Sebuah Roman Y.B. MANGUNWIJAYA Burung – Burung Manyar Mendapat pengahargaan Tulis Asia Tenggara 1983 SOUTH EAST ASIA WRITE AWARD 1983 Pengarang cerita ini memperlihatkan pengetahuan dan pengalaman yang banyak serta pengetahuan tentang manusia yang mendalam. Nadanya di sana-sini humoristis, kadand-kadang tajam mengiris. Ia menganlisa diri dan mengejek diri tak tanggungtanggung, suatu tanda kedewasaan jiwa. Bahasanya segar dan gurih, ngelotok, kontemporer. Isinya penuh pengalaman dahsyat, keras dan kasar, tapi juga romantik penuh kelembutan dan kemesraan. ( H.B. Jassin ) Y.B. Mangunwijaya dengan novelnya Burung-burung Manyar mencoba melihat revolusi Indonesia dari segi yang obyektif bahkan agak cenderung melihatnya dari segi Belanda, dengan memasang protagonis orang Indonesia yang anti republik. Nilai buku in terutama terletak pada keberanian pengarang untuk mengisahkan konflik jiwa seorang anti republik semasa revolusi, segi informasinya tentang kehidupan tentara KNIL dan gaya humor pengarang kadang-kadang terselip ejekan yang yang penuh kejutan. ( Jakob Sumardjo ) Dengan bahasa yang khas “mangunwijayaan”, kata-kata majemuk berkadar tinggi untuk menampilkan sebanyak mungkin makna; Lucu dan sarat sindiran, novel ini mengungkap kepalsuan sekaligus “jatidiri dan citra pengungkapan” manusia. Lalu novel ini menutup diri dengan kesimpulan yang kaya makna, yang tak layak dikemukakan lain daripada apa yang tertulis pada bukunya. (Parakitri, harian kompas) Karya sastra yang besar selalu menghimbau angan-angan kita untuk bergerak dengan leluasa di dalam ruang jagatnya. Untuk menemukan makna bagi kehidupan kita sendiri. Burung-burung Manyar telah sanggup memberikan makna itu. ( Subagio Sastrowardoyo, Tempo ) Banyak hal yang menjadikan buku ini menarik. Bukan saja gaya bercerita Y.B. Mangunwijaya yang khas, bahasanya yang hidup dan mampu membawa pembaca ke alam pikiran sang tokoh. Juga bulan lembaran sejarah yang dibuka kembali, dengan titik pandang yang hingga kini jarang ditemukan dalam sastra Indonesia….. ( Mariane Katopo, Sinar Harapan ) Selain kaya dan dalam, dipandang dari sudut pusat pengisahan, roman ini menarik. Cara menghadirkan tokoh pun diperhitungkan dengan cermat. ( Th. Sri Rahayu Prihatmi, Universitas Diponegoro ) Sebuah Roman Y.B. MANGUNWIJAYA Burung – Burung Manyar Dipersembahkan kepada Ayah - Ibu tak terkenal para pejuang Copyright © pada Djambatan Anggota I K A P I Cetakan pertama, Agustus 1981 Cetakan kedua, Desember 1981 Cetakan ketiga, Juni 1983 Cetakan keempat, Maret 1986 Cetakan kelima, Oktober 1988 Cetakan keenam, Agustus 1993 Cetakan ketujuh, Oktober 1996 Cetakan kedelapan, Agustus 1999 Cetakan kesembilan, Oktober 2000 Cetakan kesepuluh, Juli 2001 Cetakan kesebelas, Agustus 2001 Cetakan kedua belas, Agustus 2003 Cetakan ketiga belas, Mei 2004 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan ( K D T ) Mangunwijaya, Y.B. Burung - Burung Manyar : Sebuah Roman / Y.B. Mangunwijaya--Cet. 13 - Jakarta : Djambatan 2004 Viii, 319 hlm. ; 21 cm I S B N 979-428-528-5 I. Judul. 346.7 Percetakan Ikrar Mandiriabadi Isi VI VII BLENCONG PRAWAYANG 3 9 22 29 BAGIAN I : 1934—1944 1. Anak Kolong 2. Anak Emas 3. Buah Gugur 4. Kuncup Mekar 35 44 48 58 62 70 75 83 97 BAGIAN II : 1945—1950 5. Anak Harimau Mengamuk 6. Merpati Lepas 7. Singa Mengerti 8. Banteng-banteng Muncul 9. Elang-elang Menyerang 10. Macan Tutul Meraung 11. Ayam-ayam Disambar 12. Cendrawasih Terpanah 13. Burung Kul Mendamba 105 118 129 137 142 153 159 171 180 BAGIAN III : 1968—1978 14. Jurang Besar 15. Firdaus Kobra 16. Nisan Perhitungan 17. Gunung Rawan 18. Aula Hikmah 19. Pendopo Perjumpaan 20. Rumah Pertanyaan 21. Istana Perjuangan 22. Sarang Manyar Baru V Blencong Pementasan wayang kulit tidak akan bisa dinikmati jika layar atau kelirnya tidak diterangi blencong. Maka, meminjam istilah blencong itulah, roman sejarah berjudul Burung-Burung Manyar karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya alias Romo Mangun ini kembali kami terbitkan. Kali ini untuk cetak ulang yang ke-13 kalinya. Maksud pencetakan ulang ini tak lain untuk memberikan blencong—dalam arti pencerahan—kepada para pembaca tentang berbagai kemungkinan cara pandang atas sejarah. Roman sejarah ini, menggambarkan tentang perspektif atau cara pandang yang berseberangan dengan pandangan yang berlaku umum tentang siapa pejuang dan siapa pemberontak. Semakin merasuk ke dalam bangunan cerita dari karya besar almarhum Romo Mangun ini, pembaca niscaya akan terpengaruh oleh berbagai argumen, realita ( dalam karya ini ), dan sejumlah konflik batin yang akan menjelaskan mengapa Seto tetap memilih pro-Belanda. Dengan sudut pandang “pro-Belanda”, Romo Mangun membangun cerita ini secera jujur dan apik. Tampaknya Romo Mangun sedang menunjukkan kepada pembaca tentang adanya pandangan lain, bahkan berseberangan, atau makna kepahlawanan, loyalitas, dan cinta tanah air. Jakarta, April 2004 VI Penerbit Prawayang Nun di kala itu, di Widura Kandang negeri Ngamarta, tumbuhlah si gadis gesit bagaikan burung prenjak; Rarasati atau Larasati namanya. Teremban kehangatan asuhan cinta arif sang ayah Antapoga, gembala ternak istana, dan istrinya Nyai Sugopi, gadis Rarasati memekar. Hatta kisah berwarta, pondok Antapoga menerima tugas mulia namun berat, dijadikan tempat berlindung putera puteri Sri Baginda Raja Basudewa dari negeri Mandura, ialah Kakrasana dan Narayana berserta adik perempuan Rara Ireng. Ketiga anak raja itu diungsikan karena terancam terbunuh oleh abang tiri jahat, Kangsa. Kakrasana, wahana wahyu dewa Basuki, dewa naga penopang Bumi Raya, adalah mahluk seta. Artinya serba putih darah, daging, serta segala-galanya sampai ke tulang maupun sarafnya; sedangkan Narayana, wahana wahyu dewa Wishnu, justru hitam legam tulang, daging, darah, saraf dan segalanya. Namun mereka berayah satu, raja Basudewa. Serba indah dan berbahagialah masa kanak-kanak ketiga putera puteri raja itu di Widura Kandang bersama Rarasati, bunga padang merdeka. Rarasati kelak dipersunting pahlawan Arjuna. Begitu juga Rara Ireng, yang setelah dewasa bernama Sumbadra. Narayana selaku raja Kresna negeri Dwarawati menjadi ahli siasat utama para Pendawa. Naumun Kakrasana yang seta, yang bergelar raja Baladewa, memihak Kurawa. Demi kesetiaannya kepada Herawati, istrinya, dan ayah mertua, raja Salya dari Mandraka yang merasa wajib berpihak kepada para Kurawa, agar kerajaan Ngastina jangan pecah. Namun dalam lubuk hati raja Salya maupun Baladewa, kecintaan kepada para Pandawa tidaklah pernah berhenti berpijar. Tetapi apakah Baladewa benar-benar akan memihak Kurawa dalam medan laga total Bharatyudha Jayabinangun, artinya “ Kejayaan dibangun secara sejati “? Maka terdengarlah warta “ Kresna mengilhami abangnya yang seta itu untuk bertapa di Grojogan Sewu (Seribu Air Terjun). VII Bagian I 1934 - 1944 1. Anak Kolong Pernah dengar “anak kolong” ? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli totok. Garnisun II Magelang (ucapkan: MakHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah bilang totok. Jadi KNIL¹⁾ Jelas kolonial, mana bisa tidak. Papiku loitenant ²⁾keluaran Akademi Breda Holland. Jawa! DAN Keraton! Semula tergabung dalam Legiun Mangkunegara. Tetapi Papi minta agar dimasukkan ke dalam slagorde Langsung di bawah Sri Baginda Neerlandia ³⁾saja; Ratu Wilhelmina kala itu. Tidak usah dibawahi raja Jawa. Terua terang Papi tidak suka pada raja-raja Inlander, walaupun konon salah seorang nenek canggah⁴⁾atau gantung-siwur ⁵⁾ berkedudukan selir ⁶⁾ Keraton Mangkunegaran. Soalnya, papi suka hidup bebas model Eropa dan barangkali itulah sebabnya juga, ibu kandungku seorang nyonya yang, menurut babu-babu pengasuhku, totok Belanda Vaderland ⁷⁾ sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak percaya. Itu akibat kesalahan kawan-kawan sepermainan di garnisun, ya anak-anak kolong yang tersohor kasar ¹⁾ KNIL: Koninklijk Nederlands Indisch Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). ²⁾ Dari kata luitenant (Bld): letnan. ³⁾ Nederland. ⁴⁾ Nenek dari Nenek. ⁵⁾ Ayah atau ibu dari canggah. ⁶⁾ Istri tak resmi, istri muda. ⁷⁾ Negeri Belanda; secara harfiah: Negeri Bapak. 3 dan tak tahu adat itu; yang blak-blakan sering mengindoktrinasi, bahwa aku ini anak Jawa Inlander belaka. Sama seperti mereka. Makanya jangan sok dan sebagainya. Dan kulit Mamiku putih kulit langsep mulus; nah itu justru bukti Mami bukan totok. Sebab orang Belanda berkulit merah blentong-blentong seperti genijk anak babi. Keterangan kawan-kawanku brandal itu bahkan membuatku bangga, sebab untuk anak normal, kehidupan brandal anak kolong Inlander jauh haibat daripada menjadi sinyo Londo ¹⁾ yang harus necis pakai sepatu, baju musti harus putih bersih dan segala macam basa-basi yang membuatnya menjadi marmut dalam kurungan. Bersama anak sersan, kopral dan sepandri ²⁾ yang selalu hitam dan berkulit ternoda luka-luka di mana-mana, aku benar-benar bisa mengalami firdaus: berenang di selokan tangsi (telanjang bulat dong! Masakan pakai celana beledu dan topi matrus ³⁾ yang airnya lezat berwarna coklat “van Houten’s cacao”, segar dan nyaman menghanyutkan (pakaian diikat di atas kepala) melalui kampung Bogeman, terus ke Pecinan dan muncul di jembatan di muka Pasar Besar. Mana sinyo totok bisa. Lalu cepat berpakaian, tentunya serba setengah basah dan “sipatkuping” ⁴⁾ mengejar, lalu hat-hati membonceng di belakang “motor tai”, jakni mobil tangki kotapraja yang di mana-mana menyedot dari tangki-tangki septik WC umum. Enaknya aduhai putar-putar kota Tidar entah sampai ke mana. Lantas tibatiba bertemu suatu pasukan KNIL yang berbaris dengan tamabur dan terompet, haah, ini dia! Loncat turun dan ikut berbaris di belakang mereka sambil menikmati gerak ayunan para Bapak ¹⁾ Belanda. ²⁾ Dari kata Vaandrig (Bld): serdadu klas I, belum kopral. ³⁾ Dari kata matroos (Bld): kelasi. ⁴⁾ Lari tunggang langgang. 4 Kolong itu yang, wahai, haibat iramanya. Seperti dikomputer. Drèng! Dèrèng…dèrèng dèndèng! Nanti makan dèndèng cèlèng! Si Pak Kopral muka bopèng! Si Mbok Kopral kulit srundèng! ¹⁾ Drèng! nDerèng-derèng Dèndèng! Sering aku menepuk pinggang sersan komandannya yang semua kami kenal. Ia hanya melirik saja, mulut agak memulur tersenyum tak kentara. Disiplin dong! Tentara Kerajaan dikira apa. Tentu saja Mami sama sekali tak suka dengan kekolonganku. Maklumlah, anak letnan Kerajaan yang bersekolah si Sekolah Dasar Kaum Eropa, masih ningrat Keraton bahkan Surakarta segala, kok telanjang di selokan kebak tai; tanpa sepatu keluyuran dengan anak-anak kolong kampungan. Sampai hitam Dayak aku ini (Mami tidak tahu, orang Dayak kulitnya kuning seperti Mami) malu ah! Dan setiap aku pulang, terlambat tentu saja, aku dihukum Mami. Tidak boleh makan poding panili lezat sesudah makan. Tetapi kalau sore hari aku merengek minta poding jatahku itu, toh Mami memberinya juga. Jadi tak mempan juga ilmu pendidikan Mamiku itu. Memang Mami jelas tak punya sistem pendidikan yang berdisiplin. Nah, itu bukti kedua, Mami bukan totok. Bukti ketiga: Mami suka pada segala hal pedukunan dan takhayul atau mistik. Bukti keempat, dan ini yang paling meyakinkan: Mami sangat cantik. Biasanya nyonya totok tidak cantik. Barangkali cantik juga, tetapi untuk ukuran sana, negeri kincir-angin dari kayu. Untuk ukuran negeri pohon kelapa, di mana lalat-wilis pun biru-hijau keemas-emasan pantatnya, maaf, tidak. Dan bahwa Mami cantik, itu sangat perlu untuk aku anaknya. Sebab terus terang saja Papi blo’on tampangnya. Gagah memang, beliau itu. Apalagi kalau berkunjung ke istana. ¹⁾ Lauk pauk terbuat dari kelapa goreng. 5 Sedangkan Papi yang sawo matang dan raden mas ningrat tampak lebih senang di luar tembok istana. Tetapi itu barangkali karena Mami merasa setengah ratu di Mangkunegaraan. Disembah para abdi dalem dan tersanjung oleh para wanita istana yang terkenal cenderung progresip Barat. Gusti Nurul misalnya, bukan main bikin gempar di masa itu. Bayangkan! Putri raja Jawa! Naik kuda sih barangkali masih dapat diikuti nalar. Tetapi pakai celana! Nyuwun pangapunten ¹⁾ Lho serius nih! Kenapa tertawa ? Cuma perempuan cina yang pakai celana. Kalau noni dan nyonya Belanda mah, itu kan sudah di atas segala hukum, apa saja boleh kalau Belanda. Sampai duduk di sebelah kanan raja di atas singgasana, boleh dia. Tetapi puteri ningrat Jawa pakai celana ? Krakatau bisa jadi meletus itu nanti! Bila aku menyelinap ke dapur istana mencari makanan atau haus, sering kudengar para puteri keraton suka mempergunjingkannya. Ada yang kurang setuju (kurang sreg istilahnya); ada yang mengatakan: segala yang diperbuat keluarga raja selalu baik. Tetapi tentang Mami yang putih mulus dan kelahiran asli Belanda itu (memang Mami lahir di Utrecht, Negeri Belanda) semua memujinya. Betapa sangat paham beliau tentang primbonprimbon ²⁾ Jawa dan segala jenis ilmu klenik! Bukti bukan, nyonya yang tidak sombong? Dan begitu mengharukan beliau menghargai warisan nenek moyang. “Raden Mas Sinyo mau spekuk enak? Jeng Manganti, coba tolong ambilkan spekuk dari almari untuk Raden Mas Bagus Sinyo. Aduuh, siapa nanti yang akan jadi mertuanya ya ? Cocoknya dengan Den Ayu Arumbrangta (atau entah semacam itu).”… nah terpaksa ketawa pahit jengkel aku. “Mbakyu Mergantun, kau dengar apa yang Den Mas Sinyo katakan tentangku hihihi… aduh memang anakletnan perak benar… dia bilang aku namanya Ibu Spekuk…hihihi.” Tolol! ¹⁾ Minta ampun. ²⁾ Petunjuk-petunjuk mistik tentang hari-hari baik atau buruk. 6 Setiap kami pulang dari kol istana, bertambahlah keyakinanku, bahwa tidak ada dunia yang lebih firdaus daripada dunia anak kolong tangsi Magelang.Tangsi dengan pohon-pohon kenarinya yang besar dan rindang, dan yang setiap musim merontokkan ulat-ulat yang membuat noni-noni menjerit, dan yang bahkan minta lebih dijeritkan lagi oleh lemparan-lemparan anak kolong kami berupa paket-paket ulat yang , nikmat sekali, membuat mereka panik. Yang melempari noni-noni itu biasanya aku, sebab aku anak letnan. Anak-anak kopral tentunya tidak begitu berani mengganggu puteriputeri ofisir-ofisir, kecuali bila memang dapat aman sungguh-sungguh, bersembunyi dengan garansi mustahil ketahuan identitas mereka. Kenari-kenari itu buah anugerah surga yang kami terima (atau lebih tepat, yang kami lempari) dengan penuh syukur. Bila dimakan isinya yang gurih sesudah kulitnya yang keras kami jepitkan di antara kosen dan daun pintu. Kulit itu dapat kami buat jadi cincin, dan berlomba-lomba itu kami poles halus dengan minyaknya sehingga mengkilat di jari-jari. Yang paling sulit hanyalah menggergaji dan menghaluskan sisa dinding cabang-tiga sektor biji buah kenari itu sehingga plong bolong jadi cincin. Untuk itu kami harus meminjam kikir dari Pak Sepandri Sapu (kumisnya seperti sapu ijuk), sopir truk batalyon. Pernah dalam suatu gejolak sentimentil aku bersusah payah membuat cincin kenari untuk kuhadiahkan kepada Dora, seorang gadis Ambon yang manis seribu satu malam dari Hollands Ambonse School ¹⁾, dua tahun lebih tinggi kelasnya dariku, yang dalam hati sangat kupuja, karena mengingkatkan aku (ngawur tentu saja) kepada puteri Saharazad dari dongeng Seribu Satu Malam. ¹⁾ Sekolah Dasar untuk anak Ambon, berbahasa pengantar Belanda. 7 Kutitipkan cincin tadi melalui seorang “kurir” khusus dari HJS ¹⁾, kawan anak kolong, komplit disertai semacam surat cinta. Keesokan harinya kudengar, bahwa di kanal, itu lho tanggul selokan yang mengalir 5-7 meter di atas permukaan jalan raya dan yang membagi Magelang menjadi dua belahan pisang goreng, terjadi keroyokan hebat antara kami anak-anak kolong dengan anak-anak Pandestiran, yakni anak-anak piatu kaum Indo yang diasramakan oleh seorang Belanda berewok seperti Karl Marx, bernama Pa van der steur, sampai terpaksa polisi datang karena banyak peluru batu memecahkan genting-genting rumah penduduk. Usut punya usut, ternyata kurir yang kusuruh menghaturkan cincin kenari kepada Sang Dewi itu dipukuli oleh pemuja lain berasal dari Pandestiran, sehingga geng Kolong langsung (tanpa sepengetahuanku) terpaksa membalas penghinaan tadi. “Tapi bagaimana Si Dora ? Dia sudah terima itu cincin ?” “Udah! Tapi kan betul yang kubilang dulu. Semua cewek itu anak wéwé ²⁾. “ Dia gembira menerima hadiah ?” “Bah! Terlalu amat kelewat gembira.” “Betul ?” “Sampai ia tunjukkan suratmu pada semua cewek dan cowok, Sambil mentertawakan kau. Sudahlah, semua cewek itu brengsek.” Betul juga! Aku sangat setuju dengan kurirku itu. Tidak Cuma brengsek, tapi gila. Maka kembalilah aku ke duniaku, berbaris di belakang peleton-peleton infanteri yang baru pulang dari latihan di Tidar. Lelah tetapi masih gagah. Drèng! Derèng…derèng dèndèng! Nanti makan dèndèng cèlèng! Si Pak Kopral muka bopèng! Si Mbok Kopral kulit srundèng! ¹⁾ Drèng! nDedèng-derèng Dèndèng! Ikke ³⁾ Anak Kumpeni! Een-twee-drie ⁴⁾ Infanteri. Siapa braniii, ikke brondong matiii (dor! dor! dor!) Drèng! nDedèng-derèng Dèndèng. Soldat! Spandri! Kopral! Spandriiiiiiiii tiiit-piluiiiit, Ikke, Kumpeni! Maaf, nama saya ? Setadewa. Tetapi semua memenggilku Teto. Entah, memang aneh logika mereka. ¹⁾ Hollands Javaanse School: Sekolah Dasar untuk anak Jawa, berbahasa pengantar Belanda. ²⁾ Hantu perempuan. ³⁾ Aku. ⁴⁾ Satu-dua-tiga. 8 2. Anak Emas Wijen ¹⁾? Aduh cantiknya Den Rara Larasati ! “Wijen ?” dan Mbok Naya menyeka memanja gadis cilik yang baru saja merebahkan diri duduk di atas amben ²⁾ dan yang tersenyum manis merayunya. Mbok Naya tertawa geli. “Wijen untuk apa Den Rara ³⁾ ?” “Saya bukan Den Rara. Saya At-tik. Sudah.” Mbok Naya lebih ketawa lagi, dan temannya, Mbok Ranu di sebelahnya, juga ikut tertawa, sama-sama terlonjak hati melihat noni Jawa dari Betawi itu lucu, lesung di pipi, berbahasa Jawa kurang sempurna untuk ukuran lingkungan pangeran keraton, Surakarta lagi. Anak itu tidak dari Betawi. Dari Bogor. Tetapi untuk kedua pembantu dapur sederhana itu, semua kota besar di ufuk Barat yang didiami priyayi, selalu bernama Betawi. “Sedikit saja biji wijen enak itu.” Gadis yang dikatakan noni Betawi tadi melihat ke kiri ke kanan dan menoleh, seolah takut diketahui berbuat sesuatu yang kurang layak. Kedua simbok tadi ikut-ikut melihat ke arah-arah yang sama, bertanya diri, ada apa ? Tetapi tak terduga, sampai Mok Naya agak terperanjat spontan mengelak sedikit kepalanya, si gadis kecil membisikkan sesuatu ke dalam telinganya yang tidak bersih sama sekali itu. ¹⁾ Butiran kecil semacam buah rumput. ²⁾ Panggung. ³⁾ Panggilan gadis kaum atasan oleh kaum bangsawan. 9 Mbok Ranu memandang kejadian itu dengan agak mendekat serta tersenyum ingin tahu, tetapi lebih-lebih dengan dambaan yang manis walau agak getir. Setiap anak manis selalu mengingatkannya kepada anaknya sendiri, Si Bawuk yang, (ah memang Gusti Pangeran Yang Maha Memiliki berkuasalah, namun toh kejam juga), telah direnggut ke akhirat. Dilihatnya Mbok Naya mengangguk-angguk dan berkata: “Inggih, inggih, baik itu Den Rara. Baik sekali” Lalu menggeleng-geleng: “Tidak! Sungguh tidak, saya akan diam.” Lalu ia mengambil selembar daun pisang, dibuatnya takir ¹⁾ “ Tolong biting ²⁾ itu.” Mbok Ranu memberinya beberapa batangan bambu sekecil batang korek-api selaku pengancing mangkuk daun. Dan takir itu diisilah oleh Mbok Naya barang sepermpat gemggam biji wijen, yang seharusnya digunakan untuk melapis onde-onde ceplus ³⁾ yang sedang mereka goreng. “Terima kasih, ya Mbok. Nanti saya bawakan oleh-oleh.” Dan bersinar-sinar gadis cilik yang sudah mulai menongolkan sepasang kuncup kewanitaan remaja di balik blusnya, berlari meloncat-loncat kecil ke luar dapur. Kedua simbok tadi mengikuti “burung prenjak” itu melalui pintu sampai menghilang dari pandangan. Seselaput kerinduan mengaca pada kedua mata Mbok Ranu. “Sama dengan raden ayu ibunya,” katanya lirih. “Siapa yang kelak akan memetiknya?” tanya Mbok Naya bernada setengah berdoa. “Mudah-mudahan jangan Gusti Allah,” sahut Mbok Ranu, dengan sebiting gugatan. ¹⁾ Semacam mangkok terbuat dari daun pisang. ²⁾ Tusukan bambu sebesar korek api. ³⁾ Semacam makanan terbuat dari tepung yang digoreng sebesar kelereng. 10 “Apa ?” tanya rekannya terkejut. “Tidak apa-apa.” “Kau ini! Kalau omong sering serba aneh.” Mbok Ranu menghindar: “ Ah, yang penting kan nanti ada pertunjukkan wayang. Tolong Semprong ¹⁾ itu Yu. Api Cuma rewel dari tadi. Pertanda ramalan apa ya ?” “Kayu mlanding setoran Si Wangsa selalu begitu. Harus dibayar dia. Tetapi sebetulnya tidak cocok lakon nanti malam. Bayi Raden Ayu Hendraningrat perempuan, mengapa mengambil lakon “Kakrasana-Narayana lahir.” Seharusnya kan mengambil riwayat ”Kelahiran Sembodro.” “Saya dengar. Yu, itu Kanjeng Pangeran bermaksud untuk sekali jadi merayakan adik beliau Raden Mas Sumitra dan kemenakan Raden Mas Suteja yang keduaduanya baru lulus dari sekolah perwira di negeri Belanda.” “O, begitukah ?” dan dipandangnya rekannya yang lebih muda itu dengan rasa heran. Perempuan ini tahu banyak. Dari mana ia tahu ? Tetapi ia diam saja ketika Mbok Ranu dengan datar hanya berkomentar: “Itu yang saya dengar. Nah, minyaknya masih saja meletus-letus. Si Min memang keterlaluan. Sudah berapa kali kukaktakan. Beli minyak jangan pakai sembarang botol. Jangan-jangan botol dari kamar kecil ini.” Tetapi Mbok Naya tidak berminat memarahi rekannya yang sering ceplas-ceplos omong seenaknya. Diambilnya seserok bola-bola kecil gandum serba berlapis biji wijen itu dan dengan luwes dimasukkannya ke dalam minyak yang mendidih. Harus Pas. Jangan mentah jangan gosong. Pikirnya: Memang Si Ranu janda masih begitu muda. Omong tak pernah hati-hati. “Nah, kalau begitu, kan bisa cari lakon lain yang lebih tepat. Pregiwa-pregiwati misalnya. Paling sedikit tokoh lakon yang wanita. Atau Arjuna bisa juga.” ¹⁾ Sepotong pipa bambu. 11 “Ah Mbakyu,” potong Mbok Ranu,”Jangan Arjuna. Saya sudah mengalami sendiri, apa artinya kawin dengan jenis Arjuna.” “Sudah, sudahlah, yang sudah lalu jangan diungkit –ungkit lagi. Suamimu sudah di alam kahyangan sana dan kau dan saya sudah aman, mudah memperoleh sesuap nasi; bahkan di dalam rumah seorang pangeran. Kita tidak boleh menggerutu.” “O, tidak Mbakyu, saya tidak pernah meggerutu. Saya hanya berkata, bahwa …” “Ya sudah, aku tahu. Memang setiap orang punya segi Pendawa maupun Kurawanya. Kita kan Cuma abdi. Boleh mengabdi lelaki itu kan sudah rahmat namanya.” Dan dari sudut matanya ia melirik kepada rekannya, yang memang menurut suara lubuk kecil di hati Mbok Naya, sepantasnyalah dimarahi, kendati secara halus. Memang kasihan, anak tunggalnya terkena malaria; dan suaminya juga menyusul anaknya, akibat terjatuh dari pohon melinjo yang terkenal selalu berkhianat itu kaena dahan-dahannya seolah hanya melekat saja tanpa kekuatan sedikit pun pada pokoknya. Akan tetapi bukanlah enam tujuh tahun hidup bersama dengan seorang Arjuna sudah tergolong ketiban ndaru ¹⁾, artinya dijatuhi anugerah kemujuran hidup ? Kalau dibanding dengan suami Mbok Naya sendiri yang bentuknya seperti Togog ²⁾ loakan itu, pastilah Mbok Ranu tidak punya hak untuk mengeluh setarikan nafas pun. Itu kalau memang ia waratama ³⁾ Jawa sejati yang sudah pernah diajar oleh orang-tuanya tentang sikap sumarah, ⁴⁾ bakti kepada raja suami dan segala yang di atas kita. ¹⁾ Dijatuhi cahaya Wahyu. ²⁾ Tokoh wayang, kebalikan dari Semar. Togog dianggap tokoh bodoh buruk dan Serba salah. ³⁾ Wanita berbudi. ⁴⁾ Penyerahan. 12 Bukankah hidup di persada bumi ini hanyalah mampir ngombe, singgah sebentar untuk minum setegukan, lalu harus berjalan terus ? Tiba-tiba dalam hati ingin-tahunya mendesak bertanya: “Nu, dulu Batara Kamajaya ¹⁾ kerap berkunjung menemui Dewi Ratih ²⁾?” Mbok Ranu tahu apa yang dimaksudkan rekannya yang memang teman baik sekali sejak ia masuk menjadi abdi Ndoro Putri Pangeran Hendraningrat, akan tetapi seringlah, yang gituan itu lagi yang ingin diintip Mbok Naya di dalam kehidupan intinya. Mbok Ranu tersenyum dalam hati. Memang dalam malam-malam sunyi bahkan sering juga matahari masih belum terbenam dan ayam-ayam belum masuk kandang, Kama suaminya dan Ratih pangkuannya suka bersendagurau girang namun diam dalam kerahasiaan firdaus hanyut-rasa yang membuatnya lupa segala hal. Darah Mbok Ranu hangat. Dan Arjunanya pandai memanjanya. Benar, benarlah apa yang selalu dikatakan rekannya yang lebih tua itu, ia tidak boleh mengeluh. Sekian tahun kebahagiaan sudah anugerah melebihi cukup. Tetapi mengapa Allah begitu kejam dan suami beserta anaknya diambil dan sekarang ia menjadi begini ? “Apa Yu, yang kau tanyakan ?” “Nah, janda selalu begitu. Melamun dan tidak mendengarkan orang lain.” “Maaf Yu, saya tadi baru ingat pada anakku yang…apa Yu ? Tadi kau tanya apa ?” Mbok Naya toh malu juga untuk menyogokan sekali lagi pertanyaannya yang sebetulnya kurang senonoh itu. Tetapi sungguh, ia ingin, sangat ingin tahu, bagaimana caranya seorang Arjuna … sudah, jangan diteruskan. Nanti saat kan datang sendiri, rekannya itu mengungkapkan “ hikayatnya”. Tetapi itu harus membugil sponstan, seperti kalau perempuan mandi di sumur pada petang gelap itu. Atau kalau sedang minta dikeroki. “Saya tadi tanya, kira-kira siapa lelaki yang akan mempersunting Den Rara Larasati yang noni itu ?” Mbok Ranu sekarang tertawa. “Ya, sinyo tentunya.” “Sinyo Jawa ?” “mustinya begitu.” Den Rara Prenjak kelihatan tidak senang di istana Pangeran kita. Saya intip, dia hanya sendirian saja membaca buku atau melamun.” “Nasib anak tunggal selalu begitu.” “Tiga sebetulnya. Tetapai ah, mengapa Bu Antana nasibnya malang ? Bahaya setiap anak yang tumbuh sendirian, ia menjadi manja. Mudah-mudahan jangan menjadi sombong.” “Banjak orang mengatakan Bu Antana sombong, padahal hanya anak-angkat Pangeran kita. Aku kenal anak-emas itu dari kecil. Memang ibunya, nenek Den Rara Larasati itu, perempuan simpanan di suatu desa lereng Lawu, gunung yang angkuh itu. Sudahlah, sombongnya, aduh Nu, kalau kau lihat dulu. ¹⁾ Dewa Asmara dalam pewayangan. ²⁾ Dewi Asmara istri Kamajaya. 13 Lagaknya seperti darah ningrat Endragiri ¹⁾. Padahal sama dengan kau dengan saya sajalah, darah kecap asin.” Mbok Ranu geli. Mbok Naya suka membuat kiasan-kiasan yang aneh-aneh. Masakan, darah kok kecap. “Den Rara Atik dan ibunya tidak sombong. Kalau sombong tidak mungkin begitu menaung sikap mereka kapada kita para abdi. Ah … Yu, sering saya pikir-pikir Seandainya Ruri anakku masih hidup, barangkali Den Rara Atik berkenan juga mainmain dengannya. Bagaimana Yu ?” “Ya, saya kira begitulah. Tetapi soalnya, apa ayahnya memperbolehkannay ?” “Ayahnya juga tidak akan sesombong itu. Mereka orang Betawi, orang pantai walaupun masih tergolong kerabat Keraton. Orang pantai biasanya gampang. Yu Naya tidak ingin melihat Betawi ?” “Ah, untuk apa. Apa kota Sala kurang elok, kok ingin ke Betawi.” “Hanya untuk melihat saja.” “Melihat ? Melihat Sriwedari, nah itu baru nikmat. Yang main jadi Wibisono, duh Gusti, pernah kau melihatnya ?” Mbok Naya terkekeh-kekeh dan berbisik di telinga temannya: “Kau bisa, masih bisa sebetulnya kawin lagi dengan Wibisono semacam dia. Mau ? Mau kucarikan ?” Seandainya kulit Si Janda Ranu itu kuning langsep seperti para bendara raden ajeng rumah Pangerannya, pastilah tampak ia menjadi merah. Tetapi yang tampak hanya mulutnya yang melengos dan bagian dadanya yang meliuk malu. “Mbakayu itu macam-macam saja usulnya.” “Jadi kau mau ?” “Siapa yang mau. Perempuan sudah layu begini.” “Mau atau tidak mau bukan doal dalam lakon asmara. Nasib atau kepastian dari Atas, itulah yang menentukan.” “Terserah Yu … tetapi saya tidak meminta.” “Baik, kau tidak meminta, tetapi terserah, bukan ?” “Entahlah.” “Baik, jadi terserah ya ?! ” Tiba-tiba kedua orang pembantu dapur itu tertawa spontan bersama-sama, sehingga terkejut sendiri dan melihat ke segala arah, jangan-jangan ada yang mendengar. Seorang pembantu lain yang sedang mencuci cangkir-cangkir muncul dan membelalak dari balik pintu sambil mengejek: “Hayoo, ada apa !” Sekali lagi dua penggoreng, onde-onde ceplus itu tertawa terkikik-kikik. ¹⁾ Gunung tempat para dewa. 14 “Yo ayo, mari Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, hari ini Atik berulangtahun. Akan kutraktir kalian, ya mari sahabat-sahabatku.” Dan dalam bentuk bulan tanggal muda Atik menaburkan wijen di atas tanah halaman. Dengan tersenyum penuh harapan si gadis lalu duduk menunggu di atas tangga beranda samping di bagian gandok yang biasanya disediakan untuk para tamu Pangeran Hendraningrat. Sepi suasana di dalam halaman gandok, seperti di dalam biara biksu-biksu Budha. Orang tua Atik sedang berbelanja ke kota dan tadi ia mohon maaf kepada ayah-ibunya agar diperbolehkan tinggal di dalam rumah saja. “Kau di sini berlibur, Tik,” kata ayahnya. “Tidak untuk belajar. Ada waktunya bersekolah dan liburan.” “Apa lagi sekarang ulang-tahunan. Nah, lustrum kedua kau menghirup hidup di bumi ini, kan harus dirayakan, Tik,” tambah ibunya. “Kan tadi Atik diberi hadiah buku oleh ayah-ibu. Sudah sepantasnyalah kubaca segera, bukan ?” Kedua orang-tuanya tertawa, terutama melihat muka anak yang begitu merayu tetapi sekaligus arif. “Ya sudah. Atik menang. Tetapi Tik,” pesan ibunya sambil menaung dan mengecup pipinya: “Kau boleh apa saja. Juga kalau kau senang berkeliling ke halaman-halaman lain di rumah paman Pangeran yang aduh besarnya bukan main, tidak seperti rumah kita di Bogor, asal saja kau minta diantar oleh salah seorang pelayan putri. Misalnya Minah itu, kau kan suka pada Minah. Dan dia pasti teman baik untukmu, cerdas matanya. Hanya kau jangan sampai keluar ke jalan-raya, ya Tik. Janji ?” Anak itu merangkul ibunya. “Kalau keluar ke jalan-raya bagaimana ?” tanyanya nakal untuk meledek ibunya. Ibunya mencubit hidungnya yang mungil itu dan tersenyum cantik. “Akan kucubit kau tiga kali .” “Asal jangan sakit.” Ayahnya mengeluarkan tangannya dari saku pantalonnya dan menyeka rambut anaknya: “Boleh ke jalan-raya, asal jalan-raya itu masih ada di dalam halamanhalaman rumah Pangeran.” Genit Atik memandang dari sudut matanya sambil oleng kepala: “Ah, Ayah Cuma mau menipu. Disangka Atik masih kecil.” Ayahnya tertawa: “Justru karena itu, Tik, karena kau bukan anak kecil lagi. Sepuluh tahun coba bayangkan.” “Tidak perlu dibayangkan. Kan sudah hidup sungguh-sungguh kok dibayangkan.” Hahaha ….. dan ayahnya mencium juga anaknya di kening. “Sudah ya Tik, bacalah buku itu baik-baik. Dan ingin oleh-oleh apa ?” “Oleh-oleh … o ya, pinsil saja dengan setip. Atik ingin menggambar burung srigunting.” Ibunya mengangguk-angguk diam tersenyum. Tetapi di dalam hati ibunya berpikir, sudah waktunya, anaknya kapan-kapan dibuatkan kutang. Dan tinggallah Larasati sendirian. Bukunya dirangkul di dada dan kedua lutut bersimpuh di tangga. Atik tak perlu lama menunggu. Sahabat-sahabatnya, burungburung gereja, ketilang, pada datang, tetapi masih waspada menunggu dulu, bagaimana situasi keamanan. Sebab mereka biasanya dihalau oleh simbok-simbok bila kebetulan ada ini-itu yang terserak bisa dimakan. Tetapi lihat, datanglah tenang seekor jalak liar yang sama sekali tidak liar gayanya. 15 Dengan langkah-langkah agung ia datang bergaya ningrat. Maka Atik bersinar melihat burung yang seolah-olah sudah berbusana resepsi penganten itu. Punggung dan sayap-sayapnya coklat tua berwibawa bergaris-garis putih dan kakinya kuning. Perutnya putih lagi seperti busana resmi tuan-tuan Belanda yang sering ia lihat, kalau kadang-kadang diajak resepsi pesta ulang-tahun Ratu Wilhelmina. Kepalanya dan tutup dadanya hitam gagah. Paruhnya kuning lagi dan seusap putih menghias di belakang matanya yang menampakkan jiwa tak gentar. Dan apa itu ? Tertawalah Atik geli : mata jalak itu dilingkari kulit berwarna oranye. Rupa-rupany ia pemuja keluarga Ratu Belanda yang bergelar Oranye serta berlambang warna oranye pula. Nah, melangkahlah beliau Sang Tumenggung dengan tenang tidak takut sedikit pun, mendekati taburan-taburan wijen di halaman itu; lalu puk-puk-puk, lahaplah makannya. Lalu datanglah menyusul beberapa ekor manyar, itu burung-burung yang di manamana sibuk membangun sarang-sarang berseni elok. Mereka menyambar dari udara dan puk-puk-puk. Tertawalah lagi Atik. Lucu burung-burung itu. Maka segeralah burung-burung tingkat rakyat jelata, si gereja dan si emprit dan burung “anak kampungan” ketilang ikut pesta juga. Dan nah, tentu saja tak mau ketinggalan si gelatik cantik tetapi pencuri-pencuri padi yang nakal itu, dengan pipinya putih dan picinya biru hitam. Persis anak-anak lelaki di dalam sekolah dan di mana-mana, nakal dan perusak segala. Begitu Atik menilai mereka. Anak lelaki itu perlu dididik tetapi tidak pernah mau. Akan kemana mereka itu, Atik tidak tahu. Segeralah wijen-wijen berharga yang sebetulnya harus melapisi onde-onde ceplus dan dimakan para priyayi tamu-tamu nanti petang, sudah habis. Pada saat terakhir datang melayanglah beberapa ekor srigunting yang di mana-mana membawa ekor berbentuk gunting, tetapi rupa-rupanya tidak laku sebagai penjahit. Mereka sangat tidak berminat pada traktiran Atik, Sebab tentu saja gadis itu tidak membawa belalang, capung, lalat atau kecoak, jangan lagi ulat-ulat. Maka kereka hanya terbang saja dengan ikhlas di atas burung-burung jelata yang serba riuh bersengketa dan saling mencaci-maki, berebutan biji-biji kecil. Dengan tenang srigunting-srigunting beterbang layang seolah-olah tak peduli apa-apa. Tetapi tiba-tiba seperti pemburu-pemburu Angkatan Uadara mereka menukik dan menyambar seekor kupu-kupu kuning yang kasihan sekali, baru saja merasakan kemerdekaan dari kepompongnya dan tahu-tahu sudah diculik oleh mahluk-mahluk bersayap serba cepat dan serba hitam itu. Atik masih sempat melihat kupu-kupu kuning tadi diserang dan dibawa lari oleh pemburu-pemburu yang ternyata bukan tukang jahit bergunting, tetapi penyamun. 16 Mengapa Allah Yang Maha Pemurah dan yang memberi sekian banyak keindahan kepada ciptaanNya membiarkan mahluk-mahluknya saling membunuh ? Pernah itu ia tanyakan, ketika di suatu pagi di halaman neneknya, langsung di hadapan mata Atik, tiba-tiba bagaikan batu yang jatuh dari awan-awan, seekor wulung ¹⁾ menerkam anakayam dan tahu-tahu sudah meluncur lagi ke udara. Tentu saja induknya dan anak-anak ayam serba kalang-kabut. Atik ketika itu juga kalang-kabut jiwanya sampai menangis. Ia merasa bersalah, karena tadinya dialah yang menaburkan padi di muka mereka. Dan tentulah ayam-ayam itu tergoda dan terlena, sehingga si penyamun di udara memperoleh kesempatan bagus untuk menculik salah satu anak-ayam yang halus berbulu kuning manis itu. Tak bisa lain selain menangis Atik ketika itu, dan kue cucur ²⁾ atau jenang delima ³⁾ neneknya tidak mampu menghiburnya. Untung burung-burung srigunting berguna juga, makan ulat-ulat yang mengerikan dan kecoak-kecoak serta serangga-serangga lain yang menjijikkan. Tetapi mengapa kupu-kupu seindah itu disambarnya juga ? Sulit juga ya soalnya, karena kupu-kupu itu dulu ulat dan pastilah di mana-mana ingin menelorkan calon-calon ulatnya. “Kau jagan nakal, ya srigunting ! Namamu sudah seindah itu : Sri. Dan ekormu aksi juga, mengapa tabiatmu begitu ?” Perhatian Atik ditarik ke sekian emprit, ketilang, gelatik dan gereja yang sekarang sedang bingung mencari sisa makan yang ternyata sudah habis begitu cepat. Atik tertawa geli. Memang kampungan mereka itu. Apa lagi ketilang-ketilang, yang selalu saling berdebat dan berselisih dengan suara-suara yang ribut namun merdu sebetulnya. Kesukaan mereka buah-buahan dan lucu sekali kalau menghisap madu dari bunga-bunga sepatu. Perutnya memang hanya kelabu muda belaka, tetapi di belakang, aneh mengapa justru di belakang, kuping oranye. Yang lucu ialah kepalanya yang hitam dan berwajah kurang ajar memang. Lebih kurang ajar lagi kalau jambulnya tegak berdiri bila sedang berdebat dengan rekan-rekannya. Kampungan benar. Atik tak bisa menggambarkan ketilang yang betina. Pada perasaannya semua ketilang itu jantan, karena kekurang-ajaran mereka. Tetapi hihihi dan Atik tertawa sendiri juga. Bukankah Atik sendiri ketilang sebenarnya ? Ia bisa memanjat pohon dan memang suka memanjat pohon, sampai berkali-kali dimarahi ibunya dan terutama Mbok Kerta babunya dulu. Lalu menggali lubang gangsir atau berlari-lari menagkap laron ⁴⁾ ¹⁾ Burung elang. ²⁾ Terbuat dari tepung beras rasanya manis. ³⁾ Terbuat dari ketela dengan butiran-butiran mirip biji delima. ⁴⁾ Serangga yang seringkali muncul pada awal musim hujan. 17 “Kau ini kok seperti anak laki-laki,” sering ibunya memarahi. “Susah jadi perempuan,” pikir Atik selalu. Ada satu hal yang ia tidak paham. Mengapa banyak binatang jantan lebih elok bulunya dan lebih terhias bahkan suka bersolek daripada yang betina ? Ayam jago misalnya bila dibanding dengan ayam betina. Apa lagi burung merak seperti yang di Kebun Raya di Bogor itu. Pada hal orang perempuan, mereka tak habis-habisnya bersolek dan merias diri. Dan anak lelaki ? Aduh, mereka itu seperti srigunting itu atau manyar. Hitam dan serba ribut saling mengacau. Atik suka pakaian manis dan segala macam embel-embel yang menurut kata ibuibu tua membuatnya lebih manis. Tetapi sebenarnya sering jengkel juga ia karena segala repot itu. Lebih enak jadi burung dan bisa bermain-main di mana-mana. Juga di jalan raya. Beberapa srigunting beterbangan lagi, menukik meliuk, ah sungguh indah terbang mereka. Kalau pagi begini mereka baru cari makan. Tetapi nanti kalau menjelang senja, nah, Atik berseri-seri kalau melihat srigunting itu sedang bercanda bersiulsiulan ria dan kian kemari terbang indah seperti menari luwes dan aksi. Tak mengira burung-burung sehitam itu bisa begitu luwes seperti penari serimpi kalau sedang kiprah ¹⁾ dan membuat gerak terbang melingkar. Dan lucunya, ekornya sering dibuka ditutup dibuka ditutup lagi, tampak sekali mereka seolah meledek manusia : Ayo, bisa terbang ngak ? Manusia dapat terbang. Atik tahu itu, tetapi hanya seperti permainan kertas yang dilipat dan dilemparkan. Jelek. Kaku. Lagi sering jatuh begitu saja. Seperti puri Paman Pangeran ini, kaku. Pangeran Hendraningrat adalah kakak sulung ibu Atik. Kakak tiri, orang yang baik hati, ramah, tetapi kaku, aduhai ; sering di dalam kamar Atik tertawa sendiri kalau menggambarkan paman-tuanya yang Pangeran itu. Dalam hati Atik mengagumi ibunya. Untung ibu dulu kawin tidak dengan seorang pangeran atau kaum istana mulia ini. Ibunya menikah dengan seorang konsulen ²⁾ pertanian yang tidak berdarah ningrat, tetapi seorang anak-emas pegawai tinggi departemen entah apa. Ya, cocok, anak angkat dengan anak angkat. Ia tahu itu, karena ibunya selalu berterus terang. Ayahnya bekerja di Bogor yang banyak hujannya itu, tetapi yang subur dan bersuasana bebas. Ayahnya, Meneer ³⁾ Antana seorang pegawai Dinas Kebun Raya Bogor dan juga ikut diserahi cagar-alam Ujung Kulon. Berkali-kali, bahkan dapat dikatakan sekali seminggu paling sedikit, Atik diajak ayahnya menyelusuri sawah ladang dan masuk ke semak-semak hutan gunung. Bahkan pernah ia diajak masuk Ujung Kulon. Kata ayah mau mencari kolam tempat badak-badak suka merendam diri. Atik belum pernah melihat badak dan ingin sekali melihatnya, walaupun ibunya sudah berkata : seperti kerbau biasa. Hanya tanduknya di hidung. Ah mosok. Tetapi sayang mereka tidak berhasil melihat badak. Sungguh, Atik tidak bisa membayangkan diri menjadi puteri keraton. Tetapi sesekali melihat Surakarta bolehlah. Walaupun jangan terlalu lama. Sebelum berangkat ayahnya sudah mengikat janji, tidak akan tinggal di Surakarta lebih dari tiga hari. Tetapi ini nanti jadinya akan seminggu. ¹⁾ Terbang melingkar seperti gerak para penari. ²⁾ Dari kata Consultent (Bld) : Bimas Pemerintah Hindia Belanda. ³⁾ Tuanku. 18 Untung ayahnya baik sekali. Ia tahu, bahwa akan menyakitkan Atik. Maka ia berjanji akan membawa Atik pergi melacaki ladang-ladang dan alam di sekitar kota. “Ibu kan belum sembuh rindunya kepada abangnya yang baik hati itu,” kata ayahnya. “Apa Atik tidak kasihan Ibu ?” Ya, tentu saja Atik mengalah. Tetapi toh enak juga. Besok pagi sesudah istirahat dari pesta kelahiran puteri Pangeran, ia dan ayahnya akan berburu di ladang-ladang, dan kalau bisa ke hutan-hutan jati gunung kapur di Baturetna. Bukan berburu dengan bedil, Atik benci pada senapan, tetapi dengan alat kamera. Heh ? Bukankah itu nyanyian kepodang ? Orang-orang Sunda menamakannya bincarung, burung perada kencana yang berpelisir hitam molek dari paruh melalui mata dan terus ke belakang seperti ikat kepala petani Kedu. Atik teringat pada kepodang yang di kurung di rumahnya, hadiah salah seorang tukang kebun ayahnya. Hitam seluruhnya, sungguh aneh, tetapi untung masih dihiasi dengan ban lebar merah karmein yang melintasi dada dan perut. Gagah, serem seperti pesilat Sunda. Tetapi nyanyiannya, aduh, serba bernada mendamba. Kata ayah, si kepodang bertanya, di mana harta pusaka nenek-moyangnya dapat ditemukan lagi. Memang kepodang hitam-merah itu hanya terdapat di hutan-hutan jauh di lereng pucuk Gunung gede. Awas nanti Mbok Nem kalau lupa memberinya buahbuahannya. Dengan mata menyipit, Atik memandang kepada srigunting yang sedang bercanda di atas kawat listrik; ulah mereka seperti mengomentari mahluk-mahluk yang lalulalang di bawahnya. Burung-burung srigunting itu sering didakwa oleh orang-orang sebagai penyamun telur sarang-sarang burung lain. Barangkali karena warnanya seperti garong perampok, yang membuat mereka nampak serem. Apa lagi bila kedua ujung ekornya itu ditafsir sebagai kelewang. Tetapi ayahnya mengatakan, itu tidak benar. Memang ada burung lain, yang hitam juga seperti srigunting, tetapi tidak punya ekor silang seperti gunting itu. Kita harus berhati-hati, begitu hikmah ayah yang dikatakan kepada Atik, jangan menilai orang lain jelek, hanya karena nampaknya hitam. Tokoh Kresna di pewayangan, nah itu contoh lagi : raja perwira penasihat Pandawa terulung, walaupun serba hitam. Atik tertawa. Sebab sekarang kedua srigunting tadi, laki-bini barangkali, sebab sedang mesra berbisik-bisik satu sama lain, lalu berkicau lagi. Merdu, seolah mereka berbahasa Sunda. Tiba-tiba kedua burung itu terperanjat dan serba panik mendadak terbang. Gusar Atik bertanya diri. Siapa yang mengganggunya ? Anak kampung barangkali. Ternyata ada kepala anak laki-laki seumur 12 tahun muncul dari balik tembok. Anak itu memanjat dahan pohon sawo kecik yang lebih tinggi, dan membidikkan pelantingnya ke arah srigunting lain. Teto nama anak itu. Bibir mungil Atik cemberut dan matanya berkilat benci melihat anak itu. Bukan anak kampung, tetapi putera Kapten Brajabasuki (Oom Bas) yang berdinas di Magelang, menurut ibu Atik. “Itu anak lelaki yang baik hati,” kata ibunya. “Cerdas di sekolah, hampir selalu nomor satu dan jujur.” Mosok jujur, anak yang kesukaannya memelanting burung-burung tak berdosa. Atik pernah diperkenalkan padanya sekian tahun yang lalu ketika mereka datang diundang Paman Hendra juga. Atik malu-malu tentu saja, seperti selayaknya puteri yang berpendidikan. 19 Tetapi anak itu langsung memijit hidungnya seperti tombol, kurang ajar, sungguh setengah mati kejutnya. Apa lagi semua orang-tua tertawa, seolah-olah menyetujui perbuatan jahat itu. Tetapi toh ada sesuatu yang menyenagkan pada Teto itu. Ia sanggup apa saja, memanjat pohon, meloncat selokan lebar, berenang. Pernah keluarga Antana berpiknik bersama keluarga Brajabasuki ke Tirtonadi. Ibunya, seperti lazim mode kaum terpelajar kala itu, bergaun dan bertopi lebar. Ketika pergi ke tepi sungai, datanglah angin kencang yang mendadak; topi ibunya terbawa angin dan jatuh di bengawan besar itu. Dan apa yang terjadi ? Si Teto tanpa berpikir panjang terjun ke sungai dan berenang memburu topi itu. Tentu saja semua terkejut setengah mati. Topi diselamatkan dan dipakai olehnya, dan Teto tenang mengikuti arus berenang ketepi, jauh sekali; topi di kepalanya. Dari jauh seolah-olah topi itu berenang karena kebetulan Teto berpakaian seperti kelasi angkatan laut Belanda, biru tua dengan pelisir-pelisir kecil putih; jadi tak tampak. Akhirnya semua tertawa geli dan Atik bertepuk tangan sambil berteriak-teriak ria. Tetapi sayang, dalam permainan Teto selalu curang. Dan pernah sesudah menang curang gobag sodor ¹⁾ ia memaksakan hadiah ciuman. Pada hal sudah disepakati; jika Atik menang, Atik digendong Teto. Tetapi karena Atik terlalu lemah untuk menggendong Teto bila Teto menang, Atik sanggup untuk memberi kecik sawo (biji sawo) tiga biji, yang sering dibutuhkan Teto untuk adu kecik sawo dengan kawankawannya. Biji sawo sih Atik punya banyak, karena ia tinggal minta saja pada Pak Kebon yang rajin setiap pagi dan petang menyapu halaman. Tetapi apa yang diperbuat anak kurangajar itu ? Sejak itu ia tak mau lagi gobag sodor dengan anak jahat itu. Namun Teto anak yang pandai melucu. Ia pintar menirukan suara binatang apa pun, dan Atik biasanya tidak bisa lama mempertahankan marahnya kepada anak yang lucu dan pemberani itu. Topi ibu yang basah kuyup tadi tentu saja sudah sulit dipakai lagi oleh ibu; maka dihadiahkannya kepada Teto. Bukan main gembiranya. Langsung bunga-bunga hiasan di topi ia copot semua dan tepi topi yang lebar dilipat sebelah. Nah jadilah topi medan perang tentara Kompeni. Memang dasar anak kolong, kata Oom Bas sambil tertawa. “Hei! Hei! Teriak Atik. “Kasihan! Jangan dipelanting! Teto! Teto! Jangan!” Teto memalingkan kepala ke segala arah sampai pandangannya bertemu dengan Atik yang marah berkecak-pinggang. Ia tak menjawab apa-apa. Hanya lidahnya yang keluar dan mukanya dibuat mirip kera. Jelek sekali. “Kasihan meraka! Kau anak bengis.” Sekali lagi lidah keluar dan wajah Sugriwa ²⁾ menakut-nakuti Larasati ³⁾. Tetapi bagaimana pun, ia toh turun dari pohon sawo. Tidak, ia bukan anak baik hati. Ia anak wulung yang perangainya menyambar anak-anak ayam. Atik marah masuk beranda dan di kamar tak dapat berbuat lain kecuali mencoba membuka buku hadiahnya. Tetapi kamar dalam istana pangeran selalu gelap. ¹⁾ Semacam permainan lari dan menyusup, terkenal bagi anak-anak di Jawa. ²⁾ Raja kera dalam epos Ramayana, saudara raja kera Subali. ³⁾ Salah seorang istri Arjuna. 20 Ia pergi saja ke pendapa, tetapi para abdi sedang sibuk dengan persiapan-persiapan wayang nanti petang. Apakah sebaiknya ia memanggil Minah pelayannya, diajak berjalan-jalan ke jalan-raya ? Tetapi biar gelap dicobalah juga membaca sebarang satu dua halaman dari buku itu. “Door Duistemis tot Light. ¹⁾ Kartini penulisnya. Kartini. Aduh, alangkah tebalnya. Jangan-jangan ayah memilih buku yang terlalu berat untuknya. Dari pendopo terdengar kesibukan persiapan pesta demi puteri Pangeran Hendraningrat, sekaligus untuk adik dan kemenakkannya. Ia senang tetapi sekaligus benci pesta-pesta mewah seperti ini. Lalu duduklah Atik langsung di ubin lantai yang dingin dan tiba-tiba, seolah ada awan kebahagiaan menyelubunginya. Ya, ia bahagia, memiliki ayah yang begitu baik. Ibunya baik juga, tetapi ayah, ya ayahlah bagi Atik sumber segala kebaikan. Selama ayah ada, segalanya indah. Ah, setiap gadis pada suatu saat harus kawin dan berpisah dari Ayah-Ibu. Atik juga tahu itu. Memang ia masih gadis kecil, tetapi ia sadar, akan selalu begitu nasib setiap gadis. Bagaimana dulu ibu sampai mendapat ayah ? Ah, sesekali itu akan ia tanyakan kepada ibunya. Lalu meloncatlah Atik tinggi-tinggi. Ia menoleh ke segala arah. Pintu kamar terbuka. Jangan-jangan ada yang melihatnya ia sesinting itu. Aman. Buku ia letakkan di atas tempat tidurnya. Dan ia keluar mencari Minah. ¹⁾ Judul kumpulan tulisan R.A. Kartini : Habis Gelap Terbitlah Terang. 21 3. Buah Gugur Surya sudah terbenam. Ketokan pintu. Ketika dibuka, kaget setengah mati kami. Sesosok tubuh tampak di pintu. Mami menjerit dan langsung memeluknya. Papi tanpa berita apa-apa pulang. Ia telah dilepas dari tahanan militer setelah beberapa bulan meringkuk sebagai lawan perang Jepang. Dunia-serba-gemilang kami telah cepat runtuh. Jepang datang. KNIL kalah dan bubar. Mami dan aku sudah pindah menumpang di tempat seorang kenalan baik di Embong Menur, suatu daerah perumahan kaum berada. Sebab, tentu saja rumah dinas ayah sudah diduduki musuh dan memang sejak perang-pecah semua orang sipil sudah diungsikan dari tangsi. Papi mendadak menjadi tua. Dan lebih pendiam lagi dari semula. Tawaran dari Pangeran Hendraningrat untuk mengunsi ke rumahnya ditolaknya halus. Agaknya hati Papi sudah ikut runtuh pula dengan KNIL. Bahkan Papi lalu pindah ke sebuah rumah kecil di kampung Patrabangsan. Hanya Mami yang sering ke Sala, sekedar berdagang apa yang dapat dijadikan sumber nafkah ketika itu. Kawan-kawan lama anak kolong semakin tercerai-berai. Papi tak banyak bicara tentang situasi, tetapi aku tahu ia menunggu kemenangan Sekutu dan kembalinya pemerintah Belanda. Orang-orang kampung Plengkung tahu Papi bekas kapten KNIL, orang berpangkat tinggi untuk ukuran masa itu. Tetapi karena Papi biasa saja ikut hidup gotong-royong dengan mereka, hidup kami tenteram terlindung. Bahkan dapat dikatakan tak tampak, tenggelam. Rumah kami kecil tersembunyi di belakang bekas rumah opsir Belanda yang dulu berpangkat mayor dan yang tentunya sekarang didiami seorang perwira Jepang. Opsir Jepang itu hidup di situ sendirian dengan babunya Tante Paulin. Suami Tante Paulin sersan KNIL totok yang ditawan di Burma. Dan Tante kini menyambung hidupnya dengan cara menjadi gundik perwira Jepang itu. Saya jijik melihat Tante Paulin, yang sebetulnya tergolong perempuan manis juga dan lembut hatinya. Sungguh aku tidak memahami, mengapa Papi dan Mami sangat baik, bahkan sering menurut seleraku terlalu baik kepadanya. Ketika itu aku memondok di Semarang meneruskan sekolahku di SMT ¹⁾. Aku Senang di Semarang, karena tenyata ada group pelajar yang berselera anti Jepang. Tetapi suasana memanglah menjengkelkan bagiku. Kami diindrotrinasi dan dilatih bermodel Jepang. Untung guru-guru kami intelektual-intelektual yang tahu, apa yang harus mereka berikan kepada murid-muridnya. Ada seorang pelajar yang militan pemuja Jepang. Bisma namanya, yang jadi komandan kami dalam ulah kemiliteran. Bisma ini setengah kami kagumi karena bakat-bakat kepemimpinannya, tetapi dari pihak lain kami benci, karena begitu hian menjilat Jepang. Tetapi seumumnya semua pelajar anti Belanda … kecuali aku. Barangkali ada lainnya juga yang seperti aku, tapi pastilah ia cukup lihai untuk menyembunyikan perasaannya. Seperti aku juga. Tetapi aku sungguh merasa, betapa sedihnya punya simpati yang jelas bukan simpati kawanan. Serasa paria terkucil. Dan selalu harus bersandiwara. Ini yang paling memuakkan. ¹⁾ Sekolah Menengah Tinggi, nama untuk SMA di jaman Jepang. 22 Aku tipe anak kolong yang sejak kecil punya kode etika berterus-terang. Lebih baik berkelahi berbahasa kepal dan tendangan kaki daripada bohong dan pura-pura. Baru kelak aku sadar, bahwa dalam citarasa aku satu kompi dengan Papi. Papi ternyata (tetapi itu baru kelak kuketahui) sengaja menjauhkan diri dari kaum istana, karena ia tidak suka basa-basi Jawa yang halus tetapi banyak yang tidak jujur. Ia dulu meminta sendiri atasanny agar boleh masuk garnisun di Surabaya, karena orang-orang Sungai Brantas sana tidak pernah suka berbahasa kromo ¹⁾, apa adanya tanpa tedeng aling-aling ²⁾. Tetapi lingkungan Kedu dianggap cukup oleh pembesarnya. Namun itu sudah jaman yang lampau, yang sudah morat-marit hancur lebur. Pedang dan seragam kebanggaan Papi sudah dititipkan oleh Mami (dibungkus dalam goni dan dikamuflase dengan barang-barang upet ³⁾ kelapa) di dalam rumah Oom Hendraningrat. Papi menjadi makelar sepeda dan banyak pergi ke pasar-sepeda kota lain atau ke desa. Dan aku terpaksa latihan perang-perangan dengan bedil kayu gaya Jepang. Sinting sebetulnya, tetapi dalam hati, sebagai anak kolong Kompeni sejati, aku sehati dengan Papi, menunggu kemenangan Sekutu. Dalam suatu liburan sesudah aku naik kelas III SMT Papi mempercayakan salah satu rahasianya padaku. Terlebih dulu pintu dan jendela ia kunci. Dan dalam cahaya remang-remang pelita minyak kelapa ia mengeluarkan peti sabun kecil dari atas langit-langit. Radio gelap. “Kau sudah besar. Mau membantu Papi ?” Berdebar-debar aku mengangguk. “Papi tidak takut tertangkap Jepang nanti ?” Papi tersenyum. “Perwira tidak boleh takut. Orang takut, kebanyakan karena bodoh. Kau pikir Papimu bodoh ?” Keras kugeleng-gelengkan kepala. “Nah, dengar sekarang. Radio ini harus kau sembunyikan di dalam gudang Mayor Kanagashe tetangga kita ini.” “Saya ? Bagaimana ?” “Pelan. Tetapi sebelumnya Papi minta, agar kebencianmu kepada Tante Paulin kau kurangi.” “Sundal itu ?” “Hei hei, jangan terlalu keji pada perempuan malang itu !” “Ada apa sih, kok Papi begitu terkesan oleh Tante Paulin ?” “Bukan begitu. Papi senang kau tidak suka pada sundal. Tetapi orang-orang yang membongkok-bongkok di hadapan serdadu tengik Jepang dan menjual bangsanya kepada mereka demi sebungkus rokok lebih hina dari sundal.” “Ya, tetapi jangan begitu mengukurnya.” “Memang, Papi tahu apa maksudmu. Tetapi kami harus bersahabat dengan Tante Paulin. Mamimu juga sudah tahu mengapa.” ¹⁾ Bahasa Jawa tinggi (halus). ²⁾ Perisai pelindung. ³⁾ Kelopak bunga kelapa ; dipakai sebagai bahan bakar. 23 “Mami ?” “Ya, beginilah. Berkat Tante Paulin, kami tahu segala-galanya tentang cara hidup Mayor Kanagashe itu. Kapan ia pergi, kapan ia pulang. Kamar mana yang kosong, ruang mana yang suka ia pakai. Dan sekarang saatnya, radio ini harus disembunyikan di dalam kompleks rumah Mayor itu. Gampang sekali.” (Aaah … haru saat itu aku terbuka mata. Papi memang perwira yang pandai.) “Tetapi bagaimana bila Tante Paulin tahu-tahu menongol dan rahasia ini terbongkar ? Kan perempuan itu suka ngobrol dan bocor mulut ?” “Tante Paulin tidak tahu apa-apa tentang soal ini. Sama sekali nol. Tetapi kami tahu segala seluk-beluk dalam rumah Mayor itu.” Sebelum Papi habis bicara aku sudah tahu apa yang dimaksud. Rumah Mayor Kanagashe dulu didiami mayor Belanda. Aku kenal keluarga itu, terutama Yan temanku sekelas. Dan aku tahu juga, tempat mana yang boleh jadi paling tepat untuk menyembunyikan radio gelap yang akan dipasang di dalam kompleks perwira tadi. Sehingga dengan aman tenteram kami dari luar bisa menyadapnya. Kalau detektordetektor Kenpeitai menemukan lokasi radio itu, mereka akan mengira itu urusan Mayor Kanagashe. Maka betul, di siang bolong, tepat ketika Mayor Kanagashe sedang pergi dinas, Pak Kebon sedang mendengkur di dapur dan Tante Paulin berfoya entah ke mana, aku masuk melalui lubang dinding ke dalam kakus pelayan yang sudah lama tak terpakai dan hanya berisi panci-panci bocor dan gulungan sisa-sisa kawat listrik serta macam-macam loakan bekas milik keluarga mayor Belanda dulu. Radio Papi kuletakkan di atas langit-langit kakus. Dan kabel penyadap dengan teliti serba tersembunyi kupasang masuk ke dalam halaman kami. Seandainya kabel itu kelihatan, pasti tidak ada orang yang akan menaruh curiga. Radio tadi sudah disetel mati pada gelombang BBC London. Sejak itu, setiap kali jendela kamar mayor itu terang, tanda ia di rumah, Papi menyetel BBC dari kamar bilik bambunya. Sejak itu pula aku ramah mengucap salam pagi dan petang bila Tante Paulin lewat. Dan melawan segala arus masyarakat kambing, aku tetap mengharapkan Belanda datang lagi. Pada awal pendudukan Jepang, Papi masih sering dikunjungi beberapa “tokoh bawah tanah”, yang hampir semua tidak kukenal. Pernah dari bilik kamar tidurku kudengar nama Amir Syarifudin terucap dalam percakapan serba teredam di dalam kamar tengah yang terkunci. Baru kelak sesudah Jepang kalah kita tahu bahwa Amir Syarifudin mendapat ƒ60,000 dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menyusun aksi di bawah tanah melawan Jepang. Tetapi suatu Saptu, tahun 1944, sepulang dari Semarang, ketika aku ingin menengok Papi dan Mami, rumah terkunci rapat. Para tetangga mengatakan orangtuaku sedang menengok Kakek, ayah Mami yang sakit. Aku heran, sebab keduanya, Papi dan Mami sudah lama tak berorang-tua. Segera aku mengerti, ada masalah gawat. Mereka pasti berlindung lagi di dalam puri di Surakarta. Meloncati pagar bambu, aku langsung pergi ke kebun belakang. Setelah menengok ke kiri ke kanan kuperiksa kabel penyadap. Sudah tidak ada lagi. Dengan cemas lekas-lekas kutinggalkan rumahku dan pergi menuju Surakarta. Hanya Mami yang kutemukan di tengah para kerabat. Berlinang-linang aku dicium dan dicium. “Doakan Papi !” Doakan Papi !” hanya itu yang mampu keluar. 24 Tenggorokanku serasa terganjel batu dan tiba-tiba aku merasa harus kencing. Di dalam WC aku terengah-engah dan hati berdebar-debar. Papi tertangkap. Untung aku lekas meninggalkan rumah kami di Plengkung di belakang rumah Mayor Kanagashe. Apa Tante Paulin berkhianat ? Kesal hatiku, mengapa orang-tuaku begitu percaya pada sundal itu. Di dalam kamar tidur Mami kulihat serba lega peti-sabun kecil yang pernah kuletakkan di bawah atap WC rumah Kanagashe. Nyaris aku berteriak terbawa kegembiraanku. Tak kenal sabar kutanyai Mami, siapa yang mengambil peti radio itu. “Papimu sendiri.” “Papi ?” Betapa besar risikonya. Dari Mami kudengar Papi tidak atau lebih tepat belum tertangkap. Amir Syarifudinlah yang tertangkap. Dengan beberapa kawan lain. Maka segera setelah pada suatu petang teman Papi datang membawa berita, langsung pada malam harinya Papi sendiri seperti maling mengambil radio itu. Dan pagi-pagi benar Mami diantar ke puri Hendraningrat. Tetapi dengan dalih cari kerja Papi lalu menghilang. Ia ingin membebaskan keluarga Hendraningrat dari segala risiko. Kira-kira tiga bulan kemudian, di Semarang, aneh sekali, kuterima sepucuk surat pendek dari seseorang yang tak kukenal, dengan pesan agar aku suka pergi ke Jakarta, ke suatu alamat tertentu di Kramat. Tulisan jelas dari tangan puteri. Bahkan poswesel untuk perjalanan ke Jakarta kuterima juga dari tangan puteri itu. Karena saat itu kebetulan aku sedang menghadapi ujian penghabisan SMT, terpaksa aku belum dapat segera pergi ke Jakarta. Bahkan membalas surat pun aku lupa. Soalnya, sungguh aku tidak mengenal si penulis itu, yang menyebutku teramat intim : Lieve Teto (Teto yang manis). Siapa ini ? Yang kenal nama panggilanku ? Dari Mami jelas bukan, sebab kukenal tulisan Mami. Barangkali karena pikiranku penuh soal-soal ujian, sama sekali tidak terpikir bahwa mungkin penulis surat itu salah seorang penghubung Papi. Papi, yang demi keselamatan tidak mau meninggalkan bekas atau tanda hidup satu pun. Baru sesudah selesai ujian mata-pelajaranku terakhir, yang barangkali tak baik hasilnya (karena semalam-malaman aku terganggu oleh surat dan wesel dari Jakarta itu : Siapa gerangan penulisnya ?) kuputuskan untuk bertekad pergi ke Jakarta. Sambil melihat situasi di ibukota sana, ada apa. Dari Papi belum lagi ada tanda-tanda hidup. Sampai di alamat Kramat, aku masuk halaman dengan nomor rumah yang sudah dipesankan padaku. Rumah itu rumah kuna dengan tiang-tiang Romawi bulat yang gagah. Lantai dari marmer Italia persegi dipasang diagonal. Hanya kerai-kerai sudah agak lusuh, karena bahan cat di masa itu sudah lama sulit dicari. Satu-satunya yang mengganggu dalam rumah anggun itu hanyalah kertas-kertas pengaman bahaya udara yang ditempelkan pada kaca-kaca pintu dan jendela. Beranda muka marmer itu hampir kosong. Hany meja sederhana satu dengan empat kursi yang serba kaku berdiri di situ. Rumah siapa ini ? Tidak ada tukang kebon tidak ada anjing. Sunyi sepi saja. Dari jalan terdengar teriak anak menjajakan es. Sebuah andong lewat membawa seorang berseragam. Dai Nippon kekurangan bensin, kata benakku dengan syukur. Kebencianku pada orang-orang Jepang menyala selangit. Di mana Papi ? Keluarga rumah ini barangkali tahu ? Atau jangan-jangan aku masuk jebakan Kenpeitai ? Kucari jalan ke belakang. Hanya pintu-pintu kebun yang serba tertutup dan terkancing kuat kutemukan. Tidak ada bel lagi. 25 Kuperiksa nomornya. Betul. Kutelusuri lagi ujung jalan Kramat. Betul, angka Roma VI. Kembali aku ke rumah tadi. Lelah aku duduk di atas tangga lantai marmer itu. Sejuk rasanya. Mengantuk juga aku karena lelah dari perjalanan KA brengsek. Tanpa aku sadar tahu-tahu pagar muka sudah dibuka dan datanglah seorang gadis mendekatiku. Naluri menggerakkan aku berdiri. Barangkali puteri tuan-rumah ? Aku menghormat. Gadis itu tersenyum ramah. Kira-kira adik sebayaku. Tetapi biasanya pemudi tampak lebih tua dari yang sesungguhnya. Masih pelajar ? Sudah pegawai ? “Adik Teto dari Semarang ?” “Betul, Mbak. Maaf, aku sedang ujian dulu. Tidak sempat membalas.” “Oooh (matanya bersinar jenaka) memang kami yang keliru. Tetapi profisiat, sudah lulus kan ?” “Baru saja selesai. Jadi belum tahu keputusannya.” “Ooooh (senyumnya cerah, membuatku bingung) pasti lulus deh. Raden Mas Sinyo pasti lulus,” dan ketawalah ia berderai. Aku terkejut setengah mati mendengar sebutan Mas Sinyo : “Kok tahu…” “Ah, Mas Sinyo ini sombong sih. Berkali-kali berkunjung ke rumah kami, tetap nggak mau kenal.” “Baru pertama kali aku …” “Tidak di sini. Tetapi di Sala.” “Ah, maaf.” Tiba-tiba muncul dalam benak belakangku sebuah citra roman muka gadis yang pernah kukenal, entah di mana. Jauh … jauh … dan agak kabur. “Aku Atik…..Larasati. Pasti tak kenal, tanggung ( dan tertawa-nya geli, seperti mengejek). Yang dikenal Cuma noni-noni yang cantik-cantik saja tentu kan !” Aku malu sekali dan merasa bersalah. Memang dulu sesudah tamat SD aku tak pernah suka berkunjung lagi di kalangan ningrat yang serba kaku. Dan sekarang … “Saya kira bukan begitu Mbak.” “Allaa…..mari masuk. Sudah lama tadi ?” “Lama sekali. Untung ada malaikat datang.” “Aduh, sekarang menyanjung. Mungkin lapar, Mas Teto ? (kurangajar, aku malu sekali). Mamimu di dalam. “Mami ?” Mami menangis melihatku. Dadaku mulai sesak. Apa betul Papi tertangkap ?. Ibu Antana, nyonya rumah, menghiburnya dengan kata-kata lembut. Dan dari kata-kata itu aku sudah dapat menarik kesimpulan, bahwa harapan berjumpa kembali dengan Papi sudah hampa. Ternyata betul. Papi masuk perangkap. Ia rindu pada Mami dan menulis surat agar bertemu denganya di salah suatu warung di Pasar Senen dekat bioskop Grand. Surat itu (Papi lupa) tentu saja disensor. Mami pun tidak berpikir panjang, dan memang menurut instruksi, Mami merahasiakan semua itu terhadap kerabat puri, sehingga tak sempat mendapat nasihat yang lebih waspada. Begitu Mami menggandeng Papi, begitu Kenpeitai memborgol Papi. Jasa dan tanda cinta terakhir dari Papi pada Mami hanyalah kata-kata tegas kepada Kenpeitai agar membebaskan Mami yang tidak bersalah sedikit pun. Dan Mami dibebaskan. Dibebaskan …? Mulai saat itu aku memasuki babak baru dalam hidupku. Dalam diriku terasa panggilan untuk mengganti tempat Papi. Setelah ditinggal suami yang dicintainya, Mami semakin mundur, kurus dan mudah sakit. Dan semakin diam. Mami lalu mencari hiburanny dalam mistik dan alam gaib. 26 Tidak lama kami menumpang pada keluarga Antana, yang penuh kebaikan hati itu. Sebab Mami tahu,tidak baik terlalu lama menumpang pada keluarga lain. Barangkali Mami merasa bahwa kecenderungan kemurungannya bisa jadi lama kelamaan kurang enak bagi keluarga darmawan itu, yang memang kurasakan, serba gembira, optimis dan pandai saling berdialog dengan ledekan-ledekan jenaka. Dalam hati aku senang di dalam lingkungan keluarga Antana, terutama karena Atik tiba-tiba mengisi kebutuhanku berupa pergaulan adik dengan kakak ; aku yang selalu anak sulung sekaligus bungsu ini. Begitu juga Atik. Tetapi terus terang saja toh aku belum siap mental. Maka sikapku lebih berkadar malu dan minder daripada menerima lahap anugerah lingkungan yang menyenangkan itu. Kami lalu tinggal di suatu rumah kecil di belakang tangsi Penggorengan Senen dengan cara hidup sangat hemat, sederhana dari sisa peninggalan tabungan Papi yang masih lumayan. Bahkan atas desakan Mami aku memasuki Sekolah Tinggi Kedokteran Daigakku. Tetapi di luar kuliah aku jadi “anak kolong” lagi, mencatut sini, mencatut sana, mencari nafkah untuk Mami. O, Mamiku yang kasihan. Sungguh aku tidak pernah tahu, apakah aku harus merangkul menciummu dengan bangga, ataukah harus membunuhmu dengan benci. Sebab menjelang senja itu, di bawah pohon mangga kebun belakang rumah Bu Antana, untuk pertama kali dalam segala tahun yang masih kuingat jelas, aku, anak KNIL yang telah ditempa dengan hati dari tembaga peluru tangsi, yang terbiasa untuk bertahan, toh menangis. Sepulang dari mencari tambahan nafkah catutan di Pasar Senen, aku menemukan rumah kosong. Hanya secarik surat dari Mami yang kutemukan. Dalam bahasa Belanda. Aku harus pergi ke Tante Antana. Tante yang akan menerangkan, ke mana Teto harus pergi untuk”menemukan” Mami. (Aneh, menemukan di antara tanda petik.) Ibu Antana dari semula selalu menunjukkan kesayangannya padaku. Tetapi petang itu memang lebih dari biasanya. Diciumlah batu kepalaku. Disusul sekedar minum teh dan kue-kue basa-basi di kebun, di bawah pohon mangga, di mana aku dan Atik sering main dam dan saling berdebat serta bercanda saling meledek. “Mana Atik ?” “Sedang belajar dengan teman-temannya.” Dan tanpa kutanyakan, keterangan ditambahkan : “Pak Antana baru ke Bogor.” Lalu basa-basi lagi. Rupa-rupanya Bu Antana masih mencari kata-katanya yang tepat. Aku sudah tidak sabar lagi. Lagi hatiku takut. Tetapi akhirnya … “Tetoku, kau boleh percaya pada Tante. Tante hanya mengatakan yang Tante rasakan. Ibumu wanita yang paling mulia jiwanya yang pernah kujumpai selama hidup Tante. Tetoku, kau cinta pada Mamimu ?” Dengan mata membelalak kutatap Bu Antana. Ada apa kok tanya seperti itu ? Tentu saja aku mencintai Mamiku. “Kok Tante tanya …?” “Ah, Tante tanya sebenarnya hanya untuk melahirkan suatu keyakinan, Teto. Pertanyaan yang sudah mengandung jawaban, bukan Teto ?” Tanganku dipegang erat oleh Tante. Sejuk tangan itu. Dan berceritalah Ibu Antana, dengan nada yang jelas menangis, namun tenang dan menguasai diri. Lembut dan bagaikan pegas kursi empuk membuat pukulan masih terasa lunak. Aku sudah tidak ingat lagi pilihan katakata Tante. Pokoknya Mami mendapat ultimatum dari Kepala Kenpeitai yang berwenang atas nasib Papi. Mami boleh pilih : Papi mati atau Mami suka menjadi gundiknya. Mami memilih yang akhir. Dan Mami tidak mau segala kenyataan dirinya ditutup-tutupi. Setadewa anaknya, harus tahu segala-galanya beserta mengapanya. 27 Disertai cium cinta seorang ibu dan permintaan doa … serta maaf. Doa kontan kuledakkan dari hati. Tetapi maaf …? Aku menangis seperti anak kecil. Aku berterima kasih tiada terhingga, bahwa Tante hanya menyeka-nyeka rambutku, membiarkan segala banjir kawah yang meletus habis sampai kering. Aku berterima kasih bahwa saat itu Atik “kebetulan” belajar dengan teman-temannya. Bahkan lalu “kebetulan” menengok neneknya di Sukabumi untuk seminggu. Sebab memang berhari-hari jiwaku terobek-robek. Apakah aku harus bangga dan memuji Mami ataukah aku harus membunuhnya ? Sejak itu Bapak dan Ibu Antana menjadi Papiku dan Mamiku. Selanjutnya tak pernah lagi aku melihat kembali Mamiku yang malang itu. Dan semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau Jepang. Termasuk itu pengkhianat-pengkhianat Soekarno-Hatta. Dan seluruh bangsa yang disebut Indonesia, yang membongkok-bongkok pada Jepang dan berteriak-teriak di alun-alun oleh hasutan Soekarno : “Inggris kita linggis !” Amerika kita seterika ! Dai Nippon, banzai !” Sejak itu, aku bersumpah untuk mengikuti jejak Papi : menjadi KNIL, membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyatnya yang bodoh, pengecut tetapi baik hati itu, segala orang di kolong jembatan dan mental-mental serba kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis, tetapi mendukung bandit-bandit yang membuat Mamiku menjadi gundik. 28 4. Kuncup Mekar Pagi itu, ketika Bu Antana sedang memasak sayuran sambal goreng taoco, Larasati hampir menyeruduknya masuk api. Begitu riang dan bernyala-nyala anaknya itu, menceritakan kabar gembira, ia lulus ujian masuk SMT. “Nah …nah …nah, tenang Tik. Hampir saja ibumu masuk api.” Tapi anaknya tidak ambil pusing dan di muka ibunya ia menari-nari sambil menyanyi-nyanyi lagu ngawur. “Luloos. Luloos.” Terus terang Bu Antana tidak terkejut atau terlonjak mendengar berita itu. Walaupun ia gembira juga. Sebab bagi Bu Antana sudah jelas tidak mungkin meleset, anaknya pasti lulus. Benih yang diwariskan oleh suaminya kepada anaknya memang unggul. Bu Antana sendiri tidak seberapa dalam hal intelek, itu diakuinya ikhlas, walaupun tidak bodoh. Iklim perkembangannya dulu sebagai anak angkat perempuan keraton dengan cara ningrat terlalu menghambatnya. Bu Antana bersyukur, bahwa Atik begitu gembira seolah-olah masalah lulus atau tidak baginya suatu risiko besar yang harus direbut kemenangnnya dengan segala susah payah. Tanda masih cukup rendah hati. Memang anaknya sangat rajin dan pernuh prihatin belajar bersama teman-temannya, akan tetapi ibunya dan ayahnya selalu menganggap soal ujian Atik sebagai upacara pantas-pantas saja. Tata persyaratan yang harus dikerjakan. Yang mereka prihatinkan bukan soal keberhasilan meraih angka di sekolah, Tetapi soal …..Ya, apa lagi selain ini : calon jodoh. Anak lelaki pandai itulah-ideal. Tetapi gadis yang pandai ? Bagaimana nanti menemukan seorang jejaka yang masih lebih pandai lagi dari si Prenjak cerdas ? Dan yang sekaligus penuh kemanusiawian mulia segala kebaikan dan keunggulan yang diminta dari suami yang baik ? Ia haruslah bersyukur ! Alangkah busuknya tidak berterima kasih kepada Tuhan Allah karena diberi anak yang pandai. Tetapi … ah, mengapa hidup selalu dibayangi kata tetapi …? Jaman perang seperti tidak ada habisnya. Sudah tiga tahun Jepang berkuasa dan banyak orang berbincang tentang kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari. Tetapi bagi setiap ibu yang menjadi pertanyaan pokok hanyalah : nasib atau lebih tepat calon jodoh sang anak kelak di kemudian hari. “Bapak kemana, Bu ?” tanya sang Siswajaya seperti kemarin, dan kemarin dulu juga, setelah pulang dari pesta perpisahan kawan-kawan yang terpaksa harus dibuat sederhana. “Besok pagi kan pulang.” “Ke Cipanas lagi ?” Sangat mungkin,” Bu Antana bernafas panjang. Citarasanya merasa intuitip, suaminya menyembunjikan sesuatu. Bukan, bukan soal perempuan lain. Tetapi soal politik. Sama bahayanya dengan masalah segitiga. Tetapi barangkali suaminya hanya biasa saja pergi ke Kebun Raya Bogor atau berdinas ke hutan lagi ke Cagar Alam. Memang itu profesinya. Tetapi toh lain. Perjalanan dinas dan segala yang behubungan dengan kantor dan sebagainya selalu jelas jadwalnya. Suaminya mengikuti cara bekerja Belanda, berdisiplin dan cermat. Tetapi sudah setahun ini, lebih-lebih dalam bulan-bulan Juni-Juli ini suaminya sering, ya jelas terlalu sering, mendadak di luar program rutin pergi entah ke mana, Bogor, ke Cipanas, ke entahlah. Pasti ada sangkut-pautnya dengan politik. 29 Dan Bu Antana tahu, politik di bawah tanah. Dalam batin Bu Antana hanya berdoa, agar semua selamatlah. Ia percaya suaminya tidak akan berbuat gegabah atau yang bukan-bukan. Bukan orang emosional dia, jenis pemikir tenang. Juga bila Atik bercerita dengan semangat tentang gelora Bung Karno, ayahnya selalu meredamnya sedikit. “Soekarno itu api, Kita butuh api. Tanpa semangat tidak ada daya. Tetapi itu baru separoh. Harus disalurkan secara rasional, agar menjadi mesin yang baik jalannya, dan tidak membakar segala hal, termasuk diri sendiri.” Bu Antana tidak tahu banyak tentang bintang-bintang politik masa baru, maklumlah ia terlalu orang pingitan puri ningrat. Tetapi dalam suatu perkara seluruh keluarga bersatu teguh : mereka tidak senang pada Jepang. Artinya pada kaum militer kejam itu. Suaminya selalu berkata : kita harus membedakan antara Jepang sebagai bunga kebudayaan yang tinggi, seperti Cina, India, Arab dan lain-lain, dan dari pihak lain : kekejaman para kaum samurai itu. Ya, Mas Tana benar. Tidak perlu jauh-jauh. Banyak adat-istiadat Jawa juga sangatlah kejam bagi ukuran manusia terpelajar, dan ia bersyukur berganda, bahwa anaknya sudah tidak mengalami lagi iklim ningrat itu. Namun anehnya, lagi intuisinya yang mengarahkannya, Atik toh tetap ia didik dalam alam sopan-santun dan citarasa Jawa ningrat. Pernah mereka bersama-sama melihat film Jepang. Bukan film perang yang biasanya dipropagandakan itu, Tetapi sungguh-sungguh film tentang kehidupan nyata di Jepang. Memang benarlah, dalam banyak hal bahkan dalam segala hal adat budaya kehidupan, musuh-musuh Sekutu itu sangat serasi dan seolah semelodi citarasa Jawa yang halus. Puteri-puteri mereka yang berkimono bersimpuh di tikar tatami, alat yang mengungkapkan jiwa citarasa keindahan yang ningrat. Selera seni mereka yang sungguh mengirikan, pohon-pohon sakura dan hubungan erat antara anggota keluarga, disiplin dan kesepakatan sukarela mematuhi cara-cara saling bergaul dan berkomunikasi, itu yang sering menimbulkan pertanyaan. “Bagaimana mungkin, citarasa yang begitu mulia dan halus kok bisa menikah dengan kekejian sadis militer dan kehausan nafsu kuasa mereka.” Suaminya tidak pernah mampu menjawab pertanyaan itu. “Aku pun heran dan sungguh, ini misteri bagiku.” Atik berkesimpulan sederhana, kendati tidak jelas bagaimana konkritnya nanti : “Kalau Indonesia kelak medeka, negara kita tidak akan kejam.” Mudah-mudahan, Tik.” “Tidak boleh mudah-mudahan, Pap. Harus.” Atik memang sudah menjadi pemudi yang bergelora. Api pijar Bung Karno sudah menyala di dalamnya. “Ya, harus. Kau benar. Tetapi ribuan orang sudah terdidik oleh kaum samurai itu. Dan dalamlah pengaruh itu sudah. Dengar cara sahabat-sahabat kita berkomando dan berpidato serta bersikap persis Jepang.” “Ya, itu kan baru kulitnya, Mas. Toh bagaimana pun bangsa kita ini timur.” “Jepang pun timur.” “Kita memohon saja. Hanya itu yang bisa kita lakukan.” “Ditambah perjuangan,” tambah suaminya serius. 30 Nah, kalau sudah sampai sekian, intuisi Bu Antana maklum bahwa suaminya memanglah sedang mengerjakan sesuatu aksi politik di bawah tanah. Ia tidak pernah bertanya lebih lanjut. Kepercayaan puteri Jawanya yakin, bahwa bila memang perlu, suaminya akan menceritakannya dengan sendirinya. Tetapi kalau dia diam, itu jelas ada juga alasannya yang syah. Dan Bu Antana yakin lagi : Itu juga pasti demi keselamatan sang istri dan anak-anak. Ah, semogalah selamat. Apa yang bisa diperbuat perempuan selain berdoa ? ditambah membuat sambal goreng taoco, kesenangan suaminya ? Tiba-tiba, entah dari mana bisikan ilham, Bu Antana mengajukan usul : “Kau harus merayakan lulusmu dengan Teto.” “Ah, Teto.” Dan langsung Atik diam merenung, sehingga ibunya menyesal, mengapa dalam saat gembira itu ia memberi suatu bayangan hitam. Tetapi memang entahlah, dari mana Bu Antana pun tidak mengerti, mengapa Teto terlonjak ke luar. Apakah Bu Antana juga sudah mulai menaksir dan sedikit banyak berkesimpulan, bahwa dari sekian teman, sebenarnya Si Tetolah yang selalu terbayang sebagai calon menantu ? Tetapi bukankah itu suatu permainan yang berbahaya ? ‘Teto sekarang sudah bukan yang dulu, sejak melapetaka mengenai dirinya, ibu dan ayahnya. Duh Gusti ¹⁾ lakon sering kejam. Sungguh sangat beruntung keluarga Antana masih utuh dan tidak mengalami kekejian nasib yang menimpa keluarga Kapten Brajabasuki. Dalam pandangannya, beserta suaminya ditambah Atik, Oom Bas adalah pahlawan. Juga istrinya, itu Marice, wanita Indo yang baik namun malang itu, dalam kenangan keluarga tetaplah tanpa noda. Maka dalam lubuk hati Bu Antana sering hinggap bagaikan burung merpati, keyakinan : “Seandainya saya dalam keadaan seperti Marice, pasti saya berbuat yang sama juga. Bagaimanapun pahitnya.” Tetapi segera pikiran seperti itu dikipaskan pergi, sebab memang terlalu ngerilah kalau dipikirkan terus. Keindahan dan kekejaman, mengapa keduanya itu sering bergandengan dan kawin ? “Maaf Tik, ibumu tadi hanya terlena omong. Kau benar-benar boleh memilih sendiri teman-teman yang akan diundang sekehendak hatimu.” Tetapi Atik tenang mendekatinya, dan sambil menolong ibunya mengambil panci sambal goreng itu dari api, ia berkata dengan mata nanap namun tampak sedih : “Dari sekolah sambil bersepeda Atik tadi juga sudah berpikir, Bu. Teto harus ikut merayakannya. Tetapi bagaimana caranya ? Dan lagi, apa dia mau ?” “Barangkali hanya harus dicarikan akal, bagaimana caranya berpesta.” “Ah, iya itulah Bu.” Panci diletakkan di atas meja dapur dan dirangkullah ibunya erat-erat. “Ibu, aku sungguh kasihan pada Teto.” Ibunya tidak dapat mengucapkan kata hiburan satu pun. Sekarang jelaslah apa yang selama berbulan-bulan ini hanya dapat diduga oleh ibunya : kata kasihan di sini sama artinya dengan cinta. Pada hal justru satu itulah yang ia khawatirkan. Bukan, bukan karena Bu Antana tidak simpati pada Teto. Tetapi situasi sudah begitu berubah. Jaman pesta-pesta di rumah Pangeran kakaknya juga sudah lampau. Ini jaman kejam. Atik, Atik anakku, memang sudah nasibmulah kau mengalami jaman serba tidak keruan ini ? ¹⁾ Ya Tuhan. 31 “Ibu juga kasihan pada Teto ?” Lirih ibunya berbisik ke dalam telinga anaknya : “Tentu saja. Siapa tidak kasihan pada sahabat bila mereka tertimpa kecelakaan.” Tiba-tiba rangkulannya dilepas dan berlarilah Atik ke luar dapur. Bu Antana mengikutinya beberapa langkah. Sudah tahu, ke kamar tidur dia. Biar ia menangis dulu. Dan sambal goreng itu dimasukkan ke dalam almari dapur. Nanti masih perlu dihangatkan sebelum dihidangkan di meja. Tetapi siang ini jangan-jangan suaminya tidak pulang. Dan di mana Teto sekarang ? Pesta apa yang paling tepat ? Malam hari itu, sesudah mencuci piring dan memeriksa gembok-gembok dapur, gudang dan pintu gang keluar, Atik seperti lazimnya ikut duduk dengan orang-tuanya di ruang tengah. Ibunya biasanya merenda sesuatu, dan ayahnya rileks merokok sambil mendengarkan musik dari radio yang disegel. Musik apa pun, biar itu dari Jepang, pantas dinikmati juga. Kecuali musik yang jelas bombastis propaganda kosong. “Mbok Inem sudah beristirahat Tik ?” “Tadi saya beri pil kinine dua butir.” “Ya. Mbok Inem sudah tak bisa bekerja lagi sebetulnya. Akhir-akhir ini terlalu cepat ia menjadi tua dan bergetar tangannya.” “Sulitnya ia tidak mau disuruh istirahat,” kata istrinya. “Memang dapat dipahami. Orang yang selama hidup tertbiasa bekerja keras, tidak mungkin begitu saja senang menganggur. Dan lagi siapa senang menganggur ?” “Mbok Inem menderita,” sambung istrinya lagi. Anaknya diberangkatkan sebagai romusha ¹⁾. Mengapa sampai terjadi itu ?” “Romusha kan boleh pulang kelak, Pak ?” “Ya, selalu saja itu mungkin,” (dan nada getir sinis) “istilah sekarang : kelak di kemudian hari.” “Susah juga menjadi nenek yang kesepian begitu,” keluh Atik dengan iba hati. Ayahnya diam. Ibunya juga diam. Hanya tik-tak dari jam Junghans yang terdengar seperti nenek bersuara rendah berwibawa memperingatkan datangnya jam saat tidur, dan nasihat, betapa pendek jenjang hidup manusia. Jam merk Junghans itu sudah cukup antik, kurus persis kakek bentuknya. Kacanya di ketiga sisinya berpigura rusuk-rusuk bulat buatan kuna yang dimahkotai semacam jamang ²⁾ atau diadem kayu berukiran. Mesinnya tampak semua dari samping dan lebih memberi kesan “rohani” pada jam itu, tembus pandang, seolah-olah sudah “badan halus” Angka-angka pada piringan masih angka-angka Romawi, dan jarumjarumnya seperti dua jantung hati yang selalu rukun. Yang pendek gemuk itu si suami dan yang berlari cepat semampai itu si istri. Begitu selalu Bu Antana melihatnya. Bandulnya tembaga ukiran dan tergantung pada tangkai berbatang tujuh lidi-lidi kuningan yang sejajar, sungguh-sungguh bergaya antik berwibawa dan … setia. Tidak pernah bejalan terlalu cepat atau terlalu lambat. Entah barangkali naluri wanitalah yang membuat jam itu kadang-kadang menumbuhkan rasa takut. ¹⁾ Budak-budak kerja paksa jaman Pemerintahan Jajahan Jepang. ²⁾ Mahkota, ban hias kepala. 32 Menghadapi jaman perang dan nasib tidak jelas sebagai akibat situasi politik yang serba tak menentu ini. Sering Bu Antana gemetar bernafas cepat pendek-pendek berdebar bila melihat jam antik itu. Di Jalan Kramat ini Bu Antana sebetulnya tidak begitu suka. Tetapi hal ihwal peristiwa kedatangan Jepanglah yang menyebabkan mereka harus pindah ke Jakarta. Rumah ini milik Kanjeng Ibu Suri dari Pangeran Hendrningrat dan beliau menghendaki rumah ini selalu didiami orang ; takut nanti digarong orang. Sebetulnya ia dan suaminya lebih suka tinggal di Bogor, kota tenang itu, tetapi Bu Antana tahu kedudukannya sebagai anak seorang gundik Keraton berdarah rendah yang sudah untung mendapat anugerah dianggap sejajar dengan abang tirinya Mas Hendradininrat. Selain itu, pertimbangan, ada baiknya juga Atik bersekolah di kota pusat dengan pergaulan yang lebih luas dan lebih bermutu, membawa mereka ke Jakarta ini. Di Bogor tidak banyak pekerjaan bagi suaminya, karena resim Balatentara Dai Nippon tidak banyak memberi anggaran. Yang mereka perhatikan hanya hutan jati. Sayang sebetulnya. Suaminya sering sedih menceritakan penggundulan gununggunung. Tetapi tanpa anggaran ia pun tak berdaya apa-apa. “Kau lelah, Tik,” kata ayahnya seraya memandang kepada anaknya yang terhanyut dalam kantuknya. “Sana tidur dulu. Beban sekolah menengah Tinggi sebentar lagi cukup berat.” Atik berdiri, sebab ia memang ingin melamun sendiri. Ia mendekati ayahnya, menaung agar keningnya dicium ayahnya selaku ucapan Selamat tidur. “Selamat malam, Pap.” “Selamat bermimpi indah, Tik.” “Ibunya, mencium pipinya : “Esok masih ada hari cerah.” Atik hanya menjawab : “Selamat malam, Bu.” Kedua orang-tuanya pelan berputar mengikuti gadis itu berjalan menuju kamar tidur. Sesudah pintu tertutup keduanya saling berpandangan, Suami istri sudah tahu apa yang dipikirkan masing-masing. Ke mana lalu ? Ya, ke mana ? Jam gantung bertik-tak terus. Seekor cicak berseru seolah ikut prihatin. Seorang penjaja sate bahkan membuat suasana malam lebih sepi lagi. Daging bekicot dianjurkan oleh pihak berkuasa. Tetapi orang-orang Madura itu tidak pernah berkekurangan daging ayam untuk sate. Hanya sebetulnya terlalu pagi mereka berkeliling. Jam malam menghambat mereka juga. Kedua suami istri itu hanya duduk diam saja. Ya, indah begini. Tanpa kata menghayati kebersamaan. Kehadiran, itulah jawab pada dambaan dua jiwa yang margo kulino ¹⁾ sudah dijumbuhkan melumer dalam satu kedagingan dan kesatujiwaan ranjang serta hal ihwal hidup sehari-hari. Juga tanpa sepatah kata biasanya mereka sudah saling berdialog. Biar rasa yang berbicara, getaran-getaran halus nikmat pengejawantahan Kama dan Ratih. Kenikmatan rahasia, yang (ah, betapa bodoh) dulu ketika masih mempelai muda dianggap oleh Bu Antana sebagai keharusan yang jijik tetapi wajib. Pada hal ternyata kelak itu terasa sebagai laras ing ati ²⁾ berkat margo kulino ; sebagai suatu yang semakin wajar dan sekaligus indah. Indah, karena di dalam kejumbuhan jazat yang satu itu tidak terasa lagi Gusti ³⁾ atau Kawula ⁴⁾. ¹⁾ Berkat pergaulan sehari-hari. ²⁾ Harmonis dalam hati. ³⁾ Tuan. ⁴⁾ Hamba. 33 Atau lebih tepat,yang dirasakan ialah kemanuggalan dua garwo alias sigaran nyowo ¹⁾, belahan jiwa yang saling menemukan diri sebagai pengejawantahan kemanunggalan para dewata. Dan bila Bu Antana sedang menghayati kehanyutan nikmat kewanitaanya, samar-samar segala itu merupakan ucapan sembah kepada kahyangan ²⁾ juga, beserta permohonan, agar Atik anaknya pun diperkenankan merasakan yang dirasakan ibunya. Tadi selama makan petang, Atik sendirilah yang mengusulkan. Agar jangan diadakan pesta. Dengan serius dan begitu meyakinkan sehingga kedua orang-tuanya tercengang. Tetapi Atik tetap memohon acara pengganti. Sekali lagi, Atik ingin berpesta, tetapi dengan cara menyelusup ke dalam alam hutan atau puncak gunung bersama ayahnya. Sudah sejak Atik bersekolah di SMP, ya sejak Jepang datang, wanawisata ³⁾ yang dulu sering dialami di SD tidak pernah lagi dilakukan. Karena situasi darurat perang tentu saja. “…bersama ayah.” “Hanya dengan ayah ?” tanya ibunya tersenyum dikulum. “Ah, andai saja bisa bersama dengan Teto.” Tetapi Atik hanya menjawab itu di dalam hati, dan berkerja setengah menghindari : “Ya, dengan siapa lagi.” Semua tahu siapa yang ia maksudkan. Tetapi ayah-ibunya diam saja. Tidak semua yang diketahui harus juga dikatakan. 34 ¹⁾ Belahan Jiwa. ²⁾ Surga para dewata. ³⁾ Perjalanan mempelajari hutan. B a g i a n II 1945 - 1950 5. Anak Harimau Mengamuk Ya, betul ! Aku dulu masuk NICA ¹⁾ Mau apa ! Sekarang aku tahu, itu keliru. Tetapi apa manusia tidak boleh keliru ? Lagi pada saat itu, aku yakin bahwa apa yang dikehendaki kaum Nasionalis keliru. Orang-orang Indonesia belum matang untuk merdeka. Aku tahu, tidak pernah manusia matang untuk menangani hidupnya sendiri pun. Tetapi suatu saat kita harus memilih pihak. Dan aku memilih Belanda. Karena aku jakin ketika itu, bahwa tidak sebandinglah korban akibat ketidak-dewasaan dengan keuntungan yang akan dicapai. Itu dilihat dari titik penglihatan orang kampung, anak kolong. Kan aku sudah bilang, aku anak kolong, dan aku bangga jadi anak Kumpeni. Bangga ikut bergerak di bawah tanah melawan Jepang, justru pada jaman orang-orang kita serba membongkok ke arah Si Cebol Kuning itu. Justru pada jaman beribu-ribu orang romusha diserahkan kepada kaum sadis made in Japan itu. Ayahku dan aku dan Mami jauh lebih merdeka jiwanya dari itu kaum Soekarno yang menghipnotisir massa rakyat menjadi histeris dan mati konyol hatinya karena mengandalkan bambu runcing belaka melawan Mustang-mustang dan meriammeriam Howitser yang pernah mengalahkan tentara Kaisar Jepang. Maaf, Anda keliru alamat menamakan aku budak Belanda. Bagiku NICA hanya sarana seperti Republik bagi mereka sarana juga. Segala omong-kosong tentang kemerdekaan itu slogan belaka yang menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung akan lebih merdeka di bawah Merah Putih Republik daripada di bawah mahkota Belanda ? Merdeka mana, merdeka di bawah singgasana raja-raja Jawa mereka sendiri daripada di bawah Hindia Belanda ? Papi jelas lebih merdeka di Magelang dari pada di Mangkunegaraan. Inilah kesalahan logika mereka : menyangka seolah negara sama dengan rakyat. Jika negara merdeka, orang mengira rakyat otomatis merdeka juga. Nonsens. Lihat seluruh sejarah dunia dong. Tetapi awal masuk NICA bagiku tidak sama dengan menjadi budak Belanda. Itu lain ! Dan ini terang-terangan kukatakan di muka hidung Mayoor Verbruggen, komandan batalyon NICA di pos depan Harmoni yang cocok sekali namanya : “Jagamonyet.” “Mayoor, aku ditangkap oleh serdadu-serdadumu. Terima kasih. Tetapi jika kalian menembak aku, kalian kehilangan seorang sekutu yang bermilai satu juta orang Republik.” “Besar benar mulutmu anak kelinci.” Spontan aku berkecak pinggang dan sengaja agak berlebihan menjajakan kelelakianku. “Satu kali lagi aku kausebut kelinci atau nama-nama hinaan, tak perduli sten-gun sedadu-serdadumu ini, kau akan menggerang sampai kedengaran di Den Haag sana.” Kontan aku ditempeleng seorang NICA Ambon. ¹⁾ Netherlands Indies Ciwil Administration, Pemerintah Penguasa Hindia Belanda. 35 Kusambar mereka, sebab aku percaya mereka tidak akan menembak di muka seorang mayoor (yang, mereka tidak tahu, adalah sahabat Papiku di Akademi Breda dulu). Betul, Mayoor Verbruggen hanya menyuruh mengikat kedua tanganku dalam gerak yuyitsu oleh salah seorang body-guardnya, seorang kuda Sumba yang sungguh seperti kedondong Benggali rupanya. Mayoor Verbruggen mengambil sebatang cerutu besar dari kotak laci bironya. Tenang ia mengupas pucuknya dengan golok dan lebih pelan lagi ia mulai menyalakan cerutu itu, yang segera menghembuskan bau harum yang sudah lebih dari empat tahun tidak pernah lagi kuhirup. Tetapi mataku tajam memancar langsung ke mata mayoor itu. Ia mulai tersenyum lihay. “Di mana orang muda ini ditangkap ?” tanyanya pada bawahannya tanpa beralih pandang dariku. “Di Pasar Baru, Mayoor. Ia berjalan sendirian dan provokatif sekali, tangannya dimasukkan di dalam saku pantalonnya sambil bersiul-siul. Kami tak ambil risiko dan terus kami tangkap.” “Tetapi ia tidak memakai tanda merah-putih pada dadanya, Tuan Mayoor, “kata seorang sersan dengan logat Jawa. “Dan sepanjang jalan ia terus-menerus ingin bertemu dengan mayoor yang bernama Verbruggen.” “Zo,zo, kedua tangannya di dalam saku celana sambil bersiul. Nyanyian romantis tentunya, bukan ?” dan mayoor itu tertawa kecil seperti nenek-moyang kuda Belgia yang belum pernah kulihat, tetapi yang pasti persis Si Mayoor itu. Tiba-tiba ia berdiri dan mendadak menggebrak meja dan berdentum seperti meriam suarnya : “Verdomme ! Saya pernah melihat kau. Siapa kau ? Dan jangan bohong pada Mayoor Verbruggen, tahu anak kelinci ! Ya, kau anak kelinci. Verdomme ya, kau anak kelinci.” Aku terkejut juga mendadak diroket kerongkongannya yang harus kuakui, sangat berwibawa dan mengerikan. Tetapi aku tak gentar, sebab aku merasa pasti akan perkaranya. “Kalau Mayoor ingin tahu namaku, harap kedua tanganku dibebaskan dulu.” “Benar-benar tidak tahu sopan-santun kau, ya. Apa hubungannya dengan kedua tanganmu ? Sakit, anak kelinci ?” dan ia tersenyum ironis. “Aku bawa surat untukmu.” “Heh ?” dan cerutunya dilepaskan dari mulutnya yang bergigi warna gading tetapi rapi. “Apa-apaan surat segala.” “Dari Marice.” “Heh ? Marice ?” dan mata serta mulut melompong bolong seolah ia bertemu dengan Soekarno himself “Sekarang aku tahu. Hei gila. Kau apanya Marice ? Kau anak dari Marice ? Ah …ah … Betul kau anak dari Marice ?” Mayoor itu duduk bertiduran pada sandaran belakang kursinya, jari-jari main piano di meja. Lama mengamat-amati aku dengan diam di bawah kepulan asap cerutunya. “Marice, Marice … ah …(dan ia memerintahkan bawahannya) hei, kalian keluar dari kamar ini. Biarkan anak muda ini di sini.” Serdadu-serdadu itu keluar persis kunyuk-kunyuk. Zo, zo …jadi kau anak dari Marice,” ia berkata agak bengong. 36 “Mari duduk … siapa ? Yan, Piet, Karel ? Atau Willem ?” “Leo” (Saya tidak mau menyebut nama Teto. Kok, seperti anak kecil). “Zo, zo, Leo ! Jadi kau membawa surat dari Marice ? Apa isinya ?” “Silahkan baca sendiri Mayoor. Maaf, pinjam golok yang tadi itu.” “Golok ?” (tetapi ia toh memberikan benda itu padaku.) “Maaf Mayoor,” dan kubuka kancing celanaku. Dengan pisaunya kusobek bagian tempat sabuk dan kukeluarkan seikat kertas. Kuserahkan itu kepada perwira itu. Seperti merenung kertas itu dterima, dipegang. Ia melihatku, melihat kertas itu lagi. Kertas itu tetap belum dibukanya. Dengan hangat ia bertanya padaku : “Ibumu cerita apa saja tentangku ?” “Mayoor dulu melamar ibuku,” jawabku langsung tanpa putar-lingkar. Sebab akhirnya toh itulah yang ingin ia ketahui. “Untung saya tidak jadi ayahmu.” Komentarnya dingin sambil menyeringai. Kertas itu belum lagi dibukanya. Matanya menembus mataku. Dan segera aku tahu, bahwa ia masih menderita karena ibuku menolak dia. Risiko juga aku di dalam tangan kekuasaannya, kupikir agak khawatir. Kalau-kalau patah hatinya menjadi benci ? Untung-untungan. Di jaman kacau-balau ini tidak ada yang safe. Seperti ia membaca pikiranku ia menghembuskan nafas panjang dan berkata lirih : “Marice ! Marice.” Pada saat itu aku tertumbuhi simpati yang sangat dalam kepada perwira ini. Sebab ia jelas pernah dan rupa-rupanya terus menerus mencintai ibuku. Tiba-tiba basah mataku dan bagaimanapun aku berusaha, aku tidak bisa menahan tangisku. Marice yang malang. Yang ternoda dan ickhlas menjadi binatang piaraan musuh-musuh dari suami yang ia cintai. Mengapa hidup tidak bisa sederhana ? Mengapa selalu segala yang indah berdampingan dengan yang kotor dan berbau ? Jika benar cinta dan kemesraan pria-wanita itu mulia dan bersumber kebahagiaan, mengapa Tuhan menciptakan tubuh kita sedemikian, sehingga organ cinta didekatkan berdampingan bahkan bersatu dengan lubang pembuangan kotoran ? Sungguh, jika aku memikirkan nasib Mami, gelaplah hatiku sampai aku tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, jangan lagi tuhan yang disebut Mahabaik dan Mahapengasih. Mengapa Marice menolak perwira yang simpatik ini, yang tampan dan tampak perwira tulen itu ? Dan bahkan memilih seorang Belanda hitam yang blo’on dan yang tidak terlalu cerdas menghadapi Kenpeitai Jepang ? Apa Mayoor Verbruggen sudah tahu bekas kekasihnya menjadi lonte Jepang ? Jangan. Tidak boleh ia tahu, Apa yang ditulis Mami dalam surat itu ? Tentulah minta perlindungan untuk Leo anaknya. Apa lagi yang akan ditulisnya ? Entahlah, Surat itu kuterima dari Bu Antana dua hari sebelum hari yang mengerikan, demontrasi di lapangan Ikada sesudah Soekarno-Hatta memproklamirkan Republik. Bu Antana berkata, Mamiku malang telah meninggal dunia dan ia menerima surat itu melalui seorang tukang kebon rumah Komandan Kenpeitai itu. Menurut tukang kebon itu, Mami sakit tifus. Dikubur ke mana ? Tidak ada sepasang mata melihatnya. Tetapi dalam hatiku Aku kurang percaya tentang sakit tifus itu. Orang-orang negeri ini pandai mempermanis berita-berita pahit. Lebih logis, bila Mami bunuh diri daripada menghadapi malu, sesudah tahu Jepang kalah. Marice sayang, Marice malang. 37 Papi dan Mami tidak pernah merahasiakan pribadi Verbruggen untukku, sebab hubungan Mami dengan suaminya yang Jowo itu sangatlah kokoh. Aku sering kagum pada Papi, mengapa ia sanggup memikat hati si noni cantik Marice. Tetapi wanita memang rahasia besar. Lelaki hanya bungkusan rahasia itu, bahkan biasanya bungkusan yang kaku dan lekas robek. “Kau sudah tahu isi surat ini ? ia bertanya kepadaku. “Belum, Mayoor, barangkali hanya minta perlindungan untukku, jika ada apaapa.” “Jika ada apa-apa. Pemberontakan Soekarno itu apa-apa atau bukan apa-apa ? Tolol” Ia berdiri, dan pelan-pelan menuju jendela. Dari balik kaca jendela kulihat bendera merah putih biru pada tiang, lesu seperti ogah-ogahan berkibar di bumi ini. “Verrekt” ¹⁾ umpatnya. “Perang Dunia begitu dahsyat sudah selesai, sekarang malahan perang monyet sinting ini. Itu orang Inggris harus digantung semua. Saya sudah berkali-kali bilang : Kalau kita ini betul-betul putra-putri keturunan de Ryuter atau Tromp ²⁾ mustinya kita harus menggasak orang Inggris. Bukan orang Insulinde. (Tetapi tiba-tiba) Marice ! Marice ! …(ia tetap memandang keluar jendela) Hei Leo, ibumu tinggal di mana sekarang ?” Bagaimana Basuki ayahmu ?” “Sudah di surga. Kalau ada surga.” “Heh ? (Dan spontan ia menoleh kaget padaku.) Sudah meninggal ? Mana mungkin. Verrekt ! Dibunuh orang-orangnya Soekarno, ya ?” “Tidak. Jepang. Tentang Papi, tak ada berita sedikit pun.” “Anjing kampung memang die Yappen ! Betul Si Truman. Dicekoki bom atom saja mereka, cebol-cebol itu.” Ia menoleh kepadaku. “Kau tinggal di mana ?” “Di mana-mana.” “Di mana-mana ? Gila kau. Gila. Persis ibumu Gila.” “Jangan menyebut Mamiku.” “Jangan lekas marah. Tidak ada di dunia ini yang begitu cinta pada Marice seperti Verbruggen. Tahu kau ?” “Apa Mayoor mengira, kapitein Basuki tidak sangat cinta Marice ?” “Ah, bukan itu maksudku. Kau ini kelinci muda benar. Begitu aja nggak nangkap. Sudah, bacakan, Mamimu menulis apa. Asal jangan testamen untuk menitipkan anaknya pada saya. Sebab saya ini bajingan, tahu ya, bajingan akibat Marice menolakku. “Bukan Mami menolak, Mayoor. Tetapi kehendak Tuhan,” komemtarku bernada sinis. “Ah, Tuhan dibawa-bawa lagi. Kalau logikamu lengkap, itu berarti saya dibenci Tuhan, begitu ?” “Mayoor, apakah mencintai itu harus mengawini ?” “Hallo, Filsof Hijau. Apa tahumu tentang cinta dan perkawinan. Tutup mulut kau kalau tidak mau disebut tolol atau saya pukul jadi saua nanas. Apa tahumu tentang cinta. Cinta yang ditolak ?Bah (Dan ia melihat keluar jendela lagi). Omong ngawur tentang cinta ! Sudah, saya muak. Saat ini yang penting, bagaimana menghancurkan itu permainan gila bikin-bikinan Republik. (Ia melihat lagi keluar. Brndera merahputih-biru sedikit berkibar, tetapi lesu lagi.) ¹⁾ Ungkapan bahasa Belanda :”Keseleyolah kau !”. ²⁾ De Puyser dan Tromp adalah admiral-admiral pahlawan Belanda yang jaya Melawan Angkatan laut Inggris pada abad 17. 38 Verrekt ! Andai saja itu Mountbatten¹⁾ tersandung ranjau Jepang jadi kepingkeping biskuit ! Sudah berapa kali kukatakan : Inggris itu serakah dan tidak rela Batavia menjadi saingan Singapura dan Hongkong. Itulah persis motivasi mereka main patgulipat dengan Sukarno lebih tepat dengan Si Kancil cerdik yang jauh lebih berbahaya … eh siapa dia ? … Sysysyahrir. Huh ! Seperti nama orang kanibal . Hei Leo, ini komando. Baca surat ibumu ini. Ayo. Kalau tidak, tulung rusukmu patah semua nanti.” Dan kertas itu dilemparkan padaku. “Mayoor benci pada Mamiku ? “kutanya nekad. “Baca !” teriaknya seperti halilintar yang membuatku kaget. “Ya, Mayoor,” akhirnya aku sedikit merasa kalah. Kubuka surat Mamiku. Tetapi aku pun tidak bisa menahan kekalutan jiwa dan aku hanya terdiam saja tidak bisa apa-apa. Surat itu terjatuh di lantai. “Bagaimana ?” Ia menoleh dan ketika melihatku penuh emosi, ia menghampiriku, bahuku ditepuk-tepuk penuh pengertian. Ia mengambil korek api dari sakunya dan pelan surat Mamiku dibakar. Lalu aku diajaknya makan bersama dia. Makanannya tidak segar dan hanya diambil dari kaleng rasion bekal standard tentara USA. “Mayoor, “ kataku sambil makan. “Aku mohon diperbolehkan masuk Tentara Kerajaan.” “Tentara Kerajaan itu tentara Belanda totok dari negeri Kincir Angin. KNIL, nah ini tentara sewaan Hindia Belanda. Tentara Kerajaan itu tentara sinyo-sinyo pucat dan berbau keju. Kalau KNIL, nah ini gerombolan bandit VOC ! Hahaa,” dan tertawalah ia untuk pertama kali. “Mau ikut main bandit-banditan ? Kolonel Drost ²⁾ dan Jenderal Spoor ³⁾pasti marah kalau mendengar omonganku ini, tapi mau apa lagi. Orang Belanda, kata orang, terkenal nuchter⁴⁾ dan jujur apa adanya, bukan ? Nah, apa buruknya jadi bandit VOC, kan katanya Si Jan Coen itu pahlawan kerajaan kami. Maka konsekwen dong. Tapi yang penting : kau mau ikut kami ? Okay ! Dan karena kau anak dari Marice, kau tidak perlu mulai dari sedadupantat-sepak. Langsung saya jadikan letnan dua. Semua mungkin dalam darurat perang. O ya, ini alasan juga. Untuk menghormati seorang pahlawan gerilya melawan Jepang. Kapitein Basuki, yang notabene menang perang rival terhadap saya, tetapi kalah dibekuk monyet-monyet sipit. Tragis, sungguh tragis kehidupan bapakmu itu. Dengan catatan : Kalau kita memang ingin tragis. Jadi, kalau kau mau, segera kau kuangkat jadi loitenant seperti bapakmu dulu ketika tamat bersamaku di Breda⁵⁾ .” “Tetapi aku belum bisa menembak. Bagaimana jadi loitenant. Serdadu biasa pun mau.” ¹⁾ Panglima tertinggi pasukan-pasukan Sekutu di Asis Selatan dan Tenggara. ²⁾ Komandan pasukan-pasukan Belanda di wilayah Jakarta. ³⁾ Panglima tentara Belanda di Indonesia. ⁴⁾ Rasional dingin. ⁵⁾ Nama kota tempat Akademi Milter Kerajaan Belanda di Nederland. 39 “Nonsens. Anak Kapitein Basuki legiun Mangkunegara kok serdadu biasa. Ayo jangan anstil¹⁾ kayak perawan rumah-piatu susteran. Bagaimana ?” Ia mengulurkan tangannya minta dijabat. “Okey! Tapi asal diberi pelajaran menembak dulu.” “Ah, omong kosong saja kau ini. Bedil sekarang otomatis dan main brondongan. Serampangan saja ditembakkan ke segala arah, dari 100 peluru pasti ada tiga atau lima yang mengenai sasarannya. Yang penting : pakai akal sehat ! Ini yang penting untuk perwira. Bukan melayangkan peluru atau berbaris, tetapi berpikir logis. Musuh kita bukan tentara Jerman, tetapi kaum bandit juga, kan. Saya pun pakai akal sehat. Kau saya jadikan letnan dengan alasan kau sangat kenal Batavia dan daerah pedalaman. Siapa tahu kapan-kapan kau akan kami turunkan dengan parasit di daerah pedalaman Republik terkutuk ini. Pokoknya kau harus membuktikan diri beroperasi di Batavia ini dan menertibkan kota ini dulu. Sambil berjalan kau segera jadi letnan. Tahu ? Kalau kau betul-betul anak syah dan bukan haram jadahnya Kapitein Basuki, kau musti bisa. Dan jangan memalukan Marice ibumu.” Tiba-tiba aku sedih lagi, Maricelah yang memalukan kami. Atas nama cina. Harus begitukah jalan kehidupanku sekarang ? Verrekt ! Budak-budak Jepang itu harus dihajar. Itu yang penting. Letnan atau kopral, toh suatu saat aku harus berbuat sesuatu yang haibat. Anak kolong selalu haibat. Dalam waktu seminggu aku belajar menembak ; cukup tidak memalukan untuk menjadi komandan patroli. Mayoor Verbruggen memberi aku dua bulan untuk naik pangkat menjadi letnan II. Hal itu hanya mungkin dalam keadaan kacau. Tetapi NICA membutuhkan tenaga sebanyak mungkin dan Verbruggen tahu bahwa aku punya darah komandan. Tugas patroli pertama yang kuperoleh menuju Tanah Abang. Tetapi sepulang dari sana langsung aku menggenjot jip ke jalan Kramat VI ke rumah Bu Tana. Sudah sejak Agustus yang naas itu, ketika aku menerima surat dari Mamiku malang, keluarga Antana dan khususnya Atik tidak kukunjungi. Aku rindu pada mereka, sebab dari masa lampauku hanya tinggal merekalah yang kurasakan dekat. Ke mana mereka ? Masih tinggal di Kramat tenang itu … ataukah …? Dengan tancap gas pol nyaris dol aku ngebut ke Kramat. Dalam hati khawatir, jangan-jangan aku datang terlambat. Banyak gadis di dalam kekacauan tak keruan ini diperkosa oleh macam-macam pihak. Atik, pasti kau sangat kecewa melihat aku sebagai musuh Soekarno. Di jaman Jepang kita selalu berselisih paham mengenai orator kolaborator Jepang itu, tetapi juga seumumnya, tentang apa yang kausebut cita-cita kemerdekaan dan sebagainya. Aku sungguh tidak mudeng. Larasati, kau yang raden-ayu dari puri Surakarta, dengan nafas keluarga raya Jawa yang paling modern dan paling setia kepada Ratu Belanda, mengapa Atik begitu naif berbicara tentang macam-macam impian bangsa yang hanya impian saja ? Dan jiwaku semakin benci kepada orang tampan perlente Si Soekarno yang, masygul kuakui, mempunyai dayapikat luar biasa untuk semua wanita. Termasuk Atik. ¹⁾ Dari kata aanstelling (Bld) : manja dan sentimentil. 40 “Teto, kau mcnganalisa terlalu logis. Kau harus sanggup membaca kcjadian yang sebenarnya di antara baris-baris yang tercetak,” begitu selalu Atik mcngakhiri perdebatan kami. "Selama kau belum mampu itu, mijn lieve Raden Mas Sinyo, kau masih menjadi tawanan huruf-huruf mati." Aku selalu jengke1 pada gadis satu ini. Bukan pertama-tama karena ia berpandangan lain, sebab tentang hal itu aku sungguh bukan orang Jawa; dapat tahan melihat orang lain berpendapat lain. Tetapi karena sebutan mijn lieve itu, yang artinya: sayangku manis. Yang dalam perasaanku ketika itu bernada ironis. Arau paling sedikit aku menangkapnya begitu. Ironis dan agak mengecilkan diriku. Kan aku dua tahun lebih tua Anak 17 tahun omongnya seperti guru. Jawabanku juga selalu: "Yang kubaca itu fakta. Dan fakta menunjukkan, semua priyayi dan orang-orang Indonesia yang punya pangkat jelas pro dan membongkok kepada Jepang. Titik! Yang anti Jepang tetapi tak berdaya adalah orang-orang kecil, orang kampung, orang anak kolong. Seperti aku ini. Dan beberapa gelintir orang di bawah tanah seperti ayahmu," "Dan aku?" (Sengaja mengejek serba menjengkelkan.) “Ya, kecuali kau. Itu yang sungguh aku tidak paham.” "Oh ya?" dan ia memandangku dengan mata hitam lebar. "Kan Atik melihat sendiri. Bagaimana mungkin bangsa yang masih membongkok kepada perarnpok-perampok mau merdeka. Nanti dulu, belum titik. Logika! Jangan hanya impian dan serba perasasaan saja, Logika, sekali lagi logika! Bagaimana ...?" Tetapi Atik biasanya tidak membiarkan aku menyelesaikan uraian logikaku Sungguh menjengkelkan. Sebab ia lalu tertawa dan seperti penari serimpi tangan-kanannya melarnbai dalarn gerak tari, telapak tangan di atas mata sarnbil berpacak-gulu¹⁾ memandangku serba jenaka. Dalarn saat-saat seperti itu aku benar-benar kalah. Dengan segala logika dan kehaibatanku. Gadis satu ini bukan jenis ratu kecantikan, tetapi dalam saat-saat tertentu sungguh mempesona. Tetapi terus terang saja, aku takut jatuh cinta padanya. Sebab naluriku berkata, aku akan kalah. Dan justru itu aku tidak mau. Rumah Bu Antana seperti banyak rumah di Jakarta di masa teror ketika itu, serba sepi, mati. Pintu pagar terkunci, tetapi serdadu-serdadu yang melompat pintu dan menggedor pintu-pintu dan jendelanya tak mendapat jawaban apa pun. Pergi ke mana mereka? Pintu pagar kusuruh patahkan kuncinya dan aku masuk ke beranda muka. Tak ada satu pun garnbar atau hiasan tergantung di dinding. Mengungsi ke mana mereka? Tentunya ke Sala. Pintu ke dapur ternyata masih terbuka. Barangkali terlalu tergesa-gesa mereka pergi. Atau sudah dirampok? Serdadu-serdaduku kusuruh berjaga di muka dan aku sendirian masuk ke dapur, yang sangat kukenal suasananya dulu, kalau aku datang dan iseng menolong Atik dan Bu Antana di situ. Tetapi barang-barang sudah disimpan masuk almari sermua atau peti, entah. Aku sedih juga melihat dapur dengan bagian tungkunya yang hitam karena asap. Seekor kucing kurus lari ke luar. Ada bau bangkai. Burung cocakrowo dan kutilang dan deruk mati di dalam kurungan, dikeroyok semut. Hatiku tersayat-sayat melihat itu. Burung-burung itu kesayangan Atik. Memang jaman sedang tidak untuk berdendang dan menyanyi gembira. Siapa pernah mengira dua bulan lalu, bahwa aku akan menginjak rumah kosong ini dengan seragam NICA? Pasti Atik akan sangat kecewa melihatku. Sangat kecewa. ¹⁾Gerak luwes dari kepala tanpa bahu badan ikut bergerak 41 Tetapi aku hidup tidak untuk Atik, maaf. Untuk apa? Untuk siapa? Verdomme! Bagaimana nasib Papi? Masih hidupkah ia? Operasi kedua sesudah patroli liar ke Kramat ini ialah mendatangi bekas tahanan Kenpeitai, begitu kurancang. Bajingan-bajingan benar seluruh ras Asia ini: Jepang, Indonesia, mana lagi. Maka beruntunglah orang-orang kulit putih membebaskan mereka dari segala sadisme dan kebongkokan mereka. Aku duduk di tempat duduk di sudut beranda belakang yang biasanya dipakai untuk ruang makan dan tempat bersantai. Meja makan dan lainlainnya sudah ditelanjangi dari tapelaknya. Di dinding masih ada terganung beberapa gambar pemandangan. Tetapi semua foto keluarga sudah hilang. Juga jam antik yang bagus bunyinya itu. Segala kebugilan runah ini membuatku merasa hampa. Ternyata toh aku rindu pada Atik. Pintu gang tengah menuju karnar-kamar tidur di dalam terkunci rapat. Kuselidiki segala perabot rumah dan lantai, barangkali ada tanda-tanda yang dapat menunjukkan mereka mana. Niets¹⁾. Ah, iya, tiba-tiba aku teringat pada lubang di dalam bata dinding samping rumah. Lubang itu sama sekali tak kentara bagi orang luar, sebab terlindung oleh akar-akar dan daun tumbuh-tumbuhan sirih hias yang merambat berdaun hijau loreng kuning. Di situ biasanya keluarga Antana meletakkan kunci dapur, bila semua pergi, agar yang lainnya dapat masuk rumah tanpa hams menunggu. Maklumlah, kunci pintu dapur sudah antik juga dan kunci hanya satu. Di dalam lubang itu pun sering keluarga Antana saling meletakkan kertas bertuliskan pesanpesan, sebelum mereka keluar rumah. Naluriku merasa ... pasti Atik ... Segera aku berlari ke tempat lubang itu. Kuraba-raba ... betul! Kuncinya ada dan secarik kertas. Rupa-mpanya mereka toh mengunci pintu dapur, tetapi saking tergesa-gesanya pintu belum terkunci ... ada apa isinya? "Kepada Mas Teto." Ah, Atik yang baik hati. Toh ia masih ingat padaku. "Merdeka. (apa-apaan ini) Mas Teto! Ibu telah mengungsi ke Yogya, ke tempat kakaknya di jalan Cemorojajar 7. Kalau Mas Teto mau mencari perlindungan, di tempat Paman pasti Mas Teto welkom ²⁾. Ayah dan Atik sekarang menyumbang seapaadanya di kantor perdana menteri RI. (perdana menteri lenong!) Atik cuma jadi juru ketik kecil yang tak punya arti. Ayah bertugas entah, sering kian kemari Yogya Jakarta. Mas Teto sekarang di mana? Sudah sejak bulan Juni kau kami cari. 1bu yang kau pondoki juga tidak tahu. Pindah pondokan katanya. Tetapi Atik tahu, suatu saat Mas Teto pasti menengok ke lubang kunci di dinding ini, tentu. Nah, kami tunggu, Khususnya adikmu Atik. Semoga Tuhan selalu beserta Mas Teto dan negara kita, (negara siapa? Belum tanya, perempuan sudah mau mengatur) yang masih muda ini. Merdeka!" Memang kita dari dunia yang berlainan, Atik. Ya, sudah! Beginilah ... ya beginilah ... jadi Atik bekerja sebagai sekretaris pada pemerintah pemberontak itu? Okay! Baiklah! Mulai sekarang kita akan membuktikan, siapa yang benar. Dengan realita kejam! Tidak dengan omongan belaka. Kau juga, Tik, semoga kau dan ibumu selalu terlindung ... oleh Tuhan, kalau itu ada, Tik." Seorang sersan menghampiri aku. "Pemimpin teroris, Komandan?" ¹⁾ Tak ada satupun. ²⁾ Selamat datang. 42 “Verdomme¹⁾ !" teriakku "Urus kau punya urusan sendiri, tahu?" "Maaf, Komandan" (tetapi tiba-tiba aku sadar, aku harus berhati-hati) "Ya! Teroris besar! Ini kaum republik totok!" Cukuplah sudah sementara. Komando kuteriakkan: "Ayo pulang. Siap!" Tetapi persis kami baru saja keluar halaman mau mas uk jip, meletuslah beberapa tembakan dan pelor-pelor berdesing di sekitar kami. Refleksif kami merebahkan diri dan kami berondongkan hujan peluru ke arah sumber tembakan. Mataku yang tajam melihat sebuah lutut keluar dari batik pohon asem besar. Kuhujani lutut itu dengan timah hitam. Teriakan! Dan ia terkulai. Aku lari ke tempatnya, sambil menghujani peluru. Masih kulihat beberapa pemuda mau lari ke balik tembok. Dua pemuda tertembak. Tetapi aku dibalas tembakan gencar dari sudut lain. Aku lari. Kuteriakkan komando ke patroIi untuk lari. Sebab ternyata tembakan gencar dari segala sudut. Tetapi bukan pertama karena tembakan itu aku mengundurkan diri. Soalnya aku tidak mendapat perintah untuk berpatroIi di daerah Kramat ini. Kalau ada apa-apa nanti, aku dapat dicurigai oleh Mayoor Verbruggen. Cilaka lagi oleh dinas intel NEFIS²⁾. Tancap gas!!! Dan di bawah perlindungan tembakan-tembakan gencar kami keluar ke jalan-raya Salemba, menuju ke markas. Dua orang serdadu kami luka-luka ringan. Yang Jawa halus itu dan seorang anak Ambon. Aku sendiri tak terkena apa-apa. Orang-orang Republik penembak jelek ! Dan mereka tak punya senjata otomatik ! Tetapi di jalan menuju markas, pikiranku ke Yogya. Sekali saat Yogya akan kami duduki. Tinggal soal waktu. ¹⁾ Umpatan babasa Belanda: "Terkutuklah kau!" ²⁾ Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service, intel Belanda.. . 43 6. Merpati Lepas Tembak itu mobil!" Serentetan peluru Thompson dan sten-gun akhirnya memaksa mobil iru berhenti. Kurang-ajar, pelatnya Rl Nomor 2 lagi. Angka begiru arogan. Dikira siapa yang kuasa di Hindia ini ? Sudah lama aku ingin mendamprat langsung pejabat-pejabat Republik yang semakin sombong, tidak tahu diri. Gilanya, mereka berhasil dengan gaya sok diplomat amatir berunding dengan pimpinan tertinggi Jenderal Christison himself, bahkan Letnan-Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Aku yang paling pertama datang di mobil itu. Kubentak penumpangnya, kusuruh ke luar. Tetapi ketiga orang di dalamnya, kurang-ajar, hanya duduk tenang saja. Sopirnya, aku sudah lupa rupanya, dapat berhahasa Belanda, dan edan sekali, berkata bahwa yang menumpang ini perdana menteri dan ajudan. Oh, inikah si kancil Syahrir? Tetapi sejak kapan setiap kuli di sini boleh begitu saja mengaku perdana menteri ? Ketenangan kedua orang di jok belakang itu benar-benar menjengkelkan. Khususnya yang satu itu, dengan sepasang mata cerdik dan wajah seperri tersenyum mengejek. Para serdaduku berteriak-teriak karena darah mereka sudah mendidih . Tetapi entahlah, yang satu orang itu, harus kuakui, begitu memancarkan kepribadiannya, sehingga aku seolah-olah lumpuh. Yang dua lainnya Tampak agak pucat dan gugup. Tetapi yang mengaku perdana-menteri itu hanya tenang, senyum dikulum. Dan tibatiba aku seperti keranjingan. Sebab dalam senyum dikulum itu aku melihat segaris lekuk senyum Larasati. Barangkili itu cuma khayalanku yang serba jengkel campur bingung. Akan tetapi aku lalu menjadi lumpuh. Keharimauanku menjadi impoten dan segala lakon peristiwa sudah lepas dari komandoku, sehingga spontan para serdadu, tanpa menunggu komando, bermain hakim sendiri. Akhirnya dengan segala ketenangan yang luar biasa, dan yang jelas berwibawa terhadap para serdaduku, si perdana menteri amatir itu membuka pintu mobil dan berdiri di muka serdadu-serdaduku. Alangkah kecil orangnya; memang kecil dia dan sebetulnya terlalu kurang pas pakaiannya, yang dijahit entah oleh taylor pasar di mana. Wajah bukan tipe orang Jawa, tetapi sejenis orang Banjar atau Melayu, pendeknya orang yang sulit diberi sebutan kuli. Rambutnya berombak rapi, tetapi yang indah ialah matanya. Matanya seperti mata Atik, cerdas, tenang seolah seluruh dunia sudah digenggamnya. Dalam bahasa Belanda ia tenang berkata padaku: "Jenderal Christison menunggu saya. Harap jangan mengecewakan beliau." Kurang ajar! Belum lagi aku menguasai situasi, seorang serdaduku yang hitam berangasan tak dapat menguasai emosinya. Pistolnya diacungkan pada republiken kecil itu. Dan entah bagaimana persisnya, ruparupanya ia malu karena pistolnya kebetulan kosong peluru, orang kecil itu sudah dipukul dengan gagang pistol. Segera kularang dia bertindak sendiri. Bukan karena aku tidak setuju orang penghasut Atikku dihajar, tetapi aku terpaksa harus menjaga kewibawaanku. Ini soal gengsi, bukan soal lain. Tetapi toh rasa kekesatriaanku yang kuwatisi dari ayahku melonjak dan serdadu kumaki-maki keras. Sungguh memalukan. Yang kumaki sebetulnya ketidak-kuasaanku menghadapi Si Syahrir itu. 44 Dari lubuk hatiku toh aku digugat jiwa ayahku yang seolah-olah membentak juga dalam bentakan-bentakanku: "Bukan begitu caranya menghadapi gentleman! Biar mereka pemberontak sekali pun." Darahku masih mendidih memang, akan tetapi rasio Officier Brajabasuki toh masih kuat dari kebinatanganku. Terpaksa aku mundur, karena memang bagaimana pun, akal sehatku menghalang-halangi amarahku untuk berbuat hal-hal yang dapat merepotkan keputusan-keputusan tertinggi politik Kerajaan. Dalam hal ini aku boleh berterimakasih kepada pengaruh Verbruggen. Ia bandit memang, tetapi setiap bandit kepalanya dingin dan berkalkulasi, sedangkan aku bukan bandit dan karena itu sering masih terbawa emosi. Pada saat itu datanglah patroli tentara Inggris. Aku benci sekali pada mereka itu. Orang-orang sok gent/emen itu dijadikan tuan di Hindia Belanda, hanya karena persetujuan antar Sekutu. Bukan karena mereka punya hak untuk berlagak di sini, seolah Batavia itu Singapore saja. Seharusnya aku sudah pergi untuk menghindari konfrontasi dengan mereka, tetapi terlambat. Seorang letnan Inggris datang dengan lagak Britania Raya yang paling dibenci setiap orang kontinental dan tanpa kesopanan bertanya dulu, ada apa, atau minta pertimbangan sebelum campur tangan persoalan, ia langsung saja kontan bergaya boss main wasit: "Ayo pergi. Ini bukan urusan kilian." Dia letnan aku letnan. Hanya dia lebih tua dan punya bendera inggris sebagai bekingnya dan aku Cuma KNIL. "Tentara Kerajaan itu KL, tentara Belanda," masih kudengar Verbruggen, "KNIL cuma segerombolan bandit." Tetapi justru karena itulah jiwaku terbakar melihat keangkuhan orang Inggris itu. "Urusan Hindia Belanda adalah urusan Hindia Belanda!" bentakku sengit. Dan apa jawabnya? Ia tidak menjawab. lnilah yang lebih menghinaku, seolah aku tidak pantas, tidak sederajat, untuk diajak bicara. Dengan kepongahan merasa sip sendiri ia langsung menuju mobil. Ia memberi hormat kepada orang inlander keci1 itu; tersenyum, tangan kanannya melambai angin memberi tanda: "Silakan terus tuan". Tetapi ia sangat terkejut melihat mata biru perdana menteri Republik yang membengkak, akibat popor pistol serdaduku. Dan apa yang terjadi? Ia mendekati perdana menteri amatir itu, dan mereka berjabatan tangan. Dan Wakil Tentara Sekutu itu minta maaf. Ya, minta maaf ! Sungguh pengkhianat! Begitu halusnya sikap perdana menteri amatir itu, sehingga semakin membakar kebencianku kepada segala yang berbau Republik. Dengan ramah mereka bersama sopirnya mengamat-amati body mobil yang tertembus peluru. Entah apa yang mereka katakan. Aku hanya melihat serba benci, tetapi terutarna malu kepada letnan Inggris sombong itu, yang seperti pelayan restoran kelas tiga mengangguk kepada seorang tuannya dan omong sejenis ini, entah aku sudah lupa: "Tuan untung masih dilindungi Tuhan," dan semacam itu. Dan ia melirik padaku, sinis seolah-olah menyindir berkata pada si Inlander: "Jangan khawatir menghadapi bandit-bandit itu. Britania Raya akan melindungi Anda dan Republik. Anda." Lalu ia memandangku lagi dari sudut matanya yang licik. Memang dari dulu Inggris itu musuh Belanda. ltu baru kuhayati dalam-dalam pada saat itu. Dengan amarah kuperintahkan anakbuahku masuk truk dan tanpa ambil pusing menyambar apa, dengan kecepatan barangkali 100 km aku meluncur berang pergi ke Klender. Terbakar nafsu aku ingin melampiaskan dendarnku. Perdana menteri itu harus dihajar. Rakyatnya akan kucambuk. Hari itu, Klender, Tanah Abang, Kwitang merasakan apa konsekuensinya menghina jago KNIL. 45 Malam itu aku hanya murung. Ogah diajak sekak oleh Verbruggen, yang tadi sudah kulapori (singkat mengenai yang esensial saja) tentang insiden Huize Vijfsprong¹⁾ dengan perdana menteri itu. Berapa sloki jenewer yang sudah kuminum? Tetapi tibatiba dalam lamunan muram serta dendam tumbuhlah secuil penyesalan. Mengapa aku tadi tidak memakai kesempatan dan bertanya padanya: ''Bagaimana, Atik?" Pasti dia akan sebaik itu untuk menceritakan sesuatu tentang hal-ikhwal Atik. Barangkali pula dia akan dapat menghubungkan lagi senyum kegadisan Atik dengan hatiku yang merana dan menjadi bengis ini. Mengapa tadi tidak manusiawi biasa saja aku bertanya itu pada orang kecil yang mengaku perdana menteri itu? Ada sesuatu dalam wajah dan matanya yang hitam lembut itu yang menyalakan pijar sekecil kunang dalam hatiku, dan yang meyakinkan hatiku yang serba skeptis ini. Ya, ia pasti mampu memahami aku. Sebab perdana menteri ini bukan tipe teroris. Lain halnya dengan Soekarno. Orang keci1 tadi orang beradab rupa-rupanya dan berperasaan dalam. Tetapi justru itulah ia orang yang paling berbahaya, lawan yang sanggup mengalahkan van Mook. Orang-orang Inggris punya motivasi kotor demi Sirgapura dan Hongkong mereka. Tetapi mereka juga bukan orang tolol. Mana ada Inggris yang tolol. Mereka tahu, siapa Syahrir ini dan dalam hal apa dia harus diajak bicara. Malam itu kami tidak main catur. Hanya omong-omong tentang orang keci1 berpakaian putih bikinan taylor pasar pagi tadi yang kutembak mobilnya dan sayang tidak kena. "Sayang tidak kena; Leo!" kata Verbruggen si bandit tua itu. ''Ya, sayang,” aku meyakinkan diriku lagi, walaupun sebenarnya tidak sangat yakin, sebab di belakang orang keci1 tadi aku melihat seorang gadis, yang sedang mengetik entah apa, seorang juru ketik muda yang barangkali masih hijau tunas, tetapi yang penuh takjub selalu memandang kepada pemimpinnya, perdana menteri paling muda di dunia dari negara yang paling muda di dunia pula. Dan aku? Aku jadi kepala bandit tentara yang sudah sekarat. Tetapi Verbruggen punya keterangannya sendiri. Dan hatiku melonjak ketika ia mencetuskan apa yang sudah aku rasakan agak sayup-sayup. "Orang ini musuh paling berbahaya bagi mati-hidup Hindia Belanda. Sebab dengan senyumnya, dengan kehalusan budinya ia memikat. Seorang Soekarno, ia boleh-boleh saja didewa-dewakan oleh massa bangsa kuli tolol itu, tetapi ia tidak berbicara apa-apa untuk orang-orang gede dalam meja penguasaan dunia yang sekarang sedang menata dunia seperti notaris-notaris yang menata soal warisan kakek yang baru meninggal. Semakin banyak Soekarno, semakin lekas Republik itu hancur," katanya tenang: "Sebab dunia yang menang perang sekarang sedang benci pada segala yang berbau fasis dan militerisme." Dan ia berhenti sebentar untuk membiarkan lingkaran-lingkaran asap cerutunya mencari kemerdekaannya. Lalu bergurnam pelan, terlalu dingin untukku yang masih muda itu. ¹⁾ Simpang lima Cikini Raya, Gondangdia Lama, Menteng Raya, Cut Mutia dan Kali Pasir. 46 "Sebetulnya Sekutu tidak suka pada tingkah Den Haag. Negeri kami ini negeri kecil dan mereka masih tidak lupa ketika Ter Poorten ¹⁾ begitu saja menyerah kepada Jepang. Kita ini membonceng Sekutu, itu sungguh pahit. Tetapi memang seorang tentara hams menghadapi kepahitan seperti apa adanya, tidak hanya berkhayal yang enak-enak saja." Lama kami berdua hanya diam. "Sayang tidak kau tembak mati Si Syahrir tadi," gumamnya tiba- tiba tetapi tetap tenang, dingin. "Seandainya ia tadi kau tembak, saya bisa cari-cari alasan apa pun kepada atasan. Dan atasan kita toh akhirnya akan tersenyum mengangguk. . Mereka pun tahu: bukan Soekarno, tetapi Syahrirlah musuh mereka yang paling berbahaya. Justru karena ia halus. Justru karena ia berbahasa manusiawi dan tidak fanatik. Orang macam ini mudah sekali memikat opini dunia. Dan otakku boleh kalian satai pada sangkur, tetapi sedikit banyak saya sudah kenaI mental amok kaum Inlander di sini. Saya berani bertaruh: mereka di pihak Republik sana pun banyak yang akan senang, seandainya Si Syahrir itu kau habisi riwayatnya. Sayang, sungguh sayang. Memang sering kendali sejarah ditentukan oleh orang-orang tolol seperti kau. Ya, ya, sebetulnya bukan menteri atau jenderal yang seharusnya mengatur sejarah, tetapi kopral-kopral. Hidup kita akan lebih sederhana jalannya." "Sederhana untuk kaum bandit seperti kau, maksudmu?" Me- ledaklah tawanya, seperti sebaterai mortir. "Hahahaaaaaa ………………… kaukira, sekarang kau belum bandit?" "Kau terlalu banyak minum." Dan langsung botol jenewernya kutuangkan pada lidah dan kerongkonganku. ¹⁾ Panglima Besar KNIL, yang diangkat Sekutu menjadi panglima tertinggi seluruh Angkatan Darat Sekutu di Indonesia melawanJepang, 1941-1942. 47 7. Singa Mengerti Entahlah, Mayoor Verbruggen memang jenis jago berkelahi yang tidak dapat dibuat main-main. Akan tetapi aku merasa, bahwa ada semacam kebapaan padanya. Paling tidak terhadapku. Semula aku khawatir, bahwa kekecewaannya ditolak oleh Mamiku dulu akan terlampias pada diriku. Akan tetapi tidaklah begitu. Bahkan sebaliknya aku sendirilah yang harus kuprihatinkan. Petang itu aku dipanggil menghadapnya. Aku sudah siap-siap mendapat hukuman atau hajaran entah apa dari dia. . Sebab kuakui, hari-hari terakhir ini aku cuma berkelahi saja dengan rekan dan main tempeleng kepada bawahanku. Ada-ada saja yang membuatku naik pitam dan lupa disiplin. Tentara dalam keadaan perang tidak akan mengizinkan ketegangan-ketegangan terjadi di antara sesama anggota tentara, apa lagi perkelahian tanpa alasan. "Kau seperri. anak kecil," begitu Verbruggen mulai dengan pengadilan yang sudah kuharapkan. "Kau mema1ukan sekali untuk Tentara Kerajaan. Kita dalam keadaan kritis dan hari depan negeri ini tergantung pada berhasil tidaknya kita menguasai vakum kewibawaan di Hindia Belanda. Dan kau sekarang main Kenpeitai terhadap bawahan dan rekan-rekanmu. Saya berkuasa menurunkan pangkatmu jadi serdadu biasa, tetapi ingin mendengar dulu dari mulutmu sendiri, mengapa kau berbuat begitu. Kenapa, hei? Jawab." "Aku memang bersalah, Mayoor." "Soal bersalah itu semua orang sudah tahu, tidak perlu kau terangkan. Tetapi MENGAP A ... itulah yang hams kau sadari. "Barangkali karena kurang tidur aku lekas marah, Mayoor." "Tidak! Bukan itu. Saya tahu mengapa kau begitu. Kau dendam, karena ayahmu dibunuh Jepang bukan?" (Aku diam. Betul, apa yang dikatakan Mayoor Verbruggen). "Ayahmu masih hidup, dear Leo." Terperanjat seluruh tubuhku. Mataku membelalak seperrti kehilangan segala bahasa. Aku hanya melompong penuh pertanyaan. "Ya, kau hams berterimakasih kepada Tuhan. Ayahmu belum sempat terbunuh oleh Kenpeitai." "Kok tahu?" Mayoor Verbruggen mengambil salah satu map merah dari dalam bironya. "Ini Iaporan Iengkap dari Intel kami yang sudah menyelidiki semua penjara dan tempat-tempat tahanan bekas Kenpeitai. Para tahanan sudah lari atau dilarikan polisi Republik." "Lalu sekarang, Papiku di mana?" "Itu akan saya jawab nanti. Atau lebih tepat, bam diselidiki NEFIS. Tetapi terlebih dulu pertanyaan ini. Mengapa kau beber apa kali keluyuran ke jalan Kramat tanpa mendapat perintah operasi ke sana? Kau tahu apa itu artinya dalam kamus disiplin tentara?" (Aku Iebih bengong lagi. Begitu tajamkah mata-mata intel?) "NEFIS telah memberi rekomendasi kepadaku untuk menghabisi riwayatmu, karena kau didakwa selaku mata-mata untuk Republik, tahu? Ini soal serius, kelinci kecil. Ini sangat serius. Kitta dalam keadaan darurat perang. Dan seorang komandan yang selalu menyelesaikan segala unsur yang mungkin dapat menggagalkan rencanarencananya.Kebijaksanaan setiap komandan akan menyingkirkan segala kemungkinan rusaknya matarantai strategi dan taktik geraknya tanpa membiarkan dipergoki risiko. 48 Apa itu artinya, kau dapat menafsir sendiri." "Tetapi aku bukan mata-mata Republik." "Barangkali bukan, tetapi barangkali juga ya." "Tetapi aku jelas bukan yang diperkirakan NEFIS yang, sungguh aku tahu, masih serba hijau dan seumumnya orang-orang tolol. " "Kalau badan intelijen menaruh curiga, itu, harus kau ketahui, adalah tugas dan kewajibannya. Tetapi saya tidak akan memanjanglebarkan masalah ini. Pendek saja, saya masih mau memberi kesempatan padamu. Sebab saya tahu, bahwa kau menderita. Dan setiap lelaki yang menderita, persetan kau, mesti lari ke si wanita, nggak usah bohong. Dan di Kramat itu kau mencari perempuan, ayo, kutempeleng kalau bohong "Tidak! Tidak, Mayoor. Aku berani bersumpah." "Sumpah-sumpah segala. Omong kosong. Bukan intel KNIL yang hijau, tetapi kau sendiri, kelinci kecil. Jangan sok. Akuilah, bahwa .. , eh ... siapa namanya ... (ia membuka mapnya yang berwarna merah tadi dan mencari sesuatu dalam lembaran kertas laporan). Nanti dulu ... ya, Ratna Larasati puteri Tuan Antana, pembantu khusus perdana menteri Sutan Syahrir. Larasati bukan, nama pacarmu Alias Atik? Ya, jangan kira, NEFIS kita bukan sembarang intel. Mereka tahu sangat banyak." (Seperti terbelah oleh halilintar dadaku. Harus kuakui terengah-engah, memang mereka tahu banyak.) "Tetapi, Mayoor ... perkenankanlah aku menguraikan duduk perkaranya." "Saya tidak tertarik pada segala uraianmu, Anak Muda. Yang jelas ialah ini: Nona .... siapa tadi (ia melihat lagi ke dalam map tadi). La-ras-ati adalah salah seorang anggota sekretariat itu si perdana menteri amatir Sutan Syahrir. Dan rumahnya di Kramat VI, persis di dalam rumah yang sering kau kunjungi. Jadi .,. jadi apa, kelinci kecil? Jadi setiap orang yang normal dalam situasi perang pasti akan menaruh syak kepada siapa pun yang tanpa mendapat penntah keluyuran sendirian ke satu alamat yang ia rahasiakan." "Tetapi aku bukan orang Republik. Soalku dengan gadis itu hanyalah pribadi saja. Keluarga merekalah yang menolong kami dalam pendudukanJepang." (Mayoor Verbruggen tertawa keras sangat ironis.) "Hahaaaa, ini dia: Hanya kenalan biasa. Mana ada orang yang punya susu-susu montok kok kenalan biasa. Tentu montok pasti dada gadismu. Apalagi anunya ... lalu!" "Diam!" potongku "Kau di sini sebagai komandan militer. Bukan komandan urusan pribadi." "Hei, hei, tenang, tenang." (Tetapi aku terlanjur naik pitam.) "Kau boleh menembak aku sebagai mata-mata, tetapi memperolok-olok gadis satu ini kularang. Kularang!" "Tenang, tenang ... sudah .... " "Aku tidak rela kalau ... , Tetapi Verbruggen berganti berteriak 49 Dan gelas gelas jatuh dalam gempa pukulan kepalnya pada meja. “Diam ! Berdiri tegak kau kelinci, di muka komandan di medan perang!" Aku terkejut juga dan berdiri tegak dinas. "Dengar! Saya tidak butuh dongeng aneh-aneh. Faktalah yang penting bagi seorang militer. Dan fakta menunjukkan, bahwa sebagian para tahanan Kenpeltal, dan sangat mungkin sekali ayahmu juga, di bulan Mei tahun ini dipindahkan ke Sukamiskin di Bandung sana. Dan yang terpentlng, sangat mungkin sekali, ayahmu juga telah bergabung dengan gerombolan yang menamakan diri Tentara Keamanan Rakya itu. Sangat mungkin. Kami belum mendapat kepastian. Tetapi yang Jelas, kau harus berhati-hati, Sinyo. Seandainya kau lni anak saya ... (tiba-tiba ia terhenti dan berkata seolah-olah pada diri sendiri, lunak kebapaan) sudahlah, jangan dikorek-korek ... pendek kata: Leo, kepercayaanku padamu tidak berkurang hanya karena laporan-laporan dan nota dari pihak Intel. Tetapi kau harus hati-hati, anak muda! Hati-hati. Ini bukan perang biasa dengan lindungan hukum militer dan hukum intemasional segala. Ini bandit melawan bandit, tahu! Kalau ada apa-apa, bilang pada saya. Mari ambil botol jenewer dan dua gelas sloki di dalam almari itu. Saya ingin main catur. Tidak ada gunanya kita saling bersitegang." Dan diam kami main catur. Lebih untuk melupakan diri daripada main. Permainan sekak Mayoor Verbruggen sungguh cerdas. Belum ada sepuluh menit aku kehilangan kuda dan benteng. Dia hanya kehilangan kuda satu. Tetapi toh ia mulai mengorekorek lagi. "Cantik gadismu itu?" ia bertanya sambil mengajukan pion. Awas, keliru pasang, ratuku nanti terkena ster. Satu pion kuajukan untuk memberi si ratu jalan keluar. "Semua puteri Sala cantik," jawabku menghindar. "Termasuk Marice," gumamnya. Mataku melihat padanya, tetapi pandangannya asyik pada tokoh-tokoh caturnya. Hanya seolah-olah? Spontan pertanyaanku mendengung dalam benakku: Seandainya kau ini ayahku ... bagaimana? Awas, raadsheer ¹⁾ ia tempatkan di situ. Ah, ia mengincar ratuku. Okay, daripada menunggu dan terkurung. Ayo, keluarkan ratu. Ofensip sekarang. Mayoor Verbruggen mengangguk-angguk. Ada apa? Aku keliru pasang? Bersiasat apa bandit satu ini? Kuperiksa letak pasangan-pasanganku. Aman. Satu lagi pion ia ajukan. Mau apa dia? Aneh juga caranya ia bergerak. Ratuku kutempatkan dalam posisi yang lebih terlindung. Ia tersenyum. "Kalau kau masih ingin bertemu dengan gadismu itu," katanya tenang, tanpa melepaskan pandangan dari bidang catur, "saya tak berkeberatan." Kaget juga aku mendengar ucapan itu. Mengapa ia begitu memperhatikan Atik? Untuk menjebakku dalam perangkap dan mendapat kepastian tentang Papiku? Dan begitu membalas dendam rivalnya lama yang merebut Marice dari jangkauannya? ¹⁾ Ningrat penasihat. Dalam pennainan catur ditempatkan di samping raja atau ratu. 50 "Yang penting, kau harus belajar menghilangkan emosimu terhadap Jepang," kudengar Verbruggen seperti suara hati menggugat. "Tidak mungkin. Mereka telah membunuh Mamiku. Dan itu dugaan tentang Papi yang masih hidup, itu pun baru perkiraan." "Kau tahu pasti ibumu telah mati ?" "Ada saksinya." "Kau bicara sendiri dengan dia dan sudah mengecek segalanya. ''Belum. Tetapi ... " (tiba-tiba aku disambar oleh pikiran, bahwa mungkin) "Apa NEFIS tahu juga di mana Mami ada sekarang?" "Saya duga keledai-keledai NEFIS tidak tahu juga. Tetapi yang jelas bagi kita sekarang ialah: kepentingan Kerajaan tidak menghendaki prajurit yang emosional. Perang tidak bisa dimenangkan dengan emosi. Tetapi perhitungan yang dingin. Republik itu juga pasti akan hancur dengan sendirinya karena emosi mereka. Emosi bukan nakhoda. Paling-paling dinamit yang buta. Berhari-hari kau marah terhadap bawahan dan cekcok dengan rekan sesenjata. Hanya karena gadismu di pihak sana bukan?" "Tidak! Saya marah-marah karena mereka pengecut. Dan ada beberapa senjata yang hilang dan menurut dugaanku yang kuat, itu diserahkan kepada kaum pemberontak. Memang tidak pemah dapat dipercaya serdadu-serdadu Jawa kita. Saya minta pasukan Ambon saja. Mereka setia dan berdisiplin. Tetapi yangJawa-Jawa itu ... " "Ya, emosi lagi. OrangJawa itu punya kanker , emosi namanya. Tapi mereka serdadu. Kau perwira. Itu lain. Sudahlah! Saya bukan gurumu, bukan pendidikmu. Pokoknya, awas!" "Dia bukan tunanganku, bukan paearku, bukan adikku. Mengapa aku harus waspada bertemu dengan dia," tangkisku, sambil menggerakkan satu benteng yang masih tertinggal, tukar tempat dengan raja. "Kau bohong. Ster !" "Kurangajar," dia mengalihkan perhatianku tadi. Kuamankan ratuku. Tetapi posisinya sekarang malah berbahaya. Kukembalikan lagi. Satusatunya jalan hanya mencaplok kuda penyerangnya itu. Uah, sulit ini. Kalau kudanya kucaplok, kudaku yang terakhir amblas juga. "Korbankan kudamu itu," nasihatnya begitu kalem menjengkelkan. "Kalau tidak, posisimu lebih sulit lagi. Percayalah." "Sejak kapan nasihat musuh pantas diikuti?" tangkisku lagi. "Terserah. Asal tahu konsekuensinya." Betul juga dia. Tidak ada jalan lain kecuali mengorbankan kudaku terakhir. "Kalau perlu kau bisa minta surat perintah dariku, untuk bertemu dengan ... siapa namanya dia?" 51 "Ah, Atik lagi." Rupa-rupanya ia merasa aku tak senang bila Atik dibicarakan terus. "Jangan salah mengerti atau salah tafsir dan curiga macam-macam, Saya cukup manusia untuk mengerti, bahwa seorang muda membutuhkan sahabat puteri." "Kok Mayoor begitu getol mengurus gadisku? Ada minat?" Tetapi segera aku menyesal atas pertanyaanku yang jelas bernada sinis itu. Untung Sang Mayoor masih cukup punya persediaan humor dan ia tertawa, sambil menggerakkan pionnya untuk mencaplok kudaku yang tinggal satu. "Kalau kau curiga, silakan. Tapi kalau kau mau saya lindungi, silakan pakai kesempatan. Apa tidak boleh, sesekali orang itu baik hati? Sekak!" Orang ini bandit tulen atau setan yang memihak pada Tuhan Allah? Pikiranku sedikit jengkel sedikit gembira atas uluran tanganya yang aneh, yang bisa berbahaya, tapi barangkali toh jujur juga. Aku pun bandit sebenamya, tetapi tak merasa orang jahat. Mengapa pula la harus kuanggap jahat? Raja kupindahkan. Defenslp pas-pasan memang, tetapi tidak ada jalan lain. Rupa-rupanya aku akan kalah. Sulit bertanding tanpa kuda dan satu benteng hilang. Seperti kaum Republik itu. Gila mereka itu, perang melawan pihak yang keluar dari Perang Dunia sebagai pemenang. "Kau sudah kalah." ''Belum.'' "Mau apa dengan posisi begitu buruk? Sudah, kau kalah." ''Belum.'' "Coba, mau bergerak bagaimana." ''Paling sedikit masih bisa kucari remis." "Ah, remis! Main remis hanya untuk kakek-kakek yang tidak lucu." Seorang sersan mayoor PHB ¹⁾ melapor. Ada telpon dari Kolonel van Langen.²⁾ “Apa dia tidak bisa main catur dengan Spoor?" tanyanya jengkel pada sersan mayoor PHB yang ekstra pasang tampang yang tolol. "Ada apa lagi ini!" Agak ogah-ogahan ia pergi ke kamar PHB. Jenewer ini sungguh sedap kemranyas. Nikmat kusisip sloki yang ke berapa entah. Verbruggen ini orang baik. Aku merasa itu. Tidak. Ia tidak bermaksud membuat jebakan. Tetapi aku sungguh gusar, bahwa Atik sudah masuk dalam laporan NEFIS. Jadi kami sudah saling jadi lawan serius sekarang. Aku NICA dan dia se- kretaris, kabinet impian kaum Republik. Pahit, ya pahit memang selamanya yang harus kutelan. Apakah NEFIS sudah tabu juga, bahwa Mami menjadi gundik Jepang? Bahkan barangkali Verbruggen juga sudah tahu? Belum. Kentara kalau ia sudah tahu. Jangan sampai ia tahu. Akan remuk jiwanya, dan ia menjadi bandit sungguh-sungguh. ¹⁾ Perhubungan. ²⁾ Panglima operasional Belanda ke ibukota RI Yogyakarta 1948. 52 Begitu pun Papi, kalau benar ia masih hidup. Akan hancur kedua-duanya. Dan kau, Leo? Barangkali Verbruggen toh benar. Aku merindukan Atik. Sudah lima kali ini aku ke Kramat dan masuk menyelinap melalui pintu dapur. Sesudah kunjungan yang kedua kali pintu dapur kukunci cermat. Tetapi surat Atik belum kujawab. Aku takut. Kunci masih terletak di dalam lubang dinding seperti dahulu. Seorang diri aku datang, dalam waktu istirahat bebas dinas. Untuk ketiga kalinya. Hanya untuk duduk-duduk saja di serambi belakang. Dan melamun. Sebab sesudah segala peristiwa yang menimpa diriku, aku semakin benci bertemu orang. Hanya dengan Mayoor Verbruggen aku masih dapat berdialog, sebab bagaimana pun, dengan mayoor petualang itu aku masih mempunyai ikatan intim dengan masa lampauku. Bangkai-bangkai burung-burung kesayangan Atik telah kuambil, kukubur dengan segala dedikasi. Kurungan-kurungan telah kubersihkan. Dan sayu aku teringat, betapa sayang si Atik kepada burung-burungnya. Beberapa kursi kulihat telah hilang. Barangkali diambil pencuri? Tetapi ruparupanya mereka tidak berhasil atau keburu waktu mendobrak pintu-pintu kuna yang amat kuat itu. Ada alasan baru aku mendatangi rumah ini, begitu pikirku gembira. Demi keamanan milik keluarga yang selalu baik kepada keluargaku. Tetapi sinting juga, seorang perwira KNIL mengurung diri seperri biarawan dalam rumah yang kosong. Jangan-jangan aku ditembak Intel Belanda atau tertusuk oleh teroris. Tetapi suasana rumah ini benar-benar merupakan kebutuhan untukku. Orang yang lari dari dunia yang satu harus menemukan dunia yang baru untuk bisa bertahan diri. Rumah keluarga Antana ini merupakan bentengku yang terakhir. Aku sudah tak punya siapa pun. Dan walaupun Atik memihak kaum pemberontak, aku tak akan menyalahkan dia. Suatu ketika Atik akan mengakui, bahwa akulah pihak yang benar. Barangkali kata benar terlalu sok. Tetapi paling tidak, pendasaran sikapkulah yang paling rasional. Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang seperti buah durian yang jatuh karena sudah matang. Aku sedikit terhibur dengan "biara" yang kutemukan ini. Yang terakhir kali, ketika pada suatu pagi aku datang lagi di rumah Atik dan mau mengambil anak-kunci dalam lubang dinding seperri biasanya, anak-kunci sudah tidak ada. Apa ada yang mengintip dan tahu letak kunci itu? Dari balik jendela kudengar di dalam kamar ada bunyi apa entahlah. Pelan-pelan aku menuju pintu dapur. Ternyata sudah terbuka. Berhati-hati dengan pistolku siaga aku masuk kamar dapur. Dapur kosong. Tetapi pintu gang tengah dari serambi kamar makan ke dalam sudah terbuka. Bunyi-bunyi dalam kamar berhenti. 53 Sepatuku toh membuat pencuri itu waspada. Aku bertekad menunggu dan diam. Sampai tiga menit tak ada bunyi satu pun yang terdengar. Tetapi lihat, kesabaranku berhasil. Pintu kamar tidur dibuka dari dalam pelan-pelan. Tangan perempuan. "Atik!" teriakku gembira. Tetapi Atik jatuh pingsan terkulai saking terkejutnya. Aku sangat menyesal akan sikapku yang ceroboh. Tentu saja ia pingsan. Seorang gadis sendirian dipergoki oleh serdadu. Kubaringkan ia dida1am sofa di serambi makan, karena di dalam kamar tidur semua gelap. Kuangkat dadanya, menjamin pernafasannya. Kubisikkan dalam telinganya: ''Atik! Atik! Jangan takut. Aku Teto." Tiba-tiba ia tertegun kaget dan refleks mau lari. Kudekap dia. "Aku Teto. Aku Teto. Atik!" Bagaimana pun aku salah. Sebab pastilah Atik sangat terkejut melihat seragam NICA-ku. Wajahnya seperti patung marmer. Pucat mukanya dan matanya menyinarkan ketakutan. Kata pertama yang keluar ialah: "Teto! Teto!" Lalu menangislah Atik. Pada saat itu aku bimbang untuk pertama kali. Pada saat itu aku takut kehilangan seorang lagi. Pada saat itu aku tidak ingin dilahirkan dan malu. Begitu kuasakah gadis untuk menggoncangkan suatu keyakinan lelaki yang kuat? Atik menangis, tetapi ia membiarkan aku mengusap air-matanya. Ia tampak kurus dan karenanya matanya tampak lebih besar. Betapa lahap mesra Atik kudekap dan kucium. Bukan karena asmara, tetapi justru karena dalam saat-saat seperti ketika itu orang merasakan naluri ingin melindungi, ingin melimpahkan segala yang baik kepada seorang adik. Aku tak pernah punya adik dan barulah kuakui, betapa sudah lama aku merasakan kekosongan sebagai seorang anak tunggal yang tidak pernah memperoleh kesempatan untuk bertanggungjawab terhadap seorang yang lebih muda. Tetapi inikah caraku bertanggung-jawab? Wajah Atik pucat terasa menggugat. Masih kurasakan tatapan manik matanya yang hitam dan putih mata yang tampak bernoda urat-urat kecil. Tetapi manik mata itu seperti sepasang lubang pistol. Atik bukan tipe sekejam pembunuh. Tetapi tafsiran-tafsiran kesehari-harianku sebagai serdadu yang selalu bergumul dalam suasana teror Jakarta yang penuh gugatan pada saat itulah yang membuatku lebih merasa terancam. Semua yang gila ini tidak mungkin terjadi seandainya kaum teroris Republik tidak edan membangkang menyerang. Jiwaku serba panik ditatap dua manik mata hitam itu yang mengancam. Kelak aku baru sadar, bahwa Atik tidak pernah mengancam. Tak sewatak dengan gadis seriang itu mengancam seorang sahabat. Tetapi memang aku merasa terancam. Aku panik takut kehilangan Atik. Dan aku minta ampun. Kurebahkan mukaku di dalam pangkuannya dan aku berteriak: "Bunuh saja aku!" Gila, tentulah gila omong kosong seperti itu. Siapa akan berpikir serambut pun, Atik membunuh orang. Serdadu bersenjata lengkap lagi. 54 Tetapi benarlah apa yang kurasakan. Memang rasaku ketika itu ingin saja dibunuh. Dibunuh oleh lubang kekosongan dalam dua laras pistol mata yang diarahkan kepadaku itu. Mati! Mati saja! Baru sekian bulan sesudah itu aku diterangi pikiran tentang kemungkinan, ya mungkin, bahkan jelas sebetulnya, lubang hitam itu bukan lubang laras yang berisi peluru pembunuh, seperti yang terbayang dalam benak jago kelahi yang tahunya hanya bahasa membunuh atau dibunuh. Bukan sepasang hitam lubang pistol kedua mata Atik itu, melainkan sepasang hitam putik payudara yang menawarkan kehidupan bagi si bayi. Sebab benar-benar bayi aku pada saat itu. Menangis memohon hidup. Memohon perempuan. Perempuan bukan dalam arti yang dinikmati, tetapi perempuan yang merupakan syarat mutlak agar aku hidup. Dalam malam-malam menganggur dalam kamar tangsiku yang penuh gambar-gambar cabul, justru gagasan aneh semacam tadi timbul. Aku butuh Atikku agar aku hidup terus. Tetapi gadis itu ada di pihak musuhku dan harus kuhitung sebagai musuh. Dan semakin menjadi-jadi benciku kepada orangorang Republik itu, yang merenggut satu-satunya harapan dan tumpuan jiwaku yang merana ini. Seolah-olah separuh paru-paru harus kuberikan kepada teroris-teroris, hanya untuk dijadikan keripik paru-paru makanan kesukaan mereka. Siapa tidak akan mengamuk! Dan aku mengamuk memang. Atik kuteriaki yang bukan-bukan. Aku sudah lupa, kekasaran apa yang sudah kusemburkan di wajah yang pucat lesu itu. Tetapi aku kalah. Wajah itu ternyata lebih kuat daripada granat-granat lemparan mulutku yang gila. Wajah itu seperti panser titanium yang tahan peluru apa pun. Dan aku menangis. Untuk kedua kalinya dalam masa awal kedewasaanku, sejak petang dalam taman itu, ketika Bu Antana mewartakan hal-ihwal Mamiku yang malang. Mamiku yang dirusak Jepang. Atikku yang dijerat Republik. Pastilah Atik telah menyeka rambutku, pastilah ia telah mengucapkan kata-kata hiburan, tetapi saat itu aku tidak mendengar apa-apa. Rasanya aku dijerumuskan ke dalam jurang oleh mereka yang paling kucintai dan aku ditertawakan. Aku hanya minta ampun. Aku, lelaki KNIL yang sekasar dan sehebat itu di muka kompiku, aku tidak tahan merasakan penderitaan ditinggal oleh seorang ibu dan seorang adik perempuan. Keduanya kaum yang rapuh, tetapi entah begitu kuasa justru mereka itu karena kerapuhan mereka. Aku teringat Mayoor Verbruggen, yang pernah berantakan mengalami penderitaan kekasih diambil orang lain. Sampai ia jadi bajingan, menurut katanya sendiri. Apakah aku akan menerima balasan Karma dan menjadi bajingan juga? Ketika itu aku ingin mempertahankan yang masih dapat kupertahankan. Dan aku hanya bisa berbuat sesuatu yang aku tahu, menjijikkan perempuan: menangis. Wanita tidak suka melihat lelaki menangis. Menangis adalah hak kaum wanita. Lelaki harus memaki-maki, mengumpat-umpat bila ia sedih. Atau diam ningrat. 55 Atau meledakkan dunia ini dengan bom atom. Tetapi tidak menangis. Dan justru itulah yang kulakukan. Sungguh kesalahan besar. Indo yang kuwarisi dari Mami tidak konsekuen, tidak mungkin konsekuen, justru karena keindoan tidak bisa diperhitungkan. Tetapi saat itu aku tidak berpikir macammacam selain ingin memiliki Atik. Kelak aku baru tahu, bahwa memiliki saat itu hanya berarti ingin memperkosa Atik agar dimasuki oleh duniaku, oleh gambaran hidupku. Tanpa bertanya apa dia mau atau tidak. Dan sesudah sadar, bahwa itu tidak mungkin, kudobraki duniaku, dan aku hanya bisa menangis. Memang aku masih terlalu muda, terlalu kurang kenal dunia sekelilingku. Atik jelas bukan adik. Ia praktis pengganti Mamiku. Dan di dalam pangkuan pengganti Mamiku itu aku menangis, tolol dan menjijikkan. Aku memang merasa malu, sebab sikap lelaki begitu itu nyaris berwarna cabul. Tapi apa yang dapat kukerjakan? Biar! Kepada siapa pun aku akan malu. Tetapi kepada Atik aku sanggup telanjang dan ditelanjangi. Sebab kalau orang tidak sanggup itu, pada satu orang saja secara mutlak bugil, tak akan pernahlah orang bisa punya pegangan. Terhadap Atik aku ikhlas malu dan dipermalukan. Tetapi kambuhlah segera harga diriku sebagai jago kelahi KNIL. Dan aku penasaran. Sungguh, aku tidak tahu apa yang dikatakan Atik ketika itu. Goblog, totol, seharusnya aku mendengarkan dia. Tetapi untuk itu ternyata aku terlalu egois. Dan aku meloncat. Aku penasaran, Thompsonku kulemparkan pada tembok. Pistolku kulemparkan pada pintu dan aku lari. Dengan alasan apa aku pun tidak tahu jelas. Lari menuju ke jipku. Tak bersenjata lagi, kunyalakan mesin yang bersamaku menggeram serba panik dan aku lari. Enam puluh, delapan puluh, sembilan puluh ... seperti orang gila mencari negeri gila. Penjaga markas sampai terjatuh semak ketika ia terpaksa meloncat ke semak pagar menghindari jipku yang dol menyambar tiang bendera. aku seperti tak siuman menelungkupkan diri pada stir jip dan diam. Aneh rasanya ketika mesin jip itu sudah tidak berdesing. Kudengar suara Verbruggen: "mari." Dan aku diseret olehnya. Terhuyung-huyung aku diterkam oleh tangan-tangan besi sedadu-serdadu dan direbahkan dalam veldbed. Mataku sepetti jaring tekstil, cuma dapat memandang ke plafond seng-berpola garis jarang yang catnya sudah rontok itu. Sepuluh menit? Setengah jam? Aku tidak tahu. Aku hanya melihat sosok tubuh besar kekar si mayoor itu di samping veldbedku dan yang memandangku dari atas. Mengerikan bajingan besar itu kalau dilihat dari bawah. Sepetti setiap saat ia tinggal mengangkat kakinya satu san jlog, sepatu itu menjebol perutku. Tetapi ia hanya bertanya: "Nah, ada apa?" 56 Tiba-tiba aku terkena panik lagi. Mengapa aku tadi gila melemparkan senjatasenjataku pada dinding? Bagaimana kalau dua senjata itu jatuh ke tangan tetoris? Semakin sadarlah, bahwa aku sudah tidak waras. Ketetangan apa yang harus keberikan kepada Verbruggen? Sebab memberi kesempatan kepada musuh memperoleh senjata jelaslah penghianatan militer yang tidak dapat diampuni. Mengapa kulempar senjata itu? Sentimentalitas anak puber? Emosi anak yang serba takut dan lari tunggang-langgang dari kuburan yang disangka menjulurkan jari-jarinya untuk menangkapnya? Spontan gejolak melonjak ingin Membuktikan : Aku tak salah: Aku tak salah! Jangan aku ditangkap ! Aku harus bohong. Tetapi Verbruggen diam dan suara tik-klitik gelas kudengar di mejanya. Sejurus kemudian ia sudah di sampingku lagi. Aku ditarik dengan keras untuk duduk. Ia mengambil gelas wiski dan menyodorkan padaku. "Minum!" Kata itu seperti komando yang spontan dijawab dengan jiwa serdaduku. Kuminum. Hangat kemranyas rasanya di mulut dan perut dan sekujur badan. Dan mulailah tumbuh lagi kesegaranku dan juga akal sehatku. Tetapi Verbruggen tidak pemah menanyakan senjata itu. Barangkali dia juga tidak tahu dan tidak mengurus soal tetek -bengek yang pada perhitungannya juga tidak akan dilakukan oleh seorang letnan kelahi yang benci pada Republik itu. Dan aku cukup kuasa untuk memerintahkan pengambilan senjata baru dari gudang. Tetapi kebengisanku sebagai KNIL menjadi-jadi. Rasanya semua yang ada hubungannya dengan Republik, alias perampok yang merampas Atik, harus kubinasakan. Hanya disiplin militer dan instruksi-instruksi dari pimpinan tinggi Inggris yang menjengkelkan itu masih menahan kegilaanku menjawab teror dengan teror yang entah lebih teror lagi. Tetapi dalam malam-malam yang menganggur, atau pada siang hari bolong, di terik panas jam 2.00 siang, kalau semua sedang lesu tidur-tiduran sambil mandi keringat (aku biasanya tiduran di bawah pohon jambu monyet di belakang), kucoba memberi rasio atau lebih tepat hiburan diri (hiburan pengecut, aku tahu), bahwa senjata yang kulemparkan itu mudah-mudahan oleh Atik ditafsir selaku pemberian konsesi kepada kegandrungannya pada Republik itu, dan begitu mudah-mudahan aku masih tetap diterima sebagai sahabat Atik. Kendati sahabat yang tidak masuk akal. Bersahabat dengan Atik, jelas. Tidak dengan Republik. Namun tetap tak enak juga nuraniku. Bagaimana kalau itu jatuh di tangan pengacau-pengacau sana? Apa boleh buat. Silakan. Asal Atik sedikit gembira karenanya. Naif, tolol memang pikiran semacam itu. Dan sangat tidak bertanggung-jawab dan pengecut. Tetapi setiap orang berhak sesekali menjadi pengecut, kalau itu menyangkut perasaan yang dalam. Perasaan dalam? 57 8. Banteng-banteng Muncul Tahun 1946 bagiku serba simpang-siur dan aku sendiri sudah tidak tahu lagi harus berpikir apa. Patroli rutin semakin membosankan, karena terus-terang saja, kami orang-orang tentara tidak paham soal diplomasi dan segala kemunafikan kaum diplomat, sehingga merasa dijadikan bulan-bulanan. Jenderal Spoor jelas mengarah ke suatu penyerangan total. Kami tahu, tekun dia sedang mempersiapkan operasi tidak kecil-kecilan. Tetapi dari pihak lain van Mook sudah sama-sarna minum teh dengan kue-kue dengan si penghasut Soekarno. Ya, tentu saja orang-orang Inggris biangkeladinya. Tentu saja, seperti yang kami dengar, Spoor dan Pinkel ¹⁾ dengan sendirinya naik pitam. Apa lagi kami. Ini mau ke mana? Verbruggen semakin diam dan jenewernya semakin banyak yang habis. Dalam saat-saat kepalanya sedang dibakar jenewer itu dan lidahnya semakin kendor, ia sering berbicara serba berbahaya. Apa lagi sesudah datang berita koran tentang persetujuan pemerintah India dengan kaum Republik mengenai pembelian beras setengah juta ton oleh kaum Gandhi itu demi penanggulangan bahaya kelaparan di sana. Dalam saat-saat itu ia selalu menuding-nuding aku, mengulang-ulang lagi lagu lamanya: "Kan sudah saya bilang. Mengapa Syahrir itu dulu tidak kau tembak, hah? Menembak Soekarno susah, karena menimbulkan reaksi hebat dari kaum ekstremis. Tetapi menembak Syahrir sebetulnya gampang. Orang Republik pun sebetulnya akan senang kalau Syahrir pergi." Dan aku-aku lagi yang dipersalahkan. Dan setiap kali ia mengucapkan nama Syahrir, selalu juga tidak bisa lain, aku melihat lagi sang sekretaris muda sederhana, Larasati. Lalu seluruh jerohanku muak karena sampai sekarang belum lagi jelas, di mana Papiku ada; masihkah ia hidup atau sudah hilang? Dan Mami? Verbruggen tidak pernah mengatakannya padaku, dia pasti malu, tetapi aku tahu dari beberapa orang dari NEFIS, bahwa ia telah menjanjikan bayaran 1.000 gulden bagi mereka yang dapat mengatakan dengan bukti, di mana bekas kekasihnya, Mamiku, dapat ditemukan. Biar berpangkat mayoor, aku tahu ia jelas tidak punya 1.000 gulden. Tetapi bajingan selalu saja punya akal memperoleh 1.000 gulden. Pernah aku pura-pura bodoh dan bertanya, apa barangkali ia dengan pangkat dan pengaruhnya dapat memberi instruksi kepada NEFIS untuk mencari Mami. Reaksinya sangat keras dan serba menghina: "Verdomme, kamu masih mau menetek, kok cari simbok?" Sejak itu aku mencari jalan-jalanku sendiri, tetapi dengan harapan terpendam, semoga Verbruggen berhasil. Biasanya bajingan lebih berhasil. Suatu siang aku tidak bisa makan. Soalnya ada peristiwa yang membuatku bingung. Seorang letnan dalam keadaan perang tidak boleh bingung, tetapi saat itu benar aku tidak tahu harus berbuat apa. Ketika itu aku kebetulan sedang di lapangan Kemayoran untuk membawa amplop warta-sandi dari Mayoor Verbruggen ke perwira syahbandar lapangan terbang Militaire Luchtvaart ²⁾ . ¹⁾ Nama Admiral Panglima Angkatan Laut Belanda waktu itu. ²⁾ Angkatan Udara Belanda. 58 Harus kuserahkan pribadi. Barangkali soal militer gawat? Tetapi barangkali juga Verbruggen masih mencari jejak Mamiku. Persetan. Di kantin aku mendengar para perwira angkatan udara 1nggris dan Belanda sedang hangat ramai membicarakan datangnya peristiwa yang akan menjadi hiburan di tengah rutin kelabu sehari-hari. Edan, sungguh edan! Yang menyebut diri komandan Angkatan Udara Republik sinting itu akan datang, ya terbang dengan pesawat-terbang yang benar-benar terbang, dan jam sekian-dan-sekian akan mendarat di Kemayoran. Ini sudah keterlaluan. Perwira-perwira Belanda sungguh kecut, tetapi perwira-perwira Inggris melihatnya cuma sebagai dagelan saja, yang welcome untuk mereka. Dan betul, kira-kira pada jam yang sudah ditentukan, bahkan agak terlalu pagi, kami lihat dari arah timur tiga bintik kecil. Seorang pilot 1nggris berteriak: "Zero ¹⁾ Uah, perang dunia meletus lagi!" Ada yang mengatakan: "1ni mainan sinting. Kalau dia tidak bisa mendarat yang benar, kami lagi yang harus mengumpulkan bangkai-bangkainya. Hei Uwhim! Dirreck! Musuhmu datang. Ayo tembak!" Dirk, si pilot Belanda dengan geramnya menggonggong: ''Betul? Kau mau tanggung-jawab? Akan kutembak amatir itu." Beberapa pilot Inggris mengejeknya. "Kalau nanti yang jatuh bahkan kau sendiri, aduh meek, malu di muka dunia internasional." Seorang lagi menyeletuk: "Hei, kau apa! Cuma pangkat letnan. Dia komodor. Tahu kau. Coba kalau dia datang, memandang pada kalian pun tidak sudi dia." Sahut yang tadi: "Ah, perang sudah selesai. Aku tak mau pulang ke udik Blackonshire. Menggali batubara? Ak:u akan mendaftarkan diri masuk Angkatan Udara Republik itu. Petualangan sedikit deh. Dan tahu kau (dan ia membuat isyarat suatu lubang dengan jari telunjuk dan ibu jarinya) delicious. Gadis-gadis Jawa cantikcantik. Tidak seperti di Holland, ya." Semua tertawa. Bintik-bintik tadi semakin membesar. "Heh! Ada gambar merah-putih di lambungnya. Pintar juga pribumi pribumi itu." "Hey Billy! Kau tadi bilang Zero. Ayo bertaruh tiga botol Scotch²⁾ itu jenis Kabayashi.” "Hey heyhoo! Hello Direk, sekarang tidak cuma ada Flying Dutchman³⁾, tetapi juga Flying Merdekamen!" Yang bernama Dirk hanya suram diam. Ketika pesawat itu mendarat, orang-orang 1nggris bertepuk-tangan. "Bagus, bagus pendaratannya. Halus. Kaum gentlemen mereka." Dengan tegang kuamati dari jauh ketiga pesawat itu, yang pelan-pelan satu per satu mendekat dan seperti riang bergoyang-goyang pada landasan yang tidak terlalu licin itu. Pesawat pesawat terbang Jepang model pemburu Kabayashi atau Zero bermesin satu sudah agak kuna menurut ukuran Sekutu, tetapi entah mengapa, sangat mempesona pilotpilot veteran Perang Dunia yang sudah punya beribu-ribu jam terbang dalam sekian operasi maut dalam pesawat-pesawat yang hiper modern. Pada saat itu aku terpukul oleh gugatan samar-samar. Orang-orang Republik ini lelaki-lelaki tulen. Ini orangorang yang merintis suatu hari depan. ¹⁾ Jenis pesawat pemburu Jepang dalam perang Dunia II ²⁾ Minuman kerns. ³⁾ Sebutan tersohor untuk kapal dagang VOC. 59 Sedangkan aku sedang sekarat di sini, di antara orang-orang yang sebetulnya bukan bangsaku, tetapi yang datang sebagai penonton atau bahkan tukang rampok. Dan ketika mereka turun dari pesawat, dengan shirt dan short yang sportif, lalu memberi salut kepada group-captain Lee dari R.A.P ¹⁾, komandan lapangan udara, tersenyum penuh harga-diri serta beromong dalam bahasa Inggris, aku tahu, ini bukan teroris. Ini kaumgentlemen. Pilot-pilot Inggris pun diam melihat dua orang ²⁾yang dalam koran-koran disebut panglima Angkatan Udara Republik beserta mayorjenderal Republik ³⁾ yang akan mengungsikan pasukan-pasukan ]epang. Dan seanak panah kilat meradak dalam kalbu. ]angan! ]angan Papi ada dalam barisan mereka. Kalau Papi ikut mereka, sedang Atik sudah jelas di pihak mereka, apa lagi seandainya Mami ternyata sudah di Mangkunegaran lagi, aku benar-benar akan terkutuk. Tetapi kesimpulanku pada pagi hari di lapangan terbang itu semakin kokoh: Kepada Atik, kepada Papi dan Mami, seandainya mereka di pihak sana, aku akan membuktikan, bahwa aku di pihak benar, di pihak anti Jepang, di pihak Sekutu yang jaya memenangkan perang melawan fasis. Siang hari itu juga, ketika aku masuk markas besar Inggris, hatiku hampir mdedak melihat suatu peleton kaum Republik yang gagah-gagah berbaris sigap dan rapi di muka markas tentara Sekutu. ]elaslah itu suatu show besar, dan memang mereka pandai main show. Pakaian mereka drill khaki baru buatan pabrik yang memang kurang berkualitas dibanding seragam kami, tetapi yang menyolok ialah bentuk seragam mereka yang samasekali bukan bergaya ]epang seperti yang kami kenal. Celananya panjang dan bermodel Sekutu, pakai saku-saku besar di paha dan betis. Sepatu model separuh lars yang memberi kesan orang-orang itu lebih tinggi. Dan memang yang dipilih adalah pemuda-pemuda yang tegap-tegap berbadan tinggi. ]elas dipilih, sebab ukuran rata-rata orang Inlander tidak seperti mereka itu. Dan picinya! Gila! Gayanya! Aksi! Boleh deh, menjiplak Hollywood, tetapi jelas juga bukan model ]epang. Senjatanya mengkilat, semua machine-pistool ⁴⁾ bekas KNIL punya sebelum perang dunia II, bikinan Belgia. Tampak masih baru, seperti belum pernah dipakai. Dan disiplinnya, gila, hanya itulah saja sisa ]epangnya yang kelihatan. Tetapi dibanding dengan tentara Inlander KNIL yang santai dan gontai bergentayangan, bahkan ada yang duduk-duduk memalukan seperti jongos di muka markas itu, kelihatan sekali perbedaan yang membuat jiwaku lebih mendidih. Jelaslah sikap KNIL-KNIL itu kuli Inlander. Tetapi peleton pengawal oknum yang menyebut diri jenderal Sudirman itu, mereka jelas, jujur saja, bukan Inlander. Mereka tegap dan sangat muda penuh harga diri. Wajah-wajah mereka mendongak ke atas dan tampaklah bersinar pancaran mata. Fanatik, tetapi muda. Ya muda. Ini tentara yang priyayi sebetulnya, ningrat; dan harus diakui oleh watakku yang jujur, sulit disesuaikan dengan gambaran-gambaran populer: kaum teroris. ¹⁾ Royal Air Force, Angkatan Udara Inggris. ²⁾ Komodor Udara AURI Suryadarma dan Adisucipto. ³⁾ Mayor Jendral Sudibyo dari Staf Umum TRI. ⁴⁾ Senjata ringan otomatik 60 Memang perwira-perwira delegasi evakuasi RAPWI ¹⁾ pihak sana persis ]epang, kecuali picinya yang selalu miring, tetapi pasukan pengawal ini bergaya intemasional. Ya, pici yang sangat miring dan yang tampaknya selalu nyaris jatuh itu; di situlah aku melihat untuk pertama kali suatu elan, suatu jiwa yang diam halus tetapi tajam mengejek kami kaum KNIL, bangsat-bangsat bayaran yang sungguh-sungguh kampungan. Ketika aku lewat dan masuk ke ruangan departemen yang kutuju, aku melihat beberapa dari mereka sedang omong-omong dan bercanda dengan perwira-perwira Inggris. Tak banyak mereka mampu omong Inggris, tetapi mereka membawa penerjemah, kurang-ajar kuli-kuli ini, dan mereka bercanda, ya ... ketika itu kebetulan Jenderal Christison sedang keluar dati ruang kerjanya dan di gang ia bercanda dengan kunyuk-kunyuk lulusan Jepang itu. Mereka omong dan tertawa. Seolah-olah mereka sederajat dengan seorang jenderal Sekutu yang jaya. Aku berkecak pinggang dan tidak dapat menahan amarahku. Terutama kepada si Inggris itu, yang jelas, jelas berkhianat kepada kawan seperjuangan dalam Perang Dunia II. Aku berkecak pinggang. Seperti jenderal itu. Ada perwira Republik yang kebetulan memandang ke arahku. Kukira mataku ketika itu bersinar penuh kebencian. Ia harus menangkap pijar-pijar kebencianku. Tetapi ia hanya mengangkat tangan salam, santai seperti kepada sahabat lama dan tersenyum penuh harga-diri. Petang itu aku sendirian saja, sebab ada briefing dari komandan divisi di markas besar. Baru sesudah malam larut kudengar Mayoor Verbruggen datang. Jelas ada soal gawat. Paginya pada makan pagi, Verbruggen bercerita pada rekan-rekan komandan sebatalyon dengan dingin, tetapi jelas penuh kemasygulan, bahwa yang menamakan diri Jenderal Sudirman tidak mau dilucuti senjatanya dan bahwa dengan demikian suatu preseden sudah terjadi, yakni bahwa di muka mata dunia dan blak-blakan di dalam daerah kekuasaan NlCA dan Sekutu, seorang petualang yang mengangkat dirinya jadi jenderal suatu Republik liar telah diperkenankan oleh pimpinan Inggris untuk mempertahankan segala atribut dan kewibawaannya. lni berarti Inggris terang-terangan mengakui RI terlalu jauh. Seorang perwira menyeletuk, bahwa keadaan memalukan seperti ini hams disikat habis-habisan. Apalagi kaum pemberontak tidak punya angkatan udara, kecuali pesawat bekas Jepang yang sudah kuna itu. Verbruggen hanya berkomentar, bahwa soalnya ialah: menyerang Republik artinya menyerang Inggris dan menyerang Sekutu. Dan dengan mengunyah rotinya dengan geraham perseginya ia bercerita, bahwa Inggris akan menyerahkan semua evakuasi Angkatan Darat Jepang serta orang-orang Belanda dan Indo yang dulu ditawan Jepang di tangan gerombolan-gerombolan teroris itu. Artinya: tentara liar itu diakui de facto sejajar dengan Sekutu. Seorang kapten dengan geram mengatakan, bahwa itu pengkhianatan. Tetapi tenang Verbruggen mengatakan, bahwa "untuk saat ini, yang paling penting ialah, para wanita dan anakanak kita harus dievakuasi selamat, dengan jalan apapun, halal atau tidak halal". ¹⁾ Relief of Allied Prisoners of War and Internees (Badan Pembebasan tawanan perang Sekutu dan yang tertawan lainnya). 61 9. Elang-elang Menyerang Suatu pagi dini Desember, yang tanggalnya hanya diingat para tua, 19 Desember kata mereka, di tengah wilayah damai yang serba mempersiapkan diri menyambut kedatangan musim hujan, seolah linglung sendiri, pada jalan aspalan yang sejak jaman Jepang sudah penuh lubang mirip sungai terlalai, merangkaklah sebuah mobil merk de Soto (nama merk mobil yang mudah diingat-ingat oleh penduduk) berwarna coklat-hijau berloreng, mencari jalan relatip paling nyaman; dengan iringan debu berwarna alumunium yang elok sebetulnya dari kejauhan. Mobil itu seperti serangga ampal yang berjalan mencari jodohnya ke kiri ke kanan, seperti gelisah karena birahi. Pak Trunya beristirahat sebentar dari mencangkul. Batang pemegang bajaknya, celaka segori, patah entah disebabkan apa tadi. Karena tidak mau kehilangan waktu, dengan agak menggerutu ia terpaksa mencangkul saja. Hujan pertama sudah datang, jadi cepat-cepat ia harus siap pada waktunya. Begini pagi sudah ada mobil! Sebentar lagi Pak Trunya dipaksa menoleh dan menengadah, sebab ada suara pesawat yang meraung dari arah utara. Dan entah bagaimana mulanya, tahu-tahu pesawat itu begitu cepat sudah dekat, lhaillah menukik dan luarbiasa kejutan jantung Pak Trunya. Ada serentetan tembakan seperti meriam selosin menderu dan dalam sekejap mata mobil itu terbakar. Terpaku tak mampu apa-apa Pak Trunya hanya berdiri bengong saja. Tetapi setelah pesawat itu menjauh, akal sehat Pak Trunya melongok lagi dan berteriaklah ia minta tolong dan berlari ke mobil. Seorang rekannya, yang juga sedang membajak di petak sawah sebelahnya ikut berlari menuju mobil di jalan. Sebab, mereka melihat seorang gadis kira-kira seumur anak Pak Trunya sendiri yang baru saja melahirkan bayi, sedang menarik-narik seorang lelaki yang lebih tua dan rupa-rupanya sudah pingsan. Dengan sebisa-bisa mereka, lelaki tua itu diselamatkan dari tungku besi yang sedang terbakar itu, dan digotong sampai ke tepi jalan. Sekonyong-konyong suara pesawat terbang itu menderu mendekat lagi. Kedua petani itu spontan seperti tersepak jin lari tunggang-langgang dan melompat ke dalam selokan sehingga basah kuyup. Tetapi gadis itu hanya membaringi lelaki itu dan menangis tersedu-sedu. Serentetan berondongan menghalilintar membuat jantung kedua petani itu nyaris berhenti. “nyuwun pangapunten Gusi ¹⁾," nyuwun pangapunten Gusti, nyuwun pangapunten Gusti," hanya itulah yang dapat mereka ucapkan. Tetapi ketika tembakan-tembakan itu menyambar di sekitar mereka, doa-doa berhenti dan hanya setengah sadar mereka menggelimpangkan diri di dalam lumpur. Lama mereka bagaikan mayat di situ. Setelah lama sekali ditunggu dan tidak datang hantu bercocor merah tadi, mereka menongolkan kepala-kepala mereka. Mobil terbakar dengan api yang sangat panas. ¹⁾ Mohon ampun, ya Tuhan 62 Gadis itu masih terkulai bersama lelaki itu di tepi selokan. Setelah menengadah ke segala arah tanpa melihat bayangan maut di udara fajar yang mulai pudar merahnya, mereka merangkak mendekati dua sosok tubuh malang itu. Si gadis masih hangat tubuhnya, juga si lelaki. Sekencang-kencangnya salah satu yang lebih muda berlari ke desa untuk minta bantuan. Yang tua, Pak Trunya menunggui kedua insan itu. Ya Allah ada apa tadi? Memang sudah tiga tahun lebih merdeka, artinya keadaan serba kacau; dan kata para pemuda dan pemimpin-pemimpin yang bertekat menghadang-hadangi Belanda masuk, belum pernah terjadi seperti ini. Bahkan di jaman Jepang pun yang kata orang itu Bharatayuda besar-besaran di seluruh dunia, yaillah, bagaimana rupanya Pak Kerta juga tidak bisa menggambarkan, di jaman Jepang pun belum pernah terjadi seperti ini. ltu tadi barangkali alap-alap¹⁾ Belanda. Dengan mata membelalak Pak Trunya memandang ke api merah-hitam yang bergejolak liar dari mobil yang terbakar itu. Sungguh mengherankan, besi kok bisa terbakar. Bukan main senjata Belanda itu! Terns terang saja dalam hati Pak Trunya tidak berkeberatan Belanda datang lagi mengganti Jepang, asal ia dapat menanam padi dengan tenang dan anak-anaknya bisa berpakaian dan bersekolah. Indonesia merdeka juga boleh, walaupun seandainya boleh pilih, lubuk hati Pak Trunya memilih Belanda saja. Mereka orang-orang yang pandai dan walaupun sering kasar dan biadab, tetapi dapat diandalkan. Kalau ada pencuri padi atau sapi-kerbau hilang, si maling tengik mesti tertangkap; kalau ada pencuri sepeda, lalu resisir dan pelpolisi datang, tanggung sepeda itu pasti tertemu lagi. Entah di Sala atau Magelang, tetapi pasti pulang. Sekarang ini susah. Jaman merdeka ini sulit sekali. Dulu jelas: siapa lurah siapa asistenwedana dan pelpolisi atau tentara, jelaslah sudah. Di mana mereka tinggal, dapat atau tidak dapat minta tolong apa atau apa, selalulah dibereskan; asal tidak bohong dan ada buktibuktinya. Dan juga setiap orang tahu, siapa yang berkuasa dan tidak, di mana dan dalam hal apa. Omong-omong dengan pembesar-pembesar Belanda sebetulnya enak juga, asal tahu diri dan membongkok honnat; dapat omong seapa adanya; seperti kalau orang-orang tani omong dengan Cina-cina, entah pemilik toko emas dan kain atau mendring yang sering berkeliling bersepeda di desa-desa menawarkan pihutang. Tetapi sekarang ini bahkan anak-katak pun bergolok dan berbaris dengan bambu runcing. Seperti garong saja. Dan yang dulu asisten wedana, yah beliau ini apa kerjanya. Lalu setoran-setoran untuk dapur umum ah ... sebetulnya semua ikhlas saja (ini untuk anak-anakmu sendiri yang berjuang!), akan tetapi justru bikin repot saja beliau-beliau yang disebut "anak-anakmu" itu. Tidak tahu sopan-santun dan kerjanya cuma keluyuran saja membawa bedil, golok dan minta teh manis minta singkong, minta dilayani seperti ndoro-ndoro. Salah seorang anak Pak Trunya juga tergolong "pemuda anak-anakmu sendiri" itu. Sebetulnya Pak Trunya tidak tahu harus apa dengan dia itu. Ayahnya dan abang-sulungnya disuruh mencangkul dan mencangkul, membajak dan macam-macam kerja ini-itu. Capai, benar capai menyambung hidup. Tetapi bagaimana sang tuan Anak? Cuma enak-enak perintah ini menyuruh itu, Si Pahlawan muda manja itu. Dan ya, semua harus menyumbang untuk membelikan Den Bagus pakaian seragam, sepatu setinggi setengah betis dan pici dan sudahlah, seperti Gatutkaca gandrung Pregiwa. Lalu minta sangu, merengek-rengek minta bekal pergi sebulan tiga bulan; katanya di Surabaya ada perkelahian besar melawan Inggris. ¹⁾ Sejenis elang kecil. 63 Lain ke Semarang, ke mana lagi entah ini nanti, Inggris yang mana lagi. Ya Allah, ya Nabi, kunci Inggris atau serabi ¹⁾. Inggris, Pak Trunya tahu. Tetapi siapa orang Inggris itu? Katanya sejenis Belanda tetapi tidak berbahasa Belanda. Sungguh gonjing²⁾morat-marit dunia sekarang. Kapan merdeka ini selesai?! Ke mana Si Benjo tadi? Katanya memanggil rekan-rekan! Ia menghampiri pemudi itu. Masih hangat. Dan setelah ditelentangkan, tampak dadanya masih kembang-kempis. Tetapi si lelaki ini, ya Allah, sudah mulai dingin. Telinga Pak Trunya didekatkan pada hidung dan mulutnya. Tidak ada bunyi hembusan sedikit pun. Mati dia. Mana Si Benjo tadi, kok begitu lama? Terkejut Pak Trunya mendongak dan mencari sesuatu di udara. Ya Allah, sekarang tidak hanya satu, tetapi sebarisan pesawat terbang menderu datang dari arah Magelang. Minta ampun. Duh Gusti, mohon ampun. Dengan sekuat tenaga gadis itu diemban dan hampir keduanya, dia dan si gadis itu terlempar keras ke dalam selokan. Tetapi gadis itu masih tersangkut semak. Pak Trunya turun ke dalam selokan dan secepat mungkin gadis yang pingsan itu ditarik masuk selokan. Selokan-selokan di daerah Merapi sangat bersih airnya, itu keuntungan. Tetapi dingin. Apa boleh buat, gadis itu dimasukkan ke dalam air yang tidak begitu dalam. Ketika tubuh gadis itu masuk air, secara refleks tangannya merangkul Pak Trunya, siuman sambil berteriak: ''Ayah! Ayah!" Oh, tadi itu ayahnya, pikir Pak Trunya. "Sudah, tenang Den Ajeng, tenang ... tidak ada apa-apa." ''Ayah! Mana ayah. Tolong dial" "Sudah. Sudah, ia sudah tertolong." ''Ayah masih hidup?" "Masih, masih hidup jangan khawatir;' jawab Pak Trunya spontan, asal menjawab apa pun, , tak peduli isinya. Pokoknya biar hati gadis ini tenteram. Dan erat-erat ia pegang gadis yang meronta-ronta itu di dalam selokan. Lebih baik mati satu daripada semuanya, pikir Pak Trunya. "Di sini saja, Den Ajeng. ltu ada ratusan pesawat terbang mau menembaki kita." Di tepi desa, di jalan setapak dan pematang sawah anak-anak pada bersorak-sorai menengadah melambai-lambaikan tangan ke udara. Istimewa. Berpuluh-puluh pesawat terbang sangat rendah melewati sawah-sawah desa. Besar kecil burungburung kelabu itu setiap lima menit lewat. Pelan-pelan dan rupa-rupanya berat isinya. Orang tua-tua macam-macam terkaannya. Ada yang mengatakan Republik sekarang sudah dibantu Negara-negara Besar, entah namanya, maka punya banyak pesawat. Ada yang menebak, boleh jadi sekarang RI sedang latihan perang. Tetapi pemudapemuda, yang lebih tahu soal-soal perjuangan, mengira itu pesawat-pesawat Belanda. Ada lain lagi yang membantah, itu barangkali utusan-utusan Luar Negeri yang mau berunding di Kaliurang. Tetapi kok aneh. Terus menerus pada beterbangan. Tentu saja tidak ada anak satu pun hari itu yang ingat pada tugas mencari rumput untuk kambing atau memandikan sapi. Hanya sesudah dibentaki ayah-ayah dan diteriaki ibu-ibu mereka dengan suara melengking mereka pelan-pelan mengambil arit dan pergi bertugas. Mata terus menengadah penuh pertanyaan ke udara. ¹⁾ Sejenis kue goreng dari tepung beras. ²⁾ Serba goyah kalang kabut. 64 Kadang-kadang melambaikan tangan sambil berteriak: Merdeka! Ada yang gerobak ada yang sedan pesawat-pesawat itu. Atau seperti kereta-api saja, tetapi di udara. Tidak setiap hari ada tontonan semacam itu! Hanya gadis-gadis dan perempuanperempuan desa tidak begitu acuh pada permainan udara itu. Sebab sebelum matahari terbenam panenan padi terakhir tahun itu harus sudah masuk lumbung. Hujan pelopor musim basah sudah jatuh dan sawah-sawah harus lekas-lekas dibajak, air dialirkan, digaru dan ditanami. Gadis dalam selokan tadi hanya menangis, merintih. ''Ada yang sakit, Den?" ''Ayah, ayah ... oh, mengapa ayah tidak ditolong." Pak Trunya tidak berdaya. Spontanitas gadis itu kuat dan ia keluar dari selokan serta menangis berlutut di samping ayahnya; sedangkan barisan kapal terbang menderu-deru di atas mereka. Pak Trunya dengan berdebar-debar tidak berani ke1uar dari selokan dan hanya mengintip saja dari tempat persembunyiannya. Sendirian gadis itu membenahi dan membaringkan ayahnya dalam posisi yang pantas. Mata yang masih melirik dikatupkannya dan rahang diikatnya dengan sapu tangannya. Pak Trunya mengumpat -umpat pacla pesawat-pesawat yang terbang di atas mereka, tetapi sebetulnya ia lebih mengumpat dirinya sendiri yang malu karena penakutnya itu. Akhirnya, sesudah je1as, bahwa barisan pesawat-pesawat besar yang melayang tidak sangat tinggi itu tidak memuntahkan api, pak. Trunya dengan ucapan Bismillah keluar dari paritnya dan menolong anak perempuan yang malang itu. ''Tenanglah Den Ajeng, temanku sudah mencari bantuan." katanya sambil memandangnya dengan penuh iba hati. "Terima kasih, Pak." "Oh, tidak apa-apa." Sekarang perempuan muda itu tidak. menangis lagi. Dengan diam disekanya rambut ayahnya dan sebentar-sebentar ia betulkan kedudukan kaki, tangan. Tangan disilangkan di atas dada. Pak Trunya melihat bibir wanita muda itu bergerak-gerak seperti mengucapkan doa. Sayang Pak. Trunya tidak hafal ayat-ayat Yasin. Tetapi Pak Trunya yakin, Allah Maha Belas-kasihan. Tak habis-habisnya pesawat-pesawat besar itu menuju ke Selatan. lni ada apa? pikirnya. "ltu lagi!" teriaknya tiba-tiba dan spontan menarik tangan wanita muda itu. Tampak sebuah pesawat kecil dari samping iring-iringan itu menuju ke arah mereka. Tetapi gadis itu malahan tidak mau. Maka Pak Trunya gugup sendirian saja melompat lagi ke dalam selokan dan mendekam dalam-dalam. Suara pesawat itu mengembang dan meraung-raung sangat dekat. Tampak sekejap suatu bayangan hitam melampaui dan hilang lagi. Pesawat itu tidak menembak. Dari selokan Pak Trunya masih melihat ekornya yang sangat cepat menjauh. Aduh, sungguh amat cepat pesawat terbang itu. Belum pernah Pak Trunya melihat pesawat terbang dari dekat. Hatinya berdebar-debar, tetapi legalah hatinya, bahwa pesawat itu masih punya belas kasihan. Juga pandangan wanita muda itu masih mengikuti ekor pesawat itu. Mestinya, ayah yang meninggal itu seorang pembesar. Sebab siapa di Jaman merdeka ini yang bisa naik mobil kalau bukan pembesar. Dan wanita muda itu anaknya. Roknya sobek-sobek rambutnya lepas tak kernan. Pak Trunya teringat pada anaknya yang kira-kira sebaya dengan den ajeng itu. Hanya anaknya lebih hitam dan lebih kekar. Baru saja anaknya melahirkan anak mungil. Masa panen memang masa pesta bayi. Tetapi susah berpesta dalam jaman seperti ini. 65 Ketika anak gadisnya kawin, dalam hati Pak Trunya menangis, bahwa ia tak mampu memberi pesta yang lebih meriah seperti yang diinginkannya. Semua serba mahal. Bahkan kain pesta pun terpaksa anaknya harus pinjam dari bibinya. Dan juga kebayanya pinjam dari kakaknya. Tanpa pertunjukan wayang. Siapa mampu menyewa dalang dan seperangkat bala-senimannya. Pak Trunya keluar dari persembunyiannya dan dengan rasa menyesal minta maaf, bahwa ia begitu takut dan terpaksa harus bersembunyi. Wanita muda itu mengatakan, bahwa hal itu wajar dan sebaliknyalah dia yang harus minta maaf karena dengan menolak bersembunyi tadi ia membahayakan Pak Tani. Pesawat itu tidak menembak karena hanya melihat perempuan. Tetapi Pak Trunya toh merasa salah, bahwa ia kurang berani, sebab soalnya ia belum pemah melihat pesawat terbang dan semuanya terjadi begitu cepat clan mengejutkan. "ltu pesawat-pesawat datang darimana dan mau ke mana?" "ltu Belanda." kata perempuan muda itu, "Mereka menyerang Yogya, itu sudah jelas." Dan sedih, halus gugatannya. "Selalu begitu Belanda itu. Tidak mengindahkan peri-ksatria. Seperti ketika menawan Diponegoro." Sekarang ayahnya yang menjadi korban dan ia mengeluh, bagaimana caranya memberitahu ibunya nanti. ''Bagaimana pun ayah Anda orang yang bahagia." " Bagaimana bahagia, mati di tengah jalan begini." "Ya, tetapi Den Ajeng tidak boleh lupa, ia meninggal dalam rangkulan anaknya yang baik hati. Den Ajeng bukan laki-Iaki dan bukan ayah. Saya yang ayah dan kakek dapat mengatakan, ini saat kematian yang paling ia cita-citakan juga. Dirangkul oleh anak-anaknya." "ltu kan biasa, Pak." "Bagi yang biasa. Tetapi banyak ayah meninggal dengan diumpat-umpat anakanaknya. Bahkan pada saat ayahnya sedang sekarat pun mereka sudah mulai memperebutkan warisan. ltu terjadi Den Ajeng. Maka saya mohon diperkenankan meninggal seperti ayahmu itu." Wanita muda itu menatapnya nanap, sehingga ia malu dan matanya menghunjam ke bawah. ''Berapa anak bapak?" "Lima. Tetapi sebetulnya delapan." "Sudah berapa cucu-cucu?" ''Baru dua belas. Tetapi segera akan empat belas. Tetapi mudah-mudahan cucucucuku tidak mengalami jaman merdeka seperti ini." Wanita muda itu tersenyum. "Semoga Tuhan selalu memberkati anak-cucu bapak." “Den Ajeng sudah berapa?” "Saya belum kawin,” jawabnya lembut. Lalu disekanya wajah ayahnya yang sesudah meninggal tampak lebih bercahaya. "Kasihan ayah. la belum sempat melihat cucunya. Sekarang akulah yang merasa salah." Dan mulailah wanita itu bercucuran lagi air matanya. Pak Trunya gusar memandang ke desanya. Mana bantuannya. Tentu mereka takut, pikirnya. la menengadah ke langit. Seperti tak habis-habisnya barisan pesawat terbang itu, besar dan kecil. Campur baur seperti baru saja beli dari loakan. Tetapi tidak ada lagi yang kecil bermoncong merah serta Tukang Sambar. ''Den Ajeng di sini dulu, ya. Nanti saya akan memanggil kawan-kawanku." Dan cepatlah tani itu berlari ke desa, sambil berkali-kali melihat ke atas, jangan-jangan ada cocor merah lagi. 66 Atik memandang wajah ayahnya. Bagaimana mengangkut jenazah ayahnya ke kota? Bagaimana caranya memberitahu ibunya? lni jelas perang. Dari desas-desus anggota delegasi RI yang sedang berunding di Kaliurang di bawah naungan Komisi PBB ia sudah tahu, betapa gawat keadaan. Sikap wakil Mahkota, Dr. Beel, begitu kaku seperti bakiak klompen negerinya, bahkan kasar sebenarnya, tak sopan. Tetapi bahwa sudah secepat itulah Belanda menyerang, sungguh, tidak pernah itu diperkirakan. Juga oleh para wakil Tiga Negara di meja perundingan Kaliurang. Sungguh aneh dan gila sebetulnya, menyerang Yogya di muka hidung wakil-wakil Dunia Internasional itu. ltu kan namanya meremehkan bahkan menghina mereka. Atik teringat pada kata-kata serba tenang dari bossnya ketika masih perdana menteri kala itu: "Setiap kekerasan dari Belanda merupakan lubang jebakan. Di situ mereka akan terperosok sendiri. Satu-satunya jalan untuk menang bagi kita ialah sikap goodwill secara budaya berperikemanusiaan. Sebab justru itulah yang dicari oleh seluruh pihak di mana pun yang sudah remuk dan muak kekerasan. PerangDunia baru saja selesai." Tetapi bagaimana nanti? Larasati hanya penyumbang kecil di dalam medan perjuangan itu. Penterjemah teka-teki diplomasi ke dalam bahasa Inggris dan sebaliknya memang dibutuhkan mutlak, tetapi itu pekerjaan dinas saja. Para pembantu wanita dalam delegasi Indonesia tahu banyak, tetapi juga sedikit sekali. Tiba-tiba Atik teringat pada tas yang berisi beberapa lembar surat penting dari Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur Jawa Tengah yang berkedudukan di Magelang. Dengan sedih ia melihat pada kendaraan yang sudah hitam berbau sengak cat dan karet terbakar. Ah, tidak penting. Toh situasinya sudah berubah sama sekali. Tetapi bagaikan golok yang menusuk hatinya datanglah ingatan, bahwa di dalam tas itu tersimpan dompet dengan foto kecil. Foto sahabatnya yang, entah mengapa, selalu ia kenang. Setadewa. Dalam kenangan yang memprihatinkan. Namun justru karena memprihatinkan itulah semakin dekat rasanya kepada orang muda itu. Foto Teto. Ketika ia masih di SD. Haruskah kenangan kepada Teto dibakar sehingga tinggal debu kelabu saja? Itukah sasmita peristiwa Minggu pagi secerah ini? Tidak, ia tidak boleh cuma bermimpi. Atik mendapat ilham. Ia pergi ke selokan bening tempat persembunyiannya tadi. Sapu-tangannya dibasahi jenuh dengan air itu. Ia merangkak lagi ke jalan dan mulai menyeka dan mencuci wajah, leher dan tangan ayahnya. Gelombang-gelombang pesawat terbang mulai menghilang. Barulah orang-orang desa berani keluar membawa tandu, diiringi anak-anak banyak yang bagaikan lalat tidak mau dihalau oleh orang-orang tua. Mereka menemukan Larasati masih mencuci tangan dan kaki ayahnya dengan sapu-tangannya yang basah. Diam tanpa tangis maupun keluhan. Anak-anak pun terpengaruh dan terpukau. Mereka hanya memandang dengan mata yang lebar penuh pertanyaan dan berbisik-bisiklah mereka. Iring-iringan tandu dengan jenazah menuju ke desa. Di kejauhan segerombol anak-anak masih melihat-lihat dan mengutik-utik bangkai mobil itu dengan tongkat-tongkat. Tiba-tiba anak-anak itu berlari-lari lagi sambil menjerit-jerit. Terdengar lagi raungan kapal terbang yang mendekat. Ibu-ibu desa juga berlari ke luar desa, memakimaki anak-anak serta menjerit-jeritkan doa kepada Allah, sambil mencari buah rahim mereka masing-masing. Hari Minggu yang sungguh-sungguh penuh hantu. Memang jaman revolusi. Tetapi di desa Juranggede khususnya untuk kaum perempuan, semua masih sama saja: usaha makanan cukup, pekerjaan dapur dan cuci di kali. Melahirkan anak dan menyusui, revolusi atau bukan revolusi, jaman merdeka, atau jaman Belanda. 67 Harapan hati hanyalah, agar jaman merdeka ini lekas selesai dan datanglah jaman damai. Tetapi omong-omong begitu katanya amat terlarang, entah mengapa. Karena itu orang sebaiknya diamlah. Cukup bersalin dan menyusui, menumbuk padi dan masak di dapur. Dan kadang-kadang dalam gelap malam tidur tukar suami orang lain, itu terjadi juga. Semua orang tahu dan semua orang mendiamkan hal semacam gituan. Memang berzinah itu maksiat. Artinya: jika orang lain sampai tahu. Artinya: tahu di muka umum. Tetapi kalau baru diketahui dalam hati itu belum dosa namanya. Barangkali lebih tepat disebut: tidak baik, kurang senonoh. Tetapi asal pandai siasatnya dan tidak terlalu membuat desa goyah-gonjing, orang lain akan diam. Tentu saja mereka tidak diam, tetapi di muka umum seolah-olah tidak ada apa-apa. Seperti Gunung Merapi itu. Setiap hari mengeluarkan lahar. Kan harus ditampung. Dan ada yang menampung. Ada masanya lahar mengalir ke Kali Code. Ada hari lain tahu-tahu nanti tersumbat dan lahar mengalir ke Kali Krasak yang sekarang sempit tetapi barangkali kelak lebar penuh batu dan lahar. Asal lahar dingin saja tak mengapalah, dan jangan merusak sawah ladang di sekitar. Kalau lahar panas tambah gempa, nah itu yang merepotkan. Seluruh desa akan tertimbun batu dan jenang lumpur. Banyak yang mati, nah, itu keterlaluan, jahat. Maka bijaksanalah. Tetapi kalau sudah terjadi, apa boleh buat, mengungsi sebentar paling lama sebulan. Lalu pulang lagi. Dan soal mati atau hidup; di mana-mana bisa mati. Apa lagi di jaman sejak ]epang datang. Mengungsi memang tidak enak. Tetapi untuk anak-anak menyenangkan juga. Melihat keadaan-keadaan di luar desanya sendiri. Baru sesudah 5 tahun tanah yang terkena lahar dapat ditanami padi lagi, asal hanya lahar pasir. Bukan gumpalan-gumpalan lava yang menjadi karang-karang keras sekali. Dan selama 5 tahun itu, ah, Tuhan Allah masih Maha Pemurah. Selain itu di lereng gunung, atas sana, masih banyak tanah-tanah yang disebut tanah terlarang yang dapat dijadikan tegal. Terlarang? Ya, terlarang. Artinya kalau sampai jadi perkara. Maka sekali lagi: bijaksanalah! Tetapi kali ini aneh. Arus lahar bahkan di udara. Seperti gumpalan-gumpalan lahar beku benda-benda kelabu itu menderu dan melayang ke Selatan, untuk nanti ke Utara lagi. Baru ketika matahari sudah doyong ke Barat, arus menjadi agak jarang. Hanya tinggal satu dua pesawat kecil yang seperti anak ketinggalan mengejar emboknya pulang ke desanya. Sepanjang siang sawah-sawah sepi manusia. Hanya beberapa burung manyar dan gelatik yang masih giat mencari sisa-sisa bekas panenan dari beberapa petak sawah. Ada sejenis burung kukuk berseru dari dahan: "Anaabuk! Anaabuk!" Anak-anak spontan menirukannya "Blanda mabok! Blanda mabok!" Sudah lama Atik tidak lagi menyusuri ladang-hutan dengan ayahnya, sejak tahuntahun huru-hara revolusi ini. Ah, dengar itu! Seekor burung kacer menyerulingkan lagunya yang merdu, koong-kirewiit-gee-nikolei, koong-kirewiit-gee-nikolei, sambil membias-biaskan sayap-sayapnya tentu. Sayu sedih terkenanglah Atik kepada harihari yang bahagia, ketika masih kecil ia bersama ayah almarhum menyusupi perkebunan-perkebunan dan tersenyum mendengarkan seruling kacer-kacer itu. Menurut ayah, kacer-kacer itu berseru: "Lontooong sedikiit, kambeeeng digulai. Lontooong sedikiiit, kambeeeng digulai." Betapa geli ketawa Atik ketika itu. Burung-burung hitam-biru berjalur putih bersih di sayap itu kini menjadi lambang kehitaman hari-hari ayah. 68 Ah, semoga Allah masih memberikan sejalur damai putih untuk ibunya di hari-hari yang gelap ini. Teringat lagi Atik pada foto Teto dalam dompet kecil yang ikut terbakar dalam mobil tadi. Sedang apa Teto pada saat ini? "Tolooong, sedikiiit, tolooong sedikiiit,” begitu kacer berseruling lagi, "kamiii terkulai." Ya, benar-benar lemas terkulai Atik petang itu menunggu terbenamnya matahari. Malam itu ia terpaksa masih mengungsi dulu ke tempat orang-orang desa yang ramah ini. Besok dini pagi, barangkali jam 3.00 pagi sudah, seorang pemuda akan memboncengkannya ke kota, dengan sepeda, mencoba menyusup ke dalam kota, untuk memberitakan warta duka kepada ibunya. Di senja merah jingga sepasang burung srigunting menari-nari dan menukik-nukik di atas sawah, seperti yang sudah biasa mereka lakukan sekian ratusribu tahun. 69 10. Macan Tutul Meraung Tak seorang pun kecuali Verbruggen yang berani mengatakannya tanpa jaring-jaring kamuflase, tetapi terasalah dalam seluruh gumpalan awan debu dan bau keringat yang menusuk seluruh paru-paru, bahwa pihak kami akan kalah. Bukan pahit yang kurasakan, tetapi kehampaan. Pertanyaan diteriakkan paru-paru tanpa suara ke bolong malam, tanpa mengharapkan jawaban, karena semua sudah tahu yang sebenarnya. Tentara yang kalah sarna saja dengan sungai kering di musim kemarau, sejalur batu dan lumpur, onggokan sampah di sini, potongan-potongan tai kering di sana. Kersang dan tidak dapat dipakai apa-apa selain untuk tempat sembunyi permainan serong atau sapi curian. Tentara kalah ternyata sebagai bola karet yang sobek bocor tak ketolongan, kempis terserak di sembarang sudut halaman, tidak mengganggu dan tidak diganggu, tetapi tetap gangguan. Kami hanya tinggal menghitung di kalender harian, angka-angka mana yang kebetulan minta giliran untuk disobek. Barangkali begitulah perasaan Verbruggen bila ia sedang bermain-main cincincincin asap cerutunya yang selalu saja, entah dari mana, bermerk Holland itu. "Ibuku masih ingat pada anaknya yang paling kurang-ajar," begitu keterangannya, mengapa masih saja dia punya kemewahan cerutu harum di tengah kebusukan tropika negeri yang begitu indah sehingga memuakkan itu. Rahasia hidup-mati Verbruggen barangkali dalam asap cerutunya itu. Seperti Akhilus mitologi Yunani pada tumit kakinya. Seperti beberapa tokoh wayang dalam anggota badan ini atau itu. Verbruggen memang Petruk, tetapi Petruk Belanda yang kekar, hanya itu bedanya. Tetapi melihat mulutnya yang terlalu besar dan lebar serta matanya condong sipit, apa lagi perutnya yang melembung, toh Petruk ia sebenarnya. Ia badut dalam arti banyak dan ia menerima kekalahan tentaranya sebagai menerima kekalahan lotere saja. Nanti beli lotere lagi. Dan memang, pernah ia berguman, bahwa ia sedang serius memikirkan kemungkinan masuk ke dalam Legiun Asing tentara Prancis di Indo Cina atau Aljazair. Spanyol pun masih punya Legiun Asing, di mana para bandit dan petualang segala penjuru dunia bisa menjual otot dan kemaksiatan mereka untuk berkelahi melawan musuh entah siapa, tak peduli. Atau bukan musuh istilahnya, tetapi jumbleng tempat penerimaan kotoran nafsu pembunuh sewaan. Tetapi istilah membunuh di sini juga masih terlalu diambil dari kamus kaum alim. Membunuh gadis yang diperkosa, kata orang, membunuh. Tetapi bertempur dalam divisi-divisi berpakaian seragam di bawah pimpinan seorang jenderal dan di bawah panji-panji nasional, kata orang, bukan membunuh tetapi berbakti kepada nusa dan bangsa. Dan apa yang seclang kukerjakan sejak aku masuk KNIL ini? Menegakkan tata-tertib yang syah? Yang masih diakui oleh hukum internasional dan semua nasion yang beradab? Melawan terorisme fasisme? Membalas dendam kepada kaum yang menjadi sebab langsung-tak-langsung ibuku dijadikan jumbleng kotoran? Menegakkan hargadiri dan keyakinan pribadi? Apa arti kata pribadi dan keyakinan dan harga-diri dan nasion dan ibu dan segala istilah abstrak itu? Apa beda tentara dan gerombolan bandit? Apa beda seni ksatria dan nafsu membunuh? Apa perbedaan pahlawan kemerdekaan yang gugur dan soldadu penjajah yang mampus? Jelasnya, bagi yang mati itu? Nama harum, noda nasib? Semua jenderal yang menang disebut pahlawan, semua jenderal yang kalah disebut penjahat perang. Oleh siapa nama harum dan pujaan itu sebetulnya dibutuhkan? 70 Oleh yang mati atau yang menjadi ahliwaris atau kelompok yang membutuhkan legitimasi? Pemerkokoh ideologi yang ditentukan a priori? Saat yang kunanti-nanti telah terjadi: Yogya kami kuasai. Tetapi alangkah kecewanya. Seharusnya aku bersorak Gloria Victoria! Tetapi inikah yang disebut Victoria? Apakah begini juga hidup perkawinan, yang kata orang lagi, hebat dinantinantikan; tetapi sesudah terjadi, cekcok dan kelesuan? Lalu apa yang disebut menang atau kalah? Tidak! Menang atau kalah ditentukan sendiri oleh manusia, oleh aku sendiri, Setadewa! Ya, Kapitein Setadewa. Tidak oleh orang lain, siapa pun. Juga tidak oleh Larasati! Hei Seta! Rayakanlah hari kejayaanmu! Bukan kejayaan Belanda atau KNIL, tetapi kejayaan Kapitein Setadewa, putera Kapitein Brajabasuki dan Marice. Dini pagi pasukan payung telah diterjunkan ke pangkalan Meguwa, Yogya. Sedangkan mereka mengamankan landasan dan daerah sekitarnya, Dakota pasukanku, pesawat pengangkut yang pertama mendarat. Dalam formasi tempur kami langsung dari pesawat menuju rel keretaapi. ltu kami seberangi dan terus, terus, kami terus lari, menjatuhkan diri, lari, menjatuhkan diri sambil menghamburkan ribuan pelor yang sudah ditimbun sekian tahun oleh Jenderal Spoor; ya, ngawur saja asal memberi perasaan aman. Sialnya tidak seperti siasat militer biasa, kami tidak dilindungi oleh perisai artileri. Jadi peluru dari bren, stengun dan sekian Thompson dan moncong apa saja yang bisa digaet dari gudang-gudang Sekutu, kami berondongkan ke musuh yang tak pernah kelihatan. Dalam hati aku agak terhibur sedikit, sebab operasi menduduki Yogya ini mirip perang sungguh-sungguh. Perang dengan cara intelektual dan beradab. Dan tidak seperti di Tanggerang dan Sukabumi dua tahun yang lalu, berurusan dengan perampok dan maling. Aku masuk KNIL tidak untuk menjadi semacam koboi melawan perampok atau bandit yang menendang bandit lain. Tetapi susahnya sampai sekarang, operasi KNIL hanya seperti main kotor saja. Masih tersisa kejengkelanku ketika kami menerima briefing dari Letkol Verbruggen mengenai apa yang oleh Dr. Beel disebut Aksi Polisionil itu. Aku sungguh marah, karena itu penghinaan bagi kaum KNIL yang tulen, yang bukan polisi, seolah-olah kami ini hanya main petasan dengan siasat kuna "tangkaplah maling dengan maling". Verbruggen hanya menyeringai dan ujung mulutnya serba ejekan bertanya kembali: "Apa jeleknya jadi maling? Dari pada jadi politikus?" Aku terkejut dan ketika aku melihat dia memandang foto orang pelontos kepala botak dalam koran de Volkskrant yang sesudah kuamat-arnati ternyata itu wakil Mahkota Dr. Beel, maka aku segera menangkap siapa yang dimaksud olehnya. Sengketa kuna, militer melawan politikus. Tetapi bagi dia, yang berdarah legiun Asing soldadu profesional, masalahnya lain dariku. Aku masih punya prinsip dan aku tahu, untuk apa aku ikut menyerbu Yogya ini, Tetapi jujurlah, keyakinanku ketika itu juga sudah goyah. Hanya aku tidak mau mengakuinya. Soalnya, jiwaku tidak pernah tenteram, karena sampai sekarang belum pernah ada tanda-tanda jelas, di mana dan sedang berbuat apa ayahku. Berkali-kali aku gentayangan ke NEFIS dan selalu bertanya apa ada tawanan republikan baru. Dan kepada tahanan-tahanan itu aku mencoba tanya, apa ada di kalangan mereka seorang perwira, entah mayor entah kolonel, yang berasal dari sini dan situ dan bernama Brajabasuki, yang berpendidikan akademi Breda tetapi ikut Republik dan sebagainya. 71 Ataukah barangkali Papiku telah berganti nama? Tentang ibuku aku sudah tidak berani bertanya lagi, sebab setiap kenangan pada Mami hanya membuatku gusar dan marah dan menjadi penyebab aku cuma mengamuk ke kiri kanan. Sebab sekali lagi, seorang pemegang komando dalam perang tidak boleh terlalu nervous dan emosional. Aku harus menjaga diri, karena bagaimanapun aku punya tanggung-jawab terhadap keselamatan anak-buahku. Biarpun aku tahu, anak-buahku sebetulnya hanyalah kulikuli inlander saja yang kebetulan disuruh menghambur-hamburkan peluru, namun toh mereka punya papa dan mama juga. Aku sudah lama rukun dengan gagasan, bahwa serdadu-serdadu bawahanku yang inlander-inlander itu memang segerombolan sampah sebetulnya, akan tetapi apa dosanya mencari nafkah? Seandainya aku dalam kedudukan mereka, pasti juga aku tak punya alternatif lain, memilih mata-pencaharian apa. Aku sukarela masuk KNIL, tetapi mereka terpaksa jadi soldadu yang mencari nafkah biasa saja, seperti seorang jagal mencari nasibnya dengan menyembelih sapi. Mereka soldadu, dati kata soldei alias upah. Aku bukan soldadu, aku petualang dan pendendam, dan kalau aku mati dan kalah, aku masuk neraka. Sedangkan mereka, kukira di akhirat mereka dengan ikhlas akan mengepel lantai surga yang diduduki kursi-kursi pahlawan-pahlawan KL Belanda atau Republik. Sebab memang pekerjaan yang mereka ketahui hanyalah menjadi kacung. Seandainya mereka mendengar, bahwa soldei pejuang Republik itu dua kali lipat dari upah mereka jadi bandit KNIL ini, tentulah dengan tenang dan tanpa banyak cingcong mereka akan ikut Republik juga; dan nanti malam merangkak masuk kamarku dan menembak Kapiten Setadewa; dengan gaya tukang ahli juga yang telah menuaikan tugas dengan efisien, seperti yang diminta sebagai imbangan upah seorang profesional. Aku bukan soldadu. Pertama karena bintangku sudah tiga dan perak dengan latarbelakang hitam. Dan selain itu, aku punya ideal. Ideal mendendam memang bukan ideal yang teramat bagus, akan tetapi jelas bukan karena uang aku memimpin kolone yang menuju ke istana Soekarno itu. Aneh, mengapa aku muram, padahal inilah yang sudah kutunggu-tunggu bertahun-tahun; yang telah kami pelajari dalam peta-peta dan sekian foto-foto intel, kami. Aku memang sudah mengenal Yogya sebelum Jepang masuk, akan tetapi pemandangan mata manusia yang melancong atau bersepeda dengan maksud-maksud normal sangatlah berbeda dari pemandangan mata seorang berseragam yang penuh beban tas peluru berniat merebut suatu kota yang terkutuk. Sesekali kami nyaris menginjak mayat seorang anak kampung atau petani atau satu kali seorang gadis yang membuat kacau hatiku, sebab jelaslah tidak dapat dihindari, bayangan Atik yang sebaya dengan mayat itu menghantui, sehingga aku terkejut ketika sersan Ambon pengawalku dengan berteriak merebahkan tubuhku masuk selokan. Sebuah born waktu meledak. Aku mengumpat-umpat dengan sendirinya, tetapi sersan setia itu hanya menyeringai dan berguman: "Kapten, minta rokok." Persetan, cuma itu. Kulemparkan seluruh bungkusan ke hidungnya yang selebar sayap Dakota itu dan langsung memberondongkan peluru-peluruku ke arah semak-semak yang bergerak entah oleh angin entah oleh entah. Sebetulnya ini perang gila. Sesudah setengah jam merangkak dan lari dan merangkak lagi, aku sudah mengambil kesimpulan, bahwa sebetulnya kami bisa saja mengambil jip dan langsung pergi ke Tugu, terus belok ke kiri ke Malioboro. Jus! Masuk ke istana gubernur Belanda yang sekarang dipakai oleh Soekarno. 72 Aku yakin bahwa tentara Republik sudah lari semua dan untuk apa kita menghamburhamburkan peluru dan waktu. Jangan-jangan Soekarno lalu cukup punya waktu untuk lari ke pedalaman, malah susah ganda nanti. Aku meradiokan pandanganku itu kepada Letkol Verbruggen, supaya dia mengusulkan kepada Kolonel van Langen agar langsung saja memakai jip mendobrak istana Soekarno. Tetapi Verbruggen menjawab, bahwa kami masih harus berbadutan seperti ini terns, sampai bren-carrier yang dapat melindungi infanteri dengan lapisan bajanya diturunkan dari Herkules, sebab para kaum Zeni masih memeriksa landasan, apa kuat didarati Herkules. Uah, maki-makiku, itu orang-orang Militaire Luchtvaart terlalu priyayi, terlalu ilmiah. Maunya sip. Dan tak tersengaja aku teringat komodor Republik dengan deputynya yang mendaratkan pesawat Kabayashinya yang rapuh itu di Kemayoran. Kaum Militaire Luchtvaart harus belajar dati pasukan udara Republik perihal kenekatan. Mosok perang harus semua sempuma. Tetapi masalahnya memang tidak segampang itu. Betapa lemah pun perlawanan kaum Republik itu, toh aku melihat, sudah tiga dari anak-buahku yang terkena tembakan single fighter entah dati semak gerumbul mana. Dan menduduki kota dengan lorong-lorongnya yang sempit lebih berbahaya. Bersama dengan kami, ikut beroperasi juga kaum KL ¹⁾Nah, itu tentara priyayi, serba sinyo-sinyo muda yang tentunya bukan kaum bandit, walaupun bergaya sok koboi dengan kain leher merah segi-tiga mereka. Maunya tetap tentara kaum beradab dengan garansi mutu internasional, kecuali dalam hal keberanian berkelahi. Orang Belanda bukan bangsa jago kelahi. Mereka pedagang borjuasi atau pegawai kantor, atau mahasiswa calon doktorandus dalam ilmu sejarah, sejarah Hindia Belanda tentu saja dalam kaitannya dengan politik mulia atas nama Sri Ratu. Maka mereka sungguh pengecut sekali. Mana bren-carriernya ! Aduh lieve meid ²⁾, begitu saja pakai panser beroda rantai. Naik andong saja bisa kok! Jengkel kuradiokan laporan ke Verbruggen. Mana, kasih jip, dan dalam lima menit aku sudah di benteng Vredeburg. Daripada berlenongan begini ini, kayak tentara Eisenhower ³⁾ imitasi yang cuma cari-cari semu saja agar kelihatan hebat. Masih minimum tiga jam kalau begini caranya sebelum sampai ke target. Jalan dan kampung sudah kosong dan hotel Tugu yang pernah jadi markas tentara Republik juga kosong, hanya tinggal gaung sirenenya saja. Hotel itu pun tidak sulit kita duduki. Dan akulah lagi yang paling terdepan melewati rel-rel kereta-api Malioboro. Masih kulihat satu palang kereta-api bengkong karena pemah diserudug truk barangkali. Palang itu terbuka dan memang seluruh Malioboro sudah terbuka. Aku berlindung di belakang gardu telepon antik, yang dulu pernah juga memberi perlindungan padaku ketika aku kehujanan dan terlambat kereta-api yang seharusnya membawaku ke Sala, mencari orangtuaku sesudah saat naas peristiwa radio gelap di belakang rumah Mayoor Kanagashe dulu itu. Persetan Kanagashe dan segala opsir Jepang dan Tante Paulin. Di mana sekarang Tante Paulin itu? ¹⁾ Koninklijk Leger (fentara Kcrajaan Belanda). ²⁾ Cewek manis. ³⁾ Panglima Tertinggi Tentara Sekutu ketika melawan Jerman Nazi dalam Perang Dunia II. 73 Dari belakang kami kudengar suara gemuruh. Ah, akhirnya brencarrier dengan penumpang sinyo-sinyo yang takut mati itu datang. Mau makan kue kemenangan yang sudah ada di tangan pasukanku mereka itu? Tanpa banyak pikir aku dan beberapa dari komandan berlari di belakang carrier yang memuntahkan peluru-pelurunya ke kiri dan ke kanan itu. Aku sudah ogah melepaskan tembakan, dan hanya berjalan saja kalem seperti pelancong turis. Kok nggak percaya, orang-orang amatir ini. Tidak ada lagi orang Republik! Sudah, terbang kencang saja masuk ke istana. Tetapi sinyo-sinyo dalam kereta perang baja itu cuma merangkak "sistematis" menurut teori perang akademi, yuilaa pengecutnya . lnilah jadinya kalau operasi bersama dengan KL yang beradab dan ilmiah dan ... dan tidak tahu caranya berkelahi. Sisa hikayat D-dqy 19 Desember sudah terkenal. Istana kami duduki. Kolonel van Langen datang dengan jip, sesudah semua aman tenteram dan tidak ada risiko satu rambut pun jatuh. Soekarno, Hatta, Syahrir dan orang tua Haji Salim dan siapa lain lagi ditawan. Matilah Republik! Hidup Republik! Aku mengumpat-umpat diriku lagi, sebab entah mengapa, aku tiba-tiba malu melihat orang pendek berpakaian putih satu itu (sekarang sudah agak gemuk dia, yang sekian tahun yang lalu nyaris kutembak di Jakarta itu. Sebetulnya aku bisa saja maju dan berkata padanya: ''Tuan Syahrir? Masih kenal padaku?" Dia sudah tidak perdana menteri lagi, dan ketika dari koran-koran kubaca berita ia tidak dipakai lagi oleh kaum Republik, aku masih ingat Verbruggen menyeka pipi dan dagunya yang kasar belum dicukur, sambil omong atau menggerutu entahlah: "Spoor sekarang laku. Parlemen Belanda dengan politisi kaum jambu mete akan semakin merasa diri durian, dan kaum Republik sebentar lagi dipimpin oleh Jago Merah. Cocok!" Ketika aku bertanya gusar, apa yang ia maksudkan, ia hanya menyeringai "Sebentar lagi kau dapat bertemu kembali dengan Atikmu." Aku marah betul ketika itu, tetapi ia hanya tenang, dengan satu mata dipejamkan, memeriksa laras pistolnya, dan bersiul lagu nostalgia kuna: “Daar bij die ouwe molen…….¹⁾ Ah, sebetulnya aku mendapat kesempatan satu kali lagi untuk menanyakan kepada orang kecil yang hanya tersenyum itu tentang Atik. Apakah sekretaris Tuan bernama Larasati masih bekerja di biro Tuan? Atau jadi protokol penerima tamu? Embuh? Ataukah ... tetapi aku hanya berdiri tolol saja di sudut emperan muka yang berlantai marmer itu, dan seolah tidak sadar seperti linglung melihat bayangan-bayangan orang yang lalu-lalang di istana bekas gubernur Hindia Belanda itu. Pada petang hari yang sama itu, 19 Desember 1948, sambil duduk lunglai karena payahnya di atas tangga-tangga istana, dengan bayangan raksasa batu di halaman muka itu, aku ditumbuhi perasaan bimbang lagi. Pasukanku menang, Kapitein Seta jaya. Tetapi kehilangan Larasati. Barangkali ... barangkali toh aku salah pilih. ¹⁾ Nun di sana dekat kincir tua itu. 74 11. Ayam-ayam Disambar Baru keesokan harinya pemuda-pemuda memperoleh kepastian: Belanda dursetut ke Yogya, kota kabupaten diduduki musuh. Tetapi di hari pasaran Pon berikut masih banyak juga perempuan yang toh pergi ke pasar, jauh di bawah sana di tepi jalan raya aspal. Akan tetapi mereka pulang kecewa karena semua toko tutup. Malam berikut orang-orang Juranggede melihat dari desa mereka, bahwa di bawah sana banyak kelihatan api menyala. Bumi hangus. Sekarang ada dua api. Di atas sana api kawah gunung Merapi. Di bawah sana api orang perang. Cocok sudah. Orang tua-tua sampai malam bergadang berbincang-bincang tentang terkaan-terkaan macam-macam yang semua serba terkaan belaka. Hampir semua orang tua dalam hati bertanya diri, apa tidak lebih baik semua kembali saja ke Jaman Belanda. Tidak dikatakan langsung tentu saja. Tetapi dengan bercerita. Dulu dan sekarang melarat, tetapi dulu tenang. Bayi lahir, anak dikhitani, Si Muda menikah dan melahirkan bayi. Arnan, damai. Tentulah kadangkadang ada yang mati, tetapi begitulah roda kebiasaan. Kadang-kadang ada perampok datang mencuri sapi atau kerbau atau kalung emas dari yang mampu di desa. Tetapi polisi Belanda yang datang dengan sepeda motor dengan saisepan gerobagsampingnya, pasti bisa membereskan soal. Asal perampok itu jangan kau lawan. Tenang saja kau berikan apa yang mereka minta. Dan paginya lapor kepada Pak Lurah. Lalu menunggu saja, gampang. Kalau sapi atau harta tetap hilang terus, ya sudah. Lalu jelas itu kehendak Allah. Tetapi itu jarang terjadi. Barangkali sapi atau kalung emas yang tak tertemu lagi dulu memang tidak halal; atau boleh jadi warisan seorang nenek yang pernah main serong dengan suami tetangga. Nah sudah pur¹⁾namanya. Tetapi kalau itu barang halal, pasti dikembalikan oleh resisir dan pelpolisi Belanda, yang gagah pakai pistol di pinggangnya, dengan kawan pak mantripolisi yang berkumis tebal, dan yang membawa kelewang. Sayang Belanda kalah. Lantas segala-galanya jadi kucar-kacir. Tetapi barangkali memang begitulah seharusnya. Tidak baik sawah ditanami padi terus-menerus. Harus diselingi palawija, atau ketela atau tembakau. Nah barangkali sekarang ini jaman ketela, jaman brengsek. Atau tembakau yang hitam, ampeg! Tetapi asal masih ada daun muda jagung dan kelembak-kemenyan untuk merokok, tak mengapalah. Semua itu memang nasib. Tetapi pemuda-pemuda yang berapat di rumah Karjo bekas Keibodan²⁾ pemimpin mereka, tidak sependapat dengan ajaran nasib itu. Mereka juga saling melontarkan terkaan dan tebakan. Tetapi akhirnya diambil kesimpulan: Yang paling bijaksana ialah menunggu saja komando dari Bung Kamo. Pokoknya menunggu komando. ¹⁾ Seimbang kalah menangnya. ²⁾ Barisan polisi pembantu jaman pendudukan Jepang, setingkat Hansip sekarang. 75 Kalau dikomando menyerah ya menyerah; kalau terus ya terus. Semua siasat kan sudah diatur di pihak Pimpinan Tertinggi sana. Kita ini hanya pemuda desa dan tidak pinter-nasiona, kelakar pemuda-pemuda itu. Berulang-ulang mereka ke luar dan memandang diam, entah dengan pikiran apa, apiapi di kejauhan bawah sana. Dalam arti tertentu perang itu selingan hiburan lumayan. Dan pemecah waktu yang mengasyikkan untuk desa yang biasanya membosankan para pemuda itu. Asal dari kejauhan saja. Seminggu sesudah dursetut ke Yogya, seregu tentara gerilya berpakaian preman masuk ke desa; diiringi anak-anak banyak serta sekian muda-mudi. Mereka langsung menuju rumah Pak Lurah. Kamitua, ¹⁾ Tamping²⁾ dan seluruh pamong desa dikumpulkan dengan kentongan. Mereka diberi instruksi-instruksi oleh komandan peleton itu, disaksikan oleh sekian pasang mata dan mulut melongo dati anak-anak yang mengintip dati segala lubang dinding. Komandannya ternyata yang paling kecil dan kurus, sehingga jakunnya di leher tampak sangat menonjol. Seperti ada gelatik bersembunyi dalam tenggorokan komandan itu. Mungkin gelatik sihir, jimat kebal pelor Belanda, tetapi aduh, paruhnya sebentar lagi menyobek kulit lehernya, begitu runcing jakunnya itu. Ada seorang yang membawa pedang samurai panjang. Itu yang berambut panjang agak berewok. Tampangnya seperti Arab. Ia yang paling gagah dan tampan. Ternyata namanya Samsu. Lain-lainnya hanya membawa ransel atau tas model tentara biasa, tetapi Samsu ini khusus membawa kopor kecil dari besi yang diletakkan di mukanya di atas meja pendopo kelurahan. Seperti tidak percaya, jangan-jangan diserobot anak-anak itu. Ternyata kelak Si Pedang Samurai itu tidak pernah bisa berpisah dati kopornya itu. Kalau ia tidak tidur, kopor itu diletakkan di bawah bantal. Selanjutnya, begitu kata anak-anak beberapa hari lagi, kopor itu selalu dirantai dengan tiang atau batang apalah. Apakah di dalamnya ia menyimpan senjata rahasia atau barang-barang pusaka? Entahlah, tak ada orang tahu. Pertemuan pertama dengan Pak Lurah hanya mengatur, di mana mereka dapat menginap. Setiap pamong desa mendapat seorang tentara. Bila ada gadisnya yang sudah agak besar, diungsikan ke keluarga lain. Hanya Samsu yang minta agar boleh mendapat rumah sendirian. Karena tidak ada yang kosong, janda Sakinem yang sudah sangat tua dan hidup sendirian diungsikan ke rumah menantunya. Banyak gadis dan ibu-ibu muda terpesona oleh Samsu yang ngganteng gagah itu. ¹⁾ Pembantu pertama lurah desa. ²⁾ Wakil lokal lurah desa. 76 Akan tetapi pesona itu segera membalik, karena ternyata dari peleton itu Samsulah yang punya tugas khusus mengerikan. Ia algojo pasukan itu. Dan segeralah beredar sassus, di dalam kopor besi itu tersimpan beberapa tengkorak. dan sesudah tiga hari jelaslah bagi Karjo, ia lebih unggul dalam pengetahuan tentang soal-soal kemiliteran dari pada Setankopor. Soal jaga misalnya. Dan segera lagi beredar sas-sus baru, tengkorak-tengkorak itu setiap malam Jum'at Kliwon bertelur uang dan peluru. Yang jelas pemuda-pemuda lalu menyebutnya Setan-kopor ¹⁾ Dari saat awal mula, Karjo yang menjadi pemimpin pemuda-pemuda desa tidak suka kepada Samsu. Walaupun Karjo merasa hanya pemuda desa, tetapi ia merasa lebih tua. Toh Samsu hanya sersan saja. Tapi sombongnya! Langsung ia berbahasa ngoko²⁾ kepadanya, seperti bicara kepada jongos. Karjo pernah dilatih sebagai Keibodan Komandan sudah menyerahkan kebijaksanaan jaga desa kepada Karjo dan kawankawannya. Karjo berpendapat bahwa Belanda tidak mungkin operasi malam ke lerenglereng gunung. Jaga di siang harilah yang harus diperketat, sebab itu saat-saat datang kemungkinan NICA berpatroli. Tetapi Samsu dengan lagaknya yang sok menuntut agar penjagaan malam sangatlah ketat. Dan apa terjadi? Suatu pagi, kira-kira jam 10 patroli NICA datang di pedukuhan tetangga yang belum 200 meter jauhnya dari desa Juranggede. Tentulah peleton Samsu dan para pemuda lari pontang-panting, ke tengah ladang dan jurang-jurang lahar. Untung patroli berhenti di pedukuhan tetangga yang namanya Kepondong itu. Dan lucunya naik pitamlah Samsu. Dibentaklah Karjo karena ia berani mengatakan, itu salah Samsu sendiri, mengapa siang hari penjagaan justru longgar. Pada larut siang hari itu juga, Samsu dan beberapa bawahannya menggasak pedukuhan Kepondong dan melarak tiga orang pemuda beserta pak Tamping. Mereka diikat dengan tali ijuk. Dan setengah telanjang, di bawah hantaman dan pukulan kayu keempat orang celaka itu dianiaya setengah mati. Perempuan-perempuan dan anak-anak semua bersembunyi di dalam rumah. Tetapi raungan dan tangis penderitaan empat orang itu terdengar sampai di tengah ladang. ''Mana pemuda-pemudamu Karjo! Pengecut! Pengecut semua! Lari semua ya!" "Mereka jaga dan yang lainnya cari rumput untuk kambing dan sapi." “Ahh, penting manakah? Kambing apa menghajar mata-mata N1CA ini, heh! Hei ke sini, kemari. Itu pemuda yang kayak kemaluan kerbau itu. Kenapa lari. ¹⁾ Mirip nama pusaka dalam suatu lakon ketoprak: Setan kober. ²⁾ Bahasa Jawa tingkat biasa (kurang menghormat). 77 Kalian juga kaki-tangan N1CA, kok lari! Ayo kemari kalau bukan pengkhianat. Itu juga, itu ayo. (Beberapa pemuda mendekat) Ayo ini kayu. Pukul orang-orang ini. Takut? Hahaaa, pemuda gabus kalian. Harus dihajar orangorang seperti ini. Tahu Hukum Perang? Yang alpa harus ditembak mati! Itu hukum perang. Tahu, semua? Heh? Karjo! Kumpulkan pemuda-pemuda! Apel! Dan kau sekarang cari. Nanti malam digosok dengan buah cari rawe ¹⁾ yang gatal pedas itu biar tidak dapat tidur. Berangkat!" Karjo pura-pura mencari pemuda-pemuda, tetapi ia menyelinap ke dalam kelurahan. Pak Lurah sedang duduk diam di ruang tengah, di bawah lonceng kuna yang seolah, sedang menghitung menit-menit sebelum para korban itu dibunuh Samsu. "Kula nuwun Pak Lurah. Di mana Pak Komandan?" Tanpa mengucap sepatah pun Pak Lurah hanya memberi isyarat dengan kepalanya yang sedikit berputar. Pak Lurah ini bagaimana? 1tu Pak Tamping Sukra mau dibunuh Samsu! Pak Lurah harus bertindak. Tetapi Pak Lurah hanya diam saja, linglung matanya seperti beling. Karjo masuk kamar. "Maaf Pak Komandan, saya mengganggu sebentar." Komandannya hanya membalikkan tubuhnya setengah telanjang dan tidur terus dengan mulut terbuka. ''Ada apa?" tiba-tiba mulut itu berbunyi, tetapi mata masih terkatup. "Maaf pak. Tetapi saya terpaksa mengganggu. Pak Tamping dan pemuda-pemuda itu tidak salah. Tetapi sekarang Samsu menganiaya mereka dianggap mata-mata. Barangkali hendak dibunuh." Pak Komandan menguap. "Hah ... Samsu ... ada apa Samsu? Hooah, saya mengantuk." "Tolong Pak. Kalau Pak Komandan mau, tentulah ... " "Huaah ... urus sendiri sanaa huaah." Hasrat Karjo ingin sekali melempari mulut yang menganga itu dengan bakiak. Sedikit bingung ia ke luar. Lurah sudah terlalu tua, bisa diajak apa! Tetapi mendengar beberapa perempuan menjerit, keberanian Keibodannya kembali. Dengan tenang Karjo menghampiri Samsu. Matanya seram mengebor mata Samsu yang tidak tahan dan yang hanya berteriak: "Pengkhianat! Pengkhianat semua. Kakitangan N1CA." Karjo mendesis: "Lepaskan, Samsu!" ¹⁾ Buah yang mengandung bisa (racun) yang menyengat. 78 "Hah? Kau juga ingin dicincang?" Tetapi Karjo tak berkedip. Ada api kawah Merapi berpijar di dalamnya. "Lepaskan." “Lepaskan sendiri. Saya bukan budakmu!" Dan pergilah Samsu, sambil mengurnpatumpat. Malam itu Pak Tamping Kepondong meninggal akibat penganiayaan Samsu. Seminggu kemudian seorang tani yang ketakutan dan bermalam di gubug di tengah ladang dilarak Samsu ke tepi jurang dan dipenggal lehernya. Dakwaan: mata-mata Belanda. Beberapa hati kemudian ibu-ibu mulai mengungsikan gadis-gadis mereka ke tempat nenek atau desa lain, sesudah anak Pak Lurah diperkosa Samsu. Komandan regu hanya tiduran kerjanya dan semua perkara digarap Samsu. Tetapi tiga kali sehari dati dapur umum ibu-ibu yang tua-tua, serba takut, jangan-jangan terkena marah, bergiliran menghidangkan makanan untuk regu tentara itu. Dan Samsu semakin bergaya. Kalau seorang tentara peleton memuji pepaya yang menguning di pohon, segera seorang anak disuruh ibunya memetiknya. Bila mereka berkomentar ayam ini, itu gemuk dan bertanya apa betul itu ayam Kedu sungguh, maka petang harinya seorang anak disuruh ayahnya mempersembahkan ayam itu kepada mereka. Tetapi bagaimana bila mereka memuji Si Tinem atau Piyah cantik? Sebab, tidak mungkin semua gadis diungsikan. Perempuan-perempuan desa tampaknya tolol tetapi mereka praktis. Mereka meminta Mbok Rukem, janda nakal yang biasanya mereka gerutui, untuk menampung lahar birahi tentara itu. Dengan imbalan beras, tempe, gula jawa dan sebagainya dari pihak kaum ibu Juranggede. Tentang dukun penggugur kandungan, bereslah Rukem sudah tahu ke siapa ia harus pergi kalau perlu. Begitu sedikit banyak keamanan gadisgadis desa agak terjarnin. Tetapi toh belum cukup. Memang jaman sedang dursetut ¹⁾. Maka bila ada gadis yang tahu- tahu mengandung tanpa suami, itu pun dursetut, kata pemudapemuda dengan dendam getir. Sebab tentu saja gadis yang didursetut itu biasanya cantik. Maka pemuda-pemuda tidak berapat lagi di dalam desa, tetapi bersembunyi di ladang atau di dalam jurang-jurang lahar. Beberapa minggu ini Samsu sedang keranjingan hobi baris-berbaris. Semua pemuda diharuskan berbaris. Sampai loyo rasanya. Makan kurang, malam serba berjaga, masih disuruh baris-berbaris. Terdengar berita, carik ²⁾ dan ulu-ulu³⁾ desa Bawongan dibunuh Samsu. Konon Mereka pergi ke kota dan membawa uang NICA. ¹⁾ Dati kata doorstoot (Bld), pukulan menerobos. Istilah waktu itu untuk aksi-aksi serangan Belanda dalam perang kemerdekaan. ²⁾ Penulis kelurahan. ³⁾ Pengurus irigasi sawah. 79 Tetapi berita burung bercerita juga, kopor Samsu sekarang amat berat, karena bertambah isi emas milik Pak Carik Bawongan yang tergolong kaya itu. Tersiar lagi berita Pak Mantri Kesehatan tertembak mati. Padahal tidak ada patroli NICA. Segera pikiran orang-orang tertuju kepada Samsu. Sebab istri pak Mantri tergolong cantik. Keesokan harinya Karjo dan pemuda-pemuda menghadap Komandan Sektor. Mereka menuntut agar Samsu dipindah. Kalau tidak, istilahnya: mereka tidak akan bertanggung-jawab tentang kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja terjadi. Dan dipindahkanlah Samsu. Sayang tidak jauh dari desa Juranggede. Tetapi agak legalah orang-orang desa di Juranggede. Namun Pak Komandan Sektor bukan ingusan kemarin sore. Sudah lama memang ia ingin menyingkirkan Si algojo Samsu, karena "ngono ya ngono, ning mbok ja ngono ¹⁾ Tetapi medan perang gerilya bukan medan perang yang dilindungi hukum. Masih cukup jumlah harimau sisa-sisa jaman Amangkurat berkeliaran di hutan-hutan lereng gunung. Lena sedikit, dan anda diterkam dari belakang. Dan sekali mati, tidak ada urusan lagi. Maka untuk menyenangkan hati regu si Samsu, yang tentulah tahu dari mana datang usul kepindahan oleh Komandan Sektor, Karjo dengan pemudapemudanya diberi perintah untuk membakar pos militer Belanda yang menjaga jembatan kali Grojog. Padahal kecuali Karjo, pemuda-pemuda itu belum pernah menembakkan bedil. Samsu puas dan Karjo berangkat. Keesokan harinya Karjo melapor, bahwa serangannya gagal karena musuh sudah tahu mereka datang dan mereka diberondong. Dusta itu kurang cerdas, sebab Pak Komandan tak mendengar satu tembakan pun. Maka Karjo dan kawan-kawannya digebugi babak-belur, khusus di hadapan mata Samsu. Maka lebih puaslah si Setankopor. Hari-hari dursetut memang suram. Tetapi tak sesuram Selasa bulan Maret itu. Seluruh desa seperti terkena awan gelap gunung Merapi. Orang tua-tua hanya diam dan tidak seorangpun punya keinginan omong. Ibu-ibu dan gadis-gadis pun merasa ada sesuatu yang sedang menghantu. Pemuda-pemuda berapat di kelurahan dengan suara hampir berbisik. Sebab ada sesuatu yang sangat jarang terjadi, namun kali ini kok entah mengapa, terjadi. Tidak ada sangkut-pautnya dengan N1CA. N1CA toh sudah kalah dan sebentar lagi tentara Republik memasuki kota-kota lagi. Juga bukan perkara penganiayaan Samsu yang sudah dipindah itu atau Bu Mantri Kesehatan yang juga sudah jauh mengungsi ke tempat bibinya. Tetapi pada malam menjelang Selasa Kliwon Mbah Glati meninggal. Ini gawat sungguh. Mbali Glati memang suka ilmu klenik, tetapi siapa di pedesaan yang tidak suka ilmu klenik. Mbah Glati memang sudah tua dan sudah saatnya ia kembali bertemu lagi dengan istrinya yang sepuluh tahun yang lalu jatuh ke dalam sumur. ¹⁾ Boleh kau begitu, tapi hendaknya jangan begitu. 80 Tetapi siapa mengira, Mbah Glati begitu nekat sengaja memilih saat meninggal dunia pas pada malam Selasa Kliwon. Tetapi sejak kecil Glati memang anak nekat. Semua tahu ia lurah. Tetapi bukan lurah pamong-praja melainkan lurah garong. Gentho. Benggol bajingan. Ketika masih muda dan kuat, prestasi Mbah Glati yang paling gemilang dan yang semua orang tahu ialah operasi membongkar Pegadaian Negeri di kota Muntilan. Tetapi Glati rupa-rupanya tak pernah menikmati segala jerih payahnya. Pelpolisi Belanda dan resisir mantri polisi dengan cepat melacak Si Bajingan dan Kang Glati masuk bui. Di jaman dursetut ini sebetulnya kesempatan sangat bagus untuk Mbah Glati mempraktekkan lagi profesinya. Akan tetapi ia merasa sudah terlalu tua. Mati sih boleh, gerutu para pemuda, tetapi mengapa justru pada malam Selasa Kliwon? Cuma bikin onar saja. Sebab pastilah pemuda-pemuda lagi yang nanti terkena getahnya. Soalnya, orang mengira Mbah Glati masih punya hartakarun yang disembunyikan sampai akhir hidup. Mbah Glati pasti orang yang kayaraya. Pastilah tidak seluruhnya dari Pegadaian Negeri Muntilan dulu itu dikembalikan kepada pelpolisi dan Pak Mantri resisir. Buktinya, mati pun pada malam Selasa Kliwon. Musti ada apa-apa ini. Karjo menginstruksikan jadwal giliran jaga malam pada makam Mbah Glati nanti. Sebab menurut tahayul orang-orang sekitar Juranggede, siapa yang berhasil memisahkan kepala dari mayat yang mati pada malam Selasa Kliwon dan mampu menggondolnya (Tidak boleh pakai alat. Menggali kuburan harus dengan tangan telanjang saja dan memisahkan kepala serta menggondolnya hanya boleh dengan gigi!), orang itu akan kaya-raya. Oleh karena itu makam orang yang mati pada malam Selasa Kliwon terpaksa harus dijaga keras, agar hal-hal yang tidak diinginkan jangan terjadi. Dan siapa lagi yang harus menjaga, selain para pemuda. Karjo sebetulnya tidak berminat untuk mati-matian berjaga hanya karena tahayul Selasa Kliwon itu, tetapi orang-orang tua mendesaknya keras. Dan keluarga perempuan Mbah Glati memohon begitu keras dan memilukan, sehingga Karjo mengalah. Dipilihnya pemuda-pemuda yang tegap dan terkenal pemberani. Dipesannya kopi amat kental dua teko dan berdasarkan nalar normal ilmu pertahanan sederhana Karjo dan kawan-kawannya mengambil pos penjagaan mereka. Tidak terlalu dekat dengan makam Mbah Glati, sebab itu ngeri juga. Tetapi di tempat yang cukup mudah mendengar sesuatu bila terjadi apa-apa. Ada empat orang tua yang ikut berjaga juga. Mereka duduk di gerbang jaratan¹⁾, berselimutkan sarung dan di bawah sinar pelita kecil mereka mulai main kartu di tikar. ¹⁾ Kuburan. 81 Tetapi tengah malam hujan jatuh rintik-rintik. Semakin deras semakin memberi alasan di hati untuk pulang saja. Tetapi mereka terpaksa berjaga, memaksa diri gembira. Karjo dan kawan-kawannya berpindah bernaung di suatu makam yang beratap genting. Waspada mata mereka menerobos kegelapan dan memandang ke arah gundukan hitam baru yang lamat-lamat hampir tak tampak. Tetapi lama-lama mata mereka menjadi penat juga dan satu persatu tertidur, sengaja maupun tak sengaja. Memang bau bunga kamboja dan arumdalu membuat orang mudah tertidur. Tetapi lewat tengah malam Karjo terbangun. Naluri Keibodannya mendengar bunyi-bunyi yang mencurigakan. Bertenak ia meloncat dan menubruk sesuatu yang sedang bergerak di makam Mbah Glati. Kawan-kawannya terbangun dan sesudah mengalahkan keraguraguan ikut menolongnya. Tetapi Karjo sudah terkena pukul mahluk gelap itu. Pusing sekali rasanya. Ia masih sempat memegang kaki pencuri biadab itu. Orang gelap itu terjatuh dan dibekuk oleh kawan-kawan Karjo. Tetapi alangkah licinnya. Tiba-tiba Karjo tahu, orang ini telanjang bulat. Segera dicari kemaluan orang itu, dan dipukul burungnya. Orang itu berteriak kesakitan bukan kepalang: “Assuu! ¹⁾ Sayang ia toh lolos. Rupa-rupanya tubuhnya diurapi minyak entah apa. Tetapi suara "Assuu!" tadi cukup memberi bukti. Mereka sudah hafal nada dan warna suara “Assuu!" Setankopor! Paginya sesudah diperiksa ternyata, mayat Mbah Glati untung belum sempat ternoda banyak. Tetapi kepalanya sudah dipuntir. Tiga hari Karjo dan kawan-kawannya tidak doyan makan. Muaklah mulut dan rasanya kalau makan seperti merekalah yang sedang memuntir kepala Mbah Glati dengan gigi. ¹⁾ Anjing. 82 12. Cendrawasih Terpanah Tidak hanya kadang-kadang aku dijangkiti rasa bimbang tentang arti segala sikap dan tingkahlaku selama ini, sejak Mama dan Papa lenyap dati kehidupanku. Akan tetapi biasanya itu kutimbuni dengan segala ransel dan peralatan perang yang mudah saja membungkam segala gagasan bingung dari manusia yang suka bising menghamburhamburkan peluru. Tetapi ketika pada pagi kala itu aku me1ihat dengan mata kepalaku sendiri Si Soekarno dan Hatta dan Syahrir, Agus Salim dan para gembong Republik lain, yang sampai saat itu hanya dapat kulihat dalam foto-foto koran-koran dari negeri Belanda, aku jatuh lagi terkulai dalam kebimbangan. Mereka ditawan oleh Kolonel van Langen dan seharusnya mereka tampak lesu dan takut dengan segala sikap yang sepantasnya bagi orang yang kalah dalam pertaruhan. Tetapi mereka tersenyum serba pasti dan Soekarno tegak bersikap jaya. Yang namanya Hatta tampak tenang dan seolah-olah hanya menunggu tanda berangkat ke Den Haag, atas undangan Sri Ratu pribadi dan Perdana Menterinya yang tolol itu, untuk menerima piagam pengakuan Republik sekarat mereka. Dan Si Haji Salim yang tua itu, matanya yang cerdik dan hidup seperti mata anak sekolah, yang tahu di mana ada mangga matang yang tanpa risiko dapat dicuri, ia hanya kalem saja. Tetapi yang paling mengesankan, justru karena aku mempunyai hubungan "batin" sejak awal kerusuhan proklamasi itu, ialah bossnya Atik, Si kancil kecil Syahrir itu. Seolah-olah segala wajahnya yang tersenyum itu berkata kepada semua orang: "Betul kan? Masuk perangkap kalian sudah". Dan sekali saat kupergoki dia sedang bersiul lirih, entah apa. Tetapi dalam fantasiku lagu yang sama juga Verbruggen punya: Als de orchideeen bloeien ...¹⁾ Jelaslah KNIL dan KL dan segala yang bercap maupun berlencana Belanda atau Hindia Belanda masuk perangkap. Kedudukan Republik semakin kokoh; sejak perdana menteri kecil itu diundang Jenderal Christison, sejak beras setengah juta ton dimuat di kapal ke India atas nama Republik dan sejak pesawat loakan itu mendarat di Kemayoran tanpa boleh ditembak Mustang ML kita, dan sejak Si Kiai kurus jangkung yang menamakan diri Jenderal Sudirman itu menolak dilucuti oleh kami dan kami tak berdaya; tak bisa diingkari bahwa pihak Rood Wit Blauw²⁾ sudah pudar. Ternyata betul analisa Verbruggen dulu itu (Soekarno menghimpun kekuatan di belakang, dan Si Kancil ini disuruh menghadapi dunia Sekutu dengan senyumannya dan dengan program kemanusiaannya), bahwa sejak itu Belanda sudah dilasso oleh Si Syahrir ini dengan tali-tali made in USA yang semakin menjerat dan semakin membuat Den Haag dan Batavia tercekik megap-megap kekurangan nafas. Jiwa militer kami jengkel bergolak kasar dan kacau berteriak seperti lazimnya orang yang terkena perangkap. KNIL kami kalah. KNIL, itulah yang menentukan. KL sebetulnya hanya hiasan gengsi saja. ¹⁾ Bila anggrek memekar (lagu popular pada jaman Belanda). ²⁾ Merah Putih Biru. 83 Sinyo-sinyo muda yang berkalung sapu-tangan merah dan berbaret coklat, dengan wajah-wajah putih mulus, dengan bahasa Belanda mereka yang totok tanpa ke-indoindoan sedikit pun (lain dari Verbruggen misalnya, yang sering berlogat "Lho, ya toh?''), mahluk-mahluk priyayi anak saudagar dan petani-petani daar bij die ouwe molen ¹⁾negeri kabut itu sebetulnya masih mbok-mboken ²⁾menetek, kata orang Jawa. Mereka selalu rindu pada Brabant dan Gelderland ³⁾ dan sebetulnya menggerutu, di sini disuruh menyetor darah untuk nyamuk-nyamuk, makan debu serta berperang melawan hantu-hantu yang tak pernah kelihatan. Gossiemijn, komt er geen eind aan? ⁴⁾ ''Nooit!” ⁵⁾. Besok pagi kepalamu masuk parit sana dan kakimu ke sawah itu. Lalu kelak gadismu di sana dangsah dengan tuan-tuan teroris-teroris gerombolan Soekarno itu, kan begitu. Dikira apa, heh. Ya, tokh!" Sebetulnya, ah gila kalau tidak tahu, sungguh kami keledai berkepala kerbau! Semua soldadu gerombolan bandit Hindia dan priyayi moederland ⁶⁾ Olanda ⁷⁾ sudah tahu: kami kalah. Dan semua diam, justru karena sulit dibuktikan benar tidaknya dugaan desas-desus tentang sang Panglima. Sebab menggemalah berita guntur di tengah siang bolong: ''Jenderal Spoor mati." Mati karena apa? Mosok tifus? Diberi arsenikum ⁸⁾oleh jongosnya? Menembak diri? Nah, keterangan terakhir ini yang lebih logis. Dus ... adieu Insulinde, ⁹⁾ selamat jalan Aksi Polisional. Hidup Republik! Nah, mulai saat itu (sudah lama sebetulnya, cuma tidak jelas diakui), selamatkan dirimu masing-masing! Sebisa mungkin jangan kena tembak pelurn Jepang dari laras Republik. Nab, betul kan, dibentuk komisi henti tembak-menembak. Nah betul kan, Van Royen mulai berwajah lunak, omong-omong dengan Roem. Nah, betul kan, Soekarno dan lain-lainnya akan dikembalikan ke Yogya. Nah, betul kan, bukan jip Willyss seperti seumumnya di mana-mana, tetapi jip Landrover, dus bikinan Inggris yang datang dan diserahkan kepada Sultan Yogya dan delegasi Tentara Gerilya? Nah, betul kan, kiamat sudah di ambang, formulir-formulir mulai dibagi-bagikan kepada para KNIL. Ingin pilih apa: masuk tentara Republik Serikat? Atau masuk KL, bandit jadi priyayi? Atau pensiun? Atau ... ada desas-desus Si Westerling dan entah kacung abadi. ¹⁾ Nun di sana dekat kincir tua itu. ²⁾ Anak yang merengek mencari ibunya. ³⁾ Propinsi-propinsi Negeri Belanda. ⁴⁾ Seruan keluhan Belanda: Apa tak ada habis-habisnya ini? ⁵⁾ Tak akan pernah. ⁶⁾ Secara harfiah: negeri ibu. ⁷⁾ Nama olok-olok untuk Belanda (Holland). ⁸⁾ Racun. ⁹⁾ Jadi ... selamat tinggal Indonesia. 84 Belanda ingin mempertahankan martabat dan panggilan Kerajaan, menghadapi ketidak-adilan international sampai titik-darah yang penghabisan, “Kost wat het kost, door de eeuwen trouu” ¹⁾. "Sudah terima formulir pendaftaran Legiun Asing Prancis?" tanyaku sinis kepada Verbruggen. Dia hanya tertawa saja, tawa orang yang kalah lotre tetapi gigih optimis menebak lagi harapan lotre baru. "Aku akan dolan-dolan dulu,” katanya. "Ke mana?" "Bukan urusan anak kecil." Kuhantam dia dari samping, yang ditangkisnya enak saja. “Kom, kom ... jangan bingung. Sudah banyak yang bingung, kalem saja deh." Dan entah ke mana ia mengebutkan jipnya, sendirian. Akhir-akhir ini ia misterius sekali. Biasanya ia bagaikan buku terbuka, mudah dibaca ke mana dan dari mana ia pergi. Aku tahu dengan perempuan mana dan pelacur siapa ia menghabiskan kesepiannya, di mana ia biasa pesan bakmi atau merampok sisa-sisa jenewer. Tetapi akhir-akhir ini entahlah, macam-macam dalihnya, ia selalu mengendarai jip sendirian. Aneh, seorang komandan resimen menyetir jipnya sendiri dalam keadaan perang. Memang ada cease fire tetapi ini daerah tropika. Pertama, jam PBB dan jam pedesaan tidak sama. Dan keduanya, di sini sudah biasa gunung-gunung meledakkan lava dan batu tanpa minta ijin dulu dari tata hukum internasional. Lagi, keharusan mengikuti konvoi ²⁾ bagi siapa pun yang mau ke luar kota masih berlaku. Kenapa ia nekat? Apa guna merisikokan nyawa pada saat jaman perang sudah sekarat dan orang tinggal menghitung jam untuk pulang ke kandang masing-masing? Setiap otak sehat menjaga agar jangan sampai perkakasnya mati terkena peluru sesat atau trekbom ³⁾ yang kesiangan kentut. Itu mati konyol. Dan tolol. Tetapi Verbruggen seperti sengaja ingin membuktikan ketololannya dan seolah meminta masuk kubur saja sebelum perang usai. Akhirnya aku tahu ia beberapa kali pergi ke Surakarta. Pernah kukejutkan dia dengan ''Apa khabar dari kota Sunan?" tetapi enak saja, atau berlagak begitu, ia memberi keterangan (atau lebih tepat dalih) yang logis, bahkan barangkali terlalu logis. Tetapi ketika pernah ia kubuntuti, ternyata ia tidak pergi ke kanan sesudah sampai pada Paal Putih ⁴⁾tetapi ke kiri. Ke Magelang, kota garnisun itu! Jelas! Pasti ! Sebab bila ia ingin ke Semarang, ia selalu mudah menemukan kursi di salah satu pesawat terbang dari Meguwo. Mau apa ia di Magelang? Saat itu aku memang sedang serba emosi dan kecurigaanku mendidih. Maka ajudanku kuperintahkan melapor kepada kepala staf kompi, bahwa aku dipanggil mendadak oleh komandan resimenku dan mohon pemahaman oleh komandan batalyon. Di hari-hari simpang-siur itu setiap komandan sudah tidak begitu banyak ambil pusing anak-buah pergi ke mana; asal jangan keterlaluan saja. Setiap orang cuma memikirkan nasib dan kepentingan sendiri-sendiri. Habis, mau apa. Tentara yang kalah dengan panglima tertinggi bunuh-diri, mau apa? ¹⁾Apapun korbannya, setia sepanjang segala zaman. ²⁾Iring-iringan kendaraan yang dikawal oleh panser-panser dan pasukan. ³⁾Born tarik, ranjau darat. ⁴⁾ Tugu di Yogyakarta. 85 Maka aku segera tancap gas dan ngebut mengejar Verbruggen. Menurut peraturan aku harus ikut dalam barisan konvoi yang kebetulan sedang menuju ke Utara. Tetapi aku hanya menyentuh topiku, tanda salut kepada para pengawal panser yang menjaga konvoi penuh barang (rampokan?) dan pengungsi-pengungsi; yang dijawab acuh tak acuh oleh komandannya sebagai tanda tahu- sama-tahu. Mereka pun sudah tidak ambil pusing apakah aku berhasil sampai di Magelang ataukah terkena jebakan gerilya di tengah jalan. Tambah mayat seorang kapten KNIL bukan soal. Bahkan dapat mengurangi persoalan dunia. Dalam saat perang normal, kematian seorang komandan kompi diartikan rugi. Dalam waktu tentara menunggu sekaratnya, setiap perwira yang tertembak bisa menguntungkan keseluruhan. Upacara penguburannya cukup dibayar dengan tembakan salvo peleton, yang memang sudah mengharapkan beban peluru mereka semoga dikurangi. Kalau dulu sih mudah, menembak ngawur atau main-main menghamburkan peluru, dan kalau ada yang bertanya (biasanya yang tanya itu tolol) mengapa ada mayat tambah satu, bilang saja, ada semak-semak bergerak. Kau tidak bohong, sebab setiap daun semak pasti bergoyang dan selalu dapat diartikan ada penembak tepat gerilya di belakang semak-semak. Ujaran seperti itu bisa dihibur dengan khayalan, KNIL belum bubar! Sebelum menyeberang jembatan Kali Elo, yang pernah menyaksikan pertempuran sengit antara tentara Jepang dan KNIL sekian tahun yang lalu, ya pada saat aku melintasi rel kereta-api antik yang memotong jalan-raya, ban roda jipku meletus. Dan tentu saja, ban serepku tidak dapat dipakai, karena ternyata menggembos juga. Apa daya. Sesudah memaki-maki dan mengumpat-umpat secukup selera, seperti layaknya seorang serdadu, kucoba menenangkan diriku. Sendirian aku di tengah jalan itu, aman di tengah hamparan luas sawah-sawah yang belum lagi ditanami sesudah dipaneni penduduk. Aku berdiri sebagai titik tengah suatu ruang arena terbuka luas indah. Di sebelah timur gunung-gunung Merapi-Merbabu tetap saja diam melamun. Di U tara, Gunung Sumbing yang mirip Fuji tetapi tanpa salju, dan di sebelah Barat sederetan kemenakannya, Pegunungan Menoreh yang tidak pernah dapat terjamah oleh begondal-begondal ¹⁾ Spoor. Di bukit itu menurut para NEFIS yang tidak terlampau cerdas, sebab jelas tak sulit ditebak, bersembunyilah panglima-panglima tentara Republik dan pemimpin-pemimpin sipil mereka. Tetapi di Sumbing juga, dan di Merapi-Merbabu jelas. Orang tak perlu jadi intel professional untuk tahu itu. Di tengah arena berdinding gunung-gunung pribumi itu aku tenang saja di situ, karena tidak mungkin aku diserang oleh gerilya dari arah mana pun. Hamparan sawah-sawah seluas itu yang melindungiku. Aku raja di tempat itu. Raja yang hanya dikalahkan oleh ban yang mogok, gembos. Rasaku, kaum Republik dari gununggunung di kejauhan itu semua sedang mengamat-amatiku. Orang-orang negeri ini ahli dalam seni diam dan tak pernah terbaca ungkapan apa yang harus ditafsir dati raut muka mereka yang abadi seperti Borobudur itu ... Oh ya, bukankah gugusan biru bernuansa gelap itu siluet Borobudur? Bukan di sana. Kira-kira saja di sana. Borobudur, simbol orang-orang pribumi yang hanya menunggu dan menunggu, sampai ada wahyu datang. Aku tahu itu dari keluarga Papi dari puri. ¹⁾ Para bandit. 86 Barang-barang musium di situ cenderung menjadi hitam karena asap kemenyan sekian abad, atau karena gerayangan-gerayangan tangan berlemak sekian orang bernaluri gelap yang membuat hitam dan mengkilap susu-susu Si Durga di Prambanan itu; nah, jiwa orang-orang di sini memang gelap tak pernah dapat ditebak. Negeri ini sungguh misteri. Durga Prambanan yang gelap mengkilap polos menawarkan. godaan susu-susunya, tetapi dingin mengejek, karena cuma batu. Berapa lama aku hams menunggu sampai konvoi yang memberi kesan serba frustrasi itu datang? Aku duduk di aspal serba berlubang yang tak pernah terpelihara sejak Ter Poorten menyerah di Kalijati. Tentu orang-orang konvoi tadi menertawakan kehebatanku yang konyol karena ban keparat ini. Tetapi toh aku harus bersyukur mendapat kesempatan sial ini. Sebab pemandangan luas ke segala arah ini sungguh menakjubkan. Tetapi apa guna alam indah tetapi penduduknya kuli goblog atau serdadu yang kalah? Memang terasa aku seperti terkurung oleh gunung-gunung dan dinding pepohonan desa di kejauhan itu. Ya, ya ... aku tahu jelas apa yang terbayang pada layar gelap pepohonan itu. Jelas aku diingatkan bahwa bagaimana pun aku anak negeri ini yang tak mungkin ke luar dan tidak akan mereka keluarkan dari tanah ini. Begitu peringatan dari pohon-pohon kelapa dan gori dan melinjo dan sawah-sawah yang sudah terlalu lama menunggu saat kapan dihamili lagi benih-benih baru. Jalur rel kereta-api beberapa meter dariku melintasi jalan aspal dan melengkung luwes membusur di atas tanggul yang menjulang di atas sawah-sawah, seperti ular piton raksasa yang mencari lubang di jurang kali Elo. Agresor piton baja dunia rasionalitas itu memotong begitu saja sawah-sawah kebaktian manusia-manusia tradisional negeri yang suka damai. Pengganggu keindahan asli jalan kereta-api itu. Ya, indah memang negeri ini, tetapi menjengkelkan karena tak pernah dapat terbaca apa sebenarnya isi hatinya, kendati pun didatangi agresor. Agresor! Tanggul mati sekian ribu kubik di atas tanah subur, hanya untuk memikul kerakal dan kayu ulin dan rel-rel besi demi peluncuran perjalanan suatu dunia lain, suatu sikap lain. Mengapa istilah agresor itu timbul dalam benak- ku? Aku tahu, minggu-minggu terakhir ini aku terlalu sadar, bahwa aku terlanjur ikut tentara agresor yang terhukum sekarat kalah. Dan konvoi yang nanti datang lewat itu benar-benar simbol memelas tentara yang keok ¹⁾. Konvoi tentara seharusnya membawa orang-orang berseragam gembira di atas tank-tank dan panser dan truk, kaum serba jaya viktoria yang melambai-lambai kepada penduduk yang hangat penuh syukur mengelu-elu mereka. Seperti dalam foto-foto yang memperlihatkan tentara Amerika masuk Prancis atau Belanda itu. Ya, itulah baru tentara idam-idaman setiap lelaki yang berkelahi. Tetapi di sini? Di sini konvoi harus menyusup seperti ular yang bingung mau tidur di mana, karena dikejar-kejar. Padahal perutnya sudah kebak tikus. Dan celakalah ular yang perutnya menggelembung kalau ia ketahuan tempat sembunyinya. KNIL kami sudah kenyang dan kepala ularnya Si Spoor itu sudah bunuh diri. Dan Soekarno serta kaum teroris (kami pahlawan polisi, haha) akan kembali. Nah, gerombolan-gerombolan di Gunung Menoreh dan Merapi-Merbabu-Sumbing itulah nanti yang dielu-elu. Tidak naik tank tetapi dengan sandal ban truk dan sepatu bolong. Tetapi dielu-elu! Ya, dielu-elu. Antara lain oleh ... Atik! Jengkel kutendang ban gembos itu dengan berangku yang kekanak-kanakan. Ke mana Verbruggen si bandit tua itu. Baginya tidak ada kalah atau menang. 87 Soalnya hanya sederhana saja, beli lotre lain. Tetapi aku tidak dapat begitu. Dan untuk pertama kali sesudah sekian tahun aku mendengar angin yang menggerisik di antara bunga-bunga rumput jarum. Aku duduk lagi di tepi jalan. Merapi itu terus saja merokok. Dan Merbabu temannya (atau istrinya?) diam juga. Merbabu itu sungguh betul babu. Bentuknya dan mentalnya. Negeri ini memang vulkan sifatnya. Semua onggokan itu masih bekerja sebetulnya. Hanya Merapi ini yang terang-terangan merokok tanpa mengingat sopan-santun adat Jawa, yang selalu pendiam serba diam dan diam. Simpatik dia Merapi. Tak tahu sopan-santun. Kurangajar merokok acuh tak acuh. Hah! Persis aku! Tiba-tiba aku merasa akrab dengan Merapi itu. Bagaimana sesudah perang atau, maaf, aksi polisional ini selesai? Ke mana aku? Aku tak sudi lari. Tetapi akan kuterima kekalahanku. Aku meludah. Sesudah tahun-tahun ini, aku sangsi apa di dunia ada yang disebut sportif Apa kau ikut Verbruggen saja? Atau menggabung dengan tentara Republik itu? Jadi kuli dari bekas kuli? Atau ke Negeri Belanda saja? Sebagai kapten kerajaan pasti ada beasiswa veteran nanti untuk belajar masuk ke Leiden atau ke manalah; Delft bagus juga. Jadi insinyur seperti cita-citaku dulu. Persetan, ke mana Verbruggen tadi itu? Tetapi apa urusannya aku kemari? Sungguh, sudah nggak keruan disiplin tentara kalah. Kulihat jam tangan. Masih setengah jam barangkali konvoi itu baru sampai di sini. Aku harus siap diejek dan ditertawakan. Hantam balas tentu akan datang nanti. Ya, tokh? Mudah-mudahan piket itu omong yang benar. Soalnya, tidak ada orang dalam tentara yang sadar sudah mau diloakkan, begitu saja percaya. Tetapi awas kalau dia bohong. Akan kutempeleng sampai salto tujuh kali dia. Aneh juga. Mau apa Verbruggen ke sana? Tetapi dalih apa yang harus aku katakan nanti kalau aku dipergoki! Sepanjang jalan sejak aku berangkat tadi kupikir, belum lagi ada dalih yang tepat kutemukan. Atau sebaliknya tak perlu pakai dalih saja? Omong saja bosan di markas, begitu. Mengapa menguntit? Omong saja, kan paling-paling ya itulah yang bisa dikerjakan orang bosan. Terlalu toloL Omong saja, jelas-jelas. "lngin tahu ke mana kau." Peduli amat! Apa, jawabannya nanti? Hahaha, jawaban satu yang paling meyakinkan: Karena kau bajingan. Aku ingin lihat perempuanmu. Ya, begitu saja. Satu hal yang saya senang dalam jenis bandit-bandit ini: mereka jujur. Karena mereka lebih dekat dengan binatang. Orang semacarn aku ini paling susah. Malaekat, tetapi bukan malaekat. Manusia, tetapi terlalu buruk untuk jadi manusia. Atik dan aku, kami berdua terkutuk untuk menderita. Sungguh gila, mosok sampai sekian tahun belum lagi tahu mereka ke mana. Atik, Papi, Mami, keluarga Antana. Mengapa tidak tanya di Sala? Kan pasti keluarga Pangeran Hendraningrat bisa bercerita. Barangkali Atik mengungsi ke sana. Ah, goblog, aku goblog. Barangkali Verbruggenlah yang ke sana, bila ia bilang katanya mau konsultasi dengan komandan di Sala. Mosok, konsultasi melalui radio kan bisa. Tetapi mengapa aku sendiri tidak ke Sala? Takut? Takut menghadapi kenyataan barangkali? Ya, aku takut. Sekarang jelaslah serba benderang, bahwa bila aku jujur, aku harus mengakui, aku takut. Aku takut mendengar tentang keadaan sebenarnya. Aku takut memergoki apa yang sesungguhnya terjadi. Aku takut bertemu muka dengan mereka. 88 Dengan keluarga Antana, Atik. Papi dan Mami sudah kuanggap tidak ada. Dimakan oleh api revolusi, begitu istilahnya barangkali. Ya, aku takut bertemu muka dengan Atik sebagai seorang yang kalah. Sebetulnya aku dapat bertanya kepada mereka. Tetapi aku tidak mau. Apakah barangkali Verbruggen melacak mereka? Dia bandit dan tahu caranya melacak mangsa. Orang-orang seperti Verbruggen ini aku paling suka. Orang bermoncong meriam tetapi jiwanya jip. Sanggup dan ikhlas memberi tempat untuk melaju dan ke mana saja. Jip, GP General Purpose, silakan dipakai untuk apa saja. Kalau di udara pesawat Dakota itulah. Pengangkut yang masih sanggup terbang terns dengan sayap satu hilang atau ekor bolong-bolong seperti kéré-kéré pengemis Republik itu. Persetan, mengapa Verbruggen ke sana. Di luar Magelang sedikit ke arah utara, di sisi kiri ada kompleks gedung yang pantas dipakai untuk kampus suatu universitas. Hah, Verbruggen ke sana! Ada Si Cantik yang ingin ia isengkan? Aku masuk gedung utama. Alangkah tenang sejuk suasana di sini. ltu di sayap kanan, rumah-rumah para "profesor" itu mengingatkan aku pada Mike, gadis bunga kelas di SD, yang pernah kuciurn dengan balasan kontan tamparan yang nyeri. Di mana dia Si Mike itu? Sudah jadi istri seorang komandan tentara Republik? Nanti dapat tanya. Aku melompat dari jip dan menuju kamar piket. Ada seorang Jawa bermental kuli menunduk-nunduk hormat dengan mata serba licik. Pasti di dalam hati dia membenciku dan berpikir: "Toh tinggal beberapa hari lagi Soekarno kembali ke Yogya dan tuan-tuan Belanda boleh tenggelarn di sarnudera kalau mereka dipulangkan ke negeri kodok. Dan kau N1CA Coklat, kau akan disatai. Akan pesta lidahku!" Bukankah begitu, kuli Jawa harus sopan seperti tai kucing? Tai yang sopan disembunyikan di bawah pasir? "Mari silakan, silakan duduk, Tuan." "Keparat, aku curna ingin menanyakan, apa tadi ada opsir Belanda! datang kemari. Kutanya tentang opsir Belanda! Tidak minta disilakan duduk." ''Ya, baik-baik. Mari dienakkan duduk di kursi. Maaf, Tuan ... " "Lekas, aku tidak punya waktu banyak. Dan kau tidak perlu menunduk-nunduk seperti kuli begitu. Katanya sudah merdeka." "Ah ya, maaf Tuan ... " Tiba-tiba mukanya mendongak dan mulutnya menganga. Aku menoleh, karena ada suara mengguntur: "Kapitein!" Ah, Verbruggen. "Hallo, bandit. Kau di mana? Kucari kau ... " ''Tutup mulut. Berdiri tegap dan beri hormat,” bentaknya begitu nyaring sehingga aku sungguh terkejut benar. Matanya menyala seperti mata tokek benggala. "Tidak dengar? Hormat !" Spontan aku membanting tumitku kanan dan tumit kiri, tegak dan memberi hormat militer. ''Perintah Komandan. Enyah kau dari sini! Pergi! Ini perintah militer. Pulang ke pasukanmu. Selesai." Aku tak bisa berbuat lain kecuali "Siap!" Ketika aku agak bengong lamban menuju jipku, ia membentak: "Lekas pergi!" Mendongkol jipku kunyalakan, tancap gas. Jip berputar menabrak tiang ramburambu di tepi dan masih sempat menyerempet bola-bola gede gerbang, menyambar ke arah Selatan. Malu! Mendongkol! Tetapi jelaslah sekarang, Verbruggen punya rahasia, yang ingin ia sembunyikan. Gas kulepaskan. Pelan-pelan sajalah. Mengapa harus ngebut? Pelan-pelan, masih banyak waktu. Ke luar Magelang di muka gerbang kerkop Belanda yang bergaya klasik Yunani kampungan dengan tiang-tiang seperti kaki nyonyah beri-beri itu aku dicegat MP ¹⁾. ¹⁾ Militaire Politie, polisi militer. 89 Setiap orang infanteri benci pada orang-orang bertubuh besar berhelm putih dengan huruf MP seperti kutukan Kain itu. Di tengah jalan aku dihadang. 1a memberi hormat. Dan dengan pendek, tegas tetapi toh menghormati, aku dipersilakan membelok dan berhenti di bawah gerbang gaya Yunani kampungan itu. “Ada apa!" Tetapi MP itu diam tak mengucapkan satu kata pun. Kurang-ajar. “Aku mau tahu, untuk apa tuan menahan saya." Tetapi MP tadi menuju ke rumah penjaga kerkop. Dan sebentar lagi seorang perempuan dengan menggendong anaknya dan diantar oleh seorang lelaki, suaminya tentu, ke luar dan disuruh duduk di atas rumput di salah satu nisan. Kedua orang itu gemetar dan menyembah-nyembah minta ampun. MP itu hanya tersenyum dan mencoba menerangkan dalam bahasa Melayu keliru : "Jangan takut. Ada tidak apa-apa." Ia lalu mempersilakan aku masuk rumah dan duduk di dalam. Berkecak pinggang aku bertanya, "Ini sandiwara apa?" Tetapi si polisi militer bergaya korekt ningrat menjengkelkan hanya menjawab. “Perintah. Hanya itu." ''Perintah gila, teriakku. Ia hanya mengangkat bahu dan berdiri di muka rumah. Berkecak pinggang. Kuambil rokok dari sakuku dan minta kepada mahluk nikotin itu agar menenangkan perasaanku. Apa aku dilaporkan telah lari dari pasukan? Tidak. Segala hal telah kuserahkan kepada wakilku dan aku jelas menerangkan, aku ke Magelang sebentar dan jam tiga siang pasti sudah datang di markas. Aku ke luar rumah. Kulihat perempuan-perempuan mencuci dan berak di kali Manggis dengan air seperti jenang coklat. Bahkan sungai di sisi timur kota Magelang yang sekotor ini ironis sekali diberi nama Kali Bening. Di negeri seperti ini, air yang begitu kotor penuh berak dan baksil toh sudah berhak disebut bening. Tetapi dalam kanal sekotor itu juga aku dulu sebagai anak kolong mandi dengan nyaman segar. Dengan norma apa bening dan kotor itu harus kita ukur? Masih ada juga yang mencuci beras di selokan itu. Dan dengan enaknya tanpa tahu malu perempuan-perempuan itu turun, membalik, mengangkat kain hingga pantat mereka menongol serba pekik kemerdekaan. Tanpa tergesa-gesa kedua bola mereka itu dicelup di dalam air; sambil omong-omong dengan rekan-rekannya. Biasanya pantat-pantat itu putih dan mulus halus. Yang putih dan halus rupa-rupanya di sini bisa bersahabat dengan yang kotor dan busuk. Apa arti mandi bagi mereka? Sering seperti berjingkrak-jingkrak dalam air caranya dan kadang-kadang ke luar juga sepasang susu besar yang sama-sarna coklatnya dan diseka seolah mau memelototnya. Bersih sudah. Sering tanpa sabun. Bangsa begini mau merdeka. Bah! Sersan mayor PM itu memeriksa Harley-Davidsonnya ¹⁾, lalu bersiul-siul sambil melihat jam tangannya. Pelan namun tegap ia melangkah ke arahku. Kutawari rokok. Kunyalakan sigaretnya. Melihat ke jam tangan lagi. Tuan Kapitein tidak perlu khawatir." "Kaum perang sudah terbiasa khawatir." "Untung semua sudah usai," dan dalam-dalam dihisapnya rokok. "Tadi kami hanya mendapat perintah telepon dari Letkol Verbruggen, ia ingin berbicara dengan tuan." "Spesial harus di sini?" ''Ya, perintah adalah perintah." "Kau dari mana?" ¹⁾ Merk sepeda motor. 90 ''Dari Limburg. Maastricht. Tuan pernah ke negeri Belanda?" "Hanya dalam pelajaran ilmu bumi dulu di SD." "Hidup lebih interesan di sini, Kapitein." "Untuk beberapa bulan. Akhirnya kalian kan, ya, suka pulang di negerimu." "Kami akan emigrasi ke Australia." "Sudah nikah?" "Kalau pulang nanti." "Kalau pulang ... ?" ''Ya, kalau pulang. Sering konvoi-konvoi masih terkena ranjau." "Tunangan cantik.?" "Cantik. gadis-gadis di sini, Kapitein. ''Bukan itu yang utama." "Memang." ''Berapa tahun atau bulan kau dinas di Hindia?" "Indonesia?" (Hatiku tiba-tiba tertusuk. Belanda petani totok tolol ini menyebut hormat Indonesia. Aku merasa tergugat) "Sudah sejak divisi 7 Desember dibentuk, Kapitein." "Sukarelawan?" "Terpaksa. Dinas milisi. Siapa mau sukarelawan ikut perang idiot semacam ini." Saya jengkel pada orang jangkung pengecut itu. Kan yang menyuruh perang bangsamu sendiri. Bersungut-sungut aku diam. Rupa-rupanya ia merasa keliru komentarnya. ''Maaf, Kapitein, saya menyebabkan kerugian waktu bagi Tuan. Tetapi itu tadi perintah." Aku tetap diam. Mau omong apa? Dia tidak salah, hanya menjengkelkan; karena terlalu jujur dan seolah-olah menyindirku. Bagaimana pandangannya terhadap orang-orang pribumi yang berperang ikut KNIL dan memilih pihak melawan bangsanya sendiri? Ia memberi hormat, "Maaf, ingin kutengok apakah Letkol sudah datang atau belum." Aku masih diam. Dengan langkah yang tegap sersan mayor yang bertubuh gagah itu menuju ke jembatan Kali Manggis. Mudah-mudahan ia tak terkena ranjau darat. Kan semua sudah selesai. Bagi yang milisi warta gembira, bagi yang sukarelawan warta pahit. Ia melihat ke arah pasar. Melihat jam tangannya lalu tenang pulang ke tempat aku duduk. "Kau boleh pulang," kataku, "Saya tidak akan lari." "Perintah adalah perintah, Kapitein." "Kau seperti tentara Jerman saja: Perintah adalah perintah." "Itu yang paling mudah, Kapitein. Yang paling menghindari persoalan yang tidak perlu, “ dan ia tersenyum tenang. "Menghindati persoalan artinya bertemu dengan soal lain." ''Bisa jadi, Kapitein." Tidak enak omong-omong dengan anak yang tidak terlalu intelek semacam ini. Aku yakin, ia benci padaku. Dari arah Pasar Besar datang suara mesin-mesin truk dan sorak-sorai. MP itu berdiri dan di cucuran atap rumah ia berhenti dan berkecak pinggang. Iring-iringan truk dengan dikawal sebuah mobil panser dan beberapa jip serta polisi militer bersepeda-motor lewat. Membawa orang-orang Hindia, sorry Indonesia, yang bersorak-sorai kepada pejalan-pejalan kaki dan yang bersepeda. 91 ''Merdeka! Merdeka!" seru mereka. Orang-orang di jalan mengangkat tangan dan menjawab hangat: ''Merdeka!'' Ada satu truk yang membawa bendera kecil merahputih. Kebanyakan orang-orang itu setengah umur. Hampir tidak ada yang pemuda. "Siapa itu?" Sersan mayor Belanda itu berkata datar, ''Mereka disingkirkan ke Yogya. Kaum Republik." "Tawanan?" ''Bukan. Kepala kantor, guru sekolah, bekas jaksa, semuanya kaum pegawai Republik." ''Dari gunung'?" "Tidak. Mereka tidak ikut gerilya. Tenang tinggal di kota. Tetapi preventip, untuk menghindari kemungkinan agitasi yang tidak perlu mereka disingkirkan." ''Mengapa tidak dimasukkan penjara saja?" "Suatu gupermen ¹⁾yang kalah tidak berhak lagi memenjara." "Menurut anggapanmu kita sudah kalah?" ''Anggapan saya tidak penting:' jawabnya menghindar. Sersan-mayor!" dan meluaplah amarahku. "Dengar dan camkan betul. Negeri Belandamu negeri pengecut." "Boleh jadi, Kapitein," jawabnya, terlalu tenang dan datar dan karenanya lebih menjengkelkan lagi. Diakui atau tidak diakui, aku merasa kalah terhadap anak petani Belanda totok yang terlalu tenang ini. Petani, tetapi mereka terpelajar. Sungguh aku mendidih. Tenang atau acuh tak acuh? Bagaimana pun aku merasa dikhianati. Aku yang pribumi membela kerajaannya, dia malahan begitu saja menyerah. "Merdeka! Merdeka!" dan tiba-tiba ada yang mengeluarkan lidahnya dan menunjuk padaku sambil menarik tangan teman-temannya. ''NICA INLANDER! Mampus kau nanti!" Panas tanganku otamatis memegang Viekersku. Tetapi itu tak mungkin. Aku akan merendahkan martabatku. Mereka harus kuanggap kunyuk-kunyuk belaka yang tolol. Tidak perlu diberi reaksi. "Sersan mayor!" Geram aku mendesis pada MP itu: "Itu calon-calon pembesar negara yang baru?" "Yang penting perdamaian ditanam di negeri ini: “kata petani Limburg itu. Tahu apa dia tentang masalah-masalah sebenarnya dari negeri ini! "Siapa tahu satu di antaranya sebentar lagi boleh bersantap bersama Ratu Yuliana dan Prins Bernhard," tambahnya. Kali ini ia sinis dan bersiullah MP itu suatu lagu unik yang tidak kuketahui apa. Pegawai-pegawai Republik itu berpakaian sederhana, dan semuanya bersih. Tampak mereka golongan priyayi. Mereka kelihatan gembira sekali dan lega bahwa kemenangan terakhir ada di pihak mereka. Seumumnya mereka sopan dan tidak berkelebihan sorak kemenangan mereka. Hanya pengecut satu tadi yang mengeluarkan lidah seperti anak kecil. Perkecualian. Bahkan sekilat pandang kulihat temannya yang diajak mengejek bergerak sikunya, tanda menolak ikut-ikutan menganiaya jiwaku. ¹⁾ Dari kata gouvernement (BId): pemerintah. 92 Tetapi toh ada satu truk berseru secara koor melucu: “ Dag mijnheer ! Dag mevrouw! Ayo mampeer, ik hou van yaau.” ¹⁾ Ketika aku menoleh, paman penjaga kerkop yang diusir dan masih berjongkok di dekat salah satu nisan jaman jenderal van Heutsz ²⁾ itu kulihat melambai kepada para republikan di dalam truk-truk itu. Tetapi segera dan sangat takut ia menarik kembali tangannya. Istrinya memegang tangannya erat-erat dan sedikit memarahinya. "Mengapa orang itu harus kau usir dari dalam rumahnya? Kan Verbruggen bisa omong-omong entah di mana pun. Agak aneh ini semua." "Perintah adalah ... " ''Perintah. Ya, ya sudah hafal aku. Terus-terang saja Sersan Mayor, kalau kau punya slogan begitu terus, calon istrimu pasti akan lari dengan seorang kopral lain." Untuk pertarna kali MP itu menyeringai dan omong agak panjang. Lebih muda dan lebih ferninin bila ia tertawa begitu. "Saya tidak akan punya kopral atau vaandrig di bawahku. Hanya sapi-sapi dan domba-domba. Di Australia sana." Toh aku terpaksa tertawa juga. "Maaf, Kapitein. Kapitein, giliran saya, bolehkah saya menawarkan cigarello ? Baru kemarin kuterima dari Katrin. Merokok berdua lebih lezat, bukan?" Dan tanpa menunggu persetujuanku ia sudah mengeluarkan kotak blek. Willem I Havanna, cigarello super fine. "Silakan Kapitein, aku hambamu." Dan dengan elegan, tidak serasi dengan ketanian yang hanya kuperkirakan itu, ia sudah menyalakan koreknya. Simpatik juga raksasa tani ini. ''Enak juga ini sersan mayor. Hai, saya ingin tanya padamu. Bagaimana pandanganmu tentang hari depan'?" "Oh, di rumah kurang menguntungkan, tetapi di Australia kukira cemerlang, asal mau kerja saja." ''Bukan, kumaksud negeri ini." ''Ya, bagaimana kukatakan, Kapitein. Sebetulnya aku tidak banyak punya pertalian batin dengan orang-orang di sini." "Mengapa kau main-main jadi tentara di sini? Ah ya, saya sudah tahu, perintah adalah perintah, bukan?" "Tepat, Kapitein. Juga dengan Negeri Belanda, tanah nenek moyangku, aku juga sudah tidak begitu punya pertalian emosi seperti ayahku atau bahkan dengan abang sulungku. Tanah-air adalah di mana ada kesayangan dan saling tolong-menolong, Kapitein. Tanah-tanah milik ayah dan abang semakin lama semakin dicaplok oleh pabrik-pabrik. Ya sudah, selamat tinggal. Gampang, Kapitein." ¹⁾ Tabik Tuan! Tabik Nyonya! Mari singgah, saya cinta padamu. ²⁾ Panglima tentara Belanda dalam Perang Aceh: ia juga Gubemur Jenderal Hindia Belanda. 93 "Menurut kau, lebih baik aku tetap tinggal di sini atau cari hari depan rnisalnya di negerimu Holland?" Sersan mayor itu memandangku dengan heran. "Maaf, Kapitein, saya tidak berhak menyarankan sesuatu. Hal itu harus ditanyakan kepada, maaf nyonya, istri Kapiten." "Saya belum beristri." Sersan mayor itu tertawa sangat simpatik, sehingga aku pun ikut tertawa. "Nah, kalau begitu sudah waktunya Kapitein." "Tetapi kembali pada pertanyaanku tadi. Bagaimana pendapatmu tentang haridepan negeri ini? Ya, sebelum itu kutanyakan kepada, yah menurut nasihatmu tadi, kepada calon istri." ''Ya, sekali lagi, sebetulnya aku belum sangat kenal dengan orang-orang di sini, kecuali sebagai tentara pendudukan. Memang rotzooi ¹⁾, Kapitein. Sial juga aku mulai berkenalan dengan mereka sambil membawa pistol di pinggang. Suatu permulaan yang idioot." ''Berbahagialah kau belum kenal negeri ini." "Tetapi rupa-rupanya penduduknya baik-baik saja. Saya dulu punya paman, Kapitein. Dia pernah jadi asisten residen di pulau entah saya tidak tahu namanya. Di Indonesia ini. Sebelum perang. Sekarang dia sudah mati, dalam tawanan ]epang. Dia dulu dalam bulan-bulan cutinya banyak bercerita tentang daerah bawahannya. Bahkan pernah saya ditumbuhi gagasan untuk ikut dia jadi penanam kopi atau tebu di sini. Dia berkata, bahwa penduduk di sini kejam sekali. Wajah serba senyum dan sopansantunnya luwes, tetapi terhadap sesama bangsa, keji. (Apakah dia menyindir KNIL lagi?) Sebagai asisten residen ia setiap hari keliling untuk mendengarkan keluhan rakyat dan membela mereka terhadap kesewenang-wenangan raja atau bupati mereka." "Itu betul." “Tetapi saya pikir, kalau itu betul, mengapa kaum Gupermen itu kong-kalikong dengan raja-raja dan bupati-bupati mereka? Apakah dia bohong dan hanya membual saja, aku tidak tahu. Kukira di mana-mana sama. Maka kupikir, tanah-air adalah di mana tidak ada kekejaman antara orang dengan orang. Kalau adat atau kebiasaan suatu nasion kejam, kukira lebih baik jangan punya tanah-air saja. Aku sudah tidak sabar menunggu hari kami berangkat ke Australia, Kapitein." "Maka jagalah, agar jangan sampai menerjang ranjau darat, atau terkena peluru penembak liar." ''Ya, ranjau darat keparat itu. Tetapi ... oh, itu Letkol Verbruggen sudah tiba." Sebuah jip menyambar pagar jembatan dan masuk ke pelataran kerkop. Sersan mayor MP tadi memberi hormat kepada Verbruggen, kepadaku dan langsung HarleyDavidsonnya meraung. Aku pun memberi hormat pada atasanku. Sungguh mati, aku tidak dapat menerka sedikit pun, mengapa ia memilih tempat yang aneh ini. Tetapi ia langsung masuk rumah dan aku diajak masuk. "Saya ingin bicara dengan kau. Sayang ilharnku hanya tahu tempat ini, yang kuanggap paling enak untuk bicara privat dan tidak perlu berputar-putar jalan. Rokok?" ¹⁾ Brengsek. 94 "Cigarelloku belum habis." "He, cigarello hebat, dari mana?" "Kado dari seorang gadis." "Gila, kau punya?" ''Bahkan Belanda totok." "Edan! Awas, jangan main-main." "Aku tidak bohong." "Leo!" dan sekarang nadanya lebih berwibawa dan serius. "Kenapa kau menguntiti saya?" "Kenapa kau pergi ke sana?" Kepalnya memukul meja, sehingga gelas dan sebatang sendok kuningan berdering. "Kau kapitein, saya loitenant-kolonel. Omong!" (Saya ingat niat bohongku tadi). "Terus terang, saya curiga." "Curiga?" "Kau tidak seperti biasanya. Saya kau punya antena prajurit. Saya mencium sesuatu yang menurut rasaku harus saya selidiki. Dan lagi aku rindu pada Magelang." "Sentimentil. Yang lampau adalah lampau. Tidak perlu kita korek-korek kembali lagi." "Apa betul, Letkol? Kau yakin pada apa yang kau katakan?" "Verdomme!" Dan nervous ia menyedot dalam-dalam sigaretnya. "Leo, jangan memaksaku berbuat yang bukan-bukan. lni soal serius, kau tidak perlu campur-tangan atau pun tahu." "Apa yang serius? lni apa? Kau semakin mencurigakan, Verbruggen. Baiklah, saya sudah memperingatkan kau. Jadi jangan mempersalahkan saya kalau ada akibat-akibat yang tidak enak." “Apa ada di dalam keadaan edan seperti ini yang masih bisa lebih tidak enak?" "Okey, okey. Saya sudah tua dan kau sebentar lagi juga akan tua. Dengarkan. (Dan ia menatap padaku, lirih berbisik.) Ibumu sudah kutemukan." Hah?" Mataku membelalak dan asap cigarelo menyeruduk paru-paru sehingga aku batuk-batuk tidak keruan. ''Ya, Marice. Tidak usah banyak basa-basi. Ia kutemukan di Rumah Penyakit Syaraf Kramat sana tadi." Seperti terkena granat Howitzer 10 inch aku hanya bisa bungkam dan membelalak. Ibuku di rumah gila? Kramat Magelang adalah rumah gila. Ya Tuhan ... siapa yang gila, mereka atau aku sekarang? Lemas aku duduk setengah berbaring di atas ranjang itu. Mamiku malang. Verbruggen menepuk-nepuk bahuku seperti seorang ayah. ''Jangan berlagak kau lebih menderita dariku. Pikullah ini sebagai seorang prajurit." Aku menangis, tetapi dengan tangis yang kering, dengan teriak yang senyap, dengan jiwa yang kosong. Karena aku diam saja, Verbruggen bercerita terus. Dengan suara yang tenang, atau dibuat-buat seolah tenang. Dia pun menderita. Barangkali lebih menderita dariku. Aku tidak mengira cinta lelaki bisa begitu mendalam dan tak bisa luntur. “Aku ingin menyelidiki sendiri. Tanpa diganggu orang. Aku pun manusia dengan perasaan, dan betapa pun bandit aku ini, aku pernah mencintai ibumu. Kuselidiki di pihak-pihak ningrat sana. Aku kenal siapa kaum kerabat ayah dan ibumu. Dan merekalah yang menceritakan riwayat sedih itu. Tanpa melantur segera aku mencari ibumu di Kramat." Parau aku bertanya: "Ia bisa diajak bicara?" 95 "Bisa. Ia bukan gila dalam arti liar. Seperti wataknya dulu, ia tenang. Hanya diajak dialog ia tidak bisa. Ia hanya ... " Aku meloncat dan berlari ke jipku. Tanganku dipegang erat oleh Verbruggen. "Nanti dulu." "Biarkan aku. Aku mau melihat ... biarkan aku. Kutembak kau !" Verbruggen mendesis. "Gila kau. Malu tidak kau didengar orang-orang di selokan itu." Aku lunglai merebahkan diri di ranjang. "Leo, kita akan bersama-sama menengok ibumu. Tetapi dengan hati yang tabah dan siaga. Tidak seperti anak puber begitu. Sekali lagi, jangan mengira kesedihanmu lebih besar dari kesedihanku. Penderitaan anak bisa dalam. Tetapi penderitaan kekasih bisa lebih dalam. Maka itu jangan berlagak. ltu kalau kau lelaki dan bukan seorang banci sentimentil yang cuma bisa meong-meong kayak kucing." “Apa?" Dan Verbruggen kupandang dengan nyala apiku yang benci. Tetapi matanya yang biru abu-abu itu jauh lebih menyala dan aku merasa kecil di hadapannya. "Tidak, tidak!" Aku meloncat ke luar. Sesudah itu aku sudah tidak ingat diri lagi. Kelak aku tahu, bahwa pada saat itu tangan Verbruggen maju dan dengan pukulan silat di tengkuk, aku dibuat tidak sadar. Tidak banyak yang dapat kuingat dari pertemuanku dengan Mami, sesudah sekian tahun tidak bersua. Sebab, saat itu aku sedang kacau dan satu-satunya kesan yang masih tinggal dalam kesadaranku hanyalah satu ini. Seorang wanita kurus dan pucat, tetapi masih cantik. Dan wajah kurus putih yang cantik tersenyum itulah yang kuanggap anugerah warisan terakhir yang kuterima langsung dari Mami. Ibu sudah tidak dapat diajak berdialog. Pada setiap pertanyaan beliau hanya tersenyum dan berkata lembut: ''Ya, segala telah kuberikan. Segala telah kuberikan. Tetapi mereka mengingkari janji." "Mami, Mami tahu aku siapa?" ''Ya, segala telah kuberikan, segala." "Mami, aku Teto, anakmu Teto. Mami, aku Teto." ''Ya Teto, mereka mengingkari janji." "Mami, ini karibmu lama, Verbruggen. Ingat tidak Verbruggen!" “Ah, bagaimana kabar Verbruggen. Ya, sungguh segala telah kuberikan. Tetapi, ya begitulah mereka mengingkari janji." Akhirnya aku menangis tersedu-sedu dalam pangkuan ibuku. Tetapi Mami hanya tersenyum dan menyeka rambutku. "Leo, Leo, Mami telah memberikan segala-galanya. Tetapi mereka mengingkari janji." Pandangan mata ibu nampak jauh. Seolah-olah ia sudah di "sana", tidak di "sini" lagi. Tetapi ibu sangat tenang wajahnya dan segala gerak-geriknya sama seperti dulu. Dokter jiwa Kramat, seorang Indonesia yang sudah agak tua dan tampak lelah, mengatakan bahwa ia tak mampu berbuat apa-apa. Barangkali para psikiater di Eropa dapat menolongnya? Segala-gala telah diberikan. Tetapi mereka mengingkari janji. Dengan kata lain, tidak ada gunanya kami mencari Papi di "sini". 96 13. Burung Kull Mendamba Menjelang senja Larasati dan ibunya minta diri dari pak Lurah untuk berjalan-jalan sedikit. Jarang mereka dapat berlibur. Dapur umum tidak pemah beristirahat. Sejak Ayah tersayang gugur, Atik dan Bu Antana bersepakat untuk berbakti di desa, di antara para gerilyawan. Rumah di Cemorojajar mereka kosongkan dan memang para tetangga semua mengungsi juga. Daripada mereka tanpa guna di dalam rumah kosong di dalam kota yang diduduki musuh dan setiap kali takut diperkosa serdadu, lebih baik minta perlindungan kepada saudara-saudara desa yang begitu baik menolong mereka dalam keadaan yang paling pahit. Ibu Antana dan Atik sudah sepakat untuk mengebumikan suami dan ayah di dalam kuburan desa saja. Selain mustahil mengangkut jenazah ke kota, keputusan mereka diberi makna yang indah juga. Pak Antana sejak kecil pecinta alam dan sebenarnya hanya terpaksalah dulu tinggal di Kramat. Tetapi dalam tulangsungsumnya, Pak Antana hanya bahagia di antara pohon-pohon dan sawah-ladang yang bebas. Maka dari segi itu dapat dianggaplah rahmat, bahwa suami dan ayah kedua wanita itu gugur justru di tengah sawah. Atik selalu ingat kepada anak ayam yang dulu direnggut burung elang di halaman neneknya. Begitulah alam. Namun mereka yakin, penguburan di desa pasti sangat berkesan kepada jiwa pribadi yang mereka sayangi. Sejak itu, ibu dan putri bekerja-bakti di dapur umum para gerilyawan di suatu desa di seberang jurang Juranggede yang bernama Grojogan. Tugas di dapur berat secara fisik, tetapi dari segi penyegaran jiwa tak berat. Sebab begitu mereka lalu tidak merasa sebagai pengemis yang hanya menerima pengayoman tanpa imbalan. Tanpa dapur umum perjuangan para gerilyawan mustahillah. Dan selalu saja ada pekerjaan atau tugas mendadak yang lekas-lekas harus dise1esaikan. Tetapi petang itu Bu Antana dan anaknya ingin makan angin sedikit, sebab pagi tadi datang berita yang sangat menggembirakan. Seorang kurir dari Banaran, tempat Staf Umum TNI bersembunyi, membawa warta bahwa Bung Karno dan Bung Hatta beserta se1uruh Pemerintah akan dipulangkan ke Yogya. Bahkan seluruh dunia mence1a Belanda, terutama India dan negara-negara bersahabat di Asia; tetapi tidak boleh dilupakan juga, Amerika Serikat. Kali ini permasalahan akan diselesaikan secara total. Indonesia akan diakui oleh dunia internasional dan akan segera diadakan Konperensi Meja Bundar. Dan konperensi ini hanya beracara tunggal: penyerahan kedaulatan kepada RI. Ke1ak Larasati tahu, bahwa bukan RI, melainkan RI Serikat yang akan dibentuk itu yang bakal menerima penyerahan. Akan tetapi kurir ketika itu berkata RI. Dan tentulah hal itu yang paling wajar. Larasati dan ibunya tahu, bahwa sebentar lagi mereka harus meninggalkan desa Grojogan. Atik pastilah akan sibuk lagi sebagai salah seorang sekretaris di Kementerian Luar Negeri. Dan ibunya? Belum lagi tahu, apa yang akan dikerjakan. Yang jelas, ke rumah abangnya di Surakarta dulu. Dan jika Atik harus ke Jakarta nanti, tentulah ibunya harus ikut pula. Maka pada sore hari itu, kedua wanita itu menuju ke kuburan untuk berdoa di pemakaman, yang hanya diberi tanda dua tonggak kayu sengon. Atik gelisah, tetapi ibunya tidak tahu bahwa Atik gelisah tidak karena teringat ayahnya. Ya, tentulah Atik mengenang dan berdoa untuk ayahnya, akan tetapi gagasannya se1alu saja terbawa lari entah berentah, ke Teto. 97 Kemenangan nasional bagi Atik dibayangi oleh sayap elang gelap, bila mengingat nasib Teto sekarang. Apakah dia akan dapat menerima kekalahannya? Bagi Atik dan barangkali untuk setiap wanita yang mencinta, soalnya bukan kalah atau menang, sebab permainan sondakh mandakh ¹⁾ cinta tidak mengenal itu. Tetapi Atik sadar juga, bahwa tidak segampang itu perkaranya. Sebab Teto bukan wanita. Bagi lelaki, apabila ia berwatak rusa raja atau bermuka banteng, soal kalah atau menang sangatlah vital, bahkan sering yang paling merajale1a segala gagasan dan sikap. Dan kedua, Teto justru ada di pihak yang kalah fisik, pada pihak yang oleh kaum sebangsanya dicap sebagai pengkhianat, penjual bangsa. Kesalahan Teto hanyalah, mengapa soal keluarga dan pribadi ditempatkan langsung di bawah sepatu lars politik dan militer. Kesalahan Teto hanyalah, ia lupa bahwa yang disebut penguasa Jepang atau pihak Be1anda atau bangsa Indonesia dan sebagainya itu baru istilah gagasan abstraksi yang masih membutuhkan konkretisasi darah dan daging. Siapa bangsa Jepang? Oleh huruf-huruf hitam mati di koran memang disebut bangsa Be1anda, kaum kolaborator Jepang dan sebagainya. Tetapi siapa bangsa atau kaum ini itu, bila itu dikonkritkan? Bila itu dipribadikan? Bila menghadapi Paijo atau Suminah, Willem van Dyck atau Koosye de Bruyn? Yang menodai Bu Kapten bukan bangsa Jepang, tetapi Ono atau Harashima. Dan karena kelaliman Ono atau Harashimalah seluruh bangsa Jepang dan kaum republik yang dulu memujamuja Jepang dikejar-kejar. Pak Lurah dan Mbok Sawitri yang mengepalai dapur umum di desa, serta Pak Trunya yang dulu menolong Pak Antana tidak ikut-ikutan dengan kekejian Ono. Tetapi kesalahan semacam itu apalah artinya bagi Larasati. Teto tetap Teto, dan bukan "pihak KNIL". Ah, mengapa ada manusia kalah? Bolehkah tanpa berkhayal hampa kita mendambakan suatu dunia sesudah perang kemerdekaan ini, yang menghapus dua kata "kalah dan menang" itu dari kamus hati dan sikap kita? Atik merasa intuitif, bahwa pada hakekatnya manusia diciptakan hanya untuk menang. Ataukah itu gagasan yang hanya mungkin timbul, karena yang punya gagasan itu ada di pihak yang menang? Sedangkan manusia yang kalah akan berkesimpulan lain, sebab beranjak dari pikiran atau penghayatan yang lain juga, ialah, bahwa manusia pun hakekatnya adalah kekalahan konstruksi absurd, bahan tertawaan, batu tindasan. Mungkinkah kalah dan menang itu diganti oleh satu konsep saja, unsur-unsur harmoni, kendati tempatnya bertentangan? Apakah kematian ayahnya harus diartikan malapetaka atau pintu gerbang ke tingkat kebahagiaan yang lebih luas dan mulia? Atik yakin, bahwa tak mungkin ayahnya sekarang dalam keadaan menyedihkan. Sebab ayah manusia yang baik dan budiman. Bagi yang ditinggal, memang menyayat hati. Tetapi bagi yang meninggal? Lalu apa beda dari ide-ide para pemberontak di Madiun itu yang melihat segala-gala bagaikan pertikaian air lawan api, agar tercapai hasil air teh? Bukan dialektika, melainkan dialog seharusnya. Ah, di sinilah lagi, manusia dilihat dengan istilah pukul rata: para pemberontak yang punya ide ini itu. Siapa konkrit "para" itu "yang" ini itu? Beberapa orang ataukah "mereka semua"? Tidaklah mudah untuk melihat saudara sebumi dan seangkasa ini sebagai engkau Marsudi" atau "anda Nani". Sebagai ... Teto dan Atik. Apalagi kalau sudah menjurus soal cinta. Atik cukup paham, bahwa cinta bukan hanya udara kimia homogen rasa cinta belaka. ¹⁾ Dari kata Zondag-Maandag (Bld): permainan anak-anak. 98 Perkelahian, perbantahan, kejengkelan teremban juga dalam keseluruhan yang disebut cinta itu. Tetapi dalam cinta memang perkelahian menjadi lain. Bagaimana kelak kalau punya anak, diberi nama Bambang Dialogo'? Dan bila perempuan: Siti Harmoni? ''Ada apa kok tertawa?" tanya ibunya. "Tidak ada apa-apa." "Mosok, tidak ada apa-apa kok tertawa." "Kan sering begitu Bu, orang itu." ''Aku tidak." ''Ya, karena tidak melihatnya." "Ingat Teto, ya?" ''Ya, Teto dan ayah dan ibu dan Pak Lurah dan tahu tempe dapur umum." Ibunya hanya geleng-geleng kepala. Langit Barat serba menyala dan awan-awan hitam terakhir dari musim hujan masih saja bergumpalan, namun dengan tepi-tepi kencana yang menakjubkan. "Semoga Teto masih selamat dan ke luar sehat walafiat dari perang ini," kataAtik. "Benarkah di luar sahabat Teto tidak ada pria lain?" ''Pria sih banyak, Bu. Tetapi suarni kan tidak hanya pria saja. Ibu tidak pernah setuju bila aku menyebut Teto." "Seorang ibu selalu begitu, Tik. Dan jangan lupa, Tik. Suarni lain dari kekasih belaka." ''Ya, aku memahami itu. Sudah banyak kali ibu mengatakan itu. Aku setuju, aku setuju, Bu. Tetapi kan boleh, dalam senja yang indah seperti ini orang berfantasi tentang kekasih. Lihat itu, langit pun berwarna-warni seperti bunga-bunga fantasia." Bu Antana dalam hati sebenarnya sudah menyerah, seperti biasanya, menghadapi Atik yang cerdas dan selalu jujur membidik tepat mengenai sasarannya. Bu Antana tidak pernah dapat banyak membantah. Satu-satunya pegangan yang dipunyai Sang Ibu hanyalah pengetahuan, bahwa Atik tidak akan berbuat yang bukan-bukan. Tetapi dari pihak lain, anak yang pandai belum tentu ahli juga dalam masalah cinta. Rasionalitas yang tinggi sering diikuti oleh kesentimentilan yang mencemaskan. Ah, sebetulnya Atik dapat memiliki hari-depan yang gemilang. Ia selalu berkecimpung di kalangan teratas dari negara yang muda ini. Dan sekarang, di ambang pintu kejayaan pengakuan kedaulatan Republik yang mereka perjuangkan itu, lebih gemilang lagi hari-depan Atik. Dan di mana ada ibu yang tidak menginginkan kedudukan bagi anaknya yang lebih bagus dari orangtuanya? Tetapi Bu Antana terkenang juga masa mudanya. Ketika itu pun Marsiwi tidak mustahil dipersunting oleh seorang pangeran keraton Sunan Surakarta. Sekian banyak putera dari garwa ampil akan gembira memperoleh Raden Ajeng Marsiwi ... lnikah hukum Karma? Tetapi bila hukum Karma menjadi kehidupan, tentulah Atik juga akan bahagia seperti ibunya ketika memperoleh Mas Antana. Dari pihak lain, apakah suaminya yang seluhur budinya itu, yang halus penuh tenggang rasa dapat disamakan dengan Teto, serdadu KNIL, yang dicap pengkhianat dan penjual bangsa? Bu Antana tahu, seperti seluruh keluarga di Sala, mengapa Teto berbuat demikian. Tetapi apakah motivasinya cukup berbobot? Bu Antana tidak mungkin menempatkan diri duduk di kursi hakim. Namun sekarang ada permasalahan yang langsung mengenai dirinya. Atau lebih tepat mengenai anak tunggalnya Atik . 99 Erat-erat tangan anaknya dipegang, seolah khawatlr hilang. Sekali lagi ia masih akan mencoba. Siapa tahu, anaknya akan berubah haluan, pada saat yang terakhir. Sering tarikan tiba-tiba sedikit saja sudah dapat membelokkan layang-layang pada saatnya, bila kebetulan kena. Seperti puteri-puteri priyayi tinggi lainnya, Bu Antana dulu juga sering bermain layang-layang. Tetapi tidak seperti anak-anak lelaki. Layang-layang puteri-puteri bangsawan berbentuk segitiga, terbuat dati sutera dan dari ketiga ujung itu terikat dua belas saputangan berwarna-warni. Ah, seperti kemarin saja masa kanak-kanak dirasakan Bu Antana; di jaman yang tidak pernah ada perang dan revolusi. Tidak bisa dibanding. Segala situasi serta perkara-perkara besar-kecil pun tidak bisa dibanding. Bukan layang-layang sutera bersapu-tangan warna-warni yang dihadapi hari ini, tetapi pesawat pemburu yang menyemburkan maut untuk suaminya. Memang benar kata Atik, kasihan suaminya tidak mengalami lahirnya cucu. Seolah-olah hidupnya berakhir tanpa berkat. Tidak seperti bunga yang gugur karena selesailah tugasnya. Suaminya dirampok dari tengah-tengah mereka. Dan sekarang anaknya bersimpati atau bahkan mencintai salah seorang wakil dari pihak yang membunuh suaminya. Mengapa semua itu harus terjadi? Bagaimana pertentangan itu harus ia emban? "Tik, bukan aku ingin mengganggu pikiranmu ... " ''Boleh Ibu, gangguan seorang ibu kan baik-baik saja." "Juga ibumu tidak berkehendak menusuk perasaanmu." ''Ah, tusukan ibu kan tusukan enak." ''Tik, serius. Bagaimana seandainya, ini hanya ... hanya seandainya. Bagaimana seandainya Teto tidak berminat padamu, jangan lagi melamar. Kan bertepuk tangan sebelah tidak bisa." "Kalau dia tidak melamar, sayalah yang melamar." Terkejut Bu Antana mendengar ucapan yang menurut adat tidak semestinya itu. ''Apa itu tidak memalukan, Tik?". "Memalukan? Ah, Ibu. Kan Atik tidak mencuri, tidak bohong, tidak berbuat eh ... tidak ... jinah?" "Ya, tetapi bagaimana seorang puteri kok melamar." “Biasa, melamar. Keleting Kuning melamar Ande-Ande Lumut. Kan hikayat Jawa itu punya arti: ngunggah-unggah ¹⁾ asal baik-baik caranya, diakui syah, atau istilahnya: berusahalah." Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya. ''Bagaimana andai ayahmu tahu itu?" "0, Ayah pasti setuju dengan Atik." Dalam hati Bu Antana tahu, bahwa dalam masalah seperti ini, suaminya pasti akan memihak anaknya. Tetapi bagaimana nanti seandainya Teto menolak? "Sekarang yang benar, Tik. Pernahkah kau menerima surat atau apa pun dari dia?" ''Belum.'' "Nah, bagaimana kau tahu bahwa ada kemungkinan dia akan menjawab kecenderungan hatimu?" "Aku tahu." "Apa pernah ada tanda-tanda ke arah itu?" "Tentu saja Pernah." "Pernah? Kapan?" ¹⁾ Wanita yang melamar pria. 100 "Ya, kapan-kapan. Tetapi pernah." "Kau belum pernah cerita itu kepada ibumu." "Maaf, Bu. Memang belum." "Hati-hati Tik, jangan bermimpi." "Dalam jaman seperti ini, kadang-kadang mimpi kan sering perlu Bu." Dan pinggang ibunya dirangkul. Bu Antana menyerah, seperti setiap wanita Jawa sejati akan sumarah. Dalam keadaan apa pun. Tanpa patah-hati. Atik menoleh dan ibunya diputar melihat ke arah sebaliknya, ke kawah Gunung Merapi yang terkena oleh sinar senja. "Lihat, Bu. Alangkah inginnya aku sesekali naik sampai di atas puncak itu. Dan mengembara ke dalam hutan-hutan lereng-lereng itu. (Dan lirih berbisik) Seperti dulu, bersama Ayah ... Ataukah barangkali Ayah sedang mengembara di sana juga, di puncak itu? Tidak. Ia di samping Ibu sekarang. Di sampingku juga. Ibu tidak mendengar Ayah? Bisikan Ayah?" Bu Antana diam, mata berlinang-linang dan mendengarkan suara angin. Bagaimana nanti seandainya Atik sudah kawin dan hidup bersama dengan suaminya? Selayangan timbul pikiran jelek: setiap peminang anaknya adalah perampok. Yang menjambret kebahagiaan seperti yang sekarang ini, berdampingan dengan anak tersayang. Kalau sudah kawin, Atik sudah milik orang lain. Terasa getir jadi janda yang harus menyertai menantu. "Ibu, mari duduk di batu ini. Agar tenang dapat menikmati puncak gunung itu." Desa persembunyian markas dan dapur-umum para gerilyawan itu begitu dekat dengan puncak Merapi sehingga terang tampak kepulan-kepulan keci1 seperti bintikbintik bulu anak ayam turun dari kawah. Setiap tiga-lima menit keluarlah bulu-bulu asap itu, dan menggelinding ke bawah. Puncak dan lereng itu tampak kasar telanjang tanpa pepohonan. Hanya lahar saja, dan tampak jelas kontras reliefnya, mana punggung mana jurang. Petang semakin dingin, tetapi Larasati selalu memohon agar masih boleh menunggu beberapa menit. Udara dingin di lereng gunung. Karenanya mereka telah membawa jas-jas hangat. Bahkan jas yang dipakai Bu Antana adalah jas berbulu tebal, hadiah isteri seorang sekretares Goodwill Mission dari USA yang bersimpati terhadap Larasati. Barangkali agak longgar sedikit untuk Ibu, tetapi lebih baik begitu. Kedua wanita itu menunggu tenggelamnya matahari. Bintang-bintang pertama telah menyala dan segeralah langit suram menjadi gelap. Lihat, lahar yang menyala kini tampak jelas, seperti lidah Batara Agni yang senantiasa mengancam manusia yang pernah mencuri api dari kahyangan. Penduduk desa pulau Jawa umumnya tidak berbeda dari gunung-gunung yang mereka huni, pikir Atik: serba tenang, damai, namun kedamaian lereng vulkan yang setiap saat dan periodis meletus memuntahkan lahar. Minggu yang lalu tersiar berita tentang seorang sersan mayor di desa seberang jurang, yang kata orang mengobrakabrik makam orang desa Juranggede yang meninggal pada hari Selasa Keliwon. Ia ingin mendapat kesaktian dan mencari kekayaan. Dunia kaum diplomat internasional dan dunia mayat Selasa Keliwon yang digigit patah lehernya, alangkah lebar jurang di antara kedua dunia itu. Di manakah Larasati berdiri? Diam kedua orang itu memandang pada lidah api yang setiap tiga-lima menit meluap lalu pelan-pelan mengalir ke bawah. Pijar-pijar api menyertai lidah. Lalu berhenti. Ke luar lagi. Pemandangan yang mencekam. 101 Sudah berapa ratus ribu tahun puncak Merapi itu bermain lidah api begitu? Tentulah nun jauh di kala dahulu, gunung Merapi belum setinggi itu. Barangkali dulu kawah melalui liang leher Merbabu disebelahnya. Kita hidup di atas tungku yang masih panas bergolak. Negeri ini subur dan gending-gending sinden-sinden mengalunkan kedamaian manusia-manusia penanam padi di lereng-lembah. Kesuburan hadiah dari muntahan gunung api yang buas. "1bu, barangkali Atik tidak akan terus bekerja di Kementerian Luar Negeri." Dalam gelap suara yang hampir berbisik itu terasa sebagai angin malam yang mewartakan berita penuh kekhawatiran ke dalam telinga ibunya. "Apa lagi, Tik! Di Kementerian Luar Negeri karirmu bisa terjamln. "Aku seolah mendengar pesan Ayah, Bu." Tubuh anaknya ditarik dan dirangkulnya. Berdebar-debar jantung Jawa sang 1bu menanti apa yang akan dikatakan anaknya itu. "Aku ingin meneruskan pekerjaan Ayah. Di dalam dinas kehutanan, Bu." Dalam gelap tidak tampak tetapi seperti kawah Merapi itulah airmata panas dari kedua wanita itu meleleh. Ya, begitulah. Sudah seharusnya begitulah. Mengapa gagasan semacam itu tidak datang dari kalbu si 1bu? Bu Antana merasa bersalah terhadap suaminya. Apakah selama ini ia baru teman hidup, dan belum seperti yang selalu diajarkan oleh para orang-tua, belahan jiwa, garwo? Seharusnya ia lebih dulu merasakan itu. Ternyata toh anaknya Larasati lebih dekat dengan ayahnya. Seolah-olah kesejatian diri suaminya itu sekarang sudah pindah raga dan memanjing di dalam kalbu anaknya. Dan lebih terasa lagi kesepian hati Bu Antana menghadapi nasib ditinggal sendirian. Sebentar lagi anaknya harus pergi juga. Lalu kawin, Lalu ... BuAntana menangis. "Maaf, Bu, saya tidak tahu, bahwa itu membawa kesedihan 1bu." "Tidak, tidak, Tik," dan menangislah lirih ibunya. Apakah Gunung Merapi itu sedang menangis, tanya Atik dalam hatinya. Karena begitu sesak rongga dalamnya, alam sering menangis pula. Atik merasakan sumber kekuatan ayahnya. Ayah pandai berdialog dan menangkap pewartaan alam. Mengapa ibuku menangis? Ah, tentulah ia merasakan kesedihan jandanya. “Aku tidak sedih, Tik. Bahkan sebaliknya." "Kalau begitu, menangislah tenang Bu, Atik akan selalu mendampingi Ibu." "Sekali saat kau harus meninggalkan ibumu. Itu sudah selayaknya. Ibu akan lebih bersedih hati kau menjadi perawan tua. Pohon yang mandul. Jangan, Tik. Kau harus segera kawin. Siapapun terserah kau. Asal Atikku bisa bahagia seperti ibumu." Atik diam. Pemilihan hati yang ditentang membawa kesulitan banyak. Akan tetapi pemilihan yang sudah diberi jaminan ruang kebebasan bahkan tujuh kali lebih sulit. Sekarang bahkan ia bimbang, betulkah keyakinannya selama ini, bahwa hanya Teto yang paling ia dambakan? Mengapa ia memilih Teto? Karena ingin menyelamatkannya dari suatu kehancuran yang sudah menampakkan diri dalam seragam serdadu KNIL sekian tahun yang lalu di jalan Kramat itu? Apakah rasa kasihan cukup untuk dijadikan sendi hidup perkawinan? Di mana dua pucuk senjata yang dilemparkan Teto ke dinding itu sekarang? Pada saat itu Atik paham benar tentang kebimbangan,sahabatnya yang malang itu. Teto sendiri sebenarnya bahkan membenci keputusan sikapnya itu, akan tetapi toh ia berbuat terus melawan suara hatinya. Ataukah hanya keliaran binal saja itu? Gerak gaya jago serba berani menentang bahaya yang ingin ia perlihatkan? Barangkali ia malu menghadapi seorang gadis dengan pistol dan senjata otomatik? Atik tidak pernah merasa diri punya watak Srikandi. 102 Tetapi dapat dibayangkan betapa malunya Resi Bisma ketika harus berhadapan dengan lawan perempuan Srikandi. Tetapi Atik tidak pernah punya niat untuk melukai Bisma sedikit pun. Ataukah ada kekuatan Ambika yang melayang di udara dan yang mengalahkan Bisma, sehingga Teto terpaksa lari? Lari karena takut? Tidak. Pasti tidak. Teto tidak mengenal takut. Ia lari, barangkali karena tidak kuat menghadapi situasinya, menghadapi konflik batin antara nafsu membalas dendam nasib ayah dan ibunya dan perasaannya terhadap dia, Atik. Apakah itu harus ditafsir sebagai sebentuk sasmita rasa cinta yang terpendam? Selama ini begitulah tafsiran Atik. Tetapi apa benar demikian? Di mana senjata itu sekarang? Sudah lama hal itu tidak ia tanyakan lagi. Kawan-kawan Larasati yang menjemputnya di Krarnat VI dulu itu berhasil pulang lagi ke rumah Proklamasi di Pegangsaan Timur dengan riang, dan telah menyelundupkan kedua senjata itu ke dalam mobil. Tentulah mereka bertanya, dari mana ada dua senjata itu. Atik sulit bohong. Tetapi toh ia berhasil membelokkan kemungkinan kecurigaan. Ada serdadu India yang rupa-rupanya mau merampok, tetapi meninggalkan senjata itu dengan bayaran suatu patung ukiran Bali sebagai kenangan. Dongeng itu sarna sekali tidak logis. Tetapi di saat-saat serba panik dan teror, semua hal mungkin saja terjadi ... dan dipercaya. Sesekali akan ia tanyakan lagi kepada Mayor Budi, kawan yang menjemputnya dulu itu. Ingin ia minta kembali kedua senjata itu. Kalau boleh sebagai kenangan. Toh sekarang sudah tak dibutuhkan lagi. Serdadu India yang merampok? Atik tersenyum sayu. Seandainya benar, alangkah bahagianya, perampok hati. Tetapi biarlah. Memang mengharukan dongeng Ande-Ande Lumut. Tetapi siapa lelaki tulen yang mau jadi Ande-Ande Lumut? Angkasa penuh bintang ini seharusnya indah dan cukup menerangi kegelapan hati. "Tik, ibumu sudah terlalu kedinginan. Dan kita harus menolong mereka di dapurumum. Lagi, tidak pantas kan perempuan sendirian di kegelapan." "Ibu kan tidak sendirian di kegelapan?" "Tidak sendirian, tetapi sendirian juga." "Mari Bu." Sambil pelan-pelan berjalan pulang bergandengan dengan ibunya, Atik memperhatikan suara-suara warta alam yang sudah bersiap untuk istirahat. Konser serangga-serangga cenggeret-nong yang selalu ramai menggesek biola mereka serba dialog sudah berhenti, "gerèèèt-nong gerèèt-nong" disusul: "sigarèt-crèt-sigarèt-crètsigarèt-crèt" begitu mereka sejak tadi. Bahkan sering berbunyi begini serangga-serangga itu "sendiko! sendiko! Sendiko ¹⁾ Namun kini mereka sudah berhenti. Ah, itu si burung kul yang terlambat pulang barangkali. Burung kul atau kukuk itu memang tukang mengeluyur, dan buruknya selalu menitipkan telur-telurnya dalam sarang burung-burung jenis lain. Watak kolonial sungguh, seperti NlCA. Lagi aneh burung-burung kul itu. Yang betina berwarna coklat merah tua bercahaya hijau dan berbintik-bintik muda. Cantik anggun sebetulnya. Tetapi yang jantan jelek, hanya hitam seperti gagak belaka dan memang sering keliru dianggap gagak. Hanya kalau terbang tampak bedanya: si burung kul ekornya lebih panjang dan cara terbangnya lebih tergopoh-gopoh. ¹⁾ Sendiko (bhs. Jawa): siap taat. 103 Tetapi ocehan jantan dan betina anehnya lain juga, padahal burung satu macam. Yang betina lebih puitis: "culik-ulik-ulik" dan disambung "kuil-kuil-kuil!" Sehingga orang menyebutnya burung culik-ulik; sedangkan yang jantan sangat prosa: "Tuhuu-tuwoo, tuhuu-tuwoo!" Maka diberi nama burung tuhu atau tuwo. Lucu kalau mereka berdialog: culik-ulikulik ! Disambut: Tuhuu, Lalu: kuil--kuil--kuil! Tuwoo! Dulu Atik sangat senang clan banyak tertawa karena percakapan mesra mereka: "Culikulikulik-Tuhuuu-kuilkuil-Tuwoo." Tetapi sekarang semua itu mengingatkannya pahit kepacla tragedi ke1ainan bahasa clengan "abangnya" Teto. Mungkin ibunya lebih betul: Larasati harus lebih realistis. Romantika revolusi inclah memang, tetapi hanya clalam novel picisan. Kuil-kuil-kuil! Tuwoo! 104 B a g i a n III 1968 - 1978 14. Jurang Besar His Excellenry John Ambassador Brindley mengangguk-angguk. Sopan-santun setempat mengharuskan beliau mengangguk-angguk sambil kadang-kadang betkata takjub: "Bagus! Bagus!" ltu kata pujian pertama yang ia hafalkan sejak ia diangkat menjadi duta-besar di negeri vulkan yang cantik jelita ini. Dan juga "terimakasih", "maafkan". Memang gunung berapi yang sangat runcing itu benar-benar indah. Nyonya Duta Besar dan puterinya, kedua-duanya tidak merasa sejuk sedikit pun, kendati punggung sampai pinggul menampakkan kulit berwarna bakso Mbah Kliwon. Harus diakui, alam di sini indah. Suasana mendamaikan jiwa. Segera mereka sibuk mendesingkan kamera film mereka. Ke arah kerucut yang puncaknya sobek besar,dan yang tampak kadang-kadang melemparkan gumpalan-gumpalan , kecil awan putih. Tetapi tak lupa juga lensa kadang-kadang dibidikan ke arah anak-anak melarat yang berduyun bersotak ria ingin masuk ke dalam alat film itu; entah dengan harapan apa tak seorang pun tahu sebenarnya. Pokoknya senanglah, senang murni. Anak-anak itu riang dan untunglah semua serba berisi daging. Tak ada yang kurus memalukan negara, begitu pikir Pak Camat. Noni puteri duta-besar itu (atau kemenakan, tak ada yang tahu persis tentu saja) dengan tersenyum minta bapak-bapak polisi yang banjir tanggung-jawab itu, agar jangan mengusir anak-anak. berjingkrakjingkrak, mulut bergigi terlalu besar seperti kelinci mereka berebutan ingin jadi bintang film. Pak Gubernur dalam hati malu melihat tingkah anak-anak itu yang kurang menunjukkan kewibawaan negara. Ia mendekati Pak Bupati dan tampak mukanya seram marah. Pak Bupati hanya dapat mengangguk-angguk, siap melaksanakan perintah. Ia pergi ke Pak Camat. Maka ketika nyonya-nyonya itu mengejar duta-besar yang menjauh, yang rupa-rupanya ingin menaksir dalamnya jurang, dengan tangan serawehan ¹⁾ Pak Camat memberi aba-aba tanpa kata, agar anak-anak itu enyahlah. Seorang anak terjatuh bersama kakaknya dan menangis keras. Seorang polisi mendekati mereka dan tampak dari gerak tangan dan kulit mukanya, bahwa gadis dengan anak menangis itu, "oknum-oknum yang tak diinginkan",persona non grata. Tetapi anak-anak dan muda-mudi yang sudah sejak pagi menunggu kedatangan tamu-agung di Juranggede, jurang MEREKA, tentu saja tidak mau begitu saja disuruh pulang. Berduyun-duyun mahluk-mahluk gesit itu mengikuti rombongan tamu-agung ke mana saja mereka pergi. Bapak Gubernur tampak kesal melihat bangsanya begitu terbelakang, ndeso ²⁾. Begitu juga Pak Bupati; tetapi bukan karena anak-anak itu kurang internasional, tetapi karena ia baru bupati penjabat. Karena itu apa pun yang mungkin dapat menjadi batu perintang kenaikan pangkatnya menjadi bupati sungguh-sungguh harus disingkirkan. ¹⁾ kalang kabut. ²⁾ Seperti orang desa. 105 Pak Camat juga kesal hati melihat anak kepangrehannya begitu tak tahu adat mendekati tamu-tamu agung. Ia khawatir juga, jangan-jangan nanti Pak Bupati menanyakan soal SD Inpres yang selama ini belum beres soal pembangunannya, dan berapa jumlah anak yang akan ditampung sesudah SD Inpres itu selesai. kalang kabut. Seperti orang desa. Dan anak-anak itu? Sama sekali tidak kesal hati. Anak diusir sudah merupakan hal yang semestinya terjadi. Bahkan luar biasa aneh kalau tidak begitu. Tetapi dari pihak lain, bila anak tidak menggubris perintah dan menjengkelkan seperti lalat yang diusir tetapi nekat kembali lagi, nah, itu pun sudah biasa juga. Aneh juga andai anak tidak seperti lalat. Untung Sang Duta Besar sudah membiasakan diri dengan cara penyambutan anak-anak negara yang sedang berkembang. Istrinya juga, bahkan puterinya sudah belajar memanfaatkan adat dikerumuni anak-anak dan orang-orang pribumi. Ia punya hobi mengumpulkan foto wajah-wajah macam-corak orang-orang dan anak-anak miskin, atau yang rupanya sudah buruk, tua bangka keriput, atau yang aneh-aneh, pokoknya manusia-manusia pribumi yang "interesan" istilahnya. Foto-foto itu dipasang di dalam kamarnya sehingga merupakan semacam komposisi unsurunsur wajah yang, betul percaya deh, bisa dikatakan bermutu seni juga. "Negeri Tuan sangat indah," kata Duta Besar penuh sanjungan diplomat kepada Gubernur. Mungkin juga ia jujur mengatakannya itu. “Dan rakyat tuan tampak subur serba gembira," tambahnya lagi, sambil melepas kaca-matanya yang gelap lebar. "Kami bangsa Indonesia bangsa yang selalu gembira" jawab Pak Gubernur dengan nada bangga. "Apa ada satu orang pun Yang Mulia lihat kurus?" "Tidak! Sungguh tidak! Pipi-pipi anak-anak itu bulat-bulat segar dan ..." ia membisikkan sesuatu dalam telinga Pak Gubernur, yang mendadak tertawa gelakgelak "Betul! Betul Yang Mulia, montok-montok kaum perempuan kami." Pak Duta Besar membisikkan sesuatu lagi. Pak Gubernur tertawa lagi. "Terlalu! Yang Mulia terlalu. Memang ini keprihatinan kami. Kalau Indonesia sudah modern, semua menjadi kerempeng. Ah jangan, jangan. Kami akan berusaha untuk menjaga kepribadian bangsa kami. Tetapi apa betul Yang Mulia, ada hubungan antara tehnologi dan eh ..." Tetapi Pak Duta Besar membelok 180 derajat, sebab istrinya mendekat dan memotong 'Sorry, John! Kau tadi bawa teropong? Lihat ini Pak Gubernur, suami saya. Sudah tujuh kali aku bilang: Jangan lupa teropong! (Kepada suarninya) Nah, Sayang…….? "Pasti tidak lupa, Sayang. (Kepada Pak Gubernur). Apa di Indonesia para istri berhak memerintah pejabat berpangkat tinggi?" (mata dipejamkan satu), Pak Gubernur hanya tertawa. 106 "Tergantung istri yang bagaimana, Yang Mulia." Istri Duta Besar tersenyum dan kepalanya oleng genit mendengar sanjungan itu. Sementara John Sang Duta Besar merangkap Sang Suami mengambil barang yang dikehendaki istrinya, pak Gubernur bertanya: "Bagaimana Nyonya, pemandangannya?" "Indah. Indah sekali. Saya sudah pergi ke mana-mana, akan tetapi seindah ini belum pernah kujumpai. (Menunjuk ke kawah Merapi.) Lihat itu ada lagi yang menggelundung. Ngeri sebearnya. Bayangkan itu jatuh di desa penuh dengan anakanak manis itu." "Kami sudah siap siaga. Sudah saya instruksikan pengaturan-pengaturan pengungsian dan segala hal perihal logistik apabila gunung ini meletus. Tetapi yang penting ialah menginsafkan penduduk, Nyonya. Pemerintah kami sudah mempersiapkan tempa-tempat transmigrasi yang bagus untuk hari-depan mereka. Tetapi sangat sulit menyadarkan mereka. Dan Nyonya tahu, negara kami berpancasila. Jadi kami tak pernah memaksa penduduk. Kalau mereka tidak mau pindah, baiklah, kami menghormati kemauan mereka. Jalan-jalan pertolongan lain masih ada." "Memang berat rasanya meninggalkan tempat yang begini dah. Lihat, segala-gala di sini hijau dan biru. Hanya lidah lahar itulah yang hitam. Tetapi subur, sangat subur tanah ini." “Itu berkat, tadi kulihat, hujan abu vulkan-vulkan kami, Nyonya." "Ya, kami tahu. Tapi tadi kulihat selokan kecil. Aduh, alangkah bening airnya. Nanti kami berhenti sebentar ya, di dekat selokan itu. Ingin aku berhenti sejenak dan mendengarkan airnya yang gemericik. Bapak Gubernur bahagia menjadi bapak rakyat daerah yang semakmur ini. Dan anak-anak itu, aduh anak saya tak henti-henti sangat terpesona oleh mereka. Manis, manis. Juga pemuda-pemudanya nggantengngganteng. Ada yang wajahnya klasik, seperti dalam Ramayana." Pak Gubernur tampak berkemilau wajahnya. Tetapi matanya tak bisa lepas dari kamera film yang dibawa tamunya. Ia mencoba mengingat-ingat merknya. Untuk bertanya ia malu. Beliau sudah punya, tetapi hanya merk Jepang. Selaku pejabat yang bertanggung-jawab atas wilayah yang luas, beliau merasa wajib untuk membeli kamera film yang lebih bertanggung-jawab pula. Anak-anak melongo mendengarkan percakapan dalam bahasa asing itu. Sungguh mengagumkan bisa berbahasa asing. Gadis-gadis pada melongo memandang kulit putih punggung yang telanjang sampai pinggul dari nyonya-nyonya itu. Padahal dingin di lereng gunung. Heh, berketingat juga, tetapi keringatnya bau, deh. Bukan seperti kambing tetapi mirip, entah aneh sekali, daging sapi mentah. Ketiaknya ternyata juga ada rambutnya. Lho, kok sama. 107 Tapi susunya besar, Pak Gobang punya, kusir gerobak sapi yang gemuk dan selalu mengkilau kulitnya seperti batu kali item kena hujan. Beberapa anak lelaki berdebat, uang di dalam dompet nyonya itu berapa kira-kira. Kontan dipukul kakaknya perempuan, yang takut perdebatan itu terdengar para pembesar. Mereka lari dan menggulung-gulung di rumput. Pesta sungguh hari ini. Ada yang bisa dilihat. Banyak yang mengerumuni mobil-mobil pembesar, sambil berdiskusi bikinan mana dan sebab apa yang satu punya lampu kuning banyak dan yang satu ada tulisan pelat CD. Berulang-ulang Pak Polisi mengusir anak-anak yang gatal tangan itu. "Cah ndéso¹⁾” umpatnya. "Belum pernah lihat mobil, ya?" Anak-anak hanya melihat Pak Polisi seperti mengharapkan keterangan apa artinya CD itu, dan mengapa lampulampu kuning begitu banyak. Tetapi rupa-rupanya Pak Polisi tidak tahu juga. Maka mereka berjongkok dan mencoba melihat ada apa di bagian bawah mobil. Terkejut mereka diserodog teman dan spontan cepat-cepat berdiri, disangka dimarahi polisi. Sambut-menyambut ketawa tentu saja dan berlari-larilah mereka kejar-mengejar. Puteri Duta Besar memandang mereka berlari sambil tersenyum. Rakyat yang bahagia, pikirnya dengan sedikit dambaan pada semacam Lost Paradise. Pak Bupati yang masih penjabat itu memanggil Pak Camat. "Bagaimana Giyo, garong-garongmu?" "Aman Pak. Selama Giyo tiga tahun di sini, belum ada kejadian. Insya Allah tidak akan ada peristiwa berat, Pak. Tetapi sebetulnya Bapak maklum juga, ini hanya tergantung dari kabupaten seberang jurang sana. Sebab di sanalah sarangnya, sejak jaman Belanda dulu." Pak Bupati mengerenyitkan mukanya. Mata menyipit memandang jauh ke seberang jurang lahar ke daerah rekannya Bupati Anu. ''Begitu1ah, memang Anu sahabatku. Tetapi ia terlalu bermoral. Maling harus ditangkap dengan maling. ltu sudah dalil. Kau kenal semua gentho²⁾ di daerahmu?" "Semua, pak. Itu beres. Tetapi yang berasal dari seberang jurang sana itu, susah Pak. Lain kowilhan ³⁾ itu!' Mayor Intel Korem ikut masuk gelanggang percakapan ten tang garong. Masalah garong punya unsur-unsur politik, katanya. Tetapi yang jelas, semua setuju: menangkap lurah garong hanya mungkin dilakukan oleh lurah garong lain. ltu kebijaksanaan abadi. "Coba nanti." Dan pergilah Pak Bupati sambil menunduk. Lalu ia memeriksa para Fanta, Coca-Cola dan khusus bir kuning dan hitam berkeringat dingin yang sudah rapi disediakan untuk tamu-tamu agungnya. Ia sudah haus, bahkan semakin haus karena inspeksi itu. ¹⁾ "Anak Udik !". ²⁾ Kepala bajingan. ³⁾ Komando Wilayah Pertahanan. 108 Tetapi tamu-tamu itu masih saja asyik bertamasya. Bah, enak jadi Duta Besar. Coba jadi Bupati ... tiba-tiba dadanya sesak seperti ada gas berbisa kiriman gunung yang menyusup dalam dadanya. Ia teringat, ia masih penjabat. Ia meludah. Terkejut sendiri ia. Gila, ada tamu agung kok meludah. Untung mereka tidak melihat. Karjo sedang mendangir bibit cengkehnya ketika Mas Sepandri mendekatinya. Ia sedikit menyesal, mengapa dulu tidak beli bibit yang daun tunasnya merah. Padahal selisih harganya hanya dua ratus rupiah. Rugi sebetulnya menanam bibit murah tapi jelek. Soalnya, dulu ia tidak tahu, bahwa bibit yang baik harus merah pucuk-pucuk daun mudanya. Mengapa Bimasnya dulu diam saja! Barangkali mereka sendiri tak tahu. Apa lacur, sudah terlanjur. ''Delapan tahun lagi kau kaya, Jo!" “Apa ... " (ia mendangir terus, nadanya kendor harapan.) ''Berapa sudah cengkehmu?" ''Delapan batang mana bisa kaya." "Sekarang delapan. Buahnya per pohon kira-kira sepuluh ribu biji. Ditanam lagi menjadi delapan puluh ribu batang "Dagelan kuna! Kabar apa dari kota?" "Saya tidak ke kota." Lho, katanya mau beli cangkul." "Maunya. Tetapi ada rombongan tamu agung. Pikir-pikir, ah beli cangkul hari lain bisa." "Untuk apa tamu agung dilihat?" "Tidak untuk apa-apa. Tetapi akhirnya untung aku melihat. Memang betul firasatku." "Firasat apa lagi. Makanya kau selalu rugi menebas kayu sengon. Terlalu banyak firasat. Menang buntut lima ribu jadi apa, dulu itu hayo ... akuilah. Kalau tidak, saya bilang pada istrimu." "Hus! Kau sudah janji bungkam mulut." Sebetulnya petualangan Pak Sepandri sudah sepengetahuan istrinya, bahkan atas persetujuannya. Jadi sarna sekali tanpa risiko sehitam kuku pun. Tetapi Pak Sepandri harus jaga gengsi. "Kan janji itu ada untuk tidak ditepati. Seperti hutang ... " "Eh, jangan omong kosong. Sekarang sungguhan, Jo: Terka siapa yang kulihat tadi." "Katanya tamu agung." "Nhah, salah seorang pengantar tamu agung itu, siapa?" Karjo masih juga mendangir terus. 109 "Nggak peduli siapa. Asal jangan Warnojebug." "Kau mencret mendengar namanya. Si Setankopor." "Heh?" Karjo tegak berdiri mata membelalak. "Hah, betul kan, kau mencret. Makan kerak kuali gosong obatnya." "Kau cuma menakut-nakuti orang. Apa hubungannya dengan Setankopor?" "0, banyak sekali hubungannya. Sebab ia jadi bupati sekarang. Sudah saya tanyakan pada polisi pengawal. Yang seperti Arab, hidungnya agak bengkok itu bupati? Betul, ia bupati yang baru. Nah, selamat mampus kita." "Siapa bilang mampus…siapa bilang mampus." Tetapi Karjo sudah kehilangan selera bekerjanya. Ia cuma menatap ke perdu jeruk yang kulit batang cabangnya serba terkena cendawan putih seperti aluminium. Lesu cangkul dipikulnya. "Mati masuk, Ndri! Omong yang tenang." Dan kedua orang itu menuju rumah bambu yang mulus bersih, dengan lantai tanah agak tinggi, bertepi batu-batu kali besar. Tegaklah rumah bambu itu di atas permukaan tanah kebun, dengan tangga tiga lempeng batu vulkan sebesar nisan jaratan. "Sudah, duduk sini sajalah,” usul yang disebut Sepandri tadi, "Panas di dalam." Dan duduklah ia di emperan, nyaman di lincak di beranda, yang terbuat dari bambu kuning tutul yang mengkilat sendiri tanpa dipelitur. "Terserah maumu. Preeh! Ada di dalam kau?" seru Karjo kepada istrinya. Tak ada suara menyahut. "Ikut melihat tamu agung di Juranggede barangkali” komentar Sepandri, sambil mengeluarkan selepen ¹⁾ rokok Kedunya; dan memulai meletakkan kertas rokok di atas pahanya. Lusa Kliwon aku harus ke kota, pikirnya. Sudah hampir habis persediaan tembakaunya. Tidak ada tembakau yang lebih hitam ngganteng dan ampeg berkaliber berat, tetapi justru nikmat datipada tembakau Mbah Petruk muka pasar. Beli satu kilo ditambahi gratis kupon undian. Memangnya cuma berharga Rp. 25,kupon itu, tetapi siapa tahu ia mendapat dua juta. Tetapi terang pasti mereka lihai. Tidak mungkin orang seperti Mas Sepandri dari dusun puncak gunung akan mendapat hadiah. Semua itu sudah disetel di atas sana. Tipuan. Bocengli ²⁾! Tetapi biar tipuan, siapa tahu orang gunung toh mendapat hadiah dua juta. Dan lagi, dengan atau tanpa tambahan kupon gratis, bagaimana pun Mas Sepandri toh akan beli tembakau Si Mbah Petruk. Hanya isenglah kupon itu. Jelas ia tidak akan mendapat hadiah itu. Tetapi siapa tahu ah, dua juta nomplok ... mau apa ya? Tahu ... kawin lagi? Gila! ¹⁾ Tempat (wadah) tembakau saku. ²⁾ Sangat buruk, kurang ajar. 110 Kenapa harus kawin kalau tidak kawin juga bisa! Dosa sebetulnya. Lebih tepat memalukan. Mosok, harus sembunyi-sembunyi melakukan perkara yang setiap orang secara syah mengerjakan dengan istri-istri mereka. Dunia ini sulit memang. Lebih sulit lagi kalau bupati sekarang Setankopor. Mana ini Si Karjo. Dikunjungi malahan lari. Mandi barangkali. Atau menggodog teh? Nggak perlu. Yang penting tembakau Kedu ampeg, kelembak-kemenyan dan kertas sigaret merk Admiral Kumpeni. Negara ini boleh PKI, silakan, asal sanggup menyediakan empat itu: Tembakau Kedu ampeg, kelembak, kemenyan dan kertas sigaret merk Admiral Kumpeni. Sudah, itu saja. Dan terserah Bupati Setankopor atau Setandompet asal empat tadi itu: tembakau Kedu ampeg, kelembak, kemenyan dan kertas sigaret merk ... Admiral Kumpeni. Tahu? Mas Sepandri mengambil koreknya yang mengkilat nikkel berbentuk klasik DRP. Ditarik-tariknya sedikit sumbunya, lalu kress! Belum menyala. Kress! Nhah, sekarang konsentrasi pada api dan pucuk rokok ... dan dihisapnya dalam-dalam asap Kedu ampeg dengan nikmatnya dan ... dengan mata terkatup jiwa-raga Mas Sepandri melayang ke regol ¹⁾ syurga firdaus. Mas Sepandri disebut Sepandri karena memang dulu ketika masih muda-belia ia serdadu Belanda, bahkan dapat cepat naik pangkat sampai jadi sepandri. Kata orang, sepandri itu pangkat serdadu yang sudah membuktikan ia jago tembak. Tetapi Mas Sepandri belum sempat menembak musuh. Dengan batalyonnya ia dikirim menjaga jembatan besar Kali Prago 25 km dati Yogya. Tetapi Jepang datang dari Gunung Kidul dan entah utara sana. Tahu-tahu Belanda sudah menyerah kepada Jepang. Disuruh jadi heiho ia tidak mau, karena sudah terlanjur cinta kepada Halimah istrinya yang pernah jadi babu seorang letnan Jawa ningrat Sala di Magelang. Letnan itu (Brajabasuki namanya) pernah dibebaskan dati kamp tawanan, akan tetapi entah mengapa ditangkap lagi oleh Kenpeitai dan konon dibunuh. Maka sungguh, Halimah tidak mau kalau suarninva ikut Jepang. Mas Sepandri sering mengejek istrinya: "Andai dulu saya jadi heiho, sekarang pangkatku sudah kapten. Tidak cuma bekas sepandri yang harus menggergaji dan jual papan sengon." Istrinya mengakui kebenaran pengandaian itu. Tetapi nalurinya tahu juga jawabannya yang tepat: "Kalau kau kapten, kau pasti sudah menceraikan aku dan kawin dengan mahasiswi." Mas Sepandri: ''Tapi kalau kau saya ceraikan, pasti kau sebagai bekas istri kapten, pada hari itu juga kontan kawin dengan saudagar tembakau. Itu lebih untung." Kalau sudah sampai sekian, istrinya hanya tertawa dan merogoh di dalam sabuk pinggang pengikat kainnya. Dan Mas Sepandri diberi uang Rp 200,- atau sering bahkan Rp 500,¹⁾ Pintu gerbang halaman. 111 "Ini! Untuk beli tembakau! Orang laki-laki mau menangnya saja." "Uang sedikit begini mau dibuat apa?" protes suarninya dengan wajah yang senang. "Untuk mendaftarkan Heiho sana!" Selalu begitu Mas Sepandri. Kalau ia sedang membutuhkan tembakau, maka disebumya: kawin dengan saudagar tembakau. Kalau membutuhkan batu baterei, ia menyindir tentang penjaga toko cantik penjual batu baterei dan seterusnya. Dari luar mereka hanya terdengar saling tuduh-menuduh dan cekcok saja. Tetapi begitulah cara mereka saling cinta. Cinta? Nhah, itu kata muluk. Jodoh, cocok, itulah. Dan kalau Mas Sepandri kadang-kadang mentraktir dirinya dengan kenikmatan daging perempuan lain yang memang dijual secara halal menurut hukum perdagangan yang berlaku, itu pun karena Mas Sepandri disuruh istrinya. Soalnya istrinya sangat suka berdagang dan bila ia sudah duduk di loji pasar di tengah rempah-rempah, sayuran dan ikan-asin yang berbau tengik, nnah, di situlah sudah ditemukan surganya. Jadi terlalu sering mengandung tidak enak untuk yang harus duduk bersila serba bisnis berbau trasi di pasar. Dan seminggu tiduran di rumah bersalin dan mengurus bayi jelas merepotkan. Bukan berarti sang pedagang rempah-rempah tak suka punya anak. Dua anak laki-Iaki sudah jadi orang, satu di Lampung, satu ABRI di Ambon. Dan gadis besar anak bungsunya yang cerdas pasti laku jadi menantu restoran gulai atau gudeg Sido-Nyamleng ¹⁾ sudut Pasar Muntilan itu seandainya si gadis mau. Dari pihak lain Mas Sepandri dulu bekas serdadu KNIL, jadi ia berhak berkenilkenil. Maka dibuat gampang saja. Berdamai istilahnya. Tetapi kali itu, ketika Mas Sepandri bercanda tentang "kawin dengan direktur pabrik sepeda", sumber dana tersumbat. Keterangan istrinya: minggu yang lalu banyak ibu-ibu sedesa pinjam uang. Memang beruntung bila ditinjau dari segi peredaran modal, sebab hutang Rp 1.000,setiap bulan dikembalikan Rp 120,- begitu sampai 10 bulan. Tetapi tentu saja modal Mbok Sepandri habis bila terlalu banyak orang yang pinjam. Dan kali ini memang banyak yang membutuhkan kredit. ''Ada apa?" tanya Mas Sepandri agak gusar. "Tarikan kambing, ayam itik." "Lho apa-apaan ini?" ''Ya, mereka bilang kalau tidak bayar, kambing ayam bisa hilang." ''Masyaalah, hilang bagaimana?" ''Ya hilang, begitu. "Disita?" "Tahu. Pokoknya kalau nggak bayar, tahu sendiri." "Siapa yang bilang?" ''Ya orang-orang itu." ¹⁾ Jadi lezat. 112 "Orang-orang yang mana?" ''Ya yang mau pinjam uang pada saya, goblog!" "Hus, tanya baik-baik digoblog-goblogkan." "Memangnya gitu, sudah ah, saya mau cari tebasan mlinjo ¹⁾ . Nanti kalah duluan sama Si Kepiting, cilaka." ''Yuyu Kangkang maksudmu?" "Kangkangmu!" ''Aduhai, galak bener nyai hari ini." "Biar galak. Kalau nggak galak nggak bisa hidup. Jaman sekarang!" Mas Sepandri tahu kalau disindir. Sebab memang tanpa usaha si perempuan berlidah uang kertas yang jadi bininya itu, mereka tak bisa hidup. Artinya tidak bisa beli Petromaks, beli sepeda untuk Si Anak atau ... tiba-tiba ia ingat, masih butuh kupiah. Pici beledu. Yang dipunyai sekarang sudah mendekati gombal. Berdamai, berdamai sajalah. Maka selesailah percakapan cinta suami-istri itu. Yang satu pergi mencari tebasan mlinjo, yang lain menuju ke rumah sahabat senasib yang pernah terkena pukulan Setankopor dulu. "Jo, ada lagi soal gawat nih." Dan semua laporan istrinya tadi tentang pungli hewan-hewan oleh pesuruh-pesuruh si Lurah garong diceritakannya. Gawat, menurut Sepandri sebetulnya pertama-tama berarti: ia belum mendapat uang untuk beli pici beledu. Tetapi sahabatnya menangkapnya dengan naluri Keibodan abadi. Karjo punya kambing juga, tetapi mengapa ia tidak diberitahu, ada tarikan baru. Ketika Prihatin, istrinya dipanggil, temyata semua hanya mendengar dari Mbok Dariyo, istri petani yang berkat untung nalo ditarnbah warisan dari sekian moyang, tergolong orang mampu di desa. Pak Dariyo sedang latihan gamelan. "Mas, ada perkara yang ingin saya bicarakan. Tetapi kalau sudi mari ke luar," begitu bisiknya kepada Dariyo. Ada dua Dariyo dalarn desa. Yang satu Dariyo Blabag ²⁾ rekan Mas Sepandri menebang dan menggergaji papan-papan sengon, nangka dan sebagainya. Tetapi Dariyo yang diajak bicara ini Dariyo Sugih ³⁾. Tidak berarti bahwa penggergaji papan itu mesti melarat, tetapi spontan begitulah sebutan mereka terhadap Dariyo satu ini. "Mas, saya dengar ada tarikan baru untuk hewan." "Ooh itu, ya sebetulnya begini. Maaf, saya belum membicarakan ini dengan Dik Karjo, yah, beginilah syaratnya." ¹⁾ Buah untuk sayuran dan bahan emping. ²⁾ Papan kayu. ³⁾ Kaya.. 113 "Syarat apa?" "Ya, asal bisa selamatlah." "Kok saya belum tahu?" "0, Dik Karjo belum tahu? Ah iya, memang itu salah Dariyo. Saya kira istrimu sudah bercerita." "Bercenta apa?" "Belum? Wee lah, salah dobel kalau begitu saya." ''Dari Kelurahan? Atau jangan-jangan akal Mas Polisi kita lagi." "Bukan, bukan dari Kelurahan, bukan dari Polisi, bukan dari Pemenntah, pokoknya ini sukarela." ''Ya tentu saja semua sukarela, tetapi sukarela wajib. Kalau tidak sukarela, nanti dibikin sukar-sukar sarnpai rela. "Ah, memang susah, tapi mau apa?" "Tetapi pendek saja. Siapa yang minta pajak ini?" "Bukan pajak. Sungguh bukan pajak. Dia hanya mengatakan: Tentang sapi, ditanggung arnan. Tetapi untuk hewan-hewan lain saya tidak tanggung. Begitu dia." "Siapa itu dia?" "Ooh, dia itu? Saya kira sudah jelas." "Jelas dari mana?" “Ah, masakan Dik Karjo belum kenal tingkah Si Sapudupak?" "Memang dari tadi sudah saya terka, Kang Dariyo. 1ni tidak mungkin selain akal trenggiling Si Sapudupak. Tetapi kan Kakang sudah saya pesan: Kalau ada apa-apa, katakan Si Karjo Keibodan. Nanti bisa digarap soalnya." "Habis ketika itu dia bilang: Awas kalau omong pada Karjo, begitu. Maka Kakangmu pikir: ah, tidak baik membebani orang dengan perkaraperkara yang lebih memberatkan. Ketika itu saya hanya takut, lalu bilang: ya. Begitu. Mau apa lagi, daripada rumah dibakar nanti." Sapudupak adalah bajingan paling tersohor dari seberang jurang, jadi dari wilayah (para pemuda bilang: kowilhan ¹⁾) lain. Ia penembak tepat bekas pasukan Raider yang dulu menggempur sarang-sarang penyarnun daerah lahar Merapi. Tetapi barangkali, daripada menjadi kopral raider bergaji dua bungkus rokok sebulan, lebih baik jadi bajingan, komandan kowilhan swasta yang tidak pemah punya persoalan tidak cukup uang. Uang cukup, bahkan banyak, jelas. Soalnya hanya, bagaimana cara mengarnbilnya. Sapudupak tahu cara mengarnbilnya. ¹⁾ Komando Wllayah Pertahanan. 114 Cara yang sip. Sejak pelpolisi Hindia Belanda yang naik sepedamotor bergerobag samping dimasukkan dalam interniran oleh ]epang, situasi dan kondisi sip deh. Selamat, sip, paling sedikit menurut perkiraannya. Sebab Karjo, Sepandri dan kawan-kawan lama tidak setuju begitu saja ayam kambing apa lagi kerbau dipinjam seumur hidup oleh begondal-begondal Sapudupak. Tetapi kawan-kawan itu sadar juga, bahwa siasat melawan frontal belum tentu siasat yang paling baik. Apa yang dikerjakan Si Dariyo Sugih sangat mereka pahami. Sebab Dariyo Sugih bukan Dariyo Blabag. Biar hanya kaya menurut ukuran jurang pucuk gunung lahar, tetapi kaya adalah kaya. Maka sungguh tidak enak apabila rumah dibakar. Sebetulnya hampir selalu dapat dipastikan, bahwa bila di daerah pucuk gunung sana ada rumah terbakar, itu pasti ada soal dengan bajingan. Tetapi di kelurahan Dinas Penerangan hanya berceramah, agar rumah penduduk jangan dibuat dari bambu. Pertama: itu sudah terbelakang, tidak sesuai dengan Orde Pembangunan. Akan tetapi kedua: karena berbahaya juga. Kalau ada seorang ibu kebetulan merebus air terlalu dekat dengan bilik bambu, atau kalau ada anak yang malam-malam menendang pelita yang masih menyala, rumah bambulah mangsa paling enak bagi api. Begitu Bapak Penerangan dari Kabupaten. "Lihat itu di Jakarta atau di kota-kota besar. Setiap kali timbul kebakaran. Beratusratus kepala keluarga dalam satu jam tidak punya rumah lagi. Coba bayangkan bapakbapak dan simboksimbok. Rasakan tidak punya rumah. Senang apa sedih? (Serentak semua menyambut "Sediiih!") Apa anak-anak tidak kasihan kalau rumah habis terbakar? ("Kasihaaan!") Kerugian kebakaran di kota bisa sampai satu milyar. Coba bayangkan satu milyar. (Semua hanya membelalakkan mata saja dan melongo. Omong apa si penceramah tadi?) Satu milyar. ltu banyak apa tidak? (Masih diam.) Satu milyar itu ... tahu seribu rupiah atau uang sepuluh ribu? (Satu dua suara menjawab: "Tahu, Pak Dariyo Sugih!" Semua tertawa.) Nah, satu milyar itu seribu rupiah kali seribu ... berapa? (Diam. Akhirnya Dariyo Sugih kasihan pada penceramah dan berkata: "Satu juta, Pak." (Ada beberapa anak girang bertepuk tangan.) Nah, satu juta rupiah masih dikalikan seribu, itulah satu milyar. (Ooooh! Mereka berkedipkedip. Apa tadi namanya? Meeyaar?) Sedikit atau banyak uang sekian? (Serentak dengan penuh semangat orang-orang menggelegar: "Banyaak!") Nah, kalau rumahmu terbakar, kalian rugi sekian milyar (Orang-orang pada gaduh, tertawa tidak pereaya. Ada yang terdengar omong: "Sampai kiamatl"). "Lho! Artinya kalau seluruh desa, seluuruuh desa terbakar, dan sapi dan kambing dan tegal-sawahmu terbakar, hanya karena rumah-rumahmu dari bilik bambu, jangan kira mustahil kerugianmu sampai satu milyar." Suasana agak kacau. Orang-orang pada berkelakar satu dengan yang lain. Ada pemuda menyeletuk: "Pembagian beras!" Semua tertawa terbahak-bahak. Kesimpulan dari ceramah Penerangan Kabupaten ialah: Hati-hati dengan rumah bambu. Pertama: agar jangan dihuni tikus dan kedua: jangan sampai terbakar karena kesalahan simbok atau anak yang sedang alpa. Sudah paham semua? ("Pahaaam!") 115 Karjo memberanikan diri menyanggah: ''Pak, didesa kami, sejak jaman nenek-nenek gantung siwur ¹⁾ dan lebih kuna lagi, menurut sepengetahuan kami belum pernah ada rumah terbakar karena yang punya rumah teledor. Kalau ada rumah terbakar, itu yang membakar tentu orang lain." Rapat gaduh dan semua mendukung Karjo. "Orang lain siapa?" Karjo diam, tetapi seorang pemuda berteriak: "Bajingan tengik.!" Semua tertawa ramai. Pak Penerangan agak bingung sekarang. "Nah, kalau ada bajingan membakar rumah, laporkan kepada polisi! Kan gampang. (Semua tiba-tiba diam, seperti ada kekuatan magis dalam kata polisi tadi.) Gampang apa tidak? (Semua diam.) 1tu tadi saudara yang tanya! Kan gampang! Gampang tidak, lapor polisi?" Spontan Karjo menjawab: "0, gampang sekali, Pak!" Semua tegang menunggu bagaimana kelanjutannya. Tetapi Pak Lurah yang arif mengalihkan persoalan pelik ke arah lain dan bertanya: ''Pak, bolehkah saya bertanya: Menurut bapak, apakah daerah kami ini subur bila ditanami cengkeh? Cengkeh saya daunnya kok berbintik-bintik coklat. Apa obatnya?" (Orang-orangpada bergumam sendiri-sendiri. Lega). ''Ya, itu pertanyaan baik," begitu Pak Penerangan. "Tetapi saya tidak kuasa untuk menjawab itu. Apa saudara-saudara setuju, besok kami panggilkan ahli cengkeh? ("Setujuuu!!") Maka sesudah beberapa basa-basi lain diomongkan bubarlah rapat. Dengan hati damai orang-orang pada pergi ke ladang, ke dapur, ke kandang sapi. Pemuda-pemuda masih bergerombol dan melirik melihat Kasanah sedang lewat, anak gadis Dariyo Sugih, yang sudah mulai menonjol buah-dadanya. "Sudah mulai sombong anak itu," gerutu mereka. "Sok berlagak laku dijadikan menantu camat." Tiba-tiba seorang berkata: "Eh, saya tadi pagi berjumpa dengan Sapudupak." "Heh? Betul?" "Uah, setengah mati takutku." "Kapan kau tidak setengah mati!" ejek kawan-kawannya. "Tadi kan saya pikir begini;' kata pemuda itu. "Nanti ada penerangan. Ah, pagi-pagi benar saya lalu cari kayu. Sambil mendengarkan, barangkali perkutut yang tersesat kemarin itu masih tinggal di sekitar pohon nyamplung atas sana, ataukah sudah pergi. Kudengar kemarin sehari terus ia memanggung di pohon itu. Tahu-tahu aku sudah membelok jalan setapak yang menuju masuk jurang. Eh! Ada orang bermata hijau seperti ular ... menunggu di bawah sana. Dia diam saja, tetapi matanya mendelik melihat saya. Aduh aku menggigil seperti dadaku dijatuhi batu. Si Lurah Sapudupak! Bagaimana. aku tahu? Dia bilang sendiri: ''Berani laporkan Sapudupak, mampus kau!" ¹⁾ Nenek dari neneknya nenek. 116 Dia cuma memandang saya. Seperti, ya seperti ular itu kalau sedang ipnotis tikus. Saya kancilen ¹⁾ tidak bisa bergerak. Tiba-tiba ia membentak: "Satu langkah turun, belati ini masuk tengkorakmu!" Saya seperti disambar petir. Tidak tahu apa yang hams saya perbuat. Ia lalu membentak lagi: kau anaknya Si Mertobelong? Langsung aku mengangguk. Saking takutnya. ''Bilang pada bapakmu, kerbaunya bisa ia ambil di Jurangceleng." Lalu ia mengambil batu. Aku dilempari sambil berteriak-teriak dari bawah: ''Ayo lekas pergi! Nanti aku jadikan cendol ²⁾ kau!" Saking bingungnya aku masih saja diam kancilen. Barn ketika ada batu mengenai betisku, aku lari." Lalu kau ke Pak Merto?" ''Ya, tentu saja. Kukatakan padanya: Pak Merto, aku tadi dikira anakmu. Lalu aku disuruh menghantarkan pesan, kerbaumu bisa diambil di Jurangceleng." "Lalu?" ''Pak Merto ya cuma lemas saja. Katanya: "Tidak punya kerbau susah. Punya kerbau lebih susah." Teman-temannya menambahkan: ''Yang paling tidak susah: jadi kerbau sendiri." Terkekeh-kekeh pemuda-pemuda itu lalu bubar." Tetapi seorang kawan berambut ijuk dan bermata bandeng masih sempat bertanya: "Lalu tadi perkututnya masih ada, Poh?" Pemuda yang disangka anaknya Pak Mertobelong tadi berpikir sebentar lalu mengakak: ''Masih. Tapi hanya dapat diambil di Jurangceleng." "Memangnya tampangmu kayak celeng." Lalu larilah ia dikejar sang duta Sapudupak. ¹⁾ Terpaku tak mampu lari. ²⁾ Isi minuman dawet. 117 15. Firdaus Kobra Paduka Tuan Ambasador berdiri, meloncat elastis dari kursi rotannya. Ia bertubuh atlit dan memang ia lelaki tampan. Walaupun di keningnya utas-utas rambutnya sudah mulai mengelabu, tetapi beliau tidak mengenal penyakit lelaki Barat, yakni menjadi botak. "Kau harus melihat kemenakanku yang baru,” kata beliau antusias kepada tamunya. "Langsung datang dari taman firdaus. Jenis yang langka dan dalam kondisi prima." Tuan Ambasador selalu menyebut binatang kesayangannya (yang sangat tidak disukai istrinya) yakni ular-ular, dengan sebutan kemenakan. Dan hutan atau cadas ladang tempat asal atau pun kurungan ular-ular itu: Firdaus. Istrinya benci sekali pada ular-ular hobinya itu, dan tidak mau melihatnya. Tetapi karena suaminya begitu tampan dan mengagumkan (sang nyonya sudah menikah untuk ketiga kalinya) hobi ular yang aneh itu dibiarkannya; asal kandangnya diletakkan jauh-jauh sana. Dan untung kebun rumah dinas kedutaan cukup luas. Rumputnya tercukur rapi dan setiap petang alat-alat penyiram yang memancarkan air bagaikan kipas berputar dengan radius jauh membasahi rumput dengan suara jiyek-jiyek, yang memberi suasana tenteram dan sejahtera. Sang Ambasador mengajak tamunya, orang penting yang sangat ia hargai, menejer produksi Pacific Oil Wells Company, menuju kurungan-kurungan yang besar tertutup kawat kasa kuat. "Well Therese namanya. ltu! Yang bau saja memperkaya firdausku. Jenis yang sangat jarang sekali terdapat di pulau Jawa. Tegap bukan, bagus bukan itu tembongtembong gelap bundar bertepi hitam itu. Dia masih sesaudara dengan ular adder termasyhur yang banyak terdapat di India Vipera russellii." Interesan! Baru kali ini aku mendapat kiriman dari Panglima Kodam di Jawa Timur sana. (dipanggilnya jongos) Hello boy, ke sini! Paymin, come here, mintaminta itu makan buat ular baru ini ya, tikus atau ayam. Nanti mau kasih lihat sama Tuan ini, sisysisy bagus, heh." (Kepada tamunya) "Sudah waktunya dia makan. Anda untung dapat melihatnya nanti." Paimin jongosnya mengambil kurungan berisi beberapa burung gereja dan dua gelatik. "Hello, tidak usah semua. Banyak-banyak terlalu. Nah, coba sekarang. Well Mr. Seta, Anda akan melihat. Jangan dekat -dekat." Tamu Ambasador spontan mundur, ketika adder itu tiba-tiba mengangkat kepalanya yang segi-tiga dan mendesis nyaring lama. Suaranya sungguh menakutkan, seperti penuh magi yang mengancam. "Yang ini hanya adder biasa. Di sini banyak terdapat jenis itu," dan tuan Ambasador menunjuk ke seekor ular sepanjang hampir semeter yang berwama coklat. Angkistrodon. Orang di sini menyebutnya biasa saja Ular Tanah. lni hadiah ulangtahunku, biasa, dari Dirjen Departemen Luar Negeri. Nanti lihat. Coba ini tongkat pegang. Lalu Anda usik dia. Nanti Anda lihat reaksinya, Eminent! Tamunya memegang tongkat dan pelan-pelan menusuk ular tanah itu, yang sedang nyaman melilit seperti spiral. Hanya kepalanya saja yang seolah-olah mengintip dari waskom yang terdiri dari tubuhnya itu. 118 Tiba-tiba ular mendongak dan dengan amarah moncongnya membuka lebar. Tampak kedua gigi racunnya bagaikan taring celeng tegak; dan sekonyong-konyong ular itu meloncat, sehingga si pengusik spontan meloncat juga ke belakang. Ambasador tertawa terbahak-babak. “Good! Very good! Memang ini kesayanganku yang paling hebat, justru karena galaknya itu. Jangan takut, asal agak jauh sedikit." Diusiknya sekali lagi ular itu oleh sang tamu dan kini loncatan-loncatannya sungguh mengerikan. Ke kiri dan ke kanan. Luapan amarahnya sungguh tiada taranya. "Tahukah nama yang kuberikan padanya? Ricci. Dari Ricardo, bapa ekonomi free enterprise. Sinting tentu saja, sebab di mana di jaman sekarang masih ada free enterprise betul-betul. Tetapi nama merdu untuk nyonya yang tante girang ini, bukan?" Belum pernah menejer produksi Pacific Oil itu melihat perangai seekor ular seperti adder satu ini bila ia marah. ''Ular adder seperti ini, dan khususnya yang di sudut itu, Kobra Kacamata, sangat dihormati orang India. Barangkali karena wataknya juga serba maharaja imperial. Tahukah Anda, Mr. Setta, orang Timur memang harus diteror seperti yang kukerjakan pada adder-adder ini. Nah ya, tentulah istilah teror di sini sangat berlebihan. Tetapi maksudku, orang-orang daerah samudera dan pulau-pulau di sudut dunia Selatan ini tidak dapat diajak berbaik-baik saja. Coba mereka diberi hati, aduh bukan cuma hati yang diambil, tetapi jantungnya juga. Jantung diberi, mereka ambil paru-paru. Paruparu diberi, malah naik lagi mereka minta agar diperbolehkan menyedot otak. (Lalu ia setengah berbisik). Jangan keras-keras, ini off the record ¹⁾, tetapi ini bangsa kuli. Hams dijadikan kuli. Coba mereka kau injak, barulah mereka hebat bekerja, dan keluarlah daya akal mereka yang mengagumkan. Tetapi bila diberi hati dan dimanja, sudahlah, kembalilah mereka menjadi anak kecil yang macam-macam saja merengekrengek permintaan bukan-bukan tidak masuk akal. Saya sudah memberi nasihat kepada pemerintah saya, agar memberi peringatan halus melalui saluran-saluran informal khusus kepada negeri ini. Kalau minta komisi jangan terlalu banyak, dong. Mosok ada yang sampai 30-40%? Ya Ricci, Ricciku manis, bagaimana struktur perdagangan sehat dapat dipertahankan dalam situasi begini? Perlu dihajar mereka itu. Ya Ricci?" Ular itu menyembur-nyembur. Seluruh ekspresi muka dan ulahnya benarbenar imperial, ya itulah istilahnya menurut Tuan Ambasador, imperial. Hah ini inilah Shirley. Ini dari Sumatra, ini kubeli dari seorang Cina yang tidak tahu malu. Tahu kau dia minta berapa untuk gadis hijau ini? Limaratus dolar. Tetapi sungguh Shirley, kau memang harta permata, sesuai dengan hargamu.(Kepada tamunya). Orang-orang India menganggapnya kerarnat. Dan memang begitu, Anda percaya tidak? Indah bukan, warnanya? Kencana hijau, setiap sisiknya berpelisir hitam. Hei Boy, ke sini." Jongosnya Paymin alias Paimin tadi datang dan menunduk nunduk hormat. Ia diberi ular kencana tadi. "Kasih lihat sama Tuan." Tamunya yang disebut Mr. Seta tadi menggeleng-gelengkan kepala. "Ada apa Mr. Seta?" ¹⁾ Dirahasiakan. 119 "Maaf, Excellency, tetapi sungguh, saya selalu sedih kalau melihat orang menunduk-nunduk seperti kuli jaman Raffles." Sang Ambasador tertawa lebar: "Hohoho ... Anda tersinggung ya. Hohoho ... Well Mr. Seta, terus-terang saja, saya tidak pemah tahu eksak, Anda berwarga-negara apa, Mr. Seta?" "Multinational," dan tamunya tersenyumlah. "Mau apa lagi. Sebab saya memang bekerja untuk kongsi yang begitu." "Maaf, aku tidak mau berkesan buruk ingin tahu soal-soal pribadi. Tetapi dalam segala sikap-tindakmu, sering Anda kuanggap, maaf, bukan maksudku membanding secara menghina, seperti orang-orang negro United States. Mereka negro, tetapi tulang-sungsum dan segala saraf mental kejiwaan serta penghayatan diri mereka benar-benar Amerika Serikat tulen. Tidak beda dati yang McLean atau Vanderbilt dan sebagainya. Anda orang Eropa dalam sikap dan mental. Bukan orang Amerika, jangan lagi orang Timur. Tetapi ... " ''Ya, memang aku lahir di Indonesia sini. Bahkan Mr. Ambasador boleh menertawakan saya, tetapi benar saya masih mempunyai darah ningrat sedikit dari Keraton di jantung Jawa sana." “Ada masih ningrat Jawa? Crazy! Anda bukan ningrat Belanda, bukan ningrat Inggris atau Rusia. Kok sekarang mengaku ningrat Jawa, itu lebih dari aneh lagi." "Tetapi benar. Yah, itu ada riwayatnya sendiri." "Tidak, saya tidak akan menyelidiki soal-soal yang pribadi. To the point Saya hanya ingin memujimu. Sungguh, informasi yang Anda berikan padaku sepintas lalu dalam coctail party 17 Agustusan di tempat menteri Riset yang lalu itu sungguh berkesan padaku. Dan memang benar. Statistik-statistik yang bersangkutan sudah saya suruh teliti lagi. Dan penasihat-penasihat ahliku mengatakan apa? Analisamu memang benar. Memang, hanya seorang doktor matematika seperti Anda yang dapat sampai pada kesimpulan seperti itu. Sudah lama berkecimpung dalam dunia komputer?" "Sejak komputer generasi pertama, Mr. Brindley. Bahkan bukan bualan, saya dengan beberapa rekan tergolong mereka yang pemah untuk pertama kali berseminar dengan Hermann Kahn ¹⁾ dan Robert Wiener ²⁾ sendiri di Bermuda. Tetapi Mr. Ambasador jangan terlalu mendewakan komputer, apa lagi orang-orang yang menyetirnya. Mereka tetap normal seperti kita manusia biasa, pendeta sekaligus bandit." "Heh, Anda suka berolok-olok. Memang saya awarn dalam ilmu magi bendabenda elektronika, tetapi satu orang doktor komputer nilainya sama dengan sepuluh jenderal marsekal atau dutabesar seperti saya ini. Tahukah Anda? Duta-besar yang ingin sukses harus mengkristalisasi kebijaksanaannya melalui studi semacarn ini, mengenai psikologi dan ulah tingkah ular-ular tropika. Ha ... haha Anda tidak percaya, pasti tidak percaya. Kaum komputer jarang percaya pada psikologi, Mr. Seta," dan Ambasador mendekatkan wajah pada tamunya, "Maaf, sebagai sahabat kukatakan di sini: Anda harus kawin lagi. Dengan wanita pribumi di sini. Jangan seperti saya, kawin dengan orang-orang kulit-putih. Dear Mr. Seta, saya tahu. Memang sedih ditinggal seorang istri. Tetapi saya kenal Anda dan kenal jenis wanita yang dulu istrimu itu. ¹⁾ Ahli analis hari-depan dari USA. ²⁾ Ahli perinris ilmu hubungan-hubungan intern dalam sistem organik (kibernetika) . 120 Saya kenal dia dulu karena kami satu jemaat, satu gereja, satu perkumpulan kepanduan. Biarkan dia lari dengan lelaki lain, biarkan saja. Ya, dear friend, Anda bernafas panjang. Tidak enak memang riwayat semacarn itu. Saya pun mengalaminya, dear Seta. Dan saya bicara sekarang bukan sebagai diplomat, tetapi sebagai sahabat. Seorang menejer produksi perusahaan minyak yang besar seperti Anda seharusnya tahu itu. Tetapi begitulah Seta, ahli komputer sering sulit membaca bahasa dan dendang wanita. Saya pun mengalami, Seta, macam yang Anda alami. Saya pun tolol dan sinting pada masa itu. Dan mudah-mudahan dengan Susan istriku sekarang ini, jaman petualangan sudah lampau; walaupun kita tahu, orang lelaki yang sudah dalam peti dan dikubur satu jam di bawah tanah pun masih ingin ke luar karena mendengar suara sepatu tinggi perempuan mengharnpiri kuburannya. Ya beginilah, soal-soal besar politik dunia dan produksi sumber energi yang menentukan pecah tidaknya Perang Dunia III nanti kita tangani hebat, tetapi tentang wanita, kita masih tetap puber saja. Tetapi apa yang kukatakan tadi ... hey boy, mana kau? Hah, sudah di atas dia. Lihat itu, dia kusuruh memanjat kelapa itu, dan Seta, Anda akan melihat pasukan parasut kaum ular. Ya ... siap? One ... two ... three! Paimin melemparkan ular yang di tangannya, dan sungguh elok sekali, ular itu melengkung-lengkung melayang ke tanah sejauh 25 meter dari kelapa itu. Tidak jatuh seperti batu ular itu, tetapi juga tidak melayang seperti pesawat terbang kertas. Hanya penuh sadar dan taktik ia meliyak-liyuk sehingga jatuh dengan empuk dan lures. "Perutnya ia cekungkan seperti bentuk parasut," begitu Duta Besar menerangkan. "Ular jenis ini dapat terbang seperti Tarsan dari dahan satu ke dahan lain. Sayang kebun kedutaan ini bukan rimbaraya. Tetapi di hutan belantara saya sering melihatnya. Grasius, penuh kepastian laksana seorang letnan pasukan parasut yang datang menyerang, tetapi luwes." Seorang jongos lain menyerahkan ular kencana tadi kepada tuannya. "Bagus bukan sisik-sisiknya, seperti dicat duko metalik. Kebanyakan jenis ular ini hijau. Ada yang ekornya berwarna merah atau oranye. Anda tidak suka ular? Istriku tidak suka. Itulah penderitaan seorang duta-besar, bila istrinya tidak suka ular. Ha ... ha ... ha ... Mungkin naluri kaum Hawa. Selalu benci pada ular Firdaus yang menggodanya sarnpai kita jatuh ke dalarn dosa, barangkali begitu, bagaimana pendapatmu, Mr. Seta? Hahahahaa ... sudahlah, mari. Tak ada habisnya omong tentang ular. Mari minum yang enak saja. Sayang duta-besar harus dapat diam. Dan Anda percaya atau tidak, saya paling pendiam dari antara sekian duta-besar, bahkan duta-besar Jepang yang hanya tersenyum-senyum licik itu pun masih lebih banyak omongnya dari saya. Dalam situasi resmi. Tetapi dalam situasi ular? Hahahaa ... Tak usah percaya pada omonganku ini Seta, kalau Anda merasa aku omong keterlaluan. Saya biasanya pendiam. Betul. Tetapi kalau menyentuh soal ular, jangan harap sekian losin istri dapat membungkam mulutku. Seorang istri tahu caranya membungkam mulut suaminya. Anda juga berpengalaman tentang soal itu, bukan Mr. Seta? Mari, old fellow, kampiun komputer. Whisky atau wodka? Sake aku juga punya, tetapi itu untuk jantung tidak baik. Oh ya, kemarin saya menerima suatu jenis jenewer dari salah satu pulau di Maluku sana, tentu saja dari seorang Cina. 121 Aneh, entah barangkali dia pernah mencuri resep dari seorang bandit VOC atau entah, dia bisa bikin jenewer. Tetapi dengan rasa yang, sungguh Mr. Seta, kalau kita mnum itu, rasanya kita dibakar di neraka, tetapi neraka yang penuh kenikmatan bidadari. Ya, inilah katanya yang tepat, yang tepat. Sejak kemarin dulu saya cari, saya cari ... apa sebutannya? Sekarang saya tahu. Berkat kehadiran Anda Mr. Seta! Rasanya tuak. Maluku Cina itu seperti ... seperti dicampuri bisa kobra, haha ... haha mati Anda harus mencobanya." Dan kedua orang itu nikmat duduk dalam kursi rotan, sedangkan cerutu mulai mengepul. Bapak Ambasador mengisap pipa, yang tidak begitu enak baunya, tetapi memang, tentang selera orang boleh sepenuhnya bertengkar. "Hei, itu istriku datang. Wanita cantik, bukan. Tetapi ya, itulah, sayang dia tidak suka ular. Sebentar, dia belum kenal Anda. Soalnya baru pertama kali ini kan Anda mau datang ke mari. Memang saya tahu, orang bisnis harus berhati-hati mengunjungi duta-besar di rumahnya." (Ia melambai bersemangat). "Hello, Susan! Sayang! Bagaimana, ada lukisan yang kau senangi? Indonesia banyak seniman, memang. Hanya mahalnya, well, mereka semua mengira sudah jadi Picasso. Nah Susan, ini Tuan Setadewa, menejer produksi Pacific Oil Wells Company. Tetapi lebih hebat lagi, ia ahli komputer yang tiada taranya di seluruh Asia ini. Perkenalkan: Seta, ini Susan, kesayanganku yang tiada taranya juga di seluruh dunia." Istri duta-besar itu tertawa bangga, dan dengan suara yang anggun tetapi toh pada nada kekanak-kanakan abadi, ia pura-pura tidak setuju dengan suaminya. "Ia seorang perayu besar, eh ... Tuan Seta, jangan terlalu percaya pada omongannya. Ya, tentulah suamiku telah memperlihatkan, mahluk-mahluk yang paling ngeri di bumi ini kepada Tuan. Saya selalu sepaham dengan suamiku dalam segala hal, kecuali dalam satu perkara itu. Darling, saya heran, dari mana kau dapat nafsu aneh mencintai binatang-binatang penjelmaan iblis itu?" "Haa ... haa .... dear Seta, dengar istriku? Dalam segala hal ia sepaham, kecuali dalam satu hal. Jangan percaya pada istilah "segala" hal itu" tanggapnya mengejek. Istrinya berkecak. pinggang genit dan lebih genit lagi pura-pura marah: "Ya, itulah tuan Seta. Dia nanti pasti akan memberi kuliah tentang psikologi bahasa: mengapa istilah yang sarna tidak diberi arti yang sama bila itu dipakai oleh pria atau wanita. Coba, sebentar lagi kuliah mulai, bukan begitu John?" Tamunya hanya tertawa kecil saja. Suami istri memang tukang ngobrol. "Beginilah dear Seta," sang Ambasador mengedipkan mata ke arah tamunya "nasib kaum kami. Kapan Mr. Seta, kita mendirikan gerakan liberation kaum pria?" Istri duta-besar itu berputar, elegan, tangan kanan memegang sapu-tangan, dan dengan ulah melenggang ia berkata manis kepada tamunya: ''Tuan, percayalah, kalau presiden kami sekarang dipilih sekali lagi, suamiku ini pasti menjadi menteri urusan wanita. Mari, silakan duduk. Saya tidak akan mengganggu percakapan kalian. John, saya tadi mendapat satu lukisan. Perfect, dan unik. Murah, hanya seribu dolar. Yakinlah, Picasso belum apa-apa. Sayang belum kubawa. Tetapi besok sore pameran sudah usai, dan nanti kau pasti terharu melihatnya. Nah, Tuan Seta, anggaplah rumah ini bukan rumah duta besar, tetapi rumah sahabat. Sampai nanti,John." ''Bagaimana old Fellow, elegan ya istriku kalau berjalan." "Superb. Pantas dilukis, tetapi hanya oleh ... maaf, oleh Picasso." Kedua orang itu tertawa terbahak-bahak. 122 "Mr. Seta, kau menghina. Kurang ajar kau. Nanti kukatakan padanya." Terkejut tamunya memohon: "Eh jangan! Mati saya nanti." "Haa haa haaa, saya tahu, mengapa Anda berkata begitu, Seta. Anda iri. Iri hati, itulah. Anda iri saya punya istri begitu cantik. Maka itu, perjaka tua, lebih baik segala komputermu itu dibuang. Yang penting, mendapat seorang istri seperti saya ini. Ya ... ini sudah datang minuman syurga kaum lelaki. Hei Boy, itu yang jenewer Maluku itu dibawa ke mari juga. Jangan cuma impor negara-negara usang. Siapa tahu, kalau ada seorang bisnis yang cerdas, Cina itu boleh jadi membawa keuntungan sekian milyar dolar. Ada saran pemberian nama? Snake Brandy? Ah, kurang puitis. Ada dear Seta, Cobra-Fire, hah itu lebih berbobot iklan dan tidak terlalu prosa. Cobra-Fire. Mana ini si Boy, dikira tidak pantas menghidangkan jenewer priburni itu? Orang-orang di sini tidak dapat menghilangkan rasa minder mereka. Dikira yang priburni selalu jelek. Bagaimana dear Seta, Anda ningrat Jawa. Bagaimana Anda terangkan mental yang merepotkan ini? Kami dari negara-negara maju ingin berpartner dengan bangsa yang punya harga-diri, terpaksanya sombong, seperti orang Jepang atau Jerman itu. Kami lebih suka itu. Daripada berhubungan dengan bangsa kuli. Mau diajak apa seorang kuli atau jongos. Ini membutuhkan sepuluh generasi ... Haha inilah dia Cobra-Fire of the Moluccan Islands. Sekarang Anda yang omong. Saya tidak suka omong kalau minum barang yang lezat. Pasti ada apa-apa yang penting Anda ke mari." Maka sambil menikmati neraka Cobra-Fire ahli komputer Pacific Oil Wells Company itu mulai membuka lembaran-lembaran informasinya satu persatu. Inti permasalahan ada di bidang ekonorm, tetapi pengaruhnya dapat langsung mengenai bidang politik dan hubungan antar negara yang dapat membahayakan bagi semua pihak, baik pihak negara-negara yang bersahabat dengan negen tuan rumah maupun bangsa Indonesia sendiri. Memang soalnya sangadah sensitif, tetapi bagaimana pun harus diketahui para duta-besar dan seterusnya semua pemerintah yang mempunyai andil besar dalam operasi multinational corporation Pacific Oil Wells Company. "Saya sudah meneliti semua fail dan dokumentasi yang menyangkut soal yang topsecret ini selama setahun,” begitu Dr. Setadewa mengupas persoalannya. "Saya tidak berani memastikan apakah ini disengaja atau hanya karena kekeliruan tak sengala. Tetapi dalam model persamaan dasar yang dipakai baterei komputer dalam perhitungan-perhitungan produksi dan kewajiban-kewajiban pembayaran sharing kepada negara-negara tuan rumah yang memiliki wilayah sumur-sumur minyak, saya temukan suatu kekeliruan penyusunan model perhitungan komputer. Dan Tuan tahu, komputer memang hebat tak terperi kalau disuruh menghitung dan memberitahukan output yang begitu kompleks dengan sekian ribu variabel dan faktor. Akan tetapi semua perhitungan itu tergantung dati satu syarat mutlak. Jikalau. Dari "jikalau" inilah komputer itu penolong atau pembunuh, sahabat atau perusak. Kerangka dan pola persamaan-dasar perhitungan (yang disebut model harus betul. Jikalau pemilihan pola gaun wanita itu betul, maka gaun itu mempercantik dan serasi untuk si pemakainya. Tetapi bila pola itu keliru, maka seluruh gaun akan rusak juga. Dan justru dalam pemilihan dan penentuan model itulah, yang diberikan kepada pesawat-pesawat sekian komputer kami, terdapat suatu kesalahan yang begitu vital, sehingga jelas ini dapat mempunyai efek politik dan keamanan yang gawat di Kawasan Asia ini. Bisa berbahaya." 123 Mr. Ambasador sekarang tiba-tiba menjadi orang lain. Tadi ia berceloteh dan ramai ngobrol tentang hobi ular-ularnya sampai tidak memberi kesempatan sedikit pun bagi tamunya untuk menyisipkan komentar atau jawaban. Sekarang beliau pendengar teladan, yang memberi kesempatan sepenuhnya kepada tamunya ahli matematika untuk menguraikan analisa-analisanya. Kemampuan untuk mendengarkan itulah yang juga sangat digemari istrinya. Ia suami dan kawan yang baik, begitu keyakinan istrinya sesudah dua kali mengalami kegagalan perkawinan. Hanya pipanya yang berbicara, artinya asap yang mengalun ke langit itulah yang menandakan, betapa prihatin hatinya mendengar uraian-uraian tamunya itu. Negara yang diwakilinya mempunyai bagian prosentase saham yang paling dominant dan sudah selayaknya Mr. Setadewa datang kepadanya. ''Dan bagaimana Dewan Direktur kongsimu? Sudah tahu tentang soal ini? "Barangkali. Bila nanti tabir kubuka, aku akan dipecat." "Tidak akan berani mereka." "Saya sudah siap menghadapi itu." "Kalau mereka berani, mereka akan bangkrut." "Mereka punya cara-cara lain untuk menghindari itu." ''Bagaimana kira-kira komentar mereka nanti?" "Saya menduga mereka akan mampu menyembunyikan kekeliruan itu terhadap pemeriksaan pihak Indonesia. Ya, inilah susahnya. Negeri ini tidak punya ahli matematika. Dan kalau punya, mereka toh tidak laku dalam dunia korup di negeri ini. Dari penyelidikan Anda, apakah tampak ada kesengajaan di dalam kebodohan ini?" "Saya tidak berani mengatakan, Mr. Brindley. Sulit untuk dibuktikan." "Tidak sulit sebetulnya. Biro-biro investigasi kami tidak akan sukar menemukan bagaimana duduk-perkara yang sebenarnya. Tetapi kalau nanti ternyata memang benar ada unsur kesengajaan dalam soal ini, yang jelas, dan ini saya katakan dengan segala kesedihan hatiku, Anda pasti akan dipecat." "Saya tahu." ''Anda memang berhati ningrat, Doktor Setadewa. Tidakkah sayang jabatan Anda sebagus itu sebagai menejer produksi kongsi besar?" "Saya hanya mengikuti hati-nuraniku dan sumpahku." "Sumpah apa? Dokter tabib bersumpah, tetapi doktor matematika." "Saya telah bersumpah di hadapan profesor dan pembina karirku, Prof. Thomson Mc. Kenzie almarhum, yang menuntun saya dalam lika-liku rahasia rumus-rumus serta model-model matematika dan yang berulang-kali berkata kepadaku: "Seta, Anda kelak akan menghadapi banyak godaan curang dalam dunia komputer. Seperti dalam dunia pengobatan pun. Sayang tetapi nyata, hal itu sering terjadi. Banyak dibuat penipuan, tetapi penipuan legal. Saya mengharap kepadamu, muridku, semogalah Anda menjadi pengabdi kemanusiaan. dan bukan pengabdi suatu korupsi atau pihak kepentingan. Sebab, manusia dan mahluk-mahluk hidup sebenarnya komputer juga, yang mampu untuk menghimpun, menghitung dan mempertimbangkan sekian banyak faktor dan variabel. Komputer bertanggung-jawab kepada yang memberi perintah dan memberi model pola perhitungan. Kita pun bertanggung-jawab kepada sang Pemberi Model yang mahaatif. Ketika itu, Tuan Ambasador, aku bersumpah. Di dalam hati. Dan sumpah itu akan kutaati." 124 Sang Ambasador tidak mengucapkan sepatah kata. Dari dunia penugasannya ia tabu, bahwa memang dalam dunia politik banyak dibuat kecurangan juga. Tetapi ia, yang memilih bidang sejarah sebagai kejuruan pendidikan universiternya, ia tahu dari disiplin ilmunya, bapwa hanya politik dalam arti sejati, yang tidak curanglah, yang akhirnya membawa buah yang lestari. Ketika orang-tuanya, yang sangat sholeh beragama, berkeberatan ia masuk ke dalam dunia politik, ia memberi argumentasi kepada mereka, bahwa adalah salahkaprah orang mengira politik itu selalu kotor. Politik tertentulah yang kotor, seperti wanita tertentu adalah kotor dan godaan dosa. Tetapi wanita indah. Atas alasan apa mereka disebut kotor! Barangkali sering mereka cuma tolol atau sempit perhitungan. ''Demikian juga politik," kata Mr. Brindley. "Kendati begitu, kami mengenal tokoh leyak dengan ratunya, Rangda," sanggah tamunya. Namun sang Ambasador bersiteguh: ''Tetapi politik dan bisnis yang berhasil hanyalah politik dan bisnis yang jujur." Masa Machiavelli dan Hitler Nazi sebenarnya sudah lampau, seperti jaman Perang Salib atau Sabil juga sudah terhitung jaman sejarah dulu. Hanya dunia politik praktis masih ketinggalan. Masih dalam taraf belajar untuk menyadari kenyataan-kenyataan berdimensi global yang merupakan titik balik perkembangan sejarah politik. Maka justru demi pengembangan politik itulah diterimanya jabatan duta-besar di negara yang muda ini. Ia tahu, bahwa ia harus mengabdi pemerintahnya. Tetapi mengabdi negaranya tidak berarti membunuh bangsa lain. Apa yang diuraikan doktor matematika tadi sebenarnya pembunuhan dan tipuan massal, jika itu dilakukan dengan sengaja. Mr. Ambasador lebih condong untuk mendakwa ini kesengajaan, tetapi seorang duta tidak boleh beranggapan gegabah. Suatu komisi rahasia investigasi perlu dibentuk untuk meneliti perkara yang gawat dan berbahaya ini. Dan dasarnya bukan cuma pertimbangan politik kesusilaan yang berkhayal belaka. Tadi pagi telah datang delegasi ahli tehnologi dari Rumania; dan Rumania negara penghasil minyak yang berpengalaman lama. Selain itu telegram berkode rahasia dari Departemen Luar Negeri negerinya memberitahukan kepadanya, bahwa suatu kapal penjelajah dan lima kapal-selam dari pelbagai klas telah ke luar dari Wladiwostok menuju Perairan Selatan. lni masalah moral, tetapi juga masalah akal perhitungan bisnis yang sehat. Dan bisnis yang tidak sehat, seperti strategi militer yang tidak sehat bukanlah bisnis atau strategi militer. ltu petualangan namanya barangkali, atau ketololan. Mr. Brindley tidak suka disebut diplomat tolol. "Berapa milyar setahun Indonesia dirugikan oleh model komputer yang salah itu? Anda sanggup membuktikannya dengan kuantifikasi eksak? Ahli komputer itu menyebut angka yang astronomis. Dari tas samsonetnya, Doktor Seta menyerahkan suatu berkas foto-copy. "Aslinya saya simpan dalam Swiss Bank di Singapura." "Kami harus meningkatkan dana-dana fellowship atau beasiswa sarjana matematika untuk negeri ini," gumam Sang Duta Besar. Dengan bernafas panjang, sloki berisi Cobra-Fire tadi ia minum sekali reguk. Dibalik-baliknya kertas-kettas penuh uraian yang abstrak, tanda-tanda kode dan angka-angka yang sangat ruwet. "Untung saya tidak belajar matematika," sengirnya ironis. "Apa Tuhan Allah di atas sana juga mengecek angka-angka sinting seperti ini agar alam semesta kita tidak meledak?" 125 Kedua matanya yang biru nanap memandang tamunya, yang duduk tenang dan membalas tatapan matanya. "Satu yang pasti, dear Setadewa, satu yang pasti. Dan ini kukatakan dengan hati yang penuh duka-cita. Kau pasti akan dipecat bila rahasia ini Anda bocorkan. Anda pasti dipecat." "Ya, saya sudah memperhitungkan itu sebelumnya." "Anda idealis. Orang-orang seperti Anda ini sebetulnya mahluk-mahluk yang tersesat di dunia seperti yang kita punyai ini. Seharusnya Anda tidak menjadi ahli matematika, tetapi pendeta." Tamunya tersenyum, dan senyumnya penuh kedamaian yang pasti, seperti seorang sukarelawan Special Command di dalam Perang Dunia, yang siap terjun di daerah musuh, hanya untuk mati. ''Pendeta masa kini adalah para ahli matematika dan sarjana-sarjana dalam kedudukan-kedudukan perhitungan kunci," jawabnya tenang, pasti, ningrat. "Anda benar. Kami diplomat dan menteri dan marsekal lumpuh tanpa kalian. Pendeta dapat seorang santo, dapat juga seorang Rasputin¹⁾ , dear Seta. Anda bukan Rasputin. Inilah malapetakamu, tetapi saya yakin ... Ada apa John? Aduh, kau ini cetakan kedua dari ayahmu." Anaknya seumur 6 tahun menghampirinya dan dengan terkejut Dr. Setadewa melihat dia berkalungkan ular hitam mengkilau bercincin-cincin kuning kencana. "Ular berbisa, ini ular welang!" teriak sang Tamu. Tetapi anak itu merangkul tangan ayahnya dan menatap tamu yang tolol itu sambil berkata seperti seorang profesor cilik. ''Bodoh. Ini ular Kina-anis. Ya Dad, ini Kina-anis ya?" Dan bangga anaknya meminta pujian dari ayahnya itu. Mr. Brindley tertawa gembira penuh kebanggaan ayah. “Ya kau anak sangat pintar. Kasih tangan dulu pada Tuan ini. Nama Tuan ini: Seta." "Eok? Nama yang jelek." Lalu memandang tamunya. "Saya John. Tidak Eok. Kau bernama Eok? Ular ini ... " dan ia membelai penuh sayang ular yang mendelik diam melingkari lehernya, "ini namanya juga John. John Kina-anis, ya Daddy?" "Lho, kasih tangan dulu. Dan hormat dong, dan manis terhadap tamu. Ayo kasih tangan yang baik-baik." Dr. Setadewa tersenyum melihat anak kecil itu, tetapi toh yang ditanyakan pertama-tama: "Tidak membahayakan ular hitam ini?" Duta Besar tertawa renyah:"Nah dear Doktor, ada baiknya Anda sesekali mengenal lebih dalam apa yang terdapat di bumi ini. Komputer memang maha penting, tetapi komputer-komputer berbentuk ular ini interesan juga. John, Cintamanis minta diseka tanganmu," dan John membelai kepalanya. "Namanya Cintamanis. Trimeresurus wagleri resminya. Tetapi nama pribuminya jauh lebih bagus: Si Cinta-manis atau Cantik-manis. Belum tentu segala ular yang hitam itu jahat, dear Seta. Ini ular yang paling manis. Tidak pernah menggigit dan suka diajak bermain oleh anak kecil pun. Aneh bukan?" ¹⁾ Tokoh rahib cabul di Rusia. 126 Dr. Seta juga ikut membelai kepala ular yang bermata hitam melolo¹⁾ itu. Kok garis mulutnya seperti ia tersenyum terus-menerus. Seperti lumba-lumba. "Ya, memang aneh alam itu. Ada yang keji seperti jenis Naya, kobra-kobra, ningratningrat para ular. Maaf Seta, Anda ningrat juga. Tetapi ada yang jinak dan manis seperti Cintamanis ini. Negeri ini memang aneh. Kan saya tadi sudah berkata: Bila belajar psikologi, khususnya psikologi orang Timur tropikana ini, pilihlah hobi memelihara ular dan telitilah tabiatnya. John, sekarang John juga manis seperti Cintamanis ini dan bermain-main ya. Papi ingin bicara dengan Tuan Seta ini. Tuan ini juga senang pada Cinta-manis. Ya dear Seta?" ''Ya John, saya juga senang Cinta-manis." "Kau juga punya Kina-anis?" "Punya." "Juga seperti ini? Hitam, ada cincin-cincinnya emas?" "Tidak, Cintamanisku hitam semua." ''Tidak ada kuning-kuning begini? "Sayang John, Kina-anisku tidak punya. Dia miskin, tidak bisa beli roti dan misyes coklat. Lalu cincinnya dijual." "Cincin-cincinnya dijual? Sekarang sudah tidak punya lagi?" tanyanya dengan dua bola mata penuh kasihan. ''Ya, sayang. Sekarang hitam hitam melulu ... " "Oh kasihan, ya Pa! Apa tidak bisa dibelikan cincin baru?" "Bisa, John,” sahut ayahnya. "Bisa. Tetapi harus menunggu, sebab pandai emas yang membuatnya masih ... eh belum bangun, masih tidur." "Oh," kata anak itu. Dan kepada ularnya ia berkata lirih: ''John, Kina-anis cincinmu begini banyak. Kasihan dong, Kina-anis, Tuan itu miskin. Tidak punya lagi. Kasih ya? Papi, apa kina-anis kita bisa memberi beberapa cincin emasnya kepada kina-anis tuan itu." "Yah ... " bingung juga Ambasador itu, tidak tahu bagaimana menjawab anak itu, tanpa mengecewakan, tanpa bohong. Akhirnya: "Sudah John, kasih tabek kepada Tuan Seta, dan kembalikan ular itu lekas-lekas di kandang. Dia lapar, nanti ia merasa miskin juga; lalu cincinnya dijual juga. Kan tidak bagus." ''Ya, selamat petang! Papi, saya kembalikan segera ke kandang. Dan Paymin harus memberinya katak-katak lagi. Tapi kasihan juga ya Papi, katak-katak itu?" Lama kedua orang itu diam, sesudah anak itu pergi. "Dr. Seta,”kata duta-besar itu lirih. "Kalau ada apa-apa kelak, dan Anda membutuhkan pertolongan, jangan segan mengebel pintu rumah kami. Selalu akan dibuka." Sambil mengantar ke pintu muka, Ambasador itu masih berkata: "Saya pasti akan mengurusnya. Tetapi sebelum ada langkah-langkah tingkat tinggi, sebaiknya Anda mencari saluran lain. Entah bagaimana caranya, coba kirimkan dokumen-dokumen Anda melalui saluran-saluran tak kentara ke tangan pembesar-pembesar Indonesia yang paling kompeten untuk masalah ini. Siapa tahu mereka pasti akan bertindak sendiri, sehingga inisiatif dijalankan oleh pihak mereka. ltu lebih safe dan sebetulnya lebih wajar. Tetapi Anda main sans tinggi, hidup atau mati ... Seta! Kita mengharapkan yang baik-baik saja. Sementara ini, resmi saya tidak tahu apa-apa, okay?" ¹⁾ Mata yang terbuka lebar sekali. 127 "Baik. Yang saya butuhkan sekarang hanya rekomendasi untukku kepada Departemen Dalam Negeri. Anda suka memberi itu?" "Rekomendasi ?" "Saya ingin sedikit sentimental journey ke pedalaman, ingin menengok tempattempat masa kanak-kanakku. Semua peninjauan sekarang harus minta ijin. itu ... kalau Mr. Brindley masih mengakui saya sebagai warganegara negaramu." "Oh baik, baik. Nanti saya bilang kepada mereka, bahwa Anda sedang mencari pacarmu, begitu saja kan?" "Ah," dan terkejut membelalak doktor komputer itu menolak. "Jangan. Biasa saja: turis." ''Lho, apa benar ada pacar?" ''Ya, sulit cara merumuskannya," dan ia tertawa. "Nah hahaha;' dan penuh perhatian Ambasador itu tertawa sambil mengerdipkan mata. "Kentara sekarang memang ada itu. Okay, never mind." 128 16. Nisan Perhitungan Aku tidak tahu, apakah harus berterimakasih atau mengutuk memori. Ingatan manusia menolong kita belajar mengalami dan membentuk hari-depan yang lebih baik; dan kreativitas kita sebagian besar berudik dari sumber-sumber yang hidup, ingatan kita. Bahkan cinta atau benci hanya mungkin bila memori kita hidup. Tetapi justru itulah, segi-segi gelap seperti. benci, balas dendam dan biasa juga ketakutan serta kebimbangan bermunculan seperti ular Kepala Dua yang pemah diperlihatkan oleh sahabatku, John Brindley. Sungguh unik Mr. Ambasador itu. Dari mana ia mendapat ilham dan kesukaan mengumpulkan reptil-reptil yang mengerikan itu? Ular Kepala Dua sebetulnya satu kepalanya, tetapi ekornya persis bentuknya seperti kepalanya, pendek, tumpul bahkan punya dua pentolan mirip mata. Bagian bawah ekor itu berwama merah koral dan bercincin oranye bagus. Juga persis dengan wama bagian bawah kepalanya. Kalau bahaya datang dari belakang, ekor itu dapat didongakkan, sehingga dapat menipu lawannya. Tentu saja bagi musuhnya yang bemiat menyerang, kepala tipuan itu membingungkan sekali bila ular itu lari, seolah-olah lari ke belakang. "Ular Kepala Dua tidak berbisa, untunglah," kata John. ''Tubuhnya kecil, belum ada setelapak kaki; dan hidupnya seperti cacing, di bawah tanah. Oleh penduduk pribumi ular ini ditakuti karena dianggap punya kekuatan gaib." Memori manusia, walaupun sering punya kepala dua, pada hakekatnya hanya berkepala satu. Kepala ke arah segala yang lebih baik, dan tidak sebaliknya. "Sering sejarah berjalan mundur seperti. yang kita alami dalam peperangan yang lalu," kataAmbasador, "akan tetapi saya percaya, bahwa sebenarnya kita maju." ''Namun itu baru harapan Anda, Mr. Brindley. Belum kepastian yang dapat kita jadikan pegangan. Manusia toh bisa meledakkan diri juga, bila dia mau." ''Ya, benar. Sayang drama kekacauan sampai sekian puluh tahun sesudah perjanjian Potsdam¹⁾ atau di kawasan sini perjanjian di kapal penempur Missouri²⁾, belum membuahkan jaminan yang dapat kita andalkan. Tetapi untuk itulah justru kita harus menanam harapan. Manusia tanpa harapan, dia mayat berjalan." Maka pagi itu, dengan memori yang masih hidup langsung mengingatkan diriku ke serangan 19 Desember 1948 di Meguwo itu, namun dengan sesloki harapan juga yang kureguk dari percakapan dengan Mr. Brindley petang kala itu, saya, menejer produksi kongsi kuasa satu-satunya yang berkulit sawo-matang, mendarat di lapangan Meguwo. (Tetapi untuk karier setinggi itu maafkan aku harus membayamya dengan kewarga-negaraan non Indonesia). Sudah tiga kali aku mendarat di lapangan ini sejak serangan Spoor ke Yogya dulu itu; dan setiap kali ular Kepala Dua itu muncul lagi. Yang pertama kali: untuk mengantarkan big-bossku yang ingin berpariwisata ke Borobudur dan yang membutuhkan seorang gadis yang mengenal daerah. Yang kedua kalinya untuk menghadiri resepsi perkawinan salah seorang putera direktur Departemen ¹⁾ Perjanjian penyerahan Jerman Nazi kepada Sekutu di Berlin sesudah Perang Dunia II. ²⁾ Perjanjian penyerahan Jepang kepada Sekutu sesudah Perang Dunia II. 129 Pertambangan yang memegang kunci nasib konsesi perusahaanku. Dan ketiga kalinya, sekarang ini, untuk, ya untuk apa sebenarnya aku kini ke mari ? Untuk menyusuri kembali sejarah hidupku yang lampau penuh kepahitan, kekalahan dan kesialan itu? Setiap resepsi perkawinan yang harus kuhadiri selalu merupakan siksaan. Apa lagi di sini, yang mengharuskan aku mendarat di lapangan terbang dan lingkungan daerah yang kukenal bersama memori getir. Sampai sekarang aku belum pernah berani memberi tanda-tanda hidup untuk Atik. Pernah kudengar dari beberapa sumber kalangan kedutaan RI di Den Haag tentang perkawinan dan profesi Atik sesudah Konperensi Meja Bundar itu. Dari seseorang entah dari dunia universitas. Dan sangatlah pengecut aku ketika itu tidak memberi kartu selamat untuknya. Jangan lagi mengirim kartu selamat; alamatnya pun aku tidak tahu. Dan seandainya aku tahu (seharusnya aku tahu), toh aku tidak akan bermunafik untuk mengucapkan selamat mengenai suatu peristiwa yang menyakitkan hati. Sakit hati karena salahku sendiri, memang itu kuakui, dan memang aku pengecut dalam hal ini, akan tetapi tetap menyakitkan hati. Aku ingin jujur dan wajar. Aku tidak ingin jadi budak basabasi. Dan aku diam. Namun toh sejelek-jeleknya aku, aku berdoa untuk Atik yang pernah menjadi kekuatan batinku dalam masa muda yang paling menggoyahkan; yang kala itu menulis surat padaku, memanggilku ke Jakarta untuk menemui Mami . Mami, ya Mami. Kau sekarang sudah menemukan kedamaian. Segala-gala telah kau serahkan. Tetapi mereka mengingkari janji. Dari dokter direktur rumah-sakit jiwa Magelang, pas pada hari aku meraih gelar doktor di Harvard, kuterima berita menditil mengenai wafatnya Mamiku. "Itu sudah kami duga," kata dokter itu, "sebab kelainan yang diderita ibu Tuan yang baik itu suatu saat akan sampai pada pusat persarafan sentral. Tetapi saya dapat memberi persaksian, bahwa ibu Tuan mangkat dengan wajah tersenyum, tenang; dan saya yakin, dalam rahmat berkenan kepada Allah Subhanahu wa taala." Segalanya telah Mami serahkan. "Juga, bila Tuan bersua lagi dengan Kolonel Verbruggen, sudilah Tuan menyampaikan salam dari pribadi saya dan rasa terimakasih dari rumah-sakit yang kami bina dengan susah payah ini, atas segala bantuan material yang tidak sedikit selama ini dan yang masih berlangsung terus. Sudah lama kami tidak menerima kabar dati Kolonel Verbruggen dan Tuan ... " Verbruggen, dia pun sudah tiada. Si Bandit gila telah hancur di Dien Bien Phu¹⁾. Pastilah sumbangan itu dilewatkan melalui ibunya. Seandainya bukan Spoor tetapi Verbruggen yang jadi panglima kala itu, pasti sejarah akan berjalan lain. Tetapi seorang Verbruggen tidak akan laku untuk hari-hari semacam itu dulu. Tinggal aku dan Atik. Dokter itu juga menulis sedikit tentang suatu keluarga istana di Surakarta yang seringkali mengunjungi Mami. ''Bahkan ada seorang wanita muda beserta ibunya menanyakan alamat Tuan Setadewa. Tetapi walaupun kebaikan hati mereka berkesan sekali kepadaku, saya setia tetap teguh merahasiakan alamat Tuan. Menurut yang diminta keras oleh Tuan, dan yang selalu kami patuhi selaku rahasia jabatan dokter". ¹⁾ Medan laga termasyur dalam perang Vietnam melawan Prancis, di mana tentara Prancis dikalahkan totaL. 130 Dari dokter tua yang baik itulah kelak, sesudah aku diangkat jadi menejer produksi Pacific Oil Wells Company di Indonesia, kuketahui alamat dan hal-ihwal Atik, Bu Antana beserta alamat desa, tempat Pak Antana, yang gugur dalam Clash II, dimakamkan. Tetapi mengapa aku hams mengingat Atik lagi? Ia sudah milik. suaminya dan realismelah pasti yang menuntun keputusan pilihannya. Sudah punya anak berapa ia sekarang? Aku sendiri belum punya anak. Mana mungkin punya anak dengan perempuan jalang yang kukawini itu? Tetapi mengapa kau kawin dengan perempuan jalang, Teto? Jangan-jangan kaulah, Setadewa, yang membuatnya jalang. Karena kegandrunganmu pada matematika dan komputer. Memang sebenarnya aku dulu kawin tidak karena cinta. Cintaku hanya untuk Atik. Dengan Barbara aku kawin demi karir. Untuk memberi kilat-kilat perputaran pada matematika dan komputerkomputerku. Sebab istriku adalah anak dari bossku dalam divisi Eksploitasi Pacific Oil Wells Coy. Dan anak perempuan itulah yang memberiku status dan kalangan berpengaruh, sampai aku yang berkulit sawo-matang ini naik anak tangga begitu tinggi dalam tempo begitu cepat. Tetapi perempuan punya radar dan alat-alat sensor elektronika juga, yang lebih peka dan lebih meradar panser jiwa daripada radar buatan manusia. Ia pasti lambat laun merasa, bahwa aku mengawininya hanya demi jabatan paling kunci, penguasaan divisi komputer perusahaan. Dan perempuan itu semakin acuh tak acuh. Dalam waktu satu tahun, dari kedua belah pihak sudah tidak ada lagi hubungan yang mewayangkan cinta sedikitpun. Aku yang paling bersalah. Aku masuk upacara perkawinan di gereja sudah tidak lagi dengan hati manusia yang sayang pada calon istriku, tetapi dengan hati aluminium, kobalt dan silikon pesawat elektronika yang dingin. Dan istriku malang menikah dengan suatu komputer robot tanpa jiwa. Lalu mati pula hati istriku, terbunuh oleh voltase kumparan-kumparan elektrikku. Terkena bisa ular Kobra lelakiku yang juga sering bengis mendongak tegak, waspada, dingin melihat mangsanya dan tiba-tiba secepat kilat menggigit. Lalu lemas terkulailah mangsa. Atau sebagai ular Kepala Dua yang menipu memperdaya halus. Sesudah istriku pergi, baik secara mental mau pun legal, hidupku sudah tanpa arti lagi. Ibuku sudah menyerahkan segala-galanya, tetapi anaknya hanya bisa mengambil dan mengambil segala-galanya. Mengingkari janji aku tak pernah, artinya dalam hal yang vital. Tetapi ini pun demi perhitungan-perhitungan kebahagiaan harga-diri egoistis. Lagi, tidak pernah memang aku serius mau berjanji secara mengikat. Dengan kata lain, tak pernah menyatakan kemanusiawianku, sanggup risiko demi pemekaran indah manusia lain. Mamiku meninggal sebagai orang yang macet komputemya, tetapi pada saat-saatnya yang terakhir ia mewariskan kepada sesama manusia suatu memori indah wajah yang tersenyum dengan kata-kata yang penuh hikmah pula: "Aku telah menyerahkan segala-galanya". Kalimat "Tetapi mereka mengingkari janji", pada hakekatnya -- dan tentang ini aku semakin sadar -- itu sebenarnya ditujukan kepada anaknya yang ia tinggalkan di bumi ini, sang doktor matematika, menejer divisi produksi Pacific Oil Wells Company, Setadewa. Begitulah maka sekarang sudah saatnya aku datang, sebagai manusia biasa, yang ingin mengadakan perhitungan dengan ular Kepala Dua yang hidup di bawah tanah hati nuraniku. lni berkat pengorbanan Mami. Buah hasil penderitaan dan doa ibuku. 131 Bukan karena Setadewa yang baik, melainkan karena kebaikan dan keperwiraan Kapitein Brajabasuki ayahku yang jauh lebih jaya daripada kekolongan jiwa liar pengeluyur kali tangsi Teto dalam diriku. Tidak, kali ini aku tidak mau taksi sedan luks. Selain panas dan menjengkelkan karena modelnya kuna, aku sekarang ke mari untuk keperluan lain. "Saya pesan jip, jip terbuka carikan." "Ini saja Tuan, ini mobil bagus, empik ada A-C nya." Memang-sinting pemuda-pemuda yang mengerumuni setiap penumpang dan memaksa-maksakan secara tidak sopan, taksi-taksi... taksi-taksi. Seolah-olah hidup kita tergantung pada taksi. Mengapa bukan: wanita cantik! wanita cantik, Tuan! Ini kan negeri penuh gadis cantik, mengapa malu menawarkan kecantikan gadis seperti menawarkan taksi! Dan tidak diam-diam munafik secara gelap dengan secarik kertas mengapa malu menawarkan kecantikan gadis, tetapi tak malu menawarkan taksi! Dan tidak diam-diam munafik secara gelap dengan secarik kertas bisu tuli di kamar hotel internasional. Pemuda-pemuda ini sungguh pengemis mentalnya. Mental persis sama dengan yang kujumpai juga pada meja-meja perundingan internasional di pihak kaum Selatan. Sampai kau malu punya kulit sawo matang ini. Aku anak kolong memang, anak kumpeni, betul bajingan KNIL, biar! Tetapi bukan pengemis dan kuli seperti mereka itu. Aku jengkel diikut-sertakan dalam suatu masyarakat yang mendidik pemuda-pemuda taksi ini menjadi kuli yang tidak tahu bagaimana caranya hidup merdeka dalam negara merdeka. Tetapi, ya sudahlah. Mereka miskin, aku kaya. Enak memang jengkel begitu bila kau kaya. Maklumlah, maafkan! "Tidak ada jip Tuan, ini saja, itu bagus, Tuan." "Saya tidak butuh taksi bagus. Saya butuh jip, tahu?" Ah, mereka toh hanya orang kecil saja yang selayaknya dikasihani. Mengapa merasa gusar? Akhirnya seorang Cina, (nah Cina lagi, kalau pribumi sih terlalu tolol) yang menjanjikan penyediaan jip carteran. Tetapi saya harus menunggu barang seperempat jam saja. Nah sudah hafal aku, artinya seperempat hari tentunya, pikirku sinis. Baiklah, saya minum kopi dulu. Satu-satunya yang baik di Indonesia hanyalah kopinya. Artinya di warung. Entah di restoran pelabuhan udara internasional yang kini diberi nama Adisucipto ini. Peragawati yang pamer kain batik dan berputar-putar seperti merak itu matanya bagus; hanya sayang telinganya terlalu lebar. Berkesan keledai. Tetapi payudaranya boleh lebih montok lagi sebetulnya. Tidak model Barat kerempeng begitu. Di alam tropika tidak ada yang kerempeng, semua montok. Kenapa mereka sekarang begitu? Ingin mirip dan meniru dan imitasi dan menjiplak Barat? Sungguh kuli dan babu bangsa ini. Dan lebih kuli lagi kau, Teto. Ya, itu benar. Sudah lama aku sadar, bahwa sikapku yang begini ini sebetulnya ekspresi maksimal dari kekulian bangsaku. Bangsaku? Bukankah kau Teto, kau selalu mengujar terhadap sang Ambasador, kau berkebangsaan multi-nasional? Aku tidak bohong. Mamiku Indo dan aku, aku bekas KNIL. Tanah-air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di mana tidak ada manusia menginjak manusia lain. Siapa dulu yang omong begitu? Lupa aku. Ah, si sersan mayor MP di kerkop itu. Memang aku tidak punya tanah-air, karena aku biasanya ikut dengan pihak penyerang. Dulu sebagai koboi Spoor, sekarang sebagai kacung Board of Directors lihay yang tahu, yang sungguh tahu bahwa model perhitungan komputer itu terselipi (atau diselipi?) kesalahan yang merugikan negeri ini dengan sekian milyar dolar per tahun. 132 Kami yang tak kenal dimensi kemanusiawian, yang dingin, berjiwa robot, apa lagi. Tetapi sayalah yang sekarang memegang kunci informasi rahasia pengurasan negeri ini. Benar, memang sudah kuduga, kopi restoran ini enak. Cukup memberi kafein sedikit untuk nanti. Aku harus segar. Ini bukan trip bisnis atau perjalanan ke resepsi perkawinan. Ini ziarah. Cina itu memang boleh dipuji. Betul seperempat jam. Dua puluh menit sebetulnya, tetapi saya hitung seperempat jam. Karena aku di Yogya, tidak di New York. ''Pelan-pelan, Bang Sopir. Saya punya waktu seperti lautan. Pelan-pelan. Saya harus menikmati semua." Jip khusus terbuka, haha seperti dalam jip militer sedang beroperasi. Nah, di selokan itulah saya merangkak. Di sana kukira ada gerilyawan. Peluru muntah. Peluru ketakutan sebenarnya. Setiap serdadu takut. Tidak ada yang "berani mati," kecuali para tukang bual di bar-bar atau di perjamuan nyonya-nyonya tolol yang kagum terpukau pada sang Lelaki jago kate. Saya hanya biasa, seperti Verbruggen, bandit. ''Di hotel mana, Tuan?" "Hotel? Aku tidak bilang hotel. Terus saja, jangan belok kalau belum saya komando." Hah, aku sudah mulai berkomando. Enak memang memberi komando. Seperti berkesempatan melampiaskan dendam, sebab yang mengkomando biasanya mendapat komando juga. Seolah komando yang tidak menyenangkan itu lekas-lekas harus kita teruskan kepada orang lain, seperti sebaris domino yang sama-sama jatuh, lalu merasa lega, bebas dari situasi dikomando. Sampai kaum sol sepatu yang paling bawah. Nah, di bawah sana komando-komando pada bertumpuk-undung. Dan untunglah, ya itulah kebodohan mereka, atau rahmat ketahanan mereka? Komando ditumpuk, digudangkan. Mereka bergumul dan tidur, mandi dan bersetubuh di tengah onggokanonggokan komando itu. Tidak ambil pusing seperti perempuan-perempuan dikali Bening itu yang tidak ambil pusing juga dengan air keruh berlumpur tai-tai itu. Kaum sol-sepatu di bawah tahu koeksistensi "damai" dengan bentakan-bentakan komando dari atas. Dan inilah kekuatan mereka sehingga bertahan dan masih tetap bisa hidup dan tertawa dan saling melawakkan lelucon lawak konyol tak ketolongan, tetapi yang tetap saja masih lucu. Di dalam jip terbuka itu aku menuju ke Krarnat Magelang untuk berziarah ke makam Mamiku di sana. Makam yang telah kupugar sepuluh tahun yang lalu ketika Soekarno masih berkuasa. Nah, ke makam Mamiku itulah acara pokok perjalanan peziarahanku sekarang ini. Sebelum clash terakhir meledak. Direktur tua rumah-sakit sudah diganti oleh yang lebih muda dan tiba-tiba aku merasa bahwa aku sendiri telah menginjak ke masa jam 14.00 siang menuju senja hidup. Kota Magelang yang dulu terkenal indahnya dan bersih, sekarang sudah penuh toko dan kios, kotor seperti sepantasnya kota-kota di negeri ini, yang kubenci sekaligus kucintai. Kali Manggis tetap masih berwarna manggis. Hanya sekarang lebih banyak lagi perempuan, laki-laki, anak-anak yang beroperasi di tepi-tepinya. Masuk Magelang seperti masuk sarang lebah, begitu banyak manusianya. Kendaraan bermotor sudah mulai membisingkan bunyi-bunyi imperial kerajaan ular adder. Tetapi satu yang bagus. Tidak ada orang yang kurus. 133 Anak-anak serba gemuk, menggelembung pipi-pipinya. Dan gadis-gadis lebih cantik daripada cah kampung jaman anak kolongku. Aneh, pohon-pohon kenari di daerah tangsi (sekarang Ksatriaan narnanya, hebat), masih saja tegak berdiri. Hanya lebih botak dari dulu, biasalah ciri masa tua. Selama kenari-kenari itu masih ada, tangsi kumpeni atau ksatrian kurasa tidak banyak bedanya. Rumah-rumah perwira dengan genting-gentingnya yang tebal-tebal bulat separuh seperti rumah-rumah Spanyol dan ltalia masih sama.. Ya, disini rumah letnan van Santen yang sangat pirang dan kami Juluki Buto Damen ¹⁾, itu rumah Kapitein du Bois dengan Istrinya yang gemuk seperti bedug mesjid alun-alun. Dan dua rumah lagi, ya, itulah rumah Loitenant kelak Kapitein Brajabasuki almarhum. “Catnya sudah diperbaharui, tetapi pohon bugenvil di muka garasi itu kok masih saja ada. Atau sudah diremajakan barangkali'? Pagar wora-wari aneh juga masih abadi setia menjadi saksi-saksi sejarah yang tenggelam, bersama pohon-pohon kenari di mukanya. Gentingnya seperti yang lain-lain serba ditumbuhi rumput, anggrekanggrek liar dan macam-macam lumut. Hanya rumah-rumah perwira serba sepi, entah penghuninya ke mana. Dulu selalulah penuh sinyo dan noni di muka pintu, di halarnan, di jalan. Sebuah tank dan dua panser menderu di seberang alun-alun latihan. Tank itu bukan model Shermann, bikinan Rusia barangkali. Ada sepasukan tentara nasional yang sedang berlari, kaos oblong putih tetapi lengkap berpantalon bersepatu. Lebih efisien pakai setiwel²⁾ model KNIL sebelum perang sebenarnya, dari segi efisiensi kesehatan. Setiwel-setiwel itu erat-erat mengikat daging otot betis dan begitu orang sanggup bertahan jalan jauh. Semua yang baru dan keliru ini pengaruh US Army. Semua tentara di seluruh dunia di luar daerah pengaruh komunis berpakaian seragam model USA. Praktis atau tidak praktis mereka begitu, multinasional. KNIL dan TNI sarna saja bentuknya, senjatanya, celananya, sepatunya. Punya pangkat apa aku seandainya dulu menggabung pada tentara nasional ini? Paling pol kolonel. Nasional? Di Eropa sudah tidak ada tentara nasional. Di Amerika Latin juga tidak ada lagi, hanya namanya saja. Sekarang aku menejer. Mayjen cukup? Gajiku besar dan lebih kuasa daripada marsekal. Tetapi sebentar lagi habislah riwayatku. Di hadapan nisan Mami, dan sekaligus secara simbolis di hadapan nisan Papiku juga, (sampai sekarang tidak jelas dan tidak pernah akan kuketahui, di mana letak istirahat akhir Papiku) aku tadi telah bersumpah pada Mami dan Papi, bahwa aku akan berbuat sesuatu, yang akan menjadi kebanggaan orang-tuaku, seandainya mereka masih hidup. Terutama kepada Papi akan kutunjukkan bahwa aku tidak tergolong "mereka yang mengingkari janji". Ya, aku akan tetap tersenyum. Dan barulah bila semua itu sudah terjadi, aku akan sanggup berhadapan dengan Atik. Mata lawan mata. Hati lawan hati. Sebagai ksatria yang tidak kalah. Biar aku anak kolong, anak ruang di bawah ranjang! Dalam arti yang baru yang lebih pahit. Tetapi dengan kebanggaan. Anak kolong dan kaum ksatria hanya hidup dari kebanggaan. Bukan dari uang, tetapi karena telah berbuat berani. ¹⁾ Raksasa jerami. ²⁾ Pembalut kaki dari tumit sampai lutut. 134 Mempertaruhkan nyawa demi sumpah, demi sasaran yang sulit dicapai, demi tujuan yang melegakan orang banyak. Akan kubuktikan, bahwa darah perwira masih mengalir di dalam urat-uratku, dan bahwa keindoan Mamiku adalah infusi darah baru bagi bangsa Inlander yang mengalami situasi serba baru sesudah revolusi politik dan revolusi bersenjata dulu itu. “Kau tahu desa Juranggede? Kata orang di daerah lereng Merapi sana. Kau kan juga berasal dari Merapi?" "Saya berasal dari daerah Grojogan, Bapak. Tetapi ada tiga Juranggede, Bapak. Yang satu di dekat cekdam yang baru dibangun pemerintah itu. Ada lagi yang, yah begitulah Bapak, tempat sarang bajingan-bajingan, dan ada lagi di daerah ke arah Kopeng di sini." Kulihat sopir di sebelahku, belum sangat tua. "Kau paham sekali daerah lereng Merapi?" "Menurut istilah sekarang, saya sudah laku untuk jadi gaid, Bapak. Saya kenal segala lekuk lorong daerah." Dan kedengaran bangga ia menambahkan gerilya. Tetapi dulu saya jadi kurir, itu lho Pak, yang disuruh membawa surat-surat kode rahasia dari markas ke markas. Berbahaya itu lho, Bapak!" "Umur berapa kau sekarang?" ''Barangkali ... ya barangkali berapa ... ya ketika kles kedua itu saya baru kelas enam. Tetapi abang saya ikut lasykar, dan saya ikut juga. Tetapi tanpa bedil, Bapak." Dan sopir itu tertawa kecil. "Tidak masuk TNI?" "Ah tidak laku. Kerempeng begini, Bapak. Disuruh lari-Iari begitu, capek. Lebih suka jadi sopir begini. Enak. Tapi saya sudah montir, Pak. lkut Cina saja lebih enak. Bapak tinggal di mana?" "Saya dulu tinggal di sini. Tetapi ketika masih anak. Jarnan Belanda." "Oooh ... Belanda itu kaya ya, Bapak." "Ya, ada yang kaya, ada yang biasa. Di sini juga begitu, kan." ''Ya, sayang begitu, Bapak. Tetapi orang harus belajar nerimo, Pak. Maaf, Bapak, saya dari tadi ingin tanya, mengapa kok Bapak tadi ekstra minta jip terbuka? Mau lihat pemandangan? Jangan-jangan nanti masuk angin." ''Ya ... ya begitulah." "Sekarang ke mana?" "Ke Juranggede." ''Ya, yang mana?" "Saya hanya diberi tahu, dulu pernah jadi markas dan dapur umum gerilya." "00, kalau begitu saya tahu." Dan sopir itu tertawa lagi. ''Tentunya kan ridak ke Juranggede yang jadi sarang perampok itu. "Masih banyak perarnpok?" "Uah, sarna saja. Ada gula ada semut. Ada paya ada buaya. (Sopirnya tertawa lagi) Bapak suka melihat sarang perarnpok? Hanya lewat saja. Tidak usah apa-apa. Aman. Bapak turis dari mana? Menado? Atau Medan?" "Saya …? Dari Jakarta saja. "Oh, kalau begitu dulu pernah gerilya di daerah sini dan Bapak ingin mengunjungi kenangan-kenangan lama?" ''Ya ... begitulah." "Kalau begitu maaf, Bapak tentunya paling sedikit sudah brigjen ?" "000, lebih tinggi lagi." "0 ya?" (ia mengangguk-angguk kagum) “Juranggede, Bapak?" 135 ''Ya, mumpung masih belum sangat siang." “juranggede yang sarang perampok atau markas-gerilya?" ''Yang gerilya saja dulu. Jipnya masih kuat ke sana?" "Oh, beres, Bapak. Tua, tapi masih suka kerja ... Juranggede ... Juranggede, saya masih punya paman di sana. Ya, sudah jauhlah, tetapi ia masih kemenakan dari ibu saya. Kalau begitu saya juga untung, Pak, boleh nanti menengok, sebentar saja?" "Boleh. Tetapi sekarang pertanyaan penting. ltu warung-warung tahu goreng di dekat penjara itu masih ada?" "Oh itu? Tidak hanya satu, Bapak, banyak." "Masih enak?" "Uah, itu segala turis domestik lari ke situ." "Kalau begitu kita juga lari ke sana dulu." 136 17. Gunung Rawan Gadis itu menunduk hormat malu-malu dan menggantungkan pelita bekas gelas selai pada balok belandar emperan muka. Lalu diam tanpa suara seperti anak macan tutul (kebayanya bukan kebaya tetapi baju pasukan payung USA), pergi sambil sekali lagi menunduk hormat. Ada sesuatu dalam gadis itu yang mengingatkan aku pada Atik. Entah apa. Ada baiknya jipku tadi macet. Bukan mesinnya yang menyebabkan aku terpaksa harus menginap di tempat Pak Dukuh¹⁾ ini, tetapi normal tolol sekali, karena bensinnya habis. Salah perkiraan, kata sopir. Atau memang mesinnya sudah begitu boros dan tadi hampir selalu hams porseneling dua? Pokoknya tidak bisa terns. Baiklah, semua hams dialami. Aku tadi hanya bohong sedikit pada Pak Dukuh, mengaku masih kemenakan dari bapak yang dulu tertembak pesawat pemburu Belanda di jalan Selatan sana dan yang dikubur di pemakaman tengah sawah itu. Dengan segala keramahan pribumi asli aku diberi kamar tengah yang paling bagus, yang sebenarnya hanya dipakai untuk mempelai baru. Selalu dan di mana pun seolaholah orang-orang ingin menyindir kegagalan perkawinanku. Lama Pak Dukuh dan aku saling tukar pikiran tentang masa lalu. Dari percakapan ramah itu aku menarik kesimpulan, bahwa untuk penduduk di pedalaman sangat tepatlah bila diterapkan kata-kata Mamiku (ataukah kata-kata Wahyu dari Atas:) "Segala telah kuserahkan. Tetapi mereka mengingkari janji." Tentu saja aku tidak mengaku bekas KNIL. Hanya: "Dulu saya tidak mengalami sendiri. Ketika Revolusi Merdeka dulu, saya masih di luar negeri." Kan bukan bohong perumusan diplomatis "Luar Negeri" itu. Pak Dukuh bercerita banyak tentang peristiwa masa lampau. Tentang Ibu Antana dengan puterinya yang cantik Den Ajeng Larasati. Sungguh tidak terbayang semuda itu ternyata sudah tergolong orang-orang gede yang sering bicara-bicara dikelomasi²⁾ dengan orang-orang pinternasional³⁾ Bagaimana keadaan Den Ajeng Larasati sekarang? Dan ibunya? Setiap tahun pada waktu nyadran sebelum bulan Puasa mereka selalu datang membersihkan makam Pak Antana dan berdoa. Ya, naik mobil. Tetapi hanya sampai di jembatan bawah, yang ketika itu masih rnsak. Dan bawa oleh-oleh. Pak Dukuh mendapat jam-tangan, sekarang dipakai anaknya yang bekerja di kota. Bu Dukuh mendapat kain baru. Bisa dipakai kalau ada pesta nikah. Dan genduknya, yaitu tadi yang menyalakan pelita di emperan, mendapat gelang. Bahkan Si Gombloh, pembantu yang setengah sinting itu pun diberi celana. Memang jaman resah-rnsuh, "jaman merdeka" dulu itu. Tetapi bicara tentang keresahan, soalnya masih sama. Di sekitar Merapi-Merbabu soal bandit dan perampok belum pernah beres. "Sejak jaman Belanda, Pak". Dan Pak Dukuh tersenyum di bawah kumisnya yang hitam lebat. Sambil menyalakan rokok tembakau Kedu yang maha ampeg ia bercerita dengan nada bawah yang sedikit bangga: Dulu nenek saya juga benggol bajingan, Pak. Hehehe ...(Ia tertawa kecil). ¹⁾ Bagian dari kelurahan. ²⁾ Dari kara diplomasi. ³⁾ Dari kata inremasional. 137 Lalu dijadikan lurah oleh Belanda. ltu konon menurut kata para tetua. Belanda yang membantu “sumsidi” ¹⁾ uang semir "pemilu"ya begitulah istilahnya sekarang Pak, sampai nenek saya dipilih jadi lurah. Sejak itu, semua aman. Belum lama ini juga begitu, Pak, desa Rongwatu sana tidak pernah aman. Entah padi yang sudah kuning, kerbau atau sering cuma pakaian dan transistor, pokoknya kembali jaman baheula. Lalu Pak Keamanan yang sekarang ini, dia kampanye: Kalau saya yang dipilih, tanggung perkutut-perkutut akan damai memanggung dan seluruh desa akan aman tenteram. Tetapi kalau dia tidak dipilih, ia memperingatkan, segala malapetaka akan berlipatganda. Nah, dia dipilih. Sejak itu, aman." Tersenyum ia mempersilakan teh pahit bergula banyak. ''Ya begitulah, selalu ada-ada saja daerah ini. Kemarin malam ada perkara lagi. Kerbau Pak Sanusi dicuri. Sebulan yang lalu kerbau Pak Mertobelong. Pasti ini nanti ada ekornya." Gadis macan-tutul tadi hormat penuh sopan-santun elegan, memberitahu, sudilah Bapak Tamu dan ayahnya makan apa seadanya. Makanan masakan desa sangat lezat bagiku. Barangkali karena aku sedang senang di hati. Atau karena gadis macan-tutul tadi mirip Atik? Pokoknya aku makan banyak. Sebagai tanda kebesaran, seharusnya kutinggalkan sisa sedikit dalam piringku, seperti yang dikerjakan juga oleh Pak Dukuh (tanda: bagiku makan bukan soal), tetapi aku toh lebih memilih jujur dan piring bersihlah mengkilat. Seperti anjing, kata ayahku dulu. Sesuai dengan pendidikan Mami yang selalu berkata: "Segala makanan harus habis. Meninggalkan sisa berarti kau sombong. Anugerah Tuhan tidak boleh dibuang sia -sia." Nah, apa saja dapat ditafsir macam-macam. Sisa Pak Dukuh tidak dibuang sia-sia, pasti diberikan kepada ayam, atau anjing. Anjing menjaga rumah di malam hari dan daging ayam kelak kita makan kembali. Duduk di emperan dengan hanya ditemani suara jengkerik-jengkerik dan kadangkadang burung-burung uhu atau jampuk atau celepuk, memberi rasa damai padaku, entahlah. Tetapi setelah kuperhatikan, toh lain juga dari di jaman kanak-kanakku. Hanya suara jengkerik. yang masih sama. Tetapi suara-suara burung hantu di kegelapan sekarang sudah jarang. Akibat kebudayaan DDT dan endrin rupa-rupanya. Di masa KNIL dulu aku sering mendapat giliran ikut kontrol di pos Gemawang, pos terdepan garis-demarkasi Pingit antara Ambarawa dan Secang. Markas pertahanan kami ditempatkan dalam rumah bekas pabrik. kopi. Burung-burung hantu kala itu masih cukup kerap menguhu. Bunyi seperti maut "kebluk-keblukkebluk," yang ditakuti anak-anak desa, tetapi juga orang-orang tua, masih kudengar setiap malam. "ltu gerilyawan datang," kata sinyo-sinyo Belanda totok, hahaha ... Sesudah jelas KNIL harus mundur dan dilikwidasi, aku masih sering teringat pada "burung-burung gerilyawan" uhu dan kebluk dan celepuk dan jampuk itu. Nama-nama yang tidak sedap! Memang pekiknya sungguh bukan pekik yang membawa warta gembira. Dan jika pada siang hari burung-burung lain kebetulan menemukan kebluk atau celepuk sedang tidur, maka segera kawan-kawan burung lain berdatangan dan bersama-sarna mereka mencaci-maki kebluk dan celepuk tadi habis-habisan, sehingga kebluk tadi seolah-olah malu dan menyeringai kebingungan seperti nenek senewen. Tetapi uhuuhu tetap tidak pernah bertobat dan terus saja berbuat sekehendaknya, berburu kadal, tikus, serangga. Seperti sinyo-sinyo itu kalau sudah dewasa. ¹⁾ Dari kata subsidi. 138 Aneh, mengapa orang-orang Barat memilih burung uhu sebagai lambang kepandaian. Apakah orang pandai suka berburu di dalam kegelapan? Sehingga orang Jawa mempunyai sinonim untuk kata menipu, yakni minteri, dari kata pintar? Para penyusun model komputer kongsiku, yang tanpa diketahul merugikan negeri ini dengan sekian milyar dolar setiap tahun, adalah kebluk-kebluk maut juga, karena pandai membuat model perhitungan dan rumus-rumus rumit yang lihay menipu. Dari kejauhan terdengar kokok jago yang terburu bangun. Tadi siang kudengar juga kokok ayam hutan. Menurut kata Papiku yang ahli bekisar, ayam hutan sudah menghuni pulau vulkan ini jauh sebelum manusia pertama datang di sini. Aku ingat dulu Papi membawa seekor ayam hutan berekor garpu yang indah sekali, hijau dengan garis-garis datar miring pada kepala dan lehernya. Mirip hakim-hakim negaranegara kesemakmuran Britania. Jambul ungu jingga dan kulit janggut melambai merah. Interesan sebetulnya, kaum jantan di alam raya ini suka bersolek diri, sedangkan yang betina hanya sederhana saja. Persis perempuan-perempuan Jawa di masa kanak-kanakku. Mereka berkebaya hitam atau lurik coklat-hitam, seperti gagakgagak saja, sederhana dengan potongan tanpa pretensi. Tetapi wahai, lihatlah para ksatria keraton, apa lagi di Yogyakarta dengan surjan¹⁾ warna-warni dan blangkon²⁾ kepala yang manja. Semakin mendekati alam, semakin perempuan disuruh sederhana dan si lelaki memamerkan keelokkan fisik. Merak, itulah contohnya para ningrat Jawa. Maka benar-benar dapat dimengerti mengapa Papiku dulu dan ibu si Atik tidak begitu suka hidup di antara tembok-tembok keraton. Dari pihak lain, seperti yang kurasakan, sungguh sering merana, hidup dalam alam penghayatan lain dari yang dialami saudara-saudari sebangsa. Apakah aku sudah keterlaluan menjauhkan diri dari bangsaku? Apakah alasanku benar alasan jujur ataukah dalih menjauhkan diri dari bangsa yang masih hidup di dalam alam masa agraria kuna ini? Yang masih primitif mendekati flora dan fauna rimba belantara? Itulah penderitaan jiwaku. Ada lima orang mendekat. ''Kula nuwun³⁾." Kujawab hormat. Mereka minta maaf, memperkenalkan diri dan masuk setelah dipersilakan Pak Dukuh. Sesudah basa-basi macam-macam, Pak Dukuh menerangkan, mengapa mereka dipanggil, yakni "soal yang tentulah saudara-saudara sudah maklum, soal kerbau yang dicuri kemarin malam." Jelasnya, menurut peraturan baru dari kelurahan, siapa yang kehilangan kerbau atau ternak apa pun, dia harus didenda. Aku terperanjat di lincak luar. Didenda? Mana bisa? Orang yang kehilangan bahkan didenda? Gila! Itu kan terbalik! Ya, orang-orang itu sudah maklum. Dan mereka akan taat kepada peraturan pemerintah. Akan tetapi apa tidak mungkin ada kebijaksanaan ... artinya kemurahan atau perkecualian? Tidak mungkin! 1ni bukan lagi jaman liberal seperti dulu. Semua harus berdisiplin parsitisapi⁴⁾ pembangunan. ¹⁾ Baju model Yogya tradisional. ²⁾ lkat kepala Jawa Tengah. ³⁾ Sepada. ⁴⁾ Kata lawakan dari partisipasi; siti = tanah sapi = binatang. 139 Suara agak serak (barangkali dari pemilik kerbau) memohon belaskasihan karena memang dia tidak punya uang. Yang lain-lainnya juga ikut memohon kemurahan kepada Pak Dukuh. Pak Dukuh berkata, memang dia sebagai kawan sedesa sungguh ingin menolong mereka, tetapi bagaimana lagi, ia pun hanya orang kecil dan hanya mendapat enterupsi¹⁾ seperti apa adanya. Memang, dia paham sekali dan menghayati kesedihan mereka, akan tetapi dengan sangat menyesal dia hanya dapat berkata, apa yang wajib ia katakan. Soalnya, ini sudah keputusan sidang Dewan Kelurahan lengkap dengan LSD segala. Jadi resmi. Bahkan konon Pak Camat juga sudah membubuhkan tandatangannya dan cap. Lagi pula Pak Koramil pun juga hadir dalam rapat itu. Mereka diam. Pak Dukuh lalu mempersilakan mereka minum teh dan nyamikan ala kadarnya, yang rupa-rupanya dihidangkan oleh Bu Dukuh sendiri. Sebab, terdengar ada suara wanita yang menanyakan, bagaimana keadaan istri mereka, dan bahwa Bu Dukuh berterimakasih atas punjungan²⁾ Mbok Sanusi, yang kehilangan kerbaunya tadi, berupa ayam goreng. Bahwa itu tidak perlu sebetulnya, dan maaf mohon tanya, apa gerangan ujubnya³⁾. Oh, minta doa, karena anaknya mau melamar di pabrik kertas di Blabak, semoga diterima. Wanita itu memberi jaminan, pasti anaknya akan diterima. Tetapi memang jaman sekarang sulit mencari pekerjaan, dan sering itu sebagai lotre saja. Semakin banyak beli karcis lotre, kemungkinan diterima juga banyak. Ayah anak itu, alias yang kehilangan kerbau tadi, hanya mengucap terimakasih dan dimohon, kalau Bu Dukuh lewat, sudilah singgah di rumahnya. Wanita itu mengatakan: "Ya, nanti, coba kalau kebetulan lewat." Pak Dukuh sekali lagi mempersilakan tamunya minum, dan ia mulai bercerita tentang jumlah wisatawan yang semakin banyak mengunjungi jurang dekat desanya. Ia mulai melawak bahwa gunung berapi jaman sekarang sudah jadi semacam Sekaten⁴⁾ model baru. Pasti sebentar lagi Simbah Petruk rindu kepada kekasihnya Nyai Loro Kidul. Dan bila nanti ia memuntahkan lahar lelakinya, nah, pasti banyak wisatawan akan datang melihat Gunung Merapi meletus. Ada seorang dengan suara macan tua berkata, bahwa mudah-mudahan bila meletus, tepat pada hari Lebaran, sehingga ia tak memerlukan lagi membelikan mercon untuk anak-anaknya yang rewel. Tentulah itu menimbulkan reaksi protes oleh kelima orang lainnya. Tetapi akhirnya semua sepakat, bahwa memang anak-anak sekarang sulit dan rewel minta ini minta itu yang tidak perlu. Tetapi Pak Dukuh mengatakan, bahwa memang itu merepotkan, tetapi bagaimana lagi, itu sudah konsekuensi jaman pembangunan. Tiba-tiba suara serak yang kehilangan kerbau tadi memohon, apa memang betul tidak ada jalan keluar agar ia diberi kemurahan. Akhirnya sesudah melingkar-lingkar Pak Dukuh berjanji, masalah ini akan ia ajukan ke pihak kelurahan.Terserah beliau nanti bagaimana, kebijaksanaan mana yang perlu diambil. ¹⁾ Pengucapan salah dari kata yang seharusnya instruksi. ²⁾ Pemberian hadiah berupa makanan kepada tetangga sehubungan dengan sesuatu peristiwa.. ³⁾ Maksud, motivasi permohonan. ⁴⁾ Perayaan Gerebeg Maulud di Yogya. 140 Sekali lagi Pak Dukuh menegaskan, bahwa semua itu bukan bermaksud menambah kesedihan seorang kawan sedesa yang dirundung malang kerbaunya hilang, tetapi hanya dan melulu demi ketaatan kepada pemerintah. Sebab menurut pemerintah, sudah terlalu banyak kerbau dan kambing hilang. Maka perlu diadakan tindakan untuk menanggulangi peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan itu, yang memberi kesan, seolah-olah negara kita ini liberal dan hanya penuh kekacauan saja. Maka perlulah semua itu ditertibkan, dan setiap orang harus ikut bertanggung-jawab. Maka siapa yang kecurian ternak apa lagi kerbau yang begitu mahalnya, harus sanggup membuktikan diri mampu menjaga hak milik masing-masing secara warganegara yang bertanggung-jawab. Jika toh terjadi ada yang kehilangan kerbau dan sebagainya, jelaslah ia kurang waspada dan lalai dalam tugasnva terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Maka ia harus didenda. Itu bukan hukuman atau keputusan hakim, tetapi hanya peripentip¹⁾, artinya sedia payung sebelum hujan, agar semua berjalan tertib dan tidak menimbulkan keresahan yang tidak perlu. Kelima orang itu mengucapkan terimakasih atas segala kebaikan Pak Dukuh dan dengan penuh hormat dan sedikit lega mereka mohon diri. Mereka memberi hormat kepada tamu Pak Dukuh yang masih duduk sendirian di lincak emperan. Sekali lagi mereka minta maaf bila mengganggu Pak Dukuh dan mulailah batere-batere menyala menembus kegelapan. Pak Dukuh minta permisi pergi sebentar untuk memeriksa aliran air di selokan ke sawahnya, serta mengucapkan selamat malam kepadaku. Dan sendirianlah sang peziarah Setadewa. Tiba-tiba dari antara dedaunan pepohonan kulihat lidah api menyala. Apa itu? pikirku. Komet? Iintang beralih? Akhimya aku tahu. Ah, itukah yang sering diberitakan di koran-koran akhir-akhir ini: lidah lahar yang keluar dari kawah Merapi? Setiap sepuluh tahun sekali paling sedikit dan teratur, Gunung Merapi meletus. Ini tahun 1968. Jadi sudah saatnya, di sekitar pergantian dasa-warsa "ditunggu" letusan. Lama aku memandang kepada semburansemburan lidah api yang meleleh ke bawah itu. Elok, ya, indah. Banyak yang kejam keji tampak indah dari kejauhan. ¹⁾ Dari kata preventif 141 18. Aula Hikmah Mengapa mereka membangun kompleks universitas dengan arsitektur begitu Jelek di tengah alam dan masyarakat yang begitu cantik? Aku sudah mulai belajar sumarah seperti Mami, tetapi darah Untung Surapati dalam Papiku masih memberang terus. Negeri ini sudah kehilangan kepribadiannya, atau apa istilahnya tadi dalam kartu undangan? "Jatidiri dan bahasa citra". Ya, kesejatian diri sudah hilang dari masyarakat sini, yang terlalu lama dan terlalu bertubi-tubi diserang desintegrasi politik, ekonomi maupun kebudayaan. Di mana-mana arsitektur selalu menjadi detektor yang tidak bohong, merekam dan mensinyalkan keadaan diri suatu bangsa. Begitu gado-gado dan simpang-siur perwatakan gedung-gedung itu, minta ampun. (JIKALAU ada wataknya). Karakter,itulah yang digemblengkan Papi padaku. Citra, ltulah yang dianugerahkan padaku oleh Mami dan oleh ... Atik. Pagi itu, aku dari hotel (bukan hotel, tetapi kamar yang berkat kedermawanan seorang tumenggung Keraton boleh kusewa) menuju ke kampus universitas yang paling termasyhur di negeri ini dan kata orang menjadi simbol dari kepribadian bangsa Indonesia. Aku kecewa memang terhadap ekspresi kepribadian itu, tetapi sekali lagi, aku sudah belajar sumarah dan tidak terlalu memberang bila ada yang kurang menyenangkan dalam negeri ini. Pagi itu Nyonya Janakatamsi, Kepala Direktorat Pelestarian Alam akan mempertahankan tesisnya untuk meraih gelar doktor biologi di hadapan Senat lengkap beserta undangan. Aku bukan undangan, karena sampai sekarang aku belum pernah (berani) berhubungan lagi dengan Atik, alias Nyonya Larasati Janakatamsi, isteri Dekan Fakultas Geologi salah satu universitas swasta di Jakarta dan Kepala Laboratorium Maritim Angkatan Laut. Tetapi kartu undangan dapat kuraih, karena salah seorang perwakilan Ford Foundation yang kukenal dan diundang, pada hari itu masih turne di Ujungpandang. Dari pimpinan protokol kemarin aku mendapat kepastian, bahwa untuk upacara itu aku boleh-boleh saja berbaju batik, sebab itu sudah dianggap pakaian resmi dan rapi. Bagus, inilah satu-satunya yang kuingini, berpakaian tidak kaku, kalau aku berjumpa dengan Atik nanti. Sebab pastilah aku akan berjumpa dengannya. Salah satu copy dari penelitianku tentang kecurangan komputer yang gawat itu telah kutitipkan dalam almari biro seorang kenalan pastor yang dapat kupercaya. Segala informasi mengenai pribadi suami Atik telah kudapatkan dan dia ruparupanya akan dapat kuharapkan menjadi matarantai yang ideal untuk pelaksanaan keputusan yang telah kusumpahkan di hadapan nisan Mami dan Papi. Sebetulnya motivasi persoalan rahasia komputer semacam itu kurang pada tempatnya, dan aku tak henti-henti menenteramkan hati-nurani, bahwa motivasi pertama bukanlah masalah kalkulasi komputer, melainkan memang sudah saatnyalah aku berhadapan muka, mata lawan mata dengan kekasihku. 142 Ya, ia sudah kawin dengan orang lain, tetapi dalam hati ia tetap kekasihku. Betapa pun bejat atau gagal seseorang, ia berhak mempunyai pujaan hati. Dan pujaan hati jangan selalu dihubungkan dengan seks. Aku tahu, itu maha penting, seks, tetapi aku tahu juga dalam pengeterapannya terhadap Atik, seks jatuh pada nomor tiga atau empat. Bukan, motivasi utama: aku mendatangi upacara penggelaran doktor kepada sahabatku Atik, dan itu benar-benar datang dari jiwa yang tulus dan bangga atas keberhasilannya. Atik selalu berhasil. Entah, memang sering ada manusia yang selalu berhasil dan ada yang selalu gagal. Petani mengatakan ada yang "dingin tangannya", sehingga semua tumbuh subur kalau dia yang menanam. Tetapi ada yang "panas tangannya". Apa saja yang ia tanam, selalu sial tidak tumbuh subur. Selain bertangan dingin, Atik punya kecantikan yang khas, yang tidak menyala seperti glamour perempuan-perempuan dalam resepsi-resepsi, tetapi bagaikan kunang, yang bercahaya tanpa panas. Tanpa suara dan tanpa pretensi, tetapi sangat menarik, khususnya untuk orang-orang jago kelahi seperti aku ini. Aku memilih kursi baris kedua di sayap sebelah kiri. Di sana tidak silau menatap sinar matahati pagi, dan aku ingin melihat Atik dalam profil. Ia dulu indah kalau dipandang dari samping (kata orang test terbesar ialah pandangan dari profil) dan itu pula satu-satunya sudut pandangan yang paling jelas dapat dinikmati penonton dalam penataan kursi berbentuk tapal-kuda. Bukan, aku bukan penonton. Aku salah seorang mahasiswa, atau lebih tepat sang pencari. Belajar dari ajaran Sang Waktu. Tidak ada seorang pun yang kukenal dalam Aula Agung ini. Itu baik dan memang wajar. Bagaimana pun aku masih tetap orang asing. Atau yang mengasingkan diri. Atau lebih tepat: yang senang mencari di dalam wilayah-wilayah yang tidak dilalui gerombolan. Yang berkelahi di luar pagar aman. Aku tidak meremehkan para hadirinhadirat yang berwarna-warni kebaya mau pun berdasi itu. Cuma aku lain. Heh? Hanya aku sendirian yang pakai baju batik? Lain-lainnya serba berbusana distinguished class, gabardine, wool jas model mutakhir dan dasi Cardin, Yves St. Laurent atau Hongkong biasa. Rupa-rupanya aku yang paling nasionalis. Hahaha, ex KNIL yang nasionalis. Jruet! Jruet! Jruet! Sang Seremonarius, penata upacara muncul di pintu utama, bertoga hitam dan bertopi ilmiah segi lima berkucir beserta tongkat-panjang berpucuk lambang kuningan (belum di-brasso) yang kecoklat-coklatan hijau. Lambang itulah yang tadi berbunyi, dipukul-pukulkan ke lantai: jruet! jruet! jruet! Seperti kaleng tukang pijat. Semua hadirin-hadirat serentak berdiri. Tiada suara tiada musik; iklim tembaga, aluminium, selenium dan silikon. Para profesor masuk melangkah serius, didahului rektor yang pendek gemuk berkacamata burung uhu. Ada dari dewa-dewa itu yang tersenyum mengangguk pada seorang kenalan. Ada yang berwajah tank panser Centurion. Ada yang rupa-rupanya ogah-ogahan, acuh tak acuh, lagaknya lebih suka di laboratorium menyuntiki kelinci-kelinci dan tikus putih daripada harus ikut liturgi yang seram ini. 143 Barangkali itu profesor matematika yang mengedipkan mata pada seorang gadis yang tersenyum malu Jawa. Aneh, pada saat aku seharusnya berdebar-debar menghadapi saat melihat Atik lagi, aku sekarang bahkan tenang. Hatiku sudah jadi silikon komputer juga, kataku dalam hati berkelakar. Ah, itulah Sang Pujaan. Nah, tersenyum, merasa sip dia, walaupun telah satu tahun melampaui umur 40 tahun; dengan karir yang begitu pesat, citra yang tersenyum dikulum itu seolah-olah masih dalam usia 30-an. Suaminya lebih pendek dari Atik. Rupa-rupanya orang yang tenang dan baik hati, walaupun wajahnya tampak serius. Ia menggandeng istrinya dengan langkah-langkah yang penuh perhatian kepada istrinya, dan sekali, entah suatu kotoran apa yang kebetulan menodai lengan kebaya istrinya diselentik bersih. Atik sendiri revolusioner sekali, berkebaya lurik coklat-hitam, seperti simbok Pasar Beringharjo, tetapi yang justru mencahayakan kulitnya yang putih langsep. Tipikal untuk dia! Selendang juga seperti simbok-simbok di kaki lima. Sanggulnya alhamdulillah tidak ekstrim mirip simbok-simbok, tetapi juga tidak bermodel nyonya metropol masa kini. Pada kursi baris termuka Tuan Janakatamsi melepaskan istrinya, saling berpandangan dengan senyum dan mengangguk. Dua dayang-dayang, yang satu berpakaian ala Sunda sedangkan yang lalnnya gaya anggun Sala tetapi modern luwes, mendampingi Sang Doktoranda. Seonggok komposisi bunga anggrek putih yang menyerupai sekawanan kupu-kupu diserahkan Atik kepada dayang-dayang ltu. Bergelegarlah suara seremonarius mewartakan tujuan sidang istimewa ini, lalu menyerahkan acara kepada Bapak Rektor. Tubuh kekar pendek berkaca-mata ilmiah itu berdiri, dan mengucapkan selamatdatang, pertama kepada rekan-rekan profesor dan para tamu. Kepada alamat doktoranda ucapan disertai humor halus terselubung, sepadan dengan jabatannya, namun jelas, memuji kecantikan promovenda. Sebab justru di dalam lambang kebaya lurik hitam rakyat jelata itu semoga wartaharapan universitas .yang didirikan di tengah keprihatinan perjuangan revolusi kala itu, se1alu terkabul; yakni warta tentang pengabdian kepada manusia-manusia sebangsa yang paling dilupakan. Dan khususnya bagi generasi muda semogalah itu merupakan peringatan, bahwa ilmu dan mengabdi kepada rakyat bukanlah dua perkara yang sepantasnya dipisah-pisahkan. “Selamat datang kepada semua hadirin-hadirat yang mulia, dari jurusan mana pun, sebab tesis yang harus dipertahankan doktoranda ini menyangkut kita semua juga. Judul disertasi yang diajukan oleh Dra. Larasati Janakatamsi sungguh sejalan dengan jabatan doktoranda selaku Kepala Direktorat Pelestarian Alam, yakni 'Jatidiri dan bahasa citra dalam struktur komunikasi varietas burung Ploceus Manyar. ¹⁾ Seorang profesor di samping Rektor bertepuk-tangan, yang disusul oleh spontanitas tepuktangan hadirin-hadirat. Termasuk aku juga. ¹⁾ Burung manyar. 144 Rektor mempersilakan promotor sebagai pembicara pertama. Profesor itu tipe orang Aceh, sudah tua dan dengan suara perlahan-lahan mulai dengan memperkenalkan promovenda selaku wanita pejuangan, yang sejak Proklamasi selaku gadis berumur 17 tahun sudah berbakti dalam pergulatan diplomasi menghadapi dunia internasional demi kemenangan bangsanya. Walaupun hanya seorang sekretaris sangat muda di bawah bayangan para garuda dan elang diplomatdiplomat tinggi yang rata-rata masih muda juga ketika itu, Doktoranda Larasati Janakatamsi dikarunai jiwa yang arif untuk gadis sehijau kala itu." Kearifan itu lebih tampak dalam karya yang dipilihnya, sesudah perjuangan militer maupun diplomasi bangsa kita mencapai kejayaan, yakni spesialisasi dalam suatu bidang, yang pada waktu itu dan pada saat sidang yang mulia ini berjalan, baru satu dua yang memikirkannya, yaitu kualitas hidup, kualitas lingkungan bagi generasi yang akan datang. Dan walaupun sudah menjadi seorang ibu berputera tiga orang, namun promovenda masih mampu menata waktunya untuk berbakti dalam dunia ilmu pengetahuan. Sebab, menurut Doktoranda Larasati Janakatamsi, ilmu-pengetahuan dan kebahagiaan rumahtangga bukanlah dua dunia yang terpisah. "Oleh karena itu, saya beserta rekan-rekan ko-promotores, dan saya yakin para rekan penyanggah juga beserta hadirin-hadirat yang arif bijaksana, pastilah kita merasa mendapat kehormatan untuk menyertai Saudari Larasati Janakatamsi dalam sidang ilmuwan ini". Sesudah diam sebentar, dengan anggukan anggun, promotor menghadap ke arah tokoh sidang: "Saudari Promovenda, Anda telah meneliti masalah-masalah aktivitas kelenjar-kelenjar prothorax dan otak burung-burung keluarga Fringilliadae dan Ploceidae. Khususnya Ploceus Manyar alias burung-burung manyar, pencuri-pencuri padi itu, yang pandai membuat sarang berbentuk perut dan berpipa ke bawah. Terutama Anda telah membuat analisa bagus tentang seluk-beluk hormon-hormon juvenile atau dengan istilah kita, hormon-hormon peremajaan keluarga Ploceus dalam hubungannya dengan perilaku burung-burung manyar tersebut, bila mereka sedang menginjak masa birahi dan perkawinan. Tentulah saudari meneliti semua itu tidak lepas dari perspektip relevansi kenyataan, bahwa kita manusia pun, saya kira semua di dalam sidang mulia ini, pernah birahi juga." (Gumam ketawa hadirin bagaikan lebahlebah. Rektor mengangguk-angguk dan kepala Atik agak oleng tersenyum dikulum. Aku tidak ikut tersenyurn). Dapatkah Anda menerangkan relevansi penelitian Saudari untuk pembangunan kehidupan kita sebagai nasion yang masih muda ini?" (Beberapa kursi bergerak nervous). Larasati: "Saudara Rektor, Saudara Promotor, Senat yang saya hormati dan hadirin-hadirat yang budiman. Terimakasih. (Seorang dayang mendekatkan mikrofon pada Atik). Ketika saya masih kecil (suaranya masih sama dengan dulu, ya Tuhan) ayahku almarhum yang menjadi promotor pertama dalam kecintaanku kepada dunia flora dan fauna, (tersenyum mengangguk kepada promotor utarna tadi, yang juga tersenyum mengangguk tanda penuh pengetian) pernah menunjukkan padaku perilaku yang dramatis bahkan sering tragis dari manyar-manyar lelaki.. 145 Maaf, jantan. (Tertawa lirih dari publik. Aku tegak terkejut dan tangan kusilangkan di muka dada) Kalau mereka sudah akil-balik dan menanjak masa mereka berpasangan, kita tahu, mereka mulai membangun sarang, terbuat dari alang-alang atau daun-daun tebu atau daun-daun lain yang panjang. Benar-benar ahli dan bersenilah mereka membangun sarang yang rapi serta bercitra perlindungan yang meyakinkan. ltu yang jantan. Yang puteri-puteri (gumam ketawa teredam) hanya melihat saja dengan enakenak santai, tetapi penuh perhatian kepada kesibukan para insinyur-insinyur muda itu (lebih keras ketawa seluruh aula. Profesor yang acuh-tak-acuh tadi mulai tersenyum simpul). Namun mulailah lakon mendramakan diri. Manyar-manyar betina itu menaksir hasil pembangunan para jantan itu, (Atik diam sebentar) mempertimbangkan sejenak (diam ... ) dan memilih yang ... (diam lagi, beberapa leher hadirin menjadi panjang) berkenan di hati mereka. Berbahagialah yang dipilih itu (Aula: Ooh! Ooh! Ooh!) Tetapi alangkah sedihnya bagi yang tidak dipilih (merata ketawa ejekan). Lalu inilah yang terjadi. Para usahawan yang menawarkan hasil tehnologi mereka tetapi tidak laku itu sedih. Serba frustrasi. Sarang yang sudah selesai itu dilolosi dan dibongkar sehingga semua rusak, lalu segala jerih payah yang gagal itu dibuang ke tanah (publik: Ooooh! Beberapa profesor seperti terpukau, bahkan yang barangkali profesor matematika tadi mulutnya agak melompong). Tetapi syukurlah, mereka tidak putus asa. Manyar-manyar jantan yang frustrasi tadi mulai mencari alang-alang dan daun-daun tebu lagi dan sekali lagi dari awal mula membangun sarang yang baru, penuh harapan, semoga kali ini berhasil dianugerahi hati berkenan dari seorang putri keraton. (Seluruh aula bertepuk-tangan dan para nyonya yang berkipas-kipas itu geli saling bercubit-cubitan. Atik hanya melihat ke plafon. Senyum dikulum seperti anak nakal yang berhasil memanja orang-orang tua). Dan inilah saudara saudari, yang merupakan fokus penelitianku selama ini. Pertanyaan-pertanyaanku ialah: dari mana datang perilaku yang sedemikian? Yang mengaburkan pembatasan tajam antara yang disebut naluri yang dipastikan dan sikap sadar yang sanggup untuk memilih ? Sanggup memilih mengandaikan suatu kemampuan untuk menimbang, untuk memegang kendali nasib, untuk berkreasi. Sebab siapa berkemampuan untuk memilih, dia mengatasi nasib, ia raja yang menguasai dalil rutin belaka. Dari pihak lain, dari mana perasaan sedih dan kecewa dan kejengkelan yang lalu melolosi dan merombak sesuatu yang dinilainya gagal? Dari mana lalu datang tekat baru yang kreatif kembali, yang mengandaikan jiwa yang punya harapan, yang tidak menyerah hanyut, namun aktif menimbulkan fajar yang baru. ''Dari sebab itu, pengetahuan yang mendalam mengenai seluk-beluk pengambilan keputusan dan naluri nasib yang hanya tunduk kepada kepastian buta, akan dapat menolong kita, memaharni hal-hal yang kolektif, yang seolah-olah merupakan suatu instink keharusan adat maupun kebiasaan nasional; dalam perpaduannya yang serasi dengan segala yang kreatif, yang serba baru dan khas pribadi. 146 Sebab, walaupun kita adalah manusia dan berbakat kesadaran serta berpotensi emosional mampu memilih dan mengambil keputusan yang berdaulat, kita tidak boleh lupa, bahwa kita tertambat dengan berjuta-juta benang halus sutera tak tampak dengan alam raya dan dunia flora dan fauna. Juga dengan tanah air dan rakyat. Semoga demikianlah." Selama uraian Atik itu, kipas-kipas para nyonya berhenti tanpa disuruh. Aku diam, diam tak bisa berkutik. Giliran berikut ada pada ko-promotor, seorang profesor berkulit putih yang diintroduksi oleh Rektor selaku profesor universitas dari Basel Swis. Profesor Doktor Chauvigney. Ia bertanya dalam bahasa Inggris berlogat Prancis: ''Di negeriku ada burung sejenis Larus. Di Indonesia jenis Larus yang sesungguhnya tidak ada, tetapi ada yang mirip mereka, ialah merpati laut. Ketika masih sangat muda dan tinggal dalam sarang mereka berwarna kelabu pasir. Itu warna penyelubung terhadap musuh. Sesudah itu mulailah kepalanya berwarna coklat matang dan putih di sekitar mata. Sayapnya juga menjadi coklat bercampur bulu-bulu putih remaja. Baru dalam tahun kedua, sebagai tanda kedewasaan Larus atau Lahmeuwe itu sayap-sayapnya menjadi kelabu gemilang, ekornya putih murni dan warna kepalanya coklat indah, hampir hitam, sedangkan kaki dan paruhnya merah menantang. Juga pada binatang lain seperti kupu-kupu, kita melihat perubahan bentuk maupun warna yang kita kenal dengan istilah metamorfosa. Dari ulat, kepompong, ke kupu-kupu yang begitu indah. Apakah semua itu serba kebetulan? Mengapa tanduk rusa begitu fantastis, mengapa ikan-ikan dan mahluk-mahluk lautan Banda begitu indah clan bergerak elegan, sehingga orang hanya dapat takjub dan bungkam melihat segala kecantikan yang telah hadir di kedalaman atau pun di angkasa sebelum manusia ada? Apakah dalam dunia binatang dan kemolekan bunga-bunga anggrek atau mawar itu kita hanya menjumpai suatu permainan serba kebetulan tanpa arti belaka? Sebab, kalau semua itu diteliti mengapanya dan efisiensi fungsionalnya, segala kreasi fantastic seperti bulu-bulu burung cendrawasih atau keunikan kreasi sarang burung-burung manyar itu obyektif tidak perlu. Atau dengan kata lain, apakah dunia di bawah jenis manusia itu dapat merencana, mendisain, berkreasi seni? Bagaimana pandangan Nyonya Promovenda mengenai itu semua dalam hubungannya dengan tugas ilmuwan biologi?" Semua seolah-olah tidak dapat bernafas. Pertanyaan-pertanyaan itu rupa-rupanya sudah melampaui daerah kompetensi ilmu biologi. lni sudah filsafat, ini sudah bidang religi. lni pertanyaanpertanyaan maha sulit. Bagaimana wanita itu dapat menjawabnya? Semua berdebardebar. Larasati: ''Tuan Profesor Chauvigney, pertanyaan Tuan menyangkut sesuatu yang paling dalam, yang pada saat ini sedang diteliti oleh para ahli biologi. Tuan, di sinilah sebenarnya termaktub permasalahan budaya manusia masa kini, di Timur maupun di Barat, di Selatan maupun di Utara. Masalah kuantitas dan kualitas. Selama para biolog hanya mampu melihat sebagai penonton atau sebagai penghitung komputer yang serba berkecimpung dalam hal-hal tehnis belaka (mati aku !), 147 atau dengan kiasan sehari-hari, bila seorang lelaki melihat perempuan hanya sebagai benda molek yang perlu dicatat ukuran-ukuran vitalnya (gumam ramai) atau menganggapnya sebagai obyek kebanggaan dan induk yang menelorkan anakanaknya (kipas-kipas para nyonya tiba-tiba pada bergerak nervous), maka sang ahli biologi belum menemukan panggilannya yang sejati. Maka lalu bangsa berperang melawan bangsa lain berdasarkan kesimpulan perhitungan, dan terletusiah suatu strategi yang dipastikan oleh silikon-silikon komputer (lagi kau!). Jikalau demikian, belumlah orang mengenal jatidiri kehidupan dan panggilan kita selaku manusia. Jatidiri atau Innerlichkeit dalam bahasa Jerman, sesuatu sumber kesadaran-diri di dalam lubuk kedalaman hakekat kita yang masih serba misteri ini, ternyata tidak hanya ditemukan di dalam manusia. Ternyata dari perilaku burung-burung manyar tadi sudah terbaca segala itu. Bahasa kasih-sayang dan emosi kebencian yang diobservasi pada jenis-jenis simpanse, dan sekian bahasa saling kenal serta saling berkomunikasi antara para lebah-lebah atau pun tari-tarian cinta para serangga, menunjuk samar-samar pada kita secara empiris dan faktual, betapa ada dan sering begitu cemerlang jatidiri para mahluk itu memancar ke Iuar. Metamorfosa burungburung Larus negeri Tuan tadi merupakan pergantian warna yang dibawa oleh perkembangan umur. Namun Iebih dari itu, hal tadi terbawa oleh keadaan diri, oleh riak-riak hidup jatidiri mereka dari dalam, terbawa oleh pembahasan yang berhasrat mencurahkan diri kepada mahluk lain. Binatang-binatang peka tentang apa dan bagaimana yang disebut suasana serta warna-warni situasi. Di negeri Tuan, berkat beberapa penderma budiwan, saya pernah mengalami suasana hutan, dalam perbandingan keempat musim. Kendati pun kita tidak dapat melihat burung-burung itu sendiri, jelaslah sudah, betapa ramai di musim semi mereka berkicau dan bercanda seperti ikut riang memberi selamat datang kepada bait-bait sajak kehidupan baru. Nyanyian mereka bukan hanya ekspresi atau ungkapan suatu suasana, tetapi adalah suasana itu, adalah bahasa citra kejadian yang sedang aktif mereka cipta bersama dalam harapan kehidupan baru. Begitu juga pada awal musim panas. Lain sekali pada akhir musim panas dan musim gugur. Betapa sunyi, seolah segala telah terpenuhi dan para mahluk tinggal menikmati sang buah. Kesunyian para burung itu bukan hanya melambangkan, tetapi adalah syukur itu sendiri, karena terpenuhilah dambaan. Kicauan dan nyanyian burung, Tuan Promotor, adalah ada-diri, adalah citra-diri. Hadirin-hadirat, budiwan-budiwati. Burung-burung seperti manyar-manyar yang saya teliti dengan penuh kekaguman namun juga dengan penuh pertanyaan itu, bukan hanya MEMbangun sarang burung, melainkan adalah bahasa Pembangunan itu sendiri yang mengejawantah ke dalam sikap dan emosi yang dapat tercatat oleh mata manusia, tertangkap telinga manusia. Dan hati penuh pertanyaan terangkat oleh manyar-manyar yang riang terbang, ikut melayang menukik dan menarikan kehadiran diri di langit. Haruskah kupu-kupu itu berwarna justru kuning ini atau hijau itu? 148 Haruskah burung cendrawasih dan merak itu memiliki bulu-bulu yang imperial tak tertanding oleh maharani mana pun? Jika kita masih tinggal dalam pertanyaan harus atau tidak harus, bila kita baru melangkah pada data obyektivitas, bila kita masih terkurung dalam angka-angka komputer tanpa mencari arti maupun makna di dalamnya, maka kita tidak akan memahami sang burung manyar atau pun sang kupu-kupu, mawar maupun anggrek yang mekar tanpa keharusan seelok itu. Dalam alam raya terdapat gerak dan kelakuan yang harus, yang eksak, yang menurut dalil. Akan tetapi syukurlah alam raya telah menunjukkan kepada para biolog dan kepada kita, bahwa asal saja kita mau dan mampu membaca bahasa Sasmita¹⁾ dalam data-data biologi itu, kita akan terjumpa pada pertandaan, bahwa benarlah ada di dalam alam dan khususnya dalam manusia: sesuatu Misteri yang mengatasi, yang merdeka dan yang tersenyum. Khususnya apabila kita merasa atau menjadi lain dari yang lain, sehingga menemukan keharuan luar biasa. Percandaan antara yang harus dan yang merdeka serba bermain kreatif, itulah Tuan Promotor, salah satu panggilan umum sederhana yang dapat saya baca dari warisan para peneliti dunia biologi, namun juga dari datadata yang saya terima sebagai anugerah dari burung-burung manis tanah-air saya. Maafkan kata-kata saya yang terlampau panjang. Semoga berkenanlah gagasan saya itu." Para profesor mengangguk-angguk. Beberapa orang nyonya dan gadis diam-diam mengusap air-mata. Dan tiba-tiba aku merasa sunyi, sedih dalam keadaanku yang dingin sendirian, seperti manyar yang gagal. Aku bertanya pada diriku, apakah Atik tahu aku hadir dalam aula itu? Setiap kata seolah menyindir mengena diriku. Masih banyak pertanyaan dari profesor-profesor penyanggah lain yang harus dijawab oleh Sang Doktoranda. Aku yakin bahwa jawaban-jawabannya serba gemilang, tetapi aku sudah tidak mendengarkan lagi apa yang terucap. Aku hanya memandang pada wajah yang mirip Bu Antana itu, profil ningrat dengan sanggul agak tinggi yang berkesan agak kuna, tetapi yang dengan koket seperti wanita-wanita Jepang, memperlihatkan lekukan kecil di tengkuknya, bila ia menoleh sedikit ke arah kanan. Kontras kulit putih dengan warna lurik coklathitam kasar itu memang memukau dan sebenarnya sexy juga. Kuamat-amati juga kadang-kadang suaminya. Orang tanpa banyak temperamen rupa-rupanya ia, kontras sekali dengan Atik yang kiprah²⁾di tengah Aula ini. Bagaimana rasanya menjadi suami Larasati? Mengapa justru dia yang dipilih? Apakah karena sarang manyarnya lebih baik dariku? Jelas, ya begitulah. Pasti itu kesimpulan setiap orang normal. Satu hal yang kupelajari pagi itu: Aku harus meloloskan segala serat dan daun-daun tebu dari sarangku. Sarang lama harus kurombak, kuhempaskan di tanah dan mulai lagi. Mulai pada umur 46 tahun? Tetapi Atik meraih gelarnya sesudah melampaui tahun keempat puluh. Benarkah perkawinan selalu harus dijadikan terminal terakhir? Dapatkah orang mencintai tanpa kawin? Barulah terasa olehku, betapa berat badan manusia yang terlambat. ¹⁾ Sasmita = pertanda-pertanda yang tertangkap maknanya oleh seseorang yang peka perasaannya. ²⁾ gerak terbang gaya dalam tari jawa. 149 Seorang profesor menanyakan, mengapa metamorfosa dalam siklus kehidupan hanya terdapat dalam hewan-hewan jenis rendah? ''Profesor Harun, di sinilah timbul suatu dimensi baru yang seumumnya dalam binatang-binatang rendah belum tampak, yakni tumbuhnya individuum. Semakin tinggi tingkat dalam rangkaian evolusi, semakin menonjol aspek kompleksitas, namun semakin memancar juga jatidiri itu. Dalam manusia aspek kepribadian muncul dan inilah salah satu fase mulia, yang membedakan manusia dan binatang-binatang tingkat tinggi dari binatang rendah. Seekor cacing atau serangga sebenarnya hidup dalam dan demi kolektivitas yang menenggelamkan individu binatang warga sukunya. Seekor individu lebah-lebah dalam kolektivitas tidak begitu penting. Yang penting ialah jenisnya, suku keluarganya, bangsa-lebah. Tetapi dalam simpanse kita melihat, betapa unsur individu di sini sudah kuat. Seekor simpanse pada suatu hari, jika ia suka dan cukup kuat, dengan berdaulat akan membentuk keluarga sendiri, dan tak gentar melepaskan diri dari kelompoknya untuk membentuk kelompok baru. Di dalam manusia, sebagian hidupnya, yakni tatkala ia masih dalam kandungan ibu dan sekitar satu tahun sesudah lahir, masih tenggelam dalam ketidak-sadaran jenisnya. Agar ia dapat tumbuh dan berkembang dalam rahim dengan pewarisan hal-hal yang vital dari jenis kemanusiaan. Tetapi di luar rahimlah ia disempurnakan di dalam suatu lingkungan yang kaya. Manusia pertama-tama dan dari kodratnya memang manusia yang sosial, dan yang hanya mungkin bermekar dewasa di dalam lingkungan beserta dan di dalam dialog dengan yang lain. Tetapi pemekaran dalam rahim masyarakat sekaligus berupa pemerdekaan diri; ia harus tumbuh menjadi pribadi dan karakter yang kuat. Seluruh bahasa citranya, sikapnya yang berjalan maju tegak, kemampuannya yang dapat menonjolkan diri dalam bahasa dan kreativitas seni, serta di dalam kesanggupannya bertindak berdasarkan keputusan yang sadar, sudah merupakan jelmaan ada dirinya. Aktivitas menjadi pribadi. Dan seluruh tubuh, pancaindra serta sikap luarnya sekaligus adalah citra yang aktif mengkreasi diri, sehingga dengan demikian manusia semakin manusiawi." Prof. Zainal Abidin: "Apakah dalam penelitian Nyonya dapat ditemukan suatu kesimpulan yang relevan perihal gejala universal, ialah yang sering kita sebut: tumbuhnya generasi muda? Bagaimana pandangan Nyonya terhadap generasi yang sedang tumbuh?" "Dalam perilaku manyar betina, seperti yang umum tampak juga dalam jenis-jenis binatang lain, rupa-rupanya masalahnya bukanlah pertama-tama si betina senang pada partnemya. Tetapi si betina dari awal mula, begitu pun si jantan, seolah-olah bersikap, bahwa yang penting bagi mereka ialah telur dan proses penjagaan telur menjadi generasi manyar-manyar baru. Dalam seluruh alam fauna dapat dikatakan, bahwa sudah sejak awal mula, binatang memperhitungkan dan membentuk lingkungan yang seoptimal mungkin demi sang telur atau generasi yang akan datang. 150 Di dalam laboratorium pernah kami memperoleh beberapa ekor anak celepuk. Berhari-hari celepuk-celepuk ayah-ibunya dari hutan setia datang menghampiri kurungan dan membawa oleh-oleh tikus-tikus atau serangga untuk anak celepuk yang kami tangkap itu. Bahkan ikan mujair pun menyuruh anak-anak mereka berlindung di dalam mulutnya, bila ada bahaya mengancam. Generasi muda, Profesor Zainal Abidin, dan ini jelas dalam perkembangan anak, diberi bekal kesatuan diri dengan orangtua, dengan sang generatrix¹⁾, di dalam sistemsistem yang tertutup, dengan rongga rahim yang gelap namun menjamin kepuasan. Tetapi sesudah lahir dan menjadi besar, anak dan generasi muda belajar menghadapi dunia yang terbuka. Dan keterbukaan itulah yang memungkinkan dia menerima dan memberi, dengan kata lain memekar menjadi manusia dewasa. Tetapi maafkan Bapak Profesor, di sini kita sudah menginjak wilayah psikologi manusia, yang bukanlah kompetensi saya." Prof Latumahina: ''Pertanyaan terakhir saudari Promovenda, apakah yang akan Anda sarankan dari segi seorang biolog untuk manusia masa kini, khususnya bangsa kita?" "Semoga kita belajar menghayati dimensi kualitas. Sebab, Bapak Profesor Latumahina, segala Innerlichkeit, jatidiri kita, sebenarnya mendambakan arti, makna, mengapa dan demi apa kita saling bergandengan, namun juga berkreasi aktif dalam sendratari agung yang disebut kehidupan. Semoga dialog kita membahasakan diri, tidak hanya dalam niat mau pun itikad belaka yang terkurung, melainkan berekspresi dalam suatu tingkat kebudayaan yang tahu, ke mana Sang Pelita menuntun. Hadirinhadirat yang saya muliakan, jika judul yang saya pilih untuk disertasi ini memanfaatkan kata-kata jatidiri dan bahasa citra, maka memang itulah sebenarnya seluruh arti ungkapan kita, dari bermain kelereng yang kita pertarungkan atau layang-Iayang yang kita gelorakan atau main boneka semasa kita masih kanak-kanak, sampai pada saat senja membelai dan menidurkan cucu yang mengantuk. Dari gerak-badan sport sampai pementasan musik, dari dambaan dua kekasih yang saling mencari sampai ke rasa bakti kepada Tuhan Yang Mahaesa. Semogalah antara jatidiri di dalam mau pun bahasa citra ke luar selalulah tekat kita menari dalam gerak harmoni. Dan jika toh ada sesuatu yang luka-Iuka dalam batin kita, entah itu karena kesalahan kita sendiri mau pun kesalahan keadaan di luar kita, semoga kita juga mampu memahami bahasa citranya. Misal saja citra wanita. Organ vital wanita dalam bentuk citra namun juga bahasanya mirip luka-Iuka yang menganga, namun sekaligus daun-daun bunga mekar. Kedua-duanya adalah citra namun sekaligus pengejawantahan jatidiri kita manusia. Dan jika itu disebut kemaluan, hal itu karena kita tidak mengenal wanita. Bukan kemaluan, melainkan kemuliaan suci wanita dan pria sekaligus. Dalam situasi kejatidirian yang benar berarti, wanita tidak pernah malu, tetapi bangga dan bahagia mendialogkan organ kewanitaannya dengan tawaran partner hidupnya. ¹⁾ Induk, dari bahasa Latin. 151 Namun itu hanya dapat terlaksana dalam kebenaran jatidiri, dalam kebenaran citra bahasa yang jujur. Luka-Iuka DAN bunga. Maka, jika kita pernah mengalami kegagalan, semogalah mahluk-mahluk burung mungil yang bernama Ploceus manyar yang sekarang, sayang, namun juga untung bagi pak tani, sudah semakin hilang dari persada bumi Nusantara kita, semogalah burung-burung nakal namun pewarta hikmah yang indah itu, memberi kekuatan jiwa. Sebab memanglah kita dapat sedih dan marah membongkar segala yang kita anggap gagal, namun semogalah kita memiliki keberanian juga untuk memulai lagi penuh harapan. Terimakasih." Spontan tanpa dikomando seluruh Aula yang tadi hening terpukau, sekarang meledak bertepuk-tangan, dan sekian pasang mata mengaca basah terusap. Ketika para profesor itu keluar Aula menuju ke sidang tertutup, bersama Atik yang agak pucat karena emosi dan yang diantar oleh suaminya yang sangat menjaganya itu, jelaslah bagi semua, bahwa Atik pasti akan mendapat gelar dengan sebutar'. maxma cum laude, dengan pujian gilang-gemilang. Dan memanglah demikian, kudengar kemudian. Tetapi dalam gelora ucapan selamat, aku sudah tidak ada di Aula, pergi dan menangis dalam hati. Kesombongankulah dulu yang akhirnya menghempaskan sarangku berantakan di tanah. Namun, namun ... Atik boleh berpidato indah, tetapi manusia bukan manyar. 152 19. Pendopo Perjumpaan Aku tidak jadi bertemu dengan Atik. Terus-terang persoalannya terlalu kuanggap enteng. Ternyata psikologis aku belum kuat menghadapi wanita satu ini, yang begitu dekat dengan hatiku, tetapi begitu jauh, serasa tidak mungkin terjangkau. Aku tidak takut pada perjumpaan, tetapi pada kelanjutannya. Untuk mengucap selamat dan mengatakan bangga dapat menyaksikan suksesnya masih mudah. Untuk berkenalan langsung dengan suaminya kuanggap juga bukan soal terlalu sulit. Aku tahu keadaan bobotku. Sebagai saingan aku jelas kalah dan selain itu, waktu tidak dapat diputar kembali. Aku terlambat. Dan bagi seorang berjiwa militer terlambat tidak sama artinya dengan pegawai kantor yang datang terlambat. Bagi orang-orang seperti aku ini, terlambat berarti lebih dulu terkena peluru, mampus. Untuk zakelijk membicarakan masalahku mengenai rahasia kesalahan komputer dan minta tolong untuk menyelundupkan informasi vital itu kepada pihak pemerintah Indonesia melalui Atik atau suaminya juga bukan masalah yang teramat kutakuti. Aku sudah menandatangani vonis diriku sendiri. Jadi bukan itulah. Akan tetapi akibatakibat sesudah bertemu dengan Atik. Itulah yang membuat aku lari. Memang bukan tingkah terhormat bagi seorang militer maupun pengusaha, apalagi menejer, untuk lari. Akan tetapi dalam saat-saat tertentu, selaku manusia biasa, barangkali lari adalah jalan ke luar yang paling baik. Untuk semua pihak. Barangkali untuk sementara waktu, tetapi riil. Dan boleh jadi paling baik untuk ketiga anak Atik. Alangkah mudah sebenarnya menjadi sudut ketiga dari hubungan segitiga. Namun alangkah sukar sebenarnya, jika orang masih, ya apa tadi istilahnya, jika orang masih menghargai kualitas hidup. Soalnya bukan cuma berebutan jodoh, tetapi kualitas menghadapi kekasih yang tidak terjangkau. Burung-burung manyar tidak merebut betina dari rivalnya, tetapi menerima dan menghormati pilihan si betina. Boleh sedih, membongkar dan menghempaskan sarang yang dibangunnya dengan susah payah, dengan dedikasi sepenuhnya, dengan hati seluruhnya. Tetapi jantan yang tidak dipilih tetap menghormati kedaulatan pemilihan betina. Artinya menghormati keturunan. Keturunan manyar pun ternyata harus merupakan telur dari pemilihan yang berdaulat; pilihan se1aku mahkota penyediaan diri yang memperlihatkan kepercayaan kepada pengayoman dan jaminan suatu sarang yang melindungi telur-telur. Kerelaan untuk menjaga pemilihan demi keturunan menjadi kata terakhir dari drama cinta burungburung Plocei manyares. Tetapi sekali lagi inilah kesulitanku, aku bukan manyar. Aku manusia dan aku Teto. Sekembali di pondokku di rumah KRT¹⁾ Prajakusuma yang begitu baik dan ramah itu, aku hanya dapat mengunci diri dalam kamar, menelan pil tidur agar aku dibebaskan dari pergulatan batin yang tidak pernah akan bisa menemui satu jawaban maxima cum laude. ¹⁾ Gelar istana Jawa: Kanjeng Raden Tumenggung. 153 Sesudah mandi aku diundang tuan rumah minum teh. KRT Prajakusuma masih mengalami jaman kejayaan Hamengku Buwono ke VIII yang wafat pas sebelum perang dunia yang lalu pecah. Panjang lebar dan penuh penghayatan masa lampau ia mengisahkan upacara pemakaman jenazah rajanya di bukit Imogiri. Katanya, di tengah siang bolong, guntur menggelegar ketika jenazah digotong ke luar istana. Ia tidak mendengarnya sendiri, karena ketika itu ia bertugas mempersiapkan kedatangan jenazah dan para tamu-agung di Imogiri. Tetapi semua orang mendengarnya, katanya. Ia lalu mempersilakan aku memilih, apakah ingin teh cara internasional atau teh cara Jawa asli. Aku memilih cara Jawa asli, atau menurut dugaanku, cara Cina; teh sangat kental dan hitam sekali, diminum sedikit demi sedikit seperti minum tuak. Dituangkan dari teko kecil keramik coklat tua sekali ke dalam mangkuk-mangkuk mini juga. Boleh pakai gula aren, boleh pahit begitu saja. Aku memilih tanpa gula. Saat itu aku mempunyai kebutuhan untuk mereguk yang pahit-pahit saja. Rasa manis untuk sementara hanya mengingatkan pada hal-hal yang bukan-bukan. Untuk sementara waktu aku ingin hanyut saja di tengah ruang tengah yang remang-remang gelap itu; duduk pada meja marmer berkaki satu, bulat dibubut, dan di kursi kayu berukir yang sudah lama membutuhkan politur baru. Para ningrat ini semakin lama semakin miskin, karena dagang dan bisnis bagi mereka masih terpandang memalukan. Atau memang mereka tidak berbakat ke arah itu Tetapi betapa pun miskinnya, mereka menjaga semua harta itu dengan bersih. Menyimpan, sampai terpaksa satu per satu benda-benda itu jatuh di tangan pedagang barang-barang antik, dan selesailah riwayat mereka. Sebab barang-barang itu hanya bisa hidup wajar di dalam lingkungannya sendiri tidak dilepas atau diabstraksi seperti setiap angka yang dapat dilepas-lepas dan dimasukkan ke dalam Komputer. Aku sungguh berterima kasih boleh menginap di sini, walaupun aku yakin tuanrumah membutuhkan uang sewa yang mahal itu (sama dengan kamar klas dua di hotel Sheraton). Tetapi di sini ada suasana, ada nafas gaib, ada kualitasnya menurut Atik tadi. Dan itu sangat mahal juga tentu saja. Nyamikan emping yang tradisional gurih tetapi sering menjengkelkan, selalu menyisip di antara gigi dan gusi. Teh pahit kental yang begitu minimum ini tidak menolong banyak. Ya, tentu saja teh di sini tidak dimaksud untuk mencuci sisa-sisa emping dari gigi dan gusi. ltu masalah tehnis, masalah komfort atau efisiensi. Di sini orang tidak minum tidak makan, akan tetapi menggaibkan lidah dan syaraf, sebab téine yang begitu kuat kadamya membuat syaraf-syaraf bangun dan bekerja segar. ''Ya,” keluhnya, "kami dapat memahami, akan tetapi terus-terang dalam pandangan kami dan keluarga di sini Diponegoro bukan pahlawan." Aku heran mendengar pemyataan itu, dan lebih terkejut sebenarnya, karena ada seorang Jawa berterus-terang. "Karena kekeliruan siasat Diponegoro, kesultanan Mataram kehilangan Dulangmas, (Kedu, Magelang dan Banyumas) daerah-daerah lumbung padi yang mutlak untuk pembangunan kekayaan Mataram. 154 Sejak itu Mataram menjadi abdi Belanda. Karena ketololan Diponegoro. Memang, Sang Pangeran melawan Belanda. Tetapi melawan dan melawan banyak caranya. Mengapa orang harus memilih siasat yang jelas tidak sebanding risikonya? Orang Jawa bukan kaum tukang kelahi. Kami punya ksatria-ksatria ulung, itu tidak perlu kami tonjolkan, tetapi keunggulan mereka dalam tenaga gaib. Tanpa tenaga gaib, mereka lumpuh, seperti Baladewa kehilangan cepitnya. Maka apa yang diperbuat Diponegoro sangatlah bodoh dan kalau dia kalah, itu bukan karena Belanda menipu. Sebab keputusannya sendiri, melawan bangsa asing dengan senjata fisik, itulah sudah kekalahan. Penipuan Jenderal de Kock hanyalah setempel cap segel saja untuk meresmikan dan menyelesaikan soal yang sudah mudah dapat diramalkan bagaimana akan selesai." Dalam percakapan dengan tuan-rumah itu, aku hanya mendapat kesempatan sedikit untuk berbicara, dan untunglah demi-kian. Hari itu aku tidak punya bab untuk dibicarakan. Bahasa KRT Prajakusuma sangat tenang dan rupa-rupanya sudah lama ia ingin mengungkapkan isi hatinya yang penuh gagasan-gagasan, dan yang diakuinya tidak laku untuk generasi masa kini. Generasi sekarang punya tafsiran sendiri tentang peristiwa apa pun, tanpa tanya dulu pada kaum tua, dan karena itu keliru. Hanya kepada orang-orang asing saja ia berterus terang dan suka menyatakan pendapatnya, begitu ia menambahkan sambil menghisap rokok lintingannya dengan penuh kepastian tidak suka ribut. Kadang-kadang kami berdua hanya duduk diam saja tanpa omong sepatah pun dan rupa-rupanya ia puas beromong dan diam menurut ukuran; yang penting: dapat berterus terang padaku, pada orang asing. KRT itu simpatik, begitu pikirku, karena naluriku berkata, bahwa kami berdua adalah saudara senasib, manusia masa lampau, yang terlambat tetapi yang tidak pemah mengakui kekalahan. Ya, KRT Prajakusuma itu simpatik. Seorang gadis pembantu rumah tangga datang dan berjongkok menurut adat lama; memberitahu, bahwa ada tamu di gerbang. Kartu nama diberikan kepada tuan rumahku. Setelah agak ribut mencari kaca-mata, ia membaca. "Oh, bukan untuk saya. Ada tamu untuk Tuan Setadewa." "Saya? Siapa yang ingin menemui saya? Kawanku dari Ford Foundation itu? Tetapi bagaimana ia dapat tahu, saya di sini." Kartu kuterima dan ... aku terpaku tak bisa bergerak. Kartu keluarga Janakatamsi. "Seorang pria atau wanita?" tanyaku pada pelayan. ''Berdua, pria dan wanita." "Siapa?" tanya tuan rumahku. "Tuan Janakatamsi dan istri. Bagaimana mereka tahu aku di sini?" KRT Prajakusuma mendongak dan memberi pelita Ooh, sayalah yang memberibhu mereka. Tetapi saya tidak memberitahu Tuan di sini. Oh ya ... sekarang ingat Kemarin saya mendapat pesan dari Pangeran Wijayaningrat bahwa beliau tidak dapat menghadiri upacara wisuda Bu Janakatamsi di Universitas, karena dipanggil Sri Sultan. 155 Dan sayalah yang ke Bu Jana mohon maaf tak dapat hadir. Saya kenal sekali ayah Pak Jana, karena ... mari. (Kepada abdinya) Sudah kau persilakan duduk? Baik. Katakan, bahwa sebentar lagi saya datang menemui mereka. Saya mau ganti pakaian dulu. (Kepadaku) Saya hanya omong basa-basi tentang rupa-rupa hal, dan ya ... sekarang saya ingat, bahwa hanya sambil lalu saya mengatakan punya indekosan, begitu kelakar saya. Seorang gede dari perusahaan minyak apa entah saya tidak tahu. Saya hanya bercerita, bahwa datangnya pakai jip terbuka dan baru ziarah ke Magelang, tempat makam ibunya di Desa Juranggede. Begitu. Apa Tuan masih famili dengan mereka?" Tanpa menunggu jawaban larilah Pak KRT ke kamar, hendak berganti pakaian. Seluruh diriku lunglai. Apa yang harus kuperbuat? Apa yang harus kuperbuat? Aku sungguh tidak siap. Tadi pagi memang siap, tetapi sekarang tidak. Baiklah, bila sudah dipastikan begitu. Dan dengan sikap yang kubuat setenang-tenangnya kubuka pintu. Aku ke luar pintu tengah, tepat mereka sedang naik tangga pendopo. Aku tentu saja hanya melihat figur satu ini, Atik. la memakai gaun entah aku tidak melihat apa-apa, kecuali wajahnya yang ria dan kedua mata serta bibir basah terbuka sambil bersorak: "Teetoo!" Dan tahu-tahu wanita itu seperti topan membadai padaku dan jatuh ke dalam pelukanku. "Teto! Teto!" dan menangislah ia terisak-isak. Aku tak dapat apa-apa, selain spontan membelai punggungnya dan mata tolol memandang kepada suarninya, yang... mengangguk-angguk tersenyurn seulah seorang ayah penuh pengertian melihat anaknya bertemu dengan kekasih yang sudah lama ditunggu. Dadanya terasa hangat dan kembang-kempis empuk pada dadaku, seolah segala isi dadanya itu ingin ia serahkan tuntas ke dalam sanubariku. Pipi kananku merasakan rambut, dan anting-anting telinganya menekan agak sakit, namun tak kuhiraukan. Parfum mewangi membuatku lebih terganja lagi dan bungkam. Suaminya,Janakatamsi menghampiri kami dan tersenyurn paham berkedip padaku dengan anggukan-anggukan kecil selaku isyarat, agar aku membiarkan istrinya begitu. Dia suami yang penuh pengertian dan penuh pengabdian kepada istrinya, itulah dalam sekilat saat kesimpulanku. Istrinyalah yang ia puja sebagai ratu dan pemberi undangundang. Sementara itu Pak KRT keluar; penuh heran ia mendekati saudara Janakatamsi. Kedua orang itu saling berbicara lirih dan kulihat Pak KRT hanya menganggukangguk saja, sambil kadang-kadang memandang ke arah romansa yang pasti tidak setiap hari ia lihat dalam pendoponya yang begitu sepi dan kuna. Kubiarkan Atik menghabiskan emosi tangisnya. Di dadaku Atik kini melekat. Begitu dekat, tetapi begitu jauh tak terjangkau, keluhku dalam lubuk hati dengan sedih. 156 Dan pada saat itu aku merasa, bahwa tidak ada jalan lain kecuali bersikap menjadi abang untuk wanita ini, satu-satunya saksi dari drama kepedihan hidupku selain Bu Antana, sejak awal mula di masa remajaku. Tangisnya yang lirih dan merintih itu kehausankah? Kesedihan? Kebahagiaan? Aku tidak tahu mengapa begitu merana tangisnya itu. Akhirnya meredalah segala luapan perasaan itu, dan ia menengadah, tanpa mau memandangku. Aku pun pasti juga belum siap memandang pandangannya. Apa lagi suaminya dan Pak KRT hadir di pendopo ini. Aku hanya melihat beberapa burung berjingkat-jingkat di pasir halaman pendopo. Itu bukan manyar. Itu hanya prenjak saja, tetapi hidup dan segar ia. kian-kemari. Seperti Atik dulu ketika masih kecil, sehingga abdi-abdi di rumah Hendraningrat sering menyebutnya "Prenjak kita". Apa yang harus kukatakan? Dan lebih dari itu, apa yang harus kuperbuat untuk selanjutnya? Pak Jana dan KRT Praja berdiri dan bersama -sama mengamat-amati burung jalak hitam di kurungan yang tergantung pada balok tritisan Pendopo. Akhimya tangan Atik mengendor dan ia kulepaskan dari rangkulanku. Ia mengambil sendiri saputangan yang kebetulan ada dalam saku baju batikku dan membersihkan mata dan pipipipinya. Matanya memandangku penuh dambaan. Tersenyumlah ia setengah malu setengah nakal. Atik kini tampak sepuluh tabun lebih muda, Kebahagiaan sanggup memutar kembali jam pada wajah dan citra wanita. Ia minta pada Pak KRT, agar boleh ke belakang sebentar. Dengan ramah sekali Pak KRT mengantarkannya masuk rumah. Kami, Pak Jana denganku saling berkenalan. Dari awal mula aku sudah merasakan simpati kepadanya, walaupun masih dengan perasaan aneh; terutama sesudah ia mengatakan, bahwa ia sudah kenal padaku. Kapan? Tentu saja dari laporan-laporan istrinya. Tetapi juga ketika sesudah jelas gelagat mereka akan kawin, ayahnya seolah sengaja sering ekstra mernbicarakan Teto. Lho siapa ayahnya? Sekarang sudah pensiun. Dulu pernah lama menjabat direktur rumah sakit di Kramat. Oooh ... itulah! Ia mulai kenal dengan Atik, ketika pada suatu hati liburan, (ketika itu ia baru saja lulus Fakultas Geologi di Bandung), melihat Atik dengan ibunya berziarah ke makam Ibu Brajabasuki di Kramat itu. Pertarna-tama itu dianggapnya peristiwa biasa. Tetapi sesudah ia tabu, bahwa yang meninggal itu bukan ibunya dan bukan apa-apanya, namun toh setia setiap pekan nyadran Atik datang membersihkan nisan, ia mulai tertarik kepada gadis dan ibunya yang begitu budiwati itu. ''Ya, Atik banyak sekali dan sering sekali membicarakan Mas Teto. Sehingga dalam kesadaranku, Mas Teto sudah hadir lama dalam benakku, selaku abang sekandung istriku. Karena itu, ketika tadi KRT bertanya, hubungan apa Atik dengan tamunya dari J akarta itu, saya juga spontan mengatakan, Anda iparku Bukan! Bukan dari satu ibu dengan Atik kataku dengan senyum. Dan jawaban itu tidak bohong kan! Mas Teto kami undang dengan sangat; kami, khususnya Bu Antana. Sukalah menginap di rumah kami. 157 Istriku sudah begitu lama merindukan Mas Teto. Tidak pantaslah, bahkan kejamlah bila tawaran mereka ditolak." Aku tentulah hanya dapat berkata: ''Ya, baiklah." "Tadi pagi Mas Teto dalam Aula Agung juga?" tanya 'iparku' itu. "sebetulnya ibu mertuaku tadi sudah menduga, bahwa yang duduk di baris kedua sana di sayap sana itu Mas Teto. Tetapi tentulah Bu Antana mengira itu hanya fatamorgana saja. Kami tidak mengira sama-sekali Anda di sini. Dari ternan-ternan di kedutaan Den Haag sana memang pernah kami menyaring berita Mas Teto pergi jauh, bekerja di salah satu perusahaan minyak, tetapi kabar dan petunjuk-petunjuk begitu simpang-siur, sehingga sebaiknya kami menunggu saja. Dan tahu-tahu ... sungguh Mas Teto, kami sangat gembira bila Anda suka datang. Bu Antana pasti sangat bahagia dan nanti di Bogor Anda dapat melihat anak-anak kami. Ya, yang sulung lelaki bahkan diberi nama panggilan Teto juga. Memang istriku itu kelihatannya saja orang ilmuwan yang eksak rasional, tetapi saya sebagai suami tahu, sebenarnya ia sangatlah perasa. Ya," dan ia tersenyum memandangku, "sering ia seperti anakku saja. Aneh, seolah-olah aku punya anak empat, dengan jarak antara yang sulung dan yang kedua panjang sekali. Mas Teto harus menginap di rumah kami. Ya, nanti di Cemorojajar. Kalau tidak, nanti ia rewel dan marah-marah saja." Dan ia tertawa kecil. "Tahu Mas Teto, kalau ia marah lucu sekali. Semakin ia marah, semakin aku sayang padanya." Pak Prajakusuma datang ke meja kami. ''Ah, andai kemarin saya tahu bahwa Bapak itu abang dari Bu Jana tentulah sudah kemarin saya beritahukan kepada Ibu dan Pak Jana." Di belakang blangkon Pak KRT, Pak Janakatamsi mengerlipkan mata padaku. "Saya ini anak mursal¹⁾ kataku. ''Ah mosok," sahut Pak KRT. "Ya, saya ini anak yang lari dari rumah." "Mosok iya?" (Kepada Bu Jana yang sudah berdiri di samping suaminya) ''Apa betul, Bu Jana?" ''Ya, betul," kata Bu Jana dengan tenang, sangat tenang. Terlalu tenang bagiku. ¹⁾ Hilang, minggat. 158 20. Rumah Pertanyaan Keesokan harinya, karena aku tidak dapat tidur, amat pagi aku sudah bangun, mandi dan berdiri di tepi jalan melihat lalu-lintas becak yang sedini ini sudah lalulalang dan orang-orang yang pergi ke Pasar Kranggan. Ya, aku jadi menginap di Cemorojajar, rumah Bu Antana; yang sejak ditinggal suami dan kakak tirinya dipeliharanya untuk pos keluarga Surakarta kalau sedang singgah lewat; dengan beberapa kamar di pavilyun yang dijadikan pondokan beberapa mahasiswi. Sambil mengucap selamat pagi, dua orang dari mahasiswi itu ke luar ke jalan dan mulai berlari-lari sport. Pantatnya yang satu menari kian-kemari bukan main. Lucu sebetulnya, tetapi pantas dipuji gadis-gadis itu. Tahu-tahu Bu Antana sudah di sampingku. "Selamat pagi, Teto!" "Oh! Selamat pagi, Bu. Masih pagi begini." "Untuk nenek seumurku tidak pagi. Orang lanjut usia tidurnya sedikit. Tetapi kau ... sungguh kau dapat tidur?" "Enak sekali Bu, terima kasih." Dengan pasti tetapi lirih ia berkata: "Teto, Bu Antana tidak percaya. Pastilah kau tidak dapat tidur, lalu bangun sepagi ini." Tidak ada gunanya bohong basa-basi. Maka aku hanya berkata jujur: "Memang Bu Begitu sekonyong-konyong semua ini terjadi ... " ''Atik sangat bahagia, Teto. Saya sebagai ibunya harus berterima kasih padamu." Aku terkejut. Apakah ibunya mendorong aku untuk. ... (?) tidak mungkin, tidak mungkin! Itu nanti menuju ke arah yang serong. Memang tadi malam aku tidak dapat tidur karena tidak tahu bagaimana aku harus bersikap. Apa lagi karena si suami begitu baik, terbuka dan penuh percaya terhadapku. Suami baik hati, tetapi tololnya bukan kepalang. Andai tahu betapa joroknya bandit dalam diriku ... la sudah tahu. Pasti sudah. Tetapi mengapa? "Oh ... Bu Tana, sebetulnya saya tidak pantas. Sayalah yang tidak kenal terimakasih dan lari tanpa ... " "Kami tahu. Kami memahami semua Teto. Kini yang penting, kau sudah ada di tengah kami lagi dan Atik bahagia. Suaminya juga sudah tahu semuanya." Ya, begitulah pikirku, seorang ibu hanya melihat kebahagiaan anaknya, tetapi wanita tidak mudah melihat jauh soal-soal konsekwensi rumit yang mengiringinya. Semua naluri induk begitu. "Kami sungguh sangat gembira, Teto!" tambahnya lagi. Kubelokkan percakapan: "Saya kira itu karena kemarin kita semua terbawa hanyut oleh suasana kegemilangan hari wisuda doktor maxima cumlaude Atik kita, Bu." "Oh, tentulah, tentulah ... mari, jangan berdiri di sini." 159 Dan aku diajak duduk pada bangku taman di bawah bugenvil ungu yang kaya-raya bunganya. Ya, kepada Bu Antana aku paling merasa dapat mencurahkan hati. Bukankah di saat-saat masa remajaku yang paling menentukan, dialah yang praktis menjadi ibu angkatku? Bukankah dia yang selalu setia membersihkan makam Mamiku setiap waktu nyadran?Tetapi sekarang ada sekeping ketakutan yang seolaholah menjadi katup karaten di dalam hatiku, sehingga arus curahan hati menjadi seret di dalamnya. Tetapi siapa lagi di dunia ini yang masih dapat kudekatkan padaku? Sungguh keliru lagi, bila aku terus-menerus mengisolasi diri dan menolak tawaran rahmat, persahabatan yang dibutuhkan oleh setiap orang. Atau aku akan menjadi robot yang beku. Aku pun membutuhkan kualitas kehidupan. Persahabatan menanggung risiko, hati dibaca orang lain, agar dapat ditolong dan dikoreksi pada saatnya. Sekarang sahabat mahal harganya, jauh lebih mahal daripada segedung komputer di Pentagon. "Teto, saya tidak berhak apa-apa atas hidup dan sanubarimu." “Ah. Bu. Ibu Antana sudah jadi ibuku, jangan berkata begitu." ''Ya, terima kasih. Tanpa itu kuucapkan, aku juga sudah merasakannya. Jadilah anakku dan jadilah abang untuk. Atik. la sangat cinta padamu." ''Ya ... tetapi bagaimana caranya Bu. Ibu pasti sudah tahu, bahwa itu dapat menimbulkan situasi yang sangat berbahaya." "Kau benar, Teto. Aku pun juga sudah merasa itu. Terus-terang saja, aku bdum juga menemukan jawaban yang memuaskan. Maka sebetulnya aku ingin minta nasihat kepadamu." Aku tidak menyangka kata-kata itu. Bagaimana minta nasihat pada orang buta dan gagal seperti aku ini. Bu Antana ini benar-benar bernaluri induk. Target nomor wahid: anaknya bahagia. Padahal yang membuat bahagia Atik ialah Teto. Jadi, Teto harus diberikan pada Atik. Titik. ltu logikanya. Padahal Atik sudah bersuami. Jadi Teto abang saja. Titik. Logis sederhana. Begitu logis sampai Bu Antana bingung sendiri. Aku lantas tertawa kecil, sebetulnya karena bingung juga. "Kenapa tertawa, Teto?" ''Ya Bu, karena aku pun tidak tahu apa yang harus kunasihatkan." "Teto, Ibu ingin tahu. Tetapi sungguh, saya tidak berhak menanyakan itu. Hanya kalau kau ikhlas, jawablah. Dulu, pernahkah kau menaruh hati pada anakku?" ''Ya. Tentu saja Bu. Apa Bu Tana belum tahu? Kepada siapa selain dia aku bisa mendekat? Ibu tahu, aku orang yang tertutup, aku sadar itu. Dan aku sombong. Bagiku sudah jelas, hanya Atik yang dapat menghidupi aku. Tetapi kecongkakankulah yang salah, sehingga hidupku juga berantakan tanpa Atik.", ''Aah, kalau begitu anakku betul ketika itu." "Bagaimana?" "Ia yakin kau menaruh minat padanya. Tetapi kau tak kunjung muncul. Lalu bukan hati, tetapi rasiolah yang datang." 160 "Itu kesalahanku. Dan selama ini aku telah mencari jalan untuk memperbaiki itu. Tetapi sia-sia, sebab sudah terlambat. Kukira Bu, sekarang pun rasio harus berbicara." "Itu kata seorang lelaki. Atik dan ... ya ... dan aku barangkali lain, lainlah bahasanya. Ya ... ya ... kau benar dan jiwamu mulia, aku tahu. Seperti ayah-ibumu. Tetapi Teto, sungguhkah begitu? Benarkah rasio yang menuntunmu selama ini? Bukankah hati dan emosi yang menjadi jurumudi segalamu?" Bu Antana benar, dan sungguh tajam pisau analisanya. Aku merasa seperti terbaring di meja kamar bedah. Hanya dapat sumarah pasrah kepada kearifan sang dokter bedah. Tetapi dokter bedah bekerja dengan komputer otaknya yang dingin obyektip. Tidak dengan emosi. Bu Antana dalam soal Atik bukan dokter bedah yang baik. Ia tetap seorang ibu, induk. Ibu yang baik hati, yang hanya merasa kasihan dan ingin membelikan es lilin untuk anaknya. Ruang tengah menyala dan tampak bayangan kepala berambut singa mewayang pada gorden tuul jendela-jendela kaca. ''Atik sudah bangun," kata Bu Antana. Lalu berbisiklah ia: "Bagaimana,Teto. Maukah kau jadi abang anakku Atik?" Jendela dibuka dan Atik masih dalam dastemya muncul. Seperti sumber air artetis di lereng Gunung Merapi yang tiba-tiba namun telah lama sebetulnya menunggu pemerdekaannya, menceuatlah salam segarnya: "Haloooo Tetooo! Selamat pagi, Bu!" Wajahnya cerah serba tertawa dengan gigi-gigi yang boleh dipamerkan. Rambutnya tidak keruan seperti singa dan kulit putih leher dan dadanya menampakkan pipi-pipi payudara montok yang kontras sekali melawan dastemya yang sangat merah darah. "Selamat pagi Tik!" jawabku kurang spontan karena agak terpukau terus-terang saja. Bu Antana bergumam: ''Anakku ini sering arif seperti nenek, tetapi sering masih seperti anak kecil." ''Eeh, maaf," canda-sendaku, "Selamat pagi, Ibu Doktor maxim cum laude. "Ia cemberut manja: "Sedang sidang apa pagi-pagi di situ kok seperti sedang pacaran, hihihi!" Bu Antana membuat gerak tangan seperti mengusir: "Ssst ... sana mandi dulu! Keras-keras tetangga dengar semua." Atik mengangguk mendagel dan tertawa renyah: "Iyaa Bu!" Dan pergi. Masih sekali lagi ia menoleh. Tertawa. ''Ya, itulah anakku," kata Bu Antana. ''Tampak sekali bukan, bahwa ia menjadi muda lagi? Terlalu muda." "Karena lulus doktomya," sambutku tanpa ujung pangkal. Hanya untuk menjawab asal menjawab sang naluri induk. ''Mari !'' dan Bu Antana berdiri. Aku pun juga. "Mau periksa persiapan makan pagi." Dan ke samping padaku ia masih berbisik. ''Anggaplah rurnah ini rumahmu sendiri." Dan tersenyum ia masuk. Tak tahu aku harus ke mana. Seandainya kejuruanku ada di bidang psikologi, pastilah aku akan mudah mendapat bahan penelitian tentang psikologi hubungan ibu janda dan anak perempuan tunggal. 161 Jelaslah sejelas-jelasnya, bahwa perkawinan Atik dengan Janakatamsi adalah perkawinan model kuna. Kawin asal jangan jadi perawan tua. Atau: kawin karena sepantasnyalah orang itu kawin. Atau: kawin karena membutuhkan bodyguard, Kali ini rupa-rupanya: Kawin karena membutuhkan jongos dan pesuruh. Tidak! Aku jahat, aku tidak adil terhadap Dik Jana. Dialah yang telah menyelamatkan Atik dari noda perawan tua yang memalukan. Dialah yang menjaga Atik. secara terhormat dan memberinya suatu sarang yang aman; yang memberinya status yang sepadan dan memungkinkan buah-buah rahim Atik bertumbuh dengan tenang, pasti dan serba bisa diandalkan. ltu pun sebentuk cinta. Bahkan itulah yang justru harus dominan dalam cinta seorang lelaki. Untung apa bagi wanita kawin serba glamour dan romantis dengan seorang Gatutkaca, tetapi bisanya cuma terbang ke tempat-tempat jauh dan berkelahi di medan perang? Istri Gatutkaca mungkin bisa saja hidup dengan Gatutkaca, tetapi ingat Pergiwa istrinya cuma gadis desa. Atik bukan gadis desa yang serba nerima dan sumarah belaka. Atik adalah wanita tipe Keleting Kunig ngunggahunggah¹⁾ ia tidak gentar, dan itu hak setiap wanita. Dari pihak lain, Si Teto juga bukan Ande-Ande Lumut. Repot juga kalau Ki Dalang harus melakonkan hikayat kacau: Keleting Kuning dan Gatutkaca. Mana bisa? Jadi sahabat sih boleh-boleh saja. Sejak dahulu selalu begitu. Tetapi yang dimaksud di sini sahabat intim, jelaslah. ltu lain. Sudahlah, tidak perlu segala persoalan harus diselesaikan hari ini. Aku menuju lagi ke tepi jalan. Dari jauh datanglah dua mahasiswi tadi yang berlari-lari aerobik. Nah, ketawaku dalam hati. Menyerah sajalah, tidak mungkin kau jadi langsing semampai. Tanpa komputer aku sudah dapat memastikan hasilnya. Terengah-engah mereka berhenti berlari. He heh? "Sedang melihat apa, Pak'?" tanya seorang bernada nakal. "Melihat kalian ini. Berapa kilometer tadi?" "Ah ... hehe ... entah tadi ... berapa kali ... he ... he tadi heh ... heh. Lima kali he heh ... lima kali putar ... he ... he "Sulit ya nasib gadis itu. Harus selalu jaga kelangsingan." Mereka tertawa megap-megap: "Huah ini heh heh ... Pe-Er²⁾ yang paling sulit heh ... " Dan serba bersemangat masuklah mereka melalui pintu dapur. Sambil membuka pintu, yang satu membisikkan sesuatu pada telinga kawannya. Omong apa mereka? Pagi itu dengan sengaja aku selalu mendekat dan bereakap-eakap dengan Dik Jana, (spontan dari awal mula dia adalah adik dan aku mas), sedangkan dua wanita, ibu dan anak, atau lebih tepat nenek dan ibu, sibuk dengan berpakaian dan mengatur makan pagi. Komplit dengan bunga di vaas dan lilin menyala di meja. Dan tentu saja roti, mentega, keju dan segala perangkat upacara adat yang sudah jauh dari jiwa revolusioner jaman gerilya. ¹⁾ Ngunggah-ngunggah = wanita melamar pria. ²⁾ PR = pekerjaan rumah (murid). 162 Kami berdua berdiri di muka jendela dan menikmati pemandangan anak-anak generasi muda berlalu di jalan menuju sekolah. Banyak sekali anak-anak itu. "Jadi apa kelak anak-anak ini,” keluh Dik Jana. "Begitu tampan dan cantik-cantik mereka itu sekarang,” komentarku. "Mereka pandai sekali bersolek dan berdandan,” kata iparku. "Ini belum kelihatan, serba pakaian seragam. Tetapi itu pun sudah tampak. Luwes, segar dan serba gembira. Tahu mengapa, Mas?" ''Ya, karena tidak mengalami jaman huru-hara seperti pada jaman kita dulu." "ltu juga. Tetapi masih ada lagi. Pada hematku, karena mereka tidak banyak mau berpikir tentang soal kemarin maupun hari depan. Entah apa yang akan dibawa kelak, biarlah kelak saja dipikirkan. Itu menurut kata mahasiswi-mahasiswi yang menumpang di pavilyun." Aku terdiam mendengar itu. Memang cantik dan manis gadis-gadis pelajar itu. Dan yang laki-laki serba dinamis. Mereka tidak bersepeda seperti di jaman kami dulu, tetapi berlomba-lomba siapa yang bisa maju paling pesat. "Masih kanak-kanak wajah mereka." "Juga kelakuan dan tingkat mereka," sambung Dik Jana. "Lihat itu, kedua mahasiswi kita." Dari samping kami lihat kedua pengaerobik tadi pagi, bergandengan erat seolah takut saling kehilangan. Yang satu pendek tetapi penuh tubuhnya, sintal, tanpa dapat dikatakan gemuk. Yang satu semampai kerempeng menurut ideal masa kini. Mereka berhenti di pagar selokan. Rupa-rupanya menunggu datangnya Bang Becak. Datanglah menderu seorang pemuda naik sepeda-motor trailer, dengan topi admiral US Navy, baju terbuka separuh dan tampak kalung dan jimatnya. Di pinggang belakang tampak beberapa buku tulis diselempitkan pada sabuk. Ia menoleh kepada kedua mahasiswi itu dan tiba-tiba mengerem kuat-kuat sampai suara ciyeet mengejutkan orang-orang di jalan. Lalu menderu membelok, melewati muda-mudi, membalik lagi, dan berhenti menonggakkan kedua kakinya lebar-lebar seperti huruf V terbalik, sambil mengklakson. Dua pemudi itu mundur spontan dan tangan-tangan mereka membuat gerak jengkel yang memaki-maki pemuda itu. Pemuda itu hanya tersenyum saja dan menawarkan sadel bagian belakangnya kepada yang semampai, Tak ambil pusing rupa-rupanya kepada temannya yang agak berbadan Batari Durga itu. Yang semampai solider dan Si Trailer disuruh pergi. Pemuda itu hanya menjawab dengan oleng-oleng kepala serta kedua tangannya merentang. Agaknya memberi isyarat, agar sudahlah, kedua-duanya boleh bonceng. Spontan kedua pemudi itu berpaling separuh dan dari cara mereka membuka mulut dan gerak tangannya, tampak mereka menolak mentah-mentah. Masih terdengar sayup-sayup suara mereka terbawa angin: " ... dikira, apa," atau semacam itu. Pemuda itu lalu lebih menderu-derukan mesin sepeda-motornya dan seperti dipelanting melaju ke muka, langsung menukik dan kembali ke arah dati mana ia datang. Sambil meninggalkan kepulan-kepulan debu. 163 Kedua gadis itu menutupi mulut dan hidungnya dengan saputangan, lalu memanggil: "Becak!" Ternyata sudah dipesan. Si Becak masuk halaman salah satu rumah. Kedua mahasiswi itu lalu pergi berjalan kaki saja. Tetapi sebentar lagi mereka menoleh membalik dan berlari-lari cepat seolah berlomba, karena dari arah bdakang datang becak. Tawar-menawar. Sementara itu pemuda bertrailer tadi datang menderu lagi, tetapi sekarang derunya berganda, sebab ia membawa teman. Dalam kepulan debu knalpot mereka menawarkan lagi jasa baik. Kedua pemudi itu saling pandang-memandang dan barangkali musyawarah, apa sebaiknya yang harus dilakukan. Bang Becak, entah jengkel entah berterima kasih, memakai kesempatan ltu untuk pergi ke seberang jalan dan kencing pada pagar hidup tetangga muka. Ruparupanya sulit mencari kompromi. Agaknya timbul soal siapa membonceng siapa. Mahasiswi Betari Durga yang barangkali merasa hanya diobyek saja, lalu mencari Bang Becak tadi yang tenang sedang memberi sesajen kepada danyang-danyang pagar hidup. Teman baru tadi menghentikan mesinnya, memasang standar dan pelan serta tenang membersihkan kaca spionnya dengan nafas dari mulut dan sapu-tangannya. Akhirnya toh keputusan ada pada solidaritas rekan, dan kedua gadis itu mulai masuk becak. Yang punya inisiatif "pengabdian. masyarakat" tadi omong sebentar dengan kawannya yang dimobilisasi percuma. Lalu mereka meletuskan segala kebisingan yang tersedia dan menghilang, sambil meninggalkan awan debu penuh bakteri-bakteri tifus dan tetanus. Bang Becak naik singgasana, dan pelan-pelan menghilanglah mereka ke arah karir, menuju kejayaan doktor maxima cum laude. "Kita lahir terlalu pagi;' kata Dik Jana. “Apa maksudmu?" Aku heran ia berkata "senakal" itu. "Dulu belum ada sepeda-motor." ''Tetapi mereka tidak bakal punya kesempatan mengalami perang,” komentarku sinis. "0, perang berebutan pacar lebih sengit pertempurannya." Dia omong begitu, sengaja atau spontankah, tanyaku dalam batin. Orang Jawa pandai menusuk dengan jarum, seperti dokter-dokter Cina. Tetapi dokter-dokter Cina menusuk untuk menyembuhkan, tetapi orang Jawa untuk menyakiti. Sekali lagi aku sadar kembali, betapa buruk tabiatku. Selalu saja aku merasa tersinggung. Di mana-mana takut ada gerilyawan yang menembak dari belakang. "Dik Jana dulu di tahun-tahun antara 45 - 49 di mana?" (aku tidak berani menyebut istilah clash atau aksi polisionil. Nettal saja: tahun-tahun antara ini dan itu. Rasa minderku belum hilang). “Aku di Palang Merah." (Ah pantas saja). "Palang Merah?" ''Ya, kepada Mas Teto aku jujur berterus-terang. Aku tak suka berjuang dengan senjata. Entah, barangkali karena kami bertradisi dokter." (Ini lagi). "Di Palang Merah dulu ada perang pacar apa tidak?" Aku mencoba melawak sedikit, hanya agar tidak berkesempatan berpikir yang jelek-jelek. 164 ''Ya, sulit sebetulnya: dulu ada tahayul antara para gerilyawan. Siapa yang pacaran di front, pasti terkena peluru musuh. "Aku, belum pernah dengar semacam itu." ''Ya, sungguh. Akibatnya, pemuda-pemuda gerilyawan pada takut main-main seks dan sebagainya itu. Tahayul memang, tetapi tahayul berguna. Di pihak Belanda bagaimana?" ''Ya, mau minta apa lagi. Tentara sewaan." "Belanda itu tolol. Seandainya mereka agak mau mengalah sedikit, negara kita masih commonwealth atau berstatus dominion." ''Ya, goblog. Termasuk aku juga,” jawabku tajam. "Oh, maaf, bukan itu yang saya maksudkan." "Tidak apa-apa." "Mas Seta, ayah dan kami semua sangat menghargai Mas Seta. Ayah selalu berkata kepadaku: Mas Seta bagaikan Karna. Walaupun berperang di pihak Kurawa, tetapi saudara seibu dengan Pendawa. Dan Karna ksatria yang besar. Sampai Arjuna pun gentar menghadapinya. Hanya karena perintah tanpa ampun dari Raja Sri Kresnalah, artinya dari Nasib, Arjuna terpaksa melawan Karna." ''Terima kasih, Dik. Tetapi nasib Karna tragis." "Mas Seta sudah lama kuanggap kakakku." Aku sangat malu tadi punya pikiran-pikiran jelek terhadap suami Atik yang budiman ini. ltulah senjata paling ampuh dari orang Jawa: mengalah. Menang tanpa membawahkan? Membunuh tanpa mencabut nyawa? Terasa, betapa asing diriku, jauh dati manusia-manusia di negeri ini. Aku merasa diikat dengan benang sutera, diganja dengan arum-manis, dipeluk oleh labah-labah betina yang merayu minta disetubuhi, lalu jantan dimakan. Sekilat godaan iblis membisik, agar aku minggat saja dari dunia serba halus ini. Tetapi Atik, aku jahat melambangkan Dik Jana dengan labah-labah betina. Lebih jahat lagi, kalau yang kumaksud itu Atik. Aku terkejut karena sadar, aku semakin merasa minder. "Mas Seta hari ini punya acara apa?" "Saya? Ya, acara ada, tetapi ... " Atik menyanyi: "Hallo, Abang-abang sayang. Kita makan pagi. Tidak cepat, tidak dapat." Spontan kami menoleh bersama-sama. Dari ruang makan kami melihat Atik dengan tangan terbentang dan senyum, melulu, mata bersinar. Gaun berwarna coklat susu dan sanggul model Yunani. Wanita yang masih vital, pikirku sambil memandang dadanya yang membusung sehat. Jangan bersandiwara, begitu aku memperingatkan diriku. Yang biasa saja. Bu Antana menongol dari belakang dan ramah mengajak. "Silakan mulai dulu. Hei, itu keran kamar-mandi kau lupa menutup ya, Tik!" "Ooh maaf, lupa." 165 Dik Jana mengerdipkan mata kepadaku: "Begitu kok doktor maxima cum laude. Lalu untuk apa gelar doktormu itu, Tik!" godanya. "ltu tidak ada sangkut-pautnya, Sayang. (Sayang, ia menyebut suaminya Sayang) Ayo, Mas Teto (ia menyebutku selalu dengan mas) mulai. Oh ya, maaf, stop, nanti dulu." Atik berdiri lagi dan mengambil dua gelas berisi sari jeruk. "Hampir saja aku lupa." Gelas yang pertama ia letakkan pada sisi piringku. "lni untuk, Mas Teto." Baru: "Ini untuk sayang-disayang." Dan tertawalah ia. Lalu mengerdipkan satu mata ke arahku sambil berkata: "Kalau suamiku tidak disebut sayang, ia selalu marah. Seluruh hari hanya bermuram saja tak bisa kerja apa-apa." "Ah, siapa bilang," protes suarninya. "ltu hanya show saja kalau ada tamu." "Hei, hei, Mas Teto bukan tamu. Mas Teto, kau merasa di sini sebagai tamu? Awas kalau bilang ya." Aku tertawa dan memang dari hati aku tertawa: "Dik Jana sudah membiasakan diri tentunya punya istri yang begitu fasis." Memang! Nah, Tik, apa katamu? Kau dengar sendiri dari Mas Teto." ''Aduh, sekarang Jon merasa mendapat sekutu, ya. Beginilah Mas Teto, sebelum kau datang, dia selalu pihak minoritas, satu pria melawan dua. Sekarang sudah seimbang; dua lawan dua. Hei, 1bu! Mari lekas, Atikmu kau bela dong. Ia diserang. Ayo, Bu." ''Ya ... sebentar. 1ni keran kok tidak bisa tutup." "Mari,” dan aku berdiri menuju kamar-mandi yang langsung berhubungan dengan kamar-tidur. "Heh!" seru Atik. "Dilarang keras masuk kamar wanita!" Aku terkejut berhenti. Atik tertawa tergial-gial. "Nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Silakan. Memang sudah tiga hari begitu. Giman tolol, tidak pernah mendengarkan. Disuruh memperbaiki hanya omong inggih¹⁾, inggih. Ah, nggak kepanggih²⁾." ''Mana Bu?" Kucoba kerannya. "Harus pelan-pelan, Bu. Sebab memang sudah dol." Kuputar pelan-pelan sekali. "Nah cukup begini saja. Kalau diteruskan malahan kembali dol lagi." Arus masih ada tetapi hanya sekecil lidi. Atik berkecak-pinggang dan tertawa: "lbu, Mas Teto ini kita kontrak saja sebagai tukang bikin betul kran bocor, genting bocor, selokan meluap. Setuju? Mau ya, Mas Teto?" (Ingin kupijat hidungnya, tetapi untung aku masih sanggup mengekang diri). ''Ya, tergantung berapa gajinya." ¹⁾ Ya. ²⁾ Ketemu. 166 "Beres deh. Mari Bu, Ibu duduk di sini saja. Aku di sini. Tidak enak memandang tamu dari samping. Kalau Jon Sayang sih setiap hari sudah dapat dilihat, ya Sayang." Dik Jana ternyata tukang makan yang lahap lezat melalap rotinya. Ia sibuk mengambil roti, menyemirkan mentega dan serba konsentrasi mengambil lapisanlapisan daging. “Apa katamu, Tik?" “Ah, kau ini kalau sudah makan tidak dengar apa-apa yang lain. Ya, begini inilah Mas Teto, suamiku. Pantas saja negeri ini banyak yang menderita kelaparan. Begitu asyik makannya." Bu Antana menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah apa maksudnya. Kubela Dik Jana. "Jangan dengarkan istrimu, Dik Jon. Sejak du memang begitu. Hanya meledek saja." Aku ingin mengambil seiris roti, tetapi tanganku dipegang Atik. "Tunggu." Ada apa ini? Irisan roti ia ambil dan ia mulai menyemirnya dengan mentega, sambil memandang jenaka (atau birahi?) kepadaku. "Tamu kita harus diberi service top-class. Pilih mana: Ini? Ini? Yang ada saja. Yang tidak ada jangan dipilih. Ini?" "Ya, itu saja," jawabku ngawur, sebab aku tidak terbiasa dimanja begitu. "Satu? Dua? Atau tiga? Tiga iris untuk orang laki-laki pantas. Nah, selamatmakan." Bu Antana dari sudut matanya mencuri pandangan ke arah puterinya. Lalu menundukkan kelopak matanya. "Ibu, kopinya." Kulihat Bu Antana memberi isyarat-isyarat dengan kernyitan alisnya ke arah Dik Jana. "0 ya, Mas Jon. Kau kopi atau teh? Teh saja. Dokter sudah menasihatkan jangan terlalu banyak kopi. Aneh ya, Mas Teto. Kalau orang biasa, minum kopi jadi segar. Kalau Mas Jon ini bahkan sebaliknya. Jadi-tegang. Oh kok begini bening tehnya. Memalukan. Siapa ini tadi yang membuat." "Saya yang salah, Tik. Sini saya ganti." Dik Jon protes: "0-0-0 tidak perlu, jangan Bu. Ibu duduk saja, dan makan tenang. Kau juga makan, Atik sayang." "Saya cukup sari jeruk ini dan secuwil keju." Cepat kuambil cawan keju, dan mengiris untuk Atik. Berapa? Satu iris? Dua iris? Sekarang saya yang memanja," kataku spontan, entah ilham dari mana. Atik tersenyum bercahaya. Matanya tiba-tiba terkena pandangan ibunya, lalu membalik ke sebelah lain. "Mas Jon, lagi rotinya?" Suaminya dengan mulut mengunyah hanya geleng-kepala, mengambil cangkirnya, pelan-pelan diminumnya teh bening tadi. Ibunya mengangkat teko teh dan mengisi lagi cangkir yang diacungkan oleh Dik Jana. 167 “Nah, hari ini acara apa?" tanya Atik sambil pelan-pelan menggigit cuilan kejunya. Suaminya menengadahkan kedua telapak tangannya setinggi bahunya, tanda: terserah kalian. Aku hanya abdi. "Mas Teto, kami hari ini wajib mengunjungi Rektor Universitas untuk berterima kasih atas partisipasinya. Lalu ke Hotel, juga untuk berterima kasih kepada Prof Chauvigney dan mengantarkannya ke lapangan terbang. Jam berapa pesawatnya berangkat, Sayang? Jam 13.00 kita harus makan siang dengannya. Lalu Mas Teto bagaimana? 1bu makan siang dengan kami?" ''Jangan repot-repot," tangkisku. Sungguh aku tidak berniat menambah seorang kenalan lagi yang toh tidak akan ada sangkut-pautnya dengan kehidupanku. "Silakan menunaikan program kalian. Aku dapat pergi ke tempat lain yang sudah lama ingin aku kunjungi." "Ke mana?" "Ke bekas istana Soekarno dulu." Mereka terperanjat. Apa-apaan ini. Atik menggeleng-gelengkan kepalanya serba prihatin. “Ada apa, Mas? Masa lampau jangan kau orek-orek lagi." "Ya, bagaimana kukatakan? Bagimu itu masa lampau." "Nostalgia?" tanya Bu Antana. "Hati-hati dengan nostalgia." "Bukan itu," tangkisku. Atik memandang kepada suaminya. ''Jam berapa kita harus menghadap Pak Rektor?" "Kan kau sendiri Sayang, yang lebih tahu dariku." “Jam sepuluh;' sahut ibunya. ''Aku mendengar kau kemarin berkencan dengan beliau: jam sepuluh." ''Ya, jam sepuluh," kata suaminya menggaris-bawahi. "Kau ini ... (dan nada Atik tampak gusar seperti menuduh) cuma bisa membonceng." ''Atik,'' kataku, "jangan kau keras-keras pada suamimu." "Habis, memang begitu,” tumpang Atik lebih sengit Iagi. (Drama! batinku. Drama.) Bu Antana memandangku dengan ekspresi permohonan. Aku menunduk. Kalau begini terus, keluarga ini berantakan, pikirku, hanya karena aku hadir di sini. Ya Allah, harus bagaimana aku. "Mas Teto ingin jam berapa ke istana?" "Ingin sih ingin. Tetapi apa diijinkan, itulah soal juga,” kataku dengan sasaran samping, agar kedua suami-istri itu tidak ditambam persoalan. "Garnpang!" kata Larasati Si Pendekar Panas Mahabharata. "Nanti saya yang maju. Jam sepuluh? Sekarang sudah jam delapan. Kita harus punya reserve waktu. Dua jam siapa tahu kurang. Orang sedang berpariwisata, biasanya tidak tahu, jam sudah lari tidak terkendalikan. Rektor harus menunggu kita. Mas Jon, Sayang. Tolong telepon, barangkali kita boleh datang jam setengah sebelas." 168 "Baik," dan suaminya langsung berdiri. "Nomor teleponnya berapa?" "Di kartu catatan ada." "0kay." "Hei, Mas Teto. Tambah lagi rotinya. Masakan hanya tiga iris. Ayo dong." Dan tanpa menunggu acc-ku, langsung ia mengambil seiris lagi mau menyemirnya. "Stop," kataku tegas. "Saya pagi-pagi biasanya tidak makan banyak." “Sungguh tidak lagi?" masih juga ia menawar. "Tidak," kataku tegas. "Terseralah kalau mau kaumakan sendiri," kataku agak kasar. "Tetapi aku tidak." Dan kuminum kopi. Atik tersenyum padaku, lagi itu pijarpijar matanya yang manja , atau bangga atau ... birahi ? Matanya kutatap nanap. Ia mengalah dan memandang kepada ibunya sambil berbisik. "Mas Sinyo ini masih tegas seperti dulu." Senafas kebanggaan terdengar dari bisikannya itu. Ibunya hanya diam dan memandang kepada anaknya, kepadaku, dan menunduk. "Tetap masih kepala batu dia," dan tertawalah Atik riang seperti anak kecil melihat badut. "Sama-sama," balasku. Atik lebih tertawa lagi. Ibunya menyentuh tangannya. "Kedengaran di telefon,” Pura-pura Atik terkejut, mulutnya ditutup dengan kepal kecilnya yang memegang pisau roti. Geli dikulum. "Okay, beres!" begitu laporan suaminya sambil duduk kembali santai bersandar ke belakang seperti seorang Sultan yang kenyang. ''Jam setengah sebelas. Bahkan jam sebelas juga boleh, kata Rektor. Asal jangan sarnpai jam sebelas malam, begitu pesannya." ''Aku sudah mengira, pasti ia mau. Orang baik." "Jadi," ejekku "orang baik ialah orang yang mengiyakan selalu pendapatmu. Begitu definisinya, Tik?" "Heh? Dah, sayang kau tidak tergolong profesor penyanggah kemarin. Gelegapan aku pasti. Bagaimana, Bu? Jawaban pertanyaan itu'?" Ibunya melirik kepada anaknya. "Kok aku. Kau yang harus menjawab." Atik melihat kepada suaminya, "Bagaimana kau, Mas Jon?" ' "Lho, kok aku. Kau yang harus menjawab." Meledaklah ketawa kami berempat. Jenaka dan manja matanya disipitkan dan Atik mengintaiku dari sela-sela kelopak mata. "Definisi keliru." "Jadi kau keliru, Tik?" “Definisinya yang keliru. Aku belum tentu." Dengan tertawa kemenangan aku berkata kepada ibunya "Bu, lihat apa tidak? Kepala batu. Dari dulu." "Kau yang kepala batu." "Hei-hei, kok seperti anak kecil,” seru Bu Antana sambil tertawa. 169 "Memang anak kecil,” sela suaminya. Kami terkejut juga mendengar keberanian Si Jana ini. Seperti ular kobra yang diserang tegaklah kepala Atik. Lehernya memanjang dan dengan kepala oleng ia memandang dari sudut matanya sambil melengos ke arah suaminya. Melengos menghina? Melengos manja? Melengos sayang? Entahlah. Ingin ia mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba memutuskan untuk bungkam saja. Kuiriskan lagi secuil keju. Dan walaupun tangannya protes, keju itu kuletakkan di atas piringnya. la melihat kepada cuilan keju itu, melihat padaku lalu tertawa kecil. "Kalau tidak kumakan, katanya aku kepala batu. Kalau kumakan, aku tambah gemuk satu kilo. Pilih mana, Bu?" "Kok aku. Kau yang harus memilih." ''Bagaimana, Mas Jon? … Saya sudah tahu jawabmu: lho kok aku, kau yang harus memilih." (Suaminya memandangku seperti minta tolong). Cuilan diletakkan pada piring suaminya: "Kau saja yang memakan, Sayang. Lebih baik kepala batu tetapi lebih ringan satu kilo". Suaminya memandang kepada istrinya, kepadaku lalu bernafas panjang. Ia mengangkat kedua tangannya selaku tanda "Apa boleh buat"; lalu memakan cuilan keju itu. 170 21. Istana Perjuangan Mas Seta, aku sungguh senang Mas Seta datang. Selama ini aku tldak pernah tahu, ke mana aku harus pergi kalau ingin minta nasihat. Ya, terus-terang ini mengenai istriku." Aku sungguh terkejut dan dari samping memandang Jana, yang hanya menyekanyeka setir mobil dan memandang lurns ke muka. "Aku bukan penasihat yang baik," kataku, jelas khawatir lebih ruwet lagi terperangkap dalam suatu persoalan intim yang hanya membingungkan diriku yang sudah serba bingung ini. ''Ah, aku tahu Mas Seta. Tetapi dari apa yang aku dengar dari Bu Antana dan dari Atik sendiri aku sudah lama tahu: Mas Seta dapat aku andalkan sebagai abang yang baik. Dan sejak kita saling berjumpa kemarin, Mas, aku punya intuisi, ya walaupun intuisi lelaki biasanya tumpul, tetapi aku yakin, hanya Mas Seta yang dapat menolong kami berdua." "Kami berdua? Kulihat antara Adik dan Atik tidak ada apa-apa." ''Ya, memang tampaknya demikian. Tetapi sebenarnya saya tahu, tidak begitulah. Atau lebih tepat: BELUM begitulah. Kami sudah beranak tiga, tetapi kok rasanya kami ini seolah belum pernah menikah." "Tidak apa-apa, Dik Jon. Biasa itu. Dalam perkawinan selalu ada up and downnya." Aku jengkel sendiri dengan diriku. Nasihat umum basa-basi usang yang banyak kata tetapi kosong. Sebetulnya aku jengkel juga dengan bekas Palang Merah di sampingku ini yang tidak berani (tidak mau, bukan, tidak berani) memegang senjata seperti lelaki normal. Ah, celaka memang bisa kubayangkan bagi Atik, punya suami begini ini. ''Ah, Mas Seta harus tahu. Aku anak sulung. Dan tidak pernah mempunyai seorang abang yang dapat kunikmati pertolongan atau nasihatnya. Selalu aku harus mencari sendiri, bergulat sendiri dan setiap kali salah dan dimarahi ayah: Kau harus memberi teladan, kau harus mengalah, kau harus ini-itu; hanya karena aku anak sulung. Memang aku bukan tipe manusia yang jagoan, tetapi apakah itu salah?" "Tentu tidak ... ," jawabku, yang jelas samasekali tidak menjawab soal. Ingin orang lelaki di sampingku ini kukocok dan kusepak agar kejantanannya melotot ke luar dari kepompongnya. ''Ya ... Atik memang bukan orang yang gampang." "Nah, justru itulah Mas Seta, aku sering tidak tahu, harus bagaimana ia kutanggapi. Seringkali, begini salah, begitu keliru. Padahal ya, walaupun saya ini orang tidak tanpa kekeliruan, segala-galanya sudah kuusahakan agar membuat hidupnya senang." Aku sudah tidak mendengar lagi apa yang dikatakan udang yang tidak punya kulit panser itu. Kulihat Atik sedang asyik berdiplomasi dengan perwira penjagaan istana yang kini disebut "Gedung Negara" itu. Aku sendiri tidak tahu, mengapa aku justru ingin kemari. 171 Sentimentil sebetulnya, dan demi mengabdi kesentimentilan banci ini Atik matimatian berdiplomasi dengan militer-militer itu. Kulihat piket penjagaan menganggukangguk tersenyum. Pasti kalah dengan rayuan Larasati, kupikir geli. Bagaimana seandainya Guru Srikandi itu agen sabotase musuh yang datang dengan mission mencuri dokumen-dokumen istana republik ini? Bangun dong, Teto! 1ni bukan lagi istana presiden RI jaman kau berpetualang dengan Kolonel van Langen di atas jip masuk istana 19 Desember 1948 dulu itu. Dengan wajah yang berseri-seri kemenangan (Atik selalu menang, kecuali dalam soal perkawinan, pikirku getir) ia mendekati jendela mobilku. "Good! Ayo Mas Jon, terus ke depan itu." Aku keluar mobil dan membukakan pintu bagi Atik. "Perttwa musuh yang gallant," ejek Atik sambil memperlihatkan rangkaian gigi-gigi yang cemerlang. Ketika ia menunduk masuk mobil di belakang, tampak bergayut kedua payudaranya yang manis montok dan putih. Sambil menundukkan diri lagi di samping Jana, aku berkata padanya: "Istrimu diplomat ulung, Dik Jana." Keluar dari mobil angin sepoi-sepoi yang menyegarkan menari lagi. Angin kemerdekaan, gumamku dalam hati. Kami tidak terus ke bagian tengah serambi, di mana menurut Atik, dulu Bung Karno, Bung Hatta dan lain-lain selalu berdiri untuk menaikkan bendera Merah Putih. "Mas, Mas Teto, di sini dulu aku berdiri." Ia menarik lenganku dan naik tangga emperan muka istana dari marmer itu. ''Di sini." Dan ia menunjukkan sudut paling belakang. Ia tertawa renyah: ''Ya, di sudut ini. Paling belakang, seorang gadis desa dengan dua ekor kepang rambut, rok dril putih yang kaku dikanji, tanpa bentuk deh. Tapi dril itu enak, tidak panas seperti bahan nylon jaman sekarang. Dan di sampingku, seorang ajudan Menteri Luar Negeri. Ah ya, bukan ajudan sebetulnya, tetapi hanya kacung pembawa map-map belaka, tetapi aduhai tukang perayu. Mas Jon kan kenal dia?" ''Dirut proyek perkayuan Kalimantan yang baru diperiksa perkaranya itu?" "Perkaranya? Perkara-perkara. Plural. Termasuk petualangan-petualangan dengan perempuan macam-macam." ''Termasuk Larasati Antana, kusela meledek. Atik memandangku genit seolah-olah tersinggung dan berkata: “Ah, gadis umur tujuhbelas tahu apa tentang asmara dulu itu. Kami sudah cepat dewasa. Tetapi nota bene hanya dalam soal kerja. Tetapi pacaran seperti sekarang ini? Mustahil," katanya dengan tangan seperti ahli orator memenggal leher lawan. Aku ingin menolong suaminya: "Lalu dik Jana di mana dulu berdiri?" "Tanya saja pada istriku itu. Dia selalu mengejekku tentang itu." Istrinya tertawa padaku dan dengan nada yang sebenarnya sedikit sadis, ia berkata sambil menunjuk pada pagar muka istana jauh di sana di tepi Jalan Malioboro. 172 "Di saa ... na." ''Bersama rakyat!" tangkis suaminya. Aku tak dapat menahan ketawaku. Oah kasihan kau Jon. Begitu kaku kau membela diri. Ayo dong, jangan takut begitu. Istrimu harus kau lawan. Jangan kau gendong terus-menerus. Malah dia lari nanti. Seperti anak yang mulai besar menjadi jengkel kalau terus-menerus digendong dan diciumi. ''Nah, Tik. Suamimu tersayang bersama rakyat di sana. Kau bersama para agung dan kuasa. Mana semangat gerilyamu?" Tetapi Atik sudah tidak mau mendengarkan. "Nah, sekarang Mas Teto. Di mana kau?" "Aku?" Aku ekstra sengaja merangkul Dik Jon dan berkata: "Mari Dik, akan kutunjukkan." Dan berangkulan kami turun tangga-tangga marmer itu, melangkah beberapa meter lagi ke suatu titik di atas aspal yang jelas sudah sangat diperbaiki itu. Ketika kami berhenti dan aku menoleh, Atik masih di atas tangga yang teratas. "Ke sini." "Nggak. Panas." “Ah, tidak perlu takut jadi hitam kulitmu. (Pada suaminya) Nah ini dik Jon, kamu diplomasi itu selalu begitu: takut panas. (Aku menunjuk suatu lokasi di atas rumput) Nah, di sini aku berdiri. Bawa bedil Thompson: Begini barangkali." Aku berdiri seperti acuh tak acuh tetapi sombong berkecak pinggang. Seolah moncong Thompson menodong. Nah, di sana jip Kolonel van Langen. Di belakangnya masih ada jip lagi yang kosong. Lalu mereka masuk. Aku naik tangga juga. Berhenti di dekat pilar ini. Begini (kulihat Atik dengan mata lebar terpukau pada gerak-gerikku yang memang aku sadar, jantan gagah). Lalu mereka datang. Soekarno dan Hatta dan Syahrir dan Haji Agus Salim dan ya ... mereka mendongak begini, tersenyum. Apa lagi Soekarno, nah tegak penuh harga-diri, merasa safe dan seolah-olah merekalah yang jaya. Tetapi historis ternyata akhirnya juga begitu." "Syahrir bagaimana?" "Syahrir? Oh, dia seperti Hatta. Berjalan biasa. Seperti mau cari orang jualan es putar di jalan saja. Seolah mengejek. Sungguh menjengkelkan. Ya, dan ... (aku memandang kepada Dik Jana), sungguh Dik Jon, ketika itu aku benar-benar ingin bertanya pada Syahrir: Tuan, di mana Larasati? Tetapi nyatanya aku hanya bungkam saja dan ya, selanjutnya aku hanya ingat, mereka pergi ke Meguwo, entah, dan aku hanya terpaku di bawah tangga ini. Bukan. Bukan di sini (aku turon lagi darl marmer ke rumput hijau) Aku di sini. Dan aku masih ingat, aku jengkel memetik sebatang rumput jarum, lalu aku kunyah-kunyah. Detail-detail kecil begitu malah aku ingat. Ya, begitulah pengalaman pihak pengkhianat bangsa." Jana mendekati aku dari samping dan ia bergumam padaku: "Mas Seta, kami tidak pernah menganggap kau begitu. Kami tahu segala sebab mengapa kau begitu. Mas Seta jujur. Ini yang kami hitung." 173 “Ah tidak, Dik Jon. Aku tahu, tidak seindah itu kenyataannya. Aku tidak perlu dikasihani. Orang lelaki, kalau ia sejati, tidak pernah suka dikasihani." "Ah, bukan itu maksudku." Aku pergi ke samping, mencari tempat bayangan yang agak teduh. "Mas Teto ke mana?" kudengar dari tangga teratas. "Cari yang sejuk." ''Naik ke sini saja." "Tidak." Dan tumpul perasaan tidak gallant aku hanya menunjuk ke samping. Di tangga samping itu sejuk karena agak terlindung oleh suatu lengkungan besar yang menjadi kulis samping emperan muka yang monumental itu. Jana mengikutiku seperti anjing yang setia. Atik dengan langkah-langkahnya yang cepat segera juga menuju tempatku. Aku terus menuju ke padang hijau di samping istana dan langsung duduk di rumput. Atik juga meniru langsung. Suaminya datang dan juga duduk di rumput. Aku memandang ke dedaunan pohon-pohon yang rindang itu. "Ada burung kipas!" seru Atik, yang juga melihat ke dahan-dahan pohon itu. "Mana?" tanyaku dan tanya suaminya pas bersama-sama. "Tidak lihat,” kataku. "Aku juga tidak lihat,” kata Dik Jana. "ltu. Yang coklat itu." ''Mana? Memang aku bukan ahli burung, bagaimana bisa lihat binatang coklat pada dahan yang serba coklat dan banyak daunnya." ''Lihat ekomya! Itu yang berpelisir putih itu. Membias-merapat lagi, membiasmerapat lagi, sudah lihat atau belum? Itu yang gesit dan ramai bergerak seperti anak perempuan usil di kelas." "Oh ya, aku juga melihatnya. ''Di mana?" tanya suaminya. "Pokoknya kalau melihat sesuatu yang bergerak kenes dan meloncat-loncat gesit, luwes serba elok, itulah dia. Ekornya, lebih-lebih ekornya memperlihatkan kenesnya dan genitnya Seperti Atik:' gumamku setengah tidak bisa didengar. Tetapi Atik telah mendengamya. ''Apa? Awas kau,Mas Teto." Dan genit ia melirik kepadaku. "Nah, betul kau Dik Jon. Persis burung apa itu tadi?" "Burung kipas,” sambung Dik Jana. "Memang kenes, ya sekarang aku sudah melihatnya. Ya, memang genit." "Seperti siapa, Jon?" "Tahu sendirilah,” sambil memusatkan matanya kepada si burung kipas itu. Tibatiba Atik memegang tanganku dan menunjuk dengan jari telunjuknya mengarah ke atas. 174 ''Dengar tidak? Heran, kok masih ada yang hidup di sini mereka? Dengar?" "Dengar apa?" "Itu: Ci-po. Ci-nya panjang bernada tinggi, lalu po-nya seperti jatuh: po. Ciii-po ciii-po· Lucu ya?" Aku tertawa juga. Yang memang lucu. Cii-po cii-po· "Namanya apa? Cipoa¹⁾?" tanyaku melawak. "Uh cipoa, kau itu cuma memikirkan komputer saja. Namanya mudah saja: burung cipo atau cito. Aegithina tiphia." "Nama Latin sinting. Kan lebih bagus tadi itu? Cii-po, cii-po. Apa gerangan artinya?" "ltu penjaja dari kaum burung,” kata Jana. "Kuacii-bakpao, kuaciii - bakpao." Kami tertawa semua. Nah, begitulah! Kubatin: hidup sedikit kau Jon. Seorang suami harus sering bisa membuat istri tertawa. Atik diam dan mendengarkan suara-suara burung. Ia sedang bergumul dalam wilayah dunianya. Suaminya ikut melihat ke dedaunan mengikuti istrinya. Orang ini tidak ketolongan, batinku, selamanya ia akan menjadi kaum Palang Merah di garis belakang. Tetapi bukankah kaum Palang Merah, walaupun tak membawa senjata apa pun adalah para pecinta sejati dari Kehidupan? Suami semacam inilah sebetulnya cocok untuk seorang pecinta alam seperti Atik. Hanya mereka belum menemukan kesejatian diri masing-masing, walaupun Atik ahli dan fasih tentang kesejatian diri dan citra bahasa dan lain-lain kata falsafah hebat. Hidup harus dihayati praktis, dan tidak hanya diteorikan. Tetapi bukankah penghambat utamanya dalam penemuan jatidiri mereka, dan Atik terutama, sebetulnya justru citra pesona Si Setadewa, aku sendiri? Si jantan ideal, artinya dalam arti romantika, Sang Gatutkaca yang gagah hebat, tetapi selalu terbang dan tetap tak pernah terjangkau? Semacam fatamorgana yang hidup penuh himbauan-himbauan indah, tetapi sebenarnya hanya bayanganbayangan cermin keinginan-keinginan situasi yang dianggap kurang memuaskan? Aku sadar, bahwa aku Setadewa sebenarnya adalah agresor, adalah KNIL, Dr. Beel dan Spoor, yang pada tanggal 19 Desember menyerang Yogyakarta untuk mengejarngejar fatamorgana yang fatal dan yang akhirnya membuat jiwa Kapitein Seta patah. Yang dulu disangka pemotongan keruwetan gordian Iskandar Agung, ternyata berakhir dengan tragedi bunuh diri Spoor dan likuidasi KNIL. Aku, Setadewa seharusnya sudah lama menarik hikmah pelajaran yang fatal itu. Mengapa aku di sini sekali lagi menjadi agresor kebahagiaan keluarga Janakatamsi? Jikalau Bu Antana bereaksi normal sebagai induk yang hanya memikirkan kebahagiaan anak tunggalnya secara jangka pendek, seperti selalu dikerjakan oleh naluri wanita yang mahir mencari jalan-jalan ke luar yang efisien dalam jangka pendek, maka aku sebagai lelaki harus menyumbang pelengkapnya, yakni bertindak dalam prospek jangka lama. Perang tidak pernah merupakan tujuan dalam diri sendiri, Tidak ada nasion yang berperang demi berperang. Perang adalah sebentuk perpanjangan diplomasi dengan cara-cara yang lain. ¹⁾ Alat hitung Cina tradisional. 175 Selaku orang militer atau menejer perusahaan, sama saja, aku seharusnya sudah tahu bahwa persoalannya bukanlah menang taktis belaka melalui suatu pertempuran dengan biaya apapun, tetapi memenangkan peperangan sebagai keseluruhan secara strategis. Jika permainan segi tiga ini diterus-teruskan memanglah taktis Bu Antana dan Atik menang. Dan pasti aku sekali saat akan kalah dan tidur dalam rangkulan kewanitaan Larasati yang vital seperti hutan tropika dan yang mendamba dan mendamba kejantanan gelora alam yang mengguntur dalam awan-awan dan yang menjanjikan hujan muson khatulistiwa .. Tetapi jikalau itu terjadi, pastilah Larasati dan Janakatamsi dan juga Bu Antana serta ketiga anak terkasih tak bersalah itu akan hancur berantakan dalam suatu kekalahan strategis. Bagaikan suatu perang nuklir, yang tidak lagi mengenal pihak pemenang, karena semua pihak akan kalah. Dan kehancuran seperti itu sama dengan bunuh-diri. Aku tidak akan bunuh-diri. Kejantanan justru menghendaki hidup-diri. Apalagi kewanitaan, rahim yang dari bahasa citranya sudah memiliki bentuk ingin menerima, ingin dibuahi demi kehidupan. Dan tidak minta untuk dilukai belaka. Dapatkah semua itu kusadarkan kepada Atik? Tetapi terutama kepada diriku dulu, Setadewa? Kalau Seta cinta pada Atik, ia akan menginginkan pangkuan Atik bukan sebagai lubang luka-Iuka, melainkan gua kehidupan. Memang benarlah bentuknya sama, dua Citra itu. Tetapi kualitas dan makna tidak datang cuma dari bentuk lugu belaka. Setadewa sebagai manusia harus berani memilih. "Kok diam, Mas Teto? Sedang memikirkan apa?" tiba-tiba Atik bertanya memecahkan lamunanku. Inilah saatnya, ya inilah saatnya, begitulah sejelas-jelasnya terilhamkan padaku. Tidak didalam kamar netral, tetapi di sini, di halaman istana bersejarah inilah aku akan membuat perhitungan hidupku selama ini yang tanpa arti, bagi rahim yang pemah mengandungku, demi susu-susu ibu yang pemah memberiku zat-zat kehidupanku yang pertama, demi wajah-wajah dan tangan-tangan yang halus membelai dan memberi getaran-getaran pertama emosiku, yang kelak disepuh lagi menjadi serat-serat karakter kepribadianku, demi ayahku perwira pembangkang kelaliman, keluargaku dan negeriku. "Dik Jon, aku ingin minta nasihatmu." Jana agak terperanjat juga dalam reaksinya. "Lho, apa Mas Seto?" Atik memandang padaku dengan tegang. Barangkali bagi Atik aku ini selalu variabel yang tidak pernah bisa diperhitungkan, tetapi selalu memukau, menarik, sekaligus mengancam. "Dik Jon, sebagai ahli geologi utama di kalangan eselon atas kau kan punya koneksi penting dengan menteri-menteri?" Bukan Jana tetapi Atiklah yang menjawab: "Mas Jon, kau kan kenal semua Dirjen?" ''Ya, saya kenal. Tapi soalnya apa?" Lalu kubentangkan model komputer yang salah menghitung kuantitas produksi minyak mentah. Begitu kompleks dan sulit perhitungan itu, sehingga hanya bagi orang yang langsung berkecimpung dalam inti pimpinan, hal itu kelihatan. ''Aku yakin adanya kesengajaan. 176 Namun tentulah secara hukum hal itu sulit dibuktikan, sebab siapa yang cukup ahli matematika tinggi untuk melihat kesalahan fatal di dalam rumus yang begitu panjang dan rumit? Dan yang totalitasnya hanya diketahui orang yang paling top? Seharusnya ini diperiksa oleh pihak Indonesia. Tetapi negeri ini kan hampir tidak punya ahli matematika." Dengan melompong Jana mendengar uraian-uraianku dan kedua mata indah dari Atik yang membelalak menunjukkan, betapa paham mereka akan komplikasi dan implikasi permasalahan. Reaksi pertama datang dari Atik, ya tentu saja dari dia. Dia yang lebih cerdas. Tetapi, Mas Teto. Ini berarti kau akan dipecatl" "Aku tahu." Erat-erat tanganku diremas-remasnya. ''Teto! Teetoo! Kau sungguh Teto, kau singa!" "Singa yang sudah divonis dan menunggu ditembak." ''Ya, itulah konsekuensinya. Dan kau sanggup mati?" "Aku tidak akan mati. Hanya harus berganti kehidupan. Dari manusia lama menjadi manusia baru." "Teto! Sungguh jantan kau." "Ini bukan soal jantan atau tidak jantan." Atik melihat kepada suaminya, kepadaku lagi, kepada suaminya. "Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Mas Seta," kata Jana perlahan-lahan, "Mas Seta akan saya bantu. Tetapi bagiku hanya sedih, bahwa dengan begitu aku akan ikut serta dengan proses pemecatanmu. "Dik Jon, kau ahli geologi dengan jiwa Palang Merah. Pulau Jawa ini tidak akan subur tanpa sesekali vulkan-vulkan itu meletus. Kalian mengalami Revolusi. Itu ledakan dahsyat yang menyuburkan negeri ini. Tetapi kau dan kau ada di pihak yang menang. Kekalahan pihak ku memungkinkan kemenangan kalian. Aku dulu masuk KNIL tidak untuk mencari gaji soldadu. Bukan juga demi petualangan tentara sewaan belaka. Aku memerangi kalian sebagai pembalas dendam ibuku, yang mengandungku dan yang dirusak kandungannya oleh Jepang. Memang kesalahanku ada pada identiflkasi Jepang dengan Republik Indonesia. Tetapi maaf, terus-terang kukatakan, bukankah banyak dari pimpinan pihak kalian bukan hanya murid, tetapi penerus konsekuen mental Jepang itu? Selama aku jadi menejer perusahaan sesudah perang, aku baru mengenal segi-segi lain dari Jepang yang lebih positip. Tetapi dalam saat kala itu Jepang diperkenalkan pada kita dalam bentuknya yang fasis. Memang aku keliru dalam memilih sasaran, akan tetapi tidak dalam motivasi. Dan motivasiku masih sama. Aku tidak mau mengabdi kepada perusahaan yang pada hakekatnya juga bermental fasis, menipu, merampok dan memaksakan rumus-rumus serta modelmodelnya pada negeri ini; ya, negeri ini adalah Mamiku dalam bentuk lain. Sekarang pun aku akan membalas dendam, bila negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer. Dan inilah saat perhitunganku. 177 Aku tidak gentar, seperti dulu itu aku tidak gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran. Sekarang tidak." Atik hanya memandangku dengan mata yang basah. Bungkam dan tidak mampu mengungkapkan diri dalam emosinya. Aku tahu, ia bangga, ia melihatku sebagai lelaki yang ia idam-idamkan. Tetapi itu perkara lain. Wanita selalu menangkap getaran-getaran radar pribadi dulu. Kami kaum lelaki getaran-getaran perkaranya dan seluruh gerak galaksi. Dan dalam hal ini aku lebih menghadap kepada Jana daripada Atik. ''Aku dapat menjadi perantara," begitu kata Jana sederhana, "tetapi jujur saja aku bukan andalan yang selalu meyakinkan." "Kau akan membantu?" ''Pasti, Mas Seta. Hanya masalahnya masih ada satu. Dan satu ini dapat sangat mempersulit operasi." "Mencari orangnya yang tepat?" "Oh, itu bukan soal. Aku kenal orang-orang yang memegang kunci dalam masalah ini. Kalau perlu sampai eselon yang tertinggi. Tetapi sering soal seperti ini lebih mudah digarap oleh eselon yang jangan terlalu top. Sebab sebelum itu, soal rumus model harus kita check kembali dan itu membutuhkan bantuan ahli. Tetapi tidak hanya ahli. Ahli yang MAU dan BERANI menanggung risiko." "Lho, ini kan demi negeri kita sendiri." ''Ya, betul Mas. Itu seharusnya. Tetapi yang seharusnya dan senyatanya itu kan masih dua soal yang belum tentu klop." "Kau benar Dik Jon. Bagaimana nanti sebaiknya?" Serahkan kepada saya, Mas Seta." Atik masih diam. Tetapi dadanya nampak bergejolak naik turon. Sekali lagi intuisi wanitanya melonjak keluar. "Mas Jon, Sayang, kau juga bisa dipecat." Dan tenang seolah-olah hanya omong tentang roti dan mentega makan pagi tadi ia tersenyum kepada istrinya dan berkata : "Kalau perlu, apa boleh buat." Kulihat mata Atik membelalak. Nah, bagus kau Jon. Sekarang istrimu melihatmu sebagai jantan: "Kau berani Jon, Sayang?" "lni bukan soal berani atau tidak, Tik. lni soal harus (tampak Atik masih belum percaya apa yang dikatakan suaminya). "Begini, Tik. Kalau Teto (padaku) yang kumaksud Seta, anak kami, Mas, Tik, kalau Teto atau Padmi misalnya sedang mainmain di jalan, tersandung di aspal, lalu ada Colt datang menyambar, apakah di sini masih dipertanyakan soal berani atau tidak? Kan spontan kita akan maju dan menyeret Si Teto atau Padmi itu dari bahaya. Barangkali kita sendiri terkena, tetapi itu sudah risiko. Kalau tidak begitu, ya, jangan jadi bapak atau ibu." Senyum dikulum pada Atik. "Mas Teto, aku juga akan membantu." 178 Jana menyambut: "Sebaiknya kau sementara di belakang dulu, Tik. Bukan karena aku tidak percaya padamu, tetapi kita harus strategis kerjanya." Aku membantu Jana: ''Ya Tik, serahkan saja pada suamimu. Dalam perkara gawat ini, Jana sangat tabah." Kulihat pada jam tanganku. Spontan mereka juga berbuat yang sarna. Masih cukup waktu. Tetapi atas usulku kami toh berdiri dan merenung spontan diam kami menuju ke mobil. Meninggalkan halaman yang bersejarah itu. Di pertigaan Jalan Beringharjo kucatat, jam Yogya atau Jakarta sama saja, terlambat hampir tiga jam. Tak mengapalah. Asal masih berjalan. 179 22. Sarang Manyar Baru Ternyata, apa yang sudah diduga semula betul terjadi. Aku dipanggil ke Tokyo dan di restoran lapangan terbang aku diberi tahu oleh boss tertinggi Pacific Oil Wells Company, bahwa aku dipecat dengan tidak hormat. Sinis Boss Besarku berkata melalui hidung (dia punya hidung terlalu besar, sehingga suara selalu melalui saluran samping yang bukan kodratnya untuk bersuara itu) bahwa apa yang kukerjakan itu sia-sia saja. Perbuatan anak puber idealis yang tidak tahu kompleksitas persoalan internasional dan sebagainya dan sebagainya. Dari segi efek terakhir semua itu hanya berakibat kecil. Sebaiknya, sebetulnya, seharusnya, semestinya dan sebagainya, tak pantas dikerjakan orang berkedudukan tinggi seperti aku ini. Bahkan dengan menempatkan orang kulit berwarna pada pos begitu tinggi kan seharusnya aku mengerti bahwa itu salah suatu tanda good-will yang besar dan bahwa sebenarnya, sebetulnya, semestinya dan sebagainya aku harus menghargai kepercayaan yang sudah setulus-tulusnya dilirnpahkan kepadaku. Tetapi ternyata aku ular kobra yang menggigit dari belakang. Dan sebagainya, dan sebagainya, dan seterusnya. Tetapi perusahaannya sudah siap menghadapi itu semua dan toh akhirnya hanya aku sendiri yang mencelakakan diriku sendiri. tanpa efek apa pun. Sebab konsesi masih tetap diberikan, bahkan barangkali abadi, kepada mereka; dan lestari kokohlah kedudukan Pacific Oil Wells Company di mana pun. Bahkan dengan peristiwa semacam ini kedudukan mereka justru lebih kuat lagi dan reputasi internasional mereka bahkan melonjak. Selain itu jangan mengira bahwa di dunia ini hanya ada satu rumus saja. Gugur satu tumbuh seribu, sebab para raksasa pandai dan kuat di dalam sistem seperti ini. Tidak begitu saja bisa diserang semut seperti dalam dongeng, dengan memasuki telinga sehingga mastodon gila dan masuk jurang dan sebagainya. Sebab dunia tehnologi, industri, bisnis dan politik ditambah militer, bukanlah dongeng, tetapi perhitungan dan struktur-struktur elektronika yang tahan digigit semut. Dan bahwa selanjutnya segala kelakuan yang gegabah harus ditanggung sendiri dan sebagainya dan sebagainya. Tetapi walaupun, biarpun, kendati pun semua sudah terjadi, Pacific Oil Wells Company dengan segala kedermawaan masih memberi kesempatan pada Dr. Setadewa, dan ini disetujui oleh seluruh Board Of Directors dan Board of Trustees, bahwa orang yang penuh talenta¹⁾ yang begitu ahli dalam segi komputer perlu diberi tempat yang layak demi kemajuan seluruh planet ini. Sebab kaya atau miskin, kita di planet satu ini, saling tergantung. Kehancuran pihak yang satu akan membawa kehancuran yang lain; dan bahwa Dr. Setadewa masih diberi waktu satu bulan untuk mempertimbangkan tawaran kedudukan yang terhormat, walaupun tidak lagi dalam divisi komputer, tetapi dalam suatu divisi lain: Pengembangan Tehnologi dan Metodologi baru yang akan bermanfaat bagi seluruh bangsa manusia di kelak kemudian hari dan sebagainya dan sebagainya. ¹⁾Dari kata talents, bakat. 180 Jika aku mau, dan selayaknya aku harus mau, mengingat kecerdasan otakku dan sebagainya dan sebagaiya dan bahwa sebagai bukti, perusahaan mereka tidak menaruh perasaan dendam sedikit pun, Sang Big Boss pada musim panas yang akan datang tetap mengundang aku juga dalam suatu liburan menarik di kalangan qualified talents all over the world. Sambil menikmati safari samudera di Kepulauan Oceania. Dan karena itu aku akan selalu welcome di rumahnya di Hawai atau Miami; dan bahwa istrinya juga berpesan untuk menyampaikan salam hangat, bahkan mereka bersedia menanggung biaya segala-galanya bila, ... semoga Tuhan memberkati perkawinan Tuan Seta kelak ... itu seandainya" ... Seketika itu aku, yang sampai sekian hanya diam mendengarkan ocehannya, membendung banjir kata-katanya, dan menuntut agar masalah bisnis jangan dicampur-aduk dengan rnasalah pribadi yang intim. Ia lalu menepuk-nepuk bahuku dengan gaya abang tua persaudaraan lama dan berharap dalam sebulan ini menerima jawaban positif. Sebab kalau negatif, akibatnya akan lebih malapetaka lagi dan sebagainya dan sebagainya. Tetapi percakapan kupotong: ''Farewell!'' Di Halim aku dijemput oleh Jana dan Atik. Selama perjalanan ke Bogor mereka tidak menyinggung hal-hal yang gawat, dan justru karena itulah aku sudah mencium, bahwa ada berita malapetaka yang menungguku. Baru sesudah makan sore di kebun belakang yang luas, di bawah sinar beribu bintang, Atik bercerita, bahwa suaminya, seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, dipecat juga dari segala jabatannya. "Atas alasan yang demi security tidak dapat dikatakan," tambah suaminya. Dan Jana dengan tertawa keci1 masih menambahkan: "Tetapi toh masih dengan hormat. Tetapi tak mengapalah. Hidup kami tidak pernah mewah. Walau dulu pun belum pernah mewah, tetapi menjadi proletar juga tidak. Toh sebagai orang swasta ia masih sanggup bekerja. Hanya ia mengkhawatirkan, bahwa karena suaminya, Atik kelak akan mendapat hambatan juga naik tangga karir. “Asal saja masih boleh mendengarkan burung berkicau, tidak mengapalah," kata istrinya sambil merangkul suaminya. Maka dengan senda-gurau aku bertanya spontan tetapi main api sebenarnya. "Tik, aku tidak mendapat hadiah juga kau rangkul? Aku iri hati pada suamimu." "Oh, bagaimana Mas Jon? Boleh?" "Boleh, asal jangan lama-lama." "Lama atau tidak sih relatip." "Ya, beginilah Mas Seta, nasibku. Selalu saja kalah kalau berdebat dengan adikmu itu." (Adik? Ah, main-main api bahaya lagi. Jiwa petualanganku dengan umurku yang sekian belum lagi sembuh). Atik berdiri dan berlutut di belakang kursiku. Aku didekap dari belakang dan pipinya menyeka pipiku. Bisiknya: "Mas Teto, kau harus selalu bersama kami. Aku membutuhkan Mas Teto. Dan Mas Jon juga butuh kau." Kuseka pipinya yang satu dengan tangan kananku. Tanpa kata, sebab saat itu aku tidak bisa berjanji apa pun. Tiba-tiba aku takut. 181 "Di mana anak-anak?" "Kan tadi sudah minta pamit untuk pesta ulang-tahun pada ternan. Atik tertawa nakal: "Mas Jon, Mas Teto takut anak-anak kita melihat ibunya merangkul oom mereka." "Maka itu jangan lama-lama,” jawab suaminya tertawa. "Kok seperti anak keci1,” kataku hanya untuk menenteramkan jiwaku yang tibatiba terbakar. "Kadang-kadang jadi anak kecil ada baiknya," kata dik Jon. ''Dari mana kau punya slogan itu?" tanyaku dengan tertawa. "Ya, biasa kan. Dari istriku," "Oh, Mas Jon ini. Selalu saja rendah hati. Saya belajar juga dari suamiku, sungguh mas Teto." Aku masih menganggur. Aku telah minta berhenti, dan Pacific Oil Wells Company memberiku surat pemberhentian. Ternyata toh masih dengan predikat terhorrnat. Dengan suatu kattebeletje dari Big Boss. "Formal kita berpisah. Tetapi setiap saat Anda masih bisa kami terima lagi." Mereka membutuhkan ahli, batinku. Soalnya hanya: ahli yang bagaimana. Keesokan harinya aku terbang ke Jawa Tengah. Aku merasa butuh, dengan Mamiku lagi, memohon kekuatan untuk hari depan. Dari Magelang aku membawa pesan dari sahabat lama, dokter tua pensiunan, ayah Dik Jana, untuk anaknya. "Tetapi hati-hati menyampaikannya," begitu pesan dokter tua yang baik dan setia itu. Aku menjanjikannya. Saatnya tidak sulit dicari. Pada suatu Sabtu, aku diundang keluarga Jana (yang sedapat mungkin memang kuhindari selama ini, karena aku merasa masih tidak kebal terhadap pesona kewanitaan Atik). Bersama-sama dengan anak-anak kami akan pergi ke Pegunungan Salak. Atik kenal seorang penjaga hutan di sana dan kami akan berkemah di dalam rumahnya yang sederhana dan yang punya ranjang amben yang luas. Cukup untuk kami semua. Maka berpikniklah kami menyegarkan jiwa, pergi ke lereng Gunung Salak. Atik memang guru yang baik untuk anak-anaknya. Mereka diwarisi rahasiarahasia alam hutan yang relatif masih perawan itu. Dan pengetahuannya sebagai biolog namun terutama sebagai pewaris ayahnya, sangat menggugah hatiku. Kami sanggup diam lama di tengah hutan menikmati alam asli dan bunyi-bunyian dalam suasana yang murni itu. Duduk dan diam mendengarkan. Kadang-kadang sang ibu membisikkan sesuatu kepada anaknya. Terutama Si Padmi, yang kedua, yang mirip sekali dengan Atik ketika masih kecil, sangat mewarisi bakat-bakat ibunya. Kicauan burung sering ramai sekali. Kadang-kadang berhenti bersama-sama. Rupa-rupanya ada burung dari langit menghampiri mereka serba mencurigakan Sesudah lewat, kicauan mulai lagi. Pernah di atas kami tiba-tiba meletus kicauan kacau, seolah-olah burung-burung itu saling mencaci. 182 Atik mengintip dengan teropongnya ke atas. Diberikannya kepada Padmi dan berkata: "Lucu sekali!" “Ada apa?" tanya adiknya. Teto Si Abang diam melihat ke atas. "Mereka menemukan seekor burung celepuk barangkali," kata ibunya. "Celepuk? “Atau uhu, atau kebluk. Ya, selalu begitu. Uhu itu lalu dimakimaki sekenyangkenyang mereka. (Kasihan. Kenapa?) Habis, burung itu nakal. Sering pada malam hari mencuri telur atau bahkan memakan anak-anak yang masih kecil dalam sarang." (Apakah aku burung uhu?). "Lalu mereka maki-maki?" tanya Kris. ''Ya, sebetulnya karena setengah takut juga. Seperti kalau kalian melewati kuburan, takut, lalu berteriak atau nyanyi-nyanyi untuk menghilangkan ketakutan." "Eh …..dengar ! "Kr-kr-twee ! "Heh, Itu lagi,” ciee woo..cice woker-kr-twee…ciee wo … ciee wo… Anak-anak tertawa, semua, sehingga kami kaum tua ikut juga. Terdengar suara burung lain: Kopiii Kopiii! "Kopii, kopii! Mereka minta kopi," komentar Dik Jana. Anak-anak tertawa lagi. ''Tapi ayah juga minta kopi Lho." “Aaah!" Bungkusan dan termos dibuka. "Bisanya cuma menyindir!" kata Atik. Kulihat, bahwa Teto si sulung itu cocok sekali dengan ayahnya; tak banyak omong dan seolah-olah hanya menjadi orang kedua saja. (Ayah seperti aku ini kukira bahkan lebih merusak daripada menolong) . “Ayah dulu," perintah Atik kepada Padmi. "E, tidak. Oom dulu. Selalu tamunya dulu." "Tenma kasih, Mimi," kataku manis. Anak itu kalau tertawa atau tersenyum dengan lesung-lesung di pipi, persis sekali ibunya dulu. Dan matanya juga cerdas nakal. "Ibu, ini Oom senang atau Oom yang senang?" Kurangajar! Atik tertawa tidak ketolongan. "Keduanya," katanya kepada anaknya. Teto jelas bukan Teto aku. Ia mengikuti jejak ayahnya, pendiam, pengalah. "Kau kelak jadi apa, To?" ''Ya, apa ya? Dokter juga bisa." (Nah cocok kan). "Lho," kata ibunya. "Kok dokter juga bisa. Apa persisnya? kok ya bisa." "Habis," jawabnya tenang. "Kalau nggak bisa, masakan bisa." "Kalah kau, Tik," kataku meledek. "Ini namanya Teto, tetapi tidak seperti Oom Teto." "Kok lucu,” komentarnya tenang sambil memakan roti sus dengan caplokan yang besar. Dan dengan mulut penuh ia berkata kepada roti yang tinggal separuh: "Memangnya bukan Oom Teto kok disuruh jadi Oom Teto. Lucu." "Kalah lagi ibunya," begitu aku membakar. 183 Teto melihat padaku dan mengerdipkan mata. Padmi adiknya membela ibunya: ''Persis itu tidak sama dengan menjadi. Persis kunyuk itu bukan kunyuk." "Siapa yang kunyuk?" tanya kakaknya tenang. Ayahnya memisah: "Makan dan omong, jangan kedua-duanya bersama-sama. Tidak sedap untuk dilihat." "Sedaaaap!" komentar Kris si bungsu. Tiba-tiba terdengar seperti ada orang tertawa: Hi-hii-hii!! "Heh, siapa itu?" tanya sang Bungsu. Ibunya memberi isyarat jari di muka bibir, agar semua diam. "Itu burung kuda." "Kok seperti orang tertawa. Tunggu, nanti ada lainnya. Betul. Ada beberapa ekor burung lain yang bersama-sama "tertawa" seperti sekelompok nenek sedang arisan, "hihihi .... " "Kok seperti mengejek tertawanya itu, kurangajar ya Bu?" tanya Padmi. ''Ya, begitu." "Hihihi .... Teto mendukung suara burung-burung itu "Hihi-hihihi ..... "Eh, Mas Teto!" Dan semua anaklalu meniru. "Hihihi .... " Ketawa anak-anak itu menjalar sungguh. "Di Sumatra atau Kalimantan bahkan ada burung, anggang gading namanya, karena paruhnya panjang dan bendolan seperti gading ada pada paruhnya. ltu burung lebih menggelikan, kata ibunya. "Begini ketawanya: u-u-u-hahaha." "Uu-u-hahahaha," anak-anak menirukan ibu mereka. ''Betul Bu, burung itu tertawa?" ''Ya, sebetulnya tidak tertawa, tetapi suaranya seperti tertawa geli dan benar-benar renyah menyenangkan sekali." Padmi: "Oom. Oom Teto? Besok Oom ke Sumatra dan carikan burung, apa Bu namanya tadi." ''Anggang gading." ''Ya, anggang gading untuk kami." "Nanti kalian tidak bisa belajar. Hanya uuu-hahaha saja." ''Biar, kan tertawa itu baik," komentar Teto cilik. ''Ya, kalau tertawa terus ya sinting," tambah Padmi. "Nah, mengapa kau tadi minta Oom mencarikan burung ganggang gading tadi?" tanya Teto hanya untuk menyerang saja. ''Anggang gading. Bukan ganggang. Goblog." "Heh, Padmi. Tidak boleh ya menggoblog-goblogkan abang." "Menggoblogkan adik juga tidak boleh, ya Pap,” tambah Kris. "Siapapun tidak boleh digoblog-goblogkan." Padmi: "Lha, kalau memang goblog, bagaimana?" Karni semua tertawa. "Sini Padmi. Duduk di pangkuan Oom Teto!" Padmi manja duduk di pangkuanku dan kudekap anak yang mirip Atik ini. Ibunya sepetti iri melihat anaknya, memandangku. 184 "Eeh," kata Teto sulung. "1bu iri." Spontan ia dipukul oleh tangan ibunya. ''Papi, ibu iri." "Boleh-boleh saja;' komentar ayahnya. ''Ah, kalau begitu saya juga iri." Dan langsung ia duduk di atas Padmi, yang tentunya marah besar mengusir kakaknya. "Sudah sana, anak-anak dolan ke sana dulu. Oom Teto dan Ibu mau bicara-bicara soal penting." "Kami tidak boleh mendengarkan?" tanya Padmi. "Tidak," kata ibunya. ''Ya sudah,” komentar Teto. "Kris juga tidak boleh mendengar?" ''Boleh, tetapi sebaiknya kau dolan dulu ke sana. Asal jangan jauh-jauh." ''Aku ikut !" kata ayah meteka yang lalu betdiri. Kris digendong dan pergilah mereka meninggalkan aku, berdua dengan Atik. Lama kami tidak mengucapkan kata. Hanya suara-suara burung di hutan itu yang mewakili kami. Mata Atik menghunjam ke tanah. "Tik, aku minta maaf mengenai kemarin malam itu." "Kau tidak salah. Aku yang meminta." "Saya hanya ingin berterima kasih katena yang satu itu kau tolak "Saya tidak menolak. Saya selalu mendambakannya. Tetapi saya teringat anak-anakku." Kami diam. Mata kami saling berpandangan. "Kalau begini terus Tik, semua akan rusak." "Salahku ... " Tidak. Tentang siapa yang salah, kukira kita tidak berhak menentukannya." ''Jana sudah tahu?" Atik mengangguk-angguk. "Sudah sejak awal sebelum kami kawin." Aku diam. Mata Atik memandangku lagi dan sepetti sayu ia betkata: "Suamiku sebenarnya lebih ayah dari pada suami. Apa saja yang kurasa baik ia setuju. Dia terlalu baik. Tetapi barangkali … barangkali aku memang membutuhkan seorang ayah. Tetapi ah ... juga sekaligus seorang abang yang kuat." Tanpa sadar: "Teto, tetaplah betsama kami. Aku membutuhkan abang yang lebih kuat dariku." ''Aku tidak akan kuat lagi. Tadi malam buktinya." ''Ya, tetapi kan belum yang terakhir." ''Yang tetakhir selalu melalui yang sebelum terakhir. Aku lelaki. Aku tahu keterbatasanku." "Tetapi seandainya suamiku boleh? 1a mampu memahaminya." "Suamimu bukan wanita. Aku lebih tahu bagaimana perasaannya. "Teto, aku dan dia membutuhkan kehadiranmu. Kan kau lihat sendiri, bagaimana kami berdua sudah saling mendekati dan lebih saling memahami. Saya takut kalau kau tidak ada, kami renggang lagi." 185 "Tik,” Dan aku berlutut menghampirinya. Wajahnya kuurut dan matanya nanap mendamba terpaku pada mataku. ''Aku takut Tik." Aku dirangkulnya kuat-kuat. "Dari dulu aku selalu merana kalau kau tidak ada. Sekarang kau kembali dan sekarang kau mau pergi lagi? Lalu aku bagaimana?" "Kita jangan mempersoalkan sang Aku, Tik, tetapi anak-anak. Itu kata nurani. Walau hati betkata lain." Lama mata basah itu memandangku. ''Jadi kita hams betpisah?" Apa ada jalan lain?" Ia kulepas dan ia memandang ke tanah. Bergumam: "Jalan lain ... jalan lain?" Tetapi bergejolak lagi, karakter Larasati dalam dirinya: "Teto. Mengapa kau kok dapat kuat sepern itu? Kau kuat, Teto, kau sangat kuat. Dan aku selalu kagum pada lelaki yang kuat." "Suamimu lebih kuat." "Mas Jana? Ooh ... dia baik, tetapi lemah. Akulah yang selalu meminpin.” ''Apa kau kira orang yang dipimpin itu selalu lebih lemah?" Matanya bening dan lebar penuh pertanyaan. Kuteruskan: "Jana tidak dipimpin. Dialah yang memimpin, Atik. Hanya kau yang tidak tahu. Susahnya kau wanita terlalu pandai. Tetapi terlalu emosi juga." ''Apa salahnya?" ''Bukan soal salah. Memimpin tidak selalu dengan komando, Tik. Kualitaslah yang memimpin, dan kualitas sering menang tanpa kata. Kau mestinya harus tahu itu." "Mas Jon ...” ''Ya, ia memimpin seperti Alam Raya ini. Tanpa kata. Seperti karakter. Dengan pengertian. Dengan kekuatan, apa katamu dulu? Dengan jatidiri dan bahasa citra." Atik mulai menangis lirih. ''Tik, sekali saat kau dan kita semua harus belajar. Aku sudah belajar. Aku seorang kaum pemegang senjata, kaum penata prosedur komputer. Suamimu ahli geologi, tetapi berjiwa Palang Merah. Palang Merahlah yang lebih panglima daripada senjata api. Sebab apa? Karena Palang Merah memberi hidup, sedangkan senjata merenggut dan memperkosa hidup. Ia lebih jantan dariku, Tik. Kejantanan manusia bukan kejantanan rimba ini. Tik, kalau kau cinta padaku, cintailah suamimu."Atik merebahkan diri dalam pangkuanku dan menangis tersedu. Lalu kau ke mana? Lalu kau ke mana? Teto, ke mana kau?" Aku diam. Entahlah, aku pun tidak tahu. "Tik, aku tidak tahu." "Lalu akan mengambang saja dengan angin?" "Boleh jadi." ''Teto kau akan kawin nanti?" "Boleh jadi." "Sudah ada ... ?" Aku tersenyum dan membelai rambutnya. ''Belum.'' ''Belum?'' 186 "Belum. Atau boleh jadi: tidak akan ada." Ia merangkulku lagi. Hangat tubuhnya, masih vital. Mari Kepalanya kuangkat dan kucium dia pada pipinya, pada telinganya. Hangat, bernafsu. Tetapi ketika aku menghampiri bibirnya, ia menolak. "Saya akan mengikuti nasihatmu, Mas Teto. Hanya kalau ada apa-apa, kami jangan kau tinggalkan." Ia mulai membetulkan rambut dan sanggulnya, blusnya. Dan dengan memandang aku ia toh masih menawarkan diri. "Kau boleh menyeka dadaku, Mas Teto. Boleh." Payudaranya tidak kusentuh. Tanganku mengulur ... sangat ingin ... toh tak berani ... aku hanya menyeka pipinya. Kedua belah tanganku merangkum wajahnya yang tersenyum. ''Aku bukan orang kuat Atik. Kau pun juga tidak. Kita harus saling menjaga, justru karena kita bukan orang kuat." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau kuat, Mas Teto." ''Jana lebih kuat." Ia mengangguk, air-matanya berlinang, bahagia. "Setuju?" Ia mengangguk lagi. "Maka jagalah dia juga. Orang kuat juga harus kita jaga." Ia mengangguk dan senyumnya penuh damai. "Mari kita mencari mereka." Kami kumpulkan termos dan segala yang belum terbawa anak-anak. Keranjang kubawa dan ia berjalan di mukaku pada jalan setapak. ''Tik, aku masih punya pesan dari ayah mertuamu." “Ada apa?” "Ia masih punya permintaan yang sudah lama ia dambakan. Agar masih dapat mengalaminya, sebelum ia meninggal: Jana puteranya, diharapkan tahun ini naik haji." "Naik haji? Untuk apa?" ''Jangan kita bertanya untuk apa. Menggembirakan hati orangtua yang tidak lama lagi akan meninggalkan kita, kan alasan cukup." ''Ya, tetapi biayanya, siapa yang membayar. Sejak suamiku diberbentikan, kami harus menghemat setiap rupiah. Dikira berapa gajiku? Doktor maxima cum laude sekali pun? Dinas kami bukan tempat yang basah, walaupun banyak mencakup daerah rawa-rawa." "Kalau itu soalnya, aku masih punya tabungan sedikit." Ia membalik dan memegang tanganku. Lagi kedua matanya itu memancar. Aku selalu lemah kalau menghadapi mata Atik. "Kalau kau malu diberi uang gratis, boleh juga sebagai kredit;' kataku. "Aku tahu, pasti kau tidak mau dibayar kembali." "Kalau itu demi menjaga gengsi dan harga-diri kalian, pasti aku mau menerima pembayaran kembali." Ia menggelengkan kepalanya. “Aku tahu kau tidak akan!" ''Ya sudah, terima saja sebagai hadiah. Sebagai hadiah perkawinanmu. Dulu kan saya tidak hadir dan tidak memberi selamat satu kata pun. 187 "Ketika itu aku terkenang padamu." "Memang kau kepala batu," tawaku. "Kau juga. Bagaimana ayah-mertua? Artinya apa dia menyinggung aku harus ikut?" Itu merdeka. Yang penting baginya, suamimu" ''Bagaimana pendapatmu? Aku hams ikut apa tidak?" ''Jalan terus saja, Tik. Mereka sudah lama menunggu." "Mas Jon sudah tahu?" "Tentu saja sudah kusampaikan pesan itu. Kemarin malam." “Apa katanya?" ''Persis seperti yang kau katakan." "Sungguh?" "Pernah aku bohong?" ''Pernah ... tapi hanya bohong-bohong kecil." "Lalu bagaimana Mas Jon? Dia menginginkan aku ikut?" "Harfiah dia memberi kebebasan padamu." “Ah, harfiah. Kalau kiasan bagaimana?" "Tidak ada kiasan." “Artinya, di bawah-sadar?" “Aku tidak tahu bawah-sadar orang lain. Kalau bawah sadarmu aku tahu." Ia membalik lagi dan mengecup pipiku. "Sebetulnya poliandri itu boleh!" katanya tiba-tiba bergurau. "Eh, jangan dijadikan gurauan hal-hal begitu" "Habis, itu perasaanku. Kau jujur padaku. Api aku tidak boleh jujur padamu"" "Hanya padaku dan ... pada suamimu. Jangan pada orang lain. Tentang hal-hal aneh seperti itu tadi." "Tentu saja. Apa kau kira aku gila?" "Sering aku memang mengira begitu." Ia membalik lagi. Dan dikecup pipiku yang lain. "Nah," tertawaku, "ini lagi buktinya." Ia membalik lagi dan mengecup lagi pipiku yang lain. "Sudah, Tik!' kataku agak keras. ''Jangan seperti anak kercil!" "Kadang-kadang kan boleh!" "Sekali lagi, jangan!" kataku lebih keras lagi. Ia menoleh: "Kau marah?" Ya,” kataku pendek dan memang aku serius. "Oh, maaf, Teto." Tetapi ia toh bergumam kurang ajar: ''Dicium kok marah. Siapa yang gila?" Dalam hati aku tertawa juga merasa termanja. Tetapi sungguh, permainan begini tidak boleh diteruskan. "Bagaimana pendapatmu?" ia tanya lagi. "Pendapatmu, aku harns ikut berjemaah haji atau tidak?" "Kau tanya?" 188 “Ya, kan saya bertanya, tidak menguraikan." "Tanya nasehat?" “Ya, tanya nasehat tentu saja. Kau masih marah, kok begitu aneh reaksimu." "Ada maksudnya. Kalau nasehat saja, yang boleh diterima boleh dibuang, aku tidak mau memberi nasehat." la membalik dan menyelidik memandang nanap manik mataku. "Omongmu kok aneh?" "Omong biasa kok aneh. Siapa yang aneh." "Apa kau kehendaki aku dikomando?" "Boleh jadi begitu." “Ya sudah, aku disuruh apa." "Kau sebaiknya ikut." ''Dengan uangmu tentu saja?" "Tentu saja." la diam. la diam ... lalu tegas. "Baiklah." "Terima kasih." "Terima kasih apa. Karni yang harus berterima kasih." "Sama-samalah. Menerima kasih dan memberi kasih itu perkara yang satu-tunggal. Tanpa ada yang menerima, orang juga tidak bisa memberi. Maka menerima kasih sekaligus juga memberi kasih, karena memungkinkan orang lain memberi kasih." "Kok pintar kau, ya Teto. Dari mana semua teologi itu?" ''Ini bukan teologi. lni konkrit." Suara anak-anak sudah terdengar. Mereka menuju ke kali sangat bening yang kami seberangi tadi. "Mas Teto, untung ya kita bukan suarni-istri." "Kau omong aneh apa lagi ini?" "Tidak. Kalau cinta suami-istri itu kan datar-datar saja. Kalau mencintai yang bukan suaminya kok lebih hebat rasanya." "Kau doktor biologi hebat, tetapi tolol sekali soal perkawinan." "Memang, diakui saja." Perwira di medan perang wajib berhitung dan memperhitungkan. Sama juga kepala divisi komputer kongsi besar. Bahkan seluruh ada perilaku semesta galaksi jelas eksak, dan pada prinsipnya dapat dihitung. Tetapi berkali-kali manusia, paling tidak aku, Setadewa, dihadapkan pada sesuatu X mahadalam yang mengejek halus namun murni. Seperti wajah anak tersenyum atau berlinang airmata, yang bertanya: masihkah kau ingin menghitung? Panjang-lebar mata kanak-kanak dapat diukur, memang, tetapi pancaran cerlangnya? Dan bobot makna setetes air-mata? Dengan apa itu mau diukur? 189 Jarak perjalanan Atik dan suaminya ke Mekkah-Medina dapat diukur pula; juga harga tiketnya berapa. Eksak, jelas, memuaskan seorang doktor dan bekas komandan perang. Tetapi bagaimana harus kunilai berita radio yang mewartakan, bahwa pesawat terbang Martinair yang ditumpangi Atikku dan Jana, pada suatu dini pagi yang khusus terjamah tangan Tuhan, menabrak bukit di dekat Kolombo, Sri Lanka sana? Tuhan yang memberi. Tuhan yang mengambil. Terpujilah selalu namanya yang Kudus. Aneh, ketika kudengar berita radio itu dan kubaca peneguhannya dalam telegram Departemen Perhubungan, aneh sekali, ya sungguh aku heran sendiri, aku tidak terkejut. Seolah-olah musibah seperti itu secara terselubung dibawah-sadarku sudah juga "kuperhitungkan"; tinggal sekarang terkupas. Bagaimana keterangannya aku tidak tahu; sesuatu yang mendadak ini mengapa tidak terasa mendadak? Aku tidak berteriak, aku tidak menangis atau mengeluh. Aku tidak apa-apa selain diam ... ya diam. Barangkali bahkan tersenyum walau tipis tentu. Seolah-olah sudah selayaknyalah bila jalan hidupku selalu harus melalui ketidaktercapaian. Tetapi terlonjak juga sebentuk rasa iri pada Atik, si dia yang sebenarnya dapat dikatakan selalu berhasil; sampai kematiannya pun sebetulnya bernasib untung: gugur dalam perjalanan ziarah ke Tuhan; dalam ulah sikap indah, sukarela mendampingi suami demi kecintaannya dan demi pemenuhan harapan terakhir ayah mertua. Dinalar komputer dingin, kematian fisik dalam kecelakaan pesawat terbang yang begitu dahsyat tidak sangat menderita sakit. Pingsan seketika pasti dan selesailah sudah dalam fraksi detik. Ketimbang kanker ganas misalnya atau invalid tanpa tangankaki. Yang menderita yang ditinggalkannya, ketiga anak mereka. Aku bukan pahlawan, tetapi kali ini pun aku tak gentar menderita, karena sedikit banyak aku telah ditempa oleh kepahitan dan kegagalan. Dan juga karena kenanganku pada Atik yang teramat indah. Kenangan dapat berbahaya selaku nostalgia kosong. Akan tetapi kenangan indah dapat hadir selaku kekuatan yang tiada tara. Lagi, kenanganku pada Atik tidak kosong, sebab dalam si kecil-kecil Teto, Padmi dan Kris, Atikku masih hidup segar. Ah ya,Jana. Ternyata sudah betul, Atik kawin denganmu! "Berhitungnya" misteri hati dengan hati memang di seberang jangkauan matematika si doktor yang kini dengan ikhlas mengakui kekalahannya. Tak banyak lagi yang perlu kuceritakan. Ada saatnya cerita manusia harus disinambungkan ke dalam perjalanan riwayat yang serba diam ... dalam keheningan yang sebenarnya bahkan serba kebak kepenuhan. Ya, memang hati duda sangat sering merasa sepi sunyi sendirian. Tetapi untunglah Tuhan Yang Mahapemurah masih sudi memberi kesejukan bagi siang dan petang kurun hidupku; atas persetujuan keluarga dan atas permintaan ayah Jana, (tidak lama sesudah peristiwa sedih Kolombo beliau pulang ke Rahmatullah), ketiga anak Atik kuangkat jadi anakku. Hadiah yang terindah dati Atik dan suaminya ingin kujaga dan kuantar ke hari-depan mereka yang sesuai dengan jati-diri dan bahasa citra yang sebening mungkin. Akhirnya toh haridepan harus mereka tata sendiri kelak, menurut keyakinan panggilan hidup mereka masing-masing. 190 Aku hanya ingin memberi bekal kenangan yang seindah mungkin. Tidak lebih dari itu. Aku dulu anak kolong. Sekarang aku masih juga, tetapi anak Kolong Langit. Jujur kukatakan, masih sering dalam kesepian tawar dan sunyi kering kedudaanku aku bertanya diri: mengapa jalanku harus melalui ketidaktercapaian? Tetapi bila aku melihat Si Teto kecil, Padmi terutama dan Kris, sedikit aku dapat menangkap sasmita kupu-kupu yang memekar dan terbang hanya untuk sebentar lagi mati. Bahasa citra kupu-kupu atau kicauan burung berwarta, bahwa segala dedikasi mereka adalah demi si telur-telur. Sahabat-sahabatku, khususnya John Brindley, tak henti menganjur-anjurkan, sebaiknya aku mengambil istri lagi. Ketiga anak-anak itulah yang membutuhkan seorang ibu. Kuakui, itu benar. Tetapi Bu Antana sudah cukup jasanya, sebagai nenek sekaligus ibu bagi mereka. Kuakui, hanya untuk sementara memang. Ataukah karena aku masih belum berani mengorbankan citra terakhir yang paling indah dari sejarah hidupku, citra Atik? Ingin itu kutanyakan pada burung-burung manyar. Tetapi sekarang sudah jarang kulihat mereka .. Magelang, 6 mei 1979 Setadewa 191 Sebuah Roman Y.B. MANGUNWIJAYA Burung – Burung Manyar Mendapat pengahargaan Tulis Asia Tenggara 1983 SOUTH EAST ASIA WRITE AWARD 1983 Pengarang cerita ini memperlihatkan pengetahuan dan pengalaman yang banyak serta pengetahuan tentang manusia yang mendalam. Nadanya di sana-sini humoristis, kadand-kadang tajam mengiris. Ia menganlisa diri dan mengejek diri tak tanggungtanggung, suatu tanda kedewasaan jiwa. Bahasanya segar dan gurih, ngelotok, kontemporer. Isinya penuh pengalaman dahsyat, keras dan kasar, tapi juga romantik penuh kelembutan dan kemesraan. ( H.B. Jassin ) Y.B. Mangunwijaya dengan novelnya Burung-burung Manyar mencoba melihat revolusi Indonesia dari segi yang obyektif bahkan agak cenderung melihatnya dari segi Belanda, dengan memasang protagonis orang Indonesia yang anti republik. Nilai buku in terutama terletak pada keberanian pengarang untuk mengisahkan konflik jiwa seorang anti republik semasa revolusi, segi informasinya tentang kehidupan tentara KNIL dan gaya humor pengarang kadang-kadang terselip ejekan yang yang penuh kejutan. ( Jakob Sumardjo ) Dengan bahasa yang khas “mangunwijayaan”, kata-kata majemuk berkadar tinggi untuk menampilkan sebanyak mungkin makna; Lucu dan sarat sindiran, novel ini mengungkap kepalsuan sekaligus “jatidiri dan citra pengungkapan” manusia. Lalu novel ini menutup diri dengan kesimpulan yang kaya makna, yang tak layak dikemukakan lain daripada apa yang tertulis pada bukunya. (Parakitri, harian kompas) Karya sastra yang besar selalu menghimbau angan-angan kita untuk bergerak dengan leluasa di dalam ruang jagatnya. Untuk menemukan makna bagi kehidupan kita sendiri. Burung-burung Manyar telah sanggup memberikan makna itu. ( Subagio Sastrowardoyo, Tempo ) Banyak hal yang menjadikan buku ini menarik. Bukan saja gaya bercerita Y.B. Mangunwijaya yang khas, bahasanya yang hidup dan mampu membawa pembaca ke alam pikiran sang tokoh. Juga bulan lembaran sejarah yang dibuka kembali, dengan titik pandang yang hingga kini jarang ditemukan dalam sastra Indonesia….. ( Mariane Katopo, Sinar Harapan ) Selain kaya dan dalam, dipandang dari sudut pusat pengisahan, roman ini menarik. Cara menghadirkan tokoh pun diperhitungkan dengan cermat. ( Th. Sri Rahayu Prihatmi, Universitas Diponegoro ) Sebuah Roman Y.B. MANGUNWIJAYA Burung – Burung Manyar Dipersembahkan kepada Ayah - Ibu tak terkenal para pejuang Copyright © pada Djambatan Anggota I K A P I Cetakan pertama, Agustus 1981 Cetakan kedua, Desember 1981 Cetakan ketiga, Juni 1983 Cetakan keempat, Maret 1986 Cetakan kelima, Oktober 1988 Cetakan keenam, Agustus 1993 Cetakan ketujuh, Oktober 1996 Cetakan kedelapan, Agustus 1999 Cetakan kesembilan, Oktober 2000 Cetakan kesepuluh, Juli 2001 Cetakan kesebelas, Agustus 2001 Cetakan kedua belas, Agustus 2003 Cetakan ketiga belas, Mei 2004 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan ( K D T ) Mangunwijaya, Y.B. Burung - Burung Manyar : Sebuah Roman / Y.B. Mangunwijaya--Cet. 13 - Jakarta : Djambatan 2004 Viii, 319 hlm. ; 21 cm I S B N 979-428-528-5 I. Judul. 346.7 Percetakan Ikrar Mandiriabadi Isi VI VII BLENCONG PRAWAYANG 3 9 22 29 BAGIAN I : 1934—1944 1. Anak Kolong 2. Anak Emas 3. Buah Gugur 4. Kuncup Mekar 35 44 48 58 62 70 75 83 97 BAGIAN II : 1945—1950 5. Anak Harimau Mengamuk 6. Merpati Lepas 7. Singa Mengerti 8. Banteng-banteng Muncul 9. Elang-elang Menyerang 10. Macan Tutul Meraung 11. Ayam-ayam Disambar 12. Cendrawasih Terpanah 13. Burung Kul Mendamba 105 118 129 137 142 153 159 171 180 BAGIAN III : 1968—1978 14. Jurang Besar 15. Firdaus Kobra 16. Nisan Perhitungan 17. Gunung Rawan 18. Aula Hikmah 19. Pendopo Perjumpaan 20. Rumah Pertanyaan 21. Istana Perjuangan 22. Sarang Manyar Baru V Blencong Pementasan wayang kulit tidak akan bisa dinikmati jika layar atau kelirnya tidak diterangi blencong. Maka, meminjam istilah blencong itulah, roman sejarah berjudul Burung-Burung Manyar karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya alias Romo Mangun ini kembali kami terbitkan. Kali ini untuk cetak ulang yang ke-13 kalinya. Maksud pencetakan ulang ini tak lain untuk memberikan blencong—dalam arti pencerahan—kepada para pembaca tentang berbagai kemungkinan cara pandang atas sejarah. Roman sejarah ini, menggambarkan tentang perspektif atau cara pandang yang berseberangan dengan pandangan yang berlaku umum tentang siapa pejuang dan siapa pemberontak. Semakin merasuk ke dalam bangunan cerita dari karya besar almarhum Romo Mangun ini, pembaca niscaya akan terpengaruh oleh berbagai argumen, realita ( dalam karya ini ), dan sejumlah konflik batin yang akan menjelaskan mengapa Seto tetap memilih pro-Belanda. Dengan sudut pandang “pro-Belanda”, Romo Mangun membangun cerita ini secera jujur dan apik. Tampaknya Romo Mangun sedang menunjukkan kepada pembaca tentang adanya pandangan lain, bahkan berseberangan, atau makna kepahlawanan, loyalitas, dan cinta tanah air. Jakarta, April 2004 VI Penerbit Prawayang Nun di kala itu, di Widura Kandang negeri Ngamarta, tumbuhlah si gadis gesit bagaikan burung prenjak; Rarasati atau Larasati namanya. Teremban kehangatan asuhan cinta arif sang ayah Antapoga, gembala ternak istana, dan istrinya Nyai Sugopi, gadis Rarasati memekar. Hatta kisah berwarta, pondok Antapoga menerima tugas mulia namun berat, dijadikan tempat berlindung putera puteri Sri Baginda Raja Basudewa dari negeri Mandura, ialah Kakrasana dan Narayana berserta adik perempuan Rara Ireng. Ketiga anak raja itu diungsikan karena terancam terbunuh oleh abang tiri jahat, Kangsa. Kakrasana, wahana wahyu dewa Basuki, dewa naga penopang Bumi Raya, adalah mahluk seta. Artinya serba putih darah, daging, serta segala-galanya sampai ke tulang maupun sarafnya; sedangkan Narayana, wahana wahyu dewa Wishnu, justru hitam legam tulang, daging, darah, saraf dan segalanya. Namun mereka berayah satu, raja Basudewa. Serba indah dan berbahagialah masa kanak-kanak ketiga putera puteri raja itu di Widura Kandang bersama Rarasati, bunga padang merdeka. Rarasati kelak dipersunting pahlawan Arjuna. Begitu juga Rara Ireng, yang setelah dewasa bernama Sumbadra. Narayana selaku raja Kresna negeri Dwarawati menjadi ahli siasat utama para Pendawa. Naumun Kakrasana yang seta, yang bergelar raja Baladewa, memihak Kurawa. Demi kesetiaannya kepada Herawati, istrinya, dan ayah mertua, raja Salya dari Mandraka yang merasa wajib berpihak kepada para Kurawa, agar kerajaan Ngastina jangan pecah. Namun dalam lubuk hati raja Salya maupun Baladewa, kecintaan kepada para Pandawa tidaklah pernah berhenti berpijar. Tetapi apakah Baladewa benar-benar akan memihak Kurawa dalam medan laga total Bharatyudha Jayabinangun, artinya “ Kejayaan dibangun secara sejati “? Maka terdengarlah warta “ Kresna mengilhami abangnya yang seta itu untuk bertapa di Grojogan Sewu (Seribu Air Terjun). VII Bagian I 1934 - 1944 1. Anak Kolong Pernah dengar “anak kolong” ? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli totok. Garnisun II Magelang (ucapkan: MakHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah bilang totok. Jadi KNIL¹⁾ Jelas kolonial, mana bisa tidak. Papiku loitenant ²⁾keluaran Akademi Breda Holland. Jawa! DAN Keraton! Semula tergabung dalam Legiun Mangkunegara. Tetapi Papi minta agar dimasukkan ke dalam slagorde Langsung di bawah Sri Baginda Neerlandia ³⁾saja; Ratu Wilhelmina kala itu. Tidak usah dibawahi raja Jawa. Terua terang Papi tidak suka pada raja-raja Inlander, walaupun konon salah seorang nenek canggah⁴⁾atau gantung-siwur ⁵⁾ berkedudukan selir ⁶⁾ Keraton Mangkunegaran. Soalnya, papi suka hidup bebas model Eropa dan barangkali itulah sebabnya juga, ibu kandungku seorang nyonya yang, menurut babu-babu pengasuhku, totok Belanda Vaderland ⁷⁾ sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak percaya. Itu akibat kesalahan kawan-kawan sepermainan di garnisun, ya anak-anak kolong yang tersohor kasar ¹⁾ KNIL: Koninklijk Nederlands Indisch Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). ²⁾ Dari kata luitenant (Bld): letnan. ³⁾ Nederland. ⁴⁾ Nenek dari Nenek. ⁵⁾ Ayah atau ibu dari canggah. ⁶⁾ Istri tak resmi, istri muda. ⁷⁾ Negeri Belanda; secara harfiah: Negeri Bapak. 3 dan tak tahu adat itu; yang blak-blakan sering mengindoktrinasi, bahwa aku ini anak Jawa Inlander belaka. Sama seperti mereka. Makanya jangan sok dan sebagainya. Dan kulit Mamiku putih kulit langsep mulus; nah itu justru bukti Mami bukan totok. Sebab orang Belanda berkulit merah blentong-blentong seperti genijk anak babi. Keterangan kawan-kawanku brandal itu bahkan membuatku bangga, sebab untuk anak normal, kehidupan brandal anak kolong Inlander jauh haibat daripada menjadi sinyo Londo ¹⁾ yang harus necis pakai sepatu, baju musti harus putih bersih dan segala macam basa-basi yang membuatnya menjadi marmut dalam kurungan. Bersama anak sersan, kopral dan sepandri ²⁾ yang selalu hitam dan berkulit ternoda luka-luka di mana-mana, aku benar-benar bisa mengalami firdaus: berenang di selokan tangsi (telanjang bulat dong! Masakan pakai celana beledu dan topi matrus ³⁾ yang airnya lezat berwarna coklat “van Houten’s cacao”, segar dan nyaman menghanyutkan (pakaian diikat di atas kepala) melalui kampung Bogeman, terus ke Pecinan dan muncul di jembatan di muka Pasar Besar. Mana sinyo totok bisa. Lalu cepat berpakaian, tentunya serba setengah basah dan “sipatkuping” ⁴⁾ mengejar, lalu hat-hati membonceng di belakang “motor tai”, jakni mobil tangki kotapraja yang di mana-mana menyedot dari tangki-tangki septik WC umum. Enaknya aduhai putar-putar kota Tidar entah sampai ke mana. Lantas tibatiba bertemu suatu pasukan KNIL yang berbaris dengan tamabur dan terompet, haah, ini dia! Loncat turun dan ikut berbaris di belakang mereka sambil menikmati gerak ayunan para Bapak ¹⁾ Belanda. ²⁾ Dari kata Vaandrig (Bld): serdadu klas I, belum kopral. ³⁾ Dari kata matroos (Bld): kelasi. ⁴⁾ Lari tunggang langgang. 4 Kolong itu yang, wahai, haibat iramanya. Seperti dikomputer. Drèng! Dèrèng…dèrèng dèndèng! Nanti makan dèndèng cèlèng! Si Pak Kopral muka bopèng! Si Mbok Kopral kulit srundèng! ¹⁾ Drèng! nDerèng-derèng Dèndèng! Sering aku menepuk pinggang sersan komandannya yang semua kami kenal. Ia hanya melirik saja, mulut agak memulur tersenyum tak kentara. Disiplin dong! Tentara Kerajaan dikira apa. Tentu saja Mami sama sekali tak suka dengan kekolonganku. Maklumlah, anak letnan Kerajaan yang bersekolah si Sekolah Dasar Kaum Eropa, masih ningrat Keraton bahkan Surakarta segala, kok telanjang di selokan kebak tai; tanpa sepatu keluyuran dengan anak-anak kolong kampungan. Sampai hitam Dayak aku ini (Mami tidak tahu, orang Dayak kulitnya kuning seperti Mami) malu ah! Dan setiap aku pulang, terlambat tentu saja, aku dihukum Mami. Tidak boleh makan poding panili lezat sesudah makan. Tetapi kalau sore hari aku merengek minta poding jatahku itu, toh Mami memberinya juga. Jadi tak mempan juga ilmu pendidikan Mamiku itu. Memang Mami jelas tak punya sistem pendidikan yang berdisiplin. Nah, itu bukti kedua, Mami bukan totok. Bukti ketiga: Mami suka pada segala hal pedukunan dan takhayul atau mistik. Bukti keempat, dan ini yang paling meyakinkan: Mami sangat cantik. Biasanya nyonya totok tidak cantik. Barangkali cantik juga, tetapi untuk ukuran sana, negeri kincir-angin dari kayu. Untuk ukuran negeri pohon kelapa, di mana lalat-wilis pun biru-hijau keemas-emasan pantatnya, maaf, tidak. Dan bahwa Mami cantik, itu sangat perlu untuk aku anaknya. Sebab terus terang saja Papi blo’on tampangnya. Gagah memang, beliau itu. Apalagi kalau berkunjung ke istana. ¹⁾ Lauk pauk terbuat dari kelapa goreng. 5 Sedangkan Papi yang sawo matang dan raden mas ningrat tampak lebih senang di luar tembok istana. Tetapi itu barangkali karena Mami merasa setengah ratu di Mangkunegaraan. Disembah para abdi dalem dan tersanjung oleh para wanita istana yang terkenal cenderung progresip Barat. Gusti Nurul misalnya, bukan main bikin gempar di masa itu. Bayangkan! Putri raja Jawa! Naik kuda sih barangkali masih dapat diikuti nalar. Tetapi pakai celana! Nyuwun pangapunten ¹⁾ Lho serius nih! Kenapa tertawa ? Cuma perempuan cina yang pakai celana. Kalau noni dan nyonya Belanda mah, itu kan sudah di atas segala hukum, apa saja boleh kalau Belanda. Sampai duduk di sebelah kanan raja di atas singgasana, boleh dia. Tetapi puteri ningrat Jawa pakai celana ? Krakatau bisa jadi meletus itu nanti! Bila aku menyelinap ke dapur istana mencari makanan atau haus, sering kudengar para puteri keraton suka mempergunjingkannya. Ada yang kurang setuju (kurang sreg istilahnya); ada yang mengatakan: segala yang diperbuat keluarga raja selalu baik. Tetapi tentang Mami yang putih mulus dan kelahiran asli Belanda itu (memang Mami lahir di Utrecht, Negeri Belanda) semua memujinya. Betapa sangat paham beliau tentang primbonprimbon ²⁾ Jawa dan segala jenis ilmu klenik! Bukti bukan, nyonya yang tidak sombong? Dan begitu mengharukan beliau menghargai warisan nenek moyang. “Raden Mas Sinyo mau spekuk enak? Jeng Manganti, coba tolong ambilkan spekuk dari almari untuk Raden Mas Bagus Sinyo. Aduuh, siapa nanti yang akan jadi mertuanya ya ? Cocoknya dengan Den Ayu Arumbrangta (atau entah semacam itu).”… nah terpaksa ketawa pahit jengkel aku. “Mbakyu Mergantun, kau dengar apa yang Den Mas Sinyo katakan tentangku hihihi… aduh memang anakletnan perak benar… dia bilang aku namanya Ibu Spekuk…hihihi.” Tolol! ¹⁾ Minta ampun. ²⁾ Petunjuk-petunjuk mistik tentang hari-hari baik atau buruk. 6 Setiap kami pulang dari kol istana, bertambahlah keyakinanku, bahwa tidak ada dunia yang lebih firdaus daripada dunia anak kolong tangsi Magelang.Tangsi dengan pohon-pohon kenarinya yang besar dan rindang, dan yang setiap musim merontokkan ulat-ulat yang membuat noni-noni menjerit, dan yang bahkan minta lebih dijeritkan lagi oleh lemparan-lemparan anak kolong kami berupa paket-paket ulat yang , nikmat sekali, membuat mereka panik. Yang melempari noni-noni itu biasanya aku, sebab aku anak letnan. Anak-anak kopral tentunya tidak begitu berani mengganggu puteriputeri ofisir-ofisir, kecuali bila memang dapat aman sungguh-sungguh, bersembunyi dengan garansi mustahil ketahuan identitas mereka. Kenari-kenari itu buah anugerah surga yang kami terima (atau lebih tepat, yang kami lempari) dengan penuh syukur. Bila dimakan isinya yang gurih sesudah kulitnya yang keras kami jepitkan di antara kosen dan daun pintu. Kulit itu dapat kami buat jadi cincin, dan berlomba-lomba itu kami poles halus dengan minyaknya sehingga mengkilat di jari-jari. Yang paling sulit hanyalah menggergaji dan menghaluskan sisa dinding cabang-tiga sektor biji buah kenari itu sehingga plong bolong jadi cincin. Untuk itu kami harus meminjam kikir dari Pak Sepandri Sapu (kumisnya seperti sapu ijuk), sopir truk batalyon. Pernah dalam suatu gejolak sentimentil aku bersusah payah membuat cincin kenari untuk kuhadiahkan kepada Dora, seorang gadis Ambon yang manis seribu satu malam dari Hollands Ambonse School ¹⁾, dua tahun lebih tinggi kelasnya dariku, yang dalam hati sangat kupuja, karena mengingkatkan aku (ngawur tentu saja) kepada puteri Saharazad dari dongeng Seribu Satu Malam. ¹⁾ Sekolah Dasar untuk anak Ambon, berbahasa pengantar Belanda. 7 Kutitipkan cincin tadi melalui seorang “kurir” khusus dari HJS ¹⁾, kawan anak kolong, komplit disertai semacam surat cinta. Keesokan harinya kudengar, bahwa di kanal, itu lho tanggul selokan yang mengalir 5-7 meter di atas permukaan jalan raya dan yang membagi Magelang menjadi dua belahan pisang goreng, terjadi keroyokan hebat antara kami anak-anak kolong dengan anak-anak Pandestiran, yakni anak-anak piatu kaum Indo yang diasramakan oleh seorang Belanda berewok seperti Karl Marx, bernama Pa van der steur, sampai terpaksa polisi datang karena banyak peluru batu memecahkan genting-genting rumah penduduk. Usut punya usut, ternyata kurir yang kusuruh menghaturkan cincin kenari kepada Sang Dewi itu dipukuli oleh pemuja lain berasal dari Pandestiran, sehingga geng Kolong langsung (tanpa sepengetahuanku) terpaksa membalas penghinaan tadi. “Tapi bagaimana Si Dora ? Dia sudah terima itu cincin ?” “Udah! Tapi kan betul yang kubilang dulu. Semua cewek itu anak wéwé ²⁾. “ Dia gembira menerima hadiah ?” “Bah! Terlalu amat kelewat gembira.” “Betul ?” “Sampai ia tunjukkan suratmu pada semua cewek dan cowok, Sambil mentertawakan kau. Sudahlah, semua cewek itu brengsek.” Betul juga! Aku sangat setuju dengan kurirku itu. Tidak Cuma brengsek, tapi gila. Maka kembalilah aku ke duniaku, berbaris di belakang peleton-peleton infanteri yang baru pulang dari latihan di Tidar. Lelah tetapi masih gagah. Drèng! Derèng…derèng dèndèng! Nanti makan dèndèng cèlèng! Si Pak Kopral muka bopèng! Si Mbok Kopral kulit srundèng! ¹⁾ Drèng! nDedèng-derèng Dèndèng! Ikke ³⁾ Anak Kumpeni! Een-twee-drie ⁴⁾ Infanteri. Siapa braniii, ikke brondong matiii (dor! dor! dor!) Drèng! nDedèng-derèng Dèndèng. Soldat! Spandri! Kopral! Spandriiiiiiiii tiiit-piluiiiit, Ikke, Kumpeni! Maaf, nama saya ? Setadewa. Tetapi semua memenggilku Teto. Entah, memang aneh logika mereka. ¹⁾ Hollands Javaanse School: Sekolah Dasar untuk anak Jawa, berbahasa pengantar Belanda. ²⁾ Hantu perempuan. ³⁾ Aku. ⁴⁾ Satu-dua-tiga. 8 2. Anak Emas Wijen ¹⁾? Aduh cantiknya Den Rara Larasati ! “Wijen ?” dan Mbok Naya menyeka memanja gadis cilik yang baru saja merebahkan diri duduk di atas amben ²⁾ dan yang tersenyum manis merayunya. Mbok Naya tertawa geli. “Wijen untuk apa Den Rara ³⁾ ?” “Saya bukan Den Rara. Saya At-tik. Sudah.” Mbok Naya lebih ketawa lagi, dan temannya, Mbok Ranu di sebelahnya, juga ikut tertawa, sama-sama terlonjak hati melihat noni Jawa dari Betawi itu lucu, lesung di pipi, berbahasa Jawa kurang sempurna untuk ukuran lingkungan pangeran keraton, Surakarta lagi. Anak itu tidak dari Betawi. Dari Bogor. Tetapi untuk kedua pembantu dapur sederhana itu, semua kota besar di ufuk Barat yang didiami priyayi, selalu bernama Betawi. “Sedikit saja biji wijen enak itu.” Gadis yang dikatakan noni Betawi tadi melihat ke kiri ke kanan dan menoleh, seolah takut diketahui berbuat sesuatu yang kurang layak. Kedua simbok tadi ikut-ikut melihat ke arah-arah yang sama, bertanya diri, ada apa ? Tetapi tak terduga, sampai Mok Naya agak terperanjat spontan mengelak sedikit kepalanya, si gadis kecil membisikkan sesuatu ke dalam telinganya yang tidak bersih sama sekali itu. ¹⁾ Butiran kecil semacam buah rumput. ²⁾ Panggung. ³⁾ Panggilan gadis kaum atasan oleh kaum bangsawan. 9 Mbok Ranu memandang kejadian itu dengan agak mendekat serta tersenyum ingin tahu, tetapi lebih-lebih dengan dambaan yang manis walau agak getir. Setiap anak manis selalu mengingatkannya kepada anaknya sendiri, Si Bawuk yang, (ah memang Gusti Pangeran Yang Maha Memiliki berkuasalah, namun toh kejam juga), telah direnggut ke akhirat. Dilihatnya Mbok Naya mengangguk-angguk dan berkata: “Inggih, inggih, baik itu Den Rara. Baik sekali” Lalu menggeleng-geleng: “Tidak! Sungguh tidak, saya akan diam.” Lalu ia mengambil selembar daun pisang, dibuatnya takir ¹⁾ “ Tolong biting ²⁾ itu.” Mbok Ranu memberinya beberapa batangan bambu sekecil batang korek-api selaku pengancing mangkuk daun. Dan takir itu diisilah oleh Mbok Naya barang sepermpat gemggam biji wijen, yang seharusnya digunakan untuk melapis onde-onde ceplus ³⁾ yang sedang mereka goreng. “Terima kasih, ya Mbok. Nanti saya bawakan oleh-oleh.” Dan bersinar-sinar gadis cilik yang sudah mulai menongolkan sepasang kuncup kewanitaan remaja di balik blusnya, berlari meloncat-loncat kecil ke luar dapur. Kedua simbok tadi mengikuti “burung prenjak” itu melalui pintu sampai menghilang dari pandangan. Seselaput kerinduan mengaca pada kedua mata Mbok Ranu. “Sama dengan raden ayu ibunya,” katanya lirih. “Siapa yang kelak akan memetiknya?” tanya Mbok Naya bernada setengah berdoa. “Mudah-mudahan jangan Gusti Allah,” sahut Mbok Ranu, dengan sebiting gugatan. ¹⁾ Semacam mangkok terbuat dari daun pisang. ²⁾ Tusukan bambu sebesar korek api. ³⁾ Semacam makanan terbuat dari tepung yang digoreng sebesar kelereng. 10 “Apa ?” tanya rekannya terkejut. “Tidak apa-apa.” “Kau ini! Kalau omong sering serba aneh.” Mbok Ranu menghindar: “ Ah, yang penting kan nanti ada pertunjukkan wayang. Tolong Semprong ¹⁾ itu Yu. Api Cuma rewel dari tadi. Pertanda ramalan apa ya ?” “Kayu mlanding setoran Si Wangsa selalu begitu. Harus dibayar dia. Tetapi sebetulnya tidak cocok lakon nanti malam. Bayi Raden Ayu Hendraningrat perempuan, mengapa mengambil lakon “Kakrasana-Narayana lahir.” Seharusnya kan mengambil riwayat ”Kelahiran Sembodro.” “Saya dengar. Yu, itu Kanjeng Pangeran bermaksud untuk sekali jadi merayakan adik beliau Raden Mas Sumitra dan kemenakan Raden Mas Suteja yang keduaduanya baru lulus dari sekolah perwira di negeri Belanda.” “O, begitukah ?” dan dipandangnya rekannya yang lebih muda itu dengan rasa heran. Perempuan ini tahu banyak. Dari mana ia tahu ? Tetapi ia diam saja ketika Mbok Ranu dengan datar hanya berkomentar: “Itu yang saya dengar. Nah, minyaknya masih saja meletus-letus. Si Min memang keterlaluan. Sudah berapa kali kukaktakan. Beli minyak jangan pakai sembarang botol. Jangan-jangan botol dari kamar kecil ini.” Tetapi Mbok Naya tidak berminat memarahi rekannya yang sering ceplas-ceplos omong seenaknya. Diambilnya seserok bola-bola kecil gandum serba berlapis biji wijen itu dan dengan luwes dimasukkannya ke dalam minyak yang mendidih. Harus Pas. Jangan mentah jangan gosong. Pikirnya: Memang Si Ranu janda masih begitu muda. Omong tak pernah hati-hati. “Nah, kalau begitu, kan bisa cari lakon lain yang lebih tepat. Pregiwa-pregiwati misalnya. Paling sedikit tokoh lakon yang wanita. Atau Arjuna bisa juga.” ¹⁾ Sepotong pipa bambu. 11 “Ah Mbakyu,” potong Mbok Ranu,”Jangan Arjuna. Saya sudah mengalami sendiri, apa artinya kawin dengan jenis Arjuna.” “Sudah, sudahlah, yang sudah lalu jangan diungkit –ungkit lagi. Suamimu sudah di alam kahyangan sana dan kau dan saya sudah aman, mudah memperoleh sesuap nasi; bahkan di dalam rumah seorang pangeran. Kita tidak boleh menggerutu.” “O, tidak Mbakyu, saya tidak pernah meggerutu. Saya hanya berkata, bahwa …” “Ya sudah, aku tahu. Memang setiap orang punya segi Pendawa maupun Kurawanya. Kita kan Cuma abdi. Boleh mengabdi lelaki itu kan sudah rahmat namanya.” Dan dari sudut matanya ia melirik kepada rekannya, yang memang menurut suara lubuk kecil di hati Mbok Naya, sepantasnyalah dimarahi, kendati secara halus. Memang kasihan, anak tunggalnya terkena malaria; dan suaminya juga menyusul anaknya, akibat terjatuh dari pohon melinjo yang terkenal selalu berkhianat itu kaena dahan-dahannya seolah hanya melekat saja tanpa kekuatan sedikit pun pada pokoknya. Akan tetapi bukanlah enam tujuh tahun hidup bersama dengan seorang Arjuna sudah tergolong ketiban ndaru ¹⁾, artinya dijatuhi anugerah kemujuran hidup ? Kalau dibanding dengan suami Mbok Naya sendiri yang bentuknya seperti Togog ²⁾ loakan itu, pastilah Mbok Ranu tidak punya hak untuk mengeluh setarikan nafas pun. Itu kalau memang ia waratama ³⁾ Jawa sejati yang sudah pernah diajar oleh orang-tuanya tentang sikap sumarah, ⁴⁾ bakti kepada raja suami dan segala yang di atas kita. ¹⁾ Dijatuhi cahaya Wahyu. ²⁾ Tokoh wayang, kebalikan dari Semar. Togog dianggap tokoh bodoh buruk dan Serba salah. ³⁾ Wanita berbudi. ⁴⁾ Penyerahan. 12 Bukankah hidup di persada bumi ini hanyalah mampir ngombe, singgah sebentar untuk minum setegukan, lalu harus berjalan terus ? Tiba-tiba dalam hati ingin-tahunya mendesak bertanya: “Nu, dulu Batara Kamajaya ¹⁾ kerap berkunjung menemui Dewi Ratih ²⁾?” Mbok Ranu tahu apa yang dimaksudkan rekannya yang memang teman baik sekali sejak ia masuk menjadi abdi Ndoro Putri Pangeran Hendraningrat, akan tetapi seringlah, yang gituan itu lagi yang ingin diintip Mbok Naya di dalam kehidupan intinya. Mbok Ranu tersenyum dalam hati. Memang dalam malam-malam sunyi bahkan sering juga matahari masih belum terbenam dan ayam-ayam belum masuk kandang, Kama suaminya dan Ratih pangkuannya suka bersendagurau girang namun diam dalam kerahasiaan firdaus hanyut-rasa yang membuatnya lupa segala hal. Darah Mbok Ranu hangat. Dan Arjunanya pandai memanjanya. Benar, benarlah apa yang selalu dikatakan rekannya yang lebih tua itu, ia tidak boleh mengeluh. Sekian tahun kebahagiaan sudah anugerah melebihi cukup. Tetapi mengapa Allah begitu kejam dan suami beserta anaknya diambil dan sekarang ia menjadi begini ? “Apa Yu, yang kau tanyakan ?” “Nah, janda selalu begitu. Melamun dan tidak mendengarkan orang lain.” “Maaf Yu, saya tadi baru ingat pada anakku yang…apa Yu ? Tadi kau tanya apa ?” Mbok Naya toh malu juga untuk menyogokan sekali lagi pertanyaannya yang sebetulnya kurang senonoh itu. Tetapi sungguh, ia ingin, sangat ingin tahu, bagaimana caranya seorang Arjuna … sudah, jangan diteruskan. Nanti saat kan datang sendiri, rekannya itu mengungkapkan “ hikayatnya”. Tetapi itu harus membugil sponstan, seperti kalau perempuan mandi di sumur pada petang gelap itu. Atau kalau sedang minta dikeroki. “Saya tadi tanya, kira-kira siapa lelaki yang akan mempersunting Den Rara Larasati yang noni itu ?” Mbok Ranu sekarang tertawa. “Ya, sinyo tentunya.” “Sinyo Jawa ?” “mustinya begitu.” Den Rara Prenjak kelihatan tidak senang di istana Pangeran kita. Saya intip, dia hanya sendirian saja membaca buku atau melamun.” “Nasib anak tunggal selalu begitu.” “Tiga sebetulnya. Tetapai ah, mengapa Bu Antana nasibnya malang ? Bahaya setiap anak yang tumbuh sendirian, ia menjadi manja. Mudah-mudahan jangan menjadi sombong.” “Banjak orang mengatakan Bu Antana sombong, padahal hanya anak-angkat Pangeran kita. Aku kenal anak-emas itu dari kecil. Memang ibunya, nenek Den Rara Larasati itu, perempuan simpanan di suatu desa lereng Lawu, gunung yang angkuh itu. Sudahlah, sombongnya, aduh Nu, kalau kau lihat dulu. ¹⁾ Dewa Asmara dalam pewayangan. ²⁾ Dewi Asmara istri Kamajaya. 13 Lagaknya seperti darah ningrat Endragiri ¹⁾. Padahal sama dengan kau dengan saya sajalah, darah kecap asin.” Mbok Ranu geli. Mbok Naya suka membuat kiasan-kiasan yang aneh-aneh. Masakan, darah kok kecap. “Den Rara Atik dan ibunya tidak sombong. Kalau sombong tidak mungkin begitu menaung sikap mereka kapada kita para abdi. Ah … Yu, sering saya pikir-pikir Seandainya Ruri anakku masih hidup, barangkali Den Rara Atik berkenan juga mainmain dengannya. Bagaimana Yu ?” “Ya, saya kira begitulah. Tetapi soalnya, apa ayahnya memperbolehkannay ?” “Ayahnya juga tidak akan sesombong itu. Mereka orang Betawi, orang pantai walaupun masih tergolong kerabat Keraton. Orang pantai biasanya gampang. Yu Naya tidak ingin melihat Betawi ?” “Ah, untuk apa. Apa kota Sala kurang elok, kok ingin ke Betawi.” “Hanya untuk melihat saja.” “Melihat ? Melihat Sriwedari, nah itu baru nikmat. Yang main jadi Wibisono, duh Gusti, pernah kau melihatnya ?” Mbok Naya terkekeh-kekeh dan berbisik di telinga temannya: “Kau bisa, masih bisa sebetulnya kawin lagi dengan Wibisono semacam dia. Mau ? Mau kucarikan ?” Seandainya kulit Si Janda Ranu itu kuning langsep seperti para bendara raden ajeng rumah Pangerannya, pastilah tampak ia menjadi merah. Tetapi yang tampak hanya mulutnya yang melengos dan bagian dadanya yang meliuk malu. “Mbakayu itu macam-macam saja usulnya.” “Jadi kau mau ?” “Siapa yang mau. Perempuan sudah layu begini.” “Mau atau tidak mau bukan doal dalam lakon asmara. Nasib atau kepastian dari Atas, itulah yang menentukan.” “Terserah Yu … tetapi saya tidak meminta.” “Baik, kau tidak meminta, tetapi terserah, bukan ?” “Entahlah.” “Baik, jadi terserah ya ?! ” Tiba-tiba kedua orang pembantu dapur itu tertawa spontan bersama-sama, sehingga terkejut sendiri dan melihat ke segala arah, jangan-jangan ada yang mendengar. Seorang pembantu lain yang sedang mencuci cangkir-cangkir muncul dan membelalak dari balik pintu sambil mengejek: “Hayoo, ada apa !” Sekali lagi dua penggoreng, onde-onde ceplus itu tertawa terkikik-kikik. ¹⁾ Gunung tempat para dewa. 14 “Yo ayo, mari Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, hari ini Atik berulangtahun. Akan kutraktir kalian, ya mari sahabat-sahabatku.” Dan dalam bentuk bulan tanggal muda Atik menaburkan wijen di atas tanah halaman. Dengan tersenyum penuh harapan si gadis lalu duduk menunggu di atas tangga beranda samping di bagian gandok yang biasanya disediakan untuk para tamu Pangeran Hendraningrat. Sepi suasana di dalam halaman gandok, seperti di dalam biara biksu-biksu Budha. Orang tua Atik sedang berbelanja ke kota dan tadi ia mohon maaf kepada ayah-ibunya agar diperbolehkan tinggal di dalam rumah saja. “Kau di sini berlibur, Tik,” kata ayahnya. “Tidak untuk belajar. Ada waktunya bersekolah dan liburan.” “Apa lagi sekarang ulang-tahunan. Nah, lustrum kedua kau menghirup hidup di bumi ini, kan harus dirayakan, Tik,” tambah ibunya. “Kan tadi Atik diberi hadiah buku oleh ayah-ibu. Sudah sepantasnyalah kubaca segera, bukan ?” Kedua orang-tuanya tertawa, terutama melihat muka anak yang begitu merayu tetapi sekaligus arif. “Ya sudah. Atik menang. Tetapi Tik,” pesan ibunya sambil menaung dan mengecup pipinya: “Kau boleh apa saja. Juga kalau kau senang berkeliling ke halaman-halaman lain di rumah paman Pangeran yang aduh besarnya bukan main, tidak seperti rumah kita di Bogor, asal saja kau minta diantar oleh salah seorang pelayan putri. Misalnya Minah itu, kau kan suka pada Minah. Dan dia pasti teman baik untukmu, cerdas matanya. Hanya kau jangan sampai keluar ke jalan-raya, ya Tik. Janji ?” Anak itu merangkul ibunya. “Kalau keluar ke jalan-raya bagaimana ?” tanyanya nakal untuk meledek ibunya. Ibunya mencubit hidungnya yang mungil itu dan tersenyum cantik. “Akan kucubit kau tiga kali .” “Asal jangan sakit.” Ayahnya mengeluarkan tangannya dari saku pantalonnya dan menyeka rambut anaknya: “Boleh ke jalan-raya, asal jalan-raya itu masih ada di dalam halamanhalaman rumah Pangeran.” Genit Atik memandang dari sudut matanya sambil oleng kepala: “Ah, Ayah Cuma mau menipu. Disangka Atik masih kecil.” Ayahnya tertawa: “Justru karena itu, Tik, karena kau bukan anak kecil lagi. Sepuluh tahun coba bayangkan.” “Tidak perlu dibayangkan. Kan sudah hidup sungguh-sungguh kok dibayangkan.” Hahaha ….. dan ayahnya mencium juga anaknya di kening. “Sudah ya Tik, bacalah buku itu baik-baik. Dan ingin oleh-oleh apa ?” “Oleh-oleh … o ya, pinsil saja dengan setip. Atik ingin menggambar burung srigunting.” Ibunya mengangguk-angguk diam tersenyum. Tetapi di dalam hati ibunya berpikir, sudah waktunya, anaknya kapan-kapan dibuatkan kutang. Dan tinggallah Larasati sendirian. Bukunya dirangkul di dada dan kedua lutut bersimpuh di tangga. Atik tak perlu lama menunggu. Sahabat-sahabatnya, burungburung gereja, ketilang, pada datang, tetapi masih waspada menunggu dulu, bagaimana situasi keamanan. Sebab mereka biasanya dihalau oleh simbok-simbok bila kebetulan ada ini-itu yang terserak bisa dimakan. Tetapi lihat, datanglah tenang seekor jalak liar yang sama sekali tidak liar gayanya. 15 Dengan langkah-langkah agung ia datang bergaya ningrat. Maka Atik bersinar melihat burung yang seolah-olah sudah berbusana resepsi penganten itu. Punggung dan sayap-sayapnya coklat tua berwibawa bergaris-garis putih dan kakinya kuning. Perutnya putih lagi seperti busana resmi tuan-tuan Belanda yang sering ia lihat, kalau kadang-kadang diajak resepsi pesta ulang-tahun Ratu Wilhelmina. Kepalanya dan tutup dadanya hitam gagah. Paruhnya kuning lagi dan seusap putih menghias di belakang matanya yang menampakkan jiwa tak gentar. Dan apa itu ? Tertawalah Atik geli : mata jalak itu dilingkari kulit berwarna oranye. Rupa-rupany ia pemuja keluarga Ratu Belanda yang bergelar Oranye serta berlambang warna oranye pula. Nah, melangkahlah beliau Sang Tumenggung dengan tenang tidak takut sedikit pun, mendekati taburan-taburan wijen di halaman itu; lalu puk-puk-puk, lahaplah makannya. Lalu datanglah menyusul beberapa ekor manyar, itu burung-burung yang di manamana sibuk membangun sarang-sarang berseni elok. Mereka menyambar dari udara dan puk-puk-puk. Tertawalah lagi Atik. Lucu burung-burung itu. Maka segeralah burung-burung tingkat rakyat jelata, si gereja dan si emprit dan burung “anak kampungan” ketilang ikut pesta juga. Dan nah, tentu saja tak mau ketinggalan si gelatik cantik tetapi pencuri-pencuri padi yang nakal itu, dengan pipinya putih dan picinya biru hitam. Persis anak-anak lelaki di dalam sekolah dan di mana-mana, nakal dan perusak segala. Begitu Atik menilai mereka. Anak lelaki itu perlu dididik tetapi tidak pernah mau. Akan kemana mereka itu, Atik tidak tahu. Segeralah wijen-wijen berharga yang sebetulnya harus melapisi onde-onde ceplus dan dimakan para priyayi tamu-tamu nanti petang, sudah habis. Pada saat terakhir datang melayanglah beberapa ekor srigunting yang di mana-mana membawa ekor berbentuk gunting, tetapi rupa-rupanya tidak laku sebagai penjahit. Mereka sangat tidak berminat pada traktiran Atik, Sebab tentu saja gadis itu tidak membawa belalang, capung, lalat atau kecoak, jangan lagi ulat-ulat. Maka kereka hanya terbang saja dengan ikhlas di atas burung-burung jelata yang serba riuh bersengketa dan saling mencaci-maki, berebutan biji-biji kecil. Dengan tenang srigunting-srigunting beterbang layang seolah-olah tak peduli apa-apa. Tetapi tiba-tiba seperti pemburu-pemburu Angkatan Uadara mereka menukik dan menyambar seekor kupu-kupu kuning yang kasihan sekali, baru saja merasakan kemerdekaan dari kepompongnya dan tahu-tahu sudah diculik oleh mahluk-mahluk bersayap serba cepat dan serba hitam itu. Atik masih sempat melihat kupu-kupu kuning tadi diserang dan dibawa lari oleh pemburu-pemburu yang ternyata bukan tukang jahit bergunting, tetapi penyamun. 16 Mengapa Allah Yang Maha Pemurah dan yang memberi sekian banyak keindahan kepada ciptaanNya membiarkan mahluk-mahluknya saling membunuh ? Pernah itu ia tanyakan, ketika di suatu pagi di halaman neneknya, langsung di hadapan mata Atik, tiba-tiba bagaikan batu yang jatuh dari awan-awan, seekor wulung ¹⁾ menerkam anakayam dan tahu-tahu sudah meluncur lagi ke udara. Tentu saja induknya dan anak-anak ayam serba kalang-kabut. Atik ketika itu juga kalang-kabut jiwanya sampai menangis. Ia merasa bersalah, karena tadinya dialah yang menaburkan padi di muka mereka. Dan tentulah ayam-ayam itu tergoda dan terlena, sehingga si penyamun di udara memperoleh kesempatan bagus untuk menculik salah satu anak-ayam yang halus berbulu kuning manis itu. Tak bisa lain selain menangis Atik ketika itu, dan kue cucur ²⁾ atau jenang delima ³⁾ neneknya tidak mampu menghiburnya. Untung burung-burung srigunting berguna juga, makan ulat-ulat yang mengerikan dan kecoak-kecoak serta serangga-serangga lain yang menjijikkan. Tetapi mengapa kupu-kupu seindah itu disambarnya juga ? Sulit juga ya soalnya, karena kupu-kupu itu dulu ulat dan pastilah di mana-mana ingin menelorkan calon-calon ulatnya. “Kau jagan nakal, ya srigunting ! Namamu sudah seindah itu : Sri. Dan ekormu aksi juga, mengapa tabiatmu begitu ?” Perhatian Atik ditarik ke sekian emprit, ketilang, gelatik dan gereja yang sekarang sedang bingung mencari sisa makan yang ternyata sudah habis begitu cepat. Atik tertawa geli. Memang kampungan mereka itu. Apa lagi ketilang-ketilang, yang selalu saling berdebat dan berselisih dengan suara-suara yang ribut namun merdu sebetulnya. Kesukaan mereka buah-buahan dan lucu sekali kalau menghisap madu dari bunga-bunga sepatu. Perutnya memang hanya kelabu muda belaka, tetapi di belakang, aneh mengapa justru di belakang, kuping oranye. Yang lucu ialah kepalanya yang hitam dan berwajah kurang ajar memang. Lebih kurang ajar lagi kalau jambulnya tegak berdiri bila sedang berdebat dengan rekan-rekannya. Kampungan benar. Atik tak bisa menggambarkan ketilang yang betina. Pada perasaannya semua ketilang itu jantan, karena kekurang-ajaran mereka. Tetapi hihihi dan Atik tertawa sendiri juga. Bukankah Atik sendiri ketilang sebenarnya ? Ia bisa memanjat pohon dan memang suka memanjat pohon, sampai berkali-kali dimarahi ibunya dan terutama Mbok Kerta babunya dulu. Lalu menggali lubang gangsir atau berlari-lari menagkap laron ⁴⁾ ¹⁾ Burung elang. ²⁾ Terbuat dari tepung beras rasanya manis. ³⁾ Terbuat dari ketela dengan butiran-butiran mirip biji delima. ⁴⁾ Serangga yang seringkali muncul pada awal musim hujan. 17 “Kau ini kok seperti anak laki-laki,” sering ibunya memarahi. “Susah jadi perempuan,” pikir Atik selalu. Ada satu hal yang ia tidak paham. Mengapa banyak binatang jantan lebih elok bulunya dan lebih terhias bahkan suka bersolek daripada yang betina ? Ayam jago misalnya bila dibanding dengan ayam betina. Apa lagi burung merak seperti yang di Kebun Raya di Bogor itu. Pada hal orang perempuan, mereka tak habis-habisnya bersolek dan merias diri. Dan anak lelaki ? Aduh, mereka itu seperti srigunting itu atau manyar. Hitam dan serba ribut saling mengacau. Atik suka pakaian manis dan segala macam embel-embel yang menurut kata ibuibu tua membuatnya lebih manis. Tetapi sebenarnya sering jengkel juga ia karena segala repot itu. Lebih enak jadi burung dan bisa bermain-main di mana-mana. Juga di jalan raya. Beberapa srigunting beterbangan lagi, menukik meliuk, ah sungguh indah terbang mereka. Kalau pagi begini mereka baru cari makan. Tetapi nanti kalau menjelang senja, nah, Atik berseri-seri kalau melihat srigunting itu sedang bercanda bersiulsiulan ria dan kian kemari terbang indah seperti menari luwes dan aksi. Tak mengira burung-burung sehitam itu bisa begitu luwes seperti penari serimpi kalau sedang kiprah ¹⁾ dan membuat gerak terbang melingkar. Dan lucunya, ekornya sering dibuka ditutup dibuka ditutup lagi, tampak sekali mereka seolah meledek manusia : Ayo, bisa terbang ngak ? Manusia dapat terbang. Atik tahu itu, tetapi hanya seperti permainan kertas yang dilipat dan dilemparkan. Jelek. Kaku. Lagi sering jatuh begitu saja. Seperti puri Paman Pangeran ini, kaku. Pangeran Hendraningrat adalah kakak sulung ibu Atik. Kakak tiri, orang yang baik hati, ramah, tetapi kaku, aduhai ; sering di dalam kamar Atik tertawa sendiri kalau menggambarkan paman-tuanya yang Pangeran itu. Dalam hati Atik mengagumi ibunya. Untung ibu dulu kawin tidak dengan seorang pangeran atau kaum istana mulia ini. Ibunya menikah dengan seorang konsulen ²⁾ pertanian yang tidak berdarah ningrat, tetapi seorang anak-emas pegawai tinggi departemen entah apa. Ya, cocok, anak angkat dengan anak angkat. Ia tahu itu, karena ibunya selalu berterus terang. Ayahnya bekerja di Bogor yang banyak hujannya itu, tetapi yang subur dan bersuasana bebas. Ayahnya, Meneer ³⁾ Antana seorang pegawai Dinas Kebun Raya Bogor dan juga ikut diserahi cagar-alam Ujung Kulon. Berkali-kali, bahkan dapat dikatakan sekali seminggu paling sedikit, Atik diajak ayahnya menyelusuri sawah ladang dan masuk ke semak-semak hutan gunung. Bahkan pernah ia diajak masuk Ujung Kulon. Kata ayah mau mencari kolam tempat badak-badak suka merendam diri. Atik belum pernah melihat badak dan ingin sekali melihatnya, walaupun ibunya sudah berkata : seperti kerbau biasa. Hanya tanduknya di hidung. Ah mosok. Tetapi sayang mereka tidak berhasil melihat badak. Sungguh, Atik tidak bisa membayangkan diri menjadi puteri keraton. Tetapi sesekali melihat Surakarta bolehlah. Walaupun jangan terlalu lama. Sebelum berangkat ayahnya sudah mengikat janji, tidak akan tinggal di Surakarta lebih dari tiga hari. Tetapi ini nanti jadinya akan seminggu. ¹⁾ Terbang melingkar seperti gerak para penari. ²⁾ Dari kata Consultent (Bld) : Bimas Pemerintah Hindia Belanda. ³⁾ Tuanku. 18 Untung ayahnya baik sekali. Ia tahu, bahwa akan menyakitkan Atik. Maka ia berjanji akan membawa Atik pergi melacaki ladang-ladang dan alam di sekitar kota. “Ibu kan belum sembuh rindunya kepada abangnya yang baik hati itu,” kata ayahnya. “Apa Atik tidak kasihan Ibu ?” Ya, tentu saja Atik mengalah. Tetapi toh enak juga. Besok pagi sesudah istirahat dari pesta kelahiran puteri Pangeran, ia dan ayahnya akan berburu di ladang-ladang, dan kalau bisa ke hutan-hutan jati gunung kapur di Baturetna. Bukan berburu dengan bedil, Atik benci pada senapan, tetapi dengan alat kamera. Heh ? Bukankah itu nyanyian kepodang ? Orang-orang Sunda menamakannya bincarung, burung perada kencana yang berpelisir hitam molek dari paruh melalui mata dan terus ke belakang seperti ikat kepala petani Kedu. Atik teringat pada kepodang yang di kurung di rumahnya, hadiah salah seorang tukang kebun ayahnya. Hitam seluruhnya, sungguh aneh, tetapi untung masih dihiasi dengan ban lebar merah karmein yang melintasi dada dan perut. Gagah, serem seperti pesilat Sunda. Tetapi nyanyiannya, aduh, serba bernada mendamba. Kata ayah, si kepodang bertanya, di mana harta pusaka nenek-moyangnya dapat ditemukan lagi. Memang kepodang hitam-merah itu hanya terdapat di hutan-hutan jauh di lereng pucuk Gunung gede. Awas nanti Mbok Nem kalau lupa memberinya buahbuahannya. Dengan mata menyipit, Atik memandang kepada srigunting yang sedang bercanda di atas kawat listrik; ulah mereka seperti mengomentari mahluk-mahluk yang lalulalang di bawahnya. Burung-burung srigunting itu sering didakwa oleh orang-orang sebagai penyamun telur sarang-sarang burung lain. Barangkali karena warnanya seperti garong perampok, yang membuat mereka nampak serem. Apa lagi bila kedua ujung ekornya itu ditafsir sebagai kelewang. Tetapi ayahnya mengatakan, itu tidak benar. Memang ada burung lain, yang hitam juga seperti srigunting, tetapi tidak punya ekor silang seperti gunting itu. Kita harus berhati-hati, begitu hikmah ayah yang dikatakan kepada Atik, jangan menilai orang lain jelek, hanya karena nampaknya hitam. Tokoh Kresna di pewayangan, nah itu contoh lagi : raja perwira penasihat Pandawa terulung, walaupun serba hitam. Atik tertawa. Sebab sekarang kedua srigunting tadi, laki-bini barangkali, sebab sedang mesra berbisik-bisik satu sama lain, lalu berkicau lagi. Merdu, seolah mereka berbahasa Sunda. Tiba-tiba kedua burung itu terperanjat dan serba panik mendadak terbang. Gusar Atik bertanya diri. Siapa yang mengganggunya ? Anak kampung barangkali. Ternyata ada kepala anak laki-laki seumur 12 tahun muncul dari balik tembok. Anak itu memanjat dahan pohon sawo kecik yang lebih tinggi, dan membidikkan pelantingnya ke arah srigunting lain. Teto nama anak itu. Bibir mungil Atik cemberut dan matanya berkilat benci melihat anak itu. Bukan anak kampung, tetapi putera Kapten Brajabasuki (Oom Bas) yang berdinas di Magelang, menurut ibu Atik. “Itu anak lelaki yang baik hati,” kata ibunya. “Cerdas di sekolah, hampir selalu nomor satu dan jujur.” Mosok jujur, anak yang kesukaannya memelanting burung-burung tak berdosa. Atik pernah diperkenalkan padanya sekian tahun yang lalu ketika mereka datang diundang Paman Hendra juga. Atik malu-malu tentu saja, seperti selayaknya puteri yang berpendidikan. 19 Tetapi anak itu langsung memijit hidungnya seperti tombol, kurang ajar, sungguh setengah mati kejutnya. Apa lagi semua orang-tua tertawa, seolah-olah menyetujui perbuatan jahat itu. Tetapi toh ada sesuatu yang menyenagkan pada Teto itu. Ia sanggup apa saja, memanjat pohon, meloncat selokan lebar, berenang. Pernah keluarga Antana berpiknik bersama keluarga Brajabasuki ke Tirtonadi. Ibunya, seperti lazim mode kaum terpelajar kala itu, bergaun dan bertopi lebar. Ketika pergi ke tepi sungai, datanglah angin kencang yang mendadak; topi ibunya terbawa angin dan jatuh di bengawan besar itu. Dan apa yang terjadi ? Si Teto tanpa berpikir panjang terjun ke sungai dan berenang memburu topi itu. Tentu saja semua terkejut setengah mati. Topi diselamatkan dan dipakai olehnya, dan Teto tenang mengikuti arus berenang ketepi, jauh sekali; topi di kepalanya. Dari jauh seolah-olah topi itu berenang karena kebetulan Teto berpakaian seperti kelasi angkatan laut Belanda, biru tua dengan pelisir-pelisir kecil putih; jadi tak tampak. Akhirnya semua tertawa geli dan Atik bertepuk tangan sambil berteriak-teriak ria. Tetapi sayang, dalam permainan Teto selalu curang. Dan pernah sesudah menang curang gobag sodor ¹⁾ ia memaksakan hadiah ciuman. Pada hal sudah disepakati; jika Atik menang, Atik digendong Teto. Tetapi karena Atik terlalu lemah untuk menggendong Teto bila Teto menang, Atik sanggup untuk memberi kecik sawo (biji sawo) tiga biji, yang sering dibutuhkan Teto untuk adu kecik sawo dengan kawankawannya. Biji sawo sih Atik punya banyak, karena ia tinggal minta saja pada Pak Kebon yang rajin setiap pagi dan petang menyapu halaman. Tetapi apa yang diperbuat anak kurangajar itu ? Sejak itu ia tak mau lagi gobag sodor dengan anak jahat itu. Namun Teto anak yang pandai melucu. Ia pintar menirukan suara binatang apa pun, dan Atik biasanya tidak bisa lama mempertahankan marahnya kepada anak yang lucu dan pemberani itu. Topi ibu yang basah kuyup tadi tentu saja sudah sulit dipakai lagi oleh ibu; maka dihadiahkannya kepada Teto. Bukan main gembiranya. Langsung bunga-bunga hiasan di topi ia copot semua dan tepi topi yang lebar dilipat sebelah. Nah jadilah topi medan perang tentara Kompeni. Memang dasar anak kolong, kata Oom Bas sambil tertawa. “Hei! Hei! Teriak Atik. “Kasihan! Jangan dipelanting! Teto! Teto! Jangan!” Teto memalingkan kepala ke segala arah sampai pandangannya bertemu dengan Atik yang marah berkecak-pinggang. Ia tak menjawab apa-apa. Hanya lidahnya yang keluar dan mukanya dibuat mirip kera. Jelek sekali. “Kasihan meraka! Kau anak bengis.” Sekali lagi lidah keluar dan wajah Sugriwa ²⁾ menakut-nakuti Larasati ³⁾. Tetapi bagaimana pun, ia toh turun dari pohon sawo. Tidak, ia bukan anak baik hati. Ia anak wulung yang perangainya menyambar anak-anak ayam. Atik marah masuk beranda dan di kamar tak dapat berbuat lain kecuali mencoba membuka buku hadiahnya. Tetapi kamar dalam istana pangeran selalu gelap. ¹⁾ Semacam permainan lari dan menyusup, terkenal bagi anak-anak di Jawa. ²⁾ Raja kera dalam epos Ramayana, saudara raja kera Subali. ³⁾ Salah seorang istri Arjuna. 20 Ia pergi saja ke pendapa, tetapi para abdi sedang sibuk dengan persiapan-persiapan wayang nanti petang. Apakah sebaiknya ia memanggil Minah pelayannya, diajak berjalan-jalan ke jalan-raya ? Tetapi biar gelap dicobalah juga membaca sebarang satu dua halaman dari buku itu. “Door Duistemis tot Light. ¹⁾ Kartini penulisnya. Kartini. Aduh, alangkah tebalnya. Jangan-jangan ayah memilih buku yang terlalu berat untuknya. Dari pendopo terdengar kesibukan persiapan pesta demi puteri Pangeran Hendraningrat, sekaligus untuk adik dan kemenakkannya. Ia senang tetapi sekaligus benci pesta-pesta mewah seperti ini. Lalu duduklah Atik langsung di ubin lantai yang dingin dan tiba-tiba, seolah ada awan kebahagiaan menyelubunginya. Ya, ia bahagia, memiliki ayah yang begitu baik. Ibunya baik juga, tetapi ayah, ya ayahlah bagi Atik sumber segala kebaikan. Selama ayah ada, segalanya indah. Ah, setiap gadis pada suatu saat harus kawin dan berpisah dari Ayah-Ibu. Atik juga tahu itu. Memang ia masih gadis kecil, tetapi ia sadar, akan selalu begitu nasib setiap gadis. Bagaimana dulu ibu sampai mendapat ayah ? Ah, sesekali itu akan ia tanyakan kepada ibunya. Lalu meloncatlah Atik tinggi-tinggi. Ia menoleh ke segala arah. Pintu kamar terbuka. Jangan-jangan ada yang melihatnya ia sesinting itu. Aman. Buku ia letakkan di atas tempat tidurnya. Dan ia keluar mencari Minah. ¹⁾ Judul kumpulan tulisan R.A. Kartini : Habis Gelap Terbitlah Terang. 21 3. Buah Gugur Surya sudah terbenam. Ketokan pintu. Ketika dibuka, kaget setengah mati kami. Sesosok tubuh tampak di pintu. Mami menjerit dan langsung memeluknya. Papi tanpa berita apa-apa pulang. Ia telah dilepas dari tahanan militer setelah beberapa bulan meringkuk sebagai lawan perang Jepang. Dunia-serba-gemilang kami telah cepat runtuh. Jepang datang. KNIL kalah dan bubar. Mami dan aku sudah pindah menumpang di tempat seorang kenalan baik di Embong Menur, suatu daerah perumahan kaum berada. Sebab, tentu saja rumah dinas ayah sudah diduduki musuh dan memang sejak perang-pecah semua orang sipil sudah diungsikan dari tangsi. Papi mendadak menjadi tua. Dan lebih pendiam lagi dari semula. Tawaran dari Pangeran Hendraningrat untuk mengunsi ke rumahnya ditolaknya halus. Agaknya hati Papi sudah ikut runtuh pula dengan KNIL. Bahkan Papi lalu pindah ke sebuah rumah kecil di kampung Patrabangsan. Hanya Mami yang sering ke Sala, sekedar berdagang apa yang dapat dijadikan sumber nafkah ketika itu. Kawan-kawan lama anak kolong semakin tercerai-berai. Papi tak banyak bicara tentang situasi, tetapi aku tahu ia menunggu kemenangan Sekutu dan kembalinya pemerintah Belanda. Orang-orang kampung Plengkung tahu Papi bekas kapten KNIL, orang berpangkat tinggi untuk ukuran masa itu. Tetapi karena Papi biasa saja ikut hidup gotong-royong dengan mereka, hidup kami tenteram terlindung. Bahkan dapat dikatakan tak tampak, tenggelam. Rumah kami kecil tersembunyi di belakang bekas rumah opsir Belanda yang dulu berpangkat mayor dan yang tentunya sekarang didiami seorang perwira Jepang. Opsir Jepang itu hidup di situ sendirian dengan babunya Tante Paulin. Suami Tante Paulin sersan KNIL totok yang ditawan di Burma. Dan Tante kini menyambung hidupnya dengan cara menjadi gundik perwira Jepang itu. Saya jijik melihat Tante Paulin, yang sebetulnya tergolong perempuan manis juga dan lembut hatinya. Sungguh aku tidak memahami, mengapa Papi dan Mami sangat baik, bahkan sering menurut seleraku terlalu baik kepadanya. Ketika itu aku memondok di Semarang meneruskan sekolahku di SMT ¹⁾. Aku Senang di Semarang, karena tenyata ada group pelajar yang berselera anti Jepang. Tetapi suasana memanglah menjengkelkan bagiku. Kami diindrotrinasi dan dilatih bermodel Jepang. Untung guru-guru kami intelektual-intelektual yang tahu, apa yang harus mereka berikan kepada murid-muridnya. Ada seorang pelajar yang militan pemuja Jepang. Bisma namanya, yang jadi komandan kami dalam ulah kemiliteran. Bisma ini setengah kami kagumi karena bakat-bakat kepemimpinannya, tetapi dari pihak lain kami benci, karena begitu hian menjilat Jepang. Tetapi seumumnya semua pelajar anti Belanda … kecuali aku. Barangkali ada lainnya juga yang seperti aku, tapi pastilah ia cukup lihai untuk menyembunyikan perasaannya. Seperti aku juga. Tetapi aku sungguh merasa, betapa sedihnya punya simpati yang jelas bukan simpati kawanan. Serasa paria terkucil. Dan selalu harus bersandiwara. Ini yang paling memuakkan. ¹⁾ Sekolah Menengah Tinggi, nama untuk SMA di jaman Jepang. 22 Aku tipe anak kolong yang sejak kecil punya kode etika berterus-terang. Lebih baik berkelahi berbahasa kepal dan tendangan kaki daripada bohong dan pura-pura. Baru kelak aku sadar, bahwa dalam citarasa aku satu kompi dengan Papi. Papi ternyata (tetapi itu baru kelak kuketahui) sengaja menjauhkan diri dari kaum istana, karena ia tidak suka basa-basi Jawa yang halus tetapi banyak yang tidak jujur. Ia dulu meminta sendiri atasanny agar boleh masuk garnisun di Surabaya, karena orang-orang Sungai Brantas sana tidak pernah suka berbahasa kromo ¹⁾, apa adanya tanpa tedeng aling-aling ²⁾. Tetapi lingkungan Kedu dianggap cukup oleh pembesarnya. Namun itu sudah jaman yang lampau, yang sudah morat-marit hancur lebur. Pedang dan seragam kebanggaan Papi sudah dititipkan oleh Mami (dibungkus dalam goni dan dikamuflase dengan barang-barang upet ³⁾ kelapa) di dalam rumah Oom Hendraningrat. Papi menjadi makelar sepeda dan banyak pergi ke pasar-sepeda kota lain atau ke desa. Dan aku terpaksa latihan perang-perangan dengan bedil kayu gaya Jepang. Sinting sebetulnya, tetapi dalam hati, sebagai anak kolong Kompeni sejati, aku sehati dengan Papi, menunggu kemenangan Sekutu. Dalam suatu liburan sesudah aku naik kelas III SMT Papi mempercayakan salah satu rahasianya padaku. Terlebih dulu pintu dan jendela ia kunci. Dan dalam cahaya remang-remang pelita minyak kelapa ia mengeluarkan peti sabun kecil dari atas langit-langit. Radio gelap. “Kau sudah besar. Mau membantu Papi ?” Berdebar-debar aku mengangguk. “Papi tidak takut tertangkap Jepang nanti ?” Papi tersenyum. “Perwira tidak boleh takut. Orang takut, kebanyakan karena bodoh. Kau pikir Papimu bodoh ?” Keras kugeleng-gelengkan kepala. “Nah, dengar sekarang. Radio ini harus kau sembunyikan di dalam gudang Mayor Kanagashe tetangga kita ini.” “Saya ? Bagaimana ?” “Pelan. Tetapi sebelumnya Papi minta, agar kebencianmu kepada Tante Paulin kau kurangi.” “Sundal itu ?” “Hei hei, jangan terlalu keji pada perempuan malang itu !” “Ada apa sih, kok Papi begitu terkesan oleh Tante Paulin ?” “Bukan begitu. Papi senang kau tidak suka pada sundal. Tetapi orang-orang yang membongkok-bongkok di hadapan serdadu tengik Jepang dan menjual bangsanya kepada mereka demi sebungkus rokok lebih hina dari sundal.” “Ya, tetapi jangan begitu mengukurnya.” “Memang, Papi tahu apa maksudmu. Tetapi kami harus bersahabat dengan Tante Paulin. Mamimu juga sudah tahu mengapa.” ¹⁾ Bahasa Jawa tinggi (halus). ²⁾ Perisai pelindung. ³⁾ Kelopak bunga kelapa ; dipakai sebagai bahan bakar. 23 “Mami ?” “Ya, beginilah. Berkat Tante Paulin, kami tahu segala-galanya tentang cara hidup Mayor Kanagashe itu. Kapan ia pergi, kapan ia pulang. Kamar mana yang kosong, ruang mana yang suka ia pakai. Dan sekarang saatnya, radio ini harus disembunyikan di dalam kompleks rumah Mayor itu. Gampang sekali.” (Aaah … haru saat itu aku terbuka mata. Papi memang perwira yang pandai.) “Tetapi bagaimana bila Tante Paulin tahu-tahu menongol dan rahasia ini terbongkar ? Kan perempuan itu suka ngobrol dan bocor mulut ?” “Tante Paulin tidak tahu apa-apa tentang soal ini. Sama sekali nol. Tetapi kami tahu segala seluk-beluk dalam rumah Mayor itu.” Sebelum Papi habis bicara aku sudah tahu apa yang dimaksud. Rumah Mayor Kanagashe dulu didiami mayor Belanda. Aku kenal keluarga itu, terutama Yan temanku sekelas. Dan aku tahu juga, tempat mana yang boleh jadi paling tepat untuk menyembunyikan radio gelap yang akan dipasang di dalam kompleks perwira tadi. Sehingga dengan aman tenteram kami dari luar bisa menyadapnya. Kalau detektordetektor Kenpeitai menemukan lokasi radio itu, mereka akan mengira itu urusan Mayor Kanagashe. Maka betul, di siang bolong, tepat ketika Mayor Kanagashe sedang pergi dinas, Pak Kebon sedang mendengkur di dapur dan Tante Paulin berfoya entah ke mana, aku masuk melalui lubang dinding ke dalam kakus pelayan yang sudah lama tak terpakai dan hanya berisi panci-panci bocor dan gulungan sisa-sisa kawat listrik serta macam-macam loakan bekas milik keluarga mayor Belanda dulu. Radio Papi kuletakkan di atas langit-langit kakus. Dan kabel penyadap dengan teliti serba tersembunyi kupasang masuk ke dalam halaman kami. Seandainya kabel itu kelihatan, pasti tidak ada orang yang akan menaruh curiga. Radio tadi sudah disetel mati pada gelombang BBC London. Sejak itu, setiap kali jendela kamar mayor itu terang, tanda ia di rumah, Papi menyetel BBC dari kamar bilik bambunya. Sejak itu pula aku ramah mengucap salam pagi dan petang bila Tante Paulin lewat. Dan melawan segala arus masyarakat kambing, aku tetap mengharapkan Belanda datang lagi. Pada awal pendudukan Jepang, Papi masih sering dikunjungi beberapa “tokoh bawah tanah”, yang hampir semua tidak kukenal. Pernah dari bilik kamar tidurku kudengar nama Amir Syarifudin terucap dalam percakapan serba teredam di dalam kamar tengah yang terkunci. Baru kelak sesudah Jepang kalah kita tahu bahwa Amir Syarifudin mendapat ƒ60,000 dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menyusun aksi di bawah tanah melawan Jepang. Tetapi suatu Saptu, tahun 1944, sepulang dari Semarang, ketika aku ingin menengok Papi dan Mami, rumah terkunci rapat. Para tetangga mengatakan orangtuaku sedang menengok Kakek, ayah Mami yang sakit. Aku heran, sebab keduanya, Papi dan Mami sudah lama tak berorang-tua. Segera aku mengerti, ada masalah gawat. Mereka pasti berlindung lagi di dalam puri di Surakarta. Meloncati pagar bambu, aku langsung pergi ke kebun belakang. Setelah menengok ke kiri ke kanan kuperiksa kabel penyadap. Sudah tidak ada lagi. Dengan cemas lekas-lekas kutinggalkan rumahku dan pergi menuju Surakarta. Hanya Mami yang kutemukan di tengah para kerabat. Berlinang-linang aku dicium dan dicium. “Doakan Papi !” Doakan Papi !” hanya itu yang mampu keluar. 24 Tenggorokanku serasa terganjel batu dan tiba-tiba aku merasa harus kencing. Di dalam WC aku terengah-engah dan hati berdebar-debar. Papi tertangkap. Untung aku lekas meninggalkan rumah kami di Plengkung di belakang rumah Mayor Kanagashe. Apa Tante Paulin berkhianat ? Kesal hatiku, mengapa orang-tuaku begitu percaya pada sundal itu. Di dalam kamar tidur Mami kulihat serba lega peti-sabun kecil yang pernah kuletakkan di bawah atap WC rumah Kanagashe. Nyaris aku berteriak terbawa kegembiraanku. Tak kenal sabar kutanyai Mami, siapa yang mengambil peti radio itu. “Papimu sendiri.” “Papi ?” Betapa besar risikonya. Dari Mami kudengar Papi tidak atau lebih tepat belum tertangkap. Amir Syarifudinlah yang tertangkap. Dengan beberapa kawan lain. Maka segera setelah pada suatu petang teman Papi datang membawa berita, langsung pada malam harinya Papi sendiri seperti maling mengambil radio itu. Dan pagi-pagi benar Mami diantar ke puri Hendraningrat. Tetapi dengan dalih cari kerja Papi lalu menghilang. Ia ingin membebaskan keluarga Hendraningrat dari segala risiko. Kira-kira tiga bulan kemudian, di Semarang, aneh sekali, kuterima sepucuk surat pendek dari seseorang yang tak kukenal, dengan pesan agar aku suka pergi ke Jakarta, ke suatu alamat tertentu di Kramat. Tulisan jelas dari tangan puteri. Bahkan poswesel untuk perjalanan ke Jakarta kuterima juga dari tangan puteri itu. Karena saat itu kebetulan aku sedang menghadapi ujian penghabisan SMT, terpaksa aku belum dapat segera pergi ke Jakarta. Bahkan membalas surat pun aku lupa. Soalnya, sungguh aku tidak mengenal si penulis itu, yang menyebutku teramat intim : Lieve Teto (Teto yang manis). Siapa ini ? Yang kenal nama panggilanku ? Dari Mami jelas bukan, sebab kukenal tulisan Mami. Barangkali karena pikiranku penuh soal-soal ujian, sama sekali tidak terpikir bahwa mungkin penulis surat itu salah seorang penghubung Papi. Papi, yang demi keselamatan tidak mau meninggalkan bekas atau tanda hidup satu pun. Baru sesudah selesai ujian mata-pelajaranku terakhir, yang barangkali tak baik hasilnya (karena semalam-malaman aku terganggu oleh surat dan wesel dari Jakarta itu : Siapa gerangan penulisnya ?) kuputuskan untuk bertekad pergi ke Jakarta. Sambil melihat situasi di ibukota sana, ada apa. Dari Papi belum lagi ada tanda-tanda hidup. Sampai di alamat Kramat, aku masuk halaman dengan nomor rumah yang sudah dipesankan padaku. Rumah itu rumah kuna dengan tiang-tiang Romawi bulat yang gagah. Lantai dari marmer Italia persegi dipasang diagonal. Hanya kerai-kerai sudah agak lusuh, karena bahan cat di masa itu sudah lama sulit dicari. Satu-satunya yang mengganggu dalam rumah anggun itu hanyalah kertas-kertas pengaman bahaya udara yang ditempelkan pada kaca-kaca pintu dan jendela. Beranda muka marmer itu hampir kosong. Hany meja sederhana satu dengan empat kursi yang serba kaku berdiri di situ. Rumah siapa ini ? Tidak ada tukang kebon tidak ada anjing. Sunyi sepi saja. Dari jalan terdengar teriak anak menjajakan es. Sebuah andong lewat membawa seorang berseragam. Dai Nippon kekurangan bensin, kata benakku dengan syukur. Kebencianku pada orang-orang Jepang menyala selangit. Di mana Papi ? Keluarga rumah ini barangkali tahu ? Atau jangan-jangan aku masuk jebakan Kenpeitai ? Kucari jalan ke belakang. Hanya pintu-pintu kebun yang serba tertutup dan terkancing kuat kutemukan. Tidak ada bel lagi. 25 Kuperiksa nomornya. Betul. Kutelusuri lagi ujung jalan Kramat. Betul, angka Roma VI. Kembali aku ke rumah tadi. Lelah aku duduk di atas tangga lantai marmer itu. Sejuk rasanya. Mengantuk juga aku karena lelah dari perjalanan KA brengsek. Tanpa aku sadar tahu-tahu pagar muka sudah dibuka dan datanglah seorang gadis mendekatiku. Naluri menggerakkan aku berdiri. Barangkali puteri tuan-rumah ? Aku menghormat. Gadis itu tersenyum ramah. Kira-kira adik sebayaku. Tetapi biasanya pemudi tampak lebih tua dari yang sesungguhnya. Masih pelajar ? Sudah pegawai ? “Adik Teto dari Semarang ?” “Betul, Mbak. Maaf, aku sedang ujian dulu. Tidak sempat membalas.” “Oooh (matanya bersinar jenaka) memang kami yang keliru. Tetapi profisiat, sudah lulus kan ?” “Baru saja selesai. Jadi belum tahu keputusannya.” “Ooooh (senyumnya cerah, membuatku bingung) pasti lulus deh. Raden Mas Sinyo pasti lulus,” dan ketawalah ia berderai. Aku terkejut setengah mati mendengar sebutan Mas Sinyo : “Kok tahu…” “Ah, Mas Sinyo ini sombong sih. Berkali-kali berkunjung ke rumah kami, tetap nggak mau kenal.” “Baru pertama kali aku …” “Tidak di sini. Tetapi di Sala.” “Ah, maaf.” Tiba-tiba muncul dalam benak belakangku sebuah citra roman muka gadis yang pernah kukenal, entah di mana. Jauh … jauh … dan agak kabur. “Aku Atik…..Larasati. Pasti tak kenal, tanggung ( dan tertawa-nya geli, seperti mengejek). Yang dikenal Cuma noni-noni yang cantik-cantik saja tentu kan !” Aku malu sekali dan merasa bersalah. Memang dulu sesudah tamat SD aku tak pernah suka berkunjung lagi di kalangan ningrat yang serba kaku. Dan sekarang … “Saya kira bukan begitu Mbak.” “Allaa…..mari masuk. Sudah lama tadi ?” “Lama sekali. Untung ada malaikat datang.” “Aduh, sekarang menyanjung. Mungkin lapar, Mas Teto ? (kurangajar, aku malu sekali). Mamimu di dalam. “Mami ?” Mami menangis melihatku. Dadaku mulai sesak. Apa betul Papi tertangkap ?. Ibu Antana, nyonya rumah, menghiburnya dengan kata-kata lembut. Dan dari kata-kata itu aku sudah dapat menarik kesimpulan, bahwa harapan berjumpa kembali dengan Papi sudah hampa. Ternyata betul. Papi masuk perangkap. Ia rindu pada Mami dan menulis surat agar bertemu denganya di salah suatu warung di Pasar Senen dekat bioskop Grand. Surat itu (Papi lupa) tentu saja disensor. Mami pun tidak berpikir panjang, dan memang menurut instruksi, Mami merahasiakan semua itu terhadap kerabat puri, sehingga tak sempat mendapat nasihat yang lebih waspada. Begitu Mami menggandeng Papi, begitu Kenpeitai memborgol Papi. Jasa dan tanda cinta terakhir dari Papi pada Mami hanyalah kata-kata tegas kepada Kenpeitai agar membebaskan Mami yang tidak bersalah sedikit pun. Dan Mami dibebaskan. Dibebaskan …? Mulai saat itu aku memasuki babak baru dalam hidupku. Dalam diriku terasa panggilan untuk mengganti tempat Papi. Setelah ditinggal suami yang dicintainya, Mami semakin mundur, kurus dan mudah sakit. Dan semakin diam. Mami lalu mencari hiburanny dalam mistik dan alam gaib. 26 Tidak lama kami menumpang pada keluarga Antana, yang penuh kebaikan hati itu. Sebab Mami tahu,tidak baik terlalu lama menumpang pada keluarga lain. Barangkali Mami merasa bahwa kecenderungan kemurungannya bisa jadi lama kelamaan kurang enak bagi keluarga darmawan itu, yang memang kurasakan, serba gembira, optimis dan pandai saling berdialog dengan ledekan-ledekan jenaka. Dalam hati aku senang di dalam lingkungan keluarga Antana, terutama karena Atik tiba-tiba mengisi kebutuhanku berupa pergaulan adik dengan kakak ; aku yang selalu anak sulung sekaligus bungsu ini. Begitu juga Atik. Tetapi terus terang saja toh aku belum siap mental. Maka sikapku lebih berkadar malu dan minder daripada menerima lahap anugerah lingkungan yang menyenangkan itu. Kami lalu tinggal di suatu rumah kecil di belakang tangsi Penggorengan Senen dengan cara hidup sangat hemat, sederhana dari sisa peninggalan tabungan Papi yang masih lumayan. Bahkan atas desakan Mami aku memasuki Sekolah Tinggi Kedokteran Daigakku. Tetapi di luar kuliah aku jadi “anak kolong” lagi, mencatut sini, mencatut sana, mencari nafkah untuk Mami. O, Mamiku yang kasihan. Sungguh aku tidak pernah tahu, apakah aku harus merangkul menciummu dengan bangga, ataukah harus membunuhmu dengan benci. Sebab menjelang senja itu, di bawah pohon mangga kebun belakang rumah Bu Antana, untuk pertama kali dalam segala tahun yang masih kuingat jelas, aku, anak KNIL yang telah ditempa dengan hati dari tembaga peluru tangsi, yang terbiasa untuk bertahan, toh menangis. Sepulang dari mencari tambahan nafkah catutan di Pasar Senen, aku menemukan rumah kosong. Hanya secarik surat dari Mami yang kutemukan. Dalam bahasa Belanda. Aku harus pergi ke Tante Antana. Tante yang akan menerangkan, ke mana Teto harus pergi untuk”menemukan” Mami. (Aneh, menemukan di antara tanda petik.) Ibu Antana dari semula selalu menunjukkan kesayangannya padaku. Tetapi petang itu memang lebih dari biasanya. Diciumlah batu kepalaku. Disusul sekedar minum teh dan kue-kue basa-basi di kebun, di bawah pohon mangga, di mana aku dan Atik sering main dam dan saling berdebat serta bercanda saling meledek. “Mana Atik ?” “Sedang belajar dengan teman-temannya.” Dan tanpa kutanyakan, keterangan ditambahkan : “Pak Antana baru ke Bogor.” Lalu basa-basi lagi. Rupa-rupanya Bu Antana masih mencari kata-katanya yang tepat. Aku sudah tidak sabar lagi. Lagi hatiku takut. Tetapi akhirnya … “Tetoku, kau boleh percaya pada Tante. Tante hanya mengatakan yang Tante rasakan. Ibumu wanita yang paling mulia jiwanya yang pernah kujumpai selama hidup Tante. Tetoku, kau cinta pada Mamimu ?” Dengan mata membelalak kutatap Bu Antana. Ada apa kok tanya seperti itu ? Tentu saja aku mencintai Mamiku. “Kok Tante tanya …?” “Ah, Tante tanya sebenarnya hanya untuk melahirkan suatu keyakinan, Teto. Pertanyaan yang sudah mengandung jawaban, bukan Teto ?” Tanganku dipegang erat oleh Tante. Sejuk tangan itu. Dan berceritalah Ibu Antana, dengan nada yang jelas menangis, namun tenang dan menguasai diri. Lembut dan bagaikan pegas kursi empuk membuat pukulan masih terasa lunak. Aku sudah tidak ingat lagi pilihan katakata Tante. Pokoknya Mami mendapat ultimatum dari Kepala Kenpeitai yang berwenang atas nasib Papi. Mami boleh pilih : Papi mati atau Mami suka menjadi gundiknya. Mami memilih yang akhir. Dan Mami tidak mau segala kenyataan dirinya ditutup-tutupi. Setadewa anaknya, harus tahu segala-galanya beserta mengapanya. 27 Disertai cium cinta seorang ibu dan permintaan doa … serta maaf. Doa kontan kuledakkan dari hati. Tetapi maaf …? Aku menangis seperti anak kecil. Aku berterima kasih tiada terhingga, bahwa Tante hanya menyeka-nyeka rambutku, membiarkan segala banjir kawah yang meletus habis sampai kering. Aku berterima kasih bahwa saat itu Atik “kebetulan” belajar dengan teman-temannya. Bahkan lalu “kebetulan” menengok neneknya di Sukabumi untuk seminggu. Sebab memang berhari-hari jiwaku terobek-robek. Apakah aku harus bangga dan memuji Mami ataukah aku harus membunuhnya ? Sejak itu Bapak dan Ibu Antana menjadi Papiku dan Mamiku. Selanjutnya tak pernah lagi aku melihat kembali Mamiku yang malang itu. Dan semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau Jepang. Termasuk itu pengkhianat-pengkhianat Soekarno-Hatta. Dan seluruh bangsa yang disebut Indonesia, yang membongkok-bongkok pada Jepang dan berteriak-teriak di alun-alun oleh hasutan Soekarno : “Inggris kita linggis !” Amerika kita seterika ! Dai Nippon, banzai !” Sejak itu, aku bersumpah untuk mengikuti jejak Papi : menjadi KNIL, membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyatnya yang bodoh, pengecut tetapi baik hati itu, segala orang di kolong jembatan dan mental-mental serba kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis, tetapi mendukung bandit-bandit yang membuat Mamiku menjadi gundik. 28 4. Kuncup Mekar Pagi itu, ketika Bu Antana sedang memasak sayuran sambal goreng taoco, Larasati hampir menyeruduknya masuk api. Begitu riang dan bernyala-nyala anaknya itu, menceritakan kabar gembira, ia lulus ujian masuk SMT. “Nah …nah …nah, tenang Tik. Hampir saja ibumu masuk api.” Tapi anaknya tidak ambil pusing dan di muka ibunya ia menari-nari sambil menyanyi-nyanyi lagu ngawur. “Luloos. Luloos.” Terus terang Bu Antana tidak terkejut atau terlonjak mendengar berita itu. Walaupun ia gembira juga. Sebab bagi Bu Antana sudah jelas tidak mungkin meleset, anaknya pasti lulus. Benih yang diwariskan oleh suaminya kepada anaknya memang unggul. Bu Antana sendiri tidak seberapa dalam hal intelek, itu diakuinya ikhlas, walaupun tidak bodoh. Iklim perkembangannya dulu sebagai anak angkat perempuan keraton dengan cara ningrat terlalu menghambatnya. Bu Antana bersyukur, bahwa Atik begitu gembira seolah-olah masalah lulus atau tidak baginya suatu risiko besar yang harus direbut kemenangnnya dengan segala susah payah. Tanda masih cukup rendah hati. Memang anaknya sangat rajin dan pernuh prihatin belajar bersama teman-temannya, akan tetapi ibunya dan ayahnya selalu menganggap soal ujian Atik sebagai upacara pantas-pantas saja. Tata persyaratan yang harus dikerjakan. Yang mereka prihatinkan bukan soal keberhasilan meraih angka di sekolah, Tetapi soal …..Ya, apa lagi selain ini : calon jodoh. Anak lelaki pandai itulah-ideal. Tetapi gadis yang pandai ? Bagaimana nanti menemukan seorang jejaka yang masih lebih pandai lagi dari si Prenjak cerdas ? Dan yang sekaligus penuh kemanusiawian mulia segala kebaikan dan keunggulan yang diminta dari suami yang baik ? Ia haruslah bersyukur ! Alangkah busuknya tidak berterima kasih kepada Tuhan Allah karena diberi anak yang pandai. Tetapi … ah, mengapa hidup selalu dibayangi kata tetapi …? Jaman perang seperti tidak ada habisnya. Sudah tiga tahun Jepang berkuasa dan banyak orang berbincang tentang kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari. Tetapi bagi setiap ibu yang menjadi pertanyaan pokok hanyalah : nasib atau lebih tepat calon jodoh sang anak kelak di kemudian hari. “Bapak kemana, Bu ?” tanya sang Siswajaya seperti kemarin, dan kemarin dulu juga, setelah pulang dari pesta perpisahan kawan-kawan yang terpaksa harus dibuat sederhana. “Besok pagi kan pulang.” “Ke Cipanas lagi ?” Sangat mungkin,” Bu Antana bernafas panjang. Citarasanya merasa intuitip, suaminya menyembunjikan sesuatu. Bukan, bukan soal perempuan lain. Tetapi soal politik. Sama bahayanya dengan masalah segitiga. Tetapi barangkali suaminya hanya biasa saja pergi ke Kebun Raya Bogor atau berdinas ke hutan lagi ke Cagar Alam. Memang itu profesinya. Tetapi toh lain. Perjalanan dinas dan segala yang behubungan dengan kantor dan sebagainya selalu jelas jadwalnya. Suaminya mengikuti cara bekerja Belanda, berdisiplin dan cermat. Tetapi sudah setahun ini, lebih-lebih dalam bulan-bulan Juni-Juli ini suaminya sering, ya jelas terlalu sering, mendadak di luar program rutin pergi entah ke mana, Bogor, ke Cipanas, ke entahlah. Pasti ada sangkut-pautnya dengan politik. 29 Dan Bu Antana tahu, politik di bawah tanah. Dalam batin Bu Antana hanya berdoa, agar semua selamatlah. Ia percaya suaminya tidak akan berbuat gegabah atau yang bukan-bukan. Bukan orang emosional dia, jenis pemikir tenang. Juga bila Atik bercerita dengan semangat tentang gelora Bung Karno, ayahnya selalu meredamnya sedikit. “Soekarno itu api, Kita butuh api. Tanpa semangat tidak ada daya. Tetapi itu baru separoh. Harus disalurkan secara rasional, agar menjadi mesin yang baik jalannya, dan tidak membakar segala hal, termasuk diri sendiri.” Bu Antana tidak tahu banyak tentang bintang-bintang politik masa baru, maklumlah ia terlalu orang pingitan puri ningrat. Tetapi dalam suatu perkara seluruh keluarga bersatu teguh : mereka tidak senang pada Jepang. Artinya pada kaum militer kejam itu. Suaminya selalu berkata : kita harus membedakan antara Jepang sebagai bunga kebudayaan yang tinggi, seperti Cina, India, Arab dan lain-lain, dan dari pihak lain : kekejaman para kaum samurai itu. Ya, Mas Tana benar. Tidak perlu jauh-jauh. Banyak adat-istiadat Jawa juga sangatlah kejam bagi ukuran manusia terpelajar, dan ia bersyukur berganda, bahwa anaknya sudah tidak mengalami lagi iklim ningrat itu. Namun anehnya, lagi intuisinya yang mengarahkannya, Atik toh tetap ia didik dalam alam sopan-santun dan citarasa Jawa ningrat. Pernah mereka bersama-sama melihat film Jepang. Bukan film perang yang biasanya dipropagandakan itu, Tetapi sungguh-sungguh film tentang kehidupan nyata di Jepang. Memang benarlah, dalam banyak hal bahkan dalam segala hal adat budaya kehidupan, musuh-musuh Sekutu itu sangat serasi dan seolah semelodi citarasa Jawa yang halus. Puteri-puteri mereka yang berkimono bersimpuh di tikar tatami, alat yang mengungkapkan jiwa citarasa keindahan yang ningrat. Selera seni mereka yang sungguh mengirikan, pohon-pohon sakura dan hubungan erat antara anggota keluarga, disiplin dan kesepakatan sukarela mematuhi cara-cara saling bergaul dan berkomunikasi, itu yang sering menimbulkan pertanyaan. “Bagaimana mungkin, citarasa yang begitu mulia dan halus kok bisa menikah dengan kekejian sadis militer dan kehausan nafsu kuasa mereka.” Suaminya tidak pernah mampu menjawab pertanyaan itu. “Aku pun heran dan sungguh, ini misteri bagiku.” Atik berkesimpulan sederhana, kendati tidak jelas bagaimana konkritnya nanti : “Kalau Indonesia kelak medeka, negara kita tidak akan kejam.” Mudah-mudahan, Tik.” “Tidak boleh mudah-mudahan, Pap. Harus.” Atik memang sudah menjadi pemudi yang bergelora. Api pijar Bung Karno sudah menyala di dalamnya. “Ya, harus. Kau benar. Tetapi ribuan orang sudah terdidik oleh kaum samurai itu. Dan dalamlah pengaruh itu sudah. Dengar cara sahabat-sahabat kita berkomando dan berpidato serta bersikap persis Jepang.” “Ya, itu kan baru kulitnya, Mas. Toh bagaimana pun bangsa kita ini timur.” “Jepang pun timur.” “Kita memohon saja. Hanya itu yang bisa kita lakukan.” “Ditambah perjuangan,” tambah suaminya serius. 30 Nah, kalau sudah sampai sekian, intuisi Bu Antana maklum bahwa suaminya memanglah sedang mengerjakan sesuatu aksi politik di bawah tanah. Ia tidak pernah bertanya lebih lanjut. Kepercayaan puteri Jawanya yakin, bahwa bila memang perlu, suaminya akan menceritakannya dengan sendirinya. Tetapi kalau dia diam, itu jelas ada juga alasannya yang syah. Dan Bu Antana yakin lagi : Itu juga pasti demi keselamatan sang istri dan anak-anak. Ah, semogalah selamat. Apa yang bisa diperbuat perempuan selain berdoa ? ditambah membuat sambal goreng taoco, kesenangan suaminya ? Tiba-tiba, entah dari mana bisikan ilham, Bu Antana mengajukan usul : “Kau harus merayakan lulusmu dengan Teto.” “Ah, Teto.” Dan langsung Atik diam merenung, sehingga ibunya menyesal, mengapa dalam saat gembira itu ia memberi suatu bayangan hitam. Tetapi memang entahlah, dari mana Bu Antana pun tidak mengerti, mengapa Teto terlonjak ke luar. Apakah Bu Antana juga sudah mulai menaksir dan sedikit banyak berkesimpulan, bahwa dari sekian teman, sebenarnya Si Tetolah yang selalu terbayang sebagai calon menantu ? Tetapi bukankah itu suatu permainan yang berbahaya ? ‘Teto sekarang sudah bukan yang dulu, sejak melapetaka mengenai dirinya, ibu dan ayahnya. Duh Gusti ¹⁾ lakon sering kejam. Sungguh sangat beruntung keluarga Antana masih utuh dan tidak mengalami kekejian nasib yang menimpa keluarga Kapten Brajabasuki. Dalam pandangannya, beserta suaminya ditambah Atik, Oom Bas adalah pahlawan. Juga istrinya, itu Marice, wanita Indo yang baik namun malang itu, dalam kenangan keluarga tetaplah tanpa noda. Maka dalam lubuk hati Bu Antana sering hinggap bagaikan burung merpati, keyakinan : “Seandainya saya dalam keadaan seperti Marice, pasti saya berbuat yang sama juga. Bagaimanapun pahitnya.” Tetapi segera pikiran seperti itu dikipaskan pergi, sebab memang terlalu ngerilah kalau dipikirkan terus. Keindahan dan kekejaman, mengapa keduanya itu sering bergandengan dan kawin ? “Maaf Tik, ibumu tadi hanya terlena omong. Kau benar-benar boleh memilih sendiri teman-teman yang akan diundang sekehendak hatimu.” Tetapi Atik tenang mendekatinya, dan sambil menolong ibunya mengambil panci sambal goreng itu dari api, ia berkata dengan mata nanap namun tampak sedih : “Dari sekolah sambil bersepeda Atik tadi juga sudah berpikir, Bu. Teto harus ikut merayakannya. Tetapi bagaimana caranya ? Dan lagi, apa dia mau ?” “Barangkali hanya harus dicarikan akal, bagaimana caranya berpesta.” “Ah, iya itulah Bu.” Panci diletakkan di atas meja dapur dan dirangkullah ibunya erat-erat. “Ibu, aku sungguh kasihan pada Teto.” Ibunya tidak dapat mengucapkan kata hiburan satu pun. Sekarang jelaslah apa yang selama berbulan-bulan ini hanya dapat diduga oleh ibunya : kata kasihan di sini sama artinya dengan cinta. Pada hal justru satu itulah yang ia khawatirkan. Bukan, bukan karena Bu Antana tidak simpati pada Teto. Tetapi situasi sudah begitu berubah. Jaman pesta-pesta di rumah Pangeran kakaknya juga sudah lampau. Ini jaman kejam. Atik, Atik anakku, memang sudah nasibmulah kau mengalami jaman serba tidak keruan ini ? ¹⁾ Ya Tuhan. 31 “Ibu juga kasihan pada Teto ?” Lirih ibunya berbisik ke dalam telinga anaknya : “Tentu saja. Siapa tidak kasihan pada sahabat bila mereka tertimpa kecelakaan.” Tiba-tiba rangkulannya dilepas dan berlarilah Atik ke luar dapur. Bu Antana mengikutinya beberapa langkah. Sudah tahu, ke kamar tidur dia. Biar ia menangis dulu. Dan sambal goreng itu dimasukkan ke dalam almari dapur. Nanti masih perlu dihangatkan sebelum dihidangkan di meja. Tetapi siang ini jangan-jangan suaminya tidak pulang. Dan di mana Teto sekarang ? Pesta apa yang paling tepat ? Malam hari itu, sesudah mencuci piring dan memeriksa gembok-gembok dapur, gudang dan pintu gang keluar, Atik seperti lazimnya ikut duduk dengan orang-tuanya di ruang tengah. Ibunya biasanya merenda sesuatu, dan ayahnya rileks merokok sambil mendengarkan musik dari radio yang disegel. Musik apa pun, biar itu dari Jepang, pantas dinikmati juga. Kecuali musik yang jelas bombastis propaganda kosong. “Mbok Inem sudah beristirahat Tik ?” “Tadi saya beri pil kinine dua butir.” “Ya. Mbok Inem sudah tak bisa bekerja lagi sebetulnya. Akhir-akhir ini terlalu cepat ia menjadi tua dan bergetar tangannya.” “Sulitnya ia tidak mau disuruh istirahat,” kata istrinya. “Memang dapat dipahami. Orang yang selama hidup tertbiasa bekerja keras, tidak mungkin begitu saja senang menganggur. Dan lagi siapa senang menganggur ?” “Mbok Inem menderita,” sambung istrinya lagi. Anaknya diberangkatkan sebagai romusha ¹⁾. Mengapa sampai terjadi itu ?” “Romusha kan boleh pulang kelak, Pak ?” “Ya, selalu saja itu mungkin,” (dan nada getir sinis) “istilah sekarang : kelak di kemudian hari.” “Susah juga menjadi nenek yang kesepian begitu,” keluh Atik dengan iba hati. Ayahnya diam. Ibunya juga diam. Hanya tik-tak dari jam Junghans yang terdengar seperti nenek bersuara rendah berwibawa memperingatkan datangnya jam saat tidur, dan nasihat, betapa pendek jenjang hidup manusia. Jam merk Junghans itu sudah cukup antik, kurus persis kakek bentuknya. Kacanya di ketiga sisinya berpigura rusuk-rusuk bulat buatan kuna yang dimahkotai semacam jamang ²⁾ atau diadem kayu berukiran. Mesinnya tampak semua dari samping dan lebih memberi kesan “rohani” pada jam itu, tembus pandang, seolah-olah sudah “badan halus” Angka-angka pada piringan masih angka-angka Romawi, dan jarumjarumnya seperti dua jantung hati yang selalu rukun. Yang pendek gemuk itu si suami dan yang berlari cepat semampai itu si istri. Begitu selalu Bu Antana melihatnya. Bandulnya tembaga ukiran dan tergantung pada tangkai berbatang tujuh lidi-lidi kuningan yang sejajar, sungguh-sungguh bergaya antik berwibawa dan … setia. Tidak pernah bejalan terlalu cepat atau terlalu lambat. Entah barangkali naluri wanitalah yang membuat jam itu kadang-kadang menumbuhkan rasa takut. ¹⁾ Budak-budak kerja paksa jaman Pemerintahan Jajahan Jepang. ²⁾ Mahkota, ban hias kepala. 32 Menghadapi jaman perang dan nasib tidak jelas sebagai akibat situasi politik yang serba tak menentu ini. Sering Bu Antana gemetar bernafas cepat pendek-pendek berdebar bila melihat jam antik itu. Di Jalan Kramat ini Bu Antana sebetulnya tidak begitu suka. Tetapi hal ihwal peristiwa kedatangan Jepanglah yang menyebabkan mereka harus pindah ke Jakarta. Rumah ini milik Kanjeng Ibu Suri dari Pangeran Hendrningrat dan beliau menghendaki rumah ini selalu didiami orang ; takut nanti digarong orang. Sebetulnya ia dan suaminya lebih suka tinggal di Bogor, kota tenang itu, tetapi Bu Antana tahu kedudukannya sebagai anak seorang gundik Keraton berdarah rendah yang sudah untung mendapat anugerah dianggap sejajar dengan abang tirinya Mas Hendradininrat. Selain itu, pertimbangan, ada baiknya juga Atik bersekolah di kota pusat dengan pergaulan yang lebih luas dan lebih bermutu, membawa mereka ke Jakarta ini. Di Bogor tidak banyak pekerjaan bagi suaminya, karena resim Balatentara Dai Nippon tidak banyak memberi anggaran. Yang mereka perhatikan hanya hutan jati. Sayang sebetulnya. Suaminya sering sedih menceritakan penggundulan gununggunung. Tetapi tanpa anggaran ia pun tak berdaya apa-apa. “Kau lelah, Tik,” kata ayahnya seraya memandang kepada anaknya yang terhanyut dalam kantuknya. “Sana tidur dulu. Beban sekolah menengah Tinggi sebentar lagi cukup berat.” Atik berdiri, sebab ia memang ingin melamun sendiri. Ia mendekati ayahnya, menaung agar keningnya dicium ayahnya selaku ucapan Selamat tidur. “Selamat malam, Pap.” “Selamat bermimpi indah, Tik.” “Ibunya, mencium pipinya : “Esok masih ada hari cerah.” Atik hanya menjawab : “Selamat malam, Bu.” Kedua orang-tuanya pelan berputar mengikuti gadis itu berjalan menuju kamar tidur. Sesudah pintu tertutup keduanya saling berpandangan, Suami istri sudah tahu apa yang dipikirkan masing-masing. Ke mana lalu ? Ya, ke mana ? Jam gantung bertik-tak terus. Seekor cicak berseru seolah ikut prihatin. Seorang penjaja sate bahkan membuat suasana malam lebih sepi lagi. Daging bekicot dianjurkan oleh pihak berkuasa. Tetapi orang-orang Madura itu tidak pernah berkekurangan daging ayam untuk sate. Hanya sebetulnya terlalu pagi mereka berkeliling. Jam malam menghambat mereka juga. Kedua suami istri itu hanya duduk diam saja. Ya, indah begini. Tanpa kata menghayati kebersamaan. Kehadiran, itulah jawab pada dambaan dua jiwa yang margo kulino ¹⁾ sudah dijumbuhkan melumer dalam satu kedagingan dan kesatujiwaan ranjang serta hal ihwal hidup sehari-hari. Juga tanpa sepatah kata biasanya mereka sudah saling berdialog. Biar rasa yang berbicara, getaran-getaran halus nikmat pengejawantahan Kama dan Ratih. Kenikmatan rahasia, yang (ah, betapa bodoh) dulu ketika masih mempelai muda dianggap oleh Bu Antana sebagai keharusan yang jijik tetapi wajib. Pada hal ternyata kelak itu terasa sebagai laras ing ati ²⁾ berkat margo kulino ; sebagai suatu yang semakin wajar dan sekaligus indah. Indah, karena di dalam kejumbuhan jazat yang satu itu tidak terasa lagi Gusti ³⁾ atau Kawula ⁴⁾. ¹⁾ Berkat pergaulan sehari-hari. ²⁾ Harmonis dalam hati. ³⁾ Tuan. ⁴⁾ Hamba. 33 Atau lebih tepat,yang dirasakan ialah kemanuggalan dua garwo alias sigaran nyowo ¹⁾, belahan jiwa yang saling menemukan diri sebagai pengejawantahan kemanunggalan para dewata. Dan bila Bu Antana sedang menghayati kehanyutan nikmat kewanitaanya, samar-samar segala itu merupakan ucapan sembah kepada kahyangan ²⁾ juga, beserta permohonan, agar Atik anaknya pun diperkenankan merasakan yang dirasakan ibunya. Tadi selama makan petang, Atik sendirilah yang mengusulkan. Agar jangan diadakan pesta. Dengan serius dan begitu meyakinkan sehingga kedua orang-tuanya tercengang. Tetapi Atik tetap memohon acara pengganti. Sekali lagi, Atik ingin berpesta, tetapi dengan cara menyelusup ke dalam alam hutan atau puncak gunung bersama ayahnya. Sudah sejak Atik bersekolah di SMP, ya sejak Jepang datang, wanawisata ³⁾ yang dulu sering dialami di SD tidak pernah lagi dilakukan. Karena situasi darurat perang tentu saja. “…bersama ayah.” “Hanya dengan ayah ?” tanya ibunya tersenyum dikulum. “Ah, andai saja bisa bersama dengan Teto.” Tetapi Atik hanya menjawab itu di dalam hati, dan berkerja setengah menghindari : “Ya, dengan siapa lagi.” Semua tahu siapa yang ia maksudkan. Tetapi ayah-ibunya diam saja. Tidak semua yang diketahui harus juga dikatakan. 34 ¹⁾ Belahan Jiwa. ²⁾ Surga para dewata. ³⁾ Perjalanan mempelajari hutan. B a g i a n II 1945 - 1950 5. Anak Harimau Mengamuk Ya, betul ! Aku dulu masuk NICA ¹⁾ Mau apa ! Sekarang aku tahu, itu keliru. Tetapi apa manusia tidak boleh keliru ? Lagi pada saat itu, aku yakin bahwa apa yang dikehendaki kaum Nasionalis keliru. Orang-orang Indonesia belum matang untuk merdeka. Aku tahu, tidak pernah manusia matang untuk menangani hidupnya sendiri pun. Tetapi suatu saat kita harus memilih pihak. Dan aku memilih Belanda. Karena aku jakin ketika itu, bahwa tidak sebandinglah korban akibat ketidak-dewasaan dengan keuntungan yang akan dicapai. Itu dilihat dari titik penglihatan orang kampung, anak kolong. Kan aku sudah bilang, aku anak kolong, dan aku bangga jadi anak Kumpeni. Bangga ikut bergerak di bawah tanah melawan Jepang, justru pada jaman orang-orang kita serba membongkok ke arah Si Cebol Kuning itu. Justru pada jaman beribu-ribu orang romusha diserahkan kepada kaum sadis made in Japan itu. Ayahku dan aku dan Mami jauh lebih merdeka jiwanya dari itu kaum Soekarno yang menghipnotisir massa rakyat menjadi histeris dan mati konyol hatinya karena mengandalkan bambu runcing belaka melawan Mustang-mustang dan meriammeriam Howitser yang pernah mengalahkan tentara Kaisar Jepang. Maaf, Anda keliru alamat menamakan aku budak Belanda. Bagiku NICA hanya sarana seperti Republik bagi mereka sarana juga. Segala omong-kosong tentang kemerdekaan itu slogan belaka yang menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung akan lebih merdeka di bawah Merah Putih Republik daripada di bawah mahkota Belanda ? Merdeka mana, merdeka di bawah singgasana raja-raja Jawa mereka sendiri daripada di bawah Hindia Belanda ? Papi jelas lebih merdeka di Magelang dari pada di Mangkunegaraan. Inilah kesalahan logika mereka : menyangka seolah negara sama dengan rakyat. Jika negara merdeka, orang mengira rakyat otomatis merdeka juga. Nonsens. Lihat seluruh sejarah dunia dong. Tetapi awal masuk NICA bagiku tidak sama dengan menjadi budak Belanda. Itu lain ! Dan ini terang-terangan kukatakan di muka hidung Mayoor Verbruggen, komandan batalyon NICA di pos depan Harmoni yang cocok sekali namanya : “Jagamonyet.” “Mayoor, aku ditangkap oleh serdadu-serdadumu. Terima kasih. Tetapi jika kalian menembak aku, kalian kehilangan seorang sekutu yang bermilai satu juta orang Republik.” “Besar benar mulutmu anak kelinci.” Spontan aku berkecak pinggang dan sengaja agak berlebihan menjajakan kelelakianku. “Satu kali lagi aku kausebut kelinci atau nama-nama hinaan, tak perduli sten-gun sedadu-serdadumu ini, kau akan menggerang sampai kedengaran di Den Haag sana.” Kontan aku ditempeleng seorang NICA Ambon. ¹⁾ Netherlands Indies Ciwil Administration, Pemerintah Penguasa Hindia Belanda. 35 Kusambar mereka, sebab aku percaya mereka tidak akan menembak di muka seorang mayoor (yang, mereka tidak tahu, adalah sahabat Papiku di Akademi Breda dulu). Betul, Mayoor Verbruggen hanya menyuruh mengikat kedua tanganku dalam gerak yuyitsu oleh salah seorang body-guardnya, seorang kuda Sumba yang sungguh seperti kedondong Benggali rupanya. Mayoor Verbruggen mengambil sebatang cerutu besar dari kotak laci bironya. Tenang ia mengupas pucuknya dengan golok dan lebih pelan lagi ia mulai menyalakan cerutu itu, yang segera menghembuskan bau harum yang sudah lebih dari empat tahun tidak pernah lagi kuhirup. Tetapi mataku tajam memancar langsung ke mata mayoor itu. Ia mulai tersenyum lihay. “Di mana orang muda ini ditangkap ?” tanyanya pada bawahannya tanpa beralih pandang dariku. “Di Pasar Baru, Mayoor. Ia berjalan sendirian dan provokatif sekali, tangannya dimasukkan di dalam saku pantalonnya sambil bersiul-siul. Kami tak ambil risiko dan terus kami tangkap.” “Tetapi ia tidak memakai tanda merah-putih pada dadanya, Tuan Mayoor, “kata seorang sersan dengan logat Jawa. “Dan sepanjang jalan ia terus-menerus ingin bertemu dengan mayoor yang bernama Verbruggen.” “Zo,zo, kedua tangannya di dalam saku celana sambil bersiul. Nyanyian romantis tentunya, bukan ?” dan mayoor itu tertawa kecil seperti nenek-moyang kuda Belgia yang belum pernah kulihat, tetapi yang pasti persis Si Mayoor itu. Tiba-tiba ia berdiri dan mendadak menggebrak meja dan berdentum seperti meriam suarnya : “Verdomme ! Saya pernah melihat kau. Siapa kau ? Dan jangan bohong pada Mayoor Verbruggen, tahu anak kelinci ! Ya, kau anak kelinci. Verdomme ya, kau anak kelinci.” Aku terkejut juga mendadak diroket kerongkongannya yang harus kuakui, sangat berwibawa dan mengerikan. Tetapi aku tak gentar, sebab aku merasa pasti akan perkaranya. “Kalau Mayoor ingin tahu namaku, harap kedua tanganku dibebaskan dulu.” “Benar-benar tidak tahu sopan-santun kau, ya. Apa hubungannya dengan kedua tanganmu ? Sakit, anak kelinci ?” dan ia tersenyum ironis. “Aku bawa surat untukmu.” “Heh ?” dan cerutunya dilepaskan dari mulutnya yang bergigi warna gading tetapi rapi. “Apa-apaan surat segala.” “Dari Marice.” “Heh ? Marice ?” dan mata serta mulut melompong bolong seolah ia bertemu dengan Soekarno himself “Sekarang aku tahu. Hei gila. Kau apanya Marice ? Kau anak dari Marice ? Ah …ah … Betul kau anak dari Marice ?” Mayoor itu duduk bertiduran pada sandaran belakang kursinya, jari-jari main piano di meja. Lama mengamat-amati aku dengan diam di bawah kepulan asap cerutunya. “Marice, Marice … ah …(dan ia memerintahkan bawahannya) hei, kalian keluar dari kamar ini. Biarkan anak muda ini di sini.” Serdadu-serdadu itu keluar persis kunyuk-kunyuk. Zo, zo …jadi kau anak dari Marice,” ia berkata agak bengong. 36 “Mari duduk … siapa ? Yan, Piet, Karel ? Atau Willem ?” “Leo” (Saya tidak mau menyebut nama Teto. Kok, seperti anak kecil). “Zo, zo, Leo ! Jadi kau membawa surat dari Marice ? Apa isinya ?” “Silahkan baca sendiri Mayoor. Maaf, pinjam golok yang tadi itu.” “Golok ?” (tetapi ia toh memberikan benda itu padaku.) “Maaf Mayoor,” dan kubuka kancing celanaku. Dengan pisaunya kusobek bagian tempat sabuk dan kukeluarkan seikat kertas. Kuserahkan itu kepada perwira itu. Seperti merenung kertas itu dterima, dipegang. Ia melihatku, melihat kertas itu lagi. Kertas itu tetap belum dibukanya. Dengan hangat ia bertanya padaku : “Ibumu cerita apa saja tentangku ?” “Mayoor dulu melamar ibuku,” jawabku langsung tanpa putar-lingkar. Sebab akhirnya toh itulah yang ingin ia ketahui. “Untung saya tidak jadi ayahmu.” Komentarnya dingin sambil menyeringai. Kertas itu belum lagi dibukanya. Matanya menembus mataku. Dan segera aku tahu, bahwa ia masih menderita karena ibuku menolak dia. Risiko juga aku di dalam tangan kekuasaannya, kupikir agak khawatir. Kalau-kalau patah hatinya menjadi benci ? Untung-untungan. Di jaman kacau-balau ini tidak ada yang safe. Seperti ia membaca pikiranku ia menghembuskan nafas panjang dan berkata lirih : “Marice ! Marice.” Pada saat itu aku tertumbuhi simpati yang sangat dalam kepada perwira ini. Sebab ia jelas pernah dan rupa-rupanya terus menerus mencintai ibuku. Tiba-tiba basah mataku dan bagaimanapun aku berusaha, aku tidak bisa menahan tangisku. Marice yang malang. Yang ternoda dan ickhlas menjadi binatang piaraan musuh-musuh dari suami yang ia cintai. Mengapa hidup tidak bisa sederhana ? Mengapa selalu segala yang indah berdampingan dengan yang kotor dan berbau ? Jika benar cinta dan kemesraan pria-wanita itu mulia dan bersumber kebahagiaan, mengapa Tuhan menciptakan tubuh kita sedemikian, sehingga organ cinta didekatkan berdampingan bahkan bersatu dengan lubang pembuangan kotoran ? Sungguh, jika aku memikirkan nasib Mami, gelaplah hatiku sampai aku tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, jangan lagi tuhan yang disebut Mahabaik dan Mahapengasih. Mengapa Marice menolak perwira yang simpatik ini, yang tampan dan tampak perwira tulen itu ? Dan bahkan memilih seorang Belanda hitam yang blo’on dan yang tidak terlalu cerdas menghadapi Kenpeitai Jepang ? Apa Mayoor Verbruggen sudah tahu bekas kekasihnya menjadi lonte Jepang ? Jangan. Tidak boleh ia tahu, Apa yang ditulis Mami dalam surat itu ? Tentulah minta perlindungan untuk Leo anaknya. Apa lagi yang akan ditulisnya ? Entahlah, Surat itu kuterima dari Bu Antana dua hari sebelum hari yang mengerikan, demontrasi di lapangan Ikada sesudah Soekarno-Hatta memproklamirkan Republik. Bu Antana berkata, Mamiku malang telah meninggal dunia dan ia menerima surat itu melalui seorang tukang kebon rumah Komandan Kenpeitai itu. Menurut tukang kebon itu, Mami sakit tifus. Dikubur ke mana ? Tidak ada sepasang mata melihatnya. Tetapi dalam hatiku Aku kurang percaya tentang sakit tifus itu. Orang-orang negeri ini pandai mempermanis berita-berita pahit. Lebih logis, bila Mami bunuh diri daripada menghadapi malu, sesudah tahu Jepang kalah. Marice sayang, Marice malang. 37 Papi dan Mami tidak pernah merahasiakan pribadi Verbruggen untukku, sebab hubungan Mami dengan suaminya yang Jowo itu sangatlah kokoh. Aku sering kagum pada Papi, mengapa ia sanggup memikat hati si noni cantik Marice. Tetapi wanita memang rahasia besar. Lelaki hanya bungkusan rahasia itu, bahkan biasanya bungkusan yang kaku dan lekas robek. “Kau sudah tahu isi surat ini ? ia bertanya kepadaku. “Belum, Mayoor, barangkali hanya minta perlindungan untukku, jika ada apaapa.” “Jika ada apa-apa. Pemberontakan Soekarno itu apa-apa atau bukan apa-apa ? Tolol” Ia berdiri, dan pelan-pelan menuju jendela. Dari balik kaca jendela kulihat bendera merah putih biru pada tiang, lesu seperti ogah-ogahan berkibar di bumi ini. “Verrekt” ¹⁾ umpatnya. “Perang Dunia begitu dahsyat sudah selesai, sekarang malahan perang monyet sinting ini. Itu orang Inggris harus digantung semua. Saya sudah berkali-kali bilang : Kalau kita ini betul-betul putra-putri keturunan de Ryuter atau Tromp ²⁾ mustinya kita harus menggasak orang Inggris. Bukan orang Insulinde. (Tetapi tiba-tiba) Marice ! Marice ! …(ia tetap memandang keluar jendela) Hei Leo, ibumu tinggal di mana sekarang ?” Bagaimana Basuki ayahmu ?” “Sudah di surga. Kalau ada surga.” “Heh ? (Dan spontan ia menoleh kaget padaku.) Sudah meninggal ? Mana mungkin. Verrekt ! Dibunuh orang-orangnya Soekarno, ya ?” “Tidak. Jepang. Tentang Papi, tak ada berita sedikit pun.” “Anjing kampung memang die Yappen ! Betul Si Truman. Dicekoki bom atom saja mereka, cebol-cebol itu.” Ia menoleh kepadaku. “Kau tinggal di mana ?” “Di mana-mana.” “Di mana-mana ? Gila kau. Gila. Persis ibumu Gila.” “Jangan menyebut Mamiku.” “Jangan lekas marah. Tidak ada di dunia ini yang begitu cinta pada Marice seperti Verbruggen. Tahu kau ?” “Apa Mayoor mengira, kapitein Basuki tidak sangat cinta Marice ?” “Ah, bukan itu maksudku. Kau ini kelinci muda benar. Begitu aja nggak nangkap. Sudah, bacakan, Mamimu menulis apa. Asal jangan testamen untuk menitipkan anaknya pada saya. Sebab saya ini bajingan, tahu ya, bajingan akibat Marice menolakku. “Bukan Mami menolak, Mayoor. Tetapi kehendak Tuhan,” komemtarku bernada sinis. “Ah, Tuhan dibawa-bawa lagi. Kalau logikamu lengkap, itu berarti saya dibenci Tuhan, begitu ?” “Mayoor, apakah mencintai itu harus mengawini ?” “Hallo, Filsof Hijau. Apa tahumu tentang cinta dan perkawinan. Tutup mulut kau kalau tidak mau disebut tolol atau saya pukul jadi saua nanas. Apa tahumu tentang cinta. Cinta yang ditolak ?Bah (Dan ia melihat keluar jendela lagi). Omong ngawur tentang cinta ! Sudah, saya muak. Saat ini yang penting, bagaimana menghancurkan itu permainan gila bikin-bikinan Republik. (Ia melihat lagi keluar. Brndera merahputih-biru sedikit berkibar, tetapi lesu lagi.) ¹⁾ Ungkapan bahasa Belanda :”Keseleyolah kau !”. ²⁾ De Puyser dan Tromp adalah admiral-admiral pahlawan Belanda yang jaya Melawan Angkatan laut Inggris pada abad 17. 38 Verrekt ! Andai saja itu Mountbatten¹⁾ tersandung ranjau Jepang jadi kepingkeping biskuit ! Sudah berapa kali kukatakan : Inggris itu serakah dan tidak rela Batavia menjadi saingan Singapura dan Hongkong. Itulah persis motivasi mereka main patgulipat dengan Sukarno lebih tepat dengan Si Kancil cerdik yang jauh lebih berbahaya … eh siapa dia ? … Sysysyahrir. Huh ! Seperti nama orang kanibal . Hei Leo, ini komando. Baca surat ibumu ini. Ayo. Kalau tidak, tulung rusukmu patah semua nanti.” Dan kertas itu dilemparkan padaku. “Mayoor benci pada Mamiku ? “kutanya nekad. “Baca !” teriaknya seperti halilintar yang membuatku kaget. “Ya, Mayoor,” akhirnya aku sedikit merasa kalah. Kubuka surat Mamiku. Tetapi aku pun tidak bisa menahan kekalutan jiwa dan aku hanya terdiam saja tidak bisa apa-apa. Surat itu terjatuh di lantai. “Bagaimana ?” Ia menoleh dan ketika melihatku penuh emosi, ia menghampiriku, bahuku ditepuk-tepuk penuh pengertian. Ia mengambil korek api dari sakunya dan pelan surat Mamiku dibakar. Lalu aku diajaknya makan bersama dia. Makanannya tidak segar dan hanya diambil dari kaleng rasion bekal standard tentara USA. “Mayoor, “ kataku sambil makan. “Aku mohon diperbolehkan masuk Tentara Kerajaan.” “Tentara Kerajaan itu tentara Belanda totok dari negeri Kincir Angin. KNIL, nah ini tentara sewaan Hindia Belanda. Tentara Kerajaan itu tentara sinyo-sinyo pucat dan berbau keju. Kalau KNIL, nah ini gerombolan bandit VOC ! Hahaa,” dan tertawalah ia untuk pertama kali. “Mau ikut main bandit-banditan ? Kolonel Drost ²⁾ dan Jenderal Spoor ³⁾pasti marah kalau mendengar omonganku ini, tapi mau apa lagi. Orang Belanda, kata orang, terkenal nuchter⁴⁾ dan jujur apa adanya, bukan ? Nah, apa buruknya jadi bandit VOC, kan katanya Si Jan Coen itu pahlawan kerajaan kami. Maka konsekwen dong. Tapi yang penting : kau mau ikut kami ? Okay ! Dan karena kau anak dari Marice, kau tidak perlu mulai dari sedadupantat-sepak. Langsung saya jadikan letnan dua. Semua mungkin dalam darurat perang. O ya, ini alasan juga. Untuk menghormati seorang pahlawan gerilya melawan Jepang. Kapitein Basuki, yang notabene menang perang rival terhadap saya, tetapi kalah dibekuk monyet-monyet sipit. Tragis, sungguh tragis kehidupan bapakmu itu. Dengan catatan : Kalau kita memang ingin tragis. Jadi, kalau kau mau, segera kau kuangkat jadi loitenant seperti bapakmu dulu ketika tamat bersamaku di Breda⁵⁾ .” “Tetapi aku belum bisa menembak. Bagaimana jadi loitenant. Serdadu biasa pun mau.” ¹⁾ Panglima tertinggi pasukan-pasukan Sekutu di Asis Selatan dan Tenggara. ²⁾ Komandan pasukan-pasukan Belanda di wilayah Jakarta. ³⁾ Panglima tentara Belanda di Indonesia. ⁴⁾ Rasional dingin. ⁵⁾ Nama kota tempat Akademi Milter Kerajaan Belanda di Nederland. 39 “Nonsens. Anak Kapitein Basuki legiun Mangkunegara kok serdadu biasa. Ayo jangan anstil¹⁾ kayak perawan rumah-piatu susteran. Bagaimana ?” Ia mengulurkan tangannya minta dijabat. “Okey! Tapi asal diberi pelajaran menembak dulu.” “Ah, omong kosong saja kau ini. Bedil sekarang otomatis dan main brondongan. Serampangan saja ditembakkan ke segala arah, dari 100 peluru pasti ada tiga atau lima yang mengenai sasarannya. Yang penting : pakai akal sehat ! Ini yang penting untuk perwira. Bukan melayangkan peluru atau berbaris, tetapi berpikir logis. Musuh kita bukan tentara Jerman, tetapi kaum bandit juga, kan. Saya pun pakai akal sehat. Kau saya jadikan letnan dengan alasan kau sangat kenal Batavia dan daerah pedalaman. Siapa tahu kapan-kapan kau akan kami turunkan dengan parasit di daerah pedalaman Republik terkutuk ini. Pokoknya kau harus membuktikan diri beroperasi di Batavia ini dan menertibkan kota ini dulu. Sambil berjalan kau segera jadi letnan. Tahu ? Kalau kau betul-betul anak syah dan bukan haram jadahnya Kapitein Basuki, kau musti bisa. Dan jangan memalukan Marice ibumu.” Tiba-tiba aku sedih lagi, Maricelah yang memalukan kami. Atas nama cina. Harus begitukah jalan kehidupanku sekarang ? Verrekt ! Budak-budak Jepang itu harus dihajar. Itu yang penting. Letnan atau kopral, toh suatu saat aku harus berbuat sesuatu yang haibat. Anak kolong selalu haibat. Dalam waktu seminggu aku belajar menembak ; cukup tidak memalukan untuk menjadi komandan patroli. Mayoor Verbruggen memberi aku dua bulan untuk naik pangkat menjadi letnan II. Hal itu hanya mungkin dalam keadaan kacau. Tetapi NICA membutuhkan tenaga sebanyak mungkin dan Verbruggen tahu bahwa aku punya darah komandan. Tugas patroli pertama yang kuperoleh menuju Tanah Abang. Tetapi sepulang dari sana langsung aku menggenjot jip ke jalan Kramat VI ke rumah Bu Tana. Sudah sejak Agustus yang naas itu, ketika aku menerima surat dari Mamiku malang, keluarga Antana dan khususnya Atik tidak kukunjungi. Aku rindu pada mereka, sebab dari masa lampauku hanya tinggal merekalah yang kurasakan dekat. Ke mana mereka ? Masih tinggal di Kramat tenang itu … ataukah …? Dengan tancap gas pol nyaris dol aku ngebut ke Kramat. Dalam hati khawatir, jangan-jangan aku datang terlambat. Banyak gadis di dalam kekacauan tak keruan ini diperkosa oleh macam-macam pihak. Atik, pasti kau sangat kecewa melihat aku sebagai musuh Soekarno. Di jaman Jepang kita selalu berselisih paham mengenai orator kolaborator Jepang itu, tetapi juga seumumnya, tentang apa yang kausebut cita-cita kemerdekaan dan sebagainya. Aku sungguh tidak mudeng. Larasati, kau yang raden-ayu dari puri Surakarta, dengan nafas keluarga raya Jawa yang paling modern dan paling setia kepada Ratu Belanda, mengapa Atik begitu naif berbicara tentang macam-macam impian bangsa yang hanya impian saja ? Dan jiwaku semakin benci kepada orang tampan perlente Si Soekarno yang, masygul kuakui, mempunyai dayapikat luar biasa untuk semua wanita. Termasuk Atik. ¹⁾ Dari kata aanstelling (Bld) : manja dan sentimentil. 40 “Teto, kau mcnganalisa terlalu logis. Kau harus sanggup membaca kcjadian yang sebenarnya di antara baris-baris yang tercetak,” begitu selalu Atik mcngakhiri perdebatan kami. "Selama kau belum mampu itu, mijn lieve Raden Mas Sinyo, kau masih menjadi tawanan huruf-huruf mati." Aku selalu jengke1 pada gadis satu ini. Bukan pertama-tama karena ia berpandangan lain, sebab tentang hal itu aku sungguh bukan orang Jawa; dapat tahan melihat orang lain berpendapat lain. Tetapi karena sebutan mijn lieve itu, yang artinya: sayangku manis. Yang dalam perasaanku ketika itu bernada ironis. Arau paling sedikit aku menangkapnya begitu. Ironis dan agak mengecilkan diriku. Kan aku dua tahun lebih tua Anak 17 tahun omongnya seperti guru. Jawabanku juga selalu: "Yang kubaca itu fakta. Dan fakta menunjukkan, semua priyayi dan orang-orang Indonesia yang punya pangkat jelas pro dan membongkok kepada Jepang. Titik! Yang anti Jepang tetapi tak berdaya adalah orang-orang kecil, orang kampung, orang anak kolong. Seperti aku ini. Dan beberapa gelintir orang di bawah tanah seperti ayahmu," "Dan aku?" (Sengaja mengejek serba menjengkelkan.) “Ya, kecuali kau. Itu yang sungguh aku tidak paham.” "Oh ya?" dan ia memandangku dengan mata hitam lebar. "Kan Atik melihat sendiri. Bagaimana mungkin bangsa yang masih membongkok kepada perarnpok-perampok mau merdeka. Nanti dulu, belum titik. Logika! Jangan hanya impian dan serba perasasaan saja, Logika, sekali lagi logika! Bagaimana ...?" Tetapi Atik biasanya tidak membiarkan aku menyelesaikan uraian logikaku Sungguh menjengkelkan. Sebab ia lalu tertawa dan seperti penari serimpi tangan-kanannya melarnbai dalarn gerak tari, telapak tangan di atas mata sarnbil berpacak-gulu¹⁾ memandangku serba jenaka. Dalarn saat-saat seperti itu aku benar-benar kalah. Dengan segala logika dan kehaibatanku. Gadis satu ini bukan jenis ratu kecantikan, tetapi dalam saat-saat tertentu sungguh mempesona. Tetapi terus terang saja, aku takut jatuh cinta padanya. Sebab naluriku berkata, aku akan kalah. Dan justru itu aku tidak mau. Rumah Bu Antana seperti banyak rumah di Jakarta di masa teror ketika itu, serba sepi, mati. Pintu pagar terkunci, tetapi serdadu-serdadu yang melompat pintu dan menggedor pintu-pintu dan jendelanya tak mendapat jawaban apa pun. Pergi ke mana mereka? Pintu pagar kusuruh patahkan kuncinya dan aku masuk ke beranda muka. Tak ada satu pun garnbar atau hiasan tergantung di dinding. Mengungsi ke mana mereka? Tentunya ke Sala. Pintu ke dapur ternyata masih terbuka. Barangkali terlalu tergesa-gesa mereka pergi. Atau sudah dirampok? Serdadu-serdaduku kusuruh berjaga di muka dan aku sendirian masuk ke dapur, yang sangat kukenal suasananya dulu, kalau aku datang dan iseng menolong Atik dan Bu Antana di situ. Tetapi barang-barang sudah disimpan masuk almari sermua atau peti, entah. Aku sedih juga melihat dapur dengan bagian tungkunya yang hitam karena asap. Seekor kucing kurus lari ke luar. Ada bau bangkai. Burung cocakrowo dan kutilang dan deruk mati di dalam kurungan, dikeroyok semut. Hatiku tersayat-sayat melihat itu. Burung-burung itu kesayangan Atik. Memang jaman sedang tidak untuk berdendang dan menyanyi gembira. Siapa pernah mengira dua bulan lalu, bahwa aku akan menginjak rumah kosong ini dengan seragam NICA? Pasti Atik akan sangat kecewa melihatku. Sangat kecewa. ¹⁾Gerak luwes dari kepala tanpa bahu badan ikut bergerak 41 Tetapi aku hidup tidak untuk Atik, maaf. Untuk apa? Untuk siapa? Verdomme! Bagaimana nasib Papi? Masih hidupkah ia? Operasi kedua sesudah patroli liar ke Kramat ini ialah mendatangi bekas tahanan Kenpeitai, begitu kurancang. Bajingan-bajingan benar seluruh ras Asia ini: Jepang, Indonesia, mana lagi. Maka beruntunglah orang-orang kulit putih membebaskan mereka dari segala sadisme dan kebongkokan mereka. Aku duduk di tempat duduk di sudut beranda belakang yang biasanya dipakai untuk ruang makan dan tempat bersantai. Meja makan dan lainlainnya sudah ditelanjangi dari tapelaknya. Di dinding masih ada terganung beberapa gambar pemandangan. Tetapi semua foto keluarga sudah hilang. Juga jam antik yang bagus bunyinya itu. Segala kebugilan runah ini membuatku merasa hampa. Ternyata toh aku rindu pada Atik. Pintu gang tengah menuju karnar-kamar tidur di dalam terkunci rapat. Kuselidiki segala perabot rumah dan lantai, barangkali ada tanda-tanda yang dapat menunjukkan mereka mana. Niets¹⁾. Ah, iya, tiba-tiba aku teringat pada lubang di dalam bata dinding samping rumah. Lubang itu sama sekali tak kentara bagi orang luar, sebab terlindung oleh akar-akar dan daun tumbuh-tumbuhan sirih hias yang merambat berdaun hijau loreng kuning. Di situ biasanya keluarga Antana meletakkan kunci dapur, bila semua pergi, agar yang lainnya dapat masuk rumah tanpa hams menunggu. Maklumlah, kunci pintu dapur sudah antik juga dan kunci hanya satu. Di dalam lubang itu pun sering keluarga Antana saling meletakkan kertas bertuliskan pesanpesan, sebelum mereka keluar rumah. Naluriku merasa ... pasti Atik ... Segera aku berlari ke tempat lubang itu. Kuraba-raba ... betul! Kuncinya ada dan secarik kertas. Rupa-mpanya mereka toh mengunci pintu dapur, tetapi saking tergesa-gesanya pintu belum terkunci ... ada apa isinya? "Kepada Mas Teto." Ah, Atik yang baik hati. Toh ia masih ingat padaku. "Merdeka. (apa-apaan ini) Mas Teto! Ibu telah mengungsi ke Yogya, ke tempat kakaknya di jalan Cemorojajar 7. Kalau Mas Teto mau mencari perlindungan, di tempat Paman pasti Mas Teto welkom ²⁾. Ayah dan Atik sekarang menyumbang seapaadanya di kantor perdana menteri RI. (perdana menteri lenong!) Atik cuma jadi juru ketik kecil yang tak punya arti. Ayah bertugas entah, sering kian kemari Yogya Jakarta. Mas Teto sekarang di mana? Sudah sejak bulan Juni kau kami cari. 1bu yang kau pondoki juga tidak tahu. Pindah pondokan katanya. Tetapi Atik tahu, suatu saat Mas Teto pasti menengok ke lubang kunci di dinding ini, tentu. Nah, kami tunggu, Khususnya adikmu Atik. Semoga Tuhan selalu beserta Mas Teto dan negara kita, (negara siapa? Belum tanya, perempuan sudah mau mengatur) yang masih muda ini. Merdeka!" Memang kita dari dunia yang berlainan, Atik. Ya, sudah! Beginilah ... ya beginilah ... jadi Atik bekerja sebagai sekretaris pada pemerintah pemberontak itu? Okay! Baiklah! Mulai sekarang kita akan membuktikan, siapa yang benar. Dengan realita kejam! Tidak dengan omongan belaka. Kau juga, Tik, semoga kau dan ibumu selalu terlindung ... oleh Tuhan, kalau itu ada, Tik." Seorang sersan menghampiri aku. "Pemimpin teroris, Komandan?" ¹⁾ Tak ada satupun. ²⁾ Selamat datang. 42 “Verdomme¹⁾ !" teriakku "Urus kau punya urusan sendiri, tahu?" "Maaf, Komandan" (tetapi tiba-tiba aku sadar, aku harus berhati-hati) "Ya! Teroris besar! Ini kaum republik totok!" Cukuplah sudah sementara. Komando kuteriakkan: "Ayo pulang. Siap!" Tetapi persis kami baru saja keluar halaman mau mas uk jip, meletuslah beberapa tembakan dan pelor-pelor berdesing di sekitar kami. Refleksif kami merebahkan diri dan kami berondongkan hujan peluru ke arah sumber tembakan. Mataku yang tajam melihat sebuah lutut keluar dari batik pohon asem besar. Kuhujani lutut itu dengan timah hitam. Teriakan! Dan ia terkulai. Aku lari ke tempatnya, sambil menghujani peluru. Masih kulihat beberapa pemuda mau lari ke balik tembok. Dua pemuda tertembak. Tetapi aku dibalas tembakan gencar dari sudut lain. Aku lari. Kuteriakkan komando ke patroIi untuk lari. Sebab ternyata tembakan gencar dari segala sudut. Tetapi bukan pertama karena tembakan itu aku mengundurkan diri. Soalnya aku tidak mendapat perintah untuk berpatroIi di daerah Kramat ini. Kalau ada apa-apa nanti, aku dapat dicurigai oleh Mayoor Verbruggen. Cilaka lagi oleh dinas intel NEFIS²⁾. Tancap gas!!! Dan di bawah perlindungan tembakan-tembakan gencar kami keluar ke jalan-raya Salemba, menuju ke markas. Dua orang serdadu kami luka-luka ringan. Yang Jawa halus itu dan seorang anak Ambon. Aku sendiri tak terkena apa-apa. Orang-orang Republik penembak jelek ! Dan mereka tak punya senjata otomatik ! Tetapi di jalan menuju markas, pikiranku ke Yogya. Sekali saat Yogya akan kami duduki. Tinggal soal waktu. ¹⁾ Umpatan babasa Belanda: "Terkutuklah kau!" ²⁾ Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service, intel Belanda.. . 43 6. Merpati Lepas Tembak itu mobil!" Serentetan peluru Thompson dan sten-gun akhirnya memaksa mobil iru berhenti. Kurang-ajar, pelatnya Rl Nomor 2 lagi. Angka begiru arogan. Dikira siapa yang kuasa di Hindia ini ? Sudah lama aku ingin mendamprat langsung pejabat-pejabat Republik yang semakin sombong, tidak tahu diri. Gilanya, mereka berhasil dengan gaya sok diplomat amatir berunding dengan pimpinan tertinggi Jenderal Christison himself, bahkan Letnan-Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Aku yang paling pertama datang di mobil itu. Kubentak penumpangnya, kusuruh ke luar. Tetapi ketiga orang di dalamnya, kurang-ajar, hanya duduk tenang saja. Sopirnya, aku sudah lupa rupanya, dapat berhahasa Belanda, dan edan sekali, berkata bahwa yang menumpang ini perdana menteri dan ajudan. Oh, inikah si kancil Syahrir? Tetapi sejak kapan setiap kuli di sini boleh begitu saja mengaku perdana menteri ? Ketenangan kedua orang di jok belakang itu benar-benar menjengkelkan. Khususnya yang satu itu, dengan sepasang mata cerdik dan wajah seperri tersenyum mengejek. Para serdaduku berteriak-teriak karena darah mereka sudah mendidih . Tetapi entahlah, yang satu orang itu, harus kuakui, begitu memancarkan kepribadiannya, sehingga aku seolah-olah lumpuh. Yang dua lainnya Tampak agak pucat dan gugup. Tetapi yang mengaku perdana-menteri itu hanya tenang, senyum dikulum. Dan tibatiba aku seperti keranjingan. Sebab dalam senyum dikulum itu aku melihat segaris lekuk senyum Larasati. Barangkili itu cuma khayalanku yang serba jengkel campur bingung. Akan tetapi aku lalu menjadi lumpuh. Keharimauanku menjadi impoten dan segala lakon peristiwa sudah lepas dari komandoku, sehingga spontan para serdadu, tanpa menunggu komando, bermain hakim sendiri. Akhirnya dengan segala ketenangan yang luar biasa, dan yang jelas berwibawa terhadap para serdaduku, si perdana menteri amatir itu membuka pintu mobil dan berdiri di muka serdadu-serdaduku. Alangkah kecil orangnya; memang kecil dia dan sebetulnya terlalu kurang pas pakaiannya, yang dijahit entah oleh taylor pasar di mana. Wajah bukan tipe orang Jawa, tetapi sejenis orang Banjar atau Melayu, pendeknya orang yang sulit diberi sebutan kuli. Rambutnya berombak rapi, tetapi yang indah ialah matanya. Matanya seperti mata Atik, cerdas, tenang seolah seluruh dunia sudah digenggamnya. Dalam bahasa Belanda ia tenang berkata padaku: "Jenderal Christison menunggu saya. Harap jangan mengecewakan beliau." Kurang ajar! Belum lagi aku menguasai situasi, seorang serdaduku yang hitam berangasan tak dapat menguasai emosinya. Pistolnya diacungkan pada republiken kecil itu. Dan entah bagaimana persisnya, ruparupanya ia malu karena pistolnya kebetulan kosong peluru, orang kecil itu sudah dipukul dengan gagang pistol. Segera kularang dia bertindak sendiri. Bukan karena aku tidak setuju orang penghasut Atikku dihajar, tetapi aku terpaksa harus menjaga kewibawaanku. Ini soal gengsi, bukan soal lain. Tetapi toh rasa kekesatriaanku yang kuwatisi dari ayahku melonjak dan serdadu kumaki-maki keras. Sungguh memalukan. Yang kumaki sebetulnya ketidak-kuasaanku menghadapi Si Syahrir itu. 44 Dari lubuk hatiku toh aku digugat jiwa ayahku yang seolah-olah membentak juga dalam bentakan-bentakanku: "Bukan begitu caranya menghadapi gentleman! Biar mereka pemberontak sekali pun." Darahku masih mendidih memang, akan tetapi rasio Officier Brajabasuki toh masih kuat dari kebinatanganku. Terpaksa aku mundur, karena memang bagaimana pun, akal sehatku menghalang-halangi amarahku untuk berbuat hal-hal yang dapat merepotkan keputusan-keputusan tertinggi politik Kerajaan. Dalam hal ini aku boleh berterimakasih kepada pengaruh Verbruggen. Ia bandit memang, tetapi setiap bandit kepalanya dingin dan berkalkulasi, sedangkan aku bukan bandit dan karena itu sering masih terbawa emosi. Pada saat itu datanglah patroli tentara Inggris. Aku benci sekali pada mereka itu. Orang-orang sok gent/emen itu dijadikan tuan di Hindia Belanda, hanya karena persetujuan antar Sekutu. Bukan karena mereka punya hak untuk berlagak di sini, seolah Batavia itu Singapore saja. Seharusnya aku sudah pergi untuk menghindari konfrontasi dengan mereka, tetapi terlambat. Seorang letnan Inggris datang dengan lagak Britania Raya yang paling dibenci setiap orang kontinental dan tanpa kesopanan bertanya dulu, ada apa, atau minta pertimbangan sebelum campur tangan persoalan, ia langsung saja kontan bergaya boss main wasit: "Ayo pergi. Ini bukan urusan kilian." Dia letnan aku letnan. Hanya dia lebih tua dan punya bendera inggris sebagai bekingnya dan aku Cuma KNIL. "Tentara Kerajaan itu KL, tentara Belanda," masih kudengar Verbruggen, "KNIL cuma segerombolan bandit." Tetapi justru karena itulah jiwaku terbakar melihat keangkuhan orang Inggris itu. "Urusan Hindia Belanda adalah urusan Hindia Belanda!" bentakku sengit. Dan apa jawabnya? Ia tidak menjawab. lnilah yang lebih menghinaku, seolah aku tidak pantas, tidak sederajat, untuk diajak bicara. Dengan kepongahan merasa sip sendiri ia langsung menuju mobil. Ia memberi hormat kepada orang inlander keci1 itu; tersenyum, tangan kanannya melambai angin memberi tanda: "Silakan terus tuan". Tetapi ia sangat terkejut melihat mata biru perdana menteri Republik yang membengkak, akibat popor pistol serdaduku. Dan apa yang terjadi? Ia mendekati perdana menteri amatir itu, dan mereka berjabatan tangan. Dan Wakil Tentara Sekutu itu minta maaf. Ya, minta maaf ! Sungguh pengkhianat! Begitu halusnya sikap perdana menteri amatir itu, sehingga semakin membakar kebencianku kepada segala yang berbau Republik. Dengan ramah mereka bersama sopirnya mengamat-amati body mobil yang tertembus peluru. Entah apa yang mereka katakan. Aku hanya melihat serba benci, tetapi terutarna malu kepada letnan Inggris sombong itu, yang seperti pelayan restoran kelas tiga mengangguk kepada seorang tuannya dan omong sejenis ini, entah aku sudah lupa: "Tuan untung masih dilindungi Tuhan," dan semacam itu. Dan ia melirik padaku, sinis seolah-olah menyindir berkata pada si Inlander: "Jangan khawatir menghadapi bandit-bandit itu. Britania Raya akan melindungi Anda dan Republik. Anda." Lalu ia memandangku lagi dari sudut matanya yang licik. Memang dari dulu Inggris itu musuh Belanda. ltu baru kuhayati dalam-dalam pada saat itu. Dengan amarah kuperintahkan anakbuahku masuk truk dan tanpa ambil pusing menyambar apa, dengan kecepatan barangkali 100 km aku meluncur berang pergi ke Klender. Terbakar nafsu aku ingin melampiaskan dendarnku. Perdana menteri itu harus dihajar. Rakyatnya akan kucambuk. Hari itu, Klender, Tanah Abang, Kwitang merasakan apa konsekuensinya menghina jago KNIL. 45 Malam itu aku hanya murung. Ogah diajak sekak oleh Verbruggen, yang tadi sudah kulapori (singkat mengenai yang esensial saja) tentang insiden Huize Vijfsprong¹⁾ dengan perdana menteri itu. Berapa sloki jenewer yang sudah kuminum? Tetapi tibatiba dalam lamunan muram serta dendam tumbuhlah secuil penyesalan. Mengapa aku tadi tidak memakai kesempatan dan bertanya padanya: ''Bagaimana, Atik?" Pasti dia akan sebaik itu untuk menceritakan sesuatu tentang hal-ikhwal Atik. Barangkali pula dia akan dapat menghubungkan lagi senyum kegadisan Atik dengan hatiku yang merana dan menjadi bengis ini. Mengapa tadi tidak manusiawi biasa saja aku bertanya itu pada orang kecil yang mengaku perdana menteri itu? Ada sesuatu dalam wajah dan matanya yang hitam lembut itu yang menyalakan pijar sekecil kunang dalam hatiku, dan yang meyakinkan hatiku yang serba skeptis ini. Ya, ia pasti mampu memahami aku. Sebab perdana menteri ini bukan tipe teroris. Lain halnya dengan Soekarno. Orang keci1 tadi orang beradab rupa-rupanya dan berperasaan dalam. Tetapi justru itulah ia orang yang paling berbahaya, lawan yang sanggup mengalahkan van Mook. Orang-orang Inggris punya motivasi kotor demi Sirgapura dan Hongkong mereka. Tetapi mereka juga bukan orang tolol. Mana ada Inggris yang tolol. Mereka tahu, siapa Syahrir ini dan dalam hal apa dia harus diajak bicara. Malam itu kami tidak main catur. Hanya omong-omong tentang orang keci1 berpakaian putih bikinan taylor pasar pagi tadi yang kutembak mobilnya dan sayang tidak kena. "Sayang tidak kena; Leo!" kata Verbruggen si bandit tua itu. ''Ya, sayang,” aku meyakinkan diriku lagi, walaupun sebenarnya tidak sangat yakin, sebab di belakang orang keci1 tadi aku melihat seorang gadis, yang sedang mengetik entah apa, seorang juru ketik muda yang barangkali masih hijau tunas, tetapi yang penuh takjub selalu memandang kepada pemimpinnya, perdana menteri paling muda di dunia dari negara yang paling muda di dunia pula. Dan aku? Aku jadi kepala bandit tentara yang sudah sekarat. Tetapi Verbruggen punya keterangannya sendiri. Dan hatiku melonjak ketika ia mencetuskan apa yang sudah aku rasakan agak sayup-sayup. "Orang ini musuh paling berbahaya bagi mati-hidup Hindia Belanda. Sebab dengan senyumnya, dengan kehalusan budinya ia memikat. Seorang Soekarno, ia boleh-boleh saja didewa-dewakan oleh massa bangsa kuli tolol itu, tetapi ia tidak berbicara apa-apa untuk orang-orang gede dalam meja penguasaan dunia yang sekarang sedang menata dunia seperti notaris-notaris yang menata soal warisan kakek yang baru meninggal. Semakin banyak Soekarno, semakin lekas Republik itu hancur," katanya tenang: "Sebab dunia yang menang perang sekarang sedang benci pada segala yang berbau fasis dan militerisme." Dan ia berhenti sebentar untuk membiarkan lingkaran-lingkaran asap cerutunya mencari kemerdekaannya. Lalu bergurnam pelan, terlalu dingin untukku yang masih muda itu. ¹⁾ Simpang lima Cikini Raya, Gondangdia Lama, Menteng Raya, Cut Mutia dan Kali Pasir. 46 "Sebetulnya Sekutu tidak suka pada tingkah Den Haag. Negeri kami ini negeri kecil dan mereka masih tidak lupa ketika Ter Poorten ¹⁾ begitu saja menyerah kepada Jepang. Kita ini membonceng Sekutu, itu sungguh pahit. Tetapi memang seorang tentara hams menghadapi kepahitan seperti apa adanya, tidak hanya berkhayal yang enak-enak saja." Lama kami berdua hanya diam. "Sayang tidak kau tembak mati Si Syahrir tadi," gumamnya tiba- tiba tetapi tetap tenang, dingin. "Seandainya ia tadi kau tembak, saya bisa cari-cari alasan apa pun kepada atasan. Dan atasan kita toh akhirnya akan tersenyum mengangguk. . Mereka pun tahu: bukan Soekarno, tetapi Syahrirlah musuh mereka yang paling berbahaya. Justru karena ia halus. Justru karena ia berbahasa manusiawi dan tidak fanatik. Orang macam ini mudah sekali memikat opini dunia. Dan otakku boleh kalian satai pada sangkur, tetapi sedikit banyak saya sudah kenaI mental amok kaum Inlander di sini. Saya berani bertaruh: mereka di pihak Republik sana pun banyak yang akan senang, seandainya Si Syahrir itu kau habisi riwayatnya. Sayang, sungguh sayang. Memang sering kendali sejarah ditentukan oleh orang-orang tolol seperti kau. Ya, ya, sebetulnya bukan menteri atau jenderal yang seharusnya mengatur sejarah, tetapi kopral-kopral. Hidup kita akan lebih sederhana jalannya." "Sederhana untuk kaum bandit seperti kau, maksudmu?" Me- ledaklah tawanya, seperti sebaterai mortir. "Hahahaaaaaa ………………… kaukira, sekarang kau belum bandit?" "Kau terlalu banyak minum." Dan langsung botol jenewernya kutuangkan pada lidah dan kerongkonganku. ¹⁾ Panglima Besar KNIL, yang diangkat Sekutu menjadi panglima tertinggi seluruh Angkatan Darat Sekutu di Indonesia melawanJepang, 1941-1942. 47 7. Singa Mengerti Entahlah, Mayoor Verbruggen memang jenis jago berkelahi yang tidak dapat dibuat main-main. Akan tetapi aku merasa, bahwa ada semacam kebapaan padanya. Paling tidak terhadapku. Semula aku khawatir, bahwa kekecewaannya ditolak oleh Mamiku dulu akan terlampias pada diriku. Akan tetapi tidaklah begitu. Bahkan sebaliknya aku sendirilah yang harus kuprihatinkan. Petang itu aku dipanggil menghadapnya. Aku sudah siap-siap mendapat hukuman atau hajaran entah apa dari dia. . Sebab kuakui, hari-hari terakhir ini aku cuma berkelahi saja dengan rekan dan main tempeleng kepada bawahanku. Ada-ada saja yang membuatku naik pitam dan lupa disiplin. Tentara dalam keadaan perang tidak akan mengizinkan ketegangan-ketegangan terjadi di antara sesama anggota tentara, apa lagi perkelahian tanpa alasan. "Kau seperri. anak kecil," begitu Verbruggen mulai dengan pengadilan yang sudah kuharapkan. "Kau mema1ukan sekali untuk Tentara Kerajaan. Kita dalam keadaan kritis dan hari depan negeri ini tergantung pada berhasil tidaknya kita menguasai vakum kewibawaan di Hindia Belanda. Dan kau sekarang main Kenpeitai terhadap bawahan dan rekan-rekanmu. Saya berkuasa menurunkan pangkatmu jadi serdadu biasa, tetapi ingin mendengar dulu dari mulutmu sendiri, mengapa kau berbuat begitu. Kenapa, hei? Jawab." "Aku memang bersalah, Mayoor." "Soal bersalah itu semua orang sudah tahu, tidak perlu kau terangkan. Tetapi MENGAP A ... itulah yang hams kau sadari. "Barangkali karena kurang tidur aku lekas marah, Mayoor." "Tidak! Bukan itu. Saya tahu mengapa kau begitu. Kau dendam, karena ayahmu dibunuh Jepang bukan?" (Aku diam. Betul, apa yang dikatakan Mayoor Verbruggen). "Ayahmu masih hidup, dear Leo." Terperanjat seluruh tubuhku. Mataku membelalak seperrti kehilangan segala bahasa. Aku hanya melompong penuh pertanyaan. "Ya, kau hams berterimakasih kepada Tuhan. Ayahmu belum sempat terbunuh oleh Kenpeitai." "Kok tahu?" Mayoor Verbruggen mengambil salah satu map merah dari dalam bironya. "Ini Iaporan Iengkap dari Intel kami yang sudah menyelidiki semua penjara dan tempat-tempat tahanan bekas Kenpeitai. Para tahanan sudah lari atau dilarikan polisi Republik." "Lalu sekarang, Papiku di mana?" "Itu akan saya jawab nanti. Atau lebih tepat, bam diselidiki NEFIS. Tetapi terlebih dulu pertanyaan ini. Mengapa kau beber apa kali keluyuran ke jalan Kramat tanpa mendapat perintah operasi ke sana? Kau tahu apa itu artinya dalam kamus disiplin tentara?" (Aku Iebih bengong lagi. Begitu tajamkah mata-mata intel?) "NEFIS telah memberi rekomendasi kepadaku untuk menghabisi riwayatmu, karena kau didakwa selaku mata-mata untuk Republik, tahu? Ini soal serius, kelinci kecil. Ini sangat serius. Kitta dalam keadaan darurat perang. Dan seorang komandan yang selalu menyelesaikan segala unsur yang mungkin dapat menggagalkan rencanarencananya.Kebijaksanaan setiap komandan akan menyingkirkan segala kemungkinan rusaknya matarantai strategi dan taktik geraknya tanpa membiarkan dipergoki risiko. 48 Apa itu artinya, kau dapat menafsir sendiri." "Tetapi aku bukan mata-mata Republik." "Barangkali bukan, tetapi barangkali juga ya." "Tetapi aku jelas bukan yang diperkirakan NEFIS yang, sungguh aku tahu, masih serba hijau dan seumumnya orang-orang tolol. " "Kalau badan intelijen menaruh curiga, itu, harus kau ketahui, adalah tugas dan kewajibannya. Tetapi saya tidak akan memanjanglebarkan masalah ini. Pendek saja, saya masih mau memberi kesempatan padamu. Sebab saya tahu, bahwa kau menderita. Dan setiap lelaki yang menderita, persetan kau, mesti lari ke si wanita, nggak usah bohong. Dan di Kramat itu kau mencari perempuan, ayo, kutempeleng kalau bohong "Tidak! Tidak, Mayoor. Aku berani bersumpah." "Sumpah-sumpah segala. Omong kosong. Bukan intel KNIL yang hijau, tetapi kau sendiri, kelinci kecil. Jangan sok. Akuilah, bahwa .. , eh ... siapa namanya ... (ia membuka mapnya yang berwarna merah tadi dan mencari sesuatu dalam lembaran kertas laporan). Nanti dulu ... ya, Ratna Larasati puteri Tuan Antana, pembantu khusus perdana menteri Sutan Syahrir. Larasati bukan, nama pacarmu Alias Atik? Ya, jangan kira, NEFIS kita bukan sembarang intel. Mereka tahu sangat banyak." (Seperti terbelah oleh halilintar dadaku. Harus kuakui terengah-engah, memang mereka tahu banyak.) "Tetapi, Mayoor ... perkenankanlah aku menguraikan duduk perkaranya." "Saya tidak tertarik pada segala uraianmu, Anak Muda. Yang jelas ialah ini: Nona .... siapa tadi (ia melihat lagi ke dalam map tadi). La-ras-ati adalah salah seorang anggota sekretariat itu si perdana menteri amatir Sutan Syahrir. Dan rumahnya di Kramat VI, persis di dalam rumah yang sering kau kunjungi. Jadi .,. jadi apa, kelinci kecil? Jadi setiap orang yang normal dalam situasi perang pasti akan menaruh syak kepada siapa pun yang tanpa mendapat penntah keluyuran sendirian ke satu alamat yang ia rahasiakan." "Tetapi aku bukan orang Republik. Soalku dengan gadis itu hanyalah pribadi saja. Keluarga merekalah yang menolong kami dalam pendudukanJepang." (Mayoor Verbruggen tertawa keras sangat ironis.) "Hahaaaa, ini dia: Hanya kenalan biasa. Mana ada orang yang punya susu-susu montok kok kenalan biasa. Tentu montok pasti dada gadismu. Apalagi anunya ... lalu!" "Diam!" potongku "Kau di sini sebagai komandan militer. Bukan komandan urusan pribadi." "Hei, hei, tenang, tenang." (Tetapi aku terlanjur naik pitam.) "Kau boleh menembak aku sebagai mata-mata, tetapi memperolok-olok gadis satu ini kularang. Kularang!" "Tenang, tenang ... sudah .... " "Aku tidak rela kalau ... , Tetapi Verbruggen berganti berteriak 49 Dan gelas gelas jatuh dalam gempa pukulan kepalnya pada meja. “Diam ! Berdiri tegak kau kelinci, di muka komandan di medan perang!" Aku terkejut juga dan berdiri tegak dinas. "Dengar! Saya tidak butuh dongeng aneh-aneh. Faktalah yang penting bagi seorang militer. Dan fakta menunjukkan, bahwa sebagian para tahanan Kenpeltal, dan sangat mungkin sekali ayahmu juga, di bulan Mei tahun ini dipindahkan ke Sukamiskin di Bandung sana. Dan yang terpentlng, sangat mungkin sekali, ayahmu juga telah bergabung dengan gerombolan yang menamakan diri Tentara Keamanan Rakya itu. Sangat mungkin. Kami belum mendapat kepastian. Tetapi yang Jelas, kau harus berhati-hati, Sinyo. Seandainya kau lni anak saya ... (tiba-tiba ia terhenti dan berkata seolah-olah pada diri sendiri, lunak kebapaan) sudahlah, jangan dikorek-korek ... pendek kata: Leo, kepercayaanku padamu tidak berkurang hanya karena laporan-laporan dan nota dari pihak Intel. Tetapi kau harus hati-hati, anak muda! Hati-hati. Ini bukan perang biasa dengan lindungan hukum militer dan hukum intemasional segala. Ini bandit melawan bandit, tahu! Kalau ada apa-apa, bilang pada saya. Mari ambil botol jenewer dan dua gelas sloki di dalam almari itu. Saya ingin main catur. Tidak ada gunanya kita saling bersitegang." Dan diam kami main catur. Lebih untuk melupakan diri daripada main. Permainan sekak Mayoor Verbruggen sungguh cerdas. Belum ada sepuluh menit aku kehilangan kuda dan benteng. Dia hanya kehilangan kuda satu. Tetapi toh ia mulai mengorekorek lagi. "Cantik gadismu itu?" ia bertanya sambil mengajukan pion. Awas, keliru pasang, ratuku nanti terkena ster. Satu pion kuajukan untuk memberi si ratu jalan keluar. "Semua puteri Sala cantik," jawabku menghindar. "Termasuk Marice," gumamnya. Mataku melihat padanya, tetapi pandangannya asyik pada tokoh-tokoh caturnya. Hanya seolah-olah? Spontan pertanyaanku mendengung dalam benakku: Seandainya kau ini ayahku ... bagaimana? Awas, raadsheer ¹⁾ ia tempatkan di situ. Ah, ia mengincar ratuku. Okay, daripada menunggu dan terkurung. Ayo, keluarkan ratu. Ofensip sekarang. Mayoor Verbruggen mengangguk-angguk. Ada apa? Aku keliru pasang? Bersiasat apa bandit satu ini? Kuperiksa letak pasangan-pasanganku. Aman. Satu lagi pion ia ajukan. Mau apa dia? Aneh juga caranya ia bergerak. Ratuku kutempatkan dalam posisi yang lebih terlindung. Ia tersenyum. "Kalau kau masih ingin bertemu dengan gadismu itu," katanya tenang, tanpa melepaskan pandangan dari bidang catur, "saya tak berkeberatan." Kaget juga aku mendengar ucapan itu. Mengapa ia begitu memperhatikan Atik? Untuk menjebakku dalam perangkap dan mendapat kepastian tentang Papiku? Dan begitu membalas dendam rivalnya lama yang merebut Marice dari jangkauannya? ¹⁾ Ningrat penasihat. Dalam pennainan catur ditempatkan di samping raja atau ratu. 50 "Yang penting, kau harus belajar menghilangkan emosimu terhadap Jepang," kudengar Verbruggen seperti suara hati menggugat. "Tidak mungkin. Mereka telah membunuh Mamiku. Dan itu dugaan tentang Papi yang masih hidup, itu pun baru perkiraan." "Kau tahu pasti ibumu telah mati ?" "Ada saksinya." "Kau bicara sendiri dengan dia dan sudah mengecek segalanya. ''Belum. Tetapi ... " (tiba-tiba aku disambar oleh pikiran, bahwa mungkin) "Apa NEFIS tahu juga di mana Mami ada sekarang?" "Saya duga keledai-keledai NEFIS tidak tahu juga. Tetapi yang jelas bagi kita sekarang ialah: kepentingan Kerajaan tidak menghendaki prajurit yang emosional. Perang tidak bisa dimenangkan dengan emosi. Tetapi perhitungan yang dingin. Republik itu juga pasti akan hancur dengan sendirinya karena emosi mereka. Emosi bukan nakhoda. Paling-paling dinamit yang buta. Berhari-hari kau marah terhadap bawahan dan cekcok dengan rekan sesenjata. Hanya karena gadismu di pihak sana bukan?" "Tidak! Saya marah-marah karena mereka pengecut. Dan ada beberapa senjata yang hilang dan menurut dugaanku yang kuat, itu diserahkan kepada kaum pemberontak. Memang tidak pemah dapat dipercaya serdadu-serdadu Jawa kita. Saya minta pasukan Ambon saja. Mereka setia dan berdisiplin. Tetapi yangJawa-Jawa itu ... " "Ya, emosi lagi. OrangJawa itu punya kanker , emosi namanya. Tapi mereka serdadu. Kau perwira. Itu lain. Sudahlah! Saya bukan gurumu, bukan pendidikmu. Pokoknya, awas!" "Dia bukan tunanganku, bukan paearku, bukan adikku. Mengapa aku harus waspada bertemu dengan dia," tangkisku, sambil menggerakkan satu benteng yang masih tertinggal, tukar tempat dengan raja. "Kau bohong. Ster !" "Kurangajar," dia mengalihkan perhatianku tadi. Kuamankan ratuku. Tetapi posisinya sekarang malah berbahaya. Kukembalikan lagi. Satusatunya jalan hanya mencaplok kuda penyerangnya itu. Uah, sulit ini. Kalau kudanya kucaplok, kudaku yang terakhir amblas juga. "Korbankan kudamu itu," nasihatnya begitu kalem menjengkelkan. "Kalau tidak, posisimu lebih sulit lagi. Percayalah." "Sejak kapan nasihat musuh pantas diikuti?" tangkisku lagi. "Terserah. Asal tahu konsekuensinya." Betul juga dia. Tidak ada jalan lain kecuali mengorbankan kudaku terakhir. "Kalau perlu kau bisa minta surat perintah dariku, untuk bertemu dengan ... siapa namanya dia?" 51 "Ah, Atik lagi." Rupa-rupanya ia merasa aku tak senang bila Atik dibicarakan terus. "Jangan salah mengerti atau salah tafsir dan curiga macam-macam, Saya cukup manusia untuk mengerti, bahwa seorang muda membutuhkan sahabat puteri." "Kok Mayoor begitu getol mengurus gadisku? Ada minat?" Tetapi segera aku menyesal atas pertanyaanku yang jelas bernada sinis itu. Untung Sang Mayoor masih cukup punya persediaan humor dan ia tertawa, sambil menggerakkan pionnya untuk mencaplok kudaku yang tinggal satu. "Kalau kau curiga, silakan. Tapi kalau kau mau saya lindungi, silakan pakai kesempatan. Apa tidak boleh, sesekali orang itu baik hati? Sekak!" Orang ini bandit tulen atau setan yang memihak pada Tuhan Allah? Pikiranku sedikit jengkel sedikit gembira atas uluran tanganya yang aneh, yang bisa berbahaya, tapi barangkali toh jujur juga. Aku pun bandit sebenamya, tetapi tak merasa orang jahat. Mengapa pula la harus kuanggap jahat? Raja kupindahkan. Defenslp pas-pasan memang, tetapi tidak ada jalan lain. Rupa-rupanya aku akan kalah. Sulit bertanding tanpa kuda dan satu benteng hilang. Seperti kaum Republik itu. Gila mereka itu, perang melawan pihak yang keluar dari Perang Dunia sebagai pemenang. "Kau sudah kalah." ''Belum.'' "Mau apa dengan posisi begitu buruk? Sudah, kau kalah." ''Belum.'' "Coba, mau bergerak bagaimana." ''Paling sedikit masih bisa kucari remis." "Ah, remis! Main remis hanya untuk kakek-kakek yang tidak lucu." Seorang sersan mayoor PHB ¹⁾ melapor. Ada telpon dari Kolonel van Langen.²⁾ “Apa dia tidak bisa main catur dengan Spoor?" tanyanya jengkel pada sersan mayoor PHB yang ekstra pasang tampang yang tolol. "Ada apa lagi ini!" Agak ogah-ogahan ia pergi ke kamar PHB. Jenewer ini sungguh sedap kemranyas. Nikmat kusisip sloki yang ke berapa entah. Verbruggen ini orang baik. Aku merasa itu. Tidak. Ia tidak bermaksud membuat jebakan. Tetapi aku sungguh gusar, bahwa Atik sudah masuk dalam laporan NEFIS. Jadi kami sudah saling jadi lawan serius sekarang. Aku NICA dan dia se- kretaris, kabinet impian kaum Republik. Pahit, ya pahit memang selamanya yang harus kutelan. Apakah NEFIS sudah tabu juga, bahwa Mami menjadi gundik Jepang? Bahkan barangkali Verbruggen juga sudah tahu? Belum. Kentara kalau ia sudah tahu. Jangan sampai ia tahu. Akan remuk jiwanya, dan ia menjadi bandit sungguh-sungguh. ¹⁾ Perhubungan. ²⁾ Panglima operasional Belanda ke ibukota RI Yogyakarta 1948. 52 Begitu pun Papi, kalau benar ia masih hidup. Akan hancur kedua-duanya. Dan kau, Leo? Barangkali Verbruggen toh benar. Aku merindukan Atik. Sudah lima kali ini aku ke Kramat dan masuk menyelinap melalui pintu dapur. Sesudah kunjungan yang kedua kali pintu dapur kukunci cermat. Tetapi surat Atik belum kujawab. Aku takut. Kunci masih terletak di dalam lubang dinding seperti dahulu. Seorang diri aku datang, dalam waktu istirahat bebas dinas. Untuk ketiga kalinya. Hanya untuk duduk-duduk saja di serambi belakang. Dan melamun. Sebab sesudah segala peristiwa yang menimpa diriku, aku semakin benci bertemu orang. Hanya dengan Mayoor Verbruggen aku masih dapat berdialog, sebab bagaimana pun, dengan mayoor petualang itu aku masih mempunyai ikatan intim dengan masa lampauku. Bangkai-bangkai burung-burung kesayangan Atik telah kuambil, kukubur dengan segala dedikasi. Kurungan-kurungan telah kubersihkan. Dan sayu aku teringat, betapa sayang si Atik kepada burung-burungnya. Beberapa kursi kulihat telah hilang. Barangkali diambil pencuri? Tetapi ruparupanya mereka tidak berhasil atau keburu waktu mendobrak pintu-pintu kuna yang amat kuat itu. Ada alasan baru aku mendatangi rumah ini, begitu pikirku gembira. Demi keamanan milik keluarga yang selalu baik kepada keluargaku. Tetapi sinting juga, seorang perwira KNIL mengurung diri seperri biarawan dalam rumah yang kosong. Jangan-jangan aku ditembak Intel Belanda atau tertusuk oleh teroris. Tetapi suasana rumah ini benar-benar merupakan kebutuhan untukku. Orang yang lari dari dunia yang satu harus menemukan dunia yang baru untuk bisa bertahan diri. Rumah keluarga Antana ini merupakan bentengku yang terakhir. Aku sudah tak punya siapa pun. Dan walaupun Atik memihak kaum pemberontak, aku tak akan menyalahkan dia. Suatu ketika Atik akan mengakui, bahwa akulah pihak yang benar. Barangkali kata benar terlalu sok. Tetapi paling tidak, pendasaran sikapkulah yang paling rasional. Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang seperti buah durian yang jatuh karena sudah matang. Aku sedikit terhibur dengan "biara" yang kutemukan ini. Yang terakhir kali, ketika pada suatu pagi aku datang lagi di rumah Atik dan mau mengambil anak-kunci dalam lubang dinding seperri biasanya, anak-kunci sudah tidak ada. Apa ada yang mengintip dan tahu letak kunci itu? Dari balik jendela kudengar di dalam kamar ada bunyi apa entahlah. Pelan-pelan aku menuju pintu dapur. Ternyata sudah terbuka. Berhati-hati dengan pistolku siaga aku masuk kamar dapur. Dapur kosong. Tetapi pintu gang tengah dari serambi kamar makan ke dalam sudah terbuka. Bunyi-bunyi dalam kamar berhenti. 53 Sepatuku toh membuat pencuri itu waspada. Aku bertekad menunggu dan diam. Sampai tiga menit tak ada bunyi satu pun yang terdengar. Tetapi lihat, kesabaranku berhasil. Pintu kamar tidur dibuka dari dalam pelan-pelan. Tangan perempuan. "Atik!" teriakku gembira. Tetapi Atik jatuh pingsan terkulai saking terkejutnya. Aku sangat menyesal akan sikapku yang ceroboh. Tentu saja ia pingsan. Seorang gadis sendirian dipergoki oleh serdadu. Kubaringkan ia dida1am sofa di serambi makan, karena di dalam kamar tidur semua gelap. Kuangkat dadanya, menjamin pernafasannya. Kubisikkan dalam telinganya: ''Atik! Atik! Jangan takut. Aku Teto." Tiba-tiba ia tertegun kaget dan refleks mau lari. Kudekap dia. "Aku Teto. Aku Teto. Atik!" Bagaimana pun aku salah. Sebab pastilah Atik sangat terkejut melihat seragam NICA-ku. Wajahnya seperti patung marmer. Pucat mukanya dan matanya menyinarkan ketakutan. Kata pertama yang keluar ialah: "Teto! Teto!" Lalu menangislah Atik. Pada saat itu aku bimbang untuk pertama kali. Pada saat itu aku takut kehilangan seorang lagi. Pada saat itu aku tidak ingin dilahirkan dan malu. Begitu kuasakah gadis untuk menggoncangkan suatu keyakinan lelaki yang kuat? Atik menangis, tetapi ia membiarkan aku mengusap air-matanya. Ia tampak kurus dan karenanya matanya tampak lebih besar. Betapa lahap mesra Atik kudekap dan kucium. Bukan karena asmara, tetapi justru karena dalam saat-saat seperti ketika itu orang merasakan naluri ingin melindungi, ingin melimpahkan segala yang baik kepada seorang adik. Aku tak pernah punya adik dan barulah kuakui, betapa sudah lama aku merasakan kekosongan sebagai seorang anak tunggal yang tidak pernah memperoleh kesempatan untuk bertanggungjawab terhadap seorang yang lebih muda. Tetapi inikah caraku bertanggung-jawab? Wajah Atik pucat terasa menggugat. Masih kurasakan tatapan manik matanya yang hitam dan putih mata yang tampak bernoda urat-urat kecil. Tetapi manik mata itu seperti sepasang lubang pistol. Atik bukan tipe sekejam pembunuh. Tetapi tafsiran-tafsiran kesehari-harianku sebagai serdadu yang selalu bergumul dalam suasana teror Jakarta yang penuh gugatan pada saat itulah yang membuatku lebih merasa terancam. Semua yang gila ini tidak mungkin terjadi seandainya kaum teroris Republik tidak edan membangkang menyerang. Jiwaku serba panik ditatap dua manik mata hitam itu yang mengancam. Kelak aku baru sadar, bahwa Atik tidak pernah mengancam. Tak sewatak dengan gadis seriang itu mengancam seorang sahabat. Tetapi memang aku merasa terancam. Aku panik takut kehilangan Atik. Dan aku minta ampun. Kurebahkan mukaku di dalam pangkuannya dan aku berteriak: "Bunuh saja aku!" Gila, tentulah gila omong kosong seperti itu. Siapa akan berpikir serambut pun, Atik membunuh orang. Serdadu bersenjata lengkap lagi. 54 Tetapi benarlah apa yang kurasakan. Memang rasaku ketika itu ingin saja dibunuh. Dibunuh oleh lubang kekosongan dalam dua laras pistol mata yang diarahkan kepadaku itu. Mati! Mati saja! Baru sekian bulan sesudah itu aku diterangi pikiran tentang kemungkinan, ya mungkin, bahkan jelas sebetulnya, lubang hitam itu bukan lubang laras yang berisi peluru pembunuh, seperti yang terbayang dalam benak jago kelahi yang tahunya hanya bahasa membunuh atau dibunuh. Bukan sepasang hitam lubang pistol kedua mata Atik itu, melainkan sepasang hitam putik payudara yang menawarkan kehidupan bagi si bayi. Sebab benar-benar bayi aku pada saat itu. Menangis memohon hidup. Memohon perempuan. Perempuan bukan dalam arti yang dinikmati, tetapi perempuan yang merupakan syarat mutlak agar aku hidup. Dalam malam-malam menganggur dalam kamar tangsiku yang penuh gambar-gambar cabul, justru gagasan aneh semacam tadi timbul. Aku butuh Atikku agar aku hidup terus. Tetapi gadis itu ada di pihak musuhku dan harus kuhitung sebagai musuh. Dan semakin menjadi-jadi benciku kepada orangorang Republik itu, yang merenggut satu-satunya harapan dan tumpuan jiwaku yang merana ini. Seolah-olah separuh paru-paru harus kuberikan kepada teroris-teroris, hanya untuk dijadikan keripik paru-paru makanan kesukaan mereka. Siapa tidak akan mengamuk! Dan aku mengamuk memang. Atik kuteriaki yang bukan-bukan. Aku sudah lupa, kekasaran apa yang sudah kusemburkan di wajah yang pucat lesu itu. Tetapi aku kalah. Wajah itu ternyata lebih kuat daripada granat-granat lemparan mulutku yang gila. Wajah itu seperti panser titanium yang tahan peluru apa pun. Dan aku menangis. Untuk kedua kalinya dalam masa awal kedewasaanku, sejak petang dalam taman itu, ketika Bu Antana mewartakan hal-ihwal Mamiku yang malang. Mamiku yang dirusak Jepang. Atikku yang dijerat Republik. Pastilah Atik telah menyeka rambutku, pastilah ia telah mengucapkan kata-kata hiburan, tetapi saat itu aku tidak mendengar apa-apa. Rasanya aku dijerumuskan ke dalam jurang oleh mereka yang paling kucintai dan aku ditertawakan. Aku hanya minta ampun. Aku, lelaki KNIL yang sekasar dan sehebat itu di muka kompiku, aku tidak tahan merasakan penderitaan ditinggal oleh seorang ibu dan seorang adik perempuan. Keduanya kaum yang rapuh, tetapi entah begitu kuasa justru mereka itu karena kerapuhan mereka. Aku teringat Mayoor Verbruggen, yang pernah berantakan mengalami penderitaan kekasih diambil orang lain. Sampai ia jadi bajingan, menurut katanya sendiri. Apakah aku akan menerima balasan Karma dan menjadi bajingan juga? Ketika itu aku ingin mempertahankan yang masih dapat kupertahankan. Dan aku hanya bisa berbuat sesuatu yang aku tahu, menjijikkan perempuan: menangis. Wanita tidak suka melihat lelaki menangis. Menangis adalah hak kaum wanita. Lelaki harus memaki-maki, mengumpat-umpat bila ia sedih. Atau diam ningrat. 55 Atau meledakkan dunia ini dengan bom atom. Tetapi tidak menangis. Dan justru itulah yang kulakukan. Sungguh kesalahan besar. Indo yang kuwarisi dari Mami tidak konsekuen, tidak mungkin konsekuen, justru karena keindoan tidak bisa diperhitungkan. Tetapi saat itu aku tidak berpikir macammacam selain ingin memiliki Atik. Kelak aku baru tahu, bahwa memiliki saat itu hanya berarti ingin memperkosa Atik agar dimasuki oleh duniaku, oleh gambaran hidupku. Tanpa bertanya apa dia mau atau tidak. Dan sesudah sadar, bahwa itu tidak mungkin, kudobraki duniaku, dan aku hanya bisa menangis. Memang aku masih terlalu muda, terlalu kurang kenal dunia sekelilingku. Atik jelas bukan adik. Ia praktis pengganti Mamiku. Dan di dalam pangkuan pengganti Mamiku itu aku menangis, tolol dan menjijikkan. Aku memang merasa malu, sebab sikap lelaki begitu itu nyaris berwarna cabul. Tapi apa yang dapat kukerjakan? Biar! Kepada siapa pun aku akan malu. Tetapi kepada Atik aku sanggup telanjang dan ditelanjangi. Sebab kalau orang tidak sanggup itu, pada satu orang saja secara mutlak bugil, tak akan pernahlah orang bisa punya pegangan. Terhadap Atik aku ikhlas malu dan dipermalukan. Tetapi kambuhlah segera harga diriku sebagai jago kelahi KNIL. Dan aku penasaran. Sungguh, aku tidak tahu apa yang dikatakan Atik ketika itu. Goblog, totol, seharusnya aku mendengarkan dia. Tetapi untuk itu ternyata aku terlalu egois. Dan aku meloncat. Aku penasaran, Thompsonku kulemparkan pada tembok. Pistolku kulemparkan pada pintu dan aku lari. Dengan alasan apa aku pun tidak tahu jelas. Lari menuju ke jipku. Tak bersenjata lagi, kunyalakan mesin yang bersamaku menggeram serba panik dan aku lari. Enam puluh, delapan puluh, sembilan puluh ... seperti orang gila mencari negeri gila. Penjaga markas sampai terjatuh semak ketika ia terpaksa meloncat ke semak pagar menghindari jipku yang dol menyambar tiang bendera. aku seperti tak siuman menelungkupkan diri pada stir jip dan diam. Aneh rasanya ketika mesin jip itu sudah tidak berdesing. Kudengar suara Verbruggen: "mari." Dan aku diseret olehnya. Terhuyung-huyung aku diterkam oleh tangan-tangan besi sedadu-serdadu dan direbahkan dalam veldbed. Mataku sepetti jaring tekstil, cuma dapat memandang ke plafond seng-berpola garis jarang yang catnya sudah rontok itu. Sepuluh menit? Setengah jam? Aku tidak tahu. Aku hanya melihat sosok tubuh besar kekar si mayoor itu di samping veldbedku dan yang memandangku dari atas. Mengerikan bajingan besar itu kalau dilihat dari bawah. Sepetti setiap saat ia tinggal mengangkat kakinya satu san jlog, sepatu itu menjebol perutku. Tetapi ia hanya bertanya: "Nah, ada apa?" 56 Tiba-tiba aku terkena panik lagi. Mengapa aku tadi gila melemparkan senjatasenjataku pada dinding? Bagaimana kalau dua senjata itu jatuh ke tangan tetoris? Semakin sadarlah, bahwa aku sudah tidak waras. Ketetangan apa yang harus keberikan kepada Verbruggen? Sebab memberi kesempatan kepada musuh memperoleh senjata jelaslah penghianatan militer yang tidak dapat diampuni. Mengapa kulempar senjata itu? Sentimentalitas anak puber? Emosi anak yang serba takut dan lari tunggang-langgang dari kuburan yang disangka menjulurkan jari-jarinya untuk menangkapnya? Spontan gejolak melonjak ingin Membuktikan : Aku tak salah: Aku tak salah! Jangan aku ditangkap ! Aku harus bohong. Tetapi Verbruggen diam dan suara tik-klitik gelas kudengar di mejanya. Sejurus kemudian ia sudah di sampingku lagi. Aku ditarik dengan keras untuk duduk. Ia mengambil gelas wiski dan menyodorkan padaku. "Minum!" Kata itu seperti komando yang spontan dijawab dengan jiwa serdaduku. Kuminum. Hangat kemranyas rasanya di mulut dan perut dan sekujur badan. Dan mulailah tumbuh lagi kesegaranku dan juga akal sehatku. Tetapi Verbruggen tidak pemah menanyakan senjata itu. Barangkali dia juga tidak tahu dan tidak mengurus soal tetek -bengek yang pada perhitungannya juga tidak akan dilakukan oleh seorang letnan kelahi yang benci pada Republik itu. Dan aku cukup kuasa untuk memerintahkan pengambilan senjata baru dari gudang. Tetapi kebengisanku sebagai KNIL menjadi-jadi. Rasanya semua yang ada hubungannya dengan Republik, alias perampok yang merampas Atik, harus kubinasakan. Hanya disiplin militer dan instruksi-instruksi dari pimpinan tinggi Inggris yang menjengkelkan itu masih menahan kegilaanku menjawab teror dengan teror yang entah lebih teror lagi. Tetapi dalam malam-malam yang menganggur, atau pada siang hari bolong, di terik panas jam 2.00 siang, kalau semua sedang lesu tidur-tiduran sambil mandi keringat (aku biasanya tiduran di bawah pohon jambu monyet di belakang), kucoba memberi rasio atau lebih tepat hiburan diri (hiburan pengecut, aku tahu), bahwa senjata yang kulemparkan itu mudah-mudahan oleh Atik ditafsir selaku pemberian konsesi kepada kegandrungannya pada Republik itu, dan begitu mudah-mudahan aku masih tetap diterima sebagai sahabat Atik. Kendati sahabat yang tidak masuk akal. Bersahabat dengan Atik, jelas. Tidak dengan Republik. Namun tetap tak enak juga nuraniku. Bagaimana kalau itu jatuh di tangan pengacau-pengacau sana? Apa boleh buat. Silakan. Asal Atik sedikit gembira karenanya. Naif, tolol memang pikiran semacam itu. Dan sangat tidak bertanggung-jawab dan pengecut. Tetapi setiap orang berhak sesekali menjadi pengecut, kalau itu menyangkut perasaan yang dalam. Perasaan dalam? 57 8. Banteng-banteng Muncul Tahun 1946 bagiku serba simpang-siur dan aku sendiri sudah tidak tahu lagi harus berpikir apa. Patroli rutin semakin membosankan, karena terus-terang saja, kami orang-orang tentara tidak paham soal diplomasi dan segala kemunafikan kaum diplomat, sehingga merasa dijadikan bulan-bulanan. Jenderal Spoor jelas mengarah ke suatu penyerangan total. Kami tahu, tekun dia sedang mempersiapkan operasi tidak kecil-kecilan. Tetapi dari pihak lain van Mook sudah sama-sarna minum teh dengan kue-kue dengan si penghasut Soekarno. Ya, tentu saja orang-orang Inggris biangkeladinya. Tentu saja, seperti yang kami dengar, Spoor dan Pinkel ¹⁾ dengan sendirinya naik pitam. Apa lagi kami. Ini mau ke mana? Verbruggen semakin diam dan jenewernya semakin banyak yang habis. Dalam saat-saat kepalanya sedang dibakar jenewer itu dan lidahnya semakin kendor, ia sering berbicara serba berbahaya. Apa lagi sesudah datang berita koran tentang persetujuan pemerintah India dengan kaum Republik mengenai pembelian beras setengah juta ton oleh kaum Gandhi itu demi penanggulangan bahaya kelaparan di sana. Dalam saat-saat itu ia selalu menuding-nuding aku, mengulang-ulang lagi lagu lamanya: "Kan sudah saya bilang. Mengapa Syahrir itu dulu tidak kau tembak, hah? Menembak Soekarno susah, karena menimbulkan reaksi hebat dari kaum ekstremis. Tetapi menembak Syahrir sebetulnya gampang. Orang Republik pun sebetulnya akan senang kalau Syahrir pergi." Dan aku-aku lagi yang dipersalahkan. Dan setiap kali ia mengucapkan nama Syahrir, selalu juga tidak bisa lain, aku melihat lagi sang sekretaris muda sederhana, Larasati. Lalu seluruh jerohanku muak karena sampai sekarang belum lagi jelas, di mana Papiku ada; masihkah ia hidup atau sudah hilang? Dan Mami? Verbruggen tidak pernah mengatakannya padaku, dia pasti malu, tetapi aku tahu dari beberapa orang dari NEFIS, bahwa ia telah menjanjikan bayaran 1.000 gulden bagi mereka yang dapat mengatakan dengan bukti, di mana bekas kekasihnya, Mamiku, dapat ditemukan. Biar berpangkat mayoor, aku tahu ia jelas tidak punya 1.000 gulden. Tetapi bajingan selalu saja punya akal memperoleh 1.000 gulden. Pernah aku pura-pura bodoh dan bertanya, apa barangkali ia dengan pangkat dan pengaruhnya dapat memberi instruksi kepada NEFIS untuk mencari Mami. Reaksinya sangat keras dan serba menghina: "Verdomme, kamu masih mau menetek, kok cari simbok?" Sejak itu aku mencari jalan-jalanku sendiri, tetapi dengan harapan terpendam, semoga Verbruggen berhasil. Biasanya bajingan lebih berhasil. Suatu siang aku tidak bisa makan. Soalnya ada peristiwa yang membuatku bingung. Seorang letnan dalam keadaan perang tidak boleh bingung, tetapi saat itu benar aku tidak tahu harus berbuat apa. Ketika itu aku kebetulan sedang di lapangan Kemayoran untuk membawa amplop warta-sandi dari Mayoor Verbruggen ke perwira syahbandar lapangan terbang Militaire Luchtvaart ²⁾ . ¹⁾ Nama Admiral Panglima Angkatan Laut Belanda waktu itu. ²⁾ Angkatan Udara Belanda. 58 Harus kuserahkan pribadi. Barangkali soal militer gawat? Tetapi barangkali juga Verbruggen masih mencari jejak Mamiku. Persetan. Di kantin aku mendengar para perwira angkatan udara 1nggris dan Belanda sedang hangat ramai membicarakan datangnya peristiwa yang akan menjadi hiburan di tengah rutin kelabu sehari-hari. Edan, sungguh edan! Yang menyebut diri komandan Angkatan Udara Republik sinting itu akan datang, ya terbang dengan pesawat-terbang yang benar-benar terbang, dan jam sekian-dan-sekian akan mendarat di Kemayoran. Ini sudah keterlaluan. Perwira-perwira Belanda sungguh kecut, tetapi perwira-perwira Inggris melihatnya cuma sebagai dagelan saja, yang welcome untuk mereka. Dan betul, kira-kira pada jam yang sudah ditentukan, bahkan agak terlalu pagi, kami lihat dari arah timur tiga bintik kecil. Seorang pilot 1nggris berteriak: "Zero ¹⁾ Uah, perang dunia meletus lagi!" Ada yang mengatakan: "1ni mainan sinting. Kalau dia tidak bisa mendarat yang benar, kami lagi yang harus mengumpulkan bangkai-bangkainya. Hei Uwhim! Dirreck! Musuhmu datang. Ayo tembak!" Dirk, si pilot Belanda dengan geramnya menggonggong: ''Betul? Kau mau tanggung-jawab? Akan kutembak amatir itu." Beberapa pilot Inggris mengejeknya. "Kalau nanti yang jatuh bahkan kau sendiri, aduh meek, malu di muka dunia internasional." Seorang lagi menyeletuk: "Hei, kau apa! Cuma pangkat letnan. Dia komodor. Tahu kau. Coba kalau dia datang, memandang pada kalian pun tidak sudi dia." Sahut yang tadi: "Ah, perang sudah selesai. Aku tak mau pulang ke udik Blackonshire. Menggali batubara? Ak:u akan mendaftarkan diri masuk Angkatan Udara Republik itu. Petualangan sedikit deh. Dan tahu kau (dan ia membuat isyarat suatu lubang dengan jari telunjuk dan ibu jarinya) delicious. Gadis-gadis Jawa cantikcantik. Tidak seperti di Holland, ya." Semua tertawa. Bintik-bintik tadi semakin membesar. "Heh! Ada gambar merah-putih di lambungnya. Pintar juga pribumi pribumi itu." "Hey Billy! Kau tadi bilang Zero. Ayo bertaruh tiga botol Scotch²⁾ itu jenis Kabayashi.” "Hey heyhoo! Hello Direk, sekarang tidak cuma ada Flying Dutchman³⁾, tetapi juga Flying Merdekamen!" Yang bernama Dirk hanya suram diam. Ketika pesawat itu mendarat, orang-orang 1nggris bertepuk-tangan. "Bagus, bagus pendaratannya. Halus. Kaum gentlemen mereka." Dengan tegang kuamati dari jauh ketiga pesawat itu, yang pelan-pelan satu per satu mendekat dan seperti riang bergoyang-goyang pada landasan yang tidak terlalu licin itu. Pesawat pesawat terbang Jepang model pemburu Kabayashi atau Zero bermesin satu sudah agak kuna menurut ukuran Sekutu, tetapi entah mengapa, sangat mempesona pilotpilot veteran Perang Dunia yang sudah punya beribu-ribu jam terbang dalam sekian operasi maut dalam pesawat-pesawat yang hiper modern. Pada saat itu aku terpukul oleh gugatan samar-samar. Orang-orang Republik ini lelaki-lelaki tulen. Ini orangorang yang merintis suatu hari depan. ¹⁾ Jenis pesawat pemburu Jepang dalam perang Dunia II ²⁾ Minuman kerns. ³⁾ Sebutan tersohor untuk kapal dagang VOC. 59 Sedangkan aku sedang sekarat di sini, di antara orang-orang yang sebetulnya bukan bangsaku, tetapi yang datang sebagai penonton atau bahkan tukang rampok. Dan ketika mereka turun dari pesawat, dengan shirt dan short yang sportif, lalu memberi salut kepada group-captain Lee dari R.A.P ¹⁾, komandan lapangan udara, tersenyum penuh harga-diri serta beromong dalam bahasa Inggris, aku tahu, ini bukan teroris. Ini kaumgentlemen. Pilot-pilot Inggris pun diam melihat dua orang ²⁾yang dalam koran-koran disebut panglima Angkatan Udara Republik beserta mayorjenderal Republik ³⁾ yang akan mengungsikan pasukan-pasukan ]epang. Dan seanak panah kilat meradak dalam kalbu. ]angan! ]angan Papi ada dalam barisan mereka. Kalau Papi ikut mereka, sedang Atik sudah jelas di pihak mereka, apa lagi seandainya Mami ternyata sudah di Mangkunegaran lagi, aku benar-benar akan terkutuk. Tetapi kesimpulanku pada pagi hari di lapangan terbang itu semakin kokoh: Kepada Atik, kepada Papi dan Mami, seandainya mereka di pihak sana, aku akan membuktikan, bahwa aku di pihak benar, di pihak anti Jepang, di pihak Sekutu yang jaya memenangkan perang melawan fasis. Siang hari itu juga, ketika aku masuk markas besar Inggris, hatiku hampir mdedak melihat suatu peleton kaum Republik yang gagah-gagah berbaris sigap dan rapi di muka markas tentara Sekutu. ]elaslah itu suatu show besar, dan memang mereka pandai main show. Pakaian mereka drill khaki baru buatan pabrik yang memang kurang berkualitas dibanding seragam kami, tetapi yang menyolok ialah bentuk seragam mereka yang samasekali bukan bergaya ]epang seperti yang kami kenal. Celananya panjang dan bermodel Sekutu, pakai saku-saku besar di paha dan betis. Sepatu model separuh lars yang memberi kesan orang-orang itu lebih tinggi. Dan memang yang dipilih adalah pemuda-pemuda yang tegap-tegap berbadan tinggi. ]elas dipilih, sebab ukuran rata-rata orang Inlander tidak seperti mereka itu. Dan picinya! Gila! Gayanya! Aksi! Boleh deh, menjiplak Hollywood, tetapi jelas juga bukan model ]epang. Senjatanya mengkilat, semua machine-pistool ⁴⁾ bekas KNIL punya sebelum perang dunia II, bikinan Belgia. Tampak masih baru, seperti belum pernah dipakai. Dan disiplinnya, gila, hanya itulah saja sisa ]epangnya yang kelihatan. Tetapi dibanding dengan tentara Inlander KNIL yang santai dan gontai bergentayangan, bahkan ada yang duduk-duduk memalukan seperti jongos di muka markas itu, kelihatan sekali perbedaan yang membuat jiwaku lebih mendidih. Jelaslah sikap KNIL-KNIL itu kuli Inlander. Tetapi peleton pengawal oknum yang menyebut diri jenderal Sudirman itu, mereka jelas, jujur saja, bukan Inlander. Mereka tegap dan sangat muda penuh harga diri. Wajah-wajah mereka mendongak ke atas dan tampaklah bersinar pancaran mata. Fanatik, tetapi muda. Ya muda. Ini tentara yang priyayi sebetulnya, ningrat; dan harus diakui oleh watakku yang jujur, sulit disesuaikan dengan gambaran-gambaran populer: kaum teroris. ¹⁾ Royal Air Force, Angkatan Udara Inggris. ²⁾ Komodor Udara AURI Suryadarma dan Adisucipto. ³⁾ Mayor Jendral Sudibyo dari Staf Umum TRI. ⁴⁾ Senjata ringan otomatik 60 Memang perwira-perwira delegasi evakuasi RAPWI ¹⁾ pihak sana persis ]epang, kecuali picinya yang selalu miring, tetapi pasukan pengawal ini bergaya intemasional. Ya, pici yang sangat miring dan yang tampaknya selalu nyaris jatuh itu; di situlah aku melihat untuk pertama kali suatu elan, suatu jiwa yang diam halus tetapi tajam mengejek kami kaum KNIL, bangsat-bangsat bayaran yang sungguh-sungguh kampungan. Ketika aku lewat dan masuk ke ruangan departemen yang kutuju, aku melihat beberapa dari mereka sedang omong-omong dan bercanda dengan perwira-perwira Inggris. Tak banyak mereka mampu omong Inggris, tetapi mereka membawa penerjemah, kurang-ajar kuli-kuli ini, dan mereka bercanda, ya ... ketika itu kebetulan Jenderal Christison sedang keluar dati ruang kerjanya dan di gang ia bercanda dengan kunyuk-kunyuk lulusan Jepang itu. Mereka omong dan tertawa. Seolah-olah mereka sederajat dengan seorang jenderal Sekutu yang jaya. Aku berkecak pinggang dan tidak dapat menahan amarahku. Terutama kepada si Inggris itu, yang jelas, jelas berkhianat kepada kawan seperjuangan dalam Perang Dunia II. Aku berkecak pinggang. Seperti jenderal itu. Ada perwira Republik yang kebetulan memandang ke arahku. Kukira mataku ketika itu bersinar penuh kebencian. Ia harus menangkap pijar-pijar kebencianku. Tetapi ia hanya mengangkat tangan salam, santai seperti kepada sahabat lama dan tersenyum penuh harga-diri. Petang itu aku sendirian saja, sebab ada briefing dari komandan divisi di markas besar. Baru sesudah malam larut kudengar Mayoor Verbruggen datang. Jelas ada soal gawat. Paginya pada makan pagi, Verbruggen bercerita pada rekan-rekan komandan sebatalyon dengan dingin, tetapi jelas penuh kemasygulan, bahwa yang menamakan diri Jenderal Sudirman tidak mau dilucuti senjatanya dan bahwa dengan demikian suatu preseden sudah terjadi, yakni bahwa di muka mata dunia dan blak-blakan di dalam daerah kekuasaan NlCA dan Sekutu, seorang petualang yang mengangkat dirinya jadi jenderal suatu Republik liar telah diperkenankan oleh pimpinan Inggris untuk mempertahankan segala atribut dan kewibawaannya. lni berarti Inggris terang-terangan mengakui RI terlalu jauh. Seorang perwira menyeletuk, bahwa keadaan memalukan seperti ini hams disikat habis-habisan. Apalagi kaum pemberontak tidak punya angkatan udara, kecuali pesawat bekas Jepang yang sudah kuna itu. Verbruggen hanya berkomentar, bahwa soalnya ialah: menyerang Republik artinya menyerang Inggris dan menyerang Sekutu. Dan dengan mengunyah rotinya dengan geraham perseginya ia bercerita, bahwa Inggris akan menyerahkan semua evakuasi Angkatan Darat Jepang serta orang-orang Belanda dan Indo yang dulu ditawan Jepang di tangan gerombolan-gerombolan teroris itu. Artinya: tentara liar itu diakui de facto sejajar dengan Sekutu. Seorang kapten dengan geram mengatakan, bahwa itu pengkhianatan. Tetapi tenang Verbruggen mengatakan, bahwa "untuk saat ini, yang paling penting ialah, para wanita dan anakanak kita harus dievakuasi selamat, dengan jalan apapun, halal atau tidak halal". ¹⁾ Relief of Allied Prisoners of War and Internees (Badan Pembebasan tawanan perang Sekutu dan yang tertawan lainnya). 61 9. Elang-elang Menyerang Suatu pagi dini Desember, yang tanggalnya hanya diingat para tua, 19 Desember kata mereka, di tengah wilayah damai yang serba mempersiapkan diri menyambut kedatangan musim hujan, seolah linglung sendiri, pada jalan aspalan yang sejak jaman Jepang sudah penuh lubang mirip sungai terlalai, merangkaklah sebuah mobil merk de Soto (nama merk mobil yang mudah diingat-ingat oleh penduduk) berwarna coklat-hijau berloreng, mencari jalan relatip paling nyaman; dengan iringan debu berwarna alumunium yang elok sebetulnya dari kejauhan. Mobil itu seperti serangga ampal yang berjalan mencari jodohnya ke kiri ke kanan, seperti gelisah karena birahi. Pak Trunya beristirahat sebentar dari mencangkul. Batang pemegang bajaknya, celaka segori, patah entah disebabkan apa tadi. Karena tidak mau kehilangan waktu, dengan agak menggerutu ia terpaksa mencangkul saja. Hujan pertama sudah datang, jadi cepat-cepat ia harus siap pada waktunya. Begini pagi sudah ada mobil! Sebentar lagi Pak Trunya dipaksa menoleh dan menengadah, sebab ada suara pesawat yang meraung dari arah utara. Dan entah bagaimana mulanya, tahu-tahu pesawat itu begitu cepat sudah dekat, lhaillah menukik dan luarbiasa kejutan jantung Pak Trunya. Ada serentetan tembakan seperti meriam selosin menderu dan dalam sekejap mata mobil itu terbakar. Terpaku tak mampu apa-apa Pak Trunya hanya berdiri bengong saja. Tetapi setelah pesawat itu menjauh, akal sehat Pak Trunya melongok lagi dan berteriaklah ia minta tolong dan berlari ke mobil. Seorang rekannya, yang juga sedang membajak di petak sawah sebelahnya ikut berlari menuju mobil di jalan. Sebab, mereka melihat seorang gadis kira-kira seumur anak Pak Trunya sendiri yang baru saja melahirkan bayi, sedang menarik-narik seorang lelaki yang lebih tua dan rupa-rupanya sudah pingsan. Dengan sebisa-bisa mereka, lelaki tua itu diselamatkan dari tungku besi yang sedang terbakar itu, dan digotong sampai ke tepi jalan. Sekonyong-konyong suara pesawat terbang itu menderu mendekat lagi. Kedua petani itu spontan seperti tersepak jin lari tunggang-langgang dan melompat ke dalam selokan sehingga basah kuyup. Tetapi gadis itu hanya membaringi lelaki itu dan menangis tersedu-sedu. Serentetan berondongan menghalilintar membuat jantung kedua petani itu nyaris berhenti. “nyuwun pangapunten Gusi ¹⁾," nyuwun pangapunten Gusti, nyuwun pangapunten Gusti," hanya itulah yang dapat mereka ucapkan. Tetapi ketika tembakan-tembakan itu menyambar di sekitar mereka, doa-doa berhenti dan hanya setengah sadar mereka menggelimpangkan diri di dalam lumpur. Lama mereka bagaikan mayat di situ. Setelah lama sekali ditunggu dan tidak datang hantu bercocor merah tadi, mereka menongolkan kepala-kepala mereka. Mobil terbakar dengan api yang sangat panas. ¹⁾ Mohon ampun, ya Tuhan 62 Gadis itu masih terkulai bersama lelaki itu di tepi selokan. Setelah menengadah ke segala arah tanpa melihat bayangan maut di udara fajar yang mulai pudar merahnya, mereka merangkak mendekati dua sosok tubuh malang itu. Si gadis masih hangat tubuhnya, juga si lelaki. Sekencang-kencangnya salah satu yang lebih muda berlari ke desa untuk minta bantuan. Yang tua, Pak Trunya menunggui kedua insan itu. Ya Allah ada apa tadi? Memang sudah tiga tahun lebih merdeka, artinya keadaan serba kacau; dan kata para pemuda dan pemimpin-pemimpin yang bertekat menghadang-hadangi Belanda masuk, belum pernah terjadi seperti ini. Bahkan di jaman Jepang pun yang kata orang itu Bharatayuda besar-besaran di seluruh dunia, yaillah, bagaimana rupanya Pak Kerta juga tidak bisa menggambarkan, di jaman Jepang pun belum pernah terjadi seperti ini. ltu tadi barangkali alap-alap¹⁾ Belanda. Dengan mata membelalak Pak Trunya memandang ke api merah-hitam yang bergejolak liar dari mobil yang terbakar itu. Sungguh mengherankan, besi kok bisa terbakar. Bukan main senjata Belanda itu! Terns terang saja dalam hati Pak Trunya tidak berkeberatan Belanda datang lagi mengganti Jepang, asal ia dapat menanam padi dengan tenang dan anak-anaknya bisa berpakaian dan bersekolah. Indonesia merdeka juga boleh, walaupun seandainya boleh pilih, lubuk hati Pak Trunya memilih Belanda saja. Mereka orang-orang yang pandai dan walaupun sering kasar dan biadab, tetapi dapat diandalkan. Kalau ada pencuri padi atau sapi-kerbau hilang, si maling tengik mesti tertangkap; kalau ada pencuri sepeda, lalu resisir dan pelpolisi datang, tanggung sepeda itu pasti tertemu lagi. Entah di Sala atau Magelang, tetapi pasti pulang. Sekarang ini susah. Jaman merdeka ini sulit sekali. Dulu jelas: siapa lurah siapa asistenwedana dan pelpolisi atau tentara, jelaslah sudah. Di mana mereka tinggal, dapat atau tidak dapat minta tolong apa atau apa, selalulah dibereskan; asal tidak bohong dan ada buktibuktinya. Dan juga setiap orang tahu, siapa yang berkuasa dan tidak, di mana dan dalam hal apa. Omong-omong dengan pembesar-pembesar Belanda sebetulnya enak juga, asal tahu diri dan membongkok honnat; dapat omong seapa adanya; seperti kalau orang-orang tani omong dengan Cina-cina, entah pemilik toko emas dan kain atau mendring yang sering berkeliling bersepeda di desa-desa menawarkan pihutang. Tetapi sekarang ini bahkan anak-katak pun bergolok dan berbaris dengan bambu runcing. Seperti garong saja. Dan yang dulu asisten wedana, yah beliau ini apa kerjanya. Lalu setoran-setoran untuk dapur umum ah ... sebetulnya semua ikhlas saja (ini untuk anak-anakmu sendiri yang berjuang!), akan tetapi justru bikin repot saja beliau-beliau yang disebut "anak-anakmu" itu. Tidak tahu sopan-santun dan kerjanya cuma keluyuran saja membawa bedil, golok dan minta teh manis minta singkong, minta dilayani seperti ndoro-ndoro. Salah seorang anak Pak Trunya juga tergolong "pemuda anak-anakmu sendiri" itu. Sebetulnya Pak Trunya tidak tahu harus apa dengan dia itu. Ayahnya dan abang-sulungnya disuruh mencangkul dan mencangkul, membajak dan macam-macam kerja ini-itu. Capai, benar capai menyambung hidup. Tetapi bagaimana sang tuan Anak? Cuma enak-enak perintah ini menyuruh itu, Si Pahlawan muda manja itu. Dan ya, semua harus menyumbang untuk membelikan Den Bagus pakaian seragam, sepatu setinggi setengah betis dan pici dan sudahlah, seperti Gatutkaca gandrung Pregiwa. Lalu minta sangu, merengek-rengek minta bekal pergi sebulan tiga bulan; katanya di Surabaya ada perkelahian besar melawan Inggris. ¹⁾ Sejenis elang kecil. 63 Lain ke Semarang, ke mana lagi entah ini nanti, Inggris yang mana lagi. Ya Allah, ya Nabi, kunci Inggris atau serabi ¹⁾. Inggris, Pak Trunya tahu. Tetapi siapa orang Inggris itu? Katanya sejenis Belanda tetapi tidak berbahasa Belanda. Sungguh gonjing²⁾morat-marit dunia sekarang. Kapan merdeka ini selesai?! Ke mana Si Benjo tadi? Katanya memanggil rekan-rekan! Ia menghampiri pemudi itu. Masih hangat. Dan setelah ditelentangkan, tampak dadanya masih kembang-kempis. Tetapi si lelaki ini, ya Allah, sudah mulai dingin. Telinga Pak Trunya didekatkan pada hidung dan mulutnya. Tidak ada bunyi hembusan sedikit pun. Mati dia. Mana Si Benjo tadi, kok begitu lama? Terkejut Pak Trunya mendongak dan mencari sesuatu di udara. Ya Allah, sekarang tidak hanya satu, tetapi sebarisan pesawat terbang menderu datang dari arah Magelang. Minta ampun. Duh Gusti, mohon ampun. Dengan sekuat tenaga gadis itu diemban dan hampir keduanya, dia dan si gadis itu terlempar keras ke dalam selokan. Tetapi gadis itu masih tersangkut semak. Pak Trunya turun ke dalam selokan dan secepat mungkin gadis yang pingsan itu ditarik masuk selokan. Selokan-selokan di daerah Merapi sangat bersih airnya, itu keuntungan. Tetapi dingin. Apa boleh buat, gadis itu dimasukkan ke dalam air yang tidak begitu dalam. Ketika tubuh gadis itu masuk air, secara refleks tangannya merangkul Pak Trunya, siuman sambil berteriak: ''Ayah! Ayah!" Oh, tadi itu ayahnya, pikir Pak Trunya. "Sudah, tenang Den Ajeng, tenang ... tidak ada apa-apa." ''Ayah! Mana ayah. Tolong dial" "Sudah. Sudah, ia sudah tertolong." ''Ayah masih hidup?" "Masih, masih hidup jangan khawatir;' jawab Pak Trunya spontan, asal menjawab apa pun, , tak peduli isinya. Pokoknya biar hati gadis ini tenteram. Dan erat-erat ia pegang gadis yang meronta-ronta itu di dalam selokan. Lebih baik mati satu daripada semuanya, pikir Pak Trunya. "Di sini saja, Den Ajeng. ltu ada ratusan pesawat terbang mau menembaki kita." Di tepi desa, di jalan setapak dan pematang sawah anak-anak pada bersorak-sorai menengadah melambai-lambaikan tangan ke udara. Istimewa. Berpuluh-puluh pesawat terbang sangat rendah melewati sawah-sawah desa. Besar kecil burungburung kelabu itu setiap lima menit lewat. Pelan-pelan dan rupa-rupanya berat isinya. Orang tua-tua macam-macam terkaannya. Ada yang mengatakan Republik sekarang sudah dibantu Negara-negara Besar, entah namanya, maka punya banyak pesawat. Ada yang menebak, boleh jadi sekarang RI sedang latihan perang. Tetapi pemudapemuda, yang lebih tahu soal-soal perjuangan, mengira itu pesawat-pesawat Belanda. Ada lain lagi yang membantah, itu barangkali utusan-utusan Luar Negeri yang mau berunding di Kaliurang. Tetapi kok aneh. Terus menerus pada beterbangan. Tentu saja tidak ada anak satu pun hari itu yang ingat pada tugas mencari rumput untuk kambing atau memandikan sapi. Hanya sesudah dibentaki ayah-ayah dan diteriaki ibu-ibu mereka dengan suara melengking mereka pelan-pelan mengambil arit dan pergi bertugas. Mata terus menengadah penuh pertanyaan ke udara. ¹⁾ Sejenis kue goreng dari tepung beras. ²⁾ Serba goyah kalang kabut. 64 Kadang-kadang melambaikan tangan sambil berteriak: Merdeka! Ada yang gerobak ada yang sedan pesawat-pesawat itu. Atau seperti kereta-api saja, tetapi di udara. Tidak setiap hari ada tontonan semacam itu! Hanya gadis-gadis dan perempuanperempuan desa tidak begitu acuh pada permainan udara itu. Sebab sebelum matahari terbenam panenan padi terakhir tahun itu harus sudah masuk lumbung. Hujan pelopor musim basah sudah jatuh dan sawah-sawah harus lekas-lekas dibajak, air dialirkan, digaru dan ditanami. Gadis dalam selokan tadi hanya menangis, merintih. ''Ada yang sakit, Den?" ''Ayah, ayah ... oh, mengapa ayah tidak ditolong." Pak Trunya tidak berdaya. Spontanitas gadis itu kuat dan ia keluar dari selokan serta menangis berlutut di samping ayahnya; sedangkan barisan kapal terbang menderu-deru di atas mereka. Pak Trunya dengan berdebar-debar tidak berani ke1uar dari selokan dan hanya mengintip saja dari tempat persembunyiannya. Sendirian gadis itu membenahi dan membaringkan ayahnya dalam posisi yang pantas. Mata yang masih melirik dikatupkannya dan rahang diikatnya dengan sapu tangannya. Pak Trunya mengumpat -umpat pacla pesawat-pesawat yang terbang di atas mereka, tetapi sebetulnya ia lebih mengumpat dirinya sendiri yang malu karena penakutnya itu. Akhirnya, sesudah je1as, bahwa barisan pesawat-pesawat besar yang melayang tidak sangat tinggi itu tidak memuntahkan api, pak. Trunya dengan ucapan Bismillah keluar dari paritnya dan menolong anak perempuan yang malang itu. ''Tenanglah Den Ajeng, temanku sudah mencari bantuan." katanya sambil memandangnya dengan penuh iba hati. "Terima kasih, Pak." "Oh, tidak apa-apa." Sekarang perempuan muda itu tidak. menangis lagi. Dengan diam disekanya rambut ayahnya dan sebentar-sebentar ia betulkan kedudukan kaki, tangan. Tangan disilangkan di atas dada. Pak Trunya melihat bibir wanita muda itu bergerak-gerak seperti mengucapkan doa. Sayang Pak. Trunya tidak hafal ayat-ayat Yasin. Tetapi Pak Trunya yakin, Allah Maha Belas-kasihan. Tak habis-habisnya pesawat-pesawat besar itu menuju ke Selatan. lni ada apa? pikirnya. "ltu lagi!" teriaknya tiba-tiba dan spontan menarik tangan wanita muda itu. Tampak sebuah pesawat kecil dari samping iring-iringan itu menuju ke arah mereka. Tetapi gadis itu malahan tidak mau. Maka Pak Trunya gugup sendirian saja melompat lagi ke dalam selokan dan mendekam dalam-dalam. Suara pesawat itu mengembang dan meraung-raung sangat dekat. Tampak sekejap suatu bayangan hitam melampaui dan hilang lagi. Pesawat itu tidak menembak. Dari selokan Pak Trunya masih melihat ekornya yang sangat cepat menjauh. Aduh, sungguh amat cepat pesawat terbang itu. Belum pernah Pak Trunya melihat pesawat terbang dari dekat. Hatinya berdebar-debar, tetapi legalah hatinya, bahwa pesawat itu masih punya belas kasihan. Juga pandangan wanita muda itu masih mengikuti ekor pesawat itu. Mestinya, ayah yang meninggal itu seorang pembesar. Sebab siapa di Jaman merdeka ini yang bisa naik mobil kalau bukan pembesar. Dan wanita muda itu anaknya. Roknya sobek-sobek rambutnya lepas tak kernan. Pak Trunya teringat pada anaknya yang kira-kira sebaya dengan den ajeng itu. Hanya anaknya lebih hitam dan lebih kekar. Baru saja anaknya melahirkan anak mungil. Masa panen memang masa pesta bayi. Tetapi susah berpesta dalam jaman seperti ini. 65 Ketika anak gadisnya kawin, dalam hati Pak Trunya menangis, bahwa ia tak mampu memberi pesta yang lebih meriah seperti yang diinginkannya. Semua serba mahal. Bahkan kain pesta pun terpaksa anaknya harus pinjam dari bibinya. Dan juga kebayanya pinjam dari kakaknya. Tanpa pertunjukan wayang. Siapa mampu menyewa dalang dan seperangkat bala-senimannya. Pak Trunya keluar dari persembunyiannya dan dengan rasa menyesal minta maaf, bahwa ia begitu takut dan terpaksa harus bersembunyi. Wanita muda itu mengatakan, bahwa hal itu wajar dan sebaliknyalah dia yang harus minta maaf karena dengan menolak bersembunyi tadi ia membahayakan Pak Tani. Pesawat itu tidak menembak karena hanya melihat perempuan. Tetapi Pak Trunya toh merasa salah, bahwa ia kurang berani, sebab soalnya ia belum pemah melihat pesawat terbang dan semuanya terjadi begitu cepat clan mengejutkan. "ltu pesawat-pesawat datang darimana dan mau ke mana?" "ltu Belanda." kata perempuan muda itu, "Mereka menyerang Yogya, itu sudah jelas." Dan sedih, halus gugatannya. "Selalu begitu Belanda itu. Tidak mengindahkan peri-ksatria. Seperti ketika menawan Diponegoro." Sekarang ayahnya yang menjadi korban dan ia mengeluh, bagaimana caranya memberitahu ibunya nanti. ''Bagaimana pun ayah Anda orang yang bahagia." " Bagaimana bahagia, mati di tengah jalan begini." "Ya, tetapi Den Ajeng tidak boleh lupa, ia meninggal dalam rangkulan anaknya yang baik hati. Den Ajeng bukan laki-Iaki dan bukan ayah. Saya yang ayah dan kakek dapat mengatakan, ini saat kematian yang paling ia cita-citakan juga. Dirangkul oleh anak-anaknya." "ltu kan biasa, Pak." "Bagi yang biasa. Tetapi banyak ayah meninggal dengan diumpat-umpat anakanaknya. Bahkan pada saat ayahnya sedang sekarat pun mereka sudah mulai memperebutkan warisan. ltu terjadi Den Ajeng. Maka saya mohon diperkenankan meninggal seperti ayahmu itu." Wanita muda itu menatapnya nanap, sehingga ia malu dan matanya menghunjam ke bawah. ''Berapa anak bapak?" "Lima. Tetapi sebetulnya delapan." "Sudah berapa cucu-cucu?" ''Baru dua belas. Tetapi segera akan empat belas. Tetapi mudah-mudahan cucucucuku tidak mengalami jaman merdeka seperti ini." Wanita muda itu tersenyum. "Semoga Tuhan selalu memberkati anak-cucu bapak." “Den Ajeng sudah berapa?” "Saya belum kawin,” jawabnya lembut. Lalu disekanya wajah ayahnya yang sesudah meninggal tampak lebih bercahaya. "Kasihan ayah. la belum sempat melihat cucunya. Sekarang akulah yang merasa salah." Dan mulailah wanita itu bercucuran lagi air matanya. Pak Trunya gusar memandang ke desanya. Mana bantuannya. Tentu mereka takut, pikirnya. la menengadah ke langit. Seperti tak habis-habisnya barisan pesawat terbang itu, besar dan kecil. Campur baur seperti baru saja beli dari loakan. Tetapi tidak ada lagi yang kecil bermoncong merah serta Tukang Sambar. ''Den Ajeng di sini dulu, ya. Nanti saya akan memanggil kawan-kawanku." Dan cepatlah tani itu berlari ke desa, sambil berkali-kali melihat ke atas, jangan-jangan ada cocor merah lagi. 66 Atik memandang wajah ayahnya. Bagaimana mengangkut jenazah ayahnya ke kota? Bagaimana caranya memberitahu ibunya? lni jelas perang. Dari desas-desus anggota delegasi RI yang sedang berunding di Kaliurang di bawah naungan Komisi PBB ia sudah tahu, betapa gawat keadaan. Sikap wakil Mahkota, Dr. Beel, begitu kaku seperti bakiak klompen negerinya, bahkan kasar sebenarnya, tak sopan. Tetapi bahwa sudah secepat itulah Belanda menyerang, sungguh, tidak pernah itu diperkirakan. Juga oleh para wakil Tiga Negara di meja perundingan Kaliurang. Sungguh aneh dan gila sebetulnya, menyerang Yogya di muka hidung wakil-wakil Dunia Internasional itu. ltu kan namanya meremehkan bahkan menghina mereka. Atik teringat pada kata-kata serba tenang dari bossnya ketika masih perdana menteri kala itu: "Setiap kekerasan dari Belanda merupakan lubang jebakan. Di situ mereka akan terperosok sendiri. Satu-satunya jalan untuk menang bagi kita ialah sikap goodwill secara budaya berperikemanusiaan. Sebab justru itulah yang dicari oleh seluruh pihak di mana pun yang sudah remuk dan muak kekerasan. PerangDunia baru saja selesai." Tetapi bagaimana nanti? Larasati hanya penyumbang kecil di dalam medan perjuangan itu. Penterjemah teka-teki diplomasi ke dalam bahasa Inggris dan sebaliknya memang dibutuhkan mutlak, tetapi itu pekerjaan dinas saja. Para pembantu wanita dalam delegasi Indonesia tahu banyak, tetapi juga sedikit sekali. Tiba-tiba Atik teringat pada tas yang berisi beberapa lembar surat penting dari Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur Jawa Tengah yang berkedudukan di Magelang. Dengan sedih ia melihat pada kendaraan yang sudah hitam berbau sengak cat dan karet terbakar. Ah, tidak penting. Toh situasinya sudah berubah sama sekali. Tetapi bagaikan golok yang menusuk hatinya datanglah ingatan, bahwa di dalam tas itu tersimpan dompet dengan foto kecil. Foto sahabatnya yang, entah mengapa, selalu ia kenang. Setadewa. Dalam kenangan yang memprihatinkan. Namun justru karena memprihatinkan itulah semakin dekat rasanya kepada orang muda itu. Foto Teto. Ketika ia masih di SD. Haruskah kenangan kepada Teto dibakar sehingga tinggal debu kelabu saja? Itukah sasmita peristiwa Minggu pagi secerah ini? Tidak, ia tidak boleh cuma bermimpi. Atik mendapat ilham. Ia pergi ke selokan bening tempat persembunyiannya tadi. Sapu-tangannya dibasahi jenuh dengan air itu. Ia merangkak lagi ke jalan dan mulai menyeka dan mencuci wajah, leher dan tangan ayahnya. Gelombang-gelombang pesawat terbang mulai menghilang. Barulah orang-orang desa berani keluar membawa tandu, diiringi anak-anak banyak yang bagaikan lalat tidak mau dihalau oleh orang-orang tua. Mereka menemukan Larasati masih mencuci tangan dan kaki ayahnya dengan sapu-tangannya yang basah. Diam tanpa tangis maupun keluhan. Anak-anak pun terpengaruh dan terpukau. Mereka hanya memandang dengan mata yang lebar penuh pertanyaan dan berbisik-bisiklah mereka. Iring-iringan tandu dengan jenazah menuju ke desa. Di kejauhan segerombol anak-anak masih melihat-lihat dan mengutik-utik bangkai mobil itu dengan tongkat-tongkat. Tiba-tiba anak-anak itu berlari-lari lagi sambil menjerit-jerit. Terdengar lagi raungan kapal terbang yang mendekat. Ibu-ibu desa juga berlari ke luar desa, memakimaki anak-anak serta menjerit-jeritkan doa kepada Allah, sambil mencari buah rahim mereka masing-masing. Hari Minggu yang sungguh-sungguh penuh hantu. Memang jaman revolusi. Tetapi di desa Juranggede khususnya untuk kaum perempuan, semua masih sama saja: usaha makanan cukup, pekerjaan dapur dan cuci di kali. Melahirkan anak dan menyusui, revolusi atau bukan revolusi, jaman merdeka, atau jaman Belanda. 67 Harapan hati hanyalah, agar jaman merdeka ini lekas selesai dan datanglah jaman damai. Tetapi omong-omong begitu katanya amat terlarang, entah mengapa. Karena itu orang sebaiknya diamlah. Cukup bersalin dan menyusui, menumbuk padi dan masak di dapur. Dan kadang-kadang dalam gelap malam tidur tukar suami orang lain, itu terjadi juga. Semua orang tahu dan semua orang mendiamkan hal semacam gituan. Memang berzinah itu maksiat. Artinya: jika orang lain sampai tahu. Artinya: tahu di muka umum. Tetapi kalau baru diketahui dalam hati itu belum dosa namanya. Barangkali lebih tepat disebut: tidak baik, kurang senonoh. Tetapi asal pandai siasatnya dan tidak terlalu membuat desa goyah-gonjing, orang lain akan diam. Tentu saja mereka tidak diam, tetapi di muka umum seolah-olah tidak ada apa-apa. Seperti Gunung Merapi itu. Setiap hari mengeluarkan lahar. Kan harus ditampung. Dan ada yang menampung. Ada masanya lahar mengalir ke Kali Code. Ada hari lain tahu-tahu nanti tersumbat dan lahar mengalir ke Kali Krasak yang sekarang sempit tetapi barangkali kelak lebar penuh batu dan lahar. Asal lahar dingin saja tak mengapalah, dan jangan merusak sawah ladang di sekitar. Kalau lahar panas tambah gempa, nah itu yang merepotkan. Seluruh desa akan tertimbun batu dan jenang lumpur. Banyak yang mati, nah, itu keterlaluan, jahat. Maka bijaksanalah. Tetapi kalau sudah terjadi, apa boleh buat, mengungsi sebentar paling lama sebulan. Lalu pulang lagi. Dan soal mati atau hidup; di mana-mana bisa mati. Apa lagi di jaman sejak ]epang datang. Mengungsi memang tidak enak. Tetapi untuk anak-anak menyenangkan juga. Melihat keadaan-keadaan di luar desanya sendiri. Baru sesudah 5 tahun tanah yang terkena lahar dapat ditanami padi lagi, asal hanya lahar pasir. Bukan gumpalan-gumpalan lava yang menjadi karang-karang keras sekali. Dan selama 5 tahun itu, ah, Tuhan Allah masih Maha Pemurah. Selain itu di lereng gunung, atas sana, masih banyak tanah-tanah yang disebut tanah terlarang yang dapat dijadikan tegal. Terlarang? Ya, terlarang. Artinya kalau sampai jadi perkara. Maka sekali lagi: bijaksanalah! Tetapi kali ini aneh. Arus lahar bahkan di udara. Seperti gumpalan-gumpalan lahar beku benda-benda kelabu itu menderu dan melayang ke Selatan, untuk nanti ke Utara lagi. Baru ketika matahari sudah doyong ke Barat, arus menjadi agak jarang. Hanya tinggal satu dua pesawat kecil yang seperti anak ketinggalan mengejar emboknya pulang ke desanya. Sepanjang siang sawah-sawah sepi manusia. Hanya beberapa burung manyar dan gelatik yang masih giat mencari sisa-sisa bekas panenan dari beberapa petak sawah. Ada sejenis burung kukuk berseru dari dahan: "Anaabuk! Anaabuk!" Anak-anak spontan menirukannya "Blanda mabok! Blanda mabok!" Sudah lama Atik tidak lagi menyusuri ladang-hutan dengan ayahnya, sejak tahuntahun huru-hara revolusi ini. Ah, dengar itu! Seekor burung kacer menyerulingkan lagunya yang merdu, koong-kirewiit-gee-nikolei, koong-kirewiit-gee-nikolei, sambil membias-biaskan sayap-sayapnya tentu. Sayu sedih terkenanglah Atik kepada harihari yang bahagia, ketika masih kecil ia bersama ayah almarhum menyusupi perkebunan-perkebunan dan tersenyum mendengarkan seruling kacer-kacer itu. Menurut ayah, kacer-kacer itu berseru: "Lontooong sedikiit, kambeeeng digulai. Lontooong sedikiiit, kambeeeng digulai." Betapa geli ketawa Atik ketika itu. Burung-burung hitam-biru berjalur putih bersih di sayap itu kini menjadi lambang kehitaman hari-hari ayah. 68 Ah, semoga Allah masih memberikan sejalur damai putih untuk ibunya di hari-hari yang gelap ini. Teringat lagi Atik pada foto Teto dalam dompet kecil yang ikut terbakar dalam mobil tadi. Sedang apa Teto pada saat ini? "Tolooong, sedikiiit, tolooong sedikiiit,” begitu kacer berseruling lagi, "kamiii terkulai." Ya, benar-benar lemas terkulai Atik petang itu menunggu terbenamnya matahari. Malam itu ia terpaksa masih mengungsi dulu ke tempat orang-orang desa yang ramah ini. Besok dini pagi, barangkali jam 3.00 pagi sudah, seorang pemuda akan memboncengkannya ke kota, dengan sepeda, mencoba menyusup ke dalam kota, untuk memberitakan warta duka kepada ibunya. Di senja merah jingga sepasang burung srigunting menari-nari dan menukik-nukik di atas sawah, seperti yang sudah biasa mereka lakukan sekian ratusribu tahun. 69 10. Macan Tutul Meraung Tak seorang pun kecuali Verbruggen yang berani mengatakannya tanpa jaring-jaring kamuflase, tetapi terasalah dalam seluruh gumpalan awan debu dan bau keringat yang menusuk seluruh paru-paru, bahwa pihak kami akan kalah. Bukan pahit yang kurasakan, tetapi kehampaan. Pertanyaan diteriakkan paru-paru tanpa suara ke bolong malam, tanpa mengharapkan jawaban, karena semua sudah tahu yang sebenarnya. Tentara yang kalah sarna saja dengan sungai kering di musim kemarau, sejalur batu dan lumpur, onggokan sampah di sini, potongan-potongan tai kering di sana. Kersang dan tidak dapat dipakai apa-apa selain untuk tempat sembunyi permainan serong atau sapi curian. Tentara kalah ternyata sebagai bola karet yang sobek bocor tak ketolongan, kempis terserak di sembarang sudut halaman, tidak mengganggu dan tidak diganggu, tetapi tetap gangguan. Kami hanya tinggal menghitung di kalender harian, angka-angka mana yang kebetulan minta giliran untuk disobek. Barangkali begitulah perasaan Verbruggen bila ia sedang bermain-main cincincincin asap cerutunya yang selalu saja, entah dari mana, bermerk Holland itu. "Ibuku masih ingat pada anaknya yang paling kurang-ajar," begitu keterangannya, mengapa masih saja dia punya kemewahan cerutu harum di tengah kebusukan tropika negeri yang begitu indah sehingga memuakkan itu. Rahasia hidup-mati Verbruggen barangkali dalam asap cerutunya itu. Seperti Akhilus mitologi Yunani pada tumit kakinya. Seperti beberapa tokoh wayang dalam anggota badan ini atau itu. Verbruggen memang Petruk, tetapi Petruk Belanda yang kekar, hanya itu bedanya. Tetapi melihat mulutnya yang terlalu besar dan lebar serta matanya condong sipit, apa lagi perutnya yang melembung, toh Petruk ia sebenarnya. Ia badut dalam arti banyak dan ia menerima kekalahan tentaranya sebagai menerima kekalahan lotere saja. Nanti beli lotere lagi. Dan memang, pernah ia berguman, bahwa ia sedang serius memikirkan kemungkinan masuk ke dalam Legiun Asing tentara Prancis di Indo Cina atau Aljazair. Spanyol pun masih punya Legiun Asing, di mana para bandit dan petualang segala penjuru dunia bisa menjual otot dan kemaksiatan mereka untuk berkelahi melawan musuh entah siapa, tak peduli. Atau bukan musuh istilahnya, tetapi jumbleng tempat penerimaan kotoran nafsu pembunuh sewaan. Tetapi istilah membunuh di sini juga masih terlalu diambil dari kamus kaum alim. Membunuh gadis yang diperkosa, kata orang, membunuh. Tetapi bertempur dalam divisi-divisi berpakaian seragam di bawah pimpinan seorang jenderal dan di bawah panji-panji nasional, kata orang, bukan membunuh tetapi berbakti kepada nusa dan bangsa. Dan apa yang seclang kukerjakan sejak aku masuk KNIL ini? Menegakkan tata-tertib yang syah? Yang masih diakui oleh hukum internasional dan semua nasion yang beradab? Melawan terorisme fasisme? Membalas dendam kepada kaum yang menjadi sebab langsung-tak-langsung ibuku dijadikan jumbleng kotoran? Menegakkan hargadiri dan keyakinan pribadi? Apa arti kata pribadi dan keyakinan dan harga-diri dan nasion dan ibu dan segala istilah abstrak itu? Apa beda tentara dan gerombolan bandit? Apa beda seni ksatria dan nafsu membunuh? Apa perbedaan pahlawan kemerdekaan yang gugur dan soldadu penjajah yang mampus? Jelasnya, bagi yang mati itu? Nama harum, noda nasib? Semua jenderal yang menang disebut pahlawan, semua jenderal yang kalah disebut penjahat perang. Oleh siapa nama harum dan pujaan itu sebetulnya dibutuhkan? 70 Oleh yang mati atau yang menjadi ahliwaris atau kelompok yang membutuhkan legitimasi? Pemerkokoh ideologi yang ditentukan a priori? Saat yang kunanti-nanti telah terjadi: Yogya kami kuasai. Tetapi alangkah kecewanya. Seharusnya aku bersorak Gloria Victoria! Tetapi inikah yang disebut Victoria? Apakah begini juga hidup perkawinan, yang kata orang lagi, hebat dinantinantikan; tetapi sesudah terjadi, cekcok dan kelesuan? Lalu apa yang disebut menang atau kalah? Tidak! Menang atau kalah ditentukan sendiri oleh manusia, oleh aku sendiri, Setadewa! Ya, Kapitein Setadewa. Tidak oleh orang lain, siapa pun. Juga tidak oleh Larasati! Hei Seta! Rayakanlah hari kejayaanmu! Bukan kejayaan Belanda atau KNIL, tetapi kejayaan Kapitein Setadewa, putera Kapitein Brajabasuki dan Marice. Dini pagi pasukan payung telah diterjunkan ke pangkalan Meguwa, Yogya. Sedangkan mereka mengamankan landasan dan daerah sekitarnya, Dakota pasukanku, pesawat pengangkut yang pertama mendarat. Dalam formasi tempur kami langsung dari pesawat menuju rel keretaapi. ltu kami seberangi dan terus, terus, kami terus lari, menjatuhkan diri, lari, menjatuhkan diri sambil menghamburkan ribuan pelor yang sudah ditimbun sekian tahun oleh Jenderal Spoor; ya, ngawur saja asal memberi perasaan aman. Sialnya tidak seperti siasat militer biasa, kami tidak dilindungi oleh perisai artileri. Jadi peluru dari bren, stengun dan sekian Thompson dan moncong apa saja yang bisa digaet dari gudang-gudang Sekutu, kami berondongkan ke musuh yang tak pernah kelihatan. Dalam hati aku agak terhibur sedikit, sebab operasi menduduki Yogya ini mirip perang sungguh-sungguh. Perang dengan cara intelektual dan beradab. Dan tidak seperti di Tanggerang dan Sukabumi dua tahun yang lalu, berurusan dengan perampok dan maling. Aku masuk KNIL tidak untuk menjadi semacam koboi melawan perampok atau bandit yang menendang bandit lain. Tetapi susahnya sampai sekarang, operasi KNIL hanya seperti main kotor saja. Masih tersisa kejengkelanku ketika kami menerima briefing dari Letkol Verbruggen mengenai apa yang oleh Dr. Beel disebut Aksi Polisionil itu. Aku sungguh marah, karena itu penghinaan bagi kaum KNIL yang tulen, yang bukan polisi, seolah-olah kami ini hanya main petasan dengan siasat kuna "tangkaplah maling dengan maling". Verbruggen hanya menyeringai dan ujung mulutnya serba ejekan bertanya kembali: "Apa jeleknya jadi maling? Dari pada jadi politikus?" Aku terkejut dan ketika aku melihat dia memandang foto orang pelontos kepala botak dalam koran de Volkskrant yang sesudah kuamat-arnati ternyata itu wakil Mahkota Dr. Beel, maka aku segera menangkap siapa yang dimaksud olehnya. Sengketa kuna, militer melawan politikus. Tetapi bagi dia, yang berdarah legiun Asing soldadu profesional, masalahnya lain dariku. Aku masih punya prinsip dan aku tahu, untuk apa aku ikut menyerbu Yogya ini, Tetapi jujurlah, keyakinanku ketika itu juga sudah goyah. Hanya aku tidak mau mengakuinya. Soalnya, jiwaku tidak pernah tenteram, karena sampai sekarang belum pernah ada tanda-tanda jelas, di mana dan sedang berbuat apa ayahku. Berkali-kali aku gentayangan ke NEFIS dan selalu bertanya apa ada tawanan republikan baru. Dan kepada tahanan-tahanan itu aku mencoba tanya, apa ada di kalangan mereka seorang perwira, entah mayor entah kolonel, yang berasal dari sini dan situ dan bernama Brajabasuki, yang berpendidikan akademi Breda tetapi ikut Republik dan sebagainya. 71 Ataukah barangkali Papiku telah berganti nama? Tentang ibuku aku sudah tidak berani bertanya lagi, sebab setiap kenangan pada Mami hanya membuatku gusar dan marah dan menjadi penyebab aku cuma mengamuk ke kiri kanan. Sebab sekali lagi, seorang pemegang komando dalam perang tidak boleh terlalu nervous dan emosional. Aku harus menjaga diri, karena bagaimanapun aku punya tanggung-jawab terhadap keselamatan anak-buahku. Biarpun aku tahu, anak-buahku sebetulnya hanyalah kulikuli inlander saja yang kebetulan disuruh menghambur-hamburkan peluru, namun toh mereka punya papa dan mama juga. Aku sudah lama rukun dengan gagasan, bahwa serdadu-serdadu bawahanku yang inlander-inlander itu memang segerombolan sampah sebetulnya, akan tetapi apa dosanya mencari nafkah? Seandainya aku dalam kedudukan mereka, pasti juga aku tak punya alternatif lain, memilih mata-pencaharian apa. Aku sukarela masuk KNIL, tetapi mereka terpaksa jadi soldadu yang mencari nafkah biasa saja, seperti seorang jagal mencari nasibnya dengan menyembelih sapi. Mereka soldadu, dati kata soldei alias upah. Aku bukan soldadu, aku petualang dan pendendam, dan kalau aku mati dan kalah, aku masuk neraka. Sedangkan mereka, kukira di akhirat mereka dengan ikhlas akan mengepel lantai surga yang diduduki kursi-kursi pahlawan-pahlawan KL Belanda atau Republik. Sebab memang pekerjaan yang mereka ketahui hanyalah menjadi kacung. Seandainya mereka mendengar, bahwa soldei pejuang Republik itu dua kali lipat dari upah mereka jadi bandit KNIL ini, tentulah dengan tenang dan tanpa banyak cingcong mereka akan ikut Republik juga; dan nanti malam merangkak masuk kamarku dan menembak Kapiten Setadewa; dengan gaya tukang ahli juga yang telah menuaikan tugas dengan efisien, seperti yang diminta sebagai imbangan upah seorang profesional. Aku bukan soldadu. Pertama karena bintangku sudah tiga dan perak dengan latarbelakang hitam. Dan selain itu, aku punya ideal. Ideal mendendam memang bukan ideal yang teramat bagus, akan tetapi jelas bukan karena uang aku memimpin kolone yang menuju ke istana Soekarno itu. Aneh, mengapa aku muram, padahal inilah yang sudah kutunggu-tunggu bertahun-tahun; yang telah kami pelajari dalam peta-peta dan sekian foto-foto intel, kami. Aku memang sudah mengenal Yogya sebelum Jepang masuk, akan tetapi pemandangan mata manusia yang melancong atau bersepeda dengan maksud-maksud normal sangatlah berbeda dari pemandangan mata seorang berseragam yang penuh beban tas peluru berniat merebut suatu kota yang terkutuk. Sesekali kami nyaris menginjak mayat seorang anak kampung atau petani atau satu kali seorang gadis yang membuat kacau hatiku, sebab jelaslah tidak dapat dihindari, bayangan Atik yang sebaya dengan mayat itu menghantui, sehingga aku terkejut ketika sersan Ambon pengawalku dengan berteriak merebahkan tubuhku masuk selokan. Sebuah born waktu meledak. Aku mengumpat-umpat dengan sendirinya, tetapi sersan setia itu hanya menyeringai dan berguman: "Kapten, minta rokok." Persetan, cuma itu. Kulemparkan seluruh bungkusan ke hidungnya yang selebar sayap Dakota itu dan langsung memberondongkan peluru-peluruku ke arah semak-semak yang bergerak entah oleh angin entah oleh entah. Sebetulnya ini perang gila. Sesudah setengah jam merangkak dan lari dan merangkak lagi, aku sudah mengambil kesimpulan, bahwa sebetulnya kami bisa saja mengambil jip dan langsung pergi ke Tugu, terus belok ke kiri ke Malioboro. Jus! Masuk ke istana gubernur Belanda yang sekarang dipakai oleh Soekarno. 72 Aku yakin bahwa tentara Republik sudah lari semua dan untuk apa kita menghamburhamburkan peluru dan waktu. Jangan-jangan Soekarno lalu cukup punya waktu untuk lari ke pedalaman, malah susah ganda nanti. Aku meradiokan pandanganku itu kepada Letkol Verbruggen, supaya dia mengusulkan kepada Kolonel van Langen agar langsung saja memakai jip mendobrak istana Soekarno. Tetapi Verbruggen menjawab, bahwa kami masih harus berbadutan seperti ini terns, sampai bren-carrier yang dapat melindungi infanteri dengan lapisan bajanya diturunkan dari Herkules, sebab para kaum Zeni masih memeriksa landasan, apa kuat didarati Herkules. Uah, maki-makiku, itu orang-orang Militaire Luchtvaart terlalu priyayi, terlalu ilmiah. Maunya sip. Dan tak tersengaja aku teringat komodor Republik dengan deputynya yang mendaratkan pesawat Kabayashinya yang rapuh itu di Kemayoran. Kaum Militaire Luchtvaart harus belajar dati pasukan udara Republik perihal kenekatan. Mosok perang harus semua sempuma. Tetapi masalahnya memang tidak segampang itu. Betapa lemah pun perlawanan kaum Republik itu, toh aku melihat, sudah tiga dari anak-buahku yang terkena tembakan single fighter entah dati semak gerumbul mana. Dan menduduki kota dengan lorong-lorongnya yang sempit lebih berbahaya. Bersama dengan kami, ikut beroperasi juga kaum KL ¹⁾Nah, itu tentara priyayi, serba sinyo-sinyo muda yang tentunya bukan kaum bandit, walaupun bergaya sok koboi dengan kain leher merah segi-tiga mereka. Maunya tetap tentara kaum beradab dengan garansi mutu internasional, kecuali dalam hal keberanian berkelahi. Orang Belanda bukan bangsa jago kelahi. Mereka pedagang borjuasi atau pegawai kantor, atau mahasiswa calon doktorandus dalam ilmu sejarah, sejarah Hindia Belanda tentu saja dalam kaitannya dengan politik mulia atas nama Sri Ratu. Maka mereka sungguh pengecut sekali. Mana bren-carriernya ! Aduh lieve meid ²⁾, begitu saja pakai panser beroda rantai. Naik andong saja bisa kok! Jengkel kuradiokan laporan ke Verbruggen. Mana, kasih jip, dan dalam lima menit aku sudah di benteng Vredeburg. Daripada berlenongan begini ini, kayak tentara Eisenhower ³⁾ imitasi yang cuma cari-cari semu saja agar kelihatan hebat. Masih minimum tiga jam kalau begini caranya sebelum sampai ke target. Jalan dan kampung sudah kosong dan hotel Tugu yang pernah jadi markas tentara Republik juga kosong, hanya tinggal gaung sirenenya saja. Hotel itu pun tidak sulit kita duduki. Dan akulah lagi yang paling terdepan melewati rel-rel kereta-api Malioboro. Masih kulihat satu palang kereta-api bengkong karena pemah diserudug truk barangkali. Palang itu terbuka dan memang seluruh Malioboro sudah terbuka. Aku berlindung di belakang gardu telepon antik, yang dulu pernah juga memberi perlindungan padaku ketika aku kehujanan dan terlambat kereta-api yang seharusnya membawaku ke Sala, mencari orangtuaku sesudah saat naas peristiwa radio gelap di belakang rumah Mayoor Kanagashe dulu itu. Persetan Kanagashe dan segala opsir Jepang dan Tante Paulin. Di mana sekarang Tante Paulin itu? ¹⁾ Koninklijk Leger (fentara Kcrajaan Belanda). ²⁾ Cewek manis. ³⁾ Panglima Tertinggi Tentara Sekutu ketika melawan Jerman Nazi dalam Perang Dunia II. 73 Dari belakang kami kudengar suara gemuruh. Ah, akhirnya brencarrier dengan penumpang sinyo-sinyo yang takut mati itu datang. Mau makan kue kemenangan yang sudah ada di tangan pasukanku mereka itu? Tanpa banyak pikir aku dan beberapa dari komandan berlari di belakang carrier yang memuntahkan peluru-pelurunya ke kiri dan ke kanan itu. Aku sudah ogah melepaskan tembakan, dan hanya berjalan saja kalem seperti pelancong turis. Kok nggak percaya, orang-orang amatir ini. Tidak ada lagi orang Republik! Sudah, terbang kencang saja masuk ke istana. Tetapi sinyo-sinyo dalam kereta perang baja itu cuma merangkak "sistematis" menurut teori perang akademi, yuilaa pengecutnya . lnilah jadinya kalau operasi bersama dengan KL yang beradab dan ilmiah dan ... dan tidak tahu caranya berkelahi. Sisa hikayat D-dqy 19 Desember sudah terkenal. Istana kami duduki. Kolonel van Langen datang dengan jip, sesudah semua aman tenteram dan tidak ada risiko satu rambut pun jatuh. Soekarno, Hatta, Syahrir dan orang tua Haji Salim dan siapa lain lagi ditawan. Matilah Republik! Hidup Republik! Aku mengumpat-umpat diriku lagi, sebab entah mengapa, aku tiba-tiba malu melihat orang pendek berpakaian putih satu itu (sekarang sudah agak gemuk dia, yang sekian tahun yang lalu nyaris kutembak di Jakarta itu. Sebetulnya aku bisa saja maju dan berkata padanya: ''Tuan Syahrir? Masih kenal padaku?" Dia sudah tidak perdana menteri lagi, dan ketika dari koran-koran kubaca berita ia tidak dipakai lagi oleh kaum Republik, aku masih ingat Verbruggen menyeka pipi dan dagunya yang kasar belum dicukur, sambil omong atau menggerutu entahlah: "Spoor sekarang laku. Parlemen Belanda dengan politisi kaum jambu mete akan semakin merasa diri durian, dan kaum Republik sebentar lagi dipimpin oleh Jago Merah. Cocok!" Ketika aku bertanya gusar, apa yang ia maksudkan, ia hanya menyeringai "Sebentar lagi kau dapat bertemu kembali dengan Atikmu." Aku marah betul ketika itu, tetapi ia hanya tenang, dengan satu mata dipejamkan, memeriksa laras pistolnya, dan bersiul lagu nostalgia kuna: “Daar bij die ouwe molen…….¹⁾ Ah, sebetulnya aku mendapat kesempatan satu kali lagi untuk menanyakan kepada orang kecil yang hanya tersenyum itu tentang Atik. Apakah sekretaris Tuan bernama Larasati masih bekerja di biro Tuan? Atau jadi protokol penerima tamu? Embuh? Ataukah ... tetapi aku hanya berdiri tolol saja di sudut emperan muka yang berlantai marmer itu, dan seolah tidak sadar seperti linglung melihat bayangan-bayangan orang yang lalu-lalang di istana bekas gubernur Hindia Belanda itu. Pada petang hari yang sama itu, 19 Desember 1948, sambil duduk lunglai karena payahnya di atas tangga-tangga istana, dengan bayangan raksasa batu di halaman muka itu, aku ditumbuhi perasaan bimbang lagi. Pasukanku menang, Kapitein Seta jaya. Tetapi kehilangan Larasati. Barangkali ... barangkali toh aku salah pilih. ¹⁾ Nun di sana dekat kincir tua itu. 74 11. Ayam-ayam Disambar Baru keesokan harinya pemuda-pemuda memperoleh kepastian: Belanda dursetut ke Yogya, kota kabupaten diduduki musuh. Tetapi di hari pasaran Pon berikut masih banyak juga perempuan yang toh pergi ke pasar, jauh di bawah sana di tepi jalan raya aspal. Akan tetapi mereka pulang kecewa karena semua toko tutup. Malam berikut orang-orang Juranggede melihat dari desa mereka, bahwa di bawah sana banyak kelihatan api menyala. Bumi hangus. Sekarang ada dua api. Di atas sana api kawah gunung Merapi. Di bawah sana api orang perang. Cocok sudah. Orang tua-tua sampai malam bergadang berbincang-bincang tentang terkaan-terkaan macam-macam yang semua serba terkaan belaka. Hampir semua orang tua dalam hati bertanya diri, apa tidak lebih baik semua kembali saja ke Jaman Belanda. Tidak dikatakan langsung tentu saja. Tetapi dengan bercerita. Dulu dan sekarang melarat, tetapi dulu tenang. Bayi lahir, anak dikhitani, Si Muda menikah dan melahirkan bayi. Arnan, damai. Tentulah kadangkadang ada yang mati, tetapi begitulah roda kebiasaan. Kadang-kadang ada perampok datang mencuri sapi atau kerbau atau kalung emas dari yang mampu di desa. Tetapi polisi Belanda yang datang dengan sepeda motor dengan saisepan gerobagsampingnya, pasti bisa membereskan soal. Asal perampok itu jangan kau lawan. Tenang saja kau berikan apa yang mereka minta. Dan paginya lapor kepada Pak Lurah. Lalu menunggu saja, gampang. Kalau sapi atau harta tetap hilang terus, ya sudah. Lalu jelas itu kehendak Allah. Tetapi itu jarang terjadi. Barangkali sapi atau kalung emas yang tak tertemu lagi dulu memang tidak halal; atau boleh jadi warisan seorang nenek yang pernah main serong dengan suami tetangga. Nah sudah pur¹⁾namanya. Tetapi kalau itu barang halal, pasti dikembalikan oleh resisir dan pelpolisi Belanda, yang gagah pakai pistol di pinggangnya, dengan kawan pak mantripolisi yang berkumis tebal, dan yang membawa kelewang. Sayang Belanda kalah. Lantas segala-galanya jadi kucar-kacir. Tetapi barangkali memang begitulah seharusnya. Tidak baik sawah ditanami padi terus-menerus. Harus diselingi palawija, atau ketela atau tembakau. Nah barangkali sekarang ini jaman ketela, jaman brengsek. Atau tembakau yang hitam, ampeg! Tetapi asal masih ada daun muda jagung dan kelembak-kemenyan untuk merokok, tak mengapalah. Semua itu memang nasib. Tetapi pemuda-pemuda yang berapat di rumah Karjo bekas Keibodan²⁾ pemimpin mereka, tidak sependapat dengan ajaran nasib itu. Mereka juga saling melontarkan terkaan dan tebakan. Tetapi akhirnya diambil kesimpulan: Yang paling bijaksana ialah menunggu saja komando dari Bung Kamo. Pokoknya menunggu komando. ¹⁾ Seimbang kalah menangnya. ²⁾ Barisan polisi pembantu jaman pendudukan Jepang, setingkat Hansip sekarang. 75 Kalau dikomando menyerah ya menyerah; kalau terus ya terus. Semua siasat kan sudah diatur di pihak Pimpinan Tertinggi sana. Kita ini hanya pemuda desa dan tidak pinter-nasiona, kelakar pemuda-pemuda itu. Berulang-ulang mereka ke luar dan memandang diam, entah dengan pikiran apa, apiapi di kejauhan bawah sana. Dalam arti tertentu perang itu selingan hiburan lumayan. Dan pemecah waktu yang mengasyikkan untuk desa yang biasanya membosankan para pemuda itu. Asal dari kejauhan saja. Seminggu sesudah dursetut ke Yogya, seregu tentara gerilya berpakaian preman masuk ke desa; diiringi anak-anak banyak serta sekian muda-mudi. Mereka langsung menuju rumah Pak Lurah. Kamitua, ¹⁾ Tamping²⁾ dan seluruh pamong desa dikumpulkan dengan kentongan. Mereka diberi instruksi-instruksi oleh komandan peleton itu, disaksikan oleh sekian pasang mata dan mulut melongo dati anak-anak yang mengintip dati segala lubang dinding. Komandannya ternyata yang paling kecil dan kurus, sehingga jakunnya di leher tampak sangat menonjol. Seperti ada gelatik bersembunyi dalam tenggorokan komandan itu. Mungkin gelatik sihir, jimat kebal pelor Belanda, tetapi aduh, paruhnya sebentar lagi menyobek kulit lehernya, begitu runcing jakunnya itu. Ada seorang yang membawa pedang samurai panjang. Itu yang berambut panjang agak berewok. Tampangnya seperti Arab. Ia yang paling gagah dan tampan. Ternyata namanya Samsu. Lain-lainnya hanya membawa ransel atau tas model tentara biasa, tetapi Samsu ini khusus membawa kopor kecil dari besi yang diletakkan di mukanya di atas meja pendopo kelurahan. Seperti tidak percaya, jangan-jangan diserobot anak-anak itu. Ternyata kelak Si Pedang Samurai itu tidak pernah bisa berpisah dati kopornya itu. Kalau ia tidak tidur, kopor itu diletakkan di bawah bantal. Selanjutnya, begitu kata anak-anak beberapa hari lagi, kopor itu selalu dirantai dengan tiang atau batang apalah. Apakah di dalamnya ia menyimpan senjata rahasia atau barang-barang pusaka? Entahlah, tak ada orang tahu. Pertemuan pertama dengan Pak Lurah hanya mengatur, di mana mereka dapat menginap. Setiap pamong desa mendapat seorang tentara. Bila ada gadisnya yang sudah agak besar, diungsikan ke keluarga lain. Hanya Samsu yang minta agar boleh mendapat rumah sendirian. Karena tidak ada yang kosong, janda Sakinem yang sudah sangat tua dan hidup sendirian diungsikan ke rumah menantunya. Banyak gadis dan ibu-ibu muda terpesona oleh Samsu yang ngganteng gagah itu. ¹⁾ Pembantu pertama lurah desa. ²⁾ Wakil lokal lurah desa. 76 Akan tetapi pesona itu segera membalik, karena ternyata dari peleton itu Samsulah yang punya tugas khusus mengerikan. Ia algojo pasukan itu. Dan segeralah beredar sassus, di dalam kopor besi itu tersimpan beberapa tengkorak. dan sesudah tiga hari jelaslah bagi Karjo, ia lebih unggul dalam pengetahuan tentang soal-soal kemiliteran dari pada Setankopor. Soal jaga misalnya. Dan segera lagi beredar sas-sus baru, tengkorak-tengkorak itu setiap malam Jum'at Kliwon bertelur uang dan peluru. Yang jelas pemuda-pemuda lalu menyebutnya Setan-kopor ¹⁾ Dari saat awal mula, Karjo yang menjadi pemimpin pemuda-pemuda desa tidak suka kepada Samsu. Walaupun Karjo merasa hanya pemuda desa, tetapi ia merasa lebih tua. Toh Samsu hanya sersan saja. Tapi sombongnya! Langsung ia berbahasa ngoko²⁾ kepadanya, seperti bicara kepada jongos. Karjo pernah dilatih sebagai Keibodan Komandan sudah menyerahkan kebijaksanaan jaga desa kepada Karjo dan kawankawannya. Karjo berpendapat bahwa Belanda tidak mungkin operasi malam ke lerenglereng gunung. Jaga di siang harilah yang harus diperketat, sebab itu saat-saat datang kemungkinan NICA berpatroli. Tetapi Samsu dengan lagaknya yang sok menuntut agar penjagaan malam sangatlah ketat. Dan apa terjadi? Suatu pagi, kira-kira jam 10 patroli NICA datang di pedukuhan tetangga yang belum 200 meter jauhnya dari desa Juranggede. Tentulah peleton Samsu dan para pemuda lari pontang-panting, ke tengah ladang dan jurang-jurang lahar. Untung patroli berhenti di pedukuhan tetangga yang namanya Kepondong itu. Dan lucunya naik pitamlah Samsu. Dibentaklah Karjo karena ia berani mengatakan, itu salah Samsu sendiri, mengapa siang hari penjagaan justru longgar. Pada larut siang hari itu juga, Samsu dan beberapa bawahannya menggasak pedukuhan Kepondong dan melarak tiga orang pemuda beserta pak Tamping. Mereka diikat dengan tali ijuk. Dan setengah telanjang, di bawah hantaman dan pukulan kayu keempat orang celaka itu dianiaya setengah mati. Perempuan-perempuan dan anak-anak semua bersembunyi di dalam rumah. Tetapi raungan dan tangis penderitaan empat orang itu terdengar sampai di tengah ladang. ''Mana pemuda-pemudamu Karjo! Pengecut! Pengecut semua! Lari semua ya!" "Mereka jaga dan yang lainnya cari rumput untuk kambing dan sapi." “Ahh, penting manakah? Kambing apa menghajar mata-mata N1CA ini, heh! Hei ke sini, kemari. Itu pemuda yang kayak kemaluan kerbau itu. Kenapa lari. ¹⁾ Mirip nama pusaka dalam suatu lakon ketoprak: Setan kober. ²⁾ Bahasa Jawa tingkat biasa (kurang menghormat). 77 Kalian juga kaki-tangan N1CA, kok lari! Ayo kemari kalau bukan pengkhianat. Itu juga, itu ayo. (Beberapa pemuda mendekat) Ayo ini kayu. Pukul orang-orang ini. Takut? Hahaaa, pemuda gabus kalian. Harus dihajar orangorang seperti ini. Tahu Hukum Perang? Yang alpa harus ditembak mati! Itu hukum perang. Tahu, semua? Heh? Karjo! Kumpulkan pemuda-pemuda! Apel! Dan kau sekarang cari. Nanti malam digosok dengan buah cari rawe ¹⁾ yang gatal pedas itu biar tidak dapat tidur. Berangkat!" Karjo pura-pura mencari pemuda-pemuda, tetapi ia menyelinap ke dalam kelurahan. Pak Lurah sedang duduk diam di ruang tengah, di bawah lonceng kuna yang seolah, sedang menghitung menit-menit sebelum para korban itu dibunuh Samsu. "Kula nuwun Pak Lurah. Di mana Pak Komandan?" Tanpa mengucap sepatah pun Pak Lurah hanya memberi isyarat dengan kepalanya yang sedikit berputar. Pak Lurah ini bagaimana? 1tu Pak Tamping Sukra mau dibunuh Samsu! Pak Lurah harus bertindak. Tetapi Pak Lurah hanya diam saja, linglung matanya seperti beling. Karjo masuk kamar. "Maaf Pak Komandan, saya mengganggu sebentar." Komandannya hanya membalikkan tubuhnya setengah telanjang dan tidur terus dengan mulut terbuka. ''Ada apa?" tiba-tiba mulut itu berbunyi, tetapi mata masih terkatup. "Maaf pak. Tetapi saya terpaksa mengganggu. Pak Tamping dan pemuda-pemuda itu tidak salah. Tetapi sekarang Samsu menganiaya mereka dianggap mata-mata. Barangkali hendak dibunuh." Pak Komandan menguap. "Hah ... Samsu ... ada apa Samsu? Hooah, saya mengantuk." "Tolong Pak. Kalau Pak Komandan mau, tentulah ... " "Huaah ... urus sendiri sanaa huaah." Hasrat Karjo ingin sekali melempari mulut yang menganga itu dengan bakiak. Sedikit bingung ia ke luar. Lurah sudah terlalu tua, bisa diajak apa! Tetapi mendengar beberapa perempuan menjerit, keberanian Keibodannya kembali. Dengan tenang Karjo menghampiri Samsu. Matanya seram mengebor mata Samsu yang tidak tahan dan yang hanya berteriak: "Pengkhianat! Pengkhianat semua. Kakitangan N1CA." Karjo mendesis: "Lepaskan, Samsu!" ¹⁾ Buah yang mengandung bisa (racun) yang menyengat. 78 "Hah? Kau juga ingin dicincang?" Tetapi Karjo tak berkedip. Ada api kawah Merapi berpijar di dalamnya. "Lepaskan." “Lepaskan sendiri. Saya bukan budakmu!" Dan pergilah Samsu, sambil mengurnpatumpat. Malam itu Pak Tamping Kepondong meninggal akibat penganiayaan Samsu. Seminggu kemudian seorang tani yang ketakutan dan bermalam di gubug di tengah ladang dilarak Samsu ke tepi jurang dan dipenggal lehernya. Dakwaan: mata-mata Belanda. Beberapa hati kemudian ibu-ibu mulai mengungsikan gadis-gadis mereka ke tempat nenek atau desa lain, sesudah anak Pak Lurah diperkosa Samsu. Komandan regu hanya tiduran kerjanya dan semua perkara digarap Samsu. Tetapi tiga kali sehari dati dapur umum ibu-ibu yang tua-tua, serba takut, jangan-jangan terkena marah, bergiliran menghidangkan makanan untuk regu tentara itu. Dan Samsu semakin bergaya. Kalau seorang tentara peleton memuji pepaya yang menguning di pohon, segera seorang anak disuruh ibunya memetiknya. Bila mereka berkomentar ayam ini, itu gemuk dan bertanya apa betul itu ayam Kedu sungguh, maka petang harinya seorang anak disuruh ayahnya mempersembahkan ayam itu kepada mereka. Tetapi bagaimana bila mereka memuji Si Tinem atau Piyah cantik? Sebab, tidak mungkin semua gadis diungsikan. Perempuan-perempuan desa tampaknya tolol tetapi mereka praktis. Mereka meminta Mbok Rukem, janda nakal yang biasanya mereka gerutui, untuk menampung lahar birahi tentara itu. Dengan imbalan beras, tempe, gula jawa dan sebagainya dari pihak kaum ibu Juranggede. Tentang dukun penggugur kandungan, bereslah Rukem sudah tahu ke siapa ia harus pergi kalau perlu. Begitu sedikit banyak keamanan gadisgadis desa agak terjarnin. Tetapi toh belum cukup. Memang jaman sedang dursetut ¹⁾. Maka bila ada gadis yang tahu- tahu mengandung tanpa suami, itu pun dursetut, kata pemudapemuda dengan dendam getir. Sebab tentu saja gadis yang didursetut itu biasanya cantik. Maka pemuda-pemuda tidak berapat lagi di dalam desa, tetapi bersembunyi di ladang atau di dalam jurang-jurang lahar. Beberapa minggu ini Samsu sedang keranjingan hobi baris-berbaris. Semua pemuda diharuskan berbaris. Sampai loyo rasanya. Makan kurang, malam serba berjaga, masih disuruh baris-berbaris. Terdengar berita, carik ²⁾ dan ulu-ulu³⁾ desa Bawongan dibunuh Samsu. Konon Mereka pergi ke kota dan membawa uang NICA. ¹⁾ Dati kata doorstoot (Bld), pukulan menerobos. Istilah waktu itu untuk aksi-aksi serangan Belanda dalam perang kemerdekaan. ²⁾ Penulis kelurahan. ³⁾ Pengurus irigasi sawah. 79 Tetapi berita burung bercerita juga, kopor Samsu sekarang amat berat, karena bertambah isi emas milik Pak Carik Bawongan yang tergolong kaya itu. Tersiar lagi berita Pak Mantri Kesehatan tertembak mati. Padahal tidak ada patroli NICA. Segera pikiran orang-orang tertuju kepada Samsu. Sebab istri pak Mantri tergolong cantik. Keesokan harinya Karjo dan pemuda-pemuda menghadap Komandan Sektor. Mereka menuntut agar Samsu dipindah. Kalau tidak, istilahnya: mereka tidak akan bertanggung-jawab tentang kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja terjadi. Dan dipindahkanlah Samsu. Sayang tidak jauh dari desa Juranggede. Tetapi agak legalah orang-orang desa di Juranggede. Namun Pak Komandan Sektor bukan ingusan kemarin sore. Sudah lama memang ia ingin menyingkirkan Si algojo Samsu, karena "ngono ya ngono, ning mbok ja ngono ¹⁾ Tetapi medan perang gerilya bukan medan perang yang dilindungi hukum. Masih cukup jumlah harimau sisa-sisa jaman Amangkurat berkeliaran di hutan-hutan lereng gunung. Lena sedikit, dan anda diterkam dari belakang. Dan sekali mati, tidak ada urusan lagi. Maka untuk menyenangkan hati regu si Samsu, yang tentulah tahu dari mana datang usul kepindahan oleh Komandan Sektor, Karjo dengan pemudapemudanya diberi perintah untuk membakar pos militer Belanda yang menjaga jembatan kali Grojog. Padahal kecuali Karjo, pemuda-pemuda itu belum pernah menembakkan bedil. Samsu puas dan Karjo berangkat. Keesokan harinya Karjo melapor, bahwa serangannya gagal karena musuh sudah tahu mereka datang dan mereka diberondong. Dusta itu kurang cerdas, sebab Pak Komandan tak mendengar satu tembakan pun. Maka Karjo dan kawan-kawannya digebugi babak-belur, khusus di hadapan mata Samsu. Maka lebih puaslah si Setankopor. Hari-hari dursetut memang suram. Tetapi tak sesuram Selasa bulan Maret itu. Seluruh desa seperti terkena awan gelap gunung Merapi. Orang tua-tua hanya diam dan tidak seorangpun punya keinginan omong. Ibu-ibu dan gadis-gadis pun merasa ada sesuatu yang sedang menghantu. Pemuda-pemuda berapat di kelurahan dengan suara hampir berbisik. Sebab ada sesuatu yang sangat jarang terjadi, namun kali ini kok entah mengapa, terjadi. Tidak ada sangkut-pautnya dengan N1CA. N1CA toh sudah kalah dan sebentar lagi tentara Republik memasuki kota-kota lagi. Juga bukan perkara penganiayaan Samsu yang sudah dipindah itu atau Bu Mantri Kesehatan yang juga sudah jauh mengungsi ke tempat bibinya. Tetapi pada malam menjelang Selasa Kliwon Mbah Glati meninggal. Ini gawat sungguh. Mbali Glati memang suka ilmu klenik, tetapi siapa di pedesaan yang tidak suka ilmu klenik. Mbah Glati memang sudah tua dan sudah saatnya ia kembali bertemu lagi dengan istrinya yang sepuluh tahun yang lalu jatuh ke dalam sumur. ¹⁾ Boleh kau begitu, tapi hendaknya jangan begitu. 80 Tetapi siapa mengira, Mbah Glati begitu nekat sengaja memilih saat meninggal dunia pas pada malam Selasa Kliwon. Tetapi sejak kecil Glati memang anak nekat. Semua tahu ia lurah. Tetapi bukan lurah pamong-praja melainkan lurah garong. Gentho. Benggol bajingan. Ketika masih muda dan kuat, prestasi Mbah Glati yang paling gemilang dan yang semua orang tahu ialah operasi membongkar Pegadaian Negeri di kota Muntilan. Tetapi Glati rupa-rupanya tak pernah menikmati segala jerih payahnya. Pelpolisi Belanda dan resisir mantri polisi dengan cepat melacak Si Bajingan dan Kang Glati masuk bui. Di jaman dursetut ini sebetulnya kesempatan sangat bagus untuk Mbah Glati mempraktekkan lagi profesinya. Akan tetapi ia merasa sudah terlalu tua. Mati sih boleh, gerutu para pemuda, tetapi mengapa justru pada malam Selasa Kliwon? Cuma bikin onar saja. Sebab pastilah pemuda-pemuda lagi yang nanti terkena getahnya. Soalnya, orang mengira Mbah Glati masih punya hartakarun yang disembunyikan sampai akhir hidup. Mbah Glati pasti orang yang kayaraya. Pastilah tidak seluruhnya dari Pegadaian Negeri Muntilan dulu itu dikembalikan kepada pelpolisi dan Pak Mantri resisir. Buktinya, mati pun pada malam Selasa Kliwon. Musti ada apa-apa ini. Karjo menginstruksikan jadwal giliran jaga malam pada makam Mbah Glati nanti. Sebab menurut tahayul orang-orang sekitar Juranggede, siapa yang berhasil memisahkan kepala dari mayat yang mati pada malam Selasa Kliwon dan mampu menggondolnya (Tidak boleh pakai alat. Menggali kuburan harus dengan tangan telanjang saja dan memisahkan kepala serta menggondolnya hanya boleh dengan gigi!), orang itu akan kaya-raya. Oleh karena itu makam orang yang mati pada malam Selasa Kliwon terpaksa harus dijaga keras, agar hal-hal yang tidak diinginkan jangan terjadi. Dan siapa lagi yang harus menjaga, selain para pemuda. Karjo sebetulnya tidak berminat untuk mati-matian berjaga hanya karena tahayul Selasa Kliwon itu, tetapi orang-orang tua mendesaknya keras. Dan keluarga perempuan Mbah Glati memohon begitu keras dan memilukan, sehingga Karjo mengalah. Dipilihnya pemuda-pemuda yang tegap dan terkenal pemberani. Dipesannya kopi amat kental dua teko dan berdasarkan nalar normal ilmu pertahanan sederhana Karjo dan kawan-kawannya mengambil pos penjagaan mereka. Tidak terlalu dekat dengan makam Mbah Glati, sebab itu ngeri juga. Tetapi di tempat yang cukup mudah mendengar sesuatu bila terjadi apa-apa. Ada empat orang tua yang ikut berjaga juga. Mereka duduk di gerbang jaratan¹⁾, berselimutkan sarung dan di bawah sinar pelita kecil mereka mulai main kartu di tikar. ¹⁾ Kuburan. 81 Tetapi tengah malam hujan jatuh rintik-rintik. Semakin deras semakin memberi alasan di hati untuk pulang saja. Tetapi mereka terpaksa berjaga, memaksa diri gembira. Karjo dan kawan-kawannya berpindah bernaung di suatu makam yang beratap genting. Waspada mata mereka menerobos kegelapan dan memandang ke arah gundukan hitam baru yang lamat-lamat hampir tak tampak. Tetapi lama-lama mata mereka menjadi penat juga dan satu persatu tertidur, sengaja maupun tak sengaja. Memang bau bunga kamboja dan arumdalu membuat orang mudah tertidur. Tetapi lewat tengah malam Karjo terbangun. Naluri Keibodannya mendengar bunyi-bunyi yang mencurigakan. Bertenak ia meloncat dan menubruk sesuatu yang sedang bergerak di makam Mbah Glati. Kawan-kawannya terbangun dan sesudah mengalahkan keraguraguan ikut menolongnya. Tetapi Karjo sudah terkena pukul mahluk gelap itu. Pusing sekali rasanya. Ia masih sempat memegang kaki pencuri biadab itu. Orang gelap itu terjatuh dan dibekuk oleh kawan-kawan Karjo. Tetapi alangkah licinnya. Tiba-tiba Karjo tahu, orang ini telanjang bulat. Segera dicari kemaluan orang itu, dan dipukul burungnya. Orang itu berteriak kesakitan bukan kepalang: “Assuu! ¹⁾ Sayang ia toh lolos. Rupa-rupanya tubuhnya diurapi minyak entah apa. Tetapi suara "Assuu!" tadi cukup memberi bukti. Mereka sudah hafal nada dan warna suara “Assuu!" Setankopor! Paginya sesudah diperiksa ternyata, mayat Mbah Glati untung belum sempat ternoda banyak. Tetapi kepalanya sudah dipuntir. Tiga hari Karjo dan kawan-kawannya tidak doyan makan. Muaklah mulut dan rasanya kalau makan seperti merekalah yang sedang memuntir kepala Mbah Glati dengan gigi. ¹⁾ Anjing. 82 12. Cendrawasih Terpanah Tidak hanya kadang-kadang aku dijangkiti rasa bimbang tentang arti segala sikap dan tingkahlaku selama ini, sejak Mama dan Papa lenyap dati kehidupanku. Akan tetapi biasanya itu kutimbuni dengan segala ransel dan peralatan perang yang mudah saja membungkam segala gagasan bingung dari manusia yang suka bising menghamburhamburkan peluru. Tetapi ketika pada pagi kala itu aku me1ihat dengan mata kepalaku sendiri Si Soekarno dan Hatta dan Syahrir, Agus Salim dan para gembong Republik lain, yang sampai saat itu hanya dapat kulihat dalam foto-foto koran-koran dari negeri Belanda, aku jatuh lagi terkulai dalam kebimbangan. Mereka ditawan oleh Kolonel van Langen dan seharusnya mereka tampak lesu dan takut dengan segala sikap yang sepantasnya bagi orang yang kalah dalam pertaruhan. Tetapi mereka tersenyum serba pasti dan Soekarno tegak bersikap jaya. Yang namanya Hatta tampak tenang dan seolah-olah hanya menunggu tanda berangkat ke Den Haag, atas undangan Sri Ratu pribadi dan Perdana Menterinya yang tolol itu, untuk menerima piagam pengakuan Republik sekarat mereka. Dan Si Haji Salim yang tua itu, matanya yang cerdik dan hidup seperti mata anak sekolah, yang tahu di mana ada mangga matang yang tanpa risiko dapat dicuri, ia hanya kalem saja. Tetapi yang paling mengesankan, justru karena aku mempunyai hubungan "batin" sejak awal kerusuhan proklamasi itu, ialah bossnya Atik, Si kancil kecil Syahrir itu. Seolah-olah segala wajahnya yang tersenyum itu berkata kepada semua orang: "Betul kan? Masuk perangkap kalian sudah". Dan sekali saat kupergoki dia sedang bersiul lirih, entah apa. Tetapi dalam fantasiku lagu yang sama juga Verbruggen punya: Als de orchideeen bloeien ...¹⁾ Jelaslah KNIL dan KL dan segala yang bercap maupun berlencana Belanda atau Hindia Belanda masuk perangkap. Kedudukan Republik semakin kokoh; sejak perdana menteri kecil itu diundang Jenderal Christison, sejak beras setengah juta ton dimuat di kapal ke India atas nama Republik dan sejak pesawat loakan itu mendarat di Kemayoran tanpa boleh ditembak Mustang ML kita, dan sejak Si Kiai kurus jangkung yang menamakan diri Jenderal Sudirman itu menolak dilucuti oleh kami dan kami tak berdaya; tak bisa diingkari bahwa pihak Rood Wit Blauw²⁾ sudah pudar. Ternyata betul analisa Verbruggen dulu itu (Soekarno menghimpun kekuatan di belakang, dan Si Kancil ini disuruh menghadapi dunia Sekutu dengan senyumannya dan dengan program kemanusiaannya), bahwa sejak itu Belanda sudah dilasso oleh Si Syahrir ini dengan tali-tali made in USA yang semakin menjerat dan semakin membuat Den Haag dan Batavia tercekik megap-megap kekurangan nafas. Jiwa militer kami jengkel bergolak kasar dan kacau berteriak seperti lazimnya orang yang terkena perangkap. KNIL kami kalah. KNIL, itulah yang menentukan. KL sebetulnya hanya hiasan gengsi saja. ¹⁾ Bila anggrek memekar (lagu popular pada jaman Belanda). ²⁾ Merah Putih Biru. 83 Sinyo-sinyo muda yang berkalung sapu-tangan merah dan berbaret coklat, dengan wajah-wajah putih mulus, dengan bahasa Belanda mereka yang totok tanpa ke-indoindoan sedikit pun (lain dari Verbruggen misalnya, yang sering berlogat "Lho, ya toh?''), mahluk-mahluk priyayi anak saudagar dan petani-petani daar bij die ouwe molen ¹⁾negeri kabut itu sebetulnya masih mbok-mboken ²⁾menetek, kata orang Jawa. Mereka selalu rindu pada Brabant dan Gelderland ³⁾ dan sebetulnya menggerutu, di sini disuruh menyetor darah untuk nyamuk-nyamuk, makan debu serta berperang melawan hantu-hantu yang tak pernah kelihatan. Gossiemijn, komt er geen eind aan? ⁴⁾ ''Nooit!” ⁵⁾. Besok pagi kepalamu masuk parit sana dan kakimu ke sawah itu. Lalu kelak gadismu di sana dangsah dengan tuan-tuan teroris-teroris gerombolan Soekarno itu, kan begitu. Dikira apa, heh. Ya, tokh!" Sebetulnya, ah gila kalau tidak tahu, sungguh kami keledai berkepala kerbau! Semua soldadu gerombolan bandit Hindia dan priyayi moederland ⁶⁾ Olanda ⁷⁾ sudah tahu: kami kalah. Dan semua diam, justru karena sulit dibuktikan benar tidaknya dugaan desas-desus tentang sang Panglima. Sebab menggemalah berita guntur di tengah siang bolong: ''Jenderal Spoor mati." Mati karena apa? Mosok tifus? Diberi arsenikum ⁸⁾oleh jongosnya? Menembak diri? Nah, keterangan terakhir ini yang lebih logis. Dus ... adieu Insulinde, ⁹⁾ selamat jalan Aksi Polisional. Hidup Republik! Nah, mulai saat itu (sudah lama sebetulnya, cuma tidak jelas diakui), selamatkan dirimu masing-masing! Sebisa mungkin jangan kena tembak pelurn Jepang dari laras Republik. Nab, betul kan, dibentuk komisi henti tembak-menembak. Nah betul kan, Van Royen mulai berwajah lunak, omong-omong dengan Roem. Nah, betul kan, Soekarno dan lain-lainnya akan dikembalikan ke Yogya. Nah, betul kan, bukan jip Willyss seperti seumumnya di mana-mana, tetapi jip Landrover, dus bikinan Inggris yang datang dan diserahkan kepada Sultan Yogya dan delegasi Tentara Gerilya? Nah, betul kan, kiamat sudah di ambang, formulir-formulir mulai dibagi-bagikan kepada para KNIL. Ingin pilih apa: masuk tentara Republik Serikat? Atau masuk KL, bandit jadi priyayi? Atau pensiun? Atau ... ada desas-desus Si Westerling dan entah kacung abadi. ¹⁾ Nun di sana dekat kincir tua itu. ²⁾ Anak yang merengek mencari ibunya. ³⁾ Propinsi-propinsi Negeri Belanda. ⁴⁾ Seruan keluhan Belanda: Apa tak ada habis-habisnya ini? ⁵⁾ Tak akan pernah. ⁶⁾ Secara harfiah: negeri ibu. ⁷⁾ Nama olok-olok untuk Belanda (Holland). ⁸⁾ Racun. ⁹⁾ Jadi ... selamat tinggal Indonesia. 84 Belanda ingin mempertahankan martabat dan panggilan Kerajaan, menghadapi ketidak-adilan international sampai titik-darah yang penghabisan, “Kost wat het kost, door de eeuwen trouu” ¹⁾. "Sudah terima formulir pendaftaran Legiun Asing Prancis?" tanyaku sinis kepada Verbruggen. Dia hanya tertawa saja, tawa orang yang kalah lotre tetapi gigih optimis menebak lagi harapan lotre baru. "Aku akan dolan-dolan dulu,” katanya. "Ke mana?" "Bukan urusan anak kecil." Kuhantam dia dari samping, yang ditangkisnya enak saja. “Kom, kom ... jangan bingung. Sudah banyak yang bingung, kalem saja deh." Dan entah ke mana ia mengebutkan jipnya, sendirian. Akhir-akhir ini ia misterius sekali. Biasanya ia bagaikan buku terbuka, mudah dibaca ke mana dan dari mana ia pergi. Aku tahu dengan perempuan mana dan pelacur siapa ia menghabiskan kesepiannya, di mana ia biasa pesan bakmi atau merampok sisa-sisa jenewer. Tetapi akhir-akhir ini entahlah, macam-macam dalihnya, ia selalu mengendarai jip sendirian. Aneh, seorang komandan resimen menyetir jipnya sendiri dalam keadaan perang. Memang ada cease fire tetapi ini daerah tropika. Pertama, jam PBB dan jam pedesaan tidak sama. Dan keduanya, di sini sudah biasa gunung-gunung meledakkan lava dan batu tanpa minta ijin dulu dari tata hukum internasional. Lagi, keharusan mengikuti konvoi ²⁾ bagi siapa pun yang mau ke luar kota masih berlaku. Kenapa ia nekat? Apa guna merisikokan nyawa pada saat jaman perang sudah sekarat dan orang tinggal menghitung jam untuk pulang ke kandang masing-masing? Setiap otak sehat menjaga agar jangan sampai perkakasnya mati terkena peluru sesat atau trekbom ³⁾ yang kesiangan kentut. Itu mati konyol. Dan tolol. Tetapi Verbruggen seperti sengaja ingin membuktikan ketololannya dan seolah meminta masuk kubur saja sebelum perang usai. Akhirnya aku tahu ia beberapa kali pergi ke Surakarta. Pernah kukejutkan dia dengan ''Apa khabar dari kota Sunan?" tetapi enak saja, atau berlagak begitu, ia memberi keterangan (atau lebih tepat dalih) yang logis, bahkan barangkali terlalu logis. Tetapi ketika pernah ia kubuntuti, ternyata ia tidak pergi ke kanan sesudah sampai pada Paal Putih ⁴⁾tetapi ke kiri. Ke Magelang, kota garnisun itu! Jelas! Pasti ! Sebab bila ia ingin ke Semarang, ia selalu mudah menemukan kursi di salah satu pesawat terbang dari Meguwo. Mau apa ia di Magelang? Saat itu aku memang sedang serba emosi dan kecurigaanku mendidih. Maka ajudanku kuperintahkan melapor kepada kepala staf kompi, bahwa aku dipanggil mendadak oleh komandan resimenku dan mohon pemahaman oleh komandan batalyon. Di hari-hari simpang-siur itu setiap komandan sudah tidak begitu banyak ambil pusing anak-buah pergi ke mana; asal jangan keterlaluan saja. Setiap orang cuma memikirkan nasib dan kepentingan sendiri-sendiri. Habis, mau apa. Tentara yang kalah dengan panglima tertinggi bunuh-diri, mau apa? ¹⁾Apapun korbannya, setia sepanjang segala zaman. ²⁾Iring-iringan kendaraan yang dikawal oleh panser-panser dan pasukan. ³⁾Born tarik, ranjau darat. ⁴⁾ Tugu di Yogyakarta. 85 Maka aku segera tancap gas dan ngebut mengejar Verbruggen. Menurut peraturan aku harus ikut dalam barisan konvoi yang kebetulan sedang menuju ke Utara. Tetapi aku hanya menyentuh topiku, tanda salut kepada para pengawal panser yang menjaga konvoi penuh barang (rampokan?) dan pengungsi-pengungsi; yang dijawab acuh tak acuh oleh komandannya sebagai tanda tahu- sama-tahu. Mereka pun sudah tidak ambil pusing apakah aku berhasil sampai di Magelang ataukah terkena jebakan gerilya di tengah jalan. Tambah mayat seorang kapten KNIL bukan soal. Bahkan dapat mengurangi persoalan dunia. Dalam saat perang normal, kematian seorang komandan kompi diartikan rugi. Dalam waktu tentara menunggu sekaratnya, setiap perwira yang tertembak bisa menguntungkan keseluruhan. Upacara penguburannya cukup dibayar dengan tembakan salvo peleton, yang memang sudah mengharapkan beban peluru mereka semoga dikurangi. Kalau dulu sih mudah, menembak ngawur atau main-main menghamburkan peluru, dan kalau ada yang bertanya (biasanya yang tanya itu tolol) mengapa ada mayat tambah satu, bilang saja, ada semak-semak bergerak. Kau tidak bohong, sebab setiap daun semak pasti bergoyang dan selalu dapat diartikan ada penembak tepat gerilya di belakang semak-semak. Ujaran seperti itu bisa dihibur dengan khayalan, KNIL belum bubar! Sebelum menyeberang jembatan Kali Elo, yang pernah menyaksikan pertempuran sengit antara tentara Jepang dan KNIL sekian tahun yang lalu, ya pada saat aku melintasi rel kereta-api antik yang memotong jalan-raya, ban roda jipku meletus. Dan tentu saja, ban serepku tidak dapat dipakai, karena ternyata menggembos juga. Apa daya. Sesudah memaki-maki dan mengumpat-umpat secukup selera, seperti layaknya seorang serdadu, kucoba menenangkan diriku. Sendirian aku di tengah jalan itu, aman di tengah hamparan luas sawah-sawah yang belum lagi ditanami sesudah dipaneni penduduk. Aku berdiri sebagai titik tengah suatu ruang arena terbuka luas indah. Di sebelah timur gunung-gunung Merapi-Merbabu tetap saja diam melamun. Di U tara, Gunung Sumbing yang mirip Fuji tetapi tanpa salju, dan di sebelah Barat sederetan kemenakannya, Pegunungan Menoreh yang tidak pernah dapat terjamah oleh begondal-begondal ¹⁾ Spoor. Di bukit itu menurut para NEFIS yang tidak terlampau cerdas, sebab jelas tak sulit ditebak, bersembunyilah panglima-panglima tentara Republik dan pemimpin-pemimpin sipil mereka. Tetapi di Sumbing juga, dan di Merapi-Merbabu jelas. Orang tak perlu jadi intel professional untuk tahu itu. Di tengah arena berdinding gunung-gunung pribumi itu aku tenang saja di situ, karena tidak mungkin aku diserang oleh gerilya dari arah mana pun. Hamparan sawah-sawah seluas itu yang melindungiku. Aku raja di tempat itu. Raja yang hanya dikalahkan oleh ban yang mogok, gembos. Rasaku, kaum Republik dari gununggunung di kejauhan itu semua sedang mengamat-amatiku. Orang-orang negeri ini ahli dalam seni diam dan tak pernah terbaca ungkapan apa yang harus ditafsir dati raut muka mereka yang abadi seperti Borobudur itu ... Oh ya, bukankah gugusan biru bernuansa gelap itu siluet Borobudur? Bukan di sana. Kira-kira saja di sana. Borobudur, simbol orang-orang pribumi yang hanya menunggu dan menunggu, sampai ada wahyu datang. Aku tahu itu dari keluarga Papi dari puri. ¹⁾ Para bandit. 86 Barang-barang musium di situ cenderung menjadi hitam karena asap kemenyan sekian abad, atau karena gerayangan-gerayangan tangan berlemak sekian orang bernaluri gelap yang membuat hitam dan mengkilap susu-susu Si Durga di Prambanan itu; nah, jiwa orang-orang di sini memang gelap tak pernah dapat ditebak. Negeri ini sungguh misteri. Durga Prambanan yang gelap mengkilap polos menawarkan. godaan susu-susunya, tetapi dingin mengejek, karena cuma batu. Berapa lama aku hams menunggu sampai konvoi yang memberi kesan serba frustrasi itu datang? Aku duduk di aspal serba berlubang yang tak pernah terpelihara sejak Ter Poorten menyerah di Kalijati. Tentu orang-orang konvoi tadi menertawakan kehebatanku yang konyol karena ban keparat ini. Tetapi toh aku harus bersyukur mendapat kesempatan sial ini. Sebab pemandangan luas ke segala arah ini sungguh menakjubkan. Tetapi apa guna alam indah tetapi penduduknya kuli goblog atau serdadu yang kalah? Memang terasa aku seperti terkurung oleh gunung-gunung dan dinding pepohonan desa di kejauhan itu. Ya, ya ... aku tahu jelas apa yang terbayang pada layar gelap pepohonan itu. Jelas aku diingatkan bahwa bagaimana pun aku anak negeri ini yang tak mungkin ke luar dan tidak akan mereka keluarkan dari tanah ini. Begitu peringatan dari pohon-pohon kelapa dan gori dan melinjo dan sawah-sawah yang sudah terlalu lama menunggu saat kapan dihamili lagi benih-benih baru. Jalur rel kereta-api beberapa meter dariku melintasi jalan aspal dan melengkung luwes membusur di atas tanggul yang menjulang di atas sawah-sawah, seperti ular piton raksasa yang mencari lubang di jurang kali Elo. Agresor piton baja dunia rasionalitas itu memotong begitu saja sawah-sawah kebaktian manusia-manusia tradisional negeri yang suka damai. Pengganggu keindahan asli jalan kereta-api itu. Ya, indah memang negeri ini, tetapi menjengkelkan karena tak pernah dapat terbaca apa sebenarnya isi hatinya, kendati pun didatangi agresor. Agresor! Tanggul mati sekian ribu kubik di atas tanah subur, hanya untuk memikul kerakal dan kayu ulin dan rel-rel besi demi peluncuran perjalanan suatu dunia lain, suatu sikap lain. Mengapa istilah agresor itu timbul dalam benak- ku? Aku tahu, minggu-minggu terakhir ini aku terlalu sadar, bahwa aku terlanjur ikut tentara agresor yang terhukum sekarat kalah. Dan konvoi yang nanti datang lewat itu benar-benar simbol memelas tentara yang keok ¹⁾. Konvoi tentara seharusnya membawa orang-orang berseragam gembira di atas tank-tank dan panser dan truk, kaum serba jaya viktoria yang melambai-lambai kepada penduduk yang hangat penuh syukur mengelu-elu mereka. Seperti dalam foto-foto yang memperlihatkan tentara Amerika masuk Prancis atau Belanda itu. Ya, itulah baru tentara idam-idaman setiap lelaki yang berkelahi. Tetapi di sini? Di sini konvoi harus menyusup seperti ular yang bingung mau tidur di mana, karena dikejar-kejar. Padahal perutnya sudah kebak tikus. Dan celakalah ular yang perutnya menggelembung kalau ia ketahuan tempat sembunyinya. KNIL kami sudah kenyang dan kepala ularnya Si Spoor itu sudah bunuh diri. Dan Soekarno serta kaum teroris (kami pahlawan polisi, haha) akan kembali. Nah, gerombolan-gerombolan di Gunung Menoreh dan Merapi-Merbabu-Sumbing itulah nanti yang dielu-elu. Tidak naik tank tetapi dengan sandal ban truk dan sepatu bolong. Tetapi dielu-elu! Ya, dielu-elu. Antara lain oleh ... Atik! Jengkel kutendang ban gembos itu dengan berangku yang kekanak-kanakan. Ke mana Verbruggen si bandit tua itu. Baginya tidak ada kalah atau menang. 87 Soalnya hanya sederhana saja, beli lotre lain. Tetapi aku tidak dapat begitu. Dan untuk pertama kali sesudah sekian tahun aku mendengar angin yang menggerisik di antara bunga-bunga rumput jarum. Aku duduk lagi di tepi jalan. Merapi itu terus saja merokok. Dan Merbabu temannya (atau istrinya?) diam juga. Merbabu itu sungguh betul babu. Bentuknya dan mentalnya. Negeri ini memang vulkan sifatnya. Semua onggokan itu masih bekerja sebetulnya. Hanya Merapi ini yang terang-terangan merokok tanpa mengingat sopan-santun adat Jawa, yang selalu pendiam serba diam dan diam. Simpatik dia Merapi. Tak tahu sopan-santun. Kurangajar merokok acuh tak acuh. Hah! Persis aku! Tiba-tiba aku merasa akrab dengan Merapi itu. Bagaimana sesudah perang atau, maaf, aksi polisional ini selesai? Ke mana aku? Aku tak sudi lari. Tetapi akan kuterima kekalahanku. Aku meludah. Sesudah tahun-tahun ini, aku sangsi apa di dunia ada yang disebut sportif Apa kau ikut Verbruggen saja? Atau menggabung dengan tentara Republik itu? Jadi kuli dari bekas kuli? Atau ke Negeri Belanda saja? Sebagai kapten kerajaan pasti ada beasiswa veteran nanti untuk belajar masuk ke Leiden atau ke manalah; Delft bagus juga. Jadi insinyur seperti cita-citaku dulu. Persetan, ke mana Verbruggen tadi itu? Tetapi apa urusannya aku kemari? Sungguh, sudah nggak keruan disiplin tentara kalah. Kulihat jam tangan. Masih setengah jam barangkali konvoi itu baru sampai di sini. Aku harus siap diejek dan ditertawakan. Hantam balas tentu akan datang nanti. Ya, tokh? Mudah-mudahan piket itu omong yang benar. Soalnya, tidak ada orang dalam tentara yang sadar sudah mau diloakkan, begitu saja percaya. Tetapi awas kalau dia bohong. Akan kutempeleng sampai salto tujuh kali dia. Aneh juga. Mau apa Verbruggen ke sana? Tetapi dalih apa yang harus aku katakan nanti kalau aku dipergoki! Sepanjang jalan sejak aku berangkat tadi kupikir, belum lagi ada dalih yang tepat kutemukan. Atau sebaliknya tak perlu pakai dalih saja? Omong saja bosan di markas, begitu. Mengapa menguntit? Omong saja, kan paling-paling ya itulah yang bisa dikerjakan orang bosan. Terlalu toloL Omong saja, jelas-jelas. "lngin tahu ke mana kau." Peduli amat! Apa, jawabannya nanti? Hahaha, jawaban satu yang paling meyakinkan: Karena kau bajingan. Aku ingin lihat perempuanmu. Ya, begitu saja. Satu hal yang saya senang dalam jenis bandit-bandit ini: mereka jujur. Karena mereka lebih dekat dengan binatang. Orang semacarn aku ini paling susah. Malaekat, tetapi bukan malaekat. Manusia, tetapi terlalu buruk untuk jadi manusia. Atik dan aku, kami berdua terkutuk untuk menderita. Sungguh gila, mosok sampai sekian tahun belum lagi tahu mereka ke mana. Atik, Papi, Mami, keluarga Antana. Mengapa tidak tanya di Sala? Kan pasti keluarga Pangeran Hendraningrat bisa bercerita. Barangkali Atik mengungsi ke sana. Ah, goblog, aku goblog. Barangkali Verbruggenlah yang ke sana, bila ia bilang katanya mau konsultasi dengan komandan di Sala. Mosok, konsultasi melalui radio kan bisa. Tetapi mengapa aku sendiri tidak ke Sala? Takut? Takut menghadapi kenyataan barangkali? Ya, aku takut. Sekarang jelaslah serba benderang, bahwa bila aku jujur, aku harus mengakui, aku takut. Aku takut mendengar tentang keadaan sebenarnya. Aku takut memergoki apa yang sesungguhnya terjadi. Aku takut bertemu muka dengan mereka. 88 Dengan keluarga Antana, Atik. Papi dan Mami sudah kuanggap tidak ada. Dimakan oleh api revolusi, begitu istilahnya barangkali. Ya, aku takut bertemu muka dengan Atik sebagai seorang yang kalah. Sebetulnya aku dapat bertanya kepada mereka. Tetapi aku tidak mau. Apakah barangkali Verbruggen melacak mereka? Dia bandit dan tahu caranya melacak mangsa. Orang-orang seperti Verbruggen ini aku paling suka. Orang bermoncong meriam tetapi jiwanya jip. Sanggup dan ikhlas memberi tempat untuk melaju dan ke mana saja. Jip, GP General Purpose, silakan dipakai untuk apa saja. Kalau di udara pesawat Dakota itulah. Pengangkut yang masih sanggup terbang terns dengan sayap satu hilang atau ekor bolong-bolong seperti kéré-kéré pengemis Republik itu. Persetan, mengapa Verbruggen ke sana. Di luar Magelang sedikit ke arah utara, di sisi kiri ada kompleks gedung yang pantas dipakai untuk kampus suatu universitas. Hah, Verbruggen ke sana! Ada Si Cantik yang ingin ia isengkan? Aku masuk gedung utama. Alangkah tenang sejuk suasana di sini. ltu di sayap kanan, rumah-rumah para "profesor" itu mengingatkan aku pada Mike, gadis bunga kelas di SD, yang pernah kuciurn dengan balasan kontan tamparan yang nyeri. Di mana dia Si Mike itu? Sudah jadi istri seorang komandan tentara Republik? Nanti dapat tanya. Aku melompat dari jip dan menuju kamar piket. Ada seorang Jawa bermental kuli menunduk-nunduk hormat dengan mata serba licik. Pasti di dalam hati dia membenciku dan berpikir: "Toh tinggal beberapa hari lagi Soekarno kembali ke Yogya dan tuan-tuan Belanda boleh tenggelarn di sarnudera kalau mereka dipulangkan ke negeri kodok. Dan kau N1CA Coklat, kau akan disatai. Akan pesta lidahku!" Bukankah begitu, kuli Jawa harus sopan seperti tai kucing? Tai yang sopan disembunyikan di bawah pasir? "Mari silakan, silakan duduk, Tuan." "Keparat, aku curna ingin menanyakan, apa tadi ada opsir Belanda! datang kemari. Kutanya tentang opsir Belanda! Tidak minta disilakan duduk." ''Ya, baik-baik. Mari dienakkan duduk di kursi. Maaf, Tuan ... " "Lekas, aku tidak punya waktu banyak. Dan kau tidak perlu menunduk-nunduk seperti kuli begitu. Katanya sudah merdeka." "Ah ya, maaf Tuan ... " Tiba-tiba mukanya mendongak dan mulutnya menganga. Aku menoleh, karena ada suara mengguntur: "Kapitein!" Ah, Verbruggen. "Hallo, bandit. Kau di mana? Kucari kau ... " ''Tutup mulut. Berdiri tegap dan beri hormat,” bentaknya begitu nyaring sehingga aku sungguh terkejut benar. Matanya menyala seperti mata tokek benggala. "Tidak dengar? Hormat !" Spontan aku membanting tumitku kanan dan tumit kiri, tegak dan memberi hormat militer. ''Perintah Komandan. Enyah kau dari sini! Pergi! Ini perintah militer. Pulang ke pasukanmu. Selesai." Aku tak bisa berbuat lain kecuali "Siap!" Ketika aku agak bengong lamban menuju jipku, ia membentak: "Lekas pergi!" Mendongkol jipku kunyalakan, tancap gas. Jip berputar menabrak tiang ramburambu di tepi dan masih sempat menyerempet bola-bola gede gerbang, menyambar ke arah Selatan. Malu! Mendongkol! Tetapi jelaslah sekarang, Verbruggen punya rahasia, yang ingin ia sembunyikan. Gas kulepaskan. Pelan-pelan sajalah. Mengapa harus ngebut? Pelan-pelan, masih banyak waktu. Ke luar Magelang di muka gerbang kerkop Belanda yang bergaya klasik Yunani kampungan dengan tiang-tiang seperti kaki nyonyah beri-beri itu aku dicegat MP ¹⁾. ¹⁾ Militaire Politie, polisi militer. 89 Setiap orang infanteri benci pada orang-orang bertubuh besar berhelm putih dengan huruf MP seperti kutukan Kain itu. Di tengah jalan aku dihadang. 1a memberi hormat. Dan dengan pendek, tegas tetapi toh menghormati, aku dipersilakan membelok dan berhenti di bawah gerbang gaya Yunani kampungan itu. “Ada apa!" Tetapi MP itu diam tak mengucapkan satu kata pun. Kurang-ajar. “Aku mau tahu, untuk apa tuan menahan saya." Tetapi MP tadi menuju ke rumah penjaga kerkop. Dan sebentar lagi seorang perempuan dengan menggendong anaknya dan diantar oleh seorang lelaki, suaminya tentu, ke luar dan disuruh duduk di atas rumput di salah satu nisan. Kedua orang itu gemetar dan menyembah-nyembah minta ampun. MP itu hanya tersenyum dan mencoba menerangkan dalam bahasa Melayu keliru : "Jangan takut. Ada tidak apa-apa." Ia lalu mempersilakan aku masuk rumah dan duduk di dalam. Berkecak pinggang aku bertanya, "Ini sandiwara apa?" Tetapi si polisi militer bergaya korekt ningrat menjengkelkan hanya menjawab. “Perintah. Hanya itu." ''Perintah gila, teriakku. Ia hanya mengangkat bahu dan berdiri di muka rumah. Berkecak pinggang. Kuambil rokok dari sakuku dan minta kepada mahluk nikotin itu agar menenangkan perasaanku. Apa aku dilaporkan telah lari dari pasukan? Tidak. Segala hal telah kuserahkan kepada wakilku dan aku jelas menerangkan, aku ke Magelang sebentar dan jam tiga siang pasti sudah datang di markas. Aku ke luar rumah. Kulihat perempuan-perempuan mencuci dan berak di kali Manggis dengan air seperti jenang coklat. Bahkan sungai di sisi timur kota Magelang yang sekotor ini ironis sekali diberi nama Kali Bening. Di negeri seperti ini, air yang begitu kotor penuh berak dan baksil toh sudah berhak disebut bening. Tetapi dalam kanal sekotor itu juga aku dulu sebagai anak kolong mandi dengan nyaman segar. Dengan norma apa bening dan kotor itu harus kita ukur? Masih ada juga yang mencuci beras di selokan itu. Dan dengan enaknya tanpa tahu malu perempuan-perempuan itu turun, membalik, mengangkat kain hingga pantat mereka menongol serba pekik kemerdekaan. Tanpa tergesa-gesa kedua bola mereka itu dicelup di dalam air; sambil omong-omong dengan rekan-rekannya. Biasanya pantat-pantat itu putih dan mulus halus. Yang putih dan halus rupa-rupanya di sini bisa bersahabat dengan yang kotor dan busuk. Apa arti mandi bagi mereka? Sering seperti berjingkrak-jingkrak dalam air caranya dan kadang-kadang ke luar juga sepasang susu besar yang sama-sarna coklatnya dan diseka seolah mau memelototnya. Bersih sudah. Sering tanpa sabun. Bangsa begini mau merdeka. Bah! Sersan mayor PM itu memeriksa Harley-Davidsonnya ¹⁾, lalu bersiul-siul sambil melihat jam tangannya. Pelan namun tegap ia melangkah ke arahku. Kutawari rokok. Kunyalakan sigaretnya. Melihat ke jam tangan lagi. Tuan Kapitein tidak perlu khawatir." "Kaum perang sudah terbiasa khawatir." "Untung semua sudah usai," dan dalam-dalam dihisapnya rokok. "Tadi kami hanya mendapat perintah telepon dari Letkol Verbruggen, ia ingin berbicara dengan tuan." "Spesial harus di sini?" ''Ya, perintah adalah perintah." "Kau dari mana?" ¹⁾ Merk sepeda motor. 90 ''Dari Limburg. Maastricht. Tuan pernah ke negeri Belanda?" "Hanya dalam pelajaran ilmu bumi dulu di SD." "Hidup lebih interesan di sini, Kapitein." "Untuk beberapa bulan. Akhirnya kalian kan, ya, suka pulang di negerimu." "Kami akan emigrasi ke Australia." "Sudah nikah?" "Kalau pulang nanti." "Kalau pulang ... ?" ''Ya, kalau pulang. Sering konvoi-konvoi masih terkena ranjau." "Tunangan cantik.?" "Cantik. gadis-gadis di sini, Kapitein. ''Bukan itu yang utama." "Memang." ''Berapa tahun atau bulan kau dinas di Hindia?" "Indonesia?" (Hatiku tiba-tiba tertusuk. Belanda petani totok tolol ini menyebut hormat Indonesia. Aku merasa tergugat) "Sudah sejak divisi 7 Desember dibentuk, Kapitein." "Sukarelawan?" "Terpaksa. Dinas milisi. Siapa mau sukarelawan ikut perang idiot semacam ini." Saya jengkel pada orang jangkung pengecut itu. Kan yang menyuruh perang bangsamu sendiri. Bersungut-sungut aku diam. Rupa-rupanya ia merasa keliru komentarnya. ''Maaf, Kapitein, saya menyebabkan kerugian waktu bagi Tuan. Tetapi itu tadi perintah." Aku tetap diam. Mau omong apa? Dia tidak salah, hanya menjengkelkan; karena terlalu jujur dan seolah-olah menyindirku. Bagaimana pandangannya terhadap orang-orang pribumi yang berperang ikut KNIL dan memilih pihak melawan bangsanya sendiri? Ia memberi hormat, "Maaf, ingin kutengok apakah Letkol sudah datang atau belum." Aku masih diam. Dengan langkah yang tegap sersan mayor yang bertubuh gagah itu menuju ke jembatan Kali Manggis. Mudah-mudahan ia tak terkena ranjau darat. Kan semua sudah selesai. Bagi yang milisi warta gembira, bagi yang sukarelawan warta pahit. Ia melihat ke arah pasar. Melihat jam tangannya lalu tenang pulang ke tempat aku duduk. "Kau boleh pulang," kataku, "Saya tidak akan lari." "Perintah adalah perintah, Kapitein." "Kau seperti tentara Jerman saja: Perintah adalah perintah." "Itu yang paling mudah, Kapitein. Yang paling menghindari persoalan yang tidak perlu, “ dan ia tersenyum tenang. "Menghindati persoalan artinya bertemu dengan soal lain." ''Bisa jadi, Kapitein." Tidak enak omong-omong dengan anak yang tidak terlalu intelek semacam ini. Aku yakin, ia benci padaku. Dari arah Pasar Besar datang suara mesin-mesin truk dan sorak-sorai. MP itu berdiri dan di cucuran atap rumah ia berhenti dan berkecak pinggang. Iring-iringan truk dengan dikawal sebuah mobil panser dan beberapa jip serta polisi militer bersepeda-motor lewat. Membawa orang-orang Hindia, sorry Indonesia, yang bersorak-sorai kepada pejalan-pejalan kaki dan yang bersepeda. 91 ''Merdeka! Merdeka!" seru mereka. Orang-orang di jalan mengangkat tangan dan menjawab hangat: ''Merdeka!'' Ada satu truk yang membawa bendera kecil merahputih. Kebanyakan orang-orang itu setengah umur. Hampir tidak ada yang pemuda. "Siapa itu?" Sersan mayor Belanda itu berkata datar, ''Mereka disingkirkan ke Yogya. Kaum Republik." "Tawanan?" ''Bukan. Kepala kantor, guru sekolah, bekas jaksa, semuanya kaum pegawai Republik." ''Dari gunung'?" "Tidak. Mereka tidak ikut gerilya. Tenang tinggal di kota. Tetapi preventip, untuk menghindari kemungkinan agitasi yang tidak perlu mereka disingkirkan." ''Mengapa tidak dimasukkan penjara saja?" "Suatu gupermen ¹⁾yang kalah tidak berhak lagi memenjara." "Menurut anggapanmu kita sudah kalah?" ''Anggapan saya tidak penting:' jawabnya menghindar. Sersan-mayor!" dan meluaplah amarahku. "Dengar dan camkan betul. Negeri Belandamu negeri pengecut." "Boleh jadi, Kapitein," jawabnya, terlalu tenang dan datar dan karenanya lebih menjengkelkan lagi. Diakui atau tidak diakui, aku merasa kalah terhadap anak petani Belanda totok yang terlalu tenang ini. Petani, tetapi mereka terpelajar. Sungguh aku mendidih. Tenang atau acuh tak acuh? Bagaimana pun aku merasa dikhianati. Aku yang pribumi membela kerajaannya, dia malahan begitu saja menyerah. "Merdeka! Merdeka!" dan tiba-tiba ada yang mengeluarkan lidahnya dan menunjuk padaku sambil menarik tangan teman-temannya. ''NICA INLANDER! Mampus kau nanti!" Panas tanganku otamatis memegang Viekersku. Tetapi itu tak mungkin. Aku akan merendahkan martabatku. Mereka harus kuanggap kunyuk-kunyuk belaka yang tolol. Tidak perlu diberi reaksi. "Sersan mayor!" Geram aku mendesis pada MP itu: "Itu calon-calon pembesar negara yang baru?" "Yang penting perdamaian ditanam di negeri ini: “kata petani Limburg itu. Tahu apa dia tentang masalah-masalah sebenarnya dari negeri ini! "Siapa tahu satu di antaranya sebentar lagi boleh bersantap bersama Ratu Yuliana dan Prins Bernhard," tambahnya. Kali ini ia sinis dan bersiullah MP itu suatu lagu unik yang tidak kuketahui apa. Pegawai-pegawai Republik itu berpakaian sederhana, dan semuanya bersih. Tampak mereka golongan priyayi. Mereka kelihatan gembira sekali dan lega bahwa kemenangan terakhir ada di pihak mereka. Seumumnya mereka sopan dan tidak berkelebihan sorak kemenangan mereka. Hanya pengecut satu tadi yang mengeluarkan lidah seperti anak kecil. Perkecualian. Bahkan sekilat pandang kulihat temannya yang diajak mengejek bergerak sikunya, tanda menolak ikut-ikutan menganiaya jiwaku. ¹⁾ Dari kata gouvernement (BId): pemerintah. 92 Tetapi toh ada satu truk berseru secara koor melucu: “ Dag mijnheer ! Dag mevrouw! Ayo mampeer, ik hou van yaau.” ¹⁾ Ketika aku menoleh, paman penjaga kerkop yang diusir dan masih berjongkok di dekat salah satu nisan jaman jenderal van Heutsz ²⁾ itu kulihat melambai kepada para republikan di dalam truk-truk itu. Tetapi segera dan sangat takut ia menarik kembali tangannya. Istrinya memegang tangannya erat-erat dan sedikit memarahinya. "Mengapa orang itu harus kau usir dari dalam rumahnya? Kan Verbruggen bisa omong-omong entah di mana pun. Agak aneh ini semua." "Perintah adalah ... " ''Perintah. Ya, ya sudah hafal aku. Terus-terang saja Sersan Mayor, kalau kau punya slogan begitu terus, calon istrimu pasti akan lari dengan seorang kopral lain." Untuk pertarna kali MP itu menyeringai dan omong agak panjang. Lebih muda dan lebih ferninin bila ia tertawa begitu. "Saya tidak akan punya kopral atau vaandrig di bawahku. Hanya sapi-sapi dan domba-domba. Di Australia sana." Toh aku terpaksa tertawa juga. "Maaf, Kapitein. Kapitein, giliran saya, bolehkah saya menawarkan cigarello ? Baru kemarin kuterima dari Katrin. Merokok berdua lebih lezat, bukan?" Dan tanpa menunggu persetujuanku ia sudah mengeluarkan kotak blek. Willem I Havanna, cigarello super fine. "Silakan Kapitein, aku hambamu." Dan dengan elegan, tidak serasi dengan ketanian yang hanya kuperkirakan itu, ia sudah menyalakan koreknya. Simpatik juga raksasa tani ini. ''Enak juga ini sersan mayor. Hai, saya ingin tanya padamu. Bagaimana pandanganmu tentang hari depan'?" "Oh, di rumah kurang menguntungkan, tetapi di Australia kukira cemerlang, asal mau kerja saja." ''Bukan, kumaksud negeri ini." ''Ya, bagaimana kukatakan, Kapitein. Sebetulnya aku tidak banyak punya pertalian batin dengan orang-orang di sini." "Mengapa kau main-main jadi tentara di sini? Ah ya, saya sudah tahu, perintah adalah perintah, bukan?" "Tepat, Kapitein. Juga dengan Negeri Belanda, tanah nenek moyangku, aku juga sudah tidak begitu punya pertalian emosi seperti ayahku atau bahkan dengan abang sulungku. Tanah-air adalah di mana ada kesayangan dan saling tolong-menolong, Kapitein. Tanah-tanah milik ayah dan abang semakin lama semakin dicaplok oleh pabrik-pabrik. Ya sudah, selamat tinggal. Gampang, Kapitein." ¹⁾ Tabik Tuan! Tabik Nyonya! Mari singgah, saya cinta padamu. ²⁾ Panglima tentara Belanda dalam Perang Aceh: ia juga Gubemur Jenderal Hindia Belanda. 93 "Menurut kau, lebih baik aku tetap tinggal di sini atau cari hari depan rnisalnya di negerimu Holland?" Sersan mayor itu memandangku dengan heran. "Maaf, Kapitein, saya tidak berhak menyarankan sesuatu. Hal itu harus ditanyakan kepada, maaf nyonya, istri Kapiten." "Saya belum beristri." Sersan mayor itu tertawa sangat simpatik, sehingga aku pun ikut tertawa. "Nah, kalau begitu sudah waktunya Kapitein." "Tetapi kembali pada pertanyaanku tadi. Bagaimana pendapatmu tentang haridepan negeri ini? Ya, sebelum itu kutanyakan kepada, yah menurut nasihatmu tadi, kepada calon istri." ''Ya, sekali lagi, sebetulnya aku belum sangat kenal dengan orang-orang di sini, kecuali sebagai tentara pendudukan. Memang rotzooi ¹⁾, Kapitein. Sial juga aku mulai berkenalan dengan mereka sambil membawa pistol di pinggang. Suatu permulaan yang idioot." ''Berbahagialah kau belum kenal negeri ini." "Tetapi rupa-rupanya penduduknya baik-baik saja. Saya dulu punya paman, Kapitein. Dia pernah jadi asisten residen di pulau entah saya tidak tahu namanya. Di Indonesia ini. Sebelum perang. Sekarang dia sudah mati, dalam tawanan ]epang. Dia dulu dalam bulan-bulan cutinya banyak bercerita tentang daerah bawahannya. Bahkan pernah saya ditumbuhi gagasan untuk ikut dia jadi penanam kopi atau tebu di sini. Dia berkata, bahwa penduduk di sini kejam sekali. Wajah serba senyum dan sopansantunnya luwes, tetapi terhadap sesama bangsa, keji. (Apakah dia menyindir KNIL lagi?) Sebagai asisten residen ia setiap hari keliling untuk mendengarkan keluhan rakyat dan membela mereka terhadap kesewenang-wenangan raja atau bupati mereka." "Itu betul." “Tetapi saya pikir, kalau itu betul, mengapa kaum Gupermen itu kong-kalikong dengan raja-raja dan bupati-bupati mereka? Apakah dia bohong dan hanya membual saja, aku tidak tahu. Kukira di mana-mana sama. Maka kupikir, tanah-air adalah di mana tidak ada kekejaman antara orang dengan orang. Kalau adat atau kebiasaan suatu nasion kejam, kukira lebih baik jangan punya tanah-air saja. Aku sudah tidak sabar menunggu hari kami berangkat ke Australia, Kapitein." "Maka jagalah, agar jangan sampai menerjang ranjau darat, atau terkena peluru penembak liar." ''Ya, ranjau darat keparat itu. Tetapi ... oh, itu Letkol Verbruggen sudah tiba." Sebuah jip menyambar pagar jembatan dan masuk ke pelataran kerkop. Sersan mayor MP tadi memberi hormat kepada Verbruggen, kepadaku dan langsung HarleyDavidsonnya meraung. Aku pun memberi hormat pada atasanku. Sungguh mati, aku tidak dapat menerka sedikit pun, mengapa ia memilih tempat yang aneh ini. Tetapi ia langsung masuk rumah dan aku diajak masuk. "Saya ingin bicara dengan kau. Sayang ilharnku hanya tahu tempat ini, yang kuanggap paling enak untuk bicara privat dan tidak perlu berputar-putar jalan. Rokok?" ¹⁾ Brengsek. 94 "Cigarelloku belum habis." "He, cigarello hebat, dari mana?" "Kado dari seorang gadis." "Gila, kau punya?" ''Bahkan Belanda totok." "Edan! Awas, jangan main-main." "Aku tidak bohong." "Leo!" dan sekarang nadanya lebih berwibawa dan serius. "Kenapa kau menguntiti saya?" "Kenapa kau pergi ke sana?" Kepalnya memukul meja, sehingga gelas dan sebatang sendok kuningan berdering. "Kau kapitein, saya loitenant-kolonel. Omong!" (Saya ingat niat bohongku tadi). "Terus terang, saya curiga." "Curiga?" "Kau tidak seperti biasanya. Saya kau punya antena prajurit. Saya mencium sesuatu yang menurut rasaku harus saya selidiki. Dan lagi aku rindu pada Magelang." "Sentimentil. Yang lampau adalah lampau. Tidak perlu kita korek-korek kembali lagi." "Apa betul, Letkol? Kau yakin pada apa yang kau katakan?" "Verdomme!" Dan nervous ia menyedot dalam-dalam sigaretnya. "Leo, jangan memaksaku berbuat yang bukan-bukan. lni soal serius, kau tidak perlu campur-tangan atau pun tahu." "Apa yang serius? lni apa? Kau semakin mencurigakan, Verbruggen. Baiklah, saya sudah memperingatkan kau. Jadi jangan mempersalahkan saya kalau ada akibat-akibat yang tidak enak." “Apa ada di dalam keadaan edan seperti ini yang masih bisa lebih tidak enak?" "Okey, okey. Saya sudah tua dan kau sebentar lagi juga akan tua. Dengarkan. (Dan ia menatap padaku, lirih berbisik.) Ibumu sudah kutemukan." Hah?" Mataku membelalak dan asap cigarelo menyeruduk paru-paru sehingga aku batuk-batuk tidak keruan. ''Ya, Marice. Tidak usah banyak basa-basi. Ia kutemukan di Rumah Penyakit Syaraf Kramat sana tadi." Seperti terkena granat Howitzer 10 inch aku hanya bisa bungkam dan membelalak. Ibuku di rumah gila? Kramat Magelang adalah rumah gila. Ya Tuhan ... siapa yang gila, mereka atau aku sekarang? Lemas aku duduk setengah berbaring di atas ranjang itu. Mamiku malang. Verbruggen menepuk-nepuk bahuku seperti seorang ayah. ''Jangan berlagak kau lebih menderita dariku. Pikullah ini sebagai seorang prajurit." Aku menangis, tetapi dengan tangis yang kering, dengan teriak yang senyap, dengan jiwa yang kosong. Karena aku diam saja, Verbruggen bercerita terus. Dengan suara yang tenang, atau dibuat-buat seolah tenang. Dia pun menderita. Barangkali lebih menderita dariku. Aku tidak mengira cinta lelaki bisa begitu mendalam dan tak bisa luntur. “Aku ingin menyelidiki sendiri. Tanpa diganggu orang. Aku pun manusia dengan perasaan, dan betapa pun bandit aku ini, aku pernah mencintai ibumu. Kuselidiki di pihak-pihak ningrat sana. Aku kenal siapa kaum kerabat ayah dan ibumu. Dan merekalah yang menceritakan riwayat sedih itu. Tanpa melantur segera aku mencari ibumu di Kramat." Parau aku bertanya: "Ia bisa diajak bicara?" 95 "Bisa. Ia bukan gila dalam arti liar. Seperti wataknya dulu, ia tenang. Hanya diajak dialog ia tidak bisa. Ia hanya ... " Aku meloncat dan berlari ke jipku. Tanganku dipegang erat oleh Verbruggen. "Nanti dulu." "Biarkan aku. Aku mau melihat ... biarkan aku. Kutembak kau !" Verbruggen mendesis. "Gila kau. Malu tidak kau didengar orang-orang di selokan itu." Aku lunglai merebahkan diri di ranjang. "Leo, kita akan bersama-sama menengok ibumu. Tetapi dengan hati yang tabah dan siaga. Tidak seperti anak puber begitu. Sekali lagi, jangan mengira kesedihanmu lebih besar dari kesedihanku. Penderitaan anak bisa dalam. Tetapi penderitaan kekasih bisa lebih dalam. Maka itu jangan berlagak. ltu kalau kau lelaki dan bukan seorang banci sentimentil yang cuma bisa meong-meong kayak kucing." “Apa?" Dan Verbruggen kupandang dengan nyala apiku yang benci. Tetapi matanya yang biru abu-abu itu jauh lebih menyala dan aku merasa kecil di hadapannya. "Tidak, tidak!" Aku meloncat ke luar. Sesudah itu aku sudah tidak ingat diri lagi. Kelak aku tahu, bahwa pada saat itu tangan Verbruggen maju dan dengan pukulan silat di tengkuk, aku dibuat tidak sadar. Tidak banyak yang dapat kuingat dari pertemuanku dengan Mami, sesudah sekian tahun tidak bersua. Sebab, saat itu aku sedang kacau dan satu-satunya kesan yang masih tinggal dalam kesadaranku hanyalah satu ini. Seorang wanita kurus dan pucat, tetapi masih cantik. Dan wajah kurus putih yang cantik tersenyum itulah yang kuanggap anugerah warisan terakhir yang kuterima langsung dari Mami. Ibu sudah tidak dapat diajak berdialog. Pada setiap pertanyaan beliau hanya tersenyum dan berkata lembut: ''Ya, segala telah kuberikan. Segala telah kuberikan. Tetapi mereka mengingkari janji." "Mami, Mami tahu aku siapa?" ''Ya, segala telah kuberikan, segala." "Mami, aku Teto, anakmu Teto. Mami, aku Teto." ''Ya Teto, mereka mengingkari janji." "Mami, ini karibmu lama, Verbruggen. Ingat tidak Verbruggen!" “Ah, bagaimana kabar Verbruggen. Ya, sungguh segala telah kuberikan. Tetapi, ya begitulah mereka mengingkari janji." Akhirnya aku menangis tersedu-sedu dalam pangkuan ibuku. Tetapi Mami hanya tersenyum dan menyeka rambutku. "Leo, Leo, Mami telah memberikan segala-galanya. Tetapi mereka mengingkari janji." Pandangan mata ibu nampak jauh. Seolah-olah ia sudah di "sana", tidak di "sini" lagi. Tetapi ibu sangat tenang wajahnya dan segala gerak-geriknya sama seperti dulu. Dokter jiwa Kramat, seorang Indonesia yang sudah agak tua dan tampak lelah, mengatakan bahwa ia tak mampu berbuat apa-apa. Barangkali para psikiater di Eropa dapat menolongnya? Segala-gala telah diberikan. Tetapi mereka mengingkari janji. Dengan kata lain, tidak ada gunanya kami mencari Papi di "sini". 96 13. Burung Kull Mendamba Menjelang senja Larasati dan ibunya minta diri dari pak Lurah untuk berjalan-jalan sedikit. Jarang mereka dapat berlibur. Dapur umum tidak pemah beristirahat. Sejak Ayah tersayang gugur, Atik dan Bu Antana bersepakat untuk berbakti di desa, di antara para gerilyawan. Rumah di Cemorojajar mereka kosongkan dan memang para tetangga semua mengungsi juga. Daripada mereka tanpa guna di dalam rumah kosong di dalam kota yang diduduki musuh dan setiap kali takut diperkosa serdadu, lebih baik minta perlindungan kepada saudara-saudara desa yang begitu baik menolong mereka dalam keadaan yang paling pahit. Ibu Antana dan Atik sudah sepakat untuk mengebumikan suami dan ayah di dalam kuburan desa saja. Selain mustahil mengangkut jenazah ke kota, keputusan mereka diberi makna yang indah juga. Pak Antana sejak kecil pecinta alam dan sebenarnya hanya terpaksalah dulu tinggal di Kramat. Tetapi dalam tulangsungsumnya, Pak Antana hanya bahagia di antara pohon-pohon dan sawah-ladang yang bebas. Maka dari segi itu dapat dianggaplah rahmat, bahwa suami dan ayah kedua wanita itu gugur justru di tengah sawah. Atik selalu ingat kepada anak ayam yang dulu direnggut burung elang di halaman neneknya. Begitulah alam. Namun mereka yakin, penguburan di desa pasti sangat berkesan kepada jiwa pribadi yang mereka sayangi. Sejak itu, ibu dan putri bekerja-bakti di dapur umum para gerilyawan di suatu desa di seberang jurang Juranggede yang bernama Grojogan. Tugas di dapur berat secara fisik, tetapi dari segi penyegaran jiwa tak berat. Sebab begitu mereka lalu tidak merasa sebagai pengemis yang hanya menerima pengayoman tanpa imbalan. Tanpa dapur umum perjuangan para gerilyawan mustahillah. Dan selalu saja ada pekerjaan atau tugas mendadak yang lekas-lekas harus dise1esaikan. Tetapi petang itu Bu Antana dan anaknya ingin makan angin sedikit, sebab pagi tadi datang berita yang sangat menggembirakan. Seorang kurir dari Banaran, tempat Staf Umum TNI bersembunyi, membawa warta bahwa Bung Karno dan Bung Hatta beserta se1uruh Pemerintah akan dipulangkan ke Yogya. Bahkan seluruh dunia mence1a Belanda, terutama India dan negara-negara bersahabat di Asia; tetapi tidak boleh dilupakan juga, Amerika Serikat. Kali ini permasalahan akan diselesaikan secara total. Indonesia akan diakui oleh dunia internasional dan akan segera diadakan Konperensi Meja Bundar. Dan konperensi ini hanya beracara tunggal: penyerahan kedaulatan kepada RI. Ke1ak Larasati tahu, bahwa bukan RI, melainkan RI Serikat yang akan dibentuk itu yang bakal menerima penyerahan. Akan tetapi kurir ketika itu berkata RI. Dan tentulah hal itu yang paling wajar. Larasati dan ibunya tahu, bahwa sebentar lagi mereka harus meninggalkan desa Grojogan. Atik pastilah akan sibuk lagi sebagai salah seorang sekretaris di Kementerian Luar Negeri. Dan ibunya? Belum lagi tahu, apa yang akan dikerjakan. Yang jelas, ke rumah abangnya di Surakarta dulu. Dan jika Atik harus ke Jakarta nanti, tentulah ibunya harus ikut pula. Maka pada sore hari itu, kedua wanita itu menuju ke kuburan untuk berdoa di pemakaman, yang hanya diberi tanda dua tonggak kayu sengon. Atik gelisah, tetapi ibunya tidak tahu bahwa Atik gelisah tidak karena teringat ayahnya. Ya, tentulah Atik mengenang dan berdoa untuk ayahnya, akan tetapi gagasannya se1alu saja terbawa lari entah berentah, ke Teto. 97 Kemenangan nasional bagi Atik dibayangi oleh sayap elang gelap, bila mengingat nasib Teto sekarang. Apakah dia akan dapat menerima kekalahannya? Bagi Atik dan barangkali untuk setiap wanita yang mencinta, soalnya bukan kalah atau menang, sebab permainan sondakh mandakh ¹⁾ cinta tidak mengenal itu. Tetapi Atik sadar juga, bahwa tidak segampang itu perkaranya. Sebab Teto bukan wanita. Bagi lelaki, apabila ia berwatak rusa raja atau bermuka banteng, soal kalah atau menang sangatlah vital, bahkan sering yang paling merajale1a segala gagasan dan sikap. Dan kedua, Teto justru ada di pihak yang kalah fisik, pada pihak yang oleh kaum sebangsanya dicap sebagai pengkhianat, penjual bangsa. Kesalahan Teto hanyalah, mengapa soal keluarga dan pribadi ditempatkan langsung di bawah sepatu lars politik dan militer. Kesalahan Teto hanyalah, ia lupa bahwa yang disebut penguasa Jepang atau pihak Be1anda atau bangsa Indonesia dan sebagainya itu baru istilah gagasan abstraksi yang masih membutuhkan konkretisasi darah dan daging. Siapa bangsa Jepang? Oleh huruf-huruf hitam mati di koran memang disebut bangsa Be1anda, kaum kolaborator Jepang dan sebagainya. Tetapi siapa bangsa atau kaum ini itu, bila itu dikonkritkan? Bila itu dipribadikan? Bila menghadapi Paijo atau Suminah, Willem van Dyck atau Koosye de Bruyn? Yang menodai Bu Kapten bukan bangsa Jepang, tetapi Ono atau Harashima. Dan karena kelaliman Ono atau Harashimalah seluruh bangsa Jepang dan kaum republik yang dulu memujamuja Jepang dikejar-kejar. Pak Lurah dan Mbok Sawitri yang mengepalai dapur umum di desa, serta Pak Trunya yang dulu menolong Pak Antana tidak ikut-ikutan dengan kekejian Ono. Tetapi kesalahan semacam itu apalah artinya bagi Larasati. Teto tetap Teto, dan bukan "pihak KNIL". Ah, mengapa ada manusia kalah? Bolehkah tanpa berkhayal hampa kita mendambakan suatu dunia sesudah perang kemerdekaan ini, yang menghapus dua kata "kalah dan menang" itu dari kamus hati dan sikap kita? Atik merasa intuitif, bahwa pada hakekatnya manusia diciptakan hanya untuk menang. Ataukah itu gagasan yang hanya mungkin timbul, karena yang punya gagasan itu ada di pihak yang menang? Sedangkan manusia yang kalah akan berkesimpulan lain, sebab beranjak dari pikiran atau penghayatan yang lain juga, ialah, bahwa manusia pun hakekatnya adalah kekalahan konstruksi absurd, bahan tertawaan, batu tindasan. Mungkinkah kalah dan menang itu diganti oleh satu konsep saja, unsur-unsur harmoni, kendati tempatnya bertentangan? Apakah kematian ayahnya harus diartikan malapetaka atau pintu gerbang ke tingkat kebahagiaan yang lebih luas dan mulia? Atik yakin, bahwa tak mungkin ayahnya sekarang dalam keadaan menyedihkan. Sebab ayah manusia yang baik dan budiman. Bagi yang ditinggal, memang menyayat hati. Tetapi bagi yang meninggal? Lalu apa beda dari ide-ide para pemberontak di Madiun itu yang melihat segala-gala bagaikan pertikaian air lawan api, agar tercapai hasil air teh? Bukan dialektika, melainkan dialog seharusnya. Ah, di sinilah lagi, manusia dilihat dengan istilah pukul rata: para pemberontak yang punya ide ini itu. Siapa konkrit "para" itu "yang" ini itu? Beberapa orang ataukah "mereka semua"? Tidaklah mudah untuk melihat saudara sebumi dan seangkasa ini sebagai engkau Marsudi" atau "anda Nani". Sebagai ... Teto dan Atik. Apalagi kalau sudah menjurus soal cinta. Atik cukup paham, bahwa cinta bukan hanya udara kimia homogen rasa cinta belaka. ¹⁾ Dari kata Zondag-Maandag (Bld): permainan anak-anak. 98 Perkelahian, perbantahan, kejengkelan teremban juga dalam keseluruhan yang disebut cinta itu. Tetapi dalam cinta memang perkelahian menjadi lain. Bagaimana kelak kalau punya anak, diberi nama Bambang Dialogo'? Dan bila perempuan: Siti Harmoni? ''Ada apa kok tertawa?" tanya ibunya. "Tidak ada apa-apa." "Mosok, tidak ada apa-apa kok tertawa." "Kan sering begitu Bu, orang itu." ''Aku tidak." ''Ya, karena tidak melihatnya." "Ingat Teto, ya?" ''Ya, Teto dan ayah dan ibu dan Pak Lurah dan tahu tempe dapur umum." Ibunya hanya geleng-geleng kepala. Langit Barat serba menyala dan awan-awan hitam terakhir dari musim hujan masih saja bergumpalan, namun dengan tepi-tepi kencana yang menakjubkan. "Semoga Teto masih selamat dan ke luar sehat walafiat dari perang ini," kataAtik. "Benarkah di luar sahabat Teto tidak ada pria lain?" ''Pria sih banyak, Bu. Tetapi suarni kan tidak hanya pria saja. Ibu tidak pernah setuju bila aku menyebut Teto." "Seorang ibu selalu begitu, Tik. Dan jangan lupa, Tik. Suarni lain dari kekasih belaka." ''Ya, aku memahami itu. Sudah banyak kali ibu mengatakan itu. Aku setuju, aku setuju, Bu. Tetapi kan boleh, dalam senja yang indah seperti ini orang berfantasi tentang kekasih. Lihat itu, langit pun berwarna-warni seperti bunga-bunga fantasia." Bu Antana dalam hati sebenarnya sudah menyerah, seperti biasanya, menghadapi Atik yang cerdas dan selalu jujur membidik tepat mengenai sasarannya. Bu Antana tidak pernah dapat banyak membantah. Satu-satunya pegangan yang dipunyai Sang Ibu hanyalah pengetahuan, bahwa Atik tidak akan berbuat yang bukan-bukan. Tetapi dari pihak lain, anak yang pandai belum tentu ahli juga dalam masalah cinta. Rasionalitas yang tinggi sering diikuti oleh kesentimentilan yang mencemaskan. Ah, sebetulnya Atik dapat memiliki hari-depan yang gemilang. Ia selalu berkecimpung di kalangan teratas dari negara yang muda ini. Dan sekarang, di ambang pintu kejayaan pengakuan kedaulatan Republik yang mereka perjuangkan itu, lebih gemilang lagi hari-depan Atik. Dan di mana ada ibu yang tidak menginginkan kedudukan bagi anaknya yang lebih bagus dari orangtuanya? Tetapi Bu Antana terkenang juga masa mudanya. Ketika itu pun Marsiwi tidak mustahil dipersunting oleh seorang pangeran keraton Sunan Surakarta. Sekian banyak putera dari garwa ampil akan gembira memperoleh Raden Ajeng Marsiwi ... lnikah hukum Karma? Tetapi bila hukum Karma menjadi kehidupan, tentulah Atik juga akan bahagia seperti ibunya ketika memperoleh Mas Antana. Dari pihak lain, apakah suaminya yang seluhur budinya itu, yang halus penuh tenggang rasa dapat disamakan dengan Teto, serdadu KNIL, yang dicap pengkhianat dan penjual bangsa? Bu Antana tahu, seperti seluruh keluarga di Sala, mengapa Teto berbuat demikian. Tetapi apakah motivasinya cukup berbobot? Bu Antana tidak mungkin menempatkan diri duduk di kursi hakim. Namun sekarang ada permasalahan yang langsung mengenai dirinya. Atau lebih tepat mengenai anak tunggalnya Atik . 99 Erat-erat tangan anaknya dipegang, seolah khawatlr hilang. Sekali lagi ia masih akan mencoba. Siapa tahu, anaknya akan berubah haluan, pada saat yang terakhir. Sering tarikan tiba-tiba sedikit saja sudah dapat membelokkan layang-layang pada saatnya, bila kebetulan kena. Seperti puteri-puteri priyayi tinggi lainnya, Bu Antana dulu juga sering bermain layang-layang. Tetapi tidak seperti anak-anak lelaki. Layang-layang puteri-puteri bangsawan berbentuk segitiga, terbuat dati sutera dan dari ketiga ujung itu terikat dua belas saputangan berwarna-warni. Ah, seperti kemarin saja masa kanak-kanak dirasakan Bu Antana; di jaman yang tidak pernah ada perang dan revolusi. Tidak bisa dibanding. Segala situasi serta perkara-perkara besar-kecil pun tidak bisa dibanding. Bukan layang-layang sutera bersapu-tangan warna-warni yang dihadapi hari ini, tetapi pesawat pemburu yang menyemburkan maut untuk suaminya. Memang benar kata Atik, kasihan suaminya tidak mengalami lahirnya cucu. Seolah-olah hidupnya berakhir tanpa berkat. Tidak seperti bunga yang gugur karena selesailah tugasnya. Suaminya dirampok dari tengah-tengah mereka. Dan sekarang anaknya bersimpati atau bahkan mencintai salah seorang wakil dari pihak yang membunuh suaminya. Mengapa semua itu harus terjadi? Bagaimana pertentangan itu harus ia emban? "Tik, bukan aku ingin mengganggu pikiranmu ... " ''Boleh Ibu, gangguan seorang ibu kan baik-baik saja." "Juga ibumu tidak berkehendak menusuk perasaanmu." ''Ah, tusukan ibu kan tusukan enak." ''Tik, serius. Bagaimana seandainya, ini hanya ... hanya seandainya. Bagaimana seandainya Teto tidak berminat padamu, jangan lagi melamar. Kan bertepuk tangan sebelah tidak bisa." "Kalau dia tidak melamar, sayalah yang melamar." Terkejut Bu Antana mendengar ucapan yang menurut adat tidak semestinya itu. ''Apa itu tidak memalukan, Tik?". "Memalukan? Ah, Ibu. Kan Atik tidak mencuri, tidak bohong, tidak berbuat eh ... tidak ... jinah?" "Ya, tetapi bagaimana seorang puteri kok melamar." “Biasa, melamar. Keleting Kuning melamar Ande-Ande Lumut. Kan hikayat Jawa itu punya arti: ngunggah-unggah ¹⁾ asal baik-baik caranya, diakui syah, atau istilahnya: berusahalah." Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya. ''Bagaimana andai ayahmu tahu itu?" "0, Ayah pasti setuju dengan Atik." Dalam hati Bu Antana tahu, bahwa dalam masalah seperti ini, suaminya pasti akan memihak anaknya. Tetapi bagaimana nanti seandainya Teto menolak? "Sekarang yang benar, Tik. Pernahkah kau menerima surat atau apa pun dari dia?" ''Belum.'' "Nah, bagaimana kau tahu bahwa ada kemungkinan dia akan menjawab kecenderungan hatimu?" "Aku tahu." "Apa pernah ada tanda-tanda ke arah itu?" "Tentu saja Pernah." "Pernah? Kapan?" ¹⁾ Wanita yang melamar pria. 100 "Ya, kapan-kapan. Tetapi pernah." "Kau belum pernah cerita itu kepada ibumu." "Maaf, Bu. Memang belum." "Hati-hati Tik, jangan bermimpi." "Dalam jaman seperti ini, kadang-kadang mimpi kan sering perlu Bu." Dan pinggang ibunya dirangkul. Bu Antana menyerah, seperti setiap wanita Jawa sejati akan sumarah. Dalam keadaan apa pun. Tanpa patah-hati. Atik menoleh dan ibunya diputar melihat ke arah sebaliknya, ke kawah Gunung Merapi yang terkena oleh sinar senja. "Lihat, Bu. Alangkah inginnya aku sesekali naik sampai di atas puncak itu. Dan mengembara ke dalam hutan-hutan lereng-lereng itu. (Dan lirih berbisik) Seperti dulu, bersama Ayah ... Ataukah barangkali Ayah sedang mengembara di sana juga, di puncak itu? Tidak. Ia di samping Ibu sekarang. Di sampingku juga. Ibu tidak mendengar Ayah? Bisikan Ayah?" Bu Antana diam, mata berlinang-linang dan mendengarkan suara angin. Bagaimana nanti seandainya Atik sudah kawin dan hidup bersama dengan suaminya? Selayangan timbul pikiran jelek: setiap peminang anaknya adalah perampok. Yang menjambret kebahagiaan seperti yang sekarang ini, berdampingan dengan anak tersayang. Kalau sudah kawin, Atik sudah milik orang lain. Terasa getir jadi janda yang harus menyertai menantu. "Ibu, mari duduk di batu ini. Agar tenang dapat menikmati puncak gunung itu." Desa persembunyian markas dan dapur-umum para gerilyawan itu begitu dekat dengan puncak Merapi sehingga terang tampak kepulan-kepulan keci1 seperti bintikbintik bulu anak ayam turun dari kawah. Setiap tiga-lima menit keluarlah bulu-bulu asap itu, dan menggelinding ke bawah. Puncak dan lereng itu tampak kasar telanjang tanpa pepohonan. Hanya lahar saja, dan tampak jelas kontras reliefnya, mana punggung mana jurang. Petang semakin dingin, tetapi Larasati selalu memohon agar masih boleh menunggu beberapa menit. Udara dingin di lereng gunung. Karenanya mereka telah membawa jas-jas hangat. Bahkan jas yang dipakai Bu Antana adalah jas berbulu tebal, hadiah isteri seorang sekretares Goodwill Mission dari USA yang bersimpati terhadap Larasati. Barangkali agak longgar sedikit untuk Ibu, tetapi lebih baik begitu. Kedua wanita itu menunggu tenggelamnya matahari. Bintang-bintang pertama telah menyala dan segeralah langit suram menjadi gelap. Lihat, lahar yang menyala kini tampak jelas, seperti lidah Batara Agni yang senantiasa mengancam manusia yang pernah mencuri api dari kahyangan. Penduduk desa pulau Jawa umumnya tidak berbeda dari gunung-gunung yang mereka huni, pikir Atik: serba tenang, damai, namun kedamaian lereng vulkan yang setiap saat dan periodis meletus memuntahkan lahar. Minggu yang lalu tersiar berita tentang seorang sersan mayor di desa seberang jurang, yang kata orang mengobrakabrik makam orang desa Juranggede yang meninggal pada hari Selasa Keliwon. Ia ingin mendapat kesaktian dan mencari kekayaan. Dunia kaum diplomat internasional dan dunia mayat Selasa Keliwon yang digigit patah lehernya, alangkah lebar jurang di antara kedua dunia itu. Di manakah Larasati berdiri? Diam kedua orang itu memandang pada lidah api yang setiap tiga-lima menit meluap lalu pelan-pelan mengalir ke bawah. Pijar-pijar api menyertai lidah. Lalu berhenti. Ke luar lagi. Pemandangan yang mencekam. 101 Sudah berapa ratus ribu tahun puncak Merapi itu bermain lidah api begitu? Tentulah nun jauh di kala dahulu, gunung Merapi belum setinggi itu. Barangkali dulu kawah melalui liang leher Merbabu disebelahnya. Kita hidup di atas tungku yang masih panas bergolak. Negeri ini subur dan gending-gending sinden-sinden mengalunkan kedamaian manusia-manusia penanam padi di lereng-lembah. Kesuburan hadiah dari muntahan gunung api yang buas. "1bu, barangkali Atik tidak akan terus bekerja di Kementerian Luar Negeri." Dalam gelap suara yang hampir berbisik itu terasa sebagai angin malam yang mewartakan berita penuh kekhawatiran ke dalam telinga ibunya. "Apa lagi, Tik! Di Kementerian Luar Negeri karirmu bisa terjamln. "Aku seolah mendengar pesan Ayah, Bu." Tubuh anaknya ditarik dan dirangkulnya. Berdebar-debar jantung Jawa sang 1bu menanti apa yang akan dikatakan anaknya itu. "Aku ingin meneruskan pekerjaan Ayah. Di dalam dinas kehutanan, Bu." Dalam gelap tidak tampak tetapi seperti kawah Merapi itulah airmata panas dari kedua wanita itu meleleh. Ya, begitulah. Sudah seharusnya begitulah. Mengapa gagasan semacam itu tidak datang dari kalbu si 1bu? Bu Antana merasa bersalah terhadap suaminya. Apakah selama ini ia baru teman hidup, dan belum seperti yang selalu diajarkan oleh para orang-tua, belahan jiwa, garwo? Seharusnya ia lebih dulu merasakan itu. Ternyata toh anaknya Larasati lebih dekat dengan ayahnya. Seolah-olah kesejatian diri suaminya itu sekarang sudah pindah raga dan memanjing di dalam kalbu anaknya. Dan lebih terasa lagi kesepian hati Bu Antana menghadapi nasib ditinggal sendirian. Sebentar lagi anaknya harus pergi juga. Lalu kawin, Lalu ... BuAntana menangis. "Maaf, Bu, saya tidak tahu, bahwa itu membawa kesedihan 1bu." "Tidak, tidak, Tik," dan menangislah lirih ibunya. Apakah Gunung Merapi itu sedang menangis, tanya Atik dalam hatinya. Karena begitu sesak rongga dalamnya, alam sering menangis pula. Atik merasakan sumber kekuatan ayahnya. Ayah pandai berdialog dan menangkap pewartaan alam. Mengapa ibuku menangis? Ah, tentulah ia merasakan kesedihan jandanya. “Aku tidak sedih, Tik. Bahkan sebaliknya." "Kalau begitu, menangislah tenang Bu, Atik akan selalu mendampingi Ibu." "Sekali saat kau harus meninggalkan ibumu. Itu sudah selayaknya. Ibu akan lebih bersedih hati kau menjadi perawan tua. Pohon yang mandul. Jangan, Tik. Kau harus segera kawin. Siapapun terserah kau. Asal Atikku bisa bahagia seperti ibumu." Atik diam. Pemilihan hati yang ditentang membawa kesulitan banyak. Akan tetapi pemilihan yang sudah diberi jaminan ruang kebebasan bahkan tujuh kali lebih sulit. Sekarang bahkan ia bimbang, betulkah keyakinannya selama ini, bahwa hanya Teto yang paling ia dambakan? Mengapa ia memilih Teto? Karena ingin menyelamatkannya dari suatu kehancuran yang sudah menampakkan diri dalam seragam serdadu KNIL sekian tahun yang lalu di jalan Kramat itu? Apakah rasa kasihan cukup untuk dijadikan sendi hidup perkawinan? Di mana dua pucuk senjata yang dilemparkan Teto ke dinding itu sekarang? Pada saat itu Atik paham benar tentang kebimbangan,sahabatnya yang malang itu. Teto sendiri sebenarnya bahkan membenci keputusan sikapnya itu, akan tetapi toh ia berbuat terus melawan suara hatinya. Ataukah hanya keliaran binal saja itu? Gerak gaya jago serba berani menentang bahaya yang ingin ia perlihatkan? Barangkali ia malu menghadapi seorang gadis dengan pistol dan senjata otomatik? Atik tidak pernah merasa diri punya watak Srikandi. 102 Tetapi dapat dibayangkan betapa malunya Resi Bisma ketika harus berhadapan dengan lawan perempuan Srikandi. Tetapi Atik tidak pernah punya niat untuk melukai Bisma sedikit pun. Ataukah ada kekuatan Ambika yang melayang di udara dan yang mengalahkan Bisma, sehingga Teto terpaksa lari? Lari karena takut? Tidak. Pasti tidak. Teto tidak mengenal takut. Ia lari, barangkali karena tidak kuat menghadapi situasinya, menghadapi konflik batin antara nafsu membalas dendam nasib ayah dan ibunya dan perasaannya terhadap dia, Atik. Apakah itu harus ditafsir sebagai sebentuk sasmita rasa cinta yang terpendam? Selama ini begitulah tafsiran Atik. Tetapi apa benar demikian? Di mana senjata itu sekarang? Sudah lama hal itu tidak ia tanyakan lagi. Kawan-kawan Larasati yang menjemputnya di Krarnat VI dulu itu berhasil pulang lagi ke rumah Proklamasi di Pegangsaan Timur dengan riang, dan telah menyelundupkan kedua senjata itu ke dalam mobil. Tentulah mereka bertanya, dari mana ada dua senjata itu. Atik sulit bohong. Tetapi toh ia berhasil membelokkan kemungkinan kecurigaan. Ada serdadu India yang rupa-rupanya mau merampok, tetapi meninggalkan senjata itu dengan bayaran suatu patung ukiran Bali sebagai kenangan. Dongeng itu sarna sekali tidak logis. Tetapi di saat-saat serba panik dan teror, semua hal mungkin saja terjadi ... dan dipercaya. Sesekali akan ia tanyakan lagi kepada Mayor Budi, kawan yang menjemputnya dulu itu. Ingin ia minta kembali kedua senjata itu. Kalau boleh sebagai kenangan. Toh sekarang sudah tak dibutuhkan lagi. Serdadu India yang merampok? Atik tersenyum sayu. Seandainya benar, alangkah bahagianya, perampok hati. Tetapi biarlah. Memang mengharukan dongeng Ande-Ande Lumut. Tetapi siapa lelaki tulen yang mau jadi Ande-Ande Lumut? Angkasa penuh bintang ini seharusnya indah dan cukup menerangi kegelapan hati. "Tik, ibumu sudah terlalu kedinginan. Dan kita harus menolong mereka di dapurumum. Lagi, tidak pantas kan perempuan sendirian di kegelapan." "Ibu kan tidak sendirian di kegelapan?" "Tidak sendirian, tetapi sendirian juga." "Mari Bu." Sambil pelan-pelan berjalan pulang bergandengan dengan ibunya, Atik memperhatikan suara-suara warta alam yang sudah bersiap untuk istirahat. Konser serangga-serangga cenggeret-nong yang selalu ramai menggesek biola mereka serba dialog sudah berhenti, "gerèèèt-nong gerèèt-nong" disusul: "sigarèt-crèt-sigarèt-crètsigarèt-crèt" begitu mereka sejak tadi. Bahkan sering berbunyi begini serangga-serangga itu "sendiko! sendiko! Sendiko ¹⁾ Namun kini mereka sudah berhenti. Ah, itu si burung kul yang terlambat pulang barangkali. Burung kul atau kukuk itu memang tukang mengeluyur, dan buruknya selalu menitipkan telur-telurnya dalam sarang burung-burung jenis lain. Watak kolonial sungguh, seperti NlCA. Lagi aneh burung-burung kul itu. Yang betina berwarna coklat merah tua bercahaya hijau dan berbintik-bintik muda. Cantik anggun sebetulnya. Tetapi yang jantan jelek, hanya hitam seperti gagak belaka dan memang sering keliru dianggap gagak. Hanya kalau terbang tampak bedanya: si burung kul ekornya lebih panjang dan cara terbangnya lebih tergopoh-gopoh. ¹⁾ Sendiko (bhs. Jawa): siap taat. 103 Tetapi ocehan jantan dan betina anehnya lain juga, padahal burung satu macam. Yang betina lebih puitis: "culik-ulik-ulik" dan disambung "kuil-kuil-kuil!" Sehingga orang menyebutnya burung culik-ulik; sedangkan yang jantan sangat prosa: "Tuhuu-tuwoo, tuhuu-tuwoo!" Maka diberi nama burung tuhu atau tuwo. Lucu kalau mereka berdialog: culik-ulikulik ! Disambut: Tuhuu, Lalu: kuil--kuil--kuil! Tuwoo! Dulu Atik sangat senang clan banyak tertawa karena percakapan mesra mereka: "Culikulikulik-Tuhuuu-kuilkuil-Tuwoo." Tetapi sekarang semua itu mengingatkannya pahit kepacla tragedi ke1ainan bahasa clengan "abangnya" Teto. Mungkin ibunya lebih betul: Larasati harus lebih realistis. Romantika revolusi inclah memang, tetapi hanya clalam novel picisan. Kuil-kuil-kuil! Tuwoo! 104 B a g i a n III 1968 - 1978 14. Jurang Besar His Excellenry John Ambassador Brindley mengangguk-angguk. Sopan-santun setempat mengharuskan beliau mengangguk-angguk sambil kadang-kadang betkata takjub: "Bagus! Bagus!" ltu kata pujian pertama yang ia hafalkan sejak ia diangkat menjadi duta-besar di negeri vulkan yang cantik jelita ini. Dan juga "terimakasih", "maafkan". Memang gunung berapi yang sangat runcing itu benar-benar indah. Nyonya Duta Besar dan puterinya, kedua-duanya tidak merasa sejuk sedikit pun, kendati punggung sampai pinggul menampakkan kulit berwarna bakso Mbah Kliwon. Harus diakui, alam di sini indah. Suasana mendamaikan jiwa. Segera mereka sibuk mendesingkan kamera film mereka. Ke arah kerucut yang puncaknya sobek besar,dan yang tampak kadang-kadang melemparkan gumpalan-gumpalan , kecil awan putih. Tetapi tak lupa juga lensa kadang-kadang dibidikan ke arah anak-anak melarat yang berduyun bersotak ria ingin masuk ke dalam alat film itu; entah dengan harapan apa tak seorang pun tahu sebenarnya. Pokoknya senanglah, senang murni. Anak-anak itu riang dan untunglah semua serba berisi daging. Tak ada yang kurus memalukan negara, begitu pikir Pak Camat. Noni puteri duta-besar itu (atau kemenakan, tak ada yang tahu persis tentu saja) dengan tersenyum minta bapak-bapak polisi yang banjir tanggung-jawab itu, agar jangan mengusir anak-anak. berjingkrakjingkrak, mulut bergigi terlalu besar seperti kelinci mereka berebutan ingin jadi bintang film. Pak Gubernur dalam hati malu melihat tingkah anak-anak itu yang kurang menunjukkan kewibawaan negara. Ia mendekati Pak Bupati dan tampak mukanya seram marah. Pak Bupati hanya dapat mengangguk-angguk, siap melaksanakan perintah. Ia pergi ke Pak Camat. Maka ketika nyonya-nyonya itu mengejar duta-besar yang menjauh, yang rupa-rupanya ingin menaksir dalamnya jurang, dengan tangan serawehan ¹⁾ Pak Camat memberi aba-aba tanpa kata, agar anak-anak itu enyahlah. Seorang anak terjatuh bersama kakaknya dan menangis keras. Seorang polisi mendekati mereka dan tampak dari gerak tangan dan kulit mukanya, bahwa gadis dengan anak menangis itu, "oknum-oknum yang tak diinginkan",persona non grata. Tetapi anak-anak dan muda-mudi yang sudah sejak pagi menunggu kedatangan tamu-agung di Juranggede, jurang MEREKA, tentu saja tidak mau begitu saja disuruh pulang. Berduyun-duyun mahluk-mahluk gesit itu mengikuti rombongan tamu-agung ke mana saja mereka pergi. Bapak Gubernur tampak kesal melihat bangsanya begitu terbelakang, ndeso ²⁾. Begitu juga Pak Bupati; tetapi bukan karena anak-anak itu kurang internasional, tetapi karena ia baru bupati penjabat. Karena itu apa pun yang mungkin dapat menjadi batu perintang kenaikan pangkatnya menjadi bupati sungguh-sungguh harus disingkirkan. ¹⁾ kalang kabut. ²⁾ Seperti orang desa. 105 Pak Camat juga kesal hati melihat anak kepangrehannya begitu tak tahu adat mendekati tamu-tamu agung. Ia khawatir juga, jangan-jangan nanti Pak Bupati menanyakan soal SD Inpres yang selama ini belum beres soal pembangunannya, dan berapa jumlah anak yang akan ditampung sesudah SD Inpres itu selesai. kalang kabut. Seperti orang desa. Dan anak-anak itu? Sama sekali tidak kesal hati. Anak diusir sudah merupakan hal yang semestinya terjadi. Bahkan luar biasa aneh kalau tidak begitu. Tetapi dari pihak lain, bila anak tidak menggubris perintah dan menjengkelkan seperti lalat yang diusir tetapi nekat kembali lagi, nah, itu pun sudah biasa juga. Aneh juga andai anak tidak seperti lalat. Untung Sang Duta Besar sudah membiasakan diri dengan cara penyambutan anak-anak negara yang sedang berkembang. Istrinya juga, bahkan puterinya sudah belajar memanfaatkan adat dikerumuni anak-anak dan orang-orang pribumi. Ia punya hobi mengumpulkan foto wajah-wajah macam-corak orang-orang dan anak-anak miskin, atau yang rupanya sudah buruk, tua bangka keriput, atau yang aneh-aneh, pokoknya manusia-manusia pribumi yang "interesan" istilahnya. Foto-foto itu dipasang di dalam kamarnya sehingga merupakan semacam komposisi unsurunsur wajah yang, betul percaya deh, bisa dikatakan bermutu seni juga. "Negeri Tuan sangat indah," kata Duta Besar penuh sanjungan diplomat kepada Gubernur. Mungkin juga ia jujur mengatakannya itu. “Dan rakyat tuan tampak subur serba gembira," tambahnya lagi, sambil melepas kaca-matanya yang gelap lebar. "Kami bangsa Indonesia bangsa yang selalu gembira" jawab Pak Gubernur dengan nada bangga. "Apa ada satu orang pun Yang Mulia lihat kurus?" "Tidak! Sungguh tidak! Pipi-pipi anak-anak itu bulat-bulat segar dan ..." ia membisikkan sesuatu dalam telinga Pak Gubernur, yang mendadak tertawa gelakgelak "Betul! Betul Yang Mulia, montok-montok kaum perempuan kami." Pak Duta Besar membisikkan sesuatu lagi. Pak Gubernur tertawa lagi. "Terlalu! Yang Mulia terlalu. Memang ini keprihatinan kami. Kalau Indonesia sudah modern, semua menjadi kerempeng. Ah jangan, jangan. Kami akan berusaha untuk menjaga kepribadian bangsa kami. Tetapi apa betul Yang Mulia, ada hubungan antara tehnologi dan eh ..." Tetapi Pak Duta Besar membelok 180 derajat, sebab istrinya mendekat dan memotong 'Sorry, John! Kau tadi bawa teropong? Lihat ini Pak Gubernur, suami saya. Sudah tujuh kali aku bilang: Jangan lupa teropong! (Kepada suarninya) Nah, Sayang…….? "Pasti tidak lupa, Sayang. (Kepada Pak Gubernur). Apa di Indonesia para istri berhak memerintah pejabat berpangkat tinggi?" (mata dipejamkan satu), Pak Gubernur hanya tertawa. 106 "Tergantung istri yang bagaimana, Yang Mulia." Istri Duta Besar tersenyum dan kepalanya oleng genit mendengar sanjungan itu. Sementara John Sang Duta Besar merangkap Sang Suami mengambil barang yang dikehendaki istrinya, pak Gubernur bertanya: "Bagaimana Nyonya, pemandangannya?" "Indah. Indah sekali. Saya sudah pergi ke mana-mana, akan tetapi seindah ini belum pernah kujumpai. (Menunjuk ke kawah Merapi.) Lihat itu ada lagi yang menggelundung. Ngeri sebearnya. Bayangkan itu jatuh di desa penuh dengan anakanak manis itu." "Kami sudah siap siaga. Sudah saya instruksikan pengaturan-pengaturan pengungsian dan segala hal perihal logistik apabila gunung ini meletus. Tetapi yang penting ialah menginsafkan penduduk, Nyonya. Pemerintah kami sudah mempersiapkan tempa-tempat transmigrasi yang bagus untuk hari-depan mereka. Tetapi sangat sulit menyadarkan mereka. Dan Nyonya tahu, negara kami berpancasila. Jadi kami tak pernah memaksa penduduk. Kalau mereka tidak mau pindah, baiklah, kami menghormati kemauan mereka. Jalan-jalan pertolongan lain masih ada." "Memang berat rasanya meninggalkan tempat yang begini dah. Lihat, segala-gala di sini hijau dan biru. Hanya lidah lahar itulah yang hitam. Tetapi subur, sangat subur tanah ini." “Itu berkat, tadi kulihat, hujan abu vulkan-vulkan kami, Nyonya." "Ya, kami tahu. Tapi tadi kulihat selokan kecil. Aduh, alangkah bening airnya. Nanti kami berhenti sebentar ya, di dekat selokan itu. Ingin aku berhenti sejenak dan mendengarkan airnya yang gemericik. Bapak Gubernur bahagia menjadi bapak rakyat daerah yang semakmur ini. Dan anak-anak itu, aduh anak saya tak henti-henti sangat terpesona oleh mereka. Manis, manis. Juga pemuda-pemudanya nggantengngganteng. Ada yang wajahnya klasik, seperti dalam Ramayana." Pak Gubernur tampak berkemilau wajahnya. Tetapi matanya tak bisa lepas dari kamera film yang dibawa tamunya. Ia mencoba mengingat-ingat merknya. Untuk bertanya ia malu. Beliau sudah punya, tetapi hanya merk Jepang. Selaku pejabat yang bertanggung-jawab atas wilayah yang luas, beliau merasa wajib untuk membeli kamera film yang lebih bertanggung-jawab pula. Anak-anak melongo mendengarkan percakapan dalam bahasa asing itu. Sungguh mengagumkan bisa berbahasa asing. Gadis-gadis pada melongo memandang kulit putih punggung yang telanjang sampai pinggul dari nyonya-nyonya itu. Padahal dingin di lereng gunung. Heh, berketingat juga, tetapi keringatnya bau, deh. Bukan seperti kambing tetapi mirip, entah aneh sekali, daging sapi mentah. Ketiaknya ternyata juga ada rambutnya. Lho, kok sama. 107 Tapi susunya besar, Pak Gobang punya, kusir gerobak sapi yang gemuk dan selalu mengkilau kulitnya seperti batu kali item kena hujan. Beberapa anak lelaki berdebat, uang di dalam dompet nyonya itu berapa kira-kira. Kontan dipukul kakaknya perempuan, yang takut perdebatan itu terdengar para pembesar. Mereka lari dan menggulung-gulung di rumput. Pesta sungguh hari ini. Ada yang bisa dilihat. Banyak yang mengerumuni mobil-mobil pembesar, sambil berdiskusi bikinan mana dan sebab apa yang satu punya lampu kuning banyak dan yang satu ada tulisan pelat CD. Berulang-ulang Pak Polisi mengusir anak-anak yang gatal tangan itu. "Cah ndéso¹⁾” umpatnya. "Belum pernah lihat mobil, ya?" Anak-anak hanya melihat Pak Polisi seperti mengharapkan keterangan apa artinya CD itu, dan mengapa lampulampu kuning begitu banyak. Tetapi rupa-rupanya Pak Polisi tidak tahu juga. Maka mereka berjongkok dan mencoba melihat ada apa di bagian bawah mobil. Terkejut mereka diserodog teman dan spontan cepat-cepat berdiri, disangka dimarahi polisi. Sambut-menyambut ketawa tentu saja dan berlari-larilah mereka kejar-mengejar. Puteri Duta Besar memandang mereka berlari sambil tersenyum. Rakyat yang bahagia, pikirnya dengan sedikit dambaan pada semacam Lost Paradise. Pak Bupati yang masih penjabat itu memanggil Pak Camat. "Bagaimana Giyo, garong-garongmu?" "Aman Pak. Selama Giyo tiga tahun di sini, belum ada kejadian. Insya Allah tidak akan ada peristiwa berat, Pak. Tetapi sebetulnya Bapak maklum juga, ini hanya tergantung dari kabupaten seberang jurang sana. Sebab di sanalah sarangnya, sejak jaman Belanda dulu." Pak Bupati mengerenyitkan mukanya. Mata menyipit memandang jauh ke seberang jurang lahar ke daerah rekannya Bupati Anu. ''Begitu1ah, memang Anu sahabatku. Tetapi ia terlalu bermoral. Maling harus ditangkap dengan maling. ltu sudah dalil. Kau kenal semua gentho²⁾ di daerahmu?" "Semua, pak. Itu beres. Tetapi yang berasal dari seberang jurang sana itu, susah Pak. Lain kowilhan ³⁾ itu!' Mayor Intel Korem ikut masuk gelanggang percakapan ten tang garong. Masalah garong punya unsur-unsur politik, katanya. Tetapi yang jelas, semua setuju: menangkap lurah garong hanya mungkin dilakukan oleh lurah garong lain. ltu kebijaksanaan abadi. "Coba nanti." Dan pergilah Pak Bupati sambil menunduk. Lalu ia memeriksa para Fanta, Coca-Cola dan khusus bir kuning dan hitam berkeringat dingin yang sudah rapi disediakan untuk tamu-tamu agungnya. Ia sudah haus, bahkan semakin haus karena inspeksi itu. ¹⁾ "Anak Udik !". ²⁾ Kepala bajingan. ³⁾ Komando Wilayah Pertahanan. 108 Tetapi tamu-tamu itu masih saja asyik bertamasya. Bah, enak jadi Duta Besar. Coba jadi Bupati ... tiba-tiba dadanya sesak seperti ada gas berbisa kiriman gunung yang menyusup dalam dadanya. Ia teringat, ia masih penjabat. Ia meludah. Terkejut sendiri ia. Gila, ada tamu agung kok meludah. Untung mereka tidak melihat. Karjo sedang mendangir bibit cengkehnya ketika Mas Sepandri mendekatinya. Ia sedikit menyesal, mengapa dulu tidak beli bibit yang daun tunasnya merah. Padahal selisih harganya hanya dua ratus rupiah. Rugi sebetulnya menanam bibit murah tapi jelek. Soalnya, dulu ia tidak tahu, bahwa bibit yang baik harus merah pucuk-pucuk daun mudanya. Mengapa Bimasnya dulu diam saja! Barangkali mereka sendiri tak tahu. Apa lacur, sudah terlanjur. ''Delapan tahun lagi kau kaya, Jo!" “Apa ... " (ia mendangir terus, nadanya kendor harapan.) ''Berapa sudah cengkehmu?" ''Delapan batang mana bisa kaya." "Sekarang delapan. Buahnya per pohon kira-kira sepuluh ribu biji. Ditanam lagi menjadi delapan puluh ribu batang "Dagelan kuna! Kabar apa dari kota?" "Saya tidak ke kota." Lho, katanya mau beli cangkul." "Maunya. Tetapi ada rombongan tamu agung. Pikir-pikir, ah beli cangkul hari lain bisa." "Untuk apa tamu agung dilihat?" "Tidak untuk apa-apa. Tetapi akhirnya untung aku melihat. Memang betul firasatku." "Firasat apa lagi. Makanya kau selalu rugi menebas kayu sengon. Terlalu banyak firasat. Menang buntut lima ribu jadi apa, dulu itu hayo ... akuilah. Kalau tidak, saya bilang pada istrimu." "Hus! Kau sudah janji bungkam mulut." Sebetulnya petualangan Pak Sepandri sudah sepengetahuan istrinya, bahkan atas persetujuannya. Jadi sarna sekali tanpa risiko sehitam kuku pun. Tetapi Pak Sepandri harus jaga gengsi. "Kan janji itu ada untuk tidak ditepati. Seperti hutang ... " "Eh, jangan omong kosong. Sekarang sungguhan, Jo: Terka siapa yang kulihat tadi." "Katanya tamu agung." "Nhah, salah seorang pengantar tamu agung itu, siapa?" Karjo masih juga mendangir terus. 109 "Nggak peduli siapa. Asal jangan Warnojebug." "Kau mencret mendengar namanya. Si Setankopor." "Heh?" Karjo tegak berdiri mata membelalak. "Hah, betul kan, kau mencret. Makan kerak kuali gosong obatnya." "Kau cuma menakut-nakuti orang. Apa hubungannya dengan Setankopor?" "0, banyak sekali hubungannya. Sebab ia jadi bupati sekarang. Sudah saya tanyakan pada polisi pengawal. Yang seperti Arab, hidungnya agak bengkok itu bupati? Betul, ia bupati yang baru. Nah, selamat mampus kita." "Siapa bilang mampus…siapa bilang mampus." Tetapi Karjo sudah kehilangan selera bekerjanya. Ia cuma menatap ke perdu jeruk yang kulit batang cabangnya serba terkena cendawan putih seperti aluminium. Lesu cangkul dipikulnya. "Mati masuk, Ndri! Omong yang tenang." Dan kedua orang itu menuju rumah bambu yang mulus bersih, dengan lantai tanah agak tinggi, bertepi batu-batu kali besar. Tegaklah rumah bambu itu di atas permukaan tanah kebun, dengan tangga tiga lempeng batu vulkan sebesar nisan jaratan. "Sudah, duduk sini sajalah,” usul yang disebut Sepandri tadi, "Panas di dalam." Dan duduklah ia di emperan, nyaman di lincak di beranda, yang terbuat dari bambu kuning tutul yang mengkilat sendiri tanpa dipelitur. "Terserah maumu. Preeh! Ada di dalam kau?" seru Karjo kepada istrinya. Tak ada suara menyahut. "Ikut melihat tamu agung di Juranggede barangkali” komentar Sepandri, sambil mengeluarkan selepen ¹⁾ rokok Kedunya; dan memulai meletakkan kertas rokok di atas pahanya. Lusa Kliwon aku harus ke kota, pikirnya. Sudah hampir habis persediaan tembakaunya. Tidak ada tembakau yang lebih hitam ngganteng dan ampeg berkaliber berat, tetapi justru nikmat datipada tembakau Mbah Petruk muka pasar. Beli satu kilo ditambahi gratis kupon undian. Memangnya cuma berharga Rp. 25,kupon itu, tetapi siapa tahu ia mendapat dua juta. Tetapi terang pasti mereka lihai. Tidak mungkin orang seperti Mas Sepandri dari dusun puncak gunung akan mendapat hadiah. Semua itu sudah disetel di atas sana. Tipuan. Bocengli ²⁾! Tetapi biar tipuan, siapa tahu orang gunung toh mendapat hadiah dua juta. Dan lagi, dengan atau tanpa tambahan kupon gratis, bagaimana pun Mas Sepandri toh akan beli tembakau Si Mbah Petruk. Hanya isenglah kupon itu. Jelas ia tidak akan mendapat hadiah itu. Tetapi siapa tahu ah, dua juta nomplok ... mau apa ya? Tahu ... kawin lagi? Gila! ¹⁾ Tempat (wadah) tembakau saku. ²⁾ Sangat buruk, kurang ajar. 110 Kenapa harus kawin kalau tidak kawin juga bisa! Dosa sebetulnya. Lebih tepat memalukan. Mosok, harus sembunyi-sembunyi melakukan perkara yang setiap orang secara syah mengerjakan dengan istri-istri mereka. Dunia ini sulit memang. Lebih sulit lagi kalau bupati sekarang Setankopor. Mana ini Si Karjo. Dikunjungi malahan lari. Mandi barangkali. Atau menggodog teh? Nggak perlu. Yang penting tembakau Kedu ampeg, kelembak-kemenyan dan kertas sigaret merk Admiral Kumpeni. Negara ini boleh PKI, silakan, asal sanggup menyediakan empat itu: Tembakau Kedu ampeg, kelembak, kemenyan dan kertas sigaret merk Admiral Kumpeni. Sudah, itu saja. Dan terserah Bupati Setankopor atau Setandompet asal empat tadi itu: tembakau Kedu ampeg, kelembak, kemenyan dan kertas sigaret merk ... Admiral Kumpeni. Tahu? Mas Sepandri mengambil koreknya yang mengkilat nikkel berbentuk klasik DRP. Ditarik-tariknya sedikit sumbunya, lalu kress! Belum menyala. Kress! Nhah, sekarang konsentrasi pada api dan pucuk rokok ... dan dihisapnya dalam-dalam asap Kedu ampeg dengan nikmatnya dan ... dengan mata terkatup jiwa-raga Mas Sepandri melayang ke regol ¹⁾ syurga firdaus. Mas Sepandri disebut Sepandri karena memang dulu ketika masih muda-belia ia serdadu Belanda, bahkan dapat cepat naik pangkat sampai jadi sepandri. Kata orang, sepandri itu pangkat serdadu yang sudah membuktikan ia jago tembak. Tetapi Mas Sepandri belum sempat menembak musuh. Dengan batalyonnya ia dikirim menjaga jembatan besar Kali Prago 25 km dati Yogya. Tetapi Jepang datang dari Gunung Kidul dan entah utara sana. Tahu-tahu Belanda sudah menyerah kepada Jepang. Disuruh jadi heiho ia tidak mau, karena sudah terlanjur cinta kepada Halimah istrinya yang pernah jadi babu seorang letnan Jawa ningrat Sala di Magelang. Letnan itu (Brajabasuki namanya) pernah dibebaskan dati kamp tawanan, akan tetapi entah mengapa ditangkap lagi oleh Kenpeitai dan konon dibunuh. Maka sungguh, Halimah tidak mau kalau suarninva ikut Jepang. Mas Sepandri sering mengejek istrinya: "Andai dulu saya jadi heiho, sekarang pangkatku sudah kapten. Tidak cuma bekas sepandri yang harus menggergaji dan jual papan sengon." Istrinya mengakui kebenaran pengandaian itu. Tetapi nalurinya tahu juga jawabannya yang tepat: "Kalau kau kapten, kau pasti sudah menceraikan aku dan kawin dengan mahasiswi." Mas Sepandri: ''Tapi kalau kau saya ceraikan, pasti kau sebagai bekas istri kapten, pada hari itu juga kontan kawin dengan saudagar tembakau. Itu lebih untung." Kalau sudah sampai sekian, istrinya hanya tertawa dan merogoh di dalam sabuk pinggang pengikat kainnya. Dan Mas Sepandri diberi uang Rp 200,- atau sering bahkan Rp 500,¹⁾ Pintu gerbang halaman. 111 "Ini! Untuk beli tembakau! Orang laki-laki mau menangnya saja." "Uang sedikit begini mau dibuat apa?" protes suarninya dengan wajah yang senang. "Untuk mendaftarkan Heiho sana!" Selalu begitu Mas Sepandri. Kalau ia sedang membutuhkan tembakau, maka disebumya: kawin dengan saudagar tembakau. Kalau membutuhkan batu baterei, ia menyindir tentang penjaga toko cantik penjual batu baterei dan seterusnya. Dari luar mereka hanya terdengar saling tuduh-menuduh dan cekcok saja. Tetapi begitulah cara mereka saling cinta. Cinta? Nhah, itu kata muluk. Jodoh, cocok, itulah. Dan kalau Mas Sepandri kadang-kadang mentraktir dirinya dengan kenikmatan daging perempuan lain yang memang dijual secara halal menurut hukum perdagangan yang berlaku, itu pun karena Mas Sepandri disuruh istrinya. Soalnya istrinya sangat suka berdagang dan bila ia sudah duduk di loji pasar di tengah rempah-rempah, sayuran dan ikan-asin yang berbau tengik, nnah, di situlah sudah ditemukan surganya. Jadi terlalu sering mengandung tidak enak untuk yang harus duduk bersila serba bisnis berbau trasi di pasar. Dan seminggu tiduran di rumah bersalin dan mengurus bayi jelas merepotkan. Bukan berarti sang pedagang rempah-rempah tak suka punya anak. Dua anak laki-Iaki sudah jadi orang, satu di Lampung, satu ABRI di Ambon. Dan gadis besar anak bungsunya yang cerdas pasti laku jadi menantu restoran gulai atau gudeg Sido-Nyamleng ¹⁾ sudut Pasar Muntilan itu seandainya si gadis mau. Dari pihak lain Mas Sepandri dulu bekas serdadu KNIL, jadi ia berhak berkenilkenil. Maka dibuat gampang saja. Berdamai istilahnya. Tetapi kali itu, ketika Mas Sepandri bercanda tentang "kawin dengan direktur pabrik sepeda", sumber dana tersumbat. Keterangan istrinya: minggu yang lalu banyak ibu-ibu sedesa pinjam uang. Memang beruntung bila ditinjau dari segi peredaran modal, sebab hutang Rp 1.000,setiap bulan dikembalikan Rp 120,- begitu sampai 10 bulan. Tetapi tentu saja modal Mbok Sepandri habis bila terlalu banyak orang yang pinjam. Dan kali ini memang banyak yang membutuhkan kredit. ''Ada apa?" tanya Mas Sepandri agak gusar. "Tarikan kambing, ayam itik." "Lho apa-apaan ini?" ''Ya, mereka bilang kalau tidak bayar, kambing ayam bisa hilang." ''Masyaalah, hilang bagaimana?" ''Ya hilang, begitu. "Disita?" "Tahu. Pokoknya kalau nggak bayar, tahu sendiri." "Siapa yang bilang?" ''Ya orang-orang itu." ¹⁾ Jadi lezat. 112 "Orang-orang yang mana?" ''Ya yang mau pinjam uang pada saya, goblog!" "Hus, tanya baik-baik digoblog-goblogkan." "Memangnya gitu, sudah ah, saya mau cari tebasan mlinjo ¹⁾ . Nanti kalah duluan sama Si Kepiting, cilaka." ''Yuyu Kangkang maksudmu?" "Kangkangmu!" ''Aduhai, galak bener nyai hari ini." "Biar galak. Kalau nggak galak nggak bisa hidup. Jaman sekarang!" Mas Sepandri tahu kalau disindir. Sebab memang tanpa usaha si perempuan berlidah uang kertas yang jadi bininya itu, mereka tak bisa hidup. Artinya tidak bisa beli Petromaks, beli sepeda untuk Si Anak atau ... tiba-tiba ia ingat, masih butuh kupiah. Pici beledu. Yang dipunyai sekarang sudah mendekati gombal. Berdamai, berdamai sajalah. Maka selesailah percakapan cinta suami-istri itu. Yang satu pergi mencari tebasan mlinjo, yang lain menuju ke rumah sahabat senasib yang pernah terkena pukulan Setankopor dulu. "Jo, ada lagi soal gawat nih." Dan semua laporan istrinya tadi tentang pungli hewan-hewan oleh pesuruh-pesuruh si Lurah garong diceritakannya. Gawat, menurut Sepandri sebetulnya pertama-tama berarti: ia belum mendapat uang untuk beli pici beledu. Tetapi sahabatnya menangkapnya dengan naluri Keibodan abadi. Karjo punya kambing juga, tetapi mengapa ia tidak diberitahu, ada tarikan baru. Ketika Prihatin, istrinya dipanggil, temyata semua hanya mendengar dari Mbok Dariyo, istri petani yang berkat untung nalo ditarnbah warisan dari sekian moyang, tergolong orang mampu di desa. Pak Dariyo sedang latihan gamelan. "Mas, ada perkara yang ingin saya bicarakan. Tetapi kalau sudi mari ke luar," begitu bisiknya kepada Dariyo. Ada dua Dariyo dalarn desa. Yang satu Dariyo Blabag ²⁾ rekan Mas Sepandri menebang dan menggergaji papan-papan sengon, nangka dan sebagainya. Tetapi Dariyo yang diajak bicara ini Dariyo Sugih ³⁾. Tidak berarti bahwa penggergaji papan itu mesti melarat, tetapi spontan begitulah sebutan mereka terhadap Dariyo satu ini. "Mas, saya dengar ada tarikan baru untuk hewan." "Ooh itu, ya sebetulnya begini. Maaf, saya belum membicarakan ini dengan Dik Karjo, yah, beginilah syaratnya." ¹⁾ Buah untuk sayuran dan bahan emping. ²⁾ Papan kayu. ³⁾ Kaya.. 113 "Syarat apa?" "Ya, asal bisa selamatlah." "Kok saya belum tahu?" "0, Dik Karjo belum tahu? Ah iya, memang itu salah Dariyo. Saya kira istrimu sudah bercerita." "Bercenta apa?" "Belum? Wee lah, salah dobel kalau begitu saya." ''Dari Kelurahan? Atau jangan-jangan akal Mas Polisi kita lagi." "Bukan, bukan dari Kelurahan, bukan dari Polisi, bukan dari Pemenntah, pokoknya ini sukarela." ''Ya tentu saja semua sukarela, tetapi sukarela wajib. Kalau tidak sukarela, nanti dibikin sukar-sukar sarnpai rela. "Ah, memang susah, tapi mau apa?" "Tetapi pendek saja. Siapa yang minta pajak ini?" "Bukan pajak. Sungguh bukan pajak. Dia hanya mengatakan: Tentang sapi, ditanggung arnan. Tetapi untuk hewan-hewan lain saya tidak tanggung. Begitu dia." "Siapa itu dia?" "Ooh, dia itu? Saya kira sudah jelas." "Jelas dari mana?" “Ah, masakan Dik Karjo belum kenal tingkah Si Sapudupak?" "Memang dari tadi sudah saya terka, Kang Dariyo. 1ni tidak mungkin selain akal trenggiling Si Sapudupak. Tetapi kan Kakang sudah saya pesan: Kalau ada apa-apa, katakan Si Karjo Keibodan. Nanti bisa digarap soalnya." "Habis ketika itu dia bilang: Awas kalau omong pada Karjo, begitu. Maka Kakangmu pikir: ah, tidak baik membebani orang dengan perkaraperkara yang lebih memberatkan. Ketika itu saya hanya takut, lalu bilang: ya. Begitu. Mau apa lagi, daripada rumah dibakar nanti." Sapudupak adalah bajingan paling tersohor dari seberang jurang, jadi dari wilayah (para pemuda bilang: kowilhan ¹⁾) lain. Ia penembak tepat bekas pasukan Raider yang dulu menggempur sarang-sarang penyarnun daerah lahar Merapi. Tetapi barangkali, daripada menjadi kopral raider bergaji dua bungkus rokok sebulan, lebih baik jadi bajingan, komandan kowilhan swasta yang tidak pemah punya persoalan tidak cukup uang. Uang cukup, bahkan banyak, jelas. Soalnya hanya, bagaimana cara mengarnbilnya. Sapudupak tahu cara mengarnbilnya. ¹⁾ Komando Wllayah Pertahanan. 114 Cara yang sip. Sejak pelpolisi Hindia Belanda yang naik sepedamotor bergerobag samping dimasukkan dalam interniran oleh ]epang, situasi dan kondisi sip deh. Selamat, sip, paling sedikit menurut perkiraannya. Sebab Karjo, Sepandri dan kawan-kawan lama tidak setuju begitu saja ayam kambing apa lagi kerbau dipinjam seumur hidup oleh begondal-begondal Sapudupak. Tetapi kawan-kawan itu sadar juga, bahwa siasat melawan frontal belum tentu siasat yang paling baik. Apa yang dikerjakan Si Dariyo Sugih sangat mereka pahami. Sebab Dariyo Sugih bukan Dariyo Blabag. Biar hanya kaya menurut ukuran jurang pucuk gunung lahar, tetapi kaya adalah kaya. Maka sungguh tidak enak apabila rumah dibakar. Sebetulnya hampir selalu dapat dipastikan, bahwa bila di daerah pucuk gunung sana ada rumah terbakar, itu pasti ada soal dengan bajingan. Tetapi di kelurahan Dinas Penerangan hanya berceramah, agar rumah penduduk jangan dibuat dari bambu. Pertama: itu sudah terbelakang, tidak sesuai dengan Orde Pembangunan. Akan tetapi kedua: karena berbahaya juga. Kalau ada seorang ibu kebetulan merebus air terlalu dekat dengan bilik bambu, atau kalau ada anak yang malam-malam menendang pelita yang masih menyala, rumah bambulah mangsa paling enak bagi api. Begitu Bapak Penerangan dari Kabupaten. "Lihat itu di Jakarta atau di kota-kota besar. Setiap kali timbul kebakaran. Beratusratus kepala keluarga dalam satu jam tidak punya rumah lagi. Coba bayangkan bapakbapak dan simboksimbok. Rasakan tidak punya rumah. Senang apa sedih? (Serentak semua menyambut "Sediiih!") Apa anak-anak tidak kasihan kalau rumah habis terbakar? ("Kasihaaan!") Kerugian kebakaran di kota bisa sampai satu milyar. Coba bayangkan satu milyar. (Semua hanya membelalakkan mata saja dan melongo. Omong apa si penceramah tadi?) Satu milyar. ltu banyak apa tidak? (Masih diam.) Satu milyar itu ... tahu seribu rupiah atau uang sepuluh ribu? (Satu dua suara menjawab: "Tahu, Pak Dariyo Sugih!" Semua tertawa.) Nah, satu milyar itu seribu rupiah kali seribu ... berapa? (Diam. Akhirnya Dariyo Sugih kasihan pada penceramah dan berkata: "Satu juta, Pak." (Ada beberapa anak girang bertepuk tangan.) Nah, satu juta rupiah masih dikalikan seribu, itulah satu milyar. (Ooooh! Mereka berkedipkedip. Apa tadi namanya? Meeyaar?) Sedikit atau banyak uang sekian? (Serentak dengan penuh semangat orang-orang menggelegar: "Banyaak!") Nah, kalau rumahmu terbakar, kalian rugi sekian milyar (Orang-orang pada gaduh, tertawa tidak pereaya. Ada yang terdengar omong: "Sampai kiamatl"). "Lho! Artinya kalau seluruh desa, seluuruuh desa terbakar, dan sapi dan kambing dan tegal-sawahmu terbakar, hanya karena rumah-rumahmu dari bilik bambu, jangan kira mustahil kerugianmu sampai satu milyar." Suasana agak kacau. Orang-orang pada berkelakar satu dengan yang lain. Ada pemuda menyeletuk: "Pembagian beras!" Semua tertawa terbahak-bahak. Kesimpulan dari ceramah Penerangan Kabupaten ialah: Hati-hati dengan rumah bambu. Pertama: agar jangan dihuni tikus dan kedua: jangan sampai terbakar karena kesalahan simbok atau anak yang sedang alpa. Sudah paham semua? ("Pahaaam!") 115 Karjo memberanikan diri menyanggah: ''Pak, didesa kami, sejak jaman nenek-nenek gantung siwur ¹⁾ dan lebih kuna lagi, menurut sepengetahuan kami belum pernah ada rumah terbakar karena yang punya rumah teledor. Kalau ada rumah terbakar, itu yang membakar tentu orang lain." Rapat gaduh dan semua mendukung Karjo. "Orang lain siapa?" Karjo diam, tetapi seorang pemuda berteriak: "Bajingan tengik.!" Semua tertawa ramai. Pak Penerangan agak bingung sekarang. "Nah, kalau ada bajingan membakar rumah, laporkan kepada polisi! Kan gampang. (Semua tiba-tiba diam, seperti ada kekuatan magis dalam kata polisi tadi.) Gampang apa tidak? (Semua diam.) 1tu tadi saudara yang tanya! Kan gampang! Gampang tidak, lapor polisi?" Spontan Karjo menjawab: "0, gampang sekali, Pak!" Semua tegang menunggu bagaimana kelanjutannya. Tetapi Pak Lurah yang arif mengalihkan persoalan pelik ke arah lain dan bertanya: ''Pak, bolehkah saya bertanya: Menurut bapak, apakah daerah kami ini subur bila ditanami cengkeh? Cengkeh saya daunnya kok berbintik-bintik coklat. Apa obatnya?" (Orang-orangpada bergumam sendiri-sendiri. Lega). ''Ya, itu pertanyaan baik," begitu Pak Penerangan. "Tetapi saya tidak kuasa untuk menjawab itu. Apa saudara-saudara setuju, besok kami panggilkan ahli cengkeh? ("Setujuuu!!") Maka sesudah beberapa basa-basi lain diomongkan bubarlah rapat. Dengan hati damai orang-orang pada pergi ke ladang, ke dapur, ke kandang sapi. Pemuda-pemuda masih bergerombol dan melirik melihat Kasanah sedang lewat, anak gadis Dariyo Sugih, yang sudah mulai menonjol buah-dadanya. "Sudah mulai sombong anak itu," gerutu mereka. "Sok berlagak laku dijadikan menantu camat." Tiba-tiba seorang berkata: "Eh, saya tadi pagi berjumpa dengan Sapudupak." "Heh? Betul?" "Uah, setengah mati takutku." "Kapan kau tidak setengah mati!" ejek kawan-kawannya. "Tadi kan saya pikir begini;' kata pemuda itu. "Nanti ada penerangan. Ah, pagi-pagi benar saya lalu cari kayu. Sambil mendengarkan, barangkali perkutut yang tersesat kemarin itu masih tinggal di sekitar pohon nyamplung atas sana, ataukah sudah pergi. Kudengar kemarin sehari terus ia memanggung di pohon itu. Tahu-tahu aku sudah membelok jalan setapak yang menuju masuk jurang. Eh! Ada orang bermata hijau seperti ular ... menunggu di bawah sana. Dia diam saja, tetapi matanya mendelik melihat saya. Aduh aku menggigil seperti dadaku dijatuhi batu. Si Lurah Sapudupak! Bagaimana. aku tahu? Dia bilang sendiri: ''Berani laporkan Sapudupak, mampus kau!" ¹⁾ Nenek dari neneknya nenek. 116 Dia cuma memandang saya. Seperti, ya seperti ular itu kalau sedang ipnotis tikus. Saya kancilen ¹⁾ tidak bisa bergerak. Tiba-tiba ia membentak: "Satu langkah turun, belati ini masuk tengkorakmu!" Saya seperti disambar petir. Tidak tahu apa yang hams saya perbuat. Ia lalu membentak lagi: kau anaknya Si Mertobelong? Langsung aku mengangguk. Saking takutnya. ''Bilang pada bapakmu, kerbaunya bisa ia ambil di Jurangceleng." Lalu ia mengambil batu. Aku dilempari sambil berteriak-teriak dari bawah: ''Ayo lekas pergi! Nanti aku jadikan cendol ²⁾ kau!" Saking bingungnya aku masih saja diam kancilen. Barn ketika ada batu mengenai betisku, aku lari." Lalu kau ke Pak Merto?" ''Ya, tentu saja. Kukatakan padanya: Pak Merto, aku tadi dikira anakmu. Lalu aku disuruh menghantarkan pesan, kerbaumu bisa diambil di Jurangceleng." "Lalu?" ''Pak Merto ya cuma lemas saja. Katanya: "Tidak punya kerbau susah. Punya kerbau lebih susah." Teman-temannya menambahkan: ''Yang paling tidak susah: jadi kerbau sendiri." Terkekeh-kekeh pemuda-pemuda itu lalu bubar." Tetapi seorang kawan berambut ijuk dan bermata bandeng masih sempat bertanya: "Lalu tadi perkututnya masih ada, Poh?" Pemuda yang disangka anaknya Pak Mertobelong tadi berpikir sebentar lalu mengakak: ''Masih. Tapi hanya dapat diambil di Jurangceleng." "Memangnya tampangmu kayak celeng." Lalu larilah ia dikejar sang duta Sapudupak. ¹⁾ Terpaku tak mampu lari. ²⁾ Isi minuman dawet. 117 15. Firdaus Kobra Paduka Tuan Ambasador berdiri, meloncat elastis dari kursi rotannya. Ia bertubuh atlit dan memang ia lelaki tampan. Walaupun di keningnya utas-utas rambutnya sudah mulai mengelabu, tetapi beliau tidak mengenal penyakit lelaki Barat, yakni menjadi botak. "Kau harus melihat kemenakanku yang baru,” kata beliau antusias kepada tamunya. "Langsung datang dari taman firdaus. Jenis yang langka dan dalam kondisi prima." Tuan Ambasador selalu menyebut binatang kesayangannya (yang sangat tidak disukai istrinya) yakni ular-ular, dengan sebutan kemenakan. Dan hutan atau cadas ladang tempat asal atau pun kurungan ular-ular itu: Firdaus. Istrinya benci sekali pada ular-ular hobinya itu, dan tidak mau melihatnya. Tetapi karena suaminya begitu tampan dan mengagumkan (sang nyonya sudah menikah untuk ketiga kalinya) hobi ular yang aneh itu dibiarkannya; asal kandangnya diletakkan jauh-jauh sana. Dan untung kebun rumah dinas kedutaan cukup luas. Rumputnya tercukur rapi dan setiap petang alat-alat penyiram yang memancarkan air bagaikan kipas berputar dengan radius jauh membasahi rumput dengan suara jiyek-jiyek, yang memberi suasana tenteram dan sejahtera. Sang Ambasador mengajak tamunya, orang penting yang sangat ia hargai, menejer produksi Pacific Oil Wells Company, menuju kurungan-kurungan yang besar tertutup kawat kasa kuat. "Well Therese namanya. ltu! Yang bau saja memperkaya firdausku. Jenis yang sangat jarang sekali terdapat di pulau Jawa. Tegap bukan, bagus bukan itu tembongtembong gelap bundar bertepi hitam itu. Dia masih sesaudara dengan ular adder termasyhur yang banyak terdapat di India Vipera russellii." Interesan! Baru kali ini aku mendapat kiriman dari Panglima Kodam di Jawa Timur sana. (dipanggilnya jongos) Hello boy, ke sini! Paymin, come here, mintaminta itu makan buat ular baru ini ya, tikus atau ayam. Nanti mau kasih lihat sama Tuan ini, sisysisy bagus, heh." (Kepada tamunya) "Sudah waktunya dia makan. Anda untung dapat melihatnya nanti." Paimin jongosnya mengambil kurungan berisi beberapa burung gereja dan dua gelatik. "Hello, tidak usah semua. Banyak-banyak terlalu. Nah, coba sekarang. Well Mr. Seta, Anda akan melihat. Jangan dekat -dekat." Tamu Ambasador spontan mundur, ketika adder itu tiba-tiba mengangkat kepalanya yang segi-tiga dan mendesis nyaring lama. Suaranya sungguh menakutkan, seperti penuh magi yang mengancam. "Yang ini hanya adder biasa. Di sini banyak terdapat jenis itu," dan tuan Ambasador menunjuk ke seekor ular sepanjang hampir semeter yang berwama coklat. Angkistrodon. Orang di sini menyebutnya biasa saja Ular Tanah. lni hadiah ulangtahunku, biasa, dari Dirjen Departemen Luar Negeri. Nanti lihat. Coba ini tongkat pegang. Lalu Anda usik dia. Nanti Anda lihat reaksinya, Eminent! Tamunya memegang tongkat dan pelan-pelan menusuk ular tanah itu, yang sedang nyaman melilit seperti spiral. Hanya kepalanya saja yang seolah-olah mengintip dari waskom yang terdiri dari tubuhnya itu. 118 Tiba-tiba ular mendongak dan dengan amarah moncongnya membuka lebar. Tampak kedua gigi racunnya bagaikan taring celeng tegak; dan sekonyong-konyong ular itu meloncat, sehingga si pengusik spontan meloncat juga ke belakang. Ambasador tertawa terbahak-babak. “Good! Very good! Memang ini kesayanganku yang paling hebat, justru karena galaknya itu. Jangan takut, asal agak jauh sedikit." Diusiknya sekali lagi ular itu oleh sang tamu dan kini loncatan-loncatannya sungguh mengerikan. Ke kiri dan ke kanan. Luapan amarahnya sungguh tiada taranya. "Tahukah nama yang kuberikan padanya? Ricci. Dari Ricardo, bapa ekonomi free enterprise. Sinting tentu saja, sebab di mana di jaman sekarang masih ada free enterprise betul-betul. Tetapi nama merdu untuk nyonya yang tante girang ini, bukan?" Belum pernah menejer produksi Pacific Oil itu melihat perangai seekor ular seperti adder satu ini bila ia marah. ''Ular adder seperti ini, dan khususnya yang di sudut itu, Kobra Kacamata, sangat dihormati orang India. Barangkali karena wataknya juga serba maharaja imperial. Tahukah Anda, Mr. Setta, orang Timur memang harus diteror seperti yang kukerjakan pada adder-adder ini. Nah ya, tentulah istilah teror di sini sangat berlebihan. Tetapi maksudku, orang-orang daerah samudera dan pulau-pulau di sudut dunia Selatan ini tidak dapat diajak berbaik-baik saja. Coba mereka diberi hati, aduh bukan cuma hati yang diambil, tetapi jantungnya juga. Jantung diberi, mereka ambil paru-paru. Paruparu diberi, malah naik lagi mereka minta agar diperbolehkan menyedot otak. (Lalu ia setengah berbisik). Jangan keras-keras, ini off the record ¹⁾, tetapi ini bangsa kuli. Hams dijadikan kuli. Coba mereka kau injak, barulah mereka hebat bekerja, dan keluarlah daya akal mereka yang mengagumkan. Tetapi bila diberi hati dan dimanja, sudahlah, kembalilah mereka menjadi anak kecil yang macam-macam saja merengekrengek permintaan bukan-bukan tidak masuk akal. Saya sudah memberi nasihat kepada pemerintah saya, agar memberi peringatan halus melalui saluran-saluran informal khusus kepada negeri ini. Kalau minta komisi jangan terlalu banyak, dong. Mosok ada yang sampai 30-40%? Ya Ricci, Ricciku manis, bagaimana struktur perdagangan sehat dapat dipertahankan dalam situasi begini? Perlu dihajar mereka itu. Ya Ricci?" Ular itu menyembur-nyembur. Seluruh ekspresi muka dan ulahnya benarbenar imperial, ya itulah istilahnya menurut Tuan Ambasador, imperial. Hah ini inilah Shirley. Ini dari Sumatra, ini kubeli dari seorang Cina yang tidak tahu malu. Tahu kau dia minta berapa untuk gadis hijau ini? Limaratus dolar. Tetapi sungguh Shirley, kau memang harta permata, sesuai dengan hargamu.(Kepada tamunya). Orang-orang India menganggapnya kerarnat. Dan memang begitu, Anda percaya tidak? Indah bukan, warnanya? Kencana hijau, setiap sisiknya berpelisir hitam. Hei Boy, ke sini." Jongosnya Paymin alias Paimin tadi datang dan menunduk nunduk hormat. Ia diberi ular kencana tadi. "Kasih lihat sama Tuan." Tamunya yang disebut Mr. Seta tadi menggeleng-gelengkan kepala. "Ada apa Mr. Seta?" ¹⁾ Dirahasiakan. 119 "Maaf, Excellency, tetapi sungguh, saya selalu sedih kalau melihat orang menunduk-nunduk seperti kuli jaman Raffles." Sang Ambasador tertawa lebar: "Hohoho ... Anda tersinggung ya. Hohoho ... Well Mr. Seta, terus-terang saja, saya tidak pemah tahu eksak, Anda berwarga-negara apa, Mr. Seta?" "Multinational," dan tamunya tersenyumlah. "Mau apa lagi. Sebab saya memang bekerja untuk kongsi yang begitu." "Maaf, aku tidak mau berkesan buruk ingin tahu soal-soal pribadi. Tetapi dalam segala sikap-tindakmu, sering Anda kuanggap, maaf, bukan maksudku membanding secara menghina, seperti orang-orang negro United States. Mereka negro, tetapi tulang-sungsum dan segala saraf mental kejiwaan serta penghayatan diri mereka benar-benar Amerika Serikat tulen. Tidak beda dati yang McLean atau Vanderbilt dan sebagainya. Anda orang Eropa dalam sikap dan mental. Bukan orang Amerika, jangan lagi orang Timur. Tetapi ... " ''Ya, memang aku lahir di Indonesia sini. Bahkan Mr. Ambasador boleh menertawakan saya, tetapi benar saya masih mempunyai darah ningrat sedikit dari Keraton di jantung Jawa sana." “Ada masih ningrat Jawa? Crazy! Anda bukan ningrat Belanda, bukan ningrat Inggris atau Rusia. Kok sekarang mengaku ningrat Jawa, itu lebih dari aneh lagi." "Tetapi benar. Yah, itu ada riwayatnya sendiri." "Tidak, saya tidak akan menyelidiki soal-soal yang pribadi. To the point Saya hanya ingin memujimu. Sungguh, informasi yang Anda berikan padaku sepintas lalu dalam coctail party 17 Agustusan di tempat menteri Riset yang lalu itu sungguh berkesan padaku. Dan memang benar. Statistik-statistik yang bersangkutan sudah saya suruh teliti lagi. Dan penasihat-penasihat ahliku mengatakan apa? Analisamu memang benar. Memang, hanya seorang doktor matematika seperti Anda yang dapat sampai pada kesimpulan seperti itu. Sudah lama berkecimpung dalam dunia komputer?" "Sejak komputer generasi pertama, Mr. Brindley. Bahkan bukan bualan, saya dengan beberapa rekan tergolong mereka yang pemah untuk pertama kali berseminar dengan Hermann Kahn ¹⁾ dan Robert Wiener ²⁾ sendiri di Bermuda. Tetapi Mr. Ambasador jangan terlalu mendewakan komputer, apa lagi orang-orang yang menyetirnya. Mereka tetap normal seperti kita manusia biasa, pendeta sekaligus bandit." "Heh, Anda suka berolok-olok. Memang saya awarn dalam ilmu magi bendabenda elektronika, tetapi satu orang doktor komputer nilainya sama dengan sepuluh jenderal marsekal atau dutabesar seperti saya ini. Tahukah Anda? Duta-besar yang ingin sukses harus mengkristalisasi kebijaksanaannya melalui studi semacarn ini, mengenai psikologi dan ulah tingkah ular-ular tropika. Ha ... haha Anda tidak percaya, pasti tidak percaya. Kaum komputer jarang percaya pada psikologi, Mr. Seta," dan Ambasador mendekatkan wajah pada tamunya, "Maaf, sebagai sahabat kukatakan di sini: Anda harus kawin lagi. Dengan wanita pribumi di sini. Jangan seperti saya, kawin dengan orang-orang kulit-putih. Dear Mr. Seta, saya tahu. Memang sedih ditinggal seorang istri. Tetapi saya kenal Anda dan kenal jenis wanita yang dulu istrimu itu. ¹⁾ Ahli analis hari-depan dari USA. ²⁾ Ahli perinris ilmu hubungan-hubungan intern dalam sistem organik (kibernetika) . 120 Saya kenal dia dulu karena kami satu jemaat, satu gereja, satu perkumpulan kepanduan. Biarkan dia lari dengan lelaki lain, biarkan saja. Ya, dear friend, Anda bernafas panjang. Tidak enak memang riwayat semacarn itu. Saya pun mengalaminya, dear Seta. Dan saya bicara sekarang bukan sebagai diplomat, tetapi sebagai sahabat. Seorang menejer produksi perusahaan minyak yang besar seperti Anda seharusnya tahu itu. Tetapi begitulah Seta, ahli komputer sering sulit membaca bahasa dan dendang wanita. Saya pun mengalami, Seta, macam yang Anda alami. Saya pun tolol dan sinting pada masa itu. Dan mudah-mudahan dengan Susan istriku sekarang ini, jaman petualangan sudah lampau; walaupun kita tahu, orang lelaki yang sudah dalam peti dan dikubur satu jam di bawah tanah pun masih ingin ke luar karena mendengar suara sepatu tinggi perempuan mengharnpiri kuburannya. Ya beginilah, soal-soal besar politik dunia dan produksi sumber energi yang menentukan pecah tidaknya Perang Dunia III nanti kita tangani hebat, tetapi tentang wanita, kita masih tetap puber saja. Tetapi apa yang kukatakan tadi ... hey boy, mana kau? Hah, sudah di atas dia. Lihat itu, dia kusuruh memanjat kelapa itu, dan Seta, Anda akan melihat pasukan parasut kaum ular. Ya ... siap? One ... two ... three! Paimin melemparkan ular yang di tangannya, dan sungguh elok sekali, ular itu melengkung-lengkung melayang ke tanah sejauh 25 meter dari kelapa itu. Tidak jatuh seperti batu ular itu, tetapi juga tidak melayang seperti pesawat terbang kertas. Hanya penuh sadar dan taktik ia meliyak-liyuk sehingga jatuh dengan empuk dan lures. "Perutnya ia cekungkan seperti bentuk parasut," begitu Duta Besar menerangkan. "Ular jenis ini dapat terbang seperti Tarsan dari dahan satu ke dahan lain. Sayang kebun kedutaan ini bukan rimbaraya. Tetapi di hutan belantara saya sering melihatnya. Grasius, penuh kepastian laksana seorang letnan pasukan parasut yang datang menyerang, tetapi luwes." Seorang jongos lain menyerahkan ular kencana tadi kepada tuannya. "Bagus bukan sisik-sisiknya, seperti dicat duko metalik. Kebanyakan jenis ular ini hijau. Ada yang ekornya berwarna merah atau oranye. Anda tidak suka ular? Istriku tidak suka. Itulah penderitaan seorang duta-besar, bila istrinya tidak suka ular. Ha ... ha ... ha ... Mungkin naluri kaum Hawa. Selalu benci pada ular Firdaus yang menggodanya sarnpai kita jatuh ke dalarn dosa, barangkali begitu, bagaimana pendapatmu, Mr. Seta? Hahahahaa ... sudahlah, mari. Tak ada habisnya omong tentang ular. Mari minum yang enak saja. Sayang duta-besar harus dapat diam. Dan Anda percaya atau tidak, saya paling pendiam dari antara sekian duta-besar, bahkan duta-besar Jepang yang hanya tersenyum-senyum licik itu pun masih lebih banyak omongnya dari saya. Dalam situasi resmi. Tetapi dalam situasi ular? Hahahaa ... Tak usah percaya pada omonganku ini Seta, kalau Anda merasa aku omong keterlaluan. Saya biasanya pendiam. Betul. Tetapi kalau menyentuh soal ular, jangan harap sekian losin istri dapat membungkam mulutku. Seorang istri tahu caranya membungkam mulut suaminya. Anda juga berpengalaman tentang soal itu, bukan Mr. Seta? Mari, old fellow, kampiun komputer. Whisky atau wodka? Sake aku juga punya, tetapi itu untuk jantung tidak baik. Oh ya, kemarin saya menerima suatu jenis jenewer dari salah satu pulau di Maluku sana, tentu saja dari seorang Cina. 121 Aneh, entah barangkali dia pernah mencuri resep dari seorang bandit VOC atau entah, dia bisa bikin jenewer. Tetapi dengan rasa yang, sungguh Mr. Seta, kalau kita mnum itu, rasanya kita dibakar di neraka, tetapi neraka yang penuh kenikmatan bidadari. Ya, inilah katanya yang tepat, yang tepat. Sejak kemarin dulu saya cari, saya cari ... apa sebutannya? Sekarang saya tahu. Berkat kehadiran Anda Mr. Seta! Rasanya tuak. Maluku Cina itu seperti ... seperti dicampuri bisa kobra, haha ... haha mati Anda harus mencobanya." Dan kedua orang itu nikmat duduk dalam kursi rotan, sedangkan cerutu mulai mengepul. Bapak Ambasador mengisap pipa, yang tidak begitu enak baunya, tetapi memang, tentang selera orang boleh sepenuhnya bertengkar. "Hei, itu istriku datang. Wanita cantik, bukan. Tetapi ya, itulah, sayang dia tidak suka ular. Sebentar, dia belum kenal Anda. Soalnya baru pertama kali ini kan Anda mau datang ke mari. Memang saya tahu, orang bisnis harus berhati-hati mengunjungi duta-besar di rumahnya." (Ia melambai bersemangat). "Hello, Susan! Sayang! Bagaimana, ada lukisan yang kau senangi? Indonesia banyak seniman, memang. Hanya mahalnya, well, mereka semua mengira sudah jadi Picasso. Nah Susan, ini Tuan Setadewa, menejer produksi Pacific Oil Wells Company. Tetapi lebih hebat lagi, ia ahli komputer yang tiada taranya di seluruh Asia ini. Perkenalkan: Seta, ini Susan, kesayanganku yang tiada taranya juga di seluruh dunia." Istri duta-besar itu tertawa bangga, dan dengan suara yang anggun tetapi toh pada nada kekanak-kanakan abadi, ia pura-pura tidak setuju dengan suaminya. "Ia seorang perayu besar, eh ... Tuan Seta, jangan terlalu percaya pada omongannya. Ya, tentulah suamiku telah memperlihatkan, mahluk-mahluk yang paling ngeri di bumi ini kepada Tuan. Saya selalu sepaham dengan suamiku dalam segala hal, kecuali dalam satu perkara itu. Darling, saya heran, dari mana kau dapat nafsu aneh mencintai binatang-binatang penjelmaan iblis itu?" "Haa ... haa .... dear Seta, dengar istriku? Dalam segala hal ia sepaham, kecuali dalam satu hal. Jangan percaya pada istilah "segala" hal itu" tanggapnya mengejek. Istrinya berkecak. pinggang genit dan lebih genit lagi pura-pura marah: "Ya, itulah tuan Seta. Dia nanti pasti akan memberi kuliah tentang psikologi bahasa: mengapa istilah yang sarna tidak diberi arti yang sama bila itu dipakai oleh pria atau wanita. Coba, sebentar lagi kuliah mulai, bukan begitu John?" Tamunya hanya tertawa kecil saja. Suami istri memang tukang ngobrol. "Beginilah dear Seta," sang Ambasador mengedipkan mata ke arah tamunya "nasib kaum kami. Kapan Mr. Seta, kita mendirikan gerakan liberation kaum pria?" Istri duta-besar itu berputar, elegan, tangan kanan memegang sapu-tangan, dan dengan ulah melenggang ia berkata manis kepada tamunya: ''Tuan, percayalah, kalau presiden kami sekarang dipilih sekali lagi, suamiku ini pasti menjadi menteri urusan wanita. Mari, silakan duduk. Saya tidak akan mengganggu percakapan kalian. John, saya tadi mendapat satu lukisan. Perfect, dan unik. Murah, hanya seribu dolar. Yakinlah, Picasso belum apa-apa. Sayang belum kubawa. Tetapi besok sore pameran sudah usai, dan nanti kau pasti terharu melihatnya. Nah, Tuan Seta, anggaplah rumah ini bukan rumah duta besar, tetapi rumah sahabat. Sampai nanti,John." ''Bagaimana old Fellow, elegan ya istriku kalau berjalan." "Superb. Pantas dilukis, tetapi hanya oleh ... maaf, oleh Picasso." Kedua orang itu tertawa terbahak-bahak. 122 "Mr. Seta, kau menghina. Kurang ajar kau. Nanti kukatakan padanya." Terkejut tamunya memohon: "Eh jangan! Mati saya nanti." "Haa haa haaa, saya tahu, mengapa Anda berkata begitu, Seta. Anda iri. Iri hati, itulah. Anda iri saya punya istri begitu cantik. Maka itu, perjaka tua, lebih baik segala komputermu itu dibuang. Yang penting, mendapat seorang istri seperti saya ini. Ya ... ini sudah datang minuman syurga kaum lelaki. Hei Boy, itu yang jenewer Maluku itu dibawa ke mari juga. Jangan cuma impor negara-negara usang. Siapa tahu, kalau ada seorang bisnis yang cerdas, Cina itu boleh jadi membawa keuntungan sekian milyar dolar. Ada saran pemberian nama? Snake Brandy? Ah, kurang puitis. Ada dear Seta, Cobra-Fire, hah itu lebih berbobot iklan dan tidak terlalu prosa. Cobra-Fire. Mana ini si Boy, dikira tidak pantas menghidangkan jenewer priburni itu? Orang-orang di sini tidak dapat menghilangkan rasa minder mereka. Dikira yang priburni selalu jelek. Bagaimana dear Seta, Anda ningrat Jawa. Bagaimana Anda terangkan mental yang merepotkan ini? Kami dari negara-negara maju ingin berpartner dengan bangsa yang punya harga-diri, terpaksanya sombong, seperti orang Jepang atau Jerman itu. Kami lebih suka itu. Daripada berhubungan dengan bangsa kuli. Mau diajak apa seorang kuli atau jongos. Ini membutuhkan sepuluh generasi ... Haha inilah dia Cobra-Fire of the Moluccan Islands. Sekarang Anda yang omong. Saya tidak suka omong kalau minum barang yang lezat. Pasti ada apa-apa yang penting Anda ke mari." Maka sambil menikmati neraka Cobra-Fire ahli komputer Pacific Oil Wells Company itu mulai membuka lembaran-lembaran informasinya satu persatu. Inti permasalahan ada di bidang ekonorm, tetapi pengaruhnya dapat langsung mengenai bidang politik dan hubungan antar negara yang dapat membahayakan bagi semua pihak, baik pihak negara-negara yang bersahabat dengan negen tuan rumah maupun bangsa Indonesia sendiri. Memang soalnya sangadah sensitif, tetapi bagaimana pun harus diketahui para duta-besar dan seterusnya semua pemerintah yang mempunyai andil besar dalam operasi multinational corporation Pacific Oil Wells Company. "Saya sudah meneliti semua fail dan dokumentasi yang menyangkut soal yang topsecret ini selama setahun,” begitu Dr. Setadewa mengupas persoalannya. "Saya tidak berani memastikan apakah ini disengaja atau hanya karena kekeliruan tak sengala. Tetapi dalam model persamaan dasar yang dipakai baterei komputer dalam perhitungan-perhitungan produksi dan kewajiban-kewajiban pembayaran sharing kepada negara-negara tuan rumah yang memiliki wilayah sumur-sumur minyak, saya temukan suatu kekeliruan penyusunan model perhitungan komputer. Dan Tuan tahu, komputer memang hebat tak terperi kalau disuruh menghitung dan memberitahukan output yang begitu kompleks dengan sekian ribu variabel dan faktor. Akan tetapi semua perhitungan itu tergantung dati satu syarat mutlak. Jikalau. Dari "jikalau" inilah komputer itu penolong atau pembunuh, sahabat atau perusak. Kerangka dan pola persamaan-dasar perhitungan (yang disebut model harus betul. Jikalau pemilihan pola gaun wanita itu betul, maka gaun itu mempercantik dan serasi untuk si pemakainya. Tetapi bila pola itu keliru, maka seluruh gaun akan rusak juga. Dan justru dalam pemilihan dan penentuan model itulah, yang diberikan kepada pesawat-pesawat sekian komputer kami, terdapat suatu kesalahan yang begitu vital, sehingga jelas ini dapat mempunyai efek politik dan keamanan yang gawat di Kawasan Asia ini. Bisa berbahaya." 123 Mr. Ambasador sekarang tiba-tiba menjadi orang lain. Tadi ia berceloteh dan ramai ngobrol tentang hobi ular-ularnya sampai tidak memberi kesempatan sedikit pun bagi tamunya untuk menyisipkan komentar atau jawaban. Sekarang beliau pendengar teladan, yang memberi kesempatan sepenuhnya kepada tamunya ahli matematika untuk menguraikan analisa-analisanya. Kemampuan untuk mendengarkan itulah yang juga sangat digemari istrinya. Ia suami dan kawan yang baik, begitu keyakinan istrinya sesudah dua kali mengalami kegagalan perkawinan. Hanya pipanya yang berbicara, artinya asap yang mengalun ke langit itulah yang menandakan, betapa prihatin hatinya mendengar uraian-uraian tamunya itu. Negara yang diwakilinya mempunyai bagian prosentase saham yang paling dominant dan sudah selayaknya Mr. Setadewa datang kepadanya. ''Dan bagaimana Dewan Direktur kongsimu? Sudah tahu tentang soal ini? "Barangkali. Bila nanti tabir kubuka, aku akan dipecat." "Tidak akan berani mereka." "Saya sudah siap menghadapi itu." "Kalau mereka berani, mereka akan bangkrut." "Mereka punya cara-cara lain untuk menghindari itu." ''Bagaimana kira-kira komentar mereka nanti?" "Saya menduga mereka akan mampu menyembunyikan kekeliruan itu terhadap pemeriksaan pihak Indonesia. Ya, inilah susahnya. Negeri ini tidak punya ahli matematika. Dan kalau punya, mereka toh tidak laku dalam dunia korup di negeri ini. Dari penyelidikan Anda, apakah tampak ada kesengajaan di dalam kebodohan ini?" "Saya tidak berani mengatakan, Mr. Brindley. Sulit untuk dibuktikan." "Tidak sulit sebetulnya. Biro-biro investigasi kami tidak akan sukar menemukan bagaimana duduk-perkara yang sebenarnya. Tetapi kalau nanti ternyata memang benar ada unsur kesengajaan dalam soal ini, yang jelas, dan ini saya katakan dengan segala kesedihan hatiku, Anda pasti akan dipecat." "Saya tahu." ''Anda memang berhati ningrat, Doktor Setadewa. Tidakkah sayang jabatan Anda sebagus itu sebagai menejer produksi kongsi besar?" "Saya hanya mengikuti hati-nuraniku dan sumpahku." "Sumpah apa? Dokter tabib bersumpah, tetapi doktor matematika." "Saya telah bersumpah di hadapan profesor dan pembina karirku, Prof. Thomson Mc. Kenzie almarhum, yang menuntun saya dalam lika-liku rahasia rumus-rumus serta model-model matematika dan yang berulang-kali berkata kepadaku: "Seta, Anda kelak akan menghadapi banyak godaan curang dalam dunia komputer. Seperti dalam dunia pengobatan pun. Sayang tetapi nyata, hal itu sering terjadi. Banyak dibuat penipuan, tetapi penipuan legal. Saya mengharap kepadamu, muridku, semogalah Anda menjadi pengabdi kemanusiaan. dan bukan pengabdi suatu korupsi atau pihak kepentingan. Sebab, manusia dan mahluk-mahluk hidup sebenarnya komputer juga, yang mampu untuk menghimpun, menghitung dan mempertimbangkan sekian banyak faktor dan variabel. Komputer bertanggung-jawab kepada yang memberi perintah dan memberi model pola perhitungan. Kita pun bertanggung-jawab kepada sang Pemberi Model yang mahaatif. Ketika itu, Tuan Ambasador, aku bersumpah. Di dalam hati. Dan sumpah itu akan kutaati." 124 Sang Ambasador tidak mengucapkan sepatah kata. Dari dunia penugasannya ia tabu, bahwa memang dalam dunia politik banyak dibuat kecurangan juga. Tetapi ia, yang memilih bidang sejarah sebagai kejuruan pendidikan universiternya, ia tahu dari disiplin ilmunya, bapwa hanya politik dalam arti sejati, yang tidak curanglah, yang akhirnya membawa buah yang lestari. Ketika orang-tuanya, yang sangat sholeh beragama, berkeberatan ia masuk ke dalam dunia politik, ia memberi argumentasi kepada mereka, bahwa adalah salahkaprah orang mengira politik itu selalu kotor. Politik tertentulah yang kotor, seperti wanita tertentu adalah kotor dan godaan dosa. Tetapi wanita indah. Atas alasan apa mereka disebut kotor! Barangkali sering mereka cuma tolol atau sempit perhitungan. ''Demikian juga politik," kata Mr. Brindley. "Kendati begitu, kami mengenal tokoh leyak dengan ratunya, Rangda," sanggah tamunya. Namun sang Ambasador bersiteguh: ''Tetapi politik dan bisnis yang berhasil hanyalah politik dan bisnis yang jujur." Masa Machiavelli dan Hitler Nazi sebenarnya sudah lampau, seperti jaman Perang Salib atau Sabil juga sudah terhitung jaman sejarah dulu. Hanya dunia politik praktis masih ketinggalan. Masih dalam taraf belajar untuk menyadari kenyataan-kenyataan berdimensi global yang merupakan titik balik perkembangan sejarah politik. Maka justru demi pengembangan politik itulah diterimanya jabatan duta-besar di negara yang muda ini. Ia tahu, bahwa ia harus mengabdi pemerintahnya. Tetapi mengabdi negaranya tidak berarti membunuh bangsa lain. Apa yang diuraikan doktor matematika tadi sebenarnya pembunuhan dan tipuan massal, jika itu dilakukan dengan sengaja. Mr. Ambasador lebih condong untuk mendakwa ini kesengajaan, tetapi seorang duta tidak boleh beranggapan gegabah. Suatu komisi rahasia investigasi perlu dibentuk untuk meneliti perkara yang gawat dan berbahaya ini. Dan dasarnya bukan cuma pertimbangan politik kesusilaan yang berkhayal belaka. Tadi pagi telah datang delegasi ahli tehnologi dari Rumania; dan Rumania negara penghasil minyak yang berpengalaman lama. Selain itu telegram berkode rahasia dari Departemen Luar Negeri negerinya memberitahukan kepadanya, bahwa suatu kapal penjelajah dan lima kapal-selam dari pelbagai klas telah ke luar dari Wladiwostok menuju Perairan Selatan. lni masalah moral, tetapi juga masalah akal perhitungan bisnis yang sehat. Dan bisnis yang tidak sehat, seperti strategi militer yang tidak sehat bukanlah bisnis atau strategi militer. ltu petualangan namanya barangkali, atau ketololan. Mr. Brindley tidak suka disebut diplomat tolol. "Berapa milyar setahun Indonesia dirugikan oleh model komputer yang salah itu? Anda sanggup membuktikannya dengan kuantifikasi eksak? Ahli komputer itu menyebut angka yang astronomis. Dari tas samsonetnya, Doktor Seta menyerahkan suatu berkas foto-copy. "Aslinya saya simpan dalam Swiss Bank di Singapura." "Kami harus meningkatkan dana-dana fellowship atau beasiswa sarjana matematika untuk negeri ini," gumam Sang Duta Besar. Dengan bernafas panjang, sloki berisi Cobra-Fire tadi ia minum sekali reguk. Dibalik-baliknya kertas-kettas penuh uraian yang abstrak, tanda-tanda kode dan angka-angka yang sangat ruwet. "Untung saya tidak belajar matematika," sengirnya ironis. "Apa Tuhan Allah di atas sana juga mengecek angka-angka sinting seperti ini agar alam semesta kita tidak meledak?" 125 Kedua matanya yang biru nanap memandang tamunya, yang duduk tenang dan membalas tatapan matanya. "Satu yang pasti, dear Setadewa, satu yang pasti. Dan ini kukatakan dengan hati yang penuh duka-cita. Kau pasti akan dipecat bila rahasia ini Anda bocorkan. Anda pasti dipecat." "Ya, saya sudah memperhitungkan itu sebelumnya." "Anda idealis. Orang-orang seperti Anda ini sebetulnya mahluk-mahluk yang tersesat di dunia seperti yang kita punyai ini. Seharusnya Anda tidak menjadi ahli matematika, tetapi pendeta." Tamunya tersenyum, dan senyumnya penuh kedamaian yang pasti, seperti seorang sukarelawan Special Command di dalam Perang Dunia, yang siap terjun di daerah musuh, hanya untuk mati. ''Pendeta masa kini adalah para ahli matematika dan sarjana-sarjana dalam kedudukan-kedudukan perhitungan kunci," jawabnya tenang, pasti, ningrat. "Anda benar. Kami diplomat dan menteri dan marsekal lumpuh tanpa kalian. Pendeta dapat seorang santo, dapat juga seorang Rasputin¹⁾ , dear Seta. Anda bukan Rasputin. Inilah malapetakamu, tetapi saya yakin ... Ada apa John? Aduh, kau ini cetakan kedua dari ayahmu." Anaknya seumur 6 tahun menghampirinya dan dengan terkejut Dr. Setadewa melihat dia berkalungkan ular hitam mengkilau bercincin-cincin kuning kencana. "Ular berbisa, ini ular welang!" teriak sang Tamu. Tetapi anak itu merangkul tangan ayahnya dan menatap tamu yang tolol itu sambil berkata seperti seorang profesor cilik. ''Bodoh. Ini ular Kina-anis. Ya Dad, ini Kina-anis ya?" Dan bangga anaknya meminta pujian dari ayahnya itu. Mr. Brindley tertawa gembira penuh kebanggaan ayah. “Ya kau anak sangat pintar. Kasih tangan dulu pada Tuan ini. Nama Tuan ini: Seta." "Eok? Nama yang jelek." Lalu memandang tamunya. "Saya John. Tidak Eok. Kau bernama Eok? Ular ini ... " dan ia membelai penuh sayang ular yang mendelik diam melingkari lehernya, "ini namanya juga John. John Kina-anis, ya Daddy?" "Lho, kasih tangan dulu. Dan hormat dong, dan manis terhadap tamu. Ayo kasih tangan yang baik-baik." Dr. Setadewa tersenyum melihat anak kecil itu, tetapi toh yang ditanyakan pertama-tama: "Tidak membahayakan ular hitam ini?" Duta Besar tertawa renyah:"Nah dear Doktor, ada baiknya Anda sesekali mengenal lebih dalam apa yang terdapat di bumi ini. Komputer memang maha penting, tetapi komputer-komputer berbentuk ular ini interesan juga. John, Cintamanis minta diseka tanganmu," dan John membelai kepalanya. "Namanya Cintamanis. Trimeresurus wagleri resminya. Tetapi nama pribuminya jauh lebih bagus: Si Cinta-manis atau Cantik-manis. Belum tentu segala ular yang hitam itu jahat, dear Seta. Ini ular yang paling manis. Tidak pernah menggigit dan suka diajak bermain oleh anak kecil pun. Aneh bukan?" ¹⁾ Tokoh rahib cabul di Rusia. 126 Dr. Seta juga ikut membelai kepala ular yang bermata hitam melolo¹⁾ itu. Kok garis mulutnya seperti ia tersenyum terus-menerus. Seperti lumba-lumba. "Ya, memang aneh alam itu. Ada yang keji seperti jenis Naya, kobra-kobra, ningratningrat para ular. Maaf Seta, Anda ningrat juga. Tetapi ada yang jinak dan manis seperti Cintamanis ini. Negeri ini memang aneh. Kan saya tadi sudah berkata: Bila belajar psikologi, khususnya psikologi orang Timur tropikana ini, pilihlah hobi memelihara ular dan telitilah tabiatnya. John, sekarang John juga manis seperti Cintamanis ini dan bermain-main ya. Papi ingin bicara dengan Tuan Seta ini. Tuan ini juga senang pada Cinta-manis. Ya dear Seta?" ''Ya John, saya juga senang Cinta-manis." "Kau juga punya Kina-anis?" "Punya." "Juga seperti ini? Hitam, ada cincin-cincinnya emas?" "Tidak, Cintamanisku hitam semua." ''Tidak ada kuning-kuning begini? "Sayang John, Kina-anisku tidak punya. Dia miskin, tidak bisa beli roti dan misyes coklat. Lalu cincinnya dijual." "Cincin-cincinnya dijual? Sekarang sudah tidak punya lagi?" tanyanya dengan dua bola mata penuh kasihan. ''Ya, sayang. Sekarang hitam hitam melulu ... " "Oh kasihan, ya Pa! Apa tidak bisa dibelikan cincin baru?" "Bisa, John,” sahut ayahnya. "Bisa. Tetapi harus menunggu, sebab pandai emas yang membuatnya masih ... eh belum bangun, masih tidur." "Oh," kata anak itu. Dan kepada ularnya ia berkata lirih: ''John, Kina-anis cincinmu begini banyak. Kasihan dong, Kina-anis, Tuan itu miskin. Tidak punya lagi. Kasih ya? Papi, apa kina-anis kita bisa memberi beberapa cincin emasnya kepada kina-anis tuan itu." "Yah ... " bingung juga Ambasador itu, tidak tahu bagaimana menjawab anak itu, tanpa mengecewakan, tanpa bohong. Akhirnya: "Sudah John, kasih tabek kepada Tuan Seta, dan kembalikan ular itu lekas-lekas di kandang. Dia lapar, nanti ia merasa miskin juga; lalu cincinnya dijual juga. Kan tidak bagus." ''Ya, selamat petang! Papi, saya kembalikan segera ke kandang. Dan Paymin harus memberinya katak-katak lagi. Tapi kasihan juga ya Papi, katak-katak itu?" Lama kedua orang itu diam, sesudah anak itu pergi. "Dr. Seta,”kata duta-besar itu lirih. "Kalau ada apa-apa kelak, dan Anda membutuhkan pertolongan, jangan segan mengebel pintu rumah kami. Selalu akan dibuka." Sambil mengantar ke pintu muka, Ambasador itu masih berkata: "Saya pasti akan mengurusnya. Tetapi sebelum ada langkah-langkah tingkat tinggi, sebaiknya Anda mencari saluran lain. Entah bagaimana caranya, coba kirimkan dokumen-dokumen Anda melalui saluran-saluran tak kentara ke tangan pembesar-pembesar Indonesia yang paling kompeten untuk masalah ini. Siapa tahu mereka pasti akan bertindak sendiri, sehingga inisiatif dijalankan oleh pihak mereka. ltu lebih safe dan sebetulnya lebih wajar. Tetapi Anda main sans tinggi, hidup atau mati ... Seta! Kita mengharapkan yang baik-baik saja. Sementara ini, resmi saya tidak tahu apa-apa, okay?" ¹⁾ Mata yang terbuka lebar sekali. 127 "Baik. Yang saya butuhkan sekarang hanya rekomendasi untukku kepada Departemen Dalam Negeri. Anda suka memberi itu?" "Rekomendasi ?" "Saya ingin sedikit sentimental journey ke pedalaman, ingin menengok tempattempat masa kanak-kanakku. Semua peninjauan sekarang harus minta ijin. itu ... kalau Mr. Brindley masih mengakui saya sebagai warganegara negaramu." "Oh baik, baik. Nanti saya bilang kepada mereka, bahwa Anda sedang mencari pacarmu, begitu saja kan?" "Ah," dan terkejut membelalak doktor komputer itu menolak. "Jangan. Biasa saja: turis." ''Lho, apa benar ada pacar?" ''Ya, sulit cara merumuskannya," dan ia tertawa. "Nah hahaha;' dan penuh perhatian Ambasador itu tertawa sambil mengerdipkan mata. "Kentara sekarang memang ada itu. Okay, never mind." 128 16. Nisan Perhitungan Aku tidak tahu, apakah harus berterimakasih atau mengutuk memori. Ingatan manusia menolong kita belajar mengalami dan membentuk hari-depan yang lebih baik; dan kreativitas kita sebagian besar berudik dari sumber-sumber yang hidup, ingatan kita. Bahkan cinta atau benci hanya mungkin bila memori kita hidup. Tetapi justru itulah, segi-segi gelap seperti. benci, balas dendam dan biasa juga ketakutan serta kebimbangan bermunculan seperti ular Kepala Dua yang pemah diperlihatkan oleh sahabatku, John Brindley. Sungguh unik Mr. Ambasador itu. Dari mana ia mendapat ilham dan kesukaan mengumpulkan reptil-reptil yang mengerikan itu? Ular Kepala Dua sebetulnya satu kepalanya, tetapi ekornya persis bentuknya seperti kepalanya, pendek, tumpul bahkan punya dua pentolan mirip mata. Bagian bawah ekor itu berwama merah koral dan bercincin oranye bagus. Juga persis dengan wama bagian bawah kepalanya. Kalau bahaya datang dari belakang, ekor itu dapat didongakkan, sehingga dapat menipu lawannya. Tentu saja bagi musuhnya yang bemiat menyerang, kepala tipuan itu membingungkan sekali bila ular itu lari, seolah-olah lari ke belakang. "Ular Kepala Dua tidak berbisa, untunglah," kata John. ''Tubuhnya kecil, belum ada setelapak kaki; dan hidupnya seperti cacing, di bawah tanah. Oleh penduduk pribumi ular ini ditakuti karena dianggap punya kekuatan gaib." Memori manusia, walaupun sering punya kepala dua, pada hakekatnya hanya berkepala satu. Kepala ke arah segala yang lebih baik, dan tidak sebaliknya. "Sering sejarah berjalan mundur seperti. yang kita alami dalam peperangan yang lalu," kataAmbasador, "akan tetapi saya percaya, bahwa sebenarnya kita maju." ''Namun itu baru harapan Anda, Mr. Brindley. Belum kepastian yang dapat kita jadikan pegangan. Manusia toh bisa meledakkan diri juga, bila dia mau." ''Ya, benar. Sayang drama kekacauan sampai sekian puluh tahun sesudah perjanjian Potsdam¹⁾ atau di kawasan sini perjanjian di kapal penempur Missouri²⁾, belum membuahkan jaminan yang dapat kita andalkan. Tetapi untuk itulah justru kita harus menanam harapan. Manusia tanpa harapan, dia mayat berjalan." Maka pagi itu, dengan memori yang masih hidup langsung mengingatkan diriku ke serangan 19 Desember 1948 di Meguwo itu, namun dengan sesloki harapan juga yang kureguk dari percakapan dengan Mr. Brindley petang kala itu, saya, menejer produksi kongsi kuasa satu-satunya yang berkulit sawo-matang, mendarat di lapangan Meguwo. (Tetapi untuk karier setinggi itu maafkan aku harus membayamya dengan kewarga-negaraan non Indonesia). Sudah tiga kali aku mendarat di lapangan ini sejak serangan Spoor ke Yogya dulu itu; dan setiap kali ular Kepala Dua itu muncul lagi. Yang pertama kali: untuk mengantarkan big-bossku yang ingin berpariwisata ke Borobudur dan yang membutuhkan seorang gadis yang mengenal daerah. Yang kedua kalinya untuk menghadiri resepsi perkawinan salah seorang putera direktur Departemen ¹⁾ Perjanjian penyerahan Jerman Nazi kepada Sekutu di Berlin sesudah Perang Dunia II. ²⁾ Perjanjian penyerahan Jepang kepada Sekutu sesudah Perang Dunia II. 129 Pertambangan yang memegang kunci nasib konsesi perusahaanku. Dan ketiga kalinya, sekarang ini, untuk, ya untuk apa sebenarnya aku kini ke mari ? Untuk menyusuri kembali sejarah hidupku yang lampau penuh kepahitan, kekalahan dan kesialan itu? Setiap resepsi perkawinan yang harus kuhadiri selalu merupakan siksaan. Apa lagi di sini, yang mengharuskan aku mendarat di lapangan terbang dan lingkungan daerah yang kukenal bersama memori getir. Sampai sekarang aku belum pernah berani memberi tanda-tanda hidup untuk Atik. Pernah kudengar dari beberapa sumber kalangan kedutaan RI di Den Haag tentang perkawinan dan profesi Atik sesudah Konperensi Meja Bundar itu. Dari seseorang entah dari dunia universitas. Dan sangatlah pengecut aku ketika itu tidak memberi kartu selamat untuknya. Jangan lagi mengirim kartu selamat; alamatnya pun aku tidak tahu. Dan seandainya aku tahu (seharusnya aku tahu), toh aku tidak akan bermunafik untuk mengucapkan selamat mengenai suatu peristiwa yang menyakitkan hati. Sakit hati karena salahku sendiri, memang itu kuakui, dan memang aku pengecut dalam hal ini, akan tetapi tetap menyakitkan hati. Aku ingin jujur dan wajar. Aku tidak ingin jadi budak basabasi. Dan aku diam. Namun toh sejelek-jeleknya aku, aku berdoa untuk Atik yang pernah menjadi kekuatan batinku dalam masa muda yang paling menggoyahkan; yang kala itu menulis surat padaku, memanggilku ke Jakarta untuk menemui Mami . Mami, ya Mami. Kau sekarang sudah menemukan kedamaian. Segala-gala telah kau serahkan. Tetapi mereka mengingkari janji. Dari dokter direktur rumah-sakit jiwa Magelang, pas pada hari aku meraih gelar doktor di Harvard, kuterima berita menditil mengenai wafatnya Mamiku. "Itu sudah kami duga," kata dokter itu, "sebab kelainan yang diderita ibu Tuan yang baik itu suatu saat akan sampai pada pusat persarafan sentral. Tetapi saya dapat memberi persaksian, bahwa ibu Tuan mangkat dengan wajah tersenyum, tenang; dan saya yakin, dalam rahmat berkenan kepada Allah Subhanahu wa taala." Segalanya telah Mami serahkan. "Juga, bila Tuan bersua lagi dengan Kolonel Verbruggen, sudilah Tuan menyampaikan salam dari pribadi saya dan rasa terimakasih dari rumah-sakit yang kami bina dengan susah payah ini, atas segala bantuan material yang tidak sedikit selama ini dan yang masih berlangsung terus. Sudah lama kami tidak menerima kabar dati Kolonel Verbruggen dan Tuan ... " Verbruggen, dia pun sudah tiada. Si Bandit gila telah hancur di Dien Bien Phu¹⁾. Pastilah sumbangan itu dilewatkan melalui ibunya. Seandainya bukan Spoor tetapi Verbruggen yang jadi panglima kala itu, pasti sejarah akan berjalan lain. Tetapi seorang Verbruggen tidak akan laku untuk hari-hari semacam itu dulu. Tinggal aku dan Atik. Dokter itu juga menulis sedikit tentang suatu keluarga istana di Surakarta yang seringkali mengunjungi Mami. ''Bahkan ada seorang wanita muda beserta ibunya menanyakan alamat Tuan Setadewa. Tetapi walaupun kebaikan hati mereka berkesan sekali kepadaku, saya setia tetap teguh merahasiakan alamat Tuan. Menurut yang diminta keras oleh Tuan, dan yang selalu kami patuhi selaku rahasia jabatan dokter". ¹⁾ Medan laga termasyur dalam perang Vietnam melawan Prancis, di mana tentara Prancis dikalahkan totaL. 130 Dari dokter tua yang baik itulah kelak, sesudah aku diangkat jadi menejer produksi Pacific Oil Wells Company di Indonesia, kuketahui alamat dan hal-ihwal Atik, Bu Antana beserta alamat desa, tempat Pak Antana, yang gugur dalam Clash II, dimakamkan. Tetapi mengapa aku hams mengingat Atik lagi? Ia sudah milik. suaminya dan realismelah pasti yang menuntun keputusan pilihannya. Sudah punya anak berapa ia sekarang? Aku sendiri belum punya anak. Mana mungkin punya anak dengan perempuan jalang yang kukawini itu? Tetapi mengapa kau kawin dengan perempuan jalang, Teto? Jangan-jangan kaulah, Setadewa, yang membuatnya jalang. Karena kegandrunganmu pada matematika dan komputer. Memang sebenarnya aku dulu kawin tidak karena cinta. Cintaku hanya untuk Atik. Dengan Barbara aku kawin demi karir. Untuk memberi kilat-kilat perputaran pada matematika dan komputerkomputerku. Sebab istriku adalah anak dari bossku dalam divisi Eksploitasi Pacific Oil Wells Coy. Dan anak perempuan itulah yang memberiku status dan kalangan berpengaruh, sampai aku yang berkulit sawo-matang ini naik anak tangga begitu tinggi dalam tempo begitu cepat. Tetapi perempuan punya radar dan alat-alat sensor elektronika juga, yang lebih peka dan lebih meradar panser jiwa daripada radar buatan manusia. Ia pasti lambat laun merasa, bahwa aku mengawininya hanya demi jabatan paling kunci, penguasaan divisi komputer perusahaan. Dan perempuan itu semakin acuh tak acuh. Dalam waktu satu tahun, dari kedua belah pihak sudah tidak ada lagi hubungan yang mewayangkan cinta sedikitpun. Aku yang paling bersalah. Aku masuk upacara perkawinan di gereja sudah tidak lagi dengan hati manusia yang sayang pada calon istriku, tetapi dengan hati aluminium, kobalt dan silikon pesawat elektronika yang dingin. Dan istriku malang menikah dengan suatu komputer robot tanpa jiwa. Lalu mati pula hati istriku, terbunuh oleh voltase kumparan-kumparan elektrikku. Terkena bisa ular Kobra lelakiku yang juga sering bengis mendongak tegak, waspada, dingin melihat mangsanya dan tiba-tiba secepat kilat menggigit. Lalu lemas terkulailah mangsa. Atau sebagai ular Kepala Dua yang menipu memperdaya halus. Sesudah istriku pergi, baik secara mental mau pun legal, hidupku sudah tanpa arti lagi. Ibuku sudah menyerahkan segala-galanya, tetapi anaknya hanya bisa mengambil dan mengambil segala-galanya. Mengingkari janji aku tak pernah, artinya dalam hal yang vital. Tetapi ini pun demi perhitungan-perhitungan kebahagiaan harga-diri egoistis. Lagi, tidak pernah memang aku serius mau berjanji secara mengikat. Dengan kata lain, tak pernah menyatakan kemanusiawianku, sanggup risiko demi pemekaran indah manusia lain. Mamiku meninggal sebagai orang yang macet komputemya, tetapi pada saat-saatnya yang terakhir ia mewariskan kepada sesama manusia suatu memori indah wajah yang tersenyum dengan kata-kata yang penuh hikmah pula: "Aku telah menyerahkan segala-galanya". Kalimat "Tetapi mereka mengingkari janji", pada hakekatnya -- dan tentang ini aku semakin sadar -- itu sebenarnya ditujukan kepada anaknya yang ia tinggalkan di bumi ini, sang doktor matematika, menejer divisi produksi Pacific Oil Wells Company, Setadewa. Begitulah maka sekarang sudah saatnya aku datang, sebagai manusia biasa, yang ingin mengadakan perhitungan dengan ular Kepala Dua yang hidup di bawah tanah hati nuraniku. lni berkat pengorbanan Mami. Buah hasil penderitaan dan doa ibuku. 131 Bukan karena Setadewa yang baik, melainkan karena kebaikan dan keperwiraan Kapitein Brajabasuki ayahku yang jauh lebih jaya daripada kekolongan jiwa liar pengeluyur kali tangsi Teto dalam diriku. Tidak, kali ini aku tidak mau taksi sedan luks. Selain panas dan menjengkelkan karena modelnya kuna, aku sekarang ke mari untuk keperluan lain. "Saya pesan jip, jip terbuka carikan." "Ini saja Tuan, ini mobil bagus, empik ada A-C nya." Memang-sinting pemuda-pemuda yang mengerumuni setiap penumpang dan memaksa-maksakan secara tidak sopan, taksi-taksi... taksi-taksi. Seolah-olah hidup kita tergantung pada taksi. Mengapa bukan: wanita cantik! wanita cantik, Tuan! Ini kan negeri penuh gadis cantik, mengapa malu menawarkan kecantikan gadis seperti menawarkan taksi! Dan tidak diam-diam munafik secara gelap dengan secarik kertas mengapa malu menawarkan kecantikan gadis, tetapi tak malu menawarkan taksi! Dan tidak diam-diam munafik secara gelap dengan secarik kertas bisu tuli di kamar hotel internasional. Pemuda-pemuda ini sungguh pengemis mentalnya. Mental persis sama dengan yang kujumpai juga pada meja-meja perundingan internasional di pihak kaum Selatan. Sampai kau malu punya kulit sawo matang ini. Aku anak kolong memang, anak kumpeni, betul bajingan KNIL, biar! Tetapi bukan pengemis dan kuli seperti mereka itu. Aku jengkel diikut-sertakan dalam suatu masyarakat yang mendidik pemuda-pemuda taksi ini menjadi kuli yang tidak tahu bagaimana caranya hidup merdeka dalam negara merdeka. Tetapi, ya sudahlah. Mereka miskin, aku kaya. Enak memang jengkel begitu bila kau kaya. Maklumlah, maafkan! "Tidak ada jip Tuan, ini saja, itu bagus, Tuan." "Saya tidak butuh taksi bagus. Saya butuh jip, tahu?" Ah, mereka toh hanya orang kecil saja yang selayaknya dikasihani. Mengapa merasa gusar? Akhirnya seorang Cina, (nah Cina lagi, kalau pribumi sih terlalu tolol) yang menjanjikan penyediaan jip carteran. Tetapi saya harus menunggu barang seperempat jam saja. Nah sudah hafal aku, artinya seperempat hari tentunya, pikirku sinis. Baiklah, saya minum kopi dulu. Satu-satunya yang baik di Indonesia hanyalah kopinya. Artinya di warung. Entah di restoran pelabuhan udara internasional yang kini diberi nama Adisucipto ini. Peragawati yang pamer kain batik dan berputar-putar seperti merak itu matanya bagus; hanya sayang telinganya terlalu lebar. Berkesan keledai. Tetapi payudaranya boleh lebih montok lagi sebetulnya. Tidak model Barat kerempeng begitu. Di alam tropika tidak ada yang kerempeng, semua montok. Kenapa mereka sekarang begitu? Ingin mirip dan meniru dan imitasi dan menjiplak Barat? Sungguh kuli dan babu bangsa ini. Dan lebih kuli lagi kau, Teto. Ya, itu benar. Sudah lama aku sadar, bahwa sikapku yang begini ini sebetulnya ekspresi maksimal dari kekulian bangsaku. Bangsaku? Bukankah kau Teto, kau selalu mengujar terhadap sang Ambasador, kau berkebangsaan multi-nasional? Aku tidak bohong. Mamiku Indo dan aku, aku bekas KNIL. Tanah-air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di mana tidak ada manusia menginjak manusia lain. Siapa dulu yang omong begitu? Lupa aku. Ah, si sersan mayor MP di kerkop itu. Memang aku tidak punya tanah-air, karena aku biasanya ikut dengan pihak penyerang. Dulu sebagai koboi Spoor, sekarang sebagai kacung Board of Directors lihay yang tahu, yang sungguh tahu bahwa model perhitungan komputer itu terselipi (atau diselipi?) kesalahan yang merugikan negeri ini dengan sekian milyar dolar per tahun. 132 Kami yang tak kenal dimensi kemanusiawian, yang dingin, berjiwa robot, apa lagi. Tetapi sayalah yang sekarang memegang kunci informasi rahasia pengurasan negeri ini. Benar, memang sudah kuduga, kopi restoran ini enak. Cukup memberi kafein sedikit untuk nanti. Aku harus segar. Ini bukan trip bisnis atau perjalanan ke resepsi perkawinan. Ini ziarah. Cina itu memang boleh dipuji. Betul seperempat jam. Dua puluh menit sebetulnya, tetapi saya hitung seperempat jam. Karena aku di Yogya, tidak di New York. ''Pelan-pelan, Bang Sopir. Saya punya waktu seperti lautan. Pelan-pelan. Saya harus menikmati semua." Jip khusus terbuka, haha seperti dalam jip militer sedang beroperasi. Nah, di selokan itulah saya merangkak. Di sana kukira ada gerilyawan. Peluru muntah. Peluru ketakutan sebenarnya. Setiap serdadu takut. Tidak ada yang "berani mati," kecuali para tukang bual di bar-bar atau di perjamuan nyonya-nyonya tolol yang kagum terpukau pada sang Lelaki jago kate. Saya hanya biasa, seperti Verbruggen, bandit. ''Di hotel mana, Tuan?" "Hotel? Aku tidak bilang hotel. Terus saja, jangan belok kalau belum saya komando." Hah, aku sudah mulai berkomando. Enak memang memberi komando. Seperti berkesempatan melampiaskan dendam, sebab yang mengkomando biasanya mendapat komando juga. Seolah komando yang tidak menyenangkan itu lekas-lekas harus kita teruskan kepada orang lain, seperti sebaris domino yang sama-sama jatuh, lalu merasa lega, bebas dari situasi dikomando. Sampai kaum sol sepatu yang paling bawah. Nah, di bawah sana komando-komando pada bertumpuk-undung. Dan untunglah, ya itulah kebodohan mereka, atau rahmat ketahanan mereka? Komando ditumpuk, digudangkan. Mereka bergumul dan tidur, mandi dan bersetubuh di tengah onggokanonggokan komando itu. Tidak ambil pusing seperti perempuan-perempuan dikali Bening itu yang tidak ambil pusing juga dengan air keruh berlumpur tai-tai itu. Kaum sol-sepatu di bawah tahu koeksistensi "damai" dengan bentakan-bentakan komando dari atas. Dan inilah kekuatan mereka sehingga bertahan dan masih tetap bisa hidup dan tertawa dan saling melawakkan lelucon lawak konyol tak ketolongan, tetapi yang tetap saja masih lucu. Di dalam jip terbuka itu aku menuju ke Krarnat Magelang untuk berziarah ke makam Mamiku di sana. Makam yang telah kupugar sepuluh tahun yang lalu ketika Soekarno masih berkuasa. Nah, ke makam Mamiku itulah acara pokok perjalanan peziarahanku sekarang ini. Sebelum clash terakhir meledak. Direktur tua rumah-sakit sudah diganti oleh yang lebih muda dan tiba-tiba aku merasa bahwa aku sendiri telah menginjak ke masa jam 14.00 siang menuju senja hidup. Kota Magelang yang dulu terkenal indahnya dan bersih, sekarang sudah penuh toko dan kios, kotor seperti sepantasnya kota-kota di negeri ini, yang kubenci sekaligus kucintai. Kali Manggis tetap masih berwarna manggis. Hanya sekarang lebih banyak lagi perempuan, laki-laki, anak-anak yang beroperasi di tepi-tepinya. Masuk Magelang seperti masuk sarang lebah, begitu banyak manusianya. Kendaraan bermotor sudah mulai membisingkan bunyi-bunyi imperial kerajaan ular adder. Tetapi satu yang bagus. Tidak ada orang yang kurus. 133 Anak-anak serba gemuk, menggelembung pipi-pipinya. Dan gadis-gadis lebih cantik daripada cah kampung jaman anak kolongku. Aneh, pohon-pohon kenari di daerah tangsi (sekarang Ksatriaan narnanya, hebat), masih saja tegak berdiri. Hanya lebih botak dari dulu, biasalah ciri masa tua. Selama kenari-kenari itu masih ada, tangsi kumpeni atau ksatrian kurasa tidak banyak bedanya. Rumah-rumah perwira dengan genting-gentingnya yang tebal-tebal bulat separuh seperti rumah-rumah Spanyol dan ltalia masih sama.. Ya, disini rumah letnan van Santen yang sangat pirang dan kami Juluki Buto Damen ¹⁾, itu rumah Kapitein du Bois dengan Istrinya yang gemuk seperti bedug mesjid alun-alun. Dan dua rumah lagi, ya, itulah rumah Loitenant kelak Kapitein Brajabasuki almarhum. “Catnya sudah diperbaharui, tetapi pohon bugenvil di muka garasi itu kok masih saja ada. Atau sudah diremajakan barangkali'? Pagar wora-wari aneh juga masih abadi setia menjadi saksi-saksi sejarah yang tenggelam, bersama pohon-pohon kenari di mukanya. Gentingnya seperti yang lain-lain serba ditumbuhi rumput, anggrekanggrek liar dan macam-macam lumut. Hanya rumah-rumah perwira serba sepi, entah penghuninya ke mana. Dulu selalulah penuh sinyo dan noni di muka pintu, di halarnan, di jalan. Sebuah tank dan dua panser menderu di seberang alun-alun latihan. Tank itu bukan model Shermann, bikinan Rusia barangkali. Ada sepasukan tentara nasional yang sedang berlari, kaos oblong putih tetapi lengkap berpantalon bersepatu. Lebih efisien pakai setiwel²⁾ model KNIL sebelum perang sebenarnya, dari segi efisiensi kesehatan. Setiwel-setiwel itu erat-erat mengikat daging otot betis dan begitu orang sanggup bertahan jalan jauh. Semua yang baru dan keliru ini pengaruh US Army. Semua tentara di seluruh dunia di luar daerah pengaruh komunis berpakaian seragam model USA. Praktis atau tidak praktis mereka begitu, multinasional. KNIL dan TNI sarna saja bentuknya, senjatanya, celananya, sepatunya. Punya pangkat apa aku seandainya dulu menggabung pada tentara nasional ini? Paling pol kolonel. Nasional? Di Eropa sudah tidak ada tentara nasional. Di Amerika Latin juga tidak ada lagi, hanya namanya saja. Sekarang aku menejer. Mayjen cukup? Gajiku besar dan lebih kuasa daripada marsekal. Tetapi sebentar lagi habislah riwayatku. Di hadapan nisan Mami, dan sekaligus secara simbolis di hadapan nisan Papiku juga, (sampai sekarang tidak jelas dan tidak pernah akan kuketahui, di mana letak istirahat akhir Papiku) aku tadi telah bersumpah pada Mami dan Papi, bahwa aku akan berbuat sesuatu, yang akan menjadi kebanggaan orang-tuaku, seandainya mereka masih hidup. Terutama kepada Papi akan kutunjukkan bahwa aku tidak tergolong "mereka yang mengingkari janji". Ya, aku akan tetap tersenyum. Dan barulah bila semua itu sudah terjadi, aku akan sanggup berhadapan dengan Atik. Mata lawan mata. Hati lawan hati. Sebagai ksatria yang tidak kalah. Biar aku anak kolong, anak ruang di bawah ranjang! Dalam arti yang baru yang lebih pahit. Tetapi dengan kebanggaan. Anak kolong dan kaum ksatria hanya hidup dari kebanggaan. Bukan dari uang, tetapi karena telah berbuat berani. ¹⁾ Raksasa jerami. ²⁾ Pembalut kaki dari tumit sampai lutut. 134 Mempertaruhkan nyawa demi sumpah, demi sasaran yang sulit dicapai, demi tujuan yang melegakan orang banyak. Akan kubuktikan, bahwa darah perwira masih mengalir di dalam urat-uratku, dan bahwa keindoan Mamiku adalah infusi darah baru bagi bangsa Inlander yang mengalami situasi serba baru sesudah revolusi politik dan revolusi bersenjata dulu itu. “Kau tahu desa Juranggede? Kata orang di daerah lereng Merapi sana. Kau kan juga berasal dari Merapi?" "Saya berasal dari daerah Grojogan, Bapak. Tetapi ada tiga Juranggede, Bapak. Yang satu di dekat cekdam yang baru dibangun pemerintah itu. Ada lagi yang, yah begitulah Bapak, tempat sarang bajingan-bajingan, dan ada lagi di daerah ke arah Kopeng di sini." Kulihat sopir di sebelahku, belum sangat tua. "Kau paham sekali daerah lereng Merapi?" "Menurut istilah sekarang, saya sudah laku untuk jadi gaid, Bapak. Saya kenal segala lekuk lorong daerah." Dan kedengaran bangga ia menambahkan gerilya. Tetapi dulu saya jadi kurir, itu lho Pak, yang disuruh membawa surat-surat kode rahasia dari markas ke markas. Berbahaya itu lho, Bapak!" "Umur berapa kau sekarang?" ''Barangkali ... ya barangkali berapa ... ya ketika kles kedua itu saya baru kelas enam. Tetapi abang saya ikut lasykar, dan saya ikut juga. Tetapi tanpa bedil, Bapak." Dan sopir itu tertawa kecil. "Tidak masuk TNI?" "Ah tidak laku. Kerempeng begini, Bapak. Disuruh lari-Iari begitu, capek. Lebih suka jadi sopir begini. Enak. Tapi saya sudah montir, Pak. lkut Cina saja lebih enak. Bapak tinggal di mana?" "Saya dulu tinggal di sini. Tetapi ketika masih anak. Jarnan Belanda." "Oooh ... Belanda itu kaya ya, Bapak." "Ya, ada yang kaya, ada yang biasa. Di sini juga begitu, kan." ''Ya, sayang begitu, Bapak. Tetapi orang harus belajar nerimo, Pak. Maaf, Bapak, saya dari tadi ingin tanya, mengapa kok Bapak tadi ekstra minta jip terbuka? Mau lihat pemandangan? Jangan-jangan nanti masuk angin." ''Ya ... ya begitulah." "Sekarang ke mana?" "Ke Juranggede." ''Ya, yang mana?" "Saya hanya diberi tahu, dulu pernah jadi markas dan dapur umum gerilya." "00, kalau begitu saya tahu." Dan sopir itu tertawa lagi. ''Tentunya kan ridak ke Juranggede yang jadi sarang perampok itu. "Masih banyak perarnpok?" "Uah, sarna saja. Ada gula ada semut. Ada paya ada buaya. (Sopirnya tertawa lagi) Bapak suka melihat sarang perarnpok? Hanya lewat saja. Tidak usah apa-apa. Aman. Bapak turis dari mana? Menado? Atau Medan?" "Saya …? Dari Jakarta saja. "Oh, kalau begitu dulu pernah gerilya di daerah sini dan Bapak ingin mengunjungi kenangan-kenangan lama?" ''Ya ... begitulah." "Kalau begitu maaf, Bapak tentunya paling sedikit sudah brigjen ?" "000, lebih tinggi lagi." "0 ya?" (ia mengangguk-angguk kagum) “Juranggede, Bapak?" 135 ''Ya, mumpung masih belum sangat siang." “juranggede yang sarang perampok atau markas-gerilya?" ''Yang gerilya saja dulu. Jipnya masih kuat ke sana?" "Oh, beres, Bapak. Tua, tapi masih suka kerja ... Juranggede ... Juranggede, saya masih punya paman di sana. Ya, sudah jauhlah, tetapi ia masih kemenakan dari ibu saya. Kalau begitu saya juga untung, Pak, boleh nanti menengok, sebentar saja?" "Boleh. Tetapi sekarang pertanyaan penting. ltu warung-warung tahu goreng di dekat penjara itu masih ada?" "Oh itu? Tidak hanya satu, Bapak, banyak." "Masih enak?" "Uah, itu segala turis domestik lari ke situ." "Kalau begitu kita juga lari ke sana dulu." 136 17. Gunung Rawan Gadis itu menunduk hormat malu-malu dan menggantungkan pelita bekas gelas selai pada balok belandar emperan muka. Lalu diam tanpa suara seperti anak macan tutul (kebayanya bukan kebaya tetapi baju pasukan payung USA), pergi sambil sekali lagi menunduk hormat. Ada sesuatu dalam gadis itu yang mengingatkan aku pada Atik. Entah apa. Ada baiknya jipku tadi macet. Bukan mesinnya yang menyebabkan aku terpaksa harus menginap di tempat Pak Dukuh¹⁾ ini, tetapi normal tolol sekali, karena bensinnya habis. Salah perkiraan, kata sopir. Atau memang mesinnya sudah begitu boros dan tadi hampir selalu hams porseneling dua? Pokoknya tidak bisa terns. Baiklah, semua hams dialami. Aku tadi hanya bohong sedikit pada Pak Dukuh, mengaku masih kemenakan dari bapak yang dulu tertembak pesawat pemburu Belanda di jalan Selatan sana dan yang dikubur di pemakaman tengah sawah itu. Dengan segala keramahan pribumi asli aku diberi kamar tengah yang paling bagus, yang sebenarnya hanya dipakai untuk mempelai baru. Selalu dan di mana pun seolaholah orang-orang ingin menyindir kegagalan perkawinanku. Lama Pak Dukuh dan aku saling tukar pikiran tentang masa lalu. Dari percakapan ramah itu aku menarik kesimpulan, bahwa untuk penduduk di pedalaman sangat tepatlah bila diterapkan kata-kata Mamiku (ataukah kata-kata Wahyu dari Atas:) "Segala telah kuserahkan. Tetapi mereka mengingkari janji." Tentu saja aku tidak mengaku bekas KNIL. Hanya: "Dulu saya tidak mengalami sendiri. Ketika Revolusi Merdeka dulu, saya masih di luar negeri." Kan bukan bohong perumusan diplomatis "Luar Negeri" itu. Pak Dukuh bercerita banyak tentang peristiwa masa lampau. Tentang Ibu Antana dengan puterinya yang cantik Den Ajeng Larasati. Sungguh tidak terbayang semuda itu ternyata sudah tergolong orang-orang gede yang sering bicara-bicara dikelomasi²⁾ dengan orang-orang pinternasional³⁾ Bagaimana keadaan Den Ajeng Larasati sekarang? Dan ibunya? Setiap tahun pada waktu nyadran sebelum bulan Puasa mereka selalu datang membersihkan makam Pak Antana dan berdoa. Ya, naik mobil. Tetapi hanya sampai di jembatan bawah, yang ketika itu masih rnsak. Dan bawa oleh-oleh. Pak Dukuh mendapat jam-tangan, sekarang dipakai anaknya yang bekerja di kota. Bu Dukuh mendapat kain baru. Bisa dipakai kalau ada pesta nikah. Dan genduknya, yaitu tadi yang menyalakan pelita di emperan, mendapat gelang. Bahkan Si Gombloh, pembantu yang setengah sinting itu pun diberi celana. Memang jaman resah-rnsuh, "jaman merdeka" dulu itu. Tetapi bicara tentang keresahan, soalnya masih sama. Di sekitar Merapi-Merbabu soal bandit dan perampok belum pernah beres. "Sejak jaman Belanda, Pak". Dan Pak Dukuh tersenyum di bawah kumisnya yang hitam lebat. Sambil menyalakan rokok tembakau Kedu yang maha ampeg ia bercerita dengan nada bawah yang sedikit bangga: Dulu nenek saya juga benggol bajingan, Pak. Hehehe ...(Ia tertawa kecil). ¹⁾ Bagian dari kelurahan. ²⁾ Dari kara diplomasi. ³⁾ Dari kata inremasional. 137 Lalu dijadikan lurah oleh Belanda. ltu konon menurut kata para tetua. Belanda yang membantu “sumsidi” ¹⁾ uang semir "pemilu"ya begitulah istilahnya sekarang Pak, sampai nenek saya dipilih jadi lurah. Sejak itu, semua aman. Belum lama ini juga begitu, Pak, desa Rongwatu sana tidak pernah aman. Entah padi yang sudah kuning, kerbau atau sering cuma pakaian dan transistor, pokoknya kembali jaman baheula. Lalu Pak Keamanan yang sekarang ini, dia kampanye: Kalau saya yang dipilih, tanggung perkutut-perkutut akan damai memanggung dan seluruh desa akan aman tenteram. Tetapi kalau dia tidak dipilih, ia memperingatkan, segala malapetaka akan berlipatganda. Nah, dia dipilih. Sejak itu, aman." Tersenyum ia mempersilakan teh pahit bergula banyak. ''Ya begitulah, selalu ada-ada saja daerah ini. Kemarin malam ada perkara lagi. Kerbau Pak Sanusi dicuri. Sebulan yang lalu kerbau Pak Mertobelong. Pasti ini nanti ada ekornya." Gadis macan-tutul tadi hormat penuh sopan-santun elegan, memberitahu, sudilah Bapak Tamu dan ayahnya makan apa seadanya. Makanan masakan desa sangat lezat bagiku. Barangkali karena aku sedang senang di hati. Atau karena gadis macan-tutul tadi mirip Atik? Pokoknya aku makan banyak. Sebagai tanda kebesaran, seharusnya kutinggalkan sisa sedikit dalam piringku, seperti yang dikerjakan juga oleh Pak Dukuh (tanda: bagiku makan bukan soal), tetapi aku toh lebih memilih jujur dan piring bersihlah mengkilat. Seperti anjing, kata ayahku dulu. Sesuai dengan pendidikan Mami yang selalu berkata: "Segala makanan harus habis. Meninggalkan sisa berarti kau sombong. Anugerah Tuhan tidak boleh dibuang sia -sia." Nah, apa saja dapat ditafsir macam-macam. Sisa Pak Dukuh tidak dibuang sia-sia, pasti diberikan kepada ayam, atau anjing. Anjing menjaga rumah di malam hari dan daging ayam kelak kita makan kembali. Duduk di emperan dengan hanya ditemani suara jengkerik-jengkerik dan kadangkadang burung-burung uhu atau jampuk atau celepuk, memberi rasa damai padaku, entahlah. Tetapi setelah kuperhatikan, toh lain juga dari di jaman kanak-kanakku. Hanya suara jengkerik. yang masih sama. Tetapi suara-suara burung hantu di kegelapan sekarang sudah jarang. Akibat kebudayaan DDT dan endrin rupa-rupanya. Di masa KNIL dulu aku sering mendapat giliran ikut kontrol di pos Gemawang, pos terdepan garis-demarkasi Pingit antara Ambarawa dan Secang. Markas pertahanan kami ditempatkan dalam rumah bekas pabrik. kopi. Burung-burung hantu kala itu masih cukup kerap menguhu. Bunyi seperti maut "kebluk-keblukkebluk," yang ditakuti anak-anak desa, tetapi juga orang-orang tua, masih kudengar setiap malam. "ltu gerilyawan datang," kata sinyo-sinyo Belanda totok, hahaha ... Sesudah jelas KNIL harus mundur dan dilikwidasi, aku masih sering teringat pada "burung-burung gerilyawan" uhu dan kebluk dan celepuk dan jampuk itu. Nama-nama yang tidak sedap! Memang pekiknya sungguh bukan pekik yang membawa warta gembira. Dan jika pada siang hari burung-burung lain kebetulan menemukan kebluk atau celepuk sedang tidur, maka segera kawan-kawan burung lain berdatangan dan bersama-sarna mereka mencaci-maki kebluk dan celepuk tadi habis-habisan, sehingga kebluk tadi seolah-olah malu dan menyeringai kebingungan seperti nenek senewen. Tetapi uhuuhu tetap tidak pernah bertobat dan terus saja berbuat sekehendaknya, berburu kadal, tikus, serangga. Seperti sinyo-sinyo itu kalau sudah dewasa. ¹⁾ Dari kata subsidi. 138 Aneh, mengapa orang-orang Barat memilih burung uhu sebagai lambang kepandaian. Apakah orang pandai suka berburu di dalam kegelapan? Sehingga orang Jawa mempunyai sinonim untuk kata menipu, yakni minteri, dari kata pintar? Para penyusun model komputer kongsiku, yang tanpa diketahul merugikan negeri ini dengan sekian milyar dolar setiap tahun, adalah kebluk-kebluk maut juga, karena pandai membuat model perhitungan dan rumus-rumus rumit yang lihay menipu. Dari kejauhan terdengar kokok jago yang terburu bangun. Tadi siang kudengar juga kokok ayam hutan. Menurut kata Papiku yang ahli bekisar, ayam hutan sudah menghuni pulau vulkan ini jauh sebelum manusia pertama datang di sini. Aku ingat dulu Papi membawa seekor ayam hutan berekor garpu yang indah sekali, hijau dengan garis-garis datar miring pada kepala dan lehernya. Mirip hakim-hakim negaranegara kesemakmuran Britania. Jambul ungu jingga dan kulit janggut melambai merah. Interesan sebetulnya, kaum jantan di alam raya ini suka bersolek diri, sedangkan yang betina hanya sederhana saja. Persis perempuan-perempuan Jawa di masa kanak-kanakku. Mereka berkebaya hitam atau lurik coklat-hitam, seperti gagakgagak saja, sederhana dengan potongan tanpa pretensi. Tetapi wahai, lihatlah para ksatria keraton, apa lagi di Yogyakarta dengan surjan¹⁾ warna-warni dan blangkon²⁾ kepala yang manja. Semakin mendekati alam, semakin perempuan disuruh sederhana dan si lelaki memamerkan keelokkan fisik. Merak, itulah contohnya para ningrat Jawa. Maka benar-benar dapat dimengerti mengapa Papiku dulu dan ibu si Atik tidak begitu suka hidup di antara tembok-tembok keraton. Dari pihak lain, seperti yang kurasakan, sungguh sering merana, hidup dalam alam penghayatan lain dari yang dialami saudara-saudari sebangsa. Apakah aku sudah keterlaluan menjauhkan diri dari bangsaku? Apakah alasanku benar alasan jujur ataukah dalih menjauhkan diri dari bangsa yang masih hidup di dalam alam masa agraria kuna ini? Yang masih primitif mendekati flora dan fauna rimba belantara? Itulah penderitaan jiwaku. Ada lima orang mendekat. ''Kula nuwun³⁾." Kujawab hormat. Mereka minta maaf, memperkenalkan diri dan masuk setelah dipersilakan Pak Dukuh. Sesudah basa-basi macam-macam, Pak Dukuh menerangkan, mengapa mereka dipanggil, yakni "soal yang tentulah saudara-saudara sudah maklum, soal kerbau yang dicuri kemarin malam." Jelasnya, menurut peraturan baru dari kelurahan, siapa yang kehilangan kerbau atau ternak apa pun, dia harus didenda. Aku terperanjat di lincak luar. Didenda? Mana bisa? Orang yang kehilangan bahkan didenda? Gila! Itu kan terbalik! Ya, orang-orang itu sudah maklum. Dan mereka akan taat kepada peraturan pemerintah. Akan tetapi apa tidak mungkin ada kebijaksanaan ... artinya kemurahan atau perkecualian? Tidak mungkin! 1ni bukan lagi jaman liberal seperti dulu. Semua harus berdisiplin parsitisapi⁴⁾ pembangunan. ¹⁾ Baju model Yogya tradisional. ²⁾ lkat kepala Jawa Tengah. ³⁾ Sepada. ⁴⁾ Kata lawakan dari partisipasi; siti = tanah sapi = binatang. 139 Suara agak serak (barangkali dari pemilik kerbau) memohon belaskasihan karena memang dia tidak punya uang. Yang lain-lainnya juga ikut memohon kemurahan kepada Pak Dukuh. Pak Dukuh berkata, memang dia sebagai kawan sedesa sungguh ingin menolong mereka, tetapi bagaimana lagi, ia pun hanya orang kecil dan hanya mendapat enterupsi¹⁾ seperti apa adanya. Memang, dia paham sekali dan menghayati kesedihan mereka, akan tetapi dengan sangat menyesal dia hanya dapat berkata, apa yang wajib ia katakan. Soalnya, ini sudah keputusan sidang Dewan Kelurahan lengkap dengan LSD segala. Jadi resmi. Bahkan konon Pak Camat juga sudah membubuhkan tandatangannya dan cap. Lagi pula Pak Koramil pun juga hadir dalam rapat itu. Mereka diam. Pak Dukuh lalu mempersilakan mereka minum teh dan nyamikan ala kadarnya, yang rupa-rupanya dihidangkan oleh Bu Dukuh sendiri. Sebab, terdengar ada suara wanita yang menanyakan, bagaimana keadaan istri mereka, dan bahwa Bu Dukuh berterimakasih atas punjungan²⁾ Mbok Sanusi, yang kehilangan kerbaunya tadi, berupa ayam goreng. Bahwa itu tidak perlu sebetulnya, dan maaf mohon tanya, apa gerangan ujubnya³⁾. Oh, minta doa, karena anaknya mau melamar di pabrik kertas di Blabak, semoga diterima. Wanita itu memberi jaminan, pasti anaknya akan diterima. Tetapi memang jaman sekarang sulit mencari pekerjaan, dan sering itu sebagai lotre saja. Semakin banyak beli karcis lotre, kemungkinan diterima juga banyak. Ayah anak itu, alias yang kehilangan kerbau tadi, hanya mengucap terimakasih dan dimohon, kalau Bu Dukuh lewat, sudilah singgah di rumahnya. Wanita itu mengatakan: "Ya, nanti, coba kalau kebetulan lewat." Pak Dukuh sekali lagi mempersilakan tamunya minum, dan ia mulai bercerita tentang jumlah wisatawan yang semakin banyak mengunjungi jurang dekat desanya. Ia mulai melawak bahwa gunung berapi jaman sekarang sudah jadi semacam Sekaten⁴⁾ model baru. Pasti sebentar lagi Simbah Petruk rindu kepada kekasihnya Nyai Loro Kidul. Dan bila nanti ia memuntahkan lahar lelakinya, nah, pasti banyak wisatawan akan datang melihat Gunung Merapi meletus. Ada seorang dengan suara macan tua berkata, bahwa mudah-mudahan bila meletus, tepat pada hari Lebaran, sehingga ia tak memerlukan lagi membelikan mercon untuk anak-anaknya yang rewel. Tentulah itu menimbulkan reaksi protes oleh kelima orang lainnya. Tetapi akhirnya semua sepakat, bahwa memang anak-anak sekarang sulit dan rewel minta ini minta itu yang tidak perlu. Tetapi Pak Dukuh mengatakan, bahwa memang itu merepotkan, tetapi bagaimana lagi, itu sudah konsekuensi jaman pembangunan. Tiba-tiba suara serak yang kehilangan kerbau tadi memohon, apa memang betul tidak ada jalan keluar agar ia diberi kemurahan. Akhirnya sesudah melingkar-lingkar Pak Dukuh berjanji, masalah ini akan ia ajukan ke pihak kelurahan.Terserah beliau nanti bagaimana, kebijaksanaan mana yang perlu diambil. ¹⁾ Pengucapan salah dari kata yang seharusnya instruksi. ²⁾ Pemberian hadiah berupa makanan kepada tetangga sehubungan dengan sesuatu peristiwa.. ³⁾ Maksud, motivasi permohonan. ⁴⁾ Perayaan Gerebeg Maulud di Yogya. 140 Sekali lagi Pak Dukuh menegaskan, bahwa semua itu bukan bermaksud menambah kesedihan seorang kawan sedesa yang dirundung malang kerbaunya hilang, tetapi hanya dan melulu demi ketaatan kepada pemerintah. Sebab menurut pemerintah, sudah terlalu banyak kerbau dan kambing hilang. Maka perlu diadakan tindakan untuk menanggulangi peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan itu, yang memberi kesan, seolah-olah negara kita ini liberal dan hanya penuh kekacauan saja. Maka perlulah semua itu ditertibkan, dan setiap orang harus ikut bertanggung-jawab. Maka siapa yang kecurian ternak apa lagi kerbau yang begitu mahalnya, harus sanggup membuktikan diri mampu menjaga hak milik masing-masing secara warganegara yang bertanggung-jawab. Jika toh terjadi ada yang kehilangan kerbau dan sebagainya, jelaslah ia kurang waspada dan lalai dalam tugasnva terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Maka ia harus didenda. Itu bukan hukuman atau keputusan hakim, tetapi hanya peripentip¹⁾, artinya sedia payung sebelum hujan, agar semua berjalan tertib dan tidak menimbulkan keresahan yang tidak perlu. Kelima orang itu mengucapkan terimakasih atas segala kebaikan Pak Dukuh dan dengan penuh hormat dan sedikit lega mereka mohon diri. Mereka memberi hormat kepada tamu Pak Dukuh yang masih duduk sendirian di lincak emperan. Sekali lagi mereka minta maaf bila mengganggu Pak Dukuh dan mulailah batere-batere menyala menembus kegelapan. Pak Dukuh minta permisi pergi sebentar untuk memeriksa aliran air di selokan ke sawahnya, serta mengucapkan selamat malam kepadaku. Dan sendirianlah sang peziarah Setadewa. Tiba-tiba dari antara dedaunan pepohonan kulihat lidah api menyala. Apa itu? pikirku. Komet? Iintang beralih? Akhimya aku tahu. Ah, itukah yang sering diberitakan di koran-koran akhir-akhir ini: lidah lahar yang keluar dari kawah Merapi? Setiap sepuluh tahun sekali paling sedikit dan teratur, Gunung Merapi meletus. Ini tahun 1968. Jadi sudah saatnya, di sekitar pergantian dasa-warsa "ditunggu" letusan. Lama aku memandang kepada semburansemburan lidah api yang meleleh ke bawah itu. Elok, ya, indah. Banyak yang kejam keji tampak indah dari kejauhan. ¹⁾ Dari kata preventif 141 18. Aula Hikmah Mengapa mereka membangun kompleks universitas dengan arsitektur begitu Jelek di tengah alam dan masyarakat yang begitu cantik? Aku sudah mulai belajar sumarah seperti Mami, tetapi darah Untung Surapati dalam Papiku masih memberang terus. Negeri ini sudah kehilangan kepribadiannya, atau apa istilahnya tadi dalam kartu undangan? "Jatidiri dan bahasa citra". Ya, kesejatian diri sudah hilang dari masyarakat sini, yang terlalu lama dan terlalu bertubi-tubi diserang desintegrasi politik, ekonomi maupun kebudayaan. Di mana-mana arsitektur selalu menjadi detektor yang tidak bohong, merekam dan mensinyalkan keadaan diri suatu bangsa. Begitu gado-gado dan simpang-siur perwatakan gedung-gedung itu, minta ampun. (JIKALAU ada wataknya). Karakter,itulah yang digemblengkan Papi padaku. Citra, ltulah yang dianugerahkan padaku oleh Mami dan oleh ... Atik. Pagi itu, aku dari hotel (bukan hotel, tetapi kamar yang berkat kedermawanan seorang tumenggung Keraton boleh kusewa) menuju ke kampus universitas yang paling termasyhur di negeri ini dan kata orang menjadi simbol dari kepribadian bangsa Indonesia. Aku kecewa memang terhadap ekspresi kepribadian itu, tetapi sekali lagi, aku sudah belajar sumarah dan tidak terlalu memberang bila ada yang kurang menyenangkan dalam negeri ini. Pagi itu Nyonya Janakatamsi, Kepala Direktorat Pelestarian Alam akan mempertahankan tesisnya untuk meraih gelar doktor biologi di hadapan Senat lengkap beserta undangan. Aku bukan undangan, karena sampai sekarang aku belum pernah (berani) berhubungan lagi dengan Atik, alias Nyonya Larasati Janakatamsi, isteri Dekan Fakultas Geologi salah satu universitas swasta di Jakarta dan Kepala Laboratorium Maritim Angkatan Laut. Tetapi kartu undangan dapat kuraih, karena salah seorang perwakilan Ford Foundation yang kukenal dan diundang, pada hari itu masih turne di Ujungpandang. Dari pimpinan protokol kemarin aku mendapat kepastian, bahwa untuk upacara itu aku boleh-boleh saja berbaju batik, sebab itu sudah dianggap pakaian resmi dan rapi. Bagus, inilah satu-satunya yang kuingini, berpakaian tidak kaku, kalau aku berjumpa dengan Atik nanti. Sebab pastilah aku akan berjumpa dengannya. Salah satu copy dari penelitianku tentang kecurangan komputer yang gawat itu telah kutitipkan dalam almari biro seorang kenalan pastor yang dapat kupercaya. Segala informasi mengenai pribadi suami Atik telah kudapatkan dan dia ruparupanya akan dapat kuharapkan menjadi matarantai yang ideal untuk pelaksanaan keputusan yang telah kusumpahkan di hadapan nisan Mami dan Papi. Sebetulnya motivasi persoalan rahasia komputer semacam itu kurang pada tempatnya, dan aku tak henti-henti menenteramkan hati-nurani, bahwa motivasi pertama bukanlah masalah kalkulasi komputer, melainkan memang sudah saatnyalah aku berhadapan muka, mata lawan mata dengan kekasihku. 142 Ya, ia sudah kawin dengan orang lain, tetapi dalam hati ia tetap kekasihku. Betapa pun bejat atau gagal seseorang, ia berhak mempunyai pujaan hati. Dan pujaan hati jangan selalu dihubungkan dengan seks. Aku tahu, itu maha penting, seks, tetapi aku tahu juga dalam pengeterapannya terhadap Atik, seks jatuh pada nomor tiga atau empat. Bukan, motivasi utama: aku mendatangi upacara penggelaran doktor kepada sahabatku Atik, dan itu benar-benar datang dari jiwa yang tulus dan bangga atas keberhasilannya. Atik selalu berhasil. Entah, memang sering ada manusia yang selalu berhasil dan ada yang selalu gagal. Petani mengatakan ada yang "dingin tangannya", sehingga semua tumbuh subur kalau dia yang menanam. Tetapi ada yang "panas tangannya". Apa saja yang ia tanam, selalu sial tidak tumbuh subur. Selain bertangan dingin, Atik punya kecantikan yang khas, yang tidak menyala seperti glamour perempuan-perempuan dalam resepsi-resepsi, tetapi bagaikan kunang, yang bercahaya tanpa panas. Tanpa suara dan tanpa pretensi, tetapi sangat menarik, khususnya untuk orang-orang jago kelahi seperti aku ini. Aku memilih kursi baris kedua di sayap sebelah kiri. Di sana tidak silau menatap sinar matahati pagi, dan aku ingin melihat Atik dalam profil. Ia dulu indah kalau dipandang dari samping (kata orang test terbesar ialah pandangan dari profil) dan itu pula satu-satunya sudut pandangan yang paling jelas dapat dinikmati penonton dalam penataan kursi berbentuk tapal-kuda. Bukan, aku bukan penonton. Aku salah seorang mahasiswa, atau lebih tepat sang pencari. Belajar dari ajaran Sang Waktu. Tidak ada seorang pun yang kukenal dalam Aula Agung ini. Itu baik dan memang wajar. Bagaimana pun aku masih tetap orang asing. Atau yang mengasingkan diri. Atau lebih tepat: yang senang mencari di dalam wilayah-wilayah yang tidak dilalui gerombolan. Yang berkelahi di luar pagar aman. Aku tidak meremehkan para hadirinhadirat yang berwarna-warni kebaya mau pun berdasi itu. Cuma aku lain. Heh? Hanya aku sendirian yang pakai baju batik? Lain-lainnya serba berbusana distinguished class, gabardine, wool jas model mutakhir dan dasi Cardin, Yves St. Laurent atau Hongkong biasa. Rupa-rupanya aku yang paling nasionalis. Hahaha, ex KNIL yang nasionalis. Jruet! Jruet! Jruet! Sang Seremonarius, penata upacara muncul di pintu utama, bertoga hitam dan bertopi ilmiah segi lima berkucir beserta tongkat-panjang berpucuk lambang kuningan (belum di-brasso) yang kecoklat-coklatan hijau. Lambang itulah yang tadi berbunyi, dipukul-pukulkan ke lantai: jruet! jruet! jruet! Seperti kaleng tukang pijat. Semua hadirin-hadirat serentak berdiri. Tiada suara tiada musik; iklim tembaga, aluminium, selenium dan silikon. Para profesor masuk melangkah serius, didahului rektor yang pendek gemuk berkacamata burung uhu. Ada dari dewa-dewa itu yang tersenyum mengangguk pada seorang kenalan. Ada yang berwajah tank panser Centurion. Ada yang rupa-rupanya ogah-ogahan, acuh tak acuh, lagaknya lebih suka di laboratorium menyuntiki kelinci-kelinci dan tikus putih daripada harus ikut liturgi yang seram ini. 143 Barangkali itu profesor matematika yang mengedipkan mata pada seorang gadis yang tersenyum malu Jawa. Aneh, pada saat aku seharusnya berdebar-debar menghadapi saat melihat Atik lagi, aku sekarang bahkan tenang. Hatiku sudah jadi silikon komputer juga, kataku dalam hati berkelakar. Ah, itulah Sang Pujaan. Nah, tersenyum, merasa sip dia, walaupun telah satu tahun melampaui umur 40 tahun; dengan karir yang begitu pesat, citra yang tersenyum dikulum itu seolah-olah masih dalam usia 30-an. Suaminya lebih pendek dari Atik. Rupa-rupanya orang yang tenang dan baik hati, walaupun wajahnya tampak serius. Ia menggandeng istrinya dengan langkah-langkah yang penuh perhatian kepada istrinya, dan sekali, entah suatu kotoran apa yang kebetulan menodai lengan kebaya istrinya diselentik bersih. Atik sendiri revolusioner sekali, berkebaya lurik coklat-hitam, seperti simbok Pasar Beringharjo, tetapi yang justru mencahayakan kulitnya yang putih langsep. Tipikal untuk dia! Selendang juga seperti simbok-simbok di kaki lima. Sanggulnya alhamdulillah tidak ekstrim mirip simbok-simbok, tetapi juga tidak bermodel nyonya metropol masa kini. Pada kursi baris termuka Tuan Janakatamsi melepaskan istrinya, saling berpandangan dengan senyum dan mengangguk. Dua dayang-dayang, yang satu berpakaian ala Sunda sedangkan yang lalnnya gaya anggun Sala tetapi modern luwes, mendampingi Sang Doktoranda. Seonggok komposisi bunga anggrek putih yang menyerupai sekawanan kupu-kupu diserahkan Atik kepada dayang-dayang ltu. Bergelegarlah suara seremonarius mewartakan tujuan sidang istimewa ini, lalu menyerahkan acara kepada Bapak Rektor. Tubuh kekar pendek berkaca-mata ilmiah itu berdiri, dan mengucapkan selamatdatang, pertama kepada rekan-rekan profesor dan para tamu. Kepada alamat doktoranda ucapan disertai humor halus terselubung, sepadan dengan jabatannya, namun jelas, memuji kecantikan promovenda. Sebab justru di dalam lambang kebaya lurik hitam rakyat jelata itu semoga wartaharapan universitas .yang didirikan di tengah keprihatinan perjuangan revolusi kala itu, se1alu terkabul; yakni warta tentang pengabdian kepada manusia-manusia sebangsa yang paling dilupakan. Dan khususnya bagi generasi muda semogalah itu merupakan peringatan, bahwa ilmu dan mengabdi kepada rakyat bukanlah dua perkara yang sepantasnya dipisah-pisahkan. “Selamat datang kepada semua hadirin-hadirat yang mulia, dari jurusan mana pun, sebab tesis yang harus dipertahankan doktoranda ini menyangkut kita semua juga. Judul disertasi yang diajukan oleh Dra. Larasati Janakatamsi sungguh sejalan dengan jabatan doktoranda selaku Kepala Direktorat Pelestarian Alam, yakni 'Jatidiri dan bahasa citra dalam struktur komunikasi varietas burung Ploceus Manyar. ¹⁾ Seorang profesor di samping Rektor bertepuk-tangan, yang disusul oleh spontanitas tepuktangan hadirin-hadirat. Termasuk aku juga. ¹⁾ Burung manyar. 144 Rektor mempersilakan promotor sebagai pembicara pertama. Profesor itu tipe orang Aceh, sudah tua dan dengan suara perlahan-lahan mulai dengan memperkenalkan promovenda selaku wanita pejuangan, yang sejak Proklamasi selaku gadis berumur 17 tahun sudah berbakti dalam pergulatan diplomasi menghadapi dunia internasional demi kemenangan bangsanya. Walaupun hanya seorang sekretaris sangat muda di bawah bayangan para garuda dan elang diplomatdiplomat tinggi yang rata-rata masih muda juga ketika itu, Doktoranda Larasati Janakatamsi dikarunai jiwa yang arif untuk gadis sehijau kala itu." Kearifan itu lebih tampak dalam karya yang dipilihnya, sesudah perjuangan militer maupun diplomasi bangsa kita mencapai kejayaan, yakni spesialisasi dalam suatu bidang, yang pada waktu itu dan pada saat sidang yang mulia ini berjalan, baru satu dua yang memikirkannya, yaitu kualitas hidup, kualitas lingkungan bagi generasi yang akan datang. Dan walaupun sudah menjadi seorang ibu berputera tiga orang, namun promovenda masih mampu menata waktunya untuk berbakti dalam dunia ilmu pengetahuan. Sebab, menurut Doktoranda Larasati Janakatamsi, ilmu-pengetahuan dan kebahagiaan rumahtangga bukanlah dua dunia yang terpisah. "Oleh karena itu, saya beserta rekan-rekan ko-promotores, dan saya yakin para rekan penyanggah juga beserta hadirin-hadirat yang arif bijaksana, pastilah kita merasa mendapat kehormatan untuk menyertai Saudari Larasati Janakatamsi dalam sidang ilmuwan ini". Sesudah diam sebentar, dengan anggukan anggun, promotor menghadap ke arah tokoh sidang: "Saudari Promovenda, Anda telah meneliti masalah-masalah aktivitas kelenjar-kelenjar prothorax dan otak burung-burung keluarga Fringilliadae dan Ploceidae. Khususnya Ploceus Manyar alias burung-burung manyar, pencuri-pencuri padi itu, yang pandai membuat sarang berbentuk perut dan berpipa ke bawah. Terutama Anda telah membuat analisa bagus tentang seluk-beluk hormon-hormon juvenile atau dengan istilah kita, hormon-hormon peremajaan keluarga Ploceus dalam hubungannya dengan perilaku burung-burung manyar tersebut, bila mereka sedang menginjak masa birahi dan perkawinan. Tentulah saudari meneliti semua itu tidak lepas dari perspektip relevansi kenyataan, bahwa kita manusia pun, saya kira semua di dalam sidang mulia ini, pernah birahi juga." (Gumam ketawa hadirin bagaikan lebahlebah. Rektor mengangguk-angguk dan kepala Atik agak oleng tersenyum dikulum. Aku tidak ikut tersenyurn). Dapatkah Anda menerangkan relevansi penelitian Saudari untuk pembangunan kehidupan kita sebagai nasion yang masih muda ini?" (Beberapa kursi bergerak nervous). Larasati: "Saudara Rektor, Saudara Promotor, Senat yang saya hormati dan hadirin-hadirat yang budiman. Terimakasih. (Seorang dayang mendekatkan mikrofon pada Atik). Ketika saya masih kecil (suaranya masih sama dengan dulu, ya Tuhan) ayahku almarhum yang menjadi promotor pertama dalam kecintaanku kepada dunia flora dan fauna, (tersenyum mengangguk kepada promotor utarna tadi, yang juga tersenyum mengangguk tanda penuh pengetian) pernah menunjukkan padaku perilaku yang dramatis bahkan sering tragis dari manyar-manyar lelaki.. 145 Maaf, jantan. (Tertawa lirih dari publik. Aku tegak terkejut dan tangan kusilangkan di muka dada) Kalau mereka sudah akil-balik dan menanjak masa mereka berpasangan, kita tahu, mereka mulai membangun sarang, terbuat dari alang-alang atau daun-daun tebu atau daun-daun lain yang panjang. Benar-benar ahli dan bersenilah mereka membangun sarang yang rapi serta bercitra perlindungan yang meyakinkan. ltu yang jantan. Yang puteri-puteri (gumam ketawa teredam) hanya melihat saja dengan enakenak santai, tetapi penuh perhatian kepada kesibukan para insinyur-insinyur muda itu (lebih keras ketawa seluruh aula. Profesor yang acuh-tak-acuh tadi mulai tersenyum simpul). Namun mulailah lakon mendramakan diri. Manyar-manyar betina itu menaksir hasil pembangunan para jantan itu, (Atik diam sebentar) mempertimbangkan sejenak (diam ... ) dan memilih yang ... (diam lagi, beberapa leher hadirin menjadi panjang) berkenan di hati mereka. Berbahagialah yang dipilih itu (Aula: Ooh! Ooh! Ooh!) Tetapi alangkah sedihnya bagi yang tidak dipilih (merata ketawa ejekan). Lalu inilah yang terjadi. Para usahawan yang menawarkan hasil tehnologi mereka tetapi tidak laku itu sedih. Serba frustrasi. Sarang yang sudah selesai itu dilolosi dan dibongkar sehingga semua rusak, lalu segala jerih payah yang gagal itu dibuang ke tanah (publik: Ooooh! Beberapa profesor seperti terpukau, bahkan yang barangkali profesor matematika tadi mulutnya agak melompong). Tetapi syukurlah, mereka tidak putus asa. Manyar-manyar jantan yang frustrasi tadi mulai mencari alang-alang dan daun-daun tebu lagi dan sekali lagi dari awal mula membangun sarang yang baru, penuh harapan, semoga kali ini berhasil dianugerahi hati berkenan dari seorang putri keraton. (Seluruh aula bertepuk-tangan dan para nyonya yang berkipas-kipas itu geli saling bercubit-cubitan. Atik hanya melihat ke plafon. Senyum dikulum seperti anak nakal yang berhasil memanja orang-orang tua). Dan inilah saudara saudari, yang merupakan fokus penelitianku selama ini. Pertanyaan-pertanyaanku ialah: dari mana datang perilaku yang sedemikian? Yang mengaburkan pembatasan tajam antara yang disebut naluri yang dipastikan dan sikap sadar yang sanggup untuk memilih ? Sanggup memilih mengandaikan suatu kemampuan untuk menimbang, untuk memegang kendali nasib, untuk berkreasi. Sebab siapa berkemampuan untuk memilih, dia mengatasi nasib, ia raja yang menguasai dalil rutin belaka. Dari pihak lain, dari mana perasaan sedih dan kecewa dan kejengkelan yang lalu melolosi dan merombak sesuatu yang dinilainya gagal? Dari mana lalu datang tekat baru yang kreatif kembali, yang mengandaikan jiwa yang punya harapan, yang tidak menyerah hanyut, namun aktif menimbulkan fajar yang baru. ''Dari sebab itu, pengetahuan yang mendalam mengenai seluk-beluk pengambilan keputusan dan naluri nasib yang hanya tunduk kepada kepastian buta, akan dapat menolong kita, memaharni hal-hal yang kolektif, yang seolah-olah merupakan suatu instink keharusan adat maupun kebiasaan nasional; dalam perpaduannya yang serasi dengan segala yang kreatif, yang serba baru dan khas pribadi. 146 Sebab, walaupun kita adalah manusia dan berbakat kesadaran serta berpotensi emosional mampu memilih dan mengambil keputusan yang berdaulat, kita tidak boleh lupa, bahwa kita tertambat dengan berjuta-juta benang halus sutera tak tampak dengan alam raya dan dunia flora dan fauna. Juga dengan tanah air dan rakyat. Semoga demikianlah." Selama uraian Atik itu, kipas-kipas para nyonya berhenti tanpa disuruh. Aku diam, diam tak bisa berkutik. Giliran berikut ada pada ko-promotor, seorang profesor berkulit putih yang diintroduksi oleh Rektor selaku profesor universitas dari Basel Swis. Profesor Doktor Chauvigney. Ia bertanya dalam bahasa Inggris berlogat Prancis: ''Di negeriku ada burung sejenis Larus. Di Indonesia jenis Larus yang sesungguhnya tidak ada, tetapi ada yang mirip mereka, ialah merpati laut. Ketika masih sangat muda dan tinggal dalam sarang mereka berwarna kelabu pasir. Itu warna penyelubung terhadap musuh. Sesudah itu mulailah kepalanya berwarna coklat matang dan putih di sekitar mata. Sayapnya juga menjadi coklat bercampur bulu-bulu putih remaja. Baru dalam tahun kedua, sebagai tanda kedewasaan Larus atau Lahmeuwe itu sayap-sayapnya menjadi kelabu gemilang, ekornya putih murni dan warna kepalanya coklat indah, hampir hitam, sedangkan kaki dan paruhnya merah menantang. Juga pada binatang lain seperti kupu-kupu, kita melihat perubahan bentuk maupun warna yang kita kenal dengan istilah metamorfosa. Dari ulat, kepompong, ke kupu-kupu yang begitu indah. Apakah semua itu serba kebetulan? Mengapa tanduk rusa begitu fantastis, mengapa ikan-ikan dan mahluk-mahluk lautan Banda begitu indah clan bergerak elegan, sehingga orang hanya dapat takjub dan bungkam melihat segala kecantikan yang telah hadir di kedalaman atau pun di angkasa sebelum manusia ada? Apakah dalam dunia binatang dan kemolekan bunga-bunga anggrek atau mawar itu kita hanya menjumpai suatu permainan serba kebetulan tanpa arti belaka? Sebab, kalau semua itu diteliti mengapanya dan efisiensi fungsionalnya, segala kreasi fantastic seperti bulu-bulu burung cendrawasih atau keunikan kreasi sarang burung-burung manyar itu obyektif tidak perlu. Atau dengan kata lain, apakah dunia di bawah jenis manusia itu dapat merencana, mendisain, berkreasi seni? Bagaimana pandangan Nyonya Promovenda mengenai itu semua dalam hubungannya dengan tugas ilmuwan biologi?" Semua seolah-olah tidak dapat bernafas. Pertanyaan-pertanyaan itu rupa-rupanya sudah melampaui daerah kompetensi ilmu biologi. lni sudah filsafat, ini sudah bidang religi. lni pertanyaanpertanyaan maha sulit. Bagaimana wanita itu dapat menjawabnya? Semua berdebardebar. Larasati: ''Tuan Profesor Chauvigney, pertanyaan Tuan menyangkut sesuatu yang paling dalam, yang pada saat ini sedang diteliti oleh para ahli biologi. Tuan, di sinilah sebenarnya termaktub permasalahan budaya manusia masa kini, di Timur maupun di Barat, di Selatan maupun di Utara. Masalah kuantitas dan kualitas. Selama para biolog hanya mampu melihat sebagai penonton atau sebagai penghitung komputer yang serba berkecimpung dalam hal-hal tehnis belaka (mati aku !), 147 atau dengan kiasan sehari-hari, bila seorang lelaki melihat perempuan hanya sebagai benda molek yang perlu dicatat ukuran-ukuran vitalnya (gumam ramai) atau menganggapnya sebagai obyek kebanggaan dan induk yang menelorkan anakanaknya (kipas-kipas para nyonya tiba-tiba pada bergerak nervous), maka sang ahli biologi belum menemukan panggilannya yang sejati. Maka lalu bangsa berperang melawan bangsa lain berdasarkan kesimpulan perhitungan, dan terletusiah suatu strategi yang dipastikan oleh silikon-silikon komputer (lagi kau!). Jikalau demikian, belumlah orang mengenal jatidiri kehidupan dan panggilan kita selaku manusia. Jatidiri atau Innerlichkeit dalam bahasa Jerman, sesuatu sumber kesadaran-diri di dalam lubuk kedalaman hakekat kita yang masih serba misteri ini, ternyata tidak hanya ditemukan di dalam manusia. Ternyata dari perilaku burung-burung manyar tadi sudah terbaca segala itu. Bahasa kasih-sayang dan emosi kebencian yang diobservasi pada jenis-jenis simpanse, dan sekian bahasa saling kenal serta saling berkomunikasi antara para lebah-lebah atau pun tari-tarian cinta para serangga, menunjuk samar-samar pada kita secara empiris dan faktual, betapa ada dan sering begitu cemerlang jatidiri para mahluk itu memancar ke Iuar. Metamorfosa burungburung Larus negeri Tuan tadi merupakan pergantian warna yang dibawa oleh perkembangan umur. Namun Iebih dari itu, hal tadi terbawa oleh keadaan diri, oleh riak-riak hidup jatidiri mereka dari dalam, terbawa oleh pembahasan yang berhasrat mencurahkan diri kepada mahluk lain. Binatang-binatang peka tentang apa dan bagaimana yang disebut suasana serta warna-warni situasi. Di negeri Tuan, berkat beberapa penderma budiwan, saya pernah mengalami suasana hutan, dalam perbandingan keempat musim. Kendati pun kita tidak dapat melihat burung-burung itu sendiri, jelaslah sudah, betapa ramai di musim semi mereka berkicau dan bercanda seperti ikut riang memberi selamat datang kepada bait-bait sajak kehidupan baru. Nyanyian mereka bukan hanya ekspresi atau ungkapan suatu suasana, tetapi adalah suasana itu, adalah bahasa citra kejadian yang sedang aktif mereka cipta bersama dalam harapan kehidupan baru. Begitu juga pada awal musim panas. Lain sekali pada akhir musim panas dan musim gugur. Betapa sunyi, seolah segala telah terpenuhi dan para mahluk tinggal menikmati sang buah. Kesunyian para burung itu bukan hanya melambangkan, tetapi adalah syukur itu sendiri, karena terpenuhilah dambaan. Kicauan dan nyanyian burung, Tuan Promotor, adalah ada-diri, adalah citra-diri. Hadirin-hadirat, budiwan-budiwati. Burung-burung seperti manyar-manyar yang saya teliti dengan penuh kekaguman namun juga dengan penuh pertanyaan itu, bukan hanya MEMbangun sarang burung, melainkan adalah bahasa Pembangunan itu sendiri yang mengejawantah ke dalam sikap dan emosi yang dapat tercatat oleh mata manusia, tertangkap telinga manusia. Dan hati penuh pertanyaan terangkat oleh manyar-manyar yang riang terbang, ikut melayang menukik dan menarikan kehadiran diri di langit. Haruskah kupu-kupu itu berwarna justru kuning ini atau hijau itu? 148 Haruskah burung cendrawasih dan merak itu memiliki bulu-bulu yang imperial tak tertanding oleh maharani mana pun? Jika kita masih tinggal dalam pertanyaan harus atau tidak harus, bila kita baru melangkah pada data obyektivitas, bila kita masih terkurung dalam angka-angka komputer tanpa mencari arti maupun makna di dalamnya, maka kita tidak akan memahami sang burung manyar atau pun sang kupu-kupu, mawar maupun anggrek yang mekar tanpa keharusan seelok itu. Dalam alam raya terdapat gerak dan kelakuan yang harus, yang eksak, yang menurut dalil. Akan tetapi syukurlah alam raya telah menunjukkan kepada para biolog dan kepada kita, bahwa asal saja kita mau dan mampu membaca bahasa Sasmita¹⁾ dalam data-data biologi itu, kita akan terjumpa pada pertandaan, bahwa benarlah ada di dalam alam dan khususnya dalam manusia: sesuatu Misteri yang mengatasi, yang merdeka dan yang tersenyum. Khususnya apabila kita merasa atau menjadi lain dari yang lain, sehingga menemukan keharuan luar biasa. Percandaan antara yang harus dan yang merdeka serba bermain kreatif, itulah Tuan Promotor, salah satu panggilan umum sederhana yang dapat saya baca dari warisan para peneliti dunia biologi, namun juga dari datadata yang saya terima sebagai anugerah dari burung-burung manis tanah-air saya. Maafkan kata-kata saya yang terlampau panjang. Semoga berkenanlah gagasan saya itu." Para profesor mengangguk-angguk. Beberapa orang nyonya dan gadis diam-diam mengusap air-mata. Dan tiba-tiba aku merasa sunyi, sedih dalam keadaanku yang dingin sendirian, seperti manyar yang gagal. Aku bertanya pada diriku, apakah Atik tahu aku hadir dalam aula itu? Setiap kata seolah menyindir mengena diriku. Masih banyak pertanyaan dari profesor-profesor penyanggah lain yang harus dijawab oleh Sang Doktoranda. Aku yakin bahwa jawaban-jawabannya serba gemilang, tetapi aku sudah tidak mendengarkan lagi apa yang terucap. Aku hanya memandang pada wajah yang mirip Bu Antana itu, profil ningrat dengan sanggul agak tinggi yang berkesan agak kuna, tetapi yang dengan koket seperti wanita-wanita Jepang, memperlihatkan lekukan kecil di tengkuknya, bila ia menoleh sedikit ke arah kanan. Kontras kulit putih dengan warna lurik coklathitam kasar itu memang memukau dan sebenarnya sexy juga. Kuamat-amati juga kadang-kadang suaminya. Orang tanpa banyak temperamen rupa-rupanya ia, kontras sekali dengan Atik yang kiprah²⁾di tengah Aula ini. Bagaimana rasanya menjadi suami Larasati? Mengapa justru dia yang dipilih? Apakah karena sarang manyarnya lebih baik dariku? Jelas, ya begitulah. Pasti itu kesimpulan setiap orang normal. Satu hal yang kupelajari pagi itu: Aku harus meloloskan segala serat dan daun-daun tebu dari sarangku. Sarang lama harus kurombak, kuhempaskan di tanah dan mulai lagi. Mulai pada umur 46 tahun? Tetapi Atik meraih gelarnya sesudah melampaui tahun keempat puluh. Benarkah perkawinan selalu harus dijadikan terminal terakhir? Dapatkah orang mencintai tanpa kawin? Barulah terasa olehku, betapa berat badan manusia yang terlambat. ¹⁾ Sasmita = pertanda-pertanda yang tertangkap maknanya oleh seseorang yang peka perasaannya. ²⁾ gerak terbang gaya dalam tari jawa. 149 Seorang profesor menanyakan, mengapa metamorfosa dalam siklus kehidupan hanya terdapat dalam hewan-hewan jenis rendah? ''Profesor Harun, di sinilah timbul suatu dimensi baru yang seumumnya dalam binatang-binatang rendah belum tampak, yakni tumbuhnya individuum. Semakin tinggi tingkat dalam rangkaian evolusi, semakin menonjol aspek kompleksitas, namun semakin memancar juga jatidiri itu. Dalam manusia aspek kepribadian muncul dan inilah salah satu fase mulia, yang membedakan manusia dan binatang-binatang tingkat tinggi dari binatang rendah. Seekor cacing atau serangga sebenarnya hidup dalam dan demi kolektivitas yang menenggelamkan individu binatang warga sukunya. Seekor individu lebah-lebah dalam kolektivitas tidak begitu penting. Yang penting ialah jenisnya, suku keluarganya, bangsa-lebah. Tetapi dalam simpanse kita melihat, betapa unsur individu di sini sudah kuat. Seekor simpanse pada suatu hari, jika ia suka dan cukup kuat, dengan berdaulat akan membentuk keluarga sendiri, dan tak gentar melepaskan diri dari kelompoknya untuk membentuk kelompok baru. Di dalam manusia, sebagian hidupnya, yakni tatkala ia masih dalam kandungan ibu dan sekitar satu tahun sesudah lahir, masih tenggelam dalam ketidak-sadaran jenisnya. Agar ia dapat tumbuh dan berkembang dalam rahim dengan pewarisan hal-hal yang vital dari jenis kemanusiaan. Tetapi di luar rahimlah ia disempurnakan di dalam suatu lingkungan yang kaya. Manusia pertama-tama dan dari kodratnya memang manusia yang sosial, dan yang hanya mungkin bermekar dewasa di dalam lingkungan beserta dan di dalam dialog dengan yang lain. Tetapi pemekaran dalam rahim masyarakat sekaligus berupa pemerdekaan diri; ia harus tumbuh menjadi pribadi dan karakter yang kuat. Seluruh bahasa citranya, sikapnya yang berjalan maju tegak, kemampuannya yang dapat menonjolkan diri dalam bahasa dan kreativitas seni, serta di dalam kesanggupannya bertindak berdasarkan keputusan yang sadar, sudah merupakan jelmaan ada dirinya. Aktivitas menjadi pribadi. Dan seluruh tubuh, pancaindra serta sikap luarnya sekaligus adalah citra yang aktif mengkreasi diri, sehingga dengan demikian manusia semakin manusiawi." Prof. Zainal Abidin: "Apakah dalam penelitian Nyonya dapat ditemukan suatu kesimpulan yang relevan perihal gejala universal, ialah yang sering kita sebut: tumbuhnya generasi muda? Bagaimana pandangan Nyonya terhadap generasi yang sedang tumbuh?" "Dalam perilaku manyar betina, seperti yang umum tampak juga dalam jenis-jenis binatang lain, rupa-rupanya masalahnya bukanlah pertama-tama si betina senang pada partnemya. Tetapi si betina dari awal mula, begitu pun si jantan, seolah-olah bersikap, bahwa yang penting bagi mereka ialah telur dan proses penjagaan telur menjadi generasi manyar-manyar baru. Dalam seluruh alam fauna dapat dikatakan, bahwa sudah sejak awal mula, binatang memperhitungkan dan membentuk lingkungan yang seoptimal mungkin demi sang telur atau generasi yang akan datang. 150 Di dalam laboratorium pernah kami memperoleh beberapa ekor anak celepuk. Berhari-hari celepuk-celepuk ayah-ibunya dari hutan setia datang menghampiri kurungan dan membawa oleh-oleh tikus-tikus atau serangga untuk anak celepuk yang kami tangkap itu. Bahkan ikan mujair pun menyuruh anak-anak mereka berlindung di dalam mulutnya, bila ada bahaya mengancam. Generasi muda, Profesor Zainal Abidin, dan ini jelas dalam perkembangan anak, diberi bekal kesatuan diri dengan orangtua, dengan sang generatrix¹⁾, di dalam sistemsistem yang tertutup, dengan rongga rahim yang gelap namun menjamin kepuasan. Tetapi sesudah lahir dan menjadi besar, anak dan generasi muda belajar menghadapi dunia yang terbuka. Dan keterbukaan itulah yang memungkinkan dia menerima dan memberi, dengan kata lain memekar menjadi manusia dewasa. Tetapi maafkan Bapak Profesor, di sini kita sudah menginjak wilayah psikologi manusia, yang bukanlah kompetensi saya." Prof Latumahina: ''Pertanyaan terakhir saudari Promovenda, apakah yang akan Anda sarankan dari segi seorang biolog untuk manusia masa kini, khususnya bangsa kita?" "Semoga kita belajar menghayati dimensi kualitas. Sebab, Bapak Profesor Latumahina, segala Innerlichkeit, jatidiri kita, sebenarnya mendambakan arti, makna, mengapa dan demi apa kita saling bergandengan, namun juga berkreasi aktif dalam sendratari agung yang disebut kehidupan. Semoga dialog kita membahasakan diri, tidak hanya dalam niat mau pun itikad belaka yang terkurung, melainkan berekspresi dalam suatu tingkat kebudayaan yang tahu, ke mana Sang Pelita menuntun. Hadirinhadirat yang saya muliakan, jika judul yang saya pilih untuk disertasi ini memanfaatkan kata-kata jatidiri dan bahasa citra, maka memang itulah sebenarnya seluruh arti ungkapan kita, dari bermain kelereng yang kita pertarungkan atau layang-Iayang yang kita gelorakan atau main boneka semasa kita masih kanak-kanak, sampai pada saat senja membelai dan menidurkan cucu yang mengantuk. Dari gerak-badan sport sampai pementasan musik, dari dambaan dua kekasih yang saling mencari sampai ke rasa bakti kepada Tuhan Yang Mahaesa. Semogalah antara jatidiri di dalam mau pun bahasa citra ke luar selalulah tekat kita menari dalam gerak harmoni. Dan jika toh ada sesuatu yang luka-Iuka dalam batin kita, entah itu karena kesalahan kita sendiri mau pun kesalahan keadaan di luar kita, semoga kita juga mampu memahami bahasa citranya. Misal saja citra wanita. Organ vital wanita dalam bentuk citra namun juga bahasanya mirip luka-Iuka yang menganga, namun sekaligus daun-daun bunga mekar. Kedua-duanya adalah citra namun sekaligus pengejawantahan jatidiri kita manusia. Dan jika itu disebut kemaluan, hal itu karena kita tidak mengenal wanita. Bukan kemaluan, melainkan kemuliaan suci wanita dan pria sekaligus. Dalam situasi kejatidirian yang benar berarti, wanita tidak pernah malu, tetapi bangga dan bahagia mendialogkan organ kewanitaannya dengan tawaran partner hidupnya. ¹⁾ Induk, dari bahasa Latin. 151 Namun itu hanya dapat terlaksana dalam kebenaran jatidiri, dalam kebenaran citra bahasa yang jujur. Luka-Iuka DAN bunga. Maka, jika kita pernah mengalami kegagalan, semogalah mahluk-mahluk burung mungil yang bernama Ploceus manyar yang sekarang, sayang, namun juga untung bagi pak tani, sudah semakin hilang dari persada bumi Nusantara kita, semogalah burung-burung nakal namun pewarta hikmah yang indah itu, memberi kekuatan jiwa. Sebab memanglah kita dapat sedih dan marah membongkar segala yang kita anggap gagal, namun semogalah kita memiliki keberanian juga untuk memulai lagi penuh harapan. Terimakasih." Spontan tanpa dikomando seluruh Aula yang tadi hening terpukau, sekarang meledak bertepuk-tangan, dan sekian pasang mata mengaca basah terusap. Ketika para profesor itu keluar Aula menuju ke sidang tertutup, bersama Atik yang agak pucat karena emosi dan yang diantar oleh suaminya yang sangat menjaganya itu, jelaslah bagi semua, bahwa Atik pasti akan mendapat gelar dengan sebutar'. maxma cum laude, dengan pujian gilang-gemilang. Dan memanglah demikian, kudengar kemudian. Tetapi dalam gelora ucapan selamat, aku sudah tidak ada di Aula, pergi dan menangis dalam hati. Kesombongankulah dulu yang akhirnya menghempaskan sarangku berantakan di tanah. Namun, namun ... Atik boleh berpidato indah, tetapi manusia bukan manyar. 152 19. Pendopo Perjumpaan Aku tidak jadi bertemu dengan Atik. Terus-terang persoalannya terlalu kuanggap enteng. Ternyata psikologis aku belum kuat menghadapi wanita satu ini, yang begitu dekat dengan hatiku, tetapi begitu jauh, serasa tidak mungkin terjangkau. Aku tidak takut pada perjumpaan, tetapi pada kelanjutannya. Untuk mengucap selamat dan mengatakan bangga dapat menyaksikan suksesnya masih mudah. Untuk berkenalan langsung dengan suaminya kuanggap juga bukan soal terlalu sulit. Aku tahu keadaan bobotku. Sebagai saingan aku jelas kalah dan selain itu, waktu tidak dapat diputar kembali. Aku terlambat. Dan bagi seorang berjiwa militer terlambat tidak sama artinya dengan pegawai kantor yang datang terlambat. Bagi orang-orang seperti aku ini, terlambat berarti lebih dulu terkena peluru, mampus. Untuk zakelijk membicarakan masalahku mengenai rahasia kesalahan komputer dan minta tolong untuk menyelundupkan informasi vital itu kepada pihak pemerintah Indonesia melalui Atik atau suaminya juga bukan masalah yang teramat kutakuti. Aku sudah menandatangani vonis diriku sendiri. Jadi bukan itulah. Akan tetapi akibatakibat sesudah bertemu dengan Atik. Itulah yang membuat aku lari. Memang bukan tingkah terhormat bagi seorang militer maupun pengusaha, apalagi menejer, untuk lari. Akan tetapi dalam saat-saat tertentu, selaku manusia biasa, barangkali lari adalah jalan ke luar yang paling baik. Untuk semua pihak. Barangkali untuk sementara waktu, tetapi riil. Dan boleh jadi paling baik untuk ketiga anak Atik. Alangkah mudah sebenarnya menjadi sudut ketiga dari hubungan segitiga. Namun alangkah sukar sebenarnya, jika orang masih, ya apa tadi istilahnya, jika orang masih menghargai kualitas hidup. Soalnya bukan cuma berebutan jodoh, tetapi kualitas menghadapi kekasih yang tidak terjangkau. Burung-burung manyar tidak merebut betina dari rivalnya, tetapi menerima dan menghormati pilihan si betina. Boleh sedih, membongkar dan menghempaskan sarang yang dibangunnya dengan susah payah, dengan dedikasi sepenuhnya, dengan hati seluruhnya. Tetapi jantan yang tidak dipilih tetap menghormati kedaulatan pemilihan betina. Artinya menghormati keturunan. Keturunan manyar pun ternyata harus merupakan telur dari pemilihan yang berdaulat; pilihan se1aku mahkota penyediaan diri yang memperlihatkan kepercayaan kepada pengayoman dan jaminan suatu sarang yang melindungi telur-telur. Kerelaan untuk menjaga pemilihan demi keturunan menjadi kata terakhir dari drama cinta burungburung Plocei manyares. Tetapi sekali lagi inilah kesulitanku, aku bukan manyar. Aku manusia dan aku Teto. Sekembali di pondokku di rumah KRT¹⁾ Prajakusuma yang begitu baik dan ramah itu, aku hanya dapat mengunci diri dalam kamar, menelan pil tidur agar aku dibebaskan dari pergulatan batin yang tidak pernah akan bisa menemui satu jawaban maxima cum laude. ¹⁾ Gelar istana Jawa: Kanjeng Raden Tumenggung. 153 Sesudah mandi aku diundang tuan rumah minum teh. KRT Prajakusuma masih mengalami jaman kejayaan Hamengku Buwono ke VIII yang wafat pas sebelum perang dunia yang lalu pecah. Panjang lebar dan penuh penghayatan masa lampau ia mengisahkan upacara pemakaman jenazah rajanya di bukit Imogiri. Katanya, di tengah siang bolong, guntur menggelegar ketika jenazah digotong ke luar istana. Ia tidak mendengarnya sendiri, karena ketika itu ia bertugas mempersiapkan kedatangan jenazah dan para tamu-agung di Imogiri. Tetapi semua orang mendengarnya, katanya. Ia lalu mempersilakan aku memilih, apakah ingin teh cara internasional atau teh cara Jawa asli. Aku memilih cara Jawa asli, atau menurut dugaanku, cara Cina; teh sangat kental dan hitam sekali, diminum sedikit demi sedikit seperti minum tuak. Dituangkan dari teko kecil keramik coklat tua sekali ke dalam mangkuk-mangkuk mini juga. Boleh pakai gula aren, boleh pahit begitu saja. Aku memilih tanpa gula. Saat itu aku mempunyai kebutuhan untuk mereguk yang pahit-pahit saja. Rasa manis untuk sementara hanya mengingatkan pada hal-hal yang bukan-bukan. Untuk sementara waktu aku ingin hanyut saja di tengah ruang tengah yang remang-remang gelap itu; duduk pada meja marmer berkaki satu, bulat dibubut, dan di kursi kayu berukir yang sudah lama membutuhkan politur baru. Para ningrat ini semakin lama semakin miskin, karena dagang dan bisnis bagi mereka masih terpandang memalukan. Atau memang mereka tidak berbakat ke arah itu Tetapi betapa pun miskinnya, mereka menjaga semua harta itu dengan bersih. Menyimpan, sampai terpaksa satu per satu benda-benda itu jatuh di tangan pedagang barang-barang antik, dan selesailah riwayat mereka. Sebab barang-barang itu hanya bisa hidup wajar di dalam lingkungannya sendiri tidak dilepas atau diabstraksi seperti setiap angka yang dapat dilepas-lepas dan dimasukkan ke dalam Komputer. Aku sungguh berterima kasih boleh menginap di sini, walaupun aku yakin tuanrumah membutuhkan uang sewa yang mahal itu (sama dengan kamar klas dua di hotel Sheraton). Tetapi di sini ada suasana, ada nafas gaib, ada kualitasnya menurut Atik tadi. Dan itu sangat mahal juga tentu saja. Nyamikan emping yang tradisional gurih tetapi sering menjengkelkan, selalu menyisip di antara gigi dan gusi. Teh pahit kental yang begitu minimum ini tidak menolong banyak. Ya, tentu saja teh di sini tidak dimaksud untuk mencuci sisa-sisa emping dari gigi dan gusi. ltu masalah tehnis, masalah komfort atau efisiensi. Di sini orang tidak minum tidak makan, akan tetapi menggaibkan lidah dan syaraf, sebab téine yang begitu kuat kadamya membuat syaraf-syaraf bangun dan bekerja segar. ''Ya,” keluhnya, "kami dapat memahami, akan tetapi terus-terang dalam pandangan kami dan keluarga di sini Diponegoro bukan pahlawan." Aku heran mendengar pemyataan itu, dan lebih terkejut sebenarnya, karena ada seorang Jawa berterus-terang. "Karena kekeliruan siasat Diponegoro, kesultanan Mataram kehilangan Dulangmas, (Kedu, Magelang dan Banyumas) daerah-daerah lumbung padi yang mutlak untuk pembangunan kekayaan Mataram. 154 Sejak itu Mataram menjadi abdi Belanda. Karena ketololan Diponegoro. Memang, Sang Pangeran melawan Belanda. Tetapi melawan dan melawan banyak caranya. Mengapa orang harus memilih siasat yang jelas tidak sebanding risikonya? Orang Jawa bukan kaum tukang kelahi. Kami punya ksatria-ksatria ulung, itu tidak perlu kami tonjolkan, tetapi keunggulan mereka dalam tenaga gaib. Tanpa tenaga gaib, mereka lumpuh, seperti Baladewa kehilangan cepitnya. Maka apa yang diperbuat Diponegoro sangatlah bodoh dan kalau dia kalah, itu bukan karena Belanda menipu. Sebab keputusannya sendiri, melawan bangsa asing dengan senjata fisik, itulah sudah kekalahan. Penipuan Jenderal de Kock hanyalah setempel cap segel saja untuk meresmikan dan menyelesaikan soal yang sudah mudah dapat diramalkan bagaimana akan selesai." Dalam percakapan dengan tuan-rumah itu, aku hanya mendapat kesempatan sedikit untuk berbicara, dan untunglah demi-kian. Hari itu aku tidak punya bab untuk dibicarakan. Bahasa KRT Prajakusuma sangat tenang dan rupa-rupanya sudah lama ia ingin mengungkapkan isi hatinya yang penuh gagasan-gagasan, dan yang diakuinya tidak laku untuk generasi masa kini. Generasi sekarang punya tafsiran sendiri tentang peristiwa apa pun, tanpa tanya dulu pada kaum tua, dan karena itu keliru. Hanya kepada orang-orang asing saja ia berterus terang dan suka menyatakan pendapatnya, begitu ia menambahkan sambil menghisap rokok lintingannya dengan penuh kepastian tidak suka ribut. Kadang-kadang kami berdua hanya duduk diam saja tanpa omong sepatah pun dan rupa-rupanya ia puas beromong dan diam menurut ukuran; yang penting: dapat berterus terang padaku, pada orang asing. KRT itu simpatik, begitu pikirku, karena naluriku berkata, bahwa kami berdua adalah saudara senasib, manusia masa lampau, yang terlambat tetapi yang tidak pemah mengakui kekalahan. Ya, KRT Prajakusuma itu simpatik. Seorang gadis pembantu rumah tangga datang dan berjongkok menurut adat lama; memberitahu, bahwa ada tamu di gerbang. Kartu nama diberikan kepada tuan rumahku. Setelah agak ribut mencari kaca-mata, ia membaca. "Oh, bukan untuk saya. Ada tamu untuk Tuan Setadewa." "Saya? Siapa yang ingin menemui saya? Kawanku dari Ford Foundation itu? Tetapi bagaimana ia dapat tahu, saya di sini." Kartu kuterima dan ... aku terpaku tak bisa bergerak. Kartu keluarga Janakatamsi. "Seorang pria atau wanita?" tanyaku pada pelayan. ''Berdua, pria dan wanita." "Siapa?" tanya tuan rumahku. "Tuan Janakatamsi dan istri. Bagaimana mereka tahu aku di sini?" KRT Prajakusuma mendongak dan memberi pelita Ooh, sayalah yang memberibhu mereka. Tetapi saya tidak memberitahu Tuan di sini. Oh ya ... sekarang ingat Kemarin saya mendapat pesan dari Pangeran Wijayaningrat bahwa beliau tidak dapat menghadiri upacara wisuda Bu Janakatamsi di Universitas, karena dipanggil Sri Sultan. 155 Dan sayalah yang ke Bu Jana mohon maaf tak dapat hadir. Saya kenal sekali ayah Pak Jana, karena ... mari. (Kepada abdinya) Sudah kau persilakan duduk? Baik. Katakan, bahwa sebentar lagi saya datang menemui mereka. Saya mau ganti pakaian dulu. (Kepadaku) Saya hanya omong basa-basi tentang rupa-rupa hal, dan ya ... sekarang saya ingat, bahwa hanya sambil lalu saya mengatakan punya indekosan, begitu kelakar saya. Seorang gede dari perusahaan minyak apa entah saya tidak tahu. Saya hanya bercerita, bahwa datangnya pakai jip terbuka dan baru ziarah ke Magelang, tempat makam ibunya di Desa Juranggede. Begitu. Apa Tuan masih famili dengan mereka?" Tanpa menunggu jawaban larilah Pak KRT ke kamar, hendak berganti pakaian. Seluruh diriku lunglai. Apa yang harus kuperbuat? Apa yang harus kuperbuat? Aku sungguh tidak siap. Tadi pagi memang siap, tetapi sekarang tidak. Baiklah, bila sudah dipastikan begitu. Dan dengan sikap yang kubuat setenang-tenangnya kubuka pintu. Aku ke luar pintu tengah, tepat mereka sedang naik tangga pendopo. Aku tentu saja hanya melihat figur satu ini, Atik. la memakai gaun entah aku tidak melihat apa-apa, kecuali wajahnya yang ria dan kedua mata serta bibir basah terbuka sambil bersorak: "Teetoo!" Dan tahu-tahu wanita itu seperti topan membadai padaku dan jatuh ke dalam pelukanku. "Teto! Teto!" dan menangislah ia terisak-isak. Aku tak dapat apa-apa, selain spontan membelai punggungnya dan mata tolol memandang kepada suarninya, yang... mengangguk-angguk tersenyurn seulah seorang ayah penuh pengertian melihat anaknya bertemu dengan kekasih yang sudah lama ditunggu. Dadanya terasa hangat dan kembang-kempis empuk pada dadaku, seolah segala isi dadanya itu ingin ia serahkan tuntas ke dalam sanubariku. Pipi kananku merasakan rambut, dan anting-anting telinganya menekan agak sakit, namun tak kuhiraukan. Parfum mewangi membuatku lebih terganja lagi dan bungkam. Suaminya,Janakatamsi menghampiri kami dan tersenyurn paham berkedip padaku dengan anggukan-anggukan kecil selaku isyarat, agar aku membiarkan istrinya begitu. Dia suami yang penuh pengertian dan penuh pengabdian kepada istrinya, itulah dalam sekilat saat kesimpulanku. Istrinyalah yang ia puja sebagai ratu dan pemberi undangundang. Sementara itu Pak KRT keluar; penuh heran ia mendekati saudara Janakatamsi. Kedua orang itu saling berbicara lirih dan kulihat Pak KRT hanya menganggukangguk saja, sambil kadang-kadang memandang ke arah romansa yang pasti tidak setiap hari ia lihat dalam pendoponya yang begitu sepi dan kuna. Kubiarkan Atik menghabiskan emosi tangisnya. Di dadaku Atik kini melekat. Begitu dekat, tetapi begitu jauh tak terjangkau, keluhku dalam lubuk hati dengan sedih. 156 Dan pada saat itu aku merasa, bahwa tidak ada jalan lain kecuali bersikap menjadi abang untuk wanita ini, satu-satunya saksi dari drama kepedihan hidupku selain Bu Antana, sejak awal mula di masa remajaku. Tangisnya yang lirih dan merintih itu kehausankah? Kesedihan? Kebahagiaan? Aku tidak tahu mengapa begitu merana tangisnya itu. Akhirnya meredalah segala luapan perasaan itu, dan ia menengadah, tanpa mau memandangku. Aku pun pasti juga belum siap memandang pandangannya. Apa lagi suaminya dan Pak KRT hadir di pendopo ini. Aku hanya melihat beberapa burung berjingkat-jingkat di pasir halaman pendopo. Itu bukan manyar. Itu hanya prenjak saja, tetapi hidup dan segar ia. kian-kemari. Seperti Atik dulu ketika masih kecil, sehingga abdi-abdi di rumah Hendraningrat sering menyebutnya "Prenjak kita". Apa yang harus kukatakan? Dan lebih dari itu, apa yang harus kuperbuat untuk selanjutnya? Pak Jana dan KRT Praja berdiri dan bersama -sama mengamat-amati burung jalak hitam di kurungan yang tergantung pada balok tritisan Pendopo. Akhimya tangan Atik mengendor dan ia kulepaskan dari rangkulanku. Ia mengambil sendiri saputangan yang kebetulan ada dalam saku baju batikku dan membersihkan mata dan pipipipinya. Matanya memandangku penuh dambaan. Tersenyumlah ia setengah malu setengah nakal. Atik kini tampak sepuluh tabun lebih muda, Kebahagiaan sanggup memutar kembali jam pada wajah dan citra wanita. Ia minta pada Pak KRT, agar boleh ke belakang sebentar. Dengan ramah sekali Pak KRT mengantarkannya masuk rumah. Kami, Pak Jana denganku saling berkenalan. Dari awal mula aku sudah merasakan simpati kepadanya, walaupun masih dengan perasaan aneh; terutama sesudah ia mengatakan, bahwa ia sudah kenal padaku. Kapan? Tentu saja dari laporan-laporan istrinya. Tetapi juga ketika sesudah jelas gelagat mereka akan kawin, ayahnya seolah sengaja sering ekstra mernbicarakan Teto. Lho siapa ayahnya? Sekarang sudah pensiun. Dulu pernah lama menjabat direktur rumah sakit di Kramat. Oooh ... itulah! Ia mulai kenal dengan Atik, ketika pada suatu hati liburan, (ketika itu ia baru saja lulus Fakultas Geologi di Bandung), melihat Atik dengan ibunya berziarah ke makam Ibu Brajabasuki di Kramat itu. Pertarna-tama itu dianggapnya peristiwa biasa. Tetapi sesudah ia tabu, bahwa yang meninggal itu bukan ibunya dan bukan apa-apanya, namun toh setia setiap pekan nyadran Atik datang membersihkan nisan, ia mulai tertarik kepada gadis dan ibunya yang begitu budiwati itu. ''Ya, Atik banyak sekali dan sering sekali membicarakan Mas Teto. Sehingga dalam kesadaranku, Mas Teto sudah hadir lama dalam benakku, selaku abang sekandung istriku. Karena itu, ketika tadi KRT bertanya, hubungan apa Atik dengan tamunya dari J akarta itu, saya juga spontan mengatakan, Anda iparku Bukan! Bukan dari satu ibu dengan Atik kataku dengan senyum. Dan jawaban itu tidak bohong kan! Mas Teto kami undang dengan sangat; kami, khususnya Bu Antana. Sukalah menginap di rumah kami. 157 Istriku sudah begitu lama merindukan Mas Teto. Tidak pantaslah, bahkan kejamlah bila tawaran mereka ditolak." Aku tentulah hanya dapat berkata: ''Ya, baiklah." "Tadi pagi Mas Teto dalam Aula Agung juga?" tanya 'iparku' itu. "sebetulnya ibu mertuaku tadi sudah menduga, bahwa yang duduk di baris kedua sana di sayap sana itu Mas Teto. Tetapi tentulah Bu Antana mengira itu hanya fatamorgana saja. Kami tidak mengira sama-sekali Anda di sini. Dari ternan-ternan di kedutaan Den Haag sana memang pernah kami menyaring berita Mas Teto pergi jauh, bekerja di salah satu perusahaan minyak, tetapi kabar dan petunjuk-petunjuk begitu simpang-siur, sehingga sebaiknya kami menunggu saja. Dan tahu-tahu ... sungguh Mas Teto, kami sangat gembira bila Anda suka datang. Bu Antana pasti sangat bahagia dan nanti di Bogor Anda dapat melihat anak-anak kami. Ya, yang sulung lelaki bahkan diberi nama panggilan Teto juga. Memang istriku itu kelihatannya saja orang ilmuwan yang eksak rasional, tetapi saya sebagai suami tahu, sebenarnya ia sangatlah perasa. Ya," dan ia tersenyum memandangku, "sering ia seperti anakku saja. Aneh, seolah-olah aku punya anak empat, dengan jarak antara yang sulung dan yang kedua panjang sekali. Mas Teto harus menginap di rumah kami. Ya, nanti di Cemorojajar. Kalau tidak, nanti ia rewel dan marah-marah saja." Dan ia tertawa kecil. "Tahu Mas Teto, kalau ia marah lucu sekali. Semakin ia marah, semakin aku sayang padanya." Pak Prajakusuma datang ke meja kami. ''Ah, andai kemarin saya tahu bahwa Bapak itu abang dari Bu Jana tentulah sudah kemarin saya beritahukan kepada Ibu dan Pak Jana." Di belakang blangkon Pak KRT, Pak Janakatamsi mengerlipkan mata padaku. "Saya ini anak mursal¹⁾ kataku. ''Ah mosok," sahut Pak KRT. "Ya, saya ini anak yang lari dari rumah." "Mosok iya?" (Kepada Bu Jana yang sudah berdiri di samping suaminya) ''Apa betul, Bu Jana?" ''Ya, betul," kata Bu Jana dengan tenang, sangat tenang. Terlalu tenang bagiku. ¹⁾ Hilang, minggat. 158 20. Rumah Pertanyaan Keesokan harinya, karena aku tidak dapat tidur, amat pagi aku sudah bangun, mandi dan berdiri di tepi jalan melihat lalu-lintas becak yang sedini ini sudah lalulalang dan orang-orang yang pergi ke Pasar Kranggan. Ya, aku jadi menginap di Cemorojajar, rumah Bu Antana; yang sejak ditinggal suami dan kakak tirinya dipeliharanya untuk pos keluarga Surakarta kalau sedang singgah lewat; dengan beberapa kamar di pavilyun yang dijadikan pondokan beberapa mahasiswi. Sambil mengucap selamat pagi, dua orang dari mahasiswi itu ke luar ke jalan dan mulai berlari-lari sport. Pantatnya yang satu menari kian-kemari bukan main. Lucu sebetulnya, tetapi pantas dipuji gadis-gadis itu. Tahu-tahu Bu Antana sudah di sampingku. "Selamat pagi, Teto!" "Oh! Selamat pagi, Bu. Masih pagi begini." "Untuk nenek seumurku tidak pagi. Orang lanjut usia tidurnya sedikit. Tetapi kau ... sungguh kau dapat tidur?" "Enak sekali Bu, terima kasih." Dengan pasti tetapi lirih ia berkata: "Teto, Bu Antana tidak percaya. Pastilah kau tidak dapat tidur, lalu bangun sepagi ini." Tidak ada gunanya bohong basa-basi. Maka aku hanya berkata jujur: "Memang Bu Begitu sekonyong-konyong semua ini terjadi ... " ''Atik sangat bahagia, Teto. Saya sebagai ibunya harus berterima kasih padamu." Aku terkejut. Apakah ibunya mendorong aku untuk. ... (?) tidak mungkin, tidak mungkin! Itu nanti menuju ke arah yang serong. Memang tadi malam aku tidak dapat tidur karena tidak tahu bagaimana aku harus bersikap. Apa lagi karena si suami begitu baik, terbuka dan penuh percaya terhadapku. Suami baik hati, tetapi tololnya bukan kepalang. Andai tahu betapa joroknya bandit dalam diriku ... la sudah tahu. Pasti sudah. Tetapi mengapa? "Oh ... Bu Tana, sebetulnya saya tidak pantas. Sayalah yang tidak kenal terimakasih dan lari tanpa ... " "Kami tahu. Kami memahami semua Teto. Kini yang penting, kau sudah ada di tengah kami lagi dan Atik bahagia. Suaminya juga sudah tahu semuanya." Ya, begitulah pikirku, seorang ibu hanya melihat kebahagiaan anaknya, tetapi wanita tidak mudah melihat jauh soal-soal konsekwensi rumit yang mengiringinya. Semua naluri induk begitu. "Kami sungguh sangat gembira, Teto!" tambahnya lagi. Kubelokkan percakapan: "Saya kira itu karena kemarin kita semua terbawa hanyut oleh suasana kegemilangan hari wisuda doktor maxima cumlaude Atik kita, Bu." "Oh, tentulah, tentulah ... mari, jangan berdiri di sini." 159 Dan aku diajak duduk pada bangku taman di bawah bugenvil ungu yang kaya-raya bunganya. Ya, kepada Bu Antana aku paling merasa dapat mencurahkan hati. Bukankah di saat-saat masa remajaku yang paling menentukan, dialah yang praktis menjadi ibu angkatku? Bukankah dia yang selalu setia membersihkan makam Mamiku setiap waktu nyadran?Tetapi sekarang ada sekeping ketakutan yang seolaholah menjadi katup karaten di dalam hatiku, sehingga arus curahan hati menjadi seret di dalamnya. Tetapi siapa lagi di dunia ini yang masih dapat kudekatkan padaku? Sungguh keliru lagi, bila aku terus-menerus mengisolasi diri dan menolak tawaran rahmat, persahabatan yang dibutuhkan oleh setiap orang. Atau aku akan menjadi robot yang beku. Aku pun membutuhkan kualitas kehidupan. Persahabatan menanggung risiko, hati dibaca orang lain, agar dapat ditolong dan dikoreksi pada saatnya. Sekarang sahabat mahal harganya, jauh lebih mahal daripada segedung komputer di Pentagon. "Teto, saya tidak berhak apa-apa atas hidup dan sanubarimu." “Ah. Bu. Ibu Antana sudah jadi ibuku, jangan berkata begitu." ''Ya, terima kasih. Tanpa itu kuucapkan, aku juga sudah merasakannya. Jadilah anakku dan jadilah abang untuk. Atik. la sangat cinta padamu." ''Ya ... tetapi bagaimana caranya Bu. Ibu pasti sudah tahu, bahwa itu dapat menimbulkan situasi yang sangat berbahaya." "Kau benar, Teto. Aku pun juga sudah merasa itu. Terus-terang saja, aku bdum juga menemukan jawaban yang memuaskan. Maka sebetulnya aku ingin minta nasihat kepadamu." Aku tidak menyangka kata-kata itu. Bagaimana minta nasihat pada orang buta dan gagal seperti aku ini. Bu Antana ini benar-benar bernaluri induk. Target nomor wahid: anaknya bahagia. Padahal yang membuat bahagia Atik ialah Teto. Jadi, Teto harus diberikan pada Atik. Titik. ltu logikanya. Padahal Atik sudah bersuami. Jadi Teto abang saja. Titik. Logis sederhana. Begitu logis sampai Bu Antana bingung sendiri. Aku lantas tertawa kecil, sebetulnya karena bingung juga. "Kenapa tertawa, Teto?" ''Ya Bu, karena aku pun tidak tahu apa yang harus kunasihatkan." "Teto, Ibu ingin tahu. Tetapi sungguh, saya tidak berhak menanyakan itu. Hanya kalau kau ikhlas, jawablah. Dulu, pernahkah kau menaruh hati pada anakku?" ''Ya. Tentu saja Bu. Apa Bu Tana belum tahu? Kepada siapa selain dia aku bisa mendekat? Ibu tahu, aku orang yang tertutup, aku sadar itu. Dan aku sombong. Bagiku sudah jelas, hanya Atik yang dapat menghidupi aku. Tetapi kecongkakankulah yang salah, sehingga hidupku juga berantakan tanpa Atik.", ''Aah, kalau begitu anakku betul ketika itu." "Bagaimana?" "Ia yakin kau menaruh minat padanya. Tetapi kau tak kunjung muncul. Lalu bukan hati, tetapi rasiolah yang datang." 160 "Itu kesalahanku. Dan selama ini aku telah mencari jalan untuk memperbaiki itu. Tetapi sia-sia, sebab sudah terlambat. Kukira Bu, sekarang pun rasio harus berbicara." "Itu kata seorang lelaki. Atik dan ... ya ... dan aku barangkali lain, lainlah bahasanya. Ya ... ya ... kau benar dan jiwamu mulia, aku tahu. Seperti ayah-ibumu. Tetapi Teto, sungguhkah begitu? Benarkah rasio yang menuntunmu selama ini? Bukankah hati dan emosi yang menjadi jurumudi segalamu?" Bu Antana benar, dan sungguh tajam pisau analisanya. Aku merasa seperti terbaring di meja kamar bedah. Hanya dapat sumarah pasrah kepada kearifan sang dokter bedah. Tetapi dokter bedah bekerja dengan komputer otaknya yang dingin obyektip. Tidak dengan emosi. Bu Antana dalam soal Atik bukan dokter bedah yang baik. Ia tetap seorang ibu, induk. Ibu yang baik hati, yang hanya merasa kasihan dan ingin membelikan es lilin untuk anaknya. Ruang tengah menyala dan tampak bayangan kepala berambut singa mewayang pada gorden tuul jendela-jendela kaca. ''Atik sudah bangun," kata Bu Antana. Lalu berbisiklah ia: "Bagaimana,Teto. Maukah kau jadi abang anakku Atik?" Jendela dibuka dan Atik masih dalam dastemya muncul. Seperti sumber air artetis di lereng Gunung Merapi yang tiba-tiba namun telah lama sebetulnya menunggu pemerdekaannya, menceuatlah salam segarnya: "Haloooo Tetooo! Selamat pagi, Bu!" Wajahnya cerah serba tertawa dengan gigi-gigi yang boleh dipamerkan. Rambutnya tidak keruan seperti singa dan kulit putih leher dan dadanya menampakkan pipi-pipi payudara montok yang kontras sekali melawan dastemya yang sangat merah darah. "Selamat pagi Tik!" jawabku kurang spontan karena agak terpukau terus-terang saja. Bu Antana bergumam: ''Anakku ini sering arif seperti nenek, tetapi sering masih seperti anak kecil." ''Eeh, maaf," canda-sendaku, "Selamat pagi, Ibu Doktor maxim cum laude. "Ia cemberut manja: "Sedang sidang apa pagi-pagi di situ kok seperti sedang pacaran, hihihi!" Bu Antana membuat gerak tangan seperti mengusir: "Ssst ... sana mandi dulu! Keras-keras tetangga dengar semua." Atik mengangguk mendagel dan tertawa renyah: "Iyaa Bu!" Dan pergi. Masih sekali lagi ia menoleh. Tertawa. ''Ya, itulah anakku," kata Bu Antana. ''Tampak sekali bukan, bahwa ia menjadi muda lagi? Terlalu muda." "Karena lulus doktomya," sambutku tanpa ujung pangkal. Hanya untuk menjawab asal menjawab sang naluri induk. ''Mari !'' dan Bu Antana berdiri. Aku pun juga. "Mau periksa persiapan makan pagi." Dan ke samping padaku ia masih berbisik. ''Anggaplah rurnah ini rumahmu sendiri." Dan tersenyum ia masuk. Tak tahu aku harus ke mana. Seandainya kejuruanku ada di bidang psikologi, pastilah aku akan mudah mendapat bahan penelitian tentang psikologi hubungan ibu janda dan anak perempuan tunggal. 161 Jelaslah sejelas-jelasnya, bahwa perkawinan Atik dengan Janakatamsi adalah perkawinan model kuna. Kawin asal jangan jadi perawan tua. Atau: kawin karena sepantasnyalah orang itu kawin. Atau: kawin karena membutuhkan bodyguard, Kali ini rupa-rupanya: Kawin karena membutuhkan jongos dan pesuruh. Tidak! Aku jahat, aku tidak adil terhadap Dik Jana. Dialah yang telah menyelamatkan Atik dari noda perawan tua yang memalukan. Dialah yang menjaga Atik. secara terhormat dan memberinya suatu sarang yang aman; yang memberinya status yang sepadan dan memungkinkan buah-buah rahim Atik bertumbuh dengan tenang, pasti dan serba bisa diandalkan. ltu pun sebentuk cinta. Bahkan itulah yang justru harus dominan dalam cinta seorang lelaki. Untung apa bagi wanita kawin serba glamour dan romantis dengan seorang Gatutkaca, tetapi bisanya cuma terbang ke tempat-tempat jauh dan berkelahi di medan perang? Istri Gatutkaca mungkin bisa saja hidup dengan Gatutkaca, tetapi ingat Pergiwa istrinya cuma gadis desa. Atik bukan gadis desa yang serba nerima dan sumarah belaka. Atik adalah wanita tipe Keleting Kunig ngunggahunggah¹⁾ ia tidak gentar, dan itu hak setiap wanita. Dari pihak lain, Si Teto juga bukan Ande-Ande Lumut. Repot juga kalau Ki Dalang harus melakonkan hikayat kacau: Keleting Kuning dan Gatutkaca. Mana bisa? Jadi sahabat sih boleh-boleh saja. Sejak dahulu selalu begitu. Tetapi yang dimaksud di sini sahabat intim, jelaslah. ltu lain. Sudahlah, tidak perlu segala persoalan harus diselesaikan hari ini. Aku menuju lagi ke tepi jalan. Dari jauh datanglah dua mahasiswi tadi yang berlari-lari aerobik. Nah, ketawaku dalam hati. Menyerah sajalah, tidak mungkin kau jadi langsing semampai. Tanpa komputer aku sudah dapat memastikan hasilnya. Terengah-engah mereka berhenti berlari. He heh? "Sedang melihat apa, Pak'?" tanya seorang bernada nakal. "Melihat kalian ini. Berapa kilometer tadi?" "Ah ... hehe ... entah tadi ... berapa kali ... he ... he tadi heh ... heh. Lima kali he heh ... lima kali putar ... he ... he "Sulit ya nasib gadis itu. Harus selalu jaga kelangsingan." Mereka tertawa megap-megap: "Huah ini heh heh ... Pe-Er²⁾ yang paling sulit heh ... " Dan serba bersemangat masuklah mereka melalui pintu dapur. Sambil membuka pintu, yang satu membisikkan sesuatu pada telinga kawannya. Omong apa mereka? Pagi itu dengan sengaja aku selalu mendekat dan bereakap-eakap dengan Dik Jana, (spontan dari awal mula dia adalah adik dan aku mas), sedangkan dua wanita, ibu dan anak, atau lebih tepat nenek dan ibu, sibuk dengan berpakaian dan mengatur makan pagi. Komplit dengan bunga di vaas dan lilin menyala di meja. Dan tentu saja roti, mentega, keju dan segala perangkat upacara adat yang sudah jauh dari jiwa revolusioner jaman gerilya. ¹⁾ Ngunggah-ngunggah = wanita melamar pria. ²⁾ PR = pekerjaan rumah (murid). 162 Kami berdua berdiri di muka jendela dan menikmati pemandangan anak-anak generasi muda berlalu di jalan menuju sekolah. Banyak sekali anak-anak itu. "Jadi apa kelak anak-anak ini,” keluh Dik Jana. "Begitu tampan dan cantik-cantik mereka itu sekarang,” komentarku. "Mereka pandai sekali bersolek dan berdandan,” kata iparku. "Ini belum kelihatan, serba pakaian seragam. Tetapi itu pun sudah tampak. Luwes, segar dan serba gembira. Tahu mengapa, Mas?" ''Ya, karena tidak mengalami jaman huru-hara seperti pada jaman kita dulu." "ltu juga. Tetapi masih ada lagi. Pada hematku, karena mereka tidak banyak mau berpikir tentang soal kemarin maupun hari depan. Entah apa yang akan dibawa kelak, biarlah kelak saja dipikirkan. Itu menurut kata mahasiswi-mahasiswi yang menumpang di pavilyun." Aku terdiam mendengar itu. Memang cantik dan manis gadis-gadis pelajar itu. Dan yang laki-laki serba dinamis. Mereka tidak bersepeda seperti di jaman kami dulu, tetapi berlomba-lomba siapa yang bisa maju paling pesat. "Masih kanak-kanak wajah mereka." "Juga kelakuan dan tingkat mereka," sambung Dik Jana. "Lihat itu, kedua mahasiswi kita." Dari samping kami lihat kedua pengaerobik tadi pagi, bergandengan erat seolah takut saling kehilangan. Yang satu pendek tetapi penuh tubuhnya, sintal, tanpa dapat dikatakan gemuk. Yang satu semampai kerempeng menurut ideal masa kini. Mereka berhenti di pagar selokan. Rupa-rupanya menunggu datangnya Bang Becak. Datanglah menderu seorang pemuda naik sepeda-motor trailer, dengan topi admiral US Navy, baju terbuka separuh dan tampak kalung dan jimatnya. Di pinggang belakang tampak beberapa buku tulis diselempitkan pada sabuk. Ia menoleh kepada kedua mahasiswi itu dan tiba-tiba mengerem kuat-kuat sampai suara ciyeet mengejutkan orang-orang di jalan. Lalu menderu membelok, melewati muda-mudi, membalik lagi, dan berhenti menonggakkan kedua kakinya lebar-lebar seperti huruf V terbalik, sambil mengklakson. Dua pemudi itu mundur spontan dan tangan-tangan mereka membuat gerak jengkel yang memaki-maki pemuda itu. Pemuda itu hanya tersenyum saja dan menawarkan sadel bagian belakangnya kepada yang semampai, Tak ambil pusing rupa-rupanya kepada temannya yang agak berbadan Batari Durga itu. Yang semampai solider dan Si Trailer disuruh pergi. Pemuda itu hanya menjawab dengan oleng-oleng kepala serta kedua tangannya merentang. Agaknya memberi isyarat, agar sudahlah, kedua-duanya boleh bonceng. Spontan kedua pemudi itu berpaling separuh dan dari cara mereka membuka mulut dan gerak tangannya, tampak mereka menolak mentah-mentah. Masih terdengar sayup-sayup suara mereka terbawa angin: " ... dikira, apa," atau semacam itu. Pemuda itu lalu lebih menderu-derukan mesin sepeda-motornya dan seperti dipelanting melaju ke muka, langsung menukik dan kembali ke arah dati mana ia datang. Sambil meninggalkan kepulan-kepulan debu. 163 Kedua gadis itu menutupi mulut dan hidungnya dengan saputangan, lalu memanggil: "Becak!" Ternyata sudah dipesan. Si Becak masuk halaman salah satu rumah. Kedua mahasiswi itu lalu pergi berjalan kaki saja. Tetapi sebentar lagi mereka menoleh membalik dan berlari-lari cepat seolah berlomba, karena dari arah bdakang datang becak. Tawar-menawar. Sementara itu pemuda bertrailer tadi datang menderu lagi, tetapi sekarang derunya berganda, sebab ia membawa teman. Dalam kepulan debu knalpot mereka menawarkan lagi jasa baik. Kedua pemudi itu saling pandang-memandang dan barangkali musyawarah, apa sebaiknya yang harus dilakukan. Bang Becak, entah jengkel entah berterima kasih, memakai kesempatan ltu untuk pergi ke seberang jalan dan kencing pada pagar hidup tetangga muka. Ruparupanya sulit mencari kompromi. Agaknya timbul soal siapa membonceng siapa. Mahasiswi Betari Durga yang barangkali merasa hanya diobyek saja, lalu mencari Bang Becak tadi yang tenang sedang memberi sesajen kepada danyang-danyang pagar hidup. Teman baru tadi menghentikan mesinnya, memasang standar dan pelan serta tenang membersihkan kaca spionnya dengan nafas dari mulut dan sapu-tangannya. Akhirnya toh keputusan ada pada solidaritas rekan, dan kedua gadis itu mulai masuk becak. Yang punya inisiatif "pengabdian. masyarakat" tadi omong sebentar dengan kawannya yang dimobilisasi percuma. Lalu mereka meletuskan segala kebisingan yang tersedia dan menghilang, sambil meninggalkan awan debu penuh bakteri-bakteri tifus dan tetanus. Bang Becak naik singgasana, dan pelan-pelan menghilanglah mereka ke arah karir, menuju kejayaan doktor maxima cum laude. "Kita lahir terlalu pagi;' kata Dik Jana. “Apa maksudmu?" Aku heran ia berkata "senakal" itu. "Dulu belum ada sepeda-motor." ''Tetapi mereka tidak bakal punya kesempatan mengalami perang,” komentarku sinis. "0, perang berebutan pacar lebih sengit pertempurannya." Dia omong begitu, sengaja atau spontankah, tanyaku dalam batin. Orang Jawa pandai menusuk dengan jarum, seperti dokter-dokter Cina. Tetapi dokter-dokter Cina menusuk untuk menyembuhkan, tetapi orang Jawa untuk menyakiti. Sekali lagi aku sadar kembali, betapa buruk tabiatku. Selalu saja aku merasa tersinggung. Di mana-mana takut ada gerilyawan yang menembak dari belakang. "Dik Jana dulu di tahun-tahun antara 45 - 49 di mana?" (aku tidak berani menyebut istilah clash atau aksi polisionil. Nettal saja: tahun-tahun antara ini dan itu. Rasa minderku belum hilang). “Aku di Palang Merah." (Ah pantas saja). "Palang Merah?" ''Ya, kepada Mas Teto aku jujur berterus-terang. Aku tak suka berjuang dengan senjata. Entah, barangkali karena kami bertradisi dokter." (Ini lagi). "Di Palang Merah dulu ada perang pacar apa tidak?" Aku mencoba melawak sedikit, hanya agar tidak berkesempatan berpikir yang jelek-jelek. 164 ''Ya, sulit sebetulnya: dulu ada tahayul antara para gerilyawan. Siapa yang pacaran di front, pasti terkena peluru musuh. "Aku, belum pernah dengar semacam itu." ''Ya, sungguh. Akibatnya, pemuda-pemuda gerilyawan pada takut main-main seks dan sebagainya itu. Tahayul memang, tetapi tahayul berguna. Di pihak Belanda bagaimana?" ''Ya, mau minta apa lagi. Tentara sewaan." "Belanda itu tolol. Seandainya mereka agak mau mengalah sedikit, negara kita masih commonwealth atau berstatus dominion." ''Ya, goblog. Termasuk aku juga,” jawabku tajam. "Oh, maaf, bukan itu yang saya maksudkan." "Tidak apa-apa." "Mas Seta, ayah dan kami semua sangat menghargai Mas Seta. Ayah selalu berkata kepadaku: Mas Seta bagaikan Karna. Walaupun berperang di pihak Kurawa, tetapi saudara seibu dengan Pendawa. Dan Karna ksatria yang besar. Sampai Arjuna pun gentar menghadapinya. Hanya karena perintah tanpa ampun dari Raja Sri Kresnalah, artinya dari Nasib, Arjuna terpaksa melawan Karna." ''Terima kasih, Dik. Tetapi nasib Karna tragis." "Mas Seta sudah lama kuanggap kakakku." Aku sangat malu tadi punya pikiran-pikiran jelek terhadap suami Atik yang budiman ini. ltulah senjata paling ampuh dari orang Jawa: mengalah. Menang tanpa membawahkan? Membunuh tanpa mencabut nyawa? Terasa, betapa asing diriku, jauh dati manusia-manusia di negeri ini. Aku merasa diikat dengan benang sutera, diganja dengan arum-manis, dipeluk oleh labah-labah betina yang merayu minta disetubuhi, lalu jantan dimakan. Sekilat godaan iblis membisik, agar aku minggat saja dari dunia serba halus ini. Tetapi Atik, aku jahat melambangkan Dik Jana dengan labah-labah betina. Lebih jahat lagi, kalau yang kumaksud itu Atik. Aku terkejut karena sadar, aku semakin merasa minder. "Mas Seta hari ini punya acara apa?" "Saya? Ya, acara ada, tetapi ... " Atik menyanyi: "Hallo, Abang-abang sayang. Kita makan pagi. Tidak cepat, tidak dapat." Spontan kami menoleh bersama-sama. Dari ruang makan kami melihat Atik dengan tangan terbentang dan senyum, melulu, mata bersinar. Gaun berwarna coklat susu dan sanggul model Yunani. Wanita yang masih vital, pikirku sambil memandang dadanya yang membusung sehat. Jangan bersandiwara, begitu aku memperingatkan diriku. Yang biasa saja. Bu Antana menongol dari belakang dan ramah mengajak. "Silakan mulai dulu. Hei, itu keran kamar-mandi kau lupa menutup ya, Tik!" "Ooh maaf, lupa." 165 Dik Jana mengerdipkan mata kepadaku: "Begitu kok doktor maxima cum laude. Lalu untuk apa gelar doktormu itu, Tik!" godanya. "ltu tidak ada sangkut-pautnya, Sayang. (Sayang, ia menyebut suaminya Sayang) Ayo, Mas Teto (ia menyebutku selalu dengan mas) mulai. Oh ya, maaf, stop, nanti dulu." Atik berdiri lagi dan mengambil dua gelas berisi sari jeruk. "Hampir saja aku lupa." Gelas yang pertama ia letakkan pada sisi piringku. "lni untuk, Mas Teto." Baru: "Ini untuk sayang-disayang." Dan tertawalah ia. Lalu mengerdipkan satu mata ke arahku sambil berkata: "Kalau suamiku tidak disebut sayang, ia selalu marah. Seluruh hari hanya bermuram saja tak bisa kerja apa-apa." "Ah, siapa bilang," protes suarninya. "ltu hanya show saja kalau ada tamu." "Hei, hei, Mas Teto bukan tamu. Mas Teto, kau merasa di sini sebagai tamu? Awas kalau bilang ya." Aku tertawa dan memang dari hati aku tertawa: "Dik Jana sudah membiasakan diri tentunya punya istri yang begitu fasis." Memang! Nah, Tik, apa katamu? Kau dengar sendiri dari Mas Teto." ''Aduh, sekarang Jon merasa mendapat sekutu, ya. Beginilah Mas Teto, sebelum kau datang, dia selalu pihak minoritas, satu pria melawan dua. Sekarang sudah seimbang; dua lawan dua. Hei, 1bu! Mari lekas, Atikmu kau bela dong. Ia diserang. Ayo, Bu." ''Ya ... sebentar. 1ni keran kok tidak bisa tutup." "Mari,” dan aku berdiri menuju kamar-mandi yang langsung berhubungan dengan kamar-tidur. "Heh!" seru Atik. "Dilarang keras masuk kamar wanita!" Aku terkejut berhenti. Atik tertawa tergial-gial. "Nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Silakan. Memang sudah tiga hari begitu. Giman tolol, tidak pernah mendengarkan. Disuruh memperbaiki hanya omong inggih¹⁾, inggih. Ah, nggak kepanggih²⁾." ''Mana Bu?" Kucoba kerannya. "Harus pelan-pelan, Bu. Sebab memang sudah dol." Kuputar pelan-pelan sekali. "Nah cukup begini saja. Kalau diteruskan malahan kembali dol lagi." Arus masih ada tetapi hanya sekecil lidi. Atik berkecak-pinggang dan tertawa: "lbu, Mas Teto ini kita kontrak saja sebagai tukang bikin betul kran bocor, genting bocor, selokan meluap. Setuju? Mau ya, Mas Teto?" (Ingin kupijat hidungnya, tetapi untung aku masih sanggup mengekang diri). ''Ya, tergantung berapa gajinya." ¹⁾ Ya. ²⁾ Ketemu. 166 "Beres deh. Mari Bu, Ibu duduk di sini saja. Aku di sini. Tidak enak memandang tamu dari samping. Kalau Jon Sayang sih setiap hari sudah dapat dilihat, ya Sayang." Dik Jana ternyata tukang makan yang lahap lezat melalap rotinya. Ia sibuk mengambil roti, menyemirkan mentega dan serba konsentrasi mengambil lapisanlapisan daging. “Apa katamu, Tik?" “Ah, kau ini kalau sudah makan tidak dengar apa-apa yang lain. Ya, begini inilah Mas Teto, suamiku. Pantas saja negeri ini banyak yang menderita kelaparan. Begitu asyik makannya." Bu Antana menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah apa maksudnya. Kubela Dik Jana. "Jangan dengarkan istrimu, Dik Jon. Sejak du memang begitu. Hanya meledek saja." Aku ingin mengambil seiris roti, tetapi tanganku dipegang Atik. "Tunggu." Ada apa ini? Irisan roti ia ambil dan ia mulai menyemirnya dengan mentega, sambil memandang jenaka (atau birahi?) kepadaku. "Tamu kita harus diberi service top-class. Pilih mana: Ini? Ini? Yang ada saja. Yang tidak ada jangan dipilih. Ini?" "Ya, itu saja," jawabku ngawur, sebab aku tidak terbiasa dimanja begitu. "Satu? Dua? Atau tiga? Tiga iris untuk orang laki-laki pantas. Nah, selamatmakan." Bu Antana dari sudut matanya mencuri pandangan ke arah puterinya. Lalu menundukkan kelopak matanya. "Ibu, kopinya." Kulihat Bu Antana memberi isyarat-isyarat dengan kernyitan alisnya ke arah Dik Jana. "0 ya, Mas Jon. Kau kopi atau teh? Teh saja. Dokter sudah menasihatkan jangan terlalu banyak kopi. Aneh ya, Mas Teto. Kalau orang biasa, minum kopi jadi segar. Kalau Mas Jon ini bahkan sebaliknya. Jadi-tegang. Oh kok begini bening tehnya. Memalukan. Siapa ini tadi yang membuat." "Saya yang salah, Tik. Sini saya ganti." Dik Jon protes: "0-0-0 tidak perlu, jangan Bu. Ibu duduk saja, dan makan tenang. Kau juga makan, Atik sayang." "Saya cukup sari jeruk ini dan secuwil keju." Cepat kuambil cawan keju, dan mengiris untuk Atik. Berapa? Satu iris? Dua iris? Sekarang saya yang memanja," kataku spontan, entah ilham dari mana. Atik tersenyum bercahaya. Matanya tiba-tiba terkena pandangan ibunya, lalu membalik ke sebelah lain. "Mas Jon, lagi rotinya?" Suaminya dengan mulut mengunyah hanya geleng-kepala, mengambil cangkirnya, pelan-pelan diminumnya teh bening tadi. Ibunya mengangkat teko teh dan mengisi lagi cangkir yang diacungkan oleh Dik Jana. 167 “Nah, hari ini acara apa?" tanya Atik sambil pelan-pelan menggigit cuilan kejunya. Suaminya menengadahkan kedua telapak tangannya setinggi bahunya, tanda: terserah kalian. Aku hanya abdi. "Mas Teto, kami hari ini wajib mengunjungi Rektor Universitas untuk berterima kasih atas partisipasinya. Lalu ke Hotel, juga untuk berterima kasih kepada Prof Chauvigney dan mengantarkannya ke lapangan terbang. Jam berapa pesawatnya berangkat, Sayang? Jam 13.00 kita harus makan siang dengannya. Lalu Mas Teto bagaimana? 1bu makan siang dengan kami?" ''Jangan repot-repot," tangkisku. Sungguh aku tidak berniat menambah seorang kenalan lagi yang toh tidak akan ada sangkut-pautnya dengan kehidupanku. "Silakan menunaikan program kalian. Aku dapat pergi ke tempat lain yang sudah lama ingin aku kunjungi." "Ke mana?" "Ke bekas istana Soekarno dulu." Mereka terperanjat. Apa-apaan ini. Atik menggeleng-gelengkan kepalanya serba prihatin. “Ada apa, Mas? Masa lampau jangan kau orek-orek lagi." "Ya, bagaimana kukatakan? Bagimu itu masa lampau." "Nostalgia?" tanya Bu Antana. "Hati-hati dengan nostalgia." "Bukan itu," tangkisku. Atik memandang kepada suaminya. ''Jam berapa kita harus menghadap Pak Rektor?" "Kan kau sendiri Sayang, yang lebih tahu dariku." “Jam sepuluh;' sahut ibunya. ''Aku mendengar kau kemarin berkencan dengan beliau: jam sepuluh." ''Ya, jam sepuluh," kata suaminya menggaris-bawahi. "Kau ini ... (dan nada Atik tampak gusar seperti menuduh) cuma bisa membonceng." ''Atik,'' kataku, "jangan kau keras-keras pada suamimu." "Habis, memang begitu,” tumpang Atik lebih sengit Iagi. (Drama! batinku. Drama.) Bu Antana memandangku dengan ekspresi permohonan. Aku menunduk. Kalau begini terus, keluarga ini berantakan, pikirku, hanya karena aku hadir di sini. Ya Allah, harus bagaimana aku. "Mas Teto ingin jam berapa ke istana?" "Ingin sih ingin. Tetapi apa diijinkan, itulah soal juga,” kataku dengan sasaran samping, agar kedua suami-istri itu tidak ditambam persoalan. "Garnpang!" kata Larasati Si Pendekar Panas Mahabharata. "Nanti saya yang maju. Jam sepuluh? Sekarang sudah jam delapan. Kita harus punya reserve waktu. Dua jam siapa tahu kurang. Orang sedang berpariwisata, biasanya tidak tahu, jam sudah lari tidak terkendalikan. Rektor harus menunggu kita. Mas Jon, Sayang. Tolong telepon, barangkali kita boleh datang jam setengah sebelas." 168 "Baik," dan suaminya langsung berdiri. "Nomor teleponnya berapa?" "Di kartu catatan ada." "0kay." "Hei, Mas Teto. Tambah lagi rotinya. Masakan hanya tiga iris. Ayo dong." Dan tanpa menunggu acc-ku, langsung ia mengambil seiris lagi mau menyemirnya. "Stop," kataku tegas. "Saya pagi-pagi biasanya tidak makan banyak." “Sungguh tidak lagi?" masih juga ia menawar. "Tidak," kataku tegas. "Terseralah kalau mau kaumakan sendiri," kataku agak kasar. "Tetapi aku tidak." Dan kuminum kopi. Atik tersenyum padaku, lagi itu pijarpijar matanya yang manja , atau bangga atau ... birahi ? Matanya kutatap nanap. Ia mengalah dan memandang kepada ibunya sambil berbisik. "Mas Sinyo ini masih tegas seperti dulu." Senafas kebanggaan terdengar dari bisikannya itu. Ibunya hanya diam dan memandang kepada anaknya, kepadaku, dan menunduk. "Tetap masih kepala batu dia," dan tertawalah Atik riang seperti anak kecil melihat badut. "Sama-sama," balasku. Atik lebih tertawa lagi. Ibunya menyentuh tangannya. "Kedengaran di telefon,” Pura-pura Atik terkejut, mulutnya ditutup dengan kepal kecilnya yang memegang pisau roti. Geli dikulum. "Okay, beres!" begitu laporan suaminya sambil duduk kembali santai bersandar ke belakang seperti seorang Sultan yang kenyang. ''Jam setengah sebelas. Bahkan jam sebelas juga boleh, kata Rektor. Asal jangan sarnpai jam sebelas malam, begitu pesannya." ''Aku sudah mengira, pasti ia mau. Orang baik." "Jadi," ejekku "orang baik ialah orang yang mengiyakan selalu pendapatmu. Begitu definisinya, Tik?" "Heh? Dah, sayang kau tidak tergolong profesor penyanggah kemarin. Gelegapan aku pasti. Bagaimana, Bu? Jawaban pertanyaan itu'?" Ibunya melirik kepada anaknya. "Kok aku. Kau yang harus menjawab." Atik melihat kepada suaminya, "Bagaimana kau, Mas Jon?" ' "Lho, kok aku. Kau yang harus menjawab." Meledaklah ketawa kami berempat. Jenaka dan manja matanya disipitkan dan Atik mengintaiku dari sela-sela kelopak mata. "Definisi keliru." "Jadi kau keliru, Tik?" “Definisinya yang keliru. Aku belum tentu." Dengan tertawa kemenangan aku berkata kepada ibunya "Bu, lihat apa tidak? Kepala batu. Dari dulu." "Kau yang kepala batu." "Hei-hei, kok seperti anak kecil,” seru Bu Antana sambil tertawa. 169 "Memang anak kecil,” sela suaminya. Kami terkejut juga mendengar keberanian Si Jana ini. Seperti ular kobra yang diserang tegaklah kepala Atik. Lehernya memanjang dan dengan kepala oleng ia memandang dari sudut matanya sambil melengos ke arah suaminya. Melengos menghina? Melengos manja? Melengos sayang? Entahlah. Ingin ia mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba memutuskan untuk bungkam saja. Kuiriskan lagi secuil keju. Dan walaupun tangannya protes, keju itu kuletakkan di atas piringnya. la melihat kepada cuilan keju itu, melihat padaku lalu tertawa kecil. "Kalau tidak kumakan, katanya aku kepala batu. Kalau kumakan, aku tambah gemuk satu kilo. Pilih mana, Bu?" "Kok aku. Kau yang harus memilih." ''Bagaimana, Mas Jon? … Saya sudah tahu jawabmu: lho kok aku, kau yang harus memilih." (Suaminya memandangku seperti minta tolong). Cuilan diletakkan pada piring suaminya: "Kau saja yang memakan, Sayang. Lebih baik kepala batu tetapi lebih ringan satu kilo". Suaminya memandang kepada istrinya, kepadaku lalu bernafas panjang. Ia mengangkat kedua tangannya selaku tanda "Apa boleh buat"; lalu memakan cuilan keju itu. 170 21. Istana Perjuangan Mas Seta, aku sungguh senang Mas Seta datang. Selama ini aku tldak pernah tahu, ke mana aku harus pergi kalau ingin minta nasihat. Ya, terus-terang ini mengenai istriku." Aku sungguh terkejut dan dari samping memandang Jana, yang hanya menyekanyeka setir mobil dan memandang lurns ke muka. "Aku bukan penasihat yang baik," kataku, jelas khawatir lebih ruwet lagi terperangkap dalam suatu persoalan intim yang hanya membingungkan diriku yang sudah serba bingung ini. ''Ah, aku tahu Mas Seta. Tetapi dari apa yang aku dengar dari Bu Antana dan dari Atik sendiri aku sudah lama tahu: Mas Seta dapat aku andalkan sebagai abang yang baik. Dan sejak kita saling berjumpa kemarin, Mas, aku punya intuisi, ya walaupun intuisi lelaki biasanya tumpul, tetapi aku yakin, hanya Mas Seta yang dapat menolong kami berdua." "Kami berdua? Kulihat antara Adik dan Atik tidak ada apa-apa." ''Ya, memang tampaknya demikian. Tetapi sebenarnya saya tahu, tidak begitulah. Atau lebih tepat: BELUM begitulah. Kami sudah beranak tiga, tetapi kok rasanya kami ini seolah belum pernah menikah." "Tidak apa-apa, Dik Jon. Biasa itu. Dalam perkawinan selalu ada up and downnya." Aku jengkel sendiri dengan diriku. Nasihat umum basa-basi usang yang banyak kata tetapi kosong. Sebetulnya aku jengkel juga dengan bekas Palang Merah di sampingku ini yang tidak berani (tidak mau, bukan, tidak berani) memegang senjata seperti lelaki normal. Ah, celaka memang bisa kubayangkan bagi Atik, punya suami begini ini. ''Ah, Mas Seta harus tahu. Aku anak sulung. Dan tidak pernah mempunyai seorang abang yang dapat kunikmati pertolongan atau nasihatnya. Selalu aku harus mencari sendiri, bergulat sendiri dan setiap kali salah dan dimarahi ayah: Kau harus memberi teladan, kau harus mengalah, kau harus ini-itu; hanya karena aku anak sulung. Memang aku bukan tipe manusia yang jagoan, tetapi apakah itu salah?" "Tentu tidak ... ," jawabku, yang jelas samasekali tidak menjawab soal. Ingin orang lelaki di sampingku ini kukocok dan kusepak agar kejantanannya melotot ke luar dari kepompongnya. ''Ya ... Atik memang bukan orang yang gampang." "Nah, justru itulah Mas Seta, aku sering tidak tahu, harus bagaimana ia kutanggapi. Seringkali, begini salah, begitu keliru. Padahal ya, walaupun saya ini orang tidak tanpa kekeliruan, segala-galanya sudah kuusahakan agar membuat hidupnya senang." Aku sudah tidak mendengar lagi apa yang dikatakan udang yang tidak punya kulit panser itu. Kulihat Atik sedang asyik berdiplomasi dengan perwira penjagaan istana yang kini disebut "Gedung Negara" itu. Aku sendiri tidak tahu, mengapa aku justru ingin kemari. 171 Sentimentil sebetulnya, dan demi mengabdi kesentimentilan banci ini Atik matimatian berdiplomasi dengan militer-militer itu. Kulihat piket penjagaan menganggukangguk tersenyum. Pasti kalah dengan rayuan Larasati, kupikir geli. Bagaimana seandainya Guru Srikandi itu agen sabotase musuh yang datang dengan mission mencuri dokumen-dokumen istana republik ini? Bangun dong, Teto! 1ni bukan lagi istana presiden RI jaman kau berpetualang dengan Kolonel van Langen di atas jip masuk istana 19 Desember 1948 dulu itu. Dengan wajah yang berseri-seri kemenangan (Atik selalu menang, kecuali dalam soal perkawinan, pikirku getir) ia mendekati jendela mobilku. "Good! Ayo Mas Jon, terus ke depan itu." Aku keluar mobil dan membukakan pintu bagi Atik. "Perttwa musuh yang gallant," ejek Atik sambil memperlihatkan rangkaian gigi-gigi yang cemerlang. Ketika ia menunduk masuk mobil di belakang, tampak bergayut kedua payudaranya yang manis montok dan putih. Sambil menundukkan diri lagi di samping Jana, aku berkata padanya: "Istrimu diplomat ulung, Dik Jana." Keluar dari mobil angin sepoi-sepoi yang menyegarkan menari lagi. Angin kemerdekaan, gumamku dalam hati. Kami tidak terus ke bagian tengah serambi, di mana menurut Atik, dulu Bung Karno, Bung Hatta dan lain-lain selalu berdiri untuk menaikkan bendera Merah Putih. "Mas, Mas Teto, di sini dulu aku berdiri." Ia menarik lenganku dan naik tangga emperan muka istana dari marmer itu. ''Di sini." Dan ia menunjukkan sudut paling belakang. Ia tertawa renyah: ''Ya, di sudut ini. Paling belakang, seorang gadis desa dengan dua ekor kepang rambut, rok dril putih yang kaku dikanji, tanpa bentuk deh. Tapi dril itu enak, tidak panas seperti bahan nylon jaman sekarang. Dan di sampingku, seorang ajudan Menteri Luar Negeri. Ah ya, bukan ajudan sebetulnya, tetapi hanya kacung pembawa map-map belaka, tetapi aduhai tukang perayu. Mas Jon kan kenal dia?" ''Dirut proyek perkayuan Kalimantan yang baru diperiksa perkaranya itu?" "Perkaranya? Perkara-perkara. Plural. Termasuk petualangan-petualangan dengan perempuan macam-macam." ''Termasuk Larasati Antana, kusela meledek. Atik memandangku genit seolah-olah tersinggung dan berkata: “Ah, gadis umur tujuhbelas tahu apa tentang asmara dulu itu. Kami sudah cepat dewasa. Tetapi nota bene hanya dalam soal kerja. Tetapi pacaran seperti sekarang ini? Mustahil," katanya dengan tangan seperti ahli orator memenggal leher lawan. Aku ingin menolong suaminya: "Lalu dik Jana di mana dulu berdiri?" "Tanya saja pada istriku itu. Dia selalu mengejekku tentang itu." Istrinya tertawa padaku dan dengan nada yang sebenarnya sedikit sadis, ia berkata sambil menunjuk pada pagar muka istana jauh di sana di tepi Jalan Malioboro. 172 "Di saa ... na." ''Bersama rakyat!" tangkis suaminya. Aku tak dapat menahan ketawaku. Oah kasihan kau Jon. Begitu kaku kau membela diri. Ayo dong, jangan takut begitu. Istrimu harus kau lawan. Jangan kau gendong terus-menerus. Malah dia lari nanti. Seperti anak yang mulai besar menjadi jengkel kalau terus-menerus digendong dan diciumi. ''Nah, Tik. Suamimu tersayang bersama rakyat di sana. Kau bersama para agung dan kuasa. Mana semangat gerilyamu?" Tetapi Atik sudah tidak mau mendengarkan. "Nah, sekarang Mas Teto. Di mana kau?" "Aku?" Aku ekstra sengaja merangkul Dik Jon dan berkata: "Mari Dik, akan kutunjukkan." Dan berangkulan kami turun tangga-tangga marmer itu, melangkah beberapa meter lagi ke suatu titik di atas aspal yang jelas sudah sangat diperbaiki itu. Ketika kami berhenti dan aku menoleh, Atik masih di atas tangga yang teratas. "Ke sini." "Nggak. Panas." “Ah, tidak perlu takut jadi hitam kulitmu. (Pada suaminya) Nah ini dik Jon, kamu diplomasi itu selalu begitu: takut panas. (Aku menunjuk suatu lokasi di atas rumput) Nah, di sini aku berdiri. Bawa bedil Thompson: Begini barangkali." Aku berdiri seperti acuh tak acuh tetapi sombong berkecak pinggang. Seolah moncong Thompson menodong. Nah, di sana jip Kolonel van Langen. Di belakangnya masih ada jip lagi yang kosong. Lalu mereka masuk. Aku naik tangga juga. Berhenti di dekat pilar ini. Begini (kulihat Atik dengan mata lebar terpukau pada gerak-gerikku yang memang aku sadar, jantan gagah). Lalu mereka datang. Soekarno dan Hatta dan Syahrir dan Haji Agus Salim dan ya ... mereka mendongak begini, tersenyum. Apa lagi Soekarno, nah tegak penuh harga-diri, merasa safe dan seolah-olah merekalah yang jaya. Tetapi historis ternyata akhirnya juga begitu." "Syahrir bagaimana?" "Syahrir? Oh, dia seperti Hatta. Berjalan biasa. Seperti mau cari orang jualan es putar di jalan saja. Seolah mengejek. Sungguh menjengkelkan. Ya, dan ... (aku memandang kepada Dik Jana), sungguh Dik Jon, ketika itu aku benar-benar ingin bertanya pada Syahrir: Tuan, di mana Larasati? Tetapi nyatanya aku hanya bungkam saja dan ya, selanjutnya aku hanya ingat, mereka pergi ke Meguwo, entah, dan aku hanya terpaku di bawah tangga ini. Bukan. Bukan di sini (aku turon lagi darl marmer ke rumput hijau) Aku di sini. Dan aku masih ingat, aku jengkel memetik sebatang rumput jarum, lalu aku kunyah-kunyah. Detail-detail kecil begitu malah aku ingat. Ya, begitulah pengalaman pihak pengkhianat bangsa." Jana mendekati aku dari samping dan ia bergumam padaku: "Mas Seta, kami tidak pernah menganggap kau begitu. Kami tahu segala sebab mengapa kau begitu. Mas Seta jujur. Ini yang kami hitung." 173 “Ah tidak, Dik Jon. Aku tahu, tidak seindah itu kenyataannya. Aku tidak perlu dikasihani. Orang lelaki, kalau ia sejati, tidak pernah suka dikasihani." "Ah, bukan itu maksudku." Aku pergi ke samping, mencari tempat bayangan yang agak teduh. "Mas Teto ke mana?" kudengar dari tangga teratas. "Cari yang sejuk." ''Naik ke sini saja." "Tidak." Dan tumpul perasaan tidak gallant aku hanya menunjuk ke samping. Di tangga samping itu sejuk karena agak terlindung oleh suatu lengkungan besar yang menjadi kulis samping emperan muka yang monumental itu. Jana mengikutiku seperti anjing yang setia. Atik dengan langkah-langkahnya yang cepat segera juga menuju tempatku. Aku terus menuju ke padang hijau di samping istana dan langsung duduk di rumput. Atik juga meniru langsung. Suaminya datang dan juga duduk di rumput. Aku memandang ke dedaunan pohon-pohon yang rindang itu. "Ada burung kipas!" seru Atik, yang juga melihat ke dahan-dahan pohon itu. "Mana?" tanyaku dan tanya suaminya pas bersama-sama. "Tidak lihat,” kataku. "Aku juga tidak lihat,” kata Dik Jana. "ltu. Yang coklat itu." ''Mana? Memang aku bukan ahli burung, bagaimana bisa lihat binatang coklat pada dahan yang serba coklat dan banyak daunnya." ''Lihat ekomya! Itu yang berpelisir putih itu. Membias-merapat lagi, membiasmerapat lagi, sudah lihat atau belum? Itu yang gesit dan ramai bergerak seperti anak perempuan usil di kelas." "Oh ya, aku juga melihatnya. ''Di mana?" tanya suaminya. "Pokoknya kalau melihat sesuatu yang bergerak kenes dan meloncat-loncat gesit, luwes serba elok, itulah dia. Ekornya, lebih-lebih ekornya memperlihatkan kenesnya dan genitnya Seperti Atik:' gumamku setengah tidak bisa didengar. Tetapi Atik telah mendengamya. ''Apa? Awas kau,Mas Teto." Dan genit ia melirik kepadaku. "Nah, betul kau Dik Jon. Persis burung apa itu tadi?" "Burung kipas,” sambung Dik Jana. "Memang kenes, ya sekarang aku sudah melihatnya. Ya, memang genit." "Seperti siapa, Jon?" "Tahu sendirilah,” sambil memusatkan matanya kepada si burung kipas itu. Tibatiba Atik memegang tanganku dan menunjuk dengan jari telunjuknya mengarah ke atas. 174 ''Dengar tidak? Heran, kok masih ada yang hidup di sini mereka? Dengar?" "Dengar apa?" "Itu: Ci-po. Ci-nya panjang bernada tinggi, lalu po-nya seperti jatuh: po. Ciii-po ciii-po· Lucu ya?" Aku tertawa juga. Yang memang lucu. Cii-po cii-po· "Namanya apa? Cipoa¹⁾?" tanyaku melawak. "Uh cipoa, kau itu cuma memikirkan komputer saja. Namanya mudah saja: burung cipo atau cito. Aegithina tiphia." "Nama Latin sinting. Kan lebih bagus tadi itu? Cii-po, cii-po. Apa gerangan artinya?" "ltu penjaja dari kaum burung,” kata Jana. "Kuacii-bakpao, kuaciii - bakpao." Kami tertawa semua. Nah, begitulah! Kubatin: hidup sedikit kau Jon. Seorang suami harus sering bisa membuat istri tertawa. Atik diam dan mendengarkan suara-suara burung. Ia sedang bergumul dalam wilayah dunianya. Suaminya ikut melihat ke dedaunan mengikuti istrinya. Orang ini tidak ketolongan, batinku, selamanya ia akan menjadi kaum Palang Merah di garis belakang. Tetapi bukankah kaum Palang Merah, walaupun tak membawa senjata apa pun adalah para pecinta sejati dari Kehidupan? Suami semacam inilah sebetulnya cocok untuk seorang pecinta alam seperti Atik. Hanya mereka belum menemukan kesejatian diri masing-masing, walaupun Atik ahli dan fasih tentang kesejatian diri dan citra bahasa dan lain-lain kata falsafah hebat. Hidup harus dihayati praktis, dan tidak hanya diteorikan. Tetapi bukankah penghambat utamanya dalam penemuan jatidiri mereka, dan Atik terutama, sebetulnya justru citra pesona Si Setadewa, aku sendiri? Si jantan ideal, artinya dalam arti romantika, Sang Gatutkaca yang gagah hebat, tetapi selalu terbang dan tetap tak pernah terjangkau? Semacam fatamorgana yang hidup penuh himbauan-himbauan indah, tetapi sebenarnya hanya bayanganbayangan cermin keinginan-keinginan situasi yang dianggap kurang memuaskan? Aku sadar, bahwa aku Setadewa sebenarnya adalah agresor, adalah KNIL, Dr. Beel dan Spoor, yang pada tanggal 19 Desember menyerang Yogyakarta untuk mengejarngejar fatamorgana yang fatal dan yang akhirnya membuat jiwa Kapitein Seta patah. Yang dulu disangka pemotongan keruwetan gordian Iskandar Agung, ternyata berakhir dengan tragedi bunuh diri Spoor dan likuidasi KNIL. Aku, Setadewa seharusnya sudah lama menarik hikmah pelajaran yang fatal itu. Mengapa aku di sini sekali lagi menjadi agresor kebahagiaan keluarga Janakatamsi? Jikalau Bu Antana bereaksi normal sebagai induk yang hanya memikirkan kebahagiaan anak tunggalnya secara jangka pendek, seperti selalu dikerjakan oleh naluri wanita yang mahir mencari jalan-jalan ke luar yang efisien dalam jangka pendek, maka aku sebagai lelaki harus menyumbang pelengkapnya, yakni bertindak dalam prospek jangka lama. Perang tidak pernah merupakan tujuan dalam diri sendiri, Tidak ada nasion yang berperang demi berperang. Perang adalah sebentuk perpanjangan diplomasi dengan cara-cara yang lain. ¹⁾ Alat hitung Cina tradisional. 175 Selaku orang militer atau menejer perusahaan, sama saja, aku seharusnya sudah tahu bahwa persoalannya bukanlah menang taktis belaka melalui suatu pertempuran dengan biaya apapun, tetapi memenangkan peperangan sebagai keseluruhan secara strategis. Jika permainan segi tiga ini diterus-teruskan memanglah taktis Bu Antana dan Atik menang. Dan pasti aku sekali saat akan kalah dan tidur dalam rangkulan kewanitaan Larasati yang vital seperti hutan tropika dan yang mendamba dan mendamba kejantanan gelora alam yang mengguntur dalam awan-awan dan yang menjanjikan hujan muson khatulistiwa .. Tetapi jikalau itu terjadi, pastilah Larasati dan Janakatamsi dan juga Bu Antana serta ketiga anak terkasih tak bersalah itu akan hancur berantakan dalam suatu kekalahan strategis. Bagaikan suatu perang nuklir, yang tidak lagi mengenal pihak pemenang, karena semua pihak akan kalah. Dan kehancuran seperti itu sama dengan bunuh-diri. Aku tidak akan bunuh-diri. Kejantanan justru menghendaki hidup-diri. Apalagi kewanitaan, rahim yang dari bahasa citranya sudah memiliki bentuk ingin menerima, ingin dibuahi demi kehidupan. Dan tidak minta untuk dilukai belaka. Dapatkah semua itu kusadarkan kepada Atik? Tetapi terutama kepada diriku dulu, Setadewa? Kalau Seta cinta pada Atik, ia akan menginginkan pangkuan Atik bukan sebagai lubang luka-Iuka, melainkan gua kehidupan. Memang benarlah bentuknya sama, dua Citra itu. Tetapi kualitas dan makna tidak datang cuma dari bentuk lugu belaka. Setadewa sebagai manusia harus berani memilih. "Kok diam, Mas Teto? Sedang memikirkan apa?" tiba-tiba Atik bertanya memecahkan lamunanku. Inilah saatnya, ya inilah saatnya, begitulah sejelas-jelasnya terilhamkan padaku. Tidak didalam kamar netral, tetapi di sini, di halaman istana bersejarah inilah aku akan membuat perhitungan hidupku selama ini yang tanpa arti, bagi rahim yang pemah mengandungku, demi susu-susu ibu yang pemah memberiku zat-zat kehidupanku yang pertama, demi wajah-wajah dan tangan-tangan yang halus membelai dan memberi getaran-getaran pertama emosiku, yang kelak disepuh lagi menjadi serat-serat karakter kepribadianku, demi ayahku perwira pembangkang kelaliman, keluargaku dan negeriku. "Dik Jon, aku ingin minta nasihatmu." Jana agak terperanjat juga dalam reaksinya. "Lho, apa Mas Seto?" Atik memandang padaku dengan tegang. Barangkali bagi Atik aku ini selalu variabel yang tidak pernah bisa diperhitungkan, tetapi selalu memukau, menarik, sekaligus mengancam. "Dik Jon, sebagai ahli geologi utama di kalangan eselon atas kau kan punya koneksi penting dengan menteri-menteri?" Bukan Jana tetapi Atiklah yang menjawab: "Mas Jon, kau kan kenal semua Dirjen?" ''Ya, saya kenal. Tapi soalnya apa?" Lalu kubentangkan model komputer yang salah menghitung kuantitas produksi minyak mentah. Begitu kompleks dan sulit perhitungan itu, sehingga hanya bagi orang yang langsung berkecimpung dalam inti pimpinan, hal itu kelihatan. ''Aku yakin adanya kesengajaan. 176 Namun tentulah secara hukum hal itu sulit dibuktikan, sebab siapa yang cukup ahli matematika tinggi untuk melihat kesalahan fatal di dalam rumus yang begitu panjang dan rumit? Dan yang totalitasnya hanya diketahui orang yang paling top? Seharusnya ini diperiksa oleh pihak Indonesia. Tetapi negeri ini kan hampir tidak punya ahli matematika." Dengan melompong Jana mendengar uraian-uraianku dan kedua mata indah dari Atik yang membelalak menunjukkan, betapa paham mereka akan komplikasi dan implikasi permasalahan. Reaksi pertama datang dari Atik, ya tentu saja dari dia. Dia yang lebih cerdas. Tetapi, Mas Teto. Ini berarti kau akan dipecatl" "Aku tahu." Erat-erat tanganku diremas-remasnya. ''Teto! Teetoo! Kau sungguh Teto, kau singa!" "Singa yang sudah divonis dan menunggu ditembak." ''Ya, itulah konsekuensinya. Dan kau sanggup mati?" "Aku tidak akan mati. Hanya harus berganti kehidupan. Dari manusia lama menjadi manusia baru." "Teto! Sungguh jantan kau." "Ini bukan soal jantan atau tidak jantan." Atik melihat kepada suaminya, kepadaku lagi, kepada suaminya. "Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Mas Seta," kata Jana perlahan-lahan, "Mas Seta akan saya bantu. Tetapi bagiku hanya sedih, bahwa dengan begitu aku akan ikut serta dengan proses pemecatanmu. "Dik Jon, kau ahli geologi dengan jiwa Palang Merah. Pulau Jawa ini tidak akan subur tanpa sesekali vulkan-vulkan itu meletus. Kalian mengalami Revolusi. Itu ledakan dahsyat yang menyuburkan negeri ini. Tetapi kau dan kau ada di pihak yang menang. Kekalahan pihak ku memungkinkan kemenangan kalian. Aku dulu masuk KNIL tidak untuk mencari gaji soldadu. Bukan juga demi petualangan tentara sewaan belaka. Aku memerangi kalian sebagai pembalas dendam ibuku, yang mengandungku dan yang dirusak kandungannya oleh Jepang. Memang kesalahanku ada pada identiflkasi Jepang dengan Republik Indonesia. Tetapi maaf, terus-terang kukatakan, bukankah banyak dari pimpinan pihak kalian bukan hanya murid, tetapi penerus konsekuen mental Jepang itu? Selama aku jadi menejer perusahaan sesudah perang, aku baru mengenal segi-segi lain dari Jepang yang lebih positip. Tetapi dalam saat kala itu Jepang diperkenalkan pada kita dalam bentuknya yang fasis. Memang aku keliru dalam memilih sasaran, akan tetapi tidak dalam motivasi. Dan motivasiku masih sama. Aku tidak mau mengabdi kepada perusahaan yang pada hakekatnya juga bermental fasis, menipu, merampok dan memaksakan rumus-rumus serta modelmodelnya pada negeri ini; ya, negeri ini adalah Mamiku dalam bentuk lain. Sekarang pun aku akan membalas dendam, bila negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer. Dan inilah saat perhitunganku. 177 Aku tidak gentar, seperti dulu itu aku tidak gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran. Sekarang tidak." Atik hanya memandangku dengan mata yang basah. Bungkam dan tidak mampu mengungkapkan diri dalam emosinya. Aku tahu, ia bangga, ia melihatku sebagai lelaki yang ia idam-idamkan. Tetapi itu perkara lain. Wanita selalu menangkap getaran-getaran radar pribadi dulu. Kami kaum lelaki getaran-getaran perkaranya dan seluruh gerak galaksi. Dan dalam hal ini aku lebih menghadap kepada Jana daripada Atik. ''Aku dapat menjadi perantara," begitu kata Jana sederhana, "tetapi jujur saja aku bukan andalan yang selalu meyakinkan." "Kau akan membantu?" ''Pasti, Mas Seta. Hanya masalahnya masih ada satu. Dan satu ini dapat sangat mempersulit operasi." "Mencari orangnya yang tepat?" "Oh, itu bukan soal. Aku kenal orang-orang yang memegang kunci dalam masalah ini. Kalau perlu sampai eselon yang tertinggi. Tetapi sering soal seperti ini lebih mudah digarap oleh eselon yang jangan terlalu top. Sebab sebelum itu, soal rumus model harus kita check kembali dan itu membutuhkan bantuan ahli. Tetapi tidak hanya ahli. Ahli yang MAU dan BERANI menanggung risiko." "Lho, ini kan demi negeri kita sendiri." ''Ya, betul Mas. Itu seharusnya. Tetapi yang seharusnya dan senyatanya itu kan masih dua soal yang belum tentu klop." "Kau benar Dik Jon. Bagaimana nanti sebaiknya?" Serahkan kepada saya, Mas Seta." Atik masih diam. Tetapi dadanya nampak bergejolak naik turon. Sekali lagi intuisi wanitanya melonjak keluar. "Mas Jon, Sayang, kau juga bisa dipecat." Dan tenang seolah-olah hanya omong tentang roti dan mentega makan pagi tadi ia tersenyum kepada istrinya dan berkata : "Kalau perlu, apa boleh buat." Kulihat mata Atik membelalak. Nah, bagus kau Jon. Sekarang istrimu melihatmu sebagai jantan: "Kau berani Jon, Sayang?" "lni bukan soal berani atau tidak, Tik. lni soal harus (tampak Atik masih belum percaya apa yang dikatakan suaminya). "Begini, Tik. Kalau Teto (padaku) yang kumaksud Seta, anak kami, Mas, Tik, kalau Teto atau Padmi misalnya sedang mainmain di jalan, tersandung di aspal, lalu ada Colt datang menyambar, apakah di sini masih dipertanyakan soal berani atau tidak? Kan spontan kita akan maju dan menyeret Si Teto atau Padmi itu dari bahaya. Barangkali kita sendiri terkena, tetapi itu sudah risiko. Kalau tidak begitu, ya, jangan jadi bapak atau ibu." Senyum dikulum pada Atik. "Mas Teto, aku juga akan membantu." 178 Jana menyambut: "Sebaiknya kau sementara di belakang dulu, Tik. Bukan karena aku tidak percaya padamu, tetapi kita harus strategis kerjanya." Aku membantu Jana: ''Ya Tik, serahkan saja pada suamimu. Dalam perkara gawat ini, Jana sangat tabah." Kulihat pada jam tanganku. Spontan mereka juga berbuat yang sarna. Masih cukup waktu. Tetapi atas usulku kami toh berdiri dan merenung spontan diam kami menuju ke mobil. Meninggalkan halaman yang bersejarah itu. Di pertigaan Jalan Beringharjo kucatat, jam Yogya atau Jakarta sama saja, terlambat hampir tiga jam. Tak mengapalah. Asal masih berjalan. 179 22. Sarang Manyar Baru Ternyata, apa yang sudah diduga semula betul terjadi. Aku dipanggil ke Tokyo dan di restoran lapangan terbang aku diberi tahu oleh boss tertinggi Pacific Oil Wells Company, bahwa aku dipecat dengan tidak hormat. Sinis Boss Besarku berkata melalui hidung (dia punya hidung terlalu besar, sehingga suara selalu melalui saluran samping yang bukan kodratnya untuk bersuara itu) bahwa apa yang kukerjakan itu sia-sia saja. Perbuatan anak puber idealis yang tidak tahu kompleksitas persoalan internasional dan sebagainya dan sebagainya. Dari segi efek terakhir semua itu hanya berakibat kecil. Sebaiknya, sebetulnya, seharusnya, semestinya dan sebagainya, tak pantas dikerjakan orang berkedudukan tinggi seperti aku ini. Bahkan dengan menempatkan orang kulit berwarna pada pos begitu tinggi kan seharusnya aku mengerti bahwa itu salah suatu tanda good-will yang besar dan bahwa sebenarnya, sebetulnya, semestinya dan sebagainya aku harus menghargai kepercayaan yang sudah setulus-tulusnya dilirnpahkan kepadaku. Tetapi ternyata aku ular kobra yang menggigit dari belakang. Dan sebagainya, dan sebagainya, dan seterusnya. Tetapi perusahaannya sudah siap menghadapi itu semua dan toh akhirnya hanya aku sendiri yang mencelakakan diriku sendiri. tanpa efek apa pun. Sebab konsesi masih tetap diberikan, bahkan barangkali abadi, kepada mereka; dan lestari kokohlah kedudukan Pacific Oil Wells Company di mana pun. Bahkan dengan peristiwa semacam ini kedudukan mereka justru lebih kuat lagi dan reputasi internasional mereka bahkan melonjak. Selain itu jangan mengira bahwa di dunia ini hanya ada satu rumus saja. Gugur satu tumbuh seribu, sebab para raksasa pandai dan kuat di dalam sistem seperti ini. Tidak begitu saja bisa diserang semut seperti dalam dongeng, dengan memasuki telinga sehingga mastodon gila dan masuk jurang dan sebagainya. Sebab dunia tehnologi, industri, bisnis dan politik ditambah militer, bukanlah dongeng, tetapi perhitungan dan struktur-struktur elektronika yang tahan digigit semut. Dan bahwa selanjutnya segala kelakuan yang gegabah harus ditanggung sendiri dan sebagainya dan sebagainya. Tetapi walaupun, biarpun, kendati pun semua sudah terjadi, Pacific Oil Wells Company dengan segala kedermawaan masih memberi kesempatan pada Dr. Setadewa, dan ini disetujui oleh seluruh Board Of Directors dan Board of Trustees, bahwa orang yang penuh talenta¹⁾ yang begitu ahli dalam segi komputer perlu diberi tempat yang layak demi kemajuan seluruh planet ini. Sebab kaya atau miskin, kita di planet satu ini, saling tergantung. Kehancuran pihak yang satu akan membawa kehancuran yang lain; dan bahwa Dr. Setadewa masih diberi waktu satu bulan untuk mempertimbangkan tawaran kedudukan yang terhormat, walaupun tidak lagi dalam divisi komputer, tetapi dalam suatu divisi lain: Pengembangan Tehnologi dan Metodologi baru yang akan bermanfaat bagi seluruh bangsa manusia di kelak kemudian hari dan sebagainya dan sebagainya. ¹⁾Dari kata talents, bakat. 180 Jika aku mau, dan selayaknya aku harus mau, mengingat kecerdasan otakku dan sebagainya dan sebagaiya dan bahwa sebagai bukti, perusahaan mereka tidak menaruh perasaan dendam sedikit pun, Sang Big Boss pada musim panas yang akan datang tetap mengundang aku juga dalam suatu liburan menarik di kalangan qualified talents all over the world. Sambil menikmati safari samudera di Kepulauan Oceania. Dan karena itu aku akan selalu welcome di rumahnya di Hawai atau Miami; dan bahwa istrinya juga berpesan untuk menyampaikan salam hangat, bahkan mereka bersedia menanggung biaya segala-galanya bila, ... semoga Tuhan memberkati perkawinan Tuan Seta kelak ... itu seandainya" ... Seketika itu aku, yang sampai sekian hanya diam mendengarkan ocehannya, membendung banjir kata-katanya, dan menuntut agar masalah bisnis jangan dicampur-aduk dengan rnasalah pribadi yang intim. Ia lalu menepuk-nepuk bahuku dengan gaya abang tua persaudaraan lama dan berharap dalam sebulan ini menerima jawaban positif. Sebab kalau negatif, akibatnya akan lebih malapetaka lagi dan sebagainya dan sebagainya. Tetapi percakapan kupotong: ''Farewell!'' Di Halim aku dijemput oleh Jana dan Atik. Selama perjalanan ke Bogor mereka tidak menyinggung hal-hal yang gawat, dan justru karena itulah aku sudah mencium, bahwa ada berita malapetaka yang menungguku. Baru sesudah makan sore di kebun belakang yang luas, di bawah sinar beribu bintang, Atik bercerita, bahwa suaminya, seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, dipecat juga dari segala jabatannya. "Atas alasan yang demi security tidak dapat dikatakan," tambah suaminya. Dan Jana dengan tertawa keci1 masih menambahkan: "Tetapi toh masih dengan hormat. Tetapi tak mengapalah. Hidup kami tidak pernah mewah. Walau dulu pun belum pernah mewah, tetapi menjadi proletar juga tidak. Toh sebagai orang swasta ia masih sanggup bekerja. Hanya ia mengkhawatirkan, bahwa karena suaminya, Atik kelak akan mendapat hambatan juga naik tangga karir. “Asal saja masih boleh mendengarkan burung berkicau, tidak mengapalah," kata istrinya sambil merangkul suaminya. Maka dengan senda-gurau aku bertanya spontan tetapi main api sebenarnya. "Tik, aku tidak mendapat hadiah juga kau rangkul? Aku iri hati pada suamimu." "Oh, bagaimana Mas Jon? Boleh?" "Boleh, asal jangan lama-lama." "Lama atau tidak sih relatip." "Ya, beginilah Mas Seta, nasibku. Selalu saja kalah kalau berdebat dengan adikmu itu." (Adik? Ah, main-main api bahaya lagi. Jiwa petualanganku dengan umurku yang sekian belum lagi sembuh). Atik berdiri dan berlutut di belakang kursiku. Aku didekap dari belakang dan pipinya menyeka pipiku. Bisiknya: "Mas Teto, kau harus selalu bersama kami. Aku membutuhkan Mas Teto. Dan Mas Jon juga butuh kau." Kuseka pipinya yang satu dengan tangan kananku. Tanpa kata, sebab saat itu aku tidak bisa berjanji apa pun. Tiba-tiba aku takut. 181 "Di mana anak-anak?" "Kan tadi sudah minta pamit untuk pesta ulang-tahun pada ternan. Atik tertawa nakal: "Mas Jon, Mas Teto takut anak-anak kita melihat ibunya merangkul oom mereka." "Maka itu jangan lama-lama,” jawab suaminya tertawa. "Kok seperti anak keci1,” kataku hanya untuk menenteramkan jiwaku yang tibatiba terbakar. "Kadang-kadang jadi anak kecil ada baiknya," kata dik Jon. ''Dari mana kau punya slogan itu?" tanyaku dengan tertawa. "Ya, biasa kan. Dari istriku," "Oh, Mas Jon ini. Selalu saja rendah hati. Saya belajar juga dari suamiku, sungguh mas Teto." Aku masih menganggur. Aku telah minta berhenti, dan Pacific Oil Wells Company memberiku surat pemberhentian. Ternyata toh masih dengan predikat terhorrnat. Dengan suatu kattebeletje dari Big Boss. "Formal kita berpisah. Tetapi setiap saat Anda masih bisa kami terima lagi." Mereka membutuhkan ahli, batinku. Soalnya hanya: ahli yang bagaimana. Keesokan harinya aku terbang ke Jawa Tengah. Aku merasa butuh, dengan Mamiku lagi, memohon kekuatan untuk hari depan. Dari Magelang aku membawa pesan dari sahabat lama, dokter tua pensiunan, ayah Dik Jana, untuk anaknya. "Tetapi hati-hati menyampaikannya," begitu pesan dokter tua yang baik dan setia itu. Aku menjanjikannya. Saatnya tidak sulit dicari. Pada suatu Sabtu, aku diundang keluarga Jana (yang sedapat mungkin memang kuhindari selama ini, karena aku merasa masih tidak kebal terhadap pesona kewanitaan Atik). Bersama-sama dengan anak-anak kami akan pergi ke Pegunungan Salak. Atik kenal seorang penjaga hutan di sana dan kami akan berkemah di dalam rumahnya yang sederhana dan yang punya ranjang amben yang luas. Cukup untuk kami semua. Maka berpikniklah kami menyegarkan jiwa, pergi ke lereng Gunung Salak. Atik memang guru yang baik untuk anak-anaknya. Mereka diwarisi rahasiarahasia alam hutan yang relatif masih perawan itu. Dan pengetahuannya sebagai biolog namun terutama sebagai pewaris ayahnya, sangat menggugah hatiku. Kami sanggup diam lama di tengah hutan menikmati alam asli dan bunyi-bunyian dalam suasana yang murni itu. Duduk dan diam mendengarkan. Kadang-kadang sang ibu membisikkan sesuatu kepada anaknya. Terutama Si Padmi, yang kedua, yang mirip sekali dengan Atik ketika masih kecil, sangat mewarisi bakat-bakat ibunya. Kicauan burung sering ramai sekali. Kadang-kadang berhenti bersama-sama. Rupa-rupanya ada burung dari langit menghampiri mereka serba mencurigakan Sesudah lewat, kicauan mulai lagi. Pernah di atas kami tiba-tiba meletus kicauan kacau, seolah-olah burung-burung itu saling mencaci. 182 Atik mengintip dengan teropongnya ke atas. Diberikannya kepada Padmi dan berkata: "Lucu sekali!" “Ada apa?" tanya adiknya. Teto Si Abang diam melihat ke atas. "Mereka menemukan seekor burung celepuk barangkali," kata ibunya. "Celepuk? “Atau uhu, atau kebluk. Ya, selalu begitu. Uhu itu lalu dimakimaki sekenyangkenyang mereka. (Kasihan. Kenapa?) Habis, burung itu nakal. Sering pada malam hari mencuri telur atau bahkan memakan anak-anak yang masih kecil dalam sarang." (Apakah aku burung uhu?). "Lalu mereka maki-maki?" tanya Kris. ''Ya, sebetulnya karena setengah takut juga. Seperti kalau kalian melewati kuburan, takut, lalu berteriak atau nyanyi-nyanyi untuk menghilangkan ketakutan." "Eh …..dengar ! "Kr-kr-twee ! "Heh, Itu lagi,” ciee woo..cice woker-kr-twee…ciee wo … ciee wo… Anak-anak tertawa, semua, sehingga kami kaum tua ikut juga. Terdengar suara burung lain: Kopiii Kopiii! "Kopii, kopii! Mereka minta kopi," komentar Dik Jana. Anak-anak tertawa lagi. ''Tapi ayah juga minta kopi Lho." “Aaah!" Bungkusan dan termos dibuka. "Bisanya cuma menyindir!" kata Atik. Kulihat, bahwa Teto si sulung itu cocok sekali dengan ayahnya; tak banyak omong dan seolah-olah hanya menjadi orang kedua saja. (Ayah seperti aku ini kukira bahkan lebih merusak daripada menolong) . “Ayah dulu," perintah Atik kepada Padmi. "E, tidak. Oom dulu. Selalu tamunya dulu." "Tenma kasih, Mimi," kataku manis. Anak itu kalau tertawa atau tersenyum dengan lesung-lesung di pipi, persis sekali ibunya dulu. Dan matanya juga cerdas nakal. "Ibu, ini Oom senang atau Oom yang senang?" Kurangajar! Atik tertawa tidak ketolongan. "Keduanya," katanya kepada anaknya. Teto jelas bukan Teto aku. Ia mengikuti jejak ayahnya, pendiam, pengalah. "Kau kelak jadi apa, To?" ''Ya, apa ya? Dokter juga bisa." (Nah cocok kan). "Lho," kata ibunya. "Kok dokter juga bisa. Apa persisnya? kok ya bisa." "Habis," jawabnya tenang. "Kalau nggak bisa, masakan bisa." "Kalah kau, Tik," kataku meledek. "Ini namanya Teto, tetapi tidak seperti Oom Teto." "Kok lucu,” komentarnya tenang sambil memakan roti sus dengan caplokan yang besar. Dan dengan mulut penuh ia berkata kepada roti yang tinggal separuh: "Memangnya bukan Oom Teto kok disuruh jadi Oom Teto. Lucu." "Kalah lagi ibunya," begitu aku membakar. 183 Teto melihat padaku dan mengerdipkan mata. Padmi adiknya membela ibunya: ''Persis itu tidak sama dengan menjadi. Persis kunyuk itu bukan kunyuk." "Siapa yang kunyuk?" tanya kakaknya tenang. Ayahnya memisah: "Makan dan omong, jangan kedua-duanya bersama-sama. Tidak sedap untuk dilihat." "Sedaaaap!" komentar Kris si bungsu. Tiba-tiba terdengar seperti ada orang tertawa: Hi-hii-hii!! "Heh, siapa itu?" tanya sang Bungsu. Ibunya memberi isyarat jari di muka bibir, agar semua diam. "Itu burung kuda." "Kok seperti orang tertawa. Tunggu, nanti ada lainnya. Betul. Ada beberapa ekor burung lain yang bersama-sama "tertawa" seperti sekelompok nenek sedang arisan, "hihihi .... " "Kok seperti mengejek tertawanya itu, kurangajar ya Bu?" tanya Padmi. ''Ya, begitu." "Hihihi .... Teto mendukung suara burung-burung itu "Hihi-hihihi ..... "Eh, Mas Teto!" Dan semua anaklalu meniru. "Hihihi .... " Ketawa anak-anak itu menjalar sungguh. "Di Sumatra atau Kalimantan bahkan ada burung, anggang gading namanya, karena paruhnya panjang dan bendolan seperti gading ada pada paruhnya. ltu burung lebih menggelikan, kata ibunya. "Begini ketawanya: u-u-u-hahaha." "Uu-u-hahahaha," anak-anak menirukan ibu mereka. ''Betul Bu, burung itu tertawa?" ''Ya, sebetulnya tidak tertawa, tetapi suaranya seperti tertawa geli dan benar-benar renyah menyenangkan sekali." Padmi: "Oom. Oom Teto? Besok Oom ke Sumatra dan carikan burung, apa Bu namanya tadi." ''Anggang gading." ''Ya, anggang gading untuk kami." "Nanti kalian tidak bisa belajar. Hanya uuu-hahaha saja." ''Biar, kan tertawa itu baik," komentar Teto cilik. ''Ya, kalau tertawa terus ya sinting," tambah Padmi. "Nah, mengapa kau tadi minta Oom mencarikan burung ganggang gading tadi?" tanya Teto hanya untuk menyerang saja. ''Anggang gading. Bukan ganggang. Goblog." "Heh, Padmi. Tidak boleh ya menggoblog-goblogkan abang." "Menggoblogkan adik juga tidak boleh, ya Pap,” tambah Kris. "Siapapun tidak boleh digoblog-goblogkan." Padmi: "Lha, kalau memang goblog, bagaimana?" Karni semua tertawa. "Sini Padmi. Duduk di pangkuan Oom Teto!" Padmi manja duduk di pangkuanku dan kudekap anak yang mirip Atik ini. Ibunya sepetti iri melihat anaknya, memandangku. 184 "Eeh," kata Teto sulung. "1bu iri." Spontan ia dipukul oleh tangan ibunya. ''Papi, ibu iri." "Boleh-boleh saja;' komentar ayahnya. ''Ah, kalau begitu saya juga iri." Dan langsung ia duduk di atas Padmi, yang tentunya marah besar mengusir kakaknya. "Sudah sana, anak-anak dolan ke sana dulu. Oom Teto dan Ibu mau bicara-bicara soal penting." "Kami tidak boleh mendengarkan?" tanya Padmi. "Tidak," kata ibunya. ''Ya sudah,” komentar Teto. "Kris juga tidak boleh mendengar?" ''Boleh, tetapi sebaiknya kau dolan dulu ke sana. Asal jangan jauh-jauh." ''Aku ikut !" kata ayah meteka yang lalu betdiri. Kris digendong dan pergilah mereka meninggalkan aku, berdua dengan Atik. Lama kami tidak mengucapkan kata. Hanya suara-suara burung di hutan itu yang mewakili kami. Mata Atik menghunjam ke tanah. "Tik, aku minta maaf mengenai kemarin malam itu." "Kau tidak salah. Aku yang meminta." "Saya hanya ingin berterima kasih katena yang satu itu kau tolak "Saya tidak menolak. Saya selalu mendambakannya. Tetapi saya teringat anak-anakku." Kami diam. Mata kami saling berpandangan. "Kalau begini terus Tik, semua akan rusak." "Salahku ... " Tidak. Tentang siapa yang salah, kukira kita tidak berhak menentukannya." ''Jana sudah tahu?" Atik mengangguk-angguk. "Sudah sejak awal sebelum kami kawin." Aku diam. Mata Atik memandangku lagi dan sepetti sayu ia betkata: "Suamiku sebenarnya lebih ayah dari pada suami. Apa saja yang kurasa baik ia setuju. Dia terlalu baik. Tetapi barangkali … barangkali aku memang membutuhkan seorang ayah. Tetapi ah ... juga sekaligus seorang abang yang kuat." Tanpa sadar: "Teto, tetaplah betsama kami. Aku membutuhkan abang yang lebih kuat dariku." ''Aku tidak akan kuat lagi. Tadi malam buktinya." ''Ya, tetapi kan belum yang terakhir." ''Yang tetakhir selalu melalui yang sebelum terakhir. Aku lelaki. Aku tahu keterbatasanku." "Tetapi seandainya suamiku boleh? 1a mampu memahaminya." "Suamimu bukan wanita. Aku lebih tahu bagaimana perasaannya. "Teto, aku dan dia membutuhkan kehadiranmu. Kan kau lihat sendiri, bagaimana kami berdua sudah saling mendekati dan lebih saling memahami. Saya takut kalau kau tidak ada, kami renggang lagi." 185 "Tik,” Dan aku berlutut menghampirinya. Wajahnya kuurut dan matanya nanap mendamba terpaku pada mataku. ''Aku takut Tik." Aku dirangkulnya kuat-kuat. "Dari dulu aku selalu merana kalau kau tidak ada. Sekarang kau kembali dan sekarang kau mau pergi lagi? Lalu aku bagaimana?" "Kita jangan mempersoalkan sang Aku, Tik, tetapi anak-anak. Itu kata nurani. Walau hati betkata lain." Lama mata basah itu memandangku. ''Jadi kita hams betpisah?" Apa ada jalan lain?" Ia kulepas dan ia memandang ke tanah. Bergumam: "Jalan lain ... jalan lain?" Tetapi bergejolak lagi, karakter Larasati dalam dirinya: "Teto. Mengapa kau kok dapat kuat sepern itu? Kau kuat, Teto, kau sangat kuat. Dan aku selalu kagum pada lelaki yang kuat." "Suamimu lebih kuat." "Mas Jana? Ooh ... dia baik, tetapi lemah. Akulah yang selalu meminpin.” ''Apa kau kira orang yang dipimpin itu selalu lebih lemah?" Matanya bening dan lebar penuh pertanyaan. Kuteruskan: "Jana tidak dipimpin. Dialah yang memimpin, Atik. Hanya kau yang tidak tahu. Susahnya kau wanita terlalu pandai. Tetapi terlalu emosi juga." ''Apa salahnya?" ''Bukan soal salah. Memimpin tidak selalu dengan komando, Tik. Kualitaslah yang memimpin, dan kualitas sering menang tanpa kata. Kau mestinya harus tahu itu." "Mas Jon ...” ''Ya, ia memimpin seperti Alam Raya ini. Tanpa kata. Seperti karakter. Dengan pengertian. Dengan kekuatan, apa katamu dulu? Dengan jatidiri dan bahasa citra." Atik mulai menangis lirih. ''Tik, sekali saat kau dan kita semua harus belajar. Aku sudah belajar. Aku seorang kaum pemegang senjata, kaum penata prosedur komputer. Suamimu ahli geologi, tetapi berjiwa Palang Merah. Palang Merahlah yang lebih panglima daripada senjata api. Sebab apa? Karena Palang Merah memberi hidup, sedangkan senjata merenggut dan memperkosa hidup. Ia lebih jantan dariku, Tik. Kejantanan manusia bukan kejantanan rimba ini. Tik, kalau kau cinta padaku, cintailah suamimu."Atik merebahkan diri dalam pangkuanku dan menangis tersedu. Lalu kau ke mana? Lalu kau ke mana? Teto, ke mana kau?" Aku diam. Entahlah, aku pun tidak tahu. "Tik, aku tidak tahu." "Lalu akan mengambang saja dengan angin?" "Boleh jadi." ''Teto kau akan kawin nanti?" "Boleh jadi." "Sudah ada ... ?" Aku tersenyum dan membelai rambutnya. ''Belum.'' ''Belum?'' 186 "Belum. Atau boleh jadi: tidak akan ada." Ia merangkulku lagi. Hangat tubuhnya, masih vital. Mari Kepalanya kuangkat dan kucium dia pada pipinya, pada telinganya. Hangat, bernafsu. Tetapi ketika aku menghampiri bibirnya, ia menolak. "Saya akan mengikuti nasihatmu, Mas Teto. Hanya kalau ada apa-apa, kami jangan kau tinggalkan." Ia mulai membetulkan rambut dan sanggulnya, blusnya. Dan dengan memandang aku ia toh masih menawarkan diri. "Kau boleh menyeka dadaku, Mas Teto. Boleh." Payudaranya tidak kusentuh. Tanganku mengulur ... sangat ingin ... toh tak berani ... aku hanya menyeka pipinya. Kedua belah tanganku merangkum wajahnya yang tersenyum. ''Aku bukan orang kuat Atik. Kau pun juga tidak. Kita harus saling menjaga, justru karena kita bukan orang kuat." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau kuat, Mas Teto." ''Jana lebih kuat." Ia mengangguk, air-matanya berlinang, bahagia. "Setuju?" Ia mengangguk lagi. "Maka jagalah dia juga. Orang kuat juga harus kita jaga." Ia mengangguk dan senyumnya penuh damai. "Mari kita mencari mereka." Kami kumpulkan termos dan segala yang belum terbawa anak-anak. Keranjang kubawa dan ia berjalan di mukaku pada jalan setapak. ''Tik, aku masih punya pesan dari ayah mertuamu." “Ada apa?” "Ia masih punya permintaan yang sudah lama ia dambakan. Agar masih dapat mengalaminya, sebelum ia meninggal: Jana puteranya, diharapkan tahun ini naik haji." "Naik haji? Untuk apa?" ''Jangan kita bertanya untuk apa. Menggembirakan hati orangtua yang tidak lama lagi akan meninggalkan kita, kan alasan cukup." ''Ya, tetapi biayanya, siapa yang membayar. Sejak suamiku diberbentikan, kami harus menghemat setiap rupiah. Dikira berapa gajiku? Doktor maxima cum laude sekali pun? Dinas kami bukan tempat yang basah, walaupun banyak mencakup daerah rawa-rawa." "Kalau itu soalnya, aku masih punya tabungan sedikit." Ia membalik dan memegang tanganku. Lagi kedua matanya itu memancar. Aku selalu lemah kalau menghadapi mata Atik. "Kalau kau malu diberi uang gratis, boleh juga sebagai kredit;' kataku. "Aku tahu, pasti kau tidak mau dibayar kembali." "Kalau itu demi menjaga gengsi dan harga-diri kalian, pasti aku mau menerima pembayaran kembali." Ia menggelengkan kepalanya. “Aku tahu kau tidak akan!" ''Ya sudah, terima saja sebagai hadiah. Sebagai hadiah perkawinanmu. Dulu kan saya tidak hadir dan tidak memberi selamat satu kata pun. 187 "Ketika itu aku terkenang padamu." "Memang kau kepala batu," tawaku. "Kau juga. Bagaimana ayah-mertua? Artinya apa dia menyinggung aku harus ikut?" Itu merdeka. Yang penting baginya, suamimu" ''Bagaimana pendapatmu? Aku hams ikut apa tidak?" ''Jalan terus saja, Tik. Mereka sudah lama menunggu." "Mas Jon sudah tahu?" "Tentu saja sudah kusampaikan pesan itu. Kemarin malam." “Apa katanya?" ''Persis seperti yang kau katakan." "Sungguh?" "Pernah aku bohong?" ''Pernah ... tapi hanya bohong-bohong kecil." "Lalu bagaimana Mas Jon? Dia menginginkan aku ikut?" "Harfiah dia memberi kebebasan padamu." “Ah, harfiah. Kalau kiasan bagaimana?" "Tidak ada kiasan." “Artinya, di bawah-sadar?" “Aku tidak tahu bawah-sadar orang lain. Kalau bawah sadarmu aku tahu." Ia membalik lagi dan mengecup pipiku. "Sebetulnya poliandri itu boleh!" katanya tiba-tiba bergurau. "Eh, jangan dijadikan gurauan hal-hal begitu" "Habis, itu perasaanku. Kau jujur padaku. Api aku tidak boleh jujur padamu"" "Hanya padaku dan ... pada suamimu. Jangan pada orang lain. Tentang hal-hal aneh seperti itu tadi." "Tentu saja. Apa kau kira aku gila?" "Sering aku memang mengira begitu." Ia membalik lagi. Dan dikecup pipiku yang lain. "Nah," tertawaku, "ini lagi buktinya." Ia membalik lagi dan mengecup lagi pipiku yang lain. "Sudah, Tik!' kataku agak keras. ''Jangan seperti anak kercil!" "Kadang-kadang kan boleh!" "Sekali lagi, jangan!" kataku lebih keras lagi. Ia menoleh: "Kau marah?" Ya,” kataku pendek dan memang aku serius. "Oh, maaf, Teto." Tetapi ia toh bergumam kurang ajar: ''Dicium kok marah. Siapa yang gila?" Dalam hati aku tertawa juga merasa termanja. Tetapi sungguh, permainan begini tidak boleh diteruskan. "Bagaimana pendapatmu?" ia tanya lagi. "Pendapatmu, aku harns ikut berjemaah haji atau tidak?" "Kau tanya?" 188 “Ya, kan saya bertanya, tidak menguraikan." "Tanya nasehat?" “Ya, tanya nasehat tentu saja. Kau masih marah, kok begitu aneh reaksimu." "Ada maksudnya. Kalau nasehat saja, yang boleh diterima boleh dibuang, aku tidak mau memberi nasehat." la membalik dan menyelidik memandang nanap manik mataku. "Omongmu kok aneh?" "Omong biasa kok aneh. Siapa yang aneh." "Apa kau kehendaki aku dikomando?" "Boleh jadi begitu." “Ya sudah, aku disuruh apa." "Kau sebaiknya ikut." ''Dengan uangmu tentu saja?" "Tentu saja." la diam. la diam ... lalu tegas. "Baiklah." "Terima kasih." "Terima kasih apa. Karni yang harus berterima kasih." "Sama-samalah. Menerima kasih dan memberi kasih itu perkara yang satu-tunggal. Tanpa ada yang menerima, orang juga tidak bisa memberi. Maka menerima kasih sekaligus juga memberi kasih, karena memungkinkan orang lain memberi kasih." "Kok pintar kau, ya Teto. Dari mana semua teologi itu?" ''Ini bukan teologi. lni konkrit." Suara anak-anak sudah terdengar. Mereka menuju ke kali sangat bening yang kami seberangi tadi. "Mas Teto, untung ya kita bukan suarni-istri." "Kau omong aneh apa lagi ini?" "Tidak. Kalau cinta suami-istri itu kan datar-datar saja. Kalau mencintai yang bukan suaminya kok lebih hebat rasanya." "Kau doktor biologi hebat, tetapi tolol sekali soal perkawinan." "Memang, diakui saja." Perwira di medan perang wajib berhitung dan memperhitungkan. Sama juga kepala divisi komputer kongsi besar. Bahkan seluruh ada perilaku semesta galaksi jelas eksak, dan pada prinsipnya dapat dihitung. Tetapi berkali-kali manusia, paling tidak aku, Setadewa, dihadapkan pada sesuatu X mahadalam yang mengejek halus namun murni. Seperti wajah anak tersenyum atau berlinang airmata, yang bertanya: masihkah kau ingin menghitung? Panjang-lebar mata kanak-kanak dapat diukur, memang, tetapi pancaran cerlangnya? Dan bobot makna setetes air-mata? Dengan apa itu mau diukur? 189 Jarak perjalanan Atik dan suaminya ke Mekkah-Medina dapat diukur pula; juga harga tiketnya berapa. Eksak, jelas, memuaskan seorang doktor dan bekas komandan perang. Tetapi bagaimana harus kunilai berita radio yang mewartakan, bahwa pesawat terbang Martinair yang ditumpangi Atikku dan Jana, pada suatu dini pagi yang khusus terjamah tangan Tuhan, menabrak bukit di dekat Kolombo, Sri Lanka sana? Tuhan yang memberi. Tuhan yang mengambil. Terpujilah selalu namanya yang Kudus. Aneh, ketika kudengar berita radio itu dan kubaca peneguhannya dalam telegram Departemen Perhubungan, aneh sekali, ya sungguh aku heran sendiri, aku tidak terkejut. Seolah-olah musibah seperti itu secara terselubung dibawah-sadarku sudah juga "kuperhitungkan"; tinggal sekarang terkupas. Bagaimana keterangannya aku tidak tahu; sesuatu yang mendadak ini mengapa tidak terasa mendadak? Aku tidak berteriak, aku tidak menangis atau mengeluh. Aku tidak apa-apa selain diam ... ya diam. Barangkali bahkan tersenyum walau tipis tentu. Seolah-olah sudah selayaknyalah bila jalan hidupku selalu harus melalui ketidaktercapaian. Tetapi terlonjak juga sebentuk rasa iri pada Atik, si dia yang sebenarnya dapat dikatakan selalu berhasil; sampai kematiannya pun sebetulnya bernasib untung: gugur dalam perjalanan ziarah ke Tuhan; dalam ulah sikap indah, sukarela mendampingi suami demi kecintaannya dan demi pemenuhan harapan terakhir ayah mertua. Dinalar komputer dingin, kematian fisik dalam kecelakaan pesawat terbang yang begitu dahsyat tidak sangat menderita sakit. Pingsan seketika pasti dan selesailah sudah dalam fraksi detik. Ketimbang kanker ganas misalnya atau invalid tanpa tangankaki. Yang menderita yang ditinggalkannya, ketiga anak mereka. Aku bukan pahlawan, tetapi kali ini pun aku tak gentar menderita, karena sedikit banyak aku telah ditempa oleh kepahitan dan kegagalan. Dan juga karena kenanganku pada Atik yang teramat indah. Kenangan dapat berbahaya selaku nostalgia kosong. Akan tetapi kenangan indah dapat hadir selaku kekuatan yang tiada tara. Lagi, kenanganku pada Atik tidak kosong, sebab dalam si kecil-kecil Teto, Padmi dan Kris, Atikku masih hidup segar. Ah ya,Jana. Ternyata sudah betul, Atik kawin denganmu! "Berhitungnya" misteri hati dengan hati memang di seberang jangkauan matematika si doktor yang kini dengan ikhlas mengakui kekalahannya. Tak banyak lagi yang perlu kuceritakan. Ada saatnya cerita manusia harus disinambungkan ke dalam perjalanan riwayat yang serba diam ... dalam keheningan yang sebenarnya bahkan serba kebak kepenuhan. Ya, memang hati duda sangat sering merasa sepi sunyi sendirian. Tetapi untunglah Tuhan Yang Mahapemurah masih sudi memberi kesejukan bagi siang dan petang kurun hidupku; atas persetujuan keluarga dan atas permintaan ayah Jana, (tidak lama sesudah peristiwa sedih Kolombo beliau pulang ke Rahmatullah), ketiga anak Atik kuangkat jadi anakku. Hadiah yang terindah dati Atik dan suaminya ingin kujaga dan kuantar ke hari-depan mereka yang sesuai dengan jati-diri dan bahasa citra yang sebening mungkin. Akhirnya toh haridepan harus mereka tata sendiri kelak, menurut keyakinan panggilan hidup mereka masing-masing. 190 Aku hanya ingin memberi bekal kenangan yang seindah mungkin. Tidak lebih dari itu. Aku dulu anak kolong. Sekarang aku masih juga, tetapi anak Kolong Langit. Jujur kukatakan, masih sering dalam kesepian tawar dan sunyi kering kedudaanku aku bertanya diri: mengapa jalanku harus melalui ketidaktercapaian? Tetapi bila aku melihat Si Teto kecil, Padmi terutama dan Kris, sedikit aku dapat menangkap sasmita kupu-kupu yang memekar dan terbang hanya untuk sebentar lagi mati. Bahasa citra kupu-kupu atau kicauan burung berwarta, bahwa segala dedikasi mereka adalah demi si telur-telur. Sahabat-sahabatku, khususnya John Brindley, tak henti menganjur-anjurkan, sebaiknya aku mengambil istri lagi. Ketiga anak-anak itulah yang membutuhkan seorang ibu. Kuakui, itu benar. Tetapi Bu Antana sudah cukup jasanya, sebagai nenek sekaligus ibu bagi mereka. Kuakui, hanya untuk sementara memang. Ataukah karena aku masih belum berani mengorbankan citra terakhir yang paling indah dari sejarah hidupku, citra Atik? Ingin itu kutanyakan pada burung-burung manyar. Tetapi sekarang sudah jarang kulihat mereka .. Magelang, 6 mei 1979 Setadewa 191