Perahu-Perahu Tradisional Nusantara Suatu Tinjauan Sejarah Perkapalan dan Pelayaran Horst H. Liebner, Proyek Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Pantai, UNHAS 1 SUMBER 1.1 SUMBER-SUMBER TERTULIS HISTORIS 1.2 IKONOGRAFI, LUKISAN, MAKET PERAHU DAN ARKEOLOGI 1.3 PENGAMAT KONTEMPORER 2 2 3 6 2 LATAR BELAKANG HISTORIS 2.1 2.2 2.3 2.4 MIGRASI SUKU-SUKU AUSTRONESIA TAHUN 0 S/D 1000 CE: ‘INDIANISASI’ ATAU ‘PERDAGANGAN INTERNASIONAL’? TAHUN 1000 S/D 1600: ‘THE AGE OF COMMERCE’ ZAMAN KOLONIAL 8 12 16 19 3 PERAHU-PERAHU 24 3.1 BEBERAPA PENGERTIAN DASAR TENTANG ‘PERAHU’ 3.2 CONTOH EVOLUSI PERAHU BERCADIK: SANDEQ 3.3 CONTOH EVOULSI PERAHU BERPAPAN: DARI PADEWAKANG KE PLM 4 MASA DEPAN PERKAPALAN DAN PELAYARAN TRADISIONAL 8 24 33 38 44 2 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner © Proyek Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Pantai, Universitas Hasanuddin, Makassar & Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Jakarta, 2002 1 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara1 Suatu Tinjauan Sejarah Perkapalan dan Pelayaran Horst H. Liebner, Proyek Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Pantai, UNHAS Sebenarnya, apa itu, ‘tradisional’, ‘tradisi’? “Adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat”, sebagaimana diterangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia2? Artinya, suatu kegiatan masyarakat yang berdasarkan pola-pola ‘kebiasaan’, sehingga pola-pola itulah yang diulang-ulangi terus-menerus? Suatu keadaan ‘statis’, yang “masih dijalankan” meski dunia sudah berubah, sehingga –dan ini penilaian pertama yang begitu sering ‘melengket’ pada kata ‘tradisional’ itu- menjadi ‘keterbelakangan’, faktor penghambat utama dalam pengembangan? Suatu definisi yang demikian agak susah diterapkan dalam sektor perkapalan dan pelayaran ‘tradisional’. Dinamika perkembangan masyarakat-masyarakat bahari telah menjadi topik sekian banyak diskusi dan tulisan: Dengan terjangkaunya bahan-bahan dan munculnya contoh-contoh tipe lambung dan rigging baru maka para pelaut dan pengrajin perahu ‘tradisional’ telah secara terus-menerus mengubah dan mengembangkan ‘perahu-perahu tradisional’ mereka, sehingga pelayaran dan pembuatan perahu rakyat sampai kini masih eksis, berperan secara signifikan dan mampu bersaing dalam makrostruktur ekonomi Indonesia. Sepanjang terdapat catatan tentangnya, pada setiap saat -baik pada zaman historis maupun sekarang- bisa kita saksikan pembaharuan dan inovasi dalam sektor pembuatan ‘perahu tradisional’ dan ‘pelayaran tradisional’ Nusantara. Jadi, kesimpulan Knaap mengenai perkembangan pelayaran indigen Jawa Utara pada abad ke-18 masih tetap berlaku pada masa kini: Skippers and shipwrights were keen on introducing all kinds of innovations that made traffic easier and more efficient. This sector of society harboured many people who were ready and willing to innovate, by no means invaribly working according to traditions.3 Di antara lain, dinamika ini disebabkan oleh obyeknya sendiri, yaitu ‘perahu’, suatu alat penghubung antar pulau dan bangsa yang mampu melewati batasan lingkungan-lingkungan ‘tradisional’ dan menjadi kendaraan ide, pemikiran, bahan dan teknologi baru. Menurut Carr Laughton, of all things the ship is the most cosmopolitan. […] She was fit to go from one country to another […] and in the intermingling of cultures begun by that intercourse the ship herself was of necessity influenced. […] For the most part such adoptions proceeded from the ordinary interchange of ideas […and…] there have been, probably at all stages of world history, many examples of the deliberate adoption of foreign methods.4 Hal inilah yang ingin saya jadikan topik utama makalah ini: Bila kita ingin membahas perkapalan dan pelayaran ‘tradisional’ Nusantara, maka perlu kita memahaminya sebagai suatu proses perkembangan yang tak pernah putus, yang sampai sekarang masih berlangsung dan dilangsungkan sesuai dengan 1 2 Yang saya maksudkan dengan ‘Perahu Nusantara’ dalam makalah ini adalah kapal kayu yang berasal dari tradisi teknologi pembuatan perahu khas Nusantara sebagaimana digambarkan dalam bab 2.1 dan 3.1. Secara geografis, istilah ‘Nusantara’ ini mengandung yang dalam literatur asing dinamakan ‘Insular Southeast Asia’, ditambah dengan Semenanjung Malaya dan wilayah historis Kerajaan Campa di Vietnam Selatan. Meski begitu, fokus pembahasan diarahkan kepada kepulauan yang sekarang merupakan wilayah Republik Indonesia. Edisi II, Cetakan ke-9, 1997 3 Knaap 1996:149 4 1925:1-2, c.f. Prins 1965:77; terj. pen. 2 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner tuntutan zaman yang dihadapi, kemungkinan inovasi yang dapat dijangkau dan kemampuan ‘mengembangkan diri-sendiri’ yang dimiliki oleh para pelakunya, yakni masyarakat bahari ‘tradisional’. Demi itu ingin saya lukiskan suatu outline dinamika sejarah perkapalan dan pelayaran Nusantara dengan menggunakan beberapa contoh evolusi tipe-tipe perahu historis dan modern dan -pada bab terakhir- memberikan suatu pandangan ke masa depan pembuatan ‘perahu tradisional’ yang mungkin dapat menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. Diskusi ini akan saya mulai dengan membahas ‘masalah’ sumber informasi akan perkapalan dan pelayaran ‘tradisional’ Nusantara yang tersedia; setelah coba menyimpulkan sebuah ‘garis besar’ perkembangan teknologi pembuatan perahu dan pelayaran di Indonesia pada bab kedua, maka pada bab berikutnya akan saya ambil beberapa contoh konkrit akan pola evolusi tipe-tipe perahu tertentu sebagai ‘gambaran nyata’ atas argumen saya ini. 1 Sumber Masalah utama dalam pembahasan pelayaran dan pembuatan perahu Nusantara adalah kurangnya sumber. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: Sebagian besar dari jumlah kecil pengamat perihal pelayaran dan perkapalan Nusantara yang ada bukanlah pelayar atau ahli perkapalan; perhatiannya – terutama dalam sumber-sumber historis- jarang berfokus kepada teknologi pelayaran atau perkapalan; perbedaan pola-pola pengonsepan teknologi antara para pengamat dan para pelakunya menyebabkan bahwa sekian banyak poin penting dalam sistem teknologi itu luput dari perhatian. Hal-hal ini terdapat dalam hampir semua jenis sumber yang ada, mulai dari catatan para biksu Buddha yang melewati Nusantara dalam perjalanan dari/ke India dan Cina pada abad-abad pertama CE sampai ke tulisan sekian banyak ilmuwan dan pengamat lain pada masa kini. 1.1 Sumber-Sumber Tertulis Historis Meski perdagangan laut –dan, dengan ini, para pelaut dan pengrajin perahu– menyumbangkan sebagian besar pada kemakmuran kerajaan-kerajaan historis Nusantara, masyarakat pelakunya jarang dijadikan obyek perhatian, sehingga tiada sumber indigen yang secara khusus membahas keadaan pelayaran dan pembuatan perahu Nusantara pada zaman-zaman historis yang saya ketahui. Bagi kekuatan-kekuatan kolonial Barat yang secara terang-terangan berbasis atas penguasaan laut itu hal ini seharusnya berbeda; akan tetapi, saya hanya mengenali satu-dua publikasi yang didasarkan atas naskah-naskah misionaris yang ‘kebetulan’ sempat menyaksikan dan mendeskripsikan pembuatan perahu ‘tradisional’ di kawasan Nusantara ini5. Tertinggal kesan bahwa masyarakat bahari, pengetahuan dan teknologi indigen mereka tak dianggap cukup penting untuk dijadikan fokus pembahasan khusus – meski semua pihak, baik lokal maupun asing, menggunakannya sebagai sarana transportasi dalam perang dan perdagangan, armada perikanan, atau sumber pajak. Artinya, sebagian besar pengetahuan kita mengenai keadaan sektor maritim Nusantara –terutama dari abad-abad sebelum pertengahan abad ke-19– hanya berdasarkan ‘catatan-catatan sampingan’ yang terdapat dalam tulisan-tulisan yang sebenarnya berfokus kepada hal-hal lain. Sumber paling ‘berharga’ bagi kita mungkin adalah arsip-arsip para syahbandar dan administrasi lainnya6, serta naskah-naskah ‘undang-undang laut’ indigen7. Dari sumber-sumber ini, hanya yang 5 Lht. msl. Scott 1981, Horridge 1982 6 Lht. msl. Knaap 1996, Lee 1986 7 Lht. msl. Leupe 1849, Matthes 1869, Caron 1937, Winstedt & De Josselin De Jong 1956, Tobing 1977 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 3 kedua telah mendapatkan perhatian kalangan luas – meski pembahasannya lebih diarahkan kepada aspek-aspek hukum daripada sistem pelayaran dan teknologi perkapalan; dari data dalam arsip-arsip tersebut baru beberapa bagian kecil saja diperiksa dan dipublikasikan. Salah satu ‘jenis’ sumber lain yang dapat dimasukkan dalam kategori ini adalah berbagai daftar kosa kata dan kamus yang disusun oleh pedagang dan pejabat kolonial sejak saat tibanya orang Eropa di Nusantara yang mengandung istilah-istilah yang berhubungan dengan pelayaran8. Di antaranya bahkan terdapat beberapa kamus yang disusun secara khusus bagi perwira asing yang ditugaskan membawa kapal dan perahu yang berawak pelaut Nusantara yang –meski sebagian besar berasal dari zaman yang lebih dini– mengandung informasi yang sangat tepat dan akurat9. Dari para pelaku sendiri, yakni para pelaut dan/atau pengrajin perahu tradisional Nusantara, hanya terdapat sejumlah kecil sumber tertulis indigen, dan masalah perbedaan pola pengonsepan tadi sangat menonjol: Yang menjadi topik pembahasan bagi –misalnya– seorang penyusun naskah lontaraq pallopiang asal Sulawesi Selatan dua abad silam bukanlah segi ‘teknologi’ pembuatan perahu, ‘sistem’ navigasi atau ‘ilmu’ meteorologi, tetapi hal-hal yang bagi seorang pembaca yang berlatar-belakang ilmiah “cukuplah susah untuk membedakan di antara kepercayaan dan pengetahuan nyata”10 sehingga perlu tafsiran dan interpretasi yang sering sulit dibuktikan kebenarannya. Selain itu, bagi para pelakunya, membangun atau melayarkan sebuah perahu tradisional sampai hari ini merupakan suatu kesatuan dari elemen-elemen kepercayaan, ritual, pengalaman dan pengetahuan teknis yang saling terkait dan biasanya diterangkan dan diwujudkan dalam metafor-metafor, ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan – jadi, informasi yang didapatkan dari sumber-sumber ini perlu dibandingkan dengan kenyataan lingkungan sosial-budaya dan realitas teknis, suatu hal yang memerlukan pengetahuan luas dalam bidang kemaritiman pada pihak penelitinya. 1.2 Ikonografi, Lukisan, Maket Perahu dan Arkeologi Sumber-sumber historis yang paling sering disebut adalah sejumlah kecil gambar dan fresko yang terdapat pada beberapa candi di Jawa, Sumatera dan daratan Asia Tenggara serta gambar dan lukisan perahu Nusantara yang terdapat dalam laporan dan tulisan Barat dari zaman kolonial. Akan tetapi, hanya sejumlah kecil dari ‘dokumen’ ini dibuat oleh orang yang berpengalaman dan berlatar-belakang sebagai pelaut dan/atau pengrajin perahu, sehingga hasilnya seringkali jauh dari yang dapat diharapkan: Misalnya, fresko perahu terkenal di Candi Borobudur itu hampir sama sekali tak dapat diambil sebagai ‘gambaran konstruksi’ perahu-perahu abad ke-8 atau 9 CE, dan ‘gambaran rekonstruksi’ yang muncul dalam literatur tentangnya bisa jauh berbeda (lht. gambar 1.2.1) – dan bagi seorang yang berpengalaman dengan perahu layar bahkan tak merupakan sesuatupun yang bisa dinamakan ‘laik laut’. Sebagian dari lukisan dan gambar dari sumber kolonial berbeda: Sejak abad ke-17, di Eropa berkembang seni lukis naturalistis, yang coba mereproduksi keadaan sesuatu obyek dengan senyata- 8 9 10 Daftar-daftar kosa kata umum dan terjemahannya mulai disusun sejak kedatangan orang Eropa di Asia; yang paling tua mungkin adalah daftar Pigafetta (1522, lht Gonda 1937). Di dalamnya –dan dalam sekian banyak daftar dan ‘kamus’ yang serupa seperti Houtman 1603, Wiltens & Danckaerts 1623– terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan pelayaran dan perkapalan. Untuk daftar-daftar yang khususnya membahas bidang ini lht. msl. De Bruyn Kops 1927, Matthes 1858, 1874. Lht. msl. Roebuck 1841, Vaz 1879, Small 1882 (India); Badings 1880, Kriens 1880, Oderwald 1924 (Indonesia). Selain terjemahan ke beberapa bahasa, termasuk Bahasa Melayu, kamus Badings (1880) mengandung juga keterangan mendetil tentang bagian-bagian perahu, tali-temali, perintah-perintah dsb. yang disebutkan. Liebner 1998:23, bdg. juga McKnight, Mukhlis 1979 4 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner nya mungkin; gambar dan lukisan yang dihasilkannya membahas juga pemandangan-pemandangan kota, benteng, pelabuhan, bahkan pemandangan alam di Asia, di mana di sanasini terdapat pula gambar perahu-perahu indigen Nusantara (gambar 1.2.2). Terutama di Belanda muncul suatu aliran kesenian ini yang berfokus-kan laut dan kapal layar (marine paintings)11, yang menyebabkan bahwa semakin banyak pelukis ‘menjadi terbiasa’ dengan menggambarkan berbagai jenis perahu layar secara realistis; akan tetapi, gambar-gambar yang ada pada umumnya melukiskan kapalkapal layar Eropa, dan perahu-perahu indigen Nusantara hanya muncul sebagai ‘pelengkap’. Kwalitas lukisan yang demikian berbeda jauh: Pelukis terbaik aliran ini memang tinggal di Eropa, jumlah seniman berbakat yang terdapat di pusat-pusat pemerintahan kolonial agak kurang, dan di outpost wilayah kekuasaan kekuatan-kekuatan Eropa itu hampir sama sekali tak terdapat pelukis – dan kita tak bisa mengharapkan bahwa semua detil sebuah ‘barang eksotis’ diperhatikan oleh seseorang yang kemungkinan besar bukan pelaut atau pengrajin perahu. Hal ini dapat digambarkan dengan baik dengan sebuah lukisan bergaya realistis dalam salah satu karangan tentang tradisi kemaritiman Sulawesi asal Indonesia yang berjudul “Buginese Vessels”12: Meski perahu-perahu pinisiq pada masa itu masih meramaikan pelabuhan Makassar sehingga dapat dijadikan contoh akan detil-detilnya, yang dihasilkan sang pelukisnya amat jauh dari kebenaran. Sejenis sumber yang lebih ‘realistis’ lagi adalah maket-maket perahu Nusantara yang terdapat di sekian banyak musium dalam dan luar negeri. 11 12 Gambar 1.2.1. Atas: Salah satu fresko perahu yang terdapat pada Candi Borobudur. Tengah: Gambar rekonstruksi dalam Nooteboom 1951. Bawah: Gambar rekonstruksi dalam Hornell 1920 Pada awalnya, sebagian besar dari lukisan-lukisan itu dibuat atas pesanan kompeni-kompeni perdagangan, pemilik partikuler kapal layar dan para raja Eropa. Yang terkenal pada abad ke-17 adalah Keluarga Van Velde (1611-1707), yang selama dua generasi mendedikasikan diri dalam melukis perahu layar, adegan perang laut dsb. bagi raja-raja Eropa, EIC dan VOC, dan L. Backhuyzen (1631-1708) dengan adegan-adegan badai di laut. Berikutnya, menggambarkan pemandangan laut dan kapal layar menjadi salah satu topik penting dalam œuvre pelukis-pelukis (landsekap) naturalistis Eropa seperti C.-J. Vernet (Perancis, 1714-1798), W. Turner (Inggris, 1775-1851), C.D. Friedrich (Jerman, 1774-1840), G. Corbet (Perancis, 1819-1877) atau H.D. Mesdag (Belanda, 1831-1915). Tobing 1977:151 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 5 Gambar 1.2.2: ‘Het gezigt van Cheribon …’, lukisan cat air oleh salah seorang asisten J. Rach, c. 1775, Perpustakaan Nasional 446/2 (B.W.63). Di sebelah kanan dan dalam pelabuhan terlihat beberapa perahu setempat. Perahu dengan layar terbuka kemungkinan sebuah perahu tipe mayang; perahu yang berlabuh di bagian dalam sebelah kiri adalah tipe chialoup. Terutama di Belanda beberapa musium masih menyimpan maket-maket perahu dari abad ke-18 dan ke-19 yang secara mendetil memperlihatkan ciri-ciri konstruksi tertentu yang sudah tak lagi terdapat pada tipe-tipe perahu kini (gambar 2.2.1)13. Akan tetapi, kita harus cukup berhati-hati bila ingin menarik kesimpulan yang terlalu jauh dari maket-maket itu: Menurut pengalaman saya, sebuah maket yang dibuat seorang pengrajin perahu atau pelaut perpengalaman akan memperlihatkan sekian banyak detil lambung perahu dan tali-temalinya, meski ‘kwalitasnya’ sebagai sumber sangat tergantung dari ketelitian sang pembuatnya14, sedangkan maket-maket yang dibuat sebagai perhiasan oleh orang yang bukan pelaut pada umumnya jauh dari kenyataanya – contoh terbaik adalah maketmaket yang terbuat dari buah cengkeh asal Maluku atau –pada masa kini– maket yang dibuat sebagai cinderamata industri pariwisata. Selain itu, terutama pada maket-maket tua harus kita perhatikan teknik dan cara restorasinya yang kemungkinan menyebabkan perbedaan berarti dari keadaan aslinya. Penemuan-penemuan arkeologi yang dapat menjadi ‘bukti nyata’ atas teknologi kemaritiman pada zaman dahulu sampai sekarang masih kurang: Perahu tradisional terbuat dari kayu, dan kayu agak susah bertahan lama dalam iklim tropis; selain itu, perahu-perahu yang mungkin tenggelam ratusan (atau ribuan) tahun silam agak susah dilokalisasi dan dikemukakan kembali. Menurut Manguin, sampai tahun 1995 baru ditemukan 10 situs yang mengandung sisa-sisa perahu yang kemungkinan besar berasal dari tradisi historis pembuatan perahu Nusantara sebelum abad ke-14 CE15. Ada pun beberapa penemuan bangkai perahu yang berasal dari abad-abad setelahnya; yang mungkin paling baru adalah sisa dua perahu kayu yang tenggelam di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, yang ditemukan tahun lalu dan diperkirakan berasal dari abad ke-16 dan ke-17 CE. Hampir semua penemuan itu terdiri dari beberapa keping papan saja yang sebagian besar dalam keadaan “amat rusak”. Meski begitu, dari hasil evaluasi penelitian terhadap keping-keping papan itu Manguin sempat 13 Suatu diskusi sifat-sifat maket-maket ini terdapat dalam msl. Horidge 1978:13ff. 14 Terutama pola penyusunan papan dalam lambung sebuah maket yang Horridge anggap sebagai sumber otentik tentang teknologi pembuatan perahu dapat berbeda jauh dari kenyataan yang dijumpai dalam sebuah perahu real – lht. diskusi pola-pola plank patterns pada bab 2.2 dan 3.1. Manguin 1995:185-87 15 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 6 menyimpulkan beberapa sifat utama tradisi konstruksi perahu-perahu Nusantara yang membedakannya dari kerangka-kerangka perahu asal daerah-daerah lain – sifat-sifat ini akan kita bahas di bawah ini, dan menjadi penting untuk mengetahui asal-usul sebuah kapal karam: Terutama kawasan Selat Malaka sejak dahulu-kala merupakan sebuah jalur perdagangan laut yang amat ramai, di mana terdapat bangkai-bangkai kapal asal seluruh dunia dan zaman. 1.3 Pengamat Kontemporer Penyebaran suku-suku yang memakai bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia di antara Madagaskar di ujung Barat Daya Samudera Hindia dan Pulau Paska di pertengahan Samudera Pasifik pada kedua millenium SM sejak lama dikenali sebagai ‘migrasi maritim’ terluas di dunia yang dengan jelas didasarkan atas penguasaan teknologi kemaritiman yang amat sophisticated. Namun, menurut Manguin, For long, however, once lip service was paid to such obvious maritime adaptations and sailing talents, little else was usually said about the matter. At best, detailed studies of the surviving small sailing vessels of Oceania or Southeast Asia were carried out. Cultural diffusionists were thus content to endlessly discuss the origins and distribution of single and double outrigger canoes. The unsuspecting reader was therefore largely left with the romantic but unsubstantiated idea that fearless Austronesians had sailed around half the planet on flimsy outrigger boats. Another prevailing theory contended that the peopling of the Pacific Ocean by Austronesians was the result of accidental island hopping. And few bothered to understand how –in which practical circumstances– some of the Austronesian speaking peoples who had remained in Southeast Asia leaped across the Indian Ocean and reached west to Madagascar. The very few scholars that blew an early whistle were experienced sailors and knew something was amiss, but not enough attention was paid to their work.16 Penilaian-penilaian yang demikian –yang bahkan diutarakan oleh ilmuwan!– memperlihatkan sifat ‘acuh-tak-acuh’ terhadap pengetahuan dan kearifan para pelaut dan pembuat perahu tradisional yang menjadi alasan kurangnya sumber historis dan ikonografi yang dapat dipercayai. Hal ini terutamanya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pengalaman sebagian besar ilmuwan dan pengamat lainnya dalam bidang pelayaran dan pembuatan perahu: Misalnya, sampai sekarang baru terdapat satu penelitian yang secara mendetil membahas sistem navigasi pelaut tradisional Indonesia yang didsarkan atas riset dan pengetahuan yang mendalam17 – sedangkan, dalam sekian banyak sumber kontemporer lain terdapat pernyataan-pernyataan seperti “Bintang Boyang Kepang (Bintang Biduk) [Crux, ‘Salib Selatan’, suatu konstelasi terkenal yang ‘berputar’ sekeliling Kutub Selatan – pen]: Menurut pengetahuan mereka selalu [sic: bintang-bintang ‘berputar’ sesuai dengan bergeraknya bumi dan setiap hari terbit sekitar 4 menit lebih dini daripada pada hari sebelumnya, sehingga tak mungkin “selalu” berada pada posisi yang sama – pen.] berada pada sebelah utara [sic!]”18; belum ada satu penelitian pun yang berfokus kepada evolusi layar, tali-temali dan seamanship19 tradisional Nusantara. Selain itu, perbedaan cara pengonsepan pengetahuan teknis antara pendekatan ‘ilmiah’ dan ‘tradisional’ menyebabkan bahwa sekian banyak hal krusial luput dari perhatian sang peneliti: Misalnya, dari puluhan penelitian tentang pembuatan perahu ‘pinisiq’ hanya sejumlah kecil menyebutkan 16 Manguin 1995:181-82 17 Ammarell 1999 18 Sahur dkk. 1991:42 19 ‘Praktek dan teknik melayarkan sebuah perahu’. Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 7 adanya plank patterns, pola penyusunan papan dalam sistem pembuatan perahu tradisional Nusantara20, yang merupakan sebuah poin amat krusial dalam cara pembuatannya; bagi tradisi-tradisi pembuatan perahu di pulau-pulau di luar Sulawesi saya hanya mengenali karangan Barnes tentang ‘Perahu-Perahu Penangkap Ikan Paus di Pulau Lembata’ (1985) dan percobaan-percobaan Horridge di Indonesia Timur (1978, 1982) yang menyebutkan pola-pola itu. Jelas, yang di Eropa sejak terdahulu dinamakan ‘seni pembuatan perahu dan pelayaran’ juga terdapat di Nusantara, dan para penganutnya harus dicari di kampung-kampung yang secara turun-temurun berorientasi ke laut. Akan tetapi, di Indonesia pada zaman kini “sektor modern yang bertahun-tahun lamanya dianggap sebagai penjamin peningkatan taraf kehidupan masyarakat seolah-olah berseberangan dengan teknologi dan pengetahuan indigen yang selama ini menanggung kehidupan rakyat”21, sehingga ‘stigma tradisional’ yang mengimplementasikan ‘keterbelakangan’ menyebabkan tersingkirnya kearifan yang ketangguhannya terbukti sejak ratusan tahun itu – apakah seorang kampung yang mungkin hampir buta huruf bisa memiliki pengetahuan yang lebih canggih atau dapat melakukan sesuatu yang lebih kompleks daripada sang ilmuwan yang mengobservasinya? Atau – sebaliknya: Apakah seorang ilmuwan dapat membuat sebuah perahu berukuran ratusan ton muatan dengan bekal kayu dan beberapa alat sederhana saja, atau dapat berlayar ke India atau Fiji tanpa peta laut dan GPS22? Mengenai perbedaan pola pengonsepan –dan pendekatan!– ini saya mencatat di tempat lain23: Perbedaan paling mendasar adalah ‘terbungkusnya’ pengetahuan tradisional dalam kode-kode yang jauh berbeda dari kode yang digunakan ilmu modern - bukan perhitungan yang bersifat teknis murni, akan tetapi, misalkan, peristilahan dalam bahasa-bahasa daerah yang sulit diterjemahkan, kebiasaan yang susah diterangkan, pemali yang berlaku pada kegiatan-kegiatan tertentu, bahkan upacaraupacara atau cerita dongeng dapat mengandung butir-butir pengetahuan yang krusial; dan hal-hal yang pada dasarnya dapat ditafsirkan sebagai penerapan suatu teknik sering mengandung pula sekian banyak unsur yang lain. Suatu contoh […]: Terjadinya air surut / air pasang terendah di wilayah Nusantara merupakan suatu hal yang cukup penting buat seorang pelaut tradisional - arus, angin, lokasi-lokasi berkumpulnya ikan dsb tergantung darinya. Di daerah Mandar hal ini dijadikan suatu cerita yang dengan gampang dianggap sebagai cerita dongeng saja: Pada hari kedelapan pada bulan kedelapan sejenis roh yang bernama Datuk berjalan di langit dari Selatan ke Utara melewati Selat Makassar, dan ketika ia lewat, terdengar segala bunyian musik di langit; tanda berjalannya adalah tiga “ombak’’ yang bersusun-susun di pantai, dan setelahnya biasanya sekali lagi datang angin deras. Jika ditafsirkan secara mendalam, maka dengan “tiga ombak yang bersusun-susun di pantai’’ itu dimaksudkan jejak-jejak tiga kali air pasang yang lebih tinggi yang terjadi sebelum Sang Datuk itu lewat - dan memanglah pada bulan kedelapan terjadi air pasang terendah pada setahun. Kebenaran cerita yang seperti itu cukup susah didapatkan: Sebagian besar informan hanya tahu menceritakannya, tapi tidak dapat mengartikan maksudnya, sehingga data-data yang diperoleh dengan cara yang demikian harus dibandingkan dengan penemuan-penemuan ilmu kelautan moderen. […] Demi itulah kita dituntut untuk lebih memperhatikan dan memperdalam konsep dan gagasan yang dianut masyarakat-masyarakat tradisional - dan yang tak boleh dilupa adalah, bahwa butir-butir pengetahuan indigen yang demikian dikumpulkan dan diuji melalui suatu proses yang berlangsung selama ratusan tahun, dan sering jauh melebihi yang bisa kita dapatkan lewat suatu studi perpustakaan saja. 20 Saya akan membahas hal ini dalam bab 3.1 dan 3.3 21 Liebner 1999(c):259 22 Global Positioning System, suatu jaringan palapa yang digunakan untuk menentukan posisi-posisi di atas permukaan bumi 23 Lihat Liebner 1999(a):3-4 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 8 Sebagaimana disebutkan di atas, penelitian-penelitian tentang tradisi kebaharian yang diadakan selama ini pada umumnya berfokuskan “studies of the surviving small sailing vessels”, dan sering tak menyentuh latar-belakang teknologi, sosial, sejarah dan budaya yang terkait dengannya secara mendalam. Namun, di antaranya terdapat pula sekian banyak tulisan yang sekurang-kurangnya sempat menggambarkan tipe-tipe perahu dan penggunaanya dengan cukup seksama: Saya di sini hanya ingin menyebutkan karangan-karangan Ammarell (navigasi pelaut-pedagang Bugis), Borahima dkk. (perahu-perahu Bugis-Makassar), Doran (evolusi perahu bercadik), Gibson-Hill dan Warrington-Smyth (tipe-tipe perahu di Semenanjung Malaya), Haddon dan Hornell (perahu bercadik Austronesia), Horridge (tentang sekian banyak aspek sejarah dan keadaan indigen perahu-perahu Indonesia), Manguin (sejarah perkapalan Nusantara), Nooteboom (perkapalan dan pelayaran Indonesia), Pelly (pembuatan perahu di Sulawesi Selatan), Wangania (perahu-perahu Madura)24. Sayangnya, dari pengarang tersebut hanya sebagian kecil berasal dari Indonesia – dan yang lebih saya sayangkan, dari terbitan hasil-hasil penelitian ini pun hanya segelintirlah yang bisa didapatkan di perpustakaan-perpustakaan di dalam negeri, sehingga secara serius membahas masalah tradisi kebaharian Nusantara bukanlah suatu hal yang gampang dan sering harus didasarkan atas asumpsi dan perkiraan saja. 2 Latar Belakang Historis 2.1 Migrasi Suku-Suku Austronesia Pembuatan perahu, pelayaran dan navigasi tradisional di wilayah Nusantara merupakan sebuah crucial point dalam teori-teori migrasi di wilayah Oseania: To account for the Malayo-Polynesian migrations in the insular environment of Oceania, where islands are often separated from their nearest neighbours by long stretches of open water, the migrants would have had to possess a relatively complex culture, specifically one which included developed water craft and advanced navigational skills.25 Suku-suku Austronesia yang pada abad ke-20 sebelum Masehi mulai mendatangi Nusantara dari arah Utara dan Barat telah menciptakan tipe perahu bercadik sebagai alat transportasi migrasi mereka, dan perkembangan jenis-jenis perahu asli Nusantara maupun kawasan Oseania pada umunya didasarkan atas ciptaan itu. Tipe perahu bercadik adalah suatu penemuan yang sangatlah canggih dari segi teknik perkapalan – malahan, jenis perahu ini telah menjadi contoh untuk perahu-perahu pesiar dan lomba moderen: Beberapa tipe perahu pesiar dan lomba seperti katamaran dan trimaran dirancang dengan mengikuti contoh-contoh perahu tradisional yang didapatkan di wilayah Oseania ini. Riset telah membuktikan, bahwa alat angkutan utama Suku-Suku Austronesia, perahu bercadiknya, terdapat sepanjang jalur migrasi mereka dari Madagaskar di penghujung barat daya Samudera India sampai ke pulau-pulau Polinesia di bagian timur Samudera Pasifik. Menurut hasil beberapa penelitian, kemungkinan wilayah Sulawesi telah merupakan salah satu pusat utama penyebarannya: Dari perbandingan pola-pola konstruksi dan teknik pembuatan perahu bercadik Doran menyimpulkan, bahwa “an Indonesian centre of boat complexity at [...] perhaps 1000 to 500 BC in the vicinity of Sulawesi is a reasonable hypothesis at this stage of knowledge”26. 24 Detil-detil kepustakaan terdapat dalam Daftar Pustaka. 25 Murdock 1968:92 26 Doran 1981:91 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner INDONESIA/ MALAYSIA katir Sulawesi Selatan KONJO somang MAKASSAR somang BUGIS ati MANDAR palatto BAJAU (SulSel) katir WANCI CIA-CIA SIOMPU BINONGKO BAJAU (Buton) Buton barata ? polanto polanto londe katir cadik baratang baratang baratang baratang baratang barata darangka katiwa jarangka 9 Secara geografis wilayah Nusantara Timur dan Pilipina Selatan merupakan ‘pintu utama’ buat Suku-Suku Austronesia untuk memasuki kawasan Pasifik, dan beberapa penemuan linguistik kelihatan dapat memperkuat anggapan ini: Misalnya, dalam penelitiannya tentang morfologi beberapa bahasa Sulawesi dan Polinesia, Kähler (1951) telah membuktikan kesamaankesamaan yang menonjol. Dalam tabel 2.1.1 terlihat pembandingan kata ‘katir’ dan ‘cadik’ dalam beberapa bahasa Austronesia, dan terutama persamaan antara kata-kata yang menandai ‘katir’ dalam bahasa-bahasa asal Indonesia bagian timur dan Polinesia sangat jelas. Bagaimanapun, penelitian-penelitian yang membahas tipologi dan pola konstruksi perahu-peranadyu-nadyu ? hu bercadik di kawasan Oseania sampai sekabairungan rang lebih berorientasi ke kawasan Mikro- dan sesa Polinesia27, dan saya hanya mengenali karangan jaduku Frederici (1912), Hornell (1920) dan Nootefarotang boom (1932) yang membahas tipologi perahuperahu bercadik di Indonesia secara meluas. Jawa Selain itu, selama ini belum ada penemuan JAWA blanjungan ? arkeologi yang dapat dipastikan sebagai sisa MADURA katir pelejungan perahu yang berasal dari abad-abad sebelum Mikronesia tahun 0, dan variasi antara tipe-tipe perahu Ralik-Ratak gubak abid bercadik kontemporer Nusantara amat besar, Lamotrek tam kio, gio sehingga kita hanya dapat menyimpulkan beTruk tam kio berapa garis besar tentang sifat ‘perahu-perahu Polinesia Austronesia’ itu. Sifat pertama adalah adanya cadik dan katir – akan tetapi, kita tak dapat HAWAII ama, akea iako menentukan cara pemasangannya, atau apakah TAHITI ama iato perahu-perahu itu bercadik ganda atau tunggal; COOK ISL. ama kiato sifat kedua adalah bahwa perahu-perahu itu SAMOA ama ‘iaito berdasarkan perahu batangan yang ditingkatkan TONGA hama, katea kiato, kaso dengan satu atau lebih keping papan. Kita daTabel 2.1.1: Kata ‘katir’ dan ‘cadik’ dalam beberapa pat mengimplikasikan bahwa sambungan antara bahasa (HURUF KAPITAL) dan daerah papan dan batangan dilakukan dengan teknik (Huruf Biasa). lashed lug (gambar 2.1.2 dan bab berikutnya) – tetapi sampai ke manakah teknik itu dikembangkan sebelum milenium pertama CE tak dapat ditentukan. Indonesia Timur TERNATE sama BACAN somang GALELA suma TOBELO hama TALIABU somang AMBON (Mal) semang 27 Lht msl. Frederici 1912, Nooteboom 1932, Hornell 1920, Haddon&Hornell 1935, Koch 1970, 1971, Thompsen& Taylor 1980, Doran 1972, 1981 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 10 Pengikat dari tali ijuk, sabut kelapa atau rotan Lug untuk mengikat gadinggading pada lambung Katir Papan atau kayu melintang sebagai ‘pengganti’ gadinggading Gading-Gading Cadik Batangan Pengikat Papan tambahan Lugs Gading-Gading Gambar 2.1.2: Asumpsi cara pembuatan perahu-perahu bercadik sebelum tahun 0. Bagian kiri perahu memperlihatkan cara memasang / mengencangkan papan di atas perahu batangan dengan menggunakan kayu batangan atau papan yang diikatkan sebagai ‘penyepit’; bagian kanan memperlihatkan penggunaan gading-gading yang diikat ke dalam lambung perahu. Bdg. juga gambar 2.2.2 Sejak dua dekade yang silam diadakan pula beberapa penelitian mendalam28 tentang navigasi tradisional di kawasan Mikro- dan Polinesia, dan hasil penelitian-penelitian tersebut membuktikan asumpsi para sejarahwan, bahwa Suku-Suku Austronesia telah menciptakan sebuah sistem navigasi yang mantap. Orientasi di laut dilakukan dengan menggunakan pelbagai tanda alam yang berbedabeda, dan dengan memakai suatu teknik perbintangan sangat khas yang dinamakan ‘star path navigation’: Secara dasar, para navigator menentukan haluan-haluan ke pulau-pulau yang dikenali dengan menggunakan posisi terbitnya dan terbenamnya bintang-bintang tertentu di atas cakrawala. Ammarell dalam penelitiannya tentang navigasi pelaut Bugis kontemporer sempat membuktikan suatu sistem orientasi yang sejajar di Indonesia29, dan saya mendapatkan informasi yang serupa di daerah Mandar30. Suatu hal yang lain yang dapat menjadi bukti atas kesamaan-kesamaan ini adalah terminologi yang digunakan pelaut ‘tradisional kontemporer’ untuk menandai manuver-manuver sebuah perahu layar (gambar 2.1.3): Dasar teknik melayarkan sebuah perahu layar adalah sama bagi 28 Lht. msl. Gladwin 1970, Lewis 1972, Thompsen&Taylor 1980, Feinberg 1988 29 Ammarell 1999 30 Liebner 1996(a):25 11 IND: KE ARAH ANGIN ENG: COME ROUND BUG: pabbiluq MAK, MAN: biluq paqbiluq KON: bilu BAJ: BIN, TOM: belu WAN, SIO: belo belu naide, pabelu ? CIA: billok ?? MNL: beluk MAL: Gambar 2.1.3: Manuver perahu layar dan peristilahannya dalam beberapa bahasa IND: Indonesia ENG: Inggris BUG: Bugis KON: Konjo MAN: Mandar BAJ: Bajau BIN: Binongko TOM: Tomea WAN: Wanci CIA: Cia-Cia SIO: Siompu MAL: Malaysia MNL: Bhs Melayu (menurut kamus-kamus pelaut Belanda) IND: BELOK KE ARAH ANGIN ENG: TO TACK MAK: salurang ?? BUG, KON, MAN: tunggeng biluq pabbiluq ka diata BAJ: koti belu BIN, TOM: koti belo WAN: bali belu CIA: bali belo SIO: bélok ?? MNL: pal? MAL: IND: ENG: BUG: KON: MAN: BAJ: BIN, TOM: WAN, SIO: CIA: ARAH ANGIN IND: TURUT DENGAN ANGIN ENG: CAST TO LEE SIDE patturuq BUG: turuq MAK: patturuq KON: turuq MAN: BAJ, BIN, TOM, WAN, SIO : turu curu, panuncuru ? CIA: turut MAL: BEROPAL2, MEMAIR BEATING TO WINDWARD maggaragaji aqgaragaji magaragaji taqtadaang opala karakaji karakaci IND: ANGIN DARI SAMPING ENG: BEAM WIND, WIND ABEAM BUG: anging tengngaq ? KON, MAN: lari sambang passampiri, pangissi BAJ: tanasawengka BIN: tana asawengka ? TOM: langke sawengka WAN: tandawongka ? CIA: paletanga ? SIO: IND: ANGIN DARI BURITAN ENG: WIND RIGHT AFT panggang ? KON: turuq puar MAN: patturu ? BAJ: BIN, TOM, WAN, SIO: bangu(n) turu bangu(n) curu CIA: IND: BERLAYAR DEKAT ANGIN ENG: CLOSEHAULED KON: aqbiluq biluq MAN: pabbiluq, tutukuq kasangei ? BAJ: kantad(h)i BIN: TOM, WAN, CIA: pabelu belo paletanga SIO: (berlayar) rapat angin MNL: IND: ENG: MAK: KON: MAN: BAJ: BIN: TOM: WAN: CIA: SIO: ANGIN DARI TENGAH BURITAN SAIL WITH QUARTERING WIND turuq lari sihali turuq sangei kamanbuli, passamba pasamba paletanga langke sawengka ? pasamba bangu turu paletanga IND: BELOK DENGAN ANGIN DARI BELAKANG ENG: TO GYBE BUG, KON, MAN: tunggeng turuq paballiq turu BAJ: koti turu BIN, TOM, WAN: bali curu CIA: bali turu SIO: 12 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner semua pelaut, dan kemiripan peristilahan yang menonjol dalam bahasa-bahasa Sulawesi kemungkinan besar bisa dilacak sampai ke Polinesia atau Madagaskar. 2.2 Tahun 0 s/d 1000 CE: ‘Indianisasi’ atau ‘Perdagangan Internasional’? Hubungan antara India, Cina dan Kawasan Nusantara dapat dibuktikan sejak sekurang-kurangnya abad-abad pertama CE31: Rempah-rempah asal Nusantara dikenali dan dikonsumsi di Cina sejak abad ke-5 SM, dan selambat-lambatnya sejak abad ke-2 CE warga kota Roma dapat membelinya di pasarpasar, didatangkan melalui India, Persia, Arabia dan Mezir32. Berkat perdagangan laut ini, sampai abad ke-6 CE terbentuklah beberapa kerajaan di sepanjang Selat Malaka yang bukan hanya mengontrol dan menguasai jalur utama perdagangan antara India dan Cina itu, tetapi juga menjadi penyuplai dan pemilik utama armada perahu-perahu dagang yang mendistribusikan rempah-rempah dan produk Nusantara lain, porselein dan sutera Cina, kain dan produk-produk manufaktur India di sepanjang Samudera India dan Laut Cina. Sampai tahun 1000 para pelaut Nusantara itu menemui dan mengolonisasi Pulau Madagaskar di penghujung Barat Daya Samudera India, sehingga “exchanges with the remote island across the Indian Ocean lasted into the early centuries of Islamization of Sumatra”33. Catatan-catatan tertulis paling tua mengenai jenis dan bentuk perahu Nusantara yang menjadi sarana utama dalam sistem perdagangan itu berasal dari Cina: Syahbandar, pejabat, biksu dan ilmuwan sudah pada abad ke-3 CE memperhatikan k’un-lun b/po34, ‘perahu-perahu layar orang Lautan Selatan’, atau bahkan menggunakannya untuk –misalnya– perjalanan ziarah ke/dari India. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka bukan pelaut atau pengrajin perahu, sehingga gambaran-gambaran yang didapatkan jauh dari lengkap. Bagaimanapun, yang mengherankan adalah ukuran p/bo itu: Dalam tulisan asal Cina disebutkan, bahwa perahu-perahu p/bo dapat “membawa antara enam sampai tujuh ratus orang, dengan muatan sampai 10.000 ikat muatan [yang diperkirakan antara 250 – 1000 ton metrik]” (abad ke-3 CE), atau “dapat mengangkut lebih daripada 1.000 orang, selain muatannya” (abad ke-8 CE)35. Menurut Manguin, dari deskripsi-deskripsi yang demikian dapat dipastikan bahwa perahu-perahu samudera asal Nusantara pada millenium pertama CE were very large, even by modern sailing standards (up to 50m in length, some 600 tons burden), […] rigged with multiple masts and sails, a sure indication of sophisticated high seas sailing skills, […and(!) …] probably had no outriggers, for such a conspicous device would no doubt have struck the minds of the Chinese witnesses.36 31 Lht. msl. Bellwood 1985:137ff, 279ff, Coedes 1968:36ff 32 Bagi Kekaisaran Roma konsum rempah-rempah ini menjadi suatu malapetaka ekonomi, sebab impor barang eksotis dibayar dengan menggunakan uang; pada abad ke-3 dan ke-4 CE para kaisar terpaksa melarang ‘ekspor’ koin-koin Romawi untuk mencegah meluasnya krisis moneter Roma yang disebabkan oleh ‘pelarian devisa’ guna membeli rempah-rempah. Maka, penemuan koin-koin Romawi di India, Malaya dan Jawa tak usah mengherankan (lht. msl. Wheatley 1961, Gupta 2001) 33 Manguin 1995:183 34 35 36 “The meaning of the term K’un-lun has varied widely in the course of the centuries. But, during the period considered here, it indicates unequivocally Southeast Asian populations, among which was that of Srivijaya. Po [atau, di sumber lain, bo – pen.] is a term of foreign origin –according to the Chinese themselves- which the Chinese used to refer to the ships of the K’un-lun.” (Manguin 1980:274) c.f. Manguin 1980:275, Needham 1971:495ff, terj. pen. Manguin 1995:189; italics oleh pen. Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 13 Gambar 2.2.1: Maket sebuah perahu tipe kora-kora dari Horridge 1978:17. Perhatikanlah kesamaan dalam misalnya bentuk linggi dan anjungan-anjungan di atas lambung dengan fresko perahu di Borobudur. Deskripsi-deskripsi ini memang agak berseberangan dengan pendapat sekian banyak pengamat sejarah kemaritiman (Nusantara) lain37 serta tidak didukun oleh penemuan arkeologi dan ikonografi: Baik fresko perahu terkenal pada Candi Borobudur maupun sisa-sisa kapal karam yang ditemukan sampai sekarang berasal dari perahu-perahu yang ukurannya lebih kecil. Akan tetapi, terutama ‘perahu Borobudur’ itu dari cara konstruksinya dengan jelas dapat digolongkan dalam sekelas dengan perahu-perahu kora-kora, yang sebagai tipe pada umumnya berukuran jauh lebih kecil daripada yang disebut dalam sumber-sumber Cina (lht. gambar 2.2.1). Selain itu, dalam sumber-sumber tertulis Eropa –dari baik petualang seperti Marco Polo atau Odoric de Pordenonne maupun nakhodanakhoda Portuges pertama yang sampai ke Nusantara– tercatat pula adanya kapal layar yang sangat besar ukurannya (kita dalam bab 2.3 akan kembali ke hal ini). Saya sendiri setuju dengan pendapat Manguin, bahwa “the various states that dominated the late first millenium A.D. historical scene in Insular Southeast Asia […] were no doubt complex enough polities to provide sufficient financial means, manpower and organizational capacities to suceed in building such large vessels”38 – meski kemungkinan besar ‘perahu dagang biasa’ berukuran lebih kecil (lht. uraian mengenai jenis-jenis perahu pada zaman kolonial pada bab 2.4), tak tertutup juga kemungkinan adanya kapal kayu berukuran sebesar tipe b/po itu. Dan ada satu hal yang sebaiknya 37 38 Msl., Chaudhuri (1985:141) menggambarkan perahu-perahu Nusantara pada abad-abad antara “the Rise of Islam and 1750” sebagai “fast, light boats [of] light construction […] and limited cargo-carrying capacity”; Knaap (1996:153) menyebutkan bahwa “the average volume mentioned by Manguin was simply too high”. Manguin 1995:190 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 14 tak kita lupa: Jumlah penduduk Nusantara pada abad-abad pertama CE itu amat kecil39, sehingga jumlah lalu-lintas laut, volume perdagangan dan jumlah perahu-perahu berukuran besar yang diperlukan dan dipergunakan dalam perdagangan internasional dapat dipastikan adalah amat kecil juga. Bila kita misalnya membandingkan angka-angka yang –berdasarkan catatan Portuges40 dan VOC– disebut Knaap untuk perdagangan Java antara awal abad ke-16 s/d akhir abad ke-18 dengan perkiraan jumlah penduduknya, maka secara kasar dapat diasumsikan bahwa seluruh lalu-lintas internasional pulau itu (artinya, hubungan laut ke India dan Cina!) tak mungkin melebihi 10 perjalanan/tahun pada abad-abad sebelum tahun 1000 CE – yang belum pasti seluruhnya dilaksanakan oleh perahu-perahu sebesar tipe b/po. Biarpun batasan atas ukuran perahu-perahu Nusantara pada abad-abad ini dapat didiskusikan, berkat adanya penemuan arkeologi kita sekurang-kurangnya dapat menyimpulkan beberapa sifat teknik konstruksi kapal kayu zaman itu. (1) Tiada bukti bahwa semua tipe perahu pada masa itu memakai cadik dan katir. Secara teknis, pemasangan katir dan cadik pada sebuah perahu yang sebesar b/po itu hampir mustahil; pada candi-candi Jawa juga terdapat gambar-gambar perahu tanpa cadik; dari penemuan arkeologi selama ini belum ada bukti tentang adanya cadik / katir pada perahu-perahu yang berukuran s/d 30m panjangnya. (2) Sisa-sisa perahu dari milenium pertama mengimplementasikan adanya sebuah teknik pembuatan yang dikenali sebagai lashed-lug and stitched plank tradition; lambung perahu-perahu yang dihasilkan dengan teknik itu terdiri dari sebatang lunas / papan pengganti lunas dan sejumlah susunan keping-keping papan, dan mungkin beberapa lapisan papan kulit; teknologi ini memungkinkan pembuatan lambung dengan ukuran yang jauh melebihi jenis-jenis lambung yang didasarkan atas perahu batangan. Sebab hampir semua tahap evolusi cara pembuatan lambung perahu dapat ditelusuri sampai sekarang, terutama poin (2) di atas perlu digambarkan dengan lebih luas di sini. Salah satu sumber Cina menggambarkan bentuk lambung perahu b/po sebagai berikut: With the fibrous bark of the coconut tree, they make cords which bind the parts of the ship together. Nails and clamps are not used [… . The ships] are constructed by assembling [several] thicknesses of side-planks, for the boards are thin and they fear they would break.41 Cara konstruksi ini, yaitu ‘mengikat’ bagian-bagian lambung dengan menggunakan tali yang terbuat dari serat ijuk atau kelapa serta dengan rotan pada tahun 70an abad ke-20 masih terdapat dan disaksikan di beberapa kepulauan Indonesia Timur42, dan digambarkan oleh hampir semua pengamat Eropa pertama sebagai sifat utama perahu-perahu di kawasan Samudera Hindia (lht. poin 2.3 di 39 40 41 42 Misalnya, Reid (1988:14; bdg. juga Ricklefs 1981/91:22-3) menyebutkan angka sekitar 14 juta penduduk untuk daerahdaerah yang sekarang mencakupi Indonesia (dikurangi Papua Barat) dan Malaya pada tahun 1800, dan memperkirakan suatu angka sekitar 10juta bagi tahun 1600 – artinya, sejajar dengan argumen-argumen Reid bahwa penambahan penduduk sebelum pasifikasi wilayah ini pada akhir abad ke-18 berkat adanya kekuatan Barat tak terlalu signifikan, maka jumlah penduduk Nusantara sebelum tahun 1000 CE tak mungkin melebihi angka 5-6juta! Menurut laporan Tomé Pires, jumlah perahu besar tipe jung yang terdapat di Jawa Utara adalah sebagai berikut: Sunda Kelapa, 6bh; Cirebon, 4bh; Tegal, 1bh; Semarang, 3bh; Demak, paling tinggi 40bh; Jepara, 20bh; Gresik, sekitar 30bh. Armada gabungan Palembang dan Jawa yang menyerang Malaka pada tahun 1513 terdiri dari sekitar 40 buah perahu besar tipe jung dan 60 buah perahu sedang tipe lancara (Knaap 1996:161 ck.1). C.f. Manguin 1980:275 lht. msl. Horidge 1978 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 15 Lug untuk mengikat gading-gading pada papan lambung Pasak Kayu ‘Jahitan’ dari tali ijuk, sabut kelapa atau rotan Lug untuk mengikat gading-gading pada papan lambung Pasak Kayu ‘Pengunci’ pasak yang menghindari lepasnya Gambar 2.2.2: Rekonstruksi cara pemasangan papan yang didasarkan atas dua penemuan arkeologi (atas: Pontian, Pahang, Malaysia, antara abad ke-3 dan ke-5 CE [call. 14C]; bawah: Butuan, Mindanao Utara, Pilipina, antara abad ke-13 dan ke-15 [14C]). Papan-papan dari Pontian dipasang dengan menggunakan dua teknik, yakni ‘menjahitnya’ dengan tali ijuk melalui lobang-lobang yang terdapat di sisi atas dan bawah masing-masing keping papan serta dengan pasak kayu; papanpapan dari Butuan dikaitkan dengan menggunakan pasak kayu saja yang dipasang dalam jarak yang lebih dekat daripada yang terdapat pada papan-papan dari Pontian. Lugs yang terdapat pada permukaan dalam papan-papan itu digunakan untuk mengikat gading-gading perahu kepada papan lambung; lobang pengikat gading-gading yang terdapat dalam lugs pada papan dari Pontian jauh lebih besar daripada lobang-lobang yang terdapat pada papan dari Butuan. Gambar ini mengikuti gambar yang terdapat dalam Manguin (1995:187) dan tak memakai sekala. bawah ini). Evaluasi penemuan-penemuan arkeologi membenarkan adanya teknologi ini: Pada papan-papan hasil ekskavasi yang diperiksa Manguin terdapat tanda-tanda seperti lobang-lobang, lugs dsb. yang secara jelas berhubungan dengannya (lht. gambar 2.2.2 dan 2.3.1). Bahkan, dari evaluasi dan penentuan konteks waktu pembuatan papan-papan yang ditemukan oleh para arkeolog ini dapat disimpulkan, bahwa “[the] stitching of the planks together appears to have progressively given way to dowelling”43, teknik pembuatan perahu tradisional Nusantara yang tetap digunakan pada masa kini. Perubahan ini kemungkinan terjadi setelah semakin banyak alat yang terbuat dari besi bersedia bagi para pengrajin perahu: Melobangi sebuah papan kayu tropis adalah suatu pekerjaan yang sangat berat tanpa peralatan besi, dan kita dapat mengasumpsikan bahwa dengan pertambahan volume perdagangan dan penukaran pengetahuan teknis antara kebudayaan-kebudayaan Asia juga semakin banyak peralatan menjadi bersedia sekurang-kurangnya di pusat-pusat sistem perdagangan itu – di 43 Manguin 1995:185 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 16 mana pula ada kebutuhan atas perahu perdagangan dan perang yang semakin kuat dan besar. Menurut Chaudhuri, As long as the Asian shipwright had the use of a wood-drill or a gouging chisel, he could make holes in a hard timber such as teak and utilise iron treenails for fastening the sheating timber to the internal frames. The larger the sip and the higher the total cost of construction, the easier it was for the owners to absorb the extra cost of iron.44 Dengan ini kita tidak mendapatkan saja suatu petunjuk atas kemungkinan-kemungkinan adanya dan cara pembuatan kapal layar sebesar b/po itu, tetapi juga harus mulai melihat teknologi kemaritiman Nusantara dalam framework perdagangan laut Asia yang lebih luas itu. 2.3 Tahun 1000 s/d 1600: ‘The Age of Commerce’ Kelihatannya, sistem perdagangan lewat laut sejak tahun 1000 semakin terorganisir: Hubungan di antara kedua ujungnya, yakni Arabia dan Cina, tak lagi disalin melalui single voyages, ‘pelayaran tunggal’, tetapi dengan suatu pola perdagangan yang terdiri dari tiga segmen, yaitu bagian Barat yang menghubungi Jazirah Arabia (dan dengan itu Asia Minor, Afrika dan Eropa) dengan India, bagian Tengah antara India dan Selat Malaka serta bagian Timur, Cina dan Nusantara. Jalur, arah dan waktu perdagangan dalam masing-masing segmen ini disesuaikan dengan keadaan cuaca selama setahun, sehingga dapat mendukung dan melancarkan aliran barang dagangan di antara ketiga segmen itu45. Kita mungkin dapat mengambil serangan Kerajaan Chola atas Srivijaya pada tahun 102546 sebagai titik awal ‘Zaman Perdagangan’ ini; pada waktu itupun terjadi perkembangan armada niaga Cina yang berikutnya berpartisipasi secara langsung dalam perdagangan laut Asia. Puncaknya mungkin ekspedisi-ekspedisi laut Cina yang pada awal abad ke-15 mengarungi seluruh Samudera India sampai Jiddah dan Kilwa di ujung Barat dan Barat Dayanya dengan armada-armada perahu layar terbesar yang sampai saat itu digerakan oleh manusia47; tamatnya bermula dengan kedatangan perahu-perahu layar Portuges ke India pada awal abad ke-16, sehingga sistem perdagangan indigen Asia itu berubah dengan berarti setelah terdirinya kedua kompeni dagang Belanda dan Inggris, VOC dan EIC, pada awal abad ke-17. Dalam kurun waktu ini terjadi suatu kontinuum interaksi antara semua kekuatan dagang dan politik di sepanjang garis pantai Asia dan Afrika dari Tanzania sampai Cina, yang menyebabkan –misalnya– tersebarnya agama Islam. Dengan interaksi-interaksi tersebut teknologi perkapalan dan pelayaran sangat dipengaruhi: Sebagaimana disebutkan pada awal tulisan ini, bentuk-bentuk teknologi kemaritiman itu bertendensi untuk menjadi sama antara pihak-pihak yang berhubungan secara intensif. Jadi, kita tak perlu heran bila seorang pengamat Portuges pada awal abad ke-16 menggambarkan bentuk perahu-perahu Malabar sebagai berikut: 44 Chaudhuri 1985:151 45 lht. msl. Chaudhuri 1985:40ff 46 lht. msl. Coedes 1968:142ff 47 lht. msl. Kong 2000, Mills 1979, Fernández-Armesto 1995:124ff; menurut Fernández-Armesto, perkembangan bidang kemaritiman Cina yang begitu pesat pada abad-abad sebelumnya sehingga dapat menghasilkan adanya ekspedisi sebesar pelayaran-pelayaran Cheng Ho itu sebenarnya dapat dijadikan awal pendirian kekuasaan Cina atas Asia Selatan, tetapi berlanjutnya dihentikan dengan sengaja oleh Kaisar Hung-Hsi dan pengganti-penggantinya; setelahnya perdagangan laut Cina itu terdiri dari sektor partikulernya saja dan Cina terakhirnya amat tergantung dari adanya perdagangan laut kekuatan-kekuatan Barat. Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 17 Gambar 2.3.1: Cara memasangkan gading-gading dan papan lambung. Kiri: Internal stiffening melalui ‘kayu melintang’; papan-papan lambung disambungkan dengan menggunakan pasak kayu. Perahu ini menggunakan sebuah papan lebar sebagai lunas. Kanan: Gading-gading yang diikat (kiri), dan dipasang dengan menggunakan pasak kayu (kanan; bawah: terpasang ke atas lugs, atas, dipasang langsung pada papan lambung). Perahu ini menggunakan lunas tipe balok. Lht. juga gambar 2.1.2, 2.2.2. […] undecked, short, and with few ribs; the planking is joined and sewn together with coir thread, and very strongly, for it endures all the strains of sailing; and the planks are fastened in the same manner to the ribs, sewn with the same coir, and they remain as secure as if they were nailed.48 Cara pembuatan perahu itu menggunakan teknik yang agak serupa dengan yang sudah kita lihat pada sisa-sisa papan yang didapatkan dalam konteks arkeologi: The shell [of these boats of India – pen.] was built first before the insertion of the ribs or the frame timber […and…] the sheating planks were held together not by nails but by coconut-fibre ropes. The planks were fixed edge-to-edge into rabbets and attached to the stem and stern-posts, raking up at a steep angle. Coir ropes, passed through holes drilled at close intervals, held the timber together, being tightened against thick coconut cables inside the hull. […] Internal stiffening [was achieved] by inserting a row of carefully shaped branches of trees into the shell as ribs and fastening them to the sheating planks.49 [lht. gambar 2.3.1] Sebagaimana diuraikan di bab 2.2, perahu-perahu Nusantara pada zaman itu sudah dibangun dengan menggunakan hubungan pasak antara papan-papan; hal ini mungkin diakselerasikan oleh adanya jenis-jenis kayu yang amat cocok untuk dijadikan pasak kayu yang kuat dan bertahan. Selain itu, para pengamat Portuges menyebutkan juga adanya sambungan yang menggunakan paku besi (mungkin suatu pengaruh Cina). Yang jelas, perahu-perahu yang dibangun dengan cara yang demikian masih disaksikan di Indonesia Timur pada tahun 70-an abad ke-20, dan evolusinya kemungkinan besar berpusat di sentra-sentra perdagangan internasional dan menyebar secara lambat-laun dari pusatpusat itu sampai –paling akhirnya– ke pulau-pulau terpencil di Nusantara Timur (lht. juga di bawah ini). Tak banyak diketahui mengenai bentuk perahu-perahu tersebut; akan tetapi, kita dapat mengasumsikan bahwa bentuk kapal-kapal niaga pada zaman itu tak begitu jauh perbedaanya di antara sekurang-kurangnya India, Arabia dan Nusantara bagian barat. Suatu hal yang dapat 48 Correa, Lendas da India, c.f. Chaudhuri 1985:150 49 Chaudhuri 1985:149 18 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner disimpulkan dari ‘Undang-Undang Laut’ asal Malaka dan Sulawesi50 adalah bahwa perahu-perahu dagang pada zaman itu cenderung membawa sejumlah saudagar yang masing-masing menyewa sebuah atau lebih banyak ‘petak’ (bagian-bagian tertentu dalam ruang muatan dalam lambung) untuk menyimpan barangbarang dagangannya; hal ini dapat menerangkan adanya ‘sekatsekat pembagi’ dalam lambung perahu-perahu yang disebutkan oleh sumber-sumber Portuges. Sekat-sekat itu pasti dapat berfungsi juga sebagai penguat struktur lambung, dan bahkan merupakan salah satu sifat utama dalam teknologi pembuatan perahu Cina – cara pemasangan yang digambarkan pada 2.3.1 (kiri) mungkin merupakan ‘versi Nusantara’ dari teknologi itu. Suatu bagian integral sebuah perahu layar, yakni bentuk kemudinya, dipengaruhi juga oleh teknologi Cina: Sedangkan pada lukisan-lukisan tipe-tipe perahu sebelum tahun 1000 baik di Asia Selatan maupun Eropa terlihat adanya kemudi samping, namun sejak awal milenium kedua semakin banyak perahu dilengkapi dengan kemudi tengah yang diciptakan oleh insinur perkapalan Cina pada abad-abad akhir milenium pertama51 (gambar 2.3.2). Inovasi ini ternyata sangat efisien bila sebuah perahu berlayar di lautan lepas; namun, di lautan antar pulaupulau Nusantara di mana terdapat daerah-daerah penuh gugusan karang kemudi samping yang dapat dilepas dan dinaikkan bila kena batu dipertahankan oleh para pelaut. Gambar 2.3.2: Tiga tipe layar dan kemudi. Atas: lateen dengan kemdui tengah yang digantung di buritan; tengah: tilted rectangular dengan kemudi samping; bawah: batten-lug dengan kemudi tengah tipe Cina. Bentuk layar yang digunakan pada zaman itu dapat dilihat pada sekian banyak lukisan dan gambar asal baik Asia maupun Eropa: Dari bagian Barat Samudera Hindia sampai ke Selat Malaka terdapat perahu-perahu yang cenderung menggunakan layar tipe lateen; di dalam kepulauan Nusantara para pelaut lebih banyak menggunakan tipe tilted-rectangular, dan di wilayah-wilayah yang berada di bawah pengaruh Cina di Utara terdapat tipe batten-lug52. Kecenderungan untuk memilih tipe layar ini atau itu kemungkinan besar tergantung baik dari keadaan cuaca dan musim pada jalurjalur yang dilayari di masing-masing daerah itu maupun dari penguasaan teknik berlayar oleh para pelaut dan ‘kebiasaan’ mereka dalam menggunakan sejenis layar tertentu. Bagaimanapun, dalam terminologi yang berhubungan dengan layar dan tali-temali kita mendapatkan persamaan yang menonjol di antara Arabia, India dan Nusantara53, suatu hal yang menandai adanya penukaran ide-ide dan teknik-teknik yang berlangsung di sepanjang jalur komunikasi laut di Samudera India. 50 Lht. msl. Caron 1937, Tobing 1967, Winstedt 1956 51 Lht. msl. Needham 1971 52 Mengenai tipe-tipe layar lht. bab 3.1. 53 Lht. msl. Roebuck 1841, Vaz 1879, Small 1882 (India); Badings 1880, Kriens 1880, Oderwald 1924 (Indonesia); Liebner 1993 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 19 Dari akhir ‘Zaman Perdagangan’ inilah berasal suatu bukti akan adanya perahu-perahu sebesar b/po tadi yang agak susah ditolak. Suatu armada perahu-perahu Portuges pada awal abad ke-16 di Selat Malaka menemui sebuah perahu besar asal Sumatera: Seeing that the junco [nama Portuges untuk perahu tipe b/po – pen.] wanted to start fighting, the Governor got close to her with his whole fleet. The galleys started shooting at her, but this did not affect her in the least, and she went on sailing […] the Protuguese ships then shot at her masts, […] and she dropped her sails. Because she was very tall […] our people did not dare board her and our firing did not hurt her at all, for she had four super-imposed layers of planks, and our biggest canon would not penetrate more than two. […] Seeing this, the Governor ordered his own nau to come alongside her. This was the Flor de la Mar, which had the highest castles of all. When she managed to board the junco, her aft castle barely reached her bridge […] The crew of the junco defended herself so well that they had to sail away from her again. [After two days and nights of fighting] the Governor decided to have the two rudders she carried outside torn away … [the junco then surrendered].54 Sifat-sifat junco itu sesuai dengan yang digambarkan para pengamat Cina: Berukuran besar (lebih besar daripada perahu terbesar armada Portuges!), jumlah awak yang besar (mereka bersukses dalam melawan serangan langsung Portuges); dengan lambung yang terbuat dari beberapa lapisan papan dan adanya dua kemudi samping perahu itu secara jelas termasuk tradisi pembuatan perahu Nusantara. Namun, kedatangan kekuatan maritim Eropa ke Asia menjadi alasan hilangnya dari Lautan Nusantara. 2.4 Zaman Kolonial Sebagaimana disebutkan pada bab 1.1, salah satu tujuan utama dalam kedatangan kompeni-kompeni perdagangan Eropa ke Asia adalah menguasai lalu-lintas laut demi memonopoli alur perdagangan antara wilayah-wilayah produsen rempah-rempah dan daerah-daerah konsumennya di Eropa dan, setelah profitabilitasnya terbutki, di Asia sendiri – artinya, berbeda dengan Portugal sebagai suatu negara, VOC dan EIC pada awalnya tidak bertujuan ‘menaklukkan Asia’55, tetapi hanya bermaksud menjadi penyedia transportasi dan penjual satu-satunya beberapa komoditi tertentu yang nilai pasarnya sangat tinggi. Demi itu, mereka membangun suatu “bureaucratic form of trade” yang berteladan pada cara organisasi suatu perusahaan56 (yang akhirnya juga dalam sekian banyak poin menjadi model akan bentuk dan fungsi perusahaan modern) dan ‘mengadministrasikan’ gerakan perdagangan laut di daerah-daerah Asia yang dikuasainya. Sistem administrasi ini misalnya meliputi juga birokratisasi pelabuhan – dan daftar-daftar para syahbandar kompeni-kompeni perdagangan itu adalah salah satu sumber terpenting bagi pengetahuan kita tentang keadaan pelayaran indigen Asia pada zaman itu. Pada tabel 2.4.1 terlihat sejumlah tipe perahu yang paling banyak digunakan dalam perdagangan dalam Nusantara dan deskripsi atas beberapa sifatnya seperti daya muat, panjangnya, jumlah kru dan daerah operasionalnya berdasarkan catatan-catatan administrasi beberapa pelabuhan VOC dari dekade-dekade akhir abad ke-18. Pada zaman itu ternyata terdapat ‘tipe’ atau ‘kelas’ perahu-perahu yang sangat jelas sifat-sifatnya: Dalam, misalnya, arsip para syahbandar VOC di pantai Utara Jawa, 54 Corriera, 1858:216-18, c.f. Manguin 1980:267 55 Suatu ‘rencana’ yang sebenarnya jauh dari kemampuan Portugal –atau Belanda atau Inggris– yang mungkin ‘mencontohkan diri’ kepada sukses Spanyol di Amerika Tengah dan Selatan. lht. msl. Chaudhuri 1985 82ff 56 20 Internasional X jauh X Antar Pulau, X sedang Banting X Antar Pulau, Tipe perahu kecil lokal, digunakan untuk pelayaran sungai dan pantai; lebih sering dimiliki pedagang Cina “Acehnese light attack-boat”, sering digunakan untuk berdagang oleh orang Aceh dan Melayu; kebanyakan berasal dari pantai timur Aceh Baluk dekat Lee 1986: Malaka 1761 dan 1782 Antar Pulau, Catatan Lokal Kru (#org) Panjang (feet)** Daya Muat (last)* Tipe Perahu Jarak Berlayar+ Knaap 1996: Jawa Utara 1774-77 32 Tipe perahu asal Eropa, dibuat di galangan di Asia (Jawa: Rembang dan Juwana); dua tiang, layar andang-andang, bergeladak, kemudi barat (lht gambar 2.4.3) “Several hundred ton and a crew of two hundred” – atau– 400-600 ton (metrik?), kru 60 orang X X X 40 5575 20 Tipe perahu asal Eropa, dibuat di galangan di Asia (Jawa: Rembang dan Juwana); satu-dua tiang, layar fore-and-aft, bergeladak, kemudi barat (lht gambar 2.4.4) Daya muat 30-100 last, kru rata-rata 30-40 orang; lebih sering digunakan oleh pedagang Eropa yang tinggal di Asia dan saudagar Cina; berdagang sampai “Java, Burma, Thailand and Cambodia” X X X Gonting 12 4060 10 X X x Jukong <4 c.30 4 X X x X X Brigantijn / Bark 92 70100 Chialoup “A bigger type of mayang, minus the curved bow and stern”, satu tiang, layar tanjaq, tidak bergeladak Perahu bercadik, satu layar jenis lete; “small multi-purpose boat”, tidak bergeladak Kakap 4 3040 Paduwakang 6 4050 15 Paduwang <4 c.30 4 Pencalang 9 4060 9 6 ++ “The most common type”, berasal dari perahu perikanan; satu tiang, layar tanjaq, tanpa cadik, tidak bergeladak (lht. gambar 2.4.5) Berasal dari / dimiliki oleh pedagang Sulawesi; dua-tiga tiang, layar tanjaq, bergeladak (lht. gambar nnn) Perahu bercadik asal Madura, dua layar (lete dan layar kecil pada anjong), tidak bergeladak; perahu muatan Tipe perahu asal Malaya, tetapi “certainly copied by Javanese shipwrights”; satu tiang, layar tanjaq, bergeladak Penjajab Perahu Wangkang X Kru 7-20 orang; tipe lokal Malaya Mayang Sampan Kru 10-15 orang, tendensi milik orang non-Melayu 4 c.30 5 100 c.10 0 c.80 Perahu “Bugis”; tak disebut dalam daftar tahun 1761, tetapi tercatat dalam daftar tahun 1782 X X Kru 7-20 orang; tipe lokal Malaya X X Kru 7-20 orang; tipe lokal Malaya Kru 2-3 orang; berukuran kecil X X X X X Satu tiang, tanpa cadik, paling sering disebut di pelabuhanpelabuhan Java Timur; “jukong tanpa cadik” Berasal dari / dimiliki oleh orang Cina; dua-tiga tiang, layar junk, kemudi tengah Cina, bergeladak X X X x x X Tabel 2.4.1: Beberapa tipe perahu yang disebut dalam daftar-daftar syahbandar VOC pada pertengahan kedua abad ke-18 * 1=4000lbs ** 1=0.305m + Diperkirakan atas jarak berlayar dari pelabuhan / daerah asalnya; ‘Lokal’: di antara pelabuhan yang berdekatan; ‘dekat’: / 32 pikul / 1.81 metric tons <200nm; ‘sedang’: 200-1000nm; ‘jauh’: >1000 nm; tanda x menandai bahwa kadang-kadang tipe perahu itu juga terdapat pada daerah-daerah di luar jarak tempuh ‘biasa’ ++ Menurut Knaap (1996:36) angka ini seharusnya diragukan karena berbeda jauh dengan angka perbandingan daya muat / jumlah awak pada tipe-tipe perahu lain; “however, the same picture emerged from the 1774-77 harbourmaster’s administration of Makassar” 21 Tabel 2.4.2: Knaap 1995:66 - Kebangsaan nakhoda-nakhoda beberapa tipe perahu Knaap mendapatkan 47 istilah akan jenis-jenis perahu dan kapal, dan di antara ribuan entri dalam daftar-daftar tersebut hanya “18 times or less then 0.1%” disebutkan ‘tipe tak dikenal’57. Nama-nama tipe perahu yang disebutkan sebagai kendaraan laut yang berlayar ke tujuan yang lebih jauh daripada 200 mil laut (nautical miles – nm) muncul juga dalam daftar yang serupa dari Malaka, sehingga hanya jenis-jenis perahu kecil yang bergerak secara lokal dalam masing-masing daerahnya saja tak dikenali di Jawa atau Malaka. Dari daftar-daftar ini dapat kita simpulkan bahwa tipe-tipe perahu yang digunakan dalam perdagangan jarak jauh di Nusantara pada waktu itu cukup seragam, dan bahwa hanya beberapa tipe tertentu melayari jalur-jalur perdagangan jarak jauh: Dari 15 jenis perahu yang diambil sebagai contoh di sini, cuma 5 tipe terdapat baik di Jawa maupun di Malaka. Ternyata juga pada zaman itu di Nusantara sudah tak lagi terdapat sejenis perahu indigen Asia yang daya muatnya di atas 12 last (sekitar 20 ton metrik) selain perahu wangkang asal Cina – kedua tipe perahu yang melayari tujuan-tujuan di atas jarak 1.000nm, bark/brigantijn dan chialoup, adalah jenis perahu asal tradisi perkapalan Eropa yang sebagiannya dibuat di Asia sendiri. Akan tetapi, sebagaimana terlihat pada tabel 2.4.2, sebagian besar para nakhoda tipe-tipe perahu tersebut bukan orang Eropa: Bagi tipe bark/brigantijn (gambar 2.4.3) angka perbandingan nakhoda Eropa:Non-Eropa adalah 1:1,5, dan pada tipe chialoup (gambar 2.4.4) angka ini menjadi 1:8,2. Artinya, meski jenis perahunya bukanlah suatu tipe indigen, sebagian besar dari yang melayarkannya adalah pedagang- Gambar 2.4.4: Tipe perahu chialoup pelaut Asia. Gambar 2.4.3: Tipe perahu brigantijn 57 Knaap 1996:31. Pilihan dalam tabel 2.4.1 berdasarkan argumen Knaap, bahwa “most of these designations were mentioned only occasionally, only 13 occuring 100 times or more” – artinya, sebagian besar perdagangan laut dilakukan dengannya. 22 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner Hal ini dapat membuktikan bahwa para pelaut indigen Asia pada zaman itu telah beralih dari penggunaan tipe-tipe perahu indigen ke perahuperahu yang berteladan perahu Barat, suatu proses yang menurut Knaap mulai pada awal abad ke-1758: Karena tipe-tipe perahu besar indigen Asia kalah bersaing dengan perahu-perahu asal Eropa Utara dalam perdagangan dan perang laut59, maka para saudagar indigen sampai akhir abad itu mengadopsi jenis-jenis perahu Barat untuk pelayaran jarak jauh dan mengembangkan tipe-tipe perahu indigen berukuran kecil dan sedang yang sejak ratusan tahun terbukti fisibilitasnya dalam wilayah yang dilayarinya Gambar 2.4.5: Tipe perahu mayang masing-masing itu menjadi lebih efisien. Efisiensi tipe-tipe perahu ‘baru’ itu terlihat dalam angka persentase jenis-jenis perahu yang dinakhodai orang Eropa di Jawa Utara: Lebih dari 50% dari orang Barat itu memilih perahu tipe mayang (gambar 2.4.5) dan pencalang sebagai sarana perdagangan mereka. Sebenarnya, apa keunggulan perahu-perahu Barat terhadap perahu-perahu indigen? Yang pertama pasti kemungkinan untuk melengkapinya dengan persenjataan: Cara pemakaian meriam sebagai alat penyerang dalam pertempuran di laut adalah suatu penemuan Eropa yang memerlukan dan menyebakan sifat-sifat konstruksi lambung perahu tertentu yang tak dimiliki jenis-jenis perahu Asia. Yang kedua adalah keunggulan jenis layar fore-and-aft dan square asal Eropa Utara yang membuktikan diri sebagai lebih efektif dan efisien dalam pelayaran daripada jenis-jenis layar indigen Asia. Di Eropa (dan di perairan Asia) sendiri bahkan armada-armada Portugal dan Spanyol sejak abad ke-17 kalah di tangan Inggris dan Belanda karena kedua negara yang terakhir sempat mengembangkan perahu layar yang mampu membawa lebih banyak meriam dalam sebuah lambung yang lebih lincah – jadi, kita tak usah heran bahwa para saudagar laut Nusantara, India dan Arabia dalam hanya seabad setelah munculnya jenis-jenis perahu baru itu mengadopsinya untuk keperluan perdagangan mereka sendiri. Sebaliknya, tipe-tipe perahu indigen Nusantara ternyata membuktikan keunggulannya dalam pelayaran jarak dekat dan sedang: Sebagai sarana transportasi laut yang sejak ratusan tahun disesuaikan dengan kondisi-kondisi setempat, perahu-perahu itu lebih gampang dibangun dan dilayarkan dengan menggunakan tenaga lokal. Hal ini disadari kompeni-kompeni perdagangan Eropa pun, dan di beberapa tempat tipe-tipe perahu lokallah digunakannya untuk tujuan-tujuan perang dan perdagangan mereka – yang terkenal adalah armada perahu kora-kora yang atas nama VOC pada abad ke-17 dan ke-18 menghancurkan tanaman-tanaman cengkeh dan pala ‘liar’ di Maluku. Selain itu, para pengrajin perahu Jawa dan Sumatera sejak pertengahan abad ke-17 semakin banyak dipekerjakan oleh baik VOC dan pedagang partikuler untuk membangun perahu-perahu layar berukuran sedang tipe Barat, sehingga sifat-sifat konstruksi Eropa menjadi semakin biasa bagi para pembuat perahu: 58 Lht. Knaap 1996:152ff 59 Lht.msl. Chaudhuri 1985:153: “After the capture of Malacca, the Portuguese armadas destroyed so many local ships that the Javanese merchants were left with no more than ten junks and a similar number of cargo pangajavas.” Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner IND ENG MNL BUG, MAK KON MAN BAJ BIN, TOM, CIA, SIO WAN Laskari, Marathi Gujerati PORTUGES IND ENG MNL BUG, MAK, KON, MAN BIN TOM WAN CIA SIO Madura Bali Laskari Malagasy Perancis Italia Spanyol PORTUGES IND ENG MNL BUG MAK KON MAN, BAJ BIN, TOM, WAN, CIA, SIO Laskari PORTUGES pintu palka hatch palka palakaq loe petaq bongka peta palaka palaka;bong. peta falka dhooro escotilha; falca layar topan forestaysail, jib trinket, jib tarengke sosoro, jipu jipu sosoro, jipu kapabelo, jipu jipu lajur panyucur cocor trikat, tringket tringkety trinquette trinchetina trinquetilla trinquetilha tali penahan bom boom-topping lift mantil boom manteleq pammanting ? manteleq mantel mante mantela amantilho Tabel 2.4.6: Tiga istilah ‘pinjaman’ dari Bahasa Portuges dalam beberapa bahasa di kawasan Samudera India dan Nusantara. Keterangan singkatan bahasa-bahasa terdapat pada tabel 2.1.3 23 The main impetus […] of Europe in this field came from the fact that the European colonial powers decided to build many of their medium and small-sized vessels in Asia. Since Europe was so far away, it was not only difficult from a point of navigation, but also less economical to sail all the way to Asia with such relatively small craft, which could be built more cheaply in Asia anyway. This in turn facilitated the transfer of European shipbuilding technology to local shipwrights and carpenters.60 Salah satu perubahan prinsipiil terjadi dalam cara pembuatan lambung perahu: Sebagaimana disebutkan di atas, perahu-perahu Nusantara sampai saat itu kemungkinan besar dibuat dengan ‘mengikat’ gading-gadingnya kepada papan-papan kulit; setelah semakin banyak perahu Barat sempat dilihat, dibuat dan dilayarkan oleh para pengrajin perahu dan pelaut indigen maka semakin besar kemungkinan bahwa di pusat-pusat perdagangan pemasangan gading-gading perahu dilakukan dengan menggunakan pasak (lht. gambar 2.3.1). Hal yang sama mungkin terjadi dengan munculnya semakin banyak perahu berukuran sedang dan kecil yang ditutupi dengan geladak – kemungkinan inilah alasannya hilangnya tipe-tipe perahu seperti lancara dan pangajava yang paling banyak disebutkan dalam sumber-sumber dari abad ke-16 dan ke-17, tetapi tak muncul lagi dalam daftardaftar administrasi pelabuhan abad ke-18. Bagaimanapun, perubahan-perubahan ini memunculkan juga sekian banyak masalah teknis: Pengalihan dari suatu teknologi yang berdasarkan fleksibilitas lambung perahu ke sebuah teknik yang mengutamakan ‘kekakuan’ pasti tak mungkin terjadi tanpa sekian banyak eksperimen dan percobaan61. Keinginan para saudagar-pelaut untuk memiliki perahu-perahu yang lebih andal menyebabkan, bahwa sekian banyak pembaharuan teknis terjadi dalam kurun waktu yang cukup singkat. Misalnya, penggunaan beberapa bagian layar fore-and-aft dan konstruksi geladak yang memakai pintu palka dapat diasumsikan menyebar dengan adanya teladan-teladan pertama ke seluruh kawasan Samudera India: Dalam hampir semua bahasa dalam wilayah ini istilah yang berhubungan dengan sekian banyak bagian layar dan tali-temali dan konstruksi palka perahu berasal dari bahasa Portuges (tabel 2.4.6). Secara umum, pengaruh kekuatan-kekuatan kolonial Barat atas keadaan perdagangan indigen di kawasan Samudera India kemungkinan besar tak begitu erat sebagaimana sering diutarakan. Pada satu pihak kapal-kapal layar Barat yang berukuran besar sempat 60 Knaap 1995:150 61 Mengenai masalah ini lht. msl. Horridge 1978, 1982 atau Chadhuri 1985:148ff. 24 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner mengambil sebagian dari volume muatan yang selama ini beredar di kawasan itu; pada pihak yang lain, adanya hubungan langsung ke Eropa menciptakan pasar-pasar baru bagi para pedagang indigen. Jelaslah persaingan dan perang dengan para pedagang-penjajah asal Eropa merupakan suatu hambatan bagi para saudagar-pelaut Asia sendiri; akan tetapi, pada pihak lain –misalnya– ekonomi manufaktur India, Cina, dan mungkin Nusantara semakin berkembang dengan permintaan pasar Eropa yang dapat dilayani secara langsung. Kepada tradisi perkapalan dan pelayaran, kekuatan Eropa itu memberikan suatu impetus teknologi yang sempat menyeimbangi sebagian dari restriksirestriksi yang mereka dirikan, dan pada abad ke-19 pasifikasi wilayah yang terakhirnya menjadi Indonesia menciptakan sebuah iklim yang sangat subur bagi pelayaran tradisionalnya. Pada bab berikutnya ingin saya utarakan beberapa contoh evolusi tipe-tipe perahu tertentu yang mungkin dapat menggambarkan argumen ini dengan lebih jelas. 3 Perahu-Perahu Secara dasar, jenis-jenis perahu tradisional Nusantara dapat digolongkan dengan tiga cara: Ada istilah yang menandai jenis layarnya, ada yang menggambarkan bentuk lambung, dan ada nama yang berasal dari cara dan tujuan pemakaian perahu62. Dengan cara penamaan ini memang agak susah buat orang awam untuk mengerti perbedaan-perbedaan yang jelas sekali bagi para pelaut dan pengrajin perahu – apalagi karena ‘secara kebiasaan’ hanya salah satu dari istilah ini digunakan untuk menandai sebuah tipe tertentu, dan tiada kepastian apakah istilah yang menandai jenis layar, tipe lambung atau tujuan penggunaannya menjadi ‘nama’ sejenis perahu. Lagi, istilah-istilah itu dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, dan terutama dalam bidang perikanan tradisional terdapat ratusan jenis perahu lokal yang masing-masing ‘punya nama’ tersendiri. Beberapa contoh dari Sulawesi Selatan: Nama perahu baqgoq asal daerah Mandar dan Barru bereferensi pada tipe lambung perahu, bila ia memakai layar jenis sloop (‘nade’) – jika ia dilengkapi dengan jenis layar lateen (‘lete’), maka pelaut-pelaut akan menamakannya baqgoq maupun lete; perahu-perahu yang menggunakan layar jenis schooner-ketch (‘pinisiq’) dinamakan pinisiq, biar lambung perahu berbentuk padewakang, palari atau lambo; perahu tipe patorani (‘pencari ikan terbang [torani]’) asal Galesong, Sulawesi Selatan, terdiri dari lambung pajala besar atau padewakang kecil dan memakai layar jenis tilted rectangular rig (‘tanjaq’). Meski begitu, ternyata sejak dahulu sampai sekarang terdapat suatu ‘standar’ penamaan tipe-tipe perahu yang berlaku bagi para pelaut Nusantara, baik asal dalam maupun luar negeri: Penemuan Knaap mengenai istilah akan jenis-jenis perahu dan kapal di Jawa Utara sudah disebutkan di atas (bab 2.4), dan peristilahan akan tipe-tipe perahu kontemporer yang digunakan pelaut-pedagang antar-pulau tradisional asal berbagai daerah Nusantara sangat seragam. Jadi, sebelum saya dapat membahas beberapa contoh konkrit evolusi tipe-tipe perahu tertentu, terasa perlu memberikan suatu outline tentang keanekaragaman tipe-tipe perahu Nusantara. 3.1 Beberapa Pengertian Dasar tentang ‘Perahu’ ‘Bagian’ perahu yang paling menonjol di laut adalah layarnya – dan layar itulah menjadi alasan suatu perahu dapat bergerak. Bagi orang awam pun jelas, bahwa sebuah perahu yang dipasangkan sehelai layar secara melintang dengan garis haluan / buritan akan terdorong oleh angin yang mengenai 62 Lht. msl. Horridge 1981, 1986, Liebner 1996(a) Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner Arah Angin Gambar 3.1.1: Tipe layar square rig dengan angin dari arah-arah buritan 25 layarnya dari buritan; bahkan, bila layar itu dapat ‘distel’ keluar dari sudut 90o terhadap garis haluan –buritan perahu, maka angin yang bertiup dari suatu sudut yang tidak sesuai dengan arah garis haluan / buritan itu pun dapat ditangkap dan mendorong perahu ke depan (gambar 3.1.1). Akan tetapi, sehelai layar dapat juga ‘menangkap’ angin yang ‘lewat’ di atas permukaannya: Seperti yang terjadi pada misalnya sebuah sayap pesawat (gambar 3.1.2), angin yang melewati layar menyebabkan adanya suatu daya dorong ke arah 90o dari arah layar itu (gambar 3.1.3). Menurut fisika aerodinamik, In this sailing position, the wind exerts a pulling rather than a pushing action on the sails, which act as airfoils, like the wings of an airplane. The general principle of wind action is that the wind flows at a greater rate of speed along the forward surface of the sail, creating an area of lower pressure ahead of the sail. The actual force exerted by the wind is at right angles to the sail.63 Efek ini sangatlah tergantung dari bentuk permukaan depan layar: Semakin lurus permukaan ini, semakin sempurna bentuk aerodinamis sayap itu. Selain itu, untuk ‘menangkap’ angin yang datang dari arah-arah bagian haluan, sehelai layar yang terpasang secara melintang (yang dalam tradisi Eropa dinamakan square rig, ‘layar andang-andang’) tak begitu cocok; maka, manusia telah menciptakan sekian banyak jenis layar yang terpasang searah dengan garis haluan / buritan serta memiliki permukaan depan yang lebih lurus. Dalam gambar (3.1.4) terlihat efek aerodinamika itu pada sejenis layar yang dalam terminologi Eropa dinamakan lateen rig Gambar 3.1.2: Efek sayap; dalam lingkaran sebelah (salah satu jenis layar non-square paling tua kanan terdapat permukaan profil yang yang dikembangkan dalam tradisi pelayaran menyebabkan efek ini. Menurut Ensiklopedia India, Arabia dan –secara independen– Encarta efeknya terjadi sebagai berikut: “The Austronesia64; oleh pelaut Nusantara dikenali leading edge of an airplane wing is higher than sebagai ‘layar lete’): Arah angin yang dapat the trailing edge. As the wing moves through ‘ditangkap’ layar itu semakin dari arah haluan the air, it pushes down the air that flows perahu. Akan tetapi, daya dorong yang diunderneath it. As the wing pushes the air down, the air pushes the wing up. Lift is often munculkan angin itu “would tend to drive the explained using Bernoulli’s principle, which boat at an oblique angle if the hull of the boat 65 relates an increase in the velocity of a flow of were perfectly flat” ; jadi, pada lambung fluid (such as air) to a decrease in pressure and vice versa.” 63 Ensiklopedia Encarta, entri ‘sail’ 64 Mengenai hal ini lht. msl. Doran 1981:41ff 65 ibid. Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 26 90o perahu perlu adanya suatu ‘penahan’ daya itu yang dapat mengubahnya menjadi daya dorong ke depan. Meski resistansi lambung terhadap air yang mengelilingnya sudah merupakan suatu ‘penahan’, masih diperlukan lagi adanya sebuah kemudi yang dapat mengarahkan perahu ke haluan yang diinginkan yang dapat berfungsi sebagai “a flat longitudinal plane to prevent the boat from moving sideways through the water”66 – kita akan kembali ke masalah itu di bawah ini. Oleh karena angin yang berdatangan dari arah dead ahead (dari sudut 0o terhadap haluan perahu) tak dapat ditangkap oleh layarnya, maka perlu ‘beropal-opal’ (beating to windward) bila sebuah perahu mau dilayarkan ke arah angin: Perahu itu diarahkan sedekat mungkin pada arah angin (closehauled) untuk berlayar sepanjang sejarak ter-tentu, dan kemudian haluannya dibalik (wear ship, dalam sekian ban-yak bahasa daerah Nusantara tunggeng – lht. gambar 2.1.3) untuk mengulangi hal yang sama ke arah yang berlawanan. Untuk itu, perlu mengadakan suatu manuver yang bertujuan memindahkan layarnya ke sebelah tiang yang lain. Secara dasar, bagi sebuah perahu layar terdapat dua kemungkinan untuk melaksanakan manuver itu: Memutarkan haluan dengan mengikuti arah angin (gybe), atau Gambar 3.1.4: Tipe layar lateen dan balik dengan mengarah ke arah angin (tack). Bila sebuah efek aerodinamika pada perahu ingin beropal-opal ke arah angin, maka dengan layarnya. Lingkaran di hamembalikkannya dengan mengikuti arah angin sebagian dari luan perahu menandai temperjalanan ke arah angin yang sudah didapatkan akan pat terjadinya tekanan rendah. Daya dorong perahu ‘menghilang’ kembali; jika perahu diputar dengan mengarah yang berarah ke samping ke mata angin, maka perlu jenis-jenis layar yang efisien dari diubah menjadi daya dosegi aerodinamikanya dan cara penggunaanya. Manuver ini rongan ke depan dengan dapat berbeda bagi jenis-jenis perahu yang berbeda, dan adanya kemudi (di sini dibahkan terdapat tipe-tipe perahu yang tidak atau hanya perlihatkan dua jenis kemudengan kesulitan dapat mengadakan manuver ini atau itu di, yakni kemudi samping (gambar 3.1.5). dan kemudi tengah). Di Gambar 3.1.3: Tipe layar square rig dengan angin dari arah setengah haluan. Disebabkan oleh perbedaan kecepatan angin yang melewati kedua permukaan layar, maka dalam lingkaran di sebelah kanan andang-andang terjadi tekanan rendah yang menjadi daya dorong yang berarah 90o dari garis permukaan depan layar. Oleh sebab memindahkan layar jenis lateen itu agak susah (bagian depan layar harus ditarik ke belakang tiang dulu, dan 66 samping perahu terdapat gambar skema profil layar yang dihasilkan berkat adanya spar atas layar ibid.. Pada perahu layar moderen malah dipasangkan tambahan lunas ke bawah yang berbentuk “plane” itu (lht. gambar 3.1.7). Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 5. Layar ditarik, laberang-laberang di sebelah angin yang baru dikencangkan 1. Perahu diarahkan ke arah angin (a) 4. Layar didorong ke depan di sebelah lain tiang, laberanglaberang di sebelah lepas angin dilepaskan 27 Gambar 3.1.5: Berlayar ke arah angin: Beropal-opal (tengah), manuver tack dengan layar jenis lete atau tanjaq (a) dan sloop modern (b), serta manuver gybe dengan layar jenis lete atau tanjaq secara ‘menerbangkan layar’ (c) 2. Layar perahu tak lagi kena angin 3. Layar ditarik ke belakang tiang, laberanglaberang sebelah angin yang baru mulai dipasang 4. Daman layar ditarik kembali; laberang dikencangkan, perahu diarahkan ke arah angin. 5. Layar ditarik, laberang-laberang di sebelah angin yang baru dikencangkan (c) Perahu diarahkan sedekat mungkin ke arah angin. Drift: Sebab daya dorong di layar berarah ke samping, maka perahu bergeser dari haluan yang dituju. (b) Berkat aerodinamika layar yang baik, perahu hanya diarahkan ke arah angin, dan daman layar ditarik kembali di sebelah angin yang baru. Setelah beberapa kali mengadakan manuver balik arah perahu berada di tujuannya. 1. Perahu diarahkan keluar dari arah angin. 3. Daman layar dibawa ke sebelah angin baru melalui geladak depan; laberang dilepaskan di sebelah angin lama dan dipasang di sebelah angin yang baru. 2. Layar dan laberang dilepaskan; layar dibiarkan ‘terbang’ ke sebelah angin yang baru. Saat ini cukup berbahaya, sebab kekuatan angin dapat merobohkan tiang. 28 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner semua tali-temali yang menahan tiangnya [shrouds,‘laberang’] perlu dipasangkan kembali di sebelah atas angin yang baru), maka sejak abad ke-17 di terutama Belanda dirancangkan yang terakhirnya menjadi jenis layar fore-and-aft: Dengan membagi layar lateen itu ke dalam dua bagian di depan dan di belakang tiang cara memindahkannya sangat dipermudahkan; selain itu, dengan adanya dua (atau lebih banyak) helai layar sifat-sifat aerodinamikanya ditingkatkan (gam-bar 3.1.6). Tipe layar fore-and-aft ini sampai abad ke-19 di Eropa dan Amerika Utara dikembangkan menjadi jenis layar yang paling efektif bagi perahu-perahu layar berukuran kecil dan sedang, dan pada abad ke-20 diubah menjadi layar sloop (‘nade’), jenis layar yang kini digunakan untuk perahu layar modern (gambar 3.1.7). Tipe layar indigen Nusantara dinamakan layar tanjak/q67. Sebagaimana disebutkan di atas, perahu-perahu yang memakai jenis layar itu digambarkan dalam sumber Cina, Arab dan Eropa sejak dahulu sebagai layar khas kawasan ‘Arsipel di Gambar 3.1.6: Tipe layar fore- Bawah Angin’ ini, dan sebaand aft (jenis gaff-cut- gian besar dari gambar perahuter / jengki) dan efek perahu di dinding-dinding aerodinamika pada Candi Borobudur pun memlayarnya. Berkat adaperlihatkan jenis layar ini. nya dua layar dan Layar tanjaq itu mengkombikemudi tengah, daya nasikan kedua sifat yang pada dorong ke depan semakin tinggi; pana tradisi Eropa dinamakan layar berarah dua menan- square dan layar fore-and-aft: Bila dai, bahwa kedua la- angin berdatangan dari arahyarnya itu dapat ber- arah haluan, layar tanjaq dapat gerak secara bebas diarahkan sejajar dengan haluan ke kiri dan kanan. perahu, jika angin bertiup dari arah-arah buritan perahu, maka layarnya dapat dikembangkan secara melintang (gambar 3.1.8). Hal ini dimungkinkan karena tiang perahu-perahu berlayar tanjaq pada umumnya terdiri dari dua sampai tiga batang kayu atau bambu, sehingga tak diperlukan terlalu banyak laberang untuk menahannya. Meski begitu, pada manuver mengubah haluan perahu kalau misalnya beropal-opal, bagian depan layar Gambar 3.1.7: Beberapa tipe layar fore-and-aft: Atas, perahu itu –sama dengan layar jenis lateen– harus ditarik ke belakang schooner-ketch (pinisiq); tengah, atau ‘dibiarkan terbang’ jika mau dipindahkan ke sebelah lain 67 perahu nade (Indonesian guntersloop); bawah: sloop modern. Karena tipe-tipe perahu yang masih menggunakan jenis layar ini kebanyakan berasal dari Sulawesi, maka berikut ini akan saya gunakan /q/ untuk menandai fonem glottal stop yang menggantikan /k/ dalam bahasa-bahasa setempat. Lht. juga catatan mengenai penggunaan /q/ pada Daftar Singkatan dan Tanda. Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner Arah Angin Gambar 3.1.8: Tipe layar tanjaq dapat dinamakan kombinasi dari fore-and-aft dan layar square. Perahu sebelah kiri berlayar dengan angin dari buritan, dan kedua layar dipasang seperti layar andang-andang; perahu di sebelah kanan berlayar dekat dengan arah angin, dan layarnya berfungsi seperti layar fore-and-aft. 29 tiang. Kini layar jenis tanjaq itu semakin jarang ditemui dan pada umumnya hanya dipakai di atas perahu-perahu berukuran kecil. Suatu tipe layar indigen lain adalah sekian banyak jenis layar lete yang terutamanya terdapat di Madura dan pulau-pulau di Laut Jawa bagian Timur. Menurut beberapa pengamat, di antara layar-layar itu terdapat juga beberapa versi Oceanic spritsail yang dianggap berbeda dari layar lateen versi India, Arabia atau Lautan Tengah68. Perahu yang memakai tipe ini adalah misalnya perahu janggolan asal Madura69; akan tetapi, jenis layar yang sering digunakan atas perahu-perahu yang bernama lete asal Madura lebih dekat dengan sifat-sifat layar lateen ‘biasa’. Sekian banyak jenis layar yang terdapat di Nusantara merupakan adaptasi tipe-tipe layar asal tradisi pelayaran Barat. Pada bab 2.3 dan 2.4 sudah saya utarakan, bahwa para pelaut ‘tradisional’ cenderung menggunakan tekno-logi-teknologi mana pun juga yang terbukti lebih efisien; hal ini dapat dibuktikan dengan adopsi dan perkembangan sekian banyak versi jenis layar fore-and-aft yang terdapat di Nusantara seperti nade atau pinisiq. Akan tetapi, suatu proses adopsi teknologi Barat terjadi juga dalam bentuk dan cara pembuatan lambung perahu: Sedangkan cara tradisional konstruksi lambung Nusantara dimulai dengan menyusun papan kulit dan berikutnya memasukkan gading-gadingnya, dalam tradisi Barat sebuah perahu dibangun mengikuti gading-gading yang dibangun sebelum papan-papan dipasang. Kini, di daerah-daerah yang cukup lama berada dalam pengaruh kekuatan kolonial perahu-perahu dibangun dengan mengikuti pola Barat, sedangkan di daerah-daerah yang baru masuk di bawah pemerintahan Hindia-Belanda pada abad ke-18 dan ke-19 cara tradisional Nusantara dipertahankan. Hal ini juga terlihat dalam bentuk lambung sendiri: Buritan perahu-perahu indigen berbentuk ‘bundar’, lunas dan linggi merupakan satu lengkungan, dan terdapat kemudi samping, sedangkan bentuk lambung ‘adopsi’ tipe-tipe Barat (yang pada perahu ukuran sedang dan besar kini dinamakan lambo) agak bersegi, dengan linggi yang dipasang kepada lunas dalam sebuah sudut, bentuk buritan yang lebar (square stern) dan kemudi tengah (gambar 3.1.9). Terutama bentuk lambo ini sejak tahun 30-an abad ke-20 menjadi semakin populer karena daya muatnya lebih besar dan dianggap lebih laju daripada bentuk indigen70; selain itu, adanya linggi belakang yang lurus memungkinkan pemasangan baling-baling mesin dan kemudi yang efisien. Sekarang ini sebagian besar PLM (‘perahu layar motor’, jenis perahu muatan besar) dan kapal motor kayu menggunakan bentuk lambung itu. 68 Lht. msl. Doran 1981:41 69 Wangania 1980:101ff; Horridge 1981, 1986 70 Lht. msl. Collins 1936, Nooteboom 1936, 1940, 1947, Horridge 1979 (b), Liebner 1990 30 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner Sebagaimana digambarkan di atas, perahuperahu Nusantara dibangun dengan ‘menyusun’ papan-papan lambung dahulu, dan gading-gading baru dipasang setelah lambung itu sudah agak tinggi. Cara pembuatan perahu itu memerlukan suatu Gambar 3.1.9: Bentuk lambung indigen Nusantara yang konsep teknis yang berbeda dari ‘bundar’ dan memakai kemudi samping (kiri) dan pengonsepan Barat: Bentuk lambung tak lambung ‘adopsi Barat’ dengan kemudi tengah ditentukan oleh kerangka gading-gading (kanan). yang ‘dilapisi’ dengan papan, tetapi melalui jumlah dan rupa papan-papannya. Oleh karena itu, para pengrajin perahu menciptakan suatu konsep pembuatan lambung yang dinamakan ‘pola penyusunan papan’ (plank patterns) yang dapat memastikan jumlah, posisi dan bentuk papan dalam sebuah tipe lambung tertentu: The patterns discovered vary considerably according to ‘sophistication’ of construction (for this and the following see fig.3 [gambar 3.1.10]). It is usual to begin with the plank in the middle of a new strake, and to add curved planks to front and aft until the strake is completed. While in KON nearly all planks of the construction are named individually and placed in position by several ways of ‘construction plans’ which prescribe length, place and form of each plank, the pattern at other places is to ‘define’ planks by way of usage and process of building. A good example is the Mandarese nomenclature: The plank in the ‘middle’ of a new strake is named with indoq tobo, (‘mother of the tobo’), the planks following tobo soroq, and the planks fitting to the stems paparuppa. ‘Plank, unspec.’ in MAN is papan but tobo could not be found in the only existing dictionary; soroq may be translated as ‘to stop, to return’, paparuppa as ‘the meeting (ruppa) plank’. In BAJ ‘plank’ is expressed with sarimpah or pappan; the first plank of a strake is named iyah timban, the timbers add to fore and aft are called sarimpah with an addition (as lurus, ‘straight’, or bengkoq, ‘curved’) describing their respective forms. Whereas iyah again means ‘mother’, timban and sarimpah could not be explained by the informants. In the other languages on the Butonese islands ‘plank’ is called dhopi throughout the hull except for the short curved planks in bow and stern which are named sarempa. In all areas a ‘body’ of short strakes is topped with a limited number of long sheerstrakes; in most languages the first two of them are given names. In BUG, MAK, KON these are papang lamma (‘the soft plank’) and rembasang (an only technical term?), in MAN palamma and papan tari -same as for the third strake in KON-, in BIN, TOM, WAN palari ([…]name for a hull of boats from South-Sulawesi) and kabewei or kabuwei - as, too, in CIA and SIO, where the first sheerstrake is called salabuku res. tolubotu. In BAJ we find guntuh and panintih. […] The Konjo use patterns much more complicated; for explanation we have to return again to the keel and the marks for the ‘constructional drawing’ on its top. […] A piece of bamboo as long as the keelpiece is taken as ‘construction plan’, and marked with notches for the tambugu and ruang which -as stated- will lateron fix the plank’s length and places and the positions of floors and rips; these notches will be transferred on the upper side of the keel in form of the small projecting lugs for the tambugu and hollow spaces for the ruang. In a boat smaller than 30t loading capacity constructed in tatta tallu, the ‘three-times-cut’, there will be 21 of these units, in a ship bigger than this cut by tatta appaq, the ‘four-times-cut’, two more ruang and two more tambugu. […] The sixth ruang from the bows is normally a little longer than the other ones: It will become the place of the magic ‘navel’ of the boat on the night before the launching. Sometimes the first and the last tambugu, too, are extended - in most cases the wood used for the keel extensions had been a little longer than fitting into the schedule, and by extending the counting is made appropriate again. A unit of one ruang and one tambugu is called tataripang or taritaripang; for ‘counting’ in tataripang, reckoning begins with the two tambugu in ‘front’ and ‘aft’ of the sixths ruang counting in both directions from the ‘centre’ of the boat. […] As one can see, each plank in the structure bears an own name associated 31 rembassang t.-t. t.-t. t.-t. papang lamma t.-t. tung.-tungpannapu sarro kulu tungku-tungpannapu sarro kulu tungku-tungpannapu sarro kulu papangappa pannapu tallulalang papangappa bengo pannapu sarro papangappa pannapu tallulalang pannapu tallulalang rakka pannapu sarro pannapu tallulalang pannapu lalang pannapu sarro papanglima pannapu tallulalang sangahili pintallung bengo papangannang sangahili pintallung urussangkaraq sangahili pinruang tungku-tungkulu tungku-tungkulu rakka pannapu tallulalang papangappa t.-t. sangahili pinruang pangepeq tambugu possiq ruang BAJ: sarimpah bengkoq tapah BAJ: panintiq; MAN: pallamma; BIN, TOM, WAN: kabewei BAJ: guntuh; MAN: sallaq mata; BIN, TOM, WAN: palari s.b.t BAJ:s. beng. pappar. MAN: t.soroq BIN:sarempa BIN:sarempa short plank aft BAJ:sarimp.bengkoq BAJ: iyah timban MAN: papparuppa BAJ: sari. lurus MAN: tobo soroq MAN: indoq tobo BIN, TOM, WAN: ndopi, dhopi first plank in middle of new strake BAJ: sari. bengkoq BIN: sarempa inserted plank BAJ: pangepe; MAN: passeger; BIN,TOM,WAN: rumahi BAJ: sa.ben.tap. MAN: papparuppa BIN,TOM,WAN:sarempa short bow plank MAN: papparuppa Gambar 3.1.10: Plank patterns, menurut Liebner 1993, 1996(b). Atas: potongan tatta tallu, tradisi pembuatan perahu orang Konjo; bawah: Nama-nama papan dalam lambung lambo dari Mandar dan Buton. Keterangan singkatan bahasa terdapat pada tabel 2.1.3 32 with it’s form and place: For example, the plank in the middle of a new strake (papangappaq) will normally last over four (appaq) tataripang, alternating one unit to right or left to its predecessor in the last strake; lalang means ‘inside’, tallu ‘three’; sarro reminds of MAN soroq; tungkulu translates ‘hard’, the name for this plank in Ara, the second centre of Konjo boatbuilding, rakkasala, ‘quickly damaged’. An additional numeral for the strake it is used in can fix the place of a plank definitely; a sophisticated terminology for the various possible forms of planks is in use. In a strictly traditional boat all planks would have to fit rigidly into the pattern, so that planks too long should be cut to size; informants told, that old panrita lopi after long experience could pick out trees suitable for special planks by sight. Depending on the size of the boat this strict prescriptions are stopped after the seventh or the eighth strake in the tatta tallu, and on top of the short planked parts two to four long strakes are fixed; the more flexible tatta appaq can be extended up to the wished size without a prescribed end of it’s tatta and topped with as much long strakes wished.71 Pada gambar 3.1.11 terdapat dua plank patterns dari Nusantara Timur. Tipe perahu tena dari Lomblen masih dibangun dengan menggunakan teknik lashed-lug (misalnya), dan pada masing-masing papan terdapat lugs untuk mengikat gading-gading kepadanya. Kelihatannya, pada cara pembuatan lambung perahu yang masih terdapat di Sulawesi, lugs itu telah ‘dipindahkan’ dari masing-masing papan ke atas lunas, tetapi sampai sekarang masih menentukan panjangnya sekeping papan dan letaknya gadinggading. Sebagaimana disebutkan pada bab 2, proses itu kemungkinan sudah terjadi sejak cukup lama Gambar 3.1.11: Dua pola penyusunan papan (‘plank patterns’)dari Indonesia Timur. Atas: Bagian haluan sebuah perahu dari Ambon (Horridge 1978:15); bawah: Plank pattern perahu tipe tena asal Lomblen (Barnes 1985) 71 Liebner 1993 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 33 di pusat-pusat perdagangan dan pembuatan perahu; akan tetapi, di pulau-pulau terpencil di Nusantara Timur Horridge masih sempat menyaksikan beberapa tahap transisi yang dapat menggambarkan terjadinya72. Mengenai adanya lugs itu saya utarakan di tempat lain: The word tambugu is widespread for a lug supporting a thwart in a canoe, and, too, for a lug left on a plank which in a construction predecessing today’s stiff ribs was used to fasten strong branches of rottan or other flexible materials bent under pressure into the hull (see, for example, Horridge 1981 and Manguin 1985). From the names in different languages quoted in the literature here only Bacan tambuku, old Visayan tamboko and BAJ timbuku shall be mentioned - though in other languages (e.g. Ternate, Galela maru-maru) there are quite dissimilar terms for this lug, difference in time and space the Philippines of the 17th, the Moluccas at the end of the last century and Tana Beru today- is baffling. The supposition, that the stiff frames which replaced this method are introduced by or copied from European prototypes can be discussed: From the beginning of European intrusion into Asia renegades are reported to have advised local rulers in especially military and maritime subjects, as for example the Macassan or Achin royal docks were reportedly under supervision of longestablished Portuguese shipwrights at times these two states were in quarrel with the VOC in the 17th century. As stated above, one of the words found (BUG, KON, MAK soloroq) might have a Portuguese (solera) source, while an other (kilu, kelu) shows affiliations with -for example- Ternatan gilu; proved in an Makassarese manuscript of the early 16th century as strengthening bar in a traditional house-type, kilu might be an indigenous term. Same could be said for lepe, ‘stringer’ in Sulawesi. However, when confronted with drawings of the ‘flexible-rib’ method, some old masterbuilders from Lemo-Lemo explained an other pattern: Several rows of transverse thwarts are set from above into dove-tailed holes in the upper edges of thick planks and fastened by twisting rottan loops which are bound tightly around these thwarts, a feature seen in several old models of boats in European museums, reproductions of which only by small chance could have been known to the informants. The old men maintained, that this method had been in use five to seven generations ago - I refute an estimation of the value of this information.73 Evolusi tipe-tipe perahu di Nusantara selalu tergantung dari kondisi-kondisi lokal, seperti daerah yang ingin dilayari, tersedianya bahan-bahan baku dan peralatan, tujuan penggunaan perahu, jenis layar yang akan dipakai dsb.. Hal-hal ini saling terkait, dan dapat menyebabkan solusi-solusi yang berbeda dari tempat ke tempat. Sebagai contoh atas proses evolusi ini ingin saya menggambarkan proses pengembangan dua tipe perahu terkenal Sulawesi, yakni sandeq dan pinisiq, di bawah ini. 3.2 Contoh Evolusi Perahu Bercadik: Sandeq Perahu Sandeq adalah tipe perahu terkenal Orang Mandar, salah satu suku yang mendiami pesisir pantai dan pedalaman Barat Laut Sulawesi Selatan di antara Polewali dan Malunda, sekitar 270 s/d 400km ke utara dari Makassar. Ialah sejenis perahu bercadik yang ukurannya cukup besar: Sandeq kecil berukuran 5m, sedangkan yang besar ukurannya sampai 16m sehingga dapat memuat 3-4 ton. Jenis perahu ini biasanya digunakan untuk menangkap ikan dan mengangkut muatan jarak jauh – artinya, perahu sandeq terbiasa melayari seluruh lautan di antara Sulawesi dan Kalimantan, bahkan ada perahu yang sampai ke Jawa dan Sabah di Malaysia. Perahu sandeq terkenal sebagai perahu layar terlaju di kawasan ini, dan dengan angin yang baik dapat mencapai kecepatan 15-20 knot, sekitar 3040km/h. 72 Horridge 1978, 1982 73 Liebner 1993. Keterangan atas singkatan-singkatan bahasa terdapat pada gambar 2.1.3. Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 34 Arah Angin bau: bom layar atas peloang: bom layar bawah mantel: tali penahan bom layar tambera di olona: laberang haluan tambera di buiqna: laberang buritan peloang: bom layar baratang: cadik palatto: katir palatto: katir baratang: cadik Gambar 3.2.1: Tipe perahu sandeq (kiri) dan pakur (kanan). Di atas terlihat cara ‘menyetel’ layar bila angin bertiup dari arah buritan: Baratang buritan perahu sandeq dipasang di tengah lambung supaya bom layar tak terhalangi oleh laberang tiang; baratang buritan pakur bisa berada di buritan lambung sebab layar tanjaq yang digunakannya dipasang tanpa memakai laberang. Sebagai salah satu tipe perahu bercadik, perahu sandeq merupakan suatu warisan dari zaman migrasi Austronesia yang terus-menerus dikembangkan sampai masa kini, dan mungkin merupakan salah satu puncak evolusi pembuatan perahu Nusantara: Seluruh lambung perahu ditutupi dengan geladak agar ombak yang dihadapi di lautan luas tidak dapat masuk, letak cadiknya disesuaikan dengan cara pemakaian jenis layar sandeq yang sebaliknya didasarkan atas pengalaman dan pengetahuan para pelaut Mandar yang dikumpulkan sejak ratusan tahun silam ini. Dari segi teknik pelayaran jenis perahu sandeq dapat dinamakan perahu moderen - walaupun dari cara pembuatan serta penggunaannya ia digolongkan sebagai perahu tradisional. Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 35 Sandeq berarti ‘runcing’ dalam Bahasa Indonesia, dan menurut para pelaut Mandar menunjukkan bentuk haluan perahu yang tajam. Jenis perahu sandeq yang kini kita kenali sebagai perahu tradisional terkemuka Mandar baru bermunculan pada sekitar tahun 30-an abad ke-20; jenis perahu pakur yang digunakan sebelumnya “berbentuk seperti sandeq’’ dan memakai layar tanjaq. Nooteboom yang pada tahun 1938 sempat mengunjungi daerah Mandar memberitakan, bahwa Sejak beberapa waktu lalu cukup banyak dari perahu-perahu [pakur] itu diberikan layar dan talitemali yang lain. Tiang yang digunakannya lebih panjang, dan berbengkok ke belakang pada ujung atasnya, sebagaimana yang biasa digunakan pada perahu-perahu pesiar kecil yang memakai layar fin. Layar yang digunakannya memang sehelai layar fin yang lebar dan rendah. Pemilik-pemilik beberapa perahu yang serupa ini menceritakan kepada saya bahwa layar dan tali-temali ini mereka buat mengikuti layar-layar perahu pesiar yang mereka lihat di Makassar.74 Hal ini dapat dikonfirmasikan melalui laporan Van Vuuren mengenai keadaan pelayaran dan perkapalan di Mandar pada tahun 1916, di mana nama perahu sandeq belum disebutkan. Selain pakur, Van Vuuren dan Nooteboom menyebutkan satu tipe perahu bercadik lain yang dinamakan olan mesa ukurannya lebih kecil daripada pakur, lambung perahu sangatlah runcing dan layarnya (jenisnya tanjaq) “besar sekali’’. Di beberapa kampung di bagian utara daerah Mandar kini masih terdapat perahu-perahu jenis pakur; perahu olan mesa tidak dipakai lagi. Oleh karena tiang yang diperlukan guna memasang jenis layar sandeq ini harus berbatang tunggal dan diperkuat dengan laberang, maka bentuk lambung perahu sandeq berbeda dari pakur yang menggunakan tiang tripod tanpa tali penguat (gambar 3.2.1). Hal ini terutama terlihat pada letak cadik perahu: Sedangkan cadik buritan sandeq dipasang di sekitar tengah lambung perahu, pada perahu pakur cadik buritannya terletak berdekatan dengan sanggar kemudi perahu di bagian belakang lambung. Kemungkinan besar bentuk lambung perahu pun ikut berubah – bagi layar tipe tanjaq yang ‘mengangkat’ perahu bila berlayar sebuah lambung yang bundar paling cocok; yang paling sesuai dengan tipe layar fin yang sebagai layar fore-and-aft memunculkan daya dorong ke depan yang kuat adalah sebuah lambung yang runcing, ‘sandeq’. Sampai hari ini proses evolusi perahu sandeq tak pernah berhenti: Misalnya, sejak tahun 60-an abad ke-20 cadik buritan semakin dipindahkan ke arah haluan perahu (untuk memungkinkan bom layar bergerak dengan lebih leluasa), dan sejak akhir tahun 70-an cadik haluan mulai dipasang pada tempat yang lebih tinggi daripada sebelumnya (untuk menghindari tertenggelamnya dalam ombak bila perahu berlayar dengan angin dari buritan). Setelah ekonomi Indonesia pada awal tahun 1970an semakin bergerak, maka semua ikatan di antara cadik, katir dan lambung perahu yang sebelumnya terbuat dari rotan diganti dengan tali monofilamen (sejenis tali pancing berukuran besar) yang semakin gampang didapatkan di pasaran, dan layar sandeq yang sampai saat itu dijahit dari kain katun diganti dengan jenis-jenis kain plastik yang lebih ringan dan tahan. Dengan perubahan-perubahan ini daya tahannya di laut lepas semakin ditingkatkan, sehingga selama dua dekade akhir abad ke-20 perahu-perahu sandeq mampu berlayar selama beberapa minggu mencari ikan sepanjang Selat Makassar dari Toli-Toli di ujung Utara Sulawesi sampai ke Pulau Laut di Kalimantan. Dari segi konstruksinya perahu-perahu tipe sandeq kini digolongkan dalam dua tipe utama, yaitu sandeq tolor dan sandeq bandeceng. Kedua tipe itu dibedakan oleh cara memasang cadik: Pada sandeq tolor cadiknya dimasukkan ke dalam lambung perahu, sedangkan pada sandeq bandeceng cadiknya diikat ke atas geladak perahu. Tipe terakhir ini baru mungkin dibuat setelah tersedia tali monofilamen: 74 Nooteboom 1940:28, terj. pen.. Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 36 Pasang-memasang ikatan dari rotan tak mungkin karena bahan itu akan lapuk dan tak tahan lagi di laut. Selain dua tipe tersebut masih terdapat beberapa tipe perahu lainnya yang mengkombinasikan kedua jenis konstruksi itu: Misalnya, cadik haluan tipe sandeq callawai diikat ke atas geladak haluan, sedangkan cadik buritan dimasukkan ke dalam lambung perahu. Keuntungan yang didapatkan dengan mengikat cadik ke atas geladak adalah tingginya cadik dari permukaan laut dan gampangnya melepaskan cadik serta katir ketika perahu mau dinaikkan ke darat untuk disimpan di bawah rumah pemiliknya; kekurangannya adalah kelemahan pengikat yang sering menyebabkan longgarnya cadik yang dapat membahayakan di lautan luas. Selain itu, perahu tipe bandeceng dan callawai terbuat dari kayu yang tipis dan ringan sehingga tak begitu “kuat’’ menghadapi pukulan ombak besar yang terdapat di lautan luas. Maka, kedua tipe perahu ini jarang digunakan untuk penangkapan ikan jarak jauh, akan tetapi sering dibuat untuk kegiatan lomba saja: Sebab melepaskan cadik dan katir serta cara menyimpannya di bawah rumah begitu gampang, perahu dapat disimpan di darat sepanjang tahun agar kering dan ringan ketika diturunkan untuk mengikuti perlombaan. Sebenarnya, cara ikat-mengikat itu adalah suatu keunggulan sandeq yang tak terdapat pada tipe-tipe perahu lain. Seluruh konstruksi katir dan cadik –yang menentukan daya tahan perahu bila berlayar di laut lepas–sangat fleksibel, sehingga dapat melenting dan mengenyalkan pukulan ombak dan daya dorong layar. Oleh karena itu, jenis perahu yang terlihat sangat fragil ini sebetulnya amat bertahan di lautan, dan sekeliling cara mengikat baratang, tadi dan palatto terdapat serangkaian pantangan yang bertujuan untuk menjamin adanya keseimbangan keseluruhan konstruksi itu75. Sejak tahun 1970an, ukuran perahu-perahu sandeq semakin bertambah: Sedangkan pada tahun-tahun ini panjangnya rata-rata sekitar 7-8m, kini perahu-perahu sandeq yang masih melayari lautan luas pada umumnya berukuran di atas 10m. Sampai beberapa tahun silam, ratusan perahu sandeq digunakan untuk mencari ikan (dan telur ikan terbang, suatu komoditi ekspor yang sejak tahun 1972 diproduksi di Mandar) di sepanjang Selat Makassar. Para pelaut Mandar menjadikannya beberapa tipe tertentu yang diklasifikasikan sesuai dengan penggunaanya; di antara lain terdapat tipe-tipe berikut ini: Sandeq pangoli dipakai untuk menangkap ikan dekat pinggir karang dan wilayah pertemuan arus dengan menonda umpan yang terbuat dari bulu ayam di belakang perahu (mangoli); tipe perahu ini sangat laju dan lincah serta dapat membalik haluannya dengan cepat agar dapat memburu ikan dan tidak kena karang. Sandeq parroppo dipakai untuk menangkap ikan di rumpon (roppo) di lautan bebas; tipe perahu ini cukup besar agar (i) dapat memuat dua-tiga sampan yang diturunkan di rompong guna meluas areal penangkapan, (ii) para pelaut dapat membawa perbakalan untuk pelayaran yang berlangsung selama dua s/d lima hari, (iii) perahunya dapat menahan ombak yang besar dan angin yang kencang di lautan bebas yang merupakan daerah penangkapan ikan itu. Sandeq potangnga yang dipakai untuk mengarungi laut lepas demi menangkap ikan dan mencari ikan terbang dan telurnya. Tipe perahu itu besar agar bisa memuat bekal dan peralatan yang diperlukan dalam mengarungi lautan selama dua-tiga minggu, terutama garam secukupnya untuk mengkonservasikan ikan. Agar ombak tinggi yang biasanya ditemui di daerah penangkapan ikan takkan sempat mengganggu dan membasahi para pemancing, maka pada jenis perahu sandeq ini sering terdapat tambahan beberapa ‘panggung’ yang lebih tinggi daripada geladak lambung perahu yang terpasang kiri-kanan di belakang tiang.76 75 Lht. msl. Liebner 1996(a):14ff, Sahur dkk. 1991 76 Pers Rilis Sandeq Race 2002 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner J J J J J J J J Gambar 3.2.2: Peta Daerah Mandar, Sulawesi Selatan. Tanda 37 J J menandai desa-desa nelayan laut lepas. Oleh karena harga jual telur ikan terbang (dan beberapa jenis ikan lain) cukup tinggi, maka pendapatan para punggawa (‘pemilik/nakhoda perahu’) memungkinkan suatu akumulasi kapital yang menyebabkan bahwa sejak sekitar satu dekade semakin banyak passandeq mampu membeli kapal motor ukuran kecil. Proses itu mulai di daerah Majene (di mana kini hanya tertinggal satu-dua perahu sandeq berukuran besar), dan sampai sekarang menyebar ke hampir semua kampung nelayan Mandar antara Tanjung Rangas dan Polewali (gambar 3.2.2); bagian terbesar dari perahu-perahu sandeq yang masih dipelihara dengan baik pada umumnya digunakan untuk berlomba saja. Sejak puluhan tahun, para pelaut Mandar merayakan berakhirnya musim penangkapan ikan terbang dengan mengadakan perlombaan-perlombaan sandeq di kampung-kampung mereka, dan memenangkan sebuah perlombaan menjadi sebutir kebanggaan tak ternilai bagi pelaut, pemilik perahu, bahkan seluruh kampung asal sang pemegang juara. Dengan berlomba pun para nelayan selama ini melatih dan meneruskan kelincahan dan kelihaian dalam berlayar yang menjadi sifat utama seorang pelaut yang tangguh, dan –seperti yang terjadi pada semua lomba kendaraan laut dan darat di seluruh dunia– mencoba meningkatkan kelajuan dan daya tahan kendaraannya. Bahkan, di daerah itu terdapat juga suatu tradisi perlombaan maket perahu-perahu sandeq, yang dianggap sebagai “percobaan kecil-kecilan” dalam upaya memperbaiki parahu sandeq “benaran”77. Kini, lambung kapal-kapal motor yang dibangun di daerah Mandar dipengaruhi oleh pengalamanpengalaman ini dalam misalnya ‘runcingnya’ bentuk haluan dan sifat-sifat hidrodinamis pada buritan 77 Tkg. Hasanuddin, tukang perahu asal Desa Pambusuang, dan Raopun, punggawa sandeq ‘Ratu Pantai’, 2001 dalam wawancara untuk sebuah film dokumenter (produsen: Studio UMI, Jepang). Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 38 yang telah menjadi salah satu alasan kelajuan perahu sandeq: Pengetahuan tradisional yang selama ini diterapkan pada sebuah perahu layar ternyata sempat ‘dipindahkan’ pada lambung perahu motor yang dari segi konstruksi cukup jauh berbeda itu. Sudah pada tahun 1930an Nooteboom mencatat, bahwa para nelayan Mandar “adalah pelaut penuh enerji, yang dengan mengadopsikan bentuk-bentuk [perahu] baru terus-menerus mencari kemungkinan baru. […] Oleh karena itu, bagi studi adaptasi kultural dan pemgambil-alihan elemen-elemen budaya [hal ini] sangat penting.”78. Proses evolusi perahu di Mandar ini mungkinlah suatu contoh yang baik untuk menggambarkan dinamika perkembangan masyarakat-masyarakt bahari. 3.3 Contoh Evoulsi Perahu Berpapan: Dari Padewakang ke PLM Sebagaimana disebutkan dalam bab 2.4, perahu padewakang sejak paling lambat abad ke-18 merupakan tipe utama dari sekian banyak jenis perahu dagang jarak jauh Sulawesi Selatan. Padewakang-padewakang milik pedagang Mandar, Makassar dan Bugis melayari seluruh Samudera Indonesia di antara Irian Jaya dan Semenanjung Malaya, dan sekurang-kurangnya sejak abad ke-19 secara rutin berlayar sampai ke Australia untuk mencari tripang; dalam suatu buku dari abad silam bahkan terdapat gambaran sebuah perahu padewakang yang dicap ‘perahu bajak laut asal Sulawesi di Teluk Persia’79. Tipe perahu ini menggambarkan dengan baik sifat-sifat perahu Nusantara sejak kedatangan kekuatan kolonial: Sebuah lambung yang –menurut standar Eropa– berukuran sedang yang dilengkapi dengan satu sampai dua geladak, kemudi samping dan layar jenis tanjaq yang dipasang pada sebatang tiang tripod tanpa laberang (gambar 3.3.1). Gambar 3.3.1: Gambar rekonstruksi tipe perahu padewakang oleh Burningham (1987:119) 78 Nooteboom 1940:23 79 Lht. msl. MacKnight 1976, Nooteboom 1951, 1952, Cense 1952, Hourani 1951, Paris 1842 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 39 Pada pertengahan abad ke-19 para pelaut Sulawesi mulai mengkombinasikan tipe layar tanjaq dengan jenis layar fore-and-aft asal Eropa dan Amerika yang saat itu baru saja bermunculan di Nusantara. Alfred Wallace yang dalam ekspedisinya ke Kepulauan Aru menaiki sebuah perahu seperti itu memberitakan: It was a vessel of about seventy tons burthen, and shaped something like a Chinese junk. The deck sloped considerably downward to the bows, which are thus the lowest parts of the ship. There were two large rudders, but instead of being placed astern they were hung on the quarters from strong cross beams, which projected out two or three feet on each side, and to which extant the deck overhung the sides of the vessel amidships. [...] Our ship had two masts, if masts they can be called, which were great moveable triangles. If in an ordinary ship you replace the shrouds and backstays by strong timbers, and take away the masts altogether, you have the arrangement adopted on board a prau. [...] The mainyard, an immense affair nearly a hundred feet long, was formed of many pieces of wood and bamboo bound together with rattans in an ingenious manner. The sail carried by this was of an oblong shape, and was hung out of the centre, so that when the short end was hauled down on deck the long end mounted high in the air, making up for the lowness of the mast itself. [... This sail] was of matting, and with two jibs and a fore-and-aft sail astern of cotton canvas, completed our rig. [...] The rigging and arrangement of these praus contrasts strangely with that of European vessels, in which the various ropes and spars, though much more numerous, are placed so as not to interfere with each other’s action. Here the case is quite different; for though there are no shrouds or stays to complicate the matter, yet scarcely anything can be done without first clearing something else out of the way. Yet praus are much liked even by those who had European vessels, because of their cheapness both in first cost and in keeping up; almost all repairs can be done by the crew, and very few European stores are required.80 Perahu-perahu asal Sulawesi yang menggunakan layar kombinasi ini juga terdapat atas beberapa gambar dalam Ethnographische Atlas karangan Matthes tahun 1859: Ternyata keuntungan layar fore-and-aft semakin jelas bagi para pelaut Sulawesi, sehingga mereka berusaha untuk mengkombinasikannya dengan layar tanjaq yang selama ini terbukti sesuai dengan kondisi-kondisi pelayaran mereka. Salah satu hal yang secara pasti menjadi hambatan bagi para pelaut itu disebutkan oleh Wallace – layar fore-and-aft pada Gambar 3.3.2: Tipe perahu padewakang tiang buritan dan tamberang haluan terbuat dari kain dengan ‘layar kombinasi’ kanvas, sedangkan layar-layar tanjaq terdiri dari ‘tikar’ (tenunan?) daun (lontar?); saya di atas sudah menyebutkan beberapa contoh atas interdependensi tersedianya bahan-bahan baku dan teknik-teknik konstruksi perahu. Suatu hambatan lain digambarkan Wallace dengan “hampir tak ada yang dapat dibuat [pada layarnya] tanpa membereskan sesuatu yang lain sebelumnya’: Kombinasi kedua tipe layar itu ternyata belum layak dipakai, dan kita bisa memastikan bahwa para pelayar bercoba-coba untuk mendapatkan solusinya. Dari percobaanpercobaan ini terakhirnya lahir layar pinisiq yang selama hampir 100 tahun menjadi jenis layar khas perahu-perahu Sulawesi. Layar dan perahu jenis pinisiq mulai bermunculan di Nusantara pada sekitar tahun 1840-an. Konon ceritanya, di Kuala Trengganu tinggallah seorang Perancis atau Jerman, yang telah melarikan diri dari sebuah kapal layar berukuran besar asal Eropa (atau tak mau ikut ke Indonesia ketika Malaka 80 Wallace 1869:311-16 40 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner diserahkan oleh Belanda kepada Inggris) ke Trengganu di mana ia menikahi seorang gadis Melayu dan bekerja sebagai tukang besi81. ‘Versi romantisnya’ adalah, bahwa pada suatu hari Raja Trengganu kala itu, Sultan Baginda Omar, meminta si bule membantu buat sebuah perahu yang menyerupai perahu barat yang paling modern, sehingga dibangunkannya suatu kapal sekunar yang dipakai sebagai perahu kerajaan; ‘perahu pinisiq pertama’ serta si bule yang bernama Martin Perrot itu dilihat dan ditemui oleh seorang nakhoda Inggris pada tahun 1846 ketika berlabuh di Kuala Trengganu. Menurut tradisi para pelaut Melayu, perahu itulah yang dijadikan contoh pertama untuk membangun perahu-perahu sejenis yang berikutnya dinamakan pinas atau penis, mungkin sekali dengan meniru kata pinasse, yang dalam bahasa Perancis dan Jerman pada zaman itu menandai sejenis kapal layar berukuran sedang. Kebetulan bukan hanya satu perahu itu yang pada abad silam sempat dilihat oleh para pelaut Makassar, Mandar dan Bugis yang kini terkenal dengan perahu pinisiqnya, tetapi sejak awal abad ke-19 semakin banyak pedagang-pelaut Inggris yang beroperasi dari Singapura maupun para pedagang partikuler Belanda di Indonesia (yang –sebagaimana terlihat pada bab 2.4– bukan hanya terdiri dari orang Barat saja) mulai menggunakan perahu jenis sekunar Barat yang baru dirancang di Amerika pada dekade-dekade akhir abad sebelumnya82. Bahkan, dalam sebuah armada bajak laut “berbendera Belanda” (dan dengan ini berasal dari Indonesia?) yang beroperasi dekat Singapura pada tahun 1836 terdapat beberapa perahu yang “rigged as a schooner with cloth sails”83 – artinya, bukan hanya di Trengganu, tetapi di beberapa tempat lain di Nusantara tipe layar yang terakhirnya menjadi ‘The Indonesian Schooner’ itu mulai digunakan. Bagaimanapun, jenis kapal layar yang dapat melawan angin dengan jauh lebih baik daripada jenisjenis perahu tradisional Nusantara maupun full-rigged-ship Eropa itu sempat mengungguli saudagar laut asal baik dalam maupun luar Nusantara: Dibandingkan dengan perahu dan kapal layar tipe lain yang menggunakan layar andang-andang, sebuah sekunar dengan sangat lincah dapat beropal-opal ke mata angin, sehingga ia tak tergantung dari arah angin monsun yang berabad-abad lamanya mendikte arus pelayaran dan perdagangan di Nusantara; layarnya dapat dicocokkan dengan hampir semua kekuatan angin; jumlah tenaga pelaut yang di diperlukan untuk menguasainya jauh lebih kurang daripada tipe-tipe layar lain. Dengan jelas, sukses perahu sekunar itu menjadi dorongan buat para pedagang-pelaut asal Sulawesi itu untuk mencoba menerapkan layar yang serupa di atas perahuperahu mereka. Jenis layar pinisi tampaknya seperti perahu schooner ketch asal Eropa (gambar 3.3.3): Tiang haluan lebih tinggi daripada tiang di buritan, dan pada kedua tiangnya terdapat layar jenis fore-and-aft. Namun, layar jenis pinisiq itu dalam beberapa hal berbeda dari teladannya - misalnya, sedangkan pada sekunar barat andang-andang layar dinaik-turunkan dengan layarnya, pada sebuah perahu pinisiq andangandang itu terpasang tetap pada pertengahan kedua tiang, dan layarnya dikembangkan dengan menariknya ke ujung andang-andang itu bak sehelai gorden. Sebuah perahu pinisiq lengkap memakai 81 82 83 Gibson-Hill 1953:26ff menyebutkan beberapa versi dan kemungkinan cerita ini. Yang jelas, bahwa “as seems likely, the first one [perahu pinas] was built after his [orang Jerman atau Perancis itu] arrival. […] It seems, in fact almost certain that he must have been responsible for at least the essential metalwork on the royal schooner. This would, in the circumstances, be sufficient to associate him closely with her, and thus to leave the tradition that the perahu pinas owed its origin to boats built by a European who settled in Trengganu. Further the use of the term pinasse rather than the English pinnace, which by this period was a rowing rather than a sailing boat. […] This again suggests that the man was sufficiently closely associated with the new vessel to establish his name for the category.” (ibid., 30) Lht. msl. Marquardt 1989 Pigafetta, A. & S.St.John 1849, IV:401-2 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 41 tujuh sampai delapan helai layar: Tiga helai layar bersegitiga yang terpasang pada laberang depan tiang haluan, pada masing-masing tiangnya sehelai layar besar bersegi empat serta sehelai layar topser bersegitiga di atasnya, dan pada laberang depan tiang buritan sering terdapat lagi sehelai layar bersegitiga. Dengan layar-layar ini perahu pinisiq menjadi sangat atraktif bagi pelaut Sulawesi: Nooteboom melaporkan dari Mandar, bahwa Alasan yang mendorong orang Mandar untuk meninggalkan layar tanjaq yang digunakan dari dahulu demi layar pinis yang lebih bersifat Gambar 3.3.3: Perahu pinisiq Eropa menurut Haji Daeng Pale adalah kemudahan dalam pemakaiannya. Bila anginnya bertambah, orang di atas perahu yang menggunakan layar tanjaq harus menggulung layarnya yang begitu besar itu ke atas bom bawahnya, suatu pekerjaan yang berat dan berbahaya. Layar pinis dapat dikurangi bagian demi bagian [… Ini] dimulai dengan mentutup layar topser dan layar anjungan. Jika anginnya bertambah lagi, maka agak gampang mengurangi layar besarnya dengan menariknya ke arah tiang, sehingga perahu dengan menggunakan layar yang ditutup setengah itu dan satu atau lebih layar anjungan masih bergerak secukupnya supaya daya kemudi tak hilang. Selain ini, terdapat pula perbedaan dalam kemampuan berlayar, yakni bahwa layar pinis itu dapat berlayar lebih dekat ke arah angin. […] Yang paling penting adalah bahwa [perahu] dapat berbalik haluan dengan lebih gampang bila beropal-opal.84 Pada awalnya layar pinisiq dipasang ke atas lambung perahu padewakang dan sejenisnya; akan tetapi, ketika para pelaut dan pengrajin perahu semakin sadar atas cara pemakaiannya, lambung yang dipilih adalah jenis palari saja – tipe lambung yang sangat runcing dan ‘pelari’ itu memanglah yang paling sesuai dengan layar sekuner. Evolusi ini terjadi dalam beberapa tahap: Tipe lambung padewakang dirancang dengan lebih runcing dan ditingkatkan dengan beberapa papan tambahan yang menyebabkan, bahwa dek haluan menjadi lebih rendah daripada dek utama dan buritan, dan bahwa konstruksi balok-balok guling seolaholah ‘terbang’ di belakang buritan perahu (palari salompong ambeng rua kali [istilah-istilah ini berasal Gambar 3.3.4: Sebuah perahu pinisiq tahun 1930-an dari Bahasa Konjo]85); berikutnya bagian geladak asal Bira 84 Nooteboom 1940:26, terj. pen.. 85 Istilah akan tipe-tipe lambung ini dalam Bahsa Mandar terdapat dalam Nooteboom 1940:23ff 42 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner Gambar 3.3.5: Evolusi lambung palari-pinisiq. Atas: Tipe lambung palari salompong ambeng rua kali awal abad ke-20 s/d 1940; tengah: Palari salompong pertangahan abad ke-20; bawah: Palari-pinisiq, s/d tahun 1970-an buritan (ambeng) diteruskan hingga balok-balok kemudi menyatu dengannya (palari salompong); dan tahap terakhir adalah meningkatkan linggi haluan supaya seluruh geladak menjadi lurus (palari pinisiq – gambar 3.3.3-6). Tipe lambung terakhir ini digunakan sampai perahu pinisiq diganti dengan tipetipe PLM, ‘perahu layar motor’. Pada awal tahun 1970-an ribuan perahu pinisiq-palari yang berukuran sampai 200 ton muatan, armada perahu layar komersial terbesar di dunia pada saat itu, sempat menghubungi semua pelosok Samudera Indonesia dan menjadi tulang rusuk perdagangan rakyat. Sejak tahun 1930-an perahu-perahu ukuran kecil dan sedang di seluruh Nusanara semakin sering menggunakan layar jenis nade sebagai penggeraknya. Jenis layar ini pun berasal dari pengaruh barat, yaitu perahu-perahu layar jenis cutter dan sloop86. Layar nade itu terdiri dari satu atau dua helai layar jib di depan dan sehelai layar besar di belakang tiang. Pelaut yang paling kenal dengan perahu-perahu layar yang memakai layar nade berasal dari Pulau Buton di Sulawesi Tenggara; mereka pun 86 Salah satu versi asalnya lambo itu terdapat dalam Liebner 1990; lht. juga Nooteboom 1936 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 43 Gambar 3.3.6: Perahu-perahu pinisiq di pelabuhan Singapura pada tahun 1950an menggunakan sejenis lambung perahu tertentu bernama lambo yang berasal dari perpaduan contohcontoh perahu barat dengan teknik tradisional Nusantara (lht. bab 3.1). Menurut beberapa sumber, para pelaut cenderung memilih tipe lambung lambo dengan layar nade karena pemakaiannya bahkan lebih gampang dan kemampuannya dalam beropalopal konon lebih baik lagi daripada perahu pinisiq87. Pada awalnya, tipe baru ini dimaksudkan sebagai pesaing perahu palari-pinisiq; akan tetapi, setelah daya muat perahu pinisiq semakin ditingkatkan, maka tipe lambo-nade digunakan sebagai perahu dagang yang berukuran sedang88 (gambar 3.3.9). Setelah pada tahun 1970-an semakin banyak perahu dilengkapi dengan mesin penggerak, maka dengan cepat baik lambung perahu maupun layarnya diubah: Untuk dipasangi dengan sebuah mesin jenis-jenis lambung tradisional terbukti tak cocok, sehingga lambung Gambar 3.3.7: PLM modern tipe lambo menjadi alternatifnya. Pada tahun-tahun berikutnya, daya muatnya semakin ditingkatkan, sehingga kini terdapat perahu yang bisa memuat lebih daripada 300t; hampir semua perahu dagang tradisional itu kini menggunakan lambung jenis lambo yang diperbesarkan itu (gambar 3.3.7). Oleh karena layarnya sekarang hanya berfungsi sebagai pembantu, maka di atas perahu tipe PLM ini biasanya terdapat satu tiang saja: Memakai banyak layar artinya membawa awak banyak, Gambar 3.3.8: PLM dengan dan pada zaman ini tenaga manusia serta gajinya semakin layar nade 87 Lht. Nooteboom 1940, Collins 1936, 1937 88 Lht. msl. Horridge 1979 (b) 44 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner Gambar 3.3.9: Tipe perahu pinisiq dan lambo, tahun 1970-an diperhitungkan. Perahu-perahu yang berukuran besar tetap memakai layar bak pinisi satu tiang, sedangkan perahu ukuran sedang dilengkapi dengan layar nade (gambar 3.3.8). Akan tetapi, baik perahu yang memakai layar pinisiq tiang tunggal maupun layar nade tak lagi dapat berlayar dengan tenaga angin saja - pada umumnya ukuran layarnya kecil, dan tiangnya terlalu pendek, sehingga layar hanya dibuka saat arah angin menguntungkan. 4 Masa Depan Perkapalan dan Pelayaran Tradisional Sebagaimana kita ketahui, tradisi yang berfaedah bukanlah suatu keadaan yang statis. Dalam arti sebenarnya tradisi adalah seutas tali pewarisan yang tidak pernah putus, yang bahkan oleh ketidakputusan itu mampu untuk berkembang terus - jadi, suatu ‘ketradisian hidup’ yang didasarkan atas pengetahuan dan filsafat yang diturunkan dari generasi ke generasi akan mampu untuk menyertai perkembangan zaman berkat dasarnya yang semakin kuat itu: Dengan menghormati dan menjaga nilai-nilai tradisional kita dapat menyambut yang baru dengan penuh kearifan. Dalam kerangka acuan suatu seminar mengenai pemgembangan masyarakat bahari yang pernah saya ikuti dilontarkan, bahwa ‘‘teknostruktur adalah bagian atau buah dari budaya masyarakat, [... dan ...] agar mereka mampu mengembangkan teknologi yang dibutuhkan, [...] pengembangan teknologi perlu didukung oleh budaya masyarakat yang sadar atau melek teknologi’’89. Dalam pendahuluan kerangka acuan acara itu disebutkan pula, bahwa orang asing sudah pada awal abad silam heran dan kagum terhadap pengetahuan para pelaut Nusantara - dan mengingat keterbatasan peralatan, modal dan sumber yang dimiliki masyarakat desa, seharusnya kita semua ikut kagum dan heran melihat 89 Kerangka Acuan Seminar Nasional Pengembangan Kelautan Indonesia, Tim Penyelenggara, UNHAS, Makassar, 1999:3 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 45 keberhasilan mereka dalam penghidupan sehari-harinya: Ternyata masyarakat kita memiliki teknologi, bahkan yang cukup canggih dan sangat beradaptasi pada situasi dan kondisi mereka. Alhasil, membicarakan pengembangan IPTEK buat masyarakat bahari berarti membahas lebih dahulu teknologi yang digunakan masyarakat, dan mengembangkan teknostruktur masyarakat itu artinya melihat budaya dan kebudayaan yang melatarbelakangi, baik pengetahuan teknik yang dimiliki maupun struktur sosial dan kultural yang merupakan landasan utama dalam penerapan teknologi, baik yang bersifat tradisional maupun yang modern. ‘Kebudayaan yang melatarbelakangi’ hal-hal tersebut secara paling dasar berarti suatu kumpulan konsep, gagasan, cita-cita dan citra-citra yang dianut suatu masyarakat - dan dengan ini, kita dituntut untuk membahas secara mendalam pola-pola pikiran yang dipergunakan dan diikuti masyarakat dalam pendekatannya terhadap keseluruhan kebudayaanya. Selain itu, terhadap realitas kehidupan masyarakat bukanlah suatu pendekatan makrostruktur yang dirumuskan di luar lingkungan mereka akan menjamin sustainable development, akan tetapi hanya suatu pendekatan yang berfokus pada kasus-kasus nyatalah mampu menghasilkan pengembangan yang berkelanjutan - dan pasti bukanlah percobaan-percobaan teknologi canggih-canggih yang dari sisi pengadaannya maupun penerapannya jauh dari jangkauan seorang kampung, tetapi hanya embedded technology, teknologi yang berfokus kepada serta terintegrasi dalam yang dibuat dan digunakan oleh masyarakat dapat menjadi strategi-strategi yang ‘‘mampu menciptakan kondisi yang kondusif bagi pengembangan teknologi secara mandiri’’90. Untuk menggambarkan hal ini dengan lebih konkrit, perkenankanlah saya untuk mengambil salah satu dari sekian banyak contoh gagalnya penerapan teknologi modern di dalam lingkungan tradisional. Beberapa tahun yang silam diadakan suatu proyek percobaan pembuatan perahu secara barat di sekian banyak desa di Sulawesi Selatan, di mana pembuatan lambung perahu dimulai dengan memasang dahulu gading-gadingnya yang berikutnya dilapisi dengan papan. Teknologi ini bertentangan secara diametral dengan tradisi teknik lokal yang memulai dengan pemasangan papan dan berikutnya ‘mengisi’ lambung perahu yang dihasilkan dengan gading-gading. Selain daripada itu, untuk menerapkan teknologi barat itu dituntut adanya gambar konstruksi berdimensi tiga yang memastikan ukuran gading-gading yang diperlukan, sedangkan pada teknik indigen Sulawesi Selatan bentuk lambung perahu ditentukan melalui tatana, ‘potongannya’: Sebagaimana diterangkan dalam bab 3.1, dengan istilah-istilah akan rupa lambung serta suatu peristilahan sangat rumit yang menandai posisi dan bentuk masing-masing papan dalam konstruksi badan perahu seorang pengrajin tradisional dapat menghasilkan puluhan jenis kapal yang berbeda-beda tanpa gambar konstruksi. Di salah satu desa di daerah Mandar kami dengan heran melihat, bahwa gading-gading dari proyek itu sampai sekarang masih disimpan di depan rumah seorang pengrajin perahu - ternyata baik para pengrajin tradisional maupun para pembimbing dari Pemda dan perguruan tinggi tak mampu menyelesaikan proyek ini di situ, sedangkan baik di pantai kampung itu maupun di lokasi-lokasi proyek lainnya selama ini dibangun puluhan perahu baru dengan memakai teknik tradisional saja. Artinya, tujuan proyek yang cukup tinggi biayanya itu, yakni memasyarakatkan suatu teknologi baru, tak tercapai sebab kelompok sasaran dengan lebih gampang, lebih cepat dan lebih pasti dapat berhasil dengan memakai teknik indigen mereka. 90 Kerangka Acuan ...., op.cit.:3 46 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner Pada contoh ini dapat kita saksikan pula sesuatu yang lain: Agar masyarakat menjadi mampu mengembangkan dan memanfaatkan IPTEK secara mandiri memang perlu pengembangan SDM (dalam hal tersebut di atas misalnya ketrampilan membaca gambaran tiga dimensi) - akan tetapi, yang mungkin lebih penting bukan SDM orang kampung, tetapi SDM para penyelenggara proyek-proyek pembangunan yang demikian. Lagi dari contoh yang tadi itu: Sampai sekarang sebagian besar dari para penentu keputusan di pelbagai tingkat pemerintahan, organsiasi dan lembaga pengembangan maupun jajaran akademisi belum mengetahui adanya rumus-rumus pembuatan tipe-tipe perahu lokal yang dikonsepkan dan direalisasikan melalui suatu kesatuan dari upacara-upacara dalam proses membangunkannya dan peristilahan akan bentuk dan posisi masing-masing papan dalam konstruksinya itu, sehingga para penentu proyek-proyek pengembangan itu seringkali cenderung beranggapan, bahwa masyarakat tradisional tak memiliki teknologi yang sederajat dengan teknologi modern yang ingin diajukan itu. Akan tetapi, ternyata para pengrajin tradisional itu dengan cara, pendekatan dan konsep-konsep indigen mereka bahkan sempat memecahkan masalah-masalah teknis yang cukup rumit secara mandiri - contoh terbaik adalah keberhasilan para pengrajin perahu Sulawesi Selatan dalam mengubah jenis-jenis lambung perahu layar tradisional sehingga mampu melengkapinya dengan mesin dalam, suatu proses yang terakhirnya menghasilkan perahu-perahu PLM berukuran ratusan ton yang sampai kini merupakan tulang rusuk perdagangan interinsuler Nusantara. Yang menjadi masalahnya di sini: Para pengrajin tradisional dengan alat-alat sederhana selama ini sempat menghasilkan perahu-perahu yang secara nyata berlayar, mencari ikan dan mengangkut muatan - sedangkan, misalnya, mahasiswa Jur. Perkapalan UNHAS pada suatu acara pada tahun 1999 bahkan tak mampu membuat pelampung yang dapat melampung. Guna menggambarkan ‘nilai’ pengetahuan tradisional ini dengan lebih nyata di ruangan kuliah saya selalu menyebutkan contoh seorang lolosan akademi pelayaran yang disuruh melaut dengan perahu tradisional: Apakah ia akan kembali besok? Jadi, siapa lebih trampil: Seorang nelayan kampung yang bukan hanya kembali, tetapi membawa ikan pula, atau si nakhoda baru itu? Masa depan pembuatan perahu dan pelayaran tradisional Nusantara ditentukan oleh beberapa masalah yang semakin mendeasak untuk dipecahkan. Soal utama bagi para pengrajin perahu adalah kekurangan kayu berkwalitas: Masalah itu dapat dipecahkan dengan beberapa teknologi modern seperti laminasi lambung kayu dengan bahan serat kaca. Menurut pemilik sebuah perahu katamaran modern yang sedang dibangun di Makassar dengan suatu kombinasi teknologi tradisional dengan teknik laminasi, biaya pembuatan lambung perahu itu adalah 10-15 kali (!) lebih murah daripada di Eropa – bila pengrajin perahu tradisional dilibatkan dan dibiarkan membangun lambung itu sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan mereka, yakni dengan teknik planks first. Dengan teknologi itu terdapat suatu kemungkinan untuk menciptakan lambung-lambung perahu yang kuat, ringan, berdaya tahan dan bernilai jual tinggi tanpa menguras habis hutan-hutan Nusantara. Pengembangan suatu sistem teknologi yang demikian harus didasarkan atas sebuah perpaduan pengetahuan dan kearifan indigen dengan teknik-teknik canggih yang sekaligus bersifat ‘akar rumput’ dan ‘paling mutakhir’: Tipe-tipe perahu apa yang paling prospektif dan efektif, baik bagi sektor pelayaran rakyat maupun sebagai bahan ekspor? Bagaimana, misalnya, dapat jenis-jenis kayu tropis dikeringkan di sebuah kampung sampai bisa disambungkan dengan lem epoxyd – atau, apakah epoxydnya bisa dikelola sehingga tak perlu kayu yang kering? Apakah sistem-sistem tradisional pengelolaan hutan dapat dikombinasikan dengan keperluan itu? Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 47 Bagi pelaut dan pelayar masalahnya adalah apakah pengetahuan tradisional mereka bisa mendapatkan pengakuan resmi – menurut seorang instruktur pada salah satu akademi pelayaran di Sulawesi, bahkan merekalah, para pelaut yang seumur-sehidup berlayar dengan perahu-perahu tradisional, dengan jauh lebih cepat lulus dari tes-tes ijazah dasar pelayaran internasional daripada lulusan-lulusan sekolah-sekolah jurusan maritim. Pelaut tradisional dari sekian banyak desa di Sulawesi dan Madura sejak beberapa dekade dipekerjakan di seluruh Asia Tenggara (dan beberapa bahkan di Eropa dan Amerika) sebagai awak dan juragang di atas kapal-kapal modern, dan saya melihat sekian banyak nakhoda tua yang dalam beberapa hari saja dapat memahami dan menggunakan alat-alat navigasi canggih seperti radar dan GPS, dan memadukannya dengan pengetahuan tradisional mereka. Akan tetapi – bila mereka, para pelayar sejati itu tak diberikan pengakuan resminya, nasib bukan hanya mereka itu saja, tetapi pula ketrampilan dan pengetahun mereka yang selama ini terbukti ketangguhannya adalah kemusnahan. Pariwisata bahari –dalam hal ini, menyediakan perahu-perahu tradisional sebagai sarana liburan– sedang menjadi suatu bidang tourisme yang semakin digemari oleh para pelancong asal dalam dan luar negeri – akan tetapi, jika para pelaut dan perahu tradisional sudah tidak tradisional lagi, masa depannya apa? Jelas: Hanya dengan semakin menghormati dan menjaga nilai-nilai dan kearifan tradisional ini dapat kita capai suatu masa depan yang lebih baik bagi kita semua. Daftar Pustaka Ammarell, G. 1999 Bugis Navigation, Yale Southeast Asia Studies, Monograph 48, New Haven Bryun Kops, G.F. de 1921 ‘Vaartuigen’, Encyclopaedie van Nederlands-Indie, vol. 5:422-46, Nijhoff, ‘s-Gravenhage Abas, H. u. T.D. Anderson 1990 Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi dalam Konteks Bahasa Nasional, Prosiding KonPerNas ke-5 Masy. Ling. Ind., UNHAS, Ujung Pandang Badings, A.H.L. 1880 Woordenboek voor de Zeevaart, in het Hollandsch-Maleisch-Fransch-Engelsch ..., Schoonhoven, S.E. van Nooten&Zoon Barnes, R.H. 1985 ‘‘Whaling Vessels of Indonesia'', in MacGrail&Kentley 1985:345-66 Bellwood, P. 1978 Man’s Conquest of the Pacific: The Prehistory of Southeast Asia and Oceania, Collins, Auckland 1985 Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Academic Press, North Ryde, London Biro Klassifikasi Indonesia undat. Pedoman Konstruksi Kapal Layar Motor, Biro Klasifikasi Indonesia, Unit Inkomar, Jakarta Borahima, Ridwan dkk. 1977 Jenis-Jenis Perahu Bugis Makassar, Proy. Pengembangan Media Kebudayaan, Dep. P&K Burningham, Nick 1987 “Reconstruction of a Nineteenth Century Makassan Perahu’’, The Beagle, Records of the Northern Territory Museum of Art and Sciences 4(1):103-28 Caron, L.J.J. 1937 Het Handels- en Zeerecht in de Adatsregelen van den Rechtskring Zuid-Celebes, ’s-Gravenhage Cense, A.A. “Makassaars-Boegineesche Prauwvaart op Noord-Australie’’, Bijd. KITLV 108:248-64 1952 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 48 1979 Makassaars - Nederlands Woordenboek, Martinus Nijhoff, ’s-Gravenhage Chaudhuri, K.N. 1985 Trade and Civilisation in the Indian Ocean: An Economic History from the Rise of Islam to 1750, University Press, Cambrigde Coedes, G. 1968 The Indianized States of South-East Asia, East-West Center Press, Hawaii Correira, G. 1858 Lendas da India, Lisbon Collins, G.E.C. 1936 East Monsoon, MacMillan, London 1937 Makassar Sailing, MacMillan, London (repr. 1992, Oxford University Press, Singapore) 1944 “Seafarers of South Celebes”, National Geographic Magazine, Oct. 1944 Dempwolff, O. 1919 “Vergleichende Lautlehre des austronesischen Wortschatzes”, Ztschrft für Eingeborenensprachen Beiheft 15-7 Doran, E. 1972 “Wa, Vinta and Trimaran”, JPS 81(2):144-159 1981 Wangka. Austronesian Canoe Origins, Texas A&M University Press, College Station Dyen, I. 1965 A Lexicostatistical Classification of the Austronesian Languages, Indian University Press Publications, Memoir 19, Indiana Erp, Th. van 1923 Voorstellingen van Vaartuigen op de Reliefs van den Borobudur, Adi-Poestaka, ’s-Gravenhage Evers, H.-D. 1991 “Traditional Trading Networks of Southeast Asia’’, in Haellquist 1991:142-152 Feinberg, R. 1988 Polynesian Seafaring - Ocean Travel in Anutan Culture and Society, Kent State Uni. Press, Kent, Ohio, London Fernández-Armesto, F. 1995 Millenium, BCA, Bantam Press, London Friederici, G. 1912 “Wissenschaftliche Ergebnisse einer Forschungsreise nach dem Bismarck-Archipel im Jahre 1908’’, Mitteilungen aus den deutschen Schutzgebieten, Erghft.5, Berlin 1928 “Die vorkolumbianischen Verbindungen der Südsee-Völker mit Amerika’’, Mitt. a.d. dtsch. Schutzgeb., 36, 1 1933 “Das Auslegergeschirr der Südsee-Boote’’, Ethnolog. Anz. 2, 4:187-201 Friedericy, H.J. “Aantekenningen over Adat en Adatrecht bij de Bonesche Prauwvaarders’’, Koloniaal Tijdschrift 20:490-509 1931 Gibson-Hill, C.A. 1949 “Cargo Boats of the East Coast of Malaya’’, JMBRAS 22, 3:106-25 1950 “The Indonesian Trading Boats reaching Singapore’’, JMBRAS, 23:108-138 1953 “The Origins of the Trengganu Prahu Pinas’’, JMBRAS, 26:?? Gonda, J. 1938 ‘Pigafettas Vocabularium van het Molukken Maleisch’, Bijd. KITLV 94:101-24 Groeneveldt, W.P. 1880 “Notes on the Malay Archipelago and Malacca from Chinese Sources’’, Verhandelingen van de Bataavsche Genootschap 39: i-x, 1-144 Haddon, A.C. & J. Hornell 1935 Canoes of Oceania, Bernice B. Bishop Museum, Special Publication 27-9, Honolulu Haellquist, K.R. (ed.) 1991 Asian Trade Routes, Scandinavian Institue of Asian Studies, Curzon Press, London Hashim, Mohd. Y. 1986 “Perdagangan dan Perkapalan Melayu: Rujukan Khusus kepada Bentuk Perdagangan dan Perkapalan Melaka di Abad ke-15/16’’, Hashim (ed.) 1986:1-26 (ed.) 1986 Kapal dan Harta Karam - Ships and Sunken Treasure, Persatuan Muzium Malaysia, Kuala Lumpur Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 49 Haslam, D.W. 1983 Indonesia Pilot, Vol.II, The Hydrographer of the Navy, London Het Indische Boek 1925 Het Indische Boek der Zee, Uitgave van de Volkslectuur, 1925 Hornell, J. 1918 “Origins and ethnological Significance of Indian Boat Design’’, Mem. Asiatic Soc. of Bengal VII, VIII (1918-23) 1920 The Outrigger Canoes of Indonesia, Madras Fisheries Bulletin XII, Madras 1936 “Constructional Parallels in Scandinavian and Oceanic Boat Construction’’, Mariners Mirror 21, 4:411-27 1946 Water Transport - Origins and Early Evolution, Cambridge Horridge, G.A. 1978 The Design of Planked Boats of the Moluccas, National Maritime Museum, Maritime Monographs 38 1979 (a) The Konjo Boatbuilders and the Bugis Perahu of South Sulawesi, National Maritime Museum, Monograph 40, London 1979 (b) The Lambo or Perahu Boti: A Western Ship in an Eastern Setting, National Maritime Museum, Monograph 39, Greenwich, London 1981 The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, Oxford University Press, Kuala Lumpur 1982 The lashed Lug Boat of the Eastern Archipelago, National Maritime Museum, Monograph 54, London 1986 Sailing Craft of Indonesia, Oxford University Press, Singapore Hourani, G.F. 1951 Arab Seafaring in the Indian Ocean in Ancient and Medieval Times, Princeton Keong, Ng Chin 1986 “Chinese Trade with Southeast Asia in the 17th and 18th Centuries’’, in Hashim 1986:88-106 Knaap, G.J. 1996 Shallow Waters, Rising Tide – Shipping and Trade in Java around 1775, KITLV Press, Leiden Koch, G. 1970 “Bootsbau und Hausbau in Ozeanien’’, Mitteilungen der Berliner Gesellschaft fuer Anthropologie, Ethnologie und Urgeschichte 2(3):154 1971 Materielle Kultur der Santa Cruz-Inseln, Museum f. Völkerkunde, Berlin, Bd. 21 et.al. 1984 Boote aus aller Welt, Staatliche Museen Preuss. Kulturbesitz, Berlin Komisi Istilah 1956 Kamus Istilah Pelajaran Asing-Indonesia, Perpustakaan Perguruan P&K, Jakarta Kong, Y. 2000 Muslim Tionghoa Cheng Ho, Pustaka Populer Obor, Jakarta Kridalaksana, H. 1980 “Linguistic Reconstruction of Migration’’, Yg. Tersirat dan Tersurat, 98-105 Kriens, M.J.E. 1880 Hollands-Maleisch Technisch Marine-Zakwoordenboek, Oleef, ’s-Gravenhage Lapian, A.B. 1987 Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut, Dissertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Le Roux, C.C. 1935 “Boegineesche Zeekarten van den Indischen Archipel’’, Tijdschrift van de Aardrijkskundige Genootschap 52:687-714 LeBar, F.M. 1963 “Some Aspects of Canoe and House Construction on Truk’’, Ethnology 2:55-69 Lee, K.H. 1987 “The Shipping Lists of Dutch Melaka”, Kapal dan Harta Karam - Ships and Sunken Treasure, Hashim, M.Y. (ed.): 53-76, Persatuan Muzium Malaysia, Kuala Lumpur Leupe, F.A. 1849 “Wetboek voor Zeevarenden van het Koningrijk Makassar en Boegie, op het Eiland Celebes’’, Nederlandsch Indie, 1-6, I:305-317 Lewis, D. 1972, 1994 (rev.ed.) Canberra We, the Navigators: The Ancient Art of Landfinding in the Pacific, Australian National University Press, Liebner, H.H. 1990 “Istilah-Istilah Kemaritiman dalam Bahasa-Bahasa Buton”, Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi dalam Konteks Bahasa Nasional - Prosiding KonPerNas ke-5, Abas, H., T.D. Anderson (ed), Masy. Ling. Ind., UNHAS, Ujung Pandang 50 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 1990/95 “Sulawesi's Archipelagic Fleet”, “Craftsmen at the Brink of Change”, Sulawesi - The Celebes, Volkman, T.A. & I., Caldwell (ed), Periplus Editions, Singapore, 1993 “Remarks about the Terminology of Boatbuilding and Seamanship in some Languages of Southern Sulawesi”, Indonesia Circle, 59/60, London, 1993 1996 (a) Beberapa Catatan tentang Pembuatan Perahu dan Pelayaran Orang Mandar, Seminar Antar Bangsa, UNHAS; Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian UNHAS, Ujung Pandang, LIPI, Jakarta 1996 (b) Guide to Tana Beru Boatbuilding, P3MP, Ujung Pandang 1997 Guide to the Village of Panrang Luhuk, Bira, P3MP, Ujung Pandang 1998 & Ahmad Rahman: Pola Pengonsepan Pengetahuan Tradisional: Suatu Lontaraq Orang Bugis tentang Pelayaran, Seminar Kelautan Kawasan Timur Indonesia II, UNHAS 1999 (a) Pengembangan IPTEK dan Teknostruktur Masyarakat Bahari, Seminar Pengembangan Kelautan Nasional, UNHAS 1999 (b) “Four Oral Versions of a Story about the Origin of the Bajau People of Southern Selayar”, Land of History, Mukhlis, K. Robinson (ed), ANU, Canberra:xxxx 2000 (a) “Pinisiq dan Kearifan Tradisional”, KOMPAS 01.01.2000, 1000 Tahun Nusantara, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2000 (b) Paotere, P3MP, Ujung Pandang 2001 (a) “Perahu-Perahu Nusantara - Salah Satu Aset Wisata Bahari dan Kebudayaan; Indonesian Sailing Vessels - An Asset of Marine and Cultural Tourism”, TIME 2001, Jakarta 2001 (b) Pariwisata Bahari, Laporan, Dep. Kelautan dan Perikanan, Jakarta 2002 Berlayar ke Tompoq Tikkaq – Salah Satu Episode La Galigo, Seminar La Galigo, Barru Liedermoij, D.F. 1870 “De Nijverheid op Celebes’’, Tijd. v.d. Nijverheid v. Nederl. Indie 16:345-386 Lineton, Jacqueline 1973 “Pasompe Ugi - Buginese Migrants and Wanderers’’, Archipel 10 MacGrail, Sean & Eric Kently 1985 Sewn Plank Boats, National Maritime Museum, Archaeological Series 10, Greenwich, London Macknight, C.C. 1969 “The Sea Voyagers of Eastern Indonesia’’, Hemisphere 13, 4:7-14 1976 The Voyage to Marege: Macassar Trepangers in Northern Australia, Melbourne University Press & Mukhlis 1979 “A Bugis Manuscript about Prahus’’, Archipel 18 Manguin, P.Y. 1980 “The Southeast Asian Ship: An Historical Approach”, Jour. of SEA Studies, 11:266-76 1985 (a) Sewn-plank craft of Southeast Asia - a Prelimary Review, National Maritime Museum, Greenwich, Archeological Series 10 1985 (b) “Research on the Ships of Srivijaya”, Report for SPAFA Consultative Workshop on Archaeological and Environmental Studies, Jakarta, Padang 1986 “Shipshape Societies: Boat Symbolism and Political Systems in Southeast Asia”, in Marr (ed.) 1986 1989 “The Trading Ships of Insular South-East Asia - New Evidence from Indonesian Archaeological Sites”, Prosidings Pertemuan Ilmiah Arkeologi 5, I:200-20, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Jakarta 1995 “Southeast Asian Shipping in the Indian Ocean during the First Millenium A.D.”, in Ray, Salles (ed) 1995:181-96 Mansveldt, U.M.F. 1938 “De Prauwvaart in de 19de Eeuw”, Koloniale Studien 22:89-102 Manyambeang, K. et al 1983 Jiwa Laut dalam Sastra Makassar, UNHAS, Ujung Pandang Matthes, B.F. 1859 Makasarsch-Hollandsch Woordenboek met een tot de verklaaring ..., Nederlandsch Bijbelgenootschap, Amsterdam 1869 Over de Wadjorezen met hun Handels- en Scheepswetboek, Hartrop, Makassar 1874 Boeginees - Nederlands Woordenboek met ..., Nederl. Governement, s’Grafenhage Marquardt, K. H. 1989 Schoner in Nord und Süd, Hinstorff Verlag, Rostock Marr, D.G. & Milner, A.C. 1986 Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries, Inst. of SEA-Studies, Singapore Meilink-Roelofsz, M.A.P. 1962 Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630, Martinus Nijhoff, s’Gravenhage Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 51 Menggang, B. (et al.) 1984 Survei Penyusunan Kamus Istilah Kemaritiman Bugis-Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Hassanudin, Ujung Pandang Mills, R.F. 1975 “The Reconstruction of Proto South Sulawesi’’, in Archipel 10:205-224 Mills, J.V. 1979 “Chinese Navigators in Insulinde about 1500’’, in Archipel 18 Muhammad Darwis 1988 “Mistik bagi Kaum Nelayan’’, in Mukhlis 1988:85-126 Mukhlis & Robinson, K. 1985 Masyarakat Pantai, Lembaga Penerbitan UNHAS, Ujung Pandang 1988 Dimensi Sosial Kawasan Pantai, P3MP, Toyota Foundation, SA. Brother’s, Jakarta Needham, J., Wang Ling & Lu Gwei-Djen 1971 Science and Civilisation in China, Vol.4, part III, “Civil Engineering and Nautics’’, Cambridge Univ. Press Noorduyn, J. 1957 “C.H. Thomsen, the Editor of ‘A Code of Bugis Maritime Laws’ ’’, Bijd. KITLV 113:238-251 Nooteboom, C. 1915 De inlandsche Scheepvaart, Gids in het Volkenkundig Museum Amsterdam 1932 De Boomstamkano van Indonesie, E.J. Brill, Leiden 1936 “Vaartuigen van Ende”, Bijd. KITLV, 76:97-126 1940 “Vaartuigen van Mandar’’, Bijd. KITLV, 80:22-33 1941 “Vaartuigen van Roeha, aan de Zuidkust van West Soemba'', Cultureel Indie, Jan-Feb 1941:7-12 1947 “The Study of Primitive Seagoing Craft as an Ethnological Problem’’, Intern. Archiv f. Ethnographie 45:216-224 1951 Perihal Perkapalan dan Pelajaran di Indonesia, De Moderne Bookhandel, Jakarta 1952 “Galeien in Azie'', Bijd. KITLV, 108:365-384 Nurdin Yatim 1985 Istilah Maritim dalam Bahasa Makassar, Lembaga Penelitian Universitas Hassanudin, Ujung Pandang 1988 “Pengaruh Bahasa Makassar pada Bahasa-Bahasa Aborigin di Australia Utara”, Konferensi dan Seminar Nasional ke-5 Masyarakat Linguistik Indonesia, Ujung Pandang Oderwald, J. 1924 Verzameling van aan Boord voorkomende Benamingen in het Hollandsch en Maleisch, Kweekschool voor de Zeevaart, Amsterdam Paasch, R. 1910 From Keel to Truck, Rotterdam Palm, C.H.M. 1962 “Vaartuigen en Visvangst van Anjar Lor, Bantam, W-Jawa'', Bijd. KITLV 118:217-70 Paris, P. 1843 Essai sur la construction navale des peuples extra-europeens ..., Paris 1975 (reed.) Souvenirs de Marine, Grenoble, Editions des 4 Seigneurs Pelly, U. 1975 Ara dengan perahu Bugisnya, Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang 1977 “Symbolic Aspects of the Bugis Ship and Shipbuilding’’, Journal of the Steward Anthropological Society, 8, 2:87-107 Pigafetta, A. & S.St.John 1849 ‘‘The Piracy and Slave Trade of the Indian Archipelago'', Journal of the Indian Archipelago and East Asia, III:5818, 629-36;IV, 1850:45-52, 144-62, 400-10, 617-28, 733-46;V, 1851:374-82 Pires, Tome 1944 Suma Oriental, Trans. Armando Cortesao, London, Hakluyt Soc. Poggie, J.J. & R.B.Pollnac 1990 Small-Scale Fishery Development: Sociocultural Perspectives, ICMRD, Uni. of Rhode Island, New York Prins, A.H.J. 1965 Sailing from Lamu, Assen 1970 A Swahili Nautical Dictionary, Dar-es-Salam 52 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner Ray, Himanshu Prabha & Jean-Francoise Salles (ed) 1995 Tradition and Archaeology – Early Maritime Contacts in the Indian Ocean, National Institute of Science, Technology & Development Studies, New Delhi, Maison de l’Orient Méditerranéen, Lyon, Centre de Sciences Humaines, New Delhi Reid, Anthony 1988 Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Vol. 1: The Lands below the Winds, Yale Uni. Press, New Haven, London Ricklefs, M.C. 1991 Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Roebuck, Th.(rev. by Carmichael-Smyth, W.) 1841 An English and Hindoostanee Naval Dictionary ..., 4th edition, no publisher mentioned Roeding 1793 Allgemeines Wörterbuch der Marine in allen Europäischen Seesprachen, reed 1969, Uitgeverij Graphic Publishers, Amsterdam Sahur, H.Ahmad dkk 1991/92 Pengetahuan Tradisional Pembuatan Perahu Orang Mandar, Lembaga Penelitian UnHas, Ujung Pandang Scott, William H. 1981 “Boat-Building and Seamamship in Classic Phillipine Society’’, Seameo Project in Archaeology and Fine Arts Digest 6, 2:15-33 Small, George (ed.) 1882 A Laskari Dictionary or Anglo-Indian Vocabulary of Nautical Terms and Phrases, London, W.H. Allen & Co. Soegiono et al. 1984 Kamus Istilah Teknik Kapal, Edisi ke2, Ft. Kelautan, Surabaya Steensgaard, Niels 1991 “Asian Trade Routes: Evidence and Pattern’’, in Haellquist 1991:1-6 Subandi 1983 Bahasa Inggris untuk Para Pelaut, Penerbitan Arcan, Jakarta Sunil Gupta 2001 Roman Egypt to Peninsular India: Archaeological Patterns of Trade, 1st century B.C. to 3rd century A.D, Ph.D. thesis, Department of Archaeology, Deccan College Post-Graduate Research Institute, Pune Team Tre Tryckare 1981 Seefahrt - Nautisches Lexikon in Bildern, Delius und Klasing, Bielefeld Thompson, Judi & Alan Taylor 1980 Polynesian Canoes and Navigation, Laie, Inst. for Polynesian Studies Tibbets, G.R. 1957 “Early Muslim Traders in South-East Asia’’, JMBRAS 30:1-45 1971 Arab Navigation in the Indian Ocean before the Coming of the Portugese, Oriental Translation Funds, New Series XLIII, RAS, London 1973 “Comparison between Arab and Chinese Navigational Techniques’’, Bulletin of the School for Oriental Studies 36(1), 1973:97-108 Tobing, Ph. 1967 Hukum Pelayaran dan Perniagaan Amanna Gappa, Yayasan Kebudayaan Sulawesi, Ujung Pandang Toshibo, A. 1984 Pelayaran Orang Bugis-Makassar Abad XVII, Dissertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Vaz, Anthony 1879 The Marine Officers Hindustani Interpreter, The Bombay Gazette Steam Press, Bombay Villiers, John 1986 “Caravels, Carracks and Coracoras: Notes on Portuguese Shipping in the Indian Ocean ... in the 16th and 17th entury’’, in Hashim 1986:40-52 Volkman, T.B. 1994 “Our Garden is the Sea: Contingency and Improvisiation in Mandarwomen's work’’, American Anthropologist 21 (3): 564-85 et al 1990, 1995 (rev.ed.) Sulawesi - The Celebes, Singapore, Periplus Editions Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 53 Vuuren, L. van 1917 “De prauwvaart van Celebes’’, Koloniale Studien 1917:107-116, 324-328 Wallace, R. 1869 The Malay Archipelago: The Land of the Orang-Utan and the Bird of Paradise, Macmillan, London, repr., Dover Publ., New York, 1962 Wangania, J. 1980 Jenis-Jenis Perahu di Pantai Utara Jawa-Madura, Proyek Media Kebudayaan, DepDikBub, Jakarta 1980/1 Warrington-Smyth, H. 1902 “Boats and Boat Building in the Malay Peninsula’’, Journal of the Society of Arts, 16:570-586 Wheatley, P. 1961 The Golden Khersonese, Kuala Lumpur Winstedt, R. & P.E. De Josselin De Jong 1956 “The Maritime Law of Malacca'', JMBRAS 29, 3:22-59 Woywod, W. und.: “Sailing the Seas in a Pinisi'', Garuda Magazine, ? Zainal, A.A. 1985 Beberapa Pantangan dan Keharusan bagi Pelaut Bugis, Lembaga Penelitian UnHas, Ujung Pandang Zamri, S. 1979 Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan di Ujung Lero, PLPIIS, Ujung Pandang