkat (<10%). Konsentrasi imunoglobulin monoklonal dalam serum biasanya <20 gll dan tetap stabil dalam 2 sampai 3 tahun. Untuk diagnosis MGUS pemeriksaan, seperti MM tetap dikerjakan. M bands ridak melebihi 35 gll untuk IgG, 20 gll unruk IgA, dan 10 g/l untuk protein Bence-Jones. 6 Terapi untuk MGUS hanyalah berupa observasi. Pemeriksaan M-protein setiap 3 bulan, survei tulang dan protein Bence-Jones dalam urine 24 jam setiap tahun.2a Bab 12 HEMOSTASIS Faal hemostasis ialah suatu fungsi tubuh yang bertujuan untuk mempertahankan keenceran darah sehingga darah tetap mengalir dalam pembuluh darah dan menutup kerusakan dinding pembuluh darah sehingga mengurangi kehilangan darah pada saat terjadinya 1-6 Faal hemostasis melibatkan berikut: kerusakan pembuluh darah. 1. 2. 3. 4. Sistem Sistem Sistem Sistem vaskuler trombosit koagulasi fibrinolisis baik maka keempat sistem tersebut harus bekerja sama dalam suatu proses yang berkeseimbangan dan saling mengontrol. Kelebihan atau kekurangan Untuk mendapatkan faal hemostasis yang suatu komponen akan menyebabkan kelainan. Kelebihan fungsi hemostasis akan menyebabkan thrombosis, sedangkan kekurangan faal t'6 hemostasis akan menyebabkan perdarfian (hemonhagi.c diathesi). LangkahJangkah dalam hemostasis. Faal hemostasis untuk dapat berjalan normal memerlukan 3 langkah, yaitu: 1. Langkah I: hemostasis primer, yaitu pembentukan "primary platelet plug." 2. Langkah II: hemostasis sekunder; yaitu pembentukan stable lry (p kte let+fi brin p lug). fibrinolisis yang menyebabkan lisis dari fibrin setelah dinding vaskuler mengalami reparasi sempurna sehingga pembuluh darah kembali paten. Faal hemostasis terdiri atas 2 komponen, yaitu: 1. Faal koagulasi: yang berakhir dengan pembentukan fibrin stabil. 2. Faal fibrinolisis: yang berakhir dengan pembentukan plasmin. Faal koagulasi melibatkan 3 komponen, yaitu: ltemostatic p III: 3. Langkah 1. Komponen vaskuler Komponen trombosit 2. 3. Komponen koagulasi 233 234 Hematologi Ktinik Ringkas Bagaimana ketiga komponen ini bekerja sama untuk menghasilkan fibrin stabil dapat dilihat pada gambar l2-1. Faktor Trombosit tombosit memegang peranan penting dalam proses awal faal koagulasi yang akan berakhir dengan pembentukan sumbat trombosit (pkteht plug). lJnruk itu, trombosit akan mengalami peristiwa: r-6 I. 2. 3. Platelet adhesion Platelet actiuation Platelet agregation Empat langkah utama koagulasi darah untuk menghasilkan fibrin adalah: 1. Langkah perrama: proses awal yang melibatkan jalur intrinsik dan ekstrinsik yang menghasilka\ tenase complex yang akan mengaktifkan f.X menjadi f.X aktif Langkah kedua adalah pembentukan prothrombin actiuator (prothrombinase comple) yang akan memecah prothrombin menjadi thrombin 3. Langkah ketiga: prothrombin actiuator merubah prothrombin menjadi thrombin 4. Langkah keempat: thrombin memecah fibrinogen menjadi fibrin serta mengaktifkan F.XIII sehingga timbul fibrin yang stabil. Pada langkah pertama dikenal 2 jalur: 2. 1. 2. Jalur ekstrinsik (extrinsic pathway) Jalur intrinsik (intrinsic pathway) Aktivasi jalur ekstrinsik dimulai jika terjadi kontak antara jaringan subendotil dengan darah yang akan membawa faktor jaringan (tissue factor) serta aktivasi faktor VII. Aktivasi jalur intrinsik dimulai dengan aktivasi faktor konrak (contact factor), yaitu faktor XII, HM\7K, dan prekalikrein. Selanjutnya terjadi aktivasi faktor XI, X, dan IX. Faktor Koagulasi Faktor koagulasi atau fakror pembekuan darah adalah protein yang terdapat dalam darah (plasma) yang berfungsi dalam proses koagulasi. 1-6 Protein ini dalam keadaan tidak aktif (pio.r,ri.r, ^i^u "y-ogri1 itk^ terjadi aktivasi, protein aktif ini (enzim) akan mengaktifkan rangkaian Hemostasis 235 Kerusakan pembuluh darah I + Pemaparan kolagen subendotil \ Il'ssue thrombo plastin F VII \ Platelet adhesion Vasokonstriksi I ^..../.activation Platelet l \ ptr3 I I & secretion -' I I I I Aliran -----------+ darah ,l Koagulasi darah I I Platelet aggregation I I I menurun Thrombin Platelet fusion (contraction) \ I \ Fibrin+ I Platelet plug \ \ I Fibrinogen I I Stable hemostatic plug PF3 = platelet fosfolipid 3 Gambar 12-1. Skema umum hemostasis aktivasi berikutnya secara beruntun, seperti sebuah tangga (kaskade) atau, seperti air terjun (waterfall). Jenis-jenis protein tersebut dapat dilihat pada tabel 12-1. Kaskade Koagulasi Proses pembentukan fibrin jika digambarkan secara skemarik mirip seperti fenomena air terjun (uaterfalt) atau seperti tangga (cascadc). futinya aktivasi fakror awal akan mengaktifkan faktor berikutnya 236 Hematologi Klinik Ringkas Tabel 12-1 Faktor-faktor Koagulasi Nama Fungsi Faktor kontak aktivasi: F Xll (Hageman factor\ molcular HMW Kininogen (high XI(PTA) weightkininogen),Prekalikrein F Mengaktifkan F Xll danPK Membawa F Xll & PK pada suatu permukaan M:ffi:llff:I Fil Yitamin K- deoendent proenzvmes: Prothrombin (F ll) Prekursor thrombin F.X (Sfuart-Prower factor\ Mengaktifkan rothrombin factor\ @roconveftin\ Protein C F.lX (Chrisfm as F.Yll Kofaktor Iissue facfor (F. lll) Platelet procoagulant phospholipid (PF 3) F.Vlll (anfi hemophilic factor) Mengaktifkan F.X Mengaktifkan F.lX & F.X Menonaktifkan F.Va & Vlla Kofaktor untuk FVll & Vlla Kofaktor untuk F lXa dan F.Xa Kofaktor untuk F lXa F.V $troaccelerin) Protein S Kofaktor untuk protein C Faktor untuk Deoosisi Fibrin: Fibrinogen (F.l) F.Xlll f fibrin stabilizing factorl Prekursor fibrin Crasslinking fibrin disertai dengan proses amplifikasi sehingga molekul yang dihasilkan akan bertambah banyak. Gambaran kaskade koagulasi dapat dilihat pada gambar l2-2. Proses pembekuan darah bertujuan untuk mengatasi uascu/ar injury sehinega tidak terjadi perdarahan berlebihan, tetapi proses pembekuan darah ini harus dilokalisir hanya pada daerah injury, tidak boleh menyebar ke tempat lain karena akan membahayakan itu, tubuh membuat mekanisme kontrol di 1-6 mana endotil yang intact memegang perana.r pe.rti.rg. 1. Adanya AT III (anti-thrombin III) yang terikat pada permukaan endotil dengan perantaraan heparan sulfat. AT III akan mengperedaran darah. Untuk inaktifkan thrombin dan faktor Xa. Hemostasis 237 Extrinsic Pathway Fador Xa lntrinsic Pathway Thrombin Fador lxa ,,1,'n I f !,&':^ **.'' Fibrin (crosslinked) Gambar 12-2. Skema kaskade koagulasil 2. Molekul thrombomodulin pada permukaan endotil akan mengikat thrombin. Kompleks thrombin-thrombomodulin akan mengaktifkan protein-C (dengan bantuan protein-S sebagai kofaktor) akan menginaktifkan faktor Va dan faktor MIIa, dengan demikian pembentukan thrombin akan berkurang. Adanya proses pengendali (natural anticoagulanr) di atas serta pengenceran faktor aktif di luar tempar injury dapat mengendalikan proses koagulasi sehingga tidak menyebar ke tempat lain. Proses Fibrinolitik Proses fibrinolitik bertujuan untuk membentuk plasmin yang berguna untuk menghancurkan bekuan fibrin yang berlebihan arau menghancurkan fibrin setelah proses reparasi dinding pembgluh darah selesai sehingga pembuluh darah tersebut kembali p"t.n. t-6 Proses tersebut dapat digambarkan, seperti pada skema gambar I2-3. 238 Hematologi Klinik Ringkas Adanya injury (melalui kalikrein) mengaktifkan tPA yang selanjutnya mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin akan memecah fibrin menjadi FDP Untuk mengendalikan proses fibrinolisis ini maka terdapat faktor pengendali: plasminogen activator inhibitor yang menghambat kerja tPA dan alpha-2 antiplasmin yang menghambat kerja plasmin. Kalikrein ------*TPA (tlssue ptu"rirog", activator) p lasminogen I '' ''altivator l.(' inhibitor Plasminogen i + PLASMIN I I I aloha-2 + anti-plasmin l< Fibrin -# Fibrin Degradation Product (FDP) Gambar 12-3. Skema proses fibrinolisis Diatesis Hemoragik Diatesis hemoragik (hemorrhagic diathesi) adalah keadaan patologik yang timbul karena kelainan faal hemostasis. Dilihat dari patogenesisnya, maka diatesis hemoragik dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: 1. Diatesis hemoragik karena faktor vaskuler; 2. Diatesis hemoragik karena faktor trombosit; 3. Diatesis hemoragik karena faktor koagulasi. PEMERIKSAAN FAAL HEMOSTASIS Pemeriksaan faal hemostasis adalah suatu pemeriksaan yang bertu- juan untuk mengetahui faal hemostasis serta kelainan yang terjadi. Pemeriksaan faal hemostasis sangat penting dalam mendiagnosis t-u diatesis hemoragik. Pemeriksaan ini terdiri *t"r, 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik bertujuan untuk berikut: a. mencari riwayat perdarahan abnormal; Hemostasis 239 b. c. d. 2. Tes penyaring Tes penyaring terdiri atas: a. Tes untuk menilai pembentukan hemostatic plug b. c. 3. mencari kelainan yang mengganggu faal hemostasis, misalya penyakit hati kronik, SLE (systemic lupus erythematzsus), gagal ginjal kronik, keganasan hematologik, dan lainlain; riwayat pemakaian obat; riwayat perdarahan dalam keluarga. i. ii. hitung trombosit Qtlatelet count) ii., PPT apusan darah tepi iii. bleeding time iv. tes torniquet (Rumple-Leede) Tes untuk menilai pembentukan thrombin terdiri atas: i. APTT (actiuating plasma thrombopkstin time) menrlai intrinsic pathway Qtlasma prothrombin time)-menrlai extrinsic pathway. Tes untuk menilai reaksi thrombin-fibrinogen terdiri atas: i. ii. thrombin time stabilitas bekuan dalam salin fisiologik dan 5 M urea d. Tes parakoagulasi Tes khusus Tes khusus lanjutan, yaitu tes untuk mengetahui penyebab kelainan faal hemostasis tersebut. Tes ini dikerjakan sesuai petunjuk tes penyaring: a. tes faal trombosit b. tes Ristocetin c. pengukuran faktor spesifik (faktor d. pengukuran alpha-2 antiplasmin ' pembekuan) DIATESISHEMORAGIKKARENAFAKTOR VASKULER Diatesis hemoragik karena faktor vaskuler adalah penyakit-penyakit dengan kecenderungan perdarahan yang disebabkan oleh kelainan patologik pada dinding pembuluh darah. Kelainan ini dapat dibagi . r. menJa(lr: 1-6 A. Herediter Hereditary hemonhagic teleangiectasia 240 Hematologi Klinik Ringkas B. Didapat, terdiri atas: 1. Purpura simpleks 2. 3. Purpura senilis Purpura alergik terdiri atas: a. 4. Sindrom Henoch-Schonlein Penyakit ini adalah penyakit yang lebih sering dijumpai pada anak-anak akibat kompleks imun setelah infeksi akut. Timbul suatu lgA-mediated uasculitis. Gejalanya berupa: purpura, rasa gatal, pembengkakan sendi, nyeri abdomen dan hematuria. Biasanya bersifat self limiting, tetapi kadang-kadang berkembang menjadi gagal ginjal. b. purpura pada artritis rematoid, SLE, poliarteritis nodosa dan penyakit kolage lain karena terjadinya vaskulitis. Purpura karena infeksi, misalnya pada sepsis akibat infeksi 5. meningokokus. Scuruy: defisiensi vitamin 6. C yang menimbulkan kerusakan bahan interseluler (kolagen) sehingga pembuluh darah mudah pecah sehingga terjadi perifollicular ?etechie. Purpura karena steroid yang mengakibatkan atrofi jaringan ikat penyangga kapiler bawah kulit sehingga pembuluh darah mudah pecah. DIATESIS HEMORAGIK KARENA KELAINAN TROMBOSIT Diatesis hemoragik karena kelainan trombosit dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu' l-6 1. Ti'ombositopenia, yaitu penurunan jumlah trombosit 2. Tiombopati, yaitu kelainan fungsi trombosir. Penyebab Trombositopenia Penyebab trombositopenia pada dasarnya dapat dibagi menjadi 4 golongan besar, seperti terlihat pada tabel 12-2, terdiri atas: a. gangguan produksi trombosist oleh megakariosit dalam sumsum tulang; b. penghancuran trombosit di darah tepi; Hemostasis 241 Tabel 12-2 Penyebab Trombositopenia 1-6 l. Gangguan produksi: 1. Depresi selektif megakariosit karena obat, bahan kimia atau 2. infeksi virus Sebagai bagian dari "bone marrow failure" umum: a. Anemia aplastik b. Leukemia akut c. Sindrom mielodisplastik d. Mielosklerosis e. lnfiltrasi sumsum tulang: limfoma, f. Mieloma multipel g. Anemia Carcinoma megaloblastik trombosit: ll. Peningkatan destruksi 1. Autoimmune thrombocytopenic purpura, alau idiopathic thrombocytopenic purpura [re) 2. lmmune thrombocytopenic purpura sekunder: misalnya pada: SLE, CLL, limfoma 3. Alloimmune thrombocytopenic purpura'. misalnya neonatal thrombocytopenia 4. Drug induced immune thrombocytopenr'a: quinine dan sulfonamid 5. Disseminated intravascular coagulation (DIC) lll. Distribusi tidak normal: Sindrom hipersplenism: di mana terjadi poollng trombosit dalam lien. lV. Akibat pengenceran (ditutionat toss) Akibat transfusi masif c. d. nraldistribusi, misalnya pooling pada suatu organ; akibat pengenceran, misalnya akibat transfusi masif dengan da- rah simpan. PURPURA THROMB O SITOPENIK IDIOPATIK (ID I O PATHI C T HR O MB O CW O P EN I C PURPURA = ITP) ITP adalah kelainan akibat trombositopenia yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), tetapi sekarang diketahui bahwa sebagian besar kelainan ini disebabkan oleh proses imun karena itu disebut 242 Hematologi Klinik Ringkas juga sebagai autoimmune thrombocytopenic purpura. Secara klinik dibagi menjadi 2 kelompok, yairu' r-6 l ITP akut ITP akut lebih sering terjadi pada anak, setelah infeksi virus akut atau vaksinasi, sebagian besar sembuh spontan, tetapi 5-10% berkembang menjadi kronik (berlangsung lebih dari 6 bulan). Diagnosis sebagian besar melalui eksklusi. Jika rhrombosir lebih dari 20xl0e/l tidak diperlukan terapi khusus. Jika thrombosit kurang dari 20x\0e ll dapar diberikan steroid atau immunogiobulin intravena. 2. lTP kronik ITP kronik terutama dijumpai pada wanita umur 15-50 tahun. Perjalanan penyakit bersifat lcronik, hilang timbul berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Jarang mengalami kesembuhan sponran. Patogenesis Pada ITP jumlah trombosit menurun disebabkan oleh trombosit diikat oleh antibodi, terutama IgG. Antibodi terutama ditujukan terhadap gpIIb-IIIa atau .Ib. Tiombosit yang diselimuti antibodi kemudian difagositir oleh makrofag dalam RES terutama lien, akibatnya akan terjadi trombositopenia. Keadaan ini menyebabkan kompensasi dalam bentuk peningkatan megakariosit dalam sumsu- t'.rl"ng.t-6 Gambaran Klinik Gambaran klinik ITB yaitu'1-6 I. onset pelan dengan perdarahan melaiui kulit atau mukosa be- rupa: petechie, echymosit easy bruising, menorrhagia, epistaksis 2. 3. atau perdarahan gusi perdarahan SSP jarang terjadi tetapi jika terjadi bersifat fatal splenomegali dijumpai pada <10%o kasus. Kelainan Laboratorik Pada ITP dapat dijumpai kelainan laboratorium berupa: 1. Darah tepi: trombosit paling sering antara 10.000-50.000/mm3 2. Sumsum tulang: jumlah megakariosit meningkat disertai inti banyak (mubinuclearity) disertai lobulasi Hemostasis 243 3. Imunologi: adanya antiplatelet IgG pada permukaan trombosit atau dalam serum. Yang lebih spesifik adalah antibodi terhadap gplibillla atau gpib. Diagnosis Diagnosis ITP 1. 2. 3. 4. 5. ditegakkan jika dijumpai:1-6 Gambaran klinik berupa perdarahan kulit atau mukosa Tlombositopenia Sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat Antibodi antiplatelzt (IgG) posidfl tetapi bukan suatu keharusan. Tidak ada penyebab trombositopenia sekunder: Terapi Terapi untuk ITP terdiri atas:l-6 1. Terapi untuk mengurangi proses imun sehingga mengurangi perusakan trombosit a. Terapi kortikosteroid: i. untuk menekan aktivitas mononuclear phagocyte (makrofag) sehingga mengurangi destruksi trombosit. mengurangi pengikatan IgG oleh trombosit menekan sintesis antibodi Preparat yang diberi: prednison 60-80 mg/hari kemudian turunkan perlahan-lahan, untuk mencapai dosis pemeliharaan. Dosis pemeliharaan sebaiknya kurang dari 15 mg/hari. Sekitar 80%o kasus mengalami remisi setelah terapi steroid Jika dalam 3 bulan tidak memberi respons pada kortikosteroid (thrombosir <30x10e/l; perlu dosis pemeliharaan "tau yang tinggi maka diperlukan: i. splenektomi-sebagian besar memberi respons baik ii. obat-obat imunosupresif lain: uinuistine, cycbphospbamide ii. iii. b. 2. a:av azathio?rim. Terapi suponif, terapi unnrk mengurangi penganfr trombositopenia a. Pemberian androgen (danazol) b. Pemberian high dose immunoglobulin makrofag unnk menekan fungsi 244 Hematologi Klinik Ringkas c. tansfusi konsentrat trombosit hanya dipertimbangkan pada penderita dengan risiko perdarahan major. GANGGUAN FAAL TROMBOSIT= TROMBOPATI Pada gangguan faal trombosit maka jumlah trombosit normal, terapi trombosit tidak berfungsi dengan baik. Kelainan ini dapat dibagi r r. men.,aol: l-6 1. Trombopati Herediter terdiri atas: a. Platelet pool storage disease Di sini dijumpai gangguan pelepasan ADP dari "dense & alpha granules" sehingga menimbulkan gangguan agregasi trombosit b. Thromboasthenia Glanzman Pada kelainan ini terdapat gangguan reseptor GP IIb-IIIa pada permukaan trombosit sehingga tidak terjadi agregasi trombosit. Penyakit ini diturunkan secara autosomal resesif. c. Sindrom Bernard-Soulier Timbul akibat gangguan reseptor Gp Ib sehingga tidak terjadi adhesi dengan v'WF, dan jaringan ikat subendotil, akibatnya tidak terjadi adhesi trombosit. Bentuk rhrombosir lebih besar dari normal. Kelainan ini diturunkan secara autosomal resesif. d. Penyakit von Wrllebrand terbenruk v\(/F (faktor von \Willebrand) sehingga tidak terjadi adhesi platelet karena v\WF berfungsi menghubungkan kolagen dengan Gp Ib dan GP IiIa dan berkurang-nya F.\4IIC (oleh karena vW'F merupakan karier F.\TIIC dalam darah). Penyakit von Villebrand merupakan gabungdn trombopati dengan kelainan koagulasi. 2. Bentuk didapat (acquired tbrombopath) terdiri atas: a. Akibat terapi aspirin yang mengakibatkan gangguan sintesis Di sini tidak thromboxane b. A2 sehingga mencegah agregasi trombosit; Hiperglobulinemia, seperti pada mieloma multipel dan makroglobulinemia W'aldenstrom, di mana paraprotein akan menyelimuti trombosit y^ng akan mengganggu faal trombosit; Hemostasis 245 c. d. e. Kelainan mieloproliferatif; Gagal ginjal kronik (uremia); Penyakit hati menahun. PENYAKIT VON WILLEBRAND=VON WILLEBRAND'S DISEASE (VWD) Penyakit von 'sTillebrand timbul karena sintesis v'W'F menurun, di mana fungsi faktor von Willebrand (v\X,{F) adalah: 1-6 1. Menunjang adhesi trombosit pada matrik subendotil karena v\(/F memperantarai ikatan GpIIb dan GPIIIa pada permu- kaan trombosit dan jaringan kolagen. Sebagai karier protein dari F. VIIIC dalam darah. Gangguan struktur atau sintesis v'WF mengakibatkan: a. gangguan adhesi trombosit b. menurunnya aktivitas F.VIIIC dalam plasma 2. KlasifikasivWD vWD dapat digolongkan menjadi 3 tipe, yaitu: 1. Tipe I-penurunan 2. 3. sintesis v'W'F; II a-gangguan sintesis multimer v'S7'F besar dan sedang iI b-pembentukan multimer v'\(/F besar yang abnormal sehingga cepat dikeluarkan dari darah; Tipe Ill-sintesis v'S7F sama sekali tidak ada. Type Manifestasi Klinik Di negara Barat v\(/D relatif sering dijumpai, diperkirakan mengenai l%o penduduk dunia, tetapi di Indonesia belum banyak dilaporkan. Penyakit ini diturunkan secara autosomal dominan. Manifestasi kliniknya adalah: perdarahan sedang, epistaksis sejak kecil, menorrhagi, perdarahan dari luka, ekstraksi gigi, atau postoperasi, perdarahan besar, hematom, tetapi perdarahan sendi jarang dijumpai.l-6 Kelainan Laboratorium Padi v\X/D kelainan labo.ratorium dapat dijumpai dalam bentuk, seperri: 246 Hematologi Klinik Ringkas 1. \W'akru perdarahan memanjang. 2. APTT sedikit meningkat. 3. Ristocetin induced platelet aggregation test negaif, kecuali pada tipe IIb. 4. 5. Elektroforesis: v\(F menurun pada tipe I atau nol pada tipe III Imunoelektroforesis: multimer besar negatif pada tipe IIa, multimer besar negatif, dengan multimer sedang meningkat pada tipe IIb. Terapi Pengobatan untuk v\VD adalah:r-6 1 Infus Desmopressin (DDAVP) y"ttg dapat melepaskan vWF 2. dari cadangan dalam endotil. Terapi ganti dengan "single donor cryoprecipitate",jangan memakai EVIII concenctrate. 3. Dapat juga diberilan epsibn aminocaproic acid aau asam traneksamat Diagnosis Diferensial dengan Hemofili Penyakit von \Willebrand harus dibedakan dengan hemofili B, di mana pada v'WD: 1. \7aktu perdarahan (bleeding time) memanjang 2. 3. A atau Ristocetin test negaif Kadar v\(/F menurun GANG GUAN KOAGULASI HEREDITER HEMOFILI A dan B Hemofili A dan B merupakan gangguan faal koagulasi herediter 'Willebrand. yang paling sering dijumpai disamping penyakit von Insiden penyakit ini adalah I-2 per 10.000 penduduk/tahun. Hemofili A merupakan 85o/o, sedangkan hemofili B merupakan 157o kasus hemofili.r-6 . Patogenesis Dasar patogenesis, yaiturt-6 Hemostasis 247 l. 2. Hemofili A disebabkan oleh defisiensi F.YlIl cloning actiuity (F.VIIIC) dapat karena sintesis menurun atau pembentukan F.VIII. C dengan struktur abnormal. Hemofili B disebabkan karena defisiensi F.IX. F.VIII diperlukan dalam pembentukan tenlse czm?lex yang akan mengaktifkan F X. Defisiensi F VIII mengganggu jalur intrinsik sehingga menyebabkan berkurangnya pembentukan fibrin. Ai<ibatnya terjadilah gangguan koagulasi. Hemofili diturunkan secara sex-linhed recessiue. Lebih dari 30o/o kasus hemofili tidak disertai riwayat keluarga, mutasi timbul secara spontan. Derajat Penyakit Derajat penyakit hemofili ditentukan oleh kadar faktor MII atau faktor IX dalam darah:l-6 1. berat (seuere): aktivitas F.\lII/F.IX <17o normal akan timbul 2. 3. gejala klinik berat; sedang (moderate): aktivitas F.VIII/F.IX antara l-5o/o; ringan (mild): aktivitas F.\IIII/F.IX antara 5-30o/o. GejalaKlinik klinik hemofili A dan hemofili B tidak dapat dibedakan. Hemofili dijumpai pada anak lakilaki, sedangkan anak wanita sebagian besar sebagai karier. Gejala klinik dapat timbul berupa: 1, perdarahan sejak kecil: perdarahan saat sirkumsisi, pencabutan Gejala 2. gigi, atau luka postrauma; perdarahan spontan sering terjadi tejrutama perdarahan sendi (haemarthro). Perdarahan sendi berulang-ulang menyebabkan kerusakan sendi (anklllose) dan gangguan berjalan. Perdarahan otot dan hematoma juga sering terjadi. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium untuk kasus hemofili adalah:1-6 l Tes penyaring APTT memanjang, sedangkan waktu perdarahan, PPT dan waktu trombin normal. APTT dapat tidak memanjang (normal) pada kasus hemofili ringan. 248 2. Hematologi KLinik Ringkas Tes konfirmatif terdiri atas: a. pengukuran kuantitatif F.\4II dan F.IX b jika F. VIII defisiensi maka dilanjutkan dengan pemeriksaan faktor von Willebrand 3. Pemeriksaan pada karier wanita-juga menunjukkan F.VIIIC menurun (5Ooto). Diagnosis Diferensial Diagnosis banding perlu dilakukan untuk membedakan hemofili A, hemofili B, dan penyakit von Villebrand, seperti terlihat pada tabel r2-3. Tabel 12-3 Diagnosis Dif erensial Hemofili Hemofili A Hemofili B Penyakit von Willebrand l.lnheritance sex 2.Tempat otot, 3.Bteedingtime N N linked sex linked sendi, otot,sendi, perdarahan postrauma postrauma 4.PPT 5.APTT 6. F.VlllC Memanjang N N Memanjang Rendah N 7.F.VlllR:AG N N autosomal dominan (inkomplit) mukosa, luka kulit, postrauma /operasi Memanjang N Memanjang N Rendah (vWF) 8. F. lX g.Tesristosetin N N Rendah N N Negatif Pengobatan Pada prinsipnya pengobaran hemofili bersifat multidisiplin, dilakukan oleh ahli klinik (pediatri atau interna), patologi klinik, ahli rehabilitasi medik, ortopedik dan ahli psikologi:1-6 Modalitas terapi terdiri atas: 1. pemberian F.VIII untuk hemofili A dan F.IX untuk hemofili B selama hidup; 2. pencegahan kecacatan dengan pendidikan kesehatan; 3. rehabilitasi apabila terjadi kerusakan sendi. Hemostasis 249 Untuk terapi, preparat yang dapat dipakai 7. 2. 3. adalah: cryoprecipitate mengandung F. VIII, vWF, fibrinogen, F.XIII. Iyophilized F.VIII komersial-dibuat dari pool donor (2000-5000 orang) bahaya penularan hepatitis dan HIV (AIDS) lyophilized FlX-prothrombin czmplex concentrate mengandung semua uit K-dependent factors. Pemberian Desmopressin (DDAW): Pada hemofili ringan, DDAV dapat mengeluarkan cadangan F.VIIIR AG (faktor von'W'illebrand) untuk mengurangi kebutuhan F.VIIL Perawatan dan rehabilitasi diberikan berupa berikut: 1. perawatan sendi untuk mencegah terjadinya ankilosis; 2. perawaran gigi; 3. pendidikan kesehatan untuk menghindari trauma (seminimal; mungkin), serta hindari pemberian injeksi intramuskuler; hindari pemberian aspirin. 4. GUAN KOAGULA SI DIDAPAT (AC QUIRED C O AGIILATI ON DIS ORDERS) Yang termasuk kelompok ini ialah:l-6 1. Defisiensi vitamin K; GAN 2. 3. 4. G Gangguan perdarahan pada penyakit hati; Disseminated intrauascular coagulation (DIC); Kelainan akibat timbulnya antibodi terhadap faktor pembeku. DEFISIENSI VITAMIN K Kekurangan vitamin K akan menggang$u "uitamin K-dependent factori': prothrombin, F.VII, F.IX dan F.X sehingga menyebabkan gangguan pada kaskade koagulasi, rerurama pada extrinsix pathway dan common patltulay.\-6 Penyebab defisiensi vitamin K, yaitu: 1. Penyediaan vitamin a. b. K tidak adekuat penderita dengan nutrisi tidak adekuat penderita memakai antibiotika jangka panjang sehingga membunuh flora usus 2. Absorpsi terganggu a. b. ikterus obstruktiva kelainan usus dengan steatorrltea (sprue, ileitis) 3. Fungsi vitamin K dihambat oleh antikoagulan 250 Hematologi Klinik Ringkas Kelainan Laboratorium Pada defisiensi vitamin K dijumpai gangguan fungsi prothrombin, F.VII, F.IX dan F.X sehingga memberikan manifestasi laboratorik r l-6 Derupa: 1. PPT 2. 3. memanjang APTT normal Thrombin time normal Diagnosis Diagnosis ditegakkan jika ada kecurigaan klinik, Iakukan pemerik- saan PPT kemudian beri 25 mg vitamin Kl subkutan. Dilakukan pemeriksaan ulang PPT setelah 24 jam. Jika PPT mendekati normal maka diagnosis defisiensi vitamin K dapat dibuat. Terapi Jika terdapat perdarahan membahayakan maka berikan 25 mgYiramin Kl intravena perlahan-lahan. Juga diberikan transfusi plasma segar atau fesh fozen plasma.r'6 GANGGUAN PERDARAHAN PADA PENYAKIT HATI Gangguan hemostasis sangat sering dijumpai pada penyakit hati. Patogenesisnya sangat kompleks antara lain karena:1-6 1 Gangguan sintesis faktor koagulasi 2. Meningkatnya fibrinolisis oleh: a. gangguan pembersihan TPA oleh hati b. 2 anti plasmin 3. Obstruksi bilier mengganggu absorpsi vitamin K menggangu fungsi F. II, VII, IX dan X 4. hepatosit juga membentuk alpha sehingga Splenomegali dapat menimbulkan hipersplenisme yang mengakibatkan trombositopenia dan gangguan faal trombosit. 5. Gangguan faal fibrinogen (dysfbrinogenemia) Acute 6. Akibat DIC, misalnya pada acute fulminant hepatith ^tav liuer degeneration' of pregnancy. fatty Hemostasis 251 KOAGULASI INTRAVASKULER DISEMINTA (KID)= DISSEMINATED INTRAUAS CULAR C O AGULATION (DIC) deposisi fibrin sistemik dan pada saat yang sama terjadi -kecenderungan perdarah- DIC ialah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh an. Keadaan ini mengakibatkan berikut:t-u a. konsumsi berlebihan faktor pembekuan darah dan uombosit sehingga menimbulkan defisiensi faktor pembekuan dan trombositopenia. b. fibrinolisis sekunder yang menghasilkan FDP (fibrin/fibrinogen degradation product) yang bekerja sebagai antikoagulan. Adanya deposisi fibrin dan kedua hal di atas menyebabkan-terjadi.ry" p.rj"r"h"r, d"., thrombosis pada saat bersamaan. Bick25 memberikan definisi minimal sebagai berikut: DIC adalah suatu kelainan thrombohemoragik sistemik yang dijumpai bersamaan dengan ke' lainan klinis tertentu dan adanya bukti laboratorik dari (1) aktivasi prokoagulan; (2) aktivasi fibrinolitik; (3) konsumsi inhibitor; dan (4) bukti biokimia kerusakan atau gagal end-organ. Nama lain penyakit ini adalah Consumptiue coagulopathy atau Defibrination slndrome. Patogenesis DIC Lpat dijumpai pada 3 jenis kelainan:r-6 1. Infeksi berat terutama oleh sepsis gram negatif, Closnidium tuelchii, malaria berat dan infeksi virus tertentu. 2. Pada komplikasi kehamilan terdiri atas: a. solutio Placentae b. emboli cairan amnion c. IIJFD (innauterine foetal death) d. abortus septik atau abortus yang dirangsang dengan cairan hipertonik e. endotoksinemia, misalnya pada septic abortion 3. Pada penyakit a. b. keganasan: "mucous tecreting carcinoma": pankreas, prostat' kolon dan paru leukemia promielositik akut 252 Hematologi Ktinik Ringkas Penyebab lain adalah reaksi transfusi, syok anafilaktik, kerusakan jaringan yang luas seperri pada trauma atau luka bakar, kerusakan hati berat dan gigitan ular. DIC akan mengakibatkan antara lain: 1. uombositopenia 2. defisiensi faktor pembeku 3. munculnya FDP dalam plasma 4. microangiopathic haemolttic anemia Patogenesis DIC dilukiskan pada + gambar 124. Masuknya prokoagulan ke peredaran darahlkerusakan endotil yang luas Cantagt activatiotl lrssle lt fibrinolisis --r Coagulalrbn ptatelet/ u.":'ino' ..Tt:rl + platelet Prothrombin r\vr Konsumsi tJul'Dl'tdtuttrt -l plasmin :_ \ --_ Thrombin \ \ t/\\ Trorlbositopenia I Fibnnogei-- riorin L- Koagulasi diseminata (anti koagulan) /t Konsumsi f. pembeku I Defisiensi faklor % _\Sirt.* factor \ pembeku \ BLEEDTNG -:-""IHROMEOSiS I + Multiple organ failure Gambar 12-4. Skema patogenesis DIC rpo Hemostasis 253 GeialaKlinik Gejala klinik DiC yang dapat dijumpai ialah,r-6 1. Perdarahan: kulit (petechie dan echymoizs), perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan lainlain), easy bruising dan perdarahan organ; 2. Hemorrhagic tissue necrosis dan oklusi multipel pembuluh darah kecil sehingga menimbulkan muhiple organ failure antara lain: a. ginjal: menimbulkan gagal ginjal b. adrenal dan kulit: Vaterltouse-Fredricksen syndrome. c. pembuluh darah tepi menimbulkan gangren d. hati menimbulkan ikterus e. otak menimbulkan kesadaran menurun' 3. Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab DIC Manifestasi Laboratorik Manifestasi laboratorik DIC adalah:1-6 1. trombositopenia-dapat diketahui dari hitung trombosit dan evaluasi trombosit pada apusan darah tepi; 2. APTT, PPT dan thrombin time memaryang, APTT lebih sensitif dibandingkan dengan PPT pada DIC; 3. fibrinogen plasma menurun; 4. FDP dalam serum meningkat; 5. faktor VIII dan faktor V menurun; 5. apusan darah tepi: anemia mikroangiopatik dengan dijumpai adanya fragmentosit dan mikrosferosit; 7. DD-dimer (hasil pemecahan fibrin ikat silang) positif; 8. tes parakoagulasi positif. Diagnosis Bick membuat kriteria diagnosis berdasarkan kriteria klinis dan laborarorik. Kriteria ldinis minimal adalah:') l. Bukti klinis adanya perdarahan, thrombosis, atau keduanya 2. Gejala tersebut harus terjadi pada setting klinis tertentu' sePerti yang sudah disebutkan di depan Kriteria laboratorik untuk DIC adalah: 1. Tes grup I (bukti adanya aktivasi prokoagulasi) a. peningkatan fragmen prothrombin l+2 254 Hematologi Klinik Ringkas b. peningkatan fibrinopeptida A c. peningkatan fibrinopeptida B d. peningkatan kompleks TAT (thrombin-antithrombin) e. peningkatan D-dimer 2. Tes grup II (bukti adanya aktivasi sistem fibrinolitik) a. peningkatan D-dimer b. peningkatan FDP c. peningkatan plasmin d. peningkatan kompleks plasmin-antiplasmin 3. Tes grup III (bukti adanya konsumsi inhibitor) a. penurunan AT-III b. penurunan alpha-2-antiplasmin c. penurunan heparin kofaktor .II d. penurunari protein C dan S e. peningkatan kompleks TAT 4. Tes grup IV (bukti a. b. c. d. adanya kerusakan atau gagal end-organ) peningkatan LDH peningkatan kreatinin serum penurunan pH penurunan pAO, Untuk menegakkan diagnostik laboratorik DIC hanya diperlukan satu dari masing-masing grup I, II, dan III dan paling sedikit dua dari grup IV. D-dimer yang paling reliabel untuk pemeriksaan tes grup I dan II jika diperiksa dengan cara yang benar. Terapi Terapi DIC bersifar sangat kompleks, tetapi pada prinsipnya dapat berupa berikut:l-6 terapi terhadap ^. ling penting; penyakit dasar merupakan tindakan yang pab. terapi suportif dengan darah segar, fesh frozen plasma, fibrinoc. gen, atau platelet concentrate; pemberian heparin. Sampai saar ini pemberian heparin masih kontroversial karena dapat menimbulkan/menambah perdarahan. Bab 13 THROMBOSIS Thrombosis adalah terbentuknya massa bekuan darah inrravaskuler pada orang yang masih hidup. Hal ini harus dibedakan dengan "postmortem coaguhtion", yang menunjuk pada bekuan darah pada orang yang sudah meninggal. Sedangkan thrombophilia atau " hyerclagulable state" adalah kecenderungan peningkatan risiko thrombosis (baik vena maupun arteri) pada seseorang' yang bisa bersifat didapat (acquired) atau diturunkan (herediter). Emboli ada- lah terlepasnya seluruh atau sebagian thrombus yang kemudian menyumbat pembuluh darah yang lebih distal. Thrombosis dapat terjadi pada arteri yang dikenal sebagai "arterial throm-bosii', atauPun p"d" ,r..r" y"rrg dil.tt"l sebagai "uenous throm,bosii'.r'6 Thrombosis dapat mengenai berbagai pembuluh darah, dapat (CW)' czrondry arterial (RW)' peripheral thrombosis GAf), retinal (DW) dengan pulrnouascular thrombosis (PW), deep uein thrombosis menimbulkan cerebrouascular thrombosis uascular thrombosis nary emboli (PE). Kelainan ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas tersering di negara maju. Di Amerika Serikat lebih dari dua juta penduduk meninggal setiaP tahun disebabkan oleh thrombosis arteri atau vena, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian karena kanker yang hanya 550.000 per tahun." Patogenesis Thrombosis Lebih dari 100 tahun yang lalu Rudolph Virchow pada tahun i854 mengemuka.kan Virchota's Tiiad (gambar I2-3), yang prinsipnya sampai sekarang masih dianggap ualid. Berdasarkin Vircltou's triad, thrombosis timtul karena tig" h"l, y"ittr,t-6'e Kelainan dinding pembuluh darah (uascular injury) ^. b. Gangguan aliran darah (gangguan rheohgi c. Kelainan konstituen darah. (hypercoagulable state) Pada thrombosis arterial ketiga faktor tersebut memegang peranan penting, tetapi pada thrombosis vena thrombosis dapat terjadi pada 255 256 Hematologi Klinik Ringkas Faktor Faskular Faktor aliran darah (Rheologi) Faktor koagulasi (Hypercoagulable sfafe) Gambar L3-1. Skema Virchow's triad dinding pembuluh daiah yang masih intak, berarti yang berperanan penting adalah faktor aliran darah (stasis) dan keadaan hiperkoagulabel. Pada thrombosis arterial, proses dimulai dari endotil yang di mana terjadi aktivasi trombosit yang menyebabkan adhesi dan agregasi trombosit pada dinding pembuluh darah. Grjadilah thrombus dengan komponen utamanya yaitu trombosit yang diikat oleh serat-serat fibrin dan beberapa sel darah merah, thrombus ini berwarna agak keputihan, disebut sebagai zuhite mengalami kerusakan thrombus. Sedangkan pada thrombosis vena komponen uramanF adalah fibrin dengan banyak sel darah merah sehingga thrombus ini disebut sebagai red thrombus. Perbedaan jenis thiombus ini ditentukan oleh perbedaan kecepatan aliran darah (shear rate) pada arteri dan vena. Thrombus putih daya kohesinya lebih kuat sehingga tidak mudah terlepas, sedangkan thrombus merah leblh fiable sehingga lebih mudah lepas sebagai emboli. r-7 Kelainan Dasar atau Faktor Risiko yang Dihubungkan dengan Timbulnya Thrombosis Seperti halnya dengan anemia maka pada thrombosis kita tidaldah cukup hanya sampai diagnosis thrombosis, tetapi yang lebih penting adalah mencari penyakit dasar atau faktor risiko dari thrombosis.l Thrombosis 257 Faktor risiko ini dapat dibagi menjadi 3 golongan besarr a. Situational rish factors 6. Inherited risk factors (inherited thrombophilia) c. Acquired rish factors (acquired thrombophilia) I nherited thromboph Acq uired thrombophilia il i a THROMBOSIS Situational risk factor Gambar 13-2. Faktor riliko te4adittya thrornbosis Situational rish facrors menunjukkan keadaan klinis yang jelas (well defined) dan transien yang disertai peningkatan risiko thrombosis selama keadaan tersebut atau sesaat setelah keadaan tersebut. Contohnya: operasi, imobilisasi berkepanjangan, pemakaian kontraseptif oral (oral contraceptiue=OCP), terapi ganti hormon (hormone replacement therapy=lf\f), kehamilan, kemoterapi kanker, dan heparin-induced thrombocytopenia.I Inherited risk factors menunjukkan adanya mutasi genetik atau polimorfism e yang menyebabkan defisiensi antikoagulan alamiah (protein C, protein S atau AT), akumulasi faktor prokoagulan (prothrombin G20210A, atau ensim methyltenahydrofoalte reductase), atau faktor koagulan yang resisten terhadap inaktivasi antikoagulan alamiah (faktor V Leiden). Semua keadaan ini menyebabkan terganggunya mekanisme regulasi koagulasi normal yang menghasilkan lebih banyak thrombin yang mengakibatkan peningkatan risiko thrombosis.l Acquired risk factors timbul sebagai akibat kelainan medik atau kelainan hematologik nonfamilial yang mengganggu hemostasis normal 258 Hematologi Klinik Ringkas atau reologi darah. Contohnya adalah kanker, inflammatory bowel disease, sindrom nefrotik, vaskulitis, sindrom antiposfolipid, kelainan mieloprolife ratif , p aroxysmal no cturnal hemoglo b inuria, dan sindrom hiperviscositas. Berbeda dengan situational rish factor yang bersifat transien, acquired risk factors disebabkan oleh penyakit atau proses yang bersifat ireversibel. Daftar penyebab rhrombophilia didapat, herediter atau gabungan herediter dan didapat dapat dilihat pada tabel 13-1. Tabel 13-1 Thrombophilia didapat dan Herediter s Inherited disorders APC resistance Factor V Leiden mutation Factor V Cambridge Factor V Hongkong Factor V HR2 mutation Prothrombin 20210A mutation Factor XII deficiency Dysfibrinogenemia Platelet defecfs; sticky platelet syndrome Disorders both inherited and acquired Antithrombin deficiency Heparin cofactor ll deficiency Protein C deficiency Protein S deficiency Plasminogen deficiency APC resistence Acquired disorders Antiphospholipid antibodies Anticardiolipin antibodies Lupus anticoagulant Myelop rol ife rative di sord e rs Irousseau syndrome (cancer) Paroxysmal nocturnal syndrome Drabefes mellitus Hypervi scosity syndrome Thrombosis 259 Thrombophilia Herediter Resistensi Terhadap Faktor Protein C Aktif (Activated Protein C Resisfance) Yang paling sering menyebabkan resistensi terhadap protein C aktif adalah faktor V Leiden. Dalam keadaan normal faktor V akdf dipecah oleh protein C aktif pada asam amino arginin nomor 506, sehingga faktor V aktif menjadi tidak aktif, akibatnya pembentukan thrombin dapat dikendalikan. Pada faktor V Leiden terjadi mutasi yang mengakibatkan penggantian asam amino arginin pada posisi 506 dengan glutamin (R506Q). Penggantian asam amino ini mengakibatkan protein C aktif tidak dapat memecah faktor V aktif, keadaan ini disebut APC resistance (actiuated protein C resistance). Faktor V aktif yang berlebihan mengakibatkan jumlah thrombin tidak terkendali yang berarti meningkatkan risiko thrombosis. ,4PC lesistance karena faktor V Leiden merupakan penyebab terbanyak hiperkoagulabilitas herediter pada orang kulit putih. Heterosigot faktor V Leiden meningkatkan 2-10 kaii lipat risiko thrombosis vena. Thrombosis vena merupakan manifestasi utama faktor V Leiden, jarang dihubungkan d.ng"n thrombosis arteri.t'4'25 Interaksi Berbagai Faktor Risiko Pada seorang penderita dapat dijumpai gabungan beberapa faktor risiko, baik faktor risiko situasional, herediter atau didapat. Interaksi antara faktor herediter disebut "gene to gene interaction", sedangkan interaksi faktor herediter dengan faktor didapat disebut "gene to enuirontment interdction".25 S"."." teoritik gabungan faktor risiko ini akan meningkatkan risiko thrombosis' Masih diperlukan penelitian Iebih lanjut apakah interaksi ini mengikuti model additiue efects ataukah supra-additiue ffict. Pada model additiue effect diasumstkan bahwa tidak ada interaksi dan efek yang timbul merupakan penjumlahan masing-masing efek. Pada model supra-additiue ffict diasumsikan terjadi interaksi dan efek yang timbul lebih dari penjumlahan masing-masing efek.25 260 Hematologi Klinik Ringkas Prothromb in G20210A M utation Pada prorhrombin G20210A terjadi single-point mutation pada 3'unstranslated region dari gen prothrombin yang mengakibatkan substitusi guanidin (G) dengan adenin pada nukleotida 20210. Mutasi ini menyebabkan meningkatnya kadar prothrombin plasma sampai lebih dari l50o/o dari normal. Bentuk heterosigot prothrombin G20210A meningkatkan risiko thrombosis vena dua sampai enam kali lip^t. 1'a't5 Defisiensi Protein G dan Protein S Protein C oleh kompleks thrombin-thrombomodulin dengan bantuan kofaktor protein S akan diaktifkan menjadi protein C akrif (actiuated protein C = APC). APC akan menonaktifkan faktor V aktif (Va) menjadi faktor V tidak aktif sehingga menghambat pembentukan thrombin. Defisiensi prorein C arau protein S menghilangkan kendali pembentukan thrombin sehingga menambah kecenderungan rhrombosis. Defisiensi protein C dihubungkan dengan thrombosis urn . ''4''5 Defisiensi Antithrombin Antithrombin (dulu dikenal sebagai antithrombin III) merupakan antikoagulan natural yang menghambat thrombin dan faktor Xa. Defisiensi AI bersifat herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. Defisiensi AT dapat juga bersifat didapat (acquired). Manifestasi utama defisiensi AI adalah thrombosis urn^.''4''5 Hyperhomocysteinemia Hiperhomosisteinemia dapat bersifat herediter atau didapat. Ho- mosintein terbenmk selama konversi methionin menjadi sistein. Hiperhomosisteinemia herediter terjadi karena mutasi MTHFR gene. Hiperhomosisteinemia dihubungkan dengan thrombosis arteri dan juga dengan thrombosis vena. Mekanisme terjadinya thrombosis pada hiperhomosisteinemia belum diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan melalui deskuamasi endotil, oksidasi LDL, peningkatan adhesi monosit pada endotil, aktivasi faktor V dan peningkatan pembentukan thrombin. Manifestasi klinis berupa thrombosis vena dan arteri yang rekuren, seperri atherosklerosis prematur pada arteri koroner dan arteri perifer. Thrombosis 261 Thrombophilia Didapat S indrom Antifosfolipid Sindrom antifosfolipid adalah sindrom yang terdiri atas thrombosis vena, arteri atau pembuluh darah kecil dan pregnanc! hss pada penderita dengan antibodi terhadap phospholipid atau protein yang terikat dengan fosfolipid, terutama beta2-glikoprotein I. Antibodi terhadap fosfolipid terdiri atas antikardiolipin atau antibeta2-glikoprotein I yang diperiksa dengan ELISA atau lupus anticoagulant antibody yang diperilaa dengan coaguktion msay, misalnya dilute Rusell's uiper uenom test. Mekanisme terjadinya thrombosis diperkirakan melalui aktivasi endotil oleh autoantibodi, oksidasi LDL atau gangguan terhadap mekanisme koagulasi yang tergantung fosfolipid, seperti terPaparnya selubung anexin V Manifestasi sindroma ini dapat tierupa deep uein thrombosis pada tungkai bawah, penyakit arteri perifer, penyakit jant'.r.rg ko.on.r atau stroke. Di bidang kebidanan menimbulkan abortus b.rJl"rrg, kematian janin intrau,..i., *,"u kelahiran pr..r,"t,r.. t'4''5 Stasis Vena dan lmobilitas Stasis vena karena kelainan vena sendiri atau karena faktor luar me- mudahkan terjadi kontak faktor pembekuan dengan endotil yang akhirnya meningkatkan risiko thrombosis. Imobilitas memperlambat aliran vena karena tidak bekerjanya pompa otot juga menyebabkan r'a'15 stasis aliran darah sehingga meningkatkan risiko thrombosis. Thrombosis Vena Pascaoperasi Operasi yang disertai kerusakan jaringan yang luas meningkatkan aktivitas faktor jaringan sehingga meningkatkan risiko thrombosis. Operasi yang mempunyai risiko tinggi adalah operasi besar pada abdomen dan operasi panggul. Keganasan Penderita dengan kanker paru, payudara, prostat, pankreas dan saluran cerna mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya thrombosis. Terapi Estrogen Terapi estrogen meningkatkan kadar faktor II, \rll, VIII, iX dan X serra menurunkan kadar antithrombin dan tissue plasminogen nctiuator. 262 Hematologi Ktinik Ringkas Terjadi peningkatan risiko thrombosis vena pada pascaoperasi pada penderita yang mendapat terapi ganti estrogen dosis tinggi. Kelainan Darah Peningkatan viskositas darah, thrombositosis dan gangguan resepror thrombosit meningkatkan risiko thrombosis pada polisitemia vera dan thrombositosis esensial. Pada polisitemia vera, masa erirrosit yang meningkat mengakibatkan meningkatnya jumlah eritrosit pada aliran aksial dan mendorong thrombosit ke tepi sehingga thrombosit dan endotil mempunyai kontak yang lebih besar. Peningkatan thrombosis juga dijumpai pada paroxysmal nocturnal hemoglobinuria. Atherothrombosis Atherotrombosis adalah thrombosis yang terjadi (superimposed) di atas plak atheroma pada dinding pembuluh darah. Atherothrombosis menunjukkan konsep baru bahwa proses atherosklerosis (pembentukan plak atheroma) dan thrombosis akut mempunyai hubungan integral dengan uascular euents. Konsep atherothrombosis menjadi penting karena thrombosis kardiovaskuler yang ditimbulkannya merupakan penyebab kematian urama di seluruh dunia. Pada atherothrombosis, proses thrombosis dipicu oleh ruptur atau fisur pada permukaan plak yang tidak stabil (unstable plaque) sehingga meningkarkan ekspresi tissue factor dan akrivasi thrombosir. Maka faktor risiko pada atherothrombosis dapat berasal dari throm- bophiiia herediter atau thrombophilia didapat, dapat juga berasal dari faktor risiko arheroskle.osis. l'4'25 Thrombosis Vena Dalam Thrombosis vena dalam arau deep uein thrombaszi (DVT) adalah terbentuknya thrombus pada vena profunda rerurama pada tungkai bawah. Thrombus yang terbentuk adalah thrombus merah karena terdiri fibrin dan sel darah merah, komponen thrombosit hanya sedikit. Thrombus merah lebih mudah lepas sehingga menimbulkan emboli, terurama emboli paru. Thromboemboli vena merupakan kelainan yang sering dijumpai dengan insiden 117 kasus/100.000 penduduk/tahun. Insiden me- Thrombosis 263 ningkat dengan meningkatnya umur' Emboli paru 90o/o lebih berasal dari vena profunda tungkai bawah." patogenesis thrombosis terurama akibat stasis aliran darah serta hiperkoigulabilitas darah. Faktor kelainan vaskuler (endotil)'tidak memegang peran penting sePerti pada thrombosis arteri' Faktor ""t"I p.ny.b"b thrJmbosis lren" dalam adalahtt'a'6'21 .iriko l. Umur. Risiko thrombosis meningkat dengan meningkatnya umur 2. Imobilitas lama 3. Obesitas 4. Kelainan neurologi. Tirngkai yang mengalami paresis cenderung mengalami thrombosis 5. Penyakit jantung. Payah jantung akibat infark miokatd disertai thrombosis vena dalam. 6. Kehamilan dan masa PostPartum. 7. Kontrasepsi oral' 8. Pembedahan. Pembedahan ortopedi, terutama 9. 25o/o pada sendi fe- mur atau lutut, disertai 35-50o/o DVT, operasi abdomen 15%0, operasi urologi 7-35o/o, operasi ginekologi 7-27o/o'za Keganasan. Penderita dengan keganasan mempunyai kemungkinan 20%o terkena thrombosis.'* 10. Thrombophilia herediter: Faktor V Leiden (20-40o/o)' pto' thrombin G20210A (60/o), defisiensi protein C (4o/o), hiperhomosisteinemia (10olo), defisiensi protein S (3-4Vo)' disfibrinogenemia (3o/o), defisiensi antithrombin (lo/o)'"' Gejala klinik DVT berupa nyeri tungkai disertai nyeri tekan' pembengkakan, distensi vena Permukaan, dan sianosis yang terjadi unilateral. Gejala kliniknya sulit dibedakan dengan pembendungan vena karena sebab bukan thrombosis' Pemeriksaan laboratorium yang sering dikerjakan adalah pengukuran kadar D-dimer plasma. D-dimer meningkat pada thrombosis yang baru terjadi. Hasil positif bersifat tidak spesifik, hasil negatif menguiangi (eksklusi) kemungkinan thrombosis' Pemeriksaan "serial comltression ultrasouni' merupakan pemeriksaan paling reliabel dan praktis untuk DVT. Sangat baik jika dikombinasikan dengan tes Doppler. Pemeriksaan "contrast uenzgra?h!" 264 Hematologi Klinik Ringkas dapat menunjukkan tempar dan ukuran thrombus, tetapi pemeriksaan ini bersifat invasii serra menimbulkan rasa nyeri. Terapi urama DVT adalah pemberian antikoagulan, heparin atau heparin berat molekul rendah. \Tarfarin diberikan bersamaan dengan pemberian heparin, dalam 4-5 hari, setelah tercapai INR 2,5-3, heparin diturunkan. tVarfarin diberikan selama 3-6 bulan. pemberian thrombolitik pada DVT saat ini sangat terbatas indikasinya.a Terapi Thrombosis Grapi thrombosis harus didasarkan pada patogenesisnya sehingga dengan demikian bersifat lebih rasional (tabel l3-Z). Tabel 13-2 Prinsip Terapi Thrombosis Berdasarkan P ato ge n e s isny ar'a,o'za Patogenesis Faktor risiko Tindakan Pencegahan: mengendalikan faktor risiko Aktivasi thrombosit t t Platelet adhesion Platelet aggregation Koagulasi darah Thrombosis Obat antiplatelet Antikoagulan Thrombolitik Pencegahan thrombosis merupakan tindakan paling penting sebelum thrombosis menimbulkan dampak negatif. Untuk pence- gahan maka faktor risiko harus dikendalikan. Faktor risiko yang dapat dikendalikan adalah faktor risiko yang didapat, rerurama throm, bophilia didapat dan faktor risiko untuk atherosklerosis. Thrombophilia herediter tidak dapat dicegah hanya dapat dianrisipasi. 1'a'6,2a Obat0bat Antiplatelet Thrombosit merupakan faktor penting dalam pembentukan thrombus. Obat-obat antiplateler bertujuan untuk menghambat agregasi thrombosit. Oleh karena itu, sebaiknya diberikan sebelum thrombus terjadi (pencegahan) atau diberikan pada saat thrombosis untuk mencegah Thrombosis 265 pembentukan thrombus baru. Obat-obat antiplatelet telah terbukti dapat mengurangi uascular euent secara bermakna- Obat-obat antiplatelet dapat digolongkan menjadi golongan b.."r, yaitu'l'4'6'24 emPat 1. Cyclooxygenase inhibiton aspirin 2. Obat-obat yang menghambat reseptor ADP: tirlopidin dan cloptdagrel 3. Obat-obat yang menghambat phoqlndizsterase cilosawl dipyidamole 4. Obat-obat yang menghambat glycoprotein nb/fH recEtor: dbcixinab Aspirin fupirin menghambat enzim siklooksigenase thrombosit secara ireversibel sehingga menyebabkan menurunnya thromboxane'L2' Thromboxane A2 merupakan agonist untuk aktivasi thrombosit. Aspirin dosis kecil (80-160 mg) terbukti dapat mengurangi kejadian penyakit jantung koroner. Aspirin juga dapat mencegah thrombosis pada penderita dengan thrombositosis. Aspirin terbukti mempunyai sinergi dengan clopidogrel dalam mencegah thrombosis pada Penya- kit jantung koro.t.. yang -e-akai stert.t'4'6'24 Obat-Obat Penghambat Reseptor ADP Tic lop idin e dan bp idogre I tergolong sebagai th ienoplridinr-s. Keduanya menghambat reseptor ADB meskipun dengan cara yang berbeda' sehingga menghambat agregasi thrombosit. Kedua obat ini dipakai c setelah angioplasti. Clopidogrel banyak dipakai setelah coronary artery stenting. Ticlopidine dilaporkan mempunyai efek samping neutroPe- nia dan thrombosito prni^. t'4'o''4 Obat Penghambat Fosfodiesterase Cilostasol dan dipyridamol dapit" menghambat ensim fosfodiesterase yang berfungsi dalam perubahan CAMP menjadi AMP sehingga menghambat agregasi thrombosit. Obat-Obat Penghambat Reseptor Gpllb/llla Reseptor GpIIb/IIIa adalah resePtor yang berfungsi untuk menghubungkan fibrinogen dengan thrombosit yang sangat penting dalam proses agregasi thrombosit. Reseptor ini merupakan reseptor y^ng pa' ling banyak dijumpai pada permukaan thrombosit. Abciximab merupakan antibodi monoklonal yang memblok reseptor ini. Eptifbatidz 266 Hematologi Klinik Ringkas dan tirofban adalah sueilt snahe uenom disintegrin dengan kerja yang cepat. Obat-obat ini telah terbukti bermanfaat pada corznary angioplasty dan stenting. ObatAntikoagulan Ob_at anti koagulan dapat dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu: |,4,6,24 1. Heparin, terdiri 2. atas unfactionated beparin dan bu molzcular ini harus diberikan secara parenteral. Inhibitor thrombin langsung (direct thrombin inhibitor) 3. Antikoagulan oral, yaitu warfarin weigth heparin. Kedua obat Heparin Heparin mempunyai berat molekul 15.000-18.000 dalton dan tidak dapat diabsorpsi oleh usus sehingga harus diberikan secara parenteral. Heparin bekerja melalui kompleks thrombin antithrombin dan juga kompleks antithrombin dengan faktor Xa, IXa dan XIa. Dengan adanya heparin maka kemampuan antithrombin mengikat thrombin menjadi berlipat-lipat. Heparin berberat molekul kecll (lout molecular taeight heparin = LM\ZH) mempunyai berat molekul 2000-i0.000, yang dibuat dari depolimerisasi secara kimia atau ensimatik. LM\7H mempunyai kemampuan menghambat faktor )(a lebih kuat dibandingkan dengan thrombin, interalai dengan thrombosit lebih rendah sehingga bahaya perdarahan lebih rendah, bioavailabilitas lebih baik dengan masa paruh lebih panjang sehingga dapat diberikan satu kali sehari. Heparin mempunyai indikasi utama pada thrombosis vena dalam, tetapi sekarang juga banyak dipakai pada thrombosis arteri, seperti pada penyakit arteri koroner dan srroke. Heparin merupakan pilihan bagi wanita hamil yang memerlukan terapi antikoagulan. Heparin untuk DVT akut atau emboli paru diberikan secara intravena kontinu. Dosis untuk orang dewasa adalah 30.000- 40.000 unit dalam 24 jam (loading d.ose: 5000 unit selanjutnya 1000-2000 unit setiap jam). Terapi disermi moniror APTT untuk mencapai harga I,5-2,5 normal. Umumnya pada saat bersamaan atau paling lambat dalam dua hari diberikan warfarin. Heparin dihentikan jika Thrombosis 267 INR lebih dari 2 untuk dua hari berturut-turut. Heparin dapat juga diberikan secara subkutan, terutama untuk profilalais DVT, dosisnya adalah 5000 unit setiap 12 jam sebelum operasi, dilanjutkan 5000 unit setiap 8-12 jam selama 7 hari. LM\7H karena waktu paruh yang lebih panjang, dapat diberikan satu kali sehari untuk profilaksis dan satu sampai dua kali sehari untuk terapi. Pada pemakaian LMW.H tidak diperlukan monitoring APTT dapat diberikan dengan fixed dnse sesuai dengan berat badan. Dapat dilakukan monitoring dengan mengukur aktivitas faktor Xa, tetapi dalam praktik sehari-hari tidak diperlukan. Akhir-akhir ini LM\7H lebih banyak dipakai dibandingkan dengan heparin biasa untuk DVI emboli paru atau sindrom koroner akut, karena efektir'4'6'24 vitas sama dengan efek samping lebih kecil serta lebih praktis . Efek Samping Efek samping terutama terjadi pada pemakaian heparin (unfiactionated1. Efek samping dapat berupa'1'4'6'24 Perdarahan ^. b. Heparin-induced c. Osteoporosis biasa thrombocytopenia Perdarahan akibat heparin diatasi dengan protamin dengan do- sis 1 mg/l00 unit heparin. Thrombositopenia karena heparin lebih sering pada pemakaian heparin unfactionated dibandingkan dengan heparin berberat molekul rendah. Thrombositopenia karena hepa- dapat timbul dalam waktu 24 jam sampai 5 hari setelah pemberian heparin. Heparin mengikat ihrombosit, diikuti oleh pembentukan antibodi terhadap heparin-pktelet factor 4 sehingga memicu platebt actiuation yang menyebabkan penurunan thrombosit lebih dari 50o/o. Dalam keadaan demikian terapi heparin harus dihentikan. Osteoporosis terjadi pada pemakaian heparin jangka panjang (lebih dari dua bulan) terutama pada kehamilan. Mekanismenya belum diketahui dengan pasti.6 rin lnhibitor Thrombin Langsung {Direct Thromhin Inhibitorl Hirudin, fragmen hirudin dan beberapa hw molecular weight direct thrombin inhibitor merupakan obat antithrombosis potensial, tetapi belum dipakai secara rutin di klinik. Lepirudin adalah recombinant 268 Hematologi Klinik Ringkas hirudin analog. Argatroban adalah syntbetic, small-molecale, L-arginine deriuatiue yang dapat menghambat pembentukan thrombin. Ximelagatran merupakan obat oral @rodrug) yang dalam tubuh dapat mengikat actiue binding site thrombin.t Antikoagulan Oral Obat antikoagulan oral berasal dari derivat coumarin atau indindione. 'W'arfarin, yang merupakan derivat cournarin merupakan antikoagulan oral yang paling sering dipakai. 'Warfarin menghambat gamma carboxylation dari prothrombin, faktor VII, lX, X protein C dan protein S, sehingga menghambat pembentukan thrombin. 'Warfarin diberikan 10 mg pada hari I, 10 mg pada hari II, kemudian 5 mg pada hari IIL Kemudian dosis disesuaikan dengan waktu prothrom- bin (INR). Dosis pemeliharaan pada umumnya 3-9 mg per hari, tetapi respons individual sangat bervariasi, oleh karena itu perlu pemantauan yang terarur. Untuk pemantauan terapi warfarin dipakai waktu prothrombin (prothrombin time=PT) karena PT mengukur aktivitas faktor VII, faktor X dan prothrombin. Dalam pemantauan ini dikenal istilah INR (international normalized ratio), yaitu rario kemampuan thromboplastin yang dipakai dengan standar thromboplastin dari \fHO. Terapi heparin dengan intensitas rendah adalah untuk mencapai INR 2-3,0, dan terapi warfarin dengan intensitas tinggi untuk mencapai INR 2,5-3,5. Indikasi pemberiannya dapat dilihat pada tabel 13-3. Efek samping pemberian heparin adalah perdarahan dan tparfarin induced skin necrosis. Efek samping lain adalah alopesia, rasa tak enak di perut, ruam kulit (rash), dan disfungsi hati. Terapi warfarin intensitas rendah memberi risiko perdarahan 1olo. Risiko perdarahan meningkat jika memakai kombinasi obat antiplatelet. Jika terjadi perdarahan minor dan INR kurang dari 6, maka warfarin dihentikan kemudian diulang dengan dosis lebih kecil jika perdarahan sudah berhenti. Jika penderita mengalami uisceral bleeding dan tidak bersifat life-threatening maka diberikan vitamin K 10 mg subkutan Thrombosis 269 Tabel 13-3 Rekomendasi Rentang Terapeutik Terapi Warfarinl'6 Ttfget INR' ,, ,,,,,,, lndikasi Terapi DW, emboli paru, fibrilasi atrium, DW l,;';..1,r. .,,,,,.,,,l,,,,..l,,,,,,,,,,,, r,r rt..l t,rr'r .. : rekuren setelah penghentian warfarin, thrombo12,0-3,01....,..1,,:,,, iirt,,,',,,',philia,'heredilei ,simtomalik',l,kaidio..miqpati, lkardio2r5,., .r,,rl r ;rl.lrri r: versi 3:51 ',, :, 111 . ,rt:'':.-.,,','DW..iekuign,,se*aSifr'memafaitWarfarin, ,, .,,,,', .,rtl:lrlrl ,i1,,,'ir:.. t3,;q-4101,,.,,,lr" prosthetik jantung infa :,,mekanik,'pievenSi ' lr rk, "katup mlokard iekuren ; beb,ell rapa kasus sindroma antiposfilipid atau per oral. Penderita dengan perdarahan mayor maka diberikan fesh frozen plasma empat sampai lima unit. Penderita dengan INR 6-10 tanpa perdarahan klinis diberikan vitamin K dosis kecil, 1-2 mg subkutan atau per oral. Penderita dengan INR di atas 10 tanpa perdarahan klinis diberikan vitamin K 24 mg subkutan atau per oral.l 'W'a.farin dapat menembus plasenta karena tidak dianjurkan pemberiannya pada wanita hamil.6 Obat Fibrinolitik Obat fibrinolitik atau obat thrombolitik berfungsi untuk meng- hancurkan (lisis) thrombus yang sudah terjadi. Lisis terjadi optimal jika diberikan kurang dari 6 jam dari saat timbulnya thrombosis, tetapi masih bekerja jika diberikan kurang dari 24 jam. Obat thrombolisis sangat penting pada thrombosis arterial_ akut, sedangkan thrombosis ,r..r" j*t".rg memerlukan obat ini.1'a'6'tn Ob^, throm- bolitik yang beredar di pasaran l. 2. 3. adalah: Streptokinase (streptase) Urokinase (plasminogen actiuator) Recombinant urokinase Streptokinase diberikan 250.000 unit dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 100.000 unit per jam selama 1248 jam. Untuk infark miokard akur diberikan sebagai dosis tunggal 150.000 unit selama 60 270 Hematologi Klinik Ringkas menit. Tidak diperlukan tes khusus untuk memantau pemberian ,. 1.4.6.24 streptoKlnase.' Recombinant urohinase mempunyai afinitas yang besar terhadap fibrin sehingga memungkinkan lisis fibrin tanpa menimbulkan aktivasi fibrinolisis sistemik.l'a'6'24 Bab 14 TRANSFUSI DARAH Thansfusi ialah proses pemindahan darah atau komponen darah dari seseorang (donor) ke orang lain (resipien). Bahan-bahan yang dapat i-6 ditransfusikan adalah: I. Darah (whole blood), 1 (250450 ml) dengan antikoagulan sebanyak 15 ml/100 ml darah. Dilihat dari masa pe- unit darah nyimpanannya maka whob bbod dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a. darah segar @esh bhod): darah yang disimpan kurang dari 6 jam, masih L"gtop mengandung trombosit dan 6ktor pembeku b. darah yang disimpan (stored bhod): darah'yang sudah disimpan lebih dari 6 jam. Darah dapat disimpan sampai dengan 35 harl Darah simpan kandungan trombosit dan sebagian faktor pembeku (terutama faktor labil) sudah menurun jumlahnya. II. Komponen darah: 1. Komponen darah seluler: a. Preparat sel darah merah: i. sel darah merah yang dimampatkan (pached red cell = PRC). Darah dipekatkan sehingga mencapai hemato- lait 70-80%o yang berarti menghilangkan 125-150 ml plasma dari satu unitnya. PRC merupakan pilihan utama untuk anemia kronik karena volumenya yang b. lebih kecil dibandingkan dengan whole blood. ii. utarhed red cell=lmcocyte-platela and plnrna poor RBC. Preparat ini berguna untuk mencegah reaksi febris. Dapat diberikan untuk AIHA dan untuk mengurangi sensitisasi terhadap antigen leukosit. Konsentrat trombosit Qtktelet concenilnte): preparat ini dipakai untuk mengatasi keadaan trombositopenia berat, misalnya pada leukemia akut, anemia aplastik atau ITP 271 272 Hematobgi Klinik Ringkas c. K<insentrat granulosit 2. (granuhqtte concentrate)i Dipakai untuk leukopenia berat dengan netrofil <0,5x10e/L Komponen plasma: a. Fiue percent albumin toLoy;sn=plasma protein faction: preparat ini dipakai untuk penggantian volume plasma pada luka bakar, kedaruraran abdomen dan trauma jaringan yang luas. b. Fresh fozen plasma (plasma segar dibekukan): mengandung plasma dan faktor koagulasi labil (faktor V dan faktor VIII). Preparat ini dibuat dari donor tunggal sehingga resiko penularan hepatitis rendah. c. Cryoprecipitare (kriopresipitat): mengandung F.\'Iil (S0100 unit), faktor von'Willebrand, F. XIII, fibronectin dan fibrinogen. Digunakan untuk: i. hemofili A; ii. penyakit von V/illebrand; iii. sumber fibrinogen pada acute defibrination syndrome. d,. Lyophilized ffieeze-died) factor WII concentate dipakat unn:* terapi hemofili A. Preparat ini dibuat dari "pooled plasma" sehingga ada risiko penularan hepatitis dan HIV (AIDS). e. Lyophilized (freeze-driedl factor lX-prothrombin complex concentrate mengandung prothrombin, F.IX VII dan F.X Dipakai untuk mengatasi hemofili B f. Fibrinogen @eeze-dried): dipakai untuk mengatasi DIC g. Immunoglobulin (gamma glnbuline): i. ri. irnmlune gamrnd globulin hyperimmune galnma globulin. iii. Rh immunogbbulin Golongan Darah Terdapat lebih dari 400 antigen golongan darah, tetapi yang secara klinis mempunyai arti penting adalah sistem ABO dan sistem Rh. Beberapa sistem golongan darah yang penting dapat dilihat pada tabel l4-I. Darah 273 Transfusi Tabel 14-L Sistem Golongan Darah yang Penting Secara Klinis6 .;l,:,Pdnlfeb,ab: i :, i tPenyebabr i.:.,re;k$tranCrusi ,,,,t:hemioIYIiC,. ;t ;int*;,,:;: ;:';;;;;' :, " :', :,,.dkease,1r ,, ,,.r.,, .:,';',ofie:wb6in Ya (biasanVa ringan) ,Ye.l.:..t,,1..,.., 1,,,,:, ti.,:,,'. ',:ya.,.i.r:'i.,',r.:'ilt':,. : I, . :. :,, :. ' ,i ,,, . .. ' Ye,,{kadang:kadang} :Va,ikada-ng-kadan0) .'Ticlak',.rr,r'.,., 1'11661, ' ,''; ,'r'1 ,;,: . :. .'.:.1:",' ',.: ' " ,.;,.,Ya (iaiahg)rtrr,.; rrrr,': Ya,'(iarang)rri l Di dalam rubuh seseorang terdapat antibodi alamiah atau antibodi yang timbul akibat sensitisasi transfusi atau kehamilan. Antibodi alamiah terdapat dalam tubuh meskipun belum pernah tersensitisasi sebelumnya. Antibodi alamiah yang terPenting ialah anti-A dan anti-B. Antibodi alamiah pada umumnya adalah IgM, bereaksi optimal pada suhu 4oC karena tergolong cold antibody. Antibodi imun (immune antibodies) adalah antibodi yang timbul setelah sensitisasi akibat transfusi atau transplasenta waktu kehamilan. Pada umumnya terdiri atas IgG dan bereaksi optimal pada suhu 37oC (uarm antibod). Antibodi imun yang terpenting ialah Rh antibody, nnti-D. Sistem ABO diatur oleh tiga gen: A, B dan O. Gen A dan B juga mengontrol sintesis ensim spesifik untuk menambahkan satu residu karbohidrat pada ujungnya, yang dikenal sebagai H substance. Gen O bersifat amorf dan tidak mentransformasi H substance. Harusnya terdapat 6 fenotipe, tetapi karena anti-O tidak ada sehingga tidak dikenal secara serologik, maka hanya ada 4 fenotipe' Grup A dibagi menjadi 2 subgrup: Al dan A2. A2 bereaksi lebih lemah dibandingkan dengan Al, penderita dengan A2B dapat dikelirukan secara 274 Hematologi Klinik Ringkas serologik sehingga dianggap golongan B. Keempat fenotipe golongan darah sisrem ABO dapat dilihat pada abel l4-2. Golongan darah Rh diatur oleh gen struktural: RhD dan R\CE, yang mengkode protein membran yang membawa anrigen D, Cc dan Ee. Gen RhD bisa ada bisa tidak sehingga secara fenotipe dikenal Rh D+ atau Rh D-. Antibodi terhadap sistem Rh sebagian besar bersifat imun karena sensitisasi kehamilan atau transfusi. Anti, D bertanggung jawab pada sebagian besar reaksi transfusi. Oleh karena itu, pembagian seseorang menjadi Rh D positif atau Rh D negatif sudah mencukupi untuk keperluan klinis. Tabel 14-2 Sistem Golongan Darah ABO Antigen: Antroai Gen .Ql.:-"''':' A,r.ti1l.1..l.i;.., 8,l:tt:... :.r'...,:.OOti. :.,r:, r.l::,.,,. -r"ro.r..":'rr,:,'] :l 1,1..1.{AatauAO, , r'rfrrBB'atau,B0: A8...:1,.,:',']:1::,1::lrl',1'1.,.,r,,,.:,':.AB ft'.' FrekuenSi 'Anti{;'spli:3 Anti-B' ''1:::: rl'l .,,,, 46:/; , ,;,B,......r1:,,r:,: :' I'ed' t't Tidak.,ada,.,t., .. Antitp.'.' ;: - ;, : : :,.:,,:,.,.' 42Vo 9%, 3o/i,,' Catatan: frekuensi di Inggris Indikasi Transfusi Darah Tlansfusi darah merupakan pedang bermata dua, yang jika diberikan dengan tepat akan dapat menyelamatkan penderita, tetapi jika salah diberikan dapat menimbulkan efek samping yang disebut reaftsi transfusi bahkan dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu, indikasi transfusi darah harus diketahui dengan baik. Indikasi pemberian transfusi sel darah merah dapat dilihat pada abel l4-3. Indikasi pemberian transfusi plasma adalahtza 1. defisiensi faktor pembekuan; 2. DIC; 3. mengatasi efek warfarin 4. koagulopati dilusional; berlebih; 5. perdarahan pada penyakit hati; 6. TTP Transfusi Darah 275 Tabel 14-3 Indikasi Pemberian Transfusi Sel Darah Merah2a .',TfAnSfASiOn GUidelineSr lndikasi Kehilangan darah > 15% dari volume darah i Anemia,r,, hip0prolifeiatif rrkronik , ..,,. - i :r']lrrri rli:i,l',:ri lndikasi jelas Anemia simtomatik (pusing, takikardi, takipnea, sianosis) Mungkin ada indikasi transfusi sel r':,darah merah; tefutama,::jikai diperkirakan perdarahan berlanjut. ',.M0ngkin :iiiemerlukan transfusi:, t,:r,,,r,1,1l1l,.l.,,.. ::,tlr :r:!::,r:r,t,,Urt:lttlrit,:rtt.ii,,ii.. r..: Penyakit sel sabit ; periodik , , , ,Mungkin:,meme{lfkan trqnsfusi selama krisis atau untuk , mencegah krisis. Prosedur Transfusi Darah Tiansfusi darah harus melalui prosedur yang ketat untuk mencegah efek samping (reaksi transfusi) yang dapat timbui. Prosedur itu adalah,l-6 1. Penentuan golongan darah ABO dan Rh. Baik donor maupun resipien harus mempunyai golongan darah yang sama. 2. Pemeriksaan untuk donor terdiri 3. atas: a. Penapisan (screening) terhadap antibodi dalam serum donor dengan tes antiglobulin indirek (tes Coombs indirek) b. Tes serologik untuk hepatitis (B&C), dan CMV. Pemeriksaan a. HIV sifilis (VDRL) untuk resipien: "mdjor side cross ntatclt": serum resipien diinkubasikan dengan RBC donor untuk mencari antibodi dalam serum resipien. b. "minor side uoss match"; mencari antibodi dalam serum donor. Tujuannya hampir sama dengan prosedur 2a. 4. Pemeriksaan klerikal (identifikasi): Memeriksa dengan teliti dan mencocokkan label darah resipien dan donor. Reaksi transfusi berat sebagian besar timbul akibat kesalahan identifikasi (klerikal). 5. Prosedur pemberian darah, yaitu: a. hangatkan darah perlahanlahan b. catat nadi, tensi, suhu dan respirasi sebelum transfusi 276 c. d. e. 6. Hematologi Ktinik Ringkas pasang infus dengan infus set darah (memakai alat penyaring) pertama diberi larutan NaCl fisiologik pada 5 menit pertama pemberian darah-beri tetesan pelanpelan-awasi adanya urtikaria, bronkhospasme, rasa tidak enak, menggigil. Selanjutnya awasi tensi, nadi, suhu, dan respirasi. Kecepatan transfusi, yaitu: a. untuk syok hipovolemik-beri teresan cepat (gerojok); b. normovolemi-beri 500 ml/5jam; c. pada anemia kronik, penyakit jantung dan paru beri tetesan perlahanJahan 500 mU24 jam atau beri diuretika (furosemid) sebelum uansfusi. Komplikasi Transfusi Komplikasi yang dapat timbul akibat transfusi darah disebut sebagai realrsi transfusi (transfaion reactions). Reaksi transfusi dapat berupa:l-6 I. Reaksi segera (immediate reaction), yairu: a. reaksi hemolitik akibat lisis eritrosit donor oleh antibodi da- Iam serum resipien; b. c. d. reaksi febril (febril reaction) karena anti bodi terhadap leukosit atau trombosit; reaksi sensitivitas paru dan bronkhospasme karena antibodi terhadap leukosit; reaksi alergik anafilaktoid terhadap suatu antigen protein da- lam e. f. g. h. IL plasma; endotoksinemia akibat transfusi memakai darah yang terkon- taminasi kuman gram negatif; edema paru karena "uolume ouerload'; reaksi keracunan sitras; reaksi akibat transfusi masif. Realai lambat (dzlayd reactions) a. b. realsi hemolitik lambat penularan infeksi: hepatitis B dan C, qttomegaloairus (CMV), malaria dan sifilis c. grafi uersus host disease. Transfusi Darah, 277 Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi Reaksi hemolitik akut terjadi dalam waktu 24 jam dari transfusi. Sebagian besar reaksi hemolitik terjadi akibat kesalahan identifikasi (klerikal). Patogenesisnya melalui berikut:r-6 a. terjadi hemolisis intravaskuler masif akibat antibodi IgG/IgM b. dengan aktivasi komplemen, misalnya antibodi ABO; terjadi hemolisis elcstravaskuler akibat antibodi IgG terhadap faktor rhesus. Gejala A. Reaksi tipe segera Gejala timbul akibat terjadi hemolisis intravaskuler akut dan gagal ginjal akut: 1. 2. 3. hemolitik (haemofutic shoch phase), yaitu: a. timbul segera atau 1*2 jam setelah transfusi; b. urtikaria, nyeri pinggang, flushing, sakit kepala, nyeri dada, sesak napas, muntah, menggigil, febris, hipotensi sampai syok. Dapat terjadi hemoglobinemia, bilirubinemia, ikterus atau DIC; Fase oliguria: timbul akibat acute tubular necrosis yang dapat menimbulkan GGA (gagal ginjal akut); Fase diuresis: timbul setelah rekoveri dari GGA. Fase syok Tindakan pada Reaksi Hemolitik Akut Pada reaksi hemolitik akibat transfusi harus diambil tindakan tepat dan cepat karena keadaan ini termasuk keadaan gawat darurat, seperti: 1. Segera hentikan transfusi. Kerusakan berbanding langsung de- 2. 3. 4. ngan jumlah darah yang masuk. Ganti infus set. Berikan tindakan penanggulangan (lihat dalam terapi) Ambil contoh darah dari penderita, periksa adanya hemoglobinemia Ambil serum antara lain: a. satu dikirim kembali ke dinas transfusi untuk pemerilaaan ulang golongan darah dan pemerilsaan serologik b. satu lagi dikirim ke laboratorium klinik untuk pemerilsaan bilirubin, hemoglobinemia dan methemalbunemia. 278 Hematologi Klinik Ringkas Serahkan kembali sisa darah ke dinas transfusi untuk pemeriksaan kembali golongan darah dan serologik. 6. Periksa adanya hemoglobinuria. 7. Setelah 8-10 jam, ambil contoh darah kedua untuk pemeriksaan kembali bilirubin dan methalbuminemia. 5. Terapi Prinsip pengobatan reaksi transfusi hemolitik ialah mempertahankan tekanan darah dan perfusi ke ginjal. Tindakan tersebut be.uparl-6 a. berikan infus plasma expander. dextran, plasma atau NaCl fisiologik. Perahankan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa; b. forced diuresis: pemberian furosemid atau manitol; c. pemberian hidrokortison 100 mg iv dan antihistamin; d. jika terjadi anemia berat, berikan transfusi darah yang cocok dengan pengawasan ketat; e. GGA diatasi, sepeni biasa, jika perlu dilakukan dialisis. Reaksi Hemolitik Lambat (delay e d hemolyitic re action') Realai hemolisis terjadi setelah satu hari sampai beberapa minggu. ini timbul karena hemolisis elstravaskuler dengan penurunan kadar hemoglobin dan peningkatan bilirubin indirek dalam serum. Reaksi timbul karena adanya antibodi dalam bentuk IgG yang tidak terdetelsi pada pemeriksaan pretransfusi. Sering bersrht silent, atau timbul gejala berupa anemia dan ikterus ringan. Lebih sering tidak memerlukan terapi cukup dilakukan observasi saja, kecuali jika terjadi anemia atau ikterus berat. Reaksi Reaksi Alergi dan Reaksi Febris Non'hemolitik Reaksi febris umumnya timbul karena antibodi dalam serum resipien terhadap leukosit donor oleh karena itu untuk mencegah maka berikan leukococyte depleted pached red cell. Reaksi febris dapat juga terjadi akibat realsi terhadap protein plasma oleh karena adanya sitokin akibat darah disimpan. Realsi febris memberikan gejala: demam yang timbul segera setelah transfusi berjalan, sering disertai menggigil. Realai ini harus dibedakan dengan demam karena Transfusi Darah 279 bakteremia akibat pemberian darah yang terkontaminasi bakteri. Reaksi alergi dapat terjadi dalam bentuk (a) gatal-gatal; (b) urtikaria; (c) syok anafilaktik. Syok anafilaktik dijumpai pada resipien yang mengalami defisiensi IgA, dalam serum timbul antibodi antiIgA akibat sensitisasi transfusi sebelumnya. Pada transfusi ulangan maka dapat terjadi reaksi antigen-antibodi yang menimbulkan reaksi anafilalsis. Terapi untuk reaksi febris adalah simtomatik, berupa kompres atau parasetapol. Untuk itu, reaksi alergi diberikan hidrokortison atau antihistamin. Pada syok anafilaktik segera harus diberikan adrenalin serta dilakukan tindakan untuk mengatasi syok anafilaktik.l-6 DAFTAR RU}UKAN 1. 2. 3. 4. J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B (editors). W'instobe?s Clinical Hematology. 1l'h edition. Philadelphia: Lippincott-'$Tilliams & \filkins, 2004 Hoffman R, Benz EJ, Shatil SJ, Furie B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlave P (editors). Hematohgy: Basic Principles and Practices. Third Edition. New York Churchill Livingstone, 2000. Harmening DM. Clinical Hematohgy and Fundamentals of Hemostasis.4* edirion. Philadelphia: F.A Davis Company, 2002. Beutler E, lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U (editors). IXhlliams Hematohgy.5m Edition. New York Mc Graw Greer JP, Foerster Hill, 2001. Hillman RS, Ault KA. Hematol"gf i" Clinical Practices. A Guidr to Diagnosis and Management. 3'o ed. International Edition. New York McGraw Hill Inc, 2002. 6. Hoffbrand AY Pettit JE, Moss PAH. Essential Hematology. 4'h Edition. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 2001. 7. Rappaport SI. Innoduction t0 Hematohg!. 2"0 Edition. Philadelphia: \7B Saunders Co, 1987. B. Hoffbrand AV Pettit JE. A Cohr Atks of Clinical Hematologlt. 2'd Edition. London: Mosby-'Wolfe, lgi4. g DeMaeyer E. Preuenting and Connolling lron Deficiency Anemia '$7HO, through Primary Heabh Care. Geneva: 1989. 10. Husaini MA, Husaini YK, Siagian UL, Suharno D. Anemia Gizi: Suatu Studi Kompilasi Informasi dalam Menunjang Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangan Program. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat & Puslitbang Gizi, 1989. u. Kerlin B Reiner R Davies M, Sage RE, Grant AIC Iron Deficiency Anemia-A Prospective Srudy. Aust NZ Med J 1979;9:402407. 12. Suega K, Bakta IM. Pola Anemia pada Penderita Rawat Inap di Divisi Hematologi dan Onkologi Medik RSUP Sanglah Denapasar. Buletin Perhimpunan Hematologi dan Tiansfusi Darah Indonesia (PHTDI) Cabang Denpasar 1999; I: 39-98 280 5. Daftar Rujukan 281 13. International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study. Incidence of Aplastic Anemia. The Relevance of Diagnostic Crite- ria. Blood 1987;70: 1718-1727. 14. Camitta BM, Thomas ED, Nathan DG, Gale RP, Kopiclcy KJ, Rappaport JM et al. A Prospective Study of Androgens and Bone lv{arrow Tiansplantation for Tieatment of Severe Aplastic Anemia. Blood 1979;63: 504-514. 15. Reksodiputro AH, Muthalib A, Thdjoedin H. Hematologi dan Onkologi Medik. Dalam: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A (editors): Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 1999. pp.ltt-127 r6. Jaffe ES, Harris NL, Stein H, Vardiman J\M Pathology and Genetics of Tirmours of Haematopoietic and Lymphoid Tissues. Lyon:'WHO/IARC, 2001. 17. Henderson ES, Lister TA, Greaves ME editors. Leuhernia. 6'h edition. Philadelphia: \ilirB Saunders Co; 1996. 18. Bennet JM, Catovsky D, Daniel MT, Flandrin G, Dalton DAG, Gralnick H, et al (FAB cooperative group). Proposal for the Classification of the Acute Leukemia. Br J Haemarcl 7976; 33: 45459. r9. Bennet JM, Catovsky D, Daniel MI Flandrin G, Dalton DAG, Gralnick H, et al (FAB cooperative group). Proposal for the Classification of the Myelodysplastic Syndromes. Br J Haematol 1982; 5l: lB9-199. 20. Heaney ML, Golde DW Myelodysplasia. N Eng J Med 1999; 340: 1649-60. 27. Soebandiri, Nugrahi S, Boediwarsono. Pola Sindrom Dismielopoetik Primer di RSUD Dr Sutomo Surabaya. Majalah Penyakit Dalam (Surabaya J Int Med) 1987; 13: 155-64. 22. Canellos GB Lister TA, Sklar JF.. The Lltmphomas. Philadelphia: '$7B Saunders Co; 1998. 23. Magrath IT. The Non-Hodghinls Lymphomas. 2"d edition. London: Arnold, 1997. 282 Hematologi Klinik Ringkas 24. Schmaier AlI, Petruzzelli LM. Studznt. Philadelphia: Lippincot 25. Bick RL. Disorders of tbe Medical for & 'lVilkins, Hematohgy '!?'illiams 2003. Hemostasis. Thrombosis and 3'd edition. Philadelphia: Lippincott'S7'illiams & \?'ilkins, 2002. INDEKS A ABVD 199 Actiuated protein C resistance 259 Addisonian anemia 48 AHA (lihat anemia hemolitik autoimun) 7l IJ,IP (abnormal localization of immature precursors) 170, Anemia 11 derajat 173 12 diagnosis l8 etiopatogenesis l6 gejala 14 klasifikasi 13 kriteria anemia 12 prevalensi 13 patofisiologi 14 terapi 21 Anemia akibat penyakit kronik 39 diagnosis 4l diagnosisdiferensial 4I gejala klinik 40 patogenesis 39 penyebab 39 terapi 4I aplastik 98 definisi 98 diagnosis 102 diagnosis diferensial epidemiologi 99 etiologi 99 Anemia gejala klinik 101 patofisiologi 99 klasifikasi 98 kelainan laboratorik terapi 104 102 104 283 284 Hematologi Ktinik Ringkas Anemia defisiensi besi 26 diagnosis 34 diagnosis banding 35 gejala klinik 3l kelainanlaboratorium patogenesis 3I 32 pencegahan 38 terapi 36 Anemia diseritropoetik kongenital 109 Anemia Fanconi 107 Anemia hemolitik 50 diagnosis 65 diagnosis banding 68 gejala klinik 55 patofisiologi 52 pengobatan 69 penyebab 50 kelainan laboratrorium 58 klasifikasi 50 Anemia hemolitik autoimun 7I tipe panas 72 tipe dingin 75 AHA karena obat 77 Anemia hemolitik karena malaria 78 Anemia hemolitik mikroangiopatik 77 Anemiamegaloblastik 45 diagnosis 47 gambaran klinik 46 penyebab 46 patogenesis 45 terapi 48 Anemia perniciosa 48 Addisonian anemia 48 Anemia karena kegagalan sumsum tulang Anemiapada gagal ginjal kronik .113 Anemia pada penyakit hati menahun ll4 97 Indeks 285 Anemiasideroblastik 42 klasifikasi 42 gambaran klinik 43 terapi 44 Anemia sel sabit 87 Antikoagulan 266 Antiphospholipid syndrome (lihat sindrom antiposfolipid) 261 AT defciency (lihat Defisiensi antithrombin) 260 Anti fimphoryte globulin (ALG) 105 Aplasia sel darah merah 108 murni globulin (ATG) 106 Autoimmune hemoftic anemia (lihat anemia hemolitik autoimun) 7l Anti thymocyte Aspirin 265 B Bcr-abl oncogen 138 Bernard Soulier syndrorne 244 Blast crisis (lihat Krisis blastik) I39, Busulphan I43 I4l c cHoP 214,2t6 Chronic cold agglutinin disease 75 CLL (lihat leukemia limfositik kronik) I44 CML (lihat leukemia mieloid kronik) 137 Chronic myelomonocytic leuhemia (CMML) (lihat Leukemia mielomonositik Clopidogrel kronik) Congenital dyserythropoietic Coombs test 160 265 anemia 109 64 Cryoprecipitate (lihat Kriopresipitat) 272 D DAT (daunorubicin, ara-c, 6-thioguanine) 134 Defisiensi G6PD 81 286 Hematologi Klinik Ringkas antithrombin 260 protein C 260 protein S 260 vitamin K 249 Destruksi eritrosit 10 DIC 251 Durie and Salmon kriteria diagnosis mieloma multipel 225 tingkat penyakit mieloma multipel 227 DVT (lihat Thrombosis vena dalam) 262 E Eritrosit destruksi struktur 10 10 Eritropoesis 9 Essential thrombocythemia (llhatThrombositemia Extrinsic pathury esensial) 152 234 F FAB classification 123 Faktor V Leiden 259 Fanconi anemia 107 Fresh fozen pksma 272 Fokte deficiency (defisiensi folat) 45 G Gambaran leukoeritroblastik Gamopatimonoklonal 220 111 Glanzman thromboasthenia 244 Golongan darah 272 H Haptoglobi n 53 Hairy cell leukernia (lihar Leukemia sel berambut) 144 Hb Barsts Hldrops Fetalis syndrome 96 Hemofili A 246 Indeks Hemofili B 246 Hemoglobin E 85 Hemoglobin S 86 Hemoglobinemia 53, 60 Hemoglobinuria 53, 60 Hemoglobinopati 85 Hemopoesis 2 Hemolisis ekstravaskuler 53 intravaskule r 53 Hemosiderinuria 6l HEMPAS 110 Hematopoesis (lihat Hemopoesis) Henoch Schonlein syndrome 240 Heparin 266 berberat molekul rendah 266 Hereditary spherorytosis 83 Hidroksiurea 143 Hyperhomocysteinemia 260 I Idiopathic thrombocytopenic purpura Indolent mubiple myeloma 226 INR 268 International prognostic index Intrinsic pa.thwd.! 234 for (ITP) 24I agressiue Imatinib mes/ate I43 K Kaskade koagulasi 235 Klasifikasi , Kiel untuk limfoma 205 Rye untuk penyakit Hodgkin 194 Rappaport untuk limfoma 204 REAL/\VHO untuk limfoma 208 Koilonychia 32 fimphomas 2I8 287 288 Hematologi Klinik Ringkas Krisis blastik 739, 141 aplastik 58 hemolitik 58 megaloblastik 58 Iftiteria Ann Arbor dengan revisi Costwold r97 KromosomPhiladelphia 142 Kyle dan Greipp (kriteria diagnosis mieloma multipel) 226 L Lesi osteolitik 224 Leucoerythroblaxic picture 111 Leukemia 127 klasifikasi l2l epidemiologi I22 Leukemia akut 123 diagnosis I29 gejala klinik 126 kelainanlabbratorium klasifikasi klasifikasi FAB \fHO 127 123 125 patofisiologi 724 prognosis 136, 137 terapi 131 Leukemia limfositik kronik 144 Binet staging 147 Rai staging 146 Leukemia mieloid kronik 137 prolimfositik sel berambut 144 744 Limfomanon-Hodgkin diagnosis 213 epidemiologi 212 gejala klinik 202 klasifikasi 202 2Oz Indeks 289 prognosis 217 terapi 214 Lingkungan mikro sumsum tulang 5 Lou molecular weight heparin 266 Lymphocyte depleted (Hod.ghin diseas) 194 diseas) Lymphocyte predominance (Hodgkin 194 M Makroglobulinemia Waldenstrom 229 MDS hipoplastik MGUS 237 Mieloma multipel 177 220 diagnosis 224 epidemiologi 221 gejala klinik 222 patofisiologi 221 pemeriksaan laboratorium 222 prognosis 227 terapi 228 Mielofibrosis l48 MOPP 199 Myelodysplastic syndrome (lihat sindrom mielodisplastik) 155 Myeloproltferatiue disorders (lihat penyakit mieloproliferatif) 147 Mixed cellularity (Hodgkin disease) I94 N Nodular sclerosis (Hodghin disease) I95 o Osteolytic lesion (lihar Lesi osteolitik) 224 P Pansitopenia 97 Paroxysmal cold hernoglobinuria 76 Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria 79 Penyakit 95 HbH 290 Hematologi Klinik Ringkas Penyakit Hodgkin 792 diagnosis 197 epidemiologi 192 gejala klinik 196 klasifikasi histopatologik 194 parologi 193 patogenesis 193 penenruan derajat penyakit 197 prognosis 201 terapi 199 Penyakit mieloproliferatif 147 Penyakit von 'W'illebrand 245 Plasma segar beku 272 Polycythemia uera 150 cell) 271 PRC (pached red leuhemia 144 Prothrombin G20210A mutation 260 Pure red cell aplasia (lihat Aplasia sel darah merah Purpura thrombositopenik idiopatik 241 Profumphocytic murni) 108 R RML classification 195, 209 Reaksi transfusi 276 Refactory anemia (RA) 160 Refractory anemia with excess blast (RAEB) 160 Refactory anemia utith excess blast in transformatioz (RAEB-I) 160 Refactory anemia u.,ith ring sidzroblast (RARS) 160 Ringed sideroblast 160 Rituximab 216 S Sferositosisherediter 83 Sichle cell anemia (lihat Anemia sel sabit) 87 Sideroblast cincin 160 Sindrom antifosfolipid 261 Sindrommielodisplastik 155 Indeks 291 Aspek biologi 163 diagnosis 174 diagnosis diferensial 175 epidemiologi 156 international progno*ic scoring kelainanlaboratorium s1stem 169 klasifikasi menurut FAB I59 klasifikasi menurut\7HO 161 manifestasi klinik 168 patogenesis 167 perubahandisplastik 170 prognosis 179 sitogenetik 164 terapi 183 besi 29 Siklus Sindrom' 5q- r77 Patterson Kelly Plummer Vinson 32 32 Smoldering myeloma 226 Stem cell 3 Streptokinase 269 Struktur eritrosit 10 Sulfas ferosus 36 T Therapy-related Thalassemia MDS 178 alfa 95 beta 90 intermedia major trait 93 91 90 90 minor Thrombositemiaesensial 152 Thrombophiliadidapat 261 183 292 Hematologi Klinik Ringkas Thrombophilia herediter 259 Thrombosis vena dalam 262 Tes penyaring anemia 19 tansfusi darah 271 Tlansformasi akut (CML) I42 U Urokinase 269 V VAD 228 Virchotu's triad 256 Von W.iJlebrand disease (lihat penyakit von 's7illebrand) \(/ Valdenstrom's macroglobulinemia 229 'Warfarin lYashed red cell 271 \Tintrcbe (kriteria diagnosis mieloma multipel) 224 I{/orhing formulation for clinical usage (LNH) 206 24lj Catatan : Catatan : FORMULIR PESANAN Yang terhormat Bagian Pemasaran Penerbit Buku Kedokteran EGC Jl. Agung Timur 4 Blok Ol No. 39 Sunter Agung Podomoro, Jakarta 14350 Telepon (021) 6530 6283,6530 67rZ . Fax. (021) 651 8178 20......... Mohon dikirimkan: Untuk buku: baru D Kedokteran Umum tr Kedokteran Gigi 0 Kebidanan O KePerawatan. E Informasi buku E Daftar harga./katalog E Kesehatan Masyarakat Farmasi Kesehatan PoPuler 0 E (Arcan) Kami juga pesan buku berikut ini: l. 2. 3. 4. 5. Mohon informasi berapa jumlah yang harus saya lunasi. Alamat, nomor telepon, dan email saya adalah sebagai berikut: Alamat : No. Telp. Email ffi : Formulf, ini dapat diperbanyak denganfotokopi INFORMASI Informasi mengenai buku-buku EGC dapat diperoleh dengan menghubungi Bagian Pemasaran : Kantor Pusat: Jln. Agung Timur IV Blok Ol No. 39, SunterAgung Podomoro, Jakarta 14350 Telepon (021) 6530 6283, (021) 6530 6712,081399381543 Faks. (021) 6518178 e -m ail : c ontact@e gc- arc an. c om, e gc _ar c an@hotm ai L com, mktg@egc-arcan.com Cabang Surabaya: 'Jln. Siwalankerto Permai I/D I 1, Surabay a 60216 Telepon (03 1) 8417 7 62, 08133 1 03847 9 Faks. (031) 8433248 e-mail: kcsby@egc-arcan. com Cabang Medan: ' Jln. Brigjen Katamso Dalam No. 118, Medan 20159 Telepon (061) 4535058, 081265111745 Faks. (061) 451 1578 e-mail: kcmdn@egc-arcan.com Cabang Yogyakarta: Perum Green Garden C 97 , Jln. Godean KM l, Kasihan Bantul, Yogyakarta 55182 Telepon (027 4) 5 60 17 5, 082138441126 Faks. (0274) 5s4725 e-mail: kcyog@egc-arcan.com Dapatkan informasi lengkap dan terbaru di www.egcmedbooks.com