Uploaded by dpgsmail

Naskah Akademik Kepariwisataan

advertisement
LAPORAN PENELITIAN
NASKAH AKADEMIS RANCANGAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN WAKATOBI
TENTANG
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN
DAERAH TAHUN 2016-2025
OLEH
I KETUT SUDIARTA, SH.MH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
i
KATA PENGANTAR
Setiap
daerah
mempunyai
hak dan kewajiban
mengatur
dan
mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat demikian amant Pasal 18 ayat 6 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan mewajibkan bagi kabupaten atau kota yang menyusun
Rencana
Peraturan
Induk
Pembangunan
daerah,
diperlukan
kepariwisataan
pula
diatur
argumentasi
dalam
tentang
bentuk
(urgensi)
membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi
argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Dalam kerangka inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan
Peraturan
Daerah
Kabupaten
Wakatobi
tentang
Rencana
Induk
Pembangunan Kepariwsataan Daerah Tahun 2016 - 2025.
Peneliti
ii
DAFTAR ISI
Judul Penelitian
Kata Pengantar
Daftar Isi ………………………………………………………………………..
Daftar Tabel……………………………………………………………………..
Daftar Matrik……………………………………………………………………
BAB I
i
ii
iii
iv
v
PENDAHULUAN ...........................................................
1
1.1
1.2
1.3
1.4
Latar Belakang Masalah ...............................................
Identifikasi Masalah .....................................................
Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademis
Metode .......................................................................
1. Pendekatan .........................................................
2. Sumber Bahan Hukum ........................................
3. Pengumpulan Bahan Hukum ................................
4. Analisis ...............................................................
1
2
4
5
5
7
8
9
BAB II
2.1
2.2
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ..............
Kajian Teoritik Tentang Kepariwisataan .......................
Kajian terhadap Asas/Prinsip yang terkait dengan
Penyusunan Norma Hukum Kepariwisataan ................
Kajian terhadap Praktik Penyelenggaran, Kondisi Yang
ada Serta Permasalahan yang dihadapi Masyarakat ....
Kajian terhadap implikasi penerapan Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan yang akan diatur dalam
peraturan daerah terhadap aspek ekonomi, sosialbudaya dan lingkungan.. .............................................
10
10
2.3
2.4
BAB III
3.1
3.2.
EVALUASI
DAN
ANALISIS
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ...........................
Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang
Memuat Kondisi Hukum yang ada ...............................
Kajian Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten
Wakatobi yang memuat kondisi hukum yang ada
terkait dengan Kepariwisataan .....................................
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
4.1 Landasan Filosofis .......................................................
4.2 Landasan Sosiologis ....................................................
4.3 Landasan Yuridis .........................................................
iii
12
15
27
31
31
49
51
51
53
55
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan.....................................
5.2.
56
56
Ruang Lingkup Materi dan Jangkauan Pengaturan
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan. ..........
69
BAB VI PENUTUP .....................................................................
76
6.1 Kesimpulan ..................................................................
6.2 Saran ...........................................................................
76
76
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Konsep Awal Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi
Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten
Wakatobi.
iv
DAFTAR MATRIK
No
Nama Matrik
Hal
1
Peraturan Perundang-Undangan dan Rumusan Norma Yang
Berkaitan
Dengan
Kewenangan
Kabupaten
Bidang
Kepariwisataan......................................................................... 31
2
Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Yang memuat Kondisi
Hukum Yang Ada terkait dengan Kepariwisataan ...................
50
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Secara filosofis Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Wakatobi
dilandasi oleh pemikiran bahwa pembangunan
nasional adalah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana
dimuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada hakekatnya adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat
Indonesia
yang
menekankan
pada
keseimbangan
pembangunan, kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu
masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan
Pancasila.
Secara filosofis, pembangunan kepariwisataan Kabupaten Wakatobi
dirumuskan dalam visi “Wakatobi sebagai destinasi ekowisata bahari
berkelas
dunia
dan
berbasis
masyarakat”
untuk
mengimplementasikannya
memerlukan
perencanaan
induk,
yang
mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menjamin keberlanjutan
penyelenggaraan kepariwisataan. Untuk itu maka penyelenggaraan
kepariwisataan perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan
peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk
mewujudkan pengelolaan kepariwisataan yang serasi, selaras dan
seimbang. Melalui penetapan rencana induk pembangunan kepariwisataan
(RIPPARDA) diharapkan dapat menopang dan menunjang tujuan
pembangunan di Kabupaten Wakatobi.
Dari aspek sosiologis, paradigma pembangunan kepariwisataan yang
bertumpu semata mata pada aspek ekonomis sudah saatnya ditinggalkan
dan diganti dengan paradigma baru pembangunan kepariswisataan yang
berbasis pada keserasian antara manfaat ekonomi dengan keseimbangan
lingkungan,
sosial
dan
budaya.
Paradigma
baru
memandang
kepariwisataan sebagai salah satu sumber daya yang mempunyai nilai
ekonomi dengan tidak mengorbankan aspek lingkungan yang bersifat
eksploitatif. Pembangunan kepariwisataan dilakukan dengan pendekatan
yang konprehensif dari hulu, sejak sebelum pembangunan tersebut
berpotensi memunculkan dampak negatif, sampai kehilir, yaitu pada fase
kepariwisataan tersebut sudah berkembang dan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat maupun pemerintah. Pembangunan kepariwisataan dengan
paradigma baru tersebut dilakukan melalui kegiatan penyusunan rencana
induk dan penetapan rencana induk tersebut menjadi peraturan daerah.
Penetapan peraturan daerah tentang rencana induk pembangunan
kepariwisataan akan memperkuat paradigma baru pembangunan
kepariwisataan yang sejalan dengan konsep pembangunan berlandaskan
“Wakatobi sebagai destinasi ekowisata bahari berkelas dunia dan berbasis
masyarakat”
1
Dari aspek yuridis Pemerintah Kabupaten Wakatobi sampai akhir
tahun 2014 memiliki beberapa ketentuan regulasi terkait dengan
keperiwisataan, namun belum memiliki peraturan daerah tentang Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan yang diwajibkan oleh Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Dengan latar belakang pemikiran secara filosofis, sosiologis, dan
yuridis tersebut di atas, maka penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan dipandang perlu guna mendapatkan kajian
yang mendalam dan konprehensif baik secara teoritik maupun pemikiran
ilmiah dalam merumuskan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Wakatobi tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan.
1.2.Identifikasi Masalah
Kajian hukum perundang-undangan atau kajian terhadap suatu
pengaturan menyangkut dua isu pokok, yakni penormaan materi muatan
dan prosedur pembentukan. Kajian ini focus pada upaya penyusunan
naskah akademik rancangan peraturan daerah, oleh karena itu berada
pada isu penormaan materi muatan atau perumusan materi muatan
sebagai suatu aturan yang mengandung norma hukum.
Isu perumusan aturan melingkupi beberapa sub isu yakni: a)
landasan, b) asas-asas dalam pengaturan, c) batas-batas kewenangan
pengaturan dan d) ruang lingkup materi muatan pengaturan.
Dikaitkan dengan isu pembangunan kepariwisataan di Kabupaten
Wakatobi, maka identifikasi permasalahannya berkaitan dengan persoalanpersoalan dalam bidang:
1. Destinasi diantaranya :
a. Belum tertatanya pengembangan struktur kepariwisataan dan
perwilayahan destinasi pariwisata.
b. Kurangnya penataan dan perintisan daya tarik wisata alam, daya
tarik wisata budaya dan daya tarik wisata buatan yang berdaya
saing.
c. Lemahnya keterpaduan pengembangan daya tarik wisata alam,
budaya dan buatan.
d. Kurangnya
pengembangan
dan
peningkatan
prasarana
transportasi untuk menunjang pergerakan internal dan
konektivitas antar wilayah kabupaten.
e. Kurangnya pengembangan dan peningkatan konektivitas antara
destinasi pariwisata dengan asal wisatawan dan dengan pintu
2
gerbang pariwisata nasional dan/atau regional serta konektivitas
dengan destinasi hinterland khususnya di Provinsi Sultra.
f. Kurangnya pengembangan dan peningkatan kemudahan akses
dan pergerakan wisatawan secara internal dan eksternal serta
kenyamanan dan keamanan pergerakan wisatawan.
g. Kurangnya pengembangan dan peningkatan prasarana umum
yang mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya
saing kepariwisataan kabupaten.
h. Kurangnya pengembangan dan peningkatan fasilitas umum yang
mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing
kepariwisataan kabupaten.
i. Kurangnya pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata untuk
mendukung peningkatan investasi pariwisata.
j. Kurangnya pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung
pemberdayaan masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan
mikro.
k. Kurangnya pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang
berkualitas dan berdaya saing.
l. Kurangnya pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi
masyarakat dalam kepariwisataan termasuk pengembangan usaha
produktif di bidang pariwisata
m. Kurangnya pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai
antar usaha antar usaha pariwisata dan antara usaha pariwisata
dengan usaha sektor terkait.
n. Kurangnya peningkatan akses dan dukungan permodalan serta
perluasan akses pasar terhadap produk industri kecil dan
kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil.
2. Industri Pariwisata, diantaranya :
a. Lemahnya daya saing fasilitas pariwisata yang memenuhi standar
internasional.
b. Lemahnya pengembangan skema kerja sama antara pemerintah,
pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat.
c. Lemahnya bentuk pengembangan manajemen dan pelayanan
usaha pariwisata yang kredibel dan berkualitas serta bertanggung
jawab terhadap lingkungan.
d. Belum berkembang secara mapan kualitas dan keragaman usaha
daya tarik wisata.
3. Pemasaran diantaranya:
a. Lemahnya pemasaran dan promosi untuk mendukung penciptaan
destinasi ekowisata.
b. Lemahnya pemasaran dan promosi untuk meningkatkan
pertumbuhan segmen ceruk pasar.
c. Lemahnya promosi berbasis tema ekowisata.
3
4.
d. Belum optimalnya pemasaran wisata konvensi,insentif dan
pameran yang bertemakan ekowisata.
e. Belum optimalnya
pemosisian citra pariwisata termasuk
pemosisian citra pariwisata di antara para pesaing didasarkan
kekuatan keberadaan TNW sebagai Cagar Biosfer dan ikon utama
kepariwisataan kabupaten yang telah dikenal luas baik secara
nasional maupun di dunia internasional serta kekuatan
keanekaragaman hayati lainnya, budaya dan keramah-tamahan
penduduk.
f. Lemahnya promosi dan diplomasi guna mengkomunikasikan
bahwa Wakatobi sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman,
dan berdaya saing.
g. Belum optimalnya dukungan, koordinasi dan sinkronisasi
terhadap Badan Promosi Pariwisata Daerah dan Forum Tata Kelola
h. Lemahnya fungsi dan peran promosi pariwisata di dalam dan di
luar negeri.
Kelembagaan diantaranya :
a. Lemahnya tata kelola organisasi kepariwisataan dalam struktur
pemerintahan kabupaten.
b. Belum
optimalnya
kemampuan
perencana,pelaksana
dan
pengawasan program pembangunan kepariwisataan.
c. Lemahnya mekanisme sinkronisasi dan harmonisasi program
pembangunan kepariwisataan baik diinternal SKPD yang
membidangi pariwisata maupun lintas SKPD.
d. Belum terbentuknya Badan Promosi Pariwisata Daerah.
e. Lemahnya struktur dan fungsi Forum Tata Kelola.
f. Lemahnya kemampuan dan profesionalitas pegawai bidang
kepariwisataan.
g. Lemahnya kualitas sumber daya manusia pengelola pendidikan
dan latihan bidang kepariwisataan
h. Lemahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang
memiliki sertifikasi kompetensi
i. Lemahnya kemampuan kewirausahaan dibidang kepariwisataan.
j. Rendahnya penelitian dalam rangka memperkuat pengembangan
desinasi berbasis ekowisata, pemberdayaan masyarakat dan
pengembangan investasi melalui kerjasama dengan perguruan
tinggi, LSM, lembaga riset, TNW dan lembaga-lembaga
internasional.
1.3. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang diungkapkan
diatas, tujuan dan kegunaan penyusunan naskah akademik dirumuskan
sebagai berikut:
1. Tujuan penyusunan naskah akademik ini yakni :
4
a. Untuk merumuskan landasan ilmiah penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Wakatobi tentang
pembangunan kepariwisataan.
b. Untuk merumuskan arah dan cakupan ruang lingkup materi bagi
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten
Wakatobi tentang pembangunan kepariwisataan.
2. Kegunaan penyusuanan naskah akademik ini, yakni :
1. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna sebagai masukan bagi
pembuat Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi
tentang pembangunan kepariwisataan.
2. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pembuatan Peraturan Daerah Pemerintah
Kabupaten Wakatobi tentang pembangunan kepariwisataan.
1.4. Metode
Penyusunan naskah akademik pada dasarnya merupakan suatu
kegiatan penelitian, sehingga metode yang digunakan dalam penyusunan
naskah akademik yakni penelitian hukum yang berbasiskan metode
penelitian hukum. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode
yuridis normatif dan metode yuridis empiris.
Dalam penyusunan akademik ini dilakukan penelitian hukum dengan
metode yuridis normatif dengan melakukan studi pustaka yang menelaah
(terutama bahan hukum primer yang berupa Peraturan Perundangundangan dan dokumen hukum lainnya). Dalam penelitian ini juga
dilakukan wawancara, untuk verifikasi bahan hukum primer dan diskusi
(focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Berdasarkan metode
penelitian hukum di atas, langkah-langkah yang dilakukan dalam
penelitian ini antara lain:
a. Pendekatan
Penelitian hukum mengenal beberapa metode pendekatan, yaitu
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conseptual approach),
pendekatan
analitis (analytical approach),
pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach) dan
pendekatan kasus (case approach)1
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik
ranperda ini adalah pendekatan perundang-undangan ( statute approach),
pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analitis (analytical
approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach).
5
Pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan
dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pembangunan kepariwisatan antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5587), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5657).
b. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
c. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 84 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4739).
d. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966).
e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059).
f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).
g. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional.(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4833).
h. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4562).
6
i. Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 12 Tahun 2012
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wakatobi 20122032 (Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Tahun 2012 Nomor
12 Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 1).
Pendekatan konsep hukum (conceptual approach) dilakukan dengan
menelaah konsep-konsep para ahli mengenai kepariwisataan, pengelolaan
pariwisata dan konsep-konsep lain yang terkait. Pendekatan analitis
(analytical approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan
menguraikan aturan hukum yang terkait dengan pembangunan
kepariwsataan sehingga mendapatkan komponen-komponen pengelolaan
pariwisata atau unsur-unsurnya untuk dapat ditetapkan dalam suatu
persoalan tertentu. Pendekatan filsafat (philosophical approach) adalah
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah asas-asas yang terkandung
dan/atau melandasi kaidah hukum kepariwisataan.
b. Sumber Bahan Hukum.
Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer
dan hukum bahan hukum sekunder2. Bahan hukum primer adalah segala
dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini, bahan
hukum primer yang dipergunakan dalam penyusunan naskah akademik ini
terdiri atas:
a. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
b. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 84 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4739).
c. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966).
d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059).
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5587), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
7
f.
g.
h.
i.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5657).
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4833).
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4562).
Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 12 Tahun 2012
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wakatobi 20122032 (Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Tahun 2012 Nomor
12 Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 1).
Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperi hasil
penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan
penelitian ini.
Bahan hukum informatif berupa informasi dari lembaga atau pejabat,
baik dari lingkungan Pemerintah Kabupaten Wakatobi maupun para pihak
yang membidangi tentang kepariwisataan. Bahan ini digunakan sebagai
penunjang dan untuk mengkonfirmasi bahan hukum primer dan sekunder.
c. Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara:
a) Studi dokumenter dan kepustakaan untuk bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.
b) Untuk bahan informatif dilakukan dengan studi lapangan yaitu
wawancara dan FGD (focus group discussion).
8
d. Analisis
Terhadap bahan-bahan hukum yang terkumpul dilakukan
interpretasi secara hermeneutikal yaitu: (a) berdasarkan pemahaman tata
bahasa (gramatikal) yakni berdasarkan makna kata dalam konteks
kalimatnya, (b) aturan hukum dipahami dalam konteks latar belakang
sejarah pembentukannya (historikal) (c) dalam kaitannya dengan tujuan
yang ingin diwujudkannya (teleologikal) yang menentukan isi hukum positif
itu (untuk menemukan ratio legis-nya) dan (d) dalam konteks hubungannya
dengan aturan hukum positif yang lainnya (sistimatikal) dan secara
kontekstual merujuk pada faktor-faktor kenyataan kemasyarakatan dan
kenyataan ekonomi (sosiologikal) dengan mengacu pandangan hidup serta
nilai-nilai cultural dan kemanusiaan fundamental (philosophical) dalam
proyeksi ke masa depan (future logikal)3 .
9
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
2.1.Kajian Teoritik Tentang Kepariwisataan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Bab I
Pasal 1 dinyatakan bahwa Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan
yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin
yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta
interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan,
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
Pembangunan adalah suatu proses perubahan kearah yang lebih baik
yang di dalamnya meliputi upaya-upaya perencanaan, implementasi dan
pengendalian,dalam rangka penciptaan nilai tambah sesuai yang
dikehendaki.
Pembangunan
kepariwisataan
diwujudkan
melalui
pelaksanaan
rencana
pembangunan
kepariwisataan
dengan
memperhatikan keaneka ragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan
alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Pembangunan
kepariwisataan nasional meliputi:
a. Destinasi Pariwisata;
b. Pemasaran Pariwisata;
c. Industri Pariwisata; dan
d. Kelembagaan Kepariwisataan.
Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu
atau lebih wilayah administrative yang di dalamnya terdapat Daya Tarik
Wisata, Fasilitas Umum, Fasilitas Pariwisata, aksesibilitas,serta masyarakat
yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya Kepariwisataan. Daya Tarik
Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai
yang berupa keaneka ragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan
manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Aksesibilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana dan prasarana
transportasi yang mendukung pergerakan wisatawan dari wilayah asal
wisatawan ke Destinasi Pariwisata maupun pergerakan di dalam wilayah
Destinasi Pariwisata dalam kaitan dengan motivasi kunjungan wisata.
Prasarana Umum adalah kelengkapan dasar fisik suatu lingkungan yang
pengadaannya memungkinkan suatu lingkungan dapat beroperasi dan
berfungsi sebagaimana semestinya. Fasilitas Umum adalah sarana
pelayanan dasar fisik suatu lingkungan yang diperuntukkan bagi
masyarakat umum dalam melakukan aktifitas kehidupan keseharian.
Fasilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana yang secara khusus
10
ditujukan untuk mendukung penciptaan kemudahan, kenyamanan,
keselamatan wisatawan dalam melakukan kunjungan ke Destinasi
Pariwisata.
Pemasaran Pariwisata adalah serangkaian proses untuk menciptakan,
mengkomunikasikan,menyampaikan produk wisata dan mengelola relasi
dengan wisatawan untuk mengembangkan Kepariwisataan dan seluruh
pemangku kepentingannya. Industri Pariwisata adalah kumpulan Usaha
Pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau
jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan
pariwisata.Kelembagaan Kepariwisataan adalah kesatuan unsur beserta
jaringannya yang dikembangkan secara terorganisasi, meliputi Pemerintah,
Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat, sumber daya manusia,
regulasi dan mekanisme operasional, yang secara berkesinambungan guna
menghasilkan perubahan ke arah pencapaian tujuan di bidang
Kepariwisataan.
Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan Pasal 8 menentukan bahwa Pembangunan kepariwisataan
dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang
terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana
induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan rencana induk
pembangunan
kepariwisataan
kabupaten/kota.
Rencana
induk
pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan
Daerah kabupaten/kota. Penyusunan rencana induk pembangunan
kepariwisataan dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan.
Rencana induk pembangunan kepariwisataan kepariwisataan berdasarkan
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 meliputi perencanaan
pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan
kelembagaan kepariwisataan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011
Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun
2010-2025 menyebutkan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional yang selanjutnya disebut dengan RIPPARNAS adalah dokumen
perencanaan pembangunan kepariwisataan nasional untuk periode 15 (lima
belas) tahun terhitung sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2025.
RIPPARNAS menjadi pedoman penyusunan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Provinsi. RIPPARNAS dan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Provinsi menjadi pedoman penyusunan Rencana Induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Kabupaten/Kota.
Rencana
Induk
Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kabupaten yang selanjutnya disebut
dengan RIPPARDA Kabupaten adalah dokumen perencanaan pembangunan
kepariwisataan daerah untuk periode 15 (lima belas) tahun.
11
2.2. Kajian terhadap Asas/Prinsip yang terkait dengan Penyusunan
Norma Hukum Kepariwisataan.
Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang
secara teoritik meliputi Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik yang bersifat formal dan Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil. Asas pembentukan
perundang-undangan yang baik dan bersifat formal dituangkan dalam
Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 (khususnya dalam pembentukan
Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur pula dalam pasal 137 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (selanjutnya
disebut UU Pemda), “Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan
peraturan perundang-undangan” yang meliputi :
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Sedangkan asas-asas materiil pembentukan peraturan perundangundangan yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU No 12
Tahun 2011 (khususnya berkenaan dengan peraturan daerah diatur dalam
Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda), yakni materi muatan Peraturan
Perundang-undangan mengandung asas:
a. Pengayoman;
b. Kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
d. Kekeluargaan;
e. Kenusantaraan;
f. Bhineka tunggal ika;
g. Keadilan;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat
berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai
dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011, yang
dimaksud dengan asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara
lain:
12
1. Dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah.
2. Dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian antara lain
asas kesepakatan, asas kebebasan berkontrak, dan asas itikad baik.
Relevansi asas-asas formal pembentukan perundang-undangan yang
baik dengan pengaturan penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di
Kabupaten Wakatobi dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama,Asas
kejelasan
tujuan.
Pengaturan
Pembanguanan
Kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Wakatobi bertujuan:
1. meningkatkan kualitas dan kuantitas Destinasi Pariwisata;
2. mengkomunikasikan
Destinasi
Pariwisata
Indonesia
dengan
menggunakan media pemasaran secara efektif, efisien dan bertanggung
jawab.
3. mewujudkan Industri Pariwisata yang mampu menggerakkan
perekonomian
nasional;
dan
mengembangkan
Kelembagaaan
Kepariwisataan dan tata kelola pariwisata yang mampu:
a. mensinergikan Pembangunan Destinasi Pariwisata, Pemasaran
Pariwisata, dan Industri Pariwisata secara profesional, efektif dan
efisien.
b. Ketegasan mengenai larangan dalam pembangunan kepariwisataan.
c. Ketertiban dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan.
d. Kejelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab instansi terkait di
Pemerintah
Daerah Kabupaten Wakatobi dalam pembangunan
kepariwisataan.
Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:
Pengaturan Pembangunan Kepariwisataan dengan Peraturan Daerah
dilakukan Bupati Wakatobi dengan persetujuan bersama DPRD Kabupaten
Wakatobi. Rancangan dapat berasal dari Bupati atau dari DPRD Kabupaten
Wakatobi, dalam konteks ini Rancangan Perda tentang Pembangunan
Kepariwisataan Daerah ini merupakan inisiatif eksekutif.
Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan.Pengaturan
pembanguanan kepariwisataan diatur dalam Peraturan Daerah. Adapun
materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembangunan
kepariwisataan, seperti kajian dalam bab-bab berikutnya dalam kajian
naskah akademis ini.
Keempat, Asas dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan
dengan
dibentuknya
peraturan
daerah
tentang
pembangunan
kepariwisataan daerah, harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofi,
yakni ada jaminan keadilan dalam penyelenggaraan pembangunan
kepariwisataan di Kabupaten Wakatobi; (2) yuridis, ada jaminan kepastian
13
hukum dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di
Pemerintah Kabupaten Wakatobi, termasuk substansinya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan
(3) sosiologis, penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah
Kabupaten Wakatobi memang dapat memberikan manfaat, baik bagi
pemerintah daerah maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak
bertentangan dengan kepentingan umum.
Kelima,kedayagunaan dan kehasilgunaan.Asas ini dapat diwujudkan
sepanjang penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Kabupaten
Wakatobi memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Keenam, kejelasan rumusan.Asas ini dapat terwujud dengan
pembentukan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pembangunan
kepariwisataan di Kabupaten Wakatobi, sesuai persyaratan teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti,
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam Peraturan
daerah tentang pembangunan kepariwisataan menjamin kepastian.
Ketujuh, keterbukaan.Proses pembentukan Peraturan Daerah ini
harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin
haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta
kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah
dipertimbangkan relevansinya.
Untuk terselenggaranya partisipasi
masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Daerah memberikan
informasi tentang proses pembentukan Peraturan daerah tentang
pembangunan kepariwisataan ini.
Relevansi asas-asas materiil pembentukan peraturan perundangundangan yang baik dengan pengaturan pembangunan kepariwisataan
dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama,keadilan.Peraturan
Daerah
tentang
pembangunan
kepariwisataan harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi
setiap warga masyarakat tanpa kecuali.Tuntutan keadilan mempunyai dua
arti, dalam arti formal keadilan menuntut bahwa hukum berlaku
umum.Dalam arti materiil dituntut agar hukum sesuai dengan cita-cita
keadilan dalam masyarakat. Demikian pula dalam penyusunan norma
hukum pembangunan kepariwisataan dimaksudkan untuk berlaku umum.
Agar mendapatkan rumusan norma hukum tentang pembangunan
kepariwisataan sesuai dengan aspirasi keadilan yang berkembang dalam
masyarakat, maka harus diadakan konsultasi publik.
Kedua, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Berdasarkan asas ini materi muatan peraturan daerah tentang
14
pembangunan kepariwisataan tidak berisi ketentuan-ketentuan yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku,
ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah
keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan
kewajibannya.
Ketiga,ketertiban dan kepastian hukum.Agar peraturan daerah
tentang pembangunan kepariwisataan dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Jaminan
kepastian hukum mempunyai dua arti.Pertama, kepastian hukum dalam
arti kepastian pelaksanaannya, yakni bahwa hukum yang diundangkan
dilaksanakan dengan pasti oleh negara.Kedua, kepastian hukum dalam arti
kepastian orientasi, yakni hukum harus sedemikian jelas sehingga
masyarakat
dan
pemerintah
serta
hakim
dapat
berpedoman
padanya.Masing-masing pihak dapat mengetahui tentang hak dan
kewajibannya.Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kepastian hukum
adalah kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi. Ini berarti norma
hukum pembangunan kepariwisataan harus sedemikian jelas sehingga
masyarakat dan pemerintah daerah serta hakim dapat berpedoman
padanya, terutama masyarakat dapat dengan jelas mengetahui hak dan
kewajiban dalam kaitannya dengan pembangunan kepariwisataan,
termasuk norma hukum tentang sanksi atas pelanggarannya tidak boleh
berlaku surut.
Keempat, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dalam
konteks penyusunan norma hukum pembangunan kepariwisataan harus
ada keseimbangan beban dan manfaat, atau kewajiban dengan hak yang
didapatkannya. Juga harus ada keseimbangan antara sanksi antara
aparatur dan masyarakat ketika melakukan kelalaian atau pelanggaran.
2.3. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang ada Serta
Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat.
Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan kepariwisataan
di Kabupaten Wakatobi diantaranya meliputi:
1) Permasalahan yang dihadapi dalam Pembangunan Destinasi
Pariwisata.
Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan destinasi
pariwisata, diantaranya berkaitan dengan:
15
a. Status Kawasan/Wilayah.
1. Tumpang tindih (overlapping) kawasan. Pemekaran Wakatobi menjadi
kabupaten telah berimplikasi serius terhadap sistem manajemen Taman
Nasional Wakatobi (TNW). Secara yuridis, keberadaan TNW yang
kongruen dengan wilayah Kabupaten Waktobi merupakan satu fenomena
unik dan menarik, sekaligus menjadi salah satu permasalahan dalam
sistem manajemen TNW dan manajemen pemerintahan Kabupaten
Wakatobi. Terbentuknya Kabupaten Wakatobi berimplikasi pada
pengembangan wilayah dan sosial ekonomi. Sementara wilayah
pengembangan sosial dan ekonomi tersebut yang menjadi tumpuan
masyarakat merupakan ruang-ruang ekologi yang mempunyai fungsi
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan. Tekanantekanan terhadap integritas kawasan konservasi dan konflik kepentingan
tidak
terhindarkan
antara
fungsi
konservasi
dengan
tujuan
pengembangan wilayah.
2. Kegiatan wisata belum harmonis dan sinkron dengan sistem zonasi
Taman Nasional. Sebagai kawasan pelestarian alam, pengelolaan Taman
Nasional didasarkan atas rencana zonasi yang telah ditetapka. Namun
demikian, kegiatan wisata sebagai upaya pemanfaatan potensi kawasan
belum berjalan harmonis dan sinkron dengan rencana zonasi karena
belum optimalkan mengintegrasikan pengembangan wilayah dengan
pengelolaan kawasan konservasi.
3. Konflik pemanfaatan ruang laut. Rejim ruang laut sebagai sumberdaya
milik bersama (common property resources) memunculkan tumpang
tindih pemanfaatan dimana beberapa jenis pemanfaatan tersebut tidak
bersinergi dan bahkan berkonflik satu sama lainnya. Konflik yang terjadi
dapat disebabkan oleh belum optimalnya pemahaman dan penaatan
terhadap peruntukan ruang serta masih lemahnya pengendalian
pemanfaatan.
4. Masih tingginya tekanan dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam
yang mengarah pada kerusakan ekosistem dan kemerosotan
keanekaragaman hayati. Berbagai tekanan terhadap kelestarian
ekosistem beserta keanekaragaman hayatinya merupakan perpaduan
dari masih tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya
alam tanpa didukung oleh kearifan dalam pemanfaatannya, pemanfaatan
yang
berlebihan,rendahnya
kesadaran
masyarakat
dan
masih
terbatasnya kapasitas pengendalian.
5. Kerusakan lingkungan oleh faktor antropogenik.
Seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan maka
kebutuhan terhadap ruang dan sumberdaya alam semakin meningkat.
16
Dalam pemanfaatan tersebut masih terdapat praktek-praktek yang
menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan, seperti eksploitasi pasir,
karang dan material laut lainnya, sertaperluasan lahan penimbunan
pantai dan laut yang tidak terencana dan terkontrol.
b. Orientasi, Posisi dan Aksesibilitas pariwisata, diantaranya:
1. Pintu gerbang dan pusat pelayanan utama pariwisata belum tertata dan
terkesan kumuh. Wajah depan Kota Wangi-Wangi yang bercorak kota
maritim dengan beberapa pelabuhan laut dan penyeberangan yang
merupakan pintu gerbang utama Kabupaten Wakatobi dan menjadi pusat
pelayanan pariwisata kondisinya belum tertata dan menampakkan
kondisi yang kumuh. Sebagai pintu gerbang utama melalui laut, kondisi
ini kurang mendukung penguatan first impression bagi wisatawan yang
berkunjung ke Wakatobi. Kota Wangi-Wangi dan kota-kota kecamatan
yang semuanya merupakan kota pelabuhan juga belum memiliki
“karakter” khusus yang menjadi pusat dan penanda orientasi yang dapat
membentuk dan menguatkan citra pariwisata.
2. Wakatobi secara geografis berada pada posisi yang relatif jauh dari pasar
nusantara dan pintu gerbang utama kedatangan wisatawan mancanegara
ke Indonesia. Wakatobi berlokasi relatif jauh dari Bali, Jakarta dan
Batam yang merupakan pintu gerbang utama wisatawan mancanegara
dan pasar nusantara. Jarak yang relatif jauh dengan lama penerbangan
lebih dari 1,5 jam dan lama pelayaran lebih dari 10 jam dari Kota Kendari
menjadikan Wakatobi relatif sulit dicapai dan harga transportasi yang
relatif mahal. Jarak yang relatif jauh juga berpengaruh terhadap minat
kunjungan wisatawan karena adanya efek peluruhan minat oleh faktor
jarak destinasi.
3. Kondisi landasan pacu Bandara Matahora yang relatif pendek dan
frekuensi penerbangan (flight) masih rendah. Bandara Matahora sebagai
pintu gerbang Wakatobi dari jalur udara memiliki landasan sepanjang
2500 meterdengan Runway 2000 meter dan Uprond 103 x 73 meter
dimana dapat didarati oleh pesawat berbadan kecil dan sedang.
Frekuensi penerbangan pun masih sedikit dengan rute terbatas MakassarKendari-Wakatobi dan sebaliknya yang dilayani oleh pesawat jenis
ATR72-500 dengan kapasitas 72 penumpang dan Kendari-BaubauWakatobi dengan pesawat Cesna dengan kapasitas 17 orang dengan
frekeuensi sekali dalam seminggu. Keterbatasan rute dan kapasitas
penerbangan menyebabkan kurang kuatnya konektivitas antara Wakatobi
dengan asal wisatawan nusantara, dengan pintu gerbang wisata regional
dan/atau nasional dan dengan pasar pariwisata internasional.
17
4. Aksesibilitas eksternal dan internal antar pulau-pulau utama melalui
jalur laut terkendala kelancarannya oleh cuaca ekstrim. Perairan laut
Wakatobi merupakan perairan yang sangat terbuka terutama di bagian
timur yang merupakan Laut Banda.
Kondisi ini menyebabkan
pembangkitan gelombang terjadi pada jarak yang jauh dimana pada saat
puncak musim timur terjadi kondisi gelombang ekstrim yang
membahayakan pelayaran.
5. Frekuensi pelayaran reguler antar pulau masih rendah.
Frekuensi
pelayaran antar pulau-pulau hanya sekali dalam sehari. Sementara
transportasi menggunakan speed boat carter relatif mahal harganya.
Kondisi ini menyebabkan pergerakan internal kurang optimal.
6. Jaringan jalan belum mendukung konektivitas pusat-pusat kota dengan
daya tarik wisata dan antar daya tarik wisata. Jaringan jalan yang
menghubungkan antar kota-kota kecamatan relatif baik akan tetapi
banyak daya tarik wisata potensial belum terbangun jaringan jalannya.
Jaringan jalan yang ada sebagian besar dalam kondisinya buruk.
7. Terbatasnya ketersediaan moda transportasi darat sebagai sarana
pergerakan internal destinasi. Kabupaten Wakatobi belum memiliki
sistem tranportasi publik yang mendukung kemudahan pergerakan
wisatawan di internal pulau-pulau utama. Moda transportasi masih
terbatas baik jumlah, keragaman jenis maupun trayeknya. Sarana
angkutan umum hanya tersedia secara terbatas di Kota Wangi-Wangi
dengan jaringan dalam kota. Sarana transportasi yang dapat diakses
oleh wisatawan untuk sarana pergerakan adalah mobil carter. Kondisi ini
menyebabkan terbatasnya pilihan moda transportasi yang mudah dan
murah yang dapat dimanfaatkan wisatawan untuk mendukung
pergerakan.
8. Sistem informasi transportasi yang mudah diakses wisatawan belum
tersedia.
Untuk mendukung kemudahan wisatawan memperoleh
informasi mengenai moda transportasi, rute dan jadwal keberangkatan
dibutuhkan pelayanan informasi yang mudah diakses wisatawan. Di
pusat-pusat kegiatan pariwisata dan pelabuhan-pelabuhan yang
melayani transportasi antar pulau baik internal maupun eksternal belum
dilengkapi dengan informasi yang dapat memberikan kemudahan
wisatawan menjadwalkan perjalanan dan menentukan pilihan modanya.
9. Secara keseluruhan tingkat kepuasan wisatawan terhadap aksesibilitas
dan transportasi masih rendah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
rendahnya tingkat kepuasan wisatawan terhadap aksesibilitas yaitu
kemudahan pencapaian, terbatasnya pilihan moda transportasi yang
18
terjangkau harganya, jaringan, skedul, kenyamanan dan pelayanan
transportasi.
c. Daya Tarik Wisata/Atraksi Wisata.
1. Pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata masih fokus pada daya
tarik wisata bahari (diving). Wakatobi sangat kaya akan potensi daya
tarik wisata selain daya tarik wisata alam bahari yang telah menjadi
keunggulannya. Beragam daya tarik wisata alam di daratan dan daya
tarik wisata budaya masih relatif sedikit memperoleh sentuhan perintisan
dan pengembangannya. Daya tarik wisata alam di daratan seperti
panorama puncak dan gua-gua alam serta beragam daya tarik wisata
budaya berupa situs, cagar budaya dan peninggalan sejarah, kampung
adat, dan kesenian daerah belum dikelola sebagai upaya terpadu dalam
peningkatan daya saing destinasi.
3. Aset peninggalan budaya belum terkelola secara memadai. Beberapa
peninggalan budaya dalam bentuk situs dan bentengyang sekaligus
sebagai aset pariwisata belum dikelola secara baik dalam rangka
pelestarian dan pengembangannya sebagai daya tarik wisata. Pengelolaan
dimaksud meliputi pengembangan sistem informasi, dokumentasi,
manajemen pengunjung dan penyiapan petugasnya.
4. Belum terintegrasinya pembinaan dan pelestarian kesenian tradisional
dengan pariwisata. Pelestarian kesenian tradisional saat ini bertumpu
pada pembinaan sanggar-sanggar seni yang semakin berkembang
jumlahnya baik di sekolah-sekolah maupun masyarakat. Berbagai
kesenian tradsional dan tradisi lisan sebagai identitas masyarakat
Waktobi belum diarahkan secara optimal upaya pelestariannya secara
terintegrasi dengan pambangunan pariwisata Wakatobi. Kesenian
tradisional dan tradisi lisan tersebut menyimpan berbagai ingatan
kolektif masyarakat, merefleksi kehidupan masa lalu dan memproyeksi
masa depan mereka serta mengandung berbagai nilai-nilai moral dan
tata nilai dalam kehidupan. Sehingga jika kesenian tradsional dan tradisi
lisan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dapat didorong
sebagai salah satu kekuatan pariwisata budaya berbasis seni tradisi
maka akan dapat mendorong percepatan partisipasi masyarakat dalam
industri pariwisata.
5. Fasilitas daya tarik wisata masih terbatas. Secara keseluruhan, daya
tarik wisata baik daya wisata alam maupun daya tarik wisata budaya
belum memiliki fasilitas yang memadai untuk menunjang kebutuhan
wisatawan dan meningkatkan kualitas pengalamannya. Di laut, hanya
sebagian kecil dive site dilengkapi dengan mooring buoys. Daya tarik
wisata pantai dan daya tarik wisata alam di daratan lainnya masih
19
terbatas ruang tempat parkir, plaza (meeting point) dan toilet. Daya tarik
wisata budaya terutama situs dan cagar budaya serta kampung adat
belum dilengkapi dengan fasilitas interpretasi yang memudahkan
wisatawan memperoleh informasi dan pemahaman mengenai daya tarik
wisata tersebut.
d. Prasarana Umum dan Fasilitas Umum
1. Tingkat pelayanan air bersih yang terbatas.
Kabupaten Wakatobi
memiliki potensi sumberdaya air yang memadai untuk dapat
didayagunakan bagi penyediaan air publik dan industri pariwisata.
Karena keterbatasan pembiayaan, pembangunan sistem jaringan air
bersih perpipaan masih terbatas di perkotaan dan jangkauan
pelayanannya pada masyarakat masih relatif rendah.
2. Tingkat pelayanan energi listrik masih terbatas. Masih banyak DTW
prioritas yang belum terjangkau jaringan dan pelayanan energy listrik
PLN, seperti Kapota dan Hoga. Sementara itu di Pulau Kaledupa, Pulau
Tomia dan Pulau Binongko, pelayanan energi listrik PLN belum penuh 24
jam.
3. Akses telekomunikasi masih terbatas. Perkembangan teknologi
telekomunikasi dengan pesatnya yang memberikan kemudahan bagi
masyarakat untuk memanfaatkan berbagai sarana telekomunikasi
berbasis pada jaringan nir-kabel.
Kebutuhan mendasar terhadap
layanan telekomunikasi bagi wisatawan di destinasi pariwisata disamping
jaringan telepon adalah akses internet. Provider yang melayani akses
internet di Wakatobi masih terbatas sehingga masih banyak daerah blank
spot.
Persepsi wisatawan mengenai kepuasannya terkait layanan
telekomunikasi masih rendah.
4. Fasilitas pelayanan kesehatan pariwisata masih belum memadai.
Kabupaten Wakatobi telah mempunyai fasilitas kesehatan masyarakat
(primer) dan layanan kesehatan rujukan (sekunder) yang memadai.
Namun demikian, untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi
wisatawan serta pelayanan kesehatan dan keselamatan pariwisata,
fasilitas kesehatan yang ada perlu dikembangkan dan dilengkapi.
e. Fasilitas Pariwisata
1. Secara umum fasilitas pariwisata masih terbatas jumlah, keragaman dan
persebarannya. Fasilitas pariwisata yang telah ada umumnya terpusat di
beberapa lokasi dengan jumlah yang sedikit dan pilihan yang terbatas.
Usaha pariwisata hanya tersebar di tiga pulau utama, yaitu WangiWangi, Kaledupa dan Tomia. Beberapa usaha pariwisata yang tersedia
20
seperti akomodasi pariwisata, rumah makan/restoran, transportasi
pariwisata, perjalanan wisata dan pemanduan wisata.
2. Fasilitas akomodasi pariwisata jumlah dan sebarannya terbatas.
Fasilitas akomodasi pariwisata masih terpusat di Wangi-Wangi, sebagian
di Tomia dan sedikit di Kaledupa. Sementara di Binongko belum tersedia
fasilitas akomodasi untuk memenuhi kebutuhan wisatawan menginap.
3. Fasilitas rumah makan/restoran jumlah dan sebarannya terbatas.
Fasilitas rumah makan/restoran belum tersedia di semua pulau-pulau
utama.
Wisatawan yang berkunjung ke Kaledupa dan Binongko
menghadapi kesulitan memperoleh layanan fasilitas rumah makan.
Sementara itu, rumah makan di Wangi-Wangi dan Tomia jumlahnya
masih kurang memadai serta menu yang disediakan kurang beragam.
Kualitas pelayanan pun belum memenuhi standar pariwisata.
4. Fasilitas pengusahaan daya tarik wisata masih terbatas. Sebagian besar
daya tarik wisata belum dikelola oleh suatu organisasi atau lembaga
pengelola. Dengan demikian, sebagian besar daya tarik wisata belum
dilengkapi dengan fasilitas daya tarik wisata, semisal pos penerimaan
pengunjung, toilet, warung souvenir, furniture (tempat duduk), meeting
point, bangsal pengunjung, fasilitas interpretasi, rambu-rambu, tempat
parkir, tempat sampah, fasilitas keamanan dan keselamatan dan pos
jaga.
5. Fasilitas hiburan masih terbatas jumlah dan sebarannya. Fasilitas
hiburan hanya terdapat di Wangi-wangi dalam bentuk karaoke. Di pulaupulau lainnya belum terdapat fasilitas hiburan yang memberikan pilihan
menikmati hiburan pada malam hari setelah berkunjung atau melakukan
atraksi wisata.
6. Fasilitas keuangan dan penukaran uang masih terbatas jumlah dan
sebarannya.Keberadaan transaksi keuangan baik bank, ATM dan atau
tempat penukaran uang bagi masyarakat dan wisatawan yang datang
berkunjung ke Wakatobi sangat penting, karena dengan adanya fasilitas
transaksi keungan maka wisatawan yang datang berkunjung tidak perlu
membawa uang tunai dalam jumlah besar ketika datang berkunjung.
Disamping itu adanya fasilitas keuangan menjamin wisatawan untuk
bertransaksi saat diperlukan. Fasilitas keuangan dan penukaran uang
hanya terdapat di Wangi-Wangi sementara di tiga pulau utama lainnya
belum tersedia.
7. Fasilitas informasi pariwisata yang mudah diakses belum lengkap.
Fasilitas infromasi pariwisata relatif memadai di Wangi-Wangi.
Sementara di pulau-pulau lainnya wisatawan menghadapi kesulitan
21
mengakses informasi mengenai daya tarik wisata, paket-paket wisata dan
perjalanan pariwisata.
8. Fasilitas keamanan dan keselamatan pariwisata masih terbatas. Tingkat
keamanan dan keselamatan pariwisata merupakan salah satu tolak ukur
penilaian daya saing destinasi pariwisata. Fasilitas keamanan dan
keselamatan pariwisata di Wakatobi didukung oleh fasilitas keamanan
yang dimiliki Kepolisian, SAR, dan TNI. Tingkat pelayanan fasilitas
keamanan tersebut belum menjangkau wilayah geografis yang luas.
Sementara Satuan Polisi Khusus Pariwisata belum tersedia. Untuk
menjamin keselamatan atraksi wisata terutama wisata bahari belum
didukung oleh keberadaan pos-pos penyelamatan (Balawista) yang
memadai.
9. Fasilitas rambu-rambu pariwisata masih terbatas. Fasilitas ramburambu pariwisata seperti peta pariwisata, tanda-tanda petunjuk arah dan
petanda telah tersedia tetapi hanya terbatas pada tempat-tempat
tertentu. Sebagian besar wilayah di seluruh pulau-pulau utama belum
dilengkapi dengan rambu-rambu pariwisata yang dapat memberikan
kemudahan bagi wisatawan mengenali dan mengakses daya tarik wisata
yang ada.
10. Fasilitas toko cinderamata masih terbatas jumlah dan sebarannya.
Masyarakat Wakatobi memiliki beragam kerajinan tradisional yang
bernilai pariwisata yang dapat dipasarkan sebagai produk cinderamata
(souvenir). Pemasaran produk-produk kerajinan tradisional sebagai
produk cinderamata terkendala oleh belum tersedianya toko/warung
cinderamata. Pasar seni pun belum tersedia sebagai jembatan antara
pengerajin dengan konsumen (wisatawan). Pada saat ini toko
cinderamata hanya terdapat di Wangi-Wangi dengan jumlah yang
sedikit.
11. Pembangunan fasilitas pariwisata belum optimal memperhatikan dan
mengarusutamakan nilai-nilai kearifan lokal dalam berbagai hal, seperti
arsitektur tradisional. Pembangunan fasilitas pariwisata diharapkan
dapat dijadikan wahana untuk pelestarian dan memperkaya langgam
arsitektur lokal yang sekaligus memperkuat identitas budaya.
f. Masyarakat pariwisata dan pemberdayaan masyarakat
1. Masalah sosial budaya dalam hubungannya dengan masyarakat adat.
Terdapat masalah pengembangan pariwisata terkait peran adat (sara)
pada wilayah adat. Permasalahan ini muncul sejak ditetapkannya
Wakatobi sebagai TNW dan berlanjut pada pembentukan Kabupaten
Wakatobi. Masyarakat adat Wakatobi yang memiliki hukum adat yang
22
tumbuh dan berkembang di masyarakat memanfaatkan aset-aset sara
berupa tanah, hutan dan laut untuk kepentingan masyarakat.
Sementara regulasi yang ada berkaitan dengan penetapan status
kawasan dan undang-undang pembentukan Kabupaten Wakatobi
implementasinya berbeda dengan prinsip-prinsip yang diyakini
masyarakat adat.
Persoalan perbedaan persepsi yang dipicu oleh
ruang/tanah dan nilai-nilai budaya ini merupakan potensi konflik di
masa depan mengingat adanya praktek-praktek pemindahan kepemilikan
tanah adat kepada pihak perorangan atau pengusaha pariwisata.
2. Wisata kuliner belum berkembang. Masyarakat Wakatobi mempunyai
beragaman makanan/kuliner tradisional berbahan baku lokal yang
mempunyai cita rasa unik dan khas yang berpotensi sebagai pendukung
wisata kuliner. Namun demikian, kuliner-kuliner tersebut masih sulit
diperoleh karena belum dikemas dan dipasarkan melalui warung-warung
kuliner.
3. Kelompok-kelompok usaha pariwisata berbasis masyarakat belum
berkembang optimal. Beberapa masyarakat di desa-desa wisata telah
membangun inisiatif membentuk kelompok usaha bersama di bidang
pariwisata.
Pemberdayaan masyarakat melalui kepariwisataan ini
merupakan upaya pendayagunaaan potensi sumberdaya lokal belum
dikembangkan secara terpadu dan meluas.
4. Pemberdayaan masyarakat di bidang pariwisata belum terintegrasi dan
berkelanjutan.
Terdapat
banyak
inisiatif
program-program
pemberdayaan masyarakat yang telah diluncurkan oleh berbagai
pemangku kepentingan dan lembaga-lembaga yang menaruh perhatian
terhadap pembangunan kepariwisataan Wakatobi. Sebagai contoh, Balai
Taman Nasional Wakatobi mempunyai program Model Desa Konservasi,
Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui COREMAP II mempunyai
program 40 desa binaan di Wakatobi, Bank Mandiri dan British Council
meluncurkan program Mandiri Bersama Mandiri Pariwisata di lima desa
di Wakatobi yang membantu pemberdayaan masyarakat di bidang
pariwisata. Demikian pula Pemerintah dan Pemerintah Daerah telah
banyak meluncurkan program-program pemberdayaan misalnya melalui
PNPM Mandiri Pariwisata. Swiss Contact mempunyai desa binaan di
Kulati, begitu juga LSM-LSM lainnya telah banyak meluncurkan
program-program pemberdayaan. Keseluruhan program-program yang
diluncurkan tersebut bertujuan meningkatkan keberdayaan masyarakat
di bidang kepariwisataan. Namun demikian, program-program
pemberdayaan tersebut masih bersifat parsial dan belum terintegrasi,
baik integrasi lintas pemangku kepentingan, lintas sektor maupun
23
integrasi dari aspek-aspek kepariwisataan yang
tumbuhnya kemandirian dan keberlanjutannya.
dapat
menjamin
5. Kesadaran masyarakat dalam mejaga kelestarian lingkungan belum
bertumbuh secara optimal.Pemahanan masyarakat tentang arti penting
menjaga kelestarian lingkungan bagi keberlanjutan pembangunan belum
tertanam secara menyeluruh di kalangan masyarakat. Kearifan lokal
sebagai intisari dari nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat belum terimplementasi secara optimal dalam menjaga
kelestarian lingkungan. Kepariwisataan nantinya dapat memberikan
kontribusi dalam membangun kesadaran individu dan kolektif
masyarakat karena faktor kelestarian lingkungan merupakan prasyarat
mutlak bagi keberlanjutan kepariwisataan pada khususnya dan
kehidupan masyarakat pada umumnya.
2). Kelemahan yang Dimiliki dalam Pembangunan Industri Pariwisata,
diantaranya:
a. Daya Saing Industri Pariwisata
1. Secara keseluruhan daya saing industri pariwisata Wakatobi masih
rendah. Faktor-faktor yang melemahkan daya saing industri pariwisata
menurut hasil survei wisatawan yaitu aksesibilitas, ketersediaan moda
transportasi, jumlah, keragaman dan pelayanan akomodasi pariwisata,
jumlah, keragaman dan pelayanan rumah makan/restoran, fasilitas daya
tarik wisata, ketersediaan informasi, interpretasi daya tarik wisata,
kesesuaian harga (value for money) transportasi, layanan transportasi,
keselamatan transportasi, jaringan jalan, fasilitas pejalan kaki,
aksesibilitas penyandang cacat, layanan telekomunikasi, kemampuan
komunikasi masyarakat, fasilitas dan pelayanan kesehatan pariwisata,
tempat belanja dan ragam produk, penukaran uang, peta dan ramburambu pariwisata, dan call center.
2. Kualitas sumberdaya manusia di industri pariwisata masih rendah.
Sebagian besar komponen-komponen pelayanan dimana sebagai ujung
tombaknya adalah sumberdaya manusia, menunjukkan indeks kepuasan
yang rendah dipersepsikan oleh wisatawan, seperti pelayanan akomodasi,
rumah makan, transportasi pariwisata dan pemanduan wisata. Hal ini
menunjukkan bahwa kualitas SDM industri pariwisata masih rendah.
3. Sertifikasi kompetensi SDM pariwisata belum berjalan optimal.
Sertifikasi kompetensi SDM baru menyasar SDM di bidang pemandu
wisata selam dan jumlahnya masih terbatas. Sementara SDM di bidang
usaha lainnya belum memperoleh fasilitasi melalui sertifikasi
24
kompetensi. Pelaksanaan sertifikasi kompetensi belum dipandang
sebagai kebutuhan dalam peningkatan kualitas pelayanan usaha
pariwisata.
b. Pengembangan investasi pariwisata
1. Beragamnya hambatan dan tantangan investasi industri pariwisata.
Aksesibilitas merupakan hambatan utamanya selain ketersediaan
prasarana umum. Di internal kawasan, jaringan jalan masih terbatas
menuju daya tarik wisata dan jaringan yang ada pun kondisinya masih
jauh dari kondisi ideal. Kondisi ini berpengaruh pada dua hal, yaitu
pertama kurang optimalnya pengembangan daya tarik wisata yang ada
dalam rangka diversifikasi dan memperlancar pola serta jaringan
pergerakan antar daya tarik wisata; kedua, investor harus membangun
sendiri aksesibilitas sehingga menghambat pengembangan investasi.
Penghantaran wisatawan ke daerah tujuan wisata wisata antar pulau
dalam rangka peningkatan lama kunjungan wisatawan juga terkendala
dengan terbatasnya aksesibilitas dan konektivitas antar pulau. Kualitas
sumberdaya manusia di dunia usaha pariwisata masih kurang memadai
ditinjau dari aspek wawasan pariwisata, pelayanan dan kemampuan
bahasa asing.
3.Permasalahan yang dihadapi
Pariwisata, diantaranya:
dalam
Pembangunan
Pemasaran
a. Strategi Pemasaran
1. Pemasaran belum dikelola secara terpadu, sinergis dan berkelanjutan.
Selama ini pemasaran pariwisata berpusat secara sektoral di Dinas
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Badan Promosi Pariwisata Daerah belum
berfungsi optimal.
b. Promosi Pariwisata
1. Ketidakseimbangan antara promosi dengan kesiapan destinasi
pariwisata. Gencarnya promosi pariwisata hingga menjadikan Wakatobi
demikian populernya sebagai destinasi pariwisata bahari baik di
kalangan pasar nusantara maupun mancanegara tidak sebanding
dengan realita kesiapan infrastruktur, prasarana umum, fasilitas umum
dan fasilitas pariwisata. Hal ini menjadi tantangan ke depannya dimana
pemasaran dan promosi pariwisata haruslah dilakukan dengan prinsipprinsip pemasaran bertanggung jawab dan membangun keterpaduan
antar sektor dan antar pemangku kepentingan dalam mempercepat
pengembangan destinasi seiring tingginya intensitas pemasaran dan
promosi yang dilakukan.
25
2. Target promosi pariwisata masih bersifat umum, belum secara spesifik
menyasar target pasar yang tepat sesuai dengan keunggulan destinasi.
Wakatobi belum secara tegas dan spesifik menetapkan target pasar
pariwisata baik pasar nusantara maupun mancanegara yang menjadi
prioritas yang disasar dalam promosi pariwisata. Kondisi ini dipandang
kurang efektif dampaknya dari pelaksanaan promosi yang dilakukan.
4.Permasalahan dalam Pembangunan Kelembagaan Kepariwisataan,
diantaranya meliputi:
a. Kebijakan dan Regulasi
1. Keterpaduan antar sektor dalam pembangunan kepariwisataan belum
optimal. Pariwisata telah ditetapkan sebagai sektor unggulan
pembangunan Kabupaten Wakatobi.
Dari aspek kelembagaan
pemerintahan dan ketatakelolaan kepariwisataan, pariwisata sebagai
sektor unggulan yang bersifat multi-sektor belum optimal dipahami oleh
seluruh SKPD terkait. Pembangunan kepariwisataan masih dipandang
tugas dan tanggung jawab Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif semata.
Kondisi ini menyebabkan koordinasi antar SKPD terkait masih lemah.
Pembangunan kepariwisataan yang bersifat multi-sektor membutuhkan
kapasitas kelembagaan yang mampu mengkoordinasikan peran, tugas
dan tanggung jawab seluruh lembaga/SKPD terkait untuk mencapai
tujuan organisasi secara efisien. Politik anggaran dalam penganggaran
pembiayaan
pembangunan
daerah
juga
belum
mendukung
Kepariwisataan sebagai sektor unggulan. Hal ini menyebabkan beberapa
fungsi Dinas pada aspek pengaturan, pembinaan, pengelolaan,
pengawasan dan pengendalian kepariwisataan belum dapat dijalankan
secara efektif.
2. Lemahnya keterpaduan program-program pengembangan kepariwisataan
antar pemangku kepentingan. Terdapat banyak lembaga pemerintah dan
non-pemerintah seperti LSM mempunyai program-program kerja yang
mendukung pengembangan kepariwisataan Wakatobi baik dari aspek
destinasi, industri, pemasaran maupun kelembagaan. Namun demikian
program-program tersebut umumnya dijalankan secara sektoral sehingga
kurang efektif dalam mengakselerasi capaian-capaian sesuai dengan
tujuan dan sasaran program. Hal ini disebabkan karena pemangku
kepentingan utama yaitu TNW, Pemerintah, Pemerintah Daerah (Provinsi
Sultra dan Kabupaten Wakatobi), LSM dan organisasi non-pemerintah
lainnya belum bekerja dalam sebuah jejaring (networking) atau
membangun aliansi strategis berbasis isu untuk saling menguatkan satu
sama lainnya.
26
3. Regulasi untuk mendukung pembangunan kepariwisataan berkelanjutan
masih belum lengkap. Pembangunan kepariwisataan membutuhkan
dukungan regulasi yang adaptif terhadap perkembangan dan dinamika
kepariwisataan tersebut.
Demikian juga beberapa permasalahan
lingkungan diantaranya bersumber dari belum lengkapnya perangkat
regulasi. Dalam rangka pelestarian nilai-nilai sosial dan budaya,
pengembangan kepariwisataan juga perlu dukungan regulasi agar
pengembangan pariwisata senantiasa selaras nilai-nilai budaya lokal.
Sebagai contoh konkritnya,
pembangunan fasilitas pariwisata baik
dalam tata letak maupun arsitekturnya yang bersifat tangible sanat
penting didorong mengakomodasi nilai-nilai, filosofi dan langgam
arsitektur lokal. Secara keseluruhan aspek pembangunan kepariwisataan
diharapkan dapat secara optimal menjadi wahana memperkuat jati diri
atau identitas daerah serta pelestarian budaya.
4. Penegakan hukum belum kuat dan konsisten.Keterbatas kapasitas
aparatur dan belum kuatnya komitmen supremasi hukum menyebabkan
penegakan hukum belum terimplementasi secara optimal. Kelemahan ini
menimbulkan beberapa permasalahan lingkungan berlangsung dan
cenderung memburuk yang dapat menjadi feedback negatif terhadap
kepariwisataan.
Seiring
dengan
perkembangan
dan
dinamika
pembangunan serta kehidupan sosial masyarakat maka dibutuhkan
komitmen dan implementasi penegakan hukum yang kuat dan konsisten.
Penegakan hukum yang kuat dan konsisten untuk memastikan bahwa
seluruh tananan kehidupan dan dinamika pembangunan berjalan sesuai
koridor hukum sebagai prasyarat bagi terwujudnya pembangunan
berkelanjutan.
2.4. Kajian terhadap implikasi penerapan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan yang akan diatur dalam peraturan daerah terhadap
aspek ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan.
Pariwisata telah diakui sebagai lokomotif pembangunan ekonomi
dibanyak negara berkembang di dunia, dan para ahli menjadikan industri
tanpa asap (smokeless industry) ini sebagai paspor menuju pembangunan.
Sebagai industri terbesar di dunia, pariwisata dianggap sebagai sarana
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan manfaat yang sangat
signifikan di bidang ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan, serta memberi
kesempatan seluas luasnya bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan
kesejahteraannya (Sharpley, 2002).
Dalam
Undang-Undang
Nomor
10
Tahun
2009
tentang
Kepariwisataan, digariskan dengan tegas bahwa kepariwisataan merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara
27
sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab
dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya
yang hidup di masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta
kepentingan nasional. Hal ini selanjutnya dijabarkan dalam PP Nomor 50
tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional
Tahun 2010 – 2025, dimana terdapat empat hal pokok yang menjadi
perhatian dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia, yakni aspek:
destinasi; industri; pemasaran dan promosi; serta kelembagaan.
Penegasan serta penjabaran tersebut mengindikasikan tentang
pentingnya perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata
sedemikian rupa agar pembangunannya dapat berkelanjutan dan
memberikan manfaat optimal kepada masyarakat. Perencanan dan
pengelolaan destinasi maupun daya tarik wisata secara profesional dan
berkelanjutan, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan akan
menentukan tiga hal pokok berikut, yakni: a) keunggulan daya tarik
destinasi tersebut bagi pasar wisatawan; b) manfaatnya secara ekologi,
ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat dan daerah; serta c) daya
saingnya di antara pasar destinasi pariwisata international (Damanik &
Teguh, 2012).
Sejumlah alasan penting kenapa prinsip-prinsip keberlanjutan
(sustainability) perlu diterapkan dalam pengelolaan destinasi pariwisata
khususnya di Indonesia: pertama semakin tajamnya kompetisi destinasi di
tingkat global maupun nasional; kedua tingginya variasi dan ketimpangan
perkembangan destinasi pariwisata di tanah air; dan ketiga rendahnya
daya saing pariwisata Indonesia dibandingkan dengan negara-negara
tetangga. Apabila destinasi pariwisata tidak dikelola secara professional
dalam kerangka keberlanjutan, maka akan sulit diharapkan destinasi
tersebut memiliki daya saing tinggi dalam jangka panjang (Osmanovic,
Kenjic, & Zrnic, 2010).
Mengelola destinasi pariwisata agar dapat berkelanjutan sangat
ditentukan oleh pandangan ke depan dari kebijakan (forward-looking
policies) dan philosopi manajemen yang dianut, yang mampu membangun
hubungan harmonis antara masyarakat lokal, sektor usaha swasta, dan
pemerintah. Keharmonisan hubungan tersebut berkaitan erat dengan
praktik-praktik pembangunan guna meningkatkan manfaat ekonomi yang
selaras dengan perlindungan terhadap alam, sosial budaya, dan
lingkungan, sehingga kehidupan masyarakat lokal maupun destinasi dapat
meningkat kualitasnya
(Edgell, Allen, Smith, & Swanson, 2008).
Pertanyaannya adalah apakah mungkin destinasi pariwisata tersebut
berkelanjutan secara ekonomi bagi pelaku usaha pariwisata dan
masyarakat lokal, sementara dalam waktu yang bersamaan pembangunan
tersebut sangat peka terhadap isu-isu lingkungan, budaya dan sosial?
Menurut Edgell, S.L,. (2006) jawaban singkatnya adalah sangat mungkin,
karena kebijakan pariwisata berkelanjutan harus ditentukan oleh kondisi
alam dan lingkungan terbangun, disertai dengan perlindungan terhadap
keberlanjutan masyarakat lokal. Edgell, selanjutnya menguraikan bahwa
lebih dari sekedar kepentingan ekonomi, kebijakan pembangunan destinasi
pariwisata harus fokus pada prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan,
28
yakni: (1) memanfaatkan secara optimum sumberdaya lingkungan,
memelihara proses-preses ekologi essential, dan melakukan konservasi
terhadap natural heritage dan keragaman biologi; (2) menghargai keaslian
nilai-nilai sosial budaya dari komunitas lokal, melakukan konservasi
terhadap bangunan dan living cultural heritage serta nilai-nilai tradisional,
berkontribusi pada pemahaman antar budaya dan adanya sikap saling
menghargai; dan (3) memastikan dalam jangka panjang akan memberikan
manfaat sosial ekonomi secara layak kepada semua pemangku kepentingan
dengan distribusi yang adil, termasuk kesempatan kerja yang stabil dan
kesempatan memperoleh penghasilan, serta berkontribusi kepada upaya
pengentasan kemiskinan.
Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan partisipasi dari
seluruh stakeholders serta kepemimpinan politik yang kuat untuk
memastikan adanya partisipasi yang luas dalam membangun konsensus
bersama. Pembangunan berkelanjutan merupakan proses yang terus
menerus dan membutuhkan monitoring yang tidak pernah berhenti
terhadap dampak-dampak yang ditimbulkannya.
Dari perspektif manajemen destinasi pariwisata, karakteristik produk
wisata yang berbeda dengan produk jasa lainnya, membutuhkan
implementasi pengelolaan yang ketat dan berbeda, karena pada dasarnya
manajemen destinasi pariwisata bertujuan untuk menjamin kualitas
destinasi itu sendiri dan kepuasan berwisata. Secara singkat, tujuan
pengelolaan destinasi dapat dibagi menjadi dua: pertama untuk melindungi
asset, dan sumberdaya wisata dari penurunan mutu dan manfaat bagi
pengelola, masyarakat lokal, maupun wisatawan; kedua meningkatkan
daya saing destinasi pariwisata melalui tawaran pengalaman berwisata yang
berkualitas kepada wisatawan. Semakin tinggi kualitas pengalaman yang
dapat ditawarkan, maka semakin tinggi pula potensi daya saing destinasi
tersebut.
Daya saing yang tinggi inilah menjadi faktor kunci yang
menjamin keberlanjutan perkembangan destinasi tersebut, karena jumlah
wisatawan dan pengeluarannya akan terus meningkat, sehingga
memberikan dampak positif kepada pelaku usaha, komunitas lokal,
pemerintah, dan lingkungan setempat (RAMBOLL Water & Environment,
2003).
Sejumlah manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan destinasi
pariwisata yang dilakukan secara professional, antara lain: (1)
meningkatnya kepuasan wisatawan sebagai akibat dari semakin baiknya
kualitas pelayanan berwisata di destinasi; (2) meningkatnya daya saing
destinasi, sehingga dapat menarik investor lebih banyak untuk
menanamkan modalnya; (3) jaminan atas keberlanjutan ekonomi, sosialbudaya dan lingkungan semakin kuat; (4) ter-ciptanya kemitraan yang
semakin kuat dari para pemangku kepentingan; dan
(5) perbaikan serta
inovasi secara terus menerus atas seluruh atribut destinasi pariwisata
(European Communities, 2003; Kim & Lee, 2004; Anonim, 2007; Damanik
& Teguh, 2012).
Berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan tujuan pembangunan
pariwisata berkelanjutan di Kabupaten Wakatobi dengan berbagai manfaat
di bidang ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan hidup bagi
29
masyarakat lokal dimana pembangunan tersebut dilaksanakan, maka
diperlukan sejumlah kebijakan pemerintah yang akan dituangkan dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang Kepariwisataan. Peraturan
yang akan disusun diharapkan dapat mencarikan solusi terhadap berbagai
isu penting mengenai kepariwisataan di Kabupaten Wakatobi.
30
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
3.1.Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang Memuat
Kondisi Hukum yang ada.
Kajian berupa evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan
terkait, dilakukan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
mengenai
Rencana
Induk
Pembangunan Pariwisata Kabupaten Wakatobi, serta untuk mengetahui
posisi dari peraturan daerah yang baru, guna menghindari terjadinya
tumpang tindih pengaturan. Kajian terhadap peraturan perundangundangan yang memuat kondisi hukum yang ada, mempergunakan
pendekatan perundangan-undangan dengan melihat jenis, hierarki dan
materi muatan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan
kewenangan pemerintah kabupaten tentang pengaturan kepariwisataan.
Dengan mempergunakan rujukan ketentuan Pasal 7 ayat 1 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011
peraturan perundang-undangan dan
rumusan norma yang berkaitan dengan kewenangan kabupaten bidang
kepariwisataan, ditampilkan dalam tabel berikut dibawah ini
Matrik 1.
Peraturan Perundang-Undangan dan Rumusan Norma Yang Berkaitan
Dengan Kewenangan Kabupaten Bidang Kepariwisataan.
No
1
Peraturan
PerundangUndangan
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun
1945
Rumusan Normanya
Pasal 18 ayat 6
Pemerintahan
daerah
berhak
menetapkan
peraturan
daerah
dan
peraturan
perundangundangan
lain
untuk
melaksanakan
otonomi
dan tugas pembantuan
31
Analisis
Pemerintah daerah
Kabupaten
Wakatobi
mempunyai
wewenang
untuk
menetapkan
peraturan
daerah
untuk
melaksanakan
otonomi.
Dengan
demikian
Pemerintah
Kabupaten
Wakatobi,
mempunyai
wewenang
untuk
menetapkan
Peratuuran Daerah
2 Undang-Undang
Pasal 5
Nomor 26 Tahun (5)Penataan
ruang
2007 tentang
berdasarkan
nilai
Penataan Ruang.
strategis kawasan terdiri
( Lembaran
atas penataan ruang
Negara Republik
kawasan
strategis
Indonesia Tahun
nasional,
penataan
2007 Nomor 68,
ruang kawasan strategis
Tambahan
provinsi, dan penataan
Lembaran Negara
ruang kawasan strategis
Republik
kabupaten/kota.
Indonesia Nomor
4725).
Pasal 11
(1)Wewenang
pemerintah
daerah kabupaten/kota
dalam
enyelenggaraan
penataan ruang meliputi:
1. pengaturan,
pembinaan,
dan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
penataan
ruang
wilayah
kabupaten/kota dan
kawasan
strategis
kabupaten/kota;
2. pelaksanaan
penataan
ruang
wilayah
kabupaten/kota;
3. pelaksanaan
penataan
ruang
kawasan
strategis
kabupaten/kota;
dan
d.kerja sama penataan
ruang
antar
kabupaten/ kota.
(2)Wewenang
pemerintah
32
tentang
Rencana
Induk
Pembangunan
Pariwisata
Kabupaten
Wakatobi.
Berdasarkan
ketentuan UndangUndang Nomor 26
Tahun
2007,
Pemerintah
Kabupaten
Wakatobi
mempunyai
kewenangan untuk
melakukan
perencanaan
tata
ruang
wilayah
kabupaten.
Kegiatan
penyusunan
RIPPARDA
merupakan
satu
kegiatan
yang
selaras
dengan
perencanaan
tata
ruang
wilayah
kabupaten.
daerah kabupaten/kota
dalam
pelaksanaan
penataan ruang wilayah
kabupaten/kota
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
A. perencanaan
tata
ruang
wilayah
kabupaten/ kota;
B.pemanfaatan ruang
wilayah
kabupaten/kota;
dan
C.pengendalian
pemanfaatan ruang
wilayah
kabupaten/kota.
(3)Dalam
pelaksanaan
penataan ruang kawasan
strategis kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c,
pemerintah
daerah
kabupaten/kota
melaksanakan:
a. penetapan kawasan
strategis
kabupaten/kota;
b. perencanaan
tata
ruang
kawasan
strategis
kabupaten/kota;
c. pemanfaatan ruang
kawasan
strategis
kabupaten/kota;
dan
d. pengendalian
pemanfaatan ruang
kawasan
strategis
kabupaten/kota.
(4)Dalam
melaksanakan
kewenangan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat
(2), pemerintah daerah
kabupaten/kota
mengacu pada pedoman
33
bidang penataan ruang
dan
petunjuk
pelaksanaannya.
(5)Dalam
pelaksanaan
wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan
ayat
(4),
pemerintah
daerah kabupaten/kota:
a. menyebarluaskan
informasi
yang
berkaitan
dengan
rencana umum dan
rencana rinci tata
ruang dalam rangka
pelaksanaan
penataan
ruang
wilayah
kabupaten/kota; dan
b. melaksanakan
standar
pelayanan
minimal
bidang
penataan ruang.
(6) Dalam hal pemerintah
daerah abupaten/kota
tidak dapat memenuhi
standar
pelayanan
minimal
bidang
penataan
ruang,
pemerintah
daerah
provinsi
dapat
mengambil
langkah
penyelesaian
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan perundangundangan.
3
Undang-Undang
Pasal 55
Nomor 27 Tahun (1)Pengelolaan
Wilayah
2007
tentang
Pesisir dan Pulau-Pulau
Pengelolaan
Kecil
pada
tingkat
Wilayah Pesisir
kabupaten/kota
dan Pulau-pulau
dilaksanakan
secara
Kecil ( Lembaran
terpadu
yang
Negara Republik
dikoordinasi oleh dinas
Indonesia Tahun
yang
membidangi
2007 Nomor 84,
kelautan dan perikanan.
Tambahan
(2)Jenis
kegiatan
yang
34
Berdasarkan
ketentuan UndangUndang Nomor 27
Tahun 2007 ini,
kabupaten
mempunyai
wewenang
untuk
mengelola wilayah
pesisir
yang
dilaksanakan secara
terpadu oleh dinas
Lembaran
Negara Republik
Indonesia Nomor
4739).
4
Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor
10 Tahun 2009
tentang
Kepariwisataan (
Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun
2009 Nomor 11,
Tambahan
Lembaran
Negara Republik
dikoordinasikan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. penilaian
setiap
usulan
rencana
kegiatan
tiap-tiap
pemangku
kepentingan
sesuai
dengan perencanaan
Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan PulauPulau Kecil terpadu;
b. perencanaan
antarinstansi, dunia
usaha,
dan
masyarakat;
c. program
akreditasi
skala
kabupaten/kota;
d. rekomendasi
izin
kegiatan
sesuai
dengan kewenangan
tiap-tiap
dinas
otonom atau badan
daerah; serta
e. penyediaan data dan
informasi
bagi
Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan PulauPulau Kecil skala
kabupaten/kota.
(3)Pelaksanaan
kegiatan
sebagaimana
imaksud
pada ayat (2) diatur oleh
bupati/walikota.
Pasal 8
(1)Pembangunan
kepariwisataan
dilakukan berdasarkan
rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan
yang
terdiri
atas
rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan nasional,
rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan provinsi,
35
yang
membidanginya.
Undang-Undang No
10 Tahun 2009,
memberi
kewenangan kepada
daerah kabupaten
untuk menetapkan
rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan
kabupaten/kota
dengan
Peraturan
Daerah
kabupaten/kota.
Indonesia Nomor
4966 )
dan
rencana
pembangunan
kepariwisataan
kabupaten/kota.
induk
(2)Pembangunan
kepariwisataan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan
bagian
integral
dari
rencana pembangunan
jangka panjang nasional
Pasal 9
(1)Rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan nasional
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1)
diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2)Rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan provinsi
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1)
diatur dengan Peraturan
Daerah provinsi.
(3)Rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan
kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1)
diatur dengan Peraturan
Daerah kabupaten/kota.
(4)Penyusunan
rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilakukan
dengan
melibatkan
pemangku kepentingan.
(5)Rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan
36
sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) meliputi
perencanaan
pembangunan
industri
pariwisata,
destinasi
pariwisata, pemasaran,
dan
kelembagaan
kepariwisataan.
Pasal 29
Pemerintah
provinsi
berwenang:
1) menyusun
dan
menetapkan
rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan provinsi;
2) mengoordinasikan
penyelenggaraan
kepariwisataan
di
wilayahnya;
3) melaksanakan
pendaftaran, pencatatan,
dan
pendataan
pendaftaran
usaha
pariwisata;
4) menetapkan
destinasi
pariwisata provinsi;
5) menetapkan daya tarik
wisata provinsi;
6) memfasilitasi
promosi
destinasi pariwisata dan
produk pariwisata yang
berada di wilayahnya;
7) memelihara aset provinsi
yang menjadi daya tarik
wisata provinsi; dan
8) mengalokasikan
anggaran
kepariwisataan.
5
UndangUndang
Nomor
32
Tahun 2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Pasal 63
a) Dalam
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup,
pemerintah
kabupaten/kota
bertugas
dan
berwenang:
37
Salah
satu
kewenangan
Kabupaten
yakni
menetapkan
kebijakan
tingkat
kabupaten
berkaitan
dengan
pengelolan
Lingkungan
Hidup
(
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun 2009
Nomor 140,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor 5059
).
a. menetapkan
kebijakan
tingkat
kabupaten/kota;
b. menetapkan
dan
melaksanakan KLHS
tingkat
kabupaten/kota;
c. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai
RPPLH
kabupaten/kota;
d. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai
amdal dan UKL-UPL;
e. menyelenggarakan
inventarisasi sumber
daya alam dan emisi
gas
rumah
kaca
pada
tingkat
kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan
melaksanakan kerja
sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan
menerapkan
instrumen
lingkungan hidup;
h. memfasilitasi
penyelesaian
sengketa;
i. melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
ketaatan
penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
terhadap
ketentuan perizinan
lingkungan
dan
peraturan
perundangundangan;
j. melaksanakan
standar
pelayanan
minimal;
k. melaksanakan
38
lingkungan hidup,
pembentukan
RIPPARDA
Kabupaten,
berkaitan
dengan
kebijakan
tingkat
kabupaten
yang
substansi materinya
berkaitan
dengan
pengelolaan
lingkungan. Dengan
demikian UndangUndang Pengelolan
Lingkungan Hidup
relevan
dirujuk
sebagai ketentuan
mengingat
dalam
Ranperda
RIPPARDA
yang
akan dibentuk.
kebijakan mengenai
tata cara pengakuan
keberadaan
masyarakat hukum
adat, kearifan lokal,
dan hak masyarakat
hukum adat yang
terkait
dengan
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
pada
tingkat
kabupaten/kota;
l. mengelola informasi
lingkungan
hidup
tingkat
kabupaten/kota;
m. mengembangkan dan
melaksanakan
kebijakan
sistem
informasi lingkungan
hidup
tingkat
kabupaten/kota;
n. memberikan
pendidikan,
pelatihan,
pembinaan,
dan
penghargaan;
o. menerbitkan
izin
lingkungan
pada
tingkat
kabupaten/kota; dan
p. melakukan
penegakan
hukum
lingkungan
hidup
pada
tingkat
kabupaten/kota.
6
Undang-Undang
Pasal 12
Nomor 23 Tahun (1). ...
2014
tentang (2). ...
Pemerintahan
(3)Urusan
Pemerintahan
Daerah
Pilihan
sebagaimana
(Lembaran
dimaksud dalam Pasal
Negara Republik
11 ayat (1) meliputi:
Indonesia Tahun
a. kelautan
dan
2014 Nomor 244,
perikanan;
Tambahan
b. pariwisata;
39
Urusan
Pemerintahan
Pilihan
adalah
Urusan
Pemerintahan yang
wajib
diselenggarakan
oleh Daerah sesuai
dengan potensi yang
dimiliki Daerah.
Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor
5587).
7
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun
2010
tentang
Cagar Budaya, (
Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun
2010
Nomor
130, Tambahan
Lembaran
Negara Republik
Indonesia Nomor
5168 ).
c. pertanian;
d. kehutanan;
e. energi dan sumber
daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Pasal 64
Salah satu daya
tarik
Kabupaten
Wakatobi
dari
sektor Pariwisata.
Pariwisata
bagi
Pemerintah
kabupaten
Wakatobi,
merupakan
salah
satu
penghasil
devisa,
dengan
demikian salah satu
urusan pilihan yang
diselenggarakan
oleh
Pemerintah
Kabupaten
Wakatobi
adalah
urusan
pilihan
bidang pariwisata.
Dengan
demikian
Undang-undang ini
relevan
dipergunakan
sebagai salah satu
ketentuan
mengingat
dari
rencana
pembentukan
RIPPARDA
Kabupaten
Wakatobi.
Cagar
Budaya
pemanfaatannya
dapat
untuk
kepentingan sosial,
pendidikan,
pengembangan ilmu
pengetahuan,
agama,
kebudayaan,
dan/atau
pariwisata.
Pengamanan
Cagar
Budaya
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61
dan
Pasal
62
harus
memperhatikan
pemanfaatannya
bagi
kepentingan
sosial,
pendidikan,
pengembangan
ilmu
pengetahuan,
agama,
kebudayaan,
dan/atau Bupati mempunyai
pariwisata.
kewenangan
40
Pasal 67
(1)Setiap orang dilarang
memindahkan
Cagar
Budaya
peringkat
nasional,
peringkat
provinsi, atau peringkat
kabupaten/kota,
baik
seluruh
maupun
bagian-bagiannya,
kecuali
dengan
izin
Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota sesuai
dengan tingkatannya.
Pasal 72
(1)Pelindungan
Cagar
Budaya
dilakukan
dengan
menetapkan
batas-batas
keluasannya
dan
pemanfaatan
ruang
melalui sistem Zonasi
berdasarkan
hasil
kajian.
(2)Sistem
Zonasi
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan
oleh:
a. Menteri apabila telah
ditetapkan
sebagai
Cagar Budaya nasional
atau mencakup 2 (dua)
provinsi atau lebih;
b.gubernur
apabila
telah
ditetapkan
sebagai Cagar Budaya
provinsi
atau
mencakup
2
(dua)
kabupaten/kota
atau
lebih; atau
c.bupati/wali
kota
sesuai
dengan
keluasan Situs
Cagar Budaya atau
Kawasan Cagar Budaya
di
wilayah
41
berkaitan
dengan
pemanfaatan cagar
budaya
untuk
kepentingan
pariwisata.
Berdasarkan
ketentuan ini, maka
UU No 11 Tahun
2010,
relevan
dirujuk
sebagai
salah
satu
ketentuan
mengingat
dalam
rancangan
perda
yang akan dibentuk.
kabupaten/kota.
Pasal 109
(2)Setiap orang yang tanpa
izin gubernur atau izin
bupati/wali
kota,
membawa Cagar Budaya
ke luar wilayah provinsi
atau
kabupaten/kota
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (2)
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5
(lima)
tahun
dan/atau
denda
paling
sedikit
Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
8
Peraturan
Pasal 7
Berdasarkan
Pemerintah
ketentuan Pasal 7
Nomor 38 Tahun 1. ...
ayat (4) Peraturan
2007
tentang 2. ...
Pemerintah Nomor
Pembagian
(3)Urusan
pilihan 38
Tahun
2007
Urusan
sebagaimana dimaksud telah
ditentukan,
Pemerintahan
dalam Pasal 6 ayat (2) Pariwisata sebagai
antara
adalah
urusan salah satu urusan
Pemerintah,
pemerintahan
yang pilihan.
Pemerintahan
secara nyata ada dan Dalam menentukan
Daerah Provinsi
berpotensi
untuk Pariwisata sebagai
dan
meningkatkan
urusan pilihan,
Pemerintahan
kesejahteraan
salah satu
Daerah
masyarakat
sesuai kewenangan yang
Kabupaten/Kota
dengan
dimiliki oleh
(Lembaran
kondisi,kekhasan
dan pemerintahan
Negara Republik
potensi unggulan daerah daerah kabuapten
Indonesia Tahun
yang bersangkutan.
adalah penetapan
2007 Nomor 82, (4)Urusan
pilihan kebijakan skala
Tambahan
sebagaimana dimaksud kabupaten bidang
Lembaran
pada ayat (3) meliputi:
pariwisata.
Negara Republik
a.kelautan
dan Dengan demikian,
Indonesia Nomor
perikanan;
Peraturan
4737);
b. pertanian;
Pemerintah Nomor
c. kehutanan;
38 tahun 2007,
d.energi dan sumber relevan
42
daya mineral;
e.pariwisata;
f. industri;
g. perdagangan;dan
h. ketransmigrasian.
(5).Penentuan
urusan
pilihan ditetapkan oleh
pemerintahan daerah.
Berdasarkan
Lampiran
Peraturan
Pemerintah
Republik Indonesia Nomor
38 Tahun 2007 tanggal 9
Juli 2007, pada hurup Q
diatur pembagian urusan
pemerintahan
bidang
pariwisata.
Kewenangan
Pemerintahan
Daerah
kabupaten diatur sebagai
berikut :
(3) ...
(4) ...
(5) Sub Bidang Kebijakan
Bidang Kepariwisataan.
a. Kebijakan
1. Pelaksanaan
kebijakan
nasional,provinsi
dan
penetapan
kebijakan
skala
kabupaten:
1. RIPP Kabupaten.
2. ...
3. ...
4. Pelaksanaan
kebijakan
nasional
dan provinsi serta
penetapan pedoman
pengembangan
destinasi pariwisata
skala kabupaten.
4....
5.Sub Bidang Kebijakan
Bidang Kebudayaan dan
Pariwisata.
1. Rencana
induk
pengembangan
43
dipergunakan
sebagai salah satu
ketentuan
mengingat dalam
Rancangan
Peraturan Daerah
Kabupaten
Wakatobi tentang
RIPPARDA
Kepariwisataan.
9 Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor
50 Tahun 2011
Tentang Rencana
Induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Nasional Tahun
2010-2025.(
(Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun
2011 Nomor 125,
Tambahan
Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor
4562).
sumber
daya
kebudayaan
dan
pariwisata
nasional
skala kabupaten.
2. Pelaksanaan
kebijakan
nasional/provinsi dan
penetapan kebijakan
kabupaten
dalam
pengembangan
sumber daya manusia
kebudayaan
dan
pariwisata
skala
kabupaten.
3. Pelaksanaan
kebijakan
nasional
/provinsi
dan
penetapan kebijakan
kabupaten penelitian
kebudayaan
dan
pariwisata
skala
kabupaten.
Pasal 4
(1)RIPPARNAS
menjadi
pedoman
bagi
pembangunan
kepariwisataan
nasional.
(2)RIPPARNAS
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi
pedoman penyusunan
Rencana
Induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Provinsi.
(3)RIPPARNAS
dan
Rencana
Induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) menjadi
pedoman penyusunan
Rencana
Induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Kabupaten/Kota.
44
RIPPARNAS
dan
Rencana
Induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Provinsi
dipergunakan
menjadi
pedoman
penyusunan
Rencana
Induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Kabupaten.
Persoalan
hukum
yang
ditemui
sampai
saat
dilakukan
kajian
ini, Rencana Induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Provinsi
Sulawesi
Tenggara,
sampai
saat
ini
belum
ditetapkan. Dengan
demikian Rencana
Induk
Pembangunan
10
Peraturan
Pemerintah
Nomor 15 Tahun
2010
tentang
Penyelengaraan
Penataan Ruang
(Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun
2010 Nomor 21).
Pasal 153
(1)Peraturan
zonasi
kabupaten/kota
merupakan penjabaran
dari ketentuan umum
peraturan zonasi yang
ditetapkan
dalam
rencana
tata
ruang
wilayah
kabupaten/kota.
(2)Peraturan
zonasi
kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan
dengan
peraturan
daerah
kabupaten/kota.
(3)Peraturan
zonasi
kabupaten/kota
merupakan
dasar
dalam
pemberian
insentif dan disinsentif,
pemberian izin, dan
pengenaan sanksi di
tingkat
kabupaten/kota.
Pasal 154
(1)Peraturan
zonasi
kabupaten/kota
memuat zonasi pada
setiap
zona
peruntukan.
(2)Zona
peruntukan
sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
merupakan
suatu
bagian wilayah atau
45
Kepariwisataan
Provinsi
Sulawesi
Tenggara,
tidak
dipergunakan
ketentuan
mengingat
dari
Rencana
Induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Kabupaten
Wakatobi.
Ketentuan
ini
menunjukkan
bahwa Pemerintah
Daerah Kabupaten
mempunyai
wewenang
untuk
menetapkan
peraturan
daerah
tentang
Rencana
Induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Kabupaten.
Peraturan
Pemerintah Nomor
15
Tahun
2010
tentang
Penyelengaraan
Penataan
Ruang
relevan
dirujuk
sebagai salah satu
ketentuan
mengingat
dalam
Perda
RIPPARDA
Kabupaten
Wakatobi yang akan
dibentuk.
kawasan
yang
ditetapkan
dalam
rencana
tata
ruang
untuk mengembankan
suatu fungsi tertentu
sesuai
dengan
karakteristik zonanya.
(3)Ketentuan
zonasi
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. ketentuan kegiatan
dan
penggunaan
ruang
yang
diperbolehkan,
diperbolehkan
dengan syarat, dan
yang
tidak
diperbolehkan;
b. ketentuan intensitas
pemanfaatan ruang
paling sedikit terdiri
atas:
1. koefisien dasar
bangunan
maksimum;
b. koefisien lantai
bangunan
maksimum;
c. ketinggian
bangunan
maksimum; dan
d. koefisien dasar
hijau minimum.
c. ketentuan prasarana
dan
sarana
minimum
sebagai
kelengkapan
dasar
fisik lingkungan yang
mendukung
berfungsinya
zona
secara optimal; dan
a. ketentuan lain yang
dibutuhkan
untuk
mengendalikan
pemanfaatan ruang
pada kawasan cagar
budaya,
kawasan
rawan
bencana,
46
kawasan
keselamatan operasi
penerbangan,
dan
kawasan
lainnya
sesuai
dengan
ketentuan peraturan
perundangundangan.
(4)Selain ketentuan zonasi
sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), dalam
wilayah kota memuat
ketentuan lain yang
dibutuhkan
untuk
mengendalikan
perkembangan
penggunaan
lahan
campuran,
sektor
informal,
dan
pertumbuhan
gedung
pencakar langit.
11
Peraturan
Pasal 4
Pemerintah
(1)RIPPARNAS
menjadi
Nomor 50 Tahun
pedoman
bagi
2011
tentang
pembangunan
Rencana
Induk
kepariwisataan
Pembangunan
nasional.
Kepariwisataan
(2)RIPPARNAS
Nasional Tahun
sebagaimana dimaksud
2010-2025
pada ayat (1) menjadi
(Lembaran
pedoman penyusunan
Negara Republik
Rencana
Induk
Indonesia Tahun
Pembangunan
2011 Nomor 125,
Kepariwisataan
Tambahan
Provinsi.
Lembaran Negara (3)RIPPARNAS
dan
Republik
Rencana
Induk
Indonesia Nomor
Pembangunan
4562).
Kepariwisataan Provinsi
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat
(2) menjadi pedoman
penyusunan
Rencana
Induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Kabupaten/Kota.
47
Berdasarkan
Peraturan
Pemerintah Nomor
50 Tahun 2011
Kabupaten
Wakatobi
mempunyai
wewenang
untuk
menetapkan
Peraturan
Daerah
berkaitan
dengan
RIPPARDA
Kabupaten.
12
Peraturan
Pemerintah
Nomor 27 Tahun
2012
tentang
Izin Lingkungan
(Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun
2012
Nomor
48.Tambahan
Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor
5285).
Pasal 1
Angka 1
Izin Lingkungan adalah
izin yang diberikan kepada
setiap
orang
yang
melakukan
Usaha
dan/atau Kegiatan yang
wajib Amdal atau UKL-UPL
dalam
rangka
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup sebagai prasyarat
memperoleh izin Usaha
dan/atau Kegiatan.
Angka 2
Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup, yang
selanjutnya disebut Amdal,
adalah kajian mengenai
dampak
penting
suatu
Usaha dan/atau Kegiatan
yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses
pengambilan
keputusan
tentang
penyelenggaraan
Usaha dan/atau Kegiatan.
Angka 3
Upaya
Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan
Upaya
Pemantauan
Lingkungan Hidup, yang
selanjutnya disebut UKLUPL, adalah pengelolaan
dan pemantauan terhadap
Usaha dan/atau Kegiatan
yang
tidak
berdampak
penting
terhadap
lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses
pengambilan
keputusan
tentang
penyelenggaraan
Usaha dan/atau Kegiatan.
Angka 4
48
Usaha
pariwisata
merupakan usaha
yang menyediakan
barang dan /atau
jasa
bagi
pemenuhan
kebutuhan
wisatawan
dan
penyelenggaraan
pariwisata.
Dalam kasus-kasus
tertentu, berkaitan
dengan
usaha
pariwisata
wajib
memperhatikan dan
memenuhi
Izin
Lingkungan.
Dengan
demikian,
Peraturan
Pemerintah Nomor
27
Tahun
2012
tentang
Izin
Lingkungan relevan
dipergunakan
sebagai salah satu
ketentuan
mengingat
dalam
Rancangan
Peraturan
Daerah
tentang
Rencana
Induk
Pembangunan
Kepariwisataan.
yang akan dibentuk.
Usaha dan/atau Kegiatan
adalah
segala
bentuk
aktivitas
yang
dapat
menimbulkan perubahan
terhadap rona lingkungan
hidup serta menyebabkan
dampak
terhadap
lingkungan hidup.
19
Peraturan
Daerah
Kabupaten
Wakatobi No. 12
Tahun
2012
tentang Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
Kabupaten
Wakatobi 20122032.(Lembaran
Daerah
Kabupaten
Wakatobi Tahun
2012 Nomor 12,
Tambahan
Lembaran
Daerah
Kabupaten
Wakatobi Nomor
1).
Pasal 2
Penataan ruang Kabupaten
bertujuan
untuk
mewujudkan
tatanan
ruang wilayah Kabupaten
dalam rangka optimalisasi
potensi
sumberdaya alam berbasis
kelautan-perikanan
dan
pariwisata
secara
berkelanjutan
untuk
meningkatkan daya saing
kabupaten dengan tetap
mempertimbangkan daya
dukung, daya tampung,
karakteristik fisik wilayah
dan
kelestarian
sumberdaya alam.
Peraturan Daerah
Kabupaten
Wakatobi
searah
dan sejalan dengan
Rancangan
RIPPARDA
Kabupaten Badung
yang
akan
dibentuk.
3.2.Kajian Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi yang
memuat kondisi hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan.
Penelusuran terhadap beberapa Peraturan Daerah Kabupaten
Wakatobi, yang memuat kondisi hukum terkait dengan kepariwisataan,
sejalan dan searah dengan RIPPARDA Kabupaten Wakatobi dapat
ditampilkan pada matrik dibawah ini.
49
Matrik 2.Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi yang memuat kondisi
hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan.
No
1
2
Peraturan
Daerah
Peraturan Daerah
Kabuten Wakatobi
Nomor 3 Tahun
2008
tentang
Urusan
Pemerintahan Yang
Menjadi
Kewenangan
Pemerintahan
Daerah Kabupaten
Wakatobi
(Lembaran Daerah
kabupaten
Wakatobi
Tahun
2008 Nomor 3 Seri
D)
Peraturan Daerah
Kabuten Wakatobi
Nomor 12 Tahun
2012
tentang
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
Kabupaten
Wakatobi
Tahun
20122032(Lembaran
Daerah kabupaten
Wakatobi
Tahun
2012 Nomor 12 )
Rumusan
Normanya
Pasal 6
(4) Urusan pilihan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) meliputi:
a. kelautan dan
perikanan;
b. pertanian;
c. kehutanan;
d. energi dan
sumber daya
mineral;
e. pariwisata;
f. industri;
g. perdagangan; dan
h. ketransmigrasian.
(5) Penentuan urusan
pilihan ditetapkan oleh
Pemerintahan Daerah
Kabupaten Wakatobi.
Pasal 2
Penataan ruang
Kabupaten bertujuan
untuk mewujudkan
tatanan
ruang wilayah
Kabupaten dalam
rangka optimalisasi
potensi
sumberdaya alam
berbasis kelautanperikanan dan
pariwisata
secara berkelanjutan
untuk meningkatkan
daya saing kabupaten
dengan tetap
mempertimbangkan
daya dukung, daya
tampung,
karakteristik fisik
wilayah dan
kelestarian
sumberdaya alam.
50
Analisis
Peraturan
Daerah
Kabuten
Wakatobi
Nomor 3 Tahun 2008
tentang
Urusan
Pemerintahan
Yang
Menjadi Kewenangan
Pemerintahan Daerah
Kabupaten Wakatobi,
sejalan
dengan
RIPPDA yang akan
dibentuk.
Tujuan dari Peraturan
Daerah
Kabuten
Wakatobi Nomor 12
Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang
Wilayah
Kabupaten
Wakatobi
Tahun
2012-2032,
relevan
dengan
RIPPDA
Wakatobi yang akan
dibentuk.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
4.1.Landasan Filosofis
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 menentukan landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Berdasarkan pertimbangan filosofis sebagaimana dimaksudkan diatas,
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang dimuat dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan yag dibentuk
mengacu pada prinsip
pembangunan kepariwisataan.
Dalam
rangka
mengatur
penyelenggaraan
dan
pengelolaan
kepariwisataan di wilayah Kabupaten Wakatobi, Dinas Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif Kabupaten Wakatobi yang merupakan salah satu Satuan
Kerja Pemerintah Kabupaten Wakatobi, sekaligus sebagai pelaku
pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan daerah merumuskan
visi“Terwujudnya Wakatobi sebagai Tujuan Ekowisata Dunia 2016”.
Dalam visi tersebut terdapat tiga kata kunci (tujuan, ekowisata, dunia) yang
masing-masing bermakna sebagai berikut.
Tujuan
: Menjadikan Wakatobi sebagai daerah tujuan wisata
yang paling diminati oleh wisatawan domestik
maupun mancanegara
Ekowisata : Tempat wisata yang nyaman, aman, indah dan
ramah lingkungan.
Dunia
: Wakatobi semakin dikenal diseluruh penjuru dunia
sebagai daerah tujuan wisata.
Untuk mewujudkan visi yang telah dirumuskan di atas, dengan
berpedoman pada tugas pokok dan fungsi dinas yang berperan sebagai
regulator dan fasilitator dalam pembangunan kebudayaan dan pariwisata
yang transparan dan akuntabel dengan mengutamakan kepentingan
masyarakat, maka dirumuskan langkah-langkah strategis dalam bentuk
misi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wakatobi tahun 20122016 adalah sebagai berikut:
51
1) Menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan akuntabel.
2) Meningkatkan pelestarian dan pengembangan kebudayaan daerah
yang berlandaskan pada nilai-nilai kearifan lokal di berbagai bidang.
3) Mengembangkan pengelolaan pariwisata ekologi (ecotourism) yang
berbasiskemaritiman, budaya dan masyarakat yang bedaya saing
global.
4) Meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan domestik dan
mancanegara.
Untuk melaksanakan misi tersebut, dilakukan dengan cara:
a. Penguatan moral lingkungan dan etik sosial secara holistik dalam
pembangunan kepariwisataan sebagai destinasi ekowisata bahari dalam
memperkuat daya saing destinasi;
b. Pengembangan perwilayahan destinasi pariwisata berbasis pada
keunggulan potensi kepariwisataan secara merata dan berkeadilan;
c. Pengembangan aksesibilitas dan konektivitas destinasi secara internal
dan eksternal dalam rangka memperkuat kedudukan, fungsi dan peran
destinasi sebagai kawasan strategis pariwisata nasional berkelas dunia;
d. Pengembangan industri pariwisata berdaya saing, kridibel, sumberdaya
manusia pariwisata berkualitas dan bertanggung jawab terhadap
lingkungan alam dan sosial budaya;
e. Penguatan struktur industri melalui pembentukan rantai nilai yang
berkualitas antar usaha pariwisata termasuk dengan usaha-usaha
masyarakat setempat memperkuat backward linkages terhadap produkproduk dan input-input lokal melalui kemitraan;
f. Penguatan citra pariwisata sebagai destinasi ekowisata dengan kemasan
pariwisata modern yang disertai dengan pengembangan model
pemasaran pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism marketing)
baik dalam skala industri maupun destinasi;
g. Pengembangan pemasaran pariwsiata yang sinergis, berkesinambungan
dan bertanggung jawab melalui jejaring antar pemangku kepentingan
berorientasi pada kebersamaan (mutuality);
h. Pengembangan kebijakan dan regulasi beserta mekanisme operasional
yang efektif dan efisien dalam mendorong terwujudnya kepariwisataan
berkelanjutan dan berbasis masyarakat; dan
i. Pengembangan dan penguatan organisasi serta SDM pemerintah dan
non-pemerintah yang disertai dengan kemitraan yang kuat antara
pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam
pembangunan kepariwisataan.
Adapun
sasaran pembangunan kepariwisataan daerah Wakatobi,
diharapkan mencapai sasaran sebagai berikut:
a. Terkendalinya pembangunan pariwisata di wilayah Kabupaten Wakatobi
baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
52
b.
Terciptanya keserasian antara kawasan atau zonasi lindung dan
kawasan– kawasan atau zonasi pemanfaatan atau budidaya.
c. Tersusunnya
rencana
dan
keterpaduan
program-program
pembangunan di wilayah kabupaten dalam upaya pengoptimalan
sumber daya kepariwisataan.
d. Terdorongnya minat investasi masyarakat dan dunia usaha di wilayah
Kabupaten Wakatobi.
e. Terkoordinasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor
pembangunan dalam kerangka investasi pariwisata.
Untuk mencapai sasaran seperti yang dicanangkan diatas, perlu
ditetapkan arah pembangunan kepariwisataan daerah. Arah pembangunan
kepariwisataan Kabupaten Wakatobi diarahkan pada Prinsip-Prinsip
Ecotourism, yakni:
a. Memiliki fokus natural area yang memungkinkan wisatawan memiliki
peluang untuk menikmati alam secara personal.
b. Menyediakan interprestasi atau jasa pendidikan yang memberikan
peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam sehingga mereka
menjadi mengerti, lebih mampu berapresiasi serta lebih menikmati.
c. Kegiatan yang terbaik yang dapat dilakukan dalam rangka
keberlanjutan secara ekologis.
d. Memberikan kontribusi terhadap konservasi alam dan warisan budaya.
e. Memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat local.
f. Respek serta peka terhadap nilai-nilai budaya yang ada di Kabupaten
Wakatobi.
g. Secara konsisten memenuhi harapan konsumen.
h. Dipasarkan serta dipromosikan dengan jujur serta akurat sehingga
kenyataannya sesuai dengan harapan.
4.2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Fakta empiris yang dirumuskan dalam Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan dituangkan dalam tujuan dan sasaran pembangunan
kepariwisataan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
pada umumnya, dan masyarakat Kabupaten Wakatobi pada khususnya.
Tujuan Pembangunan Kepariwisataan Daerah meliputi:
a. Destinasi Pariwisata.
53
1) Menjaga integritas ekosistem alam baik di perairan maupun di
daratan dan pelestarian aset-aset budaya serta keunggulan banding
dan saing destinasi ekowisata berkelas dunia.
2) Mengembangkan dan menata struktur kepariwisataan serta
perwilayahan destinasi pariwisata sebagai pusat-pusat kegiatan
pariwisata yang berkualitas, berwawasan lingkungan dan berorientasi
keadilan sosial dalam satu kesatuan yang utuh dengan pengelolaan
TN Wakatobi.
3) Mengembangkan aksesibilitas dan konektivitas internal dan eksternal
dalam rangka kemudahan pencapaian, pergerakan dan penghantaran
wisatawan ke seluruh destinasi pariwisata.
b. Industri Pariwisata.
1) Meningkatkan kontribusi kepariwisataan bagi perekonomian nasional
dan daerah yang semakin nyata serta kesejahteraan masyarakat
setempat sebagai tuan rumah seiring dengan semakin meningkatnya
jumlah kunjungan wisatawan.
2) Meningkatkan nilai-nilai sosial, budaya, kearifan lokal dan
memajukan kebudayaan daerah dalam kepariwisataan serta
meningkatkan keberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat.
3) Meningkatkan keragaman dan daya saing usaha pariwisata yang
disertai dengan semakin tingginya kepedulian/tanggung jawab dunia
usaha terhadap lingkungan alam dan sosial budaya.
4) Menguatkan struktur industri pariwisata dengan terciptanya
keterkaitan yang erat antar usaha pariwisata, dan antara usaha
pariwisata dengan produk-produk lokal dalam suatu rantai nilai yang
berkualitas dan saling menguntungkan dalam pola kemitraan yang
semakin kuat.
c. Pemasaran Pariwisata.
1) Mengembangkan kewirausahaan masyarakat, memperluas lapangan
pekerjaan dan mendorong tumbuhnya usaha mikro dan kecil dalam
kepariwisataan termasuk semakin terhormatnya produk-produk
kreatif berbasis budaya lokal dalam kepariwisataan.
2) Meningkatkan dan memantapkan citra pariwisata sesuai dengan
karakter destinasi ekowisata berbasis masyarakat.
3) Mengoptimalkan dan mengintensifkan pasar utama ekoturis baik
domestik maupun mancanegara serta mengembangkan pasar baru
dan pasar berkembang yang didukung pemasaran dan promosi
pariwisata inovatif secara terpadu, sinergis, berkesinambungan dan
bertanggung jawab.
54
d. Kelembagaan Pariwisata.
1) Mengembangkan kebijakan dan regulasi termasuk perizinan usaha
pariwisata yang ramah lingkungan dan berbasis masyarakat.
2) Memperkuat kelembagaan organisasi pemerintah dan nonpemerintah termasuk kelembagaan koordinatif, peran dan tugas
masing-masing serta mekanisme koordinasi antar pemangku
kepentingan.
3) Mengembangkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) pariwisata
baik SDM pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat.
4) Meningkatkan keterpaduan antara Pemerintah dan pemerintah
daerah, antar sektor, antar pemangku kepentingan, antar sains dan
manajemen dalam pembangunan kepariwisataan.
4.3. Landasan Yuridis
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 menentukan landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru.
Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis
peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya
berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau
peraturannya memang sama sekali belum ada.
Persoalan
hukum
tentang
Rencana
Induk
Pembangunan
Kepariwisataan Daerah Kabupaten Wakatobi yang akan dibentuk,
dari
sisi landasan yuridis berhubungan dengan kekosongan hukum dan
peraturannya memang sama sekali belum ada, dimana Peraturan Daerah
tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kabupaten
Wakatobi diharapkan berfungsi sebagai rencana induk kepariwisataan,
belum terbentuk sebagaimana diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (3).
55
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH
5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan.
Naskah Akademik ini berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi
muatan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan yang akan dibentuk. Sasaran
yang akan diwujudkan dalam pengaturan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan ini, terdiri atas tujuan dan sasaran pembangunan
kepariwisataan daerah Kabupaten Wakatobi.
Adapun kebijakan dan strategi pembangunan kepariwisataan daerah
yang akan diwujudkan dalam pengaturan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah di Kabupaten Wakatobi ini meliputi:
a. Kebijakan berkaitan dengan destinasi pariwisata, kebijakan
pengaturannya meliputi:
1) Pengembangan struktur kepariwisataan dan perwilayahan destinasi
pariwisata yang mempunyai keterpaduan yang kuat dengan
pengembangan sektor-sektor terkait.
2) Pemantapan, penataan dan perintisan daya tarik wisata alam, daya
tarik wisata budaya dan daya tarik wisata buatan yang berdaya saing;
3) Peningkatan keterpaduan pengembangan daya tarik wisata alam,
budaya dan buatan.
4) Pengembangan dan peningkatan prasarana transportasi untuk
menunjang pergerakan internal dan konektivitas antar daya tarik
wisata di dalam wilayah kabupaten.
5) Pengembangan dan peningkatan konektivitas antara destinasi
pariwisata dengan asal wisatawan dan dengan pintu gerbang
pariwisata nasional dan/atau regional serta konektivitas dengan
destinasi hinterland khususnya di Provinsi Sultra.
6) Pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan pergerakan
wisatawan secara internal dan eksternal serta kenyamanan dan
keamanan pergerakan wisatawan.
7) Pengembangan dan peningkatan prasarana umum yang mendukung
pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan
kabupaten.
8) Pengembangan dan peningkatan fasilitas umum yang mendukung
pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan
kabupaten.
56
9) Pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata untuk mendukung
peningkatan investasi pariwisata.
10) Pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung pemberdayaan
masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan mikro.
11) Pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang berkualitas dan
berdaya saing.
12) Pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam
kepariwisataan termasuk pengembangan usaha produktif di bidang
pariwisata.
13) Pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai antarusaha
pariwisata dan antara usaha pariwisata dengan usaha sektor terkait.
14) Peningkatan akses dan dukungan permodalan serta perluasan akses
pasar terhadap produk industri kecil dan kerajinan dan usaha
pariwisata skala usaha mikro dan kecil.
15) Peningkatan kesadaran, peran, motivasi dan kemampuan masyarakat
serta pemangku kepentingan terkait.
16) Peningkatan kemudahan dan pemberian insentif investasi di bidang
pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
serta menggalakkan promosi investasi.
Untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan tersebut, ada sekitar dua puluh
tiga (23) strategi yang dirumuskan. Strategi-strategi tersebut dikelompokan
untuk untuk memudahkan dalam merumuskan norma pengaturannya,
diantaranya:
1) Strategi pengembangan struktur kepariwisataan dan perwilayahan
destinasi pariwisata.
2) Strategi pemantapan daya tarik wisata alam.
3) Strategi penataan daya tarik wisata alam.
4) Stategi perintisan daya tarik wisata alam.
5) Strategi pemantapan daya tarik wisata budaya.
6) Strategi penataan daya tarik wisata budaya.
7) Stategi pemantapan daya tarik wisata buatan.
8) Strategi penataan daya tarik wisata buatan.
9) Strategi perintisan daya tarik wisata buatan.
10) Strategi peningkatan keterpaduan pengembangan daya tarik wisata
alam, budaya dan buatan.
11) Startegi pengembangan dan peningkatan prasarana transportasi.
12) Strategi pengembangan dan peningkatan konektivitas antara
destinasi pariwisata dengan asal wisatawan dan dengan pintu
gerbang pariwisata nasional dan/atau regional serta konektivitas
dengan destinasi hinterland.
57
13)
14)
15)
16)
17)
18)
19)
20)
21)
22)
23)
Strategi pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan
pergerakan wisatawan secara internal dan eksternal serta
kenyamanan dan keamanan pergerakan wisatawan.
Strategi pengembangan dan peningkatan prasarana umum yang
mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing
kepariwisataan kabupaten..
Strategi pengembangan dan peningkatan fasilitas umum yang
mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing
kepariwisataan.
Strategi pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata untuk
mendukung peningkatan investasi pariwisata.
Strategi pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung
pemberdayaan masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan
mikro.
Strategi pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang berkualitas
dan berdaya saing.
Strategi pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi
masyarakat dalam kepariwisataan termasuk pengembangan usaha
produktif di bidang pariwisata.
Strategi pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai antar
usaha antar usaha pariwisata dan antara usaha pariwisata dengan
usaha sektor terkait.
Strategi peningkatan akses dan dukungan permodalan serta
perluasan akses pasar terhadap produk industri kecil dan
kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil.
Strategi peningkatan kesadaran, peran, motivasi dan kemampuan
masyarakat serta pemangku kepentingan terkait.
Strategi peningkatan kemudahan dan pemberian insentif investasi
di bidang pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan serta menggalakkan promosi investasi.
Ruang lingkup untuk setiap strategi, dirumuskan sebagai berikut:
1. Ruang lingkup strategi pengembangan struktur kepariwisataan dan
perwilayahan destinasi pariwisata meliputi:
a. menetapkan pusat pelayanan primer dan sekunder pariwisata secara
terpadu dengan pengembangan pusat kegiatan wilayah dan pusatpusat pelayanan kawasan dalam struktur ruang wilayah kabupaten.
b. menetapkan Destinasi Pariwisata Kabupaten (DPK), Kawasan
Pengembangan Pariwisata (KPP) Kabupaten dan Kawasan Strategis
Pariwisata (KSP) Kabupaten sesuai dengan potensi dan keunggulan
yang dimiliki masing-masing kawasan secara seimbang di antara
pulau-pulau utama.
58
c. memperkuat keterkaitan antar-KPP, antar-KSP, serta antara KPP dan
KSP
kabupaten
melalui
peningkatan
keterhubungan,
pengengembangan dan pengendalian investasi pariwisata dan
pengembangan produk serta paket-paket wisata.
2. Stategi pemantapan daya tarik wisata alam, ruang lingkupnya meliputi:
a. meningkatkan upaya pengelolaan daya tarik wisata alam yang telah
berkembang sehingga dapat diandalkan menjadi keunggulan saing
bagi destinasi.
b. mengendalikan aktivitas wisata alam dalam batas-batas daya
dukung.
c. Meningkatkan upaya konservasi keanekaragaman hayati (ekosistem,
jenis, dan genetik) yang menjadi daya tarik wisata agar integritas
lingkungan tetap terjaga kelestariannya.
3. Strategi penataan daya tarik wisata alam, ruang lingkupnya meliputi:
a. menata pola tapak daya tarik wisata alam secara harmonis guna
mengintegrasikan fungsi-fungsi pemanfaatan bagi aktivitas wisata
dan konservasi/perlindungan lingkungan.
b. mengelola daya tarik wisata alam secara inovatif guna
mengoptimalkan
fungsi-fungsi
pemanfaatan
dan
konservasi/perlindungan lingkungan.
4. Strategi perintisan daya tarik wisata alam, ruang lingkup meliputi :
a. Menggali unsur-unsur keunikan alam untuk dikembangkan sebagai
daya tarik wisata baru.
b. Mengembangkan diversifikasi daya tarik wisata dengan memasukkan
daya tarik wisata baru dalam paket-paket perjalanan wisata.
5. Strategi pemantapan daya tarik wisata budaya, ruang lingkup meliputi:
a. meningkatkan upaya pengelolaan daya tarik wisata budaya yang
telah berkembang sehingga dapat diandalkan sebagai komplementer
keunggulan saing bagi destinasi selain daya tarik wisata alam.
b. meningkatkan upaya konservasi warisan budaya (situs/cagar budaya
dan peninggalan sejarah) dalam kepariwisataan.
6. Strategi penataan daya tarik wisata budaya, ruang lingkup meliputi:
a. menata pola tapak daya tarik wisata budaya secara harmonis guna
mengintegrasikan fungsi-fungsi pemanfaatan bagi aktivitas wisata
dan konservasi/perlindungan warisan budaya.
b. mengelola daya tarik wisata budaya yang inovatif guna
mengoptimalkan
fungsi-fungsi
pemanfaatan
dan
konservasi/perlindungan warisan budaya.
7. Strategi pemantapan daya tarik wisata buatan ruang lingkup meliputi :
a. meningkatkan upaya pengelolaan daya tarik wisata buatan sehingga
dapat diandalkan sebagai komplementer keunggulan saing bagi
destinasi selain daya tarik wisata alam.
59
b. meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan daya
tarik wisata buatan.
8. Strategi penataan daya tarik wisata buatan ruang lingkup meliputi:
a. menata pola tapak daya tarik wisata buatan secara harmonis guna
mengintegrasikan fungsinya sebagai daya tarik wisata dan
pemanfaatan tadisional.
b. pengelolaan daya tarik wisata buatan yang inovatif berbasis
masyarakat.
9. Strategi perintisan daya tarik wisata buatan ruang lingkupnya meliputi :
a. penggalian unsur-unsur keunikan bangunan-bangunan, pola
perkampungan dan elemen-elemen arsitektur tradisional untuk
dikembangkan sebagai daya tarik wisata baru.
b. mengembangkan diversifikasi daya tarik wisata buatan dengan
memasukkannya kedalam paket-paket perjalanan wisata.
10. Strategi peningkatan keterpaduan pengembangan daya tarik wisata
alam, budaya dan buatan ruang lingkupnya meliputi:
a. mengembangkan keterpaduan antar daya tarik wisata alam, budaya
dan buatan dalam paket-paket perjalanan wisata.
b. memperkuat konektivitas antar daya tarik wisata alam, budaya dan
buatan dalam struktur kepariwisataan kabupaten.
11. Startegi pengembangan dan peningkatan prasarana transportasi
meliputi:
a. mengembangkan
dan
meningkatkan
jaringan
jalan
yang
menghubungkan antar pusat-pusat pelayanan pariwisata dan/atau
kawasan pariwisata, antara pusat pelayanan pariwisata dan/atau
kawasan pariwisata dengan daya tarik wisata dan antar daya tarik
wisata.
b. mengembangkan dan meningkatkan pedestrian di pusat-pusat
pelayanan pariwisata.
c. mengembangkan dan meningkatkan dermaga di pulau-pulau kecil.
12. Strategi pengembangan dan peningkatan konektivitas antara destinasi
pariwisata dengan asal wisatawan dan dengan pintu gerbang pariwisata
nasional dan/atau regional serta konektivitas dengan destinasi
hinterland meliputi :
a. mengembangkan dan meningkatkan jaringan jalan kolektor primer
dan jalan lingkungan primer di masing-masing pulau.
b. mengembangkan kapasitas Pelabuhan Laut dan Pelabuhan
Penyeberangan serta penataannya sebagai pintu gerbang masuknya
wisatawan melalui jalur laut.
c. akselerasi pembangunan marina di Wangi-Wangi dan pengembangan
dermaga-dermaga khusus pariwisata di masing-masing kawasan
pariwisata secara representatif.
d. optimalisasi Pelabuhan Laut sebagai pelabuhan kapal cruise dalam
rangka meningkatkan intensitas kunjungan kapal cruise.
60
e. mengembangkan kapasitas Bandara Matahora sebagai pintu
gerbang utama masuknya wisatawan melalui udara.
f. meningkatkan kelas atau status dan/atau mengintegrasikan
fungsi Bandara Maranggi di Pulau Tomia sebagai Bandara umum
disertai dengan pengembangan kapasitas bandara.
13. Strategi pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan
pergerakan wisatawan secara internal dan eksternal serta kenyamanan
dan keamanan pergerakan wisatawan meliputi:
a. Meningkatkan ketersediaan sarana transportasi darat sebagai
sarana pergerakan wisatawan menuju destinasi dan pergerakan
wisatawan internal sesuai kebutuhan dan perkembangan pasar
dengan memprioritaskan usaha transportasi kerakyatan.
b. Meningkatkan ketersediaan sarana transportasi laut dan
intensitas pelayaran angkutan niaga dan penyeberangan.
c. Meningkatkan ketersediaan sarana pelayaran rakyat dan sarana
pelayaran angkutan pariwisata internal sesuai kebutuhan.
d. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas kenyamanan dan
keamanan sarana trasportasi darat.
e. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas kenyamanan dan
keamanan sarana angkutan laut internal termasuk pembinaan
pelayaran rakyat dan pelayaran angkutan pariwisata internal
yang dikelola masyarakat.
f. Memfasilitasi penyediaan fasilitas keselamatan pelayaran rakyat
dan pelayaran angkutan pariwisata yang dikelola masyarakat.
14. Strategi pengembangan dan peningkatan prasarana umum yang
mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing
kepariwisataan meliputi :
a. Meningkatkan kapasitas ketersediaan air bersih yang mendukung
pengembangan pariwisata melalui optimalisasi pengembangan
sumber-sumber air yang ada dan pengembangan jaringannya.
b. Meningkatan kapasitas ketersediaan energi listrik beserta
jaringannya dengan mengembangkan bauran sumber-sumber
energi listrik.
c. Mengembangkan dan meningkatkan prasarana dan sarana
persampahan disertai usaha pengelolaan sampah secara terpadu
dan berbasis masyarakat.
d. Mengembangkan instalasi pengelolaan air limbah secara komunal
di pusat-pusat pelayanan pariwisata.
e. Mengembangkan prasarana dan sarana mitigasi bencana dengan
mengoptimalkan potensi dan kearifan lokal.
61
15. Strategi pengembangan dan peningkatan fasilitas umum yang
mendukung pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing
kepariwisataan meliputi :
a. Mengembangkan lembaga pendidikan tinggi setingkat Sekolah
Tinggi atau Akademi di bidang pariwisata di bawah Kementerian
Pariwisata.
b. Mendorong partisipasi masyarakat untuk mengembangkan
lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang pariwisata.
c. Mengembangkan fasilitas kesehatan dan keselamatan wisata
selam;dan
d. Mengembangkan dan menata pasar-pasar tradisional sekaligus
sebagai daya tarik wisata.
16. Strategi pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata untuk
mendukung peningkatan investasi pariwisata dilakukan dengan
mengembangkan dan meningkatkan ketersediaan fasilitas pariwisata
dalam kerangka investasi pariwisata berdasarkan perwilayahan
pariwisata.
17. Strategi pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung
pemberdayaan masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan mikro
meliputi :
a. Mengembangkan
fasilitas
pariwisata
dalam
kerangka
pemberdayaan masyarakat, pengembangan desa wisata dan
kampung-kampung wisata.
b. Mengembangkan pasar seni dan kios-kios cinderamata di pusatpusat pelayanan pariwisata, daya tarik wisata dan desa-desa
wisata.
18. Strategi pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang berkualitas dan
berdaya saing meliputi:
a. Mengembangkan
fasilitas
penunjang
pengusahaan
dan
peningkatan daya tarik wisata yang semakin berkualitas.
b. Mengembangkan fasilitas daya tarik wisata untuk menunjang
pengusahaan daya tarik wisata dalam rangka pemberdayaan
masyarakat.
c. Mengembangkan fasilitas daya tarik wisata untuk meningkatkan
keamanan, kenyamanan dan keselamatan wisata.
d. Mengembangkan fasilitas daya tarik wisata untuk meningkatkan
perlindungan lingkungan.
19. Strategi pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat
dalam kepariwisataan termasuk pengembangan usaha produktif di
bidang pariwisata meliputi :
a. Memetakan secara partisipatif potensi dan kebutuhan penguatan
kapasitas masyarakat lokal dalam pengembangan kepariwisataan.
62
b. Memberdayakan potensi dan kapasitas masyarakat lokal dalam
pengembangan kepariwisataan.
c. Mengembangkan kelembagaan dan menguatkan kelembagaan
masyarakat yang telah ada guna mendorong kapasitas dan peran
masyarakat dalam pengembangan kepariwisataan.
d. Mengembangkan potensi sumber daya lokal yang ada di
masyarakat dan di lingkungan sekitarnya sebagai daya tarik
wisata berbasis masyarakat lokal dalam kerangka pemberdayaan
masyarakat melalui pariwisata;
e. Mengembangkan potensi sumber daya lokal melalui desa wisata
dan kampung-kampung wisata.
f. Meningkatkan kualitas produk industri kecil/kerajinan sebagai
komponen pendukung produk wisata.
g. Meningkatkan kemampuan berusaha pelaku usaha pariwisata
skala usaha mikro dan kecil yang dikembangkan masyarakat
lokal.
h. Mengembangkan regulasi untuk mendorong pemberian insentif
dan kemudahan bagi pengembangan industri kecil/kerajinan dan
usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil.
i. Mengembangkan
regulasi
untuk
pelindungan
terhadap
kelangsungan industri kecil/kerajinan dan usaha pariwisata skala
usaha mikro dan kecil.
20. Strategi pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai antar
usaha antar usaha pariwisata dan antara usaha pariwisata dengan
usaha sektor terkait meliputi :
a. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan kemitraan antar
usaha kepariwisataan dengan industri kecil/kerajinan dan usaha
mikro dan kecil.
b. Meningkatkan kualitas produk industri kecil/kerajinan dan
layanan jasa kepariwisataan yang dikembangkan usaha mikro
dan kecil dalam memenuhi standar pasar.
c. Meningkatkan kualitas produk-produk pertanian, perkebunan,
perikanan dan peternakan melalui pemberdayaan masyarakat
dalam memenuhi standar pasar pariwisata.
21. Strategi peningkatan akses dan dukungan permodalan serta perluasan
akses pasar terhadap produk industri kecil dan kerajinan dan usaha
pariwisata skala usaha mikro dan kecil meliputi :
a. Memperkuat akses dan jejaring industri kecil dan kerajinan dan
usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil dengan sumber
potensi pasar dan informasi global.
b. Meningkatkan
tanggung
jawab
sosial
dan
lingkungan
perusahaan dalam upaya memperluas akses pasar terhadap
63
produk industri kecil/kerajinan dan usaha pariwisata skala
usaha mikro dan kecil.
c. Insentif dan kemudahan terhadap akses permodalan bagi usaha
pariwisata skala usaha mikro dan kecil dalam pengembangan
usaha.
d. Bantuan permodalan untuk mendukung perkembangan industri
kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan
kecil.
22. Strategi peningkatan kesadaran, peran, motivasi dan kemampuan
masyarakat serta pemangku kepentingan terkait meliputi:
a. Mengintensifkan komunikasi-informasi-edukasi (KIE) kepada
masyarakat guna meningkatkan pemahaman dan kesadaran
tentang sadar wisata dalam mendukung pengembangan
kepariwisataan.
b. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mewujudkan sadar
wisata bagi penciptaan iklim kondusif kepariwisataan setempat
melalui kepeloporan tokoh-tokoh setempat.
c. Melibatkan masyarakat, tokoh dan generasi muda dalam
menciptakan iklim kondusif kepariwisataan.
d. Membangun dan meningkatkan kualitas jejaring media dalam
mendukung upaya peningkatan kesadaran dan peran
masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di bidang pariwisata.
e. Mengembangkan
komunikasi-informasi-edukasi
mengenai
kepariwisataan kepada masyarakat dan sekolah-sekolah.
f. Meningkatkan kuantitas dan kualitas serta penyebaran informasi
pariwisata nusantara kepada masyarakat untuk menumbuhkan
wawasan kepariwisataan.
23. Strategi peningkatan kemudahan dan pemberian insentif investasi di
bidang pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan serta menggalakkan promosi investasi meliputi :
a. Meningkatkan pelayanan perizinan sesuai dengan SOP yang ada
melalui pengembangan kapasitas birokrasi.
b. Menyempurnakann regulasi yang menghambat investasi.
c. Menyediakan informasi peluang-peluang investasi yang mudah
diakses.
d. Meningkatkan promosi investasi di bidang pariwisata di dalam
negeri dan di luar negeri.
b. Industri
Pariwisata.
Ruang
lingkup
perumusan
kebijakan
pembangunan industri pariwisata yang akan dituangkan dalam
pengaturan norma hukumnya meliputi:
a. Peningkatan daya saing daya tarik wisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan kualitas dan keragaman usaha daya tarik wisata.
64
b. Peningkatan daya saing fasilitas pariwisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan kapasitas dan kualitas fungsi dan layanan fasilitas
pariwisata yang memenuhi standar internasional dan mengangkat
unsur keunikan dan kekhasan lokal.
c. Pengembangan kemitraan usaha pariwisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan skema kerja sama antara Pemerintah, pemerintah
daerah, dunia usaha, dan masyarakat.
d. Penciptaan kredibilitas bisnis diwujudkan dalam bentuk pengembangan
manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang kredibel dan
berkualitas serta bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Agar kebijakan-kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik,
perlu dirumuskan beberapa strategi, seperti:
1. Strategi peningkatan daya saing daya tarik wisata diwujudkan dalam
bentuk pengembangan kualitas dan keragaman usaha daya tarik
wisata, meliputi :
a. Mengembangkan manajemen atraksi termasuk manajemen
berbasis konservasi (alam dan budaya dengan keterlibatan
masyarakat di dalamnya).
b. Mengembangkan,
melengkapi
dan
memperbaiki
kualitas
interpretasi daya tarik wisata.
c. Menguatkan kualitas produk wisata.
d. Meningkatkan pengemasan produk wisata dan diversitas
keragaman paket-paket produk wisata.
2. Startegi peningkatan daya saing fasilitas pariwisata diwujudkan dalam
bentuk pengembangan kapasitas dan kualitas fungsi dan layanan
fasilitas pariwisata yang memenuhi standar internasional dan
mengangkat unsur keunikan dan kekhasan local meliputi :
a. Mendorong
dan
memfasilitasi
penerapan
meningkatkan
standardisasi dan sertifikasi usaha pariwisata melalui penyiapan
perangkat-perangkatnya.
b. Mengembangkan skema fasilitasi untuk mendorong pertumbuhan
usaha pariwisata skala usaha mikro, kecil dan menengah.
c. Memberikan insentif untuk menggunakan produk dan tema yang
memiliki keunikan dan kekhasan lokal.
3. Startegi pengembangan kemitraan usaha pariwisata diwujudkan dalam
bentuk pengembangan skema kerja sama antara Pemerintah,
pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dilakukan dengan
menguatkan kerja sama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia
usaha, dan masyarakat.
4. Strategi penciptaan kredibilitas bisnis diwujudkan dalam bentuk
pengembangan manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang
kredibel dan berkualitas serta bertanggung jawab terhadap lingkungan
meliputi :
65
a. Menerapkan standardisasi dan sertifikasi usaha pariwisata yang
mengacu pada prinsip-prinsip dan standar internasional dengan
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya local.
b. Menerapkan sistem yang aman dan tepercaya dalam transaksi
bisnis secara elektronik.
c. Mendukung penjaminan usaha melalui regulasi dan fasilitasi;
d. Mendorong tumbuhnya ekonomi biru (blue economy) di sepanjang
mata rantai usaha pariwisata.
e. Mengembangkan manajemen usaha pariwisata yang peduli
terhadap pelestarian lingkungan dan budaya.
c. Pemasaran Pariwisata. Kebijakan-kebijakan pembangunan pemasaran
pariwisata yang dapat atau relevan dirumuskan dalam draft rancangan
peraturan daerah yang akan dibentuk meliputi :
1) Pengembangan pasar wisatawan dalam bentuk pemantapan
segmen pasar ekotutis yang bersifat segmen ceruk pasar untuk
mengoptimalkan pengembangan destinasi ekowisata.
2) Pemantapan citra kepariwistaan kabupaten secara berkelanjutan
termasuk peningkatan citra sebagai destinasi pariwisata yang
aman, nyaman, dan berdaya saing.
3) Pengembangan kemitraan pemasaran pariwisata diwujudkan
dalam bentuk pengembangan kemitraan pemasaran yang terpadu,
sinergis, berkesinambungan dan berkelanjutan.
4) Penguatan dan perluasan eksistensi promosi di dalam negeri dan
luar negeri.
Untuk mencapai sasaran dari kebijakan-kebijakan tersebut, strategi
yang relevan dirumuskan meliputi:
1. Strategi pengembangan pasar wisatawan dalam bentuk pemantapan
segmen pasar ekotutis yang bersifat segmen ceruk pasar untuk
mengoptimalkan pengembangan destinasi ekowisata meliputi :
a. Meningkatkan pemasaran dan promosi untuk mendukung
penciptaan destinasi ekowisata.
b. Meningkatkan akselerasi pemasaran dan promosi pada pasar
utama, baru, dan berkembang.
c. Mengembangkan pemasaran dan promosi untuk meningkatkan
pertumbuhan segmen ceruk pasar.
d. Mengembangkan promosi berbasis tema ekowisata.
e. Meningkatkan pemasaran wisata konvensi, insentif dan pameran
yang bertemakan ekowisata.
2. Strategi pemantapan citra kepariwistaan secara berkelanjutan termasuk
peningkatan citra sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan
berdaya saing meliputi :
a. Meningkatkan dan memantapkan pemosisian citra pariwisata
termasuk pemosisian citra pariwisata di antara para pesaing
66
didasarkan kekuatan keberadaan TNW sebagai Cagar Biosfer dan
ikon utama kepariwisataan kabupaten yang telah dikenal luas
baik secara nasional maupun di dunia internasional serta
kekuatan keanekaragaman hayati lainnya, budaya dan keramahtamahan penduduk.
b. Meingkatkan promosi dan diplomasi guna mengkomunikasikan
bahwa Wakatobi sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman,
dan berdaya saing.
3. Strategi pengembangan kemitraan pemasaran pariwisata diwujudkan
dalam bentuk pengembangan kemitraan pemasaran yang terpadu,
sinergis, berkesinambungan dan berkelanjutan meliputi:
a. Meningkatkan keterpaduan yang sinergis promosi antar pemangku
kepentingan.
b. Mengembangkan berbagai strategi pemasaran berbasis pada
pemasaran yang bertanggung jawab, yang menekankan tanggung
jawab terhadap masyarakat, sumber daya lingkungan dan
wisatawan.
4. Strategi penguatan dan perluasan eksistensi promosi di dalam negeri
dan luar negeri meliputi :
a. Akselerasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah dan
mengoptimalkan peran dan fungsi Forum Tata Kelola.
b. Menguatkan dukungan, koordinasi dan sinkronisasi terhadap
Badan Promosi Pariwisata Daerah dan Forum Tata Kelola.
c. Menguatkan fungsi dan peran promosi pariwisata di dalam negeri.
d. Menguatkan fungsi dan keberadaan promosi pariwisata di luar
negeri melalui fasilitasi program kemitraan antara pelaku promosi
pariwisata Indonesia di dalam negeri dengan pelaku promosi
pariwisata Indonesia yang berada di luar negeri.
d. Kelembagaan
Pariwisata.
Kebijakan-kebijakan
pembangunan
kelembagaan pariwisata yang dapat atau relevan dirumuskan dalam
draft rancangan peraturan daerah yang akan dibentuk meliputi :
1) Penguatan organisasi kepariwisataan melalui penguatan mekanisme
kinerja organisasi dan penguatan organisasi kepariwisataan yang
menangani bidang-bidang teknis kepariwisataan (pemasaran,
industri dan destinasi).
2) Peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM Pariwisata di lingkungan
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
3) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan untuk mendukung
pembangunan kepariwisataan.
Untuk mencapai sasaran dari kebijakan-kebijakan tersebut, strategi yang
relevan dirumuskan meliputi
1. Strategi penguatan organisasi kepariwisataan melalui penguatan
mekanisme kinerja organisasi dan penguatan organisasi kepariwisataan
67
yang menangani bidang-bidang teknis kepariwisataan (pemasaran,
industri dan destinasi) meliputi:
a. Menguatkan tata kelola organisasi kepariwisataan dalam struktur
pemerintahan kabupaten.
b. Menguatkan kemampuan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan program pembangunan kepariwisataan.
c. Menguatkan mekanisme sinkronisasi dan harmonisasi program
pembangunan kepariwisataan baik secara internal SKPD yang
membidangi pariwisata maupun lintas SKPD.
d. Menguatkan struktur dan fungsi organisasi bidang-bidang.
e. Memfasilitasi terbentuknya Badan Promosi Pariwisata Daerah.
f. Menguatkan kemitraan antara Badan Promosi Pariwisata
Indonesia atau Daerah dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dalam pembangunan kepariwisataan kabupaten.
g. Menguatkan struktur dan fungsi Forum Tata Kelola.
h. Menguatkan kemitraan antara Forum Tata Kelola dan Pemerintah
atau Pemerintah Daerah dalam pembangunan kepariwisataan
kabupaten.
2. Strategi peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM Pariwisata di
lingkungan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat meliputi :
a. Meningkatkan kemampuan dan profesionalitas pegawai bidang
kepariwisataan;
b. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola
pendidikan dan latihan bidang kepariwisataan;
c. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang
memiliki sertifikasi kompetensi;
d. Meningkatkan
kemampuan
kewirausahaan
di
bidang
kepariwisataan
e. Meningkatkan kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan
kepariwisataan yang terakreditasi;
f. Mengembangkan lembaga pendidikan bidang kepariwisataan baik
di tingkat SMK maupun pendidikan tinggi;dan
g. Mengembangkan lembaga pelatihan dan kursus bidang
kepariwisataan.
3. Strategi penyelenggaraan penelitian dan pengembangan untuk
mendukung pembangunan kepariwisataan meliputi :
a. Meningkatkan
penelitian
dalam
rangka
memperkuat
pengembangan desinasi berbasis ekowisata, pemberdayaan
masyarakat dan pengembangan investasi melalui kerjasama
dengan perguruan tinggi, LSM, lembaga riset, TNW dan lembagalembaga internasional.
b. Meningkatkan penelitian dalam rangka pengembangan daya tarik
wisata, pengembangan pasar baru dan pengembangan produk,
pengembangan dan penguatan citra pariwisata, peningkatan daya
68
saing produk pariwisata,
penguatan industri pariwisata,
pengembangan kemitraan usaha pariwisata,
penciptaan
kredibilitas bisnis, pengembangan tanggung jawab terhadap
lingkungan, pengembangan organisasi kepariwisataan dan
pengembangan SDM pariwisata.
5.2.Ruang Lingkup Materi dan Jangkauan Pengaturan Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan.
Ruang lingkup materi muatan, arah dan jangkauan pengaturan
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Wakatobi
mencakup:
1. Ketentuan umum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran II
menentukan ketentuan umum tersebut sebagai berikut:
a. Ketentuan Umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian
istilah, dan frasa.
b. Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam Peraturan
Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan
umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal.
c. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
d. Ketentuan umum berisi:
1. batasan pengertian atau definisi.
2. singkatan
atau
akronim
yang
dituangkan
dalam
batasanpengertian atau definisi.
3. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau
beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang
mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan
tersendiri dalam pasal atau bab.
Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi,
singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing
uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan
huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
a. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata
atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau
beberapa pasal selanjutnya.
b. Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan
dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang
akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan
rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah
berlaku tersebut.
c. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang
undangan
dapat
berbeda
dengan
rumusan
Peraturan
69
Perundangundangan yang lain karena disesuaikan dengan
kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur.
d. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata
atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian
atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi.
e. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di
dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka
rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan
pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau
definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang
dilaksanakan tersebut.
f. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim
berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka
batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak
perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan
lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
g. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan
atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis
dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur,
penjelasan maupun dalam lampiran.
h. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum
mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a) pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan
lebih dahulu dari yang berlingkup khusus.
b) pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok
yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu.
c) pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya
diletakkan berdekatan secara berurutan.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksudkan diatas, maka
ketentuan umum yang dirumuskan dalam Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah ini, antara lain:
1.
2.
3.
4.
Daerah adalah Kabupaten Wakatobi.
Pemerintah Daerah adalah Pemerintahan Kabupaten Wakatobi.
Bupati adalah Bupati Wakatobi.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wakatobi
5. Satuan Kerja Perangkat Daerah selanjutnya disingkat SKPD adalah
Satuan Kerja Perangkat Daerah lingkup Pemerintah Kabupaten
Wakatobi.
6. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah yang
selanjutnya disebut RIPPARDA adalah dokumen perencanaan
70
pembangunan kepariwisataan daerah untuk periode tahun 2016
sampai dengan tahun 2029.
7. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul
sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi
antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan,
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Pengusaha.
8. Pembangunan adalah suatu proses perubahan ke arah yang lebih
baik yang di dalamnya meliputi upaya-upaya perencanaan,
implementasi dan pengendalian, dalam rangka penciptaan nilai
tambah sesuai yang dikehendaki.
9. Daerah Tujuan Pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi
Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau
lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat Daya Tarik
Wisata, Fasilitas Umum, Fasilitas Pariwisata, aksesibilitas, serta
masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya
Kepariwisataan.
10. Destinasi Pariwisata Kabupaten yang selanjutnya disingkat DPK
adalah Destinasi Pariwisata yang berskala Kabupaten.
11. Kawasan Strategis Pariwisata Daerah yang selanjutnya disingkat
KSPD adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau
memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata kabupaten yang
mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti
pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber
daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan
keamanan.
12. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,
keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam,
budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau
tujuan kunjungan wisatawan.
13. Aksesibilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana dan prasarana
transportasi yang mendukung pergerakan wisatawan dari wilayah
asal wisatawan ke Destinasi Pariwisata maupun pergerakan di dalam
wilayah Destinasi Pariwisata dalam kaitan dengan motivasi
kunjungan wisata.
14. Prasarana Umum adalah kelengkapan dasar fisik suatu lingkungan
yang pengadaannya memungkinkan suatu lingkungan dapat
beroperasi dan berfungsi sebagaimana semestinya.
15. Fasilitas Umum adalah sarana pelayanan dasar fisik suatu
lingkungan yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dalam
melakukan aktifitas kehidupan keseharian.
71
16. Fasilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana yang secara khusus
ditujukan untuk mendukung penciptaan kemudahan, kenyamanan,
keselamatan wisatawan dalam melakukan kunjungan ke Destinasi
Pariwisata.
17. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan
kesadaran, kapasitas, akses, dan peran masyarakat, baik secara
individu maupun kelompok, dalam memajukan kualitas hidup,
kemandirian, dan kesejahteraan melalui kegiatan Kepariwisataan.
18. Pemasaran
Pariwisata
adalah
serangkaian
proses
untuk
menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan produk wisata
dan mengelola relasi dengan wisatawan untuk mengembangkan
Kepariwisataan dan seluruh pemangku kepentingannya.
19. Industri Pariwisata adalah kumpulan Usaha Pariwisata yang saling
terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi
pemenuhan
kebutuhan
wisatawan
dalam
penyelenggaraan
pariwisata.
20. Kelembagaan Kepariwisataan adalah kesatuan unsur beserta
jaringannya yang dikembangkan secara terorganisasi, meliputi
Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat, sumber
daya manusia, regulasi dan mekanisme operasional, yang secara
berkesinambungan guna menghasilkan perubahan ke arah
pencapaian tujuan di bidang Kepariwisataan.
21. Organisasi Kepariwisataan adalah institusi baik di lingkungan
Pemerintah
maupun
swasta
yang
berhubungan
dengan
penyelenggaraan kegiatan Kepariwisataan.
22. Sumber Daya Manusia Pariwisata yang selanjutnya disingkat SDM
Pariwisata adalah tenaga kerja yang pekerjaannya terkait secara
langsung dan tidak langsung dengan kegiatan Kepariwisataan.
23. Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau
jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan
pariwisata.
24. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan
pekerja pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk
pariwisata, pelayanan dan pengelolaan Kepariwisataan.
25. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk
tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan
daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
26. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.
27. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
72
28. Pengusaha Pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang
melakukan kegiatan usaha pariwisata.
29. Perwilayahan pembangunan kepariwisataan daerah adalah hasil
pewilayahan pembangunan kepariwisataan yang diwujudkan dalam
bentuk kawasan pariwisata daerah, kawasan pembangunan
pariwisata daerah, dan kawasan strategis pariwisata daerah.
30. Kawasan pariwisata daerah adalah kawasan pariwisata yang
merupakan keterpaduan sistemik antar kawasan pembangunan
pariwisata dalam skala daerah.
31. Kawasan pembangunan pariwisata daerah adalah kawasan geografis
di dalam destinasi pariwisata yang memilikitema tertentu, dengan
komponen daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata,
aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi
terwujudnya kepariwisataan.
32. Infrastruktur pariwisata adalah semua fasilitas yang memungkinkan
semua proses dan kegiatan kepariwisataan dapat berjalan dengan
lancar sedemikian rupa, sehingga dapat memudahkan wisatawan
memenuhi kebutuhannya.
33. Ekowisata adalah pariwisata yang bertanggungjawab di daerah alami
atau yang dikelola dengan kaidah alam, memeliki komitmen
terhadap kelestarian lingkungan, memberikan manfaat ekonomi
terutama kepada masyarakat lokal dan diselenggarakan sesuai
dengan nilai sosial budaya masyarakat setempat
34. Ekowisata berbasis masyarakat adalah usaha ekowisata yang
dikelola dan dikembangkan oleh masyarakat setempat yang memiliki
kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian
lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
35. Standarisasi
kepariwisataan
adalah
proses
merumuskan,
menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan
secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak guna menjamin
kualitas dan kredibilitas usaha di bidang kepariwisataan.
36. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja
pariwisata untuk mengembangkan profesionalitas kerja.
37. Sertifikat
adalah
jaminan
tertulis
yang
diberikan
oleh
lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan
bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel telah memenuhi
standar yang dipersyaratkan.
73
b. Materi Pokok Yang Diatur.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran II
menentukan materi pokok yang akan diatur disusun dengan berpedoman
pada kriteria sebagai berikut:
1. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab
ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi
pokok yang diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal
ketentuan umum.
2. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil
dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
3. Pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi,
seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
4. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam
hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama,
tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
5. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung,
Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
Berdasarkan pada pedoman kriteria diatas, materi pokok yang diatur
dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kabupaten
Wakatobi terdiri dari :
No Bab
Tentang
1
I
Ketentuan Umum
2
II
Pembangunan Kepariwisataan Daerah
3
III Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Pariwisata
Daerah
4
IV Rencana Pembangunan Perwilayahan Pariwisata
5
V
Rencana Program Pembangunan Pariwisata
6
VI Indikasi Program Pembangunan Kepariwsaitaan
7
VII Pengawasan Dan Pengendalian
8
VIII Ketentuan Penutup
Pasal
1
2- 12
13 - 43
44 - 56
57 - 60
61
62
63
RIPPARDA Kabupaten Wakatobi mempunyai kedudukan sebagai berikut :
1. Merupakan penjabaran dari visi dan misi pembangunan Daerah serta
kebijakan pembangunan yang berlaku.
2. Sebagai dasar hukum dan dasar pertimbangan di dalam menyusun
Rencana Pembangunan Jangka Pendek, Menengah dan Panjang
Bidang Pariwisata dan Rencana Strategis Dinas Pariwisata Daerah.
3. Sebagai dasar perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian
pembangunan kepariwisataan Daerah.
74
c. Ketentuan Sanksi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran
II khususnya berkaitan dengan pengaturan sanksi pidana menentukan jika
diperlukan. Hal ini berarti pengaturan sanksi pidana dalam Peraturan
Daerah tidak bersifat mutlak, tergantung dari kebutuhan. Dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Wakatobi tentang
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah yang akan dibentuk tidak memerlukan pengaturan
tentang sanksi pidana.
d. Ketentuan Peralihan.
Ketentuan peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan
hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan
yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum.
b.menjamin kepastian hukum.
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak
perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
d.mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Berdasarkan kajian pada landasan yuridis, ditemukan bahwa belum
ada pengaturan berupa Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah. Dengan tidak
adanya peraturan daerah tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan, maka tidak ada kajian berupa penyesuaian pengaturan
tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan
Peraturan Daerah lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang
baru. Dengan demikian, dalam Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi
tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah ini tidak
mengatur tentang Ketentuan Peralihan.
75
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang telah di lakukan, dapat ditarik kesimpulan;
a. Bahwa Kabupaten Wakatobi belum mempunyai Peraturan Daerah
tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah.
b. Berdasarkan keseluruhan pengkajian secara normatif dan praktek
empiris, maka perlu disusun Peraturan Daerah tentang Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah.
c. Dasar kewenangan daerah untuk membentuk Peraturan Daerah
diatur dalam Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014
tentang
Pemerintahan
Daerah
mengatur,
Untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,
Daerah membentuk Perda. Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD
dengan persetujuan bersama kepala Daerah. Peraturan Daerah
tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah juga
ditentukan secara tegas dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
6.2. Saran
1. Menyiapkan segera Peraturan Daerah yang mengatur tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan.
2. Menyiapkan Peraturan Daerah yang mengatur tentang Rencana
jangka pendek, Rencana jangka menengah dan Rencana jangka
panjang beserta Peraturan Bupati sebagai bentuk pendelegasian
kewenangan mengatur.
3. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga
masyarakat dapat memberikan masukan dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi
tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah,sesuai
dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi
masyarakat dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 dan Pasal 354 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 354 ayat (4) UU
Pemerintahan Daerah 2014, partisipasi masyarakat dilakukan
dalam bentuk :
a. konsultasi publik.
b. Musyawarah.
c. Kemitraan.
d. penyampaian aspirasi.
e. Pengawasan.
f. keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
76
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007.
http. Retrieved December 15, 2013, from
www.ret.gov.au/tourism
/decuments/tourism
industri
development_
best_practice_destination _manag ement-planning_framework.
Bernard Arief Sidharta, “Penelitian hukum normative” analisis
penelitian philosophical dan dogmatical”, dalam Soelistyowati Irianto dan
Sidharta, eds., 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
C.F.G Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada
Akhir Abad ke 2, Alumni, Bandung.
Damanik, J., & Teguh, F. 2012. Manajemen Destinasi Pariwisata:
Sebuah Pengantar Ringkas. Yogyakarta: Kepel Press.
Edgell, D. L., Allen, M. D., Smith, G., & Swanson, J. R. 2008. Tourism
Policy and Planning: Yesterday, Today and Tomorrow. Great Britain: Elsevier
Inc.
Edgell, S. L. 2006. Managing Sustainable Tourism: A Legacy for the
Future. Binghamton, NY: The Haworth Hospitality Press.
European Communities, 2003. A Manual for Evaluating the Quality
Performance of Tourist Destinations and Services.
Enterprise DG
Publication, Luxembourg.
Kim, D. K., & Lee, T. H. 2004. Public and Private Partnership for
Facilitating Tourism Investment in the APEC Member Economies. Seoul: Korea
Asia-Pacific Economic Coorporation.
Osmanovic, J., Kenjic, V., & Zrnic, R. 2010. Destination Management:
Concensus for Competitiveness. Tourism & Hospitality Management
Organisation Conference Proceedings.
Peter Mahmud
Interpratama Offset.
Marzuki;
2005,
Penelitian
Hukum,
Jakarta
LAMPIRAN
1. KONSEP AWAL RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN
WAKATOBI
TENTANG
RENCANA
INDUK
PEMBANGUNAN
PARIWISATA (RIPPARDA) KABUPATEN WAKATOBI.
77
LAMIRAN KONSEP AWAL RANCANGAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN WAKATOBI TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN
PARIWISATA (RIPPARDA) KABUPATEN WAKATOBI.
BUPATI WAKATOBI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI
NOMOR ... TAHUN….
TENTANG
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN
KABUPATEN WAKATOBI TAHUN 2016-2025
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI WAKATOBI,
Menimbang
:
a.
b.
bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional dan daerah yang dilakukan secara
sistematis,
terencana,
terpadu,
berkelanjutan,
dan
bertanggungjawab dengan tetap memberikan perlindungan
terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam
masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta
kepentingan daerah;
bahwa Kabupaten Wakatobi merupakan kabupaten
kepulauan berbasis budaya maritime dan kawasan
konservasi yang memiliki potensi dalam pengembangan
kepariwisataan dan telah ditetapkan sebagai kawasan
strategis pariwisata nasional yang diharapkan dapat
menjadi
lokomotif
dan
penggerak
pembangunan
kepariwisataan yang tidak hanya penting bagi Kabupaten
Wakatobi sendiri tetapi juga dalam skala Provinsi Sulawesi
Tenggara dan nasional;
78
Mengingat
:
c.
untuk melaksanakan ketentuan pasal 9 ayat (3) UndangUndang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
maka Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Kabupaten ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Kabupaten Wakatobi Tahun 2016-2025;
1.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 29
Tahun
2003 tentang
Pembentukan Kabupaten Wakatobi di Propinsi Sulawesi
Tenggara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 144 tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4339 );
3.
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844);
4. Undang-Undang
Nomor
10
Tahun
2009
tentang
Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4966);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional
Tahun 2010-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5262).
79
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN WAKATOBI
dan
BUPATI WAKATOBI
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN
DAERAH
TENTANG
RENCANA
INDUK
PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN WAKATOBI
TAHUN 2016-2025
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Daerah adalah Kabupaten Wakatobi.
Pemerintah Daerah adalah Pemerintahan Kabupaten Wakatobi
Bupati adalah Bupati Wakatobi.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wakatobi
Satuan Kerja Perangkat Daerah selanjutnya disingkat SKPD adalah Satuan
Kerja Perangkat Daerah lingkup Pemerintah Kabupaten Wakatobi.
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah yang selanjutnya
disebut
RIPPARDA
adalah
dokumen
perencanaan
pembangunan
kepariwisataan daerah untuk periode tahun 2016 sampai dengan tahun
2025.
Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata
dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud
kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan
masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan Pengusaha.
Pembangunan adalah suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik yang
di dalamnya meliputi upaya-upaya perencanaan, implementasi dan
80
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
pengendalian, dalam rangka penciptaan nilai tambah sesuai yang
dikehendaki.
Daerah Tujuan Pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata
adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah
administratif yang di dalamnya terdapat Daya Tarik Wisata, Fasilitas Umum,
Fasilitas Pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan
melengkapi terwujudnya Kepariwisataan.
Destinasi Pariwisata Kabupaten yang selanjutnya disingkat DPK adalah
Destinasi Pariwisata yang berskala Kabupaten.
Kawasan Strategis Pariwisata Daerah yang selanjutnya disingkat KSPD
adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi
untuk pengembangan pariwisata kabupaten yang mempunyai pengaruh
penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial
dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan
hidup, serta pertahanan dan keamanan.
Perwilayahan Pembangunan DPD adalah hasil perwilayahan Pembangunan
Kepariwisataan yang diwujudkan dalam bentuk DPD, dan KSPD.
Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan,
dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil
buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Aksesibilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana dan prasarana
transportasi yang mendukung pergerakan wisatawan dari wilayah asal
wisatawan ke Destinasi Pariwisata maupun pergerakan di dalam wilayah
Destinasi Pariwisata dalam kaitan dengan motivasi kunjungan wisata.
Prasarana Umum adalah kelengkapan dasar fisik suatu lingkungan yang
pengadaannya memungkinkan suatu lingkungan dapat beroperasi dan
berfungsi sebagaimana semestinya.
Fasilitas Umum adalah sarana pelayanan dasar fisik suatu lingkungan yang
diperuntukkan bagi masyarakat umum dalam melakukan aktifitas kehidupan
keseharian.
Fasilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana yang secara khusus ditujukan
untuk mendukung penciptaan kemudahan, kenyamanan, keselamatan
wisatawan dalam melakukan kunjungan ke Destinasi Pariwisata.
Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran,
kapasitas, akses, dan peran masyarakat, baik secara individu maupun
kelompok,
dalam memajukan kualitas
hidup,
kemandirian,
dan
kesejahteraan melalui kegiatan Kepariwisataan.
Pemasaran Pariwisata adalah serangkaian proses untuk menciptakan,
mengkomunikasikan, menyampaikan produk wisata dan mengelola relasi
dengan wisatawan untuk mengembangkan Kepariwisataan dan seluruh
pemangku kepentingannya.
Industri Pariwisata adalah kumpulan Usaha Pariwisata yang saling terkait
dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan
kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.
81
21. Kelembagaan Kepariwisataan adalah kesatuan unsur beserta jaringannya
yang dikembangkan secara terorganisasi, meliputi Pemerintah, Pemerintah
Daerah, swasta dan masyarakat, sumber daya manusia, regulasi dan
mekanisme operasional, yang secara berkesinambungan guna menghasilkan
perubahan ke arah pencapaian tujuan di bidang Kepariwisataan.
22. Organisasi Kepariwisataan adalah institusi baik di lingkungan Pemerintah
maupun swasta yang berhubungan dengan penyelenggaraan kegiatan
Kepariwisataan.
23. Sumber Daya Manusia Pariwisata yang selanjutnya disingkat SDM Pariwisata
adalah tenaga kerja yang pekerjaannya terkait secara langsung dan tidak
langsung dengan kegiatan Kepariwisataan.
24. Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi
pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.
25. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja
pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata,
pelayanan dan pengelolaan Kepariwisataan.
26. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan
rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik
wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
27. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.
28. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai
fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
29. Pengusaha Pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan
kegiatan usaha pariwisata.
30. Perwilayahan pembangunan kepariwisataan daerah adalah hasil pewilayahan
pembangunan kepariwisataan yang diwujudkan dalam bentuk kawasan
pariwisata daerah, kawasan pembangunan pariwisata daerah, dan kawasan
strategis pariwisata daerah.
31. Kawasan pariwisata daerah adalah kawasan pariwisata yang merupakan
keterpaduan sistemik antar kawasan pembangunan pariwisata dalam skala
daerah.
32. Kawasan pembangunan pariwisata daerah adalah kawasan geografis di dalam
destinasi pariwisata yang memilikitema tertentu, dengan komponen daya
tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta
masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
33. Infrastruktur pariwisata adalah semua fasilitas yang memungkinkan semua
proses dan kegiatan kepariwisataan dapat berjalan dengan lancar sedemikian
rupa, sehingga dapat memudahkan wisatawan memenuhi kebutuhannya.
34. Ekowisata adalah pariwisata yang bertanggungjawab di daerah alami atau
yang dikelola dengan kaidah alam, memeliki komitmen terhadap kelestarian
lingkungan, memberikan manfaat ekonomi terutama kepada masyarakat
lokal dan diselenggarakan sesuai dengan nilai sosial budaya masyarakat
setempat
82
35. Ekowisata berbasis masyarakat adalah usaha ekowisata yang dikelola dan
dikembangkan oleh masyarakat setempat yang memiliki kepedulian,
tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
36. Standarisasi kepariwisataan adalah proses merumuskan, menetapkan,
menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan
bekerjasama dengan semua pihak guna menjamin kualitas dan kredibilitas
usaha di bidang kepariwisataan.
37. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk
mengembangkan profesionalitas kerja.
38. Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium
yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem
atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan.
BAB II
PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH
Pasal 2
(1)
Pembangunan kepariwisataan daerah meliputi:
a. Destinasi pariwisata;
b. Pemasaran pariwisata;
c. Industri pariwisata; dan
d. Kelembagaan kepariwisataan.
(2)
Pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan RIPPARDA.
Pasal 3
RIPPARDA memuat :
a.
b.
c.
d.
e.
Visi;
Misi;
Tujuan;
Sasaran; dan
Arah pembangunan kepariwisataan daerah dalam kurun waktu tahun 2016
sampai dengan tahun 2025.
83
Pasal 4
Visi pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3
huruf a adalah “Terwujudnya Wakatobi sebagai destinasi ekowisata bahari
berkelas dunia dan berbasis masyarakat.
Pasal 5
Misi pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3
huruf b diwujudkan dengan:
a. Penguatan moral lingkungan dan etika sosial secara holistik dalam
pembangunan kepariwisataan sebagai destinasi ekowisata bahari dalam
memperkuat daya saing destinasi;
b. Pengembangan perwilayahan destinasi pariwisata berbasis pada keunggulan
potensi kepariwisataan secara merata dan berkeadilan;
c. Pengembangan aksesibilitas dan konektivitas destinasi pariwisata secara
internal dan eksternal dalam rangka memperkuat kedudukan, fungsi dan
peran destinasi sebagai kawasan strategis pariwisata nasional berkelas dunia;
d. Pengembangan industri pariwisata berdaya saing, kridibel, sumberdaya
manusia pariwisata berkualitas dan bertanggung jawab terhadap lingkungan
alam dan sosial budaya;
e. Penguatan struktur industri melalui pembentukan rantai nilai yang
berkualitas antar usaha pariwisata termasuk dengan usaha-usaha
masyarakat setempat memperkuat backward linkages terhadap produkproduk dan input-input lokal melalui kemitraan;
f. Penguatan citra pariwisata sebagai destinasi ekowisata dengan kemasan
pariwisata modern yang disertai dengan pengembangan model pemasaran
pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism marketing) baik dalam skala
industri maupun destinasi;
g. Pengembangan pemasaran pariwsiata yang sinergis, berkesinambungan dan
bertanggung jawab melalui jejaring antar pemangku kepentingan berorientasi
pada kebersamaan (mutuality);
h. Pengembangann kebijakan dan regulasi beserta mekanisme operasional yang
efektif dan efisien dalam mendorong terwujudnya kepariwisataan
berkelanjutan dan berbasis masyarakat; dan
i. Pengembangan dan penguatan organisasi serta SDM pemerintah dan nonpemerintah yang disertai dengan kemitraan yang kuat antara pemerintah,
pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam pembangunan
kepariwisataan.
84
Pasal 6
Tujuan pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal
3 huruf c meliputi:
a. Menjaga integritas ekosistem alam baik di perairan maupun di daratan dan
pelestarian aset-aset budaya serta keunggulan banding dan saing destinasi
ekowisata berkelas dunia;
b. Mengembangkan dan menata struktur kepariwisataan serta perwilayahan
destinasi pariwisata sebagai pusat-pusat kegiatan pariwisata yang
berkualitas, berwawasan lingkungan dan berorientasi keadilan sosial dalam
satu kesatuan yang utuh dengan pengelolaan TN Wakatobi;
c. Mengembangkan aksesibilitas dan konektivitas internal dan eksternal dalam
rangka kemudahan pencapaian, pergerakan dan penghantaran wisatawan
ke seluruh destinasi pariwisata;
d. Meningkatkan kontribusi kepariwisataan bagi perekonomian nasional dan
daerah yang semakin nyata serta kesejahteraan masyarakat setempat
sebagai tuan rumah seiring dengan semakin meningkatnya jumlah
kunjungan wisatawan;
e. Meningkatkan nilai-nilai sosial, budaya, kearifan lokal dan memajukan
kebudayaan daerah dalam kepariwisataan serta meningkatkan keberdayaan
sosial dan ekonomi masyarakat;
f. Meningkatkan keragaman dan daya saing usaha pariwisata yang disertai
dengan semakin tingginya kepedulian/tanggung jawab dunia usaha
terhadap lingkungan alam dan sosial budaya;
g. Menguatkan struktur industri pariwisata dengan terciptanya keterkaitan
yang erat antar usaha pariwisata, dan antara usaha pariwisata dengan
produk-produk lokal dalam suatu rantai nilai yang berkualitas dan saling
menguntungkan dalam pola kemitraan yang semakin kuat;
h. Mengembangkan kewirausahaan masyarakat, memperluas lapangan
pekerjaan dan mendorong tumbuhnya usaha mikro dan kecil dalam
kepariwisataan termasuk semakin terhormatnya produk-produk kreatif
berbasis budaya lokal dalam kepariwisataan;
i. Meningkatkan dan memantapkan citra pariwisata sesuai dengan karakter
destinasi ekowisata berbasis masyarakat;
j. Mengoptimalkan dan mengintensifkan pasar utama ekoturis baik domestik
maupun mancanegara serta mengembangkan pasar baru dan pasar
berkembang yang didukung pemasaran dan promosi pariwisata inovatif
secara terpadu, sinergis, berkesinambungan dan bertanggung jawab;
k. Mengembangkan kebijakan dan regulasi termasuk perizinan usaha
pariwisata yang ramah lingkungan dan berbasis masyarakat;
l. Memperkuat kelembagaan organisasi pemerintah dan non-pemerintah
termasuk kelembagaan koordinatif, peran dan tugas masing-masing serta
mekanisme koordinasi antar pemangku kepentingan;
85
m. Mengembangkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) pariwisata baik SDM
pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat; dan
n. Meningkatkan keterpaduan antara Pemerintah dan pemerintah daerah,
antar sektor, antar pemangku kepentingan, antar sains dan manajemen
dalam pembangunan kepariwisataan.
Pasal 7
Sasaran pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 huruf d adalah :
a. Terkendalinya pembangunan pariwisata di wilayah Kabupaten Wakatobi
baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat;
b. Terciptanya keserasian antara kawasan atau zonasi lindung dan kawasan –
kawasan atau zonasi pemanfaatan atau budidaya;
c. Tersusunnya rencana dan keterpaduan program-program pembangunan di
wilayah
kabupaten
dalam
upaya
pengoptimalan
sumber
daya
kepariwisataan;
d. Terdorongnya minat investasi masyarakat dan dunia usaha di wilayah
Kabupaten Wakatobi; dan
e. Terkoordinasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor
pembangunan dalam kerangka investasi pariwisata.
Pasal 8
Arah pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 3
huruf e meliputi pola pengembangan kepariwisataan Wakatobi diarahkan pada
Prinsip-Prinsip Ecotourism, yakni:
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
Memiliki fokus 'natural area' yang memungkinkan wisatawan memiliki peluang
untuk menikmati alam secara personal;
Menyediakan interprestasi atau jasa pendidikan yang memberikan peluang
kepada wisatawan untuk menikmati alam sehingga mereka menjadi mengerti,
lebih mampu berapresiasi serta lebih menikmati;
Kegiatan yang terbaik yang dapat dilakukan dalam rangka keberlanjutan
secara ekologis;
Memberikan kontribusi terhadap konservasialam dan warisan budaya;
Memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat local;
Respek serta peka terhadap nilai-nilai budaya yang ada di Kabupaten
Wakatobi;
Secara konsisten memenuhi harapan konsumen;dan
Dipasarkan serta dipromosikan dengan jujur serta akurat sehingga
kenyataannya sesuai dengan harapan.
86
Pasal 9
Pelaksanaan RIPPARDA diselenggarakan secara terpadu oleh pemerintah daerah,
dunia usaha dan masyarakat.
Pasal 10
(1)
RIPPARDA menjadi pedoman bagi pembangunan kepariwisataan daerah.
(2)
RIPPARDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi salah satu
pedoman penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah,
Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan Kebijakan Umum Anggaran,
Prioritas Plafon Anggaran Sementara, selanjutnya dijadikan pedoman dalam
penyusunan Renstra Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.
Pasal 11
Indikator sasaran pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
Pasal 12
Arah pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
menjadi dasar arah kebijakan, strategi, dan indikasi program pembangunan
kepariwisataan daerah dalam kurun waktu tahun 2016 sampai dengan tahun
2025 yang meliputi Pembangunan:
a.
b.
c.
d.
Destinasi pariwisata daerah;
Industri pariwisata daerah;
Pemasarapariwisata;dan
Kelembagaan kepariwisataan;
BAB III
KEBIJAKAN DAN STRATEGI
PEMBANGUNAN PARIWISATA DAERAH
Bagian Kesatu
Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Daerah
Pasal 13
Kebijakan pembangunan destinasi pariwisata daerah sebagaimana dimaksud
dalam pasal 12 huruf a meliputi:
a.
b.
Pengembangan struktur kepariwisataan dan perwilayahan destinasi
pariwisata yang mempunyai keterpaduan yang kuat dengan pengembangan
sektor-sektor terkait;
Pemantapan, penataan dan perintisan daya tarik wisata alam, daya tarik
wisata budaya dan daya tarik wisata buatan yang berdaya saing;
87
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
Peningkatan keterpaduan pengembangan daya tarik wisata alam, budaya dan
buatan;
Pengembangan dan peningkatan prasarana transportasi untuk menunjang
pergerakan internal dan konektivitas antar daya tarik wisata di dalam wilayah
kabupaten;
Pengembangan dan peningkatan konektivitas antara destinasi pariwisata
dengan asal wisatawan dan dengan pintu gerbang pariwisata nasional
dan/atau regional serta konektivitas dengan destinasi hinterland khususnya
di Provinsi Sultra;
Pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan pergerakan
wisatawan secara internal dan eksternal serta kenyamanan dan keamanan
pergerakan wisatawan;
Pengembangan dan peningkatan prasarana umum yang mendukung
pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan
kabupaten;
Pengembangan dan peningkatan fasilitas umum yang mendukung
pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan
kabupaten;
Pengembangan
fasilitas
akomodasi
pariwisata
untuk
mendukung
peningkatan investasi pariwisata;
Pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung pemberdayaan
masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan mikro;
Pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang berkualitas dan berdaya saing;
Pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam
kepariwisataan termasuk pengembangan usaha produktif di bidang
pariwisata;
Pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai antarusaha pariwisata
dan antara usaha pariwisata dengan usaha sektor terkait;
Peningkatan akses dan dukungan permodalan serta perluasan akses pasar
terhadap produk industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala
usaha mikro dan kecil;
Peningkatan kesadaran, peran, motivasi dan kemampuan masyarakat serta
pemangku kepentingan terkait; dan
Peningkatan kemudahan dan pemberian insentif investasi di bidang
pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta
menggalakkan promosi investasi.
Bagian Kedua
Strategi Pembangunan Destinasi Pariwisata
Pasal 14
Stategi pengembangan struktur kepariwisataan dan perwilayahan destinasi
pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a meliputi :
88
a. Menetapkan pusat pelayanan primer dan sekunder pariwisata secara terpadu
dengan pengembangan Pusat Kegiatan Wilayah dan Pusat-Pusat Pelayanan
Kawasan dalam struktur ruang wilayah kabupaten;
b. Menetapkan Destinasi Pariwisata Kabupaten (DPK), Kawasan Pengembangan
Pariwisata (KPP) Kabupaten dan Kawasan Strategis Pariwisata (KSP)
Kabupaten sesuai dengan potensi dan keunggulan yang dimiliki masingmasing kawasan secara seimbang di antara pulau-pulau utama; dan
c. Memperkuat keterkaitan antar-KPP, antar-KSP, serta antara KPP dan KSP
kabupaten melalui peningkatan keterhubungan, pengengembangan dan
pengendalian investasi pariwisata dan pengembangan produk serta paketpaket wisata.
Pasal 15
(1) Stategi pemantapan daya tarik wisata alam, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf b meliputi :
a. Meningkatkan upaya pengelolaan daya tarik wisata alam yang telah
berkembang sehingga dapat diandalkan menjadi keunggulan saing bagi
destinasi;
b. Mengendalikan aktivitas wisata alam dalam batas-batas daya dukung;dan
c. Meningkatkan upaya konservasi keanekaragaman hayati (ekosistem, jenis,
dan genetik) yang menjadi daya tarik wisata agar integritas lingkungan
tetap terjaga kelestariannya.
(2) Stategi penataan daya tarik wisata alam, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf b meliputi :
a. Menata pola tapak daya tarik wisata alam secara harmonis guna
mengintegrasikan fungsi-fungsi pemanfaatan bagi aktivitas wisata dan
konservasi/perlindungan lingkungan; dan
b. Mengelola daya tarik wisata alam secara inovatif guna mengoptimalkan
fungsi-fungsi pemanfaatan dan konservasi/perlindungan lingkungan.
(3) Stategi perintisan daya tarik wisata alam, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf b meliputi :
a. Menggali unsur-unsur keunikan alam untuk dikembangkan sebagai daya
tarik wisata baru; dan
b. Mengembangkan diversifikasi daya tarik wisata dengan memasukkan daya
tarik wisata baru dalam paket-paket perjalanan wisata.
89
(4) Strategi pemantapan daya tarik wisata budaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf b meliputi :
a. Meningkatkan upaya pengelolaan daya tarik wisata budaya yang telah
berkembang sehingga dapat diandalkan sebagai komplementer keunggulan
saing bagi destinasi selain daya tarik wisata alam; dan
b. Meningkatkan upaya konservasi warisan budaya (situs/cagar budaya dan
peninggalan sejarah) dalam kepariwisataan.
(5) Strategi penataan daya tarik wisata budaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf b meliputi :
a. Menata pola tapak daya tarik wisata budaya secara harmonis guna
mengintegrasikan fungsi-fungsi pemanfaatan bagi aktivitas wisata dan
konservasi/perlindungan warisan budaya;dan
b. Mengelola daya tarik wisata budaya yang inovatif guna mengoptimalkan
fungsi-fungsi pemanfaatan dan konservasi/perlindungan warisan budaya.
(6) Stategi pemantapan daya tarik wisata buatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf b meliputi :
c. Meningkatkan upaya pengelolaan daya tarik wisata buatan sehingga dapat
diandalkan sebagai komplementer keunggulan saing bagi destinasi selain
daya tarik wisata alam; dan
d. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan daya tarik
wisata buatan.
(7)Strategi penataan daya tarik wisata buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf b meliputi :
a. Menata pola tapak daya tarik wisata buatan secara harmonis guna
mengintegrasikan fungsinya sebagai daya tarik wisata dan pemanfaatan
tadisional; dan
b. Pengelolaan daya tarik wisata buatan yang inovatif berbasis masyarakat.
(8) Strategi perintisan daya tarik wisata buatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf b meliputi :
a. Penggalian
unsur-unsur
keunikan
bangunan-bangunan,
pola
perkampungan
dan
elemen-elemen
arsitektur
tradisional
untuk
dikembangkan sebagai daya tarik wisata baru; dan
b. Mengembangkan diversifikasi daya tarik wisata buatan dengan
memasukkannya kedalam paket-paket perjalanan wisata.
90
Pasal 16
Strategi peningkatan keterpaduan pengembangan daya tarik wisata alam, budaya
dan buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c, meliputi :
a. Mengembangkan keterpaduan antar daya tarik wisata alam, budaya dan buatan
dalam paket-paket perjalanan wisata; dan
b. Memperkuat konektivitas antar daya tarik wisata alam, budaya dan buatan
dalam struktur kepariwisataan kabupaten.
Pasal 17
Startegi pengembangan dan peningkatan prasarana transportasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf d meliputi:
a. Mengembangkan dan meningkatkan jaringan jalan yang menghubungkan antar
pusat-pusat pelayanan pariwisata dan/atau kawasan pariwisata, antara pusat
pelayanan pariwisata dan/atau kawasan pariwisata dengan daya tarik wisata
dan antar daya tarik wisata;
b. Mengembangkan dan meningkatkan pedestrian di pusat-pusat pelayanan
pariwisata; dan
c. Mengembangkan dan meningkatkan dermaga di pulau-pulau kecil.
Pasal 18
Strategi pengembangan dan peningkatan konektivitas antara destinasi pariwisata
dengan asal wisatawan dan dengan pintu gerbang pariwisata nasional dan/atau
regional serta konektivitas dengan destinasi hinterland sebagai dimaksud dalam
Pasal 13 huruf e meliputi :
a. Mengembangkan dan meningkatkan jaringan jalan kolektor primer dan jalan
lingkungan primer di masing-masing pulau;
b. Mengembangkan kapasitas Pelabuhan Laut dan Pelabuhan Penyeberangan
serta penataannya sebagai pintu gerbang masuknya wisatawan melalui jalur
laut;
c. Akselerasi pembangunan marina di Wangi-Wangi dan pengembangan
dermaga-dermaga khusus pariwisata di masing-masing kawasan pariwisata
secara representatif;
d. Optimalisasi Pelabuhan Laut sebagai pelabuhan kapal cruise dalam rangka
meningkatkan intensitas kunjungan kapal cruise;
e. Mengembangkan kapasitas Bandara Matahora sebagai pintu gerbang utama
masuknya wisatawan melalui udara; dan
f. Meningkatkan kelas/status dan/atau mengintegrasikan fungsi Bandara
Maranggi di Pulau Tomia sebagai Bandara umum disertai dengan
pengembangan kapasitas bandara.
91
Pasal 19
Strategi pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan pergerakan
wisatawan secara internal dan eksternal serta kenyamanan dan keamanan
pergerakan wisatawan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf f meliputi :
a. Meningkatkan ketersediaan sarana transportasi darat sebagai sarana
pergerakan wisatawan menuju destinasi dan pergerakan wisatawan internal
sesuai kebutuhan dan perkembangan pasar dengan memprioritaskan usaha
transportasi kerakyatan;
b. Meningkatkan ketersediaan sarana transportasi laut dan intensitas pelayaran
angkutan niaga dan penyeberangan;
c. Meningkatkan ketersediaan sarana pelayaran rakyat dan sarana pelayaran
angkutan pariwisata internal sesuai kebutuhan;
d. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas kenyamanan dan keamanan
sarana trasportasi darat;
e. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas kenyamanan dan keamanan
sarana angkutan laut internal termasuk pembinaan pelayaran rakyat dan
pelayaran angkutan pariwisata internal yang dikelola masyarakat; dan
f. Memfasilitasi penyediaan fasilitas keselamatan pelayaran rakyat dan pelayaran
angkutan pariwisata yang dikelola masyarakat.
Pasal 20
Strategi pengembangan dan peningkatan prasarana umum yang mendukung
pertumbuhan,
peningkatan
kualitas
dan
daya
saing
kepariwisataan
kabupatensebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf g meliputi :
a. Meningkatkan kapasitas ketersediaan air bersih yang mendukung
pengembangan pariwisata melalui optimalisasi pengembangan sumber-sumber
air yang ada dan pengembangan jaringannya;
b. Meningkatan kapasitas ketersediaan energi listrik beserta jaringannya dengan
mengembangkan bauran sumber-sumber energi listrik;
c. Mengembangkan dan meningkatkan prasarana dan sarana persampahan
disertai usaha pengelolaan sampah secara terpadu dan berbasis masyarakat;
d. Mengembangkan instalasi pengelolaan air limbah secara komunal di pusatpusat pelayanan pariwisata;dan
e. Mengembangkan prasarana dan sarana mitigasi bencana dengan
mengoptimalkan potensi dan kearifan lokal.
92
Pasal 21
Strategi pengembangan dan peningkatan fasilitas umum yang mendukung
pertumbuhan,
peningkatan
kualitas
dan
daya
saing
kepariwisataan
kabupatensebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf h meliputi :
a. Mengembangkan lembaga pendidikan tinggi setingkat Sekolah Tinggi atau
Akademi di bidang pariwisata di bawah Kementerian Pariwisata;
b. Mendorong partisipasi masyarakat untuk mengembangkan lembaga
pendidikan dan pelatihan di bidang pariwisata;
c. Mengembangkan fasilitas kesehatan dan keselamatan wisata selam;dan
d. Mengembangkan dan menata pasar-pasar tradisional sekaligus sebagai daya
tarik wisata.
Pasal 22
Strategi pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata untuk mendukung
peningkatan investasi pariwisatasebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i
dilakukan dengan mengembangkan dan meningkatkan ketersediaan fasilitas
pariwisata dalam kerangka investasi pariwisata berdasarkan perwilayahan
pariwisata.
Pasal 23
Strategi pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung pemberdayaan
masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan mikrosebagaimana dimaksud
dalam pasal 13 huruf j meliputi :
a. Mengembangkan fasilitas pariwisata dalam kerangka pemberdayaan
masyarakat, pengembangan desa wisata dan kampung-kampung wisata; dan
b. Mengembangkan pasar seni dan kios-kios cinderamata di pusat-pusat
pelayanan pariwisata, daya tarik wisata dan desa-desa wisata.
Pasal 24
Strategi pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang berkualitas dan berdaya
saingsebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf k meliputi:
a. Mengembangkan fasilitas penunjang pengusahaan dan peningkatan daya tarik
wisata yang berkualitas;
b. Mengembangkan fasilitas daya tarik wisata untuk menunjang pengusahaan
daya tarik wisata dalam rangka pemberdayaan masyarakat;
c. Mengembangkan fasilitas daya tarik wisata untuk meningkatkan keamanan,
kenyamanan dan keselamatan wisata; dan
d. Mengembangkan fasilitas daya tarik wisata untuk meningkatkan perlindungan
lingkungan.
93
Pasal 25
Strategi pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam
kepariwisataan
termasuk
pengembangan
usaha
produktif
di
bidang
pariwisatasebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf l meliputi :
a. Memetakan secara partisipatif potensi dan kebutuhan penguatan kapasitas
masyarakat lokal dalam pengembangan kepariwisataan;
b. Memberdayakan potensi dan kapasitas masyarakat lokal dalam
pengembangan kepariwisataan;
c. Mengembangkan kelembagaan dan menguatkan kelembagaan masyarakat
yang telah ada guna mendorong kapasitas dan peran masyarakat dalam
pengembangan kepariwisataan;
d. Mengembangkan potensi sumber daya lokal yang ada di masyarakat dan di
lingkungan sekitarnya sebagai daya tarik wisata berbasis masyarakat lokal
dalam kerangka pemberdayaan masyarakat melalui pariwisata;
e. Mengembangkan potensi sumber daya lokal melalui desa wisata dan
kampung-kampung wisata;
f. Meningkatkan kualitas produk industri kecil/kerajinan sebagai komponen
pendukung produk wisata ;
g. Meningkatkan kemampuan berusaha pelaku usaha pariwisata skala usaha
mikro dan kecil yang dikembangkan masyarakat lokal;
h. Mengembangkan regulasi untuk mendorong pemberian insentif dan
kemudahan bagi pengembangan industri kecil/kerajinan dan usaha
pariwisata skala usaha mikro dan kecil; dan
i. Mengembangkan regulasi untuk pelindungan terhadap kelangsungan
industri kecil/kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil.
Pasal 26
Strategi pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai antar usaha antar
usaha pariwisata dan antara usaha pariwisata dengan usaha sektor
terkaitsebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf m meliputi :
a. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan kemitraan antar usaha
kepariwisataan dengan industri kecil/kerajinan dan usaha mikro dan kecil;
b. Meningkatkan kualitas produk industri kecil/kerajinan dan layanan jasa
kepariwisataan yang dikembangkan usaha mikro dan kecil dalam
memenuhi standar pasar; dan
c. Meningkatkan kualitas produk-produk pertanian, perkebunan, perikanan
dan peternakan melalui pemberdayaan masyarakat dalam memenuhi
standar pasar pariwisata.
94
Pasal 27
Strategi peningkatan akses dan dukungan permodalan serta perluasan akses
pasar terhadap produk industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala
usaha mikro dan kecilsebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf n meliputi :
a. Memperkuat akses dan jejaring industri kecil dan kerajinan dan usaha
pariwisata skala usaha mikro dan kecil dengan sumber potensi pasar dan
informasi global;
b. Meningkatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam
upaya memperluas akses pasar terhadap produk industri kecil/kerajinan dan
usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil;
c. Insentif dan kemudahan terhadap akses permodalan bagi usaha pariwisata
skala usaha mikro dan kecil dalam pengembangan usaha; dan
d. Bantuan permodalan untuk mendukung perkembangan industri kecil dan
kerajinan dan usaha pariwisata skala usaha mikro dan kecil.
Pasal 28
Strategi peningkatan kesadaran, peran, motivasi dan kemampuan masyarakat
serta pemangku kepentingan terkaitsebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf
o meliputi:
a. Mengintensifkan komunikasi-informasi-edukasi (KIE) kepada masyarakat
guna meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang sadar wisata dalam
mendukung pengembangan kepariwisataan;
b. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mewujudkan sadar wisata bagi
penciptaan iklim kondusif kepariwisataan setempat melalui kepeloporan
tokoh-tokoh setempat;
c. Melibatkan masyarakat, tokoh dan generasi muda dalam menciptakan iklim
kondusif kepariwisataan;
d. Membangun dan meningkatkan kualitas jejaring media dalam mendukung
upaya peningkatan kesadaran dan peran masyarakat dan pemberdayaan
masyarakat di bidang pariwisata;
e. Mengembangkan komunikasi-informasi-edukasi mengenai kepariwisataan
kepada masyarakat dan sekolah-sekolah;dan
f. Meningkatkan kuantitas dan kualitas serta penyebaran informasi pariwisata
nusantara
kepada
masyarakat
untuk
menumbuhkan
wawasan
kepariwisataan.
Pasal 29
Strategi peningkatan kemudahan dan pemberian insentif investasi di bidang
pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta
menggalakkan promosi investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf p
meliputi :
95
a. Meningkatkan pelayanan perizinan sesuai dengan ketentuan yang ada
melalui pengembangan kapasitas birokrasi;
b. Menyempurnakann regulasi yang menghambat investasi;
c. Menyediakan informasi peluang-peluang investasi yang mudah diakses; dan
d. Meningkatkan promosi investasi di bidang pariwisata di dalam negeri dan di
luar negeri.
Bagian Ketiga
Kebijakan Pembangunan Industri Pariwisata Daerah
Pasal 30
Kebijakan pembangunan industri pariwisata daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf b, meliputi:
a. Peningkatan daya saing daya tarik wisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan kualitas dan keragaman usaha daya tarik wisata
b. Peningkatan daya saing fasilitas pariwisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan kapasitas dan kualitas fungsi dan layanan fasilitas
pariwisata yang memenuhi standar internasional dan mengangkat unsur
keunikan dan kekhasan lokal;
c. Pengembangan kemitraan usaha pariwisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan skema kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah,
dunia usaha, dan masyarakat;dan
d. Penciptaan kredibilitas bisnis diwujudkan dalam bentuk pengembangan
manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang kredibel dan berkualitas
serta bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Bagian Keempat
Strategi Pembangunan Industri Pariwisata Daerah
Pasal 31
Strategi peningkatan daya saing daya tarik wisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan kualitas dan keragaman usaha daya tarik wisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 huruf a meliputi :
a. Mengembangkan manajemen atraksi termasuk manajemen berbasis
konservasi (alam dan budaya dengan keterlibatan masyarakat di dalamnya);
b. Mengembangkan, melengkapi dan memperbaiki kualitas interpretasi daya tarik
wisata;
c. Menguatkan kualitas produk wisata;dan
96
d. Meningkatkan pengemasan produk wisata dan diversitas keragaman paketpaket produk wisata.
Pasal 32
Startegi Peningkatan daya saing fasilitas pariwisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan kapasitas dan kualitas fungsi dan layanan fasilitas pariwisata yang
memenuhi standar internasional dan mengangkat unsur keunikan dan kekhasan
localsebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b meliputi :
a. Mendorong dan memfasilitasi penerapan meningkatkan standardisasi dan
sertifikasi usaha pariwisata melalui penyiapan perangkat-perangkatnya;
b. Mengembangkan skema fasilitasi untuk mendorong pertumbuhan usaha
pariwisata skala usaha mikro, kecil dan menengah; dan
c. Memberikan insentif untuk menggunakan produk dan tema yang memiliki
keunikan dan kekhasan lokal.
Pasal 33
Startegi pengembangan kemitraan usaha pariwisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan skema kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dunia
usaha, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c dilakukan
dengan menguatkan kerja sama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia
usaha, dan masyarakat.
Pasal 34
Strategi penciptaan kredibilitas bisnis diwujudkan dalam bentuk pengembangan
manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang kredibel dan berkualitas serta
bertanggung jawab terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30
huruf d meliputi :
a. Menerapkan standardisasi dan sertifikasi usaha pariwisata yang mengacu
pada prinsip-prinsip dan standar internasional dengan mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya lokal;
b. Menerapkan sistem yang aman dan tepercaya dalam transaksi bisnis secara
elektronik;
c. Mendukung penjaminan usaha melalui regulasi dan fasilitasi;
d. Mendorong tumbuhnya ekonomi biru (blue economy) di sepanjang mata
rantai usaha pariwisata; dan
e. Mengembangkan manajemen usaha pariwisata yang peduli terhadap
pelestarian lingkungan dan budaya.
97
Bagian Kelima
Kebijakan Pembangunan Pemasaran Pariwisata
Pasal 35
Kebijakan pembangunan pemasaran pariwisata sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf c meliputi :
a. Pengembangan pasar wisatawan dalam bentuk pemantapan segmen pasar
ekotutis yang bersifat segmen ceruk pasar untuk mengoptimalkan
pengembangan destinasi ekowisata;
b. Pemantapan citra kepariwistaan kabupaten secara berkelanjutan termasuk
peningkatan citra sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan
berdaya saing;
c. Pengembangan kemitraan pemasaran pariwisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan
kemitraan
pemasaran
yang
terpadu,
sinergis,
berkesinambungan dan berkelanjutan; dan
d. Penguatan dan perluasan eksistensi promosi di dalam negeri dan luar negeri
Bagian Keenam
Strategi Pembangunan Pemasaran Pariwisata
Pasal 36
Strategi pengembangan pasar wisatawan dalam bentuk pemantapan segmen pasar
ekotutis yang bersifat segmen ceruk pasar untuk mengoptimalkan pengembangan
destinasi ekowisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a meliputi :
a. Meningkatkan pemasaran dan promosi untuk mendukung penciptaan
destinasi ekowisata;
b. Meningkatkan akselerasi pemasaran dan promosi pada pasar utama, baru,
dan berkembang;
c. Mengembangkan pemasaran dan promosi untuk meningkatkan pertumbuhan
segmen ceruk pasar;
d. Mengembangkan promosi berbasis tema ekowisata; dan
e. Meningkatkan pemasaran wisata konvensi, insentif dan pameran yang
bertemakan ekowisata.
Pasal 37
Strategi pemantapan citra kepariwistaan kabupaten secara berkelanjutan
termasuk peningkatan citra sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan
berdaya saing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b meliputi :
98
a. Meningkatkan dan memantapkan pemosisian citra pariwisata termasuk
pemosisian citra pariwisata di antara para pesaing didasarkan kekuatan
keberadaan TNW sebagai Cagar Biosfer dan ikon utama kepariwisataan
kabupaten yang telah dikenal luas baik secara nasional maupun di dunia
internasional serta kekuatan keanekaragaman hayati lainnya, budaya dan
keramah-tamahan penduduk; dan
b. Meingkatkan promosi dan diplomasi guna mengkomunikasikan bahwa
Wakatobi sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya
saing.
Pasal 38
Strategi pengembangan kemitraan pemasaran pariwisata diwujudkan dalam
bentuk
pengembangan kemitraan pemasaran yang
terpadu,
sinergis,
berkesinambungan dan berkelanjutan sebagai dimaksud dalam Pasal 35 huruf c
meliputi :
a. Meningkatkan keterpaduan yang sinergis promosi antar pemangku
kepentingan; dan
b. Mengembangkan berbagai strategi pemasaran berbasis pada pemasaran
yang bertanggung jawab, yang menekankan tanggung jawab terhadap
masyarakat, sumber daya lingkungan dan wisatawan.
Pasal 39
Strategi penguatan dan perluasan eksistensi promosi di dalam negeri dan luar
negerisebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d meliputi :
a. Akselerasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah dan
mengoptimalkan peran dan fungsi Forum Tata Kelola;
b. Menguatkan dukungan, koordinasi dan sinkronisasi terhadap Badan
Promosi Pariwisata Daerah dan Forum Tata Kelola;
c. Menguatkan fungsi dan peran promosi pariwisata di dalam negeri;dan
d. Menguatkan fungsi dan keberadaan promosi pariwisata di luar negeri
melalui fasilitasi program kemitraan antara pelaku promosi pariwisata
Indonesia di dalam negeri dengan pelaku promosi pariwisata Indonesia yang
berada di luar negeri.
99
Bagian Ketujuh
Kebijakan Pembangunan Kelembagaan Kepariwisataan
Pasal 40
Kebijakan pembangunan kelembagaan kepariwisataan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf d meliputi:
a. Penguatan organisasi kepariwisataan melalui penguatan mekanisme kinerja
organisasi dan penguatan organisasi kepariwisataan yang menangani bidangbidang teknis kepariwisataan (pemasaran, industri dan destinasi);
b. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM Pariwisata
di lingkungan
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat; dan
c. Penyelenggaraan
penelitian
dan
pengembangan
untuk
mendukung
pembangunan kepariwisataan.
Bagian Kedelapan
Strategi Pembangunan Kelembagaan Kepariwisataan
Pasal 41
Strategi penguatan organisasi kepariwisataan melalui penguatan mekanisme
kinerja organisasi dan penguatan organisasi kepariwisataan yang menangani
bidang-bidang teknis kepariwisataan (pemasaran, industri dan destinasi)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a meliputi:
a. Menguatkan tata kelola organisasi kepariwisataan dalam struktur
pemerintahan kabupaten;
b. Menguatkan kemampuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
program pembangunan kepariwisataan;
c. Menguatkan mekanisme sinkronisasi dan harmonisasi program pembangunan
kepariwisataan baik secara internal SKPD yang membidangi pariwisata
maupun lintas SKPD;
d. Menguatkan struktur dan fungsi organisasi bidang-bidang;
e. Memfasilitasi terbentuknya Badan Promosi Pariwisata Daerah;
f. Menguatkan kemitraan antara Badan Promosi Pariwisata Indonesia atau
Daerah dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam pembangunan
kepariwisataan kabupaten;
g. Menguatkan struktur dan fungsi Forum Tata Kelola; dan
h. Menguatkan kemitraan antara Forum Tata Kelola dan Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dalam pembangunan kepariwisataan kabupaten.
100
Pasal 42
Strategi peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM Pariwisata di lingkungan
pemerintah, dunia usaha dan masyarakatsebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
huruf b meliputi :
a. Meningkatkan
kemampuan
dan
profesionalitas
pegawai
bidang
kepariwisataan;
b. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola pendidikan dan
latihan bidang kepariwisataan;
c. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang memiliki
sertifikasi kompetensi;
d. Meningkatkan kemampuan kewirausahaan di bidang kepariwisataan
e. Meningkatkan kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan kepariwisataan
yang terakreditasi;
f. Mengembangkan lembaga pendidikan bidang kepariwisataan baik di tingkat
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun pendidikan tinggi;dan
g. Mengembangkan lembaga pelatihan dan kursus bidang kepariwisataan.
Pasal 43
Strategi penyelenggaraan penelitian dan pengembangan untuk mendukung
pembangunan kepariwisataansebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c
meliputi :
a. Meningkatkan penelitian dalam rangka memperkuat pengembangan
desinasi berbasis ekowisata, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan
investasi melalui kerjasama dengan perguruan tinggi, LSM, lembaga riset,
TNW dan lembaga-lembaga internasional;dan
b. Meningkatkan penelitian dalam rangka pengembangan daya tarik wisata,
pengembangan pasar baru dan pengembangan produk, pengembangan dan
penguatan citra pariwisata, peningkatan daya saing produk pariwisata,
penguatan industri pariwisata, pengembangan kemitraan usaha pariwisata,
penciptaan kredibilitas bisnis, pengembangan tanggung jawab terhadap
lingkungan, pengembangan organisasi kepariwisataan dan pengembangan
SDM pariwisata.
101
BAB IV
RENCANA PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN PARIWISATA
Bagian Kesatu
Struktur Perwilayahan Pariwisata
Pasal 44
Struktur perwilayahan pariwisata daerah meliputi:
a.
b.
c.
d.
Destinasi Pariwisata Kabupaten ( DPK );
Kawasan pengembangan pariwisata (KPP) Daerah;
Kawasan Pariwisata (KP) dan Kawasan daya tarik wisata (KDTW); dan
Daya tarik wisata (DTW).
Pasal 45
Destinasi pariwisata (DPK) meliputi :
a.
b.
c.
d.
DPK
DPK
DPK
DPK
Wangi-Wangi dan sekitarnya;
Kaledupa dan sekitarnya;
Tomia dan sekitarnya; dan
Binongko dan sekitarnya.
Pasal 46
Destinasi Pariwisata Kabupaten ( DPK )Wangi-Wangi dan sekitarnya mencakup:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Kawasan
Kawasan
Kawasan
Kawasan
Kawasan
Kawasan
Pengembangan Pariwisata (KPP) Sombu – Waha dan sekitarnya;
Pengembangan Pariwisata (KPP) Patuno dan sekitarnya;
Pengembangan Pariwisata (KPP) Kota Wangi-Wangi dan sekitarnya;
Pengembangan Pariwisata (KPP) Liya Togo dan sekitarnya;
Pengembangan Pariwisata (KPP) Kapota Tolo dan sekitarnya; dan
Pengembangan Pariwisata (KPP) Tindoi dan sekitarnya.
102
Pasal 47
Destinasi Pariwisata Kabupaten (DPK) Kaledupa dan sekitarnya mencakup:
a.
b.
c.
d.
e.
Kawasan
Kawasan
Kawasan
Kawasan
Kawasan
Pengembangan Pariwisata
Pengembangan Pariwisata
Pengembangan Pariwisata
Pengembangan Pariwisata
Pengembangan Pariwisata
(KPP) Pulau Hoga dan sekitarnya;
(KPP) Sambano dan sekitarnya;
(KPP) Pajam dan sekitarnya
(KPP) Langge dan sekitarnya
(KPP)Ambeua dan sekitarnya
Pasal 48
Destinasi Pariwisata Kabupaten (DPK) Tomia dan sekitarnya mencakup:
a.
b.
c.
d.
Kawasan
Kawasan
Kawasan
Kawasan
Pengembangan Pariwisata
Pengembangan Pariwisata
Pengembangan Pariwisata
Pengembangan Pariwisata
(KPP)
(KPP)
(KPP)
(KPP)
Pulau Tolandono dan sekitarnya;
Waha dan sekitarnya;
Kulati dan sekitarnya; dan
Puncak Kahianga dan sekitarnya.
Pasal 49
Destinasi Pariwisata Kabupaten (DPK) Binongko dan sekitarna mencakup:
a. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Runduma dan sekitarnya
b. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Wali dan sekitarnya; dan
c. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Popalia dan sekitarnya.
Pasal 50
(1) Struktur pelayanan pariwisata kabupaten terdiri atas:
a. Pusat pelayanan primer;
b. Pusat pelayanan sekunder;
c. Pusat pelayanan tersier; dan
d. Sistem jaringan aksesibilitas.
(2) Pusat pelayanan primersebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai kawasan
perkotaan yang memiliki fasilitas pelayanan utama terhadap fungsi
kepariwisataan Kabupaten Wakatobi. Pusat Pelayanan Primer berada di
Kawasan Perkotaan Wangi-Wangi, meliputi Kawasan Perkotaan Wanci dan
Mandati.
103
(3) Pusat pelayanan sekunder sebagaimana dmaksud pada ayat (1) merupakan
kawasan perkotaan yang memiliki fasilitas pelayanan pendukung untuk
fungsi kepariwisataan Kabupaten Wakatobi. Pusat Pelayanan Sekunder
tersebar di masing-masing pulau utama selain Pulau Wangi-Wangi yaitu
Perkotaan Ambeua di Pulau Kaledupa, Perkotaan Waha di Pulau Tomia dan
Perkotaan Rukuwa di Pulau Binongko.
(4) Pusat pelayanan tersier sebagaimana dimaksud pada ayat (1)merupakan pos
pelayanan wisata yang mendukung Pusat Pelayanan Sekunder. Pusat
Pelayanan Tersier berada di Kapota, Sambano, Pulau Hoga, Langge, Kulati,
Usuku, Bente dan Popalia.
(5) Sistem jaringan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)merupakan
pintu gerbang utama kepariwisataan Wakatobi bertumpu pada peningkatan
prasarana transportasi udara dan prasarana transportasi laut.Prasarana
transportasi udara adalah Bandara Matahara yang didukung oleh
pengembangan kapasitas dan fungsi Bandara Maranggo di Tomia Timur.
Prasarana transportasi laut sebagai pintu gerbang utama kedatangan
wisatawan yaitu Pelabuhan Pangulubelo
Wangi-Wangi, Pelabuhan
Penyeberangan Wangi-Wangi dan pengembangan marina/pelabuhan
pariwisata di Wangi-Wangi.
Bagian Kedua
Rencana Kawasan Pengembangan Pariwisata
Pasal 51
Tema pengembangan produk wisata kabupaten adalah:
a. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Sombu – Waha dan sekitarnya
dikembangkan untuk wisata pantai;
b. Kawasan
Pengembangan Pariwisata
(KPP)
Patuno
dan
sekitarnya
dikembangkan Daya dikembangkan wisata pantai dan taman bawah laut.
c. Kawasan Pengembangan Pariwisata
(KPP) Kota
Wangi-Wangi dan
sekitarnyapengembangan pariwisata perkotaan dengan mengandalkan potensi
daya tarik di sekitar pelabuhan, marina dan water front city yang ditunjang
oleh pengembangan kuliner. Pengembangan fasilitas pariwisata diarahkan
pada akomodasi kelas menengah ke bawah, fasilitas wisata bahari, informasi
pariwisata, toko/pasar seniserta pusat pergelaran seni dan pameran.
104
d. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Liya Togo dan sekitarnya
pengembangannya diarahkan sebagai desa wisata berbasis budaya yang
dilengkapi dengan fasilitas pariwisata seperti akomodasi pariwisata yang dapat
dikelola masyarakat seperti homestay dan pondok wisata.
e. Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) Kapota Tolo dan sekitarnya;
Pengembangan KPP ini bertemakan wisata pulau kecil dengan suasana
perdesaan dan lingkungan alamnya yang masih asri.
f. Kawasan
Pengembangan
Pariwisata
(KPP)
Tindoi
dan
sekitarnya;
Pengembangan KPP ini diarahkan pada ekowisata terestrial (wana wisata),
landskap, agrowisata, dan adventure tourism.
g. KPP Pulau Hoga dan sekitarnya sebagai kawasan pengembangan pariwisata
terbatas berbasis ekowisata.
h. KPP Sambano dan sekitarnya; KPP ini dikembangkan dengan tema wisata
pantai yang didukung oleh beberapa daya tarik wisata bahari dan telaga alam.
Pengembangan fasilitas pariwisata khususnya akomodasi pariwisata dapat
diarahkan pada pengembangan hotel berkelas.
i.
KPP Pajam dan sekitarnya; Tema pengembangan kawasan pengembangan
pariwisata ini adalah wisata budaya dan landscape.
j.
KPP Langge dan sekitarnya; KPP ini diarahkan pada pengembangan tema
ekowisata mangrove dan petualangan pulau-pulau kecil di Pulau Darawa dan
pulau-pulau kecil sekitarnya.
k. KPP Ambeua dan sekitarnya; KPP ini diarahkan pada pengembangan tema
wisata budaya dan wisata perdesaan.
Pengembangan wisata perdesaan ini
sangat kuat diintegrasikan dengan sektor pertanian dan kerajinan rumah
tangga.
l.
KPP Pulau Tolandono dan sekitarnya; KPP ini merupakan kawasan yang telah
berkembang sebagai dive resort. Tema khusus ini tetap dipertahankan dalam
pengembangannya.
m. KPP Waha dan sekitarnya; KPP ini merupakan perpaduan pengembangan
pariwisata perkotaan Waha dengan panorama bentang pesisir pantai bertebing
di sekitar Waitii Barat, Woha dan Kolosoha. KPP ini mempunyai keterkaitan
erat dengan pengembangan daya tarik Benteng Patuha yang diarahkan sebagai
salah satu pusat pengembangan kebudayaan Wakatobi.
n. KPP Kulati dan sekitarnya; KPP ini dikembangkan dengan tema khusus desa
wisata yang didukung oleh keindahan alam pantai, bawah laut dan tebing105
tebing pantai berpanorama indah di wilayah Huntete. Pada KPP ini dapat
diarahkan pula bagi pengembangan resort pantai berkualitas tinggi.
Pengembangan lebih eksklusif dengan fasilitas hotel berbintang.
o. KPP Puncak Kahianga dan sekitarnya KPP ini diarahkan pengembangannya
dengan tema wisata panorama dengan mengandalkan keindahan alam puncak
Kahingga dengan pandangan 360 o.
Pengembangan wisata panorama ini
dipadukan dengan wisata budaya dan perdesaan.
p. KPP Runduma dan sekitarnya; KPP ini diarahkan pengembangannya sebagai
wisata pesisir pantai, terutama pengembangan Pantai Palahidu yang
diintegrasikan dengan wisata budaya.
q.
KPP Wali dan sekitarnya; KPP ini diarahkan pengembangannya dengan tema
desa wisata berbasis budaya dengan fasilitas akomodasi pariwisata setingkat
homestay dan pondok wisata.
r.
KPP Popalia dan sekitarnya; KPP ini diarahkan pengembangannya dengan
tema wisata petualangan bahari dan resort berkelas.
Pasal 52
(1) Jenis wisata unggulan yang dikembangkan di kawasan strategis pariwisata
adalah:
a. KSP Matahora dan sekitarnya mengembangkan wisata alam, wisata
budaya dan buatan;
b. KSP Kapota mengembangkan produk wisata pulau kecil, wisata
bahari,pantai,lingkungan alam daratan, telaga dan perdesaan dengan
beberapa peninggalan sejarah;
c. KSP Hoga dan sekitarnya mengembangkan panorama bawah laut.
d. KSP Tolandono mengembangkan wisata pantai dan laut;
e. KSP Huntete mengembangkan wisata pantai Huntete; dan
f. KSP Palahidu mengembangkan wisatalaut dan pantai Palahidu.
(2) Jenis wisata pendukung yang dikembangkan di kawasan strategis pariwisata
antara lain:
a. KSP Matahora dan sekitarnya mengembangkan Goa alam,Hutan Puncan
dan hutan mangrove;
b. KSP Hoga dan sekitarnya mengembangkan beberapa goa alam dengan
stalakmik dan telaga.
c. KSP Tolandono mengembangkan wisata terumbu karang yang indah dan
ikan karang yang beraneka ragam, dan wista diving;
106
d. KSP Huntete mengembangkan wisata puncak Kahianga Goa pinggir laut;
dan
e. KSP Palahidu mengembangkan wisata budaya dan buatan.
Pasal 53
Target pasar wisatawan pariwisata kabupaten adalah wisatawan berkualitas baik
wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik.
Pasal 54
Peningkatan kualitas daya tarik wisata dilakukan melalui:
a. pembangunan dan perbaikan fasilitas pendukung yang berstandar
internasional dengan memperhatikan aspek konservasi alam dan budaya serta
daya dukung lingkungan;
b. peningkatan tata kelola, kompetensi sumber daya manusia, dan peranserta
masyarakat setempat; dan
c. revitalisasi potensi budaya lokal.
Pasal 55
Pengembangan fasilitas pariwisata kabupaten dilakukan dengan:
a. selektif dan terbatas dengan prioritas pengembangan usaha kecil dan
menengah;
b. mempertimbangkan daya dukung (carrying capacity); dan
c. menciptakan iklim persaingan usaha pariwisata yang kondusif untuk
keberlanjutan usaha pariwisata.
Bagian Ketiga
Rencana Kawasan Strategis Pariwisata
Pasal 56
(1) Kawasan Strategis Pariwisata (KSP) Kabupaten adalah kawasan yang memiliki
fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan
pariwisata kabupaten yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau
lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan
sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan
keamanan.
(2) Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
6(enam) Kawasan strategisnPariwisata terdiri atas :
107
a.
b.
c.
d.
e.
f.
KSP
KSP
KSP
KSP
KSP
KSP
Matahora dan sekitarnya;
Kapota dan sekitarnya;
Hoga dan sekitarnya;
Tolandono dan sekitarnya
Huntete dan sekitarnya; dan
Polahidu dan sekitarnya.
BAB V
RENCANA PROGRAM PEMBANGUNAN PARIWISATA
Bagian Kesatu
Program Pembangunan Destinasi Pariwisata
Pasal 57
(1)Program pembangunan destinasi pariwisata daerah meliputi:
a. Pengembangan struktur kepariwisataan dan perwilayahan destinasi
pariwisata yang mempunyai keterpaduan yang kuat dengan pengembangan
sektor-sektor terkait;
b. Pemantapan, penataan dan perintisan daya tarik wisata alam, daya tarik
wisata budaya dan daya tarik wisata buatan yang berdaya saing;
c. Peningkatan keterpaduan pengembangan daya tarik wisata alam, budaya
dan buatan;
d. Pengembangan dan peningkatan prasarana transportasi untuk menunjang
pergerakan internal dan konektivitas antar daya tarik wisata di dalam
wilayah kabupaten;
e. Pengembangan dan peningkatan konektivitas antara destinasi pariwisata
dengan asal wisatawan dan dengan pintu gerbang pariwisata nasional
dan/atau regional serta konektivitas dengan destinasi hinterland khususnya
di Provinsi Sultra;
f. Pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan pergerakan
wisatawan secara internal dan eksternal serta kenyamanan dan keamanan
pergerakan wisatawan;
g. Pengembangan dan peningkatan prasarana umum yang mendukung
pertumbuhan, peningkatan kualitas dan daya saing kepariwisataan
kabupaten;
h. Pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata untuk mendukung
peningkatan investasi pariwisata;
i. Pengembangan fasilitas pariwisata untuk mendukung pemberdayaan
masyarakat dan bertumbuhnya usaha kecil dan mikro;
j. Pengembangan fasilitas daya tarik wisata yang berkualitas dan berdaya
saing;
108
k. Pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam
kepariwisataan termasuk pengembangan usaha produktif di bidang
pariwisata;
l. Pengembangan dan penguatan kemitraan rantai nilai antar usaha antar
usaha pariwisata dan antara usaha pariwisata dengan usaha sektor terkait;
m. Peningkatan akses dan dukungan permodalan serta perluasan akses pasar
terhadap produk industri kecil dan kerajinan dan usaha pariwisata skala
usaha mikro dan kecil;
n. Peningkatan kesadaran, peran, motivasi dan kemampuan masyarakat serta
pemangku kepentingan terkait; dan
o. Peningkatan kemudahan dan pemberian insentif investasi di bidang
pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta
menggalakkan promosi investasi.
(2) Program pembangunan destinasi pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I, dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Bagian Kedua
Program Pembangunan Industri Pariwisata
Pasal 58
(1) Program pembangunan industri pariwisata Daerah meliputi:
a. Peningkatan daya saing fasilitas pariwisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan kapasitas dan kualitas fungsi dan layanan fasilitas
pariwisata yang memenuhi standar internasional dan mengangkat unsur
keunikan dan kekhasan lokal;
b. Pengembangan kemitraan usaha pariwisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan skema kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah,
dunia usaha, dan masyarakat;
c. Penciptaan kredibilitas bisnis diwujudkan dalam bentuk pengembangan
manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang kredibel dan
berkualitas serta bertanggung jawab terhadap lingkungan;dan
d. Peningkatan daya saing daya tarik wisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan kualitas dan keragaman usaha daya tarik wisata.
(2) Program pembangunan industri pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini
109
Bagian Ketiga
Program Pembangunan Pemasaran Pariwisata
Pasal 59
(1) Program pembangunan pemasaran pariwisata meliputi:
a.
b.
c.
d.
Pengembangan pasar wisatawan dalam bentuk pemantapan segmen pasar
ekotutis yang bersifat segmen ceruk pasar untuk mengoptimalkan
pengembangan destinasi ekowisata;
Pemantapan citra kepariwistaan kabupaten secara berkelanjutan termasuk
peningkatan citra sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan
berdaya saing;
Pengembangan kemitraan pemasaran pariwisata diwujudkan dalam bentuk
pengembangan
kemitraan
pemasaran
yang
terpadu,
sinergis,
berkesinambungan dan berkelanjutan;dan
Penguatan dan perluasan eksistensi promosi di dalam negeri dan luar
negeri.
(2) Program pembangunan pemasaran pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran. I dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini
Bagian Keempat
Program Pembangunan Kelembagaan pariwisata
Pasal 60
(1) Program pembangunan industri pariwisata daerah meliputi:
a. Penguatan organisasi kepariwisataan melalui penguatan mekanisme kinerja
organisasi dan penguatan organisasi kepariwisataan yang menangani
bidang-bidang teknis kepariwisataan (pemasaran, industri dan destinasi);
b. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM Pariwisata di lingkungan
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat;dan
c. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan untuk mendukung
pembangunan kepariwisataan.
(2) Program pembangunan pemasaran pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran.I dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
110
BAB VI
INDIKASI PROGRAM PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH
Pasal 61
(1) Indikasi program pembangunan kepariwisataan daerah dilaksanakan sesuai
dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Pembangunan Jangka
Pendek.
(2) Dalam pelaksanaan indikasi program pembangunan kepariwisataan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
membidangi urusan kepariwisataansebagai penanggungjawab didukung oleh
instansi terkait, dan dapat didukung oleh dunia usaha dan masyarakat.
(3) Indikasi program pembangunan kepariwisataan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) rinciannya dilampirkan dalam lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
BAB VII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 62
(1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan
RIPPARDA.
(2) Pengawasan dan pengendalian dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
(1) Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
111
(2) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Wakatobi
Ditetapkan di Wakatobi pada
tanggal........
BUPATI WAKATOBI
TTD
...........................
Diundangkan di Wakatobi pada tanggal ......
SRKRETARIS DAERAH KABUPATEN WAKATOBI
TTD
..........................
112
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI
NOMOR : …………………..
TENTANG
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH
TAHUN 2016-2025
I. UMUM
Mengacu pada Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan bahwa
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan merupakan bagian integral dari
Rencana Pembangunan Jangka Panjang maka Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Kabupaten Wakatobi sesuai dengan jangka waktu RPJPD
Kabupaten Wakatobi yaitu sampai tahun 2025.
Dalam pembangunan kepariwisataan Kabupaten Wakatobi dikembangnkan
berdasarkan prinsip-prinsip; berkelanjutan, keterpaduan, akselerasi, konsistensi
dan kesinambungan, kepastian hukum, kemitraan, berbasis ilmiah dan ilmu
pengetahuan,
partisipasi
masyarakat,
membangun
kapasitas
lokal,keterbukaan,adil dan merata,kekeluargaan,demokratis,keseimbangan, dan
akuntabilitas.
113
II.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Yang dimaksud dengan keunggulan banding adalah…
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Yang dimaksud dengan Ecotourism adalah …
Yang dimaksud dengan natural area adalah…
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas
114
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup j elas
Ayat (4) Yang dimaksud dengan warisam budaya termasuk didalamnya
situs atau cagar budaya dan peninggalan sejarah.
Ayat (5) Cuku jelas
Ayat (6) Cukup jelas
Ayat (7) Cukup jelas
Ayat (8) Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
115
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
116
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
117
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1) Cukup jelas
118
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1) Cukup jelas
119
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (30 Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI NOMOR .....
120
121
122
123
Download