Uploaded by Gabryel Rosely

9. PBB 5L (1)

advertisement
© Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Diterbitkan oleh Unit Penerbitan PKN STAN, Tangerang Selatan 2020
Dilarang memperbanyak isi buku ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin
tertulis dari penerbit (Sesuai Pasal 2 ayat 1 UU No. 19 Tahun 2002)
Sanksi Pelanggaran
Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan
atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
PBB SEKTOR P5L
Adhipradana Prabu Swasito
Dhian Adhetiya Safitra
Politeknik Keuangan Negara STAN
Pajak Bumi dan Bangunan | i
PBB SEKTOR P5L
Hak Cipta © Penulis
Editor
Hanik Susilawati Muamarah
Penulis
Adhipradana Prabu Swasito,
Dhian Adhetiya Safitra
Penata Letak
T. Widiasih Asmaningtyas
Desain Sampul
Irawan
Diterbitkan oleh
Politeknik Keuangan Negara STAN
Jl. Bintaro Utama Sektor V, Bintaro Jaya
Tangerang Selatan, Banten, Indonesia 15222
Telp. 021 7361654-58 Ext.113 Fax. 021 7361653
Cetakan Perdana: Juli 2020
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
PBB SEKTOR P5L
Tangerang Selatan: Politeknik Keuangan Negara STAN, 2020
ISBN: 978-623-93618-5-3
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Pajak Bumi dan Bangunan | ii
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya untuk Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan
banyak kenikmatan kepada kita sehingga bahan ajar pendidikan dapat
diselesaikan oleh Tim Penyusun di lingkungan Politeknik Keuangan Negara STAN.
Bahan ajar pendidikan ini merupakan salah satu media yang dapat
digunakan oleh mahasiswa dan dosen dalam kegiatan perkuliahan. Selain itu,
bahan ajar ini merupakan hasil kerja keras dari Tim Penyusun yang terdiri atas
dosen, praktisi, dan
pegawai PKN STAN yang telah memberikan ilmu dan
waktunya sehingga tersusunlah sumber belajar yang sangat kaya.
Dengan demikian, saya mengimbau kepada seluruh sivitas akademika
Politeknik Keuangan Negara STAN, khususnya mahasiswa, untuk memanfaatkan
bahan ajar pendidikan ini sebaik mungkin. Selain sebagai sumber belajar yang
dapat meningkatkan pengetahuan, inovasi, dan keterampilan yang diperlukan
untuk menyelesaikan studi di PKN STAN, bahan ajar ini juga menjadi bekal untuk
mendukung kinerja pada saat Kalian memasuki lingkungan kerja.
Ucapan terima kasih sekali lagi saya sampaikan kepada seluruh Tim
Penyusun dan semua pihak yang membantu sehingga bahan ajar pendidikan ini
dapat terealisasi penerbitannya. Semoga Allah selalu memberikan nikmat dan
karunia-Nya kepada kita agar kita dapat memberikan hal-hal yang positif dalam
meningkatkan pengetahuan terkait pengelolaan keuangan negara.
Tangerang Selatan,
Mei 2020
Direktur,
Rahmadi Murwanto
Pajak Bumi dan Bangunan | iii
SEKAPUR SIRIH
Penyusunan bahan ajar ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami
ketentuan dan pengadministrasian Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan,
Perhutanan, Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi, Pertambangan Mineral atau Batubara, dan Sektor
Lainnya (disebut dengan PBB P5L) dengan menyeluruh. Bahan ajar ini
menyajikan penjelasan dan contoh penerapan dari ketentuan yang saat ini berlaku
serta contoh penghitungan PBB P5L. Bahan ajar ini juga menyajikan video
pembelajaran yang dapat diakses melalui URL dengan cara memindai kode QR
(QR Code) yang disediakan di setiap bab.
Dengan adanya perubahan ketentuan yang cukup signifikan dalam
penatausahaan PBB P5L mulai Tahun Pajak 2020, bahan ajar ini menjadi krusial
dalam memperbarui pengetahuan mahasiswa di bidang PBB P5L. Kami berharap
bahan ajar ini dapat menjadi pendukung dalam menyiapkan mahasiswa Politeknik
Keuangan
Negara
STAN
yang
dapat
langsung
berperan
aktif
dalam
penatausahaan PBB P5L. Tentu saja, bahan ajar ini terbuka untuk kritik dan saran
agar tujuan dari bahan ajar dapat tercapai.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Direktur, Ketua Jurusan
Perpajakan, Ketua Program Diploma III PBB/Penilai, serta pihak-pihak lainnya
yang telah berperan dalam penyelesaian bahan ajar ini. Selain itu, secara khusus
penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Hanik Susilawati Muamarah,
Dhian Adhetiya Safitra, serta Bagus Suyanto atas saran dan masukan yang
berharga selama proses penyusunan bahan ajar ini.
Adhipradana P. Swasito
Tangerang Selatan
2020
Pajak Bumi dan Bangunan | iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
SEKAPUR SIRIH ................................................................................................ iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan ........................................... 1
B. Objek Pajak ............................................................................... 3
C. Objek Pajak yang Dikelola Pemerintah Pusat ........................... 5
D. Subjek Pajak.............................................................................. 5
BAB 2 PENDAFTARAN DAN PEMUTAKHIRAN .................................................. 7
A. Official Assessment System ...................................................... 7
B. Pendataan Objek PBB dan Subjek PBB .................................... 8
C. Pemberian, Penyesuaian, dan Penghapusan Nomor Objek
Pajak ....................................................................................... 14
BAB 3 PENGHITUNGAN PBB ........................................................................... 19
A. Dasar Pengenaan Pajak dan Dasar Penghitungan Pajak ....... 19
B. Penghitungan PBB .................................................................. 21
C. Tahun Pajak dan Saat yang Menentukan Terutangnya Pajak . 22
D. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pengadministrasi Objek
Pajak ....................................................................................... 23
BAB 4 PENILAIAN PBB ..................................................................................... 27
A. Penilaian untuk Menentukan NJOP ......................................... 27
B. Pendekatan Data Pasar .......................................................... 28
C. Pendekatan Biaya ................................................................... 30
D. Pendekatan Pendapatan ......................................................... 32
E. Penetapan NJOP oleh Direktur Jenderal Pajak ....................... 33
BAB 5 KETETAPAN PAJAK I ............................................................................ 35
A. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang ..................................... 35
B. Surat Ketetapan Pajak ............................................................. 37
C. Penelitian PBB dan Pemeriksaan ............................................ 39
BAB 6 KETETAPAN PAJAK II ........................................................................... 43
A. Surat Tagihan Pajak PBB ........................................................ 43
B. Pembayaran PBB Terutang ..................................................... 49
BAB 7 HAK WAJIB PAJAK ................................................................................ 53
Pajak Bumi dan Bangunan | v
A. Pembatalan Penetapan Status Wajib Pajak ............................ 53
B. Keberatan PBB ........................................................................ 54
C. Pengurangan PBB ................................................................... 55
D. Pengurangan Denda Administrasi ........................................... 58
BAB 8 PBB SEKTOR PERKEBUNAN................................................................ 60
A. Objek Pajak PBB Sektor Perkebunan ..................................... 60
B. Penetapan NJOP..................................................................... 62
C. Penghitungan PBB Sektor Perkebunan................................... 63
BAB 9 PBB SEKTOR PERHUTANAN................................................................ 71
A. Objek Pajak PBB Sektor Perhutanan ...................................... 71
B. Penetapan NJOP..................................................................... 74
C. Penghitungan PBB Sektor Perhutanan ................................... 76
BAB 10 PBB SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI ............... 81
A. Objek Pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi ........................................................................................ 81
B. Penetapan NJOP..................................................................... 85
C. Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas .................... 87
BAB 11 PBB SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PENGUSAHAAN PANAS
BUMI .................................................................................................... 93
A. Pengusahaan Panas Bumi ...................................................... 93
B. Objek Pajak PBB Sektor Pertambangan Pabum ..................... 94
C. Penetapan NJOP..................................................................... 96
D. Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Pabum .................. 98
BAB 12 PBB SEKTOR PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA ......... 102
A. Objek Pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau
Batubara ................................................................................ 102
B. Penetapan NJOP................................................................... 105
C. Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Minerba............... 110
BAB 13 PBB SEKTOR LAINNYA ..................................................................... 115
A. Objek Pajak PBB Sektor Lainnya .......................................... 115
B. PBB Sektor Lainnya – Perikanan Tangkap ........................... 116
C. PBB Sektor Lainnya – Pembudidayaan Ikan ......................... 119
D. PBB Sektor Lainnya – Jaringan Pipa dan Jaringan Kabel ..... 119
E. PBB Sektor Lainnya – Ruas Jalan Tol ................................... 120
F. PBB Sektor Lainnya – Fasilitas Penyimpanan dan
Pengolahan ........................................................................... 121
Pajak Bumi dan Bangunan | vi
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 123
BIODATA PENULIS ......................................................................................... 126
Pajak Bumi dan Bangunan | vii
PENDAHULUAN
BAB
1 PENDAHULUAN
Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa memahami sejarah pemungutan PBB
2. Mahasiswa memahami objek PBB
3. Mahasiswa memahami subjek PBB
A. Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan
1.
Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan di Dunia
Pajak Bumi dan Bangunan, juga dikenal dengan pajak properti,
merupakan salah satu pajak tertua di dunia. Di seluruh negara pada
jaman kuno (ancient times) baik di negara Mesir, Cina, Babilonia,
maupun Persia, pajak properti sederhana sudah digunakan oleh para
penguasa. Pada masa tersebut, pajak properti digunakan sebagai
sarana untuk mengumpulkan kekayaan untuk kepentingan penguasa. Objek pajak
properti pada masa tersebut adalah nilai tanah serta hasil dari pengembangan
atas tanah.
Kemudian sekitar tahun 200 hingga 300 sebelum Masehi, kerajaan Romawi juga
sudah melakukan praktik pemungutan pajak properti. Para penduduk dari
kerajaan Romawi diharuskan membayar pajak properti atas nilai tanah, baik yang
digunakan untuk tempat tinggal, peternakan, pertanian, maupun untuk tujuan yang
lain. Pada masa ini, tarif pajak yang berlaku sebesar 1% dari nilai properti. Namun
tarif tersebut dapat bertambah tinggi pada masa perang atau ketika kerajaan
mengalami krisis keuangan.
Pada zaman pertengahan (medieaval age), kerajaan Inggris juga sudah
mempraktikkan pajak atas tanah. Pajak atas tanah ini dikenakan bersamaan
dengan poll taxes (pajak yang dipungut atas setiap orang dewasa, tanpa
memperhatikan penghasilan). Di zaman tersebut, seluruh tanah merupakan milik
dari Raja atau Tuan Tanah (landlord), dan “rakyat biasa” membayar pajak sebagai
bentuk sewa atas tanah tersebut. Jika tanah yang disewa oleh “rakyat biasa”
menghasilkan panen yang lebih banyak, maka pajak yang harus dibayar juga lebih
besar.
William the Conqueror mereformasi sistem pajak atas tanah di Inggris sehingga
lebih menyerupai sistem perpajakan yang berlaku saat ini. Dia menginstruksikan
para pejabat kota untuk membuat catatan kepemilikan tanah atau rumah di
masing-masing kota. Properti di setiap bagian dari kota kemudian dinilai, dan nilai
tersebut menjadi dasar untuk pengenaan pajak. Dengan sistem seperti itu, setiap
1 | Pajak Bumi dan Bangunan
kota memiliki catatan mengenai nilai masing-masing properti yang telah dinilai,
dan besarnya pajak yang harus dibayar oleh masing-masing penduduk. Buku
tersebut dikenal dengan nama Domesday Book dan kemudian disimpan hingga
ratusan tahun. Hingga saat ini, laporan yang dihasilkan oleh para penilai properti
di Inggris sering diistilahkan dengan istilah Domesday Book.
Sementara itu di Amerika Serikat, tepatnya di negara bagian Boston, pajak atas
properti dipungut untuk tujuan tertentu. Hasil dari pajak tersebut digunakan untuk
kepentingan pendidikan religius bagi anak-anak. Pajak tersebut bersifat wajib dan
praktik tersebut berlangsung hingga sekitar 100 tahun. Pada akhir tahun 1900,
negara-negara bagian di Amerika Serikat mulai terjadi reformasi perpajakan
properti. Pajak properti mulai dikhususkan hanya pajak atas kepemilikan rumah.
Di masa tersebut, tarif pajak properti ditetapkan dengan tarif yang lebih rendah
dari sebelumnya dan masing-masing negara bagian lebih menggencarkan
pemungutan pajak penghasilan dan pajak penjualan. Setelah berakhirnya Perang
Dunia Kedua, kondisi perekonomian di Amerika tumbuh dengan cepat seiring
dengan bertambahnya penghasilan masyarakat. Sejak saat itu, kontribusi pajak
properti terhadap keseluruhan penerimaan pajak di negara Amerika Serikat
semakin kecil jika dibandingkan dengan kontribusi penerimaan yang
disumbangkan oleh Pajak Penghasilan.
2.
Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia
Di Indonesia, Pajak Bumi dan Bangunan sudah dikenal sejak zaman kerajaan.
Pada zaman tersebut, rakyat membayar sebagian dari hasil pertanian kepada
para penguasa. Penyerahan tersebut bersifat wajib sebagai bukti pengakuan atas
kepemimpinan penguasa atas tanah yang digunakan oleh rakyat. Kerajaan
Mataram, sebagai contoh, mengenakan pajak atas tanah yang didasarkan pada
luasan tanah yang digunakan. Sedangkan di kerajaan Aceh tercatat sebuah
pungutan dengan istilah wase, yang merupakan pungutan atas tanah ladang.
Pada zaman penjajahan Belanda dan Inggris, pungutan Pajak Bumi dan
Bangunan juga sudah dipraktikkan. Sir Stanford Raffles (berkebangsaan Inggris)
memperkenalkan Land Rent, yang harus dibayar oleh para kepala desa kepada
kerajaan Inggris karena dianggap sebagai penyewa tanah. Besarnya tarif Land
Rent yang berlaku pada saat itu adalah sebesar 20% sampai 50% dari hasil
produksi pertanian.
Setelah masa kemerdekaan, Pajak Bumi dan Bangunan dikenal dengan nama
Pajak Bumi, dan kemudian berganti lagi menjadi Pajak Pendapatan Tanah. Pada
tahun 1959, nama tersebut berganti lagi menjadi Pajak Hasil Bumi dan dibentuklah
Direktorat Pajak Hasil Bumi sebagai Lembaga yang mengelola pajak tersebut.
Dengan penetapan ketentuan yang baru di tahun 1965, nama Pajak Hasil Bumi
diganti menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) dan dikelola oleh Direktorat
Pajak Bumi dan Bangunan | 2
IPEDA. Objek IPEDA meliputi tanah pada sektor pedesaan, perkotaan,
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Reformasi perpajakan yang dimulai pada tahun 1983 juga berimbas pada
perubahan IPEDA menjadi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang ditetapkan oleh
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU
PBB). UU PBB dilandasi pemikiran bahwa bumi dan bangunan memberikan
keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik kepada orang
atau badan yang memiliknya. Atas dasar tersebut, mereka diwajibkan memberikan
sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperoleh kepada negara melalui
pajak.
Seiring dengan terus bergulirnya reformasi serta sejalan dengan konsep
penguatan otonomi daerah, sebagian dari pengelolaan PBB dialihkan dari
Pemerintah Pusat c.q. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada Pemerintah
Daerah. Dasar hukum yang mengatur pengalihan tersebut yaitu Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Pengalihan pengadministrasian tersebut meliputi PBB sektor pedesaan dan
perkotaan (PBB P2) saja. Sedangkan, selain sektor pedesaan dan perkotaan
masih dikelola oleh Pemerintah Pusat c.q. DJP.
Tujuan dari pengalihan PBB P2 ke Pemerintah Daerah antara lain:
- Memperluas objek pajak daerah;
- Menambah jenis pajak daerah;
- Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah; dan
- Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan
pada daerah.
Menyesuaikan dengan tujuan dari bahan ajar ini, maka yang akan menjadi fokus
pembahasan pada bahan ajar ini hanya PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor
Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, PBB Sektor
Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, PBB Sektor Pertambangan
Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya (PBB P5L) yang masih dikelola
oleh Pemerintah Pusat c.q. DJP.
B. Objek Pajak
Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan. Kata “dan/atau” menunjukkan bahwa
objek PBB dapat berupa bumi saja, bangunan saja, atau kombinasi dari bumi dan
bangunan. Yang dimaksud dengan bumi menurut UU PBB adalah permukaan
bumi (meliputi tanah, perairan pedalaman, serta laut wilayah Indonesia) dan tubuh
bumi (bagian bumi yang berada di bawah permukaan bumi). Sedangkan definisi
bangunan menurut UU PBB adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Definisi tersebut menetapkan bahwa
bangunan yang tidak berada di daratan, misalnya kilang minyak lepas pantai, juga
3 | Pajak Bumi dan Bangunan
merupakan objek PBB. Lebih luas lagi, definisi atas bumi dan bangunan tersebut
menyatakan bahwa seluruh permukaan (baik berupa daratan maupun perairan)
serta bangunan yang melekat di atasnya, yang ada di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, merupakan objek PBB.
Meskipun seluruh bumi dan bangunan merupakan objek PBB, terdapat beberapa
objek pajak yang tidak dikenakan PBB. Objek pajak yang tidak dikenakan PBB
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Objek pajak yang digunakan hanya untuk melayani kepentingan umum di
bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional. Agar
dapat dikategorikan sebagai objek pajak yang tidak dikenakan PBB, objek
pajak tersebut secara nyata tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
2. Objek pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang
sejenisnya. Perlu diperhatikan bahwa objek pajak yang dimaksud pada poin ini
tidak mengharuskan objek pajak tersebut tidak digunakan untuk mencari
keuntungan. Sehingga meskipun objek pajak dalam kategori ini diusahakan
untuk mencari keuntungan, maka objek pajak tersebut tidak dikenakan PBB.
3. Objek pajak yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak.
4. Objek pajak yang digunakan oleh perwakilan diplomatik atau konsulat
berdasarkan asas timbal balik. Maksud dari asas timbal balik adalah bahwa
objek pajak ini tidak dikenakan PBB jika objek pajak serupa milik Indonesia di
negara perwakilan diplomatik atau konsulat yang bersangkutan juga tidak
dikenakan jenis pajak properti.
5. Objek pajak yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Badan atau perwakilan
organisasi internasional yang termasuk dalam kategori ini termaktub dalam
Keputusan Menteri Keuangan No 1004/KMK.04/1985 tentang Penentuan
Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang Menggunakan Obyek
Pajak Bumi dan Bangunan yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
Meskipun sudah cukup lama, peraturan tersebut masih berlaku hingga bahan
ajar ini disusun.
UU PBB juga mengatur bahwa objek pajak yang digunakan oleh negara untuk
penyelenggaraan pemerintahan tidak termasuk objek pajak yang tidak dikenakan
PBB. Namun, ketentuan pengenaan pajak untuk objek pajak tersebut berbeda
dengan pengenaan pajak untuk objek PBB pada umumnya, dan UU PBB
mengamanatkan agar ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Sejauh pengetahuan penyusun, hingga bahan ajar ini disusun belum
ada Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hal tersebut.
Pajak Bumi dan Bangunan | 4
C. Objek Pajak yang Dikelola Pemerintah Pusat
Dengan berlakunya UU PDRD, maka objek PBB di Indonesia diadministrasikan
oleh Pemerintah Daerah (PBB P2) dan Pemerintah Pusat c.q. DJP (PBB P5L). UU
PDRD mendefinisikan bahwa objek PBB P2 adalah seluruh bumi dan/atau
bangunan, kecuali bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan yang
digunakan untuk kegiatan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Oleh
sebab itu, objek PBB yang masih diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat c.q.
DJP adalah bumi dan/atau bangunan selain yang ditetapkan menjadi objek PBB
Pemerintah Daerah berdasarkan UU PDRD.
Objek PBB yang masih diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat c.q. DJP yaitu
objek pajak PBB Sektor Perkebunan, objek pajak PBB Sektor Perhutanan, objek
pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, objek pajak PBB Sektor
Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, objek pajak PBB Sektor
Pertambangan Mineral atau Batubara, objek pajak PBB Sektor Lainnya. Objekobjek pajak PBB ini, yang sebelumnya lebih dikenal dengan objek PBB P3L, kini
menurut para perumus peraturan di DJP disebut dengan objek PBB P5L.
Pembahasan lebih detail mengenai objek PBB P5L ini akan mulai dibahas mulai
Bab VIII.
D. Subjek Pajak
Subjek pajak dalam UU PBB dapat berupa perorangan atau badan hukum. Yang
dimaksud dengan subjek pajak dalam UU PBB adalah pihak yang secara nyata:
1.
2.
3.
4.
5.
mempunyai suatu hak atas bumi;
memperoleh manfaat atas bumi;
memiliki bangunan;
menguasai bangunan; dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan.
Maksud dari pengaturan tersebut adalah setiap pihak yang memenuhi salah satu
dari kriteria tersebut di atas merupakan subjek pajak. Jika subjek pajak atas suatu
objek pajak belum dapat diketahui dengan pasti, maka Direktur Jenderal Pajak
dapat menetapkan subjek pajak yang memenuhi salah satu kriteria tersebut di
atas.
Pihak yang telah memenuhi persyaratan menjadi subjek pajak yang diwajibkan
membayar PBB disebut dengan Wajib Pajak. Maksud dari pengaturan ini adalah
bahwa tidak semua subjek pajak merupakan Wajib Pajak. Misalnya jika suatu
perusahaan yang menguasai tanah yang digunakan untuk pemakaman. Dalam
hal ini, perusahaan tersebut adalah subjek pajak atas objek pajak tanah tersebut,
namun bukan merupakan wajib pajak.
5 | Pajak Bumi dan Bangunan
RINGKASAN
1) PBB merupakan salah satu konsep pajak tertua di dunia.
2) Di Indonesia, PBB mengalami beberapa kali perubahan konsep, sebelum
terakhir ditetapkan sebagai Pajak Bumi dan Bangunan.
3) Objek PBB P2 dikelola oleh Pemerintah Daerah berdasarkan UU PDRD dan
PBB P5L dikelola oleh Pemerintah Pusat c.q. Direktorat Jenderal Pajak.
4) Objek PBB yaitu bumi dan/atau bangunan.
5) Subjek Pajak yaitu pihak yang memenuhi salah satu kriteria yang tercantum
dalam Pasal 4 ayat (1) UU PBB.
LATIHAN/PENUGASAN
Latihan
1) Jelaskan dengan kata-kata sendiri mengenai sejarah pengenaan PBB di
Indonesia!
2) Jelaskan mengenai objek PBB, baik yang dikenakan PBB maupun yang
tidak dikenakan PBB!
3) Sebutkan kriteria seseorang atau sebuah perusahaan dalam penentuan
status subjek pajak PBB!
Tugas Diskusi
1) PT A memiliki Izin Usaha Perkebunan seluas 10.000Ha. X, seorang warga
di Kawasan tersebut menggunakan 10Ha dari lahan tersebut tanpa izin dari
PT A. Siapakah subjek dari lahan seluas 10Ha yang dimanfaatkan oleh X?
2) Apakah Gedung Mari’e Muhammad di Jalan Gatot Subroto Kav 40-42
Jakarta yang merupakan gedung tempat Kantor Pusat DJP merupakan
objek pajak? Jelaskan jawaban Anda!
Pajak Bumi dan Bangunan | 6
PENDAFTARAN
DAN PEMUTAKHIRAN
BAB
2 PENDAFTARAN DAN PEMUTAKHIRAN
Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa memahami proses penyampaian dan pengembalian SPOP/LSPOP
2. Mahasiswa memahami proses klarifikasi SPOP/LPSOP
3. Mahasiswa memahami proses pemberian, penyesuaian, dan penghapusan
NOP
Untuk kemudahan dalam memahami isi dari bahan ajar ini, mulai dari Bab 2 yang
dimaksud dengan PBB adalah PBB yang dikelola oleh Pemerintah Pusat c.q. DJP.
A. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang dianut dalam pengelolaan PBB di Indonesia yaitu
official assessment system. Official assessment system adalah sistem
pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang berada pada fiskus (pemerintah). Wajib pajak bersifat pasif dan tidak
perlu melakukan penghitungan atas besarnya pajak yang harus dibayar.
Berdasarkan sistem ini, besarnya pajak yang terutang atau utang pajak timbul
setelah ada ketetapan dari fiskus.
Gambar 2.1
7 | Pajak Bumi dan Bangunan
Siklus Penatausahaan PBB
Dalam praktik pengelolaan PBB oleh DJP, maka pihak yang
berperan di awal sistem pemungutan yaitu para pegawai pajak di
Kantor Pelayanan Pajak yang ditetapkan sebagai pengelola PBB.
Para fiskus inilah yang akan mengeluarkan ketetapan besarnya
pajak yang terutang, baik dalam bentuk Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak PBB (SKP PBB). Alur
penatausahaan PBB oleh DJP secara garis besar dapat dilihat pada gambar 2.1.
Perlu diperhatikan bahwa Gambar 2.1 tidak mewakili seluruh kemungkinan yang
bisa terjadi dalam pengelolaan PBB, namun hanya mewakili proses
penatausahaan yang umum terjadi. Informasi dalam Gambar 2.1 dapat digunakan
untuk memahami proses penatausahaan PBB yang akan dijelaskan hingga bab
VII.
B. Pendataan Objek PBB dan Subjek PBB
Siklus pengelolaan PBB di DJP dimulai dengan kegiatan pendataan. Tujuan dari
kegiatan pendataan yaitu untuk memperoleh, mengumpulkan, dan melengkapi
data objek pajak dan subjek pajak/wajib pajak. Kegiatan pendataan tersebut terdiri
dari kegiatan pendaftaran, pemutakhiran, dan pemetaan. Kegiatan pendaftaran
diasosiasikan dengan kegiatan pendataan atas informasi yang belum terdapat
dalam administrasi perpajakan di DJP, sedangkan kegiatan pemutakhiran
diasosiasikan dengan kegiatan pendataan atas informasi yang sudah terdapat
dalam administrasi perpajakan di DJP. Sementara itu, kegiatan pemetaan fokus
untuk menghasilkan informasi objek pajak secara geografis.
1.
Penyampaian dan Pengembalian SPOP
Kegiatan pendataan dimulai dengan proses penyampaian Surat Pemberitahuan
Objek Pajak (SPOP) oleh fiskus kepada subjek pajak atau wajib pajak. SPOP
merupakan surat yang digunakan oleh subjek pajak atau wajib pajak untuk
melaporkan informasi mengenai objek pajak. SPOP yang disampaikan kepada
subjek pajak atau wajib pajak dilampiri dengan Lampiran SPOP (LSPOP) yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPOP. LSPOP merupakan formulir
untuk melaporkan data objek pajak secara lebih detail.
Penyampaian SPOP dapat dilakukan secara langsung atau melalui media
pengiriman lainnya. Mulai tahun pajak 2020, SPOP dan LSPOP (selanjutnya
hanya akan disebut SPOP) disampaikan kepada subjek pajak atau wajib pajak
secara elektronik melalui website DJP atau saluran lain yang akan ditetapkan oleh
DJP. Dalam proses penyampaian SPOP/LSPOP tersebut, DJP c.q. KPP akan
menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa telah dilakukan
penyampaian formulir SPOP melalui surel (email). Kemudian subjek pajak atau
Pajak Bumi dan Bangunan | 8
wajib pajak dapat mengunduh formulir SPOP melalui saluran sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya.
Gambar 2.2
9 | Pajak Bumi dan Bangunan
Formulir SPOP halaman 1
Pajak Bumi dan Bangunan | 10
Gambar 2.3
HALAMAN KE-2
C. DATA LUAS BUMI DAN LUAS BANGUNAN
No
Luas
Pengisian luas merupakan hasil pembulatan ke bawah tanpa nilai desimal
1. BUMI
C.1
2. BANGUNAN
m²
C.2
m²
D. DATA PENDAPATAN
Rupiah
Pengisian Rupiah merupakan hasil pembulatan ke bawah tanpa nilai desimal
TOTAL PENDAPATAN
D
E. LAMPIRAN
SEKTOR PERKEBUNAN
SEKT OR PERHUTANAN
SEKT OR PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI
FORMULIR L-1
:
lembar
FORMULIR L-2A
:
lembar
FORMULIR L-3A
:
lembar
FORMULIR L-7
:
lembar
FORMULIR L-2B
:
lembar
FORMULIR L-3B
:
lembar
DOKUMEN IUP-B / IUP / ITUBP / HGU
FORMULIR L-7
:
lembar
FORMULIR L-3C
:
lembar
LAPORAN PERKEMBANGAN USAHA
DOKUMEN IUPHHK / IUPHHBK / IUPHHK-RE / HAK
PENGUSAHAAN / HAK PEMUNGUTAN / PENUGASAN
FORMULIR L-7
:
lembar
PETA TAHUN TANAM
RENCANA KERJA USAHA
DOKUMEN KONTRAK KERJA SAMA
SURAT PERNYATAAN
RENCANA KERJA TAHUNAN
PETA WILAYAH KERJA MINYAK DAN GAS BUMI
PETA KERJA
AUTHORIZATION FOR EXPENDITURE
SURAT PERNYATAAN
FINANCIAL QUARTERLY REPORT TRIWULAN IV
DOKUMEN KONTRAK ATAU PERJANJIAN JUAL BELI GAS
SURAT PERNYATAAN
SEKT OR PERTAMBANGAN UNTUK PENGUSAHAAN
PANAS BUMI
SEKTOR PERTAMBANGAN MINERAL ATAU
BATUBARA
SEKT OR LAINNYA
FORMULIR L-4A
:
lembar
FORMULIR L-5A
:
lembar
FORMULIR L-6A
:
lembar
FORMULIR L-4B
:
lembar
FORMULIR L-5B
:
lembar
FORMULIR L-6B
:
lembar
FORMULIR L-4C
:
lembar
FORMULIR L-5C
:
lembar
FORMULIR L-6C
:
lembar
FORMULIR L-7
:
lembar
FORMULIR L-7
:
lembar
FORMULIR L-6D
:
lembar
FORMULIR L-6E
:
lembar
:
lembar
DOKUMEN IZIN / KUASA PENGUSAHAAN / KONTRAK /
PENUGASAN
DOKUMEN IUP / IUP-K / IPR / KONTRAK KARYA / PKP2B
PETA WILAYAH KERJA
RENCANA KERJA DAN ANGGARAN BIAYA
FORMULIR L-6F
RENCANA KERJA DAN ANGGARAN BIAYA
SURAT PERNYATAAN
DOKUMEN IZIN
SURAT PERNYATAAN
DOKUMEN PENDUKUNG ISIAN SPOP
SURAT PERNYATAAN
(Isi dengan tanda silang pada kotak yang tersedia sesuai dengan dokumen yang dilampirkan disertai dengan jumlah lembar lampiran.)
F. PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa SPOP ini telah diisi dengan jelas, benar, dan lengkap, sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
1.
SUBJEK PAJAK/WAJIB PAJAK
2.
KUASA WAJIB PAJAK
5. TANDA TANGAN DAN CAP
3.
…………………………………
(Tempat)
4.
(Tanggal)
(Bulan)
(Tahun)
:
6.
NAMA LENGKAP
:
7.
JABATAN
:
-
Dalam hal ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, SPOP harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.
Batas waktu pengembalian SPOP selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak/Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 9
ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Formulir SPOP halaman 2
Setelah diunduh, subjek pajak atau wajib pajak mengisi formulir SPOP tersebut
sesuai dengan keadaan objek pajak yang ia kuasai/miliki. Formulir SPOP tersebut
11 | Pajak Bumi dan Bangunan
harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap. Berdasarkan UU PBB, jelas artinya
subjek pajak atau wajib pajak mengisi SPOP sedemikian rupa sehingga data
dalam SPOP tidak menimbulkan salah penafsiran yang dapat menyebabkan
kerugian, baik bagi negara maupun bagi wajib pajak. Benar, berarti subjek pajak
atau wajib pajak mengisi SPOP sesuai dengan keadaan objek pajak. Sementara
itu, maksud dari lengkap tidak tercantum dalam memori penjelasan UU PBB.
Namun, dari aturan turunan yang berlaku, lengkap artinya subjek pajak atau wajib
pajak mengisi semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsurunsur lain yang harus diisi.
Subjek pajak atau wajib pajak selain mengisi dengan jelas, benar, dan lengkap
juga harus menandatangani SPOP dimaksud. Hal ini sangat krusial mengingat
formulir SPOP yang tidak ditandatangani dianggap belum disampaikan. Dengan
berubahnya cara pengisian SPOP menjadi pengisian secara elektronik, maka
penandatangan SPOP juga dilakukan secara elektronik menggunakan kode
verifikasi yang diberikan kepada subjek pajak atau wajib pajak melalui saluran
yang telah ditetapkan.
Setelah melakukan pengisian SPOP elektronik sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, subjek pajak atau wajib pajak mengembalikan SPOP tersebut dengan
cara mengunggah file SPOP melalui sarana yang telah ditetapkan. Jika subjek
pajak atau wajib pajak merasa perlu untuk melakukan pembetulan terhadap file
yang telah diunggah, maka subjek pajak atau wajib pajak cukup mengunggah
ulang file pembetulan melalui saluran yang sama. Berdasarkan ketentuan, file
SPOP (baik SPOP pertama maupun SPOP pembetulan) tersebut harus diunggah
paling lama 30 hari setelah formulir SPOP elektronik diterima oleh wajib pajak.
Berdasarkan ketentuan, subjek pajak atau wajib pajak dianggap telah menerima
SPOP elektronik pada tanggal SPOP elektronik tersebut disampaikan. Terdapat
tiga ketentuan mengenai tanggal yang diperlakukan sebagai tanggal SPOP
diterima oleh subjek pajak atau wajib pajak.
Pertama, tanggal diterimanya SPOP disamakan dengan tanggal saat objek pajak
mulai terdaftar jika SPOP elektronik disampaikan dalam rangka kegiatan
pendaftaran. Artinya, jika pada tahun sebelumnya objek pajak belum terdaftar
dalam basis data perpajakan, maka subjek pajak atau wajib pajak dianggap telah
menerima SPOP pada tanggal SPOP elektronik disampaikan melalui laman DJP
atau saluran lain.
Kedua, jika formulir SPOP elektronik disampaikan dalam rangka pemutakhiran,
maka SPOP tersebut dianggap diterima oleh subjek pajak atau wajib pajak pada
tanggal:
a. 1 Februari tahun pajak (untuk PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan PBB Sektor Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi); atau
Pajak Bumi dan Bangunan | 12
b. 31 Maret tahun pajak (untuk PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor
Pertambangan Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya).
Sehingga, subjek pajak atau wajib pajak harus mengembalikan formulir SPOP
elektronik paling lambat pada tanggal:
a. 2 atau 3 Maret tahun pajak (untuk PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan PBB Sektor Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi); atau
b. 30 April tahun pajak (untuk PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor
Pertambangan Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya).
Jika batas waktu maksimal pengembalian SPOP di atas tidak dapat dipenuhi oleh
subjek pajak atau wajib pajak, maka subjek pajak atau wajib pajak dapat
menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPP sebelum batas waktu
pengembalian SPOP. Dengan penyampaian surat pemberitahuan tersebut, batas
waktu maksimal pengembalian SPOP tertunda 14 hari.
Meskipun ketentuan yang berlaku saat ini mengatur bahwa sejak tahun pajak 2020
formulir SPOP disampaikan secara elektronik, jika terjadi keadaan dimana
penyampaian elektronik tidak dapat dilaksanakan, maka penyampaian formulir
SPOP dapat dilakukan secara non elektronik (secara langsung atau melalui
pos/jasa pengiriman).
2.
Surat Teguran
Dalam bagian sebelumnya dijelaskan bahwa subjek pajak atau wajib pajak harus
mengembalikan SPOP sesuai dengan batas waktu tertentu. Jika subjek pajak atau
wajib pajak tidak menepati hal tersebut, maka KPP menerbitkan surat teguran
kepada subjek pajak atau wajib pajak paling lambat 5 hari kerja setelah batas
waktu pengembalian SPOP. Konsekuensi dari penerbitan dan penyampaian surat
teguran tersebut adalah kewajiban subjek pajak atau wajib pajak untuk segera
mengembalikan SPOP yang sudah diisi maksimal 15 hari setelah tanggal terima
atau tanggal bukti pengiriman surat teguran. Jika batas waktu 15 hari tersebut
sudah lewat, dan subjek pajak atau wajib pajak masih belum mengembalikan
SPOP, maka atas objek pajak tersebut dapat diusulkan untuk dilakukan Penelitian
PBB atau Pemeriksaan PBB.
3.
Klarifikasi
Sesuai dengan Gambar 2.1, KPP melakukan penelitian terhadap SPOP yang
disampaikan oleh subjek pajak atau wajib pajak. Jika dalam proses penelitian
tersebut ditemukan adanya indikasi bahwa SPOP diisi secara tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, KPP dapat meminta klarifikasi atas hal tersebut kepada
subjek pajak atau wajib pajak. Yang dimaksud dengan ketidaksesuaian pengisian
SPOP yaitu jika subjek pajak atau wajib pajak tidak mengisi SPOP dengan jelas,
benar, dan lengkap. Selain itu, indikasi ketidaksesuaian pengisian SPOP dapat
13 | Pajak Bumi dan Bangunan
juga disebabkan karena KPP memiliki data pendukung yang menyatakan bahwa
data objek pajak dalam SPOP tidak sesuai dengan keadaan objek pajak yang
sebenarnya.
Inti dari kegiatan klarifikasi yaitu KPP meminta tanggapan dari subjek pajak atau
wajib pajak mengenai indikasi ketidaksesuaian pengisian SPOP. Dalam prosedur
permintaan klarifikasi, KPP menyampaikan surat kepada subjek pajak atau wajib
pajak. Namun, jika diperlukan, kegiatan klarifikasi dapat dilanjutkan ke tahap
peninjauan ke lokasi objek pajak.
Subjek pajak atau wajib pajak memiliki pilihan dalam menyikapi permintaan
klarifikasi. Pertama, subjek pajak atau wajib pajak menanggapi surat permintaan
klarifikasi kemudian membetulkan SPOP sesuai dengan data pada klarifikasi
tersebut. Kedua, subjek pajak atau wajib pajak menanggapi surat permintaan
klarifikasi, namun membetulkan SPOP dengan tidak mengikuti data pada surat
permintaan klarifikasi. Ketiga, subjek pajak atau wajib pajak menanggapi surat
permintaan klarifikasi, namun subjek pajak atau wajib pajak tidak membetulkan
SPOP. Keempat, subjek pajak atau wajib pajak tidak menanggapi surat
permintaan klarifikasi. Jika subjek pajak atau wajib pajak memilih piihan kedua
sampai keempat, maka hasil dari pelaksanaan klarifikasi digunakan sebagai
bahan usulan untuk kegiatan penelitian PBB atau sebagai bahan analisis risiko
untuk usulan pemeriksaan.
Jika wajib pajak memilih untuk melakukan pembetulan SPOP, maka subjek pajak
atau wajib pajak harus menyampaikan SPOP pembetulan paling lambat 14 hari
setelah batas waktu maksimal pengembalian SPOP. Namun, jika DJP telah
menerbitkan surat teguran atas keterlambatan pengembalian SPOP, maka subjek
pajak atau wajib pajak harus menyampaikan SPOP pembetulan paling lambat 14
hari setelah tanggal pengembalian SPOP.
Wajib pajak yang tidak mematuhi ketentuan mengenai pengembalian SPOP
terancam hukuman pidana. Jika wajib pajak karena kealpaannya tidak
mengembalikan SPOP atau menyampaikan SPOP yang isinya tidak benar atau
tidak lengkap sehingga menimbulkan kerugian negara, wajib pajak diancam
dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan atau denda maksimal sebesar
2 kali pajak yang terutang. Yang dimaksud dengan kealpaan wajib pajak yaitu
ketidaksengajaan, kelalaian, dan kekuranghati-hatian.
C. Pemberian, Penyesuaian, dan Penghapusan Nomor Objek Pajak
1.
Pemberian Nomor Objek Pajak
Nomor Objek Pajak (NOP) digunakan sebagai identitas setiap objek pajak dalam
kegiatan administrasi PBB. NOP dicantumkan dalam ketetapan hukum berupa
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Pajak Bumi dan Bangunan | 14
NOP terdiri atas 18 angka yang disusun sedemikian rupa agar dapat mewakili
informasi mengenai objek pajak. Informasi yang tersedia dalam NOP antara lain
meliputi lokasi objek pajak (provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan), KPP
pengadministrasi objek pajak, serta jenis objek pajak (sektor objek pajak).
Informasi yang tercantum dalam 18 angka NOP dapat dilihat pada Gambar 2.4
dan Gambar 2.5.
Kode lokasi (angka ke-1 sampai dengan angka ke-7) merupakan kode yang
ditentukan berdasarkan basis data yang dikelola oleh DJP. Jika suatu objek pajak
memiliki luas wilayah lintas provinsi (berada di lebih dari 1 provinsi), maka objek
pajak tersebut akan diberikan NOP untuk masing-masing provinsi. Sebagai
contoh, jika sebuah objek pajak PBB Sektor Perkebunan berada di Provinsi
Sumatera Utara dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka objek pajak yang
berada di wilayah Provinsi Sumatera Utara memiliki NOP dengan kode Provinsi
Sumatera Utara dan objek pajak yang berada di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam memiliki NOP dengan kode Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Gambar 2.4
Struktur NOP
Gambar 2.5
Struktur NOP – detail per sektor
15 | Pajak Bumi dan Bangunan
Selain itu, jika suatu objek pajak berada pada lebih dari 1 kabupaten/kota, maka
NOP juga diberikan untuk masing-masing objek pajak di kabupaten/kota.
Contohnya, jika sebuah objek pajak PBB Sektor Perkebunan berada di Provinsi
Sumatera Utara dan terletak di dua kabupaten (misalnya Kabupaten A dan
Kabupaten B), maka atas objek pajak tersebut akan diberikan dua NOP. NOP
tersebut diberikan untuk objek pajak yang berada di wilayah Kabupaten A dan
objek pajak yang berada di wilayah Kabupaten B. Lebih lanjut lagi, ketentuan yang
berlaku saat ini juga mengatur bahwa jika luasan suatu objek pajak berada pada
lebih dari 1 kecamatan, maka penomoran kode kecamatan pada NOP
menggunakan kecamatan yang wilayahnya meliputi areal terluas objek pajak.
Angka ke-8 sampai angka ke-10 diisi dengan kode KPP yang
mengadministrasikan objek pajak. Sedangkan angka ke-11 sampai angka ke-13
merepresentasikan jenis objek pajak PBB. Sebagaimana diilustrasikan pada
Gambar 2.5, jenis objek pajak PBB pada NOP diisi dengan menggunakan kode
subsektor, kode jenis bumi, dan kode rincian. Angka ke-14 sampai angka ke-17
merupakan nomor urut yang dimulai dari “0001” sampai dengan “9999”. Nomor ini
diberikan secara urut untuk objek pada subsektor yang sama (angka ke-11) di
KPP yang sama (angka ke-8 sampai angka ke-10).
NOP diberikan kepada setiap objek pajak dengan memperhatikan jenis bumi yang
menjadi objek pajak. Jika kita kembali pada definisi Bumi pada UU PBB, maka
Bumi meliputi tanah/permukaan bumi (onshore), perairan (offshore), dan tubuh
bumi. Sehingga, untuk masing-masing jenis bumi tersebut diberikan NOP
tersendiri. Sebagai contoh, PBB Sektor Perkebunan hanya meliputi satu jenis
Bumi saja, yaitu permukaan bumi (onshore). Maka jika objek PBB Sektor
Perkebunan tersebut hanya terletak di 1 kabupaten saja, atas objek pajak tersebut
hanya diberikan 1 NOP saja. Lain halnya untuk sebuah objek PBB Pertambangan
Minerba yang hanya terletak di darat dan di 1 kabupaten saja. Maka, atas objek
pajak tersebut diberikan NOP untuk objek pajak di permukaan bumi (onshore),
dan tubuh bumi.
Terdapat ketentuan khusus yang tidak mengikuti ketentuan mengenai pemberian
NOP diatas. Ketentuan khusus tersebut yaitu:
a. Pemberian kode wilayah provinsi dan kode kabupaten “00” untuk objek pajak
offshore dan tubuh bumi pada PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi, dan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi
b. Pemberian kode wilayah provinsi dan kode kabupaten “00” untuk objek pajak
PBB Sektor Lainnya
c. Pemberian kode kecamatan “00” untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi, PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas
Bumi, PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, serta PBB Sektor
Lainnya
Pajak Bumi dan Bangunan | 16
Contoh:
1) WP A memanfaatkan objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi. Objek pajak pada permukaan bumi onshore (tanah, kantor manajemen,
dan tempat penyimpanan minyak) terletak di Kabupaten Sambas. Selain itu
WP A juga juga memiliki kilang lepas pantai untuk mengambil minyak bumi
dari tubuh bumi. Maka, atas objek pajak yang dimanfaatkan oleh WP A
diberikan 3 NOP, yaitu:
- objek di permukaan bumi onshore  61.01.000.999.110.0001.3
- objek berupa kilang minyak lepas pantai  00.00.000.081.120.0001.3
- objek berupa tubuh bumi  00.00.000.081.130.0002.3
2) Terdapat 2 objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral Logam di
Kabupaten Sambas. NOP yang diberikan atas 2 objek pajak tersebut yaitu:
- objek pertama (permukaan bumi)  61.01.040.999.111.0001.5
- objek pertama (tubuh bumi)  61.01.040.999.121.0002.5
- objek kedua (permukaan bumi)  61.01.040.999.111.0003.5
- objek kedua (tubuh bumi)  61.01.040.999.121.0004.5
2.
Penyesuaian dan Penghapusan Nomor Objek Pajak
NOP dapat disesuaikan oleh DJP jika terjadi beberapa sebab. Pertama, DJP
menyesuaikan NOP jika terdapat mutasi (perpindahan) kepemilikan atau
kepenguasaan suatu objek pajak PBB kepada subjek pajak yang baru. Selain itu
DJP juga melakukan penyesuaian NOP jika terjadi pembentukan atau
penyesuaian daerah pemerintahan. Pembentukan atau penyesuaian daerah
pemerintahan dapat berupa pemekaran daerah atau penggabungan daerah dalam
satuan wilayah administratif tertentu sehingga menyebabkan perubahan kode
wilayah yang terdapat dalam NOP. Yang terakhir, DJP menyesuaikan NOP yang
diberikan untuk objek pajak PBB jika terdapat perubahan KPP yang
mengadministrasikan objek pajak PBB. Perubahan KPP tersebut dapat berupa
pemecahan KPP, penggabungan KPP, perubahan wilayah kerja KPP, atau
perubahan kode KPP.
Selain itu, DJP juga dapat menghapus NOP atas suatu objek pajak PBB jika objek
tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagai objek pajak PBB. Misalnya, sebuah
objek pajak PBB Sektor Perkebunan dihapuskan karena atas objek pajak PBB
tersebut sudah tidak diberikan Izin Usaha Perkebunan dan objek pajak PBB
tersebut sudah beralih fungsi menjadi pemukiman penduduk. DJP melakukan
penghapusan NOP melalui proses penonaktifan NOP dalam basis data PBB.
RINGKASAN
1) Sistem pemungutan PBB di Indonesia menggunakan official assessment
system.
17 | Pajak Bumi dan Bangunan
2) Siklus penatausahaan PBB diawali dengan kegiatan pendaftaran dan
pemutakhiran melalui kegiatan penyampaian SPOP.
3) Sejak tahun pajak 2020, default penyampaian dan pengembalian SPOP
dilakukan secara elektronik.
4) Subjek pajak atau wajib pajak harus mengembalikan SPOP sesuai dengan
batas waktu yang telah ditentukan.
5) Nomor Objek Pajak diberikan kepada setiap objek pajak PBB sebagai
sarana dalam mengidentifikasi objek pajak PBB.
6) Dalam beberapa hal tertentu, NOP yang diberikan kepada objek pajak dapat
mengalami penyesuaian atau penghapusan.
LATIHAN/PENUGASAN
Latihan
1. Gambarkan timeline penyampaian dan pengembalian SPOP secara
elektronik dengan lengkap!
2. Suatu objek pajak berupa pertambangan minyak bumi berada di Provinsi A.
Izin untuk eksploitasi tubuh bumi di bawahnya berada pada Kabupaten AA,
Kabupaten AB, dan Kabupaten AC. Ketiga Kabupaten tersebut berada di
Provinsi A. Jika permukaan bumi yang sudah dikuasai dan dimanfaatkan oleh
wajib pajak berada di kabupaten AA dan kabupaten AB, berapa jumlah NOP
yang diberikan terkait dengan objek pajak berupa pertambangan minyak
bumi tersebut?
Tugas Diskusi
Mengapa tanggal diterimanya SPOP elektronik untuk kegiatan pemutakhiran
dibedakan menjadi tanggal 1 Februari dan 31 Maret tahun pajak!
Pajak Bumi dan Bangunan | 18
PENGHITUNGAN PBB
BAB
3 PENGHITUNGAN PBB
Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan pengertian dari NJOP,
NJOPTKP, dan NJKP.
2. Mahasiswa memahami pengertian tahun pajak, saat terutangnya pajak, dan
tempat terutangnya pajak.
3. Mahasiswa memahami proses penghitungan PBB.
A. Dasar Pengenaan Pajak dan Dasar Penghitungan Pajak
Proses pengenaan pajak diawali dengan identifikasi objek pajak. Fiskus harus
terlebih dahulu memastikan bahwa yang akan dikenakan pajak secara ketentuan
merupakan objek pajak. Baik itu berupa penghasilan (PPh), kegiatan penyerahan
barang kena pajak atau pemanfaatan jasa kena pajak (PPN), atau bumi dan/atau
bangunan (PBB). Jika objek pajak sudah dapat diidentifikasi, maka langkah
selanjutnya adalah penentuan besarnya dasar pengenaan pajak (DPP). DPP
inilah yang umumnya akan dikalikan dengan tarif untuk menghasilkan besarnya
pajak terutang.
Dasar pengenaan pajak dalam menghitung PBB adalah Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP). Definisi NJOP dalam Pasal 1 UU PBB adalah
“Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi
secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP
ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang
sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti”. Dari definisi tersebut
tersirat bahwa NJOP didapat dari harga rata-rata atau melalui proses penilaian.
Perlu kita perhatikan pula bahwa objek PBB terdiri dari bumi dan/atau bangunan.
Oleh karena itu, terdapat NJOP untuk bumi (NJOP Bumi) dan/atau NJOP untuk
bangunan (NJOP Bangunan). Jika dalam suatu objek pajak PBB terdapat objek
pajak berupa bumi dan juga bangunan, maka NJOP dari objek tersebut
merupakan jumlah dari NJOP Bumi dan NJOP Bangunan.
Dalam proses penghitungan PBB terutang, NJOP tidak serta merta langsung
dikalikan dengan tarif. Untuk menjunjung asas keadilan, PBB juga mengenal batas
bawah pengenaan pajak sebagaimana dalam penghitungan PPh. Dalam proses
penghitungan PPh dikenal istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai
batas bawah pengenaan pajak, sedangkan dalam proses penghitungan PBB,
batas bawah pengenaan pajak tersebut dikenal dengan istilah Nilai Jual Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
19 | Pajak Bumi dan Bangunan
NJOPTKP merupakan batas bawah NJOP yang tidak dikenakan PBB. NJOPTKP
diberikan untuk setiap wajib pajak. Artinya, jika wajib pajak memiliki lebih dari satu
objek pajak PBB, maka NJOPTKP hanya diberikan kepada salah satu objek pajak
saja. Dalam memori penjelasan UU PBB disebutkan bahwa jika wajib pajak
memiliki lebih dari satu objek pajak PBB, NJOPTKP digunakan dalam
penghitungan PBB terutang untuk objek pajak yang nilainya terbesar. Besar
NJOPTKP yang diatur dalam UU PBB yaitu sebesar Rp8.000.000,00 untuk setiap
wajb pajak. Namun besaran NJOPTKP tersebut masih dapat disesuaikan oleh
Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi, moneter serta
kenaikan harga objek pajak secara umum. Berdasarkan ketentuan yang berlaku
saat ini, besarnya NJOPTKP untuk PBB Sektor P5L ditetapkan sebesar
Rp12.000.000,00 bagi setiap wajib pajak. Besar NJOP dikurangi dengan
NJOPTKP sering dikenal dengan istilah NJOP untuk Penghitungan Pajak.
Selain istilah dasar pengenaan pajak, pengadministrasian PBB juga mengenal
istilah dasar penghitungan pajak. Dasar penghitungan PBB merupakan
persentase tertentu dari NJOP, yang disebut dengan Nilai Jual Kena Pajak
(NJKP). UU PBB mengatur bahwa besarnya persentase NJKP minimal sebesar
20% dan maksimal sebesar 100%. Persentase tersebut masih bisa berubah
menggunakan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi
perekonomian nasional. Ketentuan mengenai hal tersebut yang berlaku saat ini
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya
Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan. Pengaturan
dalam ketentuan tersebut dapat diilustrasikan dalam Gambar 3.1. NJKP inilah
yang akan kemudian dikalikan dengan tarif. Tarif dalam penghitungan PBB yaitu
tarif tunggal, ditetapkan sebesar 0,5%.
Gambar 3.1
Persentase NJKP
Pajak Bumi dan Bangunan | 20
B. Penghitungan PBB
Dengan menggunakan variabel-variabel yang sudah dibahas pada bagian
sebelumnya, maka proses penghitungan PBB dapat diilustrasikan menggunakan
Gambar 3.2. Dalam Gambar 3.2, terlihat bahwa proses penghitungan PBB diawali
dengan proses penilaian NJOP Bumi dan/atau NJOP Bangunan. Untuk
memudahkan, penjumlahan NJOP Bumi dan NJOP Bangunan ini akan kita sebut
cukup dengan NJOP. Kemudian NJOP ini dikurangi dengan NJOPTKP untuk
mendapatkan NJOP untuk Penghitungan Pajak. Untuk mendapatkan NJKP, kita
identifikasi terlebih dahulu besarnya persentase NJKP untuk objek pajak PBB
yang kita nilai. Kemudian untuk mendapatkan besarnya PBB terutang, NJKP
tersebut dikali dengan tarif tunggal sebesar 0,5%.
Gambar 3.2
Alur Proses Penghitungan PBB Terutang
Mengacu pada pembahasan pada Bab 2, NOP diberikan kepada setiap objek
pajak dengan memperhatikan jenis bumi yang menjadi objek pajak. Atas setiap
NOP, pegawai pajak menghitung besarnya PBB terutang. Sebagai contoh, jika
objek PBB Sektor Perkebunan terletak di 2 kabupaten, maka atas objek pajak
tersebut diberikan NOP untuk masing-masing kabupaten. PBB terutang atas objek
PBB Sektor Perkebunan tersebut dihitung untuk masing-masing NOP. Demikian
halnya untuk sebuah objek PBB Sektor Pertambangan Migas yang kawasan
pertambangannya meliputi onshore (hanya di 1 kabupaten) dan offshore. PBB
terutang atas objek PBB Sektor Perkebunan tersebut dihitung untuk masingmasing NOP (onshore, offshore, dan tubuh bumi)
Contoh Kasus:
PT Sawitaku adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan kebun
sawit dan telah diberikan Izin Usaha Perkebunan. Saat ini perusahaan tersebut
21 | Pajak Bumi dan Bangunan
mengembangkan kebun sawit di salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara.
PT Sawitaku memiki lahan perkebunan seluas 200Ha, dengan luas bangunan
pabrik di dalamnya seluas 1,5Ha. Berdasarkan penilaian oleh penilai DJP, NJOP
Bumi dan NJOP Bangunan dari objek PBB PT Sawitaku yaitu sebesar
Rp1.600.000/m² dan Rp3.100.000/m². Berapa PBB Terutang atas objek tersebut?
Jawab:
①
Bumi
Bangunan
NJOP per m² Luas (m²)
1.600.000
2.000.000
3.100.000
15.000
②
NJOP Total
NJOPTKP
③
%NJKP
NJKP
④
NJKP
: Rp1.298.595.200.000
% Tarif
:
0,5%
PBB Terutang :
Rp6.492.976.000
NJOP Total (Rp)
3.200.000.000.000
46.500.000.000 +
3.246.500.000.000
: Rp3.246.500.000.000
:
Rp12.000.000 Rp3.246.488.000.000
:
40%
: Rp1.298.595.200.000
C. Tahun Pajak dan Saat yang Menentukan Terutangnya Pajak
Yang dimaksud dengan “tahun pajak” dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 s.t.d.d UU
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) yaitu
jangka waktu satu tahun kalender (atau disebut dengan satu tahun takwim) dari
tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Namun, dalam UU KUP,
wajib pajak dapat menggunakan konsep “tahun pajak” yang berbeda dengan satu
tahun kalender jika wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan
tahun kalender. Misalnya, jika suatu perusahaan tambang pembukuannya dimulai
pada tanggal 1 Juli dan berakhir pada tanggal 30 Juni, maka tahun pajaknya
adalah sesuai dengan tahun buku.
Sementara itu, UU PBB mengatur bahwa konsep “tahun pajak” dalam
pengadministrasian PBB adalah jangka waktu satu tahun kalender dari tanggal 1
Januari sampai dengan tanggal 31 Desember, tanpa ada klausul pengecualian.
Sehingga, apabila suatu perusahaan tambang menggunakan tahun pembukuan
sebagaimana pada contoh sebelumnya, maka jangka waktu tahun pajak dalam
rangka pengadministrasian PBB tetap dimulai dari tanggal 1 Januari dan berakhir
pada tanggal 31 Desember. Untuk memudahkan pembahasan, maka istilah
“Tahun Pajak” dalam bahan ajar ini mengacu pada definisi dalam UU PBB.
Selama rentang tahun pajak tersebut, tanggal yang menentukan besarnya PBB
yang terutang yaitu pada tanggal 1 Januari tahun pajak. Artinya, besarnya PBB
Pajak Bumi dan Bangunan | 22
terutang dihitung menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. Sebagai
contoh, jika terdapat sebuah objek pajak berupa pabrik pengolahan kelapa sawit
yang terbakar habis dan runtuh pada tanggal 10 Januari tahun pajak. Maka,
besarnya pajak yang terutang tetap dihitung berdasarkan kondisi pabrik pada
tanggal 1 Januari. Sebaliknya, jika terdapat sebuah lahan perkebunan kelapa
sawit yang Izin Usaha Perkebunan-nya baru diberikan kepada PT A pada tanggal
5 Januari tahun pajak, maka atas objek pajak tersebut dikenakan PBB kepada PT
A pada tahun pajak berikutnya.
Gambar 3.3
Saat yang menentukan besarnya PBB terutang
D. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pengadministrasi Objek Pajak
Dalam pengadministrasian wajib pajak, objek pajak PBB dikategorikan sebagai
tempat kegiatan usaha yang dapat diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Cabang. NPWP Cabang digunakan oleh wajib pajak sebagai identitas dalam
memenuhi kewajiban perpajakan atas masing-masing objek pajak PBB. NPWP
Cabang tersebut diberikan secara jabatan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) tempat objek pajak PBB diadministrasikan. KPP tempat objek pajak PBB
diadministrasikan (KPP Pengadministrasi) umumnya ditentukan berdasarkan
lokasi objek pajak PBB berada.
Untuk PBB Sektor Perkebunan dan PBB Sektor Perhutanan, KPP
Pengadministrasi yaitu KPP yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak PBB.
Kedua sektor ini relatif mudah untuk ditentukan KPP Pengadministrasi-nya karena
jenis bumi (sebagaimana diidentifikasikan dalam NOP) untuk kedua sektor ini
hanya berupa permukaan bumi saja (lihat pembahasan pada Bab 2). Jika dalam
satu kabupaten/kota terdapat dua KPP yang wilayah kerjanya meliputi suatu objek
pajak PBB, maka Direktur Jenderal Pajak menentukan salah satu dari dua KPP
tersebut untuk menjadi KPP Pengadministrasi.
Penentuan KPP Pengadministrasi untuk selain PBB Sektor Perkebunan dan PBB
Sektor Perhutanan memperhatikan jenis bumi dari suatu objek pajak PBB.
Penunjukan KPP Pengadministrasi atas suatu objek pajak PBB berupa
permukaan bumi onshore pada PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
23 | Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB Sektor Pertambangan Migas) menggunakan ketentuan yang sama dengan
ketentuan yang mengatur KPP Pengadministrasi pada PBB Sektor Perkebunan
dan PBB Sektor Perhutanan, yaitu berdasarkan letak objek pajak. Sedangkan
KPP Pengadministrasi objek pajak PBB berupa permukaan bumi offshore dan
tubuh bumi pada PBB Sektor Pertambangan Migas adalah KPP Minyak dan Gas
Bumi. KPP Minyak dan Gas Bumi merupakan KPP di lingkungan Kantor Wilayah
DJP (Kanwil DJP) Jakarta Khusus, yang khusus menangani wajib pajak yang
bergerak di bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi.
Gambar 3.4
KPP Pengadministrasi Objek Pajak PBB P5L
PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi (PBB Sektor
Pertambangan Pabum) dan PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara
(PBB Sektor Pertambangan Minerba) memiliki ketentuan yang identik mengenai
penunjukkan KPP Pengadministrasi. Terdapat 3 jenis bumi dalam 2 sektor ini,
permukaan bumi onshore, permukaan bumi offshore, dan tubuh bumi. Ketentuan
untuk masing-masing jenis bumi yaitu sebagai berikut:
Pajak Bumi dan Bangunan | 24
a. KPP Pengadministrasi atas suatu objek pajak PBB berupa permukaan bumi
onshore serta tubuh bumi yang berada di bawahnya menggunakan ketentuan
yang sama dengan ketentuan yang mengatur KPP Pengadministrasi PBB
Sektor Perkebunan dan PBB Sektor Perhutanan.
b. KPP Pengadministrasi atas suatu objek pajak PBB berupa permukaan bumi
offshore yang terintegrasi dengan permukaan bumi onshore serta tubuh bumi
yang berada di bawah permukaan bumi offshore juga menggunakan
ketentuan yang sama dengan ketentuan yang mengatur KPP
Pengadministrasi PBB Sektor Perkebunan dan PBB Sektor Perhutanan.
c. KPP Pengadministrasi atas suatu objek pajak PBB berupa permukaan bumi
offshore yang tidak terintegrasi dengan permukaan bumi onshore serta tubuh
bumi yang berada di bawah permukaan bumi offshore ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Ketentuan yang mengatur mengenai KPP Pengadministrasi objek pajak PBB
Sektor Lainnya agak berbeda dengan pembahasan sebelumnya karena seluruh
objek pajak PBB Sektor Lainnya berada di permukaan bumi offshore. KPP
Pengadministrasi tidak dapat ditentukan berdasarkan lokasi objek pajak PBB
berada. Objek pajak PBB Sektor Lainnya merupakan perairan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perikanan tangkap, pembudidayaan ikan, jaringan pipa,
jaringan kabel, ruas jalan tol, serta fasilitas penyimpanan dan pengolahan. KPP
Pengadministrasi atas perairan yang digunakan untuk jaringan pipa, jaringan
kabel, ruas jalan tol, serta fasilitas penyimpanan dan pengolahan adalah KPP
Minyak dan Gas Bumi. Sementara itu, KPP Pengadministrasi atas perairan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan
adalah KPP tempat terdaftarnya wajib pajak yang menguasai/memanfaatkan
objek pajak PBB tersebut. Namun, jika KPP tempat terdaftarnya wajib pajak bukan
berstatus KPP Pratama, maka KPP Pengadministrasi-nya adalah KPP Minyak dan
Gas Bumi.
RINGKASAN
1) Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak.
2) Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak.
3) NJOPTKP yang berlaku saat ini sebesar Rp12.000.000, dan diberikan untuk
setiap wajib pajak.
4) Tahun Pajak dalam pengadministrasian PBB yaitu mulai dari tanggal 1
Januari sampai dengan 31 Desember.
5) KPP tempat objek pajak PBB diadministrasikan umumnya ditentukan
berdasarkan lokasi objek pajak PBB berada.
LATIHAN/PENUGASAN
25 | Pajak Bumi dan Bangunan
Latihan
PT King Gas n Oil memanfaatkan suatu objek pajak pertambangan migas di
Provinsi Kalimantan Timur. Luas Wilayah Kerja (tubuh bumi) yang dimanfaatkan
yaitu 300.000m². Sementara itu, luas permukaan onshore (hanya berada pada
1 kabupaten) yang telah dikuasai seluas 184.900m² dan luas bangunan
diatasnya seluas 13.800m². Berdasarkan penilaian oleh Penilai DJP, NJOP
Bumi berupa tubuh bumi, NJOP Bumi berupa permukaan bumi onshore dan
NJOP bangunan dari objek PBB PT King Gas n Oil secara berturut-turut yaitu
sebesar Rp 25.600/m², Rp 7.900/m², dan Rp595.000/m². Berapa PBB terutang
atas objek tersebut?
Pajak Bumi dan Bangunan | 26
PENILAIAN PBB
BAB
4 PENILAIAN PBB
Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa memahami pengertian Penilaian PBB
2. Mahasiswa memahami pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam
Penilaian PBB
3. Mahasiswa memahami cara penghitungan NJOP menggunakan masingmasing pendekatan
A. Penilaian untuk Menentukan NJOP
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 3, proses penghitungan PBB terutang
diawali dengan penentuan besarnya dasar pengenaan pajak, yaitu NJOP. NJOP
ditentukan dengan merata-ratakan harga transaksi dari jual beli yang terjadi
secara wajar.1 Jika tidak ditemukan adanya transaksi jual beli, maka NJOP dapat
ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau
dengan menghitung biaya yang dikeluarkan, atau dengan berdasarkan pada hasil
produksi objek pajak PBB. Tiga alternatif yang dapat digunakan dalam penentuan
NJOP ini merupakan pendekatan yang digunakan dalam Penilaian PBB.
Penilaian PBB adalah kegiatan untuk menentukan NJOP yang
akan dijadikan sebagai dasar pengenaan PBB P5L. Penilaian PBB
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan data pasar,
pendekatan biaya, maupun pendekatan pendapatan. Penilaian
PBB dilakukan oleh pegawai DJP yang menjabat sebagai
Fungsional Penilai PBB atau oleh petugas penilai. Petugas penilai yaitu pegawai
DJP yang telah ditetapkan melalui Keputusan Kepala Kantor Wilayah DJP untuk
melakukan kegiatan Penilaian PBB. Untuk memudahkan pembahasan dalam
bahan ajar ini, Fungsional Penilai PBB maupun petugas penilai cukup disebut
dengan Penilai.
Penilaian PBB dilakukan terhadap objek pajak PBB berdasarkan SPOP/LSPOP
yang telah disampaikan oleh subjek pajak atau wajib pajak. SPOP/LSPOP yang
disampaikan tersebut harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap, serta telah
ditandatangani. Penilaian PBB, selain dilakukan berdasarkan SPOP/LSPOP
dalam rangka penentuan NJOP untuk penetapan PBB, juga dapat dilakukan
1
Untuk mendapatkan pemahaman mengenai istilah “wajar” lihat Supriyanto (2017, hal.14-15)
27 | Pajak Bumi dan Bangunan
dalam rangka penyelesaian keberatan, pengurangan ketetapan PBB yang tidak
benar, pemeriksaan PBB, penelitian PBB, atau penggalian potensi pajak.
Penilaian PBB dapat dilakukan dengan peninjauan ke objek pajak PBB (disebut
juga dengan penilaian lapangan) atau tanpa peninjauan (disebut juga dengan
penilaian kantor). Penilaian lapangan dapat dilakukan terhadap objek pajak yang
dalam 2 tahun terakhir belum dilakukan penilaian lapangan atau yang
diindikasikan memiliki kenaikan nilai atau luas yang signifikan.
Berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186/PMK.03/2019 tentang
Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak
Bumi dan Bangunan (PMK 186 Tahun 2019) pada tanggal 1 Januari 2020
mengubah hasil tahapan-tahapan dalam Penilaian PBB. Sebelum berlakunya
PMK 186 Tahun 2019, Penilaian PBB harus melewati tahapan penentuan nilai
bumi/m2 dan nilai bangunan/m2. Nilai bumi/m2 dan nilai bangunan/m2 tersebut
kemudian dikonversikan ke dalam klasifikasi NJOP untuk dapat ditetapkan
menjadi NJOP Bumi/m2 dan NJOP Bangunan/m2. Kemudian, NJOP Bumi dan
NJOP Bangunan diperoleh melalui perkalian antara NJOP/m2 dengan luas objek
pajak PBB.
Untuk menciptakan penghitungan PBB dan regulasi yang lebih sederhana, PMK
186 Tahun 2019 meniadakan tahapan klasifikasi nilai menjadi NJOP. Sehingga,
keluaran (output) dari Penilaian PBB langsung berupa NJOP atau NJOP/m2.
Perubahan tahapan proses Penilaian PBB dapat dilihat di Gambar 4.1.
Gambar 4.1
Penilaian PBB
B. Pendekatan Data Pasar
Pendekatan data pasar adalah pendekatan penilaian dengan menggunakan data
transaksi atau penawaran atas objek yang sebanding dengan objek pajak PBB
yang dinilai. Data tersebut digunakan oleh Penilai untuk melakukan perbandingan
Pajak Bumi dan Bangunan | 28
dan penyesuaian nilai. Tahapan-tahapan yang dilakukan oleh Penilai dalam
Penilaian PBB menggunakan pendekatan data pasar yaitu:
1. Penilai mengumpulkan data objek pembanding (baik berupa data transaksi
maupun data penawaran. Penilai menggunakan setidak-tidaknya tiga data
objek pembanding. Untuk dapat dibandingkan, objek pembanding sebaiknya
objek pajak yang:
a. terkini (baru saja terjadi transaksi atau penawaran);
b. lokasinya berdekatan dengan lokasi objek pajak;
c. transaksi atau penawarannya terjadi secara wajar.
2. Penilai melakukan penyesuaian nilai antara objek pembanding dengan objek
pajak PBB dengan memperhitungkan faktor-faktor pembanding yang setidaktidaknya meliputi:
a. lokasi;
b. keadaan fisik;
c. jenis penggunaan; dan
d. luas
3. Penilai menghitung NJOP dengan menghitung nilai rata-rata dari nilai objek
pembanding yang telah disesuaikan.
Penilai menggunakan pendekatan data pasar untuk menilai objek pajak PBB
berupa permukaan bumi berupa tanah (lihat definisi Bumi pada Bab 1). Objek
pajak PBB tersebut meliputi hampir seluruh permukaan bumi berupa tanah yang
terdapat pada PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor
Pertambangan untuk Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, PBB Sektor
Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dan PBB Sektor Pertambangan
Mineral atau Batubara. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua objek pajak PBB
berupa permukaan tanah dinilai dengan menggunakan pendekatan data pasar.
Terdapat pengecualian bagi permukaan tanah pada areal produktif perhutanan
dan areal tidak produktif perhutanan. Lihat penjelasan pada Bab 9 untuk
pembahasan yang lebih menyeluruh.
Contoh:
Dalam menentukan NJOP/m² permukaan tanah pada suatu kawasan perkebunan,
seorang Penilai menemukan data pembanding sebagai berikut.
Harga (Rp/m2)
Penyesuaian
Lokasi
Bentuk Tanah
Jenis penggunaan
Luas tanah
Pembanding 1 Pembanding 2 Pembanding 3
2.500.000
3.000.000
3.250.000
0
3%
0
2%
-5%
0
-5%
4%
-5%
-4%
-6%
3,50%
Berapakah NJOP/m² yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan data
pasar?
29 | Pajak Bumi dan Bangunan
Harga (Rp/m2)
Penyesuaian
Lokasi
Bentuk Tanah
Jenis penggunaan
Luas tanah
Jml Penyesuaian
Indikasi Nilai (Rp/m2)
Kesimpulan Nilai
Pembanding 1 Pembanding 2 Pembanding 3
2.500.000
3.000.000
3.250.000
0
3%
0
2%
5%
-5%
0
-5%
4%
-6%
-5%
-4%
-6%
3,50%
-11,5%
2.625.000
2.820.000
2.876.250
2.773.750
C. Pendekatan Biaya
Terdapat dua jenis objek pajak PBB yang NJOP-nya ditentukan dengan
menggunakan pendekatan biaya, pengembangan bumi (tanah) berupa tanaman
dan bangunan. Pengembangan bumi (tanah) berupa tanaman merupakan bagian
dari objek pajak PBB Sektor Perkebunan dan PBB Sektor Perhutanan. NJOP
untuk pengembangan bumi berupa tanaman ini ditentukan menggunakan
pendekatan biaya berdasarkan penghitungan biaya investasi tanaman. Biaya
investasi tanaman yaitu seluruh jumlah biaya tenaga kerja, bahan, dan alat yang
diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan
tanaman. Biaya investasi tanaman ditetapkan setiap tahun oleh DJP dengan
mempertimbangkan jenis tanaman, umur tanaman, dan lokasi objek pajak.
Gambar 4.2
Pendekatan Biaya
Bangunan merupakan objek pajak PBB yang terdapat hampir di seluruh sektor,
kecuali PBB Sektor Lainnya yang digunakan untuk usaha perikanan tangkap dan
usaha pembudidayaan ikan. Penilai menentukan NJOP Bangunan berdasarkan
estimasi “biaya pembangunan baru” dan “biaya penggantian baru”. Yang
dimaksud dengan estimasi “biaya pembangunan baru” yaitu estimasi biaya untuk
membangun suatu objek baru yang sama atau identik dengan objek pajak PBB
yang dinilai berdasarkan harga pasar setempat pada tanggal 1 Januari tahun
pajak. Sedangkan “biaya penggantian baru” adalah estimasi biaya untuk
Pajak Bumi dan Bangunan | 30
membangun suatu objek baru yang sama fungsinya dengan objek pajak PBB yang
dinilai berdasarkan harga pasar setempat pada tanggal 1 Januari tahun pajak.
Dalam proses Penilaian PBB, bangunan dikelompokkan menjadi dua, yaitu
bangunan umum dan bangunan khusus. Bangunan umum merupakan bangunan
yang memiliki jenis konstruksi dan material pembentuk yang umum digunakan.
Contoh dari bangunan umum yaitu perumahan pegawai, kantor, pabrik, dan
gudang. Dalam melakukan penilaian bangunan umum, Penilai mengestimasi
biaya (baik biaya pembangunan baru maupun biaya penggantian baru) dengan
menggunakan teknik meter persegi. Teknik meter persegi merupakan metode
perhitungan estimasi biaya pembangunan baru berdasarkan harga per unit luas
atau volume. Penilai menggunakan aplikasi Daftar Biaya Komponen Bangunan
(DBKB) dalam mengestimasi nilai menggunakan teknik meter persegi.
Selain bangunan umum, dalam proses penentuan NJOP juga dikenal bangunan
khusus. Bangunan khusus yaitu bangunan yang memiliki jenis konstruksi, material
pembentuk, dan/atau penggunaan yang khusus. Contohnya antara lain jalan yang
diperkeras, konveyor, silo, pipa, tangki, dan kilang. Biaya pembangunan baru atau
biaya penggantian baru untuk bangunan khusus diestimasi berdasarkan rincian
kuantitas dan harga satuan pekerjaan. Metode ini disebut dengan teknik survei
kuantitas.
Tabel 4.1
Contoh Tabel Penyusutan Menggunakan Metode Umur Efektif
Pada tahap terakhir, NJOP Bangunan dihitung dari nilai estimasi biaya dikurangi
dengan penyusutan. Besarnya penyusutan ditentukan menggunakan metode
umur efektif. Secara umum, umur efektif bangunan ditentukan melalui persamaan
berikut.
31 | Pajak Bumi dan Bangunan
Persamaan 4.1
Umur Efektif =
(Tahun Pajak − Tahun Dibangun) + 2(Tahun Pajak − Tahun Direnovasi)
3
Penghitungan Umur Efektif
Jika (Tahun Pajak – Tahun Dibangun) ≤ 10 dan Tahun Direnovasi adalah 0 atau
kosong, maka umur efektif bangunan = Tahun Pajak - Tahun Dibangun.
Sementara itu, jika (Tahun Pajak – Tahun Dibangun) > 10 dan Tahun Direnovasi
adalah 0 atau kosong, atau (Tahun Pajak – Tahun Direnovasi) > 10, maka perlu
dianggap tahun direnovasi = tahun pajak – 10, dan umur efektif bisa dihitung
menggunakan Persamaan 4.1.
D. Pendekatan Pendapatan
Penentuan NJOP menggunakan pendekatan pendapatan dilakukan dengan
mengkapitalisasi pendapatan yang dihasilkan dari objek pajak dalam satu tahun
sebelum tahun pajak. Objek pajak PBB yang dihitung menggunakan pendekatan
pendapatan yaitu:
1. Objek pajak berupa tanah pada areal produktif perhutanan pada PBB Sektor
Perhutanan – Hutan Alam.
2. Objek pajak berupa tubuh bumi pada PBB Sektor Pertambangan Migas, PBB
Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dan PBB Sektor
Pertambangan Minerba.
3. Objek pajak berupa perairan yang digunakan untuk usaha perikanan tangkap
dan pembudidayaan ikan pada PBB Sektor Lainnya.
Gambar 4.3
Pajak Bumi dan Bangunan | 32
Pendekatan Pendapatan
Dalam menentukan NJOP, Penilai DJP terlebih dahulu menghitung pendapatan
yang diperoleh wajib pajak yang berasal dari pemanfaatan objek pajak PBB.
Penilai menggunakan pendapatan kotor untuk menghitung NJOP untuk tubuh
bumi (NJOP Tubuh Bumi) pada PBB Sektor Pertambangan Migas dan PBB Sektor
Pertambangan Pabum. Sedangkan, untuk menghitung NJOP Bumi Areal Produktif
Perhutanan pada PBB Sektor Perhutanan – Hutan Alam, NJOP Tubuh Bumi PBB
Pertambangan Minerba, dan NJOP Bumi untuk usaha perikanan tangkap dan
pembudidayaan ikan pada PBB Sektor Lainnya, Penilai menggunakan
pendapatan bersih. Pembahasan yang lebih detail mengenai penghitungan
pendapatan bersih maupun pendapatan kotor untuk masing-masing objek pajak
bisa dilihat pada Bab 8 sampai Bab 13.
Setelah menghitung pendapatan yang diperoleh wajib pajak yang berasal dari
pemanfaatan objek pajak PBB (baik pendapatan bersih maupun pendapatan
kotor), Penilai selanjutnya menghitung NJOP melalui perkalian dari pendapatan
dengan angka pengali tertentu yang disebut dengan angka kapitalisasi. Angka
kapitalisasi ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk masing-masing sektor
sebagaimana bisa dilihat pada Gambar 4.3.
Contoh:
Pendapatan kotor PT IS982 yang berasal dari lifting minyak bumi selama tahun
2018, 2019, dan 2020 adalah sebesar Rp100 triliun, Rp120 triliun, dan Rp22 triliun.
Jika Angka Kapitalisasi untuk menghitung NJOP Tubuh Bumi pada PBB Sektor
Pertambangan Migas adalah sebesar 10,04, berapakah NJOP Tubuh Bumi dari
objek pajak yang dimanfaatkan oleh PT IS1982 untuk Tahun Pajak 2020?
Jawab:
NJOP Tubuh Bumi untuk Tahun Pajak 2020 menggunakan pendapatan kotor
selama tahun 2019 dikali dengan angka kapitalisasi.
NJOP Tubuh Bumi = Rp120.000.000.000.000 x 10,04
= Rp1.204.800.000.000.000
E. Penetapan NJOP oleh Direktur Jenderal Pajak
Beberapa objek pajak PBB, NJOP/m2-nya ditetapkan melalui Keputusan Direktur
Jenderal Pajak. Ketika bahan ajar ini disusun, ketentuan yang mengatur mengenai
hal ini yaitu Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 185/PJ/2020. Dengan
adanya ketentuan tersebut, maka Penilai tidak perlu melakukan Penilaian PBB
menggunakan pendekatan-pendekatan yang telah dijelaskan sebelumnya.
NJOP/m2 yang telah ditetapkan, langsung dapat digunakan dalam proses
33 | Pajak Bumi dan Bangunan
penghitungan PBB terutang. Objek pajak PBB yang NJOP/m2-nya ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak yaitu:
1. Objek pajak PBB Sektor Perhutanan – Hutan Alam berupa tanah yang
dikategorikan sebagai Areal Tidak Produktif Perhutanan. NJOP Bumi/m2
untuk objek pajak ini ditetapkan sebagaimana pada Gambar 9.2.
2. Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas, Sektor Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi, dan Sektor Pertambangan Minerba yang berupa
perairan. NJOP Bumi/m2 untuk objek pajak ini ditetapkan sebesar Rp11.458.
3. Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas, Sektor Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi, dan Sektor Pertambangan Minerba berupa tubuh
bumi yang belum memiliki hasil produksi. NJOP Tubuh Bumi/m2 untuk objek
pajak ini ditetapkan sebesar Rp140.
4. Objek pajak PBB Sektor Lainnya berupa perairan yang digunakan untuk
usaha perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan yang belum memiliki hasil
produksi. NJOP Bumi/m2 untuk objek pajak ini ditetapkan sebesar Rp140.
5. Objek pajak PBB Sektor Lainnya berupa perairan yang digunakan selain
untuk usaha perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan. NJOP Bumi/m2
untuk objek pajak ini ditetapkan sebesar Rp11.458.
RINGKASAN
1) Penilaian PBB adalah kegiatan untuk menentukan NJOP yang akan
dijadikan sebagai dasar pengenaan PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor
Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan, dan PBB Sektor Lainnya.
2) Pendekatan-pendekatan penilaian yang digunakan dalam Penilaian PBB
yaitu pedekatan data pasar, pendekatan biaya, dan pendekatan pendaatan.
3) Masing-masing pendekatan PBB memiliki objek penilaian yang berbeda,
tergantung dari karakteristik objek pajak PBB yang dinilai.
4) Beberapa objek pajak PBB, NJOP-nya ditetapkan melalui Keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
LATIHAN/PENUGASAN
Latihan
Buatlah tabel untuk memudahkan identifikasi mengenai jenis pendekatan yang
digunakan untuk menghitung NJOP.
Diskusikan!
Mengapa beberapa objek pajak PBB nilainya ditentukan melalui Keputusan
Direktur Jenderal Pajak?
Pajak Bumi dan Bangunan | 34
KETETAPAN PAJAK I:
SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG
DAN SURAT KETETAPAN PAJAK
BAB
5 KETETAPAN PAJAK I
Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa memahami mengenai penerbitan SPPT, bentuk SPPT, dan jatuh
tempo pembayaran SPPT
2. Mahasiswa memahami mengenai SKP PBB, sebab penerbitan SKP PBB, dan
jatuh tempo pembayaran SKP PBB
3. Mahasiswa memahami pengertian, jangka waktu dan produk hukum dari
Penelitian PBB dan Pemeriksaan PBB
A. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
Pengenaan PBB dilakukan dengan menindaklanjuti hasil penilaian
NJOP dan penghitungan PBB terutang ke proses penerbitan Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). SPPT digunakan oleh
DJP untuk memberitahukan besarnya PBB terutang kepada wajib
pajak. SPPT diterbitkan oleh KPP berdasarkan SPOP yang telah
dikembalikan oleh subjek pajak atau wajib pajak. Penerbitan SPPT berdasarkan
SPOP dikenal dengan istilah penerbitan pertama kali. KPP juga dapat melakukan
penerbitan kembali SPPT. Jika KPP melakukan penerbitan kembali, maka SPPT
yang telah diterbitkan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. KPP melakukan
penerbitan kembali SPPT jika terdapat:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Surat Keputusan Pemberian Pengurangan PBB
Surat Keputusan Pembetulan
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak
Surat Keputusan Keberatan
Putusan Banding
Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung
KPP juga dapat melakukan penerbitan SPPT cetak ulang berdasarkan
permohonan tertulis dari wajib pajak atas SPPT yang telah diterbitkan.
Permohonan tertulis tersebut harus ditandatangani oleh wajib pajak, wakil wajib
pajak, atau kuasa wajib pajak dengan dilampiri fotokopi SPPT dan bukti
pembayaran PBB tahun pajak sebelumnya.
35 | Pajak Bumi dan Bangunan
SPPT disampaikan kepada wajib pajak secara langsung atau melalui pos/jasa
pengiriman. Jika SPPT disampaikan secara langsung, maka tanggal
disampaikannya SPPT adalah tanggal yang tercantum dalam dokumen Tanda
Terima Penyampaian SPPT. Sementara itu, jika SPPT disampaikan melalui
pos/jasa pengiriman, maka tanggal disampaikannya SPPT yaitu tanggal yang
tercantum dalam bukti pengiriman SPPT. Tanggal disampaikannya SPPT, baik
yang disampaikan secara langsung maupun melalui pos/jasa pengiriman
ditetapkan sebagai tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
Gambar 5.1
Format SPPT
Pajak Bumi dan Bangunan | 36
Bentuk SPPT adalah sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5.1. Namun,
dengan berlakunya ketentuan terbaru pada PMK 186 Tahun 2019, terdapat bagian
dalam format tersebut yang perlu diperbaiki untuk pengenaan PBB Tahun Pajak
2020 dan seterusnya, yaitu kolom Klas (diberikan garis merah). Dengan
berlakunya ketentuan pada PMK 186 Tahun 2019, tidak lagi dikenal adanya
proses klasifikasi nilai. Sehingga kolom tersebut sudah tidak diperlukan lagi sejak
Tahun Pajak 2020.
PBB terutang yang tercantum dalam SPPT harus dilunasi oleh wajib pajak
selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
Jika KPP melakukan penerbitan kembali atau penerbitan SPPT cetak ulang, maka
PBB terutang dalam SPPT harus dilunasi oleh wajib pajak selambat-lambatnya 6
bulan sejak tanggal diterimanya SPPT penerbitan pertama kali. Jika PBB terutang
dalam SPPT tidak dibayar sampai dengan saat jatuh tempo, maka PBB Terutang
ditagih dengan Surat Tagihan Pajak PBB (STP PBB) dan wajib pajak dikenakan
denda administrasi sebesar 2% per bulan (bagian dari bulan dihitung satu bulan
penuh). Pengenaan denda administrasi dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai
dengan tanggal pembayaran. Denda tersebut paling besar dikenakan untuk
jangka waktu 24 bulan atau sebesar 48%.
Contoh:
KPP menerbitkan SPPT pada tanggal 15 Februari 2020. KPP menyampaikan
secara langsung SPPT kepada wajib pajak. KPP menyampaikan SPPT tersebut
pada tanggal pada tanggal 1 Maret 2020 (sesuai dengan Tanda Terima
Penyampaian SPPT). Maka, jatuh tempo pembayaran atas PBB terutang dalam
SPPT yaitu pada tanggal 31 Agustus 2020. Jika wajib pajak membayar pada
tanggal 2 September 2020, maka dikenakan denda administrasi sebesar 2%
(terlambat 1 bulan).
B. Surat Ketetapan Pajak
Surat Ketetapan Pajak PBB (SKP PBB) adalah surat ketetapan yang menentukan
besarnya pokok PBB atau selisih pokok PBB, besarnya sanksi administrasi, dan
jumlah PBB yang terutang. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKP PBB
berdasarkan hasil penelitian PBB atau pemeriksaan.
Penelitian PBB yaitu serangkaian kegiatan untuk menguji pemenuhan kewajiban
PBB berdasarkan keterangan lain yang diperoleh dan/ atau dimiliki Direktur
Jenderal Pajak atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak. Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan SKP PBB berdasarkan hasil penelitian PBB atas:
1. data, keterangan, dan/ atau bukti, terkait dengan wajib pajak yang tidak
menyampaikan SPOP dan telah ditegur secara tertulis;
2. data, keterangan, dan/ atau bukti, dalam Putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap Wajib Pajak yang dipidana
37 | Pajak Bumi dan Bangunan
karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana
lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara;
3. data, keterangan, dan/ atau bukti lainnya.
Gambar 5.2
Format SKP PBB
Selain itu, Direktur Jenderal Pajak juga dapat menerbitkan SKP PBB berdasarkan
hasil pemeriksaan. Yang dimaksud dengan pemeriksaan yaitu serangkaian
kegiatan untuk mencari, menghimpun, dan mengolah data, keterangan, dan bukti
yang dilaksanakan secara objektif dan profesional. Pemeriksaan dilakukan
berdasarkan suatu standar pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban PBB dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan PBB. Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan SKP PBB berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap:
Pajak Bumi dan Bangunan | 38
1. SPOP yang terindikasi diisi dengan tidak benar oleh wajib pajak berdasarkan
analisis risiko;
2. kewajiban perpajakan wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP dan telah
ditegur secara tertulis;
3. data, keterangan, atau bukti yang telah dilakukan penelitian PBB tetapi
dihentikan dan diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan; atau
4. data baru yang belum atau tidak terungkap dalam pemeriksaan atau
penelitian PBB sebelumnya, yang dapat mengakibatkan penambahan jumlah
PBB yang terutang.
Direktur Jenderal Pajak hanya dapat menerbitkan SKP PBB dalam jangka waktu
5 tahun setelah berakhirnya tahun pajak. Artinya, jika pada tanggal 1 Januari tahun
2020 Direktur Jenderal Pajak menemukan data konkret bahwa terdapat PBB yang
seharusnya terutang untuk tahun pajak 2014, Direktur Jenderal Pajak tidak dapat
menerbitkan SKP PBB atas PBB terutang tersebut karena telah melebihi jangka
waktu 5 tahun. Namun, jika wajib pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana
karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, atau tindak pidana lainnya
yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan Putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Direktur Jenderal Pajak
dapat menerbitkan SKP PBB yang terutang untuk tahun pajak 2014, sesuai contoh
di atas.
Apabila Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKP PBB karena wajib pajak tidak
mengembalikan SPOP, maka jumlah PBB terutang dalam SKP PBB adalah jumlah
pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dari pokok pajak.
Sementara itu, apabila Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKP PBB selain
karena alasan di atas, maka jumlah PBB terutang dalam SKP PBB adalah selisih
pajak yang seharusnya terutang ditambah dengan denda administrasi sebesar
25% dari selish pajak yang seharusnya terutang.
Wajib pajak harus melunasi jumlah PBB terutang dalam SKP PBB paling lambat
satu bulan sejak tanggal diterimanya SKP PBB secara langsung oleh wajib pajak.
Jika SKP PBB dikirim melalui pos/jasa pengiriman, SKP PBB harus dilunasi paling
lambat satu bulan sejak tanggal bukti pengiriman SKP PBB. Jika PBB terutang
dalam SKP PBB tidak dibayar sampai dengan saat jatuh tempo, maka PBB
Terutang ditagih dengan STP PBB dan wajib pajak dikenakan denda administrasi
sebesar 2% per bulan (maksimal 24 bulan).
C. Penelitian PBB dan Pemeriksaan
1.
Pemicu
Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian PBB berdasarkan keterangan lain
yang diperoleh dan/atau dimiliki Direktur Jenderal Pajak atau berdasarkan
39 | Pajak Bumi dan Bangunan
permohonan wajib pajak. Tujuan dari penelitian PBB yaitu untuk menguji
pemenuhan kewajiban PBB. Penelitian PBB dilakukan dalam hal:
 SPOP tidak dikembalikan oleh wajib pajak setelah ditegur secara tertulis;
 terdapat indikasi bahwa jumlah PBB terutang seharusnya lebih besar;
 WP mengajukan permohonan pengembalian PBB
Sementara itu Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan juga dengan
tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban PBB. Sebagai tambahan,
pemeriksaan juga dilakukan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan PBB. Pemeriksaan dengan tujuan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban PBB dilakukan apabila:
 SPOP tidak dikembalikan oleh wajib pajak setelah ditegur secara tertulis;
 terdapat indikasi bahwa jumlah PBB terutang seharusnya lebih besar;
 kegiatan penelitian PBB dihentikan dan diusulkan menjadi pemeriksaan;
 terdapat data baru yang belum/tidak diungkap dalam pemeriksaan
sebelumnya;
Sedangkan pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan jika:
 WP mengajukan keberatan;
 Dilakukan penagihan atas PBB terutang.
2.
Kewenangan penelitian PBB dan pemeriksaan
Dalam menjalankan tugasnya, petugas yang melakukan penelitan PBB berhak
untuk melakukan peninjauan, memanggil subjek pajak atau wajib pajak untuk
dimintai keterangan, dan melihat/meminjam buku, catatan, serta dokumen
(termasuk data yang dikelola secara elektronik). Sementara itu, petugas yang
melakukan pemeriksaan memiliki wewenang yang lebih luas. Selain memiliki
kewenangan yang dimiliki dalam proses penelitian PBB, petugas pajak yang
melakukan pemeriksaan juga berwenang untuk:


3.
mengakses dan mengunduh data elektronik
memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau
tidak bergerak, yang diduga atau patut diduga digunakan untuk
menyimpan buku, catatan, dan/atau dokumen, yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang dan/atau barang, yang
berkaitan dengan tujuan pemeriksaan;
Jangka Waktu
Penelitian PBB dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 bulan. Jangka waktu
2 bulan tersebut dimulai sejak pemberitahuan pelaksanaan penelitian PBB
Pajak Bumi dan Bangunan | 40
disampaikan kepada wajib pajak, sampai dengan tanggal laporan hasil penelitian
PBB. Apabila penelitian PBB dilakukan karena wajib pajak mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PBB, maka jangka waktu
penelitian PBB disesuaikan dengan ketentuan yang mengatur mengenai
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PBB.
Sementara itu, jangka waktu pemeriksaan tergantung pada tujuan dilakukannya
pemeriksaan. Jangka waktu pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban PBB dilakukan paling lama 6 bulan. Secara umum, jangka waktu 6
bulan tersebut dialokasikan untuk dua kegiatan. Pertama, kegiatan pengujian yang
paling lama dilakukan dalam jangka waktu 4 bulan. Jangka waktu tersebut dimulai
sejak disampaikannya surat pemberitahuan akan dilakukan pemeriksaan sampai
dengan disampaikannya surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP). SPHP
adalah surat yang berisi tentang temuan pemeriksaan yang meliputi uraian data
objek pajak dan subjek pajak atau wajib pajak, serta perhitungan sementara dari
jumlah PBB yang terutang.
Jangka waktu untuk kegiatan pengujian dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 2 bulan jika terdapat konfirmasi atau permintaan data dari pihak ketiga.
Perpanjangan jangka waktu pemeriksaan juga dapat diberikan berdasarkan
pertimbangan kepala unit pemeriksaan. Khusus untuk pemeriksaan yang terkait
dengan objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, jangka
waktu kegiatan pengujian dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2
bulan dan dapat dilakukan paling banyak 3 kali.
Setelah pengujian dilakukan, kegiatan selanjutnya yaitu pembahasan akhir hasil
pemeriksaan (PAHP) yang harus dilakukan paling lama 2 bulan. PAHP adalah
pembahasan atas temuan pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita
acara PAHP yang ditandatangani oleh kedua belah pihak (pemeriksa dan pihak
yang diperiksa). Penyampaian SPHP dan pelaksanaan PAHP merupakan suatu
keharusan dalam proses pemeriksaan. Jika dari dua hal ini salah satunya atau
kedua-duanya tidak dilakukan, maka Direktur Jenderal Pajak secara jabatan atau
atas permohonan wajib pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan atau dapat
membatalkan SKP PBB.
Jika pemeriksaan dilakukan untuk tujuan lain, maka jangka waktu kegiatan
pemeriksaan yaitu paling lama 2 bulan sejak disampaikannya surat
pemberitahuan akan dilakukan pemeriksaan. Jangka waktu ini dapat diperpanjang
paling lama 1 bulan jika terdapat konfirmasi atau permintaan data dari pihak ketiga
atau jika diperlukan berdasarkan pertimbangan kepala unit pemeriksaan.
4.
Ketetapan Hukum
Keluaran dari penelitian PBB dan pemeriksaan yaitu ketetapan hukum berupa
SKP PBB. SKP PBB merupakan dasar penagihan PBB, sebagaimana halnya
SPPT dan STP PBB. Selain menghasilkan keluaran berupa SKP PBB, penelitian
41 | Pajak Bumi dan Bangunan
PBB juga dapat menghasilkan keluaran berupa Surat Keputusan Kelebihan
Pembayaran PBB (SKKP PBB). SKKP PBB adalah surat keputusan yang
menyatakan jumlah kelebihan pembayaran PBB yang seharusnya tidak terutang.
SKKP PBB diterbitkan jika berdasarkan hasil penelitian PBB ditemukan adanya
kelebihan pembayaran PBB yang seharusnya tidak terutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) UU KUP.
RINGKASAN
1) PBB terutang dituangkan dalam SPPT dan kemudian disampaikan kepada
wajib pajak.
2) SKP PBB diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atau penelitian PBB.
3) PBB terutang dalam SPPT dan SKP harus dilunasi dalam jangka waktu
tertentu.
4) Pemeriksaan dan penelitian PBB, meskipun sama-sama dapat
menghasilkan keluaran berupa SKP PBB, memiliki perbedaan di beberapa
hal antara lain trigger pelaksanaan, kewenangan, dan jangka waktu
pelaksanaan.
LATIHAN/PENUGASAN
Diskusikan!
1. Dasar penagihan PBB adalah SPPT, SKP, dan Surat Tagihan Pajak.
Bandingkan dasar penagihan tersebut dengan dasar penagihan pajak yang
diatur dalam UU KUP. Bahaslah perbedaan dan persamaan di antara
keduanya!
2. Jelaskan data dan informasi apa saja yang ada dalam SPPT dan sebutkan
pasal-pasal dalam UU PBB yang relevan terhadap data/informasi tersebut!
Pajak Bumi dan Bangunan | 42
KETETAPAN PAJAK II:
SURAT TAGIHAN PAJAK PBB
BAB
6 KETETAPAN PAJAK II
Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa memahami tata cara penerbitan STP PBB dan bentuk STP PBB.
2. Mahasiswa memahami tata cara penghitungan denda dalam STP PBB dan
jatuh tempo pembayaran STP
3. Mahasiswa memahami tata cara pembayaran PBB terutang
A. Surat Tagihan Pajak PBB
Dasar penagihan PBB adalah SPPT, SKP PBB, dan STP PBB. Serupa
dengan ketentuan yang mengatur mengenai penerbitan SKP PBB,
Direktur Jenderal Pajak hanya dapat menerbitkan STP PBB dalam
jangka waktu 5 tahun setelah berakhirnya tahun pajak, kecuali jika
wajib pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan, atau tindak pidana lainnya yang dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan Putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB jika wajib pajak belum melunasi
PBB terutang sampai dengan jatuh tempo pembayaran. Pajak terutang dalam STP
PBB meliputi PBB yang tidak atau kurang dibayar ditambah dengan denda
administrasi sebesar 2% per bulan dari pajak yang tidak atau kurang dibayar.
Jangka waktu denda dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal
pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 bulan. Wajib pajak harus melunasi jumlah PBB terutang dalam
STP PBB paling lambat satu bulan sejak tanggal diterimanya STP PBB secara
langsung oleh wajib pajak. Jika STP PBB dikirim melalui pos/jasa pengiriman, STP
PBB harus dilunasi paling lambat satu bulan sejak tanggal bukti pengiriman STP
PBB. Apabila PBB terutang dalam STP PBB tidak dibayar sampai dengan saat
jatuh tempo, maka PBB Terutang dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB dalam beberapa skenario.
Skenario Pertama. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB karena wajib
pajak membayar lunas PBB terutang setelah lewatnya tanggal jatuh tempo SPPT
atau SKP PBB. PBB terutang dalam STP PBB skenario ini memuat denda
administrasi sebesar 2% per bulan dari jumlah PBB terutang dalam SPPT atau
SKP PBB. Besarnya denda administrasi dihitung dari tanggal setelah tanggal jatuh
43 | Pajak Bumi dan Bangunan
tempo SPPT atau SKP PBB sampai dengan tanggal pembayaran pelunasan
SPPT atau SKP PBB oleh wajib pajak.
Contoh:
KPP menyampaikan SPPT pada tanggal 1 Maret 2019 kepada wajib pajak secara
langsung. PBB terutang dalam SPPT tersebut sebesar Rp100.000.000. Wajib
pajak melunasi PBB terutang pada tanggal 5 September 2019. Pelunasan PBB
terutang yang dilakukan oleh wajib pajak melebihi jatuh tempo pelunasan pada
tanggal 31 Agustus 2019. Wajib pajak terlambat 5 hari. Dalam menghitung
besarnya denda administrasi, bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan. Sehingga
wajib pajak dikenakan denda atas keterlambatan pembayaran selama 1 bulan.
Apabila STP PBB diterbitkan pada tanggal 3 Mei 2020, maka perhitungannya
adalah:
No
URAIAN
1 PBB terutang menurut SPPT
2 PBB yang telah dibayar
3 PBB yang tidak/kurang dibayar
4 Denda Administrasi (2% x 1 x Rp100.000.000)
5 PBB yang masih harus dibayar
JUMLAH (Rp)
100.000.000
100.000.000
2.000.000
2.000.000
Skenario Kedua. STP PBB diterbitkan setelah tanggal jatuh tempo SPPT atau
SKP PBB terlampaui dan atas PBB terutang dalam SPPT atau SKP PBB tersebut
belum dilakukan pembayaran oleh wajib pajak. STP PBB dalam skenario kedua
ini memuat pokok PBB terutang ditambah dengan denda administrasi sebesar 2%
per bulan. Denda administrasi dihitung setelah tanggal jatuh tempo SPPT atau
SKP PBB sampai dengan tanggal diterbitkannya STP PBB.
Contoh:
KPP menyampaikan SPPT pada tanggal 1 Maret 2019 kepada wajib pajak secara
langsung. PBB terutang dalam SPPT tersebut sebesar Rp100.000.000. Wajib
pajak belum melunasi PBB terutang sampai dengan tanggal jatuh tempo SPPT
(31 Agustus 2019). Apabila STP PBB diterbitkan pada tanggal 3 September 2019,
denda administrasi dihitung setelah tanggal 31 Agustus 2019 sampai dengan
tanggal 3 September 2019 (3 hari). Karena bagian dari bulan dianggap 1 bulan
penuh, maka perhitungannya adalah:
No
URAIAN
1 PBB terutang menurut SPPT
2 PBB yang telah dibayar
3 PBB yang tidak/kurang dibayar
4 Denda Administrasi (2% x 1 x Rp100.000.000)
5 PBB yang masih harus dibayar
JUMLAH (Rp)
100.000.000
100.000.000
2.000.000
102.000.000
Pajak Bumi dan Bangunan | 44
Skenario Ketiga. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan kembali STP PBB jika wajib
pajak melunasi PBB terutang dalam STP PBB sebagaiman pada skenario kedua
setelah jatuh temponya. STP PBB dalam skenario ini memuat denda administrasi
sebesar 2% per bulan dari PBB terutang, yang dihitung setelah tanggal jatuh
tempo STP PBB sebagaimana pada skenario kedua sampai dengan tanggal wajib
pajak melakukan pelunasan PBB terutang. Khusus untuk STP PBB yang
diterbitkan pada skenario ini, jika wajib pajak terlambat membayar STP PBB (lebih
dari jangka waktu 1 bulan), maka wajib pajak tidak dikenakan denda administrasi.
Pajak terutang dalam STP PBB akan ditagih dengan Surat Paksa.
Contoh:
KPP menyampaikan SPPT pada tanggal 1 Maret 2019 kepada wajib pajak secara
langsung. PBB terutang dalam SPPT tersebut sebesar Rp100.000.000. Wajib
pajak belum melunasi PBB terutang sampai dengan tanggal jatuh tempo SPPT
(31 Agustus 2019). STP PBB diterbitkan dan disampaikan secara langsung
kepada wajib pajak pada tanggal 3 September 2019 dengan perhitungan sebagai
berikut:
No
URAIAN
1 PBB terutang menurut SPPT
2 PBB yang telah dibayar
3 PBB yang tidak/kurang dibayar
4 Denda Administrasi (2% x 1 x Rp100.000.000)
5 PBB yang masih harus dibayar
JUMLAH (Rp)
100.000.000
100.000.000
2.000.000
102.000.000
STP PBB di atas harus dilunasi pada tanggal 2 Oktober 2019. Jika wajib pajak
melunasi PBB terutang dalam STP PBB sebesar Rp102.000.000 pada tanggal 10
November 2019, maka ada keterlambatan selama 1 bulan 8 hari. Atas
keterlambatan pelunasan STP PBB di atas, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
STP PBB untuk menagih keterlambatan pembayaran STP PBB selama 2 bulan
(bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan).
No
URAIAN
1 PBB terutang menurut STP PBB (pokok pajak)
2 PBB yang telah dibayar
3 PBB yang tidak/kurang dibayar
4 Denda Administrasi (2% x 2 x Rp100.000.000)
5 PBB yang masih harus dibayar
JUMLAH (Rp)
100.000.000
100.000.000
4.000.000
4.000.000
Skenario Keempat. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan STP PBB
berdasarkan:
1. Surat Keputusan Pembetulan SPPT atau SKP PBB,
2. Surat Keputusan Pengurangan PBB,
3. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan PBB Yang Tidak Benar,
4. Surat Keputusan Pengurangan/Penghapusan Sanksi Administrasi PBB,
45 | Pajak Bumi dan Bangunan
5. Surat Keputusan Keberatan PBB,
6. Putusan Banding, atau
7. Putusan Peninjauan Kembali,
yang menyatakan terdapat PBB yang masih harus dibayar. Jika STP PBB
sebagaimana diilustrasikan pada skenario dua belum diterbitkan, maka Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB yang memuat PBB terutang yang baru
(berdasarkan 7 keputusan di atas) dan denda administrasi yang harus dibayar.
Tetapi, jika STP PBB pernah diterbitkan, maka Direktur Jenderal Pajak melakukan
pembetulan STP PBB secara jabatan.
Terdapat banyak variasi kemungkinan yang terjadi pada skenario keempat ini.
Sebagai contoh, hasil keputusan Keberatan PBB dapat berupa tidak
bertambahnya PBB terutang, menambah besarnya PBB terutang, atau justru
mengurangi besarnya PBB terutang
Contoh:
KPP menyampaikan SPPT pada tanggal 1 Maret 2019 kepada wajib pajak secara
langsung. PBB terutang dalam SPPT tersebut sebesar Rp100.000.000. Atas
SPPT tersebut, wajib pajak mengajukan keberatan pada tanggal 1 Mei 2019.
Pengajuan keberatan oleh wajib pajak, tidak menunda kewajiban membayar wajib
pajak. Artinya, jatuh tempo pembayaran atas SPPT tetap di tanggal 31 Agustus
2019. Atas pengajuan keberatan oleh wajib pajak, Surat Keputusan Keberatan
PBB terbit pada tanggal 1 April 2020. Berdasarkan Surat Keputusan Keberatan
PBB, Surat Keputusan Keberatan PBB Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP
PBB pada tanggal 5 April 2020. Dengan kasus ini terdapat berbagai kemungkinan
dalam penerbitan STP PBB.
Kemungkinan 1:
Wajib pajak belum melakukan pembayaran atas PBB terutang dalam SPPT
hingga tanggal 1 April 2020. Selain itu, Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan
STP PBB hingga tanggal 1 April 2020. Surat Keputusan Keberatan PBB menolak
keberatan wajib pajak dan menambah PBB terutang menjadi Rp120.000.000.
Jumlah bulan untuk menghitung besarnya denda administrasi dihitung setelah
tanggal 31 Agustus 2019 sampai dengan tanggal terbitnya STP PBB tanggal 5
April 2020 (8 bulan).
No
URAIAN
1 PBB terutang menurut SK Keberatan PBB
2 PBB yang telah dibayar
3 PBB yang tidak/kurang dibayar
4 Denda Administrasi (2% x 8 x Rp120.000.000)
5 PBB yang masih harus dibayar
JUMLAH (Rp)
120.000.000
120.000.000
19.200.000
139.200.000
Kemungkinan 2:
Pajak Bumi dan Bangunan | 46
Wajib pajak telah melakukan pembayaran atas PBB terutang dalam SPPT
sebelum tanggal jatuh tempo sebesar Rp50.000.000. Direktur Jenderal Pajak
telah menerbitkan STP PBB pada tanggal 3 September 2019 dengan
penghitungan sebagai berikut:
No
URAIAN
1 PBB terutang menurut SPPT
2 PBB yang telah dibayar
3 PBB yang tidak/kurang dibayar
4 Denda Administrasi (2% x 1 x Rp50.000.000)
5 PBB yang masih harus dibayar
JUMLAH (Rp)
100.000.000
50.000.000
50.000.000
1.000.000
51.000.000
Wajib pajak belum melakukan pelunasan atas PBB terutang dalam STP PBB di
atas hingga Surat Keputusan Keberatan PBB diterbitkan. Surat Keputusan
Keberatan PBB menolak keberatan wajib pajak dan menambah PBB terutang
menjadi Rp120.000.000. Jumlah bulan untuk menghitung besarnya denda
administrasi dihitung setelah tanggal 31 Agustus 2019 sampai dengan tanggal
terbitnya STP PBB tanggal 5 April 2020 (8 bulan). Berdasarkan Surat Keputusan
Keberatan PBB, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan STP PBB secara
jabatan dengan perhitungan sebagai berikut:
No
URAIAN
1 PBB terutang menurut SK Keberatan PBB
2 PBB yang telah dibayar
3 PBB yang tidak/kurang dibayar
4 Denda Administrasi (2% x 8 x Rp70.000.000)
5 PBB yang masih harus dibayar
JUMLAH (Rp)
120.000.000
50.000.000
70.000.000
11.200.000
81.200.000
Kemungkinan 3:
Wajib pajak telah melakukan pembayaran atas PBB terutang dalam SPPT
sebelum tanggal jatuh tempo sebesar Rp50.000.000. Direktur Jenderal Pajak
telah menerbitkan STP PBB pada tanggal 3 September 2019 dengan
penghitungan sebagai berikut:
No
URAIAN
1 PBB terutang menurut SPPT
2 PBB yang telah dibayar
3 PBB yang tidak/kurang dibayar
4 Denda Administrasi (2% x 1 x Rp50.000.000)
5 PBB yang masih harus dibayar
JUMLAH (Rp)
100.000.000
50.000.000
50.000.000
1.000.000
51.000.000
Wajib pajak melakukan pembayaran atas PBB terutang dalam STP PBB pada
tanggal 30 September 2019. Dengan pembayaran tersebut, seluruh pokok pajak
dalam SPPT (sebesar Rp100.000.000) telah dilunasi oleh wajib pajak. Surat
Keputusan Keberatan PBB menolak keberatan wajib pajak dan menambah PBB
47 | Pajak Bumi dan Bangunan
terutang menjadi Rp120.000.000. Jumlah bulan untuk menghitung besarnya
denda administrasi dihitung setelah tanggal 31 Agustus 2019 sampai dengan
tanggal terbitnya STP PBB tanggal 5 April 2020 (8 bulan). Berdasarkan Surat
Keputusan Keberatan PBB, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan STP
PBB secara jabatan dengan perhitungan sebagai berikut:
No
URAIAN
1 PBB terutang menurut SK Keberatan PBB
2 PBB yang telah dibayar
3 PBB yang tidak/kurang dibayar
4 Denda Administrasi (2% x 8 x Rp20.000.000)
5 PBB yang masih harus dibayar
JUMLAH (Rp)
120.000.000
100.000.000
20.000.000
3.200.000
23.200.000
Kemungkinan 4:
Wajib pajak belum melakukan pembayaran atas PBB terutang dalam SPPT
hingga tanggal 1 April 2020. Selain itu, Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan
STP PBB hingga tanggal 1 April 2020. Surat Keputusan Keberatan PBB menerima
keberatan wajib pajak sehingga PBB terutang menjadi Rp80.000.000. Jumlah
bulan untuk menghitung besarnya denda administrasi dihitung setelah tanggal 31
Agustus 2019 sampai dengan tanggal terbitnya STP PBB tanggal 5 April 2020 (8
bulan).
No
URAIAN
1 PBB terutang menurut SK Keberatan PBB
2 PBB yang telah dibayar
3 PBB yang tidak/kurang dibayar
4 Denda Administrasi (2% x 8 x Rp80.000.000)
5 PBB yang masih harus dibayar
JUMLAH (Rp)
80.000.000
80.000.000
12.800.000
92.800.000
Kemungkinan 5:
Wajib pajak telah melakukan pembayaran atas PBB terutang dalam SPPT
sebelum tanggal jatuh tempo sebesar Rp50.000.000. Direktur Jenderal Pajak
telah menerbitkan STP PBB pada tanggal 3 September 2019 dengan
penghitungan sebagai berikut:
No
URAIAN
1 PBB terutang menurut SPPT
2 PBB yang telah dibayar
3 PBB yang tidak/kurang dibayar
4 Denda Administrasi (2% x 1 x Rp50.000.000)
5 PBB yang masih harus dibayar
JUMLAH (Rp)
100.000.000
50.000.000
50.000.000
1.000.000
51.000.000
Wajib pajak belum melakukan pelunasan atas PBB terutang dalam STP PBB di
atas hingga Surat Keputusan Keberatan PBB diterbitkan. Surat Keputusan
Keberatan PBB menerima keberatan wajib pajak dan besarnya menjadi
Pajak Bumi dan Bangunan | 48
Rp80.000.000. Jumlah bulan untuk menghitung besarnya denda administrasi
dihitung setelah tanggal 31 Agustus 2019 sampai dengan tanggal terbitnya STP
PBB tanggal 5 April 2020 (8 bulan). Berdasarkan Surat Keputusan Keberatan
PBB, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan STP PBB secara jabatan
dengan perhitungan sebagai berikut:
No
URAIAN
1 PBB terutang menurut SK Keberatan PBB
2 PBB yang telah dibayar
3 PBB yang tidak/kurang dibayar
4 Denda Administrasi (2% x 8 x Rp30.000.000)
5 PBB yang masih harus dibayar
JUMLAH (Rp)
80.000.000
50.000.000
30.000.000
4.800.000
34.800.000
Gambar 6.1
Format STP PBB
B. Pembayaran PBB Terutang
Wajib pajak melakukan pembayaran PBB terutang secara elektronik dengan
menggunakan kode billing. Kode billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan
49 | Pajak Bumi dan Bangunan
melalui Sistem Billing DJP atas suatu jenis pembayaran atau penyetoran pajak.
Kode billing untuk pembayaran SPPT, SKP PBB, dan STP PBB diberikan secara
jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kode billing yang diberikan secara jabatan
tersebut berlaku sampai dengan 7 bulan sejak tanggal diterbitkannya SPPT atau
2 bulan sejak tanggal diterbitkannya SKP PBB/STP PBB. Jika tanggal tersebut
sudah terlewati (kedaluwarsa), wajib pajak dapat membuat kode billing secara
mandiri.
Pembuatan kode billing secara mandiri dilakukan oleh wajib pajak dengan
mengakses Aplikasi Billing DJP atau layanan penerbitan kode billing yang
disediakan oleh bank/pos persepsi. Kode billing dapat diperoleh secara mandiri
dengan melakukan pengisian data setoran PBB yang akan dibayarkan. Data yang
perlu diisi antara lain yaitu data NPWP, NOP, kode akun, kode jenis setoran, masa
pajak, tahun pajak dan besarnya pajak yang akan dibayar. Kode akun pajak
dibedakan untuk masing-masing sektor sedangkan kode jenis setoran dibedakan
untuk masing-masing dasar penagihan pajak.
Kode Akun Pajak
411313
411314
411315
411316
411317
411319
Kode Jenis Setoran
100
300
310
Sektor
PBB Sektor Perkebunan
PBB Sektor Perhutanan
PBB Sektor Pertambangan Minerba
PBB Sektor Pertambangan Migas
PBB Sektor Pertambangan Pabum
PBB Sektor Lainnya
Jenis Setoran
SPPT
STP PBB
SKP PBB
Wajib pajak dapat melakukan transaksi pembayaran PBB terutang menggunakan
kode billing antara lain melalui teller bank/pos persepsi, ATM, internet/mobile
banking, dan mesin EDC. Atas pembayaran PBB terutang, wajib pajak berhak
menerima bukti pembayaran yang disebut dengan bukti penerimaan negara
(BPN). BPN dapat berbentuk dokumen bukti pembayaran (jika pembayaran
melalui teller bank/pos persepsi), struk ATM, atau dokumen digital.
Selain pembayaran secara elektronik, pembayaran PBB terutang juga dapat
dilakukan melalui mekanisme pemindahbukuan. Pembayaran PBB terutang
melalui mekanisme pemindahbukuan berlaku untuk:
 Wajib pajak PBB Sektor Pertambangan Migas yang kontraknya ditandatangani
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang
Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di
Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Pajak Bumi dan Bangunan | 50
 Wajib pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi yang
memiliki kuasa pengusahaan sumber daya panas bumi, kontrak operasi
bersama pengusahaan sumber daya panas bumi, dan/atau izin pengusahaan
sumber daya panas bumi, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
Dalam pembayaran PBB terutang melalui mekanisme pemindahbukuan, Direktur
Jenderal Pajak mengajukan permintaan pembayaran PBB Sektor Pertambangan
Migas dan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi kepada
Direktur Jenderal Anggaran paling lambat minggu kedua bulan Juni. Besarnya
permintaan pembayaran PBB dihitung berdasarkan PBB Terutang dalam SPPT
atau SKP PBB. Namun, denda administrasi tidak dapat diajukan permintaan
pembayaran melalui mekanisme pemindahbukuan dan harus dilunasi sendiri oleh
wajib pajak. Pembayaran PBB terutang melalui mekanisme pemindahbukuan
dilunasi paling lambat minggu kedua bulan Desember.
Pembayaran PBB terutang melalui mekanisme pemindahbukuan dilakukan
dengan 3 cara yaitu:
1. pemindahbukuan dari Rekening Minyak dan Gas Bumi dan Rekening Panas
Bumi ke kas negara pada Bank Persepsi melalui sistem penerimaan negara
secara elektronik;
2. pemindahbukuan dari Rekening Minyak dan Gas Bumi dan Rekening Panas
Bumi ke RKUN; atau
3. nontunai melalui reklasifikasi akun pendapatan penerimaan negara bukan
pajak menjadi akun pendapatan perpajakan.
Jika ketiga cara tersebut tidak dapat dilaksanakan, pembayaran PBB Sektor
Pertambangan Migas dan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas
Bumi Panas Bumi dapat dilakukan melalui mekanisme pembayaran tertentu yang
disetujui oleh Menteri Keuangan.
RINGKASAN
1) Dasar penagihan PBB adalah SPPT, SKP PBB, dan STP PBB.
2) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB jika wajib pajak belum
melunasi PBB terutang sampai dengan jatuh tempo pembayaran.
3) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP PBB melalui beberapa skenario.
4) PBB terutang dilunasi menggunakan pembayaran secara elektronik
menggunakan kode billing, melalui pemindahbukuan, atau melalui
mekanisme pembayaran tertentu yang disetujui oleh Menteri Keuangan
LATIHAN/PENUGASAN
Tugas
51 | Pajak Bumi dan Bangunan
Gambarkanlah timeline penerbitan STP PBB untuk skenario 1, skenario 2, dan
skenario 3.
Diskusikan!
Denda administrasi tidak dapat diajukan permintaan pembayaran melalui
mekanisme pemindahbukuan dan harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak. Denda
administrasi apakah yang dimaksud oleh pernyataan tersebut? Berapa
besarnya?
Pajak Bumi dan Bangunan | 52
HAK WAJIB PAJAK
BAB
7 HAK WAJIB PAJAK
Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa memahami hak wajib pajak yang diatur dalam UU PBB dan
peraturan di bawahnya
2. Mahasiswa memahami tata cara mengajukan permohonan terkait hak
wajib pajak
Ketentuan formal dalam penatausahaan pajak di Indonesia diatur dalam UU
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Yang dimaksud dengan
ketentuan formal yaitu ketentuan yang mengatur mengenai tata cara menjalankan
peraturan yang ada pada hukum materiil. Termasuk dalam ketentuan formal yaitu
ketentuan mengenai hak bagi wajib pajak. Hak bagi wajib pajak dalam proses
pemenuhan kewajiban PBB yang diatur dalam UU KUP antara lain yaitu
pengangsuran
dan
penundaan
pembayaran,
pengajuan
banding,
pengurangan/pembatalan ketetapan yang tidak benar, dan pengembalian
kelebihan pembayaran. Selain hak-hak tersebut, terdapat hak bagi wajib pajak
dalam proses pemenuhan kewajiban PBB yang diatur dalam UU PBB dan
ketentuan peraturan dibawahnya. Penjelasan dalam bab ini hanya membahas
mengenai hak dan wajib pajak yang diatur dalam UU PBB dan ketentuan
peraturan dibawahnya.
A. Pembatalan Penetapan Status Wajib Pajak
Jika atas suatu objek pajak belum diketahui siapa subjek pajaknya, maka Direktur
Jenderal Pajak menetapkan subjek pajak atas objek pajak tersebut secara
jabatan. Jika subjek pajak yang telah ditunjuk merasa keberatan, maka subjek
pajak tersebut dapat mengajukan keterangan secara tertulis bahwa ia bukanlah
subjek pajak. Keterangan tertulis harus diajukan dalam jangka waktu 1 bulan
sejak Surat Keterangan (tentang penetapan subjek pajak), diterima oleh subjek
pajak. Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan atas keterangan tertulis
tersebut maksimal 1 bulan sejak diterima.
53 | Pajak Bumi dan Bangunan
B. Keberatan PBB
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan menggunakan Surat
Keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP atas
suatu ketetapan hukum berupa SPPT atau SKP PBB. Pengajuan
keberatan dilakukan terhadap materi dalam penetapan besarnya PBB yang. Jika
wajib pajak mempermasalahkan prosedur formal dalam penetapan SPPT atau
SKP PBB, wajib pajak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak.
Wajib pajak mengajukan satu keberatan hanya untuk satu SPPT atau satu SKP
PBB. Wajib pajak juga harus tidak sedang mengajukan permohonan pengurangan
pembatalan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar, permohonan pengurangan
PBB, atau permintaan pengurangan denda administrasi. Wajib pajak mengajukan
Surat Keberatan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan
jumlah PBB terutang menurut penghitungan wajib pajak dan disertai dengan
alasan yang jelas. Surat Keberatan tersebut harus ditandatangani oleh wajib
pajak, wakil wajib pajak, atau kuasa wajib pajak. Surat Keberatan juga harus
dilampiri dengan fotokopi SPPT atau SKP PBB yang diajukan keberatan.
Wajib pajak mengajukan keberatan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal
diterimanya SPPT atau SKP PBB, kecuali terdapat keadaan di luar kekuasaan
wajib pajak berupa bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan lain-lain. Pengajuan
keberatan tidak menunda kewajiban membayar PBB terutang. Jika wajib pajak
menerima SPPT pada tanggal 1 Maret tahun pajak dan wajib pajak mengajukan
keberatan atas SPPT tersebut, jatuh tempo pembayaran SPPT tetap pada tanggal
31 Agustus meskipun keberatan wajib pajak belum diberikan keputusan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Gambar 7.1
Pajak Bumi dan Bangunan | 54
Skema Keberatan PBB
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan secara langsung, dikirim melalui pos,
atau dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir. Direktur Jenderal
Pajak berwenang memproses penyelesaian keberatan melalui penelitian. Direktur
Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas keberatan dalam jangka waktu
maksimal 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima. Apabila jangka waktu
tersebut telah terlampaui, keberatan yang diajukan wajib pajak dianggap diterima
dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan Surat Keputusan Keberatan.
C. Pengurangan PBB
1.
Sebab Pemberian Pengurangan PBB
Pengurangan PBB dapat diberikan karena dua alasan. Pertama, pengurangan
PBB diberikan karena kondisi tertentu objek pajak PBB yang ada hubungannya
dengan wajib pajak. Alasan ini lebih erat kaitannya dengan kondisi wajib pajak.
Yang dimaksud dengan kondisi tertentu yaitu jika wajib pajak mengalami kerugian
dan kesulitan likuiditas pada tahun sebelum tahun pengajuan permohonan
Pengurangan PBB. Penggunaan kata “dan” menunjukkan bahwa kedua kondisi
tersebut (kerugian dan kesulitan likuiditas) harus sedang dialami oleh wajib pajak.
Wajib pajak menunjukkan bahwa wajib pajak sedang mengalami kerugian
komersial menggunakan laporan keuangan/pencatatan yang dilampirkan dalam
SPT Tahunan PPh. Sementara itu, wajib pajak membuktikan kesulitan likuiditas
dengan menunjukkan kondisi ketidakmampuan dalam membayar utang jangka
pendek dengan kas yang diperoleh wajib pajak dari usaha.
55 | Pajak Bumi dan Bangunan
Selain karena alasan yang pertama, pengurangan PBB dapat diberikan kepada
wajib pajak jika objek pajak PBB terkena bencana alam atau sebab lain yang luar
biasa. Bencana alam yang dapat menjadi alasan pemberian pengurangan PBB
adalah bencana alam yang diakibatkan oleh serangkaian peristiwa alami antara
lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, atau
tanah longsor. Sementara itu, yang dimaksud dengan sebab lain yang luar biasa
antara lain kebakaran, wabah penyakit, wabah hama, huru-hara, kerusuhan, atau
tindakan anarkis.
2.
Ketetapan Hukum yang Dapat Diberikan Pengurangan PBB
Pengurangan PBB diberikan kepada wajib pajak atas PBB yang terutang dalam
SPPT, SKP PBB, dan STP PBB. Jika wajib pajak mengajukan permohonan
pengurangan PBB karena mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas, maka STP
PBB yang dapat diberikan pengurangan PBB hanya STP PBB yang diterbitkan
atas dasar surat keputusan keberatan PBB.
3.
Besaran Pengurangan PBB
Pengurangan PBB diberikan maksimal sebesar 75% dari jumlah PBB terutang
dalam SPPT, SKP PBB, atau STP PBB jika wajib pajak mengajukan permohonan
pengurangan PBB karena wajib pajak sedang mengalami kerugian dan kesulitas
likuiditas. Sementara itu, jika wajib pajak mengajukan permohonan pengurangan
PBB karena objek pajak PBB terkena bencan alam atau sebab luar biasa maka
pengurangan PBB diberikan maksimal sebesar 100% dari jumlah PBB terutang
dalam SPPT, SKP PBB, atau STP PBB.
4.
Tata Cara Permohonan Pengurangan PBB
Untuk mendapatkan pengurangan PBB, wajib pajak mengajukan permohonan
pengurangan PBB kepada Menteri Keuangan dan disampaikan melalui Kepala
KPP. Permohonan pengurangan PBB diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia dengan mengemukakan besarnya persentase pengurangan PBB yang
dimohonkan dengan disertai alasan yang jelas. Permohonan tersebut harus
ditandatangani oleh wajib pajak, wakil wajib pajak, atau kuasa wajib pajak.
Permohonan pengurangan PBB juga harus dilampiri dengan fotokopi SPPT, SKP
PBB, atau STP PBB, yang dimohonkan Pengurangan PBB. Wajib pajak
mengajukan satu permohonan pengurangan PBB hanya untuk satu SPPT, SKP
PBB, atau STP PBB. Selain itu, agar permohoan pengurangan PBB memenuhi
persyaratan untuk dapat ditindaklanjuti, wajib pajak tidak boleh memiliki tunggakan
PBB atas objek pajak yang dimohonkan pengurangan PBB, kecuali jika objek
pajak tersebut terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan PBB secara langsung
ke KPP, dikirim melalui pos, atau dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi atau
jasa kurir. Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan berwenang
melakukan pengujian, penelitian, dan memberikan keputusan atas permohonan
Pajak Bumi dan Bangunan | 56
pengurangan PBB. Kepala Kanwil DJP harus memberi keputusan atas
permohonan pengurangan PBB dalam jangka waktu maksimal 4 bulan sejak
tanggal permohonan pengurangan PBB diterima. Apabila jangka waktu tersebut
telah terlampaui, permohonan wajib pajak dianggap dikabulkan dan Kepala Kanwil
DJP harus menerbitkan surat keputusan pengurangan PBB sesuai dengan
permohonan wajib pajak.
5.
Pengurangan PBB Sektor Pertambangan Migas
Pengurangan PBB diberikan sebesar 100% atas PBB terutang untuk objek pajak
PBB Sektor Pertambangan Migas berupa tubuh bumi. Pengurangan PBB tersebut
diberikan kepada wajib pajak PBB Sektor Pertambangan Migas yang:
-
kegiatan usaha-nya masih dalam tahap eksplorasi
-
menandatangani kontrak kerja sama setelah Peraturan Pemerintah Nomor 79
Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan
Pajak Penghasilan di Bidang Hulu Minyak dan Gas Bumi;
-
menyampaikan SPOP; dan
-
melampirkan surat rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak bumi dan gas bumi yang
menyatakan bahwa objek PBB Sektor Pertambangan Migas masih pada
tahap eksplorasi.
Pengurangan PBB ini dapat diberikan setiap tahun untuk jangka waktu paling lama
6 tahun sejak tanggal ditandatanganinya kontrak kerja sama minyak dan gas bumi.
Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang selama 4 tahun sepanjang telah
memiliki surat rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
6.
Pengurangan PBB Sektor Pertambangan Pabum
Pengurangan PBB diberikan sebesar 100% atas PBB terutang untuk objek pajak
berupa tubuh bumi pada PBB Sektor Pertambangan Pabum. Pengurangan PBB
tersebut diberikan kepada wajib pajak PBB Sektor Pertambangan Pabum yang:
-
kegiatan usaha-nya masih dalam tahap eksplorasi;
-
memiliki izin untuk melakukan pengusahaan panas bumi (Izin Panas Bumi)
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas
Bumi;
-
menyampaikan SPOP; dan
-
melampirkan surat rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kegiatan usaha panas bumi yang menyatakan bahwa
pemanfaatan objek masih pada tahap eksplorasi.
Pengurangan PBB ini dapat diberikan setiap tahun untuk jangka waktu paling lama
5 tahun sejak tanggal Izin Panas Bumi diterbitkan. Jangka waktu tersebut dapat
57 | Pajak Bumi dan Bangunan
diperpanjang selama 2 tahun apabila telah memiliki surat rekomendasi dari
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha
panas bumi.
D. Pengurangan Denda Administrasi
1.
Sebab Pemberian Pengurangan Denda Administrasi
Direktur Jenderal Pajak, atas permintaan dari wajib pajak, dapat memberikan
pengurangan denda administrasi jika:
- denda dikenakan karena kealpaan wajib pajak
- denda dikenakan bukan karena kesalahan wajib pajak
- wajib pajak mengalami kesulitan likuiditas pada tahun sebelum tahun
pengajuan permintaan pengurangan denda administrasi
- terjadi bencana alam atau kejadian luar biasa lainnya yang menyebabkan wajib
pajak tidak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya
- terjadi hal-hal lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak
2.
Ketetapan Hukum yang Dapat Diberikan Pengurangan Denda Administrasi
Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan pengurangan denda administrasi
berupa denda administrasi sebesar 25% yang tercantum dalam SKP PBB atau
denda administrasi sebesar 2% per bulan yang tercantum dalam STP PBB.
3.
Tata Cara Permohonan Pengurangan Administrasi
Untuk mendapatkan pengurangan PBB, wajib pajak mengajukan permohonan
pengurangan PBB kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP. Selain
dalam hal objek pajak sedang terdampak bencana alam atau kejadian yang luar
biasa, permohonan pengurangan administrasi dapat diberikan jika ketetapan
hukum (baik berupa SPPT maupun SKP PBB) yang terkait dengan timbulnya
denda administrasi memenuhi persyaratan berikut:
- tidak sedang diajukan keberatan, diajukan keberatan tetapi tidak
dipertimbangkan, atau diajukan keberatan tetapi dicabut oleh wajib pajak
- tidak sedang diajukan permohonan pengurangan PBB
- tidak sedang diajukan permohonan pengurangan denda administrasi
- tidak sedang diajukan permohonan pembatalan atau pengurangan yang tidak
benar
Permintaan pengurangan denda administrasi diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan mengemukakan besarnya denda administrasi yang
dimintakan pengurangan dengan disertai alasan yang jelas. Permintaan tersebut
harus ditandatangani oleh wajib pajak, wakil wajib pajak, atau kuasa wajib pajak.
Wajib pajak mengajukan satu permintaan pengurangan PBB hanya untuk satu
Pajak Bumi dan Bangunan | 58
SKP PBB atau STP PBB. Agar permintaan pengurangan PBB memenuhi
persyaratan untuk dapat ditindaklanjuti, wajib pajak harus telah melunasi PBB
yang tidak atau kurang dibayar yang menjadi dasar penghitungan denda
administrasi.
Wajib pajak dapat mengajukan permintaan pengurangan denda administrasi
secara langsung, dikirim melalui pos, atau dikirim melalui perusahaan jasa
ekspedisi atau jasa kurir. Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
pengujian, penelitian, dan memberikan keputusan atas permintaan pengurangan
denda administrasi. Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas
permintaan pengurangan denda administrasi dalam jangka waktu maksimal 6
bulan sejak tanggal permintaan pengurangan denda administrasi diterima. Apabila
jangka waktu tersebut telah terlampaui, permintaan pengurangan denda
administrasi oleh wajib pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak
harus menerbitkan surat keputusan pengurangan PBB sesuai dengan
permohonan wajib pajak.
RINGKASAN
1) Hak wajib pajak terkait PBB diatur dalam UU KUP dan juga UU PBB.
2) Hak wajib pajak yang diatur dalam UU PBB yaitu hak untuk mengajukan
keberatan, memohon pengurangan PBB, meminta pengurangan denda
administrasi, dan memohon pembatalan/pengurangan ketetapan hukum
yang tidak benar.
LATIHAN/PENUGASAN
Tugas!
Sebutkan dan buatlah resume mengenai hak wajib pajak yang diatur dalam UU
KUP, yang dapat digunakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban PBB!
59 | Pajak Bumi dan Bangunan
PBB SEKTOR PERKEBUNAN
BAB
Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa memahami objek pajak PBB Sektor Perkebunan
2. Mahasiswa memahami tata cara penetapan NJOP Sektor Perkebunan
3. Mahasiswa mampu menghitung PBB terutang pada PBB Sektor Perkebunan
A. Objek Pajak PBB Sektor Perkebunan
Objek pajak PBB Sektor Perkebunan yaitu bumi dan/atau
bangunan yang berada di kawasan perkebunan. Yang dimaksud
dengan kawasan perkebunan yaitu areal perkebunan yang sudah
diberikan Hak Guna Usaha (HGU) atau yang sudah diberikan izin
untuk mengelola lahan perkebunan oleh negara. Izin pengelolaan
lahan perkebunan tersebut dapat berupa:
a. izin melakukan usaha budidaya perkebunan berupa Izin Usaha Perkebunan
Budidaya (IUP-B) atau Izin Tetap Usaha Budidaya Perkebunan (ITUBP),
b. izin melakukan usaha budidaya perkebunan yang terintegrasi dengan usaha
industri pengolahan hasil perkebunan berupa Izin Usaha Perkebunan (IUP).
Jika terdapat areal yang berada di luar areal yang telah diberikan HGU atau izin,
namun areal tersebut secara fisik tidak terpisahkan dengan areal yang telah
diberikan HGU atau izin, maka areal tersebut ditetapkan sebagai bagian dari objek
pajak PBB Sektor Perkebunan. Yang dimaksud dengan areal yang secara fisik
tidak terpisahkan yaitu yaitu areal yang bersinggungan dengan areal yang
diberikan HGU atau izin (Gambar 8.1), serta areal yang dihubungkan dengan
sungai, parit, jalan atau jembatan (Gambar 8.2).
Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek PBB Sektor Perkebunan berupa bumi
dikelompokkan menjadi beberapa areal sebagaimana disajikan berikut.
a. Areal yang dikenakan PBB
 Areal Produktif Perkebunan
Areal ini merupakan areal yang telah ditanami dengan tanaman perkebunan.
Tanaman perkebunan tersebut dapat berupa tanaman kelapa sawit, kakao,
karet, jagung, dan sebagainya.2
 Areal Belum Produktif Perkebunan
2
Untuk daftar tanaman-tanaman yang diatur oleh DJP dapat melihat Lampiran Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-185/PJ/2020
Pajak Bumi dan Bangunan | 60
Areal ini merupakan areal yang disiapkan untuk ditanami namun belum
ditanami tanaman perkebunan. Yang termasuk dalam ini yaitu areal yang
belum diolah, areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami, dan areal
pembibitan.
Gambar 8.1
Lokasi pabrik bersinggungan dengan areal objek pajak
Gambar 8.2
Lokasi pabrik dihubungkan dengan jalan dengan areal objek pajak
 Areal Tidak Produktif Perkebunan
Yaitu areal yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perkebunan.
Contoh dari areal ini yaitu jurang, areal dengan curam, rawa, sungai, dan
cadas.
 Areal Pengaman Perkebunan
Areal ini merupakan areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan
pengaman kegiatan usaha perkebunan. Contohnya adalah jalan tanah yang
diperkeras, parit, serta tanggul.
61 | Pajak Bumi dan Bangunan
 Areal Emplasemen Perkebunan
Areal ini merupakan areal yang di atasnya digunakan untuk mendirikan
bangunan serta fasilitas penunjangnya. Misalnya yaitu areal yang diatasnya
berdiri bangunan perkantoran, perumahan, mess/gedung, pabrik, sarana
olah raga, dan lainnya.
b. Areal yang tidak dikenakan PBB
 Areal Lainnya
Areal ini adalah areal yang telah disebutkan dalam UU PBB Pasal 3 ayat (1)
yang terdapat dalam objek pajak PBB Sektor Perkebunan. Contohnya
adalah jika di kawasan pertambangan terdapat tempat ibadah.
 Areal yang hak atas areal tersebut dipunyai secara nyata dan sah oleh pihak
selain wajib pajak. Contohnya adalah areal di dalam IUP yang hak atas
tanahnya masih dimiliki oleh warga.
 Areal yang dimanfaatkan sepenuhnya secara nyata dan sah oleh pihak
selain wajib pajak.
B. Penetapan NJOP
1.
Areal Produktif Perkebunan
Areal ini adalah areal yang telah ditanami dengan tanaman perkebunan. Oleh
karena itu, NJOP dalam areal ini mempertimbangkan NJOP untuk tanah dan
NJOP untuk pengembangan tanah berupa tanaman. NJOP berupa tanah
ditentukan melalui perbandingan dengan harga jual objek pajak lain sejenis yang
letaknya berdekatan dan fungsinya sama dengan tanah tersebut.3
Sementara itu, NJOP untuk pengembangan tanah berupa tanaman ditentukan
dengan menghitung besarnya Biaya Investasi Tanaman (BIT). BIT dihitung
dengan menjumlahkan biaya tenaga kerja, bahan, dan alat yang diinvestasikan
untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Besarnya
BIT ini ditetapkan setiap tahun oleh Direktur Jenderal Pajak dengan
mempertimbangkan jenis tanaman, umur tanaman, dan lokasi objek pajak. Contoh
besarnya BIT adalah sebagaimana terlihat pada gambar 8.3.
2.
Areal Belum Produktif Perkebunan, Areal Tidak Produktif Perkebunan, dan
Areal Emplasemen Perkebunan
NJOP untuk ketiga areal ini ditentukan dengan pendekatan yang digunakan untuk
menentukan NJOP untuk tanah dalam Areal Produktif Perkebunan, yaitu melalui
perbandingan dengan harga jual objek pajak lain sejenis yang letaknya
berdekatan dan fungsinya sama.
3
Lihat Bab 4 mengenai contoh penghitungannya
Pajak Bumi dan Bangunan | 62
Gambar 8.3
Biaya Investasi Tanaman per meter persegi untuk tanaman
3.
Areal Pengaman Perkebunan
NJOP untuk Areal Pengaman Perkebunan ditentukan dengan melakukan
penyesuaian terhadap NJOP Areal Belum Produktif Perkebunan.
4.
Bangunan
Perlu diperhatikan juga bahwa Areal Emplasemen Perkebunan didefinisikan
sebagai areal yang di atasnya digunakan untuk bangunan. Oleh karena itu, dalam
PBB Sektor Perkebunan juga memperhitungkan NJOP untuk bangunan yang
terdapat dalam Areal Emplasemen Perkebunan. NJOP untuk bangunan tersebut
dihitung melalui pendekatan biaya.
C. Penghitungan PBB Sektor Perkebunan
Gambar 8.4
63 | Pajak Bumi dan Bangunan
Alur Proses Penghitungan PBB Sektor Perkebunan
Contoh Kasus:
PT Bio Sawit RX adalah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa
sawit di Provinsi Sumatera Utara. Perusahaan memperoleh izin berupa IUP pada
tanggal 5 Agustus 2013. Objek PBB Sektor Perkebunan terletak di wilayah kerja
KPP Pematang Siantar, Kanwil DJP Sumatera Utara II.
Berikut ini adalah data terkait bumi dan bangunan yang dimiliki perusahaan per
tanggal 14 Februari 2020:
1. Areal yang sudah ditanami seluas 1.770ha. Dari seluruh areal tersebut, areal
seluas 300ha berisi tanaman kelapa sawit yang ditanami pada tahun 2015.
Kelapa sawit yang ditanami pada tahun 2016 seluas 70ha, pada tahun 2017
seluas 600ha, pada tahun 2018 seluas 300ha, dan pada tahun 2019 seluas
500ha. NJOP untuk tanah pada areal ini yaitu sebesar Rp85.000/m2.
2. Areal yang belum ditanami oleh perusahaan seluas 600ha dengan NJOP
sebesar Rp82.000/m2.
3. Areal yang digunakan untuk bangunan perkantoran dan pabrik adalah seluas
1ha dengan NJOP/m2 sebesar Rp354.000.
4. Areal yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perkebunan adalah
seluas 858ha dengan NJOP/m2 sebesar Rp1.000.
Pajak Bumi dan Bangunan | 64
5. Areal yang digunakan sebagai pengaman kegiatan usaha perkebunan adalah
seluas 500ha dengan NJOP/m2 sebesar Rp77.900.
6. Areal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) UU PBB adalah seluas
450ha.
7. Bangunan yang dimiliki perusahaan adalah Perkantoran dan Pabrik dengan
NJOP/m2 sebagai berikut:
Jenis
Bangunan
1 Perkantoran
2 Pabrik
No
Kriteria
Bangunan
Umum
Umum
Luas
(m²)
2.500
5.000
NJOP/m²
(Rp)
2.500.000
3.500.000
8. Biaya Investasi Tanaman untuk tanaman kelapa sawit sesuai dengan
keputusan Direktur Jenderal Pajak adalah sebagai berikut:
Umur
Tanaman
1
2
3
4
5
6
7
BIT/m²
(Rp)
4.004
5.161
6.424
7.625
7.567
7.511
7.459
Maka, PBB Terutang untuk Tahun Pajak 2020 atas objek pajak PBB Sektor
Perkebunan tersebut adalah:
①
Tahun
Tanam
2015
2016
2017
2018
2019
Total
②
AREAL PRODUKTIF
= NJOP untuk tanah + BIT
= (17.700.000m² x Rp85.000/m²) + Rp102.085.500.000
= Rp1.504.500.000.000+Rp102.085.500.000
= Rp1.606.585.500.000
Luas
(ha)
300
70
600
300
500
1.770
65 | Pajak Bumi dan Bangunan
Umur
Luas
(m²)
(Tahun)
3.000.000
5
700.000
4
6.000.000
3
3.000.000
2
5.000.000
1
17.700.000
BIT/m²
(Rp)
7.567
7.625
6.424
5.161
4.004
BIT
(Rp)
22.701.000.000
5.337.500.000
38.544.000.000
15.483.000.000
20.020.000.000
102.085.500.000
③
④
AREAL BELUM PRODUKTIF
= Luas (m²)
x NJOP/per m²
= 6.000.000m² x Rp82.000
= Rp492.000.000.000
AREAL EMPLASEMEN
= Luas (m²)
x NJOP/per m²
= 10.000m²
x Rp354.000
= Rp3.540.000.000
⑤
AREAL PENGAMAN
= Luas (m²)
x NJOP/per m²
= 5.000.000m² x Rp77.900
= Rp389.500.000.000
⑥
AREAL TIDAK PRODUKTIF
= Luas (m²)
x NJOP/per m²
= 8.580.000m² x Rp1.000
= Rp8.580.000.000
⑦
NJOP BUMI
= ∑ NJOP Seluruh Areal Permukaan Bumi
= Rp2.500.205.500.000
⑧
NJOP BANGUNAN
Jenis
Kriteria
No
Bangunan
Bangunan
1 Perkantoran
Umum
2 Pabrik
Umum
Luas
(m²)
2.500
5.000
7.500
NJOP/m²
(Rp)
2.500.000
3.500.000
NJOP
(Rp)
6.250.000.000
17.500.000.000
23.750.000.000
SPPT berdasarkan penghitungan PBB terutang di atas adalah sebagai berikut:
Pajak Bumi dan Bangunan | 66
RINGKASAN
1) Objek pajak PBB Sektor Perkebunan yaitu bumi dan/atau bangunan yang
berada di kawasan perkebunan yang telah diberikan HGU atau izin resmi
dari negara.
2) Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek PBB Sektor Perkebunan
dikelompokkan menjadi beberapa areal.
3) Areal-areal dalam objek pajak PBB Sektor Perkebunan memiliki cara
penghitungan NJOP masing-masing.
4) NJOP Bumi untuk suatu objek pajak PBB Sektor Perkebunan diperoleh
dengan cara menjumlahkan seluruh NJOP dari masing-masing areal
ditambah dengan NJOP Bangunan.
LATIHAN/PENUGASAN
Latihan
67 | Pajak Bumi dan Bangunan
Sebuah perkebunan kelapa sawit yang telah memiliki IUP-B pada tanggal 20
Januari 2020. Anda adalah seorang petugas pajak di KPP Pengadministrasi
objek pajak PBB Sektor Perkebunan tersebut. Hitunglah PBB Terutang untuk
tahun pajak 2020, jika anda memiliki data sebagai berikut:
1. Areal yang sudah ditanami seluas 6.210Ha, dengan rincian.
Tahun Tanam
Luas (Ha)
2013
1.250
2015
1.200
2016
1.600
2017
980
2019
780
2020
400
2. Areal yang belum ditanami oleh perusahaan seluas 600ha.
3. Areal yang digunakan untuk bangunan seluas 1ha.
4. Areal yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perkebunan adalah
seluas 6000m2.
5. Areal yang digunakan sebagai pengaman kegiatan usaha perkebunan
adalah seluas 20ha.
6. Areal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) UU PBB adalah seluas
200m2.
7. Bangunan yang dimiliki perusahaan adalah sebagai berikut:
No
1
2
3
4
Jenis
Penggunaan
Bangunan
Perkantoran
Pabrik
Perumahan
pegawai
Gudang
Penyimpanan
Kriteria
Bangunan
Luas
Bangunan
(m2)
Umum
Umum
Umum
2000
3000
2000
Nilai Bangunan/m2 (Rp)
Teknik
Teknik Meter
Survei
Persegi
kuantitas
850.000
750.000
1.000.000
985.000
996.000
990.000
Khusus
700
2.200.000
2.500.000
Pajak Bumi dan Bangunan | 68
8. Biaya Investasi Tanaman untuk tanaman kelapa sawit sesuai dengan
keputusan Direktur Jenderal Pajak adalah sebagai berikut
Umur
Tanaman
2
BIT/m (Rp)
1
2
3
4
5
6
7
4.004
5.161
6.424
7.625
7.567
7.511
7.459
9. Harga tanah pembanding untuk penilaian Areal Produktif Perkebunan di
sekitar kawasan diperoleh data sebagai berikut:
No
1
2
3
4
Objek Pembanding
Objek 1
Objek 2
Objek 3
Objek 4
Harga
Transaksi/m2
Rp600.000
Rp250.000
Rp200.000
Rp580.000
Penyesuaian
-4%
+5%
+2%
-1%
10. Harga tanah pembanding untuk penilaian Areal Belum Produktif
Perkebunan di sekitar kawasan diperoleh data sebagai berikut:
No
1
2
3
4
Objek Pembanding
Objek 1
Objek 2
Objek 3
Objek 4
Harga
Transaksi/m2
Rp400.000
Rp250.000
Rp220.000
Rp500.000
Penyesuaian
-10%
-2%
-9%
-1%
11. Harga tanah pembanding untuk penilaian Areal Tidak Produktif Perkebunan
di sekitar kawasan diperoleh data sebagai berikut:
No
1
2
3
4
Objek Pembanding
Objek 1
Objek 2
Objek 3
Objek 4
69 | Pajak Bumi dan Bangunan
Harga
Transaksi/m2
Rp30.000
Rp12.000
Rp29.000
Rp8.000
Penyesuaian
-4%
+5%
-4%
+10%
12. Harga tanah pembanding untuk penilaian Areal Emplasemen Perkebunan
di sekitar kawasan diperoleh data sebagai berikut:
No
1
2
3
4
Objek Pembanding
Objek 1
Objek 2
Objek 3
Objek 4
Harga
Transaksi/m2
Rp3.000.000
Rp2.250.000
Rp2.870.000
Rp3.100.000
Besar
Penyesuaian
-4%
+6%
-2%
-1%
13. Untuk nilai Areal Pengaman Perkebunan, penilai menentukan NJOP/m2nya sebesar 94% dari NJOP/m2 Areal Belum Produktif Perkebunan.
Pajak Bumi dan Bangunan | 70
PBB SEKTOR PERHUTANAN
BAB
9 PBB SEKTOR PERHUTANAN
Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa memahami objek pajak PBB Sektor Perhutanan
2. Mahasiswa memahami tata cara penetapan NJOP PBB Sektor Perhutanan
3. Mahasiswa mampu menghitung PBB Sektor Perhutanan
A. Objek Pajak PBB Sektor Perhutanan
Objek pajak PBB Sektor Perhutanan yaitu bumi dan/atau
bangunan yang berada di kawasan perhutanan. Yang dimaksud
dengan kawasan perhutanan yaitu wilayah perhutanan yang telah
diberikan izin untuk mengelola Hutan Produksi oleh negara. Hutan
Produksi merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok memproduksi hasil hutan. Dalam pengenaan PBB Sekor Perhutanan,
Hutan Produksi dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu Hutan Alam dan Hutan
Tanaman (Hutan Tanaman Industri). Yang dimaksud Hutan Alam adalah suatu
lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan
merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya.
Sedangkan, Hutan Tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka
meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur
intensif.
Izin pengelolaan Hutan Produksi yang menjadi objek pajak PBB Sektor
Perhutanan dapat berupa:

Izin memanfaatkan Hutan Produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan,
pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan
pemasaran hasil hutan kayu. Izin ini disebut dengan Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA). Sebelum berlakunya
ketentuan mengenai izin pengelolaan perhutanan yang baru, izin ini dikenal
dengan nama Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dari Hutan Alam pada Hutan
Produksi melalui kegiatan pengayaan, pemeliharaan, perlindungan,
pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil. Izin ini dikenal dengan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Alam (IUPHHBKHA).

Izin usaha untuk membangun kawasan dalam Hutan Alam pada Hutan
Produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan
fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan
71 | Pajak Bumi dan Bangunan
pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan,
penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan
unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan
topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai
keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Izin ini dikenal dengan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).

Izin usaha untuk membangun Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang
dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas
Hutan Produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Izin
ini dikenal dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman Industri (IUPHHK-HTI). Sebelumnya izin ini disebut Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman (IUPHHK-HTI).

Izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari
Hutan Tanaman pada Hutan Produksi melalui kegiatan penyiapan lahan,
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengamanan, dan
pemasaran hasil. Izin ini dikenal dengan nama Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Bukan Kayu dari Hutan Tanaman (IUPHHBK-HT).

Penugasan dari pemerintah kepada Perusahaan Umum Kehutanan Negara
(Perum Perhutani) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika terdapat areal yang berada di luar areal yang telah diberikan izin, namun areal
tersebut secara fisik tidak terpisahkan dengan areal yang telah diberikan izin,
maka areal tersebut ditetapkan sebagai bagian dari objek pajak PBB Sektor
Perhutanan. Yang dimaksud dengan areal yang secara fisik tidak terpisahkan
yaitu yaitu areal yang bersinggungan dengan areal yang diberikan izin, serta areal
yang dihubungkan dengan sungai, parit, jalan atau jembatan. Perhatikan ilustrasi
pada Gambar 8.1 mengenai hal ini.
Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek pajak berupa bumi dikelompokkan
menjadi beberapa areal sebagai berikut:
1.
Areal yang dikenakan PBB
 Areal Produktif Perhutanan
Areal Produktif Perhutanan pada Hutan Alam adalah areal blok tebangan
pada Hutan Alam dengan izin IUPHHK-HA dan/atau areal blok pemanenan
pada Hutan Alam dengan izin IUPHHBK-HA. Sedangkan, Areal Produktif
Perhutanan pada Hutan Tanaman adalah areal yang telah ditanami pada
Hutan Tanaman dengan IUPHHK-HTI dan/atau IUPHHBK-HT, atau
penugasan dari pemerintah kepada Perum Perhutani. Areal Produktif
Pajak Bumi dan Bangunan | 72
Perhutanan pada Hutan Tanaman ini meliputi tanah dan pengembangan
tanah berupa tanaman, sebagaimana Areal Produktif Perkebunan.4
 Areal Belum Produktif Perhutanan
Areal Belum Produktif Perhutanan pada Hutan Alam merupakan areal yang
dapat ditebang selain blok tebangan pada Hutan Alam dengan IUPHHK-HA
dan/atau areal yang dapat dipanen selain blok pemanenan pada Hutan Alam
dengan IUPHHBK-HA.
Sedangkan, Areal Belum Produktif Perhutanan pada Hutan Tanaman
merupakan areal yang belum ditanami baik areal yang belum diolah dan/atau
areal yang sudah diolah pada Hutan Tanaman dengan IUPHHK-HTI dan/atau
IUPHHBK-HT, atau penugasan dari pemerintah kepada Perum Perhutani.
 Areal Tidak Produktif Perhutanan
Areal Tidak Produktif Perhutanan pada Hutan Alam merupakan areal pada
Hutan Alam dengan IUPHHK-RE yang belum tercapai keseimbangan
ekosistem dan belum ada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
Sedangkan, Areal Tidak Produktif Perhutanan pada Hutan Tanaman
merupakan areal yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha
perhutanan, yang meliputi areal tidak layak kelola, areal pengelolaan sosial
dan tanaman kehidupan, areal yang dimanfaatkan oleh selain subjek pajak
atau wajib pajak secara tidak sah, serta areal yang dimanfaatkan tidak
sepenuhnya oleh selain subjek pajak atau wajib pajak secara sah.
 Areal Pengaman Perhutanan
Areal Pengaman Perhutanan merupakan areal yang telah melalui proses
rekayasa dan dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan
usaha perhutanan meliputi areal log ponds atau log yards, tempat
pengumpulan hasil panen, jalan, kanal, parit, dan tanggul.
 Areal Emplasemen Perhutanan
Areal Emplasemen Perhutanan merupakan areal yang
dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjangnya.
di atasnya
 Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan
Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan merupakan areal yang
memiliki fungsi dan peruntukan sebagai perlindungan dan konservasi,
meliputi sungai, kawasan yang memberikan perlindungan kawasan
bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan
cagar budaya, zona penyangga (buffer zone). Termasuk pula dalam areal ini
4
Telah dibahas di Bab 8
73 | Pajak Bumi dan Bangunan
yaitu areal hutan yang ditetapkan sebagai hutan bernilai konservasi tinggi
(High Conservation Value Forest).
2.
Areal yang tidak dikenakan PBB
 Areal Lainnya
Areal ini yaitu areal yang telah disebutkan dalam UU PBB Pasal 3 ayat (1)
yang terdapat dalam objek pajak PBB Sektor perhutanan.
 Areal yang hak atas areal tersebut dipunyai dan/atau dimanfaatkan
sepenuhnya secara nyata dan sah oleh selain subjek pajak atau wajib
pajak.
B. Penetapan NJOP
1.
Areal Produktif Perhutanan
NJOP Bumi untuk Areal Produktif Perhutanan pada Hutan Alam ditentukan
menggunakan pendekatan pendapatan. NJOP Bumi diperoleh dari hasil perkalian
antara pendapatan bersih hasil hutan dengan angka kapitalisasi (ditetapkan
sebesar 8,5). Berdasarkan data rata-rata biaya produksi selama satu tahun,
Direktur Jenderal Pajak menetapkan bahwa biaya produksi untuk kegiatan usaha
perhutanan yaitu sebesar 75%. Atau, dengan kata lain, Direktur Jenderal Pajak
menetapkan bahwa pendapatan bersih yang digunakan dalam penghitungan
NJOP Bumi untuk Areal Produktif Perhutanan adalah sebesar 25% dari
pendapatan kotor.
Pendapatan kotor merupakan hasil perkalian antara jumlah hasil produksi hasil
hutan (berupa kayu maupun bukan kayu) dengan harga jual rata-rata. Harga jual
rata-rata merupakan harga jual rata-rata yang terjadi pada tempat penimbunan
kayu. Sesuai dengan konsep pendekatan pendapatan yang dibahas pada Bab 4,
jumlah hasil produksi dan harga jual rata-rata yang digunakan dalam
penghitungan merupakan jumlah produksi dan harga rata-rata dalam satu tahun
terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
Sementara itu, NJOP Areal Produktif Perhutanan pada Hutan Tanaman meliputi
NJOP untuk tanah dan NJOP untuk pengembangan tanah berupa
tanaman/pohon. NJOP berupa tanah ditentukan melalui perbandingan dengan
harga jual objek pajak lain sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama
dengan tanah tersebut. Sementara itu, NJOP untuk pengembangan tanah berupa
tanaman ditentukan dengan menghitung besarnya Biaya Investasi Tanaman
(BIT).
BIT dihitung dengan menjumlahkan biaya tenaga kerja, bahan, dan alat yang
diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman.
Pajak Bumi dan Bangunan | 74
Besarnya BIT ini ditetapkan setiap tahun oleh Direktur Jenderal Pajak dengan
mempertimbangkan jenis tanaman, umur tanaman, dan lokasi objek pajak. Contoh
besarnya BIT pada PBB Sektor Perhutanan untuk Provinsi Riau adalah
sebagaimana terlihat pada gambar 9.1.
Gambar 9.1
Jenis Tanaman
Umur
(Tahun)
BIT/m2
(Rp)
I
AKASIA
1
2
3
1.620
1.753
1.872
II
EUKALIPTUS
1
2
3
1.844
1.997
2.132
III
JATI
1
2
3
4
5
1.803
1.953
2.084
2.159
2.197
No
BIT, Provinsi Riau, Kanwil DJP Riau
2.
Areal Belum Produktif Perhutanan dan Areal Emplasemen Perhutanan
NJOP untuk dua areal ini ditentukan melalui perbandingan dengan harga jual
objek pajak lain sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama.
3.
Areal Tidak Produktif Perhutanan dan Areal Perlindungan dan Konservasi
Perhutanan
NJOP untuk dua areal ini ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
NJOP Bumi/m2 untuk Areal Tidak Produktif Perhutanan ditetapkan untuk masingmasing wilayah sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9.2. Sementara itu,
NJOP Bumi/m2 untuk Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan ditetapkan
sebesar Rp58,00.
No
1
Pulau
Sumatera
75 | Pajak Bumi dan Bangunan
Gambar 9.2
Provinsi
Aceh, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau,
Kepulauan Riau, Jambi,
Bengkulu, Sumatera Selatan,
Kepulauan Bangka Belitung,
dan Lampung
NJOP/m2 (Rp)
803
2
Jawa
DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, dan Jawa Timur
2.950
3
Kepulauan Bali dan
Nusa Tenggara
Bali, Nusa Tenggara Barat,
dan Nusa Tenggara Timur
1.029
4
Kalimantan
Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Utara
290
5
Sulawesi
Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Barat, Gorontalo, dan
Sulawesi Utara
357
6
Kepulauan Maluku
dan Papua
Maluku, Maluku Utara, Papua
Barat, dan Papua
342
NJOP Areal Tidak Produktif Perhutanan
4.
Areal Pengaman Perhutanan
NJOP untuk Areal Pengaman Perhutanan ditentukan berdasarkan penyesuaian
terhadap NJOP Bumi/m2 untuk Areal Belum Produktif Perhutanan. Penyesuaian
dilakukan dengan menyesuaikan nilai antara objek pembanding (Areal Belum
Produktif Perhutanan) dengan objek yang dinilai (Areal Pengaman Perhutanan)
yang meliputi penyesuaian faktor lokasi, fisik (kontur tanah, ketersediaan
infrastruktur, dan jenis tanah), jenis penggunaan tanah, dan keluasan.
5.
Bangunan
NJOP untuk bangunan tersebut dihitung melalui pendekatan biaya.
C. Penghitungan PBB Sektor Perhutanan
Penghitungan PBB Sektor Perhutanan menggunakan skema yang sama dengan
proses penghitungan PBB Sektor Perkebunan yang dapat dilihat pada Gambar
8.5. Yang menjadi perbedaan hanya adanya tambahan areal permukaan bumi
berupa Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan.
Contoh Kasus:
Sebuah objek PBB Sektor Perhutanan berada di Kabupaten A (wilayah kerja KPP
Pratama Sampit). Objek tersebut dimanfaatkan oleh PT Rimba Nusantara sejak
tahun 2015. Areal Produktif Perhutanan dari kawasan perhutanan (Hutan Alam)
tersebut memiliki hasil produksi kayu pada tahun 2019 sebanyak 72.300m3. Harga
jual rata-rata/m3 pada tahun tersebut adalah Rp312.877. Biaya yang dikeluarkan
Pajak Bumi dan Bangunan | 76
selama setahun untuk mendapatkan hasil produksi tersebut adalah sebesar
Rp17.000.000.000. Jika NJOP masing-masing areal dan NJOP Bangunan (seluas
5.000m2) di berikan pada tabel berikut, berapakah PBB terutang atas objek pajak
PBB Sektor Perhutanan tersebut?
Jenis Areal
Areal Belum
Areal Tidak Produktif
Areal Emplasemen
Areal Pengaman
Areal Lainnya
Luas (m²)
1.150.000
300.000
20.000
200.000
15.000
NJOP/m²
40.295
803
93.531
38.280
-
NJOP Bangunan
Nilai Areal
46.339.250.000
240.900.000
1.870.618.000
7.656.050.000
7.854.000.000
Gambar 9.3
Alur Proses Penghitungan PBB Sektor Perhutanan
Jawab:
Dengan menggunakan skema pada Gambar 9.3, maka terlebih dahulu dicari
NJOP Bumi Areal Produktif Perhutanan.
77 | Pajak Bumi dan Bangunan
Hasil Produksi
Harga Jual
(m³)
Rata-Rata (Rp)
72.300
312.877
(25% x Pendapatan Kotor)
Pendapatan Kotor
Pendapatan Bersih
AK
NJOP Areal Produktif Perhutanan
Pendapatan
Kotor (Rp)
22.621.007.100
5.655.251.775
8,5
48.069.640.088
Kemudian menghitung jumlah NJOP Bumi:
Jenis Areal
Areal Prod
Areal Belum
Areal Tidak Produktif
Areal Emplasemen
Areal Pengaman
Areal Lainnya
NJOP Bumi
Luas (m²)
2.000.000
1.150.000
300.000
20.000
200.000
15.000
3.670.000
NJOP/m²
(Rp)
40.295
803
93.531
38.280
-
NJOP
(Rp)
48.069.640.088
46.339.250.000
240.900.000
1.870.618.000
7.656.050.000
104.176.458.088
Penghitungan PBB terutang tersebut dituangkan dalam format SPPT berikut:
Pajak Bumi dan Bangunan | 78
RINGKASAN
1) Objek pajak PBB Sektor Perhutanan yaitu bumi dan/atau bangunan yang
berada di kawasan perkebunan yang telah diberikan izin pengelolaan hutan
produksi.
2) Dalam pengenaan PBB, Hutan Produksi dibagi menjadi Hutan Alam dan
Hutan Tanaman. Perbedaan antara Hutan Alam dan Hutan Tanaman dalam
proses penghitungan PBB terutang, terletak pada cara penghitungan NJOP
Bumi untuk Areal Produktif Perhutanan.
3) Areal-areal dalam objek pajak PBB Sektor Perhutanan memiliki cara
penghitungan NJOP masing-masing.
4) NJOP Bumi untuk suatu objek pajak PBB Sektor Perhutanan diperoleh
dengan cara menjumlahkan seluruh NJOP dari masing-masing areal
ditambah dengan NJOP Bangunan.
LATIHAN/PENUGASAN
Latihan
PT Run Forest Run adalah perusahaan yang mendapatkan izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu untuk hutan alam di wilayah provinsi Bengkulu,
sejak tahun 2010.
Perusahaan memperoleh IUPHHK-HA nomor 010980 tanggal 1 Februari 2010,
dengan luas areal 37.500 ha.
Pembagian luasan areal tersebut adalah sebagai berikut:
No
Jenis Areal
Luas (Ha)
1
Areal Produktif
20,000
2
Areal Belum Produktif
11,500
3
Areal Tidak Produktif
3,000
4
Areal Emplasemen
5
Areal Pengaman
6
Areal Lainnya
Jumlah
2
2,000
998
37.500
Hasil produksi pada tahun 2019 untuk areal produktif adalah sebagai berikut:
79 | Pajak Bumi dan Bangunan
No
Bulan
Hasil Produksi
(m3)
Harga satuan produksi/m3
(Rp)
1
Januari
60
200.000
2
Februari
70
300.000
3
Maret
60
250.000
4
April
50
325.000
5
Mei
75
325.000
6
Juni
85
300.000
7
Juli
80
335.000
8
Agustus
65
330.000
9
September
87
310.000
10
Oktober
73
325.000
11
November
88
350.000
12
Desember
90
360.000
Rasio biaya produksi adalah sebesar 75% dan angka kapitalisasi sebesar 8,5.
NJOP Bumi Areal Tidak Produktif ditetapkan sebesar Rp803/m2. NJOP Bumi/m2
Areal Belum Produktif Perhutanan dan Areal Emplasemen berturut-turut
sebesar Rp588.000 dan Rp1.000.000. Untuk nilai areal pengaman, penilai
melakukan penyesuaian sebesar 95% dari nilai areal belum produktif.
Perusahaan memiliki bangunan sebagai berikut:
No
1
2
3
4
Jenis
Penggunaan
Bangunan
Perkantoran
Pabrik
Perumahan
Conveyor
Belt
Kriteria
Bangunan
Luas
Bangunan
(m2)
Umum
Umum
Umum
Khusus
2000
3000
2000
700
NJOP Bangunan/m2 (Rp)
Teknik
Teknik Meter
Survei
Persegi
Kuantitas
850.000
750.000
1.000.000
985.000
996.000
990.000
2.200.000
2.500.000
Hitunglah besarnya PBB yang terutang tahun pajak 2020!
Pajak Bumi dan Bangunan | 80
PBB SEKTOR PERTAMBANGAN
MINYAK DAN GAS BUMI
BAB
10 PBB SEKT OR PERT AMBANGAN M INYAK DAN GAS BUMI
Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa memahami objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi
2. Mahasiswa memahami tata cara penetapan NJOP PBB Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi
3. Mahasiswa mampu menghitung PBB Sektor Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi
A. Objek Pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (PBB Sektor
Pertambangan Migas) yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan
pertambangan minyak dan/atau gas bumi. Objek pajak berupa bumi di kawasan
pertambangan minyak dan/atau gas bumi terdiri dari permukaan bumi daratan
(onshore), permukaan bumi lepas pantai (offshore), dan/atau tubuh bumi. Jenis
objek pajak bumi ini dapat berbeda-beda antara suatu objek dengan objek yang
lainnya. Misalnya, sebagian besar subjek pajak atau wajib pajak hanya menguasai
permukaan bumi onshore dan tubuh bumi saja, sementara yang lain menguasai
seluruh jenis objek bumi, termasuk objek pajak offshore. Objek pajak PBB berupa
bumi untuk PBB Sektor Pertambangan Migas diilustrasikan pada Gambar 10.1.
Gambar 10.1
81 | Pajak Bumi dan Bangunan
Objek Pajak PBB Pertambangan Migas
Kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi meliputi
Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang tercantum dalam
Kontrak Kerja Sama. Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi (WK
Migas) merupakan daerah di dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia yang digunakan untuk pelaksanaan eksplorasi dan
eksploitasi minyak dan/atau gas bumi. Sementara itu, Kontrak Kerja Sama adalah
kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi pertambangan minyak dan/atau gas bumi yang lebih
menguntungkan negara dan hasilnya digunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Jika terdapat areal di luar WK Migas yang merupakan satu kesatuan yang
digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi dan
secara fisik tidak terpisahkan, maka areal tersebut termasuk dalam kawasan
pertambangan minyak dan/atau gas bumi. Dalam PBB Sektor Pertambangan
Migas, yang termasuk areal yang merupakan satu kesatuan yaitu areal yang
dihubungkan oleh panjang jaringan pipa atau panjang jembatan. Termasuk dalam
pengertian jaringan pipa yaitu jaringan pipa yang dikuasai oleh subjek pajak atau
wajib pajak dengan segala jenis bahan dan konstruksi yang digunakan dalam
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Agar dapat lebih memahami materi ini, perhatikan ilustrasi kawasan pertambangan
minyak dan/atau gas bumi di bawah ini:
Gambar 10.2
Ilustrasi Kawasan Pertambangan Minyak dan/atau Gas Bumi
Keterangan:
A
:
WK Migas.
Pajak Bumi dan Bangunan | 82
B, C, D, dan F :
E
:
Areal di luar WK Migas yang terhubung oleh jalan, jembatan,
sungai, atau jaringan pipa. Areal dimaksud dapat berupa areal
yang di atasnya dibangun fasilitas penunjang kegiatan usaha
pertambangan minyak dan/atau gas bumi, termasuk kantor
operasional, perumahan karyawan, fasilitas pengolahan,
fasilitas penyimpanan, atau pelabuhan (jetty).
Areal di luar WK Migas yang terhubung oleh satu atau lebih titik
koordinat yang sama.
Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek pajak berupa bumi dikelompokkan
menjadi beberapa areal.
1.
Objek Pajak yang Dikenakan PBB
a. Permukaan Bumi Onshore
Yaitu permukaan bumi berupa tanah (onshore) yang telah dimiliki (berupa hak
atas tanah) atau telah diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau wajib
pajak. Selain itu, objek pajak PBB tersebut juga telah digunakan untuk
kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi, termasuk untuk
pendirian fasilitas dan penunjangnya. Sebagai ilustrasi, lihat Gambar 10.3.
Jika subjek pajak atau wajib pajak memiliki hak atas tanah seluas daerah yang
dibatasi dengan garis putus-putus berwarna biru, maka seluas itulah objek
pajak permukaan bumi yang dikenakan PBB
Gambar 10.3
Minyak Bumi
Objek Pajak PBB – Permukaan Bumi Onshore
Pengelompokan areal untuk objek pajak PBB permukaan bumi onshore
adalah sebagai berikut:
 Areal Produktif Pertambangan Migas, yaitu areal yang sedang diusahakan
untuk pengambilan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi;
83 | Pajak Bumi dan Bangunan
 Areal Belum Produktif Pertambangan Migas, yaitu areal yang belum
diusahakan untuk pengambilan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi;
 Areal Tidak Produktif Pertambangan Migas, yaitu areal yang tidak dapat
atau telah selesai diusahakan untuk pengambilan hasil produksi minyak
dan/atau gas bumi;
 Areal Pengaman Pertambangan Migas, yaitu areal yang dimanfaatkan
sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha pertambangan minyak
dan/atau gas bumi; dan
 Areal Emplasemen Pertambangan Migas, yaitu areal yang di atasnya
dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjang kegiatan usaha
pertambangan minyak dan/atau gas bumi.
b. Permukaan Bumi Offshore
Permukaan bumi berupa perairan (offshore) adalah areal berupa perairan
yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, di
wilayah perairan NKRI.5 Permukaan bumi Offshore hanya terdiri dari Areal
Offshore Pertambangan Migas. Areal ini meliputi areal berupa perairan yang
digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi,
termasuk daerah terlarang yang dikuasai oleh subjek pajak atau wajib pajak,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai landas kontinen.
Gambar 10.4
Objek Pajak PBB – Permukaan Bumi Offshore
c. Tubuh Bumi
Tubuh bumi yang dikenakan PBB meliputi seluruh tubuh bumi yang berada di
bawah WK Migas yang tercantum dalam Kontrak Kerja Sama. Dalam
menetapkan NJOP, tubuh bumi dikategorikan menjadi:
5
Definisi dari “perairan NKRI” dapat dilihat pada Bab 1
Pajak Bumi dan Bangunan | 84
 Tubuh Bumi Eksplorasi
Tubuh Bumi Eksplorasi merupakan tubuh bumi yang berada di dalam
kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi pada kegiatan
eksplorasi. Yang dimaksud dengan kegiatan eksplorasi adalah kegiatan
yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk
menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak bumi dan/atau
gas bumi, termasuk kegiatan penyelidikan, survei dan studi kelayakan,
dalam WK Migas.
 Tubuh Bumi Eksploitasi
Tubuh Bumi Eksploitasi adalah tubuh bumi yang berada di dalam kawasan
pertambangan minyak dan/atau gas bumi pada kegiatan eksploitasi. Yang
dimaksud dengan kegiatan eksploitasi adalah kegiatan yang bertujuan
untuk menghasilkan minyak dan/atau gas bumi dari WK Migas.
d. Objek Bangunan
Bangunan yang dikenakan PBB Sektor Pertambangan Migas yaitu bangunan
yang berada dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi.
Dalam proses penentuan NJOP Bangunan, bangunan diklasifikasikan
menjadi bangunan kelompok I untuk jenis penggunaan bangunan umum dan
bangunan kelompok II untuk jenis penggunaan bangunan khusus.
2.
Objek Pajak PBB Yang Tidak Dikenakan PBB
Yang termasuk objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah:
a. Permukaan bumi onshore serta permukaan bumi offshore yang merupakan
objek pajak yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB.
b. Permukaan bumi di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas
bumi yang tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh
subjek pajak atau wajib pajak.
B. Penetapan NJOP
Pendekatan yang digunakan dalam menetapkan NJOP bervariasi tergantung jenis
objek pajaknya. Selain itu, untuk objek pajak PBB berupa bumi, tata cara
penetapan NJOP juga dibedakan berdasarkan jenis areal atau tahapan kegiatan.
1. Objek Pajak PBB Berupa Bumi
a. Permukaan bumi onshore
Penentuan NJOP Bumi per areal untuk permukaan bumi onshore disajikan
sebagai berikut:
85 | Pajak Bumi dan Bangunan
1) NJOP Bumi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Migas dan
Areal Emplasemen Pertambangan Migas ditentukan berdasarkan
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis.
2) NJOP Bumi untuk Areal Produktif Pertambangan Migas, Areal Tidak
Produktif Pertambangan Migas, dan Areal Pengaman Pertambangan
Migas ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP Bumi per
meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Migas.
NJOP Bumi untuk permukaan bumi onshore merupakan total penjumlahan
NJOP Bumi untuk masing-masing areal di atas.
b. Permukaan bumi offshore
NJOP Bumi/m2 untuk permukaan bumi offshore berupa Areal Offshore
Pertambangan Migas ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak sebesar Rp11.458. NJOP Bumi dihitung melalui perkalian antara
NJOP Bumi/m2 dengan luas perairan yang digunakan untuk kegiatan
usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi.
2. Tubuh Bumi
Penentuan NJOP Tubuh Bumi terbagi ke dalam 3 kategori:
a. NJOP Bumi/m2 untuk tubuh bumi yang masih dalam tahap eksplorasi
ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp140.
NJOP Bumi dihitung melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 dengan luas
WK.
b. NJOP Bumi untuk tubuh bumi dalam tahap eksploitasi ditentukan dengan
pendekatan pendapatan, yaitu melalui hasil perkalian pendapatan minyak
dan/atau gas bumi dengan angka kapitalisasi (sebesar 10,04). Pendapatan
minyak dan/atau gas bumi yang digunakan adalah penjualan kotor (gross
sales) minyak dan/atau gas bumi sebagaimana tertuang dalam Financial
Quarterly Report (FQR) triwulan IV Wajib Pajak pada tahun terakhir
sebelum Tahun Pajak PBB terutang. Apabila penjualan kotor disajikan
menggunakan satuan mata uang selain mata uang Rupiah, penjualan kotor
harus dikonversi ke dalam satuan mata uang Rupiah berdasarkan Kurs
Menteri Keuangan pada tanggal 1 Januari tahun pajak PBB terutang.
c. NJOP Bumi/m2 untuk tubuh bumi dalam tahap eksploitasi yang belum atau
tidak mempunyai hasil produksi ditetapkan sebesar NJOP Bumi/m2 untuk
tubuh bumi yang masih dalam tahap eksplorasi. NJOP Bumi dihitung
melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 dengan luas WK Migas.
3. Objek Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan | 86
NJOP bangunan untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas
ditentukan berdasarkan estimasi nilai perolehan baru. Pembahasan
mengenai pendekatan ini telah dibahas pada Bab 4.
C. Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas
Dengan menggunakan Gambar 3.2 sebagai model awal, maka proses
penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas dapat dikembangkan dari
Gambar 3.2 dengan menambahkan proses penghitungan NJOP Bumi untuk
masing-masing areal pada PBB Sektor Pertambangan Migas. NJOP Bumi dari
masing-masing areal tersebut kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan NJOP
Bumi secara total untuk suatu objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas.
Proses penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas untuk masing-masing
jenis objek pajak dapat menggunakan skema pada gambar-gambar berikut.
Gambar 10.5
Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas – Permukaan Bumi Onshore
Gambar 10.6
87 | Pajak Bumi dan Bangunan
Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas – Permukaan Bumi Offshore
Gambar 10.7
Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas – Tubuh Bumi Eksploitasi
Gambar 10.8
Pajak Bumi dan Bangunan | 88
Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas – Tubuh Bumi Eksplorasi
Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas dihitung untuk masing-masing
jenis objek pajak. Sebagai contoh, jika PT A memiliki WK seluas 2.000Ha yang
meliputi onshore, offshore, dan tentu saja tubuh bumi. Wilayah permukaan bumi
onshore terletak pada satu kabupaten dan digunakan oleh PT A untuk tempat
kantor manajemen dan tangki penampungan minyak bumi. PT A juga memiliki
kilang minyak lepas pantai yang digunakan untuk mengambil minyak bumi.
Dengan contoh kasus seperti ini, PBB terutang akan dihitung untuk setiap jenis
bumi objek pajak. Sehingga, PBB terutang yang harus ditetapkan oleh DJP yaitu
PBB terutang untuk permukaan bumi onshore, permukaan bumi offshore, dan
tubuh bumi.
Contoh:
PT PERTAMINI menandatangani Kontrak Kerja Sama Minyak Bumi pada awal
Desember 2018. Berdasarkan Kontrak Tersebut, PT PERTAMINI memiliki izin
untuk mengelola Wilayah Kerja onshore seluas 8km². PT PERTAMINI telah
mengembalikan SPOP sesuai dengan waktu dengan melampirkan surat
rekomendasi dari Menteri ESDM yang menyatakan bahwa objek PBB masih pada
tahap eksplorasi. Berdasarkan SPOP yang telah disampaikan oleh PT
PERTAMINI, luas permukaan bumi yang telah dimiliki HGU-nya oleh PT Pertamini
adalah seluas 3ha dan didalamnya telah didirikan gedung perkantoran seluas
1.000m2. Selama tahun 2019, PT PERTAMINI mulai melakukan studi kelayakan
untuk beberapa titik di Wilayah Kerja tersebut. Jika diketahui NJOP Bumi untuk
permukaan bumi sebesar Rp900.000.000 dan NJOP Bangunan sebesar
Rp225.000.000. Berapa PBB terutang objek pajak tersebut untuk Tahun Pajak
2020?
Jawab:
89 | Pajak Bumi dan Bangunan
1. Penghitungan PBB terutang untuk permukaan bumi yang dituangkan dalam
format SPPT.
2. Penghitungan PBB terutang untuk tubuh bumi.
NJOP/m²
Luas WK
NJOP
NJOPTKP
NJKP
PBB terutang
Rp140
Rp8.000.000
Rp1.120.000.000
0
Rp1.120.000.000
40% Rp448.000.000
0,5%
Rp2.240.000
Pajak Bumi dan Bangunan | 90
Pengurangan PBB sebesar Rp2.2.40.000 (100% dari PBB terutang) diberikan
karena kegiatan usaha PT PERTAMINI masih dalam tahap eksplorasi dan PT
PERTAMINI telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pengurangan
PBB sebagaimana telah dibahas pada Bab 7.
RINGKASAN
1) Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas yaitu bumi dan/atau
bangunan yang berada di kawasan perkebunan yang telah diberikan HGU
atau izin resmi dari negara.
2) Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek PBB Sektor Pertambangan
Migas dikelompokkan menjadi beberapa areal.
3) Areal-areal dalam objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas memiliki
cara penghitungan NJOP masing-masing.
91 | Pajak Bumi dan Bangunan
LATIHAN/PENUGASAN
Latihan
1. JO Qatar Oil Tajirun merupakan sebuah perusahaan pertambangan minyak bumi.
Sejak tahun 2005, perusahaan sudah memiliki izin usaha pertambangan. Wilayah
Kerja perusahaan berada di pedalaman Papua dengan Luas Wilayah Kerja 30 ha.
Berikut adalah data perusahaan per 1 Januari 2020 dengan rincian sebagai berikut:
NJOP/m2
Jenis Areal
Luas
(Bumi/bangunan)
Onshore :
4
Rp.7.000
- Produktif
ha
10 ha
Rp.5.000
- Belum Produktif
3 ha
Rp.2.000
- Tidak Produktif
- Emplasemen :
1. Kantor JO Qatar Oil Tajirun
Bumi/Tanah
400 m2
Rp.40.000
Bangunan
800 m2
Rp. 350.000
2. Perumahan
Bumi/Tanah
6.000 m2
Rp.40.000
Bangunan
5.000 m2
Rp. 370.000
1.500 m2
Rp.40.000
2
Rp. 800.000
7.000 m2
6.500 m2
500 m2
Rp.40.000
Rp. 700.000
Rp 1.500.000
3. Tangki (tank)
Bumi/Tanah
Bangunan
-
4. Oil Processing Plant
Bumi/Tanah
Bangunan
Bangunan
Khusus
berupa
sumur minyak
1.000 m
Hasil penjualan minyak bumi pada FQR IV tahun 2019 sebesar US$78,000.
Angka Kapitalisasi = 10,04
Kurs yang ditetapkan: US$ 1 = Rp 15.000
Instruksi:
Hitunglah PBB terutang untuk Tahun Pajak 2020!
Pajak Bumi dan Bangunan | 92
PBB SEKTOR PERTAMBANGAN
UNTUK PENGUSAHAAN PANAS BUMI
BAB
11 PBB
SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PENGUSAHAAN PANAS BUMI
Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa memahami objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi
2. Mahasiswa memahami tata cara penetapan NJOP PBB Sektor Pertambangan
untuk Pengusahaan Panas Bumi
3. Mahasiswa mampu menghitung PBB Sektor Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi
A. Pengusahaan Panas Bumi
Praktik kegiatan usaha panas bumi (geothermal) offshore sudah mulai
dikembangkan di dunia. Para ahli telah mengidentifikasi sejumlah situs panas
bumi offshore di dunia yang berpotensi untuk diusahakan, salah satunya hasil
kajian Italiano, et. al. (2014) yang menarasikan sejumlah situs panas bumi offshore
potensial, antara lain: Gulf of California (Meksiko), the Juan the Fuca Ridge (USA),
Okhotsk Sea (Rusia), Tyrrhenian Sea (Italia). Studi terkini atas pemanfaatan
panas bumi offshore setidaknya telah dilakukan di dua tempat, yaitu
Marsili Project (Tyrrhenian Sea, Italia) dan Reykjanes Peninsula
(Islandia). Riset Marsili Project bahkan telah dimulai sejak 2006. Izin
untuk mengusahakan offshore geothermal diterbitkan tahun 2009, dan
menjadi proyek offshore geothermal pertama di dunia.
Berdasarkan hasil kajian Bank Dunia, Indonesia mempunyai cadangan panas
bumi terbesar di dunia, yaitu 29 gigawatts (GW) dari 80 GW (World Bank, 2017).
Cadangan yang besar ini tak lain karena Indonesia berada di cincin api Pasifik,
dengan sejumlah gunung api yang masih aktif baik di daratan maupun di bawah
laut. Bank Dunia memberikan perhatian besar terhadap pemanfaatan energi
panas bumi, karena ini merupakan sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT)
yang ramah lingkungan. Peningkatan utilisasi panas bumi dalam bauran energi
global akan turut mempengaruhi penurunan emisi karbon yang selama ini
dihasilkan energi fosil. Target tersebut sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional
yang menetapkan target penggunaaan EBT sebesar 23% pada 2025. Pemerintah
menargetkan peningkatan produksi listrik dari pemanfaatan energi panas bumi
dengan total kapasitas terpasang menjadi 7,1 GW pada tahun 2025 (PGE, 2015).
Saat ini panas bumi menjadi sumber EBT terbesar kedua di Indonesia.
93 | Pajak Bumi dan Bangunan
Dalam konteks potensi panas bumi offshore, perairan Indonesia juga memiliki
potensi yang cukup besar. Sedikitnya tercatat ada 6 gunung berapi bawah laut di
perairan Sulawesi Utara, antara lain Gunung Hobal, Gunung Emperor Of China,
Gunung Niuwewerker, Gunung Banua Wuhu, Gunung Submarin 1922, dan
Gunung Kawio Barat (Prabowo, et. al., 2017). Berdasarkan hasil analisis
pendahuluan terhadap aspek teknologi, ekonomi, dan potensi geologi, terdapat
potensi panas bumi yang dapat dimanfaatkan pembangkit listrik di masa
mendatang di kawasan gunung api bawah laut Kawio Barat, Banua Wuhu, dan
Submarin 1922 (Prasojo, et. al, 2014).
B. Objek Pajak PBB Sektor Pertambangan Pabum
Objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi (PBB
Sektor Pertambangan Pabum) yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di
kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi. Adapun objek bumi di
kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi terdiri dari permukaan
bumi onshore, permukaan bumi offshore, dan/atau tubuh bumi. Jenis objek pajak
bumi ini dapat berbeda-beda antara suatu objek dengan objek yang lainnya.
Misalnya, sebagian besar subjek pajak atau wajib pajak hanya menguasai
permukaan bumi onshore dan tubuh bumi saja. Untuk saat ini, belum ada subjek
pajak atau wajib pajak di Indonesia yang melakukan pengusahaan panas bumi di
area lepas pantai (offshore), namun demikian, payung hukum pemajakan PBB di
Indonesia telah disiapkan terlebih dahulu.
Kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi meliputi Wilayah Kerja
Panas Bumi (WK Pabum) sebagaimana tercantum dalam Izin Panas Bumi, Kuasa
Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, Kontrak Operasi Bersama
Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas
Bumi, atau penugasan pengusahaan panas bumi. Jika terdapat areal di luar WK
Pabum yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha
pertambangan panas bumi dan secara fisik tidak terpisahkan, maka areal tersebut
termasuk dalam kawasan pertambangan panas bumi. Lihat lagi Gambar 10.2 yang
telah mengilustrasikan mengenai hal ini.
Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek bumi dikelompokkan menjadi
beberapa areal sebagai berikut:
Areal yang dikenakan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas
Bumi berbeda, tergantung jenis objek buminya. Untuk Permukaan Bumi Onshore
dan/atau Permukaan Bumi Offshore, areal yang dikenakan PBB meliputi areal
permukaan bumi di dalam kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas
bumi, yang telah dimiliki oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dengan suatu hak
atas tanah dan/atau diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak
dan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan untuk pengusahaan panas
Pajak Bumi dan Bangunan | 94
bumi termasuk fasilitas dan penunjangnya. Sedangkan, untuk Tubuh bumi, areal
yang dikenakan PBB meliputi Wilayah Kerja Panas Bumi sebagaimana tercantum
dalam Kontrak Kerja Sama. Untuk menetapkan NJOP bumi, masing-masing jenis
objek pajak bumi dikelompokkan sebagai berikut:
1. Objek Pajak yang Dikenakan PBB
a. Permukaan bumi onshore
Permukaan bumi onshore adalah areal berupa tanah dan/atau perairan darat
di dalam kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi.
Permukaan bumi onshore yang dikenakan PBB yaitu tanah yang telah dimiliki
(berupa hak atas tanah) atau telah diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak
atau wajib pajak, serta telah digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan
panas bumi, termasuk untuk pendirian fasilitas dan penunjangnya. Ilustrasi
mengenai permukaan bumi onshore dapat dilihat pada Gambar 10.3.
Pengelompokan areal untuk objek pajak PBB permukaan bumi onshore
adalah sebagai berikut:
 Areal Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, yaitu areal
yang sedang diusahakan untuk pengambilan hasil produksi panas bumi;
 Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi,
yaitu areal yang belum diusahakan untuk pengambilan hasil produksi
panas bumi;
 Areal Tidak Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi,
yaitu areal yang tidak dapat atau telah selesai diusahakan untuk
pengambilan hasil produksi panas bumi;
 Areal Pengaman Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, yaitu
areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan
pengusahaan panas bumi; dan
 Areal Emplasemen Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, yaitu
areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas
penunjang kegiatan pengusahaan panas bumi.
b. Permukaan bumi offshore
Permukaan bumi offshore adalah areal berupa perairan yang berada di dalam
kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, di wilayah perairan
NKRI. Permukaan bumi offshore, disebut juga dengan Areal Offshore
Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, adalah areal berupa
perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan untuk
pengusahaan panas bumi. Luas Areal Offshore Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi adalah seluas wilayah perairan yang telah dimiliki
(berupa izin atas wilayah perairan) atau telah diperoleh manfaatnya oleh
95 | Pajak Bumi dan Bangunan
subjek pajak atau wajib pajak, serta telah digunakan untuk kegiatan usaha
pertambangan panas bumi. Ilustrasi mengenai hal ini juga telah diilustrasikan
pada Gambar 10.4.
c. Tubuh Bumi
Tubuh bumi yang dikenakan PBB meliputi seluruh tubuh bumi yang berada di
bawah WK Pabum. Dalam menetapkan NJOP, tubuh bumi dikategorikan
menjadi tubuh bumi dalam tahap eksplorasi dan tubuh bumi dalam tahap
eksploitasi. Tubuh bumi dalam tahap eksplorasi merupakan tubuh bumi yang
dimanfaatkan dalam tahap pencarian informasi mengenai kondisi geologi
untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan panas bumi. Yang
termasuk dalam tahapan eksplorasi yaitu kegiatan penyelidikan, survei dan
studi kelayakan. Sementara itu, tubuh bumi dalam tahap eksploitasi adalah
tubuh bumi yang dimanfaatkan dalam kegiatan yang bertujuan untuk
menghasilkan panas bumi (dapat berupa uap dan/atau listrik).
2. Objek Pajak yang Tidak Dikenakan PBB
Objek Pajak PBB yang tidak dikenakan PBB terdiri dari permukaan bumi
onshore serta permukaan bumi offshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) Undang-Undang PBB, serta permukaan bumi di dalam kawasan
pertambangan untuk pengusahaan panas bumi yang tidak dipunyai haknya
dan tidak diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau wajib pajak.
C. Penetapan NJOP
Pendekatan yang digunakan dalam menetapkan NJOP bervariasi tergantung jenis
objek pajaknya. Selain itu, untuk objek pajak PBB berupa bumi, tata cara
penetapan NJOP juga dibedakan berdasarkan jenis areal atau tahapan kegiatan.
1. Objek Pajak PBB Berupa Permukaan Bumi
a. Permukaan bumi onshore
Penentuan NJOP Bumi per areal untuk permukaan bumi onshore disajikan
sebagai berikut:
1) NJOP Bumi Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan
Panas Bumi dan Areal Emplasemen Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi ditentukan berdasarkan perbandingan harga
dengan objek lain yang sejenis. Lihat kembali pembahasan pada Bab 4
mengenai cara penghitungan menggunakan pendekatan ini.
2) NJOP Bumi Areal Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas
Bumi, Areal Tidak Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas
Bumi, serta Areal Pengaman Pertambangan untuk Pengusahaan Panas
Bumi ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP Bumi per
Pajak Bumi dan Bangunan | 96
meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi.
NJOP Bumi untuk permukaan bumi onshore dihitung dari total
penjumlahan NJOP Bumi untuk masing-masing areal di atas.
b. Permukaan bumi offshore
NJOP Bumi/m2 untuk permukaan bumi offshore berupa Areal Offshore
Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp11.458. NJOP Bumi
dihitung melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 dengan luas perairan
yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan panas bumi.
2. Objek Pajak PBB Berupa Tubuh Bumi
Penentuan NJOP Tubuh Bumi terbagi ke dalam 3 kategori:
a. NJOP Bumi/m2 untuk tubuh bumi yang masih dalam tahap eksplorasi
ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp140.
NJOP Bumi dihitung melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 dengan luas
WK.
b. NJOP Bumi untuk tubuh bumi dalam tahap eksploitasi ditentukan dengan
pendekatan pendapatan, yaitu melalui hasil perkalian antara pendapatan
uap dan/atau listrik dengan angka kapitalisasi (sebesar 10,04). Yang
dimaksud dengan pendapatan uap dan/atau listrik adalah hasil perkalian
antara:
(1) hasil produksi uap dalam tahun terakhir sebelum tahun pajak PBB
terutang dengan harga uap (ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
sebesar Rp852/kWh); dan/atau
(2) hasil produksi listrik yang terjual dalam tahun terakhir sebelum tahun
pajak PBB terutang dengan harga listrik (ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak sebesar Rp1.187/kWh).
c. NJOP Bumi/m2 untuk tubuh bumi dalam tahap eksploitasi yang belum atau
tidak mempunyai hasil produksi ditetapkan sebesar NJOP Bumi/m2 untuk
tubuh bumi yang masih dalam tahap eksplorasi. NJOP Bumi dihitung
melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2 dengan luas WK.
3. Objek Pajak PBB berupa Bangunan
NJOP bangunan untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi ditentukan berdasarkan estimasi nilai perolehan baru.
Pembahasan mengenai pendekatan ini telah dibahas pada Bab 4.
97 | Pajak Bumi dan Bangunan
D. Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Pabum
Penghitungan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi
sangat identik dengan penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas. Satusatunya cara penghitungan yang berbeda yaitu penghitungan NJOP untuk objek
pajak berupa tubuh bumi dalam tahap eksploitasi.
Gambar 11.1
Penghitungan PBB Sektor Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi – Tubuh Bumi Eksploitasi
Jika sebuah objek hanya memiliki hasil produksi uap saja atau hasil listrik saja,
maka NJOP Bumi dihitung hanya dengan menggunakan salah satu dari hasil
tersebut.
Contoh:
PT Inti Geothermal memiliki izin pengusahaan panas bumi sejak tahun 2016. Luas
Wilayah Kerja yang dimanfaatkan seluas 20Ha. Selama tahun 2019, perusahaan
berhasil menjual 88.000kWh listrik kepada Perusahaan Listrik Negara. Berapakah
PBB terutang untuk Tahun Pajak 2020 jika NJOP Bumi dari masing-masing areal
dan NJOP Bangunan adalah sebagaimana berikut:
Pajak Bumi dan Bangunan | 98
Areal Produktif
Areal Belum Produktif
Areal Tidak Produktif
Areal Pengaman
Areal Emplasemen
Areal Lainnya
Areal Kena PBB
Bangunan
Luas (m²)
23.000
12.000
1.000
10.000
46.000
9.000
Jawab:
PBB terutang untuk permukaan bumi:
99 | Pajak Bumi dan Bangunan
NJOP (Rp)
74.750.000
18.000.000
1.000.000
458.250.000
552.000.000
8.712.000.000
PBB terutang untuk tubuh bumi:
Hasil Listrik Terjual (kWh)
Harga Listrik/kWh
Pendapatan Kotor
Angka Kapitalisasi
NJOP Bumi
88.000
Rp1.187
Rp104.456.000
10,04
Rp1.048.738.240
RINGKASAN
1) Objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi
yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perkebunan yang
telah diberikan HGU atau izin resmi dari negara.
2) Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek PBB Sektor Pertambangan
untuk Pengusahaan Panas Bumi dikelompokkan menjadi beberapa areal.
Pajak Bumi dan Bangunan | 100
3) Areal-areal dalam objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi memiliki cara penghitungan NJOP masingmasing.
4) Tata cara penghitungan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan
Panas Bumi identik dengan tata cara penghitungan PBB Sektor
Pertambangan Migas, kecuali penghitungan PBB terutang untuk objek pajak
berupa tubuh bumi dalam tahap eksploitasi.
LATIHAN/PENUGASAN
Latihan
PT PNL memiliki Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi dengan WK seluas
200Ha. Jika Pada tahun 2019, PT PNL berhasil menghasilkan uap 2.000 ton per
jam, menjual uap 170.000kWh, dan menjual listrik 300.000kWh. Berapa PBB
terutang untuk objek pajak berupa tubuh bumi pada WK tersebut?
Diskusi
Mengapa PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi tidak
disebut dengan istilah “PBB Sektor Pertambangan Panas Bumi” saja?
101 | Pajak Bumi dan Bangunan
PBB SEKTOR PERTAMBANGAN
MINERAL ATAU BATUBARA
BAB
12 PBB
SEKTOR PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa memahami objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau
Batubara
2. Mahasiswa memahami tata cara penetapan NJOP PBB Sektor Pertambangan
Mineral atau Batubara
3. Mahasiswa mampu menghitung PBB Sektor Pertambangan Mineral atau
Batubara
A. Objek Pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara
Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara (PBB Sektor
Pertambangan Minerba) yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan
pertambangan mineral atau batubara. Objek pajak PBB berupa bumi
di kawasan pertambangan mineral atau batubara terdiri dari
permukaan bumi daratan (onshore), permukaan lepas pantai
(offshore), dan tubuh bumi. Setiap kawasan pertambangan dapat
memiliki jenis objek pajak bumi yang berbeda. Misalnya, objek pajak
pertambangan batubara di Berau (Kalimantan Timur), hanya memiliki
jenis objek pajak PBB berupa permukaan bumi onshore dan tubuh bumi.
Sementara itu, PT Timah memiliki Izin Usaha Pertambangan di daratan dan lepas
pantai Kepulauan Bangka, Belitung, dan Kundur.
Perbedaan antara pertambangan mineral atau batubara dengan pertambangan
minyak dan gas bumi adalah letak sumber daya yang akan diekstraksi. Sumber
daya mineral atau batubara umumnya berada di lapisan yang dekat dengan
permukaan bumi. Ilustrasi dari kawasan pertambangan mineral atau batubara
dapat dilihat pada gambar 12.1.
Kawasan pertambangan mineral atau batubara meliputi wilayah yang tercantum
dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin
Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya, atau Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara. Jika terdapat wilayah di luar wilayah tersebut yang
merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan mineral
atau batubara, dan secara fisik tidak terpisahkan, maka areal tersebut termasuk
dalam kawasan pertambangan mineral dan batubara. Lihat kembali Gambar 10.2
yang telah mengilustrasikan mengenai hal ini.
Pajak Bumi dan Bangunan | 102
Yang dimaksud dengan satu kesatuan usaha adalah areal di luar areal izin,
kontrak, atau perjanjian yang dimiliki dan/atau diperoleh manfaatnya oleh Subjek
Pajak atau Wajib Pajak yang sama. Sedangkan, yang dimaksud dengan secara
fisik tidak terpisahkan dapat dijelaskan lebih detail sebagai berikut:


areal berupa emplasemen atau jalan penghubung yang dikuasai Subjek Pajak
atau Wajib Pajak, yang memiliki 1 (satu) titik koordinat atau lebih yang sama
dengan titik koordinat areal izin, kontrak, atau perjanjian dengan atau tanpa
pembatas; atau
areal yang terhubung dengan areal izin, kontrak, atau perjanjian melalui
sungai, jalan, jaringan pipa, konveyor, atau jembatan.
Gambar 12.1
Kawasan Pertambangan Batubara
Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek bumi dikelompokkan menjadi
beberapa areal sebagai berikut:
1. Objek Pajak PBB yang Dikenakan PBB
a. Permukaan Bumi Onshore
Yaitu permukaan bumi berupa tanah (onshore) yang telah dimiliki (berupa hak
atas tanah) atau telah diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau wajib
pajak. Selain itu, objek pajak PBB tersebut juga telah digunakan untuk
kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara, termasuk untuk
pendirian fasilitas dan penunjangnya. Sebagai ilustrasi, objek pajak
103 | Pajak Bumi dan Bangunan
permukaan bumi onshore adalah wilayah yang dibatasi dengan garis merah
pada Gambar 12.1.
Pengelompokkan areal untuk objek pajak PBB permukaan bumi onshore
adalah sebagai berikut:
 Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara, yaitu
areal yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan mineral atau
batubara atau yang sedang dilakukan kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi dan/atau studi kelayakan;
 Areal Cadangan Produksi Pertambangan Mineral atau Batubara, yaitu
areal yang belum dilakukan pengambilan mineral atau batubara;
 Areal Tidak Produktif Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan
areal yang tidak dapat diusahakan penambangan mineral atau batubara,
atau yang telah selesai diusahakan penambangan mineral atau batubara;
 Areal Pengaman Pertambangan Mineral atau Batubara, yaitu areal yang
dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha
pertambangan mineral atau batubara; dan
 Areal Emplasemen Pertambangan Mineral atau Batubara, yaitu areal yang
di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjang
kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara.
b. Permukaan Bumi Offshore
Permukaan bumi berupa perairan (offshore) adalah perairan yang berada di
dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara, di wilayah perairan
NKRI. Permukaan bumi offshore hanya terdiri dari Areal Offshore
Pertambangan Mineral atau Batubara. Areal ini meliputi areal berupa perairan
yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara.
c. Tubuh Bumi
Tubuh bumi yang dikenakan PBB meliputi tubuh bumi yang berada di bawah
wilayah yang tercantum dalam dokumen Izin Usaha Pertambangan, Izin
Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya,
atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Dalam proses
penetapan NJOP, tubuh bumi dikategorikan menjadi:
 Tubuh Bumi Eksplorasi
Tubuh bumi eksplorasi merupakan tubuh bumi yang berada di dalam
kawasan pertambangan mineral atau batubara pada tahapan kegiatan
eksplorasi. Kegiatan eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan
memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan
memperoleh perkiraan cadangan mineral atau batubara, termasuk
Pajak Bumi dan Bangunan | 104
kegiatan penyelidikan, survei dan studi kelayakan, dalam wilayah yang
tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan
Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, atau wilayah berdasarkan Kontrak
Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
 Tubuh Bumi Operasi Produksi
Tubuh bumi operasi produksi adalah tubuh bumi yang berada di kawasan
pertambangan mineral atau batubara pada tahapan kegiatan operasi
produksi. Kegiatan operasi produksi pada dasarnya sama dengan kegiatan
ekspoitasi pada PBB Sektor Pertambangan Migas, yaitu kegiatan usaha
untuk mengekstraksi sumber daya alam. Definisi dari kegiatan operasi
produksi dalam peraturan yaitu kegiatan pertambangan mineral atau
batubara yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan,
pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana
pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan
dalam wilayah sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan,
Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, dan
wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara.
d. Objek Bangunan
Bangunan yang dikenakan PBB Sektor Pertambangan Minerba yaitu
bangunan yang berada dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara.
Dalam proses penentuan NJOP Bangunan, bangunan diklasifikasikan
menjadi bangunan kelompok I untuk jenis penggunaan bangunan umum dan
bangunan kelompok II untuk jenis penggunaan bangunan khusus.
2. Objek Pajak yang Tidak Dikenakan PBB
a. Permukaan bumi onshore serta permukaan bumi offshore yang merupakan
objek pajak yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB.
b. Permukaan bumi di dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara
yang tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak
atau wajib pajak.
B. Penetapan NJOP
Serupa dengan penetapan NJOP pada PBB Sektor Pertambangan Migas, tata
cara penetapan NJOP untuk objek pajak PBB berupa bumi bervariasi tergantung
dari jenis objek pajak, jenis areal, dan tahapan kegiatan.
1. Objek Pajak PBB Berupa Permukaan Bumi
a. Permukaan bumi onshore
105 | Pajak Bumi dan Bangunan
Penentuan NJOP Bumi per areal untuk permukaan bumi onshore disajikan
sebagai berikut:
1) NJOP Bumi untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral
atau Batubara dan NJOP Bumi untuk Areal Emplasemen Pertambangan
Mineral atau Batubara ditentukan melalui perbandingan harga dengan
objek lain yang sejenis. Lihat pembahasan pada Bab 4 untuk
mendapatkan gambaran mengenai penghitungannya.
2) NJOP Bumi untuk Areal Cadangan Produksi Pertambangan Mineral
atau Batubara, Areal Tidak Produktif Pertambangan Mineral atau
Batubara, dan Areal Pengaman Pertambangan Mineral atau Batubara
ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP Bumi/m2 untuk
Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara.
NJOP Bumi untuk permukaan bumi onshore merupakan total penjumlahan
NJOP Bumi untuk masing-masing areal di atas.
Yang membedakan antara PBB Sektor Pertambangan Minerba dengan
PBB Sektor Pertambangan Migas serta PBB Sektor Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi, adalah tidak adanya kategori Areal Produktif
Pertambangan pada permukaan bumi onshore. Hal ini menyesuaikan
dengan karakter kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara,
yang pada umumnya melakukan kegiatan penggalian atau pengupasan
tanah di permukaan bumi onshore yang mengandung cadangan mineral
atau batubara, untuk kemudian dilakukan pengolahan. Kegiatan
pengupasan ini meninggalkan lubang pada permukaan bumi, sehingga
areal produktif pada permukaan bumi seolah-olah sudah tidak ada lagi.
Sebagai gantinya, NJOP permukaan ini dianggap telah tercermin dari
NJOP tubuh bumi di bawahnya.
b. Permukaan Bumi Offshore
NJOP Bumi/m2 untuk permukaan bumi offshore berupa Areal Offshore
Pertambangan Mineral atau Batubara ditetapkan dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp11.458. NJOP Bumi dihitung melalui
perkalian antara NJOP Bumi/m2 dengan luas perairan yang digunakan
untuk kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
2. Objek Pajak PBB Berupa Tubuh Bumi
Penentuan NJOP bumi untuk Tubuh Bumi terbagi ke dalam 4 kategori:
a. NJOP Bumi/m2 untuk tubuh bumi dalam tahap eksplorasi ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebesar Rp140.
Pajak Bumi dan Bangunan | 106
b. NJOP Bumi/m2 untuk tubuh bumi dalam tahap operasi produksi yang
belum atau tidak mempunyai hasil produksi ditetapkan sebesar NJOP
Bumi/m2 untuk tubuh bumi dalam tahap eksplorasi.
c. NJOP Bumi untuk tubuh bumi dalam tahap operasi produksi yang telah
mempunyai hasil produksi ditentukan dengan pendekatan pendapatan,
yaitu melalui hasil perkalian pendapatan bersih (pendapatan kotor
dikurangi biaya produksi) dengan angka kapitalisasi. Angka kapitalisasi
yang digunakan yaitu sebesar 8,20 jika yang ditambang adalah sumber
daya alam berupa mineral. Sementara itu, jika yang ditambang adalah
batubara, maka angka kapitalisasinya sebesar 10,25.
Pendapatan kotor merupakan hasil perkalian antara hasil produksi dengan
harga jual rata-rata. Harga jual rata-rata dihitung dengan cara membagi
jumlah total penjualan dengan volume penjualan. Sesuai dengan konsep
pendekatan pendapatan yang dibahas pada Bab 4, seluruh angka (hasil
produksi, jumlah penjualan, dan volume penjualan) merupakan jumlah
agregat dalam satu tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
Gambar 12.2
Penghitungan Pendapatan Bersih
Ketentuan mengenai harga jual rata-rata diatur sebagai berikut:
1) Jika harga jual rata-rata disajikan menggunakan satuan mata uang
selain mata uang Rupiah, maka harus dikonversi ke dalam satuan mata
uang Rupiah berdasarkan Kurs Menteri Keuangan pada tanggal 1
Januari Tahun Pajak PBB terutang.
2) Jika harga jual rata-rata tidak didapatkan, maka harga jual rata-rata
menggunakan harga patokan rata-rata dalam tahun terakhir sebelum
Tahun Pajak PBB terutang yang telah ditentukan oleh kementerian yang
berwenang. Ketika bahan ajar ini disusun, kementerian yang
berwenang yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Harga patokan tersebut tergantung pada jenis sumber daya alam.
Harga patokan yang dimaksud terdiri dari Harga Patokan Mineral
Logam, Harga Patokan Mineral Bukan Logam, Harga Patokan Batuan,
dan Harga Patokan Batubara. Harga patokan digunakan untuk
komoditas galian tambang yang sejenis dan setara. Sebagai contoh,
penjualan ingot timah harus disandingkan pula dengan Harga Patokan
Mineral Logam berupa ingot timah. Begitu juga dengan penjualan
107 | Pajak Bumi dan Bangunan
batubara 4.200kcal/kg, harus dibandingkan dengan Harga Patokan
Batubara dengan kalori yang sejenis. Definisi dari masing harga
patokan tersebut adalah:
 Harga Patokan Mineral Logam: Harga mineral logam yang
ditentukan pada suatu titik serah penjualan (at sale point) secara
Free on Board.
 Harga Patokan Mineral Bukan Logam: harga patokan mineral bukan
logam yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk masing-masing
komoditas tambang dalam 1 (satu) provinsi, kabupaten atau kota.
 Harga Patokan Batuan: harga patokan batuan yang ditetapkan oleh
kepala daerah untuk masing-masing komoditas tambang dalam 1
(satu) provinsi, kabupaten atau kota.
 Harga Patokan Batubara (HPB): Harga batubara yang ditentukan
pada suatu titik serah penjualan (at sale point) secara Free on Board.
3) Jika harga jual rata-rata lebih rendah dari harga patokan rata-rata yang
telah ditentukan oleh kementerian yang berwenang, maka harga jual
rata-rata ditetapkan menggunakan harga patokan rata-rata yang telah
ditentukan oleh kementerian yang berwenang dalam tahun terakhir
sebelum Tahun Pajak PBB terutang. Untuk mengilustrasikan hal ini,
perhatikan tabel berikut:
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
HPB
(USD/ton)
92.41
91.80
90.57
88.85
81.86
81.48
71.92
72.67
65.79
64.80
66.27
66.30
Jika selama tahun 2019 diketahui bahwa wajib pajak berhasil menjual
40 juta ton batubara senilai Rp41.338.000.000.000 dan HPB
sebagaimana pada tabel, maka untuk menentukan harga jual rata-rata
yang akan digunakan dalam menghitung pendapatan kotor adalah
Pajak Bumi dan Bangunan | 108
dengan membandingkan rata-rata harga penjualan batubara oleh wajib
pajak dan rata-rata HPB.
ℎ
−
=
41.338.000.000.000
=
40.000.000
1.033.450/
Sementra itu, HPB rata-rata berdasarkan tabel adalah sebesar 77.89
USD/ton ≈ Rp1.087.422/ton (dikonversi menggunakan Kurs Menteri
Keuangan tanggal 1 Januari 2020). Karena rata-rata harga jual
perusahaan lebih rendah dari HPB rata-rata, maka yang akan
digunakan dalam menghitung pendapatan kotor adalah HPB rata-rata.
4) Jika harga jual rata-rata dan harga patokan dalam tahun terakhir
sebelum Tahun Pajak PBB terutang tidak berhasil didapatkan, harga
jual rata-rata dihitung oleh Penilai.
Yang dimaksud dengan biaya produksi adalah biaya untuk memperoleh
hasil produksi mineral atau batubara dalam tahun terakhir sebelum Tahun
Pajak PBB terutang. Biaya produksi harus memenuhi syarat kumulatif
sebagai di bawah ini.
1) Pengakuan biaya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang Pajak Penghasilan.
2) Pengakuan biaya harus sesuai dengan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha. Sehubungan dengan syarat kewajaran dan kelaziman
usaha, Penilai berwenang melakukan penilaian atas kewajaran biaya
produksi.
3) Biaya produksi merupakan biaya yang secara langsung berkaitan
dengan kegiatan pada tahap operasi produksi berupa:
(a) pengupasan lapisan tanah;
(b) pengambilan hasil produksi mineral atau batubara;
(c) pengolahan dan/atau pemurnian hasil produksi mineral atau
batubara; dan/atau
(d) pengangkutan hasil produksi mineral atau batubara.
d. NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Operasi Produksi ditetapkan sebesar
Rp0,00 (nol Rupiah), dalam hal pendapatan bersih mineral atau batubara
kurang dari Rp0,00 (nol Rupiah).
3. Objek Pajak PBB Berupa Bangunan
NJOP bangunan untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Migas
ditentukan berdasarkan estimasi nilai perolehan baru. Pembahasan
mengenai pendekatan ini telah dibahas pada Bab 4.
109 | Pajak Bumi dan Bangunan
C. Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Minerba
Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Minerba secara garis besar serupa
dengan penghitungan PBB Sektor Pertambangan Migas, setidaknya dalam hal
penggunaan pendekatan pendapatan dalam menghitung NJOP Bumi berupa
Tubuh Bumi. Namun, perlu diperhatikan juga bahwa dalam penghitungan PBB
Sektor Pertambangan Minerba ada dua perbedaan yang perlu diperhatikan:


Tidak ada Areal Produktif Pertambangan Minerba
Pendekatan pendapatan menggunakan pendapatan bersih
Proses penghitungan PBB terutang pada PBB Sektor Pertambangan Minerba
untuk objek pajak berupa permukaan bumi onshore dapat dilihat pada Gambar
12.3 berikut. Sementara itu, penghitungan untuk objek pajak berupa permukaan
bumi offshore dapat menggunakan ilustrasi penghitungan PBB terutang pada
Gambar 10.6 (Bab 10).
Gambar 12.3
Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Minerba – Permukaan Bumi Onshore
Gambar 12.4
Pajak Bumi dan Bangunan | 110
Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Minerba – Tubuh Bumi Operasi Produksi
Ilustrasi penghitungan PBB terutang untuk bumi berupa tubuh bumi dalam tahap
operasi produksi dapat dilihat pada Gambar 12.4. Sedangkan ilustrasi
penghitungan PBB terutang untuk bumi berupa tubuh bumi dalam tahap eksplorasi
tidak terlalu berbeda dengan ilustrasi pada Gambar 10.8 (Bab 10). Satu hal yang
berbeda yaitu, alih-alih menggunakan luasan WK Migas, penghitungan pada PBB
Sektor Pertambangan Minerba disesuaikan menjadi luasan yang tercantum dalam
Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan
Rakyat, atau wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Gambar 12.5
111 | Pajak Bumi dan Bangunan
Penghitungan PBB Sektor Pertambangan Minerba – Tubuh Bumi Eksplorasi
Contoh:
Sebuah objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minerba masih dalam tahap
eskplorasi. Obek pajak tersebut meliuputi permukaan bumi berupa daratan
(onshore). Luas wilayah Izin Usaha Pertambangan yang diperoleh oleh wajib
pajak adalah seluas 800.000m2, dan luas permukaan bumi yang telah dikuasai
oleh wajib pajak pada awal tahun pajak adalah seluas 50.000m2. Jika NJOP Bumi
untuk permukaan bumi onshore dan NJOP Bangunan atas objek pajak tersebut
berturut-turut sebesar Rp216.000.000 dan Rp192.000.000, berapakah PBB
terutang atas objek pajak tersebut?
Jawab:
Penghitungan PBB terutang untuk permukaan bumi:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB
NJOPTKP
NJOP untuk penghitungan PBB
Persentase NJKP
NJKP sebagai dasar penghitungan PBB
PBB terutang
Pengurangan
PBB yang telah dibayar
PBB yang masih harus dibayar
Rp408.000.000
Rp12.000.000
Rp396.000.000
40%
Rp158.400.000
Rp792.000
Rp792.000
Sementara itu, NJOP Bumi untuk tubuh bumi yaitu sebesar:
Rp140/m2 x 800.000m2 = Rp112.000.000
Dengan demikian PBB terutang untuk tubuh bumi adalah:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB
NJOPTKP
NJOP untuk penghitungan PBB
Persentase NJKP
NJKP sebagai dasar penghitungan PBB
PBB terutang
Pengurangan
PBB yang telah dibayar
PBB yang masih harus dibayar
Rp112.000.000
Rp112.000.000
40%
Rp44.800.000
Rp224.000
Rp224.000
RINGKASAN
1) Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minerba yaitu bumi dan/atau
bangunan yang berada di kawasan yang telah diberikan Izin Usaha
Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan
Pajak Bumi dan Bangunan | 112
2)
3)
4)
5)
Rakyat, atau wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Untuk kepentingan penetapan NJOP, objek PBB Sektor Pertambangan
Minerba dikelompokkan menjadi beberapa areal.
Areal-areal dalam objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minerba memiliki
cara penghitungan NJOP masing-masing.
NJOP atas bumi untuk suatu objek pajak PBB Sektor Pertambangan
Minerba diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh NJOP dari masingmasing areal ditambah dengan NJOP Bangunan.
NJOP Bumi untuk tubuh bumi dalam tahap produksi dihitung dengan
menggunakan pendapatan bersih.
LATIHAN/PENUGASAN
Latihan
PT ROR adalah perusahaan pemegang izin usaha pertambangan batubara
onshore untuk wilayah kerja seluas 50 ha sejak tahun 2010. Perusahaan
melakukan eksplorasi selama 5 tahun dan setelah itu perusahaan masuk pada
tahap operasi produksi. Data terkait perusahaan adalah sebagai berikut.
a. Data Bumi
1) Areal yang sedang dilakukan pengambilan hasil tambang seluas 6
ha
2) Areal yang belum dilakukan pengambilan hasil tambang seluas 25
ha (NJOP Rp 2.000/m2)
3) Areal yang tidak terdapat cadangan produksi seluas 3 ha (NJOP
Rp1.950/ m2)
4) Areal untuk jalur keselamatan lingkungan seluas 2 ha (NJOP
Rp2.250/ m2)
5) Sisa luasan izin merupakan areal yang tidak dipunyai haknya atau
diperoleh manfaatnya.
b. Data terkait bumi dan Bangunan
Bangunan
Luas
Tanah
(m2)
Luas
Bangunan
(m2)
Biaya
Pembangunan
Baru (Rp/ m2)
Penyusutan
800
600
400
NJOP
Tanah
(Rp/
m2)
75.000
75.000
75.000
Mess
Gudang
Bangunan
Parkir
Tempat
Ibadah
Dermaga
1.000
700
500
375.000
350.000
250.000
15%
15%
15%
400
700
75.000
300.000
15%
2.500
2.000
75.000
800.000
10%
113 | Pajak Bumi dan Bangunan
Konveyor
4.000
3.000
75.000
1.350.000
10%
c. Sebagian Data Biaya tahun 2019 dalam laporan keuangan:
1) Biaya gaji bagian personalia Rp800.000.000
2) Biaya pengupasan tanah Rp2.000.000.000
3) Biaya pengambilan hasil tambang Rp3.500.000.000
4) Biaya pemurnian hasil tambang Rp2.750.000.000
5) Biaya pengangkutan ke kapal Rp950.000.000
6) Biaya Pemeliharaan pelabuhan Rp500.000.000
Berdasarkan hasil analisis DJP, biaya produksi galian tambang rata-rata
untuk tahun 2019 adalah sebesar 75% dari peredaran usaha.
d. Hasil produksi tertambang pada tahun 2019 adalah sebanyak 8.000 ton
dan hasil produksi terjual adalah sebanyak 6.300 ton. Harga jual ratarata batubara perusahaan pada tahun 2019 adalah Rp900.000/ton.
Harga patokan batubara adalah USD86/ton. Kurs Menteri Keuangan per
1 Januari 2019 adalah Rp 13.000/USD dan per 1 Januari 2020 adalah
sebesar Rp15.400/USD. Kurs Rupiah terhadap Dolar sesuai APBN-P
2019 adalah Rp13.400/USD dan sesuai APBN 2020 Rp15.500/USD.
e. Angka kapitalisasi tambang batubara adalah 10,25.
Hitunglah PBB terutang atas objek PT ROR untuk Tahun Pajak 2020.
Pajak Bumi dan Bangunan | 114
PBB SEKTOR LAINNYA
BAB 13
PBB SEKTOR LAINNYA
Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa memahami objek pajak PBB Sektor Lainnya
2. Mahasiswa memahami tata cara penetapan NJOP PBB Sektor Lainnya
3. Mahasiswa mampu menghitung PBB Sektor Lainnya
A. Objek Pajak PBB Sektor Lainnya
PBB Sektor Lainnya memiliki keunikan karena seluruh objek pajak
PBB-nya berada di perairan. Tentu saja, yang menjadi objek pajak
PBB Sektor Lainnya hanyalah bumi dan bangunan yang berada di
perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk dapat
ditetapkan sebagai objek pajak PBB Sektor Lainnya, bumi dan
bangunan yang berada di perairan NKRI juga harus memenuhi dua kriteria, yaitu:
a. bukan merupakan objek pajak PBB Sektor Perkebunan, objek pajak PBB
Sektor Perhutanan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi, objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas
Bumi, atau objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara;
dan
b. bukan merupakan objek pajak yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota
(PBB P2).
Untuk memudahkan, pembahasan mengenai tata cara penetapan NJOP dan
penghitungan PBB dalam bab ini akan disampaikan satu persatu untuk masingmasing jenis penggunaan bumi berupa perairan. Penggunaan perairan yang
ditetapkan sebagai objek pajak PBB Sektor Lainnya yaitu perairan yang digunakan
untuk:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Perikanan Tangkap
Pembudidayaan Ikan
Jaringan Pipa
Jaringan Kabel
Ruas Jalan Tol
Fasilitas Penyimpanan dan Pengolahan
Persamaan dari seluruh jenis penggunaan objek pajak berupa perairan tersebut
yaitu adanya keharusan bagi pihak pengguna untuk memiliki izin. Izin tersebut
memberikan hak kepada seseorang atau badan untuk menggunakan suatu
wilayah dalam perairan NKRI secara eksklusif. Dengan adanya dokumen
115 | Pajak Bumi dan Bangunan
perizinan, DJP memiliki data dalam mengukur besar manfaat yang diperoleh dari
objek pajak serta dalam menentukan subjek pajak atau wajib pajak atas objek
pajak PBB Sektor Lainnya.
B. PBB Sektor Lainnya – Perikanan Tangkap
Kawasan perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap ditetapkan menjadi
objek pajak PBB Sektor Lainnya jika usaha perikanan tangkap tersebut telah
diberikan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) oleh kementerian yang berwenang.
Besarnya NJOP Bumi berupa perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap
ditentukan berdasarkan hasil produksi dari objek pajak PBB. NJOP Bumi tersebut
diperoleh dari hasil perkalian pendapatan bersih objek pajak PBB dengan angka
kapitalisasi. Pendapatan bersih objek PBB ditentukan sebesar 70% dari
pendapatan kotor. Sementara itu, angka kapitalisasi yang ditetapkan oleh DJP
sebesar 10 (sepuluh).
Gambar 13.1
Penghitungan NJOP – Terdapat Hasil Produksi
Apabila objek pajak PBB belum memiliki hasil produksi (tidak ada ikan yang
ditangkap), maka besarnya NJOP Bumi/m2 ditetapkan oleh DJP sebesar Rp140.
Sehingga, NJOP Bumi diketahui sebesar Rp140 dikali dengan luas areal
penangkapan ikan. Dalam menghitung PBB terutang, luas areal penangkapan
ikan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu jumlah kapal yang dimiliki oleh wajib pajak
dan luas areal penangkapan ikan per kapal. Jumlah kapal yang dimiliki oleh wajib
pajak tercantum dalam Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari SIUP.
Gambar 13.2
Pajak Bumi dan Bangunan | 116
Peta WPP-NRI
Setiap kapal penangkapan ikan memiliki izin untuk menangkap ikan paling banyak
di dua Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).
Peta sebaran WPP-NRI dapat dilihat pada Gambar 13.2. Sementara itu, luas areal
penangkapan ikan per kapal ditetapkan oleh DJP untuk masing-masing WPP-NRI
sebagaimana ditampilkan pada Gambar 13.3.
Gambar 13.3
Luas Areal Penangkapan Ikan Untuk per WPP-NRI
Gambar 13.4
Penghitungan NJOP Bumi – Tidak Terdapat Hasil Produksi
Perlu diperhatikan pula bahwa tidak terdapat objek pajak PBB berupa bangunan
pada objek pajak PBB ini. Sehingga proses penghitungan PBB terutang, mengacu
pada pembahasan pada Bab 3 dapat diilustrasikan pada Gambar 13.5.
117 | Pajak Bumi dan Bangunan
Gambar 13.5
Penghitungan PBB Terutang
Contoh:
PT Ikan Bersemi dan PT Ikan Indah Megah masing-masing memiliki izin berupa
SIUP untuk menangkap ikan di perairan Indonesia. Kedua perusahaan tersebut
masing-masing memiliki 6 buah kapal penangkap ikan, 2 kapal berlayar di WPPNRI 711 dan 4 kapal lainnya berlayar di WPP-NRI 712. Kapal-kapal milik PT Ikan
Bersemi belum sempat berlayar untuk menangkap ikan sepanjang tahun 2019.
Sementara itu, pendapatan kotor yang dihasilkan oleh seluruh kapal PT Indah
Megah selama tahun 2019 mencapai Rp1.000.000.000. Berapakah PBB Sektor
Lainnya yang harus dibayar oleh masing-masing perusahaan?
Jawab:
PBB terutang PT Ikan Bersemi
WPP-NRI 711
NJOP Bumi/m²
Luas Areal Penangkapan per kapal (m²)
Jumlah Kapal
NJOP Bumi
Rp140
1.577.321
2
Rp441.649.880
WPP-NRI 712
NJOP Bumi/m²
Luas Areal Penangkapan per kapal (m²)
Jumlah Kapal
NJOP Bumi
Rp140
285.058
2
Rp79.816.240
NJOP Total
NJOPTKP
NJOP dasar penghitungan PBB
NJKP
PBB Terutang
Rp521.466.120
Rp12.000.000
Rp509.466.120
20% Rp101.893.224
0,5%
Rp509.466
Pajak Bumi dan Bangunan | 118
PBB terutang PT Ikan Indah Megah
Pendapatan Kotor
Rasio Biaya
Pendapatan Bersih
Angka Kapitalisasi
NJOP Bumi
NJOPTKP
NJOP dasar penghitungan PBB
NJKP
40%
PBB Terutang
0,5%
Rp1.000.000.000
70%
Rp300.000.000
10
Rp3.000.000.000
Rp 12.000.000
Rp2.988.000.000
Rp1.195.200.000
Rp5.976.000
C. PBB Sektor Lainnya – Pembudidayaan Ikan
Ketentuan mengenai tata cara penetapan dan penghitungan PBB terutang untuk
perairan yang digunakan untuk usaha pembudidayaan ikan sangat identik dengan
ketentuan ada subbab sebelumnya. Penghitungan NJOP Bumi, dalam hal
terdapat hasil produksi, menggunakan skema pada Gambar 13.1. Penghitungan
PBB terutang menggunakan skema pada Gambar 13.5. Satu hal yang berbeda
yaitu dalam proses penghitungan NJOP Bumi usaha pembudidayaan ikan yang
tidak memiliki hasil produksi. Luas wilayah perairan yang menjadi objek pajak PBB
ditentukan seluas wilayah yang telah diberikan izin budidaya ikan (juga berupa
SIUP) oleh kementerian yang berwenang. Sehingga, skema penghitungan NJOP
Bumi adalah sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 13.6.
Gambar 13.6
Penghitungan NJOP Bumi – Tidak Terdapat Hasil Produksi
D. PBB Sektor Lainnya – Jaringan Pipa dan Jaringan Kabel
Yang dimaksud dengan jaringan pipa yaitu struktur bangunan yang digunakan
untuk mengangkut sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain. Sementara
jaringan kabel yaitu sistem transmisi telekomunikasi yang menggunakan media
kabel. Tentu saja, sesuai dengan ketentuan mengenai objek pajak PBB Sektor
Lainnya, jaringan yang dimaksud yaitu jaringan yang dibentangkan atau diletakkan
119 | Pajak Bumi dan Bangunan
di perairan. NJOP Bumi dihitung melalui perkalian antara NJOP Bumi/m2
(ditentukan oleh DJP sebesar Rp11.458) dengan luas perairan yang digunakan.
Gambar 13.7
Penghitungan NJOP Bumi
Luas perairan yang digunakan merupakan hasil perkalian panjang pipa atau kabel
dengan dua kali dari diameter pipa atau kabel. Sementara itu, bangunan berupa
jaringan pipa atau jaringan kabel dihitung NJOP-nya dengan menjumlahkan
seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh bangunan tersebut dikurangi
dengan penyusutan.
Gambar 13.8
Penghitungan PBB Terutang
E. PBB Sektor Lainnya – Ruas Jalan Tol
Ruas jalan tol yang menjadi objek pajak PBB Sektor Lainnya yaitu ruas jalan tol
yang berada di atas perairan NKRI. Saat ini yang menjadi objek PBB Sektor
Lainnya adalah Jalan Tol Bali Mandara. Sesuai dengan definisi objek pajak PBB
Sektor Lainnya, ruas jalan tol yang tidak berada di atas perairan bukan objek pajak
PBB Sektor Lainnya.
Besarnya NJOP Bumi/m2 ditetapkan oleh DJP sebesar Rp11.458 (sama dengan
NJOP Bumi/m2 untuk jaringan pipa dan jaringan kabel). Sementara itu, luas bumi
dihitung dari hasil perkalian antara jumlah tapak yang berada di perairan dengan
Pajak Bumi dan Bangunan | 120
luas pondasi tapak yang berada di perairan. Kemudian, NJOP Bangunan untuk
objek pajak PBB ini dihitung dengan menjumlahkan seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk mendirikan objek pajak PBB dikurangi dengan penyusutan
berdasarkan kondisi fisik objek pajak.
F.
PBB Sektor Lainnya – Fasilitas Penyimpanan dan Pengolahan
Objek pajak PBB Sektor Lainnya ini merupakan objek pajak PBB yang baru
dikenakan sejak 1 Januari 2020. Fasiltas penyimpanan yang menjadi objek pajak
PBB Sektor Lainnya yaitu fasilitas penyimpanan dan pengolahan yang terdapat di
perairan NKRI. Fasilitas penyimpanan dan pengolahan tersebut antara lain
berbentuk:
1)
2)
3)
4)
5)
Floating Storang and Offloading (FSO)
Floating Production System (FPS)
Floating Processing Unit (FPU)
Floating Production Storage and Offloading (FPSO)
Floating Storage and Regasification Unit (FSRU)
Gambar 13.9
FSRU yang dikelola oleh PT Nusantara Regas
sumber: https://nusantararegas.com/rantai-bisnis
NJOP Bumi dari objek pajak PBB ini dihitung melalui perkalian antara NJOP
Bumi/m2 (ditetapkan oleh DJP sebesar Rp11.458) dengan luas perairan yang
diberikan izin oleh kementerian yang berwenang. Sementara itu, NJOP untuk
bangunan dihitung dengan menjumlahkan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
mendirikan objek pajak PBB dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi
fisik objek pajak. Penghitungan PBB terutang dihitung dengan menggunakan
skema yang ditunjukan pada Gambar 13.8.
121 | Pajak Bumi dan Bangunan
RINGKASAN
1) Seluruh objek pajak PBB Sektor Lainnya berada di perairan Indonesia.
2) Yang termasuk objek pajak PBB Sektor Lainnya yaitu perairan NKRI yang
digunakan untuk:
a. Perikanan tangkap
b. Pembudidayaan ikan
c. Jaringan Pipa
d. Jaringan Kabel
e. Ruas Jalan Tol
f. Fasilitas Penyimpanan dan Pengolahan
3) Tata cara penetapan NJOP untuk masing-masing jenis penggunaan objek
pajak PBB berbeda-beda.
LATIHAN/PENUGASAN
Latihan
PT KKKKS memiliki jaringan pipa minyak bumi yang terbentang di bawah
permukaan laut sepanjang 500km. Pipa berdiameter 0,5m tersebut dibangun
pada tahun 2017 dengan nilai Rp1Trilyun (tidak ada tambahan biaya untuk
bangunan tersebut hingga 31 Desember 2019). Berapakah PBB terutang dari
objek pajak PBB tersebut untuk tahun pajak 2020, jika penyusutan yang diakui
untuk bangunan tersebut adalah sebesar 50%?
Pajak Bumi dan Bangunan | 122
DAFTAR PUSTAKA
Carlson, R. H. (2005). A brief history of property tax. Fair and Equitable, 2.
http://maritimnews.com/2017/04/mengulas-penegakan-hukum-pada-illegalfishing-di-perairan-indonesia/
http://nusantararegas.com/rantai-bisnis
http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan
Italiano, F., De Santis, A., Favali, P., Rainone, M. L., Rusi, S., & Signanini, P.
(2014). The Marsili volcanic seamount (southern Tyrrhenian Sea): a potential
offshore geothermal resource. Energies, 7(7), 4068-4086.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-185/PJ/2020 tentang Penetapan
Biaya Investasi Tanaman, Rasio Biaya Produksi, Angka Kapitalisasi, Nilai Jual
Objek Pajak Bumi Per Meter Persegi, Harga Uap dan Harga Listrik, dan Luas
Areal Penangkapan Ikan Per Kapal, untuk Penetapan Nilai Jual Objek Pajak
Bumi dan Bangunan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2015 tentang Tata Cara
Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan
untuk Sektor Perkebunan, Sektor Perhutanan, Sektor Pertambangan, dan
Sektor Lainnya
__________ Nomor PER-24/PJ/2016 tentang Tata Cara Penilaian untuk
Penentuan Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan
__________ Nomor PER-05/PJ/2017 tentang Pembayaran Pajak Secara
Elektronik
__________ Nomor PER-08/PJ/2019 tentang Tata Cara Pemberian,
Penyesuaian, dan Penghapusan Nomor Objek Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan
__________ Nomor PER-10/PJ/2019 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang, Nota Penghitungan, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan, Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan, Surat Pemberitahuan, serta Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan
__________ Nomor PER-19/PJ/2019 tentang Surat Pemberitahuan Objek Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan
__________ Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 23/PMK.03/2014 tentang
Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak PBB
__________ Nomor 253/PMK.03/2014 tentang Tat Cara Pengajuan dan
Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan
123 | Pajak Bumi dan Bangunan
__________ Nomor 254/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pendaftaran dan
Pendataan Objek Pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan
__________ Nomor 255/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan dan Surat Keputusan Kelebihan
Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
__________ Nomor 256/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan
Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan
__________ Nomor 267/PMK.011/2014 tentang Pengurangan Pajak Bumi dan
Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi dan Gas
Bumi pada Tahap Eksplorasi
__________ Nomor 78/PMK.013/2016 tentang Tata Cara Penerbitan Surat
Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
__________ Nomor 172/PMK.010/2016 tentang Pengurangan Pajak Bumi dan
Bangunan untuk Kegiatan Usaha Pertambangan/Pengusahaan Panas Bumi
pada Tahap Eksplorasi
__________ Nomor 81/PMK.03/2017 tentang Pengurangan Denda Administrasi
Pajak Bumi dan Bangunan dan Pengurangan atau Pembatalan Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, yang Tidak Benar
__________ Nomor 82/PMK.03/2017 tentang Pemberian Pengurangan Pajak
Bumi dan Bangunan
__________ Nomor 131/PMK.03/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak
Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak
Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi
__________ Nomor 186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata
Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
3/PERMEN-KP/2015 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin
Usaha di Bidang Pembudidayaan Ikan dalam Rangka Pelaksanaan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal
Peraturan
Menteri
Pertanian
Republik
Indonesia
Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan
__________ Nomor 98 Tahun 2013 tentang Perizinan Usaha Perkebunan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Nilai
Jual Kena Pajak Untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan
PGE. (2015). Laporan Tahunan Terintegrasi: Integrating Geothermal Performance
for Sustainable Energy. Jakarta: PT Pertamina Geothermal Energy
Pajak Bumi dan Bangunan | 124
Prabowo, T. R., Fauziyyah, F., & Bronto, S. (2017). A new idea: The possibilities
of offshore geothermal system in Indonesia marine volcanoes. In IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 103, No. 1, p.
012012). IOP Publishing.
Prasojo, et. al. (2014). Potensi Panas Bumi Lepas Pantai di Kawasan Gunung Api
Bawah Laut Kawio Barat, Banua Wuhu, dan Submarin 1922 di Kepulauan
Sangihe, Sulawesi Utara: Energi Masa Depan. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Supriyanto, H. (2017). Cara Menghitung PBB Sektor P3, BPHTB, dan Bea Materai.
PT Index. Jakarta.
Surat Edaran Nomor SE-45/PJ/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran
atau Pemutakhiran Pajak Bumi dan Bangunan
__________ Nomor SE-51/PJ/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penerbitan
Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
__________ Nomor SE-54/PJ/2016 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Properti,
Penilaian Bisnis, dan Penilaian Aset Takberwujud untuk Tujuan Perpajakan
__________ Nomor SE-43/PJ/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengurangan
Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Pengurangan atau
Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan,
yang Tidak Benar
__________ Nomor SE-44/PJ/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian
Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan
__________ Nomor SE-33/PJ/2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2019 tentang Tata Cara
Pemberian, Penyesuaian, dan Penghapusan Nomor Objek Pajak Pajak Bumi
dan Bangunan
__________ Nomor SE-17/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 186/PMK.03/2019 tentang
Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak
Bumi dan Bangunan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana terakhir
diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994
tentang Pajak Bumi dan Bangunan
__________ Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
__________ Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
World Bank. (2017). Geothermal. Washington DC: World Bank. Sumber:
https://www.worldbank.org/en/results/2017/12/01/geothermal
125 | Pajak Bumi dan Bangunan
BIODATA PENULIS
Nama
Jabatan/Kedudukan
Unit Kantor
:
:
:
Alamat E-mail
:
Adhipradana Prabu Swasito
Dosen
Prodi D3 PBB/Penilai, Jurusan Pajak,
PKN STAN
adhipradana.ps@pknstan.ac.id
Riwayat pendidikan:
Tahun
PerguruanTinggi
Lulus
2010
Universitas Indonesia
2015
Universitas Indonesia –
Australian National University
Fakultas/Jurusan/Prodi
Akuntansi
Ilmu Ekonomi – International and
Development Economics
Mata kuliah yang diasuh:
No
1
2
3
Nama Mata Kuliah
Pajak Bumi dan Bangunan
Lab. Pajak Penghasilan
Pengantar Perpajakan
Karya ilmiah:
Nama Penulis
Adhipradana P.
Swasito
Adhipradana P.
Swasito, Aang
Aribawa
Judul artikel/buku
Desentralisasi Pajak di
Indonesia – Esai Keuangan
Negara Kontribusi Pemikiran
Untuk Indonesia
Diferensiasi Tarif Pajak Bumi
Dan Bangunan Sektor
Perkebunan, Perhutanan, Dan
Pertambangan
Keterangan Penerbitan
Mirra Buana Media/
Diandra Kreatif, 2019
Jurnal Pajak Indonesia
Vol 2, No 1, 2018
Pajak Bumi dan Bangunan | 126
Download