Serat Sastrajendra | ii Kajian Serat Sastrajendra Terjemah dan Kajian oleh: B. K. AL MARIE Serat Sastrajendra | iii Kajian Serat Sastrajendra Hayuningrat Dikeluarkan dalam bentuk PDF pertama, 17 Agustus 2023 sebagai pembelajaran sastra klasik Jawa. Versi beta. Penulis Penata letak Penata Sampul Pemeriksa aksara : B. K. Al Marie : BK Books : Nani AR : BK Books Pembuat PDF: BK BOOKS Klaten, Jawa Tengah, Indonesia Email : gku.bambang@gmail.com FB : Kajian Sastra Klasik WA : 0896-7591-2930 Ukuran A5, tebal 35 halaman Hak cipta pada pembuat PDF. Boleh dipakai, dibagi dan disebarluaskan dalam rangka pembelajaran. Dilarang memakai untuk keperluan komersial tanpa izin dari penulis. Serat Sastrajendra | iv Kata Pengantar Serat Sastrajendera Hayuningrat merupakan kitab yang sakaral dan tidak sembarangan orang yang menguasainya. Serat ini dalam dunia pewayangan menjadi serat yang piningit, tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Ada kisah menarik sehubungan dengan serat ini. Alkisah, Dewi Sukesi putri Raja Sumali dari Alengkadiraja mempunyai sayembara. Barangsiapa yang mampu mengajarkan serat Sastrajendra Hayuningrat maka dia bersedia menjadi istri dari orang tersebut. Prabu Danaraja dari Lokapala yang sudah lama menderita gandrung kepada Dewi Sukesi menjadi oneng. Tak enak makan tak bisa tidur. Impiannya menimang Dewi Sukesi pupus sudah. Dia tak menguasai serat itu, jadi tak mungkin dia menjabarkan untuk sang pujaan hati. Ayah Prabu Danaraja, Begawan Wisrawa, yang sudah madeg pandhita, mendengar bahwa sang putra sakit cinta. Karena cintanya kepada sang putra Begawan Wisrawa bersedia mewakili melamar Dewi Sukesi. Apalagi sebagai pendeta sepuh dia sangat menguasai isi dari Sastrajendra Hayuningrat tersebut. Prabu Danaraja sangat bersuka cita. Segera pengiring diiapkan untuk sang ayah melawat ke negeri Alengka. Hatinya berbunga-bunga karena keinginannya bersanding dengan Dewi Sukesi tinggal menunggu hari. Pasti sang ayah akan Serat Sastrajendra | v merampungkan semuanya. Namun siapa yang bisa menebak takdir? Di Alengka Begawan Wisrawa memang mendapat kemudahan. Prabu Sumali sangat terbuka menerima kedatangan Begawan Wisrawa. Keduanya memang sahabat karib. Keinginan Begawan Wisrawa meminang Dewi Sukesi mendapat jalan lempang. Prabu Sumali menyerahkan begitu saja. Walau demikian Dewi Sukesi tetap kukuh untuk mendengar ajaran dari serat Sastrajendra Hayuningrat. Begawan Wisrawa tak keberatan. Beliau menyuruh segala sesuatu dipersiapkan untuk prosesi mengajarkan isi serat itu. Tempatnya harus tenang, tanpa gangguan makhluk hidup lain. Agar sang Dewi dapat konsentrasi menyimak. Berita tentang pengajaran serat Sastrajendra Hayuningrat oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi terdengar sampai kahyangan. Seketika para dewata geger. Ini bukan ilmu sembarangan. Tak boleh diajarkan kepada setiap orang. Kehidupan bisa kacau, bencara besar bisa datang, jika larangan ini dilanggar. Segera para dewa melalukan rapat darurat untuk menggagalkan rencana itu. Sang Hyang Jagad Girinata sendiri yang akan turun tangan. Dia lalu mengajak permaisuri Dewi Uma untuk bertindak. Mereka berdua pergi ke tempat acara pengajaran serat Sastrajendra itu. Dewi Uma lalu masuk ke tubuh Dewi Sukesi. Sedang Sang Jagad Girinata masuk ke tubuh Begawan Wisrawa. Kedua dewa-dewi lalu membisikkan godaan asmara kepada keduanya. Dalam cahaya temaran lampu sanggar tampak oleh Begawan Wisrawa, Dewi Sukesi sangat ayu. Wajahnya lembut, bodynya sempurna, lekuk-lekuk tubuhnya Serat Sastrajendra | vi tiada cacat. Wis embuh lah, sampai Begawan Wisrawa kamitenggengen melihatnya. Demikian pula Sukesi, melihat pria sepuh itu tak lagi sebagai calon mertua. Meski telah kaduk yuswa, pesonanya tiada tara. Bijak dan tenang, ilmunya segudang. Kata-katanya penuh hikmat. Di hadapan manusia agung itu sang Dewi tertunduk pasrah. Entah siapa yang memulai. Keduanya akhirnya terhunjam dalam lembah dosa. Busana indah yang mereka kenakan telah tanggal semua. Pengajaran serat Sastrajendra gagal. Wis, itulah sekelumit cerita tentang serat Sastrajendra Hayuningrat ini. Mohon kalau sampeyan mau membaca ya hati-hatilah. Serat ini menjadi serat larangan di dunia pewayangan. Tak semua wayang boleh menguAsai serat ini. Tapi kita kan bukan wayang, ya gaes? Dari semua tadi, kajian serat Sastrajendra ini layak Anda koleksi dan Anda baca sebagai bacaan pelengkap di rumah. Selamat membaca! Wassalam. Mirenglor, 31 Maret, 2020. B. K. Al Marie Serat Sastrajendra | vii Daftar Isi Kata Pengantar ......................................................................... iv Daftar Isi ................................................................................. vii K I N A N T H I ....................................................................... 1 Sastrajendra Hayuningrat.......................................................... 2 Weh Ayuning Rat Sawegung.................................................... 6 Pamoring Jalu Estri ................................................................. 10 Sari-sarining Catur Warna ...................................................... 14 Roroning Atunggal ................................................................. 20 Catur Wiji Manungsa .............................................................. 25 Panutup ................................................................................... 31 BIODATA PENULIS ............................................................. 35 PUPUH KINANTHI Serat Sastrajendra | 2 Sastrajendra Hayuningrat Bait ke 1-4, Kinanthi (metrum: 8a, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i), Serat Sastrajendra Hayuningrat. Kinanthi amurwèng kayun, wuryaning wasita jati, jatine kang tinarbuka, kawruh adi kang piningit. Sastrajendra hayuningrat, kang môngka wadining bumi. Sastra têgêse pan kawruh, yèku paningal kang êning. Arja puniku minulya, sukci kang ananirèki. Endra pan agung asamar, anglimputi saananing. Sèsining kang buwana, yèku jatining ngaurip, jumênêng langgêng priyôngga. Kang kawasa paring urip, kang gumlar ing bumintara, sanggyaning para dumadi. Yèku kang wênang sinêbut , Allah Tangala sajati, kang agung mulya datira. Kang elok sipatirèki, ingkang wisesa asmanya, sampurna apngalirèki. Serat Sastrajendra | 3 Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Disertakan dalam memulai kehendak, terlihat pesan sejati, sejatinya yang terbuka, pengetahuan luhur yang dirahasiakan. Sastrajendra hayuningrat, yang sebagai rahasia alam dunia. Sastra di sini artinya adalah pengetahuan, yaitu penglihatan yang jernih. Arja itu dimuliakan, karena suci keadaannya. Endra artinya agung tak ada keraguan, meliputi segalanya, seisi dunia ini. Yaitu sejatinya kehidupan, berdiri langgeng sendiri. Yang kuasa memberi hidup, yang terhampar di alam bumi, segala para makhluk. Yaitu yang wajib disebut, Allah Yang Maha Tinggi, yang agung dan mulia DzatNya Yang elok sifatnya, yang kuasa namanya, sempurna perbuatannya. Serat Sastrajendra | 4 Kajian per kata: Kinanthi (disertakan) amurwèng (dalam memulai) kayun (kehendak), wuryaning (memulai dari, disampaikan) wasita (pesan) jati (sejati), jatine (sejatinya) kang (yang) tinarbuka (terbuka), kawruh (pengetahuan) adi (luhur, lebih, ungguk) kang (yang) piningit (dirahasiakan). Disertakan dalam memulai kehendak, disampaikan dari pesan sejati, sejatinya yang terbuka, pengetahuan luhur yang dirahasiakan. Disertakan dalam memulai kehendak, disampaikan pesan sejati. Sejatinya isi dari pesan itu hendak dibuka. Dari pengetahuan luhur yang sebelumnya sangat dirahasiakan. Sastrajendra hayuningrat (sastrajendra hayuningrat), kang (yang) môngka (sebagai) wadining (rahasia) bumi (bumi, alam dunia). Sastrajendra hayuningrat, yang sebagai rahasia alam dunia. Pesan itu bernama Sastrajendra hayuningrat. Yang selama ini dirahasiakan di alam dunia. Sastrajendra berasal dari kata; sastra + arja + endra. Apa pengertian dari ketiga kata tersebut? Sastra (sastra) têgêse (artinya) pan (sungguh, memang) kawruh (pengetahuan), yèku (yaitu) paningal (penglihatan) kang (yang) êning (jernih). Sastra di sini artinya adalah pengetahuan, yaitu penglihatan yang jernih. Sastra artinya pengetahuan, kumpulan dari penglihatan yang jernih. Bukan duga-duga atau hayalan manusia. Namun mempunyai dasar metodologi yang jelas, dan dapat dikuasai oleh siapapun yang mampu dan mempunyai kehendak. Arja (arja) puniku (itu) minulya (dimuliakan), sukci (suci) kang (yang) ananirèki (keadaannya). Arja itu dimuliakan, karena suci keadaannya. Serat Sastrajendra | 5 Arja artinya dimuliakan. Dimuliakan karena suci keadaannya. Bukan mulia karena dianggap mulia, tetapi mulia karena dzatnya yang mulia. Endra (endra) pan (sungguh) agung (agung) asamar (tak ada keraguan), anglimputi (meliputi) saananing (segalanya), sèsining (seisi di) kang (yang) buwana (dunia). Endra artinya agung tak ada keraguan, meliputi segalanya, seisi dunia ini. Endra artinya agung, tak ada keraguan lagi keagungannya meliputi segalanya. Meliputi seisi dunia. Jadi sastrajendra artinya pengetahuan tentang yang mulia, yang kemuliaanya meliputi segala isi dunia. Yèku (yaitu) jatining (sejatinya) ngaurip (kehidupan), jumênêng (berdiri) langgêng (langgeng) priyôngga (sendiri). Yaitu sejatinya kehidupan, berdiri langgeng sendiri. Yang demikian itu sejatinya kehidupan. Kehidupan sejati yang langgeng berdiri sendiri. Artinya tidak bergantung kepada kehidupan yang lain. Kang (yang) kawasa (kuasa) paring (memberi) urip (hidup), kang (yang) gumlar (terhampar) ing (di) bumintara (alam bumi), sanggyaning (segala) para (para) dumadi (makhluk). Yang kuasa memberi hidup, yang terhampar di alam bumi, segala para makhluk. Kehidupan yang berkuasa memberi hidup bagi yang terhampar di alam bumi, segala para makhluk di seluruh semesta alam. Yèku (yaitu) kang (yang) wênang (wajib) sinêbut (disebut), Allah (Allah) Tangala (Ta’ala, Maha Tinggi) sajati (sejati), kang (yang) agung (maha besar) mulya (mulia) datira (DzatNya). Yaitu yang wajib disebut, Allah Yang Maha Tinggi, yang agung dan mulia DzatNya. Serat Sastrajendra | 6 Itulah yang disebut Allah Yang Maha Tinggi. Dzat Yang Maha Agung dan Maha Mulia. Dzul jalaali wal ikram. Pemilik keagungan dan kemuliaan. Kang (yang) elok (elok) sipatirèki (sifatnya), ingkang (yang) wisesa (kuasa) asmanya (namanya), sampurna (sempurna) apngalirèki (perbuatannya). Yang elok sifatnya, yang kuasa namanya, sempurna perbuatannya. Yang elok sifatNya, tak tertandingi semua makhluk. Yang kuasa namanya, bukan sekedar tempelan, tapi nama yang sesuai sifatNya. Yang sempurna perbuatanNya, perbuatan yang muncul dalam bentuk kasih yang perkasa. Pencipta dan pemelihara. Melindungi dan mendidik makhlukNya. Menunjukkan jalan pada keselamatannya. Weh Ayuning Rat Sawegung Bait ke 5-7, Kinanthi (metrum: 8a, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i), Serat Sastrajendra Hayuningrat. Wèh ayuning rat sawêgung, amarna sipat sakalir, kang andum rahsaning jagad. Anyamadi ganal alit, kang kawasa wicaksana, kang adil murah ing dasih. Tan ana ingkang nyakuthu, jumênêng urip pribadi. Ing satuhune dat sipat, asma apngaling Hyang Widhi, wus dumunung ing kaanan. Ananing manungsa iki, Serat Sastrajendra | 7 katitipan rahsanipun, Pangeran Kang Maha Sukci. Puniku wahananira, dating sastra kang piningit, sotyadi sasangkaning rat, mêngku prasidaning dadi. Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Memberi keindahan jagad seisinya, memberi sifat semuanya, yang membagi benih kehidupan seluruh jagad. Memberi kebaikan pada yang besar dan kecil, yang berkuasa bijaksana, yang adil pemurah pada hambaNya. Tak ada yang bersekutu, hidup berdiri sendiri. Sebenarnya Dzat Sifat, Asma dan Perbuata Tuhan Yang Maha Benar, sudah berada di dalam keadaan (Wujud). Adanya manusia ini, hanya dititipi benih kehidupan, Tuhan Yang Maha Suci. Itulah maknanya, dzat dari sastra yang dirahasiakan, permata indah penerang jagad, yang mengandung proses terjadinya makhluk. Kajian per kata: Wèh (memberi) ayuning (keindahan) rat (jagad) sawêgung (seisinya), amarna (memberi) sipat (sifat) sakalir Serat Sastrajendra | 8 (semuanya), kang (yang) andum (membagikan) rahsaning (rahsa, benih kehidupan) jagad (dunia). Memberi keindahan jagad seisinya, memberi sifat semuanya, yang membagi benih kehidupan seluruh jagad. Yang memberi keindahan pada jagad seisinya. Kaya ayu bisa bermakna indah. Juga bisa bermakna baik. Kebaikan pasti sinkron dengan keindahan. Bagi mereka yang terpesona oleh nilai-nilai, kebaikan sama mempesonanya dengan keindahan. Yang memberi sifat pada semua makhluknya. Amarna artinya memberi warna. Maka jadilah makhluk semua berwarna-warni. Tak sama dan karenanya menjadi indah. Yang memberi rahsa atau benih kehidupan jagad raya. Dengannya jagad ini tumbuh dan berkembang, serta berkesadaran. Jagad menjadi hidup, bukan semata dunia yang dingin dan kaku. Namun hangat dan berkembang. Anyamadi (membuat baik) ganal (besar) alit (kecil), kang (yang) kawasa (berkuasa) wicaksana (bijaksana), kang (yang) adil (adil) murah (pemurah) ing (pada) dasih (hambaNya). Memberi kebaikan pada yang besar dan kecil, yang berkuasa bijaksana, yang adil pemurah pada hambaNya. Yang membuat baik, kepada yang besar dan yang kecil. Semua tak dibedakanNya. Berkuasa dengan bijaksana, adil dan pemurah kepada hambanya. Bijaksana karena kekuasaanNya tidak ditegakkan untuk menunjukkan Dia kuasa. Dia tak butuh itu. Adil karena mampu mengangkat semua yang ada, sesuai tempatnya masing-masing. Pemurah karena tidak menuntut lebih dari kemampuan hambanya. Rahmat dan kasihNya mendahului murkanya. Dia takkan menggunakan kuasa sebelum memberikan bimbingan. Serat Sastrajendra | 9 Tan (tak) ana (ada) ingkang (yang) nyakuthu (bersekutu), jumênêng (berdiri) urip (hidup) pribadi (sendiri). Tak ada yang bersekutu, hidup berdiri sendiri. Yang tidak ada sekutu bagiNya. Dia berdiri sendiri. Hidup. Dan tidak bergantung kepada selainNya. Ing (dalam) satuhune (sebenarnya) dat (Dzat) sipat (sifat), asma (asma) apngaling (perbuatan) Hyang (Tuhan) Widhi (Yang Maha Benar), wus (sudah) dumunung (berada) ing (di) kaanan (keadaan). Sebenarnya Dzat Sifat, Asma dan Perbuata Tuhan Yang Maha Benar, sudah berada di dalam keadaan (Wujud). Yang sebenarnya, dzat, sifat, asma dan perbuatan dari Tuhan Yang Maha Benar, sudah berada dalam Wujud. Wujud sejak mula. Tanpa ada yang mewujudkan. Wujud dengan sendirinya. Wujud bi dzatihi. Ananing (adanya) manungsa (manusia) iki (ini), katitipan (dititipi) rahsanipun (benih kehidupan), Pangeran (Tuhan) Kang (Yang) Maha (Maha) Sukci (Suci). Adanya manusia ini, hanya dititipi benih kehidupan, Tuhan Yang Maha Suci. Adanya manusia ini hanya dititipi benih kehidupan oleh Tuhan Yang Maha Suci. Manusia tidak bisa menjadi ada tanpaNya. Wujud manusia hanya ada karena selainnya, wujud bi ghairihi. Bahkan sesungguhnya wujud manusia hanya wujud pinjaman. Wujud yang bukan wujud, keberadaannya maya. Puniku (itulah) wahananira (maknanya), dating (dzat dari) sastra (sastra) kang (yang) piningit (dirahasiakan), sotyadi (permata indah) sasangkaning (rembulan, penerang) rat (jagad), mêngku (yang mengandung) prasidaning (cara terjadinya, proses) dadi (kejadian, makhluk). Itulah maknanya, Serat Sastrajendra | 10 dzat dari sastra yang dirahasiakan, permata indah penerang jagad, yang mengandung proses terjadinya makhluk. Itulah makna dari sastra yang dirahasiakan, sastrajendra hayuningrat. Ia adalah permata indah penerang jagad. Menyimpan cara kejadian dari makhluk sedunia. Barangsiapa menguasai maknanya, dia sanggup memayu hayuningrat, membuat indah keindahan jagad. Pamoring Jalu Estri Bait ke 8-11, Kinanthi (metrum: 8a, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i), Serat Sastrajendra Hayuningrat. Arjaning parasdya nulus, kang kawasa amumpuni, saliring rasa dumina, lêlantaraning ngaurip. Tumuruning sastra cêtha, jumênêng nukat ginaib saking alaming alimut. Gaibing Allah sajati, tumitis ing dalêm rahsa. Rahsaning priya duk lagi, sêngsêming asmaragama, pamoring jalu lan èstri. Duk mêdhar rahsaning kakung, lênyêp murcitaning aksi, tiniyup ing kanikmatan. Ing kono pamorirèki, dating atma Kang Wisesa, Serat Sastrajendra | 11 kadim sajatining urip. Amoring dat lan rasèku, ingaran wadi lan mani, tumiba ing guwa garba, acampuh kalawan madi, yèku rahsaning wanita, kumpule dadi sawiji Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Kemuliaan pada kehendak lestari, yang kuasa menguasai, semua rasa terbuka, menjadi perantara kehidupan. Turunnya sastra jelas, berdiri membuka yang ghaib, dari alam yang gelap. Ghaibnya Allah sesungguhnya, mengejawantah di dalam bibit kehidupan. Bibit kehidupan ketika sedang, terpesona dalam ulah asmara, bercampur suami dan istri. Ketika mengeluarkan bibit kehidupan suami, hanyut terjatuh dalam pandangan, terhembus oleh kenikmatan. Di situ bercampurnya, dzat dari jiwa Yang Kuasa, kekal sejati dalam hidup. Menyatunya dzat dan rasa itu, disebut wadzi dan mani. Serat Sastrajendra | 12 Jatuh di dalam rahim, bercampur hebat dengan madzi, yaitu bibit kehidupan wanita, berkumpulnya keduanya menjadi satu. Kajian per kata: Arjaning (kemuliaan pada) parasdya (kehendak) nulus (lestari), kang (yang) kawasa (Kuasa) amumpuni (menguasai), saliring (semua) rasa (rasa) dumina (terbuka), lêlantaraning (perantara dalam) ngaurip (kehidupan). Kemuliaan pada kehendak lestari, yang Kuasa menguasai, semua rasa terbuka, menjadi perantara kehidupan. Kemuliaan kehendak lestari, menerus ke seluruh alam. Dari Yang Kuasa, menguasai semua rasa yang terbuka, menjadi perantara dalam kehidupan. Tumuruning (turunnya) sastra (sastra) cêtha (jelas), jumênêng (berdiri) nukat (membuka) ginaib (yang ghaib), saking (dari) alaming (alam) alimut (yang gelap). Turunnya sastra jelas, berdiri membuka yang ghaib, dari alam yang gelap. Perantaraannya adalah sastra yang jelas. Berdiri membuka yang ghaib dari alam yang gelap. Gelap bukan karena kurang cahaya, tapi karena tak dikenal. Tak dikenal karena ghaib, tak hadir dalam kehidupan nyata. Gaibing (ghaibnya) Allah (Allah) sajati (sesungguhnya), tumitis (masuk, mengejawantah) ing (di) dalêm (dalem) rahsa (rasa, bibit kehidupan). Ghaibnya Allah sesungguhnya, mengejawantah di dalam bibit kehidupan. Ghaibnya Allah sesungguhnya sudah mengejawantah di dalam bibit kehidupan. Dia tidak asing, tidak jauh. Dekat, bahkan lebih dekat daripada urat leher. Dia ghaib bagi Serat Sastrajendra | 13 makhluknya yang kehadiranNya. tak mengetahui, tak menyadari Rahsaning (bibit kehidupan) priya (laki-laki) duk (ketika) lagi (sedang), sêngsêming (pesona) asmaragama (ulah asmara), pamoring (bercampur) jalu (suami) lan (dan) èstri (istri). Bibit kehidupan ketika sedang terpesona dalam ulah asmara, bercampur suami dan istri. Sesungguhnya Dia hadir dalam setiap peristiwa. Bibit kehidupan yang ditiupkanNya di semesta membuka tabir keghaibanNya. Bagi yang memperhatikan bagaimana pesona ulah asmara, bercampurnya suami dan istri. Di sana Dia hadir sejak semula. Duk (ketika) mêdhar (mengeluarkan) rahsaning (bibit kehidupan) kakung (suami), lênyêp (lepas, hanyut) murcitaning (terjatuh dalam) aksi (pandangan), tiniyup (dihembus) ing (oleh) kanikmatan (kenikmatan). Ketika mengeluarkan bibit kehidupan suami, hanyut terjatuh dalam pandangan, terhembus oleh kenikmatan. Ketika mengeluarkan bibit kehidupan (air mani) suami hanyut terjatuh dalam pandangan, dihembus oleh kenikmatan sesaat. Saat ketika sesuatu yang bukan tubuh menyatu dalam angannya. Membuat dia mengalami orgasme, suatu kesadaran yang melampaui kesadaran badani. Ing (di) kono (situ) pamorirèki (bercampurnya), dating (dzat dari) atma (atma, jiwa) Kang (yang) Wisesa (kuasa), kadim (kekal) sajatining (sejati dalam) urip (hidup). Di situ bercampurnya, dzat dari jiwa yang kuasa, kekal sejati dalam hidup. Di situlah bercampurnya, Dzat dari jiwa Yang Kuasa, yang kekal. Inilah sejatinya hidup. Orang yang berhubungan seksual digerakkan ketertarikan yang di luar nalar mereka. Serat Sastrajendra | 14 Karena pada saat itulah lokus bagi pengejawantahan dari dzat atma sedang disiapkan. Amoring (menyatunya) dat (dzat) lan (dan) rasèku (rasa itu), ingaran (disebut) wadi (wadzi) lan (dan) mani (mani). Menyatunya dzat dan rasa itu, disebut wadzi dan mani. Menyatunya dzat dan rasa itu disebut wadzi dan mani. Mani menjadi tempat bibit kehidupan ditanam. Wadzi menjadi sarananya. Tumiba (jatuh) ing (di) guwa garba (rahim), acampuh (bercampur hebat) kalawan (dengan) madi (madzi), yèku (yaitu) rahsaning (bibit kehidupan dari) wanita (wanita), kumpule (berkumpulnya) dadi (menjadi) sawiji (satu). Jatuh di dalam rahim, bercampur hebat dengan madzi, yaitu bibit kehidupan wanita, berkumpulnya keduanya menjadi satu. Ketika bibit kehidupan (mani) jatuh ke dalam rahim, bercampurlah dengan madzi, yaitu bibit kehidupan dari wanita. Berkumpul keduanya, dan manunggal menjadi satu. Bibit kehidupan tumbuh. Yang materi berubah menjadi bukan materi, karena atma dari Yang Kuasa telah bersemayam. Sari-sarining Catur Warna Bait ke 12-16, Kinanthi (metrum: 8a, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i), Serat Sastrajendra Hayuningrat. Aran manikêm puniku, yèku wêwadhahing urip, wujud siji catur aran. Mani madi lawan wadi, manikêm sakawanira, yèku wijining dumadi. Serat Sastrajendra | 15 Dadining manungsa iku, saking warna catur singgih. Dene wiji kang ngaranan, sarining bumi lan gêni, miwah sarining maruta, sakawan pathining warih Kang samya ingakên iku, laire sipating Widhi, wus wujud nèng catur rahsa, Yèku baboning jasmani, minôngka sêsandhanira, abuning roh kang sajati Abuning roh têgêsipun, baboning nyawa sakalir, kang nguripi sakèh rasa, ingaran nyawa rohkani, Yèku tohjalining sastra, sipat cahya Muhkamadi. Mukamad ing têgêsipun, wênang sinêmbah pinuji. Sêsirahing kanikmatan, rasaning buwana yêkti. Satuhu sêsotyaningrat, nirmala waluya jati Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Yang disebut manikem itu, yaitu tempat dari kehidupan, wujudnya satu empat namanya. Serat Sastrajendra | 16 Mani madzi dan wadzi, manikem yang keempat, itulah bibit dari kejadiannya. Terjadinya manusia itu, sungguh dari empat macam itu. Adapun benih yang disebut tadi, sarinya bumi dan api, serta sarinya angin, yang keempat saripati air. Yang semua diakui itu, lahirnya sifat dari Tuhan Yang Maha Benar, sudah mewujud dalam empat benih kehidupan. Yaitulah induk jasmani, sebagai sandaran dari, awan roh yang sejati. Awan dari roh artinya, induk dari nyawa semuanya, yang menghidupi semua rasa, disebut nyawa ruhani. Demikianlah cara tajalli yang diuraikan dalam sastrajendra ini, yakni sifat dari Nur Muhammad. Muhammad itu artinya, berhak dihormati dan dipuji. Pemuka dari kenikmatan, rasa dari dunia sungguh. Sungguh permata dari jagad, tanpa cela selamat yang benar. Serat Sastrajendra | 17 Kajian per kata: Aran (yang disebut) manikêm (manikem) puniku (itu), yèku (yaitu) wêwadhahing (tempat dari) urip (kehidupan), wujud (wujud) siji (satu) catur (empat) aran (nama). Yang disebut manikem itu, yaitu tempat dari kehidupan, wujudnya satu empat namanya. Bibit kehidupan dari suami (mani) dan istri (madzi) bercampur, dan tumbuhlah sesuatu yang lain, manikem. Itulah tempat kehidupan bersemi. Dia menjadi wadah bagi tumbuhnya manusia baru. Mani (mani) madi (madzi) lawan (dan) wadi (wadzi), manikêm (manikem) sakawanira (yang keempat), yèku (itulah) wijining (bibit dari) dumadi (kejadian). Mani madzi dan wadzi, manikem yang keempat, itulah bibit dari kejadiannya. Mani, madzi dan wadzi serta manikem, keempatnya itulah bibit dari manusia. Dadining (terjadinya) manungsa (manusia) iku (itu), saking (dari) warna (macam) catur (empat) singgih (sungguh, benar). Terjadinya manusia itu, sungguh dari empat macam itu. Terjadinya manusia dari empat macam itu. Dene (adapun) wiji (benih) kang (yang) ngaranan (tersebut), sarining (sarinya) bumi (bumi) lan (dan) gêni (api), miwah (serta) sarining (sarinya) maruta (angin), sakawan (keempat) pathining (saripati) warih (air). Adapun benih yang disebut tadi, sarinya bumi dan api, serta sarinya angin, yang keempat saripati air. Adapun keempat benih tersebut merupakan sari-sari dari bumi dan api, serta sari-sari dari angin dan air. Serat Sastrajendra | 18 Kang (yang) samya (semua) ingakên (diakui) iku (itu), laire (lahirnya) sipating (sifat dari) Widhi (Tuhan Maha Benar), wus (sudah) wujud (mewujud) nèng (dalam) catur (keempat) rahsa (benih kehidupan). Yang semua diakui itu, lahirnya sifat dari Tuhan Yang Maha Benar, sudah mewujud dalam empat benih kehidupan. Sifat Tuhan Yang Maha Benar mengejawantah secara lahir ke dalam empat benih kehidupan itu. Demikian cara Tuhan bertajalli ke alam lahir yang serba terbatas. Yang Esa mengejawantah menjadi banyak karena alam materi berazas keragaman. Tanpa menjadi banyak Tuhan tak dapat dipahami oleh manusia yang tinggal di alam materi yang beragam. Yèku (yaitulah) baboning (induk dari) jasmani (jasmani), minôngka (sebagai) sêsandhanira (sandaran), abuning (awan dari) roh (roh) kang (yang) sajati (sejati). Yaitulah induk jasmani, sebagai sandaran dari awan roh yang sejati. Di sini kata roh disifati dengan abun (awan) karena roh itu melayang dari angkasa. Dengan adanya jasmani maka roh mendapat tempat untuk bersemayam. Jasmani dengan demikian adalah sarang bagi roh dari Tuhan yang turun ke dunia materi. Dia perlu penguat karena yang bukan materi takkan muat di dalam materi. Manusia yang gabungan dari wujud bumi dan langitlah yang kuat mengendong roh itu. Inilah yang disebut amanat, yang langit pun tak kuat membawanya. Abuning (awan dari) roh (roh) têgêsipun (artinya), baboning (induk dari) nyawa (nyawa) sakalir (semua), kang (yang) nguripi (menghidupi) sakèh (semua) rasa (rasa), ingaran (disebut) nyawa (nyawa) rohkani (ruhani). Awan dari roh artinya induk dari nyawa semuanya, yang menghidupi semua rasa, disebut nyawa ruhani. Serat Sastrajendra | 19 Abun dari roh yang bersemayam dalam jasmani tadi menjadi induk dari nyawa semua kehidupan. Menghidupi semua rasa. Disebut juga sebagai nyawa ruhani. Inilah yang menjadi bakal sifat manusia. Yèku (yaitulah) tohjalining (tajalli dari) sastra (sastra ini), sipat (sifat) cahya (cahaya) Muhkamadi (Muhammad). Demikianlah cara tajalli yang diuraikan dalam sastrajendra ini, yakni sifat dari Nur Muhammad. Demikian tadi cara Allah bertajalli. Melalui serangkaian lapis penciptaan. Sebelum sampai ke dunia dan menjadi kehidupan yang kita saksikan, terlebih dahulu melalui Nur Muhammad. Para mistikus di zaman dahulu mempunyai teori bagaimana Allah bertajalli ke dunia ini. Sebelum Allah menciptakan dunia seisinya dia terlebih dahulu menciptakan Nur Muhammad. Dia adalah prototype manusia di dunia. Segala yang ada di dunia diciptakan untuk menyambut kedatangan Nur Muhammad ke dunia. Perumpamaan Nur Muhammad ini seperti biji beringin yang ditanam. Lalu tumbuhlah pohon beringin yang besar, inilah dunia beserta isinya. Ketika pohon beringin itu sudah dewasa, maka munculah buahnya yang berupa biji beringin. Jadi Muhammad SAW memang lahir di zaman akhir, tetapi sesungguhnya dia mendahului seluruh manusia. Karena untuk dia dunia ini diciptakan. Mukamad (Muhammad) ing (pada) têgêsipun (artinya), wênang (berhak) sinêmbah (dihormati) pinuji (dipuji). Muhammad itu artinya berhak dihormati dan dipuji. Nama Muhammad itu sendiri dalam bahasa Arab artinya orang yang terpuji. Nama ini sesuai dengan hakekat Muhammad, yang memang pantas dipuji dan dihormati. Sinembah dari kata sembah yang artinya menghormat. Serat Sastrajendra | 20 Sêsirahing (pemuka dari) kanikmatan (kenikmatan), rasaning (rasa dari) buwana (dunia) yêkti (sungguh). Pemuka dari kenikmatan, rasa dari dunia sungguh. Muhammad adalah pemuka dari kenikmatan yang Tuhan berikan kepada jagad raya. Segala hal baik dari dunia ada padanya. Dia puncak dari apa yang dapat diraih oleh manusia. Dia insan kamil, manusia sempurna. Satuhu (sungguh) sêsotyaningrat (permata dari jagad), nirmala (tanpa sakit, tanpa cela) waluya (selamat) jati (yang benar). Sungguh permata dari jagad, tanpa cela selamat yang benar. Laksana permata dari jagad raya. Tanpa cela, contoh dari penempuh jalan selamat yang benar. Sebenar-benarnya. Roroning Atunggal Bait ke 17-20, Kinanthi (metrum: 8a, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i), Serat Sastrajendra Hayuningrat. Jatine sapa ingkang wruh, rêsmining jagad puniki, minulya ing uripira, sinung padhanging panggalih. Praptaning pati sampurna, dumunung ing swarga luwih. Uriping suksmanirèku, anunggal Hyang Suksma Sukci, wus roro-roroning tunggal. Tan kêna ingaran kalih, Serat Sastrajendra | 21 iya uriping kawula, satuhu uriping Gusti. Kawasa wisesanipun, kawula kalawan Gusti, tan kêna yèn pisahêna. Sampurna purwaning dadi, langgêng kauripanira, si kombang anèng swargadi. Anuksmèng sagara madu, madu maduning ngaurip, anyamadi jiwa raga, iya ragane pribadi. Kang kawasa marna sipat, sipating manungsa iki. Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Sejatinya siapa yang mengetahui, keindahan jagad ini, dimuliakan pada kehidupanmu, diberi terang hati. Sampai di kematian sempurna, berada di surga indah. Hidup dari ruhmu, bersatu dengan Tuhan, Ruh yang Suci, sudah menjadi dwi-tunggal. Tak bisa disebut dua, ya hidup dari hamba, sungguh hidupnya Tuhan. Serat Sastrajendra | 22 Kuasa menguasai dari, hamba dan Tuhan, tak bisa dipisahkan. Sempurna awal dari kejadian, langgeng kehidupanmu, si kombang berada di surga indah. Menitis dalam lautan madu, madu madunya hidup, memperbagus jiwa raga, raganya sendiri. Yang Kuasa memberi sifat, sifat dari manusia ini. Kajian per kata: Jatine (sejatinya) sapa (siapa) ingkang (yang) wruh (mengetahui), rêsmining (keindahan dari) jagad (jagad) puniki (ini), minulya (dimuliakan) ing (pada) uripira (kehidupanmu), sinung (diberi) padhanging (terang dari) panggalih (hati). Sejatinya siapa yang mengetahui, keindahan jagad ini, dimuliakan pada kehidupanmu, diberi terang hati. Siapa yang mengetahui keindahan jagad ini, dia dimuliakan kehidupannya. Mulia karena memahami, bahwa segala sesuatu ada Tuhan di situ. Hatinya terang tiada keraguan. Praptaning (sampai di) pati (kematian) sampurna (sempurna), dumunung (berada) ing (di) swarga (surga) luwih (lebih, indah). Sampai di kematian sempurna, berada di surga indah. Sampai kematian menjelang, tempatnya ada di surga yang indah. Itupun sama saja antara dunia dan surga indah itu. Serat Sastrajendra | 23 Hatinya lebih tertarik dengan keindahan Tuhan Yang Maha Indah. Hal yang telah dia rasakan ketika masih di dunia. Uriping (hidup dari) suksmanirèku (suksmamu), anunggal (bersatu) Hyang (Tuhan) Suksma (Ruh) Sukci (suci), wus (sudah) roro-roroning (dua dalam) tunggal (satu). Hidup dari ruhmu, bersatu dengan Tuhan, Ruh yang Suci, sudah menjadi dwi-tunggal. Namun di surga hidupnya lebih memukau, bukan karena nikmat yang ditawarkan kepadanya di surga. Namun karena di sana dia menyatu bersama Tuhan. Tak dapat dibedakan lagi, sudah menjadi dwi-tunggal. Tan (tak) kêna (bisa) ingaran (disebut) kalih (dua), iya (iya) uriping (hidup dari) kawula (hamba), satuhu (sungguh) uriping (hidupnya) Gusti (Tuhan). Tak bisa disebut dua, ya hidup dari hamba, sungguh hidupnya Tuhan. Keduanya tak bisa disebut dua lagi, hidunya adalah hidup Tuhannya. Dia hanya menjadi apa yang dikehendakiNya. Kawasa (kuasa) wisesanipun (menguasai dari), kawula (hamba) kalawan (dan) Gusti (Tuhan), tan (tak) kêna (bisa) yèn (kalau) pisahêna (dipisahkan). Kuasa menguasai dari, hamba dan Tuhan, tak bisa dipisahkan. Yang Kuasa dan yang dikuasai antara hamba dan Tuhan sudah tak bisa dipisahkan. Ini bukan tentang itu, tetapi yang menguasai dan dikuasai adalah satu. Sampurna (sempurna) purwaning (awal dari) dadi (kejadian), langgêng (langgeng) kauripanira (kehidupanmu), si (si) kombang (kombang) anèng (berada di) swargadi (surga indah). Sempurna awal dari kejadian, langgeng kehidupanmu, si kombang berada di surga indah. Serat Sastrajendra | 24 Sudah kembali ke bentuk sempurna seperti awal kejadiannya. Langgeng dalam kehidupannya. Si kombang sudah kembali ke taman indah, tempat bunga yang dirindukannya tumbuh. Dalam banyak literatur religius surga memang selalu digambarkan sebagai taman yang indah. Ada banyak bunga dan buah serta pemandangan indah. Kebunkebun menghijau, air mengalir jernih, buah ranum bergantungan, dsb. Kita manusia kotor seumpama kombang yang merindukan bunga bermekaran. Maka ketika kombang berhasil masuk ke taman, langkah senangnya dia. Itulah perumpamaan dari keindahan surgawi yang dirindukan banyak manusia. Anuksmèng (menitis dalam) sagara (lautan) madu (madu), madu (madu) maduning (madunya) ngaurip (hidup), anyamadi (membuat baik) jiwa (jiwa) raga (raga), iya (ya) ragane (raganya) pribadi (sendiri). Menitis dalam lautan madu, madu madunya hidup, memperbagus jiwa raga, raganya sendiri. Si kombang menitis ke lautan madu, hal yang selalu dicari dengan susah payah. Harus menghisap banyak bunga demi mendapatkannya. Kini madu itu terhampar di hadapannya dalam bentuk lautan. Arep nggo ciblon yo keno. Pora penuk? Kang (Kang) Kawasa (Kuasa) marna (memberi) sipat (sifat), sipating (sifat dari) manungsa (manusia) iki (ini). Yang Kuasa memberi sifat, sifat dari manusia ini. Untuk semua itu, Yang Kuasa memberi sifat kepada manusia. Agar mudah baginya untuk mendapatkan apa-apa yang dia rindukan. Tuhan memberi dari ruhNya dan meniupkan ke dalam diri manusia. Sehingga manusia yang kotor dari lembah dapat meniti tangga kemuliaan sehingga sampai ke taman abadi tadi. Serat Sastrajendra | 25 Catur Wiji Manungsa Bait ke 21-26, Kinanthi (metrum: 8a, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i), Serat Sastrajendra Hayuningrat. Dadi saking rasa catur, kang wus kajarwa ing ngarsi, mani iku dadi rupa. Madi uripe ing ati, wadi dadi ngakal nyata, manikêm nyawanirèki. Wujuding catur warnèku, katôndha nèng netra sami, manikêm undêring netra, mani iku dadi manik, wadi pêputihing tingal, dene kang ingaran madi. urip ing netranirèku. Warna ingarane singgih, rahsaning paningal nyata, punika ingaran madi. De wiji kang catur aran, sarining bumi pan dadi, carmaning manungsa iku. Sari gêni dadya daging, sarining angin dadya rah, pathining banyu pan dadi, tulang myang otot prasamya, sampurnaning wujud yêkti. Serat Sastrajendra | 26 Kang wadhag lawan kang alus, saking kodrating Hyang Widhi, padha minôngka warana, dadya sêsandhaning urip. Uripe pinaring tôndha, rahsa kang karasa sami, pininta-pinta pinatut, ing papan êmpanirèki. Kabèh iku aran nyawa, ana jalu ana èstri, padha minôngka busana, lantaran karsaning Widhi. Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Terjadi dari empat rasa, yang sudah diterangkan di depa, mani itu menjadi rupa. Madzi hidupnya di hati, wadzi nyata menjadi akal, manikem adalah nyawanya. Wujud dari empat macam itu, tertanda ada di mata semua, manikem pusat dari mata, mani itu menjadi manik-manik, wadzi putih dari mata, adapun yang disebut madzi, hidup dalam matanya, berupa apa yang disebut, rasa dari penglihatan, Serat Sastrajendra | 27 itulah yang disebut madzi. Adapun benih yang empat namanya, sari bumi menjadi, kulit dari manusia itu. Sari api menjadi daging, sari dari angin menjadi darah, saripati dari air menjadi, tulang dan otot semuanya, menjadi sempurna dari wujud sejati. Yang kasar dan yang halus, dari kehendak Tuhan Yang Maha Benar, semua sebagai penutup, menjadi penyucian hidup. Hidupnya diberi tanda, benih kehidupan yang dirasakan sama, dibagi-bagi dipantaskan, pada tempat yang sesuai. Semua itu disebut nyawa, ada laki-laki ada perempuan, semua sebagai pakaian, karena kehendak dari Tuhan Yang Maha Benar. Kajian per kata: Dadi (terjadi) saking (dari) rahsa (rasa) catur (empat), kang (yang) wus (sudah) kajarwa (diterangkan) ing (di) ngarsi (depan), mani (mani) iku (itu) dadi (menjadi) rupa (rupa). Terjadi dari empat rasa, yang sudah diterangkan di depa, mani itu menjadi rupa. Serat Sastrajendra | 28 Oleh karena itu, manusia dibuat dari empat rahsa, yang masing-masing saripati unsur-unsur kehidupan. Mani menjadi rupa atau bentuk kejadiannya. Madi (madzi) uripe (hidupnya) ing (di) ati (hati), wadi (wadzi) dadi (menjadi) ngakal (akal) nyata (nyata), manikêm (manikem) nyawanirèki (nyawanya). Madzi hidupnya di hati, wadzi nyata menjadi akal, manikem adalah nyawanya. Madzi hidupnya di hati. Wadzi menjadi akal. Dan manikem menjadi nyawanya. Wujuding (wujud dari) catur (empat) warnèku (macam itu), katôndha (tertanda) nèng (ada di) netra (mata) sami (semua), manikêm (manikem) undêring (pusat dari) netra (mata), mani (mani) iku (itu) dadi (menjadi) manik (manikmanik), wadi (wadzi) pêputihing (putih dari) tingal (mata), dene (adapun) kang (yang) ingaran (disebut) madi (madzi), urip (hidup) ing (di) netranirèku (matanya), warna (berupa) ingarane (disebut) singgih (sungguh), rahsaning (rasa dari) paningal (penglihatan) nyata (nyata), punika (itulah) ingaran (yang disebut) madi (madzi). Wujud dari empat macam itu, tertanda ada di mata semua, manikem pusat dari mata, mani itu menjadi manik-manik, wadzi putih dari mata, adapun yang disebut madzu, hidup dalam matanya, berupa apa yang disebut, rasa dari penglihatan, iotulah yang disebut madzi. Perumpamaan dari menyatuinya wujud yang empat macam itu dapat diumpamakan dengan mata. Manikem merupakan pusat dari mata, yang padanya penglihatan difokuskan sehingga membuat mata dapat melihat dunia. Mani menjadi manik-manik atau bulatan hitam, yang dengannya cahaya yang masuk dikendalikan. Wadzi menjadi putih mata, yang membentuk bulatan sehingga mata dapat bergerak sesuai pandangan. Sedangkan madzi menjadi hidup mata itu, yang membuat mata bisa memandang. Seperti itulah Serat Sastrajendra | 29 perumpamaan dari empat macam rahsa itu menyatu. Kalau sudah menyatu dalam mata, maka tak dapat dibeda-bedakan lagi, semua menyatu membentuk penglihatan manusia. De (adapun) wiji (benih) kang (yang) catur (empat) aran (namanya), sarining (sari dari) bumi (bumi) pan dadi (menjadi), carmaning (kulit dari) manungsa (manusia) iku (itu). Adapun benih yang empat namanya, sari bumi menjadi, kulit dari manusia itu. Adapun benih yang empat namanya, yang berasal dari alam dunia, maka sari-sari dari bumi menjadi kulit manusia. Sari (sari) gêni (api) dadya (menjadi) daging (daging), sarining (sari dari) angin (angin) dadya (menjadi) rah (darah), pathining (saripati dari) banyu (air) pan dadi (menjadi), tulang (tulang) myang (dan) otot (otot) prasamya (semuanya), sampurnaning (menjadi sempurna dari) wujud (wujud) yêkti (sejati). Sari api menjadi daging, sari dari angin menjadi darah, saripati dari air menjadi, tulang dan otot semuanya, menjadi sempurna dari wujud sejati. Sari dari api menjadi daging. Sari-sari angin menjadi darah. Saripati dari air menjadi tulang dan otot semua. Dengan menyatunya organ-organ itu terbentuklah wujud fisik dari manusia. Kang (yang) wadhag (kasar) lawan (dan) kang (yang) alus (halus), saking (dari) kodrating (kehendak dari) Hyang (Tuhan) Widhi (Maha Benar), padha (semua) minôngka (sebagai) warana (penutup), dadya (menjadi) sêsandhaning (penyucian dari) urip (hidup). Yang kasar dan yang halus, dari kehendak Tuhan Yang Maha Benar, semua sebagai penutup, menjadi penyucian hidup. Lengkap sudah wujud manusia. Yang kasar dan yang halus. Empat benih yang diturunkan Tuhan dari langit menjadi Serat Sastrajendra | 30 wujud halus. Empat sari-sari kehidupan menjadi wujud kasar. Kehendak Tuhan Yang Maha Benar, semua menjalankan fungsi masing-masing di dalam proses penyucian diri manusia. Uripe (hidupnya) pinaring (diberi) tôndha (tanda), rahsa (benih kehidupan) kang (yang) karasa (dirasakan) sami (sama), pininta-pinta (dibagi-bagi) pinatut (dipantaskan), ing (pada) papan (tempat) êmpanirèki (yang sesuai). Hidupnya diberi tanda, benih kehidupan yang dirasakan sama, dibagibagi dipantaskan, pada tempat yang sesuai. Hidup dari manusia diberi tanda berupa benih kehidupan yang dirasakan semuanya. Dibagi-bagi sesuai fungsinya, dipantaskan sesuai tempatnya. Kabèh (semua) iku (itu) aran (disebut) nyawa (nyawa), ana (ada) jalu (laki-laki) ana (ada) èstri (perempuan), padha (semua) minôngka (sebagai) busana (pakaian), lantaran (karena) karsaning (kehendak dari) Widhi (Tuhan Yang Maha Benar). Semua itu disebut nyawa, ada laki-laki ada perempuan, semua sebagai pakaian, karena kehendak dari Tuhan Yang Maha Benar. Semua itu disebut nyawa, yang membuat manusia hidup. Ada yang kemudian berupa laki-laki, ada yang berupa perempuan. Semua itu hanyalah pakaian, atau penampakan luarnya karena kehendak Tuhan yang menitahkan demikian. Serat Sastrajendra | 31 Panutup Bait ke 27-29, Kinanthi (metrum: 8a, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i), Serat Sastrajendra Hayuningrat. Marma kang marsudi kawruh, aywana katungkul sami, dipun wruh ing sangkan paran. Sangkan paraning dumadi, paran praptaning kasidan, wruh kasampurnaning pati. Lah baya ngêndi gonipun, Pangeran kang paring urip, dèn wruh sajatining rêtna, jroning cipta dèn kaliling. Akèh sotya sama rupa, aja nganti salah dalih. Titipan umurirèku, dèn katur mring kang nitipi, kabèh sagolonganira, gulungên dadi sawiji. Yèn wus gumolong kang cipta, ulihna purwaning dadi. Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Maka dari itu yang tekun belajar pengetahuan, jangan ada yang terlena semua, ketahuilah pada asal mula dan tujuan. Asal mula dan tujuan dari kehidupan, tujuan dari kehidupan sampai pada kematian, Serat Sastrajendra | 32 mengetahui kesempurnaan dari kematian. Nah, bagaimana, dimana tempatnya, Tuhan yang membei kehidupan, ketahuilah sebenarnya permata, dalam pikiran cermatilah. Banyak permata sama rupanya, jangan sampai salah terka. Titipan umurmu itu, haturkan kepada yang menitipkan, semua segolonganmu, gulunglah menjadi satu. Kalau sudah bulat pikiranmu, kembalikan pada awal dari kejadian. Kajian per kata: Marma (maka dari itu) kang (yang) marsudi (tekun belajar) kawruh (pengetahuan), aywana (jangan ada) katungkul (terlena) sami (semua), dipun wruh (ketahuilah) ing (pada) sangkan (asal mula) paran (tujuan). Maka dari itu yang tekun belajar pengetahuan, jangan ada yang terlena semua, ketahuilah pada asal mula dan tujuan. Maka dari itu yang tekun belajar pengetahuan. Pengetahuan tentang kehidupan. Jangan sampai terlena semua ketahuilah tentang asal-mula dan tujuan. Sangkan (asal mula) paraning (tujuan dari) dumadi (kehidupan), paran (tujuan) praptaning (sampai pada) kasidan (kematian), wruh (mengetahui) kasampurnaning (kesempurnaan dari) pati (kematian). Asal mula dan tujuan dari kehidupan, tujuan dari kehidupan sampai pada kematian, mengetahui kesempurnaan dari kematian. Serat Sastrajendra | 33 Asal mula dan tujugan dari kehidupan. Tujuan hidup sampai pada kematian, serta mengetahu kesempurnaan dari kematian. Lah (Nah) baya (bagaimana) ngêndi (dimana) gonipun (tempatnya), Pangeran (Tuhan) kang (yang) paring (memberi) urip (kehidupan), dèn wruh (ketahuilah) sajatining (sebenarnya) rêtna (permata), jroning (dalam) cipta (pikiran) dèn kaliling (cermatilah). Nah, bagaimana, dimana tempatnya, Tuhan yang memberi kehidupan, ketahuilah sebenarnya permata, dalam pikiran cermatilah. Nah, bagaimana dan di mana tempatnya Tuhan memberi kehidupan yang sejati kepadamu. Semua itu ketahuilah dengan teliti. Seperti halnya engkau meneliti sebuah permata, lihatlah dan cermatilah. Akèh (banyak) sotya (permata) sama (sama) rupa (rupanya), aja (jangan) nganti (sampai) salah (salah) dalih (terka). Banyak permata sama rupanya, jangan sampai salah terka. Karena banyak yang seperti permata berkilaunya. Namun bukan permata, hanya batu yang rapuh. Perlu cermat dalam melihat agar tidak salah terka. Kehidupan pun demikian. Ada yang tampak seolah-olah sebagai kehidupan yang sejati, tetapi ternyata menipu pandangan. Maka telitilah dengan cermat agar tidak tertipu. Titipan (titipan) umurirèku (umurmu itu), dèn katur (haturkan) mring (kepada) kang (yang) nitipi (menitipkan), kabèh (semua) sagolonganira (segolonganmu), gulungên (gulunglah) dadi (menjadi) sawiji (satu). Titipan umurmu itu, haturkan kepada yang menitipkan, semua segolonganmu, gulunglah menjadi satu. Serat Sastrajendra | 34 Sungguh hidup ini hanya titipan. Umurmu ada yang memberi. Dan ada saat engkau harus menghaturkan kembali kepada yang menitipkan. Semua dari yang ada padamu, gulunglah, ringkaslah agar menjadi satu. Kelak tidak merepotkan untuk membawanya. Yèn (kalau) wus (sudah) gumolong (bulat) kang cipta (pikiranmu), ulihna (kembalikan) purwaning (pada awal dari) dadi (kejadian). Kalau sudah bulat pikiranmu, kembalikan pada awal dari kejadian. Kalau sudah ringkas, bulat dalam tekad (pikiran), kembalikan pada awal kejadianmu. Bawalah kembali kepada yang menitipkan pada awal kejadianmu. Sekian kajian Serat Sastrajendra Hayuningrat. Semoga bermanfaat. Mirenglor, 8 April 2020. B. K. Al Marie TAMAT Serat Sastrajendra | 35 BIODATA PENULIS Bambang Khusen Al Marie atau B.K. Al Marie, adalah seorang blogger yang mengkhususkan diri menulis terjemahan dan tafsir serat-serat Jawa klasik. Penulis yang lahir pada 22 Mei 1971 ini merupakan alumnus Universitas Islam Indonesia Jurusan Teknik Sipil. Lulus di tahun 1997 bersamaan dengan datangnya krisis moneter membuat penulis kesulitan mendapat pekerjaan. Untuk bertahan hidup penulis membuka bengkel pertukangan kayu. Usaha bengkel pertukangan kayu tersebut bertahan sampai sekarang dan menjadi sumber pokok penghasilan penulis. Di sela-sela kesibukan sebagai tukang kayu penulis menekuni hobi membaca serat-serat Jawa klasik. Berbagai karya pujangga dari Surakarta penulis telaah, antara lain karyakarya KGPAA Mangkunagara IV, Raden Ngabehi Yasadipura I & II serta karya-karya Raden Ngabei Ranggawarsita. Penulis kemudian menuangkan dalam bentuk blog agar hasil telaah dapat dinikmati oleh banyak orang. Kini kumpulan tulisan dalam blog tersebut ditampilkan dalam bentuk buku. Buku yang telah terbit adalah: 1. Kajian Serat Wedatama yang diterbikan Penerbit Kanaka Media, 2021, Surabaya. 2. Babad Giyanti Jilid 1-3, Penerbit Kanaka Media, 2023, Surabaya. 3. Babad Tanah Jawi Jilid 1-4, 2023, Penerbit KBM Indonesia, Yogyakarta.