Uploaded by Rizky Ilham Descarian

post-6299f125965d9

advertisement
ASTANA RATU ANJANI
Versi Jani PART II
“Astana Ratu Anjani…Here we cooomee…” teriakku
senang. Setelahnya, aku bagaikan burung beo yang
mengatakan apapun yang aku liat dan rasakan
“…Mbo, udaranya seger banget ya”
“…Mbo, langitnya bagus walaupun masih agak gelap”
“…Mbo, ini bau apaan sih? Pupuk ya?”
“…Mbo, nanti di Plawangan Sembalun fotoin gue ya”
“…Mbo, nanti di jalur summit jangan cepet cepet ya
jalannya” Sepanjang perjalanan aku ngga berenti mengoceh
dan mengomentari segala hal yang aku liat dan rasakan. Rama
hanya ketawa ketawa aja melihat tingkahku yang begitu
bersemangat
“Jan, jangan cepet cepet jalannya. Santai aja, simpen
tenaga buat Bukit Penyesalan” pesan Rama singkat yang
tertinggal beberapa langkah di belakangku.
“Iyaaa” jawabku masih dengan wajah yang sumringah.
Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan bapak yang
1
sepertinya hendak pergi ke ladang pagi pagi buta. Sebagai
bentuk ramah tamah, aku dan Rama menganggukan kepala
pelan sambil mengucap permisi kepada beliau.
Bapak itu membalas sikap kami dengan senyuman,
namun pandangannya tidak fokus kepada salah satu dari kami
berdua. Sesekali ia melihat ke Rama, lalu melihat ke arahku.
Lalu tiba tiba ia menghampiri Rama,
“Hati hati nak mendakinya. Sepertinya ada yang
ngawasi kalian. Ini, bawa untuk jaga jaga. Ndak usah
dikembalikan, ambil buat kalian…” ujar bapak itu sambil
menyerahkan kertas yang dilipat segitiga ke Rama.
Kulihat Rama sedikit ragu untuk menerimanya, tap
sepertinyi atas dasar rasa segan dan menghormati
perhatiannya
bapak
itu,
Rama
menerimanya
dan
berterimakasih. Setelah berpamitan, kami lanjut jalan. Tak
jauh setelah bapak tadi berlalu, akhirnya aku berkomentar..
“Apaan nih mbo??”
“Nggaa tau, jimat kali ahaha” jawab Rama asal.
“Lah kalo jimat kenapa lo terima? Bukannya lo ngga
percaya beginian ya?”
2
“Gue lebih ke ngehargain aja sih Jan. Gue masih ngga
percaya ama ginian kok sampe sekarang” jawab Rama.
Kamipun lanjut berjalan.
Beberapa
langkah
setelah
setelahnya,
Rama
menyusulku ke depan lalu menepuk pundakku,
“Jan, Jan, liat deh..” kata Rama sambil menunjuk ke
arah timur. Mataku mengikuti arah telunjuk Rama dan
seketika aku terpaku tanpa berkata apapun.
“…Sunrise di kaki Rinjani Jan..” kata Rama lagi.
Untuk beberapa saat aku hanya diam sambil
memandangi pemandangan indah itu. Pikiran dan perasaanku
berkecamuk. Ada emosi yang meluap luap dan seakan aku
ingin berteriak melihat bagaimana fajar mulai memberikan
rona ungu di langit yang semula kelam.
Setelah itu aku membalikkan badanku dan refleks
memeluk Rama sebagai pelampiasan rasa senangku.
“Makasih ya Mbo..” hanya itu yang bisa terucap dari
mulutku.
3
“Idih apaan sih lo pake meluk meluk, najes” Rama
menjauhkan tubuhku darinya dan berekspresi seperti jijik.
Rama memang pria yang bisa merusak momen seindah dan
seromantis itu dengan sikap tengilnya.
“Yuk Jan, buruan dikit yuk jalannya” ajak Rama sambil
tiba tiba narik tanganku.
“Lah tadi nyuruh pelan pelan, sekarang buru buru,
labil lo ah!” tukasku.
“Udah nurut aja, bawel!” kata Rama tegas.
Rama yang biasa tenang dan menyelipkan candaan
tiba tiba saja terlihat serius. Aku tau ada sesuatu yang salah.
Tapi apa? Apakah Rama liat sesuatu?..
Sekitar dua jam lebih perjalanan, kami sampai di pos
1. Kami break sebentar sekedar meluruskan kaki. Rama
semaet nanya mau sarapan di pos ini atau pos 2, dan aku
memilih di pos kedua aja.
Rama lalu mengeluarkan vepless berisi kopi yang
sudah ia persiapkan dari rumah Pak Saat. Rama menyerahkan
vepless itu ke arahku, tapi aku menggeleng, aku lebih memilih
meminum air mineral. Kemudian Rama nyeruput kopi yang
4
harumnya tercium sangat segar itu sambil memandang
hamparan ciptaan Tuhan di hadapan kami berdua. Hamparan
padang rumput hijau dengan latar langit biru dihiasi awan
awan putih empuk seperti kapas yang bertebaran. Kami
berdua terdiam menikmati moment itu tanpa bersuara sama
sekali. Salah rasanya jika kami berbuat berisik ditengah
ketenangan yang mungkin tidak akan kami temukan di hari
hari lainnya saat Rinjani dibuka.
“Udah
jan?”
tanya
Rama ke
aku
memecah
keheningan. Aku mengangguk.
“…Yuk lanjut biar cepet sampe Pos II. Udah laper gue”
kata Rama sambil menggendong lagi carriernya.
Beberapa waktu kemudian, ditengah perjalanan,
untuk menghilangkan rasa penat yang muali datang, niat
isengku pun muncul. Aku meminta Rama untuk berhenti
sejenak,
“Mbo, denger suara itu gak?”
“Suara apaan?” bukannya menjawab, Rama malah
bertanya malas sambil tetap meneruskan pendakian.
5
“Ih dengerin duluu. Masa lo ngga denger?” tanyaku
lagi sambil menarik lengan Rama. Rama pun berhenti
melangkah. Lalu…
BROOOTTT!
Aku tertawa keras dan berlari menjauh.
“Najis cakep cakep kentutnya bau banget!” cela Rama
yang sudah tidak sanggup mengejarku. Kamipun meneruskan
pendakian dengan aku yang ngga bisa berenti tertawa setelah
ngerjain Rama tadi.
Saat Rama berhasil menyusulku, aku terdiam dan
langsung menempelkan telunjukku ke bibir, memberi kode
pada Rama untuk berhenti memasang telinga lagi,
“Halah kentut lagi kan lo” kata Rama cepat
“Enggak enggak, ini beneran. Lo denger suara kuda
ngga?..” ujarku serius. Rama pun terdiam hingga suara nafas
kami bisa terdengar. Dan aku benar, seperti ada suara
ringkikan samar samar terdengar saat itu.
6
“Tuh ada kan? Suara apa ya tuh? Jadi takut gue”
kataku cemas.
“Kaya suara kuda sih.. tapi siapa yang masih naik kuda
hari gini?.. eh tapi Jan.. jangan jangan itu suara kereta
kencananya Ratu Anjani Jan!” kata Rama dengan wajah yang
tiba tiba serius. Aku semakin cemas.
“Ah Mbo jangan bercanda ah…” rengekku.
Namun tiba tiba tanah mulai bergetar dan terdengar
suara deru langkah hewan yang kian mendekat. Kami saling
bertatapan satu sama lain..
“KABUR JAAANNN LARIIII!!!!” teriak Rama.
Tanpa pikir panjang kami berlari sekuat tenaga setelah
sadar ada beberapa kuda liar yang berlarian menghambur ke
arah kami. Kami berlari masuk ke arah hutan kecil, yah
setidaknya kupikir ini akan melambatkan kuda kuda itu karena
keberadaan pohon pohon disini. Beruntung, kami berhasil
menghindari kuda kuda itu. Kami beristirahat sambil mengatur
nafas yang tersengal sengal. Tanpa kami sengaja, kami saling
pandang satu sama lain dan refleks kami berdua tertawa.
7
“Apesh…benerh…gueh…naek
sama
lo
Jooonh,
hah…hah…seumur umur naik gunung…, baruh…ini gue dikejar
kudah ahahaha” kata Rama disela sela nafasnya yang masih
ngos ngosan.
“Wahaha iya sama, baru ini gue ngerasain dikejar
kuda, biasanya cowok” candaku. Rama hanya menggeleng
gelengkan kepalanya.
Setelah berisirahat mengatur nafas dan minum
sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju pos 2, masih
dengan perasaan tegang namun geli sendiri mengingat
pengalaman yang baru saja kami alami.
Perjalanan dari pos 1 ke pos 2 kami tempuh dalam
waktu satu jam karena sepanjang perjalanan itu aku tidak
berhenti mengoceh dan bercanda. Aku benar benar
menikmati pendakian ini. Akhirnya kami sampai di pos 2 pukul
08.13, meleset setengah jam dari jadwal.
Setibanya di pos 2, kami menyantap sarapan dengan
bekal yang disiapkan Pak Sa’at. Waktu pendakian pertamaku
ke Rinjani tahun lalu, pos 2 ini ramai dengan para pendaki,
namun karena kondisi pendakian saat ini sedang ditutup, pagi
itu hanya ada kami berdua disana. Hal ini jadi pengalaman
8
baru buatku, mendaki Rinjani sehabis musim hujan, dalam
keadaan yang sedang hijau-hijaunya dan penuh ketenangan
karena jauh dari hiruk pikuk pendaki lain.
Saat sedang asyik menikmati sarapan itu, tiba tiba aku
mendengar suara deru motor yang memecah keheningan saat
itu.
“Mampus dah, kayaknya Ranger!” celetuk Rama. Aku
menatapnya dengan khawatir, ngga rela rasanya kalau itu
beneran Ranger dan kami diminta turun, tapi Rama segera
menenangkanku,
“…Tenang aja, kalo emang Ranger, nanti gue negoin
lagi. Setidaknya kita bisa ngecamp agak semalem di Plawangan
Sembalun. Gapapa kan lo nya?” tawar Rama.
Aku menganggukkan kepalaku cepat dengan wajah
kembali sumringah. Buatku itu udah cukup. Soal batu putih itu,
aku akan meletakkannya sampai titik akhir pendakian kami di
Plawangan Sembalun aja. Toh sama aja pikirku, sama sama di
Rinjani.
9
“Gapapa Mbo, kalopun nanti disuruh turun juga
gapapa. Kita udah janji di bawah tadi. Gue bisa sampe sini aja
udah seneng banget kok Mbo” kataku tenang.
Beberapa menit kemudian, dugaan Rama terbukti.
Sebuah motor menghampiri kami dengan dua orang
diatasnya. Satu menggunakan seragam, yang kami duga
adalah Ranger, dan satu lagi mengenakan kaus biasa dan
celana pendek tanpa membawa barang apa apa.
“Selamat pagi mas dan kakak” sapa bapak berseragam
tadi.
“Pagi pak” jawab Rama sambil beranjak bangun dan
menjabat tangan keduanya. Aku mengikuti hal yang sama.
“Betul dengan mas Rama?” tanya Ranger itu.
“Betul pak. Maaf ya pak sebelumnya kami lancang
naik kesini. Saya sudah koordinasi sama petugas di basecamp
dari semalem, beliau sebetulnya berat ngasih kami izin, tapi
akhirnya dibolehin dengan catetan cuma ngecamp semalem
terus summit dan turun lewat Sembalun lagi. Terus katanya
kalo ketemu Ranger dan disuruh turun, ya harus nurut.
Kebetulan kita lagi sarapan pak, nanti setelah selesai sarapan
10
kami langsung turun lagi ya pak” kata Rama panjang lebar
padahal Ranger tadi hanya menanyakan nama saja.
Ranger itu tersenyum lalu menepuk nepuk pundak
Rama dengan lembut. “Terima kasih mas buat kejujurannya”
ujar Ranger itu.
“Iya sama-sama pak. Harus dong pak, kami juga ngga
mau kenapa-kenapa diatas sana gara-gara bohong pak. Oiya
pak, udah sarapan pak? Ini kebetulan sarapan kami lebih,
sarapan dulu yuk pak, ngopi juga ada pak. Aman.” Kata Rama
dengan sangat ramah.
“Sudah-sudah ngga usah repot-repot. Saya harus balik
piket ke basecamp. Saya cuman mau mastiin, ini bener Mas
Rama temannya Bang Yon sama Pak Sa’at kan?”
“Iya bener pak” jawab Rama cepat, lupa menjawab
inti pertanyaan ranger ini tadi.
“Yang tahun lalu ikut bantu evakuasi pendaki
perempuan yang hipo kan ya?” tanya Ranger itu lagi. Aku
tersentak malu karena perempuan yang dimaksud itu adalah
aku.
11
“Oh, iya bener pak. Ini anaknya nih pak yang
kedinginan sendirian ditinggalin pacarnya... Hahaha...” kata
Rama sambil ngacak-ngacak rambutku. Aku hanya tersenyum
simpul, ternyata orang orang masih ingat kejadian hipoku
tahun lalu.
“Nah ini ceritanya dia mau remedi pak. Tapi ya ngga
tau ternyata pas sampe sini, begini kondisinya.” Lanjut Rama.
Kayanya dia mulai coba narik simpati ranger itu.
Ranger itu mengangguk pelan ketika Rama kasih
penjelasan sambil matanya dengan sigap menyisir kondisi fisik
Rama, aku dan perlengkapan yang kami bawa.
“Memang rencana awalnya gimana?” tanya ranger itu
lagi.
“Tadinya mau ngelintas ke Senaru pak. Cuman ya
karena lagi begini, udah pasti batal sih. Saya ngikut aturan aja
pak, biar aman” kata Rama memelas. Aku mulai paham, he
plays his strategy. Dasar anak marketing.
“Hoo..betul-betul” kata Ranger itu.
“Mmm...kira-kira, kalo saya izin ngecamp semalem –
dua malem aja di Plawangan boleh kan ya pak? Kasian juga nih
12
anak ini, udah jauh-jauh, masa tidurnya di rumah Pak Sa’at
doang. Hahaha..” ujar Rama santai sementara aku deg degan.
Berharap negosiasi itu berjalan lancar.
Ranger itu memperhatikan Rama dari ujung kepala
sampai kaki. Seperti membaca gerak gerik rama. Waduh
kayaknya nego nego Rama bakal gagal kali ini, pikirku.
“Anak marketing ya? Bisa aja nego nya” ujarnya
sambil tersenyum.
“Hahaha. Iya pak. Jadi...boleh kan ya pak? Janji deh
pak ngga summit” pinta Rama lagi, meminta konfirmasi.
Tiba-tiba ranger itu mengeluarkan sebuah surat dari
kantongnya dan menyerahkannya ke Rama yang seketika
kebingungan.
“Eh, apa ini pak?” tanya Rama sebelum membuka
surat tersebut.
“Udah ngga usah nego-nego saya, ngga bakal
mempan, saya juga dulu lama di marketing, ilmumu itu udah
kebaca sama saya mas” ungkap ranger tadi sambil tersenyum
lebar.
13
Rama terkekeh kekeh sambil mengusap usap
belakang kepalanya karena malu. Mungkin baru kali ini nego
nego tipisnya terbaca oleh orang dan diskak seperti ini.
“…Itu, surat izin pendakian kamu, saya yang tanda
tangan langsung, saya yang tanggung jawab. Hitung hitung
hadiah dari saya karena kamu udah 2 kali bantu evakuasi.
Kamu boleh summit, boleh ke Segara, boleh ngelintas ke
Plawangan Senaru. Kalo ketemu petugas di atas, kasihin aja
surat itu. Kalo udah turun ke Senaru, kasihin ke petugas
basecamp sana ya” ujar ranger itu panjang lebar.
Rama sontak membuka surat yang ia berikan. Aku ikut
kepo membacanya. Dan benar, isinya merupakan sebuah
surat pernyataan izin pendakian yang sudah ditanda tangani.
“…Tapi untuk bisa lanjut, syaratnya ini, kalian harus
ditemani Pak Mahlin. Beliau warga sini. Jangan jauh-jauh dari
beliau. Saya sudah komunikasi juga sama Yon, dia sibuk banget
hubungin saya dari semalem, dia titip pesan, jalanin plan awal,
nanti dia nyusul kamu di Segara. Paham kan ya?” tanya ranger
itu kepada Rama.
Aku yang ngga tau apa apa soal plan awal itu cuman
diem aja dengan perasaan senang. Rama mengangguk paham.
14
“Yowes saya pamit dulu. Hati-hati. Jangan lupa
berdoa. Pak Mahlin, minta tolong titip mereka ya” Pesan
ranger itu menutup penjelasan panjangnya.
Kami berdua cuma melongo seakan nggak percaya
sama apa yang barusan kami dengar. Betapa Allah, lewat Bang
Yon, Pak Sa’at dan bapak Ranger ini begitu baik sama kami.
Setelah beberapa saat, Rama segera mengucapkan terima
kasih berkali kali ke ranger itu. Begitu pula denganku.
Setelah berpamitan dan mengenalkan Pak Mahlin,
Ranger itu kemudian pergi dengan motornya.
Setelah tinggal kami bertiga, kami berkenalan dan
mengobrol dengan Pak Mahlin. Ternyata beliau berasal dari
Senaru, lebih tepatnya beliau adalah kenalan Pak Sa’at. Pak
Sa’at lah yang meminta tolong beliau untuk menyusul kami
sekaligus meminta bantuan Ranger untuk mendapatkan izin.
Secara kebetulan, Ranger yang ditemui pak Sa’at dan pak
Mahlin adalah Ranger yang juga dihubungi Bang Yon. Aku
terus terang takjub dengan segala skenario Tuhan Yang Maha
Esa kepada kami. Semuanya tidak bisa disebut kebetulan
semata dan benar benar diluar pikiran kami.
15
Kami melanjutkan perjalanan menuju pos 3. Kali ini
Rama berpesan kepadaku untuk jangan banyak berhenti
kecuali sudah capek. Apalagi didepan jalurnya sudah mulai
menanjak, kalo lebih lambat lagi bisa bisa kami kesorean
sampai di Plawangan Sembalun.
Saat perjalanan mulai menanjak, Pak Mahlin
memaksa untuk membawakan barang barang kami. Awalnya
kami menolak karena segan, namun beliau memaksa karena
merasa aneh jika mendaki tanpa membawa apapun. Akhirnya
Rama menyerahkan carriernya ke Pak Mahlin, sedangkan
daypackku dibawa oleh Rama, sementara aku hanya
menyandang travel bag kecil.
Kurang lebih dua setengah jam berikutnya, kami
sampai di pos 3. Sepertinya Rama sengaja minta rest disini
untuk mempersiapkan mental dan fisik sebelum memulai
“pendakian gunung yang sebenarnya”. Ya, karena seingatku
jalur pendakian setelah ini akan terus terusan menanjak lebih
curam. Rama sekali lagi melakukan cek kesiapan masing
masing. Aku bilang sama Rama kalo aman, masih kuat dan
ngerasa fit. Sementara Pak Mahlin jangan ditanya, seperti
16
tidak lelah sama sekali dan bahkan beliau masih sempat
sempatnya merokok di pos 3.
Kami istirahat setengah jam sambil menyeduh kopi
dan teh. Sejenak, aku dan Rama memandangi bukit yang
sudah ada di depan mata. Bukit yang disebut sebagai Bukit
Penyesalan, entah apa alasannya nama itu diberikan kepada
bukit seindah ini.
Empat jam dua puluh menit berikutnya, akhirnya kami
tiba di Plawangan Sembalun. Kami disambut dengan Danau
Segara Anak dengan Gunung Baru Jari ditengahnya. Danau ini
juga dikelilingi barisan bukit Plawangan Sembalun dan Senaru
dengan tebing tebingnya yang kehijauan. Berbeda sekali
dengan pendakian pertamaku yang di dominasi warna kuning
keemasan. Aku begitu takjub dengan pemandangan di depan
mataku itu.
“Jadi, selamat datang kembali di tempat kita pertama
kali ketemu, Jani” sambut Rama. Aku tersenyum ke arahnya.
Hal hal kecil seperti ini bikin saya berpikir Rama sebenarnya
punya sisi romantis dalam dirinya.
17
“…Ciee yang dulu ditinggalin pacar sampe kedinginan”
Yak! Rama sukses merusak saat saat yang harusnya romantis
itu berubah menjadi pukulan ringan di kepalanya seketika.
“Reseee! Manis dikit ke gue napee” protesku kesal.
“Mas Rama, kita mau buka tenda dimana?” tiba tiba
dari belakang pak Mahlin bertanya pada Rama. Rama mulai
mengorientasi medan. Akhirnya dia menunjuk sebuah titik
yang cukup landai yang berjarak beberapa meter dari lokasi
kami berdiri.
“Disana aja ya pak, gimana?” sahut Rama memastikan
persetujuan Pak Mahlin. Pak Mahlin pun mengangguk. Kami
berjalan ke sana selama beberapa menit dan mendirikan
tenda di lokasi yang ditetapkan Rama.
Setelah tenda berdiri dengan bantuan pak Mahlin,
kami segera bongkar logistik yang kami bawa. Semua logistik
langsung kami berikan kepada pak Mahlin karena beliau
menawarkan diri untuk memasak walaupun akhirnya kami
“mengeroyok” proses masak itu bersama sama.
18
Menu makan saat itu adalah nasi goreng tanpa kecap,
dadar kornet, tahu sumedang, lalapan dan sambal buatan pak
Mahlin yang rasanya masih bisa saya ingat sampai sekarang.
Enak banget.
Selesai makan, Rama berjalan ke lokasi yang ngasih
view Danau Segara Anak terbaik. Setelah berpamitan ke Pak
Mahlin
dan
dibalas
dengan
senyuman
hangat,
aku
menyusulnya.
“Rinjani cantik banget ya Mbo…” kataku. Rama
tersenyum.
“…kaya gue” lanjutku kemudian. Rama membuat
gesture seakan akan hendak muntah.
Tiba tiba saja pak Mahlin beranjak ke dekat kami. Lalu
beliau bertanya
“Mas Rama, Saya boleh tanya?”
“Ya? Nanya apa ya pak?” jawab Rama keheranan.
Begitupun aku.
19
“Tujuan mas Rama naik kali ini untuk apa mas?” tanya
pak Mahlin dengan wajah serius. Berbeda dengan yang dari
tadi beliau tunjukkan selama perjalanan.
“Hah? Oh.. ini. Saya nganterin Jani, katanya dia mau
ketemu Ratu Anjani langsung” kata Rama sambil menunjuk ke
arahku.
Rama lalu menceritakan sedikit latar belakang kenapa
aku mau mendaki demi sekedar mengucapkan terima kasih.
Sesekali aku menambahkan cerita Rama. Pak Mahlin
menyimak cerita kami sambil sesekali menganggukan kepala,
namun tidak memberikan komentar apapun. Setelahnya,
beliau tidak menanyakan hal itu lagi dan berbagi
pengalamannya seputar pendakian Rinjani yang pernah beliau
lakukan serta obrolan ringan lainnya. Obrolan kami
berlangsung hingga tanpa terasa senja pun tiba.
Senja di Plawangan Sembalun adalah senja terindah
yang pernah ku lihat. Gurat gurat jingga berpadu awan yang
mulai menghitam terlihat begitu eksostis. Ditambah dengan
latar Danau Segara Anak yang memantulkan keindahan itu
serta Gunung Baru Jari didepanku. Sempurna rasanya. Ingin ku
peluk Rama yang lebih memilih menemaniku kesini,
20
meninggalkan mimpinya untuk menapaki salah satu Seven
Summit Indonesia, tapi kuurungkan niatku saat itu karena aku
yakin Rama selalu punya cara untuk merusak momen momen
romantis seperti itu.
Seusai sholat Maghrib berjamaah, kami mulai
merencanakan kegiatan dua hari kedepan. Pak Mahlin
menolak untuk muncak. Alasannya? Udah bosen katanya,
sekaligus beliau mau menjaga tenda dan perlengkapan kami
dari gangguan monyet yang memang terkenal nakal dan juga
berani disini. Berarti, hanya aku dan Rama yang akan summit.
Jujur aku cukup ragu untuk summit bedua saja.
Walaupun aku sepenuhnya percaya dengan skill pendakian
Rama, tapi entah kenapa, bayangan hal mistis setahun yang
lalu justru menghantuiku. Bagaimana kalo nanti diatas sana
kami berdua kenapa kenapa? Siapa yang akan turun
mengevakuasi kami? Diam diam aku tatap Rama, mencari tau
apakah ada keraguan yang sama di wajahnya?
Rama memperkirakan jam 2 dini hari nanti perjalanan
summit akan kami mulai. Dengan segala pertimbangan
kondisi, perkiraan sampai di puncak kira kira sekitar jam 9an.
Aku akan diberikan waktu sekitar satu jam untuk menikmati
21
Astana Ratu Anjani dan kami akan turun di jam 10. Estimasi
sampai kembali di Plawangan Sembalun sekitar jam 1 siang,
lalu dilanjutkan turun ke Segara sebelum senja, sekaligus
ketemu sama Bang Yon kalau beliau jadi nyusul. Besok paginya
sekitar jam 8 kita rencana naik ke Plawangan Senaru, istirahat
buat menikmati Astana Ratu Anjani dari sisi lain, lalu bablas
turun sampai rumah pak Sa’at. Aku dan Pak Mahlin
memperhatikan rencana Rama dengan seksama.
Setelah memaparkan rencana summit dan kelanjutan
pendakian, Rama izin tidur duluan. Capek katanya. Rama
minta dibangunkan jam 8 malam untuk sholat Isya. Aku
sebenernya juga lelah, tapi aku belum mengantuk dan sayang
rasanya melewatkan malam hari di Plawangan Sembalun yang
sedang cerah bertabur bintang itu. Ini juga salah satu hal yang
Rama tidak ceritakan di versinya kemarin..
“Mbak Jani ndak ikut tidur?” tanya Pak Mahlin ramah.
“Ngga pak. Saya belom ngantuk. Bapak kalo mau ikut
tidur silahkan aja pak. Saya berani kok sendirian” kataku.
“Oooh, ndak. Saya juga ndak ngantuk” sahut beliau.
“Rinjani bagus banget ya pak”
22
“Iya mbak”
“Bapak udah berapa kali kesini?” sebuah pertanyaan
bodoh terlontar dari bibirku.
“Waahh…saya ndak ngitung mbak” jawab pak Mahlin
tersenyum kecil.
Setelah itu kami berdua terlibat obrolan ringan. Pak
Mahlin banyak bercerita mengenai pengalamannya menjadi
porter. Aku antusias sekali mendengar cerita beliau. Entah
sudah berapa lama kami mengobrol.
“Mbak Jani saya boleh tanya, tapi maaf agak pribadi”
lanjut Pak Mahlin sopan.
“Hahaha
boleh
kok
pak,
kenapa?”
kataku
mempersilahkan sambil meneguk teh manis hangat buatan
beliau.
“Mbak Jani sama Mas Rama pacaran ya?” pertanyaan
Pak Mahlin membuatku tersedak.
“Nggaaaa paaaakkk. Hahahaha. Emang kita keliatan
kaya orang pacaran pak? Orang daritadi berantem terus gitu.
23
Lagian ogah banget pacaran sama dia. Playboy pak, ceweknya
banyak dimana mana…” jelasku panjang lebar.
“Hahaha. Ya ndak sih, bener, berantem mulu. Saya
kira pacaran awalnya, tapi sepanjang jalan tadi kok ribut
melulu, jadi bingung saya. Pacaran kok ya berantem terus.
Hahaha…” tawa pak Mahlin.
“Kita berdua temenan aja pak, awalnya ya itu, sejak
dia nolongin saya waktu itu. Emang kita deket sih, saya juga
nyaman banget temenan sama dia, tapi…” aku tak
melanjutkan kalimatku. Pak Mahlin mengernyitkan dahinya.
“Tapi apa mbak?”
“Tapi ya ngga mungkin pacaran paaakk. Orang
berantem mulu. Ngga ada romantis romantisnya dia mah.
Saya mana mau pacaran sama orang kaya gitu…” lanjutku.
“Saya ini juga ndak romantis mbak, tapi istri saya mau
sama saya bahkan sampai hari ini” tukas Pak Mahlin yang
sukses menohok perasaanku.
Selanjutnya beliau bercerita mengenai perjalanan
cinta beliau sama istrinya. Obrolan itu semakin membuatku
kagum dengan beliau.
24
Cerita
beliau
sukses
mengubah
pandanganku
mengenai pasangan. Ternyata, romantis bukan satu satunya
kriteria. Ada yang lebih penting dari itu, yaitu tanggung
Jjawab. Sebuah perasaan aneh menyelinap di hatiku setelah
obrolan ini. Bayangan Rama tiba tiba muncul di benakku. Bisa
bisanya. Buru buru kutepis semua.
Rama absolutely not my tipe. Dia emang charming,
tapi dia ngga tinggiii, sedangkan salah satu tipeku adalah
cowok yang tinggi. Selain itu Rama ngga pernah sekalipun
bersikap romantis semacam beliin bunga atau ngajak aku
candle light dinner, orang aneh itu malah beliin aku dumbel
biar aku nemenin dia workout, ngajak aku makan juga
ngajaknya makan Tahu Campur pinggir jalan kesukaannya
melulu. Rama ngga sweet, manggil namaku aja Jono. Setia?
Apalagi. Temen ceweknya dimana mana. Kalo ketemu aja
cipika cipiki, pelak peluk. Salah satu yang bikin aku yakin Rama
adalah playboy kelas teri saat itu.
Semua hal jelek tentang Rama coba kuhadirkan untuk
menepis perasaan aneh itu. Tapi semakin ku hadirkan,
semakin aku menemukan sisi lain di dirinya. Cowok mana yang
ngga pernah marah di keplak keplak seenaknya dan ngga
25
pernah sekalipun ngebales? Setiap aku ke coffee shopnya, dia
langsung bikinin minuman kesukaanku sendiri, ngga nyuruh
baristanya. Dan sekarang? Kok dia mau ya batalin rencananya
ke Kerinci. Demi apa? Cuman buat nemenin aku remedi.. Tiba
tiba saja pikiranku terbang lebih jauh lagi ke awal pertemuan
kami, waktu dia nolongin aku tahun lalu dan dengan beraninya
memarahi mantanku dan teman temanku dengan keras
karena ninggalin aku sendirian.
Ah, dan kata kata Pak Mahlin tadi soal tanggung jawab
jelas jelas menampar perasaanku. Ya, Rama bukan orang yang
bisa aku harapkan dalam memberiku surpise atau hal hal
romantis, tapi memang punya caranya sendiri dan sepertinya
semua perjalanan kami ini membuatku…
“Mbak Jani sudah pernah pernah ketemu makhluk
halus?” tanya Pak Mahlin tiba tiba. Aku yang tidak siap ditanya
seperti itu gugup ketika pertanyaannya tiba tiba saja bertopik
ke arah itu.
“Eh, kenapa emang pak?” aku tidak menjawab
pertanyaannya dan malah balik bertanya.
“Ndak papa, nanya aja. Tapi percaya ya sama
keberadaan mereka?” lanjut Pak Mahlin.
26
“Ya percaya pak. Kan di Al Quran juga ada” jawabku.
“Lalu gimana caranya Mbak Jani mau terima kasih
sama Gusti Ratu? (sebutan Pak Mahlin untuk Ratu Anjani)”
tanya beliau lagi sambil menatap saya dalam dalam.
“Oohh itu. Jujur saya juga ngga tau sih sebenernya
caranya gimana. Cuman rencananya, saya mau bilang terima
kasih gitu aja di puncak nanti pak, terlepas apakah Ratu Anjani
denger atau ngga” jelasku.
“Ooo gitu” sahut Pak Mahlin singkat.
“…saya doakan semoga semuanya lancar ya mbak”
lanjut Pak Mahlin tulus.
“Makasih banyak pak” ujarku kepada pak Mahlin.
“…Eh, pak, kita masak yuk. Saya udah laper lagi nih”
ajakku mengalihkan pembicaraan soal jin. Aku lagi ngga
berniat buat bahas itu. Khawatir saat membicarakan mereka,
kejadian demi kejadian aneh kembali menghantui.
“Mau masak apa kita mbak malem ini?” tanya Pak
Mahlin.
27
“Tahu campur aja yuk pak. Biar seger. Enak kayanya
dingin dingin gini makan yang agak berkuah” kataku. Entah
kenapa malah makanan kesukaan Rama yang terlintas di
kepalaku saat itu.
“Wah, saya belom pernah bikin mbak” ujar Pak
Mahlin.
“Udah tenang pak, nanti saya yang bikin. Bapak tolong
bantuin motong motong aja ya?” pintaku berusaha sesopan
mungkin.
“Boleh mbak. Saya baru ini loh nemu pendaki yang
makan tahu campur di jalur” jawabnya sambil terkekeh.
“Oh iya ya pak? Haha. Ini makanan kesukaannya Rama
pak. Dia yang request. Biar sekalian saya belajar lancarin skill
masak buat calon suami saya nantinya” ucap saya sambil
membongkar bawaaan dan mencari bahan bahan untuk
memasak. Setelah itu kami pun memasak makan malam kami.
Beberapa menit setelah makanan jadi, kami berniat
membangunkan Rama walaupun belum jam 8 malam. Tapi
dari dalam tenda, kami malah mendengar suara grasak grusuk
dan gumaman yang tidak terlalu jelas. Sepertinya Rama
28
mengigau. Tak lama kemudian kami berdua dikagetkan
dengan teriakan Rama yang memanggil namaku. Aku dan Pak
Mahlin bergegas mengecek kondisi Rama. Kami berusaha
membangunkannya..
“Rama? Rama? Hei bangun heh!” kataku sambil
mengguncang guncangkan tubuhnya.
“JANI! JANI! JAAAANNN!!!” Rama terus memanggil
namaku dalam ngingaunya.
‘Plak Plak Plak’ tiga buah tamparan kudaratkan di
pipinya karena capek membangunkan dengan cara baik baik.
“Mbo! Mbo! Bangun! Kenapa lo woi?” tanyaku
khawatir. Terus terang aku takut Rama kesurupan atau yang
terburuk, dia hipo. Perlahan Rama membuka mata dengan
bola mata yang merah. Aku dan Pak Mahlin menatapnya
dengan rasa cemas, menunggu apakah benar ini Rama atau
makhluk lain yang merasuki dirinya.
“Kenapa Jan?” tanya Rama bingung. Wajahnya
terlihat kaget dan kebingungan.
“Lah?? Lo yang kenapa Mbo. Ngigo sambil manggil
manggil gue” kataku cepat dan lega, ini memang Rama.
29
“Hah? Duh, gue ngigo ya. Iya nih tadi gue mimpi buruk
Jan” jawabnya.
“Mimpi apa kok sampe panggil panggil nama gue?”
tanyaku penasaran.
“Gue mimpi nikah sama lu masa. Ngeri” jawab Rama
kemudian. Tentu saja jawaban itu aku jawab dengan sebuah
tamparan lagi di pipinya.
“…aduh sakit dodol!” protes Rama. Kami pun tertawa.
Pak Mahlin yang sedari tadi berada di sampingku juga ikut
tertawa bersama kami.
“Ayo mas, syukur kalo ndak kenapa kenapa. Makan
dulu biar kuat muncaknya” ajak pak Muhlin sambil bergerak
keluar tenda. Aku mengikuti beliau dan setelahnya Rama.
“Katanya Mbak Jani, Mas Rama suka banget tahu
campur. Jadi tadi kita masak ini, saya cuma bantu bantu aja,
yang masaknya mah Mbak Jani. Belajar masak buat calon
suami katanya” ujar pak Mahlin sambil tersenyum penuh arti.
Aku kaget mendengar celetukan Pak Mahlin.
Kurasakan wajahku memerah menahan malu. Pak Mahlin
menyimpulkan kalimatku dengan cara yang salah!
30
“Eh pak. Bukan gituu. Maksudnya belajar masak buat
calon suami saya nantinya ya orang laiinn. Bukan Rama yang
jadi calonnyaa” buru buru aku meralat ucapan pak Mahlin.
Rama dan pak Mahlin tertawa melihat kecanggunganku.
“HEH JANGAN GEER LO MBO!” bentakku kesal dan
salting. Rama malah tertawa makin keras.
Kamipun makan masakan itu dengan lahap. Sesekali
kami mengobrol seru satu sama lain. Namun, momen makan
tahu campur malam itu terganggu dengan kehadiran sosok
perempuan yang tadi aku lihat di gerbang masuk Senaru dari
salah satu pohon disana. Sosok itu lama kelamaan mendekat.
Matanya bergerak tidak stabil namun terlihat melihat ke arah
satu orang, yaitu aku. Aku mengalihkan pandanganku darinya,
berusaha menganggap bahwa sosok itu tidak ada.
Aku bergantian mencuri pandang ke arah Rama pak
Mahlin. Sekedar memastikan apakah mereka berdua melihat
apa yang kulihat. Saat itu pandangan pak Mahlin bukan
melihat ke arah Rama, makanan, ataupun aku. Tapi pak
Mahlin melihat ke arah pohon tempat sosok itu sekarang
berada. Wajah pak Mahlin terlihat marah namun juga cemas.
Begitu juga Rama, tetapi sama sepertiku, dia memilih tidak
31
mengacuhkan sosok itu. Pikiranku berkecamuk, haruskah aku
ceritakan perihal batu dan keberadaan sosok misterius yang
setaun ini menghantuiku sekarang?
“Udah, cuekin aja pak” kata Rama kepada pak Mahlin
sambil menyendok lagi tahu campurnya. Pak Mahlin terlihat
tidak siap ketika saya mengatakan itu. Ia kaget dan sontak
bertanya.
“Loh mas Rama?”
“Udah dari semalem itu pak. Gatau kenapa” jelas
Rama seadanya.
“Mas Rama, saya boleh ngomong berdua sebentar?..”
tanya pak Mahlin.
“GA BOLEH! Saya ngga mau ditinggal sendirian. Ada
apa pak? Mbo?” potongku cepat. Rama memandang pak
Mahlin ragu.
“Yakin lu mau denger Jan?” tanya Rama.
“Iya” jawabku singkat.
32
“Oke…Jadi gini Jan…Sejak kita sampai di bandara,
bahkan sampe detik ini, ada sosok perempuan penari yang
ngikutin kita. Dia tadi muncul di mimpi gue dan sekarang dia
ada disini… awalnya gue mikir ini pikiran gue aja, tapi barusan
pak Mahlin juga liat.. dan gue gatau apa penyebabnya dia
ikutin kita..” jelas Rama hati hati. Aku terdiam. Berusaha
mencerna apa yang Rama sampaikan dan mencari pilihan kata
yang akan kugunakan jika pada akhirnya aku harus mengakui
segalanya.
“Mas Rama, Mbak Jani.. Sosok yang mas Rama liat itu
penunggu di sini. Saya khawatir tujuan kemunculannya ini
kurang baik. Saya udah sadar kehadiran dia daritadi, makanya
saya tanya tentang tujuan mas Rama dan mbak Jani kesini
sebenarnya apa?.. benar hanya remedi, atau ada maksud
lain..?” selidik Pak Mahlin yang ternyata sudah menyimpan
kecurigaan kepada kami.
Rama melihat ke arahku. Bagaimanapun, pendakian
ini adalah ide dan permintaanku. Gestur tubuhku berubah,
aku merasa tidak nyaman dan takut.
33
“Jan.. lo tau kan gue bela belain batalin ke Kerinci
sama anak anak demi bisa nemenin dan jagain lo disini. Boleh
ga Jan, jujur.. tolong jujur sama gue, sebenernya apa alasan lo
pengen banget remedi kesini?.. bener cuma mau bilang terima
kasih atau lo ada maksud lain?.. gue gamau kita semua kenapa
kenapa karena salah satu dari kita nyembunyiin sesuatu..”
jelas Rama lembut sambil menatapku dalam dalam. Seperti
ada kekecewaan yang kutangkap dari matanya dan aku
khawatir setelah ini ia tidak akan lagi mau berteman dan dekat
denganku.
Aku diam, menunduk dan menghindari kontak mata
langsung dengan Rama maupun pak Mahlin. Rama dan pak
Mahlin diam, dua laki laki dewasa itu dengan sabar
menungguku siap untuk berbicara dan menceritakan
kemungkinan hal yang disembunyikan dari mereka.
Akhirnya aku merogoh kantong celanaku dan
mengeluarkan batu berwarna putih itu. Kami bertiga diam.
Suasana hening.
“Astaghfirullah...” ujar pak Mahlin beristighfar. Rama
refleks mengambil batu itu dari tanganku dan melihat ke arah
sosok perempuan yang kini kurasakan ada dibelakangku.
34
“Jan…ini apa Jan???” tanya Rama, suaranya terdengar
gemetar seperti menahan emosi. Aku menghela nafas
panjang. Tanpa terasa air mataku meleleh, aku pun menjawab
pertanyaan Rama dengan isakan.
“Gue…gue ngga tau itu apa Mbo. Itu batu gue temuin
sebelum kita ketemu di atas tahun lalu…gue waktu itu jalan
sama cowok gue, terus tanpa sengaja gue nemu batu putih.
Kata temen gue, batu putih di Rinjani itu maknanya kita
disambut sama sang Ratu Anjani. Karena seneng dan bisa buat
kenangan, gue simpen batu itu. Tapi setelahnya gue ngerasa
kedinginan terus badan gue jadi lemes. Karena cowok gue
kesel gue dikit dikit berhenti, akhirnya gue suruh cowok gue
duluan aja dan gue stand by di lokasi kita ketemu itu...” jelasku
panjang lebar. Aku menceritakannya dengan jujur. Rama
berhak tau. Selama ini yang dia tau hanya aku ditinggalkan
oleh mantanku dan teman temanku, padahal kenyataanya
akulah yang minta ditinggalkan oleh mereka karena keegoisan
dan kesalahanku memungut batu putih ini.
Aku melanjutkan ceritaku...
“Terus ketika mereka udah ninggalin gue, gue ngerasa
makin lemes dan kedinginan. Sampe tiba tiba muncul banyak
35
dayang dayang yang ngelilingin gue sambil nari nari. Mukanya
aneh Mbo. Cantik tapi aneh. Mereka punya wajah yang
posisinya aneh aneh.. ga kayak orang normal. Abis itu gue
ketemu makhluk aneh lagi kaya anak kecil sama makhluk
setengah anjing setengah kuda sampe terakhir gue liat
makhluk perempuan yang badannya besar, kulitnya merah.
Karena takut, gue ngeringkuk sampe akhirnya lo dateng Mbo..
Selama gue belom bisa ngomong, gue ngerasa diikutin dari
atas sampai bawah. Pas di basecamp, gue denger suara yang
seakan muter muter di kepala gue…suara itu bilang “Kamu
sudah ambil sesuatu yang bukan milikmu. Kalo kamu tidak
kembalikan itu saat purnama, saya akan ikuti kamu seumur
hidup!’” aku menarik nafas panjang dan menyeka air mataku
yang kian tak tertahan. Ini adalah pengakuan terbesarku yang
selama ini aku tutupi dari Rama.
“…Sejak itu, gue selalu ngerasa diikutin sesuatu yang
gue gabisa liat Mbo. Karena itu gue ajak lo kesini…gue mau
ketemu Ratu Anjani, sekaligus mau balikin batu putih ini…gue
ngga tau purnama itu kapan dan apa maksudnya, tapi gue
ngerasa gue emang harus balikin ini… maafin gue Mbo nyeret
lo ke kondisi ini… maafin saya juga pak Mahlin karena gak jujur
36
sama tujuan saya ngedaki kali ini” aku menyelesaikan ceritaku
dengan mata yang sudah dibasahi air mata.
Aku tatap Rama dan Pak Mahlin dengan rasa bersalah.
Terus terang, aku takut mereka berdua akan marah besar
karena sepertinya masalah batu putih ini tidak sesimpel yang
aku bayangkan. Entah apa yang mendorongku, aku langsung
memeluk Rama dengan terus menangis terisak. Rama dan Pak
Mahlin membiarkanku menumpahkan seluruh tangisanku.
Tak lama kemudian Rama mulai menenangkanku dengan cara
mengusap kepalaku dan punggungku.
Kami masih diliputi kebisuan, hanya isak tangisku
serta suara binatang malam yang terdengar. Ditengah
kebingungan itu, Pak Mahlin mengajak kami Sholat Isya. Kami
pun sholat berjamaah dan dilanjutkan dzikir. Selama sholat
berlangsung, dari arah belakang terdengar cekikikan tawa
sosok perempuan tadi yang terkesan mengejek kami.
Kulihat Rama dan Pak Mahlin dzikir terus menerus.
Ditengah dzikir, tiba tiba muncul sesosok perempuan yang
tidak
asing.
Perempuan
yang
sama
dengan
yang
menghampiriku setahun yang lalu di jalur summit. Perempuan
dengan kulit merah tua dengan kerutan berwarna hitam.
37
Dengan mata berwarna kuning yang posisinya tidak simetris,
lebih tinggi sebelah, dengan tanduk kecil yang muncul dari
rambutnya yang jarang jarang dan awut awutan, dengan
telinga panjangnya yang muncul dari sela sela rambutnya dan
seringai senyumnya yang menampakkan deretan giginya yang
berupa taring semua.
Pak Mahlin kaget dengan kemunculan perempuan itu
dan beristighfar dengan cukup keras. Namun Rama segera
menenangkan beliau dan seolah memberikan gestur bahwa ia
mengenal perempuan itu dan dia tidak berniat jahat.
Tiba tiba terlintas di kepalaku, jangan jangan makhluk
ini yang namanya Rimbun?? Tapi masa iya? Yang Rama
ceritakan ke aku, Rimbun itu cantik, bukan seperti ini. Rimbun
berarti sosok terakhir yang aku lihat sebelum Rama datang
tahun lalu..
Perempuan berkulit merah itu kemudian melayang ke
arah sosok perempuan yang selalu menghantuiku dan seperti
terlibat percakapan. Mulut keduanya tidak bergerak sama
sekali. Kami memilih melanjutkan dzikir. Tak lama, perempuan
berkulit merah tua itu kembali ke sisi Rama.
38
“Dia penjaga mustikanya, dia minta batu tadi
dikembalikan ke tempat ditemukan, suruh temanmu meminta
maaf dan setelah itu berjanji untuk tidak mengulanginya lagi”
ujarnya. Untuk pertama kalinya aku bisa mendengar suara
makhluk yang jelas jelas bukan manusia ini. Ada sensasi aneh
yang kurasakan di telingaku. Resonansi suaranya ngga seperti
manusia normal, agak rendah namun berkesan putus putus
kata per katanya, persis seperti kalo kita sedang menelfon dan
kehilangan sinyal.
“…Tapi…dia minta hanya satu orang saja yang boleh
mengembalikan..” tambahnya.
Pak Mahlin yang sepertinya juga bisa mendengar
ucapan Rimbun kaget. Begitu juga Rama yang sepertinya tidak
mengira ada syarat seperti itu. Dari yang kutangkap,
sepertinya
aku
harus
mendaki
sendirian
untuk
mengembalikan batu putih itu. Pikiranku tak karuan. Apakah
aku sanggup? Bayangan pengalaman tahun lalu kembali
berputar putar di kepalaku. Aku terus berdzikir sambil
memejamkan mata kembali.
“Apa gak ada cara lain? Gak boleh berdua aja?” Rama
seperti bernegosiasi dengan perempuan itu yang cepat
39
kusimpulkan adalah Rimbun, sahabat ghaib Rama. Kedekatan
dan komunikasi mereka yang lancar menandakan mereka
sudah sering berdiskusi.
“Saya sudah mencoba menawar, namun mereka
hanya mengizinkan satu orang saja. Saya tidak bisa berbuat
banyak karena ini wilayah mereka. Dan ini juga karena
temanmu yang percaya hal hal musyrik seperti itu” pungkas
Rimbun. Perasaan bersalahku semakin kuat, yang ia maksud
adalah aku. Aku menutup mataku karena khawatir sosok itu
melihat kearahku sebagai penyebab semuanya.
“Kalo berduanya sama kamu apa boleh?” tawar Rama
lagi ke Rimbun.
Aku coba membuka lagi mataku untuk mengintip.
Kulihat Rimbun melayang lagi ke arah penari tadi, berdiskusi
sesaat lalu berbalik kembali. Ku tutup kembali mataku tepat
saat sosok Rimbun berbalik badan kearah kami.
“Saya diizinkan ikut, namun hanya mendampingi.
Tidak boleh ikut campur...” jawabnya.
40
“Oke kalo begitu, biar saya yang kembalikan!” ujar Pak
Mahlin tiba tiba. Aku yang daritadi menutup mataku seketika
melek karena suara pak Mahlin.
“Hihihihihi”
Rama, Pak Mahlin dan Rimbun refleks melihat ke arah
sosok penari itu. Dia tertawa dan menyeringai lebar sekali.
Lalu ia menggeleng dengan patah patah dan kemudian
menunjuk ke arah Rama. Tunggu, kenapa jadi Rama?
“OKE OKE GUE YANG BALIKIN!” jawab Rama tegas
dengan nada bicara tinggi yang belum pernah kudengar
sebelumnya, sepertinya Rama menantang balik. Pak Mahlin
kaget begitu juga denganku.
“Mbo, ini kenapa sih? Kenapa jadi lo yang balikin?? Ini
kan urusan gue. Gue aja gapapa kok…gue ngga mau libatin lo
lebih dari ini..” ujarku cepat sambil coba menahan Rama. Aku
mulai menangis lagi.
“Ssshh…udah Jan. Biar gue yang beresin ini. Lo gatau
apa yang lo hadapin sekarang. Lo baik baik disini sama pak
Mahlin, pak, titip Jani ya” kata Rama kepadaku dan pak
Mahlin.
41
Aku kembali memeluk Rama dan menangis sejadi
jadinya. Hal yang tadinya aku anggap enteng, cukup dengan
mengembalikan batu putih itu sambil aku menikmati Puncak
Rinjani justru sekarang berubah menegangkan seperti ini.
Bahkan aku sampai harus merepotkan Rama. Rasa bersalah
semakin menguasaiku. Aku takut Rama kenapa kenapa diatas
sana. Karena jelas apa yang akan Rama hadapi ini bukan hanya
soal tantangan mendaki gunung dengan segala cuaca dan
kondisi yang tidak bisa di prediksi, ini jauh lebih dari itu, ini
adalah tantangan dari makhluk gaib yang bersemayam di
gunung Rinjani.
“Maafin gue Mbo…maafin gue banget. Gue ngga tau
bakal sampe kayak gini. Maafin gue ya Mbo, gue…gue…” aku
tak sanggup melanjutkan kalimatku.
“Iya iya…ini jadi pelajaran buat pendakian pendakian
lo berikutnya ya…” sahut Rama. Sepertinya ia kesal. Tapi ia
tetap mengusap rambut dan punggungku supaya aku tenang.
Namun Rama yang tidak menjawab rengekanku dengan
candaan sudah kupastikan adalah Rama yang sedang dalam
kondisi hati tidak baik.
42
Pak Mahlin bergerak cepat menyiapkan segala
perlengkapan yang Rama butuhkan, sementara Rama
menyiapkan fisik dengan melakukan pemanasan pemanasan
ringan. Tidak lupa juga ia mengantongi batu putih itu ke jaket
sakunya. Rama mulai mengatur ulang rencana pendakian.
Menurut perhitungannya, perjalanan bolak balik akan
menghabiskan waktu 6 jam. Jika tidak ada kendala berarti,
Rama bisa sampai di lokasi tenda ini sekitar jam 4 subuh esok.
“Pak, kalo perhitungan saya benar dan semuanya
lancar, saya bakal sampai disini lagi jam 4 pagi. Nanti kita turun
lewat Sembalun aja. Kayanya udah ngga kondusif kalo
ngelanjutin skenario saya sebelumnya” pesan Rama kepada
pak Mahlin yang dibalas dengan anggukan.
“Oh iya Jan, lo nemu batunya ngga jauh dari posisi kita
ketemu kan? Gue bakal taro seperkiraan gue ya dari titik kita
ketemu” tanya Rama kepadaku yang hanya bisa kubalas
dengan anggukan juga.
“Yaudah, saya jalan dulu. Doain saya ya…Pak Mahlin,
kalo sampai jam 9 pagi saya belum turun, bapak sama Jani bisa
tolong turun duluan ya. Pak Mahlin tau harus bagaimana.. “
tambah Rama ke pak Mahlin. Pak Mahlin mengangguk sambil
43
menjabat tangan Rama dan mendoakan keselamatan
untuknya.
“Makasih banyak pak. Maaf jadi ngerepotin”
Kini Rama menghadap ke arahku,
“Jan, doain gue ya. Maaf ya kali ini ngga bisa nemenin
lo remedi dulu. Kondisinya udah ngga kondusif soalnya. Gue
janji nanti bakal nemenin lo kesini lagi, buat nikmatin Rinjani
dengan cara yang seharusnya” ujarnya. Kata kata Rama ku
respons dengan pelukan yang entah sudah berapa kali
kulakukan padanya. Kali ini ia membiarkanku melakukannya
dan tidak mendorongku sebagaimana yang biasa dia lakukan.
“Mbo, hati hati. Sekali lagi maafin gue sampai bikin lo
harus begini. Gue harap ‘dia’ ada disana..” ucapku.
“Semoga ya Jan.. semoga” jawab Rama.
“…Emm…Mbo, lo harus tau, gue sayang sama lo…”
entah mengapa kalimat itu mengalir begitu saja keluar dari
mulutku.
Tapi Rama kayanya memang udah mati rasa sama
cewek, kata kata yang baru kusampaikan malah ditanggapinya
44
dengan
tertawa.
Otomatis
kucubit
perutnya.
Rama
mengerang kecil dan langsung membalikkan badannya setelah
mengacak acak rambutku. Yang ia lakukan sebenarnya adalah
membuat
keadaan
haru
itu
menjadi
lebih
riang.
Bagaimanapun orang ini memang perusak suasana paling
hebat yang pernah kukenal.
Setelah pelukan dan kalimat perpisahan, Rama segera
memulai perjalanannya. Aku bisa melihat dari kejauhan Rama
berjalan diiringi oleh dua makhluk. Yang pertama ada Rimbun
yang berjalan cukup jauh di belakang Rama, yang kedua
makhluk perempuan penjaga batu putih yang berjalan di
depan Rama. Aku bergidik ngeri melihat pemandangan itu.
Pak Mahlin berjalan tenang menghampiriku.
“Mas Rama beruntung sekali punya ‘teman’ yang
kuat” kata Pak Mahlin.
“Rimbun maksudnya Pak?”
“Eh Mbak Jani kenal juga toh?” tanya pak Mahlin
“Oh ngga pak, Rama cuman suka cerita aja ke saya
tentang teman spesialnya itu” jelasku.
45
“Saya yakin beliau bukan jin sembarangan. Auranya
jauh berbeda dari bangsa jin lain yang pernah saya temui. Dan
beliau sangat bijaksana. Saya yakin, dengan Kuasa Allah, bisa
saja tadi beliau menyerang penunggu mustika itu. Tapi beliau
hormat karena ini wilayahnya dan apa yang disampaikan
penunggu mustika itu benar, ada konsekuensi yang harus
diambil. Mudah mudahan Mas Rama kuat. Saya yakin Mas
Rama akan aman dan kembali besok dengan baik baik saja”
jelas pak Mahlin.
“…” aku hanya terdiam dan tidak mampu merespon
apapun. Pandanganku terus melihat ke arah tas karier Rama
yang kian menjadi titik hingga akhirnya tidak terlihat sama
sekali.
“…mari Mbak Jani, kita tunggu Mas Rama di depan
tenda aja” ajak Pak Mahlin. Aku pun setuju. Di depan tenda,
dibawah flysheet, Pak Mahlin menyuguhkanku segelas susu
hangat. Beliau sendiri memilih menyeruput kopi hitam dan
menghisap rokoknya. Selesai menghabiskan susu, Pak Mahlin
menyuruhku istirahat di tenda, sementara beliau akan berjaga
di depan tenda. Tapi aku menolaknya. Aku memilih
menghabiskan
waktu
diluar
tenda
bersama
beliau,
46
bagaimanapun pikiranku tidak cukup tenang untuk bisa tidur
malam itu.
Pilihanku itu sepertinya kurang tepat. Beberapa waktu
berikutnya, dari arah jalur summit, samar sama kulihat cahaya
kerlap kerlip. Cahaya itu lama kelamaan menjadi banyak dan
semakin mendekat ke arah kami. Aku merapatkan dudukku ke
arah Pak Mahlin. Pak Mahlin yang sadar akan gerakanku,
menepuk nepuk tanganku dan berkata “Jangan takut mbak”.
Cahaya itu kini sudah berada di sekitar kami,
mengelilingi kami dengan jumlah yang sangat banyak dan
lantas membentuk beberapa sosok. Kejadian setahun yang
lalu terulang kembali. Kini, disekeliling kami berdiri dayang
dayang cantik itu lagi. Mereka berbaris teratur dan mulai
melakukan gerakan tari Tandang Mendet lagi dengan gerakan
patah patah dan dibumbui gerakan kepala memutar 180
derajat.
Aku yang tadinya diliputi perasaan takut, kini berganti
menjadi kagum. Pak Mahlin pun tersenyum melihat dayang
dayang tersebut. Salah satu dayang berjalan mendekati Pak
Mahlin. Mereka terlibat percakapan dalam bahasa Sasak yang
aku tidak mengerti. Selesai percakapan singkat, dayang
47
tersebut melirik ke arahku dan tersenyum. Senyum yang aneh,
hangat namun juga terasa mengintimidasi. Kemudian kembali
ke barisan dayang lainnya dan bersamaan dengan itu, mereka
semua menghilang.
“Masya Allah Mbak Jani…” ucap Pak Mahlin.
“Kenapa pak?” tanyaku kebingungan dengan sikap
Pak Mahlin.
“Mbak Jani dapat salam dari Gusti Ratu” ujar Pak
Mahlin dengan senyum tipis di bibirnya.
“Gusti Ratu siapa pak?” tanyaku lagi
“Gusti Ratu Mas Prawira” sahut Pak Mahlin cepat.
Awalnya aku yang masih bingung, siapa itu? Aku
seakan pernah mendengarnya tapi kapan? sampai aku ingat
itu nama yang pernah disebut sama Lale Nonik. Nama lain dari
Ratu Anjani!
“Maksudnya pak??? Ratu Anjani?” tanyaku gugup.
“Iya Mbak. Masya Allah…” jawab Pak Mahlin
“Serius pak?..” tanyaku masih belum percaya.
48
“Iya mbak. Tadi dayang yang datang ke saya yang
menitipkan pesan, katanya rasa terima kasih Mbak Jani dan
niat Mbak Jani kesini sudah diketahui oleh beliau. Beliau titip
salam untuk Mbak Jani dan Mas Rama. Beliau juga minta maaf
atas perlakuan bangsa beliau yang kurang berkenan. Mudah
mudahan ada pelajaran berharga yang bisa Mbak Jani ambil
dari kejadian ini. Beliau juga bilang kalau Mas Rama sudah
dalam pengawasan beliau. Insya Allah Mas Rama akan baik
baik aja. Hanya memang ada ujian yang perlu dilalui Mas Rama
diatas sana terkait persahabatan Mas Rama dengan Gusti Ratu
Rimbun dan keimanan Mas Rama” Pak Mahlin bercerita
panjang lebar. Aku berusaha mencernanya. Tak terasa air
mataku menetes terharu.
Aku senang, niatku sudah tersampaikan kepada Ratu
Anjani, walaupun aku tidak bisa bertemu beliau secara
langsung, tapi ini sudah cukup bagiku. Perasaan lega
memenuhi setiap rongga hatiku. Sekarang tujuanku hanya
satu, memastikan Rama kembali dengan selamat tanpa
kurang apapun.
“Pak Mahlin tau sejarah Ratu Anjani?” tanyaku
penasaran. Aku sudah pernah membaca beberapa literasi, ada
49
banyak versi literasi mengenai sejarah Ratu Anjani, tapi aku
penasaran seperti apa sebenarnya sejarah yang dipercaya
masyarakat disini.
“Yaa ndak banyak tau juga Mbak. Hanya dari cerita
orang tua orang tua di desa Sembalun dan Senaru saja. Kenapa
mbak?” tanya pak Mahlin balik.
“Boleh ceritain ke saya pak sejarah yang Pak Mahlin
tau?”
Pak
Mahlin
menyeruput
kopi
hitamnya
dan
menghirup rokoknya dalam dalam,
“Menurut cerita turun temurun orang tua saya, warga
Sasak percaya, jaman dulu, melalui takdir Allah, ada seorang
ratu jin perempuan bernama Dewi Anjani, yang diminta untuk
‘dikeluarkan’ dari golongan jin dan diubah menjadi golongan
manusia dan mengisi pulau yang dijuluki Pulau Sasak atau
Lombok. Waktu beliau sudah menjadi golongan manusia,
beliau memiliki saudara kandung bernama Raden Mas Abdul
Malik dan Raden Mas Abdul Rauf. Ketiganya lalu bertugas
menjadi penyebar kalam Illahi di tanah Lombok. Setelah
tugasnya selesai, beliau pergi ke Gunung Rinjani dan
memohon kepada Allah untuk dikembalikan menjadi
50
golongan bangsa jin seperti sedia kala. Atas izin Allah, beliau
dikembalikan menjadi bangsa jin, lalu memimpin dan
memerintah golongan jin dari Gunung Rinjani ini…” Pak
Mahlin menghentikan sesaat ceritanya sambil mengedarkan
pandang ke arah Danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari.
“…tapi ada versi lain juga yang mengisahkan kalo Dewi
Anjani ini adalah anak daro Raja Datu Tuan dan Dewi Mas,
beliau berdua itu adalah salah satu penguasa atau raja di
Lombok. Awalnya Raja Datu Tuan dan Dewi Mas lama ndak
memiliki anak sampai akhirnya Raja Datu Tuan minta izin ke
Dewi Mas untuk menikah lagi dengan Sunggar Tutul. Atas
kuasa Allah, ternyata Dewi Mas hamil. Karena iri dengan
kehamilan Dewi Mas dan takut disingkirkan, Sunggar Tutul
memfitnah Dewi Mas, jadinya Dewi Mas diusir dari istana dan
pindah ke Bali. Disana beliau melahirkan anak kembar
sepasang, yang laki laki dikasih nama Raden Putra Nanjak dan
yang perempuan dikasih nama Dewi Rinjani. Singkat cerita,
setelah dewasa, Raden Putra Nanjak berperang melawan ayah
kandungnya sendiri, Raja Datu Tuan. Hingga akhirnya ada
bisikan ghaib yang membuat mereka berdamai. Raden Putra
Nanjak kemudian jadi penerus tahta ayahnya. Sementara Raja
Datu Tuan bersama Dewi Rinjani memilih menyepi disini, di
51
Gunung Rinjani. Pada akhirnya, Dewi Rinjani moksa di Gunung
Rinjani dan diangkat jadi pemimpin jin muslim karena sifat
sifat mulia beliau…” ujar Pak Mahlin melanjutkan ceritanya.
“Masya Allah…” seruku kagum dengan pengetahuan
Pak Mahlin. “…kalo Pak Mahlin sendiri, lebih percaya cerita
yang mana pak?” tanyaku penasaran. Pak Mahlin tersenyum
mendengar pertanyaanku lantas menjawab,
“Wallahu’alam Mbak Jani. Yang jelas dari kedua cerita
yang pernah saya dengar itu, mengerucut pada satu
kesimpulan bahwa Ratu Anjani adalah pemimpin para jin
muslim. Saya pribadi percaya itu karena aura bangsa jin disini
memang berbeda dari bangsa jin di gunung gunung lain. Aura
nya positif sekali. Makanya jarang sekali ada kejadian
mengerikan disini. Kecuali…” Pak Mahlin menggantung
kalimatnya.
“Kecuali apa pak?” aku penasaran. Pak Mahlin
kembali menerawang sebelum menjawab,
“Kecuali ada orang orang yang berniat kurang baik
disini. Seperti…maaf sebelumnya Mbak Jani, seperti yang
lazim dilakukan di beberapa gunung lain, banyak orang orang
yang berniat bersekutu dengan bangsa jin untuk mendapat
52
kekayaan, kekuasaan dan lain lain. Kalo ada yang berniat
seperti itu, biasanya para jin muslim disini akan bertindak
tegas. Caranya macam macam, namun yang seringkali saya
dengar, adalah dengan menghantui orang tersebut dalam
bentuk yang menyeramkan dan ndak lazim, dengan harapan
mereka akan takut dan membatalkan niatnya bersekutu
dengan bangsa jin…” jelas Pak Mahlin kemudian.
“Kaya yang mereka lakuin ke saya dong ya pak?
Hahaha…” kataku cepat mencoba mencairkan suasana.
“Hehehe, mohon maaf sebelumnya ya mbak, tapi iya,
kira kira seperti itu. Makanya tadi saya sempat tanya kan, apa
sebenarnya tujuan Mas Rama dan Mbak Jani kesini, karena
biasanya kalo tujuannya murni menikmati alam, ndak akan
ada gangguan gangguan seperti tadi. Saya khawatir kalau
ternyata Mas Rama dan Mbak Jani punya niat lain. Khawatir
kita semua celaka. Tapi setelah dengar cerita Mbak Jani, kalau
ternyata Mbak Jani ndak sengaja bawa batu putih itu, terus
terang saya lega, itu memang salah, tapi tujuan sekarang
mengembalikan itu adalah hal baik…” jawab pak Mahlin.
“Sekali lagi maafin saya ya pak…” ucapku lirih.
53
“Ndak apa apa, mbak. Bener kata Mas Rama, dijadikan
pelajaran aja untuk lebih hati hati kedepannya” sahut Pak
Mahlin lembut.
“…Ini Mbak Jani ndak ngantuk?” tanya pak Mahlin
merubah topik pembicaraan kami.
“Sebenernya ngantuk sih pak. Tapi saya khawatir
sama Rama…” jawabku jujur.
“Kalo ngantuk tidur aja mbak. Insya Allah semua
aman. Saya berani jamin. Apalagi Mas Rama juga didampingi
temannya yang kalo boleh saya bilang, sepertinya juga
berkedudukan Ratu di asalnya…” ungkap pak Mahlin
“Hah? Berarti Rimbun itu ratu bangsa jin juga dong?
Rama ngga pernah bilang deh pak…” kataku heran.
“Wallahu’alam mbak. Mungkin saya salah. Tapi
memang aura nya beda…”
“Ah, yaudah pak, ngga usah dipikirin lagi deh. Ini
beneran gapapa saya tidur pak?”
“Iya mbak, biar saya yang jaga disini ya”
54
Akhirnya
kuputuskan
untuk
mengistirahatkan
tubuhku sejenak. Terus terang, aku mulai lega mendengar
penjelasan dan perkataan Pak Mahlin tadi. Setidaknya,
sebagai sesama muslim, walaupun berbeda golongan, Insya
Allah tidak akan saling membahayakan.
Aku pun tertidur setelah menyerahkan sleeping bag
yang tadi dipakai Rama kepada Pak Mahlin.
“Mbak Jani, bangun mbak…” sayup sayup kudengar
suara Pak Mahlin yang tengah menepuk pelan pundakku.
Perlahan kubuka mata. Hal yang pertama kulihat adalah wajah
Pak Mahlin yang terlihat khawatir dan sinar matahari yang
sudah memenuhi seluruh bagian tenda.
“Eh iya pak. Aduh saya ketiduran lama banget ya, ini
udah terang begini…” kataku masih setengah sadar. Beberapa
detik kemudian aku menyadari kalo Rama belum ada di dalam
tenda. Hah Rama belum kembali? Bukannya harusnya subuh
subuh dia udah balik?
Tapi secara cepat otakku berpikir lain, jangan jangan
Rama sudah datang dan tidur diluar.
55
“…eh, Rama mana pak? Tidur diluar ya?” tanyaku
polos sambil merapikan alas tidurku. Tapi wajah Pak Mahlin
malah terlihat semakin khawatir. Jantungku berdegup
mendengar pernyataan Pak Mahlin berikutnya,
“Justru itu mbak, Mas Rama belum kembali kesini.
Saya khawatir. Ini sudah jam setengah delapan, udah hampir
empat jam Mas Rama terlambat dari jadwal. Saya takut…”
belum selesai Pak Mahlin menyelesaikan kalimatnya, aku
langsung memotongnya dengan panik
“Hah??? Terus kita harus gimana pak???” tanyaku
seketika panik.
“Tenang dulu mbak…”
“Iya, iya maaf pak…Oiya, seinget saya, kata Rama, kalo
sampe jam 9 dia belum balik, kita diminta turun kan ya pak?”
“Iya mbak”
“Apa kita turun sekarang aja pak minta bantuan?”
tanyaku mulai panik kembali.
“Sabar mbak. Sekarang Mbak Jani sarapan dulu ya biar
badannya ada tenaga. Saya udah masakin tadi…” ujar Pak
56
Mahlin. Aku terharu dengan perlakuan Pak Mahlin. Sekaligus
salut karena dalam kondisi seperti ini masih bisa tenang dan
bahkan sempat membuat sarapan.
Selesai menghabiskan nasi goreng telur dadar yang
dibuat oleh Pak Mahlin dengan perasaan masih belum tenang,
aku melirik jam tanganku. Nasi goreng seenak itu terasa
hambar karena dimakan dengan perasaan yang penuh
kekhawatiran.
Sudah hampir jam 8 dan Rama belum juga kembali. Ku
lirik Pak Mahlin, ternyata beliau pun terlihat gusar. Aku
berusaha tenang supaya tidak memperkeruh suasana. Kami
berdua sama sama terlibat kebisuan selama nyaris setengah
jam berikutnya. Bedanya aku hanya diam melamun
memperhatikan landscape Segara Anak dan Baru Jari
diseberang sana sementara Pak Mahlin dengan cekatan
merapikan nesting dan perlengkapan lain yang ada di sekitar
kami.
“Mbak Jani, kayanya saya harus bergerak sekarang”
kata Pak Mahlin selesai membereskan semua peralatan.
“Kita turun pak?”
aku mencoba memastikan
pergerakan kami selanjutnya.
57
“Ndak Mbak. Saya mau susul Mas Rama aja ke atas.
Saya takut Mas Rama kenapa kenapa diatas sana…” ucap pak
Mahlin dengan yakin.
“Tapi pak, kata Rama…” belum selesai aku berkata,
Pak Mahlin menyanggahku.
“Kalo turun dulu kelamaan Mbak. Mbak Jani tunggu
disini ya, Insya Allah saya ngga akan lama” ujar pak Mahlin lagi.
“Ngga mau pak. Saya ikut!” tegasku.
“Tapi mbak…”
“Saya ikut pokoknya pak! Rama udah bela belain
berjuang demi saya semalem, saya ngga bisa nunggu diem
doang disini sementara nyawa dia terancam diatas sana…”
jawabku menahan air mata yang entah sejak kapan mulai
menggenang lagi di ujung kelopak mataku.
“Yaudah kalo gitu, ayok kita berangkat sekarang
mbak…” akhirnya pak Mahlin mengalah.
Tanpa membuang waktu, aku dan Pak Mahlin segera
memulai perjalanan menyusul Rama yang belum juga kembali.
Aku terus berdoa dalam hati.. “Mbo tunggu kami. Lo harus
58
selamat. Lo janjiin gue lo akan balik dan kita bakal ke Rinjani
lagi nanti!”
Aku berjalan di belakang Pak Mahlin yang melangkah
cukup cepat. Beliau tampak sangat cekatan melalui jalur
pendakian yang mulai berbatu. Sesekali beliau membantuku
yang berulang kali terpeleset. Kami sudah melalui batas
vegetasi pepohonan, kini hamparan sang bunga keabadian
Edelweiss terlihat di sekeliling kami. Jalur pendakian pun
semakin menanjak.
“Mas Ramaaa…Mas…” Pak Mahlin mulai berteriak
memanggil Rama.
“Mbooo…Rambooo…”
aku
mengikuti
beliau
meneriakkan nama Rama. Kami berdua berharap mendapat
balasan dari teriakan kami, tapi sampai beberapa menit
berikutnya, nihil.
Sampai akhirnya di satu sisi jalur, aku dan Pak Mahlin
sama sama melihat Rama tergeletak dengan kepala
mengeluarkan darah yang terlihat sudah mengering dan
tersamarkan oleh debu dan tanah yang memenuhi wajahnya.
59
“ASTAGHFIRULLAH…MAS RAMA!” teriak Pak Mahlin
sambil bergegas lari menghampiri tubuh sahabatku. Aku tak
kalah panik.
“MBOOO…LO KENAPA MBOOO…??” aku ikut berlari,
entah darimana aku punya kekuatan dan kecekatan
melangkah.
Tubuh Rama yang tidak bergerak kini sudah ada tepat
dihadapanku. Air mataku kembali meleleh,
“Mboo…lo
kenapa?
Bangun
Mboo…
Bangun…
Mbooo… Bangun Mbooo…” ratapku sesegukan sambil
memeluk tubuh Rama, menggoyang goyangkannya dan
menepuk nepuk pipi Rama berulang kali. Berharap ia akan
terbangun dengan tamparanku sebagaimana yang aku
lakukan saat ia mengigau malam tadi.
Disaat yang bersamaan Pak Mahlin mengecek nadi
Rama.
Lalu
beliau
mengelus
punggungku,
berusaha
menguatkanku sekaligus menenangkanku.
“Sabar Mbak Jani, sabar. Istighfar…”
“Rama kenapa pak? Rama kenapa? Ayo pak tolongin
Rama, ayo kita gendong…”
60
“Iya Mbak Jani, iya. Kita tolong Mas Rama…” kata Pak
Mahlin sambil bergegas menggendong tubuh Rama yang
terkulai lemas dan tak kunjung memberikan reaksi apa apa.
Kami pun berjalan menuruni lereng untuk menuju tenda.
Setelah dijelaskan pak Mahlin, aku bersyukur Rama masih
hidup, tapi rasa takutku tak kunjung hilang.
Sesampainya di depan tenda kami, Pak Mahlin
merebahkan tubuh Rama dan langsung bergerak cepat
membuat air hangat. Aku yang masih dalam kondisi kalut
tanpa berpikir panjang langsung mengguyur wajah Rama
dengan air, berharap dia segera membuka matanya dan
marah marah karena ulahku seperti biasa.
“Mbak Jani tenang dulu ya. Ini mbak, minum dulu. Biar
saya rawat Mas Rama sebentar. Mudah mudahan ndak apa
apa dan Mas Rama segera bangun.” Kata Pak Mahlin sambil
memberiku segelas air hangat, beliau tau tindakanku dalam
keadaan panik ini tidak akan membantu banyak. Aku pun
meminumnya untuk menenangkan perasaanku. Sementara
itu Pak Mahlin dengan cekatan membasuh wajah Rama dari
debu dan tanah serta darah yang memenuhi tak hanya pelipis
tapi hampir seluruh wajahnya.
61
Aku bergegas masuk ke dalam tenda dan mengambil
minyak tawon serta kayu putih. Setelah itu kuoleskan sedikit
ke hidung Rama, berharap tubuhnya merespon. Namun nihil.
Pak Mahlin segera membuka baju Rama dan mengoleskan
kayu putih ke seluruh tubuhnya. Kulihat dada sahabatku
bergerak naik turun dengan ritme yang teratur. Beberapa
menit berikutnya, kami berusaha menyadarkan Rama lagi
dengan menepuk nepuk pipi dan mengguncangkan tubuhnya
serta memanggil namanya. Tapi lagi lagi upaya kami belum
berhasil.
Pak Mahlin akhirnya mengambil keputusan untuk
menggendong Rama yang masih belum juga merespon turun
ke Basecamp. Setelah melakukan packing secukupnya dengan
membawa barang barang penting, kamipun turun dengan
meninggalkan sisa perlengkapan kami. Tubuh kecil pak Mahlin
sekuat tenaga menggendong Rama menuruni jalur pendakian.
Entah sudah berapa jam kami lalui untuk turun sampai
akhirnya kami tiba di basecamp. Beberapa meter sebelum
basecamp, aku berlari mendahului Pak mahlin untuk meminta
pertolongan petugas yang sedang berjaga di basecamp.
Mereka bergerak cepat mengevakuasi tubuh Rama ke dalam
62
basecamp.
Semua
orang
dengan
sigap
melakukan
pertolongan, para petugas segera menghubungi tim medis
dan Pak Mahlin segera menghubungi Bang Yon dan Lale Nonik.
Tak berapa lama kemudian petugas medis datang dan
memeriksa kondisi Rama. Syukurlah, mereka menyatakan
kondisi Rama tidak terlalu parah. Bang Yon dan Lale Nonik juga
segera tiba sesaat setelah petugas medis membalutkan
perban ke kepala Rama. Setelah kondisi Rama kondusif, Pak
Mahlin tanpa diminta langsung menceritakan kejadian di atas
sana, tentunya tanpa menceritakan hal hal ghaib yang kami
alami. Pak Mahlin mengkondisikan bahwa Rama terpeleset
ketika selesai summit bersamaku, lantas aku meminta Pak
Mahlin untuk mengevakuasi Rama.
Selesai Pak Mahlin bercerita, semua orang bergerak
keluar ruangan. Sementara aku tetap tinggal disisi Rama. Aku
duduk dilantai. Perlahan kugenggam tangan sahabatku itu.
Tangan orang yang rela mendaki seorang diri demi
menyelesaikan masalah yang aku buat. Tangan yang selama
ini tidak kusadari begitu hangat..
63
Ku kecup tangannya dan kuusap usap beberapa kali,
lalu kujadikan tangan Rama sebagai sandaran kepala. Tak
lama, aku pun tertidur masih dalam posisiku itu.
Aku terbangun saat kurasakan Rama menggerakkan
sedikit jarinya. Kulihat matanya sudah mulai terbuka. Rama
sudah sadar. Raut mukanya terlihat bingung, tapi kulihat
sedikit senyuman tersungging di bibirnya saat mata kami
bertemu. Kami saling menatap satu sama lain cukup lama,
tanpa percakapan maupun gestur apapun.. dan entah untuk
keberapa kalinya, air mataku kembali menetes. Tanpa sadar,
aku mencondongkan tubuh dan wajahku ke arah wajah Rama,
lalu…
“cup”
Sebuah kecupan halus kudaratkan di bibirnya. Kali ini
aku tidak bisa menahan diriku untuk berterima kasih dan
menunjukkan rasa sayangku pada Rama. Kecupan itu
bertahan beberapa detik. Untuk sepersekian detik, kami
hanyut dalam suasana yang selama ini mungkin tidak pernah
aku pikirkan akan terjadi diantara diriku dan Rama..
Sampai…
64
“Udah udah, jangan lama lama, nanti aja di hotel lama
lamanya” ejek Rama ringan sambil menepuk pundakku. Aku
menjauhkan wajahku dan dengan entengnya menampar
kepala Rama yang diperban.
“ADUH! SAKIT MONYET!” teriak Rama.
“LO YANG MONYET! OTAK MESUM! ITU KECUPAN
SAYANG, BUKAN NAFSU!” balasku sengit. Detik berikutnya,
kami berdua tertawa terbahak bahak. Entah apa yang kami
tertawakan tapi aku bersyukur Rama sudah kembali sadar dan
sepertinya tidak mengalami masalah berarti.
Tawa kami yang keras sepertinya mengundang Pak
Mahlin, Bang Yon dan Lale Nonik untuk masuk.
“Wah jagoan kita udah bangun” kata Bang Yon seraya
memeluk Rama. Rama membalas pelukan hangat itu dengan
erat. Berikutnya giliran pak Mahlin dan Lale Nonik yang
bergantian memeluk Rama. Pemandangan di depan mataku
terlihat begitu mengharukan. Rama perlahan mulai bangkit
dari tidurnya dan berusaha duduk, aku membantunya dengan
cepat. Tanpa disangka, Rama minta diceritakan apa yang
sudah terjadi padanya. Pak Mahlin kemudian menceritakan
semuanya.
65
Selesai mendengarkan cerita Pak Mahlin, kulihat mata
Rama berkaca kaca. Rama lantas mencium tangan Pak Mahlin
dan memeluk beliau erat erat.
“Terima kasih banyak pak…terima kasih…” isak Rama
sambil memeluk pak Mahlin. Setelah semua dirasa cukup
membaik dan Rama bisa berjalan normal, kami langsung
berangkat ke rumah Pak Sa’at. Sementara Bang Yon dan Pak
Mahlin berkoordinasi dengan petugas untuk mengatur
bagaimana mengambil perlengkapan kami yang tertinggal di
atas.
Sesampainya di rumah pak Sa’at, kami bercengkrama
dan saling cerita perjalanan di atas kepada sang pemilik
rumah. Kami sengaja menutupi kejadian kejadian ghaib yang
kami alami, termasuk yang menimpa Rama agar Pak Sa’at dan
Bu Sa’at tidak khawatir dan nantinya malah akan merepotkan
mereka. Perban di kepala Rama pun sudah ia copot. Kami
cuma bilang gagal muncak karena kedinginan.
Keesokan harinya, setelah perlengkapan kami dibawa
turun oleh petugas, kami berpamitan dengan Pak Sa’at, Bu
Sa’at dan Pak Mahlin. Kami berdua menciumi tangan mereka
satu persatu dan berpamitan. Untuk Pak Mahlin, Rama berkali
66
kali mengucapkan terima kasih dan kembali memeluk beliau
sambil menangis.
“Pak Mahlin terima kasih.. saya gatau gimana jadinya
kalo gak ditolong bapak..” bisik Rama disela tangisan yang
sudah tidak bisa ia tahan.
“Ndak apa apa mas Rama…Apa yang saya lakukan
nggak ada apa apanya dibanding yang udah mas Rama lakukan
buat Mbak Jani. Saya salut sama mas Rama..” ujar pak Mahlin
sambil mengusap punggung Rama. Pak Sa’at terlihat bingung
melihat suasana yang terjadi, namun beliau tidak bertanya
lebih jauh.
Diiringi lambaian tangan keluarga Pak Saat dan Pak
Mahlin, Aku, Rama, Bang Yon dan Lale Nonik pergi menuju ke
bandara.
“Jan, nanya dong…” suara Rama membuyarkan
lamunanku di ruang tunggu bandara.
“Nanya apaan?” tanyaku acuh.
“Soal di Rinjani kemaren…” Rama menggantung
kalimatnya. Sepertinya aku tau arah pembicaraan ini.
Jantungku berdegup cepat.
67
“Soal apaan? Akuntansi?” tanyaku kikuk berusaha
melucu dan mengalihkan bahasan.
“Si kampret! Itu loh…yang kemaren lo nyosor gue
terus sebelumnya bilang sayang” kata Rama akhirnya tanpa
basa basi. Perasaanku tak karuan. Mukaku seperti merah
padam. Ternyata benar, dia mau membahas soal itu.
“Oh itu…” jawabku singkat, masih berusaha tak acuh.
“Ita itu, ita itu!” sepertinya Rama mulai kesal dengan
sikap sok acuhku.
“Ya abis lo ngga jelas…”
“Ya elo dong monyeet yang jelasin ke gueeee. Itu
maksud lo apaan kemareen?” Rama mulai kehilangan
kesabaran dan tau tau bersikap kikuk. Lucu banget rasanya liat
Rama yang selama ini selalu cuek soal perasaan ke lawan jenis,
tiba tiba hari ini, di depanku, dia terlihat begitu peduli.
“Jelasin apaan sih Ramboku…” kali ini aku mencoba
bersikap seolah menggodanya dan berusaha terus membuat
dia penasaran.
68
“Ah, bener bener ni anak kampret! Ya lo jelasin,
maksud lo apa? Lo beneran sayang sama gue???” tanyanya
serius
Kalimat itu seperti petir yang menghentak hatiku. Aku
berusaha menguasai diriku. Haruskah kuakui perasaanku
sekarang, saat ini, setelah semua yang Rama lakukan untukku?
Kalo kujawab iya, gimana reaksinya nanti? Dia bakal
mengacaukan saat saat romantis seperti ini dengan
menertawakanku, atau…justru dia bakal ngungkapin hal yang
sama?? Kalau jawabannya ia memiliki perasaan yang sama,
apa kini kami akan resmi sebagai sepasang kekasih sepulang
dari pendakian ini??..
Pikiranku semakin bermain bermain liar. Aku sama
sekali belum bisa menjawab pertanyaan itu. Aku memandang
Rama dalam dalam. Aku takut akan respon Rama seperti apa.
Aku takut ketika aku iyakan dan kami berpacaran, kelak
hubungan kami tidak seseru ketika kami masih bersahabat dan
berakhir dengan aku kehilangan sosok sahabatku sendiri. Tapi
jika hal ini tidak kusampaikan sekarang, apa nantinya aku tidak
menyesali momen yang jarang terjadi seperti ini?..
69
“Yeee si kampret malah diem. Buru napa jawab!” lagi
lagi suara Rama membuyarkanku.
“Kenapa sih emang? Kalo iya beneran kenapa?” aku
malah menantang Rama.
“Ngg…ngg…gimana yak?” Rama ngga menjawab
pertanyaanku, malah balik bertanya.
“Yeee dia malah salting” ledekku.
“Si kampret ah! Serius dikit napa sekali kali…” balas
Rama. Kalimat yang sangat jarang aku dengar dari Rama. Ia
memintaku serius hanya dalam hal hal genting dan mendesak,
sisanya ia adalah seorang yang bercanda tidak tau waktu dan
tempat.
“…yaudah gini deh, kalo emang lo serius, ada hal yang
harus
gue
bilang…”
Rama menggantung
kalimatnya.
Sepertinya ia menunggu reaksiku. Aku memilih diam.
“…gue seneng banget Jan temenan sama lo. Ngga,
bukan cuman seneng Jan, lebih dari itu, gue nyaman sama lo..
gue nyaman ada di samping lo. Gue bisa jadi diri gue sendiri
apa adanya depan lo. Jujur ya, gue pernah sekali waktu mikirin
apa yang sebenernya gue rasain ke lo…”
70
Aku semakin deg degan mendengar setiap kata demi
kata dari Rama. Kali ini Rama sukses membuatku kehabisan
kata kata dan jantungku berdetak begitu cepat.
“Then what?”? tanyaku singkat. Dalam hati aku
berharap Rama mau mengakui perasaannya juga sehingga
rasa ini akan bertemu dengan muaranya. Kalo udah begitu,
semuanya bakal jadi lebih mudah buatku mengakui
perasaanku sebenarnya ke Rama.
“Tapi Jan…setiap kali gue mikirin itu, setiap kali gue
mau yakinin diri gue soal apa yang gue rasain ke lo, disaat yang
sama ada rasa takut yang muncul…” lanjut Rama.
“Hah? Takut? Takut apaan? Emangnya gue setan?” ya,
kesaltinganku membuatku tetap berusaha bercanda. Namun
Rama tidak menanggapi sebagaimana yang aku pikirkan.
“Bukan.. Takut apa yang gue rasain, ngga elo rasain…”
ucapnya singkat.
Deg! Jantungku serasa berhenti. Kami berdua
membisu sesaat. Inikah saatnya aku mengatakannya? Berkata
bahwa Rama tidak sendirian memendam ini? Namun, baru
71
saja aku akan menarik nafas untuk memulai pengakuanku,
Rama melanjutkan lagi kalimatnya..
“…Tapi Jan, selain gue takut, selalu aja muncul
bayangan orang lain” lanjut Rama.
Aku seketika mengigit bibirku. Mengubur kembali
kalimat kalimat yang seharusnya sudah kuucapkan jika saja
Rama tidak menyebutkan kalimat itu.
“Manda ya?” tanyaku lirih.
Rama menatapku dalam dalam, lalu mengangguk.
Sial... Bisa bisanya aku lupa soal Manda dan
membiarkan perasaanku berubah jadi sayang ke Rama. Apa
yang aku lalui dengan Rama belum ada apa apanya dengan
apa yang Rama dan Manda lalui. Manda yang selama 8 taun
terakhir selalu ada di hidup Rama, Manda yang selalu jadi
topik pembicaraan Rama kepada siapapun, Manda yang selalu
bikin Rama tersenyum lepas dan riang, sekaligus uring
uringan. Manda yang diakui Rama sebagai His First Love, One
and Only.
Ya, segalanya bagi Rama selalu tentang Manda.
Manda yang pada akhirnya memilih pergi dari Rama ditengah
72
rasa Rama yang masih besar untuknya dan berharap sesuatu
itu dapat diulang dan diperbaiki…
“…Ngga fair rasanya kalo gue mulai punya rasa sama
lo, tapi dilain sisi gue masih sayang banget sama Manda…”
Rama terus bicara.
“Bahahaha…anjir bisa melow juga lo Mbo! Ngga lah
udah lupain aja yang kemaren. Gue cuman kebawa suasana
kok! Hahaha…” kalimat itu meluncur deras dari mulutku.
Kalimat sanggahan atas perasaanku sendiri. Saat itu hatiku
berteriak untuk mengucapkan hal lain. Hal yang seharusnya
Rama tau dan seakan mau meledak jika terus aku tahan dibalik
senyuman yang kupaksakan. Tapi otak dan mulutku menolak
mengikuti kata hatiku. Kalimat ejekan itulah yang muncul
dariku untuk menutupi kekecewaan yang sebenarnya begitu
sakit untuk aku pendam sendirian.
“Si anjir. Beneran?” tanya Rama lagi.
“Iyeeee…bawel lo ah!” jawabku sambil memukul
pelan pipinya.
“Si bangkeee…bikin gue deg degan aja lo! Mana gue
udah ngaku lagi. Bangke ah malu gue!” Rama kembali
73
sumringah dan melemparkan ejekan balik padaku. Ada rasa
senang dihatiku melihatnya kembali ceria setelah pengalaman
kami di Rinjani kemarin kemarin.
“Cieee gantian confess…ciee sayang yanng gue, tapi
masih sayang Manda” ledekku ke Rama dengan hati perih dan
sebuah toyoran kembali ke kepalanya
“Bawel! Ya gue kan ngga mau nyakitin lo Jan…Bodo
ah…” kalimat itu sukses menancap dihatiku dan membuatku
terdiam sesaat. Lo baru aja ngelakuin itu Ram! Lu nyakitin gue
barusan! Tapi gue tau lu ga bermaksud untuk itu…
Sepanjang perjalanan pulang, di dalam pesawat aku
tidak berhenti genggam tangan Rama. Genggaman tangan dua
orang sahabat yang baru saja mengarungi sebuah pengalaman
diluar nalar penuh haru dan nilai kehidupan.
Sesekali kami saling menatap, tersenyum dan tertawa
geli mengingat apa yang sudah kami lakukan selama di
Lombok, sisanya kami diam merenung dan hening menikmati
langit dan landscape darat sepanjang Lombok menuju Jakarta.
Sebuah pemandangan sempurna sebagai penutup perjalanan
kami berdua..
74
Pendakian Rinjani bersama Rama memiliki arti
tersendiri bagiku. Pendakian itu bukan hanya tentang rencana
menggapai Astana Ratu Anjani. Lebih dari itu, aku belajar
banyak bagaimana berurusan dengan hal ghaib, arti kekuatan
relasi dari Bang Yon, Lale Nonik dan Ranger baik hati, arti
ketulusan dari Pak Sa’at, Bu Sa’at dan Pak Mahlin dan yang
terpenting, arti merelakan demi sebuah kelangsungan
persahabatan.
Dear Rambo, the person that I loved very much, but I
cannot be with. And whoever I’ll met, whatever I’ll do, nothing
will be like it would be with you. Here I told you the truth. Sorry
ya Mbo, gue ngga pernah ngasih tau lo soal perasaan gue
yang sebenernya dan sekarang semua orang yang membaca
ini justru ikut tau akan hal itu. My bad. Kalo waktu itu gue
bilang yang sebenernya, mungkin ending ceritanya bakal beda
ya Mbo. Tapi gue ngga nyesel. Karena dengan begitu, sampe
detik ini gue masih bisa terus temenan sama lo, ngga
keilangan lo dan ngelanjutin keanehan pertemanan kita…
Dan untuk teman teman mwv semua, semoga cerita
versiku ini bisa menjawab semua rasa penasaran kalian soal
hubunganku sama Rama yang ngga Rama ceritain di versi
75
pertama cerita Astana Ratu Anjani. Ngga ada yang perlu
disesalkan. Karena semesta akan selalu membuat semua hal
di hidup kita. Tinggal gimana sudut pandang kita. So, stay
positive!
Salam, Jani
76
Hallo mwvers!
Terima kasih sudah mensupport mystic wave dengan mendownload cerita ini.
Apresiasi dari kalian sangat berharga demi terus berlangsungnya akun
membagikan kisah horror, tragedi dan informasi
Nantikan cerita cerita berikutnya dari seluruh narasumber di Indonesia!
Temukan mystic wave di platform lainnya :
Instagram
: @mwv.mystic
Twitter
: @mwv_mystic
Youtube
: Mwv Mystic Channel
TikTok
: @mwv.mystic
Saweria
: saweria.co/mwvmystic
Jika ingin mengangkat cerita ini ke platform lain, harap hubungi
admin untuk syarat dan ketentuannya di mwv.story@gmail.com
DILARANG MEMPERJUALBELIKAN ATAU MENCETAK ULANG CERITA
INI UNTUK TUJUAN KOMERSIL. HARGAI HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL PENULIS
77
Download