Uploaded by Ahmad Arbi

Hematologi klinik

advertisement
Hematologi
Klinik Ringkas
Kutipan Pasal 72:
Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta
(Undang-Undang No. 19 Tahun 2002)
l.
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda pal ing
sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupial.r), arau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
2.
Barangsiapa dengan sengaja menyialkan, mer.namerkan, mengedalkan, atau
menjual kepada umurn suatu ciptaan atau barang hasil pelan-tgaran FIak
Cipta atau Hak Telkart sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dipidana
dengan pidana penjala paling lania 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.500.000 000.00 (lima ratus jura rupiahl.
PeNrtNc
Drxtrnlltrl
Penerbit adalal-r rckanan pengarang untuk rnenerbitkan sebuah buku. Bersarna
pengarang, pcnerbit menciptakan buku r-rntuk drtelbitkan. Penelbit mempunyai
hak atas penerbitan buku tersebut serta distlibusinya, sedangkan pcngarang memegang hak penuh atas karangannya dan belhak mendapatkan royalti atas penjualan bukunya dari penerbit.
Percetakan adalah pcrusahaan yang mcmiliki mesin cetak dan menjual jasa pencetakan. Percetakan tidak memiliki hak apa pun dari buku yang dicetaknya
kecuali upah. Percetakan tidak bcltanggungjawab atas isi buku yang clicetaknya.
Pengarang adalah pencipta buku yang menyerahkan naskahnya untuk ditcrbitkan
di sebuah penerbit. Pengarang memiliki hak penuh atas karangannya, namun
menyerahkan hak penerbitan dan distribusi bukunya kepada pencrbit yang
ditunjuknya sesuai batas-batas yang ditentukan dalani peljanjian. Pengarang
berhak mcndapatkan royalti atas karyanya dari penclbit, sesuai dengan ketentuan di dal am perj anj i an Pengaran g-Pcnerbi L
Pembajak adalah pihak yang mengambil keuntungan dali kepakaran pengarang
dan kebutuhan belajar masyarakat. Pembajak tidak niempunyai liak mencetak,
tidak memiliki hak menggandakan, mendistlibusikan, dan rnenjual buku yang
digandakannyakarenatidakdilindungi copyrightataupunpcljanjianpengarangpenerbit. Pembajak tidak peduli atas jerih payah pengarang. Buku pcmbajak
dapat lebih murah karena rnereka tidak perlu mcmpersiapkan naskal-r mulai dari
pemilihan judul, editing sampai persiapan pracetak, tidak membayar royalti, dan
tidak terikat perlanjian dengan pihak mana pun.
PBrrHaJnx,q.N
Buxu Aoalarr
KRTMTNAL!
Anda jangan menggunakan buku bajakan, demi menghargai jerih payah para
pcngarang yang notabene adalah para guru.
Hematologi
Klinik Ringkas
Prof. Dr. I Made Bakta
PENERBIT BUKU KEDOKTERAN
ME
ECC1629
HEMATOLOGI KLINIK RINGKAS
Oleh: Prof. Dr. I Made Bakta
Copy editor: Khastrifah & Daniel Letare Purba
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Buku Kedokteran EGC
O 2003 Penerbit Buku Kedokteran EGC
P.O. Box 4276lIakarta 1,0042
Telepon: 6530 6283
Anggota IKAPI
Desain
kulit muka: Yohanes Duta Kurnia Utama
Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam
bentuk apa pun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk
memfotokopi, merekam, atau dengan menggunakan sistem
penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Cetakan 2012
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
I Made Bakta
-
Hematologi Klinik Ringkas / I Made Bakta.
Jakarta : EGC,2006.
vi,292 hlm. ; 14 x 21 cm.
rsBN 979-448-800-3
1. Hematologi. I. Judul.
616.15
lsi di luar tanggung jawab percetakan
KATA PENGANTAR
Buku ini disusun unruk mahasiswa kedokteran (S1), para peserra
didik pendidikan spesialis penyakit dalain dan mungkin juga pediatrik yang ingin mendalami dasar-dasar hematologi klinik. selain
itu, buku ini juga ditujukan untuk mengatasi terbatasnya sumber
bacaan terutama dalam bahasa Indonesia, dan adanya keinginan
dari mahasiswa untuk mendapatkan bahan ySng praktis dan
ringkas. Karena sifatnya yang ringkas maka mahasiswa tidak cukup
hanya mempelajari buku ini, tetapi untuk hal-hal lang. lebih
mendalam harus dicari pada buku hematologi klinik yang lebih
lengkap.
Hematologi klinik adalah bagian ilmu kedokteran yang bersifat
lintas disiplin. Berbagai disiplin terlibat di dalamnya, rermasuk
disiplin penyakit dalam, pediatri, patologi klinik, patologi anaromi,
bedah, kebidanan, dan lainlain. Oleh karena itu, pendekarannya
harus bersifat komprehensif. Perkembangan cabang ilmu ini sangar
cepat maka seyogianya kita mengikuti perkembangan rersebut dengan saksama agar kita jangan ketinggalan. Oleh karena itu, buku
ini harus rerus menerus direvisi agar dapat menyesuaikan perkembangan terakhir.
Pada kesempatan
ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada
dr Tjok. Gde Dharmayuda, SppD, staf
divisi hematologi dan onkologi medik, Bagian/SMF penyakit Dalam
Fakultas Kedokterin l-Iniversitas Udayana/RS Sanglah Denpasar
yang telah ikut memeriksa naskah ini sebelum diterbitkan. Tentu
saja buku ini penuh dengan kekurangan-kekurangan. Untuk itu,
kritik dan saran yang membangun sangar diharapkan dari sidang
pembaca untuk perbaikan pada edisi-edisi berikutnya.
dr Ketut
Suega, SpPD, dan
Denpasar, Januari 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar v
Bab
Bab
Bab
I
2
3
4
Bab 5
Bab 6
BabT
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab
Hematologi Dasar I
Sistem Eriuoid 9
Anemia Hipokromik Mikrositer dengan
Gangguan Metabolisme Besi 26
Anemia Megaloblastik 45
Anemia Hemolitik 50
Anemia karena Kegagalan Sumsum Tulang 97
Anemia pada Penyakit Sistemik 113
Keganasan
Hematologik I 16
Leukemia dan Penyakit Mieloproliferarif 120
Limfoma Maligna' 192
Gamopati Monoklonal 220
Hemostasis 233
Thrombosis 255
Tiansfusi Darah 271
Daftar Rujukan280
Indela
281
vt
Bab
1
HEMATOLOGI DASAR
Pendahuluan
Hematologi ialah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari darah,
organ pembentuk darah dan jaringan limforetikuler serta kelainan-
kelainan yang timbul darinya. Hematologi mernpelajari baik
keadaan fisiologik maupun patologik organ-organ tersebut di atas
sehingga hematologi meliputi bidang ilmu kedokteran dasar
maupun bidang kedokteran klinik.
Di bidang ilmu penyakit dalam, hematologi merupakan divisi
tersendiri yang bergabung dengan subdisiplin onkologi medik. Hematologi dalam hal ini membahas hematologi dasar, hematologi
klinik, dan imunohematologi. Perkembangan bidang hematologi
demikian cepat terutama akibat perkembangan imunologi, biologi
molekuleq dan genetika. Oleh karena itu, timbul pengkhususan
mengenai anemia, keganasan hematologi, penyakit perdarahan
(hemonhagic diathesis) dan transfusi darah, yang banyak menyang-
kut
imunohematologi.l-7
Darah
Darah merupakan komponen esensial mahluk hidup, mulai dari
binatang primitif sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah
selalu berada dalam pembuluh darah sehingga dapat menjalankan
fungsinya sebagai: (a) pembawa oksigen (oxygen carrier); (b) mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi; dan (c) mekanisme het-3
mostasis. Darah terdiri atas 2 kompo.,..r ut"-",
l. Plasma darah: bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas
air, elektrolit, dan protein darah.
2. Butir-butir darah (blood corpuscle), yang terdiri atas:
a. eritrosit: sel darah merah (SDM)-red blood cell (RBa
b. leukosit: sel darah putih (SDP)-white blood cell MBC)
Hematologi Klinik Ringkas
c. trombosit: butir
Plasma darah
pembeku-platelet
dikurangi protein pembekuan darah disebut
sebagai
serum.
Hemopoesis (hematopoesis)
Hemopoesis atau hematopoesis ialah proses pembentukan darah.
Tempat_hemopoesis pada manusia berpindah-pindah sesuai dengan
u-arr,1-7
a. yolh
sac;
umur 0-3 bulan inrauterin
umur 3-6 bulan intrauterin
c. sumsum tulang: umur 4 bulan intrauterin-dewasa.
Perkembangan hemopoesis menurur umur ini dapat dilihat
b. hati &
lien:
pada
gambar 1-1.
Bme manow (axial
*detm)
Hematopoess
'.,,80ne mano i (dislal long bones)
012 3456 78 9
Mmlhs
10 20 30 40 50 60
70
Ymrs
Gambar 1-1. Perkembangan hemopoesis menurut urrrur.6-7
Pada orang dewasa dalam keadaan fisiologik semua hemopoesis
terjadi pada sumsum tulang. Dalam keadaan patologik, seperti pada
mielofibrosis, hemopoesis terjadi di luar sumsum tulang, rerurama
di lien, disebut sebagai hemopoesis ekstrameduler. Untuk kelangsung-
an hemopoesis diperlukan:
a-6
Dasar 3
l . Sel induk hemopoetik (hematopoietic ,rr-:t;"tosi
Sel induk hemopoetik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi
sel-sel darah, rermasuk sel darah merah (eritrosit), sel darah putih
(leukosit), butir pembeku (trombosit), dan juga beberapa sel dalam
surnsum nrlang sepeni fibroblast. Sel induk yang paling primitif disebut
sebrgd pluipotenr (ntipoten) stem celL sel induk pluripotent mempunyai
,. 1-6
sltat:
a. self renett,al: kemampuan memperbarui diri sendiri sehingga
ddak akan pernah habis meskipun terus membelah;
b. proliferarifi kemampuan membelah atau memperbanyak diri;
c. diferensiatifi kemampuan untuk mematangkan diri menjadi
sel-sel dengan fungsi rerrenru.
Menurut sifat kemampuan diferensiasinya maka sel induk
heniopoetik dapat dibagi menjadi:
a. Pluripotent (totipztent) stem cell: sel induk yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan seluruh jenis sel-sel darah.
b. Committed stem cell: sel induk yang mempunyai komitmen
untuk berdiferensiasi melalui salah satu garis turuna n sel (cell
line). Sel induk yang termasuk golo.rg"n ini ialah sel induk
mieloid dan sel induk limfoid.
c. Oligopotent stern cell: sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi
hanya beberapa jenis sel. Misalnya, CFU-GM (cobny
forming
,
unit-granubryte/monocyte) yang dapat berkembang hanya menjadi
sel-sel granulosit dan sel-sel monosit.
d.
Unipotent stem cell: sel induk yang hanya mampu berkembang
menjadi satu jenis sel saja. Contoh: CFU-E (colony forming
unit-erythrocyte) hanya dapat menjadi eritrosit, CFU-G (cobny
forming unit-granulocyte) hanya mampu berkembang menjadi
sel-sel granulosir.
Gambar skematik dan hierarki susunan sel induk hemopoetik dapar
dilihat pada gambar
dan gambar l-3. Semula sel induk dianggap
hanya berada dalam sumsum rulang, setelah berdiferensiasi menjadi sel
l-2
maang kemudian dilepaskan ke darah tepi. Sekarang dapat dibuktikan
bahwa sel induk juga beredar dalam sirkulasi, tetapi tidak dapat dideteksi dengan teknik pengecatan konvensional. Keberadaan sel ini
4
Hematotogi Klinik Ringkas
dalam darah tepi dapat dibuktikan dengan teknik immunopheno1/ping.
Sel induk dalam darah tepi
ini dapat dipisahkan
dengan teknik
hemapheresis, kemudian dapat dicangkokkan pada orang lain. Teknik
ini disebut sebagai peripheral blood stem cell transplantation.l
Gambar 1-2. Diagram skematik hierarki sel indr.rk hemopoetik nenurlrt Hoffbrand
et al.8
._----..--.-.-..11
r Hffiodolic
!L-J s". iNl"
u*aes I
II Cqnmfin€nt
I
r
II
| **
I
I
^
I
I
I
|
l-
l-t* I
.lI I r",u,"ilsllfll
Cmmt{6d
I or""t
P,og-ir* c"s"
tI
--*.-O
I
lcensl
*c
-o
I
Bdtro!6dor!
f{dltroedoB
O-'C
^ -/O- -
-o*
l\
(O:
;
r*\^ ..e
i\^1-
|
i
I
.r,c'
O:
I
I
of
O
O(
c'sueyetro!6n{o6
i*@
ro*
r*@
Mdu,"*ec'+Me€sqsn'bs
I wxu
\e-*
1
Er'n'oid P'o{sno-
t*a
I
r'!z
Er/h'€f es
t--€t
I
Gambar 1-3. Hierarki sel induk hematopoetik dan garis turunannya secara
morfologik menurut Wintrobe et al1
HematoLogi
2. Lingkungan mikro
Dasar 5
(microenuirontment) sumsum tulang
Lrngkungan mil<ro sumzum nrlang adalah subsarui yang memungkinkan
sel induk tumbuh secara kondusif, Komponen lingkungan
meliputi berikut:
a. mikrosirkulasi dalam sumsum tulang
b. sel-sel srroma:
i. Sel endotil
ii. Sel lemak
iii. Fib roblast
iv.
v.
c.
milro ini
Makrofag
Sel redkulum (bknhet ce$
matriks ekstraseluler: fibronektin, haemonektin, laminin, kolagen,
dan proteoglikan.
pfuripotent
Stem cellr:r
Gambar 1-4. Gambaran skematik lingkungan mikro sumsum tulang menurut
Hoffbrand et al.8
Lingkungan mikro sangar penring dalam hemopoesis karena berfungsi untuk berikur:
a. Menyediakan nutlisi dan bahan hemopoesis yang dibawa oleh
peredaran darah mikro dalam sumsum tulang.
b.
Komunikasi antarsel (cell to cell communbation), rcruriama ditentukan
oleh adanya adhesion molecule.
6
Hematologi Klinik Ringkas
c.
Menghasilkan zat yang mengatur hemopoesis: hematopoietic
grouth factoa cytohine, dan lain-lain.
Jalinan semua komponen tersebur membentuk suatu struktur
yang sangat kompleks, seperri digambarkan secara skematik pada
gambar 1-4.
3. Bahan-bahan
pembentuk darah
Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembentukan darah adalah:
a. asam folat 6c vitamin B12: merupakan bahan pokok
pembentuk inti sel
b. besi: sangat diperlukan dalam pembentukan hemoglobin
c. cobalt, magnesium, Cu, Zn
d. asam amino
e. vitamin lain: vitamin C, B komples, dan lain-lain.
Sumsum tulang yang normal merupakan bagian esensial dari
hemopoesis. Apabila struktur atau fungsi sumsum tulang rerganggu
maka dapat menimbulkan kelainan. Gangguan sumsum tulang dapat
terjadi oleh karena: 6
a. Kegagalan produksi sel: dijumpai pada anemia aplastik
b. Kegagalan maturasi sel: dijumpai pada sindroma mielodisplastik
c.
Produksi sel-sel yang tidak normal: misalnya pada, thalasemia,
hemoglobinopati, dan lain-lain.
d. Hilartgnya mekanisme regulasi yang normal, seperti pada:
i. leukemia akut
ii. penyakit mieloproliferatif
iii. penyakit limfoproliferatif.
Gangguan sumsum tulang menimbulkan berbagai jenis penyakit.
Penyakit-penyakit yang mengenai sel induk hemopoetik antara lain
adalah:1-6
a. Leukemia mieloid akut
b. Leukemia mieloid kronik
c. Sindroma preleukemia (myelodysplastic
d. Polisitemia vera
e. Mlelofbrosis uith m1'eloid metapksia
f.
Anemia aplastik
g.
Cyclic neutropenia.
syndrome)
Hematologi
Dasar
7
4. Mekanisme regulasi
Mekanisme regulasi sangar penting unruk mengatur arah dan
kuantitas pertumbuhan sel dan pelepasan sel darah yang matang dari
sumsum tulang ke darah tepi sehingga sumsum tulang dapat merespons kebutuhan tubuh dengan tepar. Produksi komponen darah
yang berlebihan ataupun kekurangan (defisiensi) sama-sarrra menimbulkan penyakit. Zat-zar yang berpengaruh dalam mekanisme regulasi ini adalah:1-6
a. Faktor pertumbuhan hemopoesis (hematopoietic growth factors):
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
b.
Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF)
Granulocyte colony stinukting factor (G-CSF)
Macrophage-colony stimulating factor (M-CSF)
Thrombopoietin
Burst promoting actiuiry (BPA)
Stem cell factor (hit ligand)
Sitokin (cytohine) seperti misalnya:
IL-3 (interleukin-3), lL-4,IL5, IL-7, IL-8, IL-9, IL-l0, IL.11.
Grotuth factor dan sitokin sebagian besar dibentuk oleh sel-sel
darah sendiri, seperti limfosit, monosit atau malrofag, serra sebagian
oleh sel-sel penunjang, sepeni fibroblast dan endotil. Sitokin ada
yang merangsang perrumbuhan sel induk (stimuktory qttohine),
sebagian lagi menekan penumbuhan sel induk (inhibitory
rytohine).
Keseimbangan kedua jenis sitokin ini sangat menentukan proses
hemopoesis normal.
c. Hormon
hemopoetik spesifik
Erythropoietin' hormon yang dibentuk
di ginjal khusus
merangsang
pertumbuhan prekursor eritroid.
d. hormon
nonspesifik:
beberapa jenis hormon diperlukan dalam jumlah
hemopoesis, seperri:
i.
ii.
iii.
iv.
v.
kecil untuk
Androgen: yang berfungsi menstimulasi eritropoesis
Estrogen: menimbulkan inhibisi eritropoesis
Glukokortikoid
Grouth ltormon
Hormon tiroid
8
Hematologi Ktinik Ringkas
Dalam regulasi hemopoesis normal terdapat feed bach mechanism:
suatu mekanisme umpan balik yang dapat merangsang hemopoesis jika
rubuh kekurangan komponen darah Qositiue hop) atau menekan
hemopoesis jika tubuh kelebihan komponen darah tenentu (ncgatiue bop).
Bab
2
SISTEM ERITROID
Sistem eritroid terdiri atas sel darah merah (red cell) atau eritrosit
(erythrocyte) dan prekursor eritroid (erythroid precurcor). IJnir fungsional
dari sistem eritroid ini dikenal sebagai eritron (erythron) yang
mempunyai fungsi penting sebagai pembawa oksigen
(oxygen
carcier).
Prekursor eritroid dalam sumsum tulang berasal dari sel induk
hemopoetik, melalui jalur sel induk mieloid, kemudian menjadi sel
induk eritroid, yaitu BFU-E dan selanjutnya CFU-E. Prekursor eritorid
yang dapat dikenal secara morfologik konvensional dalam sumsum
tulang dikenal sebagai pronormoblnr, kemudian berkembang menjadi
basop hilic (ear$ normo b /nt), selaryurnya po ly c hro matop hilic normo b lnst,
dan acidophilic (kte) normoblat (llhat gambar 1-2 dan gambar t-3).
Sel ini kemudian kehilangan intinya, masih tertinggal sisa-sisa RNA,
yang jika dicat dengan pengecaran khusus akan tampak, seperti jala
sehingga disebut retikulosit. Retikulosit akan dilepas ke darah repi,
kehilangan sisa RNA sehingga menjadi eritrosit dewasa. Proses ini di
kenal sebagai eritropoesis (erythropoiesis), yang terjadi dalam sumsum
tulang. Apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis,
eritropoesis terjadi di luar sumsum tulang, seperti di lien dan hati, maka
proses ini disebut sebagai eritropoesis ekstrameduler.l-6
Proses pembentukan eritrosit memerl,ukan:
a. sel induk: CFU-E, BFU-E, normoblast (eritroblast)
b. bahan pembentuk eritrosit: besi, vitamin Bl2, asam folat, prtein,
dan lainlain
c. mekanisme regulasi: faktor perrumbuhan hemopoetik
dan
hormon eritropoetin
Eritrosit hidup dan beredar dalam darah tepi (life span) rata-rara
selama 120 hari. Setelah 120 hari eritrosit mengalami proses penuaan
(senescence)
kemudian dikeluarkan dari sirkulasi oleh sistem RES.
Apabila destruksi eritrosit terjadi sebelum waktunya (<120 hari) maka
proses ini disebut sebagai hemolisis.
10
Hematologi Klinik Ringkas
Struktur Eritrosit
Eritrosit marang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan
diameter sekitar 7 mikron. Eritrosit merupakan sel dengan struktur
yang tidak lengkap. Sel ini hanya terdiri atas membran dan sitoplasma
tanpa inti sel.
Komponen eritrosit terdiri atas:
1 . Membran eritrosit
2. Sistem enzim; yang terpenting: dalam Embden Meyerhof pathraa!: ?lruuate hinasei dalam pentose ?athway enzim
G6PD
(glucose
6-p hosp hate dehydrogenase)
3.
Hei.noglobin: berfungsi sebagai alat angkut oksigen. Komponennya
terdiri
atas:
a. heme, yang merupakan gabungan proroporfirin dengan besi
b. globin: bagian protein yang rerdiri atas 2 rantai alfa dan 2
rantai beta.
Perubahan struktur eritrosit akan menimbulkan kelainan. Kelainan
yang timbul karena kelainan membran disebut sebagai membranopati,
kelainan akibat gangguan sistem ensim eritrosit disebut ensimopati,
s€danglsn kelainan akibat gangguan strukur hemoglobin disebur sebagai
hemoglobinopati.
r-6
Destruksi Eritrosit
Proses penghancuran eritrosit dilukiskan dalam gambar 2-1. Destruksi
yang terjadi karena proses penuaan disebut ptoses senescence, sedanglan
destruksi patologik disebut hemolisis. Hemolisis dapat terjadi intravaskuler, dapat juga ekstravaskuler, rerutama pada sistem RES, yaitu
lien dan hati.
Hemolisis yang terjadi pada eritrosit akan mengakibatkan terurainya
komponen-komponen hemoglobin menjadi berikut:
l. komponen protein yaitu globin yang akan dikembalikanke pool
protein dan dapat dipakai kembali.
2. komponen heme akan pecah menjadi dua, yaitu:
a. Besi: yang akan dikembalikanke pool besi dan dipakai ulang.
b. Bilirubini y^ng akan dielakresikan melalui hati dan empedu.
Sistem
Eritroid
11
Eritrosit hemolisis atau proses penuaan
I
v
Hemoglobin
?===/-Hem
7
Globin
I amino
ttl
Asam
Pool
protein
tlll
CO
Fe
pool
besi
i
*
Disimpan/
digunakan lagi
Proto porfirin
Bilirubin indirek
HArl
Disimpan/
digunakan lagi
Bilirubin direk
I
EMPEDU
,l
''t
Feses:
Sterkobilinogen
Urine
Urobilinogen
Gambar 2-1. Skema deshuksi eritrosif
ANEMIA
Anemia merupakan kelainan hematologi )xang paling sering dijumpai baik
di klinik maupun di
lapangan. Untuk mendapatkan pengertian
tentang anemia maka kita perlu menetapkin definisi anemia:l-6
12
Hematologi Klinik Ringkas
l.
2.
Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosir dan/atau massa
hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.
Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrft (packed
red cell).
Kriteria Anemia
Untuk menjabarkan definisi anemia di atas maka perlu ditetapkan
batas hemoglobin atau hematokrit yang kita anggap sudah terjadi
anemia. Batas ini disebut sebagai cat of point (titik pemilah), yang
sangat dipengaruhi oleh: umur, jenis kelamin, ketinggian tempar
tinggal dari permukaan laur, dan lainlain.
Cut off point yang umum dipakai ialah kriteria 'WHO tahun
l968.e Dinyatakan anemia bila:
Laki-laki dewasa:
hemoglobin < 73 gldl
Perempuan dewasa tak hamil:
hemoglobin < 12 gldl
Perempuan hamil:
Anak umur 6-14 tahun:
Anak umur 6 bulan-6 tahun:
A. Kriteria
hemoglobin
hemoglobin
hemoglobin
< ll g/dl
< 12 gldl
< ll g/dl
Klinik
Alasan praktis kriteria anemia di klinik (dr rumah sakit atau praktik
klinik) untuk Indonesia pada umumnya adalah:
1. Hemoglobin < l0 g/dl
2. Hematokrit < 30o/o
3. Eritrosit < 2,8 jutalmm3
Hal ini dipertimbangkan untuk mengurangi beban klinisi melakukan uorh up anemia jika kita memakai kriteria'WHO.
B. Derajat anemia
Derajat anemia anrara lain ditentukan oleh kadar hemoglobin.
Derajat anemia perlu disepakati sebagai dasar pengelolaan kasus
anemia.
Klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai adalah
berikut'8-e
sebagai
Ststem
1. fungan
Eritroid
13
sekali: Hb
2. Ringan:
3. Sedang:
4. Berar:
10 gldl-cut of point
Hb 8 g/dl-Hb. 9,9 g/dl
Hb 6 g/dl - Hb 7,9 gldl
Hb < 6 g/dl
C. Prevalensi Anemia
Meskipun anemia dianggap kelainan yang sangar sering dijumpai di
Indonesia, angka prevalensi yang resmi belum pernah direrbitkan.
Angka-angka y^ng ada merupakan hasil dari penelitian-penelitian
terpisah yang dilakukan di berbagai rempat di Indonesia. Angka
prevalensi anemia di Indonesia menurur Husaini dkkl0 dapat dilihat
pada tabel 2-l di bawah ini.
Tabel 2-1
Perkiraan Prevalensi Anemia di Indonesiae
Kelompok Populasi
Angka Prevalensi
Anak prase-kolah (balita) ,t, '
2. Anak usia sekolah
3. Dewasa tidak hamil
30:40%
4. Hamil
5, Laki-laki dewasa
50-7A%
20-30To
6. Pekerja berpenghasilan rendah
30-40%
1.
25-350
30-4A%
A"gk" prevalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada
geografi. Salah satu faktor determinan utama adalah taraf sosial ekonomi
masyarakat. Data anemia yang dikumpulkan oleh 'S7HO di seluruh
dunia sampai dengan tahun 1985 dapat dilihat pada abel2-2.e
D. KlasifikasiAnemia
Anemia dapat diklasifikasikan dengan berbagai c:ra, rergantung dari
sudut mana kita melihat dan tujuan kita melakukan klasifikasi tersebut.
Klasifikasi yang paling sering dipakai adalah:r-7
l. Klasifikasi morfologiki yang berdasarkan morfologi eritrosit pada
pemeril<saan apusan darah tepi atau dengan melihat indela
eritrosit. Dengan pemakaian alat hitung hematologi automatik
16
Hematologi Klinik Ringkas
Tabel 2-4
Klasifikasi Anemia Berdasarkan Etiopatogenesisl-7
A
Produksi eritrosit menurun
1. Kekurangan bahan untuk eritrosit
a. besi: anemia defisiensi besi
b. vitamin 812 dan asam folat, disebut sebagai anemia
megaloblastik
2. Gangguan utilisasi besi
a. anemia akibat penyakit kronik
3.
4.
b.
anemia sideroblastik
Kerusakan jaringan sumsum tulang
a. atrofi dengan penggantian oleh jaringan lemak: anemia
aplastiUhipoplastik
b. penggantian oleh jaringan fibrotik/tumor: anemia
leukoeritroblastik/mieloptisik
Fungsi sumsum tulang kurang baik karena tidak diketahui.
a.
b.
anemia diseritropoetik
anemia pada sindrom mielodisplastik
B. Kehilangan eritrosit dari tubuh.
1.
2.
anemia pascaperdarahan akut
anemia pascaperdarahan kronik
C. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis).
1. Faktor ekstrakorpuskuler
a.
,
2.
antibodi terhadap eritrosit:
i. Autoantibodi-AlHA (autoimmune hemolytic anemia)
ii. isoantibodi-HDN (henolytic dlsease of the newbom)
b. hipersplenisme
c. pemaparan terhadap bahan kimia
d. akibat infeksi bakteri/parasit
e. kerusakan mekanik
Faktor intrakorpuskuler
. a.: gangguan membran
b.
c.
i.
ii.
hereditary spherocyfosis
ii.
defisiensi COPO lgtr"ose-6 phosph ate dehydrogenase)
hereditary ettiptocytosis
Gangguan ensim
i. defisiensi pyruvate kinase
Gangguan hemoglobin
i. hemoglobinopati struktural
ii. thalassemia
D. Bentuk campuran
E. Bentuk yang patogenesisnya belum jelas.
Sistem Eritroid
17
Tabel 2-5
Patofisiologi Timbulnya Gejala Anemial'7
Anoksia organ target menimbulkan gejala tergantung pada organ
mana yang terkena.
2. Mekanisme adaptasi (kompensasi) terhadap anemia:
a. Penurunan afinitas Hb ierhadap oksigen den$an meningkatkan
ensim 2,3 DPG (2,3 diphospho gtycerate)
b. Meningkatkan curah jantung (COp = cardiac outputl)
c. Redistribusi aliran darah
d. Menurunkan tekanan oksigen vena
1.
EritrosiUhemoglobin menurun
I
+
Anoksia organ target
Mekanisme kompensasi tubuh
\
,/
Gejala anemia
Gambar 2-2. Skema patofisiologi anemia
c.
d.
Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun;
Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit
menurun, rambut tipis dan halus.
2.
Gejala khas masing-masing anemia
Gejala yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia, seperti:
a. anemia defisiensi besi: disfagia, arrofi papil lidah, stomatitis
angularis;
b. anemia defisiensi asam folat: lidah merah (bffi tongue);
c. anemia hemolitik ikterus dan hepatosplenomegali;
d. anemia aplastik: perdarahan kulir atau mukosa dan tanda-
tanda infeksi.
18
Hematologi Klinik Ringkas
3. Gejala akibat penyakit dasar
Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemi. Gejala ini
dmbul karena penyakit-penyakit yang mendasari anemia rersebut.
Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing
tambang berat akan menimbulkan gejala seperti: pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Kanker
kolon dapat menimbulkan gejala berupa perubahan sifat defekasi
(change of bowel habit), feses bercampur darah atau lendir.
Pendekatan Diagnostik untuk Penderita Anemia
Diagnosis anemia dapat sederhana, tetapi sering juga bersifat sangat
kompleks, oleh karena itu langkahJangkah diagnosis harus dilakukan secara sistematik dan efisien. Untuk menegakkan diagnosis
anemia perlu dikerjaka.,r 1-6
1. Anamnesis
Seperti anamnesis pada umumnya, anarnnesis pada kasus anemia
harus ditujukan untuk mengeksplorasi
riwayat penyakit sekarang;
a.
b.
c.
d.
2.
riwayat penyakit terdahulu;
riwayat gizi;
anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia, dan
fisik serta riwayat pemakaian obat;
e. riwayar keluarga.
Pemeriksaan fisik:
Pemerilaaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh. Perhatian khusus diberikan pada berikut:
a. warna kulit: pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak
tangan kuning seperti jerami;
b. purpura: petechie dan echlmosis;
c. kuku: koilonychia (kuku sendok)
d. mata: ikterus, konyungtiva pucat, perubahan fundus;
e. mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil
lidah, glossitis dan stomatitis angularis;
f.
limfadenopati;
g.
hepatomegali;
Sistem Eritroid
h.
splenomegali;
k.
nyeri tulang atau nyeri srernum;
hemarthrosis atau ankilosis sendi;
pembengkakan testis;
i.
j.
l.
19
pembengkakan parotis;
m. kelainan sistem sara.
4. Pemeriksaan
laboratorium hematologik
Pemeriksaan laboratorium hematologik dilakukan secara berrahap. Pemeriksaan berikutnya dilakukan dengan memperhatikan
hasil pemeriksaan terdahulu sehingga lebih terarah dan efisien.
Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
a. Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal pada setiap
kasus anemia. Dengan pemeriksaan ini maka dapat dipasti-
kan adanya anemia dan bentuk morfologi anemia tersebut.
Pemeriksaan ini melipuri:
i. Kadar hemoglobin
ii. Indela eritrosit (MCV, MCH dan MCHC). Dengan perkembangan electronic counting di bidang hematologi
maka hasil Hb,'!7BC (darah putih) dan PLT (trombosit)
serta indeks eritrosit dapat diketahui sekaligus. Dengan
pemeriksaan yang baru ini maka juga diketahui RD\f
(red cell distribution width) yang menunjukkan tingkat
anisositosis sel darah merah.
iii. Apusan darah
b.
tepi
Pemeriksaan rutin: p€meritsaan ini juga dikerjakan pada semua kasus anemia, untuk mengetahui kelainan pada sistem
leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yang harus dikerjakan
adalah:
i.
ii.
laju endap darah;
hitung diferensial;
iii. hitung retikulosit.
c.
Pemeriksaan sumsum tulang: pemerilsaan ini harus dikerjakan pada sebagian besar kasus anemia untuk mendapatkan
diagnosis definitif meskipun ada beberapa kasus yang diagnosisnya tidak memerlukan pemeriksaan sumsum dang.
20
Hematologi Klinik Ringkas
d. Pemeriksaan atas indikasi khusus: pemeriksaan ini
baru
dikerjakan jika kita telah mempunyai dugaan diagnosis awal
sehingga fungsinya adalah unruk mengkonfirmasi dugaan
diagnosis tersebut. Pemeriksaan rersebut antara lain:
i. anemia defisiensi 6esi: serum iron, TIBC, saturasi transferin,
ii.
dan feritin serum;
anemia megaloblastik: asarn folat darah/eritrosit, vitamin
B12.
iii.
anemia hemolitilc
hiturg raih:losit, tes C-oombs,
eleknoforesis
Hb;
iv. anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia.
5.
Pemeril<saan laboratorium nonhematologilc pemeriksaan-pemeril<saan
yang perlu dikerjakan anrara lain:
a. faal ginjal;
b. faal endokrin;
c. asam urat;
d. faal hati;
e. biakan kuman;
f
dan lain-lain.
Berbagai jenis anemia dapat disebabkan oleh penyakit sistemik
seperti gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik, dan hiporiroidisme.
Ada juga kasus anemia yang disebabkan oleh penyakit dasar yang
disertai hiperurisemia, seperri mieloma multipel. Pada kasus anemia
yang disertai sepsis, seperri pada anemia aplastik diperlukan kultur
darah.
6. Pemeriksaan penunjang lain
Pada beberapa kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang
seperri:
a. Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemerilsaan histopatologi
b. Radiologi: torak, bone suruey, USG, skening, limfangiografi.
c. Pemeriksaan sitogenetik
d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR = polymnase chain reaction,
FISH--fluorescence
in
situ hybridization, dan lainJain).
Sistem Eritroid
21
Strategi Diagnosis Kasus Anemia
Untuk menegakkan diagnosis anemia harus ditempuh 3 langkah, yaitu:
l. Langkah pertama: membuktikan adanya anemia.
2. Langkah kedua: menetapkan jenis anemia yang dijumpai.
3. Langkah ketiga: menentukan penyebab anemia tersebut.
Untuk dapat melaksanakan ketiga langkah tersebut dilakukan.
1. pendekatan kiinik;
2. pendekatan laboratorik;
3. pendekatan epidemiologik.
klinik bergantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang baik untuk dapat mencari adanya sindroma anemia, tanda-tanda
Pendekatan
khas masing-masing anemia, serta gejala penyakit dasar. Sementara itu,
pendekatan laboratorik dilakukan dengan menganalisis hasil pemeriksaan
laboratorium menurut tahapan-tahapannya: pemeriksaan penyaring, pemeriksaan rutin dan pemeriksaan khusus. Pendekatan epidemiologik
sangat penting dalam tahap penentuan etiologi. Dengan mengetahui
pola etiologi anemia di suatu daerah maka perunjuk menuju diagnosis
etiologik lebih mudah dikeijakan.
Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan diagnostik anemia
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (gambar' 2-3 sampai
dengan 2-6).
Prinsip Terapi
Pada setiap terapi kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip
sebagai berikut:1
1. Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan
2. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional dan efisien
Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah:
1. Terapi gawat-darurat
2.
Terapr khas
untuk masing-masing anemia
3. Terapi kausal
4. Terapr ex juuantiuus
22
Hematologi Klinik Ringkas
Anemra
t
I
Apusan darah tepi dan indeks eritrosit
(MCV MCH, MCHC)
Anemia
Anemia
hipokromik mikrositer
makrositer
normokxomik normositer
.
I
I
t
Lihat gambar
8
Anemia
ll
Lihat gambar 9
Lihat gambar 10
Gambar 2-3. Algoritma pendekatan diagnostik anemia
l.
Terapi" untuk mengatasi keadaan gawat darurar.
Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah
jantung maka harus segera diberikan terapi darurat dengan
ransfusi sel darah merah yang dimampatkan (packed red cell)
untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut. Dalam
keadaan demikian, spesimen untuk pemeriksaan yang dipengaruhi oleh transfirsi harus diambil terlebih dahulu, seperti apusan
darah tepi, bahan untuk pemeriksaan besi serum, dan lainlain.
2. Terapi khas untuk masing-masing anemia.
Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang drjumpai. Misalnya,
preparat besi untuk anemia defisiensi besi, asam folat untuk
defisiensi asam folat, dan lain-lain.
3. Terapi untuk mengobati penyakit dasar.
Penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia harus diobati
dengan baik. Jika tidak, anemia akan kambuh kembali. Misalnya,
Sistem Eritroid
23
ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITER
I
I
t
Besi serum
Normal
Menurun
I
.-TIBC
TIBC f T
Feritin J J
JJ
Feritin normal
2"*''.
I
Besi sumsum Besi sumsum Elektroforesis
tulang negatif tulang positif
I
HB
t
Ring sideroblast
dalam sumsum
tulang
HbA2T
I
"ol '
I
I
Anemia defisiensi Anemia akibat Thalassemia beta Anemia sideroblastik
penyakit kronik
besi
Gambar 2-4. Algoritma pendekatan diagnostik penderita dengan anemra
hipokromik mikrositer
boi y""g disebabkan oleh infelai cacing tambang
harus diberikan obat anti cacing tambang. Akan tetapi, sayang
tidak semua penyebab anemia dapat dikoreksi, seperti anemia
anemia defisiensi
yang bersifat familier/herediter.
4.
Terapi
ex
juuantiuus
Terapi yang teqpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan,
jika terapi ini berhasil berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi
24
Hematologi Klinik Ringkas
ANEMIA
NORMOKROMIK NORMOSITER
I
+
Retikulosil
Meninqkat Normal/menurun
-----------\
l'yil:t-,
o'*i":'^r,*
Tanda-hemolisis
^
J
SumsJmtutang
,,7Nt*
,*li,Tu '"7"::;::,/,h",,,,
^,:1-^----> ..- I
I / ,,i^--
1,"
loa
I
/neirz
/ lteui
t\
/
miel
Gambar 2-5. Algorihna pendekatan diagnostik anemia normokromik normositer
ini
hanya dilakukan jika tidak tersedia fasilitas diagnosis yang
mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini penderita harus diawasi
dengan kerat. Jika rerdapat respons yang baik terapi diteruskan,
teapi jika tidak terdapar respons maka harus dilakukan evaluasi
kembali.
Sistem
Eritrold
25
ANEMIA MAKROSITER
I
Retikulosit
Normal/menurun
I
srtlt
Riwayat perdarahan akut
tur"ns
I
I
'
Megaloblastik Non-megaloblastik
I
Anemia pascaperdarahan akut
Anemia def.B1 2/asam folat
/\\
/\\
serum Asam folat F aal tiroid
rendah rendah I Faal hati
Diplastik
812
/
dalam terapi
r
/l
def.B12 /
/
Anemia def. I
I
asam folai
Anemia
pada hipotiroidi
Anemia
pada penyakit
hati kronik
Sindroma
mielodisplastik
Gambar
2-6. Algoritma
pendekatan diagnostik anemia makrositer
Bab
3
ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITER
DENGAN
GANGGUAN METABOLISME BESI
Patogenesis dasar dari kelompok anemia ini ialah berkurangnya
penyediaan besi atau gangguan utilisasi besi oleh progenitor eritroid
dalam sumsum tulang. Anemia hipokromik mikrositer dengan
gangguan metabolisme besi merupakan penyebab anemia tersering
yang dijumpai, baik dalam praktek klinik maupun di lapangan.l-6
Termasuk dalam kelompok ini ialah:
1. Anemia defisiensi besi
2. Anemia akibat penyakit kronik
3. Anemia sideroblastik.
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya
cadangan besi tubuh (dzpleted iron store) sehingga penyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan
hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai oleh anemia hipokromik
mikrositer, besi serum menurun, TIBC (total iron binding capacity)
meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun, pengecltan besi sumsum nrlang negatif dan adanya respon terhadap
pengobatan dengan preparat besi.
Anemia jenis ini merupakan anemia yang paling sering dijumpai,
terutama di negara-negara tropik atau negara dunia ketiga karena
sangat berkaitan erat dangan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak
kesehatan yang sangar merugikan serta dampak sosial yang cukup
serius.l-7
Metabolisme Besi
Besi merupakan trAce element yang sangat dibutuhkan oleh tubuh.
Besi di alam terdapat dalam jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat
26
Anemia Hipokromik
Mikrositer 27
dari segi evolusinya, rnaka sejak awal manusia dipersiapkan untuk
menerima besi yang berasal dari sumber hewani, retapi kemudian
pola makanan berubah di mana sebagian besar besi berasal dari sumber
nabati, terutama di negara tropik, tetapi perangkat absorpsi besi
tidak mengalami evolusi yang sama, sehingga banyak menimbulkan
defisiensi besi.
Komposisi Besi dalam Tubuh
Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh, berupa: (1)
senyawa besi fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang
berfungsi dalam tubuh; (2) besi cadangan, senyawa besi yang
dipersiapkan bila masukan besi berkurang (3) besi transpo! besi yang
berikatan dengan protein terrentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu komparremen ke kompartemen lainnya.
Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk logam
bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan protein rertenru.
Besi bebas akan merusak jaringan, mempunyai sifat, seperti radikal
bebas. Thbel 3-1 menggambarkan komposisi besi pada seorang lakilaki dengan berat badan 75 kg.Jumlah besi pada wanita pada umunrnya lebih kecil oleh karena massa tubuh yang juga lebih kecil.
Tabel 3-1
Kandungan Besi Seorang Laki-Laki dengan BB 75 kg
A
Senyawa
besi '''.'
fungsional
B. Senyawa
''
besi
transportasi
C. Senyawa besi
cadangan
Total
',
'Hemoglobin
.',
Mioglobin
Ensim-ensim
2300 mg
320 mg
B0 mg'
,
Transferin
3mg
Feritin
Hemosiderin
.
700 mg
300 mg
3803 mg
Absorpsi Besi
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan dalam
usus. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan
proses absorpsi. Absorpsi besi paling banyak terjadi pada duodenum
28
Hematologi Klinik Ringkas
dan jejunum proksimal disebabkan oleh struktur epitel usus yang
memungkinkan untuk itu. Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3
fase, yaitu:
1.
luminal besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian
siap diserap di duodenum. Besi dalam makanan terdapat dalam 2
bentuk sebagai berikut:
a. Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, proporsi absorpsinya
Fase
tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat
b.
sehingga
mempunyai bioavailabilitas tinggi.
Besi nonheme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan,
proporsi absorpsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu
atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah.
Tergolong sebagai bahan pemacu absorpsi besi adalah "ment
factori' dan vitamin C, sedangkan yang tergolong sebagai bahan
penghambat ialah tanat, phytat dan serat ffibre).
Dalam lambung karena pengaruh asam lambung *aka besi dilepaskan
dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi
bentuk feri ke fero yang siap untuk diserap.
2.
Fase mukosal: proses penyerapan dalam mukosa usus yang
merupakan suatu proses aktif. Penyerapan besi terjadi terurama
melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangar kompleks.
Dikenal adanya macosal bloch, suatu mekanisme yang dapat
mengatur penyerapan besi melalui mukosa usus.
3. Fase korporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi,
utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, serra penyimpanan
besi (storage) oleh tubuh.
Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian
basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian dalam darah
diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Tlansferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis.
Banyaknya absorpsi besi tergantung pada berikut:
1. Jumlah kandungan besi dalam makanan.
2. Jenis besi dalam makanan: besi heme atau nonheme
3.
Adanya bahan penghambat aau pemacu absoqpsi dalam makanan.
Anemia Hipokromik
Mikrositer 29
4. Jumlah cadangan besi dalam tubuh.
5. Kecepatan eritropoesis.
Siklus Besi dalam Tubuh
Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang rerurup
yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari
berkisar antara 7-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang
sama melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin
akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari malaofag dalam
22 mg untuk ,dapat memenuhi kebutuhan
eritropoesis sebanyak 24 mg per hari. Eritrosit yang terbentuk secara
efektif yang akan beredar melalui sirkulasi memerlukan besi 17 mg,
sedangkan besi sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena
sumsum tulang sebesar
terjadinya eritropoesis inefekdf (hemolisis intramedular). Besi yang
terdapat pada eritrosit yang beredar, setelah mengalami proses penuaan
f
Erit,op6sls
inetektit
Sum3um lulang
22
Gambar 3-1. Skema siklus perfukaran besi dalam tubuh
30
Hematologi Klinik Ringkas
juga akan dikembalikan pada malrofag sumsum tulang sebesar 17
mg sehingga dapat dilihat suatu lingkaran tertutup Qlosed circuit)
yang sangat efisien, seperti yang dilukiskan pada gambar 3-1.
Klasifikasi Defisiensi Besi Menurut Beratnya Defisiensi
Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yait.t:l-6
1. Deplesi besi (iron depleted state): cadansan besi menurun, tetapi
penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu.
2. Eritropoesis defisiensi besi (iron defcient erythropoiesi): cadangan
besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu,
tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.
Anemia
defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia
3.
defisiensi besi.
Prevalensi Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering
dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat. Dari berbagai data
yang dikumpulkan sampai saat ini, didapatkan gambaran prevalensi
anemia defisiensi besi seperti tertera pada tabel 3-2.
Etiologi Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan
besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan
menahun.'-6
1.
Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang da-
pat berasal dari:
Tabel 3-2
Prevalensi Anemia Defisiensi Besi di Dunia
Afrika
dewasa '' ,
Laki
60/o
wanita takr h a:mil',''2o,/,
Wanitarhamil , '607q
Amerika Latin
3o/a ,,',.':'
'll:lJo/o"
39.46%
8'e
lndonesia
,;;,;,,,,.1
16-5'00/o
,i'.":' 25-48o/a
'.". 46-920h
Anemia Hipokromik
Mikrositer
a. saluran cerna: akibat dari tukak peptik, kanker
31
lambung,
kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing
b.
c.
d.
tambang;
saluran ienimlia wanira: menorrhagia, atau merrorhagia;
saluren kemih: hematuria;
saluran napas: hemoptoe.
2.
Faktor nurrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas bqsi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik
(rnakanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).
3. Kebutuhan besi meningkat: seperti pada premaruritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.
4. Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis
kronik.
Pada orang dewasa, anemia defisiensi yang dijumpai di klinik
hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau
peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab urama. Penyebab perdarahan paling sering pada lakilaki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing
tambang. Sementara itu, pada wanita paling sering karena menormetrorhagia.
Patogenesis
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadang
an besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini
disebut iron depbted state. Apabila kekurangan besi berlanjut terus
maka penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis
belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai: iron deficient erythropoiesis.
Selanjutnya timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga disebut
sebagai iron drficiency anemia. Fada saat ini juga terjadi kekurangan
besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan
lejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.
Gejala Anemia Defisiensi Besi
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan
.
besar, yaitu:
l-6
32
l.
Hematologl Klinik Ringkas
Gejala umum anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-B gldl. Gejala ini berupa badan lemah,
lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga men-
2.
denging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindrom
anemia tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan anemia lain
yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat.
Gejala khas akibat defisiensi besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tidak dijumpai
pada anemia jenis lain, seperti:
a. hoilonychza: kuku sendok (spoon nail): kuku menjadi rapuh,
bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip,
seperti sendok (gambar 3-2);
b. atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang;
c. stomatitis angularis: adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan;
d. disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring;
e. atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson
Kelly: adalah kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipkromik
mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
3. Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakir
yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya, pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai
dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna
kuning, seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik
akibat kanker dijumpai gejala tergantung pada lokasi kanker
tersebut.
Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat
dijumpai
adalah:t-6
Anemia Hipokromik
Mikrositer
33
Gambar 3-2. Kuku sendok (koilonychia) pada seorang penderita anemia defisiensi
besi A. pada jari tangan, B. pada jari kaki.
1. Kadar hemoglobin dan indeks erirrosir: didapatkan anemia
hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin
mulai dari ringan sampai berat. MCV.MCHC dan MCH
menuiun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi
besi dan thalassemia mayor. RDW (red cell distibution width)
meningkat yang menandakan adanya anisositosis. Indela eritrosit
sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin
menurun. Kadar hemoglobin sering rurun sangat rendah, tanpa
menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena anemia
timbul
perlahan-perlahan.
Apusan darah (gambar
3-3) menunjukkan anemia hipokromik
mikrositer, anisositosis, poikilosirosis, anulosit, sel pensil,
kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan mikrositosis
berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan
rhalassemia.
34
Hematologi Klinik Ringkas
Leuko-sit dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan
dengan derajat anemia. Pada kasus ankilostomiasis sering dijumpai
2.
3.
eosinofilia,
Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total irzn binding capaciry
(TIBC) meningkat >350 mgldl, da., sat,rr"si transferin <-I5o/o.
Kadar serun feritin < 20 pgldl (ada yang memakai < 15 Fg/dl,
ada juga <12 pg/dl): Jika terdapat inflamasi maka feritin
serum sampai dengan 60 pg/dl masih dapat menunjukkan adanya
defisiensi besi.
4.
5.
6.
7.
Protoporfirin eritrosit meningkat (>100 pg/dl)
Sumsum tulang: menunjukkan hiperplasia normoblastik dengan
normoblast kecil-kecil (micronormoblast) dominan.
Pada laboratorium yang maju dapat diperilaa reseptor transferin:
kadar reseptor transferin meningkat pada defisiensi besi, normal
pada anemia akibat penyakit kronik dan fialassemia.
Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's stain)
menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin
negatif).
B. Perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia
defisiensi besi: antara lain pemeriksaan feses untuk cacing
tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif
(Kato-Kaz), pemerilaaan darah samar dalam feses, endoskopi,
barium intake a:av barium inbop, dan lainlain, tergantung dari
dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti disertai pemeriksaan
laboratorium yang repar. Secara laboratorik untuk menegakkan
diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai kriteria diagnosis
anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al)11 sebagai
berikut:
Anemia hipolromik mikrositer pada apusan darah tepi, atau MCV
< 80 fl dan MCHC < 3lo/o dengan salah satu dari a, b, c, atau d.
1. dua dari tiga parameter di bawah ini:
a. Besi serum <50 mg/dl
Anemia Hipokromik Mikrositer
35
Gambar 3-3. Apusan darah tepi penderita anemia defisiensi besi, menunjukkan
anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis (A). Tarnpak beberapa
sel pensil (panah), bandingkan dengan apusan darah tepi normal di sebelahnya
(B).
b. TIBC >350 mg/dl
c. Saturasi transferin:
<15o/o.
feritin serum <20 pgldl
pengecatan sumsum ulang dengan biru prusia (Perli stain) me'
nunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif
4. dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mglhari (atau preparat
besi lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar
hemoslobin lebih dari 2 gldl.
2.
3.
Diagnosis tsanding
Anemia defisiensi besi periu dibedakan dengan anemia hipokromik
lainnya, seperti:
1. Anemia akibat penyakit kronik
2. Thalassemia
3. Anemia sideroblastik.
Cara membedakan keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat
pada tabel 3-3.
36
Hematologi KLinik Ringkas
Tabel 3-3
Diagnosis Diferensial Anemia Defisiensi Besi
Anemia Anemia
Trait
defisiensi akibatpeny. thalassemia
besi
Anemia
sideroblastik
kronik
MCV
MCH
Menurun Menurun/N Menurun
Menurun Menurun/N Menurun
Besi serum Menurun Menurun Normal
Menurun/N
Menurun/N
Normal
TIBC
Meningkat Menurun Normal/l Normal/l
Saturasi Menurun Menurun/N Meningkat Meningkat
transferin < 15o/o 10-20% > 20o/o >20%
Besi
Negatif Positif
Positif kuat Positif
sumsum
dgn
tulang
ring
,
sideroblast
Protoporfirin Meningkat Meningkat Nornral Normal
eritrosit
Feritin
seium
<20
Eiektrofoesis
N
Hb.
Menurun Normal
Meningkat Meningkat
pg/dl 20-200 pg/dl >50 pg/dl >50 pg/dl
N
Hb.
A2
N
meningkat
Terapi
Setelah diagnosis diregakkan maka dibuat rencana pemberian terapi.
Terapi terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa, 1-6
l Terapi kausal: tergantung penyebabnya, misalnya: pengobatan
cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobaran menoragia.
Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan
kambuh kembali.
2.
Pemberian preparar besi untuk mengganri kekurangan besi dalam tubuh:
a. Besi per oral: merupakan obat pilihan perrama karena efektif,
murah, dan aman. Preparat yang tersedia, yaitu:
i. Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparar pilihan pertama
(murah dan efektif). Dosis: 3 x 200 mg.
Anemia Hipokromik
ii.
Mikrositer
37
Fenous gluconate, ferrous fumarat, fenous lactate, dan fenous
succinate, harga
lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek
samping hampir sama.
Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong,
tetapi efek samping lebih banyak dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Efek samping dapat berupa mual,
muntah, sena konsdpasi. Pengobatan diberikan sampai 6 bulan
setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi
tubuh. Kalau tidak, anemia sering kambuh kembali.
b. Besi parenteral
Efek samping lebih berbahaya, serta harganya lebih mahal.
Indikasi, yaitu:
i. intoleransi oral berat;
ii. kepatuhan berobat kurang;
iii. kolitis ulserativa;
iv. perlu peningkatan Hb
secara cepat (misal preoperasi, hamil
trimester akhir).
Preparat yang tersedia: iron dextran czmplex, iron sorbitol citric
acid com?lex. Dapat diberikan secara intramuskuler dalam
atau intravena pelan.
Efek samping: realci anafilaftsis, flebitis, sakit kepala, flushing,
mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop.
Dosis besi parenteral: harus dihitung dengan tepat karena
besi berlebihan akan membahayakan pasien. Besarnya dosis
dapat dihitung dari rumus di bawah ini:
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 3
3.
Pengobatan laina
a. diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi
protein terutama yang berasal dari protein hewani
b. vitamin c: vitamin c diberikan 3 x 100 mg per hari untuk
c.
meningkatkan absorpsi besi.
transfusi darah: anemia kekurangan besi jarang memerlukan
transfusi darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada
anemia kekurangan besi adalah:
38
Hematologi Klinik Ringkas
i.
ii.
iii.
Adanya penyakit jantung anermik dengan ancaman
payah jantung
Anemia yang sangar simtomatik, misalnya anemia dengan
gejala pusing yang sangat mencolok
Penderira memerlukan peningkatan kadar hemoglobin
yang cepat, seperd pada kehamilan trimester akhir atau
preoperasi.
Jenis darah yang diberikan adalah PRC (pached red celt) untuk
mengurangi bahaya ouerbad" Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid inrravena.
Respons Terhadap Terapi
Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang penderita dinyatakan memberikan respons baik bila: retikulosit naik pada minggu pertama, menjadi normal setelah hari 10-14, diikuti kenaikan Hb 0,15
g/hari atau 2 gldl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi normal
setelah 4-10 minggu. Jika respons terhadap terapi tidak baik, perlu
dipikirkan:
l.
Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum
2.
3.
Dosis besi kurang
Masih ada perdarahan cukup banyak
Ada penyakit lain, sepeni penyakit laonih peradangan menahun
4.
atau pada saat yang sama ada defisiensi asam folat
5.
Diagnosis salah.
Jika dijumpai keadaan di atas, lakukan evaluasi kembali dan
ambil tindakan yang tepar.
Pencegahan
Mengingat tingginya prwalensi anemia defisiensi besi
di
masyarakat
maka diperlukan s,ratu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan
pencegahan tersebut dapat berupa berikut:
1. Pendidikan kesehatan, yairu:
a. kesehatan lingkungan, misalnya tenrang pemakaian jamban,
dan perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki
b. penyuluhan gizi: untuk mendorong konsumsi makanan
yang membantu absorpsi besi.
Anemia Hipokromik
Mikrositer 39
2.
Pemberantasan infeksi cacing rambang sebagai sumber perdarahan kronik paling sering di daerah tropik.
3.
Suplementasi besi: rerurama untuk segmen penduduk yang
rentan, seperti ibu hamil dan anak balita.
Fortifikasi bahan makanan dengan besi.
4.
ANEMIA AKIBAT PENYAKIT KRONIK
(ANEMIA OF CHRONIC DISEASD
Penyakit kronik sering kali disertai anemia, namun tidak semua
anemia pada penyakit kronik dapat digolongkan sebagai anemia
akibat penyakit laonik. Anemia akibat penyakir kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit laonik tertenru yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme besi, yaitu adanya hipoferemia
sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang dibu-
tuhkan untuk sintesis hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum
tulang masih cukup. Anemia ini tergolong anemia yang cukup sering dijumpai, baik di klinik maupun di lapangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anemia ini merupakan penyebab kedua
tersering setelah anemia defisiensi besi.l-7
Penyebab
Penyebab anemia akibat penyakit kronik belum diketahui dengan
pasti. Penyakit yang mendasari (und.erlying disease) timbulnya
anemia akibat penyakit kronik dapat dilihat pada tabel 34.
Patogenesis
Patogenesis anemia akibat penyakit kronik belum diketahui dengan
pasti, tetapi beberapa teori yang diajukan anrara lain: 1-7
l. Gangguan pelepasan besi dari RES (sel makrofag) ke plasma
2. Pemendekan masa hidup eritrosit
3. Pembentukan eritropoetin tidak adekuat
4. Respons sumsum tulang terhadap eritropoetin tak adekuat.
Diperkirakan semua perubahan di atas disebabkan oleh pengaruh
sitokin proinflamasi Qtroinflammatory cytokines), IL-1 dan TNF-cr terhadap eritropoesis. Gangguan pelepasan besi ke plasma menyebabkan
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis yang berakibat pada
40
Hematologi Klinik Ringkas
Tabel 3-4
Penyebab Anemia Akibat Penyakit Kronik
1. lnfeksi kronik.
a. tuberkulosis paru
b. infeksi jamur kronik
c. bronkhiektasis
d. penyakit radang panggul kronik
e. osteomielitis kronik
f. infeksi saluran kemih kronik
S. kolitis kronik
2. lnflamasi kronik
a. artritis rematoid
b. lupus eritematosus sistemik
c. inflammatory borarel dlsease
d. sarkoidosis
e. penyakit kolagen lain
3. Neoplasma
a.
b.
ganas
karsinoma: ginjal, hati, kolon, pankreas, uterus, dan lain-lain.
limfoma maligna: limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin.
gangguan pembentukan hemoglobin sehingga terjadi anemia
hipokromik mikrositer.r
Manifestasi Klinik dan Laboratorik
Ge.;ala
klinik anemia akibat penyakit kronik tidak khas karena lebih
banyak didominasi oleh gejala penyakit dasar. Sindrom anemia tidak
terlalu mencolok karena biasanya penurunan hemoglobin ridak terlalu
berat.
Anemia akibat penyakit kronik memberikan gambaran laboratorik
sebagai berikut:
l. Anemia ringan sampai sedang, hemoglobin jarang < 8 g/dl;
2. Anemia bersifat normositer atau mikrosirer ringan (MCV 753.
4.
5.
6.
eo fl);
Basi transferin sedikit menurun;
Protoporfirin eritrosit meningkat;
Feritin serum normal atau meningkat;
Reseptor transferin normal;
Anem[a Hipokromik
7.
Mikrositer
41
Pada pengecatan sumsum tulang dengan biru Prusia, besi
sumsum tulang normal atau meningkat dengan butir-butir
hemosiderin yang
kasar.
Diagnosis
Diagnosis anemia akibat penyakit kronik dibuat bila:
1.
Dijumpai anemia ringan sampai sedang pada setting penyakit dasar
yang sesuai (seperti disebutkan pada tabei 3-4 di depan).
2. Anemia hipokromik mikrositer ringan atau normokromik
nor mositer.
3.
4.
Besi serum menurun disertai dengan TIBC menurun dengan
cadangan besi sumsum tulang masih positif.
Dengan menyingkirkan adanya gagal ginjal klonik, penyakir
hati kronrk dan hipotiroid.
Diagnosis Diferensial
Anemia akibat penyakit kronik perlu dibedakan dengan anemia
hipokromik lainnya.
seperri:
l. anemia defisiensi besi;
2. uait thaiassemia;
3. anemia sideroblastik
Cara membedakannya dapat dilihat pada tabel 3-3.
Terapi
Dalam terapi anemia akibat penyakit kronik, beberapa hal yang
perlu mendapat perhatian adalah:
1. jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan
sembuh dengan sendirinya.
2. Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat,
atau vitamin B12.
3. Tiansfusi jarang diperlukan karena derajat anemia ringan.
4. Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan
hemoglobin, tetapi harus diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi pemberian preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan
akan berhenti setelah hemoglobin mencapai kadar 9-10 g/dl.
42
Hematologi Klinik Ringkas
ANEMIA SIDEROBLASTIK
Anemia sideroblastik adalah anemia dengan sideroblas cincin (ring
sidzroblat) dalam sumsum tulang. Anemia ini relatif jarang dijumpai,
tetapi perlu mendapat perhatian karena merupakan salah satu dignosis
banding anemia hipokromik mikrositer.l-7
Klasifikasi
I.
Anemia sideroblastik primer
l.
"Hereditary sex linhed sideroblastic anemia
2. Primary acquired sidrroblastic anemia (PASA) atau idiopathic
acquired sidzroblastic anemia (IASA). Dapat dimasukkan di
sini adalah refactory anemia tuith ring sideroblast (RARS) yang
II.
IIl.
tergolong dalam sindrom mielodisplastik.
Anemia sideroblastik sekunder
L Akibat obat: INH, pirasinamid dan sikloserin
2. Akibat alkohol
3. Akibat keracunan timah hitam
Pyridoxin responsiue anernia.
Patofisiologi
Perubahan patofisiologi pada anemia sideroblastik pada dasarnya
terjadi kegagalan inkorporasi besi ke dalam senyawa hem pada mitokhondria yang mengakibatkan besi mengendap pada mitokhondria
sehingga jika dicat dengan cat besi akan kelihatan sebagai bintikbintik yang mengelilingi inti yang disebut sebagai sideroblas cincin
(gambar 34). HaI ini menyebabkan kegagalan pembentukan hemoglobin yang disertai eritropoesis inefektif dan menimbulkan anemia hipokromik mikrosit.r. r-7
Bentuk Klinik
Anemia sideroblastik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu
bentuk herediter dan bentuk didapat (acquirefi.
I
.
2.
Bentuk herediter
a. jarang dijumpai, herediter dan sex linhed (X-linhed). Sebagian
menunjukkan defek enzim AIA synthetase
Idiopathic acquired sidrroblastic anemia
Anemia Hipokromik Mikrostter
43
Gangguan inkorporasi besi ke dalam protoprfirin
(pembentukan heme)
Besi menumpuk dalam
Gangguan pembentukan
mitochondria
hemoglobin
I
I
I
I
i
I
I
t
Ring sideroblast
Hipokromik.mi krositer
EritroPoesis inefektif ) ANEMIA
Gambar 3-4. Skema patofisiologi anemia sideroblastik
a. mutasi somatik pada progenitor eritroid
b. tergolong sebagai sindrom mielodisplastik
c. menurut klasifikasi FAB disebut sebagai refactory
3.
4.
tuith ring sideroblast (RARS)
Anemia sideroblastik sekunder
a. akibat alkohol, obat anti TBC:
anemia
INH,
dan keracunan Pb
Anemia yang responsif pada terapi piridol<sin (pyidoxine responsiue
anemia).
Gambaran
Klinik
Gambaran klinik anemia sideroblastik sangat bervariasi di mana pada
bentuk yang didapat dijumpai anemia refrakter terhadap pengobatan.
Gambaran Laboratorik
Pada anemia sideroblastik dijumpai antara lain:
l. Anemia bervariasi dari ringan sampai berat.
2. Anemia bersifat hipolaomik mikrositer dengan gambaran
populasi ganda (dauble popuktion) dimana dijumpai eritrosit
hipokromik mikrositer berdampingan dengan eritrosit
normokromik normositer.
44
Hematologi Klinik Ringkas
3.
Pada bentuk didapat (RARS) dijumpai tanda displastik terutama
4.
5.
pada eritrosit, kalang-kadang juga lada leukosir dan trombosit.
Besi serum dan feritin serum norrnal atau meningkat.
Pada pengecatan besi sumsum tulang dengan cara Perl (memakai
biru prusia) dijumpai sideroblas cincin lebih dari l5o/o dari sel
eritroblas.
Terapi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan anemia sideroblastik adalah:
l. Grapi
2.
3.
untuk anemia sideroblastik herediter bersifat simtomatik
dengan transfusi darah.
Pemberian vitamin 85 dapat dicoba karena sebagian kecil
penderita responsif terhadap piridoksin
Untuk bentuk didapat (RARS) pengobatannya dapat dilihat
pada bab sindroma mielodisplastik.
Bab
4
ANEMIA MEGALOBLASTIK
Anemia megaloblastik ialah anemia yang khas ditandai oleh adanya
sel megaloblast dalam sumsum tulang. Sel megaloblast adalah sel
prekursor eritrosit dengan bentuk sel yang besar disertai adanya
kesenjangan pemarangan sitoplasma dan inti, di mana sitoplasma
maturasinya normal tetapi inti besar dengan susunan kromosom
yang ionggar. Anemia megaloblastik disebabkan oleh gangguan
pembentukan DNA pada inti eritroblasr, terutama akibat defisiensi
vitamin B12 dan asam folat. Anemia defisiensi vitamin B12 relatif
jarang dijumpai di Indonesia, tetapi anemia defisiensi asam folat
cukup sering dijumpai, rerurama pada wanita hamil. Anemia defisiensi
asam folat merupakan penyebab kedua anemia pada wanita hamil
setelah defisiensi besi.l-7
Patogenesis
Anemia megaloblastik disebabkan oleh terjadinya defisiensi vitamin
B12 dan asam folat, di mana vitamin Bl2, dan asam folat.
a.
b.
berfungsi dalam pembentukan
a.
b.
maturasi
DNA inti sel
khusus untuk vitamin 812 penting dalam pembentukan myelin.
Akibat gangguan sintesis DNA pada inti eritroblast ini maka:
inti lebih lambat sehingga kromatin lebih longgar
sel menjadi lebih besar karena pembelahan sel lambat.
Sel eritroblast dengan ukuran yang lebih besar serta susunan
kromatin yang lebih longgar disebut sebagai sel megaloblast. Sel
megaloblast ini fungsinya ridak normal, dihancurkan semasih dalam
sumsum tulang (hemolisis intramedular) sehingga terjadi eritropoesis
inefektif dan masa hidup eritrosit lebih pendek, yang berujung pada
terjadinya anemia. Kelainan yang sama, tetapi pada tingkat yang
lebih ringan juga terjadi pada sistem mieloid dan megakariosit sehingga
pada anegua megaloblastik sering diserai leukopenia &n uombositoperua
.
nngan.
t-7
46
Hematologi Ktinik Ringkas
Penyebab
Anemia megaloblastik disebabkan oleh kekurangan vitamin B12
atau asam folat. Penyebab dari kekurangan kedua bahan ini dapat
dilihat pada tabel 4-1. Pada wanita hamil anemia defisiensi asam
folat paling sering disebabkan karena faktor nutrisi, karena cadangan
asam folat tubuh jauh lebih rendah dibandingkan dengan cadangan
vitamin 812.1'6
Tabel 4-1
Penyebab Anemia Megaloblastik
Defisiensi Vit 812
Defisiensi Folat
Anemia pernisiosa (Addi s;onian\
Diit (vegetarian)
Tropical sprue
Gizi @nfitional)
Penyakit Coeliac
Gastrektomi
Kehamilan
Gambaran
Tropical'sprue:'
Klinik
Secara hematologik anemia defisiensi
vitamin 812 dan asam folat
memberikan gambaran yang sama, tetapi defisiensi vitamin Bl2
disertai kelainan neurologik. Gambaran umum anemia megaloblas-
tik adalah:
1. Anemia timbul
2.
3.
perlahan dan progresif
Kadang-kadang disertai ikterus ringan
Glositis dengan lidah berwarna merah, seperti daging
(bffi
tongue).
Pada defisiensi vitamin
Bl2 dijumpai
gejala neuropati, sedangkan
defisiensi folat tidak disertai neuropati. Gejala neuropari berupa
subacute combi ned degeneration.
1. neuritis perifer: mati rasa, rasa terbakar pada jari;
2. kerusakan columna plsterion gangguan posisi, vibrasi dan
tes
Romberg positif;
3.
kerusakam columna lateralis: spastisitas dengan deep reflex hiper-
aktif dan gangguan serebrasi.
Anemia Megaloblastik 47
Gambaran Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tepi akan dijumpai:
1. Hemoglobin menurun, dari ringan sampai berat (3'4 gldl).
2. Dijumpai "oual macrocyte" dengan poikilositosis berat. MCV
meningkat ll0-125 fl, sedangkan retikulosit normal.
3. Biasanya dijumpai leukopenia ringan dengan hipersegmentasi
(rule of fiue dari Herbert).
4. Kadang-kadang dijumpai trombositopenia ringan.
5. Pada pemeriksaan sumsum tulang dapat dijumpai:
a. hiperplasia eritroid dengan sel megaloblast
6. giant
6.
netropil
metamyelocyte
c. sel megakariosit yang besar
d. cadangan besi sumsum tulang meningkat
Kadar bilirubin indirek serum dan LDH meningkat.
Pemeriksaan Khusus untuk Defisiensi Folat dan
Vitamin B12
Untuk membedakan anemia defisiensi obat atau vitamin 812 perlu
dilakukan pemerilaaan khusus:
1. Pengukuran kadar vitamin B12 serum dan asam folat serum:
vitamin 812<100 pglml, folat < 3 nglml
2.
3.
Respons terhadap replzcement therapy dengan
folatlBl2 fisiologik
Ekskresi methymalonic acid urine meningkat pada defisiensi
vitamin B12
ail
4.
Elsl<raifirmingluamic
folat
5.
Tes supresi deoxyuridine, baik pada defisiensi
6.
asam folat dijumpai supresi
Tes untuk menilai absorpsi vitamin B12 yaitu Schilling tut.
(FIGLIJ) urine meningkat pada defisiensi
812 atau defisiensi
Diagnosis
Diagnosis anemia megaloblastik dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan klinik di mana terjadi anemia, makrositer pada darah tepi yang
disertai sel megaloblast dalam sumsum tulang. Pada defisiensi vitamin B12 dijumpai gejala neurologik, sedangkan pada defisiensi
asam folat tidak dijumpai gejala neurologik. Kemudian dilanjutkan
48
Hematologi Klinik Ringkas
dengan pemeriksaan khusus untuk membedakan defisiensi vitamin
Bl2 dengan defisiensi asam folat.r-7 Untuk mencari etiologi diperiukan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang
lainnya.
lerapr
Terapi utama anemia defisiensi vitamin Bl2 dan defisiensi asam
folat adalah terapi ganti dengan vitamin B12 atau asam folat meskipun demikian terapi kausal dengan perbaikan gizi dan lain-lain
tetap harus dilakukan.r-7
1. Untuk
Bl2: Hydroxycobalamin intramuskuler
200 mg/hari; atau 1000 mg diberikan tiap minggu selama 7
defisiensi vitamin
minggu. Dosis pemeliharaan 200 mg tiap bulan atau 1000 mg
tiap 3 bulan.
2. Untuk defisiensi foiat: Berikan asam folat 5 mg/hari selama 4
bulan.
3. Respons terhadap terapi: Retikulosit mulai naik hari 2-3 dengan
puncak pada hari 7-8. Hb harus naik 2-3 gldl tiap 2 minggu.
Neuropati biasanya dapat membaik, tetapi kerusakan medulla
spinalis biasanya ireversibei.
ANEMIA PERNICIO S A=ADDISONIAN
A
NEMIA
Suatu anemia megaloblastik karena atrofi berat mukosa gaster termasuk sei parietal sehingga tidak ada sekresi faktor intrinsik. Penyebabnya karena proses autoimun: timbulnya antibodi terhadap
1-7
sel parietal. Anemia jenis ini banyak dijumpai di Eropa lJtara.
Gambaran
Klinik
Pada anemia pernisiosa didapatkan, seperti:
a. lebih banyak pada wanita, puncak umur >60 tahun;
b.
c.
d.
e.
di Eropa Utara dengan insiden 1/10.000/tahun,
jarang di Asia Tenggara;
gejala klinik sama dengan anemia megaloblastik karena penyebab lain;
sering bersama penyakit autoimun lain;
Insiden karsinoma lambung meningkat 3 kali.
paling sering
Anemia MegaLoblastik 49
Kelainan laboratorik
Sama dengan anemia megaloblastik lain, anemia pernisiosa mem,
berikan gambaran laboratorik sebagai berikut: 1-7
a. vitamin 812 serum < 100 pglml;
b. tes Schilling positifi
c. pada analisis gasrer dijumpai akhloridia;
d.
.
antibodi: antibodi terhadap sel parietal dijumpai pada 90o/o
kasus, sedangkan antibodi terhadap faktor intrinsik dijumpai
pada 50% kasus.
Terapi
Sama dengan terapi anemia megaloblastik pada umumnya maka
terapi utama untuk anemia pernisiosa adalah: 1-7
a. terapi ganti (replacement) dengan vitamin Bl2;
b. terapi pemeliharaan;
c. monitor kemungkinan karsinoma
gaster.
Bab
5
ANEMIA HEMOLITIK
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses
hemolisis. Hemolisis adalah pemecahan erirrosit dalam pembuluh
darah sebelum waktunya (sebelum masa hidup rara-rara eritrosit
yaitu 120 hari). Hemolisis berbeda dengan proses penuaan
(senescence), yaitu pemecahan eritrosit karena memang sudah cukup
umurnya. Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah (intravaskular) atau di luar pembuluh darah (ekstravaskuler) yang membawa konsekuensi patofisiologik yang berbeda.l-7
Pada orang dengan sumsum tulang yang normal, hemolisis pada
darah tepi akan direspons oleh tubuh dengan peningkatan eritropoesis dalam sumsum tulang. Kemampuan maksimum sumsum
tulang untuk meningkatkan eritropoesis adalah 6 sampai 8 kali
normal. Apabila derajat hemolisis ddak terlalu berat (pemendekan
masa hidup eritrosit sekitar 50 hari) maka sumsum tulang masih
mampu melakukan kompensasi sehingga tidak timbul anemia.
Keadaan ini disebut sebagai keadaan hemolisis terkompensasi (cornpensated hemolytic state). Akan tetapi, jika kemampuan kompensasi
sumsum tulang dilampaui maka akan terjadi anemia yang kita kenal
sebagai anemia hemolitik.l-7'
Anemia hemolitik merupakan anemia yang tidak terlalu sering
dijumpai, tetapi bila dijumpai memerlukan pendekatan diagnostik
yang tepat: Pada kasus-kasus penyakit dalam yang dirawat di RSUP
Sanglah tahun 1997, anemia hemolitik merupakan 6%o dari kasus
anemia, menempati ururan ketiga setelah anemia aplasrik dan anemia sekunder karena keganasan hematologik.12
Klasifikasi
Klasifikasi anemia hemolitik berdasarkan penyebabnya dapat dilihat
pada tabel 5-1. Pada dasarnya anemia hemolitik dapat dibagi
menjadi 2 golongan besar, yaitu:1-7
1.
50
Anemia hemolitik karena faktor di dalam eritrosit sendiri (intrakorpuskuler), yang sebagian besar bersifat herediter-familier
Anemia Hemolitik
51
Tabel 5-1
KI
a
s
1'7
ifik asi anemi n h em olitik
Gangguan lntrakorpuskuler
A. Herediter
-
Familier
Gangg uan Ekstrakorpuskuler
A
1. Gangguan membran eritrosit
(membranopati)
a. Hereditary spheroclosls
b. Hereditary elliptacytosis
c. Hereditary stomafoc;4osis
2. Gangguan metabolismeiensim
eritrosit(Ensimopati)
a. Defek pada jalur heksose-
monofosfat Defisiensi
G-6PD (g/ucose-6
phosphate dehydrogenase\
b. Defek pada jalur
Embden-Meyerhoff Defisiensi
piruvat-kinase
c. Nucleotide enzyme defects
3.Gangguan pembentukan
hemoglobin (Hemoglobinopati)
a. Hemoglobinopati struktural
(kelainan struktur asam
amino pada rantai alfa atau
beta: HbC, HbD, HbE, HbS,
Didapat
1. lmun
a. Autoimun
i. warm antibody type
ii. co/d antibody type
b. Aloimun
i. Hemolytic transfusion reactions
ii. Hemolytic drsease of
new born
iii. Altograft (bone
marrowtransplantation)
2. Drug assoclafed
3. Red cell fragmentation
syndromes
a. Graft arteri
b. Katup jantung
(buatan)
unstable Hb, dll
b. Sindrom thalassemia
(gangguan sintesis rantai
alfa atau beta) Thalassemia
alfa, beta, dll.
c. Heterosigot ganda , , :
4. Mikroangiopatik
a. Thrombotic Thrombocytopenic purpura
ffrP)
b. Hemolytic uremic
syndrome (HUS)
hemoglobinopati dan
thalassemia ThalassemiaHbE, dlt
c. Dissemlnated intravascular coagulation
(Dtc)
B. Didapat
1. Paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria (PNH
"
d. Pre-eklampsia
5.
March hemoglobinuria
6. lnfeksi
a. Malaria
b. Clostridia
Berlanjut
52
Hematologl Klinik Rtngkas
Tabel 5-1
Klasifikasi anemia hemolitik- Lanjutan
1-7
7. Bahan kimia dan fisik
a. Obat
b. Bahan kimia dan rumah
tangga
c. Luka bakar luas
8. Hipersplenisme
2.
Anemia hemolitik karena faktor di luar eritrosit (ekstrakorpuskuler), yang sebagian besar belsifat didapat (acquirefi.
Di klinik, khususnya penyakit dalam, anemia hemolitik yang
paling banyak dijumpai adalah anemia hemolitik autoimun. Agaknva, anemia hemolitik herediter-familier hanya sebagian kecil yang
dapat mencapai usia dewasa, sehingga lebih banyak dijumpai di
bagian anak.
Patofisiologi
Proses hemolisis akan menimbulkan, sebagai berikut:2-a
L
Penurunan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia.
Hemolisis dapat rerjadi perlahanJahan sehingga dapat diatasi
oleh mekanisme kompensasi tubuh, tetapi dapat juga terjadi
tiba-tiba sehingga segera menurunkan kadar hemoglobin. Tergan-
tung derajat hemolisis, apabila derajat hemolisis ringan sampai
sedang maka sumsum tulang masih dapat melakukan kompensasi
6 sampai 8 kali normal2 sehingga tidak terjadi anemia. Keadaan
ini disebut sebagai keadaan hemolitik terkompensasi (compensated hemolytic state). Akan terapi, apabila derajat hemolisis berat
maka mekanisme kompensasi tidak dapat mengatasi hal tersebut
sehingga terjadi anemia hemolitik. Derajat penurunan hemoglobin dapat bervariasi dari ringan sampai sedang. Penurunan hemoglobin dapat terjadi perlahan-lahan, tetapi sering sekali sangar
cepat (lebih dari 2 g/dl dalam waktu satu minggu).i-a
2. Peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam tubuh. Hemolisis
berdasarkan rempatnya dibagi menjadi dua, yaitu:
Anemia
Hemolitik
53
a. Hemolisis elstravaskuler
Hemolisis ekstravaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan dengan hemolisis intravaskuler. Hemolisis terjadi pada sel makrofag
dari sistem retikuloendothelial (RES) terutama pada lien, hepar dan
sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim /teme o*ygrnarr.'
Lisis teriadi karena kerusakan membran (misalnya akibat reaksi antigen-
antibodi), presipitasi hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Kapiler lien dengan diameter yang relatif
kecil dan suasana relatif hipoksik akan memberi kesempatan destruksi sel eritrosit, mungkin melalui mekanisme fragmentasi.l'3
Pemecahan eritr-osit ini akan menghasilkan globin yang akan dikembalikan ke protein pool, serta besi yang dikembalikan ke makrofag (cadangan besi) selanjutnya akan dipakai kembali, sedangkan
protoporfirin akan menghasilkan gas CO dan bilirubin. Bilirubin
dalam darah berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek,
mengalami konjugasi dalam hati menjadi bilirubin direk kemudian
dibuang melalui empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen
dalam feses dan urobilinogen dalam urine (gambar 5._l).
Sebagian hemoglobin akan lepas ke plasma dan diikat oleh haptoglobin sehingga kadar haptoglobin juga menurun, tetapi tidak
serendah pada hemolisis intravaskul"r'. l-i'
b. Flemolisis intravaskr.rler
Pemecahan eritrosir irrii.-r lsliirlcr rucnyebabkan lepasnya hemoglobin bebas ke dalam p;iasrna. lit;nci;iobin bebas ini akan diikat oleh
haptoglobin (suatu globulin rjfi) sehinega l<adar haptoglobin plasma akan menurun. Kompleks hemoglobin-haptoglobin akan dibersihkan oleh hati dan RES dalam beberapa menit. Apabila kapasitas
haptoglobin dilampaui maka akan terjadilah hemoglobin bebas dalam piasma yang disebut sebagai hemoglobinemia. Hemoglobin
bebas akan mengalami oksidasi menjadi methemogiobin sehingga
terjadi methemoglobinen-ria. Heme juga diikat oleh hemopeksin
(suatu giikoprotein beta-1) kemudian ditangkap oleh sel hepatosit.
Hemoglobin bebas akan keluar melalui urine sehingga terjadi hemoglobinuria. Sebagian hemoglobin dalam tubulus ginjal .akan
diserap oleh sel epitel kemudian besi disimpan dalam bentuk hemosiderin, jika epitel mengalami deskuamasi maka hemosiderin
54
Hematologi Klinik Ring kas
Hemoglobin
.-t
---'--
\
\
Haem
Globin
/"/ \
I
I
Pool protein
I
I
I
Makrofag (RES)
J
I
'7"'\
*t-'
Besi
CO Bilirubin zrcoT'ugated
l
Reutilisasi
Expired air
j"
Reutilisasi
Hati
Bilirubin conjugated
I
Empedu
I
I
+
Urobilinogen +Sterkobilinogen
Urine
I
Feses
Gambar 5-1. Skema pemecahan eritrosit ekstravaskuler
dibuang melalui urine (hemosiderinuria) > yatng merupakan tanda
hemolisis intravaskuler laonik (gambar 5-2).
Pemecahan eritrosit intravaskuler akan melepaskan banyak LDH
yang terdapat dalam eritrosit sehingga serum LDH akan meningkat.
3. Kompensasi sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoesis
Desuuksi eritrosit dalam darah tepi akan merangsang mekanisme
biofeedbach (melalui eritropoetin) sehingga sumsum tulang meningkatkan eritropoesis. Sumsum tulang normal dapat meningkatkan kemampuan eritropoesisnya 6-8 kali lipat. Peningkatan
Anemia Hemolitik
55
Ilaptoglobin
Kompleks Hb- Konipleks Hbhemopeksin
I'Iaptoglobin
Methemoglo- I'{emoglobinuria
binemia
I
Y
Epitel tubulus
I
+
l
+
Cleurence
RES
oleh
Clearance oleh
I'Iemosiderinuria
RES
Gambar 5-2. Skema produk hemolisis intravaskuler
L3
ini
ditandai oleh peningkatan jumlah eritroblast (normoblast)
dalam sumsum tulang sehingga terjadi hiperplasia normoblastik.
Peningkatan normoblast terjadi pada semua tingkatan, baik normoblast basofilik, normoblast polikromatofilik, ataupun normoblast asidofilik atau ortolffomatik. Normoblast sering dilepaskan
ke darah tepi sehingga terjadi normoblastemia. Sel eritrosit muda
yang masih mengandung sisa inti (RNA) disebut sebagai retikulosit, akan dilepaskan ke darah tepi sehingga terjadi retikulositosis dalam darah tepi. Sel-sel eritrosit warnanya tidak merata
(ada sel yang lebih gelap) disebut sebagai polikromasia. Produksi
sistem lain dalam sumsum tulang sering ikut terpacu sehingga
terjadi leukositosis dan trombositosis ringan.6
Gejala
Klinik
klinik anemia hemolitik sangat bervariasi disebabkan
oleh perjalanan penyakit (akut atau kronik) dan tempat kejadian
Gambaran
hemolisis (intravaskuler atau ekstravaskuler) sehingga pada umumnya
dilihat dari gqala kliniknya anemia hemolitik dapat dibagi menjadi
2 golongan besar, yaitu:
a. Anemia hemolitik kronik herediter-familier
b.
Anemia hemolitik akut didapat (acquired)
56
Hematologt Klinik Rtngkas
ini mempunyai gambaran klinik yang berbeda, di mana anemia hemolitik kronik herediter-famiiier didominiasi
oleh gejala akibat hemolisis ekstravaskuler yang berlangsung perlahanlahan, sedangkan pada anemia hemolitik akut didapat terjadi hemolisis
Kedua jenis hemolisis
ekstravaskuler masif atau hemolisis intravaskuler. Namun, kedua
golongan ini tidak selalu dapar dipisahkan secara regas (mutually exclusiur).1'3'6 Gejala klinik anemia hemolirik dapat di[agi menliii tig",
yaitu:
I.
2.
3.
Gejala umum anemia (anemic syndrome)
Gejala hemolisis baik ekstravaskuler maupun intravaskuler)
Gejala penyakit dasar (penyebab) masing-masing anemia hemo-
litik
tersebut.
Gejala UmumAnemia
Seperti pada semua anemia lainnya, gejala umum anemia akan timbul
jika hemoglobin turun <7-8 gldl. Makin berat penurunan kadar
hemoglobin makin berat gejala yang timbul. Di samping itu, beratnya ggala juga ditentukan oleh kecepaan penurunan kadar hemoglobin.
Pada anemia hemolitik akut di mana penurunan hemoglobin terjadi
cepat pada umumnya gejala lebih menyolok dibandingkan dengan
pada anemia hemolitik kronik.6
Gejala Hemolitik
Pada anemia hemolitik kronik familier-herediter gejala klinik dapat
timbul berupa ikterus, splenomegali arau hepatomlgdi, kholeli*riasis,
kelainan tulang, ulkus pada kaki, serra rimbulnya krisis.l
lkterus
Ikterus timbul karena peningkatan bilirubin indirek (unconjugated
bilirubin) dalam darah sehingga ikterus bersifat acholuric jaundice,
bahwa dalam urine tidak dijumpai bilirubin. Ikterus dapat hanya
ringan, tetapi dapat juga berat rerutama pada anemia hemolitik
Anemia
Hemolitik
57
pada bayi baru lahir sehingga dapat menimbulkan "hern icterui'.
Ikterus tidak disertai rasa gatal.l'4
Splenomegali dan hepatomegali
Splenomegali hampir selalu dijumpai pada anemia hemolitik kronik
familier-herediter, kecuali pada anemia se1 sabit (sichle cell disease) dt
mana iimpa mengecil karena terjadinya infark. Splenomegali pada
umumnya ringan sampai sedang, tetapi kadang-kadang dapat besar
r r. I-6
seKatl.
Hepatomegali lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan
splenomegali karena makrofag dalam limpa lebih aktif dibandingkan
dengan makrofag pada hati.l
Kholelithiasis
Kholelithiasis merupakan salah satu gejala prominen pada anemia
hemolitik kronik familier-herediter. Batu yang terbentuk disebut
blach pigment stone, terdiri dari cross linh polymer dari bilirubinat.
Sekitar 40-80o/o batu ini bersifat radioopak. Batu empedu paling
sering dijumpai pada sferositosis herediter, dan juga sering pada
anemia sel sabit yang bervariasi anrara 8-55o/o.1
Ulkus pada Kaki
Ulkus pada kaki dapat dijumpai pada anemia sel sabit
dan
juga dijumpai pada anemia hemolitik
kronik familier-herediter yang lain. Pada anemia sel sabit prevalensinya sekitar 5%. Ulkus terjadi di sebelah proksimal malleolus
sferositosis herediter, dapat
medialis dan lateralis dan sering bersifat bilateral.l
Kelainan Tulang
Apabila proses hemolisis terjadi pada saat fase pertumbuhan maka
ekspansi sumsum tulang menimbulkan kelainan tulang seperti towersbaped shull, penebalan tulang frontalis dan parietalis. Kelainan ini
58
Hematologi Klinik Ringkas
paling sering terjadi pada thalasemia major sehingga menimbulkan
bentuk muka yang khusus: thalassemic face. Pada foto rontgen terlihat
sebagai ltair on-end apprororrr.t'6
Krisis
kronik sering terjadi penurunan kadar hemoglobin secara tiba-tiba. yang disebut krisis. IGisis pada anemia hemolitik dapat berupa:'-o
a. Iftisis aplastik krisis yang paling sering dijumpai, yang menimbulkan kegagalan hemopoesis transien. Sebagian besar dihubungkan dengan infeksi parvovirus tipe 819. Krisis aplastik
ditandai oleh penurunan hemoglobin secara drastis, kadangkadang disertai leukopenia dan trombositopenia ringan, dan
retikulositopenia.
b. Krisis hemolitik terjadi hemolisis masif sehingga menimbulkan penurunan hemoglobin secara tiba-tiba, disertai retikulo,
sitosis dan pembesaran limpa.
c. Krisis megaloblastik: krisis yang timbul karena relatif kekurangan asam folat karena kebutuhan akibat eritropoesis yang
Pada anemia hemolitik
sangat meningkat.
Anemia Hemolitik Akut Didapat
Anemia hemolitik akut didapat, seperri reaksi transfusi atau penderita
anemia defisiensi G6PD yang mendapat obat oksidan, di mana terjadi
hemolisis intravaskuler massif maka gejalanya menyerupai acute febrile illness. Gejala yang timbul berupa syok dan gagal ginjal akut:
nyeri pinggang dan perut, sakit kepala, maleise, kramp perut, sehingga gqalanya menyerupai gejala abdomen akut. Syok kemudian
timbul disertai prostration, oliguria sampai anuria. Kelainan fisik
berupa pucat, ikterus, takikardia dan gejala anemia berat. Adanya
hemoglobinuria ditandai oleh kencing yang berwarna kehitaman.l-6
Anemia hemolitik autoimun, ditandai oleh hemolisis ekstravaskuler, sering disertai oleh anemia berat dengan gejala acute febril
illness, rkterus dan splenomegali.
Kelainan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada anemia hemolitik dapat digolongkan
menjadi: (1) anemia; (2) kelainan laboratorium akibat proses hemolisis;
Anemia
Hemolitik 59
Tabel5-2
Kelainan Laboratorium pada Anemia Hemolitikl
A
Adanya anemia:
1. Penurunan hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit
2. Penurunan Hb > i g/dl dalam waktu satu minggu khas pada
hemolitik akut didapat
B. Tanda-tanda hemolisis
'
1. Penurunan masa hidup (life span) eritrosit
2. Peningkatan katabolisme heme
b. Peningkatan produksi karbon monoksid (CO) endogen
c.
Peningkatan urobilinogen urine dan sterkobilinogen feses
3. Peningkatan aktivitas dehidrogenase laktat serum
4. Penurunan haptoglobin serum
5. Penurunan hemoglobin terglikolisasi '
6. Tanda-tanda hemolisis intravaskuler:
a. Hemoglobinemia
b. Hemoglobinuria
,
c.
C.
D.
Hemosiderinuria
d. Methemalbunemia
e. Penurunan kadar hemopeksin serum
Kompensasi sumsum tulang
1. Retikulositosis
2. Polikromasia pada darah tepi
3. Hiperplasia normoblastik pada sumsum tulang
Kelainan laboratorium akibat penyakit dasar
1. Tes Coomb positif
2. Tes fragilitas osmotik
3. Kelainan morfologik eritrosit
(3) keiainan laboratorium akibat kompensasi sumsum culang; dan (4)
kelainan laboratorium akibat penyakit dasar penyebab hemolisis (tabel
5-2).
Anemia
Anemia pada anemia hemolitik sebagian besar bersifat normokromik
normositer, tetapi dapat juga bersifat hipokromik mikrositer, seperti
pada thalassemia. Penurunan kadar hemoglobin sangar bervariasi,
mulai dari berat sampai ringan. Penurunan kadar Hb. dapat berlangsung cepat, tetapi dapat juga berlangsung perlahanJahan, sepeni pada
60
Hematologi Ktinik Ringkas
anemia hemolitik l<ronik. Penurunan kadar Hb. >1 g/dl dalam waktu
seminggu tanpa disenai perdarahan merupakan satu petunjuk ke arah
.
I
r. .r
anemla nemolrtlK.
1-6.
Penurunan Masa Hidup (life span) Eritrosit
Masa hidup eritrosit rata-rata adalah 120 hari. Masa hidup eritrosit
ini dapat diukur dengan berbagai cara, tetapi yang paling umum
dipakai adalah random labeling uith 5l chromium. Pemeriksaan ini
sangat memakan waktu dan mahal karena jarang dipakai dalam
praktek klinik, kecuali untuk kasus sulit.r
Peningkatan Katabolisme Heme
Peningkatan kadar bilirubin serum rerganrung dari kecepatan pembentukan dan kecepatan ekskresinya oleh had. Oleh karena itu, pening
katan bilirubin serum merupakan indeks yang kurang reliabel. Pada
penelitian 72 kasus sferositosis herediter, 25o/o menunjukkan bilirubin
serum normal dan terjadi peningkatan (I4,8 mg/dl) pada 75o/o
kasus. Akan tetapi, pada 120 kasus anemia hemolitik autoimun
ternyata 55o/o disertai peningkatan bilirubin, dan 45o/o bilirubin
masih dalam batas normal.l
Hemoglobinemia
Destruksi eritrosit 10,20 ml intravaskuler akan menimbulkan hemoglobinemia yang memberi warna merah muda pada plasma. Jika
diukur maka kadar hemoglobin bebas dalam plasma sekitar 50 mgl
dl. Jika hemoglobin bebas meningkat menjadi 150-200 mg/dl, plasma
berwarna merah terang dan akan mulai terjadi hemoglobinuria.2 Hemoglobin bebas dalam urine dapat diukur dengan reaksi bensidin.
Kadar >100 mg/dl dapat diukur dengan metode sianmet biasa.l
'Kadar di atas 1000 mg/dl hanya dijumpai pada kasus anemia
hemolitik intravaskuler. Hemoglobin bebas sedikit meningkat pada
anemia imunohemolitik berat.t
Hemoglobinuria
Hemoglobinuria dicurigai jika urine berwarna merah, kecoklatan,
atau coklat hitam seperti koka kola (blach water), setelah dilakukan
sentrifugasi untuk menghilangkan eritrosit yang inmk. Secara kualiatif
Anemia
Hemolitik
61
hemoglobinuria dapat diperiksa dengan Hemastix. Tes ini tidak
dapat membedakan hemoglobinuria dengan mioglobinuria. Untuk
membedakannya diperlukan pemeriksaan elektroforesis.l'2
Hemosiderinuria
Hemosiderinuria dapat diperiksa secara kualitatif dengan pengecatan biru Prusia. Eksresi besi dalam urine dapat diukur secara
spektrofotometri. Eftskresi normal adalah 0,1 mg/hari, pada anemia
hemolitik meningkat menjadi 3-11 mg/hari.l
Haptoglobin Serum
Haptoglobin serum menurun pada hemolisis intravaskuler dan juga
pada hemolisis ekstravaskuler berat. Haptoglobin serum diperiksa
dengan teknik turbidometrik. Harga normal adalah 50-100 mg/dl.
Haptoglobin meningkat pada keadaan inflamasi.2.
Methemalbumin dan Hemopeksin
Methemalbumin dan hemopeksin dapat diperiksa dengan spektrofotometri dengan absorpsi pada band 624. Teknik kuantitatif yang
lebih sensitif adalah dengan tes Schummls. Kedua protein ini berada
dalam plasma sampai beberapa hari setelah hemolisis.l'2
Tanda-Tanda Eritropoesis Meningkat (Accelerated
Erythropoiesis)
Thnda-tanda peningkatan eritropoesis terutama dijumpai pada anemia hemolitik kronik, biasanya timbul 5-10 hari setelah episode
hemolitik akut. Peningkatan eritropoesis juga dijumpai pada anemia
posthemoragik akut, dan anemia defisiensi yang sedang dikoreksi,
misalnya anemia defisiensi asam folat yang diterapi dengan asam
folat atau anemia defisiensi besi yang diobati dengan preparat besi.l
Thnda-tanda peningkatan eritropoesis dapat dibagi menjadi 2
bagian, yaitu tanda-tanda peningkatan eritropoesis total, seperti:
hiperplasia normoblastik sumsum tulang dan plasma iron turn ouer
meningkat; dan tanda eritropoesis efektif, seperti retikulositosis dan
erythroryte iron turn ouer yang meningkat Pada kasus dengan eritropoesis inefektif maka tanda eritropoesis total meningkat tetapi tanda
eritropoesis efektif tidak meningkat (tabel 5-3).
62
Hematologi Klinik Ringkas
Tabel 5-3
Tan da:Tanda Peningkatan Eritropo
Erythropoiesis)
es
is
(Ac c el er at e d
Darah
Retikulositosis, polikromasia, sfrpp/rng
Makrositosis
Normoblastemia
Leukositosis dan trombositosis
Sumsum tulang
_ Hiperplasia eritroid = hiperplasia normoblastik
Ferokinetik
Plasma iron turn over meningkat
Erythrocyte iron turn over meningkat
Biokimiawi
Peningkatan kreatin eritrosit
Peningkatan enzim eritrosit yang lain
Retikulositosis
Hitung retikulosit merupakan
pemeriksaan untuk menunjukkan
peningkatan eritropoesis yang paling sering dipakai. Dengan teknik
hitung elektronik (misalnya Technicon H-3) maka reliabilitas pemeriksaan makin meningkat. Angka normal retikulosit 0,5-1,5o/o,
tetapi angka normal yang lebih teliti adalah 0,3-2,5o/o pada pria
dan 0,8-4,Io/o pada wanita. Peningkaran retikulosit sebanding
dengan beratnya proses hemolisis. Hanya l-5o/o kasus anemia
hemolitik kronik menunjukkan retikulosit rror-"1.1'2
Petanda Kimiawi Umur Eritrosit
Kadar kreatin eritrosit yang muda, 6-9 kali dibandingkan dengan
yang tua. Pemeriksaan semiautomatik menyebabkan pemeriksaan
ini cukup praktis untuk menggantikan hitung retikulosit. Pemeriksaan kreatin eritrosit lebih sensitif dan lebih reliabel dibandingkan
dengan hitung retikulosit.l
Pemeriksaan enzim eritrosit lain seperti: heksokinase dan glutamat-oksalat transaminase masih belum dilakukan secara rutin,
hanya untuk penelitian.
Anemia
Hemolitik
63
Pemeriksaan Darah Tepi Lain
Polikromasia dan stippling halus pada eritrosit sering dijumpai pada
apusan darah tepi jika retikulosit meningkat. Sel eritrosit yang lebih
muda lebih besar dari yang rua, oleh karena itu akan dijumpai
makrositosis pada anemia' hemolirik, kecuali anemia sel sabit Jan
thalassemia yang sering menunjukkan mikrositosis. Pada kasus yang
berat dapat dijumpai normoblast dalam darah tepi tetapi <l% dari
sel-sel berinti.l
Leukosistosis dan trombositosis ringan sering dijumpai pada anemia hemolisis, terutama pada bentuk akut. Leukopenia atau rrombositopenia jarang dijumpai kecuali pada krisis aplastik, paroxysmal
nocturnal hemoghbinuria, hemolisis pada SLE (slstemic lupus erythematzsus) dan anemia hemolitik autoimun rerrenru (sindrom Evan).1
Sumsum Tulang
Kelainan yang paling sering dijumpai adalah hiperplasia normoblastik. Pemeriksaan ini bersifat kualitatif dan sangat subyektif Rasio
ME (myeloid:eritroid). menurun di bawah 1,5 kadang-kadang
. 0,5. Normoblast yang meningkat adalah pada semua tingkatan,
berbeda dengan anemia defisiensi besi yang terurama meningkat
adalah late normoblasr dan bersifat mikronormoblastik.l-6
Studi Ferokinetik
Pksma iron turn luer rate (PITR) menunjukkan eritropoesis toral,
meningkat 2 sampai 8 kali, sedangkan erytltrocyte iron turn ouer rAte
(EITR) menunjukkkan eritropoesis efektif, meningkat 2 sampai 4
kali normal. Kedua pemeriksaan ini jarang dikerjakan untuk pemeriksaan rutin karena tersedia pemeriksaan lain yang lebih praktis
dengan akurasi ya.rg s"-".1
Pemeriksaan Laboratorium untuk Menentukan Etiologi
Kelainan morfologik eritrosit yang spesifif Pemeriksaan morfologi
eritrosit pada darah tepi merupakan pemeriksaan yang sangar penting untuk menenrukan etiologi anemia hemolitik (tabel 5-4).
Sferosit khas dijumpai pada sferositosis herediter. Sferosit, rerurama
mikrosferosit juga dijumpai pada anemia imunohemolitik, anemia
64
Hematologi Klintk Ringkas
Tabel 5-4
Kelainan Morfologi Eritrosit pada Anemia
Hemolitikl'2
Kelainan klinis
Sel
Deskripsi
Sferosit
Sferis, tampak kecil,
tak ada pucat bagian
sentral i
,
Sferositosis herediter, anemia imunohemolitik, luka
bakar, injuri kemikal
Ovalositosis herediter,
,
.
l
Eliptosit'
Set berbentuk oval
Stomatosit
Bentukan seperti mulut
pengganti bagian pucat
'.....:
sentral
Akantosit
anemia megaloblastik
.,.,
Stomatositosis herediter,
alkoholisme
.'
5-10 spikula dengan
Spur-cell anemia dengan
panjang bervariasi, jarak, r penyakit hati,
dan tebalnya takteratur abetaliporproteinemia
Ekhinosit 10-30 spikula yang tak Defisiensi piruvat kinase
(echynocytes) merata di atas permukaan dan gliserat kinase, ure
mta
sel
Sel'sabit
Sel seperti bulan sabit, Anemia sel sabit (sick/e
(slck/e cell)
terjadi pada keadaan cell anemia)
hipoksia
Seltarge!
Area solid pada bagian
Thalassemia, Hb-C ds
tengah yang seharusnya penyakit hati, defisiensi
pucat
LCAT, pascasplenektomi
Skhistosit
Segitiga, bentuk helmet, Anemia mikroangiopatik,
(Schlsfocfie)
fragmentasi atau sel ter- uremia, hipertensi
distorsi, kecil-kecil.
maligna, aliran darah
mengalami turbulensi
hemolitik mikroangiopatik, injuri termal dan bahan kimia. Akantosit
menunjukkan kelainan lipid eritrosit dijumpai pada abetalipoproteinemia, sefta anemia spur cell pada sirosis hati.
Autoaglutinasi terlihat pada hapusan darah dijumpai pada anemia
imunohemolitik yang disebabkan oleh cold aglutinin. Autoaglutinasi
harus dibedakan dengan formasi rouleaux yang khas dijumpai pada
mieloma mulripel.
Tes antiglobulin (Coombs test) Direct antiglobulin test (DNf), arau res
Coombs merupakan tes yang paling banyak dipakai untuk diagnosis
Anemia
Hemolitik
65
anemia hemolitik autoimun. DAT positif menu,njukk
^n ^Ai,'ny^
antibodi yang terdiri atas IgG atau komplemen, terutama C3 yang
menyelimuti permukaan eritrosit. Tes ini cukup reliabel, teapi sekitar
2-5o/o kasus AFIA tidak disertai tes Coombs positif karena antibodi/
komplemen yang menyelimuti eritrosit titernya sangat rendah. Pada
penderita AiDS tes Coombs positif pada 34o/o kasus tanpa tandatanda anemia imunohemolitik. Sekitar 70o/o kasus AHA tipe panas
menunjukkan DAI positif terhadap IgG dan negatif terhadap C3,
sekitar 20% menunjukkan positif IgG dan positif terhadap C3, dan
10%o menunjukkan anti-IgG negatif dan positif lemah terhadap C3.z
Tes Fragilitas Osmotik
Tes ini menunjukkan resistensi eritrosit terhadap hemolisis akibat
stres
osmotik, dilakukan dengan pemaparan eritrosit pada salin hipotonik
dan diukur derajat hemolisis yang terjadi. Hasilnya berupa grafik
sigmoid, atau berupa konsentrasi salin pada saat hemolisis mulai
(normal: 0,45-0,50 g/dl) dan hemolisis komplit (0,30-0,33 g/dl).
Fragilitas osmotik meningkat pada kasus dengan sferositosis. Eritrosit
lebih resisten pada salin hipotonik pada thalassemia, anemia sel sabit,
dan anemia dengan leptosit. Tes ini menjadi penting jika pada
pemeriksaan darah tepi dijumpai adanya sferositosis.l
Autohemolisis
Tes autohemolisis mengukur jumlah hemolisis sPontan jika darah steril,
defbrinated diinkubasi pada 37'C selama 48 iam. Dibandingkan
dengan hasil apabila sebelumnya diberikan glukosa atau ATP Pada
orang normal hemolisis minimal (2o/o) terjadi setelah 48 jam, turun
menjadi 0,3o/o jika ditambahkan ATP atau glukosa. Ada 3 tipe
autohemolisis:
a.
l'6
I: ditandai oleh autohemolisis ringan sampai moderat dan
dikorelai inkomplit setelah penambahan AIP atau glukosa.
Tipe ini dijumpai pada anemia defisiensi G6PD.
Tipe
II:
autohemolisis cukup berat (13%) dapat dikoreksi oleh
AT! tetapi tidak oleh glukosa. Tipe ini dijumpai pada anemia
defisiensi piruvat kinase.
c. Tipe III: autohemolisis sangat meningkat, dapat dikoreksi baik oleh
AIP maupun glukosa. Tipe ini dijumpai pada sferositosis herediter.
b. Tipe
66
Hematologi Klinik Ringkas
Tes autohemolisis sekarang jarang dikerjakan karena boros waktu,
serta sensitivitas dan spesifisirasnya rendah.
Tes untuk kelainan hemolitik yang disertai pembentukan Heinzbodies. Presipitasi hemoglobin menyebabkan pembentukan Heinzbodies yang kemudian dibuang oleh limfa. Pembentukan Heinz-bodies
merupakan mekanisme utama hemolisis pada anemia defisiensi
G6PD, unstable hemoglobin disease, thalassemia, dan injuri kimiawi
teftentu. Tes yang paling praktis adalah ascorbate-cyanidc test.l
Pendekatan Diagnostik
Diagnosis anemia hemolitik dilakukan dalam
2 tahap, yaitu'r'6
Menentukan Adanya Anemia Hemolitik
Anemia hemolirik dapat didiagnosis jika terdapat anemia yang disertai dengan randa-tanda destruksi eritrosit, dan/atau tanda-tanda
peningkatan eritropoesis. Tetapi tidak ada tes tunggal yang realiabel
untuk memastikan diagnosis karena harus dilakukan kombinasi beberapa macam tes, serra dengan menyisihkan penyebab-penyebab
lain yang memberikan tanda-tanda y".rg ,"-".t-6
Peningkatan eritropoesis dijumpai juga pada perdarahan akut
dan akibat respons terapi pada anemia defisiensi (besi, asam folat,
dan Bl2) yang sedang diobati. Thnda-tanda destruksi eritrosit juga
dijumpai pada eritropoesis inefektii gangguan katabolisme bilirubin, dan perdarahan ke dalam rongga tubuh. Jika keadaan ini dapar
disisihkan, diagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan.
Pada anemia hemolitik kronik tanda-tanda peningkatan eritropoesis lebih menoniol, sedangkan pada anemia hemolitik akut tanda
peningkatan eritropoesis tidak begitu menonjol. Pada anemia hemo-
litik akut dijumpai
ge)ala acute febril illness, tanda-tanda intravaskuler hemolisis, atau penurunan hemoglobin tiba-tiba, lebih dari
I g/dl dalam wakru I minggu. Penurunan hemoglobin tiba-tiba ini
dijumpai juga pada perdarahan akut dan hemodilusi. Jika kedda hal
ini dapat disingkirkan, diagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan.
\Tintrobe memberikan petunjuk praktis.r Anemia hemolitik patut dicurigai jika didapatkan:
Anemia Hemolitik
67
1. tnda-tanda
destruksi eritrosit berlebihan bersamaan dengan
tanda-tanda peningkatan eritropoesis. Hal ini ditandai oleh
anemia, retikulositosis dan peningkatan bilirubin indirek dalam darah. Apabila tidak dijumpai tanda perdarahan ke dalam
rongga tubuh atau jaringan maka diagnosis anemia hemolitik
dapat ditegakkan.
2. Anemia persisten disertai retikulositosis tanpa ada tanda-tanda
perdarahan yang jelas. Jika perdarahan dan pemulihan anemia
defisiensi akibat terapi dapat disingkirkan, diagnosis anemia
hemolitik ditegakkan.
3.
Apabila terdapat penurunan hemoglobin lebih dari 1 g/dl dalam
waktu satu minggu (melebihi kemampuan kompensasi eritropoesis) serta perdarahan akut dan hemodilusi dapat disingkirkan maka anemia hemolitik dapat ditegakkan.
4. Apabila dijumpai
hemoglobinuria atau tanda hemolisis intra-
vaskuler yang lain.
Menentukan Penyebab Spesifik Anemia Hemolitik.
Menentukan penyebab anemia hemolitik harus dimulai dari anamnesis yang teliti, pemeriksaan apusan darah dan tes Coombs. Untuk
itu, pasien dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu:i
1.
2.
1
Kasus dengan diagnosis yang sudah jelas karena adanya pema-
paran terhadap infeksi, bahan kimia dan bahan fisik.
Kasus dengan tes Coombs direk positif maka ditetapkan sebagai anemia imunohemolitik. Langkah selanjutnya adalah mencari penyakit dasar (underfuing disease) dan tes serologi untuk
menetapkan sifat antibodi yang dijumpai.
Kasus dengan anemia sferositik disertai tes Coombs negatif.
Kemungkinan adalah kasus sfreositosis herediter, maka dilanjutkan dengan pengambilan riwayat keluarga yang lebih teliti
serta konfirmasi dengan tes fragilitas osmotik. Kadang-kadang
anemia imunohemolitk (dengan milrosferosit) menunjukkan
tes Coombs negatif oleh karena titer antibodi yang rendah.
Perlu prosedur pemeriksaan tes Coombs yang lebih sensitif.
4. Kasus dengan kelainan morfologi eritrosit yang lain. Sel target
menjurus ke arah thalassemia, sedangkan sel sabit patognomonik
68
5.
Hematologi Klinik Ringkas
untuk anemia sel sabit. Fragmentasi eritrosit ekstensif menjurus ke arah anemia hemolitik mikroangiopadk, injuri termal
atau kimiawi.
Kasus tanpa kelainan morfologi yang khas dan tes Coombs
negatif memerlukan suatu baterai tes penyaring seperti elektroforesis hemoglobin, res denaturasi panas untuk unstable hemoglobin disease, dan tes penyaring unnk paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria.
Jika semua prosedur di atas menghasilkan hasil normal, ini
merupakan kasus yang sulit. Di sini diperlukan pemeriksaan
spesifik yang sering hanya dilakukan di pusar-pusar yang maju.
Diagnosis Banding
Kelainan-kelainan yang sering dikelirukan dengan anemia hemolitik
adalah,r
1. Anemia pascaperdarahan
2.
3.
akut dan fase pemulihan anemia defisiensi yang sedang mendapat terapi. Di sini dapat dibedakan
karena tidak adanya ikterus dan kadar hemoglobin meningkat
pada pemeriksaan berikutnya.
Anemia karena eritropoesis inefektif sering disertai ikterus
akholurik dan hiperplasia normoblasdk sumsum tulang, tetapi
di sini retikulosit tidak meningkat. Pada kasus yang meragukan
dilakukan pemeriksaan suruiual eritrosit.
Anemia yang disertai dengan perdarahan ke rongga retropenial
atau ke jaringan lain sering kali sulit dibedakan dengan anemia
Di sini hemoglobin turun dengan cepar disertai
retikulositosis dan ikterus akholurik. Kasus ini hanya dapat
dibedakan kalau dapat dilakukan pemeriksaan yang membuktikan adanya perdarahan ini.
Kasus dengan ikterus ranpa anemia seperti pada sindrom Gilbert atau kelainan katabolisme yang lain perlu dibedakan dengan keadaan hemolitik terkompensasi. Di sini tidak dijumpai
kelainan morfologi eritrosit dan retikulosir normal. Pada keadaan yang meragukan dilakukan pemeriksaan suruiual eritrosit.
Adanya mioglobinuria, seperti pada kerusakan otot yang luas
atau nuslt syndrome perlu dibedakan dengan hemoglobinuria.
hemolitik.
4.
5.
Hal ini dapat dibedakan dengan elektroforesis.
Anemia
Hemolitik
69
Pengobatan
Pengobatan anemia hemolitik sangat tergantung keadaan klinik kasus
tersebut serta penyebab hemolisisnya karena itu sangat bervariasi
kasus per kasus. Akan tetapi, pada dasarnya terapi anemia hemolitik
dapat dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu'1-10
Terapi Gawat Darurat
Pada hemolisis akut terurama hemolisis intravaskuleq dimana terjadi syok dan gagal ginjal akut maka harus diambil tindakan darurat
untuk mengatasi syok, mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit, serta memperbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi anemia berat,
pertimbangan transfusi darah harus dilakukan secara sangat hati.
hati, meskipun dilakukan crzss matching, hemolisis tetap dapat ter.tetapi,
jadi sehingga memberatkan fungsi organ lebih lanjut. Akan
jika syok berat maka tiada pilihan selain transfusi. Dilakukan penentuan tipe genotipe golongan darah, dan penentuan antibodi
spesifik. Darah yang cocok untuk sistem ABO dan sistem Rh harus
di-cross match dengan darah penderita, hasil yang paling cocok dapat
diberikan. Namun, pengawasan harus betul-betul ketat apabila hemolisis tetap terjadi dapat dipertimbangkan excltange transfusion.r'z
Pada AIHA yang disertai hemolisis berat kadang-kadang diperlukan tindakan darurat karena anemia berat yang terjadi tiba-tiba
dapat membalrayakan fungsi jantung sehingga terjadi gagal jantung.
Dalam keadaan demikian, transfusi terpaksa harus dilakukan de'
ngan kehati-hatian, seperti tersebut di atas. Sebaiknya diberikan
darah merah yang dicuci (tuashed red cell) untuk mengurangi beban
antibodi. Pada saat yang sama dapat diberikan steroid parenteral
dosis tinggi untuk menekan fungsi makrofag atau pemberian hiperimun globulin dengan fungsi y"rg ."-".t't'6
Terapi
Su
portif-simtomatik
Terapi suportif-simtomatik untuk anemia hemolitik diberikan untuk menekan proses hemolisis terutama di limpa (lien). Eritrosit
dengan kerusakan ringan dikeluarkan lewat limpa, tetapi eritosit
dengan kerusakan berat dikeluarkan lewat organ lain, terutama hati.
Splenektomi dapat menimbulkan remisi atau mengurangi gejala
pada beberapa bentuk anemia hemolitik kronik. Respons terbaik dan
70
Hematologi Klinik Ringkas
konsisten terhadap splenektomi dijumpai pada sferositosis herediter. Respons cukup baik juga diberikan oleh penderita eliptositosis
herediter. Respons parsial diberikan oleh anemia hemolitik dengan
gangguan enzim, seperti defisiensi piruvat kinase dan heksokinase.
Anemia imunohemolitik, terutama dengan antibodi panas memberikan respons cukup baik terhadap splenektomi, di samping karena berkurangnya tempat destruksi eritrosit, tetapi juga karena
limpa merup"k".t r.rnpat pembentukan antibodi.l'2
Steroid memberikan respons pada kasus imunohemolitik tertentu, terutama yang disertai antibodi panas. Penderita yang tidak
memberikan respons terhadap steroid dapat dicoba dengan obat
imunosupresif lain, seperti azathioprin.
Pada anemia hemolitik kronik familier-herediter sering diperlukan transfusi darah teratur untuk mempertahankan kadar hemoglobin. Bahkan pada thalassemia mayor dipakai teknik supertransfusi
atau hipertransfusi untuk mempertahankan keadaan umum dan
pertumbuha., p"rie.r.t-6
Pada anemia hemolitik kronik dianjurkan pemberian asam folat
0,15-0,3 mg/hari untuk mencegah krisis megaloblasiik.r
Terapi Kausal
Terapi kausal tentunya menjadi harapan untuk dapat memberikan
kesembuhan total. Tetapi sayang sekali sebagian besar kasus bersifat
idiopatik, atau disebabkan oleh penyebab herediter-familier yang
belum dapat dikoreksi. Tetapi bagi kasus yang etiologinya jelas maka
terapi kausal harus segera dilaksanakan. Pemaparan terhadap bahan
kimia, fisik, atau obat harus dihentikan. Jika penyebabnya infeksi
maka infeksi harus diobati dengan sebaik-baiknya.r'2
Tiansplantasi sumsum tulang memberikan harapan penyembuhan pada kasus anemia hemolitik herediter-familier terutama thalas-
,.-ia.l-6
Anemia
Hemolitik
71
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN (AUTOIMMUNE
HEMOLWC ANEMIA)
Batasan
Anemia hemolitik autoimun (AHA) atau autoimmune bemofi'tic anemia (AIHA) adalah suatu anemia hemolitik yang timbul karena
terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan desrruksi (hemolisi$ erirrosit.i-6 Berdasarkan sifar reaksi
antibodi, AHA dibagi 2 golongan, yaitu:
1. AHA Tipe Panas (lVarm AIHA): Reaksi antigen-antibodi terjadi
maksimal pada suhu tubuh (37'C).
2. AIlATipe Dingin (Cold AIHA): Reaksi antigen-antibodi terjadi
maksimal pada suhu rendah (4'C).
Jika digabungkan dengan etiologinya, didapatkan klasifikasi sebagai berikut:
1. Tipe panas (warm autzdntibodl fitpe)-aur.oantibodi aktif maksimal pada suhu tubuh (37'C).
a.
b.
idiopatik
sekunder
i. Penyakit limfoproliferatif, seperti leukemia limfositik
kronik dan limfoma maligna.
Penyakit kolagen, seperti SLE, dan lain-lain.
iii. Penyakit-penyakit lain
iv. Obat: (tipe hapten: penisilin; tipe komplek imun; tipe
autoantibodi: metildopa)
2. Tipe dingin (cold autoantibody type)-autoantibodi aktif pada suhu
<37'C
idiopatik
ii.
^.
b. sekunder
i. Penyakit limfoproliferatif
72
Hematologi Klinik Ringkas
ii.
Infeksi: Mycoplasma pneumonia; Infectious
mononucleosis;
virus Ebstein Bax dan lain-lain.
iii.
Lain-lain
3.
Paroxysmal Cold Hemoglobinuria
a. pada sifilis stadium III
b. pasca infeksi virus (self limited)
4.
Campuran ripe panas dan tipe dingin
Patofisiologi
Karena sebab yang belum diketahui, mungkin akibat gangguan
regulasi imun, terbentuk antibodi terhadap eritrosit sendiri (auto-
antibodi). Eritrosit yang diselimuti antibodi
ini
(sering disertai
komplemen, terutama C3b) akan mudah difagositir oleh makrofag
terutama pada lien dan juga hati oleh adanya resepror Fc pada
permukaan maftrofag yang kontak dengan porsi Fc dari antibodi.
Hemolisis terurama terjadi dalam bentuk hemolisis ekstravaskuler
yang akan menimbulkan anemia dan ikterus hemolitik. Pada AHA
tipe dingin juga terbentuk krioglobulin.r-6
AHA TIPE PANAS (WAKM AIHA\
Etiologi
AHA tipe panas dapat dibagi menjadi
dua golongan besar, yaitu bentuk primer (idiopatik) dan bentuk
Secara garis besarnya penyebab
sekunder.
l.
Idiopatik: merupakan
2. Sekunder terdiri atas.
a.
b.
c.
50o/o kasus
AHA
akibat gangguan reaktivitas imun: SLE, limfoma maligna,
CLL;
mieloma multipel, karsinoma dan kolitis ulserativa;
setelah penggunaan obat methildopa.
Patogenesis
Sekitar 600/o AHA tipe panas menunjukkan IgG, 50olo kombinasi
IgG dan komplemen, l0%o hanya komplemen saja. Eritrosit yang
diselimuti IgG atau komplemen difagositir oleh makrofag dalam lien
Anemia
Hemolittk
73
dan hati sehingga rerjadi hemolisis ekstravaskuler yang menimbulkan anemia dan ikterus karena bilirubinemia indirek.
GeialaKlinik
AHA tipe
panas terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering pada
wanita muda. Gejala yang menonjoi adalah anemia, demam, ikterus
dan splenomegali. Gejala sering hilang timbul.
Kelainan Laboratorik
AHA tipe panas drjumpai kelainan laboratorium
Darah tepi:
Pada
i.
a.
sebagai berikut:
anemia dapat sampai berat, terdapat mikrosferosit, polikromasia dan sering ada normoblast dalam darah tepi. Morfologi
anemia pada umumnya ialah normokromik normositer (gambar
5-3).
retikulosit sangat meningkat
2. Bilirubin serum meningkat 24 mg/dl, dengan bilirubin indirek
lebih tinggi dari bilirubin direk.
3. Tes Coombs direk (DAT) positif.
b.
Gambar 5-3. Apusan darah tepi penderita AHA: menunjukkan eritrosit
normokrornik normositer, rnikrosferosit, fragrnentosit dan
sebuah normoblast (panah)
74
Hematologi Klinik Ringkas
Diagnosis
Diagnosis AHA tipe panas dapat
l.
2.
ditegakkan jika dijumpai.
Tanda anemia hemolitik didapat (gejala klinik, anemia normokrom normositer, hemolisis ekstravaskuler, kompensasi sumsurn tulang-lihat pada topik pemeriksaan laboratorium).
Tes antiglobulin direk (Coombs) positif. Hanya sebagian kecil
penderita menunjukkan tes negatif, Jika gambaran klinik menjurus kearah AHA tipe panas, tetapi tes Coombs negatif maka
terapi ex juuantiuus dengan obat imunosupresif dengan pengawasan ketat dapat dipertimbangkan.
Terapi
Grapi untuk AHA tipe panas meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Obati/hilangkan penyakit dasar: jika penyebab diketahui dan
dapat diobati maka penyakit tersebut seperti SLE dan penyakit
2.
3.
4.
Iimfoproliferatif diobati dengan sebaik-baiknya, Pemakaian obat,
seperti methildopa harus dihentikan.
Kortikosteroid dosis tinggi merupakan salah satu obat pilihan
untuk AHA tipe panas. Steroid bekerja dengan memblok fungsi
makrofag dan menurunkan sintesis antibodi. Prednison diberikan secara oral dengan dosis 60-100 mg per hari. Jika terdapat
kenaikan Hb. yang baik maka dosis obat diteruskan selama 2
minggu setelah Hb. stabil, kemudian dilakukan tapering off
untuk mendapatkan dosis pemeliharaan yang paling kecil yang
dapat mempertahankan Hb. Usahakan dosis pemeliharaan kurang dari li mg/hari. Yang paling ideal jika dosis pemeliharaan
diberikan selang-seling (ahernate day). Turunan steroid lain,
seperti metilprednisolon dapat juga diberikan dengan dosis yang
disesuaikan. Lebih dari 50%o kasus memberikan respons baik
yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar Hb dalam dua
minggu pertama. Efek samping steroid harus diawasi ketat.5
Splenektomi dipertimbangkan jika tidak ada respons terhadap
steroid dalam waktu 2-3 minggu atau dosis pemeliharaan steroid (prednison) melebihi 15 mg/hari.
Obat imunosupresif lain yang dapat dipakai adalah azathioprim
atau siklofosfamid. Siklofosfamid diberikan dalam bentuk pulse
Anemia Hemolitik
75
mg i.v. dalam 1-3 kali pemberian. Obat imunosupresif paling Lutakhir adalah *yripbrnolate mofetil (CeltceptR)
yang bekerja selektif menekan proliferasi limfosit T dan B, menekan sintesis antibodi dan glikolisasi molekul adhesi dengan
menghambat sintesis nukleotide purin. Obat ini mula-mula
dipakai untuk mencegah rejeksi pada transplantasi ginjal, ternyata juga cukup efektif pada penyakit autoimun, termasuk
AHA. Obat ini dapat dikombinasikan dengan steroid atau obat
imunosupresif lain.6
Tiansfusi dipertimbangkan hanya jika terdapat anemia berat
yang mengancam firngsi jantung. Sebaiknya dipakai washed red
d.ose 1000
5.
cell.
6.
7.
Dalam keadaan gawat dapat dipertimbangkan pemberian hyper'
immune globulin (high dase immunoglobuline).
Penderita AFIA perlu diberikan tambahan asam folat untuk
mencegah krisis megaloblastik'
AHA TIPE DINGIN (COLD AIHA)
AHA tipe dingin lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan AHA
tipe panas. Di sini reaksi antigen-antibodi terjadi pada suhu dingin
(<32'C), antibodi termasuk golongan. IgM, dapat bersifat monoklonal pada yang idiopatik, dapat juga poliklonal pada yang post' ar
lnIeKsr.
l-6
Etiologi
Dilihat dari sudut
penyebabnya maka
digolongkan menjadi 3, yaitu:
l.
AHA tipe dingin
dapat
Idiopatik
2. Sekunder terdiri atas:
a. infeksi:
Mycoplasma pneumonia, Mononucleosis infectiosa,
Cytomegalo virus;
b.
3.
limfoma maligna.
Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH)
Patogenesis
Pada AHA tipe dingin autoantibodi IgM mengikat antigen membran
eritrosit (tmttama "I antigen") dan membawa Clq ketika melewati bagian
76
Hematologi Klinik Ringkas
yang dingin, kemudian terbentuk kompleks penyerang membran
(membrane attacking cornplex), yaitu suatu kompleks komplemen
yang terdiri aras C56789. Kompleks penyerang ini menimbulkan
kerusakan membran eritrosir, apabila terjadi kerusakan membran
yang hebat akan terjadi hemolisis intravaskuler jika kerusakan minimal terjadi fagositosis oleh makrofag dalam RES sehingga terjadi
hemolisis ekstravaskuler.'-6
Manifestasi Klinik
AHA tipe dingin dapat
l.
bermanifestasi
klinik dalam.3 bentuk:
Acute Postinfectious Cold Agglutinin-Induced Hemolysis. Terjadi setelah infeksi, biasanya infeksi virus, dengan gambaran klinik yang
terdiri
atas:
a. hemolisis transient tapi berat;
b. tampak aglutinasi, polikromasi, makrosit, dan sferosit;
c. titer aglutinin tinggi. Tes Coombs direk positifl
2.
Chronic Cold Agglutinin Disease
Merupakan AHA tipe dingin yang berjalan lebih perlahanJahan,
dengan gambaran sebagai berikut:
a. kulit jari rangan / kaki mati rasa pada udara dingin (akrosianosis)
b. anemia bisa ada bisa tidak
c. retikulosit tinggi, tampak autoaglutinasi;
d.
tes aglutinin dingin dijumpai titer tinggi dan tes Coombs
direk positiF.
e. terapi untuk tipe ini adalah menghindari udara dingin,
mengobati penyakit dasar, kadang-kadang diperlukan splenektomi. Di sini kortikosteroid tidak efektif. Khlorambusil
dapat memberikan hasil pada beberapa kasus.
3. Paroxysmal Cold Hemoghbinuria (PCH).: suatu bentuk AHA dingin yang jarang dijumpai, misalnya:
a. adanya antibodi Donath-Landsteiner, suatu IgG yang spesifik terhadap P blood group antigen, mempunyai renrang panas
yang sempit dan kemampuan mengikat komplenen sehingga
dapat menimbulkan lisis eritrosit pada bagian tubuh yang
dingin
b. tes Donath-Landsreiner, khas unruk PCH
.
Anemia He,molitik 77
c. bentuk klasik dihubungkan
dengan infeksi sifilis, bentuk acute
trdnsient dihubungkan dengan infeksi virus seperti rnurnps atau
measles.
d. lebih sering bersifat sembuh sendiri (self limiting), tetapi
kadang-kadang transfusi diperlukan.
AHA karena Obat (Druglnduced AIHAI
Obat dapat menimbulkan hemolisis dengan 3 cara:
1. Innocent by stander. Komplek Ag-Ab melekat secara
pasif pada
eritrosit, contoh: pbenacetin, quinine, quinidin, chlorpropamide.
2. Obat sebagai hapten: Obat sebagai hapten yang
bergabung
dengan protein membran eritrosit menjadi antigen komplit,
contoh: penisilin dan cephalotin.
3. AIIA
karena obat yang sebenarnya: obat menyebabkan perubah-
an pada membran eritrosit sehingga membentuk autoantigen
dari membran sendiri, contoh: methyldopa dan fludarabine.
Gambaran klinik AHA karena obat sama dengan gambaran klinik
AHA pada umumnya. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang
teliti tentang adanya pemaparan pada obat tertentu. Terapi utama
adalah menghindari obat tersebut.
ANEMIA HEMOLITIK NON-IMUN
Anemia hemolitik nonimun adalah anemia hemolitik ekstrakorpuskuler nonimun yang disebabkan oleh faktor-faktor luar bukan oleh
proses imunologik, di mana eritrosit mengalami destruksi prematur
r.r
aKrDat.
l-6
1.
stres mekanik;
2.
3.
akibat infeksi/toksin atau bahan kimia;
defek didapat (acquired) pada membran.
Anemia Hemolitik Mikroangiopatik
Pada anemia hemolitik mikroangiopattk (microangiopathic hemolytic
anemia), hemolisis terjadi akibat proses patologik tertentu'yang menyebabkan kapiler penuh fibrin sehingga eritrosit dipaksa melewati
lubang yang sempit. Akibatnya terjadi kerusakan membran sampai
fragmentasi eritrosit. Kerusakan yang berat akan menyebabkan hemolisis intravaskuler, sedangkan kerusakan ringan pada dinding
78
Hematologi Klinik Ringkas
eritrosit menyebabkan sel tersebut difagositosis oleh makrofag dalam lien sehingga terjadi hemolisis ekstravaskuler. Anemia hemolitik
mikroangiopatik dijumpai pada;
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
disseminated cArcinoma, terutama yang "mucous secretin/';
purpura fulminans;
collagen uascular disorders;
toksemia kehamilan;
hipertensi maligna;
hemangioma cAuernosA;
disseminated intrauascular coagulation;
thrombotic thrombocytopenic purpura;
I
hemolytic uremic syndrome;
Gambaran klinik anemia hemolitik mikroangiopatik didominasi
oleh gambaran penyakit dasar. Dapat dijumpai tanda-tanda hemolisis
intravaskuler, seperti hemoglobinemia atau hemoglobinuria, tandatanda hemolisis ekstravaskuler seperti retikulositosis, dan pening-
katan bilirubin indirek dalam darah
Anemia Hemolitik karena Malaria
Mekanisme terjadinya kerusakan eritrosit pada infeksi malaria sangar
kompleks. Beberapa faktor yang diperkirakan berperan adalah:r-6
a. destruksi langsung oleh parasit;
b.
c.
d.
sequestrasi eritrosit oleh limpa dan hipersplenisme;
kegagalan temporer sumsum tulang;
kerusakan karena obat anti-malaria, seperti primaquin atau
qu in ine.
Anemia yang terjadi bervariasi dari anemia hemolitik kronik
ekstravaskuler yang ditandai oleh adanya anemia, ikterus, spleno-
megali, retikulositosis, peningkatan bilirubin indirek dalam darah,
serta tanda hemolisis ekstravaskuler yang lain. Pada kasus tertentu
terutama pada malaria tropika (Pfalcifarum) dapat terjadi episode
hemolitik intravaskuler berat yang menimbulkan hemoglobinemia
dan hemoglobinuria sehingga terjadi black tuater feuer dengan mekanisme yang belum jelas. Penderita mengeluh mengeluarkan kencing
coklat, seperti kopi.
Diagnosis ditegakkan jika dijumpai tanda-tanda anemia hemolitik
yang disertai parasit malaria positif dalam darah. Pada sebagian kasus,
Anemia Hemolitik
7s
parasit malaria sulit ditemukan sehingga diperlukan pemeriksaan
khusus atau pemeriksaan imunologik.
Pengobatan diberikan dalam bentuk obat anti malaria sebagai
terapi kausal. Kadang-kadang diperlukan transfusi darah apabila
hemoglobin turun di bawah 7 gldl atau anemia bersifat simtomatik.
Penanganan black water feuer adalah sama dengan Penanganan ane-
mia hemolitik intravaskuler akut, berupa usaha untuk
syok, mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit,
mengatasi
mengatasi
gagal ginjal akut serta mengatasi anemia yang terjadi.
ANEMIA HEMOLITIK AKIBAT DEFEKYANG
DIDAPAT PADA MEMBRAN ERITROSIT
PAROXyS MAL NOCTIIRNAL HEMOGLOBINURTA (PNH)
PNH merupakan kelainan klonal sel induk hematopoetik yang menyebabkan eritrosit, granulosit, monosit dan trombosit abnormal.
Defek utama terjadi pada eritrosit. Pada PNH terdapat kelainan
intrinsik membran eritrosit sehingga terjadi peningkatan sensitivitas
terhadap lisis oleh komplemen. Secara biologi molekuler terjadi
gangguan pada protein membran eritrosit, yaitu glycosy l-p h osp h atid/
inositol (GPI) anchor, suatu struktur yang mengikat bermacam molekul protein, yang antara lain menyebabkan menurunnya DAF
(decay accelerating factor). DAF berfungsi meningkatkan inaktivasi
C3b oleh faktor I. Aktivitas DAF yang menurun menyebabkan akumulasi C3b yang akan memb enruk membran attaching complex
(C56789). Komplek penyerang ini akan menimbulkan lisis eritrosit
intravaskuler. Pada malam hari terjadi retensi CO2 sehingga pH
darah menurun yang mengakibatkan hemolisis lebih mudah terjadi.
Akibat kelainan sel induk yang disertai instabilitas genetik maka
PNH mudah mengalami transformasi menjadi anemia aplastik atau
leukemia
"k..t.1-6
Gambaran Klinik
PNH lebih sering dijumpai pada umur 30-40 tahun. Terjadi
he-
molisis intravaskuler kronik dengan eksaserbasi akut sehingga memberikan gejala sebagai berikut:
80
Hematologi Klinik Ringkas
Hemoglobinuria dengan kencing warna hitam, warna kencing
bervariasi menurut wakru.
b. Anemia, ikterus ringan, jarang disertai splenomegali.
c. Tendensi thrombosis meningkat.
a.
Kelainan Laboratorium
Pada PNH dijumpai tanda-tanda hemolisis intravaskular yang berlangsung kronik, disertai tanda-tanda percepatan eritropoesis. Kelainan laboratorium yang dijumpai dapat berupa sebagai berikut:
a. Anemia, retikulositosis, kadang-kadang ada normoblast dalam
darah tepi.
b. Leukopenia sedang dengan trombositopenia bervariasi.
Dapat dijumpai hemoglobinemia, haptoglobin menurun dan
hemoglobinuria.
d. Hemosiderinuria karena hemolisis intravaskuler kronik.
e. Bukti-bukti meningkatnya sensitivitas terhadap komplemen,
yaltu:
i. Acid hemolysis test (Harn test) positif
ri. Suuose/sugar Luater test posidf
f. Pada pusat-pusat yang maju dapat dilakukan pemeriksaan untuk
menentukan GPI.
c.
Terapi
Untuk PNH tidak ada terapi yang definitifl mungkin transplantasi
sumsum tulang dapat memberikan kesembuhan permanen. Sebagian
besar usaha terapi berupa terapi simtomatik:
a. jika perlu dapat diberikan transfusi pakai SDM yang dicuci;
b. pemberian besi jika terdapat defisiensi besi (akibat hemosideriuria);
antikoagulan oral (warfarin) untuk thrombosis;
kortikosteroid memberi respons pada sebagian kecil penderita.
n
c.
d.
Perlu pengawasan yang baik untuk mengantisipasi kemungkinan
transformasi menjadi leukemia akut atau anemia apalstik.
Anemia Hemolitik
81
I. KELAINAN ENZIM ERITROSIT
Defisiensi G6PD (Glukose 6 Phosphat
Dehydrogenases)
Epidemiologi
di dunia cukup tinggi di mana
seluruh dunia dijumpai lebih dari 100 juta penderita. Laporan
mengenai anemia defisiensi G6PD di Indonesia belum banyak
dijumpai, diperkirakan prevalensinya sekitar I-I,4o/o.'Wanita heterosigot terhadap defisiensi G6PD resisten terhadap malaria.6
Prevalensi anemia defisiensi G6PD
di
Patogenesis
Mekanisme penyakit anemia defisiensi G6PD telah banyak diteliti,
di mana anemia jenis ini:1-6
a. Timbul karena mutasi gen yang mengkode rangkaian asam amino
enzim G6PD yang terletak pada lengan panjang dari kromosom-X. Ensim ini sangat diperlukan untuk mempertahankan
eritrosit dari proses oksidasi akibat obat, infelai, dan lain-lain.
b. Secara elektroforetik ada 2 tipe isoensim, yaitu:
i. Tipe A: khusus pada orang Negro.
ii. Tipe B: varian normal terbanyak.
c. Defisiensi G6PD menyebabkan NADPH m€nurun sehingga reduced glutathion juga menurun yang menyebabkan eritrosit mudah
terkena bahan olaidan yang mengakibatkan kerusakan membran
dan pembentukan Heinzls bodies jika eritrosit mendapat pemaparan obat tertentu atau bahan toksis. Eritrosit yang mengalami
kerusakan ini difagositir RES, jika berat dapat menimbulkan
hemolisis intravaskuler. Jika tidak terjadi pemaparan, eritrosit
akan berfungsi normal.
Penyebab Hemolisis
Hemolisis pada anemia defisiensi G6PD dapat dipicu oleh beberapa
hal, seperti:
82
l.
2.
Hematologi Klinik Ringkas
Obat-obatan rerdiri atas:
a. anti malaria: primakuin, pirimetamin, kinine dan khlorokuin
b. antibakteri: sulfonamid, nitrofurantoin, penisilin, streptomisin dan INH
c. analgetika: fenasetin, salisilat, parasetamol
d. lainlain: vitamin K, probenesid, quinidin dan dapson
Infeksi dan ketoasidosis diabetik
3. faua bean (mengandung conuiciene) sehingga menimbulkanfauism
Gambaran Klinik
Gambaran klinik anemia defisiensi G6PD
sangar bervariasi, defi-
siensi G6PD dapat menimbulkan.
1. drug induced hemolytic anemia;
2. fauism;
3. neonatal jaundice;
4. chronic hemofisis.
Di luar serangan, penderita umumnya
asimtomatik (tanpa gejala). Gejala klinik timbul akibat adanya hemolisis ekstravaskuler
atau intravaskuler. Mulai yang ringan dan berjalan perlahan-lahan,
sampai gejala hemolisis intravaskuler yang berat.
Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium di luar serangan
menunjukkan gambaran
hematologik normal, hanya aktivitas enzim G5PD eritrosit menurun.
Pada saat serangan gambaran laboratorium yang dapat dijumpai
adalah:
a.
b.
tanda-tanda hemolisis intravaskuler
gambaran apusan darah tepi menunjukkan contracted and fagmented cells, bite cells, dan blister cells. Terdapat inclusion bodies
pada eritrosit.
Anemia Hemolitik
83
Diagnosis
Diagnosis anemia defisiensi G6PD dibuat berdasarkan pada sebagai
berikut:
1.
riwayat klinis pemaparan obat atau infeksi;
2.
3.
4.
tanda-anda hemolisis;
adanya Heinzls body;
aktivitas enzim G6PD menurun, yang dapat diukur
secara
langsung.
Terapi
Terapi anemia defisiensi G6PD tergantung dari derajat penyakit. Yang
terpenting adalah menghentikan obat yang memicu terjadinya hemolisis. Jika terjadi hemolisis intravaskuler berat, terapi terPenting
ditujukan untuk mempertahankan fungsi ginjal. Pertahankan outPut
urine, atasi syok jika terjadi anemia berat dapat diberikan transfusi.
II. GANGGUAN MEMBRAN ERITROSIT
SFEROSITOSIS HEREDITER (HEREDITARY
SPHEROCYTOSIS=HS)
Sferositosis herediter adalah kelainan hematologi herediter-familier
yang banyak dijumpai di Eropa Utara (Skandinavia). Kelainan ini
khas.l-6
1.
Diturunkan
2.
3.
Dijumpai makrosferosit pada hapusan darah tepi.
Memberi respons baik terhadap splenektomi.
secara autosomal dominan dengan elspresi bervariasi.
Patogenesis
Kelainan dasar sferositosis herediter terletak pada protein struktural
membran eritrosit. Sferositosis herediter timbul karena defek protein yang berfungsi dalam interaksi vertikal antara membrane sheleton
84
Hematologi Klinik Ringkas
dengan lipid bi/ayer membran eritrosit, anrara lain karena defek pada
anhyrin, spectrin a:au pallidin (protein 4.2). Hal ini mengakibatkan
membran eritrosit menjadi longgar sehingga eritrosit berubah bentuk
dari bikonkaf menjadi sferis. Deformabilitas eritrosit (perubahan
bentuk menjadi bulat dan rigid) ini menyebabkan kerusakan membran
eritrosit pada saat melewati kapiler yang berdiameter kecil pada lien.
Eritrosit dengan defek membran ini akan dikenal dan kemudian
difagositir oleh makrofag, sehingga terjadilah hemolisis ekstravaskuler
yang kronik.r'6
Gambaran
Klinik
Sferositosis herediter menimbulkan anemia dari bayi sampai usia
tua. Dijumpai ikterus yang berfluktuasi. Splenomegali hampir selalu
dijumpai. Pada sebagian besar penderita dijumpai batu empedu.
Gambaran Laboratorik
Dijumpai anemia dengan derajat anemia hampir sama pada seluruh
famili.5 Apusan darah tepi menunjukkan sferosit, eritrosit kelihatan
lebih bulat dengan bagian pucar di tengah (central palbr) menghilang.
Dijumpai juga polikromasia, kadang-kadang terdapat normoblast.
Retikulosit meningkat 5-20o/o. Sumsum tulang menunjukkan aktivitas
eritropoesis meningkat berupa hiperplasia normoblastik. Pemeriksaan
biokimia darah menunjukkan bilirubin indirek darah meningkat.
Untuk mengkonfirmasi diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus yaitu tes fragilitas osmotik. Eritrosit pada sferosistosis herediter
lebih mudah lisis (fragilitasnya meningkat) jika diinkubasi pada
larutan salin hipotonik sehingga memberikan kurva yang khas. Tes
autohemolisis menunjukkan aurohemolisis tipe III, dimana autohemolisis sangat meningkat, tetapi dapat dikoreksi baik dengan glukosa maupun AIP. Tes Coombs akan memberikan hasil negarif,
Terapi
Grapi pilihan pada HS adalah splenektomi yang memberikan
respons
yang sangat baik pada sebagian besar penderita. Splenektomi sebaiknya
jangan dilakukan pada umur di bawah 5 tahun karena penderita
mudah mengalami sepsis pneumokokus. Sebaiknya diberikan valainasi
pneumokokus setelah splenektomi. Asam folat diberikan untuk
mencegah krisis megaloblastik.
Anemia Hemolitik
85
III. HEMOGLOBINOPATI
Hemoglobinopati ialah sekelompok kelainan herediter yang ditandai oleh gangguan pembentukan molekul hemoglobin. Kelainan ini
dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:1-6
l.
Hemoglobinopati struktural
Di sini terjadi perubahan struktur hemoglobin (kualitatif) karena
substitusi satu asam amino atau lebih pada salah satu rantai
peptida hemoglobin. Hemoglobinopati yang penting sebagian
besar merupakan varian rantai beta. Contoh hemoglobinopati
struktural adalah: penyakit HbC, HbE, HbS, dan lain-lain.
2.
Thalassemia
Thalassemia adalah suatu sindrom yang ditandai oleh penurunan kecepatan sintesis atau absennya pembentukan satu atau
lebih rantai globin sehingga mengurangi sintesis hemoglobin
normal (kuantitatif). Sebagai akibatnya timbul ketidakseimbangan sintesis suatu rantai, salah satu rantai disintesis berlebihan sehingga mengalami presipitasi, membentuk Heinz bodies.
Eritrosit yang mengandung I{einz bodies ini mengalami hemolisis intrameduler sehingga terjadi eritropoesis inefektif, disertai
peme:rdekan masa hidup eritrosit yang beredar. Sering diikuti
kompensasi pembentukan rantai globin lain sehingga membentuk konfigurasi lain. Misalnya, pada thalassemia beta, rantai beta tidak terbentuk, sehingga rantai alfa mengalami ekses
yang mengakibatkan presipitasi rantai ini. Untuk mengurangi
ekses rantai alfa maka dibentuk rantai gama yang mengikat
rantai alfa yang berlebihan sehingga terjadi konfigurasi baru
sebagai a2y2, yang dikenal sebagai HbF.
PENYAKIT HEMOGLOBIN
E
Penyakit hemoglobin E merupakan hemoglobinopati struktural yang
paling sering dijumpai di Asia Tenggara. HbE terjadi karena perubahan
pada rantai beta di mana asam amino glutamine nomor 28 diganti
oleh fisine (cL2B226Gl'-L). Bentuk homosigot akan memberikan anemia ringan sampai sedang, hipokromik mikrositer, dengan MCV
rendah (60-70 fl). Pemerilsaan elektroforesis hemoglobin akan
menunjukkan HbE .tinggi, sedangkan HbF normal (<5o/o). Bentuk
86
Hematologi Ktinik Ringkas
heterosigot sering bersifat asimtomatik. Bentuk heterosigot ganda
dengan thalassemia sering dijumpai berupa penyakit HbE-thalassemia yang memberikan gambaran klinik dan hematologik sangat
mirip dengan Bo thalassemia.l-6
PENYAKIT HEMOGLOBIN
S
Penyakit hemoglobin S timbul karena adanya HbS, dapat bersifat
homosigot, heterosigot, atau heterosigot ganda bergabung dengan
hemoglobinopati lain. Spektrum penyakit hemoglobin S dapat dilihat pada tabel 5-5.
Tabel 5-5
Spektrum Penyakit Hemoglobin
Gambaran
Sickle
celltrait
Sickle-cell
anemia
Klinik
Asimtomatik
Ss
Elektroforesis Hb
HbS (rasio 5/4:40/60)
Krisis vasooklusif
Hb. 7-10 g/dl
Batu empedu, priapismusHbS (rasio S/A:100/0)
Ulkus kaki
HbF:2-25%
t|' Krisis vasooklusif Hb. 7-10 gidl
ssemial.''Nekrosistulangaseptiky.CJl60f0]
S/ff-Thalla'-
HbS (rasio S/A:100/0)
HbF: 1-10%
S/B'-Thattassemia
Vasooklusif jarang
Hb. 10-14 g/dl
Nekrosis tulang jarang MCV 70-80 fl
HbS (rasioS/A;60/40)
Hemogtobin
S/C
Vasooklusif jarang
Hb. 10-14 g/dl
Nekrosis tulang jarang MCV:80-100fl
Hematuria
HbS (rasio S/A:50/0)
HbC:50%
Anemia
Hemolitik
87
ANEMIA SEL SABIT (SICKLE CELL ANEMIA)
Anemia sel sabit adalah bentuk homosigot penyakit HbS (cr2,B2'),
dapat juga disebabkan oleh heterosigot ganda dengan Hbpati lain
(HbC) atau thalassemia. Anemia sel sabit banyak dijumpai di Afrika
Barat dan orang kulit hitam di Amerika Serikat. Sekitar 8%o orang
kulit hitam di Amerika Serikat menderita heterosigot HbS dan
0,25o/o anemia sel sabit (homosigot). Gejala mulai pada bayi umur
6 bulan setelah HbF jumlahnya berkurang. Penderita sel sabit resisten terhadap infeksi malaria.5'6
Bioiogi Molekuler dan Patogenesis
timbul karena mutasi satu kodon pada gen
beta, yaitu adenine (A) diganti oleh thyminr (T) sehingga setelah
translasi menghasilkan asam amino glutamic acid yang seharusnya
ualine pada rantai beta. HbS pada tekanan oksigen yang rendah
bersifat tidak larut, mengalami presipitasi (sichling) sehingga menyebabkan perubahan bentuk eritrosit, seperti bulan sabit. Sel sabit
disekuestrasi oleh limpa sehingga timbul anemia hemolitik. Karena
bentuknya abnormal, sel sabit sulit melalui kapiler dan menimbulkan penyumbatan pembuluh darah (vasooklusi).2'6
Secara molekuler HbS
Gejala Klinik
1. Gejala klinik berupa anemia hemolitik kronik berat diselingi
oleh
krisis.
2.
3.
4.
setelah umur 6 bulan, timbul dactylitis
jari.
Pada anak lebih besar timbul nyeri
akut karena nekrosis tulang
sendi, nyeri tulang, serta nyeri abdomen karena infark limfa.
Penderita mudah mengalami infelai, terutarna pneumokokus, juga
hemofilus dan salmonella karena berkurangnya fungsi limfa.5'6
Gejala anemia lebih ringan dari derajat penurunan hemoglobin
karena HbS lebih mudah melepaskan oksigen.5'6
Ulkus pada kaki (sekitar malleolus) dijumpai pada 75%o kasus
karena iskhemia akibat oklusi vaskuler.5'6
GeSaJa
klinik mulai tampak
88
Hematologi Klinik Ringkas
5.
Splemogali dijumpai pada anak kecil, setelah dewasa limfa sering
mengecil karena infark berulang.
Infark ginjal dapat menimbulkan hematuria.
6.
7. Komplikasi lain berupa retinopati proliferatif batu empedu,
osteomielitis, mudah infelai penumokokus, hemofilus dan
samonella.
B. IGisis pada anemia
sel sabit dipicu oleh infeksi, asidosis, dehidrasi,
tekanan oksigen rendah (misalnya, di pesawar terbang), latihan
berat, operasi/anesresi. Krisis dapar b.rupr, 5'6
e. Painfull uaso-occlusiue crisis: organ yang kena ialah tulang (femur, bahu, vertebra). Infark tulang jari menimbulkan sin-
drom hand-foot.
b.
Visceral sequestration crisis:
timbul karena sickling dalam organ
serta pooling darah, disertai eksaserbasi anemia. Dapat timbul
acute sichle chest syndrome dengan gejala sesak napas, tekanan
oksigen arreri menurun, nyeri dada, infiltrat paru yang dapat
c.
d.
bersifat fatal.
Aplastic crisis: sering dipicu oleh infeksi parvovirus, disertai
gejala pansitopenia dan retikulositopenia.
Hemabtic crisis: hemoglobin tiba-tiba menurun disertai retikulosirosis dan nyeri.
Kelainan Laboratorium
Pada anemia sel sabit dapat dijumpai:5'6
Anemia sedang dengan Hb 6*9 g/dl.
l.
2.
3.
4.
5.
Pada apusan darah tepi ditemukan sel sabit, sel target dan
tanda atrofi lien, yaitu Howell-lolly body.
Tes sichling. darah dibuar mengalami deoksigenasi dengan penambahan dithionate dan Na2HpOa
Tanda hemolisis seperti bilirubin indirek meningkat dan retikulosirosis.
Pada elektroforesis Hb. Dijumpai HbS 2540o/o, HbA kosong
dan HbF 5-I5o/o.
lerapt
Pada penderita anemia sel sabit, misalnya:
1. Berikan asam folat 5 mg/hari.
5'6
Anemia
2. Berikan makanan
Hemolitik
89
bergizi dan minum yang cukup.
3. Jika terjadi lrisis: diberikan suasana hangat, berikan infus salin
fisiologik 3 liter per hari, infelai diatasi, berikan.analgetik
4.
secukupnya.
Tlansplantasi sumsum tulang yang berhasil memberikan kesembuhan.
Terapi gen: masih merupakan harapan di masa depan.
Berikan perhatian khusus pada saat operasi dan kehamilan.
5.
6.
7. Pencegahan krisis terdiri
atas:
a. Tiansfusi teratur (supertransfusi) dapat dipertimbangkan pada
penderita krisis berulang-ulang untuk mengurangi sintesis
HbS internal.
b. Hidroksiurea dengan dosis 15-20 mg/kg dapat meningkatkan HbF dan mengurangi sickling. Obat ini dapat diberikan
dalam waktu lama.
THALASSEMIA
Thalassemia adalah suatu kelainan genetik yang sangat beraneka
ragam yang ditandai oleh penurunan sintesis ranrai cx, atau B dari
globin.
Klasifikasi Thalassemia
Terdapat 2 dpe urama, yairu:
1. Thalassemia alfa: di mana terjadi penurunan sintesis rantai alfa
Thalassemia beta: di mana terjadi penurunan sintesis rantai bera.
2.
Dalam kelompok ini dimasukkan juga:
thalassemia delta-beta: penurunan sintesis ranrai beta dan
a.
delta;
6. d A B6 thakssemia:
terjadi penurunan sintesis rantai beta,
delta dan dA.
Epidemiologi
1 Thalassemia beta
Dilihat dari distribusi geografiknya maka thalassemia B banyak
dijumpai di Mediterania, Timur Tengah, India/Pakistan dan Asia.
Di Siprus dan Yunani lebih banyak dijumpai varian B*, sedangkan
di Asia Tenggara lebih banyak varian Bo.
90
HematoLogi Klinik Rlngkas
Prevalensi thalassemia
di
berbagai negara adalah sebagai berikut:
Thalaseemia ///a
Sickle cell anaemia
flf
Hbc @l
HbD
C:
Hbe
w
Gambar S-4.Thalassemia dan hemoglobinopati di dunia. Sabuk thalassemia
tampak melalui Indoneiia, Asii Tenggara, India, Timu Tengah dan
Mediterania.ss
Italia: l0%o, Yunani: 5-l0o/o, Cina: 2oh, India: l-5o/o, Negro: lo/o,
Asia Tenggara: 5o/o. Jika dilukiskan dalam pera dunia, seolah-olah
membentuk sebuah sabuk (thalassemic belt), di mana Indonesia termasuk di dalamnya (gambar 5-4).
2.
Thalassemia
alFa
Sering dijumpai di Asia Tenggara, lebih sering dari thalassemia beta.
THALASSEMIA BETA
Gambaran
Klinik
Thalassemia beta memberikan gambaran klinik yang beraneka ragam, mulai dari yang paling berat sampai yang paling ringan:
l. Thalasemia beta major = Cooley's anemia: merupakan bentuk
homosigot yang rergantung pada transfusi danh (transfusion
2.
3.
dependent).
Thalassemia intermedia: dasar generiknya sangar bervariasi dengan
gambaran klinik terletak antara thalassemia major dan minor.
Thalassemia minor atau rrair merupakan bentuk heterosigot
yang sering asimtomatik.
Anemia Hemolitik
91
Kelainan Genetik
Pada thalassemia beta lesi genetik sangat beraneka ragam, tetapi
sebagian besar berupa 'point mutation". Mutasi terjadi pada kompleks gen sendiri, atau pada region promoters atau region en/tancer.
Bentuk mutasi rertenru khas dijumpai pada masyarakat tertenru
sehingga memudahkan diagnosis prenatal.
Akibat kelainan genetik ini maka sintesis rantai beta terhenti atau
berkurang. Jika sinresis terhenti sama sekali disebut sebagai varian
B', apabila masih ada sintesis rantai beta maka disebut varian B*.
Patofisiologi
Pada dasarnya thalassemia beta timbul karena presipitasi rantai alfa
yang berlebihan yang tidak mendapat pasangan rantai beta. presipitasi ini membentuk inclusion bodies yang menyebabkan lisis eritrosit
intrameduler dan berkurangnya masa hidup sel eritrosit dalam sir-
kulasi (gambar 5-5).
Thalassemia Major
Thalassemia major adalah bentuk homosigot dari thalassemia beta
yang disertai anemia berat dengan segala konsekuensinya. Gambaran kliniknya dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu, r-6
1. Yang mendapat transfusi yang baik (tuell nansfused) sebagai akibat
pemberian hipertransfusi maka produksi HbF dan hiperplasia
eritroid menurun sehingga anak tumbuh normal sampai dekade
ke 4-5. Setelah itu timbul gejala "iron ouerload' dan penderita
meninggal karena diabetes melitus atau sirosis hati.
2. Yang tidak mendapat transfusi yang baik maka timbul anemia
yang khas, yaitu Cooley's anemia.
a. gejala mulai pada saat bayi berumur 3-6 bulan, pucar, anemis, kurus, hepatosplenomegali, dan ikterus ringan.
b. gangguan pada tulang: thalassemic face
c. rontgen tulang tengkorak: hair on end appearance
d. gangguan pertumbuhan (kerdil)
e. gejala iron ouerload: pigmentasi kulit, diabetes melitus, sirosis
hati, atau gonadal failure.
92
Ilematologi Klinik Ringkas
d
gamma
ct alfa
P.lstu
\\
ekses rantai s,
frTi"u?'*'
* (Hb.F
& Hb A mcnurun
)
prdsipitasi rantai o
i
pada eritrosist
I
i
Allnitas O, mcningkat
t
Ilemolisis
rl
,.'l
I
Hipoksi
1,''\
Produksi eritronoetin meninskat.'
I\
I:,\
I
AbiEMIA
\l
Transfusi
i
\."
ITemopoesis
.hKspansl
r
ss
tulang
lr'I
Absorpsi Fe y'
r
dlm iarinaan
I
* dclbrmitas tulang
* keadaan hiperkatabolik
+gout
Splenomegali * defisiensi
I
Deoosit Fe
ekstramedulcr
I ,..'
II ,.
'
*''
Eritropoesis
--zlnefektif
rl
iaringan
tasl
ranlai o intra
meduler
asam
Hipersplenisme
folat
/
l"
Hemokromatosis
iarinpan
'+"
Gagal jantung
Gagal endokrin
Kerusakan hati
Gambar 5-5. Skema patogenesis thalassemia beta
Gambaran Hematologik
Thalassemia major memberikan gambaran hematologik sebagai
berikut:
1. Darah tepi terdiri atas:
a. Anemia berat, Hb dapat 3-9 g/dl sehingga rerus menerus
memerlukan transfusi darah.
b. Apusan darah tepi: eritrosit hipokromik mikrositer, dijumpai
sel target, normoblast, dan polikromasia.
c. Retikulositosis.
2. Sumsum tulang: hiperplasia eritroid dan cadangan besi meningkat.
Anemia
3.
4.
Hemolitik
93
Red cell suruiual memendek.
Tes fragilitas osmotik: eritrosit lebih tahan terhadap larutan salin
hipotonik.
5.
Elektroforesis hemoglobin rerdiri atas:
a. Hb F meningkat: 10-98%
b. Hb A bisa ada (pada B. ), bisa tidak ada (pada B")
c. HbA2 sangat bervariasi, bisa rendah, normal, atau meningkat
6. Pemeriksaan
khusus: pada analisis "globin cltain synthesis" dalam
retikulosit akan dijumpai sintesis rantai beta menurun dengan
rasio
o/B meningkat.
Tabel 5-6
Diagnosis Banding Thalassemia dan Anemia
Defisiensi Besi
Thalassemia
Anemia
defisiensibesi
+
,
Perubahan
Tak sebanding
Sebanding dengan
morfologik eritrosit dengan derajat anemi derajat anemi ++
Sel target
+lResistensi osmotic Meningkat
N
Besi serum
Meningkat
Menurun
TIBC
Menurun
Meningkat
Cadangan besi
Meningkat
Kosong
Feritin serum
Meningkat
Menurun
HbM/HbF
Meningkat
Normal
Splenomegali
lkterus
Thalassemia Intermedia
1.
Pada thalassemia intermedia dijumpai:
Anemia sedang (Hb.7-10 g/dl) oleh karena
kan transfusi
2. Secara
a.
b.
itu tidak memerlu-
genetik bersifat beraneka ragam terdiri atas:
thalassemia beta homosigot dengan defek sintesis rantai beta
tidak begitu berat;
bentuk heterosigot: kombinasi thalassemia beta trait dengan
HbE atau Hb Lepore;
94
Hematologi Klinik Ringkas
c.
d.
e.
koeksistensi bersama thalassemia alfa trait sehingga ekses rantai alfa berkurang;
gejala klinik menyerupai thalassemia major dengan deformitas
tulang, hepatosplenomegali, iron ouerload terjadi setelah dewasa;
gambaran hematologik sama dengan thalassemia major.
Diagnosis
Diagnosis thalassemia beta dibuat berdasarkan berikut:
l.
gejala klinik;
2. asal etnis;
3. riwayat keluarga;
4. pemeriksaan laboratorium.
a.
b.
Hb: -HbF dan HbA2
studi "globin cltain synthesii'.
elektroforesis
Diagnosis Banding
Thalassemia harus dibedakan dari bentuk anemia hipokromik mikro,i,.. y".rg lain, seperti anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit
laonik dan anemia sideroblastik. Pada tabel 5-6 dapat dilihat perbedaan antara thalassemia dengan anemia defisiensi besi.l-6
Terapi
Thalassemia major merupakan bentuk anemia berat yang rergantung
pada transfusi darah (blood transfusion dependrnt). Pada dasarnya
terapi thalassemia major terdiri atas:
1. Usaha untuk mengatasi penurunan hemoglobin, untuk mencapai kadar hemoglobin normal atau mendekati normal sehingga
tidak terjadi gangguan perqumbuhan. Hal ini dapat dilakukan
dengan pemberian transfusi teratur. Sekarang dipakai teknik
hipertransfusi, untuk mencapai hemoglobin di *r", 10 g/dl,
dengan jalan pemberian transfusi 24 unit darah setiap 4-6
minggu, dengan demikian produksi hemoglobin abnormal ditekan.
2.
Usaha untuk mencegah penumpukan besi (hemocltromatosis)
akibat transfusi dan akibat patogenesis dari thalassemia sendiri.
Hal ini dilakukan dengan pemberian iron chektor yaitu: desferioksamin (desferalR) sehingga meningkatkan ekskresi besi dalam
Anemia
3.
4.
5.
6.
Hemolitik
95
urine. Desferal diberikan dengan infusion bag atausecara subkutan. Sekarang di Eropa dan India dikembangkan preparat
desferiprone yang dapat diberikan secara oral.
Pemberian asam folat 5 mg/ hari secara oral untuk mencegah
krisis megaloblastik.
Usaha untuk mengurangi proses hemolisis dengan splenektomi. Splenektomi dilakukan jika splenomegali cukup besar serta
terbukti adanya hipersplenisme.
Terapi definitif dengan transplantasi sumsum tulang. Tiansplantasi yang berhasil akan menyebabkan kesembuhan permanen.
Terapi eksperimental dengan rekayasa genetik transfer gen.
THALASSEMIA ALFA
Thalassemia alfa adalah bentuk thalassemia yang sangar sering dijumpai di Asia Tenggara, di mana terjadi penurunan sinresis rantai
alfa. Dasar genetik dan molekulernya ialah"deletion" dari gen alfa,r-6
Berdasarkan genotipenya maka thalassemia alfa dibagi menjadi
berikut:
L Silent carrier u thalassemia 2 terjadi deletion 1 gen alfa (- crlao).
2. Trait thalassemia /.lfa=a thakssemia l.
a. terjadi dcletion2genalfa (- - / crcr) atau (- ul - u).
b. dijumpai anemi ringan dengan mikrositosis, }lCV 60-75 fl.
c. HbH meningkat, tetapi tidak dapat dideteksi dengan elektroforesis hemoglobin.
d. Diagnosis lebih banyak dilakukan dengan menyingkirkan penyebab lain (by exclusion).
3. Penyakit }JbH (HbH Disease).
a. Terjadi deletion 3 gen (- - l- u)
b. Terbentuk HbH ($4) yang mudah mengalami
presipitasi da-
lam eritrosit, membenruk inclusion bodies sehingga eritrosit
mudah dihancurkan.
c.
d.
Penderita dapat tumbuh sampai dewasa dengan anemia sedang
(Hb 8-10 g/dl), anemia bersifat hipokromik mikrositer, MCV
60-70 fl, disertai basophybc sttppling dan retikulositosis
Pada pengecatan supravital (brilliant cressyl blue): ampak mul-
tipb inclusion
bodies.
Hematologi Klintk Ringkas
96
e.
Sebagian besar penderita tidak memerlukan transfusi kecuali
jika timbul anemia berat. Asam folat diberi 5 mg/hari. Hin-
dari pemakaian obat oksidan.
4 Hb Barts Hydrops Fetalis Syndrome
a. akibat delesi 4 gen alfa C -l- -) sehingga rantai alfa sama sekali
tidak terbentuk, sebagai kompensasi terbentuk Hb Barts (6 4);
b. merupakan penyebab lahir mati yang sering di Asia Tenggara;
c. gejalanya menyerupai hydrops fetalis karena inkomptabilitas
rhesus, dijumpai edema anasarka, hepatosplenomegali, ikterus
berat dan janin yang sangat anemis. Janin mati intrauterin
pada minggu 36-40;
d. Hb 6 gldl, gambaran sama dengan thalassemia
e.
f.
berat dengan
normoblastemia;
elektroforesis hemoglobin menunjukkan 80-90% Hb Barts,
sedikit HbH tidak dijumpai HbA atau HbF;
jika mungkin lakukan diagnosis prenatal dan jika positif se-
baiknya dilakukan aborsi.
Bab
5
ANEMIA KARENA KEGAGALAN
SUMSUM TULANG
ini, anemia terjadi karena kegagalan fungsi sumsum
tulang (bone marrou failure). Gagal sumsum tulang bukan hanya
mengganggu sistem eritroid, tetapi juga sistem mieloid dan megakariosit sehingga menimbulkan pansitopenia. Yang termasuk dalam
kelompok ini ialah:r-6
Pada kelompok
I. Primer:
1. Anemia aplastik dan pure red cell aplasia
2. Anemia diseritropoetik kongenital
3. Anemia pada sindroma mielodisplastik
II. Sekunder:
1. Anemia mieloptisik
2. Supresi sumsum tulang karena keganasan hematologik lain:
leukemia akut, limfoma maligna dan mieloma multipel.
Gordon-Smith dan Lewis memberikan batasan lain untuk gagal
sumsum tulang, yaitu murni karena kegagalan sel induk hemopoedk untuk membentuk turunannya, tanpa gangguan maturasi.
ini dimasukkan dua jenis gagal sumsum
tulang, yaitu kegagalan sel induk pluripoten yang menimbulkan
anemia aplastik dan kegagalan sel induk komited yang menimbulkan sitopenia tunggal (single cytopenias), seperri pure red cell aplasia,
anemia diseritropoetik atau netropenia.
Sehingga ke dalam kelompok
Pansitopenia
Pansitopenia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya anemia, leukopenia, dan trombositopenia, dengan segala manifestasinya.
Pada dasarnya pansitopenia disebabkan oleh kegagalan sumsum tu-
lang untuk memproduksi komponen darah, atau akibat kerusakan
komponen darah di darah tepi, atau akibat maldistribusi komponen
darah. Penyebab pansitopenia yang lebih mendetail dapat dilihat
pada tabel 6-1.
97
98
Hematologi Klinik Ringkas
Tabel 5-1
Penyebab Pansitopenia
A
Kegagalan 'fungsi sumqum
l.Anemia aplastik
2.
tulang: . .. ,
.
lnfiltrasi sumsum tulang terdiri atas:
a. leukemia aleukemik
b. mieloma multipel
c. .,metastase :kaisinoma'dalam :sumsum tulang
d. mielofibrosis atau mielosklerosis.
e. rpenyakitr'metabolik: Gaucher;,Niembn Pick, Lettere Siwe.
I
llf..terkenanya.sumSum.tulango|ehlimfomamaligna
, g:r iuberkulosis"milier:rdan penyakit'jamurisistemik,'',,,
. 3.Anemia,defisiensi folat dan vitamin B12 ,
eritematosus .sistemik:,:..-'',''.::::, ::::'
Paroxysmaf' Nocturnal'. Hemoglobinuria. .,,,.
B-' Destruksi sel di daiah'tepi:'sequestrasi dan destruksi oleh antibodi
(Sindrom Evans)
G. MaldiSlribusi; poofhg' dalam RES yang'hiperaktif (sindrom,hiper:
',
4. Lupus,r
:
5.
splenisme).
ANEMIA APLASTIK
Definisi
Anemia apalstik adalah anemia yang disertai oleh pansitopenia (atau
bisitopenia) pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer
pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa
adanya infiltrasi, suprgsi atau pendesakan sumsum tulang.l-6 Karena
sumsum tulang pada sebagian besar kasus bersifat hipoplastik, bukan
aplasdk total, maka anemia ini disebut juga sebagai anemia hipoplastik.
Klasifikasi
Anemia aplastik dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
A. Anemia aplastik didapat (acquired aplastic anemia)
1.
Karena bahan kimia atau fisik.
a. bahan-bahan yang "dose dependenf'
b. bahan-bahan yang "dose independenf'
Anemia karena Kegagalan Sumsum
2.
Tulang
99
Anemia aplastik/hipoplastik karena sebab-sebab lain: infleksi
virus (dengue, hepatitis), infelsi mikobakterial, kehamilan,
penyakit Simmond, sklerosis tiroid.
3. Idiopatik
B. Familial antara lain:
1.
2.
3.
pansitopenia konstitusional Fanconi;
defisiensi pankreas pada anak;
gangguan herediter pemasukan asam folat ke dalam sel.
Epidemiologi
Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di
negara maju: 3-G kasus/1 juta penduduk/tahun. Epidemiologi anemia aplastik di Timur Jauh mempunyai pola yang berbeda dengan di
negara Barat.l-6
a. di negara Timur (Asia Tenggara dan Cina) insidennya
lebih tinggi dibandingkan dengan di negara Barat;
b.
c.
2-3 kali
laki-laki lebih sering terkena dibandingkan denlan wanita;
faktor lingkungan, mungkin infeksi virus, antara lain virus hepatitis, diduga memegang peranan penting.
Etiologi
Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-707o) tidak diketahui,
atau bersifat idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit
ini disebabkan oleh proses penyakit yang berlangsung perlahanlahan. Di samping itu juga disebabkan oleh belum tersedianya model
binatang percobaan yang tepat. Sebagian besar penelusuran etiologi
dilakukan melalui penelitian epidemiologik. Penyebab anemia aplastik dapat dilihat pada ta6el 6-2.
Terdapat berbagai jenis bahan kimia atau obat yang dapat menyebabkan anemia aplastik (tabel 6-3).
Patofisiologi
Mekanisme terjadinya anemia aplastik diperkirakan melalui:
1.
Kerusakan sel induk (seed theory);
2. Kerusakan lingkungan mikro (soil theory);
3. Mekanisme imunologik.
100
Hematologi
Klinik
Ringkas
Tabel 6-2
Penyebab Anemia Aplastik
t.
Primer
1.
2.
il.
Kelainan kongenital:
a. Fanconi
b. nonFanconi
c. dyskerafosls
congenita
ldiopatik: penyebabnya tidak dapat ditentukan
Sekunder:
1. Akibat radiasi, bahan kimia atau obat
2. Akibat obat-obat idiosinkratik
3. Karena penyebab lain:
a. infeksi virus: hepatitis virus/virus lain
b. akibat
kehamilan
Tabel 6-3
Bahan Kimia atau Obat Penyebab Anemia Aplastik
Bahan kimia
1. hidrokarbon siklik: benzen a & trinitrotoluena
2. insektisida: chlordane atau DDT
J.
arsen
anorgantK
Obat-obat
1.
2.
Obat-obatyang "dose dependenf\
a. obat sitostatika
b. preparat emas
Obat yang "dose independenf' (idiosinkratik):
a. khloramfenikol: 1/60.000-1/20.000 pemakaian:
b. frekuensi relatif obat penyebab anemia apla"tif.
Khloramfenikol:
Fenilbutason:
Antikonvulsan:
Sulfonamid:
Preparat emas:
Benzen:
lnsektisida:
Bahan Pelarut:
terdiri atas:
61%
19%
4%
3%
oot
3%
4%
4o/"
Kerusakan sel induk telah dapat dibuktikan secara tidak langsung
melalui keberhasilan transplantasi sumsum tulang pada penderita
Anemia karena Kegagalan Sumsum
Tulang
101
anemia aplastik, yang berarti bahwa pengganrian sel induk dapat
memperbaiki proses patologik yang terjadi. Teori kerusakan lingkungan milao dibuktikan melalui tikus percobaan yang diberikan
radiasi, sedangkan teori imunologik ini dibuktikan secara tidak langsung nelalui keberhasilan pengobatan imunosupresif, Kelainan imunologik diperkirakan menjadi penyebab dasar dari kerusakan sel
induk atau lingkungan mikro sumsum tulang. Patofisiologi timbulnya anemia aplastik digambarkan secara skematik pada gambar 6-1.
Sel induk hemopoetik
n"rusakan sel induk
I
lingkungan mikro
n"ngguan
I
I
mekanisme imunologik
+
PANSITOPENIA
Eritrosit
,_""t,,
f1
u
Sindrom
anemia
Trombosit lr
tt+
I
Perdarahan
- kulit
- ulkus muluV
-
- pharynx
- organ dalam
-
mukosa
sepsis
Gambar 6-1. Patofisiologi anemia aplastik.
GejalaKlinik
Gejala klinik anemia aplastik timbul akibat adanya anemia, leukopenia dan trombositopenia. Gejala ini dapat berupa.
a. Sindrom anemia: gejala anemia bervariasi mulai dari ringan
b.
sampai berat.
Gejala perdarahan: paling sering
darahan
kulit
timbul dalam bentuk
per-
seperti paechie dan echymoszs. Perdarahan mukosa
dapat berupa epistaxis, perdarahan subkonjungtiva, perdarah-
an gusi, hematemesis/melena dan pada wanita dapat berupa
menorhagia. Perdarahan organ dalam lebih jarang dijumpai,
tetapi jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.
102
c.
d.
Hematologi Klinik Ringkas
Tanda-tanda infeksi dapat berupa ulserasi mulut atau tenggorok selulitis leher, febris, dan sepsis atau syok septik.
Organomegali berupa hepatomegali, splenomegali atau limfadenopati tidak dijumpai.
Kelainan Laboratorik
Kelainan laboratorik yang dapat dijumpai pada anemia aplastik
adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
anemia normokromik normositer disertai retikulositopenia
anemia sering berat dengan kadar Hb <7 gldl
leukopenia dengan relatif limfositosis, tidak dijumpai sel muda
dalam darah tepi.
trombositopenia, yang bervariasi dari ringan sampai sangat berat.
sumsum tulang: hipoplasia sampai aplasia (gambar 6-2). Aplasia tidak menyebar secara merata pada seluruh sumsum tulang,
sehingga sumsum tulang yang normal dalam satu kali pemeriksaan tidak dapat menyingkirkan diagnosis anemia aplastik, harus
diulangi pada tempat-tempat yang lain.
besi serum normal atau meningkat,
ningkat.
TIBC normal, HbF
me-
Diagnosis
Pada dasarnya diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya
pansitopenia atau bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sum-
sum tulang, serta dengan menyingkirkan, adanya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang.
Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut International
Agranuhcytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG) adalah:1r
1. Satu dari tiga sebagai berikut:
a. hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang
dari 30o/o
b. trombosit kurang dari 50xt0e/L
c. leukosit kurang dari 3,5x10elL,
netrofil kurang dari
^r^u
7,5 x loelL
2. Dengan retikulosit <30x10e/L (4o/o)
3. Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat):
Anemia karena Kegagalan Sumsum
Tulang 103
Gambar 6-2. Sumsum tulang penderita anemia aplastik. Tampak hipoplasia
dengan penggantian oleh jaringan lemak (A) Bandingkan dengan
sumsum tulang normal (B).
a.
4.
Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya
semua sel hemopoedk atau selularitas normal oleh hiperplasia
eritroid fokal dengan deplesi seri granulosit dan megakariosir.
b. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik
Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi rerapeudk harus
dieksklusi.
Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia aplastik. Hal ini sangar penring dilakukan karena
menentukan strategi terapi. Kriteria yang dipakai pada umumnya
ialah kriteria Camitta et aI.12 Tergolong anemia aplastik berat (seuere
aplastic anemia) bila memenuhi kriteria berikut:
L Paling sedikit dua dari riga:
a. granulosit <0,5x10e/L
b. trombosit <z}xl}e lL
c. corrected reticulocte <lo/o
II
Selularitas sumsum tulang <25o/o, atau selularitas <507o dengan
<30%o sel-sel hematopoetik.
104
Hematologi Klinik Ringkas
Tergolong anemia aplastik sangar berat bila nerrofil <0,2x70e lL
Anemia aplastik yang lebih ringan dari anemia aplastik berat disebut anemia aplasdk tidak berat (nonseuere aplastic anemia).
Diagnosis Diferensial
Anemia aplastik perlu dibedakan dengan kelainan yang disertai pansitopenia atau bisitopenia pada darah tepi, antara lain:
. l. Leukemia aleukemik;
2. Sindroma mielodisplastik (tipe hipoplastik);
3. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria;
4. Anemia mieloptisik;
5. Pansitopenia karena sebab lain.
Terapi
Secara garis besarnya terapi
l
2.
3.
untuk anemia aplastik terdiri
atas:
Terapi kausal;
Terapi suportif;
Grapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang: terapi untuk
merangsang pertumbuhan sumsum mlang;
4. Terapi definitif yang terdiri
a.
b.
atas:
pemakaian anri-lynphoiyte globuline;
transplantasi sumsum tulang.
Terapi Kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab.
Hindarkan pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang
diketahui, tetapi sering hal ini sulit dilakukan karena etiologinya
yang tidak jelas atau penyebabnya tidak dapat dikoreksi.
Terapi Suportif
Grapi untuk mengatasi akibat pansitopenia.
1. Untuk mengatasi infeksi antara lain:
a.
b.
Higiene mulut
Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang
tepat dan adekuat. Sebelum ada hasil biakan berikan antibiotika
berspektrum luas yang dapat mengatasi kuman gram positif dan
Anemia karena Kegagalan Sumsum Tulang .105
negatif. Biasanya dipakai derivat penisilin semisintetik
(ampisilin) dan gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai
sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil biakan sudah datang,
sesuaikan antibiotika dengan hasil tes kepekaan. Jika dalam
5-7 hari panas ddak turun, pikirkan infeksi jamur, dapat
c.
diberikan amphotericin-g 31311 flukonasol parenteral.
Tiansfusi granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat
kuman gram negatif, dengan netropenia berat yang tidak
memberikan respons pada antibiotika adekuat. Granulosit
konsentrat sangar sulit dibuat dan masa efektifnya sangat
pendek.
Usaha untuk mengarasi anemia: berikan transfusi pached red cell
(PRC) jika hemoglobin <7 gldl atau ada tanda payah jantung atau
anemia yang sangar simtomatik. Koreksi sampai Hb 9-10 g%, tidak
perlu sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang akan dipersiapkan untuk transplantasi
sumsum tulang pemberian transfusi harus lebih berhati-hati.
3. Usaha untuk mengatasi perdarahan: berikan transfusi konsentrat
trombosit jika terdapar perdarahan major atau trombosit < 20.OOOI
mm'. Pemberian trombosit berulang dapar menurunkan efekrivi-
2.
tas trombosit karena timbulnya antibodi anritrombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi perdarahan kulit.
Terapi untuk Memperbaiki Fungsi Sumsum Tulang
Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan sumsum tulang meskipun pgnelitian menunjukkan hasil
yang tidak memuaskan, conrohnya:
1. Anabolik steroid: dapat diberikan oksimetolon atau stanozol.
Oksimetolon diberikan dalam dosis 2-3 mglkgBB/hari. Efek
terapi tampak setelah 6-12 minggu. Awasi efek samping berupa
2.
3.
virilisasi dan gangguan fungsi hati.
Kortikosteroid dosis rendah sampai menengah: fungsi steroid
dosis rendah belum jelas. Ada yang memberikan prednison
60-i00 mg/hari, jika dalam 4 minggu tidak ada respons sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping yang serius.
GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan untuk meningka&an jumlah
netrofil, tetapi harus diberikan rerus menerus. Eritropoetin juga
106
Hematologi Klinik Ringkas
dapat diberikan unruk mengurangi kebutuhan rransfusi sel darah
merah.
Terapi
Definitif
Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan
jangka panjang. Terapi definitif 'untuk anemia aplastik terdiri atas 2
jenis pilihan terapi:
1. Terapi imunosupresif antara lain:
a. pemberian anti lymphocyte globuline: Anti lymphocyu globulin
(AtG) atau anti thymocyte ghbulin (ATG) dapat menekan
proses imunologik. ALG mungkin juga bekerja melalui peningkatan pelepasan haemopoietic grotuth factor. Sekitar 4070olo kasus memberi respons pada ALG, meskipun sebagian
respons bersifat tidak komplit (ada defek kualitatif/ kuantitatif). Pemberian ALG merupakan pilihan urama untuk penderita anemia aplastik yang berumur di atas 40 tahun.
b. terapi imunosupresif lain: pemberian metilprednisolon dosis
tinggi dengan/atau sisklosporin-A dilaporkan memberikan
hasil pada beberapa kasus, tetapi masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut. Pernah juga dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid dosis tinggi.
2. tansplantasi sumsum tulang
Thansplantasi sumsum tulang merupakan terapi definitif yang
memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal,
memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan dalam mencari donor yang kompatibel. Tiansplantasi sumsum tulang, yaitu:
a. merupakan pilihan untuk kasus berumur di bawah 40 tahun;
b. diberikan siklosporin A untuk mengatasi GvHD (grart uersus
host disease);
c.
transplanasi sumsum tulang memberikan kesembuhan jangka
panjang pada 60-700lo kasus, dengan kesembuhan komplit.
Prognosis dan Perjalanan Penyakit:
Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa pengobatan pada umumnya memberikan prognosis
yang buruk. Prognosis dapat dibagi tiga, yaitu:
Anemia karena Kegagalan Sumsum
1
.
2.
3.
Kasus berat dan progresi{ rata-rata mati dalam
Tulang
1OT
3 bulan: merupakan
10-15% kasus.
Penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi
dan relapse. Meninggal dalam 1 tahun, merupakan 50% kasus.
Penderita yang mengalami remisi sempurna atau parsial, hanya
merupakan bagian kecil penderita.
BENTUK-BENTUK KHUSUS ANEMIA APLASTIK
1. Anemia aplastik kongenital/familier
Anemia aplastik yang diturunkan secara familier, dibagi menjadi
beberapa bentuk antara lain:
a. dengan anomali fisik tipe Fanconi
b. tanpa anomali fisik tipe Estern-Dameshek
c.
d.
e.
2.
anemia dengan diskeratosis kongnita
pada anak-anak dengan defisiensi pankreas.
diskeratosis kongenita
Aplasia sel darah merah murnilpure red cell apksia (PRCA) Aplasia sel darah merah murni merupakan anemia yang dmbul karena kegagalan murni sistem eritroid, yang dapat dibagi menjadi
dua golongan besar, yaitu:
a. bentuk kongenital
b. bentuk didapat
Anemia Fanconi
(F anconi's
Anemia = FA)
Anemia Fanconi (Fanconi\ Anemia = ,!4) diturunkan secara autosomal resesif. Terdapat tiga Fanconi\ anemia gazei (FANCA, -C, -G).
Perubahan pada FA genet mengganggt binding dan translokasi komplela protein tertentu pada inti sel yang menyebabkan instabilitas kromosom. Gangguan diduga pada mekanisme DN,4 repair.5'6
Gejala Klinik
a.
b.
c.
umur 5-10 tahun
biasanya dijumpai 'gangguan pertumbuhan dan defek kongenital pada tulang berupa mikrosefali, absennya tulang radius
atau ibu jari, kelainan ginjal (ginjal tapak kuda), serta kelainan
pada kulit (daerah dengan hipopigmentasi atau hiperpigmentasi)
kadang-kadang dijumpai retardasi mental
gejala sering muncul pada
108
d.
Hematologi Klinik Ringkas
sekitar l07o kasus dapat mengalami transformasi maligna men-
jadi leukemia mieloid akur
)'u
Diagnosis
Diagnosis anemia Fanconi dibuatkan dengan ditemukannya triad,
yaitu:
a. anemia aplastik berupa pansitopenia dan hipoplasia sumsum
tulang;
b. defek fisik multipel;
c. kelainan. kromosom. Kelainan kromosom ditunjukkan dengan
pemeriksaan limfosit yang diinkubasi pada diepoxybutane yang
menyebabkan terjadinya patahan kromosom (chromosomal
breahage).5'6
Terapi
Untuk anemia Fanconi dapat diberikan sebagai berikut: 5'6
a. terapi suportif seperti halnya pada anemia aplastik;
b. androgen sering memberikan respons cukup baik, tetapi efek
samping yang timbul sangat mengganggu, seperti virilisasi dan
gangguan fungsi hati;
c. stem cell transplantation dapat memberikan kesembuhan.
Aplasia Sel Darah Merah Murni
(Pure Red Cell Aplasia = PRCA)
Pada PRCA terjadi aplasia selekrif sistem eritroid, tanpa kelainan
sistem mieloid atau megakariosit. Klasifikasi aplasia sel darah murni
adalah:
1. Bentuk kongenital antara lain:
a. disebut sebagai sindrom Diamond-Blackfan;
b. terjadi mutasi gen pada kromosom 19;
c. timbul pada tahun pertama dengan anemia makrositik
dan
HbF serta I-andgen meningkat, sering disertai kelainan so-
d.
e.
matik pada muka atau janrung;
sering memberi respons pada kortikosteroid;
dapat juga mengalami remisi spontan.
Anemia karena Kegagalan Sumsum
2.
Tulang 109
Bentuk didapat (acquired) antara lain:
Bentuk akut: dijumpai sebagai ftrisis aplastik pada anemia
hemolitik, sering didahului oleh infeksi parvovirus. Dapat juga
sebagai akibat pemakaian obat: khloramfenikol dan phenytoin.
b. Bentuk khronik sering bersama tlrymoma, limfoma atau dapat
juga bersama penyakit autoimun lain seperti SLE.
a.
Diagnosis
Diagnosis PRCA dibuat berdasarkan adanya anemia refrakter
dengan aplasia selektif sistem eritroid sumsum tulang. Telusuri
kemungkinan familier atau didapat.5'6
Terapi
Terapi PRCA prinsipnya sama dengan terapi anemia aplastik, sebagian memberikan respons pada steroid. Tlansplantasi sumsum
tulang merupakan salah satu terapi definitif. 5'6
ANEMIA DISERITROPOETIK KONGENITAL
(CONGENITAL DYSERYTHRO P OIETIC ANEMIA
=
CDA)
CDA merupakan suatu kelompok anemia herediter refrakter yang
ditandai oleh eritropoesis inefektie sel eritroid (eritroblas) berinti
banyak (erythroblast mubinunclearit) dan hemokromatosis. Dilihat
dari morfologi eritroblas maka CDA dibagi menjadi 3 jenis:a'6
CDA Tipe I
a.
b.
c.
d.
gejala mulai pada anak dan diturunkan secara resesif autosomal;
sering dijumpai splenomegali, anemia moderat (hematokrir
25-35olo), dan splenomegali;
dalam sumsurn tulang sebagian besar sel eritroid abnormal dengan perubahan megaloblastoid, sel besar dengan segmen inti
yang belum pecah sempurna, sel berinti dua dan jembatan
antarinti (internuclear bridging);
transfusi jarang diperlukan, plebotomi atau terapi kelasi besi
sering diperlukan untuk mengatasi hemol<romatosis.4'6
'110
Hematologi Klinik Ringkas
CDA tipe
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
CDA tipe
a.
II
disebut juga sebagai HEMPAS (Hereditary Erythroblast Muhinuclearity associated with Positiue Acidifed Serum ten);
diturunkan secara resesif autosomal dengan anemia bervariasi
dari sedang sampai berat, rerikulosit normal atau menurun;
pada apusan darah tepi dijumpai anisosirosis, poikilosirosis.
anisositosis dan milrosferosit;
pada pemeriksaan sumsum tulang eritroblas polikromatik atau
ortokromatik menunjukkan inti banyak (2-7);
dijumpai hemokromatosis dimana besi serum dan feritin serum
meningkat;
sel eritrosit penderita mengalami lisis pada serum normal yang
diasamkan (acidified normal sera), aglutinasi meningkat dengan
anti-i dan hemolisis meningkat dengan anti-I;
mungkin memberikan respons pada splenektomi. Perlu dilakukan plebotomi dan terapi kelasi besi.a'6
III
terjadi defek intrinsik pada sel progenitor yang diturunkan
se-
cara resesif autosomal;
b.
anemia bervariasi dari sedang sampai berat;
sumsum tulang menunjukkan giant erythroblast dengan diameter sampai 50 pm, dengan inti sampai 12, disertai basophilic
stippling;
d.
penderita tergantung pada transfusi darah, mungkin splenektomi memberikan r.rpo.rr.4'6
c.
ANEMIA MIELOPTISIK DAN ANEMIA
LEUKOERITROBLASTIK
Anemia mieloptisik ialah anemia yang timbul karena infiltrasi sel asing
(terutama rumor ganas) datam sumsum tulang.l-6 Anemia leukoeritroblastik ialah anemia yang disenai adanya sel normoblast dan seri granulosit muda (dari mieloblast sampai metamielosit) dalam darah tepi.
Anemia mieloptisik sering disenai gambaran leukoeritroblastik.
Anemia karena Kegagalan Sumsum
Tulang 111
Penyebab Anemia Mieloptisik
Proses sekunder dalam sumsum tulang yang mendesak sumsum
tulang dapat menimbulkan anemia mieloptisik, adalah:
l. Tirmor primer (hematologik)
a. Limfoma maligna
b. Leukemia
c. Plasma cell mleloma
d.
Hairy cell leukemia
2. Metastase karsinoma ke dalam sumsum tulang
a. Karsinoma payudara, prostat, gaster, paru, dan lain-lain
b. Neuroblastoma
3. Mielofibrosis (mielosklerosis)
a. Primer (IMF=idiopathic myelofbrosis)
b.
4.
Sekunder
Penyakit merabolik
a. Penyakii Gaucher
b. Lipid storage disease yang lain
5.
Infeksi
a. Tirberkulosis milier
b. Infeksi bakteri
c. Infeksi jamur
6. Granuloma:
a.
b.
Sarkoidosis
Histiositosis
Gambaran Klinik dan Laboratorik
Gambaran klinik anemia mieloptisik pada umumnya didominir
oleh gejala penyakit primer. Derajat anemia sangar bervariasi mulai
ringan sampai berat. Pada pemeriksaan darah tepi dijumpai anemia
normokromik normositer, sering disertai poikilositosis berar, rampak normoblast dalam darah tepi, sel mielosit, metamielosir, srab,
kadang-kadang sel blast, gambaran ini disebut sebagai gambaran
leukoeritrob lastik
(leu
co e
ryh tro
b las
ti c p i c ture)
.t
-6
112
Hematologi Klinik Ringkas
Diagnosis
Diagnosis anemia mieloptisik dibuat jika dijumpai antara lain:1-6
a. gambaran leukoeritroblastik pada darah tepi;
b. sel-sel asing dalam sumsum tulang;
c. adanya penyakit primer.
Terapi
Terapi kausal dapat diberikan dengan menghilangkan pendesakan
sumsum tulang oleh penyakit primer, tetapi hal ini sering sulit
dikerjakan. Terapi suportif diberikan untuk memperbaiki anemia
atau trombositopenia yang terjadi.
Bab 7
ANEMIA PADA PENYAKIT SISTEMIK
Anemia merupakan gejala obyekrif yang sangar sering dijumpai pada
penyakit sistemik. Kelainan sistemik yang sering disertai anemia
. r r l-6
laIan:
1.
Penyakit kronik, seperti infeksi kronik, inflamasi kronik dan
keganasan
2. Gagal ginjal kronik
3. Penyakit hati kronik
4. Hipotiroidisme
Patofisiologi dmbulnya anemia pada keiainan
di
atas sangat ber,
aneka ragam karena tidak dapat dikelompokkan sebagai suatu kesaruan
penyakit.
ANEMIA AKIBAT PENYAKIT KRONIK
Sudah dibicarakan
di
depan
ANEMIA PADA GAGAL GINIAL KRONIK
Sebagian besar penderira gagal ginjal laonik (GGK) dengan kreatinin
serum di a:ias 3,5 mg/dl atau klirens kreatinin kurang dari 30o/o
disertai dengan anemia.
Penyebab Utama Anemia pada Gagal Ginjal Kronik
Patogenesis anemia pada gagal ginjal kronik sangat kompleks dan
beraneka ragam. Teori-teori yang diajukan anrara lain,l-6
I. Menurunnya erirropoesis
a. menurunnya produksi eritropoetin antara lain:
i. berkurangnya parenkhim ginjal;
ii. menurunnya afinitas Hb terhadap oksigen
iii. merendahnya set point dari erythropoietin tissue oxygenation
hematocrit feed bach mecltanism.
b. adanya faktor-faktor di luar eritropoetin
113
114
Hematologi Klinik Ringkas
i.
ii.
iii.
hemolisis oleh efek toksin uremik terhadap membran
eritrosit dan ensim eritrosit;
defisiensi besi karena perdarahan kronik yang sering
terjadi pada penderita GGK atau akibat hemodialisis;
adanya defisiensi asam folat.
Gambaran
Klinik
Pada GGK dijumpai anemia normokromik normositer yang bersifat
hipoproliferatif (aregeneratif) dengan retikulositopenia. Dapat dijumpai bun cell. Anemia dapat juga bersifat hipokromik mikrositer
jika ada defisiensi besi. Terdapat schistocyte jika ada anemia hemolitik
mikroangiopatik. Sumsum tulang menunjukkan gambaran normoseluler tanpa kelainan matrrrasi.l-6
Terapi
Karena bersifat sekunddr, terapi anemia pada GGK yang terpenting
adalah memperbaiki penyakit ginjalnya, misalnya dengan transplantasi ginjal. Pada penderita dengan hemodialisis kronik perlu
dilakukan monitor kadar besi dan asam folat untuk mengetahui
defisiensi kedua zat tersebut lebih dini, jika perlu lakukan koreksi.
Berikan besi jika feritin kuiang dari 35 pg/L, dan berikan asam folat
I mg/hari jika asam folat rendah. Tiansfusi darah dengan sel darah
merah yang dimampatkan (pached red cell atau PRC) diberikan jika
anemia berat atau simtomatik, yaitu jika hemoglobin kurang dari
7 gldl atau hematokrit kurang dari 20o/o,
Recombinant human erythropietin (rHuEpo) diberikan 20.00040.000 unit dua kali per minggu dapat menurunkan kebutuhan
transfusi. Pada pemberian rHuEpo perlu diberikan tambahan preparat besi untuk mengoptimalkan kerja eritropoetin.
ANEMIA PADA PENYAKIT HATI MENAHUN
Anemia dijumpai pada lebih dari 30o/o kasus penyakit hati menahun. Penyebabnya sangat beraneka ragam dengan tiga faktor
penyebab utama anemia ini adalah:1-6
1. Peningkatan volume plasma;
Anemia pada Pengakit
2.
3.
Sistemik 115
Hemolisis ringan sampai sedang. Diduga karena kelainan membran eritrosit akibat gangguan lipoprotein pada membran eritrosit;
Respons eritropoesis tidak adekuat terhadap stimulus anemia,
mungkin karena gangguan produlai eritropoetin, atau ganggu-
an resePtor.
Faktor lain yang membantu timbulnya anemia adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Perdarahan gastrointestinal;
Defisiensi besi karena perdarahan kronik
Defisiensi folat karena nutrisi yang kurang baik
Pengaruh alkohol yang menekan sumsum tulang
Hipersplenisme
Kelainan metabolisme lipid sehingga dinding eritrosit menjadi
longgar yang mengakibatkan timbulnya thin mauocyre sampai
spun cell. Sel ini mudah difagositir oleh makrofag.
Gambaran Hematologik
Gambaran hematologik pada penyakit hati menahun sebagai berikut:
1. anemia derajat sedang kecuali jika terjadi perdarahan gastrointestinal akut;
2. anemia makrositer nonmegaloblastik dengan MCV 100-115 fl;
3. pada apusan darah tepi dijumpai: thin mauocyte, polikromasia,
dan sel target;
4. dapat timbul leukopenia dan trombositopenia, jika penyakit
hati menahun disertai splenomegali oleh karena terjadinya hipersplenisme;
5. sumsum tulang: hiperplasia eritroid dengan makronormbblast
tanpa tanda megaloblastik.
Terapi
Terapi anernia pada penyakit hati kronik bersifat tidak spesifik.
Tiansfusi darah diberikan jika anemia berat atau bersifat simtomatik. Dapat juga diberikan asam folat jika diduga adanya kekurangan
asam folat. Perbaikan fungsi hati akan memperbaiki juga keadaan
anemia.
Bab
B
KEGANASAN HEMATOLOGIK
Keganasan hematologik adalah proses neoplastik yang mengenai
darah- dan jaringan pembentuk darah beserta seluruh komponennya.'-o Ke dalam kelompok keganasan hematologik ini dapat dimasukkan sebagai berikut:
l. Penyakit mieloprolife radf (mye lopro liferatiue disorder) terdiri atas:
a.
b.
leukemia mieloid akut dan kronik
penyakir mieloproliferatiflain: polisitemia vera, mielosklerosis
dengan mieloid metaplasia, thrombositemia esensial.
2. Penyakit
a.
b.
limfoproliferatif terdiri
atas:
leukemia limfoid akut dan kronik
limfoma maligna (Lymphomas)
3. Penyakit imunoproliferatif (gamopati monoklonal). Dua
jenis
gamopati monoklonal yang serin! dijumpai, yaitu:
a. mieloma multipel (Multiph mleloma)
b. makroglobulinemia \(/aldenstrom.
Sifat-Sifat Keganasan Hematologik
Seperti keganasan pada umumnya keganasan hematologik mempunyai sifat, sebagai berikur:
1. Monoklonalitas (monoclonalit): seluruh sel-sel ganas
.
2.
3
4.
5.
116
berasal
dari mutasi neoplastik satu buah sel.
Progresi klonal (clona/ progression): sel ganas mempunyai keunggulan proliferatif dibandingkan dengan sel normal sehingga pertumbuhannya lebih progresif.
Dominasi klonal (clonal dominance): pada fase selan,jutnya,
klon sel ganas akan mendominasi klon sel noimal.
Kepunahan klon normal (extinction of normal clone) Hon sel
normal sangar rertekan sehingga akan menghilang sama sekali.
Insabilitas genetik (genetic instability): sifat genetik sel ganas ini
tidak srabil sehingga rerus menerus rerjadi perubahan kromosom yang akan mempengaruhi sifat keganasan sel tersebut.
KeganasanHematologik 117
Leukemia
Leukemia adalah proliferasi ganas sel induk hemopoetik dalam
sumsum tulang. Sel ganas menggantikan sel normal dimana sel ini
beredar secara sistemik kemudian dapat disertai infiltrasi ke organ
Iain. Sel leukemia juga tumbuh pada jaringan hemopoetik primitif
(ekstrameduler) sehingga menimbulkan pembesaran lien, hati dan
kelenjar 11-1;.t-6't3-ta
Leukemia dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Bentuk akut
2.
Bentuk kronik
Berdasarkan jenis sel yang terlibat, yaitu:
l.
2.
Leukemia limfoid
Leukemia mieloid (leukemia nonlimfoblastik).
Berdasarkan sel yang paling dominan dibagi menjadi subtipe, yaitu:
a) mieloid, b) monositik, c) erythroleuhemia, dan d) megakariositik.
Limfoma Maligna
Limfoma maligna adalah neoplasma ganas dari limfosit T atau B,
yang bersifat solid. Pada fase lanjut kadang-kadang dapat juga menyebar secara sistemik. Pada umumnya fokus primer mulai dari
kelenjar limfe, kadang-kadang dapat juga dari jaringan ekstranodal.
Gamopati Monoklonal
Gamopati monokonal merupakan proliferasi ganas limfosit B yang
telah teraktivasi (actiuated B lymphocyte) atau sel plasma dan menghasilkan imunoglobulin yang bersifat monoklonal.
Ada dua jenis gamopati monoklonal yang menunjukkan keganasan
yang.felas:
'Waldenstrom:
1.
Makroglobulinemia
menghasilkan IgM.
2.
Mieloma multipel: proliferasi maligna sel plasma dalam sumsum tulang.
proliferasi limfosit
B
yang
Etiologi Keganasan Hematologik
Penyebab keganasan hematologik bersifat multifaktorial dan proses
patogenesisnya terjadi secara bertahap (mubistep).
118
l.
Hematologi Klinik Ringkas
Faktor-faktor etiologi yang diperkirakan bertanggung jawab ialah:
enuirontmental agent yang merusak DNA antara lain:
i. Ionizing radiation
ii. Bahan kimia: benzen, dan lainlain.
iii. Obat-obat: alhylating agent, dan lainlain.
a.
b.
2.
virus, misalnya:
i. HTLV I-untuk T cell leuhernia
ii. Epstein Barr uirus-untuk limfoma Burkitt
Faktor predisposisi yang memudahkan timbulnya proses keganasan:
a.
kelainan kromosom:
i. anemia Fanconi, sindroma Down
b.
defek imunologik:
i. bawaan: Chediac Higashi,'$Tiskott Aidrich
ii.
didapat:
c.
infelsiHlV/penyakitAIDS
pemakaian imunosupresif
defek hematologik
i.
ii.
:
sindromamielodisplastik
penyakit mieloproliferatif.
Patofisiologi
Proses neoplastik pada sistem .hematologik akan menyebabkan se-
bagai berikur:
1.
Gagal sumsum tulang (bone manowfaiture) sehingga menimbulkan
anemia, gangguan leukosit atau trombositopenia;
2.
Proliferasi sel mieloid atau limfoid dalam sumsum tulang yang
kemudian beredar secara sistemik;
Infiltrasi ke dalam organ arau jaringan sehingga menimbulkan
3.
organomegali;
4.
Kelainan imunologik terdiri atas:
gangguan pembentukan antibodi
gangguan fungsi imun seluler
Pengaruh
5.
dari produk rumor terdiri atas:
a.
b.
a.
b.
c.
hiperviskosiras
peningkaran aktivitas osteoclast menimbulkan lesi tulang
gagal ginjal yang rimbul akibat asam urar meningkar
Keganasan Hematologik 1'|'9
Prinsip Terapi pada Keganasan Hematologi
Pada prinsipnya terapi untuk keganasan hematologik dapat berupa:
l. Terapi yang bersifat kuratif:
a. radioterapi, misalnya pada limfoma Hodgkin derajat IiII;
b. kemoterapi intensif, pada limfoma non-Hodgkin derajat
c.
d.
ke-
ganasan tinggi;
kemoterapi intensif terutama pada AI-L pada anak;
transplantasi sumsum tulang dapat bersifat kuratif unmk
beberapa jenis keganasan hematologik.
Terapi kuratifsulit dicapai pada sebagai berikut:
a. Limfoma yang tumbuh lambat;
b.
c.
2.
Mieloma multipel.
Terapi paliatif bertujuan.
a.
3.
Leukemia kronik;
mengobati komplikasi pada penyakit tingkat lanjut sehingga
mengurangi penderitaan pasien.
b. memperlambat tumbuhnya penyakit pada penyakit dengan
tingkat tidak begitu lanjut.
Terapi suportiF bertujuan.
a. untuk memperbaiki keadaan umum penderita;
b. untuk mengatasi efek samping kemoterapi atau radiasi.
Bab
9
LEUKEMIA DAN PENYAKIT
MIELOPROLIFERATIF
Leukemia ialah keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang
disenai gangguan diferensiasi (maturation anest) pada berbagai tingkatan sel induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif dari
kelompok (cbne) sel ganas tersebut dalam sumsum tulang, kemudian
sel leukemia beredar secara sistemikl-3'14
Sel induk pluripoten.........---..-...>
@
/
Sel induk Limfoid
i\
V
Prekursor prekuisor
sel-B
selT
prekursor prekursor
granulosit eritroid
l*1%6
db'@
Limfosit
B
Limfosit T
\----l
G:imbar 9-1. Bagan jenis leukemia yang dapat tirnbul dari berbagai tingkatan sel
induk hemopoetik 1-3.14
120
Leukemla dan Pengakit Mieloproliferatif 121
Gambaran skematik berbagai jenis leukemia yang timbul dari sel
induk hemopoetik beserta turunannya dapat dilihat pada gambar
9-1.
Klasifikasi
Leukemia dapat diklasifikasikan menurut berbagai cara:
1. Garis turunan sel (cell line) yang mengalami transformasi
ganas.
Tabel 9-1
Klasifikasi Leukemia
Akut
l.
Kronik
Acute myeloiel leukemial
Chronic myeloid leukemia
Acute
(CML)
l.
nonlymphoblastic
ll. Chronic lymphocytic
leukemia (ANLL)
Klasifikasi FAB ,
a. M0-myeloblastic
differentiation
b. Ml-myeloblastic
c.
d.
e.
f.
without
without
maturation
M2-myeloblastic with
maturation
M3-acute promyelocytic
M4-acute myelomonocytic
lll. Bentuk yang tidak biasa:
a. hairy cell
b.
MS-monocytic
leukemia
Acute lymphoblastic leukemia (ALL)
a. Common-ALL
b. nutt-ALL
c. Thy-ALL
d. B.ALL
Varian menurut FAB:
a. Ll
b. L2
c. L3
lll. Sindrom
preleukemialsindrom
Mielodisplastik
leukemia
prolymphocytic
c. cutaneus cell leukemia
d. mycosis funguides
g. M1-erythroteukemia
h. M7-acute megakaryocytic
ll.
leuke-
mia (CLL)
122
Hematologi Klinik Ringkas
2.
Onset penyal<tt: akur atau kronik
Dengan demikian didapatkan klasifikasi, seperti yang terlihat
pada tabel 9-1.
Klasifikasi yang lain adalah klasifikasi MIC (morphologl,
immunophenotyp;"g, cytogenetics). Klasifikasi ini m€merlukan
pemeriksaan morfologi konvensional, tetapi jug memerlukan
pemeriksaan imunofenotipe dan pemeriksaan sitogenetik yang
memerlukan pemeriksaan yang lebih canggih.
Epidemiologi
Leukemia merupakan keganasan yang sering dijumpai tetapi hanya
merupakan sebagian kecil dari kanker secara keseluruhan. Beberapa
data epidemiologi yang terkumpul menunjukkan hal-hal berikut:
l. Insiden
Insiden leukemia di negara Barat adalah 131100.000 penduduk/
tahun. Leukemia merupakan 2,8o/o dari seluruh kasus kanker.
Belum ada angka pasti mengenai insiden leukemia di Indonesia.
2. Frekuensi relatif
Frekuensi relatif leukemia di Negara Barat menurut Gunz:
Leukemia
CLL:
akut:
CML:
50o/o
25o/o
I5o/o
Di
Indonesia frekuensi CLL sangat rendah, CML merupakan
leukemia kronik yang paling sering dijumpai.
3.
Umur
Mengenai insiden menurur umur didapatkan data-data sebagai
berikut:
ALL: terbanyak pada anak-anak dan dewasa muda
AML: pada semua umur, lebih sering pada orang dewasa
CML: pada semua umur, tersering umur 40-60 tahun
CLL: terbanyak pada orang rua.
4.
Jenis kelamin
Leukemia lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan
wanita dengan perbandingan: 1,2-2 : 1.
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 123
LEUKEMIA AKUT
Leukemia akut merupakan leukemia dengan perjalanan klinis yang
cepat,.tanpa pengobatan penderita rata-rata meninggal dalam 24
bulan.'" Namun, dengan pengobaran yang baik rernyara leukemia
akut mengalami kesembuhan lebih banyak dibandingkan dengan
leukemia kronik.
Klasifikasi
Leukemia akut dapat diklasifikasikan menurur klasifikasi F,\B (French
American British Group), tetapi dalam praktik klinik sehari-hari cukup
dibagi menjadi
l.
2 golong"r,
bes"r,15-t6
Acute lympbobkstic leukemia (ALL)
Secara morfologik, menurur F,\B (Frech, British and America),
ALL dibagi menjadi tiga yairu:
a. Ll: ALL dengan sel limfoblas kecil-kecil dan merupakan
b.
84o/o dari ALL.
L2: sel lebih besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli prominen dan sitoplasma agak banyak. Merupakan
14o/o dari
'\LL.
L3: ALL mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sitoplasma basofil dengan banyak vakuola, hanya merupakan l% dari ALL.
Secara imunofenotipe ALL dapat dibagi menjadi 4 golongan besar
seperti terlihar pada tabel 9-2.
c.
Tabel 9-2
Pembagian ALL Secara Imunofenotipe dan Frekuensi
Relatifnya
Subtipe
Frekuensi relatif
Dewasa
Anak-anak
1. Common-ALL (c-ALL)
760h
51Yo
3. T-ALL
12%
12%
4. B-ALL
1jd/o
1Yo
2Yo
2.
Null-ALL
38%
124
Hematologi Klinik Ringkas
2. Acute myeloid leuhemia (AML)
a:.au
acute non[rmpho blastic leuhe-
mia (ANLL).
Klasifikasi morfologik yang umum dipakai ialah klasifikasi dari
FAB:15'16
a. M0 Acute myeloid leuhemia without dffirentiation
b. Ml: Acute myeloid leukemia without maturatizn
c. M2: Acute myeloid leuhemia with maturation
d. M3: Acute promyelocytic leuhemia
e. M4: Acute myelomonocytic leukemia
f. M5: Acute monocytic leukemia
i. Subtipe M5a: tanpa maturasi
ii. Subtipe M5b: dengan maturasi
g. M6: Erythroleuhemia
h. M7: Megaharyoqrtic leukemia
MI+M2+M3 disebut sebagai acute myeloblastic leuhemia yang
merupakan 75o/o dari seluruh ANI-L.
\7HO
membuat klasifikasi untuk leukemia mieloid akut, yang
pada dasarnya merupakan klasifikasi MIC (morphologt, immunophenotlPe, cltogenetil yang dapat dilihat pada tabel 9-3.
Klasifikasi\7HO mempunyai hubungan yang lebih baik dengan
prognosis. Pentingnya nilai prognostik dari kelainan genetik ditun-
jukkan dengan jelas pada AML dengan recu/rent cltromosome translocatiznsi t(L5;17); t(8;21)(q22;q22) dan inul6(p13q22) yang secara
umum menunjukkan prognosis yang lebih baik jika diobati dengan
pengobatan yang tepat. Sebaliknya AML dengan kaqyotipe kompleks,
delesi parsial atau hilangnya kromosom 5 danlatau 7 sering kali ditandai oleh mubilineage dysplasia, positif terhadap mubi-drug resistant
glycoprotein disertai dengan respons yang ddak baik terhadap terapi.r6
Patofisiologi
Proses patofisiologi leukemia
akut dimulai dari transformasi
ganas
sel induk hematologik atau turunannya. Proliferasi ganas sel induk
ini menghasilkan sel leukemia akan mengakibatkan:
1. Penekanan hemopoesis normal sehingga terjadi bone manota
failure
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 125
Tabel 9-3
Klasifikasi Histotogik AML Menurut WHO16
Acute Myeloid Leukemia with Recurrent Genetic Abnormalifies
1.
2.
AML with t (18;211 (q22;q22):(AML1/ETO)
3.
Acute promyelocytic leukemia (AML with t(15;17)(q22:q12) (PMU
RAR6) and varians.
AML with 11q23(MLL) abnormalities
4.
AML with abnormal bone marrow eosinophils inv(16) (p13q22);
(cBFB/MYH1)
Acute myeloid leukemia with muttilineage dysplasia
1.
2.
Following myelodysplastic syndrome or myelodysplastic
syndrome/myeloproliferative disorder
Without antecedent myelodysplastic syndrome
Acute myeloid leukemia and myetodysplastic syndrome,
therapy related
1.
2.
3.
Alkylating agent-related
Topoisomerase type ll inhibitor-related (some may be lymphoid)
Others type
Acute myetoid leukemia not otherwise cafegorised
1. Acute myeloid leukemia minimally differentiated
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Acute myeloid leukemia without maturation
Acute myeloid leukemia with maturation
Acute myelomonocytic leukemia
Acute monocytic and monoblastic leukemia
Acute erythroid leukemia
Acute megakaryoblastic leukemia
Acute basophilic leukemia
Acute panmyelosis with myelofibrosis
Myeloid sarcoma
2.
Infiltrasi sel leukernia ke dalam organ sehingga menimbulkan
3.
Katabolisme sel meningkat sehingga terjadi keadaan hiperkatabolik.
organomegali
Skerrra patofisiologi rimbulnya gejala-gelaIa
akut dapat dilihat pada gambar 9-2.
klinik pada leukemia
126
Hematologi Klinik Ringkas
Faktor predisposisi
Faktor etiologi
Faktor pencetus
I
Mutasi sornatik sel induk
I
Proliferasi neoplastik &
Differentiatkn anesl
I
Akumulasi sel muda dalam sumsum iulang
Kaheksia
x"thi.r"r'
GAGAL SUIVISUM TULANG
x.ansA /
matam
/
/
Gagatt
dinial t\
----.\
ginjal
I
I
t
Anemia
Perdarahan & lnfeksi
HTPER-
KATABOLIK
tIl
/
-Asam
urat
Sel leukemia
+
lnhibisi hemopoesis normal
I
I
INFILTRASI KE ORGAN
Tulang
t-llt
+l+l
Nyeri,
tulans
Darah
RES
Sindroma
Hiperviskositas
Gambar
9-2.
Tempat ekstra meduler lain
Linrfadenopati Meningilis,
!;[?tg:ffiI
Lesi kulit
Pembesaran restis
Skema patofisiologi leukemia akut
Gejala Klinik
Gejala klinik leukemia akut sangat bervariasi, tetapi pada umumnya
timbul cepat, dalam beberapa hari sampai minggu. Gejala leukemia
akut dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar:
1. Gejala kegagalan sumsum tulang, yaitu:
a. anemia menimbulkan gejala pucat dan lemah.
b. netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai oleh demam,
infeksi rongga mulut, tenggorok, kulit, saluran napas, dan
sepsis sampai syok sepdk.
c.
trombositopenia menimbulkan easy bruising, perdarahan kulit,
perdarahan mukosa, seperti perdarahan gusi dan epistaksis.
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 127
2. Keadaan
a.
b.
c.
hiperkatabolik, yang ditandai oleh:
kaheksia
keringat malam
hiperurikemia yang dapar menimbulkan gout dan gagal ginjal
organ menimbulkan organomegali dan gejala
3. Infiltrasi ke dalam
lain seperti:
a. nyeri tulang dan nyeri srernum
b. limfadenopati superfisial.
c.
d.
e.
4.
splenomegali atau hepatomegali, biasanya ringan
hipertrofi gusi dan infiltrasi kulit
sindrom meningeal: sakit kepala, mual munrah, mara kabur,
kaku kuduk
Gejala lain yang dapat dijumpai adalah:
a. Leukostasis terjadi jika leukosit melebihi 50.000/pL. Penderita
dengan leukositosis serebral ditandai oleh sakit kepala, confusion,
dan gangguan visui. Leukostasis pulmoner diandai oleh sesak
napas, takhipnea, ronchi dan adanya infiltrat pada foro ronrgen.
b.
Koagulapati dapat berupa DIC atau fibrinolisis primer. DIC
lebih sering dijumpai pada leukemia promielositik akut (M3).
DIC juga dapat timbul pada
c.
d.
saat pemberian kemorerapi yaitu
pada fase regimen induksi remisi.
Hiperurikemia yang dapat bermanifestasi sebagai arthritis
gout dan batu ginjal.
Sindrom lisis tumor dapat dijumpai sebelum terapi, rerutama
pada ALL. Tetapi sindrom lisis tumor lebih sering dijumpai
akibat kemoterapi.
Kelainan Laboratorik
Pada leukemia akut sering dijumpai kelainan laboratorik, seperti
berikut:
l Darah tepi
a. dijumpai anemia normokromik-normositer, anemia sering
berat dan timbul cepat.
b. trombositopenia, sering sangar berat di bawah 10 x 106/l
c. leukosit meningkat, tetapi dapat juga normal arau menurun
(abuhemic bukemia). Sekitar 25o/o menuryukkan leukosit normal
128
Hematologi Klinik Ringkas
atau menurun, sekitar' 50% menujukkan leukosit meningkat
10.000-100.000/mm3, dan 25o/o meningkat di atas 100.000/
mmJ.
d.
2.
apusan darah tepi: khas menunjukkan adanya sel muda
(mieloblast, promielosit, limfoblast, monoblast, erithroblast
atau megakariosit) yang melebihi 5o/o dari sel berinti pada
darah tepi. Sering dijumpai pseudo Pelger-Huet Anomaly,
yaitu netrofil dengan lobus sedikit (dua atau satu) yang disertai dengan hipo atau agranular.
Sumsum tulang
Hiperseluler, hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (blast), tampak monoton oleh sel blast, dengan adanya leukemic gap (terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel
yang matang, tanpa sel antara). Sistem hemopoesis normal
mengalami depresi. Jumlah blast minimal 3}o/o dari sel berinti
dalam sumsum tulang (dalam hitung 500 sel pada apusan sum-
sum tulang).
3.
Pemerikaan immunopheno4tping
Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan
klasifikasi imunologik leukemia akut. Pemeriksaan ini dikerjakan
untuk pemeriksaan surface marher guna membedakan jenis leukemia (rabel 9-4).
4.'Pemeriksaan sitogenetik
Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat diperlukan dalam diagnosis leukemia karena kelainan kromosom dapat
dihubungkan dengan prognosis, seperti terlihat pada klasifikasi \X;&IO.
Membedakan ALL dan AML
Membedakan ALL dengan AML merupakan langkah yang
harus
dilakukan pada setiap leukemia akut, karena akan sangat menentukan jenis terapi dan prognosis penderita. Secara klinis AML sulit
dibedakan dengan ALL karena pemeriksaan apusan darah tepi menjadi sangat penting. Cara membedakan kedua jenis leukemia tersebut dapat dilihat pada tabel 9-5.
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 129
Tabel 9-4
Petanda (markerl Imunologik untuk Membedakan
AML dan ALL5
T
+
cCD22:
cytoplasmic CD22
terminal deoxynucleotidyl transferase
Tdt;
Diagnosis
Diagnosis leukemia akut harus dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan sumsum rulang. Pemeriksaan darah tepi yang normal tidak
dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosis, terutama pada aleukemic leuhemia. Tahap-tahap diagnosis leukemia
"pr.r,'1-6'13-14
1. Tentukan adanya leukemia akut
a.
Klinis
i.
adanya g€lala gagal sumsum tulang: anemia, perdarahan,
dan infeksi, sering disertai tanda-tanda hiperkatabolik.
130
Hematologi Klinik Ringkas
Gambar 9-3. Apusan darah tepi leukemia mieloid akut, panah menunjuk pada
satu batang A:uer (Auer's rod) (A), dan leukemia lirnJoicl akut (B)
ii.
b.
sering dijumpai organomegali: Iimfeadenopad, hepatome-
gali, atau splenomegali
Darah tepi dan sumsum tulang
i.
ii.
c.
blast dalam darah tepi lebih dari 5o/o
blast dalam sumsum tulang lebih dari 30%
Dari kedua pemeriksaan di atas kita dapat membuat diagnosis kiinis leukemia akut. Langkah berikutnya adalah
menentukan jenis leukemia akut yang dihadapi.
Tentukan jenisnya: dengan pengecatan sitokimia ditentukan
klasifikasi FAB. Jika terdapat fasilitas, iakukan.
i.
ii.
immunophenotyping
pemeriksaan sitogenetika (kromosom)
Dengan langkah-langkah di atas akan ditegakkan diagnosis leukemia akut serta klasifikasi morfologik maupun imunologiknya dan
ditentukan status prognostiknya.
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 131
Tabel 9-5
Perbedaan ALL dan AML
ALL
1.
Morfologi:
Limfoblast:
Mieloblast:
o Kromatin: bergumpal o lebih halus
o Nukleoli: .lebih samar, o lebih prominent
.
r
lebih sedikit
Auer rod'. negatif
Sel pengiring: limfosit
2. Sitokimia
a. mieloperoksidase
b.
Sudan
btack -
c. esterase nonspesifik
PAS
d.
e. acid phospha-
3.
tase
.
platelet
xidase
Ensim:
f
o
o
positif
netrofil
+
-
+
+
(kasar)
+(ThyALL)
+ (monositik)
+ (halus)
pero-
a.Tdt
b.Serum
AML
+
-
+ (M7)
-
+(monositik)
lysozime
4.
lmunofenotipe {lihat tabel 9-4)
Di ,tempat-tempat dengan fasilitas rerbatas, yang terpenting
ialah membedakan antara AML dan ALL dengan teknik morfologi
konvensional Dengan pengecatan konvensional, misalnya dengan
MGG ketepatan diagnosis hanya sekitar 30o/o. Membedakan AI-L
dengan AML sangat penting karena akan menentukan jenis pengobatan.
Terapi
Terapi untuk leukemia akut dapar digolongkan menjadi dua, yaitu:
1. Terapi spesifik: dalam bentuk kemoterapi
2. Terapi suportif: untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang,
baik karena proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi.
132
Hematologi Klinik Ringkas
Kemoterapi
Thhapan pengobatan kemoterapi terdiri
l.
atasrl-6'13-14
Fase induksi remisi
Berupa kemoterapi intensif untuk mencapai remisi, yaitu suatu
keadaan di mana gejala klinis menghilang, disertai blast dalam
sumsum tulang kurang dari 5o/o. Dengan pemeriksaan morfologik tidak dapat dijumpai sel leukemia dalam sumsum tulang
dan darah tepi.
2.
Fase postremisi
Suatu fase pengobatan untuk mempertahankan remisi selama
mungkin yang pada akhirnya akan menuju kesembuhan. Hal ini
dicapai dengan:
a. kemoterapi lanjutan, terdiri atas:
i. Terapi konsolidasi
ii. Terapi pemeliharaan (maintenance)
iii. Late intensifcation
b. transplantasi sumsum tulang: merupakan terapi konsolidasi
yang memberikan penyembuhan permanen pada sebagian
penderita, temtarna penderita yang berusia di bawah 40 tahun.
Kemoterapi untuk ALL
Kemoterapi untuk ALL yang paling mendasar terdiri dari panduan
obat (regimen):
1. Induksi remisi:
a. Obat yang dipakai terdiri atas:
i. Vincristiae (VCR): 1,5 mglmzlminggu, i.v
ii.
Prednison
rii. L
b.
iv
Asparaginase
Daunorubicia
6
mglm2lhari, oral
(L asp): 10.000 U/m2
(DNR): 25 mglm2lmtnggu4 minggu
Regimen yang dipakai untuk AI-L dengan risiko standar ter-
diri
c.
(Pred):
i.
ii.
atas:
Pred + VCR
Pred+VCR+Lasp
ALL dengan risiko tinggi atau ALL
Regimen untuk
orang dewasa antara lain:
i. Pred + VCR + DNR dengan atau tanpa
L asp.
pada
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatil 133
ii.
2. Terapi
a.
Kelompok GIMEMA dari italia memberikan DNR
VCR + Pred + Lasp dengan atau tanpa siklofosfamid.l
+
postremisi
terapi untuk sdnctudty phase (membasmi sel leukemia yang
bersembunyi dalam SSP dan testis)
i. triple IT yang terdiri atas: intrathecal methltrexdte (MTX),
Ara C (cytosine arabinosid), dan dexarnenthason
ii. oanial radiotherapy GRT)
terapi intensifikasi/konsolidasi: pemberian regimen noncrossresistant terhadap regimen induksi remisi
Terapi pemeliharaan (maintenance): umumnya dipakai 6
mercaptopurine (6 MP) per oral dan MTX tiap minggu. Di-
b.
c.
2-3
berikan selama
m.hun dengan diselingi terapi konsolidasi
atau intensifikasi.
Kelompok GIMEMA dari Italialmemberikan contoh skema protokol untuk suatu ALL pada orang dewasa seperri tampak pada
gambar
94.
INDUKSI
INDUKSI
I
VPDAC
I
I
lr Mrx. P
._--_.:
II
V HDMTX C Doxo, Dexa
I
I
l----------bulan
0
I
lT MTX
tr
MTX. Ara c,
C, pexa
Dexa
--r----**--1
lntensifikasi
V, HDMTX, Ara C, Dexa
I
Pemeliharaan
@
MP, MTX, V, P
F*x;l
t------------------
2aQ24
Gambar 9-4. Skema protokol terapi ALL menurut GIMEMA
Keterangan: V = vinkristin, P= prednison, D = doksorubisin, AC =
1
'siklofosfamid, FIDMTX = high dose methotrcxate, Dexa
=
deksametason, IT MTX = metotreksat intratekal, MP = 5
mercaptopurine
134
Hematologi Klinik Ringkas
Kemoterapi untuk AML
Regimen kemoterapi untuk AML umumnya teridiri atas:
1. Induksi
remisi
a.
"three plus seuen regimen": Daunorubicin: 60 mg/M2lhari, i.v.,
b.
hari 1-3 Ara-C: 200 mglmzlhari,iv, kontinu selama 7 hari.
ada juga yang memakai regimen DN (daunorubicin, ARA-C
dan6Thioguanin=6fq.
c.
d.
sekarang dipakai juga mitoxantrzne atau etz?zside pada kasus
dengan cadangan jantung yang compromised.
pilihan lain adalah "high dnse Ara-C'= HIDAC. fua-C diberi-
e.
kan 1-3 g/m2 setiap 12 sampai 24 jam sampai dengan 12
dosis. HIDAC dapat juga diberikan setelah regimen 7:3, yairu
I
hari 8 sampai hari 10, disebut sebagai regimen 3 + 7 + 3.
untuk induksi remisi untuk kasus AML-M3 (leukemia promielositik akut) daunorubisin digabungkan dengan ATRA
(all-transretinoic acid). Untuk kasus yang relap diberikan
arsenic trioxide.
2. Terapi postremisi terdiri
atas:
a.
Konsolidasi/intensifikasi
2-6 siklus Ara-C dan 6 TG dengan atau tanpa DNR dapat
juga diberikan Ara-C dosis tinggi ataupun amsacrine;
b.
Terapi pemeliharaan
Llmumnya, dengan terapi per oral jangka panjang meskipun
manfaatnya masih diperdebatkan sehingga sebagian besar terapi pemeliharaan ddak diberikan pada AML;
c.
3.
Imunoterapi
Imunoterapi dapat diberikan, misalnya dengan BCG meskipun manfaatnya masih belum terbukti.
Thansplantasi sumsum tulang (bone marrow transplantation) ter-
diri
atas:
a.
merupakan terapi postremisi yang memberi harapan penyembuhan
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 135
b.
efek sarr,rping dapat berupa: pneumonia interstitial (cytomegalo
c.
d.
uirus), grafi uersus ltost diseasq, dan grafi rejection
hasil baik jika umur penderita <40 tahun
sekarang lebih sering diberikan dalam bentuk transplantasi sel
induk dari darah tepi Qteripheral blood stem cell tansplantation)
Terapi Suportif
Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya
dengan terapi spesifik karena akan menentukan angka keberhasilan
terapi. Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh terapi suportif
yang intensif pula, kalau tidak maka penderita dapat meninggal
karena efek samping obat, suatu kematian iauogenik. Terapi suportif
berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping
obat. Terapi suportif yang diberikan adalah:
l. Terapi untuk mengatasi anemia: transfusi PRC untuk mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10 g/dl. Untuk calon transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya dihindari.
2. Terapi untuk mengatasi infeksi, sama seperti kasus anemia
aplastik rerdiri atas:
a. antibiotika adekuat
b. transfusi konsentrat granulosit
c. perawaran khusus (isolasi)
d. hemopoietic grrwth factor (G-CSF atau GM-CSF)
3. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas:
a. transfusi konsentrat trombosit untuk mempertahankan
trombosit minimal 10x106/ml, idealnya di atas 20x106/ml.
b. pada M3 diberikan heparin untuk mengatasi DIC
4. Tenpi untuk mengatasi hal-hal lain, yaitu:
a. pengelolaan leukostasis: dilakukan dengan hidrasi intravenous dan leukapheresis. Segera lakukan induksi remisi untuk
menurunkan jumlah leukosit.
b. pengelolaan sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup,
pemberian alopurinol dan alkalinisasi urine.
136
Hematologi Klinik Ringkas
Hasil Pengobatan
Hasil pengobatan tergantung pada berikut ini:
l. Tipe leukemia: pada umumnya ALL mempunyai prognosis
lebih baik dibandingkan dengan AML.
2. Karakteristik faktor prognostik dari penderita.
3. Jenis regimen obat yang diberikan.
Faktor prognosis untuk ALL dapat dilihat pada tabel 9-6 dan prognosis untuk AML pada tabel 9-7.
Prognosis penderita leukemia akut sangat bervariasi dan bersifat
individualistik, tetapi pada umumnya didapat hasil sebagai berikut:
1 . Hasil pengobatan ALL sangat baik, dengan terapi intensif dicapai
kesembuhan pada 70-907o kasus ALL anak dan 40-50o/o pada
kasus ALL dewasa, tetapi pada umur di atas 65 tahun hasilnya
turun menjadi 5o/o.
2. Hasil pengobatan AML tidak sebaik ALL, tetapi akhir-akhir ini hasil
pengobatan mencapai kemajuan yang sangat pesat. Remisi dicapai
Tabel 9-6
Prognosis untuk ALL
Sex
Good
Poor
Low
High (> 50.000)
Grrls
lmmunophenotyping ;-ALL(CDI0+)
Age
Child
Cytogenetics
Normal or
Hyperdiploidy(>
Time to clear
from btood
blast
Timetoremisslon
CNS disease
at
presentation
Minimal residual
disease
Boys
B-ALL
Adult (or infant
<2 years)
Ph+,11q23
50)
rearra ngeme nts
TEL rearrangements
<
1
week
> 1 week
<4weeks
>4weeks
Absent
Present
Negative at
1-3 months
Still positive at
3-6 months
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 137
Tabel9-7
Prognosis untuk AML
Cytogenetics
Favourable
Unfavourable
t(15;17)
Deletions of
(8:21)
chromosome 5 or 7
inv(16)
FIl3
mutation
11q23
(6;9)
abn (3q)
Complex rearra-
ngement
>20% blast after
after
remission induction first course
Bone marrow
response lo
<5%o blast
Age
<60 years
>60 years
pada 60-800/o kasus, 30%o diantaranya tetap bebas leukemia setelah
3-5 tahun, sebagian besar darinya akan mengalami kesembuhan.
Namun, pada umur di atas 65 tahun hanya didapat hasil kesem,
buhan sekitar 57o.
LEUKEMIA MIELOID KRONIK
(LMK) atau cbonic myeloid leukemia (CML)
merupakan leukemia kronik, dengan gqala yang timbul perlahanlahan dan sel leukemia berasal dari transformasi sel induk mieloid.
CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari pluripotent stem
cell dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif (rryebproliferatiue dtsordzrs). Nama lain untuk leukemia mieloid kronik
Leukemia mieloid kronik
adalah:l-3'14
|.
2.
c/tronic myelogenous leuhemia
(Clrt9
chronic myelocytic leuleemia (CML)
LMK terdiri atas enam jenis leukemia, yaitu:
a. leukemia mieioid kronik, Ph positif (CML, Ph+) (chronic granubrytic leuhemia, CGL)
b. leukemia mieloid kronik, Ph negatif (CML, Ph-)
c. juuenile chronic myehid leuhemia
138
Hematologi Klinik Ringkas
d.
e.
f.
chronic neutrophilic leuhemia
eosinopbilic leukemia
chronic myelamonocytic leuhemia (CMML)
Tetapi sebagian besar (>95%) CML tergolong sebagai
CML,
Ph+.
Epidemiologi
1. CML merupakan l5-20o/o dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling sering dijumpai di Indonesia,
sedangkan di negara Barat leukemia kronik lebih banyak di-
2.
3.
jumpai dalam bentuk CLL.
Insiden CML di negara Barat: 1-1,4/100.000/tahun.
Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan puncak
pada umur 40-50 tahun. Pada anak-anak dapat dijumpai benuk juuenile CML.
Patogenesis
Pada CML dijumpai Philadelphia cltromosom (Phi chr) suaru reciprocal
transhcation 9,22 G 9;22), seperti terlihat pada gambar 9-5. Pada
t(9;22) terjadi translokasi sebagian materi genetik pada lengan panjang kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9 yang bersifat
resiprokal. Sebagai akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada
lengan panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung)
dengan onkogen BCR pada lengan panjang kromosom 22. |kibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric oncogen) yaitu bcr-abl
lnclgen. Gen baru akan mentranskripsikan chimeric RN,,4 sehingga
terbentuk chimeric protein (protein 210 hd). Timbulnya protein baru
ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui 4trosine
hinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi
pada sel-sel mieloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri mieloid.r-3'16
Fase Perialanan Penyakit
Perjalanan penyakit CML dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
l. Fase kronik Fase ini berjalan sela-ma 2-5 ahun dan responsif ter-
2.
hadap kemoterapi.
Fase akselerasi atau transformasi akut:
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 139
Kromosom Phiiadephia
e.
b.
Pada fase
ini
perangai
klinik CML berubah mirip
leukemia
akut.
Proporsi sel muda meningkat dan akhirnya masuk ke dalam
" blast crisis" atau krisis blastik.
Sekitar 213 menurytkkan sel blast seri mieloid, sedangkan l/3
menunjukkan seri limfoid.
GejalaKlinik
Gejala klinik CML tergantung pada fase yang kita jumpai pada
penyakit rersebur, yaitu:
A.
Fase
kronik terdiri
atas:
1.
gejala hiperkatabolik: berat badan menurun, lemah, anorek-
2.
3.
4.
sia, berkeringat malam (gambar 9-6).
splenomegali hampir selalu ada, sering masif
hepatomegali lebih janng dan lebih ringan
gejala gout, gangguan penglihatan, dan priapismus
140 Hematologi Klinik Ringkas
5. Anemia pada fase awal sering hanya ringan
6. kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan
B.
pada saat check up atau pemeriksaan
Fase transformasi akut terdiri atas:
l.
untuk penyakit lain
Perubahan terjadi pelan-pelan dengan prodromal selama 6
bulan, disebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru:
demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons terhadap kemoterapi menurun, leukositosis
meningkat dan trombosit menurun dan akhirnya meniadi
gambaran leukemia akut.
2.
Pada sekitar sepefiiga penderita, perubahan terjadi secara men-
dadak, tanpa didahului masa prodromal keadaan
ini
disebut
Gambar 9-6. seorang penderita cML. penderita tampak kahektis dengan
splenomegali yang sangat besar
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferattt 141
krisis blastik (blast crisis). Tanpa. pengobatan adekuat pericl.,.
rita sering meninggal dalam 1-2 bulan.
Kelainan Laboratorik
CML dapat dijumpai kelainan laboratorik berikut:
1. Darah tepi
Pada kasus
a.
b.
c.
d.
e.
Leukositosis berat 20.000-50.000 pada permulaan kemu-
dian biasanya lebih dari 100.000/mm3
Apusan darah tepi: menunjukkan spektrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast sampai netrofil, dengan komponen paling menonjol ialah segemen netrofil dan mielosit
(gambar 9-7 A). Stab, metamielosit, promielosit dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast kurang dari 5o/o.
Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut, bersifat normokromik normositer.
tombosit bisa meningkat, normal, atau menurun. Pada fase
awal lebih sering meningkat.
Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase INAPI
score) selalu rendah.
2. Sumsum
tulang
Hiperseluler dengan sistem granulosit dominan. Gambarannya
mirip dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap
4
a
.
:,.:t:;..rt:.,.a),:::,a:::,:):,ja:ra.:..t
:;....
"
:l
t:::i,. :.-'.r.,t:ir'r:r....rlrrfr. .:t:r..
:.,;;;',,1''.;;,,;,,;''..i:t,
V*
.',,;{i*$
::tt::,,..
'W
Wri
tW'
'
"i'"t
w
142
Hematotogi Klinik Ringkas
seri mieloid, dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan
mielosit. Sel blast kurang dari 30o/o. Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat.
3. Sitogenetik: dijumpai adanya Philadelphia (Ph1) chromosome
pada 95% kasus.
4. Vitamin Bl2 serum dan 812 binding capacity meningkat.
5. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi
adanya chimeric protein
bcr-abl pada 99olo kasus.
6. Vitamin B12 serum dan Bl2 binding capacity
7. Kadar asam urat serum meningkat.
meningkat.
Thnda:Tanda Transformasi akut
Perubahan
CML dari
fase
kronik ke fase transformasi akut ditandai
oleh:
1. Timbulnya
demam dan anemia yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya.
2.
Respons penurunan leukosit terhadap kemoterapi yang semula
baik menjadi tidak adekuat.
3. Splenomegali membesar yang sebelumnya sudah mengecil.
4. Blast dalam sumsum tulang >l0o/o.
Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut \fHO adalah:
1. Blast l0-l9o/o dari \(/BC
pada darah tepi dan/atau dari
sel
sumsum tulang berinti.
2.
3.
4.
Basofil darah tepi >20o/o.
Thrombositopenia persisten (<100x10e/L) yang tidak dihubungkan dengan terapi, atau thrombosistosis (>1000x10e/L) yang
tidak responsif pada terapi.
Peningkatan ukuran lien atau 'WBC yang tidak responsif pada
terapi.
5. Bukti sitogenetik adanya evolusi klonal.
Di pihak lain diagnosis CML pada fase krisis blastik
menurut
\7HO adalah:
1. Blast >-2oo/o dari darah putih pada darah perifer atau
sel sum-
sum tulang berinti.
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 143
2.
3.
Proliferasi blast esktramgduler.
Fokus besar atau clulter sel blast dalam biopsi sumsum tulang.
Terapi
Terapi
CML tergantung
r
.r
I . FaSe KrOnlK:
pada dari fase penyakit, yaitu:
l-3.13-14
Obat pilihan:
a.
b.
2.
Busulphan (Myleran), dosis: 0,i-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit
diperiksa tiap minggu. Dosis diurunkan setengahnya jika leukosit turun setengahnya. Obat dihentikan jika leukosit 20.0001
mm3. Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3
Efek samping dapat berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia akut.
Hldroxiurea, memerlukan pengaturan dosis lebih sering, tetapi efek samping minimal. Dosis mulai dititrasi dari 500 mg
sampai 2000 mg. Kemudian diberikan dosis pemeliharaan
untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3. Efek samping
Iebih sedikit dan bahaya. keganasan sekunder hampir tidak ada.
c. Interferon cr biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol oleh hidroksiurea. Pada CML fase kronik interferon
dapat memberikan remisi hematologik pada 8oo/o kasus, tetapi remisi sitogenetik hanya tercapai pada 5-10%o kasus.
Terupi fase akselerasi: sama dengan terapi leukemia akut, tetapi
respons sangat rendah.
3.
Tiansplantasi sumsum tulang: memberikan harapan penyembuhan jangka panjang terutama untuk penderita yang berumur
kurang dari 40 tahun. Sekarang yang umum diberikan adalah
allogeneic peripheral blood. stem cell transplantatizn. Modus terapi
ini merupakan satu-satunya yang dapat memberikan kesembuh-
an total.
4.
Sekarang sedang dikembangkan terapi yang memakai prinsip
biologi molekuler (targeted therapy). Suatu obat baru imatinib
mesylate (Gleeuec) dapat mendud:uki ATP*binding site
of
abl
oncogen sehingga dapat menekan aktivitas tyrosine hinase sehingga
menekan proliferasi seri mieloid.
144
Hematologt Ktinik Ringkas
Tabel 9-8
|enis Leukemia Seri Limfoid
Frekuensi
Relatif
Sel
CLI (chronic lymphocytic
leukemia)
PLL (protymphocytic
leukemial
HCL (hairy cell leukemia)
Asal Sel
Sel B
T
70oh
99%
1%
8%
80%
20%
6%
100%
O%
Pada trial fase II dan III terbukti imatinib lebih superior dibandingkan dengan interferon, di mana remisi hematologik tercapai
pada 90o/o kasus dan remisi sitogenetik pada 30-50o/o k"sr.rr. 24
TEUKEMIA KRONIK SERI LIMFOID
Leukemia limfoid kronik arau cltronic $mphoid leuhemia (CLL) ter-
diri
beberapa jenis kelainan yang ditandai oleh proliferasi m(tture
looking lymphocytes, baik sel B maupun sei T.
Leukemia kronik seri limfoid terdiri dari 3 jenis leukemia (lihat
tabel
l.
2.
3.
9-B):1-3'14
Leukemia limfositik kronik (chronic lymphocytic leuhemia-CLL)
Leukemia prolimfositik (pro lymp h o cytic leuk em ia=PLL)
Leukemia sel berambut (hairy cell leukemia)
Epidemiologi
Dari segi epidJmiologi pada CLL dijumpai fakta sebagai berikut:
1. CLL jarang dijumpai di Indonesia atau Timur Jauh;
2. di Barat merupakan leukemia kronik yang paling sering (30o/o);
3. terutama mengenai umur rua (lebih dari 50 tahun).
Gejala
CLL memberikan gejala klinik sebagai berikut:
1.
2.
gejala sering perlahan-lahan dan 20o/o asimtomatik;
gejala yang paling menonjol adalah pembesaran kelenjar gerah
bening (limfadenopati) superfisial yang sifatnya simetris dan
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 145
3.
4.
5.
6.
volumenya bisa cukup besar. Kelenjar bersifat tidak melekat
kompak (discrete) dan tidak nyeri.
anemia sering dijumpai;
splenomegali pada 50%o kasus tetapi tidak masif;
hepatomegali lebih jarang;
sering disertai lterpes zoster dan pruritus.
Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai:
1. Darah tepi:
a.
limfositosis 30.000-300.000/mm3. Sebagian besar terdiri
atas limfosit kecil.
b. anemia normokromik normositer
c. trombositopenia sering dijumpai
d. sering disertai bashet cell atau smudged cell
2. Sumsum tulang: infiltrasi "small well dffirentiated lympbocyte"
difus, dengan limfosit merupakan 25-95% dari sel sumsum
tulang.
3. Pemeriksaan immunopheno4tping: pemeriksaan ini penting unruk
membedakan jenis leukemia kronik seri limfoid, seperri terlihar
pada rabel 9-9.
Tabel 9-9
Imunofenotipe Leukemia/Limfoma Limfoid'
CLL PLL HGL FL
cD19
sig
cD5
CD2ZFMCT
cDTSb
CD103
Sig:
CLL:
PLL:
HCL:
+++++
weak. ++
+-+
-++++
++
-
surface immunoglobuline
chronic Qmphocytic leuhemia
prolymphocytic leukemia
hairy cell leukemia
MCL
++
++
+
-l+
+-
++
++
146
Hematologi Klinik Ringkas
FL:
MCL:
follicular lymphoma
mantle cell lymphoma
Diagnosis
Diagnosis CLL menurvt "Interwttional
l7orhshop
on CLL (1989)"
t'3'14
adalah:
1. limfositosis >5xl0e/L selama
4 minggu atau lebih;
2. sel dengan leapprt arau lambda light chain;
3. lou density cell sltrfice atttigen dan CD5 /tntigen positif;
4. limfosit matang yang disertai tidrk lebih dari 50olo sel limfosit;
5.
atipik arau imatur.
Sumsum tulang dengan > 30o/o limfosit.
Derajat Penyakit
Derajat penyakit CLL harus ditetapkan karena menentukan strategi
terapi dan prognosis. Salah satu sistem penderajatan yang dipakai
ialah klasifikasi Rai, r-3'r4 seperti yang terlihat pada tabel 9-10.
Tabel 9-10
Derajat Penyakit CLL Menurut Kriteria Rai, dkk.
Stage Limfosit Limfadeno- Hepato- Hb.<11 Thrombosit
>15.000
pati ,
megali g/dl
<100.000
Selanjutnya dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
A= lotu rish (stage 0)
B= intermediate risk (stage f & fD.
C= high ruk (stage flf (7 fW.
Sistem penderajatan yang lain adalah dari International Working
Party (Binet et al) pada tahun 1981.
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 147
Tabel 9-11
Derajat Penyakit CLL Menurut Binet; et al
Sfage
A (50-60%)
B (30%)
c (<20%)
*
Organ
Hemoglobin** Platelet
enlargement*
(g/dl)
(x 10s/L)
0,1 or 2 areas
3,4 or 5 areas
>10
>
not
<
considere,d
one AreA = fumphnodes >
lcm in
10
and/or
100
< 100
nech, axilla, groins or spleen,
or
liuer
en/argement
**
secondary causes
of anemia (e.g. iron deficiencl or Autoimmune
hemofitic anemia or autoimmune thrombocytopenia must be treated
before xaging.
Terapi
Terapi untuk CLL jarang dapat mencapai
kesembuhan karena
tujuan terapi bersifat konvensional, terutama unruk mengendalikan
gejala. Kemoterapi yang diberikan terlalu awal dapat memperPendek bukan memperpanjang suruiual. Obat yang umum dipakai
adalah chlorambucil dengan dosis 4-6 mg/hari atau 5 .ttgl-2, biasanya diberikan selama 24 6ulan. Obat lain adalah fludarabine yang
tergolong sebagai purine analogue. Dapat diberikan secara intravena
maupun secara oral, dan merupakan obat pilihan pertama pada
kasus yang resisten pada chlorambucil. Skema kemoterapi untuk
CLL adalah:
L Low risle: Chlorambttcil 0,T mg/kg, 4 hari setiap 3-4 minggu.
2. Intermediate risk: Sama dengan A
3. High risk: Sama dengan A ditambah prednison 40-60lhari
untuk 7 hari seriap 34 minggu.
PENYAKIT MIELOPROLIFERATIF
Penyakit mieloproliferattf (myebproliferatiue disorder) adalah penyakit
klonal akibat proliferasi sel yang berasal dari sel induk mieloid karena
dapat'mengenai seri granulositik, monositik, eritroid, meg"kariosit.l3-'a
148
HematoLogi Ktinik Ringkas
Penyakit mieloproliferatif dibagi 2 golongan besar:
l. Penyakit mieloproliferatif yang jelas menunjukkan sifat maligna
ffiank hematologic malignancies), yairu:
leukemia mieloid akut;
leukemia mielositik kronik;
leukemia mielomonositik kronik.
2. Penyakit mieloproliferarif yang tingkat keganasannya masih per-
a.
b.
c.
lu
dibuktika
n
(non huh
emic
mye lopro
liferatiue
diso
rders), yaitu:
a.
b.
c.
d.
polisitemia vera;
mielofibrosis dengan mieloid metaplasia;
thrombositemia essensial;
metaplasia mieloid tanpa mielofibrosis.
Sifat-sifat penyakit mieloproliferarif nonmaligna adalah:
1. Proses mengenai lebih dari satu seri sel
2. Selalu terjadi proliferasi megakariosit
3. Selalu terjadi proliferasi jaringan hemopoetik ekstra medule
sehingga menimbulkan splenomegali.
Penyakit-penyakit ini berhubungan sangat dekat, terdapat bentuk transisi dan dapat rerjadi evolusi dari satu bentuk ke bentuk
yang lain dapat terjadi selama perjalanan penyakit (gambar 9-8).
MIELOFIBROSIS DENGAN MIELOID
METAPLASIA
Penyakit mielofibrosis dengan metaplasia mieloid (MMM) ditandai
oleh fibrosis progresif sumsum tulang disertai pembentukan hemopoesis dalam hati dan limpa (dikenal sebagai metaplasia mieloid). Hal
ini menyebabkan anemia dan hepatosplenomegali massif,l-3'13 Gambar-
an klinik penyakit
a.
b.
c.
d.
ini
adalah:
umur penderita relatif tua, lebih dari 50 tahun;
gejala hipermetabolik: penurunan berat badan, anoreksia, demam dan keringat malam;
disertai splenomegali masif;
leukositosis >50.000/mm3, tingginya jumlah leukosit tidak sebanding dengan besarnya splenomegali;
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 149
Bone manow stem cell
Acquired
abnormality
Principle
cellular
proliferation
Red cell
Granulocyte
precursors
precursors
+
+
Clinical
Megaka--
Reactive
ryocytes
fibrosis
*+
ryocytes
*
entity
Acute
Myeloid
Leukemia
10%
Gambar 9-8. Hubungan berbagai jenis penyakit mieloproliferatif
e.
f.
g.
h.
anemia sering berat;
tear drop cell dalam apusan darah tepi dan gambaran leukoeritroblastik;
neutrophil alhaline phosphatase normal, lactic dehydrogenase, dan
asam urat meningkat;
sumsum tulang: fibrosis dengan cluster sel megakariosit.
MMM perlu dibedakan dengan leukemia mieloid kronik, diMMM peningkatan leukosit tidak sebanding dengan
mana pada
splenomegali, fosfatase alkali netrofil normal, dan tidak dijumpai
kromosom Philadelphia.
Terapi untuk MMM berupa terapi paliatif untuk mengatasi anemia
dan splenomegali. Ti'ansfusi dan asam folat folat diberikan secara teratur
untuk mengatasi anemia. Hidrolsiurea dapat mengurangi splenomegali
dan gejala hipermetabolik. Splenektomi hanya dipertimbangkan jika
150
Hematologi Klinik Ringkas
gejala splenomengali sangat menyolok disertai sindroma hipersplenisme berat. Ada juga yang mempertimbangkan pemberian androgen atau alhylating agent.
POLISITEMIAVERA
Polisitemia vera adalah proliferasi berlebihan sel eritroid, disertai
dengan seri mieloid dan megakariosit. Proliferasi maligna
ini bersifat
klonal dari sel induk hemapoerik.l-3'13 Polisitemia vera harus dibedakan dengan polisitemia sekunder. Penyebab pisitemia secara
umum dapat dilihat pada abel 9-12.
Ada 3 fase perjalanan penyakit polisitemia vera, yaitu:
I . Fase preklinik
2.
3.
Fase stabil
Fase " spenf'
Tabel 9-12
Penyebab Polisitemia
Primer
Polisitemia vera
Sekunder
Peningkatan kompensatoar eritropoetin pada keadaan sebagai berikut:
1. ketinggian
2. penyakit paru dan hipoventitasi alveoler
' 3. penyakit jantung kongenital dengan sianosis
4. perokok berat
Peningkatan abnormal (inappropriate increase'1 eritropoetin pada keadaan berikut
1. penyakit ginjal (hidronefrosis, kista, karsinoma)
2. tumor, seperti fibromioma uteri, hepatoma, hemangioblastoma,
dan cerebellum
Relatif
1. stres atau pseudopolisitemia
2. perokok :
3. dehidrasi
4. kehilangan plasma: luka bakar, enteropati
Leukemia dan Pengakit Mieloprotiferatif 151
Gejala Klinik
Polisitemia vera pada umumnya mengenai umur tua disertai gambaran klinik berupa berikut:
a. sakit kepala, sesak napas, penglihatan kabur, dan keringat malam;
b. sering disertai gelala epigastreal distress, ulkus peptikum dijumpai pada 5-10% kasus;
c. disertai rasa gatal, kesemutan dan rasa terbakar pada tungkai;
d. sering disertai plethora (muka kemerah-merahan=rudd! ryanosis);
e. splenomegali dapat dijumpai pada 75o/o kasus, tetapi tidak
masif;
f.
g.
h.
perdarahan; seperti perdarahan gastrointestinal, uterus, serebral, gejala thrombosis arterial: jantung, serebral, perifer; gejala
thrombosis vena: superfisial pada kal<t, deep uein tltrombosis,
serebral, portal atau hepatik;
hipertensi dijumpai pada sepertiga kasus;
dapat dijumpai artritis gout karena hiperurisemia.
Kelainan Laboratorium
Pada polisitemia vera dapat dijumpai kelainan laboratorium sebagai
beri kut:
a.
b.
hemoglobin, hematolrit dan eritrosit meningkat;
leukositosis moderat dan trombositosis ringan pada lebih dari
c.
50%o kasus;
massa sel darah merah meningkat,
d.
e.
f.
g.
diukur dengan teknik Cr51,
l25Ijuga
meningkat,
diukur dengatt
total
dan volume plasma
albumin;
neutrophil alhaline phosphatase (NAP) meningkat, vitamin B12;
serum dan Bl2-binding capacity meningkat;
viskositas darah meningkat;
asam urat darah meningkau
sumsum tulang hiperseluler dengan cluster megakariosit.
Diagnosis
Diagnosis polisitemia vera dibuat jika dijumpai peningkatan massa
eritrosit dan dengan menyingkirkan penyebab polisitemia sekunder
dan relatif, Po$cytltemia Wra Study Group membuat kriteria diagnosis sebagai berikut:
I
152
l.
Hematologi Ktinik Ringkas
Karegori A
a.
Massa sel darah merah total, yaitu:
i.
ii.
laki-laki >35 ml/kg
perempuan >32 mllkg
Saturasi oksigen arrcrial >92o/o
b.
c. Splenomegali
2. Karegori
B
a. Thrombosit >400x10e/l
b. Leukosit >lzxl}ell
c. Skor NAP meningkat
d. Kadar vitamin B12 serum meningkat
Di
pihak lain WHO membuat kriteria diagnosis, seperti terlihat
pada rabel 9-13.
Terapi
Terapi diusahakan unruk mempertahankan hematokrit sekitar 0,45
dan thrombosit di bawah 400x10911.
Phlebotomi
Venaseksi untuk phlebotomi dikerjakan pada pasien umur muda
dan penyakit ringan.
Sitostatika
Hidroksiurea diberikan untuk mengendalikan eritrosit, leukosit dan
thrombosit. Perlu diberikan terapi pemeliharaan bertahun-tahun.
Busulfan dapat juga diberikan secara intermiten dengan beberapa efek samping yang merugikan.
Fosfor 32
Fosfor 32 diberikan untuk penderita usia lanjut dengan stadium
penyakit yang lebih berat.
lnterferon
Interferon alfa dilaporkan memberikan hasil cukup baik, tetapi masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
TROMBOSITEMIA ESENSIAL
Thrombositemia esensial atau essential thrombocyihemia (ET) adalah
kelainan mieloproliferatif klonal yang primer mengenai megakariosit
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatil 153
Tabel 9-13
Kriteria Diagnosis Polisitemia Vera Menurut WHO16
1. 41 Elevated
or Hb
>
RBC rnass > 25% above mean normal predicted value,
18.5 g/dt in men, 16.5 g/dt in women
2. A2 No cause of secondary erythrocytosis, including:
a. Absence of familial erythrocytosis
b. No elevation of erythropoietin due to:
i.
hypoxia (arterial pO2 d" 92%)
affintty hemoglobin
iii. truncated EPO receptor
w. inappropriate EPO production of tumor
ii. high
3. A3 Splenomegaly
4. A4 Ctonal geietic
abnormatity other than Ph chromosome or BCN
ABL fusion gene in marrow cell
A5 Endogenous erythroid colony in vitro
81 Thrombocytosls > 4A0 x 10s/t
5.
6.
7. 82WBC> 12x 10e/t
8. 83 Eone marrow biopsy showing panmyelosisi with erythroid and
9.
.
megakaryocytic protifetration
84 Low serum erythropoietin levels
Diagnose PV when A1 + A2 and othercategory
A1 + A2 and any two of category B are present
A
are present, orwhen
yang ditandai oleh thrombositosis menetap dalam darah tepi dan
peningkatan jumlah serta besar megakariosit dalam sumsum tulang.
Insiden ET di Negara Barat diperkirakan 1-2,5 per 100.000
penduduk per tahun. Sebagian besar kasus berumur 50-60 tahun,
hampir sama pada laki-laki maupun p...-p,r"n.tn
Gejala Klinik
Gejala klinik ET
a.
b.
adalah:
t-1't3'16
sekitar 50% bersifat asimtomatik;
sekitar 20-50o/o menunjukkan gejala perdarahan abnormal
atau thrombosis. Perdarahan terutama dari mukosa berupa:
hematemesis melena atau hemoptoe. Oklusi mikrovaskuler
menimbulkan transient ischemic attach, atau ischemia digital
dengan parestesia atau gangrene.
154
Hematologi Klinik Ringkas
Thrombosis arteri arau vena besar dapat terjadi, kadang-kadang
disenai thrombosis pada vena hepar atau lien.
c.
d.
splenomegali ringan dijumpai pada 5070 kasus:
hepatomegali hanya dijumpai pada l5-20%o kasus.
Kelainan Laboratorium
a.
b.
c.
d.
trombosit meningkar, biasanya >600.000/mm;3
sering dijumpai leukositosis ringan;
apusan darah tepi menunjukkan anemia normokromik-normositer thrombosit sangat meningkat, kadang-kadang dijumpai
gambaran leukoeritroblastik dan tear drop cell;
biopsi sumsum tulang normoseluler arau hiperseluler ringan.
Yang khas adalah peningkatan jumlah megakariosit. Megakariosit besar-besar sampai giant megaharyocltes Tersusun dalam
klaster longgar dengan sitoplasma banyak dan inti hiperlobulasi . Aspirasi sumsum tulang sering dry tap.
Diagnosis
Sampai saat ini belum terdapat petanda genetik maupun biologik
yang khas untuk ET. Oleh karena itu, diagnosis rerurama ditegakkan dengan menyisihkan kemungkinan penyebab thrombositosis
sekunder. \7HO membuat kriteria diagnosis ET seperti terlihat
pada tabel 9-14.
Terapi
Tirjuan terapi pada ET adalah mengendalikan hitung thrombosit
sehingga mencegah thrombosis. Untuk penderita dengan risiko
tinggi thrombosis sebaiknya thrombosit dipertahankan di bawah
600 x 10e/1. Hidroksiurea merupakan obat yang sering diberikan
untuk menurunkan jumlah thrombosit. Interferon-alpha dapar dipertimbangkan pada penderita dengan umur yang lebih muda.
Anagrelide merupakan obat yang sangar efektif untuk menurunkan
jumlah thromb-osit, saat ini sedang mengalami uji klinik fase lanjut.
Busulfan d".r 32P dapat menurunkan thrombosit terapi efek samping jangka panjangnya kurang baik. Untuk pengelolaan jangka
pendek dapat dipertimbangkan platelet pheresis. Aspirin dapat diberikan untuk mencegah thrombosis, sepanjang tidak ada riwayat
perdarahan.6
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 155
Tabel 9-14
Diagnostic Criteriu for Essential Thrombocythemiat6
Positive criteria
1.
Susfarned platelet count> 600 x 1Ts/t
Bone marrow biopsy specimen showing proliferation mainly of the
megakaryocytic lineage with increased numbers of enlarged, ma'
ture megakaryocytes.
Criteria of exclusion
1. No evidence of polycythemia vera
a. normal red cell rnass orHb <18.5 g/dl in men, and < 16.5 ldl in
women.
b. stainabte iron in marrow, normal serum ferritin or normal MCV
c. if the former condition is not met, failure of iron trial to increase
red cell rnass or hemoglobin levels to the PV range
2. No evidence of CML
a. no Philadelphia chromosome and no BCNABL fusion gene
3. No evidence of chronic idiopathic myelofibrosis
2.
a. collagen flbrosls absent
b. reticutin flbrosls minimal or absent
4. No evidence of mylodysplastic syndrome
a. no det(Sq), t(3;3)(q21 q26), inv(3)(q21q26)
b. no significant of granutocytic dysplasia, few if any
micromegakaryocytes.
5. No evidence that thrombocytosis ls reacfive due to:
a. underlying infection or inftammation
b. underlying neoplasm
c. prior splenectomy
SINDROM MIELODISPLASTIK
(MYEL O DY S P L AST IC S }A\IDR O ME)
Sindrom mielodisplastik (SMD) atau myelodyspkstic syndrome
(MDS) adalah kelainan neoplastik hemopoetik klonal yang
disebabkan oleh transformasi ganas sel induk mieloid sehingga
menimbulkan gangguan maturasi dan diferensiasi (displastik) seri
mieloid, eritroid atau megakariosit, y^ng ditandai oleh hematapoesis inefektif, sitopenia pada darah tepi, dan sebagian akan
mengalami transformasi menjadi leukemia mieloid ak,,tt.1-t Sifat
neoplastik klonal dari kelainan
ini telah terbukti dan
secara
156
Hematologi Klinik Ringkas
klinik kelainan ini dapat dianggap sebagai suaur premalignant state
sehingga disebut juga sebagai preJeukemia. MDS merupakan kelainan yang sangar heterogen, tetapi disatukan oleh adanya displasia
pada satu atau lebih turunan seI (cell lineage), serta adanya kecenderungan transformasi maligna pada sebagian besar kas*s.1-6
Meskipun klasifikasi resmi MDS baru muncul sejak 2 dekade
yang lalu, yaitu klasifikasi FAB,16 tetapi deskripsi kasus ini telah
dimulai 60 tahun yang lalu. Rhoades dan Baker pada tahun 1938
telah mengajukan 60 kasus anemia refrakter yang mendahului leu-
kemia mieloid akut. Istilah prelukemia dipakai oleh Block et al.
tahun 1953, sedangkan Rheingold et al. pada tahun 1963 mengajukan istrlah smoldering acute leukemia. Meischer dan Farquet pada
tahun 1974 mendeskripsikan kasus leukemia mielomonositik kronik, kemudian Dreyfus pada tahun 7976 mempublikasikan kasus
refactory anemia tuitlt excess myelobkst. Istilah dysmyelopoietic diperkenalkan oleh Streuli et al. pada tahun 1980, kemudian Benner et
al. dari grup FAB memakai istllah rnyelodysplastic syndrome mulai
tahun 1982, terakhir Heaney dan Golde memakai isilah myelodyspksia.t'te'20 Sebelum istilah MDS diterima secara luas, para klinisi
dibingungkan oleh berbagai terminologi lain seperti: preleukemia,
subacute myeloid leukemia, smoldrring acute leuhemia, /temopoietic dltsplasia, herald state of leuhemia, preleukemic anemia, refractory dysrryelopoietic anemia, dysmyelopoietic syndrome, myloid dysplasia, untuk
kasus-kasus yang sangar bervariasi ini. l-6'le
Epidemiologi
lnsiden
MDS adalah penyakit yang relatif baru, sehingga data
mengenai
insiden penyakit ini belum banyak dijumpai. Linman dan Bagby,
yang dikutip oleh Heaney dan Golde20 memperkirakan di Amerika
Serikat pada tahun 1978 dijumpai 1500 kasus baru. Pada pertengahan tahun 1980-an, Leuhemia Research Fund di Inggris mendapatkan insiden 3,6/100.000/tahun, meskipun dengan variasi daerah
per daerah yang cukup besar. Studi dari Dusseldorf yang diterbitkan
pada tahun 1992, menunjukkan peningkatan insiden dari t,3l
Leukemia dan Pengakit Mietoproliferatif 157
100.000/tahun untuk periode 1976-1990 menjadi 4,1/100.000/
tahun untuk periode 1986-1990.'Williamson et al.r yang melakukan penelitian di Bournemouth (Inggri$ pada periode 1981-1990
mendapatkan insiden 12,6/100.000/tahun. Insiden MDS pada
umur tua lebih tinggi dibandingkan dengan leukemia mieloid akut.
Data insiden MDS untuk Indonesia belum dijumpai sampai saat
ini. Soebandiri et al21 yang meneliti di Surabaya tahun 1981-1986
mendapatkan sejumlah 38 kasus, dan terlihat kecenderungan yang
melaporkan MDS
se-akin meningkat setiap tahun. Suega .t
"1.12
merupakan l4o/o dari 86 kasus yang dirawat pada Divisi Hematologi Bagian Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar, dan merupakan urutan kedua setelah anemia aplastik.
.Terdapat kecenderungan adanya peningkatan insiden MDS,
meskipun laporan ini perlu dikonfirmasi. Apakah peningkatan ini
disebabkan oleh peningkatan angka absolut, ataukah hanya bersifat
relatif karena perhatian yang lebih besar, ataukah karena kriteria
diagnostik yang lebih jelas, masih perlu diteliti lebih lanjut. Kesulitan dalam penelitian insiden MDS disebabkan oleh kesulitan di
dalam mendapatkan penderita karena diagnostik MDS memerlukan
pemeriksaan sumsum t,rl"rrg.19
Umur dan )enis Kelamin
MDS merupakan penyakit usia lanjut dengan >80%o kasus berumur
di atas 60 tahun, dengan umur rata-rata sekitar 65 tahun. Kasus
dengan umur di bawah 50 tahun jarang dijumpai, meskipun kasus
'Williamson melaporkan
MDS pada anak juga pernah di laporkan.
insiden pada kelompok umur <50 tahun adalah 0,5/100.000/tahun,
5,3 untuk umur 50-59 tahun, 15 untuk umur 60-69 tahun, 49
untuk umur 70-79 tahun, dan 89 untuk umur >80 tahun. MDS
dijumpai hampir dua kali lebih sering pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. Soebandiri et al. Surabaya mendapatkan rasio
laki-laki:perempuan= 1,9:1, sedangkan Suega et al. di Denpasar
r2'2t
mendapatkan rasio l:7.
158
Hematologi Klinik Ringkas
Penyebab
Seperti halnya penyebab kanker pada umumnya, penyebab MDS
yang pasti belum diketahui. Studi epidemiologi menunjukkan
pemaparan terhadap bahan kimia:
MDS dihubungkan dengan
benzen, halogenated hydrocarbon, hidrogen peroksida serta pemaparan terhadap sinar gama, thorium dan radium. Penelitian di Inggris8
menunjukkan pemaparan terhadap dental X-ray memberikan risiko
1,85 dan radioterapi memberi risiko 1,89.
Pemaparan terhadap kemoterapi rernyara menimbulkan apa
yang disebut therapy related MDS (t-MD$, y".rg bersama dengan tAML merupakan hal yang paling ditakuti setelah pengobatan
kanker. Kemoterapi yang paling sering dituduh adalah alkylating
agent (siHofosfamid, melphalan) dan DNA topoisomerase II inhibitor
(Ara-C, teniposid, etoposid). Pemaparan terhadap radioterapi juga
dicurigai tetapi dengan risiko lebih rendah. Masa laten anrara pema-
paran sampai timbulnya MDS adalah 4-5 tahun.r' Thrrn11y related
MDS lebih sering disertai kelainan sitogenetik, yaitu delesi atau'/lss
kromosom 5 dan 7 setelah alhylating /xgent, sefia balanced trans/ocation yang mengenai band 3q26, Ilq23, dan 21q22 setelah pemakaian inhibitor tropoisomease II.r
Frekuensi Bentuk-Bentuk
Klinik MDS
FAB membagi MDS atas 5 kategori: RA (refactory anemia), RARS
(refactory anemia utith ringed sideroblast), RALB (refractoty anemin
with excess blast), R-\EB-I (refactory anemia witb excess blast in trans-
formation), dan CMML (chronic myelomonocytic leukemlal.ts
Frekuensi jenis-jenis MDS menurut klasifikasi FAB di negara Bar-at
ataupun di Indonesia dapat dilihat pada tabel 9-15.
Laporan penelitian mengenai frekuensi MDS di Indonesia masih
jarang dijumpai. Perbedaan dalam angka-angka yang dijunipai dapat disebabkan oleh perhatian dan fasilitas diagnosis yang l-rerbcda.
Misalnya, di Denpasar, tidak dijumpai RARS karena fasilitas peng€catan besi sumsum tulang belum tersedia.
Leukemia dan Pengaktt Mieloproliferatif 159
Tabel 9-15
Distribusi |enis MDS Menurut Klasifikasi FAB
Jenis
MDS Di negara Baratle Surabaya2l
RA
25%
RARS
RAEB
RAEB-t
15o/o
CMML
35%
15%
10%
Denpasarl2
29%
5B%
38%
29%
105%
29Yo
2,50
Klasifikasi MDS
Pada
tahun 1976, FABI7 (French American British group) membuat
klasifikasi leukemia akut, yang memasukkan juga sindrom mielodisplastik sebagai diagnosis diferensial, yaitu untuk kasus dengan Per-
jalanan penyakit yang lebih lambat dan terjadi pada umur yang
lebih tua. Kasus ini disebut sebagai dysmyelopietic syndrome arau
myelodysplastic syndrome. Kemudian pada tahun 1982, FAB18 membuat klasifikasi khusus untuk sindrom mielodisplastik yang diterima secara luas sampai saat ini. FAB membagi MDS menjadi 5
kategori (tabel 9-15) berdasarkan jumlah blast dalam darah tepi
dan sumsum tulang, jumlah monosit dalam darah tepi, serta jumlah
ringed sideroblast dalam sumsum tulang.
MDS yang timbul setelah kemoterapi mempunyai gambaran klinik
yang sama dengan MDS de nouo, tetapi mempunyai perbedaan dalam
Tabel 9-15
Klasifikasi MDS Menurut
FAB18
1. Refractory anemia (RA)
2.Refractory anemia with ringed stderob/asf (RARS)
3.Refractory anemia wifh excess blasl (RAEB)
4.Chronic myelomonocytic leukemia (CMML)
5. Refractory anemia with excess blast "in transformation" (RAEBa)
160
Hematologi Klinik Ringkas
gambaran sitogenedk dan prognosis karena ada yang menggolongkannya sebagai bentuk tersendiri: therapy rekted MDS (I-MDS). t'a'le
Uraian mengenai bentuk-bentuk MDS sesuai dengan klasifikasi
FAB disampaikan di bawah ini.
Refractory Anemia (RA)
Pada RA dijumpai sitopenia, paling sedikit pada satu turunan sel
(cell lineag), pada umumnya pada seri eritroid. Sumsum tulang
hiperseluler arau normoseluler dengan perubahan displastik ter,
utama pada sistem eritroid, sistem granulosit dan megakariosit
mengalami perubahan displastik dalam derajar yang lebih ringan.
Blast dalam darah tepi <lo/o dan dalam sumsum tulang .5o/o.t'te
Refractory Anemia with Ring SrUerob/asf (RARS)
Pada RARS dijumpai sitopenia (hampir selalu disertai anemia), per-
ubahan displastik, jumlah blast seperti pada RA. Ringed sideroblast
dijumpai >l5o/o dari sel eritroid berinti dalam sums,r^ t,rla.,g.1'te
Refractory Anemia with Excess B/asf (RAEB)
Pada RAEB dijumpai sitopenia dari dua atau lebih turunan sel (cell
lineag) pada darah tepi. Perubahan displastik pada kedga
lineage
dalam sumsum tulang lebih nyata. Blast darah tepi <5o/o dan dalam
sumsum tulang antara 5-20o/o.1'r9
Chronic Myelomonocytic Leukemia (CMML)
Pada CMML dijumpai monositosis pada darah tepi (monosit >l
10e per
liter). Blast dalam darah tepi
sum tulang blast sampai dengan
x
<5o/o, sedangkan dalam sum-
20o/o.t'19
Refractory Anemia with Excess Blasf rn
T ra n sf o rm ati o n ( RA E B -t)
Pada RAEB-I gambaran hematologik sama dengan RAEB, tetapi
blast darah rcpi >5o/o atau blast dalam sumsum tulang 2l sampai
30o/o arau adanya Auer rod pada sel bl"st.l'le
Klasifikasi MDS Menurut WHO
\7HO16 pada tahun 2001 membuar klasifikasi MDS yang lebih
detail yang mungkin mempunyai hubungan lebih baik dengan
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 161
prognosis. Klasifikasi MDS
menurut\7HO dapat dilihat
pada tabel
9-r7.
Kelainan darah tepi dan sumsum tulang pada berbagai jenis
MDS menurut klasifikasi '!?HO dapat dilihat pada tabel 9-18.
Tabel 9-17
Klasifikasi MDS Menurut WHO16
1. Refractory anemia (RA)
2.Refractory anemia with ringed slderoblasf (RARS)
3. Refractory cytopenia with muttitineage dysplasia (RCMD)
4.Refractory anemia wth excess b/asf 1 (RAEB-1)
S.Refractory anemia with excess b/ast - 2 (RAEB-2)
6. Myelodysplastic syndrome u nclassified (MD S-U)
7.MDS associated with del(Sq)
-
Perbedaan Klasifikasi MDS Menurut FAB dan WHO
Sebetulnya tidak terdapat perbedaan yang bermakna berdasarkan
klasifikasi FAB dengan'WHO, tetapi klasifikasi \X/HO dimodifikasi
untuk lebih menajamkan prognosis, yait,r:t6'20
a. \fHO memasukkan refactory cltopenia sebagai salah satu kategori MDS karena dalam kenyataannya ada kasus-kasus MDS
tanpa disertai anemia sehingga tidak dapat dimasukkan dalam
klasifikasi FAB.
b. FAB memakai istilah RAIB dan RAEB-I,
sedangkan
WHO
memakai istilah RAEB-I dan RAEB-2 dengan titik pemilah
jumlah blast yang sedikit berbeda.
c. \f-HO memasukkan satu kategori baru MDS associated with
del(5q), di klinik dikenal sebagai 5q-slndrome yang mempunyai prognosis yang sangat baik.
Beberapa Permasalahan dalam Klasifikasi FAB ini adalah:r
a. Mengenai nama anemia refrakter masih menjadi perdebatan,
karena anemia yang tidak reponsif pada pengobatan tidak dapat
ditentukan sebelum pengobatan diberikan dan tidak dapat ditentukan secara morfologik. Anemia tidak selalu menjadi komponen
MDS karena ada yang mengusulkan nama"refractzry cltzPenia".
162
HematoLogi Klinik Ringkas
Tabel 9-18
Kelainan Darah Tepi dan Sumsum Tulang pada MDS
Menurut Ktasifikasi WHO16
Jenis MDS
Refractory anemia
(RA)
Darah tepi
Sumsum tulang
Anemia
No or rare blast
Erythroid dysplasia only
< 5% blast
< 15% ringed
siderob/asf
Refractory anemia with Anemia
215% ringed
ringed sideroblast
sideroblast
No b/asf
Erythroid dysplasia only
< 5% blast
Refractory cytopenia with Cytopenias (bicyto-Dysplasia in > 1A% of
multilineage dysplasia penia/ pancyto- the celts in two or more
and ringed siderob/ast penia)
myeloid cetl lines
(RCMD-RS)
No or rare blast >15% ringed sideroblast
(RARS)
Refractory anemia
with
No Auer rods
< 5To blasts
Cytopenias
No Auer rods
lJnitineage or multifineage dysplasia
excess btast-l (RAEB-I) <
5%o blasts
y?it7;,:"::,.
5-9% blasts
No Auer rods
cytes
Refractory anemia with Cytopenias
excess blast-2 (RAEB-Z) G19% blasts
Auer rods +
Unilineage or
multilineage dysplasia
10-19% blasts
Auer rods +
Myelodysplastic
syndromeUnclassified (MDS-U)
MDS associated with
isolated del (5q)
Cytopenia
Unilineage dysptasia:
one myeloid cell line
No or rare blasts
No Auer rods
Anemia
lJsually normal
< 5% blast
No Auer rods
Normal to increased
megakaryocytes with
or increased
hypolobulated nuclei
platelet
< 5%o blasts
lsolated del(5q) cytoge
<5%o blasts
netic abnormality
No Auer rods
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 163
b.
Masalah kedua adalah mengenai kontroversi memasukkan
CMML ke dalam MDS. CMML meskipun menunjukkan tandatanda displasia, tetapi lebih sering menunjukkan tanda-tanda
mieloproliferatif: splenomegali dan leukositosis sehingga lebih
tepat jika dimasukkan dalam MPD (myeloproliferatiue disorder).
c. Masalah lain, seperti halnya pada setiap klasifikasi penyakit
yang harus membuat perbatasan dari suatu " continuum" sebuah
penyakit, adalah"bersifat arbitrer. Mengambil angka blast 300/o
sebagai perbatasan adalah hal yang secara biologik inkonsisten.
'S7HO
menganggap angka 20o/o lebih tepat.
Meskipun dengan segala kelemahannya, klasifikasi MDS diterima secara luas karena merupakan "bench marh" dalam diagnosis
dan merupakan petunjuk kasar unruk prognosis.l
Aspek Biologi
Asal-Usul Sel Neoplastik pada MDS
Sifat monoklonalitas MDS telah dibuktikan melalui penelitian
iso-
ensim G6PD, analisis sitogenetik, atau penelitian lromosom dengan
teknik yang lebih maju, yaitu FISH ffluorescent in situ hybridization),
penelitian RJLP (restriction fagment length polymorphism) dengan Xlinhed restriction DNA. Transformasi neoplastik terjadi pada tingkat
sel induk mieloid (CFU-GEMM) karena transformasi ke arah leukemia selalu menjadi AML belum pernah dilaporkan menjadi ALL.
Di samping itu, petanda sitogenetik hanya dijumpai pada sel turunan mieloid (granulosit, eritroid, megakariosit, monosit), tidak
pada turunan limfoid. Biarpun demikian, pernah dilaporkan pada
limfosit-T, tetapi sangat jarang.l'6
Aspek Sitogenetik
Kelainan kromosom (haryotype) sangat sering dijumpai pada kasus
MDS dan mempunyai arti penting dalam hubungan dengan patobiologi, diagnosis dan prognosis MDS. Kelainan kromosom tunggal
atau multipel dapat dijumpai sena dapat mengalami perubahan lebih
lanjut selama perjalanan penyakit. Kelainan sitogenetik klonal dijumpai
164
Hematologi Klinik Ringkas
pada 30-50o/o MDS de nouo, dan pada lebih dari 807o kasus MDS
6''o P"d" I-MDS kelainan
sekunder (therapy related-MDS=t-MDS).1
kromosom lebih sering bersifat kompleks, mengenai 3 atau lebih
kromosom.2o K.I"i.r"., sitogenetik pada MDS dapat berupa, seperti:
l. Hilangnya (delesi) sebagian atau seluruh kromosom, terutama
kromosom 5(-515q-), kromosom
kromosom
X
7
(-717q-), kromosom 20,
atau Y.
2.
3.
Penambahan (duplikasi) jumlah kromosom, misalnya nisomy B.
Balanced translocation jarang dijumpai, jauh lebih jarang dibandingkan dengan pada AML.
Insiden kelainan kromosom pada MDS de nouo dapat dilihat pada
tabel 9-19.
Hubungan antara kelainan sitogenetik dengan jenis MDS
(menurut klasifikasi FAB) masih belum jelas. Kecuali 5q- yang khas
dijumpai pada RA, kelainan sitogenetik terdistribusi hampir merata
pada seluruh MDS. Beberapa bentuk klinik yang khas dijumpai
pada kelainan sitogenetik tertentu dapat dijumpai pada tabel 9-20.
Tabel 9-19
Kelainan Sitogenetik yang Paling Sering Diiumpai
pada MDSl'1e'20
Abnormalitas Kromosom
Frekuensi(%)
nterstitiat alau terminal deletion
Del 5q
Del 7q
Del 20q
20
20-1 0-
I
3-5
Chromosome deletion
Del (7)
Del(Y)
Del (17)
1
0-50.
3-1 0.
3-17*
Chromosome duplication
A
10-1s
Translocation
t(3,3) atau inv 3
(5,17) atau t(7,17)
2-8%)
Insomy
2-6
*angka yang lebih tinggi menunjukkan frekuensi pada I-MDS
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 165
Sindrom 5q-(the 5q- syndromr) penama kali dilaporkan oleh van
den Berghe et al pada tahun 1974, merupakan bentuk klinik yang
khas. Lebih sering dijumpai pada perempuan (70o/o1, dijumpai anemia makrositik refrakter, nerropenia jarang ditemukan atau hanya
ringan saja, trombosit sering normal atau meningkat, dan dijumpai
mikromegakriosit-nonlobulated pada sumsum tulang. Perjalanan penyakit lebih ringan dengan angka transformasi menjadi leukemia
rendah
(<10%o).1'20
Kelainan sitogenetik yang khas sangar membantu diagnosis MDS
dengan bentuk-bentuk yang tidak tipikal seperti hypoplastic MDS
atau MDS dengan mielofibrosis. Kelainan sitogen*tik juga sangat
menentukan prognosis penderita MDS di samping jumlah blast
dalam sumsum tulang, seperri dapat kita lihat pada International
Prognostic Scoring System
for
Myelodysplastic Syndrome.
t'20
Tabel 9-20
Beberapa Bentuk Kelainan Sitogenetik yang Khas20
(Cy t o geneti cally D efine d Sy n dr o m e)
Kelainan Sitogenetik
Gambaran Klinikopatologi
Deletion 5q31 (5q)
RA (5q-syndrome)
Deletion 17p
Pelgeroid neutrophils dengan
vakuolisasi sitoplasma
Monosomi T
Abnormal3q26 (EVl-1)
Disfungsi netrofil
Trombositosis dengan megakariosit
displastik
Abnormal 12p
CMML atau RAEB
Deletion 20q
RA dengan prognosis baik
Kelainan Hematopoesis
Pada percobaan in vitro (in uitro cbnogenic assa) dr1umpai bahwa kapasitas pembentukan koloni dari sel induk hematopoetik (CFU-GEMM,
BFU-E, CFU-E, CFU-GM, CFU-Mk) sangat menurun, sesuatu hal
yang juga dijumpai pada kasus AML. Kemampuan pembentukan
klaster juga menurun, disertai gangguan maturasi sel dalam koloni.l'\7
Penelitian awal menunjukkan gangguan marurasi sel disebabkan
oleh defek intrinsik dari klon sel neoplastik, sangat mungkin karena
166
Hematologi Klinik Ringkas
kinetik sumsum tulang
menunjukkan kecepatan divisi sel lebih tinggi dari sel normal.
3H+hymidinr ke dalam DNA menurun jika
Kecepatan inkorporasi
terjadi transformasi dari MDS ke AML.t
Penelitian in vitro (clonogenic assa) menunjukkan gangguan regulasi hemopoetik. Terjadi penurunan produksi ltemopoietic gruuth
factors (HGF), seperti GM-CSF, G-CSF, IL-3, M-CSE IL-6, dan
respons sel hemopoetik terhadap HGF juga menurun. Akan tetapi,
kadar HGF penghambat (inhibitor), seperti: TNF-c, TGF-p, INF-y,
MIP-1a meningkat pada kasus MDS.r'20
gangguan transduksi sinyal.l Penelitian
Perubahan Molekuler dan Onkogen
Perubahan molekuler (molecular euent) pada MDS yang menyebabkan gangguan proliferasi dan maturasi sangat heterogen dan belum
diketahui pasti. Kelainan lromosom pada MDS sangat sering dijumpai yang memungkinkan terjadinya zncogene rearr/tngement.
Perubahan ini bersifat multistep dengan mutasi sekuensial (sequential
mutations) yang pada akhirnya menimbulkan transformasi neoplaspada tingkat feonotipe.l-6'20
Berbagai ekspresi onkogen abnormal dijumpai pada kasus MDS,
seperti kelainan N-ras oncogene, turnzr suppressor genes: p53 dan.IRF-I,
the antiapoptotic bcl-2 gene, the cell-cycle regulator gene: pIl"n"o, dan
the transcription-factor gene: EVII dan MLL.|8 Gen-fms yang mengkode CSFl-receptzr (M-CSF-receptor) dljumpai pada 12-18%o kasus
MDS, terutama pada kasus CMML. Famili ras-znclgene yang mengkode GTP-binding proteiz (penting dalam transduksi sinyal) dijumpai pada 3-35o/o kasus MDS, juga terutama pada CMML.T-6'20
tik
Mutasi p53 tumor suppresszr gene dljumpai dalam frekuensi
rendah pada MDS. Pada MDS sebagian besar kelainan kromosom
berupa kehilangan seluruh atau sebagian materi kromosom terutama pada kromosom 5 dan 7, atau gain, seperti pada kromosom 8.
Pada keadaan ini dihipotesiskan bahwa yang akan terjadi adalah
berkurangnya pengaruh tumor supreiszr genet, berbeda dengan AML
di mana kelainan kromosom terutama dalam bentuk balance-translocation sehingga menimbulka n chimeric-onrogrrr.' Pembuktian hipotesis ini masih menunggu penelitian lebih lanjut.
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 167
Apoptosis Qtrogrammed cell dtath) diperkirakan merupakan salah
satu mekanisme terjadinya inffictuie hematopoiesis pada MDS. Pe-
nelitian menunjukkan meningkatnya apoptosis pada sel sumsum
tulang, terutama pada CD34-hematopoietic Precursor rel/ (sel induk
yang lebih muda). Apoptosis lebih sering dijumpai pada early MDS
(RA dan RARS) dibandingkan dengan RAEB atau RAEB-I. Peningkatan apoptosis pada MDS diperkirakan melalui peranan inhibitory
cytokines (seperti TNF-o, IFN-y, dan MIP-1a). Rasio Prl-aPzPtltic
zncogen (bcl-2) dengan anti-apzptotic znclgenes (bax, c-myc arau p53)
meningkat pada sel-CD34+, dengan demikian diperkirakan akan
meningkatkan apoptosis pada MDS.l-6'20
Kelainan Imunologi pada MDS
Berbagai kelainan imunologi dapat dijumpai pada kasus MDS, baik
kelainan sistem imun humoral ataupun sistem imun seluler.
Penderita MDS sangat mudah terkena infeksi, terutama oleh adanya
netropenia, tetapi pada kasus dengan angka netrofil normal infeksi
juga sering terjadi, hal ini diduga karena kemampuan fagositosis
netrofil sangat menurun. Penyakit autoimun juga lebih sering dijumpai pada MDS.l-6'20
Kelainan sistem imun humoral dijumpai berupa hipergamaglobulinemia poliklonal, hipergamaglobulinemia dan gamopati monoklonal. Jumlah limfosit-B normal, tetapi secara fungsional bersifat
imatur. Kelainan sistem imun seluler dijumpai dalam bentuk limfopenia sel-T, gangguan fungsi limfosit-T, dan penurunan sel T-helper.
Jumlah NK-cells juga menurun diserrai fungsi yang imatur. '-u''u
Patogenesis
Onkogenesis pada MDS bersifat multistep dimana terjadi proses akumulasi perubahan genetik yang pada akhirnya menuju suatu neo-
plasma ganas, setelah sebelumnya melewati fase pre-maligna. Pada
fase awal, sel induk normal dan abnormal sama-sama berfungsi,
tetapi pada fase selanjutnya klon sel ganas lebih dominan. Kecepatan
perubahan menjadi leukemia dan adanya fase preleukemia tergantung
pdda mutasi spgsifik sel induk. Penderita dengan balanced cltromosomal translocation, seperti t(15;I7) dan t(8;21) biasanya langsung
menuju ouert leukemia, rctapi unbalanced qttogenetic abnormalities
168
Hematologi Klinik Ringkas
seperti trisomi atau delesi sebagian atau seluruh kromosom biasanya
disertai hematopoesis inefektif dan mielodisplasia sebelum berkembang menjadi ouert leukemia. Balanced translocation akan menimbtrlkan oncogenic chimeric gene, sedangkan delesi menyebabkan
kehilangan turnor suPresso, grrr.t
Penyebab MDS belum diketahui secara pasri, dan sulit dipisahkan dari penyebab leukemia dan penyakit mieloproliferatif lainnya.
Diajukan hipotesis bahwa pengaruh faktor lingkungan, kelainan
genetik dan interaksi sel menimbulkan mutasi pada tingkat sel induk sehingga menimbulkan ketidakseimbangan proses proliferasi
dan diferensiasi. Variasi perubahan kedua proses ini akan menyebabkan transformasi ke arah leukemia akut, MDS atau penyakit
mieloproliferatif (MPD). Oleh karena itu, menjadi sangar rasional
kalau terjadi perubahan dari satu bentuk ke bentuk lain (leukemia,
MDS atau MPD) pada seorang penderita.
Pada MDS terjadi ketidakserasian antara proliferasi dengan diferensiasi, di mana daya proliferasi masih cukup tetapi terjadi
gangguan diferensiasi atau maturasi sehingga terjadi hemopoesis
inefektif, dengan kematian prematur sel (eritroid, mieloid, megakariosit) dalam sumsum tulang sebelum sempat dilepaskan ke darah
tepi. Hal ini berakibat terjadinya sumsum tulang hiperseluler, tetapi terjadi sitopenia pada darah tepi.2o
Instabilitas genetik menyebabkan terjadinya perubahan sitogenetik lebih lanjut, perubahan DNA sehingga akan msnuju ke arah
transformasi ganas dalam bentuk leukemia akut nonlimfoblastik
(ANLL). Faktor-faktor yang menentukan kecepatan transformasi
antara lain bentuk MDS berdasarkan klasifikasi FAB, dan kompleksitas kelainan sitogenetik.
Manifestasi
Klinik
Gejala Klinik
Gejala klinik MDS pada umumnya dihubungkan dengan
anemia,
leukopenia, atau trombositopenia. Sebagian kecil bersifat asimtomatik, penderita didiagnosis secara kebetulan pada saat pemeriksaan
darah rutin. Sebagian besar penderita berumur lanjut dengan insiden
tertinggi pada umur 65-70 tahun, retapi kasus MDS pada umur
muda juga dijumpai, bahkan juga dilaporkan MDS pada anak dan
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 169
bayi. Hampir
semua penderita (90o/o) disertai anemia dengan keluhan lemah, cepat lelah, dan pusing. Infeksi cukup sering dijumpai
pada MDS yang dihubungkan dengan terjadinya netropenia dan
penurunan fungsi netrofil. Infeksi merupakan keluhan utama dari
10% kasus dan penyebab kematian pada 2lo/o kasus. Gejala perdarahan
mukosa pada MDS disebabkan oleh trombositopenia.
Manifestasi perdarahan dijumpai dalam bentuk petechie dan echymosis
pada 260/o kasus, atau dalam bentuk epistaksis, perdarahan gusi, dan
perdarahan mukosa lainnya. Organomegali kadang-kadang dapat
dijumpai pada MDS dalam bentuk splenomegali, hepatomegali atau
limfadenopati. Splenomegali merupakan gejala klinik yang cukup
sering dijumpai pada CMML (25o/o), sering bersifat masif. Pada
kulit dan
14%o kasus dijumpai gejala kelainan autoimun, yang paling sering
dalam bentuk cutaneous uasculitis, dan artritis monoartrikul.r.l-6'20
Schumaker dan Nand melaporkan bahwa 90% kasus MDS bersifat simtomatik pada saat dijumpai pertama kali. Simtom y^ng paling sering adalah rasa lelah (B7o/o), berat badan menurun (29o/o),
demam 24o/o, dan perdarahan (24Vo). Berat badan menurun lebih
sering dijumpai pada CMML, sedangkan perdarahan dan demam
lebih banyak pada RAEB dan RA-EB-I. Gejala klinik yang dijumpai
berupa petechie dan echymosis (260/o), splenomegali (l7o/o), dan hepatomegali (12o/o). Komplikasi dalam bentdk sepsis dijumpai pada
40%o kasus, dan berupa perdarahan pada 2to/o kasus.2O
Kelainan Laboratorium
Darah Tepi
Kelainan hematologik pada MDS sangat heterogen, tetapi defisiensi
kuantitatif saru arau lebih komponen darah tepi selalu terjadi. Sel<nar 50o/o penderita menunjukkan pansitopenia, sebagian lagi dengan bisitopenia, hanya sekitar 5o/o dengan isolated cytopenia atau
monositosis.2o
Sebagian besar penderita disertai anemia yang bersifat normokromik-normositer atau makrositer. Sebagian penderita menunjukkan
anemia berat. Anemia disenai retikulositopenia (aregeneratiue anemia).
Leukopenia karena netropenia absolut dijumpai pada sekitar 50-600/o
kasus. Seri mieloid muda dapat dijumpai di darah tepi, tetapi dengan
blast <50lo. Tiombositopenia dijumpai pada 25-600/o kasus MDS.r-6'20
170
Hematologi Klinik Ringkas
Sumsum Tulang
Sumsum tulang pada MDS sebagian besar bersifat hiperseluler, tetapi
pada sebagian kecil penderita dijumpai sumsum rulang hiposeluler.
Disparitas antara sumsum tulang yang hiperseluler dengan darah tepi
yang menunjukkan sitopenia merupakan tanda khas dari MDS.
Pada preparat histologi hasil biopsi sumsum tulang sering sekali
dijumpai abnormal localization of immature precurszrs (ALIP) pada
MDS. Di sini dijumpai lebih dari 5 prekursor mieloid mengelompok (clustering) pada bagian sentral sumsum tulang, berbeda
dengan orang normal di mana sel prekursor selalu berada pada permukaan endosteal sumsum tulang.
20
Perubahan Displastik pada MDS
Pada.MDS perubahan kualitatif sangat menyolok baik dalam darah
tepi maupun sumsum tulang yang dikenal sebagai perubahan
displastik, yang kemudian menimbulkan terminologi mielodisplasia. Perubahan displastik ini merupakan hall marh dan pengikat
bersama (common thread) dari MDS. Perubahan terjadi pada ketiga
garis turunan sel (trilineag): eritroid, mieloid, dan megakariosit.z
Pada MDS perubahan displastik dijumpai pada lebih dari l0%5
atau lebih dari 20o/o sel berinti dalam sumsu- tulang.2'3 Tid"k
"d"
keJainan morfologik tunggal yang bersifat diagnostik, tetapi diagnosis
hanya dapat dibuat apabila dijumpai kombinasi gambaran displastik pada darah tepi dan sumsum tula.rg.2'3
Perubahan Displastik pada Sistem Eritroid (diseritropoesis)
Dalam darah tepi eritrosit bersifat sangat makrositik (MCV>100 fl),
tetapi dapat juga normositik, bahkan mikrositik. Pada RARS dijumpai
bentuk dimorfik. Dijumpai anisopoikilositosis, kadang-kadang
terdapat bentuk abnormal, seperti tear drop cell, ovalositosis atau
eliptositosis. Basophilic stippling menunjukkan sisa RNA akibat
eritropoesis inefektif. Dapat juga dijumpai normoblast dalam darah
tepi dengan inti ireguler (dyshinesis), fragmentasi inti atau perubahan
mega lo bl
as r
oid.z-a'20
Perubahan displastik sistem eritroid dalam sumsum tulang jauh
lebih menyolok. Dijumpai normoblast dengan kelainan inti: inti banyak (mubinucbariry), inti dengan benruk aneh (bizane arau missltapen),
nuclear dyshinesis, abnnormal dense chromatin, internuclear bridging,
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatlf 171
broad-based nuclear budding. Perubahan sitoplasma dijumpai dalam
bentuk: gangguan hemoglobinisasi (ghoxed cytoplasma), punctate
basophilia, vakuolisasi sitoplasma, dan Houell-lolly bodies. Sering dijum-
pai perubahan megaloblastoid berupa asinkroni inti-sitoplasma, di
mana inti masih dengan kromatin yang halus, tetapi sitoplasma menunjukkan maturasi yang sudah jauh. Pada RARS dengan pengecaran
biru Prusia (Perl's stain) dijumpai ringed sidzroblast, yaitu bintik siderotik lebih dari lima dan mengelilingi lebih dari sepertiga lingkaran
inti. Jumlah sel normoblast berkisar antara 5-50o/o. Jika nucleated red
cell dalam sumsum tulang lebih dari 50% dengan lebih dari 30%
blast, kasus tersebut dapat digolongkan sebagai eritroleukem'a.1-4'20
Perubahan Displastik pada Sistem Mieloid (disgranulopoesis)
Gambaran yang.paling khas adalah hipogranulasi dan hiposegmentasi
n€tibfil. Netrofil hipogranuler dengan lobus inti dua, arau kadangkadang satu disebut sebagai anomali pseudo Pelger-Huet, atau
acquired Pelger-Huet anomaly. Kromatin sering menggumpal dengan
fragmentasi inti, nuclear stich, atau dijumpai sel dengan inti seperti
cincin. Kadang-kadang dijumpai hipersegmentasi netrofil, tetapi jauh
lebih jarang dibandingkan dengan hiposegmentasi. Sitoplasma menunjukkan basofilia per3istetrp-ada pinggir sel. Netrofil hipogranuler
dan anomali pseudo Pelger-Huet dijumpai pada 92o/o kasus MDS.2'3
Sumsum tulang menunjuklcan peningkatan sel blast, baik tipe I:
blast tanpa granula azurofilik, tipe II: blast dengan granula <15 dan
tidak dijumpai zona Golgi, atau tipe III: blast dengan >20 granula
azurofilik. Juga dijumpai anomali pseudo Pelger-Huet, ind berbentuk
cincin, hipogranulasi, hipersegmentasi, atau sel dengan sitoplasma
sangar basofil.2'J
Perubahan Displastik pada Sistem Megakariosit
Dalam darah tepi dijumpai trombosit hipogranuler atau hipergranuler, atau trombosit raksasa (giant platele,t). Dalam sumsum tulang
jumlah megakariosit sering normal tetapi menunjukkan perubahan
morfologi yang sangat khas: mikromegakariosit (duarf form), dapat
juga dijumpai megakariosit besar dengan hiperlobulasi inti, megakariosit berinti satu dan nonbbukted, megakiriosit dengan inti banyak dan
terpisah. Kelainan megakariosit dijumpai pada 50o/o kasus MDS.
172
Hematologi Ktinik Ringkas
Dengan teknik antibodi terhadap glikoprotein trombosit didapatkan bahwa lebih dari 25o/o megakariosit pada MDS merupakan
mikromegakariosit, berbeda dengan orang. normal yang hanya dijumpai < l5o/o. Menurut Kuriyama et al, kombinasi mikromegaka-
riosit dan anomaii pseudo Pelger-Huet merupakan petanda displastik
yang paling khas pada MDS.20
Ringkasan gambaran displastik yang dapat dijumpai pada darah
tepi dan sumsum tulang dapat dilihat pada tabel 9-21.
Tabel 9-21
Perubahan Displastik Darah Tepi dan Sumsum
Tulang pada MDS20
Lineage
Darah
Eritroid
Ovalosit
Eliptosit
Akantosit
Stomatosit
Tear drop cell
Eritrosit berinti
Basophilic stippling
Howell-Jolly bodles
Mieloid
Pseudo
tepi
-Pelger-Huet
anomaly
Batang Auer
Hipogranulasi
Nuc/ear stlcks
Hipersegmentasi
Sumsum tulang
Perubahan megaloblastoid
-- -- - Nuctear
nuAiii6-
Ringed sideroblast
lnternuclear bridging
Karyorrhexis
Fragmen inti
Vakuolisasi sitoplasma
Multinucteation
Defective granulation
(hipogranulasi)
Uari"tion irntt ut
myetocyte
sfage
gentut monositoid meningkat
ALIP
lnti bentuk cincin
Megakariosit Giant
ptatelets
atau
Hipogranular
Trombosit
agranuler
Mikromegakariosit
Hipogranulasi
Muttiple small nuclei
Penilaian Hasil Biopsi Sumsum Tulang
Biopsi vefin (trephine biopsy) sumsum tulang merupakan prosedur
standar yang perlu dikerjakan pada MDS. Hal ini berguna untuk
mendapatkan spesimen yang cukup rerutama pada sumsum tulang
yang mengalami fibrosis dan pada MDS hipoplastik. Pengecaran
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 173
retikulin pada hasil biopsi sumsum rulang sangat penring dalam
menilai tingkat fibrosis sumsum tulapg.
Selularitas dan distribusi sel sumsum tulang dapat dinilai lebih
baik dari pemeriksaan histopatologi setelah biopsi. Pada MDS terjadi
apa yang disebut abnormal hcalization of immature mleloid precursor
(ALIP). Pada orang normal prekursor mieloid selalu berada pada
permukaan periosteal .sumsum tulang (perifer), tidak pada bagian
sentral sumsum tulang. Jika dijumpai prekursor mieloid lebih dari 5
sel mengumpul pada bagian tengah sumsum tulang, disebut sebagai
ALIP AIIP hampir selalu dijumpai pada MDS dengan aspirasi sumsum tulang yang menunjukkan sel blast >5o/o. Pada kasus dengan
blast <5% peran diagnosdk AIIP menjadi sangar pentin!.4 ALIP
perlu dibedakan dengan pseudo-AllP yang merupakan agregat sel
eritroid dan megakariosit pada bagian sentral sumsum tulang. Nilai
prognostik ALIP masih kontroversial.5
Pemeriksaan Laboratorium untuk Diagnosis MDS
Pemeriksaan apusan darah tepi dan sumsum tulang dengan pewarnaan standar (Romanowslqy: 'Wright atau Giemsa) dan pewarnaan
biru prusia rnerupakan pemerilsaan paling penting pada MDS. Jika
dilakukan dengan baik, akan dapat mendiagnosis sebagian besar
kasus MDS. Dalam suatu penelitian 28 kasus MDS dengan pemeriksaan apusan dan biopsi sumsum tulang oleh suatu panel peneliti,
didapatkan hasil konkordan pada 24 kasus.5
Pemeriksaan sitokemistri dapat membantu mengidendfikasi jenis sel blast yang dijumpai. Pengecatan dengan peroksidase dan
Sudan black dapat memastikan sel mieloid, sedangkan pengecaran
dengan esterase nonspesifik sangar penting untuk menentukan seri
monosit. Pemeriksaan imunofenotiping dapat dilakukan unruk menetukan seri mieloid (CDl3, CDI4 dan peroksidase). Pemeriksaan
imunologi ini kadang-kadang perlu dikerjakan untuk membedakan
duarf micromegaharyocyte dengan limfoblast L2. Pemakaian antibodi
antipktelet glycoprotein (CD41 atau CD6l) akan sangat membantu.
Penentuan seri eritroid dilakukan memakai antibodi anti-glycophorin
A. Pada MDS pemeriksaan sitokimia dan imunofenotiping tidak
sepenting, seperti pada leukemia akut.5
1.74
Hematologi Klinik Ringkas
Pemeriksaan sitogenetik sangat penting pada MDS. Pemeriksaan
ini sangat rRembantu pada kasus-kasus sulit, seperti pada MDS
hipoplastik atau MDS dengan fibrosis. Hasil pemeriksaan sitogenetik
ternyata merupakan pararrreter prognosdk yang sangat penting.
Diagnosis
Langkah diagnosis MDS adalah sebagai berikut:l'20
l. Diagnosis MDS sangat dicurigai apabila dijumpai gejala klinik
yang sesuai, terutama pada orang tua (meskipun MDS dapat
dijumpai pada semua umur), yang disertai sitopenia (anemia,
leukopenia, trombositopenia) persisten atau monositosis yang
tidak dapat diterangkan (unexplained)
2. Kemudian dilakukan pemerilsaan teliti terhadap apusan darah
tepi dan sumsum tulang untuk mencari tanda-tanda displastik
(lihat tabel 9-21).
3. Jika dijumpai tanda displastik pada satu atau lebih lineage,
penyebab displasia di luar MDS harus disingkirkan (dengan
4.
anamnesis, pemeriksaan klinik, laboratorium, atau pemeriksaan lain). Penyebab displasia di luar MDS adalah: defisiensi
vitamin B12, defisiensi folat, infeksi virus, seperti infeksi HIV
pemakaian antibiotika tertentu, agen kemoterapi, etanol, benzene, atau timah hitam. Apabila penyebab-penyebab ini telah
dapat disingkirkan, diagnosis MDS sudah dapat ditetapkan.
Langkah selanjutnya ialah melakukan klasifikasi menurut FAB
(lihat tabel 9-22).
5.
6.
Jika fasilitas tersedia pemeriksaan, sitogenetik dikerjakan untuk
menilai prognosis. Pemeriksaan sitogenetik sangat dibutuhkan
untuk kasus MDS yang diagnosisnya tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan rutin, seperti MDS hipolastik atau MDS
dengan fibrosis.
Pemeriksaan sitokemistri, imunofenotiping, imunokemistri,
pemeriksaan onkogen, dan kultur jaringan (tissue culture) dapat
membantu diagnosis, teapi secara rutin tidak selalu diperlukan.
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 175
Tabelg-22
Diagnosis MDS Sesuai Klasifikasi FABIe
Klasifikasi
RA
F,AB: ::,
Darah tepi
Sumsum tulang
,.,,
, Anemia:dan,,'
..,.BlaSt'<19%., .
'
l', .'f
1.jytonos'rt,< Ix:1
RARS
iri
r
Blast < 5%, rlnged slder+
,
rr,..
I
091!,,,,,,,,.
:,,lAhemia dan', '
: rBlast,.il% ", .
btast 315o/o dari ritroblast
.....
::.
::
..
...
.
...
Blast <:s"2", rintged sideroblast >15o/o dari ritroblast
:
rt'*Ono"'a at'i.10e/l
'..-,...':..1:,.,
RAEB
,
''
Anemja ataU 1, ,,.::'i.': Blast > 5%, tetapi< 20%
Blast:!17o.tapi < 57o'
.:,,.
CMML
'
,.:...
rr...r.1 --
:
1}efi',
..
:
,:.:,ygn6s*:!,'l:X 1Qe/l'...
.Granuloaif:sering t
81as1,1,57-oii
,,
Blast sampai dengan 20%
:l Blast > 1'o/o,tapi <SYo
Blast > 207o tetapi < 30%
nromonos
t,,
derir'ro
t
:r
r'
,,,
RAEB-t
x
MonoSit,<t
a :.
lr,,atau ' .::' : r'. i.
,
A,uel rbd pada dar:ah
.,,,
:,.
:rr'.r
t9pi
.:, i ., -,,,,i,,::... . ...,,.,,.,.,.,,.,,,.,,,,, .,
at€iur.,SUmSUm irtUlang
.
Diagnosis Diferensial
Beberapa penyakit yang menyerupai MDS yang perlu dipikirkan
sebagai diagnosis diferensial adalah:
1. Anemia aplastik
Anemia aplastik menyerupai MDS karena sama-sarna menunjukkan bisitopenia atau pansitopenia. Secara klinis anemia aplastik
tidak pernah disenai organomegali. Secara definitif dapat dibedakan dengan pemerilsaan sumsum tulang. Anemia aplastik
menunjukkan sumsum tulang hiposeluler (selularitas <1,0o/o),
sedangkan MDS menunjukkan sumsum tulang hiperseluler atau
176
.
2.
3.
Hematologi Ktinik Ringkas
normoseluler. Pada anemia aplastik tidak dijumpai tanda-tanda
displastik pada darah tepi atau sumsum tulang.'
Anemia aplastik sangat sulit dibedakan dengan MDS hipo-plastik. Di sini diperlukan pemeriksaan biopsi sumsum tulang
dengan spesimen cukup, dimana fokus utama untuk mencari
tanda-tanda displastik dan adanya ALIP pada MDS. Pemeriksaan sitogenetik juga akan sangat membanru.
Penyakit mieloproliferatif
CMML sering sulit dibedakan dengan penyakit mieloproli-
feratif (terutama CML atipik) karena adanya leukositosis (monositosis) dan splenomegali. Pemeriksaan sitogenetik untuk
mencari kromosom Philadelphia atau pemeriksaan untuk mendeteksi onkogen abl dan bcr akan sangar membantu.
MDS dan AML
Secara diagnostik MDS dengan AML hanya dibedakan dari
presentase blast dalam darah tepi (.5o/o1 dan sumsum tulang
(< 30o/o). Pada kasus-kasus perbatasan sering kedua keadaan ini
sulit
dibedakan.
Bentuk AML-M6 paling sulit dibedakan dengan MDS. Pada
AML-M6 dijumpai prekursor eritroid (eritroblast) >50o/o dari
sel-sel sumsum tulang dengan mieloblast >30o/o dari elemen
4.
noneritroid.6'20
Mielodisplasia pada infeksi HIV
Pada infeksi HIV dijumpai gambaran displastik pada darah tepi
dan sumsum tulang, yaitu diseritropoerik 56%, dismegakariositik 31% dan disgranulopoetik 1B%o. Secara morfologik sangar
menyerupai MDS, tetapi sampai saat ini mielodisplasia pada
infeksi HIV belum pernah dilaporkan mengalami transformasi
ke arah AML. Mekanisme perubahan displastik ini belum diketahui pasti, diperkirakan karena pengaruh langsung virus HIV
akibat infeksi oportunistik, atau pengaruh obat, sepertl AZT.
HIV dapat dibedakan dengan MDS karena terjadi pada umur relatif lebih muda, dijumpai tanda
klinis AIDS yang khas (penurunan berat tradan, limfadenopati,
atau Kaposi's sarcotntt, dan lainlain), pemeriksaan untuk deteksi
virus HIV positif.2'6'20
Mielodisplasia pada
Leukemia dan Pengakit Mieloprotiferatif 177
Varian Klinik MDS
l.
Sindrom 5q-(5q-$,ndrome)
Sindrom 5q- pertama kali dikemukakan oleh Van den Berghe et
al pada ahun 7974, yang terdiri atas anemia refrakter, pada
umumnya makrositer, jumlah leukosit normal arau sedikit menurun, trombosit normal atau meningkat, serta mikromegakariosit hipolobus meningkat dalam sumsum tulang. Pada
pemeriksaan sitogenetik dijumpai isolated deletion lengan panlang (l) kromosom no. 5 (del5q atau 5q). Lebih sering dijumpai pada wanita di atas umur 65 tahun. Ketahanan hidup
penderita panjang dan angka transformasi menjadi AML hanya
15-25o/o.t'a'20
Kromosom 5 mengandung banyak onkogen yang mengatur
sitokin dan reseptor sitokin, serta tumor su?lessor gen. Bagaimana hubungan antara kelainan gen dengan perubahan klinis
yang timbul masih belum jelas. MDS dengan del5q tetapi
disertai dengan perubahan kromosom kompleks lainnya maka
tidak dapat disebut sebagai sindrom 5q-karena sifatnya sama
dengan MDS lainnya.l
hipoplastik
2. MDS
Meskipun sebagian besar MDS disertai sumsum tulang hiperseluler atau normoseluler, sekitar l0-15o/o kasus MDS disertai
sumsum tulang hiposeluler. Suatu MDS dinyatakan hiposeluler
jika selularitas sumsum tulang kurang dari 25-30o/o, tetapi untuk
umur di atas 60 tahun jika selularitas kurang dari 20%. Kasus
MDS hipoplastik sangat sulit dibedakan dengan anemia aplastik.
Untuk diagnostik sangat diperlukan pemeriksaan histopatologi
sumsum tulang dari hasil biopsi trefin sehingga jumlah sel
yang diperiksa cukup banyak. Grpenting adalah ditemukannya
tanda-tanda displastik pada darah tepi dan sumsum tulang atau
adanya ALIP Pemeriksaan sitogenetik harus dikerjakan, dengan
ditemukannya kelainan sitogenetik yang lazim pada MDS akan
dapat mengkomfirmasi diagnosis. Sebagian besar kasus tergolong
pada klasifikasi RA atau RAEB. Perjalanan penyakit MDS hipoplastik hampir sama dengan MDS pada *-trrnny*.t'6'to
178
3.
Hematologi Ktintk Ringkas
MDS dengan fibrosis sumsum tulang.
Fibrosis sumsum tulang (mielofibrosis) ditunjukkan oleh meningkatnya serabut retikulin pada pengecatan dengan impregnasi perak. Fibrosis sedang (mild) dljumpai pada 500/o kasus
MDS, dan fibrosis berat pada sekitar l5% kasus. Pada therapyrelated MDS kejadian fibrosis lebih tinggi, fibrosis berat pada
50% kasus dan fibrosis sedang pada 80% k"rrrr. t'4'6'to
MDS dengan fibrosis ditandai oleh adanya sitopenia (bi atau
pansitopenia) ranpa organomegali mencolok, eritrosit menunjukkan anisopoikilositosis, sumsum tulang disertai fibrosis, trilineage
displasia, jumlah megakariosit atipikal dengan hipolobus meningkat, dan blast dalam sumsum tulang meningkat.l'4'6,20
Diagnosis diferensial MDS yang disertai fibrosis dengan penyakit mieloproliferatif sering sulit sekali. Kasus ini perlu dibedakan
dengan mielofibrosis primer (myelofbrosis ruith myeloid metap las i a=\/tly114), p o s t-p o $ ryt b e m ia u e ra m7 e lof b ro s is, dan leukemia
megakariositik akut (AML-M7). MMM pada umumnya menunjukkan splenomegali berat, leukositosis berat, gambaran
leukoeritroblastik,," hematopoesis ekstrameduler dan sumsum
tulang mengalami fibrosis, sedangkan sel blast tidak terlalu
menonjol. Untuk membedakan dengan AML-MZ diperlukan
pengecaran imunohistokimia dengan antibodi anti-faktor MII,
alav platelet -specrfic glycoproteins
4. MDS pada anak
IIB/IIIA (CD
411.t'a'e'zo
Frekuensi MDS pada anak jauh lebih rendah dibandingkan
dengan orang dewasa arau orang tua. Sejak tahun 1985 sampai
tahun 1990 dilaporkan sebanyak 50 kasus.r'2 Gambaran kliniknya sama dengan MDS pada orang dewasa, hanya lebih
banyak yang simtomatik dengan anemia, febris, dan perdarahan, tidak pernah dijumpai bentuk RARS serra presentase rransformasi ke AML lebih besar, sekitar 40o/o.2
5.
Therapy--related MDS
Therapy-related MDS (I-MDS), atau MDS sekunder, seperti
halnya I-AML telah menjadi masalah klinik yang semakin penting
karena meningkatnya pemakaian radiasi dan kemoterapi pada
tumor ganas, harapan hidup pascaterapi menjadi lebih panjang,
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 179
serta meningkatnya polusi bahan kimia dari lingkungan.6 Kelainan kromosom pada I-MDS dijumpai lebih tinggi dan lebih
kompleks. Kromosom yang paling sering terkena adalah kromosom 5 dan 7.6 Kemorerapi alkylating agent lebrh sering menimbulkan kelainan kromosom 5 dan 7, pada MDS setelah
'
pemaparan benzen lebih sering dijumpai trisomi 9, sedangkan
kemoterapi topoisomerase-II inhibitor (seperti antrasiklin atau
epipodophylhtoxin) menimbulkan translokasi yang melibatkan
kromosom 3q26, Ilq23, ariu 2Iq22.1'6 I-MDS lebih sulit
dimasukkan dalam klasifikasi FAB sehingga ada yang menggolongkannya sebagai bentuk tersendiri di luar FAB. Sebagai
contoh, meskipun blast < 5o/o, tetapi tanda displastik pada seri
eritroid, megakariosit dan monosit mencolok, serta tidak ada
sel yang dominan maka bentuk seperti ini sulit dimasukkan
dalam Salah satu bentuk FAB.2'3 Sumsum tulang pada I-MDS
lebih sering disertai fibrosis. Kelainan sitogenetik yang lebih
kompleks pada I-MDS membawa konsekuensi prognostik yang
lebih buruk.l
6.
Unclassified MDS
Sebagian kasus MDS menunjukkan displasia trilineage yang
berat tetapi jumlah blast dalam darah tepi atau sumsum tulang
belum memenuhi kriteria salah satu bentuk klasifikasi FAB
sehingga sulit dimasukkan dalam penggolongan tersebut. Kasus,
seperti ini tidak dapat disebut sebagai RA atau RARS karena
pada kedua bentuk ini displasia pada seri granulosit dan megakariosit harusnya minimal. Oleh karena itu, beberapa peneliti menyebutnya sebagai unclassifed-MDS (u-MDS). Ada
juga yang menyebutnya sebagai anemia refrakter dengan displasia
(refactoyanemia uith dysplasia-RAD). Prognosis kasus ini lebih buruk dari RA atau RARS, lebih menyerupai RAEB.a'2o
Prognosis
MDS adalah kumpulan beberapa penyakit dengan berbagai perangai
biologik yang berbeda-beda sehingga prognosis MDS sangat bervariasi. Banyak studi yang telah dilakukan untuk dapat mengidentifikasi
faktor-faktor yang terkait dengan prognosis dan harapan hidup penderita MDS. Faktor yang telah dianalisis antara lain: klasifikasi FAB,
180
.
Hematotogi Klinik Ringkas
umur, jenis kelamin, kadar hemoglobin, jumlah nerrofil, jumlah
trombosit, jumlah monosir, adanya sel muda (bkst) dalam sirkulasi,
perubahan displastik dari sumsum tulang, prosenrase sel blast dalam sumsum tufalg, sitogenetik, kultur dari sumsum tulang dan
lain
sebagainy^.t-n''o
Parameter Klinik
Umur yang lebih tua terbulri mempunyai prognosis yang lebih
jelek. Tiicot et al. melaporkan dari total 851 penderita yang dievaluasi, umur tua merupakan salah satu faktor prognosis, di samping
sitopenia, blast dalam sumsum tulang, sitogenetik dan kultur sumsum tulang. Penderita yang berumur <50 tahun lebih sedikit yang
meninggal dibandingkan dengan penderita yang merumur >70 tahun akan tetapi prosentase penderita yang mengalami transformasi
leukemia sama pada semua golongan
u*.r..
l-6'2u
Parameter Darah Tepi
Banyak studi yang mengakui nilai prognosis dari kadar hemoglobin,
jumlah netrofil dan jumlah trombosit. Makin tinggi derajat sitopenianya makin buruk prognosisnya. Kadar trombosit mempunyai
indeks prognosis yang lebih kuat dibandingkan dengan kadar he,
moglobin dan netrofil. Pada kasus CMML, lekositosis rernyara menunjukkan prognosis yang jelek. Garcia'et al juga mendapatkan
eritroblast pada darah tepi mempunyai hubungan yang signifikan
dengan survival pada penderita SMD. Coiffer et al. dan Seigneurin
et al mendapatkan jumlah sel blast >5o/o pada darah tepi mempunyai korelasi dengan prognosis yang jelek. 1'20
Parameter Sumsum Tulang
Sejak pertama diajukan, klasifikasi FAB terbukti dan diterima oleh
banyak senter sebagai salah satu faktor yang mempunyai nilai prognosis yang sangar kuat dan bahkan sebagai saru-sarunya faktor pre-
diksi akan adanya perubahan ke arah transformasi leukemia.l'a'20
Survival penderita secara bermakna akan berkurang dengan meningkatnya jumlah sel muda (blast). Penderita RA dan RARS menunjukkan survival yang lebih baik kalau dibandingkan dengan RAEB dan
Leukemia dan Pengakit Mieloproliferatif 181
RAEB-I, sedangkan penderita CMML mempunyai survival yang
terletak di antaranya. .Thicot et al. dan Valespi et al mendapatkan
survival penderita CMML lebih jelek dari RA-EB akan tetapi di sini
ternyata penderita CMML rersebut mempunyai jumlah sel blast
yang jauh lebih tinggi.a'20
Adanya Auer rods oleh FAB dikategorikan sebagai faktor prognosis
yang buruk dan penderita ini dimasukkan sebagai RAEB-I. Studi
yang terbaru mendapatkan bahwa Auer rods sendiri tanpa diikuti
oleh jumlah sel blast yang banyak tidak terbukti mempunyai nilai
prognosis yang lebih jelek dibandingkan dengan jumlah sel blast itu
sendiri. Lagi pula dalam salah satu studi penderita RAEB-I dengan
Auer rods mempunyai respons terapi yang lebih baik dibandingkan
dengan RAEB:-I tanpa Auer rods.z
Adanya ALIP (Abnormal Localization of Immature Precursor) pada
sediaan biopsi sumsum tulang terbukti mempunyai kaitan dengan
prognosis yang buruk dan potensi untuk menjadi leukemia, terutama pada penderita dengan jumlah sel blast yang > 5%o-disertai
dengan adanya ALIP Pada penderita RA dan RARS dengan AIIP (+)
mempunyai median suruiual yang lebih pendek dibandingkan dengan penderita tanpa AIIP (416 hari berbanding 1465 hari).
Berdasarkan perilaku pertumbuhan sel progenitor pada kultur
sumsum tulang penderita MDS dapat dibagi menjadi 2, yaitu pertumbuhan dengan pola leukemia dan nonleukemia. Beberapa peneliti mendapatkan penderita dengan pola nonleukemia mempunyai
prognosis yang lebih baik dan kecil kemungkinan untuk menjadi
leukemia akut bila dibandingkan dengan pola leukemia yang terbentuk bersamaan dengan adanya sel blast yang berlebihan dalam
sumsum tulang. Seperti dilaporkan oleh Spitzer et al. bahwa pasien
dengan sel blast <5%o mempunyai pola pertumbuhan nonleukemia
sebesar 74o/o, sebab,knya pada penderita dengan sel blast >5o/o hanya
260/o dengan pola
nonleuk.*i".
t-'3'20
Gozolla et al dapat menunjukkan penilaian tingkat eritropoesis
mempunyai nilai prognosis juga. Pasien dengan inffictiue erythropoiesis
dan turn-ouer besi yang rendah (RA dan RARS) memperlihatkan survival
182
Hematologi Klinik Ringkas
yang lebih baik bila dibandingkan dengan pasien dengan tingkat
inffictiue erythropoiesis yang rendah dan turn-ouer besi yang tinggi
(RAEB dan RAEB-I). Hal ini juga didukung oleh studi May et al.
yang mendapatkan korelasi yang terbalik antara jumlah sel blast dan
turn-luer besi sumsum tnal.rg. t'20
Parameter Sitogenetik
Hampir setengah penderita MDS mempunyai kelainan kromosom
bahkan dengan teknik yang lebih baik, kelainan kromosom pada
penderita MDS didapatkan pada 73o/o kasus. Beberapa kelainan
yang umum ditemukan adalah monosomi 7, trisomi B, del 5 dan
del 20.1'3'20 Dulu diperkirakan pasien MDS dengan karyotipe
normal mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang memiliki kelainan kromosom. Akan tetapi, kini
diketahui bahwa mereka yang mempunyai kelainan kompleks dan
kelainan kromosom tunggal yang melibatkan kromosom 7 (7q-)
atau +8 mempunyai prognosis yang jelek. Sebaliknya, mereka yang
walaupun dengan kelainan kromosom tunggal dan hanya melibatkan kromosom 5 (5qJ murni mempunyai survival yang panjang.r
Penderita RAEB dan RAEB-I mempunyai frekuensi kelainan kromosom yang lebih banyak dibandingkan dengan RA dan RARS.
MDS dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu golongan pertama dengan analisis kromosom yang normal atau kelainan 5q-murni,
mempunyai median suruiual >2 tahun. Golongan kedua dengan kelainan kromosom berupa trisomi B mempunyai median suruiual l-2
tahun, sedangkan golongan ketiga dengan prognosis terjelek mempunyai kelainan kromosom yang kompleks atau del 7 dengan median suruiualkurang dari I tahun. Pada suatu penelitian dengan"284
penderita MDS dan leukemia akut didapatkan kelainan sitogenetik
merupakan faktor prognosis yang independen.a
Studi lain melaporkan mereka yang tetap dengan kromosom
yang.normal selama perawatan akan mempunyai harapan hidup
yang lebih panjang dibandingkan dengan penderita dengan perubahan kromosom selama menjalani p.r"*"t"n. '
Gambaran patologik sendiri terbukti mempunyai nilai prognosis.
Pada kasus MDS sekunder atau I-MDS Qherapy rekted MD$ yang
umumnya menunjukkan tingkat displasia yang lebih berat dan mengalami transformasi yang cepat menjadi leukemia dengan survival
Leukemta dan Pengakit Mieloproliferattf 183
yang pendek mempunyai gambaran fibrosis yang berlebihan (hyperfbrotic MDS).Masih belum jelas sekali apakah fibrosis ini sebagai
faktor yang independen ataukah dia terkait dengan kelainan lain
yang menyertai fibrosis itu, seperti adanya sitopenia perifer yang
rDerat. 3-.6
Meskipun belum dapat ditarik kesimpulan yang pasti, akan tetasatu hal yang paling konsisten dari semua studi tersebut adalah
nilai prognostik dari jumlah sel blast dalam sumsum tulang. MDS
dengan sel blast dalam sumsum tulang >5o/o mempunyai survival
yang lebih pendek dibandingkan dengan mereka yang jumlah sel
blastnya <57o. Namun, seberapa besar faktor-faktor ini dapat memprediksi secara independen perjalanan penyakit MDS, masih belum
jelas. Untuk mengatasi hal ini dikembangkan suatu model penilaian
berdasarkan scoring system dengan menggabungkan parameter hematologi, sitogenetik dan gambaran klinis penderita MDS. l'2'4'20
Di dalam usaha untuk mencari sistem scoring ini, International
'W'orhshop
MDS Rish Analysis
mengkombinasikan faktor sitogenetik,
morfologi, dan data klinis dari 816 penderita MDS yang belum
mendapat terapi. Data tersebut dikumpulkan dari 7 penelitian
besar dan datanya diolah secara sentral. Analisis rnultivariat dengan
mengkombinasikan subklasifikasi dari sitogenetik, prosentase sel
blast sumsum tulang, dan sitopenia, sehingga menghasilkan suatu
model prognosis yang dikenal dengan International Prognostic Scoring
System QPSS) seperti terlihat pada :'abel 9-23.
pi
Model ini memungkinkan penilaian prognosis lebih baik dibandingkan dengan beberapa sistem terdahulu karena model ini
memakai kategori sitogenetik yang lebih baik, memasukkan faktor
sitopenia, pembagian sel blast yang lebih teliti, dan 4 klasifikasi
kategori risiko penderita serta dengan stratifikasi yang terpisah untuk masing-masing golongan umur penderita.2o
Terapi
Seperti diketahui, MDS umumnya menyerang penderita berumur
lanjut sehingga perkembangan modalitas terapi untuk mengatasi keadaan sitopenia yang tidak menyebabkan oleh kerusakan yang berlebihan pada sumsum tulang adalah tantangan utama terapi pada MDS.
Penderita umur tua umumnya juga menderita beberapa penyakit
184
Hematologi KLinik Ri.ngkas
Tabel 9-23
S istem S c o ring M enurut Int ern ati o n al
Scoring Systemt'3''o
P r o gn o s ti c
Suruival and AML Evolution Score Value
Prognosls variable a
Marrow btasts (%)
Karyotype
a
Cytopenias b
<5
0.5
1.0
Good
5-10
lntermediate Poor
a-1
2-3
RiskCategory
1.5
11-20
2.0
21-30
Combined Score
Low
0
tnt-1
0.5-1.0
Int-2
High
> 2.5
1.5-2.0
a Good =NormaI,-Y, del (5q), del (20q); poor = complex (> 3 abnormalities) or
chromosome 7 anomalies; intermedinte= other abnormalities.
b Neilrophils < 1.800 / pl, platelets < 100.000 ,/ pl, hemoglobin < 10g / dl.
penyerta lainnya sehingga membatasi pilihan terhadap modalitas
terapi yang ada. Agaknya terobosan untuk mencari jenis obat de-
ngan toksisiras yang lebih rendah tetap masih belum terwujud.
Bermacam jenis regimen terapi telah dan sedang dicobakan pada
penderita MDS namun, sampai saat ini transplantasi sumsum tulang masih merupakan saru-satunya terapi yang memberikan kepastian sehingga terapi simtomatik masih memegang peranan yang
penting pada pasien MDS.r'3'20
Kemoterapi
Pilihan kemoterapi pada penderita MDS bervariasi dari kemoterapi
intensif sampai terapi sirostatika dosis rendah. Kemoterapi intensif
ini pada penderira yang telah berumur lanjut sering tidak dapat
ditoleransi dengan baik. Penggunaan kernorerapi pada MDS umumnya diberikan pada CMML, RAEB dan RAEB-I. Pada ketiga jenis
ini kelainan klinik yang terlihat hampir menyerupai leukemia akut
walaupun secara laboratorik belum memenuhi kriteria suatu leukemia akut sehingga pemberian kemoterapi agresif sebaiknya segera
diberikan. Kemoterapi tunggal dan kombinasi dengan regimen yang
Leukemia dan Pengakit Mieloproltferattf 185
Tabel9-24
Ketahanan Hidup Penderita MDS Berdasarkan
Umur (Age-Related dan Perubahan ke Arah AML
pada Subgrup IPSS)1'20
Median Survival (yr)
Low Int-1
267 314
(33%) (38%)
3.5 3.5
5,2
20s (25%) 5.2
611
2.7 2.7
445 (54%) 4.4
4.4
371
2.4
No. of
Total pts.:No.(%)
Age < 60 yr
>60yr
<70yr
>70yr
816
Patient
lnt-2 High
176 59
(22%) (7%)
1.2 0.4
1.8 0.3
1.1 0.5
1.3 0.4
1.2 0.4
25%AML Evolution (yr)
No. of Patient
Total pts.:No.(%) 759
Age < 60 yr
>60yr
<70yr
>70yr
Low
235
(31%)
9.4
187(25%)
572
>9.4(NR)
414(55o/o)
>9.4(NR)
>5.8(NR)
345
9.4
lnt-l
295
Int-2
171
(3e%) (22%\
3.3
6.9
2.7
5.5
2.2
1.1
0.7
1.3
'1.0
1.4
High
58
(8%)
0.2
0.2
0.2
0.2
0.4
sama dengan leukemia akut telah dicobakan pada penderita MDS.
Cytarabine dosis rendah telah banyak dipakai. Suatu penelitian
randomized membandingkan cytarabine dosis rendah dengan terapi
suportif dilakukan oleh ECOG dan SOG. Dari total 140 penderita
didapatkan 4o/o rcmisi komplit dan perbaikan pada sitopenia darah
tepi sebesar l5o/o pada penderita dengan cytarabine akan tetapi diikuti oleh komplikasi sepsis yang berat. Total jumlah pasien yang
mendapatkan terapi cltarabine dosis rendah sebanyak 250 orang,
tetapi hanya l7o/o di antaranya dengan remisis komplit. Median
suruiual tidak menampakkan perbaikan yang bermakna. Cytarabine
dosis tinggi 2-3 grlm2 setiap 12 jam selama 6 hari juga terbukti
tidak banyak memberi harapan. Hanya 13,3o/o mencapai remisi
komplit dan 40o/o dengan komplikasi y^ng f^r^l.a'z}
186
Hematologi Klinik Ringkas
Azacytidine juga pernah dicobakan, tetapi hasilnya tidak terlalu
menggembirakan. Obat lain, seperti etoposide ltydroqturea, idarubicin
oral juga sudah pernah diberikan pada penderita MDS.r'3'20
Terapi kombinasi dengan menggunakan daunorubicin plus cltara-
bine, daunorubicin plus qttllrabine 6-thioguanine telah dicoba dengan
respons komplit didapatkan bervariasi dari 15-560/o dengan respons
berakhir dalam waktu singkat antara 1-8 bulan. Komplikasi akibat
terapi ditemukan sangat tinggi l3-30o/o pada beberapa studi yang
berbeda. Bahkan pada studi yang lainnya survival didapatkan lebih
pendek dibandingkan dengan penderita yang tidak mendapat terapi. Dibandingkan dengan leukemia akut (de nouo) respons terapi
terhadap kemoterapi pada penderita MDS lebih rendah walaupun
alasannya belum diketahui dengan jelas (angka remisi 50-600/o dengan kekambuhan 90olo berbanding 70-80o/o dengan kekambuhan
sebesar 55-B0o/o).t'2'zo
Diduga walau tidak seluruhnya, muncul gen MDR (Multi Drug
Resistence) pada penderita MDS lebih awal, merupakan penyebab
terjadinya resistensi terhadap kemoterapi. Nampaknya terapi kombinasi pada penderita MDS sangat toksis dengan respons yang
singkat. Toksisitas yang dnggi banyak dihubungkan dengan umur
penderita MDS yang umumnya sudah berusia lanjut.zo
Transplantasi Sumsum Tu lan g
Pada pasien MDS yang prognosisnya jelek, transplantasi
sumsum
tulang merupakan satu-sarunya pilihan yang memberikan harapan.
Akan tetapi, ini sulit terpenuhi karena kesulitan didalam menyediakan donor dan umur penderita yang sudah tua. Dalam salah satu
studi yang besar didapatkan probaL,llitas disease fee suruiual,.relaps,
kematian akibat penyakit lain dalam 4 tahun pascatransplantasi
adalah sebesar masing-masing 41o/o, 28o/o, dan 43o/o. Dengan analisis multivariat ditemukan bahwa umur <40 tahun dan sel blast
sumsum tulang yang rendah <5o/o mempunyai prognosis yang baik
(disease jlee suruiual 620/o), tetapi pada penderita lebih tua (>40
tahun) dan sel blast >5% disease fee suruiual hanya l7-32o/o.3'20
Pada penelitian oleh European Bone Manou Tiansplantation Group,
disease jiee suruiual pascatransplantasi pada penderita RAEB dan
RAEB-I ternyata lebih tinggi yairu 50-747o. Peningkatan dari jumlah
Leukemia dan Pengakit Mietoproliferatif 187
sel blast mempunyai pengaruh yang jelek terhadap hasil transplantasi. Studi lain oleh Fred Hurcbinson Cancer dan The International
Bone Marrow Ti"ansplant Registry melaporkan bahwa penderita dengan
kelainan kromosom yang kompleks mempunyai angka relaps yang
tinggi dan disease fee suruiual yang lebih pendek dimana mereka
y"ng d.ttg"" sitogenetik normal mempunyai hasil yang lebih baik'
Secara keseluruhan dari data ini dapat disimpulkan bahwa transplantasi dari donor sedarah yang cocok bermanfaat pada penderita
MDS yang prognosisnya baik. Donor yang tidak sedarah dan cangkok stem sel darah tepi telah banyak dikerjakan pada penderita
MDS yang prognosisnya baik' Di sini didapatkan angka masingmasing 3\o/o, 2!o/o, dan 48o/o untuk disease fee suruiual, risiko rela.ps
lauh fibih tinggi ditemukan pada RAEB-I dan MDS sekun de,.4'20
Tiansplantasi stem sel autologus akhir-akhir ini mulai mendapatkan perhatian mengingat pada beberapa kasus MDS dapat dijumpai
hemopoesis poliklonal yang normal setelah mendapat kemoterapi'
Satu studi mendapatkan angka disease free suruiual >30o/o setelah 2
1'20
tahun pascat.".tspi".ttari stem sel
",rtologus.
Hormon Hematopoetik dan Sitokin
sitokin (c\tohine) dan hematopoietic grotath f/lctors (HGF) memainkan
peranan yang penting sebagai bagian dari terapi simtomatik pende-
rita MDS, baik GM-CSF maupum G-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factors dan Granulocyte Colony Stimulating Fac'
tor) dapat meningkatkan netrofil sampai 80-:90olo sehingga dapat
menurunkan risiko terkena infeksi. Selama tahun 1987-1989 ada 5
studi tentang GM-CSF pada MDS. Total^ada 45 pasien yang diterapi denga-n dosis antara 30-750 pglmzlhari. Terjadi perbaikan
jumlah leukosit dan trombosir. Sekitar l0-I5o/o penderita. disertai
peningkatan retikulosit dan 8 orang dengan perbaikan jumlah
trombosit. Sekitar l0-l5o/o penderita mengalami progresi dengan
meningkatnya jumlah sel blast. Srudi multisenter membuktikan
bahwa pemberian GM-CSF dapat meningkatkan granulosit dan tidak terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan trombosit.
Dosis 1-3 pg/kg/hari untuk GM-CSF dan G-CSF cukup efektif dan
aman di mana efeknya akan menghilang setelah 4 minggu obat
.,
4.20
d
I
hentlKan.
188
Hematologi Klinik Ringkas
Terapi dengan eritropoetin meningkatkan hematokrft pada 25o/o
penderita sehingga kebutuhan akan transfusi menjadi jauh berkurang. Eritropoetin akan mempunyai respons yang terbaik pada penderita dengan kadar eritropoetin yang rendah walaupun pada kadar
yang normal juga memberi respons. Pada studi randomized multisenter dari Lesin et al., 177 penderita diikutkan di mana didapatkan
28o/o penderita memberikan respons, tetapi responden kebanyakan
mempunyai kadar eritropoerin yang lebih rendah dibandingkan
dengan nonresponden. Pada penelitian lain dari 277 pasien yang
mendapat eritropoetin 73o/o penderita memberi respons dengan
peningkatan kadar hemoglobin dan 18% lainnya kebutuhan akan
transfusinya berkurang. Dari sini dapat disimpulkan bahwa terapi
eritropoetin akan memberikan hasil terbaik pada penderita MDS
apabila kadar eritropoetin endogennya rendah (<l00mU/ml).20
Penelitian tenrang pemberian interleukin 6 atau interferon alfa
hanya dapat menunjukkan perbaikan sitopenia pada sebagian kecil
penderita saja, sedangkan sisanya tidak menunjukkan perbaikan
kadar trombosit, seperti yang diharapkan semula. Pengobatannya
dengan interleukin 3 dapat" memperbaiki jumlah netrofil pada 600/o
penderita dan jumlah rrombosit pada 20o/o, tetapi disertai dengan
efek samping berupa panas, lemah, mialgia dan eosinofilia. Penemuan tentang sitokin yang dikatakan dapat meningkatkan kadar
trombosit yaitu interleukin 11 dan trombopoetin memungkinkan
perdarahan yang fatal dapat dikurangi.l
Srudi terbaru dapat menunjukkan bahwa kombinasi anrara eritro-
poetin dan G-CSF dapat meningkatkan eritropoesis pada 3848o/o
penderita dan peningkatan rletrofil pada hampir seluruh penderita.
Kombinasi ini nampaknya sangar efektif untuk memperlebar cakupan rangsangan terhadap sel induk. Alan tetapi, kombinasi ini juga
diikuti dengan peningkatan efek samping obat. Di samping itu
harga obat yang mahal dan cara pemberian yang berbeda dan kebutuhan obat yang kontinu uhtuk mempertahankan hasil membuat
penggunaan obat itu menjadi sangar terbaras.2o
I Respons M od ifi e rs
Pada penderita MDS akan terjadi gangguan reaktivasi imunitas,
seperti menurunnya aktivitas sel NK dan produksi interferon yang
B i ol og i ca
Leukemta dan Pengakit Mietoprotiferatif 189
berkurang. Ada 2laporan kasus MDS yang mengalami remisi komplit setelah pemberian interferon alfa. Studi fase II yang lebih besar
ternyata gagal membuktikan respons yang signifikan terhadap pemberian interferon 3 mU/hari subkutan, dimana respons hanya 5-I2o/o.
Interferon alfa cukup toksik untuk MDS karena umur penderita
yang sudah tua, sedangkan penggunaan interferon gama, TNF alfa,
masih belum banyak diketahui. Secara keseluruhan biological resPons
modif,ers tidak efektif sebagai terapi pada penderita MDS dan cukup
3'5''o
toksik pada pasien t,,t".
D
ifferenti ati on
In
d u c i n g Age
nt
Pengamatan pada pertumbuhan sel leukemia memberikan informasi
bahwa sel leukemia dapat diinduksi sehingga mengalami diferensiasi menjadi sel normal tanpa harus merusak sel sumsum tulang
yang dengan sendirinya akan mengurangi risiko terjadinya infeksi
dan perdarahan, seperti pada leukemia akut yang mendapat terapi
.
.e
lntensll.
4.20
Cytarabine dosis rendah dulu diperkirakan sebagai dffirentiation
inducing agent dan dilaporkan tidak ditemukan efek yang menguntungkan dari obat ini. Akhirnya, diketahui bahwa efek tersebut
berasal dari efek cytoreduction sehingga Penggunaannya sebagai
20
diferentiating agent diragukan.
Studi iz uino dari cis dan trans retinoic acid mampu menginduksi
diferensiasi berbagai sel leukemia. Dalam beberapa penelitian transretinoic acid dengan dosis antara 20-125 mg/m2lhari selama 4-30
minggu, didapatkan 20o/o penderita menunjukkan perbaikan dari
sel-sel darahnya. Namun, survival penderita tidak dipengaruhi oleh
obat ini. Bahkan satu studi mendapatkan tidak ada efek menguntungkan dari pemberian cis-retiruoc acid' Tfiun 1993, studi dengan
rctal 62 penderita SMD mendapat all trans-retinoic dosis berkisar
anrara 10'250 mglm2lhari, tidak ditemukan perbaikan yang nYata
pada sebagian besar penderita.
klinik penggunaan 1,25 Dilrydroxyuitamin D3 sebagai
dffirenting agent tidak seekstentif retinoat. Dalam 3 laporan yang
terpisah dengan total 31 pasien diberikan 1,25 Dihydroxyuitamin
D3 I-2,5 mg/hari, hanya 7 penderita menunjukkan sedikit perbaikan
Pengalaman
pada sel darah tepinya, 6 pasien mengalami progresi menjadi leukemia'
190
Hematologi Klinik Ringkas
Vitamin B, Androgen, dan Kortikosteroid
Dulu piridoksin pernah diberikan pada pasien MDS rerutama
RARS karena pada RARS diketahui terjadi penurunan aktivitas
piridoksal kinase. lJmumnya respons terapi sangat rendah, dan
tidak ada efeknya pada jenis yang lain.
Kortikosteroid yang diberikan pada MDS hanya memberikan
respons pada <l0o/o penderita dan androgen yang diberikan pada
25 pasien MDS tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan dari
hemopoesis.
Terapi Suportif
Terapi suportif masih tetap merupakan terapi pilihan pada penderita MDS oleh karena tidak ada terapi yang cukup efektif keluali
cangkok sumsum tulang. Yang termasuk terapi suportif disini adalah pengawasan yang kerat, mempertahankan kadar hemoglobin
yang optimal, menangani komplikasi yang timbul akibat trombositopenia dan netropenia berat. Penderita dengan netrofil <0,5x10e/1
akan berisiko terkena infeksi yang fatal sehingga apabila penderita
ini disertai demam harus segera diberikan antibiotika secara inrravena. Demikian pula pada trombositopenia <lOxl0e/1 akan berisiko
terjadinya perdarahan dan transfusi trombosit mungkin diperlukan.
Pemberian terapi darah akan menyebabkan penderita t..pap". d.ngan risiko akibat produk darah yang kita berikan. pada transfusi
darah yang berulang, kelebihan zat besi akan menimbulkan permasalahan baru. Setiap I kantong darah merah akan mengandung sekitar
200 mg besi dan ransfusi yang lebih dari 100 kantong akan memberikan kelebihan besi sekitar 20 gr, suatu kadar yang dapat menimbulkan keadaan yang disebut hemokromatosis. pada proses transfusi
trombosit, terbentuknya antibodi antitrombosit akan sangar me-
nyulitkantindakantransfusirrombositselanjutnya.l'3,20
Strategi Terapi
Hoffo-rand et al. 6 mengategorikan MDS menjadi dua
terdiri
l.
kelompok
aras:
Loru-rish MDS, yaitu penderita dengan blast <5%o dalam sumsum tulang. Low rish MDS dikelola secara konservatif, dengan
transfusi sel darah merah atau trombosit dan pemberian anti-
Leukemia dan Pengakit Mietoproliferatif 191
biotika jika terdapat infeksi. Dapat juga diberikan eritropoetin
atau grouth factors seperti G-CSF untuk mengatasi leukopenia.
Pemberian obat imunosupresif, seperti siklosporin dan AIG
dapat dipertimbangkan.
2. High-rish MDS, yaitu penderita dengan blast sumsum tulang
5o/o atau lebih. Untuk high-rish MDS dapat dipertimbangkan
pemberian kemoterapi, baik tunggal maupun intensif di samping terapi suportif. Untuk penderita berumur kurang dari 50
tahun stem cell nansplantdtion merupakan satu-satunya pengobatan yang dapat memberikan kemungkinan kesembuhan.
Untuk high-rish MDS dengan umur tua (>65 tahun) dianjurkan
hanya pemberian terapi suportif karena manfaat kemoterapi
tidak sebanding dengan efek sampingnya.
Terapi Masa Depan
Mengingat kemajuan telah cukup banyak didapatkan pada terapi
MDS juga akan
mengikuti hal tersebut. Terapi yang lebih efekdf dan dengan toksisitas yang lebih rendah akan meningkatkan survival dan akan meningkatkan jumlah pasien yang dapat mentoleransi pengobatan.
Pendekatan terapi genetik molekuler akan memberi terapi yang lebih spesifik dan individualistik. Memperbaiki sel hemopoetik merupakan tujuan al,},ir (ubimate goal) dari terapi MDS. Cangkok
sumsum tulang alogenik merupakan terapi yang paling efektif, akan
tetapi angka kematian yang diakibatkannya masih perlu diturunkan. Perlu dicarikan regimen yang bersifat nonablatiue yang dapat
menyebabkan grafi-uersus leuhemia tanpa penekanan fungsi sumsum
tulang yang berkepanjangan pada penderita khususnya penderita
tua. Kemoterapi dosis tinggi diikuti dengan transplantasi autologus
stem cell darah tepi dapat merangsang hemopoesis normal akibat
kasus-kasus leukemia akut, kemajuan pada terapi
engrafiment yang cepat tanpa disertat
gnfi
uersus host diseases.
1'3'20'21
Bab
L0
LIMFOMA MALIGNA
Limfoma maligna (malignant lymphomas) ialah penyakit keganasan
primer dari jaringan limfoid yang bersifat padat (solid), meskipun
kadang-kadang dapar menyebar secara sistemik. Secara klinik dan
patologik, limfoma maligna dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
l. Penyakit Hodgkin (Hodghin disease-HD), disebut juga sebagai
limfoma Hodgkin: khas ditandai oleh adanya sel Reed Sternberg.
2. Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau non-Hodgkin lymphomas
(NHL) ditandai oleh kumpulan limfosit abnormal, kadangkadang histiosit yang bersifat n6dular atau difus 5
Limfoma maligna merupakan keganasan hematologik yang iukup
sering dijumpai. Banyak perkembangan yang terjadi, terutama dalam
bidang terapi sehingga limfoma maligna merupakan salah satu contoh
tumor padat yang dapat disembuhkan dengan kemoterapi.l5
PENYAKITHODGKIN
Penyakit Hodgkin (Hodghin disease) atau limfoma Hodgkin ialah
limfoma maligna yang khas ditandai oleh adanya sel Reei sternberg
dengan latar belakang sel radang pleomorf. t-3,22'23
Epidemiologi
Penyakit Hodgkin merupakan penyakit yang relatif jarang dijumpai, hanya merupakan lo/o dari seluruh kanker. Insidennya di
negara Barat dilaporkan 3,5/100.000/tahun pada laki-lakj, dan 2,61
100.000/tahun pada wanita. Dilihat dari jenis kelamin, penyakit
Hodgkin lebih banyak dijumpai pada lakiJaki dengan perbandingan
laki:wanira = 1,2:1. Di negara barat, penyakit Hodgkin lebih jarang
dijumpai dibandingkan dengan limfoma non-Hodgkin, dengan
perbandingan 5:2, tetapi di negara timur (Asia Tenggara, p"f,r"
New Guinea, Cina dan Jepang) perbandingan ini menjadi lebih
mencolok dengan rasio 9:1. Faktor ap^ yar.g menyebabkan perbedaan ini masih belum diketahui dengan jelas.l5
192
Limfoma
Maligna 193
Seperti halnya dengan keganasan lain, penyebab penyakit
Hodgkin belum diketahui secara pasti. Tetapi genom virus EpsteinBarr dijumpai pada lebih dari 50olo kasus, tetapi perannya pada
patogenesis penyakit Hodgkin belum jelas.6
Patologi
Susunan histopatologik penyakit Hodgkin bersifat khas, dimana sel
ganas (sel R-S) merupakan minoritas, latar belakang sekelilingnya
adalah sel-sel inflamasi yang bersifat nonneoplastik. Sel ganas dari
penyakit Hodgkin terdiri
1.
2.
3.
atas:r'2223
Sel Reed Sternber7 = seI R-S merupakan sel yang besar, berinti
banyak dan polipoid. Jika khas menunjukkan dua buah inti dan
menyerupai mata burung hantu (oul eye). Hanya sel R-S yang
patognomonik untuk diagnostik penyakit Hodgkin.
Sel Hodgkin= H-cell merupakan sel pre Reed Sternberg.
Lacunar cell= sel lakuna dijumpai pada limfoma Hodgkin tipe
nodular sclerosis.
4. Yafianl & H= the L & H uariant
5. Varian pleomorf
Sel ganas penyakit Hodgkin, seperti halnya pada neoplasma
ganas lainnya bersifat monoklonal, sedangkan sel-sel latar belakang
merupakan sel inflamasi yang bersifat reaktif.
Sel Latar Belakang pada Penyakit Hodgkin
Sel latar belakang pada penyakit Hodgkin terdiri atas sel
radang
pleomorfik: limfosit, eosinofil, sel plasma dan histiosit.
Patogenesis
Sel R-S merupakan sel ganas, yang asal-usulnya masih belum jelas.
Diperkirakan berasal dari early lymphoid cell arau histiosit. Penelitian
terakhir dengan melihat rearrangemenl gen immunoglobulin, sel RS
bersifat B-lymphoid lineage. Ada yang mengatakan sel R-S berasal
dari sel B dari germinal centre.Z4 Penyakit Hodgkin disusun dalam
suaru setting yang terdiri atas sel ganas (sel R-S) yang dikelilingi oleh
sel radang pleomorf. Perbandingan komposisi sel ganas dengan sel
radang bergantung pada derajat respons imunologik penderita.
194
Hematologi Klinik Ringkas
Orang dengan srarus imunologik yang baik akan memberikan res,
pons sel radang yang kuat sehingga sel-sel limfosit lebih dominan
dibandingkan dengan sel R-S, sedangkan orang dengan srarus imunologik tidak baik akan memberikan respons imunologik yang rendah
sehingga sel-sel limfosit tidak begitu banyak (dzpletea). Perbandingan
sel R-S dengan limfosit ini akan menenrukan klasifikasi histologik
penyakit Hodgkin dan juga berpengaruh pada prognos's. I'r' 2223
Penyakit Hodgkin pada awalnya terlokalisasi pada suatu regio
kelenjar getah bening perifer kemudian akan menyebar melalui aliran limfe. Penyebaran penyakit Hodgkin jauh lebih konsisten melalui
aliran limfe,'dibandingkan dengan penyebaran limfoma non-Hodgkin
yang lebih sulit diramalkan, lebih banyak kemungkinan melalui
penyebaran hematogenous. Prinsip ini dipakai dalam terapi radiasi
penyakit Hodgkin. Radiasi diberikan bukan hanya terlokalisasi pada
kelenjar getah bening yang terkena, tetapi juga pada kelenjar getah
bening sekitarnya ke mana aliran limfe akan rerjadi. t'3' 22'23
Klasifikasi Histopatologik
Pada umumnya, dipakai klasifikasi Rye, yang membagi penyakit
Hodgkin menjadi 4 golongan, y^iruts'"''3
1. Tipe Lymphocyte Predominance
LH tipe lymphocyte dominance merupakan
5o/o dari penyakit
Hodgkin. Pada tipe ini limfosit kecil merupakan sel latar beiakang yang dominan, hanya sedikit sel R-S yang dijumpai.
2.
3.
Dapat bersifat nodular atau difus.
Tipe Mixed Cellularity
Tipe ini merupakan 30o/o dari penyakit Hodgkin. Jumlah sel
R-S mulai banyak dijumpai, dalam jumlah seimbang dengan
limfiosit.
Tipe Qmphoq,te Depbted
LH tipe lymphoclte depleted merupakan kurang dari 5o/o dari
limfoma Hodgkin, tetapi merupakan tipe yang paling agresif.
Sebagian besar terdiri atas sel R-S sedangkan limfosit jara.ng
drjumpai. Dibagi menjadi subtipe retikuler dengan sel R-S
dominan dan sedikit limfosit, dan subtipe fibrosis difus di mana
Limfoma
Maligna 195
kelenjar getah bening diganti oleh jaringan ikat yang tidak
4.
teratur, dijumpai sedikit limfosit, dan sel R-S juga kadangkadang sedikit jumlahnya.
Tipe Nodular Sclerosis
Tipe ini merupakan tipe yang paling sering dijumpai, yaitu
40-690/o dari seluruh penyakit Hodgkin, ditandai oleh fibrosis
dan sklerosis yang luas, di mana suatu jaringan ikat muiai dari
kapsul kelenjar kemudian masuk ke dalam, mengelilingi kumpulan sel abnormai, dijumpai sel lakuna dan sel R-S. Dilihat
dari perbandingan limfosit dan sel R-S maka dibagi menjadi 3
subtipe: Iymphocyte predominant, mixed celluarity, dan lymphoctefupleted. Sel eosinofil banyak dijumpai.
American European Lymphoma) dan \ffrHO membuat
6:16
klasifikasi baru sebagai berikut (Tabei 10-1).
REN-
(Reuised
Tabel 10-1
Klasifikasi Histologik Penyakit Hodgkin Menurut
REAL/WHO 6,16
Lymphocyte predo,minantl
nodular
t
diffuse areas
Sel RS tidak dijumpai, terdapat sel
limfosit B polimorfik
abnormal (limfositik dan histiositik)
Penyakit Hodgkin klasik (C/asslcal Hodgkin Lymphoma = CHL)
N od ul a r scl e rost's
(NSHL)
Mixed cellulanfy (MCHL)
Lymphocyte depleted
Pita kolagen masuk dari kapsula
mengelilingi nodul jaringan abnormal. Sel
lakunar yang khas sering dijumpai.
lnfiltrat seluler mungkin bersifat lymphocyte predominant, mixed cellularity
atau lymphocyte-depleted, eosinofilia
sering dijumpai.
Terdapat banyak sel RS, jumlah sel
limfosit moderat
(LDHL)
Polanya dapat berupa pola retikuler
dengan sel R-S dominant dengan
sedikit iimfosit atau pola fibrotik difus di
mana kelenjar getah bening diganti oleh
Berlanjut
196
Hematologi Klintk Ringkas
Tabel 10-1
Klasifikasi Histologik Penyakit Hodgkin Menurut
REAL/WHO - Lanjutan 6'16
Lymphocyte rich
(LRCHL)
jaringan ikat dengan sedikit limfosit. Sel
R-S mungkin juga sedikit pada tipe ini.
Sel R-S sedikit, banyak dijumpai timfosit
kecil dengan sedikit eosinofil dan sel
plasma, dapat berpola difus atau
noduler.
GejalaKlinik
Penyakit Hodgkin dapat dijumpai pada semua umur, tetapi insiden
umur bersifat bimodal dengan puncak pada umur 20-30 tahun dan
umur di atas 50 tahun. Gejala klinik yang dijumpai adalah: t-6'22,23
I . Gejala urama berupa pembesaran kelenjar getah benin g yang
tidak nyeri, asimetrik, padat kenyai seperti karer. Urutan kelenjar
yang terkena: leher (60-700/o), aksila (10*15%), inguinal (6l2o/o), mediastinal (6-110/o), hilus paru, kelenjar paraaorta dan
rerroperi- toneal.6
2. Splenomegali dijumpai pada 35-50o/o kasus, terapi jarang massif. Hepatomegali lebih jarang dijumpai.
3. Mediastinum terkena pada 6-1 lolo kasus, lebih sering pada tipe
noduler sklerosis dan wanita muda. Dapat disertai efusi pleura
dan sindromavena cava superior.6
4. Kadang-kadang lesi muncul
pada jaringan elatranodal secara primer,
yaitu pada kulir, paru, otak dan sumsum tulang belakang.
5. Gejala konstitusionai terdiri atas:
a. simtom B: demam, penurunan BB >10%o dan keringat malam;
b. demam ripe Pel-Ebstein: l<has tapi jarang dijumpai;
c. pruritus dijumpai pada 2570 kasus;
d. rasa nyeri setelah minum alkohol.
Gambaran Hematologik
Pada pemeriksaan hematologik dapat dijumpai sebagai berikut: t-3' 22,23
a. Anemia pada 50ok kasus, anemia bersifat normokromik normo-
Limfoma
Maligna 197
siter. Kadang-kadang dijumpai gambaran leukoeritroblasdk oleh
b.
c.
d.
e.
f.
g.
infiltrasi sumsum tulang.
Leukositosis moderat dijumpai pada 30o/o kasus yang disebabkan
oleh netrofilia.
Eosinofilia sering dijumpai.
Limfopenia dapat dijumpai pada fase-fase lanjut.
Laju endap darah meningkat.
Sumsum tulang terkena saat diagnosis pada 5-15o/o kasus.
LDH (lactate dehldrogenase serum) meningkat pada 3040o/o
.
kasus.
Diagnosis
Diagnosis harus dibuat berdasarkan pemeriksaan histopatologik
dengan menemukan adanya sel R-S dengan latar belakang histologik yang sesuai (appropriate). Diagnosis awal dapat dibuat secara
akurat dari bahan kelenjar getah bening hasil biopsi eksisi, bukan
dari biopsi aspirasi. Setelah diagnosis ditegakkan maka harus dilanjutkan dengan penentuan derajat penyakit, karena hal ini akan
22'23
menentukan .ir",.gi terapi dan prognosis petde.it".t-6'
Penentuan Derajat Penyakit (Staging)
Yang umum dipakai adalah kriteria Ann Arbor dengan
revisi
Costwold, seperti terlihat pada tabel 10-2.
Diameter masa kelenjar melebihi 10 cm, atau pembesaran kelenjar mediastinum yang melebihi 1/3 diameter transversal torak pada
T5-5 disebut sebagai bulhl'
disease.
Dikenal 2 jenis penentuan derajat penyakit, yaitu'
l.
2.
1-3' zz'23
Clinical staging berdasarkan pemeriksaan klinik, radiologik, dan
biopsi sumsum tulang.
Pathological staging Clinical staging ditambah laparotomi, biopsi
kelenjar, dan organ pada saat laparotomi. Laparotomi untuk staging dikerjakan pada penyakit Hodgkin derajat I dan II karena
pada upstaging akan mengubah modalitas terapi. Dengan adanya
teknik radiologik yang canggih, seperti CT sanning 1!"9- lyRI,
1't' 22'23
laparotomi uniuk staging sekarang jarang dikerjakan.
198
Hematologi Klinik Ringka.s
Tabel 10-2
Penentuan Derajat Penyakit Hodgkin Menurut
Kriteria Ann Arbor dengan Revisi Costwoldls
Stage Definition
I
lnvolvement of single tymphnode region or lymphoid
structure (e.g., spleen, thymus, Watdeyer's ing)
lnvolvement af two or more lymph node regions on the
sarne srrCe of the diaphragn (the mediastinum is a single
site; hilar lymphnodes are lateralized); the number of ana
ll
tomic sites should be indicated by suffix (e g ,tlq
lll
llll
lll2
tV
Involvement of tymphnode regiois or structures on both
srdes of diaphragm
Wth or without splenic, hilar, celiac, or portal nodes
Wth paraaortic, iliac, ormesenteic nodes
lnvolvement of extranodal srTe(s,) beyond those designated E
Annotation:
A - No symptoms
-
Fever, drenching sweafs, or weight loss
Bulky disease. > 1/3 widening of the mediastinum at
T*6, or maximum nodal mass > 10 cm
E - involvement of extranoda! site , or contigous or proximal
to known noda! site of disease
CS, Clinical stage
PS, Pathological stage
B
X
-
NB: Masing-masing derajat dibagi menjadi kategori A: jika tidak ada simtom
sistemik dan B jika ada sirntom sistemik: demam > 38'C tanpa sebab jelas,
keringat malam dan penurunan BB > 10% dalam waktu 6 buian.
Prosedur Penenfuan Derajat Penyakit
Pada setiap penderita limfoma Hodgkin harus dilakukan prosedur
penentuan derajar penyakir, yairu; r-J 2z z;
I . Evaluasi awal terdiri acas:
a. anamnesis dan pemeriksaan fisik;
b. laboratorium: darah rutin, faal hati, faal ginjal, dan fosfatase
- alkali;
c. aspirasi/biopsi sumsum tulang, idealnya pada beberapa rempar.
2. Evaluasi torak terdiri aras:
Limfoma
Maligna 199
a.
b.
foto torak PA dan lateral;
tomografi paru atau CT scan rcr'ak.
3. Evaluasi abdomen terdiri atas:
a.
b.
c.
bipedal lymphangiography atau
CT scan abdomen;
xaging laparotomi ( untuk stageI,II A dan B, serta
III A).
Terapi
Terapi untuk penyakit Hodgkin terdiri atas terapi spesifik dan terapi
suportif. Modalitas terapi spesifik untuk penyakit Hodgkin terdiri atas:
1-6,22,23
l. Radioterapi
2. Kemoterapi
3. Kombinasi radioterapi dan kernoterapi (combined modality)
Radioterapi
Radioterapi merupakan modalitas terapi utama untuk penyakit
Hodgkin yang terlokalisasi (derajat I dan derajat II). Dapat juga
diberikan untuk penyakit derajat III dan IV, tetapi dikombinasikan
dengan kemoterapi jadi bersifat terapi ajuvan. Dosis raciiasi adalah
4000-5000 rad. Radioterapi diberikan dengan teknik penyinaran
extendedfield (mantlefeld untuk lesi di atas diafragrna atau inuerted Y
untuk di bawah diafragma) atau TNI (total nodal irradiation) untuk
1'3' 22'23
Iesi di atas dan di bawah diafragma.
Kemoterapi
Kemoterapi kombinasi merupakan pilihan utama untuk pelylkit
derajat
1.
2.
III
dan
IY
atau derajat
I
atau
II
dengan bulhy disease.l'3'22'23
Kombinasi kemoterapi yang paling umum dipakai. Regimen
MOPP yang terdiri atas:
a. Mustargen (nitrogen mustard): 6 mglmz-i.v. hari 1 dan 8
b. Oncouin (Vincristine): 1,4 mglm2 i.v. hari 1 dan 8
c. Procarbazine: 100 mg/mz, oral hari I sid 14
d. Prednison: 60*80 mglm2lhari, oral hari 1-5
Siklus diulang setiap 4 minggu.
Regimen ABVD, yang terdiri atas:
200
Hematologi Klini.k Ringkas
a. Doxorubicin (Adriamycin) 25 mglmz,IV hari 1 dan 15
b. Bleomycine 10 mg/m2, IV hari I dan 15
c. Vinblastine 5 mglmzIV hari 1 dan 15
d. Dacarbazine (DTIC) 375 mglmz IV hari I dan 15
3. Kombinasi regimen MOPP dan ABVD (siklus berganti-ganti
4.
antara MOPP dan ABVD)
Regimen hybrid MOPP/ABV
Regimen
ABVD merupakan regimen yang paling sering di-
gunakan saat ini. Regimen MOPP banyak ditinggalkan karena efek
samping janglaoVaniangnya yang kurang baik, yaitu therapy related
maugnanctes.
Kemoterapi diberikan sampai terjadi remisi komplit, ditambah
dengan 2 siklus. Jika setelah 6 siklus belum tercapai remisi komplit,
sebaiknya diganti dengan regimen lain.
Terapi Kombinasi
Terapi kombinasi terdiri dari kombinasi radioterapi sebelum atau
sesudah kemoterapi. Diberikan untuk penyakit derajat III atau IV
dan pada penyakit yang tergolong bulky disease, penyakit dengan
simtom B yang mencolok atau penyakit yang kambuh setelah pemberian radioterapi. 1'6' 22'23
Terapi Baru
Modalitas
baru yang memberikan harapan penyembuhan
-terapi
t-3' 22'23
adalah:
a. transplantasi sumsum tulang atau transplantasi sel induk
b. high dose chemotherapy dengan rescue peripheral blood stem cell
transplantation
Grapi ini merupakan saluage therapl untuk kasus yang mengalami
kekambuhan setelah kemoterapi.
Strategi Pengobatan
l.
Penyakit Hodgkin derajat
.1-1 l) )l
terapl'
2. Deralat IIB terdiri
4.
b.
I
dan IIA: obat pilihan ialah radio-
atas:
sebagian besar dengan radioterapi
kemoterapi dianjurkan untuk berikut:
i. penyakit Hodgkin derajat IIB dengan simtom B lengkap
Limfoma
ii. llB dengan
Maligna 2O'l
resiko tinggi (buthy diseasedan tipe lymphocyte
depleted a:au mixed cellulariq')
3. Untuk penyakit Hodgkin
4.
5.
derajat IIB dengan massa mediastinal
besar (bulky mediastinal disease=dtameter >10 cm) diberikan rerapi kombinasi (radioterapi+kemoterapi)
Untuk penyakit Hodgkin derajat IIIA, yaitu:
a. IIIA1 (lesi pada abdomen atas): diberikan radioterapi (TNI)
b. IIIA2 (lesi abdomen bawah): kemoterapi atau rerapi kombinasi.
Untuk derajat IIIB dan IV
Kemoterapi dengan arau ranpa radioterapi merupakan obat pilihan.
Komplikasi Akibat Terapi
1. Radioterapi
Radioterapi dapat menimbulkan nausea, disfagia, esofagitis,
dan hipotiroid.
2.
Kemoterapi
Kemoterapi dapat menimbulkan mielosupresi, sterilitas dan
timbulnya keganasan hematologik sekunder: AML 3,9-6,90/o,
limfoma nonhodgkin: 0,5-5,9o/o, dan MDS.r-6' 22'23
Prognosis
Progiosis ditentukan oleh: derajat penyakit, umur, volume lesi, dan
tipe histologlk. 1'3' 22'23 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
prognosis dapat dilihat pada tabel l0-3.
Secara umum, masa hidup penderita limfoma Hodgkin menurut
derqat penyakitnya adalah:
Masa bebas penyakit 5 tahun setelah terapi:
Derajat I - II:
B5o/o
Derajat IIIA:
7 0o/o
Derajat IIIB &IV:
50o/o
Penyakit derajat IA mempunyai harapan hidup 10 tahun lebih
dari 90o/o, sedangkan penderita dengan derajat IIA harapan hidup
l0 tahunnya lebih dari 80%. Untuk penyakit derajat III atau IV
kemoterapi memberi angka respons 80% dengan angka bebas penyasetelah l0 tahun 60%. Regimen hybrid MOPP/ABV memberi
angka respons lebih dari 9oo/o dan angka bebas penyakit setelah l0
rahun adalah 75o/o. 5
kit
202
Hematologi Klinik Ringkas
Tabel 10-3
Faktor-Faktor yang Tidak Faaourable pada Limfoma
Hodgkin2a
Early
-
stage disease
,
Bulky disease
Any mass >10 cm
Erythrocyte sediment rate >50 mm/hr
More than three sites of disease
Advanced disease
Albumin < 4.0 g/dl
Hemoglobin <10.5 g/dl
Leucocytosis (>15,000nL)
Lymphopenia (<600/ iL)
Male
Older than 45 years of age
Stage lV disease
LIMFOMA NON-HODGKIN (LNH)
Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau non-Hodghin lymphomas (NHL)
merupakan penyakit yang sangar heterogen dilihat dari segi patologi
dan klinisnya. Penyebarannya juga tidak seteratur penyakit Hodgkin
serta bentuk ekstra-nodal jauh lebih sering dijumpai. 1'3' zz'zt
Insiden
LNH merupakan
neoplasma ganas padat yang cukup sering dijumpai dengan frekuensi 3o/o dari seluruh kanker. Di Indonesia frekuensi
relatif LNH jauh lebih tinggi dibandingkan dengan limfoma Hodgkin.
Di
negara barat limfoma dari sel B jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan limfoma dari sel T. Akan tetapi, di Jepang limfoma sel T
didapatkan dalam frekuensi yang cukup tinggi.l-j' rl'zz'z:
Klasif ikasi Histopatolo gik
Klasifikasi histopatologik merupakan topik yang paling membingung
kan dalam studi limfoma maligna karena perkembangan klasifikasi
ini demikian cepat dan dijumpai berbagai jenis klasifikasi yang saru
sama lain tidak kompatibel. Limfoma nonhodgkin dianggap mutasi
ganas dari salah satu tingkat perkembangan limfosit. Diketahui bahwa
sebagian sel limfoma berasal dari follicular center cell (FCC), dapat
berkembang menjadi bentuk difus atau noduler. Demikian juga perkembangan petanda imunologik, biologi molekuler, serta pengertian
Limfoma
Maligna 203
tentang ontogenesis limfosit telah memberikan pengertian yang lebih
baik tentang limfoma -"lign*.l-3'22'23 Untuk dapat memahami lebih
baik klasifikasi limfoma maka pemahaman tentang perkembangan
limfosit serta struktur kelenjar getah bening sangar diperlukan.
Perkembangan Limfosit
Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblast. Perkembangan limfosit terbagi dalam dua tahap: (1) tahap yang tidak
tergantung antigen (antigen independent); dan (2) rahap yang tergantung antigen (antigen dependent).
Pada tahap 1, sel induk limfopid berkembang menjadi sel pre,B,
kemudian menjadi sel B imatur dan sel B marur, yang beredar
dalam sirkulasi, dikenal sebagai nai'ue B-cell. Apabila sel B terkena
rangsang antigen, maka proses perkembangan akan masuk tahap 2
yang terjadi dalam berbagai komparremen folikel kelenjar getah
bening, di mana terjadi immunoglobuline gene rearrangement. Pada
tahap akhir menghasilkan sel plasma yerg akan pulang kembali
(homing) ke sumsum tulang.,skema perkembangan limfosit B dapat
dilihat pada gambar l0-1.16
Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiue B
cell dapar langsung mengalami transformasi menjadi immunobkst
kemudian menjadi sel plasma. Sebagian 6esar naitue B cell mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast,
centroclte, monocytoid B cell dan sel plasma. Skema diferensiasi ini
dapat dilihat pada gambar 10-2.16
Untuk memahami penggolongan limfoma perlu pengerrian tentang pembagian komparremen kelenjar getah bening, seperri terlihat pada gambar 10-3.'*
Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-sel
pada suatu dpe LNH dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi. Skema hubungan tipe LNH dengan limfosit normal pada kompartemen tersebut dapat dilihat pada gambar 104.16
Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan dengan kemampuan
patologis serta fasilitas yang tersedia. Dua jenis klasifikasi yang paling
umum dipakai adalah klasifikasi Kiel dan Worhing Formulation.
Di bawah ini diuraikan klasifikasi Rappapon yang merupakan awal
klasfikasi LNH modern, uorking formuktion, sena klasifikasi terbaru
REAL Gabel 10-4 sampai tabel 10-6).r'3'22'23
204
Hematologi Ktinik Ringkas
Gambar 10-1. Skema diferensiasi limfosit B dan ekspresi antigen selama
diferensiasil6
Klasifikasi Rappaport memakai dasar bentuk morfologik, makin
mendekati bentuk limfosit kecil dianggdp sel yang berdiferensiasi
baik, sedangkan sel yang lebih besar dianggap berdiferensiasi tidak
baik. Sehubungan dengan itu, dilihat susunan sel, apakah noduler,
atau difus.
I
A
8"n" tlrr"-.lrl
T
'o
G
tttelrct
N
I
I
G
E
mlru
Elood
l{rrow
Prlmtrytol0ch
I
N
Y,q
o.
Gambar 10-2. Skema diferensiasi limfosit B dihubungkan dengan lokasi/
kompartemen dalam folikel kelenjar getah bening 16
Limfoma
Maligna 205
Germinal center
Mantle zone
Marginal zone
Gambar 10-3. Pembagian kompartemen kelenjar getah bening
I,lrgc
B-cch tymPnomll
/-
N
T
\\
(c,
I
tlrmph.phr,,r*yd.l
lLymptoma
)- o
t\v/
/./_:
ll.ruxcusl
./
f;Gffil
llrnocvrr
I
I
I
G
E
fffil
N
Gambar 10-4. Skema yang menunjukkan tipe LNH dengan kounierpart sel limfosit
normal 16
Klasifikasi Kiel
Klasifikasi Kiel membagi
a. LNH
b. LNH
LNH menjadi 2 golongan
dengan derajat keganasan rendah;
dengan derajat keganasan tinggi.
besar, yaitu:
1'1'22'23
206
Hematologi Klinik Ringkas
Tabel lG-4
Klasifikasi Rappaport
1. Lymphocytic, poorly differentiated
a. nodular(NLPD)
b. diffuse (DLPD)
2. Lym phocytic, well differentiated
a. diffuse (DLWD)
3. Mixed lymphocytic histiocytic
a. nodular(NMLH)
b.
dlffuse (DMLH)
5. Undifferentiated
a.
drffuse (DU)
- Burkitt
type
*n
(l ym phobt
B
on-
u
rkitt
a sti cl
type
NB: istilah "nodular" akhir-akhir ini sering diganti dengan "folliular"
Klasifikasi Kiel sesudah menyesuaikan dengan kompartemen dari
kelenjar getah bening, serta membedakan asal sel, apakah dari lirn,
fosit B atau limfosit T.
Perumusan Praktis untuk Penggunaan Klinis
Perumusan praktis untuk penggunaan klinik (worhing formu/ation for
clinical usage) merupakan klasifikasi yang banyak dipakai. Sebetulnya
klasifikasi ini merupakan jembatan antar berbagai klasifikasi yang ada.
Tabel 10-5
Klasifikasi Kiel
Sel
B
malignancy
Lymphocytic
Lymphoplasmacytic
Plasmacytic
Centroblastic/centrocytic
follicular
diffuse
Low grade
Sel T
High grade malignancy
Lymphocytic
Small cerebriform cell
mycosis funguides
Sezary's syndrome
Lymphoepitheloid
(Lennert's lymphomas)
Berlanjut
Limfoma
Maligna 207
Tabel 10-5
Klasifikasi Kiel
-
Lanj utan
Centrocytic
Angioimmunoblastic
High grade malignancy
Centroblastic
!mmunoblastic
Large cell anaplastic
(K-1+)
Pleomorphic smal! cell
High grade malignancy
Pleomorphic medium
and large cell
lmmunoblastic
Burkitt's lymphoma
Large cell anaplastic
(Ki-1+)
Lymphoblastic
Rare types
T Zone
Lymphobtastic
Rare types
Klasifikasi yang baru dibuat berdasarkan perkembangan limfosit
yang dengan demikian dapat dihubungkan dengan letak sel pada
kompartemen kelenjar getah bening normal. Maka secara umum
2a
klasifikasi limfoma yang berasal dari sel B adalah:
l.
Precursor B-cell lymphoma
Limfoma dianggap berasal dari limfoblast. Dapat terjadi dalam
benruk leukemia ataupun limfoma, yang keduanya identik atau
disebut $mphoblastic leuhemia/lympltoma.
2. LNH yang berasal dari nai:ue B-cell
LNH ini disebut sebagai small lymphocytic
3.
lymphoma (SLL) yang
identik dengan bentuk chronic lymphocytic leuhemia (CLL) dapat
juga itu disel--ut sebagai chronic lympbocytic leuhemia lymphoma.
LNH yang berasal dari germinal center dari suatu folikel limfoid
LNH dari germinal cettter dlbagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
^.
Foilicular lj'rnphonta: terdiri dari sel yang sangat mirip dengan sel dt"ri prrrninal center normal. LNH jenis ini biasanya
bersifat indolen, rctapi incurable. Follicular lymphoma sertng
disertai trirnslokasi kromosom 14 dan l8 it(14;18)l y"rg
menyebabkan juxtaposisi bcl-2 gene yang mengatur apoptosis
dengan Ig heauy chain gene.
b.
Large cell fi'mphomas: terdiri dari sel-sel besar yang terdapat
dalam folikel normal (centroblast). Jenis ini lebih sering
208
Hematologi KLinik Ringkas
Thbel 10-6
Perumusan Praktis untuk Penggunaan
Klinik
1. Low grade
a. small lymphocytic
b. fotlicular, predominantly small cleaved cell
c. follicular, mixed small cleaved and large cell.
2. lntermediate grade
a. folticular, fredominantly targe cetl
b. diffuse small cleaved
c- diffuse, mixed small and large cell
d. dlffuse large cell
3. High grade
a. large cell, immunobtastic
b. lymphobtastic
c. small non cleaved cell
d. Burkitt's lymphoma.
bersifat difus karena itu disebut sebagai dffise large cell
fimphoma. LNH jenis ini bersifat agresif, tetapi sangat responsif terhadap kemoterapi.
4. LNH yang berasal dari mantb zone
LNH jenis ini disebut sebagai mantle cell lymphoma. Secara imunofenotipe mirip SLL, tetapi menunjukkan CD5 positif. Perjalanan
Hinis slowly progressiue dan incurable dengan standard chemotberapy.
yang berasal dari marginal zone atau parafollicular
Termasuk dalam golongan ini adalah: B-cell monorytoid lymphoma,
bw-grade mucosa-Associated lymphoid tissue (MALT) lympboma dan
splenic marginal zone lymphoma. Dulu dikenal sebagai low-grade
lymphomas. Terdiri dari sel-sel limfosit kecil yang menempati zone
marginai atau parafolikuler dari folikel limfoid normal. Perhatian
khustrs sekarang diberikan pada extranodal marginal zone B-cel/
lymphoma of mucosa-associated Qmpboid tissue, yang lebih dikenal
sebagai MALT lymphomas. MALI lymphoma dijumpai pada gaster,
kelenjar ludah dan kelenjar lakrimalis. MALT Qmphoma pada gaster
dan duodenum dihubungkan dengan infeksi Helycobacter p/ori.
Klasifikasi yang paling baru adalah klasifikasi REAL (Reuised EuropeAmerican Lymphoma) dari International Lymphoma Studlt Grouptl
5. LNH
Limfoma
Frekuensi Masing-Masing Jensis Limfoma
WT{O16 memberikan gambaran perkiraan frekuensi
terlihat pada tabel 10-8.
Maligna 209
LNH,
seperti
Penentuan Derajat Penyakit
Untuk menentukan derajat penyakit LNH umumnya dipakai klasifikasi derajat penyakit Ann Arbor meskipun nilai prognostiknya
Tabel 10-7
KlasifikasiREAL
B-CellNeoplasms
Precursor B-Cell Neoplasm
P rec u rsor B-ty m ph obla stic Ie u ke mi a/ly mph om a
,'
Peripheral B-Cetl Neoplas(t , '
1. B-CettCLLIPLIJSLL
2. Lymphoplasmacytoid lymphoma/immunocytoma
3' Mantle cell lYmPhoma "
4. Folticte cenler lymphoma, fotlicular
'i
,
5.
Provisional cytologic grades: I (small), ll (mixed), lll (arge)
' Provi sional subtype: diffuse, predominantly small cell.
Margiial zone B-cell
6.
7.
8.
9.
I
lymphoma :
,
monacytoid cells)
Provisional category : Nodal ( x monocytoid B cells)
Provisionat! entity:Spteiic marginal zone lymphoma
Hairy cell leukemia.
Extraniodat (A4ALT
Plasmacytoma/myelo,ma.
Diffuse large B-cell lymphoma
10. Bu*ift's
lymphoma
:
:
11. Provisioial entity: High - grade B -
cett
lymphoma, Burkitt's
-
Iike
T-Cell and Putative NK-Cell Neoplasms
r I-Cel/ Neop/asms
r T-ly m p hoblasti c le ukemi a/ly m p hom a.
Peripheral l:Cell and NK-,Cell Neop/asms
P rec u rs o
P re cu rso
-
1. T-CeIICLUPLL
2. Largegranular tymphocyte leukemia
3. Mycosis funguidedSezary syndrome
4. Peripheral T-cell lymphomas, unspecified
Berlanjut
210
Hematologi KLinik Rtngkas
Tabel 10-7
Klasifikasi REAL - Lanjutan
T-Cel I a n d Putative N K-Cell Neoplasrns
Provisional categories: medium, mixed, targe, tymphoepitheloid
Provisional subfypes;
H e pato sp
I e ni c g dT-cell ly m ph oma
Subcutaneous pannicutitic T-celt tymphoma
5. Adutt T-celt tymphoma/teukemia
6. AngioimmunobtasticT-cetl lymphoma
7. Angiocentric lymphoma/nasal T/NK - cetl tymphoma)
B. lntestinal T-cell lymphoma ( t enteropathy)
9. Anaplastic large cell lymphoma (T/Null)
10. ProvisionalALCL, Hodgkin's - Iike
Hodgkin's Disease
1. Lymphocyte predominance (nodular t diffuse)
2. Nodular sc/erosrs
3. Mixed cettularity
4. Lymphocyte depletion
5. Lymphocyte-rich classic HD (provisional)
tidak sebaik pada limfoma Hodgkin. A Haril'x1116 membagi penentuan derajat penyakir menjadi 4 ahap, yaitu,15
Tahap I:
1. Pengambilan riwayat penyakit yang cermar.
2. Pemeriksan fisik yang lengkap dengan perhatian khusus pada
cincin \Taldeyer.
3. Pemeriksaan laboratorium lengkap ter-diri atas:
a. hemogram lengkap
b. apusan darah repi
c. tes faal hati dan faal ginjal
4. Pemeriksaan radiologi terdiri atas:
a. torak PA
b. jika perlu survei kerangka
Limfoma
Maligna 211
Tabel 10-8
Frekuensi B dan T/NI( Cetl Lymphomas'q
Diagnosis
% Dari kasus total
Diffuse large B-cell lymphoma
Follicular lymphoma
MALT lymphoma
Mature T-cell lymphomas (except ALCL)
Chronic lymphocytic leukemiai
small Lymphocytic lymphoma
30,6%
22.1%
7,6%
Mantle cell lymphoma
Mediastinal large B-cell lymphoma
Anaplastic large cell lymphoma
Burkitt lymphoma
Nodal marginal zone lymphoma
Precursor T lymphoblastic
6,0%
2,4%
Other types
7,60/0
6,70/o
2A%
25%
1,go/o
1,2%
7,4%
5. Fine
needle aspiration pada kelenjar getah bening yang dicurigai
pada sisi lain diafragma.
Thhap II:
Pada penderita dengan dugaan stadium I derajat keganasan tinggi
atau stadium I dan II derajat keganasan menengah dilakukan biopsi
sumsum tulang bilateral.
Thhap
III:
Penderita dengan jangkitan pada cincin \Taldeyer dengan dugaan
I derajat keganasan ringgi atau sradium I dan II deraiat
keganasan menengah dilakukan penelitian radiologik traktus gasstadium
trointestinal.
Tahap IV:
Penderita dengan dugaan stadium I derajat keganasan menengah
setelah prosedur di atas dilakukan limfangiografi. Prosedur penderajatan penyakit wajib dilakukan sebelum pemberian terapi karena
derajat penyakit sangat menentukan jenis terapi yang harus diberikan.
212
Hematologi Klinik Ringkas
GejalaKlinik
Gejala ldinik limfoma nonhodgkin dapat berupa berikut:5
1. Pembesaran kelenjar getah bening merupakan gelalayang paling
sering dijumpai. Pembesaran kelenjar getah bening asimetrik
(gambar I0-4), lokasi dan tanda fisik kelenjar getah bening
persis sarha seperti pada penyakit Hodgkin.
2. Gelala konsritusional dapat berupa demam, keringat malam
dan penurunan berat badan. Gejala konsdtusional ini lebih
jarang dijumpai dibandingkan pada penyakit Hodgkin.
3. Jangkitan orofaringeal dijumpai pada 5-I0o/o kasus yang dapat
menimbulkan keluhan sakit menelan (sore throat).
4. Anemia, infeksi, dan perdarahan dapat dijumpai pada kasus
yang. mengenai sumsum tulang secara difus.
5. Dapat dijumpai hepato/splenomegali.
6. Gejala pada organ lain seperti kulit, otak, testis dan tiroid
dijumpai. Kelainan kulit sering dijumpai pada
mycosis
dapat
funguidrs
dan Sezary syndrome.
Kelainan Hematologi
LNH dapat di.jumpai berikur:5
1. Dapat dijumpai anemia bersifat normokromik normositer.
2. Pada jangkitan sumsum tulang yang luas dapat dijumpai anemia, leukopenia dan trombositopenia serta gambaran leukoeritroblastik.
3. Dapat dijumpai fase leukemik dari LNH dengan >5%o sel muda
dalam darah tepr.
4. Biopsi sumsum tulang menunjukkan lesi fokal pada 20olo kasus.
Jangkitan sumsum tulang justru lebih sering LNH lotu*gradc.
Pada pemeriksaan hematologik seorang penderita
Pemeriksaan Lain
Beberapa pemeriksaan lain sangat diperlukan dalam diagnosis LNH.
1. Pemeriksaan petanda imunologik (immu.nological marber) untuk
melihat ekspresi antigen pada permukaan sel sangar penting
untuk menenrukan jenis sel (sel B atau sel T) serta tingkat
perkembangannya (tabel 10-9).
Limfoma
Maligna 213
l:r:!i::i*r:
::::u:aa),a:t
Gambar 10-5. Limfadenopati masif asimetrik pada penderita LNH (A),
bandingkan dengan limfadenopati yang sudah sangat mengecil
setelah kemoterapi pada penderita yang sama (B).
2. Pemeriksaan kromosom (sitogenetik)
penting dalam menentukan prognosis. Kelainan yang khas dijumpai pada bentuk
tertentu. Burhitt's lymphoma t(8; 14), follicular lymphdma t(14;
8), mantle cell lymphoma r(ll; l4), anaplastic large cell lymphoma t(2; 5).
Pemeriksaan biologi molekuler untuk menentukan adanya
rearrengernent immunoglobulin genes pada LNH sel B dan
4.
rearrangement T:cell receptar genes pada LNH sel T
(lactic dehydrogenase) sering meningkat pada LNH dengan
proliferasi sel yang cepat dan pada penyakit yang luas. Asam
LDH
urat serum iuga sering meningkat.
Diagnosis
Diagnosis LNH harus ditegakkan dari pemeriksaan histologi biopsi
ekstsi (excisional biops) kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal.
Pemeriksaan dari hasil aspirasi jarum halus tidak memadai unnrk diagnosis
konfirmatif Dilakukan klasifikasi histopatologik menurut klasifikasi yang
lazim dipakai (di indonesia pada umumnya gab,rtgat uorhingformuktion
2'14
Hematologi Klinik Ringkas
Tabel 10-9
Petanda Imunologi dalam Diagnosis LNH6
T
cell
B
cell
Activation markers Leucocyte common antigen
CD2
CD3
cD5
CD7
CD19 CD23
CD2O CD25
CD22 CD30
CD4
CDs
CD45
CD24
T-cell subsets Rare B cell
CD8
dan
Kiel).
Setelah
itu dilakukan prosedur penderajatan
sehingga derajat penyakit dapat ditentukan.
r-3'
penyakit
22'23
Terapi
LNH terdiri atas rerapi spesifik untuk membasmi sel
limfoma dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum
penderita atau untuk menanggulangi efek samping kemoterapi atau
1,1 ll )t
radioterapi. I'r' t:'zr Terapi
spesifik untuk LNH dapat diberikan da,
lam bentuk berikut:
Terapi untuk
1. Radioterapi
a. untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I)
b. untuk ajuuan pada "bulky disease"'
c. untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut
2. Kemoterapi
a.
kemoterapi tunggal (sing/e agent)
Cblorambucil atau siklofosfamid unruk
rendah
b.
LNH derajat
keganasan
kemoterapi kombinasidibagi menjadi tiga, yaitu:
i.
I terdiri atas:
CHOP (ryclophosphamidz, doxontbicine, uinristine, pred-
Kemoterapi kombinasi generasi
I
nison);
r CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + bleomycine)
I COMIA Qyclophosphamide, uincristine, metlto*exate
with leucouorin
rescue);
Limfoma
Maligna 2'15
I CW/COP (cyclophosphamide, uincristine, prednison);
I C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine, uinois'
' tine, prednison, procarbazine).
ii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
r COP-Blam (cycbphoghamide, mechhretltamine, uincis'
I
tine, prednison, bleomycine, doxorubicine, procarbazine)
(prednisone, metltatrexate uith leucou-
Pro-MACE MOPP
orin
rescue, doxorubicine, rychphoghamide, etoPosidz,
mec h loretltamine, uincristine, prednisone pro car bazine)
r
M-BACOD (methotrexate with leucouorin
resnte, b.leomy'
cine, doxorubicine, qtclophosphamide, uincristine, dexamethasone).
iii.
Kemoterapi kombinasi generasi
I COPBiAM lII
III
terdiri
atas:
(q,cbphosphamide, infusional uinnistine,
prednison, infusional bleomycine, doxorubicine, procarbazine)
I
PToMACE-CyIaBOM (prednison, methotrexate with
r
leucouorin rescue, doxorubicine,' cyclophosphamide, etoposide, cytarabine, bleomlcine, uinnistine, metltotrexate
tuith leucouorin rescue)
MACOP-B (methotrexate with leucouorin resc'ue, dnxorubi-
amidn, inristine, prednison, b lro mycin ).
Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi
kombinasi CHOP terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi
kombinasi yang lain. Penambahan jenis kemoterapi ataupun lama
pemberian tidak menambah angka kesembuhan, malahan dapat
menambah efek samping. Oleh karena itu, kemoterapi generasi kedua dan ketiga jarang digunakan.
3. Tiansplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi baru dengan memberikan harapan kesembuhan
jangka paniang.
4. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood
stem cell transplantation.
cine, qtccbp
5.
ho sp h
Terapi dengan imunomodulator
Terapi dengan interferon diberikan untuk indobnt lymphoma, dikombinasikan dengan kemoterapi atau diberikan setelah kemoterapi
216
Hematologi Klinik Ringkas
unruk memperpanjalg masa remisi. Hasilnya sampai sekarang
masih konrroversial.'n
tr.
)l
Iargeted theraPJ"
Antibodi monoklonal: rituximab (Mabthera) suatu chimeric monoclonal antibody (human-mouse hybrid) ditujukan untuk CD20 anti=
gen yang diekspresikan oleh semua sel limfosit B. Pemberian
, rituxima& intravena tiap minggu selama 4 minggu memberikan
remisi parsial pada 50olo LNH indolen. Sekarang cenderung digabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada
LNH agresif. Radiolabeled monoclonal antibodies: .anti CD20
antibody taged with radionuclide, seperti iodine-t3l (Bexxar) atau
yttrium-9} (Zevalin) memberikan respons lebih tinggi (60-80%o)
dengan 20-40o/o remisi komplit untuk LNH indolen yang refrakter.
Sebaiknya dikuasai suatu regimen kemoterapi yang tersedia di
tersebut. Regimen yang paling umum dipakai adalah CHOp:
F-.n^p^"^!
t-3,
l.
22,23
Cyclophosphamide
750 mglmz i.v. hari I
2. Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mglm2 i.v. hari 1
3. Oncouin (uincristine) 2 mglmz, i.v. hari I dan 5
4. Prednison 100 mg per oral hari 1-5.
Siklus diulangi tiap 3 minggu, sampai terjadi remisi komplit,
kemudian ditambah 2 siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak
terjadi remisi komplit, sebaiknya diganti regimen lain.
Dokter harus mengenal betul efek samping dari regimen yang
diberikan dan menyiapkan fasilitas untuk mengatasi hal tersebut.
Makin intensif (dosis tinggi) suatu kemoterapi makin besar efek
sampingnya. Sebaiknya jangan memakai kemoterapi intensif jika
kita tidak mempunyai fasilitas untuk mengatasi efek samping tersebut
dan belum mempunyai pengalaman yang cukup dalam penggunaan
kemoterapi intensif tersebut.
Strategi Pengobatan LNH
LNH derajat keganasan rendah stdge I dan iI
Pengobatan
a.
radioterapi merupakan obar pilihan
LNH derajat keganasan rendah stage III dan IV
tumbuh lambat: chbrambucillcyclophosphamid oral
Pengobatan
a.
1-3' 22'23
Limfoma
Maligna 2'17
b.
dengan jangkitan yang luas dapat diberikan CVP, C-MOPP
atau BACOP
Pengobatan LNH derajat keganasan menengah stage III dan IV
a. obat pilihan kemoterapi kombinasi
CHOP memberi remisi 50-75o/o
Pengobatan LNH derajat keganasan tinggi
a. kemoterapi dosis tinggi merupakan pilihan utama
b. limfoma imunoblastik sangat resisten pada kemoterapi dan ra-
c.
d.
dioterapi.
limfoma limfoblastik diberikan regimen terapi seperti pada
AIL
limfoma undffirentiated (Burkin/non-Burkitd diberi kemoterapi kombin asi: uincristine, methotrexate dan cyc lop hosp h amide.
Prognosis
Prognosis LNH sangat beraneka ragam karena memang LNH
me-
rupakan kumpulan kelainan yang sangat beraneka ragam. Faktor
yang paling menentukan adalah jenis dari LNH sendiri. Dilihat dari
prognosisnya maka LNH dibagi menjadi:z4
|. Indolent, usually incurable non-Hodghin lymphomas
Jenis ini merupakan sekitar 3040o/o limfoma. Pada umumnya
menyerang umur lebih tua dengan umur rata-rata 50-60 tahun,
pada umumnya dijumpai pada tingkat yang sudah lanjut. Perjalanan penyakit perlahan-lahan dengan median suruiual 7-I0
tahun, tetapi belum ada terapi yang menyebabkan kesembuhan.
Dalam golongan ini termasuk: follicular lymphoma, small lymphocytic leuhemia, dan chronic lymphocytic leukemia/lymphoma
dapat juga digolongkan pada jenis ini.
2. Moderately agressiue incurable non-Hodgkin lymphomas
Contohnya, mantle cell lynphoma. Lebih banyak mengenai lakilaki dengan median suruiual 3-4 :'ahun, sering dijumpai dalam
derajat lanjut. Biasnya memberi respons awal terhadap regimen
CHOP tetapi masa remisinya pendek. Sering resisten terhadap
saluage treatment termasuk transplantasi
3. Agressiue, ?ztentialb curable non-Hodghin lymphomas
Jenis ini merupakan jenis yang tersering dijumpai. Yang paling
218
4
Hematologi Ktinik Ringkas
sering adalah dffise large B-cell lymphoma. Yang lainnya adalah
anaplastic large cell lymphoma dan peripheral T:cell lymphoma.
Lebih sering dijumpai pada derajat penyakit yang lebih rendah
dibandingkan dengan pada LNH indolen. Kemoterapi
(CHOP) dapat bersifat kuratif. Untuk penyakit terlokalisir
biasanya diberikan CHOP 3-4 siklus diikuti radioterapi lokal.
Penambahan /znti-CD2} antibody araupun konsolidasi dengan
tranplantasi sel induk dapat memperbaiki prognosis.
Htg,hb agressiue, pltent;albt curable non-Hodghin lymphomas
ini adalah Burhitt lymphoma
dan lymphoblaxic lymphoma. LNH jenis ini meskipun berkem,
bang sangat cepat tetapi sering responsif rerhadap kemoterapi.
Yang termasuk dalam golongan
Perhatian khusus diberikan terhadap jangkitan pada SSP. Lymphoblastic lymphona diobati seperti ALL.
Unruk menilai prognosis LNH agresif dipakai International
Prognostic Index
tabel 10-10.
for
(IPI), seperri terlihat
Aggressiue Qmphomas
pada
LNH agresif dengan pengobatan adekuat pr-ognosisnya sangar
dipengaruhi oleh nilai IPI, sepelti terlihat pada rabel l0-11.
Tabel L0-10
International Prognostic Index {IP{} f,,: Aggressive
Lymphomas2a
Riskfactor
Score
Age > 60 years
Stage lll or IV
1
1
LDH elevation
> 2 extralymphaflc slles
Pefformance status (ECOG)
1
1
>2
1
Limfoma
Maligna 219
Tabel L0-LL
Prognosis LNH Agresif Berdasarkan Skor IiI24
Bab
11
GAMOPATI MONOKLONAL
Gamopati monoklonal (monoclonal gammo?ath!) adalah suaru
kelompok kelainan hematologik yang berasal dari limfosit yang
menghasilkan paraprorein (globulin gamma) yang bersifat monoklonal. r-6Kelompok penyakit ini terdiri atas:
A. Gamopati monoklonal yang keganasannya sudah dipastikan
1. Mieloma multipel (muhiple myeloma)
2. Makroglobulinemia'W'aldenstrom (Waldenstrom's mamoglobulinemia)
B. Gamopati monoklon aI yang keganasannya belum dipastikan
l. MGUS (monoclonal gammopathl of undetermined signifcance)
2.
3.
Heauy chain disease
Primary amyloidosis
Nama lain penyakit ini adalah:
a. penyakit imunoproliferatif
b plasna cell dyscrasias
c. plasma cell disorders
d. paraproteinemias
Frekunesi relatif gamopati monoklonal.
relatif gamopati monoklonal adalah :
l. MGUS:
2. Mieloma multipel:
3. Plasmacytoma:
4. Waldensnomls macroglobulinemia:
Di
negara barat frekuensi
630/o
l4o/o
lo/o
1o/o
MIELOMA MULTIPEL
Mieloma multipel ialah gamopati monokional karena keganasan sel
plasma dalam sumsum tulang yang menghasilkan protein abnormal
(paraprotein) dalam plasma atau urine, khas disertai lesi osteolitik,
akumulasi sel plasma abnormal (sel mieloma) dalam sumsum rulang, dan adanya protein monoklonal dalam serum dan urine. 1-6
220
GamopatiMonoklonal 221
Epidemiologi
Insiden penyakit ini di negara barat adalah 3/100.000/tahun. Sebagian besar mengenai umur tua (50-lO tahun), jarang dijumpai
pada umur di bawah 40 tahun. Laki-laki cenderung lebih sering
terkena dibandingkan dengan wanita. Di Amerika Serikat, insiden
pada orang kulit hitam hampir dua kali lipat dibandingkan dengan
orang kulit putih. Tidak ada predileksi pekerjaan tertentu untuk
terkena MM. Seperti halnya pada neoplasma ganas lainnya, penyebab MM belum diketahui pasti.
Patofisiologi
Gejala penyakit mieloma multipel timbul karena berikut:
1.
1-6
Pelepasan produk sel mieloma berupa:
imunoglobulin monoklonal dalam serum (M-protein)
a.
b. fee
i.
ii.
light chain, di mana paraprotein ini:
2.
Dikatabolisisr dalam jaringan sehingga menimbulkan amiloid
Dibuang ke urine berupa protein Bence Jones
Peningkaran osteoclast actiuating faaor (IL-IB, TNF-u) sehingga
3.
menimbulkan lesi osteolitik yang mengakibatkan timbulnya
jala nyeri tulang dan penekanan saraf.
Gangguan hematopoesis terdiri atas:
a.
ge-
akibat pendesakan massa tumor pada jaringan hemopoetik
normal
b.
4.
5.
produk sel tumor (IL-6) yang mengakibatkan anemia, netropenia dan trombositopenia
Gangguan produksi antibodi, netropenia, dan imobilisasi menyebabkan penderita mudah terkena infelai. Infeksi berulang,
terutama pada paru-paru dan saluran kencing.
Hiperkalsemia karena reabsorpsi kalsium dari tulang menimbulkan
gejala anoreksia, mual, muntah, konstipasi, poliuria dan gang-
guan kesadaran.
6. Gagal ginjal
karena kerusakan akibat light chain, hiperkalsemia,
hiperurikemia, dan infeksi.
7.
Perdarahan terjadi akibat menurunirya faal trombosit dan faal
faktor 'koagulasi yang timbul karena pengaruh dari paraprotein.
222
Hematologi Klinik Ringkas
8.
Sindrom hiperviskositas, darah menjadi pekat karena tingginya
kadar paraprotein sehingga menimbulkan gangguan visus, vertigo, penurunan kesadaran dan gagal janrung.
9. Kelainan neurologi: neuropari karena paraprotein dan kompresi
saraf dapat menimbulkan paraplegi.
10. Gejala amiloidosis terjadi karena deposit bahan amiloid dalam
jaringan.
Gejala
Klinik
Gambaran
berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
klinik mieloma multipel dapat dijumpai dalam bentuk
1-6
Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri tulang, rerurama
nyeri punggung.
Gejala anemia berupa lemah, lesu, pucat dan sesak napas.
Gejala infeksi yang berulang, terurama infeksi paru.
Gejala gagal ginjal dan hiperkalsemia: podipsi, poliuri, anoreksia,
mual, munrah, konstipasi dan gangguan mental.
Gejala perdarahan.
Sindrom hiperviskositas: gangguan penglihatan, kesadaran menurun atau payah jantung.
Fraktur patologik oleh karena adanyalesi osteolitik
Gangguan sarafberupa parestesia atau paraplegia/paraparesa
Sebagian penderita bersifat asimtomatik dijumpai secara kebe-
rulan pada saat chech up atav pemeriksaan untuk penyakit lain.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium kasus mieloma muldpel dapat dil-6
JumPar:
a.
b.
c.
anemia normokromik normositer, laju endap darah meningkat,
serta benrukan roulleaux pada apusan darah. Kadang-kadang
dijumpai sel plasma di darah tepi.
leukopenia dan trombositopenia dapat dijumpai pada fase lanjut
pada .sumsum tulang dijumpai sel plasma lebih dari 10%. Sel
mieloma adalah sel plasma abnormal den$an inti besar, bizarre,
ukuran bervariasi. Sering ada bentukan rnulti nukleus (gambar
l1-1).
Camopati Monoklonal 223
ffi
,,!:..t:..
t'*,.,,
Gambar 11-1. Gambaran surnsr.rn tulang penderita mieloma multipel. Sel plasma
meningkat dengan sel mieloma yang khas
Gambar 11-2. Elektroforesis protein pada penderita .mieloma multipel
menunjukkan "spike" pada daerah globuiin gamma (A).
Bandingkan dengan globulin ganuna pada orang normal (B).
d.
pada elektroforesis protein didapatkan paraprotein (M-protein)
yang membentuk "spihd' Pada daerah gamma (gambar ll-2).
Secara imunoelektroforesis didapatkan jenis: IgG (59%o), lg| (23o/o),
IgD (1olo), hanya light chain (l5o/o) dan tidak ada M-protein
224
e.
f.
g.
Hematologt
Klinik
Ringkas
(1%). Pada mieloma multipel tipe IgA, spike sering dijumpai
pada daerah globulin beta.
Pada pemeriksaan urine dapar dijumpai: Bence Jones's protein
positif Yang lebih sensitif adalah pengukuran light chain dalam
urine selama 24 jam.
sering dijumpai hiperkalsemia, hiperurikemi, peningkatan
ureum dan kreatinin serum.
pemeriksaan serum B2 microglobulin dan plasma cell labelling
index diperlukan untuk menentukan prognosis.
Foto Rontgen Tulang
Pada penderita MM perlu dilakukan "bone sxtlue!", yaitu foto tulang
pipih dan pangkal tulang panjang. Khas ditemukan adanya lesi
osteolitik: punched out lesion pada tulang pipih: tengkorak (gambar
I l-3), costae, srernum, juga pada tulang belakang, tulang-tulang
pelvis, bagian proksimal femur dan humerus.
Diagnosis
Diagnosis _ mieloma
i .
I-6
Krrtena:
multipel dapat diregakkan dengan beberapa
A. Kriteria ldinik
1.
2.
Jika sel plasma sumsum tulang lebih dari l0o/o dengan"ma,
lignant loohing plasma cell'
Jlka sel plasma menunjukkan gambaran mendekati normal,
untuk diagnosis diperlukan tambahan:
a. hipergamaglobulinemia (r2 g/dl) dengan spihe pada
daerah gamma.
b.
c.
protein Bence Jones positif dalam urine.
lesi osteolitik pada tulang.
B. \Wintrobe membuat kriteria diagnosis sebagai berikut:1
1. Kriteria sitologik
a. sumsum tulang: sel plasma/sel mieloma >l0olo
b" biopsi sumsum tulang/jaringan lain menunjul<kan plasmaqttqma
2.
Kriteria klinik dan laboratorik terdiri atas:
a. protein mieloma yang dibuktikan secara elektroforesis
dalam plasma;
Camopati Monoklonal 225
AB
Gambar 11-3. Lesi osteoiitik pada tengkorak (A) dan pada pangkal tulang
panjang (B) penderita mieloma multipel
.
b. protein
c.
d.
mieloma yang dibuktikan secara elektroforesis
dalam urine;
lesi osteolitik pada tulang;
ditemukan sel piasma darl, 2 sediaan hapus darah tepi.
Diagnosis dibuat jika berikut:
a. Ia dan ib positif;
b. Ia atau Ib + salah satu dari II positif;
c. Sel plasma/sel mieloma tulang >30o/o yang disertai lesi
osteolitik.
C. Kriteria menurut Durie dan Salmonl
Kriteria diagnosis mieloma multipel dibagi menjadi dua, yaitu:
Kriteria major:
1. Plasmasitoma pada biopsi jaringan
2. Plasmasitosis pada sumsum tulang dengan sel plasma >30%o
3. Spike dari globulin monoklonal pada elektroforesis: IgG >35
gll,IgA >20 glI, eksl.<resi light chain urine (elektroforesis) >1
gl24jam tanpa adanya amiloidosis.
226
Hematologi Ktinik Ringkas
Krireria minor:
1.
2.
Plasmasitosis sumsum tulang dengan sel plasma l0-30o/o.
Grdapat spihe globulin monoklonal, tetapi nilainya kurang dari
nilai di aras.
3. Lesi osteolirik.
4. IgM normal <0,5 gll,IgA .1 gll atau IgG <6 g/1.
Diagnosis ditegakkan
jika: 1 major dan 1 minor (tidak
boleh
2+1) positif, atau 3 minor positif termasuk 1+2.
lndolent Muttipte Myeloma (MM)
Kriteria seperti MM tetapi dengan pembatasan:
1. Tidak terdapat lesi osteolitik arau lesi <3, tanpa ada fraktur
kompresif
2. IgG <70 gll,IgA <50 g/l
3. Tidak ada gejala atau penyakit yang menyertai: Karnofslcy
Hb >10 g/dl, kalsium serum normal, kreatinin serum
<3 mg/dl, tidak ada infeksi.
>70o/o,
Smoldering myeloma (SMM)
IMM dengan pembatasan
1. Tidak dijumpai lesi osteolitik
Seperti kriteria
2.
Sel plasma sumsum tulang 10-30o/o
D. Kriteria dari Kyle dan Greippl
Muhiple myeloma (MM)
1. Paraprotein dalam serum meningkat (biasanya >30 g/l) atau
dalam urine positif.
2. Sel plasma sumsum tulang 3l0o/o atau dijumpai agregat sel
plasma dalam biopsi.
3. Satu atau lebih penemuan penting, yang bukan disebabkan
oleh penyakit lain:
a. anemia
b. lesi osteolitik, arau osteoporosis
c.
d.
dan >30o/o sel plasma
dalam sumsum rulang.
bone maTrow labeling ind.ex >lo/o.
insufisiensi renal (adub acquired Fanconi atau light chain
deposition disease tidak cukup).
Gamopati Monoklonal 227
Smoldering Myeioma (SMM)
1. Paraprotein serum meningkat (biasanya >30 g/l) dan
10%o atau
lebih sel plasma dalam sumsum tulang atau dijumpai agregat
sel
plasma dalam biopsi.
2. Tidak
3.
terdapat anemia, gagal ginjal atau hiperkalsemia yang disebabkan oleh mieloma.
Tes penting lainnya negatif;
a. tidak dijumpai lesi osteolitik dalam bone suruey
b. bone marrow labeling index <1o/o
c.
d.
tidak dijumpai plasmablast
beta-2 microglobulin normal tanpa adanya insufisiensi renal,
tidak terdapar isotype-specific plasma cells, peripheral blood Bcell labeling index <0,5 gl24 jam, paraprotein serum dan
urine stabil dalam follotu up.
Solitary Plasmacytoma
l.
"2.
3.
4.
Tumor sel plasma tunggal.
Tidak dijumpai kriteria untuk mieloma multipel sistemik.
Tidak dijumpai atau sedikit sekali paraprotein setelah terapi lokal.
Sel plasma sel sumsum tulang <10o/o.
Prognosis
MM
sangat bervariasi, sebagian besar ditentukan
oleh tingkat penyakit. Durie dan Salmon membuat kriteria klasifikasi
Prognosis penderita
tingkat penyakit sebagai berikut:r
l. Stadium I
Memenuhi semua kriteria di bawah ini, yaitu:
a. Foto Rontgen normal atau dijumpai lesi osteolitik soliter
b.
2.
Laboratorium
i. Kadar Hb. >10 g/dl
ii. Kalsium serum ( 12 mgldl;
iii. IgG <5gldI atau IgA <3 gldl dalam serum atau rantai
ringan dalam urine <4 gl24 jam.
Stadium II
Terletak antara stadium I dan III, tetapi tidak memenuhi secara
lengkap kriteria stadium I atau IIL
228
Hematologi Ktinik Ringkas
3. Stadium III
Memenuhi satu atau lebih kriteria di bawah ini rerdiri atas:
a. Pada foto Rontgen tulang dijumpai lesi osteolitik luas
b. Laboratorium:
i.
ii.
iii.
Kadar
Hb. < 8,5 g/dl;
Kalsium serum > 12 mgldl;
IgG >7 gldl atau IgA >5 gldl atau rantai ringan dalam
urine >12 gl24 jam.
Subklasifikasi:
A: jika kreatinin
B: jika kreatinin
serum <2 mg/dl
serum >2 mg/dl
Tingkat penyakit mempunyai korelasi dengan prognosis, yaitu:
1. Penderita stadium IA mempunyai harapan hidup 19 bulan;
2. Penderita stadium IIIB mempunyai harapan hidup 5 bulan.
Terapi
Grapi untuk mieloma multipel terdiri
"r"r:l-n
1. Terapi spesifik, yaitu terapi untuk membunuh
sel mieloma:
Terapi standar ialah regimen melphalan+prednison
a. melphalan 9 mglmz oral, selama 4 hari
b.
prednison 80 mg oral, selama 4 hari
Siklus diulang setiap 28 hari. Regimen Vr{,D: terdiri atas uincristine, adriamycine dan dexamethasone.
Vinkristin
0,4 mglhari
Doksorubisin 9
Deksametason
mg/m2lhari
32 mg rds
atau 40 mg/hari
kontinu - selama 4 hari
kondnu - selama 4 hari
oral
-selama5hari
iv
iv
Berikan ranitidin 150 mg dua kali sehari selama pemberian
V,t\D. Juga diberikan kotrimoksasol 2 kali sehari untuk mencegah
pneumosistis. Dapat juga diberikan regimen kemoterapi dosis tinggi
lainnya. Regimen melphalan dan prednison merupakan regimen
standar yang memberikan hasil yang sama dengan regimen kemoterapi kombinasi dengan dosis tinggi lainnya. Untuk penderita yang
dipersiapkan untuk transplantasi, VAD merupakan regimen pilihan.
Gamopati Monoklonal 229
tansplantasi sumsum tulang memberikan harapan kesembuhan, tetapi komplikasi lebih sering terjadi karena umur penderita
umumnya tua. Sekaran g thalidomide sedang diteliti untuk mieloma
multipel yang resisten atau kambuh sementara dan hasilnya cukup
menggembirakan. Obat baru lain yang sedang dikembangkan adalah bortezomid, suatu przteoszme iihibitor.
2. Terapi suporciF
Terapi suportif, diberikan untuk mengatasi gejala
atau
komplikasi yang timbul, seperti:
a.
b.
c.
d.
e.
sindrom hiperviskositas: dilakukan plasmapheresis;
hiperkalsemia: diatasi dengan pemberian cairan inravena
yang adekuat. Dapat juga diberikan furosemid dan kortikosteroid. Jika tak berhasil dlberi calcitonin dan mithramycin,
atau bifosFonar inrravena.
penderita MM perlu mobilisasi secepat mungkin untuk mengurangi terjadinya hiperkalsemia dan infeksi
radiasi lokal diberikan untuk nyeri tulang yang resisten
untuk'pencegahan nyeri jangka panjang diberikan bifosfonat
oral
f.
pengobatan infeksi, anemia, dan perdarahan: diberikan terapi, seperti pada keganasan hematologi lainnya.
3. Terapi dengan imunomodulator, seperti interferon, masih dalam
taraf penelitian.
Penderita MM derajat I dan smoldering MM tidak perlu diobati,
hanya dilakukan observasi. Pengobatan dengan kemoterapi pada kasus seperti ini tidak memperpanjang masa hidup, malahan mungkin
memperpendek masa hidup.
Secara umum dapat dikatakan bahwa keberhasilan terapi MM
belum memuaskan. Kemoterapi dilaporkan belum dapat memberikan kesembuhan sempurna. Satu-satunya harapan adalah dengan
transplantasi sumsum tulang.
MAKRO GLOBULINEMIA WALDENSTROM
Makroglobulinemia'$7'aldenstrom merupakan varian'plasmacytoid
lymphocytic fimpltoma" yang memproduksi IgM monoklonal dalam
230
HematoLogi Klinik Ringkas
jumlah besar. Sel maligna berasal dari sel plasmasitoid, yaitu sel
limfosit yang mengalami transformasi sebelum berkembang men;
jadi sel pl"r-". 1-6
Patofisiologi
IgM dalam jumlah besar sehingga menimbulkan makroglobulinemia yang mengakibatkan terjadinya hiperviskositas
r-6
dan volume plasma meningkat dan pada akhirnya menyebabkan:
Sel ganas memproduksi
A. I .
Gejala susunan saraf pusat: vertigo, ryncz?e, somnolence dan
konvulsi. Kelainan ini timbul karena aliran darah lambat dan
2.
3.
4.
5.
adanya pelebaran vena otak.
Dilatasi vena dan edema perifer
Payah jantung
Edema paru
Gangguan visual
B. Makroglobulin menyelimuti trombosit dan faktor koagulasi menyebabkan penurunan fungsi sehingga menimbulkan perdarahan kulit dan mukosa.
C. Malroglobulin mempunyai aktivitas cold aglutinin (cryogl"obulin)
sehingga dapat timbul episode hemolisis dan sindrom Raynaud.
Geiala
Penyakit makroglobulinemia \Taldenstrom lebih banyak dijumpai
pada umur tua dengan puncak insiden pada usia
Secara
di
atas 60 tahun.
klinik dijumpai' 1-6
a.
gejala yang sering ialah lemah dan cepat lelah, perdarahan;
b.
c.
d.
e.
berupa epistaksis, purpura dan rectal bleeding;
limfadenopati moderat dan hepatosplenomegali;
gejala hiperviskosiras;
gejala cryoglobulinemia;
pada funduskopi: dilatasi dan segmentasi vena retina, perdarahan
f.
sampai edema papil
tidak dijumpai kelainan tulang (lesi osteolitik)
Gamopati Monoklonal 231
Kelainan Laboratorik
Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai:1-6
a. darah tepi: anemia normokromik normositer, LED meningkat.
b.
sumsum tulang: limfosit meningkat dengan gambaran
sel
plasmasitoid.
c.
elektroforesis serum: terdapat "spike" pada daerah antara beta dan
d.
gamma. Imunoelektroforesis menunjukkan peningkatan IgM
> 1,5 g/dl. Dalam urine kadang-kadang dijumpai light chain.
faal hemostasis: fungsi trombosit menurun.
Diagnosis
Diagnosis makroglobulinemia'Waldenstrom ditegakkan bila dijumpai
berikut:
klinik yang sesuai;
a.
gejala
b.
IgM serum >1,5 g/dl
sumsum tulang: infiltrasi limfosit, sel plasma dan limfosit
c.
plasmasitoid;
d. laju endap darah meningkat.
histologi kelenjar getah bening: menunjukkan gambaran
limfoplasmasitoid
e.
sel
Terapi
'W'aldenstrom terdiri atas terapi
Terapi untuk makroglobulinemia
suportif untuk mengatasi: (1) hiperviskositas dengan plasmapheresis; (2) anemia dengan pemberian trasfusi darah; (3) infeksi dengan
pemberian antibiotika adekuat. Terapi spesifik diberikan berupa
alhykting agent (chlorambucil) yang sering dapat mengendalikan pe1-6
nyakit dalam beber"pa tahurr.
M
O
N O CLONA L
G AMM O
PAT' HY O E TINI(NO I{TIJ
ORIGIN (MGUS)
MGUS adalah gamopati monoklonal di mana dalam serum dijumpai
paraprotein tanpa bukti adanya mieloma multipel, makroglobulinemia,
amiloidosis primer, limfoma maligna, atau penyakit dasar lainnya.
232
Hematologi Klintk Ringkas
MGUS merupakan gamopari monoklonal yang paling banyak dijumpai, terurama dijumpai pada umur tua. Sebagian penderita berkembang menjadi MM, tetapi tidak dapat diramalkan sebelumnya.
Diagnosis bersifat eksklusif dengan tidak dilumpainya gamopati
monoklonal lain. Tidak dijumpai lesi tulang, protein Bence-Jones
negatif dalam urine, dan sel plasma dalam sumsum tulang normal
(<4o/o) atau sedikir meningkat (<10%). Konsentrasi imunoglobulin
monoklonal dalam serum biasanya <20 gll dan tetap stabil dalam 2
sampai 3 tahun. Untuk diagnosis MGUS pemeriksaan, seperti MM
tetap dikerjakan. M bands ridak melebihi 35 gll untuk IgG, 20 gll
unruk IgA, dan 10 g/l untuk protein Bence-Jones. 6
Terapi untuk MGUS hanyalah berupa observasi. Pemeriksaan
M-protein setiap 3 bulan, survei tulang dan protein Bence-Jones
dalam urine 24 jam setiap tahun.2a
Bab 12
HEMOSTASIS
Faal hemostasis ialah suatu fungsi tubuh yang bertujuan untuk
mempertahankan keenceran darah sehingga darah tetap mengalir
dalam pembuluh darah dan menutup kerusakan dinding pembuluh
darah sehingga mengurangi kehilangan darah pada saat terjadinya
1-6
Faal hemostasis melibatkan berikut:
kerusakan pembuluh darah.
1.
2.
3.
4.
Sistem
Sistem
Sistem
Sistem
vaskuler
trombosit
koagulasi
fibrinolisis
baik maka keempat
sistem tersebut harus bekerja sama dalam suatu proses yang berkeseimbangan dan saling mengontrol. Kelebihan atau kekurangan
Untuk mendapatkan faal
hemostasis yang
suatu komponen akan menyebabkan kelainan. Kelebihan fungsi hemostasis akan menyebabkan thrombosis, sedangkan kekurangan faal
t'6
hemostasis akan menyebabkan perdarfian (hemonhagi.c diathesi).
LangkahJangkah dalam hemostasis. Faal hemostasis untuk dapat
berjalan normal memerlukan 3 langkah, yaitu:
1. Langkah I: hemostasis primer, yaitu pembentukan "primary
platelet plug."
2. Langkah II: hemostasis sekunder; yaitu pembentukan stable
lry
(p kte let+fi brin p lug).
fibrinolisis yang menyebabkan lisis dari fibrin
setelah dinding vaskuler mengalami reparasi sempurna sehingga pembuluh darah kembali paten.
Faal hemostasis terdiri atas 2 komponen, yaitu:
1. Faal koagulasi: yang berakhir dengan pembentukan fibrin stabil.
2. Faal fibrinolisis: yang berakhir dengan pembentukan plasmin.
Faal koagulasi melibatkan 3 komponen, yaitu:
ltemostatic p
III:
3.
Langkah
1.
Komponen vaskuler
Komponen trombosit
2.
3.
Komponen koagulasi
233
234
Hematologi Ktinik Ringkas
Bagaimana ketiga komponen ini bekerja sama untuk menghasilkan fibrin stabil dapat dilihat pada gambar l2-1.
Faktor Trombosit
tombosit memegang peranan penting dalam
proses awal faal koagulasi yang akan berakhir dengan pembentukan sumbat trombosit
(pkteht plug). lJnruk itu, trombosit akan mengalami peristiwa: r-6
I.
2.
3.
Platelet adhesion
Platelet actiuation
Platelet agregation
Empat langkah utama koagulasi darah untuk menghasilkan fibrin adalah:
1. Langkah perrama: proses awal yang melibatkan jalur intrinsik
dan ekstrinsik yang menghasilka\ tenase complex yang akan
mengaktifkan f.X menjadi f.X aktif
Langkah kedua adalah pembentukan prothrombin actiuator
(prothrombinase comple) yang akan memecah prothrombin
menjadi thrombin
3. Langkah ketiga: prothrombin actiuator merubah prothrombin
menjadi thrombin
4. Langkah keempat: thrombin memecah fibrinogen menjadi fibrin
serta mengaktifkan F.XIII sehingga timbul fibrin yang stabil.
Pada langkah pertama dikenal 2 jalur:
2.
1.
2.
Jalur ekstrinsik (extrinsic pathway)
Jalur intrinsik (intrinsic pathway)
Aktivasi jalur ekstrinsik dimulai jika terjadi kontak antara jaringan
subendotil dengan darah yang akan membawa faktor jaringan (tissue
factor) serta aktivasi faktor VII.
Aktivasi jalur intrinsik dimulai dengan aktivasi faktor konrak (contact factor), yaitu faktor XII, HM\7K, dan prekalikrein. Selanjutnya
terjadi aktivasi faktor XI, X, dan IX.
Faktor Koagulasi
Faktor koagulasi atau fakror pembekuan darah adalah protein yang
terdapat dalam darah (plasma) yang berfungsi dalam proses koagulasi.
1-6
Protein ini dalam keadaan tidak aktif (pio.r,ri.r,
^i^u "y-ogri1 itk^
terjadi aktivasi, protein aktif ini (enzim) akan mengaktifkan
rangkaian
Hemostasis 235
Kerusakan
pembuluh
darah
I
+
Pemaparan
kolagen
subendotil
\
Il'ssue
thrombo
plastin
F VII
\
Platelet adhesion
Vasokonstriksi
I
^..../.activation
Platelet
l
\
ptr3
I
I
& secretion
-'
I
I
I
I
Aliran -----------+
darah
,l
Koagulasi
darah
I
I
Platelet aggregation
I
I
I
menurun
Thrombin
Platelet fusion
(contraction)
\
I
\
Fibrin+
I
Platelet plug
\
\
I
Fibrinogen
I
I
Stable hemostatic plug
PF3 = platelet fosfolipid 3
Gambar 12-1. Skema umum hemostasis
aktivasi berikutnya secara beruntun, seperti sebuah tangga (kaskade)
atau, seperti air terjun (waterfall). Jenis-jenis protein tersebut dapat
dilihat pada tabel 12-1.
Kaskade Koagulasi
Proses pembentukan fibrin jika digambarkan
secara skemarik mirip
seperti fenomena air terjun (uaterfalt) atau seperti tangga (cascadc).
futinya aktivasi fakror awal akan mengaktifkan faktor berikutnya
236
Hematologi Klinik Ringkas
Tabel 12-1
Faktor-faktor Koagulasi
Nama
Fungsi
Faktor kontak aktivasi:
F Xll (Hageman
factor\
molcular
HMW Kininogen (high
XI(PTA)
weightkininogen),Prekalikrein
F
Mengaktifkan F Xll danPK
Membawa F Xll & PK pada suatu
permukaan
M:ffi:llff:I Fil
Yitamin K- deoendent proenzvmes:
Prothrombin (F ll)
Prekursor thrombin
F.X (Sfuart-Prower factor\
Mengaktifkan rothrombin
factor\
@roconveftin\
Protein C
F.lX (Chrisfm as
F.Yll
Kofaktor
Iissue facfor (F.
lll)
Platelet procoagulant
phospholipid (PF 3)
F.Vlll (anfi hemophilic factor)
Mengaktifkan F.X
Mengaktifkan F.lX & F.X
Menonaktifkan F.Va & Vlla
Kofaktor untuk FVll & Vlla
Kofaktor untuk F lXa dan F.Xa
Kofaktor untuk F lXa
F.V $troaccelerin)
Protein S
Kofaktor untuk protein C
Faktor untuk Deoosisi Fibrin:
Fibrinogen (F.l)
F.Xlll f fibrin stabilizing factorl
Prekursor fibrin
Crasslinking fibrin
disertai dengan proses amplifikasi sehingga molekul yang dihasilkan
akan bertambah banyak. Gambaran kaskade koagulasi dapat dilihat
pada gambar l2-2.
Proses pembekuan darah bertujuan untuk mengatasi uascu/ar
injury sehinega tidak terjadi perdarahan berlebihan, tetapi proses
pembekuan darah ini harus dilokalisir hanya pada daerah injury,
tidak boleh menyebar ke tempat lain karena akan membahayakan
itu, tubuh membuat mekanisme kontrol di
1-6
mana endotil yang intact memegang perana.r pe.rti.rg.
1. Adanya AT III (anti-thrombin III) yang terikat pada permukaan
endotil dengan perantaraan heparan sulfat. AT III akan mengperedaran darah. Untuk
inaktifkan thrombin dan faktor Xa.
Hemostasis
237
Extrinsic Pathway
Fador Xa
lntrinsic Pathway
Thrombin
Fador lxa
,,1,'n
I
f
!,&':^
**.''
Fibrin (crosslinked)
Gambar 12-2. Skema kaskade koagulasil
2. Molekul thrombomodulin pada
permukaan endotil akan
mengikat thrombin. Kompleks thrombin-thrombomodulin
akan mengaktifkan protein-C (dengan bantuan protein-S sebagai kofaktor) akan menginaktifkan faktor Va dan faktor MIIa,
dengan demikian pembentukan thrombin akan berkurang.
Adanya proses pengendali (natural anticoagulanr) di atas serta
pengenceran faktor aktif di luar tempar injury dapat mengendalikan
proses koagulasi sehingga tidak menyebar ke tempat lain.
Proses Fibrinolitik
Proses fibrinolitik bertujuan untuk membentuk plasmin yang berguna
untuk menghancurkan bekuan fibrin yang berlebihan arau menghancurkan fibrin setelah proses reparasi dinding pembgluh darah
selesai sehingga pembuluh darah tersebut kembali p"t.n. t-6 Proses
tersebut dapat digambarkan, seperti pada skema gambar I2-3.
238
Hematologi Klinik Ringkas
Adanya injury (melalui kalikrein) mengaktifkan tPA yang selanjutnya mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin akan
memecah fibrin menjadi FDP Untuk mengendalikan proses fibrinolisis ini maka terdapat faktor pengendali: plasminogen activator
inhibitor yang menghambat kerja tPA dan alpha-2 antiplasmin yang
menghambat kerja plasmin.
Kalikrein
------*TPA (tlssue ptu"rirog", activator)
p lasminogen
I
''
''altivator
l.('
inhibitor
Plasminogen
i
+
PLASMIN
I
I
I
aloha-2
+
anti-plasmin
l<
Fibrin
-#
Fibrin Degradation Product (FDP)
Gambar 12-3. Skema proses fibrinolisis
Diatesis Hemoragik
Diatesis hemoragik (hemorrhagic diathesi) adalah keadaan patologik
yang timbul karena kelainan faal hemostasis. Dilihat dari patogenesisnya, maka diatesis hemoragik dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1. Diatesis hemoragik karena faktor vaskuler;
2. Diatesis hemoragik karena faktor trombosit;
3. Diatesis hemoragik karena faktor koagulasi.
PEMERIKSAAN FAAL HEMOSTASIS
Pemeriksaan faal hemostasis adalah suatu pemeriksaan yang bertu-
juan untuk mengetahui faal hemostasis serta kelainan yang terjadi.
Pemeriksaan faal hemostasis sangat penting dalam mendiagnosis
t-u
diatesis hemoragik. Pemeriksaan ini terdiri *t"r,
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik bertujuan untuk berikut:
a.
mencari riwayat perdarahan abnormal;
Hemostasis 239
b.
c.
d.
2.
Tes penyaring
Tes penyaring terdiri atas:
a. Tes untuk menilai pembentukan hemostatic plug
b.
c.
3.
mencari kelainan yang mengganggu faal hemostasis, misalya penyakit hati kronik, SLE (systemic lupus erythematzsus),
gagal ginjal kronik, keganasan hematologik, dan lainlain;
riwayat pemakaian obat;
riwayat perdarahan dalam keluarga.
i.
ii.
hitung trombosit Qtlatelet count)
ii.,
PPT
apusan darah tepi
iii. bleeding time
iv. tes torniquet (Rumple-Leede)
Tes untuk menilai pembentukan thrombin terdiri atas:
i. APTT (actiuating plasma thrombopkstin time) menrlai intrinsic pathway
Qtlasma
prothrombin time)-menrlai extrinsic pathway.
Tes untuk menilai reaksi thrombin-fibrinogen terdiri atas:
i.
ii.
thrombin time
stabilitas bekuan dalam salin fisiologik dan 5
M
urea
d. Tes parakoagulasi
Tes khusus
Tes khusus lanjutan, yaitu tes untuk mengetahui penyebab kelainan faal hemostasis tersebut. Tes ini dikerjakan sesuai petunjuk
tes penyaring:
a. tes faal trombosit
b. tes Ristocetin
c. pengukuran faktor spesifik (faktor
d. pengukuran alpha-2 antiplasmin
'
pembekuan)
DIATESISHEMORAGIKKARENAFAKTOR
VASKULER
Diatesis hemoragik karena faktor vaskuler adalah penyakit-penyakit
dengan kecenderungan perdarahan yang disebabkan oleh kelainan
patologik pada dinding pembuluh darah. Kelainan ini dapat dibagi
. r.
menJa(lr:
1-6
A. Herediter
Hereditary hemonhagic teleangiectasia
240
Hematologi Klinik Ringkas
B. Didapat, terdiri atas:
1. Purpura simpleks
2.
3.
Purpura senilis
Purpura alergik terdiri
atas:
a.
4.
Sindrom Henoch-Schonlein
Penyakit ini adalah penyakit yang lebih sering dijumpai
pada anak-anak akibat kompleks imun setelah infeksi
akut. Timbul suatu lgA-mediated uasculitis. Gejalanya berupa: purpura, rasa gatal, pembengkakan sendi, nyeri
abdomen dan hematuria. Biasanya bersifat self limiting,
tetapi kadang-kadang berkembang menjadi gagal ginjal.
b. purpura pada artritis rematoid, SLE, poliarteritis nodosa
dan penyakit kolage lain karena terjadinya vaskulitis.
Purpura karena infeksi, misalnya pada sepsis akibat infeksi
5.
meningokokus.
Scuruy: defisiensi vitamin
6.
C yang menimbulkan kerusakan
bahan interseluler (kolagen) sehingga pembuluh darah mudah pecah sehingga terjadi perifollicular ?etechie.
Purpura karena steroid yang mengakibatkan atrofi jaringan
ikat penyangga kapiler bawah kulit sehingga pembuluh darah mudah pecah.
DIATESIS HEMORAGIK KARENA KELAINAN
TROMBOSIT
Diatesis hemoragik karena kelainan trombosit dapat dibagi menjadi
2 golongan, yaitu' l-6
1. Ti'ombositopenia, yaitu penurunan jumlah trombosit
2. Tiombopati, yaitu kelainan fungsi trombosir.
Penyebab Trombositopenia
Penyebab trombositopenia pada dasarnya dapat dibagi menjadi 4
golongan besar, seperti terlihat pada tabel 12-2, terdiri atas:
a. gangguan produksi trombosist oleh megakariosit dalam sumsum
tulang;
b.
penghancuran trombosit
di
darah tepi;
Hemostasis 241
Tabel 12-2
Penyebab Trombositopenia
1-6
l. Gangguan produksi:
1.
Depresi selektif megakariosit karena obat, bahan kimia atau
2.
infeksi virus
Sebagai bagian dari "bone marrow failure" umum:
a. Anemia aplastik
b. Leukemia akut
c. Sindrom mielodisplastik
d. Mielosklerosis
e. lnfiltrasi sumsum tulang: limfoma,
f. Mieloma multipel
g. Anemia
Carcinoma
megaloblastik
trombosit:
ll. Peningkatan destruksi
1.
Autoimmune thrombocytopenic purpura, alau idiopathic thrombocytopenic purpura [re)
2. lmmune thrombocytopenic purpura sekunder: misalnya pada:
SLE, CLL, limfoma
3. Alloimmune thrombocytopenic purpura'. misalnya neonatal thrombocytopenia
4. Drug induced immune thrombocytopenr'a: quinine dan sulfonamid
5. Disseminated intravascular coagulation (DIC)
lll. Distribusi tidak normal:
Sindrom hipersplenism: di mana terjadi poollng trombosit dalam
lien.
lV. Akibat pengenceran (ditutionat toss)
Akibat transfusi masif
c.
d.
nraldistribusi, misalnya pooling pada suatu organ;
akibat pengenceran, misalnya akibat transfusi masif dengan da-
rah simpan.
PURPURA THROMB O SITOPENIK IDIOPATIK
(ID I O PATHI C T HR O MB O CW O P EN I C
PURPURA = ITP)
ITP adalah kelainan akibat trombositopenia yang tidak diketahui
penyebabnya (idiopatik), tetapi sekarang diketahui bahwa sebagian
besar kelainan ini disebabkan oleh proses imun karena itu disebut
242
Hematologi Klinik Ringkas
juga sebagai autoimmune thrombocytopenic purpura. Secara klinik dibagi menjadi 2 kelompok, yairu' r-6
l
ITP akut
ITP akut lebih sering terjadi pada anak, setelah infeksi virus akut
atau vaksinasi, sebagian besar sembuh spontan, tetapi 5-10%
berkembang menjadi kronik (berlangsung lebih dari 6 bulan).
Diagnosis sebagian besar melalui eksklusi. Jika rhrombosir lebih
dari 20xl0e/l tidak diperlukan terapi khusus. Jika thrombosit
kurang dari 20x\0e ll dapar diberikan steroid atau immunogiobulin intravena.
2. lTP kronik
ITP kronik terutama dijumpai pada wanita umur 15-50 tahun.
Perjalanan penyakit bersifat lcronik, hilang timbul berbulan-bulan
atau bertahun-tahun. Jarang mengalami kesembuhan sponran.
Patogenesis
Pada ITP jumlah trombosit menurun disebabkan oleh trombosit
diikat oleh antibodi, terutama IgG. Antibodi terutama ditujukan
terhadap gpIIb-IIIa atau .Ib. Tiombosit yang diselimuti antibodi
kemudian difagositir oleh makrofag dalam RES terutama lien, akibatnya akan terjadi trombositopenia. Keadaan ini menyebabkan kompensasi dalam bentuk peningkatan megakariosit dalam sumsu- t'.rl"ng.t-6
Gambaran Klinik
Gambaran klinik ITB yaitu'1-6
I.
onset pelan dengan perdarahan melaiui
kulit atau
mukosa be-
rupa: petechie, echymosit easy bruising, menorrhagia, epistaksis
2.
3.
atau perdarahan gusi
perdarahan SSP jarang terjadi tetapi jika terjadi bersifat fatal
splenomegali dijumpai pada <10%o kasus.
Kelainan Laboratorik
Pada
ITP dapat dijumpai kelainan laboratorium
berupa:
1. Darah tepi: trombosit paling sering antara 10.000-50.000/mm3
2. Sumsum tulang: jumlah megakariosit meningkat disertai inti
banyak (mubinuclearity) disertai lobulasi
Hemostasis 243
3.
Imunologi: adanya antiplatelet IgG pada permukaan trombosit
atau dalam serum. Yang lebih spesifik adalah antibodi terhadap
gplibillla atau gpib.
Diagnosis
Diagnosis ITP
1.
2.
3.
4.
5.
ditegakkan jika dijumpai:1-6
Gambaran klinik berupa perdarahan
kulit atau
mukosa
Tlombositopenia
Sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat
Antibodi antiplatelzt (IgG) posidfl tetapi bukan suatu keharusan.
Tidak ada penyebab trombositopenia sekunder:
Terapi
Terapi untuk ITP terdiri atas:l-6
1. Terapi untuk mengurangi proses imun sehingga mengurangi perusakan trombosit
a. Terapi kortikosteroid:
i. untuk menekan aktivitas mononuclear phagocyte (makrofag)
sehingga mengurangi destruksi trombosit.
mengurangi pengikatan IgG oleh trombosit
menekan sintesis antibodi
Preparat yang diberi: prednison 60-80 mg/hari kemudian turunkan perlahan-lahan, untuk mencapai dosis pemeliharaan. Dosis pemeliharaan sebaiknya kurang dari
15 mg/hari. Sekitar 80%o kasus mengalami remisi setelah
terapi steroid
Jika dalam 3 bulan tidak memberi respons pada kortikosteroid (thrombosir <30x10e/l;
perlu dosis pemeliharaan
"tau
yang tinggi maka diperlukan:
i. splenektomi-sebagian besar memberi respons baik
ii. obat-obat imunosupresif lain: uinuistine, cycbphospbamide
ii.
iii.
b.
2.
a:av azathio?rim.
Terapi suponif, terapi unnrk mengurangi penganfr trombositopenia
a. Pemberian androgen (danazol)
b.
Pemberian high dose immunoglobulin
makrofag
unnk
menekan fungsi
244
Hematologi Klinik Ringkas
c. tansfusi konsentrat
trombosit hanya dipertimbangkan pada
penderita dengan risiko perdarahan major.
GANGGUAN FAAL TROMBOSIT= TROMBOPATI
Pada gangguan faal trombosit maka jumlah trombosit normal, terapi trombosit tidak berfungsi dengan baik. Kelainan ini dapat dibagi
r r.
men.,aol:
l-6
1. Trombopati Herediter terdiri atas:
a. Platelet pool storage disease
Di sini dijumpai gangguan pelepasan ADP dari "dense & alpha
granules" sehingga menimbulkan gangguan agregasi trombosit
b. Thromboasthenia Glanzman
Pada kelainan ini terdapat gangguan reseptor GP IIb-IIIa
pada permukaan trombosit sehingga tidak terjadi agregasi
trombosit. Penyakit ini diturunkan secara autosomal resesif.
c. Sindrom Bernard-Soulier
Timbul akibat gangguan reseptor Gp Ib sehingga tidak terjadi
adhesi dengan v'WF, dan jaringan ikat subendotil, akibatnya
tidak terjadi adhesi trombosit. Bentuk rhrombosir lebih besar
dari normal. Kelainan ini diturunkan secara autosomal resesif.
d. Penyakit von Wrllebrand
terbenruk v\(/F (faktor von \Willebrand) sehingga tidak terjadi adhesi platelet karena v\WF berfungsi
menghubungkan kolagen dengan Gp Ib dan GP IiIa dan
berkurang-nya F.\4IIC (oleh karena vW'F merupakan karier
F.\TIIC dalam darah). Penyakit von Villebrand merupakan
gabungdn trombopati dengan kelainan koagulasi.
2. Bentuk didapat (acquired tbrombopath) terdiri atas:
a. Akibat terapi aspirin yang mengakibatkan gangguan sintesis
Di sini tidak
thromboxane
b.
A2
sehingga mencegah agregasi trombosit;
Hiperglobulinemia, seperti pada mieloma multipel dan
makroglobulinemia W'aldenstrom, di mana paraprotein akan
menyelimuti trombosit y^ng akan mengganggu faal
trombosit;
Hemostasis 245
c.
d.
e.
Kelainan mieloproliferatif;
Gagal ginjal kronik (uremia);
Penyakit hati menahun.
PENYAKIT VON WILLEBRAND=VON
WILLEBRAND'S DISEASE (VWD)
Penyakit von 'sTillebrand timbul karena sintesis v'W'F menurun, di
mana fungsi faktor von Willebrand (v\X,{F) adalah: 1-6
1. Menunjang adhesi trombosit
pada matrik subendotil karena
v\(/F memperantarai ikatan GpIIb dan GPIIIa pada permu-
kaan trombosit dan jaringan kolagen.
Sebagai karier protein dari F. VIIIC dalam darah.
Gangguan struktur atau sintesis v'WF mengakibatkan:
a. gangguan adhesi trombosit
b. menurunnya aktivitas F.VIIIC dalam plasma
2.
KlasifikasivWD
vWD dapat digolongkan menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Tipe I-penurunan
2.
3.
sintesis v'W'F;
II a-gangguan sintesis multimer v'S7'F besar dan sedang
iI b-pembentukan multimer v'\(/F besar yang abnormal
sehingga cepat dikeluarkan dari darah;
Tipe Ill-sintesis v'S7F sama sekali tidak ada.
Type
Manifestasi Klinik
Di negara Barat v\(/D relatif sering dijumpai, diperkirakan mengenai
l%o penduduk dunia, tetapi di Indonesia belum banyak dilaporkan.
Penyakit ini diturunkan secara autosomal dominan. Manifestasi kliniknya adalah: perdarahan sedang, epistaksis sejak kecil, menorrhagi,
perdarahan dari luka, ekstraksi gigi, atau postoperasi, perdarahan
besar, hematom, tetapi perdarahan sendi jarang dijumpai.l-6
Kelainan Laboratorium
Padi v\X/D kelainan labo.ratorium dapat dijumpai dalam bentuk,
seperri:
246
Hematologi Klinik Ringkas
1. \W'akru perdarahan memanjang.
2. APTT sedikit meningkat.
3.
Ristocetin induced platelet aggregation test negaif, kecuali pada
tipe IIb.
4.
5.
Elektroforesis: v\(F menurun pada tipe I atau nol pada tipe III
Imunoelektroforesis: multimer besar negatif pada tipe IIa, multimer besar negatif, dengan multimer sedang meningkat pada
tipe IIb.
Terapi
Pengobatan untuk
v\VD
adalah:r-6
1 Infus Desmopressin (DDAVP) y"ttg dapat melepaskan vWF
2.
dari cadangan dalam endotil.
Terapi ganti dengan "single donor cryoprecipitate",jangan memakai EVIII concenctrate.
3.
Dapat juga diberilan epsibn aminocaproic acid aau asam traneksamat
Diagnosis Diferensial dengan Hemofili
Penyakit von \Willebrand harus dibedakan dengan hemofili
B, di mana pada v'WD:
1. \7aktu perdarahan (bleeding time) memanjang
2.
3.
A
atau
Ristocetin test negaif
Kadar v\(/F menurun
GANG GUAN KOAGULASI HEREDITER
HEMOFILI A dan
B
Hemofili A dan B merupakan gangguan faal koagulasi herediter
'Willebrand.
yang paling sering dijumpai disamping penyakit von
Insiden penyakit ini adalah I-2 per 10.000 penduduk/tahun.
Hemofili A merupakan 85o/o, sedangkan hemofili B merupakan
157o kasus hemofili.r-6
. Patogenesis
Dasar patogenesis, yaiturt-6
Hemostasis 247
l.
2.
Hemofili A disebabkan oleh defisiensi F.YlIl cloning actiuity
(F.VIIIC) dapat karena sintesis menurun atau pembentukan
F.VIII. C dengan struktur abnormal.
Hemofili B disebabkan karena defisiensi F.IX.
F.VIII diperlukan dalam pembentukan tenlse czm?lex yang akan
mengaktifkan F X. Defisiensi F VIII mengganggu jalur intrinsik sehingga menyebabkan berkurangnya pembentukan fibrin.
Ai<ibatnya terjadilah gangguan koagulasi. Hemofili diturunkan
secara sex-linhed recessiue. Lebih dari 30o/o kasus hemofili tidak
disertai riwayat keluarga, mutasi timbul secara spontan.
Derajat Penyakit
Derajat penyakit hemofili ditentukan oleh kadar faktor MII atau
faktor IX dalam darah:l-6
1. berat (seuere): aktivitas F.\lII/F.IX <17o normal akan timbul
2.
3.
gejala klinik berat;
sedang (moderate): aktivitas F.VIII/F.IX antara l-5o/o;
ringan (mild): aktivitas F.\IIII/F.IX antara 5-30o/o.
GejalaKlinik
klinik hemofili A dan hemofili B tidak dapat dibedakan.
Hemofili dijumpai pada anak lakilaki, sedangkan anak wanita sebagian besar sebagai karier. Gejala klinik dapat timbul berupa:
1, perdarahan sejak kecil: perdarahan saat sirkumsisi, pencabutan
Gejala
2.
gigi, atau luka postrauma;
perdarahan spontan sering terjadi tejrutama perdarahan sendi
(haemarthro). Perdarahan sendi berulang-ulang menyebabkan
kerusakan sendi (anklllose) dan gangguan berjalan. Perdarahan
otot dan hematoma juga sering terjadi.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk kasus hemofili adalah:1-6
l
Tes penyaring
APTT memanjang, sedangkan waktu perdarahan, PPT dan waktu trombin normal. APTT dapat tidak memanjang (normal)
pada kasus hemofili ringan.
248
2.
Hematologi KLinik Ringkas
Tes konfirmatif terdiri atas:
a. pengukuran kuantitatif F.\4II dan F.IX
b jika F. VIII defisiensi maka dilanjutkan
dengan pemeriksaan
faktor von Willebrand
3. Pemeriksaan pada karier wanita-juga menunjukkan F.VIIIC
menurun
(5Ooto).
Diagnosis Diferensial
Diagnosis banding perlu dilakukan untuk membedakan hemofili A,
hemofili B, dan penyakit von Villebrand, seperti terlihat pada tabel
r2-3.
Tabel 12-3
Diagnosis Dif erensial Hemofili
Hemofili
A
Hemofili
B
Penyakit
von
Willebrand
l.lnheritance
sex
2.Tempat
otot,
3.Bteedingtime
N
N
linked
sex
linked
sendi, otot,sendi,
perdarahan postrauma postrauma
4.PPT
5.APTT
6. F.VlllC
Memanjang
N
N
Memanjang
Rendah N
7.F.VlllR:AG N
N
autosomal dominan
(inkomplit)
mukosa, luka kulit,
postrauma /operasi
Memanjang
N
Memanjang
N
Rendah
(vWF)
8. F.
lX
g.Tesristosetin
N
N
Rendah
N
N
Negatif
Pengobatan
Pada prinsipnya pengobaran hemofili bersifat multidisiplin, dilakukan
oleh ahli klinik (pediatri atau interna), patologi klinik, ahli rehabilitasi
medik, ortopedik dan ahli psikologi:1-6 Modalitas terapi terdiri atas:
1. pemberian F.VIII untuk hemofili A dan F.IX untuk hemofili B
selama hidup;
2. pencegahan kecacatan dengan pendidikan kesehatan;
3. rehabilitasi apabila terjadi kerusakan sendi.
Hemostasis 249
Untuk terapi, preparat yang dapat dipakai
7.
2.
3.
adalah:
cryoprecipitate mengandung F. VIII, vWF, fibrinogen, F.XIII.
Iyophilized F.VIII komersial-dibuat dari pool donor (2000-5000
orang) bahaya penularan hepatitis dan HIV (AIDS)
lyophilized FlX-prothrombin czmplex concentrate mengandung
semua uit K-dependent factors.
Pemberian Desmopressin (DDAW):
Pada hemofili ringan, DDAV dapat mengeluarkan cadangan F.VIIIR
AG (faktor von'W'illebrand) untuk mengurangi kebutuhan F.VIIL
Perawatan dan rehabilitasi diberikan berupa berikut:
1. perawatan sendi untuk mencegah terjadinya ankilosis;
2.
perawaran gigi;
3.
pendidikan kesehatan untuk menghindari trauma (seminimal;
mungkin), serta hindari pemberian injeksi intramuskuler;
hindari pemberian aspirin.
4.
GUAN KOAGULA SI DIDAPAT (AC QUIRED
C O AGIILATI ON DIS ORDERS)
Yang termasuk kelompok ini ialah:l-6
1. Defisiensi vitamin K;
GAN
2.
3.
4.
G
Gangguan perdarahan pada penyakit hati;
Disseminated intrauascular coagulation (DIC);
Kelainan akibat timbulnya antibodi terhadap faktor pembeku.
DEFISIENSI VITAMIN K
Kekurangan vitamin K akan menggang$u "uitamin K-dependent
factori': prothrombin, F.VII, F.IX dan F.X sehingga menyebabkan
gangguan pada kaskade koagulasi, rerurama pada extrinsix pathway
dan common patltulay.\-6 Penyebab defisiensi vitamin K, yaitu:
1.
Penyediaan vitamin
a.
b.
K tidak
adekuat
penderita dengan nutrisi tidak adekuat
penderita memakai antibiotika jangka panjang sehingga
membunuh flora usus
2. Absorpsi terganggu
a.
b.
ikterus obstruktiva
kelainan usus dengan steatorrltea (sprue, ileitis)
3. Fungsi vitamin K dihambat oleh antikoagulan
250
Hematologi Klinik Ringkas
Kelainan Laboratorium
Pada defisiensi vitamin K dijumpai
gangguan fungsi prothrombin,
F.VII, F.IX dan F.X sehingga memberikan manifestasi laboratorik
r
l-6
Derupa:
1. PPT
2.
3.
memanjang
APTT normal
Thrombin time normal
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan jika ada kecurigaan
klinik, Iakukan pemerik-
saan PPT kemudian beri 25 mg vitamin Kl subkutan. Dilakukan
pemeriksaan ulang PPT setelah 24 jam. Jika PPT mendekati normal
maka diagnosis defisiensi vitamin K dapat dibuat.
Terapi
Jika terdapat perdarahan membahayakan maka berikan 25 mgYiramin Kl intravena perlahan-lahan. Juga diberikan transfusi plasma
segar atau fesh
fozen plasma.r'6
GANGGUAN PERDARAHAN PADA PENYAKIT
HATI
Gangguan hemostasis sangat sering dijumpai pada penyakit hati.
Patogenesisnya sangat kompleks antara lain karena:1-6
1 Gangguan sintesis faktor koagulasi
2. Meningkatnya fibrinolisis oleh:
a. gangguan pembersihan TPA oleh hati
b.
2 anti plasmin
3. Obstruksi bilier mengganggu absorpsi vitamin K
menggangu fungsi F. II, VII, IX dan X
4.
hepatosit juga membentuk alpha
sehingga
Splenomegali dapat menimbulkan hipersplenisme yang mengakibatkan trombositopenia dan gangguan faal trombosit.
5. Gangguan faal fibrinogen (dysfbrinogenemia)
Acute
6. Akibat DIC, misalnya pada acute fulminant hepatith
^tav
liuer
degeneration'
of
pregnancy.
fatty
Hemostasis 251
KOAGULASI INTRAVASKULER DISEMINTA (KID)=
DISSEMINATED INTRAUAS CULAR C O AGULATION
(DIC)
deposisi fibrin
sistemik dan pada saat yang sama terjadi -kecenderungan perdarah-
DIC ialah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh
an. Keadaan ini mengakibatkan berikut:t-u
a. konsumsi berlebihan faktor pembekuan darah dan uombosit
sehingga menimbulkan defisiensi faktor pembekuan dan trombositopenia.
b. fibrinolisis sekunder yang menghasilkan FDP (fibrin/fibrinogen
degradation product) yang bekerja sebagai antikoagulan.
Adanya deposisi fibrin dan kedua hal di atas menyebabkan-terjadi.ry" p.rj"r"h"r, d"., thrombosis pada saat bersamaan. Bick25 memberikan definisi minimal sebagai berikut: DIC adalah suatu kelainan
thrombohemoragik sistemik yang dijumpai bersamaan dengan ke'
lainan klinis tertentu dan adanya bukti laboratorik dari (1) aktivasi
prokoagulan; (2) aktivasi fibrinolitik; (3) konsumsi inhibitor; dan
(4) bukti biokimia kerusakan atau gagal end-organ. Nama lain penyakit ini adalah Consumptiue coagulopathy atau Defibrination slndrome.
Patogenesis
DIC Lpat dijumpai pada 3 jenis kelainan:r-6
1. Infeksi berat terutama oleh sepsis gram negatif, Closnidium
tuelchii, malaria berat dan infeksi virus tertentu.
2.
Pada komplikasi kehamilan terdiri atas:
a. solutio Placentae
b. emboli cairan amnion
c. IIJFD (innauterine foetal death)
d. abortus septik atau abortus yang dirangsang
dengan cairan
hipertonik
e.
endotoksinemia, misalnya pada septic abortion
3. Pada penyakit
a.
b.
keganasan:
"mucous tecreting carcinoma": pankreas, prostat' kolon dan paru
leukemia promielositik akut
252
Hematologi Ktinik Ringkas
Penyebab lain adalah reaksi transfusi, syok anafilaktik, kerusakan
jaringan yang luas seperri pada trauma atau luka bakar, kerusakan
hati berat dan gigitan ular. DIC akan mengakibatkan antara lain:
1. uombositopenia
2. defisiensi faktor pembeku
3. munculnya FDP dalam plasma
4. microangiopathic haemolttic anemia
Patogenesis
DIC dilukiskan pada
+
gambar
124.
Masuknya prokoagulan ke peredaran darahlkerusakan endotil yang luas
Cantagt
activatiotl lrssle
lt
fibrinolisis
--r Coagulalrbn
ptatelet/
u.":'ino'
..Tt:rl
+
platelet Prothrombin
r\vr
Konsumsi
tJul'Dl'tdtuttrt
-l
plasmin
:_ \
--_
Thrombin
\
\
t/\\
Trorlbositopenia
I
Fibnnogei-- riorin
L-
Koagulasi
diseminata
(anti
koagulan)
/t
Konsumsi
f. pembeku
I
Defisiensi faklor
%
_\Sirt.*
factor
\
pembeku \
BLEEDTNG
-:-""IHROMEOSiS
I
+
Multiple organ failure
Gambar 12-4. Skema patogenesis DIC
rpo
Hemostasis 253
GeialaKlinik
Gejala klinik DiC yang dapat dijumpai ialah,r-6
1. Perdarahan: kulit (petechie dan echymoizs), perdarahan mukosa
(epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan lainlain), easy
bruising dan perdarahan organ;
2. Hemorrhagic tissue necrosis dan oklusi multipel pembuluh darah
kecil sehingga menimbulkan muhiple organ failure antara lain:
a. ginjal: menimbulkan gagal ginjal
b. adrenal dan kulit: Vaterltouse-Fredricksen syndrome.
c. pembuluh darah tepi menimbulkan gangren
d. hati menimbulkan ikterus
e. otak menimbulkan kesadaran menurun'
3. Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab DIC
Manifestasi Laboratorik
Manifestasi laboratorik DIC adalah:1-6
1. trombositopenia-dapat diketahui dari hitung trombosit
dan
evaluasi trombosit pada apusan darah tepi;
2. APTT, PPT dan thrombin time memaryang, APTT lebih sensitif
dibandingkan dengan PPT pada DIC;
3. fibrinogen plasma menurun;
4. FDP dalam serum meningkat;
5. faktor VIII dan faktor V menurun;
5. apusan darah tepi: anemia mikroangiopatik dengan dijumpai
adanya fragmentosit dan mikrosferosit;
7. DD-dimer (hasil pemecahan fibrin ikat silang) positif;
8. tes parakoagulasi positif.
Diagnosis
Bick membuat kriteria diagnosis berdasarkan kriteria klinis dan laborarorik. Kriteria ldinis minimal adalah:')
l. Bukti klinis adanya perdarahan, thrombosis, atau keduanya
2. Gejala tersebut harus terjadi pada setting klinis tertentu' sePerti
yang sudah disebutkan di depan
Kriteria laboratorik untuk DIC adalah:
1. Tes grup I (bukti adanya aktivasi prokoagulasi)
a. peningkatan fragmen prothrombin l+2
254
Hematologi Klinik Ringkas
b. peningkatan fibrinopeptida A
c. peningkatan fibrinopeptida B
d. peningkatan kompleks TAT (thrombin-antithrombin)
e. peningkatan D-dimer
2. Tes grup II (bukti adanya aktivasi sistem fibrinolitik)
a. peningkatan D-dimer
b. peningkatan FDP
c. peningkatan plasmin
d. peningkatan kompleks plasmin-antiplasmin
3. Tes grup III (bukti adanya konsumsi inhibitor)
a. penurunan AT-III
b. penurunan alpha-2-antiplasmin
c. penurunan heparin kofaktor .II
d. penurunari protein C dan S
e. peningkatan kompleks TAT
4. Tes grup IV (bukti
a.
b.
c.
d.
adanya kerusakan atau gagal end-organ)
peningkatan LDH
peningkatan kreatinin serum
penurunan pH
penurunan pAO,
Untuk menegakkan diagnostik laboratorik DIC hanya diperlukan satu dari masing-masing grup I, II, dan III dan paling sedikit
dua dari grup IV. D-dimer yang paling reliabel untuk pemeriksaan
tes grup I dan II jika diperiksa dengan cara yang benar.
Terapi
Terapi DIC bersifar
sangat kompleks, tetapi pada prinsipnya dapat
berupa berikut:l-6
terapi terhadap
^. ling penting; penyakit dasar merupakan tindakan yang pab. terapi suportif dengan darah segar, fesh frozen plasma, fibrinoc.
gen, atau platelet concentrate;
pemberian heparin. Sampai saar
ini pemberian heparin masih
kontroversial karena dapat menimbulkan/menambah perdarahan.
Bab 13
THROMBOSIS
Thrombosis adalah terbentuknya massa bekuan darah inrravaskuler
pada orang yang masih hidup. Hal ini harus dibedakan dengan
"postmortem coaguhtion", yang menunjuk pada bekuan darah pada
orang yang sudah meninggal. Sedangkan thrombophilia atau
" hyerclagulable state" adalah kecenderungan peningkatan risiko
thrombosis (baik vena maupun arteri) pada seseorang' yang bisa
bersifat didapat (acquired) atau diturunkan (herediter). Emboli ada-
lah
terlepasnya seluruh atau sebagian thrombus yang kemudian
menyumbat pembuluh darah yang lebih distal. Thrombosis dapat
terjadi pada arteri yang dikenal sebagai "arterial throm-bosii', atauPun
p"d" ,r..r" y"rrg dil.tt"l sebagai "uenous throm,bosii'.r'6
Thrombosis dapat mengenai berbagai pembuluh darah, dapat
(CW)' czrondry arterial
(RW)' peripheral
thrombosis GAf), retinal
(DW)
dengan pulrnouascular thrombosis (PW), deep uein thrombosis
menimbulkan
cerebrouascular thrombosis
uascular thrombosis
nary emboli (PE). Kelainan ini merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas tersering di negara maju. Di Amerika Serikat lebih dari
dua juta penduduk meninggal setiaP tahun disebabkan oleh thrombosis arteri atau vena, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka
kematian karena kanker yang hanya 550.000 per tahun."
Patogenesis Thrombosis
Lebih dari 100 tahun yang lalu Rudolph Virchow pada tahun i854
mengemuka.kan Virchota's Tiiad (gambar I2-3), yang prinsipnya
sampai sekarang masih dianggap ualid. Berdasarkin Vircltou's triad,
thrombosis timtul karena tig" h"l, y"ittr,t-6'e
Kelainan dinding pembuluh darah (uascular injury)
^.
b. Gangguan aliran darah (gangguan rheohgi
c. Kelainan konstituen darah. (hypercoagulable
state)
Pada thrombosis arterial ketiga faktor tersebut memegang peranan
penting, tetapi pada thrombosis vena thrombosis dapat terjadi pada
255
256
Hematologi Klinik Ringkas
Faktor Faskular
Faktor aliran darah
(Rheologi)
Faktor koagulasi
(Hypercoagulable sfafe)
Gambar L3-1. Skema Virchow's triad
dinding pembuluh daiah yang masih intak, berarti yang berperanan
penting adalah faktor aliran darah (stasis) dan keadaan hiperkoagulabel.
Pada thrombosis arterial, proses dimulai dari endotil yang
di mana terjadi aktivasi trombosit yang menyebabkan adhesi dan agregasi trombosit pada dinding pembuluh
darah. Grjadilah thrombus dengan komponen utamanya yaitu
trombosit yang diikat oleh serat-serat fibrin dan beberapa sel darah
merah, thrombus ini berwarna agak keputihan, disebut sebagai zuhite
mengalami kerusakan
thrombus. Sedangkan pada thrombosis vena komponen uramanF adalah
fibrin dengan banyak sel darah merah sehingga thrombus ini disebut
sebagai red thrombus. Perbedaan jenis thiombus ini ditentukan oleh
perbedaan kecepatan aliran darah (shear rate) pada arteri dan vena.
Thrombus putih daya kohesinya lebih kuat sehingga tidak mudah
terlepas, sedangkan thrombus merah leblh fiable sehingga lebih
mudah lepas sebagai emboli. r-7
Kelainan Dasar atau Faktor Risiko yang Dihubungkan
dengan Timbulnya Thrombosis
Seperti halnya dengan anemia maka pada thrombosis kita tidaldah
cukup hanya sampai diagnosis thrombosis, tetapi yang lebih penting
adalah mencari penyakit dasar atau faktor risiko dari thrombosis.l
Thrombosis 257
Faktor risiko ini dapat dibagi menjadi 3 golongan besarr
a. Situational rish factors
6. Inherited risk factors (inherited thrombophilia)
c. Acquired rish factors (acquired thrombophilia)
I
nherited thromboph
Acq uired thrombophilia
il i a
THROMBOSIS
Situational risk factor
Gambar 13-2. Faktor
riliko te4adittya thrornbosis
Situational rish facrors menunjukkan keadaan klinis yang jelas
(well defined) dan transien yang disertai peningkatan risiko thrombosis selama keadaan tersebut atau sesaat setelah keadaan tersebut.
Contohnya: operasi, imobilisasi berkepanjangan, pemakaian kontraseptif oral (oral contraceptiue=OCP), terapi ganti hormon (hormone
replacement therapy=lf\f), kehamilan, kemoterapi kanker, dan heparin-induced thrombocytopenia.I
Inherited risk factors menunjukkan adanya mutasi genetik atau
polimorfism e yang menyebabkan defisiensi antikoagulan alamiah
(protein C, protein S atau AT), akumulasi faktor prokoagulan
(prothrombin G20210A, atau ensim methyltenahydrofoalte reductase),
atau faktor koagulan yang resisten terhadap inaktivasi antikoagulan
alamiah (faktor V Leiden). Semua keadaan ini menyebabkan terganggunya mekanisme regulasi koagulasi normal yang menghasilkan lebih banyak thrombin yang mengakibatkan peningkatan risiko
thrombosis.l
Acquired risk factors timbul sebagai akibat kelainan medik atau
kelainan hematologik nonfamilial yang mengganggu hemostasis normal
258
Hematologi Klinik Ringkas
atau reologi darah. Contohnya adalah kanker, inflammatory bowel
disease, sindrom nefrotik, vaskulitis, sindrom antiposfolipid, kelainan
mieloprolife ratif , p aroxysmal no cturnal hemoglo b inuria, dan sindrom
hiperviscositas. Berbeda dengan situational rish factor yang bersifat
transien, acquired risk factors disebabkan oleh penyakit atau proses
yang bersifat ireversibel. Daftar penyebab rhrombophilia didapat,
herediter atau gabungan herediter dan didapat dapat dilihat pada
tabel 13-1.
Tabel 13-1
Thrombophilia didapat dan Herediter s
Inherited disorders
APC resistance
Factor V Leiden mutation
Factor V Cambridge
Factor V Hongkong
Factor V HR2 mutation
Prothrombin 20210A mutation
Factor XII deficiency
Dysfibrinogenemia
Platelet defecfs; sticky platelet syndrome
Disorders both inherited and acquired
Antithrombin deficiency
Heparin cofactor ll deficiency
Protein C deficiency
Protein S deficiency
Plasminogen deficiency
APC resistence
Acquired disorders
Antiphospholipid antibodies
Anticardiolipin antibodies
Lupus anticoagulant
Myelop rol ife rative
di
sord e rs
Irousseau syndrome (cancer)
Paroxysmal nocturnal syndrome
Drabefes mellitus
Hypervi scosity syndrome
Thrombosis 259
Thrombophilia Herediter
Resistensi Terhadap Faktor Protein C Aktif
(Activated Protein C Resisfance)
Yang paling sering menyebabkan resistensi terhadap protein C aktif
adalah faktor V Leiden. Dalam keadaan normal faktor V akdf dipecah oleh protein C aktif pada asam amino arginin nomor 506,
sehingga faktor V aktif menjadi tidak aktif, akibatnya pembentukan
thrombin dapat dikendalikan. Pada faktor V Leiden terjadi mutasi
yang mengakibatkan penggantian asam amino arginin pada posisi
506 dengan glutamin (R506Q). Penggantian asam amino ini mengakibatkan protein C aktif tidak dapat memecah faktor V aktif,
keadaan ini disebut APC resistance (actiuated protein C resistance).
Faktor V aktif yang berlebihan mengakibatkan jumlah thrombin
tidak terkendali yang berarti meningkatkan risiko thrombosis. ,4PC
lesistance karena faktor V Leiden merupakan penyebab terbanyak
hiperkoagulabilitas herediter pada orang kulit putih. Heterosigot
faktor V Leiden meningkatkan 2-10 kaii lipat risiko thrombosis
vena. Thrombosis vena merupakan manifestasi utama faktor V Leiden,
jarang dihubungkan d.ng"n thrombosis arteri.t'4'25
Interaksi Berbagai Faktor Risiko
Pada seorang penderita dapat dijumpai gabungan beberapa faktor
risiko, baik faktor risiko situasional, herediter atau didapat. Interaksi
antara faktor herediter disebut "gene to gene interaction", sedangkan
interaksi faktor herediter dengan faktor didapat disebut "gene to
enuirontment interdction".25
S"."." teoritik gabungan faktor risiko ini
akan meningkatkan risiko thrombosis' Masih diperlukan penelitian
Iebih lanjut apakah interaksi ini mengikuti model additiue efects
ataukah supra-additiue ffict. Pada model additiue effect diasumstkan
bahwa tidak ada interaksi dan efek yang timbul merupakan penjumlahan masing-masing efek. Pada model supra-additiue ffict diasumsikan terjadi interaksi dan efek yang timbul lebih dari penjumlahan
masing-masing efek.25
260
Hematologi Klinik Ringkas
Prothromb in G20210A M utation
Pada prorhrombin G20210A terjadi single-point mutation pada
3'unstranslated region dari gen prothrombin yang mengakibatkan
substitusi guanidin (G) dengan adenin pada nukleotida 20210.
Mutasi ini menyebabkan meningkatnya kadar prothrombin plasma
sampai lebih dari l50o/o dari normal. Bentuk heterosigot prothrombin G20210A meningkatkan risiko thrombosis vena dua sampai
enam kali lip^t. 1'a't5
Defisiensi Protein G dan Protein S
Protein C oleh kompleks thrombin-thrombomodulin dengan bantuan kofaktor protein S akan diaktifkan menjadi protein C akrif (actiuated protein C = APC). APC akan menonaktifkan faktor V aktif (Va)
menjadi faktor V tidak aktif sehingga menghambat pembentukan
thrombin. Defisiensi prorein C arau protein S menghilangkan kendali
pembentukan thrombin sehingga menambah kecenderungan rhrombosis. Defisiensi protein C dihubungkan dengan thrombosis urn . ''4''5
Defisiensi Antithrombin
Antithrombin (dulu dikenal sebagai antithrombin III) merupakan
antikoagulan natural yang menghambat thrombin dan faktor Xa.
Defisiensi AI bersifat herediter yang diturunkan secara autosomal
dominan. Defisiensi AT dapat juga bersifat didapat (acquired). Manifestasi utama defisiensi
AI
adalah thrombosis urn^.''4''5
Hyperhomocysteinemia
Hiperhomosisteinemia dapat bersifat herediter atau didapat. Ho-
mosintein terbenmk selama konversi methionin menjadi sistein.
Hiperhomosisteinemia herediter terjadi karena mutasi MTHFR gene.
Hiperhomosisteinemia dihubungkan dengan thrombosis arteri dan
juga dengan thrombosis vena. Mekanisme terjadinya thrombosis
pada hiperhomosisteinemia belum diketahui dengan pasti, tetapi
diperkirakan melalui deskuamasi endotil, oksidasi LDL, peningkatan adhesi monosit pada endotil, aktivasi faktor V dan peningkatan
pembentukan thrombin. Manifestasi klinis berupa thrombosis vena
dan arteri yang rekuren, seperri atherosklerosis prematur pada arteri
koroner dan arteri perifer.
Thrombosis 261
Thrombophilia Didapat
S
indrom Antifosfolipid
Sindrom antifosfolipid adalah sindrom yang terdiri atas thrombosis
vena, arteri atau pembuluh darah kecil dan pregnanc! hss pada penderita dengan antibodi terhadap phospholipid atau protein yang terikat
dengan fosfolipid, terutama beta2-glikoprotein I. Antibodi terhadap
fosfolipid terdiri atas antikardiolipin atau antibeta2-glikoprotein I
yang diperiksa dengan ELISA atau lupus anticoagulant antibody yang
diperilaa dengan coaguktion msay, misalnya dilute Rusell's uiper uenom
test. Mekanisme terjadinya thrombosis diperkirakan melalui aktivasi
endotil oleh autoantibodi, oksidasi LDL atau gangguan terhadap
mekanisme koagulasi yang tergantung fosfolipid, seperti terPaparnya
selubung anexin V Manifestasi sindroma ini dapat tierupa deep uein
thrombosis pada tungkai bawah, penyakit arteri perifer, penyakit jant'.r.rg ko.on.r atau stroke. Di bidang kebidanan menimbulkan abortus
b.rJl"rrg, kematian janin intrau,..i., *,"u kelahiran pr..r,"t,r..
t'4''5
Stasis Vena dan lmobilitas
Stasis vena karena kelainan vena sendiri atau karena faktor luar me-
mudahkan terjadi kontak faktor pembekuan dengan endotil yang
akhirnya meningkatkan risiko thrombosis. Imobilitas memperlambat
aliran vena karena tidak bekerjanya pompa otot juga menyebabkan
r'a'15
stasis aliran darah sehingga meningkatkan risiko thrombosis.
Thrombosis Vena Pascaoperasi
Operasi yang disertai kerusakan jaringan yang luas meningkatkan
aktivitas faktor jaringan sehingga meningkatkan risiko thrombosis.
Operasi yang mempunyai risiko tinggi adalah operasi besar pada
abdomen dan operasi panggul.
Keganasan
Penderita dengan kanker paru, payudara, prostat, pankreas dan saluran
cerna mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya thrombosis.
Terapi Estrogen
Terapi estrogen meningkatkan kadar faktor II, \rll, VIII, iX dan X
serra menurunkan kadar antithrombin dan tissue plasminogen nctiuator.
262
Hematologi Ktinik Ringkas
Terjadi peningkatan risiko thrombosis vena pada pascaoperasi pada
penderita yang mendapat terapi ganti estrogen dosis tinggi.
Kelainan Darah
Peningkatan viskositas darah, thrombositosis dan gangguan resepror
thrombosit meningkatkan risiko thrombosis pada polisitemia vera
dan thrombositosis esensial. Pada polisitemia vera, masa erirrosit
yang meningkat mengakibatkan meningkatnya jumlah eritrosit pada
aliran aksial dan mendorong thrombosit ke tepi sehingga thrombosit
dan endotil mempunyai kontak yang lebih besar. Peningkatan thrombosis juga dijumpai pada paroxysmal nocturnal hemoglobinuria.
Atherothrombosis
Atherotrombosis adalah thrombosis yang terjadi (superimposed) di
atas plak atheroma pada dinding pembuluh darah. Atherothrombosis
menunjukkan konsep baru bahwa proses atherosklerosis (pembentukan plak atheroma) dan thrombosis akut mempunyai hubungan
integral dengan uascular euents. Konsep atherothrombosis menjadi
penting karena thrombosis kardiovaskuler yang ditimbulkannya merupakan penyebab kematian urama di seluruh dunia.
Pada atherothrombosis, proses thrombosis dipicu oleh ruptur
atau fisur pada permukaan plak yang tidak stabil (unstable plaque)
sehingga meningkarkan ekspresi tissue factor dan akrivasi thrombosir.
Maka faktor risiko pada atherothrombosis dapat berasal dari throm-
bophiiia herediter atau thrombophilia didapat, dapat juga berasal
dari faktor risiko arheroskle.osis. l'4'25
Thrombosis Vena Dalam
Thrombosis vena dalam arau deep uein thrombaszi (DVT) adalah
terbentuknya thrombus pada vena profunda rerurama pada tungkai
bawah. Thrombus yang terbentuk adalah thrombus merah karena
terdiri fibrin dan sel darah merah, komponen thrombosit hanya
sedikit. Thrombus merah lebih mudah lepas sehingga menimbulkan
emboli, terurama emboli paru.
Thromboemboli vena merupakan kelainan yang sering dijumpai
dengan insiden 117 kasus/100.000 penduduk/tahun. Insiden me-
Thrombosis 263
ningkat dengan meningkatnya umur' Emboli paru 90o/o lebih berasal dari vena profunda tungkai bawah."
patogenesis thrombosis terurama akibat stasis aliran darah serta
hiperkoigulabilitas darah. Faktor kelainan vaskuler (endotil)'tidak
memegang peran penting sePerti pada thrombosis arteri' Faktor
""t"I
p.ny.b"b thrJmbosis lren" dalam adalahtt'a'6'21
.iriko
l. Umur. Risiko thrombosis meningkat dengan meningkatnya umur
2. Imobilitas lama
3. Obesitas
4. Kelainan neurologi. Tirngkai
yang mengalami paresis cenderung
mengalami thrombosis
5.
Penyakit jantung. Payah jantung akibat infark miokatd
disertai thrombosis vena dalam.
6. Kehamilan dan masa PostPartum.
7. Kontrasepsi oral'
8. Pembedahan. Pembedahan ortopedi, terutama
9.
25o/o
pada sendi fe-
mur atau lutut, disertai 35-50o/o DVT, operasi abdomen 15%0,
operasi urologi 7-35o/o, operasi ginekologi 7-27o/o'za
Keganasan. Penderita dengan keganasan mempunyai kemungkinan 20%o terkena thrombosis.'*
10. Thrombophilia herediter: Faktor V Leiden (20-40o/o)' pto'
thrombin G20210A (60/o), defisiensi protein C (4o/o),
hiperhomosisteinemia (10olo), defisiensi protein S (3-4Vo)'
disfibrinogenemia (3o/o), defisiensi antithrombin (lo/o)'"'
Gejala klinik DVT berupa nyeri tungkai disertai nyeri tekan'
pembengkakan, distensi vena Permukaan, dan sianosis yang terjadi
unilateral. Gejala kliniknya sulit dibedakan dengan pembendungan
vena karena sebab bukan thrombosis'
Pemeriksaan laboratorium yang sering dikerjakan adalah pengukuran kadar D-dimer plasma. D-dimer meningkat pada thrombosis yang baru terjadi. Hasil positif bersifat tidak spesifik, hasil negatif
menguiangi (eksklusi) kemungkinan thrombosis'
Pemeriksaan "serial comltression ultrasouni' merupakan pemeriksaan paling reliabel dan praktis untuk DVT. Sangat baik jika dikombinasikan dengan tes Doppler. Pemeriksaan "contrast uenzgra?h!"
264
Hematologi Klinik Ringkas
dapat menunjukkan tempar dan ukuran thrombus, tetapi pemeriksaan ini bersifat invasii serra menimbulkan rasa nyeri.
Terapi urama DVT adalah pemberian antikoagulan, heparin atau
heparin berat molekul rendah. \Tarfarin diberikan bersamaan dengan
pemberian heparin, dalam 4-5 hari, setelah tercapai INR 2,5-3,
heparin diturunkan. tVarfarin diberikan selama
3-6 bulan. pemberian thrombolitik pada DVT saat ini sangat terbatas indikasinya.a
Terapi Thrombosis
Grapi thrombosis harus didasarkan pada
patogenesisnya sehingga
dengan demikian bersifat lebih rasional (tabel l3-Z).
Tabel 13-2
Prinsip Terapi Thrombosis Berdasarkan
P ato ge n e s isny ar'a,o'za
Patogenesis
Faktor risiko
Tindakan
Pencegahan: mengendalikan
faktor risiko
Aktivasi thrombosit
t
t
Platelet adhesion
Platelet aggregation
Koagulasi darah
Thrombosis
Obat antiplatelet
Antikoagulan
Thrombolitik
Pencegahan thrombosis merupakan tindakan paling penting
sebelum thrombosis menimbulkan dampak negatif. Untuk pence-
gahan maka faktor risiko harus dikendalikan. Faktor risiko yang
dapat dikendalikan adalah faktor risiko yang didapat, rerurama throm,
bophilia didapat dan faktor risiko untuk atherosklerosis. Thrombophilia herediter tidak dapat dicegah hanya dapat dianrisipasi. 1'a'6,2a
Obat0bat Antiplatelet
Thrombosit merupakan faktor penting dalam pembentukan thrombus.
Obat-obat antiplateler bertujuan untuk menghambat agregasi thrombosit. Oleh karena itu, sebaiknya diberikan sebelum thrombus terjadi
(pencegahan) atau diberikan pada saat thrombosis untuk mencegah
Thrombosis 265
pembentukan thrombus baru. Obat-obat antiplatelet telah terbukti
dapat mengurangi uascular euent secara bermakna-
Obat-obat antiplatelet dapat digolongkan menjadi
golongan b.."r, yaitu'l'4'6'24
emPat
1. Cyclooxygenase inhibiton aspirin
2. Obat-obat yang menghambat reseptor ADP: tirlopidin dan cloptdagrel
3. Obat-obat yang menghambat phoqlndizsterase cilosawl dipyidamole
4. Obat-obat yang menghambat glycoprotein nb/fH recEtor: dbcixinab
Aspirin
fupirin
menghambat enzim siklooksigenase thrombosit secara
ireversibel sehingga menyebabkan menurunnya thromboxane'L2'
Thromboxane A2 merupakan agonist untuk aktivasi thrombosit.
Aspirin dosis kecil (80-160 mg) terbukti dapat mengurangi kejadian
penyakit jantung koroner. Aspirin juga dapat mencegah thrombosis
pada penderita dengan thrombositosis. Aspirin terbukti mempunyai
sinergi dengan clopidogrel dalam mencegah thrombosis pada Penya-
kit jantung koro.t.. yang -e-akai stert.t'4'6'24
Obat-Obat Penghambat Reseptor ADP
Tic lop idin e dan bp idogre I tergolong sebagai th ienoplridinr-s. Keduanya
menghambat reseptor ADB meskipun dengan cara yang berbeda'
sehingga menghambat agregasi thrombosit. Kedua obat ini dipakai
c
setelah angioplasti. Clopidogrel banyak dipakai setelah coronary artery
stenting. Ticlopidine dilaporkan mempunyai efek samping neutroPe-
nia dan thrombosito prni^.
t'4'o''4
Obat Penghambat Fosfodiesterase
Cilostasol dan dipyridamol dapit" menghambat ensim fosfodiesterase
yang berfungsi dalam perubahan CAMP menjadi AMP sehingga
menghambat agregasi thrombosit.
Obat-Obat Penghambat Reseptor Gpllb/llla
Reseptor GpIIb/IIIa adalah resePtor yang berfungsi untuk menghubungkan fibrinogen dengan thrombosit yang sangat penting dalam
proses agregasi thrombosit. Reseptor ini merupakan reseptor y^ng pa'
ling banyak dijumpai pada permukaan thrombosit. Abciximab merupakan antibodi monoklonal yang memblok reseptor ini. Eptifbatidz
266
Hematologi Klinik Ringkas
dan tirofban adalah sueilt snahe uenom disintegrin dengan kerja yang
cepat. Obat-obat ini telah terbukti bermanfaat pada corznary
angioplasty dan stenting.
ObatAntikoagulan
Ob_at anti koagulan dapat dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu:
|,4,6,24
1. Heparin, terdiri
2.
atas unfactionated beparin dan bu molzcular
ini harus diberikan secara parenteral.
Inhibitor thrombin langsung (direct thrombin inhibitor)
3.
Antikoagulan oral, yaitu warfarin
weigth heparin. Kedua obat
Heparin
Heparin mempunyai berat molekul 15.000-18.000 dalton dan tidak
dapat diabsorpsi oleh usus sehingga harus diberikan secara parenteral. Heparin bekerja melalui kompleks thrombin antithrombin
dan juga kompleks antithrombin dengan faktor Xa, IXa dan XIa.
Dengan adanya heparin maka kemampuan antithrombin mengikat
thrombin menjadi berlipat-lipat.
Heparin berberat molekul kecll (lout molecular taeight heparin =
LM\ZH) mempunyai berat molekul 2000-i0.000, yang dibuat
dari depolimerisasi secara kimia atau ensimatik. LM\7H mempunyai
kemampuan menghambat faktor )(a lebih kuat dibandingkan dengan
thrombin, interalai dengan thrombosit lebih rendah sehingga bahaya
perdarahan lebih rendah, bioavailabilitas lebih baik dengan masa
paruh lebih panjang sehingga dapat diberikan satu kali sehari.
Heparin mempunyai indikasi utama pada thrombosis vena dalam, tetapi sekarang juga banyak dipakai pada thrombosis arteri,
seperti pada penyakit arteri koroner dan srroke.
Heparin merupakan pilihan bagi wanita hamil yang memerlukan
terapi antikoagulan.
Heparin untuk DVT akut atau emboli paru diberikan secara
intravena kontinu. Dosis untuk orang dewasa adalah 30.000- 40.000
unit dalam 24 jam (loading d.ose: 5000 unit selanjutnya 1000-2000
unit setiap jam). Terapi disermi moniror APTT untuk mencapai
harga I,5-2,5 normal. Umumnya pada saat bersamaan atau paling
lambat dalam dua hari diberikan warfarin. Heparin dihentikan jika
Thrombosis 267
INR lebih dari 2 untuk dua hari berturut-turut. Heparin dapat juga
diberikan secara subkutan, terutama untuk profilalais DVT,
dosisnya adalah 5000 unit setiap 12 jam sebelum operasi, dilanjutkan 5000 unit setiap 8-12 jam selama 7 hari.
LM\7H karena waktu paruh yang lebih panjang, dapat diberikan satu kali sehari untuk profilaksis dan satu sampai dua kali sehari
untuk terapi. Pada pemakaian LMW.H tidak diperlukan monitoring
APTT dapat diberikan dengan fixed dnse sesuai dengan berat badan.
Dapat dilakukan monitoring dengan mengukur aktivitas faktor Xa,
tetapi dalam praktik sehari-hari tidak diperlukan. Akhir-akhir ini
LM\7H lebih banyak dipakai dibandingkan dengan heparin biasa
untuk DVI emboli paru atau sindrom koroner akut, karena efektir'4'6'24
vitas sama dengan efek samping lebih kecil serta lebih praktis .
Efek Samping
Efek samping terutama terjadi pada pemakaian heparin
(unfiactionated1. Efek samping dapat berupa'1'4'6'24
Perdarahan
^.
b. Heparin-induced
c. Osteoporosis
biasa
thrombocytopenia
Perdarahan akibat heparin diatasi dengan protamin dengan do-
sis 1 mg/l00 unit heparin. Thrombositopenia karena heparin lebih
sering pada pemakaian heparin unfactionated dibandingkan dengan
heparin berberat molekul rendah. Thrombositopenia karena hepa-
dapat timbul dalam waktu 24 jam sampai 5 hari setelah
pemberian heparin. Heparin mengikat ihrombosit, diikuti oleh
pembentukan antibodi terhadap heparin-pktelet factor 4 sehingga
memicu platebt actiuation yang menyebabkan penurunan thrombosit lebih dari 50o/o. Dalam keadaan demikian terapi heparin harus
dihentikan. Osteoporosis terjadi pada pemakaian heparin jangka
panjang (lebih dari dua bulan) terutama pada kehamilan. Mekanismenya belum diketahui dengan pasti.6
rin
lnhibitor Thrombin Langsung {Direct Thromhin Inhibitorl
Hirudin, fragmen hirudin dan beberapa hw molecular weight direct
thrombin inhibitor merupakan obat antithrombosis potensial, tetapi
belum dipakai secara rutin di klinik. Lepirudin adalah recombinant
268
Hematologi Klinik Ringkas
hirudin analog. Argatroban adalah syntbetic, small-molecale, L-arginine deriuatiue yang dapat menghambat pembentukan thrombin.
Ximelagatran merupakan obat oral @rodrug) yang dalam tubuh dapat mengikat actiue binding site thrombin.t
Antikoagulan Oral
Obat antikoagulan oral berasal dari derivat coumarin atau indindione.
'W'arfarin,
yang merupakan derivat cournarin merupakan antikoagulan oral yang paling sering dipakai. 'Warfarin menghambat gamma
carboxylation dari prothrombin, faktor VII, lX, X protein C dan
protein S, sehingga menghambat pembentukan thrombin. 'Warfarin
diberikan 10 mg pada hari I, 10 mg pada hari II, kemudian 5 mg
pada hari
IIL
Kemudian dosis disesuaikan dengan waktu prothrom-
bin (INR). Dosis pemeliharaan pada umumnya 3-9 mg per hari,
tetapi respons individual sangat bervariasi, oleh karena itu perlu
pemantauan yang terarur.
Untuk pemantauan terapi warfarin dipakai waktu prothrombin
(prothrombin time=PT) karena PT mengukur aktivitas faktor VII,
faktor X dan prothrombin. Dalam pemantauan ini dikenal istilah
INR (international normalized ratio), yaitu rario kemampuan
thromboplastin yang dipakai dengan standar thromboplastin dari
\fHO. Terapi heparin dengan intensitas rendah adalah untuk mencapai INR 2-3,0, dan terapi warfarin dengan intensitas tinggi untuk
mencapai INR 2,5-3,5. Indikasi pemberiannya dapat dilihat pada
tabel 13-3.
Efek samping pemberian heparin adalah perdarahan dan tparfarin induced skin necrosis. Efek samping lain adalah alopesia, rasa tak
enak di perut, ruam kulit (rash), dan disfungsi hati. Terapi warfarin
intensitas rendah memberi risiko perdarahan 1olo. Risiko perdarahan meningkat jika memakai kombinasi obat antiplatelet. Jika terjadi
perdarahan minor dan INR kurang dari 6, maka warfarin dihentikan kemudian diulang dengan dosis lebih kecil jika perdarahan
sudah berhenti. Jika penderita mengalami uisceral bleeding dan tidak
bersifat life-threatening maka diberikan vitamin K 10 mg subkutan
Thrombosis 269
Tabel 13-3
Rekomendasi Rentang Terapeutik Terapi Warfarinl'6
Ttfget INR'
,,
,,,,,,,
lndikasi
Terapi DW, emboli paru, fibrilasi atrium, DW
l,;';..1,r. .,,,,,.,,,l,,,,..l,,,,,,,,,,,,
r,r
rt..l
t,rr'r
.. :
rekuren setelah penghentian warfarin, thrombo12,0-3,01....,..1,,:,,, iirt,,,',,,',philia,'heredilei ,simtomalik',l,kaidio..miqpati, lkardio2r5,.,
.r,,rl r
;rl.lrri
r:
versi
3:51
',,
:,
111
.
,rt:'':.-.,,','DW..iekuign,,se*aSifr'memafaitWarfarin,
,,
.,,,,',
.,rtl:lrlrl
,i1,,,'ir:..
t3,;q-4101,,.,,,lr"
prosthetik jantung
infa
:,,mekanik,'pievenSi
' lr
rk,
"katup
mlokard iekuren ; beb,ell
rapa kasus sindroma antiposfilipid
atau per oral. Penderita dengan perdarahan mayor maka diberikan
fesh frozen plasma empat sampai lima unit. Penderita dengan INR
6-10 tanpa perdarahan klinis diberikan vitamin K dosis kecil, 1-2
mg subkutan atau per oral. Penderita dengan INR di atas 10 tanpa
perdarahan klinis diberikan vitamin K 24 mg subkutan atau per
oral.l 'W'a.farin dapat menembus plasenta karena tidak dianjurkan
pemberiannya pada wanita hamil.6
Obat Fibrinolitik
Obat fibrinolitik atau obat thrombolitik berfungsi untuk
meng-
hancurkan (lisis) thrombus yang sudah terjadi. Lisis terjadi optimal
jika diberikan kurang dari 6 jam dari saat timbulnya thrombosis,
tetapi masih bekerja jika diberikan kurang dari 24 jam. Obat
thrombolisis sangat penting pada thrombosis arterial_ akut, sedangkan
thrombosis ,r..r" j*t".rg memerlukan obat ini.1'a'6'tn Ob^, throm-
bolitik yang beredar di pasaran
l.
2.
3.
adalah:
Streptokinase (streptase)
Urokinase (plasminogen actiuator)
Recombinant urokinase
Streptokinase diberikan 250.000 unit dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 100.000 unit per jam selama 1248 jam. Untuk infark
miokard akur diberikan sebagai dosis tunggal 150.000 unit selama 60
270
Hematologi Klinik Ringkas
menit. Tidak diperlukan tes khusus untuk memantau pemberian
,.
1.4.6.24
streptoKlnase.'
Recombinant urohinase mempunyai afinitas yang besar terhadap
fibrin sehingga memungkinkan lisis fibrin tanpa menimbulkan aktivasi fibrinolisis sistemik.l'a'6'24
Bab 14
TRANSFUSI DARAH
Thansfusi ialah proses pemindahan darah atau komponen darah dari
seseorang (donor) ke orang lain (resipien). Bahan-bahan yang dapat
i-6
ditransfusikan adalah:
I. Darah (whole blood), 1
(250450 ml) dengan antikoagulan sebanyak 15 ml/100 ml darah. Dilihat dari masa pe-
unit
darah
nyimpanannya maka whob bbod dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. darah segar @esh bhod): darah yang disimpan kurang dari 6
jam, masih L"gtop mengandung trombosit dan 6ktor pembeku
b. darah yang disimpan (stored bhod): darah'yang sudah disimpan lebih dari
6 jam.
Darah dapat disimpan sampai dengan 35 harl Darah simpan
kandungan trombosit dan sebagian faktor pembeku (terutama faktor labil) sudah menurun jumlahnya.
II. Komponen darah:
1. Komponen darah seluler:
a.
Preparat sel darah merah:
i. sel darah merah yang dimampatkan (pached red cell =
PRC). Darah dipekatkan sehingga mencapai hemato-
lait
70-80%o yang berarti menghilangkan 125-150
ml plasma dari satu unitnya. PRC merupakan pilihan
utama untuk anemia kronik karena volumenya yang
b.
lebih kecil dibandingkan dengan whole blood.
ii. utarhed red cell=lmcocyte-platela and plnrna poor RBC.
Preparat ini berguna untuk mencegah reaksi febris.
Dapat diberikan untuk AIHA dan untuk mengurangi
sensitisasi terhadap antigen leukosit.
Konsentrat trombosit Qtktelet concenilnte): preparat ini
dipakai untuk mengatasi keadaan trombositopenia berat,
misalnya pada leukemia akut, anemia aplastik atau ITP
271
272
Hematobgi Klinik Ringkas
c. K<insentrat granulosit
2.
(granuhqtte concentrate)i
Dipakai untuk leukopenia berat dengan netrofil <0,5x10e/L
Komponen plasma:
a. Fiue percent albumin toLoy;sn=plasma protein faction:
preparat ini dipakai untuk penggantian volume plasma
pada luka bakar, kedaruraran abdomen dan trauma jaringan yang luas.
b. Fresh fozen plasma (plasma segar dibekukan): mengandung plasma dan faktor koagulasi labil (faktor V dan
faktor VIII). Preparat ini dibuat dari donor tunggal sehingga resiko penularan hepatitis rendah.
c. Cryoprecipitare (kriopresipitat): mengandung F.\'Iil (S0100 unit), faktor von'Willebrand, F. XIII, fibronectin dan
fibrinogen. Digunakan untuk:
i. hemofili A;
ii. penyakit von V/illebrand;
iii. sumber fibrinogen pada acute defibrination syndrome.
d,. Lyophilized ffieeze-died) factor WII concentate dipakat unn:*
terapi hemofili A. Preparat ini dibuat dari "pooled plasma"
sehingga ada risiko penularan hepatitis dan HIV (AIDS).
e. Lyophilized (freeze-driedl factor lX-prothrombin complex
concentrate mengandung prothrombin, F.IX VII dan F.X
Dipakai untuk mengatasi hemofili B
f. Fibrinogen @eeze-dried): dipakai untuk mengatasi DIC
g. Immunoglobulin (gamma glnbuline):
i.
ri.
irnmlune gamrnd globulin
hyperimmune galnma globulin.
iii. Rh immunogbbulin
Golongan Darah
Terdapat lebih dari 400 antigen golongan darah, tetapi yang secara
klinis mempunyai arti penting adalah sistem ABO dan sistem Rh.
Beberapa sistem golongan darah yang penting dapat dilihat pada
tabel l4-I.
Darah 273
Transfusi
Tabel 14-L
Sistem Golongan Darah yang Penting Secara Klinis6
.;l,:,Pdnlfeb,ab: i :,
i
tPenyebabr
i.:.,re;k$tranCrusi
,,,,t:hemioIYIiC,.
;t
;int*;,,:;:
;:';;;;;' :,
"
:',
:,,.dkease,1r
,,
,,.r.,,
.:,';',ofie:wb6in
Ya (biasanVa ringan)
,Ye.l.:..t,,1..,.., 1,,,,:,
ti.,:,,'.
',:ya.,.i.r:'i.,',r.:'ilt':,.
:
I,
.
:. :,, :.
' ,i ,,,
. ..
'
Ye,,{kadang:kadang}
:Va,ikada-ng-kadan0)
.'Ticlak',.rr,r'.,.,
1'11661,
'
,'';
,'r'1
,;,: .
:.
.'.:.1:",'
',.: ' "
,.;,.,Ya (iaiahg)rtrr,.;
rrrr,':
Ya,'(iarang)rri
l
Di dalam rubuh seseorang terdapat antibodi alamiah atau antibodi yang timbul akibat sensitisasi transfusi atau kehamilan. Antibodi
alamiah terdapat dalam tubuh meskipun belum pernah tersensitisasi sebelumnya. Antibodi alamiah yang terPenting ialah anti-A dan
anti-B. Antibodi alamiah pada umumnya adalah IgM, bereaksi optimal pada suhu 4oC karena tergolong cold antibody. Antibodi imun
(immune antibodies) adalah antibodi yang timbul setelah sensitisasi
akibat transfusi atau transplasenta waktu kehamilan. Pada umumnya terdiri atas IgG dan bereaksi optimal pada suhu 37oC (uarm
antibod). Antibodi imun yang terpenting ialah Rh antibody, nnti-D.
Sistem ABO diatur oleh tiga gen: A, B dan O. Gen A dan B juga
mengontrol sintesis ensim spesifik untuk menambahkan satu residu
karbohidrat pada ujungnya, yang dikenal sebagai H substance. Gen
O bersifat amorf dan tidak mentransformasi H substance. Harusnya
terdapat 6 fenotipe, tetapi karena anti-O tidak ada sehingga tidak
dikenal secara serologik, maka hanya ada 4 fenotipe' Grup A dibagi
menjadi 2 subgrup: Al dan A2. A2 bereaksi lebih lemah dibandingkan dengan Al, penderita dengan A2B dapat dikelirukan secara
274
Hematologi Klinik Ringkas
serologik sehingga dianggap golongan B. Keempat fenotipe golongan darah sisrem ABO dapat dilihat pada abel l4-2.
Golongan darah Rh diatur oleh gen struktural: RhD dan R\CE,
yang mengkode protein membran yang membawa anrigen D, Cc
dan Ee. Gen RhD bisa ada bisa tidak sehingga secara fenotipe dikenal Rh D+ atau Rh D-. Antibodi terhadap sistem Rh sebagian
besar bersifat imun karena sensitisasi kehamilan atau transfusi. Anti,
D bertanggung jawab pada sebagian besar reaksi transfusi. Oleh
karena itu, pembagian seseorang menjadi Rh D positif atau Rh D
negatif sudah mencukupi untuk keperluan klinis.
Tabel 14-2
Sistem Golongan Darah ABO
Antigen: Antroai
Gen
.Ql.:-"''':'
A,r.ti1l.1..l.i;..,
8,l:tt:...
:.r'...,:.OOti.
:.,r:, r.l::,.,,.
-r"ro.r..":'rr,:,']
:l
1,1..1.{AatauAO,
, r'rfrrBB'atau,B0:
A8...:1,.,:',']:1::,1::lrl',1'1.,.,r,,,.:,':.AB
ft'.'
FrekuenSi
'Anti{;'spli:3
Anti-B'
''1::::
rl'l
.,,,,
46:/;
,
,;,B,......r1:,,r:,:
:'
I'ed' t't
Tidak.,ada,.,t.,
..
Antitp.'.' ;: - ;,
:
: :,.:,,:,.,.'
42Vo
9%,
3o/i,,'
Catatan: frekuensi di Inggris
Indikasi Transfusi Darah
Tlansfusi darah merupakan pedang bermata dua, yang jika diberikan dengan tepat akan dapat menyelamatkan penderita, tetapi jika
salah diberikan dapat menimbulkan efek samping yang disebut reaftsi transfusi bahkan dapat menimbulkan kematian. Oleh karena
itu, indikasi transfusi darah harus diketahui dengan baik. Indikasi
pemberian transfusi sel darah merah dapat dilihat pada abel l4-3.
Indikasi pemberian transfusi plasma adalahtza
1.
defisiensi faktor pembekuan;
2. DIC;
3. mengatasi efek warfarin
4. koagulopati dilusional;
berlebih;
5. perdarahan pada penyakit hati;
6. TTP
Transfusi
Darah 275
Tabel 14-3
Indikasi Pemberian Transfusi Sel Darah Merah2a
.',TfAnSfASiOn GUidelineSr
lndikasi
Kehilangan darah > 15% dari
volume darah
i
Anemia,r,,
hip0prolifeiatif rrkronik
,
..,,.
-
i
:r']lrrri
rli:i,l',:ri
lndikasi jelas
Anemia simtomatik (pusing,
takikardi, takipnea, sianosis)
Mungkin ada indikasi transfusi sel
r':,darah merah; tefutama,::jikai
diperkirakan perdarahan berlanjut.
',.M0ngkin :iiiemerlukan transfusi:,
t,:r,,,r,1,1l1l,.l.,,..
::,tlr
:r:!::,r:r,t,,Urt:lttlrit,:rtt.ii,,ii..
r..:
Penyakit sel sabit
;
periodik
,
, , ,Mungkin:,meme{lfkan trqnsfusi
selama krisis atau untuk
,
mencegah krisis.
Prosedur Transfusi Darah
Tiansfusi darah harus melalui prosedur yang ketat untuk mencegah
efek samping (reaksi transfusi) yang dapat timbui. Prosedur itu
adalah,l-6
1. Penentuan golongan darah ABO dan Rh. Baik donor maupun
resipien harus mempunyai golongan darah yang sama.
2. Pemeriksaan untuk donor terdiri
3.
atas:
a.
Penapisan (screening) terhadap antibodi dalam serum donor
dengan tes antiglobulin indirek (tes Coombs indirek)
b.
Tes serologik untuk hepatitis (B&C),
dan CMV.
Pemeriksaan
a.
HIV sifilis (VDRL)
untuk resipien:
"mdjor side
cross
ntatclt": serum resipien diinkubasikan dengan
RBC donor untuk mencari antibodi dalam serum resipien.
b. "minor side uoss match"; mencari antibodi dalam serum donor. Tujuannya hampir sama dengan prosedur 2a.
4. Pemeriksaan klerikal (identifikasi):
Memeriksa dengan teliti dan mencocokkan label darah resipien
dan donor. Reaksi transfusi berat sebagian besar timbul akibat
kesalahan identifikasi (klerikal).
5. Prosedur pemberian darah, yaitu:
a. hangatkan darah perlahanlahan
b. catat nadi, tensi, suhu dan respirasi sebelum transfusi
276
c.
d.
e.
6.
Hematologi Ktinik Ringkas
pasang infus dengan infus set darah (memakai alat penyaring)
pertama diberi larutan NaCl fisiologik
pada 5 menit pertama pemberian darah-beri tetesan pelanpelan-awasi adanya urtikaria, bronkhospasme, rasa tidak enak,
menggigil. Selanjutnya awasi tensi, nadi, suhu, dan respirasi.
Kecepatan transfusi, yaitu:
a. untuk syok hipovolemik-beri teresan cepat (gerojok);
b. normovolemi-beri 500 ml/5jam;
c. pada anemia kronik, penyakit jantung
dan paru beri tetesan
perlahanJahan 500 mU24 jam atau beri diuretika (furosemid)
sebelum uansfusi.
Komplikasi Transfusi
Komplikasi yang dapat timbul akibat transfusi darah disebut
sebagai
realrsi transfusi (transfaion reactions). Reaksi transfusi dapat berupa:l-6
I.
Reaksi segera (immediate reaction), yairu:
a. reaksi hemolitik akibat lisis eritrosit donor oleh antibodi da-
Iam serum resipien;
b.
c.
d.
reaksi febril (febril reaction) karena anti bodi terhadap leukosit atau trombosit;
reaksi sensitivitas paru dan bronkhospasme karena antibodi
terhadap leukosit;
reaksi alergik anafilaktoid terhadap suatu antigen protein da-
lam
e.
f.
g.
h.
IL
plasma;
endotoksinemia akibat transfusi memakai darah yang terkon-
taminasi kuman gram negatif;
edema paru karena "uolume ouerload';
reaksi keracunan sitras;
reaksi akibat transfusi masif.
Realai lambat (dzlayd reactions)
a.
b.
realsi hemolitik lambat
penularan infeksi: hepatitis B dan C, qttomegaloairus (CMV),
malaria dan sifilis
c.
grafi
uersus host disease.
Transfusi
Darah, 277
Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi
Reaksi hemolitik akut terjadi dalam waktu 24 jam dari transfusi.
Sebagian besar reaksi hemolitik terjadi akibat kesalahan identifikasi
(klerikal). Patogenesisnya melalui berikut:r-6
a. terjadi hemolisis intravaskuler masif akibat antibodi IgG/IgM
b.
dengan aktivasi komplemen, misalnya antibodi ABO;
terjadi hemolisis elcstravaskuler akibat antibodi IgG terhadap
faktor rhesus.
Gejala
A. Reaksi tipe segera
Gejala timbul akibat terjadi hemolisis intravaskuler akut
dan
gagal ginjal akut:
1.
2.
3.
hemolitik (haemofutic shoch phase), yaitu:
a. timbul segera atau 1*2 jam setelah transfusi;
b. urtikaria, nyeri pinggang, flushing, sakit kepala, nyeri
dada, sesak napas, muntah, menggigil, febris, hipotensi
sampai syok. Dapat terjadi hemoglobinemia, bilirubinemia, ikterus atau DIC;
Fase oliguria: timbul akibat acute tubular necrosis yang dapat
menimbulkan GGA (gagal ginjal akut);
Fase diuresis: timbul setelah rekoveri dari GGA.
Fase syok
Tindakan pada Reaksi Hemolitik Akut
Pada reaksi hemolitik akibat transfusi harus diambil tindakan tepat
dan cepat karena keadaan ini termasuk keadaan gawat darurat, seperti:
1. Segera hentikan transfusi. Kerusakan berbanding langsung de-
2.
3.
4.
ngan jumlah darah yang masuk. Ganti infus set.
Berikan tindakan penanggulangan (lihat dalam terapi)
Ambil contoh darah dari penderita, periksa adanya hemoglobinemia
Ambil serum antara lain:
a. satu dikirim kembali ke dinas transfusi untuk pemerilaaan
ulang golongan darah dan pemerilsaan serologik
b. satu lagi dikirim ke laboratorium klinik untuk pemerilsaan
bilirubin, hemoglobinemia dan methemalbunemia.
278
Hematologi Klinik Ringkas
Serahkan kembali sisa darah ke dinas transfusi untuk pemeriksaan kembali golongan darah dan serologik.
6. Periksa adanya hemoglobinuria.
7. Setelah 8-10 jam, ambil contoh darah kedua untuk pemeriksaan
kembali bilirubin dan methalbuminemia.
5.
Terapi
Prinsip pengobatan reaksi transfusi hemolitik ialah mempertahankan tekanan darah dan perfusi ke ginjal. Tindakan tersebut be.uparl-6
a. berikan infus plasma expander. dextran, plasma atau NaCl fisiologik. Perahankan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa;
b. forced diuresis: pemberian furosemid atau manitol;
c. pemberian hidrokortison 100 mg iv dan antihistamin;
d. jika terjadi anemia berat, berikan transfusi darah yang cocok
dengan pengawasan ketat;
e. GGA diatasi, sepeni biasa, jika perlu dilakukan
dialisis.
Reaksi Hemolitik Lambat (delay e d hemolyitic
re
action')
Realai hemolisis terjadi setelah satu hari sampai beberapa minggu.
ini timbul karena hemolisis elstravaskuler dengan penurunan kadar hemoglobin dan peningkatan bilirubin indirek dalam serum. Reaksi timbul karena adanya antibodi dalam bentuk IgG yang
tidak terdetelsi pada pemeriksaan pretransfusi. Sering bersrht silent,
atau timbul gejala berupa anemia dan ikterus ringan. Lebih sering
tidak memerlukan terapi cukup dilakukan observasi saja, kecuali jika
terjadi anemia atau ikterus berat.
Reaksi
Reaksi Alergi dan Reaksi Febris Non'hemolitik
Reaksi febris umumnya timbul karena antibodi dalam serum
resipien terhadap leukosit donor oleh karena itu untuk mencegah
maka berikan leukococyte depleted pached red cell. Reaksi febris dapat
juga terjadi akibat realsi terhadap protein plasma oleh karena
adanya sitokin akibat darah disimpan. Realsi febris memberikan
gejala: demam yang timbul segera setelah transfusi berjalan, sering
disertai menggigil. Realai ini harus dibedakan dengan demam karena
Transfusi
Darah 279
bakteremia akibat pemberian darah yang terkontaminasi bakteri.
Reaksi alergi dapat terjadi dalam bentuk (a) gatal-gatal; (b) urtikaria; (c) syok anafilaktik. Syok anafilaktik dijumpai pada resipien
yang mengalami defisiensi IgA, dalam serum timbul antibodi antiIgA akibat sensitisasi transfusi sebelumnya. Pada transfusi ulangan
maka dapat terjadi reaksi antigen-antibodi yang menimbulkan reaksi anafilalsis.
Terapi untuk reaksi febris adalah simtomatik, berupa kompres
atau parasetapol. Untuk itu, reaksi alergi diberikan hidrokortison
atau antihistamin. Pada syok anafilaktik segera harus diberikan adrenalin serta dilakukan tindakan untuk mengatasi syok anafilaktik.l-6
DAFTAR RU}UKAN
1.
2.
3.
4.
J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F,
Glader B (editors). W'instobe?s Clinical Hematology. 1l'h edition. Philadelphia: Lippincott-'$Tilliams & \filkins, 2004
Hoffman R, Benz EJ, Shatil SJ, Furie B, Cohen HJ, Silberstein
LE, McGlave P (editors). Hematohgy: Basic Principles and
Practices. Third Edition. New York Churchill Livingstone, 2000.
Harmening DM. Clinical Hematohgy and Fundamentals of
Hemostasis.4* edirion. Philadelphia: F.A Davis Company, 2002.
Beutler E, lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U
(editors). IXhlliams Hematohgy.5m Edition. New York Mc Graw
Greer JP, Foerster
Hill,
2001.
Hillman RS, Ault KA. Hematol"gf i" Clinical Practices. A Guidr
to Diagnosis and Management. 3'o ed. International Edition.
New York McGraw Hill Inc, 2002.
6.
Hoffbrand AY Pettit JE, Moss PAH. Essential Hematology. 4'h
Edition. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 2001.
7. Rappaport SI. Innoduction t0 Hematohg!. 2"0 Edition. Philadelphia: \7B Saunders Co, 1987.
B.
Hoffbrand AV Pettit JE. A Cohr Atks of Clinical Hematologlt.
2'd Edition. London: Mosby-'Wolfe, lgi4.
g
DeMaeyer E. Preuenting and Connolling lron Deficiency Anemia
'$7HO,
through Primary Heabh Care. Geneva:
1989.
10. Husaini MA, Husaini YK, Siagian UL, Suharno D. Anemia
Gizi: Suatu Studi Kompilasi Informasi dalam Menunjang
Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangan Program. Jakarta:
Direktorat Bina Gizi Masyarakat & Puslitbang Gizi, 1989.
u. Kerlin B Reiner R Davies M, Sage RE, Grant AIC Iron Deficiency
Anemia-A Prospective Srudy. Aust NZ Med J 1979;9:402407.
12. Suega K, Bakta IM. Pola Anemia pada Penderita Rawat Inap di
Divisi Hematologi dan Onkologi Medik RSUP Sanglah
Denapasar. Buletin Perhimpunan Hematologi dan Tiansfusi
Darah Indonesia (PHTDI) Cabang Denpasar 1999; I: 39-98
280
5.
Daftar
Rujukan
281
13. International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study. Incidence of Aplastic Anemia. The Relevance of Diagnostic Crite-
ria. Blood 1987;70: 1718-1727.
14. Camitta BM, Thomas ED, Nathan DG, Gale RP, Kopiclcy KJ,
Rappaport JM et al. A Prospective Study of Androgens and
Bone lv{arrow Tiansplantation for Tieatment of Severe Aplastic
Anemia. Blood 1979;63: 504-514.
15. Reksodiputro AH, Muthalib A, Thdjoedin H. Hematologi dan
Onkologi Medik. Dalam: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I,
Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A (editors): Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
1999. pp.ltt-127
r6. Jaffe ES, Harris NL, Stein H, Vardiman J\M Pathology and
Genetics of Tirmours of Haematopoietic and Lymphoid Tissues.
Lyon:'WHO/IARC, 2001.
17. Henderson ES, Lister TA, Greaves ME editors. Leuhernia. 6'h
edition. Philadelphia: \ilirB Saunders Co; 1996.
18. Bennet JM, Catovsky D, Daniel MT, Flandrin G, Dalton
DAG, Gralnick H, et al (FAB cooperative group). Proposal for
the Classification of the Acute Leukemia. Br J Haemarcl 7976;
33: 45459.
r9. Bennet JM, Catovsky D, Daniel MI Flandrin G, Dalton
DAG, Gralnick H, et al (FAB cooperative group). Proposal for
the Classification of the Myelodysplastic Syndromes. Br J
Haematol 1982; 5l: lB9-199.
20. Heaney ML, Golde DW Myelodysplasia. N Eng J Med 1999;
340: 1649-60.
27. Soebandiri, Nugrahi S, Boediwarsono. Pola Sindrom Dismielopoetik Primer di RSUD Dr Sutomo Surabaya. Majalah Penyakit
Dalam (Surabaya J Int Med) 1987; 13: 155-64.
22. Canellos GB Lister TA, Sklar JF.. The Lltmphomas. Philadelphia:
'$7B
Saunders Co; 1998.
23. Magrath IT. The Non-Hodghinls Lymphomas. 2"d edition. London: Arnold, 1997.
282
Hematologi Klinik Ringkas
24. Schmaier
AlI,
Petruzzelli
LM.
Studznt. Philadelphia: Lippincot
25. Bick RL.
Disorders
of
tbe Medical
for
& 'lVilkins,
Hematohgy
'!?'illiams
2003.
Hemostasis.
Thrombosis and
3'd edition.
Philadelphia: Lippincott'S7'illiams
&
\?'ilkins, 2002.
INDEKS
A
ABVD
199
Actiuated protein C resistance 259
Addisonian anemia 48
AHA (lihat anemia hemolitik autoimun) 7l
IJ,IP (abnormal localization of immature precursors) 170,
Anemia 11
derajat
173
12
diagnosis l8
etiopatogenesis l6
gejala 14
klasifikasi 13
kriteria anemia 12
prevalensi 13
patofisiologi 14
terapi
21
Anemia akibat penyakit
kronik
39
diagnosis 4l
diagnosisdiferensial 4I
gejala
klinik
40
patogenesis 39
penyebab 39
terapi 4I
aplastik 98
definisi 98
diagnosis 102
diagnosis diferensial
epidemiologi 99
etiologi 99
Anemia
gejala
klinik
101
patofisiologi 99
klasifikasi 98
kelainan laboratorik
terapi
104
102
104
283
284
Hematologi Ktinik Ringkas
Anemia defisiensi
besi
26
diagnosis 34
diagnosis banding 35
gejala klinik 3l
kelainanlaboratorium
patogenesis 3I
32
pencegahan 38
terapi
36
Anemia diseritropoetik kongenital 109
Anemia Fanconi 107
Anemia hemolitik 50
diagnosis 65
diagnosis banding 68
gejala klinik 55
patofisiologi 52
pengobatan 69
penyebab 50
kelainan laboratrorium 58
klasifikasi 50
Anemia hemolitik autoimun 7I
tipe panas 72
tipe dingin 75
AHA karena obat 77
Anemia hemolitik karena malaria 78
Anemia hemolitik mikroangiopatik 77
Anemiamegaloblastik 45
diagnosis 47
gambaran
klinik
46
penyebab 46
patogenesis 45
terapi
48
Anemia perniciosa 48
Addisonian anemia 48
Anemia karena kegagalan sumsum
tulang
Anemiapada gagal ginjal kronik .113
Anemia pada penyakit hati menahun
ll4
97
Indeks 285
Anemiasideroblastik 42
klasifikasi 42
gambaran klinik 43
terapi 44
Anemia sel sabit 87
Antikoagulan 266
Antiphospholipid syndrome (lihat sindrom antiposfolipid) 261
AT defciency (lihat Defisiensi antithrombin) 260
Anti fimphoryte globulin (ALG)
105
Aplasia sel darah merah
108
murni
globulin (ATG) 106
Autoimmune hemoftic anemia (lihat anemia hemolitik autoimun) 7l
Anti
thymocyte
Aspirin
265
B
Bcr-abl oncogen 138
Bernard Soulier syndrorne 244
Blast crisis (lihat Krisis blastik) I39,
Busulphan I43
I4l
c
cHoP 214,2t6
Chronic cold agglutinin disease 75
CLL (lihat leukemia limfositik kronik) I44
CML (lihat leukemia mieloid kronik) 137
Chronic myelomonocytic leuhemia (CMML) (lihat Leukemia
mielomonositik
Clopidogrel
kronik)
Congenital dyserythropoietic
Coombs
test
160
265
anemia
109
64
Cryoprecipitate (lihat
Kriopresipitat) 272
D
DAT (daunorubicin, ara-c, 6-thioguanine) 134
Defisiensi
G6PD
81
286
Hematologi Klinik Ringkas
antithrombin 260
protein C 260
protein S 260
vitamin K 249
Destruksi eritrosit 10
DIC 251
Durie and Salmon
kriteria diagnosis mieloma multipel 225
tingkat penyakit mieloma multipel 227
DVT (lihat Thrombosis vena dalam) 262
E
Eritrosit
destruksi
struktur
10
10
Eritropoesis 9
Essential thrombocythemia (llhatThrombositemia
Extrinsic
pathury
esensial) 152
234
F
FAB classification 123
Faktor V Leiden 259
Fanconi anemia 107
Fresh fozen pksma 272
Fokte deficiency (defisiensi
folat)
45
G
Gambaran leukoeritroblastik
Gamopatimonoklonal 220
111
Glanzman thromboasthenia 244
Golongan darah 272
H
Haptoglobi
n
53
Hairy cell leukernia (lihar Leukemia sel berambut) 144
Hb Barsts Hldrops Fetalis syndrome 96
Hemofili A 246
Indeks
Hemofili B 246
Hemoglobin E 85
Hemoglobin S 86
Hemoglobinemia 53, 60
Hemoglobinuria 53, 60
Hemoglobinopati 85
Hemopoesis 2
Hemolisis
ekstravaskuler 53
intravaskule
r
53
Hemosiderinuria 6l
HEMPAS
110
Hematopoesis (lihat Hemopoesis)
Henoch Schonlein syndrome 240
Heparin
266
berberat molekul
rendah
266
Hereditary spherorytosis 83
Hidroksiurea 143
Hyperhomocysteinemia 260
I
Idiopathic thrombocytopenic purpura
Indolent mubiple myeloma 226
INR 268
International prognostic index
Intrinsic pa.thwd.! 234
for
(ITP) 24I
agressiue
Imatinib mes/ate I43
K
Kaskade koagulasi 235
Klasifikasi
,
Kiel untuk limfoma 205
Rye untuk penyakit Hodgkin 194
Rappaport untuk limfoma 204
REAL/\VHO untuk limfoma 208
Koilonychia
32
fimphomas 2I8
287
288
Hematologi Klinik Ringkas
Krisis
blastik 739, 141
aplastik 58
hemolitik 58
megaloblastik 58
Iftiteria Ann Arbor dengan revisi Costwold r97
KromosomPhiladelphia 142
Kyle dan Greipp (kriteria diagnosis mieloma multipel) 226
L
Lesi
osteolitik
224
Leucoerythroblaxic
picture
111
Leukemia 127
klasifikasi l2l
epidemiologi I22
Leukemia
akut
123
diagnosis I29
gejala
klinik
126
kelainanlabbratorium
klasifikasi
klasifikasi
FAB
\fHO
127
123
125
patofisiologi 724
prognosis 136, 137
terapi
131
Leukemia limfositik
kronik
144
Binet staging 147
Rai staging 146
Leukemia
mieloid
kronik 137
prolimfositik
sel berambut
144
744
Limfomanon-Hodgkin
diagnosis 213
epidemiologi 212
gejala
klinik
202
klasifikasi 202
2Oz
Indeks 289
prognosis 217
terapi 214
Lingkungan mikro sumsum
tulang
5
Lou molecular weight heparin 266
Lymphocyte depleted (Hod.ghin
diseas) 194
diseas)
Lymphocyte predominance (Hodgkin
194
M
Makroglobulinemia Waldenstrom 229
MDS hipoplastik
MGUS
237
Mieloma
multipel
177
220
diagnosis 224
epidemiologi 221
gejala
klinik
222
patofisiologi 221
pemeriksaan laboratorium 222
prognosis 227
terapi
228
Mielofibrosis l48
MOPP
199
Myelodysplastic syndrome (lihat sindrom mielodisplastik) 155
Myeloproltferatiue disorders (lihat penyakit mieloproliferatif) 147
Mixed cellularity (Hodgkin disease) I94
N
Nodular
sclerosis (Hodghin
disease) I95
o
Osteolytic lesion (lihar Lesi
osteolitik)
224
P
Pansitopenia 97
Paroxysmal cold hernoglobinuria 76
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria 79
Penyakit
95
HbH
290
Hematologi Klinik Ringkas
Penyakit
Hodgkin
792
diagnosis 197
epidemiologi 192
gejala klinik 196
klasifikasi histopatologik 194
parologi
193
patogenesis 193
penenruan derajat
penyakit
197
prognosis 201
terapi
199
Penyakit mieloproliferatif 147
Penyakit von 'W'illebrand 245
Plasma segar beku 272
Polycythemia
uera 150
cell) 271
PRC (pached red
leuhemia 144
Prothrombin G20210A mutation 260
Pure red cell aplasia (lihat Aplasia sel darah merah
Purpura thrombositopenik idiopatik 241
Profumphocytic
murni)
108
R
RML classification 195, 209
Reaksi transfusi 276
Refactory anemia (RA) 160
Refractory anemia with excess blast (RAEB) 160
Refactory anemia utith excess blast in transformatioz (RAEB-I) 160
Refactory anemia u.,ith ring sidzroblast (RARS) 160
Ringed sideroblast 160
Rituximab 216
S
Sferositosisherediter 83
Sichle cell anemia (lihat Anemia sel sabit) 87
Sideroblast
cincin
160
Sindrom antifosfolipid 261
Sindrommielodisplastik 155
Indeks 291
Aspek
biologi
163
diagnosis 174
diagnosis diferensial 175
epidemiologi 156
international progno*ic scoring
kelainanlaboratorium
s1stem
169
klasifikasi menurut FAB I59
klasifikasi menurut\7HO 161
manifestasi
klinik
168
patogenesis 167
perubahandisplastik 170
prognosis 179
sitogenetik
164
terapi 183
besi 29
Siklus
Sindrom'
5q-
r77
Patterson
Kelly
Plummer
Vinson
32
32
Smoldering myeloma 226
Stem
cell
3
Streptokinase 269
Struktur eritrosit 10
Sulfas ferosus 36
T
Therapy-related
Thalassemia
MDS
178
alfa 95
beta 90
intermedia
major
trait
93
91
90
90
minor
Thrombositemiaesensial 152
Thrombophiliadidapat 261
183
292
Hematologi Klinik Ringkas
Thrombophilia herediter 259
Thrombosis vena dalam 262
Tes penyaring anemia 19
tansfusi darah
271
Tlansformasi akut
(CML) I42
U
Urokinase 269
V
VAD
228
Virchotu's triad 256
Von W.iJlebrand disease (lihat penyakit von
's7illebrand)
\(/
Valdenstrom's macroglobulinemia 229
'Warfarin
lYashed red
cell
271
\Tintrcbe (kriteria diagnosis mieloma multipel) 224
I{/orhing formulation for clinical usage (LNH) 206
24lj
Catatan
:
Catatan
:
FORMULIR PESANAN
Yang terhormat
Bagian Pemasaran
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Jl. Agung Timur 4 Blok Ol No. 39
Sunter Agung Podomoro, Jakarta 14350
Telepon (021) 6530 6283,6530
67rZ .
Fax. (021) 651 8178
20.........
Mohon dikirimkan:
Untuk
buku:
baru
D Kedokteran Umum
tr Kedokteran Gigi
0 Kebidanan
O KePerawatan.
E
Informasi buku
E
Daftar harga./katalog
E
Kesehatan Masyarakat
Farmasi
Kesehatan PoPuler
0
E
(Arcan)
Kami juga pesan buku berikut ini:
l.
2.
3.
4.
5.
Mohon informasi berapa jumlah yang harus saya lunasi.
Alamat, nomor telepon, dan email saya adalah sebagai berikut:
Alamat
:
No. Telp.
Email
ffi
:
Formulf, ini dapat diperbanyak denganfotokopi
INFORMASI
Informasi mengenai buku-buku EGC dapat diperoleh dengan
menghubungi Bagian Pemasaran :
Kantor Pusat:
Jln. Agung Timur IV Blok Ol No. 39, SunterAgung Podomoro,
Jakarta 14350
Telepon (021) 6530 6283, (021) 6530 6712,081399381543
Faks. (021) 6518178
e -m ail : c ontact@e gc- arc an. c om, e gc _ar c an@hotm ai L com,
mktg@egc-arcan.com
Cabang Surabaya:
'Jln. Siwalankerto Permai I/D I 1, Surabay a 60216
Telepon (03 1) 8417 7 62, 08133 1 03847 9
Faks. (031) 8433248
e-mail: kcsby@egc-arcan. com
Cabang Medan:
'
Jln. Brigjen Katamso Dalam No. 118, Medan 20159
Telepon (061) 4535058, 081265111745
Faks. (061) 451 1578
e-mail: kcmdn@egc-arcan.com
Cabang Yogyakarta:
Perum Green Garden C 97 , Jln. Godean KM l, Kasihan Bantul,
Yogyakarta 55182
Telepon (027 4) 5 60 17 5, 082138441126
Faks. (0274) 5s4725
e-mail: kcyog@egc-arcan.com
Dapatkan informasi lengkap dan terbaru di
www.egcmedbooks.com
Download