Uploaded by ikhsanul iman

IFS

advertisement
Ketika Kamu Bermimpi Kuliah ke Luar Negeri Tetapi Tidak Bisa Berbahasa Inggris
Cara Cerdas Meraih Beasiswa ke Luar Negeri
Inraini F. Syah, SKM, MPH
Penerima beasiswa Kebidanan Komunitas Kementerian Kesehatan dan beasiswa
PRESTASI USAID
1
Prolog
New Jersey, 27 Desember 2016
Aku memandang ke luar jendela. Salju menutupi seluruh permukaan jalan dan mobilmobil yang diparkir di depan rumah. Serupa selimut putih, dengan cahaya bulan
memantul di sana. Indah betul!
Merapatkan jaket, aku berdiri sejenak dan mengecek suhu pemanas ruangan. Ini musim
dingin terakhir sebelum aku kembali ke tanah air. Aih. Cepat nian waktu berganti.
Aku tersenyum mengingat “keajaiban” yang membawaku hingga sini. Membayangkan,
empat tahun yang lalu, aku bahkan tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali. Lalu aku
melirik-lirik senang pada nilai IPK yang baru kuterima semester ini: 4!
Astaga, bisa juga aku mendapat nilai sempurna. Padahal semua pelajarannya berbahasa
Inggris. Ya iyalah, kan kuliahnya di Amrik, In!
Separuh diriku sendiri masih belum memercayai kenyataan ini. Okay, bukan hanya aku.
Keluarga dan teman-teman dekatku pun setiap menelepon masih berkelakar, “In, kamu
di kelas gimana, betulan bisa ngomong Inggris?” Biasanya kami hanya akan tertawa
bersama, setiap mereka melontarkan pertanyaan yang sama.
Namun diam-diam, ada banyak hal yang orang-orang terdekatku pun tidak tahu.
Keajaiban yang kuraih saat ini, melalui jalan berliku. Aku melakukan banyak hal,
bereksperimen, berstrategi, berjuang, berdoa, dan berhasil!
You are what you are thinking about! Demikian kata Bob Proctor, seorang “guru” yang
belakangan kugandrungi video-videonya di YouTube. Dan aku menyadari kekuatan
kalimat tersebut tahun 2012 yang lalu. Tahun yang mengubah hidupku dan membuka
jalan lebar menuju Amerika Serikat!
2
Aku merangkum kisah perjalananku selama tiga tahun di buku ini. Sejak awal berniat
ingin ke luar negeri, hingga melangkahkan kaki menuruni pesawat di bandara NewarkNew York Liberty, Amerika Serikat. Tiga tahun perjalanan yang menakjubkan.
Ada banyak rahasia berserak di sini. Ada “peta” yang bisa kamu jadikan pedoman. Ada
pelajaran, yang lebih dulu kulewati, silakan dipetik petuahnya.
Meski ini kisahku, bukan mustahil bisa pula menjadi kisahmu kelak, kisah perjalanan
yang membawamu ke negeri-negeri jauh, negeri impianmu.
“If you can see it in your mind, you are going to hold it in your hand.”
− Bob Proctor
***
3
I
de·sire
/dəˈzī(ə)r/
noun
a strong feeling of wanting to have something or wishing for something to happen
verb
strongly wish for or want (something)
“Whatever is your heart desires, please go for it, it’s yours to have.”
− Gloria Estefan
Belasan tahun yang lalu, saat tamat SMA, aku harus mengendapkan dalam-dalam
impianku untuk menjadi seorang penulis, jurnalis, atau ahli astronomi. Ketika temanteman melenggang ke universitas-universitas terbaik di Indonesia, aku menghabiskan
setahun pertama kembali ke bangku bimbingan belajar. Mati-matian mengejar impian.
Bukan milikku, tapi kedua orangtuaku. Klise, seperti kebanyakan orangtua lain, mereka
ingin aku menjadi dokter. Pikirku saat itu, tak ada salahnya membahagiakan orangtua.
Aku gagal mendapatkan bangku kedokteran di ujian masuk perguruan tinggi negeri di
tahun pertama kelulusan. Setahun setelahnya: aku berhasil!
Tapi coba tebak apa yang terjadi kemudian. Ayah dan Mama (demikian aku memanggil
orangtuaku) tak punya cukup biaya untuk mendukungku mewujudkan impian mereka.
Dan menjadi “dokter” kemudian diralat menjadi “bidan.”
“Setidaknya, biayanya tidak semahal di kedokteran, waktu yang dibutuhkan lebih
singkat, dan setelahnya kamu bisa segera bekerja,” demikian argumen mereka.
Aku hanya diam, tak tahu harus berkomentar apa. Kehilangan kata. Tersendat sesak di
dada.
4
Tiga tahun setelahnya, aku menamatkan pendidikanku di Akademi Kebidanan. Tak
lama, setelah melalui serangkaian tes, aku diangkat menjadi PNS, bahkan sebelum
ijazahku keluar. Lalu aku menikah dan berprofesi sebagai bidan desa di sebuah nagari
elok di Sumatra Barat. Waktu bergulir, aku kemudian memiliki tiga orang putra putri
yang cakap dan rupawan.
Hidupku berjalan lancar dan mulus. Di tempatku bekerja, aku merasa utuh. Aku bisa
menolong banyak orang. Menghabiskan banyak waktu bersama keluarga. Meski hanya
menyandang gelar D3, tampak seperti: hidup yang sempurna!
Tapi jauh di dalam hatiku, aku masih menyalahkan takdir. Mengapa Ayah dan Mama
tak cukup punya uang untuk biaya pendidikanku? Mengapa aku hanya menamatkan D3
sementara teman-temanku telah bergelar sarjana? Mengapa aku tak boleh memilih apa
yang kumau? Mengapa aku tak bisa melanjutkan kuliah di kampus yang kuimpikan?
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti mimpi buruk berkepanjangan yang bergaung di
kepalaku.
Masih terasa menyakitkan membiarkan impianku berakhir begitu saja. Ada dendam
tergores dalam, mengingat saat itu tak seorang pun berkata, “Kamu bisa menjadi apa
pun yang kamu inginkan, Inraini.” Atau “Selalu ada jalan untuk meraih impianmu.”
Lama aku terperangkap dalam pikir dan marahku itu. Hingga kemudian aku menyadari
sesuatu. Tidak ada sesiapa pun yang bertanggung jawab atas impianku. Aku. Ya,
akulah satu-satunya yang bertanggung jawab atas semua pilihanku. Bukan orangtuaku,
teman, atau pun kerabatku. Tak ada orang lain yang bisa mewujudkannya buatku. Aku
harus berusaha untuk diriku sendiri.
Aku menarik napas panjang. Baiklah.
Kini, hal pertama yang aku inginkan adalah: melanjutkan kuliah ke jenjang S1 di
universtas terbaik di Indonesia. Harus universitas terbaik. Tidak yang lain. Aku belum
tahu bagaimana. Tapi aku tahu aku bisa.
Tahun 2008, kami sekeluarga memutuskan pindah ke Bitung, Sulawesi Utara. Kota
kelahiranku. Di tempat baru ini, aku kembali menekuni profesiku sebagai bidan desa,
dan bertempat tinggal di sebuah Poskesdes (Pos Kesehatan Desa). Aku
5
mencintai
pekerjaan tersebut. Menjadi bidan, membuatku merasa dikelilingi begitu banyak
saudara dan kebaikan.
Meski demikian, di sela pekerjaan, aku kembali “mengejar” impianku sebagai penulis.
Aku bergabung di milis-milis penulisan, membuat website, dan mulai (kembali) menulis
puisi dan cerpen.
Tahun 2010 aku mengikuti tes beasiswa Kebidanan Komunitas Kemenkes RI. Aku
diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
melalui program ini. Bahagia tak terkira. Aku merasa berada di puncak kesuksesanku.
Waktu berjalan cepat, saat itu Juni 2012. Tiga bulan sebelum aku wisuda.
Sebagai seorang bidan desa, meraih gelar sarjana dari Universitas Indonesia adalah
pencapaian luar biasa. Ini mimpi yang jadi kenyataan. Tapi ya, ibarat berada di dalam
mimpi indah, aku seperti dibangunkan saat wisuda tiba. Dan aku belum mau terjaga.
Kesempatan melanjutkan pendidikan di UI bukan hanya membawakanku selembar
ijazah. Tapi juga membuka mataku lebar-lebar. Ada ilmu berserak yang bisa kutelusuri
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik buat semua. Tidak. Aku belum
selesai. Aku harus mengetahui lebih banyak lagi. Hausku akan ilmu belum terpuaskan.
Dan tentang impian, aku berhenti sejenak. Memandang bayangku yang dipantulkan
mentari senja di dinding kampusku, kemudian berbisik, “Aku bisa menjadi apa pun
yang aku inginkan.” Dan “Selalu ada jalan untuk meraih impianku.” Sekian lama aku
menunggu seseorang mengucapkan kata-kata tersebut buatku. Kenapa, aku tak
membisikinya untuk diriku sendiri.
Usiaku 32 tahun. Sepuluh tahun yang lalu, teman-temanku lebih dahulu menamatkan
pendidikan sarjana mereka. Tapi itu tak menjadi masalah, sekarang giliranku. Dan ya,
wisuda ini, bukanlah akhir dari impianku. Melainkan gerbang menuju impian baru!
Hasrat itu kembali menyala. Berkobar lebih besar.
***
Kamu, ya, kamu yang sedang membaca buku ini. Di mana pun kamu berada, apa pun
situasimu saat ini. Cobalah merenung sejenak. Tengok ke belakang sekilas. Apa
6
impianmu yang sesungguhnya? Apa yang ingin kamu raih sebenarnya? Sudahkah kamu
menggapainya?
Jika belum, aku ingin membisikimu hal yang sama, hal yang selalu ingin kudengar
belasan tahun yang lalu.
“Kamu bisa menjadi apa pun yang kamu inginkan!”
“Kamu bisa meraih impianmu, apa pun itu!”
“Selalu ada jalan untuk mewujudkan impianmu!”
Nyalakan hasrat itu. Dan percaya. Kamu bisa.
“Desire is the starting point of all achievement, not a hope, not a wish, but a keen
pulsating desire which transcends everything.”
− Napoleon Hill
***
Take Home Lesson 1:
1. Tak ada kata terlambat untuk meraih impianmu. Berapa pun usiamu saat ini.
Sedekat atau sejauh apa pun impian itu, selalu ada jalan untuk meraihnya. Hal
pertama yang harus kamu lakukan adalah menyadari apa yang sebenarnya ingin
kamu raih, dan menyalakan hasrat untuk menggapai impianmu itu.
2. Bermimpilah yang besar. Tak ada yang melarangmu untuk bermimpi, sebesar
apa pun itu. Kamu adalah tuan dari pikiranmu sendiri. Impian adalah bentuk
imajinasi yang sangat kuat, yang akan memengaruhi semua tindak-tandukmu.
Dan menuntunmu untuk tetap berusaha mewujudkan itu.
3. Jangan menjadikan masa lalu, semua yang pernah terjadi di hidupmu, kegagalan
atau keberhasilan yang biasa-biasa saja sebagai penghalang atau tolok ukur
untuk pencapaianmu di masa datang.
7
4. Seperti masa lalu, kondisimu saat ini juga bukanlah merupakan perhentian
terakhirmu. Ada potensi besar dalam dirimu yang mungkin tidak kamu pahami.
Kamu bisa menjadi hebat, kamu bisa menjadi seperti apa yang kamu inginkan.
5. Jangan definisikan dirimu berdasarkan hal-hal negatif yang orang-orang katakan
tentangmu dan kemampuanmu. Entah itu guru, orangtua, teman, saudara, atau
siapa pun yang melekatkan keterbatasanmu sebagai identitasmu, jangan percayai
itu. Percayai dan buktikan ini: kamu adalah versi terhebat dari dirimu.
6. Hanya ada satu cara untuk meraih impianmu: letakkan 100% tanggung jawab
untuk mewujudkan impian itu di pundakmu. Tak ada seorang pun di dunia ini
yang akan meraih impianmu buatmu. Kamu, ya, kamulah yang harus
melakukannya sendiri.
7. Impianmu berada di depan sana, menunggumu, hanya untukmu.
8. Percaya, kamu bisa mewujudkan itu.
8
II
Studying abroad
the act of a student pursuing educational opportunities in a country other than one's own
“Why do you go away? So, that you can come back. So, that you can see the place you
came from with new eyes and extra colors. And the people there see you differently, too.
Coming back to where you started is not the same as never leaving.”
― Terry Pratchett
Jangankan untuk kuliah ke luar negeri. Bepergian ke negara lain pun, aku tak pernah
membayangkan. Aku cinta Indonesia. Aku hanya ingin menolong orang banyak dengan
profesiku dan menjadi penulis. Titik.
Pernyataan itu terdengar sangat Nasionalis. Tapi alasan sebenarnya, tersimpan rapat dan
tak ingin kuakui: takut.
Ya, ketakutan akan sesuatu yang tak kukenali. Sesuatu yang baru, asing. Ketakutan akan
perjalanan jauh. Bahasa yang tak kumengerti. Takut berada jauh dari orang-orang yang
kucintai. Aku merasa jauh lebih baik bersemayam di dalam cangkangku.
Di Universitas Indonesia, sebagian besar dosen yang mengajar di kelasku, lulusan luar
negeri. Mereka punya cerita menarik dan luar biasa seputar pengalaman mereka
menyelesaikan pendidikan di tempat-tempat jauh itu. Aku selalu terpesona setiap kali
mendengar tentang musim berbeda, dan pola pendidikan di luar sana. Tapi, buatku,
semua tak lebih dari dongeng, hanya indah untuk disimak. Itu kisah mereka. Aku cukup
nyaman dengan hidupku di sini saja.
Suatu hari, di Taman Mangga, salah satu tempat kesukaan di tengah-tengah bangunan
FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat, UI), aku menyimak penuh rasa ingin tahu.
Windarti, teman sekelasku sedang asyik mengutak-atik sesuatu di laptopnya. “Ini
informasi tentang pendaftaran beasiswa ke luar negeri,” terangnya. Aku tercengang.
9
Ternyata ada beasiswa seperti itu. Penuh rasa penasaran aku meminta tautan beasiswa
yang dimaksud Windarti, dan kemudian mempelajarinya.
Setelah aku memahami apa yang tertuang di sana, aku merutuki ketidaktahuanku
selama ini. Ya, inilah kali pertamanya aku tahu, ada yang namanya beasiswa ke luar
negeri dan diperuntukkan buat siapa saja yang memenuhi persyaratan. Untuk kali
pertamanya pula aku berpikir dan termenung lama: mungkin… mungkin aku juga bisa
memenuhi semua persyaratan itu.
***
Takut, perasaan nyaman di negeri sendiri, dan ketidaktahuan membuatku sama sekali
tak berniat untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri sebelumnya. Mungkin kamu juga
punya alasan yang sama denganku. Alasan yang membuat kita menghabiskan waktu
belasan, puluhan tahun, atau seumur hidup menetap di negara yang sama.
Atau perasaan tak mampu, tak percaya diri, melihat anak-anak muda berpacu mengejar
cita-cita mereka menuntut ilmu ke negeri seberang. Ya, aku selalu takjub melihat
teman-temanku di organisasi kampus, KSM Eka Prasetya (Kelompok Studi Mahasiswa
Eka Prasetya, UI), yang sudah mencicipi pengalaman ke luar negeri bahkan sejak masih
menduduki bangku SMP dan SMA. Aku merasa tertinggal sekian abad di belakang,
melihat kemampuan dan kemauan mereka menjajal banyak negara di dunia.
Atau memandang diri kita sendiri terlalu kecil untuk itu. Tak punya keberanian untuk
berkompetisi. Menganggap profesi kita tak layak untuk menjejaki pengalaman serupa
mereka yang telah lebih dulu tiba di sana. Atau lingkungan kita membuat kita percaya,
bahwa kita ditakdirkan selamanya hanya berkutat di satu tempat.
Aku memulai perjalanan ini dari titik nol. Ruang gelap tanpa pengetahuan tentang apa
itu kuliah di luar negeri. Jika kamu memulainya dari titik yang sama denganku, jangan
khawatir. Buku ini bisa membantumu. Kamu juga bisa menghubungiku langsung di
laman Facebook @iinsyah. Aku dengan senang hati akan berbagi pengalamanku.
Tapi jika kamu sudah dikelilingi dengan berbagai informasi tentang kuliah di luar
negeri, sudah menyimpan banyak file tentang beasiswa, telah memutuskan, berarti kamu
10
sudah puluhan langkah lebih maju. Kamu telah mengatasi perasaan takut, telah mengerti
arti keluar dari zona nyaman, dan tak lagi berada di ruang gelap ketidaktahuan.
Jangan berhenti. Mari lanjutkan perjalanan itu. Karena, dua tahun berada di Amerika
Serikat. Berproses sejak awal hingga saat ini, merupakan pengalaman yang tak ternilai
buatku.
Aku bertemu orang-orang hebat, yang setulus hati membantuku hingga impianku
menjadi kenyataan. Aku berinteraksi langsung dengan dosen-dosen inspiratif. Aku bisa
berbagi ide-ide luar biasa dengan teman-teman Amerika dan dari seluruh penjuru dunia.
Menikmati kampus dengan bangunan mewah, perkuliahan yang bayarannya puluhan
juta rupiah. Mendapat uang saku yang jumlahnya sepuluh kali lipat gajiku di Indonesia.
Aku bisa berkunjung ke Liberty Island, Alaska, Rocky Mountain, Harvard, White
House, Beverly Hills, Hollywood. Aku bahkan bisa bertemu langsung dengan Presiden
RI, sesuatu yang tidak terjadi selama aku di Indonesia.
Tidakkah kamu juga ingin mengalami pengalaman dan petualangan hebat serupa?
Semuanya berawal dari satu tekad, satu keputusan besar. Juni, 2012. Tiga bulan
sebelum aku wisuda dari Universitas Indonesia. Aku harus punya impian baru. Aku
harus melangkah setingkat lebih tinggi. Aku mengenyahkan semua rasa takutku, keluar
dari zona nyamanku, dan akan mencari semua informasi untuk meraih impian baruku
itu. Aku putuskan: aku akan melanjutkan S2 di luar negeri!
Meski saat itu aku benar-benar belum punya gambaran, bagaimana aku akan
mewujudkannya. Tapi satu rahasia kecilku; aku belum akan berhenti sebelum impianku
menjadi kenyataan.
“Faith is taking the first step even when you don't see the whole staircase.”
− Martin Luther King, Jr.
***
Masih bersamaku di lembaran ini?
11
Hal pertama yang harus kamu lakukan setelah memutuskan untuk berpetualang meraih
gelar sarjana ke luar negeri adalah: berburu informasi sebanyak-banyaknya!
Datangi pameran-pameran beasiswa. Searching bermacam jenis beasiswa di internet.
Follow mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di luar negeri di Facebook,
Twitter, Instagram. Kirimi mereka surel atau pesan lewat inbox Facebook jika ada
potongan informasi yang kamu ingin ketahui lebih jauh. Bergabung di grup-grup
beasiswa. Baca kisah-kisah yang mereka bagi di blog-blog pribadi mereka. Tonton
celoteh mereka di YouTube. Beli, baca, dan pahami buku-buku pengalaman meraih
beasiswa.
Dengan melakukan ini, kamu akan termotivasi dan semakin dekat dengan negara
tujuanmu.
Ada ribuan orang yang telah lebih dahulu menikmati pendidikan di luar negeri. Telusuri
jejak mereka. Mereka semua sama, pernah melangkah dari langkah pertama. Dan ini
saatnya, kamu membuat langkah pertamamu.
“The first step towards getting somewhere is to decide that you are not going to stay
where you are.”
−
Chauncey Depew
***
Take Home Lesson 2:
1. Ada dunia di luar sana yang akan memberimu pengalaman berharga yang tak
akan kamu dapatkan jika seumur hidupmu kamu hanya menetap di satu negara.
2. Meneruskan kuliah ke luar negeri, bukan sesuatu yang mustahil. Ada beasiswabeasiswa yang bisa memfasilitasi dan apa pun profesimu, kamu layak untuk
menjadi salah satu penerima beasiswa tersebut.
3. Mulai langkah pertamamu dengan menggali informasi sebanyak-banyaknya
tentang beragam beasiswa yang ada. Berikut beberapa website resmi beasiswa
ke luar negeri:
Prestasi USAID: http://www.prestasi-iief.org/index.php/id/
12
LPDP: http://www.lpdp.kemenkeu.go.id/
Fulbright: https://www.aminef.or.id/
4. Takut, rasa nyaman, dan ketidakterpaparan terhadap informasi menjadi alasan
yang mengurung kita. Keluar dari zona tersebut! Percayalah, kamu akan menjadi
seseorang yang baru sejak kamu memutuskan akan memulai petualangan
menuju negeri impianmu.
5. Kamu bisa menemukan para peraih beasiswa dengan mudah melalui searching
di internet. Ikuti kisah-kisah mereka. Ini beberapa tautan penerima beasiswa
yang berbagi cerita mereka di blog/vlog pribadinya:
Wendi Wijarwadi: https://awenymous.wordpress.com/
Kadek Kidoi Rahayu: https://kadekdoi.wordpress.com/category/cerita-beasiswa/
Tasya Kamila: https://www.youtube.com/watch?v=IODx1WpjUMk&t=40s
Andi Arsana: https://madeandi.com/scholarships/
13
III
Goal
ɡōl/
noun
the object of a person's ambition or effort; an aim or desired result
“A goal is a dream with a deadline.”
− Napoleon Hill
Dalam keseharian, kita sering kali mendengar kata “beruntung”. Ada orang-orang yang
dilabeli kata tersebut. Mereka tampak begitu mudah meraih sukses. Semua yang mereka
lakukan, berhasil. Apa pun yang mereka sentuh, berubah menjadi emas. Orang-orang
ini, bukan sekali dua kali terlihat meraih apa yang mereka inginkan. Tapi terus dan
terus. Sebaliknya, ada orang-orang yang “kurang beruntung,” mereka tampak selalu
dirundung kegagalan.
Sebenarnya apa yang membuat perbedaan pada kedua kelompok tersebut? Dalam
bukunya The Strangest Secret, Earl Nightingale mengatakan, perbedaannya adalah
Goals. Tujuan. Sasaran.
“Beberapa dari kita punya cita-cita dan tujuan yang jelas, beberapa tidak sama sekali.
Mereka yang punya tujuan yang jelas, akan sukses, karena mereka tahu, ke mana
mereka akan menuju.”
Dalam buku tersebut, penulis mengibaratkan dengan satu kapal yang akan
meninggalkan dermaga. Kapten dan kru kapal tahu betul ke mana kapal akan menuju,
dan berapa lama mereka akan sampai. Mereka punya tujuan yang pasti! Dan 9.999 dari
10.000 kemungkinan, kapal itu akan tiba di tempat tujuannya.
Sebaliknya, bayangkan jika kapal tersebut tidak mempunyai tujuan. Kapten maupun kru
kapal tidak tahu akan berlayar ke mana dan berapa lama mereka akan berada di lautan.
14
Mereka langsung saja menyalakan mesin dan mulai berlayar. Apa yang akan terjadi?
Kapal itu tak akan berlabuh di mana pun. Mereka akan kehabisan bahan bakar dan
persediaan makanan. Mungkin tenggelam, atau tersesat di pulau tak berpenghuni.
Kedua perbedaaan besar tersebut, hanya disebabkan satu hal sederhana: Tujuan yang
pasti!
***
Saat memutuskan akan melanjutkan kuliah di luar negeri, aku menyadari hal tersebut.
Iya, keluar negeri. Tapi ke mana? Kapan?
Ada beberapa pilihan bergaung di kepalaku. Negara-negara di Eropa, Australia, atau
Amerika. Aku menghabiskan waktu berhari-hari membaca tulisan-tulisan tentang
beasiswa di internet. Akhirnya setelah menemukan website pribadi menteri kesehatan
saat itu, Endang Rahayu Sedyaningsih, aku seketika terinspirasi dan memutuskan:
Amerika! Ya, aku akan meraih gelar master di Amerika.
Kapan? Dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang bisa dibilang nol, banyak hal yang
harus kupersiapkan tentunya. Tapi aku tak mau berlama-lama pula. Aku harus
mempertimbangkan batasan usia, yang masuk persyaratan hampir semua beasiswa. Dan
lebih daripada itu, aku tak mau membuang-buang waktuku. Dua tahun. Ya, dua tahun
waktu yang cukup kurasa buatku meraihnya.
Maka dengan semangat menyala, aku menulis di selembar kertas: Beasiswa ke
Amerika, dua tahun lagi! Saat itu, awal Juli, 2012.
***
Suatu hari, aku dan teman-teman di kampus, sedang duduk dan ngobrol bareng. Tibatiba seorang teman Amerika nyeletuk, “In, what do you want to be when you grow up?”
“What?” Aku ketawa ngakak. Teringat pertanyaan seperti ini terakhir kali kudengar saat
aku SD. “Kalau besar nanti, mau jadi apa?”
Tapi kemudian pertanyaan yang sama, ditujukan padaku, lagi, dan lagi. Oleh sopir
Uber, oleh seorang dosenku, oleh seorang teman di klub kampusku. Oh, ternyata itu
15
pertanyaan yang lumrah di sini. Pertanyaan seperti itu, bukan hanya ditujukan buat anak
kecil. Tapi juga untuk orang dewasa.
Ya, ada stigma di keseharian kita, bahwa “cita-cita” itu hanya buat anak kecil. Bahwa
ketika kita tumbuh besar, bekerja, menikah, punya anak, maka cita-cita itu pun usailah.
Padahal setiap hari kita “bertumbuh”, setiap hari kita bertemu dengan orang-orang baru,
membaca, berpikir, beropini, mengambil keputusan, setiap momen yang kita lalui itu,
membawa pelajaran baru. Membuat kita menjadi sosok yang baru. Mengantar kita
mempunyai “cita-cita” yang baru pula.
Cita-cita dan tujuan baru ini yang kemudian menjadi bahan bakar, menjadi
penyemangat, menjadi alasan kita bangun setiap pagi dengan perasaan “Aku siap
menghadapi hari ini!”
Perasaan itulah yang aku rasakan ketika memutuskan ingin meraih gelar master di
Amerika.
“You are never too old to set another goal or to dream a new dream.”
−
Les Brown
***
Apa pun goals yang kamu punyai, apa negara tujuanmu, kapan kamu akan meraih
tujuanmu itu: tulis di selembar kertas. Simpan dan lihatlah sesering mungkin. Aku
menempelkan “Amerika” di dinding kamarku, dinding tempat praktikku, dan kutulis di
setiap buku catatanku. Ke mana pun aku memalingkan wajahku, aku menemukan
tulisan “Amerika” di situ.
Aku juga membubuhi tahun 2014, di samping tulisan Amerika tersebut. Sebagai
penanda targetku menggapai beasiswa di tahun tersebut.
Jangan khawatir dengan sekelilingmu. Jangan ragu meski ada yang akan menertawakan.
Ini hidupmu. Ini tujuanmu. Tentukan segera. Apa negara impianmu untuk meraih
16
pendidikan yang lebih tinggi? Kapan kamu ingin sampai di situ? Ambil kertas dan
bubuhkan tujuanmu di kertas itu.
Dan setiap saat kamu maju selangkah mendekati tujuanmu, orang-orang yang pernah
meragukanmu akan tertinggal selangkah di belakangmu. Demikian seterusnya. Dua
langkah. Tiga langkah… Semakin jauh langkahmu, kamu akan melihat semakin lebar
perbedaan itu. Karenanya, sejak awal, tetap fokus dengan tujuanmu.
Brian Tracy, seorang Canadian, penulis buku-buku best-seller menerangkan tentang The
Power of Written Goals. Tujuan yang jelas dan dituliskan, memiliki efek yang
mengagumkan dalam pikiranmu. Tujuan itu akan memotivasi dan membangkitkanmu
untuk bertindak menggapai tujuan itu!
“Success doesn't happen overnight. Keep your eye on the prize and don't look back.”
− Erin Andrews
***
Take Home Lesson 3:
1. Jadilah orang yang beruntung: seseorang yang mempunyai impian dengan tujuan
yang jelas.
2. Untuk mulai berburu beasiswa, setelah menggali banyak informasi tentang
berbagai kemungkinan negara tujuan, tentukan negara tujuanmu.
3. Ada banyak negara tujuan yang bisa kamu tuju. Tapi perlu disadari bahwa setiap
negara punya ciri khas dan pola pendidikan yang tak sepenuhnya sama.
Membuat prioritas negara mana yang ingin kamu tuju adalah langkah awal
untuk membuatmu fokus pada tujuanmu.
4. Untuk menentukan negara tujuan itu, selain menyesuaikan dengan jurusan atau
bidang ilmu yang ingin kamu tekuni, juga tak kalah penting untuk menemukan
motivasimu. Kenapa kamu memilih negara tersebut. Semakin kuat motivasi itu,
kamu akan merasa terpanggil, dan yakin di sanalah negara tujuanmu.
17
5. Setelah menentukan negara tujuan, tentukan kapan waktumu untuk berangkat ke
sana. Tulis deadline-mu. Cari informasi: kapan biasanya setiap tahun beasiswa
itu memulai seleksi aplikasi? Berapa lama sesudah lolos seleksi aplikasi, seleksi
wawancara dilaksanakan? Setelah seleksi wawancara adakah pelatihan bahasa
Inggris, berapa lama? Dari awal seleksi hingga keberangkatan ke luar negeri
memakan waktu berapa bulan? Informasi-informasi di atas penting untuk
diketahui agar kamu mendapat gambaran utuh waktu yang dibutuhkkan hingga
nanti tiba di negara tujuanmu. Dan yang tak kalah penting adalah, berapa lama
waktumu untuk mempersiapkan diri hingga kamu yakin bisa lolos semua seleksi
tersebut. Buat deadline yang masuk akal dan sesuaikan dengan seberapa besar
komitmenmu.
6. Tuliskan negara tujuan dan waktu tersebut pada beberapa kertas. Itu goals-mu
untuk saat ini. Tempelkan di berbagai sudut di rumahmu. Di tempat-tempat
kamu bisa melihatnya setiap hari. Ini akan selalu mengingatkanmu tentang
tujuanmu itu.
7. Semakin kamu percaya pada tujuanmu, semakin mudah kamu akan meraihnya.
8. Tetap fokus, jangan acuhkan orang-orang yang meragukanmu.
18
IV
strat·e·gy
/ˈstradəjē/
noun
a plan of action or policy designed to achieve a major or overall aim
synonym
master plan, game plan, plan (of action)
“Every battle is won before it is fought.”
− Sun Tzu
Semua yang kulakukan sejak bertekad kuliah di Amerika, adalah berstrategi, berstrategi,
dan berstrategi. Dari detik pertama aku berniat, hingga akhirnya aku menginjakkan kaki
di Amerika.
Ibarat menuju sebuah medan perang, aku tak ingin melenggang santai tanpa
mempersiapkan apa pun. Bayangkan, di depan sana berdiri ribuan “bala tentara”
(perumpamaanku buat sesama pejuang beasiswa ke luar negeri) menghadang. Mereka
seratus langkah lebih maju (punya informasi lebih banyak). Punya persenjataan canggih
(kemampuan berbahasa Inggris yang jauh lebih bagus). Punya pengalaman “perang”
berkali-kali (mungkin telah mengikuti tes beasiswa sebelumnya). Maka, sia-sia jika aku
terjun ke medan perang, tanpa membekali diriku terlebih dulu.
Dan yang paling penting adalah memastikan, aku yang akan dipilih sebagai salah
seorang penerima beasiswa. Bukan pelamar yang lainnya.
Lah, kenapa aku? Di sini letak strategi yang harus kumiliki. Apa yang mereka semua
punyai. Harus kupunyai pula. Tapi tak cukup hanya itu. Aku mesti punya satu kualitas,
yang tak dimiliki oleh sebagian besar dari mereka.
19
Dalam “perang” ini, aku harus punya “senjata rahasia.” Kamu juga.
***
Ada tiga hal penting di sini. Akan kita bahas satu per satu. Tapi sebelumnya, kamu
harus memastikan dulu, beasiswa apa yang kamu tuju. Mendaftar pada beberapa
beasiswa berbeda itu oke-oke saja. Malah membuka peluangmu lebih besar. Sejauh
kamu bisa berkomitmen untuk mencurahkan usaha yang sama besar pada masingmasing beasiswa yang kamu tuju. Buatku pribadi, aku memilih untuk fokus pada satu
beasiswa.
***
Aku yang Akan Dipilih
Beasiswa PRESTASI USAID (United State of America for International Development)
langsung mencuri hatiku, sejak kali pertama membaca website-nya. Langsung ada
perasaan “klik”. Seperti jatuh cinta pada pandangan pertama.
Alasannya
sederhana:
website
beasiswa
ini
(bisa
kamu
temukan
di
sini:
http://www.prestasi-iief.org/index.php/id/) didesain sederhana, dalam bahasa Indonesia,
mudah dipahami, dan menyediakan begitu banyak informasi.
Persyaratan nilai Toefl yang diminta pun yang paling masuk akal buatku: 450 Toefl
ITP. Sementara beasiswa-beasiswa lain mensyaratkan 500 hingga 550.
Informasi lain yang kudapatkan tentang beasiswa ini adalah, dengan persyaratan nilai
Toefl 450 tersebut, beasiswa ini bisa “menjangkau” potensi-potensi calon penerima
beasiswa dari daerah-daerah yang tidak memiliki akses yang mumpuni pada lembagalembaga bahasa Inggris. Informasi kedua ini membuat keyakinanku semakin kuat,
“Okay, I love this guy!” Aku yang bekerja di Sulawesi Utara, merasa “bertemu” dengan
apa yang beasiswa ini “cari”.
Kemudian aku menemukan informasi lagi, jika beasiswa ini lebih mengutamakan
perempuan sebagai penerima beasiswa mereka. “Stop. Stop. I will marry this man!” Dan
aku pun berhenti mencari beasiswa lain. Mencurahkan 100% usahaku pada beasiswa
PRESTASI USAID.
20
Ya, temukan beasiswa yang paling tepat denganmu. Ini akan mempermudahmu untuk
melanjutkan perjuangan.
Tapi kemudian, oke, aku jatuh cinta pada pria itu. Aku akan memberikan seluruh waktu
dan yang terbaik dariku buatnya. Dia sempurna buatku. Tapi, apa aku yang akan
dipilihnya? Ya, aku harus memastikan itu aku. Tapi bagaimana caranya? Lagi. Gali
informasi sebanyak-banyaknya. Aku tidak mau mendatanginya menggunakan baju
berwarna kuning, sementara dia menyukai warna biru.
Sejak memutuskan untuk berjuang mendapatkan beasiswa PRESTASI USAID, tak satu
hari pun terlewat tanpa mengunjungi website-nya. Terkadang sampai tiga atau empat
kali sehari aku membaca ulang dan ulang apa saja persyaratannya. Seperti apa profil
penerima beasiswa yang telah lebih dulu tiba di Amerika. Apa itu USAID. Apa
program-program mereka yang lain. Siapa saja orang-orang di balik beasiswa ini. Apa
visi misi mereka. Apa latar belakang mereka memberi beasiswa. Siapa saja alumninya.
Apa pula kegiatan mereka. Semua kubaca lagi dan lagi. Selama masih ada tautan yang
bisa diklik, aku terus menelusuri sedetail-detailnya.
Begitu pun nama-nama yang ada di website itu, aku googling. Semua. Satu per satu.
Baik itu di Facebook, website pribadi, Twitter, Linkedin, dll. Sebagian besar aku follow.
Setelahnya aku mulai bisa menarik benang merah. Mendapat gambaran. Membuat
kesimpulan. Kualitas apa yang mereka cari. Seperti apa orang-orang yang berada di
lingkup keluarga besar PRESTASI USAID.
Setiap hari “menenggelamkan diri” di website beasiswa ini, membuatku bukan hanya
mendapatkan informasi-informasi berharga, tapi membuatku merasa telah menjadi
bagian dari keluarga besar PRESTASI USAID. Imajinasiku membuatku merasa telah
diterima.
Selain itu, semakin lama aku mengakrabkan diri dengan beasiswa ini. Aku kemudian
melihat beasiswa tersebut bukan lagi sebatas sebuah “program.” Aku melihat “orangorang” di balik program tersebut. Aku melihat manusia, dengan semua sifat
kemanusiaannya. Dengan karakternya. Kelebihan dan kekurangannya.
21
Aplikasi yang akan aku kirimkan, tidak dibaca oleh mesin. Jika aplikasiku diterima,
yang akan mewawancaraiku juga bukan alat detektor. Melainkan manusia. Sama
denganku. Ini memupuk rasa percaya diriku. Juga membuatku sampai pada kesimpulan:
jika aku ingin menembus beasiswa ini, aku harus “menyentuh” sisi kemanusiaan ini.
***
Mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang beasiswa yang kamu tuju, akan
sangat membantu pada saat menulis esai dan wawancara. Kamu akan otomatis “sejiwa”
dengan beasiswa tersebut. Apa pun yang kamu suarakan lewat esai maupun wawancara,
akan “senada” dengan visi misi beasiswa tersebut.
Mulailah berselancar sekarang juga di website beasiswa impianmu. Siapkan satu buku
dan pulpen. Tulis poin-poin penting hasil penelusuranmu. Lakukan lagi dan lagi.
Hingga kamu merasa website beasiswa tersebut adalah rumahmu sendiri.
***
Apa yang Mereka Semua Punya. Harus Kupunyai Pula.
Ini lebih berbicara tentang persyaratan umum calon penerima beasiswa. Pastikan dirimu
melengkapi semua persyaratan tersebut. Misalnya, jika ada 10 jenis dokumen wajib
yang diminta, jangan mengirimkan 9 di antaranya, lalu berdoa, semoga tim seleksi
meloloskan aplikasimu. Doamu tak akan terkabul. Bukan karena Tuhan tidak sayang
padamu. Tapi kamu tidak menyayangi dirimu sendiri. Pastikan dokumenmu lengkap
sebelum dikirim, baru kemudian berdoa semoga aplikasimu lolos seleksi. Kali ini Tuhan
mungkin akan mendengar doamu.
Penuhi syarat minimal aplikasi. Misalnya, beasiswa Prestasi USAID menyaratkan 450
nilai Toefl ITP. Jika nilai Toefl-mu 449. Kamu harus belajar lagi dan mengambil tes
Toefl lagi. Lalu mengirimkan aplikasi lagi tahun berikutnya. Jika persyaratan IPK S1
yang diminta 2,75 dan nilai IPK-mu 2,74, mungkin kamu harus mencari beasiswa lain,
atau kuliah lagi. Ini bukan sarkasme, tapi betulan.
Ya, tak ada salahnya, kembali ke bangku kuliah, selain mendapatkan ilmunya, kamu
bisa berusaha mendapatkan nilai IPK yang lebih baik. Buat adik-adik yang masih
22
berada di bangku kuliah, IPK memang bukan segalanya, tapi ikut punya andil besar,
ketika dirimu berniat melanjutkan kuliah ke luar negeri.
Seleksi pertama yang dilakukan oleh tim seleksi beasiswa, adalah kelengkapan berkas
dan kesesuaian dengan persyaratan yang diminta. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan
aplikasi yang masuk. Aplikasimu akan dengan indah masuk tong sampah, jika tidak
memenuhi persyaratan yang diminta atau tidak lengkap.
***
Senjata Rahasia
Kenali dirimu baik-baik. Apa potensi yang kamu miliki. Apa kreativitas yang kamu
punyai. Apa nilai lebih darimu yang bisa kamu “asah” lalu kamu “jual.” Apa yang unik
darimu, yang membuat beasiswa incaranmu tak akan tega menolakmu.
***
Kembali ke “bala tentara” di awal bab ini. Aku membayangkan para pejuang pencari
beasiswa itu punya kemampuan berbahasa Inggris yang jauh lebih baik dariku. Ya, saat
itu aku bahkan tidak tahu apa itu “Toefl ITP.”
Nilai IPK? Nilai IPK S1-ku bagus, dan jauh di atas persyaratan minimal. Tapi, berapa
banyak di antara mereka yang juga mempunyai nilai IPK sempurna?
Satu-satunya kemampuan yang aku miliki adalah: menulis. Sejauh ini aku hanya
menulis puisi dan cerpen di website pribadi, dua kali menulis artikel di koran lokal, dan
sekali dua kali mengikuti lomba menulis—dan tidak menang.
Tapi ya, itu satu-satunya “kelebihan” yang aku punya. Kelebihan yang “biasa.” Yang
mungkin juga dimiliki banyak orang lain. Yang pasti tidak semua orang. Dan jika aku
memberikan usaha lebih, fokus, dan tepat sasaran, aku bisa menggunakan kelebihanku
ini sebagai senjata rahasiaku!
***
Aku tidak tahu apa kemampuan dan kelebihan yang kamu miliki. Yang pasti kita semua
unik. Kita semua memiliki kualitas yang tidak dimiliki orang lain. Kita semua berbeda.
23
Aku yakin kamu juga memiliki “senjata rahasia”-mu sendiri. Yang bisa kamu
maksimalkan untuk menarik perhatian para juri dalam menyeleksi berkas aplikasi
beasiswa.
Googling:
cari
inspirasi
bagaimana
kamu
bisa
menggunakan
kelebihanmu,
meningkatkan kualitasmu. Temukan ide! Ciptakan sendiri! Lakukan! Rintis! Asah!
Kamu lebih mengenal dirimu sendiri. Temukan apa yang bisa membuatmu “bersinar” di
antara para pemburu beasiswa yang lain. Apa penentu yang kelak membuat aplikasimu
berada di tumpukan aplikasi yang lolos seleksi.
***
“Strategy is about making choices, trade-offs;
It’s about deliberately choosing to be different.”
− Michael Porter
Take Home Lesson 4:
1. Bekali dirimu sebelum mendaftar beasiswa; persiapkan strategi terbaik untuk
berhasil memenangkan beasiswa impianmu.
2. Yakinkan dirimu jika kamu layak sebagai penerima beasiswa tersebut.
3. Cari informasi lengkap terkait beasiswa incaranmu.
4. Catat dan dokumentasikan setiap informasi penting hasil penelusuranmu.
5. Mendaftar pada beberapa beasiswa berbeda sah-sah saja, tapi fokus pada satu
beasiswa yang paling cocok dengan yang kamu impikan akan membuatmu
mencurahkan semua perhatian pada beasiswa tersebut.
6. Bagaimana menentukan beasiswa yang paling cocok denganmu? Yang pasti
pelajari beasiswa yang kamu tuju, lalu lihat kualitas yang kamu miliki, apakah
sesuai dengan beasiswa tersebut inginkan. Berapa banyak poin persyaratan yang
bisa kamu penuhi, dan jika belum, apa kamu sanggup berkomitmen untuk
memenuhinya dalam beberapa tahun ke depan.
7. Pelajari persyaratannya. Pastikan kamu melengkapi semuanya, setidaknya sesuai
dengan standar minimal yang diminta.
24
8. Lengkapi dirimu dengan senjata rahasia. Miliki minimal satu kelebihan yang
akan membuat kemungkinan dirimu yang akan dipilih menjadi lebih besar.
9. Jangan lupa tujukan pertanyaan ini pada dirimu sendiri: “Kenapa aku yang harus
dipilih oleh beasiswa tersebut?” Jawabanmu haruslah, “Karena selain memenuhi
semua kriteria yang diminta, aku juga memiliki kelebihan yang membuatku
layak sebagai penerima beasiswa ini.”
10. Persiapkan dirimu untuk lolos seleksi. Jika belum lolos, jangan mudah
menyerah. Persiapkan diri dengan lebih baik. Pengalaman selalu mengajarkan
untuk memahami kelebihan dan kekurangan kita.
V
25
slice
/slīs/
noun
a thin, broad piece of food, such as bread, meat, or cake, cut from a larger portion
verb
cut (something, especially food) into slices
Mungkinkah memakan seekor gajah? Tentu. Tapi bagaimana caranya? Mudah: satu
gigitan demi satu gigitan.
Bayangkan tujuanmu mendapatkan beasiswa ke luar negeri adalah seekor gajah
panggang. Kamu tidak akan bisa menghabiskannya dengan sekali makan. Tapi sedikit
demi sedikit kamu bisa menyelesaikannya!
Pengalamanku berjuang meraih beasiswa PRESTASI USAID, tidak terjadi dalam
semalam. Meski mungkin seru membayangkannya: di malam hari, aku bermimpi
mendapatkan beasiswa ke Amerika, lalu paginya, “Abrakadabra!” Aku sudah terbangun
sedang berada di pesawat, siap mendarat di bandara Newark-Liberty Amerika Serikat.
Tentu tidak.
Aku melangkah satu demi satu pijakan. Dan membaginya dalam beberapa “slice” yaitu:
● Fokus pada persyaratan aplikasi.
● Fokus persiapan untuk wawancara.
● Fokus mendapatkan LOA (Letter of Acceptance/Admission).
● Fokus mempersiapkan diri berangkat ke USA.
Ketika berada pada tahap persiapan aplikasi, aku tidak memikirkan “slice” atau tahapan
yang lain. Seluruh perhatianku tercurah pada aplikasi. Namun, begitu aplikasi selesai
dan aku kirimkan, aku langsung mengalihkan fokusku pada persiapan wawancara. Aku
tidak mencemaskan aplikasiku lagi. Aku sudah berbuat yang terbaik. Demikian
seterusnya pada tahap-tahap berikutnya.
26
“By the yard it’s hard; but inch by inch, anything’s a cinch!”
Anonymous
***
Take Home Lesson 5:
1. Lakukan persiapan mengejar beasiswa impianmu secara bertahap.
2. Pada umumnya seleksi beasiswa terdiri dari dua tahap: seleksi aplikasi dan
seleksi wawancara.
3. Untuk membuat dirimu tidak kewalahan, selesaikan persiapan secara bertahap
dan dalam waktu yang mencukupi. Jangan lakukan semuanya dalam waktu yang
mepet.
4. Pertama, buat rincian persyaratan apa saja yang diminta beasiswa yang kamu
tuju. Misalnya, beasiswa PRESTASI USAID, untuk seleksi aplikasi
mensyaratkan; ijazah S1, transkrip nilai (IPK minimal 2.75), KTP, mengisi
formulir aplikasi yang disediakan, pas foto, nilai Toefl ITP minimal 450, tiga
surat referensi dari dosen atau atasan, minimal 2 tahun pengalaman kerja.
5. Di antara persyaratan tersebut mana saja yang telah kamu miliki, misalnya KTP,
Ijazah, transkrip nilai, dan pas foto. Persiapkan itu semua, terjemahkan ijazah
dan transkrip nilai ke dalam bahasa Inggris dan legalisir bila diminta.
6. Persyaratan apa saja yang butuh diusahakan, misalnya kamu masih harus
memenuhi pengalaman kerja 2 tahun, masih butuh mendapatkan nilai Toefl ITP
minimal 450, mendapatkan 3 surat referensi, mengisi formulir aplikasi
(termasuk menulis beberapa esai pendek dalam bahasa Inggris). Tentukan
berapa banyak waktu yang kamu butuhkan untuk menyelesaikan ini semua. Apa
usaha yang bisa kamu tempuh untuk memenuhi semua persyaratan ini. Tulis
semua perencanaan itu, bagilah dalam beberapa tahapan. Dan buat komitmen
dengan dirimu sendiri untuk menyelesaikannya.
27
VI
vis·u·al·ize
/ˈviZH(o͞o)əˌlīz/
verb
form a mental image of; imagine.
“Visualize the most amazing life imaginable to you. Close your eyes and see it clearly.
Then hold the vision as long as you can. Now place the vision in God’s hands… and
consider it done.”
─ Marianne Williamson
Kembali soal cerita gajah panggang tadi. Seberapa pun lezatnya, meski kamu
membaginya menjadi porsi-porsi kecil dan bertekad menghabiskannya sedikit demi
sedikit, alangkah membosankannya! Mungkin pada hari-hari pertama kamu akan
semangat melakukannya. Tapi semakin lama, kamu mungkin lelah, jemu. Perasaanperasaan negatif mungkin menghampirimu. Rasa percaya dirimu mungkin mencapai
level tertinggi, lalu perlahan menurun. Mungkin ada peristiwa-peristiwa di sekeliling
hidupmu yang membuatmu tak lagi bersemangat untuk mengejar cita-citamu. Mungkin
keluargamu menertawakan impianmu. Atau teman-temanmu mencibirmu. Semua itu
akan ikut memengaruhi perjuangan dan hasil akhir yang kamu idamkan!
Aku juga merasakan hal serupa sepanjang perjalanan ini. Beruntung, aku punya
“gambar ajaib”. Begitu memutuskan ingin ke Amerika, aku langsung berselancar,
mencari “gambaran” terbaik Amerika yang membuatku begitu ingin tiba di sana. Saat
itu, aku hanya menulis sebuah frasa sederhana di Google: “Musim gugur di Amerika.”
Di antara sekian banyak gambar yang muncul di layar laptopku, aku memilih satu potret
sebuah jalan dengan pohon-pohon berdaun merah dan kuning berderet di kedua sisinya.
Sepanjang jalan dalam gambar itu ditutupi oleh daun-daun berserakan. Imajinasiku
28
melayang, merasa berada di rerimbunan daun musim gugur yang melayang terbawa
angin!
Aku memasang gambar ini sebagai wallpaper di website-ku, juga sebagai gambar latar
di laptopku. Setiap ada kesempatan “melamun,” aku selalu berangan-angan bagaimana
bahagianya berada di tempat tersebut.
Pun, ketika perasaanku sedang tidak bagus. Aku akan “berada” di sana. Membayangkan
sentuhan sejuk angin musim gugur. Menikmati helai-helai daun jatuh. Dan perasaanku
pun segera berubah, kembali bersemangat.
***
Selain itu, aku juga memberitahukan niatku sejak awal pada orang-orang terdekatku.
Suami dan adikku, berdua mereka tentu saja tertawa ngakak mendengarkan rencana
besarku. Bagaimana tidak, mereka tahu betul aku tidak bisa ngomong bahasa Inggris.
Suamiku nyeletuk, “Sehat, Dek?”
Anak-anakku, Ririn, Andra, dan Rafka, mereka percaya sejak awal! Tak ada keraguan
sedikit pun pada anak-anak tercintaku itu, kalau aku akan menuntut ilmu ke Negeri
Paman Sam. Ya, aku harus “mempersiapkan” mereka juga. Jika aku berangkat dua
tahun nanti, aku akan meninggalkan mereka selama dua tahun masa pendidikanku di
Amerika.
Agar mereka mendapat gambaran utuh, aku menempelkan peta dunia di dinding rumah.
Setiap ada kesempatan aku jelaskan pada mereka.
“Di sini Indonesia.” Tunjukku pada kepulauan tanah air.
“Nah, ini Amerika. Bunda mau ke sini dua tahun lagi.” Sambungku memperlihatkan
lokasi Amerika di peta. Mereka mengangguk-angguk paham.
Memberitahukan orang terdekat tentang tujuanku ini, mendorongku untuk terus
bergerak maju melalui tiga cara yang sangat bertolak belakang.
● Pertama, mereka bisa mendukung dan mengingatkan kita.
29
● Kedua, mereka bisa mendatangkan tekanan yang membuat kita hanya punya dua
pilihan: berhasil atau berhasil!
● Ketiga, aku semakin terpacu ingin membuktikan bahwa aku mampu.
Tak urung aku tertantang untuk membuktikan pada suami dan adikku. Dan pada semua
yang pernah menertawakan rencanaku. Setiap mereka mulai mencandaiku tentang
“Amerika”-ku, setiap itu pula, aku akan “lari” pada buku pelajaran bahasa Inggrisku.
“Aku bisa. Aku bisa,” rapalku.
***
Aku tiba kali pertama di Amerika pada awal musim gugur. Aku mengamati dengan
takjub bagaimana musim berganti. Daun-daun hijau berubah warna, dan dalam beberapa
minggu setelah aku tiba, aku merasa berada dalam imajinasiku! Aku tiba di tempat yang
selama ini hanya aku visualisasikan dalam benakku. Setiap aku berangkat ke kampus,
aku merasa berada dalam lukisan, pigura impianku selama ini! Pohon-pohon besar di
pinggiran jalan. Helaian daun jatuh. Dan angin musim gugur yang menyapu wajahku!
Ini benar-benar mimpi yang jadi kenyataan.
Ada yang lebih dari itu. Suatu hari, tiba-tiba aku penasaran dengan “gambar ajaib”-ku.
Gambar yang kupilih untuk memotivasiku dan kuhidupkan dalam imajinasiku. Aku cari
lagi gambar yang sama secara daring. Kali ini aku menelusuri di mana lokasi gambar itu
diambil. Hasil penelusuranku membuatku terdiam beberapa jenak. Ya Tuhan, gambar
itu diambil di salah satu jalan di New Jersey! Kota yang sama di mana aku berada saat
ini! Jika ini kebetulan belaka, ini kebetulan termanis yang pernah aku alami.
“If you want to reach a goal, you must see the reaching in your own mind before you
actually arrive at your goal.”
− Zig Ziglar
***
Take Home Lesson 6:
30
1. Visualisasikan impianmu. Visualisasikan seperti apa tempat/negara yang ingin
kamu kunjungi. Ciptakan gambaran di kepalamu seolah kamu telah berada di
tempat itu. Resapi perasaan seperti apa yang akan kamu rasakan jika kamu telah
berada di sana. Miliki gambaran nyata tentang tempat yang kamu tuju. Miliki
gambar ajaib, yang bisa menjaga motivasimu. Setiap kamu merasa semangatmu
menurun, kamu bisa membayangkan tempat tersebut. Ini akan membuatmu
kembali berada pada gelombang positif dan bangkit berusaha kembali.
2. Informasikan pada orang-orang terdekatmu tentang rencanamu. Apa pun reaksi
mereka, jadikan itu pemacu semangatmu.
3. Jack Canfield, co-creator dari seri buku terkenal Chicken Soup for The Soul
membeberkan dalam bukunya The Success Principles kekuatan dari visualisasi
ini. Dalam buku tersebut, beliau memaparkan bahwa visualisasi dapat
mengaktifkan kekuatan kreatif dari alam bawah sadar manusia, memfokuskan
otak manusia dengan memprogram Reticular Activating System (RAS) untuk
mengenali sumber-sumber yang tersedia untuk mendukung mencapai impian
kita. Sumber ini telah berada di sekitar kita, tapi mungkin kita sebelumnya tak
pernah menyadarinya. Visualisasi juga menjadikan kita serupa magnet yang
menarik orang-orang, kesempatan, ketersediaan hal-hal yang kita butuhkan
untuk mencapai tujuan. Dengan atau tanpa kita sadari.
31
VII
ap·pli·ca·tion
ˌapləˈkāSH(ə)n/
noun
a formal request to an authority for something
“Always remember, your focus determines your reality.”
─ George Lucas
Fokus pertama yang harus dilakukan, tentu saja, mempersiapkan semua kelengkapan,
memenuhi syarat minimal, dan juga “mempersenjatai” diri agar mempunyai peluang
lebih besar untuk lolos seleksi administrasi.
● Secara umum persyaratan beasiswa untuk melanjutkan S2, antara lain:
● Ijazah S1 dan Transkrip Nilai
Ijazah S1 dan Transkrip, biasanya diminta dalam bahasa Inggris. Beberapa universitas
bisa memberikan ijazah yang dilegalisir dalam bahasa Inggris, dan transkrip nilai yang
juga dibunyikan dalam bahasa Inggris. Bagi yang tidak, bisa menerjemahkan ijazah dan
transkripnya pada penerjemah tersumpah. Saat itu aku menerjemahkan ijazahku pada
Bapak Marsudi Prabowo, S.H. Cerita dan alamat lengkapnya bisa dibaca di sini:
https://inrainy.wordpress.com/2015/01/27/penerjemah-prabowo/
● Nilai IPK
Nilai IPK-ku setamat UI di atas nilai yang diminta sebagai persyaratan beasiswa. Tapi
selagi nilai IPK-mu sesuai dengan yang diminta, tidak masalah. Asalkan tidak kurang.
Tetap terbuka peluang lebar buatmu untuk mendaftar dan kemungkinan diterima.
● Nilai Toefl ITP atau Toefl IBT atau IELTS
(Cerita lebih lanjut tentang poin ini ada di bab IX - XII)
● Pengalaman Kerja
32
Berprofesi sebagai bidan selama 10 tahun tidak membuatku berkecil hati untuk
mendaftar beasiswa. Aku malah tertantang untuk membuktikan bahwa sebagai bidan
desa, aku berkontribusi banyak bagi kesehatan masyarakat. Aku layak mendapat tempat
di beasiswa ini.
Biasanya pengalaman kerja yang diminta adalah selama dua tahun. Dua tahun ini, bisa
saja terhitung ketika kamu masih kuliah, tapi juga bekerja di sela-sela perkuliahanmu.
● Surat Rekomendasi dari Dosen dan Atasan Tempat Bekerja
(Telusuri kisah lengkapnya di bab XIII)
***
● Beberapa hal penting lainnya yang harus diperhatikan:
● Kesesuaian antara Jurusan yang Dituju dengan Pendidikan
Sebelumnya atau Pekerjaan Saat Ini
Ya, harus ada korelasi antara bidang yang sedang kamu tekuni saat ini dengan jurusan
yang kamu tuju. Misalnya, sebagai bidan, aku mengambil jurusan Public Health. Tapi
sebenarnya, jurusan untuk S2 tidak melulu harus berkolerasi lurus dengan jurusanmu di
S1. Selagi kamu bisa menjelaskan bagaimana jurusan yang akan kamu ambil ini
mendukung bidang pekerjaanmu sekarang, itu sah-sah saja. Ada beberapa teman yang
berlatar belakang Sastra Inggris mengambil jurusan Pendidikan atau Lingkungan. Ada
yang S1-nya Akuntansi, mengambil jurusan Pendidikan.
● Keterlibatan dalam Kegiatan Sosial; Pengalaman Organisasi di
Kampus atau Masyarakat, Kepemimpinan
Sebelum berniat mengambil kuliah ke luar negeri dan menyadari pentingnya latar
belakang pengalaman berorganisasi dan keterlibatan dalam kegiatan sosial, tanpa
sengaja, aku sudah lebih dahulu menceburkan diri dalam dua bidang tersebut.
Selama perkuliahan di UI, aku bergabung di Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya,
departemen Penulisan dan juga ikut menjadi relawan di “Rumah Belajar” UI.
Setamat kuliah, sebagian besar waktuku tersita antara pekerjaan, mengurus keluarga,
dan belajar. Hampir tak tampak ruang untuk “terjun” pada kegiatan sosial.
33
Tapi percayalah, setiap ada keinginan, selalu terbuka jalan. Apalagi jika kita berniat
untuk membaktikan diri bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Banyak sekali jalan
untuk melakukannya.
Kegiatan sosial dan pengalaman berorganisasi di sini, tidak perlu yang luar biasa besar
dan terkenal. Selagi bisa membawa dampak positif bagi orang lain, berarti kamu telah
berkontribusi.
Temukan kegiatan sosial yang kamu minati; yang membuatmu merasa terpanggil.
Bergabunglah. Atau kamu bisa ciptakan sendiri. Yang terpenting kamu harus
berkomitmen. Karena apa pun kegiatan itu, akan menuntutmu memberi perhatian lebih,
energi dan waktu. Kamu tidak akan memberikan usaha terbaikmu, jika kamu tidak
mempunyai minat dan kepedulian.
Meski waktuku dipenuhi banyak kesibukan, aku ikut bergabung sebagai pengurus PKK
setempat dan menjadi relawan di Yayasan Anak Langit.
● Sebagai “bonus” yang harus dipersiapkan untuk menaikkan “derajat” para
pelamar beasiswa:
● Penghargaan yang Pernah Diterima
Bagi kamu yang punya penghargaan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan atau
jurusan yang dituju, itu akan membantumu mendapat “nilai lebih” dalam tiket lolos
seleksi aplikasi.
● Tulisan yang Pernah Diterbitkan di Koran atau Dimuat di Jurnal
Sebagai “senjata rahasia,” aku harus memaksimalkan kemampuanku menulis untuk
mendapat “perhatian” dari tim seleksi beasiswa. Maka aku mulai mengasah
kemampuanku menulis artikel kesehatan. Aku menargetkan, paling tidak setiap bulan
aku harus mengirimkan satu artikel ke koran lokal.
***
● Untuk beasiswa PRESTASI USAID saat itu, para pelamar juga diminta:
● Melampirkan CV (Curriculum Vitae)
34
Cobalah mulai tulis CV-mu. Setelah selesai, kamu akan menyadari, seberapa banyak
yang telah kamu lakukan selama ini. Coba pandang-pandang lagi CV itu. Jika kamu
adalah salah seorang tim seleksi, dengan CV ini, kira-kira mereka tertarik untuk
merangkulmu menjadi bagian dari keluarga besar mereka, atau sebaliknya.
Jika menurutmu CV-mu belum memuaskan, bahkan untuk dirimu sendiri, ambil kertas
yang lain, lalu cantumkan di situ: seperti apa CV impianmu. CV yang juga akan
menjadi “idola” tim seleksi beasiswa. Mungkin kamu ingin menambah pengalaman
kerjamu. Atau ingin ikut lebih banyak kegiatan sosial. Atau ingin menciptakan kreasi
baru yang meningkatkan perekonomian warga sekitar. Atau apa pun itu.
Setelah kamu tulis dan merasa puas dengan CV impianmu, lakukan. Mulailah mengisi
hari-harimu dengan kegiatan positif. Yang bukan hanya akan membuat CV-mu tampak
keren, tapi pasti akan meningkatkan kualitas personalmu juga.
● Mengisi Formulir yang Bisa Diunduh di Website PRESTASI
USAID
Isi formulir dengan cermat dan teliti. Jangan ada yang terlewati. Dan pastikan kamu
mengerti dengan maksud pertanyaan-pertanyaan di situ. Jika ragu, minta bantuan orang
yang lebih paham dengan maksud isian tersebut. Baca dan baca lagi. Minta tolong
teman yang menguasai bahasa Inggris untuk melihat-ulang formulirmu sebelum
dikirimkan.
● Menulis Esai yang Berupa Jawaban Atas Beberapa Pertanyaan
Khusus beasiswa Prestasi USAID, para pelamar diminta menjawab sepuluh pertanyaan.
Sementara beasiswa lain, ada yang meminta esai berupa study objective.
Buatku pribadi, ini yang paling berat, sekaligus juga salah satu penentu kita bakal
dipilih atau sebaliknya. Dengan keterbatasan kemampuanku berbahasa Inggris waktu
itu, caraku menulis esai ini adalah:
Pertama memahami maksud pertanyaan. Apa sih yang “diinginkan” dari pertanyaan
tersebut. Apa “kualitas” kita yang ingin dilihat terungkap lewat pertanyaan ini.
Kemudian, aku membuat daftar kecil, intisari dari jawaban yang akan aku berikan.
35
Setelahnya, aku mulai menyusun kalimat yang menggambarkan dengan tepat bahwa
aku memiliki kriteria seperti apa yang diminta pertanyaan tersebut. Kalimat tersebut
kuusahakan to the point, tapi juga dengan gaya bercerita dan natural.
Nah, berhubung kemampuan menulisku dalam bahasa Inggris masih jauh di bawah
standar, aku meminta bantuan beberapa teman yang kemampuan berbahasa Inggrisnya
mumpuni untuk melihat-ulang esai-esaiku tersebut.
Kalau kamu tidak punya teman yang sekiranya kamu percayai bisa membuat esaimu
bebas dari kesalahan tata bahasa, kamu bisa mencari bantuan profesional. Bayar? Ya
iyalah. Namanya juga usaha. Harus mau berkorban.
Konten esaiku juga kudiskusikan dengan beberapa teman. Beberapa dari mereka
memberikan masukan yang sangat membantu “memperkaya” esai tersebut.
Meski demikian, jangan cepat puas dengan esaimu itu. Baca dan baca lagi. Diamkan
beberapa hari, kemudian baca kembali. Telusuri esaimu dengan “kaca mata” tim seleksi.
Kira-kira jika menerima esai seperti ini, mereka akan berkomentar, “Great!” atau
“Biasa saja.” Kira-kira ide yang tercurah di esai tersebut sesuai dengan visi misi
beasiswa tersebut atau tidak. Putuskan untuk dirimu sendiri bahwa kamu layak dipilih
beasiswa ini, dengan mempersiapkan esai terbaik yang pernah kamu buat.
Satu lagi kunci tentang penulisan esai, jangan malu-malu dalam menuliskan ide-ide
besarmu. Tentu ide tersebut harus rasional. Juga jangan sungkan menuliskan
pencapaian-pencapaian yang telah kamu raih selama ini. Apa sumbangsihmu pada
masyarakat melalui pekerjaanmu. Dan apa yang bisa kamu lakukan di masa depan jika
kamu meraih beasiswa ini. Tentu harus dengan bahasa yang menarik, sopan, dan tidak
arogan.
***
Take Home Lesson 7:
Siapkan:
1. Ijazah/transkrip nilai yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris, jangan lupa
dilegalisasi.
36
2. CV (Curriculum Vitae) yang menggambarkan kualitas yang kamu miliki.
Penuhi:
1. Nilai Toefl minimal sesuai persyaratan beasiswa yang dituju.
2. Nilai IPK tidak kurang dari persyaratan minimal.
3. Pengalaman Kerja (umumnya 2 tahun)
4. Surat Rekomendasi dari dosen dan atasan tempat bekerja.
Perhatikan:
1. Kesesuaian antara jurusan yang dituju dengan latar belakang pendidikan atau
latar belakang pekerjaan.
2. Kelengkapan formulir isian, jangan ada pertanyaan yang terlewatkan dan tidak
diisi.
3. Esai yang berkualitas dengan meminimalisasi kesalahan tata bahasa.
Bonus yang bisa memperbesar kemungkinanmu diterima:
1. Pengalaman berorganisasi.
2. Keterlibatan dengan kegiatan sosial, menjadi relawan.
3. Penghargaan yang pernah diterima.
4. Tulisan yang pernah dimuat di media massa atau jurnal.
5. Kualitas lain yang kamu miliki.
37
VIII
gu·ru
ˈɡo͝oro͞o/
noun
an influential teacher or popular expert
“There is no lack of knowledge out there just a shortage of asking help.”
Anonymous
Jangan lakukan perjalanan ini sendirian! Apalagi jika ini kali pertamanya kamu
mencoba melamar beasiswa. Ibarat naik gunung, kamu tidak perlu masuk hutan,
menerabas semak belukar, dan membuat jalan baru. Alih-alih sampai di puncak, kamu
malah hanya maju sepuluh meter, atau tersesat. Ratusan bahkan ribuan orang pernah
sebelumnya menempuh jalan ini. Telah ada setapak yang mereka tempuh. Ada rute yang
mereka jalani. Ada tanda panah. Ada jejak yang mereka tinggalkan. Ikuti itu dan kamu
akan selamat sampai ke puncak!
Aku beruntung mengenal dua orang guru yang menginspirasi dan meninggalkan jejak
yang bisa membuatku meraih impianku sendiri. Beliau adalah I Made Andi Arsana dan
Wardjito Soeharso.
Awal
perkenalanku
dengan
Made
Andi
adalah
lewat
website
beliau:
https://madeandi.com/. Di situ beliau banyak berbagi pengalaman beliau menuntut ilmu
di Australia, juga perjalanannya mendapatkan beasiswa AUSAID. Banyak sekali ceritacerita menarik hati di website tersebut. Beliau memaparkan dengan sederhana, sehingga
buat seorang awam sepertiku, sangat mudah memahami.
Ketika kemudian Made Andi meluncurkan buku yang berjudul: Berguru ke Negeri
Kangguru, tak tunggu lama, aku langsung memburu buku tersebut ke Gramedia.
38
Sejak itu, buku itu menjadi “Kitab Suci”-ku menuju beasiswa impianku sendiri. Ke
mana pun pergi, aku selalu menenteng buku itu. Baca dan baca lagi. Mungkin ada yang
terlewatkan. Mungkin ada yang bisa memantik ide baru. Meski negara tujuanku tak
sama dengan Made Andi, tapi pengalaman beliau yang tertera di sana, lebih dari cukup
membuatku mengenali “jalan”-ku sendiri. Dan ya, aku belum pernah bertemu beliau
secara langsung. Namun buatku, beliau adalah seorang guru yang membimbing
langkahku menuju “Negeri Tanpa Kangguru”-ku.
Seorang lagi yang sangat penting dalam suksesku meraih beasiswa ini adalah Wardjito
Soeharso, aku memanggil beliau Pak War.
Awal perkenalanku dengan beliau di tahun 2008. Saat itu, aku berkenalan dengan
website penulis muda, sebuah website penulisan kreasi beliau. Selain menolong
mengasah kemampuan menulisku, beliau juga menjadi aktor intelektual di balik
suksesku di UI dan kemudian dalam perjalananku meraih beasiswa ke luar negeri.
Pak War yang lulusan Boston University, USA, selalu bilang, “Bisa, Uni.” Beliau
memanggilku Uni. Aku sangat memercayai beliau, sehingga kata “Bisa” dari beliau,
berarti BISA buatku.
Beliau juga yang ikut mengoreksi formulir aplikasi beasiswaku, dan tak pernah
kekurangan saran yang bisa membuatku merasa lebih baik setiap berbenturan dengan
masalah.
***
Temukan seseorang yang bisa “memberi penerangan” bagi jalanmu. Seseorang itu bisa
siapa saja. Sosok yang kamu kenal di dunia maya dan kamu kagumi lewat karyanya.
Atau mungkin tetangga sebelah rumahmu. Yang pasti “guru” itu ada di suatu tempat.
Jika kamu berniat dan mencarinya, kamu akan menemukannya. Jangan lupa, seseorang
yang ingin kamu ikuti jejaknya adalah orang yang telah lebih dahulu berhasil mencapai
impiannya sendiri. Dalam hal ini, beliau telah lebih dahulu mendapatkan beasiswa ke
luar negeri. Seseorang yang sukses, positif, dan membuatmu merasa perlu membuktikan
pada beliau jika kamu bisa melakukan yang terbaik.
“We all need someone who inspires us to do better than we know how.”
39
Anonymous
***
Take Home Lesson 8:
1. Temukan orang-orang yang punya pengalaman mendapatkan beasiswa ke luar
negeri sebelumnya. Seseorang yang perjuangannya bisa menjadi inspirasimu.
2. Ikuti rekam jejak mereka, apa kegiatan mereka sebelum menerima beasiswa, apa
pencapaian mereka ketika dalam masa kuliah, dan apa yang mereka lakukan
setelah meraih gelar akademik.
3. Cari pemberitaan-pemberitaan seputar mereka, tulisan-tulisan mereka yang
dimuat media massa, atau surfing di blog pribadi mereka. Baca pengalaman
yang mereka tuliskan di sana tentang beasiswa. Jika mereka menulis buku,
jangan ragu untuk membelinya. Ini bisa menjadi jalan pembuka untuk menjalin
komunikasi dengan mereka. Kamu bisa mengirim surel atau menghubungi
mereka lewat media sosial, dan bertanya tentang materi dalam bukunya.
4. Temukan “persamaan” di antara kalian. Apakah kamu merasa punya semangat
yang sama, latar belakang, atau cita-cita yang serupa.
5. Jadikan jejak mereka sebagai penuntunmu meraih beasiswamu.
6. Di luar sana, pasti ada seseorang yang bersedia menjadi guru/mentor/pelatihmu.
Seseorang yang peduli, bersedia membimbing, dan memberikan support yang
kamu butuhkan dalam perjalananmu meraih impianmu ke luar negeri. Temukan
seseorang itu!
40
IX
rise
/rīz/
verb
move from a lower position to a higher one; come or go up
noun
an upward movement; an instance of becoming higher
“Still, like air, I rise.”
─ Dr. Maya Angelou
Kunci utama untuk meraih beasiswa ke luar negeri, tentu kemampuan berbahasa
Inggris. Dan sejujurnya, dibanding topik pelajaran lain, bahasa Inggris adalah hal
terakhir yang ingin kupelajari. Di SMA nilai bahasa Inggrisku berkisar antara 6 dan 7.
Itu pun mungkin karena belas kasihan guru mata pelajaran tersebut, atau karena aku
berperilaku manis dan jadi anak baik di kelas.
Di UI, beberapa bahan pelajaran kami dalam teks bahasa Inggris. Sekadar
menerjemahkan aku menggunakan Google Translate, ya bisalah. Tapi grammar? Aku
bahkan tidak bisa membedakan penggunaan to be: am, is, are.
Dan sekarang aku ingin kuliah keluar negeri? Serius, Inraini?
Sebenarnya banyak hal yang melintas di pikiranku, terkait kemampuan bahasa
Inggrisku yang nihil ini. Bagaimana nanti memahami perkuliahan? Berkomunikasi
dengan teman dan dosen? Mengerjakan tugas kuliah?
Tapi aku tidak mau memusingkan semua itu pada titik ini. Sekarang yang terpenting
adalah mendapatkan nilai Toefl ITP sesuai syarat minimal beasiswa PRESTASI
USAID: 450.
41
Lah Toefl itu apaan, aku bahkan tidak tahu. Karenanya, aku googling, dan berburu
buku-buku panduan Toefl di sekitaran UI-Depok. Karena tidak mengerti buku panduan
dalam bahasa Inggris, aku membeli beberapa buku TOEFL ITP dengan panduan
berbahasa Indonesia. Dan memilih buku yang tipis-tipis manis. Selain murah meriah,
juga menarik hati untuk membacanya. Sebagian besar berlabel mirip-mirip begini:
“Cara Cepat Mendapatkan Nilai Toefl Sempurna dalam Satu Bulan” Atau “Trik dan
Tips Mengerjakan Tes Toefl tanpa Perlu Menguasai Bahasa Inggris.” Hem. Cukup
menjanjikan, bukan? Cocok sekali buatku.
Aku juga mendapat informasi, jika LBI FIB UI (Lembaga Bahasa Internasional Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya UI) menyelenggarakan tes toefl ITP tersebut. Aku mendaftar.
Sekadar ingin tahu apa sih tes Toefl itu. Dan penasaran, berapa nilai yang bisa kucapai.
Pada tes Toefl ITP pertamaku itu, tentu saja aku menerapkan poin-poin penting yang
kudapat dari buku-buku bacaan yang kubeli sebulan sebelum tes, hasilnya: kacau.
Beberapa kali aku ditegur pengawas ujian, karena bolak balik menjawab dari bagian
grammar (structure and written expression) kembali mengisi jawaban yang kosong di
listening, dan setelah sampai di bagian reading aku malah kembali mengerjakan bagian
grammar (structure and written expression).
Hasilnya? Skor Toefl ITP-ku 380.
Aku mengambil beberapa kesimpulan. Pertama, perkiraanku tentang kemampuan
bahasa Inggrisku tepat. Aku tidak tahu apa-apa. Jangankan tahu mana jawaban yang
tepat. Pertanyaannya saja aku tidak mengerti. Aku hanya menjawab secara acak. Skor
toefl ITP itu sendiri, terendah adalah 310 dan tertinggi 677.
Kedua, lupakan soal jalan pintas menuju nilai Toefl yang bagus. Yang aku butuhkan
adalah belajar, belajar, dan belajar.
Ketiga, cari buku panduan yang tepat dan bisa dipercaya! Dan jangan lupa cek website
resmi penyelenggara tes, agar paham aturan yang sebenarnya.
Berikut tautan resmi Toefl ITP: http://www.ets.org/toefl_itp/about
Dan berikut kira-kira peraturan umum tes Toefl ITP:
42
http://lbifib.ui.ac.id/beta/archives/category/languagetest/toefl-itp
Hasil tes Toefl-ku ini menjadi bahan tertawaan bagi diriku sendiri. Suatu hari, aku
bertemu dengan seorang senior di UI. Aku bercerita jika berencana mengejar beasiswa
ke luar negeri. Senior ini kemudian curhat bahwa beliau juga punya keinginan untuk
melanjutkan kuliah ke luar negeri. Beasiswa yang ingin beliau daftar mensyaratkan skor
Toefl minimal 550. Setelah beberapa kali tes, beliau menyerah. Penasaran aku tanya,
“Memangnya hasil tes Toefl-nya berapa?” Jawabnya, “535. Stuck di situ. Dan enggak
bisa naik lagi.”
Aku tertawa sejadi-jadinya (dalam hati). What? Toefl-nya sudah mencapai 535, dan
beliau menyerah? Di saat yang sama nilai Toeflku 380. Dan aku 100% percaya diri, aku
bisa keluar negeri. Aku menertawakan kepercayaan diriku yang keterlaluan ini. Hanya,
aku tidak punya kata menyerah dalam kamusku.
Ya, nilai 380 itu mungkin memalukan. Tapi percayalah, aku sangat bahagia
menerimanya. Tes itu kuambil pada tanggal 28 Juli 2010. Tepat pada hari ulang
tahunku. Itu hadiah istimewa dariku buat diriku sendiri. Peletakan batu pertama bagi
cita-citaku yang baru. Momen yang menandakan permulaan impian baruku. Hari itu,
aku bangga dengan diriku sendiri. Aku puas sekali mengetahui aku telah maju satu
langkah. Aku tahu apa itu tes Toefl. Aku tahu di mana kemampuanku saat ini. Aku akan
terus maju selangkah demi selangkah. Kemudian aku akan berjalan lebih cepat. Hingga
nanti aku akan dapat berlari. Terus. Dan terus. Melesat secepat kilat. Hingga tiba di
negeri impianku!
Kalau aku bisa!
Kamu juga!
“Believe you can and you’re halfway there.”
─ T. Roosevelt
***
43
Take Home Lesson 9:
1. Kemampuan berbahasa Inggris adalah syarat mutlak untuk mendapatkan
beasiswa ke luar negeri.
2. Meskipun kemampuan berbahasa Inggrismu nol saat ini, bukan halangan buatmu
menggapai impianmu kuliah ke luar negeri: kamu bisa mulai belajar.
3. Fokuskan untuk mendapatkan nilai TOEFL ITP sebagai salah satu syarat wajib
pendaftaran.
4. Bagi yang belum mengenal apa itu Toefl ITP, bisa mencari informasi seputar itu.
5. Telusuri di mana tempat penyelenggara tes Toefl terdekat di kotamu.
6. Tes Toefl ITP sendiri, ada yang berupa tes Toefl ITP Preparation dan Toefl ITP
resmi. Untuk yang preparation biayanya sekitar Rp100.000,- sedangkan yang
tes resmi berkisar Rp500.000,-. Yang digunakan untuk melamar beasiswa adalah
yang resmi.
7. Tes Toefl ITP terdiri dari 3 bagian:
-
Listening comprehension,
-
Grammar structure and written expression,
-
Reading comprehension
8. Beli buku-buku latihan atau petunjuk mengerjakan tes TOEFL ITP. Pilih yang
berkualitas.
9. Mendaftarlah dan ikuti tes Toefl ITP tersebut untuk mendapatkan gambaran
tentang bagaimana tes tersebut, seberapa besar kemampuanmu, dan ketahui apa
yang harus kamu lakukan untuk meningkatkan nilai tersebut.
10. Jangan berkecil hati bila nilaimu jauh di bawah nilai minimum. Dengan strategi
yang tepat dan terus belajar, kamu pasti bisa mendapatkan nilai yang lebih baik.
44
X
per·se·ver·ance
ˌpərsəˈvirəns/
noun
steadfastness in doing something despite difficulty or delay in achieving success
Perjuangan meraih beasiswa ke luar negeri, baru akan benar-benar dimulai. Panjang
jalan ke depan yang akan ditempuh. Seleksi aplikasi. Seleksi wawancara. Setelah lolos,
kamu harus mengikuti pelatihan bahasa Inggris. Kemudian selama pelatihan ini, kamu
akan berjuang menaikkan nilai Toefl sesuai syarat yang ditentukan universitasuniversitas di Amerika. Berikutnya, kamu harus berjuang mendapatkan LOA (Letter of
Acceptance/Admission) dari universitas. Lalu tes kesehatan. Belum lagi melengkapi
berkas-berkas persyaratan imigrasi. Lalu akhirnya setelah melewati itu semua, kamu
akhirnya akan berangkat. Tapi keberangkatan ke Amerika juga bukan berarti perjuangan
usai. Di Amerika, nantinya kamu akan berhadapan dengan budaya asing. Lingkungan
baru. Sistem pelajaran baru. Mengerjakan banyak tugas. Jauh dari keluarga. Di
Amerika, menunggu tantangan yang tak kalah menantang untuk ditaklukkan.
Artinya apa, semua persyaratan beasiswa, sejak awal, telah menyisihkan kandidatkandidat yang kurang tangguh. Orang-orang yang sukses hingga sampai di negara
tujuannya adalah mereka yang persisten. Pantang mundur. Gigih. Mereka berjuang,
belajar, berkorban waktu, uang, tenaga. Karena kualitas ini akan dibutuhkan seterusnya.
Memastikan bahwa penerima beasiswa adalah mereka yang akan berhasil kelak saat
menjalani studi mereka di negeri seberang.
“In the realm of ideas everything depends on enthusiasm...
in the real world, all rests on perseverance”
−
***
45
Johann Wolfgang von Goethe
Setelah mendapatkan nilai Toefl-ku yang 380, aku langsung berburu buku-buku bahasa
Inggris. Aku membeli beberapa buku grammar selevel sekolah dasar. Ups, bukan
selevel, tapi benar-benar buku bahasa Inggris untuk sekolah dasar. Pelajaran bahasa
Inggris pertamaku ini, aku tamatkan dalam dua bulan.
Puas dengan hasil belajarku, aku pindah ke buku level SMP; kelas VII, VIII, dan IX.
Paling tidak aku membeli tiga versi berbeda (tiga penerbit buku) dari masing-masing
tingkatan kelas. Untuk mendapat gambaran lebih komprehensif. Hem, sudah mulai agak
berat buatku. Tapi bisalah, jika aku tidak paham, atau ingin berlatih lebih banyak untuk
topik tertentu dalam buku tersebut, aku bisa menemukan penjelasan dan bahannya
dengan googling. Selesai pelajaran SMP, aku “naik kelas” ke pelajaran SMA.
Sejenak aku teringat saat-saat di SMA dulu. Jika saat itu aku punya guru yang
menjelaskan, menjawab pertanyaan-pertanyaan, aku tetap tidak bisa menguasai
pelajaran ini, bagaimana mungkin sekarang dengan belajar sendiri, apa aku bisa?
Kurasa jawabannya, karena saat itu, aku tidak punya ketertarikan. Tidak ada motif
khusus, kenapa aku harus belajar bahasa Inggris. Tidak ada tujuan. Berbeda dengan
sekarang. Aku punya tujuan. Dan karenanya, aku akan belajar dengan sungguhsungguh.
Maka, tidak ada alasan untuk bilang tidak bisa; aku membuka buku pelajaran bahasa
Inggris SMA-ku dengan berkata, “Kali ini aku akan menaklukkanmu!”
***
Menemukan waktu belajar, setelah kembali dari UI, membutuhkan siasat tersendiri.
Oke, pertama, sebagai ibu rumah tangga, aku harus mengurusi tiga putra-putriku yang
sedang aktif-aktifnya. Sebagai PNS, pagi-pagi aku berangkat ke Puskesmas, melayani
masyarakat dan juga bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Posyandu di wilayah
kerja Puskesmasku. Selesai jam dinas, aku kembali ke Poskesdes, melanjutkan tugasku
sebagai bidan desa selama 24 jam. Di sela-sela semua itu, aku melaksanakan tanggung
jawabku terhadap kegiatan organisasi yang aku ikuti. Dan juga tetap menulis.
46
Lalu kapan aku belajarnya? Melihat kesibukanku, hampir tidak mungkin untuk
mendapatkan waktu duduk manis berjam-jam dan membuka buku. Aku menamakan
waktu belajarku sebagai, “waktu antara.” Itu satu-satunya kesempatan terbesarku untuk
belajar.
Misalnya, saat datang ke Puskesmas pagi-pagi, aku bergegas menyiapkan semua
keperluan untuk ke Posyandu. Sementara menunggu anggota tim yang lain datang, aku
punya waktu belajar. Begitu tiba di Posyandu, sambil menunggu ibu-ibu datang
membawa bayi-bayi mereka, aku juga punya sedikit waktu untuk belajar. Selesai
Posyandu, menunggu jemputan datang, aku juga punya sedikit waktu belajar.
Waktu antara ini berserakan di mana-mana: menunggu antrean di bank, di angkot,
dalam perjalanan, menunggu anak di sekolahan, menunggu rapat dimulai. Apalagi
dengan budaya ngaret di Indonesia, kita bisa memanen waktu antara dengan bahagia.
Aku memilih menyelesaikan pelajaranku di saat-saat menunggu daripada kesal karena
acara terlambat dimulai. Waktu untuk ngobrol, ngegosip, dan nge-Facebook, juga bisa
dialihkan untuk belajar.
Waktu yang sedikit demi sedikit itu, mengantarkanku menamatkan satu demi satu buku
pelajaran bahasa Inggris yang ingin kukuasai.
Aku selalu membawa bahan pelajaran yang sedang kutekuni ke mana pun. Jika bukunya
besar dan terlalu berat kutenteng ke mana-mana, aku “membagi”-nya per-bab dengan
cara kufotokopi.
Satu waktu lagi yang biasa kugunakan untuk belajar adalah tengah malam. Di saat
suami dan anak-anakku sudah tertidur lelap, aku kembali membuka buku pelajaran,
mengevaluasi sejauh mana perkembanganku, dan menelaah kembali bagaimana cara
belajar yang paling tepat buatku.
***
Akhirnya setelah hampir setahun, aku “tamat” dari pelajaran SMA. Aku merasa sudah
punya cukup bekal untuk mulai membuka buku Toefl.
47
Pelan-pelan, merayap, aku terus maju.
“If you can’t fly, then run, if you can’t run, then walk, if you can’t walk, then crawl, but
whatever you do, you have to keep moving forward.”
─ Marthin Luther King Jr
***
Take Home Lesson 10:
1. Persisten, gigih, pantang menyerah adalah kualitas personal yang dibutuhkan
untuk bisa mencapai tujuanmu kuliah ke luar negeri.
2. Setiap orang punya gaya belajar yang berbeda-beda. Siapkan strategimu sendiri
untuk meraih nilai Toefl ITP yang mumpuni untuk melamar beasiswa.
3. Jika selama ini kamu menganggap tidak pernah bisa berbahasa Inggris dengan
baik, itu karena kamu tidak punya alasan kuat kenapa harus bisa berbahasa
Inggris. Dengan memiliki tujuan ke luar negeri, kamu akan termotivasi kuat, dan
bahasa Inggris pasti bisa kamu taklukkan.
4. Jika kemampuan bahasa Inggrismu benar-benar minim, mulailah belajar dari
dasar. Jangan sungkan. Kamu bisa mulai dari buku pelajaran bahasa Inggris
setingkat SD, SMP, kemudian SMA.
5. Selain bisa membeli buku pelajaran yang tersedia di toko-toko buku, kamu juga
bisa memanfaatkan soal-soal latihan di dunia maya, YouTube, atau aplikasi
latihan bahasa Inggris di ponsel pintar.
6. Jangan jadikan kesibukan sebagai alasan untuk tidak mempunyai waktu belajar.
Semua orang punya 24 jam yang sama. Apa yang kamu lakukan dengan 24 jam
itu yang akan membawa perbedaan pada masa depanmu.
7. Gunakan waktu “antara” sebagai salah satu kesempatan belajar: saat menunggu
antrean, saat di kendaraan, dll. Kamu bisa juga mendengarkan soal-soal latihan
listening melalui gawai.
8. Alihkan waktumu menonton televisi, mengobrol, dan menggunakan media sosial
untuk belajar.
48
9. Bawa buku pelajaran yang sedang kamu pelajari ke mana pun kamu pergi. Jika
terasa merepotkan, fotokopi dan bawa beberapa lembar saja. Selalu kembali
pada lembaran tersebut setiap kamu punya kesempatan, meski hanya 5 menit.
Dalam waktu singkat itu, kamu bisa menghafal beberapa kata baru atau
menjawab satu dua pertanyaan.
10. Selalu evaluasi sejauh mana perkembangan pelajaranmu. Apakah teknik
belajarmu sudah tepat, atau ada cara lain yang lebih efektif.
49
XI
a·me·lio·rate
əˈmēlyəˌrāt
verb
make (something bad or unsatisfactory) better
Berhasil menyelesaikan buku-buku pelajaran Bahasa Inggris tingkat sekolahan itu,
bukan serta merta membuatku jago. Sama sekali jauh dari itu. Aku hanya mengerti
dasar-dasar grammar dan menambah kosakataku. Menaklukkan Toefl ITP tes masih
jauh di atas kemampuanku. Aku merasa berbenturan dengan tembok tinggi.
Lagi, aku membeli beberapa buku panduan grammar, buku tips-tips menjawab soal
Toefl, dan menambah koleksi buku soal-soal Toefl-ku. Dari buku-buku ini, aku
mendapatkan banyak ide untuk meningkatkan skor Toefl-ku.
Misalnya, untuk reading, aku yang hobi membaca novel dan dongeng, membeli koleksi
novel H.C. Andersen yang berisi kisah-kisah yang sudah familier denganku, seperti; The
Little Mermaid, The Ugly Dukling, The Snow Queen, dll. Ini menampal semangatku
untuk membaca dalam bahasa Inggris. Sementara untuk listening, aku mulai
mendengarkan lagu-lagu berbahasa Inggris sambil mencoba memahami maksud lagu
tersebut.
Setelah beberapa bulan belajar, aku merasa cukup. Cukup aku mengerti, bagian mana
saja yang aku tidak paham. Banyak sekali. Sekarang saatnya, mencari bantuan
profesional: ikut les Toefl!
Di kota tempat tinggalku, Bitung, aku tidak menemukan tempat kursus untuk Toefl,
satu-satunya pilihan adalah di kota Manado. Kira-kira satu jam dari tempat tinggalku,
itu pun kalau tidak macet. Biasanya aku baru bisa mencapai pusat kota setelah dua jam
perjalanan.
50
ELC (English Language Center) Manado, menjadi pilihanku. Selama tiga bulan, tiga
kali seminggu, aku bergabung mengasah kemampuanku menjawab soal-soal tes Toefl.
Aku mengambil kelas malam. Berangkat sore hari sepulang kerja, diantarkan suami
dengan sepeda motor. Di sana selama dua jam pelajaran, suami menunggui, kemudian
ketika pulang biasanya kami tiba setelah hampir tengah malam.
Setelah tiga bulan mengikuti kursus, aku kembali mengikuti tes Toefl. Doaku, “Ya
Allah, semoga aku bisa mendapat nilai yang cukup untuk melamar beasiswa PRESTASI
USAID.”
Doaku terkabul. Skor Toeflku 450 pas.
Bahagia? Tentu saja. Aku meloncat-loncat senang kala itu. Tapi aku merasa ini belum
cukup. Ingatanku terbang pada bala tantara pemburu beasiswa lainnya. Aku masih harus
terus belajar. Nilai Toefl-ku paling tidak harus naik sedikit lagi.
Sayangnya, di tempat les yang sama, tidak ada program les Toefl level berikut. Aku bisa
saja mengambil les di tempat yang lain, tapi terkendala jarak dan waktu. Akhirnya aku
mengambil les IELTS selama tiga bulan lagi. Pikirku, tak apalah, yang penting aku tetap
berkubang Bahasa Inggris. Kali ini, suamiku tak bisa lagi menemani terkait pekerjaan
beliau. Perjalanan menuju tempat kursus, menjadi lebih menantang. Aku harus berjalan
kaki atau naik ojek dari rumah ke jalan utama. Kemudian, naik angkot ke terminal. Dari
terminal Bitung, naik bus ke terminal Manado. Setelah itu, sambung lagi dengan angkot
ke tempat kursus. Demikian juga, ketika pulang dari tempat kursus.
***
Selesai tiga bulan kursus IELTS, aku melanjutkan dengan kursus Conversation I selama
tiga bulan pula. Kelar ini, aku ikut tes Toefl lagi, dengan harapan nilai Toefl-ku naik.
Sedikit saja. Tak apa. Hasilnya? Sesuai harapan 453. Haha.
Beranjak dari sini, sambil kembali ikut les Conversation II. Aku mengevaluasi
strategiku dalam menjawab soal-soal tes. Aku merasa kemampuanku bertambah, tapi
nilaiku tidak jauh berubah. Mungkin ada yang harus aku perbaiki. Di mana titik
kelemahanku.
51
Setelah les Conversation II selesai, aku mengambil tes Toefl kembali. Mbak Admin di
kantor ELC Manado sampai hafal karena aku hampir setahun ngetem di tempat kursus
tersebut. Saat itu, tinggal seminggu sebelum batas pendaftaran PRESTASI USAID
ditutup. Aku benar-benar berharap nilai Toefl-ku mencapai 500.
Pagi itu, aku mendapat telepon dari Mbak Admin, “Mbak In, nilai Toefl-nya udah
keluar, udah bisa diambil nih.”
Deg-degan aku bertanya, “Nilai In berapa, Mbak?”
“Emmmm… maaf, Mbak In… belum sampai 500.” Suara beliau. Aku tersentuh. Lah
bukan salah beliau dong.
“Ya nggak papa, Mbak. Berapa?” Kejarku.
“497.” Jawabnya.
What? “Makasih Mbak…” Aku kegirangan. Sampai sekarang pun, di saat aku
menuliskan cerita ini, aku masih bisa merasakan kebahagiaanku yang tumpah ruah. Ya
Allah. Aku berhasil. Aku bisa. Setelah berbulan-bulan ini belajar, tak putus bolak-balik
Bitung-Manado, akhirnya nilai Toefl-ku bisa juga menjadi lebih baik dan lebih baik.
Aku semakin percaya bahwa usaha dan pengorbanan tak akan pernah ingkar.
Nilai itu yang kemudian kugunakan untuk melamar beasiswa PRESTASI USAID.
“In the end, it’s extra effort that separates a winner from second place.”
─ Jesse Owens
***
Take Home Lesson 11:
1. Setelah selesai dengan pelajaran dasar Bahasa Inggris, kamu bisa mulai
mempelajari buku-buku grammar, lalu dilanjutkan dengan buku latihan Toefl
ITP.
52
2. Setiap orang punya cara belajar efektif yang berbeda-beda. Temukan cara
belajar yang tepat sekaligus menyenangkan untukmu. Gali terus ide-ide kreatif
yang bisa kamu lakukan untuk menunjang pelajaranmu.
3. Jika kamu merasa setelah belajar sendiri, masih banyak bagian yang tidak kamu
pahami, ikut les/bimbingan belajar Toefl/Ielts di kotamu.
4. Untuk mengikuti les/bimbingan belajar ini, kamu tentu harus berkorban biaya
les, waktu, dan energi. Tetap bersemangat dalam menjalani perjuanganmu ini.
5. Terus dan terus berusaha hingga kamu meraih nilai Toefl yang memenuhi
persyaratan untuk melamar beasiswa impianmu.
6. Jika nilaimu telah mencapai batas minimum, beri selamat atas keberhasilanmu,
kamu layak untuk mendaftar beasiswa itu sekarang!
7. Meski demikian, tak ada salahnya untuk terus berlatih dan berusaha menaikkan
skormu ke nilai yang lebih tinggi.
8. Analisa hasil tesmu, temukan di bagian mana kamu perlu berlatih lebih keras
dan berstrategi lebih baik agar nilaimu membaik.
9. Hal penting yang tak boleh terlupakan dalam mengikuti tes Toefl, selain
kemampuan menjawab soal-soal, kamu juga harus berlatih menggunakan
batasan waktu yang sama dengan tes yang sesungguhnya.
10. Percayalah, perjuangan akan selalu berbuah keberhasilan, semangat!
53
XII
be·lieve
bəˈlēv/
verb
accept (something) as true; feel sure of the truth of
Aku tidak menyarankan buat semua pembaca buku ini, untuk mulai belajar bahasa
Inggris dari Buku SD. Yang ingin kukatakan, kamu bisa.
Jika kamu benar-benar buta tentang bahasa Inggris, kamu bisa melakukan apa yang
kulakukan.
Jika kamu telah paham dasar-dasar bahasa Inggris, kamu bisa membeli buku-buku
latihan Toefl.
Jika kamu telah familier dengan soal-soal Toefl, kamu bisa langsung ikut les Toefl.
Jika kamu pernah ikut les dan skormu belum memenuhi standar beasiswa yang kamu
tuju, berlatih dan belatih lagi. Evaluasi cara belajarmu. Temukan kelemahanmu dan
perbaiki. Temukan ide dan tips-tips yang sesuai denganmu. Ikut tes lagi. Googling. Cek
di YouTube. Ciptakan sendiri teknik yang tepat buatmu.
Setelah berkali-kali tes Toefl, kamu belum berhasil, coba tes lain. Mungkin IELTS atau
Toefl IBT.
Pelajari bahasa Inggris dengan serius tapi menyenangkan. Pilih cara mana yang paling
kamu nikmati: musik, film, dongeng, novel, berita, atau program televisi berbahasa
Inggris. Apa saja. Yang penting setiap hari kamu menambah kosakatamu. Berlatih dan
berlatih lagi.
***
54
Jangan lupa bersyukur. Setiap satu langkah maju yang kamu buat, beri penghargaan
pada dirimu sendiri. Hari ini kamu meluangkan waktu untuk menyelesaikan sepuluh
soal reading. Kemarin kamu menghapal 10 kosakata baru. Besok kamu menyempatkan
diri mengujungi pameran beasiswa. Beri selamat pada dirimu sendiri. Kamu telah
membuat langkah maju.
Sebelum tidur di malam hari, kamu ingat-ingat kembali, apa yang telah kamu lakukan
hari ini. Apa “langkah kecil” yang kamu lakukan untuk impianmu? Apa pun itu,
tersenyumlah, berbahagialah, bersyukurlah, karena langkah-langkah kecil itu kamu
perlukan untuk terus maju dan maju. Lalu bayangkan, apa yang akan kamu lakukan
esok hari.
***
Sebenarnya, aku orang yang menganut paham, “Percaya pada takdir dan mengalir
seperti air”. Aku tidak suka terikat pada aturan tertentu. Aku ingin bebas melakukan apa
pun sesuai perasaanku saat itu.
Tapi kebiasaanku ini, berubah total begitu aku memutuskan untuk belajar sungguhsungguh demi meraih skor Toefl yang mumpuni. Aku punya target, dua tahun ke depan
harus mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Dua tahun itu singkat, dan aku harus mulai
dari nol. Ini berarti, aku tak bisa membuang-buang waktu, dan mempelajari buku-buku
tersebut hanya bila aku ingin belajar. Aku harus bisa memaksa diriku menyelesaikan
pelajaranku sesuai komitmen target waktuku.
Caranya? Deadline. Ya, aku membuat jadwal untuk diriku sendiri. Contohnya, hari ini
aku harus menyelesaikan bab 5 buku pelajaran bahasa Inggris SMA-ku, lalu menghafal
5 kosakata baru. Besok aku akan menyelesaikan dan membahas satu paket soal Toefl.
Besoknya lagi, aku akan menamatkan satu dongeng di novel H. C. Andersenku.
Setiap pekan tengah malam, aku mengevaluasi, apa saja yang sudah kulakukan
seminggu belakangan. Mana yang berhasil, mana yang menurutku tidak efektif.
Berdasarkan ini, aku menyusun jadwalku untuk seminggu ke depan.
55
Apakah aku melakukan semua yang tercantum di jadwalku? Sayangnya tidak. Hidup
penuh dengan tantangan dan peristiwa-peristiwa di luar prediksi kita. Tapi yang pasti,
aku melakukan setidaknya dua atau tiga hal dari daftar yang harus kulakukan setiap
hari. Sedikit demi sedikit. Awalnya terasa sangat berat. Ada saat-saat ingin menangis.
Kenyataannya, diam-diam aku sering menangis, setiap berlatih soal yang sama lagi,
lagi, dan lagi, tapi skorku tidak berubah. Namun satu hal, aku tak pernah ingkar berkata
pada diriku sendiri, “Aku bisa, aku bisa, aku bisa.”
“Whether you think you can, or you think you can't, you're right.”
− Henry Ford
***
Take Home Lesson 12:
1. Mulai pelajaran bahasa Inggris sesuai level kemampuanmu.
2. Seberapa pun tingkat kemampuanmu saat ini, selalu percaya kalau kamu bisa
meningkatkannya!
3. Manfaatkan internet untuk menemukan ide cara belajar yang paling tepat
buatmu.
4. Pantang menyerah, kalau perlu ikuti tes Toefl berkali-kali hingga kamu berhasil
meraih nilai yang kamu inginkan.
5. Jika masih belum berhasil juga, coba kamu ikuti tes yang lain, misalnya IELTS.
6. Belajar yang rajin, tapi dengan cara yang menyenangkan dan bisa kamu nikmati.
7. Jangan lupa menghargai jerih payahmu, beri selamat pada dirimu sendiri setiap
menyelesaikan satu latihan. Hargai setiap langkah kecil yang telah kamu
lakukan.
8. Jangan lupa untuk selalu mengevaluasi tujuan dan target yang kamu miliki
dengan membuat deadline dan terus berkomitmen terhadap deadline tersebut.
56
XIII
co·in·ci·dence
kōˈinsədəns/
noun
a remarkable concurrence of events or circumstances without apparent causal connection
“Everyone carries a piece of the puzzle. Nobody comes into your life by mere
coincidence...”
− Timothy Leary
Selama di Universitas Indonesia, aku didakwa oleh teman-teman sekelas sebagai ketua.
Tugas ketua kelas ini, untuk menjembatani semua urusan administrasi yang
berhubungan dengan beasiswa, sebagai penghubung dengan asisten dosen, dosen, dan
bagian administrasi kampus tentunya. Intinya, agar berkas-berkas, tugas-tugas, dan
suara teman-teman sekelas terkait proses belajar-mengajar bisa dilaksanakan secara
kolektif.
Awalnya, aku melaksanakan fungsi ini dengan tidak sepenuh hati. Karena terus terang
sangat menyita waktu dan energiku. Namun seiring waktu, keadaan sekelas semakin
lama semakin menyenangkan. Dan aku mulai menikmati peranku tersebut.
Tugas ini tanpa kusadari mengantarkanku kenal lebih dekat dan menjalin hubungan baik
dengan staf administrasi kampus, asisten dosen, dan dosen-dosen.
***
57
Salah satu syarat yang harus dilampirkan di aplikasi beasiswa adalah 3 surat
rekomendasi. Bisa dari atasan atau dosen. Surat rekomendasi ini, sebaiknya diberikan
oleh atasan atau dosen yang benar-benar mengenal kualias yang kita miliki, sehingga
mereka bisa memberikan rekomendasi yang meyakinkan tim seleksi beasiswa, jika kita
adalah kandidat yang mereka cari.
Tugas sebagai ketua kelas saat itu, membuat perbedaan besar begitu aku membutuhkan
surat rekomendasi. Di antara sekian banyak mahasiswa di fakultasku, aku berharap aku
menjadi salah seorang yang tidak mereka lupakan. Saat aku menelepon Pak Anwar
Hassan (Alm), satu di antara beberapa dosen yang punya banyak jam mengajar di
kelasku, beliau menjawab, “Hai… In, apa kabar? Bagaimana keluarga? Sehat semua?
Ayo sini, main ke kampus lagi.” Aku senang sekali menyadari beliau masih
mengingatku. Dan tentu saja, beliau dengan senang hati memberikanku surat sakti itu.
***
Saat pengumuman nama-nama pembimbing skripsi di UI bertahun yang lalu, aku sedikit
galau. Nama Prof. Rachmadi Purwana, tak akrab di telinga. Beliau tidak pernah
mengajar di kelasku. Ditambah, beliau dari Departemen Kesehatan Lingkungan. Skripsi
apa yang menarik minatku sekaligus berhubungan dengan Kesling?
Seiring waktu, ternyata aku belajar banyak hal dari beliau. Beliau mengkritisi, sekaligus
memberi solusi. Dan satu hal yang kusuka, beliau sangat disiplin! Jika berjanji konsul
skripsi pukul 2 siang, beliau akan berada di ruang konsul tepat jam 2 siang. Tidak
pernah beliau menunda-nunda apalagi mengingkari janji beliau.
Inilah alasan mengapa aku tak habis pikir, saat menanti beliau datang untuk meminta
surat rekomendasi, tapi beliau tak kunjung tiba di kantornya.
Sebelumnya, aku telah menghubungi beliau lewat surel dan beliau bersedia memberikan
surat rekomendasi tersebut. Aku meminta izin tiga hari dari tempat kerjaku dan terbang
ke Jakarta, lalu ke kampus di Depok, agar bisa langsung bertatap muka dengan Pak
Anwar Hassan dan Prof. Rachmadi. Aku sudah bertemu Pak Anwar, tapi Prof.
Rachmadi belum juga tampak. Aku mulai gelisah.
58
Tak lama, beliau mengabari jika rumah beliau di Jakarta kebanjiran. Beliau meminta
maaf tak bisa ke kampus hari itu. Aku buru-buru membuka laptop dan mengecek berita
daring. Ternyata benar, beberapa titik di Jakarta digenangi banjir, dan hujan masih
mengguyur ibu kota. Sementara esok hari, aku harus kembali terbang pulang ke kotaku.
Akhirnya kuputuskan untuk datang ke rumah beliau. Perjalanan ke rumah beliau dari
Depok, menjadi lebih menantang, karena beberapa jalur kereta dan bus ditutup
disebabkan banjir tadi. Aku harus bolak-balik ganti bus, meski akhirnya sampai juga
dengan basah kuyup di pemberhentian bus terdekat dengan rumah beliau.
Hujan telah mulai reda. Tapi jalanan macet, dan tak ada angkot beroperasi. Ketinggian
air tidak memungkinkan angkutan tersebut melewati beberapa ruas jalan. Aku
memberhentikan ojek yang melintas. Tapi semua tampak terburu menuju pulang. Tak
ada yang berminat mengantarkan penumpang di cuaca yang tidak bersahabat tersebut.
Beruntung, akhirnya satu ojek bersedia mengantarkan aku. Meski kami harus ke sana ke
mari mencari jalan memutar, karena beberapa titik masih tak bisa dilewati.
Syukurlah aku sampai dengan selamat di rumah beliau. Prof. Rachmadi dan istrinya
menyambutku dengan hangat dan menyuguhiku segelas teh manis yang membuatku
merasa beruntung sekali takdir mempertemukanku dengan Prof. Rachmadi sebagai
pembimbing skripsiku.
Kami berbincang sejenak, sebelum kemudian beliau memberikan surat rekomendasi
yang kubutuhkan. Saat akan pamit pulang, aku bilang pada beliau,
“Prof, doain saya dapat beasiswanya yaa…”
Jawab beliau,
“What? Kalau kamu bisa datang sejauh ini dari Manado, lalu menempuh banjir hingga
sampai di sini demi selembar surat referensi ini, kamu akan dapetin beasiswa itu!
Percaya sama saya!”
***
59
Beberapa hari setamat kuliah dan baru sampai rumah, aku diminta untuk berpartisipasi
menjaga stan dinas kesehatan di pameran pembangunan.
Sore itu, aku sudah duduk manis di pameran tersebut dengan perasaan canggung. Tak
lama duduk sendiri, beberapa pegawai Dinkes hadir. Mereka dengan ramah menyapa
dan mengajak berkenalan.
Menariknya, begitu aku bilang, “Aku Inraini.” Salah seorang yang bernama Kak Hira
langsung dengan antusias berkata, “Oh, In! Kakak sering baca dan suka tulisantulisanmu di blog!” Walah. Aku tak menyangka sama sekali. Perbincangan pun
langsung melaju seru, seperti kami telah bertemu jauh sebelumnya.
Berawal dari situ kami kemudian langsung akrab dan banyak bertukar pikiran. Dengan
Kak Hira, aku berbagi ide, harapan, dan impianku untuk kuliah ke luar negeri. Kak Hira
banyak mendorongku untuk terus maju. Aku beberapa kali juga diminta Kak Hira
membantu beliau mengerjakan beberapa tugas di Dinkes. Singkatnya, pameran sore itu,
membawa berkah tak terhingga buatku karena bisa berkenalan dengan Kak Hira.
Kak Hira pulalah yang kemudian menjadi salah seorang penentu langkahku di beasiswa
ini. Beliau memberikan surat rekomendasi istimewa buatku.
***
“Be nice to someone for no reason. You never know when you’re going to need someone
to be nice to you for no reason.”
Anonymous
Take Home Lesson 13:
1. Setiap ada kesempatan memikul satu tanggung jawab, terutama dalam organisasi
dan pekerjaan, lakukanlah dengan senang hati dan berikan yang terbaik. Hal
tersebut akan memberi pengalaman berharga buatmu dan masa depanmu.
60
2. Jalin hubungan baik dengan semua orang, baik itu teman, atasan, atau orang
asing sekalipun. Kita tidak akan pernah tahu, siapa yang akan menolong kita di
kemudian hari.
3. Surat rekomendasi merupakan persyaratan wajib beasiswa.
4. Sebaiknya diberikan oleh dosen atau atasan yang benar-benar mengenal kualitas
kita.
5. Berikan yang terbaik darimu sebagai mahasiswa dan juga ketika bekerja.
Kualitasmu tidak terbentuk dalam semalam.
6. Selalu berpikir positif. Segala yang terjadi dalam cerita hidup kita, mungkin
menyimpan rahasia buat masa depan kita.
7. Hubungi dosen atau atasanmu jauh-jauh hari sebelum deadline pengiriman
aplikasi beasiswa. Jangan dalam waktu mendesak.
8. Perkenalkan diri dengan sopan, utarakan niatmu meminta surat rekomendasi.
9. Jika dosen atau atasan yang bersangkutan bersedia, jelaskan beasiswa apa yang
akan kamu lamar, mengapa dirimu merasa layak menerima beasiswa tersebut,
ingatkan dengan sopan apa saja prestasimu selama perkuliahan/bekerja yang
membuatmu yakin kamu kandidat yang layak.
10. Jangan lupa mengucapkan terima kasih.
61
XIV
grat·i·tude
/ˈɡradəˌt(y)o͞od/
noun
the quality of being thankful; readiness to show appreciation for and to return kindness
Seminggu sebelum deadline penerimaan aplikasi PRESTASI USAID ditutup, aku
duduk tertegun di kantor pos. Suasana ramai. Orang lalu-lalang dan pegawai kantor pos
tampak sibuk di balik kaca melaksanakan tugas masing-masing. Aku baru saja
menyerahkan berkasku pada salah seorang petugas itu.
Perasaanku campur aduk. Tiba-tiba aku melihat segala hal di sekitarku dengan cara
berbeda.
Pertama aku merasa luar biasa. Ya Tuhan, aku bisa melengkapi semua persyaratan ini.
Sesuatu yang tampak mustahil pada awalnya. Perasaan bangga akan apa yang sudah
kulakukan, menyelimuti seluruh sel di tubuhku. Aku merasa hebat, aku merasa besar.
Tapi di saat yang sama, aku juga merasa sangat kecil. Dan aku menggigil karenanya.
“Coba lihat, In,” sapaku pada diri sendiri. Betapa tergantungnya diriku pada bantuan
orang lain. Aku membayangkan berkasku akan sampai di tangan tim seleksi, hanya
dengan bantuan pegawai kantor pos ini. Bagaimana kalau paketku tercecer. Bagaimana
kalau paket itu tiba di alamat yang keliru? Aku sepenuhnya bergantung pada bantuan
orang-orang yang bahkan tidak kukenal.
CV dan aplikasiku. Ada Pak Wardjito Soeharso, sahabatku Rina Noviyanti, Ferdy
Maengkom, seorang tutorku dari ELC yang membantuku sejak dari ide, hingga
menolongku memperbaiki tata bahasa Inggrisku.
62
Surat Rekomendasi. Pak Anwar Hasan, Prof. Rachmadi Purwana, dan Kak Hira, tidak
mendapatkan keuntungan apa-apa dengan memberikanku surat itu. Mereka semua tulus
membantu.
Anganku melayang sejak awal aku berniat kuliah ke luar negeri. Pikiranku mendikte
satu per satu, betapa banyaknya orang yang menuntun dan membantuku hingga sampai
pada titik ini. Kepalaku dipenuhi jejaring laba-laba, yang berhubungan dari satu titik ke
titik lain, hingga aku tak tahu harus bagaimana cara berterima kasih pada semua.
Ya, detik ini aku melihat betapa semua orang begitu penting dengan perannya masingmasing. Dosen-dosen dan teman-temanku di UI. Atasan dan teman-temanku di
Puskesmas. Orang-orang hebat yang hanya kukenal di dunia maya tapi memberikan
begitu banyak informasi buatku. Para penulis buku bahasa Inggris, penulis buku Toefl.
Made Andi Arsana, tutor-tutor di ELC Manado, editor koran yang memuat tulisanku.
Sahabat-sahabat yang percaya dan selalu bilang aku bisa. Suami, anak-anak,
keluargaku. Ojek. Sopir angkot. Sopir bus. Toko buku. Google. Pegawai pos.
Aku tiba-tiba ingin menangis di bangku panjang kantor pos ini. Menyadari bahwa selalu
ada orang-orang yang berada di sampingku, setiap aku membutuhkan. Menyadari
bahwa semua informasi yang aku rajut sejak awal, hingga aku bisa mengirimkan
berkasku, tak luput dari peran banyak sekali sahabat, guru, keluarga, maupun orang
yang tak kukenal.
Aku memang bekerja keras. Tapi siapa bilang aku melakukan semua ini sendirian?
“We cannot live for ourselves alone. Our lives are connected by a thousand invisible
threads…”
− Herman Melville
***
63
Setelah aku mengirimkan aplikasi, aku bertanya pada seorang senior beasiswa
PRESTASI USAID, Dion Ginanto. “Saya sudah melakukan semua yang saya bisa.
Sekarang apa lagi yang harus saya lakukan?”
Jawab beliau, “Berdoa dan bersedekah, jika memungkinkan bersedekahlah sebanyak
jutaan rupiah.”
***
Dalam banyak buku yang aku baca tentang kunci menuju sukses, satu hal yang tak
pernah absen dalam buku-buku tersebut, meski penulisnya berbeda adalah “The Power
of Giving”. Semakin banyak kita memberi, semakin banyak kita menerima. Berikan
yang terbaik dari yang kita miliki, dan yakinlah, kita tak perlu merisaukan apa yang
akan kita terima. Bagikan ilmu, pengetahuan, waktu, energi, harta, perhatian, pada
mereka yang membutuhkan. Temukan cara untuk memberi sebanyak yang kamu bisa.
Peruntukkan keberadaan kita sebagai tempat pijakan bagi orang lain meraih impiannya
pula.
***
Di bangku panjang kantor pos itu, aku membuat janji pada diriku sendiri, dan pada-Nya.
Atas semua bantuan yang aku dapatkan selama ini, seluruh sisa hidupku, akan
kuperuntukkan untuk berbagi ilmu, pengetahuan, pengalaman, harta yang kupunya, agar
semakin banyak dan semakin banyak orang yang bisa meraih impian mereka.
Buku ini salah satu bentuk nazar itu.
“The meaning of life is to find your gift. The purpose of life is to give it away.”
− Pablo Picasso
Take Home Lesson 14:
1. Perkirakan deadline pengiriman aplikasi dengan deadline penerimaan aplikasi
yang ditetapkan.
2. Jangan sampai terlambat.
64
3. Jika dirasa perlu, kamu bisa menghubungi bagian penerimaan aplikasi untuk
mengecek apakah aplikasimu telah tiba atau belum.
4. Sebelum mengirim aplikasi, cek dan ricek kembali, apakah tidak ada berkas
yang tertinggal.
5. Beri selamat pada dirimu, kamu berhasil melengkapi semua persyaratan.
6. Bersyukur atas satu per satu pencapaian yang kamu raih, sekecil apa pun itu.
7. Bersyukur atas semua orang yang telah berperan dalam keberhasilanmu sejauh
ini.
8. Jangan lupa berdoa.
9. Bersedekahlah. Yang banyak.
10. Bagilah apa yang kamu miliki, baik itu waktu, tenaga, pikiran, ide untuk
membantu orang lain menggapai impian mereka.
65
XV
des·ti·ny
/ˈdestinē/
noun
the events that will necessarily happen to a particular person or thing in the future
“It is in your moments of decision that your destiny is shaped.”
─ Tony Robbins
Aplikasi sudah terkirim. Aku bisa menarik napas lega sejenak. Tapi bukan berarti
perjuanganku selesai di sini. Pengumuman aplikasiku diterima atau sebaliknya, baru
akan ada beberapa bulan lagi. Jika aku lolos seleksi pertama ini, aku harus berhadapan
dengan seleksi berikutnya: wawancara.
Berdasarkan informasi yang aku dapatkan, seleksi wawancara dilaksanakan dalam
bahasa Inggris. Dan perjuanganku selama dua tahun belakangan akan sia-sia, jika saat
wawancara aku hanya datang, duduk manis, tersenyum, dan tidak tahu harus menjawab
apa. Oke, skor Toefl-ku telah memenuhi syarat beasiswa. Tapi ngomong Inggris?
Berita baiknya, aku masih punya beberapa bulan untuk mempersiapkan diri. Yang aku
butuhkan adalah strategi, rencana, dan cara belajar yang tepat agar siap menghadapi
seleksi itu.
Hal pertama yang aku butuhkan, adalah English Personal Trainer. Seorang tutor bahasa
Inggris pribadi. Kalau bisa seorang native speaker alias penutur asli bahasa Inggris. Kali
ini, aku tidak bisa bergabung dengan grup kursus, seperti yang setahun belakangan ini
kulakukan. Waktuku kurang dari tiga bulan. Aku butuh pelatihan intensif dan menjalani
program hasil kreasiku sendiri. Tapi di mana aku bisa menemukannya? Entahlah, tapi
yang pasti aku bisa mulai melihat semua kemungkinan.
66
Maka seminggu kemudian, aku mulai mengunjungi tempat-tempat kursus bahasa
Inggris di Bitung dan Manado. Bertanya program yang mereka punya. Tapi tak satu pun
yang sesuai dengan yang kubutuhkan. Begitu aku menerangkan program yang aku
inginkan, beberapa menyanggupi tapi dengan harga kursus yang sangat mahal dan jauh
dari kesanggupanku.
Setelah beberapa hari bolak-balik Bitung-Manado, aku hampir putus asa. Panas terik
kota Manado sempat membuatku berpikir untuk berhenti mencari dan pulang saja.
“Tapi ayolah, Inraini. Katanya mau ke Amerika, masa baru segini, sudah minta pulang,”
batinku.
Hingga pada suatu waktu, aku menemukan sebuah tempat les di depan sebuah sekolah
dasar. Aku masuk ragu-ragu, di ruang depan tampak banyak ibu-ibu duduk sambil
mengobrol. Jangan-jangan ini tempat les buat anak-anak. Tapi tak ada salahnya
bertanya, pikirku.
Di ruangan tersebut aku disambut ramah. Seseorang yang belakangan kukenal sebagai
pemilik lembaga kursus ini mempersilakanku duduk. Aku memperkenalkan diri dan
menerangkan tujuanku untuk mencari guru les privat. Tak lupa aku menjelaskan jika
untuk les ini, aku yang akan mempersiapkan program pelatihanku sendiri.
Tak disangka, beliau menjawab, “Oh bisa. Kita punya guru untuk les privat.” Aku
terbelalak senang mendengarnya. Apalagi setelah bertanya berapa biaya yang harus
kukeluarkan. Tidak murah, tapi jauh lebih masuk akal daripada tempat-tempat les yang
kutanyai sebelumnya.
“Oke. Emm… sebenarnya aku ingin native speaker sebagai guru lesku. Tapi, jika tidak
ada…”
“Oh, native speaker? Kita ada dong!” Potong Meykel Djuuna, nama pemilik lembaga
tersebut.
“Hah? Beneran?” Aku berdebar senang. Lagi aku menanyakan soal biaya, dan angka
yang disebutkan masih terjangkau olehku.
67
Tak menunggu lama, aku kemudian dipertemukan dengan Evi Garai. Calon guruku
yang berasal dari Hungaria. Seumur hidup, ini kali pertamanya aku bercakap-cakap
dengan warga negara asing! Terbata-bata dengan bahasa Inggris yang kacau, aku
menjelaskan jika aku membutuhkan beliau sebagai guru les pribadiku, dan aku yang
akan merangkai program kursus ini.
Evi menyanggupi dan bersedia menjadi pengajar 3 kali seminggu, selama 3 bulan ke
depan. Aku berbunga-bunga bahagia.
“We can start next week,” kata Evi sambil tersenyum.
***
Dalam perjalanan pulang dari Manado ke Bitung, di dalam bus, aku mencubit tanganku
sendiri. Oh, my God! Ini betulan? Apa aku mimpi? Rasanya hampir tak bisa dipercaya.
Lagi, aku menemukan apa yang aku cari. Persis seperti yang aku bayangkan. Ya, tidak
dengan cara yang mudah. Tapi selagi aku terus dan terus dan terus berusaha, seseorang
yang aku butuhkan selalu datang dengan cara yang tak terduga. Seperti begitu saja
diturunkan dari langit.
Aku tersenyum-senyum sendiri dengan mata berkaca-kaca. Akan seperti apa perjalanan
ini nanti? Aku tak mau menebak, tapi yang pasti, sejauh ini aku sendiri telah belajar
banyak hal. Tentang hidup. Perjuangan. Tentang takdir.
“Destiny, I feel is also a relationship - a play between grace and willful self-effort. Half
of it you have no control over, half of it is absolutely in your hands.”
− Elizabeth Gilbert
Take Home Lesson 15:
1. Begitu aplikasimu telah dikirimkan, kamu harus mengalihkan perhatianmu pada
seleksi berikut yaitu seleksi wawancara.
2. Jangan khawatir kamu akan dipanggil wawancara atau tidak, persiapkan saja
dirimu semaksimal mungkin.
68
3. Bagi kamu yang belum lancar berkomunikasi langsung dengan menggunakan
bahasa Inggris, kamu masih punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri.
4. Bagi yang telah lancar, juga sebaiknya tetap mempersiapkan diri dengan
maksimal untuk menghadapi seleksi wawancara ini.
5. Bagaimana strategi paling tepat buatmu? Semua tergantung kemampuan
dasarmu dan seperti apa pola belajarmu. Jadi jawabannya, dirimulah yang paling
bisa mempersiapkan rencana belajar yang paling jitu buat dirimu sendiri.
6. Berikut beberapa ide yang mungkin bisa menginspirasimu.
7. Ikuti pelatihan conversation dengan personal trainer, kalau bisa seorang native
speaker.
8. Searching, cari tempat atau seseorang yang bisa menolongmu berlatih.
9. Berlatih percakapan setiap hari dengan teman atau saudaramu yang lancar
berbahasa Inggris.
10. Jangan menyerah, tetap semangat mengupayakan pelatihan terbaik buatmu
dalam mempersiapkan diri menghadapi seleksi wawancara nanti.
69
XVI
prep·a·ra·tion
/ˌprepəˈrāSH(ə)n/
noun
something done to get ready for an event or undertaking
“Failure to prepare is preparing to fail.”
− Mike Murdock
Sekarang, aku merasa apa yang kulakukan untuk menghadapi wawancara saat itu,
adalah hal paling pintar yang pernah kulakukan seumur hidupku. Tapi percayalah, aku
tidak berpikir demikian ketika itu.
Aku merasa aku kelewatan dan terobsesi dengan beasiswa ini. Bayangkan, aku bahkan
tidak tahu apakah aplikasiku akan diterima atau tidak. Apakah aku akan lolos atau tidak.
Sementara aku sudah menghabiskan begitu banyak biaya, waktu, dan energi untuk
mempersiapkan diri menghadapi wawancara.
Kamu mungkin menghadapi dilema yang sama setelah mengirimkan aplikasi beasiswa.
“Belum tentu dipanggil wawancara kok ya sudah capek-capek mempersiapkan diri.”
Atau kamu berpikir, persiapannya nanti saja, kalau sudah pasti lolos seleksi aplikasi.
Masalahnya, dari hasil penelusuranku, jarak antara pengumuman nama-nama yang lolos
seleksi aplikasi dengan tanggal wawancara hanya beberapa minggu. Dan aku tidak akan
punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri dalam waktu sesingkat itu.
Dan satu lagi, jauh-jauh hari ketika memulai langkah pertama, aku mempersiapkan
mentalku untuk menang. Untuk terus maju. Untuk terus setapak demi setapak melewati
70
tahap demi tahap. Dan karenanya, dalam benakku, hanya ada satu jalan ke depan:
mempersiapkan diriku untuk wawancara.
***
Untuk “program kursus privat”-ku, aku melakukan langkah-langkah berikut:
Pertama aku menyiapkan file untuk lima topik penting yang menurut perkiraanku akan
ditanyakan selama wawancara:
● Pertanyaan Umum
● Public Health
● PRESTASI dan USAID
● USA
● CV, Esai, Formulir Isian
Lima topik ini yang menurutku merupakan inti dari pertanyaan-pertanyaan yang
mungkin akan dilontarkan saat wawancara nanti.
Setelah itu, aku mulai mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan untuk masing-masing
topik tersebut.
Pertanyaan Umum
Kita sungguh beruntung hidup di era informasi saat ini. Semua tersedia di dunia maya.
Kita tinggal mengetik kata kuncinya. Dan dalam hitungan detik, informasi yang kita
butuhkan terpampang di layar monitor.
Pertanyaan jenis ini, bisa dicari pada contoh-contoh wawancara untuk beasiswa atau
pekerjaan. Intinya pewawancara ingin tahu kualitas personal yang kita punya. Misalnya:
“Tell me about yourself.”
“What is your major goal?”
“How do you manage stress in your daily work?”
71
Public Health
Tentu kita harus menguasai bidang kita masing-masing. Karena jurusan yang aku pilih
adalah public health, maka aku mempersiapkan banyak pertanyaan yang mungkin
ditanyakan seputar jurusanku. Contoh:
“Please explain clearly, the reason for your priority of proposed field of study.”
“What is the major health problem in Indonesia?”
“What can you do to improve the health service?”
Mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting. Karena seringkali kita
merasa telah menguasai bidang kita masing-masing. Tapi begitu muncul pertanyaan kita
tidak siap. Mengingat waktu yang tersedia ketika wawancara sangat terbatas, kita harus
siap dengan jawaban yang tepat, tidak berputar-putar, dan menggambarkan kualitas
terbaik yang kita punya.
PRESTASI dan USAID
Mengenal beasiswa yang kita tuju dan penyelenggara di balik beasiswa tersebut, tentu
sangat penting. Tidak lucu, ketika tiba-tiba ada pertanyaan seputar itu, dan kita
kelabakan bingung karena kurang informasi. Misalnya:
“Where did you get the information about PRESTASI Scholarship?”
“Are familiar with USAID program? Which one do you interest more?
“Why did you decide to apply for this scholarship?”
Pertanyaan-pertanyaan ini, aku kreasikan sendiri, berdasarkan informasi yang aku
punya.
USA
72
Artikel-artikel tentang Amerika juga menjadi santapanku untuk persiapan ini. Kenapa
studi yang saya ambil harus di USA. Bagaimana sistem pendidikan di sana. Apa
persiapan yang telah aku lakukan.
Aku harus tahu banyak dan menyiapkan banyak pertanyaan juga.
“Why do you need to study in USA?”
“How are you going to interact with American people?”
“What obstacle you may face during your study in USA? How can you overcome those
obstacles?
CV, Esai, Formulir Isian
Kita terpilih tentu karena Curriculum Vitae (CV), esai yang kita tulis, dan formulir isian
yang kita kirim. Menguasai tiga dokumen ini tidak kalah pentingnya. Semua yang kita
tulis tentu merupakan buah pikiran kita sendiri, dan pengalaman yang kita alami. Tapi
menulis dan berbicara langsung, sangat berbeda. Banyak pertanyaan yang mungkin
muncul dari sini. Misalnya:
“Please describe your responsibility in your office.”
“Please explain about your organization and social activities.”
“You have many experiences in your job. Can you explain them one by one including
your responsibility and contribution to community?”
***
Untuk masing-masing topik tersebut, aku mengoleksi sekitar 20 sampai 50 pertanyaan.
Selain searching di Google dan YouTube, pertanyaan-pertanyaan tersebut juga
kudapatkan dengan bertanya langsung pada beberapa senior di Prestasi USAID.
Lainnya, banyak bertebaran di blog-blog pribadi mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang
telah lebih dahulu ke luar negeri. Juga di buku Andi Arsana. Dan tak lupa, hasil
kreasiku
sendiri.
Bergabung
di
73
milis-milis
beasiswa
seperti
beasiswa@yahoo.groups.com juga sangat membantu mendapatkan informasi-informasi,
tautan, dan kenalan baru yang mau berbagi.
Tentu semua pertanyaan ini tidak semua akan ditanyakan di saat wawancara. Tapi
menguasai lebih banyak selalu lebih baik daripada kurang persiapan, bukan?
***
Menyiapkan pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak selesai dalam satu malam. Melainkan
berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Tapi sementara itu, kursusku dengan Evi, juga
akan segera dimulai.
Dalam setiap dua jam pertemuan itu, aku membagi pelatihanku dalam empat bagian.
Pertama tanya jawab, berdasarkan daftar pertanyaan yang kubuat. Dalam setiap
pertemuan aku menyiapkan 10 pertanyaan.
Sesi kedua, aku memberikan satu dokumenku setiap pertemuan. Misalnya, CV-ku
bagian pekerjaan. Evi kemudian akan melontarkan pertanyaan apa saja tentang
pekerjaanku. Aku memang telah punya daftar pertanyaan sendiri. Tapi setiap orang
punya perspektif berbeda. Dan sering kali pertanyaan yang dilontarkan Evi memang tak
terduga dan di luar daftar pertanyaan yang aku punya.
Ketiga, aku mengambil satu artikel singkat dari internet, bisa tentang sistem pendidikan
di Amerika, permasalahan kesehatan di Indonesia, program USAID, dan artikel-artikel
lain yang berhubungan, lantas memberikannya pada Evi. Evi akan bertanya seputar
artikel ini. Aku sendiri tidak membaca artikel tersebut sebelumnya. Sesi ini, selain
menambah dan menguji pengetahuanku, juga untuk mempersiapkan diri, jikalau nanti
ada pertanyaan yang di luar prediksiku.
Sesi keempat, lebih pada ngobrol-ngobrol biasa sambil berbagi pengalaman dengan
Evi.
Kursus ini khusus kudesain persis seperti suasana wawancara. Evi melontarkan
pertanyaan-pertanyaan, dan aku punya waktu singkat untuk menjawab.
74
***
Ya, aku memang tidak bisa bicara dalam bahasa Inggris dengan lancar saat itu, aku juga
belum tahu aku akan lolos seleksi aplikasi atau sebaliknya. Tapi setelah tiga bulan
pelatihan, total sebanyak 36 kali pertemuan, aku diwawancarai dan diwawancarai dan
diwawancarai secara tak putus oleh Evi. Aku merasa siap, menunggu namaku
diumumkan sebagai salah satu yang lolos seleksi aplikasi. Dan dipanggil untuk
menghadapi seleksi wawancara yang sesungguhnya.
“Success doesn’t come to you, you go to it.”
− Marva Collins
***
Kamu tak perlu melakukan seperti yang kulakukan, jika kemampuan berbahasa
Inggrismu sudah bagus. Minta bantuan teman atau keluarga, untuk mewawancaraimu.
Buat programmu sendiri. Kenali kelemahanmu, perbaiki itu. Tentukan jadwalnya.
Lakukan. Disiplin. Ini selain meningkatkan kemampuan mengutarakan pendapat dalam
bahwa Inggris, yang tentu diperlukan saat wawancara, juga sekaligus melatih mentalmu.
Ruang wawancara itu dingin dan menegangkan. Tapi jika kamu percaya diri dan
menguasai bidangmu, ruangan itu akan seketika berubah hangat dan menyenangkan.
Berlatih dan berlatihlah terus, persiapan masih menjadi kunci keberhasilan siapa saja.
“We become what we want to be by consistently being what we want to become each
day.”
− Richard G. Scott
***
75
Take Home Lesson 16:
1. Persiapkan bahan untuk topik-topik yang kira-kira akan ditanyakan saat
wawancara.
2. Persiapkan pertanyaan-pertanyaan untuk masing-masing topik tersebut.
3. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa kamu dapatkan lewat internet, bisa juga kamu
rangkai sendiri.
4. Bergabung dengan milis-milis beasiswa bisa mengantarkanmu dalam diskusi
tentang topik tertentu yang akan memperkaya wawasanmu seputar beasiswa.
Kamu juga bisa bertanya langsung dalam forum tersebut tentang pertanyaanpertanyaan saat wawancara.
5. Pertanyaan umum seputar kualitas personal kita biasanya menjadi pertanyaan
pembuka saat wawancara.
6. Jangan lupa menguasai materi umum seputar jurusan yang kamu tuju, dan alasan
kenapa kamu memilih jurusan itu serta relevansinya dengan permasalahan di
Indonesia.
7. Meski belum tentu ditanyakan, ada baiknya mengenal betul seluk-beluk
beasiswa yang kamu lamar.
8. Kenali negara tujuanmu, dan alasan kenapa kamu memilih negara tersebut.
9. Baca-baca lagi CV, esai, dan formulir isianmu. Jangan sampai kamu
memberikan keterangan yang bertolak belakang.
10. Berlatihlah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah kamu susun tersebut
dalam suasana riil wawancara.
11. Persiapkan dirimu juga untuk mendapatkan pertanyaan yang di luar dugaanmu.
Minta tutor atau temanmu menanyakan pertanyaan apa saja sehubungan dengan
dokumen yang kamu punya, dan berlatihlah menjawabnya.
12. Persiapan yang matang, selain mengasah kemampuanmu berkomunikasi dalam
bahasa Inggris dengan lancar, juga akan meningkatkan rasa percaya dirimu saat
wawancara yang sebenarnya.
13. Desain program latihan wawancaramu, buat jadwalnya, dan disiplinlah berlatih.
76
XVII
prog·ress
/ˈpräɡres/
noun
forward or onward movement toward a destination
“Progress lies not in enhancing what is, but in advancing toward what will be.”
─ Khalil Gibran
Hari pertama kursus dengan Evi, aku duduk gugup dan canggung, satu meter di
hadapannya. Ruang les terasa dingin dan aku susah payah memperkenalkan diri dan
menjelaskan tujuanku. Ketika Evi mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan—yang
notabene aku yang mempersiapkan—kudukku terasa dingin, dan seperti berada benar di
ruang wawancara. Semua jawaban yang ada di benakku, seperti sirna dan lenyap entah
ke mana. Alih-alih, jawaban spontan yang jauh dari maksudku yang terucap dengan
gagap dan tak beraturan.
Evi, yang berusia hampir sepuluh tahun lebih muda dariku itu, dengan sabar
mendengarkan jawabanku, sambil sesekali memperbaiki pengucapan beberapa
kosakataku. Sepulang dari les, aku berpikir, jika aku maju wawancara dengan kualitas
seperti barusan, aku tak perlu menunggu saat pengumuman tiba untuk menebak akan
seperti apa hasil wawancara tersebut.
Kali kedua kursus, aku sudah mulai bisa tersenyum sedikit. Meski masih patah-patah,
jawabanku sudah mulai terarah, dan sekujur tubuhku tak lagi kaku. Ruang kursus tak
lagi terasa dingin seperti sebelumnya.
Minggu kedua, aku sudah jauh lebih rileks. Aku tidak panik lagi menghadapi
pertanyaan dan sorot mata birunya Evi. Pengucapan bahasa Inggrisku masih kacau, tapi
77
Evi dengan telaten mengejakannya buatku berkali-kali hingga aku menguasai beberapa
kata tersebut.
Bulan kedua kursus, aku sudah jauh lebih baik. Beberapa pertanyaan yang aku anggap
penting, kami ulang dan ulang lagi. Lima belas menit terakhir dari waktu les, sudah
berubah menjadi ajang curhat antara aku dan Evi. Berkali-kali, aku mengutarakan
kegundahanku tentang kursus ini, apa ini hal yang wajar aku lakukan, padahal aku
belum tentu lolos. Tapi, Evi selalu bilang, “This is the right thing that you can do!”
Di akhir bulan kedua kursus, tak pelak aku dan Evi sudah menjadi sepasang sahabat.
Aku bercerita banyak tentang kehidupanku, impian, dan cita-citaku kelak. Evi juga
bercerita banyak tentang dirinya yang telah dua kali meraih gelar master, dan sedang
melakukan penelitian di Kota Manado.
Suatu waktu Evi berkata jika dirinya belum pernah berkunjung ke Amerika. Dan salah
satu mimpinya, adalah menjelajahi New York. Dengan yakinnya aku menjawab, “Jika
nanti aku lolos beasiswa ini dan terbang ke Amerika, kamu bisa mewujudkan
impianmu. Kita bertemu di sana nanti.”
Di bulan ketiga, aku dan Evi wawancara telah jauh dari kesan tegang. Kami lebih
banyak bercerita bebas. Aku tak lagi banyak berpikir tentang salah ucap. Kosakataku
jauh bertambah. Pengucapanku jauh lebih baik. Dan aku jauh lebih bisa
mengekspresikan pendapatku.
***
Di pertengahan bulan ketiga kursus, aku mendapatkan kabar berikut lewat surel:
“Kepada INRAINI FITRIA SYAH,
Dengan ini kami mengundang Saudara untuk mengikuti tahapan seleksi beasiswa
USAID PRESTASI berikutnya yaitu seleksi wawancara, pada:
lokasi & alamat
: Hotel Horison, Jl. Jend. Sudirman no.24, Makassar
hari & tanggal
: Selasa, 17 Juni 2014”
78
Aku tertegun lama membacanya. Ini mimpi atau? Lalu kemudian setelah yakin ini
bukan khayalanku semata, aku mulai melompat-lompat senang. Penuh sukacita aku pun
menghubungi Evi dan memberitahukan kabar tersebut. Reaksi Evi, “I know you can do
that!”
Kami pun merayakannya dengan makan bakso dan es palu butung di tepi Pantai
Boulevard Manado. Sambil mulai berangan-angan, “Nanti di New York kita akan jalan
ke mana saja?”
***
Waktu kursus berlalu dengan cepat, hari terakhir kursus pun tiba. Aku merasa banyak
perkembangan selama kursus ini. Tak terhingga rasa terima kasihku pada lembaga
bahasa STEC (Stanford Training and Education Center) Kota Manado.
Hari terakhir itu aku datang ke tempat kursus dengan santai ditemani suami.
Rencananya, selesai les, kami akan berpamitan pada Meykel Djuuna dan beberapa staf
STEC, sekaligus mohon doa mereka, agar wawancaraku di Makassar berjalan lancar
dan sukses.
Tak disangka Evi tiba bersama satu rombongan kecil: Dana, Alex, dan Rayson—tiga
orang sahabat Evi. Salah seorang di antara mereka adalah warga negara Rusia.
Ruang kelas disulap menjadi ruang wawancara, dengan empat orang juri. Aku duduk di
tengah-tengah, sementara suamiku merekam suasana wawancara tersebut. Masingmasing juri telah memegang daftar pertanyaan. Simulasi wawancara ini berlangsung
seru, sedikit tegang, tapi berakhir lancar.
Selesai wawancara, keempat “juri” ini, mengutarakan pendapat mereka yang semakin
menyemangatiku. “Kamu diterima!” Demikian kesimpulan wawancara malam itu.
Simulasi wawancara hasil inisiatif Evi itu, meningkatkan rasa percaya diriku ke level
yang tak kubayangkan sebelumnya. Wawancara? Aku siap.
***
79
“If you're walking down the right path and you're willing to keep walking, eventually
you'll make progress.”
─ Barack Obama
Take Home Lesson 16:
1. Berikan usaha terbaikmu untuk mempersiapkan diri menghadapi seleksi
wawancara, tapi jangan terbebani, nikmati saja waktu berlatihmu; there is
nothing to lose!
2. Evaluasi perkembangan persiapan yang kamu lakukan dan kesiapanmu.
3. Apresiasi setiap perkembangan yang kamu capai, sekaligus orang-orang yang
membantumu.
4. Dengan rajin berlatih, kamu bukan saja menguasai materi, tapi juga melatih
mentalmu saat berhadapan dengan juri nanti. Semakin sering kamu berlatih
dengan suasana wawancara, aku mengurangi rasa gugup, dan memberimu
kemampuan menjawab dengan natural, rileks, dan fokus.
5. Dengan berlatih, kamu juga bisa memperbaiki pengucapanmu dan menambah
kosakata bahasa Inggrismu.
6. Lakukan simulasi wawancara bersama teman-temanmu.
80
XVIII
friend·ship
/ˈfren(d)SHip/
noun
the emotions or conduct of friends; the state of being friends
“It's the friends we meet along the way that help us appreciate the journey.”
anonymous
Tahun 2010 saat itu, aku bertemu seseorang yang kemudian menjadi sahabat baikku
saat seleksi untuk menjadi mahasiswa kebidanan komunitas FKM UI. Saat itu, tiba-tiba
aku jatuh sakit beberapa saat sebelum tes dimulai. Dan Umi Sangadah, teman baru
tersebut, satu-satunya peserta lain yang menyadari kondisiku, dan tanpa kuminta,
langsung mencarikan obat pereda demam. Tanpa dirinya, mungkin aku takkan pernah
menginjakkan kaki sebagai mahasiswa di Universitas Indonesia.
***
Pesawat yang membawaku dari Manado mendarat dengan mulus di bandara
Hasanuddin, Makassar. Untuk kali kedua, aku menginjakkan kaki untuk seleksi
beasiswa di sini. Diam-diam kuendapkan harap jika kota ini membawa angin mujur buat
hasil tesku nanti.
Aku melangkah cepat-cepat menyeret satu koper kecilku keluar bandara. Perjalanan ini
selain untuk seleksi wawancara, juga terselip misi kecil lainnya: jalan-jalan! Ya, ada dua
sahabat yang tak kalah bersemangatnya: Evi dan Umi!
Evi bersedia menemaniku ke Makassar, dan Umi bersuka cita menyambut kami di
bandara. Geng kecil ini pun kemudian menjelajahi Makassar. Mulai dari lembah penuh
81
kupu-kupu di Bantimurung, berpetualang di gua mimpi, menyusuri sungai lewat
dermaga ramang-ramang, dan menikmati keasrian Desa Berau. Tak lupa menikmati
makanan khas kota ini, lalu mampir di Trans Studio Makassar, dan menghabiskan
malam di Pantai Losari. Kami bersenang-senang dua hari berturut-turut.
***
Lalu, saat itu pun tiba.
Aku memutuskan menginap di hotel yang sama dengan tempat pelaksanaan seleksi
wawancara PRESTASI USAID. Beberapa malam sebelumnya, aku dan Evi menginap di
rumah Umi.
Penting bagiku untuk merasa nyaman dengan situasi sekitar sebelum ujian yang
sesungguhnya. Malam sebelum ujian, aku sudah menyatroni lokasi wawancara.
Mengintip ke dalam ruangan, mempelajari setiap sisi tempat sakral itu, menarik napas
panjang, dan berujar, “Oke, semua akan baik-baik saja.”
Besoknya, saat waktu wawancara, peserta tes tidak tiba pada saat bersamaan. Masingmasing diberi waktu kedatangan yang berbeda, sesuai jadwal tes masing-masing. Aku,
ditemani Evi dan Umi sudah duduk di depan ruangan, tiga puluh menit sebelum
wawancara dimulai.
Perasaanku campur aduk. Tapi kurasa Evi dan Umi pun punya perasaan yang sama.
Bergantian mereka berusaha menenangkanku.
***
Akhirnya, aku pun dipanggil masuk ke dalam ruangan penentu itu. Ada tiga orang juri,
dan beberapa panitia penyelenggara lainnya di ruangan tersebut. Sebuah kamera besar
tampak mengarah pada satu kursi kosong, di depan barisan para juri. Di situlah aku
mengambil tempat.
Wawancara diawali dengan perkenalan, kemudian salah seorang juri membacakan
aturan wawancara tersebut.
82
Awalnya aku sedikit terbata menjawab pertanyaan. Tapi tak lama, aku lupa sedang
berada di ruangan wawancara. Tanya jawab berlangsung seru. Sebagian besar
pertanyaan yang dilontarkan juri, berada dalam daftar pertanyaan yang aku punya dan
aku latih berbulan-bulan dengan Evi.
***
Aku keluar ruangan sambil menarik napas lega. Evi dan Umi yang menunggu di luar
menyambut dan memelukku erat. Sambung-menyambung mereka meyakinkanku kalau
aku menjawab dengan baik. Berdua mereka kompak bilang, kalau selama aku
wawancara Evi dan Umi nguping dari balik pintu. Senangnya aku mereka berdua ada di
tempat ini. Tak lama kami pun check out dari hotel dan kembali ke rumah Umi.
Perjalanan menjelajahi Makassar kami lanjutkan, sambil tak henti mengulang-ulang
detik demi detik, momen demi momen wawancaraku itu.
***
Mempunyai sahabat yang mendukungmu adalah hal yang sangat penting. Seseorang
yang selalu percaya, kamu bisa meraih apa yang kamu perjuangkan. Seseorang yang
menjadikan mimpimu sebagai mimpinya pula. Seseorang yang melakukan yang terbaik
untuk menyanggamu menggapai impianmu itu.
Perjuangan meraih beasiswa hingga sampai ke negeri seberang adalah perjalanan yang
panjang. Butuh keyakinan besar dan dorongan positif yang tak kalah besar pula. Kamu
butuh sahabat-sahabatmu. Beritahukan niatmu. Sampaikan rencanamu ke depan.
Bicarakan perjuangan yang sedang kamu lakukan. Jangan lupa ceritakan bahwa
keberadaan mereka penting bagimu untuk meraih cita-cita itu. Dan jangan alpa untuk
menjadi penopang buat impian sahabatmu pula.
Mungkin kamu akan berhadapan dengan sahabat baikmu yang selalu mengkritisi setiap
tindakanmu, dengan niat baik katakanlah. Tapi untuk jalan panjang ini, aku lebih
memilih berinteraksi dengan mereka yang selalu mengatakan sisi positif darimu
ikhtiarmu meraih beasiswa ini.
Selain Evi dan Umi, aku beruntung memiliki beberapa sahabat lainnya. Yang tak kalah
penting menopang setiap impianku. Mereka selalu ada setiap aku membutuhkan
83
mereka. Dan mereka tak hentinya percaya, serta tak putus berkata, “Kamu bisa, In. Aku
tahu kamu bisa.” Kata-kata tersebut seperti mantra yang membuatku terus dan terus
berusaha. Karena bukan sekadar tak ingin kalah, tapi juga tak ingin mengecewakan
mereka yang selalu ada buatku itu.
***
Tak lama seusai wawancara di Makassar, Evi harus kembali ke negaranya. Aku
mengantarkan Evi ke Bandara Sam Ratulangi. Memandangnya berlalu melalui pintu
keberangkatan membawa anganku terbang pada hari pertama kami bertemu. Betapa
banyak bantuan yang dia berikan. Tak hanya menjadi guruku, tapi juga menjadi sahabat,
dan memberi dukungan moril yang demikian besar hingga aku benar-benar
menyelesaikan wawancara itu.
Pesawat akan menerbangkannya jauh ke Hungaria sana. Entah kapan kami akan bersua.
Aku merasa kehilangan. Sangat.
***
Desember, 2016.
Musim dingin dengan salju menutupi kota New York, tak menghalangi aku dan Evi
menyeberang ke Liberty Island, menyusuri Central Park, dan memintas ke Washington,
DC.
“I am in America. I can’t believe that! My dream came true!” kata Evi berkali-kali.
“I can’t believe too! This is amazing. This is crazy. Life is magic!” tambahku.
Evi terbang selama 14 jam dari Hungaria ke Amerika. Untuk mengunjungiku. Untuk
mewujudkan impiannya bertualang di Negeri Paman Sam ini. Kami berdua, sepasang
sahabat yang dipisahkan benua. Kembali dipertemukan, oleh impian yang menjadi
kenyataan.
***
“Good friends are like stars, you don't always see them, but you know they are there.”
84
─ Christy Evans
Take Home Lesson 18:
1. Selamat! Kamu dinyatakan lolos seleksi aplikasi! Saatnya menghadapi
wawancara yang sebenarnya.
2. Jika lokasi tes wawancara berada di kota lain, datanglah minimal sehari sebelum
hari seleksi. Jika memungkinkan, datangi gedung lokasi wawancara.
3. Pertimbangkan jarak antara tempat menginap dan lokasi wawancara.
Rencanakan juga kendaraan apa yang akan kamu gunakan, dan pertimbangkan
tingkat kemacetan pada jam-jam sekitar wawancaramu.
4. Datanglah minimal setengah jam lebih awal, agar kamu merasa nyaman dan tak
tergesa-gesa.
5. Berpakaian yang sopan, percaya diri, dan jangan lupa memberi salam.
6. Selain persiapan mental dan materi, kamu juga harus menjaga kondisi fisikmu.
7. Jangan sampai datang terlambat.
8. Begitu dipanggil masuk, berusahalah menghadapi wawancara tersebut setenang
mungkin.
9. Pada saat wawancara, biasanya ada tiga orang juri sebagai tim penilai.
10. Jawablah semua pertanyaan dengan lugas, jika ada pertanyaan yang tidak kamu
mengerti, jangan sungkan meminta pertanyaan tersebut diulang kembali.
11. Kamu sudah mempersiapkan dirimu dengan baik, tak ada yang perlu dirisaukan.
12. Kelilingi dirimu dengan sahabat-sahabat yang mendukung perjuanganmu.
13. Jika butuh, jangan sungkan meminta saran positif dari sahabat-sahabatmu itu.
14. Nikmati setiap proses menuju impianmu. Jangan lupa bersenang-senang.
15. Jalin impian besar dengan sahabatmu, yakinlah kalian akan meraihnya bersama.
85
XIX
be·gin·ning
/bəˈɡiniNG/
noun
the point in time or space at which something starts
Hari ketika aku dinyatakan diterima sebagai salah satu di antara 23 peserta yang lolos
seleksi, takkan pernah aku lupakan.
Gerimis menyelimuti kota Bitung. Pagi itu, aku baru tiba di Puskesmas, ketika seorang
teman yang bertemu saat tes wawancara di Makassar menghubungiku.
“Mbak In, pengumuman udah keluar di website.” Demikian kalimat pertama Silvera,
begitu aku menjawab panggilan telepon. Suaranya tak jelas ditelan gerimis. Jantungku
serasa berhenti mendengarnya.
“Kita lulus, Mbak, kita berdua diterima!” tambah teman baruku itu, aku bisu mendadak.
Bahagia tak terkata, tapi serasa tak percaya. Cepat-cepat aku menutup pembicaraan
setelah mengucapkan terima kasih. Bergegas aku membuka website PRESTASI USAID
di laptopku, dan… ternyata benar, namaku ada di situ: Inraini Fitria Syah, sebagai salah
seorang penerima beasiswa PRESTASI USAID 2014. Ini bukan mimpi. Kedua belah
tanganku gemetaran. Ya Allah, ini benar menjadi kenyataan. Mimpiku menjadi
kenyataan. Aku diterima. Aku diterima.
***
Perjuanganku membuahkan hasil manis. Penatku terbayarkan. Tekadku mendapat
jawaban. Tapi babak baru terbentang di depanku. Aku akan kembali memulai satu
langkah awal.
86
Setelah menyelesaikan urusan surat-menyurat di tempat kerja, akhirnya hari
keberangkatan ke Jakarta pun tiba. Semua peserta yang diterima dikumpulkan untuk
penyerahan penghargaan dan dimulainya pelatihan bahasa Inggris buat peserta yang
akan berangkat ke Amerika. PRESTASI USAID mempunyai dua kategori, pendidikan
di dalam negeri dan di USA. Semua biaya akomodasi sejak tes wawancara ditanggung
oleh pihak penyelenggara beasiswa.
***
Hari itu, kami semua dikumpulkan di ruang megah sebuah hotel berbintang di Jakarta.
Wajah-wajah pembesar USAID dan IIEF (pihak penyelenggara PRESTASI USAID)
berbaur bersama wajah-wajah penerima beasiswa. Aku memperhatikan mereka satu per
satu. Rasanya luar biasa aku berada di antara mereka.
Saat perkenalan, aku baru mengetahui jika sebagian dari teman-teman baruku ini
bekerja di beberapa kementerian di Jakarta, tiga orang di antara mereka berprofesi
sebagai dokter, dan sebagian besar berbahasa Inggris dengan sangat fasih. Aku
tersenyum simpul pada diriku sendiri. Memikirkan apa yang sudah aku lakukan hingga
bisa berada di ruangan ini. Sedikit pun aku tak ragu saat memperkenalkan diri, dengan
bangga aku sampaikan jika aku seorang bidan desa.
Setelah kata sambutan singkat, satu per satu kami dipanggil untuk maju dan menerima
piagam sebagai simbol resmi bahwa kami telah sah sebagai penerima beasiswa
PRESTASI USAID. Ya Tuhan, sejak dua tahun yang lalu, setiap saat aku memimpikan
saat-saat ini. Berangan-angan, aku berada pada situasi ini. Dan sekarang aku berada di
tengah-tengah impianku.
Aku berpikir, ternyata impian dan kenyataan itu, hanya berbatas ilusi waktu dan usaha
untuk menggapai impian tersebut. Selalu ada situasi dan orang-orang yang tiba dengan
cara yang tak terduga, memberi bantuan, membimbing, dan memberikan semua yang
kubutuhkan, hingga aku tiba di sini. Yang kulakukan hanya berniat, mencari, dan tak
henti berusaha. Ini seperti rahasia besar. Yang baru kusadari keberadaannya. Padahal
pepatah, “Di mana ada kemauan, selalu ada jalan,” telah ada sejak dahulu kala. Aku
hanya baru menyadari kebenarannya.
87
***
Di penghujung acara, Chief of Party PRESTASI USAID berpesan, “Sekarang kita
adalah keluarga! Jaga diri baik-baik. Hati-hati di jalan. Jika ada apa-apa, jangan segan
menghubungi kami. Dan tak lupa, berusahalah yang keras menuju tahap berikutnya.”
Ya, tahap berikutnya. Ini baru sebuah awal yang indah. Kamu belum tiba pada
tujuanmu, Inraini. Besok waktunya kembali bekerja keras untuk impian itu.
“And suddenly you know… It’s time to start something new and trust the magic of
beginnings.”
Anonymous
***
Take Home Lesson 19:
1. Selamat! Kamu sejauh ini sudah mengikuti kisah di buku ini. Di kemudian hari,
jika kamu gigih, kamu juga akan mendapatkan banyak ucapan selamat dari
saudara, teman, rekan kerja, atas keberhasilan diterima oleh beasiswa impianmu.
2. Terus pupuk semangatmu, ini belum selesai. Perjuangan masih membentang
panjang, menantang, tapi tentu juga spektakuler dan menyenangkan.
88
XX
un·cer·tain
ˌənˈsərtn/
adjective
not able to be relied on; not known or definite
“Nothing in the world causes so much misery as uncertainty.”
− Martin Luther
Setiap beasiswa punya aturan yang berbeda-beda terkait persiapan sebelum penerima
beasiswanya diberangkatkan ke negara tujuan. PRESTASI USAID sendiri memberikan
pelatihan bahasa Ingris, statistik, dan kepemimpinan.
Perlu digarisbawahi bahwa berhasil lulus tes aplikasi dan wawancara, tidak serta merta
menjamin penerima beasiswa mendapat tempat untuk melanjutkan pendidikan di luar
negeri. Kita sama sekali belum punya “tiket” menuju universitas di Amerika.
Untuk diterima di universitas-universitas tersebut, terkait dengan kemampuan berbahasa
Inggris, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
Pertama, nilai Toefl yang sesuai standar minimum universitas yang dituju (masingmasing universitas punya standar berbeda, bahkan dalam satu universitas, masingmasing jurusan punya standar yang berbeda pula). Dalam hal ini, kami diberi pelatihan
Toefl ITP dan IBT.
Kedua, menyiapkan Study Objective dan Personal Statement. Dua esai ini merupakan
komponen penting yang akan menentukan apakah kita diterima atau tidak.
Ketiga, nilai GRE. Nilai GRE merupakan syarat wajib beberapa universitas. Tetapi kita
tidak dipersiapkan secara khusus.
Setelah memenuhi ketiga syarat ini, barulah peserta bisa mengajukan lamaran ke
universitas pilihan. PRESTASI USAID mengakomodasi proses pendaftaran ini.
89
Masing-masing peserta mempunyai kesempatan untuk mendaftar di empat universitas
berbeda. Setelah mendapatkan LOA (Letter of Admission/Acceptance) atau surat
penerimaan resmi dari kampus, barulah peserta bisa melanjutkan proses pengurusan
administrasi imigrasi.
Tapi sebelumnya, nilai Toefl IBT, study objective, dan personal statement menjadi
kunci utama untuk membuka gerbang universitas.
***
Dari 23 penerima beasiswa PRESTASI USAID tahun 2014, 14 orang di antaranya akan
berjuang bersamaku dalam pelatihan bahasa Inggris. Pelatihan ini sendiri, dibagi atas
tiga kelas. Kelas A diadakan selama 3 bulan, kelas B selama 4 bulan, dan kelas C
selama 6 bulan. Untuk menentukan di kelas mana peserta ditempatkan, kami semua
akan menjalani tes Toefl, writing, dan wawancara.
LBI-UI Salemba merupakan lokasi tes, sekaligus tempat pelaksanaan pelatihan ini
seterusnya. Berdasarkan hasil tes, aku ditempatkan di kelas B. Hasil ini membuatku
kecewa, aku mempersiapkan mentalku untuk berada di kelas C: aku butuh 6 bulan
pelatihan itu!
Jadwal pelatihan berlangsung setiap hari Senin sampai Jumat, dimulai pagi hingga sore
hari. Jadwal pelajaran terdiri dari Toefl ITP, Toefl IBT, reading, dan writing. Ada
jadwal khusus untuk bimbingan Study Objective dan Personal Statement juga. Selain
itu, masing-masing peserta mempunyai seorang tutor, yang bertugas memeriksa jurnal
wajib kami, satu kali seminggu. Ada 5 orang rekan menempati kelas A, 5 orang di kelas
B, dan 4 orang di kelas C.
***
Hari pertama di kelas B, diawali dengan memperkenalkan diri satu per satu. Dari
perkenalan singkat dengan 4 rekanku tersebut, aku semakin yakin, jika tempatku bukan
di kelas ini. Silvera, yang berasal dari Papua, selama setahun penuh mengambil kelas
bahasa Inggris dan tinggal di asrama dan keseharian mereka menggunakan bahasa
Inggris sebagai alat komunikasi. Yamin dan Awen, menamatkan S1 mereka di jurusan
90
Bahasa Inggris. Sementara Lulu, nilai Toefl ITP-nya sudah melewati angka 550. Aku
merasa diriku mengerut berada di antara mereka. Tempatku bukan di sini.
Tapi baiklah, aku harus mencobanya.
Seminggu pertama di kelas ini, merupakan mimpi buruk buatku. Aku tertinggal jauh
dibandingkan mereka semua. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan tutor tak bisa aku
jawab. Dan setiap ada tes kecil, nilaiku selalu yang terendah. Semua tugas maupun
jurnalku penuh dengan coretan merah. Tak pelak, aku menangis setiap pulang dan
sendirian di kamar kosan.
Saat-saat ini, keberadaan Pak Wardjito dan sahabat-sahabatku yang jauh terasa sangat
berarti. Aku menghubungi mereka, cerita, lalu menangis. Kata-kata menghibur mereka
bisa membuatku jauh lebih baik. Tapi tidak mengubah kenyataan, jika esoknya aku akan
berhadapan dengan situasi yang sama kembali.
Akhirnya kuputuskan untuk mengirim email ke Mbak Wiwin, penanggung jawab kami
dari PRESTASI USAID. Aku menceritakan situasiku dan mohon agar aku bisa
dipindahkan ke kelas C. Jawaban Mbak Wiwin: Tetap berusaha, Inraini.
Sementara situasi tidak berangsur membaik. Aku merasa jauh ketinggalan pada setiap
mata pelajaran. Aku selalu sedih setiap pelajaran berakhir. Dan setiap pagi tiba, aku
bertanya-tanya dalam hati. Apa lagi pertanyaan yang tak bisa kujawab hari ini.
Sebulan berlalu sudah. Setiap hasil latihan Toefl di kelas, nilaiku tidak ada kemajuan.
Writing-ku berantakan. Reading-ku selalu ketinggalan. Dan menulis jurnal terasa
menyiksa. Sementara rekan-rekanku yang lain tampak menikmati pelatihan ini dan bisa
berakhir pekan, aku lebih banyak mengurung diri di kamar, belajar dan belajar. Tapi
nilai-nilaiku tetap tak banyak kemajuan, ini membuatku kehilangan rasa percaya diri.
Percaya diriku bukan hanya menguap ketika berada di kelas. Pun saat berinteraksi
dengan rekan-rekanku di luar kelas, aku merasa minder.
Yang ada di kepalaku hanyalah: aku harus pindah ke kelas C. Harus. Semua akan lebih
baik jika aku berada di kelas itu. Itu satu-satunya penyelesaian dari permasalahanku saat
ini. Tapi waktu terus berjalan.
91
Ah, aku tidak datang sampai sejauh ini untuk menyerah. Ada yang salah dengan semua
ini. Aku harus berbuat sesuatu. Belajar yang keras tampaknya bukan satu-satunya
solusi. Aku tak bisa hanya menangis dan bersedih. Aku harus berbuat sesuatu. Dan
kurasa aku tahu aku harus berbuat apa. Sekarang, atau aku akan semakin ketinggalan.
***
Take Home Lesson 20:
1. Berhasil lolos seleksi aplikasi dan wawancara, bukan berarti penerima beasiswa
telah mendapat “kursi” di universitas di Amerika.
2. Untuk mendapat surat penerimaan dari salah satu universitas, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi:
● Skor nilai Toefl IBT sesuai standar universitas yang dituju.
● Menyiapkan Study Objective dan Personal Statement.
● Skor GRE
(https://en.wikipedia.org/wiki/Graduate_Record_Examinations)
3. Dalam rangka meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris para penerima
beasiswa dan memenuhi persyaratan di atas hingga menerima surat penerimaan
dari universitas, PRESTASI USAID memberikan pelatihan selama beberapa
bulan.
4. Tidak semua penyelenggara beasiswa mengakomodasi pendaftaran tersebut, ada
penyelenggara yang memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada penerima
beasiswa untuk mendaftar hingga mendapatkan surat penerimaan dari
universitas.
5. Pelatihan bahasa Inggris ini, bagi sebagian peserta bisa dilalui dengan mudah,
tapi buat sebagian lain, bisa menjadi sangat menantang.
6. Persiapkan mentalmu untuk menghadapinya.
7. Tetap berhubungan dengan mentor, guru, sahabat, atau siapa saja yang bisa terus
mendukung dan memompa semangatmu.
92
XXI
for·mu·la
/ˈfôrmyələ/
noun
a fixed form of words, especially one used in particular contexts or as a conventional usage
Aku kehilangan arah selama sebulan belakangan. Di satu sisi, aku masih merayakan
keberhasilanku diterima, ini sedikit melenakan dan membuatku tak siap dengan apa
yang harus kulakukan setelahnya. Mengalir mengikuti air, mengikuti pelajaran demi
pelajaran, mengikuti program yang telah dipersiapkan, dan belajar yang keras, bukan
jawaban untuk berhasil di babak ini.
Di sisi lain, tekanan yang kurasakan jauh lebih berat daripada saat sebelum diterima.
Ada batas waktu yang singkat untuk meraih nilai yang signifikan, ada teman-teman
sekelas sebagai perbandingan kemajuan, dan ada orang-orang sedunia yang mungkin
berpikir aku pasti akan berangkat ke Amerika. Sementara, aku terperangkap dengan
nilai yang tak kunjung merangkak naik.
Tapi cukup sudah. Aku hanya punya tiga bulan tersisa. Aku harus kembali pada diriku,
pada strategiku. Pada semua yang kulakukan sebelumnya.
Akhir pekan itu, aku menghabiskan waktu dengan mengunjungi kampusku di UIDepok, berusaha mengembalikan rasa percaya diriku. “Ayolah, Inraini, semua rekan
sekelasmu mungkin memang hebat berbahasa Inggris, tapi kamu satu-satunya yang
tamatan UI,” bisik hatiku memanas-manasi.
Sepulang dari Depok, aku membeli karton warna-warni, spidol, dan memborong
beberapa buku yang memacu motivasiku. Mulai dari The Secret Rhonda Byrne, lalu
buku Resep Sukses & Etos Hidup Diaspora Indonesia di Negeri Orang. Buku yang
dieditori oleh Dino Patti Djalal ini memuat kisah tokoh-tokoh Diaspora Indonesia
selama mereka di Amerika. Ada nama Sri Mulyani dan Endang Rahayu Sedyaningsih di
dalam buku itu. Nama yang membuatku memilih mengikuti jejak mereka ke Amerika.
93
Kemudian ada buku terjemahan bertajuk, “Big Things Happen When You Do the Little
Things Right: A 5-Step Program to Turn Your Dreams into Reality” yang juga kupilih
untuk menguatkan langkahku tiga bulan ke depan.
Dinding kamarku pun penuh dengan tempelan jadwal belajarku sendiri, peta Amerika,
target-target yang harus kucapai, dan berbagai kutipan inspiratif yang kudapatkan dari
buku-buku tersebut.
Dan yang terpenting dari semua ini adalah: aku harus mengubah paradigmaku!
Mulai saat ini, takkan ada lagi niat untuk pindah ke kelas C.
Mulai saat ini, aku akan sepenuhnya mencurahkan kemampuanku dan membuktikan
bahwa aku memang layak di kelas B.
Mulai saat ini, aku akan terus berkata pada diriku sendiri seperti yang biasa aku
katakan: aku bisa, aku bisa, aku bisa.
Mulai saat ini, aku akan datang pagi hari ke kelas dengan bersemangat.
Mulai saat ini, aku akan pulang ke kosan dengan gembira.
Mulai saat ini, aku hanya akan melihat hal-hal menyenangkan dari kelasku.
Mulai saat ini, nilai Toefl-ku akan terus meningkat dan meningkat.
***
Hari setelah aku memutuskan demikian, seketika segala sesuatunya berangsur membaik
dengan cepat. Aku bisa melihat betapa menyenangkannya belajar Toefl IBT dengan
Raymond, tutor Toefl IBT, beliau menjelaskan dengan sangat jelas dan detail. Dan saat
mengerjakan soal IBT di komputer, tak lagi terasa menyengsarakan. Aku bahkan mulai
tertarik dengan topik-topik dalam paragraf-paragraf panjang di soal reading.
Dan Paul, ya ampun. Betapa beruntungnya kelas B memiliki tutor seperti Paul. Kelas
kami satu-satunya yang ditutori Paul. Tutor satu ini lucu dan pintar minta ampun. Setiap
belajar dengan beliau, kami sekelas selalu terpingkal-pingkal oleh cerita segarnya. Paul
paham betul setiap sejarah Amerika dan menautkannya dengan sempurna dengan topik
pelajaran kami. Kerap kali, kelas kami diisi dengan menonton film Amerika teranyar.
94
Atau kelas kami diawali dengan berbagi cerita konyol kami masing-masing. Ditambah
merayakan Halloween bersama. Paul menyelamatkan hidupku!
Lalu ada Agus. Tutor yang jenius luar biasa. Sebulan pertama, aku merasa seram bukan
main, setiap bimbingan study objective dan personal statement dengannya. Tapi
sekarang, aku bisa melihat, betapa perhatiannya beliau. Betapa detail beliau membantu
kami
menuangkan
yang
terbaik
untuk
kedua
esai
tersebut.
Dan
betapa
menyenangkannya situasi beliau mengajar. Beliau gampang mengutarakan pujian,
“good”, “nice”, “excellent”. Pujian-pujian formal itu terasa mengangkat semangatku
ke langit ketujuh.
Aku tidak melihat semua kebaikan itu sebelumnya. Pandanganku hanya terarah ke kelas
C, dan alpa mensyukuri semua hal menyenangkan di kelasku sendiri.
Sungguh luar biasa melihat bahwa hanya dengan memutuskan, menukar perspektifku,
mengganti sudut pandang tentang diriku sendiri, semua bisa menjadi jauh lebih baik.
Tapi bagaimana dengan nilai-nilaiku?
Di dinding kamarku, aku menempelkan “kemajuan nilai Toeflku” setiap latihan di
kelas. Aku menulis: minggu pertama 500, minggu kedua 510, minggu ketiga 520, dan
seterusnya.
Di kelas, pada saat latihan Toefl, kami diminta melihat-ulang latihan kami masingmasing, lalu melaporkan hasilnya satu per satu. Belakangan, setiap selesai latihan dan
diminta mengkalkulasi hasilnya, aku tidak pernah melakukannya. Apa pun yang
terpampang di dindingku yang akan kupakai sebagai jawaban. Nanti, begitu pulang, aku
cek lagi, total jawabanku hari itu, dengan targetku tersebut. Jika tidak sampai,
semalaman aku akan mencari, soal-soal mana saja yang jadi kelemahanku, dan
mengulang-ulang latihan tersebut.
Jadinya, tutor-tutorku, berkomentar, “Hem, In, ada kemajuan ya!”
“Yap!” anggukku yakin.
Dan ketika tes Toefl ITP yang sesungguhnya tiba, perlahan, nilaiku benar merangkak
naik.
95
E+R=O
an event + your response = the outcome
“You can’t change the event, but you can change your response which will change the
outcome.”
− Jack Canfield
***
Take Home Lesson 21:
1. Untuk sukses selama pelatihan ini, kamu bukan hanya butuh belajar yang keras
dan disiplin, tapi juga belajar yang “cerdas.”
2. Meski saat pelatihan kamu akan merasakan tekanan karena ada rekan-rekan
yang menjadi pembandingmu, kamu harus fokus pada peningkatan nilaimu
sendiri.
3. Sedari awal, pelajari bagaimana pola belajar di kelas, lalu buat strategi untuk
cara belajarmu sendiri di luar kelas.
4. Terus motivasi dirimu kalau kamu BISA!
5. Kamu telah lolos seleksi yang membuktikan jika kamu mampu, maka buktikan
itu.
6. Kelilingi dirimu dengan hal-hal positif, temukan hal menyenangkan yang bisa
menyemangatimu selama pelatihan tersebut.
7. Kamu mampu atau tidak, keduanya bisa saja menjadi kenyataan. Semua diawali
dari pikiran dan keyakinanmu sendiri. Kamu sendiri yang menentukan
keberhasilanmu.
8. Temukan hal positif dari tutor-tutormu. Menyukai mereka akan membuat harihari selama pelatihan jauh lebih menggembirakan.
9. Buat target peningkatan nilai Toefl-mu setiap minggu, fokus dengan target
tersebut.
10. Jangan terperangkap dengan satu pola belajar. Begitu kamu merasa hasil cara
belajarmu selama ini kurang memuaskan, segera temukan cara yang lain.
96
XXII
pack
/pak/
noun
a group of wild animals, especially wolves, living and hunting together
“When the snows fall, and the white winds blow, the lone wolf dies but the pack
survives.”
− George RR Martin
Seminggu pertama, di kelas suasana terasa asing dan kaku. Kami hanya berlima, dan
sepanjang 4 bulan ke depan, kami akan terus-terusan berhadap-hadapan muka. Aku
bertanya-tanya dalam hati, akan seperti apa pertemanan ini.
Mereka; Awen, bekerja di Kementerian Agama. Tampak serius dan misterius. Aku tak
enak menyapanya. Yamin, yang berasal dari pulau Buton, menakhodai sebuah LSM
yang bergerak di bidang lingkungan di pulau asalnya. Juga tak kalah formal ketika
berkenalan. Berdua, mereka selalu cepat tepat dalam menjawab soal-soal di kelas. Lalu
ada Lulu yang kesehariannya bekerja di Kementerian Pendidikan. Kami mulai
berteman, meski masih terasa janggal satu sama lain. Kemudian ada Silvera asal Papua
yang satu kosan denganku.
Di minggu kedua, tutor kami, Paul, menantang kami untuk mencoba jajanan di depan
LBI-UI. Nama makanan itu, persis nama salah seorang rekan kami: Mi Yamin.
Terinspirasi tantangan Paul, selesai kelas pukul lima sore, kami berlima menyerbu
penjaja kaki lima dan masing-masing menikmati semangkuk Mi Yamin. Makanan
tersebut rasanya tak beda dengan mi ayam biasa. Tapi khasiatnya luar biasa ternyata.
Berkat semangkok Mi Yamin itu, kami menghabiskan beberapa jam bersama di luar
kelas sambil berbagi cerita seru hingga cerita cinta para mantan. Esoknya, kelas kami
pun seketika berubah ramai dengan guyonan dan canda tanpa henti, bahkan ketika kelas
sedang berlangsung.
97
Keberadaan Paul juga tak bisa dipinggirkan dalam kekompakan yang kemudian
terbangun di antara kami. Dalam kelas speaking, Paul memprakarsai untuk
menghabiskan 30 menit pertama bagi kami masing-masing untuk bercerita, dengan
topik yang takkan kami lupakan seumur hidup tentunya. Seperti, “Apa hal terjahat yang
pernah kamu lakukan pada mantanmu?” atau “Apa peristiwa paling memalukan yang
pernah kamu alami?” tentu saja kami terbahak mendengar cerita masing-masing,
sekaligus tak sungkan lagi berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris. Semakin hari
perlahan sosok-sosok rekan baruku itu berubah menjadi sosok yang berbeda di mataku.
Mereka berubah menjadi sahabat.
Dari waktu ke waktu, kami pun mulai membaur dengan teman-teman dari kelas A dan
kelas C. Beberapa teman memutuskan untuk belajar di sebuah perpustakaan tak jauh
dari LBI-UI selepas kelas atau akhir pekan. Satu sama lain saling mengajari, berbagi
buku yang bisa menunjang proses pembelajaran, berbagi informasi, sekaligus berbagi
trik-trik menghadapi tes Toefl. Selepas tes Toefl, jika ada di antara kami yang nilainya
belum mencukupi, teman-teman yang lain akan mendukung, bertanya di mana letak
kelemahan teman tersebut dan mencoba membantu memberikan solusi.
Bahkan aku dan Kesy, seorang teman dari kelas C, pernah menghabiskan waktu
semalaman hingga pagi hari belajar di sebuah restoran cepat saji.
Beranjak dari sosok-sosok asing, kami bermetamorfosis menjadi sekawanan kecil yang
ingin melihat semua anggota kelompok ini, melaju sukses menuju Amerika.
Pertarungan ini memang perjuangan masing-masing, tapi terasa ada ikatan satu sama
lain bahwa kami akan memenangkan ini bersama-sama.
***
Tak semua dari kami akhirnya tiba di Amerika. Seorang sahabat memutuskan untuk
membatalkan perjalanan ini dan seorang lainnya menunda keberangkatannya selama
setahun karena satu dan lain hal. Meski demikian kami tetap menjadi satu keluarga.
Walau terpisah jarak ribuan kilometer, tetap saja kelompok kecil ini saling mencari;
saling menghubungi satu sama lain. Dan tak pernah alpa, tetap saling menyemangati.
98
***
Take Home Lesson 22:
Teman-teman seangkatanmu, adalah orang-orang pertama yang mengerti arti
perjuanganmu, mereka yang akan bersamamu melewati babak pelatihan, hingga nanti
tiba di negara tujuanmu. Jalin komunikasi dan persaudaraan dengan mereka sesegera
mungkin. Jangan sungkan bertanya dan berbagi.
99
XXIII
col·or·ful
/ˈkələrfəl/
adjective
having much or varied color; bright
full of interest; lively and exciting
“Life is like a rainbow. You need both rain and sun to make its colors appear.”
Anonymous
Masih bersamaku di lembaran ini? Terima kasih. Percayalah, jika kamu telah lolos
hingga tiba di tahap pelatihan, kamu akan mengingat kisahku ini. Atau kamu mungkin
berpikir jika telah sampai di tahap ini, semua akan jauh lebih mudah? Jawabannya YA.
Kamu tinggal selangkah lagi menuju negara tujuanmu. Dan terpenting, kamu bisa
belajar dari kesalahanku di awal-awal pelatihan, seperti yang aku ceritakan di tiga bab
sebelumnya.
Kunci di tahap ini adalah: tetap percaya diri. Meski terikat jam belajar yang ketat
selama pelatihan, jangan lupa membuat strategimu sendiri. Segera menyesuaikan diri
dengan rekan-rekanmu selama pelatihan. Dukungan positif sangat kamu butuhkan pada
masa-masa ini, tutor dan rekan-rekanmulah sekarang yang paling mengerti situasimu.
Mereka orang paling tepat untuk bertanya dan meminta bantuan/nasihat jika kamu
menghadapi kesulitan.
***
Selama pelatihan ini, jadwal kami begitu padat. Pelajaran dimulai pukul delapan pagi
dan berakhir pukul lima sore. Sementara itu, kami juga terus memperbaiki study
100
objective dan personal statement sesuai masukan tutor. Ditambah menulis jurnal dan
tugas writing yang harus diselesaikan pula.
Aku sendiri, menambah waktu ekstra belajar untuk mengejar nilai Toefl yang lebih
baik. Sementara dalam berlatih, aku terus berinovasi, menemukan cara terbaikku untuk
menguasai writing, listening, reading, speaking, dan grammar. Memang ada
peningkatan selama latihan, tapi skorku belum mencapai batas nilai minimum Toefl IBT
yang merupakan standar universitas-universitas di Amerika.
***
Dalam kepadatan jadwal kami itu, persiapan untuk memilih universitas tujuan, juga
mulai kami lakukan. Memilih universitas berdasarkan ranking, merupakan salah satu
cara termudah untuk menyaring sekian banyak universitas hingga mendapatkan 4
universitas yang “klik” dengan kami. Meski ini juga berisiko tinggi, terutama buatku
yang nilai Toefl IBT-nya masih belum jelas akan bagaimana.
Alih-alih berselancar mencari universitas dengan ranking tinggi, yang tentu saja
mengharuskan mahasiswanya ber-Toefl gemerlap, aku bertualang di Google, dengan
beberapa kategori untuk menentukan kampus tujuanku.
Pertama, tentu kata kuncinya adalah universitas di Amerika yang mempunyai program
public health. Ada ratusan.
Kedua, tak lain tak bukan adalah musim gugur dan musim salju. Universitas tujuanku,
haruslah berada di negara bagian yang mengalami empat musim. Oh ya, aku jauh-jauh
ke Amerika salah satu tujuanku memang untuk menikmati musim gugur dan musim
salju. Universitas yang berada di daerah tanpa salju dan daun-daun jatuh, kucoret dari
daftarku.
Masih tertinggal puluhan universitas. Terlalu banyak untuk kugali lebih jauh mata
kuliah yang mereka tawarkan. Sekarang, aku bertualang memilih universitas
berdasarkan nama universitas yang menurutku keren, lalu lambang kampus yang oke,
dan tentunya pesiar melalui Google pada kampus dan taman-tamannya.
101
Dua hal di atas tak perlu ditiru.
Akhirnya di daftarku tersisa 50 universitas. Barulah, aku mengunjungi website ke-50
universitas ini satu per satu. Hal pertama yang kutuju adalah persyaratan yang diminta.
Universitas-universitas yang mematok nilai minimum Toefl IBT di atas 90, kucoret dari
daftarku. Sebagian besar universitas rata-rata mensyaratkan nilai Toefl minimal 80,
sementara nilaiku sendiri, pada awal masuk kelas hanya mencapai angka 64.
Daftarku kini telah menyusut menjadi 30 universitas. Sekarang saatnya melihat program
public health dan mata kuliah yang mereka punya. Daftarku menyisakan 20 universitas
yang menyelenggarakan program health education, community health, atau maternal
and child studies.
Memilih 4 dari 20 universitas ini, merupakan bagian yang paling membingungkan.
Karena rasanya ingin mendaftar keduapuluhnya yang tentu tak mungkin.
Akhirnya kriteriaku menciut pada program ekstrakurikuler, organisasi kampus, fakultasfakultas lain yang universitas tersebut miliki (aku memberi tanda bintang pada
universitas yang punya jurusan seni dan sastra, karena aku juga ingin bisa menghadiri
aktivitas seni dan sastra), dan hal-hal menarik apa yang ada di universitas-universitas
itu.
Setelah berminggu-minggu menyisakan sedikit waktu untuk berselancar, akhirnya, aku
tiba pada 8 nama universitas yang aku tak tega lagi untuk memilih. Delapan universitas
ini yang aku kirim pada PRESTASI USAID. Semoga mereka membantuku
memutuskan.
Setiap orang tentu punya gaya masing-masing untuk memilih universitas ini. Masingmasing teman-temanku punya cara mereka sendiri-sendiri. Ada yang punya target ingin
masuk universitas tertentu. Ada yang mengirim surel pada profesor di kampus itu. Ada
yang memilih kampus di daerah tanpa salju.
Aku sendiri memilih cara seru ini. Hari-hariku sudah cukup berat saat itu, aku ingin
memilih universitas dengan cara yang membahagiakanku, sambil melepas impian
102
menyusuri bangunan-bangunan di mana aku akan menghabiskan dua tahunku di tempat
itu kelak di dunia maya.
***
Akhirnya hari itu tiba. Kami berlima: aku, Awen, Yamin, Lulu, dan Silvera, berangkat
bersama menuju lokasi tes. Hasil tes ini adalah satu kunci ini akan menentukan nasib
kami. Apakah kami akan diterima di universitas di Amerika sana?
Seminggu sebelumnya, aku mengurangi jadwal belajarku yang biasanya hingga lewat
tengah malam. Aku butuh konsentrasi tinggi dan tubuh yang segar untuk menghadapi
tes ini. Meski demikian, aku berpikir, bagaimana caranya tetap belajar tanpa
memaksakan diri.
Tiba-tiba aku ingat, saat aku di sekolah dasar dulu. Aku tak pernah rajin belajar.
Mamaku yang rajin sekali mengulang-ulang pelajaran untukku. Beliau membacakan
semua pelajaran yang ada di buku cetak, maupun buku catatannya. Pelajaran itu akan
dibaca mama berulang-ulang, meski aku tak begitu memedulikan. Saat aku bermain,
bahkan hingga tertidur, Mama terus membaca tanpa lelah. Hasilnya? Aku selalu juara
kelas! Hem, aku punya ide, bagaimana jika aku mendengarkan semua latihan Toefl ini
ketika aku terlelap?
Seminggu terakhir itu, aku menikmati istirahatku sambil tetap “belajar”.
***
Suasana tes Toefl ini berlangsung tegang. Pemeriksaan dan aturannya sangat ketat. Aku
berusaha tenang. Aku sudah berusaha yang terbaik. Aku sudah belajar keras. Sekarang
saatnya membuktikan bahwa aku bisa.
***
Sepuluh hari kemudian, kami diminta datang ke kantor PRESTASI USAID. Saat itu,
Mbak Wiwin, penanggung jawab kami di PRESTASI USAID bilang, “Coba emailnya
dicek, nilai IBT-nya sudah kami email.”
103
Aku langsung membuka surel dengan gemetaran. Setelah itu teriak dan langsung
memeluk Mbak Wiwin. Alhamdullillah. Skorku 86. Lebih dari nilai minimum
universitas-universitas yang akan aku lamar. Rasanya seperti mimpi. Bisa beranjak dari
64 ke 86. Kurasa keajaiban memang selalu bersama orang-orang yang berusaha.
***
Take Home Lesson 23:
1. Tinggal selangkah lagi menuju negara impianmu, tetap bersemangat.
2. Pilihlah universitas yang sesuai jurusanmu, dan juga mensyaratkan nilai Toefl
yang kira-kira bisa kamu capai selama pelatihan.
3. Jangan sungkan bertanya hal yang tak kamu pahami selama pelatihan.
4. Jaga kesehatan dan stamina selama pelatihan.
5. Jangan pernah menyerah, terus berlatih meningkatkan nilai Toefl-mu.
6. Untuk universitas-universitas di Amerika Serikat, kita bisa dengan mudah
mendapatkan informasi lengkap tentang mata kuliah yang ditawarkan, fasilitas
yang mereka miliki, serta kegiatan ekstra yang bisa kita ikuti di website resmi
universitas.
7. Kamu juga bisa langsung menghubungi bagian penerimaan atau international
student officer di kampus yang kamu tuju untuk mendapatkan informasi
tambahan.
8. Pada saat tes Toefl IBT, datanglah ke tempat tes lebih awal.
9. Beristirahatlah yang cukup semalam sebelumnya.
10. Pelajari tata cara mengikuti tes tersebut, seperti harus memperlihatkan tanda
pengenal, tidak boleh membawa tas dan ponsel ke ruangan tes, dll.
11. Jalani tes tersebut dengan tenang, konsentrasi, dan berikan yang terbaik.
12. Keberhasilan akan selalu bersama orang-orang yang berusaha.
104
XXIV
de·fine
/dəˈfīn/
verb
state or describe exactly the nature, scope, or meaning of
“Everybody has a chapter they don’t read out loud.”
Anonymous
Akhirnya empat bulan berlalu sudah. Kami berlima kembali ke daerah masing-masing.
Semua persyaratan telah dipenuhi, memilih universitas telah rampung, pengisian
formulir pendaftaran daring pun telah usai kami selesaikan.
Dari delapan universitas yang aku ajukan pada pihak PRESTASI USAID, dua di
antaranya disetujui. Mereka menawarkanku untuk mendaftar di dua universitas lain
yang menurut mereka akan memberikan peluang lebih besar untuk diterima.
Setelah melihat-lihat website kedua universitas ini, surprise, keduanya memiliki semua
kriteria yang aku cari. Aku setuju.
***
Sekarang saatnya menunggu. Kabar baiknya, semua urusan yang berhubungan dengan
pendaftaran, diakomodasi oleh pihak PRESTASI USAID. Yang pasti mereka akan
melakukan usaha terbaik agar kami diterima di universitas-universitas yang kami lamar.
Tapi ada satu sisi lainnya: tak ada jaminan universitas tersebut akan menerima kami
atau tidak! Ingat pula satu hal, mereka universitas-universitas terbaik di dunia, dengan
ratusan hingga ribuan pelamar setiap tahun ajaran. Apa pula yang akan membuat
mereka memilih kita dari sekian banyak pelamar dari Amerika sendiri, bahkan dari
seluruh dunia.
105
Tak ayal, masa-masa menunggu ini menjadi sedemikian menyiksa. Setiap saat yang aku
lakukan adalah bolak-balik memeriksa surel. Siapa tahu ada pemberitahuan bahwa aku
diterima.
Waktu berjalan. Minggu berganti. Satu dua bulan pun usai. Tak juga ada kabar tersebut.
Kami semua jadi resah bersama.
***
Tapi ada hal lain yang juga menjadi perbincangan hangat di dalam kelompok kecil ini:
perasaan nelangsa menikmati saat-saat bersama keluarga.
Seorang teman, tengah malam tiba-tiba mengirim pesan, “Aku tiba-tiba kebangun, kok
ya air mata mengalir begitu saja ya, melihat anak lagi tidur pulas. Ya Allah, dua tahun
mau aku tinggalin.”
Ya, kami semua, dilanda perasaan haru biru, dengan ironi yang akan segera kami
hadapi: berdoa segera dapat surat penerimaan, sementara di lain sisi, itu menandakan
kami akan segera berangkat dan meninggalkan keluarga tercinta.
***
Saat aku kuliah di UI, Depok, aku harus meninggalkan ketiga anakku yang saat itu
usianya 7 tahun, 4,5 tahun, dan 8 bulan di Bitung.
Seorang teman satu kosanku yang juga satu program, menjulukiku: ibu tega. “Ini
Inraini, temen satu program, dari Bitung, Sulawesi. In ini ibu tega lo, dia ninggalin
anaknya tiga di sana, yang satu masih bayi lagi.” Demikian biasanya dia
memperkenalkanku pada teman-teman yang lain. Aku hanya tersenyum.
Ya, banyak orang yang mudah sekali menghakimi orang lain, meski mereka tak paham
situasi orang yang mereka hakimi. Dan setiap aku, kamu, kita akan melangkah
menggapai cita-cita dan impian kita, selalu akan ada orang yang dengan mudah
melontarkan pernyataan yang mungkin melukai. Menghadapi ini, aku tak mau repot-
106
repot menjelaskan apa pun, karena ini hidupku, aku yang akan menjalaninya, aku yang
akan menuai hasilnya.
Ada banyak cerita yang temanku itu tak tahu tentang aku.
Berangkat ke Depok saat itu, adalah kali pertama aku berpisah dalam waktu yang lama
dengan ketiga buah hatiku. Sedari mereka lahir, aku tak pernah memercayai siapa pun
untuk mengasuh anak-anakku. Aku melahirkan ketiga anakku lewat operasi sesar,
karena indikasi panggul sempit. Sepulang dari rumah sakit, meski tubuhku masih
gemetaran dan luka bekas operasi masih berdenyut, tak sekali pun kubiarkan orang lain
(termasuk suami, orangtua, mertuaku) memandikan dan merawat bayi-bayiku. Aku
ingin memastikan aku sendiri yang menyentuh, mengasuh, dan membesarkan mereka.
Sebagai bidan desa, saat itu aku kerap harus menolong persalinan dengan mendatangi
rumah-rumah penduduk. Tak jarang, aku harus berjalan jauh, mendaki bukit, dan
bermalam di rumah pasien. Dan aku selalu membawa anak-anakku serta. Karena aku
tak bisa konsentrasi menolong ibu melahirkan, jika aku tak mendengar suara anakanakku di sekitarku. Bergantian aku dan suamiku menggendong mereka menempuh
perjalanan-perjalanan itu.
Lokasiku bekerja saat itu berada di dekat puncak sebuah gunung, Gunung Talang.
Tahun 2005, gunung tersebut meletus di pagi hari buta. Semua penduduk, termasuk aku,
suami, dan putri kecilku berhamburan berusaha menyelamatkan diri. Suasana begitu
mencekam dengan ramai suara orang-orang bergegas dan berteriak memanggil-manggil
anggota keluarganya.
Beruntung, kami semua selamat. Tapi sejak saat itu, aku dihantui trauma mendalam.
Aku tak bisa tidur lelap bila tanganku tak menyentuh semua anggota keluargaku. Jika
tiba-tiba ada serombongan orang berjalan di luar rumah, kerap aku tersentak bangun dan
langsung menggendong anak-anakku, bersiap untuk menyelamatkan diri.
Ketika aku pindah ke Bitung, Sulawesi Utara, Puskesmas kami melayani rawat inap
buat pasien melahirkan. Setiap jadwal dinas malam, ketiga buah hatiku selalu ikut
bersamaku. Kami berempat menempati ruang jaga kecil dan menghabiskan malam
107
bersama. Jarak Puskesmas dan rumahku sebenarnya dekat, hanya lima belas menit
berjalan kaki. Tapi aku tak bisa lelap tidur dan tak bisa fokus pada pekerjaanku, bila
anak-anakku tak tampak di sekitarku.
Lalu kira-kira, bagaimana caraku melukiskan perasaanku harus berpisah dengan mereka
selama berminggu-minggu; selama berbulan-bulan? Bagaimana aku terbangun di tengah
malam, mencari ke seluruh ruangan, dan tak menemukan anak-anakku di sana.
Bagaimana aku ketakutan, gemetaran, sebelum kemudian menyadari bahwa mereka
berada jauh di seberang pulau sana. Sungguh, aku tak bisa menemukan kata yang tepat
untuk melukiskannya.
Tapi buatku, ini bukanlah sesuatu yang harus aku omongkan pada semua orang. Bukan
sesuatu yang harus kupasang di wajahku dan meminta orang-orang mengasihani
situasiku. Atau berbagi cerita kalau semalaman aku dihantui mimpi buruk. Aku tak bisa
tidur. Mataku bengkak karena menangis.
Ini adalah bagaimana aku bisa sukses dengan jalanku dan menjadikan anak-anakku
sebagai penyemangat.
Aku punya energi yang luar biasa besar karena berusaha melakukan hal lain, agar tak
melulu sedih. Aku ikut beberapa kegiatan organisasi, melakukan banyak sekali
kesibukan, agar setiba di kosan, tubuhku lelah, dan aku bisa tidur dengan nyenyak. Ini
bagaimana aku membuat anak tangga demi anak tangga, agar kelak anak-anakku punya
pijakan buat mencapai impian mereka pula. Ini adalah caraku mencintai ketiga buah
hatiku.
***
Ketika aku memutuskan untuk meneruskan pendidikan masterku di Amerika, tak urung,
beberapa rekan, teman, dan keluarga, berkomentar senada seperti temanku itu. Dan lagi,
aku hanya menjawabnya dengan senyum. Aku yang tahu siapa aku. Perjalananku.
Keputusanku. Dan mereka yang menghakimiku, akan melihat, aku bahkan takkan
berhenti sampai di sini.
“Accept no one's definition of your life; define yourself.”
108
− Harvey Fierstein
***
Take Home Lesson 24:
1. Terus bergerak maju, apa pun tantangan yang kamu hadapi. Mungkin kamu akan
mendengar kritik dengan jalan yang kamu pilih untuk kuliah ke luar negeri.
Sejauh itu adalah pilihanmu, teruslah melangkah maju.
2. Nikmati hari-harimu bersama keluarga.
3. Tetap berkomunikasi dengan rekan-rekan penerima beasiswa selama masa
penantian surat penerimaan dari universitas.
109
XXV
sound·track
/ˈsoun(d)ˌtrak/
noun
a recording of the musical accompaniment to a movie
“Music is a soundtrack of your life; you hear some tune and you just get swept right
back to that point in your life.”
− Kevin Bacon
Waktu
terasa
merambat
pelan.
Masa-masa
penantian
LOA
(Letter
of
Acceptance/Admission atau surat penerimaan dari universitas) menjadikan jarum jam
seperti berhenti berputar. Hingga kemudian, satu per satu teman-teman mulai
mendapatkan LOA mereka. Kabar-kabar itu begitu cepat tersebar. Sebagai berita
bahagia yang membuat kami semua bersenang dan berbahagia buat teman tersebut. Tapi
di sisi lain, membuat penantian ini semakin mencekam. Lalu, LOA-ku kapan tiba? Apa
aku akan diterima?
***
Menjaga hati agar tetap bersemangat dan pikiran tetap positif, selama penantian ini dan
sepanjang perjalanan dari awal, merupakan salah satu kunci aku bisa tetap konsisten
terus berusaha hingga di titik ini.
Percayalah, ini tidak mudah. Tapi bukan pula tidak mungkin. Setiap muncul perasaanperasaan negatif, lelah, sedih, marah, kecewa, aku tak pernah membiarkan diriku
berkubang dan berlama-lama dengan perasaan tersebut. Ibarat menonton siaran televisi
atau mendengar radio, aku segera memindahkan channel-ku agar semangatku kembali
lagi.
Salah satu cara tercepat adalah dengan musik.
110
Tahun 2010, saat aku berkomitmen dengan cita-citaku yang baru ini, aku memulainya
dengan mengubah banyak hal dalam hidupku. Untuk kali pertamanya, aku
mengevaluasi semua hal yang mengelilingiku: buku harian, puisi dan cerpen-cerpen
yang kutulis, blog pribadiku, lagu-lagu yang kudengar sehari-hari, film-film yang
kutonton, novel-novel yang kubaca. Menyedihkan, tapi semua itu berputar-putar pada
topik serupa: kekecewaan, kesedihan, air mata, masa lalu, akhir yang tak bahagia, kasih
tak sampai. What?
Aku memutuskan untuk menjadi Inraini yang baru. Aku akan menulis kisah-kisah
inspiratif di blogku. Aku akan menonton film-film yang membuatku memercayai
mimpiku, membaca buku dan novel-novel yang menyajikan kisah penuh perjuangan.
Menulis hal-hal positif di buku harianku. Berhenti mengenang semua dari masa lalu,
sesuatu yang tak mungkin diubah kembali tetapi mengambil sebagian besar waktuku
selama ini. Dan yang terpenting, menghapus semua lagu sendu di daftar musikku.
Soundtrack hidupku mulai kini takkan lagi bernada luka dan lara. Tapi bercerita tentang
masa depan dan ketetapan hatiku meraihnya. Tak ada orang lain yang akan memutar
lagu buatku, aku sendiri yang memilihkan musik-musik ini. Aku yang memilih masa
depanku. Dan aku memilih untuk menang dan bahagia.
“Welcome to New York” Taylor Swift berada di peringkat pertama, lagu yang kuputar
lagi dan lagi. Lagu ini selalu bisa membuatku memulai aktivitasku di pagi hari dengan
bersemangat. Sekaligus, mengganti debaran khawatir di hari-hari menunggu LOA tiba,
dengan antusias tak sabar hendak menjejak kota New York. Lalu ada “It’s My Life”
Bon Jovi, Celine Dion dengan “That’s the Way It is”, dan Miley Cyrus dengan lagu
andalan “Party in the USA”, di daftar teratas yang membuatku tersenyum saat lelah tiba
dan meretas segala sesuatu menghadang. Lagu-lagu ini membuatku bisa berkata pada
diri sendiri, “Tenang, In, kamu akan menyusuri kota, taman, dan tempat-tempat indah
di Amerika. Ayo bangun, ayo semangat!”
Dan oh ya, tak mudah memang melupakan masa lalu dan semua yang pernah
melukaiku. Tapi tak masalah lagi, aku punya “Mean” Taylor Swift, “Roar” dan
“Firework” Katy Perry, “Who Laughing Now” Jessie J, “So What” Pink, “Bye Bye
Bye” NSYNC, dan “Stronger” Kelly Clarkson, sebagai soundtrack yang kukhususkan
111
untuk semua yang pernah membuatku merasa seperti kantong plastik bekas. Buat
mereka yang pernah mencela, meninggalkan, dan memandangku sebelah mata. Aku
pernah mengalami semua itu? Ya. Dan menyebalkannya, aku malah masih mengingat
semua detail kejadian-kejadian di atas, dan masih terasa menyakitkan setiap
mengenangnya. Tapi bagusnya, sekarang semua perasaan itu seperti tornado yang
memompa semangatku untuk membuktikan (bukan pada mereka) pada diriku sendiri,
bahwa aku jauh lebih baik dari semua mereka.
Sementara lagu-lagu One Direction seperti “What Make You Beautiful”, “Live While
We're Young”, “Best Song Ever”, “Kiss You”, “One Way or Another”, bisa dengan
mudah membuatku tersenyum, relaks, dan berbahagia.
Lagu-lagu Indonesia yang kupilih sebagai soundrack perjalananku adalah Sheila on
Seven dengan “Pasti ‘Ku Bisa”, “Melompat Lebih Tinggi”, dan “Sahabat Sejati”, lalu
ada lagu “Menggapai Matahari” Ari Lasso, “Kepompong” Sindentosca, “Laskar
Pelangi” Nidji, “Teruslah Bermimpi” Ipang, “Selamat Pagi” RAN, “Sang Pemimpi”
Gigi, dan “Dengan Hati” Lyla.
Berganti rupa dari penggemar kisah sedih, menjadi seorang yang optimistis dan
dikelilingi oleh hal-hal positif, berdampak sangat besar padaku, kamu boleh mencoba
dan membuktikannya sendiri.
“Everything in your life is reflection of a choice you have made. If you want different
result, make a different choice.”
Anonymous
***
Pagi itu ponselku berbunyi. Telepon dari Mbak Wiwin. Aku langsung berdebar penuh
harap.
“In, udah cek surel hari ini?” suara Mbak Wiwin.
112
“Belum, Mbak.”
“Cek dong, itu udah ada satu LOA buat In.”
“Mbaaaaaaaak!” pekikku histeris.
“Hahaha… tenang… tenang…”
“Makasih… bilang iya ya, Mbak,” kataku setelah mengambil napas panjang dan
menghapus setetes air mata syukur yang jatuh begitu saja di pipiku.
“Eh… cek dulu universitas apa itu, In setuju enggak, tunggu dulu LOA dari universitas
yang lain. Nanti nyesel lo…”
“Hehe, iya, Mbak…” cengirku.
Setelah Mbak Wiwin menutup pembicaraan di telepon, gemetaran aku membuka laptop
untuk mengecek LOA tersebut. Montclair State University.
Aku menangis. Bahagia.
***
Montclair State University, hanya setengah jam perjalanan dari Kota New York.
Soundtrack-ku akan segera menjadi kenyataan. “Welcome to New York, Inraini! It’s
been waiting for you…”
***
Take Home Lesson 25:
1. Kelilingi dirimu dengan hal-hal positif selama masa penantian LOA. Bacaan,
tontonan, obrolan, pemikiran. Apa pun itu.
2. Buat daftar musik/lagu berbahasa Inggris yang bisa membangkitkan
semangatmu.
3. Siapkan file lagu-lagu tersebut di ponsel atau laptopmu.
113
4. Sering-seringlah mendengarkan lagu-lagu itu, terutama jika semangatmu sedang
turun.
5. Setiap perasaan galau menghampiri, pindahkan “gelombang negatif”- mu
dengan mendengarkan musik yang membuatmu bisa kembali menjadi seseorang
yang positif.
114
XXVI
ex·cuse
/ikˈskyo͞oz/
verb
attempt to lessen the blame attaching to (a fault or offense); seek to defend or justify
“I attribute my success to this; I never gave or took any excuse.”
− Florence Nightingale
LOA sudah di tangan. Pengurusan administrasi sedang berjalan. Semua tampak terang
benderang di depanku kini. Tapi bukan berarti aku bisa berlega hati. Kami masih harus
melewati tes kesehatan yang tiba-tiba terasa menyeramkan. Perasaan waswas tak urung
menyelimuti kami semua, sembari menanti hasil tes tersebut keluar.
Setelah itu, kami masih harus melewati wawancara saat pengurusan visa. Cerita horor
tentang mahasiswa yang gagal berangkat karena visanya tidak disetujui, tentu juga
menjadi topik pembicaraan hangat di antara kami.
Selain itu, kami juga diwajibkan mengikuti orientasi sebelum keberangkatan dan
pelatihan kepemimpinan. Pelatihan kepemimpinan ini merupakan ajang terakhir kami
bisa berkumpul bersama sebelum masing-masing berangkat. Semua penerima beasiswa
PRESTASI USAID 2014, baik di dalam dan luar negeri, diberi pelatihan selama
beberapa hari untuk mempersiapkan mental masing-masing dalam menempuh
pendidikan nanti.
Selama pelatihan yang dimentori oleh beberapa psikolog ini, selain kami lebih
memahami diri masing-masing, kami juga semakin mengenali karakter dan mengetahui
sisi berbeda dari teman kami masing-masing.
***
115
Sebelum berada di antara teman-temanku ini, aku mempunyai persepsi keliru tentang
para penerima beasiswa ke luar negeri. Di mataku, mereka semua adalah orang-orang
beruntung yang terlahir dari keluarga berada, mempunyai kemudahan dalam mengakses
pendidikan yang berkualitas, informasi, dan semua fasilitas yang mereka butuhkan
untuk melanglang buana ke mana pun mereka mau.
Beberapa dari mereka mungkin seperti yang kupikirkan, tapi tidak semuanya. Semua
orang punya cerita hidup mereka masing-masing.
Dalam salah satu sesi pelatihan kepemimpinan ini, satu per satu kami menceritakan
peristiwa masa lalu kami yang masih mengganjal di hati hingga saat ini. Satu demi satu
kami berbagi kisah kami. Beberapa memulai dengan tersendat, terbata menemukan kata
yang tepat mewakili perasaan mereka. Sesi ini berakhir dengan hampir semua peserta
dan mentor, berurai air mata.
Seiring dengan berjalannya waktu, dan semakin dekatnya kami satu sama lain, aku
mendengar semakin banyak kisah dari teman-temanku ini. Kisah-kisah yang
membuatku menyadari bahwa persepsiku selama ini salah total.
Seorang teman bercerita, sejak kecil, dia yang bertanggung jawab atas ekonomi
keluarganya. Hidup mereka sangat susah, hingga kerap dia harus ke pasar
mengumpulkan sisa-sisa sayuran, lalu membawanya pulang untuk lauk mereka
sekeluarga. Menjelang remaja hingga kini, dia membiayai sekolah beberapa adik
tirinya. Beban itu, membuatnya tak bisa menyisihkan uang gajinya untuk dirinya
sendiri. Mereka sekeluarga tinggal di rumah usang yang sangat sempit dan menumpang
di tanah pemerintah. Temanku yang bekerja sebagai dosen di sebuah universitas negeri
terkenal ini, menjadikan kondisi kehidupannya sebagai semangat untuk mengubah
hidup mereka. Ini kali keempat beliau mendapat beasiswa ke luar negeri.
Seorang teman yang lain, merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan beberapa tahun
yang lalu, tanpa mendapat izin orangtuanya. Hanya dengan uang yang sangat terbatas,
beliau nekat hingga tiba di Jakarta, kemudian mengadu nasib melamar pekerjaan.
Kenekatannya membuahkan hasil karena kemudian dia diterima di salah satu
kementerian.
116
Ah, banyak sekali cerita-cerita mereka yang membuatku menyimpulkan bahwa aku,
kami, mereka yang telah lebih dulu menjadi penerima beasiswa ke luar negeri, sama
dengan kamu. Kami hanya manusia biasa yang punya keterbatasan, punya beban, punya
masa lalu. Tapi kami tak menjadikan keterbatasan tersebut sebagai penghalang.
Melainkan sebagai pendorong untuk terus maju.
Jika kamu punya mimpi untuk kuliah ke luar negeri, tak ada satu pun alasan yang bisa
membenarkan kamu tak mampu meraih mimpimu itu. Kamu bisa. Apa pun halangan
yang kamu jumpai. Bagaimanapun menyedihkannya cerita masa lalumu. Apa pun
kondisimu saat ini, itu bukan alasan untuk tidak melangkah maju. Selalu ada jalan untuk
melampaui itu. Kamu hanya perlu menemukan jalan itu. Cari, pelajari, temukan! Jika
kami bisa, kamu juga pasti bisa!
***
Setelah selesai pelatihan kepemimpinan tersebut, beberapa teman telah mulai
mempersiapkan tanggal keberangkatan mereka. Di sisi lain, masih ada teman yang
nilainya belum mencukupi, masih ada yang belum mendapat LOA. Masih ada yang
harus mengulang tes kesehatan. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka
saat itu. Tapi teman-teman tersebut orang-orang yang luar biasa. Mereka terus dan terus
dan terus dan tak putus berusaha. Tes lagi dan lagi dengan biaya sendiri. Melamar ke
beberapa universitas lain dengan biaya sendiri. Berhenti bukan pilihan kami, kira-kira
demikian prinsip teman-temanku ini.
“If you really want to do something, you’ll find a way; if you don’t, you’ll find an
excuse.”
− Jim Rohn
***
Take Home Lesson 26:
117
1. Menjaga kesehatan sejak jauh-jauh hari, tidak hanya penting karena kamu
membutuhkan kondisi yang fit untuk menghadapi satu per satu kegiatan selama
masa pelatihan, tapi juga surat keterangan sehat dengan pemeriksaan yang
menyeluruh merupakan salah satu syarat wajib keberangkatan.
2. Proses administrasi untuk pembuatan visa, dibantu oleh penyelenggara beasiswa.
3. Untuk wawancara mendapatkan visa berlangsung ketat, tapi kamu tak perlu
khawatir.
4. Semua orang punya masa lalu, beban, cerita suka, dan duka. Apa pun cerita
hidupmu di masa lalu, apa pun kondisimu saat ini. Kamu berhak bermimpi yang
besar. Kamu layak menjadi penerima beasiswa dan kuliah ke luar negeri. Tetap
semangat, kamu bisa!
118
XXVII
mag·ic
/ˈmajik/
noun
the power of apparently influencing the course of events by using mysterious or
supernatural forces
Banyak sekali keajaiban yang kutemukan sepanjang perjalananku ini. Salah satunya
orang-orang yang ikut menjadi penentu kesuksesanku: para program officers di
PRESTASI USAID. Bu Mira, Mbak Wiwin, Mbak Chichi, dan banyak lagi mereka
yang bekerja di belakang layar. Memastikan kami semua mendapatkan yang terbaik dari
program kami ini.
Mereka mengawal perjuangan kami setahap demi setahap, mengenal kelebihan dan
kekurangan kami masing-masing, memastikan segala urusan administrasi kami beres,
terus menyemangati, mengevaluasi, dan memberikan saran-saran terbaik mereka.
Mereka tempat kami “lari” saat kami resah, bingung, dan khawatir tentang banyak hal
yang tak kami kenali sebelumnya. Mereka turut bahagia setiap kami bisa lanjut ke tahap
berikutnya, sekaligus orang pertama yang disibukkan oleh pertanyaan-pertanyaan kami,
baik yang mendadak maupun detail pengisian formulir aplikasi pendaftaran, seperti,
“Mbak, ini yang nomor B.13 ditulis pakai huruf kapital atau huruf kecil? Trus yang
nomor C7 itu dicentang yang kolom A atau B?” Aih.
Mereka pula yang memastikan kami mendapatkan semua yang kami inginkan secara
personal. Pertanyaan seperti ini, juga dilontarkan saat mempersiapkan penerbangan
kami, “In, nanti mau penerbangan malam atau pagi? Tempat duduk di pesawat mau di
dekat jendela atau di tengah?”
119
Orang-orang besar di USAID, lembaga yang mendanai beasiswa kami, juga tak kalah
memberi perhatian besar. Mereka bahkan mendampingi kami saat wawancara visa, yang
membuat perasaan cemas berganti menjadi damai sejahtera.
***
Kami, para penerima beasiswa, memulai perjuangan ini dari awal sendiri-sendiri.
Kemudian kami disatukan selama pelatihan, berkompetisi dengan diri sendiri dari hari
ke hari. Lalu kami mulai saling mendukung, mulai tercipta perasaan keterikatan satu
sama lain, solidaritas, satu identitas di bawah payung PRESTASI USAID, satu keluarga
besar.
Tapi kini tibalah saat untuk memulai perjalanan itu sendiri-sendiri lagi. Kami harus
mempersiapkan segala sesuatu. Seperti menghubungi advisor di kampus, mencari
apartemen atau asrama untuk tempat tinggal, dan menyiapkan apa saja yang perlu
dibawa dari Indonesia.
Namun, lagi-lagi, selalu ada seseorang di seberang sana, yang menolong semua proses
tersebut. Beasiswa PRESTASI USAID, memfasilitasi setiap penerima beasiswanya
dengan satu program advisor IIE (Institute of International Education) di Amerika.
Mereka berpengalaman dalam penyelenggaraan pendidikan internasional. Selain
menyediakan semua informasi yang kami butuhkan, mereka juga menjembatani kami
dengan international officer di masing-masing kampus.
Mahasiswa Indonesia yang berada di Amerika juga bisa menjadi tempat untuk bertanya.
Di universitasku sendiri, ada dua penerima beasiswa PRESTASI USAID yang sedang
menjalani perkuliahan. Mereka berdua, Mbak Irma dan Doi, memberi banyak informasi
yang sangat bermanfaat sebelum keberangkatanku.
***
“Magic is believing in yourself, if you can do that, you can make anything happen.”
− Johann Wolfgang von Goethe
120
***
Akhirnya saat itu pun tiba. Beberapa temanku telah lebih dahulu berangkat menuju
universitas mereka masing-masing. Aku menghitung mundur waktuku untuk segera
berangkat. Minggu berganti, hari itu pun semakin mendekat. Sembari mempersiapkan
banyak hal, tiba-tiba banyak hal besar terjadi dalam hidupku. Aku kehilangan dua orang
yang sangat berarti dalam hidupku. Paman kesayangan dan Omaku tercinta. Mereka
pergi dalam jarak waktu yang berdekatan, dan mencipta perasaan kehilangan yang tak
tahu bagaimana harus kugambarkan. Lalu, aku menerima kabar seorang keponakan
yang tumbuh besar dan menghabiskan banyak hari-hari bersamaku, didiagnosis
menderita penyakit kronis. Perasaanku semakin campur aduk. Seiring semakin dekatnya
waktu keberangkatanku, malam-malamku dihantui tangis dan mimpi-mimpi buruk.
***
Di ruang tunggu, beberapa jam sebelum keberangkatan. Aku sendiri di sini kini.
Merenung. Perasaanku teriris perih membayangkan aku harus segera berangkat.
Mengenang semua yang pernah kulalui dalam hidupku. Di saat yang sama, ada ruang
kosong di hatiku yang perlahan terisi perasaan hangat; perjuangan, pencapaian,
pembuktian. Melihat ke belakang, aku takjub melihat apa yang sudah aku lakukan; aku
temukan.
Aku menarik napas panjang. Pengumuman bahwa penumpang dipersilakan memasuki
pesawat terdengar dan mengakhiri lamunanku. Aku bangkit dan masih dengan perasaan
tak percaya ikut melangkah bersama barisan orang-orang di depanku. “Ya Allah, ini
mimpi atau kenyataan? Aku benar akan segera berangkat ke Amerika?”
Ya, ini bukan mimpi. Ini nyata. Dan di depan sana, ada petualangan baru, ada banyak
ilmu yang akan kupelajari. Jika sampai di sini saja kamu sudah merasa luar biasa, In,
bayangkan pengalaman apa yang bisa kamu panen dari sana? Jika di titik ini, kamu
merasa bertumbuh dalam semua aspek di hidupmu, bayangkan apa yang bisa kamu
bawa dari dua tahun perjalananmu nanti.
Bersiap, bersemangatlah. Kamu bisa. Kamu bisa, Inraini.
121
Aku tersenyum. Ya, aku siap.
“And suddenly you know: It's time to start something new and
trust the magic of beginnings.”
− Meister Eckhart
Take Home Lesson 27:
Mulailah menulis kisah perjalananmu sendiri, selamat memulai, kamu bisa!
1. …
2. …
3. …
4. …
122
Epilog
Kurang dari 50 hari lagi, aku akan kembali ke Indonesia. Bukan hanya gelar master
yang aku dapatkan dari perjalanan panjang ini. Aku seperti satu butir benih yang
terlempar ke sebuah lahan besar yang entah di mana berada. Aku jauh dari siapa pun.
Aku tak punya siapa-siapa.
Aku menemukan petualangan yang sebenarnya di sini: tersesat di tengah malam buta
beberapa hari setelah aku tiba, menyiasati bagaimana mendapat nilai sempurna di setiap
mata kuliah, menemukan pelatih yang selalu menyemangati, dan banyak lagi cerita luar
biasa lainnya tercipta di sini.
Dan aku bertumbuh dan tumbuh. Tinggi, pesat, rimbun, kuat, dan siap. Aku belajar
banyak hal, aku bertemu banyak orang, aku melihat dunia dengan pandangan yang tak
lagi sama.
Perjalanan ini sungguh jauh luar biasa dari yang bisa aku bayangkan. Hari demi hari,
detik demi detik, aku menemukan keajaiban demi keajaiban.
Kamu, ya, kamu yang setia membaca hingga halaman ini, melangkahlah, mulailah
perjalananmu, temukan negara impianmu, Dan kamu akan bersua keajaibanmu pula.
Sesuatu yang tak pernah kamu bayangkan sebelumnya menanti di depan sana.
***
123
Download