Uploaded by abdillah baraas

DRAFT TESIS SIDANG ABDILLAH 22021025-Revised reference 1

advertisement
KARAKTERISASI GEOTRAIL BERDASARKAN
SEJARAH GEOLOGI REGIONAL DI KAWASAN UNESCO
GLOBAL GEOPARK IJEN JAWA TIMUR
TESIS
Karya tulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister dari
Institut Teknologi Bandung
Oleh
Abdillah
NIM: 22021025
(Program Studi Magister Teknik Geologi)
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
AGUSTUS 2023
ABSTRAK
KARAKTERISASI GEOTRAIL BERDASARKAN
SEJARAH GEOLOGI REGIONAL DI KAWASAN UNESCO
GLOBAL GEOPARK IJEN JAWA TIMUR
Oleh
Abdillah
NIM: 22021025
(Program Studi Magister Teknik Geologi)
Geopark Ijen merupakan salah satu UNESCO Global Geopark yang ada di provinsi
Jawa Timur, tepatnya di Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso. Sejarah geologi
Geopark Ijen dimulai selama Oligosen-Miosen, yang ditandai dengan singkapan
dan perbukitan dari gunung berapi di selatan kawasan Geopark akibat subduksi
lempeng Indo-Australia ke Lempeng Eurasia. Sekitar lima juta tahun yang lalu
pegununan ini telah mati, kemudian karena perubahan subduksi, gunung berapi
terbentuk yang sekarang ke utara sejauh lima puluh kilometer dari posisi awal
mereka. ada beberapa gunung yang terbentuk di utara, seperti Gunung Baluran,
Gunung Ringgit, Kompleks Ijen Purba, hingga yang termuda adalah Gunung
Raung.
Sejarah awal Ijen sebagai komplek kaldera gunung api dimulai sejak Miosen Akhir
(11-5 juta tahun yang lalu). Pada mulanya aktivitas gunungapi terpusat pada gunung
api raksasa tunggal (Ijen Purba) yang diperkirakan memiliki ketinggian mencapai
3500 m. Gunung Ijen Purba ini tumbuh menumpang di atas formasi batugamping
berumur Miosen Tengah (16-11 juta tahun yang lalu). Gunung Ijen Purba berada di
jalur busur gunung api modern Jawa yang lokasinya telah bergeser 50 km ke utara
dari lokasi sebelumnya di Pantai Selatan. Kurang lebih pada 70.000 tahun yang lalu
Gunung Ijen Purba mengalami erupsi super eksplosif yang melontarkan sekitar 466
km3 material vulkanik yang dominan ke arah utara. Erupsi eksplosif ini kemudian
membuat dapur magma kosong dan mengakibatkan terjadinya amblasan sehingga
membentuk depresi kaldera dengan diameter mencapai 20 km. Kaldera Ijen
kemudian terisi oleh air dan menjadi danau pada 60.000-50.000 tahun yang lalu
yang mengendapkan hasil erosi material vulkanik. Tektonik membuat sesar berarah
timur laut-barat daya dan utara-selatan di daerah Blawan aktif dan mengakibatkan
rekahan pada dinding kaldera bagian utara. Rekahan ini kemudian tererosi,
membobol dinding kaldera, dan menjadi jalur air terjun blawan dan sungai kalipait
sekaligus membuat danau purba di Kaldera Ijen mengering. Periode selanjutnya
aktivitas vulkanisme post-kaldera dimulai yang terbagi menjadi dua yaitu
vulkanisme intra-kaldera dan vulkanisme cincin-kaldera. Kawah Ijen merupakan
salah satu dari 22 buah kerucut gunung api yang muncul paska pembentukan
kaldera Ijen, masih banyak cinder cone yang belum terpetakan. Keunikan
Kompleks Gunung Ijen dibandingkan dengan gunung api lainnya di Indonesia
i
adalah sebagai model perpaduan antara pertumbuhan gunung api poligenetik dan
monogenetik yang tumbuh di dalam dan di pinggir kaldera. Pada umumnya,
aktivitas gunung api pasca pembentukan kaldera membentuk kompleks gunung api
monogenetik tetapi pada gunung api yang berukuran besar membentuk gunung api
poligenetik yang umumnya tumbuh pada dinding kaldera. Aktivitas vulkanisme
intra-kaldera didominasi oleh kerucut skoria dan aliran lava sedangkan vulkanisme
cincin-kaldera terdiri dari gunung api strato besar yang tumbuh berjajar mengikuti
lengkungan kaldera bagian selatan. Kelompok gunung api cincin-kaldera yaitu
Gunung Suket, Gunung Raung, Gunung Jampit, Gunung Rante, Gunung Merapi,
Gunung Kukusan, dan tentunya yang paling terkenal Gunung Kawah Ijen.
Evolusi gunungapi dari selatan ke utara dengan adanya transisi kars menjadi cerita
menarik saat perjalanan terkuak berdasarkan karakterisasi geotrail yang muncul.
Hasil karakterisasi berdasarkan parameter fitur geologi, periode geologi dan setting
geologi memunculkan lima jenis geotrail. Judul geotrail yang muncul antara lain
adalah Explore The Window Of Ancient Volcanoes Of Southern Java, Explore The
Transition From Volcanoes To Karst Landscape, Travelling Around The Giant Ijen
Caldera, Explore The Worldwide Volcanoes Of Ijen, Explore The Intracaldera
Highland. Tentunya cerita perjalanan ini bisa dijadikan sebagai materi geowisata
untuk sejarah gunung berapi yang mendasari Geopark Ijen yang telah menjadi
UNESCO Global Geopark mewakili nama Pemerintah Indonesia di kancah dunia.
Kata kunci: Geotrail, Geopark Ijen, Gunungapi, Geowisata.
ii
ABSTRACT
GEOTRAIL CHARACTERIZATION
BASED ON REGIONAL GEOLOGICAL HISTORY IN THE
UNESCO GLOBAL GEOPARK IJEN EAST JAVA
By
Abdillah
NIM: 22021025
(Master’s Program in Geology)
Ijen Geopark is one of the UNESCO Global Geopark in East Java Province,
precisely in Banyuwangi dan Bondowoso Regency. The geological history of the
Ijen Geopark began during the Oligocene-Miocene, which was marked by outcrops
dan hills from the volcano in the south of the Geopark area due to the subduction
of the Indo-Australian Plate to the Eurasian Plate. About five million years ago
these mountains had died, then due to changing of subduction’s, volcanoes were
formed which are now to the north as far as fifty kilometers from their initial
position. There are several mountains that are formed in the north, such as Mount
Baluran, Mount Ringgit, Complex Ijen Purba, until the youngest is Mount Raung.
Ijen's early history as a volcanic caldera complex dates back to the Late Miocene
(11-5 million years ago). Initially, volcanic activity was centered on a single giant
volcano (Ijen Purba) which was estimated to have a height of up to 3500 m. This
ancient Mount Ijen grows on top of a Middle Miocene limestone formation (16-11
million years ago). Ancient Mount Ijen is in the arc of a modern Javanese volcano
whose location has shifted 50 km to the north from its previous location on the
South Coast. Approximately 70,000 years ago Mount Ijen Purba experienced a
super explosive eruption which ejected around 466 km3 of dominant volcanic
material to the north. This explosive eruption then made the magma chamber empty
and resulted in subsidence to form a caldera depression with a diameter of up to
20 km. The Ijen caldera then filled with water and became a lake 60,000-50,000
years ago which deposited the erosional results of volcanic material. Tectonics
make faults trending northeast-southwest and north-south in the Blawan area
active and cause fractures in the northern caldera wall. This fracture then eroded,
broke into the caldera wall, and became the path for the Blawan waterfall and the
Kalipait river while drying up the ancient lake in the Ijen Caldera. The next period
of post-caldera volcanism begins which is divided into two, namely intra-caldera
volcanism and caldera-ring volcanism. Ijen Crater is one of 22 volcanic cones that
appeared after the formation of the Ijen caldera, there are still many cinder cones
that have not been mapped. The uniqueness of the Mount Ijen Complex compared
to other volcanoes in Indonesia is as a model for the combination of polygenetic
and monogenetic volcanic growth that grows inside and on the edge of the caldera.
In general, post-caldera volcanic activity forms monogenetic volcanic complexes,
iii
but large volcanoes form polygenetic volcanoes which generally grow on caldera
walls. Intra-caldera volcanism is dominated by scoria cones and lava flows, while
caldera-ring volcanism consists of large stratovolcanisms that grow in a row
following the southern caldera curve. The group of caldera-ring volcanoes are
Mount Suket, Mount Raung, Mount Jampit, Mount Rante, Mount Merapi, Mount
Kukusan, and of course the most famous is Mount Ijen Crater.
The evolution of volcanoes from south to north with the karst transition becomes
an interesting story when the journey unfolds based on the characterization of the
emerging geotrail. The characterization results based on the parameters of
geological features, geological periods and geological settings gave rise to five
types of geotrails. The geotrail titles that appeared included Explore The Window
Of Ancient Volcanoes Of Southern Java, Explore The Transition From Volcanoes
To Karst Landscape, Traveling Around The Giant Ijen Caldera, Explore The
Worldwide Volcanoes Of Ijen, Explore The Intracaldera Highland. Of course, this
travel story can be used as geotourism material for the history of the volcano that
underlies the Ijen Geopark which has become the UNESCO Global Geopark
representing the name of the Government of Indonesia on the world stage.
Keywords: Geotrail, Ijen Geopark, Volcano, Geotourism.
iv
KARAKTERISASI GEOTRAIL BERDASARKAN
SEJARAH GEOLOGI REGIONAL DI KAWASAN UNESCO
GLOBAL GEOPARK IJEN JAWA TIMUR
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh
Abdillah
NIM: 22021025
(Program Studi Magister Teknik Geologi)
Institut Teknologi Bandung
Menyetujui
Tim Pembimbing
Tanggal 4 Agustus 2023
Ketua
______________________
(Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T.)
v
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS
Tesis Magister yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan
Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak
cipta ada pada penulis dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut
Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi
pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin penulis dan harus
disertai dengan kaidah ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.
Sitasi hasil penelitian tesis ini dapat ditulis dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
Abdillah (2023): Karakterisasi Geotrail Objek Geologi di Kawasan UNESCO
Global Geopark Ijen, Jawa Timur, Institut Teknologi Bandung.
dan dalam bahasa Inggris sebagai berikut:
Abdillah (2023): Geotrail Characterization of Geological Objects in the UNESCO
Global Geopark Ijen Area, East Java, Institut Teknologi Bandung.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah seizin Dekan
Sekolah Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
HALAMAN PERUNTUKAN
vi
Persembahan untuk masa depan
Ijen UNESCO Global Geopark
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah swt. berkat rahmat dan hidayah-Nya penyusunan dan
penulisan tesis ini dapat berjalan dengan lancar. Penulisan tesis ini diajukan sebagai
syarat kelulusan dari Program Studi Magister Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. Judul tesis yang diajukan adalah
“Karakterisasi Geotrail Objek Geologi di Kawasan UNESCO Global Geopark Ijen,
Jawa Timur” dengan waktu penelitian tesis yang dimulai pada Juli 2022 hingga Juli
2023.
Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, penulis tidak terlepas dari dukungan,
bimbingan serta bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Allah Subhanahu Wa Ta`ala,
2. Keluarga, terutama Almarhum Ayah, Ibu yang selalu mendoakan dan
mendukung selama ini,
3. Ibu Ipuk Fiestiandani yang terus mendukung pengembangan Geopark Ijen
4. Bapak M.Y Bramuda selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Banyuwangi yang selalu mendukung studi,
5. Badan Pengelola Geopark Ijen (Pak Lukman Hadi, Pak Datu, Pak Ardian,
Firman Sauqi, Fikli Perdana, Erika Dwi, Wimala, Om John)
6. Rekan- rekan JGI, Ijen Geopark Youth Forum, IPTG ITB, Emvitrust Indonesia,
FPRB Banyuwangi, Pengurus Al-Irsyad Banyuwangi,
7. Dr. Eng. Ir. Suryantini, M.Sc. selaku Dosen Wali yang selalu mendukung dan
membimbing saya selama perkuliahan,
8. Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman selaku pembimbing sekaligus Ketua Program
Studi Magister Teknik Geologi ITB,
9. Seluruh Bapak/ Ibu Dosen Teknik Geologi ITB beserta tenaga kependidikan.
Selain itu, kritik serta saran mengenai penulisan dan penyusunan tesis ini akan
penulis terima dengan senang hati. Akhir kata, semoga penulisan tesis ini dapat
menginspirasi dan memotivasi penelitian lainnya serta bermanfaat bagi kemajuan
ilmu geologi khususnya bidang geowisata.
viii
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................... i
ABSTRACT ............................................................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ v
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS ................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI ............................................................. xii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ....................................................... xv
BAB I Pendahuluan ............................................................................................. 1
I.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
I.2 Masalah Penelitian............................................................................... 3
I.3 Batasan Masalah .................................................................................. 3
I.4 Tujuan Penelitian ................................................................................. 3
I.5 Asumsi ................................................................................................. 4
I.6 Hipotesis .............................................................................................. 4
I.7 Kebaruan.............................................................................................. 4
BAB II Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 5
II.1 Studi Penelitian Terdahulu ................................................................. 5
II.1 Geologi Regional ............................................................................... 6
II.2 Keadaan Geografis ............................................................................. 9
II.3 Fisiografi dan Geomorfologi ............................................................ 11
II.4 Litologi dan Stratigrafi ..................................................................... 12
Bab III
Metodologi Penelitian ........................................................................... 14
III.1 Diagram Alir ................................................................................... 14
III.2 Metode Analisis .............................................................................. 15
III.2.1 Studi Literatur ...................................................................... 15
III.2.2 Observasi Lapangan ............................................................. 15
III.2.3 Analisis Geospasial .............................................................. 15
III.2.3 Analisis SWOT…...………………………………………...15
III.2.4 Penyusunan Jalur Geowisata Berdasarkan Sejarah Geologi 17
Bab IV Data dan Hasil Penelitian ...................................................................... 18
IV.2 Data Sekunder................................................................................. 18
IV.3 Data Geologi Lapangan .................................................................. 18
IV.3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian ......................................... 18
IV.3.2 Stratigrafi Daerah Penelitian ................................................ 22
IV.3.3 Struktur Geologi ................................................................... 25
IV.3.4 Aspek Magmatisme dan Kegunungapian ............................ 26
IV.4 Inventarisasi Keragamaan Geologi ................................................. 29
IV.4.4 Aspek Struktur Geologi dan Tektonik ................................. 32
x
IV.4.5 Aspek Bentangalam ............................................................. 33
IV.5 Penilaian Keragaman Geologi ........................................................ 34
IV.5.1 Peringkat Warisan Geologi .................................................. 35
IV.5.2 Nilai Warisan Geologi ......................................................... 36
IV.5.3 Makna Warisan Geologi ...................................................... 37
IV.5.4 Klaster Warisan Geologi ...................................................... 37
IV.6 Aksesibilitas dan Klaster Geowisata .............................................. 39
IV.7 Tabulasi Data Geologi .................................................................... 40
IV.8 Jalur Geotrail .................................................................................. 42
IV.8.1 Jalur 1 ................................................................................... 42
IV.8.2 Jalur 2 ................................................................................... 43
IV.8.3 Jalur 3 ................................................................................... 44
IV.8.4 Jalur 4 ................................................................................... 45
IV.8.5 Jalur 5 ................................................................................... 46
IV.9 Peta Geotrail ................................................................................... 47
Bab V
Diskusi dan Pembahasan ........................................................................ 48
V.I Analisis Data Karakterisasi Situs Geologi........................................ 48
V.2 Analisis SWOT ................................................................................ 48
V.2.1 Strength ................................................................................. 49
V.2.2 Weakness ............................................................................... 49
V.2.3 Opportunity ........................................................................... 49
V.2.4 Threats ................................................................................... 50
V.3 Evaluasi dan Pengembangan............................................................ 54
Bab VI Kesimpulan ............................................................................................ 56
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 57
xi
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI
Gambar I.1 Peta lokasi dan Kawasan UNESCO Global Geopark Ijen. .................. 2
Gambar II.1 Peta distribusi dan keterkaitan kata kunci yang berasal dari 31
penelitian yang membahas mengenai geotrail menggunakan aplikasi
VosViewer. Studi mengenai geotrail kaitannya dengan objek geologi
termasuk studi baru banyak dilakukan...................................................... 5
Gambar II.2 Model sejarah geologi Geopark Ijen (Dossier Ijen Geopark, 2020).
.................................................................................................................. 6
Gambar II.3 Kondisi geografis, sosial, budaya, dan masyarakat di Kawasan
Geopark Ijen (Dossier Ijen Geopark, 2020). .......................................... 11
Gambar II.4 Bentangalam kompleks gunungapi Ijen dilihat dari Kawah Asam
Ijen. Terlihat jajaran gunungapi lingkar kaldera selatan dan gunungapi
intrakaldera serta dinding kaldera Ijen yang ada di bagian utara.
Lanskap ini telah lama dikenal sebagai pusat daya tarik wisata
gunungapi di Jawa Timur. ...................................................................... 12
Gambar II.5 Peta geologi Kawasan Geopark Ijen yang mencakup gabungan dari
beberapa lembar peta geologi regional antara lain Peta Geologi
Lembar Jember, Situbondo, Besuki, Banyuwangi, dan Blambangan.
Peta Geologi gabungan ini menggambarkan sebaran batuan dari
selatan yang berumur paling tua hingga ke utara yang berumur paling
muda. Batuan vulkanik kuarter menutupi sebagian besar kawasan
tengah hingga utara Geopark Ijen, sementara terdapat batuan karbonat
yang berada di ujung tenggara di Alas Purwo dan pesisir Selat Bali di
Pantai Watudodol. Keragaman litologi dan umur batuan menjadi
keunikan tersendiri dari Geopark Ijen. ................................................... 13
Gambar III.1 Diagram alir penelitian. ................................................................... 14
Gambar IV.1 Pantai berbatu di selatan Banyuwangi. ........................................... 19
Gambar IV.3 Pantai Landai Berpasir Putih di Daerah Selatan Banyuwangi. ....... 19
Gambar IV.4 Gunung Sembulungan, bukit batugamping terisolir di kawasan
Taman Nasional Alas Purwo bagian paling utara. .................................. 21
Gambar IV.5 Hutan bakau di utara Pantai Muncar. .............................................. 22
Gambar IV.6 Aneka jenis mineral yang menyusun batuan, beberapa di
antaranya dapat berupa mineral oksida logam seperti pirit. ................... 29
Gambar IV.7 Batuan beumur Kuarter di daerah Banyuwangi yang berupa
batupasir gampingan tufan. ..................................................................... 30
Gambar IV.8 Aneka jenis fosil yang terkandung pada batugamping, khususnya
dari jenis foraminifera dan moluska. ...................................................... 32
Gambar IV.9 Batuan Formasi Sukamade yang tersesarkan sehingga kedudukan
perlapisannya menjadi kacau. ................................................................. 33
Gambar IV.10 Morfologi kerucut gunungapi yang menguasai bentangalam di
daerah utara dari Banyuwangi. ............................................................... 34
Gambar IV.11 Perahu tradisional yang bersandar di Tanjung Sembulungan
yang tersusun oleh batugamping, Taman Nasional Alas Purwo
merupakan salah satu kaithubung geologi dan budaya yang dapat
menjadi keunikan di Kawasan Geopark Ijen. ......................................... 38
Gambar IV.12 Hasil pengolahan kelimpahan fitur geologi di seluruh situs. ........ 40
xii
Gambar IV.13 Diagram yang menggambarkan perbandingan periode geologi di
seluruh situs dan tatanan geologi yang bekerja. ..................................... 41
Gambar IV.14 Hubungan konektivitas situs terhadap Kawah Ijen. ...................... 41
Gambar IV.15 Peta dan penampang geotrail jalur 1 mengenai jejak gunungapi
purba selatan Banyuwangi. ..................................................................... 42
Gambar IV.16 Peta dan penampang geotrail jalur 1 mengenai eksotisme danau
kawah asam Ijen...................................................................................... 43
Gambar IV.17 Peta dan penampang geotrail jalur 3 mengenai ekspedisi
bentangalam karst. .................................................................................. 44
Gambar IV.18 Peta dan penampang geotrail jalur 4 mengenai jelajah dinding
kaldera Ijen dan letusan dahsyatnya yang membentuk salahsatu
bentangalam kaldera terbesar di Jawa. ................................................... 45
Gambar IV.19 Peta dan penampang geotrail jalur 5 mengenai jelajah dataran
tinggi kaldera Ijen dan letusan dahsyatnya yang membentuk
bentangalam pasca letusan besar yang cukup indah. .............................. 46
Gambar IV.20 Peta geotrail kawasan Geopark Ijen yang mencakup lima jalur
yang telah disusun dan direkomendasikan.............................................. 47
Gambar V.1 Diagram posisi strategis pengembangan geotrail. ........................... 55
Gambar V.2 Peta jalur transportasi di Kawasan Geopark Ijen……………………55
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel III. 1 Matriks SWOT IFAS/EFAS (Rangkuti, 2015) .................................. 16
Tabel V.1 Hasil tabulasi data geologi……………………………………………40
Tabel V.2 Matriks faktor-faktor strategis internal pengembangan geotrail
UNESCO Global Geopark Ijen (Lampiran)……………………….. 50
Tabel V.3 Matriks faktor-faktor ftrategis internal pengembangan geotrail
UNESCO Global Geopark Ijen ......................................................... 51
Tabel V.4 Tabel IFAS dan EFAS terkait SWOT geotrail (Lampiran). ................ 53
xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
SINGKATAN
ESDM
IG
HAM
HaKI
KNGI
mdpl
PTPN
SWOT
TN
UNESCO
UGG
Nama
Pemakaian
pertama kali
pada halaman
Energi dan Sumber Daya Mineral
Indikasi Geografis
Hak Asasi Manusia
Hak akan Kekayaan Intelektual
Komite Nasional Geopark Indonesia
meter di atas permukaan laut
Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara
Strength, Weakness, Opportunity, Threat
Taman Nasional
United Nations Educational Scientific And
Cultural Organization
UNESCO Global Geopark
15
10
10
iv
1
7
10
46
42
Judul
xv
23
BAB I Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Geopark Ijen atau Taman Bumi merupakan salah satu prioritas pembangunan
Pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2019
berupa sebuah wilayah geografi tunggal atau gabungan, yang memiliki situs
warisan geologi (geosite) dan bentang alam yang bernilai, terkait aspek warisan
geologi (geoheritage), keragaman geologi (geodiversity), keanekaragaman hayati
(biodiversity), dan keragaman budaya (cultural diversity), serta dikelola untuk
keperluan konservasi, edukasi, dan pembangunan perekonomian masyarakat secara
berkelanjutan dengan keterlibatan aktif dari masyarakat dan pemerintah daerah,
sehingga menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap bumi dan lingkungan
sekitarnya (Gray, 2004; Komoo dan Othman, 2002; Samodra, 2016). Kawasan
Geopark Ijen di Indonesia memiliki keragaman geologi dan warisan geologi yang
unik, salah satunya adalah Geopark Ijen di Provinsi Jawa Timur. Geopark Ijen
adalah kawasan taman bumi yang berada pada wilayah kabupaten Banyuwangi dan
Bondowoso yang di dalamnya ada 21 situs geologi, 6 situs budaya, dan 10 situs
biologi (Gambar I.1). Geopark Ijen memiliki kompleks gunungapi kaldera yang
tersusun oleh kurang lebih sebanyak 22 kerucut gunungapi, bentangalam karst, dan
sisa gunungapi tua yang banyak mengandung mineralisasi. Berdasarkan potensi
geologinya yang sangat luar biasa, Geopark Ijen telah diusulkan oleh Komite
Nasional Geopark Ijen Indonesia (KNGI) untuk menjadi Aspiring UNESCO Global
Geopark Ijen sejak tahun 2020 dan akan disahkan menjadi UNESCO Global
Geopark Ijen pada April 2023. Keberhasilan Geopark Ijen menjadi bagian dari
UNESCO Global Geopark Ijen membuat daya tarik wisata semakin meningkat.
Lebih dari satu juta masyarakat lokal ditambah ribuan wisatawan setiap hari tinggal
dan beraktivitas di Kawasan Geopark Ijen. Selain kegiatan pariwisata, aktivitas lain
seperti edukasi, konservasi, dan mitigasi bencana juga secara rutin dilakukan di
dalam Kawasan Geopark Ijen dalam kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.
1
Gambar I.1 Peta lokasi dan Kawasan UNESCO Global Geopark Ijen.
Situs warisan geologi (geosite) adalah objek warisan geologi (geoheritage) dengan
ciri khas tertentu baik individual maupun multiobjek yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari sebuah cerita evolusi pembentukan suatu daerah (Alberico dkk.,
2023; Armiero dkk., 2011; Baláž dkk., 2014; Beardmore, 2021; Becerra-Ramírez
dkk., 2020; Bitschene, 2015; Bordy dan Sztanó, 2021; Brustur dkk., 2015; Mayoral
dkk., 2021; Megerle, 2020; Migoń dan Pijet-Migoń, 2020). Geotrail adalah jalur
geowisata yang menghubungkan satu titik ke titik lainnya yang memiliki kait
hubung dan berkaitan dengan infrastruktur penunjang. Situs warisan geologi
(geosite) adalah objek Warisan geologi (geoheritage) dengan ciri khas tertentu
(Németh dan Moufti, 2023) baik individual maupun multi objek yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari sebuah cerita evolusi pembentukan suatu daerah
(Oukassou dkk., 2019; Palacio Prieto dkk., 2019; Panizza dan Piacente, 2017;
Parkes dkk., 2021; Pásková dkk., 2021; Pe-Piper dkk., 2019). Namun,
meningkatnya antusiasme kunjungan wisatawan ke Geopark Ijen harus diimbangi
dengan kapasitas pengetahuan geologi yang dimiliki oleh masyarakat lokal
terutama pelaku wisata agar mereka mampu memberikan penjelasan yang benar
secara ilmiah. Masalah yang muncul adalah belum adanya geotrail yang sistematis
di dalam kawasan Geopark Ijen. Pendekatan yang dilakukan dalam kegiatan ini
adalah dengan bersinergi dengan berbagai pihak, pengelola wisata, dan pemerintah
2
setempat yang dalam kasus penelitian kali ini sebagai salah satu pemangku
kebijakan (Migoń dan Pijet-Migoń, 2020; Moradi dkk., 2021; Moufti, Németh,
Murcia, dkk., 2013; Moufti dan Németh, 2013; Németh dan Moufti, 2017). Maka
dari itu, penyusunan geotrail sangat diperlukan sebagai dasar penentuan peta
pengelolaan kawasan Geopark Ijen dan pengembangan komunitas di dalamnya
(Lima dan Meneses, 2023; Mayoral dkk., 2021; Migoń dkk., 2018). Hasil dari
penelitian ini nantinya diharapkan akan menjadi model bagi pengembangan
geotrail untuk kasus kawasan Geopark Ijen lainnya, khususnya Geopark Ijen yang
memiliki tema mengenai gunungapi (Migoń dan Pijet-Migoń, 2022; Németh dan
Moufti, 2023).
I.2 Masalah Penelitian
Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso memiliki Geopark Ijen dan di dalamnya
terdapat geosite (situs geologi). Semua geosite itu terpisah-pisah hanya berupa titik
sendiri-sendiri, padahal suatu kawasan geologi itu memiliki cerita bumi yang utuh.
Maka dari itu, harusnya objek-objek Geopark Ijen atau geowisata (geosite dan non
geosite) itu bisa dihubungkan dalam suatu geotrail jalur geowisata. Parameter atau
faktor utama yang bisa dijadikan dasar untuk menghubungkannya masih belum
diketahui, terutama faktor geologinya.
I.3 Batasan Masalah
1. Riset ini hanya dilakukan berdasarkan fenomena geologi yang ada di
Geopark Ijen.
2. Berdasarkan geosite dan objek geologi lain yang berkaitan.
I.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengkarakterisasi fitur geologi objek-objek di
Geopark Ijen (geosite maupun non geosite) dari sudut pandang aspek geologi yang
cukup dominan (geomorfologi/petrologi/mineral/fosil), mengevaluasi geotrail
berdasarkan sejarah bumi atau sejarah geologi di Geopark Ijen, dan merancang peta
geotrail Geopark Ijen berdasarkan sejarah bumi. Penelitian diharapkan mampu
3
menghasilkan model atau peta geotrail yang penting untuk konektivitas antar situs
yang ada di Kawasan Geopark Ijen.
I.5 Asumsi
Beberapa asumsi yang dipakai di dalam penelitian ini adalah:
1. Peristiwa geologi di Geopark Ijen terjadi secara terus menerus dan terekam
dalam objek-objek geologinya.
2. Peristiwa geologi menghasilkan objek-objek geologi yang bisa diamati
hingga saat ini.
3. Objek-objek geologi dibentuk melalui proses geologi yang runut di
Kawasan Geopark Ijen.
I.6 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Objek-objek dari Geopark Ijen tersebut, mungkin dapat disatukan dengan
kontrol utama fase atau periode geologi dalam suatu sejarah geologi yang
utuh dari Geopark Ijen.
2. Konektivitas antar geotrail dikontrol oleh kesinambungan cerita geologi.
I.7 Kebaruan
Melalui penelitian ini, diharapkan akan muncul kebaruan dalam bentuk model
geotrail yang terintegrasi secara geologi di dalam Kawasan Geopark Ijen. Geotrail
ini diharapkan akan memberikan sudut pandang baru dalam pengelolaan Geopark
Ijen. Kemudian, hasil dari penyusunan geotrail ini akan dapat diterapkan untuk
kasus Geopark Ijen lain yang memiliki tema gunungapi.
4
BAB II Tinjauan Pustaka
II.1 Studi Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai geotrail belum terlalu banyak dilakukan. Studi literatur ini
menggunakan analisis bibliometrik dan pembuatan matriks kategorial. Berdasarkan
analisis bibliometrik dalam Scopus didapatkan 31 artikel yang mengandung judul,
abstrak, atau kata kunci geotrail. Kemudian dengan aplikasi VosViewer dilakukan
pemetaan kata kunci dan topik penelitian (Gambar II.1) yang digunakan dalam
seluruh artikel tersebut dan didapatkan bahwa studi mengenai geotrail di kawasan
Geopark Ijen dengan tema gunungapi merupakan studi yang baru-baru saja banyak
dilakukan dan jumlahnya masih cukup jarang. Hubungannya dengan geowisata dan
objek geologi juga belum banyak yang meneliti. Maka dari itu penelitian ini akan
berfokus pada karakterisasi geotrail dan pengembangan geowisata di Geopark Ijen.
Gambar II.1 Peta distribusi dan keterkaitan kata kunci yang berasal dari 31
penelitian yang membahas mengenai geotrail menggunakan aplikasi
VosViewer. Studi mengenai geotrail kaitannya dengan objek geologi
termasuk studi baru banyak dilakukan.
5
II.1 Geologi Regional
Kisah awal terbentuknya Taman Bumi (Gambar II.1) dimulai dari Pantai Selatan,
bukan dari posisinya saat ini. 28-33 juta tahun yang lalu, Lempeng Indo-Australia
mulai menunjam ke bawah Lempeng Eurasia, menyebabkan magma naik ke
permukaan, dan menghasilkan busur gunungapi tua yang kemudian menjadi
daratan pertama di Taman Bumi (Sauqi, 2018; Sidarto dkk., 1993; H. Smyth, 2018;
H. R. Smyth dkk., 2007; Troll dkk., 2013). Aktivitas gunungapi purba yang berjajar
dari barat ke timur ini menghasilkan batuan seperti lava, piroklastik, lahar, dan
intrusi magma. Aktivitas vulkanik yang cukup dahsyat di selatan berlangsung
cukup lama, hingga pada 23-16 juta tahun yang lalu, terjadi pelandaian sudut
penunjaman lempeng dan menggeser posisi naiknya magma 50 km ke utara atau
posisi Kaldera Ijen saat ini. Pergeseran posisi ini menghasilkan dua konsekuensi
alam, yaitu matinya gunungapi di selatan dan munculnya gunungapi baru di utara.
Gambar II.2 Model geologi Geopark Ijen (Dossier Ijen Geopark Ijen, 2020).
Pergeseran jalur magma ke utara membuat tidak ada lagi aktivitas gunungapi di
selatan, yang membuat lautan menjadi bersih dan menjadi tempat yang sangat ideal
bagi pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang. Maka dari itu, pada 16-11
juta tahun yang lalu, Taman Bumi terdiri dari hamparan terumbu karang yang cukup
luas dari selatan hingga ke utara. Terumbu karang ini kemudian akan menjadi cikal
6
bakal terbentuknya batu gamping. Pada 1,8 juta tahun yang lalu terjadi pergerakan
patahan di timur Taman Bumi yang membentuk Teluk Pangpang dan Semenanjung
Sembulungan serta mengangkat batu gamping di Kawasan Taman Nasional Alas
Purwo dan Situs Watudodol menjadi lebih tinggi dari permukaan air laut, sehingga
proses karsifikasi bisa berlangsung hingga saat ini. Konsekuensi kedua, pada saat
yang hampir bersamaan, aktivitas vulkanik di utara sudah mulai tumbuh di atas
sebaran batu gamping dan membentuk Gunung Ijen Purba. Akibat gunungapi ini
menumpang di atas batu gamping, maka terjadi interaksi antara magma panas
dengan batu gamping, yang menghasilkan reaksi kimia dan proses pelepasan gas
yang jauh lebih banyak dari biasanya, maka dari itu aktivitas vulkaniknya menjadi
sangat luar biasa. Aktivitasnya yang intensif mampu menghasilkan gunungapi
setinggi 3500 mdpl, menghasilkan produk gunungapi yang sangat melimpah,
hingga menutup hampir seluruh Taman Bumi menjadi dataran vulkanis.
Aktivitasnya terus meningkat dari waktu ke waktu, hingga pada 100.000 tahun yang
lalu, terjadi erupsi super-eksplosif, yang menghancurkan hampir setengah dari
tubuh Gunung Ijen Purba, dan melontarkan sekitar 466 km3 material vulkanik, yang
dominan ke arah lereng utara. Erupsi super-eksplosif ini kemudian membuat dapur
magma menjadi kosong, dan mengakibatkan terjadinya amblasan sehingga
terbentuk depresi kaldera dengan diameter mencapai 20 km. Kaldera Ijen kemudian
terisi oleh air hujan, dan menjadi danau pada 60.000-50.000 tahun yang lalu, serta
mengendapkan hasil erosi material vulkanik. Aktivitas tektonik membuat patahan
berarah timur laut-barat daya dan utara selatan di daerah Blawan menjadi aktif, dan
mengakibatkan rekahan pada dinding kaldera bagian utara. Rekahan ini kemudian
tererosi, membobol dinding kaldera, dan menjadi jalur dari air terjun blawan dan
sungai banyupahit, sekaligus membuat danau purba di Kaldera Ijen mengering.
Setelah proses destruktif pembentukan kaldera, bukan berarti aktivitas vulkanik di
Taman Bumi berhenti, cerita masih terus berjalan dengan hadirnya lembaran baru,
yaitu vulkanisme pasca-kaldera atau anak-anak dari Ijen Purba. Aktivitas
vulkanisme pasca-kaldera terbagi menjadi dua yaitu vulkanisme intra-kaldera dan
vulkanisme cincin kaldera. Aktivitas vulkanisme intra-kaldera didominasi oleh
kerucut sinder dan aliran lava. Sedangkan vulkanisme cincin-kaldera terdiri dari
gunungapi strato besar yang tumbuh berjajar mengikuti lengkungan kaldera bagian
7
selatan. Produk vulkaniknya cukup melimpah yang terdiri dari lava, piroklastik, dan
lahar. Kelompok gunung api cincin-kaldera yaitu Gunung Suket, Gunung Jampit,
Gunung Rante, Gunung Merapi, Gunung Kukusan, dan tentunya yang paling
terkenal dan menjadi ikon utama, yaitu Gunung Kawah Ijen. Fenomena geologi
spektakuler kemudian lahir dan dijumpai di Kawah Ijen, yang merupakan salah satu
gunung api paling muda dan aktif di komplek ini. Kawah Ijen memiliki danau
vulkanik paling asam di dunia dan api biru yang muncul di kawasan solfatara.
Sedangkan Gunung Raung merupakan gunungapi aktif yang berada di luar kaldera
Ijen Purba. Berdasarkan Peta Geologi Regional (Agustiyanto dan Santosa, 1993;
Sapei dkk., 1992; Sidarto dkk., 1993) setempat Endapan batuan volkanik dari erupsi
Gunung raung menutupi area sampai radius 30 km di bagian barat - barat laut dan
18 km di bagian selatan - tenggara. Di sisi ujung barat laut area UGG Ijen Geopark
Ijen secara setting geologi merupakan busur belakang Tektonik Pulau Jawa Bagian
Timur. Stratigrafi Tersier dibangun oleh serangkaian fasies volkanoklastik karbonat
turbidit Formasi Menuran dengan Anggota Batugamping Pacalan, dan Formasi
Leprak. Formasi ini membentuk antiklinorium yang melingkar berarah barat-timur.
Formasi Tersier ini ditutupi oleh batuan gunung berapi klastik Kuarter dari Formasi
Ringgit dan produk vulkanik Bagor yang lebih muda berikutnya. Unit batuan
Tersier tertua adalah Formasi Menuran yang berumur Mio-Pliosen Akhir dengan
Formasi Batugamping Pacalan. Sedimentasi dari formasi ini ditafsirkan sebagai
pencampuran dari sistem turbidit proksimal ke distal yang melibatkan sumbersumber volkaniklastik dan karbonat pada zona bathyal lingkungan laut terbuka.
Formasi Leprak yang berumur Pliosen Awal menumpang selaras diatas Formasi
Menuran. Formasi ini terdiri dari batupasir berkapur dengan perselingan batupasir
tufaan yang diendapkan pada zona batial di lingkungan laut terbuka dengan
mekanisme turbidit proksimal yang menunjukkan deposenter cekungan terletak di
timur. Pada Pliosen Akhir, wilayah ini didominasi oleh perkembangan sedimentasi
proksimal turbidit volkanoklastik Formasi Leprak, bersamaan dengan aktivitas
vulkanik di selatan. Deformasi Plio-Pleistosen di Pulau Jawa umumnya diyakini
sebagai periode tektonik besar terakhir, yang membentuk struktur berarah barattimur. Struktur perlipatan ini melibatkan batuan Neogen Formasi Menuran,
Anggota Pacalan dan Formasi Leprak. Aktivitas vulkanik berlanjut, dan meningkat,
8
dengan aktivitas gunung berapi Ringgit-Beser di pada umur Pleistosen
(Harsolumakso, dkk, 2019). Air Kawah Ijen sangat asam karena interaksi air
dengan batuan panas hasil pembekuan magma serta uap-uap magma dalam suhu
tinggi terjadi dan menyebabkan tingkat keasaman tinggi. Air danau mengandung
larutan kimia yang dihasilkan oleh volatil magmatik, interaksi batuan dan cairan,
penguapan air danau, pengenceran oleh air meteorik dan daur ulang air danau
melalui rembesan ke dalam sistem hidrotermal bawah permukaan. Danau ini
bertindak sebagai kimia kondensor untuk air yang mudah menguap dari sumber
panas magmatik dangkal. Volatil magmatik dapat disuplai oleh sistem danau kawah
dengan injeksi langsung berupa semburan uap magmatik (SO2, H2S, HCl dan HF)
melalui rekahan-rekahan yang berhubung dengan dasar solfatara atau melalui
bagian dasar danau. Oleh karena itu, interaksi air hujan, kimiawi batuan, dan injeksi
uap magma bercampur-baur yang kemudian dipanaskan menghasilkan air danau
kawah aktif paling asam di dunia. Fenomena lain yang teramati di Kawah Ijen
adalah api biru yang terbentuk akibat reaksi sulfur dengan udara. Umumnya
gunung api di dunia, reaksi semacam ini akan menyebabkan api yang berwarna
merah atau jingga, namun di Ijen reaksi terjadi pada konsentrasi sulfur yang sangat
besar dan pada temperatur lebih dari 360 0C. Api biru hanya dapat diamati pada
malam hari karena apabila ada sinar matahari maka intensitas sinar tersebut akan
mengakibatkan warna biru dari api tidak nampak dengan jelas terlihat (Sauqi,
2020). Kemunculan api biru dan stabilitas air danau kawah sangat dipengaruhi oleh
dinamika magmatisme yang ada di Kawah Ijen, yang prosesnya telah dimulai jutaan
tahun silam, dengan cerita yang saling utuh, terkait, dan memesona. Dari runtutan
kejadian ini didapatkan list dari beberapa geosite dan juga terkait nilai dan
kegunaan.
II.2 Keadaan Geografis
Secara administratif wilayah dari Geopark Ijen meliputi dua kabupaten yaitu,
Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso dengan luas wilayah 4.723
km2, letaknya berada di ujung timur Pulau Jawa, sebelah utara berbatasan dengan
kabupaten Situbondo, sebelah timur dengan Pulau Bali, sebelah selatan dengan
Samudera Hindia, dan sebelah barat dengan Kabupaten Jember. Sebagai kawasan
9
yang berbatas laut dan selat, ujung Timur Jawa (Gambar II.2) merupakan wilayah
perlintasan manusia serta persimpangan niaga sehingga menjadikannya tempat
pelbagai persilangan budaya dan beridentitas multikultural yang terepresentasi
dalam ragam budaya, seni dan tradisinya (Indiarti, 2016). Menurut data
Kependudukan tahun 2019 semester I jumlah penduduk yang ada dalam kawasan
ini adalah 1.842.363 jiwa dengan komposisi kelompok etnis Using, Jawa, Madura,
Bali, Arab, Cina, dan Bugis. Sedangkan untuk bagian deliniasi barat laut,
merupakan wilayah Bondowoso, jumlah penduduk yang tinggal menjangkau
hingga 509.479 jiwa (Bondowoso dalam Angka, 2020), Penduduk Bondowoso
sebagaian besar orang Madura dan Jawa sehingga kebudayaan di Kabupaten
Bondowoso merupakan budaya baru hasil akulturasi dari animisme-dinamisme
nenek moyang, Hindhu-Budha dan Islam. Adanya perkebunan-perkebunan yang
ada di daerah Bondowoso yang didirikan oleh Belanda pada pertengahan abad ke
18 sampai ke abad 20 turut memberikan pengaruh pada budaya setempat. Bahasa
komunikasi sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Madura, Jawa dan Indonesia.
Mata pencaharian masyarakat di Geopark Ijen beragam, mulai dari petani,
peternak, pegawai perkebunan, pedagang, guru/ustadz, dan pegawai pemerintah.
Pendapatan utama berasal dari pertanian, perkebunan, peternakan, dan
perdagangan. Sedangkan dari segi pariwisata masih terbatas di obyek wisata
kawasan Geopark Ijen. Potensi lain dari kawasan Geopark Ijen ini adalah hasil
bumi berupa kopi. Hal yang membedakan Kopi Banyuwangi dengan jenis lainnya
di Nusantara terletak pada kekuatan alam. Kabupaten Banyuwangi dekat dengan
Gunung Ijen yang kerap mengirimkan belerang ke tanaman kopi dataran tinggi. Di
sisi timurnya, kota ini berada di pesisir yang membawa angin laut. Semua kebun
kopi di Banyuwangi menghadap ke timur. Kopi yang diproduksi di sini merupakan
kopi jenis Arabika (Java Coffee). Kopi Arabika (Java Coffee) dari perkebunan
PTPN XII dan perkebunan rakyat yang terletak di daerah pegunungan Ijen-Raung.
Kopi Arabika yang satu ini merupakan satu-satunya produk Kopi Spesialti (Kopi
Blue Mountain), yang mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis (IG) dari
Kementerian Hukum dan HAM.
10
Gambar II.3 Kondisi geografis, sosial, budaya, dan masyarakat di Kawasan
Geopark Ijen(Dossier Geopark Ijen, 2020).
II.3 Fisiografi dan Geomorfologi
Secara fisiografi, daerah Geopark Ijen termasuk dalam Jalur Pegunungan Selatan
Jawa. Berbicara mengenai bentang alam Ijen, tak hanya disuguhkan bentang alam
yang hijau dan menakjubkan, tapi juga suguhan kultur kehidupan masyarakat
pegunungan. Kegiatan geowisata dapat menyusuri jalur yang melalui cukup
menantang, mulai dari tanjakan, turunan yang curam, sampai menyeberangi sungai.
Hutan perkebunan karet dan kopi serta hutan pinus menjadi daya tarik tersendiri.
Suasana bentangalam semakin eksotis lantaran perkebunan kopi sedang berbunga,
sehingga menyebarkan aroma khas kopi arabika yang harum. Wilayah selatan dari
kawasan ini berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, membentuk pantai
sepanjang lebih dari 100 km. Jalur fisiografi ini ditempati oleh batuan Neogen Awal
yang dikuasai oleh klastika gunungapi, batuan gunungapi, batugamping, dan
setempat batuan terobosan. Morfologi di sepanjang jalur bagian selatan berupa
pantai, teluk, dan semenanjung yang dimulai dari kawasan Sukamade dan Teluk
Rajegwesi di barat hingga Semenanjung Blambangan dan Sembulungan di sebelah
timur. Pantai landai dan menipis ke lautan yang ditutupi oleh lapisan pasir berwarna
hitam dan putih, serta pantai curam yang dibatasi oleh gawir setinggi belasan hingga
beberapa puluh meter mewarnai morfologi di bagian paling selatan daerah
Banyuwangi (Gambar II.3).
11
Gambar II.4 Bentangalam kompleks gunungapi Ijen dilihat dari Kawah Asam Ijen.
Terlihat jajaran gunungapi lingkar kaldera selatan dan gunungapi
intrakaldera serta dinding kaldera Ijen yang ada di bagian utara.
Lanskap ini telah lama dikenal sebagai pusat daya tarik wisata
gunungapi di Jawa Timur.
II.4 Litologi dan Stratigrafi
Secara stratigrafi, daerah Banyuwangi dan sekitarnya disusun oleh beragam jenis
batuan yang berumur Oligosen Akhir- Miosen Awal, batuan Miosen Tengah, dan
batuan Kuarter. Batuan Oligo-Miosen yang jenisnya dikuasai oleh batuan
gunungapi dan lava merupakan batuan tertua yang tersingkap. Setempat terbentuk
batuan sedimen laut dangkal dan klastika gunungapi. Juga termasuk dalam satuan
ini adalah batuan terobosan (granodiorit, andesit porfiri). Batuan Miosen Tengah
dikuasai oleh batugamping berfasies klastik dan terumbu. Batuan ini menampakkan
gejala karsifikasi yang disebabkan oleh pelarutan oleh air (hujan). Batuan Kuarter
umumnya berupa batuan gunungapi yang pembentukannya dimulai sejak Plistosen.
Setempat berkembang batuan sedimen klastik asal-gunungapi yang berumur
permulaan Kuarter. Kegunungapian yang masih aktif hingga sekarang, seperti
Gunung Ijen dan Gunung Raung juga menghasilkan batuan gunungapi. Satuan
termuda adalah aluvium, yang merupakan endapan sungai dan pantai. Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, geologi daerah Banyuwangi dan sekitarnya telah dipetakan
secara sistematis oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (sekarang Pusat
Survei Geologi) pada 1990-1993. Daerah Banyuwangi dicakup oleh peta-peta
geologi yang terbit dalam skala 1:100.000 seperti Lembar Jember (Sapei dkk.,
1992), Lembar Blambangan (Achdan & Bachri, 1993), Lembar Banyuwangi
12
(Sidarto dkk., 1993), dan Lembar Situbondo (Agustyanto & Santoso, 1993)
(Gambar II.4).
Peta Geologi Geopark Ijen
Gambar II.5 Peta geologi Kawasan Geopark Ijen yang mencakup gabungan dari
beberapa lembar peta geologi regional antara lain Peta Geologi
Lembar Jember, Situbondo, Besuki, Banyuwangi, dan Blambangan.
Peta Geologi gabungan ini menggambarkan sebaran batuan dari
selatan yang berumur paling tua hingga ke utara yang berumur paling
muda. Batuan vulkanik kuarter menutupi sebagian besar kawasan
tengah hingga utara Geopark Ijen, sementara terdapat batuan karbonat
yang berada di ujung tenggara di Alas Purwo dan pesisir Selat Bali di
Pantai Watudodol. Keragaman litologi dan umur batuan menjadi
keunikan tersendiri dari Geopark Ijen.
13
Bab III Metodologi Penelitian
III.1 Diagram Alir
Penelitian ini akan dilakukan dalam acuan diagram alir penelitian yang telah
disusun secara sistematis. Nantinya segala proses dan hasil yang didapatkan dari
penelitian akan diolah mengkuti diagram alir berikut (Gambar III.1).
Gambar III.1 Diagram alir penelitian.
14
III.2 Metode Analisis
III.2.1 Studi Literatur
Literatur yang dijadikan acuan utama dalam studi pendahuluan adalah dokumendokumen resmi yang terkait dengan tatacara penyusunan warisan geologi suatu
daerah yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM. Adapun kajian literatur akan
mencakup beberapa hal seperti berikut.
1. Fitur geologi (geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, petrologi,
mineralogi, fosil).
2. Hubungkait geologi (umur, lingkungan pengendapan, paleogeografi).
III.2.2 Observasi Lapangan
Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah observasi geologi dengan tujuan
untuk memperoleh data lapangan dan mengidentifikasi persebaran batuan yang
kemudian akan dianalisis dan diolah pada tahapan berikutnya. Detail kegiatan pada
tahapan ini mencakup beberapa hal yang diantaranya adalah observasi
geomorfologi berupa kegiatan pengamatan geomorfologi dan bentang alam,
observasi singkapan dan pengambilan sampel batuan meliputi observasi lokasi dan
medan, deskripsi singkapan, litologi, dokumentasi dilakukan dengan pengambilan
gambar atau foto di lapangan. hasil dari dokumentasi akan digunakan untuk
membantu penjelasan pada penyajian laporan dengan foto bentang alam,
singkapan, dan sampel.
III.2.3 Analisis Geospasial
Analisis ini dilakukan dengan pengamatan spasial menggunakan data peta
topografi, citra, peta rupa bumi, dan lain sebagainya. Pembuatan geotrail akan
mengikuti kondisi spasial di Kawasan Geopark Ijen.
III.2.4 Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis sehingga
merumuskan suatu strategi. Rangkuti (2015), menyebutkan bahwa analisis SWOT
adalah analisis logika faktor-faktor strategis berupa kekuatan, kelemahan, peluang
dan ancaman pada kondisi aktual.
15
Analisis SWOT dilakukan untuk mengenali kekuatan (Strenght), kelemahan
(Weakness), peluang (Opportunity), dan ancaman (Threat) yang menentukan
kinerja sutu lembaga atau organisasi. Model analisis SWOT yaitu membandingkan
antara peluang dan ancaman sebagai faktor eksternal dengan kekuatan dan
kelemahan sebagai faktor internal dalam penelitian. Faktor internal dianalisis pada
matriks IFAS (Internal Strategic Factor Analysis Summary) dan faktor eksternal
dianalisis pada matriks EFAS (External Strategic Factor Analysis Summary).
Sehingga menurut Rangkuti (2015), hasil dari analisis ini akan menghasilkan
alternatif strategi sebagai berikut:
1) Strategi S-O (Strengths-Opportunities), adalah strategi yang memaksimalkan
kekuatan untuk mengambil peluang yang ada
2) Strategi S-T (Strengths-Threats), adalah strategi yang memaksimalkan kekuatan
untuk mengatasi ancaman yang diperkirakan akan dihadapi
3) Strategi
W-O
(Weaknesses-Opportunities),
adalah
strategi
dengan
memanfaatkan peluang untuk meminimalisir kelemahan yang dimiliki
4) Strategi W-T (Weaknesses-Threats), adalah strategi untuk mengatasi ancaman
dan meminimalisisasi kelemahan.
Tabel III. 1 Matriks SWOT IFAS/EFAS (Rangkuti, 2015)
IFAS
EFAS
Opportunities (O)
Strength (S)
Weakness (W)
Strategi S-O
Strategi W-O
Perumusan strategi yang
Perumusan strategi yang
menggunakan kekuatan
mengurangi kelemahan dan
untuk memanfaatkan
memanfaatkan peluang
peluang
Threats (T)
Strategi S-T
Strategi W-T
Perumusan strategi yang
Perumusan strategi yang
menggunakan kekuatan
meminimalkan kelemahan
untuk menghindari ancaman untuk menghindari ancaman
16
Metode analisis SWOT memiliki keunggulan yaitu dapat mengembangkan dan
mengadopsi strategi yang disesuaikan dengan kondisi aktual. Namun, metode
SWOT juga memiliki kelemahan karena penilaian dilakukan secara komprehensif
sehingga cenderung bersifat global dan ringkas, penilaian bersifat subjektif yang
bergantung terhadap kemampuan analisis dan partisipan yang terlibat dalam proses
tersebut (Rangkuti,2015).
III.2.5 Penyusunan Jalur Geowisata Berdasarkan Sejarah Geologi
Jalur geowisata disusun menggunakan pendekatan geospasial yang nantinya akan
coba diklasterkan menggunakan parameter-parameter geologi. Hasil dari elaborasi
tersebut kemudian akan menghasilkan jalur ataupun rute geowisata yang nantinya
dapat digunakan sebagai acuan penyusunan geotrail.
17
Bab IV Data dan Hasil Penelitian
IV.1 Kebutuhan Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa jenis yaitu data
primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan dari lapangan,
sedangkan data sekunder didapatkan dari dokumen Geopark Ijen dan sumber
lainnya. Data ini kemudian diolah yang hasilnya dijadikan dasar sebagai penentuan
dan karakterisasi geotrail di daerah Geopark Ijen.
IV.2 Data Sekunder
Dokumen Geopark Ijen yang menjadi landasan pembentukan Geopark Ijen menjadi
acuan utama sebagai referensi untuk data sekunder seperti peta Geopark Ijen, peta
geosite, dan peta kebencanaan. Sedangkan data sekunder lain contohnya peta
kontur dan citra satelit juga digunakan.
IV.3 Data Geologi Lapangan
IV.3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian
Secara garis besar morfologi kawasan dibagi menjadi beberapa satuan, yang setiap
satuannya mempunyai ciri dan kenampakan yang khas, baik dari bentuk gunung,
perbukitan, kemiringan lereng maupun pola aliran sungai. perbedaan bentuk
bentang alam ini disebabkan oleh adanya perbedaan jenis dan macam batuan,
struktur geologi, ketahanan bebatuan terhadap proses-proses geodinamik dan
vegetasi penutupnya. Secara fisiografi termasuk dalam Jalur Pegunungan Selatan
Jawa (Gambar IV.1). Bagian selatan dari jalur ini berbatasan langsung dengan
Samudera Hindia, membentuk pantai sepanjang lebih dari 100 km. Jalur fisiografi
ini ditempati oleh batuan Neogen Awal yang dikuasai oleh klastika gunungapi,
batuan gunungapi, batugamping, dan setempat batuan terobosan. Morfologi di
bagian selatan berupa pantai yang dimulai dari Sukamade dan Teluk Rajegwesi di
barat hingga Semenanjung Blambangan di sebelah timur. Pantai landai yang
ditutupi oleh lapisan pasir berwarna hitam dan putih, serta pantai curam yang
dibatasi oleh gawir setinggi belasan hingga beberapa puluh meter mewarnai
morfologi di bagian paling selatan daerah Banyuwangi (Gambar IV.2).
18
Gambar IV.1 Pantai berbatu di selatan Banyuwangi.
Gambar IV.2 Pantai Landai Berpasir Putih di Daerah Selatan Banyuwangi.
19
Daerah pebukitan berlereng terjal dan pebukitan menggelombang menempati
bagian di sebelah utaranya. Puncak Gunung Lembu yang berketinggian 920 mdpl
menjadi puncak tertinggi di daerah pebukitan Tersier di Banyuwangi Selatan.
Daerah bertopografi tinggi ini merupakan kawasan hutan. Daerah pebukitan tinggi
di sekitar Sukamade termasuk dalam wilayah Taman Nasional Meru Betiri.
Di daerah Tumpangpitu, dengan puncak tertingginya yang berada sekitar 489 mdpl
(Gunung Tumpangpitu), terdapat beberapa tonjolan bukit yang disusun oleh batuan
terobosan jenis andesit. Pulau Merah di barat Gunung Tumpangpitu juga
merupakan terobosan batuan beku andesit. Batuan terobosan ini menyebabkan
terjadinya mineralisasi emas dan perak di daerah Tumpangpitu. Di sebelah barat, di
sekitar Teluk Rajegwesi, penerobosan magma yang seumur dengan daerah
Tumpangpitu menghasilkan granodiorit dan mineralisasi pirit. Perbukitan
menggelombang, yang di banyak tempat berbatasan dengan dataran, mempunyai
ketinggian rata-rata sekitar 100 mdpl. Daerah bertopografi bergelombang ini
dimanfaatkan untuk perkebunan (coklat, karet, cengkeh, kopi) yang dikelola oleh
pemerintah.
Semenanjung Blambangan di sebelah timur Segara Anakan yang disusun oleh
batugamping yang menampakkan morfologi kars. Aspek endokars (gejala
karsifikasi di bawah permukaan) teridentifikasi lebih signifikan dibanding aspek
eksokars (gejala karsifikasi di permukaan). Bentangalam kars yang disebabkan dan
dikendalikan oleh pelarutan ini lebih berupa pematang pebukitan berpuncak datar.
Bentukan mirip “kuesta” di Gunung Sembulungan yang berketinggian 204 mdpl
dijumpai di ujung utara semenanjung, di timur Teluk Pangpang. Di Semenanjung
Blambangan bagian selatan teramati adanya tiga hingga 4 deretan undak-pantai.
Undak-undak pantai itu memanjang dengan arah barat-timur, dengan panjang
sekitar 20 km (Gambar IV.3).
20
Gambar IV.3 Gunung Sembulungan, bukit batugamping terisolir di kawasan
Taman Nasional Alas Purwo bagian paling utara.
Gejala endokarst yang diwakili oleh sistem perguaan berjumlah sekitar 44 buah.
Gua-gua mendatar yang bersifat kering⎯sebagian mempunyai genangan air atau
sungai bawah tanah mempunyai ukuran yang beragam. Lorong-lorong gua atau
ruangan gua dihiasi oleh beragam jenis speleotem (hiasan gua) seperti stalaktit dan
stalakmit. Beberapa gua yang mempunyai pintu masuk dan lorong yang relatif
sempit mulajadinya dipengaruhi oleh struktur geologi (kekar, sesar). Sebagian gua
memiliki nilai spiritual tinggi, dan dimanfaatkan menjadi tempat untuk bertapa.
Seluruh kawasan kars di Semenanjung Blambangan termasuk dalam wilayah
Taman Nasional Alas Purwo yang menjadi habitat alami beragam jenis flora dan
fauna (banteng, burung merak, macan tutul, kera hitam).
Wilayah Banyuwangi bagian barat laut ditempati oleh kompleks gunungapi aktif
Ijen, dengan danau kawahnya yang berair sangat asam. Letusan besar Gunung Ijen
Purba di masa lalu menghasilkan kaldera yang cukup luas. Selanjutnya, di sekitar
pinggiran kaldera sebelah tenggara bermunculan kerucut-kerucut gunungapi seperti
Gunung Merapi (2.806 mdpl) dan Gunung Rante (2.644 mdpl), termasuk beberapa
kawah kecil di baratdaya Kawah Ijen.
21
Gunungapi Raung di baratdaya Gunung Ijen juga merupakan gunungapi aktif, di
mana lereng bagian tenggaranya yang mempunyai banyak air terjun termasuk
dalam wilayah Kabupaten Banyuwangi. Daerah dataran yang diisi oleh endapan
aluvium menghampar luas arah utara-selatan, yaitu mulai Banyuwangi hingga
Muncar di pantai timur yang berbatasan dengan Selat Bali. Dataran pantai lainnya
di barat Semenanjung Blambangan, yaitu Dataran Segara Anakan, ditumbuhi oleh
hutan bakau (Gambar IV.4).
Gambar IV.4 Hutan bakau di utara Pantai Muncar.
IV.3.2 Stratigrafi Daerah Penelitian
Himpunan satuan batuan yang tersingkap di daerah Banyuwangi dan sekitarnya,
berdasarkan umur relatif dan kumpulan litologinya, teringkas sebagai berikut. Data
dan informasinya dikumpulkan dari hasil pemetaan geologi tahun 1992-1993 yang
dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (sekarang Pusat Survei
Geologi).
1. Batuan Gunungapi dan Sedimen Klastik Oligo-Miosen
Sebagai batuan-dasar, dan merupakan batuan tertua yang tersingkap,
himpunannya dibentuk oleh batuan gunungapi dan batuan klastik asal22
gunungapi. Setempat, pada himpunan batuan paling atas dijumpai
batugamping. Batuan yang terbentuk pada Oligosen Akhir hingga akhir
Miosen Awal atau permulaan Miosen Tengah itu mencakup Formasi
Merubetiri, Formasi Batuampar, Formasi Sukamade, dan Anggota
Batugamping Formasi Merubetiri. Himpunan batuan fasies gunungapi
diwakili oleh Formasi Merubetiri, sedang Formasi Sukamade merupakan
fasies sedimen klastik. Formasi Batuampar bagian bawah lebih banyak
bersifat sebagai sedimen klastik, sementara bagian atasnya merupakan
runtunan batuan gunungapi. Satuan termuda pada himpunan batuan OligoMiosen adalah batugamping, yang berumur akhir Miosen Awal hingga
permulaan Miosen Tengah. Batuan Oligo-Miosen ini terbentuk di
lingkungan lereng laut dalam hingga daratan di pinggir pantai, atau
setidaknya laut dangkal yang terbuka di tepi daratan. Longsoran bawah laut
memicu terjadinya batuan sedimen berciri endapan turbidit. Lava yang
dilelerkan dari pusat letusannya dan masuk ke dalam lingkungan berair
(laut) menjadikan batuan itu berstruktur bantal. Pembekuan lava yang
terjadi sepusat-sepusat menghasilkan struktur kolom.
2. Batuan Terobosan Miosen Tengah
Kegiatan magmatisma di akhir jenjang kegunungapian Oligo-Miosen
menghasilkan batuan terobosan granodiorit, andesit porfir, dasit, dan diorit.
Penerobosan ini mempengaruhi batuan Formasi Merubetiri, Formasi
Batuampar, dan Formasi Sukamade, sehingga sebagian batuan mengalami
pengubahan (terkloritkan, terserisitkan). Fenomena ubahan pada Anggota
Batugamping Formasi Merubetiri yang belum pernah dilaporkan mendasari
pendugaan bahwa penerobosan terjadi sebelum batugamping itu
diendapkan, yaitu pada akhir Miosen Awal. Sapei dkk. (1992) menafsirkan
batuan terobosan berumur pertengahan Miosen Tengah.
3. Batugamping Miosen Tengah
Runtutan batugamping fasies terumbu dan fasies klastik bersisipan napal
dan batupasir tufan yang berumur Miosen Tengah dan terbentuk di
23
lingkungan laut dangkal terbuka yang berasosiasi dengan terumbu
tersingkap luas di Semenanjung Blambangan, di wilayah Banyuwangi
Selatan bagian timur. Batugamping yang mengalami pelarutan oleh air
(hujan) ini membentuk bentangalam kars. Fenomena kars bawah
permukaan, yang diwakili oleh sistem goa, lebih signifikan dibanding
fenomena yang terjadi di permukaan. Kawasan
selatan semenanjung
teramati ada seri atau deretan undak pantai yang menggambarkan terjadinya
proses pengangkatan pada Zaman Kuarter.
4. Batuan Gunungapi Ijen Tua (Plistosen)
Himpunan batuan gunungapi seperti breksi gunungapi, lava, dan tuf yang
berumur Plistosen ini dihasilkan oleh kegiatan kegunungapian Ijen Tua.
Peletusan besar yang pernah terjadi di permulaan Zaman Kuarter ini
menghasilkan kaldera yang cukup besar. Setempat, endapan lahar yang
dihasilkan oleh Ijen Tua dipetakan sebagai Formasi Kalibaru.
5. Batuan Gunungapi Muda (Holosen)
Himpunan batuan gunungapi berupa breksi gunungapi, tuf, dan lava ini
dihasilkan oleh peletusan Gunung Ijen Muda, Gunung Rante, Gunung
Merapi, Gunung Raung, Gunung Suket dan Gunung Pendil selama Holosen,
atau dimulai sejak 11.000 tahun lalu. Di daerah Watudodol, di pantai timur
Banyuwangi, batuan gunungapi (lava) yang dihasilkan oleh Gunung Merapi
di timur Kawah Ijen melampar ke timur membentuk singkapan lava
berstruktur bantal. Di lokasi itu batuan gunungapi ini menjemari dengan
batugamping.
6. Batugamping Terangkat (Holosen)
Bukit batugamping cukup tinggi yang tersingkap di daerah Watudodol,
yang bagian bawahnya mengandung lava, ditafsirkan oleh Sidarto dkk.
(1993) berumur Holosen. Fenomena batugamping yang tersingkap mulai
ketinggian 0 m hingga 544 m dml ini menunjukkan betapa besarnya
kecepatan pengangkatan yang terjadi sejak 11.000 tahun lalu.
24
7. Endapan aluvium
Endapan permukaan ini merupakan endapan sungai dan pantai. Endapan
pantai yang luas di daerah Segara Anakan, di barat Semenanjung
Blambangan, mengandung fosil Schlumbergerella florensis. Bentuknya
yang membulat dan ukurannya yang sebesar butiran merica mendasari
penamaannya sebagai “pasir merica.”
IV.3.3 Struktur Geologi
Secara struktural, jalur Pegunungan Selatan Jawa Timur oleh Nahrowi dkk. (1978)
dibagi menjadi daerah tinggian dan daerah rendahan . Masing-masing bagian
dibatasi oleh sesar-sesar regional berarah timurlaut-baratdaya dan baratlauttenggara. Sesar-sesar itu merupakan sesar kedalaman (deep-seated faults), yang
memotong lapisan kulitbumi hingga kedalaman puluhan km. Daerah tinggian
umumnya disusun oleh batuan gunungapi tua OligoMiosen, yang oleh Bemmelen
(1949) dinamakan Formasi Andesit Tua. Sedang daerah rendahan merupakan
tempat pengendapan yang diisi oleh batugamping Neogen.
Daerah Banyuwangi dan sekitarnya termasuk dalam Tinggian Sukamade (di
sebelah barat) dan Rendahan Banyuwangi (di sebelah timur). Batas antara Tinggian
Sukamade dan Rendahan Banyuwangi adalah sesar regional yang berarah baratlauttenggara. Tetapi keberadaan sesar tua ini di lapangan sulit diikuti, karena tertutup
oleh batuan gunungapi yang dihasilkan oleh peletusan kerucut-kerucut gunungapi
Kuarter.
Sesar-sesar baratlaut-tenggara justru berkembang baik di Daerah Tinggian
Sukamade, yang dengan Rendahan Lumajang di sebelah baratnya dibatasi oleh
sesar timurlaut-baratdaya. Daerah Pegunungan Merubetiri (termasuk puncakpuncaknya yang ditempati oleh Gunung Meru dan Gunung Betiri) di wilayah
Banyuwangi Selatan paling barat ini juga diwarnai oleh pelipatan. Struktur antiklin
dan sinklin di segmen daerah ini mempunyai sumbu berarah timurlaut-baratdaya,
yang umumnya teralihkan oleh sesar-sesar mendatar ke arah kanan. Perlipatan yang
25
ukurannya lebih kecil, dengan sumbunya yang berarah baratlaut-tenggara, dijumpai
di daerah pebukitan menggelombang di sebelah barat Segara Anakan. Sesar-sesar
yang arahnya sejajar dengan sumbu lipatan di daerah ini berjenis menurun. Di jalur
Pegunungan Selatan Jawa, himpunan batuan gunungapi dan batuan klastik asal
gunungapi Oligo-Miosen termasuk batugamping tua Miosen Awal, batuan
terobosan, serta Formasi Jaten dan Formasi Wuni yang bersifat setempat dipisahkan
dari satuan batugamping muda Neogen (Miosen Tengah) oleh sebuah
ketidakselarasan. Ketakselarasan ini dipengaruhi oleh orogenesa Miosen Tengah
(Intra-Miocene orogenesis) yang bersifat regional.
Orogenesa akibat pengangkatan itu terjadi antara akhir Miosen Awal, atau
permulaan Miosen Tengah (yaitu setelah pengendapan batugamping tua) dan
pertengahan Miosen Tengah (sebelum pengendapan batugamping muda).
Orogenesa Miosen Tengah juga memicu terjadinya penerobosan magma ke
permukaan, yang melibatkan sebagian batuan Oligo-Miosen yang berfasies
gunungapi, sedimen, dan batugamping. Di beberapa tempat, kegiatan postmagmatic
ini menyebabkan terjadinya mineralisasi bijih (emas, perak) serta propilitisasi,
kloritisasi, serisitasi, epidotisasi, dan ubahan pada batuan Oligo-Miosen yang
diterobos.
Orogenesa Plistosen sesudahnya menyebabkan terjadinya pengangkatan yang
membentuk Geantiklin Jawa. Peruntuhan sayap utara geantiklin pada Plistosen
Tengah menghasilkan gawir sesar turun yang membatasi bongkah Pegunungan
Selatan dengan daerah depresi tengah yang selanjutnya diisi oleh kerucut-kerucut
gunungapi Kuarter dan sebagian dari gunungapi itu masih aktif hingga sekarang.
IV.3.4 Aspek Magmatisme dan Kegunungapian
Magma adalah bebatuan cair yang terdapat di ruangan dapur magma yang terletak
di bawah permukaan Bumi. Magma yang terkumpul di dapur magma ini
mempunyai komposisi yang berbeda dengan aslinya ketika terbentuk. Istilah
magma berasal dari bahasa Yunani Kuno mágma. Sebagai larutan silika yang
sangat panas (bersuhu lebih dari 8000 0C), magma adalah asal dari semua jenis
26
batuan beku. Silikat yang meleleh tersebut terutama terdiri dari silikon, oksigen,
aluminium, besi, magnesium, kalsium, natrium, dan kalium. Perilaku fisik lelehan
tergantung pada struktur atomnya, selain suhu, tekanan, dan komposisinya.
Viskositas juga menjadi hal penting untuk memahami perilaku magma.
Magma yang terbentuk ke permukaan dari tempat asalnya di lapisan selubung bumi
bagian atas atau lapisan kerakbumi bagian bawah akan menghasilkan fenomena
kegunungapian dan penerobosan. Fenomena itu menjadi menarik manakala magma
yang mengandung unsur-unsur oksida silika (SiO2), oksida potasium (Na2O),
oksida kalsium (K2O), oksida magnesium (MgO), dan oksida besi (FeO, Fe2O3)
berfraksinasi, berasimilasi, dan bercampur dengan material batuan yang diterobos
itu mencapai permukaan atau berhenti karena membeku di bawah permukaan
Bumi.
Proses yang terjadi secara alami itu menghasilkan kelompok atau seri magma, yaitu
pengelompokkan yang mendasarkan pada komposisi yang menggambarkan evolusi
magma mafik menjadi magma felsik. Magma mafik ditunjukkan dengan kandungan
magnesium dan besi yang tinggi, yang menghasilkan basal atau gabro. Ketika
mengalami kristalisasi fraksional selama pendinginan ke permukaan magmapun
berubah menjadi felsik, dengan kandungan magnesium dan besinya relatif kecil,
sebelum akhirnya membeku menghasilkan riolit atau granit. Istilah afinitas magma
dimaknai sebagai perbandingan antara silika dan alkali di dalam batuan beku,
sehingga batuan tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan perbandingan itu.
Afinitas magma lebih banyak terkait dengan seri magma. Afinitas magma atau seri
magma terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu alkali dan sub-alkali.
Kelompok atau seri magma sub-alkalipun terbagi menjadi 2 jenis, yaitu seri magma
kapur-alkali dan seri magma toleit. Batuan kapur-alkali kaya dengan unsur-unsur
alkali tanah (seperti oksida magnesium dan oksida kalsium) serta logam alkali yang
menguasai lapisan kerak benua. Seri magma kapur-alkali menghasilkan aneka tipe
batuan vulkanik seperti basal, andesit, dasit, dan riolit (termasuk tipe intrusifnya
yang berbutir lebih kasar seperti gabro, diorit, granodiorit, dan granit). Batuan silika
27
tidak jenuh, batuan alkali, dan batuan peralkali tidak termasuk dalam seri magma
kapur-alkali. Jenis batuan kapur-alkali menyusun sebagian besar kerak benua.
Magma kapur-alkali biasanya bersifat hidrous (mengandung air), lebih teroksidasi,
serta mempunyai kadar O2 (oksigen) yang lebih tinggi. Dari aspek geologi, batuan
kapur-alkali umum dijumpai di busur yang terletak di atas jalur tunjaman. Busur
yang dimaksud adalah busur vulkanik (busur gunungapi), terutama busur yang
terdapat di kerak benua. Secara genetik batuan seri kapur-alkali berkaitan dengan
proses kristalisasi fraksional, di mana setidaknya sebagian dari magma tersebut
berasal dari magma basal yang terbentuk di dalam lapisan mantel bumi.
Komposisi batuan kapur-alkali dipengaruhi oleh banyak proses, yang biasanya
terfokus pada kadar air dan tingkat oksidasi magma. Mekanisme pengubahan
komposisi dimulai dengan peleburan sebagian baik dari material yang tertunjamkan
maupun dari selubung peridotit. Lapisan selubung yang kaya olivin dan piroksin ini
telah mengalami pengubahan oleh air dan lelehan material yang tertunjam di jalur
penunjaman. Rangkaian mekanisme evolusi magma kapur-kapur alkali itu
mencakup berbagai proses seperti kristalisasi fraksional, asimilasi dengan batuan
kerak benua, dan percampuran dengan pelelehan sebagian (partial melting) lapisan
kerak benua. Batuan seri magma kapur-alkali dibedakan dengan batuan seri magma
tholeiitik oleh kondisi redoks magma yang dikristalisasi, di mana magma toleit
berkurang sementara magma kapur-alkali mengalami oksidasi. Ketika magma
mafik (penghasil basal) mengalami pengkristalan, dengan kecenderungan
membentuk mineral silikat olivin dan piroksen yang lebih kaya magnesium dan
miskin besi, maka keadaan itu akan menyebabkan meningkatnya kandungan besi
di dalam magma toleit, yaitu Ketika kristal yang miskin besi pada batuan yang
meleleh telah terkuras habis. Sebagai catatan, olivin yang kaya magnesium akan
membeku pada suhu yang jauh lebih tinggi dibanding pada olivin yang kaya besi.
Secara bersama- sama, magma kapur-alkali yang teroksidasi akan mengendapkan
magnetit oksida besi dalam jumlah yang banyak, yang tetap stabil selama magma
mengalami pendinginan. Peristiwa ini berbeda dengan yang terjadi pada magma
toleit.
28
IV.4 Inventarisasi Keragamaan Geologi
IV.4.1 Aspek Mineral
Beragam jenis mineral yang merupakan mineral penyusun batuan di antaranya
kuarsa, plagioklas, felspar, horenbleda, piroksen, olivin, kalsit, sedikit apatit dan
zirkon; termasuk mineral ubahan seperti klorit dan serisit. Kuarsa dalam bentuk urat
yang ukurannya beragam dijumpai dalam batuan sedimen dan batuan gunungapi
tua. Di beberapa tempat berkembang urat-urat kalsit yang memotong lapisan
batugamping. Mineral bijih yang bernilai ekonomi seperti emas dan perak antara
lain terdapat di dalam uraturat kuarsa yang memotong batuan gunungapi OligoMiosen, seperti di Gunung Tumpangpitu dan Pulau Merah. Mineral bijih lainnya
adalah pirit, yang biasa dijumpai tersebar (disseminated pyrites) di dalam masa
dasar batuan dan batuan beku. Propilitisasi, kloritisasi, serisitasi, epidotisasi, dan
jenis lainnya pada batuan Oligo-Miosen yang menghasilkan mineral-mineral
tertentu disebabkan oleh kegiatan penerobosan magma (Gambar IV.5).
Gambar IV.5 Aneka jenis mineral yang menyusun batuan, beberapa di antaranya
dapat berupa mineral oksida logam seperti pirit.
Kawasan Ijen memiliki banyak belerang dalam jumlah yang signifikan, yang terus
mengalami pembaruan meskipun mineral itu diambil setiap hari. Belerang
29
berwarna kuning muda hingga kuning tua merupakan hasil sublimasi gas H2S, yang
keluar dari sistem retakan di lereng kawah dan membentuk lapangan solfatara.
IV.4.2 Aspek Batuan
Aneka jenis batuan sedimen (sedimen klastik, batugamping), batuan terobosan
(andesit, granodiorit, dasit), dan batuan gunungapi (breksi gunungapi, batupasir
gunungapi, lahar, tuf, lava) mempunyai umur, ketebalan, dan lingkungan
pengendapan (Gambar IV.6). Bebatuan ini merupakan litologi yang membentuk
satuan-satuan litostratigrafi yang berumur Oligo-Miosen hingga Kuarter. Batuan
sedimen umumnya memberikan kenampakan berlapis, termasuk sebagian batuan
gunungapi klastik. Sedang batuan terobosan dan lava umumnya pejal. Sebagian
besar lava menampakkan struktur peleleran (aliran), terbongkahkan; setempat
membentuk struktur bantal dan kolom. Batuan sedimen tua, seperti Formasi
Batuampar bagian bawah, mengandung struktur sedimen seperti perarian sejajar,
silangsiur, nendatan, lidah api, mangkuk (dish structures), dan keruk-isi (cut dan
fill structures). Kumpulan struktur sedimen ini menunjukkan ciri endapan turbidit
di daerah kipas bersaluran yang disebabkan oleh pelongsoran bawah laut.
Gambar IV.6 Batuan beumur Kuarter di daerah Kabupaten Banyuwangi yang
berupa batupasir gampingan tufan.
Masing-masing satuan batuan yang menyusun stratigrafi daerah Kabupaten
Banyuwangi dan sekitarnya dapat bersentuhan baik secara selaras dan tidak selaras,
30
maupun secara struktur (sesar). Batugamping yang tersebar luas di Semenanjung
Blambangan mengalami pelarutan (karsifikasi) oleh air.
IV.4.3 Aspek Fosil
Fosil jenis foraminifera dan moluska (gastropoda, pelesipoda) dijumpai pada
batuan sedimen, khususnya batugamping (Gambar IV.7). Foraminifera plangton
dan bentos yang terkandung di dalam batuan antara lain Miogypsina sp., M.
techydaeformis (Rutten), M. katoi, M. bifida, Lepidocyclina sp., L. sumatrensis
(Brady), L. melaesis, Orbulina universa d’Orbigny, O. enteralie (Bronniman),
Globigerionoides sp., Gs. trilobus (Reuss), Gs. subquadratus (Bronniman), Gs.
saculifer (Brady), Amphistegina sp., Globorotalia peripheroda, Globorotalia
mayeri (Cushman & Ellison), Gt. peripheroacuta, Gt. altispira (Cushman &
Jarvis), Gt. continuosa, Gt. numulisswa, Gt. siakensis (Le Roy), Gt. peripheroronda
Blow & Banner, Globoquadrina altispira (Cushmann & Jarvis), Trilina howchini,
Globigerina praebuloides (Blow), Sphaeroidinellopsis subdehiscens (Blow),
Operculina sp., Amphistegina sp., Gypsina sp., Cycloclypeus sp., Quinqueliculina
sp., Elphidium sp., E. crispum, Gypsina sp., Laticarina sp., Lenticulina sp.,
Shiponina sp., Brizalina sp, Nodosaria spp., Neoeponides praecinctus, Nonion sp.,
Cibicidoides cicatricosuc, Lagena spp., Pyrgoella irregularis, Globocassidulina
subglobosa, Textularia sp., Brizalina semicostata, Rotalia beccarii, Elphidium sp.,
Anomalinoides sp., Marsipella spp., Tubinella finalis, dan Articulina sp. Kumpulan
foraminifera itu digunakan untuk menentukan umur relatif satuan batuan dan
penafsiran lingkungan pengendapan. Pasir berwarna putih yang merupakan
endapan pantai di daerah Segara Anak mengandung foraminifera Schlumbergerella
florensis dalam jumlah yang sangat banyak. Di beberapa tempat dijumpai koral,
ganggang, dan bryozoa.
31
Gambar IV.7 Aneka jenis fosil yang terkandung pada batugamping, khususnya dari
jenis foraminifera dan moluska.
IV.4.4 Aspek Struktur Geologi dan Tektonik
Pola struktur regional di jalur Pegunungan Selatan Jawa Timur yang berupa daerah
tinggian (high) dan daerah rendahan (low) teramati dengan baik di daerah
banyuwangi dan sekitarnya. Pola yang dimaksud adalah dataran tinggi Sukamade
(di sebelah barat) dan dataran rendah banyuwangi (di sebelah timur). Batas
strukturalnya berupa sesar regional yang berarah baratlaut-tenggara, yang sebagian
besar sudah ditutupi oleh batuan gunungapi (Gambar IV.8) hasil kegiatan kerucutkerucut gunungapi Kuarter. Daerah tinggian umumnya disusun oleh batuan
gunungapi tua OligoMiosen (Formasi Andesit Tua), sementara daerah rendahan
merupakan lekuk yang diisi oleh batugamping Neogen. Perlipatan yang membentuk
antiklin dan sinklin berkembang baik di Pegunungan Merubetiri. Sumbu struktur
lipatan berarah timurlaut-baratdaya, yang di beberapa tempat dialihkan oleh sesarsesar mendatar menganan. Sesar-sesar lainnya, yang arahnya sejajar dengan sumbu
lipatan, berjenis menurun.
32
Gambar IV.8 Batuan Formasi Sukamade yang tersesarkan sehingga kedudukan
perlapisannya menjadi tidak beraturan.
Ketidakselarasan regional yang memisahkan batuan Oligo-Miosen dengan
batugamping Neogen disebabkan oleh orogenesa Miosen Tengah. Orogenesa ini
memicu terjadinya pembubungan magma ke permukaan, menerobos aneka fasies
batuan Oligo-Miosen. Orogenesa sesudahnya yang terjadi pada Plistosen, yang
secara regional menghasilkan pengangkatan di Jawa, diikuti dengan peruntuhan
sayap utara pengangkatan yang membentuk gawir sesar turun. Gawir ini membatasi
daerah Pegunungan Selatan dengan daerah depresi tengah yang diisi oleh kerucutkerucut gunungapi muda yang sebagian masih aktif hingga sekarang.
IV.4.5 Aspek Bentangalam
Bentangalam yang signifikan di daerah Banyuwangi dan sekitarnya ditunjukkan
oleh morfologi kompleks gunungapi aktif Ijen (Gambar IV.9) di sebelah baratlaut
dan topografi kars di bagian selatan tenggara (Semenanjung Blambangan).
Morfologi pegunungan Oligo-Miosen yang terlipat terdapat di sebelah barat
(Pegunungan Merubetiri), yang menerus ke selatan hingga daerah Pantai
Rajegwesi. Di beberapa tempat, terutama di lereng tubuh gunungapi dan
pegunungan tinggi berkembang topografi perbukitan. Bentang alam ini disusun
oleh batuan gunungapi yang bersifat laharan dan batuan sedimen muda.
33
Gambar IV.9 Morfologi kerucut gunungapi yang menguasai bentangalam di daerah
utara dari Banyuwangi.
IV.5 Penilaian Keragaman Geologi
Keragaman geologi terklasifikasi berdasarkan 5 parameter utama, yaitu:
a) Bentangalam umum, seperti pegunungan (punggungan, plato), perbukitan
(punggungan, plato, bergelombang), dataran (sungai, pantai), kepulauan
(gugusan, pulau tunggal, pulau terisolir), kars, dan gunungapi.
b) Ranah batuan, yang mencakup jenis-jenis batuan seperti batuan beku (plutonik,
vulkanik, ultramafik, hipabisal), batuan sedimen (klastik pejal, klastik berlapis,
batugamping, evaporit, sedimen yang belum terbatukan), batuan malih (pejal,
mendaun, fasies); tatanan geologi antara lain blok batuan akibat tektonik dan
bancuh-tunjaman (melange).
c) Proses internal, di antaranya pengangkatan (disebabkan oleh tektonik,
plutonisma), mampatan (terkumpul di batas lempeng tektonik), pensesaran,
rifting (terjadi di batas lempeng tektonik), dan vulkanisme (letusan, aliran
material gunungapi), proses eksternal antara lain pelapukan (fisika, kimia),
pengikisan (oleh air, angin, gelombang, biogenik), dan pelarutan (oleh air),
34
pengendapan (terjadi di lereng, sungai, danau, rawa, pantai, laut), gerakan masa
batuan/tanah (jatuhan, longsoran).
d) Tektonik, baik yang bersifat masih aktif (labil) maupun yang sudah tidak aktif
(stabil)
e) Evolusi temporer, yang mencakup umur geologi (Prakambrium, Paleozoikum,
Mesozoikum, Tersier, Kuarter), derajat tahapan evolusi (tua, menengah, muda),
dan tipe (statis, aktif).
IV.5.1 Peringkat Warisan Geologi
Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan di lapangan, keragaman geologi
daerah Banyuwangi terdukung oleh:
a) Parameter bentangalam umum yang berupa Kompleks Pegununga Ijen, Kars
Semenanjung
Blambangan,
Pegunungan
Merubetiri,
perbukitan
menggelombang (di lereng gunungapi dan pegunungan), undak-pantai
(Semenanjung Blambangan bagian selatan), dan dataran (aluvial sungai,
pantai).
b) Parameter ranah batuan yang berupa jenis-jenis batuan seperti batuan
gunungapi (piroklastik, lava), batuan beku (diorit, granodiorit), dan batuan
sedimen (klastika asal gunungapi, karbonat/batugamping) yang secara tatanan
geologi merupakan bongkah Pegunungan Selatan Jawa Timur yang dibentuk
oleh tektonik/orogenesa.
c) Parameter proses internal seperti pengangkatan yang disebabkan oleh
tektonik/orogenesa, pelipatan, pensesaran, kegunungapian, dan magmatisma
(terobosan); termasuk proses eksternal seperti pelapukan fisika yang
menghasilkan beragam jenis tanah dan kimia (terrarossa pada batugamping),
pelarutan oleh air (karsifikasi pada batugamping), pengendapan di lingkungan
laut dalam yang dipengaruhi oleh arus turbid, laut dangkal, paparan karbonat,
pantai (lava bantal), dan daratan (gunungapi Kuarter).
d) Parameter tektonik yang masih aktif, seperti pengangkatan pantai selatan yang
membentuk undak-pantai.
e) Parameter evolusi temporer, meskipun hanya mencakup umur dari akhir
Paleogen hingga Kuarter; termasuk tahapan evolusi yang berkisar antara
35
menengah hingga muda, serta sifat evolusinya yang aktif karena dipengaruhi
oleh penunjaman lempeng samudera (Lempeng Indo-Australia) di bawah
lempeng benua (Lempeng Eurasia).
Teridentifikasinya lima parameter yang mengklasifikasikan keragaman geologi
menunjukkan bahwa peringkat keragaman geologi di daerah Ijen UNESCO Global
Geopark Ijen memiliki status dari sangat tinggi hingga terkemuka, atau setidaknya
dari tinggi hingga sangat tinggi.
IV.5.2 Nilai Warisan Geologi
Penentuan nilai warisan geologi didasarkan pada beberapa parameter disebabkan
keragaman geologinya mengandung aneka makna seperti:
1. Sebagai rekaman ilmiah, tatanan geologi atau bentangalam yang bersifat
spesifik.
2. Sebagai bukti atas peristiwa-peristiwa geologi penting seperti keterdapatan
produk kegunungapian Oligo-Miosen dan Kuarter yang disebabkan oleh
penunjaman lempeng kerak bumi, pensesaran-dalam (deep seated faults) di
jalur Pegunungan Selatan Jawa Timur yang berpola yang menghasilkan daerah
Tinggian (high) Sukamade dan daerah Rendahan (low) Banyuwangi yang
mempengaruhi sedimentasi batugamping, serta pengangkatan tektonik di
sepanjang pantai selatan Jawa yang masih aktif yang menghasilkan deretan
undak pantai di Semenanjung Blambangan bagian selatan.
3. Mempunyai fungsi ekologi khusus yang dapat dimanfaatkan untuk penelitian,
pendidikan, pemahaman alam (Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional
Alas Purwo) dan budaya (masyarakat Suku Osing), konservasi (geologi,
biologi, budaya, warisan nirbenda), dan pariwisata berkelanjutan yang akan
memicu pertumbuhan nilai ekonomi lokal dan nasional.
Maka berdasarkan parameter-parameter tersebut, nilai keragaman geologi daerah
Banyuwangi berkisar antara tinggi hingga terkemuka.
36
IV.5.3 Makna Warisan Geologi
Keragaman geologi daerah Banyuwangi teridentifikasi memiliki aneka makna,
yang tergali dari:
1. Makna ilmiah keragaman geologi, karena merupakan rekaman dan bukti
evolusi Bumi meskipun hanya mencakup sejarah geologi yang relatif pendek,
yaitu antara akhir Paleogen (Oligo-Miosen) dan Kuarter, atau sekitar 30 juta
tahun lalu hingga sekarang.
2. Makna estetika keragaman geologi, karena memiliki keunikan, kelangkaan, dan
keindahan fenomena geologi dan alam (danau kawah paling asam di dunia, api
biru/blue fire, taman nasional).
3. Makna rekreasi keragaman geologi, karena mempunyai potensi mendukung
pariwisata (geowisata).
4. Makna budaya keragaman geologi, karena memiliki aspek sejarah dan budaya
(Suku Osing).
IV.5.4 Klaster Warisan Geologi
Keragaman geologi daerah Banyuwangi dapat dibagi dan dikarakterisasi menjadi
beberapa kawasan dan juga dapat dikaitkan dengan kearifan lokal dan ciri khas
budayanya (Gambar IV.10). Keunikan hubungkait objek geologi dan non geologi
bisa menjadi nilai tambah dari suatu warisan geologi. Kawasan-kawasan yang
teridentifikasi untuk kemudian terklasterkan mempunyai aneka fungsi, seperti:
1. Sebagai artefak sejarah bumi di mana keragaman geologinya memiliki
kemampuan menjelaskan sejarah bumi, yang informasinya dapat dipakai
sebagai dasar untuk dilakukannya kegiatan pengelolaan sumberdaya geologi,
termasuk prediksi terhadap peristiwa geologi yang akan terjadi di masa
mendatang seperti longsor, tsunami, letusan gunungapi.
2. Sebagai rekaman kunci suatu peristiwa geologi yang memberi keterangan
tentang awal dan perkembangan aneka komponen geologi pembentuk
keragaman geologi, sehingga dapat disimpulkan keragaman geologi itu bersifat
langka (danau kawah terasam, api biru/ blue fire).
37
3. Sebagai bentangalam khusus, di mana berdasarkan nilai estetika yang
dimilikinya dapat ditentukan keragaman geologinya bersifat unik (gunungapi,
kars).
4. Sebagai pendukung ekologi di mana keragaman geologinya mempunyai
pengaruh terhadap kehidupan dan keragaman hayati, sehingga keeratan
hubungan antara geologi, biologi, dan budayapun dapat ditentukan (khususnya
yang terjadi di dalam kawasan taman nasional seperti Taman Nasional
Merubetiri dan Taman Nasional Alas Purwo).
Gambar IV.10 Perahu tradisional yang bersandar di Tanjung Sembulungan yang
tersusun oleh batugamping, Taman Nasional Alas Purwo merupakan
salah satu kaithubung geologi dan budaya yang dapat menjadi
keunikan di Kawasan Geopark Ijen.
38
IV.6 Aksesibilitas dan Klaster Geowisata
Pembangunan Geopark Ijen untuk kepentingan geo pariwisata yang berskala global
tentunya harus mengikuti pola keberlanjutan. Geopark Ijen bertujuan untuk
perlindungan dan pelestarian kekayaan geologi dan ditujukan untuk keberlanjutan
ekonomi dan sosial masyarakat sekitar. Dalam pengembangan pariwisata, Geopark
Ijen harus melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan ini harus
mengikuti pola praktik terbaik menyangkut keberlanjutan lingkungan. Fasilitas
penunjang Geopark Ijen seperti pembangunan jalan yang baik, jalur sepeda,
pembangunan tempat penginapan, tempat beribadah yang berwawasan lingkungan,
infrastruktur penyediaan air, koneksi teknologi informasi, fasilitas kesehatan yang
memadai dan lain-lain akan mendorong pengembangan Geopark Ijen yang
berkelanjutan. Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi memiliki panjang jalan
untuk akses menuju Geopark Ijen yaitu Banyuwangi 2.999,86 km dan Bondowoso
1.464,160 km. Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Banyuwangi ini memiliki
berbagai tempat penginapan dan fasilitas-fasilitas yang dikembangkan tersebut
merupakan sarana penunjang tiga (3) klaster geowisata yang telah disiapkan bagi
pengunjung untuk sampai ke kawasan api biru dan kawah asam Ijen yaitu Klaster
Bondowoso yang berada di Kabupaten Bondowoso atau bagian Utara Ijen Geopark
Ijen yang berupa Kaldera Ijen dengan kerucut- kerucut gunungapi muda di dalam
kaldera yang berada di ketinggian rata-rata 500-2000 mdpl dengan bentukan air
terjun, tebing, dan lembah-lembah aliran sungai, dataran tinggi kaldera dengan
kerucut gunungapi pasca-kaldera, aliran sungai, air terjun, dan hamparan lava,
Klaster Banyuwangi Utara yang melingkup bagian Utara Kabupaten Banyuwangi
atau bagian tengah Ijen Geopark Ijen berupa lereng gunungapi muda yang berjajar
dari barat ke timur yaitu Gunung Raung, Gunung Pendil, Gunung Rante, Gunung.
Merapi, dan Gunung Ringgih dengan ketinggian 500-3000 mdpl dengan air terjun,
tebing, lembah aliran sungai, perbukitan karst di timur, dan pesisir yang menghadap
ke Selat Bali, Klaster Banyuwangi Selatan yang berada di bagian Selatan
Kabupaten Banyuwangi atau bagian Selatan Geopark Ijen berupa perbukitan
gunungapi tua dan pantai dengan ketinggian 0-500 mdpl dengan bentukan alam
yang dominan adalah bukit, pulau, pesisir, air terjun, sungai, teluk, dan
semenanjung.
39
IV.7 Tabulasi Data Geologi
Pengumpulan data geologi dilakukan menggunakan pendekatan informasi geologi
yang ada pada seluruh situs geologi di kawasan Geopark Ijen seperti periode
geologi, tatanan geologi, serta fitur geologi seperti geomorfologi, stratigrafi,
mineralogi, struktur, dan fosil. Data tersebut kemudian ditabulasi (Tabel V.1) dan
dinilai berdasarkan keberadaannya dan dibobotkan (Gambar IV.12).
Tabel V.1 Hasil tabulasi data geologi.
Gambar IV.12 Hasil pengolahan kelimpahan fitur geologi di seluruh situs.
40
Berdasarkan hasil pengolahan (Gambar IV.13) didapatkan bahwa fitur
geomorfologi atau bentangalam dan struktur geologi menjadi hal yang banyak
dijumpai di situs geologi Geopark Ijen. Hal ini menandakan bahwa preferensi
pemilihan situs yang dikaitkan dengan minat wisata di kawasan ini masih berupa
keindahan bentangalam dan fitur geologi yang sifatnya makro. Fitur geologi yang
sifatnya mikro seperti fosil dan mineral masih belum banyak dimunculkan.
Gambar IV.13 Diagram yang menggambarkan perbandingan periode geologi di
seluruh situs dan tatanan geologi yang bekerja.
Berdasarkan periode geologinya, secara umum situs geologi di Kawasan Geopark
Ijen masih didominasi oleh objek geologi yang berumur kuarter dan berkaitan
dengan vulkanisme, sementara objek geologi yang merekam kejadian yang lebih
tua belum banyak ditemukan dan jaraknya tidak berimbang (Gambar IV.13).
Gambar IV.14 Hubungan konektivitas situs terhadap Kawah Ijen.
41
IV.8 Jalur Geotrail
IV.8.1 Jalur 1
Geotrail ini (Gambar IV.15) dimulai dari bagian paling ujung baratdaya Geopark
Ijen yaitu Sukamade Geoforest di Taman Nasional Meru Betiri. Perjalanan dalam
geotrail ini akan melewati geosite Kekar Kolom Teluk Ijo, Batuan Terobosan Pulau
Merah, hingga Lava Vesikuler Grajagan yang membentang di sepanjang pantai
selatan. Secara umum geotrail ini menggambarkan jejak morfologi keberadaan
gunungapi yang pernah aktif di kawasan selatan Geopark Ijen dan menjadi kunci
terhadap aktivitas vulkanisme yang ada selanjutnya. Aktivitas geowisata tak hanya
bisa duduk-duduk santai atau bermain air di Pulau Merah ataupun Teluk Ijo, Namun
juga bisa berselancar apabila sudah berpengalaman. Kemudian wisatawan juga bisa
menjelajah keindahan bawah laut yang ada di Pulau Merah. Di sana terdapat aneka
terumbu karang dan juga biota laut lain yang dapat menghibur mata semua
wisatawan. Selanjutnya, terkait dengan geokuliner, ada banyak wisata kuliner yang
tersedia. Mulai dari Rawon sampai Rujak Soto. Pada jalur ini wisatawan juga dapat
mengamati situs biologi Pantai Sukamade yang menjadi habitat bagi bertelurnya
penyu dan ditemukan bunga bangkai endemik Taman Nasional Meru Betiri.
Gambar IV.15 Peta dan penampang geotrail jalur 1 mengenai jejak gunungapi
purba selatan Banyuwangi.
42
IV.8.2 Jalur 2
Geotrail pertama ini (Gambar IV.16) merupakan geotrail utama di Geopark Ijen
dan sekaligus menjadi jalur ekspedisi dengan tema utama yaitu geosite Kawah
Asam dan Api Biru Ijen. Kawah Ijen merupakan sebuah kawah yang berasal dari
Gunung Ijen dan memiliki sejumlah panorama menarik untuk anda kunjungi dan
menawarkan pemandangan alam yang mampu memberi rasa ketenangan bagi para
pengunjung. Ini merupakan pemandangan api berwarna biru yang berasal dari
kawah Ijen tersebut. Fenomena ini hanya bisa wisatawan lihat ketika kondisi gelap
atau malam hari tiba. Hal inilah yang menjadi sisi terbaik dan unik di Gunung Ijen
tersebut. Aktivitas geowisata yang dapat dilakukan adalah dengan cara menarik
para wisatawan untuk bisa melihat keindahan blue fire tersebut di malam hari.
Perjalanan dari geotrail ini dapat dimulai dari geosite Air Terjun Gentongan,
Kalipait, Erek-Erek Geoforest, hingga ke Desa Kemiren sebelum mendaki Kawah
Ijen. Kobaran api biru di tengah gelapnya malam menciptakan cahaya yang begitu
indah. Secara umum geotrail ini biasanya akan menjadi opsi jalur utama dari
seluruh geotrail di Geopark Ijen dan menceritakan fenomena kawah asam dan api
biru yang eksotis di Kawah Ijen. Kawah Ijen merupakan fitur geologi yang
memiliki skala internasional.
Gambar IV.16 Peta dan penampang geotrail jalur 2 mengenai eksotisme danau
kawah asam Ijen.
43
IV.8.3 Jalur 3
Geotrail Jalur 3 (Gambar IV.17) secara umum terletak satu jalur di dalam kawasan
Taman Nasional Alas Purwo. Taman Nasional Alas Purwo (TN Alas Purwo)
terletak di ujung tenggara Pulau Jawa. Tempat ini identik sebagai tempat yang
angker, mistis, dan penuh misteri. Pasalnya, kawasan ini konon adalah tanah tertua
di Pulau Jawa dan memiliki luas mencapai 44.037 hektar. Mulai dari kawasan
savana, wisata budaya, hutan mangrove, goa kuno, hingga aneka pantai. Termasuk
pula sekitar 70 jenis flora, 50 jenis mamalia, 320 jenis burung, 15 jenis amfibi, dan
48 jenis reptil yang menghuni TN Alas Purwo ini. Perjalanan dari situs budaya
Umpak Songo dilanjutkan ke biosite Teluk Pangpang, kemudian menyusuri geosite
Batugamping Neogen Sembulungan di timur sebelum bergerak ke selatan menuju
biosite Savana Sadengan. Perjalanan dilanjutkan menyusuri pantai barat hingga
sampai di geosite Batuan Gunungapi Pantai Pancur dan menelusuri geosite Goa
Istana. Bergerak ke selatan, perjalanan diteruskan ke geosite Foraminifera dan Lava
Bantal Parangireng kemudian diakhiri di geosite Teras Batugamping Semenanjung
Blambangan. Secara umum geotrail ini menceritakan tentang perubahan gunungapi
tua yang mati menjadi bentangalam karst yang berasal dari pengangkatan laut
dangkal.
Gambar IV.17 Peta dan penampang geotrail jalur 3 mengenai ekspedisi
bentangalam karst.
44
IV.8.4 Jalur 4
Geotrail ini (Gambar IV.18) secara umum berada di bagian baratlaut Geopark
Ijenyang membentang di lereng barat Kaldera Ijen. Perjalanan dimulai dari
Kecamatan Cermee, Bondowoso dengan mengunjungi situs budaya Goa Butho
Sumbercanting dan Taman Batu So`on Solor. Akses menuju objek wisata Batu
So'on sangat mudah dan nyaman, karena sudah beraspal. Perjalanan dari pusat kota
Bondowoso menuju Batu So'on memakan waktu sekitar 1,5 jam. Perjalanan
dilanjutkan ke selatan mengunjungi biosite Hutan Pelangi kemudian dilanjutkan ke
situs budaya Gua Butho Sumberwringin. Struktur Gua Butha Cermee merupakan
gua pertapaan pada akhir zaman Kerajaan Majapahit, sekitar abad ke-13 hingga ke14. Butha memiliki arti raksasa dalam Bahasa Madura. Situs ini berupa cerukan
pada tebing batu. Hal yang membuat unik dan kagum adalah adanya relief
berbentuk raksasa berupa wajah dengan mata terbuka lebar, gigi bertaring, dan
tangan berkuku tajam yang merupakan salah satu relief. Perjalanan diakhiri dengan
melihat pemandangan Kaldera Ijen dari geosite Dinding Kaldera Megasari. Secara
umum geotrail ini menceritakan mengenai dahsyatnya erupsi eksplosif pembentuk
Kaldera Ijen.
Gambar IV.18 Peta dan penampang geotrail jalur 4 mengenai jelajah dinding
kaldera Ijen dan letusan dahsyatnya yang membentuk salahsatu
bentangalam kaldera terbesar di Jawa.
45
IV.8.5 Jalur 5
Geotrail ini (Gambar IV.19) berada di dalam Kaldera Ijen yang berupa dataran
tinggi kaldera. Perjalanan dimulai dari geosite Mata Air Panas Blawan, Lava
Blawan, hingga Lava Basaltis Plalangan. Perjalanan dilanjutkan dengan mengamati
pemandangan geosite Kawah Wurung. Wurung dalam bahasa Jawa adalah sesuatu
yang gagal. Sehingga, Kawah Wurung adalah kawah yang tidak jadi terbentuk.
Kawah yang tidak jadi terbentuk ini dikelilingi rerumputan dengan bentuk
melingkar seperti cekungan. Di sekitar kawah juga terdapat beranekaragam jenis
bunga. Situs geologi lain yang menarik adalah Pemandian Mata Air Panas Blawan.
Pemandian itu terletak di jalan menuju Gunung Ijen. Sumber airnya berasal dari
kandungan kawah belerang. Air panas yang memiliki bau belerang tersebut
ditampung di kolam. Wisatawan bisa memilih level panas pada dua kolam yang
disediakan. Yakni, level panas dan level standar. Kolam pemandian Air Panas
Blawan juga menjadi jujukan terapi kesehatan. Pemandian Air Panas Blawan
merupakan tujuan yang tepat bagi pengunjung yang menginginkan relaksasi. Secara
umum perjalanan dalam geotrail ini menceritakan aktivitas vulkanisme pasca
kaldera di Kompleks Gunungapi Ijen.
Gambar IV.19 Peta dan penampang geotrail jalur 5 mengenai jelajah dataran tinggi
kaldera Ijen dan letusan dahsyatnya yang membentuk bentangalam
pasca letusan besar yang cukup indah. Kalder aini dapat disusuri
mulai kaki gunung hingga dinding kalderanya.
46
IV.9 Peta Geotrail
Setelah pembentukan jalur geotrail selesai, maka tampilan dari geotrail ini akan
disajikan dalam bentuk peta (Gambar IV.20). Peta ini menjadi acuan utama bagi
wisatawan dalam menjelajahi kawasan Geopark Ijen Ijen. Melalui pet aini,
diharapkan konektivitas antartitik di dalam kawasan Geopark Ijen bisa terbentuk
dan mewujudkan keberlanjutan aktivitas wisata di dalamnya. Keterhubungan titiktitik ini juga akan memaksimalkan pengetahuan cerita geologi yang saling
terhubung dari suatu wilayah ke wilayah lain dalam kawasan Geopark Ijen.
Gambar IV.20 Peta geotrail kawasan Geopark Ijen yang mencakup lima jalur yang
telah disusun dan direkomendasikan.
47
Bab V Diskusi dan Pembahasan
V.I Analisis Data Karakterisasi Situs Geologi
Secara umum, data situs geologi yang ada di Kawasan Geopark Ijen menunjukkan
bahwa optimalisasi situs masih belum seimbang pada seluruh tema yang menjadi
bagian dari keragaman geologi secara keseluruhan. Pengembangan situs hanya
berpusat pada beberapa fitur yang menjadi dominansi dari situs geologi eksisting
(Beardmore, 2021; Becerra-Ramírez dkk., 2020; Bitschene, 2015; Bordy dan
Sztanó, 2021). Hal ini menjadi menarik apabila dengan adanya geotrail,
pengembangan situs bisa saling terintregasi antarsitus (Nomikou dkk., 2023;
Norrish dkk., 2014; Nössing dan Forti, 2016) dan saling menguatkan dengan tema
yang berbeda-beda (Abratis dkk., 2015; Alberico dkk., 2023; Armiero dkk., 2011;
Baláž dkk., 2014).
V.2 Analisis SWOT
Optimalisasi jalur geotrail yang telah disusun perlu dievaluasi melalui pendekatan
analisis SWOT (Becerra-Ramírez dkk., 2020; Bitschene, 2015; Bordy dan Sztanó,
2021; Brustur dkk., 2015; Casadevall dkk., 2019; Cho dkk., 2021; Çiftçi dan
GÜNGÖR, 2021; Couto dan Lourenço, 2014; Desbois dan Costabloz, 2013; Dong
dan Zhang, 2019; Drápela, 2023; Ertekin dkk., 2021; Fancello dkk., 2022; Fu dkk.,
2021; Gaidzik dkk., 2020) yang dapat membantu dalam mengidentifikasi kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman untuk keberjalanan geotrail atau rencana
pengembangannya secara keseluruhan (Kazancı, 2012; Kuri, 2016; Kuri dan
Suppasri, 2018). Analisis ini adalah adalah alat yang dapat membantu pengelola
Geopark Ijen dalam merencanakan secara strategis dan tetap berada di depan pasar
terutama wisatawan (Migoń dan Pijet-Migoń, 2022; Miklín dan Lenart, 2016;
Moradi dkk., 2021; Moufti, Németh, El-Masry, dkk., 2013; Moufti dan Németh,
2013). Di bawah ini, telah diurai beberapa hasil SWOT yang menjelaskan setiap
bagian dari kerangka kerja geotrail dan memberikan petunjuk langkah demi
langkah untuk membantu pengembangannya (Hasegawa dkk., 2015; HerreraFranco dkk., 2020; J. dan D., 2017; Jeon dkk., 2019, 2023; Jeong dkk., 2020).
48
Berdasarkan analisis data diperoleh informasi Strenght (kekuatan), Weakness
(kelemahan),
Opportunities
(peluang)
dan
Threat
(ancaman)
terhadap
pengembangan geotrail Geopark Ijen sebagai berikut.
V.2.1 Strength
Melengkapi cerita Geopark Ijen yang masih belum tersusun runtut, menemukan
kait hubung antara satu situs ke situs lainnya, dan variasi situs yang lengkap. Aspek
bentangalam juga menjadi keunggulan dan potensi utama dari pengembangan
geotrail di Geopark Ijen. Kekuatan ini sebagian besar bersifat alami yang sudah
tersedia di alam, sehingga pemanfaatan yang benar sangat diperlukan akan
mendapatkan hasil yang optimal.
V.2.2 Weakness
Aksesibilitas, atraksi, amenitas belum memiliki, belum ada sistem terintegrasi, dan
jarak yang cukup jauh. Aspek keterlibatan pentaheliks sangat diperlukan untuk
mengurangi kelemahan ini, yang sebagian besar disebabkan karena kurang
optimalnya pengelolaan objek-objek yang sudah berpotensi. Kelemahan ini bisa
dibalik menjadi suatu hal yang positif apabila pengembangan yang dilakukan tepat
sesuai dengan masalah yang ada.
V.2.3 Opportunity
Menjadikan Geopark Ijen sebagai Laboratorium alam kebumian. menjadi
diversifikasi wisata minat khusus pada Geopark Ijen, dan peningkatan jumlah
kunjungan terutama sektor edukasi. Elaborasi antara kelemahan dan kelebihan
kadangkala mampu memunculkan peluang yang apabila dimaksikmalkan akan
mampu meningkatkan rasio keberhasilan suatu pengembangan geotrail terutama di
Kawasan Geopark Ijen. Keterlibatan pelaku wisata dan pemerintah serta instansi
pendidikan sangat diperlukan untuk memoles dan mengoptimalkan peluang yang
ada dan peluang itu harus bisa ditangkap oleh pihak terkait.
49
V.2.4 Threats
Penduduk yang semakin banyak, bencana alam yang lengkap, dan isu lingkungan.
Ancaman ini akan bisa dikurangi apabila focus pengelolaan pada peluang dan
kelebihan yang ada serta tidak melupakan keterlibatan berbagai pihak. Insersi
program ke berbagai sektor seperti edukasi terkait lingkungan dan bencana menjadi
sangat penting untuk meminimalisasi ancaman yang mungkin ada.
Berdasarkan hasil studi lapangan yang telah telah dilakukan, maka selanjutnya
dilakukan analisa SWOT untuk mendapatkan strategi pengembangan geotrail Ijen
Geopark Ijen. Berikut merupakan hasil identifikasi serta akumulasi dari faktor
internal (Tabel V.1) dan faktor eksternal (Tabel V.2).
Tabel V.1 Matriks Faktor-faktor Strategis Internal Pengembangan Geotrail
UNESCO Global Geopark Ijen(Lampiran).
No
S1
S2
S3
S4
W1
Faktor-faktor Internal
Kekuatan
Melengkapi cerita Geopark Ijen menurut sejarah geologi
menemukan kait hubung antar situs satu dengan situs yang
lain
Kearifan Lokal
Variasi situs yang lengkap
Kelemahan
Aksesibilitas, atraksi, dan amenitas yang belum seluruhnya
baik
Bobot Peringkat
Skor
1.952381
0.1429
3.83
0.55
0.1429
3.42
0.49
0.131
0.131
3.5
3.5
0.46
0.46
1.957112
0.131
3.33
0.44
W2
Belum ada sistem terintegrasi antara satu dan lainnya
0.2308
3.42
0.79
W3
Keterbatasan SDM
0.1071
3.42
0.37
W4
Jarak yang cukup jauh antar situs geologi
0.1071
3.42
0.37
Pada matriks strategi internal yang disajikan pada tabel diatas (Tabel V.2), maka
dapat diketahui bahwa strategi pengembangan geotrail Geopark Ijen memiliki nilai
komponen kekuatan sebesar 1,9523 sedangkan nilai komponen kelemahan sebesar
1,9571. Selanjutnya dilakukan akumulasi nilai komponen kekuatan dengan nilai
komponen kelemahan sehingga menghasilkan nilai faktor internal sebesar 0,00473. Strategi pengembangan geotrail Geopark Ijen apabila dilihat dari segi
faktor internalnya, maka harus menggunakan strategi dengan cara mempertahankan
kekuatan dan mengatasi kelemahannya.
50
Tabel V.2 Matriks Faktor-faktor Strategis Internal Pengembangan geotrail
Geopark Ijen
Faktor-Faktor Eksternal
Bobot Peringkat
Peluang
Skor
1.65613
O1
Menjadikan Geopark Ijen sebagai Laboratorium alam
kebumian
0.1264
3.42
0.43
O2
Menjadi diversifikasi wisata minat khusus pada Geopark Ijen 0.1379
3.08
0.43
O3
Peningkatan jumlah kunjungan terutama sektor edukasi
0.1149
3.50
0.40
O4
Peningkatan ekonomi daerah
0.1034
3.83
0.40
Ancaman
2.214559
T1
Kompetisi ruang akibat pertambahan penduduk
0.1379
3.83
0.53
T2
Pengunjung yang semakin meningkat
0.1379
3.67
0.51
T3
Bencana alam yang lengkap
0.1149
3.67
0.42
T4
Gangguan Lingkungan
0.1034
3.50
0.36
Berdasarkan perhitungan matriks strategi eksternal pada tabel diatas (Tabel V.2),
maka dapat diketahui bahwa komponen peluang memiliki nilai komponen sebesar
1,65 dan pada komponen ancaman memiliki nilai sebesar 2,214. Apabila dilakukan
akumulasi dari kedua nilai tersebut maka mendapatkan nilai sebesar -0,558.
Berdasarkan nilai tersebut maka dapat diketahui bahwa peluang untuk melakukan
pengembangan geotrail Ijen Geopark Ijen tergolong kecil apabila dibandingkan
dengan ancaman yang ada. Nilai hasil akumulasi tersebut, selanjutnya akan
membantu dalam menentukan strategi yang akan digunakan dalam matrix grand
strategy.
Berdasarkan perhitungan strategi internal pada (Tabel V.1) dan strategi eksternal
pada (Tabel 5.3), maka dapat diperoleh hasil total pada kekuatan sebesar 1,9523;
kelemahan 1,9571; peluang 1,656; dan ancaman 2,214. Sedangkan jumlah total dari
strategi internal sebesar -0,00473 dan faktor strategi eksternal sebesar -0,55843.
Dari nilai tersebut maka dapat diketahui bahwa faktor internal memiliki pengaruh
51
yang lebih besar terhadap pengembangan geotrail Geopark Ijen daripada faktor
strategi eksternalnya. Sehingga untuk melakukan pengembangan geotrail Geopark
Ijen harus dilakukan dengan cara pengoptimalan pada faktor strategi internalnya
dengan cara menambah kekuatan dan meminimalisir kelemahan. Akan tetapi pada
faktor eksternalnya juga tidak boleh diabaikan dengan cara memanfaatkan peluang
yang ada untuk meminimalisir ancaman yang mungkin terjadi. Penentuan titik
koordinat strategi pada matrix grand strategy ditentukan berdasarkan perhitungan
dari faktor strategi internal dan faktor strategi eksternal. Sumbu X pada matrik
grand strategi merupakan faktor-faktor internal sedangkan pada sumbu y
merupakan faktor-faktor eksternal. Pada sumbu X memiliki nilai koordinat sebesar
X=(1,95238 – 1,95711)= -0,00473. Sedangkan nilai koordinat pada sumbu Y =
(1,6561 – 2,214)= -0,5584, sehingga posisi strategis titik koordinat dapat dilihat
pada (Gambar V.1).
Gambar V.1 Diagram posisi strategis pengembangan geotrail.
Berdasarkan matrik grand strategi pengembangan geotrail Geopark Ijen berada di
kuadran 4 sehingga penggunaan strateginya adalah defensif. Menurut Rangkuti
(2005), menjelaskan bahwa strategi defensif meminimalkan kelemahan yang ada
52
serta menghindari ancaman. Pada strategi defensif dalam penerapan strateginya
dapat mengurangi kelemahan internal dengan menghindari ancaman eksternal.
Tabel V.3 Tabel IFAS dan EFAS terkait SWOT geotrail (Lampiran).
Kekuatan
1.Melengkapi cerita geopark
menurut Sejarah geologi
2.Menemukan kait hubung antar
situs satu dengan yang lain
3.Kearifan lokal
4.Variasi situs yang lengkap
Kelemahan
1.Belum memiliki aksesibilitas,
atraksi dan amenitas yang cukup
2.Belum ada system terintegrasi
antara satu situs dengan situs yang
lainnya
3.Keterbatasan SDM
4.Jarak yang cukup jauh antar situs
geologi
Peluang
1.Menjadikan Geopark Ijen
sebagai laboratorium alam
kebumian
2.Menjadi diversifikasi
wisata minat khusus pada
Geopark Ijen
3.Peningkatan jumlah
kunjungan terutama sektor
edukasi
4.Peningkatan ekonomi
daerah
1.Sejarah geologi yang runtut dan
lengkap menjadikan Geopark Ijen
sebagai laboratorium yang lengkap.
2.Cerita geologi yang
berkesinambungan dengan kearifan
local menjadikan kekuatan dalam
wisata minat khusus
3.Variasi situs yang lengkap
membuat jumlah kunjungan semakin
bertambah dan mendukung
peningkatan ekonomi
1.Melakukan perbaikan
aksesibilitas, atraksi dan amenitas
yang memadai untuk mendukung
wisata minat khusus dan
laboratorium alam kebumian
2.Mengintegrasikan antar pengelola
situs yang memiliki kait hubung
cerita geologi terutama yang jaraknya
cukup jauh
3.Mengoptimalkan sumberdaya
manusia dengan melakukan
peningkatan kapasitas kepemanduan
ataupun pengetahuan mengenai
geopark dan geotrail
Ancaman
1.Kompetisi ruang akibat
pertambahan penduduk
2.Pengunjung yang semakin
meningkat
3.Bencana alam yang
lengkap
4.Gangguan lingkungan
5.Kesadaran Masyarakat
yang rendah
1.Bahaya geologi yang lengkap
seiring dengan variasi situs yang
lengkap
2.Pengunjung yang semakin
meningkat memengaruhi kelestarian
dari situs- situs yang ada
3.Alih fungsi lahan akibat butuhnya
ruang wisatawan pada area geopark
4.Pengetahuan dan kesadaran
masyarakat tentang konservasi
tentang pentingnya menjaga warisan
geologi yang ada
1.Pembangunan aksesibilitas,
atraksi dan amenitas yang melibatkan
unsur pentahelix
2.Membentuk forum koordinasi
antar stakeholder untuk mendukung
integrasi situs menjadi sebuah
geotrail
3.Merumuskan peraturan terkait
alih fungsi lahan pada area wisata
geopark untuk meminimalisasi
gangguan lingkungan
4.Melakukan pemetaan
sumberdaya manusia sebagai simpul
kader konservasi dan mitigasi
bencana dengan program peningkatan
kapasitas SDM
Berdasarkan analisis faktor internal yang meliputi kekuatan dan kelemahan dan
faktor eksternal yang meliputi peluang dan ancaman yang mungkin terjadi dalam
upaya pengembangan geotrail Geopark Ijen, maka dapat didapatkan strategi yang
dapat dilakukan dengan melalui analisa matriks SWOT.
53
Berdasarkan analisis matriks SWOT (Tabel V.3), maka dapat diketahui strategi
pengembangan geotrail Geopark Ijen, yaitu meminimalkan kelemahan serta
menghindari ancaman. Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah:
1. Pembangunan aksesibilitas, atraksi dan amenitas yang melibatkan unsur
pentahelix.
2. Membentuk forum koordinasi antar stakeholder untuk mendukung
integrasi situs menjadi sebuah geotrail.
3. Merumuskan peraturan terkait alih fungsi lahan pada area wisata
Geopark Ijen untuk meminimalisasi gangguan lingkungan.
4. Melakukan pemetaan sumberdaya manusia sebagai simpul kader
konservasi dan mitigasi bencana dengan program peningkatan kapasitas
SDM.
V.3 Evaluasi dan Pengembangan
Evaluasi yang dihasilkan dari penelitian ini adalah masih belum terkoneksinya
antara satu titik dengan titik yang lain secara terintegrasi sehingga masing-masing
destinasi masih berdiri sendiri-sendiri dan belum sinkron. Tidak adanya
konektivitas antar satu situs dengan yang lain sehingga hal ini bisa menjadi
hambatan dalam pengembangan di wisata di Geopark Ijen. Padahal masing-masing
titik itu adalah memiliki daya dukung cerita yang sama seperti misalkan situs
geologi batuan terobosan Teluk Hijau dan Pulau merah dan memiliki
keterhubungan satu cerita yang saling berkaitan yaitu kita bisa menjelaskan bantuan
terobosan sehingga ada mineralisasi. Pengamatan di Pulau Merah kita bisa
menemukan badan terobosan yang kemudian menghasilkan mineralisasi emas dan
tembaga dan juga produk lelehan lava efusif yang menghasilkan lava vesikuler situs
Grajagan. Hal lain terkait optimalisasi atau desain rute yang kemudian terkait
dengan pembuatan interpretasi geowisata kedepannya tentunya dengan adanya jalur
ke wisata ini akan menjadi langkah pengembangan selanjutnya agar antara situs
dengan situs yang lain bisa terkoneksi dengan tema yang berbeda sehingga tema ini
bisa dijadikan sebagai bahan dasar atau rujukan bagi teman-teman pelaku wisata
untuk travel dan sebagainya untuk menjadi paket-paket yang menarik kepada
wisatawan tapi dengan bahasa sederhana. rekomendasinya adalah adanya fasilitas
54
publik yang kemudian bisa mengkoneksikan antara satu benda yang lain kemudian
adanya peningkatan kapasitas untuk pemanduan di masing-masing situ sehingga
jalur di wisata ini bisa optimal dan bisa dirasakan bagi seluruh pihak yang
selanjutnya
adalah
masing-masing
situs
perlu
dipetakan
kebutuhannya.
Harapannya orang-orang bisa mengerti kira-kira di satu lokasi itu ada hal menarik
sehingga bisa mendapatkan informasi apa saja yang dapat menjadi apa sumber
informasi yang sangat menarik bagi wisatawan dan mungkin dalam bentuk papanpapan panel dan sebagainya. Pada beberapa kios informasi telah dilengkapi dengan
brosur, leaflet, buku tentang Geopark Ijen, namun masih belum menyeluruh. Panel
mitigasi bencana dipasang situs sebagai peringatan bagi pengunjung untuk
mengurangi risiko kecelakaan dan menjaga keselamatan mereka. Pemanfaatan
aksesibilitas dari berbagai penjuru juga menjadi tantangan yang cukup berat untuk
memaksimalkan geotrail ini. Konektivitas jalur kawasan selatan dengan timur,
tengah, dan utara harus dipikirkan dengan baik agar geotrail yang telah disusun
dapat terhubung. Secara umum kawasan Geopark Ijen sebenarnya telah terhubung
dengan beberapa akses transportasi umum melalui jalur darat, laut, maupun udara.
Namun transportasi publik di dalam kawasan justru menjadi hal yang masih sangat
kurang dan perlu dikembangkan secara serius dalam waktu dekat karena menjadi
jantung terhubungnya jalur geotrail yang telah disusun.
Gambar V.2 Peta jalur transportasi di Kawasan Geopark Ijen.
55
Bab VI Kesimpulan
Penelitian mengenai karakterisasi dari jalur geowisata yang ada di Kawasan Geopark
Ijen menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Berdasarkan urutan kejadian geologi yang terjadi di Ijen UNESCO Global
Geopark Ijen didapatkan 5 tema jalur geowisata (geotrail) dengan tema
dominan adalah gunungapi baik tua, muda ataupun transisi kars yang muncul
diantara 2 tematik tersebut.
2. Penentuan geotrail berdasarkan umur geologi, lima aspek warisan geologi dan
aksesibilitas yang eksisting karena tujuannya tidak hanya untuk pendidikan tapi
juga wisatawan umum.
3. Untuk menambah length of stay wisatawan diperlukan kait hubung geologi
umur tersier dengan kuarter dengan fenomena geologi yang sama.
4. Aksesibilitas yang kurang perlu dijadikan perhatian untuk mendukung jalur
geotrail yang berkesinambungan.
5. Berdasarkan analisis SWOT Pembangunan aksesibilitas, atraksi dan amenitas
yang melibatkan unsur pentahelix dengan membentuk forum koordinasi antar
stakeholder untuk mendukung integrasi situs menjadi sebuah geotrail,
merumuskan peraturan terkait alih fungsi lahan pada area wisata Geopark Ijen
untuk meminimalisasi gangguan lingkungan serta melakukan pemetaan
sumberdaya manusia sebagai simpul kader konservasi dan mitigasi bencana
dengan program peningkatan kapasitas SDM.
56
DAFTAR PUSTAKA
Abratis, M., Viereck, L., Büchner, J., dan Tietz, O. (2015): Route to the volcanoes
in germany-conceptual model for a geotourism project interconnecting geosites
of cenozoic volcanism, Zeitschrift Der Deutschen Gesellschaft Fur
Geowissenschaften, 166(2), 161–185. https://doi.org/10.1127/zdgg/2015/0035
Agustiyanto, D. A., dan Santosa, S. (1993): Peta geologi lembar Situbondo, Jawa,
Bandung.
Alberico, I., Alessio, G., Fagnano, M., dan Petrosino, P. (2023): The Effectiveness
of Geotrails to Support Sustainable Development in the Campi Flegrei Active
Volcanic Area, Geoheritage, 15(1). https://doi.org/10.1007/s12371-02200778-6
Armiero, V., Petrosino, P., Lirer, L., dan Alberico, I. (2011): The GeoCaF project:
Proposal of a geosites network at Campi Flegrei (Southern Italy), Geoheritage,
3(3), 195–219. https://doi.org/10.1007/s12371-011-0033-1
Baláž, B., Štrba, Ľ., Lukáč, M., dan Drevko, S. (2014): Geopark development in
the Slovak republic – alternative possibilities, International Multidisciplinary
Scientific GeoConference Surveying Geology and Mining Ecology
Management,
SGEM,
International
Multidisciplinary
Scientific
Geoconference, Institute of Geotourism, Technical University of Košice,
Slovakia, 2, 313–320.
Beardmore, S. R. (2021): Shifting Continents and a Devonian Lake Full of Fish:
The extraordinary Geological History of the Shetland Geopark,
Geoconservation
Research,
4(1),
158–169.
https://doi.org/10.30486/GCR.2021.1912922.1052
Becerra-Ramírez, R., Gosálvez, R. U., Escobar, E., González, E., Serrano-Patón,
M., dan Guevara, D. (2020): Characterization and geotourist resources of the
campo de calatrava volcanic region (Ciudad real, Castilla-la Mancha, Spain) to
develop a UNESCO global geopark project, Geosciences (Switzerland),
10(11), 1–35. https://doi.org/10.3390/geosciences10110441
Bitschene, P. R. (2015): Edutainment with basalt and volcanoes - The rockeskyller
kopf example in the westeifel volcanic field/vulkaneifel european geopark,
Germany, Zeitschrift Der Deutschen Gesellschaft Fur Geowissenschaften,
166(2), 187–193. https://doi.org/10.1127/zdgg/2015/0029
Bordy, M. E., dan Sztanó, O. (2021): Badenian (Middle miocene) continental
paleoenvironment in the novohrad–nógrád basin (central paratethys): A
volcano-sedimentary record from the páris-patak valley in Hungary, Foldtani
Kozlony, 151(2), 159. https://doi.org/10.23928/foldt.kozl.2021.151.2.159
Brustur, T., Stănescu, I., Macaleţ, R., dan Melinte-Dobrinescu, M. C. (2015): The
mud volcanoes from Berca: A significant geological patrimony site of the
BuzĂu Land Geopark (Romania), Geo-Eco-Marina, 2015(21), 73–96.
Casadevall, T. J., Tormey, D., dan Van Sistine, D. (2019): Protecting our global
volcanic estate: Review of international conservation efforts, International
Journal
of
Geoheritage
and
Parks,
7(4),
182–191.
https://doi.org/10.1016/j.ijgeop.2020.01.002
Cho, H., Kim, J.-S., Kang, H.-C., Park, J.-W., Shin, S., Chae, Y.-U., Ha, S., Kim,
H. S., dan Lim, H. S. (2021): Geological values of the Ueumdo geosite in the
57
Hwaseong Geopark, Korea and its application to geo-education, Journal of the
Geological
Society
of
Korea,
57(3),
257–273.
https://doi.org/10.14770/JGSK.2021.57.3.257
Çiftçi, Y., dan GÜNGÖR, Y. (2021): Natural and cultural heritage integration and
geoconservation recommendatory of the nemrut - süphan proposed geopark
area, bitlis - turkey, Bulletin of the Mineral Research and Exploration, 165,
191–215. https://doi.org/10.19111/bulletinofmre.860092
Couto, H., dan Lourenço, A. (2014): Geoconservation in s. pedro da cova-couce
(north Portugal): An educational and scientific-touristic trail, International
Multidisciplinary Scientific GeoConference Surveying Geology and Mining
Ecology Management, SGEM, International Multidisciplinary Scientific
Geoconference, Universidade do Porto, Departamento de Geociências,
Ambiente e Ordenamento do Território e Centro de Geologia da Universidade
do Porto, Porto, Portugal, 1, 137–144.
Desbois, J.-L., dan Costabloz, V. (2013): Garins’ landslide: From a geohazard to a
touristic and pedagogical geosite, Rendiconti Online Societa Geologica
Italiana, Massif des Bauges Geopark and Natural Regional Park, 73 630, Le
Chatelard, France, 28, 41–44.
Dong, Y., dan Zhang, L. (2019): Development and Protection of Geological
Resources in Datong Volcanic Cluster National Geopark, W. C.-H., W. R., dan
W. J., ed., E3S Web of Conferences, EDP Sciences, College of Architecture
and Surveying Engineering, Datong University, Datong, 037000, China, 118.
https://doi.org/10.1051/e3sconf/201911804036
Drápela, E. (2023): Using a Geotrail for Teaching Geography: An Example of the
Virtual Educational Trail “The Story of Liberec Granite”, Land, 12(4).
https://doi.org/10.3390/land12040828
Ertekin, C., Ekinci, Y. L., Büyüksaraç, A., dan Ekinci, R. (2021): Geoheritage in a
Mythical and Volcanic Terrain: an Inventory and Assessment Study for
Geopark and Geotourism, Nemrut Volcano (Bitlis, Eastern Turkey),
Geoheritage, 13(3). https://doi.org/10.1007/s12371-021-00593-5
Fancello, D., Columbu, S., Cruciani, G., Dulcetta, L., dan Franceschelli, M. (2022):
Geological and archaeological heritage in the Mediterranean coasts: Proposal
and quantitative assessment of new geosites in SW Sardinia (Italy), Frontiers
in Earth Science, 10. https://doi.org/10.3389/feart.2022.910990
Fu, H., Fu, B., Shi, P., dan Zheng, Y. (2021): International geological significance
of the potential Al-Medina volcanic UNESCO Global Geopark Project in Saudi
Arabia revealed from multi-satellite remote sensing data, Heritage Science,
9(1). https://doi.org/10.1186/s40494-021-00610-4
Gaidzik, K., Żaba, J., dan Ciesielczuk, J. (2020): Tectonic control on slow-moving
Andean landslides in the Colca Valley, Peru, Journal of Mountain Science,
17(8), 1807–1825. https://doi.org/10.1007/s11629-020-6099-y
Hasegawa, S., Tsuruta, S., dan Maeda, M. (2015): Preservation of Sanukite, the
highly sophisticated music instrument made of andesite, 99–102 dalam
Engineering Geology for Society and Territory - Volume 8: Preservation of
Cultural Heritage, Springer International Publishing, Faculty of Engineering,
Kagawa
University,
Hayashicho,
Takamatsu,
2217-20,
Japan.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-09408-3_14
58
Herrera-Franco, G., Carrión-Mero, P., Alvarado, N., Morante-Carballo, F.,
Maldonado, A., Caldevilla, P., Briones-Bitar, J., dan Berrezueta, E. (2020):
Geosites and georesources to foster geotourism in communities: Case study of
the santa elena peninsula geopark project in Ecuador, Sustainability
(Switzerland), 12(11). https://doi.org/10.3390/su12114484
J., F., dan D., P. (Ed.) (2017): Public Recreation and Landscape Protection - With
Nature Hand in Hand? Conference Proceeding 2017.Public Recreation and
Landscape Protection - With Nature Hand in Hand? Conference Proceeding
2017, Mendel University in Brno.
Jeon, Y., Koh, G. W., Moon, D. C., Park, J. B., Kim, G.-P., dan Ryu, C. K. (2019):
Geology and volcanic activities of Biyangdo volcano, the northwestern part of
Jeju Island, Korea, Journal of the Geological Society of Korea, 55(3), 291–
313. https://doi.org/10.14770/jgsk.2019.55.3.291
Jeon, Y., Koh, J.-G., dan Southcott, D. (2023): A case study of Geopark activation
through Geobranding and Geotrails at the Jeju Island UNESCO Global
Geopark,
Republic
of
Korea,
Episodes,
46(2),
211–227.
https://doi.org/10.18814/epiiugs/2022/022024
Jeong, S.-H., Gwon, O., Kim, T., Naik, S. P., Lee, J., Son, H., dan Kim, Y.-S.
(2020): Value of geologic geomorphic resources of danyang-gun and its
application from geotourism perspective, Economic and Environmental
Geology, 53(1), 45–69. https://doi.org/10.9719/EEG.2020.53.1.45
Kazancı, N. (2012): Geological Background and Three Vulnerable Geosites of the
Kızılcahamam-Çamlıdere Geopark Project in Ankara, Turkey, Geoheritage,
4(4), 249–261. https://doi.org/10.1007/s12371-012-0064-2
Kuri, M. (2016): Science communication of hazards with scientific uncertainty: In
the cases of volcanic activity, Journal of Disaster Research, 11(4), 707–719.
https://doi.org/10.20965/jdr.2016.p0707
Kuri, M., dan Suppasri, A. (2018): Perceptions of Volcanic Hazard-related
information relevant to Volcano tourism areas in Japan, Journal of Disaster
Research, 13(6), 1082–1095. https://doi.org/10.20965/jdr.2018.p1082
Lima, E. A., dan Meneses, S. (2023): Azores UNESCO Global Geopark: Where
Volcanoes Tell us their Stories, Geoconservation Research, 6(1), 114–127.
https://doi.org/10.30486/gcr.2023.1982489.1131
Mayoral, E., Liñán, E., Gozalo, R., Vintaned, J. A. G., Álvarez, M. E. D., Collantes,
L., Santos, A., dan Gil-Toja, A. (2021): Early Cambrian (Marianian) Trilobites
and Associated Faunas from the Sierra Norte de Sevilla Geopark: AScientific
andHeritageApproach,
Geoconservation
Research,
4(1),
56–60.
https://doi.org/10.30486/gcr.2021.1912240.1044
Megerle, H. E. (2020): Geoheritage and geotourism in regions with extinct
volcanism in germany; case study Southwest Germany with UNESCO global
Geopark Swabian Alb, Geosciences (Switzerland), 10(11), 1–26.
https://doi.org/10.3390/geosciences10110445
Migoń, P., Kasprzak, M., dan Herget, J. (2018): Landscape diversity and geotourism in the southwest of Poland, Geographische Rundschau, 70(9), 16–21.
Migoń, P., dan Pijet-Migoń, E. (2020): Late Palaeozoic Volcanism in Central
Europe—Geoheritage Significance and Use in Geotourism, Geoheritage,
12(2). https://doi.org/10.1007/s12371-020-00464-5
59
Migoń, P., dan Pijet-Migoń, E. (2022): Exploring Causal Relationships for
Geoheritage Interpretation — Variable Effects of Cenozoic Volcanism in
Central European Sedimentary Tablelands, Geoheritage, 14(1).
https://doi.org/10.1007/s12371-021-00637-w
Miklín, J., dan Lenart, J. (2016): Visualisation of volcanic relief and processes: the
Nízký Jeseník upland educational trail, Czech Republic, Journal of Maps,
12(5), 1104–1111. https://doi.org/10.1080/17445647.2015.1127859
Moradi, A., Maghsoudi, M., Moghimi, E., Yamani, M., dan Rezaei, N. (2021): A
Comprehensive Assessment of Geomorphodiversity and Geomorphological
Heritage for Damavand Volcano Management, Iran, Geoheritage, 13(2).
https://doi.org/10.1007/s12371-021-00551-1
Moufti, M. R., dan Németh, K. (2013): The Intra-Continental Al Madinah Volcanic
Field, Western Saudi Arabia: A Proposal to Establish Harrat Al Madinah as the
First Volcanic Geopark in the Kingdom of Saudi Arabia, Geoheritage, 5(3),
185–206. https://doi.org/10.1007/s12371-013-0081-9
Moufti, M. R., Németh, K., El-Masry, N., dan Qaddah, A. (2013): Geoheritage
values of one of the largest maar craters in the Arabian Peninsula: The Al
Wahbah Crater and other volcanoes (Harrat Kishb, Saudi Arabia), Central
European
Journal
of
Geosciences,
5(2),
254–271.
https://doi.org/10.2478/s13533-012-0125-8
Moufti, M. R., Németh, K., Murcia, H., Lindsay, J. M., dan El-Masry, N. (2013):
Geosite of a steep lava spatter cone of the 1256 AD, Al Madinah eruption,
Kingdom of Saudi Arabia, Central European Journal of Geosciences, 5(2),
189–195. https://doi.org/10.2478/s13533-012-0123-x
Németh, K., dan Moufti, M. R. (2017): Geoheritage Values of a Mature
Monogenetic Volcanic Field in Intra-continental Settings: Harrat Khaybar,
Kingdom
of
Saudi
Arabia,
Geoheritage,
9(3),
311–328.
https://doi.org/10.1007/s12371-017-0243-2
Németh, K., dan Moufti, M. R. (2023): Lava Flow Hazard and Its Implication in
Geopark Development for the Active Harrat Khaybar Intracontinental
Monogenetic
Volcanic
Field,
Saudi
Arabia,
Land,
12(3).
https://doi.org/10.3390/land12030705
Nomikou, P., Panousis, D., Nikoli, E., Antoniou, V., Emmanouloudis, D.,
Pehlivanides, G., Agiomavritis, M., Nastos, P., Cieslak-Jones, E., dan Batis, A.
(2023): Nisyros Aspiring UNESCO Global Geopark: Crucial Steps for
Promoting the Volcanic Landscape’s Unique Geodiversity, Geosciences
(Switzerland), 13(3). https://doi.org/10.3390/geosciences13030070
Norrish, L., Sanders, D., dan Dowling, R. (2014): Geotourism product development
and stakeholder perceptions: A case study of a proposed geotrail in Perth,
Western
Australia,
Journal
of
Ecotourism,
13(1),
52–63.
https://doi.org/10.1080/14724049.2014.938654
Nössing, L., dan Forti, S. (2016): Important geosites and parks in the UNESCO
world heritage site of the Dolomites, Boletin Geologico y Minero, 127(2–3),
693–702.
Oukassou, M., Boumir, K., Benshili, K., Ouarhache, D., Lagnaoui, A., dan
Charrière, A. (2019): The Tichoukt Massif: a Geotouristic Play in the Folded
Middle
Atlas
(Morocco),
Geoheritage,
11(2),
371–379.
https://doi.org/10.1007/s12371-018-0287-y
60
Palacio Prieto, J. L., Martínez, G. F. C., dan González, E. M. R. (2019): Geotrails
in the mixteca alta UNESCO Global Geopark, Oaxaca, Mexico, Cuadernos
Geograficos, 58(2), 111–125. https://doi.org/10.30827/cuadgeo.v58i2.7055
Panizza, M., dan Piacente, S. (2017): Geomorphodiversity in Italy: Examples from
the Dolomites, Northern Apennines and Vesuvius, 501–509 dalam World
Geomorphological Landscapes, Springer, Dipartimento di Scienze Chimiche e
Geologiche, Università di Modena e Reggio Emilia, Via Campi 103, Modena,
41125, Italy. https://doi.org/10.1007/978-3-319-26194-2_43
Parkes, M., Gatley, S., dan Gallagher, V. (2021): Old volcanic stories—bringing
ancient volcanoes to life in ireland’s geological heritage sites, Geosciences
(Switzerland), 11(2), 1–23. https://doi.org/10.3390/geosciences11020052
Pásková, M., Zelenka, J., Ogasawara, T., Zavala, B., dan Astete, I. (2021): The
ABC Concept—Value Added to the Earth Heritage Interpretation?,
Geoheritage, 13(2). https://doi.org/10.1007/s12371-021-00558-8
Pe-Piper, G., Imperial, A., Piper, D. J. W., Zouros, N. C., dan Anastasakis, G.
(2019): Nature of the hydrothermal alteration of the Miocene Sigri Petrified
Forest and host pyroclastic rocks, western Lesbos, Greece, Journal of
Volcanology
and
Geothermal
Research,
369,
172–187.
https://doi.org/10.1016/j.jvolgeores.2018.11.018
Sapei, T., Suganda, A. H., Astadiredja, K. A. S., dan Suharsono (1992): Peta
geologi lembar Jember, Jawa, Bandung.
Sauqi, F. S. (2018): Vulkanostratigrafi dan petrogenesis gunung raung dan
sekitarnya, kabupaten jember dan kabupaten bondowoso, provinsi jawa timur
tugas akhir a, Institut Teknologi Bandung.
Sidarto, Suwarti, T., dan Sudana, D. (1993): Peta geologi lembar Banyuwangi,
Jawa, Bandung.
Smyth, H. (2018): East Java: Cenozoic basins, volcanoes and ancient basement,
(August), 251–266. https://doi.org/10.29118/ipa.629.05.g.045
Smyth, H. R., Hamilton, P. J., Hall, R., dan Kinny, P. D. (2007): The deep crust
beneath island arcs: Inherited zircons reveal a Gondwana continental fragment
beneath East Java, Indonesia, Earth and Planetary Science Letters, 258(1–2),
269–282. https://doi.org/10.1016/j.epsl.2007.03.044
Troll, V. R., Deegan, F. M., Jolis, E. M., Harris, C., Chadwick, J. P., Gertisser, R.,
Schwarzkopf, L. M., Borisova, A. Y., Bindeman, I. N., Sumarti, S., dan Preece,
K. (2013): Magmatic differentiation processes at Merapi Volcano: Inclusion
petrology and oxygen isotopes, Journal of Volcanology and Geothermal
Research, 261, 38–49. https://doi.org/10.1016/j.jvolgeores.2012.11.001
61
Download