Ketika Kamu Bermimpi Kuliah ke Luar Negeri Tetapi Tidak Bisa Berbahasa Inggris Cara Cerdas Meraih Beasiswa ke Luar Negeri Inraini F. Syah, SKM, MPH Penerima beasiswa Kebidanan Komunitas Kementerian Kesehatan dan beasiswa PRESTASI USAID 1 Prolog New Jersey, 27 Desember 2016 Aku memandang ke luar jendela. Salju menutupi seluruh permukaan jalan dan mobilmobil yang diparkir di depan rumah. Serupa selimut putih, dengan cahaya bulan memantul di sana. Indah betul! Merapatkan jaket, aku berdiri sejenak dan mengecek suhu pemanas ruangan. Ini musim dingin terakhir sebelum aku kembali ke tanah air. Aih. Cepat nian waktu berganti. Aku tersenyum mengingat “keajaiban” yang membawaku hingga sini. Membayangkan, empat tahun yang lalu, aku bahkan tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali. Lalu aku melirik-lirik senang pada nilai IPK yang baru kuterima semester ini: 4! Astaga, bisa juga aku mendapat nilai sempurna. Padahal semua pelajarannya berbahasa Inggris. Ya iyalah, kan kuliahnya di Amrik, In! Separuh diriku sendiri masih belum memercayai kenyataan ini. Okay, bukan hanya aku. Keluarga dan teman-teman dekatku pun setiap menelepon masih berkelakar, “In, kamu di kelas gimana, betulan bisa ngomong Inggris?” Biasanya kami hanya akan tertawa bersama, setiap mereka melontarkan pertanyaan yang sama. Namun diam-diam, ada banyak hal yang orang-orang terdekatku pun tidak tahu. Keajaiban yang kuraih saat ini, melalui jalan berliku. Aku melakukan banyak hal, bereksperimen, berstrategi, berjuang, berdoa, dan berhasil! You are what you are thinking about! Demikian kata Bob Proctor, seorang “guru” yang belakangan kugandrungi video-videonya di YouTube. Dan aku menyadari kekuatan kalimat tersebut tahun 2012 yang lalu. Tahun yang mengubah hidupku dan membuka jalan lebar menuju Amerika Serikat! 2 Aku merangkum kisah perjalananku selama tiga tahun di buku ini. Sejak awal berniat ingin ke luar negeri, hingga melangkahkan kaki menuruni pesawat di bandara NewarkNew York Liberty, Amerika Serikat. Tiga tahun perjalanan yang menakjubkan. Ada banyak rahasia berserak di sini. Ada “peta” yang bisa kamu jadikan pedoman. Ada pelajaran, yang lebih dulu kulewati, silakan dipetik petuahnya. Meski ini kisahku, bukan mustahil bisa pula menjadi kisahmu kelak, kisah perjalanan yang membawamu ke negeri-negeri jauh, negeri impianmu. “If you can see it in your mind, you are going to hold it in your hand.” − Bob Proctor *** 3 I de·sire /dəˈzī(ə)r/ noun a strong feeling of wanting to have something or wishing for something to happen verb strongly wish for or want (something) “Whatever is your heart desires, please go for it, it’s yours to have.” − Gloria Estefan Belasan tahun yang lalu, saat tamat SMA, aku harus mengendapkan dalam-dalam impianku untuk menjadi seorang penulis, jurnalis, atau ahli astronomi. Ketika temanteman melenggang ke universitas-universitas terbaik di Indonesia, aku menghabiskan setahun pertama kembali ke bangku bimbingan belajar. Mati-matian mengejar impian. Bukan milikku, tapi kedua orangtuaku. Klise, seperti kebanyakan orangtua lain, mereka ingin aku menjadi dokter. Pikirku saat itu, tak ada salahnya membahagiakan orangtua. Aku gagal mendapatkan bangku kedokteran di ujian masuk perguruan tinggi negeri di tahun pertama kelulusan. Setahun setelahnya: aku berhasil! Tapi coba tebak apa yang terjadi kemudian. Ayah dan Mama (demikian aku memanggil orangtuaku) tak punya cukup biaya untuk mendukungku mewujudkan impian mereka. Dan menjadi “dokter” kemudian diralat menjadi “bidan.” “Setidaknya, biayanya tidak semahal di kedokteran, waktu yang dibutuhkan lebih singkat, dan setelahnya kamu bisa segera bekerja,” demikian argumen mereka. Aku hanya diam, tak tahu harus berkomentar apa. Kehilangan kata. Tersendat sesak di dada. 4 Tiga tahun setelahnya, aku menamatkan pendidikanku di Akademi Kebidanan. Tak lama, setelah melalui serangkaian tes, aku diangkat menjadi PNS, bahkan sebelum ijazahku keluar. Lalu aku menikah dan berprofesi sebagai bidan desa di sebuah nagari elok di Sumatra Barat. Waktu bergulir, aku kemudian memiliki tiga orang putra putri yang cakap dan rupawan. Hidupku berjalan lancar dan mulus. Di tempatku bekerja, aku merasa utuh. Aku bisa menolong banyak orang. Menghabiskan banyak waktu bersama keluarga. Meski hanya menyandang gelar D3, tampak seperti: hidup yang sempurna! Tapi jauh di dalam hatiku, aku masih menyalahkan takdir. Mengapa Ayah dan Mama tak cukup punya uang untuk biaya pendidikanku? Mengapa aku hanya menamatkan D3 sementara teman-temanku telah bergelar sarjana? Mengapa aku tak boleh memilih apa yang kumau? Mengapa aku tak bisa melanjutkan kuliah di kampus yang kuimpikan? Pertanyaan-pertanyaan itu seperti mimpi buruk berkepanjangan yang bergaung di kepalaku. Masih terasa menyakitkan membiarkan impianku berakhir begitu saja. Ada dendam tergores dalam, mengingat saat itu tak seorang pun berkata, “Kamu bisa menjadi apa pun yang kamu inginkan, Inraini.” Atau “Selalu ada jalan untuk meraih impianmu.” Lama aku terperangkap dalam pikir dan marahku itu. Hingga kemudian aku menyadari sesuatu. Tidak ada sesiapa pun yang bertanggung jawab atas impianku. Aku. Ya, akulah satu-satunya yang bertanggung jawab atas semua pilihanku. Bukan orangtuaku, teman, atau pun kerabatku. Tak ada orang lain yang bisa mewujudkannya buatku. Aku harus berusaha untuk diriku sendiri. Aku menarik napas panjang. Baiklah. Kini, hal pertama yang aku inginkan adalah: melanjutkan kuliah ke jenjang S1 di universtas terbaik di Indonesia. Harus universitas terbaik. Tidak yang lain. Aku belum tahu bagaimana. Tapi aku tahu aku bisa. Tahun 2008, kami sekeluarga memutuskan pindah ke Bitung, Sulawesi Utara. Kota kelahiranku. Di tempat baru ini, aku kembali menekuni profesiku sebagai bidan desa, dan bertempat tinggal di sebuah Poskesdes (Pos Kesehatan Desa). Aku 5 mencintai pekerjaan tersebut. Menjadi bidan, membuatku merasa dikelilingi begitu banyak saudara dan kebaikan. Meski demikian, di sela pekerjaan, aku kembali “mengejar” impianku sebagai penulis. Aku bergabung di milis-milis penulisan, membuat website, dan mulai (kembali) menulis puisi dan cerpen. Tahun 2010 aku mengikuti tes beasiswa Kebidanan Komunitas Kemenkes RI. Aku diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia melalui program ini. Bahagia tak terkira. Aku merasa berada di puncak kesuksesanku. Waktu berjalan cepat, saat itu Juni 2012. Tiga bulan sebelum aku wisuda. Sebagai seorang bidan desa, meraih gelar sarjana dari Universitas Indonesia adalah pencapaian luar biasa. Ini mimpi yang jadi kenyataan. Tapi ya, ibarat berada di dalam mimpi indah, aku seperti dibangunkan saat wisuda tiba. Dan aku belum mau terjaga. Kesempatan melanjutkan pendidikan di UI bukan hanya membawakanku selembar ijazah. Tapi juga membuka mataku lebar-lebar. Ada ilmu berserak yang bisa kutelusuri untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik buat semua. Tidak. Aku belum selesai. Aku harus mengetahui lebih banyak lagi. Hausku akan ilmu belum terpuaskan. Dan tentang impian, aku berhenti sejenak. Memandang bayangku yang dipantulkan mentari senja di dinding kampusku, kemudian berbisik, “Aku bisa menjadi apa pun yang aku inginkan.” Dan “Selalu ada jalan untuk meraih impianku.” Sekian lama aku menunggu seseorang mengucapkan kata-kata tersebut buatku. Kenapa, aku tak membisikinya untuk diriku sendiri. Usiaku 32 tahun. Sepuluh tahun yang lalu, teman-temanku lebih dahulu menamatkan pendidikan sarjana mereka. Tapi itu tak menjadi masalah, sekarang giliranku. Dan ya, wisuda ini, bukanlah akhir dari impianku. Melainkan gerbang menuju impian baru! Hasrat itu kembali menyala. Berkobar lebih besar. *** Kamu, ya, kamu yang sedang membaca buku ini. Di mana pun kamu berada, apa pun situasimu saat ini. Cobalah merenung sejenak. Tengok ke belakang sekilas. Apa 6 impianmu yang sesungguhnya? Apa yang ingin kamu raih sebenarnya? Sudahkah kamu menggapainya? Jika belum, aku ingin membisikimu hal yang sama, hal yang selalu ingin kudengar belasan tahun yang lalu. “Kamu bisa menjadi apa pun yang kamu inginkan!” “Kamu bisa meraih impianmu, apa pun itu!” “Selalu ada jalan untuk mewujudkan impianmu!” Nyalakan hasrat itu. Dan percaya. Kamu bisa. “Desire is the starting point of all achievement, not a hope, not a wish, but a keen pulsating desire which transcends everything.” − Napoleon Hill *** Take Home Lesson 1: 1. Tak ada kata terlambat untuk meraih impianmu. Berapa pun usiamu saat ini. Sedekat atau sejauh apa pun impian itu, selalu ada jalan untuk meraihnya. Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah menyadari apa yang sebenarnya ingin kamu raih, dan menyalakan hasrat untuk menggapai impianmu itu. 2. Bermimpilah yang besar. Tak ada yang melarangmu untuk bermimpi, sebesar apa pun itu. Kamu adalah tuan dari pikiranmu sendiri. Impian adalah bentuk imajinasi yang sangat kuat, yang akan memengaruhi semua tindak-tandukmu. Dan menuntunmu untuk tetap berusaha mewujudkan itu. 3. Jangan menjadikan masa lalu, semua yang pernah terjadi di hidupmu, kegagalan atau keberhasilan yang biasa-biasa saja sebagai penghalang atau tolok ukur untuk pencapaianmu di masa datang. 7 4. Seperti masa lalu, kondisimu saat ini juga bukanlah merupakan perhentian terakhirmu. Ada potensi besar dalam dirimu yang mungkin tidak kamu pahami. Kamu bisa menjadi hebat, kamu bisa menjadi seperti apa yang kamu inginkan. 5. Jangan definisikan dirimu berdasarkan hal-hal negatif yang orang-orang katakan tentangmu dan kemampuanmu. Entah itu guru, orangtua, teman, saudara, atau siapa pun yang melekatkan keterbatasanmu sebagai identitasmu, jangan percayai itu. Percayai dan buktikan ini: kamu adalah versi terhebat dari dirimu. 6. Hanya ada satu cara untuk meraih impianmu: letakkan 100% tanggung jawab untuk mewujudkan impian itu di pundakmu. Tak ada seorang pun di dunia ini yang akan meraih impianmu buatmu. Kamu, ya, kamulah yang harus melakukannya sendiri. 7. Impianmu berada di depan sana, menunggumu, hanya untukmu. 8. Percaya, kamu bisa mewujudkan itu. 8 II Studying abroad the act of a student pursuing educational opportunities in a country other than one's own “Why do you go away? So, that you can come back. So, that you can see the place you came from with new eyes and extra colors. And the people there see you differently, too. Coming back to where you started is not the same as never leaving.” ― Terry Pratchett Jangankan untuk kuliah ke luar negeri. Bepergian ke negara lain pun, aku tak pernah membayangkan. Aku cinta Indonesia. Aku hanya ingin menolong orang banyak dengan profesiku dan menjadi penulis. Titik. Pernyataan itu terdengar sangat Nasionalis. Tapi alasan sebenarnya, tersimpan rapat dan tak ingin kuakui: takut. Ya, ketakutan akan sesuatu yang tak kukenali. Sesuatu yang baru, asing. Ketakutan akan perjalanan jauh. Bahasa yang tak kumengerti. Takut berada jauh dari orang-orang yang kucintai. Aku merasa jauh lebih baik bersemayam di dalam cangkangku. Di Universitas Indonesia, sebagian besar dosen yang mengajar di kelasku, lulusan luar negeri. Mereka punya cerita menarik dan luar biasa seputar pengalaman mereka menyelesaikan pendidikan di tempat-tempat jauh itu. Aku selalu terpesona setiap kali mendengar tentang musim berbeda, dan pola pendidikan di luar sana. Tapi, buatku, semua tak lebih dari dongeng, hanya indah untuk disimak. Itu kisah mereka. Aku cukup nyaman dengan hidupku di sini saja. Suatu hari, di Taman Mangga, salah satu tempat kesukaan di tengah-tengah bangunan FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat, UI), aku menyimak penuh rasa ingin tahu. Windarti, teman sekelasku sedang asyik mengutak-atik sesuatu di laptopnya. “Ini informasi tentang pendaftaran beasiswa ke luar negeri,” terangnya. Aku tercengang. 9 Ternyata ada beasiswa seperti itu. Penuh rasa penasaran aku meminta tautan beasiswa yang dimaksud Windarti, dan kemudian mempelajarinya. Setelah aku memahami apa yang tertuang di sana, aku merutuki ketidaktahuanku selama ini. Ya, inilah kali pertamanya aku tahu, ada yang namanya beasiswa ke luar negeri dan diperuntukkan buat siapa saja yang memenuhi persyaratan. Untuk kali pertamanya pula aku berpikir dan termenung lama: mungkin… mungkin aku juga bisa memenuhi semua persyaratan itu. *** Takut, perasaan nyaman di negeri sendiri, dan ketidaktahuan membuatku sama sekali tak berniat untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri sebelumnya. Mungkin kamu juga punya alasan yang sama denganku. Alasan yang membuat kita menghabiskan waktu belasan, puluhan tahun, atau seumur hidup menetap di negara yang sama. Atau perasaan tak mampu, tak percaya diri, melihat anak-anak muda berpacu mengejar cita-cita mereka menuntut ilmu ke negeri seberang. Ya, aku selalu takjub melihat teman-temanku di organisasi kampus, KSM Eka Prasetya (Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya, UI), yang sudah mencicipi pengalaman ke luar negeri bahkan sejak masih menduduki bangku SMP dan SMA. Aku merasa tertinggal sekian abad di belakang, melihat kemampuan dan kemauan mereka menjajal banyak negara di dunia. Atau memandang diri kita sendiri terlalu kecil untuk itu. Tak punya keberanian untuk berkompetisi. Menganggap profesi kita tak layak untuk menjejaki pengalaman serupa mereka yang telah lebih dulu tiba di sana. Atau lingkungan kita membuat kita percaya, bahwa kita ditakdirkan selamanya hanya berkutat di satu tempat. Aku memulai perjalanan ini dari titik nol. Ruang gelap tanpa pengetahuan tentang apa itu kuliah di luar negeri. Jika kamu memulainya dari titik yang sama denganku, jangan khawatir. Buku ini bisa membantumu. Kamu juga bisa menghubungiku langsung di laman Facebook @iinsyah. Aku dengan senang hati akan berbagi pengalamanku. Tapi jika kamu sudah dikelilingi dengan berbagai informasi tentang kuliah di luar negeri, sudah menyimpan banyak file tentang beasiswa, telah memutuskan, berarti kamu 10 sudah puluhan langkah lebih maju. Kamu telah mengatasi perasaan takut, telah mengerti arti keluar dari zona nyaman, dan tak lagi berada di ruang gelap ketidaktahuan. Jangan berhenti. Mari lanjutkan perjalanan itu. Karena, dua tahun berada di Amerika Serikat. Berproses sejak awal hingga saat ini, merupakan pengalaman yang tak ternilai buatku. Aku bertemu orang-orang hebat, yang setulus hati membantuku hingga impianku menjadi kenyataan. Aku berinteraksi langsung dengan dosen-dosen inspiratif. Aku bisa berbagi ide-ide luar biasa dengan teman-teman Amerika dan dari seluruh penjuru dunia. Menikmati kampus dengan bangunan mewah, perkuliahan yang bayarannya puluhan juta rupiah. Mendapat uang saku yang jumlahnya sepuluh kali lipat gajiku di Indonesia. Aku bisa berkunjung ke Liberty Island, Alaska, Rocky Mountain, Harvard, White House, Beverly Hills, Hollywood. Aku bahkan bisa bertemu langsung dengan Presiden RI, sesuatu yang tidak terjadi selama aku di Indonesia. Tidakkah kamu juga ingin mengalami pengalaman dan petualangan hebat serupa? Semuanya berawal dari satu tekad, satu keputusan besar. Juni, 2012. Tiga bulan sebelum aku wisuda dari Universitas Indonesia. Aku harus punya impian baru. Aku harus melangkah setingkat lebih tinggi. Aku mengenyahkan semua rasa takutku, keluar dari zona nyamanku, dan akan mencari semua informasi untuk meraih impian baruku itu. Aku putuskan: aku akan melanjutkan S2 di luar negeri! Meski saat itu aku benar-benar belum punya gambaran, bagaimana aku akan mewujudkannya. Tapi satu rahasia kecilku; aku belum akan berhenti sebelum impianku menjadi kenyataan. “Faith is taking the first step even when you don't see the whole staircase.” − Martin Luther King, Jr. *** Masih bersamaku di lembaran ini? 11 Hal pertama yang harus kamu lakukan setelah memutuskan untuk berpetualang meraih gelar sarjana ke luar negeri adalah: berburu informasi sebanyak-banyaknya! Datangi pameran-pameran beasiswa. Searching bermacam jenis beasiswa di internet. Follow mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di luar negeri di Facebook, Twitter, Instagram. Kirimi mereka surel atau pesan lewat inbox Facebook jika ada potongan informasi yang kamu ingin ketahui lebih jauh. Bergabung di grup-grup beasiswa. Baca kisah-kisah yang mereka bagi di blog-blog pribadi mereka. Tonton celoteh mereka di YouTube. Beli, baca, dan pahami buku-buku pengalaman meraih beasiswa. Dengan melakukan ini, kamu akan termotivasi dan semakin dekat dengan negara tujuanmu. Ada ribuan orang yang telah lebih dahulu menikmati pendidikan di luar negeri. Telusuri jejak mereka. Mereka semua sama, pernah melangkah dari langkah pertama. Dan ini saatnya, kamu membuat langkah pertamamu. “The first step towards getting somewhere is to decide that you are not going to stay where you are.” − Chauncey Depew *** Take Home Lesson 2: 1. Ada dunia di luar sana yang akan memberimu pengalaman berharga yang tak akan kamu dapatkan jika seumur hidupmu kamu hanya menetap di satu negara. 2. Meneruskan kuliah ke luar negeri, bukan sesuatu yang mustahil. Ada beasiswabeasiswa yang bisa memfasilitasi dan apa pun profesimu, kamu layak untuk menjadi salah satu penerima beasiswa tersebut. 3. Mulai langkah pertamamu dengan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang beragam beasiswa yang ada. Berikut beberapa website resmi beasiswa ke luar negeri: Prestasi USAID: http://www.prestasi-iief.org/index.php/id/ 12 LPDP: http://www.lpdp.kemenkeu.go.id/ Fulbright: https://www.aminef.or.id/ 4. Takut, rasa nyaman, dan ketidakterpaparan terhadap informasi menjadi alasan yang mengurung kita. Keluar dari zona tersebut! Percayalah, kamu akan menjadi seseorang yang baru sejak kamu memutuskan akan memulai petualangan menuju negeri impianmu. 5. Kamu bisa menemukan para peraih beasiswa dengan mudah melalui searching di internet. Ikuti kisah-kisah mereka. Ini beberapa tautan penerima beasiswa yang berbagi cerita mereka di blog/vlog pribadinya: Wendi Wijarwadi: https://awenymous.wordpress.com/ Kadek Kidoi Rahayu: https://kadekdoi.wordpress.com/category/cerita-beasiswa/ Tasya Kamila: https://www.youtube.com/watch?v=IODx1WpjUMk&t=40s Andi Arsana: https://madeandi.com/scholarships/ 13 III Goal ɡōl/ noun the object of a person's ambition or effort; an aim or desired result “A goal is a dream with a deadline.” − Napoleon Hill Dalam keseharian, kita sering kali mendengar kata “beruntung”. Ada orang-orang yang dilabeli kata tersebut. Mereka tampak begitu mudah meraih sukses. Semua yang mereka lakukan, berhasil. Apa pun yang mereka sentuh, berubah menjadi emas. Orang-orang ini, bukan sekali dua kali terlihat meraih apa yang mereka inginkan. Tapi terus dan terus. Sebaliknya, ada orang-orang yang “kurang beruntung,” mereka tampak selalu dirundung kegagalan. Sebenarnya apa yang membuat perbedaan pada kedua kelompok tersebut? Dalam bukunya The Strangest Secret, Earl Nightingale mengatakan, perbedaannya adalah Goals. Tujuan. Sasaran. “Beberapa dari kita punya cita-cita dan tujuan yang jelas, beberapa tidak sama sekali. Mereka yang punya tujuan yang jelas, akan sukses, karena mereka tahu, ke mana mereka akan menuju.” Dalam buku tersebut, penulis mengibaratkan dengan satu kapal yang akan meninggalkan dermaga. Kapten dan kru kapal tahu betul ke mana kapal akan menuju, dan berapa lama mereka akan sampai. Mereka punya tujuan yang pasti! Dan 9.999 dari 10.000 kemungkinan, kapal itu akan tiba di tempat tujuannya. Sebaliknya, bayangkan jika kapal tersebut tidak mempunyai tujuan. Kapten maupun kru kapal tidak tahu akan berlayar ke mana dan berapa lama mereka akan berada di lautan. 14 Mereka langsung saja menyalakan mesin dan mulai berlayar. Apa yang akan terjadi? Kapal itu tak akan berlabuh di mana pun. Mereka akan kehabisan bahan bakar dan persediaan makanan. Mungkin tenggelam, atau tersesat di pulau tak berpenghuni. Kedua perbedaaan besar tersebut, hanya disebabkan satu hal sederhana: Tujuan yang pasti! *** Saat memutuskan akan melanjutkan kuliah di luar negeri, aku menyadari hal tersebut. Iya, keluar negeri. Tapi ke mana? Kapan? Ada beberapa pilihan bergaung di kepalaku. Negara-negara di Eropa, Australia, atau Amerika. Aku menghabiskan waktu berhari-hari membaca tulisan-tulisan tentang beasiswa di internet. Akhirnya setelah menemukan website pribadi menteri kesehatan saat itu, Endang Rahayu Sedyaningsih, aku seketika terinspirasi dan memutuskan: Amerika! Ya, aku akan meraih gelar master di Amerika. Kapan? Dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang bisa dibilang nol, banyak hal yang harus kupersiapkan tentunya. Tapi aku tak mau berlama-lama pula. Aku harus mempertimbangkan batasan usia, yang masuk persyaratan hampir semua beasiswa. Dan lebih daripada itu, aku tak mau membuang-buang waktuku. Dua tahun. Ya, dua tahun waktu yang cukup kurasa buatku meraihnya. Maka dengan semangat menyala, aku menulis di selembar kertas: Beasiswa ke Amerika, dua tahun lagi! Saat itu, awal Juli, 2012. *** Suatu hari, aku dan teman-teman di kampus, sedang duduk dan ngobrol bareng. Tibatiba seorang teman Amerika nyeletuk, “In, what do you want to be when you grow up?” “What?” Aku ketawa ngakak. Teringat pertanyaan seperti ini terakhir kali kudengar saat aku SD. “Kalau besar nanti, mau jadi apa?” Tapi kemudian pertanyaan yang sama, ditujukan padaku, lagi, dan lagi. Oleh sopir Uber, oleh seorang dosenku, oleh seorang teman di klub kampusku. Oh, ternyata itu 15 pertanyaan yang lumrah di sini. Pertanyaan seperti itu, bukan hanya ditujukan buat anak kecil. Tapi juga untuk orang dewasa. Ya, ada stigma di keseharian kita, bahwa “cita-cita” itu hanya buat anak kecil. Bahwa ketika kita tumbuh besar, bekerja, menikah, punya anak, maka cita-cita itu pun usailah. Padahal setiap hari kita “bertumbuh”, setiap hari kita bertemu dengan orang-orang baru, membaca, berpikir, beropini, mengambil keputusan, setiap momen yang kita lalui itu, membawa pelajaran baru. Membuat kita menjadi sosok yang baru. Mengantar kita mempunyai “cita-cita” yang baru pula. Cita-cita dan tujuan baru ini yang kemudian menjadi bahan bakar, menjadi penyemangat, menjadi alasan kita bangun setiap pagi dengan perasaan “Aku siap menghadapi hari ini!” Perasaan itulah yang aku rasakan ketika memutuskan ingin meraih gelar master di Amerika. “You are never too old to set another goal or to dream a new dream.” − Les Brown *** Apa pun goals yang kamu punyai, apa negara tujuanmu, kapan kamu akan meraih tujuanmu itu: tulis di selembar kertas. Simpan dan lihatlah sesering mungkin. Aku menempelkan “Amerika” di dinding kamarku, dinding tempat praktikku, dan kutulis di setiap buku catatanku. Ke mana pun aku memalingkan wajahku, aku menemukan tulisan “Amerika” di situ. Aku juga membubuhi tahun 2014, di samping tulisan Amerika tersebut. Sebagai penanda targetku menggapai beasiswa di tahun tersebut. Jangan khawatir dengan sekelilingmu. Jangan ragu meski ada yang akan menertawakan. Ini hidupmu. Ini tujuanmu. Tentukan segera. Apa negara impianmu untuk meraih 16 pendidikan yang lebih tinggi? Kapan kamu ingin sampai di situ? Ambil kertas dan bubuhkan tujuanmu di kertas itu. Dan setiap saat kamu maju selangkah mendekati tujuanmu, orang-orang yang pernah meragukanmu akan tertinggal selangkah di belakangmu. Demikian seterusnya. Dua langkah. Tiga langkah… Semakin jauh langkahmu, kamu akan melihat semakin lebar perbedaan itu. Karenanya, sejak awal, tetap fokus dengan tujuanmu. Brian Tracy, seorang Canadian, penulis buku-buku best-seller menerangkan tentang The Power of Written Goals. Tujuan yang jelas dan dituliskan, memiliki efek yang mengagumkan dalam pikiranmu. Tujuan itu akan memotivasi dan membangkitkanmu untuk bertindak menggapai tujuan itu! “Success doesn't happen overnight. Keep your eye on the prize and don't look back.” − Erin Andrews *** Take Home Lesson 3: 1. Jadilah orang yang beruntung: seseorang yang mempunyai impian dengan tujuan yang jelas. 2. Untuk mulai berburu beasiswa, setelah menggali banyak informasi tentang berbagai kemungkinan negara tujuan, tentukan negara tujuanmu. 3. Ada banyak negara tujuan yang bisa kamu tuju. Tapi perlu disadari bahwa setiap negara punya ciri khas dan pola pendidikan yang tak sepenuhnya sama. Membuat prioritas negara mana yang ingin kamu tuju adalah langkah awal untuk membuatmu fokus pada tujuanmu. 4. Untuk menentukan negara tujuan itu, selain menyesuaikan dengan jurusan atau bidang ilmu yang ingin kamu tekuni, juga tak kalah penting untuk menemukan motivasimu. Kenapa kamu memilih negara tersebut. Semakin kuat motivasi itu, kamu akan merasa terpanggil, dan yakin di sanalah negara tujuanmu. 17 5. Setelah menentukan negara tujuan, tentukan kapan waktumu untuk berangkat ke sana. Tulis deadline-mu. Cari informasi: kapan biasanya setiap tahun beasiswa itu memulai seleksi aplikasi? Berapa lama sesudah lolos seleksi aplikasi, seleksi wawancara dilaksanakan? Setelah seleksi wawancara adakah pelatihan bahasa Inggris, berapa lama? Dari awal seleksi hingga keberangkatan ke luar negeri memakan waktu berapa bulan? Informasi-informasi di atas penting untuk diketahui agar kamu mendapat gambaran utuh waktu yang dibutuhkkan hingga nanti tiba di negara tujuanmu. Dan yang tak kalah penting adalah, berapa lama waktumu untuk mempersiapkan diri hingga kamu yakin bisa lolos semua seleksi tersebut. Buat deadline yang masuk akal dan sesuaikan dengan seberapa besar komitmenmu. 6. Tuliskan negara tujuan dan waktu tersebut pada beberapa kertas. Itu goals-mu untuk saat ini. Tempelkan di berbagai sudut di rumahmu. Di tempat-tempat kamu bisa melihatnya setiap hari. Ini akan selalu mengingatkanmu tentang tujuanmu itu. 7. Semakin kamu percaya pada tujuanmu, semakin mudah kamu akan meraihnya. 8. Tetap fokus, jangan acuhkan orang-orang yang meragukanmu. 18 IV strat·e·gy /ˈstradəjē/ noun a plan of action or policy designed to achieve a major or overall aim synonym master plan, game plan, plan (of action) “Every battle is won before it is fought.” − Sun Tzu Semua yang kulakukan sejak bertekad kuliah di Amerika, adalah berstrategi, berstrategi, dan berstrategi. Dari detik pertama aku berniat, hingga akhirnya aku menginjakkan kaki di Amerika. Ibarat menuju sebuah medan perang, aku tak ingin melenggang santai tanpa mempersiapkan apa pun. Bayangkan, di depan sana berdiri ribuan “bala tentara” (perumpamaanku buat sesama pejuang beasiswa ke luar negeri) menghadang. Mereka seratus langkah lebih maju (punya informasi lebih banyak). Punya persenjataan canggih (kemampuan berbahasa Inggris yang jauh lebih bagus). Punya pengalaman “perang” berkali-kali (mungkin telah mengikuti tes beasiswa sebelumnya). Maka, sia-sia jika aku terjun ke medan perang, tanpa membekali diriku terlebih dulu. Dan yang paling penting adalah memastikan, aku yang akan dipilih sebagai salah seorang penerima beasiswa. Bukan pelamar yang lainnya. Lah, kenapa aku? Di sini letak strategi yang harus kumiliki. Apa yang mereka semua punyai. Harus kupunyai pula. Tapi tak cukup hanya itu. Aku mesti punya satu kualitas, yang tak dimiliki oleh sebagian besar dari mereka. 19 Dalam “perang” ini, aku harus punya “senjata rahasia.” Kamu juga. *** Ada tiga hal penting di sini. Akan kita bahas satu per satu. Tapi sebelumnya, kamu harus memastikan dulu, beasiswa apa yang kamu tuju. Mendaftar pada beberapa beasiswa berbeda itu oke-oke saja. Malah membuka peluangmu lebih besar. Sejauh kamu bisa berkomitmen untuk mencurahkan usaha yang sama besar pada masingmasing beasiswa yang kamu tuju. Buatku pribadi, aku memilih untuk fokus pada satu beasiswa. *** Aku yang Akan Dipilih Beasiswa PRESTASI USAID (United State of America for International Development) langsung mencuri hatiku, sejak kali pertama membaca website-nya. Langsung ada perasaan “klik”. Seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Alasannya sederhana: website beasiswa ini (bisa kamu temukan di sini: http://www.prestasi-iief.org/index.php/id/) didesain sederhana, dalam bahasa Indonesia, mudah dipahami, dan menyediakan begitu banyak informasi. Persyaratan nilai Toefl yang diminta pun yang paling masuk akal buatku: 450 Toefl ITP. Sementara beasiswa-beasiswa lain mensyaratkan 500 hingga 550. Informasi lain yang kudapatkan tentang beasiswa ini adalah, dengan persyaratan nilai Toefl 450 tersebut, beasiswa ini bisa “menjangkau” potensi-potensi calon penerima beasiswa dari daerah-daerah yang tidak memiliki akses yang mumpuni pada lembagalembaga bahasa Inggris. Informasi kedua ini membuat keyakinanku semakin kuat, “Okay, I love this guy!” Aku yang bekerja di Sulawesi Utara, merasa “bertemu” dengan apa yang beasiswa ini “cari”. Kemudian aku menemukan informasi lagi, jika beasiswa ini lebih mengutamakan perempuan sebagai penerima beasiswa mereka. “Stop. Stop. I will marry this man!” Dan aku pun berhenti mencari beasiswa lain. Mencurahkan 100% usahaku pada beasiswa PRESTASI USAID. 20 Ya, temukan beasiswa yang paling tepat denganmu. Ini akan mempermudahmu untuk melanjutkan perjuangan. Tapi kemudian, oke, aku jatuh cinta pada pria itu. Aku akan memberikan seluruh waktu dan yang terbaik dariku buatnya. Dia sempurna buatku. Tapi, apa aku yang akan dipilihnya? Ya, aku harus memastikan itu aku. Tapi bagaimana caranya? Lagi. Gali informasi sebanyak-banyaknya. Aku tidak mau mendatanginya menggunakan baju berwarna kuning, sementara dia menyukai warna biru. Sejak memutuskan untuk berjuang mendapatkan beasiswa PRESTASI USAID, tak satu hari pun terlewat tanpa mengunjungi website-nya. Terkadang sampai tiga atau empat kali sehari aku membaca ulang dan ulang apa saja persyaratannya. Seperti apa profil penerima beasiswa yang telah lebih dulu tiba di Amerika. Apa itu USAID. Apa program-program mereka yang lain. Siapa saja orang-orang di balik beasiswa ini. Apa visi misi mereka. Apa latar belakang mereka memberi beasiswa. Siapa saja alumninya. Apa pula kegiatan mereka. Semua kubaca lagi dan lagi. Selama masih ada tautan yang bisa diklik, aku terus menelusuri sedetail-detailnya. Begitu pun nama-nama yang ada di website itu, aku googling. Semua. Satu per satu. Baik itu di Facebook, website pribadi, Twitter, Linkedin, dll. Sebagian besar aku follow. Setelahnya aku mulai bisa menarik benang merah. Mendapat gambaran. Membuat kesimpulan. Kualitas apa yang mereka cari. Seperti apa orang-orang yang berada di lingkup keluarga besar PRESTASI USAID. Setiap hari “menenggelamkan diri” di website beasiswa ini, membuatku bukan hanya mendapatkan informasi-informasi berharga, tapi membuatku merasa telah menjadi bagian dari keluarga besar PRESTASI USAID. Imajinasiku membuatku merasa telah diterima. Selain itu, semakin lama aku mengakrabkan diri dengan beasiswa ini. Aku kemudian melihat beasiswa tersebut bukan lagi sebatas sebuah “program.” Aku melihat “orangorang” di balik program tersebut. Aku melihat manusia, dengan semua sifat kemanusiaannya. Dengan karakternya. Kelebihan dan kekurangannya. 21 Aplikasi yang akan aku kirimkan, tidak dibaca oleh mesin. Jika aplikasiku diterima, yang akan mewawancaraiku juga bukan alat detektor. Melainkan manusia. Sama denganku. Ini memupuk rasa percaya diriku. Juga membuatku sampai pada kesimpulan: jika aku ingin menembus beasiswa ini, aku harus “menyentuh” sisi kemanusiaan ini. *** Mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang beasiswa yang kamu tuju, akan sangat membantu pada saat menulis esai dan wawancara. Kamu akan otomatis “sejiwa” dengan beasiswa tersebut. Apa pun yang kamu suarakan lewat esai maupun wawancara, akan “senada” dengan visi misi beasiswa tersebut. Mulailah berselancar sekarang juga di website beasiswa impianmu. Siapkan satu buku dan pulpen. Tulis poin-poin penting hasil penelusuranmu. Lakukan lagi dan lagi. Hingga kamu merasa website beasiswa tersebut adalah rumahmu sendiri. *** Apa yang Mereka Semua Punya. Harus Kupunyai Pula. Ini lebih berbicara tentang persyaratan umum calon penerima beasiswa. Pastikan dirimu melengkapi semua persyaratan tersebut. Misalnya, jika ada 10 jenis dokumen wajib yang diminta, jangan mengirimkan 9 di antaranya, lalu berdoa, semoga tim seleksi meloloskan aplikasimu. Doamu tak akan terkabul. Bukan karena Tuhan tidak sayang padamu. Tapi kamu tidak menyayangi dirimu sendiri. Pastikan dokumenmu lengkap sebelum dikirim, baru kemudian berdoa semoga aplikasimu lolos seleksi. Kali ini Tuhan mungkin akan mendengar doamu. Penuhi syarat minimal aplikasi. Misalnya, beasiswa Prestasi USAID menyaratkan 450 nilai Toefl ITP. Jika nilai Toefl-mu 449. Kamu harus belajar lagi dan mengambil tes Toefl lagi. Lalu mengirimkan aplikasi lagi tahun berikutnya. Jika persyaratan IPK S1 yang diminta 2,75 dan nilai IPK-mu 2,74, mungkin kamu harus mencari beasiswa lain, atau kuliah lagi. Ini bukan sarkasme, tapi betulan. Ya, tak ada salahnya, kembali ke bangku kuliah, selain mendapatkan ilmunya, kamu bisa berusaha mendapatkan nilai IPK yang lebih baik. Buat adik-adik yang masih 22 berada di bangku kuliah, IPK memang bukan segalanya, tapi ikut punya andil besar, ketika dirimu berniat melanjutkan kuliah ke luar negeri. Seleksi pertama yang dilakukan oleh tim seleksi beasiswa, adalah kelengkapan berkas dan kesesuaian dengan persyaratan yang diminta. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan aplikasi yang masuk. Aplikasimu akan dengan indah masuk tong sampah, jika tidak memenuhi persyaratan yang diminta atau tidak lengkap. *** Senjata Rahasia Kenali dirimu baik-baik. Apa potensi yang kamu miliki. Apa kreativitas yang kamu punyai. Apa nilai lebih darimu yang bisa kamu “asah” lalu kamu “jual.” Apa yang unik darimu, yang membuat beasiswa incaranmu tak akan tega menolakmu. *** Kembali ke “bala tentara” di awal bab ini. Aku membayangkan para pejuang pencari beasiswa itu punya kemampuan berbahasa Inggris yang jauh lebih baik dariku. Ya, saat itu aku bahkan tidak tahu apa itu “Toefl ITP.” Nilai IPK? Nilai IPK S1-ku bagus, dan jauh di atas persyaratan minimal. Tapi, berapa banyak di antara mereka yang juga mempunyai nilai IPK sempurna? Satu-satunya kemampuan yang aku miliki adalah: menulis. Sejauh ini aku hanya menulis puisi dan cerpen di website pribadi, dua kali menulis artikel di koran lokal, dan sekali dua kali mengikuti lomba menulis—dan tidak menang. Tapi ya, itu satu-satunya “kelebihan” yang aku punya. Kelebihan yang “biasa.” Yang mungkin juga dimiliki banyak orang lain. Yang pasti tidak semua orang. Dan jika aku memberikan usaha lebih, fokus, dan tepat sasaran, aku bisa menggunakan kelebihanku ini sebagai senjata rahasiaku! *** Aku tidak tahu apa kemampuan dan kelebihan yang kamu miliki. Yang pasti kita semua unik. Kita semua memiliki kualitas yang tidak dimiliki orang lain. Kita semua berbeda. 23 Aku yakin kamu juga memiliki “senjata rahasia”-mu sendiri. Yang bisa kamu maksimalkan untuk menarik perhatian para juri dalam menyeleksi berkas aplikasi beasiswa. Googling: cari inspirasi bagaimana kamu bisa menggunakan kelebihanmu, meningkatkan kualitasmu. Temukan ide! Ciptakan sendiri! Lakukan! Rintis! Asah! Kamu lebih mengenal dirimu sendiri. Temukan apa yang bisa membuatmu “bersinar” di antara para pemburu beasiswa yang lain. Apa penentu yang kelak membuat aplikasimu berada di tumpukan aplikasi yang lolos seleksi. *** “Strategy is about making choices, trade-offs; It’s about deliberately choosing to be different.” − Michael Porter Take Home Lesson 4: 1. Bekali dirimu sebelum mendaftar beasiswa; persiapkan strategi terbaik untuk berhasil memenangkan beasiswa impianmu. 2. Yakinkan dirimu jika kamu layak sebagai penerima beasiswa tersebut. 3. Cari informasi lengkap terkait beasiswa incaranmu. 4. Catat dan dokumentasikan setiap informasi penting hasil penelusuranmu. 5. Mendaftar pada beberapa beasiswa berbeda sah-sah saja, tapi fokus pada satu beasiswa yang paling cocok dengan yang kamu impikan akan membuatmu mencurahkan semua perhatian pada beasiswa tersebut. 6. Bagaimana menentukan beasiswa yang paling cocok denganmu? Yang pasti pelajari beasiswa yang kamu tuju, lalu lihat kualitas yang kamu miliki, apakah sesuai dengan beasiswa tersebut inginkan. Berapa banyak poin persyaratan yang bisa kamu penuhi, dan jika belum, apa kamu sanggup berkomitmen untuk memenuhinya dalam beberapa tahun ke depan. 7. Pelajari persyaratannya. Pastikan kamu melengkapi semuanya, setidaknya sesuai dengan standar minimal yang diminta. 24 8. Lengkapi dirimu dengan senjata rahasia. Miliki minimal satu kelebihan yang akan membuat kemungkinan dirimu yang akan dipilih menjadi lebih besar. 9. Jangan lupa tujukan pertanyaan ini pada dirimu sendiri: “Kenapa aku yang harus dipilih oleh beasiswa tersebut?” Jawabanmu haruslah, “Karena selain memenuhi semua kriteria yang diminta, aku juga memiliki kelebihan yang membuatku layak sebagai penerima beasiswa ini.” 10. Persiapkan dirimu untuk lolos seleksi. Jika belum lolos, jangan mudah menyerah. Persiapkan diri dengan lebih baik. Pengalaman selalu mengajarkan untuk memahami kelebihan dan kekurangan kita. V 25 slice /slīs/ noun a thin, broad piece of food, such as bread, meat, or cake, cut from a larger portion verb cut (something, especially food) into slices Mungkinkah memakan seekor gajah? Tentu. Tapi bagaimana caranya? Mudah: satu gigitan demi satu gigitan. Bayangkan tujuanmu mendapatkan beasiswa ke luar negeri adalah seekor gajah panggang. Kamu tidak akan bisa menghabiskannya dengan sekali makan. Tapi sedikit demi sedikit kamu bisa menyelesaikannya! Pengalamanku berjuang meraih beasiswa PRESTASI USAID, tidak terjadi dalam semalam. Meski mungkin seru membayangkannya: di malam hari, aku bermimpi mendapatkan beasiswa ke Amerika, lalu paginya, “Abrakadabra!” Aku sudah terbangun sedang berada di pesawat, siap mendarat di bandara Newark-Liberty Amerika Serikat. Tentu tidak. Aku melangkah satu demi satu pijakan. Dan membaginya dalam beberapa “slice” yaitu: ● Fokus pada persyaratan aplikasi. ● Fokus persiapan untuk wawancara. ● Fokus mendapatkan LOA (Letter of Acceptance/Admission). ● Fokus mempersiapkan diri berangkat ke USA. Ketika berada pada tahap persiapan aplikasi, aku tidak memikirkan “slice” atau tahapan yang lain. Seluruh perhatianku tercurah pada aplikasi. Namun, begitu aplikasi selesai dan aku kirimkan, aku langsung mengalihkan fokusku pada persiapan wawancara. Aku tidak mencemaskan aplikasiku lagi. Aku sudah berbuat yang terbaik. Demikian seterusnya pada tahap-tahap berikutnya. 26 “By the yard it’s hard; but inch by inch, anything’s a cinch!” Anonymous *** Take Home Lesson 5: 1. Lakukan persiapan mengejar beasiswa impianmu secara bertahap. 2. Pada umumnya seleksi beasiswa terdiri dari dua tahap: seleksi aplikasi dan seleksi wawancara. 3. Untuk membuat dirimu tidak kewalahan, selesaikan persiapan secara bertahap dan dalam waktu yang mencukupi. Jangan lakukan semuanya dalam waktu yang mepet. 4. Pertama, buat rincian persyaratan apa saja yang diminta beasiswa yang kamu tuju. Misalnya, beasiswa PRESTASI USAID, untuk seleksi aplikasi mensyaratkan; ijazah S1, transkrip nilai (IPK minimal 2.75), KTP, mengisi formulir aplikasi yang disediakan, pas foto, nilai Toefl ITP minimal 450, tiga surat referensi dari dosen atau atasan, minimal 2 tahun pengalaman kerja. 5. Di antara persyaratan tersebut mana saja yang telah kamu miliki, misalnya KTP, Ijazah, transkrip nilai, dan pas foto. Persiapkan itu semua, terjemahkan ijazah dan transkrip nilai ke dalam bahasa Inggris dan legalisir bila diminta. 6. Persyaratan apa saja yang butuh diusahakan, misalnya kamu masih harus memenuhi pengalaman kerja 2 tahun, masih butuh mendapatkan nilai Toefl ITP minimal 450, mendapatkan 3 surat referensi, mengisi formulir aplikasi (termasuk menulis beberapa esai pendek dalam bahasa Inggris). Tentukan berapa banyak waktu yang kamu butuhkan untuk menyelesaikan ini semua. Apa usaha yang bisa kamu tempuh untuk memenuhi semua persyaratan ini. Tulis semua perencanaan itu, bagilah dalam beberapa tahapan. Dan buat komitmen dengan dirimu sendiri untuk menyelesaikannya. 27 VI vis·u·al·ize /ˈviZH(o͞o)əˌlīz/ verb form a mental image of; imagine. “Visualize the most amazing life imaginable to you. Close your eyes and see it clearly. Then hold the vision as long as you can. Now place the vision in God’s hands… and consider it done.” ─ Marianne Williamson Kembali soal cerita gajah panggang tadi. Seberapa pun lezatnya, meski kamu membaginya menjadi porsi-porsi kecil dan bertekad menghabiskannya sedikit demi sedikit, alangkah membosankannya! Mungkin pada hari-hari pertama kamu akan semangat melakukannya. Tapi semakin lama, kamu mungkin lelah, jemu. Perasaanperasaan negatif mungkin menghampirimu. Rasa percaya dirimu mungkin mencapai level tertinggi, lalu perlahan menurun. Mungkin ada peristiwa-peristiwa di sekeliling hidupmu yang membuatmu tak lagi bersemangat untuk mengejar cita-citamu. Mungkin keluargamu menertawakan impianmu. Atau teman-temanmu mencibirmu. Semua itu akan ikut memengaruhi perjuangan dan hasil akhir yang kamu idamkan! Aku juga merasakan hal serupa sepanjang perjalanan ini. Beruntung, aku punya “gambar ajaib”. Begitu memutuskan ingin ke Amerika, aku langsung berselancar, mencari “gambaran” terbaik Amerika yang membuatku begitu ingin tiba di sana. Saat itu, aku hanya menulis sebuah frasa sederhana di Google: “Musim gugur di Amerika.” Di antara sekian banyak gambar yang muncul di layar laptopku, aku memilih satu potret sebuah jalan dengan pohon-pohon berdaun merah dan kuning berderet di kedua sisinya. Sepanjang jalan dalam gambar itu ditutupi oleh daun-daun berserakan. Imajinasiku 28 melayang, merasa berada di rerimbunan daun musim gugur yang melayang terbawa angin! Aku memasang gambar ini sebagai wallpaper di website-ku, juga sebagai gambar latar di laptopku. Setiap ada kesempatan “melamun,” aku selalu berangan-angan bagaimana bahagianya berada di tempat tersebut. Pun, ketika perasaanku sedang tidak bagus. Aku akan “berada” di sana. Membayangkan sentuhan sejuk angin musim gugur. Menikmati helai-helai daun jatuh. Dan perasaanku pun segera berubah, kembali bersemangat. *** Selain itu, aku juga memberitahukan niatku sejak awal pada orang-orang terdekatku. Suami dan adikku, berdua mereka tentu saja tertawa ngakak mendengarkan rencana besarku. Bagaimana tidak, mereka tahu betul aku tidak bisa ngomong bahasa Inggris. Suamiku nyeletuk, “Sehat, Dek?” Anak-anakku, Ririn, Andra, dan Rafka, mereka percaya sejak awal! Tak ada keraguan sedikit pun pada anak-anak tercintaku itu, kalau aku akan menuntut ilmu ke Negeri Paman Sam. Ya, aku harus “mempersiapkan” mereka juga. Jika aku berangkat dua tahun nanti, aku akan meninggalkan mereka selama dua tahun masa pendidikanku di Amerika. Agar mereka mendapat gambaran utuh, aku menempelkan peta dunia di dinding rumah. Setiap ada kesempatan aku jelaskan pada mereka. “Di sini Indonesia.” Tunjukku pada kepulauan tanah air. “Nah, ini Amerika. Bunda mau ke sini dua tahun lagi.” Sambungku memperlihatkan lokasi Amerika di peta. Mereka mengangguk-angguk paham. Memberitahukan orang terdekat tentang tujuanku ini, mendorongku untuk terus bergerak maju melalui tiga cara yang sangat bertolak belakang. ● Pertama, mereka bisa mendukung dan mengingatkan kita. 29 ● Kedua, mereka bisa mendatangkan tekanan yang membuat kita hanya punya dua pilihan: berhasil atau berhasil! ● Ketiga, aku semakin terpacu ingin membuktikan bahwa aku mampu. Tak urung aku tertantang untuk membuktikan pada suami dan adikku. Dan pada semua yang pernah menertawakan rencanaku. Setiap mereka mulai mencandaiku tentang “Amerika”-ku, setiap itu pula, aku akan “lari” pada buku pelajaran bahasa Inggrisku. “Aku bisa. Aku bisa,” rapalku. *** Aku tiba kali pertama di Amerika pada awal musim gugur. Aku mengamati dengan takjub bagaimana musim berganti. Daun-daun hijau berubah warna, dan dalam beberapa minggu setelah aku tiba, aku merasa berada dalam imajinasiku! Aku tiba di tempat yang selama ini hanya aku visualisasikan dalam benakku. Setiap aku berangkat ke kampus, aku merasa berada dalam lukisan, pigura impianku selama ini! Pohon-pohon besar di pinggiran jalan. Helaian daun jatuh. Dan angin musim gugur yang menyapu wajahku! Ini benar-benar mimpi yang jadi kenyataan. Ada yang lebih dari itu. Suatu hari, tiba-tiba aku penasaran dengan “gambar ajaib”-ku. Gambar yang kupilih untuk memotivasiku dan kuhidupkan dalam imajinasiku. Aku cari lagi gambar yang sama secara daring. Kali ini aku menelusuri di mana lokasi gambar itu diambil. Hasil penelusuranku membuatku terdiam beberapa jenak. Ya Tuhan, gambar itu diambil di salah satu jalan di New Jersey! Kota yang sama di mana aku berada saat ini! Jika ini kebetulan belaka, ini kebetulan termanis yang pernah aku alami. “If you want to reach a goal, you must see the reaching in your own mind before you actually arrive at your goal.” − Zig Ziglar *** Take Home Lesson 6: 30 1. Visualisasikan impianmu. Visualisasikan seperti apa tempat/negara yang ingin kamu kunjungi. Ciptakan gambaran di kepalamu seolah kamu telah berada di tempat itu. Resapi perasaan seperti apa yang akan kamu rasakan jika kamu telah berada di sana. Miliki gambaran nyata tentang tempat yang kamu tuju. Miliki gambar ajaib, yang bisa menjaga motivasimu. Setiap kamu merasa semangatmu menurun, kamu bisa membayangkan tempat tersebut. Ini akan membuatmu kembali berada pada gelombang positif dan bangkit berusaha kembali. 2. Informasikan pada orang-orang terdekatmu tentang rencanamu. Apa pun reaksi mereka, jadikan itu pemacu semangatmu. 3. Jack Canfield, co-creator dari seri buku terkenal Chicken Soup for The Soul membeberkan dalam bukunya The Success Principles kekuatan dari visualisasi ini. Dalam buku tersebut, beliau memaparkan bahwa visualisasi dapat mengaktifkan kekuatan kreatif dari alam bawah sadar manusia, memfokuskan otak manusia dengan memprogram Reticular Activating System (RAS) untuk mengenali sumber-sumber yang tersedia untuk mendukung mencapai impian kita. Sumber ini telah berada di sekitar kita, tapi mungkin kita sebelumnya tak pernah menyadarinya. Visualisasi juga menjadikan kita serupa magnet yang menarik orang-orang, kesempatan, ketersediaan hal-hal yang kita butuhkan untuk mencapai tujuan. Dengan atau tanpa kita sadari. 31 VII ap·pli·ca·tion ˌapləˈkāSH(ə)n/ noun a formal request to an authority for something “Always remember, your focus determines your reality.” ─ George Lucas Fokus pertama yang harus dilakukan, tentu saja, mempersiapkan semua kelengkapan, memenuhi syarat minimal, dan juga “mempersenjatai” diri agar mempunyai peluang lebih besar untuk lolos seleksi administrasi. ● Secara umum persyaratan beasiswa untuk melanjutkan S2, antara lain: ● Ijazah S1 dan Transkrip Nilai Ijazah S1 dan Transkrip, biasanya diminta dalam bahasa Inggris. Beberapa universitas bisa memberikan ijazah yang dilegalisir dalam bahasa Inggris, dan transkrip nilai yang juga dibunyikan dalam bahasa Inggris. Bagi yang tidak, bisa menerjemahkan ijazah dan transkripnya pada penerjemah tersumpah. Saat itu aku menerjemahkan ijazahku pada Bapak Marsudi Prabowo, S.H. Cerita dan alamat lengkapnya bisa dibaca di sini: https://inrainy.wordpress.com/2015/01/27/penerjemah-prabowo/ ● Nilai IPK Nilai IPK-ku setamat UI di atas nilai yang diminta sebagai persyaratan beasiswa. Tapi selagi nilai IPK-mu sesuai dengan yang diminta, tidak masalah. Asalkan tidak kurang. Tetap terbuka peluang lebar buatmu untuk mendaftar dan kemungkinan diterima. ● Nilai Toefl ITP atau Toefl IBT atau IELTS (Cerita lebih lanjut tentang poin ini ada di bab IX - XII) ● Pengalaman Kerja 32 Berprofesi sebagai bidan selama 10 tahun tidak membuatku berkecil hati untuk mendaftar beasiswa. Aku malah tertantang untuk membuktikan bahwa sebagai bidan desa, aku berkontribusi banyak bagi kesehatan masyarakat. Aku layak mendapat tempat di beasiswa ini. Biasanya pengalaman kerja yang diminta adalah selama dua tahun. Dua tahun ini, bisa saja terhitung ketika kamu masih kuliah, tapi juga bekerja di sela-sela perkuliahanmu. ● Surat Rekomendasi dari Dosen dan Atasan Tempat Bekerja (Telusuri kisah lengkapnya di bab XIII) *** ● Beberapa hal penting lainnya yang harus diperhatikan: ● Kesesuaian antara Jurusan yang Dituju dengan Pendidikan Sebelumnya atau Pekerjaan Saat Ini Ya, harus ada korelasi antara bidang yang sedang kamu tekuni saat ini dengan jurusan yang kamu tuju. Misalnya, sebagai bidan, aku mengambil jurusan Public Health. Tapi sebenarnya, jurusan untuk S2 tidak melulu harus berkolerasi lurus dengan jurusanmu di S1. Selagi kamu bisa menjelaskan bagaimana jurusan yang akan kamu ambil ini mendukung bidang pekerjaanmu sekarang, itu sah-sah saja. Ada beberapa teman yang berlatar belakang Sastra Inggris mengambil jurusan Pendidikan atau Lingkungan. Ada yang S1-nya Akuntansi, mengambil jurusan Pendidikan. ● Keterlibatan dalam Kegiatan Sosial; Pengalaman Organisasi di Kampus atau Masyarakat, Kepemimpinan Sebelum berniat mengambil kuliah ke luar negeri dan menyadari pentingnya latar belakang pengalaman berorganisasi dan keterlibatan dalam kegiatan sosial, tanpa sengaja, aku sudah lebih dahulu menceburkan diri dalam dua bidang tersebut. Selama perkuliahan di UI, aku bergabung di Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya, departemen Penulisan dan juga ikut menjadi relawan di “Rumah Belajar” UI. Setamat kuliah, sebagian besar waktuku tersita antara pekerjaan, mengurus keluarga, dan belajar. Hampir tak tampak ruang untuk “terjun” pada kegiatan sosial. 33 Tapi percayalah, setiap ada keinginan, selalu terbuka jalan. Apalagi jika kita berniat untuk membaktikan diri bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Banyak sekali jalan untuk melakukannya. Kegiatan sosial dan pengalaman berorganisasi di sini, tidak perlu yang luar biasa besar dan terkenal. Selagi bisa membawa dampak positif bagi orang lain, berarti kamu telah berkontribusi. Temukan kegiatan sosial yang kamu minati; yang membuatmu merasa terpanggil. Bergabunglah. Atau kamu bisa ciptakan sendiri. Yang terpenting kamu harus berkomitmen. Karena apa pun kegiatan itu, akan menuntutmu memberi perhatian lebih, energi dan waktu. Kamu tidak akan memberikan usaha terbaikmu, jika kamu tidak mempunyai minat dan kepedulian. Meski waktuku dipenuhi banyak kesibukan, aku ikut bergabung sebagai pengurus PKK setempat dan menjadi relawan di Yayasan Anak Langit. ● Sebagai “bonus” yang harus dipersiapkan untuk menaikkan “derajat” para pelamar beasiswa: ● Penghargaan yang Pernah Diterima Bagi kamu yang punya penghargaan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan atau jurusan yang dituju, itu akan membantumu mendapat “nilai lebih” dalam tiket lolos seleksi aplikasi. ● Tulisan yang Pernah Diterbitkan di Koran atau Dimuat di Jurnal Sebagai “senjata rahasia,” aku harus memaksimalkan kemampuanku menulis untuk mendapat “perhatian” dari tim seleksi beasiswa. Maka aku mulai mengasah kemampuanku menulis artikel kesehatan. Aku menargetkan, paling tidak setiap bulan aku harus mengirimkan satu artikel ke koran lokal. *** ● Untuk beasiswa PRESTASI USAID saat itu, para pelamar juga diminta: ● Melampirkan CV (Curriculum Vitae) 34 Cobalah mulai tulis CV-mu. Setelah selesai, kamu akan menyadari, seberapa banyak yang telah kamu lakukan selama ini. Coba pandang-pandang lagi CV itu. Jika kamu adalah salah seorang tim seleksi, dengan CV ini, kira-kira mereka tertarik untuk merangkulmu menjadi bagian dari keluarga besar mereka, atau sebaliknya. Jika menurutmu CV-mu belum memuaskan, bahkan untuk dirimu sendiri, ambil kertas yang lain, lalu cantumkan di situ: seperti apa CV impianmu. CV yang juga akan menjadi “idola” tim seleksi beasiswa. Mungkin kamu ingin menambah pengalaman kerjamu. Atau ingin ikut lebih banyak kegiatan sosial. Atau ingin menciptakan kreasi baru yang meningkatkan perekonomian warga sekitar. Atau apa pun itu. Setelah kamu tulis dan merasa puas dengan CV impianmu, lakukan. Mulailah mengisi hari-harimu dengan kegiatan positif. Yang bukan hanya akan membuat CV-mu tampak keren, tapi pasti akan meningkatkan kualitas personalmu juga. ● Mengisi Formulir yang Bisa Diunduh di Website PRESTASI USAID Isi formulir dengan cermat dan teliti. Jangan ada yang terlewati. Dan pastikan kamu mengerti dengan maksud pertanyaan-pertanyaan di situ. Jika ragu, minta bantuan orang yang lebih paham dengan maksud isian tersebut. Baca dan baca lagi. Minta tolong teman yang menguasai bahasa Inggris untuk melihat-ulang formulirmu sebelum dikirimkan. ● Menulis Esai yang Berupa Jawaban Atas Beberapa Pertanyaan Khusus beasiswa Prestasi USAID, para pelamar diminta menjawab sepuluh pertanyaan. Sementara beasiswa lain, ada yang meminta esai berupa study objective. Buatku pribadi, ini yang paling berat, sekaligus juga salah satu penentu kita bakal dipilih atau sebaliknya. Dengan keterbatasan kemampuanku berbahasa Inggris waktu itu, caraku menulis esai ini adalah: Pertama memahami maksud pertanyaan. Apa sih yang “diinginkan” dari pertanyaan tersebut. Apa “kualitas” kita yang ingin dilihat terungkap lewat pertanyaan ini. Kemudian, aku membuat daftar kecil, intisari dari jawaban yang akan aku berikan. 35 Setelahnya, aku mulai menyusun kalimat yang menggambarkan dengan tepat bahwa aku memiliki kriteria seperti apa yang diminta pertanyaan tersebut. Kalimat tersebut kuusahakan to the point, tapi juga dengan gaya bercerita dan natural. Nah, berhubung kemampuan menulisku dalam bahasa Inggris masih jauh di bawah standar, aku meminta bantuan beberapa teman yang kemampuan berbahasa Inggrisnya mumpuni untuk melihat-ulang esai-esaiku tersebut. Kalau kamu tidak punya teman yang sekiranya kamu percayai bisa membuat esaimu bebas dari kesalahan tata bahasa, kamu bisa mencari bantuan profesional. Bayar? Ya iyalah. Namanya juga usaha. Harus mau berkorban. Konten esaiku juga kudiskusikan dengan beberapa teman. Beberapa dari mereka memberikan masukan yang sangat membantu “memperkaya” esai tersebut. Meski demikian, jangan cepat puas dengan esaimu itu. Baca dan baca lagi. Diamkan beberapa hari, kemudian baca kembali. Telusuri esaimu dengan “kaca mata” tim seleksi. Kira-kira jika menerima esai seperti ini, mereka akan berkomentar, “Great!” atau “Biasa saja.” Kira-kira ide yang tercurah di esai tersebut sesuai dengan visi misi beasiswa tersebut atau tidak. Putuskan untuk dirimu sendiri bahwa kamu layak dipilih beasiswa ini, dengan mempersiapkan esai terbaik yang pernah kamu buat. Satu lagi kunci tentang penulisan esai, jangan malu-malu dalam menuliskan ide-ide besarmu. Tentu ide tersebut harus rasional. Juga jangan sungkan menuliskan pencapaian-pencapaian yang telah kamu raih selama ini. Apa sumbangsihmu pada masyarakat melalui pekerjaanmu. Dan apa yang bisa kamu lakukan di masa depan jika kamu meraih beasiswa ini. Tentu harus dengan bahasa yang menarik, sopan, dan tidak arogan. *** Take Home Lesson 7: Siapkan: 1. Ijazah/transkrip nilai yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris, jangan lupa dilegalisasi. 36 2. CV (Curriculum Vitae) yang menggambarkan kualitas yang kamu miliki. Penuhi: 1. Nilai Toefl minimal sesuai persyaratan beasiswa yang dituju. 2. Nilai IPK tidak kurang dari persyaratan minimal. 3. Pengalaman Kerja (umumnya 2 tahun) 4. Surat Rekomendasi dari dosen dan atasan tempat bekerja. Perhatikan: 1. Kesesuaian antara jurusan yang dituju dengan latar belakang pendidikan atau latar belakang pekerjaan. 2. Kelengkapan formulir isian, jangan ada pertanyaan yang terlewatkan dan tidak diisi. 3. Esai yang berkualitas dengan meminimalisasi kesalahan tata bahasa. Bonus yang bisa memperbesar kemungkinanmu diterima: 1. Pengalaman berorganisasi. 2. Keterlibatan dengan kegiatan sosial, menjadi relawan. 3. Penghargaan yang pernah diterima. 4. Tulisan yang pernah dimuat di media massa atau jurnal. 5. Kualitas lain yang kamu miliki. 37 VIII gu·ru ˈɡo͝oro͞o/ noun an influential teacher or popular expert “There is no lack of knowledge out there just a shortage of asking help.” Anonymous Jangan lakukan perjalanan ini sendirian! Apalagi jika ini kali pertamanya kamu mencoba melamar beasiswa. Ibarat naik gunung, kamu tidak perlu masuk hutan, menerabas semak belukar, dan membuat jalan baru. Alih-alih sampai di puncak, kamu malah hanya maju sepuluh meter, atau tersesat. Ratusan bahkan ribuan orang pernah sebelumnya menempuh jalan ini. Telah ada setapak yang mereka tempuh. Ada rute yang mereka jalani. Ada tanda panah. Ada jejak yang mereka tinggalkan. Ikuti itu dan kamu akan selamat sampai ke puncak! Aku beruntung mengenal dua orang guru yang menginspirasi dan meninggalkan jejak yang bisa membuatku meraih impianku sendiri. Beliau adalah I Made Andi Arsana dan Wardjito Soeharso. Awal perkenalanku dengan Made Andi adalah lewat website beliau: https://madeandi.com/. Di situ beliau banyak berbagi pengalaman beliau menuntut ilmu di Australia, juga perjalanannya mendapatkan beasiswa AUSAID. Banyak sekali ceritacerita menarik hati di website tersebut. Beliau memaparkan dengan sederhana, sehingga buat seorang awam sepertiku, sangat mudah memahami. Ketika kemudian Made Andi meluncurkan buku yang berjudul: Berguru ke Negeri Kangguru, tak tunggu lama, aku langsung memburu buku tersebut ke Gramedia. 38 Sejak itu, buku itu menjadi “Kitab Suci”-ku menuju beasiswa impianku sendiri. Ke mana pun pergi, aku selalu menenteng buku itu. Baca dan baca lagi. Mungkin ada yang terlewatkan. Mungkin ada yang bisa memantik ide baru. Meski negara tujuanku tak sama dengan Made Andi, tapi pengalaman beliau yang tertera di sana, lebih dari cukup membuatku mengenali “jalan”-ku sendiri. Dan ya, aku belum pernah bertemu beliau secara langsung. Namun buatku, beliau adalah seorang guru yang membimbing langkahku menuju “Negeri Tanpa Kangguru”-ku. Seorang lagi yang sangat penting dalam suksesku meraih beasiswa ini adalah Wardjito Soeharso, aku memanggil beliau Pak War. Awal perkenalanku dengan beliau di tahun 2008. Saat itu, aku berkenalan dengan website penulis muda, sebuah website penulisan kreasi beliau. Selain menolong mengasah kemampuan menulisku, beliau juga menjadi aktor intelektual di balik suksesku di UI dan kemudian dalam perjalananku meraih beasiswa ke luar negeri. Pak War yang lulusan Boston University, USA, selalu bilang, “Bisa, Uni.” Beliau memanggilku Uni. Aku sangat memercayai beliau, sehingga kata “Bisa” dari beliau, berarti BISA buatku. Beliau juga yang ikut mengoreksi formulir aplikasi beasiswaku, dan tak pernah kekurangan saran yang bisa membuatku merasa lebih baik setiap berbenturan dengan masalah. *** Temukan seseorang yang bisa “memberi penerangan” bagi jalanmu. Seseorang itu bisa siapa saja. Sosok yang kamu kenal di dunia maya dan kamu kagumi lewat karyanya. Atau mungkin tetangga sebelah rumahmu. Yang pasti “guru” itu ada di suatu tempat. Jika kamu berniat dan mencarinya, kamu akan menemukannya. Jangan lupa, seseorang yang ingin kamu ikuti jejaknya adalah orang yang telah lebih dahulu berhasil mencapai impiannya sendiri. Dalam hal ini, beliau telah lebih dahulu mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Seseorang yang sukses, positif, dan membuatmu merasa perlu membuktikan pada beliau jika kamu bisa melakukan yang terbaik. “We all need someone who inspires us to do better than we know how.” 39 Anonymous *** Take Home Lesson 8: 1. Temukan orang-orang yang punya pengalaman mendapatkan beasiswa ke luar negeri sebelumnya. Seseorang yang perjuangannya bisa menjadi inspirasimu. 2. Ikuti rekam jejak mereka, apa kegiatan mereka sebelum menerima beasiswa, apa pencapaian mereka ketika dalam masa kuliah, dan apa yang mereka lakukan setelah meraih gelar akademik. 3. Cari pemberitaan-pemberitaan seputar mereka, tulisan-tulisan mereka yang dimuat media massa, atau surfing di blog pribadi mereka. Baca pengalaman yang mereka tuliskan di sana tentang beasiswa. Jika mereka menulis buku, jangan ragu untuk membelinya. Ini bisa menjadi jalan pembuka untuk menjalin komunikasi dengan mereka. Kamu bisa mengirim surel atau menghubungi mereka lewat media sosial, dan bertanya tentang materi dalam bukunya. 4. Temukan “persamaan” di antara kalian. Apakah kamu merasa punya semangat yang sama, latar belakang, atau cita-cita yang serupa. 5. Jadikan jejak mereka sebagai penuntunmu meraih beasiswamu. 6. Di luar sana, pasti ada seseorang yang bersedia menjadi guru/mentor/pelatihmu. Seseorang yang peduli, bersedia membimbing, dan memberikan support yang kamu butuhkan dalam perjalananmu meraih impianmu ke luar negeri. Temukan seseorang itu! 40 IX rise /rīz/ verb move from a lower position to a higher one; come or go up noun an upward movement; an instance of becoming higher “Still, like air, I rise.” ─ Dr. Maya Angelou Kunci utama untuk meraih beasiswa ke luar negeri, tentu kemampuan berbahasa Inggris. Dan sejujurnya, dibanding topik pelajaran lain, bahasa Inggris adalah hal terakhir yang ingin kupelajari. Di SMA nilai bahasa Inggrisku berkisar antara 6 dan 7. Itu pun mungkin karena belas kasihan guru mata pelajaran tersebut, atau karena aku berperilaku manis dan jadi anak baik di kelas. Di UI, beberapa bahan pelajaran kami dalam teks bahasa Inggris. Sekadar menerjemahkan aku menggunakan Google Translate, ya bisalah. Tapi grammar? Aku bahkan tidak bisa membedakan penggunaan to be: am, is, are. Dan sekarang aku ingin kuliah keluar negeri? Serius, Inraini? Sebenarnya banyak hal yang melintas di pikiranku, terkait kemampuan bahasa Inggrisku yang nihil ini. Bagaimana nanti memahami perkuliahan? Berkomunikasi dengan teman dan dosen? Mengerjakan tugas kuliah? Tapi aku tidak mau memusingkan semua itu pada titik ini. Sekarang yang terpenting adalah mendapatkan nilai Toefl ITP sesuai syarat minimal beasiswa PRESTASI USAID: 450. 41 Lah Toefl itu apaan, aku bahkan tidak tahu. Karenanya, aku googling, dan berburu buku-buku panduan Toefl di sekitaran UI-Depok. Karena tidak mengerti buku panduan dalam bahasa Inggris, aku membeli beberapa buku TOEFL ITP dengan panduan berbahasa Indonesia. Dan memilih buku yang tipis-tipis manis. Selain murah meriah, juga menarik hati untuk membacanya. Sebagian besar berlabel mirip-mirip begini: “Cara Cepat Mendapatkan Nilai Toefl Sempurna dalam Satu Bulan” Atau “Trik dan Tips Mengerjakan Tes Toefl tanpa Perlu Menguasai Bahasa Inggris.” Hem. Cukup menjanjikan, bukan? Cocok sekali buatku. Aku juga mendapat informasi, jika LBI FIB UI (Lembaga Bahasa Internasional Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI) menyelenggarakan tes toefl ITP tersebut. Aku mendaftar. Sekadar ingin tahu apa sih tes Toefl itu. Dan penasaran, berapa nilai yang bisa kucapai. Pada tes Toefl ITP pertamaku itu, tentu saja aku menerapkan poin-poin penting yang kudapat dari buku-buku bacaan yang kubeli sebulan sebelum tes, hasilnya: kacau. Beberapa kali aku ditegur pengawas ujian, karena bolak balik menjawab dari bagian grammar (structure and written expression) kembali mengisi jawaban yang kosong di listening, dan setelah sampai di bagian reading aku malah kembali mengerjakan bagian grammar (structure and written expression). Hasilnya? Skor Toefl ITP-ku 380. Aku mengambil beberapa kesimpulan. Pertama, perkiraanku tentang kemampuan bahasa Inggrisku tepat. Aku tidak tahu apa-apa. Jangankan tahu mana jawaban yang tepat. Pertanyaannya saja aku tidak mengerti. Aku hanya menjawab secara acak. Skor toefl ITP itu sendiri, terendah adalah 310 dan tertinggi 677. Kedua, lupakan soal jalan pintas menuju nilai Toefl yang bagus. Yang aku butuhkan adalah belajar, belajar, dan belajar. Ketiga, cari buku panduan yang tepat dan bisa dipercaya! Dan jangan lupa cek website resmi penyelenggara tes, agar paham aturan yang sebenarnya. Berikut tautan resmi Toefl ITP: http://www.ets.org/toefl_itp/about Dan berikut kira-kira peraturan umum tes Toefl ITP: 42 http://lbifib.ui.ac.id/beta/archives/category/languagetest/toefl-itp Hasil tes Toefl-ku ini menjadi bahan tertawaan bagi diriku sendiri. Suatu hari, aku bertemu dengan seorang senior di UI. Aku bercerita jika berencana mengejar beasiswa ke luar negeri. Senior ini kemudian curhat bahwa beliau juga punya keinginan untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. Beasiswa yang ingin beliau daftar mensyaratkan skor Toefl minimal 550. Setelah beberapa kali tes, beliau menyerah. Penasaran aku tanya, “Memangnya hasil tes Toefl-nya berapa?” Jawabnya, “535. Stuck di situ. Dan enggak bisa naik lagi.” Aku tertawa sejadi-jadinya (dalam hati). What? Toefl-nya sudah mencapai 535, dan beliau menyerah? Di saat yang sama nilai Toeflku 380. Dan aku 100% percaya diri, aku bisa keluar negeri. Aku menertawakan kepercayaan diriku yang keterlaluan ini. Hanya, aku tidak punya kata menyerah dalam kamusku. Ya, nilai 380 itu mungkin memalukan. Tapi percayalah, aku sangat bahagia menerimanya. Tes itu kuambil pada tanggal 28 Juli 2010. Tepat pada hari ulang tahunku. Itu hadiah istimewa dariku buat diriku sendiri. Peletakan batu pertama bagi cita-citaku yang baru. Momen yang menandakan permulaan impian baruku. Hari itu, aku bangga dengan diriku sendiri. Aku puas sekali mengetahui aku telah maju satu langkah. Aku tahu apa itu tes Toefl. Aku tahu di mana kemampuanku saat ini. Aku akan terus maju selangkah demi selangkah. Kemudian aku akan berjalan lebih cepat. Hingga nanti aku akan dapat berlari. Terus. Dan terus. Melesat secepat kilat. Hingga tiba di negeri impianku! Kalau aku bisa! Kamu juga! “Believe you can and you’re halfway there.” ─ T. Roosevelt *** 43 Take Home Lesson 9: 1. Kemampuan berbahasa Inggris adalah syarat mutlak untuk mendapatkan beasiswa ke luar negeri. 2. Meskipun kemampuan berbahasa Inggrismu nol saat ini, bukan halangan buatmu menggapai impianmu kuliah ke luar negeri: kamu bisa mulai belajar. 3. Fokuskan untuk mendapatkan nilai TOEFL ITP sebagai salah satu syarat wajib pendaftaran. 4. Bagi yang belum mengenal apa itu Toefl ITP, bisa mencari informasi seputar itu. 5. Telusuri di mana tempat penyelenggara tes Toefl terdekat di kotamu. 6. Tes Toefl ITP sendiri, ada yang berupa tes Toefl ITP Preparation dan Toefl ITP resmi. Untuk yang preparation biayanya sekitar Rp100.000,- sedangkan yang tes resmi berkisar Rp500.000,-. Yang digunakan untuk melamar beasiswa adalah yang resmi. 7. Tes Toefl ITP terdiri dari 3 bagian: - Listening comprehension, - Grammar structure and written expression, - Reading comprehension 8. Beli buku-buku latihan atau petunjuk mengerjakan tes TOEFL ITP. Pilih yang berkualitas. 9. Mendaftarlah dan ikuti tes Toefl ITP tersebut untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana tes tersebut, seberapa besar kemampuanmu, dan ketahui apa yang harus kamu lakukan untuk meningkatkan nilai tersebut. 10. Jangan berkecil hati bila nilaimu jauh di bawah nilai minimum. Dengan strategi yang tepat dan terus belajar, kamu pasti bisa mendapatkan nilai yang lebih baik. 44 X per·se·ver·ance ˌpərsəˈvirəns/ noun steadfastness in doing something despite difficulty or delay in achieving success Perjuangan meraih beasiswa ke luar negeri, baru akan benar-benar dimulai. Panjang jalan ke depan yang akan ditempuh. Seleksi aplikasi. Seleksi wawancara. Setelah lolos, kamu harus mengikuti pelatihan bahasa Inggris. Kemudian selama pelatihan ini, kamu akan berjuang menaikkan nilai Toefl sesuai syarat yang ditentukan universitasuniversitas di Amerika. Berikutnya, kamu harus berjuang mendapatkan LOA (Letter of Acceptance/Admission) dari universitas. Lalu tes kesehatan. Belum lagi melengkapi berkas-berkas persyaratan imigrasi. Lalu akhirnya setelah melewati itu semua, kamu akhirnya akan berangkat. Tapi keberangkatan ke Amerika juga bukan berarti perjuangan usai. Di Amerika, nantinya kamu akan berhadapan dengan budaya asing. Lingkungan baru. Sistem pelajaran baru. Mengerjakan banyak tugas. Jauh dari keluarga. Di Amerika, menunggu tantangan yang tak kalah menantang untuk ditaklukkan. Artinya apa, semua persyaratan beasiswa, sejak awal, telah menyisihkan kandidatkandidat yang kurang tangguh. Orang-orang yang sukses hingga sampai di negara tujuannya adalah mereka yang persisten. Pantang mundur. Gigih. Mereka berjuang, belajar, berkorban waktu, uang, tenaga. Karena kualitas ini akan dibutuhkan seterusnya. Memastikan bahwa penerima beasiswa adalah mereka yang akan berhasil kelak saat menjalani studi mereka di negeri seberang. “In the realm of ideas everything depends on enthusiasm... in the real world, all rests on perseverance” − *** 45 Johann Wolfgang von Goethe Setelah mendapatkan nilai Toefl-ku yang 380, aku langsung berburu buku-buku bahasa Inggris. Aku membeli beberapa buku grammar selevel sekolah dasar. Ups, bukan selevel, tapi benar-benar buku bahasa Inggris untuk sekolah dasar. Pelajaran bahasa Inggris pertamaku ini, aku tamatkan dalam dua bulan. Puas dengan hasil belajarku, aku pindah ke buku level SMP; kelas VII, VIII, dan IX. Paling tidak aku membeli tiga versi berbeda (tiga penerbit buku) dari masing-masing tingkatan kelas. Untuk mendapat gambaran lebih komprehensif. Hem, sudah mulai agak berat buatku. Tapi bisalah, jika aku tidak paham, atau ingin berlatih lebih banyak untuk topik tertentu dalam buku tersebut, aku bisa menemukan penjelasan dan bahannya dengan googling. Selesai pelajaran SMP, aku “naik kelas” ke pelajaran SMA. Sejenak aku teringat saat-saat di SMA dulu. Jika saat itu aku punya guru yang menjelaskan, menjawab pertanyaan-pertanyaan, aku tetap tidak bisa menguasai pelajaran ini, bagaimana mungkin sekarang dengan belajar sendiri, apa aku bisa? Kurasa jawabannya, karena saat itu, aku tidak punya ketertarikan. Tidak ada motif khusus, kenapa aku harus belajar bahasa Inggris. Tidak ada tujuan. Berbeda dengan sekarang. Aku punya tujuan. Dan karenanya, aku akan belajar dengan sungguhsungguh. Maka, tidak ada alasan untuk bilang tidak bisa; aku membuka buku pelajaran bahasa Inggris SMA-ku dengan berkata, “Kali ini aku akan menaklukkanmu!” *** Menemukan waktu belajar, setelah kembali dari UI, membutuhkan siasat tersendiri. Oke, pertama, sebagai ibu rumah tangga, aku harus mengurusi tiga putra-putriku yang sedang aktif-aktifnya. Sebagai PNS, pagi-pagi aku berangkat ke Puskesmas, melayani masyarakat dan juga bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Posyandu di wilayah kerja Puskesmasku. Selesai jam dinas, aku kembali ke Poskesdes, melanjutkan tugasku sebagai bidan desa selama 24 jam. Di sela-sela semua itu, aku melaksanakan tanggung jawabku terhadap kegiatan organisasi yang aku ikuti. Dan juga tetap menulis. 46 Lalu kapan aku belajarnya? Melihat kesibukanku, hampir tidak mungkin untuk mendapatkan waktu duduk manis berjam-jam dan membuka buku. Aku menamakan waktu belajarku sebagai, “waktu antara.” Itu satu-satunya kesempatan terbesarku untuk belajar. Misalnya, saat datang ke Puskesmas pagi-pagi, aku bergegas menyiapkan semua keperluan untuk ke Posyandu. Sementara menunggu anggota tim yang lain datang, aku punya waktu belajar. Begitu tiba di Posyandu, sambil menunggu ibu-ibu datang membawa bayi-bayi mereka, aku juga punya sedikit waktu untuk belajar. Selesai Posyandu, menunggu jemputan datang, aku juga punya sedikit waktu belajar. Waktu antara ini berserakan di mana-mana: menunggu antrean di bank, di angkot, dalam perjalanan, menunggu anak di sekolahan, menunggu rapat dimulai. Apalagi dengan budaya ngaret di Indonesia, kita bisa memanen waktu antara dengan bahagia. Aku memilih menyelesaikan pelajaranku di saat-saat menunggu daripada kesal karena acara terlambat dimulai. Waktu untuk ngobrol, ngegosip, dan nge-Facebook, juga bisa dialihkan untuk belajar. Waktu yang sedikit demi sedikit itu, mengantarkanku menamatkan satu demi satu buku pelajaran bahasa Inggris yang ingin kukuasai. Aku selalu membawa bahan pelajaran yang sedang kutekuni ke mana pun. Jika bukunya besar dan terlalu berat kutenteng ke mana-mana, aku “membagi”-nya per-bab dengan cara kufotokopi. Satu waktu lagi yang biasa kugunakan untuk belajar adalah tengah malam. Di saat suami dan anak-anakku sudah tertidur lelap, aku kembali membuka buku pelajaran, mengevaluasi sejauh mana perkembanganku, dan menelaah kembali bagaimana cara belajar yang paling tepat buatku. *** Akhirnya setelah hampir setahun, aku “tamat” dari pelajaran SMA. Aku merasa sudah punya cukup bekal untuk mulai membuka buku Toefl. 47 Pelan-pelan, merayap, aku terus maju. “If you can’t fly, then run, if you can’t run, then walk, if you can’t walk, then crawl, but whatever you do, you have to keep moving forward.” ─ Marthin Luther King Jr *** Take Home Lesson 10: 1. Persisten, gigih, pantang menyerah adalah kualitas personal yang dibutuhkan untuk bisa mencapai tujuanmu kuliah ke luar negeri. 2. Setiap orang punya gaya belajar yang berbeda-beda. Siapkan strategimu sendiri untuk meraih nilai Toefl ITP yang mumpuni untuk melamar beasiswa. 3. Jika selama ini kamu menganggap tidak pernah bisa berbahasa Inggris dengan baik, itu karena kamu tidak punya alasan kuat kenapa harus bisa berbahasa Inggris. Dengan memiliki tujuan ke luar negeri, kamu akan termotivasi kuat, dan bahasa Inggris pasti bisa kamu taklukkan. 4. Jika kemampuan bahasa Inggrismu benar-benar minim, mulailah belajar dari dasar. Jangan sungkan. Kamu bisa mulai dari buku pelajaran bahasa Inggris setingkat SD, SMP, kemudian SMA. 5. Selain bisa membeli buku pelajaran yang tersedia di toko-toko buku, kamu juga bisa memanfaatkan soal-soal latihan di dunia maya, YouTube, atau aplikasi latihan bahasa Inggris di ponsel pintar. 6. Jangan jadikan kesibukan sebagai alasan untuk tidak mempunyai waktu belajar. Semua orang punya 24 jam yang sama. Apa yang kamu lakukan dengan 24 jam itu yang akan membawa perbedaan pada masa depanmu. 7. Gunakan waktu “antara” sebagai salah satu kesempatan belajar: saat menunggu antrean, saat di kendaraan, dll. Kamu bisa juga mendengarkan soal-soal latihan listening melalui gawai. 8. Alihkan waktumu menonton televisi, mengobrol, dan menggunakan media sosial untuk belajar. 48 9. Bawa buku pelajaran yang sedang kamu pelajari ke mana pun kamu pergi. Jika terasa merepotkan, fotokopi dan bawa beberapa lembar saja. Selalu kembali pada lembaran tersebut setiap kamu punya kesempatan, meski hanya 5 menit. Dalam waktu singkat itu, kamu bisa menghafal beberapa kata baru atau menjawab satu dua pertanyaan. 10. Selalu evaluasi sejauh mana perkembangan pelajaranmu. Apakah teknik belajarmu sudah tepat, atau ada cara lain yang lebih efektif. 49 XI a·me·lio·rate əˈmēlyəˌrāt verb make (something bad or unsatisfactory) better Berhasil menyelesaikan buku-buku pelajaran Bahasa Inggris tingkat sekolahan itu, bukan serta merta membuatku jago. Sama sekali jauh dari itu. Aku hanya mengerti dasar-dasar grammar dan menambah kosakataku. Menaklukkan Toefl ITP tes masih jauh di atas kemampuanku. Aku merasa berbenturan dengan tembok tinggi. Lagi, aku membeli beberapa buku panduan grammar, buku tips-tips menjawab soal Toefl, dan menambah koleksi buku soal-soal Toefl-ku. Dari buku-buku ini, aku mendapatkan banyak ide untuk meningkatkan skor Toefl-ku. Misalnya, untuk reading, aku yang hobi membaca novel dan dongeng, membeli koleksi novel H.C. Andersen yang berisi kisah-kisah yang sudah familier denganku, seperti; The Little Mermaid, The Ugly Dukling, The Snow Queen, dll. Ini menampal semangatku untuk membaca dalam bahasa Inggris. Sementara untuk listening, aku mulai mendengarkan lagu-lagu berbahasa Inggris sambil mencoba memahami maksud lagu tersebut. Setelah beberapa bulan belajar, aku merasa cukup. Cukup aku mengerti, bagian mana saja yang aku tidak paham. Banyak sekali. Sekarang saatnya, mencari bantuan profesional: ikut les Toefl! Di kota tempat tinggalku, Bitung, aku tidak menemukan tempat kursus untuk Toefl, satu-satunya pilihan adalah di kota Manado. Kira-kira satu jam dari tempat tinggalku, itu pun kalau tidak macet. Biasanya aku baru bisa mencapai pusat kota setelah dua jam perjalanan. 50 ELC (English Language Center) Manado, menjadi pilihanku. Selama tiga bulan, tiga kali seminggu, aku bergabung mengasah kemampuanku menjawab soal-soal tes Toefl. Aku mengambil kelas malam. Berangkat sore hari sepulang kerja, diantarkan suami dengan sepeda motor. Di sana selama dua jam pelajaran, suami menunggui, kemudian ketika pulang biasanya kami tiba setelah hampir tengah malam. Setelah tiga bulan mengikuti kursus, aku kembali mengikuti tes Toefl. Doaku, “Ya Allah, semoga aku bisa mendapat nilai yang cukup untuk melamar beasiswa PRESTASI USAID.” Doaku terkabul. Skor Toeflku 450 pas. Bahagia? Tentu saja. Aku meloncat-loncat senang kala itu. Tapi aku merasa ini belum cukup. Ingatanku terbang pada bala tantara pemburu beasiswa lainnya. Aku masih harus terus belajar. Nilai Toefl-ku paling tidak harus naik sedikit lagi. Sayangnya, di tempat les yang sama, tidak ada program les Toefl level berikut. Aku bisa saja mengambil les di tempat yang lain, tapi terkendala jarak dan waktu. Akhirnya aku mengambil les IELTS selama tiga bulan lagi. Pikirku, tak apalah, yang penting aku tetap berkubang Bahasa Inggris. Kali ini, suamiku tak bisa lagi menemani terkait pekerjaan beliau. Perjalanan menuju tempat kursus, menjadi lebih menantang. Aku harus berjalan kaki atau naik ojek dari rumah ke jalan utama. Kemudian, naik angkot ke terminal. Dari terminal Bitung, naik bus ke terminal Manado. Setelah itu, sambung lagi dengan angkot ke tempat kursus. Demikian juga, ketika pulang dari tempat kursus. *** Selesai tiga bulan kursus IELTS, aku melanjutkan dengan kursus Conversation I selama tiga bulan pula. Kelar ini, aku ikut tes Toefl lagi, dengan harapan nilai Toefl-ku naik. Sedikit saja. Tak apa. Hasilnya? Sesuai harapan 453. Haha. Beranjak dari sini, sambil kembali ikut les Conversation II. Aku mengevaluasi strategiku dalam menjawab soal-soal tes. Aku merasa kemampuanku bertambah, tapi nilaiku tidak jauh berubah. Mungkin ada yang harus aku perbaiki. Di mana titik kelemahanku. 51 Setelah les Conversation II selesai, aku mengambil tes Toefl kembali. Mbak Admin di kantor ELC Manado sampai hafal karena aku hampir setahun ngetem di tempat kursus tersebut. Saat itu, tinggal seminggu sebelum batas pendaftaran PRESTASI USAID ditutup. Aku benar-benar berharap nilai Toefl-ku mencapai 500. Pagi itu, aku mendapat telepon dari Mbak Admin, “Mbak In, nilai Toefl-nya udah keluar, udah bisa diambil nih.” Deg-degan aku bertanya, “Nilai In berapa, Mbak?” “Emmmm… maaf, Mbak In… belum sampai 500.” Suara beliau. Aku tersentuh. Lah bukan salah beliau dong. “Ya nggak papa, Mbak. Berapa?” Kejarku. “497.” Jawabnya. What? “Makasih Mbak…” Aku kegirangan. Sampai sekarang pun, di saat aku menuliskan cerita ini, aku masih bisa merasakan kebahagiaanku yang tumpah ruah. Ya Allah. Aku berhasil. Aku bisa. Setelah berbulan-bulan ini belajar, tak putus bolak-balik Bitung-Manado, akhirnya nilai Toefl-ku bisa juga menjadi lebih baik dan lebih baik. Aku semakin percaya bahwa usaha dan pengorbanan tak akan pernah ingkar. Nilai itu yang kemudian kugunakan untuk melamar beasiswa PRESTASI USAID. “In the end, it’s extra effort that separates a winner from second place.” ─ Jesse Owens *** Take Home Lesson 11: 1. Setelah selesai dengan pelajaran dasar Bahasa Inggris, kamu bisa mulai mempelajari buku-buku grammar, lalu dilanjutkan dengan buku latihan Toefl ITP. 52 2. Setiap orang punya cara belajar efektif yang berbeda-beda. Temukan cara belajar yang tepat sekaligus menyenangkan untukmu. Gali terus ide-ide kreatif yang bisa kamu lakukan untuk menunjang pelajaranmu. 3. Jika kamu merasa setelah belajar sendiri, masih banyak bagian yang tidak kamu pahami, ikut les/bimbingan belajar Toefl/Ielts di kotamu. 4. Untuk mengikuti les/bimbingan belajar ini, kamu tentu harus berkorban biaya les, waktu, dan energi. Tetap bersemangat dalam menjalani perjuanganmu ini. 5. Terus dan terus berusaha hingga kamu meraih nilai Toefl yang memenuhi persyaratan untuk melamar beasiswa impianmu. 6. Jika nilaimu telah mencapai batas minimum, beri selamat atas keberhasilanmu, kamu layak untuk mendaftar beasiswa itu sekarang! 7. Meski demikian, tak ada salahnya untuk terus berlatih dan berusaha menaikkan skormu ke nilai yang lebih tinggi. 8. Analisa hasil tesmu, temukan di bagian mana kamu perlu berlatih lebih keras dan berstrategi lebih baik agar nilaimu membaik. 9. Hal penting yang tak boleh terlupakan dalam mengikuti tes Toefl, selain kemampuan menjawab soal-soal, kamu juga harus berlatih menggunakan batasan waktu yang sama dengan tes yang sesungguhnya. 10. Percayalah, perjuangan akan selalu berbuah keberhasilan, semangat! 53 XII be·lieve bəˈlēv/ verb accept (something) as true; feel sure of the truth of Aku tidak menyarankan buat semua pembaca buku ini, untuk mulai belajar bahasa Inggris dari Buku SD. Yang ingin kukatakan, kamu bisa. Jika kamu benar-benar buta tentang bahasa Inggris, kamu bisa melakukan apa yang kulakukan. Jika kamu telah paham dasar-dasar bahasa Inggris, kamu bisa membeli buku-buku latihan Toefl. Jika kamu telah familier dengan soal-soal Toefl, kamu bisa langsung ikut les Toefl. Jika kamu pernah ikut les dan skormu belum memenuhi standar beasiswa yang kamu tuju, berlatih dan belatih lagi. Evaluasi cara belajarmu. Temukan kelemahanmu dan perbaiki. Temukan ide dan tips-tips yang sesuai denganmu. Ikut tes lagi. Googling. Cek di YouTube. Ciptakan sendiri teknik yang tepat buatmu. Setelah berkali-kali tes Toefl, kamu belum berhasil, coba tes lain. Mungkin IELTS atau Toefl IBT. Pelajari bahasa Inggris dengan serius tapi menyenangkan. Pilih cara mana yang paling kamu nikmati: musik, film, dongeng, novel, berita, atau program televisi berbahasa Inggris. Apa saja. Yang penting setiap hari kamu menambah kosakatamu. Berlatih dan berlatih lagi. *** 54 Jangan lupa bersyukur. Setiap satu langkah maju yang kamu buat, beri penghargaan pada dirimu sendiri. Hari ini kamu meluangkan waktu untuk menyelesaikan sepuluh soal reading. Kemarin kamu menghapal 10 kosakata baru. Besok kamu menyempatkan diri mengujungi pameran beasiswa. Beri selamat pada dirimu sendiri. Kamu telah membuat langkah maju. Sebelum tidur di malam hari, kamu ingat-ingat kembali, apa yang telah kamu lakukan hari ini. Apa “langkah kecil” yang kamu lakukan untuk impianmu? Apa pun itu, tersenyumlah, berbahagialah, bersyukurlah, karena langkah-langkah kecil itu kamu perlukan untuk terus maju dan maju. Lalu bayangkan, apa yang akan kamu lakukan esok hari. *** Sebenarnya, aku orang yang menganut paham, “Percaya pada takdir dan mengalir seperti air”. Aku tidak suka terikat pada aturan tertentu. Aku ingin bebas melakukan apa pun sesuai perasaanku saat itu. Tapi kebiasaanku ini, berubah total begitu aku memutuskan untuk belajar sungguhsungguh demi meraih skor Toefl yang mumpuni. Aku punya target, dua tahun ke depan harus mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Dua tahun itu singkat, dan aku harus mulai dari nol. Ini berarti, aku tak bisa membuang-buang waktu, dan mempelajari buku-buku tersebut hanya bila aku ingin belajar. Aku harus bisa memaksa diriku menyelesaikan pelajaranku sesuai komitmen target waktuku. Caranya? Deadline. Ya, aku membuat jadwal untuk diriku sendiri. Contohnya, hari ini aku harus menyelesaikan bab 5 buku pelajaran bahasa Inggris SMA-ku, lalu menghafal 5 kosakata baru. Besok aku akan menyelesaikan dan membahas satu paket soal Toefl. Besoknya lagi, aku akan menamatkan satu dongeng di novel H. C. Andersenku. Setiap pekan tengah malam, aku mengevaluasi, apa saja yang sudah kulakukan seminggu belakangan. Mana yang berhasil, mana yang menurutku tidak efektif. Berdasarkan ini, aku menyusun jadwalku untuk seminggu ke depan. 55 Apakah aku melakukan semua yang tercantum di jadwalku? Sayangnya tidak. Hidup penuh dengan tantangan dan peristiwa-peristiwa di luar prediksi kita. Tapi yang pasti, aku melakukan setidaknya dua atau tiga hal dari daftar yang harus kulakukan setiap hari. Sedikit demi sedikit. Awalnya terasa sangat berat. Ada saat-saat ingin menangis. Kenyataannya, diam-diam aku sering menangis, setiap berlatih soal yang sama lagi, lagi, dan lagi, tapi skorku tidak berubah. Namun satu hal, aku tak pernah ingkar berkata pada diriku sendiri, “Aku bisa, aku bisa, aku bisa.” “Whether you think you can, or you think you can't, you're right.” − Henry Ford *** Take Home Lesson 12: 1. Mulai pelajaran bahasa Inggris sesuai level kemampuanmu. 2. Seberapa pun tingkat kemampuanmu saat ini, selalu percaya kalau kamu bisa meningkatkannya! 3. Manfaatkan internet untuk menemukan ide cara belajar yang paling tepat buatmu. 4. Pantang menyerah, kalau perlu ikuti tes Toefl berkali-kali hingga kamu berhasil meraih nilai yang kamu inginkan. 5. Jika masih belum berhasil juga, coba kamu ikuti tes yang lain, misalnya IELTS. 6. Belajar yang rajin, tapi dengan cara yang menyenangkan dan bisa kamu nikmati. 7. Jangan lupa menghargai jerih payahmu, beri selamat pada dirimu sendiri setiap menyelesaikan satu latihan. Hargai setiap langkah kecil yang telah kamu lakukan. 8. Jangan lupa untuk selalu mengevaluasi tujuan dan target yang kamu miliki dengan membuat deadline dan terus berkomitmen terhadap deadline tersebut. 56 XIII co·in·ci·dence kōˈinsədəns/ noun a remarkable concurrence of events or circumstances without apparent causal connection “Everyone carries a piece of the puzzle. Nobody comes into your life by mere coincidence...” − Timothy Leary Selama di Universitas Indonesia, aku didakwa oleh teman-teman sekelas sebagai ketua. Tugas ketua kelas ini, untuk menjembatani semua urusan administrasi yang berhubungan dengan beasiswa, sebagai penghubung dengan asisten dosen, dosen, dan bagian administrasi kampus tentunya. Intinya, agar berkas-berkas, tugas-tugas, dan suara teman-teman sekelas terkait proses belajar-mengajar bisa dilaksanakan secara kolektif. Awalnya, aku melaksanakan fungsi ini dengan tidak sepenuh hati. Karena terus terang sangat menyita waktu dan energiku. Namun seiring waktu, keadaan sekelas semakin lama semakin menyenangkan. Dan aku mulai menikmati peranku tersebut. Tugas ini tanpa kusadari mengantarkanku kenal lebih dekat dan menjalin hubungan baik dengan staf administrasi kampus, asisten dosen, dan dosen-dosen. *** 57 Salah satu syarat yang harus dilampirkan di aplikasi beasiswa adalah 3 surat rekomendasi. Bisa dari atasan atau dosen. Surat rekomendasi ini, sebaiknya diberikan oleh atasan atau dosen yang benar-benar mengenal kualias yang kita miliki, sehingga mereka bisa memberikan rekomendasi yang meyakinkan tim seleksi beasiswa, jika kita adalah kandidat yang mereka cari. Tugas sebagai ketua kelas saat itu, membuat perbedaan besar begitu aku membutuhkan surat rekomendasi. Di antara sekian banyak mahasiswa di fakultasku, aku berharap aku menjadi salah seorang yang tidak mereka lupakan. Saat aku menelepon Pak Anwar Hassan (Alm), satu di antara beberapa dosen yang punya banyak jam mengajar di kelasku, beliau menjawab, “Hai… In, apa kabar? Bagaimana keluarga? Sehat semua? Ayo sini, main ke kampus lagi.” Aku senang sekali menyadari beliau masih mengingatku. Dan tentu saja, beliau dengan senang hati memberikanku surat sakti itu. *** Saat pengumuman nama-nama pembimbing skripsi di UI bertahun yang lalu, aku sedikit galau. Nama Prof. Rachmadi Purwana, tak akrab di telinga. Beliau tidak pernah mengajar di kelasku. Ditambah, beliau dari Departemen Kesehatan Lingkungan. Skripsi apa yang menarik minatku sekaligus berhubungan dengan Kesling? Seiring waktu, ternyata aku belajar banyak hal dari beliau. Beliau mengkritisi, sekaligus memberi solusi. Dan satu hal yang kusuka, beliau sangat disiplin! Jika berjanji konsul skripsi pukul 2 siang, beliau akan berada di ruang konsul tepat jam 2 siang. Tidak pernah beliau menunda-nunda apalagi mengingkari janji beliau. Inilah alasan mengapa aku tak habis pikir, saat menanti beliau datang untuk meminta surat rekomendasi, tapi beliau tak kunjung tiba di kantornya. Sebelumnya, aku telah menghubungi beliau lewat surel dan beliau bersedia memberikan surat rekomendasi tersebut. Aku meminta izin tiga hari dari tempat kerjaku dan terbang ke Jakarta, lalu ke kampus di Depok, agar bisa langsung bertatap muka dengan Pak Anwar Hassan dan Prof. Rachmadi. Aku sudah bertemu Pak Anwar, tapi Prof. Rachmadi belum juga tampak. Aku mulai gelisah. 58 Tak lama, beliau mengabari jika rumah beliau di Jakarta kebanjiran. Beliau meminta maaf tak bisa ke kampus hari itu. Aku buru-buru membuka laptop dan mengecek berita daring. Ternyata benar, beberapa titik di Jakarta digenangi banjir, dan hujan masih mengguyur ibu kota. Sementara esok hari, aku harus kembali terbang pulang ke kotaku. Akhirnya kuputuskan untuk datang ke rumah beliau. Perjalanan ke rumah beliau dari Depok, menjadi lebih menantang, karena beberapa jalur kereta dan bus ditutup disebabkan banjir tadi. Aku harus bolak-balik ganti bus, meski akhirnya sampai juga dengan basah kuyup di pemberhentian bus terdekat dengan rumah beliau. Hujan telah mulai reda. Tapi jalanan macet, dan tak ada angkot beroperasi. Ketinggian air tidak memungkinkan angkutan tersebut melewati beberapa ruas jalan. Aku memberhentikan ojek yang melintas. Tapi semua tampak terburu menuju pulang. Tak ada yang berminat mengantarkan penumpang di cuaca yang tidak bersahabat tersebut. Beruntung, akhirnya satu ojek bersedia mengantarkan aku. Meski kami harus ke sana ke mari mencari jalan memutar, karena beberapa titik masih tak bisa dilewati. Syukurlah aku sampai dengan selamat di rumah beliau. Prof. Rachmadi dan istrinya menyambutku dengan hangat dan menyuguhiku segelas teh manis yang membuatku merasa beruntung sekali takdir mempertemukanku dengan Prof. Rachmadi sebagai pembimbing skripsiku. Kami berbincang sejenak, sebelum kemudian beliau memberikan surat rekomendasi yang kubutuhkan. Saat akan pamit pulang, aku bilang pada beliau, “Prof, doain saya dapat beasiswanya yaa…” Jawab beliau, “What? Kalau kamu bisa datang sejauh ini dari Manado, lalu menempuh banjir hingga sampai di sini demi selembar surat referensi ini, kamu akan dapetin beasiswa itu! Percaya sama saya!” *** 59 Beberapa hari setamat kuliah dan baru sampai rumah, aku diminta untuk berpartisipasi menjaga stan dinas kesehatan di pameran pembangunan. Sore itu, aku sudah duduk manis di pameran tersebut dengan perasaan canggung. Tak lama duduk sendiri, beberapa pegawai Dinkes hadir. Mereka dengan ramah menyapa dan mengajak berkenalan. Menariknya, begitu aku bilang, “Aku Inraini.” Salah seorang yang bernama Kak Hira langsung dengan antusias berkata, “Oh, In! Kakak sering baca dan suka tulisantulisanmu di blog!” Walah. Aku tak menyangka sama sekali. Perbincangan pun langsung melaju seru, seperti kami telah bertemu jauh sebelumnya. Berawal dari situ kami kemudian langsung akrab dan banyak bertukar pikiran. Dengan Kak Hira, aku berbagi ide, harapan, dan impianku untuk kuliah ke luar negeri. Kak Hira banyak mendorongku untuk terus maju. Aku beberapa kali juga diminta Kak Hira membantu beliau mengerjakan beberapa tugas di Dinkes. Singkatnya, pameran sore itu, membawa berkah tak terhingga buatku karena bisa berkenalan dengan Kak Hira. Kak Hira pulalah yang kemudian menjadi salah seorang penentu langkahku di beasiswa ini. Beliau memberikan surat rekomendasi istimewa buatku. *** “Be nice to someone for no reason. You never know when you’re going to need someone to be nice to you for no reason.” Anonymous Take Home Lesson 13: 1. Setiap ada kesempatan memikul satu tanggung jawab, terutama dalam organisasi dan pekerjaan, lakukanlah dengan senang hati dan berikan yang terbaik. Hal tersebut akan memberi pengalaman berharga buatmu dan masa depanmu. 60 2. Jalin hubungan baik dengan semua orang, baik itu teman, atasan, atau orang asing sekalipun. Kita tidak akan pernah tahu, siapa yang akan menolong kita di kemudian hari. 3. Surat rekomendasi merupakan persyaratan wajib beasiswa. 4. Sebaiknya diberikan oleh dosen atau atasan yang benar-benar mengenal kualitas kita. 5. Berikan yang terbaik darimu sebagai mahasiswa dan juga ketika bekerja. Kualitasmu tidak terbentuk dalam semalam. 6. Selalu berpikir positif. Segala yang terjadi dalam cerita hidup kita, mungkin menyimpan rahasia buat masa depan kita. 7. Hubungi dosen atau atasanmu jauh-jauh hari sebelum deadline pengiriman aplikasi beasiswa. Jangan dalam waktu mendesak. 8. Perkenalkan diri dengan sopan, utarakan niatmu meminta surat rekomendasi. 9. Jika dosen atau atasan yang bersangkutan bersedia, jelaskan beasiswa apa yang akan kamu lamar, mengapa dirimu merasa layak menerima beasiswa tersebut, ingatkan dengan sopan apa saja prestasimu selama perkuliahan/bekerja yang membuatmu yakin kamu kandidat yang layak. 10. Jangan lupa mengucapkan terima kasih. 61 XIV grat·i·tude /ˈɡradəˌt(y)o͞od/ noun the quality of being thankful; readiness to show appreciation for and to return kindness Seminggu sebelum deadline penerimaan aplikasi PRESTASI USAID ditutup, aku duduk tertegun di kantor pos. Suasana ramai. Orang lalu-lalang dan pegawai kantor pos tampak sibuk di balik kaca melaksanakan tugas masing-masing. Aku baru saja menyerahkan berkasku pada salah seorang petugas itu. Perasaanku campur aduk. Tiba-tiba aku melihat segala hal di sekitarku dengan cara berbeda. Pertama aku merasa luar biasa. Ya Tuhan, aku bisa melengkapi semua persyaratan ini. Sesuatu yang tampak mustahil pada awalnya. Perasaan bangga akan apa yang sudah kulakukan, menyelimuti seluruh sel di tubuhku. Aku merasa hebat, aku merasa besar. Tapi di saat yang sama, aku juga merasa sangat kecil. Dan aku menggigil karenanya. “Coba lihat, In,” sapaku pada diri sendiri. Betapa tergantungnya diriku pada bantuan orang lain. Aku membayangkan berkasku akan sampai di tangan tim seleksi, hanya dengan bantuan pegawai kantor pos ini. Bagaimana kalau paketku tercecer. Bagaimana kalau paket itu tiba di alamat yang keliru? Aku sepenuhnya bergantung pada bantuan orang-orang yang bahkan tidak kukenal. CV dan aplikasiku. Ada Pak Wardjito Soeharso, sahabatku Rina Noviyanti, Ferdy Maengkom, seorang tutorku dari ELC yang membantuku sejak dari ide, hingga menolongku memperbaiki tata bahasa Inggrisku. 62 Surat Rekomendasi. Pak Anwar Hasan, Prof. Rachmadi Purwana, dan Kak Hira, tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dengan memberikanku surat itu. Mereka semua tulus membantu. Anganku melayang sejak awal aku berniat kuliah ke luar negeri. Pikiranku mendikte satu per satu, betapa banyaknya orang yang menuntun dan membantuku hingga sampai pada titik ini. Kepalaku dipenuhi jejaring laba-laba, yang berhubungan dari satu titik ke titik lain, hingga aku tak tahu harus bagaimana cara berterima kasih pada semua. Ya, detik ini aku melihat betapa semua orang begitu penting dengan perannya masingmasing. Dosen-dosen dan teman-temanku di UI. Atasan dan teman-temanku di Puskesmas. Orang-orang hebat yang hanya kukenal di dunia maya tapi memberikan begitu banyak informasi buatku. Para penulis buku bahasa Inggris, penulis buku Toefl. Made Andi Arsana, tutor-tutor di ELC Manado, editor koran yang memuat tulisanku. Sahabat-sahabat yang percaya dan selalu bilang aku bisa. Suami, anak-anak, keluargaku. Ojek. Sopir angkot. Sopir bus. Toko buku. Google. Pegawai pos. Aku tiba-tiba ingin menangis di bangku panjang kantor pos ini. Menyadari bahwa selalu ada orang-orang yang berada di sampingku, setiap aku membutuhkan. Menyadari bahwa semua informasi yang aku rajut sejak awal, hingga aku bisa mengirimkan berkasku, tak luput dari peran banyak sekali sahabat, guru, keluarga, maupun orang yang tak kukenal. Aku memang bekerja keras. Tapi siapa bilang aku melakukan semua ini sendirian? “We cannot live for ourselves alone. Our lives are connected by a thousand invisible threads…” − Herman Melville *** 63 Setelah aku mengirimkan aplikasi, aku bertanya pada seorang senior beasiswa PRESTASI USAID, Dion Ginanto. “Saya sudah melakukan semua yang saya bisa. Sekarang apa lagi yang harus saya lakukan?” Jawab beliau, “Berdoa dan bersedekah, jika memungkinkan bersedekahlah sebanyak jutaan rupiah.” *** Dalam banyak buku yang aku baca tentang kunci menuju sukses, satu hal yang tak pernah absen dalam buku-buku tersebut, meski penulisnya berbeda adalah “The Power of Giving”. Semakin banyak kita memberi, semakin banyak kita menerima. Berikan yang terbaik dari yang kita miliki, dan yakinlah, kita tak perlu merisaukan apa yang akan kita terima. Bagikan ilmu, pengetahuan, waktu, energi, harta, perhatian, pada mereka yang membutuhkan. Temukan cara untuk memberi sebanyak yang kamu bisa. Peruntukkan keberadaan kita sebagai tempat pijakan bagi orang lain meraih impiannya pula. *** Di bangku panjang kantor pos itu, aku membuat janji pada diriku sendiri, dan pada-Nya. Atas semua bantuan yang aku dapatkan selama ini, seluruh sisa hidupku, akan kuperuntukkan untuk berbagi ilmu, pengetahuan, pengalaman, harta yang kupunya, agar semakin banyak dan semakin banyak orang yang bisa meraih impian mereka. Buku ini salah satu bentuk nazar itu. “The meaning of life is to find your gift. The purpose of life is to give it away.” − Pablo Picasso Take Home Lesson 14: 1. Perkirakan deadline pengiriman aplikasi dengan deadline penerimaan aplikasi yang ditetapkan. 2. Jangan sampai terlambat. 64 3. Jika dirasa perlu, kamu bisa menghubungi bagian penerimaan aplikasi untuk mengecek apakah aplikasimu telah tiba atau belum. 4. Sebelum mengirim aplikasi, cek dan ricek kembali, apakah tidak ada berkas yang tertinggal. 5. Beri selamat pada dirimu, kamu berhasil melengkapi semua persyaratan. 6. Bersyukur atas satu per satu pencapaian yang kamu raih, sekecil apa pun itu. 7. Bersyukur atas semua orang yang telah berperan dalam keberhasilanmu sejauh ini. 8. Jangan lupa berdoa. 9. Bersedekahlah. Yang banyak. 10. Bagilah apa yang kamu miliki, baik itu waktu, tenaga, pikiran, ide untuk membantu orang lain menggapai impian mereka. 65 XV des·ti·ny /ˈdestinē/ noun the events that will necessarily happen to a particular person or thing in the future “It is in your moments of decision that your destiny is shaped.” ─ Tony Robbins Aplikasi sudah terkirim. Aku bisa menarik napas lega sejenak. Tapi bukan berarti perjuanganku selesai di sini. Pengumuman aplikasiku diterima atau sebaliknya, baru akan ada beberapa bulan lagi. Jika aku lolos seleksi pertama ini, aku harus berhadapan dengan seleksi berikutnya: wawancara. Berdasarkan informasi yang aku dapatkan, seleksi wawancara dilaksanakan dalam bahasa Inggris. Dan perjuanganku selama dua tahun belakangan akan sia-sia, jika saat wawancara aku hanya datang, duduk manis, tersenyum, dan tidak tahu harus menjawab apa. Oke, skor Toefl-ku telah memenuhi syarat beasiswa. Tapi ngomong Inggris? Berita baiknya, aku masih punya beberapa bulan untuk mempersiapkan diri. Yang aku butuhkan adalah strategi, rencana, dan cara belajar yang tepat agar siap menghadapi seleksi itu. Hal pertama yang aku butuhkan, adalah English Personal Trainer. Seorang tutor bahasa Inggris pribadi. Kalau bisa seorang native speaker alias penutur asli bahasa Inggris. Kali ini, aku tidak bisa bergabung dengan grup kursus, seperti yang setahun belakangan ini kulakukan. Waktuku kurang dari tiga bulan. Aku butuh pelatihan intensif dan menjalani program hasil kreasiku sendiri. Tapi di mana aku bisa menemukannya? Entahlah, tapi yang pasti aku bisa mulai melihat semua kemungkinan. 66 Maka seminggu kemudian, aku mulai mengunjungi tempat-tempat kursus bahasa Inggris di Bitung dan Manado. Bertanya program yang mereka punya. Tapi tak satu pun yang sesuai dengan yang kubutuhkan. Begitu aku menerangkan program yang aku inginkan, beberapa menyanggupi tapi dengan harga kursus yang sangat mahal dan jauh dari kesanggupanku. Setelah beberapa hari bolak-balik Bitung-Manado, aku hampir putus asa. Panas terik kota Manado sempat membuatku berpikir untuk berhenti mencari dan pulang saja. “Tapi ayolah, Inraini. Katanya mau ke Amerika, masa baru segini, sudah minta pulang,” batinku. Hingga pada suatu waktu, aku menemukan sebuah tempat les di depan sebuah sekolah dasar. Aku masuk ragu-ragu, di ruang depan tampak banyak ibu-ibu duduk sambil mengobrol. Jangan-jangan ini tempat les buat anak-anak. Tapi tak ada salahnya bertanya, pikirku. Di ruangan tersebut aku disambut ramah. Seseorang yang belakangan kukenal sebagai pemilik lembaga kursus ini mempersilakanku duduk. Aku memperkenalkan diri dan menerangkan tujuanku untuk mencari guru les privat. Tak lupa aku menjelaskan jika untuk les ini, aku yang akan mempersiapkan program pelatihanku sendiri. Tak disangka, beliau menjawab, “Oh bisa. Kita punya guru untuk les privat.” Aku terbelalak senang mendengarnya. Apalagi setelah bertanya berapa biaya yang harus kukeluarkan. Tidak murah, tapi jauh lebih masuk akal daripada tempat-tempat les yang kutanyai sebelumnya. “Oke. Emm… sebenarnya aku ingin native speaker sebagai guru lesku. Tapi, jika tidak ada…” “Oh, native speaker? Kita ada dong!” Potong Meykel Djuuna, nama pemilik lembaga tersebut. “Hah? Beneran?” Aku berdebar senang. Lagi aku menanyakan soal biaya, dan angka yang disebutkan masih terjangkau olehku. 67 Tak menunggu lama, aku kemudian dipertemukan dengan Evi Garai. Calon guruku yang berasal dari Hungaria. Seumur hidup, ini kali pertamanya aku bercakap-cakap dengan warga negara asing! Terbata-bata dengan bahasa Inggris yang kacau, aku menjelaskan jika aku membutuhkan beliau sebagai guru les pribadiku, dan aku yang akan merangkai program kursus ini. Evi menyanggupi dan bersedia menjadi pengajar 3 kali seminggu, selama 3 bulan ke depan. Aku berbunga-bunga bahagia. “We can start next week,” kata Evi sambil tersenyum. *** Dalam perjalanan pulang dari Manado ke Bitung, di dalam bus, aku mencubit tanganku sendiri. Oh, my God! Ini betulan? Apa aku mimpi? Rasanya hampir tak bisa dipercaya. Lagi, aku menemukan apa yang aku cari. Persis seperti yang aku bayangkan. Ya, tidak dengan cara yang mudah. Tapi selagi aku terus dan terus dan terus berusaha, seseorang yang aku butuhkan selalu datang dengan cara yang tak terduga. Seperti begitu saja diturunkan dari langit. Aku tersenyum-senyum sendiri dengan mata berkaca-kaca. Akan seperti apa perjalanan ini nanti? Aku tak mau menebak, tapi yang pasti, sejauh ini aku sendiri telah belajar banyak hal. Tentang hidup. Perjuangan. Tentang takdir. “Destiny, I feel is also a relationship - a play between grace and willful self-effort. Half of it you have no control over, half of it is absolutely in your hands.” − Elizabeth Gilbert Take Home Lesson 15: 1. Begitu aplikasimu telah dikirimkan, kamu harus mengalihkan perhatianmu pada seleksi berikut yaitu seleksi wawancara. 2. Jangan khawatir kamu akan dipanggil wawancara atau tidak, persiapkan saja dirimu semaksimal mungkin. 68 3. Bagi kamu yang belum lancar berkomunikasi langsung dengan menggunakan bahasa Inggris, kamu masih punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri. 4. Bagi yang telah lancar, juga sebaiknya tetap mempersiapkan diri dengan maksimal untuk menghadapi seleksi wawancara ini. 5. Bagaimana strategi paling tepat buatmu? Semua tergantung kemampuan dasarmu dan seperti apa pola belajarmu. Jadi jawabannya, dirimulah yang paling bisa mempersiapkan rencana belajar yang paling jitu buat dirimu sendiri. 6. Berikut beberapa ide yang mungkin bisa menginspirasimu. 7. Ikuti pelatihan conversation dengan personal trainer, kalau bisa seorang native speaker. 8. Searching, cari tempat atau seseorang yang bisa menolongmu berlatih. 9. Berlatih percakapan setiap hari dengan teman atau saudaramu yang lancar berbahasa Inggris. 10. Jangan menyerah, tetap semangat mengupayakan pelatihan terbaik buatmu dalam mempersiapkan diri menghadapi seleksi wawancara nanti. 69 XVI prep·a·ra·tion /ˌprepəˈrāSH(ə)n/ noun something done to get ready for an event or undertaking “Failure to prepare is preparing to fail.” − Mike Murdock Sekarang, aku merasa apa yang kulakukan untuk menghadapi wawancara saat itu, adalah hal paling pintar yang pernah kulakukan seumur hidupku. Tapi percayalah, aku tidak berpikir demikian ketika itu. Aku merasa aku kelewatan dan terobsesi dengan beasiswa ini. Bayangkan, aku bahkan tidak tahu apakah aplikasiku akan diterima atau tidak. Apakah aku akan lolos atau tidak. Sementara aku sudah menghabiskan begitu banyak biaya, waktu, dan energi untuk mempersiapkan diri menghadapi wawancara. Kamu mungkin menghadapi dilema yang sama setelah mengirimkan aplikasi beasiswa. “Belum tentu dipanggil wawancara kok ya sudah capek-capek mempersiapkan diri.” Atau kamu berpikir, persiapannya nanti saja, kalau sudah pasti lolos seleksi aplikasi. Masalahnya, dari hasil penelusuranku, jarak antara pengumuman nama-nama yang lolos seleksi aplikasi dengan tanggal wawancara hanya beberapa minggu. Dan aku tidak akan punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri dalam waktu sesingkat itu. Dan satu lagi, jauh-jauh hari ketika memulai langkah pertama, aku mempersiapkan mentalku untuk menang. Untuk terus maju. Untuk terus setapak demi setapak melewati 70 tahap demi tahap. Dan karenanya, dalam benakku, hanya ada satu jalan ke depan: mempersiapkan diriku untuk wawancara. *** Untuk “program kursus privat”-ku, aku melakukan langkah-langkah berikut: Pertama aku menyiapkan file untuk lima topik penting yang menurut perkiraanku akan ditanyakan selama wawancara: ● Pertanyaan Umum ● Public Health ● PRESTASI dan USAID ● USA ● CV, Esai, Formulir Isian Lima topik ini yang menurutku merupakan inti dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan saat wawancara nanti. Setelah itu, aku mulai mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan untuk masing-masing topik tersebut. Pertanyaan Umum Kita sungguh beruntung hidup di era informasi saat ini. Semua tersedia di dunia maya. Kita tinggal mengetik kata kuncinya. Dan dalam hitungan detik, informasi yang kita butuhkan terpampang di layar monitor. Pertanyaan jenis ini, bisa dicari pada contoh-contoh wawancara untuk beasiswa atau pekerjaan. Intinya pewawancara ingin tahu kualitas personal yang kita punya. Misalnya: “Tell me about yourself.” “What is your major goal?” “How do you manage stress in your daily work?” 71 Public Health Tentu kita harus menguasai bidang kita masing-masing. Karena jurusan yang aku pilih adalah public health, maka aku mempersiapkan banyak pertanyaan yang mungkin ditanyakan seputar jurusanku. Contoh: “Please explain clearly, the reason for your priority of proposed field of study.” “What is the major health problem in Indonesia?” “What can you do to improve the health service?” Mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting. Karena seringkali kita merasa telah menguasai bidang kita masing-masing. Tapi begitu muncul pertanyaan kita tidak siap. Mengingat waktu yang tersedia ketika wawancara sangat terbatas, kita harus siap dengan jawaban yang tepat, tidak berputar-putar, dan menggambarkan kualitas terbaik yang kita punya. PRESTASI dan USAID Mengenal beasiswa yang kita tuju dan penyelenggara di balik beasiswa tersebut, tentu sangat penting. Tidak lucu, ketika tiba-tiba ada pertanyaan seputar itu, dan kita kelabakan bingung karena kurang informasi. Misalnya: “Where did you get the information about PRESTASI Scholarship?” “Are familiar with USAID program? Which one do you interest more? “Why did you decide to apply for this scholarship?” Pertanyaan-pertanyaan ini, aku kreasikan sendiri, berdasarkan informasi yang aku punya. USA 72 Artikel-artikel tentang Amerika juga menjadi santapanku untuk persiapan ini. Kenapa studi yang saya ambil harus di USA. Bagaimana sistem pendidikan di sana. Apa persiapan yang telah aku lakukan. Aku harus tahu banyak dan menyiapkan banyak pertanyaan juga. “Why do you need to study in USA?” “How are you going to interact with American people?” “What obstacle you may face during your study in USA? How can you overcome those obstacles? CV, Esai, Formulir Isian Kita terpilih tentu karena Curriculum Vitae (CV), esai yang kita tulis, dan formulir isian yang kita kirim. Menguasai tiga dokumen ini tidak kalah pentingnya. Semua yang kita tulis tentu merupakan buah pikiran kita sendiri, dan pengalaman yang kita alami. Tapi menulis dan berbicara langsung, sangat berbeda. Banyak pertanyaan yang mungkin muncul dari sini. Misalnya: “Please describe your responsibility in your office.” “Please explain about your organization and social activities.” “You have many experiences in your job. Can you explain them one by one including your responsibility and contribution to community?” *** Untuk masing-masing topik tersebut, aku mengoleksi sekitar 20 sampai 50 pertanyaan. Selain searching di Google dan YouTube, pertanyaan-pertanyaan tersebut juga kudapatkan dengan bertanya langsung pada beberapa senior di Prestasi USAID. Lainnya, banyak bertebaran di blog-blog pribadi mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang telah lebih dahulu ke luar negeri. Juga di buku Andi Arsana. Dan tak lupa, hasil kreasiku sendiri. Bergabung di 73 milis-milis beasiswa seperti beasiswa@yahoo.groups.com juga sangat membantu mendapatkan informasi-informasi, tautan, dan kenalan baru yang mau berbagi. Tentu semua pertanyaan ini tidak semua akan ditanyakan di saat wawancara. Tapi menguasai lebih banyak selalu lebih baik daripada kurang persiapan, bukan? *** Menyiapkan pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak selesai dalam satu malam. Melainkan berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Tapi sementara itu, kursusku dengan Evi, juga akan segera dimulai. Dalam setiap dua jam pertemuan itu, aku membagi pelatihanku dalam empat bagian. Pertama tanya jawab, berdasarkan daftar pertanyaan yang kubuat. Dalam setiap pertemuan aku menyiapkan 10 pertanyaan. Sesi kedua, aku memberikan satu dokumenku setiap pertemuan. Misalnya, CV-ku bagian pekerjaan. Evi kemudian akan melontarkan pertanyaan apa saja tentang pekerjaanku. Aku memang telah punya daftar pertanyaan sendiri. Tapi setiap orang punya perspektif berbeda. Dan sering kali pertanyaan yang dilontarkan Evi memang tak terduga dan di luar daftar pertanyaan yang aku punya. Ketiga, aku mengambil satu artikel singkat dari internet, bisa tentang sistem pendidikan di Amerika, permasalahan kesehatan di Indonesia, program USAID, dan artikel-artikel lain yang berhubungan, lantas memberikannya pada Evi. Evi akan bertanya seputar artikel ini. Aku sendiri tidak membaca artikel tersebut sebelumnya. Sesi ini, selain menambah dan menguji pengetahuanku, juga untuk mempersiapkan diri, jikalau nanti ada pertanyaan yang di luar prediksiku. Sesi keempat, lebih pada ngobrol-ngobrol biasa sambil berbagi pengalaman dengan Evi. Kursus ini khusus kudesain persis seperti suasana wawancara. Evi melontarkan pertanyaan-pertanyaan, dan aku punya waktu singkat untuk menjawab. 74 *** Ya, aku memang tidak bisa bicara dalam bahasa Inggris dengan lancar saat itu, aku juga belum tahu aku akan lolos seleksi aplikasi atau sebaliknya. Tapi setelah tiga bulan pelatihan, total sebanyak 36 kali pertemuan, aku diwawancarai dan diwawancarai dan diwawancarai secara tak putus oleh Evi. Aku merasa siap, menunggu namaku diumumkan sebagai salah satu yang lolos seleksi aplikasi. Dan dipanggil untuk menghadapi seleksi wawancara yang sesungguhnya. “Success doesn’t come to you, you go to it.” − Marva Collins *** Kamu tak perlu melakukan seperti yang kulakukan, jika kemampuan berbahasa Inggrismu sudah bagus. Minta bantuan teman atau keluarga, untuk mewawancaraimu. Buat programmu sendiri. Kenali kelemahanmu, perbaiki itu. Tentukan jadwalnya. Lakukan. Disiplin. Ini selain meningkatkan kemampuan mengutarakan pendapat dalam bahwa Inggris, yang tentu diperlukan saat wawancara, juga sekaligus melatih mentalmu. Ruang wawancara itu dingin dan menegangkan. Tapi jika kamu percaya diri dan menguasai bidangmu, ruangan itu akan seketika berubah hangat dan menyenangkan. Berlatih dan berlatihlah terus, persiapan masih menjadi kunci keberhasilan siapa saja. “We become what we want to be by consistently being what we want to become each day.” − Richard G. Scott *** 75 Take Home Lesson 16: 1. Persiapkan bahan untuk topik-topik yang kira-kira akan ditanyakan saat wawancara. 2. Persiapkan pertanyaan-pertanyaan untuk masing-masing topik tersebut. 3. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa kamu dapatkan lewat internet, bisa juga kamu rangkai sendiri. 4. Bergabung dengan milis-milis beasiswa bisa mengantarkanmu dalam diskusi tentang topik tertentu yang akan memperkaya wawasanmu seputar beasiswa. Kamu juga bisa bertanya langsung dalam forum tersebut tentang pertanyaanpertanyaan saat wawancara. 5. Pertanyaan umum seputar kualitas personal kita biasanya menjadi pertanyaan pembuka saat wawancara. 6. Jangan lupa menguasai materi umum seputar jurusan yang kamu tuju, dan alasan kenapa kamu memilih jurusan itu serta relevansinya dengan permasalahan di Indonesia. 7. Meski belum tentu ditanyakan, ada baiknya mengenal betul seluk-beluk beasiswa yang kamu lamar. 8. Kenali negara tujuanmu, dan alasan kenapa kamu memilih negara tersebut. 9. Baca-baca lagi CV, esai, dan formulir isianmu. Jangan sampai kamu memberikan keterangan yang bertolak belakang. 10. Berlatihlah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah kamu susun tersebut dalam suasana riil wawancara. 11. Persiapkan dirimu juga untuk mendapatkan pertanyaan yang di luar dugaanmu. Minta tutor atau temanmu menanyakan pertanyaan apa saja sehubungan dengan dokumen yang kamu punya, dan berlatihlah menjawabnya. 12. Persiapan yang matang, selain mengasah kemampuanmu berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan lancar, juga akan meningkatkan rasa percaya dirimu saat wawancara yang sebenarnya. 13. Desain program latihan wawancaramu, buat jadwalnya, dan disiplinlah berlatih. 76 XVII prog·ress /ˈpräɡres/ noun forward or onward movement toward a destination “Progress lies not in enhancing what is, but in advancing toward what will be.” ─ Khalil Gibran Hari pertama kursus dengan Evi, aku duduk gugup dan canggung, satu meter di hadapannya. Ruang les terasa dingin dan aku susah payah memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuanku. Ketika Evi mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan—yang notabene aku yang mempersiapkan—kudukku terasa dingin, dan seperti berada benar di ruang wawancara. Semua jawaban yang ada di benakku, seperti sirna dan lenyap entah ke mana. Alih-alih, jawaban spontan yang jauh dari maksudku yang terucap dengan gagap dan tak beraturan. Evi, yang berusia hampir sepuluh tahun lebih muda dariku itu, dengan sabar mendengarkan jawabanku, sambil sesekali memperbaiki pengucapan beberapa kosakataku. Sepulang dari les, aku berpikir, jika aku maju wawancara dengan kualitas seperti barusan, aku tak perlu menunggu saat pengumuman tiba untuk menebak akan seperti apa hasil wawancara tersebut. Kali kedua kursus, aku sudah mulai bisa tersenyum sedikit. Meski masih patah-patah, jawabanku sudah mulai terarah, dan sekujur tubuhku tak lagi kaku. Ruang kursus tak lagi terasa dingin seperti sebelumnya. Minggu kedua, aku sudah jauh lebih rileks. Aku tidak panik lagi menghadapi pertanyaan dan sorot mata birunya Evi. Pengucapan bahasa Inggrisku masih kacau, tapi 77 Evi dengan telaten mengejakannya buatku berkali-kali hingga aku menguasai beberapa kata tersebut. Bulan kedua kursus, aku sudah jauh lebih baik. Beberapa pertanyaan yang aku anggap penting, kami ulang dan ulang lagi. Lima belas menit terakhir dari waktu les, sudah berubah menjadi ajang curhat antara aku dan Evi. Berkali-kali, aku mengutarakan kegundahanku tentang kursus ini, apa ini hal yang wajar aku lakukan, padahal aku belum tentu lolos. Tapi, Evi selalu bilang, “This is the right thing that you can do!” Di akhir bulan kedua kursus, tak pelak aku dan Evi sudah menjadi sepasang sahabat. Aku bercerita banyak tentang kehidupanku, impian, dan cita-citaku kelak. Evi juga bercerita banyak tentang dirinya yang telah dua kali meraih gelar master, dan sedang melakukan penelitian di Kota Manado. Suatu waktu Evi berkata jika dirinya belum pernah berkunjung ke Amerika. Dan salah satu mimpinya, adalah menjelajahi New York. Dengan yakinnya aku menjawab, “Jika nanti aku lolos beasiswa ini dan terbang ke Amerika, kamu bisa mewujudkan impianmu. Kita bertemu di sana nanti.” Di bulan ketiga, aku dan Evi wawancara telah jauh dari kesan tegang. Kami lebih banyak bercerita bebas. Aku tak lagi banyak berpikir tentang salah ucap. Kosakataku jauh bertambah. Pengucapanku jauh lebih baik. Dan aku jauh lebih bisa mengekspresikan pendapatku. *** Di pertengahan bulan ketiga kursus, aku mendapatkan kabar berikut lewat surel: “Kepada INRAINI FITRIA SYAH, Dengan ini kami mengundang Saudara untuk mengikuti tahapan seleksi beasiswa USAID PRESTASI berikutnya yaitu seleksi wawancara, pada: lokasi & alamat : Hotel Horison, Jl. Jend. Sudirman no.24, Makassar hari & tanggal : Selasa, 17 Juni 2014” 78 Aku tertegun lama membacanya. Ini mimpi atau? Lalu kemudian setelah yakin ini bukan khayalanku semata, aku mulai melompat-lompat senang. Penuh sukacita aku pun menghubungi Evi dan memberitahukan kabar tersebut. Reaksi Evi, “I know you can do that!” Kami pun merayakannya dengan makan bakso dan es palu butung di tepi Pantai Boulevard Manado. Sambil mulai berangan-angan, “Nanti di New York kita akan jalan ke mana saja?” *** Waktu kursus berlalu dengan cepat, hari terakhir kursus pun tiba. Aku merasa banyak perkembangan selama kursus ini. Tak terhingga rasa terima kasihku pada lembaga bahasa STEC (Stanford Training and Education Center) Kota Manado. Hari terakhir itu aku datang ke tempat kursus dengan santai ditemani suami. Rencananya, selesai les, kami akan berpamitan pada Meykel Djuuna dan beberapa staf STEC, sekaligus mohon doa mereka, agar wawancaraku di Makassar berjalan lancar dan sukses. Tak disangka Evi tiba bersama satu rombongan kecil: Dana, Alex, dan Rayson—tiga orang sahabat Evi. Salah seorang di antara mereka adalah warga negara Rusia. Ruang kelas disulap menjadi ruang wawancara, dengan empat orang juri. Aku duduk di tengah-tengah, sementara suamiku merekam suasana wawancara tersebut. Masingmasing juri telah memegang daftar pertanyaan. Simulasi wawancara ini berlangsung seru, sedikit tegang, tapi berakhir lancar. Selesai wawancara, keempat “juri” ini, mengutarakan pendapat mereka yang semakin menyemangatiku. “Kamu diterima!” Demikian kesimpulan wawancara malam itu. Simulasi wawancara hasil inisiatif Evi itu, meningkatkan rasa percaya diriku ke level yang tak kubayangkan sebelumnya. Wawancara? Aku siap. *** 79 “If you're walking down the right path and you're willing to keep walking, eventually you'll make progress.” ─ Barack Obama Take Home Lesson 16: 1. Berikan usaha terbaikmu untuk mempersiapkan diri menghadapi seleksi wawancara, tapi jangan terbebani, nikmati saja waktu berlatihmu; there is nothing to lose! 2. Evaluasi perkembangan persiapan yang kamu lakukan dan kesiapanmu. 3. Apresiasi setiap perkembangan yang kamu capai, sekaligus orang-orang yang membantumu. 4. Dengan rajin berlatih, kamu bukan saja menguasai materi, tapi juga melatih mentalmu saat berhadapan dengan juri nanti. Semakin sering kamu berlatih dengan suasana wawancara, aku mengurangi rasa gugup, dan memberimu kemampuan menjawab dengan natural, rileks, dan fokus. 5. Dengan berlatih, kamu juga bisa memperbaiki pengucapanmu dan menambah kosakata bahasa Inggrismu. 6. Lakukan simulasi wawancara bersama teman-temanmu. 80 XVIII friend·ship /ˈfren(d)SHip/ noun the emotions or conduct of friends; the state of being friends “It's the friends we meet along the way that help us appreciate the journey.” anonymous Tahun 2010 saat itu, aku bertemu seseorang yang kemudian menjadi sahabat baikku saat seleksi untuk menjadi mahasiswa kebidanan komunitas FKM UI. Saat itu, tiba-tiba aku jatuh sakit beberapa saat sebelum tes dimulai. Dan Umi Sangadah, teman baru tersebut, satu-satunya peserta lain yang menyadari kondisiku, dan tanpa kuminta, langsung mencarikan obat pereda demam. Tanpa dirinya, mungkin aku takkan pernah menginjakkan kaki sebagai mahasiswa di Universitas Indonesia. *** Pesawat yang membawaku dari Manado mendarat dengan mulus di bandara Hasanuddin, Makassar. Untuk kali kedua, aku menginjakkan kaki untuk seleksi beasiswa di sini. Diam-diam kuendapkan harap jika kota ini membawa angin mujur buat hasil tesku nanti. Aku melangkah cepat-cepat menyeret satu koper kecilku keluar bandara. Perjalanan ini selain untuk seleksi wawancara, juga terselip misi kecil lainnya: jalan-jalan! Ya, ada dua sahabat yang tak kalah bersemangatnya: Evi dan Umi! Evi bersedia menemaniku ke Makassar, dan Umi bersuka cita menyambut kami di bandara. Geng kecil ini pun kemudian menjelajahi Makassar. Mulai dari lembah penuh 81 kupu-kupu di Bantimurung, berpetualang di gua mimpi, menyusuri sungai lewat dermaga ramang-ramang, dan menikmati keasrian Desa Berau. Tak lupa menikmati makanan khas kota ini, lalu mampir di Trans Studio Makassar, dan menghabiskan malam di Pantai Losari. Kami bersenang-senang dua hari berturut-turut. *** Lalu, saat itu pun tiba. Aku memutuskan menginap di hotel yang sama dengan tempat pelaksanaan seleksi wawancara PRESTASI USAID. Beberapa malam sebelumnya, aku dan Evi menginap di rumah Umi. Penting bagiku untuk merasa nyaman dengan situasi sekitar sebelum ujian yang sesungguhnya. Malam sebelum ujian, aku sudah menyatroni lokasi wawancara. Mengintip ke dalam ruangan, mempelajari setiap sisi tempat sakral itu, menarik napas panjang, dan berujar, “Oke, semua akan baik-baik saja.” Besoknya, saat waktu wawancara, peserta tes tidak tiba pada saat bersamaan. Masingmasing diberi waktu kedatangan yang berbeda, sesuai jadwal tes masing-masing. Aku, ditemani Evi dan Umi sudah duduk di depan ruangan, tiga puluh menit sebelum wawancara dimulai. Perasaanku campur aduk. Tapi kurasa Evi dan Umi pun punya perasaan yang sama. Bergantian mereka berusaha menenangkanku. *** Akhirnya, aku pun dipanggil masuk ke dalam ruangan penentu itu. Ada tiga orang juri, dan beberapa panitia penyelenggara lainnya di ruangan tersebut. Sebuah kamera besar tampak mengarah pada satu kursi kosong, di depan barisan para juri. Di situlah aku mengambil tempat. Wawancara diawali dengan perkenalan, kemudian salah seorang juri membacakan aturan wawancara tersebut. 82 Awalnya aku sedikit terbata menjawab pertanyaan. Tapi tak lama, aku lupa sedang berada di ruangan wawancara. Tanya jawab berlangsung seru. Sebagian besar pertanyaan yang dilontarkan juri, berada dalam daftar pertanyaan yang aku punya dan aku latih berbulan-bulan dengan Evi. *** Aku keluar ruangan sambil menarik napas lega. Evi dan Umi yang menunggu di luar menyambut dan memelukku erat. Sambung-menyambung mereka meyakinkanku kalau aku menjawab dengan baik. Berdua mereka kompak bilang, kalau selama aku wawancara Evi dan Umi nguping dari balik pintu. Senangnya aku mereka berdua ada di tempat ini. Tak lama kami pun check out dari hotel dan kembali ke rumah Umi. Perjalanan menjelajahi Makassar kami lanjutkan, sambil tak henti mengulang-ulang detik demi detik, momen demi momen wawancaraku itu. *** Mempunyai sahabat yang mendukungmu adalah hal yang sangat penting. Seseorang yang selalu percaya, kamu bisa meraih apa yang kamu perjuangkan. Seseorang yang menjadikan mimpimu sebagai mimpinya pula. Seseorang yang melakukan yang terbaik untuk menyanggamu menggapai impianmu itu. Perjuangan meraih beasiswa hingga sampai ke negeri seberang adalah perjalanan yang panjang. Butuh keyakinan besar dan dorongan positif yang tak kalah besar pula. Kamu butuh sahabat-sahabatmu. Beritahukan niatmu. Sampaikan rencanamu ke depan. Bicarakan perjuangan yang sedang kamu lakukan. Jangan lupa ceritakan bahwa keberadaan mereka penting bagimu untuk meraih cita-cita itu. Dan jangan alpa untuk menjadi penopang buat impian sahabatmu pula. Mungkin kamu akan berhadapan dengan sahabat baikmu yang selalu mengkritisi setiap tindakanmu, dengan niat baik katakanlah. Tapi untuk jalan panjang ini, aku lebih memilih berinteraksi dengan mereka yang selalu mengatakan sisi positif darimu ikhtiarmu meraih beasiswa ini. Selain Evi dan Umi, aku beruntung memiliki beberapa sahabat lainnya. Yang tak kalah penting menopang setiap impianku. Mereka selalu ada setiap aku membutuhkan 83 mereka. Dan mereka tak hentinya percaya, serta tak putus berkata, “Kamu bisa, In. Aku tahu kamu bisa.” Kata-kata tersebut seperti mantra yang membuatku terus dan terus berusaha. Karena bukan sekadar tak ingin kalah, tapi juga tak ingin mengecewakan mereka yang selalu ada buatku itu. *** Tak lama seusai wawancara di Makassar, Evi harus kembali ke negaranya. Aku mengantarkan Evi ke Bandara Sam Ratulangi. Memandangnya berlalu melalui pintu keberangkatan membawa anganku terbang pada hari pertama kami bertemu. Betapa banyak bantuan yang dia berikan. Tak hanya menjadi guruku, tapi juga menjadi sahabat, dan memberi dukungan moril yang demikian besar hingga aku benar-benar menyelesaikan wawancara itu. Pesawat akan menerbangkannya jauh ke Hungaria sana. Entah kapan kami akan bersua. Aku merasa kehilangan. Sangat. *** Desember, 2016. Musim dingin dengan salju menutupi kota New York, tak menghalangi aku dan Evi menyeberang ke Liberty Island, menyusuri Central Park, dan memintas ke Washington, DC. “I am in America. I can’t believe that! My dream came true!” kata Evi berkali-kali. “I can’t believe too! This is amazing. This is crazy. Life is magic!” tambahku. Evi terbang selama 14 jam dari Hungaria ke Amerika. Untuk mengunjungiku. Untuk mewujudkan impiannya bertualang di Negeri Paman Sam ini. Kami berdua, sepasang sahabat yang dipisahkan benua. Kembali dipertemukan, oleh impian yang menjadi kenyataan. *** “Good friends are like stars, you don't always see them, but you know they are there.” 84 ─ Christy Evans Take Home Lesson 18: 1. Selamat! Kamu dinyatakan lolos seleksi aplikasi! Saatnya menghadapi wawancara yang sebenarnya. 2. Jika lokasi tes wawancara berada di kota lain, datanglah minimal sehari sebelum hari seleksi. Jika memungkinkan, datangi gedung lokasi wawancara. 3. Pertimbangkan jarak antara tempat menginap dan lokasi wawancara. Rencanakan juga kendaraan apa yang akan kamu gunakan, dan pertimbangkan tingkat kemacetan pada jam-jam sekitar wawancaramu. 4. Datanglah minimal setengah jam lebih awal, agar kamu merasa nyaman dan tak tergesa-gesa. 5. Berpakaian yang sopan, percaya diri, dan jangan lupa memberi salam. 6. Selain persiapan mental dan materi, kamu juga harus menjaga kondisi fisikmu. 7. Jangan sampai datang terlambat. 8. Begitu dipanggil masuk, berusahalah menghadapi wawancara tersebut setenang mungkin. 9. Pada saat wawancara, biasanya ada tiga orang juri sebagai tim penilai. 10. Jawablah semua pertanyaan dengan lugas, jika ada pertanyaan yang tidak kamu mengerti, jangan sungkan meminta pertanyaan tersebut diulang kembali. 11. Kamu sudah mempersiapkan dirimu dengan baik, tak ada yang perlu dirisaukan. 12. Kelilingi dirimu dengan sahabat-sahabat yang mendukung perjuanganmu. 13. Jika butuh, jangan sungkan meminta saran positif dari sahabat-sahabatmu itu. 14. Nikmati setiap proses menuju impianmu. Jangan lupa bersenang-senang. 15. Jalin impian besar dengan sahabatmu, yakinlah kalian akan meraihnya bersama. 85 XIX be·gin·ning /bəˈɡiniNG/ noun the point in time or space at which something starts Hari ketika aku dinyatakan diterima sebagai salah satu di antara 23 peserta yang lolos seleksi, takkan pernah aku lupakan. Gerimis menyelimuti kota Bitung. Pagi itu, aku baru tiba di Puskesmas, ketika seorang teman yang bertemu saat tes wawancara di Makassar menghubungiku. “Mbak In, pengumuman udah keluar di website.” Demikian kalimat pertama Silvera, begitu aku menjawab panggilan telepon. Suaranya tak jelas ditelan gerimis. Jantungku serasa berhenti mendengarnya. “Kita lulus, Mbak, kita berdua diterima!” tambah teman baruku itu, aku bisu mendadak. Bahagia tak terkata, tapi serasa tak percaya. Cepat-cepat aku menutup pembicaraan setelah mengucapkan terima kasih. Bergegas aku membuka website PRESTASI USAID di laptopku, dan… ternyata benar, namaku ada di situ: Inraini Fitria Syah, sebagai salah seorang penerima beasiswa PRESTASI USAID 2014. Ini bukan mimpi. Kedua belah tanganku gemetaran. Ya Allah, ini benar menjadi kenyataan. Mimpiku menjadi kenyataan. Aku diterima. Aku diterima. *** Perjuanganku membuahkan hasil manis. Penatku terbayarkan. Tekadku mendapat jawaban. Tapi babak baru terbentang di depanku. Aku akan kembali memulai satu langkah awal. 86 Setelah menyelesaikan urusan surat-menyurat di tempat kerja, akhirnya hari keberangkatan ke Jakarta pun tiba. Semua peserta yang diterima dikumpulkan untuk penyerahan penghargaan dan dimulainya pelatihan bahasa Inggris buat peserta yang akan berangkat ke Amerika. PRESTASI USAID mempunyai dua kategori, pendidikan di dalam negeri dan di USA. Semua biaya akomodasi sejak tes wawancara ditanggung oleh pihak penyelenggara beasiswa. *** Hari itu, kami semua dikumpulkan di ruang megah sebuah hotel berbintang di Jakarta. Wajah-wajah pembesar USAID dan IIEF (pihak penyelenggara PRESTASI USAID) berbaur bersama wajah-wajah penerima beasiswa. Aku memperhatikan mereka satu per satu. Rasanya luar biasa aku berada di antara mereka. Saat perkenalan, aku baru mengetahui jika sebagian dari teman-teman baruku ini bekerja di beberapa kementerian di Jakarta, tiga orang di antara mereka berprofesi sebagai dokter, dan sebagian besar berbahasa Inggris dengan sangat fasih. Aku tersenyum simpul pada diriku sendiri. Memikirkan apa yang sudah aku lakukan hingga bisa berada di ruangan ini. Sedikit pun aku tak ragu saat memperkenalkan diri, dengan bangga aku sampaikan jika aku seorang bidan desa. Setelah kata sambutan singkat, satu per satu kami dipanggil untuk maju dan menerima piagam sebagai simbol resmi bahwa kami telah sah sebagai penerima beasiswa PRESTASI USAID. Ya Tuhan, sejak dua tahun yang lalu, setiap saat aku memimpikan saat-saat ini. Berangan-angan, aku berada pada situasi ini. Dan sekarang aku berada di tengah-tengah impianku. Aku berpikir, ternyata impian dan kenyataan itu, hanya berbatas ilusi waktu dan usaha untuk menggapai impian tersebut. Selalu ada situasi dan orang-orang yang tiba dengan cara yang tak terduga, memberi bantuan, membimbing, dan memberikan semua yang kubutuhkan, hingga aku tiba di sini. Yang kulakukan hanya berniat, mencari, dan tak henti berusaha. Ini seperti rahasia besar. Yang baru kusadari keberadaannya. Padahal pepatah, “Di mana ada kemauan, selalu ada jalan,” telah ada sejak dahulu kala. Aku hanya baru menyadari kebenarannya. 87 *** Di penghujung acara, Chief of Party PRESTASI USAID berpesan, “Sekarang kita adalah keluarga! Jaga diri baik-baik. Hati-hati di jalan. Jika ada apa-apa, jangan segan menghubungi kami. Dan tak lupa, berusahalah yang keras menuju tahap berikutnya.” Ya, tahap berikutnya. Ini baru sebuah awal yang indah. Kamu belum tiba pada tujuanmu, Inraini. Besok waktunya kembali bekerja keras untuk impian itu. “And suddenly you know… It’s time to start something new and trust the magic of beginnings.” Anonymous *** Take Home Lesson 19: 1. Selamat! Kamu sejauh ini sudah mengikuti kisah di buku ini. Di kemudian hari, jika kamu gigih, kamu juga akan mendapatkan banyak ucapan selamat dari saudara, teman, rekan kerja, atas keberhasilan diterima oleh beasiswa impianmu. 2. Terus pupuk semangatmu, ini belum selesai. Perjuangan masih membentang panjang, menantang, tapi tentu juga spektakuler dan menyenangkan. 88 XX un·cer·tain ˌənˈsərtn/ adjective not able to be relied on; not known or definite “Nothing in the world causes so much misery as uncertainty.” − Martin Luther Setiap beasiswa punya aturan yang berbeda-beda terkait persiapan sebelum penerima beasiswanya diberangkatkan ke negara tujuan. PRESTASI USAID sendiri memberikan pelatihan bahasa Ingris, statistik, dan kepemimpinan. Perlu digarisbawahi bahwa berhasil lulus tes aplikasi dan wawancara, tidak serta merta menjamin penerima beasiswa mendapat tempat untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Kita sama sekali belum punya “tiket” menuju universitas di Amerika. Untuk diterima di universitas-universitas tersebut, terkait dengan kemampuan berbahasa Inggris, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi: Pertama, nilai Toefl yang sesuai standar minimum universitas yang dituju (masingmasing universitas punya standar berbeda, bahkan dalam satu universitas, masingmasing jurusan punya standar yang berbeda pula). Dalam hal ini, kami diberi pelatihan Toefl ITP dan IBT. Kedua, menyiapkan Study Objective dan Personal Statement. Dua esai ini merupakan komponen penting yang akan menentukan apakah kita diterima atau tidak. Ketiga, nilai GRE. Nilai GRE merupakan syarat wajib beberapa universitas. Tetapi kita tidak dipersiapkan secara khusus. Setelah memenuhi ketiga syarat ini, barulah peserta bisa mengajukan lamaran ke universitas pilihan. PRESTASI USAID mengakomodasi proses pendaftaran ini. 89 Masing-masing peserta mempunyai kesempatan untuk mendaftar di empat universitas berbeda. Setelah mendapatkan LOA (Letter of Admission/Acceptance) atau surat penerimaan resmi dari kampus, barulah peserta bisa melanjutkan proses pengurusan administrasi imigrasi. Tapi sebelumnya, nilai Toefl IBT, study objective, dan personal statement menjadi kunci utama untuk membuka gerbang universitas. *** Dari 23 penerima beasiswa PRESTASI USAID tahun 2014, 14 orang di antaranya akan berjuang bersamaku dalam pelatihan bahasa Inggris. Pelatihan ini sendiri, dibagi atas tiga kelas. Kelas A diadakan selama 3 bulan, kelas B selama 4 bulan, dan kelas C selama 6 bulan. Untuk menentukan di kelas mana peserta ditempatkan, kami semua akan menjalani tes Toefl, writing, dan wawancara. LBI-UI Salemba merupakan lokasi tes, sekaligus tempat pelaksanaan pelatihan ini seterusnya. Berdasarkan hasil tes, aku ditempatkan di kelas B. Hasil ini membuatku kecewa, aku mempersiapkan mentalku untuk berada di kelas C: aku butuh 6 bulan pelatihan itu! Jadwal pelatihan berlangsung setiap hari Senin sampai Jumat, dimulai pagi hingga sore hari. Jadwal pelajaran terdiri dari Toefl ITP, Toefl IBT, reading, dan writing. Ada jadwal khusus untuk bimbingan Study Objective dan Personal Statement juga. Selain itu, masing-masing peserta mempunyai seorang tutor, yang bertugas memeriksa jurnal wajib kami, satu kali seminggu. Ada 5 orang rekan menempati kelas A, 5 orang di kelas B, dan 4 orang di kelas C. *** Hari pertama di kelas B, diawali dengan memperkenalkan diri satu per satu. Dari perkenalan singkat dengan 4 rekanku tersebut, aku semakin yakin, jika tempatku bukan di kelas ini. Silvera, yang berasal dari Papua, selama setahun penuh mengambil kelas bahasa Inggris dan tinggal di asrama dan keseharian mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Yamin dan Awen, menamatkan S1 mereka di jurusan 90 Bahasa Inggris. Sementara Lulu, nilai Toefl ITP-nya sudah melewati angka 550. Aku merasa diriku mengerut berada di antara mereka. Tempatku bukan di sini. Tapi baiklah, aku harus mencobanya. Seminggu pertama di kelas ini, merupakan mimpi buruk buatku. Aku tertinggal jauh dibandingkan mereka semua. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan tutor tak bisa aku jawab. Dan setiap ada tes kecil, nilaiku selalu yang terendah. Semua tugas maupun jurnalku penuh dengan coretan merah. Tak pelak, aku menangis setiap pulang dan sendirian di kamar kosan. Saat-saat ini, keberadaan Pak Wardjito dan sahabat-sahabatku yang jauh terasa sangat berarti. Aku menghubungi mereka, cerita, lalu menangis. Kata-kata menghibur mereka bisa membuatku jauh lebih baik. Tapi tidak mengubah kenyataan, jika esoknya aku akan berhadapan dengan situasi yang sama kembali. Akhirnya kuputuskan untuk mengirim email ke Mbak Wiwin, penanggung jawab kami dari PRESTASI USAID. Aku menceritakan situasiku dan mohon agar aku bisa dipindahkan ke kelas C. Jawaban Mbak Wiwin: Tetap berusaha, Inraini. Sementara situasi tidak berangsur membaik. Aku merasa jauh ketinggalan pada setiap mata pelajaran. Aku selalu sedih setiap pelajaran berakhir. Dan setiap pagi tiba, aku bertanya-tanya dalam hati. Apa lagi pertanyaan yang tak bisa kujawab hari ini. Sebulan berlalu sudah. Setiap hasil latihan Toefl di kelas, nilaiku tidak ada kemajuan. Writing-ku berantakan. Reading-ku selalu ketinggalan. Dan menulis jurnal terasa menyiksa. Sementara rekan-rekanku yang lain tampak menikmati pelatihan ini dan bisa berakhir pekan, aku lebih banyak mengurung diri di kamar, belajar dan belajar. Tapi nilai-nilaiku tetap tak banyak kemajuan, ini membuatku kehilangan rasa percaya diri. Percaya diriku bukan hanya menguap ketika berada di kelas. Pun saat berinteraksi dengan rekan-rekanku di luar kelas, aku merasa minder. Yang ada di kepalaku hanyalah: aku harus pindah ke kelas C. Harus. Semua akan lebih baik jika aku berada di kelas itu. Itu satu-satunya penyelesaian dari permasalahanku saat ini. Tapi waktu terus berjalan. 91 Ah, aku tidak datang sampai sejauh ini untuk menyerah. Ada yang salah dengan semua ini. Aku harus berbuat sesuatu. Belajar yang keras tampaknya bukan satu-satunya solusi. Aku tak bisa hanya menangis dan bersedih. Aku harus berbuat sesuatu. Dan kurasa aku tahu aku harus berbuat apa. Sekarang, atau aku akan semakin ketinggalan. *** Take Home Lesson 20: 1. Berhasil lolos seleksi aplikasi dan wawancara, bukan berarti penerima beasiswa telah mendapat “kursi” di universitas di Amerika. 2. Untuk mendapat surat penerimaan dari salah satu universitas, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi: ● Skor nilai Toefl IBT sesuai standar universitas yang dituju. ● Menyiapkan Study Objective dan Personal Statement. ● Skor GRE (https://en.wikipedia.org/wiki/Graduate_Record_Examinations) 3. Dalam rangka meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris para penerima beasiswa dan memenuhi persyaratan di atas hingga menerima surat penerimaan dari universitas, PRESTASI USAID memberikan pelatihan selama beberapa bulan. 4. Tidak semua penyelenggara beasiswa mengakomodasi pendaftaran tersebut, ada penyelenggara yang memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada penerima beasiswa untuk mendaftar hingga mendapatkan surat penerimaan dari universitas. 5. Pelatihan bahasa Inggris ini, bagi sebagian peserta bisa dilalui dengan mudah, tapi buat sebagian lain, bisa menjadi sangat menantang. 6. Persiapkan mentalmu untuk menghadapinya. 7. Tetap berhubungan dengan mentor, guru, sahabat, atau siapa saja yang bisa terus mendukung dan memompa semangatmu. 92 XXI for·mu·la /ˈfôrmyələ/ noun a fixed form of words, especially one used in particular contexts or as a conventional usage Aku kehilangan arah selama sebulan belakangan. Di satu sisi, aku masih merayakan keberhasilanku diterima, ini sedikit melenakan dan membuatku tak siap dengan apa yang harus kulakukan setelahnya. Mengalir mengikuti air, mengikuti pelajaran demi pelajaran, mengikuti program yang telah dipersiapkan, dan belajar yang keras, bukan jawaban untuk berhasil di babak ini. Di sisi lain, tekanan yang kurasakan jauh lebih berat daripada saat sebelum diterima. Ada batas waktu yang singkat untuk meraih nilai yang signifikan, ada teman-teman sekelas sebagai perbandingan kemajuan, dan ada orang-orang sedunia yang mungkin berpikir aku pasti akan berangkat ke Amerika. Sementara, aku terperangkap dengan nilai yang tak kunjung merangkak naik. Tapi cukup sudah. Aku hanya punya tiga bulan tersisa. Aku harus kembali pada diriku, pada strategiku. Pada semua yang kulakukan sebelumnya. Akhir pekan itu, aku menghabiskan waktu dengan mengunjungi kampusku di UIDepok, berusaha mengembalikan rasa percaya diriku. “Ayolah, Inraini, semua rekan sekelasmu mungkin memang hebat berbahasa Inggris, tapi kamu satu-satunya yang tamatan UI,” bisik hatiku memanas-manasi. Sepulang dari Depok, aku membeli karton warna-warni, spidol, dan memborong beberapa buku yang memacu motivasiku. Mulai dari The Secret Rhonda Byrne, lalu buku Resep Sukses & Etos Hidup Diaspora Indonesia di Negeri Orang. Buku yang dieditori oleh Dino Patti Djalal ini memuat kisah tokoh-tokoh Diaspora Indonesia selama mereka di Amerika. Ada nama Sri Mulyani dan Endang Rahayu Sedyaningsih di dalam buku itu. Nama yang membuatku memilih mengikuti jejak mereka ke Amerika. 93 Kemudian ada buku terjemahan bertajuk, “Big Things Happen When You Do the Little Things Right: A 5-Step Program to Turn Your Dreams into Reality” yang juga kupilih untuk menguatkan langkahku tiga bulan ke depan. Dinding kamarku pun penuh dengan tempelan jadwal belajarku sendiri, peta Amerika, target-target yang harus kucapai, dan berbagai kutipan inspiratif yang kudapatkan dari buku-buku tersebut. Dan yang terpenting dari semua ini adalah: aku harus mengubah paradigmaku! Mulai saat ini, takkan ada lagi niat untuk pindah ke kelas C. Mulai saat ini, aku akan sepenuhnya mencurahkan kemampuanku dan membuktikan bahwa aku memang layak di kelas B. Mulai saat ini, aku akan terus berkata pada diriku sendiri seperti yang biasa aku katakan: aku bisa, aku bisa, aku bisa. Mulai saat ini, aku akan datang pagi hari ke kelas dengan bersemangat. Mulai saat ini, aku akan pulang ke kosan dengan gembira. Mulai saat ini, aku hanya akan melihat hal-hal menyenangkan dari kelasku. Mulai saat ini, nilai Toefl-ku akan terus meningkat dan meningkat. *** Hari setelah aku memutuskan demikian, seketika segala sesuatunya berangsur membaik dengan cepat. Aku bisa melihat betapa menyenangkannya belajar Toefl IBT dengan Raymond, tutor Toefl IBT, beliau menjelaskan dengan sangat jelas dan detail. Dan saat mengerjakan soal IBT di komputer, tak lagi terasa menyengsarakan. Aku bahkan mulai tertarik dengan topik-topik dalam paragraf-paragraf panjang di soal reading. Dan Paul, ya ampun. Betapa beruntungnya kelas B memiliki tutor seperti Paul. Kelas kami satu-satunya yang ditutori Paul. Tutor satu ini lucu dan pintar minta ampun. Setiap belajar dengan beliau, kami sekelas selalu terpingkal-pingkal oleh cerita segarnya. Paul paham betul setiap sejarah Amerika dan menautkannya dengan sempurna dengan topik pelajaran kami. Kerap kali, kelas kami diisi dengan menonton film Amerika teranyar. 94 Atau kelas kami diawali dengan berbagi cerita konyol kami masing-masing. Ditambah merayakan Halloween bersama. Paul menyelamatkan hidupku! Lalu ada Agus. Tutor yang jenius luar biasa. Sebulan pertama, aku merasa seram bukan main, setiap bimbingan study objective dan personal statement dengannya. Tapi sekarang, aku bisa melihat, betapa perhatiannya beliau. Betapa detail beliau membantu kami menuangkan yang terbaik untuk kedua esai tersebut. Dan betapa menyenangkannya situasi beliau mengajar. Beliau gampang mengutarakan pujian, “good”, “nice”, “excellent”. Pujian-pujian formal itu terasa mengangkat semangatku ke langit ketujuh. Aku tidak melihat semua kebaikan itu sebelumnya. Pandanganku hanya terarah ke kelas C, dan alpa mensyukuri semua hal menyenangkan di kelasku sendiri. Sungguh luar biasa melihat bahwa hanya dengan memutuskan, menukar perspektifku, mengganti sudut pandang tentang diriku sendiri, semua bisa menjadi jauh lebih baik. Tapi bagaimana dengan nilai-nilaiku? Di dinding kamarku, aku menempelkan “kemajuan nilai Toeflku” setiap latihan di kelas. Aku menulis: minggu pertama 500, minggu kedua 510, minggu ketiga 520, dan seterusnya. Di kelas, pada saat latihan Toefl, kami diminta melihat-ulang latihan kami masingmasing, lalu melaporkan hasilnya satu per satu. Belakangan, setiap selesai latihan dan diminta mengkalkulasi hasilnya, aku tidak pernah melakukannya. Apa pun yang terpampang di dindingku yang akan kupakai sebagai jawaban. Nanti, begitu pulang, aku cek lagi, total jawabanku hari itu, dengan targetku tersebut. Jika tidak sampai, semalaman aku akan mencari, soal-soal mana saja yang jadi kelemahanku, dan mengulang-ulang latihan tersebut. Jadinya, tutor-tutorku, berkomentar, “Hem, In, ada kemajuan ya!” “Yap!” anggukku yakin. Dan ketika tes Toefl ITP yang sesungguhnya tiba, perlahan, nilaiku benar merangkak naik. 95 E+R=O an event + your response = the outcome “You can’t change the event, but you can change your response which will change the outcome.” − Jack Canfield *** Take Home Lesson 21: 1. Untuk sukses selama pelatihan ini, kamu bukan hanya butuh belajar yang keras dan disiplin, tapi juga belajar yang “cerdas.” 2. Meski saat pelatihan kamu akan merasakan tekanan karena ada rekan-rekan yang menjadi pembandingmu, kamu harus fokus pada peningkatan nilaimu sendiri. 3. Sedari awal, pelajari bagaimana pola belajar di kelas, lalu buat strategi untuk cara belajarmu sendiri di luar kelas. 4. Terus motivasi dirimu kalau kamu BISA! 5. Kamu telah lolos seleksi yang membuktikan jika kamu mampu, maka buktikan itu. 6. Kelilingi dirimu dengan hal-hal positif, temukan hal menyenangkan yang bisa menyemangatimu selama pelatihan tersebut. 7. Kamu mampu atau tidak, keduanya bisa saja menjadi kenyataan. Semua diawali dari pikiran dan keyakinanmu sendiri. Kamu sendiri yang menentukan keberhasilanmu. 8. Temukan hal positif dari tutor-tutormu. Menyukai mereka akan membuat harihari selama pelatihan jauh lebih menggembirakan. 9. Buat target peningkatan nilai Toefl-mu setiap minggu, fokus dengan target tersebut. 10. Jangan terperangkap dengan satu pola belajar. Begitu kamu merasa hasil cara belajarmu selama ini kurang memuaskan, segera temukan cara yang lain. 96 XXII pack /pak/ noun a group of wild animals, especially wolves, living and hunting together “When the snows fall, and the white winds blow, the lone wolf dies but the pack survives.” − George RR Martin Seminggu pertama, di kelas suasana terasa asing dan kaku. Kami hanya berlima, dan sepanjang 4 bulan ke depan, kami akan terus-terusan berhadap-hadapan muka. Aku bertanya-tanya dalam hati, akan seperti apa pertemanan ini. Mereka; Awen, bekerja di Kementerian Agama. Tampak serius dan misterius. Aku tak enak menyapanya. Yamin, yang berasal dari pulau Buton, menakhodai sebuah LSM yang bergerak di bidang lingkungan di pulau asalnya. Juga tak kalah formal ketika berkenalan. Berdua, mereka selalu cepat tepat dalam menjawab soal-soal di kelas. Lalu ada Lulu yang kesehariannya bekerja di Kementerian Pendidikan. Kami mulai berteman, meski masih terasa janggal satu sama lain. Kemudian ada Silvera asal Papua yang satu kosan denganku. Di minggu kedua, tutor kami, Paul, menantang kami untuk mencoba jajanan di depan LBI-UI. Nama makanan itu, persis nama salah seorang rekan kami: Mi Yamin. Terinspirasi tantangan Paul, selesai kelas pukul lima sore, kami berlima menyerbu penjaja kaki lima dan masing-masing menikmati semangkuk Mi Yamin. Makanan tersebut rasanya tak beda dengan mi ayam biasa. Tapi khasiatnya luar biasa ternyata. Berkat semangkok Mi Yamin itu, kami menghabiskan beberapa jam bersama di luar kelas sambil berbagi cerita seru hingga cerita cinta para mantan. Esoknya, kelas kami pun seketika berubah ramai dengan guyonan dan canda tanpa henti, bahkan ketika kelas sedang berlangsung. 97 Keberadaan Paul juga tak bisa dipinggirkan dalam kekompakan yang kemudian terbangun di antara kami. Dalam kelas speaking, Paul memprakarsai untuk menghabiskan 30 menit pertama bagi kami masing-masing untuk bercerita, dengan topik yang takkan kami lupakan seumur hidup tentunya. Seperti, “Apa hal terjahat yang pernah kamu lakukan pada mantanmu?” atau “Apa peristiwa paling memalukan yang pernah kamu alami?” tentu saja kami terbahak mendengar cerita masing-masing, sekaligus tak sungkan lagi berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris. Semakin hari perlahan sosok-sosok rekan baruku itu berubah menjadi sosok yang berbeda di mataku. Mereka berubah menjadi sahabat. Dari waktu ke waktu, kami pun mulai membaur dengan teman-teman dari kelas A dan kelas C. Beberapa teman memutuskan untuk belajar di sebuah perpustakaan tak jauh dari LBI-UI selepas kelas atau akhir pekan. Satu sama lain saling mengajari, berbagi buku yang bisa menunjang proses pembelajaran, berbagi informasi, sekaligus berbagi trik-trik menghadapi tes Toefl. Selepas tes Toefl, jika ada di antara kami yang nilainya belum mencukupi, teman-teman yang lain akan mendukung, bertanya di mana letak kelemahan teman tersebut dan mencoba membantu memberikan solusi. Bahkan aku dan Kesy, seorang teman dari kelas C, pernah menghabiskan waktu semalaman hingga pagi hari belajar di sebuah restoran cepat saji. Beranjak dari sosok-sosok asing, kami bermetamorfosis menjadi sekawanan kecil yang ingin melihat semua anggota kelompok ini, melaju sukses menuju Amerika. Pertarungan ini memang perjuangan masing-masing, tapi terasa ada ikatan satu sama lain bahwa kami akan memenangkan ini bersama-sama. *** Tak semua dari kami akhirnya tiba di Amerika. Seorang sahabat memutuskan untuk membatalkan perjalanan ini dan seorang lainnya menunda keberangkatannya selama setahun karena satu dan lain hal. Meski demikian kami tetap menjadi satu keluarga. Walau terpisah jarak ribuan kilometer, tetap saja kelompok kecil ini saling mencari; saling menghubungi satu sama lain. Dan tak pernah alpa, tetap saling menyemangati. 98 *** Take Home Lesson 22: Teman-teman seangkatanmu, adalah orang-orang pertama yang mengerti arti perjuanganmu, mereka yang akan bersamamu melewati babak pelatihan, hingga nanti tiba di negara tujuanmu. Jalin komunikasi dan persaudaraan dengan mereka sesegera mungkin. Jangan sungkan bertanya dan berbagi. 99 XXIII col·or·ful /ˈkələrfəl/ adjective having much or varied color; bright full of interest; lively and exciting “Life is like a rainbow. You need both rain and sun to make its colors appear.” Anonymous Masih bersamaku di lembaran ini? Terima kasih. Percayalah, jika kamu telah lolos hingga tiba di tahap pelatihan, kamu akan mengingat kisahku ini. Atau kamu mungkin berpikir jika telah sampai di tahap ini, semua akan jauh lebih mudah? Jawabannya YA. Kamu tinggal selangkah lagi menuju negara tujuanmu. Dan terpenting, kamu bisa belajar dari kesalahanku di awal-awal pelatihan, seperti yang aku ceritakan di tiga bab sebelumnya. Kunci di tahap ini adalah: tetap percaya diri. Meski terikat jam belajar yang ketat selama pelatihan, jangan lupa membuat strategimu sendiri. Segera menyesuaikan diri dengan rekan-rekanmu selama pelatihan. Dukungan positif sangat kamu butuhkan pada masa-masa ini, tutor dan rekan-rekanmulah sekarang yang paling mengerti situasimu. Mereka orang paling tepat untuk bertanya dan meminta bantuan/nasihat jika kamu menghadapi kesulitan. *** Selama pelatihan ini, jadwal kami begitu padat. Pelajaran dimulai pukul delapan pagi dan berakhir pukul lima sore. Sementara itu, kami juga terus memperbaiki study 100 objective dan personal statement sesuai masukan tutor. Ditambah menulis jurnal dan tugas writing yang harus diselesaikan pula. Aku sendiri, menambah waktu ekstra belajar untuk mengejar nilai Toefl yang lebih baik. Sementara dalam berlatih, aku terus berinovasi, menemukan cara terbaikku untuk menguasai writing, listening, reading, speaking, dan grammar. Memang ada peningkatan selama latihan, tapi skorku belum mencapai batas nilai minimum Toefl IBT yang merupakan standar universitas-universitas di Amerika. *** Dalam kepadatan jadwal kami itu, persiapan untuk memilih universitas tujuan, juga mulai kami lakukan. Memilih universitas berdasarkan ranking, merupakan salah satu cara termudah untuk menyaring sekian banyak universitas hingga mendapatkan 4 universitas yang “klik” dengan kami. Meski ini juga berisiko tinggi, terutama buatku yang nilai Toefl IBT-nya masih belum jelas akan bagaimana. Alih-alih berselancar mencari universitas dengan ranking tinggi, yang tentu saja mengharuskan mahasiswanya ber-Toefl gemerlap, aku bertualang di Google, dengan beberapa kategori untuk menentukan kampus tujuanku. Pertama, tentu kata kuncinya adalah universitas di Amerika yang mempunyai program public health. Ada ratusan. Kedua, tak lain tak bukan adalah musim gugur dan musim salju. Universitas tujuanku, haruslah berada di negara bagian yang mengalami empat musim. Oh ya, aku jauh-jauh ke Amerika salah satu tujuanku memang untuk menikmati musim gugur dan musim salju. Universitas yang berada di daerah tanpa salju dan daun-daun jatuh, kucoret dari daftarku. Masih tertinggal puluhan universitas. Terlalu banyak untuk kugali lebih jauh mata kuliah yang mereka tawarkan. Sekarang, aku bertualang memilih universitas berdasarkan nama universitas yang menurutku keren, lalu lambang kampus yang oke, dan tentunya pesiar melalui Google pada kampus dan taman-tamannya. 101 Dua hal di atas tak perlu ditiru. Akhirnya di daftarku tersisa 50 universitas. Barulah, aku mengunjungi website ke-50 universitas ini satu per satu. Hal pertama yang kutuju adalah persyaratan yang diminta. Universitas-universitas yang mematok nilai minimum Toefl IBT di atas 90, kucoret dari daftarku. Sebagian besar universitas rata-rata mensyaratkan nilai Toefl minimal 80, sementara nilaiku sendiri, pada awal masuk kelas hanya mencapai angka 64. Daftarku kini telah menyusut menjadi 30 universitas. Sekarang saatnya melihat program public health dan mata kuliah yang mereka punya. Daftarku menyisakan 20 universitas yang menyelenggarakan program health education, community health, atau maternal and child studies. Memilih 4 dari 20 universitas ini, merupakan bagian yang paling membingungkan. Karena rasanya ingin mendaftar keduapuluhnya yang tentu tak mungkin. Akhirnya kriteriaku menciut pada program ekstrakurikuler, organisasi kampus, fakultasfakultas lain yang universitas tersebut miliki (aku memberi tanda bintang pada universitas yang punya jurusan seni dan sastra, karena aku juga ingin bisa menghadiri aktivitas seni dan sastra), dan hal-hal menarik apa yang ada di universitas-universitas itu. Setelah berminggu-minggu menyisakan sedikit waktu untuk berselancar, akhirnya, aku tiba pada 8 nama universitas yang aku tak tega lagi untuk memilih. Delapan universitas ini yang aku kirim pada PRESTASI USAID. Semoga mereka membantuku memutuskan. Setiap orang tentu punya gaya masing-masing untuk memilih universitas ini. Masingmasing teman-temanku punya cara mereka sendiri-sendiri. Ada yang punya target ingin masuk universitas tertentu. Ada yang mengirim surel pada profesor di kampus itu. Ada yang memilih kampus di daerah tanpa salju. Aku sendiri memilih cara seru ini. Hari-hariku sudah cukup berat saat itu, aku ingin memilih universitas dengan cara yang membahagiakanku, sambil melepas impian 102 menyusuri bangunan-bangunan di mana aku akan menghabiskan dua tahunku di tempat itu kelak di dunia maya. *** Akhirnya hari itu tiba. Kami berlima: aku, Awen, Yamin, Lulu, dan Silvera, berangkat bersama menuju lokasi tes. Hasil tes ini adalah satu kunci ini akan menentukan nasib kami. Apakah kami akan diterima di universitas di Amerika sana? Seminggu sebelumnya, aku mengurangi jadwal belajarku yang biasanya hingga lewat tengah malam. Aku butuh konsentrasi tinggi dan tubuh yang segar untuk menghadapi tes ini. Meski demikian, aku berpikir, bagaimana caranya tetap belajar tanpa memaksakan diri. Tiba-tiba aku ingat, saat aku di sekolah dasar dulu. Aku tak pernah rajin belajar. Mamaku yang rajin sekali mengulang-ulang pelajaran untukku. Beliau membacakan semua pelajaran yang ada di buku cetak, maupun buku catatannya. Pelajaran itu akan dibaca mama berulang-ulang, meski aku tak begitu memedulikan. Saat aku bermain, bahkan hingga tertidur, Mama terus membaca tanpa lelah. Hasilnya? Aku selalu juara kelas! Hem, aku punya ide, bagaimana jika aku mendengarkan semua latihan Toefl ini ketika aku terlelap? Seminggu terakhir itu, aku menikmati istirahatku sambil tetap “belajar”. *** Suasana tes Toefl ini berlangsung tegang. Pemeriksaan dan aturannya sangat ketat. Aku berusaha tenang. Aku sudah berusaha yang terbaik. Aku sudah belajar keras. Sekarang saatnya membuktikan bahwa aku bisa. *** Sepuluh hari kemudian, kami diminta datang ke kantor PRESTASI USAID. Saat itu, Mbak Wiwin, penanggung jawab kami di PRESTASI USAID bilang, “Coba emailnya dicek, nilai IBT-nya sudah kami email.” 103 Aku langsung membuka surel dengan gemetaran. Setelah itu teriak dan langsung memeluk Mbak Wiwin. Alhamdullillah. Skorku 86. Lebih dari nilai minimum universitas-universitas yang akan aku lamar. Rasanya seperti mimpi. Bisa beranjak dari 64 ke 86. Kurasa keajaiban memang selalu bersama orang-orang yang berusaha. *** Take Home Lesson 23: 1. Tinggal selangkah lagi menuju negara impianmu, tetap bersemangat. 2. Pilihlah universitas yang sesuai jurusanmu, dan juga mensyaratkan nilai Toefl yang kira-kira bisa kamu capai selama pelatihan. 3. Jangan sungkan bertanya hal yang tak kamu pahami selama pelatihan. 4. Jaga kesehatan dan stamina selama pelatihan. 5. Jangan pernah menyerah, terus berlatih meningkatkan nilai Toefl-mu. 6. Untuk universitas-universitas di Amerika Serikat, kita bisa dengan mudah mendapatkan informasi lengkap tentang mata kuliah yang ditawarkan, fasilitas yang mereka miliki, serta kegiatan ekstra yang bisa kita ikuti di website resmi universitas. 7. Kamu juga bisa langsung menghubungi bagian penerimaan atau international student officer di kampus yang kamu tuju untuk mendapatkan informasi tambahan. 8. Pada saat tes Toefl IBT, datanglah ke tempat tes lebih awal. 9. Beristirahatlah yang cukup semalam sebelumnya. 10. Pelajari tata cara mengikuti tes tersebut, seperti harus memperlihatkan tanda pengenal, tidak boleh membawa tas dan ponsel ke ruangan tes, dll. 11. Jalani tes tersebut dengan tenang, konsentrasi, dan berikan yang terbaik. 12. Keberhasilan akan selalu bersama orang-orang yang berusaha. 104 XXIV de·fine /dəˈfīn/ verb state or describe exactly the nature, scope, or meaning of “Everybody has a chapter they don’t read out loud.” Anonymous Akhirnya empat bulan berlalu sudah. Kami berlima kembali ke daerah masing-masing. Semua persyaratan telah dipenuhi, memilih universitas telah rampung, pengisian formulir pendaftaran daring pun telah usai kami selesaikan. Dari delapan universitas yang aku ajukan pada pihak PRESTASI USAID, dua di antaranya disetujui. Mereka menawarkanku untuk mendaftar di dua universitas lain yang menurut mereka akan memberikan peluang lebih besar untuk diterima. Setelah melihat-lihat website kedua universitas ini, surprise, keduanya memiliki semua kriteria yang aku cari. Aku setuju. *** Sekarang saatnya menunggu. Kabar baiknya, semua urusan yang berhubungan dengan pendaftaran, diakomodasi oleh pihak PRESTASI USAID. Yang pasti mereka akan melakukan usaha terbaik agar kami diterima di universitas-universitas yang kami lamar. Tapi ada satu sisi lainnya: tak ada jaminan universitas tersebut akan menerima kami atau tidak! Ingat pula satu hal, mereka universitas-universitas terbaik di dunia, dengan ratusan hingga ribuan pelamar setiap tahun ajaran. Apa pula yang akan membuat mereka memilih kita dari sekian banyak pelamar dari Amerika sendiri, bahkan dari seluruh dunia. 105 Tak ayal, masa-masa menunggu ini menjadi sedemikian menyiksa. Setiap saat yang aku lakukan adalah bolak-balik memeriksa surel. Siapa tahu ada pemberitahuan bahwa aku diterima. Waktu berjalan. Minggu berganti. Satu dua bulan pun usai. Tak juga ada kabar tersebut. Kami semua jadi resah bersama. *** Tapi ada hal lain yang juga menjadi perbincangan hangat di dalam kelompok kecil ini: perasaan nelangsa menikmati saat-saat bersama keluarga. Seorang teman, tengah malam tiba-tiba mengirim pesan, “Aku tiba-tiba kebangun, kok ya air mata mengalir begitu saja ya, melihat anak lagi tidur pulas. Ya Allah, dua tahun mau aku tinggalin.” Ya, kami semua, dilanda perasaan haru biru, dengan ironi yang akan segera kami hadapi: berdoa segera dapat surat penerimaan, sementara di lain sisi, itu menandakan kami akan segera berangkat dan meninggalkan keluarga tercinta. *** Saat aku kuliah di UI, Depok, aku harus meninggalkan ketiga anakku yang saat itu usianya 7 tahun, 4,5 tahun, dan 8 bulan di Bitung. Seorang teman satu kosanku yang juga satu program, menjulukiku: ibu tega. “Ini Inraini, temen satu program, dari Bitung, Sulawesi. In ini ibu tega lo, dia ninggalin anaknya tiga di sana, yang satu masih bayi lagi.” Demikian biasanya dia memperkenalkanku pada teman-teman yang lain. Aku hanya tersenyum. Ya, banyak orang yang mudah sekali menghakimi orang lain, meski mereka tak paham situasi orang yang mereka hakimi. Dan setiap aku, kamu, kita akan melangkah menggapai cita-cita dan impian kita, selalu akan ada orang yang dengan mudah melontarkan pernyataan yang mungkin melukai. Menghadapi ini, aku tak mau repot- 106 repot menjelaskan apa pun, karena ini hidupku, aku yang akan menjalaninya, aku yang akan menuai hasilnya. Ada banyak cerita yang temanku itu tak tahu tentang aku. Berangkat ke Depok saat itu, adalah kali pertama aku berpisah dalam waktu yang lama dengan ketiga buah hatiku. Sedari mereka lahir, aku tak pernah memercayai siapa pun untuk mengasuh anak-anakku. Aku melahirkan ketiga anakku lewat operasi sesar, karena indikasi panggul sempit. Sepulang dari rumah sakit, meski tubuhku masih gemetaran dan luka bekas operasi masih berdenyut, tak sekali pun kubiarkan orang lain (termasuk suami, orangtua, mertuaku) memandikan dan merawat bayi-bayiku. Aku ingin memastikan aku sendiri yang menyentuh, mengasuh, dan membesarkan mereka. Sebagai bidan desa, saat itu aku kerap harus menolong persalinan dengan mendatangi rumah-rumah penduduk. Tak jarang, aku harus berjalan jauh, mendaki bukit, dan bermalam di rumah pasien. Dan aku selalu membawa anak-anakku serta. Karena aku tak bisa konsentrasi menolong ibu melahirkan, jika aku tak mendengar suara anakanakku di sekitarku. Bergantian aku dan suamiku menggendong mereka menempuh perjalanan-perjalanan itu. Lokasiku bekerja saat itu berada di dekat puncak sebuah gunung, Gunung Talang. Tahun 2005, gunung tersebut meletus di pagi hari buta. Semua penduduk, termasuk aku, suami, dan putri kecilku berhamburan berusaha menyelamatkan diri. Suasana begitu mencekam dengan ramai suara orang-orang bergegas dan berteriak memanggil-manggil anggota keluarganya. Beruntung, kami semua selamat. Tapi sejak saat itu, aku dihantui trauma mendalam. Aku tak bisa tidur lelap bila tanganku tak menyentuh semua anggota keluargaku. Jika tiba-tiba ada serombongan orang berjalan di luar rumah, kerap aku tersentak bangun dan langsung menggendong anak-anakku, bersiap untuk menyelamatkan diri. Ketika aku pindah ke Bitung, Sulawesi Utara, Puskesmas kami melayani rawat inap buat pasien melahirkan. Setiap jadwal dinas malam, ketiga buah hatiku selalu ikut bersamaku. Kami berempat menempati ruang jaga kecil dan menghabiskan malam 107 bersama. Jarak Puskesmas dan rumahku sebenarnya dekat, hanya lima belas menit berjalan kaki. Tapi aku tak bisa lelap tidur dan tak bisa fokus pada pekerjaanku, bila anak-anakku tak tampak di sekitarku. Lalu kira-kira, bagaimana caraku melukiskan perasaanku harus berpisah dengan mereka selama berminggu-minggu; selama berbulan-bulan? Bagaimana aku terbangun di tengah malam, mencari ke seluruh ruangan, dan tak menemukan anak-anakku di sana. Bagaimana aku ketakutan, gemetaran, sebelum kemudian menyadari bahwa mereka berada jauh di seberang pulau sana. Sungguh, aku tak bisa menemukan kata yang tepat untuk melukiskannya. Tapi buatku, ini bukanlah sesuatu yang harus aku omongkan pada semua orang. Bukan sesuatu yang harus kupasang di wajahku dan meminta orang-orang mengasihani situasiku. Atau berbagi cerita kalau semalaman aku dihantui mimpi buruk. Aku tak bisa tidur. Mataku bengkak karena menangis. Ini adalah bagaimana aku bisa sukses dengan jalanku dan menjadikan anak-anakku sebagai penyemangat. Aku punya energi yang luar biasa besar karena berusaha melakukan hal lain, agar tak melulu sedih. Aku ikut beberapa kegiatan organisasi, melakukan banyak sekali kesibukan, agar setiba di kosan, tubuhku lelah, dan aku bisa tidur dengan nyenyak. Ini bagaimana aku membuat anak tangga demi anak tangga, agar kelak anak-anakku punya pijakan buat mencapai impian mereka pula. Ini adalah caraku mencintai ketiga buah hatiku. *** Ketika aku memutuskan untuk meneruskan pendidikan masterku di Amerika, tak urung, beberapa rekan, teman, dan keluarga, berkomentar senada seperti temanku itu. Dan lagi, aku hanya menjawabnya dengan senyum. Aku yang tahu siapa aku. Perjalananku. Keputusanku. Dan mereka yang menghakimiku, akan melihat, aku bahkan takkan berhenti sampai di sini. “Accept no one's definition of your life; define yourself.” 108 − Harvey Fierstein *** Take Home Lesson 24: 1. Terus bergerak maju, apa pun tantangan yang kamu hadapi. Mungkin kamu akan mendengar kritik dengan jalan yang kamu pilih untuk kuliah ke luar negeri. Sejauh itu adalah pilihanmu, teruslah melangkah maju. 2. Nikmati hari-harimu bersama keluarga. 3. Tetap berkomunikasi dengan rekan-rekan penerima beasiswa selama masa penantian surat penerimaan dari universitas. 109 XXV sound·track /ˈsoun(d)ˌtrak/ noun a recording of the musical accompaniment to a movie “Music is a soundtrack of your life; you hear some tune and you just get swept right back to that point in your life.” − Kevin Bacon Waktu terasa merambat pelan. Masa-masa penantian LOA (Letter of Acceptance/Admission atau surat penerimaan dari universitas) menjadikan jarum jam seperti berhenti berputar. Hingga kemudian, satu per satu teman-teman mulai mendapatkan LOA mereka. Kabar-kabar itu begitu cepat tersebar. Sebagai berita bahagia yang membuat kami semua bersenang dan berbahagia buat teman tersebut. Tapi di sisi lain, membuat penantian ini semakin mencekam. Lalu, LOA-ku kapan tiba? Apa aku akan diterima? *** Menjaga hati agar tetap bersemangat dan pikiran tetap positif, selama penantian ini dan sepanjang perjalanan dari awal, merupakan salah satu kunci aku bisa tetap konsisten terus berusaha hingga di titik ini. Percayalah, ini tidak mudah. Tapi bukan pula tidak mungkin. Setiap muncul perasaanperasaan negatif, lelah, sedih, marah, kecewa, aku tak pernah membiarkan diriku berkubang dan berlama-lama dengan perasaan tersebut. Ibarat menonton siaran televisi atau mendengar radio, aku segera memindahkan channel-ku agar semangatku kembali lagi. Salah satu cara tercepat adalah dengan musik. 110 Tahun 2010, saat aku berkomitmen dengan cita-citaku yang baru ini, aku memulainya dengan mengubah banyak hal dalam hidupku. Untuk kali pertamanya, aku mengevaluasi semua hal yang mengelilingiku: buku harian, puisi dan cerpen-cerpen yang kutulis, blog pribadiku, lagu-lagu yang kudengar sehari-hari, film-film yang kutonton, novel-novel yang kubaca. Menyedihkan, tapi semua itu berputar-putar pada topik serupa: kekecewaan, kesedihan, air mata, masa lalu, akhir yang tak bahagia, kasih tak sampai. What? Aku memutuskan untuk menjadi Inraini yang baru. Aku akan menulis kisah-kisah inspiratif di blogku. Aku akan menonton film-film yang membuatku memercayai mimpiku, membaca buku dan novel-novel yang menyajikan kisah penuh perjuangan. Menulis hal-hal positif di buku harianku. Berhenti mengenang semua dari masa lalu, sesuatu yang tak mungkin diubah kembali tetapi mengambil sebagian besar waktuku selama ini. Dan yang terpenting, menghapus semua lagu sendu di daftar musikku. Soundtrack hidupku mulai kini takkan lagi bernada luka dan lara. Tapi bercerita tentang masa depan dan ketetapan hatiku meraihnya. Tak ada orang lain yang akan memutar lagu buatku, aku sendiri yang memilihkan musik-musik ini. Aku yang memilih masa depanku. Dan aku memilih untuk menang dan bahagia. “Welcome to New York” Taylor Swift berada di peringkat pertama, lagu yang kuputar lagi dan lagi. Lagu ini selalu bisa membuatku memulai aktivitasku di pagi hari dengan bersemangat. Sekaligus, mengganti debaran khawatir di hari-hari menunggu LOA tiba, dengan antusias tak sabar hendak menjejak kota New York. Lalu ada “It’s My Life” Bon Jovi, Celine Dion dengan “That’s the Way It is”, dan Miley Cyrus dengan lagu andalan “Party in the USA”, di daftar teratas yang membuatku tersenyum saat lelah tiba dan meretas segala sesuatu menghadang. Lagu-lagu ini membuatku bisa berkata pada diri sendiri, “Tenang, In, kamu akan menyusuri kota, taman, dan tempat-tempat indah di Amerika. Ayo bangun, ayo semangat!” Dan oh ya, tak mudah memang melupakan masa lalu dan semua yang pernah melukaiku. Tapi tak masalah lagi, aku punya “Mean” Taylor Swift, “Roar” dan “Firework” Katy Perry, “Who Laughing Now” Jessie J, “So What” Pink, “Bye Bye Bye” NSYNC, dan “Stronger” Kelly Clarkson, sebagai soundtrack yang kukhususkan 111 untuk semua yang pernah membuatku merasa seperti kantong plastik bekas. Buat mereka yang pernah mencela, meninggalkan, dan memandangku sebelah mata. Aku pernah mengalami semua itu? Ya. Dan menyebalkannya, aku malah masih mengingat semua detail kejadian-kejadian di atas, dan masih terasa menyakitkan setiap mengenangnya. Tapi bagusnya, sekarang semua perasaan itu seperti tornado yang memompa semangatku untuk membuktikan (bukan pada mereka) pada diriku sendiri, bahwa aku jauh lebih baik dari semua mereka. Sementara lagu-lagu One Direction seperti “What Make You Beautiful”, “Live While We're Young”, “Best Song Ever”, “Kiss You”, “One Way or Another”, bisa dengan mudah membuatku tersenyum, relaks, dan berbahagia. Lagu-lagu Indonesia yang kupilih sebagai soundrack perjalananku adalah Sheila on Seven dengan “Pasti ‘Ku Bisa”, “Melompat Lebih Tinggi”, dan “Sahabat Sejati”, lalu ada lagu “Menggapai Matahari” Ari Lasso, “Kepompong” Sindentosca, “Laskar Pelangi” Nidji, “Teruslah Bermimpi” Ipang, “Selamat Pagi” RAN, “Sang Pemimpi” Gigi, dan “Dengan Hati” Lyla. Berganti rupa dari penggemar kisah sedih, menjadi seorang yang optimistis dan dikelilingi oleh hal-hal positif, berdampak sangat besar padaku, kamu boleh mencoba dan membuktikannya sendiri. “Everything in your life is reflection of a choice you have made. If you want different result, make a different choice.” Anonymous *** Pagi itu ponselku berbunyi. Telepon dari Mbak Wiwin. Aku langsung berdebar penuh harap. “In, udah cek surel hari ini?” suara Mbak Wiwin. 112 “Belum, Mbak.” “Cek dong, itu udah ada satu LOA buat In.” “Mbaaaaaaaak!” pekikku histeris. “Hahaha… tenang… tenang…” “Makasih… bilang iya ya, Mbak,” kataku setelah mengambil napas panjang dan menghapus setetes air mata syukur yang jatuh begitu saja di pipiku. “Eh… cek dulu universitas apa itu, In setuju enggak, tunggu dulu LOA dari universitas yang lain. Nanti nyesel lo…” “Hehe, iya, Mbak…” cengirku. Setelah Mbak Wiwin menutup pembicaraan di telepon, gemetaran aku membuka laptop untuk mengecek LOA tersebut. Montclair State University. Aku menangis. Bahagia. *** Montclair State University, hanya setengah jam perjalanan dari Kota New York. Soundtrack-ku akan segera menjadi kenyataan. “Welcome to New York, Inraini! It’s been waiting for you…” *** Take Home Lesson 25: 1. Kelilingi dirimu dengan hal-hal positif selama masa penantian LOA. Bacaan, tontonan, obrolan, pemikiran. Apa pun itu. 2. Buat daftar musik/lagu berbahasa Inggris yang bisa membangkitkan semangatmu. 3. Siapkan file lagu-lagu tersebut di ponsel atau laptopmu. 113 4. Sering-seringlah mendengarkan lagu-lagu itu, terutama jika semangatmu sedang turun. 5. Setiap perasaan galau menghampiri, pindahkan “gelombang negatif”- mu dengan mendengarkan musik yang membuatmu bisa kembali menjadi seseorang yang positif. 114 XXVI ex·cuse /ikˈskyo͞oz/ verb attempt to lessen the blame attaching to (a fault or offense); seek to defend or justify “I attribute my success to this; I never gave or took any excuse.” − Florence Nightingale LOA sudah di tangan. Pengurusan administrasi sedang berjalan. Semua tampak terang benderang di depanku kini. Tapi bukan berarti aku bisa berlega hati. Kami masih harus melewati tes kesehatan yang tiba-tiba terasa menyeramkan. Perasaan waswas tak urung menyelimuti kami semua, sembari menanti hasil tes tersebut keluar. Setelah itu, kami masih harus melewati wawancara saat pengurusan visa. Cerita horor tentang mahasiswa yang gagal berangkat karena visanya tidak disetujui, tentu juga menjadi topik pembicaraan hangat di antara kami. Selain itu, kami juga diwajibkan mengikuti orientasi sebelum keberangkatan dan pelatihan kepemimpinan. Pelatihan kepemimpinan ini merupakan ajang terakhir kami bisa berkumpul bersama sebelum masing-masing berangkat. Semua penerima beasiswa PRESTASI USAID 2014, baik di dalam dan luar negeri, diberi pelatihan selama beberapa hari untuk mempersiapkan mental masing-masing dalam menempuh pendidikan nanti. Selama pelatihan yang dimentori oleh beberapa psikolog ini, selain kami lebih memahami diri masing-masing, kami juga semakin mengenali karakter dan mengetahui sisi berbeda dari teman kami masing-masing. *** 115 Sebelum berada di antara teman-temanku ini, aku mempunyai persepsi keliru tentang para penerima beasiswa ke luar negeri. Di mataku, mereka semua adalah orang-orang beruntung yang terlahir dari keluarga berada, mempunyai kemudahan dalam mengakses pendidikan yang berkualitas, informasi, dan semua fasilitas yang mereka butuhkan untuk melanglang buana ke mana pun mereka mau. Beberapa dari mereka mungkin seperti yang kupikirkan, tapi tidak semuanya. Semua orang punya cerita hidup mereka masing-masing. Dalam salah satu sesi pelatihan kepemimpinan ini, satu per satu kami menceritakan peristiwa masa lalu kami yang masih mengganjal di hati hingga saat ini. Satu demi satu kami berbagi kisah kami. Beberapa memulai dengan tersendat, terbata menemukan kata yang tepat mewakili perasaan mereka. Sesi ini berakhir dengan hampir semua peserta dan mentor, berurai air mata. Seiring dengan berjalannya waktu, dan semakin dekatnya kami satu sama lain, aku mendengar semakin banyak kisah dari teman-temanku ini. Kisah-kisah yang membuatku menyadari bahwa persepsiku selama ini salah total. Seorang teman bercerita, sejak kecil, dia yang bertanggung jawab atas ekonomi keluarganya. Hidup mereka sangat susah, hingga kerap dia harus ke pasar mengumpulkan sisa-sisa sayuran, lalu membawanya pulang untuk lauk mereka sekeluarga. Menjelang remaja hingga kini, dia membiayai sekolah beberapa adik tirinya. Beban itu, membuatnya tak bisa menyisihkan uang gajinya untuk dirinya sendiri. Mereka sekeluarga tinggal di rumah usang yang sangat sempit dan menumpang di tanah pemerintah. Temanku yang bekerja sebagai dosen di sebuah universitas negeri terkenal ini, menjadikan kondisi kehidupannya sebagai semangat untuk mengubah hidup mereka. Ini kali keempat beliau mendapat beasiswa ke luar negeri. Seorang teman yang lain, merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan beberapa tahun yang lalu, tanpa mendapat izin orangtuanya. Hanya dengan uang yang sangat terbatas, beliau nekat hingga tiba di Jakarta, kemudian mengadu nasib melamar pekerjaan. Kenekatannya membuahkan hasil karena kemudian dia diterima di salah satu kementerian. 116 Ah, banyak sekali cerita-cerita mereka yang membuatku menyimpulkan bahwa aku, kami, mereka yang telah lebih dulu menjadi penerima beasiswa ke luar negeri, sama dengan kamu. Kami hanya manusia biasa yang punya keterbatasan, punya beban, punya masa lalu. Tapi kami tak menjadikan keterbatasan tersebut sebagai penghalang. Melainkan sebagai pendorong untuk terus maju. Jika kamu punya mimpi untuk kuliah ke luar negeri, tak ada satu pun alasan yang bisa membenarkan kamu tak mampu meraih mimpimu itu. Kamu bisa. Apa pun halangan yang kamu jumpai. Bagaimanapun menyedihkannya cerita masa lalumu. Apa pun kondisimu saat ini, itu bukan alasan untuk tidak melangkah maju. Selalu ada jalan untuk melampaui itu. Kamu hanya perlu menemukan jalan itu. Cari, pelajari, temukan! Jika kami bisa, kamu juga pasti bisa! *** Setelah selesai pelatihan kepemimpinan tersebut, beberapa teman telah mulai mempersiapkan tanggal keberangkatan mereka. Di sisi lain, masih ada teman yang nilainya belum mencukupi, masih ada yang belum mendapat LOA. Masih ada yang harus mengulang tes kesehatan. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka saat itu. Tapi teman-teman tersebut orang-orang yang luar biasa. Mereka terus dan terus dan terus dan tak putus berusaha. Tes lagi dan lagi dengan biaya sendiri. Melamar ke beberapa universitas lain dengan biaya sendiri. Berhenti bukan pilihan kami, kira-kira demikian prinsip teman-temanku ini. “If you really want to do something, you’ll find a way; if you don’t, you’ll find an excuse.” − Jim Rohn *** Take Home Lesson 26: 117 1. Menjaga kesehatan sejak jauh-jauh hari, tidak hanya penting karena kamu membutuhkan kondisi yang fit untuk menghadapi satu per satu kegiatan selama masa pelatihan, tapi juga surat keterangan sehat dengan pemeriksaan yang menyeluruh merupakan salah satu syarat wajib keberangkatan. 2. Proses administrasi untuk pembuatan visa, dibantu oleh penyelenggara beasiswa. 3. Untuk wawancara mendapatkan visa berlangsung ketat, tapi kamu tak perlu khawatir. 4. Semua orang punya masa lalu, beban, cerita suka, dan duka. Apa pun cerita hidupmu di masa lalu, apa pun kondisimu saat ini. Kamu berhak bermimpi yang besar. Kamu layak menjadi penerima beasiswa dan kuliah ke luar negeri. Tetap semangat, kamu bisa! 118 XXVII mag·ic /ˈmajik/ noun the power of apparently influencing the course of events by using mysterious or supernatural forces Banyak sekali keajaiban yang kutemukan sepanjang perjalananku ini. Salah satunya orang-orang yang ikut menjadi penentu kesuksesanku: para program officers di PRESTASI USAID. Bu Mira, Mbak Wiwin, Mbak Chichi, dan banyak lagi mereka yang bekerja di belakang layar. Memastikan kami semua mendapatkan yang terbaik dari program kami ini. Mereka mengawal perjuangan kami setahap demi setahap, mengenal kelebihan dan kekurangan kami masing-masing, memastikan segala urusan administrasi kami beres, terus menyemangati, mengevaluasi, dan memberikan saran-saran terbaik mereka. Mereka tempat kami “lari” saat kami resah, bingung, dan khawatir tentang banyak hal yang tak kami kenali sebelumnya. Mereka turut bahagia setiap kami bisa lanjut ke tahap berikutnya, sekaligus orang pertama yang disibukkan oleh pertanyaan-pertanyaan kami, baik yang mendadak maupun detail pengisian formulir aplikasi pendaftaran, seperti, “Mbak, ini yang nomor B.13 ditulis pakai huruf kapital atau huruf kecil? Trus yang nomor C7 itu dicentang yang kolom A atau B?” Aih. Mereka pula yang memastikan kami mendapatkan semua yang kami inginkan secara personal. Pertanyaan seperti ini, juga dilontarkan saat mempersiapkan penerbangan kami, “In, nanti mau penerbangan malam atau pagi? Tempat duduk di pesawat mau di dekat jendela atau di tengah?” 119 Orang-orang besar di USAID, lembaga yang mendanai beasiswa kami, juga tak kalah memberi perhatian besar. Mereka bahkan mendampingi kami saat wawancara visa, yang membuat perasaan cemas berganti menjadi damai sejahtera. *** Kami, para penerima beasiswa, memulai perjuangan ini dari awal sendiri-sendiri. Kemudian kami disatukan selama pelatihan, berkompetisi dengan diri sendiri dari hari ke hari. Lalu kami mulai saling mendukung, mulai tercipta perasaan keterikatan satu sama lain, solidaritas, satu identitas di bawah payung PRESTASI USAID, satu keluarga besar. Tapi kini tibalah saat untuk memulai perjalanan itu sendiri-sendiri lagi. Kami harus mempersiapkan segala sesuatu. Seperti menghubungi advisor di kampus, mencari apartemen atau asrama untuk tempat tinggal, dan menyiapkan apa saja yang perlu dibawa dari Indonesia. Namun, lagi-lagi, selalu ada seseorang di seberang sana, yang menolong semua proses tersebut. Beasiswa PRESTASI USAID, memfasilitasi setiap penerima beasiswanya dengan satu program advisor IIE (Institute of International Education) di Amerika. Mereka berpengalaman dalam penyelenggaraan pendidikan internasional. Selain menyediakan semua informasi yang kami butuhkan, mereka juga menjembatani kami dengan international officer di masing-masing kampus. Mahasiswa Indonesia yang berada di Amerika juga bisa menjadi tempat untuk bertanya. Di universitasku sendiri, ada dua penerima beasiswa PRESTASI USAID yang sedang menjalani perkuliahan. Mereka berdua, Mbak Irma dan Doi, memberi banyak informasi yang sangat bermanfaat sebelum keberangkatanku. *** “Magic is believing in yourself, if you can do that, you can make anything happen.” − Johann Wolfgang von Goethe 120 *** Akhirnya saat itu pun tiba. Beberapa temanku telah lebih dahulu berangkat menuju universitas mereka masing-masing. Aku menghitung mundur waktuku untuk segera berangkat. Minggu berganti, hari itu pun semakin mendekat. Sembari mempersiapkan banyak hal, tiba-tiba banyak hal besar terjadi dalam hidupku. Aku kehilangan dua orang yang sangat berarti dalam hidupku. Paman kesayangan dan Omaku tercinta. Mereka pergi dalam jarak waktu yang berdekatan, dan mencipta perasaan kehilangan yang tak tahu bagaimana harus kugambarkan. Lalu, aku menerima kabar seorang keponakan yang tumbuh besar dan menghabiskan banyak hari-hari bersamaku, didiagnosis menderita penyakit kronis. Perasaanku semakin campur aduk. Seiring semakin dekatnya waktu keberangkatanku, malam-malamku dihantui tangis dan mimpi-mimpi buruk. *** Di ruang tunggu, beberapa jam sebelum keberangkatan. Aku sendiri di sini kini. Merenung. Perasaanku teriris perih membayangkan aku harus segera berangkat. Mengenang semua yang pernah kulalui dalam hidupku. Di saat yang sama, ada ruang kosong di hatiku yang perlahan terisi perasaan hangat; perjuangan, pencapaian, pembuktian. Melihat ke belakang, aku takjub melihat apa yang sudah aku lakukan; aku temukan. Aku menarik napas panjang. Pengumuman bahwa penumpang dipersilakan memasuki pesawat terdengar dan mengakhiri lamunanku. Aku bangkit dan masih dengan perasaan tak percaya ikut melangkah bersama barisan orang-orang di depanku. “Ya Allah, ini mimpi atau kenyataan? Aku benar akan segera berangkat ke Amerika?” Ya, ini bukan mimpi. Ini nyata. Dan di depan sana, ada petualangan baru, ada banyak ilmu yang akan kupelajari. Jika sampai di sini saja kamu sudah merasa luar biasa, In, bayangkan pengalaman apa yang bisa kamu panen dari sana? Jika di titik ini, kamu merasa bertumbuh dalam semua aspek di hidupmu, bayangkan apa yang bisa kamu bawa dari dua tahun perjalananmu nanti. Bersiap, bersemangatlah. Kamu bisa. Kamu bisa, Inraini. 121 Aku tersenyum. Ya, aku siap. “And suddenly you know: It's time to start something new and trust the magic of beginnings.” − Meister Eckhart Take Home Lesson 27: Mulailah menulis kisah perjalananmu sendiri, selamat memulai, kamu bisa! 1. … 2. … 3. … 4. … 122 Epilog Kurang dari 50 hari lagi, aku akan kembali ke Indonesia. Bukan hanya gelar master yang aku dapatkan dari perjalanan panjang ini. Aku seperti satu butir benih yang terlempar ke sebuah lahan besar yang entah di mana berada. Aku jauh dari siapa pun. Aku tak punya siapa-siapa. Aku menemukan petualangan yang sebenarnya di sini: tersesat di tengah malam buta beberapa hari setelah aku tiba, menyiasati bagaimana mendapat nilai sempurna di setiap mata kuliah, menemukan pelatih yang selalu menyemangati, dan banyak lagi cerita luar biasa lainnya tercipta di sini. Dan aku bertumbuh dan tumbuh. Tinggi, pesat, rimbun, kuat, dan siap. Aku belajar banyak hal, aku bertemu banyak orang, aku melihat dunia dengan pandangan yang tak lagi sama. Perjalanan ini sungguh jauh luar biasa dari yang bisa aku bayangkan. Hari demi hari, detik demi detik, aku menemukan keajaiban demi keajaiban. Kamu, ya, kamu yang setia membaca hingga halaman ini, melangkahlah, mulailah perjalananmu, temukan negara impianmu, Dan kamu akan bersua keajaibanmu pula. Sesuatu yang tak pernah kamu bayangkan sebelumnya menanti di depan sana. *** 123