Nama NPM Prodi Kelas : Yackobus Sahat Martua Sianipar : 3032220089 : D-III Pajak AP : 3-3 LEMBAR STUDI KASUS: KEBUDAYAAN MINANGKABAU Warung Padang di Mana-mana, Ekpansi Orang Minang? Disitu ada warung padang, biasanya ada orang minang. Warung/masakan padang sebagai ciri kas budaya minang yang dengan mudah kita lihat/temukan. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatra Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44%. Berdasarkan sensus tahun 2010, etnis Minang yang tinggal di Sumatra Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir separuh orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi orang Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978, dimana lebih 80% perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda. Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatra Barat. Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauan. Para perantau Minang, hampir keseluruhannya berada di kota-kota besar Indonesia dan Malaysia. Di beberapa perkotaan, jumlah mereka cukup signifikan dan bahkan menjadi pihak mayoritas. Di Pekanbaru, perantau Minang berjumlah 37,96% dari seluruh penduduk kota, dan menjadi etnis terbesar di kota tersebut. Jumlah ini telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 1971 yang mencapai 65%. Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di mana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu. Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatra. Mereka mendirikan koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatra. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee; Barus, Sibolga, Natal, Bengkulu, hingga Lampung. Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi. Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak. Pada masa penjajahan Hindia Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatra Timur mulai dibuka. Pasca-kemerdekaan, para perantau Minang telah bermukim di setiap kota-kota besar di Indonesia, serta di Kuala Lumpur, Penang, dan Singapura. Diluar Asia Tenggara, Minang perantauan banyak dijumpai di Arab Saudi, Australia, Jepang, Belanda, dan Amerika Serikat. Sebagian besar mereka menjadi ekspatriat, pelajar, dan pedagang. Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau#Jumlah_perantau Kota konsentrasi perantau Minang Kota Jumlah (2010) Persentase* Seremban 282.971 50,9% Pekanbaru 343.121 37,96% Batam 169.887 14,93% Tanjung Pinang 26.249 14,01% Medan 181.403 8,6% Bandar Lampung 74.071 8,4% Banda Aceh 13.606 7,8% Palembang 103.025 7,1% Bandung 101.729 4,25% Jakarta Raya 889.039 3,18% Singapura 15.052 0,3% [55] *Persentase dari keseluruhan penduduk kota Pertanyaan: Menurut Pendapat Anda apa menyebabkan orang Minang/Padang bisa menyebar dan eksis di negeri rantau? Jawaban : Beberapa ahli sejarah memprediksi bahwa nenek moyang dari penduduk Kepulauan Nusantara dulunya berasal dari dataran Asia Tenggara. Telebih di dataran pulau Sumatera karena dekat dengan Semananjung Malaya yang menyebabkan suku-suku di Sumatera merupaka rumpun Proto Melayu (Melayu Tua). Hal ini menunjukan bahwa nenek moyang kia sudah melalui banyak perjalanan untuk sampai ke Nusantara, hal ini pun masih menurun dan melekat kepada beberapa suku di Sumatera salah satunya Suku Minangkabau. Tradisi merantau oleh orang Minangkabau dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, tradisi matrilineal yang dilaksanakan di Minangkabau. Tradisi ini mengambil garis keturunan dari pihak perempuan (Ibu), sehingga harta dan kekayaan pastinya diturunkan kepada anak perempuan walaupun pihak laki-laki masih dapat menggunakannya namun tidak penuh. Karena hal tersebut, para laki-laki Minangkabau banyak yang merantau untuk mencari kesuksesan dan kekayaan yang tidak bisa mereka dapatkan. Kedua, mayoritas Suku Minangkabau menganut agama Islam. Akibatnya nilai-nilai adat dalam Minangkabau banyak yang terilhami dari Agama Islam. Dalam perspektif Agama Islam sendiri merantau disebut dengan berhijrah merupakan cara bagi manusia untuk mengubah nasib untuk menuju keadaan yang lebih baik (diambil dari Jurnal Prosiding The 5 th International Conference on Indonesian Studies: “Ethnicity and Globalization” dengan judul Hidup di Rantau dengan damai : Nilai-Nilai Kehidupan Orang Minangkabau Dalam Menyesuaikan Diri Dengan Lingkungan Dan Budaya Baru, karya Misnal Munnir). Ketiga, sebagai manusia bila kita sedang ada perselisihan atau ketegangan dengan keluarga atau orang sekitar kita pasti akan pergi ke suatu tempat untuk sementara atau selamanya untuk menenangkan diri dan mencari cara pandang yang baru. Merantau juga dapat dijadikan cara bagi kita untuk menenagkan diri. Menurut saya hal ini juga yang mendasari orang Minangkabau untuk merantau. Orang Minangkabau dapat sangat eksis di tempat dimana mereka merantau bisa terjadi karena rata-rata suku Minangkabau menganut agama Islam yang dimana merupakan agama mayoritas di Indonesia dan di Asia Tenggara. Melalui hal tersebut banyak orang Minangkabau yang membuka banyak rumah makan dan hal ini membangun trust bagi masyarakat untuk mencicipinya dan merasakan cita rasa yang baru yang belum pernah dirasakan di daerah rantaunya. STUDI KASUS KEBUDAYAAN ACEH Provinsi Aceh adalah daerah istimewa dengan aturan khusus sehingga provinsi ini mempunyai hak istimewa membuat aturan hukumnya sendiri, yakni Qanun. Provinsi Aceh membuat aturan hukum yang berdasarkan dari hukum dan syariat Islam. Dengan landasan hukum ini, Aceh memberlakukan hukum cambuk bagi yang melakukan perbuatan amoral seperti mencuri, berjudi hingga berzina. Pada awal Januari 2018 lalu, Aceh kembali mengeksekusi hukum cambuk termasuk juga terpidana bukan Musim. Sebanyak 10 orang terpidana dieksekusi hukum cambuk yang melanggar Syariat Islam oleh Polisi Pamong Praja Banda Aceh dan Wilayatul Hisbah atau Polisi Syariat Islam. Sebelumnya pada tahun 2014, pelaksanaan hukuman cambuk sudah dilaksanakan dan dijatuhkan kepada satu pasangan gay, perempuan berzinah dan pelaku pelecehan anak. Selain itu, Aceh memiliki beberapa aturan khusus, seperti ketika di kampus dilarang mengenakan pakaian yang ketat dan transparan. Lalu tidak diperbolehkan memakai kaus oblong dan berambut gondrong. Khusus untuk mahasiswi tidak diperbolehkan memakai celana dan harus memakai rok. Ketika kamu berwisata ke Aceh, bagi perempuan diharuskan menggunakan penutup kepala untuk menghormati budaya setempat. Dan juga Aceh memberlakukan aturan jam malam bagi perempuan yang tidak boleh keluar di atau jam 10 malam. (Sumber : https://www.kompasiana.com/gigih98582/5c65190caeebe178863382b5/8-fakta-unik-yang-bisa-kamu-ketahuitentang-tanah-rencong-aceh?page=all) Pertanyaan : 1. 2. Jika Anda berkunjung atau ditempatkan kelak di Aceh apa yang harus Anda lakukan terkait dengan keunikan Aceh dalam penerapan Syariah Islam? Ada istilah “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.” Bagaimana pandangan Anda terhadap budaya Aceh jika misalnya Anda bukan orang Aceh dan bukan orang Islam? Jawaban: 1. Tentunya yang pertama yang harus dilakukan ialah kita harus menghormati budayanya. Tidak menghina atau menjelekkan budaya mereka. Lalu yang kedua ialah kita menjadikan momen tersebut menjadi saat kita untuk belajar kebudayaan yang baru. Kita dapat menyadari dan memahami bahwa Indonesia saangat kaya akan keragaman budaya. Lalu yang ketiga, kita harus menaati larangan dan mengikuti anjuran budaya mereka tersebut namun tetap memperhatikan sejauh mana dapat kita lakukan dengan mempertimbangkan identitas diri kita, seperti agama yang kita anut sendiri. 2. Istilah tersebut menyiratkan bahwa kita harus menaati dan mengikuti aturan dimana kita berada. Namun kita tidak boleh mengartikan hal tersebut secara harfiah yang akan menjadikannya seperti pengekangan. Kita sebagai orang yang berpendidikan harus kritis terhadap hal itu. Kita memang harus mengikuti aturan daerah yang kita tinggali namun sesuai dengan Batasan-batasan yang kita anut dalam diri kita. Seperti larangan di Aceh agar tidak berzinah bebas, larangan ini merupakan hal yang baik. Tidak ada golongan berakal budi di dunia ini yang membebaskan zinah. Untuk contoh tersebut tentunya kita dapat mengikuti dan menurutinya. Lalu larangan untuk berpenampilan sopan, hal ini tentunya pasti harus kita laksanakan. Untuk kewajiban menggunakan hijab, bagi non muslim menurut saya tidak masalah asalkan iman yang dipercayai tetap sesuai dengan agamanya. Perlu diketahui tidak semua daerah di Aceh yang mengharuskan wajib mengenakan hijab, hanya beberapa daerah saja. Pada intinya, aturan-aturan yang ada dibuat untuk memberikan ketertiban dan kenyamanan bersama. Kita diibaratkan seperti tamu yang dating ke rumah orang lain, tentunya kita harus berperilaku sopan dan tertib.