ASTANA RATU ANJANI Versi Jani PART II “Astana Ratu Anjani…Here we cooomee…” teriakku senang. Setelahnya, aku bagaikan burung beo yang mengatakan apapun yang aku liat dan rasakan “…Mbo, udaranya seger banget ya” “…Mbo, langitnya bagus walaupun masih agak gelap” “…Mbo, ini bau apaan sih? Pupuk ya?” “…Mbo, nanti di Plawangan Sembalun fotoin gue ya” “…Mbo, nanti di jalur summit jangan cepet cepet ya jalannya” Sepanjang perjalanan aku ngga berenti mengoceh dan mengomentari segala hal yang aku liat dan rasakan. Rama hanya ketawa ketawa aja melihat tingkahku yang begitu bersemangat “Jan, jangan cepet cepet jalannya. Santai aja, simpen tenaga buat Bukit Penyesalan” pesan Rama singkat yang tertinggal beberapa langkah di belakangku. “Iyaaa” jawabku masih dengan wajah yang sumringah. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan bapak yang 1 sepertinya hendak pergi ke ladang pagi pagi buta. Sebagai bentuk ramah tamah, aku dan Rama menganggukan kepala pelan sambil mengucap permisi kepada beliau. Bapak itu membalas sikap kami dengan senyuman, namun pandangannya tidak fokus kepada salah satu dari kami berdua. Sesekali ia melihat ke Rama, lalu melihat ke arahku. Lalu tiba tiba ia menghampiri Rama, “Hati hati nak mendakinya. Sepertinya ada yang ngawasi kalian. Ini, bawa untuk jaga jaga. Ndak usah dikembalikan, ambil buat kalian…” ujar bapak itu sambil menyerahkan kertas yang dilipat segitiga ke Rama. Kulihat Rama sedikit ragu untuk menerimanya, tap sepertinyi atas dasar rasa segan dan menghormati perhatiannya bapak itu, Rama menerimanya dan berterimakasih. Setelah berpamitan, kami lanjut jalan. Tak jauh setelah bapak tadi berlalu, akhirnya aku berkomentar.. “Apaan nih mbo??” “Nggaa tau, jimat kali ahaha” jawab Rama asal. “Lah kalo jimat kenapa lo terima? Bukannya lo ngga percaya beginian ya?” 2 “Gue lebih ke ngehargain aja sih Jan. Gue masih ngga percaya ama ginian kok sampe sekarang” jawab Rama. Kamipun lanjut berjalan. Beberapa langkah setelah setelahnya, Rama menyusulku ke depan lalu menepuk pundakku, “Jan, Jan, liat deh..” kata Rama sambil menunjuk ke arah timur. Mataku mengikuti arah telunjuk Rama dan seketika aku terpaku tanpa berkata apapun. “…Sunrise di kaki Rinjani Jan..” kata Rama lagi. Untuk beberapa saat aku hanya diam sambil memandangi pemandangan indah itu. Pikiran dan perasaanku berkecamuk. Ada emosi yang meluap luap dan seakan aku ingin berteriak melihat bagaimana fajar mulai memberikan rona ungu di langit yang semula kelam. Setelah itu aku membalikkan badanku dan refleks memeluk Rama sebagai pelampiasan rasa senangku. “Makasih ya Mbo..” hanya itu yang bisa terucap dari mulutku. 3 “Idih apaan sih lo pake meluk meluk, najes” Rama menjauhkan tubuhku darinya dan berekspresi seperti jijik. Rama memang pria yang bisa merusak momen seindah dan seromantis itu dengan sikap tengilnya. “Yuk Jan, buruan dikit yuk jalannya” ajak Rama sambil tiba tiba narik tanganku. “Lah tadi nyuruh pelan pelan, sekarang buru buru, labil lo ah!” tukasku. “Udah nurut aja, bawel!” kata Rama tegas. Rama yang biasa tenang dan menyelipkan candaan tiba tiba saja terlihat serius. Aku tau ada sesuatu yang salah. Tapi apa? Apakah Rama liat sesuatu?.. Sekitar dua jam lebih perjalanan, kami sampai di pos 1. Kami break sebentar sekedar meluruskan kaki. Rama semaet nanya mau sarapan di pos ini atau pos 2, dan aku memilih di pos kedua aja. Rama lalu mengeluarkan vepless berisi kopi yang sudah ia persiapkan dari rumah Pak Saat. Rama menyerahkan vepless itu ke arahku, tapi aku menggeleng, aku lebih memilih meminum air mineral. Kemudian Rama nyeruput kopi yang 4 harumnya tercium sangat segar itu sambil memandang hamparan ciptaan Tuhan di hadapan kami berdua. Hamparan padang rumput hijau dengan latar langit biru dihiasi awan awan putih empuk seperti kapas yang bertebaran. Kami berdua terdiam menikmati moment itu tanpa bersuara sama sekali. Salah rasanya jika kami berbuat berisik ditengah ketenangan yang mungkin tidak akan kami temukan di hari hari lainnya saat Rinjani dibuka. “Udah jan?” tanya Rama ke aku memecah keheningan. Aku mengangguk. “…Yuk lanjut biar cepet sampe Pos II. Udah laper gue” kata Rama sambil menggendong lagi carriernya. Beberapa waktu kemudian, ditengah perjalanan, untuk menghilangkan rasa penat yang muali datang, niat isengku pun muncul. Aku meminta Rama untuk berhenti sejenak, “Mbo, denger suara itu gak?” “Suara apaan?” bukannya menjawab, Rama malah bertanya malas sambil tetap meneruskan pendakian. 5 “Ih dengerin duluu. Masa lo ngga denger?” tanyaku lagi sambil menarik lengan Rama. Rama pun berhenti melangkah. Lalu… BROOOTTT! Aku tertawa keras dan berlari menjauh. “Najis cakep cakep kentutnya bau banget!” cela Rama yang sudah tidak sanggup mengejarku. Kamipun meneruskan pendakian dengan aku yang ngga bisa berenti tertawa setelah ngerjain Rama tadi. Saat Rama berhasil menyusulku, aku terdiam dan langsung menempelkan telunjukku ke bibir, memberi kode pada Rama untuk berhenti memasang telinga lagi, “Halah kentut lagi kan lo” kata Rama cepat “Enggak enggak, ini beneran. Lo denger suara kuda ngga?..” ujarku serius. Rama pun terdiam hingga suara nafas kami bisa terdengar. Dan aku benar, seperti ada suara ringkikan samar samar terdengar saat itu. 6 “Tuh ada kan? Suara apa ya tuh? Jadi takut gue” kataku cemas. “Kaya suara kuda sih.. tapi siapa yang masih naik kuda hari gini?.. eh tapi Jan.. jangan jangan itu suara kereta kencananya Ratu Anjani Jan!” kata Rama dengan wajah yang tiba tiba serius. Aku semakin cemas. “Ah Mbo jangan bercanda ah…” rengekku. Namun tiba tiba tanah mulai bergetar dan terdengar suara deru langkah hewan yang kian mendekat. Kami saling bertatapan satu sama lain.. “KABUR JAAANNN LARIIII!!!!” teriak Rama. Tanpa pikir panjang kami berlari sekuat tenaga setelah sadar ada beberapa kuda liar yang berlarian menghambur ke arah kami. Kami berlari masuk ke arah hutan kecil, yah setidaknya kupikir ini akan melambatkan kuda kuda itu karena keberadaan pohon pohon disini. Beruntung, kami berhasil menghindari kuda kuda itu. Kami beristirahat sambil mengatur nafas yang tersengal sengal. Tanpa kami sengaja, kami saling pandang satu sama lain dan refleks kami berdua tertawa. 7 “Apesh…benerh…gueh…naek sama lo Jooonh, hah…hah…seumur umur naik gunung…, baruh…ini gue dikejar kudah ahahaha” kata Rama disela sela nafasnya yang masih ngos ngosan. “Wahaha iya sama, baru ini gue ngerasain dikejar kuda, biasanya cowok” candaku. Rama hanya menggeleng gelengkan kepalanya. Setelah berisirahat mengatur nafas dan minum sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju pos 2, masih dengan perasaan tegang namun geli sendiri mengingat pengalaman yang baru saja kami alami. Perjalanan dari pos 1 ke pos 2 kami tempuh dalam waktu satu jam karena sepanjang perjalanan itu aku tidak berhenti mengoceh dan bercanda. Aku benar benar menikmati pendakian ini. Akhirnya kami sampai di pos 2 pukul 08.13, meleset setengah jam dari jadwal. Setibanya di pos 2, kami menyantap sarapan dengan bekal yang disiapkan Pak Sa’at. Waktu pendakian pertamaku ke Rinjani tahun lalu, pos 2 ini ramai dengan para pendaki, namun karena kondisi pendakian saat ini sedang ditutup, pagi itu hanya ada kami berdua disana. Hal ini jadi pengalaman 8 baru buatku, mendaki Rinjani sehabis musim hujan, dalam keadaan yang sedang hijau-hijaunya dan penuh ketenangan karena jauh dari hiruk pikuk pendaki lain. Saat sedang asyik menikmati sarapan itu, tiba tiba aku mendengar suara deru motor yang memecah keheningan saat itu. “Mampus dah, kayaknya Ranger!” celetuk Rama. Aku menatapnya dengan khawatir, ngga rela rasanya kalau itu beneran Ranger dan kami diminta turun, tapi Rama segera menenangkanku, “…Tenang aja, kalo emang Ranger, nanti gue negoin lagi. Setidaknya kita bisa ngecamp agak semalem di Plawangan Sembalun. Gapapa kan lo nya?” tawar Rama. Aku menganggukkan kepalaku cepat dengan wajah kembali sumringah. Buatku itu udah cukup. Soal batu putih itu, aku akan meletakkannya sampai titik akhir pendakian kami di Plawangan Sembalun aja. Toh sama aja pikirku, sama sama di Rinjani. 9 “Gapapa Mbo, kalopun nanti disuruh turun juga gapapa. Kita udah janji di bawah tadi. Gue bisa sampe sini aja udah seneng banget kok Mbo” kataku tenang. Beberapa menit kemudian, dugaan Rama terbukti. Sebuah motor menghampiri kami dengan dua orang diatasnya. Satu menggunakan seragam, yang kami duga adalah Ranger, dan satu lagi mengenakan kaus biasa dan celana pendek tanpa membawa barang apa apa. “Selamat pagi mas dan kakak” sapa bapak berseragam tadi. “Pagi pak” jawab Rama sambil beranjak bangun dan menjabat tangan keduanya. Aku mengikuti hal yang sama. “Betul dengan mas Rama?” tanya Ranger itu. “Betul pak. Maaf ya pak sebelumnya kami lancang naik kesini. Saya sudah koordinasi sama petugas di basecamp dari semalem, beliau sebetulnya berat ngasih kami izin, tapi akhirnya dibolehin dengan catetan cuma ngecamp semalem terus summit dan turun lewat Sembalun lagi. Terus katanya kalo ketemu Ranger dan disuruh turun, ya harus nurut. Kebetulan kita lagi sarapan pak, nanti setelah selesai sarapan 10 kami langsung turun lagi ya pak” kata Rama panjang lebar padahal Ranger tadi hanya menanyakan nama saja. Ranger itu tersenyum lalu menepuk nepuk pundak Rama dengan lembut. “Terima kasih mas buat kejujurannya” ujar Ranger itu. “Iya sama-sama pak. Harus dong pak, kami juga ngga mau kenapa-kenapa diatas sana gara-gara bohong pak. Oiya pak, udah sarapan pak? Ini kebetulan sarapan kami lebih, sarapan dulu yuk pak, ngopi juga ada pak. Aman.” Kata Rama dengan sangat ramah. “Sudah-sudah ngga usah repot-repot. Saya harus balik piket ke basecamp. Saya cuman mau mastiin, ini bener Mas Rama temannya Bang Yon sama Pak Sa’at kan?” “Iya bener pak” jawab Rama cepat, lupa menjawab inti pertanyaan ranger ini tadi. “Yang tahun lalu ikut bantu evakuasi pendaki perempuan yang hipo kan ya?” tanya Ranger itu lagi. Aku tersentak malu karena perempuan yang dimaksud itu adalah aku. 11 “Oh, iya bener pak. Ini anaknya nih pak yang kedinginan sendirian ditinggalin pacarnya... Hahaha...” kata Rama sambil ngacak-ngacak rambutku. Aku hanya tersenyum simpul, ternyata orang orang masih ingat kejadian hipoku tahun lalu. “Nah ini ceritanya dia mau remedi pak. Tapi ya ngga tau ternyata pas sampe sini, begini kondisinya.” Lanjut Rama. Kayanya dia mulai coba narik simpati ranger itu. Ranger itu mengangguk pelan ketika Rama kasih penjelasan sambil matanya dengan sigap menyisir kondisi fisik Rama, aku dan perlengkapan yang kami bawa. “Memang rencana awalnya gimana?” tanya ranger itu lagi. “Tadinya mau ngelintas ke Senaru pak. Cuman ya karena lagi begini, udah pasti batal sih. Saya ngikut aturan aja pak, biar aman” kata Rama memelas. Aku mulai paham, he plays his strategy. Dasar anak marketing. “Hoo..betul-betul” kata Ranger itu. “Mmm...kira-kira, kalo saya izin ngecamp semalem – dua malem aja di Plawangan boleh kan ya pak? Kasian juga nih 12 anak ini, udah jauh-jauh, masa tidurnya di rumah Pak Sa’at doang. Hahaha..” ujar Rama santai sementara aku deg degan. Berharap negosiasi itu berjalan lancar. Ranger itu memperhatikan Rama dari ujung kepala sampai kaki. Seperti membaca gerak gerik rama. Waduh kayaknya nego nego Rama bakal gagal kali ini, pikirku. “Anak marketing ya? Bisa aja nego nya” ujarnya sambil tersenyum. “Hahaha. Iya pak. Jadi...boleh kan ya pak? Janji deh pak ngga summit” pinta Rama lagi, meminta konfirmasi. Tiba-tiba ranger itu mengeluarkan sebuah surat dari kantongnya dan menyerahkannya ke Rama yang seketika kebingungan. “Eh, apa ini pak?” tanya Rama sebelum membuka surat tersebut. “Udah ngga usah nego-nego saya, ngga bakal mempan, saya juga dulu lama di marketing, ilmumu itu udah kebaca sama saya mas” ungkap ranger tadi sambil tersenyum lebar. 13 Rama terkekeh kekeh sambil mengusap usap belakang kepalanya karena malu. Mungkin baru kali ini nego nego tipisnya terbaca oleh orang dan diskak seperti ini. “…Itu, surat izin pendakian kamu, saya yang tanda tangan langsung, saya yang tanggung jawab. Hitung hitung hadiah dari saya karena kamu udah 2 kali bantu evakuasi. Kamu boleh summit, boleh ke Segara, boleh ngelintas ke Plawangan Senaru. Kalo ketemu petugas di atas, kasihin aja surat itu. Kalo udah turun ke Senaru, kasihin ke petugas basecamp sana ya” ujar ranger itu panjang lebar. Rama sontak membuka surat yang ia berikan. Aku ikut kepo membacanya. Dan benar, isinya merupakan sebuah surat pernyataan izin pendakian yang sudah ditanda tangani. “…Tapi untuk bisa lanjut, syaratnya ini, kalian harus ditemani Pak Mahlin. Beliau warga sini. Jangan jauh-jauh dari beliau. Saya sudah komunikasi juga sama Yon, dia sibuk banget hubungin saya dari semalem, dia titip pesan, jalanin plan awal, nanti dia nyusul kamu di Segara. Paham kan ya?” tanya ranger itu kepada Rama. Aku yang ngga tau apa apa soal plan awal itu cuman diem aja dengan perasaan senang. Rama mengangguk paham. 14 “Yowes saya pamit dulu. Hati-hati. Jangan lupa berdoa. Pak Mahlin, minta tolong titip mereka ya” Pesan ranger itu menutup penjelasan panjangnya. Kami berdua cuma melongo seakan nggak percaya sama apa yang barusan kami dengar. Betapa Allah, lewat Bang Yon, Pak Sa’at dan bapak Ranger ini begitu baik sama kami. Setelah beberapa saat, Rama segera mengucapkan terima kasih berkali kali ke ranger itu. Begitu pula denganku. Setelah berpamitan dan mengenalkan Pak Mahlin, Ranger itu kemudian pergi dengan motornya. Setelah tinggal kami bertiga, kami berkenalan dan mengobrol dengan Pak Mahlin. Ternyata beliau berasal dari Senaru, lebih tepatnya beliau adalah kenalan Pak Sa’at. Pak Sa’at lah yang meminta tolong beliau untuk menyusul kami sekaligus meminta bantuan Ranger untuk mendapatkan izin. Secara kebetulan, Ranger yang ditemui pak Sa’at dan pak Mahlin adalah Ranger yang juga dihubungi Bang Yon. Aku terus terang takjub dengan segala skenario Tuhan Yang Maha Esa kepada kami. Semuanya tidak bisa disebut kebetulan semata dan benar benar diluar pikiran kami. 15 Kami melanjutkan perjalanan menuju pos 3. Kali ini Rama berpesan kepadaku untuk jangan banyak berhenti kecuali sudah capek. Apalagi didepan jalurnya sudah mulai menanjak, kalo lebih lambat lagi bisa bisa kami kesorean sampai di Plawangan Sembalun. Saat perjalanan mulai menanjak, Pak Mahlin memaksa untuk membawakan barang barang kami. Awalnya kami menolak karena segan, namun beliau memaksa karena merasa aneh jika mendaki tanpa membawa apapun. Akhirnya Rama menyerahkan carriernya ke Pak Mahlin, sedangkan daypackku dibawa oleh Rama, sementara aku hanya menyandang travel bag kecil. Kurang lebih dua setengah jam berikutnya, kami sampai di pos 3. Sepertinya Rama sengaja minta rest disini untuk mempersiapkan mental dan fisik sebelum memulai “pendakian gunung yang sebenarnya”. Ya, karena seingatku jalur pendakian setelah ini akan terus terusan menanjak lebih curam. Rama sekali lagi melakukan cek kesiapan masing masing. Aku bilang sama Rama kalo aman, masih kuat dan ngerasa fit. Sementara Pak Mahlin jangan ditanya, seperti 16 tidak lelah sama sekali dan bahkan beliau masih sempat sempatnya merokok di pos 3. Kami istirahat setengah jam sambil menyeduh kopi dan teh. Sejenak, aku dan Rama memandangi bukit yang sudah ada di depan mata. Bukit yang disebut sebagai Bukit Penyesalan, entah apa alasannya nama itu diberikan kepada bukit seindah ini. Empat jam dua puluh menit berikutnya, akhirnya kami tiba di Plawangan Sembalun. Kami disambut dengan Danau Segara Anak dengan Gunung Baru Jari ditengahnya. Danau ini juga dikelilingi barisan bukit Plawangan Sembalun dan Senaru dengan tebing tebingnya yang kehijauan. Berbeda sekali dengan pendakian pertamaku yang di dominasi warna kuning keemasan. Aku begitu takjub dengan pemandangan di depan mataku itu. “Jadi, selamat datang kembali di tempat kita pertama kali ketemu, Jani” sambut Rama. Aku tersenyum ke arahnya. Hal hal kecil seperti ini bikin saya berpikir Rama sebenarnya punya sisi romantis dalam dirinya. 17 “…Ciee yang dulu ditinggalin pacar sampe kedinginan” Yak! Rama sukses merusak saat saat yang harusnya romantis itu berubah menjadi pukulan ringan di kepalanya seketika. “Reseee! Manis dikit ke gue napee” protesku kesal. “Mas Rama, kita mau buka tenda dimana?” tiba tiba dari belakang pak Mahlin bertanya pada Rama. Rama mulai mengorientasi medan. Akhirnya dia menunjuk sebuah titik yang cukup landai yang berjarak beberapa meter dari lokasi kami berdiri. “Disana aja ya pak, gimana?” sahut Rama memastikan persetujuan Pak Mahlin. Pak Mahlin pun mengangguk. Kami berjalan ke sana selama beberapa menit dan mendirikan tenda di lokasi yang ditetapkan Rama. Setelah tenda berdiri dengan bantuan pak Mahlin, kami segera bongkar logistik yang kami bawa. Semua logistik langsung kami berikan kepada pak Mahlin karena beliau menawarkan diri untuk memasak walaupun akhirnya kami “mengeroyok” proses masak itu bersama sama. 18 Menu makan saat itu adalah nasi goreng tanpa kecap, dadar kornet, tahu sumedang, lalapan dan sambal buatan pak Mahlin yang rasanya masih bisa saya ingat sampai sekarang. Enak banget. Selesai makan, Rama berjalan ke lokasi yang ngasih view Danau Segara Anak terbaik. Setelah berpamitan ke Pak Mahlin dan dibalas dengan senyuman hangat, aku menyusulnya. “Rinjani cantik banget ya Mbo…” kataku. Rama tersenyum. “…kaya gue” lanjutku kemudian. Rama membuat gesture seakan akan hendak muntah. Tiba tiba saja pak Mahlin beranjak ke dekat kami. Lalu beliau bertanya “Mas Rama, Saya boleh tanya?” “Ya? Nanya apa ya pak?” jawab Rama keheranan. Begitupun aku. 19 “Tujuan mas Rama naik kali ini untuk apa mas?” tanya pak Mahlin dengan wajah serius. Berbeda dengan yang dari tadi beliau tunjukkan selama perjalanan. “Hah? Oh.. ini. Saya nganterin Jani, katanya dia mau ketemu Ratu Anjani langsung” kata Rama sambil menunjuk ke arahku. Rama lalu menceritakan sedikit latar belakang kenapa aku mau mendaki demi sekedar mengucapkan terima kasih. Sesekali aku menambahkan cerita Rama. Pak Mahlin menyimak cerita kami sambil sesekali menganggukan kepala, namun tidak memberikan komentar apapun. Setelahnya, beliau tidak menanyakan hal itu lagi dan berbagi pengalamannya seputar pendakian Rinjani yang pernah beliau lakukan serta obrolan ringan lainnya. Obrolan kami berlangsung hingga tanpa terasa senja pun tiba. Senja di Plawangan Sembalun adalah senja terindah yang pernah ku lihat. Gurat gurat jingga berpadu awan yang mulai menghitam terlihat begitu eksostis. Ditambah dengan latar Danau Segara Anak yang memantulkan keindahan itu serta Gunung Baru Jari didepanku. Sempurna rasanya. Ingin ku peluk Rama yang lebih memilih menemaniku kesini, 20 meninggalkan mimpinya untuk menapaki salah satu Seven Summit Indonesia, tapi kuurungkan niatku saat itu karena aku yakin Rama selalu punya cara untuk merusak momen momen romantis seperti itu. Seusai sholat Maghrib berjamaah, kami mulai merencanakan kegiatan dua hari kedepan. Pak Mahlin menolak untuk muncak. Alasannya? Udah bosen katanya, sekaligus beliau mau menjaga tenda dan perlengkapan kami dari gangguan monyet yang memang terkenal nakal dan juga berani disini. Berarti, hanya aku dan Rama yang akan summit. Jujur aku cukup ragu untuk summit bedua saja. Walaupun aku sepenuhnya percaya dengan skill pendakian Rama, tapi entah kenapa, bayangan hal mistis setahun yang lalu justru menghantuiku. Bagaimana kalo nanti diatas sana kami berdua kenapa kenapa? Siapa yang akan turun mengevakuasi kami? Diam diam aku tatap Rama, mencari tau apakah ada keraguan yang sama di wajahnya? Rama memperkirakan jam 2 dini hari nanti perjalanan summit akan kami mulai. Dengan segala pertimbangan kondisi, perkiraan sampai di puncak kira kira sekitar jam 9an. Aku akan diberikan waktu sekitar satu jam untuk menikmati 21 Astana Ratu Anjani dan kami akan turun di jam 10. Estimasi sampai kembali di Plawangan Sembalun sekitar jam 1 siang, lalu dilanjutkan turun ke Segara sebelum senja, sekaligus ketemu sama Bang Yon kalau beliau jadi nyusul. Besok paginya sekitar jam 8 kita rencana naik ke Plawangan Senaru, istirahat buat menikmati Astana Ratu Anjani dari sisi lain, lalu bablas turun sampai rumah pak Sa’at. Aku dan Pak Mahlin memperhatikan rencana Rama dengan seksama. Setelah memaparkan rencana summit dan kelanjutan pendakian, Rama izin tidur duluan. Capek katanya. Rama minta dibangunkan jam 8 malam untuk sholat Isya. Aku sebenernya juga lelah, tapi aku belum mengantuk dan sayang rasanya melewatkan malam hari di Plawangan Sembalun yang sedang cerah bertabur bintang itu. Ini juga salah satu hal yang Rama tidak ceritakan di versinya kemarin.. “Mbak Jani ndak ikut tidur?” tanya Pak Mahlin ramah. “Ngga pak. Saya belom ngantuk. Bapak kalo mau ikut tidur silahkan aja pak. Saya berani kok sendirian” kataku. “Oooh, ndak. Saya juga ndak ngantuk” sahut beliau. “Rinjani bagus banget ya pak” 22 “Iya mbak” “Bapak udah berapa kali kesini?” sebuah pertanyaan bodoh terlontar dari bibirku. “Waahh…saya ndak ngitung mbak” jawab pak Mahlin tersenyum kecil. Setelah itu kami berdua terlibat obrolan ringan. Pak Mahlin banyak bercerita mengenai pengalamannya menjadi porter. Aku antusias sekali mendengar cerita beliau. Entah sudah berapa lama kami mengobrol. “Mbak Jani saya boleh tanya, tapi maaf agak pribadi” lanjut Pak Mahlin sopan. “Hahaha boleh kok pak, kenapa?” kataku mempersilahkan sambil meneguk teh manis hangat buatan beliau. “Mbak Jani sama Mas Rama pacaran ya?” pertanyaan Pak Mahlin membuatku tersedak. “Nggaaaa paaaakkk. Hahahaha. Emang kita keliatan kaya orang pacaran pak? Orang daritadi berantem terus gitu. 23 Lagian ogah banget pacaran sama dia. Playboy pak, ceweknya banyak dimana mana…” jelasku panjang lebar. “Hahaha. Ya ndak sih, bener, berantem mulu. Saya kira pacaran awalnya, tapi sepanjang jalan tadi kok ribut melulu, jadi bingung saya. Pacaran kok ya berantem terus. Hahaha…” tawa pak Mahlin. “Kita berdua temenan aja pak, awalnya ya itu, sejak dia nolongin saya waktu itu. Emang kita deket sih, saya juga nyaman banget temenan sama dia, tapi…” aku tak melanjutkan kalimatku. Pak Mahlin mengernyitkan dahinya. “Tapi apa mbak?” “Tapi ya ngga mungkin pacaran paaakk. Orang berantem mulu. Ngga ada romantis romantisnya dia mah. Saya mana mau pacaran sama orang kaya gitu…” lanjutku. “Saya ini juga ndak romantis mbak, tapi istri saya mau sama saya bahkan sampai hari ini” tukas Pak Mahlin yang sukses menohok perasaanku. Selanjutnya beliau bercerita mengenai perjalanan cinta beliau sama istrinya. Obrolan itu semakin membuatku kagum dengan beliau. 24 Cerita beliau sukses mengubah pandanganku mengenai pasangan. Ternyata, romantis bukan satu satunya kriteria. Ada yang lebih penting dari itu, yaitu tanggung Jjawab. Sebuah perasaan aneh menyelinap di hatiku setelah obrolan ini. Bayangan Rama tiba tiba muncul di benakku. Bisa bisanya. Buru buru kutepis semua. Rama absolutely not my tipe. Dia emang charming, tapi dia ngga tinggiii, sedangkan salah satu tipeku adalah cowok yang tinggi. Selain itu Rama ngga pernah sekalipun bersikap romantis semacam beliin bunga atau ngajak aku candle light dinner, orang aneh itu malah beliin aku dumbel biar aku nemenin dia workout, ngajak aku makan juga ngajaknya makan Tahu Campur pinggir jalan kesukaannya melulu. Rama ngga sweet, manggil namaku aja Jono. Setia? Apalagi. Temen ceweknya dimana mana. Kalo ketemu aja cipika cipiki, pelak peluk. Salah satu yang bikin aku yakin Rama adalah playboy kelas teri saat itu. Semua hal jelek tentang Rama coba kuhadirkan untuk menepis perasaan aneh itu. Tapi semakin ku hadirkan, semakin aku menemukan sisi lain di dirinya. Cowok mana yang ngga pernah marah di keplak keplak seenaknya dan ngga 25 pernah sekalipun ngebales? Setiap aku ke coffee shopnya, dia langsung bikinin minuman kesukaanku sendiri, ngga nyuruh baristanya. Dan sekarang? Kok dia mau ya batalin rencananya ke Kerinci. Demi apa? Cuman buat nemenin aku remedi.. Tiba tiba saja pikiranku terbang lebih jauh lagi ke awal pertemuan kami, waktu dia nolongin aku tahun lalu dan dengan beraninya memarahi mantanku dan teman temanku dengan keras karena ninggalin aku sendirian. Ah, dan kata kata Pak Mahlin tadi soal tanggung jawab jelas jelas menampar perasaanku. Ya, Rama bukan orang yang bisa aku harapkan dalam memberiku surpise atau hal hal romantis, tapi memang punya caranya sendiri dan sepertinya semua perjalanan kami ini membuatku… “Mbak Jani sudah pernah pernah ketemu makhluk halus?” tanya Pak Mahlin tiba tiba. Aku yang tidak siap ditanya seperti itu gugup ketika pertanyaannya tiba tiba saja bertopik ke arah itu. “Eh, kenapa emang pak?” aku tidak menjawab pertanyaannya dan malah balik bertanya. “Ndak papa, nanya aja. Tapi percaya ya sama keberadaan mereka?” lanjut Pak Mahlin. 26 “Ya percaya pak. Kan di Al Quran juga ada” jawabku. “Lalu gimana caranya Mbak Jani mau terima kasih sama Gusti Ratu? (sebutan Pak Mahlin untuk Ratu Anjani)” tanya beliau lagi sambil menatap saya dalam dalam. “Oohh itu. Jujur saya juga ngga tau sih sebenernya caranya gimana. Cuman rencananya, saya mau bilang terima kasih gitu aja di puncak nanti pak, terlepas apakah Ratu Anjani denger atau ngga” jelasku. “Ooo gitu” sahut Pak Mahlin singkat. “…saya doakan semoga semuanya lancar ya mbak” lanjut Pak Mahlin tulus. “Makasih banyak pak” ujarku kepada pak Mahlin. “…Eh, pak, kita masak yuk. Saya udah laper lagi nih” ajakku mengalihkan pembicaraan soal jin. Aku lagi ngga berniat buat bahas itu. Khawatir saat membicarakan mereka, kejadian demi kejadian aneh kembali menghantui. “Mau masak apa kita mbak malem ini?” tanya Pak Mahlin. 27 “Tahu campur aja yuk pak. Biar seger. Enak kayanya dingin dingin gini makan yang agak berkuah” kataku. Entah kenapa malah makanan kesukaan Rama yang terlintas di kepalaku saat itu. “Wah, saya belom pernah bikin mbak” ujar Pak Mahlin. “Udah tenang pak, nanti saya yang bikin. Bapak tolong bantuin motong motong aja ya?” pintaku berusaha sesopan mungkin. “Boleh mbak. Saya baru ini loh nemu pendaki yang makan tahu campur di jalur” jawabnya sambil terkekeh. “Oh iya ya pak? Haha. Ini makanan kesukaannya Rama pak. Dia yang request. Biar sekalian saya belajar lancarin skill masak buat calon suami saya nantinya” ucap saya sambil membongkar bawaaan dan mencari bahan bahan untuk memasak. Setelah itu kami pun memasak makan malam kami. Beberapa menit setelah makanan jadi, kami berniat membangunkan Rama walaupun belum jam 8 malam. Tapi dari dalam tenda, kami malah mendengar suara grasak grusuk dan gumaman yang tidak terlalu jelas. Sepertinya Rama 28 mengigau. Tak lama kemudian kami berdua dikagetkan dengan teriakan Rama yang memanggil namaku. Aku dan Pak Mahlin bergegas mengecek kondisi Rama. Kami berusaha membangunkannya.. “Rama? Rama? Hei bangun heh!” kataku sambil mengguncang guncangkan tubuhnya. “JANI! JANI! JAAAANNN!!!” Rama terus memanggil namaku dalam ngingaunya. ‘Plak Plak Plak’ tiga buah tamparan kudaratkan di pipinya karena capek membangunkan dengan cara baik baik. “Mbo! Mbo! Bangun! Kenapa lo woi?” tanyaku khawatir. Terus terang aku takut Rama kesurupan atau yang terburuk, dia hipo. Perlahan Rama membuka mata dengan bola mata yang merah. Aku dan Pak Mahlin menatapnya dengan rasa cemas, menunggu apakah benar ini Rama atau makhluk lain yang merasuki dirinya. “Kenapa Jan?” tanya Rama bingung. Wajahnya terlihat kaget dan kebingungan. “Lah?? Lo yang kenapa Mbo. Ngigo sambil manggil manggil gue” kataku cepat dan lega, ini memang Rama. 29 “Hah? Duh, gue ngigo ya. Iya nih tadi gue mimpi buruk Jan” jawabnya. “Mimpi apa kok sampe panggil panggil nama gue?” tanyaku penasaran. “Gue mimpi nikah sama lu masa. Ngeri” jawab Rama kemudian. Tentu saja jawaban itu aku jawab dengan sebuah tamparan lagi di pipinya. “…aduh sakit dodol!” protes Rama. Kami pun tertawa. Pak Mahlin yang sedari tadi berada di sampingku juga ikut tertawa bersama kami. “Ayo mas, syukur kalo ndak kenapa kenapa. Makan dulu biar kuat muncaknya” ajak pak Muhlin sambil bergerak keluar tenda. Aku mengikuti beliau dan setelahnya Rama. “Katanya Mbak Jani, Mas Rama suka banget tahu campur. Jadi tadi kita masak ini, saya cuma bantu bantu aja, yang masaknya mah Mbak Jani. Belajar masak buat calon suami katanya” ujar pak Mahlin sambil tersenyum penuh arti. Aku kaget mendengar celetukan Pak Mahlin. Kurasakan wajahku memerah menahan malu. Pak Mahlin menyimpulkan kalimatku dengan cara yang salah! 30 “Eh pak. Bukan gituu. Maksudnya belajar masak buat calon suami saya nantinya ya orang laiinn. Bukan Rama yang jadi calonnyaa” buru buru aku meralat ucapan pak Mahlin. Rama dan pak Mahlin tertawa melihat kecanggunganku. “HEH JANGAN GEER LO MBO!” bentakku kesal dan salting. Rama malah tertawa makin keras. Kamipun makan masakan itu dengan lahap. Sesekali kami mengobrol seru satu sama lain. Namun, momen makan tahu campur malam itu terganggu dengan kehadiran sosok perempuan yang tadi aku lihat di gerbang masuk Senaru dari salah satu pohon disana. Sosok itu lama kelamaan mendekat. Matanya bergerak tidak stabil namun terlihat melihat ke arah satu orang, yaitu aku. Aku mengalihkan pandanganku darinya, berusaha menganggap bahwa sosok itu tidak ada. Aku bergantian mencuri pandang ke arah Rama pak Mahlin. Sekedar memastikan apakah mereka berdua melihat apa yang kulihat. Saat itu pandangan pak Mahlin bukan melihat ke arah Rama, makanan, ataupun aku. Tapi pak Mahlin melihat ke arah pohon tempat sosok itu sekarang berada. Wajah pak Mahlin terlihat marah namun juga cemas. Begitu juga Rama, tetapi sama sepertiku, dia memilih tidak 31 mengacuhkan sosok itu. Pikiranku berkecamuk, haruskah aku ceritakan perihal batu dan keberadaan sosok misterius yang setaun ini menghantuiku sekarang? “Udah, cuekin aja pak” kata Rama kepada pak Mahlin sambil menyendok lagi tahu campurnya. Pak Mahlin terlihat tidak siap ketika saya mengatakan itu. Ia kaget dan sontak bertanya. “Loh mas Rama?” “Udah dari semalem itu pak. Gatau kenapa” jelas Rama seadanya. “Mas Rama, saya boleh ngomong berdua sebentar?..” tanya pak Mahlin. “GA BOLEH! Saya ngga mau ditinggal sendirian. Ada apa pak? Mbo?” potongku cepat. Rama memandang pak Mahlin ragu. “Yakin lu mau denger Jan?” tanya Rama. “Iya” jawabku singkat. 32 “Oke…Jadi gini Jan…Sejak kita sampai di bandara, bahkan sampe detik ini, ada sosok perempuan penari yang ngikutin kita. Dia tadi muncul di mimpi gue dan sekarang dia ada disini… awalnya gue mikir ini pikiran gue aja, tapi barusan pak Mahlin juga liat.. dan gue gatau apa penyebabnya dia ikutin kita..” jelas Rama hati hati. Aku terdiam. Berusaha mencerna apa yang Rama sampaikan dan mencari pilihan kata yang akan kugunakan jika pada akhirnya aku harus mengakui segalanya. “Mas Rama, Mbak Jani.. Sosok yang mas Rama liat itu penunggu di sini. Saya khawatir tujuan kemunculannya ini kurang baik. Saya udah sadar kehadiran dia daritadi, makanya saya tanya tentang tujuan mas Rama dan mbak Jani kesini sebenarnya apa?.. benar hanya remedi, atau ada maksud lain..?” selidik Pak Mahlin yang ternyata sudah menyimpan kecurigaan kepada kami. Rama melihat ke arahku. Bagaimanapun, pendakian ini adalah ide dan permintaanku. Gestur tubuhku berubah, aku merasa tidak nyaman dan takut. 33 “Jan.. lo tau kan gue bela belain batalin ke Kerinci sama anak anak demi bisa nemenin dan jagain lo disini. Boleh ga Jan, jujur.. tolong jujur sama gue, sebenernya apa alasan lo pengen banget remedi kesini?.. bener cuma mau bilang terima kasih atau lo ada maksud lain?.. gue gamau kita semua kenapa kenapa karena salah satu dari kita nyembunyiin sesuatu..” jelas Rama lembut sambil menatapku dalam dalam. Seperti ada kekecewaan yang kutangkap dari matanya dan aku khawatir setelah ini ia tidak akan lagi mau berteman dan dekat denganku. Aku diam, menunduk dan menghindari kontak mata langsung dengan Rama maupun pak Mahlin. Rama dan pak Mahlin diam, dua laki laki dewasa itu dengan sabar menungguku siap untuk berbicara dan menceritakan kemungkinan hal yang disembunyikan dari mereka. Akhirnya aku merogoh kantong celanaku dan mengeluarkan batu berwarna putih itu. Kami bertiga diam. Suasana hening. “Astaghfirullah...” ujar pak Mahlin beristighfar. Rama refleks mengambil batu itu dari tanganku dan melihat ke arah sosok perempuan yang kini kurasakan ada dibelakangku. 34 “Jan…ini apa Jan???” tanya Rama, suaranya terdengar gemetar seperti menahan emosi. Aku menghela nafas panjang. Tanpa terasa air mataku meleleh, aku pun menjawab pertanyaan Rama dengan isakan. “Gue…gue ngga tau itu apa Mbo. Itu batu gue temuin sebelum kita ketemu di atas tahun lalu…gue waktu itu jalan sama cowok gue, terus tanpa sengaja gue nemu batu putih. Kata temen gue, batu putih di Rinjani itu maknanya kita disambut sama sang Ratu Anjani. Karena seneng dan bisa buat kenangan, gue simpen batu itu. Tapi setelahnya gue ngerasa kedinginan terus badan gue jadi lemes. Karena cowok gue kesel gue dikit dikit berhenti, akhirnya gue suruh cowok gue duluan aja dan gue stand by di lokasi kita ketemu itu...” jelasku panjang lebar. Aku menceritakannya dengan jujur. Rama berhak tau. Selama ini yang dia tau hanya aku ditinggalkan oleh mantanku dan teman temanku, padahal kenyataanya akulah yang minta ditinggalkan oleh mereka karena keegoisan dan kesalahanku memungut batu putih ini. Aku melanjutkan ceritaku... “Terus ketika mereka udah ninggalin gue, gue ngerasa makin lemes dan kedinginan. Sampe tiba tiba muncul banyak 35 dayang dayang yang ngelilingin gue sambil nari nari. Mukanya aneh Mbo. Cantik tapi aneh. Mereka punya wajah yang posisinya aneh aneh.. ga kayak orang normal. Abis itu gue ketemu makhluk aneh lagi kaya anak kecil sama makhluk setengah anjing setengah kuda sampe terakhir gue liat makhluk perempuan yang badannya besar, kulitnya merah. Karena takut, gue ngeringkuk sampe akhirnya lo dateng Mbo.. Selama gue belom bisa ngomong, gue ngerasa diikutin dari atas sampai bawah. Pas di basecamp, gue denger suara yang seakan muter muter di kepala gue…suara itu bilang “Kamu sudah ambil sesuatu yang bukan milikmu. Kalo kamu tidak kembalikan itu saat purnama, saya akan ikuti kamu seumur hidup!’” aku menarik nafas panjang dan menyeka air mataku yang kian tak tertahan. Ini adalah pengakuan terbesarku yang selama ini aku tutupi dari Rama. “…Sejak itu, gue selalu ngerasa diikutin sesuatu yang gue gabisa liat Mbo. Karena itu gue ajak lo kesini…gue mau ketemu Ratu Anjani, sekaligus mau balikin batu putih ini…gue ngga tau purnama itu kapan dan apa maksudnya, tapi gue ngerasa gue emang harus balikin ini… maafin gue Mbo nyeret lo ke kondisi ini… maafin saya juga pak Mahlin karena gak jujur 36 sama tujuan saya ngedaki kali ini” aku menyelesaikan ceritaku dengan mata yang sudah dibasahi air mata. Aku tatap Rama dan Pak Mahlin dengan rasa bersalah. Terus terang, aku takut mereka berdua akan marah besar karena sepertinya masalah batu putih ini tidak sesimpel yang aku bayangkan. Entah apa yang mendorongku, aku langsung memeluk Rama dengan terus menangis terisak. Rama dan Pak Mahlin membiarkanku menumpahkan seluruh tangisanku. Tak lama kemudian Rama mulai menenangkanku dengan cara mengusap kepalaku dan punggungku. Kami masih diliputi kebisuan, hanya isak tangisku serta suara binatang malam yang terdengar. Ditengah kebingungan itu, Pak Mahlin mengajak kami Sholat Isya. Kami pun sholat berjamaah dan dilanjutkan dzikir. Selama sholat berlangsung, dari arah belakang terdengar cekikikan tawa sosok perempuan tadi yang terkesan mengejek kami. Kulihat Rama dan Pak Mahlin dzikir terus menerus. Ditengah dzikir, tiba tiba muncul sesosok perempuan yang tidak asing. Perempuan yang sama dengan yang menghampiriku setahun yang lalu di jalur summit. Perempuan dengan kulit merah tua dengan kerutan berwarna hitam. 37 Dengan mata berwarna kuning yang posisinya tidak simetris, lebih tinggi sebelah, dengan tanduk kecil yang muncul dari rambutnya yang jarang jarang dan awut awutan, dengan telinga panjangnya yang muncul dari sela sela rambutnya dan seringai senyumnya yang menampakkan deretan giginya yang berupa taring semua. Pak Mahlin kaget dengan kemunculan perempuan itu dan beristighfar dengan cukup keras. Namun Rama segera menenangkan beliau dan seolah memberikan gestur bahwa ia mengenal perempuan itu dan dia tidak berniat jahat. Tiba tiba terlintas di kepalaku, jangan jangan makhluk ini yang namanya Rimbun?? Tapi masa iya? Yang Rama ceritakan ke aku, Rimbun itu cantik, bukan seperti ini. Rimbun berarti sosok terakhir yang aku lihat sebelum Rama datang tahun lalu.. Perempuan berkulit merah itu kemudian melayang ke arah sosok perempuan yang selalu menghantuiku dan seperti terlibat percakapan. Mulut keduanya tidak bergerak sama sekali. Kami memilih melanjutkan dzikir. Tak lama, perempuan berkulit merah tua itu kembali ke sisi Rama. 38 “Dia penjaga mustikanya, dia minta batu tadi dikembalikan ke tempat ditemukan, suruh temanmu meminta maaf dan setelah itu berjanji untuk tidak mengulanginya lagi” ujarnya. Untuk pertama kalinya aku bisa mendengar suara makhluk yang jelas jelas bukan manusia ini. Ada sensasi aneh yang kurasakan di telingaku. Resonansi suaranya ngga seperti manusia normal, agak rendah namun berkesan putus putus kata per katanya, persis seperti kalo kita sedang menelfon dan kehilangan sinyal. “…Tapi…dia minta hanya satu orang saja yang boleh mengembalikan..” tambahnya. Pak Mahlin yang sepertinya juga bisa mendengar ucapan Rimbun kaget. Begitu juga Rama yang sepertinya tidak mengira ada syarat seperti itu. Dari yang kutangkap, sepertinya aku harus mendaki sendirian untuk mengembalikan batu putih itu. Pikiranku tak karuan. Apakah aku sanggup? Bayangan pengalaman tahun lalu kembali berputar putar di kepalaku. Aku terus berdzikir sambil memejamkan mata kembali. “Apa gak ada cara lain? Gak boleh berdua aja?” Rama seperti bernegosiasi dengan perempuan itu yang cepat 39 kusimpulkan adalah Rimbun, sahabat ghaib Rama. Kedekatan dan komunikasi mereka yang lancar menandakan mereka sudah sering berdiskusi. “Saya sudah mencoba menawar, namun mereka hanya mengizinkan satu orang saja. Saya tidak bisa berbuat banyak karena ini wilayah mereka. Dan ini juga karena temanmu yang percaya hal hal musyrik seperti itu” pungkas Rimbun. Perasaan bersalahku semakin kuat, yang ia maksud adalah aku. Aku menutup mataku karena khawatir sosok itu melihat kearahku sebagai penyebab semuanya. “Kalo berduanya sama kamu apa boleh?” tawar Rama lagi ke Rimbun. Aku coba membuka lagi mataku untuk mengintip. Kulihat Rimbun melayang lagi ke arah penari tadi, berdiskusi sesaat lalu berbalik kembali. Ku tutup kembali mataku tepat saat sosok Rimbun berbalik badan kearah kami. “Saya diizinkan ikut, namun hanya mendampingi. Tidak boleh ikut campur...” jawabnya. 40 “Oke kalo begitu, biar saya yang kembalikan!” ujar Pak Mahlin tiba tiba. Aku yang daritadi menutup mataku seketika melek karena suara pak Mahlin. “Hihihihihi” Rama, Pak Mahlin dan Rimbun refleks melihat ke arah sosok penari itu. Dia tertawa dan menyeringai lebar sekali. Lalu ia menggeleng dengan patah patah dan kemudian menunjuk ke arah Rama. Tunggu, kenapa jadi Rama? “OKE OKE GUE YANG BALIKIN!” jawab Rama tegas dengan nada bicara tinggi yang belum pernah kudengar sebelumnya, sepertinya Rama menantang balik. Pak Mahlin kaget begitu juga denganku. “Mbo, ini kenapa sih? Kenapa jadi lo yang balikin?? Ini kan urusan gue. Gue aja gapapa kok…gue ngga mau libatin lo lebih dari ini..” ujarku cepat sambil coba menahan Rama. Aku mulai menangis lagi. “Ssshh…udah Jan. Biar gue yang beresin ini. Lo gatau apa yang lo hadapin sekarang. Lo baik baik disini sama pak Mahlin, pak, titip Jani ya” kata Rama kepadaku dan pak Mahlin. 41 Aku kembali memeluk Rama dan menangis sejadi jadinya. Hal yang tadinya aku anggap enteng, cukup dengan mengembalikan batu putih itu sambil aku menikmati Puncak Rinjani justru sekarang berubah menegangkan seperti ini. Bahkan aku sampai harus merepotkan Rama. Rasa bersalah semakin menguasaiku. Aku takut Rama kenapa kenapa diatas sana. Karena jelas apa yang akan Rama hadapi ini bukan hanya soal tantangan mendaki gunung dengan segala cuaca dan kondisi yang tidak bisa di prediksi, ini jauh lebih dari itu, ini adalah tantangan dari makhluk gaib yang bersemayam di gunung Rinjani. “Maafin gue Mbo…maafin gue banget. Gue ngga tau bakal sampe kayak gini. Maafin gue ya Mbo, gue…gue…” aku tak sanggup melanjutkan kalimatku. “Iya iya…ini jadi pelajaran buat pendakian pendakian lo berikutnya ya…” sahut Rama. Sepertinya ia kesal. Tapi ia tetap mengusap rambut dan punggungku supaya aku tenang. Namun Rama yang tidak menjawab rengekanku dengan candaan sudah kupastikan adalah Rama yang sedang dalam kondisi hati tidak baik. 42 Pak Mahlin bergerak cepat menyiapkan segala perlengkapan yang Rama butuhkan, sementara Rama menyiapkan fisik dengan melakukan pemanasan pemanasan ringan. Tidak lupa juga ia mengantongi batu putih itu ke jaket sakunya. Rama mulai mengatur ulang rencana pendakian. Menurut perhitungannya, perjalanan bolak balik akan menghabiskan waktu 6 jam. Jika tidak ada kendala berarti, Rama bisa sampai di lokasi tenda ini sekitar jam 4 subuh esok. “Pak, kalo perhitungan saya benar dan semuanya lancar, saya bakal sampai disini lagi jam 4 pagi. Nanti kita turun lewat Sembalun aja. Kayanya udah ngga kondusif kalo ngelanjutin skenario saya sebelumnya” pesan Rama kepada pak Mahlin yang dibalas dengan anggukan. “Oh iya Jan, lo nemu batunya ngga jauh dari posisi kita ketemu kan? Gue bakal taro seperkiraan gue ya dari titik kita ketemu” tanya Rama kepadaku yang hanya bisa kubalas dengan anggukan juga. “Yaudah, saya jalan dulu. Doain saya ya…Pak Mahlin, kalo sampai jam 9 pagi saya belum turun, bapak sama Jani bisa tolong turun duluan ya. Pak Mahlin tau harus bagaimana.. “ tambah Rama ke pak Mahlin. Pak Mahlin mengangguk sambil 43 menjabat tangan Rama dan mendoakan keselamatan untuknya. “Makasih banyak pak. Maaf jadi ngerepotin” Kini Rama menghadap ke arahku, “Jan, doain gue ya. Maaf ya kali ini ngga bisa nemenin lo remedi dulu. Kondisinya udah ngga kondusif soalnya. Gue janji nanti bakal nemenin lo kesini lagi, buat nikmatin Rinjani dengan cara yang seharusnya” ujarnya. Kata kata Rama ku respons dengan pelukan yang entah sudah berapa kali kulakukan padanya. Kali ini ia membiarkanku melakukannya dan tidak mendorongku sebagaimana yang biasa dia lakukan. “Mbo, hati hati. Sekali lagi maafin gue sampai bikin lo harus begini. Gue harap ‘dia’ ada disana..” ucapku. “Semoga ya Jan.. semoga” jawab Rama. “…Emm…Mbo, lo harus tau, gue sayang sama lo…” entah mengapa kalimat itu mengalir begitu saja keluar dari mulutku. Tapi Rama kayanya memang udah mati rasa sama cewek, kata kata yang baru kusampaikan malah ditanggapinya 44 dengan tertawa. Otomatis kucubit perutnya. Rama mengerang kecil dan langsung membalikkan badannya setelah mengacak acak rambutku. Yang ia lakukan sebenarnya adalah membuat keadaan haru itu menjadi lebih riang. Bagaimanapun orang ini memang perusak suasana paling hebat yang pernah kukenal. Setelah pelukan dan kalimat perpisahan, Rama segera memulai perjalanannya. Aku bisa melihat dari kejauhan Rama berjalan diiringi oleh dua makhluk. Yang pertama ada Rimbun yang berjalan cukup jauh di belakang Rama, yang kedua makhluk perempuan penjaga batu putih yang berjalan di depan Rama. Aku bergidik ngeri melihat pemandangan itu. Pak Mahlin berjalan tenang menghampiriku. “Mas Rama beruntung sekali punya ‘teman’ yang kuat” kata Pak Mahlin. “Rimbun maksudnya Pak?” “Eh Mbak Jani kenal juga toh?” tanya pak Mahlin “Oh ngga pak, Rama cuman suka cerita aja ke saya tentang teman spesialnya itu” jelasku. 45 “Saya yakin beliau bukan jin sembarangan. Auranya jauh berbeda dari bangsa jin lain yang pernah saya temui. Dan beliau sangat bijaksana. Saya yakin, dengan Kuasa Allah, bisa saja tadi beliau menyerang penunggu mustika itu. Tapi beliau hormat karena ini wilayahnya dan apa yang disampaikan penunggu mustika itu benar, ada konsekuensi yang harus diambil. Mudah mudahan Mas Rama kuat. Saya yakin Mas Rama akan aman dan kembali besok dengan baik baik saja” jelas pak Mahlin. “…” aku hanya terdiam dan tidak mampu merespon apapun. Pandanganku terus melihat ke arah tas karier Rama yang kian menjadi titik hingga akhirnya tidak terlihat sama sekali. “…mari Mbak Jani, kita tunggu Mas Rama di depan tenda aja” ajak Pak Mahlin. Aku pun setuju. Di depan tenda, dibawah flysheet, Pak Mahlin menyuguhkanku segelas susu hangat. Beliau sendiri memilih menyeruput kopi hitam dan menghisap rokoknya. Selesai menghabiskan susu, Pak Mahlin menyuruhku istirahat di tenda, sementara beliau akan berjaga di depan tenda. Tapi aku menolaknya. Aku memilih menghabiskan waktu diluar tenda bersama beliau, 46 bagaimanapun pikiranku tidak cukup tenang untuk bisa tidur malam itu. Pilihanku itu sepertinya kurang tepat. Beberapa waktu berikutnya, dari arah jalur summit, samar sama kulihat cahaya kerlap kerlip. Cahaya itu lama kelamaan menjadi banyak dan semakin mendekat ke arah kami. Aku merapatkan dudukku ke arah Pak Mahlin. Pak Mahlin yang sadar akan gerakanku, menepuk nepuk tanganku dan berkata “Jangan takut mbak”. Cahaya itu kini sudah berada di sekitar kami, mengelilingi kami dengan jumlah yang sangat banyak dan lantas membentuk beberapa sosok. Kejadian setahun yang lalu terulang kembali. Kini, disekeliling kami berdiri dayang dayang cantik itu lagi. Mereka berbaris teratur dan mulai melakukan gerakan tari Tandang Mendet lagi dengan gerakan patah patah dan dibumbui gerakan kepala memutar 180 derajat. Aku yang tadinya diliputi perasaan takut, kini berganti menjadi kagum. Pak Mahlin pun tersenyum melihat dayang dayang tersebut. Salah satu dayang berjalan mendekati Pak Mahlin. Mereka terlibat percakapan dalam bahasa Sasak yang aku tidak mengerti. Selesai percakapan singkat, dayang 47 tersebut melirik ke arahku dan tersenyum. Senyum yang aneh, hangat namun juga terasa mengintimidasi. Kemudian kembali ke barisan dayang lainnya dan bersamaan dengan itu, mereka semua menghilang. “Masya Allah Mbak Jani…” ucap Pak Mahlin. “Kenapa pak?” tanyaku kebingungan dengan sikap Pak Mahlin. “Mbak Jani dapat salam dari Gusti Ratu” ujar Pak Mahlin dengan senyum tipis di bibirnya. “Gusti Ratu siapa pak?” tanyaku lagi “Gusti Ratu Mas Prawira” sahut Pak Mahlin cepat. Awalnya aku yang masih bingung, siapa itu? Aku seakan pernah mendengarnya tapi kapan? sampai aku ingat itu nama yang pernah disebut sama Lale Nonik. Nama lain dari Ratu Anjani! “Maksudnya pak??? Ratu Anjani?” tanyaku gugup. “Iya Mbak. Masya Allah…” jawab Pak Mahlin “Serius pak?..” tanyaku masih belum percaya. 48 “Iya mbak. Tadi dayang yang datang ke saya yang menitipkan pesan, katanya rasa terima kasih Mbak Jani dan niat Mbak Jani kesini sudah diketahui oleh beliau. Beliau titip salam untuk Mbak Jani dan Mas Rama. Beliau juga minta maaf atas perlakuan bangsa beliau yang kurang berkenan. Mudah mudahan ada pelajaran berharga yang bisa Mbak Jani ambil dari kejadian ini. Beliau juga bilang kalau Mas Rama sudah dalam pengawasan beliau. Insya Allah Mas Rama akan baik baik aja. Hanya memang ada ujian yang perlu dilalui Mas Rama diatas sana terkait persahabatan Mas Rama dengan Gusti Ratu Rimbun dan keimanan Mas Rama” Pak Mahlin bercerita panjang lebar. Aku berusaha mencernanya. Tak terasa air mataku menetes terharu. Aku senang, niatku sudah tersampaikan kepada Ratu Anjani, walaupun aku tidak bisa bertemu beliau secara langsung, tapi ini sudah cukup bagiku. Perasaan lega memenuhi setiap rongga hatiku. Sekarang tujuanku hanya satu, memastikan Rama kembali dengan selamat tanpa kurang apapun. “Pak Mahlin tau sejarah Ratu Anjani?” tanyaku penasaran. Aku sudah pernah membaca beberapa literasi, ada 49 banyak versi literasi mengenai sejarah Ratu Anjani, tapi aku penasaran seperti apa sebenarnya sejarah yang dipercaya masyarakat disini. “Yaa ndak banyak tau juga Mbak. Hanya dari cerita orang tua orang tua di desa Sembalun dan Senaru saja. Kenapa mbak?” tanya pak Mahlin balik. “Boleh ceritain ke saya pak sejarah yang Pak Mahlin tau?” Pak Mahlin menyeruput kopi hitamnya dan menghirup rokoknya dalam dalam, “Menurut cerita turun temurun orang tua saya, warga Sasak percaya, jaman dulu, melalui takdir Allah, ada seorang ratu jin perempuan bernama Dewi Anjani, yang diminta untuk ‘dikeluarkan’ dari golongan jin dan diubah menjadi golongan manusia dan mengisi pulau yang dijuluki Pulau Sasak atau Lombok. Waktu beliau sudah menjadi golongan manusia, beliau memiliki saudara kandung bernama Raden Mas Abdul Malik dan Raden Mas Abdul Rauf. Ketiganya lalu bertugas menjadi penyebar kalam Illahi di tanah Lombok. Setelah tugasnya selesai, beliau pergi ke Gunung Rinjani dan memohon kepada Allah untuk dikembalikan menjadi 50 golongan bangsa jin seperti sedia kala. Atas izin Allah, beliau dikembalikan menjadi bangsa jin, lalu memimpin dan memerintah golongan jin dari Gunung Rinjani ini…” Pak Mahlin menghentikan sesaat ceritanya sambil mengedarkan pandang ke arah Danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari. “…tapi ada versi lain juga yang mengisahkan kalo Dewi Anjani ini adalah anak daro Raja Datu Tuan dan Dewi Mas, beliau berdua itu adalah salah satu penguasa atau raja di Lombok. Awalnya Raja Datu Tuan dan Dewi Mas lama ndak memiliki anak sampai akhirnya Raja Datu Tuan minta izin ke Dewi Mas untuk menikah lagi dengan Sunggar Tutul. Atas kuasa Allah, ternyata Dewi Mas hamil. Karena iri dengan kehamilan Dewi Mas dan takut disingkirkan, Sunggar Tutul memfitnah Dewi Mas, jadinya Dewi Mas diusir dari istana dan pindah ke Bali. Disana beliau melahirkan anak kembar sepasang, yang laki laki dikasih nama Raden Putra Nanjak dan yang perempuan dikasih nama Dewi Rinjani. Singkat cerita, setelah dewasa, Raden Putra Nanjak berperang melawan ayah kandungnya sendiri, Raja Datu Tuan. Hingga akhirnya ada bisikan ghaib yang membuat mereka berdamai. Raden Putra Nanjak kemudian jadi penerus tahta ayahnya. Sementara Raja Datu Tuan bersama Dewi Rinjani memilih menyepi disini, di 51 Gunung Rinjani. Pada akhirnya, Dewi Rinjani moksa di Gunung Rinjani dan diangkat jadi pemimpin jin muslim karena sifat sifat mulia beliau…” ujar Pak Mahlin melanjutkan ceritanya. “Masya Allah…” seruku kagum dengan pengetahuan Pak Mahlin. “…kalo Pak Mahlin sendiri, lebih percaya cerita yang mana pak?” tanyaku penasaran. Pak Mahlin tersenyum mendengar pertanyaanku lantas menjawab, “Wallahu’alam Mbak Jani. Yang jelas dari kedua cerita yang pernah saya dengar itu, mengerucut pada satu kesimpulan bahwa Ratu Anjani adalah pemimpin para jin muslim. Saya pribadi percaya itu karena aura bangsa jin disini memang berbeda dari bangsa jin di gunung gunung lain. Aura nya positif sekali. Makanya jarang sekali ada kejadian mengerikan disini. Kecuali…” Pak Mahlin menggantung kalimatnya. “Kecuali apa pak?” aku penasaran. Pak Mahlin kembali menerawang sebelum menjawab, “Kecuali ada orang orang yang berniat kurang baik disini. Seperti…maaf sebelumnya Mbak Jani, seperti yang lazim dilakukan di beberapa gunung lain, banyak orang orang yang berniat bersekutu dengan bangsa jin untuk mendapat 52 kekayaan, kekuasaan dan lain lain. Kalo ada yang berniat seperti itu, biasanya para jin muslim disini akan bertindak tegas. Caranya macam macam, namun yang seringkali saya dengar, adalah dengan menghantui orang tersebut dalam bentuk yang menyeramkan dan ndak lazim, dengan harapan mereka akan takut dan membatalkan niatnya bersekutu dengan bangsa jin…” jelas Pak Mahlin kemudian. “Kaya yang mereka lakuin ke saya dong ya pak? Hahaha…” kataku cepat mencoba mencairkan suasana. “Hehehe, mohon maaf sebelumnya ya mbak, tapi iya, kira kira seperti itu. Makanya tadi saya sempat tanya kan, apa sebenarnya tujuan Mas Rama dan Mbak Jani kesini, karena biasanya kalo tujuannya murni menikmati alam, ndak akan ada gangguan gangguan seperti tadi. Saya khawatir kalau ternyata Mas Rama dan Mbak Jani punya niat lain. Khawatir kita semua celaka. Tapi setelah dengar cerita Mbak Jani, kalau ternyata Mbak Jani ndak sengaja bawa batu putih itu, terus terang saya lega, itu memang salah, tapi tujuan sekarang mengembalikan itu adalah hal baik…” jawab pak Mahlin. “Sekali lagi maafin saya ya pak…” ucapku lirih. 53 “Ndak apa apa, mbak. Bener kata Mas Rama, dijadikan pelajaran aja untuk lebih hati hati kedepannya” sahut Pak Mahlin lembut. “…Ini Mbak Jani ndak ngantuk?” tanya pak Mahlin merubah topik pembicaraan kami. “Sebenernya ngantuk sih pak. Tapi saya khawatir sama Rama…” jawabku jujur. “Kalo ngantuk tidur aja mbak. Insya Allah semua aman. Saya berani jamin. Apalagi Mas Rama juga didampingi temannya yang kalo boleh saya bilang, sepertinya juga berkedudukan Ratu di asalnya…” ungkap pak Mahlin “Hah? Berarti Rimbun itu ratu bangsa jin juga dong? Rama ngga pernah bilang deh pak…” kataku heran. “Wallahu’alam mbak. Mungkin saya salah. Tapi memang aura nya beda…” “Ah, yaudah pak, ngga usah dipikirin lagi deh. Ini beneran gapapa saya tidur pak?” “Iya mbak, biar saya yang jaga disini ya” 54 Akhirnya kuputuskan untuk mengistirahatkan tubuhku sejenak. Terus terang, aku mulai lega mendengar penjelasan dan perkataan Pak Mahlin tadi. Setidaknya, sebagai sesama muslim, walaupun berbeda golongan, Insya Allah tidak akan saling membahayakan. Aku pun tertidur setelah menyerahkan sleeping bag yang tadi dipakai Rama kepada Pak Mahlin. “Mbak Jani, bangun mbak…” sayup sayup kudengar suara Pak Mahlin yang tengah menepuk pelan pundakku. Perlahan kubuka mata. Hal yang pertama kulihat adalah wajah Pak Mahlin yang terlihat khawatir dan sinar matahari yang sudah memenuhi seluruh bagian tenda. “Eh iya pak. Aduh saya ketiduran lama banget ya, ini udah terang begini…” kataku masih setengah sadar. Beberapa detik kemudian aku menyadari kalo Rama belum ada di dalam tenda. Hah Rama belum kembali? Bukannya harusnya subuh subuh dia udah balik? Tapi secara cepat otakku berpikir lain, jangan jangan Rama sudah datang dan tidur diluar. 55 “…eh, Rama mana pak? Tidur diluar ya?” tanyaku polos sambil merapikan alas tidurku. Tapi wajah Pak Mahlin malah terlihat semakin khawatir. Jantungku berdegup mendengar pernyataan Pak Mahlin berikutnya, “Justru itu mbak, Mas Rama belum kembali kesini. Saya khawatir. Ini sudah jam setengah delapan, udah hampir empat jam Mas Rama terlambat dari jadwal. Saya takut…” belum selesai Pak Mahlin menyelesaikan kalimatnya, aku langsung memotongnya dengan panik “Hah??? Terus kita harus gimana pak???” tanyaku seketika panik. “Tenang dulu mbak…” “Iya, iya maaf pak…Oiya, seinget saya, kata Rama, kalo sampe jam 9 dia belum balik, kita diminta turun kan ya pak?” “Iya mbak” “Apa kita turun sekarang aja pak minta bantuan?” tanyaku mulai panik kembali. “Sabar mbak. Sekarang Mbak Jani sarapan dulu ya biar badannya ada tenaga. Saya udah masakin tadi…” ujar Pak 56 Mahlin. Aku terharu dengan perlakuan Pak Mahlin. Sekaligus salut karena dalam kondisi seperti ini masih bisa tenang dan bahkan sempat membuat sarapan. Selesai menghabiskan nasi goreng telur dadar yang dibuat oleh Pak Mahlin dengan perasaan masih belum tenang, aku melirik jam tanganku. Nasi goreng seenak itu terasa hambar karena dimakan dengan perasaan yang penuh kekhawatiran. Sudah hampir jam 8 dan Rama belum juga kembali. Ku lirik Pak Mahlin, ternyata beliau pun terlihat gusar. Aku berusaha tenang supaya tidak memperkeruh suasana. Kami berdua sama sama terlibat kebisuan selama nyaris setengah jam berikutnya. Bedanya aku hanya diam melamun memperhatikan landscape Segara Anak dan Baru Jari diseberang sana sementara Pak Mahlin dengan cekatan merapikan nesting dan perlengkapan lain yang ada di sekitar kami. “Mbak Jani, kayanya saya harus bergerak sekarang” kata Pak Mahlin selesai membereskan semua peralatan. “Kita turun pak?” aku mencoba memastikan pergerakan kami selanjutnya. 57 “Ndak Mbak. Saya mau susul Mas Rama aja ke atas. Saya takut Mas Rama kenapa kenapa diatas sana…” ucap pak Mahlin dengan yakin. “Tapi pak, kata Rama…” belum selesai aku berkata, Pak Mahlin menyanggahku. “Kalo turun dulu kelamaan Mbak. Mbak Jani tunggu disini ya, Insya Allah saya ngga akan lama” ujar pak Mahlin lagi. “Ngga mau pak. Saya ikut!” tegasku. “Tapi mbak…” “Saya ikut pokoknya pak! Rama udah bela belain berjuang demi saya semalem, saya ngga bisa nunggu diem doang disini sementara nyawa dia terancam diatas sana…” jawabku menahan air mata yang entah sejak kapan mulai menggenang lagi di ujung kelopak mataku. “Yaudah kalo gitu, ayok kita berangkat sekarang mbak…” akhirnya pak Mahlin mengalah. Tanpa membuang waktu, aku dan Pak Mahlin segera memulai perjalanan menyusul Rama yang belum juga kembali. Aku terus berdoa dalam hati.. “Mbo tunggu kami. Lo harus 58 selamat. Lo janjiin gue lo akan balik dan kita bakal ke Rinjani lagi nanti!” Aku berjalan di belakang Pak Mahlin yang melangkah cukup cepat. Beliau tampak sangat cekatan melalui jalur pendakian yang mulai berbatu. Sesekali beliau membantuku yang berulang kali terpeleset. Kami sudah melalui batas vegetasi pepohonan, kini hamparan sang bunga keabadian Edelweiss terlihat di sekeliling kami. Jalur pendakian pun semakin menanjak. “Mas Ramaaa…Mas…” Pak Mahlin mulai berteriak memanggil Rama. “Mbooo…Rambooo…” aku mengikuti beliau meneriakkan nama Rama. Kami berdua berharap mendapat balasan dari teriakan kami, tapi sampai beberapa menit berikutnya, nihil. Sampai akhirnya di satu sisi jalur, aku dan Pak Mahlin sama sama melihat Rama tergeletak dengan kepala mengeluarkan darah yang terlihat sudah mengering dan tersamarkan oleh debu dan tanah yang memenuhi wajahnya. 59 “ASTAGHFIRULLAH…MAS RAMA!” teriak Pak Mahlin sambil bergegas lari menghampiri tubuh sahabatku. Aku tak kalah panik. “MBOOO…LO KENAPA MBOOO…??” aku ikut berlari, entah darimana aku punya kekuatan dan kecekatan melangkah. Tubuh Rama yang tidak bergerak kini sudah ada tepat dihadapanku. Air mataku kembali meleleh, “Mboo…lo kenapa? Bangun Mboo… Bangun… Mbooo… Bangun Mbooo…” ratapku sesegukan sambil memeluk tubuh Rama, menggoyang goyangkannya dan menepuk nepuk pipi Rama berulang kali. Berharap ia akan terbangun dengan tamparanku sebagaimana yang aku lakukan saat ia mengigau malam tadi. Disaat yang bersamaan Pak Mahlin mengecek nadi Rama. Lalu beliau mengelus punggungku, berusaha menguatkanku sekaligus menenangkanku. “Sabar Mbak Jani, sabar. Istighfar…” “Rama kenapa pak? Rama kenapa? Ayo pak tolongin Rama, ayo kita gendong…” 60 “Iya Mbak Jani, iya. Kita tolong Mas Rama…” kata Pak Mahlin sambil bergegas menggendong tubuh Rama yang terkulai lemas dan tak kunjung memberikan reaksi apa apa. Kami pun berjalan menuruni lereng untuk menuju tenda. Setelah dijelaskan pak Mahlin, aku bersyukur Rama masih hidup, tapi rasa takutku tak kunjung hilang. Sesampainya di depan tenda kami, Pak Mahlin merebahkan tubuh Rama dan langsung bergerak cepat membuat air hangat. Aku yang masih dalam kondisi kalut tanpa berpikir panjang langsung mengguyur wajah Rama dengan air, berharap dia segera membuka matanya dan marah marah karena ulahku seperti biasa. “Mbak Jani tenang dulu ya. Ini mbak, minum dulu. Biar saya rawat Mas Rama sebentar. Mudah mudahan ndak apa apa dan Mas Rama segera bangun.” Kata Pak Mahlin sambil memberiku segelas air hangat, beliau tau tindakanku dalam keadaan panik ini tidak akan membantu banyak. Aku pun meminumnya untuk menenangkan perasaanku. Sementara itu Pak Mahlin dengan cekatan membasuh wajah Rama dari debu dan tanah serta darah yang memenuhi tak hanya pelipis tapi hampir seluruh wajahnya. 61 Aku bergegas masuk ke dalam tenda dan mengambil minyak tawon serta kayu putih. Setelah itu kuoleskan sedikit ke hidung Rama, berharap tubuhnya merespon. Namun nihil. Pak Mahlin segera membuka baju Rama dan mengoleskan kayu putih ke seluruh tubuhnya. Kulihat dada sahabatku bergerak naik turun dengan ritme yang teratur. Beberapa menit berikutnya, kami berusaha menyadarkan Rama lagi dengan menepuk nepuk pipi dan mengguncangkan tubuhnya serta memanggil namanya. Tapi lagi lagi upaya kami belum berhasil. Pak Mahlin akhirnya mengambil keputusan untuk menggendong Rama yang masih belum juga merespon turun ke Basecamp. Setelah melakukan packing secukupnya dengan membawa barang barang penting, kamipun turun dengan meninggalkan sisa perlengkapan kami. Tubuh kecil pak Mahlin sekuat tenaga menggendong Rama menuruni jalur pendakian. Entah sudah berapa jam kami lalui untuk turun sampai akhirnya kami tiba di basecamp. Beberapa meter sebelum basecamp, aku berlari mendahului Pak mahlin untuk meminta pertolongan petugas yang sedang berjaga di basecamp. Mereka bergerak cepat mengevakuasi tubuh Rama ke dalam 62 basecamp. Semua orang dengan sigap melakukan pertolongan, para petugas segera menghubungi tim medis dan Pak Mahlin segera menghubungi Bang Yon dan Lale Nonik. Tak berapa lama kemudian petugas medis datang dan memeriksa kondisi Rama. Syukurlah, mereka menyatakan kondisi Rama tidak terlalu parah. Bang Yon dan Lale Nonik juga segera tiba sesaat setelah petugas medis membalutkan perban ke kepala Rama. Setelah kondisi Rama kondusif, Pak Mahlin tanpa diminta langsung menceritakan kejadian di atas sana, tentunya tanpa menceritakan hal hal ghaib yang kami alami. Pak Mahlin mengkondisikan bahwa Rama terpeleset ketika selesai summit bersamaku, lantas aku meminta Pak Mahlin untuk mengevakuasi Rama. Selesai Pak Mahlin bercerita, semua orang bergerak keluar ruangan. Sementara aku tetap tinggal disisi Rama. Aku duduk dilantai. Perlahan kugenggam tangan sahabatku itu. Tangan orang yang rela mendaki seorang diri demi menyelesaikan masalah yang aku buat. Tangan yang selama ini tidak kusadari begitu hangat.. 63 Ku kecup tangannya dan kuusap usap beberapa kali, lalu kujadikan tangan Rama sebagai sandaran kepala. Tak lama, aku pun tertidur masih dalam posisiku itu. Aku terbangun saat kurasakan Rama menggerakkan sedikit jarinya. Kulihat matanya sudah mulai terbuka. Rama sudah sadar. Raut mukanya terlihat bingung, tapi kulihat sedikit senyuman tersungging di bibirnya saat mata kami bertemu. Kami saling menatap satu sama lain cukup lama, tanpa percakapan maupun gestur apapun.. dan entah untuk keberapa kalinya, air mataku kembali menetes. Tanpa sadar, aku mencondongkan tubuh dan wajahku ke arah wajah Rama, lalu… “cup” Sebuah kecupan halus kudaratkan di bibirnya. Kali ini aku tidak bisa menahan diriku untuk berterima kasih dan menunjukkan rasa sayangku pada Rama. Kecupan itu bertahan beberapa detik. Untuk sepersekian detik, kami hanyut dalam suasana yang selama ini mungkin tidak pernah aku pikirkan akan terjadi diantara diriku dan Rama.. Sampai… 64 “Udah udah, jangan lama lama, nanti aja di hotel lama lamanya” ejek Rama ringan sambil menepuk pundakku. Aku menjauhkan wajahku dan dengan entengnya menampar kepala Rama yang diperban. “ADUH! SAKIT MONYET!” teriak Rama. “LO YANG MONYET! OTAK MESUM! ITU KECUPAN SAYANG, BUKAN NAFSU!” balasku sengit. Detik berikutnya, kami berdua tertawa terbahak bahak. Entah apa yang kami tertawakan tapi aku bersyukur Rama sudah kembali sadar dan sepertinya tidak mengalami masalah berarti. Tawa kami yang keras sepertinya mengundang Pak Mahlin, Bang Yon dan Lale Nonik untuk masuk. “Wah jagoan kita udah bangun” kata Bang Yon seraya memeluk Rama. Rama membalas pelukan hangat itu dengan erat. Berikutnya giliran pak Mahlin dan Lale Nonik yang bergantian memeluk Rama. Pemandangan di depan mataku terlihat begitu mengharukan. Rama perlahan mulai bangkit dari tidurnya dan berusaha duduk, aku membantunya dengan cepat. Tanpa disangka, Rama minta diceritakan apa yang sudah terjadi padanya. Pak Mahlin kemudian menceritakan semuanya. 65 Selesai mendengarkan cerita Pak Mahlin, kulihat mata Rama berkaca kaca. Rama lantas mencium tangan Pak Mahlin dan memeluk beliau erat erat. “Terima kasih banyak pak…terima kasih…” isak Rama sambil memeluk pak Mahlin. Setelah semua dirasa cukup membaik dan Rama bisa berjalan normal, kami langsung berangkat ke rumah Pak Sa’at. Sementara Bang Yon dan Pak Mahlin berkoordinasi dengan petugas untuk mengatur bagaimana mengambil perlengkapan kami yang tertinggal di atas. Sesampainya di rumah pak Sa’at, kami bercengkrama dan saling cerita perjalanan di atas kepada sang pemilik rumah. Kami sengaja menutupi kejadian kejadian ghaib yang kami alami, termasuk yang menimpa Rama agar Pak Sa’at dan Bu Sa’at tidak khawatir dan nantinya malah akan merepotkan mereka. Perban di kepala Rama pun sudah ia copot. Kami cuma bilang gagal muncak karena kedinginan. Keesokan harinya, setelah perlengkapan kami dibawa turun oleh petugas, kami berpamitan dengan Pak Sa’at, Bu Sa’at dan Pak Mahlin. Kami berdua menciumi tangan mereka satu persatu dan berpamitan. Untuk Pak Mahlin, Rama berkali 66 kali mengucapkan terima kasih dan kembali memeluk beliau sambil menangis. “Pak Mahlin terima kasih.. saya gatau gimana jadinya kalo gak ditolong bapak..” bisik Rama disela tangisan yang sudah tidak bisa ia tahan. “Ndak apa apa mas Rama…Apa yang saya lakukan nggak ada apa apanya dibanding yang udah mas Rama lakukan buat Mbak Jani. Saya salut sama mas Rama..” ujar pak Mahlin sambil mengusap punggung Rama. Pak Sa’at terlihat bingung melihat suasana yang terjadi, namun beliau tidak bertanya lebih jauh. Diiringi lambaian tangan keluarga Pak Saat dan Pak Mahlin, Aku, Rama, Bang Yon dan Lale Nonik pergi menuju ke bandara. “Jan, nanya dong…” suara Rama membuyarkan lamunanku di ruang tunggu bandara. “Nanya apaan?” tanyaku acuh. “Soal di Rinjani kemaren…” Rama menggantung kalimatnya. Sepertinya aku tau arah pembicaraan ini. Jantungku berdegup cepat. 67 “Soal apaan? Akuntansi?” tanyaku kikuk berusaha melucu dan mengalihkan bahasan. “Si kampret! Itu loh…yang kemaren lo nyosor gue terus sebelumnya bilang sayang” kata Rama akhirnya tanpa basa basi. Perasaanku tak karuan. Mukaku seperti merah padam. Ternyata benar, dia mau membahas soal itu. “Oh itu…” jawabku singkat, masih berusaha tak acuh. “Ita itu, ita itu!” sepertinya Rama mulai kesal dengan sikap sok acuhku. “Ya abis lo ngga jelas…” “Ya elo dong monyeet yang jelasin ke gueeee. Itu maksud lo apaan kemareen?” Rama mulai kehilangan kesabaran dan tau tau bersikap kikuk. Lucu banget rasanya liat Rama yang selama ini selalu cuek soal perasaan ke lawan jenis, tiba tiba hari ini, di depanku, dia terlihat begitu peduli. “Jelasin apaan sih Ramboku…” kali ini aku mencoba bersikap seolah menggodanya dan berusaha terus membuat dia penasaran. 68 “Ah, bener bener ni anak kampret! Ya lo jelasin, maksud lo apa? Lo beneran sayang sama gue???” tanyanya serius Kalimat itu seperti petir yang menghentak hatiku. Aku berusaha menguasai diriku. Haruskah kuakui perasaanku sekarang, saat ini, setelah semua yang Rama lakukan untukku? Kalo kujawab iya, gimana reaksinya nanti? Dia bakal mengacaukan saat saat romantis seperti ini dengan menertawakanku, atau…justru dia bakal ngungkapin hal yang sama?? Kalau jawabannya ia memiliki perasaan yang sama, apa kini kami akan resmi sebagai sepasang kekasih sepulang dari pendakian ini??.. Pikiranku semakin bermain bermain liar. Aku sama sekali belum bisa menjawab pertanyaan itu. Aku memandang Rama dalam dalam. Aku takut akan respon Rama seperti apa. Aku takut ketika aku iyakan dan kami berpacaran, kelak hubungan kami tidak seseru ketika kami masih bersahabat dan berakhir dengan aku kehilangan sosok sahabatku sendiri. Tapi jika hal ini tidak kusampaikan sekarang, apa nantinya aku tidak menyesali momen yang jarang terjadi seperti ini?.. 69 “Yeee si kampret malah diem. Buru napa jawab!” lagi lagi suara Rama membuyarkanku. “Kenapa sih emang? Kalo iya beneran kenapa?” aku malah menantang Rama. “Ngg…ngg…gimana yak?” Rama ngga menjawab pertanyaanku, malah balik bertanya. “Yeee dia malah salting” ledekku. “Si kampret ah! Serius dikit napa sekali kali…” balas Rama. Kalimat yang sangat jarang aku dengar dari Rama. Ia memintaku serius hanya dalam hal hal genting dan mendesak, sisanya ia adalah seorang yang bercanda tidak tau waktu dan tempat. “…yaudah gini deh, kalo emang lo serius, ada hal yang harus gue bilang…” Rama menggantung kalimatnya. Sepertinya ia menunggu reaksiku. Aku memilih diam. “…gue seneng banget Jan temenan sama lo. Ngga, bukan cuman seneng Jan, lebih dari itu, gue nyaman sama lo.. gue nyaman ada di samping lo. Gue bisa jadi diri gue sendiri apa adanya depan lo. Jujur ya, gue pernah sekali waktu mikirin apa yang sebenernya gue rasain ke lo…” 70 Aku semakin deg degan mendengar setiap kata demi kata dari Rama. Kali ini Rama sukses membuatku kehabisan kata kata dan jantungku berdetak begitu cepat. “Then what?”? tanyaku singkat. Dalam hati aku berharap Rama mau mengakui perasaannya juga sehingga rasa ini akan bertemu dengan muaranya. Kalo udah begitu, semuanya bakal jadi lebih mudah buatku mengakui perasaanku sebenarnya ke Rama. “Tapi Jan…setiap kali gue mikirin itu, setiap kali gue mau yakinin diri gue soal apa yang gue rasain ke lo, disaat yang sama ada rasa takut yang muncul…” lanjut Rama. “Hah? Takut? Takut apaan? Emangnya gue setan?” ya, kesaltinganku membuatku tetap berusaha bercanda. Namun Rama tidak menanggapi sebagaimana yang aku pikirkan. “Bukan.. Takut apa yang gue rasain, ngga elo rasain…” ucapnya singkat. Deg! Jantungku serasa berhenti. Kami berdua membisu sesaat. Inikah saatnya aku mengatakannya? Berkata bahwa Rama tidak sendirian memendam ini? Namun, baru 71 saja aku akan menarik nafas untuk memulai pengakuanku, Rama melanjutkan lagi kalimatnya.. “…Tapi Jan, selain gue takut, selalu aja muncul bayangan orang lain” lanjut Rama. Aku seketika mengigit bibirku. Mengubur kembali kalimat kalimat yang seharusnya sudah kuucapkan jika saja Rama tidak menyebutkan kalimat itu. “Manda ya?” tanyaku lirih. Rama menatapku dalam dalam, lalu mengangguk. Sial... Bisa bisanya aku lupa soal Manda dan membiarkan perasaanku berubah jadi sayang ke Rama. Apa yang aku lalui dengan Rama belum ada apa apanya dengan apa yang Rama dan Manda lalui. Manda yang selama 8 taun terakhir selalu ada di hidup Rama, Manda yang selalu jadi topik pembicaraan Rama kepada siapapun, Manda yang selalu bikin Rama tersenyum lepas dan riang, sekaligus uring uringan. Manda yang diakui Rama sebagai His First Love, One and Only. Ya, segalanya bagi Rama selalu tentang Manda. Manda yang pada akhirnya memilih pergi dari Rama ditengah 72 rasa Rama yang masih besar untuknya dan berharap sesuatu itu dapat diulang dan diperbaiki… “…Ngga fair rasanya kalo gue mulai punya rasa sama lo, tapi dilain sisi gue masih sayang banget sama Manda…” Rama terus bicara. “Bahahaha…anjir bisa melow juga lo Mbo! Ngga lah udah lupain aja yang kemaren. Gue cuman kebawa suasana kok! Hahaha…” kalimat itu meluncur deras dari mulutku. Kalimat sanggahan atas perasaanku sendiri. Saat itu hatiku berteriak untuk mengucapkan hal lain. Hal yang seharusnya Rama tau dan seakan mau meledak jika terus aku tahan dibalik senyuman yang kupaksakan. Tapi otak dan mulutku menolak mengikuti kata hatiku. Kalimat ejekan itulah yang muncul dariku untuk menutupi kekecewaan yang sebenarnya begitu sakit untuk aku pendam sendirian. “Si anjir. Beneran?” tanya Rama lagi. “Iyeeee…bawel lo ah!” jawabku sambil memukul pelan pipinya. “Si bangkeee…bikin gue deg degan aja lo! Mana gue udah ngaku lagi. Bangke ah malu gue!” Rama kembali 73 sumringah dan melemparkan ejekan balik padaku. Ada rasa senang dihatiku melihatnya kembali ceria setelah pengalaman kami di Rinjani kemarin kemarin. “Cieee gantian confess…ciee sayang yanng gue, tapi masih sayang Manda” ledekku ke Rama dengan hati perih dan sebuah toyoran kembali ke kepalanya “Bawel! Ya gue kan ngga mau nyakitin lo Jan…Bodo ah…” kalimat itu sukses menancap dihatiku dan membuatku terdiam sesaat. Lo baru aja ngelakuin itu Ram! Lu nyakitin gue barusan! Tapi gue tau lu ga bermaksud untuk itu… Sepanjang perjalanan pulang, di dalam pesawat aku tidak berhenti genggam tangan Rama. Genggaman tangan dua orang sahabat yang baru saja mengarungi sebuah pengalaman diluar nalar penuh haru dan nilai kehidupan. Sesekali kami saling menatap, tersenyum dan tertawa geli mengingat apa yang sudah kami lakukan selama di Lombok, sisanya kami diam merenung dan hening menikmati langit dan landscape darat sepanjang Lombok menuju Jakarta. Sebuah pemandangan sempurna sebagai penutup perjalanan kami berdua.. 74 Pendakian Rinjani bersama Rama memiliki arti tersendiri bagiku. Pendakian itu bukan hanya tentang rencana menggapai Astana Ratu Anjani. Lebih dari itu, aku belajar banyak bagaimana berurusan dengan hal ghaib, arti kekuatan relasi dari Bang Yon, Lale Nonik dan Ranger baik hati, arti ketulusan dari Pak Sa’at, Bu Sa’at dan Pak Mahlin dan yang terpenting, arti merelakan demi sebuah kelangsungan persahabatan. Dear Rambo, the person that I loved very much, but I cannot be with. And whoever I’ll met, whatever I’ll do, nothing will be like it would be with you. Here I told you the truth. Sorry ya Mbo, gue ngga pernah ngasih tau lo soal perasaan gue yang sebenernya dan sekarang semua orang yang membaca ini justru ikut tau akan hal itu. My bad. Kalo waktu itu gue bilang yang sebenernya, mungkin ending ceritanya bakal beda ya Mbo. Tapi gue ngga nyesel. Karena dengan begitu, sampe detik ini gue masih bisa terus temenan sama lo, ngga keilangan lo dan ngelanjutin keanehan pertemanan kita… Dan untuk teman teman mwv semua, semoga cerita versiku ini bisa menjawab semua rasa penasaran kalian soal hubunganku sama Rama yang ngga Rama ceritain di versi 75 pertama cerita Astana Ratu Anjani. Ngga ada yang perlu disesalkan. Karena semesta akan selalu membuat semua hal di hidup kita. Tinggal gimana sudut pandang kita. So, stay positive! Salam, Jani 76 Hallo mwvers! Terima kasih sudah mensupport mystic wave dengan mendownload cerita ini. Apresiasi dari kalian sangat berharga demi terus berlangsungnya akun membagikan kisah horror, tragedi dan informasi Nantikan cerita cerita berikutnya dari seluruh narasumber di Indonesia! Temukan mystic wave di platform lainnya : Instagram : @mwv.mystic Twitter : @mwv_mystic Youtube : Mwv Mystic Channel TikTok : @mwv.mystic Saweria : saweria.co/mwvmystic Jika ingin mengangkat cerita ini ke platform lain, harap hubungi admin untuk syarat dan ketentuannya di mwv.story@gmail.com DILARANG MEMPERJUALBELIKAN ATAU MENCETAK ULANG CERITA INI UNTUK TUJUAN KOMERSIL. HARGAI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL PENULIS 77