Uploaded by NinjaTylerFortniteBlevins 2.0

Burung-Burung Manyar Sebuah Roman

advertisement
Sebuah Roman
Y.B. MANGUNWIJAYA
Burung – Burung Manyar
Mendapat pengahargaan Tulis
Asia Tenggara 1983
SOUTH EAST ASIA
WRITE AWARD
1983
Pengarang cerita ini memperlihatkan pengetahuan dan pengalaman yang banyak serta
pengetahuan tentang manusia yang mendalam. Nadanya di sana-sini humoristis,
kadand-kadang tajam mengiris. Ia menganlisa diri dan mengejek diri tak tanggungtanggung, suatu tanda kedewasaan jiwa. Bahasanya segar dan gurih, ngelotok,
kontemporer. Isinya penuh pengalaman dahsyat, keras dan kasar, tapi juga romantik
penuh kelembutan dan kemesraan.
( H.B. Jassin )
Y.B. Mangunwijaya dengan novelnya Burung-burung Manyar mencoba melihat
revolusi Indonesia dari segi yang obyektif bahkan agak cenderung melihatnya dari
segi Belanda, dengan memasang protagonis orang Indonesia yang anti republik. Nilai
buku in terutama terletak pada keberanian pengarang untuk mengisahkan konflik jiwa
seorang anti republik semasa revolusi, segi informasinya tentang kehidupan tentara
KNIL dan gaya humor pengarang kadang-kadang terselip ejekan yang yang penuh
kejutan.
( Jakob Sumardjo )
Dengan bahasa yang khas “mangunwijayaan”, kata-kata majemuk berkadar tinggi
untuk menampilkan sebanyak mungkin makna; Lucu dan sarat sindiran, novel ini
mengungkap kepalsuan sekaligus “jatidiri dan citra pengungkapan” manusia. Lalu
novel ini menutup diri dengan kesimpulan yang kaya makna, yang tak layak
dikemukakan lain daripada apa yang tertulis pada bukunya.
(Parakitri, harian kompas)
Karya sastra yang besar selalu menghimbau angan-angan kita untuk bergerak dengan
leluasa di dalam ruang jagatnya. Untuk menemukan makna bagi kehidupan kita
sendiri. Burung-burung Manyar telah sanggup memberikan makna itu.
( Subagio Sastrowardoyo, Tempo )
Banyak hal yang menjadikan buku ini menarik. Bukan saja gaya bercerita Y.B.
Mangunwijaya yang khas, bahasanya yang hidup dan mampu membawa pembaca ke
alam pikiran sang tokoh. Juga bulan lembaran sejarah yang dibuka kembali, dengan
titik pandang yang hingga kini jarang ditemukan dalam sastra Indonesia…..
( Mariane Katopo, Sinar Harapan )
Selain kaya dan dalam, dipandang dari sudut pusat pengisahan, roman ini menarik.
Cara menghadirkan tokoh pun diperhitungkan dengan cermat.
( Th. Sri Rahayu Prihatmi, Universitas Diponegoro )
Sebuah Roman
Y.B. MANGUNWIJAYA
Burung – Burung
Manyar
Dipersembahkan kepada
Ayah - Ibu tak terkenal para pejuang
Copyright © pada Djambatan
Anggota I K A P I
Cetakan pertama, Agustus 1981
Cetakan kedua, Desember 1981
Cetakan ketiga, Juni 1983
Cetakan keempat, Maret 1986
Cetakan kelima, Oktober 1988
Cetakan keenam, Agustus 1993
Cetakan ketujuh, Oktober 1996
Cetakan kedelapan, Agustus 1999
Cetakan kesembilan, Oktober 2000
Cetakan kesepuluh, Juli 2001
Cetakan kesebelas, Agustus 2001
Cetakan kedua belas, Agustus 2003
Cetakan ketiga belas, Mei 2004
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan ( K D T )
Mangunwijaya, Y.B.
Burung - Burung Manyar : Sebuah Roman / Y.B. Mangunwijaya--Cet. 13
- Jakarta : Djambatan 2004
Viii, 319 hlm. ; 21 cm
I S B N 979-428-528-5
I. Judul.
346.7
Percetakan Ikrar Mandiriabadi
Isi
VI
VII
BLENCONG
PRAWAYANG
3
9
22
29
BAGIAN I : 1934—1944
1. Anak Kolong
2. Anak Emas
3. Buah Gugur
4. Kuncup Mekar
35
44
48
58
62
70
75
83
97
BAGIAN II : 1945—1950
5. Anak Harimau Mengamuk
6. Merpati Lepas
7. Singa Mengerti
8. Banteng-banteng Muncul
9. Elang-elang Menyerang
10. Macan Tutul Meraung
11. Ayam-ayam Disambar
12. Cendrawasih Terpanah
13. Burung Kul Mendamba
105
118
129
137
142
153
159
171
180
BAGIAN III : 1968—1978
14. Jurang Besar
15. Firdaus Kobra
16. Nisan Perhitungan
17. Gunung Rawan
18. Aula Hikmah
19. Pendopo Perjumpaan
20. Rumah Pertanyaan
21. Istana Perjuangan
22. Sarang Manyar Baru
V
Blencong
Pementasan wayang kulit tidak akan bisa dinikmati jika layar atau kelirnya tidak
diterangi blencong. Maka, meminjam istilah blencong itulah, roman sejarah berjudul
Burung-Burung Manyar karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya alias Romo Mangun
ini kembali kami terbitkan. Kali ini untuk cetak ulang yang ke-13 kalinya.
Maksud pencetakan ulang ini tak lain untuk memberikan blencong—dalam arti
pencerahan—kepada para pembaca tentang berbagai kemungkinan cara pandang
atas sejarah. Roman sejarah ini, menggambarkan tentang perspektif atau cara
pandang yang berseberangan dengan pandangan yang berlaku umum tentang siapa
pejuang dan siapa pemberontak.
Semakin merasuk ke dalam bangunan cerita dari karya besar almarhum Romo
Mangun ini, pembaca niscaya akan terpengaruh oleh berbagai argumen, realita (
dalam karya ini ), dan sejumlah konflik batin yang akan menjelaskan mengapa Seto
tetap memilih pro-Belanda.
Dengan sudut pandang “pro-Belanda”, Romo Mangun membangun cerita ini
secera jujur dan apik. Tampaknya Romo Mangun sedang menunjukkan kepada
pembaca tentang adanya pandangan lain, bahkan berseberangan, atau makna
kepahlawanan, loyalitas, dan cinta tanah air.
Jakarta, April 2004
VI
Penerbit
Prawayang
Nun di kala itu, di Widura Kandang negeri Ngamarta, tumbuhlah si gadis gesit
bagaikan burung prenjak; Rarasati atau Larasati namanya. Teremban kehangatan
asuhan cinta arif sang ayah Antapoga, gembala ternak istana, dan istrinya Nyai
Sugopi, gadis Rarasati memekar.
Hatta kisah berwarta, pondok Antapoga menerima tugas mulia namun berat,
dijadikan tempat berlindung putera puteri Sri Baginda Raja Basudewa dari negeri
Mandura, ialah Kakrasana dan Narayana berserta adik perempuan Rara Ireng.
Ketiga anak raja itu diungsikan karena terancam terbunuh oleh abang tiri jahat,
Kangsa.
Kakrasana, wahana wahyu dewa Basuki, dewa naga penopang Bumi Raya, adalah
mahluk seta. Artinya serba putih darah, daging, serta segala-galanya sampai ke
tulang maupun sarafnya; sedangkan Narayana, wahana wahyu dewa Wishnu, justru
hitam legam tulang, daging, darah, saraf dan segalanya. Namun mereka berayah
satu, raja Basudewa.
Serba indah dan berbahagialah masa kanak-kanak ketiga putera puteri raja itu di
Widura Kandang bersama Rarasati, bunga padang merdeka. Rarasati kelak
dipersunting pahlawan Arjuna. Begitu juga Rara Ireng, yang setelah dewasa
bernama Sumbadra. Narayana selaku raja Kresna negeri Dwarawati menjadi ahli
siasat utama para Pendawa. Naumun Kakrasana yang seta, yang bergelar raja
Baladewa, memihak Kurawa. Demi kesetiaannya kepada Herawati, istrinya, dan
ayah mertua, raja Salya dari Mandraka yang merasa wajib berpihak kepada para
Kurawa, agar kerajaan Ngastina jangan pecah. Namun dalam lubuk hati raja Salya
maupun Baladewa, kecintaan kepada para Pandawa tidaklah pernah berhenti
berpijar.
Tetapi apakah Baladewa benar-benar akan memihak Kurawa dalam medan laga
total Bharatyudha Jayabinangun, artinya “ Kejayaan dibangun secara sejati “?
Maka terdengarlah warta “ Kresna mengilhami abangnya yang seta itu untuk
bertapa di Grojogan Sewu (Seribu Air Terjun).
VII
Bagian I
1934 - 1944
1. Anak Kolong
Pernah dengar “anak kolong” ? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli totok.
Garnisun II Magelang (ucapkan: MakHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah
bilang totok. Jadi KNIL¹⁾ Jelas kolonial, mana bisa tidak. Papiku loitenant ²⁾keluaran
Akademi Breda Holland. Jawa! DAN Keraton! Semula tergabung dalam Legiun
Mangkunegara. Tetapi Papi minta agar dimasukkan ke dalam slagorde Langsung di
bawah Sri Baginda Neerlandia ³⁾saja; Ratu Wilhelmina kala itu. Tidak usah dibawahi
raja Jawa. Terua terang Papi tidak suka pada raja-raja Inlander, walaupun konon salah
seorang nenek canggah⁴⁾atau gantung-siwur ⁵⁾ berkedudukan selir ⁶⁾ Keraton
Mangkunegaran. Soalnya, papi suka hidup bebas model Eropa dan barangkali
itulah sebabnya juga, ibu kandungku seorang nyonya yang, menurut babu-babu
pengasuhku, totok Belanda Vaderland ⁷⁾ sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak
percaya. Itu akibat kesalahan kawan-kawan sepermainan di garnisun, ya anak-anak
kolong yang tersohor kasar
¹⁾ KNIL: Koninklijk Nederlands Indisch Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).
²⁾ Dari kata luitenant (Bld): letnan.
³⁾ Nederland.
⁴⁾ Nenek dari Nenek.
⁵⁾ Ayah atau ibu dari canggah.
⁶⁾ Istri tak resmi, istri muda.
⁷⁾ Negeri Belanda; secara harfiah: Negeri Bapak.
3
dan tak tahu adat itu; yang blak-blakan sering mengindoktrinasi, bahwa aku ini anak
Jawa Inlander belaka. Sama seperti mereka. Makanya jangan sok dan sebagainya. Dan
kulit Mamiku putih kulit langsep mulus; nah itu justru bukti Mami bukan totok. Sebab
orang Belanda berkulit merah blentong-blentong seperti genijk anak babi. Keterangan
kawan-kawanku brandal itu bahkan membuatku bangga, sebab untuk anak normal,
kehidupan brandal anak kolong Inlander jauh haibat daripada menjadi sinyo Londo ¹⁾
yang harus necis pakai sepatu, baju musti harus putih bersih dan segala macam
basa-basi yang membuatnya menjadi marmut dalam kurungan.
Bersama anak sersan, kopral dan sepandri ²⁾ yang selalu hitam dan berkulit
ternoda luka-luka di mana-mana, aku benar-benar bisa mengalami firdaus:
berenang di selokan tangsi (telanjang bulat dong! Masakan pakai celana beledu
dan topi matrus ³⁾ yang airnya lezat berwarna coklat “van Houten’s cacao”, segar
dan nyaman menghanyutkan (pakaian diikat di atas kepala) melalui kampung
Bogeman, terus ke Pecinan dan muncul di jembatan di muka Pasar Besar. Mana
sinyo totok bisa. Lalu cepat berpakaian, tentunya serba setengah basah dan
“sipatkuping” ⁴⁾ mengejar, lalu hat-hati membonceng di belakang “motor tai”,
jakni mobil tangki kotapraja yang di mana-mana menyedot dari tangki-tangki
septik WC umum.
Enaknya aduhai putar-putar kota Tidar entah sampai ke mana. Lantas tibatiba bertemu suatu pasukan KNIL yang berbaris dengan tamabur dan terompet,
haah, ini dia! Loncat turun dan ikut berbaris di belakang mereka sambil
menikmati gerak ayunan para Bapak
¹⁾ Belanda.
²⁾ Dari kata Vaandrig (Bld): serdadu klas I, belum kopral.
³⁾ Dari kata matroos (Bld): kelasi.
⁴⁾ Lari tunggang langgang.
4
Kolong itu yang, wahai, haibat iramanya. Seperti dikomputer.
Drèng! Dèrèng…dèrèng dèndèng!
Nanti makan dèndèng cèlèng!
Si Pak Kopral muka bopèng!
Si Mbok Kopral kulit srundèng! ¹⁾
Drèng! nDerèng-derèng Dèndèng!
Sering aku menepuk pinggang sersan komandannya yang semua kami kenal. Ia
hanya melirik saja, mulut agak memulur tersenyum tak kentara. Disiplin dong!
Tentara Kerajaan dikira apa. Tentu saja Mami sama sekali tak suka dengan
kekolonganku. Maklumlah, anak letnan Kerajaan yang bersekolah si Sekolah Dasar
Kaum Eropa, masih ningrat Keraton bahkan Surakarta segala, kok telanjang di
selokan kebak tai; tanpa sepatu keluyuran dengan anak-anak kolong kampungan.
Sampai hitam Dayak aku ini (Mami tidak tahu, orang Dayak kulitnya kuning seperti
Mami) malu ah! Dan setiap aku pulang, terlambat tentu saja, aku dihukum Mami.
Tidak boleh makan poding panili lezat sesudah makan. Tetapi kalau sore hari aku
merengek minta poding jatahku itu, toh Mami memberinya juga. Jadi tak mempan
juga ilmu pendidikan Mamiku itu. Memang Mami jelas tak punya sistem pendidikan
yang berdisiplin. Nah, itu bukti kedua, Mami bukan totok. Bukti ketiga: Mami suka
pada segala hal pedukunan dan takhayul atau mistik.
Bukti keempat, dan ini yang paling meyakinkan: Mami sangat cantik. Biasanya
nyonya totok tidak cantik. Barangkali cantik juga, tetapi untuk ukuran sana, negeri
kincir-angin dari kayu. Untuk ukuran negeri pohon kelapa, di mana lalat-wilis pun
biru-hijau keemas-emasan pantatnya, maaf, tidak. Dan bahwa Mami cantik, itu sangat
perlu untuk aku anaknya. Sebab terus terang saja Papi blo’on tampangnya. Gagah
memang, beliau itu. Apalagi kalau berkunjung ke istana.
¹⁾ Lauk pauk terbuat dari kelapa goreng.
5
Sedangkan Papi yang sawo matang dan raden mas ningrat tampak lebih senang di luar
tembok istana. Tetapi itu barangkali karena Mami merasa setengah ratu di
Mangkunegaraan. Disembah para abdi dalem dan tersanjung oleh para wanita istana
yang terkenal cenderung progresip Barat. Gusti Nurul misalnya, bukan main bikin
gempar di masa itu. Bayangkan! Putri raja Jawa! Naik kuda sih barangkali masih
dapat diikuti nalar. Tetapi pakai celana! Nyuwun pangapunten ¹⁾ Lho serius nih!
Kenapa tertawa ? Cuma perempuan cina yang pakai celana. Kalau noni dan nyonya
Belanda mah, itu kan sudah di atas segala hukum, apa saja boleh kalau Belanda.
Sampai duduk di sebelah kanan raja di atas singgasana, boleh dia. Tetapi puteri
ningrat Jawa pakai celana ? Krakatau bisa jadi meletus itu nanti! Bila aku menyelinap
ke dapur istana mencari makanan atau haus, sering kudengar para puteri keraton suka
mempergunjingkannya. Ada yang kurang setuju (kurang sreg istilahnya); ada yang
mengatakan: segala yang diperbuat keluarga raja selalu baik. Tetapi tentang Mami
yang putih mulus dan kelahiran asli Belanda itu (memang Mami lahir di Utrecht,
Negeri Belanda) semua memujinya. Betapa sangat paham beliau tentang primbonprimbon ²⁾ Jawa dan segala jenis ilmu klenik! Bukti bukan, nyonya yang tidak
sombong? Dan begitu mengharukan beliau menghargai warisan nenek moyang.
“Raden Mas Sinyo mau spekuk enak? Jeng Manganti, coba tolong ambilkan
spekuk dari almari untuk Raden Mas Bagus Sinyo. Aduuh, siapa nanti yang akan jadi
mertuanya ya ? Cocoknya dengan Den Ayu Arumbrangta (atau entah semacam
itu).”… nah terpaksa ketawa pahit jengkel aku. “Mbakyu Mergantun, kau dengar apa
yang Den Mas Sinyo katakan tentangku hihihi… aduh memang anakletnan perak
benar… dia bilang aku namanya Ibu Spekuk…hihihi.” Tolol!
¹⁾ Minta ampun.
²⁾ Petunjuk-petunjuk mistik tentang hari-hari baik atau buruk.
6
Setiap kami pulang dari kol istana, bertambahlah keyakinanku, bahwa tidak ada dunia
yang lebih firdaus daripada dunia anak kolong tangsi Magelang.Tangsi dengan
pohon-pohon kenarinya yang besar dan rindang, dan yang setiap musim merontokkan
ulat-ulat yang membuat noni-noni menjerit, dan yang bahkan minta lebih dijeritkan
lagi oleh lemparan-lemparan anak kolong kami berupa paket-paket ulat yang , nikmat
sekali, membuat mereka panik. Yang melempari noni-noni itu biasanya aku, sebab
aku anak letnan. Anak-anak kopral tentunya tidak begitu berani mengganggu puteriputeri ofisir-ofisir, kecuali bila memang dapat aman sungguh-sungguh, bersembunyi
dengan garansi mustahil ketahuan identitas mereka. Kenari-kenari itu buah anugerah
surga yang kami terima (atau lebih tepat, yang kami lempari) dengan penuh syukur.
Bila dimakan isinya yang gurih sesudah kulitnya yang keras kami jepitkan di antara
kosen dan daun pintu. Kulit itu dapat kami buat jadi cincin, dan berlomba-lomba itu
kami poles halus dengan minyaknya sehingga mengkilat di jari-jari. Yang paling sulit
hanyalah menggergaji dan menghaluskan sisa dinding cabang-tiga sektor biji buah
kenari itu sehingga plong bolong jadi cincin. Untuk itu kami harus meminjam kikir
dari Pak Sepandri Sapu (kumisnya seperti sapu ijuk), sopir truk batalyon.
Pernah dalam suatu gejolak sentimentil aku bersusah payah membuat cincin kenari
untuk kuhadiahkan kepada Dora, seorang gadis Ambon yang manis seribu satu malam
dari Hollands Ambonse School ¹⁾, dua tahun lebih tinggi kelasnya dariku, yang dalam
hati sangat kupuja, karena mengingkatkan aku (ngawur tentu saja) kepada puteri
Saharazad dari dongeng Seribu Satu Malam.
¹⁾ Sekolah Dasar untuk anak Ambon, berbahasa pengantar Belanda.
7
Kutitipkan cincin tadi melalui seorang “kurir” khusus dari HJS ¹⁾, kawan anak
kolong, komplit disertai semacam surat cinta. Keesokan harinya kudengar, bahwa di
kanal, itu lho tanggul selokan yang mengalir 5-7 meter di atas permukaan jalan raya
dan yang membagi Magelang menjadi dua belahan pisang goreng, terjadi keroyokan
hebat antara kami anak-anak kolong dengan anak-anak Pandestiran, yakni anak-anak
piatu kaum Indo yang diasramakan oleh seorang Belanda berewok seperti Karl Marx,
bernama Pa van der steur, sampai terpaksa polisi datang karena banyak peluru batu
memecahkan genting-genting rumah penduduk. Usut punya usut, ternyata kurir yang
kusuruh menghaturkan cincin kenari kepada Sang Dewi itu dipukuli oleh pemuja lain
berasal dari Pandestiran, sehingga geng Kolong langsung (tanpa sepengetahuanku)
terpaksa membalas penghinaan tadi.
“Tapi bagaimana Si Dora ? Dia sudah terima itu cincin ?”
“Udah! Tapi kan betul yang kubilang dulu. Semua cewek itu anak wéwé ²⁾.
“ Dia gembira menerima hadiah ?”
“Bah! Terlalu amat kelewat gembira.”
“Betul ?”
“Sampai ia tunjukkan suratmu pada semua cewek dan cowok,
Sambil mentertawakan kau. Sudahlah, semua cewek itu brengsek.”
Betul juga! Aku sangat setuju dengan kurirku itu. Tidak Cuma brengsek, tapi gila.
Maka kembalilah aku ke duniaku, berbaris di belakang peleton-peleton infanteri yang
baru pulang dari latihan di Tidar. Lelah tetapi masih gagah.
Drèng! Derèng…derèng dèndèng!
Nanti makan dèndèng cèlèng!
Si Pak Kopral muka bopèng!
Si Mbok Kopral kulit srundèng! ¹⁾
Drèng! nDedèng-derèng Dèndèng!
Ikke ³⁾ Anak Kumpeni!
Een-twee-drie ⁴⁾ Infanteri.
Siapa braniii, ikke brondong matiii (dor! dor! dor!)
Drèng! nDedèng-derèng Dèndèng.
Soldat! Spandri! Kopral!
Spandriiiiiiiii tiiit-piluiiiit,
Ikke, Kumpeni!
Maaf, nama saya ? Setadewa. Tetapi semua memenggilku Teto.
Entah, memang aneh logika mereka.
¹⁾ Hollands Javaanse School: Sekolah Dasar untuk anak Jawa, berbahasa pengantar
Belanda.
²⁾ Hantu perempuan.
³⁾ Aku.
⁴⁾ Satu-dua-tiga.
8
2. Anak Emas
Wijen ¹⁾? Aduh cantiknya Den Rara Larasati ! “Wijen ?” dan Mbok Naya menyeka
memanja gadis cilik yang baru saja merebahkan diri duduk di atas amben ²⁾ dan yang
tersenyum manis merayunya. Mbok Naya tertawa geli. “Wijen untuk apa Den Rara ³⁾
?”
“Saya bukan Den Rara. Saya At-tik. Sudah.”
Mbok Naya lebih ketawa lagi, dan temannya, Mbok Ranu di sebelahnya, juga ikut
tertawa, sama-sama terlonjak hati melihat noni Jawa dari Betawi itu lucu, lesung di
pipi, berbahasa Jawa kurang sempurna untuk ukuran lingkungan pangeran keraton,
Surakarta lagi. Anak itu tidak dari Betawi. Dari Bogor. Tetapi untuk kedua pembantu
dapur sederhana itu, semua kota besar di ufuk Barat yang didiami priyayi, selalu
bernama Betawi.
“Sedikit saja biji wijen enak itu.” Gadis yang dikatakan noni Betawi tadi melihat
ke kiri ke kanan dan menoleh, seolah takut diketahui berbuat sesuatu yang kurang
layak. Kedua simbok tadi ikut-ikut melihat ke arah-arah yang sama, bertanya diri, ada
apa ? Tetapi tak terduga, sampai Mok Naya agak terperanjat spontan mengelak sedikit
kepalanya, si gadis kecil membisikkan sesuatu ke dalam telinganya yang tidak bersih
sama sekali itu.
¹⁾ Butiran kecil semacam buah rumput.
²⁾ Panggung.
³⁾ Panggilan gadis kaum atasan oleh kaum bangsawan.
9
Mbok Ranu memandang kejadian itu dengan agak mendekat serta tersenyum ingin
tahu, tetapi lebih-lebih dengan dambaan yang manis walau agak getir. Setiap anak
manis selalu mengingatkannya kepada anaknya sendiri, Si Bawuk yang, (ah memang
Gusti Pangeran Yang Maha Memiliki berkuasalah, namun toh kejam juga), telah
direnggut ke akhirat. Dilihatnya Mbok Naya mengangguk-angguk dan berkata:
“Inggih, inggih, baik itu Den Rara. Baik sekali” Lalu menggeleng-geleng: “Tidak!
Sungguh tidak, saya akan diam.” Lalu ia mengambil selembar daun pisang, dibuatnya
takir ¹⁾ “ Tolong biting ²⁾ itu.”
Mbok Ranu memberinya beberapa batangan bambu sekecil batang korek-api
selaku pengancing mangkuk daun. Dan takir itu diisilah oleh Mbok Naya barang
sepermpat gemggam biji wijen, yang seharusnya digunakan untuk melapis onde-onde
ceplus ³⁾ yang sedang mereka goreng.
“Terima kasih, ya Mbok. Nanti saya bawakan oleh-oleh.” Dan bersinar-sinar gadis
cilik yang sudah mulai menongolkan sepasang kuncup kewanitaan remaja di balik
blusnya, berlari meloncat-loncat kecil ke luar dapur.
Kedua simbok tadi mengikuti “burung prenjak” itu melalui pintu sampai
menghilang dari pandangan. Seselaput kerinduan mengaca pada kedua mata Mbok
Ranu.
“Sama dengan raden ayu ibunya,” katanya lirih.
“Siapa yang kelak akan memetiknya?” tanya Mbok Naya bernada setengah berdoa.
“Mudah-mudahan jangan Gusti Allah,” sahut Mbok Ranu, dengan sebiting
gugatan.
¹⁾ Semacam mangkok terbuat dari daun pisang.
²⁾ Tusukan bambu sebesar korek api.
³⁾ Semacam makanan terbuat dari tepung yang digoreng sebesar kelereng.
10
“Apa ?” tanya rekannya terkejut.
“Tidak apa-apa.”
“Kau ini! Kalau omong sering serba aneh.”
Mbok Ranu menghindar: “ Ah, yang penting kan nanti ada pertunjukkan wayang.
Tolong Semprong ¹⁾ itu Yu. Api Cuma rewel dari tadi. Pertanda ramalan apa ya ?”
“Kayu mlanding setoran Si Wangsa selalu begitu. Harus dibayar dia. Tetapi
sebetulnya tidak cocok lakon nanti malam. Bayi Raden Ayu Hendraningrat
perempuan, mengapa mengambil lakon “Kakrasana-Narayana lahir.” Seharusnya kan
mengambil riwayat ”Kelahiran Sembodro.”
“Saya dengar. Yu, itu Kanjeng Pangeran bermaksud untuk sekali jadi merayakan
adik beliau Raden Mas Sumitra dan kemenakan Raden Mas Suteja yang keduaduanya baru lulus dari sekolah perwira di negeri Belanda.”
“O, begitukah ?” dan dipandangnya rekannya yang lebih muda itu dengan rasa
heran. Perempuan ini tahu banyak. Dari mana ia tahu ? Tetapi ia diam saja ketika
Mbok Ranu dengan datar hanya berkomentar: “Itu yang saya dengar. Nah, minyaknya
masih saja meletus-letus. Si Min memang keterlaluan. Sudah berapa kali kukaktakan.
Beli minyak jangan pakai sembarang botol. Jangan-jangan botol dari kamar kecil ini.”
Tetapi Mbok Naya tidak berminat memarahi rekannya yang sering ceplas-ceplos
omong seenaknya. Diambilnya seserok bola-bola kecil gandum serba berlapis biji
wijen itu dan dengan luwes dimasukkannya ke dalam minyak yang mendidih. Harus
Pas. Jangan mentah jangan gosong. Pikirnya: Memang Si Ranu janda masih begitu
muda. Omong tak pernah hati-hati.
“Nah, kalau begitu, kan bisa cari lakon lain yang lebih tepat. Pregiwa-pregiwati
misalnya. Paling sedikit tokoh lakon yang wanita. Atau Arjuna bisa juga.”
¹⁾ Sepotong pipa bambu.
11
“Ah Mbakyu,” potong Mbok Ranu,”Jangan Arjuna. Saya sudah mengalami sendiri,
apa artinya kawin dengan jenis Arjuna.”
“Sudah, sudahlah, yang sudah lalu jangan diungkit –ungkit lagi.
Suamimu sudah di alam kahyangan sana dan kau dan saya sudah aman, mudah
memperoleh sesuap nasi; bahkan di dalam rumah seorang pangeran. Kita tidak boleh
menggerutu.”
“O, tidak Mbakyu, saya tidak pernah meggerutu. Saya hanya berkata, bahwa …”
“Ya sudah, aku tahu. Memang setiap orang punya segi Pendawa maupun
Kurawanya. Kita kan Cuma abdi. Boleh mengabdi lelaki itu kan sudah rahmat
namanya.” Dan dari sudut matanya ia melirik kepada rekannya, yang memang
menurut suara lubuk kecil di hati Mbok Naya, sepantasnyalah dimarahi, kendati
secara halus. Memang kasihan, anak tunggalnya terkena malaria; dan suaminya juga
menyusul anaknya, akibat terjatuh dari pohon melinjo yang terkenal selalu berkhianat
itu kaena dahan-dahannya seolah hanya melekat saja tanpa kekuatan sedikit pun pada
pokoknya.
Akan tetapi bukanlah enam tujuh tahun hidup bersama dengan seorang Arjuna
sudah tergolong ketiban ndaru ¹⁾, artinya dijatuhi anugerah kemujuran hidup ? Kalau
dibanding dengan suami Mbok Naya sendiri yang bentuknya seperti Togog ²⁾ loakan
itu, pastilah Mbok Ranu tidak punya hak untuk mengeluh setarikan nafas pun. Itu
kalau memang ia waratama ³⁾ Jawa sejati yang sudah pernah diajar oleh orang-tuanya
tentang sikap sumarah, ⁴⁾ bakti kepada raja suami dan segala yang di atas kita.
¹⁾ Dijatuhi cahaya Wahyu.
²⁾ Tokoh wayang, kebalikan dari Semar. Togog dianggap tokoh bodoh buruk dan
Serba salah.
³⁾ Wanita berbudi.
⁴⁾ Penyerahan.
12
Bukankah hidup di persada bumi ini hanyalah mampir ngombe, singgah sebentar
untuk minum setegukan, lalu harus berjalan terus ? Tiba-tiba dalam hati ingin-tahunya
mendesak bertanya: “Nu, dulu Batara Kamajaya ¹⁾ kerap berkunjung menemui Dewi
Ratih ²⁾?”
Mbok Ranu tahu apa yang dimaksudkan rekannya yang memang teman baik sekali
sejak ia masuk menjadi abdi Ndoro Putri Pangeran Hendraningrat, akan tetapi
seringlah, yang gituan itu lagi yang ingin diintip Mbok Naya di dalam kehidupan
intinya. Mbok Ranu tersenyum dalam hati. Memang dalam malam-malam sunyi
bahkan sering juga matahari masih belum terbenam dan ayam-ayam belum masuk
kandang, Kama suaminya dan Ratih pangkuannya suka bersendagurau girang namun
diam dalam kerahasiaan firdaus hanyut-rasa yang membuatnya lupa segala hal. Darah
Mbok Ranu hangat. Dan Arjunanya pandai memanjanya.
Benar, benarlah apa yang selalu dikatakan rekannya yang lebih tua itu, ia tidak
boleh mengeluh. Sekian tahun kebahagiaan sudah anugerah melebihi cukup. Tetapi
mengapa Allah begitu kejam dan suami beserta anaknya diambil dan sekarang ia
menjadi begini ?
“Apa Yu, yang kau tanyakan ?”
“Nah, janda selalu begitu. Melamun dan tidak mendengarkan orang lain.”
“Maaf Yu, saya tadi baru ingat pada anakku yang…apa Yu ? Tadi kau tanya apa ?”
Mbok Naya toh malu juga untuk menyogokan sekali lagi pertanyaannya yang
sebetulnya kurang senonoh itu. Tetapi sungguh, ia ingin, sangat ingin tahu, bagaimana
caranya seorang Arjuna … sudah, jangan diteruskan. Nanti saat kan datang sendiri,
rekannya itu mengungkapkan “ hikayatnya”. Tetapi itu harus membugil sponstan,
seperti kalau perempuan mandi di sumur pada petang gelap itu. Atau kalau sedang
minta dikeroki.
“Saya tadi tanya, kira-kira siapa lelaki yang akan mempersunting Den Rara
Larasati yang noni itu ?”
Mbok Ranu sekarang tertawa.
“Ya, sinyo tentunya.”
“Sinyo Jawa ?”
“mustinya begitu.”
Den Rara Prenjak kelihatan tidak senang di istana Pangeran kita. Saya intip, dia
hanya sendirian saja membaca buku atau melamun.”
“Nasib anak tunggal selalu begitu.”
“Tiga sebetulnya. Tetapai ah, mengapa Bu Antana nasibnya malang ? Bahaya
setiap anak yang tumbuh sendirian, ia menjadi manja. Mudah-mudahan jangan
menjadi sombong.”
“Banjak orang mengatakan Bu Antana sombong, padahal hanya anak-angkat
Pangeran kita. Aku kenal anak-emas itu dari kecil. Memang ibunya, nenek Den Rara
Larasati itu, perempuan simpanan di suatu desa lereng Lawu, gunung yang angkuh
itu. Sudahlah, sombongnya, aduh Nu, kalau kau lihat dulu.
¹⁾ Dewa Asmara dalam pewayangan.
²⁾ Dewi Asmara istri Kamajaya.
13
Lagaknya seperti darah ningrat Endragiri ¹⁾. Padahal sama dengan kau dengan saya
sajalah, darah kecap asin.” Mbok Ranu geli. Mbok Naya suka membuat kiasan-kiasan
yang aneh-aneh. Masakan, darah kok kecap.
“Den Rara Atik dan ibunya tidak sombong. Kalau sombong tidak mungkin begitu
menaung sikap mereka kapada kita para abdi. Ah … Yu, sering saya pikir-pikir
Seandainya Ruri anakku masih hidup, barangkali Den Rara Atik berkenan juga mainmain dengannya. Bagaimana Yu ?”
“Ya, saya kira begitulah. Tetapi soalnya, apa ayahnya memperbolehkannay ?”
“Ayahnya juga tidak akan sesombong itu. Mereka orang Betawi, orang pantai
walaupun masih tergolong kerabat Keraton. Orang pantai biasanya gampang. Yu
Naya tidak ingin melihat Betawi ?”
“Ah, untuk apa. Apa kota Sala kurang elok, kok ingin ke Betawi.”
“Hanya untuk melihat saja.”
“Melihat ? Melihat Sriwedari, nah itu baru nikmat. Yang main jadi Wibisono, duh
Gusti, pernah kau melihatnya ?” Mbok Naya terkekeh-kekeh dan berbisik di telinga
temannya: “Kau bisa, masih bisa sebetulnya kawin lagi dengan Wibisono semacam
dia. Mau ? Mau kucarikan ?”
Seandainya kulit Si Janda Ranu itu kuning langsep seperti para bendara raden
ajeng rumah Pangerannya, pastilah tampak ia menjadi merah. Tetapi yang tampak
hanya mulutnya yang melengos dan bagian dadanya yang meliuk malu.
“Mbakayu itu macam-macam saja usulnya.”
“Jadi kau mau ?”
“Siapa yang mau. Perempuan sudah layu begini.”
“Mau atau tidak mau bukan doal dalam lakon asmara. Nasib atau kepastian dari
Atas, itulah yang menentukan.”
“Terserah Yu … tetapi saya tidak meminta.”
“Baik, kau tidak meminta, tetapi terserah, bukan ?”
“Entahlah.”
“Baik, jadi terserah ya ?! ”
Tiba-tiba kedua orang pembantu dapur itu tertawa spontan bersama-sama,
sehingga terkejut sendiri dan melihat ke segala arah, jangan-jangan ada yang
mendengar. Seorang pembantu lain yang sedang mencuci cangkir-cangkir muncul dan
membelalak dari balik pintu sambil mengejek: “Hayoo, ada apa !”
Sekali lagi dua penggoreng, onde-onde ceplus itu tertawa terkikik-kikik.
¹⁾ Gunung tempat para dewa.
14
“Yo ayo, mari Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, hari ini Atik berulangtahun. Akan
kutraktir kalian, ya mari sahabat-sahabatku.” Dan dalam bentuk bulan tanggal muda
Atik menaburkan wijen di atas tanah halaman. Dengan tersenyum penuh harapan si
gadis lalu duduk menunggu di atas tangga beranda samping di bagian gandok yang
biasanya disediakan untuk para tamu Pangeran Hendraningrat.
Sepi suasana di dalam halaman gandok, seperti di dalam biara biksu-biksu Budha.
Orang tua Atik sedang berbelanja ke kota dan tadi ia mohon maaf kepada ayah-ibunya
agar diperbolehkan tinggal di dalam rumah saja.
“Kau di sini berlibur, Tik,” kata ayahnya. “Tidak untuk belajar. Ada waktunya
bersekolah dan liburan.”
“Apa lagi sekarang ulang-tahunan. Nah, lustrum kedua kau menghirup hidup di
bumi ini, kan harus dirayakan, Tik,” tambah ibunya.
“Kan tadi Atik diberi hadiah buku oleh ayah-ibu. Sudah sepantasnyalah kubaca
segera, bukan ?”
Kedua orang-tuanya tertawa, terutama melihat muka anak yang begitu merayu
tetapi sekaligus arif.
“Ya sudah. Atik menang. Tetapi Tik,” pesan ibunya sambil menaung dan
mengecup pipinya: “Kau boleh apa saja. Juga kalau kau senang berkeliling ke
halaman-halaman lain di rumah paman Pangeran yang aduh besarnya bukan main,
tidak seperti rumah kita di Bogor, asal saja kau minta diantar oleh salah seorang
pelayan putri. Misalnya Minah itu, kau kan suka pada Minah. Dan dia pasti teman
baik untukmu, cerdas matanya. Hanya kau jangan sampai keluar ke jalan-raya, ya Tik.
Janji ?”
Anak itu merangkul ibunya.
“Kalau keluar ke jalan-raya bagaimana ?” tanyanya nakal untuk meledek ibunya.
Ibunya mencubit hidungnya yang mungil itu dan tersenyum cantik.
“Akan kucubit kau tiga kali .”
“Asal jangan sakit.”
Ayahnya mengeluarkan tangannya dari saku pantalonnya dan menyeka rambut
anaknya: “Boleh ke jalan-raya, asal jalan-raya itu masih ada di dalam halamanhalaman rumah Pangeran.”
Genit Atik memandang dari sudut matanya sambil oleng kepala: “Ah, Ayah Cuma
mau menipu. Disangka Atik masih kecil.” Ayahnya tertawa: “Justru karena itu, Tik,
karena kau bukan anak kecil lagi. Sepuluh tahun coba bayangkan.”
“Tidak perlu dibayangkan. Kan sudah hidup sungguh-sungguh kok dibayangkan.”
Hahaha ….. dan ayahnya mencium juga anaknya di kening.
“Sudah ya Tik, bacalah buku itu baik-baik. Dan ingin oleh-oleh apa ?”
“Oleh-oleh … o ya, pinsil saja dengan setip. Atik ingin menggambar burung
srigunting.”
Ibunya mengangguk-angguk diam tersenyum. Tetapi di dalam hati ibunya berpikir,
sudah waktunya, anaknya kapan-kapan dibuatkan kutang.
Dan tinggallah Larasati sendirian. Bukunya dirangkul di dada dan kedua lutut
bersimpuh di tangga. Atik tak perlu lama menunggu. Sahabat-sahabatnya, burungburung gereja, ketilang, pada datang, tetapi masih waspada menunggu dulu,
bagaimana situasi keamanan. Sebab mereka biasanya dihalau oleh simbok-simbok
bila kebetulan ada ini-itu yang terserak bisa dimakan. Tetapi lihat, datanglah tenang
seekor jalak liar yang sama sekali tidak liar gayanya.
15
Dengan langkah-langkah agung ia datang bergaya ningrat. Maka Atik bersinar
melihat burung yang seolah-olah sudah berbusana resepsi penganten itu.
Punggung dan sayap-sayapnya coklat tua berwibawa bergaris-garis putih dan kakinya
kuning. Perutnya putih lagi seperti busana resmi tuan-tuan Belanda yang sering ia
lihat, kalau kadang-kadang diajak resepsi pesta ulang-tahun Ratu Wilhelmina.
Kepalanya dan tutup dadanya hitam gagah. Paruhnya kuning lagi dan seusap putih
menghias di belakang matanya yang menampakkan jiwa tak gentar.
Dan apa itu ? Tertawalah Atik geli : mata jalak itu dilingkari kulit berwarna
oranye. Rupa-rupany ia pemuja keluarga Ratu Belanda yang bergelar Oranye serta
berlambang warna oranye pula. Nah, melangkahlah beliau Sang Tumenggung dengan
tenang tidak takut sedikit pun, mendekati taburan-taburan wijen di halaman itu; lalu
puk-puk-puk, lahaplah makannya.
Lalu datanglah menyusul beberapa ekor manyar, itu burung-burung yang di manamana sibuk membangun sarang-sarang berseni elok. Mereka menyambar dari udara
dan puk-puk-puk. Tertawalah lagi Atik. Lucu burung-burung itu. Maka segeralah
burung-burung tingkat rakyat jelata, si gereja dan si emprit dan burung “anak
kampungan” ketilang ikut pesta juga. Dan nah, tentu saja tak mau ketinggalan si
gelatik cantik tetapi pencuri-pencuri padi yang nakal itu, dengan pipinya putih dan
picinya biru hitam. Persis anak-anak lelaki di dalam sekolah dan di mana-mana, nakal
dan perusak segala. Begitu Atik menilai mereka. Anak lelaki itu perlu dididik tetapi
tidak pernah mau. Akan kemana mereka itu, Atik tidak tahu.
Segeralah wijen-wijen berharga yang sebetulnya harus melapisi onde-onde ceplus
dan dimakan para priyayi tamu-tamu nanti petang, sudah habis. Pada saat terakhir
datang melayanglah beberapa ekor srigunting yang di mana-mana membawa ekor
berbentuk gunting, tetapi rupa-rupanya tidak laku sebagai penjahit. Mereka sangat
tidak berminat pada traktiran Atik, Sebab tentu saja gadis itu tidak membawa
belalang, capung, lalat atau kecoak, jangan lagi ulat-ulat. Maka kereka hanya terbang
saja dengan ikhlas di atas burung-burung jelata yang serba riuh bersengketa dan saling
mencaci-maki, berebutan biji-biji kecil. Dengan tenang srigunting-srigunting
beterbang layang seolah-olah tak peduli apa-apa.
Tetapi tiba-tiba seperti pemburu-pemburu Angkatan Uadara mereka menukik dan
menyambar seekor kupu-kupu kuning yang kasihan sekali, baru saja merasakan
kemerdekaan dari kepompongnya dan tahu-tahu sudah diculik oleh mahluk-mahluk
bersayap serba cepat dan serba hitam itu. Atik masih sempat melihat kupu-kupu
kuning tadi diserang dan dibawa lari oleh pemburu-pemburu yang ternyata bukan
tukang jahit bergunting, tetapi penyamun.
16
Mengapa Allah Yang Maha Pemurah dan yang memberi sekian banyak keindahan
kepada ciptaanNya membiarkan mahluk-mahluknya saling membunuh ? Pernah itu ia
tanyakan, ketika di suatu pagi di halaman neneknya, langsung di hadapan mata Atik,
tiba-tiba bagaikan batu yang jatuh dari awan-awan, seekor wulung ¹⁾ menerkam anakayam dan tahu-tahu sudah meluncur lagi ke udara. Tentu saja induknya dan anak-anak
ayam serba kalang-kabut. Atik ketika itu juga kalang-kabut jiwanya sampai menangis.
Ia merasa bersalah, karena tadinya dialah yang menaburkan padi di muka mereka.
Dan tentulah ayam-ayam itu tergoda dan terlena, sehingga si penyamun di udara
memperoleh kesempatan bagus untuk menculik salah satu anak-ayam yang halus
berbulu kuning manis itu. Tak bisa lain selain menangis Atik ketika itu, dan kue
cucur ²⁾ atau jenang delima ³⁾ neneknya tidak mampu menghiburnya.
Untung burung-burung srigunting berguna juga, makan ulat-ulat yang mengerikan
dan kecoak-kecoak serta serangga-serangga lain yang menjijikkan. Tetapi mengapa
kupu-kupu seindah itu disambarnya juga ? Sulit juga ya soalnya, karena kupu-kupu
itu dulu ulat dan pastilah di mana-mana ingin menelorkan calon-calon ulatnya.
“Kau jagan nakal, ya srigunting ! Namamu sudah seindah itu : Sri. Dan ekormu
aksi juga, mengapa tabiatmu begitu ?”
Perhatian Atik ditarik ke sekian emprit, ketilang, gelatik dan gereja yang sekarang
sedang bingung mencari sisa makan yang ternyata sudah habis begitu cepat.
Atik tertawa geli. Memang kampungan mereka itu. Apa lagi ketilang-ketilang,
yang selalu saling berdebat dan berselisih dengan suara-suara yang ribut namun
merdu sebetulnya. Kesukaan mereka buah-buahan dan lucu sekali kalau menghisap
madu dari bunga-bunga sepatu. Perutnya memang hanya kelabu muda belaka, tetapi
di belakang, aneh mengapa justru di belakang, kuping oranye. Yang lucu ialah
kepalanya yang hitam dan berwajah kurang ajar memang. Lebih kurang ajar lagi
kalau jambulnya tegak berdiri bila sedang berdebat dengan rekan-rekannya.
Kampungan benar. Atik tak bisa menggambarkan ketilang yang betina. Pada
perasaannya semua ketilang itu jantan, karena kekurang-ajaran mereka. Tetapi hihihi
dan Atik tertawa sendiri juga. Bukankah Atik sendiri ketilang sebenarnya ? Ia bisa
memanjat pohon dan memang suka memanjat pohon, sampai berkali-kali dimarahi
ibunya dan terutama Mbok Kerta babunya dulu. Lalu menggali lubang gangsir atau
berlari-lari menagkap laron ⁴⁾
¹⁾ Burung elang.
²⁾ Terbuat dari tepung beras rasanya manis.
³⁾ Terbuat dari ketela dengan butiran-butiran mirip biji delima.
⁴⁾ Serangga yang seringkali muncul pada awal musim hujan.
17
“Kau ini kok seperti anak laki-laki,” sering ibunya memarahi.
“Susah jadi perempuan,” pikir Atik selalu.
Ada satu hal yang ia tidak paham. Mengapa banyak binatang jantan lebih elok
bulunya dan lebih terhias bahkan suka bersolek daripada yang betina ? Ayam jago
misalnya bila dibanding dengan ayam betina. Apa lagi burung merak seperti yang di
Kebun Raya di Bogor itu. Pada hal orang perempuan, mereka tak habis-habisnya
bersolek dan merias diri. Dan anak lelaki ? Aduh, mereka itu seperti srigunting itu
atau manyar. Hitam dan serba ribut saling mengacau.
Atik suka pakaian manis dan segala macam embel-embel yang menurut kata ibuibu tua membuatnya lebih manis. Tetapi sebenarnya sering jengkel juga ia karena
segala repot itu. Lebih enak jadi burung dan bisa bermain-main di mana-mana. Juga
di jalan raya.
Beberapa srigunting beterbangan lagi, menukik meliuk, ah sungguh indah terbang
mereka. Kalau pagi begini mereka baru cari makan. Tetapi nanti kalau menjelang
senja, nah, Atik berseri-seri kalau melihat srigunting itu sedang bercanda bersiulsiulan ria dan kian kemari terbang indah seperti menari luwes dan aksi. Tak mengira
burung-burung sehitam itu bisa begitu luwes seperti penari serimpi kalau sedang
kiprah ¹⁾ dan membuat gerak terbang melingkar.
Dan lucunya, ekornya sering dibuka ditutup dibuka ditutup lagi, tampak sekali
mereka seolah meledek manusia : Ayo, bisa terbang ngak ? Manusia dapat terbang.
Atik tahu itu, tetapi hanya seperti permainan kertas yang dilipat dan dilemparkan.
Jelek. Kaku. Lagi sering jatuh begitu saja. Seperti puri Paman Pangeran ini, kaku.
Pangeran Hendraningrat adalah kakak sulung ibu Atik. Kakak tiri, orang yang baik
hati, ramah, tetapi kaku, aduhai ; sering di dalam kamar Atik tertawa sendiri kalau
menggambarkan paman-tuanya yang Pangeran itu.
Dalam hati Atik mengagumi ibunya. Untung ibu dulu kawin tidak dengan seorang
pangeran atau kaum istana mulia ini. Ibunya menikah dengan seorang konsulen ²⁾
pertanian yang tidak berdarah ningrat, tetapi seorang anak-emas pegawai tinggi
departemen entah apa. Ya, cocok, anak angkat dengan anak angkat. Ia tahu itu, karena
ibunya selalu berterus terang. Ayahnya bekerja di Bogor yang banyak hujannya itu,
tetapi yang subur dan bersuasana bebas. Ayahnya, Meneer ³⁾ Antana seorang pegawai
Dinas Kebun Raya Bogor dan juga ikut diserahi cagar-alam Ujung Kulon.
Berkali-kali, bahkan dapat dikatakan sekali seminggu paling sedikit, Atik diajak
ayahnya menyelusuri sawah ladang dan masuk ke semak-semak hutan gunung.
Bahkan pernah ia diajak masuk Ujung Kulon. Kata ayah mau mencari kolam tempat
badak-badak suka merendam diri. Atik belum pernah melihat badak dan ingin sekali
melihatnya, walaupun ibunya sudah berkata : seperti kerbau biasa. Hanya tanduknya
di hidung. Ah mosok. Tetapi sayang mereka tidak berhasil melihat badak. Sungguh,
Atik tidak bisa membayangkan diri menjadi puteri keraton. Tetapi sesekali melihat
Surakarta bolehlah. Walaupun jangan terlalu lama. Sebelum berangkat ayahnya sudah
mengikat janji, tidak akan tinggal di Surakarta lebih dari tiga hari. Tetapi ini nanti
jadinya akan seminggu.
¹⁾ Terbang melingkar seperti gerak para penari.
²⁾ Dari kata Consultent (Bld) : Bimas Pemerintah Hindia Belanda.
³⁾ Tuanku.
18
Untung ayahnya baik sekali. Ia tahu, bahwa akan menyakitkan Atik. Maka ia berjanji
akan membawa Atik pergi melacaki ladang-ladang dan alam di sekitar kota.
“Ibu kan belum sembuh rindunya kepada abangnya yang baik hati itu,” kata
ayahnya. “Apa Atik tidak kasihan Ibu ?” Ya, tentu saja Atik mengalah. Tetapi toh
enak juga. Besok pagi sesudah istirahat dari pesta kelahiran puteri Pangeran, ia dan
ayahnya akan berburu di ladang-ladang, dan kalau bisa ke hutan-hutan jati gunung
kapur di Baturetna. Bukan berburu dengan bedil, Atik benci pada senapan, tetapi
dengan alat kamera.
Heh ? Bukankah itu nyanyian kepodang ? Orang-orang Sunda menamakannya
bincarung, burung perada kencana yang berpelisir hitam molek dari paruh melalui
mata dan terus ke belakang seperti ikat kepala petani Kedu.
Atik teringat pada kepodang yang di kurung di rumahnya, hadiah salah seorang
tukang kebun ayahnya. Hitam seluruhnya, sungguh aneh, tetapi untung masih dihiasi
dengan ban lebar merah karmein yang melintasi dada dan perut. Gagah, serem seperti
pesilat Sunda. Tetapi nyanyiannya, aduh, serba bernada mendamba. Kata ayah, si
kepodang bertanya, di mana harta pusaka nenek-moyangnya dapat ditemukan lagi.
Memang kepodang hitam-merah itu hanya terdapat di hutan-hutan jauh di lereng
pucuk Gunung gede. Awas nanti Mbok Nem kalau lupa memberinya buahbuahannya.
Dengan mata menyipit, Atik memandang kepada srigunting yang sedang bercanda
di atas kawat listrik; ulah mereka seperti mengomentari mahluk-mahluk yang lalulalang di bawahnya. Burung-burung srigunting itu sering didakwa oleh orang-orang
sebagai penyamun telur sarang-sarang burung lain. Barangkali karena warnanya
seperti garong perampok, yang membuat mereka nampak serem. Apa lagi bila kedua
ujung ekornya itu ditafsir sebagai kelewang. Tetapi ayahnya mengatakan, itu tidak
benar. Memang ada burung lain, yang hitam juga seperti srigunting, tetapi tidak punya
ekor silang seperti gunting itu. Kita harus berhati-hati, begitu hikmah ayah yang
dikatakan kepada Atik, jangan menilai orang lain jelek, hanya karena nampaknya
hitam. Tokoh Kresna di pewayangan, nah itu contoh lagi : raja perwira penasihat
Pandawa terulung, walaupun serba hitam.
Atik tertawa. Sebab sekarang kedua srigunting tadi, laki-bini barangkali, sebab
sedang mesra berbisik-bisik satu sama lain, lalu berkicau lagi. Merdu, seolah mereka
berbahasa Sunda. Tiba-tiba kedua burung itu terperanjat dan serba panik mendadak
terbang. Gusar Atik bertanya diri. Siapa yang mengganggunya ? Anak kampung
barangkali. Ternyata ada kepala anak laki-laki seumur 12 tahun muncul dari balik
tembok. Anak itu memanjat dahan pohon sawo kecik yang lebih tinggi, dan
membidikkan pelantingnya ke arah srigunting lain. Teto nama anak itu.
Bibir mungil Atik cemberut dan matanya berkilat benci melihat anak itu. Bukan
anak kampung, tetapi putera Kapten Brajabasuki (Oom Bas) yang berdinas di
Magelang, menurut ibu Atik.
“Itu anak lelaki yang baik hati,” kata ibunya. “Cerdas di sekolah, hampir selalu
nomor satu dan jujur.”
Mosok jujur, anak yang kesukaannya memelanting burung-burung tak berdosa.
Atik pernah diperkenalkan padanya sekian tahun yang lalu ketika mereka datang
diundang Paman Hendra juga. Atik malu-malu tentu saja, seperti selayaknya puteri
yang berpendidikan.
19
Tetapi anak itu langsung memijit hidungnya seperti tombol, kurang ajar, sungguh
setengah mati kejutnya. Apa lagi semua orang-tua tertawa, seolah-olah menyetujui
perbuatan jahat itu.
Tetapi toh ada sesuatu yang menyenagkan pada Teto itu. Ia sanggup apa saja,
memanjat pohon, meloncat selokan lebar, berenang. Pernah keluarga Antana
berpiknik bersama keluarga Brajabasuki ke Tirtonadi. Ibunya, seperti lazim mode
kaum terpelajar kala itu, bergaun dan bertopi lebar. Ketika pergi ke tepi sungai,
datanglah angin kencang yang mendadak; topi ibunya terbawa angin dan jatuh di
bengawan besar itu. Dan apa yang terjadi ? Si Teto tanpa berpikir panjang terjun ke
sungai dan berenang memburu topi itu. Tentu saja semua terkejut setengah mati. Topi
diselamatkan dan dipakai olehnya, dan Teto tenang mengikuti arus berenang ketepi,
jauh sekali; topi di kepalanya. Dari jauh seolah-olah topi itu berenang karena
kebetulan Teto berpakaian seperti kelasi angkatan laut Belanda, biru tua dengan
pelisir-pelisir kecil putih; jadi tak tampak. Akhirnya semua tertawa geli dan Atik
bertepuk tangan sambil berteriak-teriak ria.
Tetapi sayang, dalam permainan Teto selalu curang. Dan pernah sesudah menang
curang gobag sodor ¹⁾ ia memaksakan hadiah ciuman. Pada hal sudah disepakati; jika
Atik menang, Atik digendong Teto. Tetapi karena Atik terlalu lemah untuk
menggendong Teto bila Teto menang, Atik sanggup untuk memberi kecik sawo (biji
sawo) tiga biji, yang sering dibutuhkan Teto untuk adu kecik sawo dengan kawankawannya. Biji sawo sih Atik punya banyak, karena ia tinggal minta saja pada Pak
Kebon yang rajin setiap pagi dan petang menyapu halaman. Tetapi apa yang diperbuat
anak kurangajar itu ? Sejak itu ia tak mau lagi gobag sodor dengan anak jahat itu.
Namun Teto anak yang pandai melucu. Ia pintar menirukan suara binatang apa pun,
dan Atik biasanya tidak bisa lama mempertahankan marahnya kepada anak yang lucu
dan pemberani itu.
Topi ibu yang basah kuyup tadi tentu saja sudah sulit dipakai lagi oleh ibu; maka
dihadiahkannya kepada Teto. Bukan main gembiranya. Langsung bunga-bunga hiasan
di topi ia copot semua dan tepi topi yang lebar dilipat sebelah. Nah jadilah topi medan
perang tentara Kompeni. Memang dasar anak kolong, kata Oom Bas sambil tertawa.
“Hei! Hei! Teriak Atik. “Kasihan! Jangan dipelanting! Teto! Teto! Jangan!”
Teto memalingkan kepala ke segala arah sampai pandangannya bertemu dengan
Atik yang marah berkecak-pinggang. Ia tak menjawab apa-apa. Hanya lidahnya yang
keluar dan mukanya dibuat mirip kera.
Jelek sekali.
“Kasihan meraka! Kau anak bengis.”
Sekali lagi lidah keluar dan wajah Sugriwa ²⁾ menakut-nakuti Larasati ³⁾. Tetapi
bagaimana pun, ia toh turun dari pohon sawo. Tidak, ia bukan anak baik hati. Ia anak
wulung yang perangainya menyambar anak-anak ayam. Atik marah masuk beranda
dan di kamar tak dapat berbuat lain kecuali mencoba membuka buku hadiahnya.
Tetapi kamar dalam istana pangeran selalu gelap.
¹⁾ Semacam permainan lari dan menyusup, terkenal bagi anak-anak di Jawa.
²⁾ Raja kera dalam epos Ramayana, saudara raja kera Subali.
³⁾ Salah seorang istri Arjuna.
20
Ia pergi saja ke pendapa, tetapi para abdi sedang sibuk dengan persiapan-persiapan
wayang nanti petang. Apakah sebaiknya ia memanggil Minah pelayannya, diajak
berjalan-jalan ke jalan-raya ? Tetapi biar gelap dicobalah juga membaca sebarang satu
dua halaman dari buku itu. “Door Duistemis tot Light. ¹⁾ Kartini penulisnya. Kartini.
Aduh, alangkah tebalnya. Jangan-jangan ayah memilih buku yang terlalu berat
untuknya. Dari pendopo terdengar kesibukan persiapan pesta demi puteri Pangeran
Hendraningrat, sekaligus untuk adik dan kemenakkannya. Ia senang tetapi sekaligus
benci pesta-pesta mewah seperti ini. Lalu duduklah Atik langsung di ubin lantai yang
dingin dan tiba-tiba, seolah ada awan kebahagiaan menyelubunginya. Ya, ia bahagia,
memiliki ayah yang begitu baik. Ibunya baik juga, tetapi ayah, ya ayahlah bagi Atik
sumber segala kebaikan. Selama ayah ada, segalanya indah. Ah, setiap gadis pada
suatu saat harus kawin dan berpisah dari Ayah-Ibu. Atik juga tahu itu. Memang ia
masih gadis kecil, tetapi ia sadar, akan selalu begitu nasib setiap gadis. Bagaimana
dulu ibu sampai mendapat ayah ? Ah, sesekali itu akan ia tanyakan kepada ibunya.
Lalu meloncatlah Atik tinggi-tinggi. Ia menoleh ke segala arah. Pintu kamar terbuka.
Jangan-jangan ada yang melihatnya ia sesinting itu. Aman. Buku ia letakkan di atas
tempat tidurnya. Dan ia keluar mencari Minah.
¹⁾ Judul kumpulan tulisan R.A. Kartini : Habis Gelap Terbitlah Terang.
21
3. Buah Gugur
Surya sudah terbenam. Ketokan pintu. Ketika dibuka, kaget setengah mati kami.
Sesosok tubuh tampak di pintu. Mami menjerit dan langsung memeluknya. Papi tanpa
berita apa-apa pulang.
Ia telah dilepas dari tahanan militer setelah beberapa bulan meringkuk sebagai
lawan perang Jepang. Dunia-serba-gemilang kami telah cepat runtuh. Jepang datang.
KNIL kalah dan bubar. Mami dan aku sudah pindah menumpang di tempat seorang
kenalan baik di Embong Menur, suatu daerah perumahan kaum berada. Sebab, tentu
saja rumah dinas ayah sudah diduduki musuh dan memang sejak perang-pecah semua
orang sipil sudah diungsikan dari tangsi.
Papi mendadak menjadi tua. Dan lebih pendiam lagi dari semula. Tawaran dari
Pangeran Hendraningrat untuk mengunsi ke rumahnya ditolaknya halus. Agaknya hati
Papi sudah ikut runtuh pula dengan KNIL. Bahkan Papi lalu pindah ke sebuah rumah
kecil di kampung Patrabangsan. Hanya Mami yang sering ke Sala, sekedar berdagang
apa yang dapat dijadikan sumber nafkah ketika itu. Kawan-kawan lama anak kolong
semakin tercerai-berai. Papi tak banyak bicara tentang situasi, tetapi aku tahu ia
menunggu kemenangan Sekutu dan kembalinya pemerintah Belanda. Orang-orang
kampung Plengkung tahu Papi bekas kapten KNIL, orang berpangkat tinggi untuk
ukuran masa itu. Tetapi karena Papi biasa saja ikut hidup gotong-royong dengan
mereka, hidup kami tenteram terlindung. Bahkan dapat dikatakan tak tampak,
tenggelam. Rumah kami kecil tersembunyi di belakang bekas rumah opsir Belanda
yang dulu berpangkat mayor dan yang tentunya sekarang didiami seorang perwira
Jepang. Opsir Jepang itu hidup di situ sendirian dengan babunya Tante Paulin. Suami
Tante Paulin sersan KNIL totok yang ditawan di Burma. Dan Tante kini menyambung
hidupnya dengan cara menjadi gundik perwira Jepang itu. Saya jijik melihat Tante
Paulin, yang sebetulnya tergolong perempuan manis juga dan lembut hatinya.
Sungguh aku tidak memahami, mengapa Papi dan Mami sangat baik, bahkan sering
menurut seleraku terlalu baik kepadanya.
Ketika itu aku memondok di Semarang meneruskan sekolahku di SMT ¹⁾. Aku
Senang di Semarang, karena tenyata ada group pelajar yang berselera anti Jepang.
Tetapi suasana memanglah menjengkelkan bagiku. Kami diindrotrinasi dan dilatih
bermodel Jepang. Untung guru-guru kami intelektual-intelektual yang tahu, apa yang
harus mereka berikan kepada murid-muridnya. Ada seorang pelajar yang militan
pemuja Jepang. Bisma namanya, yang jadi komandan kami dalam ulah kemiliteran.
Bisma ini setengah kami kagumi karena bakat-bakat kepemimpinannya, tetapi dari
pihak lain kami benci, karena begitu hian menjilat Jepang.
Tetapi seumumnya semua pelajar anti Belanda … kecuali aku.
Barangkali ada lainnya juga yang seperti aku, tapi pastilah ia cukup lihai untuk
menyembunyikan perasaannya. Seperti aku juga. Tetapi aku sungguh merasa, betapa
sedihnya punya simpati yang jelas bukan simpati kawanan. Serasa paria terkucil. Dan
selalu harus bersandiwara. Ini yang paling memuakkan.
¹⁾ Sekolah Menengah Tinggi, nama untuk SMA di jaman Jepang.
22
Aku tipe anak kolong yang sejak kecil punya kode etika berterus-terang. Lebih
baik berkelahi berbahasa kepal dan tendangan kaki daripada bohong dan pura-pura.
Baru kelak aku sadar, bahwa dalam citarasa aku satu kompi dengan Papi. Papi
ternyata (tetapi itu baru kelak kuketahui) sengaja menjauhkan diri dari kaum istana,
karena ia tidak suka basa-basi Jawa yang halus tetapi banyak yang tidak jujur. Ia dulu
meminta sendiri atasanny agar boleh masuk garnisun di Surabaya, karena
orang-orang Sungai Brantas sana tidak pernah suka berbahasa kromo ¹⁾, apa adanya
tanpa tedeng aling-aling ²⁾. Tetapi lingkungan Kedu dianggap cukup oleh
pembesarnya. Namun itu sudah jaman yang lampau, yang sudah morat-marit hancur
lebur. Pedang dan seragam kebanggaan Papi sudah dititipkan oleh Mami (dibungkus
dalam goni dan dikamuflase dengan barang-barang upet ³⁾ kelapa) di dalam rumah
Oom Hendraningrat. Papi menjadi makelar sepeda dan banyak pergi ke pasar-sepeda
kota lain atau ke desa. Dan aku terpaksa latihan perang-perangan dengan bedil kayu
gaya Jepang. Sinting sebetulnya, tetapi dalam hati, sebagai anak kolong Kompeni
sejati, aku sehati dengan Papi, menunggu kemenangan Sekutu.
Dalam suatu liburan sesudah aku naik kelas III SMT Papi mempercayakan salah
satu rahasianya padaku. Terlebih dulu pintu dan jendela ia kunci. Dan dalam cahaya
remang-remang pelita minyak kelapa ia mengeluarkan peti sabun kecil dari atas
langit-langit. Radio gelap.
“Kau sudah besar. Mau membantu Papi ?”
Berdebar-debar aku mengangguk.
“Papi tidak takut tertangkap Jepang nanti ?”
Papi tersenyum.
“Perwira tidak boleh takut. Orang takut, kebanyakan karena bodoh. Kau pikir
Papimu bodoh ?”
Keras kugeleng-gelengkan kepala.
“Nah, dengar sekarang. Radio ini harus kau sembunyikan di dalam gudang Mayor
Kanagashe tetangga kita ini.”
“Saya ? Bagaimana ?”
“Pelan. Tetapi sebelumnya Papi minta, agar kebencianmu kepada Tante Paulin kau
kurangi.”
“Sundal itu ?”
“Hei hei, jangan terlalu keji pada perempuan malang itu !”
“Ada apa sih, kok Papi begitu terkesan oleh Tante Paulin ?”
“Bukan begitu. Papi senang kau tidak suka pada sundal. Tetapi orang-orang yang
membongkok-bongkok di hadapan serdadu tengik Jepang dan menjual bangsanya
kepada mereka demi sebungkus rokok lebih hina dari sundal.”
“Ya, tetapi jangan begitu mengukurnya.”
“Memang, Papi tahu apa maksudmu. Tetapi kami harus bersahabat dengan Tante
Paulin. Mamimu juga sudah tahu mengapa.”
¹⁾ Bahasa Jawa tinggi (halus).
²⁾ Perisai pelindung.
³⁾ Kelopak bunga kelapa ; dipakai sebagai bahan bakar.
23
“Mami ?”
“Ya, beginilah. Berkat Tante Paulin, kami tahu segala-galanya tentang cara hidup
Mayor Kanagashe itu. Kapan ia pergi, kapan ia pulang. Kamar mana yang kosong,
ruang mana yang suka ia pakai. Dan sekarang saatnya, radio ini harus disembunyikan
di dalam kompleks rumah Mayor itu. Gampang sekali.” (Aaah … haru saat itu aku
terbuka mata. Papi memang perwira yang pandai.)
“Tetapi bagaimana bila Tante Paulin tahu-tahu menongol dan rahasia ini
terbongkar ? Kan perempuan itu suka ngobrol dan bocor mulut ?”
“Tante Paulin tidak tahu apa-apa tentang soal ini. Sama sekali nol. Tetapi kami
tahu segala seluk-beluk dalam rumah Mayor itu.”
Sebelum Papi habis bicara aku sudah tahu apa yang dimaksud. Rumah Mayor
Kanagashe dulu didiami mayor Belanda. Aku kenal keluarga itu, terutama Yan
temanku sekelas. Dan aku tahu juga, tempat mana yang boleh jadi paling tepat untuk
menyembunyikan radio gelap yang akan dipasang di dalam kompleks perwira tadi.
Sehingga dengan aman tenteram kami dari luar bisa menyadapnya. Kalau detektordetektor Kenpeitai menemukan lokasi radio itu, mereka akan mengira itu urusan
Mayor Kanagashe. Maka betul, di siang bolong, tepat ketika Mayor Kanagashe
sedang pergi dinas, Pak Kebon sedang mendengkur di dapur dan Tante Paulin berfoya
entah ke mana, aku masuk melalui lubang dinding ke dalam kakus pelayan yang
sudah lama tak terpakai dan hanya berisi panci-panci bocor dan gulungan sisa-sisa
kawat listrik serta macam-macam loakan bekas milik keluarga mayor Belanda dulu.
Radio Papi kuletakkan di atas langit-langit kakus. Dan kabel penyadap dengan
teliti serba tersembunyi kupasang masuk ke dalam halaman kami. Seandainya kabel
itu kelihatan, pasti tidak ada orang yang akan menaruh curiga. Radio tadi sudah
disetel mati pada gelombang BBC London.
Sejak itu, setiap kali jendela kamar mayor itu terang, tanda ia di rumah, Papi
menyetel BBC dari kamar bilik bambunya. Sejak itu pula aku ramah mengucap salam
pagi dan petang bila Tante Paulin lewat. Dan melawan segala arus masyarakat
kambing, aku tetap mengharapkan Belanda datang lagi.
Pada awal pendudukan Jepang, Papi masih sering dikunjungi beberapa “tokoh
bawah tanah”, yang hampir semua tidak kukenal. Pernah dari bilik kamar tidurku
kudengar nama Amir Syarifudin terucap dalam percakapan serba teredam di dalam
kamar tengah yang terkunci. Baru kelak sesudah Jepang kalah kita tahu bahwa Amir
Syarifudin mendapat ƒ60,000 dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menyusun aksi
di bawah tanah melawan Jepang.
Tetapi suatu Saptu, tahun 1944, sepulang dari Semarang, ketika aku ingin
menengok Papi dan Mami, rumah terkunci rapat. Para tetangga mengatakan orangtuaku sedang menengok Kakek, ayah Mami yang sakit. Aku heran, sebab keduanya,
Papi dan Mami sudah lama tak berorang-tua. Segera aku mengerti, ada masalah
gawat. Mereka pasti berlindung lagi di dalam puri di Surakarta. Meloncati pagar
bambu, aku langsung pergi ke kebun belakang. Setelah menengok ke kiri ke kanan
kuperiksa kabel penyadap. Sudah tidak ada lagi. Dengan cemas lekas-lekas
kutinggalkan rumahku dan pergi menuju Surakarta. Hanya Mami yang kutemukan di
tengah para kerabat. Berlinang-linang aku dicium dan dicium.
“Doakan Papi !” Doakan Papi !” hanya itu yang mampu keluar.
24
Tenggorokanku serasa terganjel batu dan tiba-tiba aku merasa harus kencing. Di
dalam WC aku terengah-engah dan hati berdebar-debar. Papi tertangkap. Untung aku
lekas meninggalkan rumah kami di Plengkung di belakang rumah Mayor Kanagashe.
Apa Tante Paulin berkhianat ? Kesal hatiku, mengapa orang-tuaku begitu percaya
pada sundal itu.
Di dalam kamar tidur Mami kulihat serba lega peti-sabun kecil yang pernah
kuletakkan di bawah atap WC rumah Kanagashe. Nyaris aku berteriak terbawa
kegembiraanku. Tak kenal sabar kutanyai Mami, siapa yang mengambil peti radio itu.
“Papimu sendiri.”
“Papi ?”
Betapa besar risikonya. Dari Mami kudengar Papi tidak atau lebih tepat belum
tertangkap. Amir Syarifudinlah yang tertangkap. Dengan beberapa kawan lain. Maka
segera setelah pada suatu petang teman Papi datang membawa berita, langsung pada
malam harinya Papi sendiri seperti maling mengambil radio itu. Dan pagi-pagi benar
Mami diantar ke puri Hendraningrat. Tetapi dengan dalih cari kerja Papi lalu
menghilang. Ia ingin membebaskan keluarga Hendraningrat dari segala risiko.
Kira-kira tiga bulan kemudian, di Semarang, aneh sekali, kuterima sepucuk surat
pendek dari seseorang yang tak kukenal, dengan pesan agar aku suka pergi ke Jakarta,
ke suatu alamat tertentu di Kramat. Tulisan jelas dari tangan puteri. Bahkan poswesel
untuk perjalanan ke Jakarta kuterima juga dari tangan puteri itu. Karena saat itu
kebetulan aku sedang menghadapi ujian penghabisan SMT, terpaksa aku belum dapat
segera pergi ke Jakarta. Bahkan membalas surat pun aku lupa. Soalnya, sungguh aku
tidak mengenal si penulis itu, yang menyebutku teramat intim : Lieve Teto (Teto yang
manis).
Siapa ini ? Yang kenal nama panggilanku ? Dari Mami jelas bukan, sebab kukenal
tulisan Mami. Barangkali karena pikiranku penuh soal-soal ujian, sama sekali tidak
terpikir bahwa mungkin penulis surat itu salah seorang penghubung Papi. Papi, yang
demi keselamatan tidak mau meninggalkan bekas atau tanda hidup satu pun.
Baru sesudah selesai ujian mata-pelajaranku terakhir, yang barangkali tak baik
hasilnya (karena semalam-malaman aku terganggu oleh surat dan wesel dari Jakarta
itu : Siapa gerangan penulisnya ?) kuputuskan untuk bertekad pergi ke Jakarta. Sambil
melihat situasi di ibukota sana, ada apa. Dari Papi belum lagi ada tanda-tanda hidup.
Sampai di alamat Kramat, aku masuk halaman dengan nomor rumah yang sudah
dipesankan padaku. Rumah itu rumah kuna dengan tiang-tiang Romawi bulat yang
gagah. Lantai dari marmer Italia persegi dipasang diagonal. Hanya kerai-kerai sudah
agak lusuh, karena bahan cat di masa itu sudah lama sulit dicari.
Satu-satunya yang mengganggu dalam rumah anggun itu hanyalah kertas-kertas
pengaman bahaya udara yang ditempelkan pada kaca-kaca pintu dan jendela. Beranda
muka marmer itu hampir kosong. Hany meja sederhana satu dengan empat kursi yang
serba kaku berdiri di situ. Rumah siapa ini ? Tidak ada tukang kebon tidak ada anjing.
Sunyi sepi saja. Dari jalan terdengar teriak anak menjajakan es. Sebuah andong lewat
membawa seorang berseragam. Dai Nippon kekurangan bensin, kata benakku dengan
syukur. Kebencianku pada orang-orang Jepang menyala selangit.
Di mana Papi ? Keluarga rumah ini barangkali tahu ? Atau jangan-jangan aku
masuk jebakan Kenpeitai ? Kucari jalan ke belakang. Hanya pintu-pintu kebun yang
serba tertutup dan terkancing kuat kutemukan. Tidak ada bel lagi.
25
Kuperiksa nomornya. Betul. Kutelusuri lagi ujung jalan Kramat. Betul, angka Roma
VI. Kembali aku ke rumah tadi. Lelah aku duduk di atas tangga lantai marmer itu.
Sejuk rasanya. Mengantuk juga aku karena lelah dari perjalanan KA brengsek.
Tanpa aku sadar tahu-tahu pagar muka sudah dibuka dan datanglah seorang gadis
mendekatiku. Naluri menggerakkan aku berdiri. Barangkali puteri tuan-rumah ? Aku
menghormat. Gadis itu tersenyum ramah. Kira-kira adik sebayaku. Tetapi biasanya
pemudi tampak lebih tua dari yang sesungguhnya. Masih pelajar ? Sudah pegawai ?
“Adik Teto dari Semarang ?”
“Betul, Mbak. Maaf, aku sedang ujian dulu. Tidak sempat membalas.”
“Oooh (matanya bersinar jenaka) memang kami yang keliru. Tetapi profisiat,
sudah lulus kan ?”
“Baru saja selesai. Jadi belum tahu keputusannya.”
“Ooooh (senyumnya cerah, membuatku bingung) pasti lulus deh. Raden Mas
Sinyo pasti lulus,” dan ketawalah ia berderai. Aku terkejut setengah mati mendengar
sebutan Mas Sinyo :
“Kok tahu…”
“Ah, Mas Sinyo ini sombong sih. Berkali-kali berkunjung ke rumah kami, tetap
nggak mau kenal.”
“Baru pertama kali aku …”
“Tidak di sini. Tetapi di Sala.”
“Ah, maaf.” Tiba-tiba muncul dalam benak belakangku sebuah citra roman muka
gadis yang pernah kukenal, entah di mana. Jauh … jauh … dan agak kabur.
“Aku Atik…..Larasati. Pasti tak kenal, tanggung ( dan tertawa-nya geli, seperti
mengejek). Yang dikenal Cuma noni-noni yang cantik-cantik saja tentu kan !”
Aku malu sekali dan merasa bersalah. Memang dulu sesudah tamat SD aku tak
pernah suka berkunjung lagi di kalangan ningrat yang serba kaku. Dan sekarang …
“Saya kira bukan begitu Mbak.”
“Allaa…..mari masuk. Sudah lama tadi ?”
“Lama sekali. Untung ada malaikat datang.”
“Aduh, sekarang menyanjung. Mungkin lapar, Mas Teto ? (kurangajar, aku malu
sekali). Mamimu di dalam.
“Mami ?”
Mami menangis melihatku. Dadaku mulai sesak. Apa betul Papi tertangkap ?. Ibu
Antana, nyonya rumah, menghiburnya dengan kata-kata lembut. Dan dari kata-kata
itu aku sudah dapat menarik kesimpulan, bahwa harapan berjumpa kembali dengan
Papi sudah hampa. Ternyata betul. Papi masuk perangkap. Ia rindu pada Mami dan
menulis surat agar bertemu denganya di salah suatu warung di Pasar Senen dekat
bioskop Grand. Surat itu (Papi lupa) tentu saja disensor. Mami pun tidak berpikir
panjang, dan memang menurut instruksi, Mami merahasiakan semua itu terhadap
kerabat puri, sehingga tak sempat mendapat nasihat yang lebih waspada. Begitu Mami
menggandeng Papi, begitu Kenpeitai memborgol Papi. Jasa dan tanda cinta terakhir
dari Papi pada Mami hanyalah kata-kata tegas kepada Kenpeitai agar membebaskan
Mami yang tidak bersalah sedikit pun. Dan Mami dibebaskan. Dibebaskan …?
Mulai saat itu aku memasuki babak baru dalam hidupku. Dalam diriku terasa
panggilan untuk mengganti tempat Papi. Setelah ditinggal suami yang dicintainya,
Mami semakin mundur, kurus dan mudah sakit. Dan semakin diam. Mami lalu
mencari hiburanny dalam mistik dan alam gaib.
26
Tidak lama kami menumpang pada keluarga Antana, yang penuh kebaikan hati itu.
Sebab Mami tahu,tidak baik terlalu lama menumpang pada keluarga lain. Barangkali
Mami merasa bahwa kecenderungan kemurungannya bisa jadi lama kelamaan kurang
enak bagi keluarga darmawan itu, yang memang kurasakan, serba gembira, optimis
dan pandai saling berdialog dengan ledekan-ledekan jenaka. Dalam hati aku senang di
dalam lingkungan keluarga Antana, terutama karena Atik tiba-tiba mengisi
kebutuhanku berupa pergaulan adik dengan kakak ; aku yang selalu anak sulung
sekaligus bungsu ini. Begitu juga Atik. Tetapi terus terang saja toh aku belum siap
mental. Maka sikapku lebih berkadar malu dan minder daripada menerima lahap
anugerah lingkungan yang menyenangkan itu.
Kami lalu tinggal di suatu rumah kecil di belakang tangsi Penggorengan Senen
dengan cara hidup sangat hemat, sederhana dari sisa peninggalan tabungan Papi yang
masih lumayan. Bahkan atas desakan Mami aku memasuki Sekolah Tinggi
Kedokteran Daigakku. Tetapi di luar kuliah aku jadi “anak kolong” lagi, mencatut
sini, mencatut sana, mencari nafkah untuk Mami. O, Mamiku yang kasihan. Sungguh
aku tidak pernah tahu, apakah aku harus merangkul menciummu dengan bangga,
ataukah harus membunuhmu dengan benci. Sebab menjelang senja itu, di bawah
pohon mangga kebun belakang rumah Bu Antana, untuk pertama kali dalam segala
tahun yang masih kuingat jelas, aku, anak KNIL yang telah ditempa dengan hati dari
tembaga peluru tangsi, yang terbiasa untuk bertahan, toh menangis. Sepulang dari
mencari tambahan nafkah catutan di Pasar Senen, aku menemukan rumah kosong.
Hanya secarik surat dari Mami yang kutemukan. Dalam bahasa Belanda. Aku harus
pergi ke Tante Antana. Tante yang akan menerangkan, ke mana Teto harus pergi
untuk”menemukan” Mami. (Aneh, menemukan di antara tanda petik.) Ibu Antana dari
semula selalu menunjukkan kesayangannya padaku. Tetapi petang itu memang lebih
dari biasanya. Diciumlah batu kepalaku. Disusul sekedar minum teh dan kue-kue
basa-basi di kebun, di bawah pohon mangga, di mana aku dan Atik sering main dam
dan saling berdebat serta bercanda saling meledek.
“Mana Atik ?”
“Sedang belajar dengan teman-temannya.” Dan tanpa kutanyakan, keterangan
ditambahkan : “Pak Antana baru ke Bogor.” Lalu basa-basi lagi. Rupa-rupanya Bu
Antana masih mencari kata-katanya yang tepat. Aku sudah tidak sabar lagi. Lagi
hatiku takut. Tetapi akhirnya … “Tetoku, kau boleh percaya pada Tante. Tante hanya
mengatakan yang Tante rasakan. Ibumu wanita yang paling mulia jiwanya yang
pernah kujumpai selama hidup Tante. Tetoku, kau cinta pada Mamimu ?”
Dengan mata membelalak kutatap Bu Antana. Ada apa kok tanya seperti itu ?
Tentu saja aku mencintai Mamiku.
“Kok Tante tanya …?”
“Ah, Tante tanya sebenarnya hanya untuk melahirkan suatu keyakinan, Teto.
Pertanyaan yang sudah mengandung jawaban, bukan Teto ?” Tanganku dipegang erat
oleh Tante. Sejuk tangan itu. Dan berceritalah Ibu Antana, dengan nada yang jelas
menangis, namun tenang dan menguasai diri. Lembut dan bagaikan pegas kursi
empuk membuat pukulan masih terasa lunak. Aku sudah tidak ingat lagi pilihan katakata Tante.
Pokoknya Mami mendapat ultimatum dari Kepala Kenpeitai yang berwenang atas
nasib Papi. Mami boleh pilih : Papi mati atau Mami suka menjadi gundiknya. Mami
memilih yang akhir. Dan Mami tidak mau segala kenyataan dirinya ditutup-tutupi.
Setadewa anaknya, harus tahu segala-galanya beserta mengapanya.
27
Disertai cium cinta seorang ibu dan permintaan doa … serta maaf. Doa kontan
kuledakkan dari hati. Tetapi maaf …? Aku menangis seperti anak kecil. Aku
berterima kasih tiada terhingga, bahwa Tante hanya menyeka-nyeka rambutku,
membiarkan segala banjir kawah yang meletus habis sampai kering. Aku berterima
kasih bahwa saat itu Atik “kebetulan” belajar dengan teman-temannya. Bahkan lalu
“kebetulan” menengok neneknya di Sukabumi untuk seminggu. Sebab memang
berhari-hari jiwaku terobek-robek. Apakah aku harus bangga dan memuji Mami
ataukah aku harus membunuhnya ? Sejak itu Bapak dan Ibu Antana menjadi Papiku
dan Mamiku. Selanjutnya tak pernah lagi aku melihat kembali Mamiku yang malang
itu.
Dan semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau Jepang.
Termasuk itu pengkhianat-pengkhianat Soekarno-Hatta. Dan seluruh bangsa yang
disebut Indonesia, yang membongkok-bongkok pada Jepang dan berteriak-teriak di
alun-alun oleh hasutan Soekarno : “Inggris kita linggis !” Amerika kita seterika ! Dai
Nippon, banzai !” Sejak itu, aku bersumpah untuk mengikuti jejak Papi : menjadi
KNIL, membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyatnya yang bodoh, pengecut
tetapi baik hati itu, segala orang di kolong jembatan dan mental-mental serba
kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis, tetapi
mendukung bandit-bandit yang membuat Mamiku menjadi gundik.
28
4. Kuncup Mekar
Pagi itu, ketika Bu Antana sedang memasak sayuran sambal goreng taoco, Larasati
hampir menyeruduknya masuk api. Begitu riang dan bernyala-nyala anaknya itu,
menceritakan kabar gembira, ia lulus ujian masuk SMT.
“Nah …nah …nah, tenang Tik. Hampir saja ibumu masuk api.”
Tapi anaknya tidak ambil pusing dan di muka ibunya ia menari-nari sambil
menyanyi-nyanyi lagu ngawur. “Luloos. Luloos.” Terus terang Bu Antana tidak
terkejut atau terlonjak mendengar berita itu. Walaupun ia gembira juga. Sebab bagi
Bu Antana sudah jelas tidak mungkin meleset, anaknya pasti lulus. Benih yang
diwariskan oleh suaminya kepada anaknya memang unggul.
Bu Antana sendiri tidak seberapa dalam hal intelek, itu diakuinya ikhlas, walaupun
tidak bodoh. Iklim perkembangannya dulu sebagai anak angkat perempuan keraton
dengan cara ningrat terlalu menghambatnya.
Bu Antana bersyukur, bahwa Atik begitu gembira seolah-olah masalah lulus atau
tidak baginya suatu risiko besar yang harus direbut kemenangnnya dengan segala
susah payah. Tanda masih cukup rendah hati. Memang anaknya sangat rajin dan
pernuh prihatin belajar bersama teman-temannya, akan tetapi ibunya dan ayahnya
selalu menganggap soal ujian Atik sebagai upacara pantas-pantas saja. Tata
persyaratan yang harus dikerjakan. Yang mereka prihatinkan bukan soal keberhasilan
meraih angka di sekolah, Tetapi soal …..Ya, apa lagi selain ini : calon jodoh.
Anak lelaki pandai itulah-ideal. Tetapi gadis yang pandai ? Bagaimana nanti
menemukan seorang jejaka yang masih lebih pandai lagi dari si Prenjak cerdas ? Dan
yang sekaligus penuh kemanusiawian mulia segala kebaikan dan keunggulan yang
diminta dari suami yang baik ?
Ia haruslah bersyukur ! Alangkah busuknya tidak berterima kasih kepada Tuhan
Allah karena diberi anak yang pandai. Tetapi … ah, mengapa hidup selalu dibayangi
kata tetapi …?
Jaman perang seperti tidak ada habisnya. Sudah tiga tahun Jepang berkuasa dan
banyak orang berbincang tentang kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari.
Tetapi bagi setiap ibu yang menjadi pertanyaan pokok hanyalah : nasib atau lebih
tepat calon jodoh sang anak kelak di kemudian hari.
“Bapak kemana, Bu ?” tanya sang Siswajaya seperti kemarin, dan kemarin dulu
juga, setelah pulang dari pesta perpisahan kawan-kawan yang terpaksa harus dibuat
sederhana.
“Besok pagi kan pulang.”
“Ke Cipanas lagi ?”
Sangat mungkin,” Bu Antana bernafas panjang. Citarasanya merasa intuitip,
suaminya menyembunjikan sesuatu. Bukan, bukan soal perempuan lain. Tetapi soal
politik. Sama bahayanya dengan masalah segitiga. Tetapi barangkali suaminya hanya
biasa saja pergi ke Kebun Raya Bogor atau berdinas ke hutan lagi ke Cagar Alam.
Memang itu profesinya. Tetapi toh lain. Perjalanan dinas dan segala yang behubungan
dengan kantor dan sebagainya selalu jelas jadwalnya. Suaminya mengikuti cara
bekerja Belanda, berdisiplin dan cermat. Tetapi sudah setahun ini, lebih-lebih dalam
bulan-bulan Juni-Juli ini suaminya sering, ya jelas terlalu sering, mendadak di luar
program rutin pergi entah ke mana, Bogor, ke Cipanas, ke entahlah. Pasti ada
sangkut-pautnya dengan politik.
29
Dan Bu Antana tahu, politik di bawah tanah. Dalam batin Bu Antana hanya berdoa,
agar semua selamatlah.
Ia percaya suaminya tidak akan berbuat gegabah atau yang bukan-bukan. Bukan
orang emosional dia, jenis pemikir tenang. Juga bila Atik bercerita dengan semangat
tentang gelora Bung Karno, ayahnya selalu meredamnya sedikit.
“Soekarno itu api, Kita butuh api. Tanpa semangat tidak ada daya. Tetapi itu baru
separoh. Harus disalurkan secara rasional, agar menjadi mesin yang baik jalannya,
dan tidak membakar segala hal, termasuk diri sendiri.”
Bu Antana tidak tahu banyak tentang bintang-bintang politik masa baru,
maklumlah ia terlalu orang pingitan puri ningrat. Tetapi dalam suatu perkara seluruh
keluarga bersatu teguh : mereka tidak senang pada Jepang. Artinya pada kaum militer
kejam itu. Suaminya selalu berkata : kita harus membedakan antara Jepang sebagai
bunga kebudayaan yang tinggi, seperti Cina, India, Arab dan lain-lain, dan dari pihak
lain : kekejaman para kaum samurai itu.
Ya, Mas Tana benar. Tidak perlu jauh-jauh. Banyak adat-istiadat Jawa juga
sangatlah kejam bagi ukuran manusia terpelajar, dan ia bersyukur berganda, bahwa
anaknya sudah tidak mengalami lagi iklim ningrat itu. Namun anehnya, lagi intuisinya
yang mengarahkannya, Atik toh tetap ia didik dalam alam sopan-santun dan citarasa
Jawa ningrat.
Pernah mereka bersama-sama melihat film Jepang. Bukan film perang yang
biasanya dipropagandakan itu, Tetapi sungguh-sungguh film tentang kehidupan nyata
di Jepang. Memang benarlah, dalam banyak hal bahkan dalam segala hal adat budaya
kehidupan, musuh-musuh Sekutu itu sangat serasi dan seolah semelodi citarasa Jawa
yang halus.
Puteri-puteri mereka yang berkimono bersimpuh di tikar tatami, alat yang
mengungkapkan jiwa citarasa keindahan yang ningrat. Selera seni mereka yang
sungguh mengirikan, pohon-pohon sakura dan hubungan erat antara anggota keluarga,
disiplin dan kesepakatan sukarela mematuhi cara-cara saling bergaul dan
berkomunikasi, itu yang sering menimbulkan pertanyaan.
“Bagaimana mungkin, citarasa yang begitu mulia dan halus kok bisa menikah
dengan kekejian sadis militer dan kehausan nafsu kuasa mereka.” Suaminya tidak
pernah mampu menjawab pertanyaan itu.
“Aku pun heran dan sungguh, ini misteri bagiku.”
Atik berkesimpulan sederhana, kendati tidak jelas bagaimana konkritnya nanti :
“Kalau Indonesia kelak medeka, negara kita tidak akan kejam.”
Mudah-mudahan, Tik.”
“Tidak boleh mudah-mudahan, Pap. Harus.” Atik memang sudah menjadi pemudi
yang bergelora. Api pijar Bung Karno sudah menyala di dalamnya.
“Ya, harus. Kau benar. Tetapi ribuan orang sudah terdidik oleh kaum samurai itu.
Dan dalamlah pengaruh itu sudah. Dengar cara sahabat-sahabat kita berkomando dan
berpidato serta bersikap persis Jepang.”
“Ya, itu kan baru kulitnya, Mas. Toh bagaimana pun bangsa kita ini timur.”
“Jepang pun timur.”
“Kita memohon saja. Hanya itu yang bisa kita lakukan.”
“Ditambah perjuangan,” tambah suaminya serius.
30
Nah, kalau sudah sampai sekian, intuisi Bu Antana maklum bahwa suaminya
memanglah sedang mengerjakan sesuatu aksi politik di bawah tanah. Ia tidak pernah
bertanya lebih lanjut.
Kepercayaan puteri Jawanya yakin, bahwa bila memang perlu, suaminya akan
menceritakannya dengan sendirinya.
Tetapi kalau dia diam, itu jelas ada juga alasannya yang syah.
Dan Bu Antana yakin lagi : Itu juga pasti demi keselamatan sang istri dan anak-anak.
Ah, semogalah selamat. Apa yang bisa diperbuat perempuan selain berdoa ? ditambah
membuat sambal goreng taoco, kesenangan suaminya ?
Tiba-tiba, entah dari mana bisikan ilham, Bu Antana mengajukan usul : “Kau
harus merayakan lulusmu dengan Teto.”
“Ah, Teto.” Dan langsung Atik diam merenung, sehingga ibunya menyesal,
mengapa dalam saat gembira itu ia memberi suatu bayangan hitam. Tetapi memang
entahlah, dari mana Bu Antana pun tidak mengerti, mengapa Teto terlonjak ke luar.
Apakah Bu Antana juga sudah mulai menaksir dan sedikit banyak berkesimpulan,
bahwa dari sekian teman, sebenarnya Si Tetolah yang selalu terbayang sebagai calon
menantu ?
Tetapi bukankah itu suatu permainan yang berbahaya ? ‘Teto sekarang sudah
bukan yang dulu, sejak melapetaka mengenai dirinya, ibu dan ayahnya. Duh Gusti ¹⁾
lakon sering kejam. Sungguh sangat beruntung keluarga Antana masih utuh dan tidak
mengalami kekejian nasib yang menimpa keluarga Kapten Brajabasuki.
Dalam pandangannya, beserta suaminya ditambah Atik, Oom Bas adalah
pahlawan. Juga istrinya, itu Marice, wanita Indo yang baik namun malang itu, dalam
kenangan keluarga tetaplah tanpa noda. Maka dalam lubuk hati Bu Antana sering
hinggap bagaikan burung merpati, keyakinan : “Seandainya saya dalam keadaan
seperti Marice, pasti saya berbuat yang sama juga. Bagaimanapun pahitnya.” Tetapi
segera pikiran seperti itu dikipaskan pergi, sebab memang terlalu ngerilah kalau
dipikirkan terus. Keindahan dan kekejaman, mengapa keduanya itu sering
bergandengan dan kawin ?
“Maaf Tik, ibumu tadi hanya terlena omong. Kau benar-benar boleh memilih
sendiri teman-teman yang akan diundang sekehendak hatimu.”
Tetapi Atik tenang mendekatinya, dan sambil menolong ibunya mengambil panci
sambal goreng itu dari api, ia berkata dengan mata nanap namun tampak sedih : “Dari
sekolah sambil bersepeda Atik tadi juga sudah berpikir, Bu. Teto harus ikut
merayakannya. Tetapi bagaimana caranya ? Dan lagi, apa dia mau ?”
“Barangkali hanya harus dicarikan akal, bagaimana caranya berpesta.”
“Ah, iya itulah Bu.” Panci diletakkan di atas meja dapur dan dirangkullah ibunya
erat-erat. “Ibu, aku sungguh kasihan pada Teto.”
Ibunya tidak dapat mengucapkan kata hiburan satu pun. Sekarang jelaslah apa
yang selama berbulan-bulan ini hanya dapat diduga oleh ibunya : kata kasihan di sini
sama artinya dengan cinta. Pada hal justru satu itulah yang ia khawatirkan. Bukan,
bukan karena Bu Antana tidak simpati pada Teto. Tetapi situasi sudah begitu berubah.
Jaman pesta-pesta di rumah Pangeran kakaknya juga sudah lampau. Ini jaman kejam.
Atik, Atik anakku, memang sudah nasibmulah kau mengalami jaman serba tidak
keruan ini ?
¹⁾ Ya Tuhan.
31
“Ibu juga kasihan pada Teto ?”
Lirih ibunya berbisik ke dalam telinga anaknya : “Tentu saja. Siapa tidak kasihan
pada sahabat bila mereka tertimpa kecelakaan.”
Tiba-tiba rangkulannya dilepas dan berlarilah Atik ke luar dapur. Bu Antana
mengikutinya beberapa langkah. Sudah tahu, ke kamar tidur dia. Biar ia menangis
dulu. Dan sambal goreng itu dimasukkan ke dalam almari dapur. Nanti masih perlu
dihangatkan sebelum dihidangkan di meja. Tetapi siang ini jangan-jangan suaminya
tidak pulang. Dan di mana Teto sekarang ? Pesta apa yang paling tepat ?
Malam hari itu, sesudah mencuci piring dan memeriksa gembok-gembok dapur,
gudang dan pintu gang keluar, Atik seperti lazimnya ikut duduk dengan orang-tuanya
di ruang tengah. Ibunya biasanya merenda sesuatu, dan ayahnya rileks merokok
sambil mendengarkan musik dari radio yang disegel. Musik apa pun, biar itu dari
Jepang, pantas dinikmati juga. Kecuali musik yang jelas bombastis propaganda
kosong.
“Mbok Inem sudah beristirahat Tik ?”
“Tadi saya beri pil kinine dua butir.”
“Ya. Mbok Inem sudah tak bisa bekerja lagi sebetulnya. Akhir-akhir ini terlalu
cepat ia menjadi tua dan bergetar tangannya.”
“Sulitnya ia tidak mau disuruh istirahat,” kata istrinya.
“Memang dapat dipahami. Orang yang selama hidup tertbiasa bekerja keras, tidak
mungkin begitu saja senang menganggur. Dan lagi siapa senang menganggur ?”
“Mbok Inem menderita,” sambung istrinya lagi.
Anaknya diberangkatkan sebagai romusha ¹⁾. Mengapa sampai terjadi itu ?”
“Romusha kan boleh pulang kelak, Pak ?”
“Ya, selalu saja itu mungkin,” (dan nada getir sinis) “istilah sekarang : kelak di
kemudian hari.”
“Susah juga menjadi nenek yang kesepian begitu,” keluh Atik dengan iba hati.
Ayahnya diam. Ibunya juga diam. Hanya tik-tak dari jam Junghans yang terdengar
seperti nenek bersuara rendah berwibawa memperingatkan datangnya jam saat tidur,
dan nasihat, betapa pendek jenjang hidup manusia.
Jam merk Junghans itu sudah cukup antik, kurus persis kakek bentuknya. Kacanya
di ketiga sisinya berpigura rusuk-rusuk bulat buatan kuna yang dimahkotai semacam
jamang ²⁾ atau diadem kayu berukiran. Mesinnya tampak semua dari samping dan
lebih memberi kesan “rohani” pada jam itu, tembus pandang, seolah-olah sudah
“badan halus” Angka-angka pada piringan masih angka-angka Romawi, dan jarumjarumnya seperti dua jantung hati yang selalu rukun. Yang pendek gemuk itu si suami
dan yang berlari cepat semampai itu si istri. Begitu selalu Bu Antana melihatnya.
Bandulnya tembaga ukiran dan tergantung pada tangkai berbatang tujuh lidi-lidi
kuningan yang sejajar, sungguh-sungguh bergaya antik berwibawa dan … setia. Tidak
pernah bejalan terlalu cepat atau terlalu lambat. Entah barangkali naluri wanitalah
yang membuat jam itu kadang-kadang menumbuhkan rasa takut.
¹⁾ Budak-budak kerja paksa jaman Pemerintahan Jajahan Jepang.
²⁾ Mahkota, ban hias kepala.
32
Menghadapi jaman perang dan nasib tidak jelas sebagai akibat situasi politik yang
serba tak menentu ini. Sering Bu Antana gemetar bernafas cepat pendek-pendek
berdebar bila melihat jam antik itu.
Di Jalan Kramat ini Bu Antana sebetulnya tidak begitu suka. Tetapi hal ihwal
peristiwa kedatangan Jepanglah yang menyebabkan mereka harus pindah ke Jakarta.
Rumah ini milik Kanjeng Ibu Suri dari Pangeran Hendrningrat dan beliau
menghendaki rumah ini selalu didiami orang ; takut nanti digarong orang.
Sebetulnya ia dan suaminya lebih suka tinggal di Bogor, kota tenang itu, tetapi Bu
Antana tahu kedudukannya sebagai anak seorang gundik Keraton berdarah rendah
yang sudah untung mendapat anugerah dianggap sejajar dengan abang tirinya Mas
Hendradininrat. Selain itu, pertimbangan, ada baiknya juga Atik bersekolah di kota
pusat dengan pergaulan yang lebih luas dan lebih bermutu, membawa mereka ke
Jakarta ini.
Di Bogor tidak banyak pekerjaan bagi suaminya, karena resim Balatentara Dai
Nippon tidak banyak memberi anggaran. Yang mereka perhatikan hanya hutan jati.
Sayang sebetulnya. Suaminya sering sedih menceritakan penggundulan gununggunung. Tetapi tanpa anggaran ia pun tak berdaya apa-apa.
“Kau lelah, Tik,” kata ayahnya seraya memandang kepada anaknya yang terhanyut
dalam kantuknya. “Sana tidur dulu. Beban sekolah menengah Tinggi sebentar lagi
cukup berat.” Atik berdiri, sebab ia memang ingin melamun sendiri. Ia mendekati
ayahnya, menaung agar keningnya dicium ayahnya selaku ucapan Selamat tidur.
“Selamat malam, Pap.”
“Selamat bermimpi indah, Tik.”
“Ibunya, mencium pipinya : “Esok masih ada hari cerah.”
Atik hanya menjawab : “Selamat malam, Bu.”
Kedua orang-tuanya pelan berputar mengikuti gadis itu berjalan menuju kamar
tidur. Sesudah pintu tertutup keduanya saling berpandangan, Suami istri sudah tahu
apa yang dipikirkan masing-masing. Ke mana lalu ? Ya, ke mana ? Jam gantung
bertik-tak terus. Seekor cicak berseru seolah ikut prihatin. Seorang penjaja sate
bahkan membuat suasana malam lebih sepi lagi. Daging bekicot dianjurkan oleh
pihak berkuasa. Tetapi orang-orang Madura itu tidak pernah berkekurangan daging
ayam untuk sate. Hanya sebetulnya terlalu pagi mereka berkeliling. Jam malam
menghambat mereka juga.
Kedua suami istri itu hanya duduk diam saja. Ya, indah begini. Tanpa kata
menghayati kebersamaan. Kehadiran, itulah jawab pada dambaan dua jiwa yang
margo kulino ¹⁾ sudah dijumbuhkan melumer dalam satu kedagingan dan kesatujiwaan ranjang serta hal ihwal hidup sehari-hari. Juga tanpa sepatah kata biasanya
mereka sudah saling berdialog. Biar rasa yang berbicara, getaran-getaran halus nikmat
pengejawantahan Kama dan Ratih. Kenikmatan rahasia, yang (ah, betapa bodoh) dulu
ketika masih mempelai muda dianggap oleh Bu Antana sebagai keharusan yang jijik
tetapi wajib. Pada hal ternyata kelak itu terasa sebagai laras ing ati ²⁾ berkat margo
kulino ; sebagai suatu yang semakin wajar dan sekaligus indah. Indah, karena di
dalam kejumbuhan jazat yang satu itu tidak terasa lagi Gusti ³⁾ atau Kawula ⁴⁾.
¹⁾ Berkat pergaulan sehari-hari.
²⁾ Harmonis dalam hati.
³⁾ Tuan.
⁴⁾ Hamba.
33
Atau lebih tepat,yang dirasakan ialah kemanuggalan dua garwo alias
sigaran nyowo ¹⁾, belahan jiwa yang saling menemukan diri sebagai pengejawantahan
kemanunggalan para dewata. Dan bila Bu Antana sedang menghayati kehanyutan
nikmat kewanitaanya, samar-samar segala itu merupakan ucapan sembah kepada
kahyangan ²⁾ juga, beserta permohonan, agar Atik anaknya pun diperkenankan
merasakan yang dirasakan ibunya.
Tadi selama makan petang, Atik sendirilah yang mengusulkan. Agar jangan
diadakan pesta. Dengan serius dan begitu meyakinkan sehingga kedua orang-tuanya
tercengang. Tetapi Atik tetap memohon acara pengganti. Sekali lagi, Atik ingin
berpesta, tetapi dengan cara menyelusup ke dalam alam hutan atau puncak gunung
bersama ayahnya. Sudah sejak Atik bersekolah di SMP, ya sejak Jepang datang,
wanawisata ³⁾ yang dulu sering dialami di SD tidak pernah lagi dilakukan. Karena
situasi darurat perang tentu saja.
“…bersama ayah.”
“Hanya dengan ayah ?” tanya ibunya tersenyum dikulum. “Ah, andai saja bisa
bersama dengan Teto.” Tetapi Atik hanya menjawab itu di dalam hati, dan berkerja
setengah menghindari : “Ya, dengan siapa lagi.”
Semua tahu siapa yang ia maksudkan. Tetapi ayah-ibunya diam saja. Tidak semua
yang diketahui harus juga dikatakan.
34
¹⁾ Belahan Jiwa.
²⁾ Surga para dewata.
³⁾ Perjalanan mempelajari hutan.
B a g i a n II
1945 - 1950
5. Anak Harimau Mengamuk
Ya, betul ! Aku dulu masuk NICA ¹⁾ Mau apa ! Sekarang aku tahu, itu keliru. Tetapi
apa manusia tidak boleh keliru ? Lagi pada saat itu, aku yakin bahwa apa yang
dikehendaki kaum Nasionalis keliru. Orang-orang Indonesia belum matang untuk
merdeka. Aku tahu, tidak pernah manusia matang untuk menangani hidupnya sendiri
pun. Tetapi suatu saat kita harus memilih pihak. Dan aku memilih Belanda. Karena
aku jakin ketika itu, bahwa tidak sebandinglah korban akibat ketidak-dewasaan
dengan keuntungan yang akan dicapai. Itu dilihat dari titik penglihatan orang
kampung, anak kolong. Kan aku sudah bilang, aku anak kolong, dan aku bangga jadi
anak Kumpeni. Bangga ikut bergerak di bawah tanah melawan Jepang, justru pada
jaman orang-orang kita serba membongkok ke arah Si Cebol Kuning itu. Justru pada
jaman beribu-ribu orang romusha diserahkan kepada kaum sadis made in Japan itu.
Ayahku dan aku dan Mami jauh lebih merdeka jiwanya dari itu kaum Soekarno
yang menghipnotisir massa rakyat menjadi histeris dan mati konyol hatinya karena
mengandalkan bambu runcing belaka melawan Mustang-mustang dan meriammeriam Howitser yang pernah mengalahkan tentara Kaisar Jepang. Maaf, Anda keliru
alamat menamakan aku budak Belanda. Bagiku NICA hanya sarana seperti Republik
bagi mereka sarana juga. Segala omong-kosong tentang kemerdekaan itu slogan
belaka yang menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung akan lebih
merdeka di bawah Merah Putih Republik daripada di bawah mahkota Belanda ?
Merdeka mana, merdeka di bawah singgasana raja-raja Jawa mereka sendiri daripada
di bawah Hindia Belanda ?
Papi jelas lebih merdeka di Magelang dari pada di Mangkunegaraan. Inilah
kesalahan logika mereka : menyangka seolah negara sama dengan rakyat. Jika negara
merdeka, orang mengira rakyat otomatis merdeka juga. Nonsens. Lihat seluruh
sejarah dunia dong. Tetapi awal masuk NICA bagiku tidak sama dengan menjadi
budak Belanda. Itu lain ! Dan ini terang-terangan kukatakan di muka hidung Mayoor
Verbruggen, komandan batalyon NICA di pos depan Harmoni yang cocok sekali
namanya : “Jagamonyet.”
“Mayoor, aku ditangkap oleh serdadu-serdadumu. Terima kasih. Tetapi jika kalian
menembak aku, kalian kehilangan seorang sekutu yang bermilai satu juta orang
Republik.”
“Besar benar mulutmu anak kelinci.”
Spontan aku berkecak pinggang dan sengaja agak berlebihan menjajakan
kelelakianku. “Satu kali lagi aku kausebut kelinci atau nama-nama hinaan, tak
perduli sten-gun sedadu-serdadumu ini, kau akan menggerang sampai
kedengaran di Den Haag sana.” Kontan aku ditempeleng seorang NICA Ambon.
¹⁾ Netherlands Indies Ciwil Administration, Pemerintah Penguasa Hindia Belanda.
35
Kusambar mereka, sebab aku percaya mereka tidak akan menembak di muka seorang
mayoor (yang, mereka tidak tahu, adalah sahabat Papiku di Akademi Breda dulu).
Betul, Mayoor Verbruggen hanya menyuruh mengikat kedua tanganku dalam gerak
yuyitsu oleh salah seorang body-guardnya, seorang kuda Sumba yang sungguh seperti
kedondong Benggali rupanya.
Mayoor Verbruggen mengambil sebatang cerutu besar dari kotak laci bironya.
Tenang ia mengupas pucuknya dengan golok dan lebih pelan lagi ia mulai
menyalakan cerutu itu, yang segera menghembuskan bau harum yang sudah lebih dari
empat tahun tidak pernah lagi kuhirup. Tetapi mataku tajam memancar langsung ke
mata mayoor itu. Ia mulai tersenyum lihay.
“Di mana orang muda ini ditangkap ?” tanyanya pada bawahannya tanpa beralih
pandang dariku.
“Di Pasar Baru, Mayoor. Ia berjalan sendirian dan provokatif sekali, tangannya
dimasukkan di dalam saku pantalonnya sambil bersiul-siul. Kami tak ambil risiko dan
terus kami tangkap.”
“Tetapi ia tidak memakai tanda merah-putih pada dadanya, Tuan Mayoor, “kata
seorang sersan dengan logat Jawa. “Dan sepanjang jalan ia terus-menerus ingin
bertemu dengan mayoor yang bernama Verbruggen.”
“Zo,zo, kedua tangannya di dalam saku celana sambil bersiul. Nyanyian romantis
tentunya, bukan ?” dan mayoor itu tertawa kecil seperti nenek-moyang kuda Belgia
yang belum pernah kulihat, tetapi yang pasti persis Si Mayoor itu. Tiba-tiba ia berdiri
dan mendadak menggebrak meja dan berdentum seperti meriam suarnya : “Verdomme
! Saya pernah melihat kau. Siapa kau ? Dan jangan bohong pada Mayoor Verbruggen,
tahu anak kelinci ! Ya, kau anak kelinci. Verdomme ya, kau anak kelinci.”
Aku terkejut juga mendadak diroket kerongkongannya yang harus kuakui, sangat
berwibawa dan mengerikan. Tetapi aku tak gentar, sebab aku merasa pasti akan
perkaranya.
“Kalau Mayoor ingin tahu namaku, harap kedua tanganku dibebaskan dulu.”
“Benar-benar tidak tahu sopan-santun kau, ya. Apa hubungannya dengan kedua
tanganmu ? Sakit, anak kelinci ?” dan ia tersenyum ironis.
“Aku bawa surat untukmu.”
“Heh ?” dan cerutunya dilepaskan dari mulutnya yang bergigi warna gading tetapi
rapi. “Apa-apaan surat segala.”
“Dari Marice.”
“Heh ? Marice ?” dan mata serta mulut melompong bolong seolah ia bertemu
dengan Soekarno himself “Sekarang aku tahu. Hei gila. Kau apanya Marice ? Kau
anak dari Marice ? Ah …ah … Betul kau anak dari Marice ?” Mayoor itu duduk
bertiduran pada sandaran belakang kursinya, jari-jari main piano di meja. Lama
mengamat-amati aku dengan diam di bawah kepulan asap cerutunya.
“Marice, Marice … ah …(dan ia memerintahkan bawahannya) hei, kalian keluar
dari kamar ini. Biarkan anak muda ini di sini.” Serdadu-serdadu itu keluar persis
kunyuk-kunyuk.
Zo, zo …jadi kau anak dari Marice,” ia berkata agak bengong.
36
“Mari duduk … siapa ? Yan, Piet, Karel ? Atau Willem ?”
“Leo” (Saya tidak mau menyebut nama Teto. Kok, seperti anak kecil).
“Zo, zo, Leo ! Jadi kau membawa surat dari Marice ? Apa isinya ?”
“Silahkan baca sendiri Mayoor. Maaf, pinjam golok yang tadi itu.”
“Golok ?” (tetapi ia toh memberikan benda itu padaku.)
“Maaf Mayoor,” dan kubuka kancing celanaku. Dengan pisaunya kusobek bagian
tempat sabuk dan kukeluarkan seikat kertas. Kuserahkan itu kepada perwira itu.
Seperti merenung kertas itu dterima, dipegang. Ia melihatku, melihat kertas itu
lagi. Kertas itu tetap belum dibukanya. Dengan hangat ia bertanya padaku : “Ibumu
cerita apa saja tentangku ?”
“Mayoor dulu melamar ibuku,” jawabku langsung tanpa putar-lingkar. Sebab
akhirnya toh itulah yang ingin ia ketahui.
“Untung saya tidak jadi ayahmu.” Komentarnya dingin sambil menyeringai. Kertas
itu belum lagi dibukanya. Matanya menembus mataku. Dan segera aku tahu, bahwa ia
masih menderita karena ibuku menolak dia. Risiko juga aku di dalam tangan
kekuasaannya, kupikir agak khawatir. Kalau-kalau patah hatinya menjadi benci ?
Untung-untungan. Di jaman kacau-balau ini tidak ada yang safe. Seperti ia membaca
pikiranku ia menghembuskan nafas panjang dan berkata lirih : “Marice ! Marice.”
Pada saat itu aku tertumbuhi simpati yang sangat dalam kepada perwira ini. Sebab
ia jelas pernah dan rupa-rupanya terus menerus mencintai ibuku. Tiba-tiba basah
mataku dan bagaimanapun aku berusaha, aku tidak bisa menahan tangisku. Marice
yang malang. Yang ternoda dan ickhlas menjadi binatang piaraan musuh-musuh dari
suami yang ia cintai. Mengapa hidup tidak bisa sederhana ? Mengapa selalu segala
yang indah berdampingan dengan yang kotor dan berbau ? Jika benar cinta dan
kemesraan pria-wanita itu mulia dan bersumber kebahagiaan, mengapa Tuhan
menciptakan tubuh kita sedemikian, sehingga organ cinta didekatkan berdampingan
bahkan bersatu dengan lubang pembuangan kotoran ? Sungguh, jika aku memikirkan
nasib Mami, gelaplah hatiku sampai aku tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, jangan
lagi tuhan yang disebut Mahabaik dan Mahapengasih.
Mengapa Marice menolak perwira yang simpatik ini, yang tampan dan tampak
perwira tulen itu ? Dan bahkan memilih seorang Belanda hitam yang blo’on dan yang
tidak terlalu cerdas menghadapi Kenpeitai Jepang ?
Apa Mayoor Verbruggen sudah tahu bekas kekasihnya menjadi lonte Jepang ?
Jangan. Tidak boleh ia tahu, Apa yang ditulis Mami dalam surat itu ? Tentulah minta
perlindungan untuk Leo anaknya. Apa lagi yang akan ditulisnya ? Entahlah, Surat itu
kuterima dari Bu Antana dua hari sebelum hari yang mengerikan, demontrasi di
lapangan Ikada sesudah Soekarno-Hatta memproklamirkan Republik.
Bu Antana berkata, Mamiku malang telah meninggal dunia dan ia menerima surat
itu melalui seorang tukang kebon rumah Komandan Kenpeitai itu. Menurut tukang
kebon itu, Mami sakit tifus. Dikubur ke mana ? Tidak ada sepasang mata melihatnya.
Tetapi dalam hatiku Aku kurang percaya tentang sakit tifus itu. Orang-orang negeri
ini pandai mempermanis berita-berita pahit. Lebih logis, bila Mami bunuh diri
daripada menghadapi malu, sesudah tahu Jepang kalah. Marice sayang, Marice
malang.
37
Papi dan Mami tidak pernah merahasiakan pribadi Verbruggen untukku, sebab
hubungan Mami dengan suaminya yang Jowo itu sangatlah kokoh. Aku sering kagum
pada Papi, mengapa ia sanggup memikat hati si noni cantik Marice. Tetapi wanita
memang rahasia besar. Lelaki hanya bungkusan rahasia itu, bahkan biasanya
bungkusan yang kaku dan lekas robek.
“Kau sudah tahu isi surat ini ? ia bertanya kepadaku.
“Belum, Mayoor, barangkali hanya minta perlindungan untukku, jika ada apaapa.”
“Jika ada apa-apa. Pemberontakan Soekarno itu apa-apa atau bukan apa-apa ?
Tolol” Ia berdiri, dan pelan-pelan menuju jendela. Dari balik kaca jendela kulihat
bendera merah putih biru pada tiang, lesu seperti ogah-ogahan berkibar di bumi ini.
“Verrekt” ¹⁾ umpatnya. “Perang Dunia begitu dahsyat sudah selesai, sekarang
malahan perang monyet sinting ini. Itu orang Inggris harus digantung semua. Saya
sudah berkali-kali bilang : Kalau kita ini betul-betul putra-putri keturunan de Ryuter
atau Tromp ²⁾ mustinya kita harus menggasak orang Inggris. Bukan orang Insulinde.
(Tetapi tiba-tiba) Marice ! Marice ! …(ia tetap memandang keluar jendela) Hei Leo,
ibumu tinggal di mana sekarang ?” Bagaimana Basuki ayahmu ?”
“Sudah di surga. Kalau ada surga.”
“Heh ? (Dan spontan ia menoleh kaget padaku.) Sudah meninggal ? Mana
mungkin. Verrekt ! Dibunuh orang-orangnya Soekarno, ya ?”
“Tidak. Jepang. Tentang Papi, tak ada berita sedikit pun.”
“Anjing kampung memang die Yappen ! Betul Si Truman. Dicekoki bom atom saja
mereka, cebol-cebol itu.” Ia menoleh kepadaku.
“Kau tinggal di mana ?”
“Di mana-mana.”
“Di mana-mana ? Gila kau. Gila. Persis ibumu Gila.”
“Jangan menyebut Mamiku.”
“Jangan lekas marah. Tidak ada di dunia ini yang begitu cinta pada Marice seperti
Verbruggen. Tahu kau ?”
“Apa Mayoor mengira, kapitein Basuki tidak sangat cinta Marice ?”
“Ah, bukan itu maksudku. Kau ini kelinci muda benar. Begitu aja nggak nangkap.
Sudah, bacakan, Mamimu menulis apa. Asal jangan testamen untuk menitipkan
anaknya pada saya. Sebab saya ini bajingan, tahu ya, bajingan akibat Marice
menolakku.
“Bukan Mami menolak, Mayoor. Tetapi kehendak Tuhan,” komemtarku bernada
sinis.
“Ah, Tuhan dibawa-bawa lagi. Kalau logikamu lengkap, itu berarti saya dibenci
Tuhan, begitu ?”
“Mayoor, apakah mencintai itu harus mengawini ?”
“Hallo, Filsof Hijau. Apa tahumu tentang cinta dan perkawinan. Tutup mulut kau
kalau tidak mau disebut tolol atau saya pukul jadi saua nanas. Apa tahumu tentang
cinta. Cinta yang ditolak ?Bah (Dan ia melihat keluar jendela lagi). Omong ngawur
tentang cinta ! Sudah, saya muak. Saat ini yang penting, bagaimana menghancurkan
itu permainan gila bikin-bikinan Republik. (Ia melihat lagi keluar. Brndera merahputih-biru sedikit berkibar, tetapi lesu lagi.)
¹⁾ Ungkapan bahasa Belanda :”Keseleyolah kau !”.
²⁾ De Puyser dan Tromp adalah admiral-admiral pahlawan Belanda yang jaya
Melawan Angkatan laut Inggris pada abad 17.
38
Verrekt ! Andai saja itu Mountbatten¹⁾ tersandung ranjau Jepang jadi kepingkeping biskuit ! Sudah berapa kali kukatakan : Inggris itu serakah dan tidak rela
Batavia menjadi saingan Singapura dan Hongkong. Itulah persis motivasi mereka
main patgulipat dengan Sukarno lebih tepat dengan Si Kancil cerdik yang jauh
lebih berbahaya … eh siapa dia ? … Sysysyahrir. Huh ! Seperti nama orang
kanibal .
Hei Leo, ini komando. Baca surat ibumu ini. Ayo. Kalau tidak, tulung rusukmu
patah semua nanti.” Dan kertas itu dilemparkan padaku.
“Mayoor benci pada Mamiku ? “kutanya nekad.
“Baca !” teriaknya seperti halilintar yang membuatku kaget.
“Ya, Mayoor,” akhirnya aku sedikit merasa kalah. Kubuka surat Mamiku.
Tetapi aku pun tidak bisa menahan kekalutan jiwa dan aku hanya terdiam saja
tidak bisa apa-apa. Surat itu terjatuh di lantai.
“Bagaimana ?” Ia menoleh dan ketika melihatku penuh emosi, ia
menghampiriku, bahuku ditepuk-tepuk penuh pengertian. Ia mengambil korek
api dari sakunya dan pelan surat Mamiku dibakar. Lalu aku diajaknya makan
bersama dia. Makanannya tidak segar dan hanya diambil dari kaleng rasion
bekal standard tentara USA.
“Mayoor, “ kataku sambil makan. “Aku mohon diperbolehkan masuk Tentara
Kerajaan.”
“Tentara Kerajaan itu tentara Belanda totok dari negeri Kincir Angin. KNIL,
nah ini tentara sewaan Hindia Belanda. Tentara Kerajaan itu tentara sinyo-sinyo
pucat dan berbau keju. Kalau KNIL, nah ini gerombolan bandit VOC ! Hahaa,” dan
tertawalah ia untuk pertama kali. “Mau ikut main bandit-banditan ?
Kolonel Drost ²⁾ dan Jenderal Spoor ³⁾pasti marah kalau mendengar omonganku
ini, tapi mau apa lagi. Orang Belanda, kata orang, terkenal nuchter⁴⁾ dan jujur apa
adanya, bukan ? Nah, apa buruknya jadi bandit VOC, kan katanya Si Jan Coen itu
pahlawan kerajaan kami. Maka konsekwen dong. Tapi yang penting : kau mau ikut
kami ? Okay ! Dan karena kau anak dari Marice, kau tidak perlu mulai dari sedadupantat-sepak. Langsung saya jadikan letnan dua. Semua mungkin dalam darurat
perang. O ya, ini alasan juga. Untuk menghormati seorang pahlawan gerilya melawan
Jepang. Kapitein Basuki, yang notabene menang perang rival terhadap saya, tetapi
kalah dibekuk monyet-monyet sipit. Tragis, sungguh tragis kehidupan bapakmu itu.
Dengan catatan : Kalau kita memang ingin tragis. Jadi, kalau kau mau, segera kau
kuangkat jadi loitenant seperti bapakmu dulu ketika tamat bersamaku di Breda⁵⁾ .”
“Tetapi aku belum bisa menembak. Bagaimana jadi loitenant. Serdadu biasa pun
mau.”
¹⁾ Panglima tertinggi pasukan-pasukan Sekutu di Asis Selatan dan Tenggara.
²⁾ Komandan pasukan-pasukan Belanda di wilayah Jakarta.
³⁾ Panglima tentara Belanda di Indonesia.
⁴⁾ Rasional dingin.
⁵⁾ Nama kota tempat Akademi Milter Kerajaan Belanda di Nederland.
39
“Nonsens. Anak Kapitein Basuki legiun Mangkunegara kok serdadu biasa. Ayo
jangan anstil¹⁾ kayak perawan rumah-piatu susteran. Bagaimana ?” Ia mengulurkan
tangannya minta dijabat.
“Okey! Tapi asal diberi pelajaran menembak dulu.”
“Ah, omong kosong saja kau ini. Bedil sekarang otomatis dan main brondongan.
Serampangan saja ditembakkan ke segala arah, dari 100 peluru pasti ada tiga atau
lima yang mengenai sasarannya.
Yang penting : pakai akal sehat ! Ini yang penting untuk perwira. Bukan
melayangkan peluru atau berbaris, tetapi berpikir logis. Musuh kita bukan tentara
Jerman, tetapi kaum bandit juga, kan. Saya pun pakai akal sehat. Kau saya jadikan
letnan dengan alasan kau sangat kenal Batavia dan daerah pedalaman. Siapa tahu
kapan-kapan kau akan kami turunkan dengan parasit di daerah pedalaman Republik
terkutuk ini. Pokoknya kau harus membuktikan diri beroperasi di Batavia ini dan
menertibkan kota ini dulu. Sambil berjalan kau segera jadi letnan. Tahu ? Kalau kau
betul-betul anak syah dan bukan haram jadahnya Kapitein Basuki, kau musti bisa.
Dan jangan memalukan Marice ibumu.”
Tiba-tiba aku sedih lagi, Maricelah yang memalukan kami. Atas nama cina. Harus
begitukah jalan kehidupanku sekarang ? Verrekt ! Budak-budak Jepang itu harus
dihajar. Itu yang penting. Letnan atau kopral, toh suatu saat aku harus berbuat sesuatu
yang haibat. Anak kolong selalu haibat.
Dalam waktu seminggu aku belajar menembak ; cukup tidak memalukan untuk
menjadi komandan patroli. Mayoor Verbruggen memberi aku dua bulan untuk naik
pangkat menjadi letnan II. Hal itu hanya mungkin dalam keadaan kacau. Tetapi NICA
membutuhkan tenaga sebanyak mungkin dan Verbruggen tahu bahwa aku punya
darah komandan. Tugas patroli pertama yang kuperoleh menuju Tanah Abang. Tetapi
sepulang dari sana langsung aku menggenjot jip ke jalan Kramat VI ke rumah Bu
Tana.
Sudah sejak Agustus yang naas itu, ketika aku menerima surat dari Mamiku
malang, keluarga Antana dan khususnya Atik tidak kukunjungi. Aku rindu pada
mereka, sebab dari masa lampauku hanya tinggal merekalah yang kurasakan dekat.
Ke mana mereka ? Masih tinggal di Kramat tenang itu … ataukah …? Dengan tancap
gas pol nyaris dol aku ngebut ke Kramat. Dalam hati khawatir, jangan-jangan aku
datang terlambat. Banyak gadis di dalam kekacauan tak keruan ini diperkosa oleh
macam-macam pihak.
Atik, pasti kau sangat kecewa melihat aku sebagai musuh Soekarno. Di jaman
Jepang kita selalu berselisih paham mengenai orator kolaborator Jepang itu, tetapi
juga seumumnya, tentang apa yang kausebut cita-cita kemerdekaan dan sebagainya.
Aku sungguh tidak mudeng. Larasati, kau yang raden-ayu dari puri Surakarta, dengan
nafas keluarga raya Jawa yang paling modern dan paling setia kepada Ratu Belanda,
mengapa Atik begitu naif berbicara tentang macam-macam impian bangsa yang hanya
impian saja ? Dan jiwaku semakin benci kepada orang tampan perlente Si Soekarno
yang, masygul kuakui, mempunyai dayapikat luar biasa untuk semua wanita.
Termasuk Atik.
¹⁾ Dari kata aanstelling (Bld) : manja dan sentimentil.
40
“Teto, kau mcnganalisa terlalu logis. Kau harus sanggup membaca kcjadian yang
sebenarnya di antara baris-baris yang tercetak,” begitu selalu Atik mcngakhiri
perdebatan kami. "Selama kau belum mampu itu, mijn lieve Raden Mas Sinyo, kau
masih menjadi tawanan huruf-huruf mati."
Aku selalu jengke1 pada gadis satu ini. Bukan pertama-tama karena ia
berpandangan lain, sebab tentang hal itu aku sungguh bukan orang Jawa; dapat tahan
melihat orang lain berpendapat lain. Tetapi karena sebutan mijn lieve itu, yang artinya:
sayangku manis. Yang dalam perasaanku ketika itu bernada ironis. Arau paling
sedikit aku menangkapnya begitu. Ironis dan agak mengecilkan diriku. Kan aku dua
tahun lebih tua Anak 17 tahun omongnya seperti guru. Jawabanku juga selalu: "Yang
kubaca itu fakta. Dan fakta menunjukkan, semua priyayi dan orang-orang Indonesia
yang punya pangkat jelas pro dan membongkok kepada Jepang. Titik! Yang anti
Jepang tetapi tak berdaya adalah orang-orang kecil, orang kampung, orang anak
kolong. Seperti aku ini. Dan beberapa gelintir orang di bawah tanah seperti ayahmu,"
"Dan aku?" (Sengaja mengejek serba menjengkelkan.)
“Ya, kecuali kau. Itu yang sungguh aku tidak paham.”
"Oh ya?" dan ia memandangku dengan mata hitam lebar.
"Kan Atik melihat sendiri. Bagaimana mungkin bangsa yang masih
membongkok kepada perarnpok-perampok mau merdeka. Nanti dulu, belum
titik. Logika! Jangan hanya impian dan serba perasasaan saja, Logika, sekali lagi
logika! Bagaimana ...?"
Tetapi Atik biasanya tidak membiarkan aku menyelesaikan uraian logikaku
Sungguh menjengkelkan. Sebab ia lalu tertawa dan seperti penari serimpi
tangan-kanannya melarnbai dalarn gerak tari, telapak tangan di atas mata sarnbil
berpacak-gulu¹⁾ memandangku serba jenaka. Dalarn saat-saat seperti itu aku
benar-benar kalah. Dengan segala logika dan kehaibatanku. Gadis satu ini bukan
jenis ratu kecantikan, tetapi dalam saat-saat tertentu sungguh mempesona. Tetapi
terus terang saja, aku takut jatuh cinta padanya. Sebab naluriku berkata, aku akan
kalah. Dan justru itu aku tidak mau.
Rumah Bu Antana seperti banyak rumah di Jakarta di masa teror ketika itu, serba
sepi, mati. Pintu pagar terkunci, tetapi serdadu-serdadu yang melompat pintu dan
menggedor pintu-pintu dan jendelanya tak mendapat jawaban apa pun. Pergi ke mana
mereka? Pintu pagar kusuruh patahkan kuncinya dan aku masuk ke beranda muka.
Tak ada satu pun garnbar atau hiasan tergantung di dinding. Mengungsi ke mana
mereka? Tentunya ke Sala. Pintu ke dapur ternyata masih terbuka. Barangkali terlalu
tergesa-gesa mereka pergi. Atau sudah dirampok? Serdadu-serdaduku kusuruh
berjaga di muka dan aku sendirian masuk ke dapur, yang sangat kukenal suasananya
dulu, kalau aku datang dan iseng menolong Atik dan Bu Antana di situ. Tetapi
barang-barang sudah disimpan masuk almari sermua atau peti, entah. Aku sedih juga
melihat dapur dengan bagian tungkunya yang hitam karena asap. Seekor kucing kurus
lari ke luar. Ada bau bangkai. Burung cocakrowo dan kutilang dan deruk mati di dalam
kurungan, dikeroyok semut. Hatiku tersayat-sayat melihat itu. Burung-burung itu
kesayangan Atik. Memang jaman sedang tidak untuk berdendang dan menyanyi
gembira. Siapa pernah mengira dua bulan lalu, bahwa aku akan menginjak rumah
kosong ini dengan seragam NICA? Pasti Atik akan sangat kecewa melihatku. Sangat
kecewa.
¹⁾Gerak luwes dari kepala tanpa bahu badan ikut bergerak
41
Tetapi aku hidup tidak untuk Atik, maaf. Untuk apa? Untuk siapa? Verdomme!
Bagaimana nasib Papi? Masih hidupkah ia? Operasi kedua sesudah patroli liar ke
Kramat ini ialah mendatangi bekas tahanan Kenpeitai, begitu kurancang.
Bajingan-bajingan benar seluruh ras Asia ini: Jepang, Indonesia, mana lagi. Maka
beruntunglah orang-orang kulit putih membebaskan mereka dari segala sadisme dan
kebongkokan mereka. Aku duduk di tempat duduk di sudut beranda belakang yang
biasanya dipakai untuk ruang makan dan tempat bersantai. Meja makan dan lainlainnya sudah ditelanjangi dari tapelaknya. Di dinding masih ada terganung beberapa
gambar pemandangan. Tetapi semua foto keluarga sudah hilang. Juga jam antik yang
bagus bunyinya itu. Segala kebugilan runah ini membuatku merasa hampa. Ternyata
toh aku rindu pada Atik.
Pintu gang tengah menuju karnar-kamar tidur di dalam terkunci rapat. Kuselidiki
segala perabot rumah dan lantai, barangkali ada tanda-tanda yang dapat menunjukkan
mereka mana. Niets¹⁾. Ah, iya, tiba-tiba aku teringat pada lubang di dalam bata
dinding samping rumah. Lubang itu sama sekali tak kentara bagi orang luar, sebab
terlindung oleh akar-akar dan daun tumbuh-tumbuhan sirih hias yang merambat
berdaun hijau loreng kuning. Di situ biasanya keluarga Antana meletakkan kunci
dapur, bila semua pergi, agar yang lainnya dapat masuk rumah tanpa hams menunggu.
Maklumlah, kunci pintu dapur sudah antik juga dan kunci hanya satu. Di dalam
lubang itu pun sering keluarga Antana saling meletakkan kertas bertuliskan pesanpesan, sebelum mereka keluar rumah. Naluriku merasa ... pasti Atik ... Segera aku
berlari ke tempat lubang itu. Kuraba-raba ... betul! Kuncinya ada dan secarik kertas.
Rupa-mpanya mereka toh mengunci pintu dapur, tetapi saking tergesa-gesanya pintu
belum terkunci ... ada apa isinya?
"Kepada Mas Teto." Ah, Atik yang baik hati. Toh ia masih ingat padaku.
"Merdeka. (apa-apaan ini) Mas Teto! Ibu telah mengungsi ke Yogya, ke tempat
kakaknya di jalan Cemorojajar 7. Kalau Mas Teto mau mencari perlindungan, di
tempat Paman pasti Mas Teto welkom ²⁾. Ayah dan Atik sekarang menyumbang seapaadanya di kantor perdana menteri RI. (perdana menteri lenong!) Atik cuma jadi juru
ketik kecil yang tak punya arti. Ayah bertugas entah, sering kian kemari Yogya Jakarta. Mas Teto sekarang di mana? Sudah sejak bulan Juni kau kami cari. 1bu yang
kau pondoki juga tidak tahu. Pindah pondokan katanya. Tetapi Atik tahu, suatu saat
Mas Teto pasti menengok ke lubang kunci di dinding ini, tentu. Nah, kami tunggu,
Khususnya adikmu Atik. Semoga Tuhan selalu beserta Mas Teto dan negara kita,
(negara siapa? Belum tanya, perempuan sudah mau mengatur) yang masih muda ini.
Merdeka!"
Memang kita dari dunia yang berlainan, Atik. Ya, sudah! Beginilah ... ya beginilah
... jadi Atik bekerja sebagai sekretaris pada pemerintah pemberontak itu? Okay!
Baiklah! Mulai sekarang kita akan membuktikan, siapa yang benar. Dengan realita
kejam! Tidak dengan omongan belaka. Kau juga, Tik, semoga kau dan ibumu selalu
terlindung ... oleh Tuhan, kalau itu ada, Tik." Seorang sersan menghampiri aku.
"Pemimpin teroris, Komandan?"
¹⁾ Tak ada satupun.
²⁾ Selamat datang.
42
“Verdomme¹⁾ !" teriakku "Urus kau punya urusan sendiri, tahu?"
"Maaf, Komandan" (tetapi tiba-tiba aku sadar, aku harus berhati-hati) "Ya! Teroris
besar! Ini kaum republik totok!" Cukuplah sudah sementara. Komando kuteriakkan:
"Ayo pulang. Siap!"
Tetapi persis kami baru saja keluar halaman mau mas uk jip, meletuslah beberapa
tembakan dan pelor-pelor berdesing di sekitar kami. Refleksif kami merebahkan diri
dan kami berondongkan hujan peluru ke arah sumber tembakan. Mataku yang tajam
melihat sebuah lutut keluar dari batik pohon asem besar. Kuhujani lutut itu dengan
timah hitam. Teriakan! Dan ia terkulai. Aku lari ke tempatnya, sambil menghujani
peluru. Masih kulihat beberapa pemuda mau lari ke balik tembok. Dua pemuda
tertembak. Tetapi aku dibalas tembakan gencar dari sudut lain. Aku lari. Kuteriakkan
komando ke patroIi untuk lari.
Sebab ternyata tembakan gencar dari segala sudut.
Tetapi bukan pertama karena tembakan itu aku mengundurkan diri. Soalnya aku
tidak mendapat perintah untuk berpatroIi di daerah Kramat ini. Kalau ada apa-apa
nanti, aku dapat dicurigai oleh Mayoor Verbruggen. Cilaka lagi oleh dinas intel
NEFIS²⁾.
Tancap gas!!! Dan di bawah perlindungan tembakan-tembakan gencar kami keluar
ke jalan-raya Salemba, menuju ke markas. Dua orang serdadu kami luka-luka ringan.
Yang Jawa halus itu dan seorang anak Ambon. Aku sendiri tak terkena apa-apa.
Orang-orang Republik penembak jelek ! Dan mereka tak punya senjata otomatik !
Tetapi di jalan menuju markas, pikiranku ke Yogya. Sekali saat Yogya akan kami
duduki. Tinggal soal waktu.
¹⁾ Umpatan babasa Belanda: "Terkutuklah kau!"
²⁾ Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service, intel Belanda..
.
43
6. Merpati Lepas
Tembak itu mobil!"
Serentetan peluru Thompson dan sten-gun akhirnya memaksa mobil iru berhenti.
Kurang-ajar, pelatnya Rl Nomor 2 lagi. Angka begiru arogan. Dikira siapa yang kuasa di
Hindia ini ? Sudah lama aku ingin mendamprat langsung pejabat-pejabat Republik
yang semakin sombong, tidak tahu diri.
Gilanya, mereka berhasil dengan gaya sok diplomat amatir berunding dengan
pimpinan tertinggi Jenderal Christison himself, bahkan Letnan-Gubernur Jenderal
Hindia Belanda. Aku yang paling pertama datang di mobil itu. Kubentak
penumpangnya, kusuruh ke luar.
Tetapi ketiga orang di dalamnya, kurang-ajar, hanya duduk tenang saja. Sopirnya,
aku sudah lupa rupanya, dapat berhahasa Belanda, dan edan sekali, berkata bahwa
yang menumpang ini perdana menteri dan ajudan. Oh, inikah si kancil Syahrir? Tetapi sejak kapan setiap kuli di sini boleh begitu saja mengaku perdana menteri ?
Ketenangan kedua orang di jok belakang itu benar-benar menjengkelkan. Khususnya
yang satu itu, dengan sepasang mata cerdik dan wajah seperri tersenyum mengejek.
Para serdaduku berteriak-teriak karena darah mereka sudah mendidih . Tetapi
entahlah, yang satu orang itu, harus kuakui, begitu memancarkan kepribadiannya,
sehingga aku seolah-olah lumpuh. Yang dua lainnya Tampak agak pucat dan gugup.
Tetapi yang mengaku perdana-menteri itu hanya tenang, senyum dikulum. Dan tibatiba aku seperti keranjingan. Sebab dalam senyum dikulum itu aku melihat segaris
lekuk senyum Larasati. Barangkili itu cuma khayalanku yang serba jengkel campur
bingung. Akan tetapi aku lalu menjadi lumpuh. Keharimauanku menjadi impoten dan
segala lakon peristiwa sudah lepas dari komandoku, sehingga spontan para serdadu,
tanpa menunggu komando, bermain hakim sendiri.
Akhirnya dengan segala ketenangan yang luar biasa, dan yang jelas berwibawa
terhadap para serdaduku, si perdana menteri amatir itu membuka pintu mobil dan
berdiri di muka serdadu-serdaduku. Alangkah kecil orangnya; memang kecil dia dan
sebetulnya terlalu kurang pas pakaiannya, yang dijahit entah oleh taylor pasar di
mana. Wajah bukan tipe orang Jawa, tetapi sejenis orang Banjar atau Melayu,
pendeknya orang yang sulit diberi sebutan kuli. Rambutnya berombak rapi, tetapi
yang indah ialah matanya. Matanya seperti mata Atik, cerdas, tenang seolah seluruh
dunia sudah digenggamnya.
Dalam bahasa Belanda ia tenang berkata padaku: "Jenderal Christison menunggu
saya. Harap jangan mengecewakan beliau." Kurang ajar! Belum lagi aku menguasai
situasi, seorang serdaduku yang hitam berangasan tak dapat menguasai emosinya.
Pistolnya diacungkan pada republiken kecil itu. Dan entah bagaimana persisnya, ruparupanya ia malu karena pistolnya kebetulan kosong peluru, orang kecil itu sudah
dipukul dengan gagang pistol. Segera kularang dia bertindak sendiri. Bukan karena
aku tidak setuju orang penghasut Atikku dihajar, tetapi aku terpaksa harus menjaga
kewibawaanku. Ini soal gengsi, bukan soal lain. Tetapi toh rasa kekesatriaanku yang
kuwatisi dari ayahku melonjak dan serdadu kumaki-maki keras. Sungguh memalukan.
Yang kumaki sebetulnya ketidak-kuasaanku menghadapi Si Syahrir itu.
44
Dari lubuk hatiku toh aku digugat jiwa ayahku yang seolah-olah membentak juga
dalam bentakan-bentakanku: "Bukan begitu caranya menghadapi gentleman! Biar
mereka pemberontak sekali pun."
Darahku masih mendidih memang, akan tetapi rasio Officier Brajabasuki toh masih
kuat dari kebinatanganku. Terpaksa aku mundur, karena memang bagaimana pun, akal
sehatku menghalang-halangi amarahku untuk berbuat hal-hal yang dapat merepotkan
keputusan-keputusan tertinggi politik Kerajaan.
Dalam hal ini aku boleh berterimakasih kepada pengaruh Verbruggen. Ia bandit
memang, tetapi setiap bandit kepalanya dingin dan berkalkulasi, sedangkan aku bukan
bandit dan karena itu sering masih terbawa emosi.
Pada saat itu datanglah patroli tentara Inggris. Aku benci sekali pada mereka itu.
Orang-orang sok gent/emen itu dijadikan tuan di Hindia Belanda, hanya karena
persetujuan antar Sekutu. Bukan karena mereka punya hak untuk berlagak di sini,
seolah Batavia itu Singapore saja. Seharusnya aku sudah pergi untuk menghindari
konfrontasi dengan mereka, tetapi terlambat. Seorang letnan Inggris datang dengan
lagak Britania Raya yang paling dibenci setiap orang kontinental dan tanpa kesopanan
bertanya dulu, ada apa, atau minta pertimbangan sebelum campur tangan persoalan, ia
langsung saja kontan bergaya boss main wasit: "Ayo pergi. Ini bukan urusan kilian."
Dia letnan aku letnan. Hanya dia lebih tua dan punya bendera inggris sebagai
bekingnya dan aku Cuma KNIL.
"Tentara Kerajaan itu KL, tentara Belanda," masih kudengar Verbruggen, "KNIL
cuma segerombolan bandit." Tetapi justru karena itulah jiwaku terbakar melihat
keangkuhan orang Inggris itu. "Urusan Hindia Belanda adalah urusan Hindia
Belanda!" bentakku sengit. Dan apa jawabnya? Ia tidak menjawab. lnilah yang lebih
menghinaku, seolah aku tidak pantas, tidak sederajat, untuk diajak bicara. Dengan
kepongahan merasa sip sendiri ia langsung menuju mobil. Ia memberi hormat kepada
orang inlander keci1 itu; tersenyum, tangan kanannya melambai angin memberi
tanda: "Silakan terus tuan". Tetapi ia sangat terkejut melihat mata biru perdana
menteri Republik yang membengkak, akibat popor pistol serdaduku. Dan apa yang
terjadi? Ia mendekati perdana menteri amatir itu, dan mereka berjabatan tangan. Dan
Wakil Tentara Sekutu itu minta maaf. Ya, minta maaf ! Sungguh pengkhianat! Begitu
halusnya sikap perdana menteri amatir itu, sehingga semakin membakar kebencianku
kepada segala yang berbau Republik. Dengan ramah mereka bersama sopirnya mengamat-amati body mobil yang tertembus peluru. Entah apa yang mereka katakan. Aku
hanya melihat serba benci, tetapi terutarna malu kepada letnan Inggris sombong itu,
yang seperti pelayan restoran kelas tiga mengangguk kepada seorang tuannya dan
omong sejenis ini, entah aku sudah lupa: "Tuan untung masih dilindungi Tuhan," dan
semacam itu. Dan ia melirik padaku, sinis seolah-olah menyindir berkata pada si
Inlander: "Jangan khawatir menghadapi bandit-bandit itu. Britania Raya akan
melindungi Anda dan Republik. Anda."
Lalu ia memandangku lagi dari sudut matanya yang licik. Memang dari dulu
Inggris itu musuh Belanda. ltu baru kuhayati dalam-dalam pada saat itu. Dengan
amarah kuperintahkan anakbuahku masuk truk dan tanpa ambil pusing menyambar
apa, dengan kecepatan barangkali 100 km aku meluncur berang pergi ke Klender.
Terbakar nafsu aku ingin melampiaskan dendarnku. Perdana menteri itu harus dihajar.
Rakyatnya akan kucambuk. Hari itu, Klender, Tanah Abang, Kwitang merasakan apa
konsekuensinya menghina jago KNIL.
45
Malam itu aku hanya murung. Ogah diajak sekak oleh Verbruggen, yang tadi sudah
kulapori (singkat mengenai yang esensial saja) tentang insiden Huize Vijfsprong¹⁾
dengan perdana menteri itu. Berapa sloki jenewer yang sudah kuminum? Tetapi tibatiba dalam lamunan muram serta dendam tumbuhlah secuil penyesalan. Mengapa aku
tadi tidak memakai kesempatan dan bertanya padanya: ''Bagaimana, Atik?" Pasti dia
akan sebaik itu untuk menceritakan sesuatu tentang hal-ikhwal Atik. Barangkali pula
dia akan dapat menghubungkan lagi senyum kegadisan Atik dengan hatiku yang
merana dan menjadi bengis ini. Mengapa tadi tidak manusiawi biasa saja aku bertanya
itu pada orang kecil yang mengaku perdana menteri itu? Ada sesuatu dalam wajah
dan matanya yang hitam lembut itu yang menyalakan pijar sekecil kunang dalam
hatiku, dan yang meyakinkan hatiku yang serba skeptis ini. Ya, ia pasti mampu
memahami aku. Sebab perdana menteri ini bukan tipe teroris. Lain halnya dengan
Soekarno. Orang keci1 tadi orang beradab rupa-rupanya dan berperasaan dalam.
Tetapi justru itulah ia orang yang paling berbahaya, lawan yang sanggup
mengalahkan van Mook. Orang-orang Inggris punya motivasi kotor demi Sirgapura
dan Hongkong mereka. Tetapi mereka juga bukan orang tolol. Mana ada Inggris yang
tolol. Mereka tahu, siapa Syahrir ini dan dalam hal apa dia harus diajak bicara.
Malam itu kami tidak main catur. Hanya omong-omong tentang
orang keci1 berpakaian putih bikinan taylor pasar pagi tadi yang kutembak mobilnya
dan sayang tidak kena.
"Sayang tidak kena; Leo!" kata Verbruggen si bandit tua itu.
''Ya, sayang,” aku meyakinkan diriku lagi, walaupun sebenarnya tidak sangat
yakin, sebab di belakang orang keci1 tadi aku melihat seorang gadis, yang sedang
mengetik entah apa, seorang juru ketik muda yang barangkali masih hijau tunas,
tetapi yang penuh takjub selalu memandang kepada pemimpinnya, perdana menteri
paling muda di dunia dari negara yang paling muda di dunia pula. Dan aku? Aku jadi
kepala bandit tentara yang sudah sekarat. Tetapi Verbruggen punya keterangannya
sendiri. Dan hatiku melonjak ketika ia mencetuskan apa yang sudah aku rasakan
agak sayup-sayup.
"Orang ini musuh paling berbahaya bagi mati-hidup Hindia Belanda. Sebab
dengan senyumnya, dengan kehalusan budinya ia memikat. Seorang Soekarno, ia
boleh-boleh saja didewa-dewakan oleh massa bangsa kuli tolol itu, tetapi ia tidak
berbicara apa-apa untuk orang-orang gede dalam meja penguasaan dunia yang
sekarang sedang menata dunia seperti notaris-notaris yang menata soal warisan
kakek yang baru meninggal. Semakin banyak Soekarno, semakin lekas Republik itu
hancur," katanya tenang: "Sebab dunia yang menang perang sekarang sedang benci
pada segala yang berbau fasis dan militerisme." Dan ia berhenti sebentar untuk
membiarkan lingkaran-lingkaran asap cerutunya mencari kemerdekaannya. Lalu
bergurnam pelan, terlalu dingin untukku yang masih muda itu.
¹⁾ Simpang lima Cikini Raya, Gondangdia Lama, Menteng Raya, Cut Mutia dan Kali
Pasir.
46
"Sebetulnya Sekutu tidak suka pada tingkah Den Haag. Negeri kami ini negeri
kecil dan mereka masih tidak lupa ketika Ter Poorten ¹⁾ begitu saja menyerah kepada
Jepang. Kita ini membonceng Sekutu, itu sungguh pahit. Tetapi memang seorang
tentara hams menghadapi kepahitan seperti apa adanya, tidak hanya berkhayal yang
enak-enak saja."
Lama kami berdua hanya diam.
"Sayang tidak kau tembak mati Si Syahrir tadi," gumamnya tiba- tiba tetapi tetap
tenang, dingin. "Seandainya ia tadi kau tembak, saya bisa cari-cari alasan apa pun
kepada atasan. Dan atasan kita toh akhirnya akan tersenyum mengangguk. . Mereka
pun tahu: bukan Soekarno, tetapi Syahrirlah musuh mereka yang paling berbahaya.
Justru karena ia halus. Justru karena ia berbahasa manusiawi dan tidak fanatik. Orang
macam ini mudah sekali memikat opini dunia. Dan otakku boleh kalian satai pada
sangkur, tetapi sedikit banyak saya sudah kenaI mental amok kaum Inlander di sini.
Saya berani bertaruh: mereka di pihak Republik sana pun banyak yang akan senang,
seandainya Si Syahrir itu kau habisi riwayatnya. Sayang, sungguh sayang. Memang
sering kendali sejarah ditentukan oleh orang-orang tolol seperti kau. Ya, ya,
sebetulnya bukan menteri atau jenderal yang seharusnya mengatur sejarah, tetapi
kopral-kopral. Hidup kita akan lebih sederhana jalannya."
"Sederhana untuk kaum bandit seperti kau, maksudmu?" Me- ledaklah tawanya,
seperti sebaterai mortir. "Hahahaaaaaa ………………… kaukira, sekarang kau
belum bandit?"
"Kau terlalu banyak minum." Dan langsung botol jenewernya kutuangkan pada
lidah dan kerongkonganku.
¹⁾ Panglima Besar KNIL, yang diangkat Sekutu menjadi panglima tertinggi seluruh
Angkatan Darat Sekutu di Indonesia melawanJepang, 1941-1942.
47
7. Singa Mengerti
Entahlah, Mayoor Verbruggen memang jenis jago berkelahi yang tidak dapat dibuat
main-main. Akan tetapi aku merasa, bahwa ada semacam kebapaan padanya. Paling
tidak terhadapku. Semula aku khawatir, bahwa kekecewaannya ditolak oleh Mamiku
dulu akan terlampias pada diriku. Akan tetapi tidaklah begitu. Bahkan sebaliknya aku
sendirilah yang harus kuprihatinkan.
Petang itu aku dipanggil menghadapnya. Aku sudah siap-siap mendapat hukuman
atau hajaran entah apa dari dia. . Sebab kuakui, hari-hari terakhir ini aku cuma
berkelahi saja dengan rekan dan main tempeleng kepada bawahanku. Ada-ada saja
yang membuatku naik pitam dan lupa disiplin. Tentara dalam keadaan perang tidak
akan mengizinkan ketegangan-ketegangan terjadi di antara sesama anggota tentara,
apa lagi perkelahian tanpa alasan.
"Kau seperri. anak kecil," begitu Verbruggen mulai dengan pengadilan yang
sudah kuharapkan. "Kau mema1ukan sekali untuk Tentara Kerajaan. Kita dalam
keadaan kritis dan hari depan negeri ini tergantung pada berhasil tidaknya kita
menguasai vakum kewibawaan di Hindia Belanda. Dan kau sekarang main Kenpeitai
terhadap bawahan dan rekan-rekanmu. Saya berkuasa menurunkan pangkatmu jadi
serdadu biasa, tetapi ingin mendengar dulu dari mulutmu sendiri, mengapa kau
berbuat begitu. Kenapa, hei? Jawab."
"Aku memang bersalah, Mayoor."
"Soal bersalah itu semua orang sudah tahu, tidak perlu kau terangkan. Tetapi
MENGAP A ... itulah yang hams kau sadari. "Barangkali karena kurang tidur aku
lekas marah, Mayoor."
"Tidak! Bukan itu. Saya tahu mengapa kau begitu. Kau dendam, karena ayahmu
dibunuh Jepang bukan?" (Aku diam. Betul, apa yang dikatakan Mayoor Verbruggen).
"Ayahmu masih hidup, dear Leo." Terperanjat seluruh tubuhku. Mataku membelalak
seperrti kehilangan segala bahasa. Aku hanya melompong penuh pertanyaan.
"Ya, kau hams berterimakasih kepada Tuhan. Ayahmu belum sempat terbunuh
oleh Kenpeitai."
"Kok tahu?" Mayoor Verbruggen mengambil salah satu map merah dari dalam
bironya.
"Ini Iaporan Iengkap dari Intel kami yang sudah menyelidiki semua penjara dan
tempat-tempat tahanan bekas Kenpeitai. Para tahanan sudah lari atau dilarikan polisi
Republik."
"Lalu sekarang, Papiku di mana?"
"Itu akan saya jawab nanti. Atau lebih tepat, bam diselidiki NEFIS. Tetapi terlebih
dulu pertanyaan ini. Mengapa kau beber apa kali keluyuran ke jalan Kramat tanpa
mendapat perintah operasi ke sana? Kau tahu apa itu artinya dalam kamus disiplin
tentara?" (Aku Iebih bengong lagi. Begitu tajamkah mata-mata intel?)
"NEFIS telah memberi rekomendasi kepadaku untuk menghabisi riwayatmu,
karena kau didakwa selaku mata-mata untuk Republik, tahu? Ini soal serius, kelinci
kecil. Ini sangat serius. Kitta dalam keadaan darurat perang. Dan seorang komandan
yang selalu menyelesaikan segala unsur yang mungkin dapat menggagalkan rencanarencananya.Kebijaksanaan setiap komandan akan menyingkirkan segala kemungkinan
rusaknya matarantai strategi dan taktik geraknya tanpa membiarkan dipergoki risiko.
48
Apa itu artinya, kau dapat menafsir sendiri."
"Tetapi aku bukan mata-mata Republik."
"Barangkali bukan, tetapi barangkali juga ya."
"Tetapi aku jelas bukan yang diperkirakan NEFIS yang, sungguh aku tahu, masih
serba hijau dan seumumnya orang-orang tolol. "
"Kalau badan intelijen menaruh curiga, itu, harus kau ketahui, adalah tugas dan
kewajibannya. Tetapi saya tidak akan memanjanglebarkan masalah ini. Pendek saja,
saya masih mau memberi kesempatan padamu. Sebab saya tahu, bahwa kau
menderita. Dan setiap lelaki yang menderita, persetan kau, mesti lari ke si wanita,
nggak usah bohong. Dan di Kramat itu kau mencari perempuan, ayo, kutempeleng
kalau bohong
"Tidak! Tidak, Mayoor. Aku berani bersumpah."
"Sumpah-sumpah segala. Omong kosong. Bukan intel KNIL yang hijau, tetapi kau
sendiri, kelinci kecil. Jangan sok. Akuilah, bahwa .. , eh ... siapa namanya ... (ia
membuka mapnya yang berwarna merah tadi dan mencari sesuatu dalam lembaran
kertas laporan). Nanti dulu ... ya, Ratna Larasati puteri Tuan Antana, pembantu
khusus perdana menteri Sutan Syahrir. Larasati bukan, nama pacarmu Alias Atik? Ya,
jangan kira, NEFIS kita bukan sembarang intel. Mereka tahu sangat banyak." (Seperti
terbelah oleh halilintar dadaku. Harus kuakui terengah-engah, memang mereka tahu
banyak.)
"Tetapi, Mayoor ... perkenankanlah aku menguraikan duduk
perkaranya."
"Saya tidak tertarik pada segala uraianmu, Anak Muda. Yang
jelas ialah ini: Nona .... siapa tadi (ia melihat lagi ke dalam map tadi). La-ras-ati
adalah salah seorang anggota sekretariat itu si perdana menteri amatir Sutan Syahrir.
Dan rumahnya di Kramat VI, persis di dalam rumah yang sering kau kunjungi. Jadi
.,. jadi apa, kelinci kecil? Jadi setiap orang yang normal dalam situasi perang pasti
akan menaruh syak kepada siapa pun yang tanpa mendapat penntah keluyuran
sendirian ke satu alamat yang ia rahasiakan."
"Tetapi aku bukan orang Republik. Soalku dengan gadis itu hanyalah pribadi saja.
Keluarga merekalah yang menolong kami dalam pendudukanJepang." (Mayoor
Verbruggen tertawa keras sangat ironis.)
"Hahaaaa, ini dia: Hanya kenalan biasa. Mana ada orang yang punya susu-susu
montok kok kenalan biasa. Tentu montok pasti dada gadismu. Apalagi anunya ...
lalu!"
"Diam!" potongku "Kau di sini sebagai komandan militer. Bukan komandan
urusan pribadi."
"Hei, hei, tenang, tenang." (Tetapi aku terlanjur naik pitam.) "Kau boleh
menembak aku sebagai mata-mata, tetapi memperolok-olok gadis satu ini kularang.
Kularang!"
"Tenang, tenang ... sudah .... "
"Aku tidak rela kalau ... , Tetapi Verbruggen berganti berteriak
49
Dan gelas gelas jatuh dalam gempa pukulan kepalnya pada meja.
“Diam ! Berdiri tegak kau kelinci, di muka komandan di medan perang!"
Aku terkejut juga dan berdiri tegak dinas. "Dengar! Saya tidak butuh dongeng
aneh-aneh. Faktalah yang penting bagi seorang militer. Dan fakta menunjukkan,
bahwa sebagian para tahanan Kenpeltal, dan sangat mungkin sekali ayahmu juga, di
bulan Mei tahun ini dipindahkan ke Sukamiskin di Bandung sana.
Dan yang terpentlng, sangat mungkin sekali, ayahmu juga telah bergabung dengan
gerombolan yang menamakan diri Tentara Keamanan Rakya itu. Sangat mungkin.
Kami belum mendapat kepastian. Tetapi yang Jelas, kau harus berhati-hati, Sinyo.
Seandainya kau lni anak saya ... (tiba-tiba ia terhenti dan berkata seolah-olah pada diri
sendiri, lunak kebapaan) sudahlah, jangan dikorek-korek ... pendek kata: Leo,
kepercayaanku padamu tidak berkurang hanya karena laporan-laporan dan nota dari
pihak Intel. Tetapi kau harus hati-hati, anak muda! Hati-hati. Ini bukan perang biasa
dengan lindungan hukum militer dan hukum intemasional segala. Ini bandit melawan
bandit, tahu! Kalau ada apa-apa, bilang pada saya. Mari ambil botol jenewer dan dua
gelas sloki di dalam almari itu. Saya ingin main catur. Tidak ada gunanya kita saling
bersitegang."
Dan diam kami main catur. Lebih untuk melupakan diri daripada main. Permainan
sekak Mayoor Verbruggen sungguh cerdas. Belum ada sepuluh menit aku kehilangan
kuda dan benteng. Dia hanya kehilangan kuda satu. Tetapi toh ia mulai mengorekorek lagi.
"Cantik gadismu itu?" ia bertanya sambil mengajukan pion. Awas, keliru pasang,
ratuku nanti terkena ster. Satu pion kuajukan untuk memberi si ratu jalan keluar.
"Semua puteri Sala cantik," jawabku menghindar.
"Termasuk Marice," gumamnya. Mataku melihat padanya, tetapi pandangannya
asyik pada tokoh-tokoh caturnya.
Hanya seolah-olah? Spontan pertanyaanku mendengung dalam benakku:
Seandainya kau ini ayahku ... bagaimana? Awas, raadsheer ¹⁾ ia tempatkan di situ. Ah,
ia mengincar ratuku. Okay, daripada menunggu dan terkurung. Ayo, keluarkan ratu.
Ofensip sekarang. Mayoor Verbruggen mengangguk-angguk. Ada apa? Aku keliru
pasang? Bersiasat apa bandit satu ini? Kuperiksa letak pasangan-pasanganku. Aman.
Satu lagi pion ia ajukan. Mau apa dia? Aneh juga caranya ia bergerak. Ratuku
kutempatkan dalam posisi yang lebih terlindung. Ia tersenyum.
"Kalau kau masih ingin bertemu dengan gadismu itu," katanya tenang, tanpa
melepaskan pandangan dari bidang catur, "saya tak berkeberatan."
Kaget juga aku mendengar ucapan itu. Mengapa ia begitu memperhatikan Atik?
Untuk menjebakku dalam perangkap dan mendapat kepastian tentang Papiku? Dan
begitu membalas dendam rivalnya lama yang merebut Marice dari jangkauannya?
¹⁾ Ningrat penasihat. Dalam pennainan catur ditempatkan di samping raja atau ratu.
50
"Yang penting, kau harus belajar menghilangkan emosimu terhadap Jepang,"
kudengar Verbruggen seperti suara hati menggugat.
"Tidak mungkin. Mereka telah membunuh Mamiku. Dan itu dugaan tentang Papi
yang masih hidup, itu pun baru perkiraan."
"Kau tahu pasti ibumu telah mati ?"
"Ada saksinya."
"Kau bicara sendiri dengan dia dan sudah mengecek segalanya.
''Belum. Tetapi ... " (tiba-tiba aku disambar oleh pikiran, bahwa mungkin) "Apa
NEFIS tahu juga di mana Mami ada sekarang?"
"Saya duga keledai-keledai NEFIS tidak tahu juga. Tetapi yang jelas bagi kita
sekarang ialah: kepentingan Kerajaan tidak menghendaki prajurit yang emosional.
Perang tidak bisa dimenangkan dengan emosi. Tetapi perhitungan yang dingin.
Republik itu juga pasti akan hancur dengan sendirinya karena emosi mereka. Emosi
bukan nakhoda. Paling-paling dinamit yang buta. Berhari-hari kau marah terhadap
bawahan dan cekcok dengan rekan sesenjata. Hanya karena gadismu di pihak sana
bukan?"
"Tidak! Saya marah-marah karena mereka pengecut. Dan ada beberapa senjata
yang hilang dan menurut dugaanku yang kuat, itu diserahkan kepada kaum
pemberontak. Memang tidak pemah dapat dipercaya serdadu-serdadu Jawa kita. Saya
minta pasukan Ambon saja. Mereka setia dan berdisiplin. Tetapi yangJawa-Jawa
itu ... "
"Ya, emosi lagi. OrangJawa itu punya kanker , emosi namanya. Tapi mereka
serdadu. Kau perwira. Itu lain. Sudahlah! Saya bukan gurumu, bukan pendidikmu.
Pokoknya, awas!"
"Dia bukan tunanganku, bukan paearku, bukan adikku. Mengapa aku harus
waspada bertemu dengan dia," tangkisku, sambil menggerakkan satu benteng
yang masih tertinggal, tukar tempat dengan raja.
"Kau bohong. Ster !"
"Kurangajar," dia mengalihkan perhatianku tadi. Kuamankan
ratuku. Tetapi posisinya sekarang malah berbahaya. Kukembalikan lagi. Satusatunya jalan hanya mencaplok kuda penyerangnya itu. Uah, sulit ini. Kalau
kudanya kucaplok, kudaku yang terakhir amblas juga.
"Korbankan kudamu itu," nasihatnya begitu kalem menjengkelkan. "Kalau
tidak, posisimu lebih sulit lagi. Percayalah."
"Sejak kapan nasihat musuh pantas diikuti?" tangkisku lagi.
"Terserah. Asal tahu konsekuensinya."
Betul juga dia. Tidak ada jalan lain kecuali mengorbankan kudaku terakhir.
"Kalau perlu kau bisa minta surat perintah dariku, untuk bertemu dengan ... siapa
namanya dia?"
51
"Ah, Atik lagi." Rupa-rupanya ia merasa aku tak senang bila Atik dibicarakan
terus.
"Jangan salah mengerti atau salah tafsir dan curiga macam-macam, Saya
cukup manusia untuk mengerti, bahwa seorang muda membutuhkan sahabat
puteri."
"Kok Mayoor begitu getol mengurus gadisku? Ada minat?" Tetapi segera aku
menyesal atas pertanyaanku yang jelas bernada sinis itu. Untung Sang Mayoor
masih cukup punya persediaan humor dan ia tertawa, sambil menggerakkan
pionnya untuk mencaplok kudaku yang tinggal satu.
"Kalau kau curiga, silakan. Tapi kalau kau mau saya lindungi, silakan pakai
kesempatan. Apa tidak boleh, sesekali orang itu baik hati? Sekak!"
Orang ini bandit tulen atau setan yang memihak pada Tuhan Allah? Pikiranku
sedikit jengkel sedikit gembira atas uluran tanganya yang aneh, yang bisa berbahaya,
tapi barangkali toh jujur juga. Aku pun bandit sebenamya, tetapi tak merasa orang
jahat.
Mengapa pula la harus kuanggap jahat? Raja kupindahkan. Defenslp pas-pasan
memang, tetapi tidak ada jalan lain. Rupa-rupanya aku akan kalah. Sulit bertanding
tanpa kuda dan satu benteng hilang. Seperti kaum Republik itu. Gila mereka itu,
perang melawan pihak yang keluar dari Perang Dunia sebagai pemenang.
"Kau sudah kalah."
''Belum.''
"Mau apa dengan posisi begitu buruk? Sudah, kau kalah."
''Belum.''
"Coba, mau bergerak bagaimana." ''Paling sedikit masih bisa kucari remis."
"Ah, remis! Main remis hanya untuk kakek-kakek yang tidak lucu."
Seorang sersan mayoor PHB ¹⁾ melapor. Ada telpon dari Kolonel van Langen.²⁾
“Apa dia tidak bisa main catur dengan Spoor?" tanyanya jengkel pada sersan
mayoor PHB yang ekstra pasang tampang yang tolol.
"Ada apa lagi ini!" Agak ogah-ogahan ia pergi ke kamar PHB.
Jenewer ini sungguh sedap kemranyas. Nikmat kusisip sloki yang ke berapa entah.
Verbruggen ini orang baik. Aku merasa itu. Tidak. Ia tidak bermaksud membuat
jebakan. Tetapi aku sungguh gusar, bahwa Atik sudah masuk dalam laporan NEFIS.
Jadi kami sudah saling jadi lawan serius sekarang. Aku NICA dan dia se- kretaris,
kabinet impian kaum Republik. Pahit, ya pahit memang selamanya yang harus
kutelan. Apakah NEFIS sudah tabu juga, bahwa Mami menjadi gundik Jepang?
Bahkan barangkali Verbruggen juga sudah tahu? Belum. Kentara kalau ia sudah tahu.
Jangan sampai ia tahu. Akan remuk jiwanya, dan ia menjadi bandit sungguh-sungguh.
¹⁾ Perhubungan.
²⁾ Panglima operasional Belanda ke ibukota RI Yogyakarta 1948.
52
Begitu pun Papi, kalau benar ia masih hidup. Akan hancur kedua-duanya. Dan kau,
Leo?
Barangkali Verbruggen toh benar. Aku merindukan Atik.
Sudah lima kali ini aku ke Kramat dan masuk menyelinap melalui pintu dapur.
Sesudah kunjungan yang kedua kali pintu dapur kukunci cermat. Tetapi surat Atik
belum kujawab. Aku takut. Kunci masih terletak di dalam lubang dinding seperti
dahulu. Seorang diri aku datang, dalam waktu istirahat bebas dinas. Untuk ketiga
kalinya. Hanya untuk duduk-duduk saja di serambi belakang. Dan melamun. Sebab
sesudah segala peristiwa yang menimpa diriku, aku semakin benci bertemu orang.
Hanya dengan Mayoor Verbruggen aku masih dapat berdialog, sebab bagaimana pun,
dengan mayoor petualang itu aku masih mempunyai ikatan intim dengan masa
lampauku.
Bangkai-bangkai burung-burung kesayangan Atik telah kuambil, kukubur dengan
segala dedikasi. Kurungan-kurungan telah kubersihkan. Dan sayu aku teringat, betapa
sayang si Atik kepada burung-burungnya.
Beberapa kursi kulihat telah hilang. Barangkali diambil pencuri? Tetapi ruparupanya mereka tidak berhasil atau keburu waktu mendobrak pintu-pintu kuna yang
amat kuat itu.
Ada alasan baru aku mendatangi rumah ini, begitu pikirku gembira. Demi
keamanan milik keluarga yang selalu baik kepada keluargaku. Tetapi sinting juga,
seorang perwira KNIL mengurung diri seperri biarawan dalam rumah yang kosong.
Jangan-jangan aku ditembak Intel Belanda atau tertusuk oleh teroris. Tetapi suasana
rumah ini benar-benar merupakan kebutuhan untukku. Orang yang lari dari dunia
yang satu harus menemukan dunia yang baru untuk bisa bertahan diri.
Rumah keluarga Antana ini merupakan bentengku yang terakhir. Aku sudah tak
punya siapa pun. Dan walaupun Atik memihak kaum pemberontak, aku tak akan
menyalahkan dia. Suatu ketika Atik akan mengakui, bahwa akulah pihak yang benar.
Barangkali kata benar terlalu sok. Tetapi paling tidak, pendasaran sikapkulah yang
paling rasional. Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan
minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang
seperti buah durian yang jatuh karena sudah matang.
Aku sedikit terhibur dengan "biara" yang kutemukan ini. Yang terakhir kali, ketika
pada suatu pagi aku datang lagi di rumah Atik dan mau mengambil anak-kunci dalam
lubang dinding seperri biasanya, anak-kunci sudah tidak ada. Apa ada yang mengintip
dan tahu letak kunci itu? Dari balik jendela kudengar di dalam kamar ada bunyi apa
entahlah. Pelan-pelan aku menuju pintu dapur. Ternyata sudah terbuka. Berhati-hati
dengan pistolku siaga aku masuk kamar dapur. Dapur kosong. Tetapi pintu gang
tengah dari serambi kamar makan ke dalam sudah terbuka. Bunyi-bunyi dalam kamar
berhenti.
53
Sepatuku toh membuat pencuri itu waspada. Aku bertekad menunggu dan diam.
Sampai tiga menit tak ada bunyi satu pun yang terdengar. Tetapi lihat, kesabaranku
berhasil. Pintu kamar tidur dibuka dari dalam pelan-pelan. Tangan
perempuan.
"Atik!" teriakku gembira. Tetapi Atik jatuh pingsan terkulai saking terkejutnya.
Aku sangat menyesal akan sikapku yang ceroboh. Tentu saja ia pingsan. Seorang
gadis sendirian dipergoki oleh serdadu. Kubaringkan ia dida1am sofa di serambi
makan, karena di dalam kamar tidur semua gelap. Kuangkat dadanya, menjamin
pernafasannya. Kubisikkan dalam telinganya: ''Atik! Atik! Jangan takut. Aku Teto."
Tiba-tiba ia tertegun kaget dan refleks mau lari. Kudekap dia. "Aku Teto. Aku Teto.
Atik!" Bagaimana pun aku salah. Sebab pastilah Atik sangat terkejut melihat seragam
NICA-ku. Wajahnya seperti patung marmer. Pucat mukanya dan matanya
menyinarkan ketakutan. Kata pertama yang keluar ialah: "Teto! Teto!" Lalu
menangislah Atik. Pada saat itu aku bimbang untuk pertama kali. Pada saat itu aku
takut kehilangan seorang lagi. Pada saat itu aku tidak ingin dilahirkan dan malu.
Begitu kuasakah gadis untuk menggoncangkan suatu keyakinan lelaki yang kuat?
Atik menangis, tetapi ia membiarkan aku mengusap air-matanya. Ia tampak kurus dan
karenanya matanya tampak lebih besar. Betapa lahap mesra Atik kudekap dan
kucium. Bukan karena asmara, tetapi justru karena dalam saat-saat seperti ketika itu
orang merasakan naluri ingin melindungi, ingin melimpahkan segala yang baik
kepada seorang adik. Aku tak pernah punya adik dan barulah kuakui, betapa sudah
lama aku merasakan kekosongan sebagai seorang anak tunggal yang tidak pernah
memperoleh kesempatan untuk bertanggungjawab terhadap seorang yang lebih muda.
Tetapi inikah caraku bertanggung-jawab? Wajah Atik pucat terasa menggugat. Masih
kurasakan tatapan manik matanya yang hitam dan putih mata yang tampak bernoda
urat-urat kecil. Tetapi manik mata itu seperti sepasang lubang pistol. Atik bukan tipe
sekejam pembunuh.
Tetapi tafsiran-tafsiran kesehari-harianku sebagai serdadu yang selalu bergumul
dalam suasana teror Jakarta yang penuh gugatan pada saat itulah yang membuatku
lebih merasa terancam. Semua yang gila ini tidak mungkin terjadi seandainya kaum
teroris Republik tidak edan membangkang menyerang. Jiwaku serba panik ditatap dua
manik mata hitam itu yang mengancam. Kelak aku baru sadar, bahwa Atik tidak
pernah mengancam. Tak sewatak dengan gadis seriang itu mengancam seorang
sahabat. Tetapi memang aku merasa terancam. Aku panik takut kehilangan Atik. Dan
aku minta ampun. Kurebahkan mukaku di dalam pangkuannya dan aku berteriak:
"Bunuh saja aku!" Gila, tentulah gila omong kosong seperti itu. Siapa akan berpikir
serambut pun, Atik membunuh orang. Serdadu bersenjata lengkap lagi.
54
Tetapi benarlah apa yang kurasakan. Memang rasaku ketika itu ingin saja dibunuh.
Dibunuh oleh lubang kekosongan dalam dua laras pistol mata yang diarahkan
kepadaku itu. Mati! Mati saja! Baru sekian bulan sesudah itu aku diterangi pikiran
tentang kemungkinan, ya mungkin, bahkan jelas sebetulnya, lubang hitam itu bukan
lubang laras yang berisi peluru pembunuh, seperti yang terbayang dalam benak jago
kelahi yang tahunya hanya bahasa membunuh atau dibunuh.
Bukan sepasang hitam lubang pistol kedua mata Atik itu, melainkan sepasang
hitam putik payudara yang menawarkan kehidupan bagi si bayi. Sebab benar-benar
bayi aku pada saat itu. Menangis memohon hidup. Memohon perempuan.
Perempuan bukan dalam arti yang dinikmati, tetapi perempuan yang merupakan
syarat mutlak agar aku hidup. Dalam malam-malam menganggur dalam kamar
tangsiku yang penuh gambar-gambar cabul, justru gagasan aneh semacam tadi timbul.
Aku butuh Atikku agar aku hidup terus. Tetapi gadis itu ada di pihak musuhku dan
harus kuhitung sebagai musuh. Dan semakin menjadi-jadi benciku kepada orangorang Republik itu, yang merenggut satu-satunya harapan dan tumpuan jiwaku yang
merana ini. Seolah-olah separuh paru-paru harus kuberikan kepada teroris-teroris,
hanya untuk dijadikan keripik paru-paru makanan kesukaan mereka. Siapa tidak akan
mengamuk! Dan aku mengamuk memang.
Atik kuteriaki yang bukan-bukan. Aku sudah lupa, kekasaran apa yang sudah
kusemburkan di wajah yang pucat lesu itu. Tetapi aku kalah. Wajah itu ternyata lebih
kuat daripada granat-granat lemparan mulutku yang gila. Wajah itu seperti panser
titanium yang tahan peluru apa pun. Dan aku menangis. Untuk kedua kalinya dalam
masa awal kedewasaanku, sejak petang dalam taman itu, ketika Bu Antana
mewartakan hal-ihwal Mamiku yang malang. Mamiku yang dirusak Jepang. Atikku
yang dijerat Republik. Pastilah Atik telah menyeka rambutku, pastilah ia telah
mengucapkan kata-kata hiburan, tetapi saat itu aku tidak mendengar apa-apa. Rasanya
aku dijerumuskan ke dalam jurang oleh mereka yang paling kucintai dan aku
ditertawakan. Aku hanya minta ampun.
Aku, lelaki KNIL yang sekasar dan sehebat itu di muka kompiku, aku tidak tahan
merasakan penderitaan ditinggal oleh seorang ibu dan seorang adik perempuan.
Keduanya kaum yang rapuh, tetapi entah begitu kuasa justru mereka itu karena kerapuhan mereka. Aku teringat Mayoor Verbruggen, yang pernah berantakan mengalami
penderitaan kekasih diambil orang lain. Sampai ia jadi bajingan, menurut katanya
sendiri. Apakah aku akan menerima balasan Karma dan menjadi bajingan juga?
Ketika itu aku ingin mempertahankan yang masih dapat kupertahankan. Dan aku
hanya bisa berbuat sesuatu yang aku tahu, menjijikkan perempuan: menangis. Wanita
tidak suka melihat lelaki menangis. Menangis adalah hak kaum wanita. Lelaki harus
memaki-maki, mengumpat-umpat bila ia sedih. Atau diam ningrat.
55
Atau meledakkan dunia ini dengan bom atom. Tetapi tidak menangis. Dan justru
itulah yang kulakukan. Sungguh kesalahan besar.
Indo yang kuwarisi dari Mami tidak konsekuen, tidak mungkin konsekuen, justru
karena keindoan tidak bisa diperhitungkan. Tetapi saat itu aku tidak berpikir macammacam selain ingin memiliki Atik.
Kelak aku baru tahu, bahwa memiliki saat itu hanya berarti ingin memperkosa Atik
agar dimasuki oleh duniaku, oleh gambaran hidupku. Tanpa bertanya apa dia mau
atau tidak. Dan sesudah sadar, bahwa itu tidak mungkin, kudobraki duniaku, dan aku
hanya bisa menangis. Memang aku masih terlalu muda, terlalu kurang kenal dunia
sekelilingku. Atik jelas bukan adik. Ia praktis pengganti Mamiku. Dan di dalam
pangkuan pengganti Mamiku itu aku menangis, tolol dan menjijikkan. Aku memang
merasa malu, sebab sikap lelaki begitu itu nyaris berwarna cabul. Tapi apa yang dapat
kukerjakan? Biar! Kepada siapa pun aku akan malu. Tetapi kepada Atik aku sanggup
telanjang dan ditelanjangi. Sebab kalau orang tidak sanggup itu, pada satu orang saja
secara mutlak bugil, tak akan pernahlah orang bisa punya pegangan. Terhadap Atik
aku ikhlas malu dan dipermalukan. Tetapi kambuhlah segera harga diriku sebagai
jago kelahi KNIL. Dan aku penasaran. Sungguh, aku tidak tahu apa yang dikatakan
Atik ketika itu.
Goblog, totol, seharusnya aku mendengarkan dia. Tetapi untuk itu ternyata aku
terlalu egois. Dan aku meloncat. Aku penasaran, Thompsonku kulemparkan pada
tembok. Pistolku kulemparkan pada pintu dan aku lari. Dengan alasan apa aku pun
tidak tahu jelas. Lari menuju ke jipku. Tak bersenjata lagi, kunyalakan mesin yang
bersamaku menggeram serba panik dan aku lari. Enam puluh, delapan puluh,
sembilan puluh ... seperti orang gila mencari negeri gila. Penjaga markas sampai
terjatuh semak ketika ia terpaksa meloncat ke semak pagar menghindari jipku yang
dol menyambar tiang bendera. aku seperti tak siuman menelungkupkan diri pada stir
jip dan diam. Aneh rasanya ketika mesin jip itu sudah tidak berdesing.
Kudengar suara Verbruggen: "mari." Dan aku diseret olehnya. Terhuyung-huyung
aku diterkam oleh tangan-tangan besi sedadu-serdadu dan direbahkan dalam veldbed.
Mataku sepetti jaring tekstil, cuma dapat memandang ke plafond seng-berpola garis
jarang yang catnya sudah rontok itu. Sepuluh menit? Setengah jam? Aku tidak tahu.
Aku hanya melihat sosok tubuh besar kekar si mayoor itu di samping veldbedku dan
yang memandangku dari atas. Mengerikan bajingan besar itu kalau dilihat dari bawah.
Sepetti setiap saat ia tinggal mengangkat kakinya satu san jlog, sepatu itu menjebol
perutku. Tetapi ia hanya bertanya: "Nah, ada apa?"
56
Tiba-tiba aku terkena panik lagi. Mengapa aku tadi gila melemparkan senjatasenjataku pada dinding? Bagaimana kalau dua senjata itu jatuh ke tangan tetoris?
Semakin sadarlah, bahwa aku sudah tidak waras. Ketetangan apa yang harus
keberikan kepada Verbruggen? Sebab memberi kesempatan kepada musuh memperoleh senjata jelaslah penghianatan militer yang tidak dapat diampuni.
Mengapa kulempar senjata itu? Sentimentalitas anak puber?
Emosi anak yang serba takut dan lari tunggang-langgang dari kuburan yang disangka
menjulurkan jari-jarinya untuk menangkapnya? Spontan gejolak melonjak ingin
Membuktikan : Aku tak salah: Aku tak salah! Jangan aku ditangkap ! Aku harus
bohong. Tetapi Verbruggen diam dan suara tik-klitik gelas kudengar di mejanya.
Sejurus kemudian ia sudah di sampingku lagi.
Aku ditarik dengan keras untuk duduk. Ia mengambil gelas wiski dan
menyodorkan padaku. "Minum!" Kata itu seperti komando yang spontan dijawab
dengan jiwa serdaduku. Kuminum. Hangat kemranyas rasanya di mulut dan perut dan
sekujur badan. Dan mulailah tumbuh lagi kesegaranku dan juga akal sehatku.
Tetapi Verbruggen tidak pemah menanyakan senjata itu. Barangkali dia juga tidak
tahu dan tidak mengurus soal tetek -bengek yang pada perhitungannya juga tidak akan
dilakukan oleh seorang letnan kelahi yang benci pada Republik itu. Dan aku cukup
kuasa untuk memerintahkan pengambilan senjata baru dari gudang. Tetapi
kebengisanku sebagai KNIL menjadi-jadi. Rasanya semua yang ada hubungannya
dengan Republik, alias perampok yang merampas Atik, harus kubinasakan. Hanya
disiplin militer dan instruksi-instruksi dari pimpinan tinggi Inggris yang menjengkelkan itu masih menahan kegilaanku menjawab teror dengan teror yang entah lebih
teror lagi.
Tetapi dalam malam-malam yang menganggur, atau pada siang hari bolong, di
terik panas jam 2.00 siang, kalau semua sedang lesu tidur-tiduran sambil mandi
keringat (aku biasanya tiduran di bawah pohon jambu monyet di belakang), kucoba
memberi rasio atau lebih tepat hiburan diri (hiburan pengecut, aku tahu), bahwa
senjata yang kulemparkan itu mudah-mudahan oleh Atik ditafsir selaku pemberian
konsesi kepada kegandrungannya pada Republik itu, dan begitu mudah-mudahan aku
masih tetap diterima sebagai sahabat Atik. Kendati sahabat yang tidak masuk akal.
Bersahabat dengan Atik, jelas. Tidak dengan Republik. Namun tetap tak enak juga
nuraniku. Bagaimana kalau itu jatuh di tangan pengacau-pengacau sana? Apa boleh
buat. Silakan. Asal Atik sedikit gembira karenanya. Naif, tolol memang pikiran
semacam itu. Dan sangat tidak bertanggung-jawab dan pengecut. Tetapi setiap orang
berhak sesekali menjadi pengecut, kalau itu menyangkut perasaan yang dalam.
Perasaan dalam?
57
8. Banteng-banteng Muncul
Tahun 1946 bagiku serba simpang-siur dan aku sendiri sudah tidak tahu lagi harus
berpikir apa. Patroli rutin semakin membosankan, karena terus-terang saja, kami
orang-orang tentara tidak paham soal diplomasi dan segala kemunafikan kaum
diplomat, sehingga merasa dijadikan bulan-bulanan. Jenderal Spoor jelas mengarah ke
suatu penyerangan total. Kami tahu, tekun dia sedang mempersiapkan operasi tidak
kecil-kecilan. Tetapi dari pihak lain van Mook sudah sama-sarna minum teh dengan
kue-kue dengan si penghasut Soekarno. Ya, tentu saja orang-orang Inggris
biangkeladinya. Tentu saja, seperti yang kami dengar, Spoor dan Pinkel ¹⁾ dengan
sendirinya naik pitam. Apa lagi kami. Ini mau ke mana?
Verbruggen semakin diam dan jenewernya semakin banyak
yang habis. Dalam saat-saat kepalanya sedang dibakar jenewer itu dan lidahnya
semakin kendor, ia sering berbicara serba berbahaya. Apa lagi sesudah datang berita
koran tentang persetujuan pemerintah India dengan kaum Republik mengenai
pembelian beras setengah juta ton oleh kaum Gandhi itu demi penanggulangan
bahaya kelaparan di sana. Dalam saat-saat itu ia selalu menuding-nuding aku,
mengulang-ulang lagi lagu lamanya: "Kan sudah saya bilang. Mengapa Syahrir itu
dulu tidak kau tembak, hah? Menembak Soekarno susah, karena menimbulkan reaksi
hebat dari kaum ekstremis. Tetapi menembak Syahrir sebetulnya gampang. Orang
Republik pun sebetulnya akan senang kalau Syahrir pergi." Dan aku-aku lagi yang
dipersalahkan. Dan setiap kali ia mengucapkan nama Syahrir, selalu juga tidak bisa
lain, aku melihat lagi sang sekretaris muda sederhana, Larasati. Lalu seluruh
jerohanku muak karena sampai sekarang belum lagi jelas, di mana Papiku ada;
masihkah ia hidup atau sudah hilang? Dan Mami?
Verbruggen tidak pernah mengatakannya padaku, dia pasti malu, tetapi aku tahu
dari beberapa orang dari NEFIS, bahwa ia telah menjanjikan bayaran 1.000 gulden
bagi mereka yang dapat mengatakan dengan bukti, di mana bekas kekasihnya,
Mamiku, dapat ditemukan. Biar berpangkat mayoor, aku tahu ia jelas tidak punya
1.000 gulden. Tetapi bajingan selalu saja punya akal memperoleh 1.000 gulden.
Pernah aku pura-pura bodoh dan bertanya, apa barangkali ia dengan pangkat dan
pengaruhnya dapat memberi instruksi kepada NEFIS untuk mencari Mami. Reaksinya
sangat keras dan serba menghina: "Verdomme, kamu masih mau menetek, kok cari
simbok?"
Sejak itu aku mencari jalan-jalanku sendiri, tetapi dengan harapan terpendam,
semoga Verbruggen berhasil. Biasanya bajingan lebih berhasil.
Suatu siang aku tidak bisa makan. Soalnya ada peristiwa yang membuatku
bingung. Seorang letnan dalam keadaan perang tidak boleh bingung, tetapi saat itu
benar aku tidak tahu harus berbuat apa.
Ketika itu aku kebetulan sedang di lapangan Kemayoran untuk membawa amplop
warta-sandi dari Mayoor Verbruggen ke perwira syahbandar lapangan terbang
Militaire Luchtvaart ²⁾ .
¹⁾ Nama Admiral Panglima Angkatan Laut Belanda waktu itu.
²⁾ Angkatan Udara Belanda.
58
Harus kuserahkan pribadi. Barangkali soal militer gawat? Tetapi barangkali juga
Verbruggen masih mencari jejak Mamiku. Persetan.
Di kantin aku mendengar para perwira angkatan udara 1nggris dan Belanda sedang
hangat ramai membicarakan datangnya peristiwa yang akan menjadi hiburan di
tengah rutin kelabu sehari-hari. Edan, sungguh edan! Yang menyebut diri komandan
Angkatan Udara Republik sinting itu akan datang, ya terbang dengan pesawat-terbang
yang benar-benar terbang, dan jam sekian-dan-sekian akan mendarat di Kemayoran.
Ini sudah keterlaluan. Perwira-perwira Belanda sungguh kecut, tetapi perwira-perwira
Inggris melihatnya cuma sebagai dagelan saja, yang welcome untuk mereka. Dan
betul, kira-kira pada jam yang sudah ditentukan, bahkan agak terlalu pagi, kami lihat
dari arah timur tiga bintik kecil.
Seorang pilot 1nggris berteriak: "Zero ¹⁾ Uah, perang dunia meletus lagi!"
Ada yang mengatakan: "1ni mainan sinting. Kalau dia tidak bisa mendarat yang
benar, kami lagi yang harus mengumpulkan bangkai-bangkainya. Hei Uwhim!
Dirreck! Musuhmu datang. Ayo tembak!"
Dirk, si pilot Belanda dengan geramnya menggonggong: ''Betul? Kau mau tanggung-jawab? Akan kutembak amatir itu."
Beberapa pilot Inggris mengejeknya.
"Kalau nanti yang jatuh bahkan kau sendiri, aduh meek, malu di muka dunia
internasional."
Seorang lagi menyeletuk: "Hei, kau apa! Cuma pangkat letnan. Dia komodor. Tahu
kau. Coba kalau dia datang, memandang pada kalian pun tidak sudi dia."
Sahut yang tadi: "Ah, perang sudah selesai. Aku tak mau pulang ke udik
Blackonshire. Menggali batubara? Ak:u akan mendaftarkan diri masuk Angkatan
Udara Republik itu. Petualangan sedikit deh. Dan tahu kau (dan ia membuat isyarat
suatu lubang dengan jari telunjuk dan ibu jarinya) delicious. Gadis-gadis Jawa cantikcantik. Tidak seperti di Holland, ya." Semua tertawa. Bintik-bintik tadi semakin
membesar. "Heh! Ada gambar merah-putih di lambungnya. Pintar juga pribumi
pribumi itu."
"Hey Billy! Kau tadi bilang Zero. Ayo bertaruh tiga botol Scotch²⁾ itu jenis
Kabayashi.”
"Hey heyhoo! Hello Direk, sekarang tidak cuma ada Flying Dutchman³⁾, tetapi
juga Flying Merdekamen!" Yang bernama Dirk hanya suram diam. Ketika pesawat itu
mendarat, orang-orang 1nggris bertepuk-tangan.
"Bagus, bagus pendaratannya. Halus. Kaum gentlemen mereka." Dengan tegang
kuamati dari jauh ketiga pesawat itu, yang pelan-pelan satu per satu mendekat dan
seperti riang bergoyang-goyang pada landasan yang tidak terlalu licin itu. Pesawat pesawat terbang Jepang model pemburu Kabayashi atau Zero bermesin satu sudah
agak kuna menurut ukuran Sekutu, tetapi entah mengapa, sangat mempesona pilotpilot veteran Perang Dunia yang sudah punya beribu-ribu jam terbang dalam sekian
operasi maut dalam pesawat-pesawat yang hiper modern. Pada saat itu aku terpukul
oleh gugatan samar-samar. Orang-orang Republik ini lelaki-lelaki tulen. Ini orangorang yang merintis suatu hari depan.
¹⁾ Jenis pesawat pemburu Jepang dalam perang Dunia II
²⁾ Minuman kerns.
³⁾ Sebutan tersohor untuk kapal dagang VOC.
59
Sedangkan aku sedang sekarat di sini, di antara orang-orang yang sebetulnya bukan
bangsaku, tetapi yang datang sebagai penonton atau bahkan tukang rampok.
Dan ketika mereka turun dari pesawat, dengan shirt dan short yang sportif, lalu
memberi salut kepada group-captain Lee dari R.A.P ¹⁾, komandan lapangan udara,
tersenyum penuh harga-diri serta beromong dalam bahasa Inggris, aku tahu, ini bukan
teroris. Ini kaumgentlemen. Pilot-pilot Inggris pun diam melihat dua orang ²⁾yang
dalam koran-koran disebut panglima Angkatan Udara Republik beserta mayorjenderal Republik ³⁾ yang akan mengungsikan pasukan-pasukan ]epang.
Dan seanak panah kilat meradak dalam kalbu. ]angan! ]angan Papi ada dalam
barisan mereka. Kalau Papi ikut mereka, sedang Atik sudah jelas di pihak mereka, apa
lagi seandainya Mami ternyata sudah di Mangkunegaran lagi, aku benar-benar akan
terkutuk. Tetapi kesimpulanku pada pagi hari di lapangan terbang itu semakin kokoh:
Kepada Atik, kepada Papi dan Mami, seandainya mereka di pihak sana, aku akan
membuktikan, bahwa aku di pihak benar, di pihak anti Jepang, di pihak Sekutu yang
jaya memenangkan perang melawan fasis.
Siang hari itu juga, ketika aku masuk markas besar Inggris, hatiku hampir mdedak
melihat suatu peleton kaum Republik yang gagah-gagah berbaris sigap dan rapi di
muka markas tentara Sekutu. ]elaslah itu suatu show besar, dan memang mereka
pandai main show. Pakaian mereka drill khaki baru buatan pabrik yang memang
kurang berkualitas dibanding seragam kami, tetapi yang menyolok ialah bentuk
seragam mereka yang samasekali bukan bergaya ]epang seperti yang kami kenal.
Celananya panjang dan bermodel Sekutu, pakai saku-saku besar di paha dan betis.
Sepatu model separuh lars yang memberi kesan orang-orang itu lebih tinggi.
Dan memang yang dipilih adalah pemuda-pemuda yang tegap-tegap berbadan
tinggi. ]elas dipilih, sebab ukuran rata-rata orang Inlander tidak seperti mereka itu.
Dan picinya! Gila! Gayanya! Aksi! Boleh deh, menjiplak Hollywood, tetapi jelas juga
bukan model ]epang. Senjatanya mengkilat, semua machine-pistool ⁴⁾ bekas KNIL
punya sebelum perang dunia II, bikinan Belgia. Tampak masih baru, seperti belum
pernah dipakai. Dan disiplinnya, gila, hanya itulah saja sisa ]epangnya yang kelihatan.
Tetapi dibanding dengan tentara Inlander KNIL yang santai dan gontai
bergentayangan, bahkan ada yang duduk-duduk memalukan seperti jongos di muka
markas itu, kelihatan sekali perbedaan yang membuat jiwaku lebih mendidih. Jelaslah
sikap KNIL-KNIL itu kuli Inlander. Tetapi peleton pengawal oknum yang menyebut
diri jenderal Sudirman itu, mereka jelas, jujur saja, bukan Inlander. Mereka tegap dan
sangat muda penuh harga diri. Wajah-wajah mereka mendongak ke atas dan
tampaklah bersinar pancaran mata. Fanatik, tetapi muda. Ya muda. Ini tentara yang
priyayi sebetulnya, ningrat; dan harus diakui oleh watakku yang jujur, sulit
disesuaikan dengan gambaran-gambaran populer: kaum teroris.
¹⁾ Royal Air Force, Angkatan Udara Inggris.
²⁾ Komodor Udara AURI Suryadarma dan Adisucipto.
³⁾ Mayor Jendral Sudibyo dari Staf Umum TRI.
⁴⁾ Senjata ringan otomatik
60
Memang perwira-perwira delegasi evakuasi RAPWI ¹⁾ pihak sana persis ]epang,
kecuali picinya yang selalu miring, tetapi pasukan pengawal ini bergaya intemasional.
Ya, pici yang sangat miring dan yang tampaknya selalu nyaris jatuh itu; di situlah aku
melihat untuk pertama kali suatu elan, suatu jiwa yang diam halus tetapi tajam
mengejek kami kaum KNIL, bangsat-bangsat bayaran yang sungguh-sungguh
kampungan.
Ketika aku lewat dan masuk ke ruangan departemen yang kutuju, aku melihat
beberapa dari mereka sedang omong-omong dan bercanda dengan perwira-perwira
Inggris. Tak banyak mereka mampu omong Inggris, tetapi mereka membawa
penerjemah, kurang-ajar kuli-kuli ini, dan mereka bercanda, ya ... ketika itu kebetulan
Jenderal Christison sedang keluar dati ruang kerjanya dan di gang ia bercanda dengan
kunyuk-kunyuk lulusan Jepang itu. Mereka omong dan tertawa. Seolah-olah mereka
sederajat dengan seorang jenderal Sekutu yang jaya.
Aku berkecak pinggang dan tidak dapat menahan amarahku.
Terutama kepada si Inggris itu, yang jelas, jelas berkhianat kepada kawan
seperjuangan dalam Perang Dunia II. Aku berkecak pinggang. Seperti jenderal itu.
Ada perwira Republik yang kebetulan memandang ke arahku. Kukira mataku ketika
itu bersinar penuh kebencian. Ia harus menangkap pijar-pijar kebencianku. Tetapi ia
hanya mengangkat tangan salam, santai seperti kepada sahabat lama dan tersenyum
penuh harga-diri.
Petang itu aku sendirian saja, sebab ada briefing dari komandan divisi di markas
besar. Baru sesudah malam larut kudengar Mayoor Verbruggen datang. Jelas ada soal
gawat.
Paginya pada makan pagi, Verbruggen bercerita pada rekan-rekan komandan
sebatalyon dengan dingin, tetapi jelas penuh kemasygulan, bahwa yang menamakan
diri Jenderal Sudirman tidak mau dilucuti senjatanya dan bahwa dengan demikian
suatu preseden sudah terjadi, yakni bahwa di muka mata dunia dan blak-blakan di
dalam daerah kekuasaan NlCA dan Sekutu, seorang petualang yang mengangkat
dirinya jadi jenderal suatu Republik liar telah diperkenankan oleh pimpinan Inggris
untuk mempertahankan segala atribut dan kewibawaannya.
lni berarti Inggris terang-terangan mengakui RI terlalu jauh.
Seorang perwira menyeletuk, bahwa keadaan memalukan seperti ini hams disikat
habis-habisan. Apalagi kaum pemberontak tidak punya angkatan udara, kecuali
pesawat bekas Jepang yang sudah kuna itu. Verbruggen hanya berkomentar, bahwa
soalnya ialah: menyerang Republik artinya menyerang Inggris dan menyerang Sekutu.
Dan dengan mengunyah rotinya dengan geraham perseginya ia bercerita, bahwa
Inggris akan menyerahkan semua evakuasi Angkatan Darat Jepang serta orang-orang
Belanda dan Indo yang dulu ditawan Jepang di tangan gerombolan-gerombolan teroris
itu. Artinya: tentara liar itu diakui de facto sejajar dengan Sekutu. Seorang kapten
dengan geram mengatakan, bahwa itu pengkhianatan. Tetapi tenang Verbruggen
mengatakan, bahwa "untuk saat ini, yang paling penting ialah, para wanita dan anakanak kita harus dievakuasi selamat, dengan jalan apapun, halal atau tidak halal".
¹⁾ Relief of Allied Prisoners of War and Internees (Badan Pembebasan tawanan
perang Sekutu dan yang tertawan lainnya).
61
9. Elang-elang Menyerang
Suatu pagi dini Desember, yang tanggalnya hanya diingat para tua, 19 Desember kata
mereka, di tengah wilayah damai yang serba mempersiapkan diri menyambut kedatangan musim hujan, seolah linglung sendiri, pada jalan aspalan yang sejak jaman
Jepang sudah penuh lubang mirip sungai terlalai, merangkaklah sebuah mobil merk
de Soto (nama merk mobil yang mudah diingat-ingat oleh penduduk) berwarna
coklat-hijau berloreng, mencari jalan relatip paling nyaman; dengan iringan debu
berwarna alumunium yang elok sebetulnya dari kejauhan. Mobil itu seperti serangga
ampal yang berjalan mencari jodohnya ke kiri ke kanan, seperti gelisah karena birahi.
Pak Trunya beristirahat sebentar dari mencangkul. Batang pemegang bajaknya,
celaka segori, patah entah disebabkan apa tadi. Karena tidak mau kehilangan waktu,
dengan agak menggerutu ia terpaksa mencangkul saja. Hujan pertama sudah datang,
jadi cepat-cepat ia harus siap pada waktunya. Begini pagi sudah ada mobil! Sebentar
lagi Pak Trunya dipaksa menoleh dan menengadah, sebab ada suara pesawat yang
meraung dari arah utara. Dan entah bagaimana mulanya, tahu-tahu pesawat itu begitu
cepat sudah dekat, lhaillah menukik dan luarbiasa kejutan jantung Pak Trunya. Ada
serentetan tembakan seperti meriam selosin menderu dan dalam sekejap mata mobil
itu terbakar. Terpaku tak mampu apa-apa Pak Trunya hanya berdiri bengong saja.
Tetapi setelah pesawat itu menjauh, akal sehat Pak Trunya melongok lagi dan
berteriaklah ia minta tolong dan berlari ke mobil. Seorang rekannya, yang juga
sedang membajak di petak sawah sebelahnya ikut berlari menuju mobil di jalan.
Sebab, mereka melihat seorang gadis kira-kira seumur anak Pak Trunya sendiri yang
baru saja melahirkan bayi, sedang menarik-narik seorang lelaki yang lebih tua dan
rupa-rupanya sudah pingsan. Dengan sebisa-bisa mereka, lelaki tua itu diselamatkan
dari tungku besi yang sedang terbakar itu, dan digotong sampai ke tepi jalan.
Sekonyong-konyong suara pesawat terbang itu menderu mendekat lagi. Kedua
petani itu spontan seperti tersepak jin lari tunggang-langgang dan melompat ke dalam
selokan sehingga basah kuyup. Tetapi gadis itu hanya membaringi lelaki itu dan
menangis tersedu-sedu. Serentetan berondongan menghalilintar membuat jantung
kedua petani itu nyaris berhenti. “nyuwun pangapunten Gusi ¹⁾," nyuwun
pangapunten Gusti, nyuwun pangapunten Gusti," hanya itulah yang dapat mereka
ucapkan.
Tetapi ketika tembakan-tembakan itu menyambar di sekitar mereka, doa-doa
berhenti dan hanya setengah sadar mereka menggelimpangkan diri di dalam lumpur.
Lama mereka bagaikan mayat di situ. Setelah lama sekali ditunggu dan tidak datang
hantu bercocor merah tadi, mereka menongolkan kepala-kepala mereka. Mobil
terbakar dengan api yang sangat panas.
¹⁾ Mohon ampun, ya Tuhan
62
Gadis itu masih terkulai bersama lelaki itu di tepi selokan. Setelah menengadah ke
segala arah tanpa melihat bayangan maut di udara fajar yang mulai pudar merahnya,
mereka merangkak mendekati dua sosok tubuh malang itu. Si gadis masih hangat
tubuhnya, juga si lelaki. Sekencang-kencangnya salah satu yang lebih muda berlari ke
desa untuk minta bantuan. Yang tua, Pak Trunya menunggui kedua insan itu. Ya
Allah ada apa tadi?
Memang sudah tiga tahun lebih merdeka, artinya keadaan serba kacau; dan kata
para pemuda dan pemimpin-pemimpin yang bertekat menghadang-hadangi Belanda
masuk, belum pernah terjadi seperti ini. Bahkan di jaman Jepang pun yang kata orang
itu Bharatayuda besar-besaran di seluruh dunia, yaillah, bagaimana rupanya Pak Kerta
juga tidak bisa menggambarkan, di jaman Jepang pun belum pernah terjadi seperti ini.
ltu tadi barangkali alap-alap¹⁾ Belanda. Dengan mata membelalak Pak Trunya
memandang ke api merah-hitam yang bergejolak liar dari mobil yang terbakar itu.
Sungguh mengherankan, besi kok bisa terbakar. Bukan main senjata Belanda itu!
Terns terang saja dalam hati Pak Trunya tidak berkeberatan Belanda datang lagi
mengganti Jepang, asal ia dapat menanam padi dengan tenang dan anak-anaknya bisa
berpakaian dan bersekolah. Indonesia merdeka juga boleh, walaupun seandainya
boleh pilih, lubuk hati Pak Trunya memilih Belanda saja. Mereka orang-orang yang
pandai dan walaupun sering kasar dan biadab, tetapi dapat diandalkan. Kalau ada
pencuri padi atau sapi-kerbau hilang, si maling tengik mesti tertangkap; kalau ada
pencuri sepeda, lalu resisir dan pelpolisi datang, tanggung sepeda itu pasti tertemu
lagi. Entah di Sala atau Magelang, tetapi pasti pulang. Sekarang ini susah.
Jaman merdeka ini sulit sekali. Dulu jelas: siapa lurah siapa asistenwedana dan
pelpolisi atau tentara, jelaslah sudah. Di mana mereka tinggal, dapat atau tidak dapat
minta tolong apa atau apa, selalulah dibereskan; asal tidak bohong dan ada buktibuktinya. Dan juga setiap orang tahu, siapa yang berkuasa dan tidak, di mana dan
dalam hal apa. Omong-omong dengan pembesar-pembesar Belanda sebetulnya enak
juga, asal tahu diri dan membongkok honnat; dapat omong seapa adanya; seperti
kalau orang-orang tani omong dengan Cina-cina, entah pemilik toko emas dan kain
atau mendring yang sering berkeliling bersepeda di desa-desa menawarkan pihutang.
Tetapi sekarang ini bahkan anak-katak pun bergolok dan berbaris dengan bambu
runcing. Seperti garong saja. Dan yang dulu asisten wedana, yah beliau ini apa
kerjanya. Lalu setoran-setoran untuk dapur umum ah ... sebetulnya semua ikhlas saja
(ini untuk anak-anakmu sendiri yang berjuang!), akan tetapi justru bikin repot saja
beliau-beliau yang disebut "anak-anakmu" itu. Tidak tahu sopan-santun dan kerjanya
cuma keluyuran saja membawa bedil, golok dan minta teh manis minta singkong,
minta dilayani seperti ndoro-ndoro. Salah seorang anak Pak Trunya juga tergolong
"pemuda anak-anakmu sendiri" itu. Sebetulnya Pak Trunya tidak tahu harus apa
dengan dia itu. Ayahnya dan abang-sulungnya disuruh mencangkul dan mencangkul,
membajak dan macam-macam kerja ini-itu. Capai, benar capai menyambung hidup.
Tetapi bagaimana sang tuan Anak? Cuma enak-enak perintah ini menyuruh itu, Si
Pahlawan muda manja itu. Dan ya, semua harus menyumbang untuk membelikan Den
Bagus pakaian seragam, sepatu setinggi setengah betis dan pici dan sudahlah, seperti
Gatutkaca gandrung Pregiwa. Lalu minta sangu, merengek-rengek minta bekal pergi
sebulan tiga bulan; katanya di Surabaya ada perkelahian besar melawan Inggris.
¹⁾ Sejenis elang kecil.
63
Lain ke Semarang, ke mana lagi entah ini nanti, Inggris yang mana lagi. Ya Allah, ya
Nabi, kunci Inggris atau serabi ¹⁾. Inggris, Pak Trunya tahu. Tetapi siapa orang
Inggris itu? Katanya sejenis Belanda tetapi tidak berbahasa Belanda. Sungguh
gonjing²⁾morat-marit dunia sekarang. Kapan merdeka ini selesai?! Ke mana Si Benjo
tadi? Katanya memanggil rekan-rekan! Ia menghampiri pemudi itu. Masih hangat.
Dan setelah ditelentangkan, tampak dadanya masih kembang-kempis. Tetapi si lelaki
ini, ya Allah, sudah mulai dingin. Telinga Pak Trunya didekatkan pada hidung dan
mulutnya. Tidak ada bunyi hembusan sedikit pun. Mati dia. Mana Si Benjo tadi, kok
begitu lama? Terkejut Pak Trunya mendongak dan mencari sesuatu di udara. Ya
Allah, sekarang tidak hanya satu, tetapi sebarisan pesawat terbang menderu datang
dari arah Magelang. Minta ampun. Duh Gusti, mohon ampun. Dengan sekuat tenaga
gadis itu diemban dan hampir keduanya, dia dan si gadis itu terlempar keras ke dalam
selokan. Tetapi gadis itu masih tersangkut semak. Pak Trunya turun ke dalam selokan
dan secepat mungkin gadis yang pingsan itu ditarik masuk selokan. Selokan-selokan
di daerah Merapi sangat bersih airnya, itu keuntungan. Tetapi dingin. Apa boleh buat,
gadis itu dimasukkan ke dalam air yang tidak begitu dalam.
Ketika tubuh gadis itu masuk air, secara refleks tangannya merangkul Pak Trunya,
siuman sambil berteriak: ''Ayah! Ayah!" Oh, tadi itu ayahnya, pikir Pak Trunya.
"Sudah, tenang Den Ajeng, tenang ... tidak ada apa-apa."
''Ayah! Mana ayah. Tolong dial"
"Sudah. Sudah, ia sudah tertolong."
''Ayah masih hidup?"
"Masih, masih hidup jangan khawatir;' jawab Pak Trunya spontan, asal menjawab
apa pun, , tak peduli isinya. Pokoknya biar hati gadis ini tenteram. Dan erat-erat ia
pegang gadis yang meronta-ronta itu di dalam selokan. Lebih baik mati satu daripada
semuanya, pikir Pak Trunya. "Di sini saja, Den Ajeng. ltu ada ratusan pesawat terbang
mau menembaki kita."
Di tepi desa, di jalan setapak dan pematang sawah anak-anak pada bersorak-sorai
menengadah melambai-lambaikan tangan ke udara. Istimewa. Berpuluh-puluh
pesawat terbang sangat rendah melewati sawah-sawah desa. Besar kecil burungburung kelabu itu setiap lima menit lewat. Pelan-pelan dan rupa-rupanya berat isinya.
Orang tua-tua macam-macam terkaannya. Ada yang mengatakan Republik sekarang
sudah dibantu Negara-negara Besar, entah namanya, maka punya banyak pesawat.
Ada yang menebak, boleh jadi sekarang RI sedang latihan perang. Tetapi pemudapemuda, yang lebih tahu soal-soal perjuangan, mengira itu pesawat-pesawat Belanda.
Ada lain lagi yang membantah, itu barangkali utusan-utusan Luar Negeri yang mau
berunding di Kaliurang. Tetapi kok aneh. Terus menerus pada beterbangan.
Tentu saja tidak ada anak satu pun hari itu yang ingat pada tugas mencari rumput
untuk kambing atau memandikan sapi. Hanya sesudah dibentaki ayah-ayah dan
diteriaki ibu-ibu mereka dengan suara melengking mereka pelan-pelan mengambil arit
dan pergi bertugas. Mata terus menengadah penuh pertanyaan ke udara.
¹⁾ Sejenis kue goreng dari tepung beras.
²⁾ Serba goyah kalang kabut.
64
Kadang-kadang melambaikan tangan sambil berteriak: Merdeka! Ada yang gerobak
ada yang sedan pesawat-pesawat itu. Atau seperti kereta-api saja, tetapi di udara.
Tidak setiap hari ada tontonan semacam itu! Hanya gadis-gadis dan perempuanperempuan desa tidak begitu acuh pada permainan udara itu. Sebab sebelum matahari
terbenam panenan padi terakhir tahun itu harus sudah masuk lumbung. Hujan pelopor
musim basah sudah jatuh dan sawah-sawah harus lekas-lekas dibajak, air dialirkan,
digaru dan ditanami.
Gadis dalam selokan tadi hanya menangis, merintih.
''Ada yang sakit, Den?"
''Ayah, ayah ... oh, mengapa ayah tidak ditolong."
Pak Trunya tidak berdaya. Spontanitas gadis itu kuat dan ia keluar dari selokan
serta menangis berlutut di samping ayahnya; sedangkan barisan kapal terbang
menderu-deru di atas mereka. Pak Trunya dengan berdebar-debar tidak berani ke1uar
dari selokan dan hanya mengintip saja dari tempat persembunyiannya.
Sendirian gadis itu membenahi dan membaringkan ayahnya dalam posisi yang
pantas. Mata yang masih melirik dikatupkannya dan rahang diikatnya dengan sapu
tangannya. Pak Trunya mengumpat -umpat pacla pesawat-pesawat yang terbang di
atas mereka, tetapi sebetulnya ia lebih mengumpat dirinya sendiri yang malu karena
penakutnya itu. Akhirnya, sesudah je1as, bahwa barisan pesawat-pesawat besar yang
melayang tidak sangat tinggi itu tidak memuntahkan api, pak. Trunya dengan ucapan
Bismillah keluar dari paritnya dan menolong anak perempuan yang malang itu.
''Tenanglah Den Ajeng, temanku sudah mencari bantuan." katanya sambil
memandangnya dengan penuh iba hati.
"Terima kasih, Pak."
"Oh, tidak apa-apa." Sekarang perempuan muda itu tidak. menangis lagi. Dengan
diam disekanya rambut ayahnya dan sebentar-sebentar ia betulkan kedudukan kaki,
tangan. Tangan disilangkan di atas dada. Pak Trunya melihat bibir wanita muda itu
bergerak-gerak seperti mengucapkan doa. Sayang Pak. Trunya tidak hafal ayat-ayat
Yasin. Tetapi Pak Trunya yakin, Allah Maha Belas-kasihan.
Tak habis-habisnya pesawat-pesawat besar itu menuju ke Selatan. lni ada apa?
pikirnya. "ltu lagi!" teriaknya tiba-tiba dan spontan menarik tangan wanita muda itu.
Tampak sebuah pesawat kecil dari samping iring-iringan itu menuju ke arah mereka.
Tetapi gadis itu malahan tidak mau. Maka Pak Trunya gugup sendirian saja melompat
lagi ke dalam selokan dan mendekam dalam-dalam.
Suara pesawat itu mengembang dan meraung-raung sangat dekat. Tampak sekejap
suatu bayangan hitam melampaui dan hilang lagi. Pesawat itu tidak menembak. Dari
selokan Pak Trunya masih melihat ekornya yang sangat cepat menjauh. Aduh, sungguh amat cepat pesawat terbang itu. Belum pernah Pak Trunya melihat pesawat
terbang dari dekat. Hatinya berdebar-debar, tetapi legalah hatinya, bahwa pesawat itu
masih punya belas kasihan. Juga pandangan wanita muda itu masih mengikuti ekor
pesawat itu.
Mestinya, ayah yang meninggal itu seorang pembesar. Sebab siapa di Jaman
merdeka ini yang bisa naik mobil kalau bukan pembesar. Dan wanita muda itu
anaknya. Roknya sobek-sobek rambutnya lepas tak kernan.
Pak Trunya teringat pada anaknya yang kira-kira sebaya dengan den ajeng itu.
Hanya anaknya lebih hitam dan lebih kekar. Baru saja anaknya melahirkan anak
mungil. Masa panen memang masa pesta bayi. Tetapi susah berpesta dalam jaman
seperti ini.
65
Ketika anak gadisnya kawin, dalam hati Pak Trunya menangis, bahwa ia tak
mampu memberi pesta yang lebih meriah seperti yang diinginkannya. Semua serba
mahal. Bahkan kain pesta pun terpaksa anaknya harus pinjam dari bibinya. Dan juga
kebayanya pinjam dari kakaknya. Tanpa pertunjukan wayang. Siapa mampu
menyewa dalang dan seperangkat bala-senimannya.
Pak Trunya keluar dari persembunyiannya dan dengan rasa menyesal minta maaf,
bahwa ia begitu takut dan terpaksa harus bersembunyi. Wanita muda itu mengatakan,
bahwa hal itu wajar dan sebaliknyalah dia yang harus minta maaf karena dengan menolak bersembunyi tadi ia membahayakan Pak Tani. Pesawat itu tidak menembak
karena hanya melihat perempuan. Tetapi Pak Trunya toh merasa salah, bahwa ia
kurang berani, sebab soalnya ia belum pemah melihat pesawat terbang dan semuanya
terjadi begitu cepat clan mengejutkan.
"ltu pesawat-pesawat datang darimana dan mau ke mana?"
"ltu Belanda." kata perempuan muda itu, "Mereka menyerang Yogya, itu sudah
jelas." Dan sedih, halus gugatannya. "Selalu begitu Belanda itu. Tidak mengindahkan
peri-ksatria. Seperti ketika menawan Diponegoro." Sekarang ayahnya yang menjadi
korban dan ia mengeluh, bagaimana caranya memberitahu ibunya nanti.
''Bagaimana pun ayah Anda orang yang bahagia."
" Bagaimana bahagia, mati di tengah jalan begini."
"Ya, tetapi Den Ajeng tidak boleh lupa, ia meninggal dalam rangkulan anaknya
yang baik hati. Den Ajeng bukan laki-Iaki dan bukan ayah. Saya yang ayah dan kakek
dapat mengatakan, ini saat kematian yang paling ia cita-citakan juga. Dirangkul oleh
anak-anaknya."
"ltu kan biasa, Pak."
"Bagi yang biasa. Tetapi banyak ayah meninggal dengan diumpat-umpat anakanaknya. Bahkan pada saat ayahnya sedang sekarat pun mereka sudah mulai
memperebutkan warisan. ltu terjadi Den Ajeng. Maka saya mohon diperkenankan
meninggal seperti ayahmu itu."
Wanita muda itu menatapnya nanap, sehingga ia malu dan matanya menghunjam
ke bawah.
''Berapa anak bapak?"
"Lima. Tetapi sebetulnya delapan."
"Sudah berapa cucu-cucu?"
''Baru dua belas. Tetapi segera akan empat belas. Tetapi mudah-mudahan cucucucuku tidak mengalami jaman merdeka seperti ini." Wanita muda itu tersenyum.
"Semoga Tuhan selalu memberkati anak-cucu bapak."
“Den Ajeng sudah berapa?”
"Saya belum kawin,” jawabnya lembut. Lalu disekanya wajah ayahnya yang
sesudah meninggal tampak lebih bercahaya. "Kasihan ayah. la belum sempat melihat
cucunya. Sekarang akulah yang merasa salah." Dan mulailah wanita itu bercucuran
lagi air matanya.
Pak Trunya gusar memandang ke desanya. Mana bantuannya. Tentu mereka takut,
pikirnya. la menengadah ke langit. Seperti tak habis-habisnya barisan pesawat terbang
itu, besar dan kecil. Campur baur seperti baru saja beli dari loakan. Tetapi tidak ada
lagi yang kecil bermoncong merah serta Tukang Sambar.
''Den Ajeng di sini dulu, ya. Nanti saya akan memanggil kawan-kawanku." Dan
cepatlah tani itu berlari ke desa, sambil berkali-kali melihat ke atas, jangan-jangan ada
cocor merah lagi.
66
Atik memandang wajah ayahnya. Bagaimana mengangkut jenazah ayahnya ke kota?
Bagaimana caranya memberitahu ibunya? lni jelas perang. Dari desas-desus anggota
delegasi RI yang sedang berunding di Kaliurang di bawah naungan Komisi PBB ia
sudah tahu, betapa gawat keadaan. Sikap wakil Mahkota, Dr. Beel, begitu kaku
seperti bakiak klompen negerinya, bahkan kasar sebenarnya, tak sopan. Tetapi bahwa
sudah secepat itulah Belanda menyerang, sungguh, tidak pernah itu diperkirakan. Juga
oleh para wakil Tiga Negara di meja perundingan Kaliurang. Sungguh aneh dan gila
sebetulnya, menyerang Yogya di muka hidung wakil-wakil Dunia Internasional itu.
ltu kan namanya meremehkan bahkan menghina mereka.
Atik teringat pada kata-kata serba tenang dari bossnya ketika masih perdana
menteri kala itu: "Setiap kekerasan dari Belanda merupakan lubang jebakan. Di situ
mereka akan terperosok sendiri. Satu-satunya jalan untuk menang bagi kita ialah sikap
goodwill secara budaya berperikemanusiaan. Sebab justru itulah yang dicari oleh
seluruh pihak di mana pun yang sudah remuk dan muak kekerasan. PerangDunia baru
saja selesai." Tetapi bagaimana nanti?
Larasati hanya penyumbang kecil di dalam medan perjuangan itu. Penterjemah
teka-teki diplomasi ke dalam bahasa Inggris dan sebaliknya memang dibutuhkan
mutlak, tetapi itu pekerjaan dinas saja. Para pembantu wanita dalam delegasi
Indonesia tahu banyak, tetapi juga sedikit sekali.
Tiba-tiba Atik teringat pada tas yang berisi beberapa lembar surat penting dari
Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur Jawa Tengah yang berkedudukan di
Magelang. Dengan sedih ia melihat pada kendaraan yang sudah hitam berbau sengak
cat dan karet terbakar. Ah, tidak penting. Toh situasinya sudah berubah sama sekali.
Tetapi bagaikan golok yang menusuk hatinya datanglah ingatan, bahwa di dalam tas
itu tersimpan dompet dengan foto kecil. Foto sahabatnya yang, entah mengapa, selalu
ia kenang. Setadewa. Dalam kenangan yang memprihatinkan. Namun justru karena
memprihatinkan itulah semakin dekat rasanya kepada orang muda itu. Foto Teto.
Ketika ia masih di SD. Haruskah kenangan kepada Teto dibakar sehingga tinggal
debu kelabu saja? Itukah sasmita peristiwa Minggu pagi secerah ini? Tidak, ia tidak
boleh cuma bermimpi. Atik mendapat ilham. Ia pergi ke selokan bening tempat
persembunyiannya tadi. Sapu-tangannya dibasahi jenuh dengan air itu. Ia merangkak
lagi ke jalan dan mulai menyeka dan mencuci wajah, leher dan tangan ayahnya.
Gelombang-gelombang pesawat terbang mulai menghilang. Barulah orang-orang
desa berani keluar membawa tandu, diiringi anak-anak banyak yang bagaikan lalat
tidak mau dihalau oleh orang-orang tua. Mereka menemukan Larasati masih mencuci
tangan dan kaki ayahnya dengan sapu-tangannya yang basah. Diam tanpa tangis
maupun keluhan.
Anak-anak pun terpengaruh dan terpukau. Mereka hanya memandang dengan mata
yang lebar penuh pertanyaan dan berbisik-bisiklah mereka. Iring-iringan tandu dengan
jenazah menuju ke desa. Di kejauhan segerombol anak-anak masih melihat-lihat dan
mengutik-utik bangkai mobil itu dengan tongkat-tongkat.
Tiba-tiba anak-anak itu berlari-lari lagi sambil menjerit-jerit. Terdengar lagi
raungan kapal terbang yang mendekat. Ibu-ibu desa juga berlari ke luar desa, memakimaki anak-anak serta menjerit-jeritkan doa kepada Allah, sambil mencari buah rahim
mereka masing-masing. Hari Minggu yang sungguh-sungguh penuh hantu. Memang
jaman revolusi. Tetapi di desa Juranggede khususnya untuk kaum perempuan, semua
masih sama saja: usaha makanan cukup, pekerjaan dapur dan cuci di kali. Melahirkan
anak dan menyusui, revolusi atau bukan revolusi, jaman merdeka, atau jaman
Belanda.
67
Harapan hati hanyalah, agar jaman merdeka ini lekas selesai dan datanglah jaman
damai. Tetapi omong-omong begitu katanya amat terlarang, entah mengapa. Karena
itu orang sebaiknya diamlah. Cukup bersalin dan menyusui, menumbuk padi dan
masak di dapur. Dan kadang-kadang dalam gelap malam tidur tukar suami orang lain,
itu terjadi juga. Semua orang tahu dan semua orang mendiamkan hal semacam gituan.
Memang berzinah itu maksiat. Artinya: jika orang lain sampai tahu. Artinya: tahu di
muka umum. Tetapi kalau baru diketahui dalam hati itu belum dosa namanya.
Barangkali lebih tepat disebut: tidak baik, kurang senonoh. Tetapi asal pandai
siasatnya dan tidak terlalu membuat desa goyah-gonjing, orang lain akan diam. Tentu
saja mereka tidak diam, tetapi di muka umum seolah-olah tidak ada apa-apa. Seperti
Gunung Merapi itu. Setiap hari mengeluarkan lahar. Kan harus ditampung. Dan ada
yang menampung. Ada masanya lahar mengalir ke Kali Code. Ada hari lain tahu-tahu
nanti tersumbat dan lahar mengalir ke Kali Krasak yang sekarang sempit tetapi
barangkali kelak lebar penuh batu dan lahar. Asal lahar dingin saja tak mengapalah,
dan jangan merusak sawah ladang di sekitar. Kalau lahar panas tambah gempa, nah
itu yang merepotkan. Seluruh desa akan tertimbun batu dan jenang lumpur. Banyak
yang mati, nah, itu keterlaluan, jahat.
Maka bijaksanalah. Tetapi kalau sudah terjadi, apa boleh buat, mengungsi sebentar
paling lama sebulan. Lalu pulang lagi. Dan soal mati atau hidup; di mana-mana bisa
mati. Apa lagi di jaman sejak ]epang datang. Mengungsi memang tidak enak. Tetapi
untuk anak-anak menyenangkan juga. Melihat keadaan-keadaan di luar desanya
sendiri. Baru sesudah 5 tahun tanah yang terkena lahar dapat ditanami padi lagi, asal
hanya lahar pasir. Bukan gumpalan-gumpalan lava yang menjadi karang-karang keras
sekali. Dan selama 5 tahun itu, ah, Tuhan Allah masih Maha Pemurah. Selain itu di
lereng gunung, atas sana, masih banyak tanah-tanah yang disebut tanah terlarang yang
dapat dijadikan tegal. Terlarang? Ya, terlarang. Artinya kalau sampai jadi perkara.
Maka sekali lagi: bijaksanalah!
Tetapi kali ini aneh. Arus lahar bahkan di udara. Seperti gumpalan-gumpalan lahar
beku benda-benda kelabu itu menderu dan melayang ke Selatan, untuk nanti ke Utara
lagi. Baru ketika matahari sudah doyong ke Barat, arus menjadi agak jarang. Hanya
tinggal satu dua pesawat kecil yang seperti anak ketinggalan mengejar emboknya
pulang ke desanya. Sepanjang siang sawah-sawah sepi manusia. Hanya beberapa
burung manyar dan gelatik yang masih giat mencari sisa-sisa bekas panenan dari
beberapa petak sawah. Ada sejenis burung kukuk berseru dari dahan: "Anaabuk! Anaabuk!"
Anak-anak spontan menirukannya "Blanda mabok! Blanda mabok!"
Sudah lama Atik tidak lagi menyusuri ladang-hutan dengan ayahnya, sejak tahuntahun huru-hara revolusi ini. Ah, dengar itu! Seekor burung kacer menyerulingkan
lagunya yang merdu, koong-kirewiit-gee-nikolei, koong-kirewiit-gee-nikolei, sambil
membias-biaskan sayap-sayapnya tentu. Sayu sedih terkenanglah Atik kepada harihari yang bahagia, ketika masih kecil ia bersama ayah almarhum menyusupi
perkebunan-perkebunan dan tersenyum mendengarkan seruling kacer-kacer itu.
Menurut ayah, kacer-kacer itu berseru: "Lontooong sedikiit, kambeeeng digulai.
Lontooong sedikiiit, kambeeeng digulai."
Betapa geli ketawa Atik ketika itu. Burung-burung hitam-biru berjalur putih bersih di
sayap itu kini menjadi lambang kehitaman hari-hari ayah.
68
Ah, semoga Allah masih memberikan sejalur damai putih untuk ibunya di hari-hari
yang gelap ini. Teringat lagi Atik pada foto Teto dalam dompet kecil yang ikut
terbakar dalam mobil tadi. Sedang apa Teto pada saat ini? "Tolooong, sedikiiit,
tolooong sedikiiit,” begitu kacer berseruling lagi, "kamiii terkulai." Ya, benar-benar
lemas terkulai Atik petang itu menunggu terbenamnya matahari.
Malam itu ia terpaksa masih mengungsi dulu ke tempat orang-orang desa yang
ramah ini. Besok dini pagi, barangkali jam 3.00 pagi sudah, seorang pemuda akan
memboncengkannya ke kota, dengan sepeda, mencoba menyusup ke dalam kota,
untuk memberitakan warta duka kepada ibunya. Di senja merah jingga sepasang
burung srigunting menari-nari dan menukik-nukik di atas sawah, seperti yang sudah
biasa mereka lakukan sekian ratusribu tahun.
69
10. Macan Tutul Meraung
Tak seorang pun kecuali Verbruggen yang berani mengatakannya tanpa jaring-jaring
kamuflase, tetapi terasalah dalam seluruh gumpalan awan debu dan bau keringat
yang menusuk seluruh paru-paru, bahwa pihak kami akan kalah. Bukan pahit yang
kurasakan, tetapi kehampaan. Pertanyaan diteriakkan paru-paru tanpa suara ke bolong
malam, tanpa mengharapkan jawaban, karena semua sudah tahu yang sebenarnya.
Tentara yang kalah sarna saja dengan sungai kering di musim kemarau, sejalur
batu dan lumpur, onggokan sampah di sini, potongan-potongan tai kering di sana.
Kersang dan tidak dapat dipakai apa-apa selain untuk tempat sembunyi permainan
serong atau sapi curian. Tentara kalah ternyata sebagai bola karet yang sobek bocor
tak ketolongan, kempis terserak di sembarang sudut halaman, tidak mengganggu dan
tidak diganggu, tetapi tetap gangguan. Kami hanya tinggal menghitung di kalender
harian, angka-angka mana yang kebetulan minta giliran untuk disobek.
Barangkali begitulah perasaan Verbruggen bila ia sedang bermain-main cincincincin asap cerutunya yang selalu saja, entah dari mana, bermerk Holland itu.
"Ibuku masih ingat pada anaknya yang paling kurang-ajar," begitu keterangannya,
mengapa masih saja dia punya kemewahan cerutu harum di tengah kebusukan tropika
negeri yang begitu indah sehingga memuakkan itu. Rahasia hidup-mati Verbruggen
barangkali dalam asap cerutunya itu. Seperti Akhilus mitologi Yunani pada tumit
kakinya. Seperti beberapa tokoh wayang dalam anggota badan ini atau itu.
Verbruggen memang Petruk, tetapi Petruk Belanda yang kekar, hanya itu bedanya.
Tetapi melihat mulutnya yang terlalu besar dan lebar serta matanya condong sipit, apa
lagi perutnya yang melembung, toh Petruk ia sebenarnya. Ia badut dalam arti banyak
dan ia menerima kekalahan tentaranya sebagai menerima kekalahan lotere saja. Nanti
beli lotere lagi. Dan memang, pernah ia berguman, bahwa ia sedang serius
memikirkan kemungkinan masuk ke dalam Legiun Asing tentara Prancis di Indo Cina
atau Aljazair. Spanyol pun masih punya Legiun Asing, di mana para bandit dan
petualang segala penjuru dunia bisa menjual otot dan kemaksiatan mereka untuk
berkelahi melawan musuh entah siapa, tak peduli. Atau bukan musuh istilahnya, tetapi
jumbleng tempat penerimaan kotoran nafsu pembunuh sewaan. Tetapi istilah membunuh di sini juga masih terlalu diambil dari kamus kaum alim. Membunuh gadis
yang diperkosa, kata orang, membunuh. Tetapi bertempur dalam divisi-divisi
berpakaian seragam di bawah pimpinan seorang jenderal dan di bawah panji-panji
nasional, kata orang, bukan membunuh tetapi berbakti kepada nusa dan bangsa.
Dan apa yang seclang kukerjakan sejak aku masuk KNIL ini?
Menegakkan tata-tertib yang syah? Yang masih diakui oleh hukum internasional dan
semua nasion yang beradab? Melawan terorisme fasisme? Membalas dendam kepada
kaum yang menjadi sebab langsung-tak-langsung ibuku dijadikan jumbleng kotoran?
Menegakkan hargadiri dan keyakinan pribadi? Apa arti kata pribadi dan keyakinan
dan harga-diri dan nasion dan ibu dan segala istilah abstrak itu? Apa beda tentara dan
gerombolan bandit? Apa beda seni ksatria dan nafsu membunuh? Apa perbedaan
pahlawan kemerdekaan yang gugur dan soldadu penjajah yang mampus? Jelasnya,
bagi yang mati itu? Nama harum, noda nasib? Semua jenderal yang menang disebut
pahlawan, semua jenderal yang kalah disebut penjahat perang. Oleh siapa nama
harum dan pujaan itu sebetulnya dibutuhkan?
70
Oleh yang mati atau yang menjadi ahliwaris atau kelompok yang membutuhkan
legitimasi? Pemerkokoh ideologi yang ditentukan a priori?
Saat yang kunanti-nanti telah terjadi: Yogya kami kuasai. Tetapi alangkah
kecewanya. Seharusnya aku bersorak Gloria Victoria! Tetapi inikah yang disebut
Victoria? Apakah begini juga hidup perkawinan, yang kata orang lagi, hebat dinantinantikan; tetapi sesudah terjadi, cekcok dan kelesuan? Lalu apa yang disebut menang
atau kalah? Tidak! Menang atau kalah ditentukan sendiri oleh manusia, oleh aku
sendiri, Setadewa! Ya, Kapitein Setadewa. Tidak oleh orang lain, siapa pun. Juga
tidak oleh Larasati! Hei Seta! Rayakanlah hari kejayaanmu! Bukan kejayaan Belanda
atau KNIL, tetapi kejayaan Kapitein Setadewa, putera Kapitein Brajabasuki dan
Marice.
Dini pagi pasukan payung telah diterjunkan ke pangkalan Meguwa, Yogya.
Sedangkan mereka mengamankan landasan dan daerah sekitarnya, Dakota pasukanku,
pesawat pengangkut yang pertama mendarat. Dalam formasi tempur kami langsung
dari pesawat menuju rel keretaapi. ltu kami seberangi dan terus, terus, kami terus lari,
menjatuhkan diri, lari, menjatuhkan diri sambil menghamburkan ribuan pelor yang
sudah ditimbun sekian tahun oleh Jenderal Spoor; ya, ngawur saja asal memberi
perasaan aman. Sialnya tidak seperti siasat militer biasa, kami tidak dilindungi oleh
perisai artileri. Jadi peluru dari bren, stengun dan sekian Thompson dan moncong apa
saja yang bisa digaet dari gudang-gudang Sekutu, kami berondongkan ke musuh yang
tak pernah kelihatan.
Dalam hati aku agak terhibur sedikit, sebab operasi menduduki Yogya ini mirip
perang sungguh-sungguh. Perang dengan cara intelektual dan beradab. Dan tidak
seperti di Tanggerang dan Sukabumi dua tahun yang lalu, berurusan dengan
perampok dan maling. Aku masuk KNIL tidak untuk menjadi semacam koboi
melawan perampok atau bandit yang menendang bandit lain. Tetapi susahnya sampai
sekarang, operasi KNIL hanya seperti main kotor saja. Masih tersisa kejengkelanku
ketika kami menerima briefing dari Letkol Verbruggen mengenai apa yang oleh Dr.
Beel disebut Aksi Polisionil itu.
Aku sungguh marah, karena itu penghinaan bagi kaum KNIL yang tulen, yang
bukan polisi, seolah-olah kami ini hanya main petasan dengan siasat kuna "tangkaplah
maling dengan maling". Verbruggen hanya menyeringai dan ujung mulutnya serba
ejekan bertanya kembali: "Apa jeleknya jadi maling? Dari pada jadi politikus?" Aku
terkejut dan ketika aku melihat dia memandang foto orang pelontos kepala botak
dalam koran de Volkskrant yang sesudah kuamat-arnati ternyata itu wakil Mahkota
Dr. Beel, maka aku segera menangkap siapa yang dimaksud olehnya. Sengketa kuna,
militer melawan politikus. Tetapi bagi dia, yang berdarah legiun Asing soldadu
profesional, masalahnya lain dariku. Aku masih punya prinsip dan aku tahu, untuk
apa aku ikut menyerbu Yogya ini,
Tetapi jujurlah, keyakinanku ketika itu juga sudah goyah.
Hanya aku tidak mau mengakuinya. Soalnya, jiwaku tidak pernah tenteram, karena
sampai sekarang belum pernah ada tanda-tanda jelas, di mana dan sedang berbuat apa
ayahku. Berkali-kali aku gentayangan ke NEFIS dan selalu bertanya apa ada tawanan
republikan baru. Dan kepada tahanan-tahanan itu aku mencoba tanya, apa ada di
kalangan mereka seorang perwira, entah mayor entah kolonel, yang berasal dari sini
dan situ dan bernama Brajabasuki, yang berpendidikan akademi Breda tetapi ikut
Republik dan sebagainya.
71
Ataukah barangkali Papiku telah berganti nama? Tentang ibuku aku sudah tidak
berani bertanya lagi, sebab setiap kenangan pada Mami hanya membuatku gusar dan
marah dan menjadi penyebab aku cuma mengamuk ke kiri kanan. Sebab sekali lagi,
seorang pemegang komando dalam perang tidak boleh terlalu nervous dan emosional.
Aku harus menjaga diri, karena bagaimanapun aku punya tanggung-jawab terhadap
keselamatan anak-buahku. Biarpun aku tahu, anak-buahku sebetulnya hanyalah kulikuli inlander saja yang kebetulan disuruh menghambur-hamburkan peluru, namun toh
mereka punya papa dan mama juga.
Aku sudah lama rukun dengan gagasan, bahwa serdadu-serdadu bawahanku yang
inlander-inlander itu memang segerombolan sampah sebetulnya, akan tetapi apa
dosanya mencari nafkah? Seandainya aku dalam kedudukan mereka, pasti juga aku
tak punya alternatif lain, memilih mata-pencaharian apa. Aku sukarela masuk KNIL,
tetapi mereka terpaksa jadi soldadu yang mencari nafkah biasa saja, seperti seorang
jagal mencari nasibnya dengan menyembelih sapi.
Mereka soldadu, dati kata soldei alias upah. Aku bukan soldadu, aku petualang dan
pendendam, dan kalau aku mati dan kalah, aku masuk neraka. Sedangkan mereka,
kukira di akhirat mereka dengan ikhlas akan mengepel lantai surga yang diduduki
kursi-kursi pahlawan-pahlawan KL Belanda atau Republik. Sebab memang pekerjaan
yang mereka ketahui hanyalah menjadi kacung. Seandainya mereka mendengar,
bahwa soldei pejuang Republik itu dua kali lipat dari upah mereka jadi bandit KNIL
ini, tentulah dengan tenang dan tanpa banyak cingcong mereka akan ikut Republik
juga; dan nanti malam merangkak masuk kamarku dan menembak Kapiten Setadewa;
dengan gaya tukang ahli juga yang telah menuaikan tugas dengan efisien, seperti yang
diminta sebagai imbangan upah seorang profesional.
Aku bukan soldadu. Pertama karena bintangku sudah tiga dan perak dengan latarbelakang hitam. Dan selain itu, aku punya ideal. Ideal mendendam memang bukan
ideal yang teramat bagus, akan tetapi jelas bukan karena uang aku memimpin kolone
yang menuju ke istana Soekarno itu. Aneh, mengapa aku muram, padahal inilah yang
sudah kutunggu-tunggu bertahun-tahun; yang telah kami pelajari dalam peta-peta dan
sekian foto-foto intel, kami. Aku memang sudah mengenal Yogya sebelum Jepang
masuk, akan tetapi pemandangan mata manusia yang melancong atau bersepeda
dengan maksud-maksud normal sangatlah berbeda dari pemandangan mata seorang
berseragam yang penuh beban tas peluru berniat merebut suatu kota yang terkutuk.
Sesekali kami nyaris menginjak mayat seorang anak kampung atau petani atau satu
kali seorang gadis yang membuat kacau hatiku, sebab jelaslah tidak dapat dihindari,
bayangan Atik yang sebaya dengan mayat itu menghantui, sehingga aku terkejut
ketika sersan Ambon pengawalku dengan berteriak merebahkan tubuhku masuk
selokan. Sebuah born waktu meledak. Aku mengumpat-umpat dengan sendirinya,
tetapi sersan setia itu hanya menyeringai dan berguman: "Kapten, minta rokok."
Persetan, cuma itu. Kulemparkan seluruh bungkusan ke hidungnya yang selebar sayap
Dakota itu dan langsung memberondongkan peluru-peluruku ke arah semak-semak
yang bergerak entah oleh angin entah oleh entah.
Sebetulnya ini perang gila. Sesudah setengah jam merangkak dan lari dan
merangkak lagi, aku sudah mengambil kesimpulan, bahwa sebetulnya kami bisa saja
mengambil jip dan langsung pergi ke Tugu, terus belok ke kiri ke Malioboro. Jus!
Masuk ke istana gubernur Belanda yang sekarang dipakai oleh Soekarno.
72
Aku yakin bahwa tentara Republik sudah lari semua dan untuk apa kita menghamburhamburkan peluru dan waktu. Jangan-jangan Soekarno lalu cukup punya waktu untuk
lari ke pedalaman, malah susah ganda nanti.
Aku meradiokan pandanganku itu kepada Letkol Verbruggen, supaya dia
mengusulkan kepada Kolonel van Langen agar langsung saja memakai jip mendobrak
istana Soekarno. Tetapi Verbruggen menjawab, bahwa kami masih harus berbadutan
seperti ini terns, sampai bren-carrier yang dapat melindungi infanteri dengan lapisan
bajanya diturunkan dari Herkules, sebab para kaum Zeni masih memeriksa landasan,
apa kuat didarati Herkules.
Uah, maki-makiku, itu orang-orang Militaire Luchtvaart terlalu priyayi, terlalu
ilmiah. Maunya sip. Dan tak tersengaja aku teringat komodor Republik dengan
deputynya yang mendaratkan pesawat Kabayashinya yang rapuh itu di Kemayoran.
Kaum Militaire Luchtvaart harus belajar dati pasukan udara Republik perihal kenekatan. Mosok perang harus semua sempuma. Tetapi masalahnya memang tidak
segampang itu. Betapa lemah pun perlawanan kaum Republik itu, toh aku melihat,
sudah tiga dari anak-buahku yang terkena tembakan single fighter entah dati semak
gerumbul mana.
Dan menduduki kota dengan lorong-lorongnya yang sempit lebih berbahaya.
Bersama dengan kami, ikut beroperasi juga kaum KL ¹⁾Nah, itu tentara priyayi, serba
sinyo-sinyo muda yang tentunya bukan kaum bandit, walaupun bergaya sok koboi
dengan kain leher merah segi-tiga mereka. Maunya tetap tentara kaum beradab
dengan garansi mutu internasional, kecuali dalam hal keberanian berkelahi. Orang
Belanda bukan bangsa jago kelahi. Mereka pedagang borjuasi atau pegawai kantor,
atau mahasiswa calon doktorandus dalam ilmu sejarah, sejarah Hindia Belanda tentu
saja dalam kaitannya dengan politik mulia atas nama Sri Ratu. Maka mereka sungguh
pengecut sekali. Mana bren-carriernya ! Aduh lieve meid ²⁾, begitu saja pakai panser
beroda rantai. Naik andong saja bisa kok! Jengkel kuradiokan laporan ke Verbruggen.
Mana, kasih jip, dan dalam lima menit aku sudah di benteng Vredeburg. Daripada
berlenongan begini ini, kayak tentara Eisenhower ³⁾ imitasi yang cuma cari-cari semu
saja agar kelihatan hebat.
Masih minimum tiga jam kalau begini caranya sebelum sampai ke target. Jalan dan
kampung sudah kosong dan hotel Tugu yang pernah jadi markas tentara Republik
juga kosong, hanya tinggal gaung sirenenya saja. Hotel itu pun tidak sulit kita duduki.
Dan akulah lagi yang paling terdepan melewati rel-rel kereta-api Malioboro. Masih
kulihat satu palang kereta-api bengkong karena pemah diserudug truk barangkali.
Palang itu terbuka dan memang seluruh Malioboro sudah terbuka. Aku berlindung di
belakang gardu telepon antik, yang dulu pernah juga memberi perlindungan padaku
ketika aku kehujanan dan terlambat kereta-api yang seharusnya membawaku ke Sala,
mencari orangtuaku sesudah saat naas peristiwa radio gelap di belakang rumah
Mayoor Kanagashe dulu itu. Persetan Kanagashe dan segala opsir Jepang dan Tante
Paulin. Di mana sekarang Tante Paulin itu?
¹⁾ Koninklijk Leger (fentara Kcrajaan Belanda).
²⁾ Cewek manis.
³⁾ Panglima Tertinggi Tentara Sekutu ketika melawan Jerman Nazi dalam Perang
Dunia II.
73
Dari belakang kami kudengar suara gemuruh. Ah, akhirnya brencarrier dengan
penumpang sinyo-sinyo yang takut mati itu datang. Mau makan kue kemenangan
yang sudah ada di tangan pasukanku mereka itu?
Tanpa banyak pikir aku dan beberapa dari komandan berlari di belakang carrier yang
memuntahkan peluru-pelurunya ke kiri dan ke kanan itu. Aku sudah ogah melepaskan
tembakan, dan hanya berjalan saja kalem seperti pelancong turis. Kok nggak percaya,
orang-orang amatir ini. Tidak ada lagi orang Republik! Sudah, terbang kencang saja
masuk ke istana. Tetapi sinyo-sinyo dalam kereta perang baja itu cuma merangkak
"sistematis" menurut teori perang akademi, yuilaa pengecutnya . lnilah jadinya kalau
operasi bersama dengan KL yang beradab dan ilmiah dan ... dan tidak tahu caranya
berkelahi.
Sisa hikayat D-dqy 19 Desember sudah terkenal. Istana kami duduki. Kolonel van
Langen datang dengan jip, sesudah semua aman tenteram dan tidak ada risiko satu
rambut pun jatuh. Soekarno, Hatta, Syahrir dan orang tua Haji Salim dan siapa lain
lagi ditawan. Matilah Republik! Hidup Republik!
Aku mengumpat-umpat diriku lagi, sebab entah mengapa, aku tiba-tiba malu
melihat orang pendek berpakaian putih satu itu (sekarang sudah agak gemuk dia,
yang sekian tahun yang lalu nyaris kutembak di Jakarta itu. Sebetulnya aku bisa saja
maju dan berkata padanya: ''Tuan Syahrir? Masih kenal padaku?" Dia sudah tidak
perdana menteri lagi, dan ketika dari koran-koran kubaca berita ia tidak dipakai lagi
oleh kaum Republik, aku masih ingat Verbruggen menyeka pipi dan dagunya yang
kasar belum dicukur, sambil omong atau menggerutu entahlah: "Spoor sekarang
laku. Parlemen Belanda dengan politisi kaum jambu mete akan semakin merasa diri
durian, dan kaum Republik sebentar lagi dipimpin oleh Jago Merah. Cocok!"
Ketika aku bertanya gusar, apa yang ia maksudkan, ia hanya menyeringai
"Sebentar lagi kau dapat bertemu kembali dengan Atikmu." Aku marah betul ketika
itu, tetapi ia hanya tenang, dengan satu mata dipejamkan, memeriksa laras pistolnya,
dan bersiul lagu nostalgia kuna: “Daar bij die ouwe molen…….¹⁾
Ah, sebetulnya aku mendapat kesempatan satu kali lagi untuk menanyakan kepada
orang kecil yang hanya tersenyum itu tentang Atik. Apakah sekretaris Tuan bernama
Larasati masih bekerja di biro Tuan? Atau jadi protokol penerima tamu? Embuh?
Ataukah ... tetapi aku hanya berdiri tolol saja di sudut emperan muka yang berlantai
marmer itu, dan seolah tidak sadar seperti linglung melihat bayangan-bayangan orang
yang lalu-lalang di istana bekas gubernur Hindia Belanda itu.
Pada petang hari yang sama itu, 19 Desember 1948, sambil duduk lunglai karena
payahnya di atas tangga-tangga istana, dengan bayangan raksasa batu di halaman
muka itu, aku ditumbuhi perasaan bimbang lagi. Pasukanku menang, Kapitein Seta
jaya. Tetapi kehilangan Larasati. Barangkali ... barangkali toh aku salah pilih.
¹⁾ Nun di sana dekat kincir tua itu.
74
11. Ayam-ayam Disambar
Baru keesokan harinya pemuda-pemuda memperoleh kepastian: Belanda
dursetut ke Yogya, kota kabupaten diduduki musuh. Tetapi di hari pasaran Pon berikut
masih banyak juga perempuan yang toh pergi ke pasar, jauh di bawah sana di tepi jalan
raya aspal. Akan tetapi mereka pulang kecewa karena semua toko tutup. Malam berikut
orang-orang Juranggede melihat dari desa mereka, bahwa di bawah sana banyak
kelihatan api menyala. Bumi hangus. Sekarang ada dua api. Di atas sana api kawah
gunung Merapi. Di bawah sana api orang perang. Cocok sudah. Orang tua-tua sampai
malam bergadang berbincang-bincang tentang terkaan-terkaan macam-macam yang
semua serba terkaan belaka. Hampir semua orang tua dalam hati bertanya diri, apa tidak
lebih baik semua kembali saja ke Jaman Belanda. Tidak dikatakan langsung tentu saja.
Tetapi dengan bercerita. Dulu dan sekarang melarat, tetapi dulu tenang. Bayi lahir, anak
dikhitani, Si Muda menikah dan melahirkan bayi. Arnan, damai. Tentulah kadangkadang ada yang mati, tetapi begitulah roda
kebiasaan. Kadang-kadang ada perampok datang mencuri sapi atau kerbau atau kalung
emas dari yang mampu di desa. Tetapi polisi Belanda yang datang dengan sepeda
motor dengan saisepan gerobagsampingnya, pasti bisa membereskan soal. Asal
perampok itu jangan kau lawan. Tenang saja kau berikan apa yang mereka minta. Dan
paginya lapor kepada Pak Lurah. Lalu menunggu saja, gampang. Kalau sapi atau harta
tetap hilang terus, ya sudah. Lalu jelas itu kehendak Allah. Tetapi itu jarang terjadi.
Barangkali sapi atau kalung emas yang tak tertemu lagi dulu memang tidak halal; atau
boleh jadi warisan seorang nenek yang pernah main serong dengan suami tetangga. Nah
sudah pur¹⁾namanya. Tetapi kalau itu barang halal, pasti dikembalikan oleh resisir dan
pelpolisi Belanda, yang gagah pakai pistol di pinggangnya, dengan kawan pak mantripolisi yang berkumis tebal, dan yang membawa kelewang.
Sayang Belanda kalah. Lantas segala-galanya jadi kucar-kacir. Tetapi barangkali
memang begitulah seharusnya. Tidak baik sawah ditanami padi terus-menerus. Harus
diselingi palawija, atau ketela atau tembakau. Nah barangkali sekarang ini jaman ketela,
jaman brengsek. Atau tembakau yang hitam, ampeg! Tetapi asal masih ada daun muda
jagung dan kelembak-kemenyan untuk merokok, tak mengapalah. Semua itu memang
nasib.
Tetapi pemuda-pemuda yang berapat di rumah Karjo bekas Keibodan²⁾ pemimpin
mereka, tidak sependapat dengan ajaran nasib itu. Mereka juga saling melontarkan
terkaan dan tebakan. Tetapi akhirnya diambil kesimpulan: Yang paling bijaksana ialah
menunggu saja komando dari Bung Kamo. Pokoknya menunggu komando.
¹⁾ Seimbang kalah menangnya.
²⁾ Barisan polisi pembantu jaman pendudukan Jepang, setingkat Hansip sekarang.
75
Kalau dikomando menyerah ya menyerah; kalau terus ya terus. Semua siasat kan sudah
diatur di pihak Pimpinan Tertinggi sana.
Kita ini hanya pemuda desa dan tidak pinter-nasiona, kelakar pemuda-pemuda itu.
Berulang-ulang mereka ke luar dan memandang diam, entah dengan pikiran apa, apiapi di kejauhan bawah sana.
Dalam arti tertentu perang itu selingan hiburan lumayan. Dan pemecah waktu yang
mengasyikkan untuk desa yang biasanya membosankan para pemuda itu. Asal dari
kejauhan saja.
Seminggu sesudah dursetut ke Yogya, seregu tentara gerilya berpakaian preman
masuk ke desa; diiringi anak-anak banyak serta sekian muda-mudi. Mereka langsung
menuju rumah Pak Lurah. Kamitua, ¹⁾ Tamping²⁾ dan seluruh pamong desa
dikumpulkan dengan kentongan. Mereka diberi instruksi-instruksi oleh komandan
peleton itu, disaksikan oleh sekian pasang mata dan mulut melongo dati anak-anak
yang mengintip dati segala lubang dinding. Komandannya ternyata yang paling kecil
dan kurus, sehingga jakunnya di leher tampak sangat menonjol. Seperti ada gelatik
bersembunyi dalam tenggorokan komandan itu. Mungkin gelatik sihir, jimat kebal pelor
Belanda, tetapi aduh, paruhnya sebentar lagi menyobek kulit lehernya, begitu runcing
jakunnya itu.
Ada seorang yang membawa pedang samurai panjang. Itu yang berambut panjang
agak berewok. Tampangnya seperti Arab. Ia yang paling gagah dan tampan. Ternyata
namanya Samsu. Lain-lainnya hanya membawa ransel atau tas model tentara biasa,
tetapi Samsu ini khusus membawa kopor kecil dari besi yang diletakkan di mukanya di
atas meja pendopo kelurahan. Seperti tidak percaya, jangan-jangan diserobot anak-anak
itu.
Ternyata kelak Si Pedang Samurai itu tidak pernah bisa berpisah dati kopornya itu.
Kalau ia tidak tidur, kopor itu diletakkan di bawah bantal. Selanjutnya, begitu kata
anak-anak beberapa hari lagi, kopor itu selalu dirantai dengan tiang atau batang apalah.
Apakah di dalamnya ia menyimpan senjata rahasia atau barang-barang pusaka?
Entahlah, tak ada orang tahu.
Pertemuan pertama dengan Pak Lurah hanya mengatur, di mana mereka dapat
menginap. Setiap pamong desa mendapat seorang tentara. Bila ada gadisnya yang
sudah agak besar, diungsikan ke keluarga lain. Hanya Samsu yang minta agar boleh
mendapat rumah sendirian. Karena tidak ada yang kosong, janda Sakinem yang sudah
sangat tua dan hidup sendirian diungsikan ke rumah menantunya. Banyak gadis dan
ibu-ibu muda terpesona oleh Samsu yang ngganteng gagah itu.
¹⁾ Pembantu pertama lurah desa.
²⁾ Wakil lokal lurah desa.
76
Akan tetapi pesona itu segera membalik, karena ternyata dari peleton itu Samsulah
yang punya tugas khusus mengerikan. Ia algojo pasukan itu. Dan segeralah beredar sassus, di dalam kopor besi itu tersimpan beberapa tengkorak. dan sesudah tiga hari
jelaslah bagi Karjo, ia lebih unggul dalam pengetahuan tentang soal-soal kemiliteran
dari pada Setankopor. Soal jaga misalnya. Dan segera lagi beredar sas-sus baru,
tengkorak-tengkorak itu setiap malam Jum'at Kliwon bertelur uang dan peluru. Yang
jelas pemuda-pemuda lalu menyebutnya Setan-kopor ¹⁾
Dari saat awal mula, Karjo yang menjadi pemimpin pemuda-pemuda desa tidak suka
kepada Samsu. Walaupun Karjo merasa hanya pemuda desa, tetapi ia merasa lebih tua.
Toh Samsu hanya sersan saja. Tapi sombongnya! Langsung ia berbahasa ngoko²⁾
kepadanya, seperti bicara kepada jongos. Karjo pernah dilatih sebagai Keibodan
Komandan sudah menyerahkan kebijaksanaan jaga desa kepada Karjo dan kawankawannya. Karjo berpendapat bahwa Belanda tidak mungkin operasi malam ke lerenglereng gunung. Jaga di siang harilah yang harus diperketat, sebab itu saat-saat datang
kemungkinan NICA berpatroli. Tetapi Samsu dengan lagaknya yang sok
menuntut agar penjagaan malam sangatlah ketat. Dan apa terjadi?
Suatu pagi, kira-kira jam 10 patroli NICA datang di pedukuhan tetangga yang belum
200 meter jauhnya dari desa Juranggede. Tentulah peleton Samsu dan para pemuda lari
pontang-panting, ke tengah ladang dan jurang-jurang lahar. Untung patroli berhenti di
pedukuhan tetangga yang namanya Kepondong itu. Dan lucunya naik pitamlah Samsu.
Dibentaklah Karjo karena ia berani mengatakan, itu salah Samsu sendiri, mengapa
siang hari penjagaan justru longgar. Pada larut siang hari itu juga, Samsu dan beberapa
bawahannya menggasak pedukuhan Kepondong dan melarak tiga orang pemuda beserta
pak Tamping. Mereka diikat dengan tali ijuk. Dan setengah telanjang, di bawah
hantaman dan pukulan kayu keempat orang celaka itu dianiaya setengah mati.
Perempuan-perempuan dan anak-anak semua bersembunyi di dalam rumah.
Tetapi raungan dan tangis penderitaan empat orang itu terdengar sampai di tengah
ladang.
''Mana pemuda-pemudamu Karjo! Pengecut! Pengecut semua! Lari semua ya!"
"Mereka jaga dan yang lainnya cari rumput untuk kambing dan sapi."
“Ahh, penting manakah? Kambing apa menghajar mata-mata N1CA ini, heh! Hei ke
sini, kemari. Itu pemuda yang kayak kemaluan kerbau itu. Kenapa lari.
¹⁾ Mirip nama pusaka dalam suatu lakon ketoprak: Setan kober.
²⁾ Bahasa Jawa tingkat biasa (kurang menghormat).
77
Kalian juga kaki-tangan N1CA, kok lari! Ayo kemari kalau bukan pengkhianat. Itu
juga, itu ayo. (Beberapa pemuda mendekat) Ayo ini kayu. Pukul orang-orang ini.
Takut? Hahaaa, pemuda gabus kalian. Harus dihajar orangorang seperti ini. Tahu
Hukum Perang? Yang alpa harus ditembak mati! Itu hukum perang. Tahu, semua?
Heh? Karjo! Kumpulkan pemuda-pemuda! Apel! Dan kau sekarang cari.
Nanti malam digosok dengan buah cari rawe ¹⁾ yang gatal pedas itu biar tidak dapat
tidur. Berangkat!"
Karjo pura-pura mencari pemuda-pemuda, tetapi ia menyelinap ke dalam kelurahan.
Pak Lurah sedang duduk diam di ruang tengah, di bawah lonceng kuna yang seolah,
sedang menghitung menit-menit sebelum para korban itu dibunuh Samsu.
"Kula nuwun Pak Lurah. Di mana Pak Komandan?" Tanpa mengucap sepatah pun
Pak Lurah hanya memberi isyarat dengan kepalanya yang sedikit berputar. Pak Lurah
ini bagaimana? 1tu Pak Tamping Sukra mau dibunuh Samsu! Pak Lurah harus bertindak. Tetapi Pak Lurah hanya diam saja, linglung matanya seperti beling. Karjo
masuk kamar. "Maaf Pak Komandan, saya mengganggu sebentar." Komandannya
hanya membalikkan tubuhnya setengah telanjang dan tidur terus dengan mulut
terbuka.
''Ada apa?" tiba-tiba mulut itu berbunyi, tetapi mata masih terkatup.
"Maaf pak. Tetapi saya terpaksa mengganggu. Pak Tamping dan pemuda-pemuda itu
tidak salah. Tetapi sekarang Samsu menganiaya mereka dianggap mata-mata.
Barangkali hendak dibunuh." Pak Komandan menguap.
"Hah ... Samsu ... ada apa Samsu? Hooah, saya mengantuk."
"Tolong Pak. Kalau Pak Komandan mau, tentulah ... "
"Huaah ... urus sendiri sanaa huaah."
Hasrat Karjo ingin sekali melempari mulut yang menganga itu dengan bakiak.
Sedikit bingung ia ke luar. Lurah sudah terlalu tua, bisa diajak apa! Tetapi mendengar
beberapa perempuan menjerit, keberanian Keibodannya kembali. Dengan tenang Karjo
menghampiri Samsu.
Matanya seram mengebor mata Samsu yang tidak tahan dan yang hanya berteriak:
"Pengkhianat! Pengkhianat semua. Kakitangan N1CA."
Karjo mendesis:
"Lepaskan, Samsu!"
¹⁾ Buah yang mengandung bisa (racun) yang menyengat.
78
"Hah? Kau juga ingin dicincang?" Tetapi Karjo tak berkedip.
Ada api kawah Merapi berpijar di dalamnya. "Lepaskan."
“Lepaskan sendiri. Saya bukan budakmu!" Dan pergilah Samsu, sambil mengurnpatumpat.
Malam itu Pak Tamping Kepondong meninggal akibat penganiayaan Samsu.
Seminggu kemudian seorang tani yang ketakutan dan bermalam di gubug di tengah
ladang dilarak Samsu ke tepi jurang dan dipenggal lehernya. Dakwaan: mata-mata
Belanda. Beberapa hati kemudian ibu-ibu mulai mengungsikan gadis-gadis mereka ke
tempat nenek atau desa lain, sesudah anak Pak Lurah diperkosa Samsu. Komandan regu
hanya tiduran kerjanya dan semua perkara digarap Samsu. Tetapi tiga kali sehari dati
dapur umum ibu-ibu yang tua-tua, serba takut, jangan-jangan terkena marah, bergiliran
menghidangkan makanan untuk regu tentara itu. Dan Samsu semakin bergaya.
Kalau seorang tentara peleton memuji pepaya yang menguning di pohon, segera
seorang anak disuruh ibunya memetiknya. Bila mereka berkomentar ayam ini, itu
gemuk dan bertanya apa betul itu ayam Kedu sungguh, maka petang harinya seorang
anak disuruh ayahnya mempersembahkan ayam itu kepada mereka. Tetapi bagaimana
bila mereka memuji Si Tinem atau Piyah cantik? Sebab, tidak mungkin semua gadis
diungsikan. Perempuan-perempuan desa tampaknya tolol tetapi mereka praktis. Mereka
meminta Mbok Rukem, janda nakal yang biasanya mereka gerutui, untuk menampung
lahar birahi tentara itu. Dengan imbalan beras, tempe, gula jawa dan sebagainya dari
pihak kaum ibu Juranggede. Tentang dukun penggugur kandungan, bereslah Rukem
sudah tahu ke siapa ia harus pergi kalau perlu. Begitu sedikit banyak keamanan gadisgadis desa agak terjarnin. Tetapi toh belum cukup. Memang jaman sedang dursetut ¹⁾.
Maka bila ada gadis yang tahu- tahu mengandung tanpa suami, itu pun dursetut, kata
pemudapemuda dengan dendam getir. Sebab tentu saja gadis yang didursetut itu
biasanya cantik.
Maka pemuda-pemuda tidak berapat lagi di dalam desa, tetapi bersembunyi di
ladang atau di dalam jurang-jurang lahar. Beberapa minggu ini Samsu sedang
keranjingan hobi baris-berbaris. Semua pemuda diharuskan berbaris. Sampai loyo
rasanya. Makan kurang, malam serba berjaga, masih disuruh baris-berbaris.
Terdengar berita, carik ²⁾ dan ulu-ulu³⁾ desa Bawongan dibunuh Samsu. Konon
Mereka pergi ke kota dan membawa uang NICA.
¹⁾ Dati kata doorstoot (Bld), pukulan menerobos. Istilah waktu itu untuk aksi-aksi
serangan Belanda dalam perang kemerdekaan.
²⁾ Penulis kelurahan.
³⁾ Pengurus irigasi sawah.
79
Tetapi berita burung bercerita juga, kopor Samsu sekarang amat berat, karena
bertambah isi emas milik Pak Carik Bawongan yang tergolong kaya itu. Tersiar lagi
berita Pak Mantri Kesehatan tertembak mati. Padahal tidak ada patroli NICA. Segera
pikiran orang-orang tertuju kepada Samsu. Sebab istri pak Mantri tergolong cantik.
Keesokan harinya Karjo dan pemuda-pemuda menghadap Komandan Sektor. Mereka
menuntut agar Samsu dipindah. Kalau tidak, istilahnya: mereka tidak akan
bertanggung-jawab tentang kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja terjadi.
Dan dipindahkanlah Samsu. Sayang tidak jauh dari desa Juranggede. Tetapi agak
legalah orang-orang desa di Juranggede.
Namun Pak Komandan Sektor bukan ingusan kemarin sore. Sudah lama memang ia
ingin menyingkirkan Si algojo Samsu, karena "ngono ya ngono, ning mbok ja ngono ¹⁾
Tetapi medan perang gerilya bukan medan perang yang dilindungi hukum. Masih
cukup jumlah harimau sisa-sisa jaman Amangkurat berkeliaran di hutan-hutan lereng
gunung. Lena sedikit, dan anda diterkam dari belakang. Dan sekali mati, tidak ada
urusan lagi. Maka untuk menyenangkan hati regu si Samsu, yang tentulah tahu dari
mana datang usul kepindahan oleh Komandan Sektor, Karjo dengan pemudapemudanya
diberi perintah untuk membakar pos militer Belanda yang menjaga jembatan kali
Grojog. Padahal kecuali Karjo, pemuda-pemuda itu belum pernah menembakkan bedil.
Samsu puas dan Karjo berangkat. Keesokan harinya Karjo melapor, bahwa serangannya
gagal karena musuh sudah tahu mereka datang dan mereka diberondong. Dusta itu
kurang cerdas, sebab Pak Komandan tak mendengar satu tembakan pun. Maka Karjo
dan kawan-kawannya digebugi babak-belur, khusus di hadapan mata Samsu. Maka
lebih puaslah si Setankopor.
Hari-hari dursetut memang suram. Tetapi tak sesuram Selasa bulan Maret itu.
Seluruh desa seperti terkena awan gelap gunung Merapi. Orang tua-tua hanya diam dan
tidak seorangpun punya keinginan omong. Ibu-ibu dan gadis-gadis pun merasa ada
sesuatu yang sedang menghantu. Pemuda-pemuda berapat di kelurahan dengan suara
hampir berbisik. Sebab ada sesuatu yang sangat jarang terjadi, namun kali ini kok entah
mengapa, terjadi. Tidak ada sangkut-pautnya dengan N1CA. N1CA toh sudah kalah
dan sebentar lagi tentara Republik memasuki kota-kota lagi. Juga bukan perkara
penganiayaan Samsu yang sudah dipindah itu atau Bu Mantri Kesehatan yang juga
sudah jauh mengungsi ke tempat bibinya.
Tetapi pada malam menjelang Selasa Kliwon Mbah Glati meninggal. Ini gawat
sungguh. Mbali Glati memang suka ilmu klenik, tetapi siapa di pedesaan yang tidak
suka ilmu klenik. Mbah Glati memang sudah tua dan sudah saatnya ia kembali bertemu
lagi dengan istrinya yang sepuluh tahun yang lalu jatuh ke dalam sumur.
¹⁾ Boleh kau begitu, tapi hendaknya jangan begitu.
80
Tetapi siapa mengira, Mbah Glati begitu nekat sengaja memilih saat meninggal dunia
pas pada malam Selasa Kliwon.
Tetapi sejak kecil Glati memang anak nekat. Semua tahu ia lurah. Tetapi bukan lurah
pamong-praja melainkan lurah garong. Gentho. Benggol bajingan. Ketika masih muda
dan kuat, prestasi Mbah Glati yang paling gemilang dan yang semua orang tahu ialah
operasi membongkar Pegadaian Negeri di kota Muntilan. Tetapi Glati rupa-rupanya tak
pernah menikmati segala jerih payahnya. Pelpolisi Belanda dan resisir mantri polisi
dengan cepat melacak Si Bajingan dan Kang Glati masuk bui.
Di jaman dursetut ini sebetulnya kesempatan sangat bagus untuk Mbah Glati
mempraktekkan lagi profesinya. Akan tetapi ia merasa sudah terlalu tua. Mati sih boleh,
gerutu para pemuda, tetapi mengapa justru pada malam Selasa Kliwon? Cuma bikin
onar saja. Sebab pastilah pemuda-pemuda lagi yang nanti terkena getahnya. Soalnya,
orang mengira Mbah Glati masih punya hartakarun yang disembunyikan sampai akhir
hidup. Mbah Glati pasti orang yang kayaraya. Pastilah tidak seluruhnya dari Pegadaian
Negeri Muntilan dulu itu dikembalikan kepada pelpolisi dan Pak Mantri resisir.
Buktinya, mati pun pada malam Selasa Kliwon. Musti ada apa-apa ini.
Karjo menginstruksikan jadwal giliran jaga malam pada makam Mbah Glati nanti.
Sebab menurut tahayul orang-orang sekitar Juranggede, siapa yang berhasil
memisahkan kepala dari mayat yang mati pada malam Selasa Kliwon dan mampu
menggondolnya (Tidak boleh pakai alat. Menggali kuburan harus dengan tangan
telanjang saja dan memisahkan kepala serta menggondolnya hanya boleh dengan gigi!),
orang itu akan kaya-raya. Oleh karena itu makam orang yang mati pada malam Selasa
Kliwon terpaksa harus dijaga keras, agar hal-hal yang tidak diinginkan jangan terjadi.
Dan siapa lagi yang harus menjaga, selain para pemuda. Karjo sebetulnya tidak
berminat untuk mati-matian berjaga hanya karena tahayul Selasa Kliwon itu, tetapi
orang-orang tua mendesaknya keras. Dan keluarga perempuan Mbah Glati memohon
begitu keras dan memilukan, sehingga Karjo mengalah.
Dipilihnya pemuda-pemuda yang tegap dan terkenal pemberani. Dipesannya kopi
amat kental dua teko dan berdasarkan nalar normal ilmu pertahanan sederhana Karjo
dan kawan-kawannya mengambil pos penjagaan mereka. Tidak terlalu dekat dengan
makam Mbah Glati, sebab itu ngeri juga. Tetapi di tempat yang cukup mudah
mendengar sesuatu bila terjadi apa-apa. Ada empat orang tua yang ikut berjaga juga.
Mereka duduk di gerbang jaratan¹⁾, berselimutkan sarung dan di bawah sinar pelita
kecil mereka mulai main kartu di tikar.
¹⁾ Kuburan.
81
Tetapi tengah malam hujan jatuh rintik-rintik. Semakin deras semakin memberi alasan
di hati untuk pulang saja. Tetapi mereka terpaksa berjaga, memaksa diri gembira. Karjo
dan kawan-kawannya berpindah bernaung di suatu makam yang beratap genting.
Waspada mata mereka menerobos kegelapan dan memandang ke arah gundukan hitam
baru yang lamat-lamat hampir tak tampak. Tetapi lama-lama mata mereka menjadi
penat juga dan satu persatu tertidur, sengaja maupun tak sengaja.
Memang bau bunga kamboja dan arumdalu membuat orang mudah tertidur. Tetapi
lewat tengah malam Karjo terbangun. Naluri Keibodannya mendengar bunyi-bunyi
yang mencurigakan. Bertenak ia meloncat dan menubruk sesuatu yang sedang bergerak
di makam Mbah Glati. Kawan-kawannya terbangun dan sesudah mengalahkan keraguraguan ikut menolongnya. Tetapi Karjo sudah terkena pukul mahluk gelap itu. Pusing
sekali rasanya. Ia masih sempat memegang kaki pencuri biadab itu. Orang gelap itu
terjatuh dan dibekuk oleh kawan-kawan Karjo. Tetapi alangkah licinnya. Tiba-tiba
Karjo tahu, orang ini telanjang bulat. Segera dicari kemaluan orang itu, dan dipukul
burungnya. Orang itu berteriak kesakitan bukan kepalang: “Assuu! ¹⁾ Sayang ia toh
lolos. Rupa-rupanya tubuhnya diurapi minyak entah apa. Tetapi suara "Assuu!" tadi
cukup memberi bukti. Mereka sudah hafal nada dan warna suara “Assuu!" Setankopor!
Paginya sesudah diperiksa ternyata, mayat Mbah Glati untung belum sempat ternoda
banyak. Tetapi kepalanya sudah dipuntir. Tiga hari Karjo dan kawan-kawannya tidak
doyan makan. Muaklah mulut dan rasanya kalau makan seperti merekalah yang sedang
memuntir kepala Mbah Glati dengan gigi.
¹⁾ Anjing.
82
12. Cendrawasih Terpanah
Tidak hanya kadang-kadang aku dijangkiti rasa bimbang tentang arti segala sikap dan
tingkahlaku selama ini, sejak Mama dan Papa lenyap dati kehidupanku. Akan tetapi
biasanya itu kutimbuni dengan segala ransel dan peralatan perang yang mudah saja
membungkam segala gagasan bingung dari manusia yang suka bising menghamburhamburkan peluru. Tetapi ketika pada pagi kala itu aku me1ihat dengan mata
kepalaku sendiri Si Soekarno dan Hatta dan Syahrir, Agus Salim dan para gembong
Republik lain, yang sampai saat itu hanya dapat kulihat dalam foto-foto koran-koran
dari negeri Belanda, aku jatuh lagi terkulai dalam kebimbangan.
Mereka ditawan oleh Kolonel van Langen dan seharusnya mereka tampak lesu dan
takut dengan segala sikap yang sepantasnya bagi orang yang kalah dalam pertaruhan.
Tetapi mereka tersenyum serba pasti dan Soekarno tegak bersikap jaya. Yang
namanya Hatta tampak tenang dan seolah-olah hanya menunggu tanda berangkat ke
Den Haag, atas undangan Sri Ratu pribadi dan Perdana Menterinya yang tolol itu,
untuk menerima piagam pengakuan Republik sekarat mereka. Dan Si Haji Salim yang
tua itu, matanya yang cerdik dan hidup seperti mata anak sekolah, yang tahu di mana
ada mangga matang yang tanpa risiko dapat dicuri, ia hanya kalem saja.
Tetapi yang paling mengesankan, justru karena aku mempunyai hubungan "batin"
sejak awal kerusuhan proklamasi itu, ialah bossnya Atik, Si kancil kecil Syahrir itu.
Seolah-olah segala wajahnya yang tersenyum itu berkata kepada semua orang: "Betul
kan? Masuk perangkap kalian sudah". Dan sekali saat kupergoki dia sedang bersiul
lirih, entah apa. Tetapi dalam fantasiku lagu yang sama juga Verbruggen punya: Als
de orchideeen bloeien ...¹⁾
Jelaslah KNIL dan KL dan segala yang bercap maupun berlencana Belanda atau
Hindia Belanda masuk perangkap. Kedudukan Republik semakin kokoh; sejak
perdana menteri kecil itu diundang Jenderal Christison, sejak beras setengah juta ton
dimuat di kapal ke India atas nama Republik dan sejak pesawat loakan itu mendarat di
Kemayoran tanpa boleh ditembak Mustang ML kita, dan sejak Si Kiai kurus jangkung
yang menamakan diri Jenderal Sudirman itu menolak dilucuti oleh kami dan kami tak
berdaya; tak bisa diingkari bahwa pihak Rood Wit Blauw²⁾ sudah pudar.
Ternyata betul analisa Verbruggen dulu itu (Soekarno menghimpun kekuatan di
belakang, dan Si Kancil ini disuruh menghadapi dunia Sekutu dengan senyumannya
dan dengan program kemanusiaannya), bahwa sejak itu Belanda sudah dilasso oleh Si
Syahrir ini dengan tali-tali made in USA yang semakin menjerat dan semakin
membuat Den Haag dan Batavia tercekik megap-megap kekurangan nafas.
Jiwa militer kami jengkel bergolak kasar dan kacau berteriak seperti lazimnya
orang yang terkena perangkap. KNIL kami kalah. KNIL, itulah yang menentukan.
KL sebetulnya hanya hiasan gengsi saja.
¹⁾ Bila anggrek memekar (lagu popular pada jaman Belanda).
²⁾ Merah Putih Biru.
83
Sinyo-sinyo muda yang berkalung sapu-tangan merah dan berbaret coklat, dengan
wajah-wajah putih mulus, dengan bahasa Belanda mereka yang totok tanpa ke-indoindoan sedikit pun (lain dari Verbruggen misalnya, yang sering berlogat "Lho, ya
toh?''), mahluk-mahluk priyayi anak saudagar dan petani-petani daar bij die ouwe
molen ¹⁾negeri kabut itu sebetulnya masih mbok-mboken ²⁾menetek, kata orang Jawa.
Mereka selalu rindu pada Brabant dan Gelderland ³⁾ dan sebetulnya menggerutu, di
sini disuruh menyetor darah untuk nyamuk-nyamuk, makan debu serta berperang
melawan hantu-hantu yang tak pernah kelihatan.
Gossiemijn, komt er geen eind aan? ⁴⁾
''Nooit!” ⁵⁾. Besok pagi kepalamu masuk parit sana dan kakimu ke sawah itu. Lalu
kelak gadismu di sana dangsah dengan tuan-tuan teroris-teroris gerombolan Soekarno
itu, kan begitu. Dikira apa, heh. Ya, tokh!"
Sebetulnya, ah gila kalau tidak tahu, sungguh kami keledai berkepala kerbau!
Semua soldadu gerombolan bandit Hindia dan priyayi moederland ⁶⁾ Olanda ⁷⁾ sudah
tahu: kami kalah. Dan semua diam, justru karena sulit dibuktikan benar tidaknya
dugaan desas-desus tentang sang Panglima. Sebab menggemalah berita guntur di
tengah siang bolong: ''Jenderal Spoor mati." Mati karena apa? Mosok tifus? Diberi
arsenikum ⁸⁾oleh jongosnya? Menembak diri? Nah, keterangan terakhir ini yang
lebih logis. Dus ... adieu Insulinde, ⁹⁾ selamat jalan Aksi Polisional. Hidup Republik!
Nah, mulai saat itu (sudah lama sebetulnya, cuma tidak jelas diakui), selamatkan
dirimu masing-masing! Sebisa mungkin jangan kena tembak pelurn Jepang dari laras
Republik.
Nab, betul kan, dibentuk komisi henti tembak-menembak. Nah betul kan, Van
Royen mulai berwajah lunak, omong-omong dengan Roem. Nah, betul kan, Soekarno
dan lain-lainnya akan dikembalikan ke Yogya. Nah, betul kan, bukan jip Willyss
seperti seumumnya di mana-mana, tetapi jip Landrover, dus bikinan Inggris yang
datang dan diserahkan kepada Sultan Yogya dan delegasi Tentara Gerilya?
Nah, betul kan, kiamat sudah di ambang, formulir-formulir mulai dibagi-bagikan
kepada para KNIL. Ingin pilih apa: masuk tentara Republik Serikat? Atau masuk KL,
bandit jadi priyayi? Atau pensiun? Atau ... ada desas-desus Si Westerling dan entah
kacung abadi.
¹⁾ Nun di sana dekat kincir tua itu.
²⁾ Anak yang merengek mencari ibunya.
³⁾ Propinsi-propinsi Negeri Belanda.
⁴⁾ Seruan keluhan Belanda: Apa tak ada habis-habisnya ini?
⁵⁾ Tak akan pernah.
⁶⁾ Secara harfiah: negeri ibu.
⁷⁾ Nama olok-olok untuk Belanda (Holland).
⁸⁾ Racun.
⁹⁾ Jadi ... selamat tinggal Indonesia.
84
Belanda ingin mempertahankan martabat dan panggilan Kerajaan, menghadapi
ketidak-adilan international sampai titik-darah yang penghabisan, “Kost wat het kost,
door de eeuwen trouu” ¹⁾.
"Sudah terima formulir pendaftaran Legiun Asing Prancis?" tanyaku sinis kepada
Verbruggen. Dia hanya tertawa saja, tawa orang yang kalah lotre tetapi gigih optimis
menebak lagi harapan lotre baru.
"Aku akan dolan-dolan dulu,” katanya.
"Ke mana?"
"Bukan urusan anak kecil." Kuhantam dia dari samping, yang ditangkisnya enak
saja.
“Kom, kom ... jangan bingung. Sudah banyak yang bingung, kalem saja deh." Dan
entah ke mana ia mengebutkan jipnya, sendirian.
Akhir-akhir ini ia misterius sekali. Biasanya ia bagaikan buku terbuka, mudah
dibaca ke mana dan dari mana ia pergi. Aku tahu dengan perempuan mana dan
pelacur siapa ia menghabiskan kesepiannya, di mana ia biasa pesan bakmi atau
merampok sisa-sisa jenewer. Tetapi akhir-akhir ini entahlah, macam-macam dalihnya,
ia selalu mengendarai jip sendirian. Aneh, seorang komandan resimen menyetir jipnya
sendiri dalam keadaan perang.
Memang ada cease fire tetapi ini daerah tropika. Pertama, jam PBB dan jam
pedesaan tidak sama. Dan keduanya, di sini sudah biasa gunung-gunung meledakkan
lava dan batu tanpa minta ijin dulu dari tata hukum internasional. Lagi, keharusan
mengikuti konvoi ²⁾ bagi siapa pun yang mau ke luar kota masih berlaku. Kenapa ia
nekat? Apa guna merisikokan nyawa pada saat jaman perang sudah sekarat dan orang
tinggal menghitung jam untuk pulang ke kandang masing-masing? Setiap otak sehat
menjaga agar jangan sampai perkakasnya mati terkena peluru sesat atau trekbom ³⁾
yang kesiangan kentut. Itu mati konyol. Dan tolol. Tetapi Verbruggen seperti sengaja
ingin membuktikan ketololannya dan seolah meminta masuk kubur saja sebelum
perang usai.
Akhirnya aku tahu ia beberapa kali pergi ke Surakarta. Pernah kukejutkan dia
dengan ''Apa khabar dari kota Sunan?" tetapi enak saja, atau berlagak begitu, ia
memberi keterangan (atau lebih tepat dalih) yang logis, bahkan barangkali terlalu
logis. Tetapi ketika pernah ia kubuntuti, ternyata ia tidak pergi ke kanan sesudah
sampai pada Paal Putih ⁴⁾tetapi ke kiri. Ke Magelang, kota garnisun itu!
Jelas! Pasti ! Sebab bila ia ingin ke Semarang, ia selalu mudah menemukan kursi
di salah satu pesawat terbang dari Meguwo. Mau apa ia di Magelang?
Saat itu aku memang sedang serba emosi dan kecurigaanku mendidih. Maka
ajudanku kuperintahkan melapor kepada kepala staf kompi, bahwa aku dipanggil
mendadak oleh komandan resimenku dan mohon pemahaman oleh komandan
batalyon. Di hari-hari simpang-siur itu setiap komandan sudah tidak begitu banyak
ambil pusing anak-buah pergi ke mana; asal jangan keterlaluan saja. Setiap orang
cuma memikirkan nasib dan kepentingan sendiri-sendiri. Habis, mau apa. Tentara
yang kalah dengan panglima tertinggi bunuh-diri, mau apa?
¹⁾Apapun korbannya, setia sepanjang segala zaman.
²⁾Iring-iringan kendaraan yang dikawal oleh panser-panser dan pasukan.
³⁾Born tarik, ranjau darat.
⁴⁾ Tugu di Yogyakarta.
85
Maka aku segera tancap gas dan ngebut mengejar Verbruggen. Menurut peraturan aku
harus ikut dalam barisan konvoi yang kebetulan sedang menuju ke Utara. Tetapi aku
hanya menyentuh topiku, tanda salut kepada para pengawal panser yang menjaga
konvoi penuh barang (rampokan?) dan pengungsi-pengungsi; yang dijawab acuh tak
acuh oleh komandannya sebagai tanda tahu- sama-tahu.
Mereka pun sudah tidak ambil pusing apakah aku berhasil sampai di Magelang
ataukah terkena jebakan gerilya di tengah jalan. Tambah mayat seorang kapten KNIL
bukan soal. Bahkan dapat mengurangi persoalan dunia. Dalam saat perang normal,
kematian seorang komandan kompi diartikan rugi. Dalam waktu tentara menunggu
sekaratnya, setiap perwira yang tertembak bisa menguntungkan keseluruhan. Upacara
penguburannya cukup dibayar dengan tembakan salvo peleton, yang memang sudah
mengharapkan beban peluru mereka semoga dikurangi.
Kalau dulu sih mudah, menembak ngawur atau main-main menghamburkan
peluru, dan kalau ada yang bertanya (biasanya yang tanya itu tolol) mengapa ada
mayat tambah satu, bilang saja, ada semak-semak bergerak. Kau tidak bohong, sebab
setiap daun semak pasti bergoyang dan selalu dapat diartikan ada penembak tepat
gerilya di belakang semak-semak. Ujaran seperti itu bisa dihibur dengan khayalan,
KNIL belum bubar!
Sebelum menyeberang jembatan Kali Elo, yang pernah menyaksikan pertempuran
sengit antara tentara Jepang dan KNIL sekian tahun yang lalu, ya pada saat aku
melintasi rel kereta-api antik yang memotong jalan-raya, ban roda jipku meletus. Dan
tentu saja, ban serepku tidak dapat dipakai, karena ternyata menggembos juga. Apa
daya. Sesudah memaki-maki dan mengumpat-umpat secukup selera, seperti layaknya
seorang serdadu, kucoba menenangkan diriku. Sendirian aku di tengah jalan itu, aman
di tengah hamparan luas sawah-sawah yang belum lagi ditanami sesudah dipaneni
penduduk. Aku berdiri sebagai titik tengah suatu ruang arena terbuka luas indah.
Di sebelah timur gunung-gunung Merapi-Merbabu tetap saja diam melamun. Di U
tara, Gunung Sumbing yang mirip Fuji tetapi tanpa salju, dan di sebelah Barat
sederetan kemenakannya, Pegunungan Menoreh yang tidak pernah dapat terjamah
oleh begondal-begondal ¹⁾ Spoor. Di bukit itu menurut para NEFIS yang tidak
terlampau cerdas, sebab jelas tak sulit ditebak, bersembunyilah panglima-panglima
tentara Republik dan pemimpin-pemimpin sipil mereka. Tetapi di Sumbing juga, dan
di Merapi-Merbabu jelas. Orang tak perlu jadi intel professional untuk tahu itu.
Di tengah arena berdinding gunung-gunung pribumi itu aku tenang saja di situ,
karena tidak mungkin aku diserang oleh gerilya dari arah mana pun. Hamparan
sawah-sawah seluas itu yang melindungiku. Aku raja di tempat itu. Raja yang hanya
dikalahkan oleh ban yang mogok, gembos. Rasaku, kaum Republik dari gununggunung di kejauhan itu semua sedang mengamat-amatiku. Orang-orang negeri ini ahli
dalam seni diam dan tak pernah terbaca ungkapan apa yang harus ditafsir dati raut
muka mereka yang abadi seperti Borobudur itu ... Oh ya, bukankah gugusan biru
bernuansa gelap itu siluet Borobudur? Bukan di sana. Kira-kira saja di sana.
Borobudur, simbol orang-orang pribumi yang hanya menunggu dan menunggu,
sampai ada wahyu datang. Aku tahu itu dari keluarga Papi dari puri.
¹⁾ Para bandit.
86
Barang-barang musium di situ cenderung menjadi hitam karena asap kemenyan
sekian abad, atau karena gerayangan-gerayangan tangan berlemak sekian orang
bernaluri gelap yang membuat hitam dan mengkilap susu-susu Si Durga di
Prambanan itu; nah, jiwa orang-orang di sini memang gelap tak pernah dapat ditebak.
Negeri ini sungguh misteri. Durga Prambanan yang gelap mengkilap polos
menawarkan. godaan susu-susunya, tetapi dingin mengejek, karena cuma batu.
Berapa lama aku hams menunggu sampai konvoi yang memberi kesan serba
frustrasi itu datang? Aku duduk di aspal serba berlubang yang tak pernah terpelihara
sejak Ter Poorten menyerah di Kalijati. Tentu orang-orang konvoi tadi menertawakan
kehebatanku yang konyol karena ban keparat ini. Tetapi toh aku harus bersyukur
mendapat kesempatan sial ini. Sebab pemandangan luas ke segala arah ini sungguh
menakjubkan. Tetapi apa guna alam indah tetapi penduduknya kuli goblog atau
serdadu yang kalah?
Memang terasa aku seperti terkurung oleh gunung-gunung dan dinding pepohonan
desa di kejauhan itu. Ya, ya ... aku tahu jelas apa yang terbayang pada layar gelap
pepohonan itu. Jelas aku diingatkan bahwa bagaimana pun aku anak negeri ini yang
tak mungkin ke luar dan tidak akan mereka keluarkan dari tanah ini. Begitu
peringatan dari pohon-pohon kelapa dan gori dan melinjo dan sawah-sawah yang
sudah terlalu lama menunggu saat kapan dihamili lagi benih-benih baru.
Jalur rel kereta-api beberapa meter dariku melintasi jalan aspal dan melengkung
luwes membusur di atas tanggul yang menjulang di atas sawah-sawah, seperti ular
piton raksasa yang mencari lubang di jurang kali Elo. Agresor piton baja dunia
rasionalitas itu memotong begitu saja sawah-sawah kebaktian manusia-manusia
tradisional negeri yang suka damai. Pengganggu keindahan asli jalan kereta-api itu.
Ya, indah memang negeri ini, tetapi menjengkelkan karena tak pernah dapat terbaca
apa sebenarnya isi hatinya, kendati pun didatangi agresor. Agresor! Tanggul mati
sekian ribu kubik di atas tanah subur, hanya untuk memikul kerakal dan kayu ulin dan
rel-rel besi demi peluncuran perjalanan suatu dunia lain, suatu sikap lain. Mengapa
istilah agresor itu timbul dalam benak- ku?
Aku tahu, minggu-minggu terakhir ini aku terlalu sadar, bahwa aku terlanjur ikut
tentara agresor yang terhukum sekarat kalah. Dan konvoi yang nanti datang lewat itu
benar-benar simbol memelas tentara yang keok ¹⁾. Konvoi tentara seharusnya
membawa orang-orang berseragam gembira di atas tank-tank dan panser dan truk,
kaum serba jaya viktoria yang melambai-lambai kepada penduduk yang hangat penuh
syukur mengelu-elu mereka. Seperti dalam foto-foto yang memperlihatkan tentara
Amerika masuk Prancis atau Belanda itu. Ya, itulah baru tentara idam-idaman setiap
lelaki yang berkelahi. Tetapi di sini? Di sini konvoi harus menyusup seperti ular yang
bingung mau tidur di mana, karena dikejar-kejar. Padahal perutnya sudah kebak tikus.
Dan celakalah ular yang perutnya menggelembung kalau ia ketahuan tempat sembunyinya.
KNIL kami sudah kenyang dan kepala ularnya Si Spoor itu sudah bunuh diri. Dan
Soekarno serta kaum teroris (kami pahlawan polisi, haha) akan kembali. Nah,
gerombolan-gerombolan di Gunung Menoreh dan Merapi-Merbabu-Sumbing itulah
nanti yang dielu-elu. Tidak naik tank tetapi dengan sandal ban truk dan sepatu bolong.
Tetapi dielu-elu! Ya, dielu-elu. Antara lain oleh ... Atik!
Jengkel kutendang ban gembos itu dengan berangku yang kekanak-kanakan. Ke
mana Verbruggen si bandit tua itu. Baginya tidak ada kalah atau menang.
87
Soalnya hanya sederhana saja, beli lotre lain. Tetapi aku tidak dapat begitu. Dan untuk
pertama kali sesudah sekian tahun aku mendengar angin yang menggerisik di antara
bunga-bunga rumput jarum. Aku duduk lagi di tepi jalan. Merapi itu terus saja
merokok. Dan Merbabu temannya (atau istrinya?) diam juga. Merbabu itu sungguh
betul babu. Bentuknya dan mentalnya. Negeri ini memang vulkan sifatnya. Semua
onggokan itu masih bekerja sebetulnya. Hanya Merapi ini yang terang-terangan merokok tanpa mengingat sopan-santun adat Jawa, yang selalu pendiam serba diam dan
diam. Simpatik dia Merapi. Tak tahu sopan-santun. Kurangajar merokok acuh tak
acuh. Hah! Persis aku!
Tiba-tiba aku merasa akrab dengan Merapi itu. Bagaimana sesudah perang atau,
maaf, aksi polisional ini selesai? Ke mana aku? Aku tak sudi lari. Tetapi akan
kuterima kekalahanku. Aku meludah. Sesudah tahun-tahun ini, aku sangsi apa di
dunia ada yang disebut sportif Apa kau ikut Verbruggen saja? Atau menggabung
dengan tentara Republik itu? Jadi kuli dari bekas kuli? Atau ke Negeri Belanda saja?
Sebagai kapten kerajaan pasti ada beasiswa veteran nanti untuk belajar masuk ke
Leiden atau ke manalah; Delft bagus juga. Jadi insinyur seperti cita-citaku dulu. Persetan, ke mana Verbruggen tadi itu? Tetapi apa urusannya aku kemari? Sungguh,
sudah nggak keruan disiplin tentara kalah. Kulihat jam tangan. Masih setengah jam
barangkali konvoi itu baru sampai di sini. Aku harus siap diejek dan ditertawakan.
Hantam balas tentu akan datang nanti. Ya, tokh?
Mudah-mudahan piket itu omong yang benar. Soalnya, tidak ada orang dalam tentara
yang sadar sudah mau diloakkan, begitu saja percaya. Tetapi awas kalau dia bohong.
Akan kutempeleng sampai salto tujuh kali dia. Aneh juga. Mau apa Verbruggen ke
sana? Tetapi dalih apa yang harus aku katakan nanti kalau aku dipergoki! Sepanjang
jalan sejak aku berangkat tadi kupikir, belum lagi ada dalih yang tepat kutemukan.
Atau sebaliknya tak perlu pakai dalih saja? Omong saja bosan di markas, begitu.
Mengapa menguntit? Omong saja, kan paling-paling ya itulah yang bisa dikerjakan
orang bosan. Terlalu toloL Omong saja, jelas-jelas. "lngin tahu ke mana kau."
Peduli amat!
Apa, jawabannya nanti?
Hahaha, jawaban satu yang paling meyakinkan: Karena kau bajingan. Aku ingin
lihat perempuanmu. Ya, begitu saja.
Satu hal yang saya senang dalam jenis bandit-bandit ini: mereka jujur. Karena
mereka lebih dekat dengan binatang. Orang semacarn aku ini paling susah. Malaekat,
tetapi bukan malaekat. Manusia, tetapi terlalu buruk untuk jadi manusia. Atik dan aku,
kami berdua terkutuk untuk menderita. Sungguh gila, mosok sampai sekian tahun
belum lagi tahu mereka ke mana. Atik, Papi, Mami, keluarga Antana. Mengapa tidak
tanya di Sala? Kan pasti keluarga Pangeran Hendraningrat bisa bercerita. Barangkali
Atik mengungsi ke sana. Ah, goblog, aku goblog. Barangkali Verbruggenlah yang ke
sana, bila ia bilang katanya mau konsultasi dengan komandan di Sala. Mosok,
konsultasi melalui radio kan bisa.
Tetapi mengapa aku sendiri tidak ke Sala? Takut? Takut menghadapi kenyataan
barangkali? Ya, aku takut. Sekarang jelaslah serba benderang, bahwa bila aku jujur,
aku harus mengakui, aku takut. Aku takut mendengar tentang keadaan sebenarnya.
Aku takut memergoki apa yang sesungguhnya terjadi. Aku takut bertemu muka
dengan mereka.
88
Dengan keluarga Antana, Atik. Papi dan Mami sudah kuanggap tidak ada. Dimakan
oleh api revolusi, begitu istilahnya barangkali. Ya, aku takut bertemu muka dengan
Atik sebagai seorang yang kalah. Sebetulnya aku dapat bertanya kepada mereka.
Tetapi aku tidak mau. Apakah barangkali Verbruggen melacak mereka? Dia bandit
dan tahu caranya melacak mangsa.
Orang-orang seperti Verbruggen ini aku paling suka. Orang bermoncong meriam
tetapi jiwanya jip. Sanggup dan ikhlas memberi tempat untuk melaju dan ke mana
saja. Jip, GP General Purpose, silakan dipakai untuk apa saja. Kalau di udara pesawat
Dakota itulah. Pengangkut yang masih sanggup terbang terns dengan sayap satu
hilang atau ekor bolong-bolong seperti kéré-kéré pengemis Republik itu. Persetan,
mengapa Verbruggen ke sana. Di luar Magelang sedikit ke arah utara, di sisi kiri ada
kompleks gedung yang pantas dipakai untuk kampus suatu universitas. Hah, Verbruggen ke sana! Ada Si Cantik yang ingin ia isengkan? Aku masuk gedung utama.
Alangkah tenang sejuk suasana di sini. ltu di sayap kanan, rumah-rumah para
"profesor" itu mengingatkan aku pada Mike, gadis bunga kelas di SD, yang pernah
kuciurn dengan balasan kontan tamparan yang nyeri. Di mana dia Si Mike itu? Sudah
jadi istri seorang komandan tentara Republik? Nanti dapat tanya.
Aku melompat dari jip dan menuju kamar piket. Ada seorang Jawa bermental kuli
menunduk-nunduk hormat dengan mata serba licik. Pasti di dalam hati dia
membenciku dan berpikir: "Toh tinggal beberapa hari lagi Soekarno kembali ke
Yogya dan tuan-tuan Belanda boleh tenggelarn di sarnudera kalau mereka dipulangkan ke negeri kodok. Dan kau N1CA Coklat, kau akan disatai. Akan pesta
lidahku!" Bukankah begitu, kuli Jawa harus sopan seperti tai kucing? Tai yang sopan
disembunyikan di bawah pasir?
"Mari silakan, silakan duduk, Tuan."
"Keparat, aku curna ingin menanyakan, apa tadi ada opsir Belanda! datang kemari.
Kutanya tentang opsir Belanda! Tidak minta disilakan duduk."
''Ya, baik-baik. Mari dienakkan duduk di kursi. Maaf, Tuan ... " "Lekas, aku tidak
punya waktu banyak. Dan kau tidak perlu menunduk-nunduk seperti kuli begitu.
Katanya sudah merdeka."
"Ah ya, maaf Tuan ... " Tiba-tiba mukanya mendongak dan mulutnya menganga. Aku
menoleh, karena ada suara mengguntur:
"Kapitein!" Ah, Verbruggen.
"Hallo, bandit. Kau di mana? Kucari kau ... "
''Tutup mulut. Berdiri tegap dan beri hormat,” bentaknya begitu nyaring sehingga
aku sungguh terkejut benar. Matanya menyala seperti mata tokek benggala. "Tidak
dengar? Hormat !" Spontan aku membanting tumitku kanan dan tumit kiri, tegak dan
memberi hormat militer. ''Perintah Komandan. Enyah kau dari sini! Pergi! Ini perintah
militer. Pulang ke pasukanmu. Selesai." Aku tak bisa berbuat lain kecuali "Siap!"
Ketika aku agak bengong lamban menuju jipku, ia membentak: "Lekas pergi!"
Mendongkol jipku kunyalakan, tancap gas. Jip berputar menabrak tiang ramburambu di tepi dan masih sempat menyerempet bola-bola gede gerbang, menyambar ke
arah Selatan. Malu! Mendongkol! Tetapi jelaslah sekarang, Verbruggen punya
rahasia, yang ingin ia sembunyikan. Gas kulepaskan. Pelan-pelan sajalah. Mengapa
harus ngebut? Pelan-pelan, masih banyak waktu.
Ke luar Magelang di muka gerbang kerkop Belanda yang bergaya klasik Yunani
kampungan dengan tiang-tiang seperti kaki nyonyah beri-beri itu aku dicegat MP ¹⁾.
¹⁾ Militaire Politie, polisi militer.
89
Setiap orang infanteri benci pada orang-orang bertubuh besar berhelm putih dengan
huruf MP seperti kutukan Kain itu. Di tengah jalan aku dihadang. 1a memberi hormat.
Dan dengan pendek, tegas tetapi toh menghormati, aku dipersilakan membelok dan
berhenti di bawah gerbang gaya Yunani kampungan itu.
“Ada apa!" Tetapi MP itu diam tak mengucapkan satu kata pun. Kurang-ajar. “Aku
mau tahu, untuk apa tuan menahan saya." Tetapi MP tadi menuju ke rumah penjaga
kerkop. Dan sebentar lagi seorang perempuan dengan menggendong anaknya dan diantar oleh seorang lelaki, suaminya tentu, ke luar dan disuruh duduk di atas rumput di
salah satu nisan. Kedua orang itu gemetar dan menyembah-nyembah minta ampun.
MP itu hanya tersenyum dan mencoba menerangkan dalam bahasa Melayu keliru :
"Jangan takut. Ada tidak apa-apa."
Ia lalu mempersilakan aku masuk rumah dan duduk di dalam.
Berkecak pinggang aku bertanya, "Ini sandiwara apa?" Tetapi si polisi militer bergaya
korekt ningrat menjengkelkan hanya menjawab.
“Perintah. Hanya itu."
''Perintah gila, teriakku. Ia hanya mengangkat bahu dan berdiri di muka rumah.
Berkecak pinggang. Kuambil rokok dari sakuku dan minta kepada mahluk nikotin itu
agar menenangkan perasaanku. Apa aku dilaporkan telah lari dari pasukan? Tidak.
Segala hal telah kuserahkan kepada wakilku dan aku jelas menerangkan, aku ke
Magelang sebentar dan jam tiga siang pasti sudah datang di markas. Aku ke luar
rumah. Kulihat perempuan-perempuan mencuci dan berak di kali Manggis dengan air
seperti jenang coklat. Bahkan sungai di sisi timur kota Magelang yang sekotor ini
ironis sekali diberi nama Kali Bening. Di negeri seperti ini, air yang begitu kotor
penuh berak dan baksil toh sudah berhak disebut bening. Tetapi dalam kanal sekotor
itu juga aku dulu sebagai anak kolong mandi dengan nyaman segar. Dengan norma
apa bening dan kotor itu harus kita ukur? Masih ada juga yang mencuci beras di
selokan itu. Dan dengan enaknya tanpa tahu malu perempuan-perempuan itu turun,
membalik, mengangkat kain hingga pantat mereka menongol serba pekik
kemerdekaan. Tanpa tergesa-gesa kedua bola mereka itu dicelup di dalam air; sambil
omong-omong dengan rekan-rekannya. Biasanya pantat-pantat itu putih dan mulus
halus. Yang putih dan halus rupa-rupanya di sini bisa bersahabat dengan yang kotor
dan busuk. Apa arti mandi bagi mereka? Sering seperti berjingkrak-jingkrak dalam air
caranya dan kadang-kadang ke luar juga sepasang susu besar yang sama-sarna
coklatnya dan diseka seolah mau memelototnya. Bersih sudah. Sering tanpa sabun.
Bangsa begini mau merdeka. Bah!
Sersan mayor PM itu memeriksa Harley-Davidsonnya ¹⁾, lalu bersiul-siul sambil
melihat jam tangannya. Pelan namun tegap ia melangkah ke arahku. Kutawari rokok.
Kunyalakan sigaretnya. Melihat ke jam tangan lagi.
Tuan Kapitein tidak perlu khawatir."
"Kaum perang sudah terbiasa khawatir."
"Untung semua sudah usai," dan dalam-dalam dihisapnya rokok. "Tadi kami hanya
mendapat perintah telepon dari Letkol Verbruggen, ia ingin berbicara dengan tuan."
"Spesial harus di sini?"
''Ya, perintah adalah perintah."
"Kau dari mana?"
¹⁾ Merk sepeda motor.
90
''Dari Limburg. Maastricht. Tuan pernah ke negeri Belanda?"
"Hanya dalam pelajaran ilmu bumi dulu di SD."
"Hidup lebih interesan di sini, Kapitein."
"Untuk beberapa bulan. Akhirnya kalian kan, ya, suka pulang di negerimu."
"Kami akan emigrasi ke Australia."
"Sudah nikah?"
"Kalau pulang nanti."
"Kalau pulang ... ?"
''Ya, kalau pulang. Sering konvoi-konvoi masih terkena ranjau."
"Tunangan cantik.?"
"Cantik. gadis-gadis di sini, Kapitein.
''Bukan itu yang utama."
"Memang."
''Berapa tahun atau bulan kau dinas di Hindia?"
"Indonesia?" (Hatiku tiba-tiba tertusuk. Belanda petani totok tolol ini menyebut
hormat Indonesia. Aku merasa tergugat)
"Sudah sejak divisi 7 Desember dibentuk, Kapitein."
"Sukarelawan?"
"Terpaksa. Dinas milisi. Siapa mau sukarelawan ikut perang idiot semacam ini."
Saya jengkel pada orang jangkung pengecut itu. Kan yang menyuruh perang
bangsamu sendiri. Bersungut-sungut aku diam. Rupa-rupanya ia merasa keliru
komentarnya.
''Maaf, Kapitein, saya menyebabkan kerugian waktu bagi Tuan.
Tetapi itu tadi perintah." Aku tetap diam. Mau omong apa? Dia tidak salah, hanya
menjengkelkan; karena terlalu jujur dan seolah-olah menyindirku. Bagaimana
pandangannya terhadap orang-orang pribumi yang berperang ikut KNIL dan memilih
pihak melawan bangsanya sendiri? Ia memberi hormat, "Maaf, ingin kutengok apakah
Letkol sudah datang atau belum." Aku masih diam.
Dengan langkah yang tegap sersan mayor yang bertubuh gagah itu menuju ke
jembatan Kali Manggis. Mudah-mudahan ia tak terkena ranjau darat. Kan semua
sudah selesai.
Bagi yang milisi warta gembira, bagi yang sukarelawan warta pahit. Ia melihat ke
arah pasar. Melihat jam tangannya lalu tenang pulang ke tempat aku duduk.
"Kau boleh pulang," kataku, "Saya tidak akan lari."
"Perintah adalah perintah, Kapitein."
"Kau seperti tentara Jerman saja: Perintah adalah perintah."
"Itu yang paling mudah, Kapitein. Yang paling menghindari persoalan yang tidak
perlu, “ dan ia tersenyum tenang.
"Menghindati persoalan artinya bertemu dengan soal lain."
''Bisa jadi, Kapitein."
Tidak enak omong-omong dengan anak yang tidak terlalu intelek semacam ini.
Aku yakin, ia benci padaku.
Dari arah Pasar Besar datang suara mesin-mesin truk dan sorak-sorai. MP itu
berdiri dan di cucuran atap rumah ia berhenti dan berkecak pinggang. Iring-iringan
truk dengan dikawal sebuah mobil panser dan beberapa jip serta polisi militer
bersepeda-motor lewat. Membawa orang-orang Hindia, sorry Indonesia, yang bersorak-sorai kepada pejalan-pejalan kaki dan yang bersepeda.
91
''Merdeka! Merdeka!" seru mereka. Orang-orang di jalan mengangkat tangan dan
menjawab hangat: ''Merdeka!'' Ada satu truk yang membawa bendera kecil merahputih. Kebanyakan orang-orang itu setengah umur. Hampir tidak ada yang pemuda.
"Siapa itu?"
Sersan mayor Belanda itu berkata datar, ''Mereka disingkirkan ke Yogya. Kaum
Republik."
"Tawanan?"
''Bukan. Kepala kantor, guru sekolah, bekas jaksa, semuanya kaum pegawai
Republik."
''Dari gunung'?"
"Tidak. Mereka tidak ikut gerilya. Tenang tinggal di kota. Tetapi preventip, untuk
menghindari kemungkinan agitasi yang tidak perlu mereka disingkirkan."
''Mengapa tidak dimasukkan penjara saja?"
"Suatu gupermen ¹⁾yang kalah tidak berhak lagi memenjara."
"Menurut anggapanmu kita sudah kalah?"
''Anggapan saya tidak penting:' jawabnya menghindar.
Sersan-mayor!" dan meluaplah amarahku. "Dengar dan camkan betul. Negeri
Belandamu negeri pengecut."
"Boleh jadi, Kapitein," jawabnya, terlalu tenang dan datar dan karenanya lebih
menjengkelkan lagi. Diakui atau tidak diakui, aku merasa kalah terhadap anak petani
Belanda totok yang terlalu tenang ini. Petani, tetapi mereka terpelajar. Sungguh aku
mendidih. Tenang atau acuh tak acuh? Bagaimana pun aku merasa dikhianati. Aku
yang pribumi membela kerajaannya, dia malahan begitu saja menyerah.
"Merdeka! Merdeka!" dan tiba-tiba ada yang mengeluarkan lidahnya dan
menunjuk padaku sambil menarik tangan teman-temannya.
''NICA INLANDER! Mampus kau nanti!" Panas tanganku otamatis memegang
Viekersku. Tetapi itu tak mungkin. Aku akan merendahkan martabatku. Mereka harus
kuanggap kunyuk-kunyuk belaka yang tolol. Tidak perlu diberi reaksi.
"Sersan mayor!" Geram aku mendesis pada MP itu: "Itu calon-calon pembesar
negara yang baru?"
"Yang penting perdamaian ditanam di negeri ini: “kata petani Limburg itu. Tahu
apa dia tentang masalah-masalah sebenarnya dari negeri ini!
"Siapa tahu satu di antaranya sebentar lagi boleh bersantap bersama Ratu Yuliana
dan Prins Bernhard," tambahnya. Kali ini ia sinis dan bersiullah MP itu suatu lagu
unik yang tidak kuketahui apa. Pegawai-pegawai Republik itu berpakaian sederhana,
dan semuanya bersih. Tampak mereka golongan priyayi. Mereka kelihatan gembira
sekali dan lega bahwa kemenangan terakhir ada di pihak mereka. Seumumnya mereka
sopan dan tidak berkelebihan sorak kemenangan mereka. Hanya pengecut satu tadi
yang mengeluarkan lidah seperti anak kecil. Perkecualian. Bahkan sekilat pandang
kulihat temannya yang diajak mengejek bergerak sikunya, tanda menolak ikut-ikutan
menganiaya jiwaku.
¹⁾ Dari kata gouvernement (BId): pemerintah.
92
Tetapi toh ada satu truk berseru secara koor melucu: “ Dag mijnheer ! Dag mevrouw!
Ayo mampeer, ik hou van yaau.” ¹⁾
Ketika aku menoleh, paman penjaga kerkop yang diusir dan masih berjongkok di
dekat salah satu nisan jaman jenderal van Heutsz ²⁾ itu kulihat melambai kepada para
republikan di dalam truk-truk itu.
Tetapi segera dan sangat takut ia menarik kembali tangannya. Istrinya memegang
tangannya erat-erat dan sedikit memarahinya.
"Mengapa orang itu harus kau usir dari dalam rumahnya? Kan Verbruggen bisa
omong-omong entah di mana pun. Agak aneh ini semua."
"Perintah adalah ... "
''Perintah. Ya, ya sudah hafal aku. Terus-terang saja Sersan Mayor, kalau kau
punya slogan begitu terus, calon istrimu pasti akan lari dengan seorang kopral lain."
Untuk pertarna kali MP itu menyeringai dan omong agak panjang. Lebih muda dan
lebih ferninin bila ia tertawa begitu.
"Saya tidak akan punya kopral atau vaandrig di bawahku.
Hanya sapi-sapi dan domba-domba. Di Australia sana." Toh aku terpaksa tertawa
juga.
"Maaf, Kapitein. Kapitein, giliran saya, bolehkah saya menawarkan cigarello ?
Baru kemarin kuterima dari Katrin. Merokok berdua lebih lezat, bukan?" Dan tanpa
menunggu persetujuanku ia sudah mengeluarkan kotak blek. Willem I Havanna,
cigarello super fine.
"Silakan Kapitein, aku hambamu." Dan dengan elegan, tidak serasi dengan ketanian
yang hanya kuperkirakan itu, ia sudah menyalakan koreknya. Simpatik juga raksasa
tani ini.
''Enak juga ini sersan mayor. Hai, saya ingin tanya padamu.
Bagaimana pandanganmu tentang hari depan'?"
"Oh, di rumah kurang menguntungkan, tetapi di Australia kukira cemerlang, asal
mau kerja saja."
''Bukan, kumaksud negeri ini."
''Ya, bagaimana kukatakan, Kapitein. Sebetulnya aku tidak banyak punya pertalian
batin dengan orang-orang di sini."
"Mengapa kau main-main jadi tentara di sini? Ah ya, saya sudah tahu, perintah
adalah perintah, bukan?"
"Tepat, Kapitein. Juga dengan Negeri Belanda, tanah nenek moyangku, aku juga
sudah tidak begitu punya pertalian emosi seperti ayahku atau bahkan dengan abang
sulungku. Tanah-air adalah di mana ada kesayangan dan saling tolong-menolong, Kapitein. Tanah-tanah milik ayah dan abang semakin lama semakin dicaplok oleh
pabrik-pabrik. Ya sudah, selamat tinggal. Gampang, Kapitein."
¹⁾ Tabik Tuan! Tabik Nyonya! Mari singgah, saya cinta padamu.
²⁾ Panglima tentara Belanda dalam Perang Aceh: ia juga Gubemur Jenderal Hindia
Belanda.
93
"Menurut kau, lebih baik aku tetap tinggal di sini atau cari hari depan rnisalnya di
negerimu Holland?" Sersan mayor itu memandangku dengan heran.
"Maaf, Kapitein, saya tidak berhak menyarankan sesuatu. Hal itu harus ditanyakan
kepada, maaf nyonya, istri Kapiten."
"Saya belum beristri." Sersan mayor itu tertawa sangat simpatik, sehingga aku pun
ikut tertawa.
"Nah, kalau begitu sudah waktunya Kapitein."
"Tetapi kembali pada pertanyaanku tadi. Bagaimana pendapatmu tentang haridepan negeri ini? Ya, sebelum itu kutanyakan kepada, yah menurut nasihatmu tadi,
kepada calon istri."
''Ya, sekali lagi, sebetulnya aku belum sangat kenal dengan orang-orang di sini,
kecuali sebagai tentara pendudukan. Memang rotzooi ¹⁾, Kapitein. Sial juga aku mulai
berkenalan dengan mereka sambil membawa pistol di pinggang. Suatu permulaan
yang idioot."
''Berbahagialah kau belum kenal negeri ini."
"Tetapi rupa-rupanya penduduknya baik-baik saja. Saya dulu punya paman,
Kapitein. Dia pernah jadi asisten residen di pulau entah saya tidak tahu namanya. Di
Indonesia ini. Sebelum perang. Sekarang dia sudah mati, dalam tawanan ]epang. Dia
dulu dalam bulan-bulan cutinya banyak bercerita tentang daerah bawahannya. Bahkan
pernah saya ditumbuhi gagasan untuk ikut dia jadi penanam kopi atau tebu di sini. Dia
berkata, bahwa penduduk di sini kejam sekali. Wajah serba senyum dan sopansantunnya luwes, tetapi terhadap sesama bangsa, keji. (Apakah dia menyindir KNIL
lagi?) Sebagai asisten residen ia setiap hari keliling untuk mendengarkan keluhan
rakyat dan membela mereka terhadap kesewenang-wenangan raja atau bupati
mereka."
"Itu betul."
“Tetapi saya pikir, kalau itu betul, mengapa kaum Gupermen itu kong-kalikong
dengan raja-raja dan bupati-bupati mereka? Apakah dia bohong dan hanya membual
saja, aku tidak tahu. Kukira di mana-mana sama. Maka kupikir, tanah-air adalah di
mana tidak ada kekejaman antara orang dengan orang. Kalau adat atau kebiasaan
suatu nasion kejam, kukira lebih baik jangan punya tanah-air saja. Aku sudah tidak
sabar menunggu hari kami berangkat ke Australia, Kapitein."
"Maka jagalah, agar jangan sampai menerjang ranjau darat, atau terkena peluru
penembak liar."
''Ya, ranjau darat keparat itu. Tetapi ... oh, itu Letkol Verbruggen sudah tiba."
Sebuah jip menyambar pagar jembatan dan masuk ke pelataran kerkop. Sersan mayor
MP tadi memberi hormat kepada Verbruggen, kepadaku dan langsung HarleyDavidsonnya meraung. Aku pun memberi hormat pada atasanku. Sungguh mati, aku
tidak dapat menerka sedikit pun, mengapa ia memilih tempat yang aneh ini. Tetapi ia
langsung masuk rumah dan aku diajak masuk.
"Saya ingin bicara dengan kau. Sayang ilharnku hanya tahu tempat ini, yang
kuanggap paling enak untuk bicara privat dan tidak perlu berputar-putar jalan.
Rokok?"
¹⁾ Brengsek.
94
"Cigarelloku belum habis."
"He, cigarello hebat, dari mana?"
"Kado dari seorang gadis."
"Gila, kau punya?"
''Bahkan Belanda totok."
"Edan! Awas, jangan main-main."
"Aku tidak bohong."
"Leo!" dan sekarang nadanya lebih berwibawa dan serius. "Kenapa kau menguntiti
saya?"
"Kenapa kau pergi ke sana?"
Kepalnya memukul meja, sehingga gelas dan sebatang sendok kuningan berdering.
"Kau kapitein, saya loitenant-kolonel. Omong!" (Saya ingat niat bohongku tadi).
"Terus terang, saya curiga."
"Curiga?"
"Kau tidak seperti biasanya. Saya kau punya antena prajurit. Saya mencium
sesuatu yang menurut rasaku harus saya selidiki. Dan lagi aku rindu pada Magelang."
"Sentimentil. Yang lampau adalah lampau. Tidak perlu kita korek-korek kembali
lagi."
"Apa betul, Letkol? Kau yakin pada apa yang kau katakan?"
"Verdomme!" Dan nervous ia menyedot dalam-dalam sigaretnya. "Leo, jangan
memaksaku berbuat yang bukan-bukan. lni soal serius, kau tidak perlu campur-tangan
atau pun tahu."
"Apa yang serius? lni apa? Kau semakin mencurigakan, Verbruggen.
Baiklah, saya sudah memperingatkan kau. Jadi jangan mempersalahkan saya kalau
ada akibat-akibat yang tidak enak."
“Apa ada di dalam keadaan edan seperti ini yang masih bisa lebih tidak enak?"
"Okey, okey. Saya sudah tua dan kau sebentar lagi juga akan tua. Dengarkan. (Dan
ia menatap padaku, lirih berbisik.) Ibumu sudah kutemukan."
Hah?" Mataku membelalak dan asap cigarelo menyeruduk paru-paru sehingga aku
batuk-batuk tidak keruan.
''Ya, Marice. Tidak usah banyak basa-basi. Ia kutemukan di Rumah Penyakit
Syaraf Kramat sana tadi."
Seperti terkena granat Howitzer 10 inch aku hanya bisa bungkam dan membelalak.
Ibuku di rumah gila? Kramat Magelang adalah rumah gila. Ya Tuhan ... siapa yang
gila, mereka atau aku sekarang? Lemas aku duduk setengah berbaring di atas ranjang
itu. Mamiku malang. Verbruggen menepuk-nepuk bahuku seperti seorang ayah.
''Jangan berlagak kau lebih menderita dariku. Pikullah ini sebagai seorang prajurit."
Aku menangis, tetapi dengan tangis yang kering, dengan teriak yang senyap,
dengan jiwa yang kosong. Karena aku diam saja, Verbruggen bercerita terus. Dengan
suara yang tenang, atau dibuat-buat seolah tenang. Dia pun menderita. Barangkali
lebih menderita dariku. Aku tidak mengira cinta lelaki bisa begitu mendalam dan tak
bisa luntur.
“Aku ingin menyelidiki sendiri. Tanpa diganggu orang. Aku pun manusia dengan
perasaan, dan betapa pun bandit aku ini, aku pernah mencintai ibumu. Kuselidiki di
pihak-pihak ningrat sana. Aku kenal siapa kaum kerabat ayah dan ibumu. Dan merekalah yang menceritakan riwayat sedih itu. Tanpa melantur segera aku mencari ibumu
di Kramat." Parau aku bertanya: "Ia bisa diajak bicara?"
95
"Bisa. Ia bukan gila dalam arti liar. Seperti wataknya dulu, ia tenang. Hanya diajak
dialog ia tidak bisa. Ia hanya ... " Aku meloncat dan berlari ke jipku. Tanganku
dipegang erat oleh Verbruggen.
"Nanti dulu."
"Biarkan aku. Aku mau melihat ... biarkan aku. Kutembak kau !" Verbruggen
mendesis. "Gila kau. Malu tidak kau didengar orang-orang di selokan itu." Aku
lunglai merebahkan diri di ranjang. "Leo, kita akan bersama-sama menengok ibumu.
Tetapi dengan hati yang tabah dan siaga. Tidak seperti anak puber begitu. Sekali lagi,
jangan mengira kesedihanmu lebih besar dari kesedihanku. Penderitaan anak bisa
dalam. Tetapi penderitaan kekasih bisa lebih dalam. Maka itu jangan berlagak. ltu
kalau kau lelaki dan bukan seorang banci sentimentil yang cuma bisa meong-meong
kayak kucing."
“Apa?" Dan Verbruggen kupandang dengan nyala apiku yang benci. Tetapi
matanya yang biru abu-abu itu jauh lebih menyala dan aku merasa kecil di
hadapannya. "Tidak, tidak!" Aku meloncat ke luar. Sesudah itu aku sudah tidak ingat
diri lagi. Kelak aku tahu, bahwa pada saat itu tangan Verbruggen maju dan dengan
pukulan silat di tengkuk, aku dibuat tidak sadar.
Tidak banyak yang dapat kuingat dari pertemuanku dengan Mami, sesudah sekian
tahun tidak bersua. Sebab, saat itu aku sedang kacau dan satu-satunya kesan yang
masih tinggal dalam kesadaranku hanyalah satu ini. Seorang wanita kurus dan pucat,
tetapi masih cantik. Dan wajah kurus putih yang cantik tersenyum itulah yang
kuanggap anugerah warisan terakhir yang kuterima langsung dari Mami. Ibu sudah
tidak dapat diajak berdialog. Pada setiap pertanyaan beliau hanya tersenyum dan
berkata lembut:
''Ya, segala telah kuberikan. Segala telah kuberikan. Tetapi mereka mengingkari
janji."
"Mami, Mami tahu aku siapa?"
''Ya, segala telah kuberikan, segala."
"Mami, aku Teto, anakmu Teto. Mami, aku Teto."
''Ya Teto, mereka mengingkari janji."
"Mami, ini karibmu lama, Verbruggen. Ingat tidak Verbruggen!"
“Ah, bagaimana kabar Verbruggen. Ya, sungguh segala telah kuberikan. Tetapi, ya
begitulah mereka mengingkari janji."
Akhirnya aku menangis tersedu-sedu dalam pangkuan ibuku. Tetapi Mami hanya
tersenyum dan menyeka rambutku.
"Leo, Leo, Mami telah memberikan segala-galanya. Tetapi mereka mengingkari
janji." Pandangan mata ibu nampak jauh. Seolah-olah ia sudah di "sana", tidak di
"sini" lagi. Tetapi ibu sangat tenang wajahnya dan segala gerak-geriknya sama seperti
dulu.
Dokter jiwa Kramat, seorang Indonesia yang sudah agak tua dan tampak lelah,
mengatakan bahwa ia tak mampu berbuat apa-apa. Barangkali para psikiater di Eropa
dapat menolongnya? Segala-gala telah diberikan. Tetapi mereka mengingkari janji.
Dengan kata lain, tidak ada gunanya kami mencari Papi di "sini".
96
13. Burung Kull Mendamba
Menjelang senja Larasati dan ibunya minta diri dari pak Lurah untuk berjalan-jalan
sedikit. Jarang mereka dapat berlibur. Dapur umum tidak pemah beristirahat. Sejak
Ayah tersayang gugur, Atik dan Bu Antana bersepakat untuk berbakti di desa, di
antara para gerilyawan. Rumah di Cemorojajar mereka kosongkan dan memang para
tetangga semua mengungsi juga. Daripada mereka tanpa guna di dalam rumah kosong
di dalam kota yang diduduki musuh dan setiap kali takut diperkosa serdadu, lebih baik
minta perlindungan kepada saudara-saudara desa yang begitu baik menolong mereka
dalam keadaan yang paling pahit.
Ibu Antana dan Atik sudah sepakat untuk mengebumikan suami dan ayah di dalam
kuburan desa saja. Selain mustahil mengangkut jenazah ke kota, keputusan mereka
diberi makna yang indah juga. Pak Antana sejak kecil pecinta alam dan sebenarnya
hanya terpaksalah dulu tinggal di Kramat. Tetapi dalam tulangsungsumnya, Pak
Antana hanya bahagia di antara pohon-pohon dan sawah-ladang yang bebas. Maka
dari segi itu dapat dianggaplah rahmat, bahwa suami dan ayah kedua wanita itu gugur
justru di tengah sawah. Atik selalu ingat kepada anak ayam yang dulu direnggut
burung elang di halaman neneknya. Begitulah alam. Namun mereka yakin,
penguburan di desa pasti sangat berkesan kepada jiwa pribadi yang mereka sayangi.
Sejak itu, ibu dan putri bekerja-bakti di dapur umum para gerilyawan di suatu desa di
seberang jurang Juranggede yang bernama Grojogan. Tugas di dapur berat secara
fisik, tetapi dari segi penyegaran jiwa tak berat. Sebab begitu mereka lalu tidak
merasa sebagai pengemis yang hanya menerima pengayoman tanpa imbalan. Tanpa
dapur umum perjuangan para gerilyawan mustahillah. Dan selalu saja ada pekerjaan
atau tugas mendadak yang lekas-lekas harus dise1esaikan.
Tetapi petang itu Bu Antana dan anaknya ingin makan angin sedikit, sebab pagi
tadi datang berita yang sangat menggembirakan. Seorang kurir dari Banaran, tempat
Staf Umum TNI bersembunyi, membawa warta bahwa Bung Karno dan Bung Hatta
beserta se1uruh Pemerintah akan dipulangkan ke Yogya. Bahkan seluruh dunia
mence1a Belanda, terutama India dan negara-negara bersahabat di Asia; tetapi tidak
boleh dilupakan juga, Amerika Serikat. Kali ini permasalahan akan diselesaikan
secara total.
Indonesia akan diakui oleh dunia internasional dan akan segera diadakan
Konperensi Meja Bundar. Dan konperensi ini hanya beracara tunggal: penyerahan
kedaulatan kepada RI. Ke1ak Larasati tahu, bahwa bukan RI, melainkan RI Serikat
yang akan dibentuk itu yang bakal menerima penyerahan. Akan tetapi kurir ketika itu
berkata RI. Dan tentulah hal itu yang paling wajar. Larasati dan ibunya tahu, bahwa
sebentar lagi mereka harus meninggalkan desa Grojogan. Atik pastilah akan sibuk lagi
sebagai salah seorang sekretaris di Kementerian Luar Negeri. Dan ibunya? Belum lagi
tahu, apa yang akan dikerjakan. Yang jelas, ke rumah abangnya di Surakarta dulu.
Dan jika Atik harus ke Jakarta nanti, tentulah ibunya harus ikut pula.
Maka pada sore hari itu, kedua wanita itu menuju ke kuburan untuk berdoa di
pemakaman, yang hanya diberi tanda dua tonggak kayu sengon. Atik gelisah, tetapi
ibunya tidak tahu bahwa Atik gelisah tidak karena teringat ayahnya. Ya, tentulah Atik
mengenang dan berdoa untuk ayahnya, akan tetapi gagasannya se1alu saja terbawa
lari entah berentah, ke Teto.
97
Kemenangan nasional bagi Atik dibayangi oleh sayap elang gelap, bila mengingat
nasib Teto sekarang. Apakah dia akan dapat menerima kekalahannya? Bagi Atik dan
barangkali untuk setiap wanita yang mencinta, soalnya bukan kalah atau menang,
sebab permainan sondakh mandakh ¹⁾ cinta tidak mengenal itu.
Tetapi Atik sadar juga, bahwa tidak segampang itu perkaranya. Sebab Teto bukan
wanita. Bagi lelaki, apabila ia berwatak rusa raja atau bermuka banteng, soal kalah
atau menang sangatlah vital, bahkan sering yang paling merajale1a segala gagasan
dan sikap. Dan kedua, Teto justru ada di pihak yang kalah fisik, pada pihak yang oleh
kaum sebangsanya dicap sebagai pengkhianat, penjual bangsa.
Kesalahan Teto hanyalah, mengapa soal keluarga dan pribadi ditempatkan
langsung di bawah sepatu lars politik dan militer. Kesalahan Teto hanyalah, ia lupa
bahwa yang disebut penguasa Jepang atau pihak Be1anda atau bangsa Indonesia dan
sebagainya itu baru istilah gagasan abstraksi yang masih membutuhkan konkretisasi
darah dan daging. Siapa bangsa Jepang? Oleh huruf-huruf hitam mati di koran
memang disebut bangsa Be1anda, kaum kolaborator Jepang dan sebagainya. Tetapi
siapa bangsa atau kaum ini itu, bila itu dikonkritkan? Bila itu dipribadikan? Bila
menghadapi Paijo atau Suminah, Willem van Dyck atau Koosye de Bruyn?
Yang menodai Bu Kapten bukan bangsa Jepang, tetapi Ono atau Harashima. Dan
karena kelaliman Ono atau Harashimalah seluruh bangsa Jepang dan kaum republik
yang dulu memujamuja Jepang dikejar-kejar. Pak Lurah dan Mbok Sawitri yang mengepalai dapur umum di desa, serta Pak Trunya yang dulu menolong Pak Antana
tidak ikut-ikutan dengan kekejian Ono. Tetapi kesalahan semacam itu apalah artinya
bagi Larasati. Teto tetap Teto, dan bukan "pihak KNIL".
Ah, mengapa ada manusia kalah? Bolehkah tanpa berkhayal hampa kita
mendambakan suatu dunia sesudah perang kemerdekaan ini, yang menghapus dua
kata "kalah dan menang" itu dari kamus hati dan sikap kita? Atik merasa intuitif,
bahwa pada hakekatnya manusia diciptakan hanya untuk menang. Ataukah itu
gagasan yang hanya mungkin timbul, karena yang punya gagasan itu ada di pihak
yang menang? Sedangkan manusia yang kalah akan berkesimpulan lain, sebab
beranjak dari pikiran atau penghayatan yang lain juga, ialah, bahwa manusia pun
hakekatnya adalah kekalahan konstruksi absurd, bahan tertawaan, batu tindasan.
Mungkinkah kalah dan menang itu diganti oleh satu konsep saja, unsur-unsur
harmoni, kendati tempatnya bertentangan? Apakah kematian ayahnya harus diartikan
malapetaka atau pintu gerbang ke tingkat kebahagiaan yang lebih luas dan mulia?
Atik yakin, bahwa tak mungkin ayahnya sekarang dalam keadaan menyedihkan.
Sebab ayah manusia yang baik dan budiman. Bagi yang ditinggal, memang menyayat
hati. Tetapi bagi yang meninggal? Lalu apa beda dari ide-ide para pemberontak di
Madiun itu yang melihat segala-gala bagaikan pertikaian air lawan api, agar tercapai
hasil air teh? Bukan dialektika, melainkan dialog seharusnya. Ah, di sinilah lagi,
manusia dilihat dengan istilah pukul rata: para pemberontak yang punya ide ini itu.
Siapa konkrit "para" itu "yang" ini itu? Beberapa orang ataukah "mereka semua"? Tidaklah mudah untuk melihat saudara sebumi dan seangkasa ini sebagai engkau
Marsudi" atau "anda Nani". Sebagai ... Teto dan Atik. Apalagi kalau sudah menjurus
soal cinta. Atik cukup paham, bahwa cinta bukan hanya udara kimia homogen rasa
cinta belaka.
¹⁾ Dari kata Zondag-Maandag (Bld): permainan anak-anak.
98
Perkelahian, perbantahan, kejengkelan teremban juga dalam keseluruhan yang disebut
cinta itu. Tetapi dalam cinta memang perkelahian menjadi lain. Bagaimana kelak
kalau punya anak, diberi nama Bambang Dialogo'? Dan bila perempuan: Siti Harmoni?
''Ada apa kok tertawa?" tanya ibunya.
"Tidak ada apa-apa."
"Mosok, tidak ada apa-apa kok tertawa."
"Kan sering begitu Bu, orang itu."
''Aku tidak."
''Ya, karena tidak melihatnya."
"Ingat Teto, ya?"
''Ya, Teto dan ayah dan ibu dan Pak Lurah dan tahu tempe dapur umum." Ibunya
hanya geleng-geleng kepala.
Langit Barat serba menyala dan awan-awan hitam terakhir dari musim hujan masih
saja bergumpalan, namun dengan tepi-tepi kencana yang menakjubkan.
"Semoga Teto masih selamat dan ke luar sehat walafiat dari perang ini," kataAtik.
"Benarkah di luar sahabat Teto tidak ada pria lain?"
''Pria sih banyak, Bu. Tetapi suarni kan tidak hanya pria saja. Ibu tidak pernah
setuju bila aku menyebut Teto."
"Seorang ibu selalu begitu, Tik. Dan jangan lupa, Tik. Suarni lain dari kekasih
belaka."
''Ya, aku memahami itu. Sudah banyak kali ibu mengatakan itu. Aku setuju, aku
setuju, Bu. Tetapi kan boleh, dalam senja yang indah seperti ini orang berfantasi
tentang kekasih. Lihat itu, langit pun berwarna-warni seperti bunga-bunga fantasia."
Bu Antana dalam hati sebenarnya sudah menyerah, seperti biasanya, menghadapi
Atik yang cerdas dan selalu jujur membidik tepat mengenai sasarannya. Bu Antana
tidak pernah dapat banyak membantah. Satu-satunya pegangan yang dipunyai Sang
Ibu hanyalah pengetahuan, bahwa Atik tidak akan berbuat yang bukan-bukan. Tetapi
dari pihak lain, anak yang pandai belum tentu ahli juga dalam masalah cinta.
Rasionalitas yang tinggi sering diikuti oleh kesentimentilan yang mencemaskan. Ah,
sebetulnya Atik dapat memiliki hari-depan yang gemilang. Ia selalu berkecimpung di
kalangan teratas dari negara yang muda ini. Dan sekarang, di ambang pintu kejayaan
pengakuan kedaulatan Republik yang mereka perjuangkan itu, lebih gemilang lagi
hari-depan Atik. Dan di mana ada ibu yang tidak menginginkan kedudukan bagi
anaknya yang lebih bagus dari orangtuanya?
Tetapi Bu Antana terkenang juga masa mudanya. Ketika itu pun Marsiwi tidak
mustahil dipersunting oleh seorang pangeran keraton Sunan Surakarta. Sekian banyak
putera dari garwa ampil akan gembira memperoleh Raden Ajeng Marsiwi ... lnikah
hukum Karma?
Tetapi bila hukum Karma menjadi kehidupan, tentulah Atik juga akan bahagia
seperti ibunya ketika memperoleh Mas Antana. Dari pihak lain, apakah suaminya
yang seluhur budinya itu, yang halus penuh tenggang rasa dapat disamakan dengan
Teto, serdadu KNIL, yang dicap pengkhianat dan penjual bangsa? Bu Antana tahu,
seperti seluruh keluarga di Sala, mengapa Teto berbuat demikian. Tetapi apakah
motivasinya cukup berbobot? Bu Antana tidak mungkin menempatkan diri duduk di
kursi hakim. Namun sekarang ada permasalahan yang langsung mengenai dirinya.
Atau lebih tepat mengenai anak tunggalnya Atik .
99
Erat-erat tangan anaknya dipegang, seolah khawatlr hilang. Sekali lagi ia masih
akan mencoba. Siapa tahu, anaknya akan berubah haluan, pada saat yang terakhir.
Sering tarikan tiba-tiba sedikit saja sudah dapat membelokkan layang-layang pada
saatnya, bila kebetulan kena. Seperti puteri-puteri priyayi tinggi lainnya, Bu Antana
dulu juga sering bermain layang-layang. Tetapi tidak seperti anak-anak lelaki.
Layang-layang puteri-puteri bangsawan berbentuk segitiga, terbuat dati sutera dan
dari ketiga ujung itu terikat dua belas saputangan berwarna-warni.
Ah, seperti kemarin saja masa kanak-kanak dirasakan Bu Antana; di jaman yang
tidak pernah ada perang dan revolusi. Tidak bisa dibanding. Segala situasi serta
perkara-perkara besar-kecil pun tidak bisa dibanding. Bukan layang-layang sutera bersapu-tangan warna-warni yang dihadapi hari ini, tetapi pesawat pemburu yang
menyemburkan maut untuk suaminya.
Memang benar kata Atik, kasihan suaminya tidak mengalami lahirnya cucu.
Seolah-olah hidupnya berakhir tanpa berkat. Tidak seperti bunga yang gugur karena
selesailah tugasnya. Suaminya dirampok dari tengah-tengah mereka. Dan sekarang
anaknya bersimpati atau bahkan mencintai salah seorang wakil dari pihak yang
membunuh suaminya. Mengapa semua itu harus terjadi? Bagaimana pertentangan itu
harus ia emban?
"Tik, bukan aku ingin mengganggu pikiranmu ... "
''Boleh Ibu, gangguan seorang ibu kan baik-baik saja."
"Juga ibumu tidak berkehendak menusuk perasaanmu."
''Ah, tusukan ibu kan tusukan enak."
''Tik, serius. Bagaimana seandainya, ini hanya ... hanya seandainya. Bagaimana
seandainya Teto tidak berminat padamu, jangan lagi melamar. Kan bertepuk tangan
sebelah tidak bisa."
"Kalau dia tidak melamar, sayalah yang melamar."
Terkejut Bu Antana mendengar ucapan yang menurut adat tidak semestinya itu.
''Apa itu tidak memalukan, Tik?".
"Memalukan? Ah, Ibu. Kan Atik tidak mencuri, tidak bohong, tidak berbuat eh ...
tidak ... jinah?"
"Ya, tetapi bagaimana seorang puteri kok melamar."
“Biasa, melamar. Keleting Kuning melamar Ande-Ande Lumut.
Kan hikayat Jawa itu punya arti: ngunggah-unggah ¹⁾ asal baik-baik caranya, diakui
syah, atau istilahnya: berusahalah." Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya.
''Bagaimana andai ayahmu tahu itu?"
"0, Ayah pasti setuju dengan Atik."
Dalam hati Bu Antana tahu, bahwa dalam masalah seperti ini, suaminya pasti akan
memihak anaknya. Tetapi bagaimana nanti seandainya Teto menolak?
"Sekarang yang benar, Tik. Pernahkah kau menerima surat atau apa pun dari dia?"
''Belum.''
"Nah, bagaimana kau tahu bahwa ada kemungkinan dia akan menjawab
kecenderungan hatimu?"
"Aku tahu."
"Apa pernah ada tanda-tanda ke arah itu?"
"Tentu saja Pernah."
"Pernah? Kapan?"
¹⁾ Wanita yang melamar pria.
100
"Ya, kapan-kapan. Tetapi pernah."
"Kau belum pernah cerita itu kepada ibumu."
"Maaf, Bu. Memang belum."
"Hati-hati Tik, jangan bermimpi."
"Dalam jaman seperti ini, kadang-kadang mimpi kan sering perlu Bu." Dan
pinggang ibunya dirangkul. Bu Antana menyerah, seperti setiap wanita Jawa sejati
akan sumarah. Dalam keadaan apa pun. Tanpa patah-hati. Atik menoleh dan ibunya
diputar melihat ke arah sebaliknya, ke kawah Gunung Merapi yang terkena oleh sinar
senja.
"Lihat, Bu. Alangkah inginnya aku sesekali naik sampai di atas puncak itu. Dan
mengembara ke dalam hutan-hutan lereng-lereng itu. (Dan lirih berbisik) Seperti dulu,
bersama Ayah ... Ataukah barangkali Ayah sedang mengembara di sana juga, di
puncak itu? Tidak. Ia di samping Ibu sekarang. Di sampingku juga. Ibu tidak
mendengar Ayah? Bisikan Ayah?"
Bu Antana diam, mata berlinang-linang dan mendengarkan suara angin.
Bagaimana nanti seandainya Atik sudah kawin dan hidup bersama dengan suaminya?
Selayangan timbul pikiran jelek: setiap peminang anaknya adalah perampok. Yang
menjambret kebahagiaan seperti yang sekarang ini, berdampingan dengan anak
tersayang. Kalau sudah kawin, Atik sudah milik orang lain. Terasa getir jadi janda
yang harus menyertai menantu.
"Ibu, mari duduk di batu ini. Agar tenang dapat menikmati puncak gunung itu."
Desa persembunyian markas dan dapur-umum para gerilyawan itu begitu dekat
dengan puncak Merapi sehingga terang tampak kepulan-kepulan keci1 seperti bintikbintik bulu anak ayam turun dari kawah. Setiap tiga-lima menit keluarlah bulu-bulu
asap itu, dan menggelinding ke bawah. Puncak dan lereng itu tampak kasar telanjang
tanpa pepohonan. Hanya lahar saja, dan tampak jelas kontras reliefnya, mana
punggung mana jurang.
Petang semakin dingin, tetapi Larasati selalu memohon agar masih boleh
menunggu beberapa menit. Udara dingin di lereng gunung. Karenanya mereka telah
membawa jas-jas hangat. Bahkan jas yang dipakai Bu Antana adalah jas berbulu
tebal, hadiah isteri seorang sekretares Goodwill Mission dari USA yang bersimpati
terhadap Larasati. Barangkali agak longgar sedikit untuk Ibu, tetapi lebih baik begitu.
Kedua wanita itu menunggu tenggelamnya matahari. Bintang-bintang pertama telah
menyala dan segeralah langit suram menjadi gelap. Lihat, lahar yang menyala kini
tampak jelas, seperti lidah Batara Agni yang senantiasa mengancam manusia yang
pernah mencuri api dari kahyangan.
Penduduk desa pulau Jawa umumnya tidak berbeda dari gunung-gunung yang
mereka huni, pikir Atik: serba tenang, damai, namun kedamaian lereng vulkan yang
setiap saat dan periodis meletus memuntahkan lahar. Minggu yang lalu tersiar berita
tentang seorang sersan mayor di desa seberang jurang, yang kata orang mengobrakabrik makam orang desa Juranggede yang meninggal pada hari Selasa Keliwon. Ia
ingin mendapat kesaktian dan mencari kekayaan. Dunia kaum diplomat internasional
dan dunia mayat Selasa Keliwon yang digigit patah lehernya, alangkah lebar jurang di
antara kedua dunia itu. Di manakah Larasati berdiri?
Diam kedua orang itu memandang pada lidah api yang setiap tiga-lima menit
meluap lalu pelan-pelan mengalir ke bawah. Pijar-pijar api menyertai lidah. Lalu
berhenti. Ke luar lagi. Pemandangan yang mencekam.
101
Sudah berapa ratus ribu tahun puncak Merapi itu bermain lidah api begitu?
Tentulah nun jauh di kala dahulu, gunung Merapi belum setinggi itu. Barangkali dulu
kawah melalui liang leher Merbabu disebelahnya. Kita hidup di atas tungku yang
masih panas bergolak. Negeri ini subur dan gending-gending sinden-sinden mengalunkan kedamaian manusia-manusia penanam padi di lereng-lembah. Kesuburan
hadiah dari muntahan gunung api yang buas.
"1bu, barangkali Atik tidak akan terus bekerja di Kementerian Luar Negeri."
Dalam gelap suara yang hampir berbisik itu terasa sebagai angin malam yang
mewartakan berita penuh kekhawatiran ke dalam telinga ibunya.
"Apa lagi, Tik! Di Kementerian Luar Negeri karirmu bisa terjamln.
"Aku seolah mendengar pesan Ayah, Bu."
Tubuh anaknya ditarik dan dirangkulnya. Berdebar-debar jantung Jawa sang 1bu
menanti apa yang akan dikatakan anaknya itu. "Aku ingin meneruskan pekerjaan
Ayah. Di dalam dinas kehutanan, Bu." Dalam gelap tidak tampak tetapi seperti kawah
Merapi itulah airmata panas dari kedua wanita itu meleleh. Ya, begitulah. Sudah
seharusnya begitulah. Mengapa gagasan semacam itu tidak datang dari kalbu si 1bu?
Bu Antana merasa bersalah terhadap suaminya. Apakah selama ini ia baru teman
hidup, dan belum seperti yang selalu diajarkan oleh para orang-tua, belahan jiwa,
garwo? Seharusnya ia lebih dulu merasakan itu. Ternyata toh anaknya Larasati lebih
dekat dengan ayahnya. Seolah-olah kesejatian diri suaminya itu sekarang sudah
pindah raga dan memanjing di dalam kalbu anaknya. Dan lebih terasa lagi kesepian
hati Bu Antana menghadapi nasib ditinggal sendirian. Sebentar lagi anaknya harus
pergi juga. Lalu kawin, Lalu ... BuAntana menangis.
"Maaf, Bu, saya tidak tahu, bahwa itu membawa kesedihan 1bu."
"Tidak, tidak, Tik," dan menangislah lirih ibunya.
Apakah Gunung Merapi itu sedang menangis, tanya Atik dalam hatinya. Karena
begitu sesak rongga dalamnya, alam sering menangis pula. Atik merasakan sumber
kekuatan ayahnya. Ayah pandai berdialog dan menangkap pewartaan alam. Mengapa
ibuku menangis? Ah, tentulah ia merasakan kesedihan jandanya.
“Aku tidak sedih, Tik. Bahkan sebaliknya."
"Kalau begitu, menangislah tenang Bu, Atik akan selalu mendampingi Ibu."
"Sekali saat kau harus meninggalkan ibumu. Itu sudah selayaknya. Ibu akan lebih
bersedih hati kau menjadi perawan tua. Pohon yang mandul. Jangan, Tik. Kau harus
segera kawin. Siapapun terserah kau. Asal Atikku bisa bahagia seperti ibumu."
Atik diam. Pemilihan hati yang ditentang membawa kesulitan banyak. Akan tetapi
pemilihan yang sudah diberi jaminan ruang kebebasan bahkan tujuh kali lebih sulit.
Sekarang bahkan ia bimbang, betulkah keyakinannya selama ini, bahwa hanya Teto
yang paling ia dambakan? Mengapa ia memilih Teto? Karena ingin
menyelamatkannya dari suatu kehancuran yang sudah menampakkan diri dalam
seragam serdadu KNIL sekian tahun yang lalu di jalan Kramat itu? Apakah rasa
kasihan cukup untuk dijadikan sendi hidup perkawinan? Di mana dua pucuk senjata
yang dilemparkan Teto ke dinding itu sekarang? Pada saat itu Atik paham benar
tentang kebimbangan,sahabatnya yang malang itu. Teto sendiri sebenarnya bahkan
membenci keputusan sikapnya itu, akan tetapi toh ia berbuat terus melawan suara
hatinya. Ataukah hanya keliaran binal saja itu? Gerak gaya jago serba berani menentang bahaya yang ingin ia perlihatkan? Barangkali ia malu menghadapi seorang
gadis dengan pistol dan senjata otomatik? Atik tidak pernah merasa diri punya watak
Srikandi.
102
Tetapi dapat dibayangkan betapa malunya Resi Bisma ketika harus berhadapan
dengan lawan perempuan Srikandi. Tetapi Atik tidak pernah punya niat untuk melukai
Bisma sedikit pun. Ataukah ada kekuatan Ambika yang melayang di udara dan yang
mengalahkan Bisma, sehingga Teto terpaksa lari? Lari karena takut? Tidak. Pasti
tidak.
Teto tidak mengenal takut. Ia lari, barangkali karena tidak kuat menghadapi
situasinya, menghadapi konflik batin antara nafsu membalas dendam nasib ayah dan
ibunya dan perasaannya terhadap dia, Atik. Apakah itu harus ditafsir sebagai sebentuk
sasmita rasa cinta yang terpendam? Selama ini begitulah tafsiran Atik. Tetapi apa
benar demikian? Di mana senjata itu sekarang? Sudah lama hal itu tidak ia tanyakan
lagi. Kawan-kawan Larasati yang menjemputnya di Krarnat VI dulu itu berhasil
pulang lagi ke rumah Proklamasi di Pegangsaan Timur dengan riang, dan telah
menyelundupkan kedua senjata itu ke dalam mobil. Tentulah mereka bertanya, dari
mana ada dua senjata itu. Atik sulit bohong. Tetapi toh ia berhasil membelokkan
kemungkinan kecurigaan. Ada serdadu India yang rupa-rupanya mau merampok,
tetapi meninggalkan senjata itu dengan bayaran suatu patung ukiran Bali sebagai
kenangan. Dongeng itu sarna sekali tidak logis. Tetapi di saat-saat serba panik dan
teror, semua hal mungkin saja terjadi ... dan dipercaya.
Sesekali akan ia tanyakan lagi kepada Mayor Budi, kawan yang menjemputnya
dulu itu. Ingin ia minta kembali kedua senjata itu. Kalau boleh sebagai kenangan. Toh
sekarang sudah tak dibutuhkan lagi. Serdadu India yang merampok? Atik tersenyum
sayu. Seandainya benar, alangkah bahagianya, perampok hati. Tetapi biarlah.
Memang mengharukan dongeng Ande-Ande Lumut. Tetapi siapa lelaki tulen yang
mau jadi Ande-Ande Lumut? Angkasa penuh bintang ini seharusnya indah dan cukup
menerangi kegelapan hati.
"Tik, ibumu sudah terlalu kedinginan. Dan kita harus menolong mereka di dapurumum. Lagi, tidak pantas kan perempuan sendirian di kegelapan."
"Ibu kan tidak sendirian di kegelapan?"
"Tidak sendirian, tetapi sendirian juga."
"Mari Bu."
Sambil pelan-pelan berjalan pulang bergandengan dengan ibunya, Atik
memperhatikan suara-suara warta alam yang sudah bersiap untuk istirahat. Konser
serangga-serangga cenggeret-nong yang selalu ramai menggesek biola mereka serba
dialog sudah berhenti, "gerèèèt-nong gerèèt-nong" disusul: "sigarèt-crèt-sigarèt-crètsigarèt-crèt" begitu mereka sejak tadi.
Bahkan sering berbunyi begini serangga-serangga itu "sendiko! sendiko! Sendiko ¹⁾
Namun kini mereka sudah berhenti. Ah, itu si burung kul yang terlambat pulang
barangkali. Burung kul atau kukuk itu memang tukang mengeluyur, dan buruknya
selalu menitipkan telur-telurnya dalam sarang burung-burung jenis lain. Watak
kolonial sungguh, seperti NlCA. Lagi aneh burung-burung kul itu. Yang betina
berwarna coklat merah tua bercahaya hijau dan berbintik-bintik muda. Cantik anggun
sebetulnya. Tetapi yang jantan jelek, hanya hitam seperti gagak belaka dan memang
sering keliru dianggap gagak. Hanya kalau terbang tampak bedanya: si burung kul
ekornya lebih panjang dan cara terbangnya lebih tergopoh-gopoh.
¹⁾ Sendiko (bhs. Jawa): siap taat.
103
Tetapi ocehan jantan dan betina anehnya lain juga, padahal burung satu macam. Yang
betina lebih puitis: "culik-ulik-ulik" dan disambung "kuil-kuil-kuil!" Sehingga orang
menyebutnya burung culik-ulik; sedangkan yang jantan sangat prosa:
"Tuhuu-tuwoo, tuhuu-tuwoo!" Maka diberi nama burung tuhu atau tuwo. Lucu kalau
mereka berdialog: culik-ulikulik ! Disambut: Tuhuu, Lalu: kuil--kuil--kuil! Tuwoo!
Dulu Atik sangat senang clan banyak tertawa karena percakapan mesra mereka:
"Culikulikulik-Tuhuuu-kuilkuil-Tuwoo." Tetapi sekarang semua itu mengingatkannya
pahit kepacla tragedi ke1ainan bahasa clengan "abangnya" Teto. Mungkin ibunya
lebih betul: Larasati harus lebih realistis. Romantika revolusi inclah memang, tetapi
hanya clalam novel picisan.
Kuil-kuil-kuil! Tuwoo!
104
B a g i a n III
1968 - 1978
14. Jurang Besar
His Excellenry John Ambassador Brindley mengangguk-angguk. Sopan-santun
setempat mengharuskan beliau mengangguk-angguk sambil kadang-kadang betkata
takjub: "Bagus! Bagus!" ltu kata pujian pertama yang ia hafalkan sejak ia diangkat
menjadi duta-besar di negeri vulkan yang cantik jelita ini. Dan juga "terimakasih",
"maafkan". Memang gunung berapi yang sangat runcing itu benar-benar indah.
Nyonya Duta Besar dan puterinya, kedua-duanya tidak merasa sejuk sedikit pun,
kendati punggung sampai pinggul menampakkan kulit berwarna bakso Mbah Kliwon.
Harus diakui, alam di sini indah. Suasana mendamaikan jiwa. Segera mereka sibuk
mendesingkan kamera film mereka. Ke arah kerucut yang puncaknya sobek besar,dan
yang tampak kadang-kadang melemparkan gumpalan-gumpalan , kecil awan putih.
Tetapi tak lupa juga lensa kadang-kadang dibidikan ke arah anak-anak melarat yang
berduyun bersotak ria ingin masuk ke dalam alat film itu; entah dengan harapan apa
tak seorang pun tahu sebenarnya. Pokoknya senanglah, senang murni.
Anak-anak itu riang dan untunglah semua serba berisi daging. Tak ada yang kurus
memalukan negara, begitu pikir Pak Camat. Noni puteri duta-besar itu (atau
kemenakan, tak ada yang tahu persis tentu saja) dengan tersenyum minta bapak-bapak
polisi yang banjir tanggung-jawab itu, agar jangan mengusir anak-anak. berjingkrakjingkrak, mulut bergigi terlalu besar seperti kelinci mereka berebutan ingin jadi
bintang film. Pak Gubernur dalam hati malu melihat tingkah anak-anak itu yang
kurang menunjukkan kewibawaan negara. Ia mendekati Pak Bupati dan tampak
mukanya seram marah. Pak Bupati hanya dapat mengangguk-angguk, siap
melaksanakan perintah. Ia pergi ke Pak Camat. Maka ketika nyonya-nyonya itu
mengejar duta-besar yang menjauh, yang rupa-rupanya ingin menaksir dalamnya
jurang, dengan tangan serawehan ¹⁾ Pak Camat memberi aba-aba tanpa kata, agar
anak-anak itu enyahlah. Seorang anak terjatuh bersama kakaknya dan menangis keras.
Seorang polisi mendekati mereka dan tampak dari gerak tangan dan kulit mukanya,
bahwa gadis dengan anak menangis itu, "oknum-oknum yang tak diinginkan",persona
non grata.
Tetapi anak-anak dan muda-mudi yang sudah sejak pagi menunggu kedatangan
tamu-agung di Juranggede, jurang MEREKA, tentu saja tidak mau begitu saja disuruh
pulang. Berduyun-duyun mahluk-mahluk gesit itu mengikuti rombongan tamu-agung
ke mana saja mereka pergi.
Bapak Gubernur tampak kesal melihat bangsanya begitu terbelakang, ndeso ²⁾.
Begitu juga Pak Bupati; tetapi bukan karena anak-anak itu kurang internasional, tetapi
karena ia baru bupati penjabat. Karena itu apa pun yang mungkin dapat menjadi batu
perintang kenaikan pangkatnya menjadi bupati sungguh-sungguh harus disingkirkan.
¹⁾ kalang kabut.
²⁾ Seperti orang desa.
105
Pak Camat juga kesal hati melihat anak kepangrehannya begitu tak tahu adat
mendekati tamu-tamu agung. Ia khawatir juga, jangan-jangan nanti Pak Bupati
menanyakan soal SD Inpres yang selama ini belum beres soal pembangunannya, dan
berapa jumlah anak yang akan ditampung sesudah SD Inpres itu selesai.
kalang kabut. Seperti orang desa.
Dan anak-anak itu? Sama sekali tidak kesal hati. Anak diusir sudah merupakan hal
yang semestinya terjadi. Bahkan luar biasa aneh kalau tidak begitu. Tetapi dari pihak
lain, bila anak tidak menggubris perintah dan menjengkelkan seperti lalat yang diusir
tetapi nekat kembali lagi, nah, itu pun sudah biasa juga. Aneh juga andai anak tidak
seperti lalat. Untung Sang Duta Besar sudah membiasakan diri dengan cara
penyambutan anak-anak negara yang sedang berkembang. Istrinya juga, bahkan
puterinya sudah belajar memanfaatkan adat dikerumuni anak-anak dan orang-orang
pribumi. Ia punya hobi mengumpulkan foto wajah-wajah macam-corak orang-orang
dan anak-anak miskin, atau yang rupanya sudah buruk, tua bangka keriput, atau yang
aneh-aneh, pokoknya manusia-manusia pribumi yang "interesan" istilahnya. Foto-foto
itu dipasang di dalam kamarnya sehingga merupakan semacam komposisi unsurunsur wajah yang, betul percaya deh, bisa dikatakan bermutu seni juga.
"Negeri Tuan sangat indah," kata Duta Besar penuh sanjungan diplomat kepada
Gubernur. Mungkin juga ia jujur mengatakannya itu. “Dan rakyat tuan tampak subur
serba gembira," tambahnya lagi, sambil melepas kaca-matanya yang gelap lebar.
"Kami bangsa Indonesia bangsa yang selalu gembira" jawab Pak Gubernur dengan
nada bangga. "Apa ada satu orang pun Yang Mulia lihat kurus?"
"Tidak! Sungguh tidak! Pipi-pipi anak-anak itu bulat-bulat segar dan ..." ia
membisikkan sesuatu dalam telinga Pak Gubernur, yang mendadak tertawa gelakgelak
"Betul! Betul Yang Mulia, montok-montok kaum perempuan kami." Pak Duta
Besar membisikkan sesuatu lagi. Pak Gubernur tertawa lagi. "Terlalu! Yang Mulia
terlalu. Memang ini keprihatinan kami. Kalau Indonesia sudah modern, semua
menjadi kerempeng. Ah jangan, jangan. Kami akan berusaha untuk menjaga
kepribadian bangsa kami. Tetapi apa betul Yang Mulia, ada hubungan antara
tehnologi dan eh ..."
Tetapi Pak Duta Besar membelok 180 derajat, sebab istrinya mendekat dan
memotong 'Sorry, John! Kau tadi bawa teropong? Lihat ini Pak Gubernur, suami saya.
Sudah tujuh kali aku bilang: Jangan lupa teropong! (Kepada suarninya) Nah,
Sayang…….?
"Pasti tidak lupa, Sayang. (Kepada Pak Gubernur). Apa di Indonesia para istri
berhak memerintah pejabat berpangkat tinggi?" (mata dipejamkan satu), Pak
Gubernur hanya tertawa.
106
"Tergantung istri yang bagaimana, Yang Mulia." Istri Duta Besar tersenyum dan
kepalanya oleng genit mendengar sanjungan itu.
Sementara John Sang Duta Besar merangkap Sang Suami mengambil barang yang
dikehendaki istrinya, pak Gubernur bertanya: "Bagaimana Nyonya,
pemandangannya?"
"Indah. Indah sekali. Saya sudah pergi ke mana-mana, akan tetapi seindah ini
belum pernah kujumpai. (Menunjuk ke kawah Merapi.) Lihat itu ada lagi yang
menggelundung. Ngeri sebearnya. Bayangkan itu jatuh di desa penuh dengan anakanak manis itu."
"Kami sudah siap siaga. Sudah saya instruksikan pengaturan-pengaturan
pengungsian dan segala hal perihal logistik apabila gunung ini meletus. Tetapi yang
penting ialah menginsafkan penduduk, Nyonya. Pemerintah kami sudah
mempersiapkan tempa-tempat transmigrasi yang bagus untuk hari-depan mereka.
Tetapi sangat sulit menyadarkan mereka. Dan Nyonya tahu, negara kami
berpancasila. Jadi kami tak pernah memaksa penduduk. Kalau mereka tidak mau
pindah, baiklah, kami menghormati kemauan mereka. Jalan-jalan pertolongan lain
masih ada."
"Memang berat rasanya meninggalkan tempat yang begini dah. Lihat, segala-gala
di sini hijau dan biru. Hanya lidah lahar itulah yang hitam. Tetapi subur, sangat subur
tanah ini."
“Itu berkat, tadi kulihat, hujan abu vulkan-vulkan kami, Nyonya."
"Ya, kami tahu. Tapi tadi kulihat selokan kecil. Aduh, alangkah bening airnya.
Nanti kami berhenti sebentar ya, di dekat selokan itu. Ingin aku berhenti sejenak dan
mendengarkan airnya yang gemericik. Bapak Gubernur bahagia menjadi bapak rakyat
daerah yang semakmur ini. Dan anak-anak itu, aduh anak saya tak henti-henti sangat
terpesona oleh mereka. Manis, manis. Juga pemuda-pemudanya nggantengngganteng. Ada yang wajahnya klasik, seperti dalam Ramayana."
Pak Gubernur tampak berkemilau wajahnya. Tetapi matanya tak bisa lepas dari
kamera film yang dibawa tamunya. Ia mencoba mengingat-ingat merknya. Untuk
bertanya ia malu. Beliau sudah punya, tetapi hanya merk Jepang. Selaku pejabat yang
bertanggung-jawab atas wilayah yang luas, beliau merasa wajib untuk membeli
kamera film yang lebih bertanggung-jawab pula.
Anak-anak melongo mendengarkan percakapan dalam bahasa asing itu. Sungguh
mengagumkan bisa berbahasa asing. Gadis-gadis pada melongo memandang kulit
putih punggung yang telanjang sampai pinggul dari nyonya-nyonya itu. Padahal
dingin di lereng gunung. Heh, berketingat juga, tetapi keringatnya bau, deh. Bukan
seperti kambing tetapi mirip, entah aneh sekali, daging sapi mentah. Ketiaknya
ternyata juga ada rambutnya. Lho, kok sama.
107
Tapi susunya besar, Pak Gobang punya, kusir gerobak sapi yang gemuk dan selalu
mengkilau kulitnya seperti batu kali item kena hujan.
Beberapa anak lelaki berdebat, uang di dalam dompet nyonya itu berapa kira-kira.
Kontan dipukul kakaknya perempuan, yang takut perdebatan itu terdengar para
pembesar. Mereka lari dan menggulung-gulung di rumput. Pesta sungguh hari ini.
Ada yang bisa dilihat.
Banyak yang mengerumuni mobil-mobil pembesar, sambil berdiskusi bikinan
mana dan sebab apa yang satu punya lampu kuning banyak dan yang satu ada tulisan
pelat CD. Berulang-ulang Pak Polisi mengusir anak-anak yang gatal tangan itu.
"Cah ndéso¹⁾” umpatnya. "Belum pernah lihat mobil, ya?" Anak-anak hanya melihat
Pak Polisi seperti mengharapkan keterangan apa artinya CD itu, dan mengapa lampulampu kuning begitu banyak. Tetapi rupa-rupanya Pak Polisi tidak tahu juga. Maka
mereka berjongkok dan mencoba melihat ada apa di bagian bawah mobil. Terkejut
mereka diserodog teman dan spontan cepat-cepat berdiri, disangka dimarahi polisi.
Sambut-menyambut ketawa tentu saja dan berlari-larilah mereka kejar-mengejar.
Puteri Duta Besar memandang mereka berlari sambil tersenyum. Rakyat yang
bahagia, pikirnya dengan sedikit dambaan pada semacam Lost Paradise. Pak Bupati
yang masih penjabat itu memanggil Pak Camat.
"Bagaimana Giyo, garong-garongmu?"
"Aman Pak. Selama Giyo tiga tahun di sini, belum ada kejadian. Insya Allah tidak
akan ada peristiwa berat, Pak. Tetapi sebetulnya Bapak maklum juga, ini hanya
tergantung dari kabupaten seberang jurang sana. Sebab di sanalah sarangnya, sejak
jaman Belanda dulu." Pak Bupati mengerenyitkan mukanya. Mata menyipit
memandang jauh ke seberang jurang lahar ke daerah rekannya Bupati Anu.
''Begitu1ah, memang Anu sahabatku. Tetapi ia terlalu bermoral. Maling harus
ditangkap dengan maling. ltu sudah dalil. Kau kenal semua gentho²⁾ di daerahmu?"
"Semua, pak. Itu beres. Tetapi yang berasal dari seberang jurang sana itu, susah
Pak. Lain kowilhan ³⁾ itu!' Mayor Intel Korem ikut masuk gelanggang percakapan ten
tang garong. Masalah garong punya unsur-unsur politik, katanya. Tetapi yang jelas,
semua setuju: menangkap lurah garong hanya mungkin dilakukan oleh lurah garong
lain. ltu kebijaksanaan abadi.
"Coba nanti." Dan pergilah Pak Bupati sambil menunduk. Lalu ia memeriksa para
Fanta, Coca-Cola dan khusus bir kuning dan hitam berkeringat dingin yang sudah rapi
disediakan untuk tamu-tamu agungnya. Ia sudah haus, bahkan semakin haus karena
inspeksi itu.
¹⁾ "Anak Udik !".
²⁾ Kepala bajingan.
³⁾ Komando Wilayah Pertahanan.
108
Tetapi tamu-tamu itu masih saja asyik bertamasya. Bah, enak jadi Duta Besar. Coba
jadi Bupati ... tiba-tiba dadanya sesak seperti ada gas berbisa kiriman gunung yang
menyusup dalam dadanya. Ia teringat, ia masih penjabat. Ia meludah. Terkejut sendiri
ia. Gila, ada tamu agung kok meludah. Untung mereka tidak melihat.
Karjo sedang mendangir bibit cengkehnya ketika Mas Sepandri mendekatinya. Ia
sedikit menyesal, mengapa dulu tidak beli bibit yang daun tunasnya merah. Padahal
selisih harganya hanya dua ratus rupiah. Rugi sebetulnya menanam bibit murah tapi
jelek. Soalnya, dulu ia tidak tahu, bahwa bibit yang baik harus merah pucuk-pucuk
daun mudanya. Mengapa Bimasnya dulu diam saja! Barangkali mereka sendiri tak
tahu. Apa lacur, sudah terlanjur.
''Delapan tahun lagi kau kaya, Jo!"
“Apa ... " (ia mendangir terus, nadanya kendor harapan.)
''Berapa sudah cengkehmu?"
''Delapan batang mana bisa kaya."
"Sekarang delapan. Buahnya per pohon kira-kira sepuluh ribu biji. Ditanam lagi
menjadi delapan puluh ribu batang
"Dagelan kuna! Kabar apa dari kota?"
"Saya tidak ke kota."
Lho, katanya mau beli cangkul."
"Maunya. Tetapi ada rombongan tamu agung. Pikir-pikir, ah beli cangkul hari lain
bisa."
"Untuk apa tamu agung dilihat?"
"Tidak untuk apa-apa. Tetapi akhirnya untung aku melihat. Memang betul
firasatku."
"Firasat apa lagi. Makanya kau selalu rugi menebas kayu sengon. Terlalu banyak
firasat. Menang buntut lima ribu jadi apa, dulu itu hayo ... akuilah. Kalau tidak, saya
bilang pada istrimu."
"Hus! Kau sudah janji bungkam mulut."
Sebetulnya petualangan Pak Sepandri sudah sepengetahuan istrinya, bahkan atas
persetujuannya. Jadi sarna sekali tanpa risiko sehitam kuku pun. Tetapi Pak Sepandri
harus jaga gengsi.
"Kan janji itu ada untuk tidak ditepati. Seperti hutang ... "
"Eh, jangan omong kosong. Sekarang sungguhan, Jo: Terka siapa yang kulihat
tadi."
"Katanya tamu agung."
"Nhah, salah seorang pengantar tamu agung itu, siapa?" Karjo masih juga
mendangir terus.
109
"Nggak peduli siapa. Asal jangan Warnojebug."
"Kau mencret mendengar namanya. Si Setankopor."
"Heh?" Karjo tegak berdiri mata membelalak.
"Hah, betul kan, kau mencret. Makan kerak kuali gosong obatnya."
"Kau cuma menakut-nakuti orang. Apa hubungannya dengan Setankopor?"
"0, banyak sekali hubungannya. Sebab ia jadi bupati sekarang. Sudah saya
tanyakan pada polisi pengawal. Yang seperti Arab, hidungnya agak bengkok itu
bupati? Betul, ia bupati yang baru. Nah, selamat mampus kita."
"Siapa bilang mampus…siapa bilang mampus."
Tetapi Karjo sudah kehilangan selera bekerjanya. Ia cuma menatap ke perdu jeruk
yang kulit batang cabangnya serba terkena cendawan putih seperti aluminium. Lesu
cangkul dipikulnya.
"Mati masuk, Ndri! Omong yang tenang."
Dan kedua orang itu menuju rumah bambu yang mulus bersih, dengan lantai tanah
agak tinggi, bertepi batu-batu kali besar. Tegaklah rumah bambu itu di atas
permukaan tanah kebun, dengan tangga tiga lempeng batu vulkan sebesar nisan
jaratan.
"Sudah, duduk sini sajalah,” usul yang disebut Sepandri tadi, "Panas di dalam."
Dan duduklah ia di emperan, nyaman di lincak di beranda, yang terbuat dari bambu
kuning tutul yang mengkilat sendiri tanpa dipelitur.
"Terserah maumu. Preeh! Ada di dalam kau?" seru Karjo kepada istrinya. Tak ada
suara menyahut.
"Ikut melihat tamu agung di Juranggede barangkali” komentar Sepandri, sambil
mengeluarkan selepen ¹⁾ rokok Kedunya; dan memulai meletakkan kertas rokok di
atas pahanya. Lusa Kliwon aku harus ke kota, pikirnya. Sudah hampir habis
persediaan tembakaunya. Tidak ada tembakau yang lebih hitam ngganteng dan ampeg
berkaliber berat, tetapi justru nikmat datipada tembakau Mbah Petruk muka pasar.
Beli satu kilo ditambahi gratis kupon undian. Memangnya cuma berharga Rp. 25,kupon itu, tetapi siapa tahu ia mendapat dua juta. Tetapi terang pasti mereka lihai.
Tidak mungkin orang seperti Mas Sepandri dari dusun puncak gunung akan mendapat
hadiah. Semua itu sudah disetel di atas sana. Tipuan. Bocengli ²⁾! Tetapi biar tipuan,
siapa tahu orang gunung toh mendapat hadiah dua juta. Dan lagi, dengan atau tanpa
tambahan kupon gratis, bagaimana pun Mas Sepandri toh akan beli tembakau Si
Mbah Petruk. Hanya isenglah kupon itu. Jelas ia tidak akan mendapat hadiah itu.
Tetapi siapa tahu ah, dua juta nomplok ... mau apa ya? Tahu ... kawin lagi? Gila!
¹⁾ Tempat (wadah) tembakau saku.
²⁾ Sangat buruk, kurang ajar.
110
Kenapa harus kawin kalau tidak kawin juga bisa! Dosa sebetulnya. Lebih tepat
memalukan. Mosok, harus sembunyi-sembunyi melakukan perkara yang setiap orang
secara syah mengerjakan dengan istri-istri mereka. Dunia ini sulit memang. Lebih
sulit lagi kalau bupati sekarang Setankopor.
Mana ini Si Karjo. Dikunjungi malahan lari. Mandi barangkali. Atau menggodog
teh? Nggak perlu. Yang penting tembakau Kedu ampeg, kelembak-kemenyan dan
kertas sigaret merk Admiral Kumpeni. Negara ini boleh PKI, silakan, asal sanggup
menyediakan empat itu: Tembakau Kedu ampeg, kelembak, kemenyan dan kertas
sigaret merk Admiral Kumpeni. Sudah, itu saja. Dan terserah Bupati Setankopor atau
Setandompet asal empat tadi itu: tembakau Kedu ampeg, kelembak, kemenyan dan
kertas sigaret merk ... Admiral Kumpeni. Tahu?
Mas Sepandri mengambil koreknya yang mengkilat nikkel berbentuk klasik DRP.
Ditarik-tariknya sedikit sumbunya, lalu kress! Belum menyala. Kress! Nhah, sekarang
konsentrasi pada api dan pucuk rokok ... dan dihisapnya dalam-dalam asap Kedu
ampeg dengan nikmatnya dan ... dengan mata terkatup jiwa-raga Mas Sepandri
melayang ke regol ¹⁾ syurga firdaus.
Mas Sepandri disebut Sepandri karena memang dulu ketika masih muda-belia ia
serdadu Belanda, bahkan dapat cepat naik pangkat sampai jadi sepandri. Kata orang,
sepandri itu pangkat serdadu yang sudah membuktikan ia jago tembak. Tetapi Mas
Sepandri belum sempat menembak musuh. Dengan batalyonnya ia dikirim menjaga
jembatan besar Kali Prago 25 km dati Yogya. Tetapi Jepang datang dari Gunung
Kidul dan entah utara sana. Tahu-tahu Belanda sudah menyerah kepada Jepang.
Disuruh jadi heiho ia tidak mau, karena sudah terlanjur cinta kepada Halimah istrinya
yang pernah jadi babu seorang letnan Jawa ningrat Sala di Magelang. Letnan itu
(Brajabasuki namanya) pernah dibebaskan dati kamp tawanan, akan tetapi entah
mengapa ditangkap lagi oleh Kenpeitai dan konon dibunuh.
Maka sungguh, Halimah tidak mau kalau suarninva ikut Jepang. Mas Sepandri
sering mengejek istrinya: "Andai dulu saya jadi heiho, sekarang pangkatku sudah
kapten. Tidak cuma bekas sepandri yang harus menggergaji dan jual papan sengon."
Istrinya mengakui kebenaran pengandaian itu. Tetapi nalurinya tahu juga
jawabannya yang tepat: "Kalau kau kapten, kau pasti sudah menceraikan aku dan
kawin dengan mahasiswi."
Mas Sepandri: ''Tapi kalau kau saya ceraikan, pasti kau sebagai bekas istri kapten,
pada hari itu juga kontan kawin dengan saudagar tembakau. Itu lebih untung." Kalau
sudah sampai sekian, istrinya hanya tertawa dan merogoh di dalam sabuk pinggang
pengikat kainnya. Dan Mas Sepandri diberi uang Rp 200,- atau sering bahkan Rp
500,¹⁾ Pintu gerbang halaman.
111
"Ini! Untuk beli tembakau! Orang laki-laki mau menangnya saja."
"Uang sedikit begini mau dibuat apa?" protes suarninya dengan wajah yang
senang.
"Untuk mendaftarkan Heiho sana!"
Selalu begitu Mas Sepandri. Kalau ia sedang membutuhkan tembakau, maka
disebumya: kawin dengan saudagar tembakau. Kalau membutuhkan batu baterei, ia
menyindir tentang penjaga toko cantik penjual batu baterei dan seterusnya.
Dari luar mereka hanya terdengar saling tuduh-menuduh dan cekcok saja. Tetapi
begitulah cara mereka saling cinta. Cinta? Nhah, itu kata muluk. Jodoh, cocok, itulah.
Dan kalau Mas Sepandri kadang-kadang mentraktir dirinya dengan kenikmatan
daging perempuan lain yang memang dijual secara halal menurut hukum perdagangan
yang berlaku, itu pun karena Mas Sepandri disuruh istrinya. Soalnya istrinya sangat
suka berdagang dan bila ia sudah duduk di loji pasar di tengah rempah-rempah,
sayuran dan ikan-asin yang berbau tengik, nnah, di situlah sudah ditemukan surganya.
Jadi terlalu sering mengandung tidak enak untuk yang harus duduk bersila serba
bisnis berbau trasi di pasar. Dan seminggu tiduran di rumah bersalin dan mengurus
bayi jelas merepotkan. Bukan berarti sang pedagang rempah-rempah tak suka punya
anak. Dua anak laki-Iaki sudah jadi orang, satu di Lampung, satu ABRI di Ambon.
Dan gadis besar anak bungsunya yang cerdas pasti laku jadi menantu restoran gulai
atau gudeg Sido-Nyamleng ¹⁾ sudut Pasar Muntilan itu seandainya si gadis mau.
Dari pihak lain Mas Sepandri dulu bekas serdadu KNIL, jadi ia berhak berkenilkenil. Maka dibuat gampang saja. Berdamai istilahnya. Tetapi kali itu, ketika Mas
Sepandri bercanda tentang "kawin dengan direktur pabrik sepeda", sumber dana
tersumbat. Keterangan istrinya: minggu yang lalu banyak ibu-ibu sedesa pinjam uang.
Memang beruntung bila ditinjau dari segi peredaran modal, sebab hutang Rp 1.000,setiap bulan dikembalikan Rp 120,- begitu sampai 10 bulan. Tetapi tentu saja modal
Mbok Sepandri habis bila terlalu banyak orang yang pinjam. Dan kali ini memang
banyak yang membutuhkan kredit.
''Ada apa?" tanya Mas Sepandri agak gusar.
"Tarikan kambing, ayam itik."
"Lho apa-apaan ini?"
''Ya, mereka bilang kalau tidak bayar, kambing ayam bisa hilang."
''Masyaalah, hilang bagaimana?"
''Ya hilang, begitu.
"Disita?"
"Tahu. Pokoknya kalau nggak bayar, tahu sendiri."
"Siapa yang bilang?"
''Ya orang-orang itu."
¹⁾ Jadi lezat.
112
"Orang-orang yang mana?"
''Ya yang mau pinjam uang pada saya, goblog!"
"Hus, tanya baik-baik digoblog-goblogkan."
"Memangnya gitu, sudah ah, saya mau cari tebasan mlinjo ¹⁾ .
Nanti kalah duluan sama Si Kepiting, cilaka."
''Yuyu Kangkang maksudmu?"
"Kangkangmu!"
''Aduhai, galak bener nyai hari ini."
"Biar galak. Kalau nggak galak nggak bisa hidup. Jaman sekarang!"
Mas Sepandri tahu kalau disindir. Sebab memang tanpa usaha si perempuan
berlidah uang kertas yang jadi bininya itu, mereka tak bisa hidup. Artinya tidak bisa
beli Petromaks, beli sepeda untuk Si Anak atau ... tiba-tiba ia ingat, masih butuh
kupiah. Pici beledu. Yang dipunyai sekarang sudah mendekati gombal. Berdamai,
berdamai sajalah. Maka selesailah percakapan cinta suami-istri itu. Yang satu pergi
mencari tebasan mlinjo, yang lain menuju ke rumah sahabat senasib yang pernah
terkena pukulan Setankopor dulu.
"Jo, ada lagi soal gawat nih." Dan semua laporan istrinya tadi tentang pungli
hewan-hewan oleh pesuruh-pesuruh si Lurah garong diceritakannya. Gawat, menurut
Sepandri sebetulnya pertama-tama berarti: ia belum mendapat uang untuk beli pici
beledu. Tetapi sahabatnya menangkapnya dengan naluri Keibodan abadi.
Karjo punya kambing juga, tetapi mengapa ia tidak diberitahu, ada tarikan baru.
Ketika Prihatin, istrinya dipanggil, temyata semua hanya mendengar dari Mbok
Dariyo, istri petani yang berkat untung nalo ditarnbah warisan dari sekian moyang,
tergolong orang mampu di desa.
Pak Dariyo sedang latihan gamelan.
"Mas, ada perkara yang ingin saya bicarakan. Tetapi kalau sudi mari ke luar,"
begitu bisiknya kepada Dariyo. Ada dua Dariyo dalarn desa. Yang satu Dariyo
Blabag ²⁾ rekan Mas Sepandri menebang dan menggergaji papan-papan sengon,
nangka dan sebagainya. Tetapi Dariyo yang diajak bicara ini Dariyo Sugih ³⁾. Tidak
berarti bahwa penggergaji papan itu mesti melarat, tetapi spontan begitulah sebutan
mereka terhadap Dariyo satu ini.
"Mas, saya dengar ada tarikan baru untuk hewan."
"Ooh itu, ya sebetulnya begini. Maaf, saya belum membicarakan ini dengan Dik Karjo, yah, beginilah syaratnya."
¹⁾ Buah untuk sayuran dan bahan emping.
²⁾ Papan kayu.
³⁾ Kaya..
113
"Syarat apa?"
"Ya, asal bisa selamatlah."
"Kok saya belum tahu?"
"0, Dik Karjo belum tahu? Ah iya, memang itu salah Dariyo.
Saya kira istrimu sudah bercerita."
"Bercenta apa?"
"Belum? Wee lah, salah dobel kalau begitu saya."
''Dari Kelurahan? Atau jangan-jangan akal Mas Polisi kita lagi."
"Bukan, bukan dari Kelurahan, bukan dari Polisi, bukan dari
Pemenntah, pokoknya ini sukarela."
''Ya tentu saja semua sukarela, tetapi sukarela wajib. Kalau tidak
sukarela, nanti dibikin sukar-sukar sarnpai rela.
"Ah, memang susah, tapi mau apa?"
"Tetapi pendek saja. Siapa yang minta pajak ini?"
"Bukan pajak. Sungguh bukan pajak. Dia hanya mengatakan:
Tentang sapi, ditanggung arnan. Tetapi untuk hewan-hewan lain saya tidak
tanggung. Begitu dia."
"Siapa itu dia?"
"Ooh, dia itu? Saya kira sudah jelas."
"Jelas dari mana?"
“Ah, masakan Dik Karjo belum kenal tingkah Si Sapudupak?"
"Memang dari tadi sudah saya terka, Kang Dariyo. 1ni tidak
mungkin selain akal trenggiling Si Sapudupak. Tetapi kan Kakang sudah
saya pesan: Kalau ada apa-apa, katakan Si Karjo Keibodan. Nanti bisa
digarap soalnya."
"Habis ketika itu dia bilang: Awas kalau omong pada Karjo, begitu.
Maka Kakangmu pikir: ah, tidak baik membebani orang dengan perkaraperkara yang lebih memberatkan. Ketika itu saya hanya takut, lalu bilang:
ya. Begitu. Mau apa lagi, daripada rumah dibakar nanti."
Sapudupak adalah bajingan paling tersohor dari seberang jurang, jadi
dari wilayah (para pemuda bilang: kowilhan ¹⁾) lain. Ia penembak tepat
bekas pasukan Raider yang dulu menggempur sarang-sarang penyarnun
daerah lahar Merapi.
Tetapi barangkali, daripada menjadi kopral raider bergaji dua bungkus
rokok sebulan, lebih baik jadi bajingan, komandan kowilhan swasta yang
tidak pemah punya persoalan tidak cukup uang. Uang cukup, bahkan
banyak, jelas. Soalnya hanya, bagaimana cara mengarnbilnya. Sapudupak
tahu cara mengarnbilnya.
¹⁾ Komando Wllayah Pertahanan.
114
Cara yang sip. Sejak pelpolisi Hindia Belanda yang naik sepedamotor bergerobag
samping dimasukkan dalam interniran oleh ]epang, situasi dan kondisi sip deh.
Selamat, sip, paling sedikit menurut perkiraannya. Sebab Karjo, Sepandri dan
kawan-kawan lama tidak setuju begitu saja ayam kambing apa lagi kerbau dipinjam
seumur hidup oleh begondal-begondal Sapudupak. Tetapi kawan-kawan itu sadar
juga, bahwa siasat melawan frontal belum tentu siasat yang paling baik. Apa yang
dikerjakan Si Dariyo Sugih sangat mereka pahami. Sebab Dariyo Sugih bukan Dariyo
Blabag.
Biar hanya kaya menurut ukuran jurang pucuk gunung lahar, tetapi kaya adalah
kaya. Maka sungguh tidak enak apabila rumah dibakar. Sebetulnya hampir selalu
dapat dipastikan, bahwa bila di daerah pucuk gunung sana ada rumah terbakar, itu
pasti ada soal dengan bajingan. Tetapi di kelurahan Dinas Penerangan hanya
berceramah, agar rumah penduduk jangan dibuat dari bambu. Pertama: itu sudah
terbelakang, tidak sesuai dengan Orde Pembangunan. Akan tetapi kedua: karena
berbahaya juga. Kalau ada seorang ibu kebetulan merebus air terlalu dekat dengan
bilik bambu, atau kalau ada anak yang malam-malam menendang pelita yang masih
menyala, rumah bambulah mangsa paling enak bagi api. Begitu Bapak Penerangan
dari Kabupaten.
"Lihat itu di Jakarta atau di kota-kota besar. Setiap kali timbul kebakaran. Beratusratus kepala keluarga dalam satu jam tidak punya rumah lagi. Coba bayangkan bapakbapak dan simboksimbok. Rasakan tidak punya rumah. Senang apa sedih? (Serentak
semua menyambut "Sediiih!") Apa anak-anak tidak kasihan kalau rumah habis
terbakar? ("Kasihaaan!") Kerugian kebakaran di kota bisa sampai satu milyar. Coba
bayangkan satu milyar. (Semua hanya membelalakkan mata saja dan melongo.
Omong apa si penceramah tadi?) Satu milyar. ltu banyak apa tidak? (Masih
diam.) Satu milyar itu ... tahu seribu rupiah atau uang sepuluh ribu? (Satu dua suara
menjawab: "Tahu, Pak Dariyo Sugih!" Semua tertawa.) Nah, satu milyar itu seribu
rupiah kali seribu ... berapa? (Diam. Akhirnya Dariyo Sugih kasihan pada penceramah
dan berkata: "Satu juta, Pak." (Ada beberapa anak girang bertepuk tangan.) Nah, satu
juta rupiah masih dikalikan seribu, itulah satu milyar. (Ooooh! Mereka berkedipkedip. Apa tadi namanya? Meeyaar?) Sedikit atau banyak uang sekian? (Serentak
dengan penuh semangat orang-orang menggelegar: "Banyaak!") Nah, kalau rumahmu
terbakar, kalian rugi sekian milyar (Orang-orang pada gaduh, tertawa tidak pereaya.
Ada yang terdengar omong:
"Sampai kiamatl"). "Lho! Artinya kalau seluruh desa, seluuruuh desa terbakar, dan
sapi dan kambing dan tegal-sawahmu terbakar, hanya karena rumah-rumahmu dari
bilik bambu, jangan kira mustahil kerugianmu sampai satu milyar."
Suasana agak kacau. Orang-orang pada berkelakar satu dengan yang lain. Ada
pemuda menyeletuk: "Pembagian beras!" Semua tertawa terbahak-bahak. Kesimpulan
dari ceramah Penerangan Kabupaten ialah: Hati-hati dengan rumah bambu. Pertama:
agar jangan dihuni tikus dan kedua: jangan sampai terbakar karena kesalahan simbok
atau anak yang sedang alpa. Sudah paham semua? ("Pahaaam!")
115
Karjo memberanikan diri menyanggah: ''Pak, didesa kami, sejak jaman nenek-nenek
gantung siwur ¹⁾ dan lebih kuna lagi, menurut sepengetahuan kami belum pernah ada
rumah terbakar karena yang punya rumah teledor. Kalau ada rumah terbakar, itu yang
membakar tentu orang lain." Rapat gaduh dan semua mendukung Karjo.
"Orang lain siapa?"
Karjo diam, tetapi seorang pemuda berteriak: "Bajingan tengik.!" Semua tertawa
ramai. Pak Penerangan agak bingung sekarang. "Nah, kalau ada bajingan membakar
rumah, laporkan kepada polisi! Kan gampang. (Semua tiba-tiba diam, seperti ada
kekuatan magis dalam kata polisi tadi.) Gampang apa tidak? (Semua diam.) 1tu tadi
saudara yang tanya! Kan gampang! Gampang tidak, lapor polisi?" Spontan Karjo
menjawab: "0, gampang sekali, Pak!" Semua tegang menunggu bagaimana
kelanjutannya.
Tetapi Pak Lurah yang arif mengalihkan persoalan pelik ke arah lain dan bertanya:
''Pak, bolehkah saya bertanya: Menurut bapak, apakah daerah kami ini subur bila
ditanami cengkeh? Cengkeh saya daunnya kok berbintik-bintik coklat. Apa obatnya?"
(Orang-orangpada bergumam sendiri-sendiri. Lega).
''Ya, itu pertanyaan baik," begitu Pak Penerangan. "Tetapi saya tidak kuasa untuk
menjawab itu. Apa saudara-saudara setuju, besok kami panggilkan ahli cengkeh?
("Setujuuu!!")
Maka sesudah beberapa basa-basi lain diomongkan bubarlah rapat. Dengan hati
damai orang-orang pada pergi ke ladang, ke dapur, ke kandang sapi. Pemuda-pemuda
masih bergerombol dan melirik melihat Kasanah sedang lewat, anak gadis Dariyo
Sugih, yang sudah mulai menonjol buah-dadanya. "Sudah mulai sombong anak itu,"
gerutu mereka. "Sok berlagak laku dijadikan menantu camat."
Tiba-tiba seorang berkata: "Eh, saya tadi pagi berjumpa dengan Sapudupak."
"Heh? Betul?"
"Uah, setengah mati takutku."
"Kapan kau tidak setengah mati!" ejek kawan-kawannya.
"Tadi kan saya pikir begini;' kata pemuda itu. "Nanti ada
penerangan. Ah, pagi-pagi benar saya lalu cari kayu. Sambil mendengarkan,
barangkali perkutut yang tersesat kemarin itu masih tinggal di sekitar pohon
nyamplung atas sana, ataukah sudah pergi. Kudengar kemarin sehari terus ia
memanggung di pohon itu. Tahu-tahu aku sudah membelok jalan setapak yang
menuju masuk jurang. Eh! Ada orang bermata hijau seperti ular ... menunggu di
bawah sana. Dia diam saja, tetapi matanya mendelik melihat saya. Aduh aku
menggigil seperti dadaku dijatuhi batu. Si Lurah Sapudupak! Bagaimana. aku tahu?
Dia bilang sendiri: ''Berani laporkan Sapudupak, mampus kau!"
¹⁾ Nenek dari neneknya nenek.
116
Dia cuma memandang saya. Seperti, ya seperti ular itu kalau sedang ipnotis tikus.
Saya kancilen ¹⁾ tidak bisa bergerak. Tiba-tiba ia membentak: "Satu langkah turun,
belati ini masuk tengkorakmu!" Saya seperti disambar petir. Tidak tahu apa yang
hams saya perbuat. Ia lalu membentak lagi: kau anaknya Si Mertobelong? Langsung
aku mengangguk. Saking takutnya. ''Bilang pada bapakmu, kerbaunya bisa ia ambil di
Jurangceleng." Lalu ia mengambil batu. Aku dilempari sambil berteriak-teriak dari
bawah: ''Ayo lekas pergi! Nanti aku jadikan cendol ²⁾ kau!" Saking bingungnya aku
masih saja diam kancilen. Barn ketika ada batu mengenai betisku, aku lari."
Lalu kau ke Pak Merto?"
''Ya, tentu saja. Kukatakan padanya: Pak Merto, aku tadi dikira anakmu. Lalu aku
disuruh menghantarkan pesan, kerbaumu bisa diambil di Jurangceleng."
"Lalu?"
''Pak Merto ya cuma lemas saja. Katanya: "Tidak punya kerbau susah. Punya
kerbau lebih susah." Teman-temannya menambahkan: ''Yang paling tidak susah: jadi
kerbau sendiri." Terkekeh-kekeh pemuda-pemuda itu lalu bubar."
Tetapi seorang kawan berambut ijuk dan bermata bandeng masih sempat bertanya:
"Lalu tadi perkututnya masih ada, Poh?" Pemuda yang disangka anaknya Pak
Mertobelong tadi berpikir sebentar lalu mengakak: ''Masih. Tapi hanya dapat diambil
di Jurangceleng."
"Memangnya tampangmu kayak celeng." Lalu larilah ia dikejar sang duta Sapudupak.
¹⁾ Terpaku tak mampu lari.
²⁾ Isi minuman dawet.
117
15. Firdaus Kobra
Paduka Tuan Ambasador berdiri, meloncat elastis dari kursi rotannya. Ia bertubuh
atlit dan memang ia lelaki tampan. Walaupun di keningnya utas-utas rambutnya sudah
mulai mengelabu, tetapi beliau tidak mengenal penyakit lelaki Barat, yakni menjadi
botak.
"Kau harus melihat kemenakanku yang baru,” kata beliau antusias kepada
tamunya. "Langsung datang dari taman firdaus. Jenis yang langka dan dalam kondisi
prima."
Tuan Ambasador selalu menyebut binatang kesayangannya (yang sangat tidak
disukai istrinya) yakni ular-ular, dengan sebutan kemenakan. Dan hutan atau cadas
ladang tempat asal atau pun kurungan ular-ular itu: Firdaus. Istrinya benci sekali pada
ular-ular hobinya itu, dan tidak mau melihatnya. Tetapi karena suaminya begitu
tampan dan mengagumkan (sang nyonya sudah menikah untuk ketiga kalinya) hobi
ular yang aneh itu dibiarkannya; asal kandangnya diletakkan jauh-jauh sana.
Dan untung kebun rumah dinas kedutaan cukup luas. Rumputnya tercukur rapi dan
setiap petang alat-alat penyiram yang memancarkan air bagaikan kipas berputar
dengan radius jauh membasahi rumput dengan suara jiyek-jiyek, yang memberi suasana tenteram dan sejahtera.
Sang Ambasador mengajak tamunya, orang penting yang sangat ia hargai, menejer
produksi Pacific Oil Wells Company, menuju kurungan-kurungan yang besar tertutup
kawat kasa kuat.
"Well Therese namanya. ltu! Yang bau saja memperkaya firdausku. Jenis yang
sangat jarang sekali terdapat di pulau Jawa. Tegap bukan, bagus bukan itu tembongtembong gelap bundar bertepi hitam itu. Dia masih sesaudara dengan ular adder termasyhur yang banyak terdapat di India Vipera russellii."
Interesan! Baru kali ini aku mendapat kiriman dari Panglima Kodam di Jawa
Timur sana. (dipanggilnya jongos) Hello boy, ke sini! Paymin, come here, mintaminta itu makan buat ular baru ini ya, tikus atau ayam. Nanti mau kasih lihat sama
Tuan ini, sisysisy bagus, heh." (Kepada tamunya) "Sudah waktunya dia makan. Anda
untung dapat melihatnya nanti." Paimin jongosnya mengambil kurungan berisi
beberapa burung gereja dan dua gelatik.
"Hello, tidak usah semua. Banyak-banyak terlalu. Nah, coba sekarang. Well Mr.
Seta, Anda akan melihat. Jangan dekat -dekat."
Tamu Ambasador spontan mundur, ketika adder itu tiba-tiba mengangkat
kepalanya yang segi-tiga dan mendesis nyaring lama. Suaranya sungguh menakutkan,
seperti penuh magi yang mengancam.
"Yang ini hanya adder biasa. Di sini banyak terdapat jenis itu," dan tuan
Ambasador menunjuk ke seekor ular sepanjang hampir semeter yang berwama coklat.
Angkistrodon. Orang di sini menyebutnya biasa saja Ular Tanah. lni hadiah ulangtahunku, biasa, dari Dirjen Departemen Luar Negeri. Nanti lihat. Coba ini tongkat
pegang. Lalu Anda usik dia. Nanti Anda lihat reaksinya, Eminent!
Tamunya memegang tongkat dan pelan-pelan menusuk ular tanah itu, yang sedang
nyaman melilit seperti spiral. Hanya kepalanya saja yang seolah-olah mengintip dari
waskom yang terdiri dari tubuhnya itu.
118
Tiba-tiba ular mendongak dan dengan amarah moncongnya membuka lebar. Tampak
kedua gigi racunnya bagaikan taring celeng tegak; dan sekonyong-konyong ular itu
meloncat, sehingga si pengusik spontan meloncat juga ke belakang. Ambasador
tertawa terbahak-babak.
“Good! Very good! Memang ini kesayanganku yang paling hebat, justru karena
galaknya itu. Jangan takut, asal agak jauh sedikit." Diusiknya sekali lagi ular itu oleh
sang tamu dan kini loncatan-loncatannya sungguh mengerikan. Ke kiri dan ke kanan.
Luapan amarahnya sungguh tiada taranya.
"Tahukah nama yang kuberikan padanya? Ricci. Dari Ricardo, bapa ekonomi free
enterprise. Sinting tentu saja, sebab di mana di jaman sekarang masih ada free
enterprise betul-betul. Tetapi nama merdu untuk nyonya yang tante girang ini,
bukan?"
Belum pernah menejer produksi Pacific Oil itu melihat perangai seekor ular seperti
adder satu ini bila ia marah.
''Ular adder seperti ini, dan khususnya yang di sudut itu, Kobra Kacamata, sangat
dihormati orang India. Barangkali karena wataknya juga serba maharaja imperial.
Tahukah Anda, Mr. Setta, orang Timur memang harus diteror seperti yang kukerjakan
pada adder-adder ini. Nah ya, tentulah istilah teror di sini sangat berlebihan. Tetapi
maksudku, orang-orang daerah samudera dan pulau-pulau di sudut dunia Selatan ini
tidak dapat diajak berbaik-baik saja. Coba mereka diberi hati, aduh bukan cuma hati
yang diambil, tetapi jantungnya juga. Jantung diberi, mereka ambil paru-paru. Paruparu diberi, malah naik lagi mereka minta agar diperbolehkan menyedot otak. (Lalu ia
setengah berbisik). Jangan keras-keras, ini off the record ¹⁾, tetapi ini bangsa kuli.
Hams dijadikan kuli. Coba mereka kau injak, barulah mereka hebat bekerja, dan
keluarlah daya akal mereka yang mengagumkan. Tetapi bila diberi hati dan dimanja,
sudahlah, kembalilah mereka menjadi anak kecil yang macam-macam saja merengekrengek permintaan bukan-bukan tidak masuk akal. Saya sudah memberi nasihat
kepada pemerintah saya, agar memberi peringatan halus melalui saluran-saluran
informal khusus kepada negeri ini. Kalau minta komisi jangan terlalu banyak, dong.
Mosok ada yang sampai 30-40%? Ya Ricci, Ricciku manis, bagaimana struktur
perdagangan sehat dapat dipertahankan dalam situasi begini? Perlu dihajar mereka itu.
Ya Ricci?" Ular itu menyembur-nyembur. Seluruh ekspresi muka dan ulahnya benarbenar imperial, ya itulah istilahnya menurut Tuan Ambasador, imperial.
Hah ini inilah Shirley. Ini dari Sumatra, ini kubeli dari seorang Cina yang tidak
tahu malu. Tahu kau dia minta berapa untuk gadis hijau ini? Limaratus dolar. Tetapi
sungguh Shirley, kau memang harta permata, sesuai dengan hargamu.(Kepada
tamunya). Orang-orang India menganggapnya kerarnat. Dan memang begitu, Anda
percaya tidak? Indah bukan, warnanya? Kencana hijau, setiap sisiknya berpelisir
hitam. Hei Boy, ke sini." Jongosnya Paymin alias Paimin tadi datang dan menunduk nunduk hormat. Ia diberi ular kencana tadi. "Kasih lihat sama Tuan." Tamunya yang
disebut Mr. Seta tadi menggeleng-gelengkan kepala. "Ada apa Mr. Seta?"
¹⁾ Dirahasiakan.
119
"Maaf, Excellency, tetapi sungguh, saya selalu sedih kalau melihat orang
menunduk-nunduk seperti kuli jaman Raffles." Sang Ambasador tertawa lebar:
"Hohoho ... Anda tersinggung ya. Hohoho ... Well Mr. Seta, terus-terang saja, saya
tidak pemah tahu eksak, Anda berwarga-negara apa, Mr. Seta?"
"Multinational," dan tamunya tersenyumlah. "Mau apa lagi. Sebab saya memang
bekerja untuk kongsi yang begitu."
"Maaf, aku tidak mau berkesan buruk ingin tahu soal-soal pribadi. Tetapi dalam
segala sikap-tindakmu, sering Anda kuanggap, maaf, bukan maksudku membanding
secara menghina, seperti orang-orang negro United States. Mereka negro, tetapi
tulang-sungsum dan segala saraf mental kejiwaan serta penghayatan diri mereka
benar-benar Amerika Serikat tulen. Tidak beda dati yang McLean atau Vanderbilt dan
sebagainya. Anda orang Eropa dalam sikap dan mental. Bukan orang Amerika, jangan
lagi orang Timur. Tetapi ... "
''Ya, memang aku lahir di Indonesia sini. Bahkan Mr. Ambasador boleh
menertawakan saya, tetapi benar saya masih mempunyai darah ningrat sedikit dari
Keraton di jantung Jawa sana."
“Ada masih ningrat Jawa? Crazy! Anda bukan ningrat Belanda, bukan ningrat
Inggris atau Rusia. Kok sekarang mengaku ningrat Jawa, itu lebih dari aneh lagi."
"Tetapi benar. Yah, itu ada riwayatnya sendiri."
"Tidak, saya tidak akan menyelidiki soal-soal yang pribadi.
To the point Saya hanya ingin memujimu. Sungguh, informasi yang Anda berikan
padaku sepintas lalu dalam coctail party 17 Agustusan di tempat menteri Riset yang
lalu itu sungguh berkesan padaku. Dan memang benar. Statistik-statistik yang
bersangkutan sudah saya suruh teliti lagi. Dan penasihat-penasihat ahliku mengatakan
apa? Analisamu memang benar. Memang, hanya seorang doktor matematika seperti
Anda yang dapat sampai pada kesimpulan seperti itu. Sudah lama berkecimpung
dalam dunia komputer?"
"Sejak komputer generasi pertama, Mr. Brindley. Bahkan bukan bualan, saya
dengan beberapa rekan tergolong mereka yang pemah untuk pertama kali berseminar
dengan Hermann Kahn ¹⁾ dan Robert Wiener ²⁾ sendiri di Bermuda. Tetapi Mr.
Ambasador jangan terlalu mendewakan komputer, apa lagi orang-orang yang
menyetirnya. Mereka tetap normal seperti kita manusia biasa, pendeta sekaligus
bandit."
"Heh, Anda suka berolok-olok. Memang saya awarn dalam ilmu magi bendabenda elektronika, tetapi satu orang doktor komputer nilainya sama dengan sepuluh
jenderal marsekal atau dutabesar seperti saya ini. Tahukah Anda? Duta-besar yang
ingin sukses harus mengkristalisasi kebijaksanaannya melalui studi semacarn ini,
mengenai psikologi dan ulah tingkah ular-ular tropika. Ha ... haha Anda tidak
percaya, pasti tidak percaya. Kaum komputer jarang percaya pada psikologi, Mr.
Seta," dan Ambasador mendekatkan wajah pada tamunya, "Maaf, sebagai sahabat
kukatakan di sini: Anda harus kawin lagi. Dengan wanita pribumi di sini. Jangan
seperti saya, kawin dengan orang-orang kulit-putih. Dear Mr. Seta, saya tahu.
Memang sedih ditinggal seorang istri. Tetapi saya kenal Anda dan kenal jenis wanita
yang dulu istrimu itu.
¹⁾ Ahli analis hari-depan dari USA.
²⁾ Ahli perinris ilmu hubungan-hubungan intern dalam sistem organik (kibernetika) .
120
Saya kenal dia dulu karena kami satu jemaat, satu gereja, satu perkumpulan
kepanduan. Biarkan dia lari dengan lelaki lain, biarkan saja. Ya, dear friend, Anda
bernafas panjang. Tidak enak memang riwayat semacarn itu. Saya pun
mengalaminya, dear Seta. Dan saya bicara sekarang bukan sebagai diplomat, tetapi
sebagai sahabat.
Seorang menejer produksi perusahaan minyak yang besar seperti Anda seharusnya
tahu itu. Tetapi begitulah Seta, ahli komputer sering sulit membaca bahasa dan
dendang wanita. Saya pun mengalami, Seta, macam yang Anda alami. Saya pun tolol
dan sinting pada masa itu. Dan mudah-mudahan dengan Susan istriku sekarang ini,
jaman petualangan sudah lampau; walaupun kita tahu, orang lelaki yang sudah dalam
peti dan dikubur satu jam di bawah tanah pun masih ingin ke luar karena mendengar
suara sepatu tinggi perempuan mengharnpiri kuburannya. Ya beginilah, soal-soal
besar politik dunia dan produksi sumber energi yang menentukan pecah tidaknya
Perang Dunia III nanti kita tangani hebat, tetapi tentang wanita, kita masih tetap puber
saja. Tetapi apa yang kukatakan tadi ... hey boy, mana kau? Hah, sudah di atas dia.
Lihat itu, dia kusuruh memanjat kelapa itu, dan Seta, Anda akan melihat pasukan
parasut kaum ular. Ya ... siap? One ... two ... three!
Paimin melemparkan ular yang di tangannya, dan sungguh elok sekali, ular itu
melengkung-lengkung melayang ke tanah sejauh 25 meter dari kelapa itu. Tidak jatuh
seperti batu ular itu, tetapi juga tidak melayang seperti pesawat terbang kertas. Hanya
penuh sadar dan taktik ia meliyak-liyuk sehingga jatuh dengan empuk dan lures.
"Perutnya ia cekungkan seperti bentuk parasut," begitu Duta Besar menerangkan.
"Ular jenis ini dapat terbang seperti Tarsan dari dahan satu ke dahan lain. Sayang
kebun kedutaan ini bukan rimbaraya. Tetapi di hutan belantara saya sering
melihatnya. Grasius, penuh kepastian laksana seorang letnan pasukan parasut yang
datang menyerang, tetapi luwes."
Seorang jongos lain menyerahkan ular kencana tadi kepada tuannya.
"Bagus bukan sisik-sisiknya, seperti dicat duko metalik. Kebanyakan jenis ular ini
hijau. Ada yang ekornya berwarna merah atau oranye. Anda tidak suka ular? Istriku
tidak suka. Itulah penderitaan seorang duta-besar, bila istrinya tidak suka ular. Ha ...
ha ... ha ... Mungkin naluri kaum Hawa. Selalu benci pada ular Firdaus yang
menggodanya sarnpai kita jatuh ke dalarn dosa, barangkali begitu, bagaimana
pendapatmu, Mr. Seta? Hahahahaa ... sudahlah, mari. Tak ada habisnya omong
tentang ular. Mari minum yang enak saja.
Sayang duta-besar harus dapat diam. Dan Anda percaya atau tidak, saya paling
pendiam dari antara sekian duta-besar, bahkan duta-besar Jepang yang hanya
tersenyum-senyum licik itu pun masih lebih banyak omongnya dari saya. Dalam
situasi resmi. Tetapi dalam situasi ular? Hahahaa ... Tak usah percaya pada
omonganku ini Seta, kalau Anda merasa aku omong keterlaluan. Saya biasanya
pendiam. Betul. Tetapi kalau menyentuh soal ular, jangan harap sekian losin istri
dapat membungkam mulutku. Seorang istri tahu caranya membungkam mulut
suaminya. Anda juga berpengalaman tentang soal itu, bukan Mr. Seta?
Mari, old fellow, kampiun komputer. Whisky atau wodka? Sake aku juga punya,
tetapi itu untuk jantung tidak baik. Oh ya, kemarin saya menerima suatu jenis jenewer
dari salah satu pulau di Maluku sana, tentu saja dari seorang Cina.
121
Aneh, entah barangkali dia pernah mencuri resep dari seorang bandit VOC atau entah,
dia bisa bikin jenewer. Tetapi dengan rasa yang, sungguh Mr. Seta, kalau kita mnum
itu, rasanya kita dibakar di neraka, tetapi neraka yang penuh kenikmatan bidadari. Ya,
inilah katanya yang tepat, yang tepat. Sejak kemarin dulu saya cari, saya cari ... apa
sebutannya? Sekarang saya tahu. Berkat kehadiran Anda Mr. Seta! Rasanya tuak.
Maluku Cina itu seperti ... seperti dicampuri bisa kobra, haha ... haha mati Anda harus
mencobanya."
Dan kedua orang itu nikmat duduk dalam kursi rotan, sedangkan cerutu mulai
mengepul. Bapak Ambasador mengisap pipa, yang tidak begitu enak baunya, tetapi
memang, tentang selera orang boleh sepenuhnya bertengkar.
"Hei, itu istriku datang. Wanita cantik, bukan. Tetapi ya, itulah, sayang dia tidak
suka ular. Sebentar, dia belum kenal Anda. Soalnya baru pertama kali ini kan Anda
mau datang ke mari. Memang saya tahu, orang bisnis harus berhati-hati mengunjungi
duta-besar di rumahnya." (Ia melambai bersemangat).
"Hello, Susan! Sayang! Bagaimana, ada lukisan yang kau senangi? Indonesia
banyak seniman, memang. Hanya mahalnya, well, mereka semua mengira sudah jadi
Picasso. Nah Susan, ini Tuan Setadewa, menejer produksi Pacific Oil Wells
Company. Tetapi lebih hebat lagi, ia ahli komputer yang tiada taranya di seluruh Asia
ini. Perkenalkan: Seta, ini Susan, kesayanganku yang tiada taranya juga di seluruh
dunia."
Istri duta-besar itu tertawa bangga, dan dengan suara yang anggun tetapi toh pada
nada kekanak-kanakan abadi, ia pura-pura tidak setuju dengan suaminya.
"Ia seorang perayu besar, eh ... Tuan Seta, jangan terlalu percaya pada
omongannya. Ya, tentulah suamiku telah memperlihatkan, mahluk-mahluk yang
paling ngeri di bumi ini kepada Tuan. Saya selalu sepaham dengan suamiku dalam
segala hal, kecuali dalam satu perkara itu. Darling, saya heran, dari mana kau dapat
nafsu aneh mencintai binatang-binatang penjelmaan iblis itu?"
"Haa ... haa .... dear Seta, dengar istriku? Dalam segala hal ia sepaham, kecuali
dalam satu hal. Jangan percaya pada istilah "segala" hal itu" tanggapnya mengejek.
Istrinya berkecak. pinggang genit dan lebih genit lagi pura-pura marah: "Ya, itulah
tuan Seta. Dia nanti pasti akan memberi kuliah tentang psikologi bahasa: mengapa
istilah yang sarna tidak diberi arti yang sama bila itu dipakai oleh pria atau wanita.
Coba, sebentar lagi kuliah mulai, bukan begitu John?"
Tamunya hanya tertawa kecil saja. Suami istri memang tukang ngobrol.
"Beginilah dear Seta," sang Ambasador mengedipkan mata ke arah tamunya "nasib
kaum kami. Kapan Mr. Seta, kita mendirikan gerakan liberation kaum pria?"
Istri duta-besar itu berputar, elegan, tangan kanan memegang sapu-tangan, dan
dengan ulah melenggang ia berkata manis kepada tamunya:
''Tuan, percayalah, kalau presiden kami sekarang dipilih sekali lagi, suamiku ini
pasti menjadi menteri urusan wanita. Mari, silakan duduk. Saya tidak akan
mengganggu percakapan kalian. John, saya tadi mendapat satu lukisan. Perfect, dan
unik. Murah, hanya seribu dolar. Yakinlah, Picasso belum apa-apa. Sayang belum kubawa. Tetapi besok sore pameran sudah usai, dan nanti kau pasti terharu melihatnya.
Nah, Tuan Seta, anggaplah rumah ini bukan rumah duta besar, tetapi rumah sahabat.
Sampai nanti,John."
''Bagaimana old Fellow, elegan ya istriku kalau berjalan."
"Superb. Pantas dilukis, tetapi hanya oleh ... maaf, oleh Picasso." Kedua orang itu
tertawa terbahak-bahak.
122
"Mr. Seta, kau menghina. Kurang ajar kau. Nanti kukatakan padanya."
Terkejut tamunya memohon: "Eh jangan! Mati saya nanti."
"Haa haa haaa, saya tahu, mengapa Anda berkata begitu, Seta.
Anda iri. Iri hati, itulah. Anda iri saya punya istri begitu cantik. Maka itu, perjaka tua,
lebih baik segala komputermu itu dibuang. Yang penting, mendapat seorang istri
seperti saya ini. Ya ... ini sudah datang minuman syurga kaum lelaki. Hei Boy, itu
yang jenewer Maluku itu dibawa ke mari juga. Jangan cuma impor negara-negara
usang. Siapa tahu, kalau ada seorang bisnis yang cerdas, Cina itu boleh jadi membawa
keuntungan sekian milyar dolar. Ada saran pemberian nama? Snake Brandy? Ah,
kurang puitis. Ada dear Seta, Cobra-Fire, hah itu lebih berbobot iklan dan tidak
terlalu prosa. Cobra-Fire. Mana ini si Boy, dikira tidak pantas menghidangkan
jenewer priburni itu? Orang-orang di sini tidak dapat menghilangkan rasa minder
mereka. Dikira yang priburni selalu jelek. Bagaimana dear Seta, Anda ningrat Jawa.
Bagaimana Anda terangkan mental yang merepotkan ini? Kami dari negara-negara
maju ingin berpartner dengan bangsa yang punya harga-diri, terpaksanya sombong,
seperti orang Jepang atau Jerman itu. Kami lebih suka itu. Daripada berhubungan
dengan bangsa kuli. Mau diajak apa seorang kuli atau jongos. Ini membutuhkan
sepuluh generasi ... Haha inilah dia Cobra-Fire of the Moluccan Islands. Sekarang
Anda yang omong. Saya tidak suka omong kalau minum barang yang lezat. Pasti ada
apa-apa yang penting Anda ke mari."
Maka sambil menikmati neraka Cobra-Fire ahli komputer Pacific Oil Wells
Company itu mulai membuka lembaran-lembaran informasinya satu persatu. Inti
permasalahan ada di bidang ekonorm, tetapi pengaruhnya dapat langsung mengenai
bidang politik dan hubungan antar negara yang dapat membahayakan bagi semua
pihak, baik pihak negara-negara yang bersahabat dengan negen tuan rumah maupun
bangsa Indonesia sendiri. Memang soalnya sangadah sensitif, tetapi bagaimana pun
harus diketahui para duta-besar dan seterusnya semua pemerintah yang mempunyai
andil besar dalam operasi multinational corporation Pacific Oil Wells Company.
"Saya sudah meneliti semua fail dan dokumentasi yang menyangkut soal yang topsecret ini selama setahun,” begitu Dr. Setadewa mengupas persoalannya. "Saya tidak
berani memastikan apakah ini disengaja atau hanya karena kekeliruan tak sengala.
Tetapi dalam model persamaan dasar yang dipakai baterei komputer dalam
perhitungan-perhitungan produksi dan kewajiban-kewajiban pembayaran sharing
kepada negara-negara tuan rumah yang memiliki wilayah sumur-sumur minyak, saya
temukan suatu kekeliruan penyusunan model perhitungan komputer. Dan Tuan tahu,
komputer memang hebat tak terperi kalau disuruh menghitung dan memberitahukan
output yang begitu kompleks dengan sekian ribu variabel dan faktor. Akan tetapi
semua perhitungan itu tergantung dati satu syarat mutlak. Jikalau. Dari "jikalau"
inilah komputer itu penolong atau pembunuh, sahabat atau perusak. Kerangka dan
pola persamaan-dasar perhitungan (yang disebut model harus betul. Jikalau pemilihan
pola gaun wanita itu betul, maka gaun itu mempercantik dan serasi untuk si pemakainya. Tetapi bila pola itu keliru, maka seluruh gaun akan rusak juga. Dan justru
dalam pemilihan dan penentuan model itulah, yang diberikan kepada pesawat-pesawat
sekian komputer kami, terdapat suatu kesalahan yang begitu vital, sehingga jelas ini
dapat mempunyai efek politik dan keamanan yang gawat di Kawasan Asia ini. Bisa
berbahaya."
123
Mr. Ambasador sekarang tiba-tiba menjadi orang lain. Tadi ia berceloteh dan
ramai ngobrol tentang hobi ular-ularnya sampai tidak memberi kesempatan sedikit
pun bagi tamunya untuk menyisipkan komentar atau jawaban. Sekarang beliau
pendengar teladan, yang memberi kesempatan sepenuhnya kepada tamunya ahli
matematika untuk menguraikan analisa-analisanya. Kemampuan untuk mendengarkan
itulah yang juga sangat digemari istrinya. Ia suami dan kawan yang baik, begitu
keyakinan istrinya sesudah dua kali mengalami kegagalan perkawinan. Hanya pipanya yang berbicara, artinya asap yang mengalun ke langit itulah yang menandakan,
betapa prihatin hatinya mendengar uraian-uraian tamunya itu. Negara yang
diwakilinya mempunyai bagian prosentase saham yang paling dominant dan sudah
selayaknya Mr. Setadewa datang kepadanya.
''Dan bagaimana Dewan Direktur kongsimu? Sudah tahu tentang soal ini?
"Barangkali. Bila nanti tabir kubuka, aku akan dipecat."
"Tidak akan berani mereka."
"Saya sudah siap menghadapi itu."
"Kalau mereka berani, mereka akan bangkrut."
"Mereka punya cara-cara lain untuk menghindari itu."
''Bagaimana kira-kira komentar mereka nanti?"
"Saya menduga mereka akan mampu menyembunyikan kekeliruan itu terhadap
pemeriksaan pihak Indonesia.
Ya, inilah susahnya. Negeri ini tidak punya ahli matematika. Dan kalau punya,
mereka toh tidak laku dalam dunia korup di negeri ini. Dari penyelidikan Anda,
apakah tampak ada kesengajaan di dalam kebodohan ini?"
"Saya tidak berani mengatakan, Mr. Brindley. Sulit untuk dibuktikan."
"Tidak sulit sebetulnya. Biro-biro investigasi kami tidak akan sukar menemukan
bagaimana duduk-perkara yang sebenarnya. Tetapi kalau nanti ternyata memang
benar ada unsur kesengajaan dalam soal ini, yang jelas, dan ini saya katakan dengan
segala kesedihan hatiku, Anda pasti akan dipecat."
"Saya tahu."
''Anda memang berhati ningrat, Doktor Setadewa. Tidakkah sayang jabatan Anda
sebagus itu sebagai menejer produksi kongsi besar?"
"Saya hanya mengikuti hati-nuraniku dan sumpahku."
"Sumpah apa? Dokter tabib bersumpah, tetapi doktor matematika."
"Saya telah bersumpah di hadapan profesor dan pembina karirku, Prof. Thomson
Mc. Kenzie almarhum, yang menuntun saya dalam lika-liku rahasia rumus-rumus
serta model-model matematika dan yang berulang-kali berkata kepadaku: "Seta, Anda
kelak akan menghadapi banyak godaan curang dalam dunia komputer. Seperti dalam
dunia pengobatan pun. Sayang tetapi nyata, hal itu sering terjadi. Banyak dibuat
penipuan, tetapi penipuan legal. Saya mengharap kepadamu, muridku, semogalah
Anda menjadi pengabdi kemanusiaan. dan bukan pengabdi suatu korupsi atau pihak
kepentingan. Sebab, manusia dan mahluk-mahluk hidup sebenarnya komputer juga,
yang mampu untuk menghimpun, menghitung dan mempertimbangkan sekian banyak
faktor dan variabel. Komputer bertanggung-jawab kepada yang memberi perintah dan
memberi model pola perhitungan. Kita pun bertanggung-jawab kepada sang Pemberi
Model yang mahaatif. Ketika itu, Tuan Ambasador, aku bersumpah. Di dalam hati.
Dan sumpah itu akan kutaati."
124
Sang Ambasador tidak mengucapkan sepatah kata. Dari dunia penugasannya ia
tabu, bahwa memang dalam dunia politik banyak dibuat kecurangan juga. Tetapi ia,
yang memilih bidang sejarah sebagai kejuruan pendidikan universiternya, ia tahu dari
disiplin ilmunya, bapwa hanya politik dalam arti sejati, yang tidak curanglah, yang
akhirnya membawa buah yang lestari.
Ketika orang-tuanya, yang sangat sholeh beragama, berkeberatan ia masuk ke
dalam dunia politik, ia memberi argumentasi kepada mereka, bahwa adalah salahkaprah orang mengira politik itu selalu kotor. Politik tertentulah yang kotor, seperti
wanita tertentu adalah kotor dan godaan dosa.
Tetapi wanita indah. Atas alasan apa mereka disebut kotor!
Barangkali sering mereka cuma tolol atau sempit perhitungan. ''Demikian juga
politik," kata Mr. Brindley. "Kendati begitu, kami mengenal tokoh leyak dengan
ratunya, Rangda," sanggah tamunya. Namun sang Ambasador bersiteguh:
''Tetapi politik dan bisnis yang berhasil hanyalah politik dan bisnis yang jujur."
Masa Machiavelli dan Hitler Nazi sebenarnya sudah lampau, seperti jaman Perang
Salib atau Sabil juga sudah terhitung jaman sejarah dulu. Hanya dunia politik praktis
masih ketinggalan. Masih dalam taraf belajar untuk menyadari kenyataan-kenyataan
berdimensi global yang merupakan titik balik perkembangan sejarah politik. Maka
justru demi pengembangan politik itulah diterimanya jabatan duta-besar di negara
yang muda ini. Ia tahu, bahwa ia harus mengabdi pemerintahnya. Tetapi mengabdi
negaranya tidak berarti membunuh bangsa lain. Apa yang diuraikan doktor
matematika tadi sebenarnya pembunuhan dan tipuan massal, jika itu dilakukan
dengan sengaja. Mr. Ambasador lebih condong untuk mendakwa ini kesengajaan,
tetapi seorang duta tidak boleh beranggapan gegabah. Suatu komisi rahasia investigasi
perlu dibentuk untuk meneliti perkara yang gawat dan berbahaya ini. Dan dasarnya
bukan cuma pertimbangan politik kesusilaan yang berkhayal belaka.
Tadi pagi telah datang delegasi ahli tehnologi dari Rumania; dan Rumania negara
penghasil minyak yang berpengalaman lama. Selain itu telegram berkode rahasia dari
Departemen Luar Negeri negerinya memberitahukan kepadanya, bahwa suatu kapal
penjelajah dan lima kapal-selam dari pelbagai klas telah ke luar dari Wladiwostok
menuju Perairan Selatan. lni masalah moral, tetapi juga masalah akal perhitungan
bisnis yang sehat. Dan bisnis yang tidak sehat, seperti strategi militer yang tidak sehat
bukanlah bisnis atau strategi militer. ltu petualangan namanya barangkali, atau
ketololan. Mr. Brindley tidak suka disebut diplomat tolol.
"Berapa milyar setahun Indonesia dirugikan oleh model komputer yang salah itu?
Anda sanggup membuktikannya dengan kuantifikasi eksak?
Ahli komputer itu menyebut angka yang astronomis. Dari tas samsonetnya, Doktor
Seta menyerahkan suatu berkas foto-copy.
"Aslinya saya simpan dalam Swiss Bank di Singapura."
"Kami harus meningkatkan dana-dana fellowship atau beasiswa sarjana
matematika untuk negeri ini," gumam Sang Duta Besar. Dengan bernafas panjang,
sloki berisi Cobra-Fire tadi ia minum sekali reguk. Dibalik-baliknya kertas-kettas
penuh uraian yang abstrak, tanda-tanda kode dan angka-angka yang sangat ruwet.
"Untung saya tidak belajar matematika," sengirnya ironis.
"Apa Tuhan Allah di atas sana juga mengecek angka-angka sinting seperti ini agar
alam semesta kita tidak meledak?"
125
Kedua matanya yang biru nanap memandang tamunya, yang duduk tenang dan
membalas tatapan matanya. "Satu yang pasti, dear Setadewa, satu yang pasti. Dan ini
kukatakan dengan hati yang penuh duka-cita. Kau pasti akan dipecat bila rahasia ini
Anda bocorkan. Anda pasti dipecat."
"Ya, saya sudah memperhitungkan itu sebelumnya."
"Anda idealis. Orang-orang seperti Anda ini sebetulnya mahluk-mahluk yang
tersesat di dunia seperti yang kita punyai ini. Seharusnya Anda tidak menjadi ahli
matematika, tetapi pendeta."
Tamunya tersenyum, dan senyumnya penuh kedamaian yang pasti, seperti seorang
sukarelawan Special Command di dalam Perang Dunia, yang siap terjun di daerah
musuh, hanya untuk mati.
''Pendeta masa kini adalah para ahli matematika dan sarjana-sarjana dalam
kedudukan-kedudukan perhitungan kunci," jawabnya tenang, pasti, ningrat.
"Anda benar. Kami diplomat dan menteri dan marsekal lumpuh tanpa kalian.
Pendeta dapat seorang santo, dapat juga seorang Rasputin¹⁾ , dear Seta. Anda bukan
Rasputin. Inilah malapetakamu, tetapi saya yakin ... Ada apa John? Aduh, kau ini
cetakan kedua dari ayahmu."
Anaknya seumur 6 tahun menghampirinya dan dengan terkejut Dr. Setadewa
melihat dia berkalungkan ular hitam mengkilau bercincin-cincin kuning kencana.
"Ular berbisa, ini ular welang!" teriak sang Tamu. Tetapi anak itu merangkul
tangan ayahnya dan menatap tamu yang tolol itu sambil berkata seperti seorang
profesor cilik. ''Bodoh. Ini ular Kina-anis. Ya Dad, ini Kina-anis ya?" Dan bangga
anaknya meminta pujian dari ayahnya itu. Mr. Brindley tertawa gembira penuh
kebanggaan ayah.
“Ya kau anak sangat pintar. Kasih tangan dulu pada Tuan ini. Nama Tuan ini:
Seta."
"Eok? Nama yang jelek." Lalu memandang tamunya.
"Saya John. Tidak Eok. Kau bernama Eok? Ular ini ... " dan ia membelai penuh
sayang ular yang mendelik diam melingkari lehernya, "ini namanya juga John. John
Kina-anis, ya Daddy?"
"Lho, kasih tangan dulu. Dan hormat dong, dan manis terhadap tamu. Ayo kasih
tangan yang baik-baik."
Dr. Setadewa tersenyum melihat anak kecil itu, tetapi toh yang ditanyakan
pertama-tama: "Tidak membahayakan ular hitam ini?"
Duta Besar tertawa renyah:"Nah dear Doktor, ada baiknya Anda sesekali
mengenal lebih dalam apa yang terdapat di bumi ini. Komputer memang maha
penting, tetapi komputer-komputer berbentuk ular ini interesan juga. John, Cintamanis minta diseka tanganmu," dan John membelai kepalanya. "Namanya Cintamanis. Trimeresurus wagleri resminya. Tetapi nama pribuminya jauh lebih bagus: Si
Cinta-manis atau Cantik-manis. Belum tentu segala ular yang hitam itu jahat, dear
Seta. Ini ular yang paling manis. Tidak pernah menggigit dan suka diajak bermain
oleh anak kecil pun. Aneh bukan?"
¹⁾ Tokoh rahib cabul di Rusia.
126
Dr. Seta juga ikut membelai kepala ular yang bermata hitam melolo¹⁾ itu. Kok
garis mulutnya seperti ia tersenyum terus-menerus. Seperti lumba-lumba.
"Ya, memang aneh alam itu. Ada yang keji seperti jenis Naya, kobra-kobra, ningratningrat para ular. Maaf Seta, Anda ningrat juga. Tetapi ada yang jinak dan manis
seperti Cintamanis ini. Negeri ini memang aneh. Kan saya tadi sudah berkata: Bila
belajar psikologi, khususnya psikologi orang Timur tropikana ini, pilihlah hobi
memelihara ular dan telitilah tabiatnya. John, sekarang John juga manis seperti Cintamanis ini dan bermain-main ya. Papi ingin bicara dengan Tuan Seta ini. Tuan ini juga
senang pada Cinta-manis. Ya dear Seta?"
''Ya John, saya juga senang Cinta-manis."
"Kau juga punya Kina-anis?"
"Punya."
"Juga seperti ini? Hitam, ada cincin-cincinnya emas?"
"Tidak, Cintamanisku hitam semua."
''Tidak ada kuning-kuning begini?
"Sayang John, Kina-anisku tidak punya. Dia miskin, tidak bisa beli roti dan misyes
coklat. Lalu cincinnya dijual."
"Cincin-cincinnya dijual? Sekarang sudah tidak punya lagi?" tanyanya dengan dua
bola mata penuh kasihan.
''Ya, sayang. Sekarang hitam hitam melulu ... "
"Oh kasihan, ya Pa! Apa tidak bisa dibelikan cincin baru?"
"Bisa, John,” sahut ayahnya. "Bisa. Tetapi harus menunggu, sebab pandai emas
yang membuatnya masih ... eh belum bangun, masih tidur."
"Oh," kata anak itu. Dan kepada ularnya ia berkata lirih: ''John, Kina-anis
cincinmu begini banyak. Kasihan dong, Kina-anis, Tuan itu miskin. Tidak punya lagi.
Kasih ya? Papi, apa kina-anis kita bisa memberi beberapa cincin emasnya kepada
kina-anis tuan itu."
"Yah ... " bingung juga Ambasador itu, tidak tahu bagaimana menjawab anak itu,
tanpa mengecewakan, tanpa bohong. Akhirnya: "Sudah John, kasih tabek kepada
Tuan Seta, dan kembalikan ular itu lekas-lekas di kandang. Dia lapar, nanti ia merasa
miskin juga; lalu cincinnya dijual juga. Kan tidak bagus."
''Ya, selamat petang! Papi, saya kembalikan segera ke kandang. Dan Paymin harus
memberinya katak-katak lagi. Tapi kasihan juga ya Papi, katak-katak itu?"
Lama kedua orang itu diam, sesudah anak itu pergi.
"Dr. Seta,”kata duta-besar itu lirih. "Kalau ada apa-apa kelak, dan Anda
membutuhkan pertolongan, jangan segan mengebel pintu rumah kami. Selalu akan
dibuka."
Sambil mengantar ke pintu muka, Ambasador itu masih berkata: "Saya pasti akan
mengurusnya. Tetapi sebelum ada langkah-langkah tingkat tinggi, sebaiknya Anda
mencari saluran lain. Entah bagaimana caranya, coba kirimkan dokumen-dokumen
Anda melalui saluran-saluran tak kentara ke tangan pembesar-pembesar Indonesia
yang paling kompeten untuk masalah ini. Siapa tahu mereka pasti akan bertindak
sendiri, sehingga inisiatif dijalankan oleh pihak mereka. ltu lebih safe dan sebetulnya
lebih wajar. Tetapi Anda main sans tinggi, hidup atau mati ... Seta! Kita mengharapkan yang baik-baik saja. Sementara ini, resmi saya tidak tahu apa-apa, okay?"
¹⁾ Mata yang terbuka lebar sekali.
127
"Baik. Yang saya butuhkan sekarang hanya rekomendasi untukku kepada
Departemen Dalam Negeri. Anda suka memberi itu?"
"Rekomendasi ?"
"Saya ingin sedikit sentimental journey ke pedalaman, ingin menengok tempattempat masa kanak-kanakku. Semua peninjauan sekarang harus minta ijin. itu ... kalau
Mr. Brindley masih mengakui saya sebagai warganegara negaramu."
"Oh baik, baik. Nanti saya bilang kepada mereka, bahwa Anda sedang mencari
pacarmu, begitu saja kan?"
"Ah," dan terkejut membelalak doktor komputer itu menolak.
"Jangan. Biasa saja: turis."
''Lho, apa benar ada pacar?"
''Ya, sulit cara merumuskannya," dan ia tertawa.
"Nah hahaha;' dan penuh perhatian Ambasador itu tertawa sambil mengerdipkan
mata. "Kentara sekarang memang ada itu. Okay, never mind."
128
16. Nisan Perhitungan
Aku tidak tahu, apakah harus berterimakasih atau mengutuk memori. Ingatan
manusia menolong kita belajar mengalami dan membentuk hari-depan yang lebih
baik; dan kreativitas kita sebagian besar berudik dari sumber-sumber yang hidup,
ingatan kita. Bahkan cinta atau benci hanya mungkin bila memori kita hidup. Tetapi
justru itulah, segi-segi gelap seperti. benci, balas dendam dan biasa juga ketakutan
serta kebimbangan bermunculan seperti ular Kepala Dua yang pemah diperlihatkan
oleh sahabatku, John Brindley.
Sungguh unik Mr. Ambasador itu. Dari mana ia mendapat ilham dan kesukaan
mengumpulkan reptil-reptil yang mengerikan itu? Ular Kepala Dua sebetulnya satu
kepalanya, tetapi ekornya persis bentuknya seperti kepalanya, pendek, tumpul bahkan
punya dua pentolan mirip mata. Bagian bawah ekor itu berwama merah koral dan
bercincin oranye bagus. Juga persis dengan wama bagian bawah kepalanya. Kalau
bahaya datang dari belakang, ekor itu dapat didongakkan, sehingga dapat menipu
lawannya. Tentu saja bagi musuhnya yang bemiat menyerang, kepala tipuan itu membingungkan sekali bila ular itu lari, seolah-olah lari ke belakang.
"Ular Kepala Dua tidak berbisa, untunglah," kata John. ''Tubuhnya kecil, belum
ada setelapak kaki; dan hidupnya seperti cacing, di bawah tanah. Oleh penduduk
pribumi ular ini ditakuti karena dianggap punya kekuatan gaib."
Memori manusia, walaupun sering punya kepala dua, pada hakekatnya hanya
berkepala satu. Kepala ke arah segala yang lebih baik, dan tidak sebaliknya.
"Sering sejarah berjalan mundur seperti. yang kita alami dalam peperangan yang
lalu," kataAmbasador, "akan tetapi saya percaya, bahwa sebenarnya kita maju."
''Namun itu baru harapan Anda, Mr. Brindley. Belum kepastian yang dapat kita
jadikan pegangan. Manusia toh bisa meledakkan diri juga, bila dia mau."
''Ya, benar. Sayang drama kekacauan sampai sekian puluh tahun sesudah
perjanjian Potsdam¹⁾ atau di kawasan sini perjanjian di kapal penempur Missouri²⁾,
belum membuahkan jaminan yang dapat kita andalkan. Tetapi untuk itulah justru kita
harus menanam harapan. Manusia tanpa harapan, dia mayat berjalan."
Maka pagi itu, dengan memori yang masih hidup langsung mengingatkan diriku ke
serangan 19 Desember 1948 di Meguwo itu, namun dengan sesloki harapan juga yang
kureguk dari percakapan dengan Mr. Brindley petang kala itu, saya, menejer produksi
kongsi kuasa satu-satunya yang berkulit sawo-matang, mendarat di lapangan
Meguwo. (Tetapi untuk karier setinggi itu maafkan aku harus membayamya dengan
kewarga-negaraan non Indonesia).
Sudah tiga kali aku mendarat di lapangan ini sejak serangan Spoor ke Yogya dulu
itu; dan setiap kali ular Kepala Dua itu muncul lagi. Yang pertama kali: untuk
mengantarkan big-bossku yang ingin berpariwisata ke Borobudur dan yang
membutuhkan seorang gadis yang mengenal daerah. Yang kedua kalinya untuk
menghadiri resepsi perkawinan salah seorang putera direktur Departemen
¹⁾ Perjanjian penyerahan Jerman Nazi kepada Sekutu di Berlin sesudah Perang
Dunia II.
²⁾ Perjanjian penyerahan Jepang kepada Sekutu sesudah Perang Dunia II.
129
Pertambangan yang memegang kunci nasib konsesi perusahaanku. Dan ketiga
kalinya, sekarang ini, untuk, ya untuk apa sebenarnya aku kini ke mari ? Untuk
menyusuri kembali sejarah hidupku yang lampau penuh kepahitan, kekalahan dan
kesialan itu? Setiap resepsi perkawinan yang harus kuhadiri selalu merupakan
siksaan. Apa lagi di sini, yang mengharuskan aku mendarat di lapangan terbang dan
lingkungan daerah yang kukenal bersama memori getir.
Sampai sekarang aku belum pernah berani memberi tanda-tanda hidup untuk Atik.
Pernah kudengar dari beberapa sumber kalangan kedutaan RI di Den Haag tentang
perkawinan dan profesi Atik sesudah Konperensi Meja Bundar itu. Dari seseorang
entah dari dunia universitas. Dan sangatlah pengecut aku ketika itu tidak memberi
kartu selamat untuknya. Jangan lagi mengirim kartu selamat; alamatnya pun aku tidak
tahu. Dan seandainya aku tahu (seharusnya aku tahu), toh aku tidak akan bermunafik
untuk mengucapkan selamat mengenai suatu peristiwa yang menyakitkan hati.
Sakit hati karena salahku sendiri, memang itu kuakui, dan memang aku pengecut
dalam hal ini, akan tetapi tetap menyakitkan hati. Aku ingin jujur dan wajar. Aku
tidak ingin jadi budak basabasi. Dan aku diam. Namun toh sejelek-jeleknya aku, aku
berdoa untuk Atik yang pernah menjadi kekuatan batinku dalam masa muda yang
paling menggoyahkan; yang kala itu menulis surat padaku, memanggilku ke Jakarta
untuk menemui Mami .
Mami, ya Mami. Kau sekarang sudah menemukan kedamaian. Segala-gala telah
kau serahkan. Tetapi mereka mengingkari janji. Dari dokter direktur rumah-sakit jiwa
Magelang, pas pada hari aku meraih gelar doktor di Harvard, kuterima berita menditil
mengenai wafatnya Mamiku.
"Itu sudah kami duga," kata dokter itu, "sebab kelainan yang diderita ibu Tuan
yang baik itu suatu saat akan sampai pada pusat persarafan sentral. Tetapi saya dapat
memberi persaksian, bahwa ibu Tuan mangkat dengan wajah tersenyum, tenang; dan
saya yakin, dalam rahmat berkenan kepada Allah Subhanahu wa taala."
Segalanya telah Mami serahkan.
"Juga, bila Tuan bersua lagi dengan Kolonel Verbruggen, sudilah Tuan
menyampaikan salam dari pribadi saya dan rasa terimakasih dari rumah-sakit yang
kami bina dengan susah payah ini, atas segala bantuan material yang tidak sedikit
selama ini dan yang masih berlangsung terus. Sudah lama kami tidak menerima kabar
dati Kolonel Verbruggen dan Tuan ... "
Verbruggen, dia pun sudah tiada. Si Bandit gila telah hancur di Dien Bien Phu¹⁾.
Pastilah sumbangan itu dilewatkan melalui ibunya. Seandainya bukan Spoor tetapi
Verbruggen yang jadi panglima kala itu, pasti sejarah akan berjalan lain. Tetapi
seorang Verbruggen tidak akan laku untuk hari-hari semacam itu dulu. Tinggal aku
dan Atik.
Dokter itu juga menulis sedikit tentang suatu keluarga istana di Surakarta yang
seringkali mengunjungi Mami. ''Bahkan ada seorang wanita muda beserta ibunya
menanyakan alamat Tuan Setadewa. Tetapi walaupun kebaikan hati mereka berkesan
sekali kepadaku, saya setia tetap teguh merahasiakan alamat Tuan. Menurut yang
diminta keras oleh Tuan, dan yang selalu kami patuhi selaku rahasia jabatan dokter".
¹⁾ Medan laga termasyur dalam perang Vietnam melawan Prancis, di mana tentara
Prancis dikalahkan totaL.
130
Dari dokter tua yang baik itulah kelak, sesudah aku diangkat jadi menejer produksi
Pacific Oil Wells Company di Indonesia, kuketahui alamat dan hal-ihwal Atik, Bu
Antana beserta alamat desa, tempat Pak Antana, yang gugur dalam Clash II,
dimakamkan.
Tetapi mengapa aku hams mengingat Atik lagi? Ia sudah milik. suaminya dan
realismelah pasti yang menuntun keputusan pilihannya. Sudah punya anak berapa ia
sekarang? Aku sendiri belum punya anak. Mana mungkin punya anak dengan
perempuan jalang yang kukawini itu? Tetapi mengapa kau kawin dengan perempuan
jalang, Teto? Jangan-jangan kaulah, Setadewa, yang membuatnya jalang. Karena
kegandrunganmu pada matematika dan komputer. Memang sebenarnya aku dulu
kawin tidak karena cinta. Cintaku hanya untuk Atik. Dengan Barbara aku kawin demi
karir. Untuk memberi kilat-kilat perputaran pada matematika dan komputerkomputerku. Sebab istriku adalah anak dari bossku dalam divisi Eksploitasi Pacific
Oil Wells Coy. Dan anak perempuan itulah yang memberiku status dan kalangan
berpengaruh, sampai aku yang berkulit sawo-matang ini naik anak tangga begitu
tinggi dalam tempo begitu cepat.
Tetapi perempuan punya radar dan alat-alat sensor elektronika juga, yang lebih
peka dan lebih meradar panser jiwa daripada radar buatan manusia. Ia pasti lambat laun merasa, bahwa aku mengawininya hanya demi jabatan paling kunci, penguasaan
divisi komputer perusahaan. Dan perempuan itu semakin acuh tak acuh. Dalam waktu
satu tahun, dari kedua belah pihak sudah tidak ada lagi hubungan yang mewayangkan
cinta sedikitpun. Aku yang paling bersalah. Aku masuk upacara perkawinan di gereja
sudah tidak lagi dengan hati manusia yang sayang pada calon istriku, tetapi dengan
hati aluminium, kobalt dan silikon pesawat elektronika yang dingin. Dan istriku
malang menikah dengan suatu komputer robot tanpa jiwa. Lalu mati pula hati istriku,
terbunuh oleh voltase kumparan-kumparan elektrikku. Terkena bisa ular Kobra
lelakiku yang juga sering bengis mendongak tegak, waspada, dingin melihat
mangsanya dan tiba-tiba secepat kilat menggigit. Lalu lemas terkulailah mangsa. Atau
sebagai ular Kepala Dua yang menipu memperdaya halus.
Sesudah istriku pergi, baik secara mental mau pun legal, hidupku sudah tanpa arti
lagi. Ibuku sudah menyerahkan segala-galanya, tetapi anaknya hanya bisa mengambil
dan mengambil segala-galanya. Mengingkari janji aku tak pernah, artinya dalam hal
yang vital. Tetapi ini pun demi perhitungan-perhitungan kebahagiaan harga-diri
egoistis. Lagi, tidak pernah memang aku serius mau berjanji secara mengikat. Dengan
kata lain, tak pernah menyatakan kemanusiawianku, sanggup risiko demi pemekaran
indah manusia lain. Mamiku meninggal sebagai orang yang macet komputemya,
tetapi pada saat-saatnya yang terakhir ia mewariskan kepada sesama manusia suatu
memori indah wajah yang tersenyum dengan kata-kata yang penuh hikmah pula:
"Aku telah menyerahkan segala-galanya". Kalimat "Tetapi mereka mengingkari
janji", pada hakekatnya -- dan tentang ini aku semakin sadar -- itu sebenarnya
ditujukan kepada anaknya yang ia tinggalkan di bumi ini, sang doktor matematika,
menejer divisi produksi Pacific Oil Wells Company, Setadewa.
Begitulah maka sekarang sudah saatnya aku datang, sebagai manusia biasa, yang
ingin mengadakan perhitungan dengan ular Kepala Dua yang hidup di bawah tanah
hati nuraniku. lni berkat pengorbanan Mami. Buah hasil penderitaan dan doa ibuku.
131
Bukan karena Setadewa yang baik, melainkan karena kebaikan dan keperwiraan
Kapitein Brajabasuki ayahku yang jauh lebih jaya daripada kekolongan jiwa liar
pengeluyur kali tangsi Teto dalam diriku. Tidak, kali ini aku tidak mau taksi sedan
luks. Selain panas dan menjengkelkan karena modelnya kuna, aku sekarang ke mari
untuk keperluan lain.
"Saya pesan jip, jip terbuka carikan."
"Ini saja Tuan, ini mobil bagus, empik ada A-C nya."
Memang-sinting pemuda-pemuda yang mengerumuni setiap penumpang dan
memaksa-maksakan secara tidak sopan, taksi-taksi... taksi-taksi. Seolah-olah hidup
kita tergantung pada taksi. Mengapa bukan: wanita cantik! wanita cantik, Tuan! Ini
kan negeri penuh gadis cantik, mengapa malu menawarkan kecantikan gadis seperti
menawarkan taksi! Dan tidak diam-diam munafik secara gelap dengan secarik kertas
mengapa malu menawarkan kecantikan gadis, tetapi tak malu menawarkan taksi! Dan
tidak diam-diam munafik secara gelap dengan secarik kertas bisu tuli di kamar hotel
internasional. Pemuda-pemuda ini sungguh pengemis mentalnya. Mental persis sama
dengan yang kujumpai juga pada meja-meja perundingan internasional di pihak kaum
Selatan. Sampai kau malu punya kulit sawo matang ini.
Aku anak kolong memang, anak kumpeni, betul bajingan KNIL, biar! Tetapi
bukan pengemis dan kuli seperti mereka itu. Aku jengkel diikut-sertakan dalam suatu
masyarakat yang mendidik pemuda-pemuda taksi ini menjadi kuli yang tidak tahu bagaimana caranya hidup merdeka dalam negara merdeka. Tetapi, ya sudahlah. Mereka
miskin, aku kaya. Enak memang jengkel begitu bila kau kaya. Maklumlah, maafkan!
"Tidak ada jip Tuan, ini saja, itu bagus, Tuan."
"Saya tidak butuh taksi bagus. Saya butuh jip, tahu?"
Ah, mereka toh hanya orang kecil saja yang selayaknya dikasihani. Mengapa
merasa gusar? Akhirnya seorang Cina, (nah Cina lagi, kalau pribumi sih terlalu tolol)
yang menjanjikan penyediaan jip carteran. Tetapi saya harus menunggu barang
seperempat jam saja. Nah sudah hafal aku, artinya seperempat hari tentunya, pikirku
sinis. Baiklah, saya minum kopi dulu. Satu-satunya yang baik di Indonesia hanyalah
kopinya. Artinya di warung. Entah di restoran pelabuhan udara internasional yang
kini diberi nama Adisucipto ini.
Peragawati yang pamer kain batik dan berputar-putar seperti merak itu matanya
bagus; hanya sayang telinganya terlalu lebar. Berkesan keledai. Tetapi payudaranya
boleh lebih montok lagi sebetulnya. Tidak model Barat kerempeng begitu. Di alam
tropika tidak ada yang kerempeng, semua montok. Kenapa mereka sekarang begitu?
Ingin mirip dan meniru dan imitasi dan menjiplak Barat? Sungguh kuli dan babu
bangsa ini. Dan lebih kuli lagi kau, Teto. Ya, itu benar. Sudah lama aku sadar, bahwa
sikapku yang begini ini sebetulnya ekspresi maksimal dari kekulian bangsaku.
Bangsaku? Bukankah kau Teto, kau selalu mengujar terhadap sang Ambasador, kau
berkebangsaan multi-nasional? Aku tidak bohong. Mamiku Indo dan aku, aku bekas
KNIL.
Tanah-air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di mana tidak ada
manusia menginjak manusia lain. Siapa dulu yang omong begitu? Lupa aku. Ah, si
sersan mayor MP di kerkop itu. Memang aku tidak punya tanah-air, karena aku
biasanya ikut dengan pihak penyerang. Dulu sebagai koboi Spoor, sekarang sebagai
kacung Board of Directors lihay yang tahu, yang sungguh tahu bahwa model
perhitungan komputer itu terselipi (atau diselipi?) kesalahan yang merugikan negeri
ini dengan sekian milyar dolar per tahun.
132
Kami yang tak kenal dimensi kemanusiawian, yang dingin, berjiwa robot, apa lagi.
Tetapi sayalah yang sekarang memegang kunci informasi rahasia pengurasan negeri
ini. Benar, memang sudah kuduga, kopi restoran ini enak. Cukup memberi kafein
sedikit untuk nanti. Aku harus segar. Ini bukan trip bisnis atau perjalanan ke resepsi
perkawinan. Ini ziarah.
Cina itu memang boleh dipuji. Betul seperempat jam. Dua puluh menit sebetulnya,
tetapi saya hitung seperempat jam. Karena aku di Yogya, tidak di New York.
''Pelan-pelan, Bang Sopir. Saya punya waktu seperti lautan. Pelan-pelan. Saya
harus menikmati semua." Jip khusus terbuka, haha seperti dalam jip militer sedang
beroperasi. Nah, di selokan itulah saya merangkak. Di sana kukira ada gerilyawan.
Peluru muntah. Peluru ketakutan sebenarnya. Setiap serdadu takut. Tidak ada yang
"berani mati," kecuali para tukang bual di bar-bar atau di perjamuan nyonya-nyonya
tolol yang kagum terpukau pada sang Lelaki jago kate. Saya hanya biasa, seperti
Verbruggen, bandit.
''Di hotel mana, Tuan?"
"Hotel? Aku tidak bilang hotel. Terus saja, jangan belok kalau belum saya
komando." Hah, aku sudah mulai berkomando. Enak memang memberi komando.
Seperti berkesempatan melampiaskan dendam, sebab yang mengkomando biasanya
mendapat komando juga. Seolah komando yang tidak menyenangkan itu lekas-lekas
harus kita teruskan kepada orang lain, seperti sebaris domino yang sama-sama jatuh,
lalu merasa lega, bebas dari situasi dikomando. Sampai kaum sol sepatu yang paling
bawah.
Nah, di bawah sana komando-komando pada bertumpuk-undung. Dan untunglah,
ya itulah kebodohan mereka, atau rahmat ketahanan mereka? Komando ditumpuk,
digudangkan. Mereka bergumul dan tidur, mandi dan bersetubuh di tengah onggokanonggokan komando itu. Tidak ambil pusing seperti perempuan-perempuan dikali
Bening itu yang tidak ambil pusing juga dengan air keruh berlumpur tai-tai itu. Kaum
sol-sepatu di bawah tahu koeksistensi "damai" dengan bentakan-bentakan komando
dari atas. Dan inilah kekuatan mereka sehingga bertahan dan masih tetap bisa hidup
dan tertawa dan saling melawakkan lelucon lawak konyol tak ketolongan, tetapi yang
tetap saja masih lucu.
Di dalam jip terbuka itu aku menuju ke Krarnat Magelang untuk berziarah ke
makam Mamiku di sana. Makam yang telah kupugar sepuluh tahun yang lalu ketika
Soekarno masih berkuasa. Nah, ke makam Mamiku itulah acara pokok perjalanan
peziarahanku sekarang ini. Sebelum clash terakhir meledak.
Direktur tua rumah-sakit sudah diganti oleh yang lebih muda dan tiba-tiba aku
merasa bahwa aku sendiri telah menginjak ke masa jam 14.00 siang menuju senja
hidup. Kota Magelang yang dulu terkenal indahnya dan bersih, sekarang sudah penuh
toko dan kios, kotor seperti sepantasnya kota-kota di negeri ini, yang kubenci
sekaligus kucintai.
Kali Manggis tetap masih berwarna manggis. Hanya sekarang lebih banyak lagi
perempuan, laki-laki, anak-anak yang beroperasi di tepi-tepinya. Masuk Magelang
seperti masuk sarang lebah, begitu banyak manusianya. Kendaraan bermotor sudah
mulai membisingkan bunyi-bunyi imperial kerajaan ular adder. Tetapi satu yang
bagus. Tidak ada orang yang kurus.
133
Anak-anak serba gemuk, menggelembung pipi-pipinya. Dan gadis-gadis lebih cantik
daripada cah kampung jaman anak kolongku. Aneh, pohon-pohon kenari di daerah
tangsi (sekarang Ksatriaan narnanya, hebat), masih saja tegak berdiri. Hanya lebih
botak dari dulu, biasalah ciri masa tua. Selama kenari-kenari itu masih ada, tangsi
kumpeni atau ksatrian kurasa tidak banyak bedanya.
Rumah-rumah perwira dengan genting-gentingnya yang tebal-tebal bulat separuh
seperti rumah-rumah Spanyol dan ltalia masih sama.. Ya, disini rumah letnan van
Santen yang sangat pirang dan kami Juluki Buto Damen ¹⁾, itu rumah Kapitein du
Bois dengan Istrinya yang gemuk seperti bedug mesjid alun-alun. Dan dua rumah
lagi, ya, itulah rumah Loitenant kelak Kapitein Brajabasuki almarhum.
“Catnya sudah diperbaharui, tetapi pohon bugenvil di muka garasi itu kok masih
saja ada. Atau sudah diremajakan barangkali'? Pagar wora-wari aneh juga masih abadi
setia menjadi saksi-saksi sejarah yang tenggelam, bersama pohon-pohon kenari di
mukanya. Gentingnya seperti yang lain-lain serba ditumbuhi rumput, anggrekanggrek liar dan macam-macam lumut. Hanya rumah-rumah perwira serba sepi, entah
penghuninya ke mana. Dulu selalulah penuh sinyo dan noni di muka pintu, di
halarnan, di jalan.
Sebuah tank dan dua panser menderu di seberang alun-alun latihan. Tank itu bukan
model Shermann, bikinan Rusia barangkali. Ada sepasukan tentara nasional yang
sedang berlari, kaos oblong putih tetapi lengkap berpantalon bersepatu. Lebih efisien
pakai setiwel²⁾ model KNIL sebelum perang sebenarnya, dari segi efisiensi kesehatan.
Setiwel-setiwel itu erat-erat mengikat daging otot betis dan begitu orang sanggup
bertahan jalan jauh. Semua yang baru dan keliru ini pengaruh US Army. Semua tentara di seluruh dunia di luar daerah pengaruh komunis berpakaian seragam model
USA. Praktis atau tidak praktis mereka begitu, multinasional. KNIL dan TNI sarna
saja bentuknya, senjatanya, celananya, sepatunya. Punya pangkat apa aku seandainya
dulu menggabung pada tentara nasional ini? Paling pol kolonel. Nasional? Di Eropa
sudah tidak ada tentara nasional. Di Amerika Latin juga tidak ada lagi, hanya
namanya saja.
Sekarang aku menejer. Mayjen cukup? Gajiku besar dan lebih kuasa daripada
marsekal. Tetapi sebentar lagi habislah riwayatku. Di hadapan nisan Mami, dan
sekaligus secara simbolis di hadapan nisan Papiku juga, (sampai sekarang tidak jelas
dan tidak pernah akan kuketahui, di mana letak istirahat akhir Papiku) aku tadi telah
bersumpah pada Mami dan Papi, bahwa aku akan berbuat sesuatu, yang akan menjadi
kebanggaan orang-tuaku, seandainya mereka masih hidup. Terutama kepada Papi
akan kutunjukkan bahwa aku tidak tergolong "mereka yang mengingkari janji". Ya,
aku akan tetap tersenyum. Dan barulah bila semua itu sudah terjadi, aku akan sanggup
berhadapan dengan Atik. Mata lawan mata. Hati lawan hati. Sebagai ksatria yang
tidak kalah. Biar aku anak kolong, anak ruang di bawah ranjang! Dalam arti yang baru
yang lebih pahit. Tetapi dengan kebanggaan. Anak kolong dan kaum ksatria hanya
hidup dari kebanggaan. Bukan dari uang, tetapi karena telah berbuat berani.
¹⁾ Raksasa jerami.
²⁾ Pembalut kaki dari tumit sampai lutut.
134
Mempertaruhkan nyawa demi sumpah, demi sasaran yang sulit dicapai, demi tujuan
yang melegakan orang banyak. Akan kubuktikan, bahwa darah perwira masih
mengalir di dalam urat-uratku, dan bahwa keindoan Mamiku adalah infusi darah baru
bagi bangsa Inlander yang mengalami situasi serba baru sesudah revolusi politik dan
revolusi bersenjata dulu itu.
“Kau tahu desa Juranggede? Kata orang di daerah lereng Merapi sana. Kau kan
juga berasal dari Merapi?"
"Saya berasal dari daerah Grojogan, Bapak. Tetapi ada tiga Juranggede, Bapak.
Yang satu di dekat cekdam yang baru dibangun pemerintah itu. Ada lagi yang, yah
begitulah Bapak, tempat sarang bajingan-bajingan, dan ada lagi di daerah ke arah Kopeng di sini." Kulihat sopir di sebelahku, belum sangat tua.
"Kau paham sekali daerah lereng Merapi?"
"Menurut istilah sekarang, saya sudah laku untuk jadi gaid, Bapak. Saya kenal
segala lekuk lorong daerah." Dan kedengaran bangga ia menambahkan gerilya. Tetapi
dulu saya jadi kurir, itu lho Pak, yang disuruh membawa surat-surat kode rahasia dari
markas ke markas. Berbahaya itu lho, Bapak!"
"Umur berapa kau sekarang?"
''Barangkali ... ya barangkali berapa ... ya ketika kles kedua itu saya baru kelas
enam. Tetapi abang saya ikut lasykar, dan saya ikut juga. Tetapi tanpa bedil, Bapak."
Dan sopir itu tertawa kecil.
"Tidak masuk TNI?"
"Ah tidak laku. Kerempeng begini, Bapak. Disuruh lari-Iari begitu, capek. Lebih
suka jadi sopir begini. Enak. Tapi saya sudah montir, Pak. lkut Cina saja lebih enak.
Bapak tinggal di mana?"
"Saya dulu tinggal di sini. Tetapi ketika masih anak. Jarnan Belanda."
"Oooh ... Belanda itu kaya ya, Bapak."
"Ya, ada yang kaya, ada yang biasa. Di sini juga begitu, kan."
''Ya, sayang begitu, Bapak. Tetapi orang harus belajar nerimo, Pak. Maaf, Bapak,
saya dari tadi ingin tanya, mengapa kok Bapak tadi ekstra minta jip terbuka? Mau
lihat pemandangan? Jangan-jangan nanti masuk angin."
''Ya ... ya begitulah."
"Sekarang ke mana?"
"Ke Juranggede."
''Ya, yang mana?"
"Saya hanya diberi tahu, dulu pernah jadi markas dan dapur umum gerilya."
"00, kalau begitu saya tahu." Dan sopir itu tertawa lagi.
''Tentunya kan ridak ke Juranggede yang jadi sarang perampok itu.
"Masih banyak perarnpok?"
"Uah, sarna saja. Ada gula ada semut. Ada paya ada buaya. (Sopirnya tertawa lagi)
Bapak suka melihat sarang perarnpok? Hanya lewat saja. Tidak usah apa-apa. Aman.
Bapak turis dari mana? Menado? Atau Medan?"
"Saya …? Dari Jakarta saja.
"Oh, kalau begitu dulu pernah gerilya di daerah sini dan Bapak ingin mengunjungi
kenangan-kenangan lama?"
''Ya ... begitulah."
"Kalau begitu maaf, Bapak tentunya paling sedikit sudah brigjen ?"
"000, lebih tinggi lagi."
"0 ya?" (ia mengangguk-angguk kagum) “Juranggede, Bapak?"
135
''Ya, mumpung masih belum sangat siang."
“juranggede yang sarang perampok atau markas-gerilya?"
''Yang gerilya saja dulu. Jipnya masih kuat ke sana?"
"Oh, beres, Bapak. Tua, tapi masih suka kerja ... Juranggede ... Juranggede, saya
masih punya paman di sana. Ya, sudah jauhlah, tetapi ia masih kemenakan dari ibu
saya. Kalau begitu saya juga untung, Pak, boleh nanti menengok, sebentar saja?"
"Boleh. Tetapi sekarang pertanyaan penting. ltu warung-warung tahu goreng di
dekat penjara itu masih ada?"
"Oh itu? Tidak hanya satu, Bapak, banyak."
"Masih enak?"
"Uah, itu segala turis domestik lari ke situ."
"Kalau begitu kita juga lari ke sana dulu."
136
17. Gunung Rawan
Gadis itu menunduk hormat malu-malu dan menggantungkan pelita bekas gelas
selai pada balok belandar emperan muka. Lalu diam tanpa suara seperti anak macan tutul (kebayanya bukan kebaya tetapi baju pasukan payung USA), pergi sambil
sekali lagi menunduk hormat. Ada sesuatu dalam gadis itu yang mengingatkan aku
pada Atik. Entah apa. Ada baiknya jipku tadi macet. Bukan mesinnya yang
menyebabkan aku terpaksa harus menginap di tempat Pak Dukuh¹⁾ ini, tetapi normal
tolol sekali, karena bensinnya habis. Salah perkiraan, kata sopir. Atau memang
mesinnya sudah begitu boros dan tadi hampir selalu hams porseneling dua? Pokoknya
tidak bisa terns.
Baiklah, semua hams dialami. Aku tadi hanya bohong sedikit pada Pak Dukuh,
mengaku masih kemenakan dari bapak yang dulu tertembak pesawat pemburu
Belanda di jalan Selatan sana dan yang dikubur di pemakaman tengah sawah itu.
Dengan segala keramahan pribumi asli aku diberi kamar tengah yang paling bagus,
yang sebenarnya hanya dipakai untuk mempelai baru. Selalu dan di mana pun seolaholah orang-orang ingin menyindir kegagalan perkawinanku. Lama Pak Dukuh dan
aku saling tukar pikiran tentang masa lalu. Dari percakapan ramah itu aku menarik
kesimpulan, bahwa untuk penduduk di pedalaman sangat tepatlah bila diterapkan
kata-kata Mamiku (ataukah kata-kata Wahyu dari Atas:) "Segala telah kuserahkan.
Tetapi mereka mengingkari janji." Tentu saja aku tidak mengaku bekas KNIL. Hanya:
"Dulu saya tidak mengalami sendiri. Ketika Revolusi Merdeka dulu, saya masih di
luar negeri." Kan bukan bohong perumusan diplomatis "Luar Negeri" itu.
Pak Dukuh bercerita banyak tentang peristiwa masa lampau. Tentang Ibu Antana
dengan puterinya yang cantik Den Ajeng Larasati. Sungguh tidak terbayang semuda
itu ternyata sudah tergolong orang-orang gede yang sering bicara-bicara dikelomasi²⁾
dengan orang-orang pinternasional³⁾
Bagaimana keadaan Den Ajeng Larasati sekarang? Dan ibunya? Setiap tahun pada
waktu nyadran sebelum bulan Puasa mereka selalu datang membersihkan makam Pak
Antana dan berdoa. Ya, naik mobil. Tetapi hanya sampai di jembatan bawah, yang ketika itu masih rnsak. Dan bawa oleh-oleh. Pak Dukuh mendapat jam-tangan, sekarang
dipakai anaknya yang bekerja di kota. Bu Dukuh mendapat kain baru. Bisa dipakai
kalau ada pesta nikah. Dan genduknya, yaitu tadi yang menyalakan pelita di emperan,
mendapat gelang. Bahkan Si Gombloh, pembantu yang setengah sinting itu pun diberi
celana.
Memang jaman resah-rnsuh, "jaman merdeka" dulu itu. Tetapi bicara tentang
keresahan, soalnya masih sama. Di sekitar Merapi-Merbabu soal bandit dan perampok
belum pernah beres. "Sejak jaman Belanda, Pak". Dan Pak Dukuh tersenyum di
bawah kumisnya yang hitam lebat. Sambil menyalakan rokok tembakau Kedu yang
maha ampeg ia bercerita dengan nada bawah yang sedikit bangga: Dulu nenek saya
juga benggol bajingan, Pak. Hehehe ...(Ia tertawa kecil).
¹⁾ Bagian dari kelurahan.
²⁾ Dari kara diplomasi.
³⁾ Dari kata inremasional.
137
Lalu dijadikan lurah oleh Belanda. ltu konon menurut kata para tetua. Belanda yang
membantu “sumsidi” ¹⁾ uang semir "pemilu"ya begitulah istilahnya sekarang Pak,
sampai nenek saya dipilih jadi lurah. Sejak itu, semua aman. Belum lama ini juga
begitu, Pak, desa Rongwatu sana tidak pernah aman. Entah padi yang sudah kuning,
kerbau atau sering cuma pakaian dan transistor, pokoknya kembali jaman baheula.
Lalu Pak Keamanan yang sekarang ini, dia kampanye: Kalau saya yang dipilih,
tanggung perkutut-perkutut akan damai memanggung dan seluruh desa akan aman
tenteram. Tetapi kalau dia tidak dipilih, ia memperingatkan, segala malapetaka akan
berlipatganda. Nah, dia dipilih. Sejak itu, aman." Tersenyum ia mempersilakan teh
pahit bergula banyak.
''Ya begitulah, selalu ada-ada saja daerah ini. Kemarin malam ada perkara lagi.
Kerbau Pak Sanusi dicuri. Sebulan yang lalu kerbau Pak Mertobelong. Pasti ini nanti
ada ekornya."
Gadis macan-tutul tadi hormat penuh sopan-santun elegan, memberitahu, sudilah
Bapak Tamu dan ayahnya makan apa seadanya. Makanan masakan desa sangat lezat
bagiku. Barangkali karena aku sedang senang di hati. Atau karena gadis macan-tutul
tadi mirip Atik? Pokoknya aku makan banyak. Sebagai tanda kebesaran, seharusnya
kutinggalkan sisa sedikit dalam piringku, seperti yang dikerjakan juga oleh Pak
Dukuh (tanda: bagiku makan bukan soal), tetapi aku toh lebih memilih jujur dan
piring bersihlah mengkilat. Seperti anjing, kata ayahku dulu. Sesuai dengan pendidikan Mami yang selalu berkata: "Segala makanan harus habis. Meninggalkan sisa
berarti kau sombong. Anugerah Tuhan tidak boleh dibuang sia -sia."
Nah, apa saja dapat ditafsir macam-macam. Sisa Pak Dukuh tidak dibuang sia-sia,
pasti diberikan kepada ayam, atau anjing. Anjing menjaga rumah di malam hari dan
daging ayam kelak kita makan kembali.
Duduk di emperan dengan hanya ditemani suara jengkerik-jengkerik dan kadangkadang burung-burung uhu atau jampuk atau celepuk, memberi rasa damai padaku,
entahlah. Tetapi setelah kuperhatikan, toh lain juga dari di jaman kanak-kanakku.
Hanya suara jengkerik. yang masih sama. Tetapi suara-suara burung hantu di
kegelapan sekarang sudah jarang. Akibat kebudayaan DDT dan endrin rupa-rupanya.
Di masa KNIL dulu aku sering mendapat giliran ikut kontrol di pos Gemawang, pos
terdepan garis-demarkasi Pingit antara Ambarawa dan Secang. Markas pertahanan
kami ditempatkan dalam rumah bekas pabrik. kopi. Burung-burung hantu kala itu
masih cukup kerap menguhu. Bunyi seperti maut "kebluk-keblukkebluk," yang
ditakuti anak-anak desa, tetapi juga orang-orang tua, masih kudengar setiap malam.
"ltu gerilyawan datang," kata sinyo-sinyo Belanda totok, hahaha ... Sesudah jelas
KNIL harus mundur dan dilikwidasi, aku masih sering teringat pada "burung-burung
gerilyawan" uhu dan kebluk dan celepuk dan jampuk itu. Nama-nama yang tidak
sedap! Memang pekiknya sungguh bukan pekik yang membawa warta gembira. Dan
jika pada siang hari burung-burung lain kebetulan menemukan kebluk atau celepuk
sedang tidur, maka segera kawan-kawan burung lain berdatangan dan bersama-sarna
mereka mencaci-maki kebluk dan celepuk tadi habis-habisan, sehingga kebluk tadi
seolah-olah malu dan menyeringai kebingungan seperti nenek senewen. Tetapi uhuuhu tetap tidak pernah bertobat dan terus saja berbuat sekehendaknya, berburu kadal,
tikus, serangga. Seperti sinyo-sinyo itu kalau sudah dewasa.
¹⁾ Dari kata subsidi.
138
Aneh, mengapa orang-orang Barat memilih burung uhu sebagai lambang
kepandaian. Apakah orang pandai suka berburu di dalam kegelapan? Sehingga orang
Jawa mempunyai sinonim untuk kata menipu, yakni minteri, dari kata pintar? Para
penyusun model komputer kongsiku, yang tanpa diketahul merugikan negeri ini
dengan sekian milyar dolar setiap tahun, adalah kebluk-kebluk maut juga, karena
pandai membuat model perhitungan dan rumus-rumus rumit yang lihay menipu.
Dari kejauhan terdengar kokok jago yang terburu bangun. Tadi siang kudengar
juga kokok ayam hutan. Menurut kata Papiku yang ahli bekisar, ayam hutan sudah
menghuni pulau vulkan ini jauh sebelum manusia pertama datang di sini. Aku ingat
dulu Papi membawa seekor ayam hutan berekor garpu yang indah sekali, hijau
dengan garis-garis datar miring pada kepala dan lehernya. Mirip hakim-hakim negaranegara kesemakmuran Britania. Jambul ungu jingga dan kulit janggut melambai
merah. Interesan sebetulnya, kaum jantan di alam raya ini suka bersolek diri,
sedangkan yang betina hanya sederhana saja. Persis perempuan-perempuan Jawa di
masa kanak-kanakku. Mereka berkebaya hitam atau lurik coklat-hitam, seperti gagakgagak saja, sederhana dengan potongan tanpa pretensi.
Tetapi wahai, lihatlah para ksatria keraton, apa lagi di Yogyakarta dengan surjan¹⁾
warna-warni dan blangkon²⁾ kepala yang manja. Semakin mendekati alam, semakin
perempuan disuruh sederhana dan si lelaki memamerkan keelokkan fisik. Merak,
itulah contohnya para ningrat Jawa. Maka benar-benar dapat dimengerti mengapa
Papiku dulu dan ibu si Atik tidak begitu suka hidup di antara tembok-tembok keraton.
Dari pihak lain, seperti yang kurasakan, sungguh sering merana, hidup dalam alam
penghayatan lain dari yang dialami saudara-saudari sebangsa. Apakah aku sudah
keterlaluan menjauhkan diri dari bangsaku? Apakah alasanku benar alasan jujur
ataukah dalih menjauhkan diri dari bangsa yang masih hidup di dalam alam masa
agraria kuna ini? Yang masih primitif mendekati flora dan fauna rimba belantara?
Itulah penderitaan jiwaku.
Ada lima orang mendekat. ''Kula nuwun³⁾." Kujawab hormat.
Mereka minta maaf, memperkenalkan diri dan masuk setelah dipersilakan Pak Dukuh.
Sesudah basa-basi macam-macam, Pak Dukuh menerangkan, mengapa mereka
dipanggil, yakni "soal yang tentulah saudara-saudara sudah maklum, soal kerbau yang
dicuri kemarin malam." Jelasnya, menurut peraturan baru dari kelurahan, siapa yang
kehilangan kerbau atau ternak apa pun, dia harus didenda. Aku terperanjat di lincak
luar. Didenda? Mana bisa? Orang yang kehilangan bahkan didenda? Gila! Itu kan
terbalik! Ya, orang-orang itu sudah maklum. Dan mereka akan taat kepada peraturan
pemerintah. Akan tetapi apa tidak mungkin ada kebijaksanaan ... artinya kemurahan
atau perkecualian? Tidak mungkin! 1ni bukan lagi jaman liberal seperti dulu. Semua
harus berdisiplin parsitisapi⁴⁾ pembangunan.
¹⁾ Baju model Yogya tradisional.
²⁾ lkat kepala Jawa Tengah.
³⁾ Sepada.
⁴⁾ Kata lawakan dari partisipasi; siti = tanah sapi = binatang.
139
Suara agak serak (barangkali dari pemilik kerbau) memohon belaskasihan karena
memang dia tidak punya uang. Yang lain-lainnya juga ikut memohon kemurahan
kepada Pak Dukuh. Pak Dukuh berkata, memang dia sebagai kawan sedesa sungguh
ingin menolong mereka, tetapi bagaimana lagi, ia pun hanya orang kecil dan hanya
mendapat enterupsi¹⁾ seperti apa adanya. Memang, dia paham sekali dan menghayati
kesedihan mereka, akan tetapi dengan sangat menyesal dia hanya dapat berkata, apa
yang wajib ia katakan. Soalnya, ini sudah keputusan sidang Dewan Kelurahan
lengkap dengan LSD segala. Jadi resmi. Bahkan konon Pak Camat juga sudah
membubuhkan tandatangannya dan cap. Lagi pula Pak Koramil pun juga hadir dalam
rapat itu.
Mereka diam. Pak Dukuh lalu mempersilakan mereka minum teh dan nyamikan
ala kadarnya, yang rupa-rupanya dihidangkan oleh Bu Dukuh sendiri. Sebab,
terdengar ada suara wanita yang menanyakan, bagaimana keadaan istri mereka, dan
bahwa Bu Dukuh berterimakasih atas punjungan²⁾ Mbok Sanusi, yang kehilangan
kerbaunya tadi, berupa ayam goreng. Bahwa itu tidak perlu sebetulnya, dan maaf
mohon tanya, apa gerangan ujubnya³⁾. Oh, minta doa, karena anaknya mau melamar
di pabrik kertas di Blabak, semoga diterima. Wanita itu memberi jaminan, pasti
anaknya akan diterima. Tetapi memang jaman sekarang sulit mencari pekerjaan, dan
sering itu sebagai lotre saja. Semakin banyak beli karcis lotre, kemungkinan diterima
juga banyak. Ayah anak itu, alias yang kehilangan kerbau tadi, hanya mengucap
terimakasih dan dimohon, kalau Bu Dukuh lewat, sudilah singgah di rumahnya.
Wanita itu mengatakan: "Ya, nanti, coba kalau kebetulan lewat."
Pak Dukuh sekali lagi mempersilakan tamunya minum, dan ia mulai bercerita
tentang jumlah wisatawan yang semakin banyak mengunjungi jurang dekat desanya.
Ia mulai melawak bahwa gunung berapi jaman sekarang sudah jadi semacam Sekaten⁴⁾
model baru. Pasti sebentar lagi Simbah Petruk rindu kepada kekasihnya Nyai Loro Kidul.
Dan bila nanti ia memuntahkan lahar lelakinya, nah, pasti banyak wisatawan akan
datang melihat Gunung Merapi meletus. Ada seorang dengan suara macan tua
berkata, bahwa mudah-mudahan bila meletus, tepat pada hari Lebaran, sehingga ia tak
memerlukan lagi membelikan mercon untuk anak-anaknya yang rewel. Tentulah itu
menimbulkan reaksi protes oleh kelima orang lainnya. Tetapi akhirnya semua sepakat,
bahwa memang anak-anak sekarang sulit dan rewel minta ini minta itu yang tidak
perlu.
Tetapi Pak Dukuh mengatakan, bahwa memang itu merepotkan, tetapi bagaimana
lagi, itu sudah konsekuensi jaman pembangunan. Tiba-tiba suara serak yang
kehilangan kerbau tadi memohon, apa memang betul tidak ada jalan keluar agar ia
diberi kemurahan. Akhirnya sesudah melingkar-lingkar Pak Dukuh berjanji, masalah
ini akan ia ajukan ke pihak kelurahan.Terserah beliau nanti bagaimana, kebijaksanaan
mana yang perlu diambil.
¹⁾ Pengucapan salah dari kata yang seharusnya instruksi.
²⁾ Pemberian hadiah berupa makanan kepada tetangga sehubungan dengan sesuatu
peristiwa..
³⁾ Maksud, motivasi permohonan.
⁴⁾ Perayaan Gerebeg Maulud di Yogya.
140
Sekali lagi Pak Dukuh menegaskan, bahwa semua itu bukan bermaksud menambah
kesedihan seorang kawan sedesa yang dirundung malang kerbaunya hilang, tetapi
hanya dan melulu demi ketaatan kepada pemerintah.
Sebab menurut pemerintah, sudah terlalu banyak kerbau dan kambing hilang. Maka
perlu diadakan tindakan untuk menanggulangi peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan itu, yang memberi kesan, seolah-olah negara kita ini liberal dan hanya penuh
kekacauan saja. Maka perlulah semua itu ditertibkan, dan setiap orang harus ikut
bertanggung-jawab.
Maka siapa yang kecurian ternak apa lagi kerbau yang begitu mahalnya, harus
sanggup membuktikan diri mampu menjaga hak milik masing-masing secara warganegara yang bertanggung-jawab. Jika toh terjadi ada yang kehilangan kerbau dan
sebagainya, jelaslah ia kurang waspada dan lalai dalam tugasnva terhadap keamanan
dan ketertiban masyarakat. Maka ia harus didenda. Itu bukan hukuman atau keputusan
hakim, tetapi hanya peripentip¹⁾, artinya sedia payung sebelum hujan, agar semua
berjalan tertib dan tidak menimbulkan keresahan yang tidak perlu.
Kelima orang itu mengucapkan terimakasih atas segala kebaikan Pak Dukuh dan
dengan penuh hormat dan sedikit lega mereka mohon diri. Mereka memberi hormat
kepada tamu Pak Dukuh yang masih duduk sendirian di lincak emperan. Sekali lagi
mereka minta maaf bila mengganggu Pak Dukuh dan mulailah batere-batere menyala
menembus kegelapan. Pak Dukuh minta permisi pergi sebentar untuk memeriksa
aliran air di selokan ke sawahnya, serta mengucapkan selamat malam kepadaku.
Dan sendirianlah sang peziarah Setadewa. Tiba-tiba dari antara dedaunan
pepohonan kulihat lidah api menyala. Apa itu? pikirku. Komet? Iintang beralih?
Akhimya aku tahu. Ah, itukah yang sering diberitakan di koran-koran akhir-akhir ini:
lidah lahar yang keluar dari kawah Merapi? Setiap sepuluh tahun sekali paling sedikit
dan teratur, Gunung Merapi meletus. Ini tahun 1968. Jadi sudah saatnya, di sekitar
pergantian dasa-warsa "ditunggu" letusan. Lama aku memandang kepada semburansemburan lidah api yang meleleh ke bawah itu. Elok, ya, indah. Banyak yang kejam
keji tampak indah dari kejauhan.
¹⁾ Dari kata preventif
141
18. Aula Hikmah
Mengapa mereka membangun kompleks universitas dengan arsitektur begitu
Jelek di tengah alam dan masyarakat yang begitu cantik? Aku sudah mulai belajar
sumarah seperti Mami, tetapi darah Untung Surapati dalam Papiku masih memberang
terus. Negeri ini sudah kehilangan kepribadiannya, atau apa istilahnya tadi dalam
kartu undangan? "Jatidiri dan bahasa citra". Ya, kesejatian diri sudah hilang dari
masyarakat sini, yang terlalu lama dan terlalu bertubi-tubi diserang desintegrasi
politik, ekonomi maupun kebudayaan. Di mana-mana arsitektur selalu menjadi
detektor yang tidak bohong, merekam dan mensinyalkan keadaan diri suatu bangsa.
Begitu gado-gado dan simpang-siur perwatakan gedung-gedung itu, minta ampun.
(JIKALAU ada wataknya). Karakter,itulah yang digemblengkan Papi padaku. Citra,
ltulah yang dianugerahkan padaku oleh Mami dan oleh ... Atik.
Pagi itu, aku dari hotel (bukan hotel, tetapi kamar yang berkat kedermawanan
seorang tumenggung Keraton boleh kusewa) menuju ke kampus universitas yang
paling termasyhur di negeri ini dan kata orang menjadi simbol dari kepribadian
bangsa Indonesia. Aku kecewa memang terhadap ekspresi kepribadian itu, tetapi
sekali lagi, aku sudah belajar sumarah dan tidak terlalu memberang bila ada yang
kurang menyenangkan dalam negeri ini.
Pagi itu Nyonya Janakatamsi, Kepala Direktorat Pelestarian Alam akan
mempertahankan tesisnya untuk meraih gelar doktor biologi di hadapan Senat
lengkap beserta undangan. Aku bukan undangan, karena sampai sekarang aku belum
pernah (berani) berhubungan lagi dengan Atik, alias Nyonya Larasati Janakatamsi,
isteri Dekan Fakultas Geologi salah satu universitas swasta di Jakarta dan Kepala
Laboratorium Maritim Angkatan Laut. Tetapi kartu undangan dapat kuraih, karena
salah seorang perwakilan Ford Foundation yang kukenal dan diundang, pada hari itu
masih turne di Ujungpandang. Dari pimpinan protokol kemarin aku mendapat
kepastian, bahwa untuk upacara itu aku boleh-boleh saja berbaju batik, sebab itu
sudah dianggap pakaian resmi dan rapi. Bagus, inilah satu-satunya yang kuingini,
berpakaian tidak kaku, kalau aku berjumpa dengan Atik nanti. Sebab pastilah aku
akan berjumpa dengannya. Salah satu copy dari penelitianku tentang kecurangan
komputer yang gawat itu telah kutitipkan dalam almari biro seorang kenalan pastor
yang dapat kupercaya.
Segala informasi mengenai pribadi suami Atik telah kudapatkan dan dia ruparupanya akan dapat kuharapkan menjadi matarantai yang ideal untuk pelaksanaan
keputusan yang telah kusumpahkan di hadapan nisan Mami dan Papi. Sebetulnya
motivasi persoalan rahasia komputer semacam itu kurang pada tempatnya, dan aku
tak henti-henti menenteramkan hati-nurani, bahwa motivasi pertama bukanlah
masalah kalkulasi komputer, melainkan memang sudah saatnyalah aku berhadapan
muka, mata lawan mata dengan kekasihku.
142
Ya, ia sudah kawin dengan orang lain, tetapi dalam hati ia tetap kekasihku. Betapa
pun bejat atau gagal seseorang, ia berhak mempunyai pujaan hati. Dan pujaan hati
jangan selalu dihubungkan dengan seks. Aku tahu, itu maha penting, seks, tetapi aku
tahu juga dalam pengeterapannya terhadap Atik, seks jatuh pada nomor tiga atau
empat. Bukan, motivasi utama: aku mendatangi upacara penggelaran doktor kepada
sahabatku Atik, dan itu benar-benar datang dari jiwa yang tulus dan bangga atas
keberhasilannya. Atik selalu berhasil. Entah, memang sering ada manusia yang selalu
berhasil dan ada yang selalu gagal. Petani mengatakan ada yang "dingin tangannya",
sehingga semua tumbuh subur kalau dia yang menanam. Tetapi ada yang "panas
tangannya". Apa saja yang ia tanam, selalu sial tidak tumbuh subur. Selain bertangan
dingin, Atik punya kecantikan yang khas, yang tidak menyala seperti glamour
perempuan-perempuan dalam resepsi-resepsi, tetapi bagaikan kunang, yang
bercahaya tanpa panas. Tanpa suara dan tanpa pretensi, tetapi sangat menarik,
khususnya untuk orang-orang jago kelahi seperti aku ini.
Aku memilih kursi baris kedua di sayap sebelah kiri. Di sana tidak silau menatap
sinar matahati pagi, dan aku ingin melihat Atik dalam profil. Ia dulu indah kalau
dipandang dari samping (kata orang test terbesar ialah pandangan dari profil) dan itu
pula satu-satunya sudut pandangan yang paling jelas dapat dinikmati penonton dalam
penataan kursi berbentuk tapal-kuda. Bukan, aku bukan penonton. Aku salah seorang
mahasiswa, atau lebih tepat sang pencari. Belajar dari ajaran Sang Waktu. Tidak ada
seorang pun yang kukenal dalam Aula Agung ini. Itu baik dan memang wajar.
Bagaimana pun aku masih tetap orang asing. Atau yang mengasingkan diri. Atau
lebih tepat: yang senang mencari di dalam wilayah-wilayah yang tidak dilalui
gerombolan. Yang berkelahi di luar pagar aman. Aku tidak meremehkan para hadirinhadirat yang berwarna-warni kebaya mau pun berdasi itu. Cuma aku lain. Heh?
Hanya aku sendirian yang pakai baju batik? Lain-lainnya serba berbusana distinguished
class, gabardine, wool jas model mutakhir dan dasi Cardin, Yves St. Laurent atau
Hongkong biasa. Rupa-rupanya aku yang paling nasionalis. Hahaha, ex KNIL yang
nasionalis.
Jruet! Jruet! Jruet! Sang Seremonarius, penata upacara muncul di pintu utama, bertoga
hitam dan bertopi ilmiah segi lima berkucir beserta tongkat-panjang berpucuk
lambang kuningan (belum di-brasso) yang kecoklat-coklatan hijau. Lambang itulah
yang tadi berbunyi, dipukul-pukulkan ke lantai: jruet! jruet! jruet! Seperti kaleng
tukang pijat.
Semua hadirin-hadirat serentak berdiri. Tiada suara tiada musik; iklim tembaga,
aluminium, selenium dan silikon. Para profesor masuk melangkah serius, didahului
rektor yang pendek gemuk berkacamata burung uhu. Ada dari dewa-dewa itu yang
tersenyum mengangguk pada seorang kenalan. Ada yang berwajah tank panser
Centurion. Ada yang rupa-rupanya ogah-ogahan, acuh tak acuh, lagaknya lebih suka
di laboratorium menyuntiki kelinci-kelinci dan tikus putih daripada harus ikut liturgi
yang seram ini.
143
Barangkali itu profesor matematika yang mengedipkan mata pada seorang gadis yang
tersenyum malu Jawa. Aneh, pada saat aku seharusnya berdebar-debar menghadapi
saat melihat Atik lagi, aku sekarang bahkan tenang. Hatiku sudah jadi silikon
komputer juga, kataku dalam hati berkelakar.
Ah, itulah Sang Pujaan. Nah, tersenyum, merasa sip dia, walaupun telah satu tahun
melampaui umur 40 tahun; dengan karir yang begitu pesat, citra yang tersenyum
dikulum itu seolah-olah masih dalam usia 30-an. Suaminya lebih pendek dari Atik.
Rupa-rupanya orang yang tenang dan baik hati, walaupun wajahnya tampak serius. Ia
menggandeng istrinya dengan langkah-langkah yang penuh perhatian kepada istrinya,
dan sekali, entah suatu kotoran apa yang kebetulan menodai lengan kebaya istrinya
diselentik bersih. Atik sendiri revolusioner sekali, berkebaya lurik coklat-hitam,
seperti simbok Pasar Beringharjo, tetapi yang justru mencahayakan kulitnya yang
putih langsep. Tipikal untuk dia! Selendang juga seperti simbok-simbok di kaki lima.
Sanggulnya alhamdulillah tidak ekstrim mirip simbok-simbok, tetapi juga tidak
bermodel nyonya metropol masa kini.
Pada kursi baris termuka Tuan Janakatamsi melepaskan istrinya, saling
berpandangan dengan senyum dan mengangguk. Dua dayang-dayang, yang satu
berpakaian ala Sunda sedangkan yang lalnnya gaya anggun Sala tetapi modern
luwes, mendampingi Sang Doktoranda. Seonggok komposisi bunga anggrek putih
yang menyerupai sekawanan kupu-kupu diserahkan Atik kepada dayang-dayang ltu.
Bergelegarlah suara seremonarius mewartakan tujuan sidang istimewa ini, lalu
menyerahkan acara kepada Bapak Rektor.
Tubuh kekar pendek berkaca-mata ilmiah itu berdiri, dan mengucapkan selamatdatang, pertama kepada rekan-rekan profesor dan para tamu. Kepada alamat
doktoranda ucapan disertai humor halus terselubung, sepadan dengan jabatannya,
namun jelas, memuji kecantikan promovenda. Sebab justru di dalam lambang kebaya
lurik hitam rakyat jelata itu semoga wartaharapan universitas .yang didirikan di
tengah keprihatinan perjuangan revolusi kala itu, se1alu terkabul; yakni warta
tentang pengabdian kepada manusia-manusia sebangsa yang paling dilupakan. Dan
khususnya bagi generasi muda semogalah itu merupakan peringatan, bahwa ilmu dan
mengabdi kepada rakyat bukanlah dua perkara yang sepantasnya dipisah-pisahkan.
“Selamat datang kepada semua hadirin-hadirat yang mulia, dari jurusan mana pun,
sebab tesis yang harus dipertahankan doktoranda ini menyangkut kita semua juga.
Judul disertasi yang diajukan oleh Dra. Larasati Janakatamsi sungguh sejalan dengan
jabatan doktoranda selaku Kepala Direktorat Pelestarian Alam, yakni 'Jatidiri dan
bahasa citra dalam struktur komunikasi varietas burung Ploceus Manyar. ¹⁾ Seorang
profesor di samping Rektor bertepuk-tangan, yang disusul oleh spontanitas tepuktangan hadirin-hadirat. Termasuk aku juga.
¹⁾ Burung manyar.
144
Rektor mempersilakan promotor sebagai pembicara pertama.
Profesor itu tipe orang Aceh, sudah tua dan dengan suara perlahan-lahan mulai
dengan memperkenalkan promovenda selaku wanita pejuangan, yang sejak
Proklamasi selaku gadis berumur 17 tahun sudah berbakti dalam pergulatan diplomasi
menghadapi dunia internasional demi kemenangan bangsanya. Walaupun hanya
seorang sekretaris sangat muda di bawah bayangan para garuda dan elang diplomatdiplomat tinggi yang rata-rata masih muda juga ketika itu, Doktoranda Larasati
Janakatamsi dikarunai jiwa yang arif untuk gadis sehijau kala itu."
Kearifan itu lebih tampak dalam karya yang dipilihnya, sesudah perjuangan militer
maupun diplomasi bangsa kita mencapai kejayaan, yakni spesialisasi dalam suatu
bidang, yang pada waktu itu dan pada saat sidang yang mulia ini berjalan, baru satu
dua yang memikirkannya, yaitu kualitas hidup, kualitas lingkungan bagi generasi
yang akan datang.
Dan walaupun sudah menjadi seorang ibu berputera tiga orang, namun
promovenda masih mampu menata waktunya untuk berbakti dalam dunia ilmu
pengetahuan. Sebab, menurut Doktoranda Larasati Janakatamsi, ilmu-pengetahuan
dan kebahagiaan rumahtangga bukanlah dua dunia yang terpisah.
"Oleh karena itu, saya beserta rekan-rekan ko-promotores, dan saya yakin para
rekan penyanggah juga beserta hadirin-hadirat yang arif bijaksana, pastilah kita
merasa mendapat kehormatan untuk menyertai Saudari Larasati Janakatamsi dalam
sidang ilmuwan ini".
Sesudah diam sebentar, dengan anggukan anggun, promotor menghadap ke arah
tokoh sidang: "Saudari Promovenda, Anda telah meneliti masalah-masalah aktivitas
kelenjar-kelenjar prothorax dan otak burung-burung keluarga Fringilliadae dan
Ploceidae. Khususnya Ploceus Manyar alias burung-burung manyar, pencuri-pencuri
padi itu, yang pandai membuat sarang berbentuk perut dan berpipa ke bawah.
Terutama Anda telah membuat analisa bagus tentang seluk-beluk hormon-hormon
juvenile atau dengan istilah kita, hormon-hormon peremajaan keluarga Ploceus dalam
hubungannya dengan perilaku burung-burung manyar tersebut, bila mereka sedang
menginjak masa birahi dan perkawinan. Tentulah saudari meneliti semua itu tidak
lepas dari perspektip relevansi kenyataan, bahwa kita manusia pun, saya kira semua di
dalam sidang mulia ini, pernah birahi juga." (Gumam ketawa hadirin bagaikan lebahlebah. Rektor mengangguk-angguk dan kepala Atik agak oleng tersenyum dikulum.
Aku tidak ikut tersenyurn). Dapatkah Anda menerangkan relevansi penelitian Saudari
untuk pembangunan kehidupan kita sebagai nasion yang masih muda ini?" (Beberapa
kursi bergerak nervous).
Larasati: "Saudara Rektor, Saudara Promotor, Senat yang saya hormati dan
hadirin-hadirat yang budiman. Terimakasih. (Seorang dayang mendekatkan mikrofon
pada Atik). Ketika saya masih kecil (suaranya masih sama dengan dulu, ya Tuhan)
ayahku almarhum yang menjadi promotor pertama dalam kecintaanku kepada dunia
flora dan fauna, (tersenyum mengangguk kepada promotor utarna tadi, yang juga
tersenyum mengangguk tanda penuh pengetian) pernah menunjukkan padaku perilaku
yang dramatis bahkan sering tragis dari manyar-manyar lelaki..
145
Maaf, jantan. (Tertawa lirih dari publik. Aku tegak terkejut dan tangan kusilangkan di
muka dada) Kalau mereka sudah akil-balik dan menanjak masa mereka berpasangan,
kita tahu, mereka mulai membangun sarang, terbuat dari alang-alang atau daun-daun
tebu atau daun-daun lain yang panjang. Benar-benar ahli dan bersenilah mereka
membangun sarang yang rapi serta bercitra perlindungan yang meyakinkan. ltu yang
jantan. Yang puteri-puteri (gumam ketawa teredam) hanya melihat saja dengan enakenak santai, tetapi penuh perhatian kepada kesibukan para insinyur-insinyur muda itu
(lebih keras ketawa seluruh aula. Profesor yang acuh-tak-acuh tadi mulai tersenyum
simpul). Namun mulailah lakon mendramakan diri. Manyar-manyar betina itu
menaksir hasil pembangunan para jantan itu, (Atik diam sebentar)
mempertimbangkan sejenak (diam ... ) dan memilih yang ... (diam lagi, beberapa leher
hadirin menjadi panjang) berkenan di hati mereka. Berbahagialah yang dipilih itu
(Aula: Ooh! Ooh! Ooh!) Tetapi alangkah sedihnya bagi yang tidak dipilih (merata
ketawa ejekan). Lalu inilah yang terjadi. Para usahawan yang menawarkan hasil
tehnologi mereka tetapi tidak laku itu sedih. Serba frustrasi. Sarang yang sudah selesai
itu dilolosi dan dibongkar sehingga semua rusak, lalu segala jerih payah yang gagal
itu dibuang ke tanah (publik: Ooooh! Beberapa profesor seperti terpukau, bahkan
yang barangkali profesor matematika tadi mulutnya agak melompong). Tetapi
syukurlah, mereka tidak putus asa. Manyar-manyar jantan yang frustrasi tadi mulai
mencari alang-alang dan daun-daun tebu lagi dan sekali lagi dari awal mula
membangun sarang yang baru, penuh harapan, semoga kali ini berhasil dianugerahi
hati berkenan dari seorang putri keraton. (Seluruh aula bertepuk-tangan dan para
nyonya yang berkipas-kipas itu geli saling bercubit-cubitan. Atik hanya melihat ke
plafon. Senyum dikulum seperti anak nakal yang berhasil memanja orang-orang tua).
Dan inilah saudara saudari, yang merupakan fokus penelitianku selama ini.
Pertanyaan-pertanyaanku ialah: dari mana datang perilaku yang sedemikian? Yang
mengaburkan pembatasan tajam antara yang disebut naluri yang dipastikan dan sikap
sadar yang sanggup untuk memilih ? Sanggup memilih mengandaikan suatu kemampuan untuk menimbang, untuk memegang kendali nasib, untuk berkreasi. Sebab
siapa berkemampuan untuk memilih, dia mengatasi nasib, ia raja yang menguasai
dalil rutin belaka. Dari pihak lain, dari mana perasaan sedih dan kecewa dan
kejengkelan yang lalu melolosi dan merombak sesuatu yang dinilainya gagal? Dari
mana lalu datang tekat baru yang kreatif kembali, yang mengandaikan jiwa yang
punya harapan, yang tidak menyerah hanyut, namun aktif menimbulkan fajar yang
baru.
''Dari sebab itu, pengetahuan yang mendalam mengenai seluk-beluk pengambilan
keputusan dan naluri nasib yang hanya tunduk kepada kepastian buta, akan dapat
menolong kita, memaharni hal-hal yang kolektif, yang seolah-olah merupakan suatu
instink keharusan adat maupun kebiasaan nasional; dalam perpaduannya yang serasi
dengan segala yang kreatif, yang serba baru dan khas pribadi.
146
Sebab, walaupun kita adalah manusia dan berbakat kesadaran serta berpotensi
emosional mampu memilih dan mengambil keputusan yang berdaulat, kita tidak boleh
lupa, bahwa kita tertambat dengan berjuta-juta benang halus sutera tak tampak dengan
alam raya dan dunia flora dan fauna. Juga dengan tanah air dan rakyat. Semoga
demikianlah." Selama uraian Atik itu, kipas-kipas para nyonya berhenti tanpa disuruh.
Aku diam, diam tak bisa berkutik.
Giliran berikut ada pada ko-promotor, seorang profesor berkulit putih yang
diintroduksi oleh Rektor selaku profesor universitas dari Basel Swis. Profesor Doktor
Chauvigney. Ia bertanya dalam bahasa Inggris berlogat Prancis: ''Di negeriku ada
burung sejenis Larus. Di Indonesia jenis Larus yang sesungguhnya tidak ada, tetapi
ada yang mirip mereka, ialah merpati laut. Ketika masih sangat muda dan tinggal
dalam sarang mereka berwarna kelabu pasir. Itu warna penyelubung terhadap musuh.
Sesudah itu mulailah kepalanya berwarna coklat matang dan putih di sekitar mata.
Sayapnya juga menjadi coklat bercampur bulu-bulu putih remaja. Baru dalam tahun
kedua, sebagai tanda kedewasaan Larus atau Lahmeuwe itu sayap-sayapnya menjadi
kelabu gemilang, ekornya putih murni dan warna kepalanya coklat indah, hampir
hitam, sedangkan kaki dan paruhnya merah menantang. Juga pada binatang lain
seperti kupu-kupu, kita melihat perubahan bentuk maupun warna yang kita kenal
dengan istilah metamorfosa. Dari ulat, kepompong, ke kupu-kupu yang begitu indah.
Apakah semua itu serba kebetulan? Mengapa tanduk rusa begitu fantastis, mengapa
ikan-ikan dan mahluk-mahluk lautan Banda begitu indah clan bergerak elegan,
sehingga orang hanya dapat takjub dan bungkam melihat segala kecantikan yang telah
hadir di kedalaman atau pun di angkasa sebelum manusia ada? Apakah dalam dunia
binatang dan kemolekan bunga-bunga anggrek atau mawar itu kita hanya menjumpai
suatu permainan serba kebetulan tanpa arti belaka? Sebab, kalau semua itu diteliti
mengapanya dan efisiensi fungsionalnya, segala kreasi fantastic seperti bulu-bulu
burung cendrawasih atau keunikan kreasi sarang burung-burung manyar itu obyektif
tidak perlu. Atau dengan kata lain, apakah dunia di bawah jenis manusia itu dapat
merencana, mendisain, berkreasi seni?
Bagaimana pandangan Nyonya Promovenda mengenai itu semua dalam
hubungannya dengan tugas ilmuwan biologi?" Semua seolah-olah tidak dapat
bernafas. Pertanyaan-pertanyaan itu rupa-rupanya sudah melampaui daerah
kompetensi ilmu biologi. lni sudah filsafat, ini sudah bidang religi. lni pertanyaanpertanyaan maha sulit. Bagaimana wanita itu dapat menjawabnya? Semua berdebardebar.
Larasati: ''Tuan Profesor Chauvigney, pertanyaan Tuan menyangkut sesuatu yang
paling dalam, yang pada saat ini sedang diteliti oleh para ahli biologi. Tuan, di sinilah
sebenarnya termaktub permasalahan budaya manusia masa kini, di Timur maupun di
Barat, di Selatan maupun di Utara. Masalah kuantitas dan kualitas. Selama para
biolog hanya mampu melihat sebagai penonton atau sebagai penghitung komputer
yang serba berkecimpung dalam hal-hal tehnis belaka (mati aku !),
147
atau dengan kiasan sehari-hari, bila seorang lelaki melihat perempuan hanya sebagai
benda molek yang perlu dicatat ukuran-ukuran vitalnya (gumam ramai) atau
menganggapnya sebagai obyek kebanggaan dan induk yang menelorkan anakanaknya (kipas-kipas para nyonya tiba-tiba pada bergerak nervous), maka sang ahli
biologi belum menemukan panggilannya yang sejati. Maka lalu bangsa berperang
melawan bangsa lain berdasarkan kesimpulan perhitungan, dan terletusiah suatu
strategi yang dipastikan oleh silikon-silikon komputer (lagi kau!). Jikalau demikian,
belumlah orang mengenal jatidiri kehidupan dan panggilan kita selaku manusia.
Jatidiri atau Innerlichkeit dalam bahasa Jerman, sesuatu sumber kesadaran-diri di
dalam lubuk kedalaman hakekat kita yang masih serba misteri ini, ternyata tidak
hanya ditemukan di dalam manusia. Ternyata dari perilaku burung-burung manyar
tadi sudah terbaca segala itu. Bahasa kasih-sayang dan emosi kebencian yang
diobservasi pada jenis-jenis simpanse, dan sekian bahasa saling kenal serta saling
berkomunikasi antara para lebah-lebah atau pun tari-tarian cinta para serangga,
menunjuk samar-samar pada kita secara empiris dan faktual, betapa ada dan sering
begitu cemerlang jatidiri para mahluk itu memancar ke Iuar. Metamorfosa burungburung Larus negeri Tuan tadi merupakan pergantian warna yang dibawa oleh
perkembangan umur. Namun Iebih dari itu, hal tadi terbawa oleh keadaan diri, oleh
riak-riak hidup jatidiri mereka dari dalam, terbawa oleh pembahasan yang berhasrat
mencurahkan diri kepada mahluk lain.
Binatang-binatang peka tentang apa dan bagaimana yang disebut suasana serta
warna-warni situasi. Di negeri Tuan, berkat beberapa penderma budiwan, saya pernah
mengalami suasana hutan, dalam perbandingan keempat musim. Kendati pun kita
tidak dapat melihat burung-burung itu sendiri, jelaslah sudah, betapa ramai di musim
semi mereka berkicau dan bercanda seperti ikut riang memberi selamat datang kepada
bait-bait sajak kehidupan baru. Nyanyian mereka bukan hanya ekspresi atau
ungkapan suatu suasana, tetapi adalah suasana itu, adalah bahasa citra kejadian yang
sedang aktif mereka cipta bersama dalam harapan kehidupan baru. Begitu juga pada
awal musim panas. Lain sekali pada akhir musim panas dan musim gugur. Betapa
sunyi, seolah segala telah terpenuhi dan para mahluk tinggal menikmati sang buah.
Kesunyian para burung itu bukan hanya melambangkan, tetapi adalah syukur itu
sendiri, karena terpenuhilah dambaan. Kicauan dan nyanyian burung, Tuan Promotor,
adalah ada-diri, adalah citra-diri.
Hadirin-hadirat, budiwan-budiwati. Burung-burung seperti manyar-manyar yang
saya teliti dengan penuh kekaguman namun juga dengan penuh pertanyaan itu, bukan
hanya MEMbangun sarang burung, melainkan adalah bahasa Pembangunan itu
sendiri yang mengejawantah ke dalam sikap dan emosi yang dapat tercatat oleh mata
manusia, tertangkap telinga manusia. Dan hati penuh pertanyaan terangkat oleh
manyar-manyar yang riang terbang, ikut melayang menukik dan menarikan kehadiran
diri di langit. Haruskah kupu-kupu itu berwarna justru kuning ini atau hijau itu?
148
Haruskah burung cendrawasih dan merak itu memiliki bulu-bulu yang imperial tak
tertanding oleh maharani mana pun? Jika kita masih tinggal dalam pertanyaan harus
atau tidak harus, bila kita baru melangkah pada data obyektivitas, bila kita masih terkurung dalam angka-angka komputer tanpa mencari arti maupun makna di dalamnya,
maka kita tidak akan memahami sang burung manyar atau pun sang kupu-kupu,
mawar maupun anggrek yang mekar tanpa keharusan seelok itu. Dalam alam raya
terdapat gerak dan kelakuan yang harus, yang eksak, yang menurut dalil. Akan tetapi
syukurlah alam raya telah menunjukkan kepada para biolog dan kepada kita, bahwa
asal saja kita mau dan mampu membaca bahasa Sasmita¹⁾ dalam data-data biologi itu,
kita akan terjumpa pada pertandaan, bahwa benarlah ada di dalam alam dan
khususnya dalam manusia: sesuatu Misteri yang mengatasi, yang merdeka dan yang
tersenyum. Khususnya apabila kita merasa atau menjadi lain dari yang lain, sehingga
menemukan keharuan luar biasa. Percandaan antara yang harus dan yang merdeka
serba bermain kreatif, itulah Tuan Promotor, salah satu panggilan umum sederhana
yang dapat saya baca dari warisan para peneliti dunia biologi, namun juga dari datadata yang saya terima sebagai anugerah dari burung-burung manis tanah-air saya.
Maafkan kata-kata saya yang terlampau panjang. Semoga berkenanlah gagasan saya
itu."
Para profesor mengangguk-angguk. Beberapa orang nyonya dan gadis diam-diam
mengusap air-mata. Dan tiba-tiba aku merasa sunyi, sedih dalam keadaanku yang
dingin sendirian, seperti manyar yang gagal.
Aku bertanya pada diriku, apakah Atik tahu aku hadir dalam aula itu? Setiap kata
seolah menyindir mengena diriku. Masih banyak pertanyaan dari profesor-profesor
penyanggah lain yang harus dijawab oleh Sang Doktoranda. Aku yakin bahwa
jawaban-jawabannya serba gemilang, tetapi aku sudah tidak mendengarkan lagi apa
yang terucap. Aku hanya memandang pada wajah yang mirip Bu Antana itu, profil
ningrat dengan sanggul agak tinggi yang berkesan agak kuna, tetapi yang dengan
koket seperti wanita-wanita Jepang, memperlihatkan lekukan kecil di tengkuknya,
bila ia menoleh sedikit ke arah kanan. Kontras kulit putih dengan warna lurik coklathitam kasar itu memang memukau dan sebenarnya sexy juga. Kuamat-amati juga
kadang-kadang suaminya. Orang tanpa banyak temperamen rupa-rupanya ia, kontras
sekali dengan Atik yang kiprah²⁾di tengah Aula ini. Bagaimana rasanya menjadi
suami Larasati? Mengapa justru dia yang dipilih? Apakah karena sarang manyarnya
lebih baik dariku? Jelas, ya begitulah. Pasti itu kesimpulan setiap orang normal. Satu
hal yang kupelajari pagi itu: Aku harus meloloskan segala serat dan daun-daun tebu
dari sarangku. Sarang lama harus kurombak, kuhempaskan di tanah dan mulai lagi.
Mulai pada umur 46 tahun? Tetapi Atik meraih gelarnya sesudah melampaui tahun
keempat puluh. Benarkah perkawinan selalu harus dijadikan terminal terakhir? Dapatkah orang mencintai tanpa kawin? Barulah terasa olehku, betapa berat badan
manusia yang terlambat.
¹⁾ Sasmita = pertanda-pertanda yang tertangkap maknanya oleh seseorang yang
peka perasaannya.
²⁾ gerak terbang gaya dalam tari jawa.
149
Seorang profesor menanyakan, mengapa metamorfosa dalam siklus kehidupan
hanya terdapat dalam hewan-hewan jenis rendah?
''Profesor Harun, di sinilah timbul suatu dimensi baru yang seumumnya dalam
binatang-binatang rendah belum tampak, yakni tumbuhnya individuum. Semakin
tinggi tingkat dalam rangkaian evolusi, semakin menonjol aspek kompleksitas, namun
semakin memancar juga jatidiri itu. Dalam manusia aspek kepribadian muncul dan
inilah salah satu fase mulia, yang membedakan manusia dan binatang-binatang
tingkat tinggi dari binatang rendah.
Seekor cacing atau serangga sebenarnya hidup dalam dan demi kolektivitas yang
menenggelamkan individu binatang warga sukunya. Seekor individu lebah-lebah
dalam kolektivitas tidak begitu penting. Yang penting ialah jenisnya, suku
keluarganya, bangsa-lebah. Tetapi dalam simpanse kita melihat, betapa unsur individu
di sini sudah kuat. Seekor simpanse pada suatu hari, jika ia suka dan cukup kuat,
dengan berdaulat akan membentuk keluarga sendiri, dan tak gentar melepaskan diri
dari kelompoknya untuk membentuk kelompok baru.
Di dalam manusia, sebagian hidupnya, yakni tatkala ia masih dalam kandungan ibu
dan sekitar satu tahun sesudah lahir, masih tenggelam dalam ketidak-sadaran jenisnya.
Agar ia dapat tumbuh dan berkembang dalam rahim dengan pewarisan hal-hal yang
vital dari jenis kemanusiaan. Tetapi di luar rahimlah ia disempurnakan di dalam suatu
lingkungan yang kaya. Manusia pertama-tama dan dari kodratnya memang manusia
yang sosial, dan yang hanya mungkin bermekar dewasa di dalam lingkungan beserta
dan di dalam dialog dengan yang lain. Tetapi pemekaran dalam rahim masyarakat
sekaligus berupa pemerdekaan diri; ia harus tumbuh menjadi pribadi dan karakter
yang kuat. Seluruh bahasa citranya, sikapnya yang berjalan maju tegak,
kemampuannya yang dapat menonjolkan diri dalam bahasa dan kreativitas seni, serta
di dalam kesanggupannya bertindak berdasarkan keputusan yang sadar, sudah
merupakan jelmaan ada dirinya. Aktivitas menjadi pribadi. Dan seluruh tubuh,
pancaindra serta sikap luarnya sekaligus adalah citra yang aktif mengkreasi diri,
sehingga dengan demikian manusia semakin manusiawi."
Prof. Zainal Abidin: "Apakah dalam penelitian Nyonya dapat ditemukan suatu
kesimpulan yang relevan perihal gejala universal, ialah yang sering kita sebut:
tumbuhnya generasi muda? Bagaimana pandangan Nyonya terhadap generasi yang
sedang tumbuh?"
"Dalam perilaku manyar betina, seperti yang umum tampak juga dalam jenis-jenis
binatang lain, rupa-rupanya masalahnya bukanlah pertama-tama si betina senang pada
partnemya. Tetapi si betina dari awal mula, begitu pun si jantan, seolah-olah bersikap,
bahwa yang penting bagi mereka ialah telur dan proses penjagaan telur menjadi
generasi manyar-manyar baru. Dalam seluruh alam fauna dapat dikatakan, bahwa
sudah sejak awal mula, binatang memperhitungkan dan membentuk lingkungan yang
seoptimal mungkin demi sang telur atau generasi yang akan datang.
150
Di dalam laboratorium pernah kami memperoleh beberapa ekor anak celepuk.
Berhari-hari celepuk-celepuk ayah-ibunya dari hutan setia datang menghampiri
kurungan dan membawa oleh-oleh tikus-tikus atau serangga untuk anak celepuk yang
kami tangkap itu. Bahkan ikan mujair pun menyuruh anak-anak mereka berlindung di
dalam mulutnya, bila ada bahaya mengancam.
Generasi muda, Profesor Zainal Abidin, dan ini jelas dalam perkembangan anak,
diberi bekal kesatuan diri dengan orangtua, dengan sang generatrix¹⁾, di dalam sistemsistem yang tertutup, dengan rongga rahim yang gelap namun menjamin kepuasan.
Tetapi sesudah lahir dan menjadi besar, anak dan generasi muda belajar menghadapi
dunia yang terbuka. Dan keterbukaan itulah yang memungkinkan dia menerima dan
memberi, dengan kata lain memekar menjadi manusia dewasa. Tetapi maafkan Bapak
Profesor, di sini kita sudah menginjak wilayah psikologi manusia, yang bukanlah
kompetensi saya."
Prof Latumahina: ''Pertanyaan terakhir saudari Promovenda, apakah yang akan
Anda sarankan dari segi seorang biolog untuk manusia masa kini, khususnya bangsa
kita?"
"Semoga kita belajar menghayati dimensi kualitas. Sebab, Bapak Profesor
Latumahina, segala Innerlichkeit, jatidiri kita, sebenarnya mendambakan arti, makna,
mengapa dan demi apa kita saling bergandengan, namun juga berkreasi aktif dalam
sendratari agung yang disebut kehidupan. Semoga dialog kita membahasakan diri,
tidak hanya dalam niat mau pun itikad belaka yang terkurung, melainkan berekspresi
dalam suatu tingkat kebudayaan yang tahu, ke mana Sang Pelita menuntun. Hadirinhadirat yang saya muliakan, jika judul yang saya pilih untuk disertasi ini memanfaatkan kata-kata jatidiri dan bahasa citra, maka memang itulah sebenarnya seluruh arti
ungkapan kita, dari bermain kelereng yang kita pertarungkan atau layang-Iayang yang
kita gelorakan atau main boneka semasa kita masih kanak-kanak, sampai pada saat
senja membelai dan menidurkan cucu yang mengantuk. Dari gerak-badan sport
sampai pementasan musik, dari dambaan dua kekasih yang saling mencari sampai ke
rasa bakti kepada Tuhan Yang Mahaesa. Semogalah antara jatidiri di dalam mau pun
bahasa citra ke luar selalulah tekat kita menari dalam gerak harmoni. Dan jika toh ada
sesuatu yang luka-Iuka dalam batin kita, entah itu karena kesalahan kita sendiri mau
pun kesalahan keadaan di luar kita, semoga kita juga mampu memahami bahasa
citranya. Misal saja citra wanita. Organ vital wanita dalam bentuk citra namun juga
bahasanya mirip luka-Iuka yang menganga, namun sekaligus daun-daun bunga
mekar. Kedua-duanya adalah citra namun sekaligus pengejawantahan jatidiri kita
manusia. Dan jika itu disebut kemaluan, hal itu karena kita tidak mengenal wanita.
Bukan kemaluan, melainkan kemuliaan suci wanita dan pria sekaligus. Dalam situasi
kejatidirian yang benar berarti, wanita tidak pernah malu, tetapi bangga dan bahagia
mendialogkan organ kewanitaannya dengan tawaran partner hidupnya.
¹⁾ Induk, dari bahasa Latin.
151
Namun itu hanya dapat terlaksana dalam kebenaran jatidiri, dalam kebenaran citra
bahasa yang jujur. Luka-Iuka DAN bunga.
Maka, jika kita pernah mengalami kegagalan, semogalah mahluk-mahluk burung
mungil yang bernama Ploceus manyar yang sekarang, sayang, namun juga untung
bagi pak tani, sudah semakin hilang dari persada bumi Nusantara kita, semogalah
burung-burung nakal namun pewarta hikmah yang indah itu, memberi kekuatan jiwa.
Sebab memanglah kita dapat sedih dan marah membongkar segala yang kita anggap
gagal, namun semogalah kita memiliki keberanian juga untuk memulai lagi penuh
harapan. Terimakasih."
Spontan tanpa dikomando seluruh Aula yang tadi hening terpukau, sekarang
meledak bertepuk-tangan, dan sekian pasang mata mengaca basah terusap. Ketika
para profesor itu keluar Aula menuju ke sidang tertutup, bersama Atik yang agak
pucat karena emosi dan yang diantar oleh suaminya yang sangat menjaganya itu,
jelaslah bagi semua, bahwa Atik pasti akan mendapat gelar dengan sebutar'. maxma
cum laude, dengan pujian gilang-gemilang.
Dan memanglah demikian, kudengar kemudian. Tetapi dalam gelora ucapan
selamat, aku sudah tidak ada di Aula, pergi dan menangis dalam hati.
Kesombongankulah dulu yang akhirnya menghempaskan sarangku berantakan di
tanah. Namun, namun ... Atik boleh berpidato indah, tetapi manusia bukan manyar.
152
19. Pendopo Perjumpaan
Aku tidak jadi bertemu dengan Atik. Terus-terang persoalannya terlalu kuanggap
enteng. Ternyata psikologis aku belum kuat menghadapi wanita satu ini, yang begitu
dekat dengan hatiku, tetapi begitu jauh, serasa tidak mungkin terjangkau. Aku tidak
takut pada perjumpaan, tetapi pada kelanjutannya. Untuk mengucap selamat dan
mengatakan bangga dapat menyaksikan suksesnya masih mudah. Untuk berkenalan
langsung dengan suaminya kuanggap juga bukan soal terlalu sulit. Aku tahu keadaan
bobotku. Sebagai saingan aku jelas kalah dan selain itu, waktu tidak dapat diputar
kembali. Aku terlambat. Dan bagi seorang berjiwa militer terlambat tidak sama
artinya dengan pegawai kantor yang datang terlambat. Bagi orang-orang seperti aku
ini, terlambat berarti lebih dulu terkena peluru, mampus.
Untuk zakelijk membicarakan masalahku mengenai rahasia kesalahan komputer
dan minta tolong untuk menyelundupkan informasi vital itu kepada pihak pemerintah
Indonesia melalui Atik atau suaminya juga bukan masalah yang teramat kutakuti. Aku
sudah menandatangani vonis diriku sendiri. Jadi bukan itulah. Akan tetapi akibatakibat sesudah bertemu dengan Atik. Itulah yang membuat aku lari. Memang bukan
tingkah terhormat bagi seorang militer maupun pengusaha, apalagi menejer, untuk
lari. Akan tetapi dalam saat-saat tertentu, selaku manusia biasa, barangkali lari adalah
jalan ke luar yang paling baik. Untuk semua pihak. Barangkali untuk sementara
waktu, tetapi riil. Dan boleh jadi paling baik untuk ketiga anak Atik. Alangkah mudah
sebenarnya menjadi sudut ketiga dari hubungan segitiga. Namun alangkah sukar
sebenarnya, jika orang masih, ya apa tadi istilahnya, jika orang masih menghargai
kualitas hidup. Soalnya bukan cuma berebutan jodoh, tetapi kualitas menghadapi
kekasih yang tidak terjangkau. Burung-burung manyar tidak merebut betina dari rivalnya, tetapi menerima dan menghormati pilihan si betina. Boleh sedih, membongkar
dan menghempaskan sarang yang dibangunnya dengan susah payah, dengan dedikasi
sepenuhnya, dengan hati seluruhnya. Tetapi jantan yang tidak dipilih tetap
menghormati kedaulatan pemilihan betina. Artinya menghormati keturunan.
Keturunan manyar pun ternyata harus merupakan telur dari pemilihan yang berdaulat;
pilihan se1aku mahkota penyediaan diri yang memperlihatkan kepercayaan kepada
pengayoman dan jaminan suatu sarang yang melindungi telur-telur. Kerelaan untuk
menjaga pemilihan demi keturunan menjadi kata terakhir dari drama cinta burungburung Plocei manyares. Tetapi sekali lagi inilah kesulitanku, aku bukan manyar.
Aku manusia dan aku Teto.
Sekembali di pondokku di rumah KRT¹⁾ Prajakusuma yang begitu baik dan ramah
itu, aku hanya dapat mengunci diri dalam kamar, menelan pil tidur agar aku
dibebaskan dari pergulatan batin yang tidak pernah akan bisa menemui satu jawaban
maxima cum laude.
¹⁾ Gelar istana Jawa: Kanjeng Raden Tumenggung.
153
Sesudah mandi aku diundang tuan rumah minum teh. KRT Prajakusuma masih
mengalami jaman kejayaan Hamengku Buwono ke VIII yang wafat pas sebelum
perang dunia yang lalu pecah. Panjang lebar dan penuh penghayatan masa lampau ia
mengisahkan upacara pemakaman jenazah rajanya di bukit Imogiri. Katanya, di
tengah siang bolong, guntur menggelegar ketika jenazah digotong ke luar istana. Ia
tidak mendengarnya sendiri, karena ketika itu ia bertugas mempersiapkan kedatangan
jenazah dan para tamu-agung di Imogiri. Tetapi semua orang mendengarnya, katanya.
Ia lalu mempersilakan aku memilih, apakah ingin teh cara internasional atau teh cara
Jawa asli. Aku memilih cara Jawa asli, atau menurut dugaanku, cara Cina; teh sangat
kental dan hitam sekali, diminum sedikit demi sedikit seperti minum tuak. Dituangkan
dari teko kecil keramik coklat tua sekali ke dalam mangkuk-mangkuk mini juga.
Boleh pakai gula aren, boleh pahit begitu saja. Aku memilih tanpa gula. Saat itu aku
mempunyai kebutuhan untuk mereguk yang pahit-pahit saja. Rasa manis untuk
sementara hanya mengingatkan pada hal-hal yang bukan-bukan. Untuk sementara
waktu aku ingin hanyut saja di tengah ruang tengah yang remang-remang gelap itu;
duduk pada meja marmer berkaki satu, bulat dibubut, dan di kursi kayu berukir yang
sudah lama membutuhkan politur baru.
Para ningrat ini semakin lama semakin miskin, karena dagang dan bisnis bagi
mereka masih terpandang memalukan. Atau memang mereka tidak berbakat ke arah
itu Tetapi betapa pun miskinnya, mereka menjaga semua harta itu dengan bersih.
Menyimpan, sampai terpaksa satu per satu benda-benda itu jatuh di tangan pedagang
barang-barang antik, dan selesailah riwayat mereka. Sebab barang-barang itu hanya
bisa hidup wajar di dalam lingkungannya sendiri tidak dilepas atau diabstraksi seperti
setiap angka yang dapat dilepas-lepas dan dimasukkan ke dalam Komputer.
Aku sungguh berterima kasih boleh menginap di sini, walaupun aku yakin tuanrumah membutuhkan uang sewa yang mahal itu (sama dengan kamar klas dua di hotel
Sheraton). Tetapi di sini ada suasana, ada nafas gaib, ada kualitasnya menurut Atik
tadi. Dan itu sangat mahal juga tentu saja. Nyamikan emping yang tradisional gurih
tetapi sering menjengkelkan, selalu menyisip di antara gigi dan gusi. Teh pahit kental
yang begitu minimum ini tidak menolong banyak. Ya, tentu saja teh di sini tidak
dimaksud untuk mencuci sisa-sisa emping dari gigi dan gusi. ltu masalah tehnis,
masalah komfort atau efisiensi. Di sini orang tidak minum tidak makan, akan tetapi
menggaibkan lidah dan syaraf, sebab téine yang begitu kuat kadamya membuat
syaraf-syaraf bangun dan bekerja segar.
''Ya,” keluhnya, "kami dapat memahami, akan tetapi terus-terang dalam pandangan
kami dan keluarga di sini Diponegoro bukan pahlawan."
Aku heran mendengar pemyataan itu, dan lebih terkejut sebenarnya, karena ada
seorang Jawa berterus-terang. "Karena kekeliruan siasat Diponegoro, kesultanan
Mataram kehilangan Dulangmas, (Kedu, Magelang dan Banyumas) daerah-daerah
lumbung padi yang mutlak untuk pembangunan kekayaan Mataram.
154
Sejak itu Mataram menjadi abdi Belanda. Karena ketololan Diponegoro. Memang,
Sang Pangeran melawan Belanda. Tetapi melawan dan melawan banyak caranya.
Mengapa orang harus memilih siasat yang jelas tidak sebanding risikonya? Orang
Jawa bukan kaum tukang kelahi. Kami punya ksatria-ksatria ulung, itu tidak perlu
kami tonjolkan, tetapi keunggulan mereka dalam tenaga gaib. Tanpa tenaga gaib,
mereka lumpuh, seperti Baladewa kehilangan cepitnya. Maka apa yang diperbuat
Diponegoro sangatlah bodoh dan kalau dia kalah, itu bukan karena Belanda menipu.
Sebab keputusannya sendiri, melawan bangsa asing dengan senjata fisik, itulah sudah
kekalahan. Penipuan Jenderal de Kock hanyalah setempel cap segel saja untuk
meresmikan dan menyelesaikan soal yang sudah mudah dapat diramalkan bagaimana
akan selesai."
Dalam percakapan dengan tuan-rumah itu, aku hanya mendapat kesempatan
sedikit untuk berbicara, dan untunglah demi-kian. Hari itu aku tidak punya bab untuk
dibicarakan. Bahasa KRT Prajakusuma sangat tenang dan rupa-rupanya sudah lama ia
ingin mengungkapkan isi hatinya yang penuh gagasan-gagasan, dan yang diakuinya
tidak laku untuk generasi masa kini. Generasi sekarang punya tafsiran sendiri tentang
peristiwa apa pun, tanpa tanya dulu pada kaum tua, dan karena itu keliru.
Hanya kepada orang-orang asing saja ia berterus terang dan suka menyatakan
pendapatnya, begitu ia menambahkan sambil menghisap rokok lintingannya dengan
penuh kepastian tidak suka ribut.
Kadang-kadang kami berdua hanya duduk diam saja tanpa omong sepatah pun dan
rupa-rupanya ia puas beromong dan diam menurut ukuran; yang penting: dapat
berterus terang padaku, pada orang asing. KRT itu simpatik, begitu pikirku, karena
naluriku berkata, bahwa kami berdua adalah saudara senasib, manusia masa lampau,
yang terlambat tetapi yang tidak pemah mengakui kekalahan. Ya, KRT Prajakusuma
itu simpatik.
Seorang gadis pembantu rumah tangga datang dan berjongkok menurut adat lama;
memberitahu, bahwa ada tamu di gerbang. Kartu nama diberikan kepada tuan
rumahku. Setelah agak ribut mencari kaca-mata, ia membaca.
"Oh, bukan untuk saya. Ada tamu untuk Tuan Setadewa."
"Saya? Siapa yang ingin menemui saya? Kawanku dari Ford Foundation itu?
Tetapi bagaimana ia dapat tahu, saya di sini."
Kartu kuterima dan ... aku terpaku tak bisa bergerak. Kartu keluarga Janakatamsi.
"Seorang pria atau wanita?" tanyaku pada pelayan.
''Berdua, pria dan wanita."
"Siapa?" tanya tuan rumahku.
"Tuan Janakatamsi dan istri. Bagaimana mereka tahu aku di sini?" KRT
Prajakusuma mendongak dan memberi pelita
Ooh, sayalah yang memberibhu mereka. Tetapi saya tidak memberitahu Tuan di
sini. Oh ya ... sekarang ingat Kemarin saya mendapat pesan dari Pangeran
Wijayaningrat bahwa beliau tidak dapat menghadiri upacara wisuda Bu Janakatamsi
di Universitas, karena dipanggil Sri Sultan.
155
Dan sayalah yang ke Bu Jana mohon maaf tak dapat hadir. Saya kenal sekali ayah Pak
Jana, karena ... mari. (Kepada abdinya) Sudah kau persilakan duduk? Baik. Katakan,
bahwa sebentar lagi saya datang menemui mereka. Saya mau ganti pakaian dulu.
(Kepadaku) Saya hanya omong basa-basi tentang rupa-rupa hal, dan ya ... sekarang
saya ingat, bahwa hanya sambil lalu saya mengatakan punya indekosan, begitu
kelakar saya. Seorang gede dari perusahaan minyak apa entah saya tidak tahu. Saya
hanya bercerita, bahwa datangnya pakai jip terbuka dan baru ziarah ke Magelang,
tempat makam ibunya di Desa Juranggede. Begitu. Apa Tuan masih famili dengan
mereka?"
Tanpa menunggu jawaban larilah Pak KRT ke kamar, hendak berganti pakaian.
Seluruh diriku lunglai. Apa yang harus kuperbuat? Apa yang harus kuperbuat? Aku
sungguh tidak siap. Tadi pagi memang siap, tetapi sekarang tidak. Baiklah, bila sudah
dipastikan begitu. Dan dengan sikap yang kubuat setenang-tenangnya kubuka pintu.
Aku ke luar pintu tengah, tepat mereka sedang naik tangga pendopo. Aku tentu saja
hanya melihat figur satu ini, Atik. la memakai gaun entah aku tidak melihat apa-apa,
kecuali wajahnya yang ria dan kedua mata serta bibir basah terbuka sambil bersorak:
"Teetoo!"
Dan tahu-tahu wanita itu seperti topan membadai padaku dan jatuh ke dalam
pelukanku.
"Teto! Teto!" dan menangislah ia terisak-isak. Aku tak dapat apa-apa, selain
spontan membelai punggungnya dan mata tolol memandang kepada suarninya, yang...
mengangguk-angguk tersenyurn seulah seorang ayah penuh pengertian melihat
anaknya bertemu dengan kekasih yang sudah lama ditunggu.
Dadanya terasa hangat dan kembang-kempis empuk pada dadaku, seolah segala isi
dadanya itu ingin ia serahkan tuntas ke dalam sanubariku. Pipi kananku merasakan
rambut, dan anting-anting telinganya menekan agak sakit, namun tak kuhiraukan.
Parfum mewangi membuatku lebih terganja lagi dan bungkam.
Suaminya,Janakatamsi menghampiri kami dan tersenyurn paham berkedip padaku
dengan anggukan-anggukan kecil selaku isyarat, agar aku membiarkan istrinya begitu.
Dia suami yang penuh pengertian dan penuh pengabdian kepada istrinya, itulah dalam
sekilat saat kesimpulanku. Istrinyalah yang ia puja sebagai ratu dan pemberi undangundang.
Sementara itu Pak KRT keluar; penuh heran ia mendekati saudara Janakatamsi.
Kedua orang itu saling berbicara lirih dan kulihat Pak KRT hanya menganggukangguk saja, sambil kadang-kadang memandang ke arah romansa yang pasti tidak
setiap hari ia lihat dalam pendoponya yang begitu sepi dan kuna.
Kubiarkan Atik menghabiskan emosi tangisnya. Di dadaku Atik kini melekat.
Begitu dekat, tetapi begitu jauh tak terjangkau, keluhku dalam lubuk hati dengan
sedih.
156
Dan pada saat itu aku merasa, bahwa tidak ada jalan lain kecuali bersikap menjadi
abang untuk wanita ini, satu-satunya saksi dari drama kepedihan hidupku selain Bu
Antana, sejak awal mula di masa remajaku. Tangisnya yang lirih dan merintih itu
kehausankah? Kesedihan? Kebahagiaan? Aku tidak tahu mengapa begitu merana
tangisnya itu.
Akhirnya meredalah segala luapan perasaan itu, dan ia menengadah, tanpa mau
memandangku. Aku pun pasti juga belum siap memandang pandangannya. Apa lagi
suaminya dan Pak KRT hadir di pendopo ini. Aku hanya melihat beberapa burung
berjingkat-jingkat di pasir halaman pendopo.
Itu bukan manyar. Itu hanya prenjak saja, tetapi hidup dan segar ia. kian-kemari.
Seperti Atik dulu ketika masih kecil, sehingga abdi-abdi di rumah Hendraningrat
sering menyebutnya "Prenjak kita". Apa yang harus kukatakan? Dan lebih dari itu,
apa yang harus kuperbuat untuk selanjutnya?
Pak Jana dan KRT Praja berdiri dan bersama -sama mengamat-amati burung jalak
hitam di kurungan yang tergantung pada balok tritisan Pendopo. Akhimya tangan Atik
mengendor dan ia kulepaskan dari rangkulanku. Ia mengambil sendiri saputangan
yang kebetulan ada dalam saku baju batikku dan membersihkan mata dan pipipipinya. Matanya memandangku penuh dambaan. Tersenyumlah ia setengah malu
setengah nakal. Atik kini tampak sepuluh tabun lebih muda, Kebahagiaan sanggup
memutar kembali jam pada wajah dan citra wanita. Ia minta pada Pak KRT, agar
boleh ke belakang sebentar. Dengan ramah sekali Pak KRT mengantarkannya masuk
rumah. Kami, Pak Jana denganku saling berkenalan. Dari awal mula aku sudah
merasakan simpati kepadanya, walaupun masih dengan perasaan aneh; terutama
sesudah ia mengatakan, bahwa ia sudah kenal padaku. Kapan? Tentu saja dari
laporan-laporan istrinya. Tetapi juga ketika sesudah jelas gelagat mereka akan kawin,
ayahnya seolah sengaja sering ekstra mernbicarakan Teto. Lho siapa ayahnya?
Sekarang sudah pensiun. Dulu pernah lama menjabat direktur rumah sakit di Kramat.
Oooh ... itulah! Ia mulai kenal dengan Atik, ketika pada suatu hati liburan, (ketika itu
ia baru saja lulus Fakultas Geologi di Bandung), melihat Atik dengan ibunya
berziarah ke makam Ibu Brajabasuki di Kramat itu. Pertarna-tama itu dianggapnya
peristiwa biasa. Tetapi sesudah ia tabu, bahwa yang meninggal itu bukan ibunya dan
bukan apa-apanya, namun toh setia setiap pekan nyadran Atik datang membersihkan
nisan, ia mulai tertarik kepada gadis dan ibunya yang begitu budiwati itu.
''Ya, Atik banyak sekali dan sering sekali membicarakan Mas Teto. Sehingga
dalam kesadaranku, Mas Teto sudah hadir lama dalam benakku, selaku abang
sekandung istriku. Karena itu, ketika tadi KRT bertanya, hubungan apa Atik dengan
tamunya dari J akarta itu, saya juga spontan mengatakan, Anda iparku Bukan! Bukan
dari satu ibu dengan Atik kataku dengan senyum. Dan jawaban itu tidak bohong kan!
Mas Teto kami undang dengan sangat; kami, khususnya Bu Antana. Sukalah
menginap di rumah kami.
157
Istriku sudah begitu lama merindukan Mas Teto. Tidak pantaslah, bahkan kejamlah
bila tawaran mereka ditolak."
Aku tentulah hanya dapat berkata: ''Ya, baiklah."
"Tadi pagi Mas Teto dalam Aula Agung juga?" tanya 'iparku' itu. "sebetulnya ibu
mertuaku tadi sudah menduga, bahwa yang duduk di baris kedua sana di sayap sana
itu Mas Teto. Tetapi tentulah Bu Antana mengira itu hanya fatamorgana saja. Kami
tidak mengira sama-sekali Anda di sini. Dari ternan-ternan di kedutaan Den Haag
sana memang pernah kami menyaring berita Mas Teto pergi jauh, bekerja di salah
satu perusahaan minyak, tetapi kabar dan petunjuk-petunjuk begitu simpang-siur,
sehingga sebaiknya kami menunggu saja. Dan tahu-tahu ... sungguh Mas Teto, kami
sangat gembira bila Anda suka datang. Bu Antana pasti sangat bahagia dan nanti di
Bogor Anda dapat melihat anak-anak kami. Ya, yang sulung lelaki bahkan diberi
nama panggilan Teto juga. Memang istriku itu kelihatannya saja orang ilmuwan yang
eksak rasional, tetapi saya sebagai suami tahu, sebenarnya ia sangatlah perasa. Ya,"
dan ia tersenyum memandangku, "sering ia seperti anakku saja. Aneh, seolah-olah
aku punya anak empat, dengan jarak antara yang sulung dan yang kedua panjang
sekali. Mas Teto harus menginap di rumah kami. Ya, nanti di Cemorojajar. Kalau
tidak, nanti ia rewel dan marah-marah saja." Dan ia tertawa kecil.
"Tahu Mas Teto, kalau ia marah lucu sekali. Semakin ia marah, semakin aku
sayang padanya." Pak Prajakusuma datang ke meja kami.
''Ah, andai kemarin saya tahu bahwa Bapak itu abang dari Bu Jana tentulah sudah
kemarin saya beritahukan kepada Ibu dan Pak Jana."
Di belakang blangkon Pak KRT, Pak Janakatamsi mengerlipkan mata padaku.
"Saya ini anak mursal¹⁾ kataku.
''Ah mosok," sahut Pak KRT.
"Ya, saya ini anak yang lari dari rumah."
"Mosok iya?" (Kepada Bu Jana yang sudah berdiri di samping suaminya) ''Apa
betul, Bu Jana?"
''Ya, betul," kata Bu Jana dengan tenang, sangat tenang. Terlalu tenang bagiku.
¹⁾ Hilang, minggat.
158
20. Rumah Pertanyaan
Keesokan harinya, karena aku tidak dapat tidur, amat pagi aku sudah bangun,
mandi dan berdiri di tepi jalan melihat lalu-lintas becak yang sedini ini sudah lalulalang dan orang-orang yang pergi ke Pasar Kranggan. Ya, aku jadi menginap di
Cemorojajar, rumah Bu Antana; yang sejak ditinggal suami dan kakak tirinya
dipeliharanya untuk pos keluarga Surakarta kalau sedang singgah lewat; dengan
beberapa kamar di pavilyun yang dijadikan pondokan beberapa mahasiswi. Sambil
mengucap selamat pagi, dua orang dari mahasiswi itu ke luar ke jalan dan mulai
berlari-lari sport. Pantatnya yang satu menari kian-kemari bukan main. Lucu
sebetulnya, tetapi pantas dipuji gadis-gadis itu. Tahu-tahu Bu Antana sudah di
sampingku.
"Selamat pagi, Teto!"
"Oh! Selamat pagi, Bu. Masih pagi begini."
"Untuk nenek seumurku tidak pagi. Orang lanjut usia tidurnya sedikit. Tetapi kau
... sungguh kau dapat tidur?"
"Enak sekali Bu, terima kasih." Dengan pasti tetapi lirih ia berkata: "Teto, Bu
Antana tidak percaya. Pastilah kau tidak dapat tidur, lalu bangun sepagi ini." Tidak
ada gunanya bohong basa-basi. Maka aku hanya berkata jujur: "Memang Bu Begitu
sekonyong-konyong semua ini terjadi ... "
''Atik sangat bahagia, Teto. Saya sebagai ibunya harus berterima kasih padamu."
Aku terkejut. Apakah ibunya mendorong aku untuk. ... (?) tidak mungkin, tidak
mungkin! Itu nanti menuju ke arah yang serong. Memang tadi malam aku tidak dapat
tidur karena tidak tahu bagaimana aku harus bersikap. Apa lagi karena si suami begitu
baik, terbuka dan penuh percaya terhadapku. Suami baik hati, tetapi tololnya bukan
kepalang. Andai tahu betapa joroknya bandit dalam diriku ... la sudah tahu. Pasti
sudah. Tetapi mengapa?
"Oh ... Bu Tana, sebetulnya saya tidak pantas. Sayalah yang tidak kenal
terimakasih dan lari tanpa ... "
"Kami tahu. Kami memahami semua Teto. Kini yang penting, kau sudah ada di
tengah kami lagi dan Atik bahagia. Suaminya juga sudah tahu semuanya." Ya,
begitulah pikirku, seorang ibu hanya melihat kebahagiaan anaknya, tetapi wanita tidak
mudah melihat jauh soal-soal konsekwensi rumit yang mengiringinya. Semua naluri
induk begitu.
"Kami sungguh sangat gembira, Teto!" tambahnya lagi.
Kubelokkan percakapan: "Saya kira itu karena kemarin kita semua terbawa hanyut
oleh suasana kegemilangan hari wisuda doktor maxima cumlaude Atik kita, Bu."
"Oh, tentulah, tentulah ... mari, jangan berdiri di sini."
159
Dan aku diajak duduk pada bangku taman di bawah bugenvil ungu yang kaya-raya
bunganya. Ya, kepada Bu Antana aku paling merasa dapat mencurahkan hati.
Bukankah di saat-saat masa remajaku yang paling menentukan, dialah yang praktis
menjadi ibu angkatku? Bukankah dia yang selalu setia membersihkan makam
Mamiku setiap waktu nyadran?Tetapi sekarang ada sekeping ketakutan yang seolaholah menjadi katup karaten di dalam hatiku, sehingga arus curahan hati menjadi seret
di dalamnya. Tetapi siapa lagi di dunia ini yang masih dapat kudekatkan padaku?
Sungguh keliru lagi, bila aku terus-menerus mengisolasi diri dan menolak tawaran
rahmat, persahabatan yang dibutuhkan oleh setiap orang. Atau aku akan menjadi
robot yang beku. Aku pun membutuhkan kualitas kehidupan. Persahabatan
menanggung risiko, hati dibaca orang lain, agar dapat ditolong dan dikoreksi pada
saatnya. Sekarang sahabat mahal harganya, jauh lebih mahal daripada segedung
komputer di Pentagon.
"Teto, saya tidak berhak apa-apa atas hidup dan sanubarimu."
“Ah. Bu. Ibu Antana sudah jadi ibuku, jangan berkata begitu."
''Ya, terima kasih. Tanpa itu kuucapkan, aku juga sudah merasakannya. Jadilah
anakku dan jadilah abang untuk. Atik. la sangat cinta padamu."
''Ya ... tetapi bagaimana caranya Bu. Ibu pasti sudah tahu, bahwa itu dapat
menimbulkan situasi yang sangat berbahaya."
"Kau benar, Teto. Aku pun juga sudah merasa itu. Terus-terang saja, aku bdum
juga menemukan jawaban yang memuaskan. Maka sebetulnya aku ingin minta nasihat
kepadamu."
Aku tidak menyangka kata-kata itu. Bagaimana minta nasihat pada orang buta dan
gagal seperti aku ini. Bu Antana ini benar-benar bernaluri induk. Target nomor wahid:
anaknya bahagia. Padahal yang membuat bahagia Atik ialah Teto. Jadi, Teto harus
diberikan pada Atik. Titik. ltu logikanya. Padahal Atik sudah bersuami. Jadi Teto
abang saja. Titik. Logis sederhana. Begitu logis sampai Bu Antana bingung sendiri.
Aku lantas tertawa kecil, sebetulnya karena bingung juga.
"Kenapa tertawa, Teto?"
''Ya Bu, karena aku pun tidak tahu apa yang harus kunasihatkan."
"Teto, Ibu ingin tahu. Tetapi sungguh, saya tidak berhak menanyakan itu. Hanya
kalau kau ikhlas, jawablah. Dulu, pernahkah kau menaruh hati pada anakku?"
''Ya. Tentu saja Bu. Apa Bu Tana belum tahu? Kepada siapa selain dia aku bisa
mendekat? Ibu tahu, aku orang yang tertutup, aku sadar itu. Dan aku sombong.
Bagiku sudah jelas, hanya Atik yang dapat menghidupi aku. Tetapi kecongkakankulah
yang salah, sehingga hidupku juga berantakan tanpa Atik.",
''Aah, kalau begitu anakku betul ketika itu."
"Bagaimana?"
"Ia yakin kau menaruh minat padanya. Tetapi kau tak kunjung muncul. Lalu bukan
hati, tetapi rasiolah yang datang."
160
"Itu kesalahanku. Dan selama ini aku telah mencari jalan untuk memperbaiki itu.
Tetapi sia-sia, sebab sudah terlambat. Kukira Bu, sekarang pun rasio harus berbicara."
"Itu kata seorang lelaki. Atik dan ... ya ... dan aku barangkali lain, lainlah
bahasanya. Ya ... ya ... kau benar dan jiwamu mulia, aku tahu. Seperti ayah-ibumu.
Tetapi Teto, sungguhkah begitu? Benarkah rasio yang menuntunmu selama ini?
Bukankah hati dan emosi yang menjadi jurumudi segalamu?"
Bu Antana benar, dan sungguh tajam pisau analisanya. Aku merasa seperti
terbaring di meja kamar bedah. Hanya dapat sumarah pasrah kepada kearifan sang
dokter bedah. Tetapi dokter bedah bekerja dengan komputer otaknya yang dingin
obyektip. Tidak dengan emosi. Bu Antana dalam soal Atik bukan dokter bedah yang
baik. Ia tetap seorang ibu, induk. Ibu yang baik hati, yang hanya merasa kasihan dan
ingin membelikan es lilin untuk anaknya.
Ruang tengah menyala dan tampak bayangan kepala berambut singa mewayang
pada gorden tuul jendela-jendela kaca.
''Atik sudah bangun," kata Bu Antana. Lalu berbisiklah ia: "Bagaimana,Teto.
Maukah kau jadi abang anakku Atik?"
Jendela dibuka dan Atik masih dalam dastemya muncul. Seperti sumber air artetis
di lereng Gunung Merapi yang tiba-tiba namun telah lama sebetulnya menunggu
pemerdekaannya, menceuatlah salam segarnya: "Haloooo Tetooo! Selamat pagi, Bu!"
Wajahnya cerah serba tertawa dengan gigi-gigi yang boleh dipamerkan. Rambutnya
tidak keruan seperti singa dan kulit putih leher dan dadanya menampakkan pipi-pipi
payudara montok yang kontras sekali melawan dastemya yang sangat merah darah.
"Selamat pagi Tik!" jawabku kurang spontan karena agak terpukau terus-terang
saja. Bu Antana bergumam: ''Anakku ini sering arif seperti nenek, tetapi sering masih
seperti anak kecil."
''Eeh, maaf," canda-sendaku, "Selamat pagi, Ibu Doktor maxim cum laude. "Ia
cemberut manja: "Sedang sidang apa pagi-pagi di situ kok seperti sedang pacaran,
hihihi!"
Bu Antana membuat gerak tangan seperti mengusir: "Ssst ... sana mandi dulu!
Keras-keras tetangga dengar semua."
Atik mengangguk mendagel dan tertawa renyah: "Iyaa Bu!"
Dan pergi. Masih sekali lagi ia menoleh. Tertawa.
''Ya, itulah anakku," kata Bu Antana. ''Tampak sekali bukan, bahwa ia menjadi
muda lagi? Terlalu muda."
"Karena lulus doktomya," sambutku tanpa ujung pangkal. Hanya untuk menjawab
asal menjawab sang naluri induk.
''Mari !'' dan Bu Antana berdiri. Aku pun juga. "Mau periksa persiapan makan
pagi." Dan ke samping padaku ia masih berbisik.
''Anggaplah rurnah ini rumahmu sendiri." Dan tersenyum ia masuk. Tak tahu aku
harus ke mana. Seandainya kejuruanku ada di bidang psikologi, pastilah aku akan
mudah mendapat bahan penelitian tentang psikologi hubungan ibu janda dan anak
perempuan tunggal.
161
Jelaslah sejelas-jelasnya, bahwa perkawinan Atik dengan Janakatamsi adalah
perkawinan model kuna. Kawin asal jangan jadi perawan tua. Atau: kawin karena
sepantasnyalah orang itu kawin. Atau: kawin karena membutuhkan bodyguard, Kali
ini rupa-rupanya: Kawin karena membutuhkan jongos dan pesuruh. Tidak! Aku jahat,
aku tidak adil terhadap Dik Jana. Dialah yang telah menyelamatkan Atik dari noda
perawan tua yang memalukan. Dialah yang menjaga Atik. secara terhormat dan
memberinya suatu sarang yang aman; yang memberinya status yang sepadan dan
memungkinkan buah-buah rahim Atik bertumbuh dengan tenang, pasti dan serba bisa
diandalkan. ltu pun sebentuk cinta. Bahkan itulah yang justru harus dominan dalam
cinta seorang lelaki. Untung apa bagi wanita kawin serba glamour dan romantis
dengan seorang Gatutkaca, tetapi bisanya cuma terbang ke tempat-tempat jauh dan
berkelahi di medan perang? Istri Gatutkaca mungkin bisa saja hidup dengan
Gatutkaca, tetapi ingat Pergiwa istrinya cuma gadis desa. Atik bukan gadis desa yang
serba nerima dan sumarah belaka. Atik adalah wanita tipe Keleting Kunig ngunggahunggah¹⁾ ia tidak gentar, dan itu hak setiap wanita. Dari pihak lain, Si Teto juga
bukan Ande-Ande Lumut.
Repot juga kalau Ki Dalang harus melakonkan hikayat kacau: Keleting Kuning
dan Gatutkaca. Mana bisa? Jadi sahabat sih boleh-boleh saja. Sejak dahulu selalu
begitu. Tetapi yang dimaksud di sini sahabat intim, jelaslah. ltu lain.
Sudahlah, tidak perlu segala persoalan harus diselesaikan hari ini. Aku menuju
lagi ke tepi jalan. Dari jauh datanglah dua mahasiswi tadi yang berlari-lari aerobik.
Nah, ketawaku dalam hati. Menyerah sajalah, tidak mungkin kau jadi langsing
semampai. Tanpa komputer aku sudah dapat memastikan hasilnya. Terengah-engah
mereka berhenti berlari. He heh?
"Sedang melihat apa, Pak'?" tanya seorang bernada nakal.
"Melihat kalian ini. Berapa kilometer tadi?"
"Ah ... hehe ... entah tadi ... berapa kali ... he ... he tadi heh ... heh. Lima kali he
heh ... lima kali putar ... he ... he
"Sulit ya nasib gadis itu. Harus selalu jaga kelangsingan."
Mereka tertawa megap-megap: "Huah ini heh heh ... Pe-Er²⁾ yang paling sulit heh ... "
Dan serba bersemangat masuklah mereka melalui pintu dapur. Sambil membuka
pintu, yang satu membisikkan sesuatu pada telinga kawannya. Omong apa mereka?
Pagi itu dengan sengaja aku selalu mendekat dan bereakap-eakap dengan Dik Jana,
(spontan dari awal mula dia adalah adik dan aku mas), sedangkan dua wanita, ibu dan
anak, atau lebih tepat nenek dan ibu, sibuk dengan berpakaian dan mengatur makan
pagi. Komplit dengan bunga di vaas dan lilin menyala di meja. Dan tentu saja roti,
mentega, keju dan segala perangkat upacara adat yang sudah jauh dari jiwa
revolusioner jaman gerilya.
¹⁾ Ngunggah-ngunggah = wanita melamar pria.
²⁾ PR = pekerjaan rumah (murid).
162
Kami berdua berdiri di muka jendela dan menikmati pemandangan anak-anak
generasi muda berlalu di jalan menuju sekolah. Banyak sekali anak-anak itu.
"Jadi apa kelak anak-anak ini,” keluh Dik Jana.
"Begitu tampan dan cantik-cantik mereka itu sekarang,” komentarku.
"Mereka pandai sekali bersolek dan berdandan,” kata iparku.
"Ini belum kelihatan, serba pakaian seragam. Tetapi itu pun sudah tampak. Luwes,
segar dan serba gembira. Tahu mengapa, Mas?"
''Ya, karena tidak mengalami jaman huru-hara seperti pada jaman kita dulu."
"ltu juga. Tetapi masih ada lagi. Pada hematku, karena mereka tidak banyak mau
berpikir tentang soal kemarin maupun hari depan. Entah apa yang akan dibawa kelak,
biarlah kelak saja dipikirkan. Itu menurut kata mahasiswi-mahasiswi yang
menumpang di pavilyun." Aku terdiam mendengar itu. Memang cantik dan manis
gadis-gadis pelajar itu. Dan yang laki-laki serba dinamis. Mereka tidak bersepeda
seperti di jaman kami dulu, tetapi berlomba-lomba siapa yang bisa maju paling pesat.
"Masih kanak-kanak wajah mereka."
"Juga kelakuan dan tingkat mereka," sambung Dik Jana. "Lihat itu, kedua
mahasiswi kita."
Dari samping kami lihat kedua pengaerobik tadi pagi, bergandengan erat seolah
takut saling kehilangan. Yang satu pendek tetapi penuh tubuhnya, sintal, tanpa dapat
dikatakan gemuk. Yang satu semampai kerempeng menurut ideal masa kini. Mereka
berhenti di pagar selokan. Rupa-rupanya menunggu datangnya Bang Becak.
Datanglah menderu seorang pemuda naik sepeda-motor trailer, dengan topi
admiral US Navy, baju terbuka separuh dan tampak kalung dan jimatnya. Di pinggang
belakang tampak beberapa buku tulis diselempitkan pada sabuk. Ia menoleh kepada
kedua mahasiswi itu dan tiba-tiba mengerem kuat-kuat sampai suara ciyeet
mengejutkan orang-orang di jalan. Lalu menderu membelok, melewati muda-mudi,
membalik lagi, dan berhenti menonggakkan kedua kakinya lebar-lebar seperti huruf V
terbalik, sambil mengklakson. Dua pemudi itu mundur spontan dan tangan-tangan
mereka membuat gerak jengkel yang memaki-maki pemuda itu. Pemuda itu hanya
tersenyum saja dan menawarkan sadel bagian belakangnya kepada yang semampai,
Tak ambil pusing rupa-rupanya kepada temannya yang agak berbadan Batari Durga
itu. Yang semampai solider dan Si Trailer disuruh pergi. Pemuda itu hanya menjawab
dengan oleng-oleng kepala serta kedua tangannya merentang. Agaknya memberi
isyarat, agar sudahlah, kedua-duanya boleh bonceng.
Spontan kedua pemudi itu berpaling separuh dan dari cara mereka membuka mulut
dan gerak tangannya, tampak mereka menolak mentah-mentah. Masih terdengar
sayup-sayup suara mereka terbawa angin: " ... dikira, apa," atau semacam itu. Pemuda
itu lalu lebih menderu-derukan mesin sepeda-motornya dan seperti dipelanting melaju
ke muka, langsung menukik dan kembali ke arah dati mana ia datang. Sambil
meninggalkan kepulan-kepulan debu.
163
Kedua gadis itu menutupi mulut dan hidungnya dengan saputangan, lalu
memanggil: "Becak!" Ternyata sudah dipesan. Si Becak masuk halaman salah satu
rumah. Kedua mahasiswi itu lalu pergi berjalan kaki saja. Tetapi sebentar lagi mereka
menoleh membalik dan berlari-lari cepat seolah berlomba, karena dari arah bdakang
datang becak. Tawar-menawar. Sementara itu pemuda bertrailer tadi datang menderu
lagi, tetapi sekarang derunya berganda, sebab ia membawa teman.
Dalam kepulan debu knalpot mereka menawarkan lagi jasa baik. Kedua pemudi itu
saling pandang-memandang dan barangkali musyawarah, apa sebaiknya yang harus
dilakukan. Bang Becak, entah jengkel entah berterima kasih, memakai kesempatan ltu
untuk pergi ke seberang jalan dan kencing pada pagar hidup tetangga muka. Ruparupanya sulit mencari kompromi. Agaknya timbul soal siapa membonceng siapa.
Mahasiswi Betari Durga yang barangkali merasa hanya diobyek saja, lalu mencari
Bang Becak tadi yang tenang sedang memberi sesajen kepada danyang-danyang pagar
hidup. Teman baru tadi menghentikan mesinnya, memasang standar dan pelan serta
tenang membersihkan kaca spionnya dengan nafas dari mulut dan sapu-tangannya.
Akhirnya toh keputusan ada pada solidaritas rekan, dan kedua gadis itu mulai
masuk becak. Yang punya inisiatif "pengabdian. masyarakat" tadi omong sebentar
dengan kawannya yang dimobilisasi percuma. Lalu mereka meletuskan segala
kebisingan yang tersedia dan menghilang, sambil meninggalkan awan debu penuh
bakteri-bakteri tifus dan tetanus. Bang Becak naik singgasana, dan pelan-pelan
menghilanglah mereka ke arah karir, menuju kejayaan doktor maxima cum laude.
"Kita lahir terlalu pagi;' kata Dik Jana.
“Apa maksudmu?" Aku heran ia berkata "senakal" itu.
"Dulu belum ada sepeda-motor."
''Tetapi mereka tidak bakal punya kesempatan mengalami perang,” komentarku
sinis.
"0, perang berebutan pacar lebih sengit pertempurannya." Dia omong begitu,
sengaja atau spontankah, tanyaku dalam batin. Orang Jawa pandai menusuk dengan
jarum, seperti dokter-dokter Cina. Tetapi dokter-dokter Cina menusuk untuk
menyembuhkan, tetapi orang Jawa untuk menyakiti. Sekali lagi aku sadar kembali,
betapa buruk tabiatku. Selalu saja aku merasa tersinggung. Di mana-mana takut ada
gerilyawan yang menembak dari belakang.
"Dik Jana dulu di tahun-tahun antara 45 - 49 di mana?" (aku tidak berani menyebut
istilah clash atau aksi polisionil. Nettal saja: tahun-tahun antara ini dan itu. Rasa
minderku belum hilang).
“Aku di Palang Merah." (Ah pantas saja).
"Palang Merah?"
''Ya, kepada Mas Teto aku jujur berterus-terang. Aku tak suka berjuang dengan
senjata. Entah, barangkali karena kami bertradisi dokter." (Ini lagi).
"Di Palang Merah dulu ada perang pacar apa tidak?" Aku mencoba melawak
sedikit, hanya agar tidak berkesempatan berpikir yang jelek-jelek.
164
''Ya, sulit sebetulnya: dulu ada tahayul antara para gerilyawan. Siapa yang pacaran
di front, pasti terkena peluru musuh.
"Aku, belum pernah dengar semacam itu."
''Ya, sungguh. Akibatnya, pemuda-pemuda gerilyawan pada takut main-main seks
dan sebagainya itu. Tahayul memang, tetapi tahayul berguna. Di pihak Belanda
bagaimana?"
''Ya, mau minta apa lagi. Tentara sewaan."
"Belanda itu tolol. Seandainya mereka agak mau mengalah sedikit, negara kita
masih commonwealth atau berstatus dominion."
''Ya, goblog. Termasuk aku juga,” jawabku tajam.
"Oh, maaf, bukan itu yang saya maksudkan."
"Tidak apa-apa."
"Mas Seta, ayah dan kami semua sangat menghargai Mas Seta. Ayah selalu
berkata kepadaku: Mas Seta bagaikan Karna. Walaupun berperang di pihak Kurawa,
tetapi saudara seibu dengan Pendawa. Dan Karna ksatria yang besar. Sampai Arjuna
pun gentar menghadapinya. Hanya karena perintah tanpa ampun dari Raja Sri
Kresnalah, artinya dari Nasib, Arjuna terpaksa melawan Karna."
''Terima kasih, Dik. Tetapi nasib Karna tragis."
"Mas Seta sudah lama kuanggap kakakku."
Aku sangat malu tadi punya pikiran-pikiran jelek terhadap suami Atik yang
budiman ini. ltulah senjata paling ampuh dari orang Jawa: mengalah. Menang tanpa
membawahkan? Membunuh tanpa mencabut nyawa? Terasa, betapa asing diriku, jauh
dati manusia-manusia di negeri ini. Aku merasa diikat dengan benang sutera, diganja
dengan arum-manis, dipeluk oleh labah-labah betina yang merayu minta disetubuhi,
lalu jantan dimakan.
Sekilat godaan iblis membisik, agar aku minggat saja dari dunia serba halus ini.
Tetapi Atik, aku jahat melambangkan Dik Jana dengan labah-labah betina. Lebih
jahat lagi, kalau yang kumaksud itu Atik. Aku terkejut karena sadar, aku semakin
merasa minder.
"Mas Seta hari ini punya acara apa?"
"Saya? Ya, acara ada, tetapi ... "
Atik menyanyi: "Hallo, Abang-abang sayang. Kita makan pagi. Tidak cepat, tidak
dapat."
Spontan kami menoleh bersama-sama. Dari ruang makan kami melihat Atik
dengan tangan terbentang dan senyum, melulu, mata bersinar. Gaun berwarna coklat
susu dan sanggul model Yunani. Wanita yang masih vital, pikirku sambil memandang
dadanya yang membusung sehat. Jangan bersandiwara, begitu aku memperingatkan
diriku. Yang biasa saja. Bu Antana menongol dari belakang dan ramah mengajak.
"Silakan mulai dulu. Hei, itu keran kamar-mandi kau lupa menutup ya, Tik!"
"Ooh maaf, lupa."
165
Dik Jana mengerdipkan mata kepadaku: "Begitu kok doktor maxima cum laude.
Lalu untuk apa gelar doktormu itu, Tik!" godanya.
"ltu tidak ada sangkut-pautnya, Sayang. (Sayang, ia menyebut suaminya Sayang)
Ayo, Mas Teto (ia menyebutku selalu dengan mas) mulai. Oh ya, maaf, stop, nanti
dulu."
Atik berdiri lagi dan mengambil dua gelas berisi sari jeruk.
"Hampir saja aku lupa." Gelas yang pertama ia letakkan pada sisi piringku. "lni untuk,
Mas Teto." Baru: "Ini untuk sayang-disayang." Dan tertawalah ia. Lalu mengerdipkan
satu mata ke arahku sambil berkata: "Kalau suamiku tidak disebut sayang, ia selalu
marah. Seluruh hari hanya bermuram saja tak bisa kerja apa-apa."
"Ah, siapa bilang," protes suarninya. "ltu hanya show saja kalau ada tamu."
"Hei, hei, Mas Teto bukan tamu. Mas Teto, kau merasa di sini sebagai tamu? Awas
kalau bilang ya."
Aku tertawa dan memang dari hati aku tertawa: "Dik Jana sudah membiasakan diri
tentunya punya istri yang begitu fasis."
Memang! Nah, Tik, apa katamu? Kau dengar sendiri dari Mas Teto."
''Aduh, sekarang Jon merasa mendapat sekutu, ya. Beginilah Mas Teto, sebelum
kau datang, dia selalu pihak minoritas, satu pria melawan dua. Sekarang sudah
seimbang; dua lawan dua. Hei, 1bu! Mari lekas, Atikmu kau bela dong. Ia diserang.
Ayo, Bu."
''Ya ... sebentar. 1ni keran kok tidak bisa tutup."
"Mari,” dan aku berdiri menuju kamar-mandi yang langsung berhubungan dengan
kamar-tidur.
"Heh!" seru Atik. "Dilarang keras masuk kamar wanita!" Aku terkejut berhenti.
Atik tertawa tergial-gial.
"Nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Silakan. Memang sudah tiga hari begitu. Giman
tolol, tidak pernah mendengarkan. Disuruh memperbaiki hanya omong inggih¹⁾,
inggih. Ah, nggak kepanggih²⁾."
''Mana Bu?" Kucoba kerannya. "Harus pelan-pelan, Bu. Sebab memang sudah
dol." Kuputar pelan-pelan sekali. "Nah cukup begini saja. Kalau diteruskan malahan
kembali dol lagi."
Arus masih ada tetapi hanya sekecil lidi. Atik berkecak-pinggang dan tertawa:
"lbu, Mas Teto ini kita kontrak saja sebagai tukang bikin betul kran bocor, genting
bocor, selokan meluap. Setuju? Mau ya, Mas Teto?" (Ingin kupijat hidungnya, tetapi
untung aku masih sanggup mengekang diri).
''Ya, tergantung berapa gajinya."
¹⁾ Ya.
²⁾ Ketemu.
166
"Beres deh. Mari Bu, Ibu duduk di sini saja. Aku di sini. Tidak enak memandang
tamu dari samping. Kalau Jon Sayang sih setiap hari sudah dapat dilihat, ya Sayang."
Dik Jana ternyata tukang makan yang lahap lezat melalap rotinya. Ia sibuk
mengambil roti, menyemirkan mentega dan serba konsentrasi mengambil lapisanlapisan daging.
“Apa katamu, Tik?"
“Ah, kau ini kalau sudah makan tidak dengar apa-apa yang lain. Ya, begini inilah
Mas Teto, suamiku. Pantas saja negeri ini banyak yang menderita kelaparan. Begitu
asyik makannya." Bu Antana menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah apa maksudnya. Kubela Dik Jana.
"Jangan dengarkan istrimu, Dik Jon. Sejak du memang begitu. Hanya meledek
saja." Aku ingin mengambil seiris roti, tetapi tanganku dipegang Atik.
"Tunggu." Ada apa ini? Irisan roti ia ambil dan ia mulai menyemirnya dengan
mentega, sambil memandang jenaka (atau birahi?) kepadaku. "Tamu kita harus diberi
service top-class. Pilih mana: Ini? Ini? Yang ada saja. Yang tidak ada jangan dipilih.
Ini?"
"Ya, itu saja," jawabku ngawur, sebab aku tidak terbiasa dimanja begitu.
"Satu? Dua? Atau tiga? Tiga iris untuk orang laki-laki pantas. Nah,
selamatmakan."
Bu Antana dari sudut matanya mencuri pandangan ke arah puterinya. Lalu
menundukkan kelopak matanya.
"Ibu, kopinya." Kulihat Bu Antana memberi isyarat-isyarat dengan kernyitan
alisnya ke arah Dik Jana. "0 ya, Mas Jon. Kau kopi atau teh? Teh saja. Dokter sudah
menasihatkan jangan terlalu banyak kopi. Aneh ya, Mas Teto. Kalau orang biasa,
minum kopi jadi segar. Kalau Mas Jon ini bahkan sebaliknya. Jadi-tegang. Oh kok
begini bening tehnya. Memalukan. Siapa ini tadi yang membuat."
"Saya yang salah, Tik. Sini saya ganti."
Dik Jon protes: "0-0-0 tidak perlu, jangan Bu. Ibu duduk saja, dan makan tenang.
Kau juga makan, Atik sayang."
"Saya cukup sari jeruk ini dan secuwil keju."
Cepat kuambil cawan keju, dan mengiris untuk Atik.
Berapa? Satu iris? Dua iris? Sekarang saya yang memanja," kataku spontan, entah
ilham dari mana.
Atik tersenyum bercahaya. Matanya tiba-tiba terkena pandangan ibunya, lalu
membalik ke sebelah lain.
"Mas Jon, lagi rotinya?" Suaminya dengan mulut mengunyah hanya geleng-kepala,
mengambil cangkirnya, pelan-pelan diminumnya teh bening tadi. Ibunya mengangkat
teko teh dan mengisi lagi cangkir yang diacungkan oleh Dik Jana.
167
“Nah, hari ini acara apa?" tanya Atik sambil pelan-pelan menggigit cuilan kejunya.
Suaminya menengadahkan kedua telapak tangannya setinggi bahunya, tanda: terserah
kalian. Aku hanya abdi.
"Mas Teto, kami hari ini wajib mengunjungi Rektor Universitas untuk berterima
kasih atas partisipasinya. Lalu ke Hotel, juga untuk berterima kasih kepada Prof
Chauvigney dan mengantarkannya ke lapangan terbang. Jam berapa pesawatnya
berangkat, Sayang? Jam 13.00 kita harus makan siang dengannya. Lalu Mas Teto
bagaimana? 1bu makan siang dengan kami?"
''Jangan repot-repot," tangkisku. Sungguh aku tidak berniat menambah seorang
kenalan lagi yang toh tidak akan ada sangkut-pautnya dengan kehidupanku. "Silakan
menunaikan program kalian. Aku dapat pergi ke tempat lain yang sudah lama ingin
aku kunjungi."
"Ke mana?"
"Ke bekas istana Soekarno dulu." Mereka terperanjat. Apa-apaan ini. Atik
menggeleng-gelengkan kepalanya serba prihatin.
“Ada apa, Mas? Masa lampau jangan kau orek-orek lagi."
"Ya, bagaimana kukatakan? Bagimu itu masa lampau."
"Nostalgia?" tanya Bu Antana. "Hati-hati dengan nostalgia."
"Bukan itu," tangkisku. Atik memandang kepada suaminya. ''Jam berapa kita harus
menghadap Pak Rektor?"
"Kan kau sendiri Sayang, yang lebih tahu dariku."
“Jam sepuluh;' sahut ibunya. ''Aku mendengar kau kemarin berkencan dengan
beliau: jam sepuluh."
''Ya, jam sepuluh," kata suaminya menggaris-bawahi.
"Kau ini ... (dan nada Atik tampak gusar seperti menuduh) cuma bisa
membonceng."
''Atik,'' kataku, "jangan kau keras-keras pada suamimu."
"Habis, memang begitu,” tumpang Atik lebih sengit Iagi. (Drama! batinku.
Drama.) Bu Antana memandangku dengan ekspresi permohonan. Aku menunduk.
Kalau begini terus, keluarga ini berantakan, pikirku, hanya karena aku hadir di sini.
Ya Allah, harus bagaimana aku.
"Mas Teto ingin jam berapa ke istana?"
"Ingin sih ingin. Tetapi apa diijinkan, itulah soal juga,” kataku dengan sasaran
samping, agar kedua suami-istri itu tidak ditambam persoalan.
"Garnpang!" kata Larasati Si Pendekar Panas Mahabharata. "Nanti saya yang
maju. Jam sepuluh? Sekarang sudah jam delapan. Kita harus punya reserve waktu.
Dua jam siapa tahu kurang. Orang sedang berpariwisata, biasanya tidak tahu, jam
sudah lari tidak terkendalikan. Rektor harus menunggu kita. Mas Jon, Sayang. Tolong
telepon, barangkali kita boleh datang jam setengah sebelas."
168
"Baik," dan suaminya langsung berdiri. "Nomor teleponnya berapa?"
"Di kartu catatan ada."
"0kay."
"Hei, Mas Teto. Tambah lagi rotinya. Masakan hanya tiga iris. Ayo dong." Dan
tanpa menunggu acc-ku, langsung ia mengambil seiris lagi mau menyemirnya.
"Stop," kataku tegas. "Saya pagi-pagi biasanya tidak makan banyak."
“Sungguh tidak lagi?" masih juga ia menawar.
"Tidak," kataku tegas. "Terseralah kalau mau kaumakan sendiri," kataku agak
kasar. "Tetapi aku tidak." Dan kuminum kopi. Atik tersenyum padaku, lagi itu pijarpijar matanya yang manja , atau bangga atau ... birahi ? Matanya kutatap nanap. Ia
mengalah dan memandang kepada ibunya sambil berbisik.
"Mas Sinyo ini masih tegas seperti dulu." Senafas kebanggaan terdengar dari
bisikannya itu. Ibunya hanya diam dan memandang kepada anaknya, kepadaku, dan
menunduk. "Tetap masih kepala batu dia," dan tertawalah Atik riang seperti anak
kecil melihat badut.
"Sama-sama," balasku. Atik lebih tertawa lagi.
Ibunya menyentuh tangannya. "Kedengaran di telefon,” Pura-pura Atik terkejut,
mulutnya ditutup dengan kepal kecilnya yang memegang pisau roti. Geli dikulum.
"Okay, beres!" begitu laporan suaminya sambil duduk kembali santai bersandar ke
belakang seperti seorang Sultan yang kenyang. ''Jam setengah sebelas. Bahkan jam
sebelas juga boleh, kata Rektor. Asal jangan sarnpai jam sebelas malam, begitu
pesannya."
''Aku sudah mengira, pasti ia mau. Orang baik."
"Jadi," ejekku "orang baik ialah orang yang mengiyakan selalu pendapatmu.
Begitu definisinya, Tik?"
"Heh? Dah, sayang kau tidak tergolong profesor penyanggah kemarin. Gelegapan
aku pasti. Bagaimana, Bu? Jawaban pertanyaan itu'?" Ibunya melirik kepada anaknya.
"Kok aku. Kau yang harus menjawab." Atik melihat kepada suaminya, "Bagaimana
kau, Mas Jon?"
'
"Lho, kok aku. Kau yang harus menjawab." Meledaklah ketawa kami berempat.
Jenaka dan manja matanya disipitkan dan Atik mengintaiku dari sela-sela kelopak
mata. "Definisi keliru."
"Jadi kau keliru, Tik?"
“Definisinya yang keliru. Aku belum tentu."
Dengan tertawa kemenangan aku berkata kepada ibunya "Bu, lihat apa tidak?
Kepala batu. Dari dulu."
"Kau yang kepala batu."
"Hei-hei, kok seperti anak kecil,” seru Bu Antana sambil tertawa.
169
"Memang anak kecil,” sela suaminya. Kami terkejut juga mendengar keberanian Si
Jana ini. Seperti ular kobra yang diserang tegaklah kepala Atik. Lehernya memanjang
dan dengan kepala oleng ia memandang dari sudut matanya sambil melengos ke arah
suaminya. Melengos menghina? Melengos manja? Melengos sayang? Entahlah. Ingin
ia mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba memutuskan untuk bungkam saja. Kuiriskan
lagi secuil keju. Dan walaupun tangannya protes, keju itu kuletakkan di atas
piringnya. la melihat kepada cuilan keju itu, melihat padaku lalu tertawa kecil.
"Kalau tidak kumakan, katanya aku kepala batu. Kalau kumakan, aku tambah
gemuk satu kilo. Pilih mana, Bu?"
"Kok aku. Kau yang harus memilih."
''Bagaimana, Mas Jon? … Saya sudah tahu jawabmu: lho kok aku, kau yang harus
memilih." (Suaminya memandangku seperti minta tolong). Cuilan diletakkan pada
piring suaminya:
"Kau saja yang memakan, Sayang. Lebih baik kepala batu tetapi lebih ringan satu
kilo".
Suaminya memandang kepada istrinya, kepadaku lalu bernafas panjang. Ia
mengangkat kedua tangannya selaku tanda "Apa boleh buat"; lalu memakan cuilan
keju itu.
170
21. Istana Perjuangan
Mas Seta, aku sungguh senang Mas Seta datang. Selama ini aku tldak pernah tahu,
ke mana aku harus pergi kalau ingin minta nasihat. Ya, terus-terang ini mengenai
istriku."
Aku sungguh terkejut dan dari samping memandang Jana, yang hanya menyekanyeka setir mobil dan memandang lurns ke muka.
"Aku bukan penasihat yang baik," kataku, jelas khawatir lebih ruwet lagi
terperangkap dalam suatu persoalan intim yang hanya membingungkan diriku yang
sudah serba bingung ini.
''Ah, aku tahu Mas Seta. Tetapi dari apa yang aku dengar dari Bu Antana dan dari
Atik sendiri aku sudah lama tahu: Mas Seta dapat aku andalkan sebagai abang yang
baik. Dan sejak kita saling berjumpa kemarin, Mas, aku punya intuisi, ya walaupun
intuisi lelaki biasanya tumpul, tetapi aku yakin, hanya Mas Seta yang dapat menolong
kami berdua."
"Kami berdua? Kulihat antara Adik dan Atik tidak ada apa-apa."
''Ya, memang tampaknya demikian. Tetapi sebenarnya saya tahu, tidak begitulah.
Atau lebih tepat: BELUM begitulah. Kami sudah beranak tiga, tetapi kok rasanya
kami ini seolah belum pernah menikah."
"Tidak apa-apa, Dik Jon. Biasa itu. Dalam perkawinan selalu ada up and downnya." Aku jengkel sendiri dengan diriku. Nasihat umum basa-basi usang yang banyak
kata tetapi kosong. Sebetulnya aku jengkel juga dengan bekas Palang Merah di
sampingku ini yang tidak berani (tidak mau, bukan, tidak berani) memegang senjata
seperti lelaki normal. Ah, celaka memang bisa kubayangkan bagi Atik, punya suami
begini ini.
''Ah, Mas Seta harus tahu. Aku anak sulung. Dan tidak pernah mempunyai seorang
abang yang dapat kunikmati pertolongan atau nasihatnya. Selalu aku harus mencari
sendiri, bergulat sendiri dan setiap kali salah dan dimarahi ayah: Kau harus memberi
teladan, kau harus mengalah, kau harus ini-itu; hanya karena aku anak sulung.
Memang aku bukan tipe manusia yang jagoan, tetapi apakah itu salah?"
"Tentu tidak ... ," jawabku, yang jelas samasekali tidak menjawab soal. Ingin orang
lelaki di sampingku ini kukocok dan kusepak agar kejantanannya melotot ke luar dari
kepompongnya.
''Ya ... Atik memang bukan orang yang gampang."
"Nah, justru itulah Mas Seta, aku sering tidak tahu, harus bagaimana ia kutanggapi.
Seringkali, begini salah, begitu keliru. Padahal ya, walaupun saya ini orang tidak
tanpa kekeliruan, segala-galanya sudah kuusahakan agar membuat hidupnya senang."
Aku sudah tidak mendengar lagi apa yang dikatakan udang yang tidak punya kulit
panser itu. Kulihat Atik sedang asyik berdiplomasi dengan perwira penjagaan istana
yang kini disebut "Gedung Negara" itu. Aku sendiri tidak tahu, mengapa aku justru
ingin kemari.
171
Sentimentil sebetulnya, dan demi mengabdi kesentimentilan banci ini Atik matimatian berdiplomasi dengan militer-militer itu. Kulihat piket penjagaan menganggukangguk tersenyum. Pasti kalah dengan rayuan Larasati, kupikir geli. Bagaimana
seandainya Guru Srikandi itu agen sabotase musuh yang datang dengan mission
mencuri dokumen-dokumen istana republik ini? Bangun dong, Teto! 1ni bukan lagi
istana presiden RI jaman kau berpetualang dengan Kolonel van Langen di atas jip
masuk istana 19 Desember 1948 dulu itu.
Dengan wajah yang berseri-seri kemenangan (Atik selalu menang, kecuali dalam
soal perkawinan, pikirku getir) ia mendekati jendela mobilku.
"Good! Ayo Mas Jon, terus ke depan itu." Aku keluar mobil dan membukakan
pintu bagi Atik. "Perttwa musuh yang gallant," ejek Atik sambil memperlihatkan
rangkaian gigi-gigi yang cemerlang. Ketika ia menunduk masuk mobil di belakang,
tampak bergayut kedua payudaranya yang manis montok dan putih. Sambil
menundukkan diri lagi di samping Jana, aku berkata padanya: "Istrimu diplomat
ulung, Dik Jana."
Keluar dari mobil angin sepoi-sepoi yang menyegarkan menari lagi. Angin
kemerdekaan, gumamku dalam hati. Kami tidak terus ke bagian tengah serambi, di
mana menurut Atik, dulu Bung Karno, Bung Hatta dan lain-lain selalu berdiri untuk
menaikkan bendera Merah Putih.
"Mas, Mas Teto, di sini dulu aku berdiri." Ia menarik lenganku dan naik tangga
emperan muka istana dari marmer itu. ''Di sini."
Dan ia menunjukkan sudut paling belakang. Ia tertawa renyah: ''Ya, di sudut ini.
Paling belakang, seorang gadis desa dengan dua ekor kepang rambut, rok dril putih
yang kaku dikanji, tanpa bentuk deh. Tapi dril itu enak, tidak panas seperti bahan
nylon jaman sekarang. Dan di sampingku, seorang ajudan Menteri Luar Negeri. Ah
ya, bukan ajudan sebetulnya, tetapi hanya kacung pembawa map-map belaka, tetapi
aduhai tukang perayu. Mas Jon kan kenal dia?"
''Dirut proyek perkayuan Kalimantan yang baru diperiksa perkaranya itu?"
"Perkaranya? Perkara-perkara. Plural. Termasuk petualangan-petualangan dengan
perempuan macam-macam."
''Termasuk Larasati Antana, kusela meledek. Atik memandangku genit seolah-olah
tersinggung dan berkata: “Ah, gadis umur tujuhbelas tahu apa tentang asmara dulu itu.
Kami sudah cepat dewasa. Tetapi nota bene hanya dalam soal kerja. Tetapi pacaran
seperti sekarang ini? Mustahil," katanya dengan tangan seperti ahli orator memenggal
leher lawan. Aku ingin menolong suaminya: "Lalu dik Jana di mana dulu berdiri?"
"Tanya saja pada istriku itu. Dia selalu mengejekku tentang itu." Istrinya tertawa
padaku dan dengan nada yang sebenarnya sedikit sadis, ia berkata sambil menunjuk
pada pagar muka istana jauh di sana di tepi Jalan Malioboro.
172
"Di saa ... na."
''Bersama rakyat!" tangkis suaminya. Aku tak dapat menahan ketawaku. Oah
kasihan kau Jon. Begitu kaku kau membela diri. Ayo dong, jangan takut begitu.
Istrimu harus kau lawan. Jangan kau gendong terus-menerus. Malah dia lari nanti.
Seperti anak yang mulai besar menjadi jengkel kalau terus-menerus digendong dan
diciumi.
''Nah, Tik. Suamimu tersayang bersama rakyat di sana. Kau bersama para agung
dan kuasa. Mana semangat gerilyamu?" Tetapi Atik sudah tidak mau mendengarkan.
"Nah, sekarang Mas Teto. Di mana kau?"
"Aku?" Aku ekstra sengaja merangkul Dik Jon dan berkata:
"Mari Dik, akan kutunjukkan." Dan berangkulan kami turun tangga-tangga marmer
itu, melangkah beberapa meter lagi ke suatu titik di atas aspal yang jelas sudah sangat
diperbaiki itu. Ketika kami berhenti dan aku menoleh, Atik masih di atas tangga yang
teratas.
"Ke sini."
"Nggak. Panas."
“Ah, tidak perlu takut jadi hitam kulitmu. (Pada suaminya) Nah ini dik Jon, kamu
diplomasi itu selalu begitu: takut panas. (Aku menunjuk suatu lokasi di atas rumput)
Nah, di sini aku berdiri. Bawa bedil Thompson: Begini barangkali." Aku berdiri
seperti acuh tak acuh tetapi sombong berkecak pinggang. Seolah moncong Thompson
menodong. Nah, di sana jip Kolonel van Langen. Di belakangnya masih ada jip lagi
yang kosong. Lalu mereka masuk. Aku naik tangga juga. Berhenti di dekat pilar ini.
Begini (kulihat Atik dengan mata lebar terpukau pada gerak-gerikku yang memang
aku sadar, jantan gagah). Lalu mereka datang. Soekarno dan Hatta dan Syahrir dan
Haji Agus Salim dan ya ... mereka mendongak begini, tersenyum. Apa lagi Soekarno,
nah tegak penuh harga-diri, merasa safe dan seolah-olah merekalah yang jaya. Tetapi
historis ternyata akhirnya juga begitu."
"Syahrir bagaimana?"
"Syahrir? Oh, dia seperti Hatta. Berjalan biasa. Seperti mau cari orang jualan es
putar di jalan saja. Seolah mengejek. Sungguh menjengkelkan. Ya, dan ... (aku
memandang kepada Dik Jana), sungguh Dik Jon, ketika itu aku benar-benar ingin
bertanya pada Syahrir: Tuan, di mana Larasati? Tetapi nyatanya aku hanya bungkam
saja dan ya, selanjutnya aku hanya ingat, mereka pergi ke Meguwo, entah, dan aku
hanya terpaku di bawah tangga ini. Bukan. Bukan di sini (aku turon lagi darl marmer
ke rumput hijau) Aku di sini. Dan aku masih ingat, aku jengkel memetik sebatang
rumput jarum, lalu aku kunyah-kunyah. Detail-detail kecil begitu malah aku ingat.
Ya, begitulah pengalaman pihak pengkhianat bangsa."
Jana mendekati aku dari samping dan ia bergumam padaku:
"Mas Seta, kami tidak pernah menganggap kau begitu. Kami tahu segala sebab
mengapa kau begitu. Mas Seta jujur. Ini yang kami hitung."
173
“Ah tidak, Dik Jon. Aku tahu, tidak seindah itu kenyataannya. Aku tidak perlu
dikasihani. Orang lelaki, kalau ia sejati, tidak pernah suka dikasihani."
"Ah, bukan itu maksudku."
Aku pergi ke samping, mencari tempat bayangan yang agak teduh.
"Mas Teto ke mana?" kudengar dari tangga teratas.
"Cari yang sejuk."
''Naik ke sini saja."
"Tidak." Dan tumpul perasaan tidak gallant aku hanya menunjuk ke samping. Di
tangga samping itu sejuk karena agak terlindung oleh suatu lengkungan besar yang
menjadi kulis samping emperan muka yang monumental itu. Jana mengikutiku seperti
anjing yang setia. Atik dengan langkah-langkahnya yang cepat segera juga menuju
tempatku. Aku terus menuju ke padang hijau di samping istana dan langsung duduk di
rumput. Atik juga meniru langsung. Suaminya datang dan juga duduk di rumput. Aku
memandang ke dedaunan pohon-pohon yang rindang itu.
"Ada burung kipas!" seru Atik, yang juga melihat ke dahan-dahan pohon itu.
"Mana?" tanyaku dan tanya suaminya pas bersama-sama.
"Tidak lihat,” kataku.
"Aku juga tidak lihat,” kata Dik Jana.
"ltu. Yang coklat itu."
''Mana? Memang aku bukan ahli burung, bagaimana bisa lihat binatang coklat pada
dahan yang serba coklat dan banyak daunnya."
''Lihat ekomya! Itu yang berpelisir putih itu. Membias-merapat lagi, membiasmerapat lagi, sudah lihat atau belum? Itu yang gesit dan ramai bergerak seperti anak
perempuan usil di kelas."
"Oh ya, aku juga melihatnya.
''Di mana?" tanya suaminya.
"Pokoknya kalau melihat sesuatu yang bergerak kenes dan meloncat-loncat gesit,
luwes serba elok, itulah dia. Ekornya, lebih-lebih ekornya memperlihatkan kenesnya
dan genitnya
Seperti Atik:' gumamku setengah tidak bisa didengar. Tetapi Atik telah
mendengamya.
''Apa? Awas kau,Mas Teto." Dan genit ia melirik kepadaku.
"Nah, betul kau Dik Jon. Persis burung apa itu tadi?"
"Burung kipas,” sambung Dik Jana. "Memang kenes, ya sekarang aku sudah
melihatnya. Ya, memang genit."
"Seperti siapa, Jon?"
"Tahu sendirilah,” sambil memusatkan matanya kepada si burung kipas itu. Tibatiba Atik memegang tanganku dan menunjuk dengan jari telunjuknya mengarah ke
atas.
174
''Dengar tidak? Heran, kok masih ada yang hidup di sini mereka? Dengar?"
"Dengar apa?"
"Itu: Ci-po. Ci-nya panjang bernada tinggi, lalu po-nya seperti jatuh: po. Ciii-po
ciii-po· Lucu ya?"
Aku tertawa juga. Yang memang lucu. Cii-po cii-po·
"Namanya apa? Cipoa¹⁾?" tanyaku melawak.
"Uh cipoa, kau itu cuma memikirkan komputer saja. Namanya mudah saja: burung
cipo atau cito. Aegithina tiphia."
"Nama Latin sinting. Kan lebih bagus tadi itu? Cii-po, cii-po. Apa gerangan
artinya?"
"ltu penjaja dari kaum burung,” kata Jana. "Kuacii-bakpao, kuaciii - bakpao."
Kami tertawa semua. Nah, begitulah! Kubatin: hidup sedikit kau Jon. Seorang
suami harus sering bisa membuat istri tertawa.
Atik diam dan mendengarkan suara-suara burung. Ia sedang bergumul dalam
wilayah dunianya. Suaminya ikut melihat ke dedaunan mengikuti istrinya. Orang ini
tidak ketolongan, batinku, selamanya ia akan menjadi kaum Palang Merah di garis
belakang. Tetapi bukankah kaum Palang Merah, walaupun tak membawa senjata apa
pun adalah para pecinta sejati dari Kehidupan? Suami semacam inilah sebetulnya
cocok untuk seorang pecinta alam seperti Atik. Hanya mereka belum menemukan
kesejatian diri masing-masing, walaupun Atik ahli dan fasih tentang kesejatian diri
dan citra bahasa dan lain-lain kata falsafah hebat. Hidup harus dihayati praktis, dan
tidak hanya diteorikan. Tetapi bukankah penghambat utamanya dalam penemuan
jatidiri mereka, dan Atik terutama, sebetulnya justru citra pesona Si Setadewa, aku
sendiri? Si jantan ideal, artinya dalam arti romantika, Sang Gatutkaca yang gagah
hebat, tetapi selalu terbang dan tetap tak pernah terjangkau? Semacam fatamorgana
yang hidup penuh himbauan-himbauan indah, tetapi sebenarnya hanya bayanganbayangan cermin keinginan-keinginan situasi yang dianggap kurang memuaskan?
Aku sadar, bahwa aku Setadewa sebenarnya adalah agresor, adalah KNIL, Dr. Beel
dan Spoor, yang pada tanggal 19 Desember menyerang Yogyakarta untuk mengejarngejar fatamorgana yang fatal dan yang akhirnya membuat jiwa Kapitein Seta patah.
Yang dulu disangka pemotongan keruwetan gordian Iskandar Agung, ternyata
berakhir dengan tragedi bunuh diri Spoor dan likuidasi KNIL.
Aku, Setadewa seharusnya sudah lama menarik hikmah pelajaran yang fatal itu.
Mengapa aku di sini sekali lagi menjadi agresor kebahagiaan keluarga Janakatamsi?
Jikalau Bu Antana bereaksi normal sebagai induk yang hanya memikirkan
kebahagiaan anak tunggalnya secara jangka pendek, seperti selalu dikerjakan oleh
naluri wanita yang mahir mencari jalan-jalan ke luar yang efisien dalam jangka
pendek, maka aku sebagai lelaki harus menyumbang pelengkapnya, yakni bertindak
dalam prospek jangka lama. Perang tidak pernah merupakan tujuan dalam diri sendiri,
Tidak ada nasion yang berperang demi berperang. Perang adalah sebentuk
perpanjangan diplomasi dengan cara-cara yang lain.
¹⁾ Alat hitung Cina tradisional.
175
Selaku orang militer atau menejer perusahaan, sama saja, aku seharusnya sudah
tahu bahwa persoalannya bukanlah menang taktis belaka melalui suatu pertempuran
dengan biaya apapun, tetapi memenangkan peperangan sebagai keseluruhan secara
strategis. Jika permainan segi tiga ini diterus-teruskan memanglah taktis Bu Antana
dan Atik menang. Dan pasti aku sekali saat akan kalah dan tidur dalam rangkulan
kewanitaan Larasati yang vital seperti hutan tropika dan yang mendamba dan
mendamba kejantanan gelora alam yang mengguntur dalam awan-awan dan yang
menjanjikan hujan muson khatulistiwa ..
Tetapi jikalau itu terjadi, pastilah Larasati dan Janakatamsi dan juga Bu Antana
serta ketiga anak terkasih tak bersalah itu akan hancur berantakan dalam suatu
kekalahan strategis. Bagaikan suatu perang nuklir, yang tidak lagi mengenal pihak
pemenang, karena semua pihak akan kalah. Dan kehancuran seperti itu sama dengan
bunuh-diri. Aku tidak akan bunuh-diri. Kejantanan justru menghendaki hidup-diri.
Apalagi kewanitaan, rahim yang dari bahasa citranya sudah memiliki bentuk ingin
menerima, ingin dibuahi demi kehidupan. Dan tidak minta untuk dilukai belaka.
Dapatkah semua itu kusadarkan kepada Atik? Tetapi terutama kepada diriku dulu,
Setadewa? Kalau Seta cinta pada Atik, ia akan menginginkan pangkuan Atik bukan
sebagai lubang luka-Iuka, melainkan gua kehidupan. Memang benarlah bentuknya
sama, dua Citra itu. Tetapi kualitas dan makna tidak datang cuma dari bentuk lugu belaka. Setadewa sebagai manusia harus berani memilih.
"Kok diam, Mas Teto? Sedang memikirkan apa?" tiba-tiba Atik bertanya
memecahkan lamunanku. Inilah saatnya, ya inilah saatnya, begitulah sejelas-jelasnya
terilhamkan padaku. Tidak didalam kamar netral, tetapi di sini, di halaman istana
bersejarah inilah aku akan membuat perhitungan hidupku selama ini yang tanpa arti,
bagi rahim yang pemah mengandungku, demi susu-susu ibu yang pemah memberiku
zat-zat kehidupanku yang pertama, demi wajah-wajah dan tangan-tangan yang halus
membelai dan memberi getaran-getaran pertama emosiku, yang kelak disepuh lagi
menjadi serat-serat karakter kepribadianku, demi ayahku perwira pembangkang
kelaliman, keluargaku dan negeriku.
"Dik Jon, aku ingin minta nasihatmu."
Jana agak terperanjat juga dalam reaksinya.
"Lho, apa Mas Seto?" Atik memandang padaku dengan tegang. Barangkali bagi
Atik aku ini selalu variabel yang tidak pernah bisa diperhitungkan, tetapi selalu
memukau, menarik, sekaligus mengancam.
"Dik Jon, sebagai ahli geologi utama di kalangan eselon atas kau kan punya
koneksi penting dengan menteri-menteri?" Bukan Jana tetapi Atiklah yang menjawab:
"Mas Jon, kau kan kenal semua Dirjen?"
''Ya, saya kenal. Tapi soalnya apa?"
Lalu kubentangkan model komputer yang salah menghitung kuantitas produksi
minyak mentah. Begitu kompleks dan sulit perhitungan itu, sehingga hanya bagi
orang yang langsung berkecimpung dalam inti pimpinan, hal itu kelihatan. ''Aku yakin
adanya kesengajaan.
176
Namun tentulah secara hukum hal itu sulit dibuktikan, sebab siapa yang cukup ahli
matematika tinggi untuk melihat kesalahan fatal di dalam rumus yang begitu panjang
dan rumit? Dan yang totalitasnya hanya diketahui orang yang paling top? Seharusnya
ini diperiksa oleh pihak Indonesia. Tetapi negeri ini kan hampir tidak punya ahli
matematika." Dengan melompong Jana mendengar uraian-uraianku dan kedua mata
indah dari Atik yang membelalak menunjukkan, betapa paham mereka akan
komplikasi dan implikasi permasalahan. Reaksi pertama datang dari Atik, ya tentu
saja dari dia. Dia yang lebih cerdas.
Tetapi, Mas Teto. Ini berarti kau akan dipecatl"
"Aku tahu."
Erat-erat tanganku diremas-remasnya. ''Teto! Teetoo! Kau sungguh Teto, kau
singa!"
"Singa yang sudah divonis dan menunggu ditembak."
''Ya, itulah konsekuensinya. Dan kau sanggup mati?"
"Aku tidak akan mati. Hanya harus berganti kehidupan. Dari manusia lama
menjadi manusia baru."
"Teto! Sungguh jantan kau."
"Ini bukan soal jantan atau tidak jantan."
Atik melihat kepada suaminya, kepadaku lagi, kepada suaminya.
"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Mas Seta," kata Jana perlahan-lahan, "Mas
Seta akan saya bantu. Tetapi bagiku hanya sedih, bahwa dengan begitu aku akan ikut
serta dengan proses pemecatanmu.
"Dik Jon, kau ahli geologi dengan jiwa Palang Merah. Pulau Jawa ini tidak akan
subur tanpa sesekali vulkan-vulkan itu meletus. Kalian mengalami Revolusi. Itu
ledakan dahsyat yang menyuburkan negeri ini. Tetapi kau dan kau ada di pihak yang
menang. Kekalahan pihak ku memungkinkan kemenangan kalian. Aku dulu masuk
KNIL tidak untuk mencari gaji soldadu. Bukan juga demi petualangan tentara sewaan
belaka. Aku memerangi kalian sebagai pembalas dendam ibuku, yang mengandungku
dan yang dirusak kandungannya oleh Jepang. Memang kesalahanku ada pada
identiflkasi Jepang dengan Republik Indonesia. Tetapi maaf, terus-terang kukatakan,
bukankah banyak dari pimpinan pihak kalian bukan hanya murid, tetapi penerus
konsekuen mental Jepang itu? Selama aku jadi menejer perusahaan sesudah perang,
aku baru mengenal segi-segi lain dari Jepang yang lebih positip. Tetapi dalam saat
kala itu Jepang diperkenalkan pada kita dalam bentuknya yang fasis. Memang aku
keliru dalam memilih sasaran, akan tetapi tidak dalam motivasi. Dan motivasiku
masih sama. Aku tidak mau mengabdi kepada perusahaan yang pada hakekatnya juga
bermental fasis, menipu, merampok dan memaksakan rumus-rumus serta modelmodelnya pada negeri ini; ya, negeri ini adalah Mamiku dalam bentuk lain. Sekarang
pun aku akan membalas dendam, bila negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer.
Dan inilah saat perhitunganku.
177
Aku tidak gentar, seperti dulu itu aku tidak gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran.
Sekarang tidak."
Atik hanya memandangku dengan mata yang basah. Bungkam dan tidak mampu
mengungkapkan diri dalam emosinya. Aku tahu, ia bangga, ia melihatku sebagai
lelaki yang ia idam-idamkan. Tetapi itu perkara lain. Wanita selalu menangkap
getaran-getaran radar pribadi dulu. Kami kaum lelaki getaran-getaran perkaranya dan
seluruh gerak galaksi. Dan dalam hal ini aku lebih menghadap kepada Jana daripada
Atik.
''Aku dapat menjadi perantara," begitu kata Jana sederhana, "tetapi jujur saja aku
bukan andalan yang selalu meyakinkan."
"Kau akan membantu?"
''Pasti, Mas Seta. Hanya masalahnya masih ada satu. Dan satu ini dapat sangat
mempersulit operasi."
"Mencari orangnya yang tepat?"
"Oh, itu bukan soal. Aku kenal orang-orang yang memegang kunci dalam masalah
ini. Kalau perlu sampai eselon yang tertinggi. Tetapi sering soal seperti ini lebih
mudah digarap oleh eselon yang jangan terlalu top. Sebab sebelum itu, soal rumus
model harus kita check kembali dan itu membutuhkan bantuan ahli. Tetapi tidak
hanya ahli. Ahli yang MAU dan BERANI menanggung risiko."
"Lho, ini kan demi negeri kita sendiri."
''Ya, betul Mas. Itu seharusnya. Tetapi yang seharusnya dan senyatanya itu kan
masih dua soal yang belum tentu klop."
"Kau benar Dik Jon. Bagaimana nanti sebaiknya?"
Serahkan kepada saya, Mas Seta."
Atik masih diam. Tetapi dadanya nampak bergejolak naik turon. Sekali lagi intuisi
wanitanya melonjak keluar.
"Mas Jon, Sayang, kau juga bisa dipecat."
Dan tenang seolah-olah hanya omong tentang roti dan mentega makan pagi tadi ia
tersenyum kepada istrinya dan berkata :
"Kalau perlu, apa boleh buat."
Kulihat mata Atik membelalak. Nah, bagus kau Jon. Sekarang istrimu melihatmu
sebagai jantan: "Kau berani Jon, Sayang?"
"lni bukan soal berani atau tidak, Tik. lni soal harus (tampak Atik masih belum
percaya apa yang dikatakan suaminya). "Begini, Tik. Kalau Teto (padaku) yang
kumaksud Seta, anak kami, Mas, Tik, kalau Teto atau Padmi misalnya sedang mainmain di jalan, tersandung di aspal, lalu ada Colt datang menyambar, apakah di sini
masih dipertanyakan soal berani atau tidak? Kan spontan kita akan maju dan menyeret
Si Teto atau Padmi itu dari bahaya. Barangkali kita sendiri terkena, tetapi itu sudah
risiko. Kalau tidak begitu, ya, jangan jadi bapak atau ibu."
Senyum dikulum pada Atik.
"Mas Teto, aku juga akan membantu."
178
Jana menyambut: "Sebaiknya kau sementara di belakang dulu, Tik. Bukan karena
aku tidak percaya padamu, tetapi kita harus strategis kerjanya." Aku membantu Jana:
''Ya Tik, serahkan saja pada suamimu. Dalam perkara gawat ini, Jana sangat tabah."
Kulihat pada jam tanganku. Spontan mereka juga berbuat yang sarna. Masih cukup
waktu. Tetapi atas usulku kami toh berdiri dan merenung spontan diam kami menuju
ke mobil. Meninggalkan halaman yang bersejarah itu. Di pertigaan Jalan Beringharjo
kucatat, jam Yogya atau Jakarta sama saja, terlambat hampir tiga jam. Tak
mengapalah. Asal masih berjalan.
179
22. Sarang Manyar Baru
Ternyata, apa yang sudah diduga semula betul terjadi. Aku dipanggil ke Tokyo dan
di restoran lapangan terbang aku diberi tahu oleh boss tertinggi Pacific Oil Wells
Company,
bahwa aku dipecat dengan tidak hormat. Sinis Boss Besarku berkata melalui hidung
(dia punya hidung terlalu besar, sehingga suara selalu melalui saluran samping yang
bukan kodratnya untuk bersuara itu) bahwa apa yang kukerjakan itu sia-sia saja.
Perbuatan anak puber idealis yang tidak tahu kompleksitas persoalan internasional
dan sebagainya dan sebagainya. Dari segi efek terakhir semua itu hanya berakibat
kecil. Sebaiknya, sebetulnya, seharusnya, semestinya dan sebagainya, tak pantas
dikerjakan orang berkedudukan tinggi seperti aku ini. Bahkan dengan menempatkan
orang kulit berwarna pada pos begitu tinggi kan seharusnya aku mengerti bahwa itu
salah suatu tanda good-will yang besar dan bahwa sebenarnya, sebetulnya, semestinya
dan sebagainya aku harus menghargai kepercayaan yang sudah setulus-tulusnya
dilirnpahkan kepadaku. Tetapi ternyata aku ular kobra yang menggigit dari belakang.
Dan sebagainya, dan sebagainya, dan seterusnya.
Tetapi perusahaannya sudah siap menghadapi itu semua dan toh akhirnya hanya
aku sendiri yang mencelakakan diriku sendiri. tanpa efek apa pun. Sebab konsesi
masih tetap diberikan, bahkan barangkali abadi, kepada mereka; dan lestari kokohlah
kedudukan Pacific Oil Wells Company di mana pun. Bahkan dengan peristiwa
semacam ini kedudukan mereka justru lebih kuat lagi dan reputasi internasional
mereka bahkan melonjak. Selain itu jangan mengira bahwa di dunia ini hanya ada satu
rumus saja. Gugur satu tumbuh seribu, sebab para raksasa pandai dan kuat di dalam
sistem seperti ini. Tidak begitu saja bisa diserang semut seperti dalam dongeng,
dengan memasuki telinga sehingga mastodon gila dan masuk jurang dan sebagainya.
Sebab dunia tehnologi, industri, bisnis dan politik ditambah militer, bukanlah dongeng, tetapi perhitungan dan struktur-struktur elektronika yang tahan digigit semut.
Dan bahwa selanjutnya segala kelakuan yang gegabah harus ditanggung sendiri dan
sebagainya dan sebagainya. Tetapi walaupun, biarpun, kendati pun semua sudah
terjadi, Pacific Oil Wells Company dengan segala kedermawaan masih memberi
kesempatan pada Dr. Setadewa, dan ini disetujui oleh seluruh Board Of Directors dan
Board of Trustees, bahwa orang yang penuh talenta¹⁾ yang begitu ahli dalam segi
komputer perlu diberi tempat yang layak demi kemajuan seluruh planet ini. Sebab
kaya atau miskin, kita di planet satu ini, saling tergantung. Kehancuran pihak yang
satu akan membawa kehancuran yang lain; dan bahwa Dr. Setadewa masih diberi
waktu satu bulan untuk mempertimbangkan tawaran kedudukan yang terhormat,
walaupun tidak lagi dalam divisi komputer, tetapi dalam suatu divisi lain: Pengembangan Tehnologi dan Metodologi baru yang akan bermanfaat bagi seluruh bangsa
manusia di kelak kemudian hari dan sebagainya dan sebagainya.
¹⁾Dari kata talents, bakat.
180
Jika aku mau, dan selayaknya aku harus mau, mengingat kecerdasan otakku dan
sebagainya dan sebagaiya dan bahwa sebagai bukti, perusahaan mereka tidak
menaruh perasaan dendam sedikit pun, Sang Big Boss pada musim panas yang akan
datang tetap mengundang aku juga dalam suatu liburan menarik di kalangan qualified
talents all over the world. Sambil menikmati safari samudera di Kepulauan Oceania.
Dan karena itu aku akan selalu welcome di rumahnya di Hawai atau Miami; dan
bahwa istrinya juga berpesan untuk menyampaikan salam hangat, bahkan mereka
bersedia menanggung biaya segala-galanya bila, ... semoga Tuhan memberkati
perkawinan Tuan Seta kelak ... itu seandainya" ... Seketika itu aku, yang sampai
sekian hanya diam mendengarkan ocehannya, membendung banjir kata-katanya, dan
menuntut agar masalah bisnis jangan dicampur-aduk dengan rnasalah pribadi yang
intim.
Ia lalu menepuk-nepuk bahuku dengan gaya abang tua persaudaraan lama dan
berharap dalam sebulan ini menerima jawaban positif. Sebab kalau negatif, akibatnya
akan lebih malapetaka lagi dan sebagainya dan sebagainya.
Tetapi percakapan kupotong: ''Farewell!''
Di Halim aku dijemput oleh Jana dan Atik. Selama perjalanan ke Bogor mereka
tidak menyinggung hal-hal yang gawat, dan justru karena itulah aku sudah mencium,
bahwa ada berita malapetaka yang menungguku. Baru sesudah makan sore di kebun
belakang yang luas, di bawah sinar beribu bintang, Atik bercerita, bahwa suaminya,
seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, dipecat juga dari segala jabatannya. "Atas
alasan yang demi security tidak dapat dikatakan," tambah suaminya. Dan Jana dengan
tertawa keci1 masih menambahkan: "Tetapi toh masih dengan hormat. Tetapi tak
mengapalah. Hidup kami tidak pernah mewah. Walau dulu pun belum pernah mewah,
tetapi menjadi proletar juga tidak. Toh sebagai orang swasta ia masih sanggup
bekerja. Hanya ia mengkhawatirkan, bahwa karena suaminya, Atik kelak akan mendapat hambatan juga naik tangga karir.
“Asal saja masih boleh mendengarkan burung berkicau, tidak mengapalah," kata
istrinya sambil merangkul suaminya. Maka dengan senda-gurau aku bertanya spontan
tetapi main api sebenarnya.
"Tik, aku tidak mendapat hadiah juga kau rangkul? Aku iri hati pada suamimu."
"Oh, bagaimana Mas Jon? Boleh?"
"Boleh, asal jangan lama-lama."
"Lama atau tidak sih relatip."
"Ya, beginilah Mas Seta, nasibku. Selalu saja kalah kalau berdebat dengan adikmu
itu." (Adik? Ah, main-main api bahaya lagi. Jiwa petualanganku dengan umurku yang
sekian belum lagi sembuh). Atik berdiri dan berlutut di belakang kursiku. Aku
didekap dari belakang dan pipinya menyeka pipiku. Bisiknya: "Mas Teto, kau harus
selalu bersama kami. Aku membutuhkan Mas Teto. Dan Mas Jon juga butuh kau."
Kuseka pipinya yang satu dengan tangan kananku. Tanpa kata,
sebab saat itu aku tidak bisa berjanji apa pun. Tiba-tiba aku takut.
181
"Di mana anak-anak?"
"Kan tadi sudah minta pamit untuk pesta ulang-tahun pada ternan. Atik tertawa
nakal: "Mas Jon, Mas Teto takut anak-anak kita melihat ibunya merangkul oom
mereka."
"Maka itu jangan lama-lama,” jawab suaminya tertawa.
"Kok seperti anak keci1,” kataku hanya untuk menenteramkan jiwaku yang tibatiba terbakar.
"Kadang-kadang jadi anak kecil ada baiknya," kata dik Jon.
''Dari mana kau punya slogan itu?" tanyaku dengan tertawa.
"Ya, biasa kan. Dari istriku,"
"Oh, Mas Jon ini. Selalu saja rendah hati. Saya belajar juga dari suamiku, sungguh
mas Teto."
Aku masih menganggur. Aku telah minta berhenti, dan Pacific Oil Wells Company
memberiku surat pemberhentian. Ternyata toh masih dengan predikat terhorrnat.
Dengan suatu kattebeletje dari Big Boss. "Formal kita berpisah. Tetapi setiap saat
Anda masih bisa kami terima lagi." Mereka membutuhkan ahli, batinku. Soalnya
hanya: ahli yang bagaimana. Keesokan harinya aku terbang ke Jawa Tengah. Aku
merasa butuh, dengan Mamiku lagi, memohon kekuatan untuk hari depan.
Dari Magelang aku membawa pesan dari sahabat lama, dokter tua pensiunan, ayah
Dik Jana, untuk anaknya. "Tetapi hati-hati menyampaikannya," begitu pesan dokter
tua yang baik dan setia itu. Aku menjanjikannya. Saatnya tidak sulit dicari.
Pada suatu Sabtu, aku diundang keluarga Jana (yang sedapat mungkin memang
kuhindari selama ini, karena aku merasa masih tidak kebal terhadap pesona
kewanitaan Atik). Bersama-sama dengan anak-anak kami akan pergi ke Pegunungan
Salak. Atik kenal seorang penjaga hutan di sana dan kami akan berkemah di dalam
rumahnya yang sederhana dan yang punya ranjang amben yang luas. Cukup untuk
kami semua. Maka berpikniklah kami menyegarkan jiwa, pergi ke lereng Gunung
Salak. Atik memang guru yang baik untuk anak-anaknya. Mereka diwarisi rahasiarahasia alam hutan yang relatif masih perawan itu. Dan pengetahuannya sebagai
biolog namun terutama sebagai pewaris ayahnya, sangat menggugah hatiku. Kami
sanggup diam lama di tengah hutan menikmati alam asli dan bunyi-bunyian dalam
suasana yang murni itu. Duduk dan diam mendengarkan.
Kadang-kadang sang ibu membisikkan sesuatu kepada anaknya. Terutama Si
Padmi, yang kedua, yang mirip sekali dengan Atik ketika masih kecil, sangat
mewarisi bakat-bakat ibunya. Kicauan burung sering ramai sekali. Kadang-kadang
berhenti bersama-sama. Rupa-rupanya ada burung dari langit menghampiri mereka
serba mencurigakan Sesudah lewat, kicauan mulai lagi. Pernah di atas kami tiba-tiba
meletus kicauan kacau, seolah-olah burung-burung itu saling mencaci.
182
Atik mengintip dengan teropongnya ke atas. Diberikannya kepada Padmi dan berkata:
"Lucu sekali!" “Ada apa?" tanya adiknya. Teto Si Abang diam melihat ke atas.
"Mereka menemukan seekor burung celepuk barangkali," kata ibunya.
"Celepuk?
“Atau uhu, atau kebluk. Ya, selalu begitu. Uhu itu lalu dimakimaki sekenyangkenyang mereka. (Kasihan. Kenapa?) Habis, burung itu nakal. Sering pada malam
hari mencuri telur atau bahkan memakan anak-anak yang masih kecil dalam sarang."
(Apakah aku burung uhu?).
"Lalu mereka maki-maki?" tanya Kris.
''Ya, sebetulnya karena setengah takut juga. Seperti kalau kalian melewati kuburan,
takut, lalu berteriak atau nyanyi-nyanyi untuk menghilangkan ketakutan."
"Eh …..dengar ! "Kr-kr-twee ! "Heh, Itu lagi,” ciee woo..cice woker-kr-twee…ciee
wo … ciee wo…
Anak-anak tertawa, semua, sehingga kami kaum tua ikut juga.
Terdengar suara burung lain: Kopiii Kopiii!
"Kopii, kopii! Mereka minta kopi," komentar Dik Jana. Anak-anak tertawa lagi.
''Tapi ayah juga minta kopi Lho."
“Aaah!" Bungkusan dan termos dibuka. "Bisanya cuma menyindir!" kata Atik.
Kulihat, bahwa Teto si sulung itu cocok sekali dengan ayahnya; tak banyak omong
dan seolah-olah hanya menjadi orang kedua saja. (Ayah seperti aku ini kukira bahkan
lebih merusak daripada menolong) .
“Ayah dulu," perintah Atik kepada Padmi.
"E, tidak. Oom dulu. Selalu tamunya dulu."
"Tenma kasih, Mimi," kataku manis. Anak itu kalau tertawa atau tersenyum
dengan lesung-lesung di pipi, persis sekali ibunya dulu. Dan matanya juga cerdas
nakal.
"Ibu, ini Oom senang atau Oom yang senang?"
Kurangajar! Atik tertawa tidak ketolongan.
"Keduanya," katanya kepada anaknya.
Teto jelas bukan Teto aku. Ia mengikuti jejak ayahnya, pendiam, pengalah.
"Kau kelak jadi apa, To?"
''Ya, apa ya? Dokter juga bisa." (Nah cocok kan).
"Lho," kata ibunya. "Kok dokter juga bisa. Apa persisnya? kok ya bisa."
"Habis," jawabnya tenang. "Kalau nggak bisa, masakan bisa."
"Kalah kau, Tik," kataku meledek.
"Ini namanya Teto, tetapi tidak seperti Oom Teto."
"Kok lucu,” komentarnya tenang sambil memakan roti sus dengan caplokan yang
besar. Dan dengan mulut penuh ia berkata kepada roti yang tinggal separuh:
"Memangnya bukan Oom Teto kok disuruh jadi Oom Teto. Lucu."
"Kalah lagi ibunya," begitu aku membakar.
183
Teto melihat padaku dan mengerdipkan mata. Padmi adiknya membela ibunya:
''Persis itu tidak sama dengan menjadi. Persis kunyuk itu bukan kunyuk."
"Siapa yang kunyuk?" tanya kakaknya tenang. Ayahnya memisah: "Makan dan
omong, jangan kedua-duanya bersama-sama. Tidak sedap untuk dilihat."
"Sedaaaap!" komentar Kris si bungsu.
Tiba-tiba terdengar seperti ada orang tertawa: Hi-hii-hii!!
"Heh, siapa itu?" tanya sang Bungsu.
Ibunya memberi isyarat jari di muka bibir, agar semua diam. "Itu burung kuda."
"Kok seperti orang tertawa. Tunggu, nanti ada lainnya. Betul. Ada beberapa ekor
burung lain yang bersama-sama "tertawa" seperti sekelompok nenek sedang arisan,
"hihihi .... "
"Kok seperti mengejek tertawanya itu, kurangajar ya Bu?" tanya Padmi.
''Ya, begitu."
"Hihihi .... Teto mendukung suara burung-burung itu "Hihi-hihihi .....
"Eh, Mas Teto!" Dan semua anaklalu meniru.
"Hihihi .... " Ketawa anak-anak itu menjalar sungguh.
"Di Sumatra atau Kalimantan bahkan ada burung, anggang gading namanya,
karena paruhnya panjang dan bendolan seperti gading ada pada paruhnya. ltu burung
lebih menggelikan, kata ibunya. "Begini ketawanya: u-u-u-hahaha."
"Uu-u-hahahaha," anak-anak menirukan ibu mereka.
''Betul Bu, burung itu tertawa?"
''Ya, sebetulnya tidak tertawa, tetapi suaranya seperti tertawa geli dan benar-benar
renyah menyenangkan sekali."
Padmi: "Oom. Oom Teto? Besok Oom ke Sumatra dan carikan burung, apa Bu
namanya tadi."
''Anggang gading."
''Ya, anggang gading untuk kami."
"Nanti kalian tidak bisa belajar. Hanya uuu-hahaha saja."
''Biar, kan tertawa itu baik," komentar Teto cilik.
''Ya, kalau tertawa terus ya sinting," tambah Padmi.
"Nah, mengapa kau tadi minta Oom mencarikan burung ganggang gading tadi?"
tanya Teto hanya untuk menyerang saja.
''Anggang gading. Bukan ganggang. Goblog."
"Heh, Padmi. Tidak boleh ya menggoblog-goblogkan abang."
"Menggoblogkan adik juga tidak boleh, ya Pap,” tambah Kris.
"Siapapun tidak boleh digoblog-goblogkan."
Padmi: "Lha, kalau memang goblog, bagaimana?"
Karni semua tertawa.
"Sini Padmi. Duduk di pangkuan Oom Teto!"
Padmi manja duduk di pangkuanku dan kudekap anak yang mirip Atik ini. Ibunya
sepetti iri melihat anaknya, memandangku.
184
"Eeh," kata Teto sulung. "1bu iri." Spontan ia dipukul oleh tangan ibunya.
''Papi, ibu iri."
"Boleh-boleh saja;' komentar ayahnya.
''Ah, kalau begitu saya juga iri." Dan langsung ia duduk di atas Padmi, yang
tentunya marah besar mengusir kakaknya.
"Sudah sana, anak-anak dolan ke sana dulu. Oom Teto dan Ibu mau bicara-bicara
soal penting."
"Kami tidak boleh mendengarkan?" tanya Padmi.
"Tidak," kata ibunya.
''Ya sudah,” komentar Teto.
"Kris juga tidak boleh mendengar?"
''Boleh, tetapi sebaiknya kau dolan dulu ke sana. Asal jangan jauh-jauh."
''Aku ikut !" kata ayah meteka yang lalu betdiri.
Kris digendong dan pergilah mereka meninggalkan aku, berdua dengan Atik.
Lama kami tidak mengucapkan kata. Hanya suara-suara burung di hutan itu yang
mewakili kami. Mata Atik menghunjam ke tanah.
"Tik, aku minta maaf mengenai kemarin malam itu."
"Kau tidak salah. Aku yang meminta."
"Saya hanya ingin berterima kasih katena yang satu itu kau tolak "Saya tidak
menolak. Saya selalu mendambakannya. Tetapi saya teringat anak-anakku." Kami
diam. Mata kami saling berpandangan.
"Kalau begini terus Tik, semua akan rusak."
"Salahku ... "
Tidak. Tentang siapa yang salah, kukira kita tidak berhak menentukannya."
''Jana sudah tahu?" Atik mengangguk-angguk. "Sudah sejak awal sebelum kami
kawin." Aku diam. Mata Atik memandangku lagi dan sepetti sayu ia betkata:
"Suamiku sebenarnya lebih ayah dari pada suami. Apa saja yang kurasa baik ia setuju.
Dia terlalu baik. Tetapi barangkali … barangkali aku memang membutuhkan seorang
ayah. Tetapi ah ... juga sekaligus seorang abang yang kuat." Tanpa sadar: "Teto,
tetaplah betsama kami. Aku membutuhkan abang yang lebih kuat dariku."
''Aku tidak akan kuat lagi. Tadi malam buktinya."
''Ya, tetapi kan belum yang terakhir."
''Yang tetakhir selalu melalui yang sebelum terakhir. Aku lelaki. Aku tahu
keterbatasanku."
"Tetapi seandainya suamiku boleh? 1a mampu memahaminya."
"Suamimu bukan wanita. Aku lebih tahu bagaimana perasaannya.
"Teto, aku dan dia membutuhkan kehadiranmu. Kan kau lihat sendiri, bagaimana
kami berdua sudah saling mendekati dan lebih saling memahami. Saya takut kalau
kau tidak ada, kami renggang lagi."
185
"Tik,” Dan aku berlutut menghampirinya. Wajahnya kuurut dan matanya nanap
mendamba terpaku pada mataku. ''Aku takut Tik." Aku dirangkulnya kuat-kuat.
"Dari dulu aku selalu merana kalau kau tidak ada. Sekarang kau kembali dan
sekarang kau mau pergi lagi? Lalu aku bagaimana?"
"Kita jangan mempersoalkan sang Aku, Tik, tetapi anak-anak. Itu kata nurani.
Walau hati betkata lain." Lama mata basah itu memandangku.
''Jadi kita hams betpisah?"
Apa ada jalan lain?" Ia kulepas dan ia memandang ke tanah.
Bergumam:
"Jalan lain ... jalan lain?" Tetapi bergejolak lagi, karakter Larasati dalam dirinya:
"Teto. Mengapa kau kok dapat kuat sepern itu? Kau kuat, Teto, kau sangat kuat. Dan
aku selalu kagum pada lelaki yang kuat."
"Suamimu lebih kuat."
"Mas Jana? Ooh ... dia baik, tetapi lemah. Akulah yang selalu meminpin.”
''Apa kau kira orang yang dipimpin itu selalu lebih lemah?"
Matanya bening dan lebar penuh pertanyaan. Kuteruskan: "Jana tidak dipimpin.
Dialah yang memimpin, Atik. Hanya kau yang tidak tahu. Susahnya kau wanita
terlalu pandai. Tetapi terlalu emosi juga."
''Apa salahnya?"
''Bukan soal salah. Memimpin tidak selalu dengan komando, Tik. Kualitaslah yang
memimpin, dan kualitas sering menang tanpa kata. Kau mestinya harus tahu itu."
"Mas Jon ...”
''Ya, ia memimpin seperti Alam Raya ini. Tanpa kata. Seperti karakter. Dengan
pengertian. Dengan kekuatan, apa katamu dulu? Dengan jatidiri dan bahasa citra."
Atik mulai menangis lirih. ''Tik, sekali saat kau dan kita semua harus belajar. Aku
sudah belajar. Aku seorang kaum pemegang senjata, kaum penata prosedur komputer.
Suamimu ahli geologi, tetapi berjiwa Palang Merah. Palang Merahlah yang lebih
panglima daripada senjata api. Sebab apa? Karena Palang Merah memberi hidup,
sedangkan senjata merenggut dan memperkosa hidup. Ia lebih jantan dariku, Tik.
Kejantanan manusia bukan kejantanan rimba ini. Tik, kalau kau cinta padaku,
cintailah suamimu."Atik merebahkan diri dalam pangkuanku dan menangis tersedu.
Lalu kau ke mana? Lalu kau ke mana? Teto, ke mana kau?" Aku diam. Entahlah,
aku pun tidak tahu.
"Tik, aku tidak tahu."
"Lalu akan mengambang saja dengan angin?"
"Boleh jadi."
''Teto kau akan kawin nanti?"
"Boleh jadi."
"Sudah ada ... ?" Aku tersenyum dan membelai rambutnya.
''Belum.''
''Belum?''
186
"Belum. Atau boleh jadi: tidak akan ada." Ia merangkulku lagi. Hangat tubuhnya,
masih vital. Mari Kepalanya kuangkat dan kucium dia pada pipinya, pada telinganya.
Hangat, bernafsu. Tetapi ketika aku menghampiri bibirnya, ia menolak.
"Saya akan mengikuti nasihatmu, Mas Teto. Hanya kalau ada apa-apa, kami
jangan kau tinggalkan." Ia mulai membetulkan rambut dan sanggulnya, blusnya. Dan
dengan memandang aku ia toh masih menawarkan diri. "Kau boleh menyeka dadaku,
Mas Teto. Boleh." Payudaranya tidak kusentuh. Tanganku mengulur ... sangat ingin ...
toh tak berani ... aku hanya menyeka pipinya. Kedua belah tanganku merangkum
wajahnya yang tersenyum.
''Aku bukan orang kuat Atik. Kau pun juga tidak. Kita harus saling menjaga, justru
karena kita bukan orang kuat." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau kuat, Mas Teto."
''Jana lebih kuat." Ia mengangguk, air-matanya berlinang, bahagia. "Setuju?" Ia
mengangguk lagi. "Maka jagalah dia juga. Orang kuat juga harus kita jaga." Ia
mengangguk dan senyumnya penuh damai. "Mari kita mencari mereka."
Kami kumpulkan termos dan segala yang belum terbawa anak-anak. Keranjang
kubawa dan ia berjalan di mukaku pada jalan setapak.
''Tik, aku masih punya pesan dari ayah mertuamu."
“Ada apa?”
"Ia masih punya permintaan yang sudah lama ia dambakan. Agar masih dapat
mengalaminya, sebelum ia meninggal: Jana puteranya, diharapkan tahun ini naik
haji."
"Naik haji? Untuk apa?"
''Jangan kita bertanya untuk apa. Menggembirakan hati orangtua yang tidak lama
lagi akan meninggalkan kita, kan alasan cukup."
''Ya, tetapi biayanya, siapa yang membayar. Sejak suamiku diberbentikan, kami
harus menghemat setiap rupiah. Dikira berapa gajiku? Doktor maxima cum laude
sekali pun? Dinas kami bukan tempat yang basah, walaupun banyak mencakup daerah
rawa-rawa."
"Kalau itu soalnya, aku masih punya tabungan sedikit."
Ia membalik dan memegang tanganku. Lagi kedua matanya itu memancar. Aku
selalu lemah kalau menghadapi mata Atik.
"Kalau kau malu diberi uang gratis, boleh juga sebagai kredit;' kataku.
"Aku tahu, pasti kau tidak mau dibayar kembali."
"Kalau itu demi menjaga gengsi dan harga-diri kalian, pasti aku mau menerima
pembayaran kembali." Ia menggelengkan kepalanya.
“Aku tahu kau tidak akan!"
''Ya sudah, terima saja sebagai hadiah. Sebagai hadiah perkawinanmu. Dulu kan
saya tidak hadir dan tidak memberi selamat satu kata pun.
187
"Ketika itu aku terkenang padamu."
"Memang kau kepala batu," tawaku.
"Kau juga. Bagaimana ayah-mertua? Artinya apa dia menyinggung aku harus
ikut?"
Itu merdeka. Yang penting baginya, suamimu"
''Bagaimana pendapatmu? Aku hams ikut apa tidak?"
''Jalan terus saja, Tik. Mereka sudah lama menunggu."
"Mas Jon sudah tahu?"
"Tentu saja sudah kusampaikan pesan itu. Kemarin malam."
“Apa katanya?"
''Persis seperti yang kau katakan."
"Sungguh?"
"Pernah aku bohong?"
''Pernah ... tapi hanya bohong-bohong kecil."
"Lalu bagaimana Mas Jon? Dia menginginkan aku ikut?"
"Harfiah dia memberi kebebasan padamu."
“Ah, harfiah. Kalau kiasan bagaimana?"
"Tidak ada kiasan."
“Artinya, di bawah-sadar?"
“Aku tidak tahu bawah-sadar orang lain. Kalau bawah sadarmu aku tahu." Ia
membalik lagi dan mengecup pipiku.
"Sebetulnya poliandri itu boleh!" katanya tiba-tiba bergurau.
"Eh, jangan dijadikan gurauan hal-hal begitu"
"Habis, itu perasaanku. Kau jujur padaku. Api aku tidak boleh jujur padamu""
"Hanya padaku dan ... pada suamimu. Jangan pada orang lain. Tentang hal-hal
aneh seperti itu tadi."
"Tentu saja. Apa kau kira aku gila?"
"Sering aku memang mengira begitu." Ia membalik lagi. Dan dikecup pipiku yang
lain. "Nah," tertawaku, "ini lagi buktinya." Ia membalik lagi dan mengecup lagi
pipiku yang lain. "Sudah, Tik!' kataku agak keras. ''Jangan seperti anak kercil!"
"Kadang-kadang kan boleh!"
"Sekali lagi, jangan!" kataku lebih keras lagi. Ia menoleh: "Kau marah?"
Ya,” kataku pendek dan memang aku serius.
"Oh, maaf, Teto." Tetapi ia toh bergumam kurang ajar: ''Dicium kok marah. Siapa
yang gila?"
Dalam hati aku tertawa juga merasa termanja. Tetapi sungguh, permainan begini
tidak boleh diteruskan.
"Bagaimana pendapatmu?" ia tanya lagi. "Pendapatmu, aku harns ikut berjemaah
haji atau tidak?"
"Kau tanya?"
188
“Ya, kan saya bertanya, tidak menguraikan."
"Tanya nasehat?"
“Ya, tanya nasehat tentu saja. Kau masih marah, kok begitu aneh reaksimu."
"Ada maksudnya. Kalau nasehat saja, yang boleh diterima boleh dibuang, aku
tidak mau memberi nasehat." la membalik dan menyelidik memandang nanap manik
mataku.
"Omongmu kok aneh?"
"Omong biasa kok aneh. Siapa yang aneh."
"Apa kau kehendaki aku dikomando?"
"Boleh jadi begitu."
“Ya sudah, aku disuruh apa."
"Kau sebaiknya ikut."
''Dengan uangmu tentu saja?"
"Tentu saja." la diam. la diam ... lalu tegas.
"Baiklah."
"Terima kasih."
"Terima kasih apa. Karni yang harus berterima kasih."
"Sama-samalah. Menerima kasih dan memberi kasih itu perkara yang satu-tunggal.
Tanpa ada yang menerima, orang juga tidak bisa memberi. Maka menerima kasih
sekaligus juga memberi kasih, karena memungkinkan orang lain memberi kasih."
"Kok pintar kau, ya Teto. Dari mana semua teologi itu?"
''Ini bukan teologi. lni konkrit."
Suara anak-anak sudah terdengar. Mereka menuju ke kali sangat bening yang kami
seberangi tadi.
"Mas Teto, untung ya kita bukan suarni-istri."
"Kau omong aneh apa lagi ini?"
"Tidak. Kalau cinta suami-istri itu kan datar-datar saja. Kalau mencintai yang
bukan suaminya kok lebih hebat rasanya."
"Kau doktor biologi hebat, tetapi tolol sekali soal perkawinan."
"Memang, diakui saja."
Perwira di medan perang wajib berhitung dan memperhitungkan. Sama juga kepala
divisi komputer kongsi besar. Bahkan seluruh ada perilaku semesta galaksi jelas
eksak, dan pada prinsipnya dapat dihitung. Tetapi berkali-kali manusia, paling tidak
aku, Setadewa, dihadapkan pada sesuatu X mahadalam yang mengejek halus namun
murni. Seperti wajah anak tersenyum atau berlinang airmata, yang bertanya: masihkah
kau ingin menghitung? Panjang-lebar mata kanak-kanak dapat diukur, memang, tetapi
pancaran cerlangnya? Dan bobot makna setetes air-mata? Dengan apa itu mau diukur?
189
Jarak perjalanan Atik dan suaminya ke Mekkah-Medina dapat diukur pula; juga harga
tiketnya berapa. Eksak, jelas, memuaskan seorang doktor dan bekas komandan
perang. Tetapi bagaimana harus kunilai berita radio yang mewartakan, bahwa pesawat
terbang Martinair yang ditumpangi Atikku dan Jana, pada suatu dini pagi yang khusus
terjamah tangan Tuhan, menabrak bukit di dekat Kolombo, Sri Lanka sana? Tuhan
yang memberi. Tuhan yang mengambil. Terpujilah selalu namanya yang Kudus.
Aneh, ketika kudengar berita radio itu dan kubaca peneguhannya dalam telegram
Departemen Perhubungan, aneh sekali, ya sungguh aku heran sendiri, aku tidak
terkejut. Seolah-olah musibah seperti itu secara terselubung dibawah-sadarku sudah
juga "kuperhitungkan"; tinggal sekarang terkupas. Bagaimana keterangannya aku
tidak tahu; sesuatu yang mendadak ini mengapa tidak terasa mendadak? Aku tidak
berteriak, aku tidak menangis atau mengeluh. Aku tidak apa-apa selain diam ... ya
diam. Barangkali bahkan tersenyum walau tipis tentu. Seolah-olah sudah
selayaknyalah bila jalan hidupku selalu harus melalui ketidaktercapaian. Tetapi
terlonjak juga sebentuk rasa iri pada Atik, si dia yang sebenarnya dapat dikatakan
selalu berhasil; sampai kematiannya pun sebetulnya bernasib untung: gugur dalam
perjalanan ziarah ke Tuhan; dalam ulah sikap indah, sukarela mendampingi suami
demi kecintaannya dan demi pemenuhan harapan terakhir ayah mertua. Dinalar
komputer dingin, kematian fisik dalam kecelakaan pesawat terbang yang begitu
dahsyat tidak sangat menderita sakit. Pingsan seketika pasti dan selesailah sudah
dalam fraksi detik. Ketimbang kanker ganas misalnya atau invalid tanpa tangankaki.
Yang menderita yang ditinggalkannya, ketiga anak mereka. Aku bukan pahlawan,
tetapi kali ini pun aku tak gentar menderita, karena sedikit banyak aku telah ditempa
oleh kepahitan dan kegagalan. Dan juga karena kenanganku pada Atik yang teramat
indah. Kenangan dapat berbahaya selaku nostalgia kosong. Akan tetapi kenangan
indah dapat hadir selaku kekuatan yang tiada tara. Lagi, kenanganku pada Atik tidak
kosong, sebab dalam si kecil-kecil Teto, Padmi dan Kris, Atikku masih hidup segar.
Ah ya,Jana. Ternyata sudah betul, Atik kawin denganmu! "Berhitungnya" misteri hati
dengan hati memang di seberang jangkauan matematika si doktor yang kini dengan
ikhlas mengakui kekalahannya.
Tak banyak lagi yang perlu kuceritakan. Ada saatnya cerita manusia harus
disinambungkan ke dalam perjalanan riwayat yang serba diam ... dalam keheningan
yang sebenarnya bahkan serba kebak kepenuhan. Ya, memang hati duda sangat sering
merasa sepi sunyi sendirian. Tetapi untunglah Tuhan Yang Mahapemurah masih sudi
memberi kesejukan bagi siang dan petang kurun hidupku; atas persetujuan keluarga
dan atas permintaan ayah Jana, (tidak lama sesudah peristiwa sedih Kolombo beliau
pulang ke Rahmatullah), ketiga anak Atik kuangkat jadi anakku. Hadiah yang
terindah dati Atik dan suaminya ingin kujaga dan kuantar ke hari-depan mereka yang
sesuai dengan jati-diri dan bahasa citra yang sebening mungkin. Akhirnya toh haridepan harus mereka tata sendiri kelak, menurut keyakinan panggilan hidup mereka
masing-masing.
190
Aku hanya ingin memberi bekal kenangan yang seindah mungkin. Tidak lebih dari
itu. Aku dulu anak kolong. Sekarang aku masih juga, tetapi anak Kolong Langit. Jujur
kukatakan, masih sering dalam kesepian tawar dan sunyi kering kedudaanku aku
bertanya diri: mengapa jalanku harus melalui ketidaktercapaian?
Tetapi bila aku melihat Si Teto kecil, Padmi terutama dan Kris, sedikit aku dapat
menangkap sasmita kupu-kupu yang memekar dan terbang hanya untuk sebentar lagi
mati. Bahasa citra kupu-kupu atau kicauan burung berwarta, bahwa segala dedikasi
mereka adalah demi si telur-telur.
Sahabat-sahabatku, khususnya John Brindley, tak henti menganjur-anjurkan,
sebaiknya aku mengambil istri lagi. Ketiga anak-anak itulah yang membutuhkan
seorang ibu. Kuakui, itu benar. Tetapi Bu Antana sudah cukup jasanya, sebagai nenek
sekaligus ibu bagi mereka. Kuakui, hanya untuk sementara memang. Ataukah karena
aku masih belum berani mengorbankan citra terakhir yang paling indah dari sejarah
hidupku, citra Atik? Ingin itu kutanyakan pada burung-burung manyar. Tetapi
sekarang sudah jarang kulihat mereka ..
Magelang, 6 mei 1979
Setadewa
191
Sebuah Roman
Y.B. MANGUNWIJAYA
Burung – Burung Manyar
Mendapat pengahargaan Tulis
Asia Tenggara 1983
SOUTH EAST ASIA
WRITE AWARD
1983
Pengarang cerita ini memperlihatkan pengetahuan dan pengalaman yang banyak serta
pengetahuan tentang manusia yang mendalam. Nadanya di sana-sini humoristis,
kadand-kadang tajam mengiris. Ia menganlisa diri dan mengejek diri tak tanggungtanggung, suatu tanda kedewasaan jiwa. Bahasanya segar dan gurih, ngelotok,
kontemporer. Isinya penuh pengalaman dahsyat, keras dan kasar, tapi juga romantik
penuh kelembutan dan kemesraan.
( H.B. Jassin )
Y.B. Mangunwijaya dengan novelnya Burung-burung Manyar mencoba melihat
revolusi Indonesia dari segi yang obyektif bahkan agak cenderung melihatnya dari
segi Belanda, dengan memasang protagonis orang Indonesia yang anti republik. Nilai
buku in terutama terletak pada keberanian pengarang untuk mengisahkan konflik jiwa
seorang anti republik semasa revolusi, segi informasinya tentang kehidupan tentara
KNIL dan gaya humor pengarang kadang-kadang terselip ejekan yang yang penuh
kejutan.
( Jakob Sumardjo )
Dengan bahasa yang khas “mangunwijayaan”, kata-kata majemuk berkadar tinggi
untuk menampilkan sebanyak mungkin makna; Lucu dan sarat sindiran, novel ini
mengungkap kepalsuan sekaligus “jatidiri dan citra pengungkapan” manusia. Lalu
novel ini menutup diri dengan kesimpulan yang kaya makna, yang tak layak
dikemukakan lain daripada apa yang tertulis pada bukunya.
(Parakitri, harian kompas)
Karya sastra yang besar selalu menghimbau angan-angan kita untuk bergerak dengan
leluasa di dalam ruang jagatnya. Untuk menemukan makna bagi kehidupan kita
sendiri. Burung-burung Manyar telah sanggup memberikan makna itu.
( Subagio Sastrowardoyo, Tempo )
Banyak hal yang menjadikan buku ini menarik. Bukan saja gaya bercerita Y.B.
Mangunwijaya yang khas, bahasanya yang hidup dan mampu membawa pembaca ke
alam pikiran sang tokoh. Juga bulan lembaran sejarah yang dibuka kembali, dengan
titik pandang yang hingga kini jarang ditemukan dalam sastra Indonesia…..
( Mariane Katopo, Sinar Harapan )
Selain kaya dan dalam, dipandang dari sudut pusat pengisahan, roman ini menarik.
Cara menghadirkan tokoh pun diperhitungkan dengan cermat.
( Th. Sri Rahayu Prihatmi, Universitas Diponegoro )
Sebuah Roman
Y.B. MANGUNWIJAYA
Burung – Burung
Manyar
Dipersembahkan kepada
Ayah - Ibu tak terkenal para pejuang
Copyright © pada Djambatan
Anggota I K A P I
Cetakan pertama, Agustus 1981
Cetakan kedua, Desember 1981
Cetakan ketiga, Juni 1983
Cetakan keempat, Maret 1986
Cetakan kelima, Oktober 1988
Cetakan keenam, Agustus 1993
Cetakan ketujuh, Oktober 1996
Cetakan kedelapan, Agustus 1999
Cetakan kesembilan, Oktober 2000
Cetakan kesepuluh, Juli 2001
Cetakan kesebelas, Agustus 2001
Cetakan kedua belas, Agustus 2003
Cetakan ketiga belas, Mei 2004
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan ( K D T )
Mangunwijaya, Y.B.
Burung - Burung Manyar : Sebuah Roman / Y.B. Mangunwijaya--Cet. 13
- Jakarta : Djambatan 2004
Viii, 319 hlm. ; 21 cm
I S B N 979-428-528-5
I. Judul.
346.7
Percetakan Ikrar Mandiriabadi
Isi
VI
VII
BLENCONG
PRAWAYANG
3
9
22
29
BAGIAN I : 1934—1944
1. Anak Kolong
2. Anak Emas
3. Buah Gugur
4. Kuncup Mekar
35
44
48
58
62
70
75
83
97
BAGIAN II : 1945—1950
5. Anak Harimau Mengamuk
6. Merpati Lepas
7. Singa Mengerti
8. Banteng-banteng Muncul
9. Elang-elang Menyerang
10. Macan Tutul Meraung
11. Ayam-ayam Disambar
12. Cendrawasih Terpanah
13. Burung Kul Mendamba
105
118
129
137
142
153
159
171
180
BAGIAN III : 1968—1978
14. Jurang Besar
15. Firdaus Kobra
16. Nisan Perhitungan
17. Gunung Rawan
18. Aula Hikmah
19. Pendopo Perjumpaan
20. Rumah Pertanyaan
21. Istana Perjuangan
22. Sarang Manyar Baru
V
Blencong
Pementasan wayang kulit tidak akan bisa dinikmati jika layar atau kelirnya tidak
diterangi blencong. Maka, meminjam istilah blencong itulah, roman sejarah berjudul
Burung-Burung Manyar karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya alias Romo Mangun
ini kembali kami terbitkan. Kali ini untuk cetak ulang yang ke-13 kalinya.
Maksud pencetakan ulang ini tak lain untuk memberikan blencong—dalam arti
pencerahan—kepada para pembaca tentang berbagai kemungkinan cara pandang
atas sejarah. Roman sejarah ini, menggambarkan tentang perspektif atau cara
pandang yang berseberangan dengan pandangan yang berlaku umum tentang siapa
pejuang dan siapa pemberontak.
Semakin merasuk ke dalam bangunan cerita dari karya besar almarhum Romo
Mangun ini, pembaca niscaya akan terpengaruh oleh berbagai argumen, realita (
dalam karya ini ), dan sejumlah konflik batin yang akan menjelaskan mengapa Seto
tetap memilih pro-Belanda.
Dengan sudut pandang “pro-Belanda”, Romo Mangun membangun cerita ini
secera jujur dan apik. Tampaknya Romo Mangun sedang menunjukkan kepada
pembaca tentang adanya pandangan lain, bahkan berseberangan, atau makna
kepahlawanan, loyalitas, dan cinta tanah air.
Jakarta, April 2004
VI
Penerbit
Prawayang
Nun di kala itu, di Widura Kandang negeri Ngamarta, tumbuhlah si gadis gesit
bagaikan burung prenjak; Rarasati atau Larasati namanya. Teremban kehangatan
asuhan cinta arif sang ayah Antapoga, gembala ternak istana, dan istrinya Nyai
Sugopi, gadis Rarasati memekar.
Hatta kisah berwarta, pondok Antapoga menerima tugas mulia namun berat,
dijadikan tempat berlindung putera puteri Sri Baginda Raja Basudewa dari negeri
Mandura, ialah Kakrasana dan Narayana berserta adik perempuan Rara Ireng.
Ketiga anak raja itu diungsikan karena terancam terbunuh oleh abang tiri jahat,
Kangsa.
Kakrasana, wahana wahyu dewa Basuki, dewa naga penopang Bumi Raya, adalah
mahluk seta. Artinya serba putih darah, daging, serta segala-galanya sampai ke
tulang maupun sarafnya; sedangkan Narayana, wahana wahyu dewa Wishnu, justru
hitam legam tulang, daging, darah, saraf dan segalanya. Namun mereka berayah
satu, raja Basudewa.
Serba indah dan berbahagialah masa kanak-kanak ketiga putera puteri raja itu di
Widura Kandang bersama Rarasati, bunga padang merdeka. Rarasati kelak
dipersunting pahlawan Arjuna. Begitu juga Rara Ireng, yang setelah dewasa
bernama Sumbadra. Narayana selaku raja Kresna negeri Dwarawati menjadi ahli
siasat utama para Pendawa. Naumun Kakrasana yang seta, yang bergelar raja
Baladewa, memihak Kurawa. Demi kesetiaannya kepada Herawati, istrinya, dan
ayah mertua, raja Salya dari Mandraka yang merasa wajib berpihak kepada para
Kurawa, agar kerajaan Ngastina jangan pecah. Namun dalam lubuk hati raja Salya
maupun Baladewa, kecintaan kepada para Pandawa tidaklah pernah berhenti
berpijar.
Tetapi apakah Baladewa benar-benar akan memihak Kurawa dalam medan laga
total Bharatyudha Jayabinangun, artinya “ Kejayaan dibangun secara sejati “?
Maka terdengarlah warta “ Kresna mengilhami abangnya yang seta itu untuk
bertapa di Grojogan Sewu (Seribu Air Terjun).
VII
Bagian I
1934 - 1944
1. Anak Kolong
Pernah dengar “anak kolong” ? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli totok.
Garnisun II Magelang (ucapkan: MakHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah
bilang totok. Jadi KNIL¹⁾ Jelas kolonial, mana bisa tidak. Papiku loitenant ²⁾keluaran
Akademi Breda Holland. Jawa! DAN Keraton! Semula tergabung dalam Legiun
Mangkunegara. Tetapi Papi minta agar dimasukkan ke dalam slagorde Langsung di
bawah Sri Baginda Neerlandia ³⁾saja; Ratu Wilhelmina kala itu. Tidak usah dibawahi
raja Jawa. Terua terang Papi tidak suka pada raja-raja Inlander, walaupun konon salah
seorang nenek canggah⁴⁾atau gantung-siwur ⁵⁾ berkedudukan selir ⁶⁾ Keraton
Mangkunegaran. Soalnya, papi suka hidup bebas model Eropa dan barangkali
itulah sebabnya juga, ibu kandungku seorang nyonya yang, menurut babu-babu
pengasuhku, totok Belanda Vaderland ⁷⁾ sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak
percaya. Itu akibat kesalahan kawan-kawan sepermainan di garnisun, ya anak-anak
kolong yang tersohor kasar
¹⁾ KNIL: Koninklijk Nederlands Indisch Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).
²⁾ Dari kata luitenant (Bld): letnan.
³⁾ Nederland.
⁴⁾ Nenek dari Nenek.
⁵⁾ Ayah atau ibu dari canggah.
⁶⁾ Istri tak resmi, istri muda.
⁷⁾ Negeri Belanda; secara harfiah: Negeri Bapak.
3
dan tak tahu adat itu; yang blak-blakan sering mengindoktrinasi, bahwa aku ini anak
Jawa Inlander belaka. Sama seperti mereka. Makanya jangan sok dan sebagainya. Dan
kulit Mamiku putih kulit langsep mulus; nah itu justru bukti Mami bukan totok. Sebab
orang Belanda berkulit merah blentong-blentong seperti genijk anak babi. Keterangan
kawan-kawanku brandal itu bahkan membuatku bangga, sebab untuk anak normal,
kehidupan brandal anak kolong Inlander jauh haibat daripada menjadi sinyo Londo ¹⁾
yang harus necis pakai sepatu, baju musti harus putih bersih dan segala macam
basa-basi yang membuatnya menjadi marmut dalam kurungan.
Bersama anak sersan, kopral dan sepandri ²⁾ yang selalu hitam dan berkulit
ternoda luka-luka di mana-mana, aku benar-benar bisa mengalami firdaus:
berenang di selokan tangsi (telanjang bulat dong! Masakan pakai celana beledu
dan topi matrus ³⁾ yang airnya lezat berwarna coklat “van Houten’s cacao”, segar
dan nyaman menghanyutkan (pakaian diikat di atas kepala) melalui kampung
Bogeman, terus ke Pecinan dan muncul di jembatan di muka Pasar Besar. Mana
sinyo totok bisa. Lalu cepat berpakaian, tentunya serba setengah basah dan
“sipatkuping” ⁴⁾ mengejar, lalu hat-hati membonceng di belakang “motor tai”,
jakni mobil tangki kotapraja yang di mana-mana menyedot dari tangki-tangki
septik WC umum.
Enaknya aduhai putar-putar kota Tidar entah sampai ke mana. Lantas tibatiba bertemu suatu pasukan KNIL yang berbaris dengan tamabur dan terompet,
haah, ini dia! Loncat turun dan ikut berbaris di belakang mereka sambil
menikmati gerak ayunan para Bapak
¹⁾ Belanda.
²⁾ Dari kata Vaandrig (Bld): serdadu klas I, belum kopral.
³⁾ Dari kata matroos (Bld): kelasi.
⁴⁾ Lari tunggang langgang.
4
Kolong itu yang, wahai, haibat iramanya. Seperti dikomputer.
Drèng! Dèrèng…dèrèng dèndèng!
Nanti makan dèndèng cèlèng!
Si Pak Kopral muka bopèng!
Si Mbok Kopral kulit srundèng! ¹⁾
Drèng! nDerèng-derèng Dèndèng!
Sering aku menepuk pinggang sersan komandannya yang semua kami kenal. Ia
hanya melirik saja, mulut agak memulur tersenyum tak kentara. Disiplin dong!
Tentara Kerajaan dikira apa. Tentu saja Mami sama sekali tak suka dengan
kekolonganku. Maklumlah, anak letnan Kerajaan yang bersekolah si Sekolah Dasar
Kaum Eropa, masih ningrat Keraton bahkan Surakarta segala, kok telanjang di
selokan kebak tai; tanpa sepatu keluyuran dengan anak-anak kolong kampungan.
Sampai hitam Dayak aku ini (Mami tidak tahu, orang Dayak kulitnya kuning seperti
Mami) malu ah! Dan setiap aku pulang, terlambat tentu saja, aku dihukum Mami.
Tidak boleh makan poding panili lezat sesudah makan. Tetapi kalau sore hari aku
merengek minta poding jatahku itu, toh Mami memberinya juga. Jadi tak mempan
juga ilmu pendidikan Mamiku itu. Memang Mami jelas tak punya sistem pendidikan
yang berdisiplin. Nah, itu bukti kedua, Mami bukan totok. Bukti ketiga: Mami suka
pada segala hal pedukunan dan takhayul atau mistik.
Bukti keempat, dan ini yang paling meyakinkan: Mami sangat cantik. Biasanya
nyonya totok tidak cantik. Barangkali cantik juga, tetapi untuk ukuran sana, negeri
kincir-angin dari kayu. Untuk ukuran negeri pohon kelapa, di mana lalat-wilis pun
biru-hijau keemas-emasan pantatnya, maaf, tidak. Dan bahwa Mami cantik, itu sangat
perlu untuk aku anaknya. Sebab terus terang saja Papi blo’on tampangnya. Gagah
memang, beliau itu. Apalagi kalau berkunjung ke istana.
¹⁾ Lauk pauk terbuat dari kelapa goreng.
5
Sedangkan Papi yang sawo matang dan raden mas ningrat tampak lebih senang di luar
tembok istana. Tetapi itu barangkali karena Mami merasa setengah ratu di
Mangkunegaraan. Disembah para abdi dalem dan tersanjung oleh para wanita istana
yang terkenal cenderung progresip Barat. Gusti Nurul misalnya, bukan main bikin
gempar di masa itu. Bayangkan! Putri raja Jawa! Naik kuda sih barangkali masih
dapat diikuti nalar. Tetapi pakai celana! Nyuwun pangapunten ¹⁾ Lho serius nih!
Kenapa tertawa ? Cuma perempuan cina yang pakai celana. Kalau noni dan nyonya
Belanda mah, itu kan sudah di atas segala hukum, apa saja boleh kalau Belanda.
Sampai duduk di sebelah kanan raja di atas singgasana, boleh dia. Tetapi puteri
ningrat Jawa pakai celana ? Krakatau bisa jadi meletus itu nanti! Bila aku menyelinap
ke dapur istana mencari makanan atau haus, sering kudengar para puteri keraton suka
mempergunjingkannya. Ada yang kurang setuju (kurang sreg istilahnya); ada yang
mengatakan: segala yang diperbuat keluarga raja selalu baik. Tetapi tentang Mami
yang putih mulus dan kelahiran asli Belanda itu (memang Mami lahir di Utrecht,
Negeri Belanda) semua memujinya. Betapa sangat paham beliau tentang primbonprimbon ²⁾ Jawa dan segala jenis ilmu klenik! Bukti bukan, nyonya yang tidak
sombong? Dan begitu mengharukan beliau menghargai warisan nenek moyang.
“Raden Mas Sinyo mau spekuk enak? Jeng Manganti, coba tolong ambilkan
spekuk dari almari untuk Raden Mas Bagus Sinyo. Aduuh, siapa nanti yang akan jadi
mertuanya ya ? Cocoknya dengan Den Ayu Arumbrangta (atau entah semacam
itu).”… nah terpaksa ketawa pahit jengkel aku. “Mbakyu Mergantun, kau dengar apa
yang Den Mas Sinyo katakan tentangku hihihi… aduh memang anakletnan perak
benar… dia bilang aku namanya Ibu Spekuk…hihihi.” Tolol!
¹⁾ Minta ampun.
²⁾ Petunjuk-petunjuk mistik tentang hari-hari baik atau buruk.
6
Setiap kami pulang dari kol istana, bertambahlah keyakinanku, bahwa tidak ada dunia
yang lebih firdaus daripada dunia anak kolong tangsi Magelang.Tangsi dengan
pohon-pohon kenarinya yang besar dan rindang, dan yang setiap musim merontokkan
ulat-ulat yang membuat noni-noni menjerit, dan yang bahkan minta lebih dijeritkan
lagi oleh lemparan-lemparan anak kolong kami berupa paket-paket ulat yang , nikmat
sekali, membuat mereka panik. Yang melempari noni-noni itu biasanya aku, sebab
aku anak letnan. Anak-anak kopral tentunya tidak begitu berani mengganggu puteriputeri ofisir-ofisir, kecuali bila memang dapat aman sungguh-sungguh, bersembunyi
dengan garansi mustahil ketahuan identitas mereka. Kenari-kenari itu buah anugerah
surga yang kami terima (atau lebih tepat, yang kami lempari) dengan penuh syukur.
Bila dimakan isinya yang gurih sesudah kulitnya yang keras kami jepitkan di antara
kosen dan daun pintu. Kulit itu dapat kami buat jadi cincin, dan berlomba-lomba itu
kami poles halus dengan minyaknya sehingga mengkilat di jari-jari. Yang paling sulit
hanyalah menggergaji dan menghaluskan sisa dinding cabang-tiga sektor biji buah
kenari itu sehingga plong bolong jadi cincin. Untuk itu kami harus meminjam kikir
dari Pak Sepandri Sapu (kumisnya seperti sapu ijuk), sopir truk batalyon.
Pernah dalam suatu gejolak sentimentil aku bersusah payah membuat cincin kenari
untuk kuhadiahkan kepada Dora, seorang gadis Ambon yang manis seribu satu malam
dari Hollands Ambonse School ¹⁾, dua tahun lebih tinggi kelasnya dariku, yang dalam
hati sangat kupuja, karena mengingkatkan aku (ngawur tentu saja) kepada puteri
Saharazad dari dongeng Seribu Satu Malam.
¹⁾ Sekolah Dasar untuk anak Ambon, berbahasa pengantar Belanda.
7
Kutitipkan cincin tadi melalui seorang “kurir” khusus dari HJS ¹⁾, kawan anak
kolong, komplit disertai semacam surat cinta. Keesokan harinya kudengar, bahwa di
kanal, itu lho tanggul selokan yang mengalir 5-7 meter di atas permukaan jalan raya
dan yang membagi Magelang menjadi dua belahan pisang goreng, terjadi keroyokan
hebat antara kami anak-anak kolong dengan anak-anak Pandestiran, yakni anak-anak
piatu kaum Indo yang diasramakan oleh seorang Belanda berewok seperti Karl Marx,
bernama Pa van der steur, sampai terpaksa polisi datang karena banyak peluru batu
memecahkan genting-genting rumah penduduk. Usut punya usut, ternyata kurir yang
kusuruh menghaturkan cincin kenari kepada Sang Dewi itu dipukuli oleh pemuja lain
berasal dari Pandestiran, sehingga geng Kolong langsung (tanpa sepengetahuanku)
terpaksa membalas penghinaan tadi.
“Tapi bagaimana Si Dora ? Dia sudah terima itu cincin ?”
“Udah! Tapi kan betul yang kubilang dulu. Semua cewek itu anak wéwé ²⁾.
“ Dia gembira menerima hadiah ?”
“Bah! Terlalu amat kelewat gembira.”
“Betul ?”
“Sampai ia tunjukkan suratmu pada semua cewek dan cowok,
Sambil mentertawakan kau. Sudahlah, semua cewek itu brengsek.”
Betul juga! Aku sangat setuju dengan kurirku itu. Tidak Cuma brengsek, tapi gila.
Maka kembalilah aku ke duniaku, berbaris di belakang peleton-peleton infanteri yang
baru pulang dari latihan di Tidar. Lelah tetapi masih gagah.
Drèng! Derèng…derèng dèndèng!
Nanti makan dèndèng cèlèng!
Si Pak Kopral muka bopèng!
Si Mbok Kopral kulit srundèng! ¹⁾
Drèng! nDedèng-derèng Dèndèng!
Ikke ³⁾ Anak Kumpeni!
Een-twee-drie ⁴⁾ Infanteri.
Siapa braniii, ikke brondong matiii (dor! dor! dor!)
Drèng! nDedèng-derèng Dèndèng.
Soldat! Spandri! Kopral!
Spandriiiiiiiii tiiit-piluiiiit,
Ikke, Kumpeni!
Maaf, nama saya ? Setadewa. Tetapi semua memenggilku Teto.
Entah, memang aneh logika mereka.
¹⁾ Hollands Javaanse School: Sekolah Dasar untuk anak Jawa, berbahasa pengantar
Belanda.
²⁾ Hantu perempuan.
³⁾ Aku.
⁴⁾ Satu-dua-tiga.
8
2. Anak Emas
Wijen ¹⁾? Aduh cantiknya Den Rara Larasati ! “Wijen ?” dan Mbok Naya menyeka
memanja gadis cilik yang baru saja merebahkan diri duduk di atas amben ²⁾ dan yang
tersenyum manis merayunya. Mbok Naya tertawa geli. “Wijen untuk apa Den Rara ³⁾
?”
“Saya bukan Den Rara. Saya At-tik. Sudah.”
Mbok Naya lebih ketawa lagi, dan temannya, Mbok Ranu di sebelahnya, juga ikut
tertawa, sama-sama terlonjak hati melihat noni Jawa dari Betawi itu lucu, lesung di
pipi, berbahasa Jawa kurang sempurna untuk ukuran lingkungan pangeran keraton,
Surakarta lagi. Anak itu tidak dari Betawi. Dari Bogor. Tetapi untuk kedua pembantu
dapur sederhana itu, semua kota besar di ufuk Barat yang didiami priyayi, selalu
bernama Betawi.
“Sedikit saja biji wijen enak itu.” Gadis yang dikatakan noni Betawi tadi melihat
ke kiri ke kanan dan menoleh, seolah takut diketahui berbuat sesuatu yang kurang
layak. Kedua simbok tadi ikut-ikut melihat ke arah-arah yang sama, bertanya diri, ada
apa ? Tetapi tak terduga, sampai Mok Naya agak terperanjat spontan mengelak sedikit
kepalanya, si gadis kecil membisikkan sesuatu ke dalam telinganya yang tidak bersih
sama sekali itu.
¹⁾ Butiran kecil semacam buah rumput.
²⁾ Panggung.
³⁾ Panggilan gadis kaum atasan oleh kaum bangsawan.
9
Mbok Ranu memandang kejadian itu dengan agak mendekat serta tersenyum ingin
tahu, tetapi lebih-lebih dengan dambaan yang manis walau agak getir. Setiap anak
manis selalu mengingatkannya kepada anaknya sendiri, Si Bawuk yang, (ah memang
Gusti Pangeran Yang Maha Memiliki berkuasalah, namun toh kejam juga), telah
direnggut ke akhirat. Dilihatnya Mbok Naya mengangguk-angguk dan berkata:
“Inggih, inggih, baik itu Den Rara. Baik sekali” Lalu menggeleng-geleng: “Tidak!
Sungguh tidak, saya akan diam.” Lalu ia mengambil selembar daun pisang, dibuatnya
takir ¹⁾ “ Tolong biting ²⁾ itu.”
Mbok Ranu memberinya beberapa batangan bambu sekecil batang korek-api
selaku pengancing mangkuk daun. Dan takir itu diisilah oleh Mbok Naya barang
sepermpat gemggam biji wijen, yang seharusnya digunakan untuk melapis onde-onde
ceplus ³⁾ yang sedang mereka goreng.
“Terima kasih, ya Mbok. Nanti saya bawakan oleh-oleh.” Dan bersinar-sinar gadis
cilik yang sudah mulai menongolkan sepasang kuncup kewanitaan remaja di balik
blusnya, berlari meloncat-loncat kecil ke luar dapur.
Kedua simbok tadi mengikuti “burung prenjak” itu melalui pintu sampai
menghilang dari pandangan. Seselaput kerinduan mengaca pada kedua mata Mbok
Ranu.
“Sama dengan raden ayu ibunya,” katanya lirih.
“Siapa yang kelak akan memetiknya?” tanya Mbok Naya bernada setengah berdoa.
“Mudah-mudahan jangan Gusti Allah,” sahut Mbok Ranu, dengan sebiting
gugatan.
¹⁾ Semacam mangkok terbuat dari daun pisang.
²⁾ Tusukan bambu sebesar korek api.
³⁾ Semacam makanan terbuat dari tepung yang digoreng sebesar kelereng.
10
“Apa ?” tanya rekannya terkejut.
“Tidak apa-apa.”
“Kau ini! Kalau omong sering serba aneh.”
Mbok Ranu menghindar: “ Ah, yang penting kan nanti ada pertunjukkan wayang.
Tolong Semprong ¹⁾ itu Yu. Api Cuma rewel dari tadi. Pertanda ramalan apa ya ?”
“Kayu mlanding setoran Si Wangsa selalu begitu. Harus dibayar dia. Tetapi
sebetulnya tidak cocok lakon nanti malam. Bayi Raden Ayu Hendraningrat
perempuan, mengapa mengambil lakon “Kakrasana-Narayana lahir.” Seharusnya kan
mengambil riwayat ”Kelahiran Sembodro.”
“Saya dengar. Yu, itu Kanjeng Pangeran bermaksud untuk sekali jadi merayakan
adik beliau Raden Mas Sumitra dan kemenakan Raden Mas Suteja yang keduaduanya baru lulus dari sekolah perwira di negeri Belanda.”
“O, begitukah ?” dan dipandangnya rekannya yang lebih muda itu dengan rasa
heran. Perempuan ini tahu banyak. Dari mana ia tahu ? Tetapi ia diam saja ketika
Mbok Ranu dengan datar hanya berkomentar: “Itu yang saya dengar. Nah, minyaknya
masih saja meletus-letus. Si Min memang keterlaluan. Sudah berapa kali kukaktakan.
Beli minyak jangan pakai sembarang botol. Jangan-jangan botol dari kamar kecil ini.”
Tetapi Mbok Naya tidak berminat memarahi rekannya yang sering ceplas-ceplos
omong seenaknya. Diambilnya seserok bola-bola kecil gandum serba berlapis biji
wijen itu dan dengan luwes dimasukkannya ke dalam minyak yang mendidih. Harus
Pas. Jangan mentah jangan gosong. Pikirnya: Memang Si Ranu janda masih begitu
muda. Omong tak pernah hati-hati.
“Nah, kalau begitu, kan bisa cari lakon lain yang lebih tepat. Pregiwa-pregiwati
misalnya. Paling sedikit tokoh lakon yang wanita. Atau Arjuna bisa juga.”
¹⁾ Sepotong pipa bambu.
11
“Ah Mbakyu,” potong Mbok Ranu,”Jangan Arjuna. Saya sudah mengalami sendiri,
apa artinya kawin dengan jenis Arjuna.”
“Sudah, sudahlah, yang sudah lalu jangan diungkit –ungkit lagi.
Suamimu sudah di alam kahyangan sana dan kau dan saya sudah aman, mudah
memperoleh sesuap nasi; bahkan di dalam rumah seorang pangeran. Kita tidak boleh
menggerutu.”
“O, tidak Mbakyu, saya tidak pernah meggerutu. Saya hanya berkata, bahwa …”
“Ya sudah, aku tahu. Memang setiap orang punya segi Pendawa maupun
Kurawanya. Kita kan Cuma abdi. Boleh mengabdi lelaki itu kan sudah rahmat
namanya.” Dan dari sudut matanya ia melirik kepada rekannya, yang memang
menurut suara lubuk kecil di hati Mbok Naya, sepantasnyalah dimarahi, kendati
secara halus. Memang kasihan, anak tunggalnya terkena malaria; dan suaminya juga
menyusul anaknya, akibat terjatuh dari pohon melinjo yang terkenal selalu berkhianat
itu kaena dahan-dahannya seolah hanya melekat saja tanpa kekuatan sedikit pun pada
pokoknya.
Akan tetapi bukanlah enam tujuh tahun hidup bersama dengan seorang Arjuna
sudah tergolong ketiban ndaru ¹⁾, artinya dijatuhi anugerah kemujuran hidup ? Kalau
dibanding dengan suami Mbok Naya sendiri yang bentuknya seperti Togog ²⁾ loakan
itu, pastilah Mbok Ranu tidak punya hak untuk mengeluh setarikan nafas pun. Itu
kalau memang ia waratama ³⁾ Jawa sejati yang sudah pernah diajar oleh orang-tuanya
tentang sikap sumarah, ⁴⁾ bakti kepada raja suami dan segala yang di atas kita.
¹⁾ Dijatuhi cahaya Wahyu.
²⁾ Tokoh wayang, kebalikan dari Semar. Togog dianggap tokoh bodoh buruk dan
Serba salah.
³⁾ Wanita berbudi.
⁴⁾ Penyerahan.
12
Bukankah hidup di persada bumi ini hanyalah mampir ngombe, singgah sebentar
untuk minum setegukan, lalu harus berjalan terus ? Tiba-tiba dalam hati ingin-tahunya
mendesak bertanya: “Nu, dulu Batara Kamajaya ¹⁾ kerap berkunjung menemui Dewi
Ratih ²⁾?”
Mbok Ranu tahu apa yang dimaksudkan rekannya yang memang teman baik sekali
sejak ia masuk menjadi abdi Ndoro Putri Pangeran Hendraningrat, akan tetapi
seringlah, yang gituan itu lagi yang ingin diintip Mbok Naya di dalam kehidupan
intinya. Mbok Ranu tersenyum dalam hati. Memang dalam malam-malam sunyi
bahkan sering juga matahari masih belum terbenam dan ayam-ayam belum masuk
kandang, Kama suaminya dan Ratih pangkuannya suka bersendagurau girang namun
diam dalam kerahasiaan firdaus hanyut-rasa yang membuatnya lupa segala hal. Darah
Mbok Ranu hangat. Dan Arjunanya pandai memanjanya.
Benar, benarlah apa yang selalu dikatakan rekannya yang lebih tua itu, ia tidak
boleh mengeluh. Sekian tahun kebahagiaan sudah anugerah melebihi cukup. Tetapi
mengapa Allah begitu kejam dan suami beserta anaknya diambil dan sekarang ia
menjadi begini ?
“Apa Yu, yang kau tanyakan ?”
“Nah, janda selalu begitu. Melamun dan tidak mendengarkan orang lain.”
“Maaf Yu, saya tadi baru ingat pada anakku yang…apa Yu ? Tadi kau tanya apa ?”
Mbok Naya toh malu juga untuk menyogokan sekali lagi pertanyaannya yang
sebetulnya kurang senonoh itu. Tetapi sungguh, ia ingin, sangat ingin tahu, bagaimana
caranya seorang Arjuna … sudah, jangan diteruskan. Nanti saat kan datang sendiri,
rekannya itu mengungkapkan “ hikayatnya”. Tetapi itu harus membugil sponstan,
seperti kalau perempuan mandi di sumur pada petang gelap itu. Atau kalau sedang
minta dikeroki.
“Saya tadi tanya, kira-kira siapa lelaki yang akan mempersunting Den Rara
Larasati yang noni itu ?”
Mbok Ranu sekarang tertawa.
“Ya, sinyo tentunya.”
“Sinyo Jawa ?”
“mustinya begitu.”
Den Rara Prenjak kelihatan tidak senang di istana Pangeran kita. Saya intip, dia
hanya sendirian saja membaca buku atau melamun.”
“Nasib anak tunggal selalu begitu.”
“Tiga sebetulnya. Tetapai ah, mengapa Bu Antana nasibnya malang ? Bahaya
setiap anak yang tumbuh sendirian, ia menjadi manja. Mudah-mudahan jangan
menjadi sombong.”
“Banjak orang mengatakan Bu Antana sombong, padahal hanya anak-angkat
Pangeran kita. Aku kenal anak-emas itu dari kecil. Memang ibunya, nenek Den Rara
Larasati itu, perempuan simpanan di suatu desa lereng Lawu, gunung yang angkuh
itu. Sudahlah, sombongnya, aduh Nu, kalau kau lihat dulu.
¹⁾ Dewa Asmara dalam pewayangan.
²⁾ Dewi Asmara istri Kamajaya.
13
Lagaknya seperti darah ningrat Endragiri ¹⁾. Padahal sama dengan kau dengan saya
sajalah, darah kecap asin.” Mbok Ranu geli. Mbok Naya suka membuat kiasan-kiasan
yang aneh-aneh. Masakan, darah kok kecap.
“Den Rara Atik dan ibunya tidak sombong. Kalau sombong tidak mungkin begitu
menaung sikap mereka kapada kita para abdi. Ah … Yu, sering saya pikir-pikir
Seandainya Ruri anakku masih hidup, barangkali Den Rara Atik berkenan juga mainmain dengannya. Bagaimana Yu ?”
“Ya, saya kira begitulah. Tetapi soalnya, apa ayahnya memperbolehkannay ?”
“Ayahnya juga tidak akan sesombong itu. Mereka orang Betawi, orang pantai
walaupun masih tergolong kerabat Keraton. Orang pantai biasanya gampang. Yu
Naya tidak ingin melihat Betawi ?”
“Ah, untuk apa. Apa kota Sala kurang elok, kok ingin ke Betawi.”
“Hanya untuk melihat saja.”
“Melihat ? Melihat Sriwedari, nah itu baru nikmat. Yang main jadi Wibisono, duh
Gusti, pernah kau melihatnya ?” Mbok Naya terkekeh-kekeh dan berbisik di telinga
temannya: “Kau bisa, masih bisa sebetulnya kawin lagi dengan Wibisono semacam
dia. Mau ? Mau kucarikan ?”
Seandainya kulit Si Janda Ranu itu kuning langsep seperti para bendara raden
ajeng rumah Pangerannya, pastilah tampak ia menjadi merah. Tetapi yang tampak
hanya mulutnya yang melengos dan bagian dadanya yang meliuk malu.
“Mbakayu itu macam-macam saja usulnya.”
“Jadi kau mau ?”
“Siapa yang mau. Perempuan sudah layu begini.”
“Mau atau tidak mau bukan doal dalam lakon asmara. Nasib atau kepastian dari
Atas, itulah yang menentukan.”
“Terserah Yu … tetapi saya tidak meminta.”
“Baik, kau tidak meminta, tetapi terserah, bukan ?”
“Entahlah.”
“Baik, jadi terserah ya ?! ”
Tiba-tiba kedua orang pembantu dapur itu tertawa spontan bersama-sama,
sehingga terkejut sendiri dan melihat ke segala arah, jangan-jangan ada yang
mendengar. Seorang pembantu lain yang sedang mencuci cangkir-cangkir muncul dan
membelalak dari balik pintu sambil mengejek: “Hayoo, ada apa !”
Sekali lagi dua penggoreng, onde-onde ceplus itu tertawa terkikik-kikik.
¹⁾ Gunung tempat para dewa.
14
“Yo ayo, mari Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, hari ini Atik berulangtahun. Akan
kutraktir kalian, ya mari sahabat-sahabatku.” Dan dalam bentuk bulan tanggal muda
Atik menaburkan wijen di atas tanah halaman. Dengan tersenyum penuh harapan si
gadis lalu duduk menunggu di atas tangga beranda samping di bagian gandok yang
biasanya disediakan untuk para tamu Pangeran Hendraningrat.
Sepi suasana di dalam halaman gandok, seperti di dalam biara biksu-biksu Budha.
Orang tua Atik sedang berbelanja ke kota dan tadi ia mohon maaf kepada ayah-ibunya
agar diperbolehkan tinggal di dalam rumah saja.
“Kau di sini berlibur, Tik,” kata ayahnya. “Tidak untuk belajar. Ada waktunya
bersekolah dan liburan.”
“Apa lagi sekarang ulang-tahunan. Nah, lustrum kedua kau menghirup hidup di
bumi ini, kan harus dirayakan, Tik,” tambah ibunya.
“Kan tadi Atik diberi hadiah buku oleh ayah-ibu. Sudah sepantasnyalah kubaca
segera, bukan ?”
Kedua orang-tuanya tertawa, terutama melihat muka anak yang begitu merayu
tetapi sekaligus arif.
“Ya sudah. Atik menang. Tetapi Tik,” pesan ibunya sambil menaung dan
mengecup pipinya: “Kau boleh apa saja. Juga kalau kau senang berkeliling ke
halaman-halaman lain di rumah paman Pangeran yang aduh besarnya bukan main,
tidak seperti rumah kita di Bogor, asal saja kau minta diantar oleh salah seorang
pelayan putri. Misalnya Minah itu, kau kan suka pada Minah. Dan dia pasti teman
baik untukmu, cerdas matanya. Hanya kau jangan sampai keluar ke jalan-raya, ya Tik.
Janji ?”
Anak itu merangkul ibunya.
“Kalau keluar ke jalan-raya bagaimana ?” tanyanya nakal untuk meledek ibunya.
Ibunya mencubit hidungnya yang mungil itu dan tersenyum cantik.
“Akan kucubit kau tiga kali .”
“Asal jangan sakit.”
Ayahnya mengeluarkan tangannya dari saku pantalonnya dan menyeka rambut
anaknya: “Boleh ke jalan-raya, asal jalan-raya itu masih ada di dalam halamanhalaman rumah Pangeran.”
Genit Atik memandang dari sudut matanya sambil oleng kepala: “Ah, Ayah Cuma
mau menipu. Disangka Atik masih kecil.” Ayahnya tertawa: “Justru karena itu, Tik,
karena kau bukan anak kecil lagi. Sepuluh tahun coba bayangkan.”
“Tidak perlu dibayangkan. Kan sudah hidup sungguh-sungguh kok dibayangkan.”
Hahaha ….. dan ayahnya mencium juga anaknya di kening.
“Sudah ya Tik, bacalah buku itu baik-baik. Dan ingin oleh-oleh apa ?”
“Oleh-oleh … o ya, pinsil saja dengan setip. Atik ingin menggambar burung
srigunting.”
Ibunya mengangguk-angguk diam tersenyum. Tetapi di dalam hati ibunya berpikir,
sudah waktunya, anaknya kapan-kapan dibuatkan kutang.
Dan tinggallah Larasati sendirian. Bukunya dirangkul di dada dan kedua lutut
bersimpuh di tangga. Atik tak perlu lama menunggu. Sahabat-sahabatnya, burungburung gereja, ketilang, pada datang, tetapi masih waspada menunggu dulu,
bagaimana situasi keamanan. Sebab mereka biasanya dihalau oleh simbok-simbok
bila kebetulan ada ini-itu yang terserak bisa dimakan. Tetapi lihat, datanglah tenang
seekor jalak liar yang sama sekali tidak liar gayanya.
15
Dengan langkah-langkah agung ia datang bergaya ningrat. Maka Atik bersinar
melihat burung yang seolah-olah sudah berbusana resepsi penganten itu.
Punggung dan sayap-sayapnya coklat tua berwibawa bergaris-garis putih dan kakinya
kuning. Perutnya putih lagi seperti busana resmi tuan-tuan Belanda yang sering ia
lihat, kalau kadang-kadang diajak resepsi pesta ulang-tahun Ratu Wilhelmina.
Kepalanya dan tutup dadanya hitam gagah. Paruhnya kuning lagi dan seusap putih
menghias di belakang matanya yang menampakkan jiwa tak gentar.
Dan apa itu ? Tertawalah Atik geli : mata jalak itu dilingkari kulit berwarna
oranye. Rupa-rupany ia pemuja keluarga Ratu Belanda yang bergelar Oranye serta
berlambang warna oranye pula. Nah, melangkahlah beliau Sang Tumenggung dengan
tenang tidak takut sedikit pun, mendekati taburan-taburan wijen di halaman itu; lalu
puk-puk-puk, lahaplah makannya.
Lalu datanglah menyusul beberapa ekor manyar, itu burung-burung yang di manamana sibuk membangun sarang-sarang berseni elok. Mereka menyambar dari udara
dan puk-puk-puk. Tertawalah lagi Atik. Lucu burung-burung itu. Maka segeralah
burung-burung tingkat rakyat jelata, si gereja dan si emprit dan burung “anak
kampungan” ketilang ikut pesta juga. Dan nah, tentu saja tak mau ketinggalan si
gelatik cantik tetapi pencuri-pencuri padi yang nakal itu, dengan pipinya putih dan
picinya biru hitam. Persis anak-anak lelaki di dalam sekolah dan di mana-mana, nakal
dan perusak segala. Begitu Atik menilai mereka. Anak lelaki itu perlu dididik tetapi
tidak pernah mau. Akan kemana mereka itu, Atik tidak tahu.
Segeralah wijen-wijen berharga yang sebetulnya harus melapisi onde-onde ceplus
dan dimakan para priyayi tamu-tamu nanti petang, sudah habis. Pada saat terakhir
datang melayanglah beberapa ekor srigunting yang di mana-mana membawa ekor
berbentuk gunting, tetapi rupa-rupanya tidak laku sebagai penjahit. Mereka sangat
tidak berminat pada traktiran Atik, Sebab tentu saja gadis itu tidak membawa
belalang, capung, lalat atau kecoak, jangan lagi ulat-ulat. Maka kereka hanya terbang
saja dengan ikhlas di atas burung-burung jelata yang serba riuh bersengketa dan saling
mencaci-maki, berebutan biji-biji kecil. Dengan tenang srigunting-srigunting
beterbang layang seolah-olah tak peduli apa-apa.
Tetapi tiba-tiba seperti pemburu-pemburu Angkatan Uadara mereka menukik dan
menyambar seekor kupu-kupu kuning yang kasihan sekali, baru saja merasakan
kemerdekaan dari kepompongnya dan tahu-tahu sudah diculik oleh mahluk-mahluk
bersayap serba cepat dan serba hitam itu. Atik masih sempat melihat kupu-kupu
kuning tadi diserang dan dibawa lari oleh pemburu-pemburu yang ternyata bukan
tukang jahit bergunting, tetapi penyamun.
16
Mengapa Allah Yang Maha Pemurah dan yang memberi sekian banyak keindahan
kepada ciptaanNya membiarkan mahluk-mahluknya saling membunuh ? Pernah itu ia
tanyakan, ketika di suatu pagi di halaman neneknya, langsung di hadapan mata Atik,
tiba-tiba bagaikan batu yang jatuh dari awan-awan, seekor wulung ¹⁾ menerkam anakayam dan tahu-tahu sudah meluncur lagi ke udara. Tentu saja induknya dan anak-anak
ayam serba kalang-kabut. Atik ketika itu juga kalang-kabut jiwanya sampai menangis.
Ia merasa bersalah, karena tadinya dialah yang menaburkan padi di muka mereka.
Dan tentulah ayam-ayam itu tergoda dan terlena, sehingga si penyamun di udara
memperoleh kesempatan bagus untuk menculik salah satu anak-ayam yang halus
berbulu kuning manis itu. Tak bisa lain selain menangis Atik ketika itu, dan kue
cucur ²⁾ atau jenang delima ³⁾ neneknya tidak mampu menghiburnya.
Untung burung-burung srigunting berguna juga, makan ulat-ulat yang mengerikan
dan kecoak-kecoak serta serangga-serangga lain yang menjijikkan. Tetapi mengapa
kupu-kupu seindah itu disambarnya juga ? Sulit juga ya soalnya, karena kupu-kupu
itu dulu ulat dan pastilah di mana-mana ingin menelorkan calon-calon ulatnya.
“Kau jagan nakal, ya srigunting ! Namamu sudah seindah itu : Sri. Dan ekormu
aksi juga, mengapa tabiatmu begitu ?”
Perhatian Atik ditarik ke sekian emprit, ketilang, gelatik dan gereja yang sekarang
sedang bingung mencari sisa makan yang ternyata sudah habis begitu cepat.
Atik tertawa geli. Memang kampungan mereka itu. Apa lagi ketilang-ketilang,
yang selalu saling berdebat dan berselisih dengan suara-suara yang ribut namun
merdu sebetulnya. Kesukaan mereka buah-buahan dan lucu sekali kalau menghisap
madu dari bunga-bunga sepatu. Perutnya memang hanya kelabu muda belaka, tetapi
di belakang, aneh mengapa justru di belakang, kuping oranye. Yang lucu ialah
kepalanya yang hitam dan berwajah kurang ajar memang. Lebih kurang ajar lagi
kalau jambulnya tegak berdiri bila sedang berdebat dengan rekan-rekannya.
Kampungan benar. Atik tak bisa menggambarkan ketilang yang betina. Pada
perasaannya semua ketilang itu jantan, karena kekurang-ajaran mereka. Tetapi hihihi
dan Atik tertawa sendiri juga. Bukankah Atik sendiri ketilang sebenarnya ? Ia bisa
memanjat pohon dan memang suka memanjat pohon, sampai berkali-kali dimarahi
ibunya dan terutama Mbok Kerta babunya dulu. Lalu menggali lubang gangsir atau
berlari-lari menagkap laron ⁴⁾
¹⁾ Burung elang.
²⁾ Terbuat dari tepung beras rasanya manis.
³⁾ Terbuat dari ketela dengan butiran-butiran mirip biji delima.
⁴⁾ Serangga yang seringkali muncul pada awal musim hujan.
17
“Kau ini kok seperti anak laki-laki,” sering ibunya memarahi.
“Susah jadi perempuan,” pikir Atik selalu.
Ada satu hal yang ia tidak paham. Mengapa banyak binatang jantan lebih elok
bulunya dan lebih terhias bahkan suka bersolek daripada yang betina ? Ayam jago
misalnya bila dibanding dengan ayam betina. Apa lagi burung merak seperti yang di
Kebun Raya di Bogor itu. Pada hal orang perempuan, mereka tak habis-habisnya
bersolek dan merias diri. Dan anak lelaki ? Aduh, mereka itu seperti srigunting itu
atau manyar. Hitam dan serba ribut saling mengacau.
Atik suka pakaian manis dan segala macam embel-embel yang menurut kata ibuibu tua membuatnya lebih manis. Tetapi sebenarnya sering jengkel juga ia karena
segala repot itu. Lebih enak jadi burung dan bisa bermain-main di mana-mana. Juga
di jalan raya.
Beberapa srigunting beterbangan lagi, menukik meliuk, ah sungguh indah terbang
mereka. Kalau pagi begini mereka baru cari makan. Tetapi nanti kalau menjelang
senja, nah, Atik berseri-seri kalau melihat srigunting itu sedang bercanda bersiulsiulan ria dan kian kemari terbang indah seperti menari luwes dan aksi. Tak mengira
burung-burung sehitam itu bisa begitu luwes seperti penari serimpi kalau sedang
kiprah ¹⁾ dan membuat gerak terbang melingkar.
Dan lucunya, ekornya sering dibuka ditutup dibuka ditutup lagi, tampak sekali
mereka seolah meledek manusia : Ayo, bisa terbang ngak ? Manusia dapat terbang.
Atik tahu itu, tetapi hanya seperti permainan kertas yang dilipat dan dilemparkan.
Jelek. Kaku. Lagi sering jatuh begitu saja. Seperti puri Paman Pangeran ini, kaku.
Pangeran Hendraningrat adalah kakak sulung ibu Atik. Kakak tiri, orang yang baik
hati, ramah, tetapi kaku, aduhai ; sering di dalam kamar Atik tertawa sendiri kalau
menggambarkan paman-tuanya yang Pangeran itu.
Dalam hati Atik mengagumi ibunya. Untung ibu dulu kawin tidak dengan seorang
pangeran atau kaum istana mulia ini. Ibunya menikah dengan seorang konsulen ²⁾
pertanian yang tidak berdarah ningrat, tetapi seorang anak-emas pegawai tinggi
departemen entah apa. Ya, cocok, anak angkat dengan anak angkat. Ia tahu itu, karena
ibunya selalu berterus terang. Ayahnya bekerja di Bogor yang banyak hujannya itu,
tetapi yang subur dan bersuasana bebas. Ayahnya, Meneer ³⁾ Antana seorang pegawai
Dinas Kebun Raya Bogor dan juga ikut diserahi cagar-alam Ujung Kulon.
Berkali-kali, bahkan dapat dikatakan sekali seminggu paling sedikit, Atik diajak
ayahnya menyelusuri sawah ladang dan masuk ke semak-semak hutan gunung.
Bahkan pernah ia diajak masuk Ujung Kulon. Kata ayah mau mencari kolam tempat
badak-badak suka merendam diri. Atik belum pernah melihat badak dan ingin sekali
melihatnya, walaupun ibunya sudah berkata : seperti kerbau biasa. Hanya tanduknya
di hidung. Ah mosok. Tetapi sayang mereka tidak berhasil melihat badak. Sungguh,
Atik tidak bisa membayangkan diri menjadi puteri keraton. Tetapi sesekali melihat
Surakarta bolehlah. Walaupun jangan terlalu lama. Sebelum berangkat ayahnya sudah
mengikat janji, tidak akan tinggal di Surakarta lebih dari tiga hari. Tetapi ini nanti
jadinya akan seminggu.
¹⁾ Terbang melingkar seperti gerak para penari.
²⁾ Dari kata Consultent (Bld) : Bimas Pemerintah Hindia Belanda.
³⁾ Tuanku.
18
Untung ayahnya baik sekali. Ia tahu, bahwa akan menyakitkan Atik. Maka ia berjanji
akan membawa Atik pergi melacaki ladang-ladang dan alam di sekitar kota.
“Ibu kan belum sembuh rindunya kepada abangnya yang baik hati itu,” kata
ayahnya. “Apa Atik tidak kasihan Ibu ?” Ya, tentu saja Atik mengalah. Tetapi toh
enak juga. Besok pagi sesudah istirahat dari pesta kelahiran puteri Pangeran, ia dan
ayahnya akan berburu di ladang-ladang, dan kalau bisa ke hutan-hutan jati gunung
kapur di Baturetna. Bukan berburu dengan bedil, Atik benci pada senapan, tetapi
dengan alat kamera.
Heh ? Bukankah itu nyanyian kepodang ? Orang-orang Sunda menamakannya
bincarung, burung perada kencana yang berpelisir hitam molek dari paruh melalui
mata dan terus ke belakang seperti ikat kepala petani Kedu.
Atik teringat pada kepodang yang di kurung di rumahnya, hadiah salah seorang
tukang kebun ayahnya. Hitam seluruhnya, sungguh aneh, tetapi untung masih dihiasi
dengan ban lebar merah karmein yang melintasi dada dan perut. Gagah, serem seperti
pesilat Sunda. Tetapi nyanyiannya, aduh, serba bernada mendamba. Kata ayah, si
kepodang bertanya, di mana harta pusaka nenek-moyangnya dapat ditemukan lagi.
Memang kepodang hitam-merah itu hanya terdapat di hutan-hutan jauh di lereng
pucuk Gunung gede. Awas nanti Mbok Nem kalau lupa memberinya buahbuahannya.
Dengan mata menyipit, Atik memandang kepada srigunting yang sedang bercanda
di atas kawat listrik; ulah mereka seperti mengomentari mahluk-mahluk yang lalulalang di bawahnya. Burung-burung srigunting itu sering didakwa oleh orang-orang
sebagai penyamun telur sarang-sarang burung lain. Barangkali karena warnanya
seperti garong perampok, yang membuat mereka nampak serem. Apa lagi bila kedua
ujung ekornya itu ditafsir sebagai kelewang. Tetapi ayahnya mengatakan, itu tidak
benar. Memang ada burung lain, yang hitam juga seperti srigunting, tetapi tidak punya
ekor silang seperti gunting itu. Kita harus berhati-hati, begitu hikmah ayah yang
dikatakan kepada Atik, jangan menilai orang lain jelek, hanya karena nampaknya
hitam. Tokoh Kresna di pewayangan, nah itu contoh lagi : raja perwira penasihat
Pandawa terulung, walaupun serba hitam.
Atik tertawa. Sebab sekarang kedua srigunting tadi, laki-bini barangkali, sebab
sedang mesra berbisik-bisik satu sama lain, lalu berkicau lagi. Merdu, seolah mereka
berbahasa Sunda. Tiba-tiba kedua burung itu terperanjat dan serba panik mendadak
terbang. Gusar Atik bertanya diri. Siapa yang mengganggunya ? Anak kampung
barangkali. Ternyata ada kepala anak laki-laki seumur 12 tahun muncul dari balik
tembok. Anak itu memanjat dahan pohon sawo kecik yang lebih tinggi, dan
membidikkan pelantingnya ke arah srigunting lain. Teto nama anak itu.
Bibir mungil Atik cemberut dan matanya berkilat benci melihat anak itu. Bukan
anak kampung, tetapi putera Kapten Brajabasuki (Oom Bas) yang berdinas di
Magelang, menurut ibu Atik.
“Itu anak lelaki yang baik hati,” kata ibunya. “Cerdas di sekolah, hampir selalu
nomor satu dan jujur.”
Mosok jujur, anak yang kesukaannya memelanting burung-burung tak berdosa.
Atik pernah diperkenalkan padanya sekian tahun yang lalu ketika mereka datang
diundang Paman Hendra juga. Atik malu-malu tentu saja, seperti selayaknya puteri
yang berpendidikan.
19
Tetapi anak itu langsung memijit hidungnya seperti tombol, kurang ajar, sungguh
setengah mati kejutnya. Apa lagi semua orang-tua tertawa, seolah-olah menyetujui
perbuatan jahat itu.
Tetapi toh ada sesuatu yang menyenagkan pada Teto itu. Ia sanggup apa saja,
memanjat pohon, meloncat selokan lebar, berenang. Pernah keluarga Antana
berpiknik bersama keluarga Brajabasuki ke Tirtonadi. Ibunya, seperti lazim mode
kaum terpelajar kala itu, bergaun dan bertopi lebar. Ketika pergi ke tepi sungai,
datanglah angin kencang yang mendadak; topi ibunya terbawa angin dan jatuh di
bengawan besar itu. Dan apa yang terjadi ? Si Teto tanpa berpikir panjang terjun ke
sungai dan berenang memburu topi itu. Tentu saja semua terkejut setengah mati. Topi
diselamatkan dan dipakai olehnya, dan Teto tenang mengikuti arus berenang ketepi,
jauh sekali; topi di kepalanya. Dari jauh seolah-olah topi itu berenang karena
kebetulan Teto berpakaian seperti kelasi angkatan laut Belanda, biru tua dengan
pelisir-pelisir kecil putih; jadi tak tampak. Akhirnya semua tertawa geli dan Atik
bertepuk tangan sambil berteriak-teriak ria.
Tetapi sayang, dalam permainan Teto selalu curang. Dan pernah sesudah menang
curang gobag sodor ¹⁾ ia memaksakan hadiah ciuman. Pada hal sudah disepakati; jika
Atik menang, Atik digendong Teto. Tetapi karena Atik terlalu lemah untuk
menggendong Teto bila Teto menang, Atik sanggup untuk memberi kecik sawo (biji
sawo) tiga biji, yang sering dibutuhkan Teto untuk adu kecik sawo dengan kawankawannya. Biji sawo sih Atik punya banyak, karena ia tinggal minta saja pada Pak
Kebon yang rajin setiap pagi dan petang menyapu halaman. Tetapi apa yang diperbuat
anak kurangajar itu ? Sejak itu ia tak mau lagi gobag sodor dengan anak jahat itu.
Namun Teto anak yang pandai melucu. Ia pintar menirukan suara binatang apa pun,
dan Atik biasanya tidak bisa lama mempertahankan marahnya kepada anak yang lucu
dan pemberani itu.
Topi ibu yang basah kuyup tadi tentu saja sudah sulit dipakai lagi oleh ibu; maka
dihadiahkannya kepada Teto. Bukan main gembiranya. Langsung bunga-bunga hiasan
di topi ia copot semua dan tepi topi yang lebar dilipat sebelah. Nah jadilah topi medan
perang tentara Kompeni. Memang dasar anak kolong, kata Oom Bas sambil tertawa.
“Hei! Hei! Teriak Atik. “Kasihan! Jangan dipelanting! Teto! Teto! Jangan!”
Teto memalingkan kepala ke segala arah sampai pandangannya bertemu dengan
Atik yang marah berkecak-pinggang. Ia tak menjawab apa-apa. Hanya lidahnya yang
keluar dan mukanya dibuat mirip kera.
Jelek sekali.
“Kasihan meraka! Kau anak bengis.”
Sekali lagi lidah keluar dan wajah Sugriwa ²⁾ menakut-nakuti Larasati ³⁾. Tetapi
bagaimana pun, ia toh turun dari pohon sawo. Tidak, ia bukan anak baik hati. Ia anak
wulung yang perangainya menyambar anak-anak ayam. Atik marah masuk beranda
dan di kamar tak dapat berbuat lain kecuali mencoba membuka buku hadiahnya.
Tetapi kamar dalam istana pangeran selalu gelap.
¹⁾ Semacam permainan lari dan menyusup, terkenal bagi anak-anak di Jawa.
²⁾ Raja kera dalam epos Ramayana, saudara raja kera Subali.
³⁾ Salah seorang istri Arjuna.
20
Ia pergi saja ke pendapa, tetapi para abdi sedang sibuk dengan persiapan-persiapan
wayang nanti petang. Apakah sebaiknya ia memanggil Minah pelayannya, diajak
berjalan-jalan ke jalan-raya ? Tetapi biar gelap dicobalah juga membaca sebarang satu
dua halaman dari buku itu. “Door Duistemis tot Light. ¹⁾ Kartini penulisnya. Kartini.
Aduh, alangkah tebalnya. Jangan-jangan ayah memilih buku yang terlalu berat
untuknya. Dari pendopo terdengar kesibukan persiapan pesta demi puteri Pangeran
Hendraningrat, sekaligus untuk adik dan kemenakkannya. Ia senang tetapi sekaligus
benci pesta-pesta mewah seperti ini. Lalu duduklah Atik langsung di ubin lantai yang
dingin dan tiba-tiba, seolah ada awan kebahagiaan menyelubunginya. Ya, ia bahagia,
memiliki ayah yang begitu baik. Ibunya baik juga, tetapi ayah, ya ayahlah bagi Atik
sumber segala kebaikan. Selama ayah ada, segalanya indah. Ah, setiap gadis pada
suatu saat harus kawin dan berpisah dari Ayah-Ibu. Atik juga tahu itu. Memang ia
masih gadis kecil, tetapi ia sadar, akan selalu begitu nasib setiap gadis. Bagaimana
dulu ibu sampai mendapat ayah ? Ah, sesekali itu akan ia tanyakan kepada ibunya.
Lalu meloncatlah Atik tinggi-tinggi. Ia menoleh ke segala arah. Pintu kamar terbuka.
Jangan-jangan ada yang melihatnya ia sesinting itu. Aman. Buku ia letakkan di atas
tempat tidurnya. Dan ia keluar mencari Minah.
¹⁾ Judul kumpulan tulisan R.A. Kartini : Habis Gelap Terbitlah Terang.
21
3. Buah Gugur
Surya sudah terbenam. Ketokan pintu. Ketika dibuka, kaget setengah mati kami.
Sesosok tubuh tampak di pintu. Mami menjerit dan langsung memeluknya. Papi tanpa
berita apa-apa pulang.
Ia telah dilepas dari tahanan militer setelah beberapa bulan meringkuk sebagai
lawan perang Jepang. Dunia-serba-gemilang kami telah cepat runtuh. Jepang datang.
KNIL kalah dan bubar. Mami dan aku sudah pindah menumpang di tempat seorang
kenalan baik di Embong Menur, suatu daerah perumahan kaum berada. Sebab, tentu
saja rumah dinas ayah sudah diduduki musuh dan memang sejak perang-pecah semua
orang sipil sudah diungsikan dari tangsi.
Papi mendadak menjadi tua. Dan lebih pendiam lagi dari semula. Tawaran dari
Pangeran Hendraningrat untuk mengunsi ke rumahnya ditolaknya halus. Agaknya hati
Papi sudah ikut runtuh pula dengan KNIL. Bahkan Papi lalu pindah ke sebuah rumah
kecil di kampung Patrabangsan. Hanya Mami yang sering ke Sala, sekedar berdagang
apa yang dapat dijadikan sumber nafkah ketika itu. Kawan-kawan lama anak kolong
semakin tercerai-berai. Papi tak banyak bicara tentang situasi, tetapi aku tahu ia
menunggu kemenangan Sekutu dan kembalinya pemerintah Belanda. Orang-orang
kampung Plengkung tahu Papi bekas kapten KNIL, orang berpangkat tinggi untuk
ukuran masa itu. Tetapi karena Papi biasa saja ikut hidup gotong-royong dengan
mereka, hidup kami tenteram terlindung. Bahkan dapat dikatakan tak tampak,
tenggelam. Rumah kami kecil tersembunyi di belakang bekas rumah opsir Belanda
yang dulu berpangkat mayor dan yang tentunya sekarang didiami seorang perwira
Jepang. Opsir Jepang itu hidup di situ sendirian dengan babunya Tante Paulin. Suami
Tante Paulin sersan KNIL totok yang ditawan di Burma. Dan Tante kini menyambung
hidupnya dengan cara menjadi gundik perwira Jepang itu. Saya jijik melihat Tante
Paulin, yang sebetulnya tergolong perempuan manis juga dan lembut hatinya.
Sungguh aku tidak memahami, mengapa Papi dan Mami sangat baik, bahkan sering
menurut seleraku terlalu baik kepadanya.
Ketika itu aku memondok di Semarang meneruskan sekolahku di SMT ¹⁾. Aku
Senang di Semarang, karena tenyata ada group pelajar yang berselera anti Jepang.
Tetapi suasana memanglah menjengkelkan bagiku. Kami diindrotrinasi dan dilatih
bermodel Jepang. Untung guru-guru kami intelektual-intelektual yang tahu, apa yang
harus mereka berikan kepada murid-muridnya. Ada seorang pelajar yang militan
pemuja Jepang. Bisma namanya, yang jadi komandan kami dalam ulah kemiliteran.
Bisma ini setengah kami kagumi karena bakat-bakat kepemimpinannya, tetapi dari
pihak lain kami benci, karena begitu hian menjilat Jepang.
Tetapi seumumnya semua pelajar anti Belanda … kecuali aku.
Barangkali ada lainnya juga yang seperti aku, tapi pastilah ia cukup lihai untuk
menyembunyikan perasaannya. Seperti aku juga. Tetapi aku sungguh merasa, betapa
sedihnya punya simpati yang jelas bukan simpati kawanan. Serasa paria terkucil. Dan
selalu harus bersandiwara. Ini yang paling memuakkan.
¹⁾ Sekolah Menengah Tinggi, nama untuk SMA di jaman Jepang.
22
Aku tipe anak kolong yang sejak kecil punya kode etika berterus-terang. Lebih
baik berkelahi berbahasa kepal dan tendangan kaki daripada bohong dan pura-pura.
Baru kelak aku sadar, bahwa dalam citarasa aku satu kompi dengan Papi. Papi
ternyata (tetapi itu baru kelak kuketahui) sengaja menjauhkan diri dari kaum istana,
karena ia tidak suka basa-basi Jawa yang halus tetapi banyak yang tidak jujur. Ia dulu
meminta sendiri atasanny agar boleh masuk garnisun di Surabaya, karena
orang-orang Sungai Brantas sana tidak pernah suka berbahasa kromo ¹⁾, apa adanya
tanpa tedeng aling-aling ²⁾. Tetapi lingkungan Kedu dianggap cukup oleh
pembesarnya. Namun itu sudah jaman yang lampau, yang sudah morat-marit hancur
lebur. Pedang dan seragam kebanggaan Papi sudah dititipkan oleh Mami (dibungkus
dalam goni dan dikamuflase dengan barang-barang upet ³⁾ kelapa) di dalam rumah
Oom Hendraningrat. Papi menjadi makelar sepeda dan banyak pergi ke pasar-sepeda
kota lain atau ke desa. Dan aku terpaksa latihan perang-perangan dengan bedil kayu
gaya Jepang. Sinting sebetulnya, tetapi dalam hati, sebagai anak kolong Kompeni
sejati, aku sehati dengan Papi, menunggu kemenangan Sekutu.
Dalam suatu liburan sesudah aku naik kelas III SMT Papi mempercayakan salah
satu rahasianya padaku. Terlebih dulu pintu dan jendela ia kunci. Dan dalam cahaya
remang-remang pelita minyak kelapa ia mengeluarkan peti sabun kecil dari atas
langit-langit. Radio gelap.
“Kau sudah besar. Mau membantu Papi ?”
Berdebar-debar aku mengangguk.
“Papi tidak takut tertangkap Jepang nanti ?”
Papi tersenyum.
“Perwira tidak boleh takut. Orang takut, kebanyakan karena bodoh. Kau pikir
Papimu bodoh ?”
Keras kugeleng-gelengkan kepala.
“Nah, dengar sekarang. Radio ini harus kau sembunyikan di dalam gudang Mayor
Kanagashe tetangga kita ini.”
“Saya ? Bagaimana ?”
“Pelan. Tetapi sebelumnya Papi minta, agar kebencianmu kepada Tante Paulin kau
kurangi.”
“Sundal itu ?”
“Hei hei, jangan terlalu keji pada perempuan malang itu !”
“Ada apa sih, kok Papi begitu terkesan oleh Tante Paulin ?”
“Bukan begitu. Papi senang kau tidak suka pada sundal. Tetapi orang-orang yang
membongkok-bongkok di hadapan serdadu tengik Jepang dan menjual bangsanya
kepada mereka demi sebungkus rokok lebih hina dari sundal.”
“Ya, tetapi jangan begitu mengukurnya.”
“Memang, Papi tahu apa maksudmu. Tetapi kami harus bersahabat dengan Tante
Paulin. Mamimu juga sudah tahu mengapa.”
¹⁾ Bahasa Jawa tinggi (halus).
²⁾ Perisai pelindung.
³⁾ Kelopak bunga kelapa ; dipakai sebagai bahan bakar.
23
“Mami ?”
“Ya, beginilah. Berkat Tante Paulin, kami tahu segala-galanya tentang cara hidup
Mayor Kanagashe itu. Kapan ia pergi, kapan ia pulang. Kamar mana yang kosong,
ruang mana yang suka ia pakai. Dan sekarang saatnya, radio ini harus disembunyikan
di dalam kompleks rumah Mayor itu. Gampang sekali.” (Aaah … haru saat itu aku
terbuka mata. Papi memang perwira yang pandai.)
“Tetapi bagaimana bila Tante Paulin tahu-tahu menongol dan rahasia ini
terbongkar ? Kan perempuan itu suka ngobrol dan bocor mulut ?”
“Tante Paulin tidak tahu apa-apa tentang soal ini. Sama sekali nol. Tetapi kami
tahu segala seluk-beluk dalam rumah Mayor itu.”
Sebelum Papi habis bicara aku sudah tahu apa yang dimaksud. Rumah Mayor
Kanagashe dulu didiami mayor Belanda. Aku kenal keluarga itu, terutama Yan
temanku sekelas. Dan aku tahu juga, tempat mana yang boleh jadi paling tepat untuk
menyembunyikan radio gelap yang akan dipasang di dalam kompleks perwira tadi.
Sehingga dengan aman tenteram kami dari luar bisa menyadapnya. Kalau detektordetektor Kenpeitai menemukan lokasi radio itu, mereka akan mengira itu urusan
Mayor Kanagashe. Maka betul, di siang bolong, tepat ketika Mayor Kanagashe
sedang pergi dinas, Pak Kebon sedang mendengkur di dapur dan Tante Paulin berfoya
entah ke mana, aku masuk melalui lubang dinding ke dalam kakus pelayan yang
sudah lama tak terpakai dan hanya berisi panci-panci bocor dan gulungan sisa-sisa
kawat listrik serta macam-macam loakan bekas milik keluarga mayor Belanda dulu.
Radio Papi kuletakkan di atas langit-langit kakus. Dan kabel penyadap dengan
teliti serba tersembunyi kupasang masuk ke dalam halaman kami. Seandainya kabel
itu kelihatan, pasti tidak ada orang yang akan menaruh curiga. Radio tadi sudah
disetel mati pada gelombang BBC London.
Sejak itu, setiap kali jendela kamar mayor itu terang, tanda ia di rumah, Papi
menyetel BBC dari kamar bilik bambunya. Sejak itu pula aku ramah mengucap salam
pagi dan petang bila Tante Paulin lewat. Dan melawan segala arus masyarakat
kambing, aku tetap mengharapkan Belanda datang lagi.
Pada awal pendudukan Jepang, Papi masih sering dikunjungi beberapa “tokoh
bawah tanah”, yang hampir semua tidak kukenal. Pernah dari bilik kamar tidurku
kudengar nama Amir Syarifudin terucap dalam percakapan serba teredam di dalam
kamar tengah yang terkunci. Baru kelak sesudah Jepang kalah kita tahu bahwa Amir
Syarifudin mendapat ƒ60,000 dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menyusun aksi
di bawah tanah melawan Jepang.
Tetapi suatu Saptu, tahun 1944, sepulang dari Semarang, ketika aku ingin
menengok Papi dan Mami, rumah terkunci rapat. Para tetangga mengatakan orangtuaku sedang menengok Kakek, ayah Mami yang sakit. Aku heran, sebab keduanya,
Papi dan Mami sudah lama tak berorang-tua. Segera aku mengerti, ada masalah
gawat. Mereka pasti berlindung lagi di dalam puri di Surakarta. Meloncati pagar
bambu, aku langsung pergi ke kebun belakang. Setelah menengok ke kiri ke kanan
kuperiksa kabel penyadap. Sudah tidak ada lagi. Dengan cemas lekas-lekas
kutinggalkan rumahku dan pergi menuju Surakarta. Hanya Mami yang kutemukan di
tengah para kerabat. Berlinang-linang aku dicium dan dicium.
“Doakan Papi !” Doakan Papi !” hanya itu yang mampu keluar.
24
Tenggorokanku serasa terganjel batu dan tiba-tiba aku merasa harus kencing. Di
dalam WC aku terengah-engah dan hati berdebar-debar. Papi tertangkap. Untung aku
lekas meninggalkan rumah kami di Plengkung di belakang rumah Mayor Kanagashe.
Apa Tante Paulin berkhianat ? Kesal hatiku, mengapa orang-tuaku begitu percaya
pada sundal itu.
Di dalam kamar tidur Mami kulihat serba lega peti-sabun kecil yang pernah
kuletakkan di bawah atap WC rumah Kanagashe. Nyaris aku berteriak terbawa
kegembiraanku. Tak kenal sabar kutanyai Mami, siapa yang mengambil peti radio itu.
“Papimu sendiri.”
“Papi ?”
Betapa besar risikonya. Dari Mami kudengar Papi tidak atau lebih tepat belum
tertangkap. Amir Syarifudinlah yang tertangkap. Dengan beberapa kawan lain. Maka
segera setelah pada suatu petang teman Papi datang membawa berita, langsung pada
malam harinya Papi sendiri seperti maling mengambil radio itu. Dan pagi-pagi benar
Mami diantar ke puri Hendraningrat. Tetapi dengan dalih cari kerja Papi lalu
menghilang. Ia ingin membebaskan keluarga Hendraningrat dari segala risiko.
Kira-kira tiga bulan kemudian, di Semarang, aneh sekali, kuterima sepucuk surat
pendek dari seseorang yang tak kukenal, dengan pesan agar aku suka pergi ke Jakarta,
ke suatu alamat tertentu di Kramat. Tulisan jelas dari tangan puteri. Bahkan poswesel
untuk perjalanan ke Jakarta kuterima juga dari tangan puteri itu. Karena saat itu
kebetulan aku sedang menghadapi ujian penghabisan SMT, terpaksa aku belum dapat
segera pergi ke Jakarta. Bahkan membalas surat pun aku lupa. Soalnya, sungguh aku
tidak mengenal si penulis itu, yang menyebutku teramat intim : Lieve Teto (Teto yang
manis).
Siapa ini ? Yang kenal nama panggilanku ? Dari Mami jelas bukan, sebab kukenal
tulisan Mami. Barangkali karena pikiranku penuh soal-soal ujian, sama sekali tidak
terpikir bahwa mungkin penulis surat itu salah seorang penghubung Papi. Papi, yang
demi keselamatan tidak mau meninggalkan bekas atau tanda hidup satu pun.
Baru sesudah selesai ujian mata-pelajaranku terakhir, yang barangkali tak baik
hasilnya (karena semalam-malaman aku terganggu oleh surat dan wesel dari Jakarta
itu : Siapa gerangan penulisnya ?) kuputuskan untuk bertekad pergi ke Jakarta. Sambil
melihat situasi di ibukota sana, ada apa. Dari Papi belum lagi ada tanda-tanda hidup.
Sampai di alamat Kramat, aku masuk halaman dengan nomor rumah yang sudah
dipesankan padaku. Rumah itu rumah kuna dengan tiang-tiang Romawi bulat yang
gagah. Lantai dari marmer Italia persegi dipasang diagonal. Hanya kerai-kerai sudah
agak lusuh, karena bahan cat di masa itu sudah lama sulit dicari.
Satu-satunya yang mengganggu dalam rumah anggun itu hanyalah kertas-kertas
pengaman bahaya udara yang ditempelkan pada kaca-kaca pintu dan jendela. Beranda
muka marmer itu hampir kosong. Hany meja sederhana satu dengan empat kursi yang
serba kaku berdiri di situ. Rumah siapa ini ? Tidak ada tukang kebon tidak ada anjing.
Sunyi sepi saja. Dari jalan terdengar teriak anak menjajakan es. Sebuah andong lewat
membawa seorang berseragam. Dai Nippon kekurangan bensin, kata benakku dengan
syukur. Kebencianku pada orang-orang Jepang menyala selangit.
Di mana Papi ? Keluarga rumah ini barangkali tahu ? Atau jangan-jangan aku
masuk jebakan Kenpeitai ? Kucari jalan ke belakang. Hanya pintu-pintu kebun yang
serba tertutup dan terkancing kuat kutemukan. Tidak ada bel lagi.
25
Kuperiksa nomornya. Betul. Kutelusuri lagi ujung jalan Kramat. Betul, angka Roma
VI. Kembali aku ke rumah tadi. Lelah aku duduk di atas tangga lantai marmer itu.
Sejuk rasanya. Mengantuk juga aku karena lelah dari perjalanan KA brengsek.
Tanpa aku sadar tahu-tahu pagar muka sudah dibuka dan datanglah seorang gadis
mendekatiku. Naluri menggerakkan aku berdiri. Barangkali puteri tuan-rumah ? Aku
menghormat. Gadis itu tersenyum ramah. Kira-kira adik sebayaku. Tetapi biasanya
pemudi tampak lebih tua dari yang sesungguhnya. Masih pelajar ? Sudah pegawai ?
“Adik Teto dari Semarang ?”
“Betul, Mbak. Maaf, aku sedang ujian dulu. Tidak sempat membalas.”
“Oooh (matanya bersinar jenaka) memang kami yang keliru. Tetapi profisiat,
sudah lulus kan ?”
“Baru saja selesai. Jadi belum tahu keputusannya.”
“Ooooh (senyumnya cerah, membuatku bingung) pasti lulus deh. Raden Mas
Sinyo pasti lulus,” dan ketawalah ia berderai. Aku terkejut setengah mati mendengar
sebutan Mas Sinyo :
“Kok tahu…”
“Ah, Mas Sinyo ini sombong sih. Berkali-kali berkunjung ke rumah kami, tetap
nggak mau kenal.”
“Baru pertama kali aku …”
“Tidak di sini. Tetapi di Sala.”
“Ah, maaf.” Tiba-tiba muncul dalam benak belakangku sebuah citra roman muka
gadis yang pernah kukenal, entah di mana. Jauh … jauh … dan agak kabur.
“Aku Atik…..Larasati. Pasti tak kenal, tanggung ( dan tertawa-nya geli, seperti
mengejek). Yang dikenal Cuma noni-noni yang cantik-cantik saja tentu kan !”
Aku malu sekali dan merasa bersalah. Memang dulu sesudah tamat SD aku tak
pernah suka berkunjung lagi di kalangan ningrat yang serba kaku. Dan sekarang …
“Saya kira bukan begitu Mbak.”
“Allaa…..mari masuk. Sudah lama tadi ?”
“Lama sekali. Untung ada malaikat datang.”
“Aduh, sekarang menyanjung. Mungkin lapar, Mas Teto ? (kurangajar, aku malu
sekali). Mamimu di dalam.
“Mami ?”
Mami menangis melihatku. Dadaku mulai sesak. Apa betul Papi tertangkap ?. Ibu
Antana, nyonya rumah, menghiburnya dengan kata-kata lembut. Dan dari kata-kata
itu aku sudah dapat menarik kesimpulan, bahwa harapan berjumpa kembali dengan
Papi sudah hampa. Ternyata betul. Papi masuk perangkap. Ia rindu pada Mami dan
menulis surat agar bertemu denganya di salah suatu warung di Pasar Senen dekat
bioskop Grand. Surat itu (Papi lupa) tentu saja disensor. Mami pun tidak berpikir
panjang, dan memang menurut instruksi, Mami merahasiakan semua itu terhadap
kerabat puri, sehingga tak sempat mendapat nasihat yang lebih waspada. Begitu Mami
menggandeng Papi, begitu Kenpeitai memborgol Papi. Jasa dan tanda cinta terakhir
dari Papi pada Mami hanyalah kata-kata tegas kepada Kenpeitai agar membebaskan
Mami yang tidak bersalah sedikit pun. Dan Mami dibebaskan. Dibebaskan …?
Mulai saat itu aku memasuki babak baru dalam hidupku. Dalam diriku terasa
panggilan untuk mengganti tempat Papi. Setelah ditinggal suami yang dicintainya,
Mami semakin mundur, kurus dan mudah sakit. Dan semakin diam. Mami lalu
mencari hiburanny dalam mistik dan alam gaib.
26
Tidak lama kami menumpang pada keluarga Antana, yang penuh kebaikan hati itu.
Sebab Mami tahu,tidak baik terlalu lama menumpang pada keluarga lain. Barangkali
Mami merasa bahwa kecenderungan kemurungannya bisa jadi lama kelamaan kurang
enak bagi keluarga darmawan itu, yang memang kurasakan, serba gembira, optimis
dan pandai saling berdialog dengan ledekan-ledekan jenaka. Dalam hati aku senang di
dalam lingkungan keluarga Antana, terutama karena Atik tiba-tiba mengisi
kebutuhanku berupa pergaulan adik dengan kakak ; aku yang selalu anak sulung
sekaligus bungsu ini. Begitu juga Atik. Tetapi terus terang saja toh aku belum siap
mental. Maka sikapku lebih berkadar malu dan minder daripada menerima lahap
anugerah lingkungan yang menyenangkan itu.
Kami lalu tinggal di suatu rumah kecil di belakang tangsi Penggorengan Senen
dengan cara hidup sangat hemat, sederhana dari sisa peninggalan tabungan Papi yang
masih lumayan. Bahkan atas desakan Mami aku memasuki Sekolah Tinggi
Kedokteran Daigakku. Tetapi di luar kuliah aku jadi “anak kolong” lagi, mencatut
sini, mencatut sana, mencari nafkah untuk Mami. O, Mamiku yang kasihan. Sungguh
aku tidak pernah tahu, apakah aku harus merangkul menciummu dengan bangga,
ataukah harus membunuhmu dengan benci. Sebab menjelang senja itu, di bawah
pohon mangga kebun belakang rumah Bu Antana, untuk pertama kali dalam segala
tahun yang masih kuingat jelas, aku, anak KNIL yang telah ditempa dengan hati dari
tembaga peluru tangsi, yang terbiasa untuk bertahan, toh menangis. Sepulang dari
mencari tambahan nafkah catutan di Pasar Senen, aku menemukan rumah kosong.
Hanya secarik surat dari Mami yang kutemukan. Dalam bahasa Belanda. Aku harus
pergi ke Tante Antana. Tante yang akan menerangkan, ke mana Teto harus pergi
untuk”menemukan” Mami. (Aneh, menemukan di antara tanda petik.) Ibu Antana dari
semula selalu menunjukkan kesayangannya padaku. Tetapi petang itu memang lebih
dari biasanya. Diciumlah batu kepalaku. Disusul sekedar minum teh dan kue-kue
basa-basi di kebun, di bawah pohon mangga, di mana aku dan Atik sering main dam
dan saling berdebat serta bercanda saling meledek.
“Mana Atik ?”
“Sedang belajar dengan teman-temannya.” Dan tanpa kutanyakan, keterangan
ditambahkan : “Pak Antana baru ke Bogor.” Lalu basa-basi lagi. Rupa-rupanya Bu
Antana masih mencari kata-katanya yang tepat. Aku sudah tidak sabar lagi. Lagi
hatiku takut. Tetapi akhirnya … “Tetoku, kau boleh percaya pada Tante. Tante hanya
mengatakan yang Tante rasakan. Ibumu wanita yang paling mulia jiwanya yang
pernah kujumpai selama hidup Tante. Tetoku, kau cinta pada Mamimu ?”
Dengan mata membelalak kutatap Bu Antana. Ada apa kok tanya seperti itu ?
Tentu saja aku mencintai Mamiku.
“Kok Tante tanya …?”
“Ah, Tante tanya sebenarnya hanya untuk melahirkan suatu keyakinan, Teto.
Pertanyaan yang sudah mengandung jawaban, bukan Teto ?” Tanganku dipegang erat
oleh Tante. Sejuk tangan itu. Dan berceritalah Ibu Antana, dengan nada yang jelas
menangis, namun tenang dan menguasai diri. Lembut dan bagaikan pegas kursi
empuk membuat pukulan masih terasa lunak. Aku sudah tidak ingat lagi pilihan katakata Tante.
Pokoknya Mami mendapat ultimatum dari Kepala Kenpeitai yang berwenang atas
nasib Papi. Mami boleh pilih : Papi mati atau Mami suka menjadi gundiknya. Mami
memilih yang akhir. Dan Mami tidak mau segala kenyataan dirinya ditutup-tutupi.
Setadewa anaknya, harus tahu segala-galanya beserta mengapanya.
27
Disertai cium cinta seorang ibu dan permintaan doa … serta maaf. Doa kontan
kuledakkan dari hati. Tetapi maaf …? Aku menangis seperti anak kecil. Aku
berterima kasih tiada terhingga, bahwa Tante hanya menyeka-nyeka rambutku,
membiarkan segala banjir kawah yang meletus habis sampai kering. Aku berterima
kasih bahwa saat itu Atik “kebetulan” belajar dengan teman-temannya. Bahkan lalu
“kebetulan” menengok neneknya di Sukabumi untuk seminggu. Sebab memang
berhari-hari jiwaku terobek-robek. Apakah aku harus bangga dan memuji Mami
ataukah aku harus membunuhnya ? Sejak itu Bapak dan Ibu Antana menjadi Papiku
dan Mamiku. Selanjutnya tak pernah lagi aku melihat kembali Mamiku yang malang
itu.
Dan semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau Jepang.
Termasuk itu pengkhianat-pengkhianat Soekarno-Hatta. Dan seluruh bangsa yang
disebut Indonesia, yang membongkok-bongkok pada Jepang dan berteriak-teriak di
alun-alun oleh hasutan Soekarno : “Inggris kita linggis !” Amerika kita seterika ! Dai
Nippon, banzai !” Sejak itu, aku bersumpah untuk mengikuti jejak Papi : menjadi
KNIL, membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyatnya yang bodoh, pengecut
tetapi baik hati itu, segala orang di kolong jembatan dan mental-mental serba
kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis, tetapi
mendukung bandit-bandit yang membuat Mamiku menjadi gundik.
28
4. Kuncup Mekar
Pagi itu, ketika Bu Antana sedang memasak sayuran sambal goreng taoco, Larasati
hampir menyeruduknya masuk api. Begitu riang dan bernyala-nyala anaknya itu,
menceritakan kabar gembira, ia lulus ujian masuk SMT.
“Nah …nah …nah, tenang Tik. Hampir saja ibumu masuk api.”
Tapi anaknya tidak ambil pusing dan di muka ibunya ia menari-nari sambil
menyanyi-nyanyi lagu ngawur. “Luloos. Luloos.” Terus terang Bu Antana tidak
terkejut atau terlonjak mendengar berita itu. Walaupun ia gembira juga. Sebab bagi
Bu Antana sudah jelas tidak mungkin meleset, anaknya pasti lulus. Benih yang
diwariskan oleh suaminya kepada anaknya memang unggul.
Bu Antana sendiri tidak seberapa dalam hal intelek, itu diakuinya ikhlas, walaupun
tidak bodoh. Iklim perkembangannya dulu sebagai anak angkat perempuan keraton
dengan cara ningrat terlalu menghambatnya.
Bu Antana bersyukur, bahwa Atik begitu gembira seolah-olah masalah lulus atau
tidak baginya suatu risiko besar yang harus direbut kemenangnnya dengan segala
susah payah. Tanda masih cukup rendah hati. Memang anaknya sangat rajin dan
pernuh prihatin belajar bersama teman-temannya, akan tetapi ibunya dan ayahnya
selalu menganggap soal ujian Atik sebagai upacara pantas-pantas saja. Tata
persyaratan yang harus dikerjakan. Yang mereka prihatinkan bukan soal keberhasilan
meraih angka di sekolah, Tetapi soal …..Ya, apa lagi selain ini : calon jodoh.
Anak lelaki pandai itulah-ideal. Tetapi gadis yang pandai ? Bagaimana nanti
menemukan seorang jejaka yang masih lebih pandai lagi dari si Prenjak cerdas ? Dan
yang sekaligus penuh kemanusiawian mulia segala kebaikan dan keunggulan yang
diminta dari suami yang baik ?
Ia haruslah bersyukur ! Alangkah busuknya tidak berterima kasih kepada Tuhan
Allah karena diberi anak yang pandai. Tetapi … ah, mengapa hidup selalu dibayangi
kata tetapi …?
Jaman perang seperti tidak ada habisnya. Sudah tiga tahun Jepang berkuasa dan
banyak orang berbincang tentang kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari.
Tetapi bagi setiap ibu yang menjadi pertanyaan pokok hanyalah : nasib atau lebih
tepat calon jodoh sang anak kelak di kemudian hari.
“Bapak kemana, Bu ?” tanya sang Siswajaya seperti kemarin, dan kemarin dulu
juga, setelah pulang dari pesta perpisahan kawan-kawan yang terpaksa harus dibuat
sederhana.
“Besok pagi kan pulang.”
“Ke Cipanas lagi ?”
Sangat mungkin,” Bu Antana bernafas panjang. Citarasanya merasa intuitip,
suaminya menyembunjikan sesuatu. Bukan, bukan soal perempuan lain. Tetapi soal
politik. Sama bahayanya dengan masalah segitiga. Tetapi barangkali suaminya hanya
biasa saja pergi ke Kebun Raya Bogor atau berdinas ke hutan lagi ke Cagar Alam.
Memang itu profesinya. Tetapi toh lain. Perjalanan dinas dan segala yang behubungan
dengan kantor dan sebagainya selalu jelas jadwalnya. Suaminya mengikuti cara
bekerja Belanda, berdisiplin dan cermat. Tetapi sudah setahun ini, lebih-lebih dalam
bulan-bulan Juni-Juli ini suaminya sering, ya jelas terlalu sering, mendadak di luar
program rutin pergi entah ke mana, Bogor, ke Cipanas, ke entahlah. Pasti ada
sangkut-pautnya dengan politik.
29
Dan Bu Antana tahu, politik di bawah tanah. Dalam batin Bu Antana hanya berdoa,
agar semua selamatlah.
Ia percaya suaminya tidak akan berbuat gegabah atau yang bukan-bukan. Bukan
orang emosional dia, jenis pemikir tenang. Juga bila Atik bercerita dengan semangat
tentang gelora Bung Karno, ayahnya selalu meredamnya sedikit.
“Soekarno itu api, Kita butuh api. Tanpa semangat tidak ada daya. Tetapi itu baru
separoh. Harus disalurkan secara rasional, agar menjadi mesin yang baik jalannya,
dan tidak membakar segala hal, termasuk diri sendiri.”
Bu Antana tidak tahu banyak tentang bintang-bintang politik masa baru,
maklumlah ia terlalu orang pingitan puri ningrat. Tetapi dalam suatu perkara seluruh
keluarga bersatu teguh : mereka tidak senang pada Jepang. Artinya pada kaum militer
kejam itu. Suaminya selalu berkata : kita harus membedakan antara Jepang sebagai
bunga kebudayaan yang tinggi, seperti Cina, India, Arab dan lain-lain, dan dari pihak
lain : kekejaman para kaum samurai itu.
Ya, Mas Tana benar. Tidak perlu jauh-jauh. Banyak adat-istiadat Jawa juga
sangatlah kejam bagi ukuran manusia terpelajar, dan ia bersyukur berganda, bahwa
anaknya sudah tidak mengalami lagi iklim ningrat itu. Namun anehnya, lagi intuisinya
yang mengarahkannya, Atik toh tetap ia didik dalam alam sopan-santun dan citarasa
Jawa ningrat.
Pernah mereka bersama-sama melihat film Jepang. Bukan film perang yang
biasanya dipropagandakan itu, Tetapi sungguh-sungguh film tentang kehidupan nyata
di Jepang. Memang benarlah, dalam banyak hal bahkan dalam segala hal adat budaya
kehidupan, musuh-musuh Sekutu itu sangat serasi dan seolah semelodi citarasa Jawa
yang halus.
Puteri-puteri mereka yang berkimono bersimpuh di tikar tatami, alat yang
mengungkapkan jiwa citarasa keindahan yang ningrat. Selera seni mereka yang
sungguh mengirikan, pohon-pohon sakura dan hubungan erat antara anggota keluarga,
disiplin dan kesepakatan sukarela mematuhi cara-cara saling bergaul dan
berkomunikasi, itu yang sering menimbulkan pertanyaan.
“Bagaimana mungkin, citarasa yang begitu mulia dan halus kok bisa menikah
dengan kekejian sadis militer dan kehausan nafsu kuasa mereka.” Suaminya tidak
pernah mampu menjawab pertanyaan itu.
“Aku pun heran dan sungguh, ini misteri bagiku.”
Atik berkesimpulan sederhana, kendati tidak jelas bagaimana konkritnya nanti :
“Kalau Indonesia kelak medeka, negara kita tidak akan kejam.”
Mudah-mudahan, Tik.”
“Tidak boleh mudah-mudahan, Pap. Harus.” Atik memang sudah menjadi pemudi
yang bergelora. Api pijar Bung Karno sudah menyala di dalamnya.
“Ya, harus. Kau benar. Tetapi ribuan orang sudah terdidik oleh kaum samurai itu.
Dan dalamlah pengaruh itu sudah. Dengar cara sahabat-sahabat kita berkomando dan
berpidato serta bersikap persis Jepang.”
“Ya, itu kan baru kulitnya, Mas. Toh bagaimana pun bangsa kita ini timur.”
“Jepang pun timur.”
“Kita memohon saja. Hanya itu yang bisa kita lakukan.”
“Ditambah perjuangan,” tambah suaminya serius.
30
Nah, kalau sudah sampai sekian, intuisi Bu Antana maklum bahwa suaminya
memanglah sedang mengerjakan sesuatu aksi politik di bawah tanah. Ia tidak pernah
bertanya lebih lanjut.
Kepercayaan puteri Jawanya yakin, bahwa bila memang perlu, suaminya akan
menceritakannya dengan sendirinya.
Tetapi kalau dia diam, itu jelas ada juga alasannya yang syah.
Dan Bu Antana yakin lagi : Itu juga pasti demi keselamatan sang istri dan anak-anak.
Ah, semogalah selamat. Apa yang bisa diperbuat perempuan selain berdoa ? ditambah
membuat sambal goreng taoco, kesenangan suaminya ?
Tiba-tiba, entah dari mana bisikan ilham, Bu Antana mengajukan usul : “Kau
harus merayakan lulusmu dengan Teto.”
“Ah, Teto.” Dan langsung Atik diam merenung, sehingga ibunya menyesal,
mengapa dalam saat gembira itu ia memberi suatu bayangan hitam. Tetapi memang
entahlah, dari mana Bu Antana pun tidak mengerti, mengapa Teto terlonjak ke luar.
Apakah Bu Antana juga sudah mulai menaksir dan sedikit banyak berkesimpulan,
bahwa dari sekian teman, sebenarnya Si Tetolah yang selalu terbayang sebagai calon
menantu ?
Tetapi bukankah itu suatu permainan yang berbahaya ? ‘Teto sekarang sudah
bukan yang dulu, sejak melapetaka mengenai dirinya, ibu dan ayahnya. Duh Gusti ¹⁾
lakon sering kejam. Sungguh sangat beruntung keluarga Antana masih utuh dan tidak
mengalami kekejian nasib yang menimpa keluarga Kapten Brajabasuki.
Dalam pandangannya, beserta suaminya ditambah Atik, Oom Bas adalah
pahlawan. Juga istrinya, itu Marice, wanita Indo yang baik namun malang itu, dalam
kenangan keluarga tetaplah tanpa noda. Maka dalam lubuk hati Bu Antana sering
hinggap bagaikan burung merpati, keyakinan : “Seandainya saya dalam keadaan
seperti Marice, pasti saya berbuat yang sama juga. Bagaimanapun pahitnya.” Tetapi
segera pikiran seperti itu dikipaskan pergi, sebab memang terlalu ngerilah kalau
dipikirkan terus. Keindahan dan kekejaman, mengapa keduanya itu sering
bergandengan dan kawin ?
“Maaf Tik, ibumu tadi hanya terlena omong. Kau benar-benar boleh memilih
sendiri teman-teman yang akan diundang sekehendak hatimu.”
Tetapi Atik tenang mendekatinya, dan sambil menolong ibunya mengambil panci
sambal goreng itu dari api, ia berkata dengan mata nanap namun tampak sedih : “Dari
sekolah sambil bersepeda Atik tadi juga sudah berpikir, Bu. Teto harus ikut
merayakannya. Tetapi bagaimana caranya ? Dan lagi, apa dia mau ?”
“Barangkali hanya harus dicarikan akal, bagaimana caranya berpesta.”
“Ah, iya itulah Bu.” Panci diletakkan di atas meja dapur dan dirangkullah ibunya
erat-erat. “Ibu, aku sungguh kasihan pada Teto.”
Ibunya tidak dapat mengucapkan kata hiburan satu pun. Sekarang jelaslah apa
yang selama berbulan-bulan ini hanya dapat diduga oleh ibunya : kata kasihan di sini
sama artinya dengan cinta. Pada hal justru satu itulah yang ia khawatirkan. Bukan,
bukan karena Bu Antana tidak simpati pada Teto. Tetapi situasi sudah begitu berubah.
Jaman pesta-pesta di rumah Pangeran kakaknya juga sudah lampau. Ini jaman kejam.
Atik, Atik anakku, memang sudah nasibmulah kau mengalami jaman serba tidak
keruan ini ?
¹⁾ Ya Tuhan.
31
“Ibu juga kasihan pada Teto ?”
Lirih ibunya berbisik ke dalam telinga anaknya : “Tentu saja. Siapa tidak kasihan
pada sahabat bila mereka tertimpa kecelakaan.”
Tiba-tiba rangkulannya dilepas dan berlarilah Atik ke luar dapur. Bu Antana
mengikutinya beberapa langkah. Sudah tahu, ke kamar tidur dia. Biar ia menangis
dulu. Dan sambal goreng itu dimasukkan ke dalam almari dapur. Nanti masih perlu
dihangatkan sebelum dihidangkan di meja. Tetapi siang ini jangan-jangan suaminya
tidak pulang. Dan di mana Teto sekarang ? Pesta apa yang paling tepat ?
Malam hari itu, sesudah mencuci piring dan memeriksa gembok-gembok dapur,
gudang dan pintu gang keluar, Atik seperti lazimnya ikut duduk dengan orang-tuanya
di ruang tengah. Ibunya biasanya merenda sesuatu, dan ayahnya rileks merokok
sambil mendengarkan musik dari radio yang disegel. Musik apa pun, biar itu dari
Jepang, pantas dinikmati juga. Kecuali musik yang jelas bombastis propaganda
kosong.
“Mbok Inem sudah beristirahat Tik ?”
“Tadi saya beri pil kinine dua butir.”
“Ya. Mbok Inem sudah tak bisa bekerja lagi sebetulnya. Akhir-akhir ini terlalu
cepat ia menjadi tua dan bergetar tangannya.”
“Sulitnya ia tidak mau disuruh istirahat,” kata istrinya.
“Memang dapat dipahami. Orang yang selama hidup tertbiasa bekerja keras, tidak
mungkin begitu saja senang menganggur. Dan lagi siapa senang menganggur ?”
“Mbok Inem menderita,” sambung istrinya lagi.
Anaknya diberangkatkan sebagai romusha ¹⁾. Mengapa sampai terjadi itu ?”
“Romusha kan boleh pulang kelak, Pak ?”
“Ya, selalu saja itu mungkin,” (dan nada getir sinis) “istilah sekarang : kelak di
kemudian hari.”
“Susah juga menjadi nenek yang kesepian begitu,” keluh Atik dengan iba hati.
Ayahnya diam. Ibunya juga diam. Hanya tik-tak dari jam Junghans yang terdengar
seperti nenek bersuara rendah berwibawa memperingatkan datangnya jam saat tidur,
dan nasihat, betapa pendek jenjang hidup manusia.
Jam merk Junghans itu sudah cukup antik, kurus persis kakek bentuknya. Kacanya
di ketiga sisinya berpigura rusuk-rusuk bulat buatan kuna yang dimahkotai semacam
jamang ²⁾ atau diadem kayu berukiran. Mesinnya tampak semua dari samping dan
lebih memberi kesan “rohani” pada jam itu, tembus pandang, seolah-olah sudah
“badan halus” Angka-angka pada piringan masih angka-angka Romawi, dan jarumjarumnya seperti dua jantung hati yang selalu rukun. Yang pendek gemuk itu si suami
dan yang berlari cepat semampai itu si istri. Begitu selalu Bu Antana melihatnya.
Bandulnya tembaga ukiran dan tergantung pada tangkai berbatang tujuh lidi-lidi
kuningan yang sejajar, sungguh-sungguh bergaya antik berwibawa dan … setia. Tidak
pernah bejalan terlalu cepat atau terlalu lambat. Entah barangkali naluri wanitalah
yang membuat jam itu kadang-kadang menumbuhkan rasa takut.
¹⁾ Budak-budak kerja paksa jaman Pemerintahan Jajahan Jepang.
²⁾ Mahkota, ban hias kepala.
32
Menghadapi jaman perang dan nasib tidak jelas sebagai akibat situasi politik yang
serba tak menentu ini. Sering Bu Antana gemetar bernafas cepat pendek-pendek
berdebar bila melihat jam antik itu.
Di Jalan Kramat ini Bu Antana sebetulnya tidak begitu suka. Tetapi hal ihwal
peristiwa kedatangan Jepanglah yang menyebabkan mereka harus pindah ke Jakarta.
Rumah ini milik Kanjeng Ibu Suri dari Pangeran Hendrningrat dan beliau
menghendaki rumah ini selalu didiami orang ; takut nanti digarong orang.
Sebetulnya ia dan suaminya lebih suka tinggal di Bogor, kota tenang itu, tetapi Bu
Antana tahu kedudukannya sebagai anak seorang gundik Keraton berdarah rendah
yang sudah untung mendapat anugerah dianggap sejajar dengan abang tirinya Mas
Hendradininrat. Selain itu, pertimbangan, ada baiknya juga Atik bersekolah di kota
pusat dengan pergaulan yang lebih luas dan lebih bermutu, membawa mereka ke
Jakarta ini.
Di Bogor tidak banyak pekerjaan bagi suaminya, karena resim Balatentara Dai
Nippon tidak banyak memberi anggaran. Yang mereka perhatikan hanya hutan jati.
Sayang sebetulnya. Suaminya sering sedih menceritakan penggundulan gununggunung. Tetapi tanpa anggaran ia pun tak berdaya apa-apa.
“Kau lelah, Tik,” kata ayahnya seraya memandang kepada anaknya yang terhanyut
dalam kantuknya. “Sana tidur dulu. Beban sekolah menengah Tinggi sebentar lagi
cukup berat.” Atik berdiri, sebab ia memang ingin melamun sendiri. Ia mendekati
ayahnya, menaung agar keningnya dicium ayahnya selaku ucapan Selamat tidur.
“Selamat malam, Pap.”
“Selamat bermimpi indah, Tik.”
“Ibunya, mencium pipinya : “Esok masih ada hari cerah.”
Atik hanya menjawab : “Selamat malam, Bu.”
Kedua orang-tuanya pelan berputar mengikuti gadis itu berjalan menuju kamar
tidur. Sesudah pintu tertutup keduanya saling berpandangan, Suami istri sudah tahu
apa yang dipikirkan masing-masing. Ke mana lalu ? Ya, ke mana ? Jam gantung
bertik-tak terus. Seekor cicak berseru seolah ikut prihatin. Seorang penjaja sate
bahkan membuat suasana malam lebih sepi lagi. Daging bekicot dianjurkan oleh
pihak berkuasa. Tetapi orang-orang Madura itu tidak pernah berkekurangan daging
ayam untuk sate. Hanya sebetulnya terlalu pagi mereka berkeliling. Jam malam
menghambat mereka juga.
Kedua suami istri itu hanya duduk diam saja. Ya, indah begini. Tanpa kata
menghayati kebersamaan. Kehadiran, itulah jawab pada dambaan dua jiwa yang
margo kulino ¹⁾ sudah dijumbuhkan melumer dalam satu kedagingan dan kesatujiwaan ranjang serta hal ihwal hidup sehari-hari. Juga tanpa sepatah kata biasanya
mereka sudah saling berdialog. Biar rasa yang berbicara, getaran-getaran halus nikmat
pengejawantahan Kama dan Ratih. Kenikmatan rahasia, yang (ah, betapa bodoh) dulu
ketika masih mempelai muda dianggap oleh Bu Antana sebagai keharusan yang jijik
tetapi wajib. Pada hal ternyata kelak itu terasa sebagai laras ing ati ²⁾ berkat margo
kulino ; sebagai suatu yang semakin wajar dan sekaligus indah. Indah, karena di
dalam kejumbuhan jazat yang satu itu tidak terasa lagi Gusti ³⁾ atau Kawula ⁴⁾.
¹⁾ Berkat pergaulan sehari-hari.
²⁾ Harmonis dalam hati.
³⁾ Tuan.
⁴⁾ Hamba.
33
Atau lebih tepat,yang dirasakan ialah kemanuggalan dua garwo alias
sigaran nyowo ¹⁾, belahan jiwa yang saling menemukan diri sebagai pengejawantahan
kemanunggalan para dewata. Dan bila Bu Antana sedang menghayati kehanyutan
nikmat kewanitaanya, samar-samar segala itu merupakan ucapan sembah kepada
kahyangan ²⁾ juga, beserta permohonan, agar Atik anaknya pun diperkenankan
merasakan yang dirasakan ibunya.
Tadi selama makan petang, Atik sendirilah yang mengusulkan. Agar jangan
diadakan pesta. Dengan serius dan begitu meyakinkan sehingga kedua orang-tuanya
tercengang. Tetapi Atik tetap memohon acara pengganti. Sekali lagi, Atik ingin
berpesta, tetapi dengan cara menyelusup ke dalam alam hutan atau puncak gunung
bersama ayahnya. Sudah sejak Atik bersekolah di SMP, ya sejak Jepang datang,
wanawisata ³⁾ yang dulu sering dialami di SD tidak pernah lagi dilakukan. Karena
situasi darurat perang tentu saja.
“…bersama ayah.”
“Hanya dengan ayah ?” tanya ibunya tersenyum dikulum. “Ah, andai saja bisa
bersama dengan Teto.” Tetapi Atik hanya menjawab itu di dalam hati, dan berkerja
setengah menghindari : “Ya, dengan siapa lagi.”
Semua tahu siapa yang ia maksudkan. Tetapi ayah-ibunya diam saja. Tidak semua
yang diketahui harus juga dikatakan.
34
¹⁾ Belahan Jiwa.
²⁾ Surga para dewata.
³⁾ Perjalanan mempelajari hutan.
B a g i a n II
1945 - 1950
5. Anak Harimau Mengamuk
Ya, betul ! Aku dulu masuk NICA ¹⁾ Mau apa ! Sekarang aku tahu, itu keliru. Tetapi
apa manusia tidak boleh keliru ? Lagi pada saat itu, aku yakin bahwa apa yang
dikehendaki kaum Nasionalis keliru. Orang-orang Indonesia belum matang untuk
merdeka. Aku tahu, tidak pernah manusia matang untuk menangani hidupnya sendiri
pun. Tetapi suatu saat kita harus memilih pihak. Dan aku memilih Belanda. Karena
aku jakin ketika itu, bahwa tidak sebandinglah korban akibat ketidak-dewasaan
dengan keuntungan yang akan dicapai. Itu dilihat dari titik penglihatan orang
kampung, anak kolong. Kan aku sudah bilang, aku anak kolong, dan aku bangga jadi
anak Kumpeni. Bangga ikut bergerak di bawah tanah melawan Jepang, justru pada
jaman orang-orang kita serba membongkok ke arah Si Cebol Kuning itu. Justru pada
jaman beribu-ribu orang romusha diserahkan kepada kaum sadis made in Japan itu.
Ayahku dan aku dan Mami jauh lebih merdeka jiwanya dari itu kaum Soekarno
yang menghipnotisir massa rakyat menjadi histeris dan mati konyol hatinya karena
mengandalkan bambu runcing belaka melawan Mustang-mustang dan meriammeriam Howitser yang pernah mengalahkan tentara Kaisar Jepang. Maaf, Anda keliru
alamat menamakan aku budak Belanda. Bagiku NICA hanya sarana seperti Republik
bagi mereka sarana juga. Segala omong-kosong tentang kemerdekaan itu slogan
belaka yang menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung akan lebih
merdeka di bawah Merah Putih Republik daripada di bawah mahkota Belanda ?
Merdeka mana, merdeka di bawah singgasana raja-raja Jawa mereka sendiri daripada
di bawah Hindia Belanda ?
Papi jelas lebih merdeka di Magelang dari pada di Mangkunegaraan. Inilah
kesalahan logika mereka : menyangka seolah negara sama dengan rakyat. Jika negara
merdeka, orang mengira rakyat otomatis merdeka juga. Nonsens. Lihat seluruh
sejarah dunia dong. Tetapi awal masuk NICA bagiku tidak sama dengan menjadi
budak Belanda. Itu lain ! Dan ini terang-terangan kukatakan di muka hidung Mayoor
Verbruggen, komandan batalyon NICA di pos depan Harmoni yang cocok sekali
namanya : “Jagamonyet.”
“Mayoor, aku ditangkap oleh serdadu-serdadumu. Terima kasih. Tetapi jika kalian
menembak aku, kalian kehilangan seorang sekutu yang bermilai satu juta orang
Republik.”
“Besar benar mulutmu anak kelinci.”
Spontan aku berkecak pinggang dan sengaja agak berlebihan menjajakan
kelelakianku. “Satu kali lagi aku kausebut kelinci atau nama-nama hinaan, tak
perduli sten-gun sedadu-serdadumu ini, kau akan menggerang sampai
kedengaran di Den Haag sana.” Kontan aku ditempeleng seorang NICA Ambon.
¹⁾ Netherlands Indies Ciwil Administration, Pemerintah Penguasa Hindia Belanda.
35
Kusambar mereka, sebab aku percaya mereka tidak akan menembak di muka seorang
mayoor (yang, mereka tidak tahu, adalah sahabat Papiku di Akademi Breda dulu).
Betul, Mayoor Verbruggen hanya menyuruh mengikat kedua tanganku dalam gerak
yuyitsu oleh salah seorang body-guardnya, seorang kuda Sumba yang sungguh seperti
kedondong Benggali rupanya.
Mayoor Verbruggen mengambil sebatang cerutu besar dari kotak laci bironya.
Tenang ia mengupas pucuknya dengan golok dan lebih pelan lagi ia mulai
menyalakan cerutu itu, yang segera menghembuskan bau harum yang sudah lebih dari
empat tahun tidak pernah lagi kuhirup. Tetapi mataku tajam memancar langsung ke
mata mayoor itu. Ia mulai tersenyum lihay.
“Di mana orang muda ini ditangkap ?” tanyanya pada bawahannya tanpa beralih
pandang dariku.
“Di Pasar Baru, Mayoor. Ia berjalan sendirian dan provokatif sekali, tangannya
dimasukkan di dalam saku pantalonnya sambil bersiul-siul. Kami tak ambil risiko dan
terus kami tangkap.”
“Tetapi ia tidak memakai tanda merah-putih pada dadanya, Tuan Mayoor, “kata
seorang sersan dengan logat Jawa. “Dan sepanjang jalan ia terus-menerus ingin
bertemu dengan mayoor yang bernama Verbruggen.”
“Zo,zo, kedua tangannya di dalam saku celana sambil bersiul. Nyanyian romantis
tentunya, bukan ?” dan mayoor itu tertawa kecil seperti nenek-moyang kuda Belgia
yang belum pernah kulihat, tetapi yang pasti persis Si Mayoor itu. Tiba-tiba ia berdiri
dan mendadak menggebrak meja dan berdentum seperti meriam suarnya : “Verdomme
! Saya pernah melihat kau. Siapa kau ? Dan jangan bohong pada Mayoor Verbruggen,
tahu anak kelinci ! Ya, kau anak kelinci. Verdomme ya, kau anak kelinci.”
Aku terkejut juga mendadak diroket kerongkongannya yang harus kuakui, sangat
berwibawa dan mengerikan. Tetapi aku tak gentar, sebab aku merasa pasti akan
perkaranya.
“Kalau Mayoor ingin tahu namaku, harap kedua tanganku dibebaskan dulu.”
“Benar-benar tidak tahu sopan-santun kau, ya. Apa hubungannya dengan kedua
tanganmu ? Sakit, anak kelinci ?” dan ia tersenyum ironis.
“Aku bawa surat untukmu.”
“Heh ?” dan cerutunya dilepaskan dari mulutnya yang bergigi warna gading tetapi
rapi. “Apa-apaan surat segala.”
“Dari Marice.”
“Heh ? Marice ?” dan mata serta mulut melompong bolong seolah ia bertemu
dengan Soekarno himself “Sekarang aku tahu. Hei gila. Kau apanya Marice ? Kau
anak dari Marice ? Ah …ah … Betul kau anak dari Marice ?” Mayoor itu duduk
bertiduran pada sandaran belakang kursinya, jari-jari main piano di meja. Lama
mengamat-amati aku dengan diam di bawah kepulan asap cerutunya.
“Marice, Marice … ah …(dan ia memerintahkan bawahannya) hei, kalian keluar
dari kamar ini. Biarkan anak muda ini di sini.” Serdadu-serdadu itu keluar persis
kunyuk-kunyuk.
Zo, zo …jadi kau anak dari Marice,” ia berkata agak bengong.
36
“Mari duduk … siapa ? Yan, Piet, Karel ? Atau Willem ?”
“Leo” (Saya tidak mau menyebut nama Teto. Kok, seperti anak kecil).
“Zo, zo, Leo ! Jadi kau membawa surat dari Marice ? Apa isinya ?”
“Silahkan baca sendiri Mayoor. Maaf, pinjam golok yang tadi itu.”
“Golok ?” (tetapi ia toh memberikan benda itu padaku.)
“Maaf Mayoor,” dan kubuka kancing celanaku. Dengan pisaunya kusobek bagian
tempat sabuk dan kukeluarkan seikat kertas. Kuserahkan itu kepada perwira itu.
Seperti merenung kertas itu dterima, dipegang. Ia melihatku, melihat kertas itu
lagi. Kertas itu tetap belum dibukanya. Dengan hangat ia bertanya padaku : “Ibumu
cerita apa saja tentangku ?”
“Mayoor dulu melamar ibuku,” jawabku langsung tanpa putar-lingkar. Sebab
akhirnya toh itulah yang ingin ia ketahui.
“Untung saya tidak jadi ayahmu.” Komentarnya dingin sambil menyeringai. Kertas
itu belum lagi dibukanya. Matanya menembus mataku. Dan segera aku tahu, bahwa ia
masih menderita karena ibuku menolak dia. Risiko juga aku di dalam tangan
kekuasaannya, kupikir agak khawatir. Kalau-kalau patah hatinya menjadi benci ?
Untung-untungan. Di jaman kacau-balau ini tidak ada yang safe. Seperti ia membaca
pikiranku ia menghembuskan nafas panjang dan berkata lirih : “Marice ! Marice.”
Pada saat itu aku tertumbuhi simpati yang sangat dalam kepada perwira ini. Sebab
ia jelas pernah dan rupa-rupanya terus menerus mencintai ibuku. Tiba-tiba basah
mataku dan bagaimanapun aku berusaha, aku tidak bisa menahan tangisku. Marice
yang malang. Yang ternoda dan ickhlas menjadi binatang piaraan musuh-musuh dari
suami yang ia cintai. Mengapa hidup tidak bisa sederhana ? Mengapa selalu segala
yang indah berdampingan dengan yang kotor dan berbau ? Jika benar cinta dan
kemesraan pria-wanita itu mulia dan bersumber kebahagiaan, mengapa Tuhan
menciptakan tubuh kita sedemikian, sehingga organ cinta didekatkan berdampingan
bahkan bersatu dengan lubang pembuangan kotoran ? Sungguh, jika aku memikirkan
nasib Mami, gelaplah hatiku sampai aku tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, jangan
lagi tuhan yang disebut Mahabaik dan Mahapengasih.
Mengapa Marice menolak perwira yang simpatik ini, yang tampan dan tampak
perwira tulen itu ? Dan bahkan memilih seorang Belanda hitam yang blo’on dan yang
tidak terlalu cerdas menghadapi Kenpeitai Jepang ?
Apa Mayoor Verbruggen sudah tahu bekas kekasihnya menjadi lonte Jepang ?
Jangan. Tidak boleh ia tahu, Apa yang ditulis Mami dalam surat itu ? Tentulah minta
perlindungan untuk Leo anaknya. Apa lagi yang akan ditulisnya ? Entahlah, Surat itu
kuterima dari Bu Antana dua hari sebelum hari yang mengerikan, demontrasi di
lapangan Ikada sesudah Soekarno-Hatta memproklamirkan Republik.
Bu Antana berkata, Mamiku malang telah meninggal dunia dan ia menerima surat
itu melalui seorang tukang kebon rumah Komandan Kenpeitai itu. Menurut tukang
kebon itu, Mami sakit tifus. Dikubur ke mana ? Tidak ada sepasang mata melihatnya.
Tetapi dalam hatiku Aku kurang percaya tentang sakit tifus itu. Orang-orang negeri
ini pandai mempermanis berita-berita pahit. Lebih logis, bila Mami bunuh diri
daripada menghadapi malu, sesudah tahu Jepang kalah. Marice sayang, Marice
malang.
37
Papi dan Mami tidak pernah merahasiakan pribadi Verbruggen untukku, sebab
hubungan Mami dengan suaminya yang Jowo itu sangatlah kokoh. Aku sering kagum
pada Papi, mengapa ia sanggup memikat hati si noni cantik Marice. Tetapi wanita
memang rahasia besar. Lelaki hanya bungkusan rahasia itu, bahkan biasanya
bungkusan yang kaku dan lekas robek.
“Kau sudah tahu isi surat ini ? ia bertanya kepadaku.
“Belum, Mayoor, barangkali hanya minta perlindungan untukku, jika ada apaapa.”
“Jika ada apa-apa. Pemberontakan Soekarno itu apa-apa atau bukan apa-apa ?
Tolol” Ia berdiri, dan pelan-pelan menuju jendela. Dari balik kaca jendela kulihat
bendera merah putih biru pada tiang, lesu seperti ogah-ogahan berkibar di bumi ini.
“Verrekt” ¹⁾ umpatnya. “Perang Dunia begitu dahsyat sudah selesai, sekarang
malahan perang monyet sinting ini. Itu orang Inggris harus digantung semua. Saya
sudah berkali-kali bilang : Kalau kita ini betul-betul putra-putri keturunan de Ryuter
atau Tromp ²⁾ mustinya kita harus menggasak orang Inggris. Bukan orang Insulinde.
(Tetapi tiba-tiba) Marice ! Marice ! …(ia tetap memandang keluar jendela) Hei Leo,
ibumu tinggal di mana sekarang ?” Bagaimana Basuki ayahmu ?”
“Sudah di surga. Kalau ada surga.”
“Heh ? (Dan spontan ia menoleh kaget padaku.) Sudah meninggal ? Mana
mungkin. Verrekt ! Dibunuh orang-orangnya Soekarno, ya ?”
“Tidak. Jepang. Tentang Papi, tak ada berita sedikit pun.”
“Anjing kampung memang die Yappen ! Betul Si Truman. Dicekoki bom atom saja
mereka, cebol-cebol itu.” Ia menoleh kepadaku.
“Kau tinggal di mana ?”
“Di mana-mana.”
“Di mana-mana ? Gila kau. Gila. Persis ibumu Gila.”
“Jangan menyebut Mamiku.”
“Jangan lekas marah. Tidak ada di dunia ini yang begitu cinta pada Marice seperti
Verbruggen. Tahu kau ?”
“Apa Mayoor mengira, kapitein Basuki tidak sangat cinta Marice ?”
“Ah, bukan itu maksudku. Kau ini kelinci muda benar. Begitu aja nggak nangkap.
Sudah, bacakan, Mamimu menulis apa. Asal jangan testamen untuk menitipkan
anaknya pada saya. Sebab saya ini bajingan, tahu ya, bajingan akibat Marice
menolakku.
“Bukan Mami menolak, Mayoor. Tetapi kehendak Tuhan,” komemtarku bernada
sinis.
“Ah, Tuhan dibawa-bawa lagi. Kalau logikamu lengkap, itu berarti saya dibenci
Tuhan, begitu ?”
“Mayoor, apakah mencintai itu harus mengawini ?”
“Hallo, Filsof Hijau. Apa tahumu tentang cinta dan perkawinan. Tutup mulut kau
kalau tidak mau disebut tolol atau saya pukul jadi saua nanas. Apa tahumu tentang
cinta. Cinta yang ditolak ?Bah (Dan ia melihat keluar jendela lagi). Omong ngawur
tentang cinta ! Sudah, saya muak. Saat ini yang penting, bagaimana menghancurkan
itu permainan gila bikin-bikinan Republik. (Ia melihat lagi keluar. Brndera merahputih-biru sedikit berkibar, tetapi lesu lagi.)
¹⁾ Ungkapan bahasa Belanda :”Keseleyolah kau !”.
²⁾ De Puyser dan Tromp adalah admiral-admiral pahlawan Belanda yang jaya
Melawan Angkatan laut Inggris pada abad 17.
38
Verrekt ! Andai saja itu Mountbatten¹⁾ tersandung ranjau Jepang jadi kepingkeping biskuit ! Sudah berapa kali kukatakan : Inggris itu serakah dan tidak rela
Batavia menjadi saingan Singapura dan Hongkong. Itulah persis motivasi mereka
main patgulipat dengan Sukarno lebih tepat dengan Si Kancil cerdik yang jauh
lebih berbahaya … eh siapa dia ? … Sysysyahrir. Huh ! Seperti nama orang
kanibal .
Hei Leo, ini komando. Baca surat ibumu ini. Ayo. Kalau tidak, tulung rusukmu
patah semua nanti.” Dan kertas itu dilemparkan padaku.
“Mayoor benci pada Mamiku ? “kutanya nekad.
“Baca !” teriaknya seperti halilintar yang membuatku kaget.
“Ya, Mayoor,” akhirnya aku sedikit merasa kalah. Kubuka surat Mamiku.
Tetapi aku pun tidak bisa menahan kekalutan jiwa dan aku hanya terdiam saja
tidak bisa apa-apa. Surat itu terjatuh di lantai.
“Bagaimana ?” Ia menoleh dan ketika melihatku penuh emosi, ia
menghampiriku, bahuku ditepuk-tepuk penuh pengertian. Ia mengambil korek
api dari sakunya dan pelan surat Mamiku dibakar. Lalu aku diajaknya makan
bersama dia. Makanannya tidak segar dan hanya diambil dari kaleng rasion
bekal standard tentara USA.
“Mayoor, “ kataku sambil makan. “Aku mohon diperbolehkan masuk Tentara
Kerajaan.”
“Tentara Kerajaan itu tentara Belanda totok dari negeri Kincir Angin. KNIL,
nah ini tentara sewaan Hindia Belanda. Tentara Kerajaan itu tentara sinyo-sinyo
pucat dan berbau keju. Kalau KNIL, nah ini gerombolan bandit VOC ! Hahaa,” dan
tertawalah ia untuk pertama kali. “Mau ikut main bandit-banditan ?
Kolonel Drost ²⁾ dan Jenderal Spoor ³⁾pasti marah kalau mendengar omonganku
ini, tapi mau apa lagi. Orang Belanda, kata orang, terkenal nuchter⁴⁾ dan jujur apa
adanya, bukan ? Nah, apa buruknya jadi bandit VOC, kan katanya Si Jan Coen itu
pahlawan kerajaan kami. Maka konsekwen dong. Tapi yang penting : kau mau ikut
kami ? Okay ! Dan karena kau anak dari Marice, kau tidak perlu mulai dari sedadupantat-sepak. Langsung saya jadikan letnan dua. Semua mungkin dalam darurat
perang. O ya, ini alasan juga. Untuk menghormati seorang pahlawan gerilya melawan
Jepang. Kapitein Basuki, yang notabene menang perang rival terhadap saya, tetapi
kalah dibekuk monyet-monyet sipit. Tragis, sungguh tragis kehidupan bapakmu itu.
Dengan catatan : Kalau kita memang ingin tragis. Jadi, kalau kau mau, segera kau
kuangkat jadi loitenant seperti bapakmu dulu ketika tamat bersamaku di Breda⁵⁾ .”
“Tetapi aku belum bisa menembak. Bagaimana jadi loitenant. Serdadu biasa pun
mau.”
¹⁾ Panglima tertinggi pasukan-pasukan Sekutu di Asis Selatan dan Tenggara.
²⁾ Komandan pasukan-pasukan Belanda di wilayah Jakarta.
³⁾ Panglima tentara Belanda di Indonesia.
⁴⁾ Rasional dingin.
⁵⁾ Nama kota tempat Akademi Milter Kerajaan Belanda di Nederland.
39
“Nonsens. Anak Kapitein Basuki legiun Mangkunegara kok serdadu biasa. Ayo
jangan anstil¹⁾ kayak perawan rumah-piatu susteran. Bagaimana ?” Ia mengulurkan
tangannya minta dijabat.
“Okey! Tapi asal diberi pelajaran menembak dulu.”
“Ah, omong kosong saja kau ini. Bedil sekarang otomatis dan main brondongan.
Serampangan saja ditembakkan ke segala arah, dari 100 peluru pasti ada tiga atau
lima yang mengenai sasarannya.
Yang penting : pakai akal sehat ! Ini yang penting untuk perwira. Bukan
melayangkan peluru atau berbaris, tetapi berpikir logis. Musuh kita bukan tentara
Jerman, tetapi kaum bandit juga, kan. Saya pun pakai akal sehat. Kau saya jadikan
letnan dengan alasan kau sangat kenal Batavia dan daerah pedalaman. Siapa tahu
kapan-kapan kau akan kami turunkan dengan parasit di daerah pedalaman Republik
terkutuk ini. Pokoknya kau harus membuktikan diri beroperasi di Batavia ini dan
menertibkan kota ini dulu. Sambil berjalan kau segera jadi letnan. Tahu ? Kalau kau
betul-betul anak syah dan bukan haram jadahnya Kapitein Basuki, kau musti bisa.
Dan jangan memalukan Marice ibumu.”
Tiba-tiba aku sedih lagi, Maricelah yang memalukan kami. Atas nama cina. Harus
begitukah jalan kehidupanku sekarang ? Verrekt ! Budak-budak Jepang itu harus
dihajar. Itu yang penting. Letnan atau kopral, toh suatu saat aku harus berbuat sesuatu
yang haibat. Anak kolong selalu haibat.
Dalam waktu seminggu aku belajar menembak ; cukup tidak memalukan untuk
menjadi komandan patroli. Mayoor Verbruggen memberi aku dua bulan untuk naik
pangkat menjadi letnan II. Hal itu hanya mungkin dalam keadaan kacau. Tetapi NICA
membutuhkan tenaga sebanyak mungkin dan Verbruggen tahu bahwa aku punya
darah komandan. Tugas patroli pertama yang kuperoleh menuju Tanah Abang. Tetapi
sepulang dari sana langsung aku menggenjot jip ke jalan Kramat VI ke rumah Bu
Tana.
Sudah sejak Agustus yang naas itu, ketika aku menerima surat dari Mamiku
malang, keluarga Antana dan khususnya Atik tidak kukunjungi. Aku rindu pada
mereka, sebab dari masa lampauku hanya tinggal merekalah yang kurasakan dekat.
Ke mana mereka ? Masih tinggal di Kramat tenang itu … ataukah …? Dengan tancap
gas pol nyaris dol aku ngebut ke Kramat. Dalam hati khawatir, jangan-jangan aku
datang terlambat. Banyak gadis di dalam kekacauan tak keruan ini diperkosa oleh
macam-macam pihak.
Atik, pasti kau sangat kecewa melihat aku sebagai musuh Soekarno. Di jaman
Jepang kita selalu berselisih paham mengenai orator kolaborator Jepang itu, tetapi
juga seumumnya, tentang apa yang kausebut cita-cita kemerdekaan dan sebagainya.
Aku sungguh tidak mudeng. Larasati, kau yang raden-ayu dari puri Surakarta, dengan
nafas keluarga raya Jawa yang paling modern dan paling setia kepada Ratu Belanda,
mengapa Atik begitu naif berbicara tentang macam-macam impian bangsa yang hanya
impian saja ? Dan jiwaku semakin benci kepada orang tampan perlente Si Soekarno
yang, masygul kuakui, mempunyai dayapikat luar biasa untuk semua wanita.
Termasuk Atik.
¹⁾ Dari kata aanstelling (Bld) : manja dan sentimentil.
40
“Teto, kau mcnganalisa terlalu logis. Kau harus sanggup membaca kcjadian yang
sebenarnya di antara baris-baris yang tercetak,” begitu selalu Atik mcngakhiri
perdebatan kami. "Selama kau belum mampu itu, mijn lieve Raden Mas Sinyo, kau
masih menjadi tawanan huruf-huruf mati."
Aku selalu jengke1 pada gadis satu ini. Bukan pertama-tama karena ia
berpandangan lain, sebab tentang hal itu aku sungguh bukan orang Jawa; dapat tahan
melihat orang lain berpendapat lain. Tetapi karena sebutan mijn lieve itu, yang artinya:
sayangku manis. Yang dalam perasaanku ketika itu bernada ironis. Arau paling
sedikit aku menangkapnya begitu. Ironis dan agak mengecilkan diriku. Kan aku dua
tahun lebih tua Anak 17 tahun omongnya seperti guru. Jawabanku juga selalu: "Yang
kubaca itu fakta. Dan fakta menunjukkan, semua priyayi dan orang-orang Indonesia
yang punya pangkat jelas pro dan membongkok kepada Jepang. Titik! Yang anti
Jepang tetapi tak berdaya adalah orang-orang kecil, orang kampung, orang anak
kolong. Seperti aku ini. Dan beberapa gelintir orang di bawah tanah seperti ayahmu,"
"Dan aku?" (Sengaja mengejek serba menjengkelkan.)
“Ya, kecuali kau. Itu yang sungguh aku tidak paham.”
"Oh ya?" dan ia memandangku dengan mata hitam lebar.
"Kan Atik melihat sendiri. Bagaimana mungkin bangsa yang masih
membongkok kepada perarnpok-perampok mau merdeka. Nanti dulu, belum
titik. Logika! Jangan hanya impian dan serba perasasaan saja, Logika, sekali lagi
logika! Bagaimana ...?"
Tetapi Atik biasanya tidak membiarkan aku menyelesaikan uraian logikaku
Sungguh menjengkelkan. Sebab ia lalu tertawa dan seperti penari serimpi
tangan-kanannya melarnbai dalarn gerak tari, telapak tangan di atas mata sarnbil
berpacak-gulu¹⁾ memandangku serba jenaka. Dalarn saat-saat seperti itu aku
benar-benar kalah. Dengan segala logika dan kehaibatanku. Gadis satu ini bukan
jenis ratu kecantikan, tetapi dalam saat-saat tertentu sungguh mempesona. Tetapi
terus terang saja, aku takut jatuh cinta padanya. Sebab naluriku berkata, aku akan
kalah. Dan justru itu aku tidak mau.
Rumah Bu Antana seperti banyak rumah di Jakarta di masa teror ketika itu, serba
sepi, mati. Pintu pagar terkunci, tetapi serdadu-serdadu yang melompat pintu dan
menggedor pintu-pintu dan jendelanya tak mendapat jawaban apa pun. Pergi ke mana
mereka? Pintu pagar kusuruh patahkan kuncinya dan aku masuk ke beranda muka.
Tak ada satu pun garnbar atau hiasan tergantung di dinding. Mengungsi ke mana
mereka? Tentunya ke Sala. Pintu ke dapur ternyata masih terbuka. Barangkali terlalu
tergesa-gesa mereka pergi. Atau sudah dirampok? Serdadu-serdaduku kusuruh
berjaga di muka dan aku sendirian masuk ke dapur, yang sangat kukenal suasananya
dulu, kalau aku datang dan iseng menolong Atik dan Bu Antana di situ. Tetapi
barang-barang sudah disimpan masuk almari sermua atau peti, entah. Aku sedih juga
melihat dapur dengan bagian tungkunya yang hitam karena asap. Seekor kucing kurus
lari ke luar. Ada bau bangkai. Burung cocakrowo dan kutilang dan deruk mati di dalam
kurungan, dikeroyok semut. Hatiku tersayat-sayat melihat itu. Burung-burung itu
kesayangan Atik. Memang jaman sedang tidak untuk berdendang dan menyanyi
gembira. Siapa pernah mengira dua bulan lalu, bahwa aku akan menginjak rumah
kosong ini dengan seragam NICA? Pasti Atik akan sangat kecewa melihatku. Sangat
kecewa.
¹⁾Gerak luwes dari kepala tanpa bahu badan ikut bergerak
41
Tetapi aku hidup tidak untuk Atik, maaf. Untuk apa? Untuk siapa? Verdomme!
Bagaimana nasib Papi? Masih hidupkah ia? Operasi kedua sesudah patroli liar ke
Kramat ini ialah mendatangi bekas tahanan Kenpeitai, begitu kurancang.
Bajingan-bajingan benar seluruh ras Asia ini: Jepang, Indonesia, mana lagi. Maka
beruntunglah orang-orang kulit putih membebaskan mereka dari segala sadisme dan
kebongkokan mereka. Aku duduk di tempat duduk di sudut beranda belakang yang
biasanya dipakai untuk ruang makan dan tempat bersantai. Meja makan dan lainlainnya sudah ditelanjangi dari tapelaknya. Di dinding masih ada terganung beberapa
gambar pemandangan. Tetapi semua foto keluarga sudah hilang. Juga jam antik yang
bagus bunyinya itu. Segala kebugilan runah ini membuatku merasa hampa. Ternyata
toh aku rindu pada Atik.
Pintu gang tengah menuju karnar-kamar tidur di dalam terkunci rapat. Kuselidiki
segala perabot rumah dan lantai, barangkali ada tanda-tanda yang dapat menunjukkan
mereka mana. Niets¹⁾. Ah, iya, tiba-tiba aku teringat pada lubang di dalam bata
dinding samping rumah. Lubang itu sama sekali tak kentara bagi orang luar, sebab
terlindung oleh akar-akar dan daun tumbuh-tumbuhan sirih hias yang merambat
berdaun hijau loreng kuning. Di situ biasanya keluarga Antana meletakkan kunci
dapur, bila semua pergi, agar yang lainnya dapat masuk rumah tanpa hams menunggu.
Maklumlah, kunci pintu dapur sudah antik juga dan kunci hanya satu. Di dalam
lubang itu pun sering keluarga Antana saling meletakkan kertas bertuliskan pesanpesan, sebelum mereka keluar rumah. Naluriku merasa ... pasti Atik ... Segera aku
berlari ke tempat lubang itu. Kuraba-raba ... betul! Kuncinya ada dan secarik kertas.
Rupa-mpanya mereka toh mengunci pintu dapur, tetapi saking tergesa-gesanya pintu
belum terkunci ... ada apa isinya?
"Kepada Mas Teto." Ah, Atik yang baik hati. Toh ia masih ingat padaku.
"Merdeka. (apa-apaan ini) Mas Teto! Ibu telah mengungsi ke Yogya, ke tempat
kakaknya di jalan Cemorojajar 7. Kalau Mas Teto mau mencari perlindungan, di
tempat Paman pasti Mas Teto welkom ²⁾. Ayah dan Atik sekarang menyumbang seapaadanya di kantor perdana menteri RI. (perdana menteri lenong!) Atik cuma jadi juru
ketik kecil yang tak punya arti. Ayah bertugas entah, sering kian kemari Yogya Jakarta. Mas Teto sekarang di mana? Sudah sejak bulan Juni kau kami cari. 1bu yang
kau pondoki juga tidak tahu. Pindah pondokan katanya. Tetapi Atik tahu, suatu saat
Mas Teto pasti menengok ke lubang kunci di dinding ini, tentu. Nah, kami tunggu,
Khususnya adikmu Atik. Semoga Tuhan selalu beserta Mas Teto dan negara kita,
(negara siapa? Belum tanya, perempuan sudah mau mengatur) yang masih muda ini.
Merdeka!"
Memang kita dari dunia yang berlainan, Atik. Ya, sudah! Beginilah ... ya beginilah
... jadi Atik bekerja sebagai sekretaris pada pemerintah pemberontak itu? Okay!
Baiklah! Mulai sekarang kita akan membuktikan, siapa yang benar. Dengan realita
kejam! Tidak dengan omongan belaka. Kau juga, Tik, semoga kau dan ibumu selalu
terlindung ... oleh Tuhan, kalau itu ada, Tik." Seorang sersan menghampiri aku.
"Pemimpin teroris, Komandan?"
¹⁾ Tak ada satupun.
²⁾ Selamat datang.
42
“Verdomme¹⁾ !" teriakku "Urus kau punya urusan sendiri, tahu?"
"Maaf, Komandan" (tetapi tiba-tiba aku sadar, aku harus berhati-hati) "Ya! Teroris
besar! Ini kaum republik totok!" Cukuplah sudah sementara. Komando kuteriakkan:
"Ayo pulang. Siap!"
Tetapi persis kami baru saja keluar halaman mau mas uk jip, meletuslah beberapa
tembakan dan pelor-pelor berdesing di sekitar kami. Refleksif kami merebahkan diri
dan kami berondongkan hujan peluru ke arah sumber tembakan. Mataku yang tajam
melihat sebuah lutut keluar dari batik pohon asem besar. Kuhujani lutut itu dengan
timah hitam. Teriakan! Dan ia terkulai. Aku lari ke tempatnya, sambil menghujani
peluru. Masih kulihat beberapa pemuda mau lari ke balik tembok. Dua pemuda
tertembak. Tetapi aku dibalas tembakan gencar dari sudut lain. Aku lari. Kuteriakkan
komando ke patroIi untuk lari.
Sebab ternyata tembakan gencar dari segala sudut.
Tetapi bukan pertama karena tembakan itu aku mengundurkan diri. Soalnya aku
tidak mendapat perintah untuk berpatroIi di daerah Kramat ini. Kalau ada apa-apa
nanti, aku dapat dicurigai oleh Mayoor Verbruggen. Cilaka lagi oleh dinas intel
NEFIS²⁾.
Tancap gas!!! Dan di bawah perlindungan tembakan-tembakan gencar kami keluar
ke jalan-raya Salemba, menuju ke markas. Dua orang serdadu kami luka-luka ringan.
Yang Jawa halus itu dan seorang anak Ambon. Aku sendiri tak terkena apa-apa.
Orang-orang Republik penembak jelek ! Dan mereka tak punya senjata otomatik !
Tetapi di jalan menuju markas, pikiranku ke Yogya. Sekali saat Yogya akan kami
duduki. Tinggal soal waktu.
¹⁾ Umpatan babasa Belanda: "Terkutuklah kau!"
²⁾ Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service, intel Belanda..
.
43
6. Merpati Lepas
Tembak itu mobil!"
Serentetan peluru Thompson dan sten-gun akhirnya memaksa mobil iru berhenti.
Kurang-ajar, pelatnya Rl Nomor 2 lagi. Angka begiru arogan. Dikira siapa yang kuasa di
Hindia ini ? Sudah lama aku ingin mendamprat langsung pejabat-pejabat Republik
yang semakin sombong, tidak tahu diri.
Gilanya, mereka berhasil dengan gaya sok diplomat amatir berunding dengan
pimpinan tertinggi Jenderal Christison himself, bahkan Letnan-Gubernur Jenderal
Hindia Belanda. Aku yang paling pertama datang di mobil itu. Kubentak
penumpangnya, kusuruh ke luar.
Tetapi ketiga orang di dalamnya, kurang-ajar, hanya duduk tenang saja. Sopirnya,
aku sudah lupa rupanya, dapat berhahasa Belanda, dan edan sekali, berkata bahwa
yang menumpang ini perdana menteri dan ajudan. Oh, inikah si kancil Syahrir? Tetapi sejak kapan setiap kuli di sini boleh begitu saja mengaku perdana menteri ?
Ketenangan kedua orang di jok belakang itu benar-benar menjengkelkan. Khususnya
yang satu itu, dengan sepasang mata cerdik dan wajah seperri tersenyum mengejek.
Para serdaduku berteriak-teriak karena darah mereka sudah mendidih . Tetapi
entahlah, yang satu orang itu, harus kuakui, begitu memancarkan kepribadiannya,
sehingga aku seolah-olah lumpuh. Yang dua lainnya Tampak agak pucat dan gugup.
Tetapi yang mengaku perdana-menteri itu hanya tenang, senyum dikulum. Dan tibatiba aku seperti keranjingan. Sebab dalam senyum dikulum itu aku melihat segaris
lekuk senyum Larasati. Barangkili itu cuma khayalanku yang serba jengkel campur
bingung. Akan tetapi aku lalu menjadi lumpuh. Keharimauanku menjadi impoten dan
segala lakon peristiwa sudah lepas dari komandoku, sehingga spontan para serdadu,
tanpa menunggu komando, bermain hakim sendiri.
Akhirnya dengan segala ketenangan yang luar biasa, dan yang jelas berwibawa
terhadap para serdaduku, si perdana menteri amatir itu membuka pintu mobil dan
berdiri di muka serdadu-serdaduku. Alangkah kecil orangnya; memang kecil dia dan
sebetulnya terlalu kurang pas pakaiannya, yang dijahit entah oleh taylor pasar di
mana. Wajah bukan tipe orang Jawa, tetapi sejenis orang Banjar atau Melayu,
pendeknya orang yang sulit diberi sebutan kuli. Rambutnya berombak rapi, tetapi
yang indah ialah matanya. Matanya seperti mata Atik, cerdas, tenang seolah seluruh
dunia sudah digenggamnya.
Dalam bahasa Belanda ia tenang berkata padaku: "Jenderal Christison menunggu
saya. Harap jangan mengecewakan beliau." Kurang ajar! Belum lagi aku menguasai
situasi, seorang serdaduku yang hitam berangasan tak dapat menguasai emosinya.
Pistolnya diacungkan pada republiken kecil itu. Dan entah bagaimana persisnya, ruparupanya ia malu karena pistolnya kebetulan kosong peluru, orang kecil itu sudah
dipukul dengan gagang pistol. Segera kularang dia bertindak sendiri. Bukan karena
aku tidak setuju orang penghasut Atikku dihajar, tetapi aku terpaksa harus menjaga
kewibawaanku. Ini soal gengsi, bukan soal lain. Tetapi toh rasa kekesatriaanku yang
kuwatisi dari ayahku melonjak dan serdadu kumaki-maki keras. Sungguh memalukan.
Yang kumaki sebetulnya ketidak-kuasaanku menghadapi Si Syahrir itu.
44
Dari lubuk hatiku toh aku digugat jiwa ayahku yang seolah-olah membentak juga
dalam bentakan-bentakanku: "Bukan begitu caranya menghadapi gentleman! Biar
mereka pemberontak sekali pun."
Darahku masih mendidih memang, akan tetapi rasio Officier Brajabasuki toh masih
kuat dari kebinatanganku. Terpaksa aku mundur, karena memang bagaimana pun, akal
sehatku menghalang-halangi amarahku untuk berbuat hal-hal yang dapat merepotkan
keputusan-keputusan tertinggi politik Kerajaan.
Dalam hal ini aku boleh berterimakasih kepada pengaruh Verbruggen. Ia bandit
memang, tetapi setiap bandit kepalanya dingin dan berkalkulasi, sedangkan aku bukan
bandit dan karena itu sering masih terbawa emosi.
Pada saat itu datanglah patroli tentara Inggris. Aku benci sekali pada mereka itu.
Orang-orang sok gent/emen itu dijadikan tuan di Hindia Belanda, hanya karena
persetujuan antar Sekutu. Bukan karena mereka punya hak untuk berlagak di sini,
seolah Batavia itu Singapore saja. Seharusnya aku sudah pergi untuk menghindari
konfrontasi dengan mereka, tetapi terlambat. Seorang letnan Inggris datang dengan
lagak Britania Raya yang paling dibenci setiap orang kontinental dan tanpa kesopanan
bertanya dulu, ada apa, atau minta pertimbangan sebelum campur tangan persoalan, ia
langsung saja kontan bergaya boss main wasit: "Ayo pergi. Ini bukan urusan kilian."
Dia letnan aku letnan. Hanya dia lebih tua dan punya bendera inggris sebagai
bekingnya dan aku Cuma KNIL.
"Tentara Kerajaan itu KL, tentara Belanda," masih kudengar Verbruggen, "KNIL
cuma segerombolan bandit." Tetapi justru karena itulah jiwaku terbakar melihat
keangkuhan orang Inggris itu. "Urusan Hindia Belanda adalah urusan Hindia
Belanda!" bentakku sengit. Dan apa jawabnya? Ia tidak menjawab. lnilah yang lebih
menghinaku, seolah aku tidak pantas, tidak sederajat, untuk diajak bicara. Dengan
kepongahan merasa sip sendiri ia langsung menuju mobil. Ia memberi hormat kepada
orang inlander keci1 itu; tersenyum, tangan kanannya melambai angin memberi
tanda: "Silakan terus tuan". Tetapi ia sangat terkejut melihat mata biru perdana
menteri Republik yang membengkak, akibat popor pistol serdaduku. Dan apa yang
terjadi? Ia mendekati perdana menteri amatir itu, dan mereka berjabatan tangan. Dan
Wakil Tentara Sekutu itu minta maaf. Ya, minta maaf ! Sungguh pengkhianat! Begitu
halusnya sikap perdana menteri amatir itu, sehingga semakin membakar kebencianku
kepada segala yang berbau Republik. Dengan ramah mereka bersama sopirnya mengamat-amati body mobil yang tertembus peluru. Entah apa yang mereka katakan. Aku
hanya melihat serba benci, tetapi terutarna malu kepada letnan Inggris sombong itu,
yang seperti pelayan restoran kelas tiga mengangguk kepada seorang tuannya dan
omong sejenis ini, entah aku sudah lupa: "Tuan untung masih dilindungi Tuhan," dan
semacam itu. Dan ia melirik padaku, sinis seolah-olah menyindir berkata pada si
Inlander: "Jangan khawatir menghadapi bandit-bandit itu. Britania Raya akan
melindungi Anda dan Republik. Anda."
Lalu ia memandangku lagi dari sudut matanya yang licik. Memang dari dulu
Inggris itu musuh Belanda. ltu baru kuhayati dalam-dalam pada saat itu. Dengan
amarah kuperintahkan anakbuahku masuk truk dan tanpa ambil pusing menyambar
apa, dengan kecepatan barangkali 100 km aku meluncur berang pergi ke Klender.
Terbakar nafsu aku ingin melampiaskan dendarnku. Perdana menteri itu harus dihajar.
Rakyatnya akan kucambuk. Hari itu, Klender, Tanah Abang, Kwitang merasakan apa
konsekuensinya menghina jago KNIL.
45
Malam itu aku hanya murung. Ogah diajak sekak oleh Verbruggen, yang tadi sudah
kulapori (singkat mengenai yang esensial saja) tentang insiden Huize Vijfsprong¹⁾
dengan perdana menteri itu. Berapa sloki jenewer yang sudah kuminum? Tetapi tibatiba dalam lamunan muram serta dendam tumbuhlah secuil penyesalan. Mengapa aku
tadi tidak memakai kesempatan dan bertanya padanya: ''Bagaimana, Atik?" Pasti dia
akan sebaik itu untuk menceritakan sesuatu tentang hal-ikhwal Atik. Barangkali pula
dia akan dapat menghubungkan lagi senyum kegadisan Atik dengan hatiku yang
merana dan menjadi bengis ini. Mengapa tadi tidak manusiawi biasa saja aku bertanya
itu pada orang kecil yang mengaku perdana menteri itu? Ada sesuatu dalam wajah
dan matanya yang hitam lembut itu yang menyalakan pijar sekecil kunang dalam
hatiku, dan yang meyakinkan hatiku yang serba skeptis ini. Ya, ia pasti mampu
memahami aku. Sebab perdana menteri ini bukan tipe teroris. Lain halnya dengan
Soekarno. Orang keci1 tadi orang beradab rupa-rupanya dan berperasaan dalam.
Tetapi justru itulah ia orang yang paling berbahaya, lawan yang sanggup
mengalahkan van Mook. Orang-orang Inggris punya motivasi kotor demi Sirgapura
dan Hongkong mereka. Tetapi mereka juga bukan orang tolol. Mana ada Inggris yang
tolol. Mereka tahu, siapa Syahrir ini dan dalam hal apa dia harus diajak bicara.
Malam itu kami tidak main catur. Hanya omong-omong tentang
orang keci1 berpakaian putih bikinan taylor pasar pagi tadi yang kutembak mobilnya
dan sayang tidak kena.
"Sayang tidak kena; Leo!" kata Verbruggen si bandit tua itu.
''Ya, sayang,” aku meyakinkan diriku lagi, walaupun sebenarnya tidak sangat
yakin, sebab di belakang orang keci1 tadi aku melihat seorang gadis, yang sedang
mengetik entah apa, seorang juru ketik muda yang barangkali masih hijau tunas,
tetapi yang penuh takjub selalu memandang kepada pemimpinnya, perdana menteri
paling muda di dunia dari negara yang paling muda di dunia pula. Dan aku? Aku jadi
kepala bandit tentara yang sudah sekarat. Tetapi Verbruggen punya keterangannya
sendiri. Dan hatiku melonjak ketika ia mencetuskan apa yang sudah aku rasakan
agak sayup-sayup.
"Orang ini musuh paling berbahaya bagi mati-hidup Hindia Belanda. Sebab
dengan senyumnya, dengan kehalusan budinya ia memikat. Seorang Soekarno, ia
boleh-boleh saja didewa-dewakan oleh massa bangsa kuli tolol itu, tetapi ia tidak
berbicara apa-apa untuk orang-orang gede dalam meja penguasaan dunia yang
sekarang sedang menata dunia seperti notaris-notaris yang menata soal warisan
kakek yang baru meninggal. Semakin banyak Soekarno, semakin lekas Republik itu
hancur," katanya tenang: "Sebab dunia yang menang perang sekarang sedang benci
pada segala yang berbau fasis dan militerisme." Dan ia berhenti sebentar untuk
membiarkan lingkaran-lingkaran asap cerutunya mencari kemerdekaannya. Lalu
bergurnam pelan, terlalu dingin untukku yang masih muda itu.
¹⁾ Simpang lima Cikini Raya, Gondangdia Lama, Menteng Raya, Cut Mutia dan Kali
Pasir.
46
"Sebetulnya Sekutu tidak suka pada tingkah Den Haag. Negeri kami ini negeri
kecil dan mereka masih tidak lupa ketika Ter Poorten ¹⁾ begitu saja menyerah kepada
Jepang. Kita ini membonceng Sekutu, itu sungguh pahit. Tetapi memang seorang
tentara hams menghadapi kepahitan seperti apa adanya, tidak hanya berkhayal yang
enak-enak saja."
Lama kami berdua hanya diam.
"Sayang tidak kau tembak mati Si Syahrir tadi," gumamnya tiba- tiba tetapi tetap
tenang, dingin. "Seandainya ia tadi kau tembak, saya bisa cari-cari alasan apa pun
kepada atasan. Dan atasan kita toh akhirnya akan tersenyum mengangguk. . Mereka
pun tahu: bukan Soekarno, tetapi Syahrirlah musuh mereka yang paling berbahaya.
Justru karena ia halus. Justru karena ia berbahasa manusiawi dan tidak fanatik. Orang
macam ini mudah sekali memikat opini dunia. Dan otakku boleh kalian satai pada
sangkur, tetapi sedikit banyak saya sudah kenaI mental amok kaum Inlander di sini.
Saya berani bertaruh: mereka di pihak Republik sana pun banyak yang akan senang,
seandainya Si Syahrir itu kau habisi riwayatnya. Sayang, sungguh sayang. Memang
sering kendali sejarah ditentukan oleh orang-orang tolol seperti kau. Ya, ya,
sebetulnya bukan menteri atau jenderal yang seharusnya mengatur sejarah, tetapi
kopral-kopral. Hidup kita akan lebih sederhana jalannya."
"Sederhana untuk kaum bandit seperti kau, maksudmu?" Me- ledaklah tawanya,
seperti sebaterai mortir. "Hahahaaaaaa ………………… kaukira, sekarang kau
belum bandit?"
"Kau terlalu banyak minum." Dan langsung botol jenewernya kutuangkan pada
lidah dan kerongkonganku.
¹⁾ Panglima Besar KNIL, yang diangkat Sekutu menjadi panglima tertinggi seluruh
Angkatan Darat Sekutu di Indonesia melawanJepang, 1941-1942.
47
7. Singa Mengerti
Entahlah, Mayoor Verbruggen memang jenis jago berkelahi yang tidak dapat dibuat
main-main. Akan tetapi aku merasa, bahwa ada semacam kebapaan padanya. Paling
tidak terhadapku. Semula aku khawatir, bahwa kekecewaannya ditolak oleh Mamiku
dulu akan terlampias pada diriku. Akan tetapi tidaklah begitu. Bahkan sebaliknya aku
sendirilah yang harus kuprihatinkan.
Petang itu aku dipanggil menghadapnya. Aku sudah siap-siap mendapat hukuman
atau hajaran entah apa dari dia. . Sebab kuakui, hari-hari terakhir ini aku cuma
berkelahi saja dengan rekan dan main tempeleng kepada bawahanku. Ada-ada saja
yang membuatku naik pitam dan lupa disiplin. Tentara dalam keadaan perang tidak
akan mengizinkan ketegangan-ketegangan terjadi di antara sesama anggota tentara,
apa lagi perkelahian tanpa alasan.
"Kau seperri. anak kecil," begitu Verbruggen mulai dengan pengadilan yang
sudah kuharapkan. "Kau mema1ukan sekali untuk Tentara Kerajaan. Kita dalam
keadaan kritis dan hari depan negeri ini tergantung pada berhasil tidaknya kita
menguasai vakum kewibawaan di Hindia Belanda. Dan kau sekarang main Kenpeitai
terhadap bawahan dan rekan-rekanmu. Saya berkuasa menurunkan pangkatmu jadi
serdadu biasa, tetapi ingin mendengar dulu dari mulutmu sendiri, mengapa kau
berbuat begitu. Kenapa, hei? Jawab."
"Aku memang bersalah, Mayoor."
"Soal bersalah itu semua orang sudah tahu, tidak perlu kau terangkan. Tetapi
MENGAP A ... itulah yang hams kau sadari. "Barangkali karena kurang tidur aku
lekas marah, Mayoor."
"Tidak! Bukan itu. Saya tahu mengapa kau begitu. Kau dendam, karena ayahmu
dibunuh Jepang bukan?" (Aku diam. Betul, apa yang dikatakan Mayoor Verbruggen).
"Ayahmu masih hidup, dear Leo." Terperanjat seluruh tubuhku. Mataku membelalak
seperrti kehilangan segala bahasa. Aku hanya melompong penuh pertanyaan.
"Ya, kau hams berterimakasih kepada Tuhan. Ayahmu belum sempat terbunuh
oleh Kenpeitai."
"Kok tahu?" Mayoor Verbruggen mengambil salah satu map merah dari dalam
bironya.
"Ini Iaporan Iengkap dari Intel kami yang sudah menyelidiki semua penjara dan
tempat-tempat tahanan bekas Kenpeitai. Para tahanan sudah lari atau dilarikan polisi
Republik."
"Lalu sekarang, Papiku di mana?"
"Itu akan saya jawab nanti. Atau lebih tepat, bam diselidiki NEFIS. Tetapi terlebih
dulu pertanyaan ini. Mengapa kau beber apa kali keluyuran ke jalan Kramat tanpa
mendapat perintah operasi ke sana? Kau tahu apa itu artinya dalam kamus disiplin
tentara?" (Aku Iebih bengong lagi. Begitu tajamkah mata-mata intel?)
"NEFIS telah memberi rekomendasi kepadaku untuk menghabisi riwayatmu,
karena kau didakwa selaku mata-mata untuk Republik, tahu? Ini soal serius, kelinci
kecil. Ini sangat serius. Kitta dalam keadaan darurat perang. Dan seorang komandan
yang selalu menyelesaikan segala unsur yang mungkin dapat menggagalkan rencanarencananya.Kebijaksanaan setiap komandan akan menyingkirkan segala kemungkinan
rusaknya matarantai strategi dan taktik geraknya tanpa membiarkan dipergoki risiko.
48
Apa itu artinya, kau dapat menafsir sendiri."
"Tetapi aku bukan mata-mata Republik."
"Barangkali bukan, tetapi barangkali juga ya."
"Tetapi aku jelas bukan yang diperkirakan NEFIS yang, sungguh aku tahu, masih
serba hijau dan seumumnya orang-orang tolol. "
"Kalau badan intelijen menaruh curiga, itu, harus kau ketahui, adalah tugas dan
kewajibannya. Tetapi saya tidak akan memanjanglebarkan masalah ini. Pendek saja,
saya masih mau memberi kesempatan padamu. Sebab saya tahu, bahwa kau
menderita. Dan setiap lelaki yang menderita, persetan kau, mesti lari ke si wanita,
nggak usah bohong. Dan di Kramat itu kau mencari perempuan, ayo, kutempeleng
kalau bohong
"Tidak! Tidak, Mayoor. Aku berani bersumpah."
"Sumpah-sumpah segala. Omong kosong. Bukan intel KNIL yang hijau, tetapi kau
sendiri, kelinci kecil. Jangan sok. Akuilah, bahwa .. , eh ... siapa namanya ... (ia
membuka mapnya yang berwarna merah tadi dan mencari sesuatu dalam lembaran
kertas laporan). Nanti dulu ... ya, Ratna Larasati puteri Tuan Antana, pembantu
khusus perdana menteri Sutan Syahrir. Larasati bukan, nama pacarmu Alias Atik? Ya,
jangan kira, NEFIS kita bukan sembarang intel. Mereka tahu sangat banyak." (Seperti
terbelah oleh halilintar dadaku. Harus kuakui terengah-engah, memang mereka tahu
banyak.)
"Tetapi, Mayoor ... perkenankanlah aku menguraikan duduk
perkaranya."
"Saya tidak tertarik pada segala uraianmu, Anak Muda. Yang
jelas ialah ini: Nona .... siapa tadi (ia melihat lagi ke dalam map tadi). La-ras-ati
adalah salah seorang anggota sekretariat itu si perdana menteri amatir Sutan Syahrir.
Dan rumahnya di Kramat VI, persis di dalam rumah yang sering kau kunjungi. Jadi
.,. jadi apa, kelinci kecil? Jadi setiap orang yang normal dalam situasi perang pasti
akan menaruh syak kepada siapa pun yang tanpa mendapat penntah keluyuran
sendirian ke satu alamat yang ia rahasiakan."
"Tetapi aku bukan orang Republik. Soalku dengan gadis itu hanyalah pribadi saja.
Keluarga merekalah yang menolong kami dalam pendudukanJepang." (Mayoor
Verbruggen tertawa keras sangat ironis.)
"Hahaaaa, ini dia: Hanya kenalan biasa. Mana ada orang yang punya susu-susu
montok kok kenalan biasa. Tentu montok pasti dada gadismu. Apalagi anunya ...
lalu!"
"Diam!" potongku "Kau di sini sebagai komandan militer. Bukan komandan
urusan pribadi."
"Hei, hei, tenang, tenang." (Tetapi aku terlanjur naik pitam.) "Kau boleh
menembak aku sebagai mata-mata, tetapi memperolok-olok gadis satu ini kularang.
Kularang!"
"Tenang, tenang ... sudah .... "
"Aku tidak rela kalau ... , Tetapi Verbruggen berganti berteriak
49
Dan gelas gelas jatuh dalam gempa pukulan kepalnya pada meja.
“Diam ! Berdiri tegak kau kelinci, di muka komandan di medan perang!"
Aku terkejut juga dan berdiri tegak dinas. "Dengar! Saya tidak butuh dongeng
aneh-aneh. Faktalah yang penting bagi seorang militer. Dan fakta menunjukkan,
bahwa sebagian para tahanan Kenpeltal, dan sangat mungkin sekali ayahmu juga, di
bulan Mei tahun ini dipindahkan ke Sukamiskin di Bandung sana.
Dan yang terpentlng, sangat mungkin sekali, ayahmu juga telah bergabung dengan
gerombolan yang menamakan diri Tentara Keamanan Rakya itu. Sangat mungkin.
Kami belum mendapat kepastian. Tetapi yang Jelas, kau harus berhati-hati, Sinyo.
Seandainya kau lni anak saya ... (tiba-tiba ia terhenti dan berkata seolah-olah pada diri
sendiri, lunak kebapaan) sudahlah, jangan dikorek-korek ... pendek kata: Leo,
kepercayaanku padamu tidak berkurang hanya karena laporan-laporan dan nota dari
pihak Intel. Tetapi kau harus hati-hati, anak muda! Hati-hati. Ini bukan perang biasa
dengan lindungan hukum militer dan hukum intemasional segala. Ini bandit melawan
bandit, tahu! Kalau ada apa-apa, bilang pada saya. Mari ambil botol jenewer dan dua
gelas sloki di dalam almari itu. Saya ingin main catur. Tidak ada gunanya kita saling
bersitegang."
Dan diam kami main catur. Lebih untuk melupakan diri daripada main. Permainan
sekak Mayoor Verbruggen sungguh cerdas. Belum ada sepuluh menit aku kehilangan
kuda dan benteng. Dia hanya kehilangan kuda satu. Tetapi toh ia mulai mengorekorek lagi.
"Cantik gadismu itu?" ia bertanya sambil mengajukan pion. Awas, keliru pasang,
ratuku nanti terkena ster. Satu pion kuajukan untuk memberi si ratu jalan keluar.
"Semua puteri Sala cantik," jawabku menghindar.
"Termasuk Marice," gumamnya. Mataku melihat padanya, tetapi pandangannya
asyik pada tokoh-tokoh caturnya.
Hanya seolah-olah? Spontan pertanyaanku mendengung dalam benakku:
Seandainya kau ini ayahku ... bagaimana? Awas, raadsheer ¹⁾ ia tempatkan di situ. Ah,
ia mengincar ratuku. Okay, daripada menunggu dan terkurung. Ayo, keluarkan ratu.
Ofensip sekarang. Mayoor Verbruggen mengangguk-angguk. Ada apa? Aku keliru
pasang? Bersiasat apa bandit satu ini? Kuperiksa letak pasangan-pasanganku. Aman.
Satu lagi pion ia ajukan. Mau apa dia? Aneh juga caranya ia bergerak. Ratuku
kutempatkan dalam posisi yang lebih terlindung. Ia tersenyum.
"Kalau kau masih ingin bertemu dengan gadismu itu," katanya tenang, tanpa
melepaskan pandangan dari bidang catur, "saya tak berkeberatan."
Kaget juga aku mendengar ucapan itu. Mengapa ia begitu memperhatikan Atik?
Untuk menjebakku dalam perangkap dan mendapat kepastian tentang Papiku? Dan
begitu membalas dendam rivalnya lama yang merebut Marice dari jangkauannya?
¹⁾ Ningrat penasihat. Dalam pennainan catur ditempatkan di samping raja atau ratu.
50
"Yang penting, kau harus belajar menghilangkan emosimu terhadap Jepang,"
kudengar Verbruggen seperti suara hati menggugat.
"Tidak mungkin. Mereka telah membunuh Mamiku. Dan itu dugaan tentang Papi
yang masih hidup, itu pun baru perkiraan."
"Kau tahu pasti ibumu telah mati ?"
"Ada saksinya."
"Kau bicara sendiri dengan dia dan sudah mengecek segalanya.
''Belum. Tetapi ... " (tiba-tiba aku disambar oleh pikiran, bahwa mungkin) "Apa
NEFIS tahu juga di mana Mami ada sekarang?"
"Saya duga keledai-keledai NEFIS tidak tahu juga. Tetapi yang jelas bagi kita
sekarang ialah: kepentingan Kerajaan tidak menghendaki prajurit yang emosional.
Perang tidak bisa dimenangkan dengan emosi. Tetapi perhitungan yang dingin.
Republik itu juga pasti akan hancur dengan sendirinya karena emosi mereka. Emosi
bukan nakhoda. Paling-paling dinamit yang buta. Berhari-hari kau marah terhadap
bawahan dan cekcok dengan rekan sesenjata. Hanya karena gadismu di pihak sana
bukan?"
"Tidak! Saya marah-marah karena mereka pengecut. Dan ada beberapa senjata
yang hilang dan menurut dugaanku yang kuat, itu diserahkan kepada kaum
pemberontak. Memang tidak pemah dapat dipercaya serdadu-serdadu Jawa kita. Saya
minta pasukan Ambon saja. Mereka setia dan berdisiplin. Tetapi yangJawa-Jawa
itu ... "
"Ya, emosi lagi. OrangJawa itu punya kanker , emosi namanya. Tapi mereka
serdadu. Kau perwira. Itu lain. Sudahlah! Saya bukan gurumu, bukan pendidikmu.
Pokoknya, awas!"
"Dia bukan tunanganku, bukan paearku, bukan adikku. Mengapa aku harus
waspada bertemu dengan dia," tangkisku, sambil menggerakkan satu benteng
yang masih tertinggal, tukar tempat dengan raja.
"Kau bohong. Ster !"
"Kurangajar," dia mengalihkan perhatianku tadi. Kuamankan
ratuku. Tetapi posisinya sekarang malah berbahaya. Kukembalikan lagi. Satusatunya jalan hanya mencaplok kuda penyerangnya itu. Uah, sulit ini. Kalau
kudanya kucaplok, kudaku yang terakhir amblas juga.
"Korbankan kudamu itu," nasihatnya begitu kalem menjengkelkan. "Kalau
tidak, posisimu lebih sulit lagi. Percayalah."
"Sejak kapan nasihat musuh pantas diikuti?" tangkisku lagi.
"Terserah. Asal tahu konsekuensinya."
Betul juga dia. Tidak ada jalan lain kecuali mengorbankan kudaku terakhir.
"Kalau perlu kau bisa minta surat perintah dariku, untuk bertemu dengan ... siapa
namanya dia?"
51
"Ah, Atik lagi." Rupa-rupanya ia merasa aku tak senang bila Atik dibicarakan
terus.
"Jangan salah mengerti atau salah tafsir dan curiga macam-macam, Saya
cukup manusia untuk mengerti, bahwa seorang muda membutuhkan sahabat
puteri."
"Kok Mayoor begitu getol mengurus gadisku? Ada minat?" Tetapi segera aku
menyesal atas pertanyaanku yang jelas bernada sinis itu. Untung Sang Mayoor
masih cukup punya persediaan humor dan ia tertawa, sambil menggerakkan
pionnya untuk mencaplok kudaku yang tinggal satu.
"Kalau kau curiga, silakan. Tapi kalau kau mau saya lindungi, silakan pakai
kesempatan. Apa tidak boleh, sesekali orang itu baik hati? Sekak!"
Orang ini bandit tulen atau setan yang memihak pada Tuhan Allah? Pikiranku
sedikit jengkel sedikit gembira atas uluran tanganya yang aneh, yang bisa berbahaya,
tapi barangkali toh jujur juga. Aku pun bandit sebenamya, tetapi tak merasa orang
jahat.
Mengapa pula la harus kuanggap jahat? Raja kupindahkan. Defenslp pas-pasan
memang, tetapi tidak ada jalan lain. Rupa-rupanya aku akan kalah. Sulit bertanding
tanpa kuda dan satu benteng hilang. Seperti kaum Republik itu. Gila mereka itu,
perang melawan pihak yang keluar dari Perang Dunia sebagai pemenang.
"Kau sudah kalah."
''Belum.''
"Mau apa dengan posisi begitu buruk? Sudah, kau kalah."
''Belum.''
"Coba, mau bergerak bagaimana." ''Paling sedikit masih bisa kucari remis."
"Ah, remis! Main remis hanya untuk kakek-kakek yang tidak lucu."
Seorang sersan mayoor PHB ¹⁾ melapor. Ada telpon dari Kolonel van Langen.²⁾
“Apa dia tidak bisa main catur dengan Spoor?" tanyanya jengkel pada sersan
mayoor PHB yang ekstra pasang tampang yang tolol.
"Ada apa lagi ini!" Agak ogah-ogahan ia pergi ke kamar PHB.
Jenewer ini sungguh sedap kemranyas. Nikmat kusisip sloki yang ke berapa entah.
Verbruggen ini orang baik. Aku merasa itu. Tidak. Ia tidak bermaksud membuat
jebakan. Tetapi aku sungguh gusar, bahwa Atik sudah masuk dalam laporan NEFIS.
Jadi kami sudah saling jadi lawan serius sekarang. Aku NICA dan dia se- kretaris,
kabinet impian kaum Republik. Pahit, ya pahit memang selamanya yang harus
kutelan. Apakah NEFIS sudah tabu juga, bahwa Mami menjadi gundik Jepang?
Bahkan barangkali Verbruggen juga sudah tahu? Belum. Kentara kalau ia sudah tahu.
Jangan sampai ia tahu. Akan remuk jiwanya, dan ia menjadi bandit sungguh-sungguh.
¹⁾ Perhubungan.
²⁾ Panglima operasional Belanda ke ibukota RI Yogyakarta 1948.
52
Begitu pun Papi, kalau benar ia masih hidup. Akan hancur kedua-duanya. Dan kau,
Leo?
Barangkali Verbruggen toh benar. Aku merindukan Atik.
Sudah lima kali ini aku ke Kramat dan masuk menyelinap melalui pintu dapur.
Sesudah kunjungan yang kedua kali pintu dapur kukunci cermat. Tetapi surat Atik
belum kujawab. Aku takut. Kunci masih terletak di dalam lubang dinding seperti
dahulu. Seorang diri aku datang, dalam waktu istirahat bebas dinas. Untuk ketiga
kalinya. Hanya untuk duduk-duduk saja di serambi belakang. Dan melamun. Sebab
sesudah segala peristiwa yang menimpa diriku, aku semakin benci bertemu orang.
Hanya dengan Mayoor Verbruggen aku masih dapat berdialog, sebab bagaimana pun,
dengan mayoor petualang itu aku masih mempunyai ikatan intim dengan masa
lampauku.
Bangkai-bangkai burung-burung kesayangan Atik telah kuambil, kukubur dengan
segala dedikasi. Kurungan-kurungan telah kubersihkan. Dan sayu aku teringat, betapa
sayang si Atik kepada burung-burungnya.
Beberapa kursi kulihat telah hilang. Barangkali diambil pencuri? Tetapi ruparupanya mereka tidak berhasil atau keburu waktu mendobrak pintu-pintu kuna yang
amat kuat itu.
Ada alasan baru aku mendatangi rumah ini, begitu pikirku gembira. Demi
keamanan milik keluarga yang selalu baik kepada keluargaku. Tetapi sinting juga,
seorang perwira KNIL mengurung diri seperri biarawan dalam rumah yang kosong.
Jangan-jangan aku ditembak Intel Belanda atau tertusuk oleh teroris. Tetapi suasana
rumah ini benar-benar merupakan kebutuhan untukku. Orang yang lari dari dunia
yang satu harus menemukan dunia yang baru untuk bisa bertahan diri.
Rumah keluarga Antana ini merupakan bentengku yang terakhir. Aku sudah tak
punya siapa pun. Dan walaupun Atik memihak kaum pemberontak, aku tak akan
menyalahkan dia. Suatu ketika Atik akan mengakui, bahwa akulah pihak yang benar.
Barangkali kata benar terlalu sok. Tetapi paling tidak, pendasaran sikapkulah yang
paling rasional. Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan
minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang
seperti buah durian yang jatuh karena sudah matang.
Aku sedikit terhibur dengan "biara" yang kutemukan ini. Yang terakhir kali, ketika
pada suatu pagi aku datang lagi di rumah Atik dan mau mengambil anak-kunci dalam
lubang dinding seperri biasanya, anak-kunci sudah tidak ada. Apa ada yang mengintip
dan tahu letak kunci itu? Dari balik jendela kudengar di dalam kamar ada bunyi apa
entahlah. Pelan-pelan aku menuju pintu dapur. Ternyata sudah terbuka. Berhati-hati
dengan pistolku siaga aku masuk kamar dapur. Dapur kosong. Tetapi pintu gang
tengah dari serambi kamar makan ke dalam sudah terbuka. Bunyi-bunyi dalam kamar
berhenti.
53
Sepatuku toh membuat pencuri itu waspada. Aku bertekad menunggu dan diam.
Sampai tiga menit tak ada bunyi satu pun yang terdengar. Tetapi lihat, kesabaranku
berhasil. Pintu kamar tidur dibuka dari dalam pelan-pelan. Tangan
perempuan.
"Atik!" teriakku gembira. Tetapi Atik jatuh pingsan terkulai saking terkejutnya.
Aku sangat menyesal akan sikapku yang ceroboh. Tentu saja ia pingsan. Seorang
gadis sendirian dipergoki oleh serdadu. Kubaringkan ia dida1am sofa di serambi
makan, karena di dalam kamar tidur semua gelap. Kuangkat dadanya, menjamin
pernafasannya. Kubisikkan dalam telinganya: ''Atik! Atik! Jangan takut. Aku Teto."
Tiba-tiba ia tertegun kaget dan refleks mau lari. Kudekap dia. "Aku Teto. Aku Teto.
Atik!" Bagaimana pun aku salah. Sebab pastilah Atik sangat terkejut melihat seragam
NICA-ku. Wajahnya seperti patung marmer. Pucat mukanya dan matanya
menyinarkan ketakutan. Kata pertama yang keluar ialah: "Teto! Teto!" Lalu
menangislah Atik. Pada saat itu aku bimbang untuk pertama kali. Pada saat itu aku
takut kehilangan seorang lagi. Pada saat itu aku tidak ingin dilahirkan dan malu.
Begitu kuasakah gadis untuk menggoncangkan suatu keyakinan lelaki yang kuat?
Atik menangis, tetapi ia membiarkan aku mengusap air-matanya. Ia tampak kurus dan
karenanya matanya tampak lebih besar. Betapa lahap mesra Atik kudekap dan
kucium. Bukan karena asmara, tetapi justru karena dalam saat-saat seperti ketika itu
orang merasakan naluri ingin melindungi, ingin melimpahkan segala yang baik
kepada seorang adik. Aku tak pernah punya adik dan barulah kuakui, betapa sudah
lama aku merasakan kekosongan sebagai seorang anak tunggal yang tidak pernah
memperoleh kesempatan untuk bertanggungjawab terhadap seorang yang lebih muda.
Tetapi inikah caraku bertanggung-jawab? Wajah Atik pucat terasa menggugat. Masih
kurasakan tatapan manik matanya yang hitam dan putih mata yang tampak bernoda
urat-urat kecil. Tetapi manik mata itu seperti sepasang lubang pistol. Atik bukan tipe
sekejam pembunuh.
Tetapi tafsiran-tafsiran kesehari-harianku sebagai serdadu yang selalu bergumul
dalam suasana teror Jakarta yang penuh gugatan pada saat itulah yang membuatku
lebih merasa terancam. Semua yang gila ini tidak mungkin terjadi seandainya kaum
teroris Republik tidak edan membangkang menyerang. Jiwaku serba panik ditatap dua
manik mata hitam itu yang mengancam. Kelak aku baru sadar, bahwa Atik tidak
pernah mengancam. Tak sewatak dengan gadis seriang itu mengancam seorang
sahabat. Tetapi memang aku merasa terancam. Aku panik takut kehilangan Atik. Dan
aku minta ampun. Kurebahkan mukaku di dalam pangkuannya dan aku berteriak:
"Bunuh saja aku!" Gila, tentulah gila omong kosong seperti itu. Siapa akan berpikir
serambut pun, Atik membunuh orang. Serdadu bersenjata lengkap lagi.
54
Tetapi benarlah apa yang kurasakan. Memang rasaku ketika itu ingin saja dibunuh.
Dibunuh oleh lubang kekosongan dalam dua laras pistol mata yang diarahkan
kepadaku itu. Mati! Mati saja! Baru sekian bulan sesudah itu aku diterangi pikiran
tentang kemungkinan, ya mungkin, bahkan jelas sebetulnya, lubang hitam itu bukan
lubang laras yang berisi peluru pembunuh, seperti yang terbayang dalam benak jago
kelahi yang tahunya hanya bahasa membunuh atau dibunuh.
Bukan sepasang hitam lubang pistol kedua mata Atik itu, melainkan sepasang
hitam putik payudara yang menawarkan kehidupan bagi si bayi. Sebab benar-benar
bayi aku pada saat itu. Menangis memohon hidup. Memohon perempuan.
Perempuan bukan dalam arti yang dinikmati, tetapi perempuan yang merupakan
syarat mutlak agar aku hidup. Dalam malam-malam menganggur dalam kamar
tangsiku yang penuh gambar-gambar cabul, justru gagasan aneh semacam tadi timbul.
Aku butuh Atikku agar aku hidup terus. Tetapi gadis itu ada di pihak musuhku dan
harus kuhitung sebagai musuh. Dan semakin menjadi-jadi benciku kepada orangorang Republik itu, yang merenggut satu-satunya harapan dan tumpuan jiwaku yang
merana ini. Seolah-olah separuh paru-paru harus kuberikan kepada teroris-teroris,
hanya untuk dijadikan keripik paru-paru makanan kesukaan mereka. Siapa tidak akan
mengamuk! Dan aku mengamuk memang.
Atik kuteriaki yang bukan-bukan. Aku sudah lupa, kekasaran apa yang sudah
kusemburkan di wajah yang pucat lesu itu. Tetapi aku kalah. Wajah itu ternyata lebih
kuat daripada granat-granat lemparan mulutku yang gila. Wajah itu seperti panser
titanium yang tahan peluru apa pun. Dan aku menangis. Untuk kedua kalinya dalam
masa awal kedewasaanku, sejak petang dalam taman itu, ketika Bu Antana
mewartakan hal-ihwal Mamiku yang malang. Mamiku yang dirusak Jepang. Atikku
yang dijerat Republik. Pastilah Atik telah menyeka rambutku, pastilah ia telah
mengucapkan kata-kata hiburan, tetapi saat itu aku tidak mendengar apa-apa. Rasanya
aku dijerumuskan ke dalam jurang oleh mereka yang paling kucintai dan aku
ditertawakan. Aku hanya minta ampun.
Aku, lelaki KNIL yang sekasar dan sehebat itu di muka kompiku, aku tidak tahan
merasakan penderitaan ditinggal oleh seorang ibu dan seorang adik perempuan.
Keduanya kaum yang rapuh, tetapi entah begitu kuasa justru mereka itu karena kerapuhan mereka. Aku teringat Mayoor Verbruggen, yang pernah berantakan mengalami
penderitaan kekasih diambil orang lain. Sampai ia jadi bajingan, menurut katanya
sendiri. Apakah aku akan menerima balasan Karma dan menjadi bajingan juga?
Ketika itu aku ingin mempertahankan yang masih dapat kupertahankan. Dan aku
hanya bisa berbuat sesuatu yang aku tahu, menjijikkan perempuan: menangis. Wanita
tidak suka melihat lelaki menangis. Menangis adalah hak kaum wanita. Lelaki harus
memaki-maki, mengumpat-umpat bila ia sedih. Atau diam ningrat.
55
Atau meledakkan dunia ini dengan bom atom. Tetapi tidak menangis. Dan justru
itulah yang kulakukan. Sungguh kesalahan besar.
Indo yang kuwarisi dari Mami tidak konsekuen, tidak mungkin konsekuen, justru
karena keindoan tidak bisa diperhitungkan. Tetapi saat itu aku tidak berpikir macammacam selain ingin memiliki Atik.
Kelak aku baru tahu, bahwa memiliki saat itu hanya berarti ingin memperkosa Atik
agar dimasuki oleh duniaku, oleh gambaran hidupku. Tanpa bertanya apa dia mau
atau tidak. Dan sesudah sadar, bahwa itu tidak mungkin, kudobraki duniaku, dan aku
hanya bisa menangis. Memang aku masih terlalu muda, terlalu kurang kenal dunia
sekelilingku. Atik jelas bukan adik. Ia praktis pengganti Mamiku. Dan di dalam
pangkuan pengganti Mamiku itu aku menangis, tolol dan menjijikkan. Aku memang
merasa malu, sebab sikap lelaki begitu itu nyaris berwarna cabul. Tapi apa yang dapat
kukerjakan? Biar! Kepada siapa pun aku akan malu. Tetapi kepada Atik aku sanggup
telanjang dan ditelanjangi. Sebab kalau orang tidak sanggup itu, pada satu orang saja
secara mutlak bugil, tak akan pernahlah orang bisa punya pegangan. Terhadap Atik
aku ikhlas malu dan dipermalukan. Tetapi kambuhlah segera harga diriku sebagai
jago kelahi KNIL. Dan aku penasaran. Sungguh, aku tidak tahu apa yang dikatakan
Atik ketika itu.
Goblog, totol, seharusnya aku mendengarkan dia. Tetapi untuk itu ternyata aku
terlalu egois. Dan aku meloncat. Aku penasaran, Thompsonku kulemparkan pada
tembok. Pistolku kulemparkan pada pintu dan aku lari. Dengan alasan apa aku pun
tidak tahu jelas. Lari menuju ke jipku. Tak bersenjata lagi, kunyalakan mesin yang
bersamaku menggeram serba panik dan aku lari. Enam puluh, delapan puluh,
sembilan puluh ... seperti orang gila mencari negeri gila. Penjaga markas sampai
terjatuh semak ketika ia terpaksa meloncat ke semak pagar menghindari jipku yang
dol menyambar tiang bendera. aku seperti tak siuman menelungkupkan diri pada stir
jip dan diam. Aneh rasanya ketika mesin jip itu sudah tidak berdesing.
Kudengar suara Verbruggen: "mari." Dan aku diseret olehnya. Terhuyung-huyung
aku diterkam oleh tangan-tangan besi sedadu-serdadu dan direbahkan dalam veldbed.
Mataku sepetti jaring tekstil, cuma dapat memandang ke plafond seng-berpola garis
jarang yang catnya sudah rontok itu. Sepuluh menit? Setengah jam? Aku tidak tahu.
Aku hanya melihat sosok tubuh besar kekar si mayoor itu di samping veldbedku dan
yang memandangku dari atas. Mengerikan bajingan besar itu kalau dilihat dari bawah.
Sepetti setiap saat ia tinggal mengangkat kakinya satu san jlog, sepatu itu menjebol
perutku. Tetapi ia hanya bertanya: "Nah, ada apa?"
56
Tiba-tiba aku terkena panik lagi. Mengapa aku tadi gila melemparkan senjatasenjataku pada dinding? Bagaimana kalau dua senjata itu jatuh ke tangan tetoris?
Semakin sadarlah, bahwa aku sudah tidak waras. Ketetangan apa yang harus
keberikan kepada Verbruggen? Sebab memberi kesempatan kepada musuh memperoleh senjata jelaslah penghianatan militer yang tidak dapat diampuni.
Mengapa kulempar senjata itu? Sentimentalitas anak puber?
Emosi anak yang serba takut dan lari tunggang-langgang dari kuburan yang disangka
menjulurkan jari-jarinya untuk menangkapnya? Spontan gejolak melonjak ingin
Membuktikan : Aku tak salah: Aku tak salah! Jangan aku ditangkap ! Aku harus
bohong. Tetapi Verbruggen diam dan suara tik-klitik gelas kudengar di mejanya.
Sejurus kemudian ia sudah di sampingku lagi.
Aku ditarik dengan keras untuk duduk. Ia mengambil gelas wiski dan
menyodorkan padaku. "Minum!" Kata itu seperti komando yang spontan dijawab
dengan jiwa serdaduku. Kuminum. Hangat kemranyas rasanya di mulut dan perut dan
sekujur badan. Dan mulailah tumbuh lagi kesegaranku dan juga akal sehatku.
Tetapi Verbruggen tidak pemah menanyakan senjata itu. Barangkali dia juga tidak
tahu dan tidak mengurus soal tetek -bengek yang pada perhitungannya juga tidak akan
dilakukan oleh seorang letnan kelahi yang benci pada Republik itu. Dan aku cukup
kuasa untuk memerintahkan pengambilan senjata baru dari gudang. Tetapi
kebengisanku sebagai KNIL menjadi-jadi. Rasanya semua yang ada hubungannya
dengan Republik, alias perampok yang merampas Atik, harus kubinasakan. Hanya
disiplin militer dan instruksi-instruksi dari pimpinan tinggi Inggris yang menjengkelkan itu masih menahan kegilaanku menjawab teror dengan teror yang entah lebih
teror lagi.
Tetapi dalam malam-malam yang menganggur, atau pada siang hari bolong, di
terik panas jam 2.00 siang, kalau semua sedang lesu tidur-tiduran sambil mandi
keringat (aku biasanya tiduran di bawah pohon jambu monyet di belakang), kucoba
memberi rasio atau lebih tepat hiburan diri (hiburan pengecut, aku tahu), bahwa
senjata yang kulemparkan itu mudah-mudahan oleh Atik ditafsir selaku pemberian
konsesi kepada kegandrungannya pada Republik itu, dan begitu mudah-mudahan aku
masih tetap diterima sebagai sahabat Atik. Kendati sahabat yang tidak masuk akal.
Bersahabat dengan Atik, jelas. Tidak dengan Republik. Namun tetap tak enak juga
nuraniku. Bagaimana kalau itu jatuh di tangan pengacau-pengacau sana? Apa boleh
buat. Silakan. Asal Atik sedikit gembira karenanya. Naif, tolol memang pikiran
semacam itu. Dan sangat tidak bertanggung-jawab dan pengecut. Tetapi setiap orang
berhak sesekali menjadi pengecut, kalau itu menyangkut perasaan yang dalam.
Perasaan dalam?
57
8. Banteng-banteng Muncul
Tahun 1946 bagiku serba simpang-siur dan aku sendiri sudah tidak tahu lagi harus
berpikir apa. Patroli rutin semakin membosankan, karena terus-terang saja, kami
orang-orang tentara tidak paham soal diplomasi dan segala kemunafikan kaum
diplomat, sehingga merasa dijadikan bulan-bulanan. Jenderal Spoor jelas mengarah ke
suatu penyerangan total. Kami tahu, tekun dia sedang mempersiapkan operasi tidak
kecil-kecilan. Tetapi dari pihak lain van Mook sudah sama-sarna minum teh dengan
kue-kue dengan si penghasut Soekarno. Ya, tentu saja orang-orang Inggris
biangkeladinya. Tentu saja, seperti yang kami dengar, Spoor dan Pinkel ¹⁾ dengan
sendirinya naik pitam. Apa lagi kami. Ini mau ke mana?
Verbruggen semakin diam dan jenewernya semakin banyak
yang habis. Dalam saat-saat kepalanya sedang dibakar jenewer itu dan lidahnya
semakin kendor, ia sering berbicara serba berbahaya. Apa lagi sesudah datang berita
koran tentang persetujuan pemerintah India dengan kaum Republik mengenai
pembelian beras setengah juta ton oleh kaum Gandhi itu demi penanggulangan
bahaya kelaparan di sana. Dalam saat-saat itu ia selalu menuding-nuding aku,
mengulang-ulang lagi lagu lamanya: "Kan sudah saya bilang. Mengapa Syahrir itu
dulu tidak kau tembak, hah? Menembak Soekarno susah, karena menimbulkan reaksi
hebat dari kaum ekstremis. Tetapi menembak Syahrir sebetulnya gampang. Orang
Republik pun sebetulnya akan senang kalau Syahrir pergi." Dan aku-aku lagi yang
dipersalahkan. Dan setiap kali ia mengucapkan nama Syahrir, selalu juga tidak bisa
lain, aku melihat lagi sang sekretaris muda sederhana, Larasati. Lalu seluruh
jerohanku muak karena sampai sekarang belum lagi jelas, di mana Papiku ada;
masihkah ia hidup atau sudah hilang? Dan Mami?
Verbruggen tidak pernah mengatakannya padaku, dia pasti malu, tetapi aku tahu
dari beberapa orang dari NEFIS, bahwa ia telah menjanjikan bayaran 1.000 gulden
bagi mereka yang dapat mengatakan dengan bukti, di mana bekas kekasihnya,
Mamiku, dapat ditemukan. Biar berpangkat mayoor, aku tahu ia jelas tidak punya
1.000 gulden. Tetapi bajingan selalu saja punya akal memperoleh 1.000 gulden.
Pernah aku pura-pura bodoh dan bertanya, apa barangkali ia dengan pangkat dan
pengaruhnya dapat memberi instruksi kepada NEFIS untuk mencari Mami. Reaksinya
sangat keras dan serba menghina: "Verdomme, kamu masih mau menetek, kok cari
simbok?"
Sejak itu aku mencari jalan-jalanku sendiri, tetapi dengan harapan terpendam,
semoga Verbruggen berhasil. Biasanya bajingan lebih berhasil.
Suatu siang aku tidak bisa makan. Soalnya ada peristiwa yang membuatku
bingung. Seorang letnan dalam keadaan perang tidak boleh bingung, tetapi saat itu
benar aku tidak tahu harus berbuat apa.
Ketika itu aku kebetulan sedang di lapangan Kemayoran untuk membawa amplop
warta-sandi dari Mayoor Verbruggen ke perwira syahbandar lapangan terbang
Militaire Luchtvaart ²⁾ .
¹⁾ Nama Admiral Panglima Angkatan Laut Belanda waktu itu.
²⁾ Angkatan Udara Belanda.
58
Harus kuserahkan pribadi. Barangkali soal militer gawat? Tetapi barangkali juga
Verbruggen masih mencari jejak Mamiku. Persetan.
Di kantin aku mendengar para perwira angkatan udara 1nggris dan Belanda sedang
hangat ramai membicarakan datangnya peristiwa yang akan menjadi hiburan di
tengah rutin kelabu sehari-hari. Edan, sungguh edan! Yang menyebut diri komandan
Angkatan Udara Republik sinting itu akan datang, ya terbang dengan pesawat-terbang
yang benar-benar terbang, dan jam sekian-dan-sekian akan mendarat di Kemayoran.
Ini sudah keterlaluan. Perwira-perwira Belanda sungguh kecut, tetapi perwira-perwira
Inggris melihatnya cuma sebagai dagelan saja, yang welcome untuk mereka. Dan
betul, kira-kira pada jam yang sudah ditentukan, bahkan agak terlalu pagi, kami lihat
dari arah timur tiga bintik kecil.
Seorang pilot 1nggris berteriak: "Zero ¹⁾ Uah, perang dunia meletus lagi!"
Ada yang mengatakan: "1ni mainan sinting. Kalau dia tidak bisa mendarat yang
benar, kami lagi yang harus mengumpulkan bangkai-bangkainya. Hei Uwhim!
Dirreck! Musuhmu datang. Ayo tembak!"
Dirk, si pilot Belanda dengan geramnya menggonggong: ''Betul? Kau mau tanggung-jawab? Akan kutembak amatir itu."
Beberapa pilot Inggris mengejeknya.
"Kalau nanti yang jatuh bahkan kau sendiri, aduh meek, malu di muka dunia
internasional."
Seorang lagi menyeletuk: "Hei, kau apa! Cuma pangkat letnan. Dia komodor. Tahu
kau. Coba kalau dia datang, memandang pada kalian pun tidak sudi dia."
Sahut yang tadi: "Ah, perang sudah selesai. Aku tak mau pulang ke udik
Blackonshire. Menggali batubara? Ak:u akan mendaftarkan diri masuk Angkatan
Udara Republik itu. Petualangan sedikit deh. Dan tahu kau (dan ia membuat isyarat
suatu lubang dengan jari telunjuk dan ibu jarinya) delicious. Gadis-gadis Jawa cantikcantik. Tidak seperti di Holland, ya." Semua tertawa. Bintik-bintik tadi semakin
membesar. "Heh! Ada gambar merah-putih di lambungnya. Pintar juga pribumi
pribumi itu."
"Hey Billy! Kau tadi bilang Zero. Ayo bertaruh tiga botol Scotch²⁾ itu jenis
Kabayashi.”
"Hey heyhoo! Hello Direk, sekarang tidak cuma ada Flying Dutchman³⁾, tetapi
juga Flying Merdekamen!" Yang bernama Dirk hanya suram diam. Ketika pesawat itu
mendarat, orang-orang 1nggris bertepuk-tangan.
"Bagus, bagus pendaratannya. Halus. Kaum gentlemen mereka." Dengan tegang
kuamati dari jauh ketiga pesawat itu, yang pelan-pelan satu per satu mendekat dan
seperti riang bergoyang-goyang pada landasan yang tidak terlalu licin itu. Pesawat pesawat terbang Jepang model pemburu Kabayashi atau Zero bermesin satu sudah
agak kuna menurut ukuran Sekutu, tetapi entah mengapa, sangat mempesona pilotpilot veteran Perang Dunia yang sudah punya beribu-ribu jam terbang dalam sekian
operasi maut dalam pesawat-pesawat yang hiper modern. Pada saat itu aku terpukul
oleh gugatan samar-samar. Orang-orang Republik ini lelaki-lelaki tulen. Ini orangorang yang merintis suatu hari depan.
¹⁾ Jenis pesawat pemburu Jepang dalam perang Dunia II
²⁾ Minuman kerns.
³⁾ Sebutan tersohor untuk kapal dagang VOC.
59
Sedangkan aku sedang sekarat di sini, di antara orang-orang yang sebetulnya bukan
bangsaku, tetapi yang datang sebagai penonton atau bahkan tukang rampok.
Dan ketika mereka turun dari pesawat, dengan shirt dan short yang sportif, lalu
memberi salut kepada group-captain Lee dari R.A.P ¹⁾, komandan lapangan udara,
tersenyum penuh harga-diri serta beromong dalam bahasa Inggris, aku tahu, ini bukan
teroris. Ini kaumgentlemen. Pilot-pilot Inggris pun diam melihat dua orang ²⁾yang
dalam koran-koran disebut panglima Angkatan Udara Republik beserta mayorjenderal Republik ³⁾ yang akan mengungsikan pasukan-pasukan ]epang.
Dan seanak panah kilat meradak dalam kalbu. ]angan! ]angan Papi ada dalam
barisan mereka. Kalau Papi ikut mereka, sedang Atik sudah jelas di pihak mereka, apa
lagi seandainya Mami ternyata sudah di Mangkunegaran lagi, aku benar-benar akan
terkutuk. Tetapi kesimpulanku pada pagi hari di lapangan terbang itu semakin kokoh:
Kepada Atik, kepada Papi dan Mami, seandainya mereka di pihak sana, aku akan
membuktikan, bahwa aku di pihak benar, di pihak anti Jepang, di pihak Sekutu yang
jaya memenangkan perang melawan fasis.
Siang hari itu juga, ketika aku masuk markas besar Inggris, hatiku hampir mdedak
melihat suatu peleton kaum Republik yang gagah-gagah berbaris sigap dan rapi di
muka markas tentara Sekutu. ]elaslah itu suatu show besar, dan memang mereka
pandai main show. Pakaian mereka drill khaki baru buatan pabrik yang memang
kurang berkualitas dibanding seragam kami, tetapi yang menyolok ialah bentuk
seragam mereka yang samasekali bukan bergaya ]epang seperti yang kami kenal.
Celananya panjang dan bermodel Sekutu, pakai saku-saku besar di paha dan betis.
Sepatu model separuh lars yang memberi kesan orang-orang itu lebih tinggi.
Dan memang yang dipilih adalah pemuda-pemuda yang tegap-tegap berbadan
tinggi. ]elas dipilih, sebab ukuran rata-rata orang Inlander tidak seperti mereka itu.
Dan picinya! Gila! Gayanya! Aksi! Boleh deh, menjiplak Hollywood, tetapi jelas juga
bukan model ]epang. Senjatanya mengkilat, semua machine-pistool ⁴⁾ bekas KNIL
punya sebelum perang dunia II, bikinan Belgia. Tampak masih baru, seperti belum
pernah dipakai. Dan disiplinnya, gila, hanya itulah saja sisa ]epangnya yang kelihatan.
Tetapi dibanding dengan tentara Inlander KNIL yang santai dan gontai
bergentayangan, bahkan ada yang duduk-duduk memalukan seperti jongos di muka
markas itu, kelihatan sekali perbedaan yang membuat jiwaku lebih mendidih. Jelaslah
sikap KNIL-KNIL itu kuli Inlander. Tetapi peleton pengawal oknum yang menyebut
diri jenderal Sudirman itu, mereka jelas, jujur saja, bukan Inlander. Mereka tegap dan
sangat muda penuh harga diri. Wajah-wajah mereka mendongak ke atas dan
tampaklah bersinar pancaran mata. Fanatik, tetapi muda. Ya muda. Ini tentara yang
priyayi sebetulnya, ningrat; dan harus diakui oleh watakku yang jujur, sulit
disesuaikan dengan gambaran-gambaran populer: kaum teroris.
¹⁾ Royal Air Force, Angkatan Udara Inggris.
²⁾ Komodor Udara AURI Suryadarma dan Adisucipto.
³⁾ Mayor Jendral Sudibyo dari Staf Umum TRI.
⁴⁾ Senjata ringan otomatik
60
Memang perwira-perwira delegasi evakuasi RAPWI ¹⁾ pihak sana persis ]epang,
kecuali picinya yang selalu miring, tetapi pasukan pengawal ini bergaya intemasional.
Ya, pici yang sangat miring dan yang tampaknya selalu nyaris jatuh itu; di situlah aku
melihat untuk pertama kali suatu elan, suatu jiwa yang diam halus tetapi tajam
mengejek kami kaum KNIL, bangsat-bangsat bayaran yang sungguh-sungguh
kampungan.
Ketika aku lewat dan masuk ke ruangan departemen yang kutuju, aku melihat
beberapa dari mereka sedang omong-omong dan bercanda dengan perwira-perwira
Inggris. Tak banyak mereka mampu omong Inggris, tetapi mereka membawa
penerjemah, kurang-ajar kuli-kuli ini, dan mereka bercanda, ya ... ketika itu kebetulan
Jenderal Christison sedang keluar dati ruang kerjanya dan di gang ia bercanda dengan
kunyuk-kunyuk lulusan Jepang itu. Mereka omong dan tertawa. Seolah-olah mereka
sederajat dengan seorang jenderal Sekutu yang jaya.
Aku berkecak pinggang dan tidak dapat menahan amarahku.
Terutama kepada si Inggris itu, yang jelas, jelas berkhianat kepada kawan
seperjuangan dalam Perang Dunia II. Aku berkecak pinggang. Seperti jenderal itu.
Ada perwira Republik yang kebetulan memandang ke arahku. Kukira mataku ketika
itu bersinar penuh kebencian. Ia harus menangkap pijar-pijar kebencianku. Tetapi ia
hanya mengangkat tangan salam, santai seperti kepada sahabat lama dan tersenyum
penuh harga-diri.
Petang itu aku sendirian saja, sebab ada briefing dari komandan divisi di markas
besar. Baru sesudah malam larut kudengar Mayoor Verbruggen datang. Jelas ada soal
gawat.
Paginya pada makan pagi, Verbruggen bercerita pada rekan-rekan komandan
sebatalyon dengan dingin, tetapi jelas penuh kemasygulan, bahwa yang menamakan
diri Jenderal Sudirman tidak mau dilucuti senjatanya dan bahwa dengan demikian
suatu preseden sudah terjadi, yakni bahwa di muka mata dunia dan blak-blakan di
dalam daerah kekuasaan NlCA dan Sekutu, seorang petualang yang mengangkat
dirinya jadi jenderal suatu Republik liar telah diperkenankan oleh pimpinan Inggris
untuk mempertahankan segala atribut dan kewibawaannya.
lni berarti Inggris terang-terangan mengakui RI terlalu jauh.
Seorang perwira menyeletuk, bahwa keadaan memalukan seperti ini hams disikat
habis-habisan. Apalagi kaum pemberontak tidak punya angkatan udara, kecuali
pesawat bekas Jepang yang sudah kuna itu. Verbruggen hanya berkomentar, bahwa
soalnya ialah: menyerang Republik artinya menyerang Inggris dan menyerang Sekutu.
Dan dengan mengunyah rotinya dengan geraham perseginya ia bercerita, bahwa
Inggris akan menyerahkan semua evakuasi Angkatan Darat Jepang serta orang-orang
Belanda dan Indo yang dulu ditawan Jepang di tangan gerombolan-gerombolan teroris
itu. Artinya: tentara liar itu diakui de facto sejajar dengan Sekutu. Seorang kapten
dengan geram mengatakan, bahwa itu pengkhianatan. Tetapi tenang Verbruggen
mengatakan, bahwa "untuk saat ini, yang paling penting ialah, para wanita dan anakanak kita harus dievakuasi selamat, dengan jalan apapun, halal atau tidak halal".
¹⁾ Relief of Allied Prisoners of War and Internees (Badan Pembebasan tawanan
perang Sekutu dan yang tertawan lainnya).
61
9. Elang-elang Menyerang
Suatu pagi dini Desember, yang tanggalnya hanya diingat para tua, 19 Desember kata
mereka, di tengah wilayah damai yang serba mempersiapkan diri menyambut kedatangan musim hujan, seolah linglung sendiri, pada jalan aspalan yang sejak jaman
Jepang sudah penuh lubang mirip sungai terlalai, merangkaklah sebuah mobil merk
de Soto (nama merk mobil yang mudah diingat-ingat oleh penduduk) berwarna
coklat-hijau berloreng, mencari jalan relatip paling nyaman; dengan iringan debu
berwarna alumunium yang elok sebetulnya dari kejauhan. Mobil itu seperti serangga
ampal yang berjalan mencari jodohnya ke kiri ke kanan, seperti gelisah karena birahi.
Pak Trunya beristirahat sebentar dari mencangkul. Batang pemegang bajaknya,
celaka segori, patah entah disebabkan apa tadi. Karena tidak mau kehilangan waktu,
dengan agak menggerutu ia terpaksa mencangkul saja. Hujan pertama sudah datang,
jadi cepat-cepat ia harus siap pada waktunya. Begini pagi sudah ada mobil! Sebentar
lagi Pak Trunya dipaksa menoleh dan menengadah, sebab ada suara pesawat yang
meraung dari arah utara. Dan entah bagaimana mulanya, tahu-tahu pesawat itu begitu
cepat sudah dekat, lhaillah menukik dan luarbiasa kejutan jantung Pak Trunya. Ada
serentetan tembakan seperti meriam selosin menderu dan dalam sekejap mata mobil
itu terbakar. Terpaku tak mampu apa-apa Pak Trunya hanya berdiri bengong saja.
Tetapi setelah pesawat itu menjauh, akal sehat Pak Trunya melongok lagi dan
berteriaklah ia minta tolong dan berlari ke mobil. Seorang rekannya, yang juga
sedang membajak di petak sawah sebelahnya ikut berlari menuju mobil di jalan.
Sebab, mereka melihat seorang gadis kira-kira seumur anak Pak Trunya sendiri yang
baru saja melahirkan bayi, sedang menarik-narik seorang lelaki yang lebih tua dan
rupa-rupanya sudah pingsan. Dengan sebisa-bisa mereka, lelaki tua itu diselamatkan
dari tungku besi yang sedang terbakar itu, dan digotong sampai ke tepi jalan.
Sekonyong-konyong suara pesawat terbang itu menderu mendekat lagi. Kedua
petani itu spontan seperti tersepak jin lari tunggang-langgang dan melompat ke dalam
selokan sehingga basah kuyup. Tetapi gadis itu hanya membaringi lelaki itu dan
menangis tersedu-sedu. Serentetan berondongan menghalilintar membuat jantung
kedua petani itu nyaris berhenti. “nyuwun pangapunten Gusi ¹⁾," nyuwun
pangapunten Gusti, nyuwun pangapunten Gusti," hanya itulah yang dapat mereka
ucapkan.
Tetapi ketika tembakan-tembakan itu menyambar di sekitar mereka, doa-doa
berhenti dan hanya setengah sadar mereka menggelimpangkan diri di dalam lumpur.
Lama mereka bagaikan mayat di situ. Setelah lama sekali ditunggu dan tidak datang
hantu bercocor merah tadi, mereka menongolkan kepala-kepala mereka. Mobil
terbakar dengan api yang sangat panas.
¹⁾ Mohon ampun, ya Tuhan
62
Gadis itu masih terkulai bersama lelaki itu di tepi selokan. Setelah menengadah ke
segala arah tanpa melihat bayangan maut di udara fajar yang mulai pudar merahnya,
mereka merangkak mendekati dua sosok tubuh malang itu. Si gadis masih hangat
tubuhnya, juga si lelaki. Sekencang-kencangnya salah satu yang lebih muda berlari ke
desa untuk minta bantuan. Yang tua, Pak Trunya menunggui kedua insan itu. Ya
Allah ada apa tadi?
Memang sudah tiga tahun lebih merdeka, artinya keadaan serba kacau; dan kata
para pemuda dan pemimpin-pemimpin yang bertekat menghadang-hadangi Belanda
masuk, belum pernah terjadi seperti ini. Bahkan di jaman Jepang pun yang kata orang
itu Bharatayuda besar-besaran di seluruh dunia, yaillah, bagaimana rupanya Pak Kerta
juga tidak bisa menggambarkan, di jaman Jepang pun belum pernah terjadi seperti ini.
ltu tadi barangkali alap-alap¹⁾ Belanda. Dengan mata membelalak Pak Trunya
memandang ke api merah-hitam yang bergejolak liar dari mobil yang terbakar itu.
Sungguh mengherankan, besi kok bisa terbakar. Bukan main senjata Belanda itu!
Terns terang saja dalam hati Pak Trunya tidak berkeberatan Belanda datang lagi
mengganti Jepang, asal ia dapat menanam padi dengan tenang dan anak-anaknya bisa
berpakaian dan bersekolah. Indonesia merdeka juga boleh, walaupun seandainya
boleh pilih, lubuk hati Pak Trunya memilih Belanda saja. Mereka orang-orang yang
pandai dan walaupun sering kasar dan biadab, tetapi dapat diandalkan. Kalau ada
pencuri padi atau sapi-kerbau hilang, si maling tengik mesti tertangkap; kalau ada
pencuri sepeda, lalu resisir dan pelpolisi datang, tanggung sepeda itu pasti tertemu
lagi. Entah di Sala atau Magelang, tetapi pasti pulang. Sekarang ini susah.
Jaman merdeka ini sulit sekali. Dulu jelas: siapa lurah siapa asistenwedana dan
pelpolisi atau tentara, jelaslah sudah. Di mana mereka tinggal, dapat atau tidak dapat
minta tolong apa atau apa, selalulah dibereskan; asal tidak bohong dan ada buktibuktinya. Dan juga setiap orang tahu, siapa yang berkuasa dan tidak, di mana dan
dalam hal apa. Omong-omong dengan pembesar-pembesar Belanda sebetulnya enak
juga, asal tahu diri dan membongkok honnat; dapat omong seapa adanya; seperti
kalau orang-orang tani omong dengan Cina-cina, entah pemilik toko emas dan kain
atau mendring yang sering berkeliling bersepeda di desa-desa menawarkan pihutang.
Tetapi sekarang ini bahkan anak-katak pun bergolok dan berbaris dengan bambu
runcing. Seperti garong saja. Dan yang dulu asisten wedana, yah beliau ini apa
kerjanya. Lalu setoran-setoran untuk dapur umum ah ... sebetulnya semua ikhlas saja
(ini untuk anak-anakmu sendiri yang berjuang!), akan tetapi justru bikin repot saja
beliau-beliau yang disebut "anak-anakmu" itu. Tidak tahu sopan-santun dan kerjanya
cuma keluyuran saja membawa bedil, golok dan minta teh manis minta singkong,
minta dilayani seperti ndoro-ndoro. Salah seorang anak Pak Trunya juga tergolong
"pemuda anak-anakmu sendiri" itu. Sebetulnya Pak Trunya tidak tahu harus apa
dengan dia itu. Ayahnya dan abang-sulungnya disuruh mencangkul dan mencangkul,
membajak dan macam-macam kerja ini-itu. Capai, benar capai menyambung hidup.
Tetapi bagaimana sang tuan Anak? Cuma enak-enak perintah ini menyuruh itu, Si
Pahlawan muda manja itu. Dan ya, semua harus menyumbang untuk membelikan Den
Bagus pakaian seragam, sepatu setinggi setengah betis dan pici dan sudahlah, seperti
Gatutkaca gandrung Pregiwa. Lalu minta sangu, merengek-rengek minta bekal pergi
sebulan tiga bulan; katanya di Surabaya ada perkelahian besar melawan Inggris.
¹⁾ Sejenis elang kecil.
63
Lain ke Semarang, ke mana lagi entah ini nanti, Inggris yang mana lagi. Ya Allah, ya
Nabi, kunci Inggris atau serabi ¹⁾. Inggris, Pak Trunya tahu. Tetapi siapa orang
Inggris itu? Katanya sejenis Belanda tetapi tidak berbahasa Belanda. Sungguh
gonjing²⁾morat-marit dunia sekarang. Kapan merdeka ini selesai?! Ke mana Si Benjo
tadi? Katanya memanggil rekan-rekan! Ia menghampiri pemudi itu. Masih hangat.
Dan setelah ditelentangkan, tampak dadanya masih kembang-kempis. Tetapi si lelaki
ini, ya Allah, sudah mulai dingin. Telinga Pak Trunya didekatkan pada hidung dan
mulutnya. Tidak ada bunyi hembusan sedikit pun. Mati dia. Mana Si Benjo tadi, kok
begitu lama? Terkejut Pak Trunya mendongak dan mencari sesuatu di udara. Ya
Allah, sekarang tidak hanya satu, tetapi sebarisan pesawat terbang menderu datang
dari arah Magelang. Minta ampun. Duh Gusti, mohon ampun. Dengan sekuat tenaga
gadis itu diemban dan hampir keduanya, dia dan si gadis itu terlempar keras ke dalam
selokan. Tetapi gadis itu masih tersangkut semak. Pak Trunya turun ke dalam selokan
dan secepat mungkin gadis yang pingsan itu ditarik masuk selokan. Selokan-selokan
di daerah Merapi sangat bersih airnya, itu keuntungan. Tetapi dingin. Apa boleh buat,
gadis itu dimasukkan ke dalam air yang tidak begitu dalam.
Ketika tubuh gadis itu masuk air, secara refleks tangannya merangkul Pak Trunya,
siuman sambil berteriak: ''Ayah! Ayah!" Oh, tadi itu ayahnya, pikir Pak Trunya.
"Sudah, tenang Den Ajeng, tenang ... tidak ada apa-apa."
''Ayah! Mana ayah. Tolong dial"
"Sudah. Sudah, ia sudah tertolong."
''Ayah masih hidup?"
"Masih, masih hidup jangan khawatir;' jawab Pak Trunya spontan, asal menjawab
apa pun, , tak peduli isinya. Pokoknya biar hati gadis ini tenteram. Dan erat-erat ia
pegang gadis yang meronta-ronta itu di dalam selokan. Lebih baik mati satu daripada
semuanya, pikir Pak Trunya. "Di sini saja, Den Ajeng. ltu ada ratusan pesawat terbang
mau menembaki kita."
Di tepi desa, di jalan setapak dan pematang sawah anak-anak pada bersorak-sorai
menengadah melambai-lambaikan tangan ke udara. Istimewa. Berpuluh-puluh
pesawat terbang sangat rendah melewati sawah-sawah desa. Besar kecil burungburung kelabu itu setiap lima menit lewat. Pelan-pelan dan rupa-rupanya berat isinya.
Orang tua-tua macam-macam terkaannya. Ada yang mengatakan Republik sekarang
sudah dibantu Negara-negara Besar, entah namanya, maka punya banyak pesawat.
Ada yang menebak, boleh jadi sekarang RI sedang latihan perang. Tetapi pemudapemuda, yang lebih tahu soal-soal perjuangan, mengira itu pesawat-pesawat Belanda.
Ada lain lagi yang membantah, itu barangkali utusan-utusan Luar Negeri yang mau
berunding di Kaliurang. Tetapi kok aneh. Terus menerus pada beterbangan.
Tentu saja tidak ada anak satu pun hari itu yang ingat pada tugas mencari rumput
untuk kambing atau memandikan sapi. Hanya sesudah dibentaki ayah-ayah dan
diteriaki ibu-ibu mereka dengan suara melengking mereka pelan-pelan mengambil arit
dan pergi bertugas. Mata terus menengadah penuh pertanyaan ke udara.
¹⁾ Sejenis kue goreng dari tepung beras.
²⁾ Serba goyah kalang kabut.
64
Kadang-kadang melambaikan tangan sambil berteriak: Merdeka! Ada yang gerobak
ada yang sedan pesawat-pesawat itu. Atau seperti kereta-api saja, tetapi di udara.
Tidak setiap hari ada tontonan semacam itu! Hanya gadis-gadis dan perempuanperempuan desa tidak begitu acuh pada permainan udara itu. Sebab sebelum matahari
terbenam panenan padi terakhir tahun itu harus sudah masuk lumbung. Hujan pelopor
musim basah sudah jatuh dan sawah-sawah harus lekas-lekas dibajak, air dialirkan,
digaru dan ditanami.
Gadis dalam selokan tadi hanya menangis, merintih.
''Ada yang sakit, Den?"
''Ayah, ayah ... oh, mengapa ayah tidak ditolong."
Pak Trunya tidak berdaya. Spontanitas gadis itu kuat dan ia keluar dari selokan
serta menangis berlutut di samping ayahnya; sedangkan barisan kapal terbang
menderu-deru di atas mereka. Pak Trunya dengan berdebar-debar tidak berani ke1uar
dari selokan dan hanya mengintip saja dari tempat persembunyiannya.
Sendirian gadis itu membenahi dan membaringkan ayahnya dalam posisi yang
pantas. Mata yang masih melirik dikatupkannya dan rahang diikatnya dengan sapu
tangannya. Pak Trunya mengumpat -umpat pacla pesawat-pesawat yang terbang di
atas mereka, tetapi sebetulnya ia lebih mengumpat dirinya sendiri yang malu karena
penakutnya itu. Akhirnya, sesudah je1as, bahwa barisan pesawat-pesawat besar yang
melayang tidak sangat tinggi itu tidak memuntahkan api, pak. Trunya dengan ucapan
Bismillah keluar dari paritnya dan menolong anak perempuan yang malang itu.
''Tenanglah Den Ajeng, temanku sudah mencari bantuan." katanya sambil
memandangnya dengan penuh iba hati.
"Terima kasih, Pak."
"Oh, tidak apa-apa." Sekarang perempuan muda itu tidak. menangis lagi. Dengan
diam disekanya rambut ayahnya dan sebentar-sebentar ia betulkan kedudukan kaki,
tangan. Tangan disilangkan di atas dada. Pak Trunya melihat bibir wanita muda itu
bergerak-gerak seperti mengucapkan doa. Sayang Pak. Trunya tidak hafal ayat-ayat
Yasin. Tetapi Pak Trunya yakin, Allah Maha Belas-kasihan.
Tak habis-habisnya pesawat-pesawat besar itu menuju ke Selatan. lni ada apa?
pikirnya. "ltu lagi!" teriaknya tiba-tiba dan spontan menarik tangan wanita muda itu.
Tampak sebuah pesawat kecil dari samping iring-iringan itu menuju ke arah mereka.
Tetapi gadis itu malahan tidak mau. Maka Pak Trunya gugup sendirian saja melompat
lagi ke dalam selokan dan mendekam dalam-dalam.
Suara pesawat itu mengembang dan meraung-raung sangat dekat. Tampak sekejap
suatu bayangan hitam melampaui dan hilang lagi. Pesawat itu tidak menembak. Dari
selokan Pak Trunya masih melihat ekornya yang sangat cepat menjauh. Aduh, sungguh amat cepat pesawat terbang itu. Belum pernah Pak Trunya melihat pesawat
terbang dari dekat. Hatinya berdebar-debar, tetapi legalah hatinya, bahwa pesawat itu
masih punya belas kasihan. Juga pandangan wanita muda itu masih mengikuti ekor
pesawat itu.
Mestinya, ayah yang meninggal itu seorang pembesar. Sebab siapa di Jaman
merdeka ini yang bisa naik mobil kalau bukan pembesar. Dan wanita muda itu
anaknya. Roknya sobek-sobek rambutnya lepas tak kernan.
Pak Trunya teringat pada anaknya yang kira-kira sebaya dengan den ajeng itu.
Hanya anaknya lebih hitam dan lebih kekar. Baru saja anaknya melahirkan anak
mungil. Masa panen memang masa pesta bayi. Tetapi susah berpesta dalam jaman
seperti ini.
65
Ketika anak gadisnya kawin, dalam hati Pak Trunya menangis, bahwa ia tak
mampu memberi pesta yang lebih meriah seperti yang diinginkannya. Semua serba
mahal. Bahkan kain pesta pun terpaksa anaknya harus pinjam dari bibinya. Dan juga
kebayanya pinjam dari kakaknya. Tanpa pertunjukan wayang. Siapa mampu
menyewa dalang dan seperangkat bala-senimannya.
Pak Trunya keluar dari persembunyiannya dan dengan rasa menyesal minta maaf,
bahwa ia begitu takut dan terpaksa harus bersembunyi. Wanita muda itu mengatakan,
bahwa hal itu wajar dan sebaliknyalah dia yang harus minta maaf karena dengan menolak bersembunyi tadi ia membahayakan Pak Tani. Pesawat itu tidak menembak
karena hanya melihat perempuan. Tetapi Pak Trunya toh merasa salah, bahwa ia
kurang berani, sebab soalnya ia belum pemah melihat pesawat terbang dan semuanya
terjadi begitu cepat clan mengejutkan.
"ltu pesawat-pesawat datang darimana dan mau ke mana?"
"ltu Belanda." kata perempuan muda itu, "Mereka menyerang Yogya, itu sudah
jelas." Dan sedih, halus gugatannya. "Selalu begitu Belanda itu. Tidak mengindahkan
peri-ksatria. Seperti ketika menawan Diponegoro." Sekarang ayahnya yang menjadi
korban dan ia mengeluh, bagaimana caranya memberitahu ibunya nanti.
''Bagaimana pun ayah Anda orang yang bahagia."
" Bagaimana bahagia, mati di tengah jalan begini."
"Ya, tetapi Den Ajeng tidak boleh lupa, ia meninggal dalam rangkulan anaknya
yang baik hati. Den Ajeng bukan laki-Iaki dan bukan ayah. Saya yang ayah dan kakek
dapat mengatakan, ini saat kematian yang paling ia cita-citakan juga. Dirangkul oleh
anak-anaknya."
"ltu kan biasa, Pak."
"Bagi yang biasa. Tetapi banyak ayah meninggal dengan diumpat-umpat anakanaknya. Bahkan pada saat ayahnya sedang sekarat pun mereka sudah mulai
memperebutkan warisan. ltu terjadi Den Ajeng. Maka saya mohon diperkenankan
meninggal seperti ayahmu itu."
Wanita muda itu menatapnya nanap, sehingga ia malu dan matanya menghunjam
ke bawah.
''Berapa anak bapak?"
"Lima. Tetapi sebetulnya delapan."
"Sudah berapa cucu-cucu?"
''Baru dua belas. Tetapi segera akan empat belas. Tetapi mudah-mudahan cucucucuku tidak mengalami jaman merdeka seperti ini." Wanita muda itu tersenyum.
"Semoga Tuhan selalu memberkati anak-cucu bapak."
“Den Ajeng sudah berapa?”
"Saya belum kawin,” jawabnya lembut. Lalu disekanya wajah ayahnya yang
sesudah meninggal tampak lebih bercahaya. "Kasihan ayah. la belum sempat melihat
cucunya. Sekarang akulah yang merasa salah." Dan mulailah wanita itu bercucuran
lagi air matanya.
Pak Trunya gusar memandang ke desanya. Mana bantuannya. Tentu mereka takut,
pikirnya. la menengadah ke langit. Seperti tak habis-habisnya barisan pesawat terbang
itu, besar dan kecil. Campur baur seperti baru saja beli dari loakan. Tetapi tidak ada
lagi yang kecil bermoncong merah serta Tukang Sambar.
''Den Ajeng di sini dulu, ya. Nanti saya akan memanggil kawan-kawanku." Dan
cepatlah tani itu berlari ke desa, sambil berkali-kali melihat ke atas, jangan-jangan ada
cocor merah lagi.
66
Atik memandang wajah ayahnya. Bagaimana mengangkut jenazah ayahnya ke kota?
Bagaimana caranya memberitahu ibunya? lni jelas perang. Dari desas-desus anggota
delegasi RI yang sedang berunding di Kaliurang di bawah naungan Komisi PBB ia
sudah tahu, betapa gawat keadaan. Sikap wakil Mahkota, Dr. Beel, begitu kaku
seperti bakiak klompen negerinya, bahkan kasar sebenarnya, tak sopan. Tetapi bahwa
sudah secepat itulah Belanda menyerang, sungguh, tidak pernah itu diperkirakan. Juga
oleh para wakil Tiga Negara di meja perundingan Kaliurang. Sungguh aneh dan gila
sebetulnya, menyerang Yogya di muka hidung wakil-wakil Dunia Internasional itu.
ltu kan namanya meremehkan bahkan menghina mereka.
Atik teringat pada kata-kata serba tenang dari bossnya ketika masih perdana
menteri kala itu: "Setiap kekerasan dari Belanda merupakan lubang jebakan. Di situ
mereka akan terperosok sendiri. Satu-satunya jalan untuk menang bagi kita ialah sikap
goodwill secara budaya berperikemanusiaan. Sebab justru itulah yang dicari oleh
seluruh pihak di mana pun yang sudah remuk dan muak kekerasan. PerangDunia baru
saja selesai." Tetapi bagaimana nanti?
Larasati hanya penyumbang kecil di dalam medan perjuangan itu. Penterjemah
teka-teki diplomasi ke dalam bahasa Inggris dan sebaliknya memang dibutuhkan
mutlak, tetapi itu pekerjaan dinas saja. Para pembantu wanita dalam delegasi
Indonesia tahu banyak, tetapi juga sedikit sekali.
Tiba-tiba Atik teringat pada tas yang berisi beberapa lembar surat penting dari
Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur Jawa Tengah yang berkedudukan di
Magelang. Dengan sedih ia melihat pada kendaraan yang sudah hitam berbau sengak
cat dan karet terbakar. Ah, tidak penting. Toh situasinya sudah berubah sama sekali.
Tetapi bagaikan golok yang menusuk hatinya datanglah ingatan, bahwa di dalam tas
itu tersimpan dompet dengan foto kecil. Foto sahabatnya yang, entah mengapa, selalu
ia kenang. Setadewa. Dalam kenangan yang memprihatinkan. Namun justru karena
memprihatinkan itulah semakin dekat rasanya kepada orang muda itu. Foto Teto.
Ketika ia masih di SD. Haruskah kenangan kepada Teto dibakar sehingga tinggal
debu kelabu saja? Itukah sasmita peristiwa Minggu pagi secerah ini? Tidak, ia tidak
boleh cuma bermimpi. Atik mendapat ilham. Ia pergi ke selokan bening tempat
persembunyiannya tadi. Sapu-tangannya dibasahi jenuh dengan air itu. Ia merangkak
lagi ke jalan dan mulai menyeka dan mencuci wajah, leher dan tangan ayahnya.
Gelombang-gelombang pesawat terbang mulai menghilang. Barulah orang-orang
desa berani keluar membawa tandu, diiringi anak-anak banyak yang bagaikan lalat
tidak mau dihalau oleh orang-orang tua. Mereka menemukan Larasati masih mencuci
tangan dan kaki ayahnya dengan sapu-tangannya yang basah. Diam tanpa tangis
maupun keluhan.
Anak-anak pun terpengaruh dan terpukau. Mereka hanya memandang dengan mata
yang lebar penuh pertanyaan dan berbisik-bisiklah mereka. Iring-iringan tandu dengan
jenazah menuju ke desa. Di kejauhan segerombol anak-anak masih melihat-lihat dan
mengutik-utik bangkai mobil itu dengan tongkat-tongkat.
Tiba-tiba anak-anak itu berlari-lari lagi sambil menjerit-jerit. Terdengar lagi
raungan kapal terbang yang mendekat. Ibu-ibu desa juga berlari ke luar desa, memakimaki anak-anak serta menjerit-jeritkan doa kepada Allah, sambil mencari buah rahim
mereka masing-masing. Hari Minggu yang sungguh-sungguh penuh hantu. Memang
jaman revolusi. Tetapi di desa Juranggede khususnya untuk kaum perempuan, semua
masih sama saja: usaha makanan cukup, pekerjaan dapur dan cuci di kali. Melahirkan
anak dan menyusui, revolusi atau bukan revolusi, jaman merdeka, atau jaman
Belanda.
67
Harapan hati hanyalah, agar jaman merdeka ini lekas selesai dan datanglah jaman
damai. Tetapi omong-omong begitu katanya amat terlarang, entah mengapa. Karena
itu orang sebaiknya diamlah. Cukup bersalin dan menyusui, menumbuk padi dan
masak di dapur. Dan kadang-kadang dalam gelap malam tidur tukar suami orang lain,
itu terjadi juga. Semua orang tahu dan semua orang mendiamkan hal semacam gituan.
Memang berzinah itu maksiat. Artinya: jika orang lain sampai tahu. Artinya: tahu di
muka umum. Tetapi kalau baru diketahui dalam hati itu belum dosa namanya.
Barangkali lebih tepat disebut: tidak baik, kurang senonoh. Tetapi asal pandai
siasatnya dan tidak terlalu membuat desa goyah-gonjing, orang lain akan diam. Tentu
saja mereka tidak diam, tetapi di muka umum seolah-olah tidak ada apa-apa. Seperti
Gunung Merapi itu. Setiap hari mengeluarkan lahar. Kan harus ditampung. Dan ada
yang menampung. Ada masanya lahar mengalir ke Kali Code. Ada hari lain tahu-tahu
nanti tersumbat dan lahar mengalir ke Kali Krasak yang sekarang sempit tetapi
barangkali kelak lebar penuh batu dan lahar. Asal lahar dingin saja tak mengapalah,
dan jangan merusak sawah ladang di sekitar. Kalau lahar panas tambah gempa, nah
itu yang merepotkan. Seluruh desa akan tertimbun batu dan jenang lumpur. Banyak
yang mati, nah, itu keterlaluan, jahat.
Maka bijaksanalah. Tetapi kalau sudah terjadi, apa boleh buat, mengungsi sebentar
paling lama sebulan. Lalu pulang lagi. Dan soal mati atau hidup; di mana-mana bisa
mati. Apa lagi di jaman sejak ]epang datang. Mengungsi memang tidak enak. Tetapi
untuk anak-anak menyenangkan juga. Melihat keadaan-keadaan di luar desanya
sendiri. Baru sesudah 5 tahun tanah yang terkena lahar dapat ditanami padi lagi, asal
hanya lahar pasir. Bukan gumpalan-gumpalan lava yang menjadi karang-karang keras
sekali. Dan selama 5 tahun itu, ah, Tuhan Allah masih Maha Pemurah. Selain itu di
lereng gunung, atas sana, masih banyak tanah-tanah yang disebut tanah terlarang yang
dapat dijadikan tegal. Terlarang? Ya, terlarang. Artinya kalau sampai jadi perkara.
Maka sekali lagi: bijaksanalah!
Tetapi kali ini aneh. Arus lahar bahkan di udara. Seperti gumpalan-gumpalan lahar
beku benda-benda kelabu itu menderu dan melayang ke Selatan, untuk nanti ke Utara
lagi. Baru ketika matahari sudah doyong ke Barat, arus menjadi agak jarang. Hanya
tinggal satu dua pesawat kecil yang seperti anak ketinggalan mengejar emboknya
pulang ke desanya. Sepanjang siang sawah-sawah sepi manusia. Hanya beberapa
burung manyar dan gelatik yang masih giat mencari sisa-sisa bekas panenan dari
beberapa petak sawah. Ada sejenis burung kukuk berseru dari dahan: "Anaabuk! Anaabuk!"
Anak-anak spontan menirukannya "Blanda mabok! Blanda mabok!"
Sudah lama Atik tidak lagi menyusuri ladang-hutan dengan ayahnya, sejak tahuntahun huru-hara revolusi ini. Ah, dengar itu! Seekor burung kacer menyerulingkan
lagunya yang merdu, koong-kirewiit-gee-nikolei, koong-kirewiit-gee-nikolei, sambil
membias-biaskan sayap-sayapnya tentu. Sayu sedih terkenanglah Atik kepada harihari yang bahagia, ketika masih kecil ia bersama ayah almarhum menyusupi
perkebunan-perkebunan dan tersenyum mendengarkan seruling kacer-kacer itu.
Menurut ayah, kacer-kacer itu berseru: "Lontooong sedikiit, kambeeeng digulai.
Lontooong sedikiiit, kambeeeng digulai."
Betapa geli ketawa Atik ketika itu. Burung-burung hitam-biru berjalur putih bersih di
sayap itu kini menjadi lambang kehitaman hari-hari ayah.
68
Ah, semoga Allah masih memberikan sejalur damai putih untuk ibunya di hari-hari
yang gelap ini. Teringat lagi Atik pada foto Teto dalam dompet kecil yang ikut
terbakar dalam mobil tadi. Sedang apa Teto pada saat ini? "Tolooong, sedikiiit,
tolooong sedikiiit,” begitu kacer berseruling lagi, "kamiii terkulai." Ya, benar-benar
lemas terkulai Atik petang itu menunggu terbenamnya matahari.
Malam itu ia terpaksa masih mengungsi dulu ke tempat orang-orang desa yang
ramah ini. Besok dini pagi, barangkali jam 3.00 pagi sudah, seorang pemuda akan
memboncengkannya ke kota, dengan sepeda, mencoba menyusup ke dalam kota,
untuk memberitakan warta duka kepada ibunya. Di senja merah jingga sepasang
burung srigunting menari-nari dan menukik-nukik di atas sawah, seperti yang sudah
biasa mereka lakukan sekian ratusribu tahun.
69
10. Macan Tutul Meraung
Tak seorang pun kecuali Verbruggen yang berani mengatakannya tanpa jaring-jaring
kamuflase, tetapi terasalah dalam seluruh gumpalan awan debu dan bau keringat
yang menusuk seluruh paru-paru, bahwa pihak kami akan kalah. Bukan pahit yang
kurasakan, tetapi kehampaan. Pertanyaan diteriakkan paru-paru tanpa suara ke bolong
malam, tanpa mengharapkan jawaban, karena semua sudah tahu yang sebenarnya.
Tentara yang kalah sarna saja dengan sungai kering di musim kemarau, sejalur
batu dan lumpur, onggokan sampah di sini, potongan-potongan tai kering di sana.
Kersang dan tidak dapat dipakai apa-apa selain untuk tempat sembunyi permainan
serong atau sapi curian. Tentara kalah ternyata sebagai bola karet yang sobek bocor
tak ketolongan, kempis terserak di sembarang sudut halaman, tidak mengganggu dan
tidak diganggu, tetapi tetap gangguan. Kami hanya tinggal menghitung di kalender
harian, angka-angka mana yang kebetulan minta giliran untuk disobek.
Barangkali begitulah perasaan Verbruggen bila ia sedang bermain-main cincincincin asap cerutunya yang selalu saja, entah dari mana, bermerk Holland itu.
"Ibuku masih ingat pada anaknya yang paling kurang-ajar," begitu keterangannya,
mengapa masih saja dia punya kemewahan cerutu harum di tengah kebusukan tropika
negeri yang begitu indah sehingga memuakkan itu. Rahasia hidup-mati Verbruggen
barangkali dalam asap cerutunya itu. Seperti Akhilus mitologi Yunani pada tumit
kakinya. Seperti beberapa tokoh wayang dalam anggota badan ini atau itu.
Verbruggen memang Petruk, tetapi Petruk Belanda yang kekar, hanya itu bedanya.
Tetapi melihat mulutnya yang terlalu besar dan lebar serta matanya condong sipit, apa
lagi perutnya yang melembung, toh Petruk ia sebenarnya. Ia badut dalam arti banyak
dan ia menerima kekalahan tentaranya sebagai menerima kekalahan lotere saja. Nanti
beli lotere lagi. Dan memang, pernah ia berguman, bahwa ia sedang serius
memikirkan kemungkinan masuk ke dalam Legiun Asing tentara Prancis di Indo Cina
atau Aljazair. Spanyol pun masih punya Legiun Asing, di mana para bandit dan
petualang segala penjuru dunia bisa menjual otot dan kemaksiatan mereka untuk
berkelahi melawan musuh entah siapa, tak peduli. Atau bukan musuh istilahnya, tetapi
jumbleng tempat penerimaan kotoran nafsu pembunuh sewaan. Tetapi istilah membunuh di sini juga masih terlalu diambil dari kamus kaum alim. Membunuh gadis
yang diperkosa, kata orang, membunuh. Tetapi bertempur dalam divisi-divisi
berpakaian seragam di bawah pimpinan seorang jenderal dan di bawah panji-panji
nasional, kata orang, bukan membunuh tetapi berbakti kepada nusa dan bangsa.
Dan apa yang seclang kukerjakan sejak aku masuk KNIL ini?
Menegakkan tata-tertib yang syah? Yang masih diakui oleh hukum internasional dan
semua nasion yang beradab? Melawan terorisme fasisme? Membalas dendam kepada
kaum yang menjadi sebab langsung-tak-langsung ibuku dijadikan jumbleng kotoran?
Menegakkan hargadiri dan keyakinan pribadi? Apa arti kata pribadi dan keyakinan
dan harga-diri dan nasion dan ibu dan segala istilah abstrak itu? Apa beda tentara dan
gerombolan bandit? Apa beda seni ksatria dan nafsu membunuh? Apa perbedaan
pahlawan kemerdekaan yang gugur dan soldadu penjajah yang mampus? Jelasnya,
bagi yang mati itu? Nama harum, noda nasib? Semua jenderal yang menang disebut
pahlawan, semua jenderal yang kalah disebut penjahat perang. Oleh siapa nama
harum dan pujaan itu sebetulnya dibutuhkan?
70
Oleh yang mati atau yang menjadi ahliwaris atau kelompok yang membutuhkan
legitimasi? Pemerkokoh ideologi yang ditentukan a priori?
Saat yang kunanti-nanti telah terjadi: Yogya kami kuasai. Tetapi alangkah
kecewanya. Seharusnya aku bersorak Gloria Victoria! Tetapi inikah yang disebut
Victoria? Apakah begini juga hidup perkawinan, yang kata orang lagi, hebat dinantinantikan; tetapi sesudah terjadi, cekcok dan kelesuan? Lalu apa yang disebut menang
atau kalah? Tidak! Menang atau kalah ditentukan sendiri oleh manusia, oleh aku
sendiri, Setadewa! Ya, Kapitein Setadewa. Tidak oleh orang lain, siapa pun. Juga
tidak oleh Larasati! Hei Seta! Rayakanlah hari kejayaanmu! Bukan kejayaan Belanda
atau KNIL, tetapi kejayaan Kapitein Setadewa, putera Kapitein Brajabasuki dan
Marice.
Dini pagi pasukan payung telah diterjunkan ke pangkalan Meguwa, Yogya.
Sedangkan mereka mengamankan landasan dan daerah sekitarnya, Dakota pasukanku,
pesawat pengangkut yang pertama mendarat. Dalam formasi tempur kami langsung
dari pesawat menuju rel keretaapi. ltu kami seberangi dan terus, terus, kami terus lari,
menjatuhkan diri, lari, menjatuhkan diri sambil menghamburkan ribuan pelor yang
sudah ditimbun sekian tahun oleh Jenderal Spoor; ya, ngawur saja asal memberi
perasaan aman. Sialnya tidak seperti siasat militer biasa, kami tidak dilindungi oleh
perisai artileri. Jadi peluru dari bren, stengun dan sekian Thompson dan moncong apa
saja yang bisa digaet dari gudang-gudang Sekutu, kami berondongkan ke musuh yang
tak pernah kelihatan.
Dalam hati aku agak terhibur sedikit, sebab operasi menduduki Yogya ini mirip
perang sungguh-sungguh. Perang dengan cara intelektual dan beradab. Dan tidak
seperti di Tanggerang dan Sukabumi dua tahun yang lalu, berurusan dengan
perampok dan maling. Aku masuk KNIL tidak untuk menjadi semacam koboi
melawan perampok atau bandit yang menendang bandit lain. Tetapi susahnya sampai
sekarang, operasi KNIL hanya seperti main kotor saja. Masih tersisa kejengkelanku
ketika kami menerima briefing dari Letkol Verbruggen mengenai apa yang oleh Dr.
Beel disebut Aksi Polisionil itu.
Aku sungguh marah, karena itu penghinaan bagi kaum KNIL yang tulen, yang
bukan polisi, seolah-olah kami ini hanya main petasan dengan siasat kuna "tangkaplah
maling dengan maling". Verbruggen hanya menyeringai dan ujung mulutnya serba
ejekan bertanya kembali: "Apa jeleknya jadi maling? Dari pada jadi politikus?" Aku
terkejut dan ketika aku melihat dia memandang foto orang pelontos kepala botak
dalam koran de Volkskrant yang sesudah kuamat-arnati ternyata itu wakil Mahkota
Dr. Beel, maka aku segera menangkap siapa yang dimaksud olehnya. Sengketa kuna,
militer melawan politikus. Tetapi bagi dia, yang berdarah legiun Asing soldadu
profesional, masalahnya lain dariku. Aku masih punya prinsip dan aku tahu, untuk
apa aku ikut menyerbu Yogya ini,
Tetapi jujurlah, keyakinanku ketika itu juga sudah goyah.
Hanya aku tidak mau mengakuinya. Soalnya, jiwaku tidak pernah tenteram, karena
sampai sekarang belum pernah ada tanda-tanda jelas, di mana dan sedang berbuat apa
ayahku. Berkali-kali aku gentayangan ke NEFIS dan selalu bertanya apa ada tawanan
republikan baru. Dan kepada tahanan-tahanan itu aku mencoba tanya, apa ada di
kalangan mereka seorang perwira, entah mayor entah kolonel, yang berasal dari sini
dan situ dan bernama Brajabasuki, yang berpendidikan akademi Breda tetapi ikut
Republik dan sebagainya.
71
Ataukah barangkali Papiku telah berganti nama? Tentang ibuku aku sudah tidak
berani bertanya lagi, sebab setiap kenangan pada Mami hanya membuatku gusar dan
marah dan menjadi penyebab aku cuma mengamuk ke kiri kanan. Sebab sekali lagi,
seorang pemegang komando dalam perang tidak boleh terlalu nervous dan emosional.
Aku harus menjaga diri, karena bagaimanapun aku punya tanggung-jawab terhadap
keselamatan anak-buahku. Biarpun aku tahu, anak-buahku sebetulnya hanyalah kulikuli inlander saja yang kebetulan disuruh menghambur-hamburkan peluru, namun toh
mereka punya papa dan mama juga.
Aku sudah lama rukun dengan gagasan, bahwa serdadu-serdadu bawahanku yang
inlander-inlander itu memang segerombolan sampah sebetulnya, akan tetapi apa
dosanya mencari nafkah? Seandainya aku dalam kedudukan mereka, pasti juga aku
tak punya alternatif lain, memilih mata-pencaharian apa. Aku sukarela masuk KNIL,
tetapi mereka terpaksa jadi soldadu yang mencari nafkah biasa saja, seperti seorang
jagal mencari nasibnya dengan menyembelih sapi.
Mereka soldadu, dati kata soldei alias upah. Aku bukan soldadu, aku petualang dan
pendendam, dan kalau aku mati dan kalah, aku masuk neraka. Sedangkan mereka,
kukira di akhirat mereka dengan ikhlas akan mengepel lantai surga yang diduduki
kursi-kursi pahlawan-pahlawan KL Belanda atau Republik. Sebab memang pekerjaan
yang mereka ketahui hanyalah menjadi kacung. Seandainya mereka mendengar,
bahwa soldei pejuang Republik itu dua kali lipat dari upah mereka jadi bandit KNIL
ini, tentulah dengan tenang dan tanpa banyak cingcong mereka akan ikut Republik
juga; dan nanti malam merangkak masuk kamarku dan menembak Kapiten Setadewa;
dengan gaya tukang ahli juga yang telah menuaikan tugas dengan efisien, seperti yang
diminta sebagai imbangan upah seorang profesional.
Aku bukan soldadu. Pertama karena bintangku sudah tiga dan perak dengan latarbelakang hitam. Dan selain itu, aku punya ideal. Ideal mendendam memang bukan
ideal yang teramat bagus, akan tetapi jelas bukan karena uang aku memimpin kolone
yang menuju ke istana Soekarno itu. Aneh, mengapa aku muram, padahal inilah yang
sudah kutunggu-tunggu bertahun-tahun; yang telah kami pelajari dalam peta-peta dan
sekian foto-foto intel, kami. Aku memang sudah mengenal Yogya sebelum Jepang
masuk, akan tetapi pemandangan mata manusia yang melancong atau bersepeda
dengan maksud-maksud normal sangatlah berbeda dari pemandangan mata seorang
berseragam yang penuh beban tas peluru berniat merebut suatu kota yang terkutuk.
Sesekali kami nyaris menginjak mayat seorang anak kampung atau petani atau satu
kali seorang gadis yang membuat kacau hatiku, sebab jelaslah tidak dapat dihindari,
bayangan Atik yang sebaya dengan mayat itu menghantui, sehingga aku terkejut
ketika sersan Ambon pengawalku dengan berteriak merebahkan tubuhku masuk
selokan. Sebuah born waktu meledak. Aku mengumpat-umpat dengan sendirinya,
tetapi sersan setia itu hanya menyeringai dan berguman: "Kapten, minta rokok."
Persetan, cuma itu. Kulemparkan seluruh bungkusan ke hidungnya yang selebar sayap
Dakota itu dan langsung memberondongkan peluru-peluruku ke arah semak-semak
yang bergerak entah oleh angin entah oleh entah.
Sebetulnya ini perang gila. Sesudah setengah jam merangkak dan lari dan
merangkak lagi, aku sudah mengambil kesimpulan, bahwa sebetulnya kami bisa saja
mengambil jip dan langsung pergi ke Tugu, terus belok ke kiri ke Malioboro. Jus!
Masuk ke istana gubernur Belanda yang sekarang dipakai oleh Soekarno.
72
Aku yakin bahwa tentara Republik sudah lari semua dan untuk apa kita menghamburhamburkan peluru dan waktu. Jangan-jangan Soekarno lalu cukup punya waktu untuk
lari ke pedalaman, malah susah ganda nanti.
Aku meradiokan pandanganku itu kepada Letkol Verbruggen, supaya dia
mengusulkan kepada Kolonel van Langen agar langsung saja memakai jip mendobrak
istana Soekarno. Tetapi Verbruggen menjawab, bahwa kami masih harus berbadutan
seperti ini terns, sampai bren-carrier yang dapat melindungi infanteri dengan lapisan
bajanya diturunkan dari Herkules, sebab para kaum Zeni masih memeriksa landasan,
apa kuat didarati Herkules.
Uah, maki-makiku, itu orang-orang Militaire Luchtvaart terlalu priyayi, terlalu
ilmiah. Maunya sip. Dan tak tersengaja aku teringat komodor Republik dengan
deputynya yang mendaratkan pesawat Kabayashinya yang rapuh itu di Kemayoran.
Kaum Militaire Luchtvaart harus belajar dati pasukan udara Republik perihal kenekatan. Mosok perang harus semua sempuma. Tetapi masalahnya memang tidak
segampang itu. Betapa lemah pun perlawanan kaum Republik itu, toh aku melihat,
sudah tiga dari anak-buahku yang terkena tembakan single fighter entah dati semak
gerumbul mana.
Dan menduduki kota dengan lorong-lorongnya yang sempit lebih berbahaya.
Bersama dengan kami, ikut beroperasi juga kaum KL ¹⁾Nah, itu tentara priyayi, serba
sinyo-sinyo muda yang tentunya bukan kaum bandit, walaupun bergaya sok koboi
dengan kain leher merah segi-tiga mereka. Maunya tetap tentara kaum beradab
dengan garansi mutu internasional, kecuali dalam hal keberanian berkelahi. Orang
Belanda bukan bangsa jago kelahi. Mereka pedagang borjuasi atau pegawai kantor,
atau mahasiswa calon doktorandus dalam ilmu sejarah, sejarah Hindia Belanda tentu
saja dalam kaitannya dengan politik mulia atas nama Sri Ratu. Maka mereka sungguh
pengecut sekali. Mana bren-carriernya ! Aduh lieve meid ²⁾, begitu saja pakai panser
beroda rantai. Naik andong saja bisa kok! Jengkel kuradiokan laporan ke Verbruggen.
Mana, kasih jip, dan dalam lima menit aku sudah di benteng Vredeburg. Daripada
berlenongan begini ini, kayak tentara Eisenhower ³⁾ imitasi yang cuma cari-cari semu
saja agar kelihatan hebat.
Masih minimum tiga jam kalau begini caranya sebelum sampai ke target. Jalan dan
kampung sudah kosong dan hotel Tugu yang pernah jadi markas tentara Republik
juga kosong, hanya tinggal gaung sirenenya saja. Hotel itu pun tidak sulit kita duduki.
Dan akulah lagi yang paling terdepan melewati rel-rel kereta-api Malioboro. Masih
kulihat satu palang kereta-api bengkong karena pemah diserudug truk barangkali.
Palang itu terbuka dan memang seluruh Malioboro sudah terbuka. Aku berlindung di
belakang gardu telepon antik, yang dulu pernah juga memberi perlindungan padaku
ketika aku kehujanan dan terlambat kereta-api yang seharusnya membawaku ke Sala,
mencari orangtuaku sesudah saat naas peristiwa radio gelap di belakang rumah
Mayoor Kanagashe dulu itu. Persetan Kanagashe dan segala opsir Jepang dan Tante
Paulin. Di mana sekarang Tante Paulin itu?
¹⁾ Koninklijk Leger (fentara Kcrajaan Belanda).
²⁾ Cewek manis.
³⁾ Panglima Tertinggi Tentara Sekutu ketika melawan Jerman Nazi dalam Perang
Dunia II.
73
Dari belakang kami kudengar suara gemuruh. Ah, akhirnya brencarrier dengan
penumpang sinyo-sinyo yang takut mati itu datang. Mau makan kue kemenangan
yang sudah ada di tangan pasukanku mereka itu?
Tanpa banyak pikir aku dan beberapa dari komandan berlari di belakang carrier yang
memuntahkan peluru-pelurunya ke kiri dan ke kanan itu. Aku sudah ogah melepaskan
tembakan, dan hanya berjalan saja kalem seperti pelancong turis. Kok nggak percaya,
orang-orang amatir ini. Tidak ada lagi orang Republik! Sudah, terbang kencang saja
masuk ke istana. Tetapi sinyo-sinyo dalam kereta perang baja itu cuma merangkak
"sistematis" menurut teori perang akademi, yuilaa pengecutnya . lnilah jadinya kalau
operasi bersama dengan KL yang beradab dan ilmiah dan ... dan tidak tahu caranya
berkelahi.
Sisa hikayat D-dqy 19 Desember sudah terkenal. Istana kami duduki. Kolonel van
Langen datang dengan jip, sesudah semua aman tenteram dan tidak ada risiko satu
rambut pun jatuh. Soekarno, Hatta, Syahrir dan orang tua Haji Salim dan siapa lain
lagi ditawan. Matilah Republik! Hidup Republik!
Aku mengumpat-umpat diriku lagi, sebab entah mengapa, aku tiba-tiba malu
melihat orang pendek berpakaian putih satu itu (sekarang sudah agak gemuk dia,
yang sekian tahun yang lalu nyaris kutembak di Jakarta itu. Sebetulnya aku bisa saja
maju dan berkata padanya: ''Tuan Syahrir? Masih kenal padaku?" Dia sudah tidak
perdana menteri lagi, dan ketika dari koran-koran kubaca berita ia tidak dipakai lagi
oleh kaum Republik, aku masih ingat Verbruggen menyeka pipi dan dagunya yang
kasar belum dicukur, sambil omong atau menggerutu entahlah: "Spoor sekarang
laku. Parlemen Belanda dengan politisi kaum jambu mete akan semakin merasa diri
durian, dan kaum Republik sebentar lagi dipimpin oleh Jago Merah. Cocok!"
Ketika aku bertanya gusar, apa yang ia maksudkan, ia hanya menyeringai
"Sebentar lagi kau dapat bertemu kembali dengan Atikmu." Aku marah betul ketika
itu, tetapi ia hanya tenang, dengan satu mata dipejamkan, memeriksa laras pistolnya,
dan bersiul lagu nostalgia kuna: “Daar bij die ouwe molen…….¹⁾
Ah, sebetulnya aku mendapat kesempatan satu kali lagi untuk menanyakan kepada
orang kecil yang hanya tersenyum itu tentang Atik. Apakah sekretaris Tuan bernama
Larasati masih bekerja di biro Tuan? Atau jadi protokol penerima tamu? Embuh?
Ataukah ... tetapi aku hanya berdiri tolol saja di sudut emperan muka yang berlantai
marmer itu, dan seolah tidak sadar seperti linglung melihat bayangan-bayangan orang
yang lalu-lalang di istana bekas gubernur Hindia Belanda itu.
Pada petang hari yang sama itu, 19 Desember 1948, sambil duduk lunglai karena
payahnya di atas tangga-tangga istana, dengan bayangan raksasa batu di halaman
muka itu, aku ditumbuhi perasaan bimbang lagi. Pasukanku menang, Kapitein Seta
jaya. Tetapi kehilangan Larasati. Barangkali ... barangkali toh aku salah pilih.
¹⁾ Nun di sana dekat kincir tua itu.
74
11. Ayam-ayam Disambar
Baru keesokan harinya pemuda-pemuda memperoleh kepastian: Belanda
dursetut ke Yogya, kota kabupaten diduduki musuh. Tetapi di hari pasaran Pon berikut
masih banyak juga perempuan yang toh pergi ke pasar, jauh di bawah sana di tepi jalan
raya aspal. Akan tetapi mereka pulang kecewa karena semua toko tutup. Malam berikut
orang-orang Juranggede melihat dari desa mereka, bahwa di bawah sana banyak
kelihatan api menyala. Bumi hangus. Sekarang ada dua api. Di atas sana api kawah
gunung Merapi. Di bawah sana api orang perang. Cocok sudah. Orang tua-tua sampai
malam bergadang berbincang-bincang tentang terkaan-terkaan macam-macam yang
semua serba terkaan belaka. Hampir semua orang tua dalam hati bertanya diri, apa tidak
lebih baik semua kembali saja ke Jaman Belanda. Tidak dikatakan langsung tentu saja.
Tetapi dengan bercerita. Dulu dan sekarang melarat, tetapi dulu tenang. Bayi lahir, anak
dikhitani, Si Muda menikah dan melahirkan bayi. Arnan, damai. Tentulah kadangkadang ada yang mati, tetapi begitulah roda
kebiasaan. Kadang-kadang ada perampok datang mencuri sapi atau kerbau atau kalung
emas dari yang mampu di desa. Tetapi polisi Belanda yang datang dengan sepeda
motor dengan saisepan gerobagsampingnya, pasti bisa membereskan soal. Asal
perampok itu jangan kau lawan. Tenang saja kau berikan apa yang mereka minta. Dan
paginya lapor kepada Pak Lurah. Lalu menunggu saja, gampang. Kalau sapi atau harta
tetap hilang terus, ya sudah. Lalu jelas itu kehendak Allah. Tetapi itu jarang terjadi.
Barangkali sapi atau kalung emas yang tak tertemu lagi dulu memang tidak halal; atau
boleh jadi warisan seorang nenek yang pernah main serong dengan suami tetangga. Nah
sudah pur¹⁾namanya. Tetapi kalau itu barang halal, pasti dikembalikan oleh resisir dan
pelpolisi Belanda, yang gagah pakai pistol di pinggangnya, dengan kawan pak mantripolisi yang berkumis tebal, dan yang membawa kelewang.
Sayang Belanda kalah. Lantas segala-galanya jadi kucar-kacir. Tetapi barangkali
memang begitulah seharusnya. Tidak baik sawah ditanami padi terus-menerus. Harus
diselingi palawija, atau ketela atau tembakau. Nah barangkali sekarang ini jaman ketela,
jaman brengsek. Atau tembakau yang hitam, ampeg! Tetapi asal masih ada daun muda
jagung dan kelembak-kemenyan untuk merokok, tak mengapalah. Semua itu memang
nasib.
Tetapi pemuda-pemuda yang berapat di rumah Karjo bekas Keibodan²⁾ pemimpin
mereka, tidak sependapat dengan ajaran nasib itu. Mereka juga saling melontarkan
terkaan dan tebakan. Tetapi akhirnya diambil kesimpulan: Yang paling bijaksana ialah
menunggu saja komando dari Bung Kamo. Pokoknya menunggu komando.
¹⁾ Seimbang kalah menangnya.
²⁾ Barisan polisi pembantu jaman pendudukan Jepang, setingkat Hansip sekarang.
75
Kalau dikomando menyerah ya menyerah; kalau terus ya terus. Semua siasat kan sudah
diatur di pihak Pimpinan Tertinggi sana.
Kita ini hanya pemuda desa dan tidak pinter-nasiona, kelakar pemuda-pemuda itu.
Berulang-ulang mereka ke luar dan memandang diam, entah dengan pikiran apa, apiapi di kejauhan bawah sana.
Dalam arti tertentu perang itu selingan hiburan lumayan. Dan pemecah waktu yang
mengasyikkan untuk desa yang biasanya membosankan para pemuda itu. Asal dari
kejauhan saja.
Seminggu sesudah dursetut ke Yogya, seregu tentara gerilya berpakaian preman
masuk ke desa; diiringi anak-anak banyak serta sekian muda-mudi. Mereka langsung
menuju rumah Pak Lurah. Kamitua, ¹⁾ Tamping²⁾ dan seluruh pamong desa
dikumpulkan dengan kentongan. Mereka diberi instruksi-instruksi oleh komandan
peleton itu, disaksikan oleh sekian pasang mata dan mulut melongo dati anak-anak
yang mengintip dati segala lubang dinding. Komandannya ternyata yang paling kecil
dan kurus, sehingga jakunnya di leher tampak sangat menonjol. Seperti ada gelatik
bersembunyi dalam tenggorokan komandan itu. Mungkin gelatik sihir, jimat kebal pelor
Belanda, tetapi aduh, paruhnya sebentar lagi menyobek kulit lehernya, begitu runcing
jakunnya itu.
Ada seorang yang membawa pedang samurai panjang. Itu yang berambut panjang
agak berewok. Tampangnya seperti Arab. Ia yang paling gagah dan tampan. Ternyata
namanya Samsu. Lain-lainnya hanya membawa ransel atau tas model tentara biasa,
tetapi Samsu ini khusus membawa kopor kecil dari besi yang diletakkan di mukanya di
atas meja pendopo kelurahan. Seperti tidak percaya, jangan-jangan diserobot anak-anak
itu.
Ternyata kelak Si Pedang Samurai itu tidak pernah bisa berpisah dati kopornya itu.
Kalau ia tidak tidur, kopor itu diletakkan di bawah bantal. Selanjutnya, begitu kata
anak-anak beberapa hari lagi, kopor itu selalu dirantai dengan tiang atau batang apalah.
Apakah di dalamnya ia menyimpan senjata rahasia atau barang-barang pusaka?
Entahlah, tak ada orang tahu.
Pertemuan pertama dengan Pak Lurah hanya mengatur, di mana mereka dapat
menginap. Setiap pamong desa mendapat seorang tentara. Bila ada gadisnya yang
sudah agak besar, diungsikan ke keluarga lain. Hanya Samsu yang minta agar boleh
mendapat rumah sendirian. Karena tidak ada yang kosong, janda Sakinem yang sudah
sangat tua dan hidup sendirian diungsikan ke rumah menantunya. Banyak gadis dan
ibu-ibu muda terpesona oleh Samsu yang ngganteng gagah itu.
¹⁾ Pembantu pertama lurah desa.
²⁾ Wakil lokal lurah desa.
76
Akan tetapi pesona itu segera membalik, karena ternyata dari peleton itu Samsulah
yang punya tugas khusus mengerikan. Ia algojo pasukan itu. Dan segeralah beredar sassus, di dalam kopor besi itu tersimpan beberapa tengkorak. dan sesudah tiga hari
jelaslah bagi Karjo, ia lebih unggul dalam pengetahuan tentang soal-soal kemiliteran
dari pada Setankopor. Soal jaga misalnya. Dan segera lagi beredar sas-sus baru,
tengkorak-tengkorak itu setiap malam Jum'at Kliwon bertelur uang dan peluru. Yang
jelas pemuda-pemuda lalu menyebutnya Setan-kopor ¹⁾
Dari saat awal mula, Karjo yang menjadi pemimpin pemuda-pemuda desa tidak suka
kepada Samsu. Walaupun Karjo merasa hanya pemuda desa, tetapi ia merasa lebih tua.
Toh Samsu hanya sersan saja. Tapi sombongnya! Langsung ia berbahasa ngoko²⁾
kepadanya, seperti bicara kepada jongos. Karjo pernah dilatih sebagai Keibodan
Komandan sudah menyerahkan kebijaksanaan jaga desa kepada Karjo dan kawankawannya. Karjo berpendapat bahwa Belanda tidak mungkin operasi malam ke lerenglereng gunung. Jaga di siang harilah yang harus diperketat, sebab itu saat-saat datang
kemungkinan NICA berpatroli. Tetapi Samsu dengan lagaknya yang sok
menuntut agar penjagaan malam sangatlah ketat. Dan apa terjadi?
Suatu pagi, kira-kira jam 10 patroli NICA datang di pedukuhan tetangga yang belum
200 meter jauhnya dari desa Juranggede. Tentulah peleton Samsu dan para pemuda lari
pontang-panting, ke tengah ladang dan jurang-jurang lahar. Untung patroli berhenti di
pedukuhan tetangga yang namanya Kepondong itu. Dan lucunya naik pitamlah Samsu.
Dibentaklah Karjo karena ia berani mengatakan, itu salah Samsu sendiri, mengapa
siang hari penjagaan justru longgar. Pada larut siang hari itu juga, Samsu dan beberapa
bawahannya menggasak pedukuhan Kepondong dan melarak tiga orang pemuda beserta
pak Tamping. Mereka diikat dengan tali ijuk. Dan setengah telanjang, di bawah
hantaman dan pukulan kayu keempat orang celaka itu dianiaya setengah mati.
Perempuan-perempuan dan anak-anak semua bersembunyi di dalam rumah.
Tetapi raungan dan tangis penderitaan empat orang itu terdengar sampai di tengah
ladang.
''Mana pemuda-pemudamu Karjo! Pengecut! Pengecut semua! Lari semua ya!"
"Mereka jaga dan yang lainnya cari rumput untuk kambing dan sapi."
“Ahh, penting manakah? Kambing apa menghajar mata-mata N1CA ini, heh! Hei ke
sini, kemari. Itu pemuda yang kayak kemaluan kerbau itu. Kenapa lari.
¹⁾ Mirip nama pusaka dalam suatu lakon ketoprak: Setan kober.
²⁾ Bahasa Jawa tingkat biasa (kurang menghormat).
77
Kalian juga kaki-tangan N1CA, kok lari! Ayo kemari kalau bukan pengkhianat. Itu
juga, itu ayo. (Beberapa pemuda mendekat) Ayo ini kayu. Pukul orang-orang ini.
Takut? Hahaaa, pemuda gabus kalian. Harus dihajar orangorang seperti ini. Tahu
Hukum Perang? Yang alpa harus ditembak mati! Itu hukum perang. Tahu, semua?
Heh? Karjo! Kumpulkan pemuda-pemuda! Apel! Dan kau sekarang cari.
Nanti malam digosok dengan buah cari rawe ¹⁾ yang gatal pedas itu biar tidak dapat
tidur. Berangkat!"
Karjo pura-pura mencari pemuda-pemuda, tetapi ia menyelinap ke dalam kelurahan.
Pak Lurah sedang duduk diam di ruang tengah, di bawah lonceng kuna yang seolah,
sedang menghitung menit-menit sebelum para korban itu dibunuh Samsu.
"Kula nuwun Pak Lurah. Di mana Pak Komandan?" Tanpa mengucap sepatah pun
Pak Lurah hanya memberi isyarat dengan kepalanya yang sedikit berputar. Pak Lurah
ini bagaimana? 1tu Pak Tamping Sukra mau dibunuh Samsu! Pak Lurah harus bertindak. Tetapi Pak Lurah hanya diam saja, linglung matanya seperti beling. Karjo
masuk kamar. "Maaf Pak Komandan, saya mengganggu sebentar." Komandannya
hanya membalikkan tubuhnya setengah telanjang dan tidur terus dengan mulut
terbuka.
''Ada apa?" tiba-tiba mulut itu berbunyi, tetapi mata masih terkatup.
"Maaf pak. Tetapi saya terpaksa mengganggu. Pak Tamping dan pemuda-pemuda itu
tidak salah. Tetapi sekarang Samsu menganiaya mereka dianggap mata-mata.
Barangkali hendak dibunuh." Pak Komandan menguap.
"Hah ... Samsu ... ada apa Samsu? Hooah, saya mengantuk."
"Tolong Pak. Kalau Pak Komandan mau, tentulah ... "
"Huaah ... urus sendiri sanaa huaah."
Hasrat Karjo ingin sekali melempari mulut yang menganga itu dengan bakiak.
Sedikit bingung ia ke luar. Lurah sudah terlalu tua, bisa diajak apa! Tetapi mendengar
beberapa perempuan menjerit, keberanian Keibodannya kembali. Dengan tenang Karjo
menghampiri Samsu.
Matanya seram mengebor mata Samsu yang tidak tahan dan yang hanya berteriak:
"Pengkhianat! Pengkhianat semua. Kakitangan N1CA."
Karjo mendesis:
"Lepaskan, Samsu!"
¹⁾ Buah yang mengandung bisa (racun) yang menyengat.
78
"Hah? Kau juga ingin dicincang?" Tetapi Karjo tak berkedip.
Ada api kawah Merapi berpijar di dalamnya. "Lepaskan."
“Lepaskan sendiri. Saya bukan budakmu!" Dan pergilah Samsu, sambil mengurnpatumpat.
Malam itu Pak Tamping Kepondong meninggal akibat penganiayaan Samsu.
Seminggu kemudian seorang tani yang ketakutan dan bermalam di gubug di tengah
ladang dilarak Samsu ke tepi jurang dan dipenggal lehernya. Dakwaan: mata-mata
Belanda. Beberapa hati kemudian ibu-ibu mulai mengungsikan gadis-gadis mereka ke
tempat nenek atau desa lain, sesudah anak Pak Lurah diperkosa Samsu. Komandan regu
hanya tiduran kerjanya dan semua perkara digarap Samsu. Tetapi tiga kali sehari dati
dapur umum ibu-ibu yang tua-tua, serba takut, jangan-jangan terkena marah, bergiliran
menghidangkan makanan untuk regu tentara itu. Dan Samsu semakin bergaya.
Kalau seorang tentara peleton memuji pepaya yang menguning di pohon, segera
seorang anak disuruh ibunya memetiknya. Bila mereka berkomentar ayam ini, itu
gemuk dan bertanya apa betul itu ayam Kedu sungguh, maka petang harinya seorang
anak disuruh ayahnya mempersembahkan ayam itu kepada mereka. Tetapi bagaimana
bila mereka memuji Si Tinem atau Piyah cantik? Sebab, tidak mungkin semua gadis
diungsikan. Perempuan-perempuan desa tampaknya tolol tetapi mereka praktis. Mereka
meminta Mbok Rukem, janda nakal yang biasanya mereka gerutui, untuk menampung
lahar birahi tentara itu. Dengan imbalan beras, tempe, gula jawa dan sebagainya dari
pihak kaum ibu Juranggede. Tentang dukun penggugur kandungan, bereslah Rukem
sudah tahu ke siapa ia harus pergi kalau perlu. Begitu sedikit banyak keamanan gadisgadis desa agak terjarnin. Tetapi toh belum cukup. Memang jaman sedang dursetut ¹⁾.
Maka bila ada gadis yang tahu- tahu mengandung tanpa suami, itu pun dursetut, kata
pemudapemuda dengan dendam getir. Sebab tentu saja gadis yang didursetut itu
biasanya cantik.
Maka pemuda-pemuda tidak berapat lagi di dalam desa, tetapi bersembunyi di
ladang atau di dalam jurang-jurang lahar. Beberapa minggu ini Samsu sedang
keranjingan hobi baris-berbaris. Semua pemuda diharuskan berbaris. Sampai loyo
rasanya. Makan kurang, malam serba berjaga, masih disuruh baris-berbaris.
Terdengar berita, carik ²⁾ dan ulu-ulu³⁾ desa Bawongan dibunuh Samsu. Konon
Mereka pergi ke kota dan membawa uang NICA.
¹⁾ Dati kata doorstoot (Bld), pukulan menerobos. Istilah waktu itu untuk aksi-aksi
serangan Belanda dalam perang kemerdekaan.
²⁾ Penulis kelurahan.
³⁾ Pengurus irigasi sawah.
79
Tetapi berita burung bercerita juga, kopor Samsu sekarang amat berat, karena
bertambah isi emas milik Pak Carik Bawongan yang tergolong kaya itu. Tersiar lagi
berita Pak Mantri Kesehatan tertembak mati. Padahal tidak ada patroli NICA. Segera
pikiran orang-orang tertuju kepada Samsu. Sebab istri pak Mantri tergolong cantik.
Keesokan harinya Karjo dan pemuda-pemuda menghadap Komandan Sektor. Mereka
menuntut agar Samsu dipindah. Kalau tidak, istilahnya: mereka tidak akan
bertanggung-jawab tentang kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja terjadi.
Dan dipindahkanlah Samsu. Sayang tidak jauh dari desa Juranggede. Tetapi agak
legalah orang-orang desa di Juranggede.
Namun Pak Komandan Sektor bukan ingusan kemarin sore. Sudah lama memang ia
ingin menyingkirkan Si algojo Samsu, karena "ngono ya ngono, ning mbok ja ngono ¹⁾
Tetapi medan perang gerilya bukan medan perang yang dilindungi hukum. Masih
cukup jumlah harimau sisa-sisa jaman Amangkurat berkeliaran di hutan-hutan lereng
gunung. Lena sedikit, dan anda diterkam dari belakang. Dan sekali mati, tidak ada
urusan lagi. Maka untuk menyenangkan hati regu si Samsu, yang tentulah tahu dari
mana datang usul kepindahan oleh Komandan Sektor, Karjo dengan pemudapemudanya
diberi perintah untuk membakar pos militer Belanda yang menjaga jembatan kali
Grojog. Padahal kecuali Karjo, pemuda-pemuda itu belum pernah menembakkan bedil.
Samsu puas dan Karjo berangkat. Keesokan harinya Karjo melapor, bahwa serangannya
gagal karena musuh sudah tahu mereka datang dan mereka diberondong. Dusta itu
kurang cerdas, sebab Pak Komandan tak mendengar satu tembakan pun. Maka Karjo
dan kawan-kawannya digebugi babak-belur, khusus di hadapan mata Samsu. Maka
lebih puaslah si Setankopor.
Hari-hari dursetut memang suram. Tetapi tak sesuram Selasa bulan Maret itu.
Seluruh desa seperti terkena awan gelap gunung Merapi. Orang tua-tua hanya diam dan
tidak seorangpun punya keinginan omong. Ibu-ibu dan gadis-gadis pun merasa ada
sesuatu yang sedang menghantu. Pemuda-pemuda berapat di kelurahan dengan suara
hampir berbisik. Sebab ada sesuatu yang sangat jarang terjadi, namun kali ini kok entah
mengapa, terjadi. Tidak ada sangkut-pautnya dengan N1CA. N1CA toh sudah kalah
dan sebentar lagi tentara Republik memasuki kota-kota lagi. Juga bukan perkara
penganiayaan Samsu yang sudah dipindah itu atau Bu Mantri Kesehatan yang juga
sudah jauh mengungsi ke tempat bibinya.
Tetapi pada malam menjelang Selasa Kliwon Mbah Glati meninggal. Ini gawat
sungguh. Mbali Glati memang suka ilmu klenik, tetapi siapa di pedesaan yang tidak
suka ilmu klenik. Mbah Glati memang sudah tua dan sudah saatnya ia kembali bertemu
lagi dengan istrinya yang sepuluh tahun yang lalu jatuh ke dalam sumur.
¹⁾ Boleh kau begitu, tapi hendaknya jangan begitu.
80
Tetapi siapa mengira, Mbah Glati begitu nekat sengaja memilih saat meninggal dunia
pas pada malam Selasa Kliwon.
Tetapi sejak kecil Glati memang anak nekat. Semua tahu ia lurah. Tetapi bukan lurah
pamong-praja melainkan lurah garong. Gentho. Benggol bajingan. Ketika masih muda
dan kuat, prestasi Mbah Glati yang paling gemilang dan yang semua orang tahu ialah
operasi membongkar Pegadaian Negeri di kota Muntilan. Tetapi Glati rupa-rupanya tak
pernah menikmati segala jerih payahnya. Pelpolisi Belanda dan resisir mantri polisi
dengan cepat melacak Si Bajingan dan Kang Glati masuk bui.
Di jaman dursetut ini sebetulnya kesempatan sangat bagus untuk Mbah Glati
mempraktekkan lagi profesinya. Akan tetapi ia merasa sudah terlalu tua. Mati sih boleh,
gerutu para pemuda, tetapi mengapa justru pada malam Selasa Kliwon? Cuma bikin
onar saja. Sebab pastilah pemuda-pemuda lagi yang nanti terkena getahnya. Soalnya,
orang mengira Mbah Glati masih punya hartakarun yang disembunyikan sampai akhir
hidup. Mbah Glati pasti orang yang kayaraya. Pastilah tidak seluruhnya dari Pegadaian
Negeri Muntilan dulu itu dikembalikan kepada pelpolisi dan Pak Mantri resisir.
Buktinya, mati pun pada malam Selasa Kliwon. Musti ada apa-apa ini.
Karjo menginstruksikan jadwal giliran jaga malam pada makam Mbah Glati nanti.
Sebab menurut tahayul orang-orang sekitar Juranggede, siapa yang berhasil
memisahkan kepala dari mayat yang mati pada malam Selasa Kliwon dan mampu
menggondolnya (Tidak boleh pakai alat. Menggali kuburan harus dengan tangan
telanjang saja dan memisahkan kepala serta menggondolnya hanya boleh dengan gigi!),
orang itu akan kaya-raya. Oleh karena itu makam orang yang mati pada malam Selasa
Kliwon terpaksa harus dijaga keras, agar hal-hal yang tidak diinginkan jangan terjadi.
Dan siapa lagi yang harus menjaga, selain para pemuda. Karjo sebetulnya tidak
berminat untuk mati-matian berjaga hanya karena tahayul Selasa Kliwon itu, tetapi
orang-orang tua mendesaknya keras. Dan keluarga perempuan Mbah Glati memohon
begitu keras dan memilukan, sehingga Karjo mengalah.
Dipilihnya pemuda-pemuda yang tegap dan terkenal pemberani. Dipesannya kopi
amat kental dua teko dan berdasarkan nalar normal ilmu pertahanan sederhana Karjo
dan kawan-kawannya mengambil pos penjagaan mereka. Tidak terlalu dekat dengan
makam Mbah Glati, sebab itu ngeri juga. Tetapi di tempat yang cukup mudah
mendengar sesuatu bila terjadi apa-apa. Ada empat orang tua yang ikut berjaga juga.
Mereka duduk di gerbang jaratan¹⁾, berselimutkan sarung dan di bawah sinar pelita
kecil mereka mulai main kartu di tikar.
¹⁾ Kuburan.
81
Tetapi tengah malam hujan jatuh rintik-rintik. Semakin deras semakin memberi alasan
di hati untuk pulang saja. Tetapi mereka terpaksa berjaga, memaksa diri gembira. Karjo
dan kawan-kawannya berpindah bernaung di suatu makam yang beratap genting.
Waspada mata mereka menerobos kegelapan dan memandang ke arah gundukan hitam
baru yang lamat-lamat hampir tak tampak. Tetapi lama-lama mata mereka menjadi
penat juga dan satu persatu tertidur, sengaja maupun tak sengaja.
Memang bau bunga kamboja dan arumdalu membuat orang mudah tertidur. Tetapi
lewat tengah malam Karjo terbangun. Naluri Keibodannya mendengar bunyi-bunyi
yang mencurigakan. Bertenak ia meloncat dan menubruk sesuatu yang sedang bergerak
di makam Mbah Glati. Kawan-kawannya terbangun dan sesudah mengalahkan keraguraguan ikut menolongnya. Tetapi Karjo sudah terkena pukul mahluk gelap itu. Pusing
sekali rasanya. Ia masih sempat memegang kaki pencuri biadab itu. Orang gelap itu
terjatuh dan dibekuk oleh kawan-kawan Karjo. Tetapi alangkah licinnya. Tiba-tiba
Karjo tahu, orang ini telanjang bulat. Segera dicari kemaluan orang itu, dan dipukul
burungnya. Orang itu berteriak kesakitan bukan kepalang: “Assuu! ¹⁾ Sayang ia toh
lolos. Rupa-rupanya tubuhnya diurapi minyak entah apa. Tetapi suara "Assuu!" tadi
cukup memberi bukti. Mereka sudah hafal nada dan warna suara “Assuu!" Setankopor!
Paginya sesudah diperiksa ternyata, mayat Mbah Glati untung belum sempat ternoda
banyak. Tetapi kepalanya sudah dipuntir. Tiga hari Karjo dan kawan-kawannya tidak
doyan makan. Muaklah mulut dan rasanya kalau makan seperti merekalah yang sedang
memuntir kepala Mbah Glati dengan gigi.
¹⁾ Anjing.
82
12. Cendrawasih Terpanah
Tidak hanya kadang-kadang aku dijangkiti rasa bimbang tentang arti segala sikap dan
tingkahlaku selama ini, sejak Mama dan Papa lenyap dati kehidupanku. Akan tetapi
biasanya itu kutimbuni dengan segala ransel dan peralatan perang yang mudah saja
membungkam segala gagasan bingung dari manusia yang suka bising menghamburhamburkan peluru. Tetapi ketika pada pagi kala itu aku me1ihat dengan mata
kepalaku sendiri Si Soekarno dan Hatta dan Syahrir, Agus Salim dan para gembong
Republik lain, yang sampai saat itu hanya dapat kulihat dalam foto-foto koran-koran
dari negeri Belanda, aku jatuh lagi terkulai dalam kebimbangan.
Mereka ditawan oleh Kolonel van Langen dan seharusnya mereka tampak lesu dan
takut dengan segala sikap yang sepantasnya bagi orang yang kalah dalam pertaruhan.
Tetapi mereka tersenyum serba pasti dan Soekarno tegak bersikap jaya. Yang
namanya Hatta tampak tenang dan seolah-olah hanya menunggu tanda berangkat ke
Den Haag, atas undangan Sri Ratu pribadi dan Perdana Menterinya yang tolol itu,
untuk menerima piagam pengakuan Republik sekarat mereka. Dan Si Haji Salim yang
tua itu, matanya yang cerdik dan hidup seperti mata anak sekolah, yang tahu di mana
ada mangga matang yang tanpa risiko dapat dicuri, ia hanya kalem saja.
Tetapi yang paling mengesankan, justru karena aku mempunyai hubungan "batin"
sejak awal kerusuhan proklamasi itu, ialah bossnya Atik, Si kancil kecil Syahrir itu.
Seolah-olah segala wajahnya yang tersenyum itu berkata kepada semua orang: "Betul
kan? Masuk perangkap kalian sudah". Dan sekali saat kupergoki dia sedang bersiul
lirih, entah apa. Tetapi dalam fantasiku lagu yang sama juga Verbruggen punya: Als
de orchideeen bloeien ...¹⁾
Jelaslah KNIL dan KL dan segala yang bercap maupun berlencana Belanda atau
Hindia Belanda masuk perangkap. Kedudukan Republik semakin kokoh; sejak
perdana menteri kecil itu diundang Jenderal Christison, sejak beras setengah juta ton
dimuat di kapal ke India atas nama Republik dan sejak pesawat loakan itu mendarat di
Kemayoran tanpa boleh ditembak Mustang ML kita, dan sejak Si Kiai kurus jangkung
yang menamakan diri Jenderal Sudirman itu menolak dilucuti oleh kami dan kami tak
berdaya; tak bisa diingkari bahwa pihak Rood Wit Blauw²⁾ sudah pudar.
Ternyata betul analisa Verbruggen dulu itu (Soekarno menghimpun kekuatan di
belakang, dan Si Kancil ini disuruh menghadapi dunia Sekutu dengan senyumannya
dan dengan program kemanusiaannya), bahwa sejak itu Belanda sudah dilasso oleh Si
Syahrir ini dengan tali-tali made in USA yang semakin menjerat dan semakin
membuat Den Haag dan Batavia tercekik megap-megap kekurangan nafas.
Jiwa militer kami jengkel bergolak kasar dan kacau berteriak seperti lazimnya
orang yang terkena perangkap. KNIL kami kalah. KNIL, itulah yang menentukan.
KL sebetulnya hanya hiasan gengsi saja.
¹⁾ Bila anggrek memekar (lagu popular pada jaman Belanda).
²⁾ Merah Putih Biru.
83
Sinyo-sinyo muda yang berkalung sapu-tangan merah dan berbaret coklat, dengan
wajah-wajah putih mulus, dengan bahasa Belanda mereka yang totok tanpa ke-indoindoan sedikit pun (lain dari Verbruggen misalnya, yang sering berlogat "Lho, ya
toh?''), mahluk-mahluk priyayi anak saudagar dan petani-petani daar bij die ouwe
molen ¹⁾negeri kabut itu sebetulnya masih mbok-mboken ²⁾menetek, kata orang Jawa.
Mereka selalu rindu pada Brabant dan Gelderland ³⁾ dan sebetulnya menggerutu, di
sini disuruh menyetor darah untuk nyamuk-nyamuk, makan debu serta berperang
melawan hantu-hantu yang tak pernah kelihatan.
Gossiemijn, komt er geen eind aan? ⁴⁾
''Nooit!” ⁵⁾. Besok pagi kepalamu masuk parit sana dan kakimu ke sawah itu. Lalu
kelak gadismu di sana dangsah dengan tuan-tuan teroris-teroris gerombolan Soekarno
itu, kan begitu. Dikira apa, heh. Ya, tokh!"
Sebetulnya, ah gila kalau tidak tahu, sungguh kami keledai berkepala kerbau!
Semua soldadu gerombolan bandit Hindia dan priyayi moederland ⁶⁾ Olanda ⁷⁾ sudah
tahu: kami kalah. Dan semua diam, justru karena sulit dibuktikan benar tidaknya
dugaan desas-desus tentang sang Panglima. Sebab menggemalah berita guntur di
tengah siang bolong: ''Jenderal Spoor mati." Mati karena apa? Mosok tifus? Diberi
arsenikum ⁸⁾oleh jongosnya? Menembak diri? Nah, keterangan terakhir ini yang
lebih logis. Dus ... adieu Insulinde, ⁹⁾ selamat jalan Aksi Polisional. Hidup Republik!
Nah, mulai saat itu (sudah lama sebetulnya, cuma tidak jelas diakui), selamatkan
dirimu masing-masing! Sebisa mungkin jangan kena tembak pelurn Jepang dari laras
Republik.
Nab, betul kan, dibentuk komisi henti tembak-menembak. Nah betul kan, Van
Royen mulai berwajah lunak, omong-omong dengan Roem. Nah, betul kan, Soekarno
dan lain-lainnya akan dikembalikan ke Yogya. Nah, betul kan, bukan jip Willyss
seperti seumumnya di mana-mana, tetapi jip Landrover, dus bikinan Inggris yang
datang dan diserahkan kepada Sultan Yogya dan delegasi Tentara Gerilya?
Nah, betul kan, kiamat sudah di ambang, formulir-formulir mulai dibagi-bagikan
kepada para KNIL. Ingin pilih apa: masuk tentara Republik Serikat? Atau masuk KL,
bandit jadi priyayi? Atau pensiun? Atau ... ada desas-desus Si Westerling dan entah
kacung abadi.
¹⁾ Nun di sana dekat kincir tua itu.
²⁾ Anak yang merengek mencari ibunya.
³⁾ Propinsi-propinsi Negeri Belanda.
⁴⁾ Seruan keluhan Belanda: Apa tak ada habis-habisnya ini?
⁵⁾ Tak akan pernah.
⁶⁾ Secara harfiah: negeri ibu.
⁷⁾ Nama olok-olok untuk Belanda (Holland).
⁸⁾ Racun.
⁹⁾ Jadi ... selamat tinggal Indonesia.
84
Belanda ingin mempertahankan martabat dan panggilan Kerajaan, menghadapi
ketidak-adilan international sampai titik-darah yang penghabisan, “Kost wat het kost,
door de eeuwen trouu” ¹⁾.
"Sudah terima formulir pendaftaran Legiun Asing Prancis?" tanyaku sinis kepada
Verbruggen. Dia hanya tertawa saja, tawa orang yang kalah lotre tetapi gigih optimis
menebak lagi harapan lotre baru.
"Aku akan dolan-dolan dulu,” katanya.
"Ke mana?"
"Bukan urusan anak kecil." Kuhantam dia dari samping, yang ditangkisnya enak
saja.
“Kom, kom ... jangan bingung. Sudah banyak yang bingung, kalem saja deh." Dan
entah ke mana ia mengebutkan jipnya, sendirian.
Akhir-akhir ini ia misterius sekali. Biasanya ia bagaikan buku terbuka, mudah
dibaca ke mana dan dari mana ia pergi. Aku tahu dengan perempuan mana dan
pelacur siapa ia menghabiskan kesepiannya, di mana ia biasa pesan bakmi atau
merampok sisa-sisa jenewer. Tetapi akhir-akhir ini entahlah, macam-macam dalihnya,
ia selalu mengendarai jip sendirian. Aneh, seorang komandan resimen menyetir jipnya
sendiri dalam keadaan perang.
Memang ada cease fire tetapi ini daerah tropika. Pertama, jam PBB dan jam
pedesaan tidak sama. Dan keduanya, di sini sudah biasa gunung-gunung meledakkan
lava dan batu tanpa minta ijin dulu dari tata hukum internasional. Lagi, keharusan
mengikuti konvoi ²⁾ bagi siapa pun yang mau ke luar kota masih berlaku. Kenapa ia
nekat? Apa guna merisikokan nyawa pada saat jaman perang sudah sekarat dan orang
tinggal menghitung jam untuk pulang ke kandang masing-masing? Setiap otak sehat
menjaga agar jangan sampai perkakasnya mati terkena peluru sesat atau trekbom ³⁾
yang kesiangan kentut. Itu mati konyol. Dan tolol. Tetapi Verbruggen seperti sengaja
ingin membuktikan ketololannya dan seolah meminta masuk kubur saja sebelum
perang usai.
Akhirnya aku tahu ia beberapa kali pergi ke Surakarta. Pernah kukejutkan dia
dengan ''Apa khabar dari kota Sunan?" tetapi enak saja, atau berlagak begitu, ia
memberi keterangan (atau lebih tepat dalih) yang logis, bahkan barangkali terlalu
logis. Tetapi ketika pernah ia kubuntuti, ternyata ia tidak pergi ke kanan sesudah
sampai pada Paal Putih ⁴⁾tetapi ke kiri. Ke Magelang, kota garnisun itu!
Jelas! Pasti ! Sebab bila ia ingin ke Semarang, ia selalu mudah menemukan kursi
di salah satu pesawat terbang dari Meguwo. Mau apa ia di Magelang?
Saat itu aku memang sedang serba emosi dan kecurigaanku mendidih. Maka
ajudanku kuperintahkan melapor kepada kepala staf kompi, bahwa aku dipanggil
mendadak oleh komandan resimenku dan mohon pemahaman oleh komandan
batalyon. Di hari-hari simpang-siur itu setiap komandan sudah tidak begitu banyak
ambil pusing anak-buah pergi ke mana; asal jangan keterlaluan saja. Setiap orang
cuma memikirkan nasib dan kepentingan sendiri-sendiri. Habis, mau apa. Tentara
yang kalah dengan panglima tertinggi bunuh-diri, mau apa?
¹⁾Apapun korbannya, setia sepanjang segala zaman.
²⁾Iring-iringan kendaraan yang dikawal oleh panser-panser dan pasukan.
³⁾Born tarik, ranjau darat.
⁴⁾ Tugu di Yogyakarta.
85
Maka aku segera tancap gas dan ngebut mengejar Verbruggen. Menurut peraturan aku
harus ikut dalam barisan konvoi yang kebetulan sedang menuju ke Utara. Tetapi aku
hanya menyentuh topiku, tanda salut kepada para pengawal panser yang menjaga
konvoi penuh barang (rampokan?) dan pengungsi-pengungsi; yang dijawab acuh tak
acuh oleh komandannya sebagai tanda tahu- sama-tahu.
Mereka pun sudah tidak ambil pusing apakah aku berhasil sampai di Magelang
ataukah terkena jebakan gerilya di tengah jalan. Tambah mayat seorang kapten KNIL
bukan soal. Bahkan dapat mengurangi persoalan dunia. Dalam saat perang normal,
kematian seorang komandan kompi diartikan rugi. Dalam waktu tentara menunggu
sekaratnya, setiap perwira yang tertembak bisa menguntungkan keseluruhan. Upacara
penguburannya cukup dibayar dengan tembakan salvo peleton, yang memang sudah
mengharapkan beban peluru mereka semoga dikurangi.
Kalau dulu sih mudah, menembak ngawur atau main-main menghamburkan
peluru, dan kalau ada yang bertanya (biasanya yang tanya itu tolol) mengapa ada
mayat tambah satu, bilang saja, ada semak-semak bergerak. Kau tidak bohong, sebab
setiap daun semak pasti bergoyang dan selalu dapat diartikan ada penembak tepat
gerilya di belakang semak-semak. Ujaran seperti itu bisa dihibur dengan khayalan,
KNIL belum bubar!
Sebelum menyeberang jembatan Kali Elo, yang pernah menyaksikan pertempuran
sengit antara tentara Jepang dan KNIL sekian tahun yang lalu, ya pada saat aku
melintasi rel kereta-api antik yang memotong jalan-raya, ban roda jipku meletus. Dan
tentu saja, ban serepku tidak dapat dipakai, karena ternyata menggembos juga. Apa
daya. Sesudah memaki-maki dan mengumpat-umpat secukup selera, seperti layaknya
seorang serdadu, kucoba menenangkan diriku. Sendirian aku di tengah jalan itu, aman
di tengah hamparan luas sawah-sawah yang belum lagi ditanami sesudah dipaneni
penduduk. Aku berdiri sebagai titik tengah suatu ruang arena terbuka luas indah.
Di sebelah timur gunung-gunung Merapi-Merbabu tetap saja diam melamun. Di U
tara, Gunung Sumbing yang mirip Fuji tetapi tanpa salju, dan di sebelah Barat
sederetan kemenakannya, Pegunungan Menoreh yang tidak pernah dapat terjamah
oleh begondal-begondal ¹⁾ Spoor. Di bukit itu menurut para NEFIS yang tidak
terlampau cerdas, sebab jelas tak sulit ditebak, bersembunyilah panglima-panglima
tentara Republik dan pemimpin-pemimpin sipil mereka. Tetapi di Sumbing juga, dan
di Merapi-Merbabu jelas. Orang tak perlu jadi intel professional untuk tahu itu.
Di tengah arena berdinding gunung-gunung pribumi itu aku tenang saja di situ,
karena tidak mungkin aku diserang oleh gerilya dari arah mana pun. Hamparan
sawah-sawah seluas itu yang melindungiku. Aku raja di tempat itu. Raja yang hanya
dikalahkan oleh ban yang mogok, gembos. Rasaku, kaum Republik dari gununggunung di kejauhan itu semua sedang mengamat-amatiku. Orang-orang negeri ini ahli
dalam seni diam dan tak pernah terbaca ungkapan apa yang harus ditafsir dati raut
muka mereka yang abadi seperti Borobudur itu ... Oh ya, bukankah gugusan biru
bernuansa gelap itu siluet Borobudur? Bukan di sana. Kira-kira saja di sana.
Borobudur, simbol orang-orang pribumi yang hanya menunggu dan menunggu,
sampai ada wahyu datang. Aku tahu itu dari keluarga Papi dari puri.
¹⁾ Para bandit.
86
Barang-barang musium di situ cenderung menjadi hitam karena asap kemenyan
sekian abad, atau karena gerayangan-gerayangan tangan berlemak sekian orang
bernaluri gelap yang membuat hitam dan mengkilap susu-susu Si Durga di
Prambanan itu; nah, jiwa orang-orang di sini memang gelap tak pernah dapat ditebak.
Negeri ini sungguh misteri. Durga Prambanan yang gelap mengkilap polos
menawarkan. godaan susu-susunya, tetapi dingin mengejek, karena cuma batu.
Berapa lama aku hams menunggu sampai konvoi yang memberi kesan serba
frustrasi itu datang? Aku duduk di aspal serba berlubang yang tak pernah terpelihara
sejak Ter Poorten menyerah di Kalijati. Tentu orang-orang konvoi tadi menertawakan
kehebatanku yang konyol karena ban keparat ini. Tetapi toh aku harus bersyukur
mendapat kesempatan sial ini. Sebab pemandangan luas ke segala arah ini sungguh
menakjubkan. Tetapi apa guna alam indah tetapi penduduknya kuli goblog atau
serdadu yang kalah?
Memang terasa aku seperti terkurung oleh gunung-gunung dan dinding pepohonan
desa di kejauhan itu. Ya, ya ... aku tahu jelas apa yang terbayang pada layar gelap
pepohonan itu. Jelas aku diingatkan bahwa bagaimana pun aku anak negeri ini yang
tak mungkin ke luar dan tidak akan mereka keluarkan dari tanah ini. Begitu
peringatan dari pohon-pohon kelapa dan gori dan melinjo dan sawah-sawah yang
sudah terlalu lama menunggu saat kapan dihamili lagi benih-benih baru.
Jalur rel kereta-api beberapa meter dariku melintasi jalan aspal dan melengkung
luwes membusur di atas tanggul yang menjulang di atas sawah-sawah, seperti ular
piton raksasa yang mencari lubang di jurang kali Elo. Agresor piton baja dunia
rasionalitas itu memotong begitu saja sawah-sawah kebaktian manusia-manusia
tradisional negeri yang suka damai. Pengganggu keindahan asli jalan kereta-api itu.
Ya, indah memang negeri ini, tetapi menjengkelkan karena tak pernah dapat terbaca
apa sebenarnya isi hatinya, kendati pun didatangi agresor. Agresor! Tanggul mati
sekian ribu kubik di atas tanah subur, hanya untuk memikul kerakal dan kayu ulin dan
rel-rel besi demi peluncuran perjalanan suatu dunia lain, suatu sikap lain. Mengapa
istilah agresor itu timbul dalam benak- ku?
Aku tahu, minggu-minggu terakhir ini aku terlalu sadar, bahwa aku terlanjur ikut
tentara agresor yang terhukum sekarat kalah. Dan konvoi yang nanti datang lewat itu
benar-benar simbol memelas tentara yang keok ¹⁾. Konvoi tentara seharusnya
membawa orang-orang berseragam gembira di atas tank-tank dan panser dan truk,
kaum serba jaya viktoria yang melambai-lambai kepada penduduk yang hangat penuh
syukur mengelu-elu mereka. Seperti dalam foto-foto yang memperlihatkan tentara
Amerika masuk Prancis atau Belanda itu. Ya, itulah baru tentara idam-idaman setiap
lelaki yang berkelahi. Tetapi di sini? Di sini konvoi harus menyusup seperti ular yang
bingung mau tidur di mana, karena dikejar-kejar. Padahal perutnya sudah kebak tikus.
Dan celakalah ular yang perutnya menggelembung kalau ia ketahuan tempat sembunyinya.
KNIL kami sudah kenyang dan kepala ularnya Si Spoor itu sudah bunuh diri. Dan
Soekarno serta kaum teroris (kami pahlawan polisi, haha) akan kembali. Nah,
gerombolan-gerombolan di Gunung Menoreh dan Merapi-Merbabu-Sumbing itulah
nanti yang dielu-elu. Tidak naik tank tetapi dengan sandal ban truk dan sepatu bolong.
Tetapi dielu-elu! Ya, dielu-elu. Antara lain oleh ... Atik!
Jengkel kutendang ban gembos itu dengan berangku yang kekanak-kanakan. Ke
mana Verbruggen si bandit tua itu. Baginya tidak ada kalah atau menang.
87
Soalnya hanya sederhana saja, beli lotre lain. Tetapi aku tidak dapat begitu. Dan untuk
pertama kali sesudah sekian tahun aku mendengar angin yang menggerisik di antara
bunga-bunga rumput jarum. Aku duduk lagi di tepi jalan. Merapi itu terus saja
merokok. Dan Merbabu temannya (atau istrinya?) diam juga. Merbabu itu sungguh
betul babu. Bentuknya dan mentalnya. Negeri ini memang vulkan sifatnya. Semua
onggokan itu masih bekerja sebetulnya. Hanya Merapi ini yang terang-terangan merokok tanpa mengingat sopan-santun adat Jawa, yang selalu pendiam serba diam dan
diam. Simpatik dia Merapi. Tak tahu sopan-santun. Kurangajar merokok acuh tak
acuh. Hah! Persis aku!
Tiba-tiba aku merasa akrab dengan Merapi itu. Bagaimana sesudah perang atau,
maaf, aksi polisional ini selesai? Ke mana aku? Aku tak sudi lari. Tetapi akan
kuterima kekalahanku. Aku meludah. Sesudah tahun-tahun ini, aku sangsi apa di
dunia ada yang disebut sportif Apa kau ikut Verbruggen saja? Atau menggabung
dengan tentara Republik itu? Jadi kuli dari bekas kuli? Atau ke Negeri Belanda saja?
Sebagai kapten kerajaan pasti ada beasiswa veteran nanti untuk belajar masuk ke
Leiden atau ke manalah; Delft bagus juga. Jadi insinyur seperti cita-citaku dulu. Persetan, ke mana Verbruggen tadi itu? Tetapi apa urusannya aku kemari? Sungguh,
sudah nggak keruan disiplin tentara kalah. Kulihat jam tangan. Masih setengah jam
barangkali konvoi itu baru sampai di sini. Aku harus siap diejek dan ditertawakan.
Hantam balas tentu akan datang nanti. Ya, tokh?
Mudah-mudahan piket itu omong yang benar. Soalnya, tidak ada orang dalam tentara
yang sadar sudah mau diloakkan, begitu saja percaya. Tetapi awas kalau dia bohong.
Akan kutempeleng sampai salto tujuh kali dia. Aneh juga. Mau apa Verbruggen ke
sana? Tetapi dalih apa yang harus aku katakan nanti kalau aku dipergoki! Sepanjang
jalan sejak aku berangkat tadi kupikir, belum lagi ada dalih yang tepat kutemukan.
Atau sebaliknya tak perlu pakai dalih saja? Omong saja bosan di markas, begitu.
Mengapa menguntit? Omong saja, kan paling-paling ya itulah yang bisa dikerjakan
orang bosan. Terlalu toloL Omong saja, jelas-jelas. "lngin tahu ke mana kau."
Peduli amat!
Apa, jawabannya nanti?
Hahaha, jawaban satu yang paling meyakinkan: Karena kau bajingan. Aku ingin
lihat perempuanmu. Ya, begitu saja.
Satu hal yang saya senang dalam jenis bandit-bandit ini: mereka jujur. Karena
mereka lebih dekat dengan binatang. Orang semacarn aku ini paling susah. Malaekat,
tetapi bukan malaekat. Manusia, tetapi terlalu buruk untuk jadi manusia. Atik dan aku,
kami berdua terkutuk untuk menderita. Sungguh gila, mosok sampai sekian tahun
belum lagi tahu mereka ke mana. Atik, Papi, Mami, keluarga Antana. Mengapa tidak
tanya di Sala? Kan pasti keluarga Pangeran Hendraningrat bisa bercerita. Barangkali
Atik mengungsi ke sana. Ah, goblog, aku goblog. Barangkali Verbruggenlah yang ke
sana, bila ia bilang katanya mau konsultasi dengan komandan di Sala. Mosok,
konsultasi melalui radio kan bisa.
Tetapi mengapa aku sendiri tidak ke Sala? Takut? Takut menghadapi kenyataan
barangkali? Ya, aku takut. Sekarang jelaslah serba benderang, bahwa bila aku jujur,
aku harus mengakui, aku takut. Aku takut mendengar tentang keadaan sebenarnya.
Aku takut memergoki apa yang sesungguhnya terjadi. Aku takut bertemu muka
dengan mereka.
88
Dengan keluarga Antana, Atik. Papi dan Mami sudah kuanggap tidak ada. Dimakan
oleh api revolusi, begitu istilahnya barangkali. Ya, aku takut bertemu muka dengan
Atik sebagai seorang yang kalah. Sebetulnya aku dapat bertanya kepada mereka.
Tetapi aku tidak mau. Apakah barangkali Verbruggen melacak mereka? Dia bandit
dan tahu caranya melacak mangsa.
Orang-orang seperti Verbruggen ini aku paling suka. Orang bermoncong meriam
tetapi jiwanya jip. Sanggup dan ikhlas memberi tempat untuk melaju dan ke mana
saja. Jip, GP General Purpose, silakan dipakai untuk apa saja. Kalau di udara pesawat
Dakota itulah. Pengangkut yang masih sanggup terbang terns dengan sayap satu
hilang atau ekor bolong-bolong seperti kéré-kéré pengemis Republik itu. Persetan,
mengapa Verbruggen ke sana. Di luar Magelang sedikit ke arah utara, di sisi kiri ada
kompleks gedung yang pantas dipakai untuk kampus suatu universitas. Hah, Verbruggen ke sana! Ada Si Cantik yang ingin ia isengkan? Aku masuk gedung utama.
Alangkah tenang sejuk suasana di sini. ltu di sayap kanan, rumah-rumah para
"profesor" itu mengingatkan aku pada Mike, gadis bunga kelas di SD, yang pernah
kuciurn dengan balasan kontan tamparan yang nyeri. Di mana dia Si Mike itu? Sudah
jadi istri seorang komandan tentara Republik? Nanti dapat tanya.
Aku melompat dari jip dan menuju kamar piket. Ada seorang Jawa bermental kuli
menunduk-nunduk hormat dengan mata serba licik. Pasti di dalam hati dia
membenciku dan berpikir: "Toh tinggal beberapa hari lagi Soekarno kembali ke
Yogya dan tuan-tuan Belanda boleh tenggelarn di sarnudera kalau mereka dipulangkan ke negeri kodok. Dan kau N1CA Coklat, kau akan disatai. Akan pesta
lidahku!" Bukankah begitu, kuli Jawa harus sopan seperti tai kucing? Tai yang sopan
disembunyikan di bawah pasir?
"Mari silakan, silakan duduk, Tuan."
"Keparat, aku curna ingin menanyakan, apa tadi ada opsir Belanda! datang kemari.
Kutanya tentang opsir Belanda! Tidak minta disilakan duduk."
''Ya, baik-baik. Mari dienakkan duduk di kursi. Maaf, Tuan ... " "Lekas, aku tidak
punya waktu banyak. Dan kau tidak perlu menunduk-nunduk seperti kuli begitu.
Katanya sudah merdeka."
"Ah ya, maaf Tuan ... " Tiba-tiba mukanya mendongak dan mulutnya menganga. Aku
menoleh, karena ada suara mengguntur:
"Kapitein!" Ah, Verbruggen.
"Hallo, bandit. Kau di mana? Kucari kau ... "
''Tutup mulut. Berdiri tegap dan beri hormat,” bentaknya begitu nyaring sehingga
aku sungguh terkejut benar. Matanya menyala seperti mata tokek benggala. "Tidak
dengar? Hormat !" Spontan aku membanting tumitku kanan dan tumit kiri, tegak dan
memberi hormat militer. ''Perintah Komandan. Enyah kau dari sini! Pergi! Ini perintah
militer. Pulang ke pasukanmu. Selesai." Aku tak bisa berbuat lain kecuali "Siap!"
Ketika aku agak bengong lamban menuju jipku, ia membentak: "Lekas pergi!"
Mendongkol jipku kunyalakan, tancap gas. Jip berputar menabrak tiang ramburambu di tepi dan masih sempat menyerempet bola-bola gede gerbang, menyambar ke
arah Selatan. Malu! Mendongkol! Tetapi jelaslah sekarang, Verbruggen punya
rahasia, yang ingin ia sembunyikan. Gas kulepaskan. Pelan-pelan sajalah. Mengapa
harus ngebut? Pelan-pelan, masih banyak waktu.
Ke luar Magelang di muka gerbang kerkop Belanda yang bergaya klasik Yunani
kampungan dengan tiang-tiang seperti kaki nyonyah beri-beri itu aku dicegat MP ¹⁾.
¹⁾ Militaire Politie, polisi militer.
89
Setiap orang infanteri benci pada orang-orang bertubuh besar berhelm putih dengan
huruf MP seperti kutukan Kain itu. Di tengah jalan aku dihadang. 1a memberi hormat.
Dan dengan pendek, tegas tetapi toh menghormati, aku dipersilakan membelok dan
berhenti di bawah gerbang gaya Yunani kampungan itu.
“Ada apa!" Tetapi MP itu diam tak mengucapkan satu kata pun. Kurang-ajar. “Aku
mau tahu, untuk apa tuan menahan saya." Tetapi MP tadi menuju ke rumah penjaga
kerkop. Dan sebentar lagi seorang perempuan dengan menggendong anaknya dan diantar oleh seorang lelaki, suaminya tentu, ke luar dan disuruh duduk di atas rumput di
salah satu nisan. Kedua orang itu gemetar dan menyembah-nyembah minta ampun.
MP itu hanya tersenyum dan mencoba menerangkan dalam bahasa Melayu keliru :
"Jangan takut. Ada tidak apa-apa."
Ia lalu mempersilakan aku masuk rumah dan duduk di dalam.
Berkecak pinggang aku bertanya, "Ini sandiwara apa?" Tetapi si polisi militer bergaya
korekt ningrat menjengkelkan hanya menjawab.
“Perintah. Hanya itu."
''Perintah gila, teriakku. Ia hanya mengangkat bahu dan berdiri di muka rumah.
Berkecak pinggang. Kuambil rokok dari sakuku dan minta kepada mahluk nikotin itu
agar menenangkan perasaanku. Apa aku dilaporkan telah lari dari pasukan? Tidak.
Segala hal telah kuserahkan kepada wakilku dan aku jelas menerangkan, aku ke
Magelang sebentar dan jam tiga siang pasti sudah datang di markas. Aku ke luar
rumah. Kulihat perempuan-perempuan mencuci dan berak di kali Manggis dengan air
seperti jenang coklat. Bahkan sungai di sisi timur kota Magelang yang sekotor ini
ironis sekali diberi nama Kali Bening. Di negeri seperti ini, air yang begitu kotor
penuh berak dan baksil toh sudah berhak disebut bening. Tetapi dalam kanal sekotor
itu juga aku dulu sebagai anak kolong mandi dengan nyaman segar. Dengan norma
apa bening dan kotor itu harus kita ukur? Masih ada juga yang mencuci beras di
selokan itu. Dan dengan enaknya tanpa tahu malu perempuan-perempuan itu turun,
membalik, mengangkat kain hingga pantat mereka menongol serba pekik
kemerdekaan. Tanpa tergesa-gesa kedua bola mereka itu dicelup di dalam air; sambil
omong-omong dengan rekan-rekannya. Biasanya pantat-pantat itu putih dan mulus
halus. Yang putih dan halus rupa-rupanya di sini bisa bersahabat dengan yang kotor
dan busuk. Apa arti mandi bagi mereka? Sering seperti berjingkrak-jingkrak dalam air
caranya dan kadang-kadang ke luar juga sepasang susu besar yang sama-sarna
coklatnya dan diseka seolah mau memelototnya. Bersih sudah. Sering tanpa sabun.
Bangsa begini mau merdeka. Bah!
Sersan mayor PM itu memeriksa Harley-Davidsonnya ¹⁾, lalu bersiul-siul sambil
melihat jam tangannya. Pelan namun tegap ia melangkah ke arahku. Kutawari rokok.
Kunyalakan sigaretnya. Melihat ke jam tangan lagi.
Tuan Kapitein tidak perlu khawatir."
"Kaum perang sudah terbiasa khawatir."
"Untung semua sudah usai," dan dalam-dalam dihisapnya rokok. "Tadi kami hanya
mendapat perintah telepon dari Letkol Verbruggen, ia ingin berbicara dengan tuan."
"Spesial harus di sini?"
''Ya, perintah adalah perintah."
"Kau dari mana?"
¹⁾ Merk sepeda motor.
90
''Dari Limburg. Maastricht. Tuan pernah ke negeri Belanda?"
"Hanya dalam pelajaran ilmu bumi dulu di SD."
"Hidup lebih interesan di sini, Kapitein."
"Untuk beberapa bulan. Akhirnya kalian kan, ya, suka pulang di negerimu."
"Kami akan emigrasi ke Australia."
"Sudah nikah?"
"Kalau pulang nanti."
"Kalau pulang ... ?"
''Ya, kalau pulang. Sering konvoi-konvoi masih terkena ranjau."
"Tunangan cantik.?"
"Cantik. gadis-gadis di sini, Kapitein.
''Bukan itu yang utama."
"Memang."
''Berapa tahun atau bulan kau dinas di Hindia?"
"Indonesia?" (Hatiku tiba-tiba tertusuk. Belanda petani totok tolol ini menyebut
hormat Indonesia. Aku merasa tergugat)
"Sudah sejak divisi 7 Desember dibentuk, Kapitein."
"Sukarelawan?"
"Terpaksa. Dinas milisi. Siapa mau sukarelawan ikut perang idiot semacam ini."
Saya jengkel pada orang jangkung pengecut itu. Kan yang menyuruh perang
bangsamu sendiri. Bersungut-sungut aku diam. Rupa-rupanya ia merasa keliru
komentarnya.
''Maaf, Kapitein, saya menyebabkan kerugian waktu bagi Tuan.
Tetapi itu tadi perintah." Aku tetap diam. Mau omong apa? Dia tidak salah, hanya
menjengkelkan; karena terlalu jujur dan seolah-olah menyindirku. Bagaimana
pandangannya terhadap orang-orang pribumi yang berperang ikut KNIL dan memilih
pihak melawan bangsanya sendiri? Ia memberi hormat, "Maaf, ingin kutengok apakah
Letkol sudah datang atau belum." Aku masih diam.
Dengan langkah yang tegap sersan mayor yang bertubuh gagah itu menuju ke
jembatan Kali Manggis. Mudah-mudahan ia tak terkena ranjau darat. Kan semua
sudah selesai.
Bagi yang milisi warta gembira, bagi yang sukarelawan warta pahit. Ia melihat ke
arah pasar. Melihat jam tangannya lalu tenang pulang ke tempat aku duduk.
"Kau boleh pulang," kataku, "Saya tidak akan lari."
"Perintah adalah perintah, Kapitein."
"Kau seperti tentara Jerman saja: Perintah adalah perintah."
"Itu yang paling mudah, Kapitein. Yang paling menghindari persoalan yang tidak
perlu, “ dan ia tersenyum tenang.
"Menghindati persoalan artinya bertemu dengan soal lain."
''Bisa jadi, Kapitein."
Tidak enak omong-omong dengan anak yang tidak terlalu intelek semacam ini.
Aku yakin, ia benci padaku.
Dari arah Pasar Besar datang suara mesin-mesin truk dan sorak-sorai. MP itu
berdiri dan di cucuran atap rumah ia berhenti dan berkecak pinggang. Iring-iringan
truk dengan dikawal sebuah mobil panser dan beberapa jip serta polisi militer
bersepeda-motor lewat. Membawa orang-orang Hindia, sorry Indonesia, yang bersorak-sorai kepada pejalan-pejalan kaki dan yang bersepeda.
91
''Merdeka! Merdeka!" seru mereka. Orang-orang di jalan mengangkat tangan dan
menjawab hangat: ''Merdeka!'' Ada satu truk yang membawa bendera kecil merahputih. Kebanyakan orang-orang itu setengah umur. Hampir tidak ada yang pemuda.
"Siapa itu?"
Sersan mayor Belanda itu berkata datar, ''Mereka disingkirkan ke Yogya. Kaum
Republik."
"Tawanan?"
''Bukan. Kepala kantor, guru sekolah, bekas jaksa, semuanya kaum pegawai
Republik."
''Dari gunung'?"
"Tidak. Mereka tidak ikut gerilya. Tenang tinggal di kota. Tetapi preventip, untuk
menghindari kemungkinan agitasi yang tidak perlu mereka disingkirkan."
''Mengapa tidak dimasukkan penjara saja?"
"Suatu gupermen ¹⁾yang kalah tidak berhak lagi memenjara."
"Menurut anggapanmu kita sudah kalah?"
''Anggapan saya tidak penting:' jawabnya menghindar.
Sersan-mayor!" dan meluaplah amarahku. "Dengar dan camkan betul. Negeri
Belandamu negeri pengecut."
"Boleh jadi, Kapitein," jawabnya, terlalu tenang dan datar dan karenanya lebih
menjengkelkan lagi. Diakui atau tidak diakui, aku merasa kalah terhadap anak petani
Belanda totok yang terlalu tenang ini. Petani, tetapi mereka terpelajar. Sungguh aku
mendidih. Tenang atau acuh tak acuh? Bagaimana pun aku merasa dikhianati. Aku
yang pribumi membela kerajaannya, dia malahan begitu saja menyerah.
"Merdeka! Merdeka!" dan tiba-tiba ada yang mengeluarkan lidahnya dan
menunjuk padaku sambil menarik tangan teman-temannya.
''NICA INLANDER! Mampus kau nanti!" Panas tanganku otamatis memegang
Viekersku. Tetapi itu tak mungkin. Aku akan merendahkan martabatku. Mereka harus
kuanggap kunyuk-kunyuk belaka yang tolol. Tidak perlu diberi reaksi.
"Sersan mayor!" Geram aku mendesis pada MP itu: "Itu calon-calon pembesar
negara yang baru?"
"Yang penting perdamaian ditanam di negeri ini: “kata petani Limburg itu. Tahu
apa dia tentang masalah-masalah sebenarnya dari negeri ini!
"Siapa tahu satu di antaranya sebentar lagi boleh bersantap bersama Ratu Yuliana
dan Prins Bernhard," tambahnya. Kali ini ia sinis dan bersiullah MP itu suatu lagu
unik yang tidak kuketahui apa. Pegawai-pegawai Republik itu berpakaian sederhana,
dan semuanya bersih. Tampak mereka golongan priyayi. Mereka kelihatan gembira
sekali dan lega bahwa kemenangan terakhir ada di pihak mereka. Seumumnya mereka
sopan dan tidak berkelebihan sorak kemenangan mereka. Hanya pengecut satu tadi
yang mengeluarkan lidah seperti anak kecil. Perkecualian. Bahkan sekilat pandang
kulihat temannya yang diajak mengejek bergerak sikunya, tanda menolak ikut-ikutan
menganiaya jiwaku.
¹⁾ Dari kata gouvernement (BId): pemerintah.
92
Tetapi toh ada satu truk berseru secara koor melucu: “ Dag mijnheer ! Dag mevrouw!
Ayo mampeer, ik hou van yaau.” ¹⁾
Ketika aku menoleh, paman penjaga kerkop yang diusir dan masih berjongkok di
dekat salah satu nisan jaman jenderal van Heutsz ²⁾ itu kulihat melambai kepada para
republikan di dalam truk-truk itu.
Tetapi segera dan sangat takut ia menarik kembali tangannya. Istrinya memegang
tangannya erat-erat dan sedikit memarahinya.
"Mengapa orang itu harus kau usir dari dalam rumahnya? Kan Verbruggen bisa
omong-omong entah di mana pun. Agak aneh ini semua."
"Perintah adalah ... "
''Perintah. Ya, ya sudah hafal aku. Terus-terang saja Sersan Mayor, kalau kau
punya slogan begitu terus, calon istrimu pasti akan lari dengan seorang kopral lain."
Untuk pertarna kali MP itu menyeringai dan omong agak panjang. Lebih muda dan
lebih ferninin bila ia tertawa begitu.
"Saya tidak akan punya kopral atau vaandrig di bawahku.
Hanya sapi-sapi dan domba-domba. Di Australia sana." Toh aku terpaksa tertawa
juga.
"Maaf, Kapitein. Kapitein, giliran saya, bolehkah saya menawarkan cigarello ?
Baru kemarin kuterima dari Katrin. Merokok berdua lebih lezat, bukan?" Dan tanpa
menunggu persetujuanku ia sudah mengeluarkan kotak blek. Willem I Havanna,
cigarello super fine.
"Silakan Kapitein, aku hambamu." Dan dengan elegan, tidak serasi dengan ketanian
yang hanya kuperkirakan itu, ia sudah menyalakan koreknya. Simpatik juga raksasa
tani ini.
''Enak juga ini sersan mayor. Hai, saya ingin tanya padamu.
Bagaimana pandanganmu tentang hari depan'?"
"Oh, di rumah kurang menguntungkan, tetapi di Australia kukira cemerlang, asal
mau kerja saja."
''Bukan, kumaksud negeri ini."
''Ya, bagaimana kukatakan, Kapitein. Sebetulnya aku tidak banyak punya pertalian
batin dengan orang-orang di sini."
"Mengapa kau main-main jadi tentara di sini? Ah ya, saya sudah tahu, perintah
adalah perintah, bukan?"
"Tepat, Kapitein. Juga dengan Negeri Belanda, tanah nenek moyangku, aku juga
sudah tidak begitu punya pertalian emosi seperti ayahku atau bahkan dengan abang
sulungku. Tanah-air adalah di mana ada kesayangan dan saling tolong-menolong, Kapitein. Tanah-tanah milik ayah dan abang semakin lama semakin dicaplok oleh
pabrik-pabrik. Ya sudah, selamat tinggal. Gampang, Kapitein."
¹⁾ Tabik Tuan! Tabik Nyonya! Mari singgah, saya cinta padamu.
²⁾ Panglima tentara Belanda dalam Perang Aceh: ia juga Gubemur Jenderal Hindia
Belanda.
93
"Menurut kau, lebih baik aku tetap tinggal di sini atau cari hari depan rnisalnya di
negerimu Holland?" Sersan mayor itu memandangku dengan heran.
"Maaf, Kapitein, saya tidak berhak menyarankan sesuatu. Hal itu harus ditanyakan
kepada, maaf nyonya, istri Kapiten."
"Saya belum beristri." Sersan mayor itu tertawa sangat simpatik, sehingga aku pun
ikut tertawa.
"Nah, kalau begitu sudah waktunya Kapitein."
"Tetapi kembali pada pertanyaanku tadi. Bagaimana pendapatmu tentang haridepan negeri ini? Ya, sebelum itu kutanyakan kepada, yah menurut nasihatmu tadi,
kepada calon istri."
''Ya, sekali lagi, sebetulnya aku belum sangat kenal dengan orang-orang di sini,
kecuali sebagai tentara pendudukan. Memang rotzooi ¹⁾, Kapitein. Sial juga aku mulai
berkenalan dengan mereka sambil membawa pistol di pinggang. Suatu permulaan
yang idioot."
''Berbahagialah kau belum kenal negeri ini."
"Tetapi rupa-rupanya penduduknya baik-baik saja. Saya dulu punya paman,
Kapitein. Dia pernah jadi asisten residen di pulau entah saya tidak tahu namanya. Di
Indonesia ini. Sebelum perang. Sekarang dia sudah mati, dalam tawanan ]epang. Dia
dulu dalam bulan-bulan cutinya banyak bercerita tentang daerah bawahannya. Bahkan
pernah saya ditumbuhi gagasan untuk ikut dia jadi penanam kopi atau tebu di sini. Dia
berkata, bahwa penduduk di sini kejam sekali. Wajah serba senyum dan sopansantunnya luwes, tetapi terhadap sesama bangsa, keji. (Apakah dia menyindir KNIL
lagi?) Sebagai asisten residen ia setiap hari keliling untuk mendengarkan keluhan
rakyat dan membela mereka terhadap kesewenang-wenangan raja atau bupati
mereka."
"Itu betul."
“Tetapi saya pikir, kalau itu betul, mengapa kaum Gupermen itu kong-kalikong
dengan raja-raja dan bupati-bupati mereka? Apakah dia bohong dan hanya membual
saja, aku tidak tahu. Kukira di mana-mana sama. Maka kupikir, tanah-air adalah di
mana tidak ada kekejaman antara orang dengan orang. Kalau adat atau kebiasaan
suatu nasion kejam, kukira lebih baik jangan punya tanah-air saja. Aku sudah tidak
sabar menunggu hari kami berangkat ke Australia, Kapitein."
"Maka jagalah, agar jangan sampai menerjang ranjau darat, atau terkena peluru
penembak liar."
''Ya, ranjau darat keparat itu. Tetapi ... oh, itu Letkol Verbruggen sudah tiba."
Sebuah jip menyambar pagar jembatan dan masuk ke pelataran kerkop. Sersan mayor
MP tadi memberi hormat kepada Verbruggen, kepadaku dan langsung HarleyDavidsonnya meraung. Aku pun memberi hormat pada atasanku. Sungguh mati, aku
tidak dapat menerka sedikit pun, mengapa ia memilih tempat yang aneh ini. Tetapi ia
langsung masuk rumah dan aku diajak masuk.
"Saya ingin bicara dengan kau. Sayang ilharnku hanya tahu tempat ini, yang
kuanggap paling enak untuk bicara privat dan tidak perlu berputar-putar jalan.
Rokok?"
¹⁾ Brengsek.
94
"Cigarelloku belum habis."
"He, cigarello hebat, dari mana?"
"Kado dari seorang gadis."
"Gila, kau punya?"
''Bahkan Belanda totok."
"Edan! Awas, jangan main-main."
"Aku tidak bohong."
"Leo!" dan sekarang nadanya lebih berwibawa dan serius. "Kenapa kau menguntiti
saya?"
"Kenapa kau pergi ke sana?"
Kepalnya memukul meja, sehingga gelas dan sebatang sendok kuningan berdering.
"Kau kapitein, saya loitenant-kolonel. Omong!" (Saya ingat niat bohongku tadi).
"Terus terang, saya curiga."
"Curiga?"
"Kau tidak seperti biasanya. Saya kau punya antena prajurit. Saya mencium
sesuatu yang menurut rasaku harus saya selidiki. Dan lagi aku rindu pada Magelang."
"Sentimentil. Yang lampau adalah lampau. Tidak perlu kita korek-korek kembali
lagi."
"Apa betul, Letkol? Kau yakin pada apa yang kau katakan?"
"Verdomme!" Dan nervous ia menyedot dalam-dalam sigaretnya. "Leo, jangan
memaksaku berbuat yang bukan-bukan. lni soal serius, kau tidak perlu campur-tangan
atau pun tahu."
"Apa yang serius? lni apa? Kau semakin mencurigakan, Verbruggen.
Baiklah, saya sudah memperingatkan kau. Jadi jangan mempersalahkan saya kalau
ada akibat-akibat yang tidak enak."
“Apa ada di dalam keadaan edan seperti ini yang masih bisa lebih tidak enak?"
"Okey, okey. Saya sudah tua dan kau sebentar lagi juga akan tua. Dengarkan. (Dan
ia menatap padaku, lirih berbisik.) Ibumu sudah kutemukan."
Hah?" Mataku membelalak dan asap cigarelo menyeruduk paru-paru sehingga aku
batuk-batuk tidak keruan.
''Ya, Marice. Tidak usah banyak basa-basi. Ia kutemukan di Rumah Penyakit
Syaraf Kramat sana tadi."
Seperti terkena granat Howitzer 10 inch aku hanya bisa bungkam dan membelalak.
Ibuku di rumah gila? Kramat Magelang adalah rumah gila. Ya Tuhan ... siapa yang
gila, mereka atau aku sekarang? Lemas aku duduk setengah berbaring di atas ranjang
itu. Mamiku malang. Verbruggen menepuk-nepuk bahuku seperti seorang ayah.
''Jangan berlagak kau lebih menderita dariku. Pikullah ini sebagai seorang prajurit."
Aku menangis, tetapi dengan tangis yang kering, dengan teriak yang senyap,
dengan jiwa yang kosong. Karena aku diam saja, Verbruggen bercerita terus. Dengan
suara yang tenang, atau dibuat-buat seolah tenang. Dia pun menderita. Barangkali
lebih menderita dariku. Aku tidak mengira cinta lelaki bisa begitu mendalam dan tak
bisa luntur.
“Aku ingin menyelidiki sendiri. Tanpa diganggu orang. Aku pun manusia dengan
perasaan, dan betapa pun bandit aku ini, aku pernah mencintai ibumu. Kuselidiki di
pihak-pihak ningrat sana. Aku kenal siapa kaum kerabat ayah dan ibumu. Dan merekalah yang menceritakan riwayat sedih itu. Tanpa melantur segera aku mencari ibumu
di Kramat." Parau aku bertanya: "Ia bisa diajak bicara?"
95
"Bisa. Ia bukan gila dalam arti liar. Seperti wataknya dulu, ia tenang. Hanya diajak
dialog ia tidak bisa. Ia hanya ... " Aku meloncat dan berlari ke jipku. Tanganku
dipegang erat oleh Verbruggen.
"Nanti dulu."
"Biarkan aku. Aku mau melihat ... biarkan aku. Kutembak kau !" Verbruggen
mendesis. "Gila kau. Malu tidak kau didengar orang-orang di selokan itu." Aku
lunglai merebahkan diri di ranjang. "Leo, kita akan bersama-sama menengok ibumu.
Tetapi dengan hati yang tabah dan siaga. Tidak seperti anak puber begitu. Sekali lagi,
jangan mengira kesedihanmu lebih besar dari kesedihanku. Penderitaan anak bisa
dalam. Tetapi penderitaan kekasih bisa lebih dalam. Maka itu jangan berlagak. ltu
kalau kau lelaki dan bukan seorang banci sentimentil yang cuma bisa meong-meong
kayak kucing."
“Apa?" Dan Verbruggen kupandang dengan nyala apiku yang benci. Tetapi
matanya yang biru abu-abu itu jauh lebih menyala dan aku merasa kecil di
hadapannya. "Tidak, tidak!" Aku meloncat ke luar. Sesudah itu aku sudah tidak ingat
diri lagi. Kelak aku tahu, bahwa pada saat itu tangan Verbruggen maju dan dengan
pukulan silat di tengkuk, aku dibuat tidak sadar.
Tidak banyak yang dapat kuingat dari pertemuanku dengan Mami, sesudah sekian
tahun tidak bersua. Sebab, saat itu aku sedang kacau dan satu-satunya kesan yang
masih tinggal dalam kesadaranku hanyalah satu ini. Seorang wanita kurus dan pucat,
tetapi masih cantik. Dan wajah kurus putih yang cantik tersenyum itulah yang
kuanggap anugerah warisan terakhir yang kuterima langsung dari Mami. Ibu sudah
tidak dapat diajak berdialog. Pada setiap pertanyaan beliau hanya tersenyum dan
berkata lembut:
''Ya, segala telah kuberikan. Segala telah kuberikan. Tetapi mereka mengingkari
janji."
"Mami, Mami tahu aku siapa?"
''Ya, segala telah kuberikan, segala."
"Mami, aku Teto, anakmu Teto. Mami, aku Teto."
''Ya Teto, mereka mengingkari janji."
"Mami, ini karibmu lama, Verbruggen. Ingat tidak Verbruggen!"
“Ah, bagaimana kabar Verbruggen. Ya, sungguh segala telah kuberikan. Tetapi, ya
begitulah mereka mengingkari janji."
Akhirnya aku menangis tersedu-sedu dalam pangkuan ibuku. Tetapi Mami hanya
tersenyum dan menyeka rambutku.
"Leo, Leo, Mami telah memberikan segala-galanya. Tetapi mereka mengingkari
janji." Pandangan mata ibu nampak jauh. Seolah-olah ia sudah di "sana", tidak di
"sini" lagi. Tetapi ibu sangat tenang wajahnya dan segala gerak-geriknya sama seperti
dulu.
Dokter jiwa Kramat, seorang Indonesia yang sudah agak tua dan tampak lelah,
mengatakan bahwa ia tak mampu berbuat apa-apa. Barangkali para psikiater di Eropa
dapat menolongnya? Segala-gala telah diberikan. Tetapi mereka mengingkari janji.
Dengan kata lain, tidak ada gunanya kami mencari Papi di "sini".
96
13. Burung Kull Mendamba
Menjelang senja Larasati dan ibunya minta diri dari pak Lurah untuk berjalan-jalan
sedikit. Jarang mereka dapat berlibur. Dapur umum tidak pemah beristirahat. Sejak
Ayah tersayang gugur, Atik dan Bu Antana bersepakat untuk berbakti di desa, di
antara para gerilyawan. Rumah di Cemorojajar mereka kosongkan dan memang para
tetangga semua mengungsi juga. Daripada mereka tanpa guna di dalam rumah kosong
di dalam kota yang diduduki musuh dan setiap kali takut diperkosa serdadu, lebih baik
minta perlindungan kepada saudara-saudara desa yang begitu baik menolong mereka
dalam keadaan yang paling pahit.
Ibu Antana dan Atik sudah sepakat untuk mengebumikan suami dan ayah di dalam
kuburan desa saja. Selain mustahil mengangkut jenazah ke kota, keputusan mereka
diberi makna yang indah juga. Pak Antana sejak kecil pecinta alam dan sebenarnya
hanya terpaksalah dulu tinggal di Kramat. Tetapi dalam tulangsungsumnya, Pak
Antana hanya bahagia di antara pohon-pohon dan sawah-ladang yang bebas. Maka
dari segi itu dapat dianggaplah rahmat, bahwa suami dan ayah kedua wanita itu gugur
justru di tengah sawah. Atik selalu ingat kepada anak ayam yang dulu direnggut
burung elang di halaman neneknya. Begitulah alam. Namun mereka yakin,
penguburan di desa pasti sangat berkesan kepada jiwa pribadi yang mereka sayangi.
Sejak itu, ibu dan putri bekerja-bakti di dapur umum para gerilyawan di suatu desa di
seberang jurang Juranggede yang bernama Grojogan. Tugas di dapur berat secara
fisik, tetapi dari segi penyegaran jiwa tak berat. Sebab begitu mereka lalu tidak
merasa sebagai pengemis yang hanya menerima pengayoman tanpa imbalan. Tanpa
dapur umum perjuangan para gerilyawan mustahillah. Dan selalu saja ada pekerjaan
atau tugas mendadak yang lekas-lekas harus dise1esaikan.
Tetapi petang itu Bu Antana dan anaknya ingin makan angin sedikit, sebab pagi
tadi datang berita yang sangat menggembirakan. Seorang kurir dari Banaran, tempat
Staf Umum TNI bersembunyi, membawa warta bahwa Bung Karno dan Bung Hatta
beserta se1uruh Pemerintah akan dipulangkan ke Yogya. Bahkan seluruh dunia
mence1a Belanda, terutama India dan negara-negara bersahabat di Asia; tetapi tidak
boleh dilupakan juga, Amerika Serikat. Kali ini permasalahan akan diselesaikan
secara total.
Indonesia akan diakui oleh dunia internasional dan akan segera diadakan
Konperensi Meja Bundar. Dan konperensi ini hanya beracara tunggal: penyerahan
kedaulatan kepada RI. Ke1ak Larasati tahu, bahwa bukan RI, melainkan RI Serikat
yang akan dibentuk itu yang bakal menerima penyerahan. Akan tetapi kurir ketika itu
berkata RI. Dan tentulah hal itu yang paling wajar. Larasati dan ibunya tahu, bahwa
sebentar lagi mereka harus meninggalkan desa Grojogan. Atik pastilah akan sibuk lagi
sebagai salah seorang sekretaris di Kementerian Luar Negeri. Dan ibunya? Belum lagi
tahu, apa yang akan dikerjakan. Yang jelas, ke rumah abangnya di Surakarta dulu.
Dan jika Atik harus ke Jakarta nanti, tentulah ibunya harus ikut pula.
Maka pada sore hari itu, kedua wanita itu menuju ke kuburan untuk berdoa di
pemakaman, yang hanya diberi tanda dua tonggak kayu sengon. Atik gelisah, tetapi
ibunya tidak tahu bahwa Atik gelisah tidak karena teringat ayahnya. Ya, tentulah Atik
mengenang dan berdoa untuk ayahnya, akan tetapi gagasannya se1alu saja terbawa
lari entah berentah, ke Teto.
97
Kemenangan nasional bagi Atik dibayangi oleh sayap elang gelap, bila mengingat
nasib Teto sekarang. Apakah dia akan dapat menerima kekalahannya? Bagi Atik dan
barangkali untuk setiap wanita yang mencinta, soalnya bukan kalah atau menang,
sebab permainan sondakh mandakh ¹⁾ cinta tidak mengenal itu.
Tetapi Atik sadar juga, bahwa tidak segampang itu perkaranya. Sebab Teto bukan
wanita. Bagi lelaki, apabila ia berwatak rusa raja atau bermuka banteng, soal kalah
atau menang sangatlah vital, bahkan sering yang paling merajale1a segala gagasan
dan sikap. Dan kedua, Teto justru ada di pihak yang kalah fisik, pada pihak yang oleh
kaum sebangsanya dicap sebagai pengkhianat, penjual bangsa.
Kesalahan Teto hanyalah, mengapa soal keluarga dan pribadi ditempatkan
langsung di bawah sepatu lars politik dan militer. Kesalahan Teto hanyalah, ia lupa
bahwa yang disebut penguasa Jepang atau pihak Be1anda atau bangsa Indonesia dan
sebagainya itu baru istilah gagasan abstraksi yang masih membutuhkan konkretisasi
darah dan daging. Siapa bangsa Jepang? Oleh huruf-huruf hitam mati di koran
memang disebut bangsa Be1anda, kaum kolaborator Jepang dan sebagainya. Tetapi
siapa bangsa atau kaum ini itu, bila itu dikonkritkan? Bila itu dipribadikan? Bila
menghadapi Paijo atau Suminah, Willem van Dyck atau Koosye de Bruyn?
Yang menodai Bu Kapten bukan bangsa Jepang, tetapi Ono atau Harashima. Dan
karena kelaliman Ono atau Harashimalah seluruh bangsa Jepang dan kaum republik
yang dulu memujamuja Jepang dikejar-kejar. Pak Lurah dan Mbok Sawitri yang mengepalai dapur umum di desa, serta Pak Trunya yang dulu menolong Pak Antana
tidak ikut-ikutan dengan kekejian Ono. Tetapi kesalahan semacam itu apalah artinya
bagi Larasati. Teto tetap Teto, dan bukan "pihak KNIL".
Ah, mengapa ada manusia kalah? Bolehkah tanpa berkhayal hampa kita
mendambakan suatu dunia sesudah perang kemerdekaan ini, yang menghapus dua
kata "kalah dan menang" itu dari kamus hati dan sikap kita? Atik merasa intuitif,
bahwa pada hakekatnya manusia diciptakan hanya untuk menang. Ataukah itu
gagasan yang hanya mungkin timbul, karena yang punya gagasan itu ada di pihak
yang menang? Sedangkan manusia yang kalah akan berkesimpulan lain, sebab
beranjak dari pikiran atau penghayatan yang lain juga, ialah, bahwa manusia pun
hakekatnya adalah kekalahan konstruksi absurd, bahan tertawaan, batu tindasan.
Mungkinkah kalah dan menang itu diganti oleh satu konsep saja, unsur-unsur
harmoni, kendati tempatnya bertentangan? Apakah kematian ayahnya harus diartikan
malapetaka atau pintu gerbang ke tingkat kebahagiaan yang lebih luas dan mulia?
Atik yakin, bahwa tak mungkin ayahnya sekarang dalam keadaan menyedihkan.
Sebab ayah manusia yang baik dan budiman. Bagi yang ditinggal, memang menyayat
hati. Tetapi bagi yang meninggal? Lalu apa beda dari ide-ide para pemberontak di
Madiun itu yang melihat segala-gala bagaikan pertikaian air lawan api, agar tercapai
hasil air teh? Bukan dialektika, melainkan dialog seharusnya. Ah, di sinilah lagi,
manusia dilihat dengan istilah pukul rata: para pemberontak yang punya ide ini itu.
Siapa konkrit "para" itu "yang" ini itu? Beberapa orang ataukah "mereka semua"? Tidaklah mudah untuk melihat saudara sebumi dan seangkasa ini sebagai engkau
Marsudi" atau "anda Nani". Sebagai ... Teto dan Atik. Apalagi kalau sudah menjurus
soal cinta. Atik cukup paham, bahwa cinta bukan hanya udara kimia homogen rasa
cinta belaka.
¹⁾ Dari kata Zondag-Maandag (Bld): permainan anak-anak.
98
Perkelahian, perbantahan, kejengkelan teremban juga dalam keseluruhan yang disebut
cinta itu. Tetapi dalam cinta memang perkelahian menjadi lain. Bagaimana kelak
kalau punya anak, diberi nama Bambang Dialogo'? Dan bila perempuan: Siti Harmoni?
''Ada apa kok tertawa?" tanya ibunya.
"Tidak ada apa-apa."
"Mosok, tidak ada apa-apa kok tertawa."
"Kan sering begitu Bu, orang itu."
''Aku tidak."
''Ya, karena tidak melihatnya."
"Ingat Teto, ya?"
''Ya, Teto dan ayah dan ibu dan Pak Lurah dan tahu tempe dapur umum." Ibunya
hanya geleng-geleng kepala.
Langit Barat serba menyala dan awan-awan hitam terakhir dari musim hujan masih
saja bergumpalan, namun dengan tepi-tepi kencana yang menakjubkan.
"Semoga Teto masih selamat dan ke luar sehat walafiat dari perang ini," kataAtik.
"Benarkah di luar sahabat Teto tidak ada pria lain?"
''Pria sih banyak, Bu. Tetapi suarni kan tidak hanya pria saja. Ibu tidak pernah
setuju bila aku menyebut Teto."
"Seorang ibu selalu begitu, Tik. Dan jangan lupa, Tik. Suarni lain dari kekasih
belaka."
''Ya, aku memahami itu. Sudah banyak kali ibu mengatakan itu. Aku setuju, aku
setuju, Bu. Tetapi kan boleh, dalam senja yang indah seperti ini orang berfantasi
tentang kekasih. Lihat itu, langit pun berwarna-warni seperti bunga-bunga fantasia."
Bu Antana dalam hati sebenarnya sudah menyerah, seperti biasanya, menghadapi
Atik yang cerdas dan selalu jujur membidik tepat mengenai sasarannya. Bu Antana
tidak pernah dapat banyak membantah. Satu-satunya pegangan yang dipunyai Sang
Ibu hanyalah pengetahuan, bahwa Atik tidak akan berbuat yang bukan-bukan. Tetapi
dari pihak lain, anak yang pandai belum tentu ahli juga dalam masalah cinta.
Rasionalitas yang tinggi sering diikuti oleh kesentimentilan yang mencemaskan. Ah,
sebetulnya Atik dapat memiliki hari-depan yang gemilang. Ia selalu berkecimpung di
kalangan teratas dari negara yang muda ini. Dan sekarang, di ambang pintu kejayaan
pengakuan kedaulatan Republik yang mereka perjuangkan itu, lebih gemilang lagi
hari-depan Atik. Dan di mana ada ibu yang tidak menginginkan kedudukan bagi
anaknya yang lebih bagus dari orangtuanya?
Tetapi Bu Antana terkenang juga masa mudanya. Ketika itu pun Marsiwi tidak
mustahil dipersunting oleh seorang pangeran keraton Sunan Surakarta. Sekian banyak
putera dari garwa ampil akan gembira memperoleh Raden Ajeng Marsiwi ... lnikah
hukum Karma?
Tetapi bila hukum Karma menjadi kehidupan, tentulah Atik juga akan bahagia
seperti ibunya ketika memperoleh Mas Antana. Dari pihak lain, apakah suaminya
yang seluhur budinya itu, yang halus penuh tenggang rasa dapat disamakan dengan
Teto, serdadu KNIL, yang dicap pengkhianat dan penjual bangsa? Bu Antana tahu,
seperti seluruh keluarga di Sala, mengapa Teto berbuat demikian. Tetapi apakah
motivasinya cukup berbobot? Bu Antana tidak mungkin menempatkan diri duduk di
kursi hakim. Namun sekarang ada permasalahan yang langsung mengenai dirinya.
Atau lebih tepat mengenai anak tunggalnya Atik .
99
Erat-erat tangan anaknya dipegang, seolah khawatlr hilang. Sekali lagi ia masih
akan mencoba. Siapa tahu, anaknya akan berubah haluan, pada saat yang terakhir.
Sering tarikan tiba-tiba sedikit saja sudah dapat membelokkan layang-layang pada
saatnya, bila kebetulan kena. Seperti puteri-puteri priyayi tinggi lainnya, Bu Antana
dulu juga sering bermain layang-layang. Tetapi tidak seperti anak-anak lelaki.
Layang-layang puteri-puteri bangsawan berbentuk segitiga, terbuat dati sutera dan
dari ketiga ujung itu terikat dua belas saputangan berwarna-warni.
Ah, seperti kemarin saja masa kanak-kanak dirasakan Bu Antana; di jaman yang
tidak pernah ada perang dan revolusi. Tidak bisa dibanding. Segala situasi serta
perkara-perkara besar-kecil pun tidak bisa dibanding. Bukan layang-layang sutera bersapu-tangan warna-warni yang dihadapi hari ini, tetapi pesawat pemburu yang
menyemburkan maut untuk suaminya.
Memang benar kata Atik, kasihan suaminya tidak mengalami lahirnya cucu.
Seolah-olah hidupnya berakhir tanpa berkat. Tidak seperti bunga yang gugur karena
selesailah tugasnya. Suaminya dirampok dari tengah-tengah mereka. Dan sekarang
anaknya bersimpati atau bahkan mencintai salah seorang wakil dari pihak yang
membunuh suaminya. Mengapa semua itu harus terjadi? Bagaimana pertentangan itu
harus ia emban?
"Tik, bukan aku ingin mengganggu pikiranmu ... "
''Boleh Ibu, gangguan seorang ibu kan baik-baik saja."
"Juga ibumu tidak berkehendak menusuk perasaanmu."
''Ah, tusukan ibu kan tusukan enak."
''Tik, serius. Bagaimana seandainya, ini hanya ... hanya seandainya. Bagaimana
seandainya Teto tidak berminat padamu, jangan lagi melamar. Kan bertepuk tangan
sebelah tidak bisa."
"Kalau dia tidak melamar, sayalah yang melamar."
Terkejut Bu Antana mendengar ucapan yang menurut adat tidak semestinya itu.
''Apa itu tidak memalukan, Tik?".
"Memalukan? Ah, Ibu. Kan Atik tidak mencuri, tidak bohong, tidak berbuat eh ...
tidak ... jinah?"
"Ya, tetapi bagaimana seorang puteri kok melamar."
“Biasa, melamar. Keleting Kuning melamar Ande-Ande Lumut.
Kan hikayat Jawa itu punya arti: ngunggah-unggah ¹⁾ asal baik-baik caranya, diakui
syah, atau istilahnya: berusahalah." Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya.
''Bagaimana andai ayahmu tahu itu?"
"0, Ayah pasti setuju dengan Atik."
Dalam hati Bu Antana tahu, bahwa dalam masalah seperti ini, suaminya pasti akan
memihak anaknya. Tetapi bagaimana nanti seandainya Teto menolak?
"Sekarang yang benar, Tik. Pernahkah kau menerima surat atau apa pun dari dia?"
''Belum.''
"Nah, bagaimana kau tahu bahwa ada kemungkinan dia akan menjawab
kecenderungan hatimu?"
"Aku tahu."
"Apa pernah ada tanda-tanda ke arah itu?"
"Tentu saja Pernah."
"Pernah? Kapan?"
¹⁾ Wanita yang melamar pria.
100
"Ya, kapan-kapan. Tetapi pernah."
"Kau belum pernah cerita itu kepada ibumu."
"Maaf, Bu. Memang belum."
"Hati-hati Tik, jangan bermimpi."
"Dalam jaman seperti ini, kadang-kadang mimpi kan sering perlu Bu." Dan
pinggang ibunya dirangkul. Bu Antana menyerah, seperti setiap wanita Jawa sejati
akan sumarah. Dalam keadaan apa pun. Tanpa patah-hati. Atik menoleh dan ibunya
diputar melihat ke arah sebaliknya, ke kawah Gunung Merapi yang terkena oleh sinar
senja.
"Lihat, Bu. Alangkah inginnya aku sesekali naik sampai di atas puncak itu. Dan
mengembara ke dalam hutan-hutan lereng-lereng itu. (Dan lirih berbisik) Seperti dulu,
bersama Ayah ... Ataukah barangkali Ayah sedang mengembara di sana juga, di
puncak itu? Tidak. Ia di samping Ibu sekarang. Di sampingku juga. Ibu tidak
mendengar Ayah? Bisikan Ayah?"
Bu Antana diam, mata berlinang-linang dan mendengarkan suara angin.
Bagaimana nanti seandainya Atik sudah kawin dan hidup bersama dengan suaminya?
Selayangan timbul pikiran jelek: setiap peminang anaknya adalah perampok. Yang
menjambret kebahagiaan seperti yang sekarang ini, berdampingan dengan anak
tersayang. Kalau sudah kawin, Atik sudah milik orang lain. Terasa getir jadi janda
yang harus menyertai menantu.
"Ibu, mari duduk di batu ini. Agar tenang dapat menikmati puncak gunung itu."
Desa persembunyian markas dan dapur-umum para gerilyawan itu begitu dekat
dengan puncak Merapi sehingga terang tampak kepulan-kepulan keci1 seperti bintikbintik bulu anak ayam turun dari kawah. Setiap tiga-lima menit keluarlah bulu-bulu
asap itu, dan menggelinding ke bawah. Puncak dan lereng itu tampak kasar telanjang
tanpa pepohonan. Hanya lahar saja, dan tampak jelas kontras reliefnya, mana
punggung mana jurang.
Petang semakin dingin, tetapi Larasati selalu memohon agar masih boleh
menunggu beberapa menit. Udara dingin di lereng gunung. Karenanya mereka telah
membawa jas-jas hangat. Bahkan jas yang dipakai Bu Antana adalah jas berbulu
tebal, hadiah isteri seorang sekretares Goodwill Mission dari USA yang bersimpati
terhadap Larasati. Barangkali agak longgar sedikit untuk Ibu, tetapi lebih baik begitu.
Kedua wanita itu menunggu tenggelamnya matahari. Bintang-bintang pertama telah
menyala dan segeralah langit suram menjadi gelap. Lihat, lahar yang menyala kini
tampak jelas, seperti lidah Batara Agni yang senantiasa mengancam manusia yang
pernah mencuri api dari kahyangan.
Penduduk desa pulau Jawa umumnya tidak berbeda dari gunung-gunung yang
mereka huni, pikir Atik: serba tenang, damai, namun kedamaian lereng vulkan yang
setiap saat dan periodis meletus memuntahkan lahar. Minggu yang lalu tersiar berita
tentang seorang sersan mayor di desa seberang jurang, yang kata orang mengobrakabrik makam orang desa Juranggede yang meninggal pada hari Selasa Keliwon. Ia
ingin mendapat kesaktian dan mencari kekayaan. Dunia kaum diplomat internasional
dan dunia mayat Selasa Keliwon yang digigit patah lehernya, alangkah lebar jurang di
antara kedua dunia itu. Di manakah Larasati berdiri?
Diam kedua orang itu memandang pada lidah api yang setiap tiga-lima menit
meluap lalu pelan-pelan mengalir ke bawah. Pijar-pijar api menyertai lidah. Lalu
berhenti. Ke luar lagi. Pemandangan yang mencekam.
101
Sudah berapa ratus ribu tahun puncak Merapi itu bermain lidah api begitu?
Tentulah nun jauh di kala dahulu, gunung Merapi belum setinggi itu. Barangkali dulu
kawah melalui liang leher Merbabu disebelahnya. Kita hidup di atas tungku yang
masih panas bergolak. Negeri ini subur dan gending-gending sinden-sinden mengalunkan kedamaian manusia-manusia penanam padi di lereng-lembah. Kesuburan
hadiah dari muntahan gunung api yang buas.
"1bu, barangkali Atik tidak akan terus bekerja di Kementerian Luar Negeri."
Dalam gelap suara yang hampir berbisik itu terasa sebagai angin malam yang
mewartakan berita penuh kekhawatiran ke dalam telinga ibunya.
"Apa lagi, Tik! Di Kementerian Luar Negeri karirmu bisa terjamln.
"Aku seolah mendengar pesan Ayah, Bu."
Tubuh anaknya ditarik dan dirangkulnya. Berdebar-debar jantung Jawa sang 1bu
menanti apa yang akan dikatakan anaknya itu. "Aku ingin meneruskan pekerjaan
Ayah. Di dalam dinas kehutanan, Bu." Dalam gelap tidak tampak tetapi seperti kawah
Merapi itulah airmata panas dari kedua wanita itu meleleh. Ya, begitulah. Sudah
seharusnya begitulah. Mengapa gagasan semacam itu tidak datang dari kalbu si 1bu?
Bu Antana merasa bersalah terhadap suaminya. Apakah selama ini ia baru teman
hidup, dan belum seperti yang selalu diajarkan oleh para orang-tua, belahan jiwa,
garwo? Seharusnya ia lebih dulu merasakan itu. Ternyata toh anaknya Larasati lebih
dekat dengan ayahnya. Seolah-olah kesejatian diri suaminya itu sekarang sudah
pindah raga dan memanjing di dalam kalbu anaknya. Dan lebih terasa lagi kesepian
hati Bu Antana menghadapi nasib ditinggal sendirian. Sebentar lagi anaknya harus
pergi juga. Lalu kawin, Lalu ... BuAntana menangis.
"Maaf, Bu, saya tidak tahu, bahwa itu membawa kesedihan 1bu."
"Tidak, tidak, Tik," dan menangislah lirih ibunya.
Apakah Gunung Merapi itu sedang menangis, tanya Atik dalam hatinya. Karena
begitu sesak rongga dalamnya, alam sering menangis pula. Atik merasakan sumber
kekuatan ayahnya. Ayah pandai berdialog dan menangkap pewartaan alam. Mengapa
ibuku menangis? Ah, tentulah ia merasakan kesedihan jandanya.
“Aku tidak sedih, Tik. Bahkan sebaliknya."
"Kalau begitu, menangislah tenang Bu, Atik akan selalu mendampingi Ibu."
"Sekali saat kau harus meninggalkan ibumu. Itu sudah selayaknya. Ibu akan lebih
bersedih hati kau menjadi perawan tua. Pohon yang mandul. Jangan, Tik. Kau harus
segera kawin. Siapapun terserah kau. Asal Atikku bisa bahagia seperti ibumu."
Atik diam. Pemilihan hati yang ditentang membawa kesulitan banyak. Akan tetapi
pemilihan yang sudah diberi jaminan ruang kebebasan bahkan tujuh kali lebih sulit.
Sekarang bahkan ia bimbang, betulkah keyakinannya selama ini, bahwa hanya Teto
yang paling ia dambakan? Mengapa ia memilih Teto? Karena ingin
menyelamatkannya dari suatu kehancuran yang sudah menampakkan diri dalam
seragam serdadu KNIL sekian tahun yang lalu di jalan Kramat itu? Apakah rasa
kasihan cukup untuk dijadikan sendi hidup perkawinan? Di mana dua pucuk senjata
yang dilemparkan Teto ke dinding itu sekarang? Pada saat itu Atik paham benar
tentang kebimbangan,sahabatnya yang malang itu. Teto sendiri sebenarnya bahkan
membenci keputusan sikapnya itu, akan tetapi toh ia berbuat terus melawan suara
hatinya. Ataukah hanya keliaran binal saja itu? Gerak gaya jago serba berani menentang bahaya yang ingin ia perlihatkan? Barangkali ia malu menghadapi seorang
gadis dengan pistol dan senjata otomatik? Atik tidak pernah merasa diri punya watak
Srikandi.
102
Tetapi dapat dibayangkan betapa malunya Resi Bisma ketika harus berhadapan
dengan lawan perempuan Srikandi. Tetapi Atik tidak pernah punya niat untuk melukai
Bisma sedikit pun. Ataukah ada kekuatan Ambika yang melayang di udara dan yang
mengalahkan Bisma, sehingga Teto terpaksa lari? Lari karena takut? Tidak. Pasti
tidak.
Teto tidak mengenal takut. Ia lari, barangkali karena tidak kuat menghadapi
situasinya, menghadapi konflik batin antara nafsu membalas dendam nasib ayah dan
ibunya dan perasaannya terhadap dia, Atik. Apakah itu harus ditafsir sebagai sebentuk
sasmita rasa cinta yang terpendam? Selama ini begitulah tafsiran Atik. Tetapi apa
benar demikian? Di mana senjata itu sekarang? Sudah lama hal itu tidak ia tanyakan
lagi. Kawan-kawan Larasati yang menjemputnya di Krarnat VI dulu itu berhasil
pulang lagi ke rumah Proklamasi di Pegangsaan Timur dengan riang, dan telah
menyelundupkan kedua senjata itu ke dalam mobil. Tentulah mereka bertanya, dari
mana ada dua senjata itu. Atik sulit bohong. Tetapi toh ia berhasil membelokkan
kemungkinan kecurigaan. Ada serdadu India yang rupa-rupanya mau merampok,
tetapi meninggalkan senjata itu dengan bayaran suatu patung ukiran Bali sebagai
kenangan. Dongeng itu sarna sekali tidak logis. Tetapi di saat-saat serba panik dan
teror, semua hal mungkin saja terjadi ... dan dipercaya.
Sesekali akan ia tanyakan lagi kepada Mayor Budi, kawan yang menjemputnya
dulu itu. Ingin ia minta kembali kedua senjata itu. Kalau boleh sebagai kenangan. Toh
sekarang sudah tak dibutuhkan lagi. Serdadu India yang merampok? Atik tersenyum
sayu. Seandainya benar, alangkah bahagianya, perampok hati. Tetapi biarlah.
Memang mengharukan dongeng Ande-Ande Lumut. Tetapi siapa lelaki tulen yang
mau jadi Ande-Ande Lumut? Angkasa penuh bintang ini seharusnya indah dan cukup
menerangi kegelapan hati.
"Tik, ibumu sudah terlalu kedinginan. Dan kita harus menolong mereka di dapurumum. Lagi, tidak pantas kan perempuan sendirian di kegelapan."
"Ibu kan tidak sendirian di kegelapan?"
"Tidak sendirian, tetapi sendirian juga."
"Mari Bu."
Sambil pelan-pelan berjalan pulang bergandengan dengan ibunya, Atik
memperhatikan suara-suara warta alam yang sudah bersiap untuk istirahat. Konser
serangga-serangga cenggeret-nong yang selalu ramai menggesek biola mereka serba
dialog sudah berhenti, "gerèèèt-nong gerèèt-nong" disusul: "sigarèt-crèt-sigarèt-crètsigarèt-crèt" begitu mereka sejak tadi.
Bahkan sering berbunyi begini serangga-serangga itu "sendiko! sendiko! Sendiko ¹⁾
Namun kini mereka sudah berhenti. Ah, itu si burung kul yang terlambat pulang
barangkali. Burung kul atau kukuk itu memang tukang mengeluyur, dan buruknya
selalu menitipkan telur-telurnya dalam sarang burung-burung jenis lain. Watak
kolonial sungguh, seperti NlCA. Lagi aneh burung-burung kul itu. Yang betina
berwarna coklat merah tua bercahaya hijau dan berbintik-bintik muda. Cantik anggun
sebetulnya. Tetapi yang jantan jelek, hanya hitam seperti gagak belaka dan memang
sering keliru dianggap gagak. Hanya kalau terbang tampak bedanya: si burung kul
ekornya lebih panjang dan cara terbangnya lebih tergopoh-gopoh.
¹⁾ Sendiko (bhs. Jawa): siap taat.
103
Tetapi ocehan jantan dan betina anehnya lain juga, padahal burung satu macam. Yang
betina lebih puitis: "culik-ulik-ulik" dan disambung "kuil-kuil-kuil!" Sehingga orang
menyebutnya burung culik-ulik; sedangkan yang jantan sangat prosa:
"Tuhuu-tuwoo, tuhuu-tuwoo!" Maka diberi nama burung tuhu atau tuwo. Lucu kalau
mereka berdialog: culik-ulikulik ! Disambut: Tuhuu, Lalu: kuil--kuil--kuil! Tuwoo!
Dulu Atik sangat senang clan banyak tertawa karena percakapan mesra mereka:
"Culikulikulik-Tuhuuu-kuilkuil-Tuwoo." Tetapi sekarang semua itu mengingatkannya
pahit kepacla tragedi ke1ainan bahasa clengan "abangnya" Teto. Mungkin ibunya
lebih betul: Larasati harus lebih realistis. Romantika revolusi inclah memang, tetapi
hanya clalam novel picisan.
Kuil-kuil-kuil! Tuwoo!
104
B a g i a n III
1968 - 1978
14. Jurang Besar
His Excellenry John Ambassador Brindley mengangguk-angguk. Sopan-santun
setempat mengharuskan beliau mengangguk-angguk sambil kadang-kadang betkata
takjub: "Bagus! Bagus!" ltu kata pujian pertama yang ia hafalkan sejak ia diangkat
menjadi duta-besar di negeri vulkan yang cantik jelita ini. Dan juga "terimakasih",
"maafkan". Memang gunung berapi yang sangat runcing itu benar-benar indah.
Nyonya Duta Besar dan puterinya, kedua-duanya tidak merasa sejuk sedikit pun,
kendati punggung sampai pinggul menampakkan kulit berwarna bakso Mbah Kliwon.
Harus diakui, alam di sini indah. Suasana mendamaikan jiwa. Segera mereka sibuk
mendesingkan kamera film mereka. Ke arah kerucut yang puncaknya sobek besar,dan
yang tampak kadang-kadang melemparkan gumpalan-gumpalan , kecil awan putih.
Tetapi tak lupa juga lensa kadang-kadang dibidikan ke arah anak-anak melarat yang
berduyun bersotak ria ingin masuk ke dalam alat film itu; entah dengan harapan apa
tak seorang pun tahu sebenarnya. Pokoknya senanglah, senang murni.
Anak-anak itu riang dan untunglah semua serba berisi daging. Tak ada yang kurus
memalukan negara, begitu pikir Pak Camat. Noni puteri duta-besar itu (atau
kemenakan, tak ada yang tahu persis tentu saja) dengan tersenyum minta bapak-bapak
polisi yang banjir tanggung-jawab itu, agar jangan mengusir anak-anak. berjingkrakjingkrak, mulut bergigi terlalu besar seperti kelinci mereka berebutan ingin jadi
bintang film. Pak Gubernur dalam hati malu melihat tingkah anak-anak itu yang
kurang menunjukkan kewibawaan negara. Ia mendekati Pak Bupati dan tampak
mukanya seram marah. Pak Bupati hanya dapat mengangguk-angguk, siap
melaksanakan perintah. Ia pergi ke Pak Camat. Maka ketika nyonya-nyonya itu
mengejar duta-besar yang menjauh, yang rupa-rupanya ingin menaksir dalamnya
jurang, dengan tangan serawehan ¹⁾ Pak Camat memberi aba-aba tanpa kata, agar
anak-anak itu enyahlah. Seorang anak terjatuh bersama kakaknya dan menangis keras.
Seorang polisi mendekati mereka dan tampak dari gerak tangan dan kulit mukanya,
bahwa gadis dengan anak menangis itu, "oknum-oknum yang tak diinginkan",persona
non grata.
Tetapi anak-anak dan muda-mudi yang sudah sejak pagi menunggu kedatangan
tamu-agung di Juranggede, jurang MEREKA, tentu saja tidak mau begitu saja disuruh
pulang. Berduyun-duyun mahluk-mahluk gesit itu mengikuti rombongan tamu-agung
ke mana saja mereka pergi.
Bapak Gubernur tampak kesal melihat bangsanya begitu terbelakang, ndeso ²⁾.
Begitu juga Pak Bupati; tetapi bukan karena anak-anak itu kurang internasional, tetapi
karena ia baru bupati penjabat. Karena itu apa pun yang mungkin dapat menjadi batu
perintang kenaikan pangkatnya menjadi bupati sungguh-sungguh harus disingkirkan.
¹⁾ kalang kabut.
²⁾ Seperti orang desa.
105
Pak Camat juga kesal hati melihat anak kepangrehannya begitu tak tahu adat
mendekati tamu-tamu agung. Ia khawatir juga, jangan-jangan nanti Pak Bupati
menanyakan soal SD Inpres yang selama ini belum beres soal pembangunannya, dan
berapa jumlah anak yang akan ditampung sesudah SD Inpres itu selesai.
kalang kabut. Seperti orang desa.
Dan anak-anak itu? Sama sekali tidak kesal hati. Anak diusir sudah merupakan hal
yang semestinya terjadi. Bahkan luar biasa aneh kalau tidak begitu. Tetapi dari pihak
lain, bila anak tidak menggubris perintah dan menjengkelkan seperti lalat yang diusir
tetapi nekat kembali lagi, nah, itu pun sudah biasa juga. Aneh juga andai anak tidak
seperti lalat. Untung Sang Duta Besar sudah membiasakan diri dengan cara
penyambutan anak-anak negara yang sedang berkembang. Istrinya juga, bahkan
puterinya sudah belajar memanfaatkan adat dikerumuni anak-anak dan orang-orang
pribumi. Ia punya hobi mengumpulkan foto wajah-wajah macam-corak orang-orang
dan anak-anak miskin, atau yang rupanya sudah buruk, tua bangka keriput, atau yang
aneh-aneh, pokoknya manusia-manusia pribumi yang "interesan" istilahnya. Foto-foto
itu dipasang di dalam kamarnya sehingga merupakan semacam komposisi unsurunsur wajah yang, betul percaya deh, bisa dikatakan bermutu seni juga.
"Negeri Tuan sangat indah," kata Duta Besar penuh sanjungan diplomat kepada
Gubernur. Mungkin juga ia jujur mengatakannya itu. “Dan rakyat tuan tampak subur
serba gembira," tambahnya lagi, sambil melepas kaca-matanya yang gelap lebar.
"Kami bangsa Indonesia bangsa yang selalu gembira" jawab Pak Gubernur dengan
nada bangga. "Apa ada satu orang pun Yang Mulia lihat kurus?"
"Tidak! Sungguh tidak! Pipi-pipi anak-anak itu bulat-bulat segar dan ..." ia
membisikkan sesuatu dalam telinga Pak Gubernur, yang mendadak tertawa gelakgelak
"Betul! Betul Yang Mulia, montok-montok kaum perempuan kami." Pak Duta
Besar membisikkan sesuatu lagi. Pak Gubernur tertawa lagi. "Terlalu! Yang Mulia
terlalu. Memang ini keprihatinan kami. Kalau Indonesia sudah modern, semua
menjadi kerempeng. Ah jangan, jangan. Kami akan berusaha untuk menjaga
kepribadian bangsa kami. Tetapi apa betul Yang Mulia, ada hubungan antara
tehnologi dan eh ..."
Tetapi Pak Duta Besar membelok 180 derajat, sebab istrinya mendekat dan
memotong 'Sorry, John! Kau tadi bawa teropong? Lihat ini Pak Gubernur, suami saya.
Sudah tujuh kali aku bilang: Jangan lupa teropong! (Kepada suarninya) Nah,
Sayang…….?
"Pasti tidak lupa, Sayang. (Kepada Pak Gubernur). Apa di Indonesia para istri
berhak memerintah pejabat berpangkat tinggi?" (mata dipejamkan satu), Pak
Gubernur hanya tertawa.
106
"Tergantung istri yang bagaimana, Yang Mulia." Istri Duta Besar tersenyum dan
kepalanya oleng genit mendengar sanjungan itu.
Sementara John Sang Duta Besar merangkap Sang Suami mengambil barang yang
dikehendaki istrinya, pak Gubernur bertanya: "Bagaimana Nyonya,
pemandangannya?"
"Indah. Indah sekali. Saya sudah pergi ke mana-mana, akan tetapi seindah ini
belum pernah kujumpai. (Menunjuk ke kawah Merapi.) Lihat itu ada lagi yang
menggelundung. Ngeri sebearnya. Bayangkan itu jatuh di desa penuh dengan anakanak manis itu."
"Kami sudah siap siaga. Sudah saya instruksikan pengaturan-pengaturan
pengungsian dan segala hal perihal logistik apabila gunung ini meletus. Tetapi yang
penting ialah menginsafkan penduduk, Nyonya. Pemerintah kami sudah
mempersiapkan tempa-tempat transmigrasi yang bagus untuk hari-depan mereka.
Tetapi sangat sulit menyadarkan mereka. Dan Nyonya tahu, negara kami
berpancasila. Jadi kami tak pernah memaksa penduduk. Kalau mereka tidak mau
pindah, baiklah, kami menghormati kemauan mereka. Jalan-jalan pertolongan lain
masih ada."
"Memang berat rasanya meninggalkan tempat yang begini dah. Lihat, segala-gala
di sini hijau dan biru. Hanya lidah lahar itulah yang hitam. Tetapi subur, sangat subur
tanah ini."
“Itu berkat, tadi kulihat, hujan abu vulkan-vulkan kami, Nyonya."
"Ya, kami tahu. Tapi tadi kulihat selokan kecil. Aduh, alangkah bening airnya.
Nanti kami berhenti sebentar ya, di dekat selokan itu. Ingin aku berhenti sejenak dan
mendengarkan airnya yang gemericik. Bapak Gubernur bahagia menjadi bapak rakyat
daerah yang semakmur ini. Dan anak-anak itu, aduh anak saya tak henti-henti sangat
terpesona oleh mereka. Manis, manis. Juga pemuda-pemudanya nggantengngganteng. Ada yang wajahnya klasik, seperti dalam Ramayana."
Pak Gubernur tampak berkemilau wajahnya. Tetapi matanya tak bisa lepas dari
kamera film yang dibawa tamunya. Ia mencoba mengingat-ingat merknya. Untuk
bertanya ia malu. Beliau sudah punya, tetapi hanya merk Jepang. Selaku pejabat yang
bertanggung-jawab atas wilayah yang luas, beliau merasa wajib untuk membeli
kamera film yang lebih bertanggung-jawab pula.
Anak-anak melongo mendengarkan percakapan dalam bahasa asing itu. Sungguh
mengagumkan bisa berbahasa asing. Gadis-gadis pada melongo memandang kulit
putih punggung yang telanjang sampai pinggul dari nyonya-nyonya itu. Padahal
dingin di lereng gunung. Heh, berketingat juga, tetapi keringatnya bau, deh. Bukan
seperti kambing tetapi mirip, entah aneh sekali, daging sapi mentah. Ketiaknya
ternyata juga ada rambutnya. Lho, kok sama.
107
Tapi susunya besar, Pak Gobang punya, kusir gerobak sapi yang gemuk dan selalu
mengkilau kulitnya seperti batu kali item kena hujan.
Beberapa anak lelaki berdebat, uang di dalam dompet nyonya itu berapa kira-kira.
Kontan dipukul kakaknya perempuan, yang takut perdebatan itu terdengar para
pembesar. Mereka lari dan menggulung-gulung di rumput. Pesta sungguh hari ini.
Ada yang bisa dilihat.
Banyak yang mengerumuni mobil-mobil pembesar, sambil berdiskusi bikinan
mana dan sebab apa yang satu punya lampu kuning banyak dan yang satu ada tulisan
pelat CD. Berulang-ulang Pak Polisi mengusir anak-anak yang gatal tangan itu.
"Cah ndéso¹⁾” umpatnya. "Belum pernah lihat mobil, ya?" Anak-anak hanya melihat
Pak Polisi seperti mengharapkan keterangan apa artinya CD itu, dan mengapa lampulampu kuning begitu banyak. Tetapi rupa-rupanya Pak Polisi tidak tahu juga. Maka
mereka berjongkok dan mencoba melihat ada apa di bagian bawah mobil. Terkejut
mereka diserodog teman dan spontan cepat-cepat berdiri, disangka dimarahi polisi.
Sambut-menyambut ketawa tentu saja dan berlari-larilah mereka kejar-mengejar.
Puteri Duta Besar memandang mereka berlari sambil tersenyum. Rakyat yang
bahagia, pikirnya dengan sedikit dambaan pada semacam Lost Paradise. Pak Bupati
yang masih penjabat itu memanggil Pak Camat.
"Bagaimana Giyo, garong-garongmu?"
"Aman Pak. Selama Giyo tiga tahun di sini, belum ada kejadian. Insya Allah tidak
akan ada peristiwa berat, Pak. Tetapi sebetulnya Bapak maklum juga, ini hanya
tergantung dari kabupaten seberang jurang sana. Sebab di sanalah sarangnya, sejak
jaman Belanda dulu." Pak Bupati mengerenyitkan mukanya. Mata menyipit
memandang jauh ke seberang jurang lahar ke daerah rekannya Bupati Anu.
''Begitu1ah, memang Anu sahabatku. Tetapi ia terlalu bermoral. Maling harus
ditangkap dengan maling. ltu sudah dalil. Kau kenal semua gentho²⁾ di daerahmu?"
"Semua, pak. Itu beres. Tetapi yang berasal dari seberang jurang sana itu, susah
Pak. Lain kowilhan ³⁾ itu!' Mayor Intel Korem ikut masuk gelanggang percakapan ten
tang garong. Masalah garong punya unsur-unsur politik, katanya. Tetapi yang jelas,
semua setuju: menangkap lurah garong hanya mungkin dilakukan oleh lurah garong
lain. ltu kebijaksanaan abadi.
"Coba nanti." Dan pergilah Pak Bupati sambil menunduk. Lalu ia memeriksa para
Fanta, Coca-Cola dan khusus bir kuning dan hitam berkeringat dingin yang sudah rapi
disediakan untuk tamu-tamu agungnya. Ia sudah haus, bahkan semakin haus karena
inspeksi itu.
¹⁾ "Anak Udik !".
²⁾ Kepala bajingan.
³⁾ Komando Wilayah Pertahanan.
108
Tetapi tamu-tamu itu masih saja asyik bertamasya. Bah, enak jadi Duta Besar. Coba
jadi Bupati ... tiba-tiba dadanya sesak seperti ada gas berbisa kiriman gunung yang
menyusup dalam dadanya. Ia teringat, ia masih penjabat. Ia meludah. Terkejut sendiri
ia. Gila, ada tamu agung kok meludah. Untung mereka tidak melihat.
Karjo sedang mendangir bibit cengkehnya ketika Mas Sepandri mendekatinya. Ia
sedikit menyesal, mengapa dulu tidak beli bibit yang daun tunasnya merah. Padahal
selisih harganya hanya dua ratus rupiah. Rugi sebetulnya menanam bibit murah tapi
jelek. Soalnya, dulu ia tidak tahu, bahwa bibit yang baik harus merah pucuk-pucuk
daun mudanya. Mengapa Bimasnya dulu diam saja! Barangkali mereka sendiri tak
tahu. Apa lacur, sudah terlanjur.
''Delapan tahun lagi kau kaya, Jo!"
“Apa ... " (ia mendangir terus, nadanya kendor harapan.)
''Berapa sudah cengkehmu?"
''Delapan batang mana bisa kaya."
"Sekarang delapan. Buahnya per pohon kira-kira sepuluh ribu biji. Ditanam lagi
menjadi delapan puluh ribu batang
"Dagelan kuna! Kabar apa dari kota?"
"Saya tidak ke kota."
Lho, katanya mau beli cangkul."
"Maunya. Tetapi ada rombongan tamu agung. Pikir-pikir, ah beli cangkul hari lain
bisa."
"Untuk apa tamu agung dilihat?"
"Tidak untuk apa-apa. Tetapi akhirnya untung aku melihat. Memang betul
firasatku."
"Firasat apa lagi. Makanya kau selalu rugi menebas kayu sengon. Terlalu banyak
firasat. Menang buntut lima ribu jadi apa, dulu itu hayo ... akuilah. Kalau tidak, saya
bilang pada istrimu."
"Hus! Kau sudah janji bungkam mulut."
Sebetulnya petualangan Pak Sepandri sudah sepengetahuan istrinya, bahkan atas
persetujuannya. Jadi sarna sekali tanpa risiko sehitam kuku pun. Tetapi Pak Sepandri
harus jaga gengsi.
"Kan janji itu ada untuk tidak ditepati. Seperti hutang ... "
"Eh, jangan omong kosong. Sekarang sungguhan, Jo: Terka siapa yang kulihat
tadi."
"Katanya tamu agung."
"Nhah, salah seorang pengantar tamu agung itu, siapa?" Karjo masih juga
mendangir terus.
109
"Nggak peduli siapa. Asal jangan Warnojebug."
"Kau mencret mendengar namanya. Si Setankopor."
"Heh?" Karjo tegak berdiri mata membelalak.
"Hah, betul kan, kau mencret. Makan kerak kuali gosong obatnya."
"Kau cuma menakut-nakuti orang. Apa hubungannya dengan Setankopor?"
"0, banyak sekali hubungannya. Sebab ia jadi bupati sekarang. Sudah saya
tanyakan pada polisi pengawal. Yang seperti Arab, hidungnya agak bengkok itu
bupati? Betul, ia bupati yang baru. Nah, selamat mampus kita."
"Siapa bilang mampus…siapa bilang mampus."
Tetapi Karjo sudah kehilangan selera bekerjanya. Ia cuma menatap ke perdu jeruk
yang kulit batang cabangnya serba terkena cendawan putih seperti aluminium. Lesu
cangkul dipikulnya.
"Mati masuk, Ndri! Omong yang tenang."
Dan kedua orang itu menuju rumah bambu yang mulus bersih, dengan lantai tanah
agak tinggi, bertepi batu-batu kali besar. Tegaklah rumah bambu itu di atas
permukaan tanah kebun, dengan tangga tiga lempeng batu vulkan sebesar nisan
jaratan.
"Sudah, duduk sini sajalah,” usul yang disebut Sepandri tadi, "Panas di dalam."
Dan duduklah ia di emperan, nyaman di lincak di beranda, yang terbuat dari bambu
kuning tutul yang mengkilat sendiri tanpa dipelitur.
"Terserah maumu. Preeh! Ada di dalam kau?" seru Karjo kepada istrinya. Tak ada
suara menyahut.
"Ikut melihat tamu agung di Juranggede barangkali” komentar Sepandri, sambil
mengeluarkan selepen ¹⁾ rokok Kedunya; dan memulai meletakkan kertas rokok di
atas pahanya. Lusa Kliwon aku harus ke kota, pikirnya. Sudah hampir habis
persediaan tembakaunya. Tidak ada tembakau yang lebih hitam ngganteng dan ampeg
berkaliber berat, tetapi justru nikmat datipada tembakau Mbah Petruk muka pasar.
Beli satu kilo ditambahi gratis kupon undian. Memangnya cuma berharga Rp. 25,kupon itu, tetapi siapa tahu ia mendapat dua juta. Tetapi terang pasti mereka lihai.
Tidak mungkin orang seperti Mas Sepandri dari dusun puncak gunung akan mendapat
hadiah. Semua itu sudah disetel di atas sana. Tipuan. Bocengli ²⁾! Tetapi biar tipuan,
siapa tahu orang gunung toh mendapat hadiah dua juta. Dan lagi, dengan atau tanpa
tambahan kupon gratis, bagaimana pun Mas Sepandri toh akan beli tembakau Si
Mbah Petruk. Hanya isenglah kupon itu. Jelas ia tidak akan mendapat hadiah itu.
Tetapi siapa tahu ah, dua juta nomplok ... mau apa ya? Tahu ... kawin lagi? Gila!
¹⁾ Tempat (wadah) tembakau saku.
²⁾ Sangat buruk, kurang ajar.
110
Kenapa harus kawin kalau tidak kawin juga bisa! Dosa sebetulnya. Lebih tepat
memalukan. Mosok, harus sembunyi-sembunyi melakukan perkara yang setiap orang
secara syah mengerjakan dengan istri-istri mereka. Dunia ini sulit memang. Lebih
sulit lagi kalau bupati sekarang Setankopor.
Mana ini Si Karjo. Dikunjungi malahan lari. Mandi barangkali. Atau menggodog
teh? Nggak perlu. Yang penting tembakau Kedu ampeg, kelembak-kemenyan dan
kertas sigaret merk Admiral Kumpeni. Negara ini boleh PKI, silakan, asal sanggup
menyediakan empat itu: Tembakau Kedu ampeg, kelembak, kemenyan dan kertas
sigaret merk Admiral Kumpeni. Sudah, itu saja. Dan terserah Bupati Setankopor atau
Setandompet asal empat tadi itu: tembakau Kedu ampeg, kelembak, kemenyan dan
kertas sigaret merk ... Admiral Kumpeni. Tahu?
Mas Sepandri mengambil koreknya yang mengkilat nikkel berbentuk klasik DRP.
Ditarik-tariknya sedikit sumbunya, lalu kress! Belum menyala. Kress! Nhah, sekarang
konsentrasi pada api dan pucuk rokok ... dan dihisapnya dalam-dalam asap Kedu
ampeg dengan nikmatnya dan ... dengan mata terkatup jiwa-raga Mas Sepandri
melayang ke regol ¹⁾ syurga firdaus.
Mas Sepandri disebut Sepandri karena memang dulu ketika masih muda-belia ia
serdadu Belanda, bahkan dapat cepat naik pangkat sampai jadi sepandri. Kata orang,
sepandri itu pangkat serdadu yang sudah membuktikan ia jago tembak. Tetapi Mas
Sepandri belum sempat menembak musuh. Dengan batalyonnya ia dikirim menjaga
jembatan besar Kali Prago 25 km dati Yogya. Tetapi Jepang datang dari Gunung
Kidul dan entah utara sana. Tahu-tahu Belanda sudah menyerah kepada Jepang.
Disuruh jadi heiho ia tidak mau, karena sudah terlanjur cinta kepada Halimah istrinya
yang pernah jadi babu seorang letnan Jawa ningrat Sala di Magelang. Letnan itu
(Brajabasuki namanya) pernah dibebaskan dati kamp tawanan, akan tetapi entah
mengapa ditangkap lagi oleh Kenpeitai dan konon dibunuh.
Maka sungguh, Halimah tidak mau kalau suarninva ikut Jepang. Mas Sepandri
sering mengejek istrinya: "Andai dulu saya jadi heiho, sekarang pangkatku sudah
kapten. Tidak cuma bekas sepandri yang harus menggergaji dan jual papan sengon."
Istrinya mengakui kebenaran pengandaian itu. Tetapi nalurinya tahu juga
jawabannya yang tepat: "Kalau kau kapten, kau pasti sudah menceraikan aku dan
kawin dengan mahasiswi."
Mas Sepandri: ''Tapi kalau kau saya ceraikan, pasti kau sebagai bekas istri kapten,
pada hari itu juga kontan kawin dengan saudagar tembakau. Itu lebih untung." Kalau
sudah sampai sekian, istrinya hanya tertawa dan merogoh di dalam sabuk pinggang
pengikat kainnya. Dan Mas Sepandri diberi uang Rp 200,- atau sering bahkan Rp
500,¹⁾ Pintu gerbang halaman.
111
"Ini! Untuk beli tembakau! Orang laki-laki mau menangnya saja."
"Uang sedikit begini mau dibuat apa?" protes suarninya dengan wajah yang
senang.
"Untuk mendaftarkan Heiho sana!"
Selalu begitu Mas Sepandri. Kalau ia sedang membutuhkan tembakau, maka
disebumya: kawin dengan saudagar tembakau. Kalau membutuhkan batu baterei, ia
menyindir tentang penjaga toko cantik penjual batu baterei dan seterusnya.
Dari luar mereka hanya terdengar saling tuduh-menuduh dan cekcok saja. Tetapi
begitulah cara mereka saling cinta. Cinta? Nhah, itu kata muluk. Jodoh, cocok, itulah.
Dan kalau Mas Sepandri kadang-kadang mentraktir dirinya dengan kenikmatan
daging perempuan lain yang memang dijual secara halal menurut hukum perdagangan
yang berlaku, itu pun karena Mas Sepandri disuruh istrinya. Soalnya istrinya sangat
suka berdagang dan bila ia sudah duduk di loji pasar di tengah rempah-rempah,
sayuran dan ikan-asin yang berbau tengik, nnah, di situlah sudah ditemukan surganya.
Jadi terlalu sering mengandung tidak enak untuk yang harus duduk bersila serba
bisnis berbau trasi di pasar. Dan seminggu tiduran di rumah bersalin dan mengurus
bayi jelas merepotkan. Bukan berarti sang pedagang rempah-rempah tak suka punya
anak. Dua anak laki-Iaki sudah jadi orang, satu di Lampung, satu ABRI di Ambon.
Dan gadis besar anak bungsunya yang cerdas pasti laku jadi menantu restoran gulai
atau gudeg Sido-Nyamleng ¹⁾ sudut Pasar Muntilan itu seandainya si gadis mau.
Dari pihak lain Mas Sepandri dulu bekas serdadu KNIL, jadi ia berhak berkenilkenil. Maka dibuat gampang saja. Berdamai istilahnya. Tetapi kali itu, ketika Mas
Sepandri bercanda tentang "kawin dengan direktur pabrik sepeda", sumber dana
tersumbat. Keterangan istrinya: minggu yang lalu banyak ibu-ibu sedesa pinjam uang.
Memang beruntung bila ditinjau dari segi peredaran modal, sebab hutang Rp 1.000,setiap bulan dikembalikan Rp 120,- begitu sampai 10 bulan. Tetapi tentu saja modal
Mbok Sepandri habis bila terlalu banyak orang yang pinjam. Dan kali ini memang
banyak yang membutuhkan kredit.
''Ada apa?" tanya Mas Sepandri agak gusar.
"Tarikan kambing, ayam itik."
"Lho apa-apaan ini?"
''Ya, mereka bilang kalau tidak bayar, kambing ayam bisa hilang."
''Masyaalah, hilang bagaimana?"
''Ya hilang, begitu.
"Disita?"
"Tahu. Pokoknya kalau nggak bayar, tahu sendiri."
"Siapa yang bilang?"
''Ya orang-orang itu."
¹⁾ Jadi lezat.
112
"Orang-orang yang mana?"
''Ya yang mau pinjam uang pada saya, goblog!"
"Hus, tanya baik-baik digoblog-goblogkan."
"Memangnya gitu, sudah ah, saya mau cari tebasan mlinjo ¹⁾ .
Nanti kalah duluan sama Si Kepiting, cilaka."
''Yuyu Kangkang maksudmu?"
"Kangkangmu!"
''Aduhai, galak bener nyai hari ini."
"Biar galak. Kalau nggak galak nggak bisa hidup. Jaman sekarang!"
Mas Sepandri tahu kalau disindir. Sebab memang tanpa usaha si perempuan
berlidah uang kertas yang jadi bininya itu, mereka tak bisa hidup. Artinya tidak bisa
beli Petromaks, beli sepeda untuk Si Anak atau ... tiba-tiba ia ingat, masih butuh
kupiah. Pici beledu. Yang dipunyai sekarang sudah mendekati gombal. Berdamai,
berdamai sajalah. Maka selesailah percakapan cinta suami-istri itu. Yang satu pergi
mencari tebasan mlinjo, yang lain menuju ke rumah sahabat senasib yang pernah
terkena pukulan Setankopor dulu.
"Jo, ada lagi soal gawat nih." Dan semua laporan istrinya tadi tentang pungli
hewan-hewan oleh pesuruh-pesuruh si Lurah garong diceritakannya. Gawat, menurut
Sepandri sebetulnya pertama-tama berarti: ia belum mendapat uang untuk beli pici
beledu. Tetapi sahabatnya menangkapnya dengan naluri Keibodan abadi.
Karjo punya kambing juga, tetapi mengapa ia tidak diberitahu, ada tarikan baru.
Ketika Prihatin, istrinya dipanggil, temyata semua hanya mendengar dari Mbok
Dariyo, istri petani yang berkat untung nalo ditarnbah warisan dari sekian moyang,
tergolong orang mampu di desa.
Pak Dariyo sedang latihan gamelan.
"Mas, ada perkara yang ingin saya bicarakan. Tetapi kalau sudi mari ke luar,"
begitu bisiknya kepada Dariyo. Ada dua Dariyo dalarn desa. Yang satu Dariyo
Blabag ²⁾ rekan Mas Sepandri menebang dan menggergaji papan-papan sengon,
nangka dan sebagainya. Tetapi Dariyo yang diajak bicara ini Dariyo Sugih ³⁾. Tidak
berarti bahwa penggergaji papan itu mesti melarat, tetapi spontan begitulah sebutan
mereka terhadap Dariyo satu ini.
"Mas, saya dengar ada tarikan baru untuk hewan."
"Ooh itu, ya sebetulnya begini. Maaf, saya belum membicarakan ini dengan Dik Karjo, yah, beginilah syaratnya."
¹⁾ Buah untuk sayuran dan bahan emping.
²⁾ Papan kayu.
³⁾ Kaya..
113
"Syarat apa?"
"Ya, asal bisa selamatlah."
"Kok saya belum tahu?"
"0, Dik Karjo belum tahu? Ah iya, memang itu salah Dariyo.
Saya kira istrimu sudah bercerita."
"Bercenta apa?"
"Belum? Wee lah, salah dobel kalau begitu saya."
''Dari Kelurahan? Atau jangan-jangan akal Mas Polisi kita lagi."
"Bukan, bukan dari Kelurahan, bukan dari Polisi, bukan dari
Pemenntah, pokoknya ini sukarela."
''Ya tentu saja semua sukarela, tetapi sukarela wajib. Kalau tidak
sukarela, nanti dibikin sukar-sukar sarnpai rela.
"Ah, memang susah, tapi mau apa?"
"Tetapi pendek saja. Siapa yang minta pajak ini?"
"Bukan pajak. Sungguh bukan pajak. Dia hanya mengatakan:
Tentang sapi, ditanggung arnan. Tetapi untuk hewan-hewan lain saya tidak
tanggung. Begitu dia."
"Siapa itu dia?"
"Ooh, dia itu? Saya kira sudah jelas."
"Jelas dari mana?"
“Ah, masakan Dik Karjo belum kenal tingkah Si Sapudupak?"
"Memang dari tadi sudah saya terka, Kang Dariyo. 1ni tidak
mungkin selain akal trenggiling Si Sapudupak. Tetapi kan Kakang sudah
saya pesan: Kalau ada apa-apa, katakan Si Karjo Keibodan. Nanti bisa
digarap soalnya."
"Habis ketika itu dia bilang: Awas kalau omong pada Karjo, begitu.
Maka Kakangmu pikir: ah, tidak baik membebani orang dengan perkaraperkara yang lebih memberatkan. Ketika itu saya hanya takut, lalu bilang:
ya. Begitu. Mau apa lagi, daripada rumah dibakar nanti."
Sapudupak adalah bajingan paling tersohor dari seberang jurang, jadi
dari wilayah (para pemuda bilang: kowilhan ¹⁾) lain. Ia penembak tepat
bekas pasukan Raider yang dulu menggempur sarang-sarang penyarnun
daerah lahar Merapi.
Tetapi barangkali, daripada menjadi kopral raider bergaji dua bungkus
rokok sebulan, lebih baik jadi bajingan, komandan kowilhan swasta yang
tidak pemah punya persoalan tidak cukup uang. Uang cukup, bahkan
banyak, jelas. Soalnya hanya, bagaimana cara mengarnbilnya. Sapudupak
tahu cara mengarnbilnya.
¹⁾ Komando Wllayah Pertahanan.
114
Cara yang sip. Sejak pelpolisi Hindia Belanda yang naik sepedamotor bergerobag
samping dimasukkan dalam interniran oleh ]epang, situasi dan kondisi sip deh.
Selamat, sip, paling sedikit menurut perkiraannya. Sebab Karjo, Sepandri dan
kawan-kawan lama tidak setuju begitu saja ayam kambing apa lagi kerbau dipinjam
seumur hidup oleh begondal-begondal Sapudupak. Tetapi kawan-kawan itu sadar
juga, bahwa siasat melawan frontal belum tentu siasat yang paling baik. Apa yang
dikerjakan Si Dariyo Sugih sangat mereka pahami. Sebab Dariyo Sugih bukan Dariyo
Blabag.
Biar hanya kaya menurut ukuran jurang pucuk gunung lahar, tetapi kaya adalah
kaya. Maka sungguh tidak enak apabila rumah dibakar. Sebetulnya hampir selalu
dapat dipastikan, bahwa bila di daerah pucuk gunung sana ada rumah terbakar, itu
pasti ada soal dengan bajingan. Tetapi di kelurahan Dinas Penerangan hanya
berceramah, agar rumah penduduk jangan dibuat dari bambu. Pertama: itu sudah
terbelakang, tidak sesuai dengan Orde Pembangunan. Akan tetapi kedua: karena
berbahaya juga. Kalau ada seorang ibu kebetulan merebus air terlalu dekat dengan
bilik bambu, atau kalau ada anak yang malam-malam menendang pelita yang masih
menyala, rumah bambulah mangsa paling enak bagi api. Begitu Bapak Penerangan
dari Kabupaten.
"Lihat itu di Jakarta atau di kota-kota besar. Setiap kali timbul kebakaran. Beratusratus kepala keluarga dalam satu jam tidak punya rumah lagi. Coba bayangkan bapakbapak dan simboksimbok. Rasakan tidak punya rumah. Senang apa sedih? (Serentak
semua menyambut "Sediiih!") Apa anak-anak tidak kasihan kalau rumah habis
terbakar? ("Kasihaaan!") Kerugian kebakaran di kota bisa sampai satu milyar. Coba
bayangkan satu milyar. (Semua hanya membelalakkan mata saja dan melongo.
Omong apa si penceramah tadi?) Satu milyar. ltu banyak apa tidak? (Masih
diam.) Satu milyar itu ... tahu seribu rupiah atau uang sepuluh ribu? (Satu dua suara
menjawab: "Tahu, Pak Dariyo Sugih!" Semua tertawa.) Nah, satu milyar itu seribu
rupiah kali seribu ... berapa? (Diam. Akhirnya Dariyo Sugih kasihan pada penceramah
dan berkata: "Satu juta, Pak." (Ada beberapa anak girang bertepuk tangan.) Nah, satu
juta rupiah masih dikalikan seribu, itulah satu milyar. (Ooooh! Mereka berkedipkedip. Apa tadi namanya? Meeyaar?) Sedikit atau banyak uang sekian? (Serentak
dengan penuh semangat orang-orang menggelegar: "Banyaak!") Nah, kalau rumahmu
terbakar, kalian rugi sekian milyar (Orang-orang pada gaduh, tertawa tidak pereaya.
Ada yang terdengar omong:
"Sampai kiamatl"). "Lho! Artinya kalau seluruh desa, seluuruuh desa terbakar, dan
sapi dan kambing dan tegal-sawahmu terbakar, hanya karena rumah-rumahmu dari
bilik bambu, jangan kira mustahil kerugianmu sampai satu milyar."
Suasana agak kacau. Orang-orang pada berkelakar satu dengan yang lain. Ada
pemuda menyeletuk: "Pembagian beras!" Semua tertawa terbahak-bahak. Kesimpulan
dari ceramah Penerangan Kabupaten ialah: Hati-hati dengan rumah bambu. Pertama:
agar jangan dihuni tikus dan kedua: jangan sampai terbakar karena kesalahan simbok
atau anak yang sedang alpa. Sudah paham semua? ("Pahaaam!")
115
Karjo memberanikan diri menyanggah: ''Pak, didesa kami, sejak jaman nenek-nenek
gantung siwur ¹⁾ dan lebih kuna lagi, menurut sepengetahuan kami belum pernah ada
rumah terbakar karena yang punya rumah teledor. Kalau ada rumah terbakar, itu yang
membakar tentu orang lain." Rapat gaduh dan semua mendukung Karjo.
"Orang lain siapa?"
Karjo diam, tetapi seorang pemuda berteriak: "Bajingan tengik.!" Semua tertawa
ramai. Pak Penerangan agak bingung sekarang. "Nah, kalau ada bajingan membakar
rumah, laporkan kepada polisi! Kan gampang. (Semua tiba-tiba diam, seperti ada
kekuatan magis dalam kata polisi tadi.) Gampang apa tidak? (Semua diam.) 1tu tadi
saudara yang tanya! Kan gampang! Gampang tidak, lapor polisi?" Spontan Karjo
menjawab: "0, gampang sekali, Pak!" Semua tegang menunggu bagaimana
kelanjutannya.
Tetapi Pak Lurah yang arif mengalihkan persoalan pelik ke arah lain dan bertanya:
''Pak, bolehkah saya bertanya: Menurut bapak, apakah daerah kami ini subur bila
ditanami cengkeh? Cengkeh saya daunnya kok berbintik-bintik coklat. Apa obatnya?"
(Orang-orangpada bergumam sendiri-sendiri. Lega).
''Ya, itu pertanyaan baik," begitu Pak Penerangan. "Tetapi saya tidak kuasa untuk
menjawab itu. Apa saudara-saudara setuju, besok kami panggilkan ahli cengkeh?
("Setujuuu!!")
Maka sesudah beberapa basa-basi lain diomongkan bubarlah rapat. Dengan hati
damai orang-orang pada pergi ke ladang, ke dapur, ke kandang sapi. Pemuda-pemuda
masih bergerombol dan melirik melihat Kasanah sedang lewat, anak gadis Dariyo
Sugih, yang sudah mulai menonjol buah-dadanya. "Sudah mulai sombong anak itu,"
gerutu mereka. "Sok berlagak laku dijadikan menantu camat."
Tiba-tiba seorang berkata: "Eh, saya tadi pagi berjumpa dengan Sapudupak."
"Heh? Betul?"
"Uah, setengah mati takutku."
"Kapan kau tidak setengah mati!" ejek kawan-kawannya.
"Tadi kan saya pikir begini;' kata pemuda itu. "Nanti ada
penerangan. Ah, pagi-pagi benar saya lalu cari kayu. Sambil mendengarkan,
barangkali perkutut yang tersesat kemarin itu masih tinggal di sekitar pohon
nyamplung atas sana, ataukah sudah pergi. Kudengar kemarin sehari terus ia
memanggung di pohon itu. Tahu-tahu aku sudah membelok jalan setapak yang
menuju masuk jurang. Eh! Ada orang bermata hijau seperti ular ... menunggu di
bawah sana. Dia diam saja, tetapi matanya mendelik melihat saya. Aduh aku
menggigil seperti dadaku dijatuhi batu. Si Lurah Sapudupak! Bagaimana. aku tahu?
Dia bilang sendiri: ''Berani laporkan Sapudupak, mampus kau!"
¹⁾ Nenek dari neneknya nenek.
116
Dia cuma memandang saya. Seperti, ya seperti ular itu kalau sedang ipnotis tikus.
Saya kancilen ¹⁾ tidak bisa bergerak. Tiba-tiba ia membentak: "Satu langkah turun,
belati ini masuk tengkorakmu!" Saya seperti disambar petir. Tidak tahu apa yang
hams saya perbuat. Ia lalu membentak lagi: kau anaknya Si Mertobelong? Langsung
aku mengangguk. Saking takutnya. ''Bilang pada bapakmu, kerbaunya bisa ia ambil di
Jurangceleng." Lalu ia mengambil batu. Aku dilempari sambil berteriak-teriak dari
bawah: ''Ayo lekas pergi! Nanti aku jadikan cendol ²⁾ kau!" Saking bingungnya aku
masih saja diam kancilen. Barn ketika ada batu mengenai betisku, aku lari."
Lalu kau ke Pak Merto?"
''Ya, tentu saja. Kukatakan padanya: Pak Merto, aku tadi dikira anakmu. Lalu aku
disuruh menghantarkan pesan, kerbaumu bisa diambil di Jurangceleng."
"Lalu?"
''Pak Merto ya cuma lemas saja. Katanya: "Tidak punya kerbau susah. Punya
kerbau lebih susah." Teman-temannya menambahkan: ''Yang paling tidak susah: jadi
kerbau sendiri." Terkekeh-kekeh pemuda-pemuda itu lalu bubar."
Tetapi seorang kawan berambut ijuk dan bermata bandeng masih sempat bertanya:
"Lalu tadi perkututnya masih ada, Poh?" Pemuda yang disangka anaknya Pak
Mertobelong tadi berpikir sebentar lalu mengakak: ''Masih. Tapi hanya dapat diambil
di Jurangceleng."
"Memangnya tampangmu kayak celeng." Lalu larilah ia dikejar sang duta Sapudupak.
¹⁾ Terpaku tak mampu lari.
²⁾ Isi minuman dawet.
117
15. Firdaus Kobra
Paduka Tuan Ambasador berdiri, meloncat elastis dari kursi rotannya. Ia bertubuh
atlit dan memang ia lelaki tampan. Walaupun di keningnya utas-utas rambutnya sudah
mulai mengelabu, tetapi beliau tidak mengenal penyakit lelaki Barat, yakni menjadi
botak.
"Kau harus melihat kemenakanku yang baru,” kata beliau antusias kepada
tamunya. "Langsung datang dari taman firdaus. Jenis yang langka dan dalam kondisi
prima."
Tuan Ambasador selalu menyebut binatang kesayangannya (yang sangat tidak
disukai istrinya) yakni ular-ular, dengan sebutan kemenakan. Dan hutan atau cadas
ladang tempat asal atau pun kurungan ular-ular itu: Firdaus. Istrinya benci sekali pada
ular-ular hobinya itu, dan tidak mau melihatnya. Tetapi karena suaminya begitu
tampan dan mengagumkan (sang nyonya sudah menikah untuk ketiga kalinya) hobi
ular yang aneh itu dibiarkannya; asal kandangnya diletakkan jauh-jauh sana.
Dan untung kebun rumah dinas kedutaan cukup luas. Rumputnya tercukur rapi dan
setiap petang alat-alat penyiram yang memancarkan air bagaikan kipas berputar
dengan radius jauh membasahi rumput dengan suara jiyek-jiyek, yang memberi suasana tenteram dan sejahtera.
Sang Ambasador mengajak tamunya, orang penting yang sangat ia hargai, menejer
produksi Pacific Oil Wells Company, menuju kurungan-kurungan yang besar tertutup
kawat kasa kuat.
"Well Therese namanya. ltu! Yang bau saja memperkaya firdausku. Jenis yang
sangat jarang sekali terdapat di pulau Jawa. Tegap bukan, bagus bukan itu tembongtembong gelap bundar bertepi hitam itu. Dia masih sesaudara dengan ular adder termasyhur yang banyak terdapat di India Vipera russellii."
Interesan! Baru kali ini aku mendapat kiriman dari Panglima Kodam di Jawa
Timur sana. (dipanggilnya jongos) Hello boy, ke sini! Paymin, come here, mintaminta itu makan buat ular baru ini ya, tikus atau ayam. Nanti mau kasih lihat sama
Tuan ini, sisysisy bagus, heh." (Kepada tamunya) "Sudah waktunya dia makan. Anda
untung dapat melihatnya nanti." Paimin jongosnya mengambil kurungan berisi
beberapa burung gereja dan dua gelatik.
"Hello, tidak usah semua. Banyak-banyak terlalu. Nah, coba sekarang. Well Mr.
Seta, Anda akan melihat. Jangan dekat -dekat."
Tamu Ambasador spontan mundur, ketika adder itu tiba-tiba mengangkat
kepalanya yang segi-tiga dan mendesis nyaring lama. Suaranya sungguh menakutkan,
seperti penuh magi yang mengancam.
"Yang ini hanya adder biasa. Di sini banyak terdapat jenis itu," dan tuan
Ambasador menunjuk ke seekor ular sepanjang hampir semeter yang berwama coklat.
Angkistrodon. Orang di sini menyebutnya biasa saja Ular Tanah. lni hadiah ulangtahunku, biasa, dari Dirjen Departemen Luar Negeri. Nanti lihat. Coba ini tongkat
pegang. Lalu Anda usik dia. Nanti Anda lihat reaksinya, Eminent!
Tamunya memegang tongkat dan pelan-pelan menusuk ular tanah itu, yang sedang
nyaman melilit seperti spiral. Hanya kepalanya saja yang seolah-olah mengintip dari
waskom yang terdiri dari tubuhnya itu.
118
Tiba-tiba ular mendongak dan dengan amarah moncongnya membuka lebar. Tampak
kedua gigi racunnya bagaikan taring celeng tegak; dan sekonyong-konyong ular itu
meloncat, sehingga si pengusik spontan meloncat juga ke belakang. Ambasador
tertawa terbahak-babak.
“Good! Very good! Memang ini kesayanganku yang paling hebat, justru karena
galaknya itu. Jangan takut, asal agak jauh sedikit." Diusiknya sekali lagi ular itu oleh
sang tamu dan kini loncatan-loncatannya sungguh mengerikan. Ke kiri dan ke kanan.
Luapan amarahnya sungguh tiada taranya.
"Tahukah nama yang kuberikan padanya? Ricci. Dari Ricardo, bapa ekonomi free
enterprise. Sinting tentu saja, sebab di mana di jaman sekarang masih ada free
enterprise betul-betul. Tetapi nama merdu untuk nyonya yang tante girang ini,
bukan?"
Belum pernah menejer produksi Pacific Oil itu melihat perangai seekor ular seperti
adder satu ini bila ia marah.
''Ular adder seperti ini, dan khususnya yang di sudut itu, Kobra Kacamata, sangat
dihormati orang India. Barangkali karena wataknya juga serba maharaja imperial.
Tahukah Anda, Mr. Setta, orang Timur memang harus diteror seperti yang kukerjakan
pada adder-adder ini. Nah ya, tentulah istilah teror di sini sangat berlebihan. Tetapi
maksudku, orang-orang daerah samudera dan pulau-pulau di sudut dunia Selatan ini
tidak dapat diajak berbaik-baik saja. Coba mereka diberi hati, aduh bukan cuma hati
yang diambil, tetapi jantungnya juga. Jantung diberi, mereka ambil paru-paru. Paruparu diberi, malah naik lagi mereka minta agar diperbolehkan menyedot otak. (Lalu ia
setengah berbisik). Jangan keras-keras, ini off the record ¹⁾, tetapi ini bangsa kuli.
Hams dijadikan kuli. Coba mereka kau injak, barulah mereka hebat bekerja, dan
keluarlah daya akal mereka yang mengagumkan. Tetapi bila diberi hati dan dimanja,
sudahlah, kembalilah mereka menjadi anak kecil yang macam-macam saja merengekrengek permintaan bukan-bukan tidak masuk akal. Saya sudah memberi nasihat
kepada pemerintah saya, agar memberi peringatan halus melalui saluran-saluran
informal khusus kepada negeri ini. Kalau minta komisi jangan terlalu banyak, dong.
Mosok ada yang sampai 30-40%? Ya Ricci, Ricciku manis, bagaimana struktur
perdagangan sehat dapat dipertahankan dalam situasi begini? Perlu dihajar mereka itu.
Ya Ricci?" Ular itu menyembur-nyembur. Seluruh ekspresi muka dan ulahnya benarbenar imperial, ya itulah istilahnya menurut Tuan Ambasador, imperial.
Hah ini inilah Shirley. Ini dari Sumatra, ini kubeli dari seorang Cina yang tidak
tahu malu. Tahu kau dia minta berapa untuk gadis hijau ini? Limaratus dolar. Tetapi
sungguh Shirley, kau memang harta permata, sesuai dengan hargamu.(Kepada
tamunya). Orang-orang India menganggapnya kerarnat. Dan memang begitu, Anda
percaya tidak? Indah bukan, warnanya? Kencana hijau, setiap sisiknya berpelisir
hitam. Hei Boy, ke sini." Jongosnya Paymin alias Paimin tadi datang dan menunduk nunduk hormat. Ia diberi ular kencana tadi. "Kasih lihat sama Tuan." Tamunya yang
disebut Mr. Seta tadi menggeleng-gelengkan kepala. "Ada apa Mr. Seta?"
¹⁾ Dirahasiakan.
119
"Maaf, Excellency, tetapi sungguh, saya selalu sedih kalau melihat orang
menunduk-nunduk seperti kuli jaman Raffles." Sang Ambasador tertawa lebar:
"Hohoho ... Anda tersinggung ya. Hohoho ... Well Mr. Seta, terus-terang saja, saya
tidak pemah tahu eksak, Anda berwarga-negara apa, Mr. Seta?"
"Multinational," dan tamunya tersenyumlah. "Mau apa lagi. Sebab saya memang
bekerja untuk kongsi yang begitu."
"Maaf, aku tidak mau berkesan buruk ingin tahu soal-soal pribadi. Tetapi dalam
segala sikap-tindakmu, sering Anda kuanggap, maaf, bukan maksudku membanding
secara menghina, seperti orang-orang negro United States. Mereka negro, tetapi
tulang-sungsum dan segala saraf mental kejiwaan serta penghayatan diri mereka
benar-benar Amerika Serikat tulen. Tidak beda dati yang McLean atau Vanderbilt dan
sebagainya. Anda orang Eropa dalam sikap dan mental. Bukan orang Amerika, jangan
lagi orang Timur. Tetapi ... "
''Ya, memang aku lahir di Indonesia sini. Bahkan Mr. Ambasador boleh
menertawakan saya, tetapi benar saya masih mempunyai darah ningrat sedikit dari
Keraton di jantung Jawa sana."
“Ada masih ningrat Jawa? Crazy! Anda bukan ningrat Belanda, bukan ningrat
Inggris atau Rusia. Kok sekarang mengaku ningrat Jawa, itu lebih dari aneh lagi."
"Tetapi benar. Yah, itu ada riwayatnya sendiri."
"Tidak, saya tidak akan menyelidiki soal-soal yang pribadi.
To the point Saya hanya ingin memujimu. Sungguh, informasi yang Anda berikan
padaku sepintas lalu dalam coctail party 17 Agustusan di tempat menteri Riset yang
lalu itu sungguh berkesan padaku. Dan memang benar. Statistik-statistik yang
bersangkutan sudah saya suruh teliti lagi. Dan penasihat-penasihat ahliku mengatakan
apa? Analisamu memang benar. Memang, hanya seorang doktor matematika seperti
Anda yang dapat sampai pada kesimpulan seperti itu. Sudah lama berkecimpung
dalam dunia komputer?"
"Sejak komputer generasi pertama, Mr. Brindley. Bahkan bukan bualan, saya
dengan beberapa rekan tergolong mereka yang pemah untuk pertama kali berseminar
dengan Hermann Kahn ¹⁾ dan Robert Wiener ²⁾ sendiri di Bermuda. Tetapi Mr.
Ambasador jangan terlalu mendewakan komputer, apa lagi orang-orang yang
menyetirnya. Mereka tetap normal seperti kita manusia biasa, pendeta sekaligus
bandit."
"Heh, Anda suka berolok-olok. Memang saya awarn dalam ilmu magi bendabenda elektronika, tetapi satu orang doktor komputer nilainya sama dengan sepuluh
jenderal marsekal atau dutabesar seperti saya ini. Tahukah Anda? Duta-besar yang
ingin sukses harus mengkristalisasi kebijaksanaannya melalui studi semacarn ini,
mengenai psikologi dan ulah tingkah ular-ular tropika. Ha ... haha Anda tidak
percaya, pasti tidak percaya. Kaum komputer jarang percaya pada psikologi, Mr.
Seta," dan Ambasador mendekatkan wajah pada tamunya, "Maaf, sebagai sahabat
kukatakan di sini: Anda harus kawin lagi. Dengan wanita pribumi di sini. Jangan
seperti saya, kawin dengan orang-orang kulit-putih. Dear Mr. Seta, saya tahu.
Memang sedih ditinggal seorang istri. Tetapi saya kenal Anda dan kenal jenis wanita
yang dulu istrimu itu.
¹⁾ Ahli analis hari-depan dari USA.
²⁾ Ahli perinris ilmu hubungan-hubungan intern dalam sistem organik (kibernetika) .
120
Saya kenal dia dulu karena kami satu jemaat, satu gereja, satu perkumpulan
kepanduan. Biarkan dia lari dengan lelaki lain, biarkan saja. Ya, dear friend, Anda
bernafas panjang. Tidak enak memang riwayat semacarn itu. Saya pun
mengalaminya, dear Seta. Dan saya bicara sekarang bukan sebagai diplomat, tetapi
sebagai sahabat.
Seorang menejer produksi perusahaan minyak yang besar seperti Anda seharusnya
tahu itu. Tetapi begitulah Seta, ahli komputer sering sulit membaca bahasa dan
dendang wanita. Saya pun mengalami, Seta, macam yang Anda alami. Saya pun tolol
dan sinting pada masa itu. Dan mudah-mudahan dengan Susan istriku sekarang ini,
jaman petualangan sudah lampau; walaupun kita tahu, orang lelaki yang sudah dalam
peti dan dikubur satu jam di bawah tanah pun masih ingin ke luar karena mendengar
suara sepatu tinggi perempuan mengharnpiri kuburannya. Ya beginilah, soal-soal
besar politik dunia dan produksi sumber energi yang menentukan pecah tidaknya
Perang Dunia III nanti kita tangani hebat, tetapi tentang wanita, kita masih tetap puber
saja. Tetapi apa yang kukatakan tadi ... hey boy, mana kau? Hah, sudah di atas dia.
Lihat itu, dia kusuruh memanjat kelapa itu, dan Seta, Anda akan melihat pasukan
parasut kaum ular. Ya ... siap? One ... two ... three!
Paimin melemparkan ular yang di tangannya, dan sungguh elok sekali, ular itu
melengkung-lengkung melayang ke tanah sejauh 25 meter dari kelapa itu. Tidak jatuh
seperti batu ular itu, tetapi juga tidak melayang seperti pesawat terbang kertas. Hanya
penuh sadar dan taktik ia meliyak-liyuk sehingga jatuh dengan empuk dan lures.
"Perutnya ia cekungkan seperti bentuk parasut," begitu Duta Besar menerangkan.
"Ular jenis ini dapat terbang seperti Tarsan dari dahan satu ke dahan lain. Sayang
kebun kedutaan ini bukan rimbaraya. Tetapi di hutan belantara saya sering
melihatnya. Grasius, penuh kepastian laksana seorang letnan pasukan parasut yang
datang menyerang, tetapi luwes."
Seorang jongos lain menyerahkan ular kencana tadi kepada tuannya.
"Bagus bukan sisik-sisiknya, seperti dicat duko metalik. Kebanyakan jenis ular ini
hijau. Ada yang ekornya berwarna merah atau oranye. Anda tidak suka ular? Istriku
tidak suka. Itulah penderitaan seorang duta-besar, bila istrinya tidak suka ular. Ha ...
ha ... ha ... Mungkin naluri kaum Hawa. Selalu benci pada ular Firdaus yang
menggodanya sarnpai kita jatuh ke dalarn dosa, barangkali begitu, bagaimana
pendapatmu, Mr. Seta? Hahahahaa ... sudahlah, mari. Tak ada habisnya omong
tentang ular. Mari minum yang enak saja.
Sayang duta-besar harus dapat diam. Dan Anda percaya atau tidak, saya paling
pendiam dari antara sekian duta-besar, bahkan duta-besar Jepang yang hanya
tersenyum-senyum licik itu pun masih lebih banyak omongnya dari saya. Dalam
situasi resmi. Tetapi dalam situasi ular? Hahahaa ... Tak usah percaya pada
omonganku ini Seta, kalau Anda merasa aku omong keterlaluan. Saya biasanya
pendiam. Betul. Tetapi kalau menyentuh soal ular, jangan harap sekian losin istri
dapat membungkam mulutku. Seorang istri tahu caranya membungkam mulut
suaminya. Anda juga berpengalaman tentang soal itu, bukan Mr. Seta?
Mari, old fellow, kampiun komputer. Whisky atau wodka? Sake aku juga punya,
tetapi itu untuk jantung tidak baik. Oh ya, kemarin saya menerima suatu jenis jenewer
dari salah satu pulau di Maluku sana, tentu saja dari seorang Cina.
121
Aneh, entah barangkali dia pernah mencuri resep dari seorang bandit VOC atau entah,
dia bisa bikin jenewer. Tetapi dengan rasa yang, sungguh Mr. Seta, kalau kita mnum
itu, rasanya kita dibakar di neraka, tetapi neraka yang penuh kenikmatan bidadari. Ya,
inilah katanya yang tepat, yang tepat. Sejak kemarin dulu saya cari, saya cari ... apa
sebutannya? Sekarang saya tahu. Berkat kehadiran Anda Mr. Seta! Rasanya tuak.
Maluku Cina itu seperti ... seperti dicampuri bisa kobra, haha ... haha mati Anda harus
mencobanya."
Dan kedua orang itu nikmat duduk dalam kursi rotan, sedangkan cerutu mulai
mengepul. Bapak Ambasador mengisap pipa, yang tidak begitu enak baunya, tetapi
memang, tentang selera orang boleh sepenuhnya bertengkar.
"Hei, itu istriku datang. Wanita cantik, bukan. Tetapi ya, itulah, sayang dia tidak
suka ular. Sebentar, dia belum kenal Anda. Soalnya baru pertama kali ini kan Anda
mau datang ke mari. Memang saya tahu, orang bisnis harus berhati-hati mengunjungi
duta-besar di rumahnya." (Ia melambai bersemangat).
"Hello, Susan! Sayang! Bagaimana, ada lukisan yang kau senangi? Indonesia
banyak seniman, memang. Hanya mahalnya, well, mereka semua mengira sudah jadi
Picasso. Nah Susan, ini Tuan Setadewa, menejer produksi Pacific Oil Wells
Company. Tetapi lebih hebat lagi, ia ahli komputer yang tiada taranya di seluruh Asia
ini. Perkenalkan: Seta, ini Susan, kesayanganku yang tiada taranya juga di seluruh
dunia."
Istri duta-besar itu tertawa bangga, dan dengan suara yang anggun tetapi toh pada
nada kekanak-kanakan abadi, ia pura-pura tidak setuju dengan suaminya.
"Ia seorang perayu besar, eh ... Tuan Seta, jangan terlalu percaya pada
omongannya. Ya, tentulah suamiku telah memperlihatkan, mahluk-mahluk yang
paling ngeri di bumi ini kepada Tuan. Saya selalu sepaham dengan suamiku dalam
segala hal, kecuali dalam satu perkara itu. Darling, saya heran, dari mana kau dapat
nafsu aneh mencintai binatang-binatang penjelmaan iblis itu?"
"Haa ... haa .... dear Seta, dengar istriku? Dalam segala hal ia sepaham, kecuali
dalam satu hal. Jangan percaya pada istilah "segala" hal itu" tanggapnya mengejek.
Istrinya berkecak. pinggang genit dan lebih genit lagi pura-pura marah: "Ya, itulah
tuan Seta. Dia nanti pasti akan memberi kuliah tentang psikologi bahasa: mengapa
istilah yang sarna tidak diberi arti yang sama bila itu dipakai oleh pria atau wanita.
Coba, sebentar lagi kuliah mulai, bukan begitu John?"
Tamunya hanya tertawa kecil saja. Suami istri memang tukang ngobrol.
"Beginilah dear Seta," sang Ambasador mengedipkan mata ke arah tamunya "nasib
kaum kami. Kapan Mr. Seta, kita mendirikan gerakan liberation kaum pria?"
Istri duta-besar itu berputar, elegan, tangan kanan memegang sapu-tangan, dan
dengan ulah melenggang ia berkata manis kepada tamunya:
''Tuan, percayalah, kalau presiden kami sekarang dipilih sekali lagi, suamiku ini
pasti menjadi menteri urusan wanita. Mari, silakan duduk. Saya tidak akan
mengganggu percakapan kalian. John, saya tadi mendapat satu lukisan. Perfect, dan
unik. Murah, hanya seribu dolar. Yakinlah, Picasso belum apa-apa. Sayang belum kubawa. Tetapi besok sore pameran sudah usai, dan nanti kau pasti terharu melihatnya.
Nah, Tuan Seta, anggaplah rumah ini bukan rumah duta besar, tetapi rumah sahabat.
Sampai nanti,John."
''Bagaimana old Fellow, elegan ya istriku kalau berjalan."
"Superb. Pantas dilukis, tetapi hanya oleh ... maaf, oleh Picasso." Kedua orang itu
tertawa terbahak-bahak.
122
"Mr. Seta, kau menghina. Kurang ajar kau. Nanti kukatakan padanya."
Terkejut tamunya memohon: "Eh jangan! Mati saya nanti."
"Haa haa haaa, saya tahu, mengapa Anda berkata begitu, Seta.
Anda iri. Iri hati, itulah. Anda iri saya punya istri begitu cantik. Maka itu, perjaka tua,
lebih baik segala komputermu itu dibuang. Yang penting, mendapat seorang istri
seperti saya ini. Ya ... ini sudah datang minuman syurga kaum lelaki. Hei Boy, itu
yang jenewer Maluku itu dibawa ke mari juga. Jangan cuma impor negara-negara
usang. Siapa tahu, kalau ada seorang bisnis yang cerdas, Cina itu boleh jadi membawa
keuntungan sekian milyar dolar. Ada saran pemberian nama? Snake Brandy? Ah,
kurang puitis. Ada dear Seta, Cobra-Fire, hah itu lebih berbobot iklan dan tidak
terlalu prosa. Cobra-Fire. Mana ini si Boy, dikira tidak pantas menghidangkan
jenewer priburni itu? Orang-orang di sini tidak dapat menghilangkan rasa minder
mereka. Dikira yang priburni selalu jelek. Bagaimana dear Seta, Anda ningrat Jawa.
Bagaimana Anda terangkan mental yang merepotkan ini? Kami dari negara-negara
maju ingin berpartner dengan bangsa yang punya harga-diri, terpaksanya sombong,
seperti orang Jepang atau Jerman itu. Kami lebih suka itu. Daripada berhubungan
dengan bangsa kuli. Mau diajak apa seorang kuli atau jongos. Ini membutuhkan
sepuluh generasi ... Haha inilah dia Cobra-Fire of the Moluccan Islands. Sekarang
Anda yang omong. Saya tidak suka omong kalau minum barang yang lezat. Pasti ada
apa-apa yang penting Anda ke mari."
Maka sambil menikmati neraka Cobra-Fire ahli komputer Pacific Oil Wells
Company itu mulai membuka lembaran-lembaran informasinya satu persatu. Inti
permasalahan ada di bidang ekonorm, tetapi pengaruhnya dapat langsung mengenai
bidang politik dan hubungan antar negara yang dapat membahayakan bagi semua
pihak, baik pihak negara-negara yang bersahabat dengan negen tuan rumah maupun
bangsa Indonesia sendiri. Memang soalnya sangadah sensitif, tetapi bagaimana pun
harus diketahui para duta-besar dan seterusnya semua pemerintah yang mempunyai
andil besar dalam operasi multinational corporation Pacific Oil Wells Company.
"Saya sudah meneliti semua fail dan dokumentasi yang menyangkut soal yang topsecret ini selama setahun,” begitu Dr. Setadewa mengupas persoalannya. "Saya tidak
berani memastikan apakah ini disengaja atau hanya karena kekeliruan tak sengala.
Tetapi dalam model persamaan dasar yang dipakai baterei komputer dalam
perhitungan-perhitungan produksi dan kewajiban-kewajiban pembayaran sharing
kepada negara-negara tuan rumah yang memiliki wilayah sumur-sumur minyak, saya
temukan suatu kekeliruan penyusunan model perhitungan komputer. Dan Tuan tahu,
komputer memang hebat tak terperi kalau disuruh menghitung dan memberitahukan
output yang begitu kompleks dengan sekian ribu variabel dan faktor. Akan tetapi
semua perhitungan itu tergantung dati satu syarat mutlak. Jikalau. Dari "jikalau"
inilah komputer itu penolong atau pembunuh, sahabat atau perusak. Kerangka dan
pola persamaan-dasar perhitungan (yang disebut model harus betul. Jikalau pemilihan
pola gaun wanita itu betul, maka gaun itu mempercantik dan serasi untuk si pemakainya. Tetapi bila pola itu keliru, maka seluruh gaun akan rusak juga. Dan justru
dalam pemilihan dan penentuan model itulah, yang diberikan kepada pesawat-pesawat
sekian komputer kami, terdapat suatu kesalahan yang begitu vital, sehingga jelas ini
dapat mempunyai efek politik dan keamanan yang gawat di Kawasan Asia ini. Bisa
berbahaya."
123
Mr. Ambasador sekarang tiba-tiba menjadi orang lain. Tadi ia berceloteh dan
ramai ngobrol tentang hobi ular-ularnya sampai tidak memberi kesempatan sedikit
pun bagi tamunya untuk menyisipkan komentar atau jawaban. Sekarang beliau
pendengar teladan, yang memberi kesempatan sepenuhnya kepada tamunya ahli
matematika untuk menguraikan analisa-analisanya. Kemampuan untuk mendengarkan
itulah yang juga sangat digemari istrinya. Ia suami dan kawan yang baik, begitu
keyakinan istrinya sesudah dua kali mengalami kegagalan perkawinan. Hanya pipanya yang berbicara, artinya asap yang mengalun ke langit itulah yang menandakan,
betapa prihatin hatinya mendengar uraian-uraian tamunya itu. Negara yang
diwakilinya mempunyai bagian prosentase saham yang paling dominant dan sudah
selayaknya Mr. Setadewa datang kepadanya.
''Dan bagaimana Dewan Direktur kongsimu? Sudah tahu tentang soal ini?
"Barangkali. Bila nanti tabir kubuka, aku akan dipecat."
"Tidak akan berani mereka."
"Saya sudah siap menghadapi itu."
"Kalau mereka berani, mereka akan bangkrut."
"Mereka punya cara-cara lain untuk menghindari itu."
''Bagaimana kira-kira komentar mereka nanti?"
"Saya menduga mereka akan mampu menyembunyikan kekeliruan itu terhadap
pemeriksaan pihak Indonesia.
Ya, inilah susahnya. Negeri ini tidak punya ahli matematika. Dan kalau punya,
mereka toh tidak laku dalam dunia korup di negeri ini. Dari penyelidikan Anda,
apakah tampak ada kesengajaan di dalam kebodohan ini?"
"Saya tidak berani mengatakan, Mr. Brindley. Sulit untuk dibuktikan."
"Tidak sulit sebetulnya. Biro-biro investigasi kami tidak akan sukar menemukan
bagaimana duduk-perkara yang sebenarnya. Tetapi kalau nanti ternyata memang
benar ada unsur kesengajaan dalam soal ini, yang jelas, dan ini saya katakan dengan
segala kesedihan hatiku, Anda pasti akan dipecat."
"Saya tahu."
''Anda memang berhati ningrat, Doktor Setadewa. Tidakkah sayang jabatan Anda
sebagus itu sebagai menejer produksi kongsi besar?"
"Saya hanya mengikuti hati-nuraniku dan sumpahku."
"Sumpah apa? Dokter tabib bersumpah, tetapi doktor matematika."
"Saya telah bersumpah di hadapan profesor dan pembina karirku, Prof. Thomson
Mc. Kenzie almarhum, yang menuntun saya dalam lika-liku rahasia rumus-rumus
serta model-model matematika dan yang berulang-kali berkata kepadaku: "Seta, Anda
kelak akan menghadapi banyak godaan curang dalam dunia komputer. Seperti dalam
dunia pengobatan pun. Sayang tetapi nyata, hal itu sering terjadi. Banyak dibuat
penipuan, tetapi penipuan legal. Saya mengharap kepadamu, muridku, semogalah
Anda menjadi pengabdi kemanusiaan. dan bukan pengabdi suatu korupsi atau pihak
kepentingan. Sebab, manusia dan mahluk-mahluk hidup sebenarnya komputer juga,
yang mampu untuk menghimpun, menghitung dan mempertimbangkan sekian banyak
faktor dan variabel. Komputer bertanggung-jawab kepada yang memberi perintah dan
memberi model pola perhitungan. Kita pun bertanggung-jawab kepada sang Pemberi
Model yang mahaatif. Ketika itu, Tuan Ambasador, aku bersumpah. Di dalam hati.
Dan sumpah itu akan kutaati."
124
Sang Ambasador tidak mengucapkan sepatah kata. Dari dunia penugasannya ia
tabu, bahwa memang dalam dunia politik banyak dibuat kecurangan juga. Tetapi ia,
yang memilih bidang sejarah sebagai kejuruan pendidikan universiternya, ia tahu dari
disiplin ilmunya, bapwa hanya politik dalam arti sejati, yang tidak curanglah, yang
akhirnya membawa buah yang lestari.
Ketika orang-tuanya, yang sangat sholeh beragama, berkeberatan ia masuk ke
dalam dunia politik, ia memberi argumentasi kepada mereka, bahwa adalah salahkaprah orang mengira politik itu selalu kotor. Politik tertentulah yang kotor, seperti
wanita tertentu adalah kotor dan godaan dosa.
Tetapi wanita indah. Atas alasan apa mereka disebut kotor!
Barangkali sering mereka cuma tolol atau sempit perhitungan. ''Demikian juga
politik," kata Mr. Brindley. "Kendati begitu, kami mengenal tokoh leyak dengan
ratunya, Rangda," sanggah tamunya. Namun sang Ambasador bersiteguh:
''Tetapi politik dan bisnis yang berhasil hanyalah politik dan bisnis yang jujur."
Masa Machiavelli dan Hitler Nazi sebenarnya sudah lampau, seperti jaman Perang
Salib atau Sabil juga sudah terhitung jaman sejarah dulu. Hanya dunia politik praktis
masih ketinggalan. Masih dalam taraf belajar untuk menyadari kenyataan-kenyataan
berdimensi global yang merupakan titik balik perkembangan sejarah politik. Maka
justru demi pengembangan politik itulah diterimanya jabatan duta-besar di negara
yang muda ini. Ia tahu, bahwa ia harus mengabdi pemerintahnya. Tetapi mengabdi
negaranya tidak berarti membunuh bangsa lain. Apa yang diuraikan doktor
matematika tadi sebenarnya pembunuhan dan tipuan massal, jika itu dilakukan
dengan sengaja. Mr. Ambasador lebih condong untuk mendakwa ini kesengajaan,
tetapi seorang duta tidak boleh beranggapan gegabah. Suatu komisi rahasia investigasi
perlu dibentuk untuk meneliti perkara yang gawat dan berbahaya ini. Dan dasarnya
bukan cuma pertimbangan politik kesusilaan yang berkhayal belaka.
Tadi pagi telah datang delegasi ahli tehnologi dari Rumania; dan Rumania negara
penghasil minyak yang berpengalaman lama. Selain itu telegram berkode rahasia dari
Departemen Luar Negeri negerinya memberitahukan kepadanya, bahwa suatu kapal
penjelajah dan lima kapal-selam dari pelbagai klas telah ke luar dari Wladiwostok
menuju Perairan Selatan. lni masalah moral, tetapi juga masalah akal perhitungan
bisnis yang sehat. Dan bisnis yang tidak sehat, seperti strategi militer yang tidak sehat
bukanlah bisnis atau strategi militer. ltu petualangan namanya barangkali, atau
ketololan. Mr. Brindley tidak suka disebut diplomat tolol.
"Berapa milyar setahun Indonesia dirugikan oleh model komputer yang salah itu?
Anda sanggup membuktikannya dengan kuantifikasi eksak?
Ahli komputer itu menyebut angka yang astronomis. Dari tas samsonetnya, Doktor
Seta menyerahkan suatu berkas foto-copy.
"Aslinya saya simpan dalam Swiss Bank di Singapura."
"Kami harus meningkatkan dana-dana fellowship atau beasiswa sarjana
matematika untuk negeri ini," gumam Sang Duta Besar. Dengan bernafas panjang,
sloki berisi Cobra-Fire tadi ia minum sekali reguk. Dibalik-baliknya kertas-kettas
penuh uraian yang abstrak, tanda-tanda kode dan angka-angka yang sangat ruwet.
"Untung saya tidak belajar matematika," sengirnya ironis.
"Apa Tuhan Allah di atas sana juga mengecek angka-angka sinting seperti ini agar
alam semesta kita tidak meledak?"
125
Kedua matanya yang biru nanap memandang tamunya, yang duduk tenang dan
membalas tatapan matanya. "Satu yang pasti, dear Setadewa, satu yang pasti. Dan ini
kukatakan dengan hati yang penuh duka-cita. Kau pasti akan dipecat bila rahasia ini
Anda bocorkan. Anda pasti dipecat."
"Ya, saya sudah memperhitungkan itu sebelumnya."
"Anda idealis. Orang-orang seperti Anda ini sebetulnya mahluk-mahluk yang
tersesat di dunia seperti yang kita punyai ini. Seharusnya Anda tidak menjadi ahli
matematika, tetapi pendeta."
Tamunya tersenyum, dan senyumnya penuh kedamaian yang pasti, seperti seorang
sukarelawan Special Command di dalam Perang Dunia, yang siap terjun di daerah
musuh, hanya untuk mati.
''Pendeta masa kini adalah para ahli matematika dan sarjana-sarjana dalam
kedudukan-kedudukan perhitungan kunci," jawabnya tenang, pasti, ningrat.
"Anda benar. Kami diplomat dan menteri dan marsekal lumpuh tanpa kalian.
Pendeta dapat seorang santo, dapat juga seorang Rasputin¹⁾ , dear Seta. Anda bukan
Rasputin. Inilah malapetakamu, tetapi saya yakin ... Ada apa John? Aduh, kau ini
cetakan kedua dari ayahmu."
Anaknya seumur 6 tahun menghampirinya dan dengan terkejut Dr. Setadewa
melihat dia berkalungkan ular hitam mengkilau bercincin-cincin kuning kencana.
"Ular berbisa, ini ular welang!" teriak sang Tamu. Tetapi anak itu merangkul
tangan ayahnya dan menatap tamu yang tolol itu sambil berkata seperti seorang
profesor cilik. ''Bodoh. Ini ular Kina-anis. Ya Dad, ini Kina-anis ya?" Dan bangga
anaknya meminta pujian dari ayahnya itu. Mr. Brindley tertawa gembira penuh
kebanggaan ayah.
“Ya kau anak sangat pintar. Kasih tangan dulu pada Tuan ini. Nama Tuan ini:
Seta."
"Eok? Nama yang jelek." Lalu memandang tamunya.
"Saya John. Tidak Eok. Kau bernama Eok? Ular ini ... " dan ia membelai penuh
sayang ular yang mendelik diam melingkari lehernya, "ini namanya juga John. John
Kina-anis, ya Daddy?"
"Lho, kasih tangan dulu. Dan hormat dong, dan manis terhadap tamu. Ayo kasih
tangan yang baik-baik."
Dr. Setadewa tersenyum melihat anak kecil itu, tetapi toh yang ditanyakan
pertama-tama: "Tidak membahayakan ular hitam ini?"
Duta Besar tertawa renyah:"Nah dear Doktor, ada baiknya Anda sesekali
mengenal lebih dalam apa yang terdapat di bumi ini. Komputer memang maha
penting, tetapi komputer-komputer berbentuk ular ini interesan juga. John, Cintamanis minta diseka tanganmu," dan John membelai kepalanya. "Namanya Cintamanis. Trimeresurus wagleri resminya. Tetapi nama pribuminya jauh lebih bagus: Si
Cinta-manis atau Cantik-manis. Belum tentu segala ular yang hitam itu jahat, dear
Seta. Ini ular yang paling manis. Tidak pernah menggigit dan suka diajak bermain
oleh anak kecil pun. Aneh bukan?"
¹⁾ Tokoh rahib cabul di Rusia.
126
Dr. Seta juga ikut membelai kepala ular yang bermata hitam melolo¹⁾ itu. Kok
garis mulutnya seperti ia tersenyum terus-menerus. Seperti lumba-lumba.
"Ya, memang aneh alam itu. Ada yang keji seperti jenis Naya, kobra-kobra, ningratningrat para ular. Maaf Seta, Anda ningrat juga. Tetapi ada yang jinak dan manis
seperti Cintamanis ini. Negeri ini memang aneh. Kan saya tadi sudah berkata: Bila
belajar psikologi, khususnya psikologi orang Timur tropikana ini, pilihlah hobi
memelihara ular dan telitilah tabiatnya. John, sekarang John juga manis seperti Cintamanis ini dan bermain-main ya. Papi ingin bicara dengan Tuan Seta ini. Tuan ini juga
senang pada Cinta-manis. Ya dear Seta?"
''Ya John, saya juga senang Cinta-manis."
"Kau juga punya Kina-anis?"
"Punya."
"Juga seperti ini? Hitam, ada cincin-cincinnya emas?"
"Tidak, Cintamanisku hitam semua."
''Tidak ada kuning-kuning begini?
"Sayang John, Kina-anisku tidak punya. Dia miskin, tidak bisa beli roti dan misyes
coklat. Lalu cincinnya dijual."
"Cincin-cincinnya dijual? Sekarang sudah tidak punya lagi?" tanyanya dengan dua
bola mata penuh kasihan.
''Ya, sayang. Sekarang hitam hitam melulu ... "
"Oh kasihan, ya Pa! Apa tidak bisa dibelikan cincin baru?"
"Bisa, John,” sahut ayahnya. "Bisa. Tetapi harus menunggu, sebab pandai emas
yang membuatnya masih ... eh belum bangun, masih tidur."
"Oh," kata anak itu. Dan kepada ularnya ia berkata lirih: ''John, Kina-anis
cincinmu begini banyak. Kasihan dong, Kina-anis, Tuan itu miskin. Tidak punya lagi.
Kasih ya? Papi, apa kina-anis kita bisa memberi beberapa cincin emasnya kepada
kina-anis tuan itu."
"Yah ... " bingung juga Ambasador itu, tidak tahu bagaimana menjawab anak itu,
tanpa mengecewakan, tanpa bohong. Akhirnya: "Sudah John, kasih tabek kepada
Tuan Seta, dan kembalikan ular itu lekas-lekas di kandang. Dia lapar, nanti ia merasa
miskin juga; lalu cincinnya dijual juga. Kan tidak bagus."
''Ya, selamat petang! Papi, saya kembalikan segera ke kandang. Dan Paymin harus
memberinya katak-katak lagi. Tapi kasihan juga ya Papi, katak-katak itu?"
Lama kedua orang itu diam, sesudah anak itu pergi.
"Dr. Seta,”kata duta-besar itu lirih. "Kalau ada apa-apa kelak, dan Anda
membutuhkan pertolongan, jangan segan mengebel pintu rumah kami. Selalu akan
dibuka."
Sambil mengantar ke pintu muka, Ambasador itu masih berkata: "Saya pasti akan
mengurusnya. Tetapi sebelum ada langkah-langkah tingkat tinggi, sebaiknya Anda
mencari saluran lain. Entah bagaimana caranya, coba kirimkan dokumen-dokumen
Anda melalui saluran-saluran tak kentara ke tangan pembesar-pembesar Indonesia
yang paling kompeten untuk masalah ini. Siapa tahu mereka pasti akan bertindak
sendiri, sehingga inisiatif dijalankan oleh pihak mereka. ltu lebih safe dan sebetulnya
lebih wajar. Tetapi Anda main sans tinggi, hidup atau mati ... Seta! Kita mengharapkan yang baik-baik saja. Sementara ini, resmi saya tidak tahu apa-apa, okay?"
¹⁾ Mata yang terbuka lebar sekali.
127
"Baik. Yang saya butuhkan sekarang hanya rekomendasi untukku kepada
Departemen Dalam Negeri. Anda suka memberi itu?"
"Rekomendasi ?"
"Saya ingin sedikit sentimental journey ke pedalaman, ingin menengok tempattempat masa kanak-kanakku. Semua peninjauan sekarang harus minta ijin. itu ... kalau
Mr. Brindley masih mengakui saya sebagai warganegara negaramu."
"Oh baik, baik. Nanti saya bilang kepada mereka, bahwa Anda sedang mencari
pacarmu, begitu saja kan?"
"Ah," dan terkejut membelalak doktor komputer itu menolak.
"Jangan. Biasa saja: turis."
''Lho, apa benar ada pacar?"
''Ya, sulit cara merumuskannya," dan ia tertawa.
"Nah hahaha;' dan penuh perhatian Ambasador itu tertawa sambil mengerdipkan
mata. "Kentara sekarang memang ada itu. Okay, never mind."
128
16. Nisan Perhitungan
Aku tidak tahu, apakah harus berterimakasih atau mengutuk memori. Ingatan
manusia menolong kita belajar mengalami dan membentuk hari-depan yang lebih
baik; dan kreativitas kita sebagian besar berudik dari sumber-sumber yang hidup,
ingatan kita. Bahkan cinta atau benci hanya mungkin bila memori kita hidup. Tetapi
justru itulah, segi-segi gelap seperti. benci, balas dendam dan biasa juga ketakutan
serta kebimbangan bermunculan seperti ular Kepala Dua yang pemah diperlihatkan
oleh sahabatku, John Brindley.
Sungguh unik Mr. Ambasador itu. Dari mana ia mendapat ilham dan kesukaan
mengumpulkan reptil-reptil yang mengerikan itu? Ular Kepala Dua sebetulnya satu
kepalanya, tetapi ekornya persis bentuknya seperti kepalanya, pendek, tumpul bahkan
punya dua pentolan mirip mata. Bagian bawah ekor itu berwama merah koral dan
bercincin oranye bagus. Juga persis dengan wama bagian bawah kepalanya. Kalau
bahaya datang dari belakang, ekor itu dapat didongakkan, sehingga dapat menipu
lawannya. Tentu saja bagi musuhnya yang bemiat menyerang, kepala tipuan itu membingungkan sekali bila ular itu lari, seolah-olah lari ke belakang.
"Ular Kepala Dua tidak berbisa, untunglah," kata John. ''Tubuhnya kecil, belum
ada setelapak kaki; dan hidupnya seperti cacing, di bawah tanah. Oleh penduduk
pribumi ular ini ditakuti karena dianggap punya kekuatan gaib."
Memori manusia, walaupun sering punya kepala dua, pada hakekatnya hanya
berkepala satu. Kepala ke arah segala yang lebih baik, dan tidak sebaliknya.
"Sering sejarah berjalan mundur seperti. yang kita alami dalam peperangan yang
lalu," kataAmbasador, "akan tetapi saya percaya, bahwa sebenarnya kita maju."
''Namun itu baru harapan Anda, Mr. Brindley. Belum kepastian yang dapat kita
jadikan pegangan. Manusia toh bisa meledakkan diri juga, bila dia mau."
''Ya, benar. Sayang drama kekacauan sampai sekian puluh tahun sesudah
perjanjian Potsdam¹⁾ atau di kawasan sini perjanjian di kapal penempur Missouri²⁾,
belum membuahkan jaminan yang dapat kita andalkan. Tetapi untuk itulah justru kita
harus menanam harapan. Manusia tanpa harapan, dia mayat berjalan."
Maka pagi itu, dengan memori yang masih hidup langsung mengingatkan diriku ke
serangan 19 Desember 1948 di Meguwo itu, namun dengan sesloki harapan juga yang
kureguk dari percakapan dengan Mr. Brindley petang kala itu, saya, menejer produksi
kongsi kuasa satu-satunya yang berkulit sawo-matang, mendarat di lapangan
Meguwo. (Tetapi untuk karier setinggi itu maafkan aku harus membayamya dengan
kewarga-negaraan non Indonesia).
Sudah tiga kali aku mendarat di lapangan ini sejak serangan Spoor ke Yogya dulu
itu; dan setiap kali ular Kepala Dua itu muncul lagi. Yang pertama kali: untuk
mengantarkan big-bossku yang ingin berpariwisata ke Borobudur dan yang
membutuhkan seorang gadis yang mengenal daerah. Yang kedua kalinya untuk
menghadiri resepsi perkawinan salah seorang putera direktur Departemen
¹⁾ Perjanjian penyerahan Jerman Nazi kepada Sekutu di Berlin sesudah Perang
Dunia II.
²⁾ Perjanjian penyerahan Jepang kepada Sekutu sesudah Perang Dunia II.
129
Pertambangan yang memegang kunci nasib konsesi perusahaanku. Dan ketiga
kalinya, sekarang ini, untuk, ya untuk apa sebenarnya aku kini ke mari ? Untuk
menyusuri kembali sejarah hidupku yang lampau penuh kepahitan, kekalahan dan
kesialan itu? Setiap resepsi perkawinan yang harus kuhadiri selalu merupakan
siksaan. Apa lagi di sini, yang mengharuskan aku mendarat di lapangan terbang dan
lingkungan daerah yang kukenal bersama memori getir.
Sampai sekarang aku belum pernah berani memberi tanda-tanda hidup untuk Atik.
Pernah kudengar dari beberapa sumber kalangan kedutaan RI di Den Haag tentang
perkawinan dan profesi Atik sesudah Konperensi Meja Bundar itu. Dari seseorang
entah dari dunia universitas. Dan sangatlah pengecut aku ketika itu tidak memberi
kartu selamat untuknya. Jangan lagi mengirim kartu selamat; alamatnya pun aku tidak
tahu. Dan seandainya aku tahu (seharusnya aku tahu), toh aku tidak akan bermunafik
untuk mengucapkan selamat mengenai suatu peristiwa yang menyakitkan hati.
Sakit hati karena salahku sendiri, memang itu kuakui, dan memang aku pengecut
dalam hal ini, akan tetapi tetap menyakitkan hati. Aku ingin jujur dan wajar. Aku
tidak ingin jadi budak basabasi. Dan aku diam. Namun toh sejelek-jeleknya aku, aku
berdoa untuk Atik yang pernah menjadi kekuatan batinku dalam masa muda yang
paling menggoyahkan; yang kala itu menulis surat padaku, memanggilku ke Jakarta
untuk menemui Mami .
Mami, ya Mami. Kau sekarang sudah menemukan kedamaian. Segala-gala telah
kau serahkan. Tetapi mereka mengingkari janji. Dari dokter direktur rumah-sakit jiwa
Magelang, pas pada hari aku meraih gelar doktor di Harvard, kuterima berita menditil
mengenai wafatnya Mamiku.
"Itu sudah kami duga," kata dokter itu, "sebab kelainan yang diderita ibu Tuan
yang baik itu suatu saat akan sampai pada pusat persarafan sentral. Tetapi saya dapat
memberi persaksian, bahwa ibu Tuan mangkat dengan wajah tersenyum, tenang; dan
saya yakin, dalam rahmat berkenan kepada Allah Subhanahu wa taala."
Segalanya telah Mami serahkan.
"Juga, bila Tuan bersua lagi dengan Kolonel Verbruggen, sudilah Tuan
menyampaikan salam dari pribadi saya dan rasa terimakasih dari rumah-sakit yang
kami bina dengan susah payah ini, atas segala bantuan material yang tidak sedikit
selama ini dan yang masih berlangsung terus. Sudah lama kami tidak menerima kabar
dati Kolonel Verbruggen dan Tuan ... "
Verbruggen, dia pun sudah tiada. Si Bandit gila telah hancur di Dien Bien Phu¹⁾.
Pastilah sumbangan itu dilewatkan melalui ibunya. Seandainya bukan Spoor tetapi
Verbruggen yang jadi panglima kala itu, pasti sejarah akan berjalan lain. Tetapi
seorang Verbruggen tidak akan laku untuk hari-hari semacam itu dulu. Tinggal aku
dan Atik.
Dokter itu juga menulis sedikit tentang suatu keluarga istana di Surakarta yang
seringkali mengunjungi Mami. ''Bahkan ada seorang wanita muda beserta ibunya
menanyakan alamat Tuan Setadewa. Tetapi walaupun kebaikan hati mereka berkesan
sekali kepadaku, saya setia tetap teguh merahasiakan alamat Tuan. Menurut yang
diminta keras oleh Tuan, dan yang selalu kami patuhi selaku rahasia jabatan dokter".
¹⁾ Medan laga termasyur dalam perang Vietnam melawan Prancis, di mana tentara
Prancis dikalahkan totaL.
130
Dari dokter tua yang baik itulah kelak, sesudah aku diangkat jadi menejer produksi
Pacific Oil Wells Company di Indonesia, kuketahui alamat dan hal-ihwal Atik, Bu
Antana beserta alamat desa, tempat Pak Antana, yang gugur dalam Clash II,
dimakamkan.
Tetapi mengapa aku hams mengingat Atik lagi? Ia sudah milik. suaminya dan
realismelah pasti yang menuntun keputusan pilihannya. Sudah punya anak berapa ia
sekarang? Aku sendiri belum punya anak. Mana mungkin punya anak dengan
perempuan jalang yang kukawini itu? Tetapi mengapa kau kawin dengan perempuan
jalang, Teto? Jangan-jangan kaulah, Setadewa, yang membuatnya jalang. Karena
kegandrunganmu pada matematika dan komputer. Memang sebenarnya aku dulu
kawin tidak karena cinta. Cintaku hanya untuk Atik. Dengan Barbara aku kawin demi
karir. Untuk memberi kilat-kilat perputaran pada matematika dan komputerkomputerku. Sebab istriku adalah anak dari bossku dalam divisi Eksploitasi Pacific
Oil Wells Coy. Dan anak perempuan itulah yang memberiku status dan kalangan
berpengaruh, sampai aku yang berkulit sawo-matang ini naik anak tangga begitu
tinggi dalam tempo begitu cepat.
Tetapi perempuan punya radar dan alat-alat sensor elektronika juga, yang lebih
peka dan lebih meradar panser jiwa daripada radar buatan manusia. Ia pasti lambat laun merasa, bahwa aku mengawininya hanya demi jabatan paling kunci, penguasaan
divisi komputer perusahaan. Dan perempuan itu semakin acuh tak acuh. Dalam waktu
satu tahun, dari kedua belah pihak sudah tidak ada lagi hubungan yang mewayangkan
cinta sedikitpun. Aku yang paling bersalah. Aku masuk upacara perkawinan di gereja
sudah tidak lagi dengan hati manusia yang sayang pada calon istriku, tetapi dengan
hati aluminium, kobalt dan silikon pesawat elektronika yang dingin. Dan istriku
malang menikah dengan suatu komputer robot tanpa jiwa. Lalu mati pula hati istriku,
terbunuh oleh voltase kumparan-kumparan elektrikku. Terkena bisa ular Kobra
lelakiku yang juga sering bengis mendongak tegak, waspada, dingin melihat
mangsanya dan tiba-tiba secepat kilat menggigit. Lalu lemas terkulailah mangsa. Atau
sebagai ular Kepala Dua yang menipu memperdaya halus.
Sesudah istriku pergi, baik secara mental mau pun legal, hidupku sudah tanpa arti
lagi. Ibuku sudah menyerahkan segala-galanya, tetapi anaknya hanya bisa mengambil
dan mengambil segala-galanya. Mengingkari janji aku tak pernah, artinya dalam hal
yang vital. Tetapi ini pun demi perhitungan-perhitungan kebahagiaan harga-diri
egoistis. Lagi, tidak pernah memang aku serius mau berjanji secara mengikat. Dengan
kata lain, tak pernah menyatakan kemanusiawianku, sanggup risiko demi pemekaran
indah manusia lain. Mamiku meninggal sebagai orang yang macet komputemya,
tetapi pada saat-saatnya yang terakhir ia mewariskan kepada sesama manusia suatu
memori indah wajah yang tersenyum dengan kata-kata yang penuh hikmah pula:
"Aku telah menyerahkan segala-galanya". Kalimat "Tetapi mereka mengingkari
janji", pada hakekatnya -- dan tentang ini aku semakin sadar -- itu sebenarnya
ditujukan kepada anaknya yang ia tinggalkan di bumi ini, sang doktor matematika,
menejer divisi produksi Pacific Oil Wells Company, Setadewa.
Begitulah maka sekarang sudah saatnya aku datang, sebagai manusia biasa, yang
ingin mengadakan perhitungan dengan ular Kepala Dua yang hidup di bawah tanah
hati nuraniku. lni berkat pengorbanan Mami. Buah hasil penderitaan dan doa ibuku.
131
Bukan karena Setadewa yang baik, melainkan karena kebaikan dan keperwiraan
Kapitein Brajabasuki ayahku yang jauh lebih jaya daripada kekolongan jiwa liar
pengeluyur kali tangsi Teto dalam diriku. Tidak, kali ini aku tidak mau taksi sedan
luks. Selain panas dan menjengkelkan karena modelnya kuna, aku sekarang ke mari
untuk keperluan lain.
"Saya pesan jip, jip terbuka carikan."
"Ini saja Tuan, ini mobil bagus, empik ada A-C nya."
Memang-sinting pemuda-pemuda yang mengerumuni setiap penumpang dan
memaksa-maksakan secara tidak sopan, taksi-taksi... taksi-taksi. Seolah-olah hidup
kita tergantung pada taksi. Mengapa bukan: wanita cantik! wanita cantik, Tuan! Ini
kan negeri penuh gadis cantik, mengapa malu menawarkan kecantikan gadis seperti
menawarkan taksi! Dan tidak diam-diam munafik secara gelap dengan secarik kertas
mengapa malu menawarkan kecantikan gadis, tetapi tak malu menawarkan taksi! Dan
tidak diam-diam munafik secara gelap dengan secarik kertas bisu tuli di kamar hotel
internasional. Pemuda-pemuda ini sungguh pengemis mentalnya. Mental persis sama
dengan yang kujumpai juga pada meja-meja perundingan internasional di pihak kaum
Selatan. Sampai kau malu punya kulit sawo matang ini.
Aku anak kolong memang, anak kumpeni, betul bajingan KNIL, biar! Tetapi
bukan pengemis dan kuli seperti mereka itu. Aku jengkel diikut-sertakan dalam suatu
masyarakat yang mendidik pemuda-pemuda taksi ini menjadi kuli yang tidak tahu bagaimana caranya hidup merdeka dalam negara merdeka. Tetapi, ya sudahlah. Mereka
miskin, aku kaya. Enak memang jengkel begitu bila kau kaya. Maklumlah, maafkan!
"Tidak ada jip Tuan, ini saja, itu bagus, Tuan."
"Saya tidak butuh taksi bagus. Saya butuh jip, tahu?"
Ah, mereka toh hanya orang kecil saja yang selayaknya dikasihani. Mengapa
merasa gusar? Akhirnya seorang Cina, (nah Cina lagi, kalau pribumi sih terlalu tolol)
yang menjanjikan penyediaan jip carteran. Tetapi saya harus menunggu barang
seperempat jam saja. Nah sudah hafal aku, artinya seperempat hari tentunya, pikirku
sinis. Baiklah, saya minum kopi dulu. Satu-satunya yang baik di Indonesia hanyalah
kopinya. Artinya di warung. Entah di restoran pelabuhan udara internasional yang
kini diberi nama Adisucipto ini.
Peragawati yang pamer kain batik dan berputar-putar seperti merak itu matanya
bagus; hanya sayang telinganya terlalu lebar. Berkesan keledai. Tetapi payudaranya
boleh lebih montok lagi sebetulnya. Tidak model Barat kerempeng begitu. Di alam
tropika tidak ada yang kerempeng, semua montok. Kenapa mereka sekarang begitu?
Ingin mirip dan meniru dan imitasi dan menjiplak Barat? Sungguh kuli dan babu
bangsa ini. Dan lebih kuli lagi kau, Teto. Ya, itu benar. Sudah lama aku sadar, bahwa
sikapku yang begini ini sebetulnya ekspresi maksimal dari kekulian bangsaku.
Bangsaku? Bukankah kau Teto, kau selalu mengujar terhadap sang Ambasador, kau
berkebangsaan multi-nasional? Aku tidak bohong. Mamiku Indo dan aku, aku bekas
KNIL.
Tanah-air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di mana tidak ada
manusia menginjak manusia lain. Siapa dulu yang omong begitu? Lupa aku. Ah, si
sersan mayor MP di kerkop itu. Memang aku tidak punya tanah-air, karena aku
biasanya ikut dengan pihak penyerang. Dulu sebagai koboi Spoor, sekarang sebagai
kacung Board of Directors lihay yang tahu, yang sungguh tahu bahwa model
perhitungan komputer itu terselipi (atau diselipi?) kesalahan yang merugikan negeri
ini dengan sekian milyar dolar per tahun.
132
Kami yang tak kenal dimensi kemanusiawian, yang dingin, berjiwa robot, apa lagi.
Tetapi sayalah yang sekarang memegang kunci informasi rahasia pengurasan negeri
ini. Benar, memang sudah kuduga, kopi restoran ini enak. Cukup memberi kafein
sedikit untuk nanti. Aku harus segar. Ini bukan trip bisnis atau perjalanan ke resepsi
perkawinan. Ini ziarah.
Cina itu memang boleh dipuji. Betul seperempat jam. Dua puluh menit sebetulnya,
tetapi saya hitung seperempat jam. Karena aku di Yogya, tidak di New York.
''Pelan-pelan, Bang Sopir. Saya punya waktu seperti lautan. Pelan-pelan. Saya
harus menikmati semua." Jip khusus terbuka, haha seperti dalam jip militer sedang
beroperasi. Nah, di selokan itulah saya merangkak. Di sana kukira ada gerilyawan.
Peluru muntah. Peluru ketakutan sebenarnya. Setiap serdadu takut. Tidak ada yang
"berani mati," kecuali para tukang bual di bar-bar atau di perjamuan nyonya-nyonya
tolol yang kagum terpukau pada sang Lelaki jago kate. Saya hanya biasa, seperti
Verbruggen, bandit.
''Di hotel mana, Tuan?"
"Hotel? Aku tidak bilang hotel. Terus saja, jangan belok kalau belum saya
komando." Hah, aku sudah mulai berkomando. Enak memang memberi komando.
Seperti berkesempatan melampiaskan dendam, sebab yang mengkomando biasanya
mendapat komando juga. Seolah komando yang tidak menyenangkan itu lekas-lekas
harus kita teruskan kepada orang lain, seperti sebaris domino yang sama-sama jatuh,
lalu merasa lega, bebas dari situasi dikomando. Sampai kaum sol sepatu yang paling
bawah.
Nah, di bawah sana komando-komando pada bertumpuk-undung. Dan untunglah,
ya itulah kebodohan mereka, atau rahmat ketahanan mereka? Komando ditumpuk,
digudangkan. Mereka bergumul dan tidur, mandi dan bersetubuh di tengah onggokanonggokan komando itu. Tidak ambil pusing seperti perempuan-perempuan dikali
Bening itu yang tidak ambil pusing juga dengan air keruh berlumpur tai-tai itu. Kaum
sol-sepatu di bawah tahu koeksistensi "damai" dengan bentakan-bentakan komando
dari atas. Dan inilah kekuatan mereka sehingga bertahan dan masih tetap bisa hidup
dan tertawa dan saling melawakkan lelucon lawak konyol tak ketolongan, tetapi yang
tetap saja masih lucu.
Di dalam jip terbuka itu aku menuju ke Krarnat Magelang untuk berziarah ke
makam Mamiku di sana. Makam yang telah kupugar sepuluh tahun yang lalu ketika
Soekarno masih berkuasa. Nah, ke makam Mamiku itulah acara pokok perjalanan
peziarahanku sekarang ini. Sebelum clash terakhir meledak.
Direktur tua rumah-sakit sudah diganti oleh yang lebih muda dan tiba-tiba aku
merasa bahwa aku sendiri telah menginjak ke masa jam 14.00 siang menuju senja
hidup. Kota Magelang yang dulu terkenal indahnya dan bersih, sekarang sudah penuh
toko dan kios, kotor seperti sepantasnya kota-kota di negeri ini, yang kubenci
sekaligus kucintai.
Kali Manggis tetap masih berwarna manggis. Hanya sekarang lebih banyak lagi
perempuan, laki-laki, anak-anak yang beroperasi di tepi-tepinya. Masuk Magelang
seperti masuk sarang lebah, begitu banyak manusianya. Kendaraan bermotor sudah
mulai membisingkan bunyi-bunyi imperial kerajaan ular adder. Tetapi satu yang
bagus. Tidak ada orang yang kurus.
133
Anak-anak serba gemuk, menggelembung pipi-pipinya. Dan gadis-gadis lebih cantik
daripada cah kampung jaman anak kolongku. Aneh, pohon-pohon kenari di daerah
tangsi (sekarang Ksatriaan narnanya, hebat), masih saja tegak berdiri. Hanya lebih
botak dari dulu, biasalah ciri masa tua. Selama kenari-kenari itu masih ada, tangsi
kumpeni atau ksatrian kurasa tidak banyak bedanya.
Rumah-rumah perwira dengan genting-gentingnya yang tebal-tebal bulat separuh
seperti rumah-rumah Spanyol dan ltalia masih sama.. Ya, disini rumah letnan van
Santen yang sangat pirang dan kami Juluki Buto Damen ¹⁾, itu rumah Kapitein du
Bois dengan Istrinya yang gemuk seperti bedug mesjid alun-alun. Dan dua rumah
lagi, ya, itulah rumah Loitenant kelak Kapitein Brajabasuki almarhum.
“Catnya sudah diperbaharui, tetapi pohon bugenvil di muka garasi itu kok masih
saja ada. Atau sudah diremajakan barangkali'? Pagar wora-wari aneh juga masih abadi
setia menjadi saksi-saksi sejarah yang tenggelam, bersama pohon-pohon kenari di
mukanya. Gentingnya seperti yang lain-lain serba ditumbuhi rumput, anggrekanggrek liar dan macam-macam lumut. Hanya rumah-rumah perwira serba sepi, entah
penghuninya ke mana. Dulu selalulah penuh sinyo dan noni di muka pintu, di
halarnan, di jalan.
Sebuah tank dan dua panser menderu di seberang alun-alun latihan. Tank itu bukan
model Shermann, bikinan Rusia barangkali. Ada sepasukan tentara nasional yang
sedang berlari, kaos oblong putih tetapi lengkap berpantalon bersepatu. Lebih efisien
pakai setiwel²⁾ model KNIL sebelum perang sebenarnya, dari segi efisiensi kesehatan.
Setiwel-setiwel itu erat-erat mengikat daging otot betis dan begitu orang sanggup
bertahan jalan jauh. Semua yang baru dan keliru ini pengaruh US Army. Semua tentara di seluruh dunia di luar daerah pengaruh komunis berpakaian seragam model
USA. Praktis atau tidak praktis mereka begitu, multinasional. KNIL dan TNI sarna
saja bentuknya, senjatanya, celananya, sepatunya. Punya pangkat apa aku seandainya
dulu menggabung pada tentara nasional ini? Paling pol kolonel. Nasional? Di Eropa
sudah tidak ada tentara nasional. Di Amerika Latin juga tidak ada lagi, hanya
namanya saja.
Sekarang aku menejer. Mayjen cukup? Gajiku besar dan lebih kuasa daripada
marsekal. Tetapi sebentar lagi habislah riwayatku. Di hadapan nisan Mami, dan
sekaligus secara simbolis di hadapan nisan Papiku juga, (sampai sekarang tidak jelas
dan tidak pernah akan kuketahui, di mana letak istirahat akhir Papiku) aku tadi telah
bersumpah pada Mami dan Papi, bahwa aku akan berbuat sesuatu, yang akan menjadi
kebanggaan orang-tuaku, seandainya mereka masih hidup. Terutama kepada Papi
akan kutunjukkan bahwa aku tidak tergolong "mereka yang mengingkari janji". Ya,
aku akan tetap tersenyum. Dan barulah bila semua itu sudah terjadi, aku akan sanggup
berhadapan dengan Atik. Mata lawan mata. Hati lawan hati. Sebagai ksatria yang
tidak kalah. Biar aku anak kolong, anak ruang di bawah ranjang! Dalam arti yang baru
yang lebih pahit. Tetapi dengan kebanggaan. Anak kolong dan kaum ksatria hanya
hidup dari kebanggaan. Bukan dari uang, tetapi karena telah berbuat berani.
¹⁾ Raksasa jerami.
²⁾ Pembalut kaki dari tumit sampai lutut.
134
Mempertaruhkan nyawa demi sumpah, demi sasaran yang sulit dicapai, demi tujuan
yang melegakan orang banyak. Akan kubuktikan, bahwa darah perwira masih
mengalir di dalam urat-uratku, dan bahwa keindoan Mamiku adalah infusi darah baru
bagi bangsa Inlander yang mengalami situasi serba baru sesudah revolusi politik dan
revolusi bersenjata dulu itu.
“Kau tahu desa Juranggede? Kata orang di daerah lereng Merapi sana. Kau kan
juga berasal dari Merapi?"
"Saya berasal dari daerah Grojogan, Bapak. Tetapi ada tiga Juranggede, Bapak.
Yang satu di dekat cekdam yang baru dibangun pemerintah itu. Ada lagi yang, yah
begitulah Bapak, tempat sarang bajingan-bajingan, dan ada lagi di daerah ke arah Kopeng di sini." Kulihat sopir di sebelahku, belum sangat tua.
"Kau paham sekali daerah lereng Merapi?"
"Menurut istilah sekarang, saya sudah laku untuk jadi gaid, Bapak. Saya kenal
segala lekuk lorong daerah." Dan kedengaran bangga ia menambahkan gerilya. Tetapi
dulu saya jadi kurir, itu lho Pak, yang disuruh membawa surat-surat kode rahasia dari
markas ke markas. Berbahaya itu lho, Bapak!"
"Umur berapa kau sekarang?"
''Barangkali ... ya barangkali berapa ... ya ketika kles kedua itu saya baru kelas
enam. Tetapi abang saya ikut lasykar, dan saya ikut juga. Tetapi tanpa bedil, Bapak."
Dan sopir itu tertawa kecil.
"Tidak masuk TNI?"
"Ah tidak laku. Kerempeng begini, Bapak. Disuruh lari-Iari begitu, capek. Lebih
suka jadi sopir begini. Enak. Tapi saya sudah montir, Pak. lkut Cina saja lebih enak.
Bapak tinggal di mana?"
"Saya dulu tinggal di sini. Tetapi ketika masih anak. Jarnan Belanda."
"Oooh ... Belanda itu kaya ya, Bapak."
"Ya, ada yang kaya, ada yang biasa. Di sini juga begitu, kan."
''Ya, sayang begitu, Bapak. Tetapi orang harus belajar nerimo, Pak. Maaf, Bapak,
saya dari tadi ingin tanya, mengapa kok Bapak tadi ekstra minta jip terbuka? Mau
lihat pemandangan? Jangan-jangan nanti masuk angin."
''Ya ... ya begitulah."
"Sekarang ke mana?"
"Ke Juranggede."
''Ya, yang mana?"
"Saya hanya diberi tahu, dulu pernah jadi markas dan dapur umum gerilya."
"00, kalau begitu saya tahu." Dan sopir itu tertawa lagi.
''Tentunya kan ridak ke Juranggede yang jadi sarang perampok itu.
"Masih banyak perarnpok?"
"Uah, sarna saja. Ada gula ada semut. Ada paya ada buaya. (Sopirnya tertawa lagi)
Bapak suka melihat sarang perarnpok? Hanya lewat saja. Tidak usah apa-apa. Aman.
Bapak turis dari mana? Menado? Atau Medan?"
"Saya …? Dari Jakarta saja.
"Oh, kalau begitu dulu pernah gerilya di daerah sini dan Bapak ingin mengunjungi
kenangan-kenangan lama?"
''Ya ... begitulah."
"Kalau begitu maaf, Bapak tentunya paling sedikit sudah brigjen ?"
"000, lebih tinggi lagi."
"0 ya?" (ia mengangguk-angguk kagum) “Juranggede, Bapak?"
135
''Ya, mumpung masih belum sangat siang."
“juranggede yang sarang perampok atau markas-gerilya?"
''Yang gerilya saja dulu. Jipnya masih kuat ke sana?"
"Oh, beres, Bapak. Tua, tapi masih suka kerja ... Juranggede ... Juranggede, saya
masih punya paman di sana. Ya, sudah jauhlah, tetapi ia masih kemenakan dari ibu
saya. Kalau begitu saya juga untung, Pak, boleh nanti menengok, sebentar saja?"
"Boleh. Tetapi sekarang pertanyaan penting. ltu warung-warung tahu goreng di
dekat penjara itu masih ada?"
"Oh itu? Tidak hanya satu, Bapak, banyak."
"Masih enak?"
"Uah, itu segala turis domestik lari ke situ."
"Kalau begitu kita juga lari ke sana dulu."
136
17. Gunung Rawan
Gadis itu menunduk hormat malu-malu dan menggantungkan pelita bekas gelas
selai pada balok belandar emperan muka. Lalu diam tanpa suara seperti anak macan tutul (kebayanya bukan kebaya tetapi baju pasukan payung USA), pergi sambil
sekali lagi menunduk hormat. Ada sesuatu dalam gadis itu yang mengingatkan aku
pada Atik. Entah apa. Ada baiknya jipku tadi macet. Bukan mesinnya yang
menyebabkan aku terpaksa harus menginap di tempat Pak Dukuh¹⁾ ini, tetapi normal
tolol sekali, karena bensinnya habis. Salah perkiraan, kata sopir. Atau memang
mesinnya sudah begitu boros dan tadi hampir selalu hams porseneling dua? Pokoknya
tidak bisa terns.
Baiklah, semua hams dialami. Aku tadi hanya bohong sedikit pada Pak Dukuh,
mengaku masih kemenakan dari bapak yang dulu tertembak pesawat pemburu
Belanda di jalan Selatan sana dan yang dikubur di pemakaman tengah sawah itu.
Dengan segala keramahan pribumi asli aku diberi kamar tengah yang paling bagus,
yang sebenarnya hanya dipakai untuk mempelai baru. Selalu dan di mana pun seolaholah orang-orang ingin menyindir kegagalan perkawinanku. Lama Pak Dukuh dan
aku saling tukar pikiran tentang masa lalu. Dari percakapan ramah itu aku menarik
kesimpulan, bahwa untuk penduduk di pedalaman sangat tepatlah bila diterapkan
kata-kata Mamiku (ataukah kata-kata Wahyu dari Atas:) "Segala telah kuserahkan.
Tetapi mereka mengingkari janji." Tentu saja aku tidak mengaku bekas KNIL. Hanya:
"Dulu saya tidak mengalami sendiri. Ketika Revolusi Merdeka dulu, saya masih di
luar negeri." Kan bukan bohong perumusan diplomatis "Luar Negeri" itu.
Pak Dukuh bercerita banyak tentang peristiwa masa lampau. Tentang Ibu Antana
dengan puterinya yang cantik Den Ajeng Larasati. Sungguh tidak terbayang semuda
itu ternyata sudah tergolong orang-orang gede yang sering bicara-bicara dikelomasi²⁾
dengan orang-orang pinternasional³⁾
Bagaimana keadaan Den Ajeng Larasati sekarang? Dan ibunya? Setiap tahun pada
waktu nyadran sebelum bulan Puasa mereka selalu datang membersihkan makam Pak
Antana dan berdoa. Ya, naik mobil. Tetapi hanya sampai di jembatan bawah, yang ketika itu masih rnsak. Dan bawa oleh-oleh. Pak Dukuh mendapat jam-tangan, sekarang
dipakai anaknya yang bekerja di kota. Bu Dukuh mendapat kain baru. Bisa dipakai
kalau ada pesta nikah. Dan genduknya, yaitu tadi yang menyalakan pelita di emperan,
mendapat gelang. Bahkan Si Gombloh, pembantu yang setengah sinting itu pun diberi
celana.
Memang jaman resah-rnsuh, "jaman merdeka" dulu itu. Tetapi bicara tentang
keresahan, soalnya masih sama. Di sekitar Merapi-Merbabu soal bandit dan perampok
belum pernah beres. "Sejak jaman Belanda, Pak". Dan Pak Dukuh tersenyum di
bawah kumisnya yang hitam lebat. Sambil menyalakan rokok tembakau Kedu yang
maha ampeg ia bercerita dengan nada bawah yang sedikit bangga: Dulu nenek saya
juga benggol bajingan, Pak. Hehehe ...(Ia tertawa kecil).
¹⁾ Bagian dari kelurahan.
²⁾ Dari kara diplomasi.
³⁾ Dari kata inremasional.
137
Lalu dijadikan lurah oleh Belanda. ltu konon menurut kata para tetua. Belanda yang
membantu “sumsidi” ¹⁾ uang semir "pemilu"ya begitulah istilahnya sekarang Pak,
sampai nenek saya dipilih jadi lurah. Sejak itu, semua aman. Belum lama ini juga
begitu, Pak, desa Rongwatu sana tidak pernah aman. Entah padi yang sudah kuning,
kerbau atau sering cuma pakaian dan transistor, pokoknya kembali jaman baheula.
Lalu Pak Keamanan yang sekarang ini, dia kampanye: Kalau saya yang dipilih,
tanggung perkutut-perkutut akan damai memanggung dan seluruh desa akan aman
tenteram. Tetapi kalau dia tidak dipilih, ia memperingatkan, segala malapetaka akan
berlipatganda. Nah, dia dipilih. Sejak itu, aman." Tersenyum ia mempersilakan teh
pahit bergula banyak.
''Ya begitulah, selalu ada-ada saja daerah ini. Kemarin malam ada perkara lagi.
Kerbau Pak Sanusi dicuri. Sebulan yang lalu kerbau Pak Mertobelong. Pasti ini nanti
ada ekornya."
Gadis macan-tutul tadi hormat penuh sopan-santun elegan, memberitahu, sudilah
Bapak Tamu dan ayahnya makan apa seadanya. Makanan masakan desa sangat lezat
bagiku. Barangkali karena aku sedang senang di hati. Atau karena gadis macan-tutul
tadi mirip Atik? Pokoknya aku makan banyak. Sebagai tanda kebesaran, seharusnya
kutinggalkan sisa sedikit dalam piringku, seperti yang dikerjakan juga oleh Pak
Dukuh (tanda: bagiku makan bukan soal), tetapi aku toh lebih memilih jujur dan
piring bersihlah mengkilat. Seperti anjing, kata ayahku dulu. Sesuai dengan pendidikan Mami yang selalu berkata: "Segala makanan harus habis. Meninggalkan sisa
berarti kau sombong. Anugerah Tuhan tidak boleh dibuang sia -sia."
Nah, apa saja dapat ditafsir macam-macam. Sisa Pak Dukuh tidak dibuang sia-sia,
pasti diberikan kepada ayam, atau anjing. Anjing menjaga rumah di malam hari dan
daging ayam kelak kita makan kembali.
Duduk di emperan dengan hanya ditemani suara jengkerik-jengkerik dan kadangkadang burung-burung uhu atau jampuk atau celepuk, memberi rasa damai padaku,
entahlah. Tetapi setelah kuperhatikan, toh lain juga dari di jaman kanak-kanakku.
Hanya suara jengkerik. yang masih sama. Tetapi suara-suara burung hantu di
kegelapan sekarang sudah jarang. Akibat kebudayaan DDT dan endrin rupa-rupanya.
Di masa KNIL dulu aku sering mendapat giliran ikut kontrol di pos Gemawang, pos
terdepan garis-demarkasi Pingit antara Ambarawa dan Secang. Markas pertahanan
kami ditempatkan dalam rumah bekas pabrik. kopi. Burung-burung hantu kala itu
masih cukup kerap menguhu. Bunyi seperti maut "kebluk-keblukkebluk," yang
ditakuti anak-anak desa, tetapi juga orang-orang tua, masih kudengar setiap malam.
"ltu gerilyawan datang," kata sinyo-sinyo Belanda totok, hahaha ... Sesudah jelas
KNIL harus mundur dan dilikwidasi, aku masih sering teringat pada "burung-burung
gerilyawan" uhu dan kebluk dan celepuk dan jampuk itu. Nama-nama yang tidak
sedap! Memang pekiknya sungguh bukan pekik yang membawa warta gembira. Dan
jika pada siang hari burung-burung lain kebetulan menemukan kebluk atau celepuk
sedang tidur, maka segera kawan-kawan burung lain berdatangan dan bersama-sarna
mereka mencaci-maki kebluk dan celepuk tadi habis-habisan, sehingga kebluk tadi
seolah-olah malu dan menyeringai kebingungan seperti nenek senewen. Tetapi uhuuhu tetap tidak pernah bertobat dan terus saja berbuat sekehendaknya, berburu kadal,
tikus, serangga. Seperti sinyo-sinyo itu kalau sudah dewasa.
¹⁾ Dari kata subsidi.
138
Aneh, mengapa orang-orang Barat memilih burung uhu sebagai lambang
kepandaian. Apakah orang pandai suka berburu di dalam kegelapan? Sehingga orang
Jawa mempunyai sinonim untuk kata menipu, yakni minteri, dari kata pintar? Para
penyusun model komputer kongsiku, yang tanpa diketahul merugikan negeri ini
dengan sekian milyar dolar setiap tahun, adalah kebluk-kebluk maut juga, karena
pandai membuat model perhitungan dan rumus-rumus rumit yang lihay menipu.
Dari kejauhan terdengar kokok jago yang terburu bangun. Tadi siang kudengar
juga kokok ayam hutan. Menurut kata Papiku yang ahli bekisar, ayam hutan sudah
menghuni pulau vulkan ini jauh sebelum manusia pertama datang di sini. Aku ingat
dulu Papi membawa seekor ayam hutan berekor garpu yang indah sekali, hijau
dengan garis-garis datar miring pada kepala dan lehernya. Mirip hakim-hakim negaranegara kesemakmuran Britania. Jambul ungu jingga dan kulit janggut melambai
merah. Interesan sebetulnya, kaum jantan di alam raya ini suka bersolek diri,
sedangkan yang betina hanya sederhana saja. Persis perempuan-perempuan Jawa di
masa kanak-kanakku. Mereka berkebaya hitam atau lurik coklat-hitam, seperti gagakgagak saja, sederhana dengan potongan tanpa pretensi.
Tetapi wahai, lihatlah para ksatria keraton, apa lagi di Yogyakarta dengan surjan¹⁾
warna-warni dan blangkon²⁾ kepala yang manja. Semakin mendekati alam, semakin
perempuan disuruh sederhana dan si lelaki memamerkan keelokkan fisik. Merak,
itulah contohnya para ningrat Jawa. Maka benar-benar dapat dimengerti mengapa
Papiku dulu dan ibu si Atik tidak begitu suka hidup di antara tembok-tembok keraton.
Dari pihak lain, seperti yang kurasakan, sungguh sering merana, hidup dalam alam
penghayatan lain dari yang dialami saudara-saudari sebangsa. Apakah aku sudah
keterlaluan menjauhkan diri dari bangsaku? Apakah alasanku benar alasan jujur
ataukah dalih menjauhkan diri dari bangsa yang masih hidup di dalam alam masa
agraria kuna ini? Yang masih primitif mendekati flora dan fauna rimba belantara?
Itulah penderitaan jiwaku.
Ada lima orang mendekat. ''Kula nuwun³⁾." Kujawab hormat.
Mereka minta maaf, memperkenalkan diri dan masuk setelah dipersilakan Pak Dukuh.
Sesudah basa-basi macam-macam, Pak Dukuh menerangkan, mengapa mereka
dipanggil, yakni "soal yang tentulah saudara-saudara sudah maklum, soal kerbau yang
dicuri kemarin malam." Jelasnya, menurut peraturan baru dari kelurahan, siapa yang
kehilangan kerbau atau ternak apa pun, dia harus didenda. Aku terperanjat di lincak
luar. Didenda? Mana bisa? Orang yang kehilangan bahkan didenda? Gila! Itu kan
terbalik! Ya, orang-orang itu sudah maklum. Dan mereka akan taat kepada peraturan
pemerintah. Akan tetapi apa tidak mungkin ada kebijaksanaan ... artinya kemurahan
atau perkecualian? Tidak mungkin! 1ni bukan lagi jaman liberal seperti dulu. Semua
harus berdisiplin parsitisapi⁴⁾ pembangunan.
¹⁾ Baju model Yogya tradisional.
²⁾ lkat kepala Jawa Tengah.
³⁾ Sepada.
⁴⁾ Kata lawakan dari partisipasi; siti = tanah sapi = binatang.
139
Suara agak serak (barangkali dari pemilik kerbau) memohon belaskasihan karena
memang dia tidak punya uang. Yang lain-lainnya juga ikut memohon kemurahan
kepada Pak Dukuh. Pak Dukuh berkata, memang dia sebagai kawan sedesa sungguh
ingin menolong mereka, tetapi bagaimana lagi, ia pun hanya orang kecil dan hanya
mendapat enterupsi¹⁾ seperti apa adanya. Memang, dia paham sekali dan menghayati
kesedihan mereka, akan tetapi dengan sangat menyesal dia hanya dapat berkata, apa
yang wajib ia katakan. Soalnya, ini sudah keputusan sidang Dewan Kelurahan
lengkap dengan LSD segala. Jadi resmi. Bahkan konon Pak Camat juga sudah
membubuhkan tandatangannya dan cap. Lagi pula Pak Koramil pun juga hadir dalam
rapat itu.
Mereka diam. Pak Dukuh lalu mempersilakan mereka minum teh dan nyamikan
ala kadarnya, yang rupa-rupanya dihidangkan oleh Bu Dukuh sendiri. Sebab,
terdengar ada suara wanita yang menanyakan, bagaimana keadaan istri mereka, dan
bahwa Bu Dukuh berterimakasih atas punjungan²⁾ Mbok Sanusi, yang kehilangan
kerbaunya tadi, berupa ayam goreng. Bahwa itu tidak perlu sebetulnya, dan maaf
mohon tanya, apa gerangan ujubnya³⁾. Oh, minta doa, karena anaknya mau melamar
di pabrik kertas di Blabak, semoga diterima. Wanita itu memberi jaminan, pasti
anaknya akan diterima. Tetapi memang jaman sekarang sulit mencari pekerjaan, dan
sering itu sebagai lotre saja. Semakin banyak beli karcis lotre, kemungkinan diterima
juga banyak. Ayah anak itu, alias yang kehilangan kerbau tadi, hanya mengucap
terimakasih dan dimohon, kalau Bu Dukuh lewat, sudilah singgah di rumahnya.
Wanita itu mengatakan: "Ya, nanti, coba kalau kebetulan lewat."
Pak Dukuh sekali lagi mempersilakan tamunya minum, dan ia mulai bercerita
tentang jumlah wisatawan yang semakin banyak mengunjungi jurang dekat desanya.
Ia mulai melawak bahwa gunung berapi jaman sekarang sudah jadi semacam Sekaten⁴⁾
model baru. Pasti sebentar lagi Simbah Petruk rindu kepada kekasihnya Nyai Loro Kidul.
Dan bila nanti ia memuntahkan lahar lelakinya, nah, pasti banyak wisatawan akan
datang melihat Gunung Merapi meletus. Ada seorang dengan suara macan tua
berkata, bahwa mudah-mudahan bila meletus, tepat pada hari Lebaran, sehingga ia tak
memerlukan lagi membelikan mercon untuk anak-anaknya yang rewel. Tentulah itu
menimbulkan reaksi protes oleh kelima orang lainnya. Tetapi akhirnya semua sepakat,
bahwa memang anak-anak sekarang sulit dan rewel minta ini minta itu yang tidak
perlu.
Tetapi Pak Dukuh mengatakan, bahwa memang itu merepotkan, tetapi bagaimana
lagi, itu sudah konsekuensi jaman pembangunan. Tiba-tiba suara serak yang
kehilangan kerbau tadi memohon, apa memang betul tidak ada jalan keluar agar ia
diberi kemurahan. Akhirnya sesudah melingkar-lingkar Pak Dukuh berjanji, masalah
ini akan ia ajukan ke pihak kelurahan.Terserah beliau nanti bagaimana, kebijaksanaan
mana yang perlu diambil.
¹⁾ Pengucapan salah dari kata yang seharusnya instruksi.
²⁾ Pemberian hadiah berupa makanan kepada tetangga sehubungan dengan sesuatu
peristiwa..
³⁾ Maksud, motivasi permohonan.
⁴⁾ Perayaan Gerebeg Maulud di Yogya.
140
Sekali lagi Pak Dukuh menegaskan, bahwa semua itu bukan bermaksud menambah
kesedihan seorang kawan sedesa yang dirundung malang kerbaunya hilang, tetapi
hanya dan melulu demi ketaatan kepada pemerintah.
Sebab menurut pemerintah, sudah terlalu banyak kerbau dan kambing hilang. Maka
perlu diadakan tindakan untuk menanggulangi peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan itu, yang memberi kesan, seolah-olah negara kita ini liberal dan hanya penuh
kekacauan saja. Maka perlulah semua itu ditertibkan, dan setiap orang harus ikut
bertanggung-jawab.
Maka siapa yang kecurian ternak apa lagi kerbau yang begitu mahalnya, harus
sanggup membuktikan diri mampu menjaga hak milik masing-masing secara warganegara yang bertanggung-jawab. Jika toh terjadi ada yang kehilangan kerbau dan
sebagainya, jelaslah ia kurang waspada dan lalai dalam tugasnva terhadap keamanan
dan ketertiban masyarakat. Maka ia harus didenda. Itu bukan hukuman atau keputusan
hakim, tetapi hanya peripentip¹⁾, artinya sedia payung sebelum hujan, agar semua
berjalan tertib dan tidak menimbulkan keresahan yang tidak perlu.
Kelima orang itu mengucapkan terimakasih atas segala kebaikan Pak Dukuh dan
dengan penuh hormat dan sedikit lega mereka mohon diri. Mereka memberi hormat
kepada tamu Pak Dukuh yang masih duduk sendirian di lincak emperan. Sekali lagi
mereka minta maaf bila mengganggu Pak Dukuh dan mulailah batere-batere menyala
menembus kegelapan. Pak Dukuh minta permisi pergi sebentar untuk memeriksa
aliran air di selokan ke sawahnya, serta mengucapkan selamat malam kepadaku.
Dan sendirianlah sang peziarah Setadewa. Tiba-tiba dari antara dedaunan
pepohonan kulihat lidah api menyala. Apa itu? pikirku. Komet? Iintang beralih?
Akhimya aku tahu. Ah, itukah yang sering diberitakan di koran-koran akhir-akhir ini:
lidah lahar yang keluar dari kawah Merapi? Setiap sepuluh tahun sekali paling sedikit
dan teratur, Gunung Merapi meletus. Ini tahun 1968. Jadi sudah saatnya, di sekitar
pergantian dasa-warsa "ditunggu" letusan. Lama aku memandang kepada semburansemburan lidah api yang meleleh ke bawah itu. Elok, ya, indah. Banyak yang kejam
keji tampak indah dari kejauhan.
¹⁾ Dari kata preventif
141
18. Aula Hikmah
Mengapa mereka membangun kompleks universitas dengan arsitektur begitu
Jelek di tengah alam dan masyarakat yang begitu cantik? Aku sudah mulai belajar
sumarah seperti Mami, tetapi darah Untung Surapati dalam Papiku masih memberang
terus. Negeri ini sudah kehilangan kepribadiannya, atau apa istilahnya tadi dalam
kartu undangan? "Jatidiri dan bahasa citra". Ya, kesejatian diri sudah hilang dari
masyarakat sini, yang terlalu lama dan terlalu bertubi-tubi diserang desintegrasi
politik, ekonomi maupun kebudayaan. Di mana-mana arsitektur selalu menjadi
detektor yang tidak bohong, merekam dan mensinyalkan keadaan diri suatu bangsa.
Begitu gado-gado dan simpang-siur perwatakan gedung-gedung itu, minta ampun.
(JIKALAU ada wataknya). Karakter,itulah yang digemblengkan Papi padaku. Citra,
ltulah yang dianugerahkan padaku oleh Mami dan oleh ... Atik.
Pagi itu, aku dari hotel (bukan hotel, tetapi kamar yang berkat kedermawanan
seorang tumenggung Keraton boleh kusewa) menuju ke kampus universitas yang
paling termasyhur di negeri ini dan kata orang menjadi simbol dari kepribadian
bangsa Indonesia. Aku kecewa memang terhadap ekspresi kepribadian itu, tetapi
sekali lagi, aku sudah belajar sumarah dan tidak terlalu memberang bila ada yang
kurang menyenangkan dalam negeri ini.
Pagi itu Nyonya Janakatamsi, Kepala Direktorat Pelestarian Alam akan
mempertahankan tesisnya untuk meraih gelar doktor biologi di hadapan Senat
lengkap beserta undangan. Aku bukan undangan, karena sampai sekarang aku belum
pernah (berani) berhubungan lagi dengan Atik, alias Nyonya Larasati Janakatamsi,
isteri Dekan Fakultas Geologi salah satu universitas swasta di Jakarta dan Kepala
Laboratorium Maritim Angkatan Laut. Tetapi kartu undangan dapat kuraih, karena
salah seorang perwakilan Ford Foundation yang kukenal dan diundang, pada hari itu
masih turne di Ujungpandang. Dari pimpinan protokol kemarin aku mendapat
kepastian, bahwa untuk upacara itu aku boleh-boleh saja berbaju batik, sebab itu
sudah dianggap pakaian resmi dan rapi. Bagus, inilah satu-satunya yang kuingini,
berpakaian tidak kaku, kalau aku berjumpa dengan Atik nanti. Sebab pastilah aku
akan berjumpa dengannya. Salah satu copy dari penelitianku tentang kecurangan
komputer yang gawat itu telah kutitipkan dalam almari biro seorang kenalan pastor
yang dapat kupercaya.
Segala informasi mengenai pribadi suami Atik telah kudapatkan dan dia ruparupanya akan dapat kuharapkan menjadi matarantai yang ideal untuk pelaksanaan
keputusan yang telah kusumpahkan di hadapan nisan Mami dan Papi. Sebetulnya
motivasi persoalan rahasia komputer semacam itu kurang pada tempatnya, dan aku
tak henti-henti menenteramkan hati-nurani, bahwa motivasi pertama bukanlah
masalah kalkulasi komputer, melainkan memang sudah saatnyalah aku berhadapan
muka, mata lawan mata dengan kekasihku.
142
Ya, ia sudah kawin dengan orang lain, tetapi dalam hati ia tetap kekasihku. Betapa
pun bejat atau gagal seseorang, ia berhak mempunyai pujaan hati. Dan pujaan hati
jangan selalu dihubungkan dengan seks. Aku tahu, itu maha penting, seks, tetapi aku
tahu juga dalam pengeterapannya terhadap Atik, seks jatuh pada nomor tiga atau
empat. Bukan, motivasi utama: aku mendatangi upacara penggelaran doktor kepada
sahabatku Atik, dan itu benar-benar datang dari jiwa yang tulus dan bangga atas
keberhasilannya. Atik selalu berhasil. Entah, memang sering ada manusia yang selalu
berhasil dan ada yang selalu gagal. Petani mengatakan ada yang "dingin tangannya",
sehingga semua tumbuh subur kalau dia yang menanam. Tetapi ada yang "panas
tangannya". Apa saja yang ia tanam, selalu sial tidak tumbuh subur. Selain bertangan
dingin, Atik punya kecantikan yang khas, yang tidak menyala seperti glamour
perempuan-perempuan dalam resepsi-resepsi, tetapi bagaikan kunang, yang
bercahaya tanpa panas. Tanpa suara dan tanpa pretensi, tetapi sangat menarik,
khususnya untuk orang-orang jago kelahi seperti aku ini.
Aku memilih kursi baris kedua di sayap sebelah kiri. Di sana tidak silau menatap
sinar matahati pagi, dan aku ingin melihat Atik dalam profil. Ia dulu indah kalau
dipandang dari samping (kata orang test terbesar ialah pandangan dari profil) dan itu
pula satu-satunya sudut pandangan yang paling jelas dapat dinikmati penonton dalam
penataan kursi berbentuk tapal-kuda. Bukan, aku bukan penonton. Aku salah seorang
mahasiswa, atau lebih tepat sang pencari. Belajar dari ajaran Sang Waktu. Tidak ada
seorang pun yang kukenal dalam Aula Agung ini. Itu baik dan memang wajar.
Bagaimana pun aku masih tetap orang asing. Atau yang mengasingkan diri. Atau
lebih tepat: yang senang mencari di dalam wilayah-wilayah yang tidak dilalui
gerombolan. Yang berkelahi di luar pagar aman. Aku tidak meremehkan para hadirinhadirat yang berwarna-warni kebaya mau pun berdasi itu. Cuma aku lain. Heh?
Hanya aku sendirian yang pakai baju batik? Lain-lainnya serba berbusana distinguished
class, gabardine, wool jas model mutakhir dan dasi Cardin, Yves St. Laurent atau
Hongkong biasa. Rupa-rupanya aku yang paling nasionalis. Hahaha, ex KNIL yang
nasionalis.
Jruet! Jruet! Jruet! Sang Seremonarius, penata upacara muncul di pintu utama, bertoga
hitam dan bertopi ilmiah segi lima berkucir beserta tongkat-panjang berpucuk
lambang kuningan (belum di-brasso) yang kecoklat-coklatan hijau. Lambang itulah
yang tadi berbunyi, dipukul-pukulkan ke lantai: jruet! jruet! jruet! Seperti kaleng
tukang pijat.
Semua hadirin-hadirat serentak berdiri. Tiada suara tiada musik; iklim tembaga,
aluminium, selenium dan silikon. Para profesor masuk melangkah serius, didahului
rektor yang pendek gemuk berkacamata burung uhu. Ada dari dewa-dewa itu yang
tersenyum mengangguk pada seorang kenalan. Ada yang berwajah tank panser
Centurion. Ada yang rupa-rupanya ogah-ogahan, acuh tak acuh, lagaknya lebih suka
di laboratorium menyuntiki kelinci-kelinci dan tikus putih daripada harus ikut liturgi
yang seram ini.
143
Barangkali itu profesor matematika yang mengedipkan mata pada seorang gadis yang
tersenyum malu Jawa. Aneh, pada saat aku seharusnya berdebar-debar menghadapi
saat melihat Atik lagi, aku sekarang bahkan tenang. Hatiku sudah jadi silikon
komputer juga, kataku dalam hati berkelakar.
Ah, itulah Sang Pujaan. Nah, tersenyum, merasa sip dia, walaupun telah satu tahun
melampaui umur 40 tahun; dengan karir yang begitu pesat, citra yang tersenyum
dikulum itu seolah-olah masih dalam usia 30-an. Suaminya lebih pendek dari Atik.
Rupa-rupanya orang yang tenang dan baik hati, walaupun wajahnya tampak serius. Ia
menggandeng istrinya dengan langkah-langkah yang penuh perhatian kepada istrinya,
dan sekali, entah suatu kotoran apa yang kebetulan menodai lengan kebaya istrinya
diselentik bersih. Atik sendiri revolusioner sekali, berkebaya lurik coklat-hitam,
seperti simbok Pasar Beringharjo, tetapi yang justru mencahayakan kulitnya yang
putih langsep. Tipikal untuk dia! Selendang juga seperti simbok-simbok di kaki lima.
Sanggulnya alhamdulillah tidak ekstrim mirip simbok-simbok, tetapi juga tidak
bermodel nyonya metropol masa kini.
Pada kursi baris termuka Tuan Janakatamsi melepaskan istrinya, saling
berpandangan dengan senyum dan mengangguk. Dua dayang-dayang, yang satu
berpakaian ala Sunda sedangkan yang lalnnya gaya anggun Sala tetapi modern
luwes, mendampingi Sang Doktoranda. Seonggok komposisi bunga anggrek putih
yang menyerupai sekawanan kupu-kupu diserahkan Atik kepada dayang-dayang ltu.
Bergelegarlah suara seremonarius mewartakan tujuan sidang istimewa ini, lalu
menyerahkan acara kepada Bapak Rektor.
Tubuh kekar pendek berkaca-mata ilmiah itu berdiri, dan mengucapkan selamatdatang, pertama kepada rekan-rekan profesor dan para tamu. Kepada alamat
doktoranda ucapan disertai humor halus terselubung, sepadan dengan jabatannya,
namun jelas, memuji kecantikan promovenda. Sebab justru di dalam lambang kebaya
lurik hitam rakyat jelata itu semoga wartaharapan universitas .yang didirikan di
tengah keprihatinan perjuangan revolusi kala itu, se1alu terkabul; yakni warta
tentang pengabdian kepada manusia-manusia sebangsa yang paling dilupakan. Dan
khususnya bagi generasi muda semogalah itu merupakan peringatan, bahwa ilmu dan
mengabdi kepada rakyat bukanlah dua perkara yang sepantasnya dipisah-pisahkan.
“Selamat datang kepada semua hadirin-hadirat yang mulia, dari jurusan mana pun,
sebab tesis yang harus dipertahankan doktoranda ini menyangkut kita semua juga.
Judul disertasi yang diajukan oleh Dra. Larasati Janakatamsi sungguh sejalan dengan
jabatan doktoranda selaku Kepala Direktorat Pelestarian Alam, yakni 'Jatidiri dan
bahasa citra dalam struktur komunikasi varietas burung Ploceus Manyar. ¹⁾ Seorang
profesor di samping Rektor bertepuk-tangan, yang disusul oleh spontanitas tepuktangan hadirin-hadirat. Termasuk aku juga.
¹⁾ Burung manyar.
144
Rektor mempersilakan promotor sebagai pembicara pertama.
Profesor itu tipe orang Aceh, sudah tua dan dengan suara perlahan-lahan mulai
dengan memperkenalkan promovenda selaku wanita pejuangan, yang sejak
Proklamasi selaku gadis berumur 17 tahun sudah berbakti dalam pergulatan diplomasi
menghadapi dunia internasional demi kemenangan bangsanya. Walaupun hanya
seorang sekretaris sangat muda di bawah bayangan para garuda dan elang diplomatdiplomat tinggi yang rata-rata masih muda juga ketika itu, Doktoranda Larasati
Janakatamsi dikarunai jiwa yang arif untuk gadis sehijau kala itu."
Kearifan itu lebih tampak dalam karya yang dipilihnya, sesudah perjuangan militer
maupun diplomasi bangsa kita mencapai kejayaan, yakni spesialisasi dalam suatu
bidang, yang pada waktu itu dan pada saat sidang yang mulia ini berjalan, baru satu
dua yang memikirkannya, yaitu kualitas hidup, kualitas lingkungan bagi generasi
yang akan datang.
Dan walaupun sudah menjadi seorang ibu berputera tiga orang, namun
promovenda masih mampu menata waktunya untuk berbakti dalam dunia ilmu
pengetahuan. Sebab, menurut Doktoranda Larasati Janakatamsi, ilmu-pengetahuan
dan kebahagiaan rumahtangga bukanlah dua dunia yang terpisah.
"Oleh karena itu, saya beserta rekan-rekan ko-promotores, dan saya yakin para
rekan penyanggah juga beserta hadirin-hadirat yang arif bijaksana, pastilah kita
merasa mendapat kehormatan untuk menyertai Saudari Larasati Janakatamsi dalam
sidang ilmuwan ini".
Sesudah diam sebentar, dengan anggukan anggun, promotor menghadap ke arah
tokoh sidang: "Saudari Promovenda, Anda telah meneliti masalah-masalah aktivitas
kelenjar-kelenjar prothorax dan otak burung-burung keluarga Fringilliadae dan
Ploceidae. Khususnya Ploceus Manyar alias burung-burung manyar, pencuri-pencuri
padi itu, yang pandai membuat sarang berbentuk perut dan berpipa ke bawah.
Terutama Anda telah membuat analisa bagus tentang seluk-beluk hormon-hormon
juvenile atau dengan istilah kita, hormon-hormon peremajaan keluarga Ploceus dalam
hubungannya dengan perilaku burung-burung manyar tersebut, bila mereka sedang
menginjak masa birahi dan perkawinan. Tentulah saudari meneliti semua itu tidak
lepas dari perspektip relevansi kenyataan, bahwa kita manusia pun, saya kira semua di
dalam sidang mulia ini, pernah birahi juga." (Gumam ketawa hadirin bagaikan lebahlebah. Rektor mengangguk-angguk dan kepala Atik agak oleng tersenyum dikulum.
Aku tidak ikut tersenyurn). Dapatkah Anda menerangkan relevansi penelitian Saudari
untuk pembangunan kehidupan kita sebagai nasion yang masih muda ini?" (Beberapa
kursi bergerak nervous).
Larasati: "Saudara Rektor, Saudara Promotor, Senat yang saya hormati dan
hadirin-hadirat yang budiman. Terimakasih. (Seorang dayang mendekatkan mikrofon
pada Atik). Ketika saya masih kecil (suaranya masih sama dengan dulu, ya Tuhan)
ayahku almarhum yang menjadi promotor pertama dalam kecintaanku kepada dunia
flora dan fauna, (tersenyum mengangguk kepada promotor utarna tadi, yang juga
tersenyum mengangguk tanda penuh pengetian) pernah menunjukkan padaku perilaku
yang dramatis bahkan sering tragis dari manyar-manyar lelaki..
145
Maaf, jantan. (Tertawa lirih dari publik. Aku tegak terkejut dan tangan kusilangkan di
muka dada) Kalau mereka sudah akil-balik dan menanjak masa mereka berpasangan,
kita tahu, mereka mulai membangun sarang, terbuat dari alang-alang atau daun-daun
tebu atau daun-daun lain yang panjang. Benar-benar ahli dan bersenilah mereka
membangun sarang yang rapi serta bercitra perlindungan yang meyakinkan. ltu yang
jantan. Yang puteri-puteri (gumam ketawa teredam) hanya melihat saja dengan enakenak santai, tetapi penuh perhatian kepada kesibukan para insinyur-insinyur muda itu
(lebih keras ketawa seluruh aula. Profesor yang acuh-tak-acuh tadi mulai tersenyum
simpul). Namun mulailah lakon mendramakan diri. Manyar-manyar betina itu
menaksir hasil pembangunan para jantan itu, (Atik diam sebentar)
mempertimbangkan sejenak (diam ... ) dan memilih yang ... (diam lagi, beberapa leher
hadirin menjadi panjang) berkenan di hati mereka. Berbahagialah yang dipilih itu
(Aula: Ooh! Ooh! Ooh!) Tetapi alangkah sedihnya bagi yang tidak dipilih (merata
ketawa ejekan). Lalu inilah yang terjadi. Para usahawan yang menawarkan hasil
tehnologi mereka tetapi tidak laku itu sedih. Serba frustrasi. Sarang yang sudah selesai
itu dilolosi dan dibongkar sehingga semua rusak, lalu segala jerih payah yang gagal
itu dibuang ke tanah (publik: Ooooh! Beberapa profesor seperti terpukau, bahkan
yang barangkali profesor matematika tadi mulutnya agak melompong). Tetapi
syukurlah, mereka tidak putus asa. Manyar-manyar jantan yang frustrasi tadi mulai
mencari alang-alang dan daun-daun tebu lagi dan sekali lagi dari awal mula
membangun sarang yang baru, penuh harapan, semoga kali ini berhasil dianugerahi
hati berkenan dari seorang putri keraton. (Seluruh aula bertepuk-tangan dan para
nyonya yang berkipas-kipas itu geli saling bercubit-cubitan. Atik hanya melihat ke
plafon. Senyum dikulum seperti anak nakal yang berhasil memanja orang-orang tua).
Dan inilah saudara saudari, yang merupakan fokus penelitianku selama ini.
Pertanyaan-pertanyaanku ialah: dari mana datang perilaku yang sedemikian? Yang
mengaburkan pembatasan tajam antara yang disebut naluri yang dipastikan dan sikap
sadar yang sanggup untuk memilih ? Sanggup memilih mengandaikan suatu kemampuan untuk menimbang, untuk memegang kendali nasib, untuk berkreasi. Sebab
siapa berkemampuan untuk memilih, dia mengatasi nasib, ia raja yang menguasai
dalil rutin belaka. Dari pihak lain, dari mana perasaan sedih dan kecewa dan
kejengkelan yang lalu melolosi dan merombak sesuatu yang dinilainya gagal? Dari
mana lalu datang tekat baru yang kreatif kembali, yang mengandaikan jiwa yang
punya harapan, yang tidak menyerah hanyut, namun aktif menimbulkan fajar yang
baru.
''Dari sebab itu, pengetahuan yang mendalam mengenai seluk-beluk pengambilan
keputusan dan naluri nasib yang hanya tunduk kepada kepastian buta, akan dapat
menolong kita, memaharni hal-hal yang kolektif, yang seolah-olah merupakan suatu
instink keharusan adat maupun kebiasaan nasional; dalam perpaduannya yang serasi
dengan segala yang kreatif, yang serba baru dan khas pribadi.
146
Sebab, walaupun kita adalah manusia dan berbakat kesadaran serta berpotensi
emosional mampu memilih dan mengambil keputusan yang berdaulat, kita tidak boleh
lupa, bahwa kita tertambat dengan berjuta-juta benang halus sutera tak tampak dengan
alam raya dan dunia flora dan fauna. Juga dengan tanah air dan rakyat. Semoga
demikianlah." Selama uraian Atik itu, kipas-kipas para nyonya berhenti tanpa disuruh.
Aku diam, diam tak bisa berkutik.
Giliran berikut ada pada ko-promotor, seorang profesor berkulit putih yang
diintroduksi oleh Rektor selaku profesor universitas dari Basel Swis. Profesor Doktor
Chauvigney. Ia bertanya dalam bahasa Inggris berlogat Prancis: ''Di negeriku ada
burung sejenis Larus. Di Indonesia jenis Larus yang sesungguhnya tidak ada, tetapi
ada yang mirip mereka, ialah merpati laut. Ketika masih sangat muda dan tinggal
dalam sarang mereka berwarna kelabu pasir. Itu warna penyelubung terhadap musuh.
Sesudah itu mulailah kepalanya berwarna coklat matang dan putih di sekitar mata.
Sayapnya juga menjadi coklat bercampur bulu-bulu putih remaja. Baru dalam tahun
kedua, sebagai tanda kedewasaan Larus atau Lahmeuwe itu sayap-sayapnya menjadi
kelabu gemilang, ekornya putih murni dan warna kepalanya coklat indah, hampir
hitam, sedangkan kaki dan paruhnya merah menantang. Juga pada binatang lain
seperti kupu-kupu, kita melihat perubahan bentuk maupun warna yang kita kenal
dengan istilah metamorfosa. Dari ulat, kepompong, ke kupu-kupu yang begitu indah.
Apakah semua itu serba kebetulan? Mengapa tanduk rusa begitu fantastis, mengapa
ikan-ikan dan mahluk-mahluk lautan Banda begitu indah clan bergerak elegan,
sehingga orang hanya dapat takjub dan bungkam melihat segala kecantikan yang telah
hadir di kedalaman atau pun di angkasa sebelum manusia ada? Apakah dalam dunia
binatang dan kemolekan bunga-bunga anggrek atau mawar itu kita hanya menjumpai
suatu permainan serba kebetulan tanpa arti belaka? Sebab, kalau semua itu diteliti
mengapanya dan efisiensi fungsionalnya, segala kreasi fantastic seperti bulu-bulu
burung cendrawasih atau keunikan kreasi sarang burung-burung manyar itu obyektif
tidak perlu. Atau dengan kata lain, apakah dunia di bawah jenis manusia itu dapat
merencana, mendisain, berkreasi seni?
Bagaimana pandangan Nyonya Promovenda mengenai itu semua dalam
hubungannya dengan tugas ilmuwan biologi?" Semua seolah-olah tidak dapat
bernafas. Pertanyaan-pertanyaan itu rupa-rupanya sudah melampaui daerah
kompetensi ilmu biologi. lni sudah filsafat, ini sudah bidang religi. lni pertanyaanpertanyaan maha sulit. Bagaimana wanita itu dapat menjawabnya? Semua berdebardebar.
Larasati: ''Tuan Profesor Chauvigney, pertanyaan Tuan menyangkut sesuatu yang
paling dalam, yang pada saat ini sedang diteliti oleh para ahli biologi. Tuan, di sinilah
sebenarnya termaktub permasalahan budaya manusia masa kini, di Timur maupun di
Barat, di Selatan maupun di Utara. Masalah kuantitas dan kualitas. Selama para
biolog hanya mampu melihat sebagai penonton atau sebagai penghitung komputer
yang serba berkecimpung dalam hal-hal tehnis belaka (mati aku !),
147
atau dengan kiasan sehari-hari, bila seorang lelaki melihat perempuan hanya sebagai
benda molek yang perlu dicatat ukuran-ukuran vitalnya (gumam ramai) atau
menganggapnya sebagai obyek kebanggaan dan induk yang menelorkan anakanaknya (kipas-kipas para nyonya tiba-tiba pada bergerak nervous), maka sang ahli
biologi belum menemukan panggilannya yang sejati. Maka lalu bangsa berperang
melawan bangsa lain berdasarkan kesimpulan perhitungan, dan terletusiah suatu
strategi yang dipastikan oleh silikon-silikon komputer (lagi kau!). Jikalau demikian,
belumlah orang mengenal jatidiri kehidupan dan panggilan kita selaku manusia.
Jatidiri atau Innerlichkeit dalam bahasa Jerman, sesuatu sumber kesadaran-diri di
dalam lubuk kedalaman hakekat kita yang masih serba misteri ini, ternyata tidak
hanya ditemukan di dalam manusia. Ternyata dari perilaku burung-burung manyar
tadi sudah terbaca segala itu. Bahasa kasih-sayang dan emosi kebencian yang
diobservasi pada jenis-jenis simpanse, dan sekian bahasa saling kenal serta saling
berkomunikasi antara para lebah-lebah atau pun tari-tarian cinta para serangga,
menunjuk samar-samar pada kita secara empiris dan faktual, betapa ada dan sering
begitu cemerlang jatidiri para mahluk itu memancar ke Iuar. Metamorfosa burungburung Larus negeri Tuan tadi merupakan pergantian warna yang dibawa oleh
perkembangan umur. Namun Iebih dari itu, hal tadi terbawa oleh keadaan diri, oleh
riak-riak hidup jatidiri mereka dari dalam, terbawa oleh pembahasan yang berhasrat
mencurahkan diri kepada mahluk lain.
Binatang-binatang peka tentang apa dan bagaimana yang disebut suasana serta
warna-warni situasi. Di negeri Tuan, berkat beberapa penderma budiwan, saya pernah
mengalami suasana hutan, dalam perbandingan keempat musim. Kendati pun kita
tidak dapat melihat burung-burung itu sendiri, jelaslah sudah, betapa ramai di musim
semi mereka berkicau dan bercanda seperti ikut riang memberi selamat datang kepada
bait-bait sajak kehidupan baru. Nyanyian mereka bukan hanya ekspresi atau
ungkapan suatu suasana, tetapi adalah suasana itu, adalah bahasa citra kejadian yang
sedang aktif mereka cipta bersama dalam harapan kehidupan baru. Begitu juga pada
awal musim panas. Lain sekali pada akhir musim panas dan musim gugur. Betapa
sunyi, seolah segala telah terpenuhi dan para mahluk tinggal menikmati sang buah.
Kesunyian para burung itu bukan hanya melambangkan, tetapi adalah syukur itu
sendiri, karena terpenuhilah dambaan. Kicauan dan nyanyian burung, Tuan Promotor,
adalah ada-diri, adalah citra-diri.
Hadirin-hadirat, budiwan-budiwati. Burung-burung seperti manyar-manyar yang
saya teliti dengan penuh kekaguman namun juga dengan penuh pertanyaan itu, bukan
hanya MEMbangun sarang burung, melainkan adalah bahasa Pembangunan itu
sendiri yang mengejawantah ke dalam sikap dan emosi yang dapat tercatat oleh mata
manusia, tertangkap telinga manusia. Dan hati penuh pertanyaan terangkat oleh
manyar-manyar yang riang terbang, ikut melayang menukik dan menarikan kehadiran
diri di langit. Haruskah kupu-kupu itu berwarna justru kuning ini atau hijau itu?
148
Haruskah burung cendrawasih dan merak itu memiliki bulu-bulu yang imperial tak
tertanding oleh maharani mana pun? Jika kita masih tinggal dalam pertanyaan harus
atau tidak harus, bila kita baru melangkah pada data obyektivitas, bila kita masih terkurung dalam angka-angka komputer tanpa mencari arti maupun makna di dalamnya,
maka kita tidak akan memahami sang burung manyar atau pun sang kupu-kupu,
mawar maupun anggrek yang mekar tanpa keharusan seelok itu. Dalam alam raya
terdapat gerak dan kelakuan yang harus, yang eksak, yang menurut dalil. Akan tetapi
syukurlah alam raya telah menunjukkan kepada para biolog dan kepada kita, bahwa
asal saja kita mau dan mampu membaca bahasa Sasmita¹⁾ dalam data-data biologi itu,
kita akan terjumpa pada pertandaan, bahwa benarlah ada di dalam alam dan
khususnya dalam manusia: sesuatu Misteri yang mengatasi, yang merdeka dan yang
tersenyum. Khususnya apabila kita merasa atau menjadi lain dari yang lain, sehingga
menemukan keharuan luar biasa. Percandaan antara yang harus dan yang merdeka
serba bermain kreatif, itulah Tuan Promotor, salah satu panggilan umum sederhana
yang dapat saya baca dari warisan para peneliti dunia biologi, namun juga dari datadata yang saya terima sebagai anugerah dari burung-burung manis tanah-air saya.
Maafkan kata-kata saya yang terlampau panjang. Semoga berkenanlah gagasan saya
itu."
Para profesor mengangguk-angguk. Beberapa orang nyonya dan gadis diam-diam
mengusap air-mata. Dan tiba-tiba aku merasa sunyi, sedih dalam keadaanku yang
dingin sendirian, seperti manyar yang gagal.
Aku bertanya pada diriku, apakah Atik tahu aku hadir dalam aula itu? Setiap kata
seolah menyindir mengena diriku. Masih banyak pertanyaan dari profesor-profesor
penyanggah lain yang harus dijawab oleh Sang Doktoranda. Aku yakin bahwa
jawaban-jawabannya serba gemilang, tetapi aku sudah tidak mendengarkan lagi apa
yang terucap. Aku hanya memandang pada wajah yang mirip Bu Antana itu, profil
ningrat dengan sanggul agak tinggi yang berkesan agak kuna, tetapi yang dengan
koket seperti wanita-wanita Jepang, memperlihatkan lekukan kecil di tengkuknya,
bila ia menoleh sedikit ke arah kanan. Kontras kulit putih dengan warna lurik coklathitam kasar itu memang memukau dan sebenarnya sexy juga. Kuamat-amati juga
kadang-kadang suaminya. Orang tanpa banyak temperamen rupa-rupanya ia, kontras
sekali dengan Atik yang kiprah²⁾di tengah Aula ini. Bagaimana rasanya menjadi
suami Larasati? Mengapa justru dia yang dipilih? Apakah karena sarang manyarnya
lebih baik dariku? Jelas, ya begitulah. Pasti itu kesimpulan setiap orang normal. Satu
hal yang kupelajari pagi itu: Aku harus meloloskan segala serat dan daun-daun tebu
dari sarangku. Sarang lama harus kurombak, kuhempaskan di tanah dan mulai lagi.
Mulai pada umur 46 tahun? Tetapi Atik meraih gelarnya sesudah melampaui tahun
keempat puluh. Benarkah perkawinan selalu harus dijadikan terminal terakhir? Dapatkah orang mencintai tanpa kawin? Barulah terasa olehku, betapa berat badan
manusia yang terlambat.
¹⁾ Sasmita = pertanda-pertanda yang tertangkap maknanya oleh seseorang yang
peka perasaannya.
²⁾ gerak terbang gaya dalam tari jawa.
149
Seorang profesor menanyakan, mengapa metamorfosa dalam siklus kehidupan
hanya terdapat dalam hewan-hewan jenis rendah?
''Profesor Harun, di sinilah timbul suatu dimensi baru yang seumumnya dalam
binatang-binatang rendah belum tampak, yakni tumbuhnya individuum. Semakin
tinggi tingkat dalam rangkaian evolusi, semakin menonjol aspek kompleksitas, namun
semakin memancar juga jatidiri itu. Dalam manusia aspek kepribadian muncul dan
inilah salah satu fase mulia, yang membedakan manusia dan binatang-binatang
tingkat tinggi dari binatang rendah.
Seekor cacing atau serangga sebenarnya hidup dalam dan demi kolektivitas yang
menenggelamkan individu binatang warga sukunya. Seekor individu lebah-lebah
dalam kolektivitas tidak begitu penting. Yang penting ialah jenisnya, suku
keluarganya, bangsa-lebah. Tetapi dalam simpanse kita melihat, betapa unsur individu
di sini sudah kuat. Seekor simpanse pada suatu hari, jika ia suka dan cukup kuat,
dengan berdaulat akan membentuk keluarga sendiri, dan tak gentar melepaskan diri
dari kelompoknya untuk membentuk kelompok baru.
Di dalam manusia, sebagian hidupnya, yakni tatkala ia masih dalam kandungan ibu
dan sekitar satu tahun sesudah lahir, masih tenggelam dalam ketidak-sadaran jenisnya.
Agar ia dapat tumbuh dan berkembang dalam rahim dengan pewarisan hal-hal yang
vital dari jenis kemanusiaan. Tetapi di luar rahimlah ia disempurnakan di dalam suatu
lingkungan yang kaya. Manusia pertama-tama dan dari kodratnya memang manusia
yang sosial, dan yang hanya mungkin bermekar dewasa di dalam lingkungan beserta
dan di dalam dialog dengan yang lain. Tetapi pemekaran dalam rahim masyarakat
sekaligus berupa pemerdekaan diri; ia harus tumbuh menjadi pribadi dan karakter
yang kuat. Seluruh bahasa citranya, sikapnya yang berjalan maju tegak,
kemampuannya yang dapat menonjolkan diri dalam bahasa dan kreativitas seni, serta
di dalam kesanggupannya bertindak berdasarkan keputusan yang sadar, sudah
merupakan jelmaan ada dirinya. Aktivitas menjadi pribadi. Dan seluruh tubuh,
pancaindra serta sikap luarnya sekaligus adalah citra yang aktif mengkreasi diri,
sehingga dengan demikian manusia semakin manusiawi."
Prof. Zainal Abidin: "Apakah dalam penelitian Nyonya dapat ditemukan suatu
kesimpulan yang relevan perihal gejala universal, ialah yang sering kita sebut:
tumbuhnya generasi muda? Bagaimana pandangan Nyonya terhadap generasi yang
sedang tumbuh?"
"Dalam perilaku manyar betina, seperti yang umum tampak juga dalam jenis-jenis
binatang lain, rupa-rupanya masalahnya bukanlah pertama-tama si betina senang pada
partnemya. Tetapi si betina dari awal mula, begitu pun si jantan, seolah-olah bersikap,
bahwa yang penting bagi mereka ialah telur dan proses penjagaan telur menjadi
generasi manyar-manyar baru. Dalam seluruh alam fauna dapat dikatakan, bahwa
sudah sejak awal mula, binatang memperhitungkan dan membentuk lingkungan yang
seoptimal mungkin demi sang telur atau generasi yang akan datang.
150
Di dalam laboratorium pernah kami memperoleh beberapa ekor anak celepuk.
Berhari-hari celepuk-celepuk ayah-ibunya dari hutan setia datang menghampiri
kurungan dan membawa oleh-oleh tikus-tikus atau serangga untuk anak celepuk yang
kami tangkap itu. Bahkan ikan mujair pun menyuruh anak-anak mereka berlindung di
dalam mulutnya, bila ada bahaya mengancam.
Generasi muda, Profesor Zainal Abidin, dan ini jelas dalam perkembangan anak,
diberi bekal kesatuan diri dengan orangtua, dengan sang generatrix¹⁾, di dalam sistemsistem yang tertutup, dengan rongga rahim yang gelap namun menjamin kepuasan.
Tetapi sesudah lahir dan menjadi besar, anak dan generasi muda belajar menghadapi
dunia yang terbuka. Dan keterbukaan itulah yang memungkinkan dia menerima dan
memberi, dengan kata lain memekar menjadi manusia dewasa. Tetapi maafkan Bapak
Profesor, di sini kita sudah menginjak wilayah psikologi manusia, yang bukanlah
kompetensi saya."
Prof Latumahina: ''Pertanyaan terakhir saudari Promovenda, apakah yang akan
Anda sarankan dari segi seorang biolog untuk manusia masa kini, khususnya bangsa
kita?"
"Semoga kita belajar menghayati dimensi kualitas. Sebab, Bapak Profesor
Latumahina, segala Innerlichkeit, jatidiri kita, sebenarnya mendambakan arti, makna,
mengapa dan demi apa kita saling bergandengan, namun juga berkreasi aktif dalam
sendratari agung yang disebut kehidupan. Semoga dialog kita membahasakan diri,
tidak hanya dalam niat mau pun itikad belaka yang terkurung, melainkan berekspresi
dalam suatu tingkat kebudayaan yang tahu, ke mana Sang Pelita menuntun. Hadirinhadirat yang saya muliakan, jika judul yang saya pilih untuk disertasi ini memanfaatkan kata-kata jatidiri dan bahasa citra, maka memang itulah sebenarnya seluruh arti
ungkapan kita, dari bermain kelereng yang kita pertarungkan atau layang-Iayang yang
kita gelorakan atau main boneka semasa kita masih kanak-kanak, sampai pada saat
senja membelai dan menidurkan cucu yang mengantuk. Dari gerak-badan sport
sampai pementasan musik, dari dambaan dua kekasih yang saling mencari sampai ke
rasa bakti kepada Tuhan Yang Mahaesa. Semogalah antara jatidiri di dalam mau pun
bahasa citra ke luar selalulah tekat kita menari dalam gerak harmoni. Dan jika toh ada
sesuatu yang luka-Iuka dalam batin kita, entah itu karena kesalahan kita sendiri mau
pun kesalahan keadaan di luar kita, semoga kita juga mampu memahami bahasa
citranya. Misal saja citra wanita. Organ vital wanita dalam bentuk citra namun juga
bahasanya mirip luka-Iuka yang menganga, namun sekaligus daun-daun bunga
mekar. Kedua-duanya adalah citra namun sekaligus pengejawantahan jatidiri kita
manusia. Dan jika itu disebut kemaluan, hal itu karena kita tidak mengenal wanita.
Bukan kemaluan, melainkan kemuliaan suci wanita dan pria sekaligus. Dalam situasi
kejatidirian yang benar berarti, wanita tidak pernah malu, tetapi bangga dan bahagia
mendialogkan organ kewanitaannya dengan tawaran partner hidupnya.
¹⁾ Induk, dari bahasa Latin.
151
Namun itu hanya dapat terlaksana dalam kebenaran jatidiri, dalam kebenaran citra
bahasa yang jujur. Luka-Iuka DAN bunga.
Maka, jika kita pernah mengalami kegagalan, semogalah mahluk-mahluk burung
mungil yang bernama Ploceus manyar yang sekarang, sayang, namun juga untung
bagi pak tani, sudah semakin hilang dari persada bumi Nusantara kita, semogalah
burung-burung nakal namun pewarta hikmah yang indah itu, memberi kekuatan jiwa.
Sebab memanglah kita dapat sedih dan marah membongkar segala yang kita anggap
gagal, namun semogalah kita memiliki keberanian juga untuk memulai lagi penuh
harapan. Terimakasih."
Spontan tanpa dikomando seluruh Aula yang tadi hening terpukau, sekarang
meledak bertepuk-tangan, dan sekian pasang mata mengaca basah terusap. Ketika
para profesor itu keluar Aula menuju ke sidang tertutup, bersama Atik yang agak
pucat karena emosi dan yang diantar oleh suaminya yang sangat menjaganya itu,
jelaslah bagi semua, bahwa Atik pasti akan mendapat gelar dengan sebutar'. maxma
cum laude, dengan pujian gilang-gemilang.
Dan memanglah demikian, kudengar kemudian. Tetapi dalam gelora ucapan
selamat, aku sudah tidak ada di Aula, pergi dan menangis dalam hati.
Kesombongankulah dulu yang akhirnya menghempaskan sarangku berantakan di
tanah. Namun, namun ... Atik boleh berpidato indah, tetapi manusia bukan manyar.
152
19. Pendopo Perjumpaan
Aku tidak jadi bertemu dengan Atik. Terus-terang persoalannya terlalu kuanggap
enteng. Ternyata psikologis aku belum kuat menghadapi wanita satu ini, yang begitu
dekat dengan hatiku, tetapi begitu jauh, serasa tidak mungkin terjangkau. Aku tidak
takut pada perjumpaan, tetapi pada kelanjutannya. Untuk mengucap selamat dan
mengatakan bangga dapat menyaksikan suksesnya masih mudah. Untuk berkenalan
langsung dengan suaminya kuanggap juga bukan soal terlalu sulit. Aku tahu keadaan
bobotku. Sebagai saingan aku jelas kalah dan selain itu, waktu tidak dapat diputar
kembali. Aku terlambat. Dan bagi seorang berjiwa militer terlambat tidak sama
artinya dengan pegawai kantor yang datang terlambat. Bagi orang-orang seperti aku
ini, terlambat berarti lebih dulu terkena peluru, mampus.
Untuk zakelijk membicarakan masalahku mengenai rahasia kesalahan komputer
dan minta tolong untuk menyelundupkan informasi vital itu kepada pihak pemerintah
Indonesia melalui Atik atau suaminya juga bukan masalah yang teramat kutakuti. Aku
sudah menandatangani vonis diriku sendiri. Jadi bukan itulah. Akan tetapi akibatakibat sesudah bertemu dengan Atik. Itulah yang membuat aku lari. Memang bukan
tingkah terhormat bagi seorang militer maupun pengusaha, apalagi menejer, untuk
lari. Akan tetapi dalam saat-saat tertentu, selaku manusia biasa, barangkali lari adalah
jalan ke luar yang paling baik. Untuk semua pihak. Barangkali untuk sementara
waktu, tetapi riil. Dan boleh jadi paling baik untuk ketiga anak Atik. Alangkah mudah
sebenarnya menjadi sudut ketiga dari hubungan segitiga. Namun alangkah sukar
sebenarnya, jika orang masih, ya apa tadi istilahnya, jika orang masih menghargai
kualitas hidup. Soalnya bukan cuma berebutan jodoh, tetapi kualitas menghadapi
kekasih yang tidak terjangkau. Burung-burung manyar tidak merebut betina dari rivalnya, tetapi menerima dan menghormati pilihan si betina. Boleh sedih, membongkar
dan menghempaskan sarang yang dibangunnya dengan susah payah, dengan dedikasi
sepenuhnya, dengan hati seluruhnya. Tetapi jantan yang tidak dipilih tetap
menghormati kedaulatan pemilihan betina. Artinya menghormati keturunan.
Keturunan manyar pun ternyata harus merupakan telur dari pemilihan yang berdaulat;
pilihan se1aku mahkota penyediaan diri yang memperlihatkan kepercayaan kepada
pengayoman dan jaminan suatu sarang yang melindungi telur-telur. Kerelaan untuk
menjaga pemilihan demi keturunan menjadi kata terakhir dari drama cinta burungburung Plocei manyares. Tetapi sekali lagi inilah kesulitanku, aku bukan manyar.
Aku manusia dan aku Teto.
Sekembali di pondokku di rumah KRT¹⁾ Prajakusuma yang begitu baik dan ramah
itu, aku hanya dapat mengunci diri dalam kamar, menelan pil tidur agar aku
dibebaskan dari pergulatan batin yang tidak pernah akan bisa menemui satu jawaban
maxima cum laude.
¹⁾ Gelar istana Jawa: Kanjeng Raden Tumenggung.
153
Sesudah mandi aku diundang tuan rumah minum teh. KRT Prajakusuma masih
mengalami jaman kejayaan Hamengku Buwono ke VIII yang wafat pas sebelum
perang dunia yang lalu pecah. Panjang lebar dan penuh penghayatan masa lampau ia
mengisahkan upacara pemakaman jenazah rajanya di bukit Imogiri. Katanya, di
tengah siang bolong, guntur menggelegar ketika jenazah digotong ke luar istana. Ia
tidak mendengarnya sendiri, karena ketika itu ia bertugas mempersiapkan kedatangan
jenazah dan para tamu-agung di Imogiri. Tetapi semua orang mendengarnya, katanya.
Ia lalu mempersilakan aku memilih, apakah ingin teh cara internasional atau teh cara
Jawa asli. Aku memilih cara Jawa asli, atau menurut dugaanku, cara Cina; teh sangat
kental dan hitam sekali, diminum sedikit demi sedikit seperti minum tuak. Dituangkan
dari teko kecil keramik coklat tua sekali ke dalam mangkuk-mangkuk mini juga.
Boleh pakai gula aren, boleh pahit begitu saja. Aku memilih tanpa gula. Saat itu aku
mempunyai kebutuhan untuk mereguk yang pahit-pahit saja. Rasa manis untuk
sementara hanya mengingatkan pada hal-hal yang bukan-bukan. Untuk sementara
waktu aku ingin hanyut saja di tengah ruang tengah yang remang-remang gelap itu;
duduk pada meja marmer berkaki satu, bulat dibubut, dan di kursi kayu berukir yang
sudah lama membutuhkan politur baru.
Para ningrat ini semakin lama semakin miskin, karena dagang dan bisnis bagi
mereka masih terpandang memalukan. Atau memang mereka tidak berbakat ke arah
itu Tetapi betapa pun miskinnya, mereka menjaga semua harta itu dengan bersih.
Menyimpan, sampai terpaksa satu per satu benda-benda itu jatuh di tangan pedagang
barang-barang antik, dan selesailah riwayat mereka. Sebab barang-barang itu hanya
bisa hidup wajar di dalam lingkungannya sendiri tidak dilepas atau diabstraksi seperti
setiap angka yang dapat dilepas-lepas dan dimasukkan ke dalam Komputer.
Aku sungguh berterima kasih boleh menginap di sini, walaupun aku yakin tuanrumah membutuhkan uang sewa yang mahal itu (sama dengan kamar klas dua di hotel
Sheraton). Tetapi di sini ada suasana, ada nafas gaib, ada kualitasnya menurut Atik
tadi. Dan itu sangat mahal juga tentu saja. Nyamikan emping yang tradisional gurih
tetapi sering menjengkelkan, selalu menyisip di antara gigi dan gusi. Teh pahit kental
yang begitu minimum ini tidak menolong banyak. Ya, tentu saja teh di sini tidak
dimaksud untuk mencuci sisa-sisa emping dari gigi dan gusi. ltu masalah tehnis,
masalah komfort atau efisiensi. Di sini orang tidak minum tidak makan, akan tetapi
menggaibkan lidah dan syaraf, sebab téine yang begitu kuat kadamya membuat
syaraf-syaraf bangun dan bekerja segar.
''Ya,” keluhnya, "kami dapat memahami, akan tetapi terus-terang dalam pandangan
kami dan keluarga di sini Diponegoro bukan pahlawan."
Aku heran mendengar pemyataan itu, dan lebih terkejut sebenarnya, karena ada
seorang Jawa berterus-terang. "Karena kekeliruan siasat Diponegoro, kesultanan
Mataram kehilangan Dulangmas, (Kedu, Magelang dan Banyumas) daerah-daerah
lumbung padi yang mutlak untuk pembangunan kekayaan Mataram.
154
Sejak itu Mataram menjadi abdi Belanda. Karena ketololan Diponegoro. Memang,
Sang Pangeran melawan Belanda. Tetapi melawan dan melawan banyak caranya.
Mengapa orang harus memilih siasat yang jelas tidak sebanding risikonya? Orang
Jawa bukan kaum tukang kelahi. Kami punya ksatria-ksatria ulung, itu tidak perlu
kami tonjolkan, tetapi keunggulan mereka dalam tenaga gaib. Tanpa tenaga gaib,
mereka lumpuh, seperti Baladewa kehilangan cepitnya. Maka apa yang diperbuat
Diponegoro sangatlah bodoh dan kalau dia kalah, itu bukan karena Belanda menipu.
Sebab keputusannya sendiri, melawan bangsa asing dengan senjata fisik, itulah sudah
kekalahan. Penipuan Jenderal de Kock hanyalah setempel cap segel saja untuk
meresmikan dan menyelesaikan soal yang sudah mudah dapat diramalkan bagaimana
akan selesai."
Dalam percakapan dengan tuan-rumah itu, aku hanya mendapat kesempatan
sedikit untuk berbicara, dan untunglah demi-kian. Hari itu aku tidak punya bab untuk
dibicarakan. Bahasa KRT Prajakusuma sangat tenang dan rupa-rupanya sudah lama ia
ingin mengungkapkan isi hatinya yang penuh gagasan-gagasan, dan yang diakuinya
tidak laku untuk generasi masa kini. Generasi sekarang punya tafsiran sendiri tentang
peristiwa apa pun, tanpa tanya dulu pada kaum tua, dan karena itu keliru.
Hanya kepada orang-orang asing saja ia berterus terang dan suka menyatakan
pendapatnya, begitu ia menambahkan sambil menghisap rokok lintingannya dengan
penuh kepastian tidak suka ribut.
Kadang-kadang kami berdua hanya duduk diam saja tanpa omong sepatah pun dan
rupa-rupanya ia puas beromong dan diam menurut ukuran; yang penting: dapat
berterus terang padaku, pada orang asing. KRT itu simpatik, begitu pikirku, karena
naluriku berkata, bahwa kami berdua adalah saudara senasib, manusia masa lampau,
yang terlambat tetapi yang tidak pemah mengakui kekalahan. Ya, KRT Prajakusuma
itu simpatik.
Seorang gadis pembantu rumah tangga datang dan berjongkok menurut adat lama;
memberitahu, bahwa ada tamu di gerbang. Kartu nama diberikan kepada tuan
rumahku. Setelah agak ribut mencari kaca-mata, ia membaca.
"Oh, bukan untuk saya. Ada tamu untuk Tuan Setadewa."
"Saya? Siapa yang ingin menemui saya? Kawanku dari Ford Foundation itu?
Tetapi bagaimana ia dapat tahu, saya di sini."
Kartu kuterima dan ... aku terpaku tak bisa bergerak. Kartu keluarga Janakatamsi.
"Seorang pria atau wanita?" tanyaku pada pelayan.
''Berdua, pria dan wanita."
"Siapa?" tanya tuan rumahku.
"Tuan Janakatamsi dan istri. Bagaimana mereka tahu aku di sini?" KRT
Prajakusuma mendongak dan memberi pelita
Ooh, sayalah yang memberibhu mereka. Tetapi saya tidak memberitahu Tuan di
sini. Oh ya ... sekarang ingat Kemarin saya mendapat pesan dari Pangeran
Wijayaningrat bahwa beliau tidak dapat menghadiri upacara wisuda Bu Janakatamsi
di Universitas, karena dipanggil Sri Sultan.
155
Dan sayalah yang ke Bu Jana mohon maaf tak dapat hadir. Saya kenal sekali ayah Pak
Jana, karena ... mari. (Kepada abdinya) Sudah kau persilakan duduk? Baik. Katakan,
bahwa sebentar lagi saya datang menemui mereka. Saya mau ganti pakaian dulu.
(Kepadaku) Saya hanya omong basa-basi tentang rupa-rupa hal, dan ya ... sekarang
saya ingat, bahwa hanya sambil lalu saya mengatakan punya indekosan, begitu
kelakar saya. Seorang gede dari perusahaan minyak apa entah saya tidak tahu. Saya
hanya bercerita, bahwa datangnya pakai jip terbuka dan baru ziarah ke Magelang,
tempat makam ibunya di Desa Juranggede. Begitu. Apa Tuan masih famili dengan
mereka?"
Tanpa menunggu jawaban larilah Pak KRT ke kamar, hendak berganti pakaian.
Seluruh diriku lunglai. Apa yang harus kuperbuat? Apa yang harus kuperbuat? Aku
sungguh tidak siap. Tadi pagi memang siap, tetapi sekarang tidak. Baiklah, bila sudah
dipastikan begitu. Dan dengan sikap yang kubuat setenang-tenangnya kubuka pintu.
Aku ke luar pintu tengah, tepat mereka sedang naik tangga pendopo. Aku tentu saja
hanya melihat figur satu ini, Atik. la memakai gaun entah aku tidak melihat apa-apa,
kecuali wajahnya yang ria dan kedua mata serta bibir basah terbuka sambil bersorak:
"Teetoo!"
Dan tahu-tahu wanita itu seperti topan membadai padaku dan jatuh ke dalam
pelukanku.
"Teto! Teto!" dan menangislah ia terisak-isak. Aku tak dapat apa-apa, selain
spontan membelai punggungnya dan mata tolol memandang kepada suarninya, yang...
mengangguk-angguk tersenyurn seulah seorang ayah penuh pengertian melihat
anaknya bertemu dengan kekasih yang sudah lama ditunggu.
Dadanya terasa hangat dan kembang-kempis empuk pada dadaku, seolah segala isi
dadanya itu ingin ia serahkan tuntas ke dalam sanubariku. Pipi kananku merasakan
rambut, dan anting-anting telinganya menekan agak sakit, namun tak kuhiraukan.
Parfum mewangi membuatku lebih terganja lagi dan bungkam.
Suaminya,Janakatamsi menghampiri kami dan tersenyurn paham berkedip padaku
dengan anggukan-anggukan kecil selaku isyarat, agar aku membiarkan istrinya begitu.
Dia suami yang penuh pengertian dan penuh pengabdian kepada istrinya, itulah dalam
sekilat saat kesimpulanku. Istrinyalah yang ia puja sebagai ratu dan pemberi undangundang.
Sementara itu Pak KRT keluar; penuh heran ia mendekati saudara Janakatamsi.
Kedua orang itu saling berbicara lirih dan kulihat Pak KRT hanya menganggukangguk saja, sambil kadang-kadang memandang ke arah romansa yang pasti tidak
setiap hari ia lihat dalam pendoponya yang begitu sepi dan kuna.
Kubiarkan Atik menghabiskan emosi tangisnya. Di dadaku Atik kini melekat.
Begitu dekat, tetapi begitu jauh tak terjangkau, keluhku dalam lubuk hati dengan
sedih.
156
Dan pada saat itu aku merasa, bahwa tidak ada jalan lain kecuali bersikap menjadi
abang untuk wanita ini, satu-satunya saksi dari drama kepedihan hidupku selain Bu
Antana, sejak awal mula di masa remajaku. Tangisnya yang lirih dan merintih itu
kehausankah? Kesedihan? Kebahagiaan? Aku tidak tahu mengapa begitu merana
tangisnya itu.
Akhirnya meredalah segala luapan perasaan itu, dan ia menengadah, tanpa mau
memandangku. Aku pun pasti juga belum siap memandang pandangannya. Apa lagi
suaminya dan Pak KRT hadir di pendopo ini. Aku hanya melihat beberapa burung
berjingkat-jingkat di pasir halaman pendopo.
Itu bukan manyar. Itu hanya prenjak saja, tetapi hidup dan segar ia. kian-kemari.
Seperti Atik dulu ketika masih kecil, sehingga abdi-abdi di rumah Hendraningrat
sering menyebutnya "Prenjak kita". Apa yang harus kukatakan? Dan lebih dari itu,
apa yang harus kuperbuat untuk selanjutnya?
Pak Jana dan KRT Praja berdiri dan bersama -sama mengamat-amati burung jalak
hitam di kurungan yang tergantung pada balok tritisan Pendopo. Akhimya tangan Atik
mengendor dan ia kulepaskan dari rangkulanku. Ia mengambil sendiri saputangan
yang kebetulan ada dalam saku baju batikku dan membersihkan mata dan pipipipinya. Matanya memandangku penuh dambaan. Tersenyumlah ia setengah malu
setengah nakal. Atik kini tampak sepuluh tabun lebih muda, Kebahagiaan sanggup
memutar kembali jam pada wajah dan citra wanita. Ia minta pada Pak KRT, agar
boleh ke belakang sebentar. Dengan ramah sekali Pak KRT mengantarkannya masuk
rumah. Kami, Pak Jana denganku saling berkenalan. Dari awal mula aku sudah
merasakan simpati kepadanya, walaupun masih dengan perasaan aneh; terutama
sesudah ia mengatakan, bahwa ia sudah kenal padaku. Kapan? Tentu saja dari
laporan-laporan istrinya. Tetapi juga ketika sesudah jelas gelagat mereka akan kawin,
ayahnya seolah sengaja sering ekstra mernbicarakan Teto. Lho siapa ayahnya?
Sekarang sudah pensiun. Dulu pernah lama menjabat direktur rumah sakit di Kramat.
Oooh ... itulah! Ia mulai kenal dengan Atik, ketika pada suatu hati liburan, (ketika itu
ia baru saja lulus Fakultas Geologi di Bandung), melihat Atik dengan ibunya
berziarah ke makam Ibu Brajabasuki di Kramat itu. Pertarna-tama itu dianggapnya
peristiwa biasa. Tetapi sesudah ia tabu, bahwa yang meninggal itu bukan ibunya dan
bukan apa-apanya, namun toh setia setiap pekan nyadran Atik datang membersihkan
nisan, ia mulai tertarik kepada gadis dan ibunya yang begitu budiwati itu.
''Ya, Atik banyak sekali dan sering sekali membicarakan Mas Teto. Sehingga
dalam kesadaranku, Mas Teto sudah hadir lama dalam benakku, selaku abang
sekandung istriku. Karena itu, ketika tadi KRT bertanya, hubungan apa Atik dengan
tamunya dari J akarta itu, saya juga spontan mengatakan, Anda iparku Bukan! Bukan
dari satu ibu dengan Atik kataku dengan senyum. Dan jawaban itu tidak bohong kan!
Mas Teto kami undang dengan sangat; kami, khususnya Bu Antana. Sukalah
menginap di rumah kami.
157
Istriku sudah begitu lama merindukan Mas Teto. Tidak pantaslah, bahkan kejamlah
bila tawaran mereka ditolak."
Aku tentulah hanya dapat berkata: ''Ya, baiklah."
"Tadi pagi Mas Teto dalam Aula Agung juga?" tanya 'iparku' itu. "sebetulnya ibu
mertuaku tadi sudah menduga, bahwa yang duduk di baris kedua sana di sayap sana
itu Mas Teto. Tetapi tentulah Bu Antana mengira itu hanya fatamorgana saja. Kami
tidak mengira sama-sekali Anda di sini. Dari ternan-ternan di kedutaan Den Haag
sana memang pernah kami menyaring berita Mas Teto pergi jauh, bekerja di salah
satu perusahaan minyak, tetapi kabar dan petunjuk-petunjuk begitu simpang-siur,
sehingga sebaiknya kami menunggu saja. Dan tahu-tahu ... sungguh Mas Teto, kami
sangat gembira bila Anda suka datang. Bu Antana pasti sangat bahagia dan nanti di
Bogor Anda dapat melihat anak-anak kami. Ya, yang sulung lelaki bahkan diberi
nama panggilan Teto juga. Memang istriku itu kelihatannya saja orang ilmuwan yang
eksak rasional, tetapi saya sebagai suami tahu, sebenarnya ia sangatlah perasa. Ya,"
dan ia tersenyum memandangku, "sering ia seperti anakku saja. Aneh, seolah-olah
aku punya anak empat, dengan jarak antara yang sulung dan yang kedua panjang
sekali. Mas Teto harus menginap di rumah kami. Ya, nanti di Cemorojajar. Kalau
tidak, nanti ia rewel dan marah-marah saja." Dan ia tertawa kecil.
"Tahu Mas Teto, kalau ia marah lucu sekali. Semakin ia marah, semakin aku
sayang padanya." Pak Prajakusuma datang ke meja kami.
''Ah, andai kemarin saya tahu bahwa Bapak itu abang dari Bu Jana tentulah sudah
kemarin saya beritahukan kepada Ibu dan Pak Jana."
Di belakang blangkon Pak KRT, Pak Janakatamsi mengerlipkan mata padaku.
"Saya ini anak mursal¹⁾ kataku.
''Ah mosok," sahut Pak KRT.
"Ya, saya ini anak yang lari dari rumah."
"Mosok iya?" (Kepada Bu Jana yang sudah berdiri di samping suaminya) ''Apa
betul, Bu Jana?"
''Ya, betul," kata Bu Jana dengan tenang, sangat tenang. Terlalu tenang bagiku.
¹⁾ Hilang, minggat.
158
20. Rumah Pertanyaan
Keesokan harinya, karena aku tidak dapat tidur, amat pagi aku sudah bangun,
mandi dan berdiri di tepi jalan melihat lalu-lintas becak yang sedini ini sudah lalulalang dan orang-orang yang pergi ke Pasar Kranggan. Ya, aku jadi menginap di
Cemorojajar, rumah Bu Antana; yang sejak ditinggal suami dan kakak tirinya
dipeliharanya untuk pos keluarga Surakarta kalau sedang singgah lewat; dengan
beberapa kamar di pavilyun yang dijadikan pondokan beberapa mahasiswi. Sambil
mengucap selamat pagi, dua orang dari mahasiswi itu ke luar ke jalan dan mulai
berlari-lari sport. Pantatnya yang satu menari kian-kemari bukan main. Lucu
sebetulnya, tetapi pantas dipuji gadis-gadis itu. Tahu-tahu Bu Antana sudah di
sampingku.
"Selamat pagi, Teto!"
"Oh! Selamat pagi, Bu. Masih pagi begini."
"Untuk nenek seumurku tidak pagi. Orang lanjut usia tidurnya sedikit. Tetapi kau
... sungguh kau dapat tidur?"
"Enak sekali Bu, terima kasih." Dengan pasti tetapi lirih ia berkata: "Teto, Bu
Antana tidak percaya. Pastilah kau tidak dapat tidur, lalu bangun sepagi ini." Tidak
ada gunanya bohong basa-basi. Maka aku hanya berkata jujur: "Memang Bu Begitu
sekonyong-konyong semua ini terjadi ... "
''Atik sangat bahagia, Teto. Saya sebagai ibunya harus berterima kasih padamu."
Aku terkejut. Apakah ibunya mendorong aku untuk. ... (?) tidak mungkin, tidak
mungkin! Itu nanti menuju ke arah yang serong. Memang tadi malam aku tidak dapat
tidur karena tidak tahu bagaimana aku harus bersikap. Apa lagi karena si suami begitu
baik, terbuka dan penuh percaya terhadapku. Suami baik hati, tetapi tololnya bukan
kepalang. Andai tahu betapa joroknya bandit dalam diriku ... la sudah tahu. Pasti
sudah. Tetapi mengapa?
"Oh ... Bu Tana, sebetulnya saya tidak pantas. Sayalah yang tidak kenal
terimakasih dan lari tanpa ... "
"Kami tahu. Kami memahami semua Teto. Kini yang penting, kau sudah ada di
tengah kami lagi dan Atik bahagia. Suaminya juga sudah tahu semuanya." Ya,
begitulah pikirku, seorang ibu hanya melihat kebahagiaan anaknya, tetapi wanita tidak
mudah melihat jauh soal-soal konsekwensi rumit yang mengiringinya. Semua naluri
induk begitu.
"Kami sungguh sangat gembira, Teto!" tambahnya lagi.
Kubelokkan percakapan: "Saya kira itu karena kemarin kita semua terbawa hanyut
oleh suasana kegemilangan hari wisuda doktor maxima cumlaude Atik kita, Bu."
"Oh, tentulah, tentulah ... mari, jangan berdiri di sini."
159
Dan aku diajak duduk pada bangku taman di bawah bugenvil ungu yang kaya-raya
bunganya. Ya, kepada Bu Antana aku paling merasa dapat mencurahkan hati.
Bukankah di saat-saat masa remajaku yang paling menentukan, dialah yang praktis
menjadi ibu angkatku? Bukankah dia yang selalu setia membersihkan makam
Mamiku setiap waktu nyadran?Tetapi sekarang ada sekeping ketakutan yang seolaholah menjadi katup karaten di dalam hatiku, sehingga arus curahan hati menjadi seret
di dalamnya. Tetapi siapa lagi di dunia ini yang masih dapat kudekatkan padaku?
Sungguh keliru lagi, bila aku terus-menerus mengisolasi diri dan menolak tawaran
rahmat, persahabatan yang dibutuhkan oleh setiap orang. Atau aku akan menjadi
robot yang beku. Aku pun membutuhkan kualitas kehidupan. Persahabatan
menanggung risiko, hati dibaca orang lain, agar dapat ditolong dan dikoreksi pada
saatnya. Sekarang sahabat mahal harganya, jauh lebih mahal daripada segedung
komputer di Pentagon.
"Teto, saya tidak berhak apa-apa atas hidup dan sanubarimu."
“Ah. Bu. Ibu Antana sudah jadi ibuku, jangan berkata begitu."
''Ya, terima kasih. Tanpa itu kuucapkan, aku juga sudah merasakannya. Jadilah
anakku dan jadilah abang untuk. Atik. la sangat cinta padamu."
''Ya ... tetapi bagaimana caranya Bu. Ibu pasti sudah tahu, bahwa itu dapat
menimbulkan situasi yang sangat berbahaya."
"Kau benar, Teto. Aku pun juga sudah merasa itu. Terus-terang saja, aku bdum
juga menemukan jawaban yang memuaskan. Maka sebetulnya aku ingin minta nasihat
kepadamu."
Aku tidak menyangka kata-kata itu. Bagaimana minta nasihat pada orang buta dan
gagal seperti aku ini. Bu Antana ini benar-benar bernaluri induk. Target nomor wahid:
anaknya bahagia. Padahal yang membuat bahagia Atik ialah Teto. Jadi, Teto harus
diberikan pada Atik. Titik. ltu logikanya. Padahal Atik sudah bersuami. Jadi Teto
abang saja. Titik. Logis sederhana. Begitu logis sampai Bu Antana bingung sendiri.
Aku lantas tertawa kecil, sebetulnya karena bingung juga.
"Kenapa tertawa, Teto?"
''Ya Bu, karena aku pun tidak tahu apa yang harus kunasihatkan."
"Teto, Ibu ingin tahu. Tetapi sungguh, saya tidak berhak menanyakan itu. Hanya
kalau kau ikhlas, jawablah. Dulu, pernahkah kau menaruh hati pada anakku?"
''Ya. Tentu saja Bu. Apa Bu Tana belum tahu? Kepada siapa selain dia aku bisa
mendekat? Ibu tahu, aku orang yang tertutup, aku sadar itu. Dan aku sombong.
Bagiku sudah jelas, hanya Atik yang dapat menghidupi aku. Tetapi kecongkakankulah
yang salah, sehingga hidupku juga berantakan tanpa Atik.",
''Aah, kalau begitu anakku betul ketika itu."
"Bagaimana?"
"Ia yakin kau menaruh minat padanya. Tetapi kau tak kunjung muncul. Lalu bukan
hati, tetapi rasiolah yang datang."
160
"Itu kesalahanku. Dan selama ini aku telah mencari jalan untuk memperbaiki itu.
Tetapi sia-sia, sebab sudah terlambat. Kukira Bu, sekarang pun rasio harus berbicara."
"Itu kata seorang lelaki. Atik dan ... ya ... dan aku barangkali lain, lainlah
bahasanya. Ya ... ya ... kau benar dan jiwamu mulia, aku tahu. Seperti ayah-ibumu.
Tetapi Teto, sungguhkah begitu? Benarkah rasio yang menuntunmu selama ini?
Bukankah hati dan emosi yang menjadi jurumudi segalamu?"
Bu Antana benar, dan sungguh tajam pisau analisanya. Aku merasa seperti
terbaring di meja kamar bedah. Hanya dapat sumarah pasrah kepada kearifan sang
dokter bedah. Tetapi dokter bedah bekerja dengan komputer otaknya yang dingin
obyektip. Tidak dengan emosi. Bu Antana dalam soal Atik bukan dokter bedah yang
baik. Ia tetap seorang ibu, induk. Ibu yang baik hati, yang hanya merasa kasihan dan
ingin membelikan es lilin untuk anaknya.
Ruang tengah menyala dan tampak bayangan kepala berambut singa mewayang
pada gorden tuul jendela-jendela kaca.
''Atik sudah bangun," kata Bu Antana. Lalu berbisiklah ia: "Bagaimana,Teto.
Maukah kau jadi abang anakku Atik?"
Jendela dibuka dan Atik masih dalam dastemya muncul. Seperti sumber air artetis
di lereng Gunung Merapi yang tiba-tiba namun telah lama sebetulnya menunggu
pemerdekaannya, menceuatlah salam segarnya: "Haloooo Tetooo! Selamat pagi, Bu!"
Wajahnya cerah serba tertawa dengan gigi-gigi yang boleh dipamerkan. Rambutnya
tidak keruan seperti singa dan kulit putih leher dan dadanya menampakkan pipi-pipi
payudara montok yang kontras sekali melawan dastemya yang sangat merah darah.
"Selamat pagi Tik!" jawabku kurang spontan karena agak terpukau terus-terang
saja. Bu Antana bergumam: ''Anakku ini sering arif seperti nenek, tetapi sering masih
seperti anak kecil."
''Eeh, maaf," canda-sendaku, "Selamat pagi, Ibu Doktor maxim cum laude. "Ia
cemberut manja: "Sedang sidang apa pagi-pagi di situ kok seperti sedang pacaran,
hihihi!"
Bu Antana membuat gerak tangan seperti mengusir: "Ssst ... sana mandi dulu!
Keras-keras tetangga dengar semua."
Atik mengangguk mendagel dan tertawa renyah: "Iyaa Bu!"
Dan pergi. Masih sekali lagi ia menoleh. Tertawa.
''Ya, itulah anakku," kata Bu Antana. ''Tampak sekali bukan, bahwa ia menjadi
muda lagi? Terlalu muda."
"Karena lulus doktomya," sambutku tanpa ujung pangkal. Hanya untuk menjawab
asal menjawab sang naluri induk.
''Mari !'' dan Bu Antana berdiri. Aku pun juga. "Mau periksa persiapan makan
pagi." Dan ke samping padaku ia masih berbisik.
''Anggaplah rurnah ini rumahmu sendiri." Dan tersenyum ia masuk. Tak tahu aku
harus ke mana. Seandainya kejuruanku ada di bidang psikologi, pastilah aku akan
mudah mendapat bahan penelitian tentang psikologi hubungan ibu janda dan anak
perempuan tunggal.
161
Jelaslah sejelas-jelasnya, bahwa perkawinan Atik dengan Janakatamsi adalah
perkawinan model kuna. Kawin asal jangan jadi perawan tua. Atau: kawin karena
sepantasnyalah orang itu kawin. Atau: kawin karena membutuhkan bodyguard, Kali
ini rupa-rupanya: Kawin karena membutuhkan jongos dan pesuruh. Tidak! Aku jahat,
aku tidak adil terhadap Dik Jana. Dialah yang telah menyelamatkan Atik dari noda
perawan tua yang memalukan. Dialah yang menjaga Atik. secara terhormat dan
memberinya suatu sarang yang aman; yang memberinya status yang sepadan dan
memungkinkan buah-buah rahim Atik bertumbuh dengan tenang, pasti dan serba bisa
diandalkan. ltu pun sebentuk cinta. Bahkan itulah yang justru harus dominan dalam
cinta seorang lelaki. Untung apa bagi wanita kawin serba glamour dan romantis
dengan seorang Gatutkaca, tetapi bisanya cuma terbang ke tempat-tempat jauh dan
berkelahi di medan perang? Istri Gatutkaca mungkin bisa saja hidup dengan
Gatutkaca, tetapi ingat Pergiwa istrinya cuma gadis desa. Atik bukan gadis desa yang
serba nerima dan sumarah belaka. Atik adalah wanita tipe Keleting Kunig ngunggahunggah¹⁾ ia tidak gentar, dan itu hak setiap wanita. Dari pihak lain, Si Teto juga
bukan Ande-Ande Lumut.
Repot juga kalau Ki Dalang harus melakonkan hikayat kacau: Keleting Kuning
dan Gatutkaca. Mana bisa? Jadi sahabat sih boleh-boleh saja. Sejak dahulu selalu
begitu. Tetapi yang dimaksud di sini sahabat intim, jelaslah. ltu lain.
Sudahlah, tidak perlu segala persoalan harus diselesaikan hari ini. Aku menuju
lagi ke tepi jalan. Dari jauh datanglah dua mahasiswi tadi yang berlari-lari aerobik.
Nah, ketawaku dalam hati. Menyerah sajalah, tidak mungkin kau jadi langsing
semampai. Tanpa komputer aku sudah dapat memastikan hasilnya. Terengah-engah
mereka berhenti berlari. He heh?
"Sedang melihat apa, Pak'?" tanya seorang bernada nakal.
"Melihat kalian ini. Berapa kilometer tadi?"
"Ah ... hehe ... entah tadi ... berapa kali ... he ... he tadi heh ... heh. Lima kali he
heh ... lima kali putar ... he ... he
"Sulit ya nasib gadis itu. Harus selalu jaga kelangsingan."
Mereka tertawa megap-megap: "Huah ini heh heh ... Pe-Er²⁾ yang paling sulit heh ... "
Dan serba bersemangat masuklah mereka melalui pintu dapur. Sambil membuka
pintu, yang satu membisikkan sesuatu pada telinga kawannya. Omong apa mereka?
Pagi itu dengan sengaja aku selalu mendekat dan bereakap-eakap dengan Dik Jana,
(spontan dari awal mula dia adalah adik dan aku mas), sedangkan dua wanita, ibu dan
anak, atau lebih tepat nenek dan ibu, sibuk dengan berpakaian dan mengatur makan
pagi. Komplit dengan bunga di vaas dan lilin menyala di meja. Dan tentu saja roti,
mentega, keju dan segala perangkat upacara adat yang sudah jauh dari jiwa
revolusioner jaman gerilya.
¹⁾ Ngunggah-ngunggah = wanita melamar pria.
²⁾ PR = pekerjaan rumah (murid).
162
Kami berdua berdiri di muka jendela dan menikmati pemandangan anak-anak
generasi muda berlalu di jalan menuju sekolah. Banyak sekali anak-anak itu.
"Jadi apa kelak anak-anak ini,” keluh Dik Jana.
"Begitu tampan dan cantik-cantik mereka itu sekarang,” komentarku.
"Mereka pandai sekali bersolek dan berdandan,” kata iparku.
"Ini belum kelihatan, serba pakaian seragam. Tetapi itu pun sudah tampak. Luwes,
segar dan serba gembira. Tahu mengapa, Mas?"
''Ya, karena tidak mengalami jaman huru-hara seperti pada jaman kita dulu."
"ltu juga. Tetapi masih ada lagi. Pada hematku, karena mereka tidak banyak mau
berpikir tentang soal kemarin maupun hari depan. Entah apa yang akan dibawa kelak,
biarlah kelak saja dipikirkan. Itu menurut kata mahasiswi-mahasiswi yang
menumpang di pavilyun." Aku terdiam mendengar itu. Memang cantik dan manis
gadis-gadis pelajar itu. Dan yang laki-laki serba dinamis. Mereka tidak bersepeda
seperti di jaman kami dulu, tetapi berlomba-lomba siapa yang bisa maju paling pesat.
"Masih kanak-kanak wajah mereka."
"Juga kelakuan dan tingkat mereka," sambung Dik Jana. "Lihat itu, kedua
mahasiswi kita."
Dari samping kami lihat kedua pengaerobik tadi pagi, bergandengan erat seolah
takut saling kehilangan. Yang satu pendek tetapi penuh tubuhnya, sintal, tanpa dapat
dikatakan gemuk. Yang satu semampai kerempeng menurut ideal masa kini. Mereka
berhenti di pagar selokan. Rupa-rupanya menunggu datangnya Bang Becak.
Datanglah menderu seorang pemuda naik sepeda-motor trailer, dengan topi
admiral US Navy, baju terbuka separuh dan tampak kalung dan jimatnya. Di pinggang
belakang tampak beberapa buku tulis diselempitkan pada sabuk. Ia menoleh kepada
kedua mahasiswi itu dan tiba-tiba mengerem kuat-kuat sampai suara ciyeet
mengejutkan orang-orang di jalan. Lalu menderu membelok, melewati muda-mudi,
membalik lagi, dan berhenti menonggakkan kedua kakinya lebar-lebar seperti huruf V
terbalik, sambil mengklakson. Dua pemudi itu mundur spontan dan tangan-tangan
mereka membuat gerak jengkel yang memaki-maki pemuda itu. Pemuda itu hanya
tersenyum saja dan menawarkan sadel bagian belakangnya kepada yang semampai,
Tak ambil pusing rupa-rupanya kepada temannya yang agak berbadan Batari Durga
itu. Yang semampai solider dan Si Trailer disuruh pergi. Pemuda itu hanya menjawab
dengan oleng-oleng kepala serta kedua tangannya merentang. Agaknya memberi
isyarat, agar sudahlah, kedua-duanya boleh bonceng.
Spontan kedua pemudi itu berpaling separuh dan dari cara mereka membuka mulut
dan gerak tangannya, tampak mereka menolak mentah-mentah. Masih terdengar
sayup-sayup suara mereka terbawa angin: " ... dikira, apa," atau semacam itu. Pemuda
itu lalu lebih menderu-derukan mesin sepeda-motornya dan seperti dipelanting melaju
ke muka, langsung menukik dan kembali ke arah dati mana ia datang. Sambil
meninggalkan kepulan-kepulan debu.
163
Kedua gadis itu menutupi mulut dan hidungnya dengan saputangan, lalu
memanggil: "Becak!" Ternyata sudah dipesan. Si Becak masuk halaman salah satu
rumah. Kedua mahasiswi itu lalu pergi berjalan kaki saja. Tetapi sebentar lagi mereka
menoleh membalik dan berlari-lari cepat seolah berlomba, karena dari arah bdakang
datang becak. Tawar-menawar. Sementara itu pemuda bertrailer tadi datang menderu
lagi, tetapi sekarang derunya berganda, sebab ia membawa teman.
Dalam kepulan debu knalpot mereka menawarkan lagi jasa baik. Kedua pemudi itu
saling pandang-memandang dan barangkali musyawarah, apa sebaiknya yang harus
dilakukan. Bang Becak, entah jengkel entah berterima kasih, memakai kesempatan ltu
untuk pergi ke seberang jalan dan kencing pada pagar hidup tetangga muka. Ruparupanya sulit mencari kompromi. Agaknya timbul soal siapa membonceng siapa.
Mahasiswi Betari Durga yang barangkali merasa hanya diobyek saja, lalu mencari
Bang Becak tadi yang tenang sedang memberi sesajen kepada danyang-danyang pagar
hidup. Teman baru tadi menghentikan mesinnya, memasang standar dan pelan serta
tenang membersihkan kaca spionnya dengan nafas dari mulut dan sapu-tangannya.
Akhirnya toh keputusan ada pada solidaritas rekan, dan kedua gadis itu mulai
masuk becak. Yang punya inisiatif "pengabdian. masyarakat" tadi omong sebentar
dengan kawannya yang dimobilisasi percuma. Lalu mereka meletuskan segala
kebisingan yang tersedia dan menghilang, sambil meninggalkan awan debu penuh
bakteri-bakteri tifus dan tetanus. Bang Becak naik singgasana, dan pelan-pelan
menghilanglah mereka ke arah karir, menuju kejayaan doktor maxima cum laude.
"Kita lahir terlalu pagi;' kata Dik Jana.
“Apa maksudmu?" Aku heran ia berkata "senakal" itu.
"Dulu belum ada sepeda-motor."
''Tetapi mereka tidak bakal punya kesempatan mengalami perang,” komentarku
sinis.
"0, perang berebutan pacar lebih sengit pertempurannya." Dia omong begitu,
sengaja atau spontankah, tanyaku dalam batin. Orang Jawa pandai menusuk dengan
jarum, seperti dokter-dokter Cina. Tetapi dokter-dokter Cina menusuk untuk
menyembuhkan, tetapi orang Jawa untuk menyakiti. Sekali lagi aku sadar kembali,
betapa buruk tabiatku. Selalu saja aku merasa tersinggung. Di mana-mana takut ada
gerilyawan yang menembak dari belakang.
"Dik Jana dulu di tahun-tahun antara 45 - 49 di mana?" (aku tidak berani menyebut
istilah clash atau aksi polisionil. Nettal saja: tahun-tahun antara ini dan itu. Rasa
minderku belum hilang).
“Aku di Palang Merah." (Ah pantas saja).
"Palang Merah?"
''Ya, kepada Mas Teto aku jujur berterus-terang. Aku tak suka berjuang dengan
senjata. Entah, barangkali karena kami bertradisi dokter." (Ini lagi).
"Di Palang Merah dulu ada perang pacar apa tidak?" Aku mencoba melawak
sedikit, hanya agar tidak berkesempatan berpikir yang jelek-jelek.
164
''Ya, sulit sebetulnya: dulu ada tahayul antara para gerilyawan. Siapa yang pacaran
di front, pasti terkena peluru musuh.
"Aku, belum pernah dengar semacam itu."
''Ya, sungguh. Akibatnya, pemuda-pemuda gerilyawan pada takut main-main seks
dan sebagainya itu. Tahayul memang, tetapi tahayul berguna. Di pihak Belanda
bagaimana?"
''Ya, mau minta apa lagi. Tentara sewaan."
"Belanda itu tolol. Seandainya mereka agak mau mengalah sedikit, negara kita
masih commonwealth atau berstatus dominion."
''Ya, goblog. Termasuk aku juga,” jawabku tajam.
"Oh, maaf, bukan itu yang saya maksudkan."
"Tidak apa-apa."
"Mas Seta, ayah dan kami semua sangat menghargai Mas Seta. Ayah selalu
berkata kepadaku: Mas Seta bagaikan Karna. Walaupun berperang di pihak Kurawa,
tetapi saudara seibu dengan Pendawa. Dan Karna ksatria yang besar. Sampai Arjuna
pun gentar menghadapinya. Hanya karena perintah tanpa ampun dari Raja Sri
Kresnalah, artinya dari Nasib, Arjuna terpaksa melawan Karna."
''Terima kasih, Dik. Tetapi nasib Karna tragis."
"Mas Seta sudah lama kuanggap kakakku."
Aku sangat malu tadi punya pikiran-pikiran jelek terhadap suami Atik yang
budiman ini. ltulah senjata paling ampuh dari orang Jawa: mengalah. Menang tanpa
membawahkan? Membunuh tanpa mencabut nyawa? Terasa, betapa asing diriku, jauh
dati manusia-manusia di negeri ini. Aku merasa diikat dengan benang sutera, diganja
dengan arum-manis, dipeluk oleh labah-labah betina yang merayu minta disetubuhi,
lalu jantan dimakan.
Sekilat godaan iblis membisik, agar aku minggat saja dari dunia serba halus ini.
Tetapi Atik, aku jahat melambangkan Dik Jana dengan labah-labah betina. Lebih
jahat lagi, kalau yang kumaksud itu Atik. Aku terkejut karena sadar, aku semakin
merasa minder.
"Mas Seta hari ini punya acara apa?"
"Saya? Ya, acara ada, tetapi ... "
Atik menyanyi: "Hallo, Abang-abang sayang. Kita makan pagi. Tidak cepat, tidak
dapat."
Spontan kami menoleh bersama-sama. Dari ruang makan kami melihat Atik
dengan tangan terbentang dan senyum, melulu, mata bersinar. Gaun berwarna coklat
susu dan sanggul model Yunani. Wanita yang masih vital, pikirku sambil memandang
dadanya yang membusung sehat. Jangan bersandiwara, begitu aku memperingatkan
diriku. Yang biasa saja. Bu Antana menongol dari belakang dan ramah mengajak.
"Silakan mulai dulu. Hei, itu keran kamar-mandi kau lupa menutup ya, Tik!"
"Ooh maaf, lupa."
165
Dik Jana mengerdipkan mata kepadaku: "Begitu kok doktor maxima cum laude.
Lalu untuk apa gelar doktormu itu, Tik!" godanya.
"ltu tidak ada sangkut-pautnya, Sayang. (Sayang, ia menyebut suaminya Sayang)
Ayo, Mas Teto (ia menyebutku selalu dengan mas) mulai. Oh ya, maaf, stop, nanti
dulu."
Atik berdiri lagi dan mengambil dua gelas berisi sari jeruk.
"Hampir saja aku lupa." Gelas yang pertama ia letakkan pada sisi piringku. "lni untuk,
Mas Teto." Baru: "Ini untuk sayang-disayang." Dan tertawalah ia. Lalu mengerdipkan
satu mata ke arahku sambil berkata: "Kalau suamiku tidak disebut sayang, ia selalu
marah. Seluruh hari hanya bermuram saja tak bisa kerja apa-apa."
"Ah, siapa bilang," protes suarninya. "ltu hanya show saja kalau ada tamu."
"Hei, hei, Mas Teto bukan tamu. Mas Teto, kau merasa di sini sebagai tamu? Awas
kalau bilang ya."
Aku tertawa dan memang dari hati aku tertawa: "Dik Jana sudah membiasakan diri
tentunya punya istri yang begitu fasis."
Memang! Nah, Tik, apa katamu? Kau dengar sendiri dari Mas Teto."
''Aduh, sekarang Jon merasa mendapat sekutu, ya. Beginilah Mas Teto, sebelum
kau datang, dia selalu pihak minoritas, satu pria melawan dua. Sekarang sudah
seimbang; dua lawan dua. Hei, 1bu! Mari lekas, Atikmu kau bela dong. Ia diserang.
Ayo, Bu."
''Ya ... sebentar. 1ni keran kok tidak bisa tutup."
"Mari,” dan aku berdiri menuju kamar-mandi yang langsung berhubungan dengan
kamar-tidur.
"Heh!" seru Atik. "Dilarang keras masuk kamar wanita!" Aku terkejut berhenti.
Atik tertawa tergial-gial.
"Nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Silakan. Memang sudah tiga hari begitu. Giman
tolol, tidak pernah mendengarkan. Disuruh memperbaiki hanya omong inggih¹⁾,
inggih. Ah, nggak kepanggih²⁾."
''Mana Bu?" Kucoba kerannya. "Harus pelan-pelan, Bu. Sebab memang sudah
dol." Kuputar pelan-pelan sekali. "Nah cukup begini saja. Kalau diteruskan malahan
kembali dol lagi."
Arus masih ada tetapi hanya sekecil lidi. Atik berkecak-pinggang dan tertawa:
"lbu, Mas Teto ini kita kontrak saja sebagai tukang bikin betul kran bocor, genting
bocor, selokan meluap. Setuju? Mau ya, Mas Teto?" (Ingin kupijat hidungnya, tetapi
untung aku masih sanggup mengekang diri).
''Ya, tergantung berapa gajinya."
¹⁾ Ya.
²⁾ Ketemu.
166
"Beres deh. Mari Bu, Ibu duduk di sini saja. Aku di sini. Tidak enak memandang
tamu dari samping. Kalau Jon Sayang sih setiap hari sudah dapat dilihat, ya Sayang."
Dik Jana ternyata tukang makan yang lahap lezat melalap rotinya. Ia sibuk
mengambil roti, menyemirkan mentega dan serba konsentrasi mengambil lapisanlapisan daging.
“Apa katamu, Tik?"
“Ah, kau ini kalau sudah makan tidak dengar apa-apa yang lain. Ya, begini inilah
Mas Teto, suamiku. Pantas saja negeri ini banyak yang menderita kelaparan. Begitu
asyik makannya." Bu Antana menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah apa maksudnya. Kubela Dik Jana.
"Jangan dengarkan istrimu, Dik Jon. Sejak du memang begitu. Hanya meledek
saja." Aku ingin mengambil seiris roti, tetapi tanganku dipegang Atik.
"Tunggu." Ada apa ini? Irisan roti ia ambil dan ia mulai menyemirnya dengan
mentega, sambil memandang jenaka (atau birahi?) kepadaku. "Tamu kita harus diberi
service top-class. Pilih mana: Ini? Ini? Yang ada saja. Yang tidak ada jangan dipilih.
Ini?"
"Ya, itu saja," jawabku ngawur, sebab aku tidak terbiasa dimanja begitu.
"Satu? Dua? Atau tiga? Tiga iris untuk orang laki-laki pantas. Nah,
selamatmakan."
Bu Antana dari sudut matanya mencuri pandangan ke arah puterinya. Lalu
menundukkan kelopak matanya.
"Ibu, kopinya." Kulihat Bu Antana memberi isyarat-isyarat dengan kernyitan
alisnya ke arah Dik Jana. "0 ya, Mas Jon. Kau kopi atau teh? Teh saja. Dokter sudah
menasihatkan jangan terlalu banyak kopi. Aneh ya, Mas Teto. Kalau orang biasa,
minum kopi jadi segar. Kalau Mas Jon ini bahkan sebaliknya. Jadi-tegang. Oh kok
begini bening tehnya. Memalukan. Siapa ini tadi yang membuat."
"Saya yang salah, Tik. Sini saya ganti."
Dik Jon protes: "0-0-0 tidak perlu, jangan Bu. Ibu duduk saja, dan makan tenang.
Kau juga makan, Atik sayang."
"Saya cukup sari jeruk ini dan secuwil keju."
Cepat kuambil cawan keju, dan mengiris untuk Atik.
Berapa? Satu iris? Dua iris? Sekarang saya yang memanja," kataku spontan, entah
ilham dari mana.
Atik tersenyum bercahaya. Matanya tiba-tiba terkena pandangan ibunya, lalu
membalik ke sebelah lain.
"Mas Jon, lagi rotinya?" Suaminya dengan mulut mengunyah hanya geleng-kepala,
mengambil cangkirnya, pelan-pelan diminumnya teh bening tadi. Ibunya mengangkat
teko teh dan mengisi lagi cangkir yang diacungkan oleh Dik Jana.
167
“Nah, hari ini acara apa?" tanya Atik sambil pelan-pelan menggigit cuilan kejunya.
Suaminya menengadahkan kedua telapak tangannya setinggi bahunya, tanda: terserah
kalian. Aku hanya abdi.
"Mas Teto, kami hari ini wajib mengunjungi Rektor Universitas untuk berterima
kasih atas partisipasinya. Lalu ke Hotel, juga untuk berterima kasih kepada Prof
Chauvigney dan mengantarkannya ke lapangan terbang. Jam berapa pesawatnya
berangkat, Sayang? Jam 13.00 kita harus makan siang dengannya. Lalu Mas Teto
bagaimana? 1bu makan siang dengan kami?"
''Jangan repot-repot," tangkisku. Sungguh aku tidak berniat menambah seorang
kenalan lagi yang toh tidak akan ada sangkut-pautnya dengan kehidupanku. "Silakan
menunaikan program kalian. Aku dapat pergi ke tempat lain yang sudah lama ingin
aku kunjungi."
"Ke mana?"
"Ke bekas istana Soekarno dulu." Mereka terperanjat. Apa-apaan ini. Atik
menggeleng-gelengkan kepalanya serba prihatin.
“Ada apa, Mas? Masa lampau jangan kau orek-orek lagi."
"Ya, bagaimana kukatakan? Bagimu itu masa lampau."
"Nostalgia?" tanya Bu Antana. "Hati-hati dengan nostalgia."
"Bukan itu," tangkisku. Atik memandang kepada suaminya. ''Jam berapa kita harus
menghadap Pak Rektor?"
"Kan kau sendiri Sayang, yang lebih tahu dariku."
“Jam sepuluh;' sahut ibunya. ''Aku mendengar kau kemarin berkencan dengan
beliau: jam sepuluh."
''Ya, jam sepuluh," kata suaminya menggaris-bawahi.
"Kau ini ... (dan nada Atik tampak gusar seperti menuduh) cuma bisa
membonceng."
''Atik,'' kataku, "jangan kau keras-keras pada suamimu."
"Habis, memang begitu,” tumpang Atik lebih sengit Iagi. (Drama! batinku.
Drama.) Bu Antana memandangku dengan ekspresi permohonan. Aku menunduk.
Kalau begini terus, keluarga ini berantakan, pikirku, hanya karena aku hadir di sini.
Ya Allah, harus bagaimana aku.
"Mas Teto ingin jam berapa ke istana?"
"Ingin sih ingin. Tetapi apa diijinkan, itulah soal juga,” kataku dengan sasaran
samping, agar kedua suami-istri itu tidak ditambam persoalan.
"Garnpang!" kata Larasati Si Pendekar Panas Mahabharata. "Nanti saya yang
maju. Jam sepuluh? Sekarang sudah jam delapan. Kita harus punya reserve waktu.
Dua jam siapa tahu kurang. Orang sedang berpariwisata, biasanya tidak tahu, jam
sudah lari tidak terkendalikan. Rektor harus menunggu kita. Mas Jon, Sayang. Tolong
telepon, barangkali kita boleh datang jam setengah sebelas."
168
"Baik," dan suaminya langsung berdiri. "Nomor teleponnya berapa?"
"Di kartu catatan ada."
"0kay."
"Hei, Mas Teto. Tambah lagi rotinya. Masakan hanya tiga iris. Ayo dong." Dan
tanpa menunggu acc-ku, langsung ia mengambil seiris lagi mau menyemirnya.
"Stop," kataku tegas. "Saya pagi-pagi biasanya tidak makan banyak."
“Sungguh tidak lagi?" masih juga ia menawar.
"Tidak," kataku tegas. "Terseralah kalau mau kaumakan sendiri," kataku agak
kasar. "Tetapi aku tidak." Dan kuminum kopi. Atik tersenyum padaku, lagi itu pijarpijar matanya yang manja , atau bangga atau ... birahi ? Matanya kutatap nanap. Ia
mengalah dan memandang kepada ibunya sambil berbisik.
"Mas Sinyo ini masih tegas seperti dulu." Senafas kebanggaan terdengar dari
bisikannya itu. Ibunya hanya diam dan memandang kepada anaknya, kepadaku, dan
menunduk. "Tetap masih kepala batu dia," dan tertawalah Atik riang seperti anak
kecil melihat badut.
"Sama-sama," balasku. Atik lebih tertawa lagi.
Ibunya menyentuh tangannya. "Kedengaran di telefon,” Pura-pura Atik terkejut,
mulutnya ditutup dengan kepal kecilnya yang memegang pisau roti. Geli dikulum.
"Okay, beres!" begitu laporan suaminya sambil duduk kembali santai bersandar ke
belakang seperti seorang Sultan yang kenyang. ''Jam setengah sebelas. Bahkan jam
sebelas juga boleh, kata Rektor. Asal jangan sarnpai jam sebelas malam, begitu
pesannya."
''Aku sudah mengira, pasti ia mau. Orang baik."
"Jadi," ejekku "orang baik ialah orang yang mengiyakan selalu pendapatmu.
Begitu definisinya, Tik?"
"Heh? Dah, sayang kau tidak tergolong profesor penyanggah kemarin. Gelegapan
aku pasti. Bagaimana, Bu? Jawaban pertanyaan itu'?" Ibunya melirik kepada anaknya.
"Kok aku. Kau yang harus menjawab." Atik melihat kepada suaminya, "Bagaimana
kau, Mas Jon?"
'
"Lho, kok aku. Kau yang harus menjawab." Meledaklah ketawa kami berempat.
Jenaka dan manja matanya disipitkan dan Atik mengintaiku dari sela-sela kelopak
mata. "Definisi keliru."
"Jadi kau keliru, Tik?"
“Definisinya yang keliru. Aku belum tentu."
Dengan tertawa kemenangan aku berkata kepada ibunya "Bu, lihat apa tidak?
Kepala batu. Dari dulu."
"Kau yang kepala batu."
"Hei-hei, kok seperti anak kecil,” seru Bu Antana sambil tertawa.
169
"Memang anak kecil,” sela suaminya. Kami terkejut juga mendengar keberanian Si
Jana ini. Seperti ular kobra yang diserang tegaklah kepala Atik. Lehernya memanjang
dan dengan kepala oleng ia memandang dari sudut matanya sambil melengos ke arah
suaminya. Melengos menghina? Melengos manja? Melengos sayang? Entahlah. Ingin
ia mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba memutuskan untuk bungkam saja. Kuiriskan
lagi secuil keju. Dan walaupun tangannya protes, keju itu kuletakkan di atas
piringnya. la melihat kepada cuilan keju itu, melihat padaku lalu tertawa kecil.
"Kalau tidak kumakan, katanya aku kepala batu. Kalau kumakan, aku tambah
gemuk satu kilo. Pilih mana, Bu?"
"Kok aku. Kau yang harus memilih."
''Bagaimana, Mas Jon? … Saya sudah tahu jawabmu: lho kok aku, kau yang harus
memilih." (Suaminya memandangku seperti minta tolong). Cuilan diletakkan pada
piring suaminya:
"Kau saja yang memakan, Sayang. Lebih baik kepala batu tetapi lebih ringan satu
kilo".
Suaminya memandang kepada istrinya, kepadaku lalu bernafas panjang. Ia
mengangkat kedua tangannya selaku tanda "Apa boleh buat"; lalu memakan cuilan
keju itu.
170
21. Istana Perjuangan
Mas Seta, aku sungguh senang Mas Seta datang. Selama ini aku tldak pernah tahu,
ke mana aku harus pergi kalau ingin minta nasihat. Ya, terus-terang ini mengenai
istriku."
Aku sungguh terkejut dan dari samping memandang Jana, yang hanya menyekanyeka setir mobil dan memandang lurns ke muka.
"Aku bukan penasihat yang baik," kataku, jelas khawatir lebih ruwet lagi
terperangkap dalam suatu persoalan intim yang hanya membingungkan diriku yang
sudah serba bingung ini.
''Ah, aku tahu Mas Seta. Tetapi dari apa yang aku dengar dari Bu Antana dan dari
Atik sendiri aku sudah lama tahu: Mas Seta dapat aku andalkan sebagai abang yang
baik. Dan sejak kita saling berjumpa kemarin, Mas, aku punya intuisi, ya walaupun
intuisi lelaki biasanya tumpul, tetapi aku yakin, hanya Mas Seta yang dapat menolong
kami berdua."
"Kami berdua? Kulihat antara Adik dan Atik tidak ada apa-apa."
''Ya, memang tampaknya demikian. Tetapi sebenarnya saya tahu, tidak begitulah.
Atau lebih tepat: BELUM begitulah. Kami sudah beranak tiga, tetapi kok rasanya
kami ini seolah belum pernah menikah."
"Tidak apa-apa, Dik Jon. Biasa itu. Dalam perkawinan selalu ada up and downnya." Aku jengkel sendiri dengan diriku. Nasihat umum basa-basi usang yang banyak
kata tetapi kosong. Sebetulnya aku jengkel juga dengan bekas Palang Merah di
sampingku ini yang tidak berani (tidak mau, bukan, tidak berani) memegang senjata
seperti lelaki normal. Ah, celaka memang bisa kubayangkan bagi Atik, punya suami
begini ini.
''Ah, Mas Seta harus tahu. Aku anak sulung. Dan tidak pernah mempunyai seorang
abang yang dapat kunikmati pertolongan atau nasihatnya. Selalu aku harus mencari
sendiri, bergulat sendiri dan setiap kali salah dan dimarahi ayah: Kau harus memberi
teladan, kau harus mengalah, kau harus ini-itu; hanya karena aku anak sulung.
Memang aku bukan tipe manusia yang jagoan, tetapi apakah itu salah?"
"Tentu tidak ... ," jawabku, yang jelas samasekali tidak menjawab soal. Ingin orang
lelaki di sampingku ini kukocok dan kusepak agar kejantanannya melotot ke luar dari
kepompongnya.
''Ya ... Atik memang bukan orang yang gampang."
"Nah, justru itulah Mas Seta, aku sering tidak tahu, harus bagaimana ia kutanggapi.
Seringkali, begini salah, begitu keliru. Padahal ya, walaupun saya ini orang tidak
tanpa kekeliruan, segala-galanya sudah kuusahakan agar membuat hidupnya senang."
Aku sudah tidak mendengar lagi apa yang dikatakan udang yang tidak punya kulit
panser itu. Kulihat Atik sedang asyik berdiplomasi dengan perwira penjagaan istana
yang kini disebut "Gedung Negara" itu. Aku sendiri tidak tahu, mengapa aku justru
ingin kemari.
171
Sentimentil sebetulnya, dan demi mengabdi kesentimentilan banci ini Atik matimatian berdiplomasi dengan militer-militer itu. Kulihat piket penjagaan menganggukangguk tersenyum. Pasti kalah dengan rayuan Larasati, kupikir geli. Bagaimana
seandainya Guru Srikandi itu agen sabotase musuh yang datang dengan mission
mencuri dokumen-dokumen istana republik ini? Bangun dong, Teto! 1ni bukan lagi
istana presiden RI jaman kau berpetualang dengan Kolonel van Langen di atas jip
masuk istana 19 Desember 1948 dulu itu.
Dengan wajah yang berseri-seri kemenangan (Atik selalu menang, kecuali dalam
soal perkawinan, pikirku getir) ia mendekati jendela mobilku.
"Good! Ayo Mas Jon, terus ke depan itu." Aku keluar mobil dan membukakan
pintu bagi Atik. "Perttwa musuh yang gallant," ejek Atik sambil memperlihatkan
rangkaian gigi-gigi yang cemerlang. Ketika ia menunduk masuk mobil di belakang,
tampak bergayut kedua payudaranya yang manis montok dan putih. Sambil
menundukkan diri lagi di samping Jana, aku berkata padanya: "Istrimu diplomat
ulung, Dik Jana."
Keluar dari mobil angin sepoi-sepoi yang menyegarkan menari lagi. Angin
kemerdekaan, gumamku dalam hati. Kami tidak terus ke bagian tengah serambi, di
mana menurut Atik, dulu Bung Karno, Bung Hatta dan lain-lain selalu berdiri untuk
menaikkan bendera Merah Putih.
"Mas, Mas Teto, di sini dulu aku berdiri." Ia menarik lenganku dan naik tangga
emperan muka istana dari marmer itu. ''Di sini."
Dan ia menunjukkan sudut paling belakang. Ia tertawa renyah: ''Ya, di sudut ini.
Paling belakang, seorang gadis desa dengan dua ekor kepang rambut, rok dril putih
yang kaku dikanji, tanpa bentuk deh. Tapi dril itu enak, tidak panas seperti bahan
nylon jaman sekarang. Dan di sampingku, seorang ajudan Menteri Luar Negeri. Ah
ya, bukan ajudan sebetulnya, tetapi hanya kacung pembawa map-map belaka, tetapi
aduhai tukang perayu. Mas Jon kan kenal dia?"
''Dirut proyek perkayuan Kalimantan yang baru diperiksa perkaranya itu?"
"Perkaranya? Perkara-perkara. Plural. Termasuk petualangan-petualangan dengan
perempuan macam-macam."
''Termasuk Larasati Antana, kusela meledek. Atik memandangku genit seolah-olah
tersinggung dan berkata: “Ah, gadis umur tujuhbelas tahu apa tentang asmara dulu itu.
Kami sudah cepat dewasa. Tetapi nota bene hanya dalam soal kerja. Tetapi pacaran
seperti sekarang ini? Mustahil," katanya dengan tangan seperti ahli orator memenggal
leher lawan. Aku ingin menolong suaminya: "Lalu dik Jana di mana dulu berdiri?"
"Tanya saja pada istriku itu. Dia selalu mengejekku tentang itu." Istrinya tertawa
padaku dan dengan nada yang sebenarnya sedikit sadis, ia berkata sambil menunjuk
pada pagar muka istana jauh di sana di tepi Jalan Malioboro.
172
"Di saa ... na."
''Bersama rakyat!" tangkis suaminya. Aku tak dapat menahan ketawaku. Oah
kasihan kau Jon. Begitu kaku kau membela diri. Ayo dong, jangan takut begitu.
Istrimu harus kau lawan. Jangan kau gendong terus-menerus. Malah dia lari nanti.
Seperti anak yang mulai besar menjadi jengkel kalau terus-menerus digendong dan
diciumi.
''Nah, Tik. Suamimu tersayang bersama rakyat di sana. Kau bersama para agung
dan kuasa. Mana semangat gerilyamu?" Tetapi Atik sudah tidak mau mendengarkan.
"Nah, sekarang Mas Teto. Di mana kau?"
"Aku?" Aku ekstra sengaja merangkul Dik Jon dan berkata:
"Mari Dik, akan kutunjukkan." Dan berangkulan kami turun tangga-tangga marmer
itu, melangkah beberapa meter lagi ke suatu titik di atas aspal yang jelas sudah sangat
diperbaiki itu. Ketika kami berhenti dan aku menoleh, Atik masih di atas tangga yang
teratas.
"Ke sini."
"Nggak. Panas."
“Ah, tidak perlu takut jadi hitam kulitmu. (Pada suaminya) Nah ini dik Jon, kamu
diplomasi itu selalu begitu: takut panas. (Aku menunjuk suatu lokasi di atas rumput)
Nah, di sini aku berdiri. Bawa bedil Thompson: Begini barangkali." Aku berdiri
seperti acuh tak acuh tetapi sombong berkecak pinggang. Seolah moncong Thompson
menodong. Nah, di sana jip Kolonel van Langen. Di belakangnya masih ada jip lagi
yang kosong. Lalu mereka masuk. Aku naik tangga juga. Berhenti di dekat pilar ini.
Begini (kulihat Atik dengan mata lebar terpukau pada gerak-gerikku yang memang
aku sadar, jantan gagah). Lalu mereka datang. Soekarno dan Hatta dan Syahrir dan
Haji Agus Salim dan ya ... mereka mendongak begini, tersenyum. Apa lagi Soekarno,
nah tegak penuh harga-diri, merasa safe dan seolah-olah merekalah yang jaya. Tetapi
historis ternyata akhirnya juga begitu."
"Syahrir bagaimana?"
"Syahrir? Oh, dia seperti Hatta. Berjalan biasa. Seperti mau cari orang jualan es
putar di jalan saja. Seolah mengejek. Sungguh menjengkelkan. Ya, dan ... (aku
memandang kepada Dik Jana), sungguh Dik Jon, ketika itu aku benar-benar ingin
bertanya pada Syahrir: Tuan, di mana Larasati? Tetapi nyatanya aku hanya bungkam
saja dan ya, selanjutnya aku hanya ingat, mereka pergi ke Meguwo, entah, dan aku
hanya terpaku di bawah tangga ini. Bukan. Bukan di sini (aku turon lagi darl marmer
ke rumput hijau) Aku di sini. Dan aku masih ingat, aku jengkel memetik sebatang
rumput jarum, lalu aku kunyah-kunyah. Detail-detail kecil begitu malah aku ingat.
Ya, begitulah pengalaman pihak pengkhianat bangsa."
Jana mendekati aku dari samping dan ia bergumam padaku:
"Mas Seta, kami tidak pernah menganggap kau begitu. Kami tahu segala sebab
mengapa kau begitu. Mas Seta jujur. Ini yang kami hitung."
173
“Ah tidak, Dik Jon. Aku tahu, tidak seindah itu kenyataannya. Aku tidak perlu
dikasihani. Orang lelaki, kalau ia sejati, tidak pernah suka dikasihani."
"Ah, bukan itu maksudku."
Aku pergi ke samping, mencari tempat bayangan yang agak teduh.
"Mas Teto ke mana?" kudengar dari tangga teratas.
"Cari yang sejuk."
''Naik ke sini saja."
"Tidak." Dan tumpul perasaan tidak gallant aku hanya menunjuk ke samping. Di
tangga samping itu sejuk karena agak terlindung oleh suatu lengkungan besar yang
menjadi kulis samping emperan muka yang monumental itu. Jana mengikutiku seperti
anjing yang setia. Atik dengan langkah-langkahnya yang cepat segera juga menuju
tempatku. Aku terus menuju ke padang hijau di samping istana dan langsung duduk di
rumput. Atik juga meniru langsung. Suaminya datang dan juga duduk di rumput. Aku
memandang ke dedaunan pohon-pohon yang rindang itu.
"Ada burung kipas!" seru Atik, yang juga melihat ke dahan-dahan pohon itu.
"Mana?" tanyaku dan tanya suaminya pas bersama-sama.
"Tidak lihat,” kataku.
"Aku juga tidak lihat,” kata Dik Jana.
"ltu. Yang coklat itu."
''Mana? Memang aku bukan ahli burung, bagaimana bisa lihat binatang coklat pada
dahan yang serba coklat dan banyak daunnya."
''Lihat ekomya! Itu yang berpelisir putih itu. Membias-merapat lagi, membiasmerapat lagi, sudah lihat atau belum? Itu yang gesit dan ramai bergerak seperti anak
perempuan usil di kelas."
"Oh ya, aku juga melihatnya.
''Di mana?" tanya suaminya.
"Pokoknya kalau melihat sesuatu yang bergerak kenes dan meloncat-loncat gesit,
luwes serba elok, itulah dia. Ekornya, lebih-lebih ekornya memperlihatkan kenesnya
dan genitnya
Seperti Atik:' gumamku setengah tidak bisa didengar. Tetapi Atik telah
mendengamya.
''Apa? Awas kau,Mas Teto." Dan genit ia melirik kepadaku.
"Nah, betul kau Dik Jon. Persis burung apa itu tadi?"
"Burung kipas,” sambung Dik Jana. "Memang kenes, ya sekarang aku sudah
melihatnya. Ya, memang genit."
"Seperti siapa, Jon?"
"Tahu sendirilah,” sambil memusatkan matanya kepada si burung kipas itu. Tibatiba Atik memegang tanganku dan menunjuk dengan jari telunjuknya mengarah ke
atas.
174
''Dengar tidak? Heran, kok masih ada yang hidup di sini mereka? Dengar?"
"Dengar apa?"
"Itu: Ci-po. Ci-nya panjang bernada tinggi, lalu po-nya seperti jatuh: po. Ciii-po
ciii-po· Lucu ya?"
Aku tertawa juga. Yang memang lucu. Cii-po cii-po·
"Namanya apa? Cipoa¹⁾?" tanyaku melawak.
"Uh cipoa, kau itu cuma memikirkan komputer saja. Namanya mudah saja: burung
cipo atau cito. Aegithina tiphia."
"Nama Latin sinting. Kan lebih bagus tadi itu? Cii-po, cii-po. Apa gerangan
artinya?"
"ltu penjaja dari kaum burung,” kata Jana. "Kuacii-bakpao, kuaciii - bakpao."
Kami tertawa semua. Nah, begitulah! Kubatin: hidup sedikit kau Jon. Seorang
suami harus sering bisa membuat istri tertawa.
Atik diam dan mendengarkan suara-suara burung. Ia sedang bergumul dalam
wilayah dunianya. Suaminya ikut melihat ke dedaunan mengikuti istrinya. Orang ini
tidak ketolongan, batinku, selamanya ia akan menjadi kaum Palang Merah di garis
belakang. Tetapi bukankah kaum Palang Merah, walaupun tak membawa senjata apa
pun adalah para pecinta sejati dari Kehidupan? Suami semacam inilah sebetulnya
cocok untuk seorang pecinta alam seperti Atik. Hanya mereka belum menemukan
kesejatian diri masing-masing, walaupun Atik ahli dan fasih tentang kesejatian diri
dan citra bahasa dan lain-lain kata falsafah hebat. Hidup harus dihayati praktis, dan
tidak hanya diteorikan. Tetapi bukankah penghambat utamanya dalam penemuan
jatidiri mereka, dan Atik terutama, sebetulnya justru citra pesona Si Setadewa, aku
sendiri? Si jantan ideal, artinya dalam arti romantika, Sang Gatutkaca yang gagah
hebat, tetapi selalu terbang dan tetap tak pernah terjangkau? Semacam fatamorgana
yang hidup penuh himbauan-himbauan indah, tetapi sebenarnya hanya bayanganbayangan cermin keinginan-keinginan situasi yang dianggap kurang memuaskan?
Aku sadar, bahwa aku Setadewa sebenarnya adalah agresor, adalah KNIL, Dr. Beel
dan Spoor, yang pada tanggal 19 Desember menyerang Yogyakarta untuk mengejarngejar fatamorgana yang fatal dan yang akhirnya membuat jiwa Kapitein Seta patah.
Yang dulu disangka pemotongan keruwetan gordian Iskandar Agung, ternyata
berakhir dengan tragedi bunuh diri Spoor dan likuidasi KNIL.
Aku, Setadewa seharusnya sudah lama menarik hikmah pelajaran yang fatal itu.
Mengapa aku di sini sekali lagi menjadi agresor kebahagiaan keluarga Janakatamsi?
Jikalau Bu Antana bereaksi normal sebagai induk yang hanya memikirkan
kebahagiaan anak tunggalnya secara jangka pendek, seperti selalu dikerjakan oleh
naluri wanita yang mahir mencari jalan-jalan ke luar yang efisien dalam jangka
pendek, maka aku sebagai lelaki harus menyumbang pelengkapnya, yakni bertindak
dalam prospek jangka lama. Perang tidak pernah merupakan tujuan dalam diri sendiri,
Tidak ada nasion yang berperang demi berperang. Perang adalah sebentuk
perpanjangan diplomasi dengan cara-cara yang lain.
¹⁾ Alat hitung Cina tradisional.
175
Selaku orang militer atau menejer perusahaan, sama saja, aku seharusnya sudah
tahu bahwa persoalannya bukanlah menang taktis belaka melalui suatu pertempuran
dengan biaya apapun, tetapi memenangkan peperangan sebagai keseluruhan secara
strategis. Jika permainan segi tiga ini diterus-teruskan memanglah taktis Bu Antana
dan Atik menang. Dan pasti aku sekali saat akan kalah dan tidur dalam rangkulan
kewanitaan Larasati yang vital seperti hutan tropika dan yang mendamba dan
mendamba kejantanan gelora alam yang mengguntur dalam awan-awan dan yang
menjanjikan hujan muson khatulistiwa ..
Tetapi jikalau itu terjadi, pastilah Larasati dan Janakatamsi dan juga Bu Antana
serta ketiga anak terkasih tak bersalah itu akan hancur berantakan dalam suatu
kekalahan strategis. Bagaikan suatu perang nuklir, yang tidak lagi mengenal pihak
pemenang, karena semua pihak akan kalah. Dan kehancuran seperti itu sama dengan
bunuh-diri. Aku tidak akan bunuh-diri. Kejantanan justru menghendaki hidup-diri.
Apalagi kewanitaan, rahim yang dari bahasa citranya sudah memiliki bentuk ingin
menerima, ingin dibuahi demi kehidupan. Dan tidak minta untuk dilukai belaka.
Dapatkah semua itu kusadarkan kepada Atik? Tetapi terutama kepada diriku dulu,
Setadewa? Kalau Seta cinta pada Atik, ia akan menginginkan pangkuan Atik bukan
sebagai lubang luka-Iuka, melainkan gua kehidupan. Memang benarlah bentuknya
sama, dua Citra itu. Tetapi kualitas dan makna tidak datang cuma dari bentuk lugu belaka. Setadewa sebagai manusia harus berani memilih.
"Kok diam, Mas Teto? Sedang memikirkan apa?" tiba-tiba Atik bertanya
memecahkan lamunanku. Inilah saatnya, ya inilah saatnya, begitulah sejelas-jelasnya
terilhamkan padaku. Tidak didalam kamar netral, tetapi di sini, di halaman istana
bersejarah inilah aku akan membuat perhitungan hidupku selama ini yang tanpa arti,
bagi rahim yang pemah mengandungku, demi susu-susu ibu yang pemah memberiku
zat-zat kehidupanku yang pertama, demi wajah-wajah dan tangan-tangan yang halus
membelai dan memberi getaran-getaran pertama emosiku, yang kelak disepuh lagi
menjadi serat-serat karakter kepribadianku, demi ayahku perwira pembangkang
kelaliman, keluargaku dan negeriku.
"Dik Jon, aku ingin minta nasihatmu."
Jana agak terperanjat juga dalam reaksinya.
"Lho, apa Mas Seto?" Atik memandang padaku dengan tegang. Barangkali bagi
Atik aku ini selalu variabel yang tidak pernah bisa diperhitungkan, tetapi selalu
memukau, menarik, sekaligus mengancam.
"Dik Jon, sebagai ahli geologi utama di kalangan eselon atas kau kan punya
koneksi penting dengan menteri-menteri?" Bukan Jana tetapi Atiklah yang menjawab:
"Mas Jon, kau kan kenal semua Dirjen?"
''Ya, saya kenal. Tapi soalnya apa?"
Lalu kubentangkan model komputer yang salah menghitung kuantitas produksi
minyak mentah. Begitu kompleks dan sulit perhitungan itu, sehingga hanya bagi
orang yang langsung berkecimpung dalam inti pimpinan, hal itu kelihatan. ''Aku yakin
adanya kesengajaan.
176
Namun tentulah secara hukum hal itu sulit dibuktikan, sebab siapa yang cukup ahli
matematika tinggi untuk melihat kesalahan fatal di dalam rumus yang begitu panjang
dan rumit? Dan yang totalitasnya hanya diketahui orang yang paling top? Seharusnya
ini diperiksa oleh pihak Indonesia. Tetapi negeri ini kan hampir tidak punya ahli
matematika." Dengan melompong Jana mendengar uraian-uraianku dan kedua mata
indah dari Atik yang membelalak menunjukkan, betapa paham mereka akan
komplikasi dan implikasi permasalahan. Reaksi pertama datang dari Atik, ya tentu
saja dari dia. Dia yang lebih cerdas.
Tetapi, Mas Teto. Ini berarti kau akan dipecatl"
"Aku tahu."
Erat-erat tanganku diremas-remasnya. ''Teto! Teetoo! Kau sungguh Teto, kau
singa!"
"Singa yang sudah divonis dan menunggu ditembak."
''Ya, itulah konsekuensinya. Dan kau sanggup mati?"
"Aku tidak akan mati. Hanya harus berganti kehidupan. Dari manusia lama
menjadi manusia baru."
"Teto! Sungguh jantan kau."
"Ini bukan soal jantan atau tidak jantan."
Atik melihat kepada suaminya, kepadaku lagi, kepada suaminya.
"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Mas Seta," kata Jana perlahan-lahan, "Mas
Seta akan saya bantu. Tetapi bagiku hanya sedih, bahwa dengan begitu aku akan ikut
serta dengan proses pemecatanmu.
"Dik Jon, kau ahli geologi dengan jiwa Palang Merah. Pulau Jawa ini tidak akan
subur tanpa sesekali vulkan-vulkan itu meletus. Kalian mengalami Revolusi. Itu
ledakan dahsyat yang menyuburkan negeri ini. Tetapi kau dan kau ada di pihak yang
menang. Kekalahan pihak ku memungkinkan kemenangan kalian. Aku dulu masuk
KNIL tidak untuk mencari gaji soldadu. Bukan juga demi petualangan tentara sewaan
belaka. Aku memerangi kalian sebagai pembalas dendam ibuku, yang mengandungku
dan yang dirusak kandungannya oleh Jepang. Memang kesalahanku ada pada
identiflkasi Jepang dengan Republik Indonesia. Tetapi maaf, terus-terang kukatakan,
bukankah banyak dari pimpinan pihak kalian bukan hanya murid, tetapi penerus
konsekuen mental Jepang itu? Selama aku jadi menejer perusahaan sesudah perang,
aku baru mengenal segi-segi lain dari Jepang yang lebih positip. Tetapi dalam saat
kala itu Jepang diperkenalkan pada kita dalam bentuknya yang fasis. Memang aku
keliru dalam memilih sasaran, akan tetapi tidak dalam motivasi. Dan motivasiku
masih sama. Aku tidak mau mengabdi kepada perusahaan yang pada hakekatnya juga
bermental fasis, menipu, merampok dan memaksakan rumus-rumus serta modelmodelnya pada negeri ini; ya, negeri ini adalah Mamiku dalam bentuk lain. Sekarang
pun aku akan membalas dendam, bila negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer.
Dan inilah saat perhitunganku.
177
Aku tidak gentar, seperti dulu itu aku tidak gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran.
Sekarang tidak."
Atik hanya memandangku dengan mata yang basah. Bungkam dan tidak mampu
mengungkapkan diri dalam emosinya. Aku tahu, ia bangga, ia melihatku sebagai
lelaki yang ia idam-idamkan. Tetapi itu perkara lain. Wanita selalu menangkap
getaran-getaran radar pribadi dulu. Kami kaum lelaki getaran-getaran perkaranya dan
seluruh gerak galaksi. Dan dalam hal ini aku lebih menghadap kepada Jana daripada
Atik.
''Aku dapat menjadi perantara," begitu kata Jana sederhana, "tetapi jujur saja aku
bukan andalan yang selalu meyakinkan."
"Kau akan membantu?"
''Pasti, Mas Seta. Hanya masalahnya masih ada satu. Dan satu ini dapat sangat
mempersulit operasi."
"Mencari orangnya yang tepat?"
"Oh, itu bukan soal. Aku kenal orang-orang yang memegang kunci dalam masalah
ini. Kalau perlu sampai eselon yang tertinggi. Tetapi sering soal seperti ini lebih
mudah digarap oleh eselon yang jangan terlalu top. Sebab sebelum itu, soal rumus
model harus kita check kembali dan itu membutuhkan bantuan ahli. Tetapi tidak
hanya ahli. Ahli yang MAU dan BERANI menanggung risiko."
"Lho, ini kan demi negeri kita sendiri."
''Ya, betul Mas. Itu seharusnya. Tetapi yang seharusnya dan senyatanya itu kan
masih dua soal yang belum tentu klop."
"Kau benar Dik Jon. Bagaimana nanti sebaiknya?"
Serahkan kepada saya, Mas Seta."
Atik masih diam. Tetapi dadanya nampak bergejolak naik turon. Sekali lagi intuisi
wanitanya melonjak keluar.
"Mas Jon, Sayang, kau juga bisa dipecat."
Dan tenang seolah-olah hanya omong tentang roti dan mentega makan pagi tadi ia
tersenyum kepada istrinya dan berkata :
"Kalau perlu, apa boleh buat."
Kulihat mata Atik membelalak. Nah, bagus kau Jon. Sekarang istrimu melihatmu
sebagai jantan: "Kau berani Jon, Sayang?"
"lni bukan soal berani atau tidak, Tik. lni soal harus (tampak Atik masih belum
percaya apa yang dikatakan suaminya). "Begini, Tik. Kalau Teto (padaku) yang
kumaksud Seta, anak kami, Mas, Tik, kalau Teto atau Padmi misalnya sedang mainmain di jalan, tersandung di aspal, lalu ada Colt datang menyambar, apakah di sini
masih dipertanyakan soal berani atau tidak? Kan spontan kita akan maju dan menyeret
Si Teto atau Padmi itu dari bahaya. Barangkali kita sendiri terkena, tetapi itu sudah
risiko. Kalau tidak begitu, ya, jangan jadi bapak atau ibu."
Senyum dikulum pada Atik.
"Mas Teto, aku juga akan membantu."
178
Jana menyambut: "Sebaiknya kau sementara di belakang dulu, Tik. Bukan karena
aku tidak percaya padamu, tetapi kita harus strategis kerjanya." Aku membantu Jana:
''Ya Tik, serahkan saja pada suamimu. Dalam perkara gawat ini, Jana sangat tabah."
Kulihat pada jam tanganku. Spontan mereka juga berbuat yang sarna. Masih cukup
waktu. Tetapi atas usulku kami toh berdiri dan merenung spontan diam kami menuju
ke mobil. Meninggalkan halaman yang bersejarah itu. Di pertigaan Jalan Beringharjo
kucatat, jam Yogya atau Jakarta sama saja, terlambat hampir tiga jam. Tak
mengapalah. Asal masih berjalan.
179
22. Sarang Manyar Baru
Ternyata, apa yang sudah diduga semula betul terjadi. Aku dipanggil ke Tokyo dan
di restoran lapangan terbang aku diberi tahu oleh boss tertinggi Pacific Oil Wells
Company,
bahwa aku dipecat dengan tidak hormat. Sinis Boss Besarku berkata melalui hidung
(dia punya hidung terlalu besar, sehingga suara selalu melalui saluran samping yang
bukan kodratnya untuk bersuara itu) bahwa apa yang kukerjakan itu sia-sia saja.
Perbuatan anak puber idealis yang tidak tahu kompleksitas persoalan internasional
dan sebagainya dan sebagainya. Dari segi efek terakhir semua itu hanya berakibat
kecil. Sebaiknya, sebetulnya, seharusnya, semestinya dan sebagainya, tak pantas
dikerjakan orang berkedudukan tinggi seperti aku ini. Bahkan dengan menempatkan
orang kulit berwarna pada pos begitu tinggi kan seharusnya aku mengerti bahwa itu
salah suatu tanda good-will yang besar dan bahwa sebenarnya, sebetulnya, semestinya
dan sebagainya aku harus menghargai kepercayaan yang sudah setulus-tulusnya
dilirnpahkan kepadaku. Tetapi ternyata aku ular kobra yang menggigit dari belakang.
Dan sebagainya, dan sebagainya, dan seterusnya.
Tetapi perusahaannya sudah siap menghadapi itu semua dan toh akhirnya hanya
aku sendiri yang mencelakakan diriku sendiri. tanpa efek apa pun. Sebab konsesi
masih tetap diberikan, bahkan barangkali abadi, kepada mereka; dan lestari kokohlah
kedudukan Pacific Oil Wells Company di mana pun. Bahkan dengan peristiwa
semacam ini kedudukan mereka justru lebih kuat lagi dan reputasi internasional
mereka bahkan melonjak. Selain itu jangan mengira bahwa di dunia ini hanya ada satu
rumus saja. Gugur satu tumbuh seribu, sebab para raksasa pandai dan kuat di dalam
sistem seperti ini. Tidak begitu saja bisa diserang semut seperti dalam dongeng,
dengan memasuki telinga sehingga mastodon gila dan masuk jurang dan sebagainya.
Sebab dunia tehnologi, industri, bisnis dan politik ditambah militer, bukanlah dongeng, tetapi perhitungan dan struktur-struktur elektronika yang tahan digigit semut.
Dan bahwa selanjutnya segala kelakuan yang gegabah harus ditanggung sendiri dan
sebagainya dan sebagainya. Tetapi walaupun, biarpun, kendati pun semua sudah
terjadi, Pacific Oil Wells Company dengan segala kedermawaan masih memberi
kesempatan pada Dr. Setadewa, dan ini disetujui oleh seluruh Board Of Directors dan
Board of Trustees, bahwa orang yang penuh talenta¹⁾ yang begitu ahli dalam segi
komputer perlu diberi tempat yang layak demi kemajuan seluruh planet ini. Sebab
kaya atau miskin, kita di planet satu ini, saling tergantung. Kehancuran pihak yang
satu akan membawa kehancuran yang lain; dan bahwa Dr. Setadewa masih diberi
waktu satu bulan untuk mempertimbangkan tawaran kedudukan yang terhormat,
walaupun tidak lagi dalam divisi komputer, tetapi dalam suatu divisi lain: Pengembangan Tehnologi dan Metodologi baru yang akan bermanfaat bagi seluruh bangsa
manusia di kelak kemudian hari dan sebagainya dan sebagainya.
¹⁾Dari kata talents, bakat.
180
Jika aku mau, dan selayaknya aku harus mau, mengingat kecerdasan otakku dan
sebagainya dan sebagaiya dan bahwa sebagai bukti, perusahaan mereka tidak
menaruh perasaan dendam sedikit pun, Sang Big Boss pada musim panas yang akan
datang tetap mengundang aku juga dalam suatu liburan menarik di kalangan qualified
talents all over the world. Sambil menikmati safari samudera di Kepulauan Oceania.
Dan karena itu aku akan selalu welcome di rumahnya di Hawai atau Miami; dan
bahwa istrinya juga berpesan untuk menyampaikan salam hangat, bahkan mereka
bersedia menanggung biaya segala-galanya bila, ... semoga Tuhan memberkati
perkawinan Tuan Seta kelak ... itu seandainya" ... Seketika itu aku, yang sampai
sekian hanya diam mendengarkan ocehannya, membendung banjir kata-katanya, dan
menuntut agar masalah bisnis jangan dicampur-aduk dengan rnasalah pribadi yang
intim.
Ia lalu menepuk-nepuk bahuku dengan gaya abang tua persaudaraan lama dan
berharap dalam sebulan ini menerima jawaban positif. Sebab kalau negatif, akibatnya
akan lebih malapetaka lagi dan sebagainya dan sebagainya.
Tetapi percakapan kupotong: ''Farewell!''
Di Halim aku dijemput oleh Jana dan Atik. Selama perjalanan ke Bogor mereka
tidak menyinggung hal-hal yang gawat, dan justru karena itulah aku sudah mencium,
bahwa ada berita malapetaka yang menungguku. Baru sesudah makan sore di kebun
belakang yang luas, di bawah sinar beribu bintang, Atik bercerita, bahwa suaminya,
seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, dipecat juga dari segala jabatannya. "Atas
alasan yang demi security tidak dapat dikatakan," tambah suaminya. Dan Jana dengan
tertawa keci1 masih menambahkan: "Tetapi toh masih dengan hormat. Tetapi tak
mengapalah. Hidup kami tidak pernah mewah. Walau dulu pun belum pernah mewah,
tetapi menjadi proletar juga tidak. Toh sebagai orang swasta ia masih sanggup
bekerja. Hanya ia mengkhawatirkan, bahwa karena suaminya, Atik kelak akan mendapat hambatan juga naik tangga karir.
“Asal saja masih boleh mendengarkan burung berkicau, tidak mengapalah," kata
istrinya sambil merangkul suaminya. Maka dengan senda-gurau aku bertanya spontan
tetapi main api sebenarnya.
"Tik, aku tidak mendapat hadiah juga kau rangkul? Aku iri hati pada suamimu."
"Oh, bagaimana Mas Jon? Boleh?"
"Boleh, asal jangan lama-lama."
"Lama atau tidak sih relatip."
"Ya, beginilah Mas Seta, nasibku. Selalu saja kalah kalau berdebat dengan adikmu
itu." (Adik? Ah, main-main api bahaya lagi. Jiwa petualanganku dengan umurku yang
sekian belum lagi sembuh). Atik berdiri dan berlutut di belakang kursiku. Aku
didekap dari belakang dan pipinya menyeka pipiku. Bisiknya: "Mas Teto, kau harus
selalu bersama kami. Aku membutuhkan Mas Teto. Dan Mas Jon juga butuh kau."
Kuseka pipinya yang satu dengan tangan kananku. Tanpa kata,
sebab saat itu aku tidak bisa berjanji apa pun. Tiba-tiba aku takut.
181
"Di mana anak-anak?"
"Kan tadi sudah minta pamit untuk pesta ulang-tahun pada ternan. Atik tertawa
nakal: "Mas Jon, Mas Teto takut anak-anak kita melihat ibunya merangkul oom
mereka."
"Maka itu jangan lama-lama,” jawab suaminya tertawa.
"Kok seperti anak keci1,” kataku hanya untuk menenteramkan jiwaku yang tibatiba terbakar.
"Kadang-kadang jadi anak kecil ada baiknya," kata dik Jon.
''Dari mana kau punya slogan itu?" tanyaku dengan tertawa.
"Ya, biasa kan. Dari istriku,"
"Oh, Mas Jon ini. Selalu saja rendah hati. Saya belajar juga dari suamiku, sungguh
mas Teto."
Aku masih menganggur. Aku telah minta berhenti, dan Pacific Oil Wells Company
memberiku surat pemberhentian. Ternyata toh masih dengan predikat terhorrnat.
Dengan suatu kattebeletje dari Big Boss. "Formal kita berpisah. Tetapi setiap saat
Anda masih bisa kami terima lagi." Mereka membutuhkan ahli, batinku. Soalnya
hanya: ahli yang bagaimana. Keesokan harinya aku terbang ke Jawa Tengah. Aku
merasa butuh, dengan Mamiku lagi, memohon kekuatan untuk hari depan.
Dari Magelang aku membawa pesan dari sahabat lama, dokter tua pensiunan, ayah
Dik Jana, untuk anaknya. "Tetapi hati-hati menyampaikannya," begitu pesan dokter
tua yang baik dan setia itu. Aku menjanjikannya. Saatnya tidak sulit dicari.
Pada suatu Sabtu, aku diundang keluarga Jana (yang sedapat mungkin memang
kuhindari selama ini, karena aku merasa masih tidak kebal terhadap pesona
kewanitaan Atik). Bersama-sama dengan anak-anak kami akan pergi ke Pegunungan
Salak. Atik kenal seorang penjaga hutan di sana dan kami akan berkemah di dalam
rumahnya yang sederhana dan yang punya ranjang amben yang luas. Cukup untuk
kami semua. Maka berpikniklah kami menyegarkan jiwa, pergi ke lereng Gunung
Salak. Atik memang guru yang baik untuk anak-anaknya. Mereka diwarisi rahasiarahasia alam hutan yang relatif masih perawan itu. Dan pengetahuannya sebagai
biolog namun terutama sebagai pewaris ayahnya, sangat menggugah hatiku. Kami
sanggup diam lama di tengah hutan menikmati alam asli dan bunyi-bunyian dalam
suasana yang murni itu. Duduk dan diam mendengarkan.
Kadang-kadang sang ibu membisikkan sesuatu kepada anaknya. Terutama Si
Padmi, yang kedua, yang mirip sekali dengan Atik ketika masih kecil, sangat
mewarisi bakat-bakat ibunya. Kicauan burung sering ramai sekali. Kadang-kadang
berhenti bersama-sama. Rupa-rupanya ada burung dari langit menghampiri mereka
serba mencurigakan Sesudah lewat, kicauan mulai lagi. Pernah di atas kami tiba-tiba
meletus kicauan kacau, seolah-olah burung-burung itu saling mencaci.
182
Atik mengintip dengan teropongnya ke atas. Diberikannya kepada Padmi dan berkata:
"Lucu sekali!" “Ada apa?" tanya adiknya. Teto Si Abang diam melihat ke atas.
"Mereka menemukan seekor burung celepuk barangkali," kata ibunya.
"Celepuk?
“Atau uhu, atau kebluk. Ya, selalu begitu. Uhu itu lalu dimakimaki sekenyangkenyang mereka. (Kasihan. Kenapa?) Habis, burung itu nakal. Sering pada malam
hari mencuri telur atau bahkan memakan anak-anak yang masih kecil dalam sarang."
(Apakah aku burung uhu?).
"Lalu mereka maki-maki?" tanya Kris.
''Ya, sebetulnya karena setengah takut juga. Seperti kalau kalian melewati kuburan,
takut, lalu berteriak atau nyanyi-nyanyi untuk menghilangkan ketakutan."
"Eh …..dengar ! "Kr-kr-twee ! "Heh, Itu lagi,” ciee woo..cice woker-kr-twee…ciee
wo … ciee wo…
Anak-anak tertawa, semua, sehingga kami kaum tua ikut juga.
Terdengar suara burung lain: Kopiii Kopiii!
"Kopii, kopii! Mereka minta kopi," komentar Dik Jana. Anak-anak tertawa lagi.
''Tapi ayah juga minta kopi Lho."
“Aaah!" Bungkusan dan termos dibuka. "Bisanya cuma menyindir!" kata Atik.
Kulihat, bahwa Teto si sulung itu cocok sekali dengan ayahnya; tak banyak omong
dan seolah-olah hanya menjadi orang kedua saja. (Ayah seperti aku ini kukira bahkan
lebih merusak daripada menolong) .
“Ayah dulu," perintah Atik kepada Padmi.
"E, tidak. Oom dulu. Selalu tamunya dulu."
"Tenma kasih, Mimi," kataku manis. Anak itu kalau tertawa atau tersenyum
dengan lesung-lesung di pipi, persis sekali ibunya dulu. Dan matanya juga cerdas
nakal.
"Ibu, ini Oom senang atau Oom yang senang?"
Kurangajar! Atik tertawa tidak ketolongan.
"Keduanya," katanya kepada anaknya.
Teto jelas bukan Teto aku. Ia mengikuti jejak ayahnya, pendiam, pengalah.
"Kau kelak jadi apa, To?"
''Ya, apa ya? Dokter juga bisa." (Nah cocok kan).
"Lho," kata ibunya. "Kok dokter juga bisa. Apa persisnya? kok ya bisa."
"Habis," jawabnya tenang. "Kalau nggak bisa, masakan bisa."
"Kalah kau, Tik," kataku meledek.
"Ini namanya Teto, tetapi tidak seperti Oom Teto."
"Kok lucu,” komentarnya tenang sambil memakan roti sus dengan caplokan yang
besar. Dan dengan mulut penuh ia berkata kepada roti yang tinggal separuh:
"Memangnya bukan Oom Teto kok disuruh jadi Oom Teto. Lucu."
"Kalah lagi ibunya," begitu aku membakar.
183
Teto melihat padaku dan mengerdipkan mata. Padmi adiknya membela ibunya:
''Persis itu tidak sama dengan menjadi. Persis kunyuk itu bukan kunyuk."
"Siapa yang kunyuk?" tanya kakaknya tenang. Ayahnya memisah: "Makan dan
omong, jangan kedua-duanya bersama-sama. Tidak sedap untuk dilihat."
"Sedaaaap!" komentar Kris si bungsu.
Tiba-tiba terdengar seperti ada orang tertawa: Hi-hii-hii!!
"Heh, siapa itu?" tanya sang Bungsu.
Ibunya memberi isyarat jari di muka bibir, agar semua diam. "Itu burung kuda."
"Kok seperti orang tertawa. Tunggu, nanti ada lainnya. Betul. Ada beberapa ekor
burung lain yang bersama-sama "tertawa" seperti sekelompok nenek sedang arisan,
"hihihi .... "
"Kok seperti mengejek tertawanya itu, kurangajar ya Bu?" tanya Padmi.
''Ya, begitu."
"Hihihi .... Teto mendukung suara burung-burung itu "Hihi-hihihi .....
"Eh, Mas Teto!" Dan semua anaklalu meniru.
"Hihihi .... " Ketawa anak-anak itu menjalar sungguh.
"Di Sumatra atau Kalimantan bahkan ada burung, anggang gading namanya,
karena paruhnya panjang dan bendolan seperti gading ada pada paruhnya. ltu burung
lebih menggelikan, kata ibunya. "Begini ketawanya: u-u-u-hahaha."
"Uu-u-hahahaha," anak-anak menirukan ibu mereka.
''Betul Bu, burung itu tertawa?"
''Ya, sebetulnya tidak tertawa, tetapi suaranya seperti tertawa geli dan benar-benar
renyah menyenangkan sekali."
Padmi: "Oom. Oom Teto? Besok Oom ke Sumatra dan carikan burung, apa Bu
namanya tadi."
''Anggang gading."
''Ya, anggang gading untuk kami."
"Nanti kalian tidak bisa belajar. Hanya uuu-hahaha saja."
''Biar, kan tertawa itu baik," komentar Teto cilik.
''Ya, kalau tertawa terus ya sinting," tambah Padmi.
"Nah, mengapa kau tadi minta Oom mencarikan burung ganggang gading tadi?"
tanya Teto hanya untuk menyerang saja.
''Anggang gading. Bukan ganggang. Goblog."
"Heh, Padmi. Tidak boleh ya menggoblog-goblogkan abang."
"Menggoblogkan adik juga tidak boleh, ya Pap,” tambah Kris.
"Siapapun tidak boleh digoblog-goblogkan."
Padmi: "Lha, kalau memang goblog, bagaimana?"
Karni semua tertawa.
"Sini Padmi. Duduk di pangkuan Oom Teto!"
Padmi manja duduk di pangkuanku dan kudekap anak yang mirip Atik ini. Ibunya
sepetti iri melihat anaknya, memandangku.
184
"Eeh," kata Teto sulung. "1bu iri." Spontan ia dipukul oleh tangan ibunya.
''Papi, ibu iri."
"Boleh-boleh saja;' komentar ayahnya.
''Ah, kalau begitu saya juga iri." Dan langsung ia duduk di atas Padmi, yang
tentunya marah besar mengusir kakaknya.
"Sudah sana, anak-anak dolan ke sana dulu. Oom Teto dan Ibu mau bicara-bicara
soal penting."
"Kami tidak boleh mendengarkan?" tanya Padmi.
"Tidak," kata ibunya.
''Ya sudah,” komentar Teto.
"Kris juga tidak boleh mendengar?"
''Boleh, tetapi sebaiknya kau dolan dulu ke sana. Asal jangan jauh-jauh."
''Aku ikut !" kata ayah meteka yang lalu betdiri.
Kris digendong dan pergilah mereka meninggalkan aku, berdua dengan Atik.
Lama kami tidak mengucapkan kata. Hanya suara-suara burung di hutan itu yang
mewakili kami. Mata Atik menghunjam ke tanah.
"Tik, aku minta maaf mengenai kemarin malam itu."
"Kau tidak salah. Aku yang meminta."
"Saya hanya ingin berterima kasih katena yang satu itu kau tolak "Saya tidak
menolak. Saya selalu mendambakannya. Tetapi saya teringat anak-anakku." Kami
diam. Mata kami saling berpandangan.
"Kalau begini terus Tik, semua akan rusak."
"Salahku ... "
Tidak. Tentang siapa yang salah, kukira kita tidak berhak menentukannya."
''Jana sudah tahu?" Atik mengangguk-angguk. "Sudah sejak awal sebelum kami
kawin." Aku diam. Mata Atik memandangku lagi dan sepetti sayu ia betkata:
"Suamiku sebenarnya lebih ayah dari pada suami. Apa saja yang kurasa baik ia setuju.
Dia terlalu baik. Tetapi barangkali … barangkali aku memang membutuhkan seorang
ayah. Tetapi ah ... juga sekaligus seorang abang yang kuat." Tanpa sadar: "Teto,
tetaplah betsama kami. Aku membutuhkan abang yang lebih kuat dariku."
''Aku tidak akan kuat lagi. Tadi malam buktinya."
''Ya, tetapi kan belum yang terakhir."
''Yang tetakhir selalu melalui yang sebelum terakhir. Aku lelaki. Aku tahu
keterbatasanku."
"Tetapi seandainya suamiku boleh? 1a mampu memahaminya."
"Suamimu bukan wanita. Aku lebih tahu bagaimana perasaannya.
"Teto, aku dan dia membutuhkan kehadiranmu. Kan kau lihat sendiri, bagaimana
kami berdua sudah saling mendekati dan lebih saling memahami. Saya takut kalau
kau tidak ada, kami renggang lagi."
185
"Tik,” Dan aku berlutut menghampirinya. Wajahnya kuurut dan matanya nanap
mendamba terpaku pada mataku. ''Aku takut Tik." Aku dirangkulnya kuat-kuat.
"Dari dulu aku selalu merana kalau kau tidak ada. Sekarang kau kembali dan
sekarang kau mau pergi lagi? Lalu aku bagaimana?"
"Kita jangan mempersoalkan sang Aku, Tik, tetapi anak-anak. Itu kata nurani.
Walau hati betkata lain." Lama mata basah itu memandangku.
''Jadi kita hams betpisah?"
Apa ada jalan lain?" Ia kulepas dan ia memandang ke tanah.
Bergumam:
"Jalan lain ... jalan lain?" Tetapi bergejolak lagi, karakter Larasati dalam dirinya:
"Teto. Mengapa kau kok dapat kuat sepern itu? Kau kuat, Teto, kau sangat kuat. Dan
aku selalu kagum pada lelaki yang kuat."
"Suamimu lebih kuat."
"Mas Jana? Ooh ... dia baik, tetapi lemah. Akulah yang selalu meminpin.”
''Apa kau kira orang yang dipimpin itu selalu lebih lemah?"
Matanya bening dan lebar penuh pertanyaan. Kuteruskan: "Jana tidak dipimpin.
Dialah yang memimpin, Atik. Hanya kau yang tidak tahu. Susahnya kau wanita
terlalu pandai. Tetapi terlalu emosi juga."
''Apa salahnya?"
''Bukan soal salah. Memimpin tidak selalu dengan komando, Tik. Kualitaslah yang
memimpin, dan kualitas sering menang tanpa kata. Kau mestinya harus tahu itu."
"Mas Jon ...”
''Ya, ia memimpin seperti Alam Raya ini. Tanpa kata. Seperti karakter. Dengan
pengertian. Dengan kekuatan, apa katamu dulu? Dengan jatidiri dan bahasa citra."
Atik mulai menangis lirih. ''Tik, sekali saat kau dan kita semua harus belajar. Aku
sudah belajar. Aku seorang kaum pemegang senjata, kaum penata prosedur komputer.
Suamimu ahli geologi, tetapi berjiwa Palang Merah. Palang Merahlah yang lebih
panglima daripada senjata api. Sebab apa? Karena Palang Merah memberi hidup,
sedangkan senjata merenggut dan memperkosa hidup. Ia lebih jantan dariku, Tik.
Kejantanan manusia bukan kejantanan rimba ini. Tik, kalau kau cinta padaku,
cintailah suamimu."Atik merebahkan diri dalam pangkuanku dan menangis tersedu.
Lalu kau ke mana? Lalu kau ke mana? Teto, ke mana kau?" Aku diam. Entahlah,
aku pun tidak tahu.
"Tik, aku tidak tahu."
"Lalu akan mengambang saja dengan angin?"
"Boleh jadi."
''Teto kau akan kawin nanti?"
"Boleh jadi."
"Sudah ada ... ?" Aku tersenyum dan membelai rambutnya.
''Belum.''
''Belum?''
186
"Belum. Atau boleh jadi: tidak akan ada." Ia merangkulku lagi. Hangat tubuhnya,
masih vital. Mari Kepalanya kuangkat dan kucium dia pada pipinya, pada telinganya.
Hangat, bernafsu. Tetapi ketika aku menghampiri bibirnya, ia menolak.
"Saya akan mengikuti nasihatmu, Mas Teto. Hanya kalau ada apa-apa, kami
jangan kau tinggalkan." Ia mulai membetulkan rambut dan sanggulnya, blusnya. Dan
dengan memandang aku ia toh masih menawarkan diri. "Kau boleh menyeka dadaku,
Mas Teto. Boleh." Payudaranya tidak kusentuh. Tanganku mengulur ... sangat ingin ...
toh tak berani ... aku hanya menyeka pipinya. Kedua belah tanganku merangkum
wajahnya yang tersenyum.
''Aku bukan orang kuat Atik. Kau pun juga tidak. Kita harus saling menjaga, justru
karena kita bukan orang kuat." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau kuat, Mas Teto."
''Jana lebih kuat." Ia mengangguk, air-matanya berlinang, bahagia. "Setuju?" Ia
mengangguk lagi. "Maka jagalah dia juga. Orang kuat juga harus kita jaga." Ia
mengangguk dan senyumnya penuh damai. "Mari kita mencari mereka."
Kami kumpulkan termos dan segala yang belum terbawa anak-anak. Keranjang
kubawa dan ia berjalan di mukaku pada jalan setapak.
''Tik, aku masih punya pesan dari ayah mertuamu."
“Ada apa?”
"Ia masih punya permintaan yang sudah lama ia dambakan. Agar masih dapat
mengalaminya, sebelum ia meninggal: Jana puteranya, diharapkan tahun ini naik
haji."
"Naik haji? Untuk apa?"
''Jangan kita bertanya untuk apa. Menggembirakan hati orangtua yang tidak lama
lagi akan meninggalkan kita, kan alasan cukup."
''Ya, tetapi biayanya, siapa yang membayar. Sejak suamiku diberbentikan, kami
harus menghemat setiap rupiah. Dikira berapa gajiku? Doktor maxima cum laude
sekali pun? Dinas kami bukan tempat yang basah, walaupun banyak mencakup daerah
rawa-rawa."
"Kalau itu soalnya, aku masih punya tabungan sedikit."
Ia membalik dan memegang tanganku. Lagi kedua matanya itu memancar. Aku
selalu lemah kalau menghadapi mata Atik.
"Kalau kau malu diberi uang gratis, boleh juga sebagai kredit;' kataku.
"Aku tahu, pasti kau tidak mau dibayar kembali."
"Kalau itu demi menjaga gengsi dan harga-diri kalian, pasti aku mau menerima
pembayaran kembali." Ia menggelengkan kepalanya.
“Aku tahu kau tidak akan!"
''Ya sudah, terima saja sebagai hadiah. Sebagai hadiah perkawinanmu. Dulu kan
saya tidak hadir dan tidak memberi selamat satu kata pun.
187
"Ketika itu aku terkenang padamu."
"Memang kau kepala batu," tawaku.
"Kau juga. Bagaimana ayah-mertua? Artinya apa dia menyinggung aku harus
ikut?"
Itu merdeka. Yang penting baginya, suamimu"
''Bagaimana pendapatmu? Aku hams ikut apa tidak?"
''Jalan terus saja, Tik. Mereka sudah lama menunggu."
"Mas Jon sudah tahu?"
"Tentu saja sudah kusampaikan pesan itu. Kemarin malam."
“Apa katanya?"
''Persis seperti yang kau katakan."
"Sungguh?"
"Pernah aku bohong?"
''Pernah ... tapi hanya bohong-bohong kecil."
"Lalu bagaimana Mas Jon? Dia menginginkan aku ikut?"
"Harfiah dia memberi kebebasan padamu."
“Ah, harfiah. Kalau kiasan bagaimana?"
"Tidak ada kiasan."
“Artinya, di bawah-sadar?"
“Aku tidak tahu bawah-sadar orang lain. Kalau bawah sadarmu aku tahu." Ia
membalik lagi dan mengecup pipiku.
"Sebetulnya poliandri itu boleh!" katanya tiba-tiba bergurau.
"Eh, jangan dijadikan gurauan hal-hal begitu"
"Habis, itu perasaanku. Kau jujur padaku. Api aku tidak boleh jujur padamu""
"Hanya padaku dan ... pada suamimu. Jangan pada orang lain. Tentang hal-hal
aneh seperti itu tadi."
"Tentu saja. Apa kau kira aku gila?"
"Sering aku memang mengira begitu." Ia membalik lagi. Dan dikecup pipiku yang
lain. "Nah," tertawaku, "ini lagi buktinya." Ia membalik lagi dan mengecup lagi
pipiku yang lain. "Sudah, Tik!' kataku agak keras. ''Jangan seperti anak kercil!"
"Kadang-kadang kan boleh!"
"Sekali lagi, jangan!" kataku lebih keras lagi. Ia menoleh: "Kau marah?"
Ya,” kataku pendek dan memang aku serius.
"Oh, maaf, Teto." Tetapi ia toh bergumam kurang ajar: ''Dicium kok marah. Siapa
yang gila?"
Dalam hati aku tertawa juga merasa termanja. Tetapi sungguh, permainan begini
tidak boleh diteruskan.
"Bagaimana pendapatmu?" ia tanya lagi. "Pendapatmu, aku harns ikut berjemaah
haji atau tidak?"
"Kau tanya?"
188
“Ya, kan saya bertanya, tidak menguraikan."
"Tanya nasehat?"
“Ya, tanya nasehat tentu saja. Kau masih marah, kok begitu aneh reaksimu."
"Ada maksudnya. Kalau nasehat saja, yang boleh diterima boleh dibuang, aku
tidak mau memberi nasehat." la membalik dan menyelidik memandang nanap manik
mataku.
"Omongmu kok aneh?"
"Omong biasa kok aneh. Siapa yang aneh."
"Apa kau kehendaki aku dikomando?"
"Boleh jadi begitu."
“Ya sudah, aku disuruh apa."
"Kau sebaiknya ikut."
''Dengan uangmu tentu saja?"
"Tentu saja." la diam. la diam ... lalu tegas.
"Baiklah."
"Terima kasih."
"Terima kasih apa. Karni yang harus berterima kasih."
"Sama-samalah. Menerima kasih dan memberi kasih itu perkara yang satu-tunggal.
Tanpa ada yang menerima, orang juga tidak bisa memberi. Maka menerima kasih
sekaligus juga memberi kasih, karena memungkinkan orang lain memberi kasih."
"Kok pintar kau, ya Teto. Dari mana semua teologi itu?"
''Ini bukan teologi. lni konkrit."
Suara anak-anak sudah terdengar. Mereka menuju ke kali sangat bening yang kami
seberangi tadi.
"Mas Teto, untung ya kita bukan suarni-istri."
"Kau omong aneh apa lagi ini?"
"Tidak. Kalau cinta suami-istri itu kan datar-datar saja. Kalau mencintai yang
bukan suaminya kok lebih hebat rasanya."
"Kau doktor biologi hebat, tetapi tolol sekali soal perkawinan."
"Memang, diakui saja."
Perwira di medan perang wajib berhitung dan memperhitungkan. Sama juga kepala
divisi komputer kongsi besar. Bahkan seluruh ada perilaku semesta galaksi jelas
eksak, dan pada prinsipnya dapat dihitung. Tetapi berkali-kali manusia, paling tidak
aku, Setadewa, dihadapkan pada sesuatu X mahadalam yang mengejek halus namun
murni. Seperti wajah anak tersenyum atau berlinang airmata, yang bertanya: masihkah
kau ingin menghitung? Panjang-lebar mata kanak-kanak dapat diukur, memang, tetapi
pancaran cerlangnya? Dan bobot makna setetes air-mata? Dengan apa itu mau diukur?
189
Jarak perjalanan Atik dan suaminya ke Mekkah-Medina dapat diukur pula; juga harga
tiketnya berapa. Eksak, jelas, memuaskan seorang doktor dan bekas komandan
perang. Tetapi bagaimana harus kunilai berita radio yang mewartakan, bahwa pesawat
terbang Martinair yang ditumpangi Atikku dan Jana, pada suatu dini pagi yang khusus
terjamah tangan Tuhan, menabrak bukit di dekat Kolombo, Sri Lanka sana? Tuhan
yang memberi. Tuhan yang mengambil. Terpujilah selalu namanya yang Kudus.
Aneh, ketika kudengar berita radio itu dan kubaca peneguhannya dalam telegram
Departemen Perhubungan, aneh sekali, ya sungguh aku heran sendiri, aku tidak
terkejut. Seolah-olah musibah seperti itu secara terselubung dibawah-sadarku sudah
juga "kuperhitungkan"; tinggal sekarang terkupas. Bagaimana keterangannya aku
tidak tahu; sesuatu yang mendadak ini mengapa tidak terasa mendadak? Aku tidak
berteriak, aku tidak menangis atau mengeluh. Aku tidak apa-apa selain diam ... ya
diam. Barangkali bahkan tersenyum walau tipis tentu. Seolah-olah sudah
selayaknyalah bila jalan hidupku selalu harus melalui ketidaktercapaian. Tetapi
terlonjak juga sebentuk rasa iri pada Atik, si dia yang sebenarnya dapat dikatakan
selalu berhasil; sampai kematiannya pun sebetulnya bernasib untung: gugur dalam
perjalanan ziarah ke Tuhan; dalam ulah sikap indah, sukarela mendampingi suami
demi kecintaannya dan demi pemenuhan harapan terakhir ayah mertua. Dinalar
komputer dingin, kematian fisik dalam kecelakaan pesawat terbang yang begitu
dahsyat tidak sangat menderita sakit. Pingsan seketika pasti dan selesailah sudah
dalam fraksi detik. Ketimbang kanker ganas misalnya atau invalid tanpa tangankaki.
Yang menderita yang ditinggalkannya, ketiga anak mereka. Aku bukan pahlawan,
tetapi kali ini pun aku tak gentar menderita, karena sedikit banyak aku telah ditempa
oleh kepahitan dan kegagalan. Dan juga karena kenanganku pada Atik yang teramat
indah. Kenangan dapat berbahaya selaku nostalgia kosong. Akan tetapi kenangan
indah dapat hadir selaku kekuatan yang tiada tara. Lagi, kenanganku pada Atik tidak
kosong, sebab dalam si kecil-kecil Teto, Padmi dan Kris, Atikku masih hidup segar.
Ah ya,Jana. Ternyata sudah betul, Atik kawin denganmu! "Berhitungnya" misteri hati
dengan hati memang di seberang jangkauan matematika si doktor yang kini dengan
ikhlas mengakui kekalahannya.
Tak banyak lagi yang perlu kuceritakan. Ada saatnya cerita manusia harus
disinambungkan ke dalam perjalanan riwayat yang serba diam ... dalam keheningan
yang sebenarnya bahkan serba kebak kepenuhan. Ya, memang hati duda sangat sering
merasa sepi sunyi sendirian. Tetapi untunglah Tuhan Yang Mahapemurah masih sudi
memberi kesejukan bagi siang dan petang kurun hidupku; atas persetujuan keluarga
dan atas permintaan ayah Jana, (tidak lama sesudah peristiwa sedih Kolombo beliau
pulang ke Rahmatullah), ketiga anak Atik kuangkat jadi anakku. Hadiah yang
terindah dati Atik dan suaminya ingin kujaga dan kuantar ke hari-depan mereka yang
sesuai dengan jati-diri dan bahasa citra yang sebening mungkin. Akhirnya toh haridepan harus mereka tata sendiri kelak, menurut keyakinan panggilan hidup mereka
masing-masing.
190
Aku hanya ingin memberi bekal kenangan yang seindah mungkin. Tidak lebih dari
itu. Aku dulu anak kolong. Sekarang aku masih juga, tetapi anak Kolong Langit. Jujur
kukatakan, masih sering dalam kesepian tawar dan sunyi kering kedudaanku aku
bertanya diri: mengapa jalanku harus melalui ketidaktercapaian?
Tetapi bila aku melihat Si Teto kecil, Padmi terutama dan Kris, sedikit aku dapat
menangkap sasmita kupu-kupu yang memekar dan terbang hanya untuk sebentar lagi
mati. Bahasa citra kupu-kupu atau kicauan burung berwarta, bahwa segala dedikasi
mereka adalah demi si telur-telur.
Sahabat-sahabatku, khususnya John Brindley, tak henti menganjur-anjurkan,
sebaiknya aku mengambil istri lagi. Ketiga anak-anak itulah yang membutuhkan
seorang ibu. Kuakui, itu benar. Tetapi Bu Antana sudah cukup jasanya, sebagai nenek
sekaligus ibu bagi mereka. Kuakui, hanya untuk sementara memang. Ataukah karena
aku masih belum berani mengorbankan citra terakhir yang paling indah dari sejarah
hidupku, citra Atik? Ingin itu kutanyakan pada burung-burung manyar. Tetapi
sekarang sudah jarang kulihat mereka ..
Magelang, 6 mei 1979
Setadewa
191
Download