Uploaded by Putriasa Giofandry Feoh

MAKALAH FARMASI KLINIk

advertisement
MAKALAH FARMASI KLINIK
PROBLEM TERAPI OBAT
OLEH
KELOMPOK 5
ANJELINA BILI
JOVA DE JO AMALO
MELANIA LAMBU
PUTRIASA GIOFANDRY FEOH
SABARITA SABU BAYANG
PRODI FARMASI
POLTEKKES KEMENKES KUPANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat dan
karunianya serta izinnya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah ini disusun
dengan judul “Problem Terapi Obat’’.
Kami menyadari bahwa, masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan
makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk
kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
kita semua yang membacanya.
Kupang, November 2021
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................................... iii
BAB I ............................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah ...................................................................................................................... 2
1.3
Tujuan .......................................................................................................................................... 2
BAB II .......................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .......................................................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Problet Terapi Obat ...................................................................................................... 3
2.2 Klasifikasi PTO ................................................................................................................................. 3
2.2.1
2.3
Klasifikasi DRPs: ................................................................................................................ 5
Tipe intervensi ........................................................................................................................... 13
BAB III....................................................................................................................................................... 16
PENUTUP.................................................................................................................................................. 16
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................................................... 16
3.2 Saran ................................................................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemberian informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka memperbaiki kualitas
hidup pasien dan menyediakan pelayanan bermutu bagi pasien.Kualitas hidup dan pelayanan
bermutu
dapat
menurun
akibat
adanya
ketidakpatuhan
terhadap
program
pengobatan.Penyebab ketidak patuhan tersebut salah satunya disebabkan kurangnya informasi
tentang obat.Selain itu, regimen pengoatan yang kompleks dan kesulitan mengikuti regimen
pengobatan yang diresepkan merupakan masalah yang mengakibatkan ketidakpatuhan
terhadap pengobatan.Selain maslah kepatuhan, pasien juga dapat mengalami efek yang tidak
diinginkan dari penggunaan obat.Dengan diberikannya informasi obat kepada pasien maka
maslah terkait obat seperti penggunaan obat tanpa indikasi, indikasi yang tidak terobati, dosis
obat terlalu tinggi, dosis subterapi, serta interaksi obat dapat dihindari.
Jenis informasi yang diberikan apoteker pada pasien yang mendapat resep baru meliputi nama
dan gambaran obat, tujuan pengobatan, cara dan waktu penggunaan, saran ketaatan dan
pemantauan sendiri, efek sam[ing dan efek merugikan, tindakan pencegahan, kontraindikasi,
dan interaksi, petunjuk penyimpanan, informasi pengulangan resep dan rencana pemantauan
lanjutan. Selain itu, diskusi penutup juga diperlukan untuk mengulang kembali dan
menekankan hal-hal terpenting terkait pemberian informasi mengenai obat.
Drug Related Problems (DRPs) merupakan kejadian yang tidak diharapkan dari
pengalaman
pasien
akibat
atau
diduga
akibat
terapi
obat sehingga kenyataannya akan dapat menggangggu keberhasilan pemyembuhan yang
diharapkan. DRPs selain merugikan pasien juga dapat menghambat keberhasilan suatu
terapi. DRPs dapat berupa masalah aktual maupun potensial. DRPs aktual adalah prob
lem
atau
masalah
yang
sudah
terjadi
pada
pasien,
dan
farmasis
harus
berusaha menyelesaikannya. Sedangkan DRPs potensial adalah suatu problem atau
masalah
yang
mungkin
terjadi,
suatu
risiko
yang
dapat
berkembang pada pasien jika farmasis tidak melakukan suatu tindakan untuk mencegah
nya.
1
Drug
Related
Problems
(DRPs)
merupakan
masalah
kesehatan
yang serius yang dapat terjadi pada semua tingkat umur, dapat mempengaruhi kualitas
hidup pasien serta menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar. Journal of the American
Medical
Association
melaporkan
bahwa
berdasarkan
(JAMA)
sebuah
meta
analisis
dari
39
studi
perspektif pada bulan April 1998, dalam satu tahun terdapat sekitar 2.216.000 pasien
yang
dirawat
di
rumah
sakit
akibat
mengalami
Adverse
Drug Reactions (ADRs) yang serius dan 106.000 pasien meninggal karena masalahmasalah terkait obat. Dilihat dari segi ekonomi, DRPs merupakan permasalahan yang
memiliki dampak ekonomi sangat besar. Dampak ekonomi terkait DRPs yang terjadi pada
semua umur baik dirumah sakit, rumah perawatan (nursing home), maupun komunitas.
Dengan adanya DRP diharapkan seorang apoteker menjalankan perannya dengan melakukan
screening
resep
untuk
mengetahui
ada
atau
tidaknya DRP, serta melakukan konseling pada pasien tersebut agar masalah terkait
penggunaan obat dapat diatasi dan pasien dapat mengerti tentang pengobatannya
yang bermuara pada meningkatnya kepatuhan pasien dalam pengobatan yang teratur.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa pengertian problem terapi obat ?
1.2.2
Bagaimana klasifikasi Problem terapi obat ?
1.2.3
Apa saja tipe intervensi problem terapi obat ?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui pengertian problem terapi obat
1.3.2
Untuk mengetahui klasifikasi problem terapi obat
1.3.3
Untuk mengetahui tipe intervensi problem terapi obat
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Problet Terapi Obat
Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan Problem Terapi Obata tau Drug
Related Problems (DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang
secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan
(Pharmaceutical Care Network Europe., 2006).
Drug Related Problems merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dan
pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga kenyataannya/potensial
mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki (Cipolle et al, 1998).
2.2 Klasifikasi PTO
Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01)mengelompokkan
Drug Related Problems sebagai berikut (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006) :
1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)
Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping atau
toksisitas.
2. Masalah pemilihan obat (Drug Choice Problem)
Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan memperoleh obat
yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan kondisinya. Masalah
pemilihan obat antara lain: obat diresepkan tapi indikasi tidak jelas, bentuk sediaan
tidak sesuai, kontraindikasi dengan obat yang digunakan, obat tidak diresepkan untuk
indikasi yang jelas.
3. Masalah pemberian dosis obat (Drug Dosing Problem)
Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih besar atau
lebih kecil daripada yang dibutuhkannya.
4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug Use/Administration Problem)
Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak menggunakan
obat sama sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak diresepkan.
3
5. Interaksi obat (Interaction)
Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang bermanifestasi
atau potensial.
6. Masalah lainnya (Others)
Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yang kurang
mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas (memerlukan klarifikasi
lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahui penyebabnya, perlu pemeriksaan
laboratorium.
Menurut Cipolle et al,1998 kategori DRPs adalah:
a. Membutuhkan obat tetapi tidak menerimanya
Membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profilaksis atau premedikasi, memiliki
penyakit kronik yang memerlukan pengobatan kontinyu.
b. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai
Menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, dapat membaik kondisinya dengan terapi
non obat,minum beberapa obat padahal hanya satu terapi obat yang diindikasikan dan
atau minum obat untuk mengobati efek samping
c. Menerima obat salah
Kasus yang mungkin terjadi: obat tidak efektif, alergi, adanya resiko kontraindikasi,
resisten terhadap obat yang diberikan, kombinasi obat yang tidak perlu dan bukan yang
paling aman.
d. Dosis terlalu rendah
Penyebab yang sering terjadi: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan respon yang
diinginkan, jangka waktu terapi yang terlalu pendek, pemilihan obat, dosis, rute
pemberian, dan sediaan obat tidak tepat.
e. Dosis terlalu tinggi
Penyebab yang sering terjadi: dosis salah, frekuensi tidak tepat, jangka waktu tidak
tepat dan adanya interaksi obat.
f. Pasien mengalami ADR
Penyebabnya: pasien dengan factor resiko yang berbahaya bila obat digunakan, efek
dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien, interaksi dengan obat lain, dosis
4
dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat sehingga menyebabkan ADR dan mengalami
efek yang tidak dikehendaki yang tidak diprediksi.
g. Kepatuhan
Penyebab: pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat, pasien tidak
menuruti rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan, pasien tidak mengambil obat
yang diresepkan karena harganya mahal, pasien tidak mengambil beberapa obat yang
diresepkan secara konsisten karena merasa sudah sehat (Cipolle et al, 1998).
2.2.1 Klasifikasi DRPs:
1. Indikasi
Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi untuk
penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.
a. Pasien memerlukan obat tambahan
Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien menderita
penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk daripada
sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama perlunya terapi
tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak
mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang sinergis, dan terapi
untuk tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya, penggunaan obat AINS biasanya
dikombinasikan dengan obat antihistamin 2 dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya iri 6bnm,./tasi lambung.
b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan
Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang tidak benar,
polifarmasi dan duplikasi. Merupakan tanggungjawab farmasi agar pasien tidak
menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat. DRP kategori ini dapat
menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas atau efek samping, dan
membengkaknya biaya yang dikeluarkan diluar yang seharusnya. Misalnya, pasien
yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi obat batuk dan analgesik-antipiretik
terpisah padahal dalam obat batuk tersebut sudah mengandung paracetamol.
5
2. Efektivitas
a. Pasien menerima regimen terapi yang salah
1) Terapi multi obat (polifarmasi)
Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan
penulisan obat berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10
jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat
untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah
obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak
dengan batuk pilek yang berisi :
a. Amoksisillin
b. Parasetamol
c. Gliseril Guaiakolat
d. Deksametason
e. CTM
f. Luminal
Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa
menkonfirmasikan atau mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter sehingga
penggunaan yang tidak perlu seperti deksametason dan luminal sebaiknya tidak
diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi yang salah.
2) Frekuensi pemberian
Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara
konsentrasi darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau 4
kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam sehari.
Contohnya: frekwensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3 kali
sehari. cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin
sebelum makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat
mengiritasi lambung.
3) Durasi dari terapi
6
Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama satu
kurum pengobatan, meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang sama
sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap
enam jam, untuk antibiotik hal ini sangat penting agar kadar obat dalam darah
berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.
b. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah
Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis terapinya. Hal
ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga
pasien tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Hal-hal
yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah yang terlalu sedikit antara
lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi obat yang tidak
tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang diterima lebih sedikit dari yang
seharusnya, penyimpanan juga berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat,
selain itu cara pemberian yang tidak benar juga dapat mengurangi jumlah obat yang
masuk ke dalam tubuh pasien.
Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan kejadian tersebut yaitu antara
lain obat diresepkan dengan metode fixed model (hanya merujuk pada dosis lazim)
tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis kelamin dan kondisi
penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada peresepan. Adanya asumsi dari
tenaga kesehatan yang lebih menekankan keamanan obat dan meminimalisir efek
toksik terkadang sampai mengorbankan sisi efektivitas terapi. Ketidakpatuhan pasien
yang menyebabkan konsumsi obat tidak tepat jumlah, antara lain disebabkan karena
faktor ekonomi pasien tidak mampu menebus semua obat yang diresepkan, dan
pasien tidak paham cara menggunakan obat yang tepat. Misalnya pemberian
antibiotik selama tiga hari pada penyakit ISFA Pneumonia.
3. Keamanan
a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi
Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis terapinya.
Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa jadi
7
membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah dosis
terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi
minum obat yang tidak tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol
secara bersamaan, menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme
fenitoin oleh kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.
b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan karena obat
tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak benar baik dari
frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi obat, dan perubahan dosis
yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat tertentu.
ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta
terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis
maupun terapi.
Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1. Reaksi tipe A
Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang berlebihan
atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik mengimbas
hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok jantung. Reaksi ini seringkali
bergantung dosis dan mungkin disebabkan oleh suatu penyakit bersamaan, interaksi
obat-obat atau obat-makanan. Reaksi tipe A dapat terjadi pada setiap orang.
2. Reaksi tipe B
Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi alergi
mencakup tipe berikut :
a. Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera
(hipersensitivitas)
b. Tipe II, sitotoksik
c. Tipe III, serum
8
d. Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam jangka
waktu lama dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome.
3. Reaksi Tipe C (berkelanjutan)
Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik, nefropati.
4. Reaksi Tipe D
Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan karsinogenesis.
5. Reaksi Tipe E
Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena
ketidakcukupan adrenokortikal.
4. Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau
kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain :
a.
Persepsi tentang kesehatan
b.
Pengalaman mengobati sendiri
c.
Pengalaman dengan terapi sebelumnya
d.
Lingkungan (teman, keluarga)
e.
Adanya efek samping obat
f.
Keadaan ekonomi
g.
Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).
Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan selama
pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas. Ketidakpatuhan seolah-olah
diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan hanya pasienlah yang bertanggung jawab
terhadap hal-hal yang terjadi akibat ketidakpatuhannya. Padahal penyebab ketidakpatuhan
bukan semata-mata hanya kelalaian pasien dalam mengikuti terapi yang telah ditentukan,
namun banyak faktor pendorongnya, yaitu :
a. Obat tidak tersedia
9
Tidak tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat menyebabkan pasien
enggan untuk menebus obat keapotek lain.
b. Regimen yang kompleks
Jenis sediaan obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan pasien mendapat
sirup, tablet, tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini dapat menyebabkan pasien enggan
minum obat.
c. Usia lanjut
Misalnya, banyak pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-obatan beberapa
kali dalam sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan penampilan seperti ukuran,
warna, atau bentuk obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan. Beberapa
pasien geriatrik dapat mengalami hilang daya ingat yang membuat ketidak patuhan lebih
mungkin.
d. Lamanya terapi
Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC, DM, arthritis,
hipertensi dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana pasien merasa bosan dalam
penggunaan obat tersebut yang menyebabkan efek terapi tidak tercapai.
e. Hilangnya gejala
Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa bahwa ia tidak
perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya, ketika seorang pasien
tidak menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik setelah ia merasa bahwa infeksi
telah terkendali. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi,
sehingga pasien wajib diberi nasehat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi
antibiotik.
f. Takut akan efek samping,
Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit dan nyeri lambung
atau timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah karena minum obat rimpafisin
dapat menyebabkan pasien tidak mau menggunakan obat.
10
g. Rasa obat yang tidak enak
Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral oleh
anak-anak, misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-anak penambahan
penawar rasa dan zat warna dilakukan untuk daya tarik, sehingga mempermudah
pemberian obat dan meningkatkan kepatuhan.
h. Tidak mampu membeli obat
Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif mahal, pasien akan
lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal.
i. Pasien lupa dalam pengobatan.
j. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan petunjuk
penggunaan obat.
Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi manfaat
dan masalah terapi yang diakibatkan oleh obat. Biasanya pasien menetapkan pikiran
sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi
obat. Jika terapi tidak memenuhi harapan, mereka cenderung tidak patuh. Oleh karena
itu diperlukan edukasi pada pasien tentang kondisi penyakitnya, manfaat serta
keterbatasan terapi obat.
Dari beberapa faktor pendorong terjadinya ketidakpatuhan, apoteker memiliki peran
untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan informasi tentang
pentingnya pengobatan pada keadaan penyakit pasien. Selain itu, diperlukan juga
komunikasi yang efektif antara dokter dan apoteker sehingga upaya penyembuhan
kondisi penyakit pasien dapat berjalan dengan baik.
5. Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan
benar. Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang paling tepat dari yang
tersedia. Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika dokter serta pasien melakukan
pertimbangan dan pengendalian yang baik. Pasien yang bijak tidak menghendaki
pengobatan yang berlebihan. Pasien akan bekerjasama dengan dokter untuk
11
menyeimbangkan dengan tepat keseriusan penyakit dan bahaya obat. Dengan demikian
obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
6. Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan
bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena
interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini ada dua kemungkinan yakni
meningkatkan efek toksik atau efek samping atau berkurangnya efek klinik yang
diharapkan. Interaksi obat dapat terjadi sebagai berikut:
a. Obat-Makanan
Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pemantauan
terapi obat. Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:
1) Perubahan parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi). Misalnya,
obat antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membenuk
ikatan sehingga obat tdak dapat diabsorbsi dan menurunkan efektifitas.
2) Perubahan dalam efikasi terapi obat (misalnya, makanan protein tinggi
meningkatkan kecepatan metabolisme teophillin). Sebagai tambahan,
banyak obat diberikan pada saat lambung kosong. Sebaliknya, terapi obat
dapat mengubah absorpsi secara merugikan dari penggunaan suatu bahan
gizi.
b. Obat-Uji Laboratorium
Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi uji
diagnostik. Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia. Misalnya, laksatif
antrakuinon dapat mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau oleh perubahan
zat yang diukur. Apabila mengevaluasi status kesehatan pasien apoteker harus
mempertimbangkan efek terapi obat pada hasil uji diagnostik.
c. Obat-Penyakit
Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau. Apoteker
harus mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada kondisi medik
pasien. Dalam pustaka medik, interaksi obat-penyakit sering disebut sebagai
kontraindikasi absolut dan relatif. Misalnya, penggunaan kloramfenikol dapat
12
menyebabkan anemia aplastik, dan penggunaan antibiotik aminoglikosida dapat
menyebabkan nefrotoksik.
d. Obat-Obat
Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari. Semua obat
termasuk obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat. Apoteker perlu
mengetahui interaksi obat-obat yang secara klinik signifikan. Suatu interaksi
dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai kemungkinan
menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi antar obat dapat
berakibat merugikan atau menguntungkan. Interaksi obat dianggap penting secara
klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat
yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang
sempit.
2.3 Tipe intervensi
Intervensi
(satu masalah dapat mendorong lebih dari satu intervensi)
Domain primer
Kode Intervensi
Tidak ada intervensi
10,0
Tidak ada intervensi
Pada tahap persiapan
11.1
Menginformasikan kepada dokter
11.2
Dokter meminta informasi
11.3
Mengajukan intervensi, disetujui oleh
dokter
11.4
Mengajukan intervensi, tidak disetujui
dokter
11.5
Mengajukan intervensi, respon tidak
diketahui
Pada tahap pasien
12.1
Melakukan konseling obat pasien
12.2
Hanya memberikan informasi tertulis
12.3
Mempertemukan pasien dengan dokter
12.4
Berbicara dengan anggota keluarga pasien
13
Pada tahap pengobatan pasien
Intervensi lain
13.1
Mengganti obt
13.2
Mengganti dosis
13.3
Mengganti formulasi atau bentuk sediaan
13.4
Mengganti instruksi penggunaan
13.5
Menghentikan pengobatan
13.6
Memulai pengobatan baru
14.1
Intervensi lain
14.2
Melaporkan efek samping obat
14
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
PTO atau problem terapi obat atau Drugs Related Problems (DPRs) kejadian suatu kondisi
terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis
kesehatan yang diinginkan (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006).
Kasifikasi dari PTO terdiri dari :
1. Indikasi
a. Pasien memerlukan obat tambahan
b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan
2. Efektivitas
a. Pasien menerima regimen terapi yang salah
b. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah
3. Keamanan
a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi
b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)
4. Kepatuhan
a. Obat tidak tersedia
b. Regimen yang kompleks
c. Usia lanjut
d. Lamanya terapi
e. Hilangnya gejala
f. Takut akan efek samping,
g. Rasa obat yang tidak enak
h. Tidak mampu membeli obat
i. Pasien lupa dalam pengobatan.
j. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan petunjuk
penggunaan obat.
5. Pemilihan Obat
6. Interaksi Obat
16
a. Obat-Makanan
b. Obat-Uji Laboratorium
c. Obat-Penyakit
d. Obat-Obat
3.2 Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis pada khususnya. Apabila ada
kesalahan dalam makalah ini, diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk lebih baik
lagi kedepannya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Cipolle , R.J at all. 1998. Pharmaceutical Care Practice. New York : McGraw-Hill
DepKes RI. 2007. Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas. Jakarta : DepKes
Pharmaceutical Care Network Europe Foundation.2010. Classification For Drug Related
Problems V 6.2 . PCNEF : Zuidlaren
Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi. Farmasi RS dan Klinik Komprehensif.
18
Download