Uploaded by wise wisdamianti

Perahu Perahu Tradisional Nusantara Suat

advertisement
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara
Suatu Tinjauan Sejarah Perkapalan dan Pelayaran
Horst H. Liebner, Proyek Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Pantai, UNHAS
1
SUMBER
1.1 SUMBER-SUMBER TERTULIS HISTORIS
1.2 IKONOGRAFI, LUKISAN, MAKET PERAHU DAN ARKEOLOGI
1.3 PENGAMAT KONTEMPORER
2
2
3
6
2
LATAR BELAKANG HISTORIS
2.1
2.2
2.3
2.4
MIGRASI SUKU-SUKU AUSTRONESIA
TAHUN 0 S/D 1000 CE: ‘INDIANISASI’ ATAU ‘PERDAGANGAN INTERNASIONAL’?
TAHUN 1000 S/D 1600: ‘THE AGE OF COMMERCE’
ZAMAN KOLONIAL
8
12
16
19
3
PERAHU-PERAHU
24
3.1 BEBERAPA PENGERTIAN DASAR TENTANG ‘PERAHU’
3.2 CONTOH EVOLUSI PERAHU BERCADIK: SANDEQ
3.3 CONTOH EVOULSI PERAHU BERPAPAN: DARI PADEWAKANG KE PLM
4
MASA DEPAN PERKAPALAN DAN PELAYARAN TRADISIONAL
8
24
33
38
44
2
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
© Proyek Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Pantai, Universitas Hasanuddin, Makassar & Badan Riset Kelautan dan Perikanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Jakarta, 2002
1
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara1
Suatu Tinjauan Sejarah Perkapalan dan Pelayaran
Horst H. Liebner, Proyek Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Pantai, UNHAS
Sebenarnya, apa itu, ‘tradisional’, ‘tradisi’? “Adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang
masih dijalankan dalam masyarakat”, sebagaimana diterangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia2?
Artinya, suatu kegiatan masyarakat yang berdasarkan pola-pola ‘kebiasaan’, sehingga pola-pola itulah
yang diulang-ulangi terus-menerus? Suatu keadaan ‘statis’, yang “masih dijalankan” meski dunia
sudah berubah, sehingga –dan ini penilaian pertama yang begitu sering ‘melengket’ pada kata ‘tradisional’ itu- menjadi ‘keterbelakangan’, faktor penghambat utama dalam pengembangan?
Suatu definisi yang demikian agak susah diterapkan dalam sektor perkapalan dan pelayaran ‘tradisional’. Dinamika perkembangan masyarakat-masyarakat bahari telah menjadi topik sekian banyak
diskusi dan tulisan: Dengan terjangkaunya bahan-bahan dan munculnya contoh-contoh tipe lambung
dan rigging baru maka para pelaut dan pengrajin perahu ‘tradisional’ telah secara terus-menerus
mengubah dan mengembangkan ‘perahu-perahu tradisional’ mereka, sehingga pelayaran dan pembuatan perahu rakyat sampai kini masih eksis, berperan secara signifikan dan mampu bersaing dalam
makrostruktur ekonomi Indonesia. Sepanjang terdapat catatan tentangnya, pada setiap saat -baik
pada zaman historis maupun sekarang- bisa kita saksikan pembaharuan dan inovasi dalam sektor
pembuatan ‘perahu tradisional’ dan ‘pelayaran tradisional’ Nusantara. Jadi, kesimpulan Knaap
mengenai perkembangan pelayaran indigen Jawa Utara pada abad ke-18 masih tetap berlaku pada
masa kini:
Skippers and shipwrights were keen on introducing all kinds of innovations that made traffic easier
and more efficient. This sector of society harboured many people who were ready and willing to innovate, by no means invaribly working according to traditions.3
Di antara lain, dinamika ini disebabkan oleh obyeknya sendiri, yaitu ‘perahu’, suatu alat penghubung
antar pulau dan bangsa yang mampu melewati batasan lingkungan-lingkungan ‘tradisional’ dan menjadi kendaraan ide, pemikiran, bahan dan teknologi baru. Menurut Carr Laughton,
of all things the ship is the most cosmopolitan. […] She was fit to go from one country to another
[…] and in the intermingling of cultures begun by that intercourse the ship herself was of necessity
influenced. […] For the most part such adoptions proceeded from the ordinary interchange of ideas
[…and…] there have been, probably at all stages of world history, many examples of the deliberate
adoption of foreign methods.4
Hal inilah yang ingin saya jadikan topik utama makalah ini: Bila kita ingin membahas perkapalan dan
pelayaran ‘tradisional’ Nusantara, maka perlu kita memahaminya sebagai suatu proses perkembangan
yang tak pernah putus, yang sampai sekarang masih berlangsung dan dilangsungkan sesuai dengan
1
2
Yang saya maksudkan dengan ‘Perahu Nusantara’ dalam makalah ini adalah kapal kayu yang berasal dari tradisi
teknologi pembuatan perahu khas Nusantara sebagaimana digambarkan dalam bab 2.1 dan 3.1. Secara geografis,
istilah ‘Nusantara’ ini mengandung yang dalam literatur asing dinamakan ‘Insular Southeast Asia’, ditambah dengan
Semenanjung Malaya dan wilayah historis Kerajaan Campa di Vietnam Selatan. Meski begitu, fokus pembahasan
diarahkan kepada kepulauan yang sekarang merupakan wilayah Republik Indonesia.
Edisi II, Cetakan ke-9, 1997
3
Knaap 1996:149
4
1925:1-2, c.f. Prins 1965:77; terj. pen.
2
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
tuntutan zaman yang dihadapi, kemungkinan inovasi yang dapat dijangkau dan kemampuan ‘mengembangkan diri-sendiri’ yang dimiliki oleh para pelakunya, yakni masyarakat bahari ‘tradisional’.
Demi itu ingin saya lukiskan suatu outline dinamika sejarah perkapalan dan pelayaran Nusantara
dengan menggunakan beberapa contoh evolusi tipe-tipe perahu historis dan modern dan -pada bab
terakhir- memberikan suatu pandangan ke masa depan pembuatan ‘perahu tradisional’ yang mungkin
dapat menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. Diskusi ini akan saya mulai dengan membahas ‘masalah’ sumber informasi akan perkapalan dan pelayaran ‘tradisional’ Nusantara yang tersedia;
setelah coba menyimpulkan sebuah ‘garis besar’ perkembangan teknologi pembuatan perahu dan pelayaran di Indonesia pada bab kedua, maka pada bab berikutnya akan saya ambil beberapa contoh
konkrit akan pola evolusi tipe-tipe perahu tertentu sebagai ‘gambaran nyata’ atas argumen saya ini.
1
Sumber
Masalah utama dalam pembahasan pelayaran dan pembuatan perahu Nusantara adalah kurangnya
sumber. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: Sebagian besar dari jumlah kecil pengamat perihal
pelayaran dan perkapalan Nusantara yang ada bukanlah pelayar atau ahli perkapalan; perhatiannya –
terutama dalam sumber-sumber historis- jarang berfokus kepada teknologi pelayaran atau perkapalan; perbedaan pola-pola pengonsepan teknologi antara para pengamat dan para pelakunya menyebabkan bahwa sekian banyak poin penting dalam sistem teknologi itu luput dari perhatian. Hal-hal
ini terdapat dalam hampir semua jenis sumber yang ada, mulai dari catatan para biksu Buddha yang
melewati Nusantara dalam perjalanan dari/ke India dan Cina pada abad-abad pertama CE sampai ke
tulisan sekian banyak ilmuwan dan pengamat lain pada masa kini.
1.1 Sumber-Sumber Tertulis Historis
Meski perdagangan laut –dan, dengan ini, para pelaut dan pengrajin perahu– menyumbangkan sebagian besar pada kemakmuran kerajaan-kerajaan historis Nusantara, masyarakat pelakunya jarang dijadikan obyek perhatian, sehingga tiada sumber indigen yang secara khusus membahas keadaan pelayaran dan pembuatan perahu Nusantara pada zaman-zaman historis yang saya ketahui. Bagi kekuatan-kekuatan kolonial Barat yang secara terang-terangan berbasis atas penguasaan laut itu hal ini
seharusnya berbeda; akan tetapi, saya hanya mengenali satu-dua publikasi yang didasarkan atas naskah-naskah misionaris yang ‘kebetulan’ sempat menyaksikan dan mendeskripsikan pembuatan perahu ‘tradisional’ di kawasan Nusantara ini5. Tertinggal kesan bahwa masyarakat bahari, pengetahuan
dan teknologi indigen mereka tak dianggap cukup penting untuk dijadikan fokus pembahasan khusus
– meski semua pihak, baik lokal maupun asing, menggunakannya sebagai sarana transportasi dalam
perang dan perdagangan, armada perikanan, atau sumber pajak. Artinya, sebagian besar pengetahuan
kita mengenai keadaan sektor maritim Nusantara –terutama dari abad-abad sebelum pertengahan
abad ke-19– hanya berdasarkan ‘catatan-catatan sampingan’ yang terdapat dalam tulisan-tulisan yang
sebenarnya berfokus kepada hal-hal lain.
Sumber paling ‘berharga’ bagi kita mungkin adalah arsip-arsip para syahbandar dan administrasi
lainnya6, serta naskah-naskah ‘undang-undang laut’ indigen7. Dari sumber-sumber ini, hanya yang
5
Lht. msl. Scott 1981, Horridge 1982
6
Lht. msl. Knaap 1996, Lee 1986
7
Lht. msl. Leupe 1849, Matthes 1869, Caron 1937, Winstedt & De Josselin De Jong 1956, Tobing 1977
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
3
kedua telah mendapatkan perhatian kalangan luas – meski pembahasannya lebih diarahkan kepada
aspek-aspek hukum daripada sistem pelayaran dan teknologi perkapalan; dari data dalam arsip-arsip
tersebut baru beberapa bagian kecil saja diperiksa dan dipublikasikan. Salah satu ‘jenis’ sumber lain
yang dapat dimasukkan dalam kategori ini adalah berbagai daftar kosa kata dan kamus yang disusun
oleh pedagang dan pejabat kolonial sejak saat tibanya orang Eropa di Nusantara yang mengandung
istilah-istilah yang berhubungan dengan pelayaran8. Di antaranya bahkan terdapat beberapa kamus
yang disusun secara khusus bagi perwira asing yang ditugaskan membawa kapal dan perahu yang berawak pelaut Nusantara yang –meski sebagian besar berasal dari zaman yang lebih dini– mengandung
informasi yang sangat tepat dan akurat9.
Dari para pelaku sendiri, yakni para pelaut dan/atau pengrajin perahu tradisional Nusantara, hanya
terdapat sejumlah kecil sumber tertulis indigen, dan masalah perbedaan pola pengonsepan tadi sangat
menonjol: Yang menjadi topik pembahasan bagi –misalnya– seorang penyusun naskah lontaraq
pallopiang asal Sulawesi Selatan dua abad silam bukanlah segi ‘teknologi’ pembuatan perahu, ‘sistem’
navigasi atau ‘ilmu’ meteorologi, tetapi hal-hal yang bagi seorang pembaca yang berlatar-belakang
ilmiah “cukuplah susah untuk membedakan di antara kepercayaan dan pengetahuan nyata”10 sehingga
perlu tafsiran dan interpretasi yang sering sulit dibuktikan kebenarannya. Selain itu, bagi para pelakunya, membangun atau melayarkan sebuah perahu tradisional sampai hari ini merupakan suatu kesatuan dari elemen-elemen kepercayaan, ritual, pengalaman dan pengetahuan teknis yang saling terkait
dan biasanya diterangkan dan diwujudkan dalam metafor-metafor, ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan – jadi, informasi yang didapatkan dari sumber-sumber ini perlu dibandingkan dengan kenyataan lingkungan sosial-budaya dan realitas teknis, suatu hal yang memerlukan pengetahuan luas
dalam bidang kemaritiman pada pihak penelitinya.
1.2 Ikonografi, Lukisan, Maket Perahu dan Arkeologi
Sumber-sumber historis yang paling sering disebut adalah sejumlah kecil gambar dan fresko yang terdapat pada beberapa candi di Jawa, Sumatera dan daratan Asia Tenggara serta gambar dan lukisan
perahu Nusantara yang terdapat dalam laporan dan tulisan Barat dari zaman kolonial. Akan tetapi,
hanya sejumlah kecil dari ‘dokumen’ ini dibuat oleh orang yang berpengalaman dan berlatar-belakang
sebagai pelaut dan/atau pengrajin perahu, sehingga hasilnya seringkali jauh dari yang dapat diharapkan: Misalnya, fresko perahu terkenal di Candi Borobudur itu hampir sama sekali tak dapat diambil
sebagai ‘gambaran konstruksi’ perahu-perahu abad ke-8 atau 9 CE, dan ‘gambaran rekonstruksi’ yang
muncul dalam literatur tentangnya bisa jauh berbeda (lht. gambar 1.2.1) – dan bagi seorang yang berpengalaman dengan perahu layar bahkan tak merupakan sesuatupun yang bisa dinamakan ‘laik laut’.
Sebagian dari lukisan dan gambar dari sumber kolonial berbeda: Sejak abad ke-17, di Eropa
berkembang seni lukis naturalistis, yang coba mereproduksi keadaan sesuatu obyek dengan senyata-
8
9
10
Daftar-daftar kosa kata umum dan terjemahannya mulai disusun sejak kedatangan orang Eropa di Asia; yang paling
tua mungkin adalah daftar Pigafetta (1522, lht Gonda 1937). Di dalamnya –dan dalam sekian banyak daftar dan
‘kamus’ yang serupa seperti Houtman 1603, Wiltens & Danckaerts 1623– terdapat beberapa istilah yang berhubungan
dengan pelayaran dan perkapalan. Untuk daftar-daftar yang khususnya membahas bidang ini lht. msl. De Bruyn Kops
1927, Matthes 1858, 1874.
Lht. msl. Roebuck 1841, Vaz 1879, Small 1882 (India); Badings 1880, Kriens 1880, Oderwald 1924 (Indonesia).
Selain terjemahan ke beberapa bahasa, termasuk Bahasa Melayu, kamus Badings (1880) mengandung juga keterangan
mendetil tentang bagian-bagian perahu, tali-temali, perintah-perintah dsb. yang disebutkan.
Liebner 1998:23, bdg. juga McKnight, Mukhlis 1979
4
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
nya mungkin; gambar dan lukisan yang
dihasilkannya membahas juga pemandangan-pemandangan kota, benteng, pelabuhan, bahkan
pemandangan alam di Asia, di mana di sanasini terdapat pula gambar perahu-perahu
indigen Nusantara (gambar 1.2.2). Terutama di
Belanda muncul suatu aliran kesenian ini yang
berfokus-kan laut dan kapal layar (marine
paintings)11, yang menyebabkan bahwa semakin
banyak pelukis ‘menjadi terbiasa’ dengan
menggambarkan berbagai jenis perahu layar
secara realistis; akan tetapi, gambar-gambar
yang ada pada umumnya melukiskan kapalkapal layar Eropa, dan perahu-perahu indigen
Nusantara hanya muncul sebagai ‘pelengkap’.
Kwalitas lukisan yang demikian berbeda jauh:
Pelukis terbaik aliran ini memang tinggal di
Eropa, jumlah seniman berbakat yang terdapat
di pusat-pusat pemerintahan kolonial agak
kurang, dan di outpost wilayah kekuasaan
kekuatan-kekuatan Eropa itu hampir sama
sekali tak terdapat pelukis – dan kita tak bisa
mengharapkan bahwa semua detil sebuah
‘barang eksotis’ diperhatikan oleh seseorang
yang kemungkinan besar bukan pelaut atau
pengrajin perahu. Hal ini dapat digambarkan
dengan baik dengan sebuah lukisan bergaya realistis dalam salah satu karangan tentang tradisi
kemaritiman Sulawesi asal Indonesia yang berjudul “Buginese Vessels”12: Meski perahu-perahu pinisiq pada masa itu masih meramaikan
pelabuhan Makassar sehingga dapat dijadikan
contoh akan detil-detilnya, yang dihasilkan sang
pelukisnya amat jauh dari kebenaran.
Sejenis sumber yang lebih ‘realistis’ lagi adalah
maket-maket perahu Nusantara yang terdapat di
sekian banyak musium dalam dan luar negeri.
11
12
Gambar 1.2.1. Atas: Salah satu fresko perahu yang
terdapat pada Candi Borobudur. Tengah:
Gambar rekonstruksi dalam Nooteboom
1951. Bawah: Gambar rekonstruksi dalam
Hornell 1920
Pada awalnya, sebagian besar dari lukisan-lukisan itu dibuat atas pesanan kompeni-kompeni perdagangan, pemilik
partikuler kapal layar dan para raja Eropa. Yang terkenal pada abad ke-17 adalah Keluarga Van Velde (1611-1707),
yang selama dua generasi mendedikasikan diri dalam melukis perahu layar, adegan perang laut dsb. bagi raja-raja
Eropa, EIC dan VOC, dan L. Backhuyzen (1631-1708) dengan adegan-adegan badai di laut. Berikutnya,
menggambarkan pemandangan laut dan kapal layar menjadi salah satu topik penting dalam œuvre pelukis-pelukis
(landsekap) naturalistis Eropa seperti C.-J. Vernet (Perancis, 1714-1798), W. Turner (Inggris, 1775-1851), C.D.
Friedrich (Jerman, 1774-1840), G. Corbet (Perancis, 1819-1877) atau H.D. Mesdag (Belanda, 1831-1915).
Tobing 1977:151
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
5
Gambar 1.2.2: ‘Het gezigt van Cheribon …’, lukisan cat air oleh salah seorang asisten J. Rach, c. 1775,
Perpustakaan Nasional 446/2 (B.W.63). Di sebelah kanan dan dalam pelabuhan terlihat beberapa
perahu setempat. Perahu dengan layar terbuka kemungkinan sebuah perahu tipe mayang; perahu
yang berlabuh di bagian dalam sebelah kiri adalah tipe chialoup.
Terutama di Belanda beberapa musium masih menyimpan maket-maket perahu dari abad ke-18 dan
ke-19 yang secara mendetil memperlihatkan ciri-ciri konstruksi tertentu yang sudah tak lagi terdapat
pada tipe-tipe perahu kini (gambar 2.2.1)13. Akan tetapi, kita harus cukup berhati-hati bila ingin
menarik kesimpulan yang terlalu jauh dari maket-maket itu: Menurut pengalaman saya, sebuah maket
yang dibuat seorang pengrajin perahu atau pelaut perpengalaman akan memperlihatkan sekian
banyak detil lambung perahu dan tali-temalinya, meski ‘kwalitasnya’ sebagai sumber sangat
tergantung dari ketelitian sang pembuatnya14, sedangkan maket-maket yang dibuat sebagai perhiasan
oleh orang yang bukan pelaut pada umumnya jauh dari kenyataanya – contoh terbaik adalah maketmaket yang terbuat dari buah cengkeh asal Maluku atau –pada masa kini– maket yang dibuat sebagai
cinderamata industri pariwisata. Selain itu, terutama pada maket-maket tua harus kita perhatikan
teknik dan cara restorasinya yang kemungkinan menyebabkan perbedaan berarti dari keadaan aslinya.
Penemuan-penemuan arkeologi yang dapat menjadi ‘bukti nyata’ atas teknologi kemaritiman pada
zaman dahulu sampai sekarang masih kurang: Perahu tradisional terbuat dari kayu, dan kayu agak
susah bertahan lama dalam iklim tropis; selain itu, perahu-perahu yang mungkin tenggelam ratusan
(atau ribuan) tahun silam agak susah dilokalisasi dan dikemukakan kembali. Menurut Manguin, sampai tahun 1995 baru ditemukan 10 situs yang mengandung sisa-sisa perahu yang kemungkinan besar
berasal dari tradisi historis pembuatan perahu Nusantara sebelum abad ke-14 CE15. Ada pun beberapa penemuan bangkai perahu yang berasal dari abad-abad setelahnya; yang mungkin paling baru
adalah sisa dua perahu kayu yang tenggelam di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, yang
ditemukan tahun lalu dan diperkirakan berasal dari abad ke-16 dan ke-17 CE. Hampir semua penemuan itu terdiri dari beberapa keping papan saja yang sebagian besar dalam keadaan “amat rusak”.
Meski begitu, dari hasil evaluasi penelitian terhadap keping-keping papan itu Manguin sempat
13
Suatu diskusi sifat-sifat maket-maket ini terdapat dalam msl. Horidge 1978:13ff.
14
Terutama pola penyusunan papan dalam lambung sebuah maket yang Horridge anggap sebagai sumber otentik
tentang teknologi pembuatan perahu dapat berbeda jauh dari kenyataan yang dijumpai dalam sebuah perahu real – lht.
diskusi pola-pola plank patterns pada bab 2.2 dan 3.1.
Manguin 1995:185-87
15
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
6
menyimpulkan beberapa sifat utama tradisi konstruksi perahu-perahu Nusantara yang membedakannya dari kerangka-kerangka perahu asal daerah-daerah lain – sifat-sifat ini akan kita bahas di
bawah ini, dan menjadi penting untuk mengetahui asal-usul sebuah kapal karam: Terutama kawasan
Selat Malaka sejak dahulu-kala merupakan sebuah jalur perdagangan laut yang amat ramai, di mana
terdapat bangkai-bangkai kapal asal seluruh dunia dan zaman.
1.3 Pengamat Kontemporer
Penyebaran suku-suku yang memakai bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia di antara Madagaskar
di ujung Barat Daya Samudera Hindia dan Pulau Paska di pertengahan Samudera Pasifik pada kedua
millenium SM sejak lama dikenali sebagai ‘migrasi maritim’ terluas di dunia yang dengan jelas
didasarkan atas penguasaan teknologi kemaritiman yang amat sophisticated. Namun, menurut
Manguin,
For long, however, once lip service was paid to such obvious maritime adaptations and sailing
talents, little else was usually said about the matter. At best, detailed studies of the surviving small
sailing vessels of Oceania or Southeast Asia were carried out. Cultural diffusionists were thus
content to endlessly discuss the origins and distribution of single and double outrigger canoes. The
unsuspecting reader was therefore largely left with the romantic but unsubstantiated idea that
fearless Austronesians had sailed around half the planet on flimsy outrigger boats. Another
prevailing theory contended that the peopling of the Pacific Ocean by Austronesians was the result
of accidental island hopping. And few bothered to understand how –in which practical
circumstances– some of the Austronesian speaking peoples who had remained in Southeast Asia
leaped across the Indian Ocean and reached west to Madagascar. The very few scholars that blew an
early whistle were experienced sailors and knew something was amiss, but not enough attention was
paid to their work.16
Penilaian-penilaian yang demikian –yang bahkan diutarakan oleh ilmuwan!– memperlihatkan sifat
‘acuh-tak-acuh’ terhadap pengetahuan dan kearifan para pelaut dan pembuat perahu tradisional yang
menjadi alasan kurangnya sumber historis dan ikonografi yang dapat dipercayai. Hal ini terutamanya
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pengalaman sebagian besar ilmuwan dan pengamat
lainnya dalam bidang pelayaran dan pembuatan perahu: Misalnya, sampai sekarang baru terdapat satu
penelitian yang secara mendetil membahas sistem navigasi pelaut tradisional Indonesia yang
didsarkan atas riset dan pengetahuan yang mendalam17 – sedangkan, dalam sekian banyak sumber
kontemporer lain terdapat pernyataan-pernyataan seperti “Bintang Boyang Kepang (Bintang Biduk)
[Crux, ‘Salib Selatan’, suatu konstelasi terkenal yang ‘berputar’ sekeliling Kutub Selatan – pen]:
Menurut pengetahuan mereka selalu [sic: bintang-bintang ‘berputar’ sesuai dengan bergeraknya bumi
dan setiap hari terbit sekitar 4 menit lebih dini daripada pada hari sebelumnya, sehingga tak mungkin
“selalu” berada pada posisi yang sama – pen.] berada pada sebelah utara [sic!]”18; belum ada satu
penelitian pun yang berfokus kepada evolusi layar, tali-temali dan seamanship19 tradisional Nusantara.
Selain itu, perbedaan cara pengonsepan pengetahuan teknis antara pendekatan ‘ilmiah’ dan
‘tradisional’ menyebabkan bahwa sekian banyak hal krusial luput dari perhatian sang peneliti: Misalnya, dari puluhan penelitian tentang pembuatan perahu ‘pinisiq’ hanya sejumlah kecil menyebutkan
16
Manguin 1995:181-82
17
Ammarell 1999
18
Sahur dkk. 1991:42
19
‘Praktek dan teknik melayarkan sebuah perahu’.
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
7
adanya plank patterns, pola penyusunan papan dalam sistem pembuatan perahu tradisional
Nusantara20, yang merupakan sebuah poin amat krusial dalam cara pembuatannya; bagi tradisi-tradisi
pembuatan perahu di pulau-pulau di luar Sulawesi saya hanya mengenali karangan Barnes tentang
‘Perahu-Perahu Penangkap Ikan Paus di Pulau Lembata’ (1985) dan percobaan-percobaan Horridge
di Indonesia Timur (1978, 1982) yang menyebutkan pola-pola itu.
Jelas, yang di Eropa sejak terdahulu dinamakan ‘seni pembuatan perahu dan pelayaran’ juga terdapat
di Nusantara, dan para penganutnya harus dicari di kampung-kampung yang secara turun-temurun
berorientasi ke laut. Akan tetapi, di Indonesia pada zaman kini “sektor modern yang bertahun-tahun
lamanya dianggap sebagai penjamin peningkatan taraf kehidupan masyarakat seolah-olah berseberangan dengan teknologi dan pengetahuan indigen yang selama ini menanggung kehidupan rakyat”21,
sehingga ‘stigma tradisional’ yang mengimplementasikan ‘keterbelakangan’ menyebabkan tersingkirnya kearifan yang ketangguhannya terbukti sejak ratusan tahun itu – apakah seorang kampung yang
mungkin hampir buta huruf bisa memiliki pengetahuan yang lebih canggih atau dapat melakukan sesuatu yang lebih kompleks daripada sang ilmuwan yang mengobservasinya? Atau – sebaliknya: Apakah seorang ilmuwan dapat membuat sebuah perahu berukuran ratusan ton muatan dengan bekal kayu dan beberapa alat sederhana saja, atau dapat berlayar ke India atau Fiji tanpa peta laut dan GPS22?
Mengenai perbedaan pola pengonsepan –dan pendekatan!– ini saya mencatat di tempat lain23:
Perbedaan paling mendasar adalah ‘terbungkusnya’ pengetahuan tradisional dalam kode-kode yang
jauh berbeda dari kode yang digunakan ilmu modern - bukan perhitungan yang bersifat teknis murni,
akan tetapi, misalkan, peristilahan dalam bahasa-bahasa daerah yang sulit diterjemahkan, kebiasaan
yang susah diterangkan, pemali yang berlaku pada kegiatan-kegiatan tertentu, bahkan upacaraupacara atau cerita dongeng dapat mengandung butir-butir pengetahuan yang krusial; dan hal-hal
yang pada dasarnya dapat ditafsirkan sebagai penerapan suatu teknik sering mengandung pula sekian
banyak unsur yang lain. Suatu contoh […]: Terjadinya air surut / air pasang terendah di wilayah
Nusantara merupakan suatu hal yang cukup penting buat seorang pelaut tradisional - arus, angin,
lokasi-lokasi berkumpulnya ikan dsb tergantung darinya. Di daerah Mandar hal ini dijadikan suatu
cerita yang dengan gampang dianggap sebagai cerita dongeng saja: Pada hari kedelapan pada bulan
kedelapan sejenis roh yang bernama Datuk berjalan di langit dari Selatan ke Utara melewati Selat
Makassar, dan ketika ia lewat, terdengar segala bunyian musik di langit; tanda berjalannya adalah tiga
“ombak’’ yang bersusun-susun di pantai, dan setelahnya biasanya sekali lagi datang angin deras. Jika
ditafsirkan secara mendalam, maka dengan “tiga ombak yang bersusun-susun di pantai’’ itu
dimaksudkan jejak-jejak tiga kali air pasang yang lebih tinggi yang terjadi sebelum Sang Datuk itu
lewat - dan memanglah pada bulan kedelapan terjadi air pasang terendah pada setahun.
Kebenaran cerita yang seperti itu cukup susah didapatkan: Sebagian besar informan hanya tahu
menceritakannya, tapi tidak dapat mengartikan maksudnya, sehingga data-data yang diperoleh
dengan cara yang demikian harus dibandingkan dengan penemuan-penemuan ilmu kelautan
moderen. […] Demi itulah kita dituntut untuk lebih memperhatikan dan memperdalam konsep dan
gagasan yang dianut masyarakat-masyarakat tradisional - dan yang tak boleh dilupa adalah, bahwa
butir-butir pengetahuan indigen yang demikian dikumpulkan dan diuji melalui suatu proses yang
berlangsung selama ratusan tahun, dan sering jauh melebihi yang bisa kita dapatkan lewat suatu studi
perpustakaan saja.
20
Saya akan membahas hal ini dalam bab 3.1 dan 3.3
21
Liebner 1999(c):259
22
Global Positioning System, suatu jaringan palapa yang digunakan untuk menentukan posisi-posisi di atas permukaan bumi
23
Lihat Liebner 1999(a):3-4
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
8
Sebagaimana disebutkan di atas, penelitian-penelitian tentang tradisi kebaharian yang diadakan
selama ini pada umumnya berfokuskan “studies of the surviving small sailing vessels”, dan sering tak
menyentuh latar-belakang teknologi, sosial, sejarah dan budaya yang terkait dengannya secara mendalam. Namun, di antaranya terdapat pula sekian banyak tulisan yang sekurang-kurangnya sempat
menggambarkan tipe-tipe perahu dan penggunaanya dengan cukup seksama: Saya di sini hanya ingin
menyebutkan karangan-karangan Ammarell (navigasi pelaut-pedagang Bugis), Borahima dkk. (perahu-perahu Bugis-Makassar), Doran (evolusi perahu bercadik), Gibson-Hill dan Warrington-Smyth
(tipe-tipe perahu di Semenanjung Malaya), Haddon dan Hornell (perahu bercadik Austronesia),
Horridge (tentang sekian banyak aspek sejarah dan keadaan indigen perahu-perahu Indonesia),
Manguin (sejarah perkapalan Nusantara), Nooteboom (perkapalan dan pelayaran Indonesia), Pelly
(pembuatan perahu di Sulawesi Selatan), Wangania (perahu-perahu Madura)24. Sayangnya, dari pengarang tersebut hanya sebagian kecil berasal dari Indonesia – dan yang lebih saya sayangkan, dari terbitan hasil-hasil penelitian ini pun hanya segelintirlah yang bisa didapatkan di perpustakaan-perpustakaan di dalam negeri, sehingga secara serius membahas masalah tradisi kebaharian Nusantara
bukanlah suatu hal yang gampang dan sering harus didasarkan atas asumpsi dan perkiraan saja.
2
Latar Belakang Historis
2.1 Migrasi Suku-Suku Austronesia
Pembuatan perahu, pelayaran dan navigasi tradisional di wilayah Nusantara merupakan sebuah crucial
point dalam teori-teori migrasi di wilayah Oseania:
To account for the Malayo-Polynesian migrations in the insular environment of Oceania, where
islands are often separated from their nearest neighbours by long stretches of open water, the
migrants would have had to possess a relatively complex culture, specifically one which included
developed water craft and advanced navigational skills.25
Suku-suku Austronesia yang pada abad ke-20 sebelum Masehi mulai mendatangi Nusantara dari arah
Utara dan Barat telah menciptakan tipe perahu bercadik sebagai alat transportasi migrasi mereka, dan
perkembangan jenis-jenis perahu asli Nusantara maupun kawasan Oseania pada umunya didasarkan
atas ciptaan itu. Tipe perahu bercadik adalah suatu penemuan yang sangatlah canggih dari segi
teknik perkapalan – malahan, jenis perahu ini telah menjadi contoh untuk perahu-perahu pesiar dan
lomba moderen: Beberapa tipe perahu pesiar dan lomba seperti katamaran dan trimaran dirancang
dengan mengikuti contoh-contoh perahu tradisional yang didapatkan di wilayah Oseania ini.
Riset telah membuktikan, bahwa alat angkutan utama Suku-Suku Austronesia, perahu bercadiknya,
terdapat sepanjang jalur migrasi mereka dari Madagaskar di penghujung barat daya Samudera India
sampai ke pulau-pulau Polinesia di bagian timur Samudera Pasifik. Menurut hasil beberapa
penelitian, kemungkinan wilayah Sulawesi telah merupakan salah satu pusat utama penyebarannya:
Dari perbandingan pola-pola konstruksi dan teknik pembuatan perahu bercadik Doran
menyimpulkan, bahwa “an Indonesian centre of boat complexity at [...] perhaps 1000 to 500 BC in
the vicinity of Sulawesi is a reasonable hypothesis at this stage of knowledge”26.
24
Detil-detil kepustakaan terdapat dalam Daftar Pustaka.
25
Murdock 1968:92
26
Doran 1981:91
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
INDONESIA/
MALAYSIA
katir
Sulawesi Selatan
KONJO
somang
MAKASSAR
somang
BUGIS
ati
MANDAR
palatto
BAJAU (SulSel)
katir
WANCI
CIA-CIA
SIOMPU
BINONGKO
BAJAU (Buton)
Buton
barata ?
polanto
polanto
londe
katir
cadik
baratang
baratang
baratang
baratang
baratang
barata
darangka
katiwa
jarangka
9
Secara geografis wilayah Nusantara Timur dan
Pilipina Selatan merupakan ‘pintu utama’ buat
Suku-Suku Austronesia untuk memasuki kawasan Pasifik, dan beberapa penemuan linguistik
kelihatan dapat memperkuat anggapan ini:
Misalnya, dalam penelitiannya tentang morfologi beberapa bahasa Sulawesi dan Polinesia,
Kähler (1951) telah membuktikan kesamaankesamaan yang menonjol. Dalam tabel 2.1.1
terlihat pembandingan kata ‘katir’ dan ‘cadik’
dalam beberapa bahasa Austronesia, dan terutama persamaan antara kata-kata yang menandai ‘katir’ dalam bahasa-bahasa asal Indonesia bagian timur dan Polinesia sangat jelas.
Bagaimanapun, penelitian-penelitian yang membahas tipologi dan pola konstruksi perahu-peranadyu-nadyu ?
hu bercadik di kawasan Oseania sampai sekabairungan
rang lebih berorientasi ke kawasan Mikro- dan
sesa
Polinesia27, dan saya hanya mengenali karangan
jaduku
Frederici (1912), Hornell (1920) dan Nootefarotang
boom (1932) yang membahas tipologi perahuperahu bercadik di Indonesia secara meluas.
Jawa
Selain itu, selama ini belum ada penemuan
JAWA
blanjungan ?
arkeologi yang dapat dipastikan sebagai sisa
MADURA
katir
pelejungan
perahu yang berasal dari abad-abad sebelum
Mikronesia
tahun 0, dan variasi antara tipe-tipe perahu
Ralik-Ratak
gubak
abid
bercadik kontemporer Nusantara amat besar,
Lamotrek
tam
kio, gio
sehingga kita hanya dapat menyimpulkan beTruk
tam
kio
berapa garis besar tentang sifat ‘perahu-perahu
Polinesia
Austronesia’ itu. Sifat pertama adalah adanya
cadik dan katir – akan tetapi, kita tak dapat
HAWAII
ama, akea
iako
menentukan cara pemasangannya, atau apakah
TAHITI
ama
iato
perahu-perahu itu bercadik ganda atau tunggal;
COOK ISL.
ama
kiato
sifat kedua adalah bahwa perahu-perahu itu
SAMOA
ama
‘iaito
berdasarkan perahu batangan yang ditingkatkan
TONGA
hama, katea
kiato, kaso
dengan satu atau lebih keping papan. Kita daTabel 2.1.1: Kata ‘katir’ dan ‘cadik’ dalam beberapa
pat mengimplikasikan bahwa sambungan antara
bahasa (HURUF KAPITAL) dan daerah
papan dan batangan dilakukan dengan teknik
(Huruf Biasa).
lashed lug (gambar 2.1.2 dan bab berikutnya) –
tetapi sampai ke manakah teknik itu dikembangkan sebelum milenium pertama CE tak dapat
ditentukan.
Indonesia Timur
TERNATE
sama
BACAN
somang
GALELA
suma
TOBELO
hama
TALIABU
somang
AMBON (Mal)
semang
27
Lht msl. Frederici 1912, Nooteboom 1932, Hornell 1920, Haddon&Hornell 1935, Koch 1970, 1971, Thompsen&
Taylor 1980, Doran 1972, 1981
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
10
Pengikat dari tali ijuk, sabut
kelapa atau rotan
Lug untuk mengikat gadinggading pada lambung
Katir
Papan atau kayu
melintang sebagai
‘pengganti’ gadinggading
Gading-Gading
Cadik
Batangan
Pengikat
Papan tambahan
Lugs
Gading-Gading
Gambar 2.1.2: Asumpsi cara pembuatan perahu-perahu bercadik sebelum tahun 0. Bagian kiri perahu
memperlihatkan cara memasang / mengencangkan papan di atas perahu batangan dengan
menggunakan kayu batangan atau papan yang diikatkan sebagai ‘penyepit’; bagian kanan
memperlihatkan penggunaan gading-gading yang diikat ke dalam lambung perahu. Bdg. juga
gambar 2.2.2
Sejak dua dekade yang silam diadakan pula beberapa penelitian mendalam28 tentang navigasi
tradisional di kawasan Mikro- dan Polinesia, dan hasil penelitian-penelitian tersebut membuktikan
asumpsi para sejarahwan, bahwa Suku-Suku Austronesia telah menciptakan sebuah sistem navigasi
yang mantap. Orientasi di laut dilakukan dengan menggunakan pelbagai tanda alam yang berbedabeda, dan dengan memakai suatu teknik perbintangan sangat khas yang dinamakan ‘star path
navigation’: Secara dasar, para navigator menentukan haluan-haluan ke pulau-pulau yang dikenali
dengan menggunakan posisi terbitnya dan terbenamnya bintang-bintang tertentu di atas cakrawala.
Ammarell dalam penelitiannya tentang navigasi pelaut Bugis kontemporer sempat membuktikan
suatu sistem orientasi yang sejajar di Indonesia29, dan saya mendapatkan informasi yang serupa di
daerah Mandar30. Suatu hal yang lain yang dapat menjadi bukti atas kesamaan-kesamaan ini adalah
terminologi yang digunakan pelaut ‘tradisional kontemporer’ untuk menandai manuver-manuver
sebuah perahu layar (gambar 2.1.3): Dasar teknik melayarkan sebuah perahu layar adalah sama bagi
28
Lht. msl. Gladwin 1970, Lewis 1972, Thompsen&Taylor 1980, Feinberg 1988
29
Ammarell 1999
30
Liebner 1996(a):25
11
IND:
KE ARAH ANGIN
ENG:
COME ROUND
BUG:
pabbiluq
MAK, MAN: biluq
paqbiluq
KON:
bilu
BAJ:
BIN, TOM: belu
WAN, SIO: belo
belu naide, pabelu ?
CIA:
billok ??
MNL:
beluk
MAL:
Gambar 2.1.3: Manuver perahu layar
dan peristilahannya dalam
beberapa bahasa
IND: Indonesia
ENG: Inggris
BUG: Bugis
KON: Konjo
MAN: Mandar
BAJ: Bajau
BIN: Binongko
TOM: Tomea
WAN: Wanci
CIA: Cia-Cia
SIO: Siompu
MAL: Malaysia
MNL: Bhs Melayu (menurut kamus-kamus
pelaut Belanda)
IND:
BELOK KE ARAH ANGIN
ENG:
TO TACK
MAK:
salurang ??
BUG, KON, MAN: tunggeng biluq
pabbiluq ka diata
BAJ:
koti belu
BIN, TOM:
koti belo
WAN:
bali belu
CIA:
bali belo
SIO:
bélok ??
MNL:
pal?
MAL:
IND:
ENG:
BUG:
KON:
MAN:
BAJ:
BIN, TOM:
WAN, SIO:
CIA:
ARAH ANGIN
IND:
TURUT DENGAN ANGIN
ENG:
CAST TO LEE SIDE
patturuq
BUG:
turuq
MAK:
patturuq
KON:
turuq
MAN:
BAJ, BIN, TOM, WAN, SIO : turu
curu, panuncuru ?
CIA:
turut
MAL:
BEROPAL2, MEMAIR
BEATING TO WINDWARD
maggaragaji
aqgaragaji
magaragaji
taqtadaang
opala
karakaji
karakaci
IND:
ANGIN DARI SAMPING
ENG:
BEAM WIND, WIND ABEAM
BUG:
anging tengngaq ?
KON, MAN: lari sambang
passampiri, pangissi
BAJ:
tanasawengka
BIN:
tana asawengka ?
TOM:
langke sawengka
WAN:
tandawongka ?
CIA:
paletanga ?
SIO:
IND:
ANGIN DARI BURITAN
ENG:
WIND RIGHT AFT
panggang ?
KON:
turuq puar
MAN:
patturu ?
BAJ:
BIN, TOM, WAN, SIO: bangu(n) turu
bangu(n) curu
CIA:
IND:
BERLAYAR DEKAT ANGIN
ENG:
CLOSEHAULED
KON:
aqbiluq
biluq
MAN:
pabbiluq, tutukuq kasangei ?
BAJ:
kantad(h)i
BIN:
TOM, WAN, CIA: pabelu
belo paletanga
SIO:
(berlayar) rapat angin
MNL:
IND:
ENG:
MAK:
KON:
MAN:
BAJ:
BIN:
TOM:
WAN:
CIA:
SIO:
ANGIN DARI TENGAH BURITAN
SAIL WITH QUARTERING WIND
turuq
lari sihali
turuq
sangei kamanbuli, passamba
pasamba
paletanga
langke sawengka ?
pasamba
bangu turu paletanga
IND:
BELOK DENGAN ANGIN DARI BELAKANG
ENG:
TO GYBE
BUG, KON, MAN: tunggeng turuq
paballiq turu
BAJ:
koti turu
BIN, TOM, WAN:
bali curu
CIA:
bali turu
SIO:
12
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
semua pelaut, dan kemiripan peristilahan yang menonjol dalam bahasa-bahasa Sulawesi kemungkinan
besar bisa dilacak sampai ke Polinesia atau Madagaskar.
2.2 Tahun 0 s/d 1000 CE: ‘Indianisasi’ atau ‘Perdagangan Internasional’?
Hubungan antara India, Cina dan Kawasan Nusantara dapat dibuktikan sejak sekurang-kurangnya
abad-abad pertama CE31: Rempah-rempah asal Nusantara dikenali dan dikonsumsi di Cina sejak abad
ke-5 SM, dan selambat-lambatnya sejak abad ke-2 CE warga kota Roma dapat membelinya di pasarpasar, didatangkan melalui India, Persia, Arabia dan Mezir32. Berkat perdagangan laut ini, sampai
abad ke-6 CE terbentuklah beberapa kerajaan di sepanjang Selat Malaka yang bukan hanya
mengontrol dan menguasai jalur utama perdagangan antara India dan Cina itu, tetapi juga menjadi
penyuplai dan pemilik utama armada perahu-perahu dagang yang mendistribusikan rempah-rempah
dan produk Nusantara lain, porselein dan sutera Cina, kain dan produk-produk manufaktur India di
sepanjang Samudera India dan Laut Cina. Sampai tahun 1000 para pelaut Nusantara itu menemui
dan mengolonisasi Pulau Madagaskar di penghujung Barat Daya Samudera India, sehingga
“exchanges with the remote island across the Indian Ocean lasted into the early centuries of
Islamization of Sumatra”33.
Catatan-catatan tertulis paling tua mengenai jenis dan bentuk perahu Nusantara yang menjadi sarana
utama dalam sistem perdagangan itu berasal dari Cina: Syahbandar, pejabat, biksu dan ilmuwan
sudah pada abad ke-3 CE memperhatikan k’un-lun b/po34, ‘perahu-perahu layar orang Lautan Selatan’,
atau bahkan menggunakannya untuk –misalnya– perjalanan ziarah ke/dari India. Akan tetapi,
sebagian besar dari mereka bukan pelaut atau pengrajin perahu, sehingga gambaran-gambaran yang
didapatkan jauh dari lengkap. Bagaimanapun, yang mengherankan adalah ukuran p/bo itu: Dalam
tulisan asal Cina disebutkan, bahwa perahu-perahu p/bo dapat “membawa antara enam sampai tujuh
ratus orang, dengan muatan sampai 10.000 ikat muatan [yang diperkirakan antara 250 – 1000 ton
metrik]” (abad ke-3 CE), atau “dapat mengangkut lebih daripada 1.000 orang, selain muatannya”
(abad ke-8 CE)35. Menurut Manguin, dari deskripsi-deskripsi yang demikian dapat dipastikan bahwa
perahu-perahu samudera asal Nusantara pada millenium pertama CE
were very large, even by modern sailing standards (up to 50m in length, some 600 tons burden), […]
rigged with multiple masts and sails, a sure indication of sophisticated high seas sailing skills,
[…and(!) …] probably had no outriggers, for such a conspicous device would no doubt have struck the
minds of the Chinese witnesses.36
31
Lht. msl. Bellwood 1985:137ff, 279ff, Coedes 1968:36ff
32
Bagi Kekaisaran Roma konsum rempah-rempah ini menjadi suatu malapetaka ekonomi, sebab impor barang eksotis
dibayar dengan menggunakan uang; pada abad ke-3 dan ke-4 CE para kaisar terpaksa melarang ‘ekspor’ koin-koin
Romawi untuk mencegah meluasnya krisis moneter Roma yang disebabkan oleh ‘pelarian devisa’ guna membeli
rempah-rempah. Maka, penemuan koin-koin Romawi di India, Malaya dan Jawa tak usah mengherankan (lht. msl.
Wheatley 1961, Gupta 2001)
33
Manguin 1995:183
34
35
36
“The meaning of the term K’un-lun has varied widely in the course of the centuries. But, during the period considered
here, it indicates unequivocally Southeast Asian populations, among which was that of Srivijaya. Po [atau, di sumber
lain, bo – pen.] is a term of foreign origin –according to the Chinese themselves- which the Chinese used to refer to
the ships of the K’un-lun.” (Manguin 1980:274)
c.f. Manguin 1980:275, Needham 1971:495ff, terj. pen.
Manguin 1995:189; italics oleh pen.
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
13
Gambar 2.2.1: Maket sebuah perahu tipe kora-kora dari Horridge 1978:17. Perhatikanlah kesamaan
dalam misalnya bentuk linggi dan anjungan-anjungan di atas lambung dengan fresko perahu
di Borobudur.
Deskripsi-deskripsi ini memang agak berseberangan dengan pendapat sekian banyak pengamat
sejarah kemaritiman (Nusantara) lain37 serta tidak didukun oleh penemuan arkeologi dan ikonografi:
Baik fresko perahu terkenal pada Candi Borobudur maupun sisa-sisa kapal karam yang ditemukan
sampai sekarang berasal dari perahu-perahu yang ukurannya lebih kecil. Akan tetapi, terutama
‘perahu Borobudur’ itu dari cara konstruksinya dengan jelas dapat digolongkan dalam sekelas dengan
perahu-perahu kora-kora, yang sebagai tipe pada umumnya berukuran jauh lebih kecil daripada yang
disebut dalam sumber-sumber Cina (lht. gambar 2.2.1). Selain itu, dalam sumber-sumber tertulis
Eropa –dari baik petualang seperti Marco Polo atau Odoric de Pordenonne maupun nakhodanakhoda Portuges pertama yang sampai ke Nusantara– tercatat pula adanya kapal layar yang sangat
besar ukurannya (kita dalam bab 2.3 akan kembali ke hal ini).
Saya sendiri setuju dengan pendapat Manguin, bahwa “the various states that dominated the late first
millenium A.D. historical scene in Insular Southeast Asia […] were no doubt complex enough
polities to provide sufficient financial means, manpower and organizational capacities to suceed in
building such large vessels”38 – meski kemungkinan besar ‘perahu dagang biasa’ berukuran lebih kecil
(lht. uraian mengenai jenis-jenis perahu pada zaman kolonial pada bab 2.4), tak tertutup juga
kemungkinan adanya kapal kayu berukuran sebesar tipe b/po itu. Dan ada satu hal yang sebaiknya
37
38
Msl., Chaudhuri (1985:141) menggambarkan perahu-perahu Nusantara pada abad-abad antara “the Rise of Islam and
1750” sebagai “fast, light boats [of] light construction […] and limited cargo-carrying capacity”; Knaap (1996:153)
menyebutkan bahwa “the average volume mentioned by Manguin was simply too high”.
Manguin 1995:190
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
14
tak kita lupa: Jumlah penduduk Nusantara pada abad-abad pertama CE itu amat kecil39, sehingga
jumlah lalu-lintas laut, volume perdagangan dan jumlah perahu-perahu berukuran besar yang
diperlukan dan dipergunakan dalam perdagangan internasional dapat dipastikan adalah amat kecil
juga. Bila kita misalnya membandingkan angka-angka yang –berdasarkan catatan Portuges40 dan
VOC– disebut Knaap untuk perdagangan Java antara awal abad ke-16 s/d akhir abad ke-18 dengan
perkiraan jumlah penduduknya, maka secara kasar dapat diasumsikan bahwa seluruh lalu-lintas
internasional pulau itu (artinya, hubungan laut ke India dan Cina!) tak mungkin melebihi 10
perjalanan/tahun pada abad-abad sebelum tahun 1000 CE – yang belum pasti seluruhnya
dilaksanakan oleh perahu-perahu sebesar tipe b/po.
Biarpun batasan atas ukuran perahu-perahu Nusantara pada abad-abad ini dapat didiskusikan, berkat
adanya penemuan arkeologi kita sekurang-kurangnya dapat menyimpulkan beberapa sifat teknik
konstruksi kapal kayu zaman itu.
(1) Tiada bukti bahwa semua tipe perahu pada masa itu memakai cadik dan katir. Secara teknis,
pemasangan katir dan cadik pada sebuah perahu yang sebesar b/po itu hampir mustahil; pada
candi-candi Jawa juga terdapat gambar-gambar perahu tanpa cadik; dari penemuan arkeologi
selama ini belum ada bukti tentang adanya cadik / katir pada perahu-perahu yang berukuran s/d
30m panjangnya.
(2) Sisa-sisa perahu dari milenium pertama mengimplementasikan adanya sebuah teknik pembuatan
yang dikenali sebagai lashed-lug and stitched plank tradition; lambung perahu-perahu yang dihasilkan
dengan teknik itu terdiri dari sebatang lunas / papan pengganti lunas dan sejumlah susunan
keping-keping papan, dan mungkin beberapa lapisan papan kulit; teknologi ini memungkinkan
pembuatan lambung dengan ukuran yang jauh melebihi jenis-jenis lambung yang didasarkan atas
perahu batangan.
Sebab hampir semua tahap evolusi cara pembuatan lambung perahu dapat ditelusuri sampai
sekarang, terutama poin (2) di atas perlu digambarkan dengan lebih luas di sini. Salah satu sumber
Cina menggambarkan bentuk lambung perahu b/po sebagai berikut:
With the fibrous bark of the coconut tree, they make cords which bind the parts of the ship
together. Nails and clamps are not used [… . The ships] are constructed by assembling [several]
thicknesses of side-planks, for the boards are thin and they fear they would break.41
Cara konstruksi ini, yaitu ‘mengikat’ bagian-bagian lambung dengan menggunakan tali yang terbuat
dari serat ijuk atau kelapa serta dengan rotan pada tahun 70an abad ke-20 masih terdapat dan
disaksikan di beberapa kepulauan Indonesia Timur42, dan digambarkan oleh hampir semua pengamat
Eropa pertama sebagai sifat utama perahu-perahu di kawasan Samudera Hindia (lht. poin 2.3 di
39
40
41
42
Misalnya, Reid (1988:14; bdg. juga Ricklefs 1981/91:22-3) menyebutkan angka sekitar 14 juta penduduk untuk daerahdaerah yang sekarang mencakupi Indonesia (dikurangi Papua Barat) dan Malaya pada tahun 1800, dan memperkirakan
suatu angka sekitar 10juta bagi tahun 1600 – artinya, sejajar dengan argumen-argumen Reid bahwa penambahan
penduduk sebelum pasifikasi wilayah ini pada akhir abad ke-18 berkat adanya kekuatan Barat tak terlalu signifikan,
maka jumlah penduduk Nusantara sebelum tahun 1000 CE tak mungkin melebihi angka 5-6juta!
Menurut laporan Tomé Pires, jumlah perahu besar tipe jung yang terdapat di Jawa Utara adalah sebagai berikut: Sunda
Kelapa, 6bh; Cirebon, 4bh; Tegal, 1bh; Semarang, 3bh; Demak, paling tinggi 40bh; Jepara, 20bh; Gresik, sekitar 30bh.
Armada gabungan Palembang dan Jawa yang menyerang Malaka pada tahun 1513 terdiri dari sekitar 40 buah perahu
besar tipe jung dan 60 buah perahu sedang tipe lancara (Knaap 1996:161 ck.1).
C.f. Manguin 1980:275
lht. msl. Horidge 1978
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
15
Lug untuk mengikat
gading-gading pada
papan lambung
Pasak Kayu
‘Jahitan’ dari tali
ijuk, sabut kelapa
atau rotan
Lug untuk mengikat
gading-gading pada
papan lambung
Pasak Kayu
‘Pengunci’ pasak
yang menghindari
lepasnya
Gambar 2.2.2: Rekonstruksi cara pemasangan papan yang didasarkan atas dua penemuan arkeologi (atas:
Pontian, Pahang, Malaysia, antara abad ke-3 dan ke-5 CE [call. 14C]; bawah: Butuan, Mindanao
Utara, Pilipina, antara abad ke-13 dan ke-15 [14C]). Papan-papan dari Pontian dipasang dengan
menggunakan dua teknik, yakni ‘menjahitnya’ dengan tali ijuk melalui lobang-lobang yang
terdapat di sisi atas dan bawah masing-masing keping papan serta dengan pasak kayu; papanpapan dari Butuan dikaitkan dengan menggunakan pasak kayu saja yang dipasang dalam jarak
yang lebih dekat daripada yang terdapat pada papan-papan dari Pontian. Lugs yang terdapat pada
permukaan dalam papan-papan itu digunakan untuk mengikat gading-gading perahu kepada
papan lambung; lobang pengikat gading-gading yang terdapat dalam lugs pada papan dari Pontian
jauh lebih besar daripada lobang-lobang yang terdapat pada papan dari Butuan. Gambar ini
mengikuti gambar yang terdapat dalam Manguin (1995:187) dan tak memakai sekala.
bawah ini). Evaluasi penemuan-penemuan arkeologi membenarkan adanya teknologi ini: Pada
papan-papan hasil ekskavasi yang diperiksa Manguin terdapat tanda-tanda seperti lobang-lobang, lugs
dsb. yang secara jelas berhubungan dengannya (lht. gambar 2.2.2 dan 2.3.1). Bahkan, dari evaluasi
dan penentuan konteks waktu pembuatan papan-papan yang ditemukan oleh para arkeolog ini dapat
disimpulkan, bahwa “[the] stitching of the planks together appears to have progressively given way
to dowelling”43, teknik pembuatan perahu tradisional Nusantara yang tetap digunakan pada masa
kini. Perubahan ini kemungkinan terjadi setelah semakin banyak alat yang terbuat dari besi bersedia
bagi para pengrajin perahu: Melobangi sebuah papan kayu tropis adalah suatu pekerjaan yang sangat
berat tanpa peralatan besi, dan kita dapat mengasumpsikan bahwa dengan pertambahan volume
perdagangan dan penukaran pengetahuan teknis antara kebudayaan-kebudayaan Asia juga semakin
banyak peralatan menjadi bersedia sekurang-kurangnya di pusat-pusat sistem perdagangan itu – di
43
Manguin 1995:185
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
16
mana pula ada kebutuhan atas perahu perdagangan dan perang yang semakin kuat dan besar.
Menurut Chaudhuri,
As long as the Asian shipwright had the use of a wood-drill or a gouging chisel, he could make holes
in a hard timber such as teak and utilise iron treenails for fastening the sheating timber to the
internal frames. The larger the sip and the higher the total cost of construction, the easier it was for
the owners to absorb the extra cost of iron.44
Dengan ini kita tidak mendapatkan saja suatu petunjuk atas kemungkinan-kemungkinan adanya dan
cara pembuatan kapal layar sebesar b/po itu, tetapi juga harus mulai melihat teknologi kemaritiman
Nusantara dalam framework perdagangan laut Asia yang lebih luas itu.
2.3
Tahun 1000 s/d 1600: ‘The Age of Commerce’
Kelihatannya, sistem perdagangan lewat laut sejak tahun 1000 semakin terorganisir: Hubungan di
antara kedua ujungnya, yakni Arabia dan Cina, tak lagi disalin melalui single voyages, ‘pelayaran
tunggal’, tetapi dengan suatu pola perdagangan yang terdiri dari tiga segmen, yaitu bagian Barat yang
menghubungi Jazirah Arabia (dan dengan itu Asia Minor, Afrika dan Eropa) dengan India, bagian
Tengah antara India dan Selat Malaka serta bagian Timur, Cina dan Nusantara. Jalur, arah dan waktu
perdagangan dalam masing-masing segmen ini disesuaikan dengan keadaan cuaca selama setahun,
sehingga dapat mendukung dan melancarkan aliran barang dagangan di antara ketiga segmen itu45.
Kita mungkin dapat mengambil serangan Kerajaan Chola atas Srivijaya pada tahun 102546 sebagai
titik awal ‘Zaman Perdagangan’ ini; pada waktu itupun terjadi perkembangan armada niaga Cina yang
berikutnya berpartisipasi secara langsung dalam perdagangan laut Asia. Puncaknya mungkin
ekspedisi-ekspedisi laut Cina yang pada awal abad ke-15 mengarungi seluruh Samudera India sampai
Jiddah dan Kilwa di ujung Barat dan Barat Dayanya dengan armada-armada perahu layar terbesar
yang sampai saat itu digerakan oleh manusia47; tamatnya bermula dengan kedatangan perahu-perahu
layar Portuges ke India pada awal abad ke-16, sehingga sistem perdagangan indigen Asia itu berubah
dengan berarti setelah terdirinya kedua kompeni dagang Belanda dan Inggris, VOC dan EIC, pada
awal abad ke-17.
Dalam kurun waktu ini terjadi suatu kontinuum interaksi antara semua kekuatan dagang dan politik
di sepanjang garis pantai Asia dan Afrika dari Tanzania sampai Cina, yang menyebabkan –misalnya–
tersebarnya agama Islam. Dengan interaksi-interaksi tersebut teknologi perkapalan dan pelayaran
sangat dipengaruhi: Sebagaimana disebutkan pada awal tulisan ini, bentuk-bentuk teknologi
kemaritiman itu bertendensi untuk menjadi sama antara pihak-pihak yang berhubungan secara
intensif. Jadi, kita tak perlu heran bila seorang pengamat Portuges pada awal abad ke-16
menggambarkan bentuk perahu-perahu Malabar sebagai berikut:
44
Chaudhuri 1985:151
45
lht. msl. Chaudhuri 1985:40ff
46
lht. msl. Coedes 1968:142ff
47
lht. msl. Kong 2000, Mills 1979, Fernández-Armesto 1995:124ff; menurut Fernández-Armesto, perkembangan bidang
kemaritiman Cina yang begitu pesat pada abad-abad sebelumnya sehingga dapat menghasilkan adanya ekspedisi
sebesar pelayaran-pelayaran Cheng Ho itu sebenarnya dapat dijadikan awal pendirian kekuasaan Cina atas Asia
Selatan, tetapi berlanjutnya dihentikan dengan sengaja oleh Kaisar Hung-Hsi dan pengganti-penggantinya; setelahnya
perdagangan laut Cina itu terdiri dari sektor partikulernya saja dan Cina terakhirnya amat tergantung dari adanya
perdagangan laut kekuatan-kekuatan Barat.
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
17
Gambar 2.3.1: Cara memasangkan gading-gading dan papan lambung. Kiri: Internal stiffening melalui ‘kayu
melintang’; papan-papan lambung disambungkan dengan menggunakan pasak kayu. Perahu ini
menggunakan sebuah papan lebar sebagai lunas. Kanan: Gading-gading yang diikat (kiri), dan
dipasang dengan menggunakan pasak kayu (kanan; bawah: terpasang ke atas lugs, atas, dipasang
langsung pada papan lambung). Perahu ini menggunakan lunas tipe balok. Lht. juga gambar 2.1.2,
2.2.2.
[…] undecked, short, and with few ribs; the planking is joined and sewn together with coir thread,
and very strongly, for it endures all the strains of sailing; and the planks are fastened in the same
manner to the ribs, sewn with the same coir, and they remain as secure as if they were nailed.48
Cara pembuatan perahu itu menggunakan teknik yang agak serupa dengan yang sudah kita lihat pada
sisa-sisa papan yang didapatkan dalam konteks arkeologi:
The shell [of these boats of India – pen.] was built first before the insertion of the ribs or the frame
timber […and…] the sheating planks were held together not by nails but by coconut-fibre ropes.
The planks were fixed edge-to-edge into rabbets and attached to the stem and stern-posts, raking up
at a steep angle. Coir ropes, passed through holes drilled at close intervals, held the timber together,
being tightened against thick coconut cables inside the hull. […] Internal stiffening [was achieved] by
inserting a row of carefully shaped branches of trees into the shell as ribs and fastening them to the
sheating planks.49 [lht. gambar 2.3.1]
Sebagaimana diuraikan di bab 2.2, perahu-perahu Nusantara pada zaman itu sudah dibangun dengan
menggunakan hubungan pasak antara papan-papan; hal ini mungkin diakselerasikan oleh adanya
jenis-jenis kayu yang amat cocok untuk dijadikan pasak kayu yang kuat dan bertahan. Selain itu, para
pengamat Portuges menyebutkan juga adanya sambungan yang menggunakan paku besi (mungkin
suatu pengaruh Cina). Yang jelas, perahu-perahu yang dibangun dengan cara yang demikian masih
disaksikan di Indonesia Timur pada tahun 70-an abad ke-20, dan evolusinya kemungkinan besar
berpusat di sentra-sentra perdagangan internasional dan menyebar secara lambat-laun dari pusatpusat itu sampai –paling akhirnya– ke pulau-pulau terpencil di Nusantara Timur (lht. juga di bawah
ini).
Tak banyak diketahui mengenai bentuk perahu-perahu tersebut; akan tetapi, kita dapat
mengasumsikan bahwa bentuk kapal-kapal niaga pada zaman itu tak begitu jauh perbedaanya di
antara sekurang-kurangnya India, Arabia dan Nusantara bagian barat. Suatu hal yang dapat
48
Correa, Lendas da India, c.f. Chaudhuri 1985:150
49
Chaudhuri 1985:149
18
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
disimpulkan dari ‘Undang-Undang Laut’ asal Malaka dan
Sulawesi50 adalah bahwa perahu-perahu dagang pada zaman itu
cenderung membawa sejumlah saudagar yang masing-masing
menyewa sebuah atau lebih banyak ‘petak’ (bagian-bagian tertentu
dalam ruang muatan dalam lambung) untuk menyimpan barangbarang dagangannya; hal ini dapat menerangkan adanya ‘sekatsekat pembagi’ dalam lambung perahu-perahu yang disebutkan
oleh sumber-sumber Portuges. Sekat-sekat itu pasti dapat
berfungsi juga sebagai penguat struktur lambung, dan bahkan
merupakan salah satu sifat utama dalam teknologi pembuatan
perahu Cina – cara pemasangan yang digambarkan pada 2.3.1
(kiri) mungkin merupakan ‘versi Nusantara’ dari teknologi itu.
Suatu bagian integral sebuah perahu layar, yakni bentuk
kemudinya, dipengaruhi juga oleh teknologi Cina: Sedangkan
pada lukisan-lukisan tipe-tipe perahu sebelum tahun 1000 baik di
Asia Selatan maupun Eropa terlihat adanya kemudi samping,
namun sejak awal milenium kedua semakin banyak perahu
dilengkapi dengan kemudi tengah yang diciptakan oleh insinur
perkapalan Cina pada abad-abad akhir milenium pertama51
(gambar 2.3.2). Inovasi ini ternyata sangat efisien bila sebuah
perahu berlayar di lautan lepas; namun, di lautan antar pulaupulau Nusantara di mana terdapat daerah-daerah penuh gugusan
karang kemudi samping yang dapat dilepas dan dinaikkan bila
kena batu dipertahankan oleh para pelaut.
Gambar 2.3.2: Tiga tipe layar
dan kemudi. Atas: lateen
dengan kemdui tengah
yang digantung di buritan; tengah: tilted rectangular dengan kemudi samping; bawah: batten-lug
dengan kemudi tengah
tipe Cina.
Bentuk layar yang digunakan pada zaman itu dapat dilihat pada
sekian banyak lukisan dan gambar asal baik Asia maupun Eropa:
Dari bagian Barat Samudera Hindia sampai ke Selat Malaka
terdapat perahu-perahu yang cenderung menggunakan layar tipe
lateen; di dalam kepulauan Nusantara para pelaut lebih banyak
menggunakan tipe tilted-rectangular, dan di wilayah-wilayah yang
berada di bawah pengaruh Cina di Utara terdapat tipe batten-lug52. Kecenderungan untuk memilih
tipe layar ini atau itu kemungkinan besar tergantung baik dari keadaan cuaca dan musim pada jalurjalur yang dilayari di masing-masing daerah itu maupun dari penguasaan teknik berlayar oleh para
pelaut dan ‘kebiasaan’ mereka dalam menggunakan sejenis layar tertentu. Bagaimanapun, dalam
terminologi yang berhubungan dengan layar dan tali-temali kita mendapatkan persamaan yang
menonjol di antara Arabia, India dan Nusantara53, suatu hal yang menandai adanya penukaran ide-ide
dan teknik-teknik yang berlangsung di sepanjang jalur komunikasi laut di Samudera India.
50
Lht. msl. Caron 1937, Tobing 1967, Winstedt 1956
51
Lht. msl. Needham 1971
52
Mengenai tipe-tipe layar lht. bab 3.1.
53
Lht. msl. Roebuck 1841, Vaz 1879, Small 1882 (India); Badings 1880, Kriens 1880, Oderwald 1924 (Indonesia);
Liebner 1993
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
19
Dari akhir ‘Zaman Perdagangan’ inilah berasal suatu bukti akan adanya perahu-perahu sebesar b/po
tadi yang agak susah ditolak. Suatu armada perahu-perahu Portuges pada awal abad ke-16 di Selat
Malaka menemui sebuah perahu besar asal Sumatera:
Seeing that the junco [nama Portuges untuk perahu tipe b/po – pen.] wanted to start fighting, the
Governor got close to her with his whole fleet. The galleys started shooting at her, but this did not
affect her in the least, and she went on sailing […] the Protuguese ships then shot at her masts, […]
and she dropped her sails. Because she was very tall […] our people did not dare board her and our
firing did not hurt her at all, for she had four super-imposed layers of planks, and our biggest canon
would not penetrate more than two. […] Seeing this, the Governor ordered his own nau to come
alongside her. This was the Flor de la Mar, which had the highest castles of all. When she managed
to board the junco, her aft castle barely reached her bridge […] The crew of the junco defended
herself so well that they had to sail away from her again. [After two days and nights of fighting] the
Governor decided to have the two rudders she carried outside torn away … [the junco then
surrendered].54
Sifat-sifat junco itu sesuai dengan yang digambarkan para pengamat Cina: Berukuran besar (lebih
besar daripada perahu terbesar armada Portuges!), jumlah awak yang besar (mereka bersukses dalam
melawan serangan langsung Portuges); dengan lambung yang terbuat dari beberapa lapisan papan
dan adanya dua kemudi samping perahu itu secara jelas termasuk tradisi pembuatan perahu
Nusantara. Namun, kedatangan kekuatan maritim Eropa ke Asia menjadi alasan hilangnya dari
Lautan Nusantara.
2.4 Zaman Kolonial
Sebagaimana disebutkan pada bab 1.1, salah satu tujuan utama dalam kedatangan kompeni-kompeni
perdagangan Eropa ke Asia adalah menguasai lalu-lintas laut demi memonopoli alur perdagangan
antara wilayah-wilayah produsen rempah-rempah dan daerah-daerah konsumennya di Eropa dan,
setelah profitabilitasnya terbutki, di Asia sendiri – artinya, berbeda dengan Portugal sebagai suatu
negara, VOC dan EIC pada awalnya tidak bertujuan ‘menaklukkan Asia’55, tetapi hanya bermaksud
menjadi penyedia transportasi dan penjual satu-satunya beberapa komoditi tertentu yang nilai
pasarnya sangat tinggi. Demi itu, mereka membangun suatu “bureaucratic form of trade” yang
berteladan pada cara organisasi suatu perusahaan56 (yang akhirnya juga dalam sekian banyak poin
menjadi model akan bentuk dan fungsi perusahaan modern) dan ‘mengadministrasikan’ gerakan
perdagangan laut di daerah-daerah Asia yang dikuasainya. Sistem administrasi ini misalnya meliputi
juga birokratisasi pelabuhan – dan daftar-daftar para syahbandar kompeni-kompeni perdagangan itu
adalah salah satu sumber terpenting bagi pengetahuan kita tentang keadaan pelayaran indigen Asia
pada zaman itu.
Pada tabel 2.4.1 terlihat sejumlah tipe perahu yang paling banyak digunakan dalam perdagangan
dalam Nusantara dan deskripsi atas beberapa sifatnya seperti daya muat, panjangnya, jumlah kru dan
daerah operasionalnya berdasarkan catatan-catatan administrasi beberapa pelabuhan VOC dari
dekade-dekade akhir abad ke-18. Pada zaman itu ternyata terdapat ‘tipe’ atau ‘kelas’ perahu-perahu
yang sangat jelas sifat-sifatnya: Dalam, misalnya, arsip para syahbandar VOC di pantai Utara Jawa,
54
Corriera, 1858:216-18, c.f. Manguin 1980:267
55
Suatu ‘rencana’ yang sebenarnya jauh dari kemampuan Portugal –atau Belanda atau Inggris– yang mungkin
‘mencontohkan diri’ kepada sukses Spanyol di Amerika Tengah dan Selatan.
lht. msl. Chaudhuri 1985 82ff
56
20
Internasional
X
jauh
X
Antar Pulau,
X
sedang
Banting
X
Antar Pulau,
Tipe perahu kecil lokal, digunakan untuk pelayaran
sungai dan pantai; lebih sering dimiliki pedagang
Cina
“Acehnese light attack-boat”, sering digunakan
untuk berdagang oleh orang Aceh dan Melayu;
kebanyakan berasal dari pantai timur Aceh
Baluk
dekat
Lee 1986: Malaka 1761 dan 1782
Antar Pulau,
Catatan
Lokal
Kru
(#org)
Panjang
(feet)**
Daya
Muat
(last)*
Tipe
Perahu
Jarak Berlayar+
Knaap 1996: Jawa Utara 1774-77
32
Tipe perahu asal Eropa, dibuat di galangan di Asia (Jawa:
Rembang dan Juwana); dua tiang, layar andang-andang,
bergeladak, kemudi barat (lht gambar 2.4.3)
“Several hundred ton and a crew of two hundred” –
atau– 400-600 ton (metrik?), kru 60 orang
X
X
X
40
5575
20
Tipe perahu asal Eropa, dibuat di galangan di Asia (Jawa:
Rembang dan Juwana); satu-dua tiang, layar fore-and-aft,
bergeladak, kemudi barat (lht gambar 2.4.4)
Daya muat 30-100 last, kru rata-rata 30-40 orang;
lebih sering digunakan oleh pedagang Eropa yang
tinggal di Asia dan saudagar Cina; berdagang sampai
“Java, Burma, Thailand and Cambodia”
X
X
X
Gonting
12
4060
10
X
X
x
Jukong
<4
c.30
4
X
X
x
X
X
Brigantijn /
Bark
92
70100
Chialoup
“A bigger type of mayang, minus the curved bow and stern”,
satu tiang, layar tanjaq, tidak bergeladak
Perahu bercadik, satu layar jenis lete; “small multi-purpose
boat”, tidak bergeladak
Kakap
4
3040
Paduwakang
6
4050
15
Paduwang
<4
c.30
4
Pencalang
9
4060
9
6
++
“The most common type”, berasal dari perahu perikanan;
satu tiang, layar tanjaq, tanpa cadik, tidak bergeladak (lht.
gambar 2.4.5)
Berasal dari / dimiliki oleh pedagang Sulawesi; dua-tiga tiang,
layar tanjaq, bergeladak (lht. gambar nnn)
Perahu bercadik asal Madura, dua layar (lete dan layar kecil
pada anjong), tidak bergeladak; perahu muatan
Tipe perahu asal Malaya, tetapi “certainly copied by Javanese
shipwrights”; satu tiang, layar tanjaq, bergeladak
Penjajab
Perahu
Wangkang
X
Kru 7-20 orang; tipe lokal Malaya
Mayang
Sampan
Kru 10-15 orang, tendensi milik orang non-Melayu
4
c.30
5
100
c.10
0
c.80
Perahu “Bugis”; tak disebut dalam daftar tahun
1761, tetapi tercatat dalam daftar tahun 1782
X
X
Kru 7-20 orang; tipe lokal Malaya
X
X
Kru 7-20 orang; tipe lokal Malaya
Kru 2-3 orang; berukuran kecil
X
X
X
X
X
Satu tiang, tanpa cadik, paling sering disebut di pelabuhanpelabuhan Java Timur; “jukong tanpa cadik”
Berasal dari / dimiliki oleh orang Cina; dua-tiga tiang, layar
junk, kemudi tengah Cina, bergeladak
X
X
X
x
x
X
Tabel 2.4.1: Beberapa tipe perahu yang disebut dalam daftar-daftar syahbandar VOC pada pertengahan kedua abad ke-18
* 1=4000lbs
** 1=0.305m
+ Diperkirakan atas jarak berlayar dari pelabuhan / daerah asalnya; ‘Lokal’: di antara pelabuhan yang berdekatan; ‘dekat’:
/ 32 pikul / 1.81 metric tons
<200nm; ‘sedang’: 200-1000nm; ‘jauh’: >1000 nm; tanda x menandai bahwa kadang-kadang tipe perahu itu juga terdapat pada daerah-daerah di luar jarak tempuh ‘biasa’
++ Menurut Knaap (1996:36) angka ini seharusnya diragukan karena berbeda jauh dengan angka perbandingan daya muat / jumlah awak pada tipe-tipe perahu lain; “however, the same
picture emerged from the 1774-77 harbourmaster’s administration of Makassar”
21
Tabel 2.4.2: Knaap 1995:66 - Kebangsaan nakhoda-nakhoda beberapa tipe perahu
Knaap mendapatkan 47 istilah akan jenis-jenis perahu dan kapal, dan di antara ribuan entri dalam
daftar-daftar tersebut hanya “18 times or less then 0.1%” disebutkan ‘tipe tak dikenal’57. Nama-nama
tipe perahu yang disebutkan sebagai kendaraan laut yang berlayar ke tujuan yang lebih jauh daripada
200 mil laut (nautical miles – nm) muncul juga dalam daftar yang serupa dari Malaka, sehingga hanya
jenis-jenis perahu kecil yang bergerak secara lokal dalam
masing-masing daerahnya saja tak dikenali di Jawa atau
Malaka. Dari daftar-daftar ini dapat kita simpulkan bahwa
tipe-tipe perahu yang digunakan dalam perdagangan jarak
jauh di Nusantara pada waktu itu cukup seragam, dan
bahwa hanya beberapa tipe tertentu melayari jalur-jalur
perdagangan jarak jauh: Dari 15 jenis perahu yang diambil
sebagai contoh di sini, cuma 5 tipe terdapat baik di Jawa
maupun di Malaka.
Ternyata juga pada zaman itu di Nusantara sudah tak lagi
terdapat sejenis perahu indigen Asia yang daya muatnya di
atas 12 last (sekitar 20 ton metrik) selain perahu wangkang asal Cina – kedua tipe perahu yang melayari
tujuan-tujuan di atas jarak 1.000nm, bark/brigantijn dan chialoup, adalah jenis perahu asal tradisi
perkapalan Eropa yang sebagiannya dibuat di Asia sendiri.
Akan tetapi, sebagaimana terlihat pada tabel 2.4.2, sebagian
besar para nakhoda tipe-tipe perahu tersebut bukan orang
Eropa: Bagi tipe bark/brigantijn (gambar 2.4.3) angka
perbandingan nakhoda Eropa:Non-Eropa adalah 1:1,5, dan
pada tipe chialoup (gambar 2.4.4) angka ini menjadi 1:8,2.
Artinya, meski jenis perahunya bukanlah suatu tipe indigen,
sebagian besar dari yang melayarkannya adalah pedagang- Gambar 2.4.4: Tipe perahu chialoup
pelaut Asia.
Gambar 2.4.3: Tipe perahu brigantijn
57
Knaap 1996:31. Pilihan dalam tabel 2.4.1 berdasarkan argumen Knaap, bahwa “most of these designations were
mentioned only occasionally, only 13 occuring 100 times or more” – artinya, sebagian besar perdagangan laut
dilakukan dengannya.
22
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Hal ini dapat membuktikan bahwa para pelaut
indigen Asia pada zaman itu telah beralih dari
penggunaan tipe-tipe perahu indigen ke perahuperahu yang berteladan perahu Barat, suatu proses
yang menurut Knaap mulai pada awal abad ke-1758:
Karena tipe-tipe perahu besar indigen Asia kalah
bersaing dengan perahu-perahu asal Eropa Utara
dalam perdagangan dan perang laut59, maka para
saudagar indigen sampai akhir abad itu mengadopsi
jenis-jenis perahu Barat untuk pelayaran jarak jauh
dan mengembangkan tipe-tipe perahu indigen
berukuran kecil dan sedang yang sejak ratusan tahun
terbukti fisibilitasnya dalam wilayah yang dilayarinya
Gambar 2.4.5: Tipe perahu mayang
masing-masing itu menjadi lebih efisien. Efisiensi
tipe-tipe perahu ‘baru’ itu terlihat dalam angka persentase jenis-jenis perahu yang dinakhodai orang
Eropa di Jawa Utara: Lebih dari 50% dari orang Barat itu memilih perahu tipe mayang (gambar 2.4.5)
dan pencalang sebagai sarana perdagangan mereka.
Sebenarnya, apa keunggulan perahu-perahu Barat terhadap perahu-perahu indigen? Yang pertama
pasti kemungkinan untuk melengkapinya dengan persenjataan: Cara pemakaian meriam sebagai alat
penyerang dalam pertempuran di laut adalah suatu penemuan Eropa yang memerlukan dan
menyebakan sifat-sifat konstruksi lambung perahu tertentu yang tak dimiliki jenis-jenis perahu Asia.
Yang kedua adalah keunggulan jenis layar fore-and-aft dan square asal Eropa Utara yang membuktikan
diri sebagai lebih efektif dan efisien dalam pelayaran daripada jenis-jenis layar indigen Asia. Di
Eropa (dan di perairan Asia) sendiri bahkan armada-armada Portugal dan Spanyol sejak abad ke-17
kalah di tangan Inggris dan Belanda karena kedua negara yang terakhir sempat mengembangkan
perahu layar yang mampu membawa lebih banyak meriam dalam sebuah lambung yang lebih lincah –
jadi, kita tak usah heran bahwa para saudagar laut Nusantara, India dan Arabia dalam hanya seabad
setelah munculnya jenis-jenis perahu baru itu mengadopsinya untuk keperluan perdagangan mereka
sendiri.
Sebaliknya, tipe-tipe perahu indigen Nusantara ternyata membuktikan keunggulannya dalam pelayaran jarak dekat dan sedang: Sebagai sarana transportasi laut yang sejak ratusan tahun disesuaikan
dengan kondisi-kondisi setempat, perahu-perahu itu lebih gampang dibangun dan dilayarkan dengan
menggunakan tenaga lokal. Hal ini disadari kompeni-kompeni perdagangan Eropa pun, dan di
beberapa tempat tipe-tipe perahu lokallah digunakannya untuk tujuan-tujuan perang dan
perdagangan mereka – yang terkenal adalah armada perahu kora-kora yang atas nama VOC pada abad
ke-17 dan ke-18 menghancurkan tanaman-tanaman cengkeh dan pala ‘liar’ di Maluku.
Selain itu, para pengrajin perahu Jawa dan Sumatera sejak pertengahan abad ke-17 semakin banyak
dipekerjakan oleh baik VOC dan pedagang partikuler untuk membangun perahu-perahu layar
berukuran sedang tipe Barat, sehingga sifat-sifat konstruksi Eropa menjadi semakin biasa bagi para
pembuat perahu:
58
Lht. Knaap 1996:152ff
59
Lht.msl. Chaudhuri 1985:153: “After the capture of Malacca, the Portuguese armadas destroyed so many local ships
that the Javanese merchants were left with no more than ten junks and a similar number of cargo pangajavas.”
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
IND
ENG
MNL
BUG, MAK
KON
MAN
BAJ
BIN, TOM, CIA,
SIO
WAN
Laskari, Marathi
Gujerati
PORTUGES
IND
ENG
MNL
BUG, MAK,
KON, MAN
BIN
TOM
WAN
CIA
SIO
Madura
Bali
Laskari
Malagasy
Perancis
Italia
Spanyol
PORTUGES
IND
ENG
MNL
BUG
MAK
KON
MAN, BAJ
BIN, TOM,
WAN, CIA, SIO
Laskari
PORTUGES
pintu palka
hatch
palka
palakaq
loe
petaq
bongka peta
palaka
palaka;bong. peta
falka
dhooro
escotilha; falca
layar topan
forestaysail, jib
trinket, jib
tarengke
sosoro, jipu
jipu
sosoro, jipu
kapabelo, jipu
jipu
lajur panyucur
cocor
trikat, tringket
tringkety
trinquette
trinchetina
trinquetilla
trinquetilha
tali penahan bom
boom-topping lift
mantil boom
manteleq
pammanting ?
manteleq
mantel
mante
mantela
amantilho
Tabel 2.4.6: Tiga istilah ‘pinjaman’
dari Bahasa Portuges dalam
beberapa bahasa di kawasan
Samudera India dan Nusantara. Keterangan singkatan
bahasa-bahasa terdapat pada
tabel 2.1.3
23
The main impetus […] of Europe in this field came from the
fact that the European colonial powers decided to build many
of their medium and small-sized vessels in Asia. Since Europe
was so far away, it was not only difficult from a point of
navigation, but also less economical to sail all the way to Asia
with such relatively small craft, which could be built more
cheaply in Asia anyway. This in turn facilitated the transfer of
European shipbuilding technology to local shipwrights and
carpenters.60
Salah satu perubahan prinsipiil terjadi dalam cara pembuatan
lambung perahu: Sebagaimana disebutkan di atas, perahu-perahu Nusantara sampai saat itu kemungkinan besar dibuat
dengan ‘mengikat’ gading-gadingnya kepada papan-papan kulit;
setelah semakin banyak perahu Barat sempat dilihat, dibuat dan
dilayarkan oleh para pengrajin perahu dan pelaut indigen maka
semakin besar kemungkinan bahwa di pusat-pusat perdagangan
pemasangan gading-gading perahu dilakukan dengan menggunakan pasak (lht. gambar 2.3.1). Hal yang sama mungkin
terjadi dengan munculnya semakin banyak perahu berukuran
sedang dan kecil yang ditutupi dengan geladak – kemungkinan
inilah alasannya hilangnya tipe-tipe perahu seperti lancara dan
pangajava yang paling banyak disebutkan dalam sumber-sumber
dari abad ke-16 dan ke-17, tetapi tak muncul lagi dalam daftardaftar administrasi pelabuhan abad ke-18. Bagaimanapun, perubahan-perubahan ini memunculkan juga sekian banyak masalah teknis: Pengalihan dari suatu teknologi yang berdasarkan
fleksibilitas lambung perahu ke sebuah teknik yang mengutamakan ‘kekakuan’ pasti tak mungkin terjadi tanpa sekian
banyak eksperimen dan percobaan61.
Keinginan para saudagar-pelaut untuk memiliki perahu-perahu
yang lebih andal menyebabkan, bahwa sekian banyak pembaharuan teknis terjadi dalam kurun waktu yang cukup singkat.
Misalnya, penggunaan beberapa bagian layar fore-and-aft dan
konstruksi geladak yang memakai pintu palka dapat diasumsikan menyebar dengan adanya teladan-teladan pertama ke
seluruh kawasan Samudera India: Dalam hampir semua bahasa
dalam wilayah ini istilah yang berhubungan dengan sekian
banyak bagian layar dan tali-temali dan konstruksi palka perahu
berasal dari bahasa Portuges (tabel 2.4.6).
Secara umum, pengaruh kekuatan-kekuatan kolonial Barat atas
keadaan perdagangan indigen di kawasan Samudera India kemungkinan besar tak begitu erat
sebagaimana sering diutarakan. Pada satu pihak kapal-kapal layar Barat yang berukuran besar sempat
60
Knaap 1995:150
61
Mengenai masalah ini lht. msl. Horridge 1978, 1982 atau Chadhuri 1985:148ff.
24
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
mengambil sebagian dari volume muatan yang selama ini beredar di kawasan itu; pada pihak yang
lain, adanya hubungan langsung ke Eropa menciptakan pasar-pasar baru bagi para pedagang indigen.
Jelaslah persaingan dan perang dengan para pedagang-penjajah asal Eropa merupakan suatu
hambatan bagi para saudagar-pelaut Asia sendiri; akan tetapi, pada pihak lain –misalnya– ekonomi
manufaktur India, Cina, dan mungkin Nusantara semakin berkembang dengan permintaan pasar
Eropa yang dapat dilayani secara langsung. Kepada tradisi perkapalan dan pelayaran, kekuatan
Eropa itu memberikan suatu impetus teknologi yang sempat menyeimbangi sebagian dari restriksirestriksi yang mereka dirikan, dan pada abad ke-19 pasifikasi wilayah yang terakhirnya menjadi
Indonesia menciptakan sebuah iklim yang sangat subur bagi pelayaran tradisionalnya. Pada bab
berikutnya ingin saya utarakan beberapa contoh evolusi tipe-tipe perahu tertentu yang mungkin
dapat menggambarkan argumen ini dengan lebih jelas.
3
Perahu-Perahu
Secara dasar, jenis-jenis perahu tradisional Nusantara dapat digolongkan dengan tiga cara: Ada istilah
yang menandai jenis layarnya, ada yang menggambarkan bentuk lambung, dan ada nama yang berasal
dari cara dan tujuan pemakaian perahu62. Dengan cara penamaan ini memang agak susah buat orang
awam untuk mengerti perbedaan-perbedaan yang jelas sekali bagi para pelaut dan pengrajin perahu –
apalagi karena ‘secara kebiasaan’ hanya salah satu dari istilah ini digunakan untuk menandai sebuah
tipe tertentu, dan tiada kepastian apakah istilah yang menandai jenis layar, tipe lambung atau tujuan
penggunaannya menjadi ‘nama’ sejenis perahu. Lagi, istilah-istilah itu dapat berbeda antara satu
daerah dengan daerah yang lain, dan terutama dalam bidang perikanan tradisional terdapat ratusan
jenis perahu lokal yang masing-masing ‘punya nama’ tersendiri. Beberapa contoh dari Sulawesi
Selatan: Nama perahu baqgoq asal daerah Mandar dan Barru bereferensi pada tipe lambung perahu,
bila ia memakai layar jenis sloop (‘nade’) – jika ia dilengkapi dengan jenis layar lateen (‘lete’), maka
pelaut-pelaut akan menamakannya baqgoq maupun lete; perahu-perahu yang menggunakan layar jenis
schooner-ketch (‘pinisiq’) dinamakan pinisiq, biar lambung perahu berbentuk padewakang, palari atau lambo;
perahu tipe patorani (‘pencari ikan terbang [torani]’) asal Galesong, Sulawesi Selatan, terdiri dari
lambung pajala besar atau padewakang kecil dan memakai layar jenis tilted rectangular rig (‘tanjaq’). Meski
begitu, ternyata sejak dahulu sampai sekarang terdapat suatu ‘standar’ penamaan tipe-tipe perahu
yang berlaku bagi para pelaut Nusantara, baik asal dalam maupun luar negeri: Penemuan Knaap
mengenai istilah akan jenis-jenis perahu dan kapal di Jawa Utara sudah disebutkan di atas (bab 2.4),
dan peristilahan akan tipe-tipe perahu kontemporer yang digunakan pelaut-pedagang antar-pulau
tradisional asal berbagai daerah Nusantara sangat seragam. Jadi, sebelum saya dapat membahas
beberapa contoh konkrit evolusi tipe-tipe perahu tertentu, terasa perlu memberikan suatu outline
tentang keanekaragaman tipe-tipe perahu Nusantara.
3.1 Beberapa Pengertian Dasar tentang ‘Perahu’
‘Bagian’ perahu yang paling menonjol di laut adalah layarnya – dan layar itulah menjadi alasan suatu
perahu dapat bergerak. Bagi orang awam pun jelas, bahwa sebuah perahu yang dipasangkan sehelai
layar secara melintang dengan garis haluan / buritan akan terdorong oleh angin yang mengenai
62
Lht. msl. Horridge 1981, 1986, Liebner 1996(a)
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Arah Angin
Gambar 3.1.1: Tipe layar square rig dengan angin dari
arah-arah buritan
25
layarnya dari buritan; bahkan, bila layar itu
dapat ‘distel’ keluar dari sudut 90o terhadap
garis
haluan
–buritan perahu, maka angin yang bertiup dari
suatu sudut yang tidak sesuai dengan arah garis
haluan / buritan itu pun dapat ditangkap dan
mendorong perahu ke depan (gambar 3.1.1).
Akan tetapi, sehelai layar dapat juga ‘menangkap’ angin yang ‘lewat’ di atas permukaannya:
Seperti yang terjadi pada misalnya sebuah
sayap pesawat (gambar 3.1.2), angin yang
melewati layar menyebabkan adanya suatu daya
dorong ke arah 90o dari arah layar itu (gambar
3.1.3). Menurut fisika aerodinamik,
In this sailing position, the wind exerts a pulling rather than a pushing action on the sails, which act
as airfoils, like the wings of an airplane. The general principle of wind action is that the wind flows at
a greater rate of speed along the forward surface of the sail, creating an area of lower pressure ahead
of the sail. The actual force exerted by the wind is at right angles to the sail.63
Efek ini sangatlah tergantung dari bentuk permukaan depan layar: Semakin lurus permukaan ini,
semakin sempurna bentuk aerodinamis sayap itu. Selain itu, untuk ‘menangkap’ angin yang datang
dari arah-arah bagian haluan, sehelai layar yang terpasang secara melintang (yang dalam tradisi Eropa
dinamakan square rig, ‘layar andang-andang’)
tak begitu cocok; maka, manusia telah menciptakan sekian banyak jenis layar yang terpasang searah dengan garis haluan / buritan
serta memiliki permukaan depan yang lebih
lurus. Dalam gambar (3.1.4) terlihat efek
aerodinamika itu pada sejenis layar yang
dalam terminologi Eropa dinamakan lateen rig
Gambar 3.1.2: Efek sayap; dalam lingkaran sebelah (salah satu jenis layar non-square paling tua
kanan terdapat permukaan profil yang yang dikembangkan dalam tradisi pelayaran
menyebabkan efek ini. Menurut Ensiklopedia India, Arabia dan –secara independen–
Encarta efeknya terjadi sebagai berikut: “The Austronesia64; oleh pelaut Nusantara dikenali
leading edge of an airplane wing is higher than
sebagai ‘layar lete’): Arah angin yang dapat
the trailing edge. As the wing moves through
‘ditangkap’ layar itu semakin dari arah haluan
the air, it pushes down the air that flows
perahu. Akan tetapi, daya dorong yang diunderneath it. As the wing pushes the air
down, the air pushes the wing up. Lift is often munculkan angin itu “would tend to drive the
explained using Bernoulli’s principle, which boat at an oblique angle if the hull of the boat
65
relates an increase in the velocity of a flow of were perfectly flat” ; jadi, pada lambung
fluid (such as air) to a decrease in pressure and
vice versa.”
63
Ensiklopedia Encarta, entri ‘sail’
64
Mengenai hal ini lht. msl. Doran 1981:41ff
65
ibid.
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
26
90o
perahu perlu adanya suatu ‘penahan’ daya itu yang dapat
mengubahnya menjadi daya dorong ke depan.
Meski
resistansi lambung terhadap air yang mengelilingnya sudah
merupakan suatu ‘penahan’, masih diperlukan lagi adanya
sebuah kemudi yang dapat mengarahkan perahu ke haluan
yang diinginkan yang dapat berfungsi sebagai “a flat
longitudinal plane to prevent the boat from moving sideways
through the water”66 – kita akan kembali ke masalah itu di
bawah ini.
Oleh karena angin yang berdatangan dari arah dead ahead (dari
sudut 0o terhadap haluan perahu) tak dapat ditangkap oleh layarnya, maka perlu
‘beropal-opal’ (beating
to windward) bila sebuah perahu mau dilayarkan ke arah angin: Perahu itu diarahkan sedekat mungkin
pada arah angin (closehauled) untuk berlayar
sepanjang sejarak ter-tentu, dan kemudian haluannya dibalik
(wear ship, dalam sekian ban-yak bahasa daerah Nusantara
tunggeng – lht. gambar 2.1.3) untuk mengulangi hal yang sama
ke arah yang berlawanan. Untuk itu, perlu mengadakan suatu
manuver yang bertujuan memindahkan layarnya ke sebelah
tiang yang lain. Secara dasar, bagi sebuah perahu layar
terdapat dua kemungkinan untuk melaksanakan manuver itu:
Memutarkan haluan dengan mengikuti arah angin (gybe), atau
Gambar 3.1.4: Tipe layar lateen dan
balik dengan mengarah ke arah angin (tack). Bila sebuah
efek aerodinamika pada
perahu ingin beropal-opal ke arah angin, maka dengan
layarnya. Lingkaran di hamembalikkannya dengan mengikuti arah angin sebagian dari
luan perahu menandai temperjalanan ke arah angin yang sudah didapatkan akan
pat terjadinya tekanan rendah. Daya dorong perahu
‘menghilang’ kembali; jika perahu diputar dengan mengarah
yang berarah ke samping
ke mata angin, maka perlu jenis-jenis layar yang efisien dari
diubah menjadi daya dosegi aerodinamikanya dan cara penggunaanya. Manuver ini
rongan ke depan dengan
dapat berbeda bagi jenis-jenis perahu yang berbeda, dan
adanya kemudi (di sini dibahkan terdapat tipe-tipe perahu yang tidak atau hanya
perlihatkan dua jenis kemudengan kesulitan dapat mengadakan manuver ini atau itu
di, yakni kemudi samping
(gambar 3.1.5).
dan kemudi tengah). Di
Gambar 3.1.3: Tipe layar square rig
dengan angin dari arah setengah haluan. Disebabkan
oleh perbedaan kecepatan
angin yang melewati kedua
permukaan layar, maka dalam
lingkaran di sebelah kanan
andang-andang terjadi tekanan rendah yang menjadi daya
dorong yang berarah 90o dari
garis permukaan depan layar.
Oleh sebab memindahkan layar jenis lateen itu agak susah
(bagian depan layar harus ditarik ke belakang tiang dulu, dan
66
samping perahu terdapat
gambar skema profil layar
yang dihasilkan berkat adanya spar atas layar
ibid.. Pada perahu layar moderen malah dipasangkan tambahan lunas ke bawah yang berbentuk “plane” itu (lht.
gambar 3.1.7).
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
5. Layar ditarik,
laberang-laberang di
sebelah angin yang
baru dikencangkan
1. Perahu
diarahkan ke
arah angin
(a)
4. Layar didorong ke
depan di sebelah lain
tiang, laberanglaberang di sebelah
lepas angin dilepaskan
27
Gambar 3.1.5: Berlayar ke arah angin:
Beropal-opal (tengah), manuver tack dengan layar jenis lete
atau tanjaq (a) dan sloop modern (b), serta manuver gybe
dengan layar jenis lete atau
tanjaq secara ‘menerbangkan
layar’ (c)
2. Layar
perahu tak lagi
kena angin
3. Layar ditarik ke
belakang tiang, laberanglaberang sebelah angin
yang baru mulai dipasang
4. Daman layar ditarik
kembali; laberang
dikencangkan, perahu
diarahkan ke arah angin.
5. Layar ditarik,
laberang-laberang di
sebelah angin yang
baru dikencangkan
(c)
Perahu diarahkan
sedekat mungkin ke
arah angin.
Drift: Sebab daya dorong di
layar berarah ke samping,
maka perahu bergeser dari
haluan yang dituju.
(b)
Berkat aerodinamika
layar yang baik, perahu
hanya diarahkan ke
arah angin, dan daman
layar ditarik kembali di
sebelah angin yang
baru.
Setelah beberapa kali
mengadakan manuver
balik arah perahu
berada di tujuannya.
1. Perahu
diarahkan keluar
dari arah angin.
3. Daman layar
dibawa ke sebelah
angin baru melalui
geladak depan;
laberang dilepaskan
di sebelah angin
lama dan dipasang
di sebelah angin
yang baru.
2. Layar dan laberang
dilepaskan; layar dibiarkan
‘terbang’ ke sebelah angin yang
baru. Saat ini cukup berbahaya,
sebab kekuatan angin dapat
merobohkan tiang.
28
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
semua tali-temali yang menahan tiangnya [shrouds,‘laberang’] perlu
dipasangkan kembali di sebelah atas angin yang baru), maka sejak abad
ke-17 di terutama Belanda dirancangkan yang terakhirnya menjadi
jenis layar fore-and-aft: Dengan membagi layar lateen itu ke dalam dua
bagian di depan dan di belakang tiang cara memindahkannya sangat
dipermudahkan; selain itu, dengan adanya dua (atau lebih banyak)
helai layar sifat-sifat aerodinamikanya ditingkatkan (gam-bar 3.1.6).
Tipe layar fore-and-aft ini sampai abad ke-19 di Eropa dan Amerika
Utara dikembangkan menjadi jenis layar yang paling efektif bagi
perahu-perahu layar berukuran kecil dan sedang, dan pada abad ke-20
diubah menjadi layar sloop (‘nade’), jenis layar yang kini digunakan
untuk perahu layar modern (gambar 3.1.7).
Tipe layar indigen Nusantara dinamakan layar tanjak/q67. Sebagaimana disebutkan di atas,
perahu-perahu yang memakai
jenis layar itu digambarkan
dalam sumber Cina, Arab dan
Eropa sejak dahulu sebagai
layar khas kawasan ‘Arsipel di
Gambar 3.1.6: Tipe layar fore- Bawah Angin’ ini, dan sebaand aft (jenis gaff-cut- gian besar dari gambar perahuter / jengki) dan efek perahu
di dinding-dinding
aerodinamika pada Candi Borobudur pun memlayarnya. Berkat adaperlihatkan jenis layar ini.
nya dua layar dan
Layar tanjaq itu mengkombikemudi tengah, daya
nasikan kedua sifat yang pada
dorong ke depan semakin tinggi; pana tradisi Eropa dinamakan layar
berarah dua menan- square dan layar fore-and-aft: Bila
dai, bahwa kedua la- angin berdatangan dari arahyarnya itu dapat ber- arah haluan, layar tanjaq dapat
gerak secara bebas diarahkan sejajar dengan haluan
ke kiri dan kanan.
perahu, jika angin bertiup dari
arah-arah buritan perahu, maka
layarnya dapat dikembangkan secara melintang (gambar 3.1.8).
Hal ini dimungkinkan karena tiang perahu-perahu berlayar
tanjaq pada umumnya terdiri dari dua sampai tiga batang kayu
atau bambu, sehingga tak diperlukan terlalu banyak laberang
untuk menahannya. Meski begitu, pada manuver mengubah
haluan perahu kalau misalnya beropal-opal, bagian depan layar Gambar 3.1.7: Beberapa tipe layar
fore-and-aft: Atas, perahu
itu –sama dengan layar jenis lateen– harus ditarik ke belakang
schooner-ketch (pinisiq); tengah,
atau ‘dibiarkan terbang’ jika mau dipindahkan ke sebelah lain
67
perahu nade (Indonesian guntersloop); bawah: sloop modern.
Karena tipe-tipe perahu yang masih menggunakan jenis layar ini kebanyakan berasal dari Sulawesi, maka berikut ini
akan saya gunakan /q/ untuk menandai fonem glottal stop yang menggantikan /k/ dalam bahasa-bahasa setempat.
Lht. juga catatan mengenai penggunaan /q/ pada Daftar Singkatan dan Tanda.
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Arah Angin
Gambar 3.1.8: Tipe layar tanjaq dapat dinamakan kombinasi dari fore-and-aft dan layar square. Perahu
sebelah kiri berlayar dengan angin dari buritan, dan kedua layar dipasang seperti layar
andang-andang; perahu di sebelah kanan berlayar dekat dengan arah angin, dan layarnya
berfungsi seperti layar fore-and-aft.
29
tiang. Kini layar jenis tanjaq itu semakin
jarang ditemui dan pada umumnya hanya
dipakai di atas perahu-perahu berukuran
kecil.
Suatu tipe layar indigen lain adalah sekian
banyak jenis layar lete yang terutamanya
terdapat di Madura dan pulau-pulau di Laut
Jawa bagian Timur.
Menurut beberapa
pengamat, di antara layar-layar itu terdapat
juga beberapa versi Oceanic spritsail yang
dianggap berbeda dari layar lateen versi India,
Arabia atau Lautan Tengah68. Perahu yang
memakai tipe ini adalah misalnya perahu
janggolan asal Madura69; akan tetapi, jenis layar
yang sering digunakan atas perahu-perahu
yang bernama lete asal Madura lebih dekat
dengan sifat-sifat layar lateen ‘biasa’.
Sekian banyak jenis layar yang terdapat di
Nusantara merupakan adaptasi tipe-tipe layar
asal tradisi pelayaran Barat. Pada bab 2.3 dan
2.4 sudah saya utarakan, bahwa para pelaut
‘tradisional’ cenderung menggunakan tekno-logi-teknologi mana pun juga yang terbukti lebih efisien;
hal ini dapat dibuktikan dengan adopsi dan perkembangan sekian banyak versi jenis layar fore-and-aft
yang terdapat di Nusantara seperti nade atau pinisiq. Akan tetapi, suatu proses adopsi teknologi Barat
terjadi juga dalam bentuk dan cara pembuatan lambung perahu: Sedangkan cara tradisional
konstruksi lambung Nusantara dimulai dengan menyusun papan kulit dan berikutnya memasukkan
gading-gadingnya, dalam tradisi Barat sebuah perahu dibangun mengikuti gading-gading yang
dibangun sebelum papan-papan dipasang. Kini, di daerah-daerah yang cukup lama berada dalam
pengaruh kekuatan kolonial perahu-perahu dibangun dengan mengikuti pola Barat, sedangkan di
daerah-daerah yang baru masuk di bawah pemerintahan Hindia-Belanda pada abad ke-18 dan ke-19
cara tradisional Nusantara dipertahankan.
Hal ini juga terlihat dalam bentuk lambung sendiri: Buritan perahu-perahu indigen berbentuk
‘bundar’, lunas dan linggi merupakan satu lengkungan, dan terdapat kemudi samping, sedangkan
bentuk lambung ‘adopsi’ tipe-tipe Barat (yang pada perahu ukuran sedang dan besar kini dinamakan
lambo) agak bersegi, dengan linggi yang dipasang kepada lunas dalam sebuah sudut, bentuk buritan
yang lebar (square stern) dan kemudi tengah (gambar 3.1.9). Terutama bentuk lambo ini sejak tahun
30-an abad ke-20 menjadi semakin populer karena daya muatnya lebih besar dan dianggap lebih laju
daripada bentuk indigen70; selain itu, adanya linggi belakang yang lurus memungkinkan pemasangan
baling-baling mesin dan kemudi yang efisien. Sekarang ini sebagian besar PLM (‘perahu layar
motor’, jenis perahu muatan besar) dan kapal motor kayu menggunakan bentuk lambung itu.
68
Lht. msl. Doran 1981:41
69
Wangania 1980:101ff; Horridge 1981, 1986
70
Lht. msl. Collins 1936, Nooteboom 1936, 1940, 1947, Horridge 1979 (b), Liebner 1990
30
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Sebagaimana digambarkan di atas, perahuperahu Nusantara dibangun dengan
‘menyusun’ papan-papan lambung dahulu,
dan gading-gading baru dipasang setelah
lambung itu sudah agak tinggi. Cara
pembuatan perahu itu memerlukan suatu
Gambar 3.1.9: Bentuk lambung indigen Nusantara yang konsep teknis yang berbeda dari
‘bundar’ dan memakai kemudi samping (kiri) dan pengonsepan Barat: Bentuk lambung tak
lambung ‘adopsi Barat’ dengan kemudi tengah
ditentukan oleh kerangka gading-gading
(kanan).
yang ‘dilapisi’ dengan papan, tetapi
melalui jumlah dan rupa papan-papannya. Oleh karena itu, para pengrajin perahu menciptakan suatu
konsep pembuatan lambung yang dinamakan ‘pola penyusunan papan’ (plank patterns) yang dapat
memastikan jumlah, posisi dan bentuk papan dalam sebuah tipe lambung tertentu:
The patterns discovered vary considerably according to ‘sophistication’ of construction (for this and
the following see fig.3 [gambar 3.1.10]). It is usual to begin with the plank in the middle of a new
strake, and to add curved planks to front and aft until the strake is completed. While in KON nearly
all planks of the construction are named individually and placed in position by several ways of
‘construction plans’ which prescribe length, place and form of each plank, the pattern at other places
is to ‘define’ planks by way of usage and process of building. A good example is the Mandarese
nomenclature: The plank in the ‘middle’ of a new strake is named with indoq tobo, (‘mother of the
tobo’), the planks following tobo soroq, and the planks fitting to the stems paparuppa. ‘Plank, unspec.’
in MAN is papan but tobo could not be found in the only existing dictionary; soroq may be translated
as ‘to stop, to return’, paparuppa as ‘the meeting (ruppa) plank’. In BAJ ‘plank’ is expressed with
sarimpah or pappan; the first plank of a strake is named iyah timban, the timbers add to fore and aft are
called sarimpah with an addition (as lurus, ‘straight’, or bengkoq, ‘curved’) describing their respective
forms. Whereas iyah again means ‘mother’, timban and sarimpah could not be explained by the
informants. In the other languages on the Butonese islands ‘plank’ is called dhopi throughout the
hull except for the short curved planks in bow and stern which are named sarempa. In all areas a
‘body’ of short strakes is topped with a limited number of long sheerstrakes; in most languages the
first two of them are given names. In BUG, MAK, KON these are papang lamma (‘the soft plank’)
and rembasang (an only technical term?), in MAN palamma and papan tari -same as for the third strake
in KON-, in BIN, TOM, WAN palari ([…]name for a hull of boats from South-Sulawesi) and
kabewei or kabuwei - as, too, in CIA and SIO, where the first sheerstrake is called salabuku res.
tolubotu. In BAJ we find guntuh and panintih.
[…] The Konjo use patterns much more complicated; for explanation we have to return again to the
keel and the marks for the ‘constructional drawing’ on its top. […] A piece of bamboo as long as
the keelpiece is taken as ‘construction plan’, and marked with notches for the tambugu and ruang
which -as stated- will lateron fix the plank’s length and places and the positions of floors and rips;
these notches will be transferred on the upper side of the keel in form of the small projecting lugs
for the tambugu and hollow spaces for the ruang. In a boat smaller than 30t loading capacity
constructed in tatta tallu, the ‘three-times-cut’, there will be 21 of these units, in a ship bigger than
this cut by tatta appaq, the ‘four-times-cut’, two more ruang and two more tambugu. […] The sixth
ruang from the bows is normally a little longer than the other ones: It will become the place of the
magic ‘navel’ of the boat on the night before the launching. Sometimes the first and the last tambugu,
too, are extended - in most cases the wood used for the keel extensions had been a little longer than
fitting into the schedule, and by extending the counting is made appropriate again. A unit of one
ruang and one tambugu is called tataripang or taritaripang; for ‘counting’ in tataripang, reckoning begins
with the two tambugu in ‘front’ and ‘aft’ of the sixths ruang counting in both directions from the
‘centre’ of the boat. […] As one can see, each plank in the structure bears an own name associated
31
rembassang
t.-t.
t.-t.
t.-t.
papang lamma
t.-t.
tung.-tungpannapu sarro
kulu
tungku-tungpannapu sarro
kulu
tungku-tungpannapu sarro
kulu
papangappa
pannapu tallulalang
papangappa
bengo
pannapu sarro
papangappa
pannapu tallulalang
pannapu tallulalang
rakka
pannapu sarro
pannapu tallulalang
pannapu lalang
pannapu sarro
papanglima
pannapu tallulalang
sangahili pintallung
bengo
papangannang
sangahili pintallung
urussangkaraq
sangahili pinruang
tungku-tungkulu
tungku-tungkulu
rakka
pannapu tallulalang
papangappa
t.-t.
sangahili pinruang
pangepeq
tambugu
possiq
ruang
BAJ: sarimpah bengkoq tapah
BAJ: panintiq; MAN: pallamma; BIN, TOM, WAN: kabewei
BAJ: guntuh; MAN: sallaq mata; BIN, TOM, WAN: palari
s.b.t
BAJ:s. beng.
pappar.
MAN: t.soroq
BIN:sarempa
BIN:sarempa
short plank aft
BAJ:sarimp.bengkoq
BAJ: iyah timban
MAN: papparuppa
BAJ: sari. lurus
MAN: tobo soroq
MAN: indoq tobo
BIN, TOM, WAN: ndopi, dhopi
first plank in middle of new strake
BAJ: sari. bengkoq
BIN: sarempa
inserted plank
BAJ: pangepe; MAN: passeger; BIN,TOM,WAN: rumahi
BAJ: sa.ben.tap.
MAN: papparuppa
BIN,TOM,WAN:sarempa
short bow plank
MAN: papparuppa
Gambar 3.1.10: Plank patterns, menurut Liebner 1993, 1996(b). Atas: potongan tatta tallu, tradisi pembuatan perahu orang Konjo; bawah: Nama-nama papan dalam
lambung lambo dari Mandar dan Buton. Keterangan singkatan bahasa terdapat pada tabel 2.1.3
32
with it’s form and place: For example, the plank in the middle of a new strake (papangappaq) will
normally last over four (appaq) tataripang, alternating one unit to right or left to its predecessor in the
last strake; lalang means ‘inside’, tallu ‘three’; sarro reminds of MAN soroq; tungkulu translates ‘hard’,
the name for this plank in Ara, the second centre of Konjo boatbuilding, rakkasala, ‘quickly
damaged’. An additional numeral for the strake it is used in can fix the place of a plank definitely; a
sophisticated terminology for the various possible forms of planks is in use. In a strictly traditional
boat all planks would have to fit rigidly into the pattern, so that planks too long should be cut to
size; informants told, that old panrita lopi after long experience could pick out trees suitable for
special planks by sight. Depending on the size of the boat this strict prescriptions are stopped after
the seventh or the eighth strake in the tatta tallu, and on top of the short planked parts two to four
long strakes are fixed; the more flexible tatta appaq can be extended up to the wished size without a
prescribed end of it’s tatta and topped with as much long strakes wished.71
Pada gambar 3.1.11 terdapat dua plank patterns dari Nusantara Timur. Tipe perahu tena dari Lomblen
masih dibangun dengan menggunakan teknik lashed-lug (misalnya), dan pada masing-masing papan
terdapat lugs untuk mengikat gading-gading kepadanya. Kelihatannya, pada cara pembuatan lambung
perahu yang masih terdapat di Sulawesi, lugs itu telah ‘dipindahkan’ dari masing-masing papan ke atas
lunas, tetapi sampai sekarang masih menentukan panjangnya sekeping papan dan letaknya gadinggading. Sebagaimana disebutkan pada bab 2, proses itu kemungkinan sudah terjadi sejak cukup lama
Gambar 3.1.11: Dua pola penyusunan papan (‘plank patterns’)dari Indonesia Timur. Atas: Bagian haluan
sebuah perahu dari Ambon (Horridge 1978:15); bawah: Plank pattern perahu tipe tena asal
Lomblen (Barnes 1985)
71
Liebner 1993
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
33
di pusat-pusat perdagangan dan pembuatan perahu; akan tetapi, di pulau-pulau terpencil di
Nusantara Timur Horridge masih sempat menyaksikan beberapa tahap transisi yang dapat
menggambarkan terjadinya72. Mengenai adanya lugs itu saya utarakan di tempat lain:
The word tambugu is widespread for a lug supporting a thwart in a canoe, and, too, for a lug left on a
plank which in a construction predecessing today’s stiff ribs was used to fasten strong branches of
rottan or other flexible materials bent under pressure into the hull (see, for example, Horridge 1981
and Manguin 1985). From the names in different languages quoted in the literature here only Bacan
tambuku, old Visayan tamboko and BAJ timbuku shall be mentioned - though in other languages (e.g.
Ternate, Galela maru-maru) there are quite dissimilar terms for this lug, difference in time and space the Philippines of the 17th, the Moluccas at the end of the last century and Tana Beru today- is
baffling. The supposition, that the stiff frames which replaced this method are introduced by or
copied from European prototypes can be discussed: From the beginning of European intrusion into
Asia renegades are reported to have advised local rulers in especially military and maritime subjects,
as for example the Macassan or Achin royal docks were reportedly under supervision of longestablished Portuguese shipwrights at times these two states were in quarrel with the VOC in the
17th century. As stated above, one of the words found (BUG, KON, MAK soloroq) might have a
Portuguese (solera) source, while an other (kilu, kelu) shows affiliations with -for example- Ternatan
gilu; proved in an Makassarese manuscript of the early 16th century as strengthening bar in a
traditional house-type, kilu might be an indigenous term. Same could be said for lepe, ‘stringer’ in
Sulawesi. However, when confronted with drawings of the ‘flexible-rib’ method, some old masterbuilders from Lemo-Lemo explained an other pattern: Several rows of transverse thwarts are set
from above into dove-tailed holes in the upper edges of thick planks and fastened by twisting rottan
loops which are bound tightly around these thwarts, a feature seen in several old models of boats in
European museums, reproductions of which only by small chance could have been known to the
informants. The old men maintained, that this method had been in use five to seven generations
ago - I refute an estimation of the value of this information.73
Evolusi tipe-tipe perahu di Nusantara selalu tergantung dari kondisi-kondisi lokal, seperti daerah
yang ingin dilayari, tersedianya bahan-bahan baku dan peralatan, tujuan penggunaan perahu, jenis
layar yang akan dipakai dsb.. Hal-hal ini saling terkait, dan dapat menyebabkan solusi-solusi yang
berbeda dari tempat ke tempat. Sebagai contoh atas proses evolusi ini ingin saya menggambarkan
proses pengembangan dua tipe perahu terkenal Sulawesi, yakni sandeq dan pinisiq, di bawah ini.
3.2 Contoh Evolusi Perahu Bercadik: Sandeq
Perahu Sandeq adalah tipe perahu terkenal Orang Mandar, salah satu suku yang mendiami pesisir
pantai dan pedalaman Barat Laut Sulawesi Selatan di antara Polewali dan Malunda, sekitar 270 s/d
400km ke utara dari Makassar. Ialah sejenis perahu bercadik yang ukurannya cukup besar: Sandeq
kecil berukuran 5m, sedangkan yang besar ukurannya sampai 16m sehingga dapat memuat 3-4 ton.
Jenis perahu ini biasanya digunakan untuk menangkap ikan dan mengangkut muatan jarak jauh –
artinya, perahu sandeq terbiasa melayari seluruh lautan di antara Sulawesi dan Kalimantan, bahkan ada
perahu yang sampai ke Jawa dan Sabah di Malaysia. Perahu sandeq terkenal sebagai perahu layar
terlaju di kawasan ini, dan dengan angin yang baik dapat mencapai kecepatan 15-20 knot, sekitar 3040km/h.
72
Horridge 1978, 1982
73
Liebner 1993. Keterangan atas singkatan-singkatan bahasa terdapat pada gambar 2.1.3.
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
34
Arah Angin
bau: bom layar
atas
peloang: bom
layar bawah
mantel: tali penahan
bom layar
tambera di olona:
laberang haluan
tambera di buiqna:
laberang buritan
peloang:
bom layar
baratang: cadik
palatto: katir
palatto: katir
baratang: cadik
Gambar 3.2.1: Tipe perahu sandeq (kiri) dan pakur (kanan). Di atas terlihat cara ‘menyetel’ layar bila angin
bertiup dari arah buritan: Baratang buritan perahu sandeq dipasang di tengah lambung supaya bom
layar tak terhalangi oleh laberang tiang; baratang buritan pakur bisa berada di buritan lambung
sebab layar tanjaq yang digunakannya dipasang tanpa memakai laberang.
Sebagai salah satu tipe perahu bercadik, perahu sandeq merupakan suatu warisan dari zaman migrasi
Austronesia yang terus-menerus dikembangkan sampai masa kini, dan mungkin merupakan salah
satu puncak evolusi pembuatan perahu Nusantara: Seluruh lambung perahu ditutupi dengan geladak
agar ombak yang dihadapi di lautan luas tidak dapat masuk, letak cadiknya disesuaikan dengan cara
pemakaian jenis layar sandeq yang sebaliknya didasarkan atas pengalaman dan pengetahuan para
pelaut Mandar yang dikumpulkan sejak ratusan tahun silam ini. Dari segi teknik pelayaran jenis
perahu sandeq dapat dinamakan perahu moderen - walaupun dari cara pembuatan serta penggunaannya ia digolongkan sebagai perahu tradisional.
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
35
Sandeq berarti ‘runcing’ dalam Bahasa Indonesia, dan menurut para pelaut Mandar menunjukkan
bentuk haluan perahu yang tajam. Jenis perahu sandeq yang kini kita kenali sebagai perahu tradisional
terkemuka Mandar baru bermunculan pada sekitar tahun 30-an abad ke-20; jenis perahu pakur yang
digunakan sebelumnya “berbentuk seperti sandeq’’ dan memakai layar tanjaq. Nooteboom yang pada
tahun 1938 sempat mengunjungi daerah Mandar memberitakan, bahwa
Sejak beberapa waktu lalu cukup banyak dari perahu-perahu [pakur] itu diberikan layar dan talitemali yang lain. Tiang yang digunakannya lebih panjang, dan berbengkok ke belakang pada ujung
atasnya, sebagaimana yang biasa digunakan pada perahu-perahu pesiar kecil yang memakai layar fin.
Layar yang digunakannya memang sehelai layar fin yang lebar dan rendah. Pemilik-pemilik beberapa
perahu yang serupa ini menceritakan kepada saya bahwa layar dan tali-temali ini mereka buat
mengikuti layar-layar perahu pesiar yang mereka lihat di Makassar.74
Hal ini dapat dikonfirmasikan melalui laporan Van Vuuren mengenai keadaan pelayaran dan
perkapalan di Mandar pada tahun 1916, di mana nama perahu sandeq belum disebutkan. Selain pakur,
Van Vuuren dan Nooteboom menyebutkan satu tipe perahu bercadik lain yang dinamakan olan mesa ukurannya lebih kecil daripada pakur, lambung perahu sangatlah runcing dan layarnya (jenisnya
tanjaq) “besar sekali’’. Di beberapa kampung di bagian utara daerah Mandar kini masih terdapat
perahu-perahu jenis pakur; perahu olan mesa tidak dipakai lagi.
Oleh karena tiang yang diperlukan guna memasang jenis layar sandeq ini harus berbatang tunggal dan
diperkuat dengan laberang, maka bentuk lambung perahu sandeq berbeda dari pakur yang
menggunakan tiang tripod tanpa tali penguat (gambar 3.2.1). Hal ini terutama terlihat pada letak
cadik perahu: Sedangkan cadik buritan sandeq dipasang di sekitar tengah lambung perahu, pada
perahu pakur cadik buritannya terletak berdekatan dengan sanggar kemudi perahu di bagian belakang
lambung. Kemungkinan besar bentuk lambung perahu pun ikut berubah – bagi layar tipe tanjaq yang
‘mengangkat’ perahu bila berlayar sebuah lambung yang bundar paling cocok; yang paling sesuai
dengan tipe layar fin yang sebagai layar fore-and-aft memunculkan daya dorong ke depan yang kuat
adalah sebuah lambung yang runcing, ‘sandeq’.
Sampai hari ini proses evolusi perahu sandeq tak pernah berhenti: Misalnya, sejak tahun 60-an abad
ke-20 cadik buritan semakin dipindahkan ke arah haluan perahu (untuk memungkinkan bom layar
bergerak dengan lebih leluasa), dan sejak akhir tahun 70-an cadik haluan mulai dipasang pada tempat
yang lebih tinggi daripada sebelumnya (untuk menghindari tertenggelamnya dalam ombak bila
perahu berlayar dengan angin dari buritan). Setelah ekonomi Indonesia pada awal tahun 1970an
semakin bergerak, maka semua ikatan di antara cadik, katir dan lambung perahu yang sebelumnya
terbuat dari rotan diganti dengan tali monofilamen (sejenis tali pancing berukuran besar) yang semakin gampang didapatkan di pasaran, dan layar sandeq yang sampai saat itu dijahit dari kain katun
diganti dengan jenis-jenis kain plastik yang lebih ringan dan tahan. Dengan perubahan-perubahan ini
daya tahannya di laut lepas semakin ditingkatkan, sehingga selama dua dekade akhir abad ke-20
perahu-perahu sandeq mampu berlayar selama beberapa minggu mencari ikan sepanjang Selat
Makassar dari Toli-Toli di ujung Utara Sulawesi sampai ke Pulau Laut di Kalimantan.
Dari segi konstruksinya perahu-perahu tipe sandeq kini digolongkan dalam dua tipe utama, yaitu
sandeq tolor dan sandeq bandeceng. Kedua tipe itu dibedakan oleh cara memasang cadik: Pada sandeq tolor
cadiknya dimasukkan ke dalam lambung perahu, sedangkan pada sandeq bandeceng cadiknya diikat ke
atas geladak perahu. Tipe terakhir ini baru mungkin dibuat setelah tersedia tali monofilamen:
74
Nooteboom 1940:28, terj. pen..
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
36
Pasang-memasang ikatan dari rotan tak mungkin karena bahan itu akan lapuk dan tak tahan lagi di
laut. Selain dua tipe tersebut masih terdapat beberapa tipe perahu lainnya yang mengkombinasikan
kedua jenis konstruksi itu: Misalnya, cadik haluan tipe sandeq callawai diikat ke atas geladak haluan,
sedangkan cadik buritan dimasukkan ke dalam lambung perahu. Keuntungan yang didapatkan
dengan mengikat cadik ke atas geladak adalah tingginya cadik dari permukaan laut dan gampangnya
melepaskan cadik serta katir ketika perahu mau dinaikkan ke darat untuk disimpan di bawah rumah
pemiliknya; kekurangannya adalah kelemahan pengikat yang sering menyebabkan longgarnya cadik
yang dapat membahayakan di lautan luas. Selain itu, perahu tipe bandeceng dan callawai terbuat dari
kayu yang tipis dan ringan sehingga tak begitu “kuat’’ menghadapi pukulan ombak besar yang
terdapat di lautan luas. Maka, kedua tipe perahu ini jarang digunakan untuk penangkapan ikan jarak
jauh, akan tetapi sering dibuat untuk kegiatan lomba saja: Sebab melepaskan cadik dan katir serta
cara menyimpannya di bawah rumah begitu gampang, perahu dapat disimpan di darat sepanjang
tahun agar kering dan ringan ketika diturunkan untuk mengikuti perlombaan.
Sebenarnya, cara ikat-mengikat itu adalah suatu keunggulan sandeq yang tak terdapat pada tipe-tipe
perahu lain. Seluruh konstruksi katir dan cadik –yang menentukan daya tahan perahu bila berlayar di
laut lepas–sangat fleksibel, sehingga dapat melenting dan mengenyalkan pukulan ombak dan daya
dorong layar. Oleh karena itu, jenis perahu yang terlihat sangat fragil ini sebetulnya amat bertahan di
lautan, dan sekeliling cara mengikat baratang, tadi dan palatto terdapat serangkaian pantangan yang
bertujuan untuk menjamin adanya keseimbangan keseluruhan konstruksi itu75.
Sejak tahun 1970an, ukuran perahu-perahu sandeq semakin bertambah: Sedangkan pada tahun-tahun
ini panjangnya rata-rata sekitar 7-8m, kini perahu-perahu sandeq yang masih melayari lautan luas pada
umumnya berukuran di atas 10m. Sampai beberapa tahun silam, ratusan perahu sandeq digunakan
untuk mencari ikan (dan telur ikan terbang, suatu komoditi ekspor yang sejak tahun 1972 diproduksi
di Mandar) di sepanjang Selat Makassar. Para pelaut Mandar menjadikannya beberapa tipe tertentu
yang diklasifikasikan sesuai dengan penggunaanya; di antara lain terdapat tipe-tipe berikut ini:
Sandeq pangoli dipakai untuk menangkap ikan dekat pinggir karang dan wilayah pertemuan arus
dengan menonda umpan yang terbuat dari bulu ayam di belakang perahu (mangoli); tipe perahu ini
sangat laju dan lincah serta dapat membalik haluannya dengan cepat agar dapat memburu ikan dan
tidak kena karang.
Sandeq parroppo dipakai untuk menangkap ikan di rumpon (roppo) di lautan bebas; tipe perahu ini
cukup besar agar (i) dapat memuat dua-tiga sampan yang diturunkan di rompong guna meluas areal
penangkapan, (ii) para pelaut dapat membawa perbakalan untuk pelayaran yang berlangsung selama
dua s/d lima hari, (iii) perahunya dapat menahan ombak yang besar dan angin yang kencang di lautan
bebas yang merupakan daerah penangkapan ikan itu.
Sandeq potangnga yang dipakai untuk mengarungi laut lepas demi menangkap ikan dan mencari ikan
terbang dan telurnya. Tipe perahu itu besar agar bisa memuat bekal dan peralatan yang diperlukan
dalam mengarungi lautan selama dua-tiga minggu, terutama garam secukupnya untuk
mengkonservasikan ikan. Agar ombak tinggi yang biasanya ditemui di daerah penangkapan ikan
takkan sempat mengganggu dan membasahi para pemancing, maka pada jenis perahu sandeq ini
sering terdapat tambahan beberapa ‘panggung’ yang lebih tinggi daripada geladak lambung perahu
yang terpasang kiri-kanan di belakang tiang.76
75
Lht. msl. Liebner 1996(a):14ff, Sahur dkk. 1991
76
Pers Rilis Sandeq Race 2002
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
J
J J
J
J
J
J
J
Gambar 3.2.2: Peta Daerah Mandar, Sulawesi Selatan. Tanda
37
J
J menandai desa-desa nelayan laut lepas.
Oleh karena harga jual telur ikan terbang (dan beberapa jenis ikan lain) cukup tinggi, maka
pendapatan para punggawa (‘pemilik/nakhoda perahu’) memungkinkan suatu akumulasi kapital yang
menyebabkan bahwa sejak sekitar satu dekade semakin banyak passandeq mampu membeli kapal
motor ukuran kecil. Proses itu mulai di daerah Majene (di mana kini hanya tertinggal satu-dua
perahu sandeq berukuran besar), dan sampai sekarang menyebar ke hampir semua kampung nelayan
Mandar antara Tanjung Rangas dan Polewali (gambar 3.2.2); bagian terbesar dari perahu-perahu
sandeq yang masih dipelihara dengan baik pada umumnya digunakan untuk berlomba saja.
Sejak puluhan tahun, para pelaut Mandar merayakan berakhirnya musim penangkapan ikan terbang
dengan mengadakan perlombaan-perlombaan sandeq di kampung-kampung mereka, dan memenangkan sebuah perlombaan menjadi sebutir kebanggaan tak ternilai bagi pelaut, pemilik perahu, bahkan
seluruh kampung asal sang pemegang juara. Dengan berlomba pun para nelayan selama ini melatih
dan meneruskan kelincahan dan kelihaian dalam berlayar yang menjadi sifat utama seorang pelaut
yang tangguh, dan –seperti yang terjadi pada semua lomba kendaraan laut dan darat di seluruh
dunia– mencoba meningkatkan kelajuan dan daya tahan kendaraannya. Bahkan, di daerah itu
terdapat juga suatu tradisi perlombaan maket perahu-perahu sandeq, yang dianggap sebagai
“percobaan kecil-kecilan” dalam upaya memperbaiki parahu sandeq “benaran”77.
Kini, lambung kapal-kapal motor yang dibangun di daerah Mandar dipengaruhi oleh pengalamanpengalaman ini dalam misalnya ‘runcingnya’ bentuk haluan dan sifat-sifat hidrodinamis pada buritan
77
Tkg. Hasanuddin, tukang perahu asal Desa Pambusuang, dan Raopun, punggawa sandeq ‘Ratu Pantai’, 2001 dalam
wawancara untuk sebuah film dokumenter (produsen: Studio UMI, Jepang).
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
38
yang telah menjadi salah satu alasan kelajuan perahu sandeq: Pengetahuan tradisional yang selama ini
diterapkan pada sebuah perahu layar ternyata sempat ‘dipindahkan’ pada lambung perahu motor
yang dari segi konstruksi cukup jauh berbeda itu. Sudah pada tahun 1930an Nooteboom mencatat,
bahwa para nelayan Mandar “adalah pelaut penuh enerji, yang dengan mengadopsikan bentuk-bentuk
[perahu] baru terus-menerus mencari kemungkinan baru. […] Oleh karena itu, bagi studi adaptasi
kultural dan pemgambil-alihan elemen-elemen budaya [hal ini] sangat penting.”78. Proses evolusi
perahu di Mandar ini mungkinlah suatu contoh yang baik untuk menggambarkan dinamika
perkembangan masyarakat-masyarakt bahari.
3.3 Contoh Evoulsi Perahu Berpapan: Dari Padewakang ke PLM
Sebagaimana disebutkan dalam bab 2.4, perahu padewakang sejak paling lambat abad ke-18
merupakan tipe utama dari sekian banyak jenis perahu dagang jarak jauh Sulawesi Selatan.
Padewakang-padewakang milik pedagang Mandar, Makassar dan Bugis melayari seluruh Samudera Indonesia di antara Irian Jaya dan Semenanjung Malaya, dan sekurang-kurangnya sejak abad ke-19
secara rutin berlayar sampai ke Australia untuk mencari tripang; dalam suatu buku dari abad silam
bahkan terdapat gambaran sebuah perahu padewakang yang dicap ‘perahu bajak laut asal Sulawesi di
Teluk Persia’79. Tipe perahu ini menggambarkan dengan baik sifat-sifat perahu Nusantara sejak
kedatangan kekuatan kolonial: Sebuah lambung yang –menurut standar Eropa– berukuran sedang
yang dilengkapi dengan satu sampai dua geladak, kemudi samping dan layar jenis tanjaq yang
dipasang pada sebatang tiang tripod tanpa laberang (gambar 3.3.1).
Gambar 3.3.1: Gambar rekonstruksi
tipe perahu padewakang oleh
Burningham (1987:119)
78
Nooteboom 1940:23
79
Lht. msl. MacKnight 1976, Nooteboom 1951, 1952, Cense 1952, Hourani 1951, Paris 1842
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
39
Pada pertengahan abad ke-19 para pelaut Sulawesi mulai mengkombinasikan tipe layar tanjaq dengan
jenis layar fore-and-aft asal Eropa dan Amerika yang saat itu baru saja bermunculan di Nusantara.
Alfred Wallace yang dalam ekspedisinya ke Kepulauan Aru menaiki sebuah perahu seperti itu
memberitakan:
It was a vessel of about seventy tons burthen, and shaped something like a Chinese junk. The deck
sloped considerably downward to the bows, which are thus the lowest parts of the ship. There were
two large rudders, but instead of being placed astern they were hung on the quarters from strong
cross beams, which projected out two or three feet on each side, and to which extant the deck
overhung the sides of the vessel amidships. [...] Our ship had two masts, if masts they can be called,
which were great moveable triangles. If in an ordinary ship you replace the shrouds and backstays
by strong timbers, and take away the masts altogether, you have the arrangement adopted on board a
prau. [...] The mainyard, an immense affair nearly a hundred feet long, was formed of many pieces of
wood and bamboo bound together with rattans in an ingenious manner. The sail carried by this was
of an oblong shape, and was hung out of the centre, so that when the short end was hauled down on
deck the long end mounted high in the air, making up for the lowness of the mast itself. [... This sail]
was of matting, and with two jibs and a fore-and-aft sail astern of cotton canvas, completed our rig.
[...] The rigging and arrangement of these praus contrasts strangely with that of European vessels, in
which the various ropes and spars, though much more numerous, are placed so as not to interfere
with each other’s action. Here the case is quite different; for though there are no shrouds or stays to
complicate the matter, yet scarcely anything can be done without first clearing something else out of
the way. Yet praus are much liked even by those who had European vessels, because of their
cheapness both in first cost and in keeping up; almost all repairs can be done by the crew, and very
few European stores are required.80
Perahu-perahu asal Sulawesi yang menggunakan layar
kombinasi ini juga terdapat atas beberapa gambar dalam
Ethnographische Atlas karangan Matthes tahun 1859:
Ternyata keuntungan layar fore-and-aft semakin jelas bagi
para pelaut Sulawesi, sehingga mereka berusaha untuk
mengkombinasikannya dengan layar tanjaq yang selama ini
terbukti sesuai dengan kondisi-kondisi pelayaran mereka.
Salah satu hal yang secara pasti menjadi hambatan bagi para
pelaut itu disebutkan oleh Wallace – layar fore-and-aft pada
Gambar 3.3.2: Tipe perahu padewakang
tiang buritan dan tamberang haluan terbuat dari kain
dengan ‘layar kombinasi’
kanvas, sedangkan layar-layar tanjaq terdiri dari ‘tikar’
(tenunan?) daun (lontar?); saya di atas sudah menyebutkan beberapa contoh atas interdependensi
tersedianya bahan-bahan baku dan teknik-teknik konstruksi perahu. Suatu hambatan lain
digambarkan Wallace dengan “hampir tak ada yang dapat dibuat [pada layarnya] tanpa membereskan
sesuatu yang lain sebelumnya’: Kombinasi kedua tipe layar itu ternyata belum layak dipakai, dan kita
bisa memastikan bahwa para pelayar bercoba-coba untuk mendapatkan solusinya. Dari percobaanpercobaan ini terakhirnya lahir layar pinisiq yang selama hampir 100 tahun menjadi jenis layar khas
perahu-perahu Sulawesi.
Layar dan perahu jenis pinisiq mulai bermunculan di Nusantara pada sekitar tahun 1840-an. Konon
ceritanya, di Kuala Trengganu tinggallah seorang Perancis atau Jerman, yang telah melarikan diri dari
sebuah kapal layar berukuran besar asal Eropa (atau tak mau ikut ke Indonesia ketika Malaka
80
Wallace 1869:311-16
40
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
diserahkan oleh Belanda kepada Inggris) ke Trengganu di mana ia menikahi seorang gadis Melayu
dan bekerja sebagai tukang besi81. ‘Versi romantisnya’ adalah, bahwa pada suatu hari Raja Trengganu
kala itu, Sultan Baginda Omar, meminta si bule membantu buat sebuah perahu yang menyerupai
perahu barat yang paling modern, sehingga dibangunkannya suatu kapal sekunar yang dipakai sebagai
perahu kerajaan; ‘perahu pinisiq pertama’ serta si bule yang bernama Martin Perrot itu dilihat dan
ditemui oleh seorang nakhoda Inggris pada tahun 1846 ketika berlabuh di Kuala Trengganu.
Menurut tradisi para pelaut Melayu, perahu itulah yang dijadikan contoh pertama untuk membangun
perahu-perahu sejenis yang berikutnya dinamakan pinas atau penis, mungkin sekali dengan meniru
kata pinasse, yang dalam bahasa Perancis dan Jerman pada zaman itu menandai sejenis kapal layar
berukuran sedang.
Kebetulan bukan hanya satu perahu itu yang pada abad silam sempat dilihat oleh para pelaut
Makassar, Mandar dan Bugis yang kini terkenal dengan perahu pinisiqnya, tetapi sejak awal abad ke-19
semakin banyak pedagang-pelaut Inggris yang beroperasi dari Singapura maupun para pedagang
partikuler Belanda di Indonesia (yang –sebagaimana terlihat pada bab 2.4– bukan hanya terdiri dari
orang Barat saja) mulai menggunakan perahu jenis sekunar Barat yang baru dirancang di Amerika
pada dekade-dekade akhir abad sebelumnya82. Bahkan, dalam sebuah armada bajak laut “berbendera
Belanda” (dan dengan ini berasal dari Indonesia?) yang beroperasi dekat Singapura pada tahun 1836
terdapat beberapa perahu yang “rigged as a schooner with cloth sails”83 – artinya, bukan hanya di
Trengganu, tetapi di beberapa tempat lain di Nusantara tipe layar yang terakhirnya menjadi ‘The
Indonesian Schooner’ itu mulai digunakan.
Bagaimanapun, jenis kapal layar yang dapat melawan angin dengan jauh lebih baik daripada jenisjenis perahu tradisional Nusantara maupun full-rigged-ship Eropa itu sempat mengungguli saudagar
laut asal baik dalam maupun luar Nusantara: Dibandingkan dengan perahu dan kapal layar tipe lain
yang menggunakan layar andang-andang, sebuah sekunar dengan sangat lincah dapat beropal-opal ke
mata angin, sehingga ia tak tergantung dari arah angin monsun yang berabad-abad lamanya mendikte
arus pelayaran dan perdagangan di Nusantara; layarnya dapat dicocokkan dengan hampir semua
kekuatan angin; jumlah tenaga pelaut yang di diperlukan untuk menguasainya jauh lebih kurang
daripada tipe-tipe layar lain. Dengan jelas, sukses perahu sekunar itu menjadi dorongan buat para
pedagang-pelaut asal Sulawesi itu untuk mencoba menerapkan layar yang serupa di atas perahuperahu mereka.
Jenis layar pinisi tampaknya seperti perahu schooner ketch asal Eropa (gambar 3.3.3): Tiang haluan lebih
tinggi daripada tiang di buritan, dan pada kedua tiangnya terdapat layar jenis fore-and-aft. Namun,
layar jenis pinisiq itu dalam beberapa hal berbeda dari teladannya - misalnya, sedangkan pada sekunar
barat andang-andang layar dinaik-turunkan dengan layarnya, pada sebuah perahu pinisiq andangandang itu terpasang tetap pada pertengahan kedua tiang, dan layarnya dikembangkan dengan
menariknya ke ujung andang-andang itu bak sehelai gorden. Sebuah perahu pinisiq lengkap memakai
81
82
83
Gibson-Hill 1953:26ff menyebutkan beberapa versi dan kemungkinan cerita ini. Yang jelas, bahwa “as seems likely,
the first one [perahu pinas] was built after his [orang Jerman atau Perancis itu] arrival. […] It seems, in fact almost
certain that he must have been responsible for at least the essential metalwork on the royal schooner. This would, in
the circumstances, be sufficient to associate him closely with her, and thus to leave the tradition that the perahu pinas
owed its origin to boats built by a European who settled in Trengganu. Further the use of the term pinasse rather than
the English pinnace, which by this period was a rowing rather than a sailing boat. […] This again suggests that the
man was sufficiently closely associated with the new vessel to establish his name for the category.” (ibid., 30)
Lht. msl. Marquardt 1989
Pigafetta, A. & S.St.John 1849, IV:401-2
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
41
tujuh sampai delapan helai layar:
Tiga helai layar bersegitiga yang
terpasang pada laberang depan
tiang haluan, pada masing-masing
tiangnya sehelai layar besar bersegi
empat serta sehelai layar topser
bersegitiga di atasnya, dan pada
laberang depan tiang buritan sering
terdapat lagi sehelai layar bersegitiga. Dengan layar-layar ini perahu
pinisiq menjadi sangat atraktif bagi
pelaut Sulawesi: Nooteboom melaporkan dari Mandar, bahwa
Alasan yang mendorong orang
Mandar untuk meninggalkan layar
tanjaq yang digunakan dari dahulu
demi layar pinis yang lebih bersifat
Gambar 3.3.3: Perahu pinisiq
Eropa menurut Haji Daeng Pale
adalah kemudahan dalam pemakaiannya. Bila anginnya bertambah, orang di atas perahu yang menggunakan layar tanjaq harus
menggulung layarnya yang begitu besar itu ke atas bom bawahnya, suatu pekerjaan yang berat dan
berbahaya. Layar pinis dapat dikurangi bagian demi bagian [… Ini] dimulai dengan mentutup layar
topser dan layar anjungan. Jika anginnya bertambah lagi, maka agak gampang mengurangi layar
besarnya dengan menariknya ke arah tiang, sehingga perahu dengan menggunakan layar yang ditutup
setengah itu dan satu atau lebih layar anjungan masih bergerak secukupnya supaya daya kemudi tak
hilang. Selain ini, terdapat pula perbedaan dalam kemampuan berlayar, yakni bahwa layar pinis itu
dapat berlayar lebih dekat ke arah angin. […] Yang paling penting adalah bahwa [perahu] dapat
berbalik haluan dengan lebih gampang bila beropal-opal.84
Pada awalnya layar pinisiq dipasang ke atas lambung perahu padewakang dan sejenisnya; akan tetapi,
ketika para pelaut dan pengrajin perahu semakin sadar atas cara pemakaiannya, lambung yang dipilih
adalah jenis palari saja – tipe lambung yang
sangat runcing dan ‘pelari’ itu memanglah yang
paling sesuai dengan layar sekuner. Evolusi ini
terjadi dalam beberapa tahap: Tipe lambung
padewakang dirancang dengan lebih runcing dan
ditingkatkan dengan beberapa papan tambahan
yang menyebabkan, bahwa dek haluan menjadi
lebih rendah daripada dek utama dan buritan,
dan bahwa konstruksi balok-balok guling seolaholah ‘terbang’ di belakang buritan perahu (palari
salompong ambeng rua kali [istilah-istilah ini berasal
Gambar 3.3.4: Sebuah perahu pinisiq tahun 1930-an
dari Bahasa Konjo]85); berikutnya bagian geladak
asal Bira
84
Nooteboom 1940:26, terj. pen..
85
Istilah akan tipe-tipe lambung ini dalam Bahsa Mandar terdapat dalam Nooteboom 1940:23ff
42
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Gambar 3.3.5: Evolusi lambung palari-pinisiq. Atas: Tipe lambung palari salompong ambeng rua kali awal abad
ke-20 s/d 1940; tengah: Palari salompong pertangahan abad ke-20; bawah: Palari-pinisiq, s/d tahun
1970-an
buritan (ambeng) diteruskan hingga balok-balok kemudi menyatu dengannya (palari salompong); dan
tahap terakhir adalah meningkatkan linggi haluan supaya seluruh geladak menjadi lurus (palari pinisiq
– gambar 3.3.3-6). Tipe lambung terakhir ini digunakan sampai perahu pinisiq diganti dengan tipetipe PLM, ‘perahu layar motor’. Pada awal tahun 1970-an ribuan perahu pinisiq-palari yang berukuran
sampai 200 ton muatan, armada perahu layar komersial terbesar di dunia pada saat itu, sempat
menghubungi semua pelosok Samudera Indonesia dan menjadi tulang rusuk perdagangan rakyat.
Sejak tahun 1930-an perahu-perahu ukuran kecil dan sedang di seluruh Nusanara semakin sering
menggunakan layar jenis nade sebagai penggeraknya. Jenis layar ini pun berasal dari pengaruh barat,
yaitu perahu-perahu layar jenis cutter dan sloop86. Layar nade itu terdiri dari satu atau dua helai layar jib
di depan dan sehelai layar besar di belakang tiang. Pelaut yang paling kenal dengan perahu-perahu
layar yang memakai layar nade berasal dari Pulau Buton di Sulawesi Tenggara; mereka pun
86
Salah satu versi asalnya lambo itu terdapat dalam Liebner 1990; lht. juga Nooteboom 1936
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
43
Gambar 3.3.6: Perahu-perahu pinisiq di pelabuhan Singapura pada tahun 1950an
menggunakan sejenis lambung perahu tertentu bernama lambo yang berasal dari perpaduan contohcontoh perahu barat dengan teknik tradisional Nusantara (lht. bab 3.1). Menurut beberapa sumber,
para pelaut cenderung memilih tipe lambung lambo dengan layar nade karena pemakaiannya bahkan
lebih gampang dan kemampuannya dalam beropalopal konon lebih baik lagi daripada perahu pinisiq87.
Pada awalnya, tipe baru ini dimaksudkan sebagai
pesaing perahu palari-pinisiq; akan tetapi, setelah
daya muat perahu pinisiq semakin ditingkatkan,
maka tipe lambo-nade digunakan sebagai perahu
dagang yang berukuran sedang88 (gambar 3.3.9).
Setelah pada tahun 1970-an semakin banyak perahu
dilengkapi dengan mesin penggerak, maka dengan
cepat baik lambung perahu maupun layarnya
diubah: Untuk dipasangi dengan sebuah mesin
jenis-jenis lambung tradisional terbukti tak cocok,
sehingga lambung
Gambar 3.3.7: PLM modern
tipe lambo menjadi
alternatifnya. Pada tahun-tahun berikutnya, daya muatnya semakin
ditingkatkan, sehingga kini terdapat perahu yang bisa memuat lebih
daripada 300t; hampir semua perahu dagang tradisional itu kini
menggunakan lambung jenis lambo yang diperbesarkan itu (gambar
3.3.7). Oleh karena layarnya sekarang hanya berfungsi sebagai
pembantu, maka di atas perahu tipe PLM ini biasanya terdapat satu
tiang saja: Memakai banyak layar artinya membawa awak banyak,
Gambar 3.3.8: PLM dengan
dan pada zaman ini tenaga manusia serta gajinya semakin
layar nade
87
Lht. Nooteboom 1940, Collins 1936, 1937
88
Lht. msl. Horridge 1979 (b)
44
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Gambar 3.3.9: Tipe perahu pinisiq dan lambo, tahun 1970-an
diperhitungkan. Perahu-perahu yang berukuran besar tetap memakai layar bak pinisi satu tiang,
sedangkan perahu ukuran sedang dilengkapi dengan layar nade (gambar 3.3.8). Akan tetapi, baik
perahu yang memakai layar pinisiq tiang tunggal maupun layar nade tak lagi dapat berlayar dengan
tenaga angin saja - pada umumnya ukuran layarnya kecil, dan tiangnya terlalu pendek, sehingga layar
hanya dibuka saat arah angin menguntungkan.
4
Masa Depan Perkapalan dan Pelayaran Tradisional
Sebagaimana kita ketahui, tradisi yang berfaedah bukanlah suatu keadaan yang statis. Dalam arti
sebenarnya tradisi adalah seutas tali pewarisan yang tidak pernah putus, yang bahkan oleh ketidakputusan itu mampu untuk berkembang terus - jadi, suatu ‘ketradisian hidup’ yang didasarkan atas
pengetahuan dan filsafat yang diturunkan dari generasi ke generasi akan mampu untuk menyertai
perkembangan zaman berkat dasarnya yang semakin kuat itu: Dengan menghormati dan menjaga
nilai-nilai tradisional kita dapat menyambut yang baru dengan penuh kearifan.
Dalam kerangka acuan suatu seminar mengenai pemgembangan masyarakat bahari yang pernah saya
ikuti dilontarkan, bahwa ‘‘teknostruktur adalah bagian atau buah dari budaya masyarakat, [... dan ...]
agar mereka mampu mengembangkan teknologi yang dibutuhkan, [...] pengembangan teknologi perlu
didukung oleh budaya masyarakat yang sadar atau melek teknologi’’89. Dalam pendahuluan kerangka
acuan acara itu disebutkan pula, bahwa orang asing sudah pada awal abad silam heran dan kagum
terhadap pengetahuan para pelaut Nusantara - dan mengingat keterbatasan peralatan, modal dan
sumber yang dimiliki masyarakat desa, seharusnya kita semua ikut kagum dan heran melihat
89
Kerangka Acuan Seminar Nasional Pengembangan Kelautan Indonesia, Tim Penyelenggara, UNHAS, Makassar, 1999:3
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
45
keberhasilan mereka dalam penghidupan sehari-harinya: Ternyata masyarakat kita memiliki teknologi,
bahkan yang cukup canggih dan sangat beradaptasi pada situasi dan kondisi mereka.
Alhasil, membicarakan pengembangan IPTEK buat masyarakat bahari berarti membahas lebih
dahulu teknologi yang digunakan masyarakat, dan mengembangkan teknostruktur masyarakat itu
artinya melihat budaya dan kebudayaan yang melatarbelakangi, baik pengetahuan teknik yang dimiliki
maupun struktur sosial dan kultural yang merupakan landasan utama dalam penerapan teknologi,
baik yang bersifat tradisional maupun yang modern. ‘Kebudayaan yang melatarbelakangi’ hal-hal
tersebut secara paling dasar berarti suatu kumpulan konsep, gagasan, cita-cita dan citra-citra yang
dianut suatu masyarakat - dan dengan ini, kita dituntut untuk membahas secara mendalam pola-pola
pikiran yang dipergunakan dan diikuti masyarakat dalam pendekatannya terhadap keseluruhan
kebudayaanya.
Selain itu, terhadap realitas kehidupan masyarakat bukanlah suatu pendekatan makrostruktur yang
dirumuskan di luar lingkungan mereka akan menjamin sustainable development, akan tetapi hanya suatu
pendekatan yang berfokus pada kasus-kasus nyatalah mampu menghasilkan pengembangan yang
berkelanjutan - dan pasti bukanlah percobaan-percobaan teknologi canggih-canggih yang dari sisi
pengadaannya maupun penerapannya jauh dari jangkauan seorang kampung, tetapi hanya embedded
technology, teknologi yang berfokus kepada serta terintegrasi dalam yang dibuat dan digunakan oleh
masyarakat dapat menjadi strategi-strategi yang ‘‘mampu menciptakan kondisi yang kondusif bagi
pengembangan teknologi secara mandiri’’90.
Untuk menggambarkan hal ini dengan lebih konkrit, perkenankanlah saya untuk mengambil salah
satu dari sekian banyak contoh gagalnya penerapan teknologi modern di dalam lingkungan
tradisional. Beberapa tahun yang silam diadakan suatu proyek percobaan pembuatan perahu secara
barat di sekian banyak desa di Sulawesi Selatan, di mana pembuatan lambung perahu dimulai dengan
memasang dahulu gading-gadingnya yang berikutnya dilapisi dengan papan. Teknologi ini
bertentangan secara diametral dengan tradisi teknik lokal yang memulai dengan pemasangan papan
dan berikutnya ‘mengisi’ lambung perahu yang dihasilkan dengan gading-gading. Selain daripada itu,
untuk menerapkan teknologi barat itu dituntut adanya gambar konstruksi berdimensi tiga yang
memastikan ukuran gading-gading yang diperlukan, sedangkan pada teknik indigen Sulawesi Selatan
bentuk lambung perahu ditentukan melalui tatana, ‘potongannya’: Sebagaimana diterangkan dalam
bab 3.1, dengan istilah-istilah akan rupa lambung serta suatu peristilahan sangat rumit yang menandai
posisi dan bentuk masing-masing papan dalam konstruksi badan perahu seorang pengrajin tradisional
dapat menghasilkan puluhan jenis kapal yang berbeda-beda tanpa gambar konstruksi. Di salah satu
desa di daerah Mandar kami dengan heran melihat, bahwa gading-gading dari proyek itu sampai
sekarang masih disimpan di depan rumah seorang pengrajin perahu - ternyata baik para pengrajin
tradisional maupun para pembimbing dari Pemda dan perguruan tinggi tak mampu menyelesaikan
proyek ini di situ, sedangkan baik di pantai kampung itu maupun di lokasi-lokasi proyek lainnya
selama ini dibangun puluhan perahu baru dengan memakai teknik tradisional saja. Artinya, tujuan
proyek yang cukup tinggi biayanya itu, yakni memasyarakatkan suatu teknologi baru, tak tercapai
sebab kelompok sasaran dengan lebih gampang, lebih cepat dan lebih pasti dapat berhasil dengan
memakai teknik indigen mereka.
90
Kerangka Acuan ...., op.cit.:3
46
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Pada contoh ini dapat kita saksikan pula sesuatu yang lain: Agar masyarakat menjadi mampu
mengembangkan dan memanfaatkan IPTEK secara mandiri memang perlu pengembangan SDM
(dalam hal tersebut di atas misalnya ketrampilan membaca gambaran tiga dimensi) - akan tetapi, yang
mungkin lebih penting bukan SDM orang kampung, tetapi SDM para penyelenggara proyek-proyek
pembangunan yang demikian. Lagi dari contoh yang tadi itu: Sampai sekarang sebagian besar dari
para penentu keputusan di pelbagai tingkat pemerintahan, organsiasi dan lembaga pengembangan
maupun jajaran akademisi belum mengetahui adanya rumus-rumus pembuatan tipe-tipe perahu lokal
yang dikonsepkan dan direalisasikan melalui suatu kesatuan dari upacara-upacara dalam proses
membangunkannya dan peristilahan akan bentuk dan posisi masing-masing papan dalam
konstruksinya itu, sehingga para penentu proyek-proyek pengembangan itu seringkali cenderung
beranggapan, bahwa masyarakat tradisional tak memiliki teknologi yang sederajat dengan teknologi
modern yang ingin diajukan itu. Akan tetapi, ternyata para pengrajin tradisional itu dengan cara,
pendekatan dan konsep-konsep indigen mereka bahkan sempat memecahkan masalah-masalah teknis
yang cukup rumit secara mandiri - contoh terbaik adalah keberhasilan para pengrajin perahu Sulawesi
Selatan dalam mengubah jenis-jenis lambung perahu layar tradisional sehingga mampu
melengkapinya dengan mesin dalam, suatu proses yang terakhirnya menghasilkan perahu-perahu
PLM berukuran ratusan ton yang sampai kini merupakan tulang rusuk perdagangan interinsuler
Nusantara.
Yang menjadi masalahnya di sini: Para pengrajin tradisional dengan alat-alat sederhana selama ini
sempat menghasilkan perahu-perahu yang secara nyata berlayar, mencari ikan dan mengangkut
muatan - sedangkan, misalnya, mahasiswa Jur. Perkapalan UNHAS pada suatu acara pada tahun 1999
bahkan tak mampu membuat pelampung yang dapat melampung. Guna menggambarkan ‘nilai’
pengetahuan tradisional ini dengan lebih nyata di ruangan kuliah saya selalu menyebutkan contoh
seorang lolosan akademi pelayaran yang disuruh melaut dengan perahu tradisional: Apakah ia akan
kembali besok? Jadi, siapa lebih trampil: Seorang nelayan kampung yang bukan hanya kembali, tetapi
membawa ikan pula, atau si nakhoda baru itu?
Masa depan pembuatan perahu dan pelayaran tradisional Nusantara ditentukan oleh beberapa
masalah yang semakin mendeasak untuk dipecahkan. Soal utama bagi para pengrajin perahu adalah
kekurangan kayu berkwalitas: Masalah itu dapat dipecahkan dengan beberapa teknologi modern
seperti laminasi lambung kayu dengan bahan serat kaca. Menurut pemilik sebuah perahu katamaran
modern yang sedang dibangun di Makassar dengan suatu kombinasi teknologi tradisional dengan
teknik laminasi, biaya pembuatan lambung perahu itu adalah 10-15 kali (!) lebih murah daripada di
Eropa – bila pengrajin perahu tradisional dilibatkan dan dibiarkan membangun lambung itu sesuai
dengan kemampuan dan pengetahuan mereka, yakni dengan teknik planks first. Dengan teknologi itu
terdapat suatu kemungkinan untuk menciptakan lambung-lambung perahu yang kuat, ringan, berdaya
tahan dan bernilai jual tinggi tanpa menguras habis hutan-hutan Nusantara. Pengembangan suatu
sistem teknologi yang demikian harus didasarkan atas sebuah perpaduan pengetahuan dan kearifan
indigen dengan teknik-teknik canggih yang sekaligus bersifat ‘akar rumput’ dan ‘paling mutakhir’:
Tipe-tipe perahu apa yang paling prospektif dan efektif, baik bagi sektor pelayaran rakyat maupun
sebagai bahan ekspor? Bagaimana, misalnya, dapat jenis-jenis kayu tropis dikeringkan di sebuah
kampung sampai bisa disambungkan dengan lem epoxyd – atau, apakah epoxydnya bisa dikelola
sehingga tak perlu kayu yang kering? Apakah sistem-sistem tradisional pengelolaan hutan dapat
dikombinasikan dengan keperluan itu?
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
47
Bagi pelaut dan pelayar masalahnya adalah apakah pengetahuan tradisional mereka bisa mendapatkan
pengakuan resmi – menurut seorang instruktur pada salah satu akademi pelayaran di Sulawesi,
bahkan merekalah, para pelaut yang seumur-sehidup berlayar dengan perahu-perahu tradisional,
dengan jauh lebih cepat lulus dari tes-tes ijazah dasar pelayaran internasional daripada lulusan-lulusan
sekolah-sekolah jurusan maritim. Pelaut tradisional dari sekian banyak desa di Sulawesi dan Madura
sejak beberapa dekade dipekerjakan di seluruh Asia Tenggara (dan beberapa bahkan di Eropa dan
Amerika) sebagai awak dan juragang di atas kapal-kapal modern, dan saya melihat sekian banyak
nakhoda tua yang dalam beberapa hari saja dapat memahami dan menggunakan alat-alat navigasi
canggih seperti radar dan GPS, dan memadukannya dengan pengetahuan tradisional mereka. Akan
tetapi – bila mereka, para pelayar sejati itu tak diberikan pengakuan resminya, nasib bukan hanya
mereka itu saja, tetapi pula ketrampilan dan pengetahun mereka yang selama ini terbukti
ketangguhannya adalah kemusnahan.
Pariwisata bahari –dalam hal ini, menyediakan perahu-perahu tradisional sebagai sarana liburan–
sedang menjadi suatu bidang tourisme yang semakin digemari oleh para pelancong asal dalam dan luar
negeri – akan tetapi, jika para pelaut dan perahu tradisional sudah tidak tradisional lagi, masa
depannya apa? Jelas: Hanya dengan semakin menghormati dan menjaga nilai-nilai dan kearifan
tradisional ini dapat kita capai suatu masa depan yang lebih baik bagi kita semua.
Daftar Pustaka
Ammarell, G.
1999
Bugis Navigation, Yale Southeast Asia Studies, Monograph 48, New Haven
Bryun Kops, G.F. de
1921
‘Vaartuigen’, Encyclopaedie van Nederlands-Indie, vol. 5:422-46, Nijhoff, ‘s-Gravenhage
Abas, H. u. T.D. Anderson
1990
Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi dalam Konteks Bahasa Nasional, Prosiding KonPerNas ke-5 Masy. Ling. Ind.,
UNHAS, Ujung Pandang
Badings, A.H.L.
1880
Woordenboek voor de Zeevaart, in het Hollandsch-Maleisch-Fransch-Engelsch ..., Schoonhoven, S.E. van
Nooten&Zoon
Barnes, R.H.
1985
‘‘Whaling Vessels of Indonesia'', in MacGrail&Kentley 1985:345-66
Bellwood, P.
1978
Man’s Conquest of the Pacific: The Prehistory of Southeast Asia and Oceania, Collins, Auckland
1985
Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Academic Press, North Ryde, London
Biro Klassifikasi Indonesia
undat.
Pedoman Konstruksi Kapal Layar Motor, Biro Klasifikasi Indonesia, Unit Inkomar, Jakarta
Borahima, Ridwan dkk.
1977
Jenis-Jenis Perahu Bugis Makassar, Proy. Pengembangan Media Kebudayaan, Dep. P&K
Burningham, Nick
1987
“Reconstruction of a Nineteenth Century Makassan Perahu’’, The Beagle, Records of the Northern Territory
Museum of Art and Sciences 4(1):103-28
Caron, L.J.J.
1937
Het Handels- en Zeerecht in de Adatsregelen van den Rechtskring Zuid-Celebes, ’s-Gravenhage
Cense, A.A.
“Makassaars-Boegineesche Prauwvaart op Noord-Australie’’, Bijd. KITLV 108:248-64
1952
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
48
1979
Makassaars - Nederlands Woordenboek, Martinus Nijhoff, ’s-Gravenhage
Chaudhuri, K.N.
1985
Trade and Civilisation in the Indian Ocean: An Economic History from the Rise of Islam to 1750, University Press,
Cambrigde
Coedes, G.
1968
The Indianized States of South-East Asia, East-West Center Press, Hawaii
Correira, G.
1858
Lendas da India, Lisbon
Collins, G.E.C.
1936
East Monsoon, MacMillan, London
1937
Makassar Sailing, MacMillan, London (repr. 1992, Oxford University Press, Singapore)
1944
“Seafarers of South Celebes”, National Geographic Magazine, Oct. 1944
Dempwolff, O.
1919
“Vergleichende Lautlehre des austronesischen Wortschatzes”, Ztschrft für Eingeborenensprachen Beiheft 15-7
Doran, E.
1972
“Wa, Vinta and Trimaran”, JPS 81(2):144-159
1981
Wangka. Austronesian Canoe Origins, Texas A&M University Press, College Station
Dyen, I.
1965
A Lexicostatistical Classification of the Austronesian Languages, Indian University Press Publications, Memoir 19,
Indiana
Erp, Th. van
1923
Voorstellingen van Vaartuigen op de Reliefs van den Borobudur, Adi-Poestaka, ’s-Gravenhage
Evers, H.-D.
1991
“Traditional Trading Networks of Southeast Asia’’, in Haellquist 1991:142-152
Feinberg, R.
1988
Polynesian Seafaring - Ocean Travel in Anutan Culture and Society, Kent State Uni. Press, Kent, Ohio, London
Fernández-Armesto, F.
1995
Millenium, BCA, Bantam Press, London
Friederici, G.
1912
“Wissenschaftliche Ergebnisse einer Forschungsreise nach dem Bismarck-Archipel im Jahre 1908’’, Mitteilungen
aus den deutschen Schutzgebieten, Erghft.5, Berlin
1928
“Die vorkolumbianischen Verbindungen der Südsee-Völker mit Amerika’’, Mitt. a.d. dtsch. Schutzgeb., 36, 1
1933
“Das Auslegergeschirr der Südsee-Boote’’, Ethnolog. Anz. 2, 4:187-201
Friedericy, H.J.
“Aantekenningen over Adat en Adatrecht bij de Bonesche Prauwvaarders’’, Koloniaal Tijdschrift 20:490-509
1931
Gibson-Hill, C.A.
1949
“Cargo Boats of the East Coast of Malaya’’, JMBRAS 22, 3:106-25
1950
“The Indonesian Trading Boats reaching Singapore’’, JMBRAS, 23:108-138
1953
“The Origins of the Trengganu Prahu Pinas’’, JMBRAS, 26:??
Gonda, J.
1938
‘Pigafettas Vocabularium van het Molukken Maleisch’, Bijd. KITLV 94:101-24
Groeneveldt, W.P.
1880
“Notes on the Malay Archipelago and Malacca from Chinese Sources’’, Verhandelingen van de Bataavsche
Genootschap 39: i-x, 1-144
Haddon, A.C. & J. Hornell
1935
Canoes of Oceania, Bernice B. Bishop Museum, Special Publication 27-9, Honolulu
Haellquist, K.R. (ed.)
1991
Asian Trade Routes, Scandinavian Institue of Asian Studies, Curzon Press, London
Hashim, Mohd. Y.
1986
“Perdagangan dan Perkapalan Melayu: Rujukan Khusus kepada Bentuk Perdagangan dan Perkapalan Melaka
di Abad ke-15/16’’, Hashim (ed.) 1986:1-26
(ed.) 1986 Kapal dan Harta Karam - Ships and Sunken Treasure, Persatuan Muzium Malaysia, Kuala Lumpur
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
49
Haslam, D.W.
1983
Indonesia Pilot, Vol.II, The Hydrographer of the Navy, London
Het Indische Boek
1925
Het Indische Boek der Zee, Uitgave van de Volkslectuur, 1925
Hornell, J.
1918
“Origins and ethnological Significance of Indian Boat Design’’, Mem. Asiatic Soc. of Bengal VII, VIII (1918-23)
1920
The Outrigger Canoes of Indonesia, Madras Fisheries Bulletin XII, Madras
1936
“Constructional Parallels in Scandinavian and Oceanic Boat Construction’’, Mariners Mirror 21, 4:411-27
1946
Water Transport - Origins and Early Evolution, Cambridge
Horridge, G.A.
1978
The Design of Planked Boats of the Moluccas, National Maritime Museum, Maritime Monographs 38
1979 (a) The Konjo Boatbuilders and the Bugis Perahu of South Sulawesi, National Maritime Museum, Monograph 40, London
1979 (b) The Lambo or Perahu Boti: A Western Ship in an Eastern Setting, National Maritime Museum, Monograph 39,
Greenwich, London
1981
The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, Oxford University Press, Kuala Lumpur
1982
The lashed Lug Boat of the Eastern Archipelago, National Maritime Museum, Monograph 54, London
1986
Sailing Craft of Indonesia, Oxford University Press, Singapore
Hourani, G.F.
1951
Arab Seafaring in the Indian Ocean in Ancient and Medieval Times, Princeton
Keong, Ng Chin
1986
“Chinese Trade with Southeast Asia in the 17th and 18th Centuries’’, in Hashim 1986:88-106
Knaap, G.J.
1996
Shallow Waters, Rising Tide – Shipping and Trade in Java around 1775, KITLV Press, Leiden
Koch, G.
1970
“Bootsbau und Hausbau in Ozeanien’’, Mitteilungen der Berliner Gesellschaft fuer Anthropologie, Ethnologie und
Urgeschichte 2(3):154
1971
Materielle Kultur der Santa Cruz-Inseln, Museum f. Völkerkunde, Berlin, Bd. 21
et.al. 1984 Boote aus aller Welt, Staatliche Museen Preuss. Kulturbesitz, Berlin
Komisi Istilah
1956
Kamus Istilah Pelajaran Asing-Indonesia, Perpustakaan Perguruan P&K, Jakarta
Kong, Y.
2000
Muslim Tionghoa Cheng Ho, Pustaka Populer Obor, Jakarta
Kridalaksana, H.
1980
“Linguistic Reconstruction of Migration’’, Yg. Tersirat dan Tersurat, 98-105
Kriens, M.J.E.
1880
Hollands-Maleisch Technisch Marine-Zakwoordenboek, Oleef, ’s-Gravenhage
Lapian, A.B.
1987
Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut, Dissertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Le Roux, C.C.
1935
“Boegineesche Zeekarten van den Indischen Archipel’’, Tijdschrift van de Aardrijkskundige Genootschap 52:687-714
LeBar, F.M.
1963
“Some Aspects of Canoe and House Construction on Truk’’, Ethnology 2:55-69
Lee, K.H.
1987
“The Shipping Lists of Dutch Melaka”, Kapal dan Harta Karam - Ships and Sunken Treasure, Hashim, M.Y. (ed.):
53-76, Persatuan Muzium Malaysia, Kuala Lumpur
Leupe, F.A.
1849
“Wetboek voor Zeevarenden van het Koningrijk Makassar en Boegie, op het Eiland Celebes’’, Nederlandsch
Indie, 1-6, I:305-317
Lewis, D.
1972, 1994 (rev.ed.)
Canberra
We, the Navigators: The Ancient Art of Landfinding in the Pacific, Australian National University Press,
Liebner, H.H.
1990
“Istilah-Istilah Kemaritiman dalam Bahasa-Bahasa Buton”, Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi dalam Konteks Bahasa
Nasional - Prosiding KonPerNas ke-5, Abas, H., T.D. Anderson (ed), Masy. Ling. Ind., UNHAS, Ujung Pandang
50
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
1990/95 “Sulawesi's Archipelagic Fleet”, “Craftsmen at the Brink of Change”, Sulawesi - The Celebes, Volkman, T.A. &
I., Caldwell (ed), Periplus Editions, Singapore,
1993
“Remarks about the Terminology of Boatbuilding and Seamanship in some Languages of Southern Sulawesi”,
Indonesia Circle, 59/60, London, 1993
1996 (a) Beberapa Catatan tentang Pembuatan Perahu dan Pelayaran Orang Mandar, Seminar Antar Bangsa, UNHAS; Laporan
Penelitian, Lembaga Penelitian UNHAS, Ujung Pandang, LIPI, Jakarta
1996 (b) Guide to Tana Beru Boatbuilding, P3MP, Ujung Pandang
1997
Guide to the Village of Panrang Luhuk, Bira, P3MP, Ujung Pandang
1998
& Ahmad Rahman: Pola Pengonsepan Pengetahuan Tradisional: Suatu Lontaraq Orang Bugis tentang Pelayaran, Seminar
Kelautan Kawasan Timur Indonesia II, UNHAS
1999 (a) Pengembangan IPTEK dan Teknostruktur Masyarakat Bahari, Seminar Pengembangan Kelautan Nasional, UNHAS
1999 (b) “Four Oral Versions of a Story about the Origin of the Bajau People of Southern Selayar”, Land of History,
Mukhlis, K. Robinson (ed), ANU, Canberra:xxxx
2000 (a) “Pinisiq dan Kearifan Tradisional”, KOMPAS 01.01.2000, 1000 Tahun Nusantara, Kompas Media Nusantara,
Jakarta
2000 (b) Paotere, P3MP, Ujung Pandang
2001 (a) “Perahu-Perahu Nusantara - Salah Satu Aset Wisata Bahari dan Kebudayaan; Indonesian Sailing Vessels - An
Asset of Marine and Cultural Tourism”, TIME 2001, Jakarta
2001 (b) Pariwisata Bahari, Laporan, Dep. Kelautan dan Perikanan, Jakarta
2002
Berlayar ke Tompoq Tikkaq – Salah Satu Episode La Galigo, Seminar La Galigo, Barru
Liedermoij, D.F.
1870
“De Nijverheid op Celebes’’, Tijd. v.d. Nijverheid v. Nederl. Indie 16:345-386
Lineton, Jacqueline
1973
“Pasompe Ugi - Buginese Migrants and Wanderers’’, Archipel 10
MacGrail, Sean & Eric Kently
1985
Sewn Plank Boats, National Maritime Museum, Archaeological Series 10, Greenwich, London
Macknight, C.C.
1969
“The Sea Voyagers of Eastern Indonesia’’, Hemisphere 13, 4:7-14
1976
The Voyage to Marege: Macassar Trepangers in Northern Australia, Melbourne University Press
& Mukhlis 1979 “A Bugis Manuscript about Prahus’’, Archipel 18
Manguin, P.Y.
1980
“The Southeast Asian Ship: An Historical Approach”, Jour. of SEA Studies, 11:266-76
1985 (a) Sewn-plank craft of Southeast Asia - a Prelimary Review, National Maritime Museum, Greenwich, Archeological
Series 10
1985 (b) “Research on the Ships of Srivijaya”, Report for SPAFA Consultative Workshop on Archaeological and Environmental
Studies, Jakarta, Padang
1986
“Shipshape Societies: Boat Symbolism and Political Systems in Southeast Asia”, in Marr (ed.) 1986
1989
“The Trading Ships of Insular South-East Asia - New Evidence from Indonesian Archaeological Sites”,
Prosidings Pertemuan Ilmiah Arkeologi 5, I:200-20, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Jakarta
1995
“Southeast Asian Shipping in the Indian Ocean during the First Millenium A.D.”, in Ray, Salles (ed)
1995:181-96
Mansveldt, U.M.F.
1938
“De Prauwvaart in de 19de Eeuw”, Koloniale Studien 22:89-102
Manyambeang, K. et al
1983
Jiwa Laut dalam Sastra Makassar, UNHAS, Ujung Pandang
Matthes, B.F.
1859
Makasarsch-Hollandsch Woordenboek met een tot de verklaaring ..., Nederlandsch Bijbelgenootschap, Amsterdam
1869
Over de Wadjorezen met hun Handels- en Scheepswetboek, Hartrop, Makassar
1874
Boeginees - Nederlands Woordenboek met ..., Nederl. Governement, s’Grafenhage
Marquardt, K. H.
1989
Schoner in Nord und Süd, Hinstorff Verlag, Rostock
Marr, D.G. & Milner, A.C.
1986
Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries, Inst. of SEA-Studies, Singapore
Meilink-Roelofsz, M.A.P.
1962
Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630, Martinus Nijhoff,
s’Gravenhage
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
51
Menggang, B. (et al.)
1984
Survei Penyusunan Kamus Istilah Kemaritiman Bugis-Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Hassanudin, Ujung
Pandang
Mills, R.F.
1975
“The Reconstruction of Proto South Sulawesi’’, in Archipel 10:205-224
Mills, J.V.
1979
“Chinese Navigators in Insulinde about 1500’’, in Archipel 18
Muhammad Darwis
1988
“Mistik bagi Kaum Nelayan’’, in Mukhlis 1988:85-126
Mukhlis
& Robinson, K. 1985 Masyarakat Pantai, Lembaga Penerbitan UNHAS, Ujung Pandang
1988
Dimensi Sosial Kawasan Pantai, P3MP, Toyota Foundation, SA. Brother’s, Jakarta
Needham, J., Wang Ling & Lu Gwei-Djen
1971
Science and Civilisation in China, Vol.4, part III, “Civil Engineering and Nautics’’, Cambridge Univ. Press
Noorduyn, J.
1957
“C.H. Thomsen, the Editor of ‘A Code of Bugis Maritime Laws’ ’’, Bijd. KITLV 113:238-251
Nooteboom, C.
1915
De inlandsche Scheepvaart, Gids in het Volkenkundig Museum Amsterdam
1932
De Boomstamkano van Indonesie, E.J. Brill, Leiden
1936
“Vaartuigen van Ende”, Bijd. KITLV, 76:97-126
1940
“Vaartuigen van Mandar’’, Bijd. KITLV, 80:22-33
1941
“Vaartuigen van Roeha, aan de Zuidkust van West Soemba'', Cultureel Indie, Jan-Feb 1941:7-12
1947
“The Study of Primitive Seagoing Craft as an Ethnological Problem’’, Intern. Archiv f. Ethnographie 45:216-224
1951
Perihal Perkapalan dan Pelajaran di Indonesia, De Moderne Bookhandel, Jakarta
1952
“Galeien in Azie'', Bijd. KITLV, 108:365-384
Nurdin Yatim
1985
Istilah Maritim dalam Bahasa Makassar, Lembaga Penelitian Universitas Hassanudin, Ujung Pandang
1988
“Pengaruh Bahasa Makassar pada Bahasa-Bahasa Aborigin di Australia Utara”, Konferensi dan Seminar Nasional
ke-5 Masyarakat Linguistik Indonesia, Ujung Pandang
Oderwald, J.
1924
Verzameling van aan Boord voorkomende Benamingen in het Hollandsch en Maleisch, Kweekschool voor de Zeevaart,
Amsterdam
Paasch, R.
1910
From Keel to Truck, Rotterdam
Palm, C.H.M.
1962
“Vaartuigen en Visvangst van Anjar Lor, Bantam, W-Jawa'', Bijd. KITLV 118:217-70
Paris, P.
1843
Essai sur la construction navale des peuples extra-europeens ..., Paris
1975 (reed.) Souvenirs de Marine, Grenoble, Editions des 4 Seigneurs
Pelly, U.
1975
Ara dengan perahu Bugisnya, Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang
1977
“Symbolic Aspects of the Bugis Ship and Shipbuilding’’, Journal of the Steward Anthropological Society, 8, 2:87-107
Pigafetta, A. & S.St.John
1849
‘‘The Piracy and Slave Trade of the Indian Archipelago'', Journal of the Indian Archipelago and East Asia, III:5818, 629-36;IV, 1850:45-52, 144-62, 400-10, 617-28, 733-46;V, 1851:374-82
Pires, Tome
1944
Suma Oriental, Trans. Armando Cortesao, London, Hakluyt Soc.
Poggie, J.J. & R.B.Pollnac
1990
Small-Scale Fishery Development: Sociocultural Perspectives, ICMRD, Uni. of Rhode Island, New York
Prins, A.H.J.
1965
Sailing from Lamu, Assen
1970
A Swahili Nautical Dictionary, Dar-es-Salam
52
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Ray, Himanshu Prabha & Jean-Francoise Salles (ed)
1995
Tradition and Archaeology – Early Maritime Contacts in the Indian Ocean, National Institute of Science, Technology
& Development Studies, New Delhi, Maison de l’Orient Méditerranéen, Lyon, Centre de Sciences Humaines,
New Delhi
Reid, Anthony
1988
Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Vol. 1: The Lands below the Winds, Yale Uni. Press, New
Haven, London
Ricklefs, M.C.
1991
Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Roebuck, Th.(rev. by Carmichael-Smyth, W.)
1841
An English and Hindoostanee Naval Dictionary ..., 4th edition, no publisher mentioned
Roeding
1793
Allgemeines Wörterbuch der Marine in allen Europäischen Seesprachen, reed 1969, Uitgeverij Graphic Publishers,
Amsterdam
Sahur, H.Ahmad dkk
1991/92 Pengetahuan Tradisional Pembuatan Perahu Orang Mandar, Lembaga Penelitian UnHas, Ujung Pandang
Scott, William H.
1981
“Boat-Building and Seamamship in Classic Phillipine Society’’, Seameo Project in Archaeology and Fine Arts Digest
6, 2:15-33
Small, George (ed.)
1882
A Laskari Dictionary or Anglo-Indian Vocabulary of Nautical Terms and Phrases, London, W.H. Allen & Co.
Soegiono et al.
1984
Kamus Istilah Teknik Kapal, Edisi ke2, Ft. Kelautan, Surabaya
Steensgaard, Niels
1991
“Asian Trade Routes: Evidence and Pattern’’, in Haellquist 1991:1-6
Subandi
1983
Bahasa Inggris untuk Para Pelaut, Penerbitan Arcan, Jakarta
Sunil Gupta
2001
Roman Egypt to Peninsular India: Archaeological Patterns of Trade, 1st century B.C. to 3rd century A.D, Ph.D. thesis,
Department of Archaeology, Deccan College Post-Graduate Research Institute, Pune
Team Tre Tryckare
1981
Seefahrt - Nautisches Lexikon in Bildern, Delius und Klasing, Bielefeld
Thompson, Judi & Alan Taylor
1980
Polynesian Canoes and Navigation, Laie, Inst. for Polynesian Studies
Tibbets, G.R.
1957
“Early Muslim Traders in South-East Asia’’, JMBRAS 30:1-45
1971
Arab Navigation in the Indian Ocean before the Coming of the Portugese, Oriental Translation Funds, New Series
XLIII, RAS, London
1973
“Comparison between Arab and Chinese Navigational Techniques’’, Bulletin of the School for Oriental Studies
36(1), 1973:97-108
Tobing, Ph.
1967
Hukum Pelayaran dan Perniagaan Amanna Gappa, Yayasan Kebudayaan Sulawesi, Ujung Pandang
Toshibo, A.
1984
Pelayaran Orang Bugis-Makassar Abad XVII, Dissertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Vaz, Anthony
1879
The Marine Officers Hindustani Interpreter, The Bombay Gazette Steam Press, Bombay
Villiers, John
1986
“Caravels, Carracks and Coracoras: Notes on Portuguese Shipping in the Indian Ocean ... in the 16th and
17th entury’’, in Hashim 1986:40-52
Volkman, T.B.
1994
“Our Garden is the Sea: Contingency and Improvisiation in Mandarwomen's work’’, American Anthropologist 21
(3): 564-85
et al 1990, 1995 (rev.ed.) Sulawesi - The Celebes, Singapore, Periplus Editions
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
53
Vuuren, L. van
1917
“De prauwvaart van Celebes’’, Koloniale Studien 1917:107-116, 324-328
Wallace, R.
1869
The Malay Archipelago: The Land of the Orang-Utan and the Bird of Paradise, Macmillan, London, repr., Dover Publ.,
New York, 1962
Wangania, J.
1980
Jenis-Jenis Perahu di Pantai Utara Jawa-Madura, Proyek Media Kebudayaan, DepDikBub, Jakarta 1980/1
Warrington-Smyth, H.
1902
“Boats and Boat Building in the Malay Peninsula’’, Journal of the Society of Arts, 16:570-586
Wheatley, P.
1961
The Golden Khersonese, Kuala Lumpur
Winstedt, R. & P.E. De Josselin De Jong
1956
“The Maritime Law of Malacca'', JMBRAS 29, 3:22-59
Woywod, W.
und.:
“Sailing the Seas in a Pinisi'', Garuda Magazine, ?
Zainal, A.A.
1985
Beberapa Pantangan dan Keharusan bagi Pelaut Bugis, Lembaga Penelitian UnHas, Ujung Pandang
Zamri, S.
1979 Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan di Ujung Lero, PLPIIS, Ujung Pandang
Download