KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT PENGEMBANGAN PENYEHATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN STUDI PENDAHULUAN KEGIATAN KPBU BIDANG PERSAMPAHAN Edisi 2018 1 TPA MANGGAR Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan TImur 2 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb., Salam sejahtera untuk kita semua, Pemenuhan layanan sanitasi merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, salah satu prioritas Pemerintah dalam RPJMN 2015-2019 adalah tercapainya 100% pelayanan sanitasi pada tingkat kebutuhan dasar, sedangkan target Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 adalah memastikan ketersediaan dan pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan. Seiring pertambahan jumlah penduduk, kebutuhan akan infrastruktur pengelolaan sampah semakin meningkat. Namun dalam upaya mencapai target tersebut, ketersediaan APBN/APBD sangat terbatas. Pemerintah Daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memiliki kewenangan pada pendanaan dan pengelolaan pengembangan infrastruktur persampahan. Oleh karena itu, saat ini Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah didorong untuk melibatkan sektor swasta dalam pengembangan infrastruktur pengelolaan persampahan melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dengan tujuan untuk mengatasi keterbatasan dana APBN/APBD, serta memanfaatkan keahlian dan pengalaman yang dimiliki badan usaha dalam penyediaan infrastruktur pengelolaan persampahan. Upaya melibatkan sektor swasta diharapkan mampu memberikan nilai manfaat uang (value for money) yang optimal serta pelayanan prima bagi masyarakat. Kunci penilaian nilai manfaat uang yang akan diterima dengan menggunakan skema KPBU terletak pada tahap perencanaan. Tahap perencanaan ini menjadi sangat krusial karena akan menjadi penentu apakah suatu proyek layak dan dapat memberikan nilai lebih (added value) apabila dilaksanakan dengan skema KPBU. Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPLP), Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian PUPR, memiliki fungsi penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang persampahan, berinisiatif untuk menyusun Petunjuk Teknis Penyusunan Laporan Studi Pendahuluan Kegiatan KPBU Bidang Persampahan. Dengan adanya Petunjuk Teknis ini diharapkan Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) mampu untuk menyiapkan dokumen Studi Pendahuluan yang berkualitas untuk dapat ditindaklanjuti pada tahap persiapan sampai dengan transaksi. Ir. Dodi Krispratmadi, M.Env.E Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPLP) 3 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR ISTILAH LATAR BELAKANG TUJUAN DAN SASARAN PETUNJUK TEKNIS LINGKUP PETUNJUK TEKNIS SISTEMATIKA PENULISAN PETUNJUK TEKNIS 4 6 8 13 14 15 16 BUKU A: TAHAP PERENCANAAN KPBU PERSAMPAHAN BAB 1 KPBU BIDANG PERSAMPAHAN 1.1 PERATURAN PERUNDANGAN MENGENAI PENGELOLAAN PERSAMPAHAN 1.2 PEMBAGIAN KEWENANGAN PENGELOLAAN SAMPAH 1.3 KPBU PADA SEKTOR PERSAMPAHAN 1.4 TAHAPAN PELAKSANAAN KPBU BIDANG PERSAMPAHAN 1.5 PEMANGKU KEPENTINGAN KPBU BIDANG PERSAMPAHAN 19 BAB 2 TAHAPAN PERENCANAAN KEGIATAN KPBU BIDANG PERSAMPAHAN 2.1 TUJUAN TAHAP PERENCANAAN KPBU 2.2 TAHAP PERENCANAAN KPBU BIDANG PERSAMPAHAN MEKANISME STUDI PENDAHULUAN 43 44 44 20 26 29 33 37 BUKU B: PENYUSUNAN STUDI PENDAHULUAN KPBU PERSAMPAHAN BAB 1 KAJIAN KEBUTUHAN (NEED ANALYSIS) 1.1 DESKRIPSI KAJIAN KEBUTUHAN 1.2 INPUT DATA YANG DIPERLUKAN 1.3 LANGKAH PELAKSANANAAN KAJIAN KEBUTUHAN 1.4 KELUARAN KAJIAN KEBUTUHAN 4 59 60 60 61 69 BAB 2 KRITERIA KEPATUHAN (COMPLIANCE CRITERIA) 2.1 DESKRIPSI KRITERIA KEPATUHAN 2.2 INPUT DATA YANG DIPERLUKAN 2.3 LANGKAH PELAKSANAAN KAJIAN KRITERIA KEPATUHAN 2.4 KELUARAN KAJIAN KRITERIA KEPATUHAN 71 72 72 73 82 BAB 3 PENILAIAN NILAI MANFAAT UANG (VALUE FOR MONEY) 3.1 DEKSRIPSI PENILAIAN NILAI MANFAAT UANG 3.2 INPUT DATA DALAM ANALISIS NILAI MANFAAT UANG 3.3 LANGKAH PELAKSANAAN ANALISIS NILAI MANFAAT UANG 3.4 KELUARAN NILAI MANFAAT UANG 83 84 85 86 89 BAB 4 ANALISIS POTENSI PENDAPATAN DAN SKEMA PEMBIAYAAN PROYEK 4.1 DESKRIPSI ANALISIS POTENSI PENDAPATAN DAN SKEMA PEMBIAYAAN PROYEK 4.2 INPUT DATA DALAM ANALISIS POTENSI PENDAPATAN DAN SKEMA PEMBIAYAAN PROYEK 4.3 LANGKAH PELAKSANAAN ANALISIS POTENSI PENDAPATAN DAN SKEMA PEMBIAYAAN PROYEK 4.4 KELUARAN ANALISIS POTENSI PENDAPATAN DAN SKEMA PEMBIAYAAN PROYEK 91 92 92 93 103 BAB 5 REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT 5.1 DEKSRIPSI REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT 5.2 INPUT DATA YANG DIPERLUKAN 5.3 LANGKAH PELAKSANANAN ANALISIS REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT 5.4 KELUARAN REKOMENDASI DAN TINDAK LANJUT 107 108 108 LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 2 116 123 108 113 5 DAFTAR GAMBAR BUKU A: Tahap Perencanaan KPBU Persampahan Gambar 1.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah 20 Gambar 1.2 Skema Penanganan Sampah 22 Gambar 1.3 Muatan dalam Jakstranas Pengelolaan Persampahan 24 Gambar 1.4 Rencana Sistem Pengelolaan Sampah Mendatang 25 Hingga 2025 Gambar 1.5 Jenis Infrastruktur yang Dapat Dilakukan dengan 30 Skema KPBU Gambar 1.6 Lingkup Pelaksanaan KPBU di Bidang Persampahan 31 Gambar 1.7 Tahapan Pelaksanaan KPBU Bidang Persampahan 36 Gambar 1.8 Pembagian Peran dalam Pengelolaan Persampahan 41 Gambar 2.1 Tahapan Perencanaan KPBU Bidang Persampahan 45 Gambar 2.2 Perencanaan dan Penganggaran Proyek KPBU 46 Gambar 2.3 Proses Identifikasi Proyek KPBU Prakarsa oleh Pemerintah 48 Pusat Gambar 2.4 Proses Identifikasi dan Penetapan Proyek KPBU Prakarsa 49 oleh Pemerintah Daerah BUKU B: Penyusunan Studi Pendahuluan KPBU Persampahan Gambar 1. Gambaran Besar Substansi dalam Penyusunan Studi Pendahuluan 58 Gambar 1.1 Perkiraan Biaya Investasi Teknologi Pengolahan Sampah 67 Gambar 1.2 Strategi Pengembangan Sistem Pengelolaan Sampah 68 Gambar 4.1 Contoh Aliran Pendapatan yang Berasal Dari 96 Penjualan Listrik Gambar 5.1 Alternatif Skema KPBU 6 108 DAFTAR TABEL BUKU A: Tahap Perencanaan KPBU Persampahan 26 Tabel 1.1 Pembagian Kewenangan Pengelolaan Persampahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 28 Tabel 1.2 Badan/Lembaga Pengelolaan Persampahan Tabel 1.3 Pemangku Kepentingan dan Perannya Dalam Pelaksanaan KPBU 37 Bidang Persampahan 46 Tabel 2.1 Kebutuhan Anggaran pada Setiap Tahap KPBU BUKU B: Penyusunan Studi Pendahuluan KPBU Persampahan Tabel 1.1 Input Data untuk Kajian Kebutuhan 60 Tabel 1.2 Rerata Pertambahan Umur TPA Berdasarkan Jenis Teknologi 66 Tabel 2.1 Input Data untuk Kajian Kriteria Kepatuhan 72 Tabel 2.2 Tugas Kepala Daerah Berdasarkan Kebijakan Strategi Daerah 81 Tabel 3.1 Contoh Penilaian Nilai Manfaat Uang Secara Kualitatif 88 Tabel 4.1 Input Data untuk Analisis Potensi Pendapatan dan Skema 92 Pembiayaan Proyek Tabel 4.2 Output dari Masing-masing Teknologi 95 Tabel 5.1 Durasi Kegiatan dalam Tahapan KPBU 114 7 DAFTAR ISTILAH 8 Badan Usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), badan usaha swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas, badan hukum asing, atau koperasi. Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappenas BUMD Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BUMD Badan Usaha Milik Daerah BOT Build – Operate - Transfer BUP Badan Usaha Pelaksana (Project Company) BUMN Badan Usaha Milik Negara (BUMN) DSCR Debt Service Coverage Ratio (DSCR) adalah tingkat kemampuan pemilik modal dalam membayar seluruh kewajiban pinjaman yang akan jatuh tempo pada tahun berjalan Dukungan Pemerintah Kontribusi fiskal dan/atau bentuk lainnya yang diberikan oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dan/atau Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara sesuai kewenangan masingmasing berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam rangka meningkatkan kelayakan finansial dan efektivitas KPBU. EIRR Economic Internal Rate of Return (EIRR) adalah tingkat imbal hasil ekonomi proyek yang dilakukan dengan membandingkan manfaat ekonomi-sosial dan biaya ekonomi proyek ENPV Economic Net Present Value (ENPV) adalah adalah tingkat imbal hasil ekonomi yang dihitung dengan membandingkan besaran hasil kuantifikasi manfaat ekonomi-sosial yang diterima oleh masyarakat dan pemerintah dari proyek terhadap biaya ekonomi proyek. FIRR Financial Internal Rate of Return (FIRR) adalah tingkat imbal hasil keuangan proyek yang dilakukan dengan membandingkan pendapatan dan biaya proyek dengan mempertimbangkan besarnya faktor nilai uang di masa depan FNPV Financial Net Present Value (FNPV) adalah nilai saat ini dari selisih antara pendapatan dan biaya selama jangka waktu proyek pada tingkat diskonto keuangan tertentu IIGF (PT) Indonesia Infrastructure Guarantee Fund atau yang juga dikenal dengan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, yang merupakan Badan Penjaminan Infrastruktur Jaminan Pemerintah Kompensasi finansial yang diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan dan kekayaan negara kepada Badan Usaha Pelaksana melalui skema pembagian risiko untuk proyek kerjasama Konsesi Pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah, perusahaan, individu, atau entitas legal lain. KPPIP Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2014 sebagai bukti keseriusan Pemerintah dalam memastikan realisasi dari proyek infrastruktur prioritas yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dapat terbangun tepat pada waktunya. KPBU Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha KPS KSP KSPI Kerjasama Pemerintah dan Swasta Kerjasama Pemanfaatan Aset (milik Pemerintah) Kerjasama Penyediaan Infrastruktur Konsultasi Publik Proses interaksi antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/direksi BUMN/direksi BUMD dengan masyarakat termasuk pemangku kepentingan untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, akuntabilitas dan efektivitas KPBU. Market Sounding Proses interaksi untuk mengetahui masukan maupun minat calon investor, perbankan, dan asuransi atas KPBU (KSPI) yang akan dikerjasamakan. Prastudi Kelayakan Kajian yang dilakukan untuk menilai kelayakan KPBU dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya aspek hukum, teknis, ekonomi, keuangan, pengelolaan risiko, lingkungan, dan sosial sebagaimana diatur dalam Permen Bappenas Nomor 4 Tahun 2015 PJPK Penanggung Jawab Proyek Kerjasama yang dapat merupakan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dalam rangka pelaksanaan KPBU PPP Public Private Partnership ROE Return On Equity (ROE) adalah tingkat besaran imbal hasil yang diperoleh atas ekuitas yang diinvestasikan pada KPBU 9 DAFTAR ISTILAH ROT Rehabilitate-Operate-Transfer Simpul KPBU Merupakan kelembagaan yang dibentuk oleh Menteri/ Kepala Daerah/Kepala Lembaga/Kepala Daerah yang bertugas melaksanakan perumusan kebijakan, sinkronisasi dan koordinasi, dan pengawasan serta evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan KPBU. SMI PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) Studi Kelayakan Kajian yang dilakukan oleh Badan Usaha calon pemrakarsa untuk KPBU atas mekanisme prakarsa Badan Usaha dalam rangka penyempurnaan Prastudi Kelayakan (Feasibility Study) 10 Tim KPBU Tim yang dibentuk oleh PJPK untuk membantu pengelolaan KPBU pada tahap penyiapan dan tahap transaksi KPBU khususnya setelah penetapan Badan Usaha Pelaksana hingga diperolehnya pemenuhan pembiayaan (financial close), serta berkoordinasi dengan Simpul KPBU dalam pelaksanaanya. TPA Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) TPST Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Value for Money Nilai Manfaat Uang (Value for Money) adalah pengukuran kinerja suatu KPBU berdasarkan nilai ekonomi, efisiensi, dan efektivitas pengeluaran serta kualitas pelayanan yang memenuhi kebutuhan masyarakat WACC Weighted Average Cost of Capital (WACC) adalah penentuan tingkat biaya modal optimal dengan menghitung rata-rata modal tertimbang dengan memperhatikan faktor nilai uang masa kini dan masa depan. TPA JATIBARANG Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah 11 PENDAHULUAN Pendahuluan ini menjelaskan mengenai latar belakang, tujuan dan sasaran, ruang lingkup, dan sistematika penulisan Petunjuk Teknis. 12 PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Sistem pengelolaan sampah di Indonesia telah mengacu pada UndangUndang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengatur penyelenggaraan pengelolaan sampah yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Undang-undang ini mengubah paradigma lama (kumpulangkut-buang) menjadi paradigma baru dalam pengelolaan sampah yaitu dari mulai pencegahan timbulnya sampah pada saat proses produksi, mengurangi timbulan sampah pada setiap kegiatan dan mengelola sampah secara ramah lingkungan dan berkelanjutan. Sebagai salah satu bentuk implementasinya adalah penimbunan sampah secara terbuka (open dumping) dilarang mulai tahun 2013, sudah harus ditutup dan dilanjutkan dengan cara penimbunan saniter yang tidak menimbulkan dampak pencemaran terhadap lingkungan. Penataan dan Penutupan TPA Regional Sarbagita, Provinsi Bali Pengelolaan sampah secara konvensional, yakni dengan cara ditimbun di TPA pada prakteknya menimbulkan beberapa permasalahan seperti: (a) Kebutuhan lahan TPA yang cepat meningkat akibat tidak dilakukannya proses reduksi volume sampah secara efektif, (b) Berbagai permasalahan lingkungan dan 13 PENDAHULUAN kesehatan apabila tidak dikelola sesuai dengan standar emisi, mulai dari yang teringan seperti bau busuk hingga potensi sebaran penyakit di daerah sekitar TPA, (c) penanganan gas methan (CH4) yang langsung dibuang ke atmosfer memberikan dampak buruk ke atmosfer berupa polusi gas-gas rumah kaca dan gas beracun lainnya; di sisi lain hal tersebut merupakan pemborosan energi yang seharusnya bisa dimanfaatkan. Pelaksanaan pelayanan pengelolaan persampahan dan pembangunan prasarana dan sarana persampahan merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota sesuai amanah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tetapi oleh karena perkembangan tata ruang dan permukiman khususnya di daerah perkotaan, menyebabkan pembangunan prasarana dan sarana pengelolaan sampah tidak cukup ditangani dengan kemampuan dan kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang terbatas, sehingga membutuhkan campur tangan pemerintah pusat dan atau provinsi terutama dikaitkan dengan penyediaan TPA lintas kabupaten/kota (regional). Di sisi lain Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki keterbatasan sumber daya manusia, teknologi dan pendanaan untuk menyelesaikan permasalahan persampahan. Oleh karena itu, kontribusi dan investasi pihak swasta dalam skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) sangat diharapkan dalam pembangunan sistem pengelolaan sampah di kabupaten/Kota maupun regional. Langkah awal untuk memastikan sistem proyek pengolahan sampah agar dapat dilakukan dengan skema KPBU adalah dengan melakukan studi pendahuluan. Studi pendahuluan disusun untuk melihat sejauh mana Proyek Pengelolaan Persampahan layak secara hukum, teknis, finansial, dan lingkungan untuk dibangun dan dikelola. Agar Pemerintah Kabupaten/Kota dapat merencanakan dan mengajukan proyek pengelolaan persampahan dengan skema KPBU melalui Studi Pendahuluan maka perlu disusun Petunjuk Teknis Penyusunan Dokumen Studi Pendahuluan Kegiatan KPBU Bidang Persampahan sebagai bahan acuan dan panduan. TUJUAN DAN SASARAN PETUNJUK TEKNIS Petunjuk Teknis Penyusunan Dokumen Studi Pendahuluan dalam pelaksanaan Kegiatan KPBU bidang persampahan ini dimaksudkan sebagai salah satu referensi bagi Unit organisasi di lingkungan Kementerian PUPR khususnya Direktorat Jenderal Cipta Karya, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota, serta umumnya bagi para pemangku kepentingan dalam rangka akselerasi perencanaan Kegiatan KPBU bidang persampahan. 14 Tujuan dari Petunjuk Teknis Penyusunan Dokumen Studi Pendahuluan adalah untuk memberikan gambaran mengenai ketentuan, prosedur dan mekanisme, serta isi substansi dokumen Studi Pendahuluan. Disamping itu, penyusunan Petunjuk Teknis Studi Pendahuluan ini bertujuan untuk meningkatkan kesiapan dan kompetensi setiap PJPK agar dapat menyiapkan dokumen Studi Pendahuluan dengan baik sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Tentunya tahap perencanaan ini menjadi tahapan yang sangat krusial bagi pengambilan keputusan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan kegiatan KPBU. Pengambilan keputusan ini harus didasarkan pada data dan informasi yang akurat. Studi Pendahuluan merupakan salah satu alat dan data serta informasi secara sistematis yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan tersebut. Keputusan yang dapat diambil dalam tahap perencanaan adalah apakah rencana proyek tidak dilanjutkan, dilanjutkan dengan skema pengadaan barang dan jasa konvensional (APBN/APBD), dilanjutkan dengan skema B to B (Business to Business) atau dilanjutkan dengan skema KPBU. Tentu pilihan dengan skema KPBU dapat diambil, apabila pada tahap perencanaan, rencana KPBU persampahan memiliki kelayakan dan nilai manfaat uang (Value for Money) yang optimal berdasarkan Studi Pendahuluan yang telah disusun. LINGKUP PETUNJUK TEKNIS Lingkup pembahasan Petunjuk Teknis Penyusunan Studi Pendahuluan Kegiatan KPBU Bidang Persampahan ini membahas: 1. Pelaksanaan kegiatan dalam Tahap Perencanaan KPBU yang terdiri dari : 1 2 Penyusunan Rencana Anggaran Dana KPBU 4 3 Konsultasi Publik Penganggaran Dana Tahap Perencanaan Penetapan KPBU 5 Pengambilan Keputusan Lanjut / Tidak Lanjut Rencana Proyek Persampahan Dengan Menggunakan Skema KPBU Rp 6 Pengajuan Usulan Proyek KPBU Untuk Dimasukkan Dalam Daftar Rencana KPBU 15 PENDAHULUAN 2. Pelaksanaan Penyusunan Dokumen Studi Pendahuluan yang meliputi isi substansi kajian mengenai: 1 2 1 Analisis na isis Kebutuhan Ke utu an (Need Analysis) Analysis A l b Kriteria Kepatuhan Kepatu an (Compliance Criteria) Criteria h ) 2 3 4 3 5 Kriteria Faktor Penentu Analisis Rekomendasi n lisis Potensi P tens Rek men si & Nilai Manfaat Uang Rencana Tindak Pendapatan Tin a Pen apatan & Skema S ema (Value for or Money) Kriteria Faktor Penentu Lanjut Pembiayaan Proyek Proye Lan ut Partisipasi Badan Ba an Usaha Usa A a h ) Nilai Manfaat Uang f d ha d 4 o k SISTEMATIKA PENULISAN PETUNJUK TEKNIS Sistematika Petunjuk Teknis Penyusunan Studi Pendahuluan Kegiatan KPBU Bidang Persampahan ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian besar yakni: 1. Buku A: Tahapan Perencanaan Kegiatan KPBU Bidang Persampahan, yang menjelaskan peraturan perundangan terkait kegiatan KPBU bidang persampahan, pembagian kewenangan, pengertian KPBU, dan tahapan KPBU bidang persampahan. Dengan membaca bagian ini, Pengguna Petunjuk Teknis diharapkan dapat memahami tahapan KPBU secara garis besar serta memahami hal-hal yang perlu dilaksanakan pada tahap perencanaan. 2. Buku B: Penyusunan Studi Pendahuluan Kegiatan KPBU Bidang Persampahan, yang menjelaskan tahapan penyusunan bagian-bagian yang ada dalam Studi Pendahuluan yang mencakup: a.) kajian kebutuhan (need analysis); b.) kriteria kepatuhan (compliance criteria); c.) kajian nilai manfaat uang (Value for Money); d.) analisis potensi pendapatan dan skema pembiayaan; dan e.) rekomendasi dan tindak lanjut. Dengan membaca bagian ini, Pengguna Petunjuk Teknis diharapkan dapat memahami dan dapat menyusun Studi Pendahuluan bidang persampahan dengan baik. 16 i o k A TAHAPAN PERENCANAAN KEGIATAN KPBU BIDANG PERSAMPAHAN 17 TPA BENOWO Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur 18 BAB I KPBU BIDANG PERSAMPAHAN 19 BAB I | KPBU KPBUBidang Bidang Persampahan Persampahan 1.1 PERATURAN PERUNDANGAN MENGENAI PENGELOLAAN PERSAMPAHAN Dalam pengembangan pengelolaan sampah, ada beberapa peraturan perundangan yang perlu diperhatikan meliputi : 1. UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah – Undang-Undang pengelolaan sampah nasional pertama Indonesia yang komprehensif, yang membangun prinsip-prinsip layanan pengelolaan sampah pada bagi masyarakat, menyediakan mekanisme insentif dan disinsentif, mendefinisikan pembagian tanggung jawab pengelolaan sampah pada berbagai tingkat pemerintahan, memfasilitasi sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan partisipasi sektor swasta dalam pengelolaan limbah padat/ Solid Waste Management (SWM) dan menerapkan mekanisme sanksi bagi pihak yang tidak patuh. Pada Undang-Undang ini juga telah mengatur tugas dan wewenang Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Adapun kebijakan pengelolaan sampah dari produsen hingga ke TPA dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut. Gambar 1.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah Sumber: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang diolah kembali. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga – Fokus pada upaya pelestarian lingkungan melalui pengelolaan sampah sebagai sumber daya. Pada Peraturan Pemerintah tersebut meliputi pengaturan tentang kebijakan dan 20 strategi pengelolaan sampah, penyelenggaraan pengelolaan sampah, kompensasi, pengembangan dan penerapan teknologi, sistem informasi, peran masyarakat, dan pembinaan. Peraturan tersebut memungkinkan penetapan target pengurangan sampah, dengan menekankan pentingnya pemilahan sampah di sumber asal, serta mendorong pelaksanaan daur ulang dan pemanfaatan kembali bahan-bahan daur ulang. Pada Peraturan Pemerintah ini mengatur 2 (dua) kelompok utama pengelolaan sampah, yaitu: a. Pengurangan sampah, yang terdiri dari pembatasan terjadinya sampah, guna ulang dan daur-ulang b. Penanganan sampah, yang terdiri dari: PEMILAHAN Pengelompokan & pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau karakteristik sampah. PENGUMPULAN PENGANGKUTAN PENGOLAHAN PEMROSESAN AKHIR SAMPAH Pengambilan & pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau temoat pengolahan sampah terpadu. Membawa sampah dari sumber ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir. Pengembalian sampah dan/ atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan. Mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah. Pola penanganan sampah berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 dari sumber sampah hingga pemrosesan akhir dapat dilihat pada Gambar 1.2 berikut. 21 BAB I | KPBU KPBUBidang Bidang Persampahan Persampahan Gambar 1.2 Skema Penanganan Sampah Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga, yang diolah kembali. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 juga mengatur keterkaitan Badan Usaha dalam pelaksanaan pengelolaan persampahan, mulai dari kegiatan pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Pengaturan tersebut terletak pada pasal 26 yang menyatakan bahwa dalam melakukan kegiatan pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah, pemerintah kabupaten/kota dapat bermitra dengan badan usaha. 3. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga – Memuat: a. Arah kebijakan pengurangan dan penanganan Sampah Rumat Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga; dan b. Strategi, program, dan target pengurangan dan penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Pada Peraturan Presiden ini diatur arah kebijakan peningkatan kinerja di bidang: a. Pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga; dan b. Penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah 22 tangga. Lebih lanjut, dalam pelaksanaan pengurangan sampah dilakukan melalui: a. Pembatasan timbulan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga; b. Pendauran ulang sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga; dan/atau c. Pemanfaatan kembali sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Sedangkan untuk penanganan sampah dilakukan melalui: a. Pemilahan; b. Pengumpulan; c. Pengangkutan; d. Pengolahan; dan e. Pemrosesan akhir sampah. Pada Peraturan Presiden ini juga mengamanatkan agar pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk menyusun Kebijakan Strategis Daerah (Jakstrada) dalam pengelolaan persampahan. Adapun secara garis besar muatan dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Persampahan dapat dilihat pada Gambar 1.3 berikut. 23 BAB I | KPBU KPBUBidang Bidang Persampahan Persampahan Gambar 1.3 Muatan dalam Jakstranas Pengelolaan Persampahan Sumber: Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga, yang diolah kembali. Target yang ditetapkan dalam Jakstranas adalah: a. Pengurangan sampah sebesar 30% (tiga puluh persen) dari angka timbulan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sebelum adanya Jakstranas pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga di tahun 2025 b. Penanganan sampah sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari angka timbulan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sebelum adanya Jakstranas pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga di tahun 2025. 4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan 24 Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga – difokuskan pada perencanaan secara menyeluruh di tingkat regional dan lokal, mencakup perencanaan umum pengelolaan sampah, standar desain infrastruktur TPA, penyediaan fasilitas pengolahan/pemrosesan sampah dan penutupan/rehabilitasi TPA. Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai acuan bagi Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah Kabupaten/ Kota, dan orang yang berkepentingan dalam penyelenggaraan pengelolaan persampahan. Lingkup muatan yang dibahas dalam Peraturan Menteri ini mencakup perencanaan umum, penanganan sampah, penyediaan fasilitas pengolahan dan pemrosesan akhir sampah, dan penutupan/rehabilitasi TPA. Secara garis besar, rencana sistem pengelolaan persampahan dari sumber sampah hingga TPA berdasarkan Peraturan Menteri tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.4 berikut. TPS 3R : Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle Berbasis Mayarakat TPST : Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Berbasis Masyarakat Gambar 1.4 Rencana Sistem Pengelolaan Sampah Mendatang Hingga 2025 Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, yang diolah kembali. Pada Peraturan Menteri Nomor 03/PRT/M/2013 juga mengatur terkait keterkaitan Badan Usaha dalam penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan (PSP). Pengaturan tersebut tepatnya terletak pada pasal 76 tentang Peran Swasta yang menyatakan bahwa pemerintah kabupaten/kota secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat bermitra dengan swasta/badan usaha dalam penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan. Kemitraan tersebut dapat dilakukan pada tahap pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. 25 BAB I | 1.2 KPBU Bidang Persampahan PEMBAGIAN KEWENANGAN PENGELOLAAN SAMPAH Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2008 dan PP Nomor 81 Tahun 2012, pengelolaan sampah perkotaan, termasuk pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Namun demikian, kegiatan pengelolaan sampah perkotaan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah diatur oleh Pemerintah Pusat. Berkenaan dengan kegiatan pengelolaan sampah dan TPA, pembagian kewenangan pengelolaan sampah dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut. CATATAN : Berdasarkan pasal 12 dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang didalamnya terdapat subbidang Persampahan, termasuk dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Lebih lanjut pada pasal 18 dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Sehingga penyelenggaraan pengelolaan persampahan merupakan salah satu prioritas Pemerintah Daerah. TABEL 1.1 Pembagian Kewenangan Pengelolaan Persampahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pemangku Kepentingan Pemerintah Pusat Pembagian Kewenangan • • Penetapan pengembangan sistem pengelolaan sanitasi secara nasional. Pengembangan sistem pengelolaan sanitasi Lintas Daerah Provinsi dan sistem pengelolaan sanitasi untuk kepentingan Strategis Nasional Pemerintah Provinsi Pengembangan sistem dan pengelolaan sanitasi Regional. Kabupaten/Kota Pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan dalam Daerah kabupaten/kota. Lebih lanjut, menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah merupakan penyelenggara urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan 26 prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah adalah penyediaan sarana dan prasarana umum, termasuk infrastruktur pengelolaan sampah. CATATAN : Pada umumnya dalam pelaksanaan proyek KPBU, Pemerintah Daerah berperan sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Apabila skala proyek infrastruktur pengelolaan sampah di tingkat kabupaten/ kota, maka umumnya PJPK pada proyek KPBU adalah Bupati/Walikota. Namun apabila infrastruktur pengelolaan sampah regional, maka umumnya PJPK pada proyek KPBU adalah Gubernur. Sehingga terkait dengan pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan, secara spesifik, tugas Pemerintah Daerah mencakup : • Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah; • Melakukan penelitian, pengembangan tehnologi pengurangan dan penanganan sampah; • Memfasilitasi, mengembangkan dan melaksanakan upaya pengurangan penanganan dan pemanfaatan sampah; • Melaksanakan pengelolaan persampahan dan menfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah; • Memfasilitasi penerapan tehnologi spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah; • Mendorong dan menfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengelolaan persampahan; dan • Melakukan koordinasi antar lembaga pemerintah, masyarakat dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan persampahan. Peraturan pokok yang mengatur metode/badan pengelolaan sampah di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga. Pasal 22 ayat (2) dari PP ini mewajibkan pengelolaan sampah oleh Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membentuk lembaga khusus yang mengelola seluruh sistem pengelolaan sampah, termasuk TPA. Adapun lembaga-lembaga tersebut tercantum pada Tabel 1.2 berikut. 27 BAB I | KPBU Bidang Persampahan TABEL 1.2 Badan/Lembaga Pengelolaan Persampahan Badan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Acuan Hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan dan Klasifikasi Cabang Dinas dan Unit Pelayanan Terkait Daerah Struktur Dinas Lingkungan Hidup mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang pengelolaan dan perlindungan lingkungan di daerah. Salah satu bidang dalam Dinas Lingkungan Hidup ini sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 74 Tahun 2016 adalah Bidang Pengelolaan Sampah dan B3. Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan dan Klasifikasi Cabang Dinas dan Unit Pelayanan Terkait Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD. Unit Pelaksana Teknis didirikan untuk melaksanakan kegiatan teknis, operasional, dan pendukung bagi layanan pengelolaan sampah. Sebuah UPTD dengan PPK Berbentuk Badan Layanan Umum Daerah yang biasa digunakan untuk mengelola fasilitas TPA berukuran besar di tingkat regional. Suatu BLUD dapat bekerja sama dengan pihak ketiga (perusahaan swasta) dalam operasi pelayanan. UPTD dengan PPK berbentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) 28 Contoh Ini adalah bentuk paling umum dari lembaga pengelolaan sampah di Indonesia, dan terdapat di semua provinsi. Dalam melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/ atau kegiatan teknis penunjang lain, Dinas Lingkungan Hidup dapat membentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah (UPTD). UPTD Pengelolaan Sampah, atau UPTD TPA/TPS di daerah. Belum terbentuk. Badan Perusahaan Daerah (PD), Perusahaan Umum Daerah (PUD), Perusahaan Perseroaan Daerah (PPD) Acuan Hukum UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Struktur Perusahaan milik Pemerintah Daerah atau perseroan terbatas lokal, yang terlibat dalam mengelola TPA dan memberikan layanan pengelolaan sampah di tingkat kotamadya/kota. 1.3 KPBU PADA SEKTOR PERSAMPAHAN 1.3.1 Pengertian KPBU Contoh PD Kebersihan di Kota Bandung, PD Kebersihan di Kota Balikpapan, PD Kebersihan di Kota Makassar dan PD Jaya di Jakarta. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) adalah kerjasama antara pemerintah daerah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum, dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Kepala Daerah selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK), yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha. Pihak yang berkontrak dengan Badan Usaha sehubungan dengan KPBU ini disebut dengan Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK). PJPK adalah Kepala Daerah atau Badan Usaha Milik Daerah sebagai penyedia atau penyelenggara infrastruktur berdasarkan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan Penyediaan Infrastruktur adalah kegiatan yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur dan/atau kegiatan pengelolaan infrastruktur dan/atau pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. Namun berbeda dengan pengadaan barang melalui APBD, KPBU tidak hanya sekedar pengadaan fasilitas infrastruktur namun berfokus pada kuantitas dan kualitas layanan publik yang disediakan selama berlangsungnya pengoperasian fasilitas infrastruktur tersebut berdasarkan perjanjian KPBU. Kunci dari efisiensi dan efektivitas tersebut di atas adalah alokasi risiko yang optimal antara Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha. Untuk mencapai hal itu, risiko-risiko infrastruktur harus dialokasikan pada pihak yang paling mampu memitigasi, mengendalikan atau pun menyerap risiko-risiko tersebut. Sebagai contoh, risiko konstruksi dialokasikan pada Badan Usaha, namun risiko perubahan regulasi dialokasikan pada Pemerintah Daerah. 29 BAB I | 1.3.2 KPBU Bidang Persampahan Lingkup KPBU Sektor Persampahan Dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, ada 19 jenis infrastruktur yang dapat dilakukan dengan skema KPBU (lihat Gambar 1.5) antara lain: Olahraga & Kesenian * Fasilitas Perkotaan * Kesenian Kawasan * * Pariwisata Telekomunikasi & Informasi * Konservasi Energi * Sarana & Prasarana Jalan * Persampahan * Transportasi * * Perumahan Rakyat Ketenagalistrikan * Pendidikan Lembaga Permasyarakatan Sumber Daya Air & Irigasi * Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat * Air Minum Minyak & Gas Bumi & Energi Terbarukan *) PJPK pada proyek KPBU tersebut adalah Pemerintah Daerah. Gambar 1.5 Jenis Infrastruktur yang Dapat Dilakukan dengan Skema KPBU Sumber: PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, 2018 Maka dapat diketahui, bahwa infrastruktur sistem pengelolaan persampahan merupakan salah satu infrastruktur yang dapat dilakukan dengan skema KPBU. Lebih lanjut, berdasarkan Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, cakupan infrastruktur pengelolaan persampahan terdiri dari pengangkutan, pengolahan, dan/atau pemrosesan akhir sampah. Lingkup ini sejalan dengan Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Cakupan infrastruktur pengelolaan persampahan yang masuk ke dalam lingkup KPBU dapat dilihat pada Gambar 1.6 berikut. Pada praktiknya, pihak badan usaha/swasta cenderung lebih tertarik dalam berinvestasi di cakupan pengolahan dan pemrosesan akhir, dikarenakan badan usaha/swasta cenderung menghindari risiko yang mungkin terjadi pada fase pengumpulan dan pengangkutan sampah. 30 Gambar 1.6 Lingkup Pelaksanaan KPBU di Bidang Persampahan 1.3.3 Kerangka Regulasi KPBU Sektor Persampahan Proses KPBU di Indonesia secara umum mengikuti proses KPBU seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Adapun kerangka regulasi terkait KPBU sektor persampahan yang perlu diperhatikan antara lain: Peraturan Sektor Persampahan yang diatur oleh: 1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan; 4. Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga; 31 BAB I | KPBU Bidang Persampahan 5. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga; 6. Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan; 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Tentang Retribusi Jasa Umum; 8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Tentang Pengelolaan Sampah; 9. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir; 10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga; 11. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012 tentang Kegiatan yang Wajib Memiliki AMDAL; 12. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan AMDAL; 13. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga; 14. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 74 Tahun 2016 tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota yang Melaksanakan Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan; 15. Peraturan Bupati/Walikota Tentang Petunjuk Pelaksanaan Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan Dan Retribusi Penyediaan Dan/Atau Penyedotan Kakus Di Kabupaten/Kota dan perubahannya. 16. Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Daerah. 17. Kebijakan Strategis Daerah dalam Pengelolaan Persampahan. Peraturan pelaksanaan KPBU di bidang persampahan: 1. Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur; 2. Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur; 3. Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; dan 4. Peraturan LKPP Nomor 29 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengadaan Badan Usaha Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Atas Prakarsa Menteri/ Kepala Lembaga/Kepala Daerah. 32 1.4 TAHAPAN PELAKSANAAN KPBU BIDANG PERSAMPAHAN Tahapan pelaksanaan KPBU dimulai dari fase perencanaan hingga akhir kontrak kerjasama antara PJPK dengan Badan Usaha Pelaksana. Fase perencanaan meliputi pembuatan studi pendahuluan yang memuat identifikasi proyek infrastruktur, prioritisasi proyek, uji kelayakan KPBU, konsultasi publik dan kajiankajian awal terkait pengadaan lahan dan dampak lingkungan. Fase ini dilanjutkan dengan fase penyiapan. Fase penyiapan dimulai dengan penganggaran dan pembentukan tim teknis. Selain itu PJPK dapat pula mengadakan tim konsultan (Badan Usaha Penyiapan) sebagai pendamping tim teknis (Tim KPBU) dalam menyiapkan proyek KPBU. Hasil akhir dari fase penyiapan ini adalah dokumen kajian awal pra-studi kelayakan. Berdasarkan dokumen ini PJPK dapat memilih untuk lanjut pada fase transaksi. Fase ini dimulai dengan pembentukan tim pengadaan yang dapat didampingi oleh tim konsultan pendamping transaksi. Tim ini bertugas untuk menyiapkan dokumen-dokumen untuk pengadaan Badan Usaha pemenang dan melaksanakan proses pengadaannya. Di antara dokumen-dokumen tersebut adalah Kajian Akhir pra studi Kelayakan atau Final Business Case (FBC). Badan usaha pemenang yang terpilih akan membentuk Badan Usaha Pelaksana. Badan Usaha Pelaksana ini yang menandatangani kontrak dengan PJPK untuk pelaksanaan KPBU. Dalam kontrak tersebut, Badan Usaha Pelaksana akan membiayai, melakukan konstruksi, mengoperasikan fasilitas infrastruktur serta melakukan pemeliharaan fasilitas tersebut. Aktivitas ini akan diakhiri sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerjasama. Penyerahan fasilitas infrastruktur dari Badan Usaha Pelaksana kepada PJPK dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerjasama. Tahapan pelaksanaan KPBU Sektor Persampahan mengacu pada Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Berikut tahapan KPBU bidang persampahan yang dijelaskan secara singkat. KPBU bidang persampahan diselenggarakan dengan tahapan sebagai berikut: • Tahap perencanaan; • Tahap penyiapan; • Tahap transaksi; dan • Tahap manajemen pelaksanaan Perjanjian KPBU. 33 BAB I | KPBU KPBUBidang Bidang Persampahan Persampahan Unit Organisasi menyiapkan rencana anggaran untuk penyelenggaraan setiap tahapan Pelaksanaan KPBU sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Rencana anggaran dapat bersumber dari: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pinjaman/hibah; dan/atau 2. Sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pelaksanaan KPBU yang diprakarsai oleh pemerintah pusat, Unit Organisasi yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan kebijakan teknis dan strategi keterpaduan antara pengembangan kawasan dengan Infrastruktur PUPR memberikan rekomendasi keterpaduan proyek KPBU dengan pengembangan kawasan kepada Menteri, apabila penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK) berasal dari pemerintah pusat. Lebih lanjut dalam pelaksanaan KPBU yang diprakarsai oleh pemerintah pusat, Unit Organisasi yang mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat dapat memberikan dukungan teknis kepada Menteri. Proses ini juga hampir sama dengan pelaksanaan KPBU yang diprakarsai oleh Pemerintah Daerah. Namun, dalam hal ini Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) terkait yang mengusulkan rekomendasi proyek KPBU kepada Kepala Daerah. Tahapan pelaksanaan KPBU terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut: Tahap perencanaan KPBU terdiri atas: 1. Identifikasi dan usulan penetapan KPBU; 2. Pengambilan keputusan lanjut/tidak lanjut rencana KPBU; 3. Penyusunan daftar Infrastruktur KPBU; dan 4. Pengkategorian KPBU. Tahap penyiapan KPBU terdiri atas: 1. Penyiapan Prastudi Kelayakan; 2. Konsultasi Publik dan/atau Penjajakan Minat Pasar; 3. Pengajuan Dukungan Pemerintah dan/atau Jaminan Pemerintah; dan 4. Pengajuan penetapan lokasi KPBU. Penyiapan KPBU antara lain menghasilkan: 1. Pra studi Kelayakan, yang dapat terdiri atas kajian awal Prastudi Kelayakan dan kajian akhir Prastudi Kelayakan; 2. Rencana Dukungan Pemerintah dan/atau Jaminan Pemerintah; 3. Penetapan tata cara pengembalian investasi Badan Usaha; dan 4. Pengadaan tanah untuk KPBU. 34 Tahap transaksi KPBU terdiri atas: 1. Konfirmasi Minat Pasar; 2. Penetapan lokasi KPBU; 3. Pengadaan Badan Usaha Pelaksana yang mencakup persiapan dan pelaksanaan pengadaan Badan Usaha Pelaksana; 4. Penandatanganan Perjanjian KPBU; dan 5. Pemenuhan pembiayaan (Financial Close). Tahap manajemen pelaksanaan Perjanjian KPBU terdiri atas kegiatan: 1. Tahapan prakonstruksi; 2. Tahapan konstruksi; 3. Tahapan operasi komersial; dan 4. Masa berakhirnya Perjanjian KPBU. Secara garis besar, tahapan pelaksanaan KPBU yang terdiri dari 4 (empat) tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.7 di atas. Selama tahapan perencanaan, penyiapan, dan transaksi, ada kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan secara paralel antara lain kajian lingkungan hidup, proses pengadaan tanah, dan proses permohonan kebutuhan Dukungan Pemerintah dan/atau Jaminan Pemerintah. 35 BAB I | KPBU KPBUBidang Bidang Persampahan Persampahan Gambar 1.7 Tahapan Pelaksanaan KPBU Bidang Persampahan Sumber: Peraturan Menteri PPN/Bappenas Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang diolah kembali. 36 1.5 PEMANGKU KEPENTINGAN KPBU BIDANG PERSAMPAHAN Pengelolaan persampahan melibatkan jaringan pemangku kepetingan yang sangat luas. Seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam pelaksanaan KPBU dirangkum dalam Tabel 1.3 berikut. TABEL 1.3 Pemangku Kepentingan dan Perannya dalam Pelaksanaan KPBU Bidang Persampahan Pemangku Kepentingan Peran Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) Pihak Pemerintah yang berwewenang untuk membuat Perjanjian Kerjasama dengan Badan Usaha untuk penyediaan infrastruktur melalui skema KPBU. Masyarakat Pihak yang terkena dampak akibat penyediaan infrastruktur dan yang akan mendapatkan layanan umum. Badan Usaha Badan usaha yang terlibat dalam skema KPBU. Keterlibatan Badan Usaha bisa sebagai Badan Usaha Pemrakarsa, Badan Usaha Penyiapan, atau Badan Usaha Pelaksana. Kementerian Koordinator Perekonomian Memfasilitasi de-bottlenecking dan koordinasi proyek KPBU. Untuk proyek strategis dan prioritas, fungsi ini dilakukan oleh KP2IP, sedangkan proyek KPBU lainnya oleh Deputi 6 Kemenko. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/BAPPENAS Kementerian yang mengatur tata cara pelaksanaan KPBU dalam penyediaan infrastruktur. BAPPENAS juga menyediakan fasilitasi Studi Pendahuluan dan/atau Kajian Awal Pra Studi Kelayakan. Dalam memberikan fasilitasi Kajian Awal Pra Studi Kelayakan, BAPPENAS dapat berkoordinasi dengan Kemenko Perekonomian dan BKPM. 37 BAB I | KPBU Bidang Persampahan Pemangku Kepentingan Kementerian Keuangan Peran Kementerian yang berwewenang memberikan Dukungan Pemerintah berupa dukungan fiskal untuk sebagian kontruksi (Viability Gap Fund/VGF), Jaminan Pemerintah, dan Fasilitas Penyiapan dan Pelaksanaan Transaksi KPBU. Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur (PDPPI) Kemenkeu menyediakan fasilitas pendampingan transaksi, termasuk finalisasi Final Business Case (FBC). Selain itu PDPPI juga memproses Dukungan Kelayakan (VGF) dan dapat berperan sebagai co-guarantor bersama PT PII. PDPPI juga berperan bersama PT PII dalam monitoring dan evaluasi pelaksanaan KPBU yang diberikan penjaminan pemerintah. 38 Kementerian Dalam Negeri Kementerian yang membidangi urusan dalam negeri, termasuk mengatur tentang pembayaran ketersediaan layanan dalam rangka Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur di daerah. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kementerian teknis yang membina sektor infrastruktur persampahan. Kementerian PUPR juga dapat memberikan fasilitasi penyiapan proyek KPBU. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian yang menyelenggrakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Lembaga yang mengatur tata cara pelaksanaan pengadaan Badan Usaha KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Komite yang dibentuk oleh Presiden untuk meningkatan koordinasi antar pemangku kepentingan untuk percepatan penyediaan infrastruktur prioritas. Pemangku Kepentingan Peran Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, badan usaha yang didirikan oleh pemerintah Republik Indonesia dan diberikan tugas khusus untuk melaksanakan Penjaminan Infrastruktur serta telah diberikan modal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Berperan melakukan publikasi KPBU dan interaksi dengan calon- calon investor KPBU. Kantor Bersama KPBU Didirikan oleh para pemangku kepentingan di pemerintah pusat. Pemangku kepentingan tersebut terdiri dari: Bappenas (sekretariat), Pusat Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Keuangan, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, Kementerian Koordinator Perekonomian, Lembaga Kebijakan Pengadanaan Barang / Jasa Pemerintah (LKPP) dan Badan Kebijakan Penanaman Modal (BKPM). Kantor Bersama berfungsi sebagai pusat informasi terpadu terkait KPBU, dan pusat pendampingan terpadu dalam rangka penguatan kapasitas aparatur negara terkait pengetahuan KPBU. Kantor Bersama juga bermaksud untuk menjadi tempat pelayanan terpadu satu pintu untuk perencanaan, penyiapan serta pendampingan proyek KPBU, baik pada Kementerian/Lembaga maupun pada Pemerintah Daerah (Provinsi maupun Kabupaten/ Kota). Selain itu keberadaan Kantor Bersama diharapkan bisa menciptakan alur koordinasi antar simpul KPBU di masing-masing Kementerian / Lembaga. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Berperan dalam perumusan dan pengesahan peraturan atau regulasi yang terkait dengan pengelolaan persampahan. Salah satu contohnya adalah terkait dengan pengaturan tipping fee dan pembayaran ketersediaan layanan (availability payment) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Berperan dalam pengaturan terkait dengan kesesuaian pengembangan prasarana dan sarana pengelolaan persamoahan dengan rencana pembangunan di daerah. 39 BAB I | KPBU Bidang Persampahan Pemangku Kepentingan Peran Dinas yang Menangani Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Sub Urusan Persampahan (mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014) Berperan dalam penyusunan regulasi pengelolaan persampahan di daerah, serta pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan. Peran Kementerian PUPR dalam urusan pengelolaan sampah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga dapat dilihat pada Gambar 1.8. Berdasarkan Gambar 1.8, diketahui bahwa dalam pengurangan sampah, Kementerian PUPR berperan dalam penyusunan dan kaji ulang standar atau kriteria teknologi ramah lingkungan yang tepat guna (best practicable technology) dalam pengurangan sampah bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sedangkan dalam penanganan sampah non-fisik, Kementerian PUPR berperan dalam: • Penyusunan dan kaji ulang standar biaya penanganan sampah; • Penyusunan dan kaji ulang standar sarana dan prasarana penanganan sampah (bersama KLHK); • Penyusunan kajian dan standar retribusi jasa pelayanan penanganan sampah (bersama Kemendagri); • Penyusunan dan kaji ulang SOP penanganan sampah (pengolahan dan pemrosesan akhir) (bersama KLHK); dan • Penyusunan dan kaji ulang standar atau kriteria teknologi ramah lingkungan terbaik (best available technology) dalam penanganan sampah (bersama KLHK dan BPPT). 40 Gambar 1.8 Pembagian Peran dalam Pengelolaan Persampahan Sumber: Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga. Dan terakhir berkaitan dengan penanganan sampah fisik, Kementerian PUPR berperan dalam: • Pembangunan TPA Regional Antar Kota/Kabupaten (bersama Pemerintah Provinsi dan Kemendagri); • Pembangunan dan Revitalisasi TPA Tunggal Kota/Kabupaten (bersama Pemkot/Pemkab dan Kemendagri); dan • Pembangunan TPA Regional Antar Provinsi atau Kepentingan Strategis Nasional. 41 42 Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah RDF (Refused Derived Fuel) Cilacap BAB II TAHAPAN PERENCANAAN KEGIATAN KPBU BIDANG PERSAMPAHAN 43 BAB II | 2.1 TAHAPANPerencanaan Tahapan PERENCANAAN Kegiatan KEGIATAN KPBU Bidang KPBU BIDANG Persampahan PERSAMPAHAN TUJUAN TAHAP PERENCANAAN KPBU Tahap perencanaan KPBU Bidang persampahan ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan penyediaan infrastruktur pengolahan persampahan yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Strategis dan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga, dan/atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu dalam tahap Perencanaan ini, agar para pemangku kepentingan dapat mendukung koordinasi perencanaan dan pengembangan dari rencana KPBU bidang persampahan, serta untuk melakukan keterbukaan informasi kepada masyarakat mengenai rencana KPBU bidang Persampahan. 2.2 PERENCANAAN KPBU BIDANG PERSAMPAHAN Kegiatan perencanaan proyek KPBU terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut : 1. Penyusunan rencana anggaran dana KPBU; 2. Identifikasi dan penetapan KPBU; 3. Penganggaran dana tahap perencanaan; 4. Konsultasi Publik; 5. Pengambilan keputusan lanjut atau tidak lanjut rencana KPBU; dan 6. Kegiatan pendukung lainnya yang dapat dilaksanakan pada tahap perencanaan diantaranya kegiatan yang terkait dengan kajian lingkungan hidup dan kegiatan yang terkait dengan pengadaan tanah. Secara garis besar, tahapan perencanaan KPBU Bidang Persampahan dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut. 44 Gambar 2.1 Tahapan Perencanaan KPBU Bidang Persampahan Sumber: Peraturan Menteri PPN/Bappenas Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang diolah kembali. Adapun secara lebih rinci, kegiatan-kegiatan dalam tahapan perencanaan KPBU Bidang Persampahan adalah sebagai berikut: 2.2.1 Penyusunan Rencana Anggaran Dana KPBU Alokasi rencana anggaran ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan anggaran pada kementerian PUPR, apabila kementerian PUPR akan memberi pendampingan kepada Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan KPBU bidang Persampahan pada setiap tahapannya, yaitu mulai dari tahap perencanaan KPBU, tahap penyiapan KPBU, dan tahap transaksi KPBU. Disamping itu juga pemerintah daerah sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) bidang persampahan perlu juga menyusun rencana anggaran sesuai dengan kebutuhan di tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), khususnya yang mempuyai tupoksi bidang Persampahan. Kerangka penganggaran alokasi Pelaksanaan KPBU dalam siklus perencanaan dan penganggaran APBN/APBD seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.2 berikut. 45 BAB II | TAHAPANPerencanaan Tahapan PERENCANAAN Kegiatan KEGIATAN KPBU Bidang KPBU BIDANG Persampahan PERSAMPAHAN Gambar 2.2 Perencanaan dan Penganggaran Proyek KPBU Sumber: Peraturan Menteri PPN/Bappenas Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang diolah kembali. Indikasi komponen kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek KPBU pada Pelaksanaan KPBU bidang persampahan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut. TABEL 2.1 KEBUTUHAN ANGGARAN PADA SETIAP TAHAP KPBU Tahapan dalam Siklus KPBU Perencanaan Proyek Kerjasama 46 Indikasi Komponen Kebutuhan Anggaran Pemerintah • Biaya Konsultansi Publik • Biaya Pelaksanaan dan Penyusunan Studi Pendahuluan Tahapan dalam Siklus KPBU Penyiapan Proyek Kerjasama Transaksi Proyek Kerjasama Kajian Awal Pra-Studi Kelayakan Indikasi Komponen Kebutuhan Anggaran Pemerintah • Biaya Penyusunan Outline Business Case (OBC) • Biaya Penyusunan AMDAL • Biaya Penyusunan LARAP (Land Acquisition Resettlement Action Plan) atau Rencana Tindakan Pengadaan Tanah dan Permukiman dan Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah Kajian Kesiapan Biaya Penyusunan Kajian Kesiapan Kajian Akhir Pra-Studi Kelayakan • Pengadaan Badan Usaha Biaya Transaksi (Pengadaan Badan Usaha): Manajemen Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama • • • Biaya Penyusunan Dokumen Pra-Studi Kelayakan Biaya Market Sounding Biaya Pengadaan Tanah Biaya Permukiman • • Penyusunan Dokumen Tender Biaya persiapan dan pelaksanaan EOI (Exchange of Information), Prakualifikasi, RFP (Request for Proposal), Negosiasi, dan Finalisasi Perjanjian Kerjasama • Biaya Pemenuhan Persyaratan Pendahuluan Biaya Pemantauan Pelaksanaan Proyek (PraKonstruksi, Konstruksi, Operasi Komersial, dan Berakhirnya Proyek KPBU) Biaya Penilaian dan Pengalihan Aset. • • Sumber: Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang diolah kembali. 47 BAB II | 2.2.2 TAHAPANPerencanaan Tahapan PERENCANAAN Kegiatan KEGIATAN KPBU Bidang KPBU BIDANG Persampahan PERSAMPAHAN Identifikasi dan Penetapan KPBU Tujuan identifikasi dan penetapan proyek KPBU adalah untuk memberikan gambaran perlunya infrastruktur pengolahan bidang persampahan yang disesuaikan dengan Rencana Pembangunan yang ada, seperti RPJMN, Renstra Kementerian PUPR, RPJMD dan ditetapkan skema pembiayaannya yang memberi manfaat lebih besar bila dikerjasamakan dengan badan usaha. Pelaku Identifikasi proyek KPBU bidang persampahan yang memiliki potensi untuk dikerjasamakan dengan Badan Usaha: 1. Bila diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR. 2. Bila diprakarsai oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh Kepala Perangkat Daerah atau Direksi BUMD. Berikut merupakan diagram alir proses identifikasi dan penetapan proyek KPBU apabila proyek KPBU diprakarsai oleh Pemerintah Pusat yang ditampilkan pada Gambar 2.3 berikut. Gambar 2.3 Proses Identifikasi Proyek KPBU Prakarsa oleh Pemerintah Pusat Sumber: Peraturan Menteri PPN/Bappenas Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang diolah kembali. 48 Berikut merupakan diagram alir proses identifikasi dan penetapan proyek KPBU apabila proyek KPBU diprakarsai oleh Pemerintah Daerah yang ditampilkan pada Gambar 2.4 berikut. Gambar 2.4 Proses Identifikasi dan Penetapan Proyek KPBU Prakarsa oleh Pemerintah Daerah Sumber: Peraturan Menteri PPN/Bappenas Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang diolah kembali. Dalam melakukan identifikasi dan penetapan proyek KPBU, digunakan beberapa indikator utama antara lain: 1. Analisis Kebutuhan (Needs Analysis): • Kepastian proyek KPBU bidang Persampahan memiliki dasar pemikiran teknis dan ekonomi berdasarkan analisis data sekunder yang tersedia; • Kepastian proyek KPBU bidang Persampahan mempunyai permintaan yang berkelanjutan dan diukur dari ketidakcukupan pelayanan, baik secara kuantitas maupun kualitas, berdasarkan analisis data sekunder yang tersedia serta kesanggupan pemerintah untuk membayar; dan • Kepastian proyek KPBU bidang Persampahan mendapat dukungan dari pemangku kepentingan yang berkaitan, salah satunya melalui Konsultasi Publik. 49 BAB II | TAHAPANPerencanaan Tahapan PERENCANAAN Kegiatan KEGIATAN KPBU Bidang KPBU BIDANG Persampahan PERSAMPAHAN 2. Kriteria Kepatuhan (Compliance Criteria): • Kesesuaian proyek KPBU bidang Persampahan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk penentuan kewenangan selaku PJPK apakah proyek KPBU Bidang Persampahan ini di tingkat Menteri/ Gubernur/Bupati/Walikota; • Kesesuaian proyek KPBU bidang Persampahan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Daerah dan/atau Rencana Strategis Kementerian/Lembaga, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, rencana bisnis BUMN/BUMD; • Kesesuaian lokasi proyek KPBU bidang Persampahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (terutama terhadap lokasi TPS/ITF dan TPA apabila diperlukan sesuai kebutuhan jenis Infrastruktur yang akan dikerjasamakan); dan • Rencana proyek KPBU bidang Persampahan sejalan/selaras dengan rencana teknis antar sektor infrastruktur dan atau antar wilayah (apabila diperlukan sesuai kebutuhan jenis Infrastruktur yang akan dikerjasamakan). 3. Kriteria Faktor Penentu Nilai Manfaat Uang (Value for Money) partisipasi Badan Usaha: • Sektor swasta memiliki keunggulan dalam pelaksanaan KPBU termasuk dalam pengelolaan risiko • Terjaminnya efektivitas, akuntabilitas dan pemerataan pelayanan publik dalam jangka panjang • Alih pengetahuan dan teknologi • Terjaminnya persaingan sehat, transparansi, dan efisiensi dalam proses pengadaan • Teknologi dan aspek lain pada sektor bidang persampahan relatif masih baru dan rentan terhadap perubahan cuaca Setelah dilakukan proses identifikasi maka selanjutnya adalah melakukan prioritisasi dan penetapan proyek KPBU yang paling potensial. Penetapan Proyek KPBU Bidang Persampahan yang paling potensial tersebut menggunakan Analisis Multi Kriteria (AMK). Adapun indikator-indikator pada analisis tersebut adalah sebagai berikut: • Kejelasan deskripsi Proyek Kerjasama; • Hambatan untuk memperoleh akses terhadap sumber daya penting bagi pelaksanaan Proyek Kerjasama; • Kejelasan hasil keluaran Proyek Kerjasama; • Dampak sosial dan lingkungan yang mampu untuk dikelola dan dikendalikan; • Potensi permintaan yang berkelanjutan; • Potensi kemudahan pengadaan tanah dan pemukiman kembali; • Tingkat kemampuan pemerintah untuk memberikan Dukungan Pemerintah 50 • • 2.2.3 Kesiapan aspek kelembagaan; dan Proyek Kerjasama masuk dalam prioritas strategis dan/atau perencanaan pemerintah. Penganggaran Dana Tahap Perencanaan. Kebutuhan rencana anggaran dana pada tahap Perencanaan KPBU bidang persampahan ini untuk membiayai hasil keluaran berupa: 1. Dokumen Studi Pendahuluan, dengan komponen kegiatan antara lain: Penyusunan Naskah, Perjalanan Dinas & Akomodasi, Honorarium, Seminar, FGD, Biaya Tenaga Ahli, dan Biaya Adminstrasi. 2. Daftar Prioritas Proyek Persampahan, dengan komponen kegiatan antara lain: Rapat Koordinasi dengan Instansi Terkait, Studi Literatur, Pengolahan data, dan Percetakan 3. Dokumen Kajian Lingkungan Hidup, dengan komponen kegiatan antara lain: Penyiapan Naskah, Survey, Honorarium, Seminar, FGD, Biaya Tenaga Ahli, dan Biaya Adminstrasi 4. Laporan Persiapan Pengadaan Tanah, dengan komponen kegiatan antara lain: Survei, rapat, honorarium, Pengukuran Tanah, rapat Koordinasi dengan Instansi BPN, dan Penyusunan Laporan 5. Laporan Konsultasi Publik dengan komponen kegiatan antara lain: Penggandaan Leaflet, Honorarium, Akomodasi, biaya adminstrasi. 2.2.4 Konsultasi Publik Konsultasi Publik pada tahap perencanaan untuk proyek KPBU bidang Persampahan untuk lintas provinsi dilakukan oleh Menteri PUPR c.q. Dirjen. Cipta Karya bersama dengan pemangku kepentingan terkait, sedangkan untuk lintas kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur c.q. SKPD yang tupoksi bidang Persampahan, dan untuk proyek dalam lingkup kabupaten/kota dilakukan oleh Bupati/Walikota c.q. SKPD yang tupoksi bidang persampahan untuk mendiskusikan penjelasan dan penjabaran terkait dengan rencana proyek KPBU bidang Persampahan, sehingga diperoleh hasil sekurang-kurangnya sebagai berikut: 1. Penerimaan tanggapan dan/atau masukan dari pemangku kepentingan yang menghadiri Konsultasi Publik; 2. Evaluasi terhadap hasil yang didapat dari Konsultasi Publik dan implementasinya dalam rencana proyek KPBU bidang Persampahan. Dalam pelaksanaan konsultasi publik ini, sebaiknya mengundang para pemangku kepentingan yang terkait dengan pengembangan kegiatan KPBU di bidang persampahan, antara lain: • Kepala Daerah Pemerintah Provinsi (apabila proyek KPBU berada di tingkat regional); 51 BAB II | • • • • • • Tahapan Perencanaan Kegiatan KPBU Bidang Persampahan Kepala Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota (apabila proyek KPBU di tingkat kabupaten/kota); Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); Kepala Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA); Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH); Akademisi; dan Unsur masyarakat terkait. 2.2.5 Pengambilan Keputusan Lanjut atau Tidak Lanjut Rencana KPBU Apabila proyek KPBU bidang persampahan untuk lintas provinsi dilakukan oleh Menteri PUPR melalui simpul KPBU/unit organisasi yang ditugaskan, sedangkan untuk lintas kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur melalui TKKSD (simpul KPBU)/SKPD yang ditugaskan, dan untuk proyek dalam lingkup kabupaten/ kota dilakukan oleh Bupati/Walikota melalui TKKSD (simpul KPBU)/SKPD yang ditugaskan untuk memutuskan lanjut atau tidak lanjut(go/not go) rencana KPBU. Dasar untuk menentukan lanjut atau tidak lanjut (go/not go) rencana KPBU berdasarkan hasil evaluasi Dokumen Studi Pendahuluan. Apabila identifikasi Proyek Kerjasama dinyatakan tidak memenuhi persyaratan sebagai proyek KPBU bidang persampahan yang akan dikerjasamakan apabila tidak memenuhi ketentuan berdasarkan analisis kebutuhan, kriteria kepatuhan, kriteria faktor penentu manfaat keterlibatan badan usaha serta mendapat skor yang rendah dalam penetapan proyek KPBU yang dilakukan melalui Value for Money (VfM). Proyek Kerjasama yang memenuhi persyaratan sebagai proyek KPBU bidang persampahan yang akan dikerjasamakan dimasukkan dalam Daftar Rencana Proyek KPBU. Apabila proyek KPBU bidang persampahan tersebut setelah dilaksanakan Studi Pendahuluan dinilai membutuhkan fasilitas dukungan dari Pemerintah, maka Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota dapat mengusulkan surat permintaan fasilitas bersamaan dengan Rencana Proyek KPBU kepada Menteri Perencanaan. Penyampaian usulan Rencana proyek KPBU ini harus dilengkapi dengan Dokumen Studi Pendahuluan dan Dokumen pendukung lainnya seperti: surat permintaan fasilitas penyiapan proyek (Project Development Facility); atau surat permintaan Dukungan Pemerintah dan/atau Jaminan Pemerintah bilamana diperlukan. 2.2.6 Kegiatan Pendukung pada Tahap Perencanaan KPBU Kegiatan pendukung yang dapat dilakukan pada tahap perencanaan diantaranya: 1. Kegiatan terkait dengan kajian lingkungan hidup Proyek KPBU bidang Persampahan untuk lintas provinsi dilakukan oleh Menteri PUPR c.q. Dirjen. Cipta Karya, sedangkan untuk lintas kabupaten/kota 52 dilakukan oleh Gubernur c.q. SKPD yang tupoksi bidang Persampahan, dan untuk proyek dalam lingkup kabupaten/kota dilakukan oleh Bupati/Walikota c.q. SKPD yang tupoksi bidang persampahan untuk melakukan identifikasi awal bahwa KPBU menerapkan teknologi dengan dampak lingkungan yang dapat dikelola dengan baik dan berkelanjutan sesuai dengan referensi literatur, dan studi terkait. 2. Kegiatan terkait dengan pengadaan tanah Proyek KPBU bidang Persampahan untuk lintas provinsi dilakukan oleh Menteri PUPR c.q. Dirjen. Cipta Karya, sedangkan untuk lintas kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur c.q. SKPD yang tupoksi bidang Persampahan, dan untuk proyek dalam lingkup kabupaten/kota dilakukan oleh Bupati/Walikota c.q. SKPD yang tupoksi bidang persampahan untuk melakukan identifikasi peninjauan lokasi, luas lahan, dan perkiraan awal biaya yang dibutuhkan untuk membebaskan lahan yang dibutuhkan serta penapisan (screening) mengenai perlu atau tidaknya rencana pemukiman kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 3. Kegiatan terkait dengan kebutuhan Dukungan dan/atau Jaminan Pemerintah Proyek KPBU bidang Persampahan untuk lintas provinsi dilakukan oleh Menteri PUPR c.q. Dirjen. Cipta Karya, sedangkan untuk lintas kabupaten/ kota dilakukan oleh Gubernur c.q. SKPD yang tupoksi bidang Persampahan, dan untuk proyek dalam lingkup kabupaten/kota dilakukan oleh Bupati/ Walikota c.q. SKPD yang tupoksi bidang persampahan untuk melakukan kegiatan kajian kebutuhan Dukungan dan/atau Jaminan Pemerintah, yang terdiri dari: • Identifikasi awal kebutuhan Dukungan Pemerintah dan dokumendokumen yang dipersyaratkan untuk mendapatkan persetujuan; dan • Identifikasi awal kebutuhan Jaminan Pemerintah dan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan untuk mendapatkan persetujuan. 53 B 54 PENYUSUNAN STUDI PENDAHULUAN KEGIATAN KPBU BIDANG PERSAMPAHAN MEKANISME STUDI PENDAHULUAN Setelah proses identifikasi dan penetapan proyek berdasarkan pada dokumen Rencana Pembangunan yang ada, seperti RPJMN, Renstra Kementerian PUPR, RPJMD, Rencana Induk Sistem (Master Plan), dan Rencana Kebijakan Strategis Daerah (Jakstrada) Pengelolaan Sampah, untuk mendapat informasi yang lebih detil dalam penentapan skema pembiayaan proyek maka perlu dilakukan studi Pendahuluan. Pihak yang Menyiapkan Studi Pendahuluan Proyek KPBU bidang Persampahan untuk lintas provinsi dilakukan oleh Menteri PUPR c.q. Dirjen. Cipta Karya, sedangkan untuk lintas kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur c.q. SKPD yang tupoksi bidang Persampahan, dan untuk proyek dalam lingkup kabupaten/kota dilakukan oleh Bupati/Walikota c.q. SKPD yang tupoksi bidang persampahan untuk melakukan Studi Pendahuluan. Cakupan dan Muatan Studi Pendahuluan Studi pendahuluan KPBU Persampahan ini terdiri dari beberapa bagian yang terdiri dari beberapa muatan yang mengacu pada Peraturan Menteri PUPR No. 21/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat antara lain: 1. Kajian Kebutuhan (Need Analysis) Menganalisis dasar-dasar kebutuhan yang dapat memberikan kepastian bahwa KPBU memiliki dasar pemikiran teknis dan ekonomi, permintaan yang berkelanjutan, dan dukungan dari pemangku kepentingan yang terkait. Adapun muatan dari bagian ini meliputi: a. Kepastian KPBU memiliki dasar pemikiran teknis dan ekonomi berdasarkan analisis data sekunder yang tersedia; b. Kepastian KPBU mempunyai permintaan yang berkelanjutan dan diukur dari ketidakcukupan pelayanan, baik secara kuantitas maupun kualitas, berdasarkan analisis data sekunder yang tersedia; dan c. Kepastian KPBU mendapat dukungan dari pemangku kepentingan yang berkaitan, salah satunya melalui konsultasi publik. 2. Kajian Kepatuhan (Compliance Criteria) Menganalisis kesesuaian dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Kajian juga dilakukan terhadap Rencana Pembangunan, Rencana Strategis serta kesesuaian lokasi KPBU. Kajian kepatuhan juga menilai keterkaitan antar sektor infrastruktur dan antar wilayah. Adapun muatan dari bagian ini meliputi: a. Kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk penentuan pendelegasian wewenang untuk bertindak selaku PJPK; b. Kesesuaian KPBU dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 55 MEKANISME MEKANISME STUDI STUDI PENDAHULUAN PENDAHULUAN Nasional/Daerah dan/atau Rencana Strategis Kementerian/Lembaga, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, rencana bisnis BUMN/BUMD; c. Kesesuaian lokasi KPBU dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (apabila diperlukan sesuai kebutuhan jenis infrastruktur yang akan dikerjasamakan); dan d. Keterpaduan infrastruktur dengan pengembangan wilayah dan infrastruktur lainnya (bila diperlukan). 3. Kajian Nilai Manfaat Uang (Value for Money) Menganalisis penilaian keunggulan-keunggulan yang dimiliki antara pengadaan pemerintah secara konvensional dengan pengadaan dengan skema KPBU. Penilaian Value for Money dilakukan secara kualitatif. Adapun muatan dari bagian ini meliputi : a. Keunggulan yang dimiliki sektor swasta dalam pelaksanaan KPBU termasuk dalam pengelolaan risiko; b. Terjaminnya efektivitas, akuntabilitas dan pemerataan pelayanan publik dalam jangka panjang; c. Alih pengetahuan dan teknologi; dan d. Terjaminnya persaingan sehat, transparansi, dan efisiensi dalam proses pengadaan. 4. Analisis Potensi Pendapatan dan Skema Pembiayaan Menganalisis kemampuan pengguna untuk membayar, serta kemampuan fiskal pemerintah dalam melaksanakan KPBU. Pada bagian ini, juga dilakukan perhitungan potensi pendapatan serta perkiraan bentuk dukungan pemerintah yang diperlukan. Adapun muatan dari bagian ini adalah: a. Kemampuan pengguna untuk membayar; b. Kemampuan fiskal pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN/BUMD dalam melaksanakan KPBU; c. Potensi pendapatan utama dan lainnya; d. Skema pembiayaan proyek dan sumber dana, termasuk: • Indikasi kemampuan pengguna untuk membayar berdasarkan data sekunder, jika menggunakan skema pembayaran user pay; • Kemampuan fiskal Pemerintah Pusat, dan/atau BUMN dalam melaksanakan KPBU, terutama jika menggunakan skema pembayaran ketersediaan layanan. e. Perkiraan bentuk dukungan pemerintah 5. Rekomendasi dan Rencana Tindak Lanjut Menganalisis rekomendasi bentuk KPBU, rekomendasi kriteria utama dalam pemilihan badan usaha, dan rencana jadwal kegiatan penyiapan dan transaksi KPBU. Adapun muatan dari bagian ini adalah: a. Rekomendasi bentuk kerja sama dan skema pembiayaan proyek; 56 b. Rekomendasi kriteria utama dalam pemilhan badan usaha; dan c. Rencana jadwal kegiatan penyiapan dan transaksi KPBU. Adapun secara garis besar, penyusunan studi pendahuluan terdiri dari bagianbagian yang dapat dilihat pada Gambar berikut. 57 Gambar 1. Gambaran Besar Substansi dalam Penyusunan Studi Pendahuluan MEKANISME STUDI PENDAHULUAN 58 BAB I KAJIAN KEBUTUHAN (NEED ANALYSIS) 59 BABBAB I | Kajian I | Kajian Kebutuhan Kebutuhan (Need(Need Analysis Analysis ) ) 1.1 DESKRIPSI KAJIAN KEBUTUHAN Rencana pengembangan proyek KPBU harus didasari dengan adanya kebutuhan akan ketersediaan infrastruktur pengolahan sampah saat ini. Kajian kebutuhan akan infrastruktur tersebut dapat diidentifikasi berdasarkan kajian terhadap data-data sekunder yang menggambarkan: • Potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah; • Potensi sumber daya alam; • Dasar pemikiran teknis dan ekonomi rencana proyek KPBU; • Proyek KPBU memiliki permintaan yang berkelanjutan serta ketidakcukupan layanan saat ini, baik secara kuantitas maupun kualitas; dan • Proyek KPBU mendapat dukungan dari berbagai pemangku kepentingan. Adapun muatan dari bagian ini meliputi: • Kepastian KPBU memiliki dasar pemikiran teknis dan ekonomi berdasarkan analisis data sekunder yang tersedia; • Kepastian KPBU mempunyai permintaan yang berkelanjutan dan diukur dari ketidakcukupan pelayanan, baik secara kuantitas maupun kualitas, berdasarkan analisis data sekunder yang tersedia; dan • Kepastian KPBU mendapat dukungan dari pemangku kepentingan yang berkaitan, salah satunya melalui konsultasi publik. Tim Penyusun harus mengidentifikasi sumber data dan pemilik data serta mengumpulkan seluruh data sekunder yang diperlukan untuk melakukan kajian yang diperlukan. Sumber data sekunder yang digunakan dapat berasal dari berbagai dokumen perencanaan, data statistik maupun hasil studi terdahulu. 1.2 INPUT DATA YANG DIPERLUKAN Data yang diperlukan Tim Penyusun dalam penyusunan kajian kebutuhan (need analysis) proyek KPBU persampahan dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut. Tabel 1.1 Input Data untuk Kajian Kebutuhan No. 1. Jenis Data Data Kondisi Fisik Wilayah Input data yang diperlukan - 60 Data wilayah administrasi dilengkapi dengan peta wilayah administrasi Data letak geografis Data topografi Data hidrologi Data klimatografi Data curah hujan Data geologi Data hidrogeologi No. 2. 3. Jenis Data Data Demografi Data Kondisi Eksisting Sistem Pengelolaan Sampah Input data yang diperlukan - Data jumlah penduduk Data penyebaran penduduk Data proyeksi pertumbuhan penduduk - Data jenis sumber sampah (rumah tangga dan non rumah tangga) Data daerah pelayanan sampah Data volume timbulan sampah Data jenis komposisi sampah Data regulasi tentang pengelolaan sampah Data kelembagaan yang meliputi bentuk organisasi pengelolaan sampah, struktur organisasi, dan sumber daya yang tersedia. Data pola penanganan sampah Data biaya dan tarif serta mekanisme pengumpulan - 4. 1.3 Data Teknis Operasional jumlah Data sarana dan prasarana pengelolaan sampah eksisting yaitu data pemilahan/ pewadahan, pengumpulan (TPS/TPS 3R), pengangkutan (kendaraan pengangkutan, pengolahan (SPA, FPSA, TPST), dan pemrosesan akhir/TPA. LANGKAH PELAKSANANAAN KAJIAN KEBUTUHAN Dalam pelaksanaan kajian kebutuhan ini, disusun secara sistematis sesuai langkah-langkah berikut: 1. Mengkaji Potensi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Wilayah Menguraikan beberapa poin penting untuk menggambarkan potensi dan perkembangan sosial ekonomi pada wilayah pelayanan rencana proyek KPBU bidang persampahan antara lain meliputi: a. Kondisi Fisik Wilayah (batas administrasi, letak geografis, topografi) • Batas Administrasi untuk mengetahui batas wilayah layanan dengan wilayah-wilayah yang berdampingan dengan wilayah layanan (biasanya berdasarkan mata angin: Utara, Selatan, Barat, dan Timur). Disamping itu batasan administrasi untuk mengetahui cakupan wilayah layan terdiri berapa kecamatan, desa/kelurahan. • Letak Geografis dan Topografi untuk mengetahui wilayah layanan memiliki karakteristik topografi berupa dataran rendah/ pantai, dataran sedang/perbukitan, dataran tinggi/pegunungan); berapa 61 BAB I | Kajian Kebutuhan (Need Analysis) elevasi topografi di atas permukaan laut. b. Perkembangan Sosial Ekonomi Wilayah • Kependudukan, pembahasan akan meliputi : Jumlah penduduk saat ini di wilayah layanan; tingkat pertumbuhan kabupaten/kota atau wilayah layanan; proyeksi penduduk di wilayah layanan perencanaan; kemampuan dan kemauan retribusi pungutan sampah. Proyek jumlah penduduk untuk memperkirakan permintaan layanan terhadap jumlah rata-rata timbulan sampah yang dihasilkan per orang per hari. Kependudukan juga menggambarkan ketersediaan lahan serta hubungannya dengan hasil keluaran sampah. • Daerah Layanan, untuk menggambarkan pertambahan volume sampah di wilayah layanan naik sebanyak berapa % dibanding pada saat proyek KPBU beroperasi. Disamping itu juga untuk mengambarkan cakupan luas wilayah pelayanan da rencana perluasan wilayah pelayanan. • Keuangan, untuk melihat sumber pembiayaan pengelolaan persampahan di wilayah pelayanan, besar alokasi pembiayaan dari APBD, besaran tarif penarikan retribusi untuk daerah yang telah terlayani, apakah dapat menutupi sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pelayanan persampahan. Struktur dan besarnya tarif ditetapkan dengan mempertimbangkan biaya penyediaan pelayanan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan. • Tren Perkembangan Wilayah Perkotaan, menjelaskan tren wilayah perkotaan saat ini apa saja misalnya pertumbuhan penduduk perkotaan akibat urbansiasi yang menyebabkan semakin tertekannya kualitas lingkungan oleh pencemaran, sistem pelayanan penanganan sampah yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta, tren penggunaan sistem persampahan di perkotaan, kondisi kesehatan masyarakat terkait penyakit bawaan air, dan lain sebagainya. c. Potensi sumber daya alam • Klimatologi untuk mengetahui wilayah pelayanan memiliki iklim tropis dengan dua jenis musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan dan memiliki siklus pergantian musim selama berapa bulan. • Hidrologi untuk mengetahui permasalahan dalam hidrologi di wilayah layanan, seperti: banyak curah hujan, daerah tangkapan air, debit saluran, dan sungai. Kondisi hidrologi mempengaruhi kandungan nilai kalor sampah (basah/keringnya) sampah. • Geologi, berdasarkan peta geologi regional oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung pada tahun 1992, stratifikasi wilayah layanan dapat dikaji sruktur batuan dan tanah. Ini akan berpengaruh terhadap konstruksi prasarana dan sarana pengelolaan persampahan. kondisi geografi juga menggambarkan untuk lokasi tapak yang 62 berpengaruh di dalam pemilihan teknologi serta pengaruhnya kepada gempa. Data geografi dan hidrologi berdasarkan data sekunder di lokasi tapak. 2. Mengkaji Dasar Pemikiran Teknis dan Ekonomi Rencana Proyek KPBU Tim Penyusun menjelaskan kondisi eksisting pengelolaan sampah yang ada yang antara lain meliputi: a. Pengelola atau instansi kelembagaan yang bertanggungjawab dalam pengelolaan sampah b. Kondisi layanan pengelolaan sampah c. Organisasi kelembagaan pengelolaan sampah d. Pola operasi layanan pengelolaan sampah e. Biaya atau tarif pengelolaan sampah f. Kondisi prasarana dan sarana pengelolaan sampah g. Kondisi sosial dan lingkungan h. Sistem pembiayaan dan keuangan pengelolaan sampah Data-data yang digunakan dapat diambil dari dokumen-dokumen perencanaan yang ada, yaitu Rencana Induk Persampahan, Perencanaan Teknis dan Manajemen Persampahan (PTMP), RDTR, dan RTRW dan juga berdasarkan hasil survei timbulan sampah yang terjadi saat ini. 3. Mengkaji bahwa Proyek KPBU Memiliki Permintaan yang Berkelanjutan serta Ketidakcukupan Layanan Saat Ini (Secara Kuantitas Maupun Kualitas) Tim Penyusun mengkaji proyeksi timbulan sampah selama periode perencanaan yang mengacu pada data primer perhitungan timbulan sampah beserta komposisi dan karakteriktiknya. Menjelaskan kebutuhan sarana dan prasarana pengelolaan sampah, gap antara sarana dan prasarana yang ada dengan yang diperlukan. Adapun beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mengkaji bagian ini adalah: a. Aspek hukum Mengkaji aspek hukum/pengaturan yang terkait dengan pengelolaan sampah di wilayah pelayanan meliputi peraturan yang bersifat nasional, regional dan lokal yaitu: • Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan sampah • Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga b. Aspek kelembagaan Mengkaji pengelolaan sampah di wilayah pelayanan dilaksanakan oleh SKPD yang tupoksi bidang Persampahan (Perumusan kebijakan teknis di bidang persampahan; Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang persampahan; Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang persampahan; dan Pelaksanaan tugas yang diberikan 63 BABBAB I | Kajian I | Kajian Kebutuhan Kebutuhan (Need(Need Analysis Analysis ) ) tugas oleh Bupati/walikota sesuai tugas dan fungsinya). c. Aspek teknis • Timbulan sampah Menjelaskan tentang semua kegiatan yang menghasilkan timbulan sampah baik melalui kegiatan perorangan/rumah tangga, komunitas/ kelembagaan, kegiatan intitusi pemerintahan maupun kegiatan instistusi swasta. -- Menghitung jumlah rata-rata timbulan sampah yang dihasilkan per orang per hari saat ini yang didapatkan dari hasil survei timbulan sampah di daerah sumber sampah yang akan menjadi daerah prioritas pelayanan. -- Proyeksi jumlah timbulan sampah yang akan dihasilkan oleh intitusi penghasil sampah/sumber sampah sampai dengan tahun perencanaan di daerah prioritas zona pelayanan. -- Penetapan daerah zona prioritas pelayanan dan target jumlah timbulan sampah yang akan dikelola. Catatan: Proyeksi jumlah timbulan sampah yang dihasilkan berdasarkan proyeksi pertumbuhan penduduk perlu dilakukan. Proyeksi ini akan menunjukkan adanya kebutuhan akan pelayanan pengelolaan sampah yang terus meningkat. • • Komposisi dan karakteristik sampah Menjelaskan tentang jumlah timbulan sampah yang dihasilkan dari masing-masing sumber penghasil sampah, termasuk didalamnya komposisi dan karakteristik sampah yang dihasilkan. Kondisi pengelolaan sampah eksisting di daerah pelayanan Menjelaskan kondisi pengelolaan sampah daerah cakupan pelayanan dalam lingkup kawasan, kota/kabupaten maupun cakupan pelayanan sampah secara regional/nasional baik yang sudah dilakukan oleh pemerintah melalui pendekatan peran serta masyarakat dan secara institusi maupun pelayanan yang sudah dilakukan oleh institusi swasta. Catatan: Dalam menjelaskan kondisi pengelolaan eksisting di daerah pelayanan dapat mengacu pada Lampiran 2 yang disediakan. • 64 Pemrosesan akhir Menjelaskan teknologi apa yang telah digunakan pada pemrosesan akhir saat ini/eksisting. Beberapa contoh pilihan teknologi yang dapat dilakukan kerjasama dalam skema KPBU pada sarana ITF (Intermediate Treatment Facility) dan pada sarana di TPA sebagai berikut: Opsi Teknologi Dalam pengadaan infrastruktur pengolahan sampah, terdapat beberapa opsi teknologi yang dapat dikaji antara lain: a. Landfill, yaitu landfill yang memenuhi standard regulasi. b. Landfill Gasifikasi/Methanisasi, yaitu landfill yang disertai proses konversi gas menjadi energi. c. Composting yaitu pemisahan organik dan composting dengan residual dikirim ke landfill d. Refuse Derived Fuel (RDF): dengan perlu landfill untuk residual. Proses pembuatan RDF dari sampah terdiri atas 4 tahap utama yaitu proses pemecahan (crushing process), proses pengeringan (dryng process), proses pemisahan dan pemecahan kembali (sorting and crushing process) dan proses pemadatan (soliditying process). e. Anaerobic Digestion, yaitu pemisahan organik dan anaerobic digestion untuk pembangkit listrik dengan residual dikirim ke landfill. f. Basic Waste To Energy (WTE): dengan landfill untuk ash dan segala sampah yang melebihi kapasitas pabrik. g. Kompos dan WTE, yaitu pemisahan mekanik limbah ke fraksi kompos dan fraksi dibakar, mengakibatkan dua aliran pengolahan, yaitu kompos dan WTE dengan residu, setiap limbah yang melebihi kapasitas pabrik dan ash pergi ke landfill. h. Modern Insinerator WTE yaitu pemisahan mekanik limbah ke fraksi kering dan sebagian kecil organik basah yang dikeringkan secara biologis, baik kemudian digabungkan dan dibakar di pabrik WTE dengan abu dan setiap limbah yang melebihi kapasitas pabrik akan ke landfill. i. Konvensional Gasifikasi WTE, yaitu pemisahan mekanik sampah menjadi fraksi kering dan sebagian kecil organik basah yang dikeringkan secara biologis, baik kemudian digabungkan dan gasifikasi atau pyrolyzed dengan teknologi baru untuk membuat gas sintetis yang dibakar untuk listrik. Dalam pemilihan opsi teknologi ini, ada beberapa aspek yang dapat dinilai, antara lain: a. Kapasitas landfill (usia pakai) Kapasitas TPA diukur berdasarkan jumlah ruang yang tersedia di TPA untuk menempatkan sampah di masa depan. Hal ini dihitung dengan mengambil daerah yang tersedia untuk penimbunan, menentukan seberapa tinggi limbah dapat ditempatkan berdasarkan pada praktek desain yang baik, dan menghitung meter kubik yang tersedia. Volume limbah setiap tahun meningkat kemudian diproyeksikan ke ruang ini dan jumlah tahun itu akan mengambil sebelum ruang digunakan up dapat dihitung. Ini adalah umur TPA tersisa. Untuk tujuan perbandingan, setiap jumlah kapasitas TPA yang tersisa akan menunjukkan perbedaan yang menawarkan berbagai pilihan. Perhitungan 65 BAB I | Kajian Kebutuhan (Need Analysis) dengan mempertimbangkan penambahan umur pakai TPA atas penggunaan teknologi yang diterapkan. Adapun rerata pertambahan umur TPA berdasarkan jenis teknologi dirangkum pada Tabel 1.2 berikut. Tabel 1.2 Rerata Pertambahan Umur TPA Berdasarkan Jenis Teknologi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Jenis Teknologi Landfill Landfill Gasifikasi / Methanisasi Composting RDF Anaerobic Digestion Basic WTE Kompos dan WTE Modern Incinerator WTE Konvensional Gasifikasi WTE Penambahan Usia TPA 0 2 3 27 5 29 31 31 31 b. Tingkat bankability proyek Suatu proyek akan menjadi bankable jika menarik bagi investor dan lembaga keuangan. Investasi sektor swasta membutuhkan lingkungan investasi yang stabil. Bagian ini hanya berurusan dengan aspek-aspek teknis untuk menarik sektor swasta. Teknologi yang terbukti disukai, seperti kombinasi teknologi yang terbukti atau dapat dihandalkan. Hal ini berarti bahwa ada kemungkinan tinggi proyek akan menarik jika teknologi dapat dihandalkan sehingga mampu menghasilkan pendapatan seperti yang diproyeksikan. Teknologi yang terbukti dan dapat menarik investasi di negara lain antara lain sanitary landfill, waste to energy (WTE) dengan pembakaran, dan RDF. c. Kemampuan fiskal (investasi dan tipping fee) Sebuah aspek kunci dari setiap pemilihan teknologi atau pertimbangan kombinasi teknologi adalah dampak keuangan pada pengguna dan masyarakat. Investasi teknologi pengolahan sampah yang terlalu mahal juga tentu akan berdampak kepada biaya pengolahan sampah yang juga meningkat. Berikut merupakan perkiraan biaya yang diperlukan untuk masing-masing teknologi dengan perkiraan kapasitas kurang lebih 1500 ton yang dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut. 66 Gambar 1.1 Perkiraan Biaya Investasi Teknologi Pengolahan Sampah Sumber: Kajian Teknologi Pengolahan Sampah oleh Agus W., 2016. Berdasarkan gambar tersebut, diketahui bahwa opsi landfill dan RDF merupakan opsi paling murah, sedangkan teknologi Waste to Energy (WTE) merupakan teknologi pengolahan sampah yang membutuhkan biaya investasi paling besar. 67 BAB BAB I | Kajian I | Kajian Kebutuhan Kebutuhan (Need(Need Analysis Analysis ) ) d. Dampak lingkungan Seluruh teknologi harus dikaji dampak lingkungan dari operasionalisasi alat tersebut. Teknologi yang dipilih tidak boleh memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga pemilihan teknologi berdasarkan dampak lingkungan perlu dilakukan. 4. Mengkaji Rencana Teknis Operasional Tim Penyusun mengkaji rencana teknis operasional yang terdiri atas beberapa hal yakni: a. Menetapkan standar pelayanan dalam pengelolaan sampah yang disepakati melalui skema KPBU. b. Menentukan daerah prioritas pelayanan pengelolaan sampah yang akan dilakukan skema kerjasama KPBU. c. Merumuskan strategi sistem pengembangan pengelolaan sampah. Gambar 1.2 Strategi Pengembangan Sistem Pengelolaan Sampah 68 5. Mengkaji Dukungan dari Berbagai Pemangku Kepentingan Terhadap Proyek KPBU Tim Penyusun mengidentifikasi serta mengkaji inisiatif dan dukungan baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, meliputi: a. Inisiatif/Dukungan Pemerintah Daerah, menjelaskan apa saja inisiatif Pemerintah Daerah dalam meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah, termasuk pengelolaan sampah mulai dari pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, termasuk misalnya alokasi anggaran dalam APBDnya, program apa saja yang sedang atau akan dijalankan, dan dukungan dari DPRD berupa komitmen dalam mengeluarkan perda pembayaran biaya gerbang (tipping fee). b. Inisiatif/Dukungan Pemerintah Pusat, menjelaskan apa saja inisiatif/ dukungan yang dapat diberikan oleh Pemerintah Pusat terhadap rencana proyek KPBU di wilayah pelayanan. Fasilitas-fasilitas apa saja yang tersedia untuk mendukung terselenggaranya pengolahan sampah di wilayah layanan. 1.4 KELUARAN KAJIAN KEBUTUHAN Keluaran yang diharapkan dari Kajian Kebutuhan ini adalah: 1. Tergambarkannya kondisi eksisting sistem pengelolaan sampah dari proyek KPBU bidang persampahan serta terpetakannya dasar pemikiran teknis dan ekonomi rencana proyek KPBU. 2. Teridentifikasinya permintaan yang berkelanjutan serta ketidakcukupan layanan eksisting. 3. Teridentifikasinya dukungan dari berbagai pemangku kepentingan. 69 Kota Denpasar, Provinsi Bali TPA REGIONAL SARBAGITA SUWUNG 70 BAB II KRITERIA KEPATUHAN (COMPLIANCE CRITERIA) 71 BAB II | 2.1 Kriteria Kepatuhan (Compliance Criteria) DESKRIPSI KRITERIA KEPATUHAN Rencana proyek KPBU bidang persampahan ini sejalan dan selaras dengan rencana yang ada, baik pada pemerintah pusat maupun pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Sehingga diperlukan kajian akan kepatuhan terhadap kriteria dan peraturan yang berlaku. Kajian kepatuhan ini bertujuan untuk melihat kesesuaian: 1. Proyek KPBU bidang persampahan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk penentuan kewenangan selaku PJPK apakah proyek KPBU Bidang Persampahan ini di tingkat Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota. 2. Proyek KPBU bidang Persampahan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Daerah dan/atau Rencana Strategis Kementerian/ Lembaga, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, rencana bisnis BUMN/BUMD. 3. Lokasi proyek KPBU bidang Persampahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (terutama terhadap lokasi TPS/ITF dan TPA apabila diperlukan sesuai kebutuhan jenis Infrastruktur yang akan dikerjasamakan) 4. Rencana proyek KPBU bidang Persampahan sejalan/selaras dengan rencana teknis antar sektor infrastruktur dan atau antar wilayah (apabila diperlukan sesuai kebutuhan jenis Infrastruktur yang akan dikerjasamakan). 2.2 INPUT DATA YANG DIPERLUKAN Data yang diperlukan Tim Penyusun dalam penyusunan kajian kriteria kepatuhan (compliance criteria) proyek KPBU persampahan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Input Data untuk Kajian Kriteria Kepatuhan Tabel 2.1 Input Data untuk KajinKriteria Kepatuhan No. 1. 72 Jenis Data Data Peraturan Perundangan yang Berlaku Terkait KPBU di bidang Persampahan Input data yang diperlukan Dokumen Peraturan perundangan yang berlaku baik yang terutama mengenai: a. Pembagian kewenangan karena akan menentukan PJPK, apakah proyek KPBU bidang persampahan di tingkat Menteri/ Gubernur/Bupati/Walikota/BUMN/BUMD b. Pelaksanaan skema KPBU c. Sektoral terkait persampahan d. Lintas sektoral No. 2. Jenis Data Data Rencana Pembangunan Input data yang diperlukan Dokumen Rencana pembangunan yang termasuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN/RPJMD), Rencana Strategis Kementerian/Lembaga, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, dan rencana bisnis BUMN/ BUMD. 3. Data Kondisi Eksisting Sistem Pengelolaan Sampah Dokumen perencanaan tata ruang antara lain Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, maupun Kabupaten/Kota 4. Data Rencana Pembangunan Lintas Sektor Infrastruktur dan/atau Lintas Wilayah Dokumen perencanaan antar sektor dan dokumen perencanaan antar wilayah (apabila proyek KPBU persampaha merupakan suatu proyek tingkat regional). Catatan: Catatan: Seluruh peraturan yang dikaji harus merupakan peraturan yang terbaru dan berlaku. 2.3 LANGKAH PELAKSANAAN KAJIAN KRITERIA KEPATUHAN Dalam pelaksanaan kajian kriteria kepatuhan ini, disusun secara sistematis sesuai langkah-langkah berikut: 1. Mengkaji Kesesuaian Proyek KPBU dengan Peraturan PerundanganUndangan yang Berlaku. Tim Penyusun mengkaji atau melakukan review peraturan perundangan terhadap kesesuaian proyek KPBU agar layak secara hukum. Adapun peraturan perundangan yang perlu dikaji terbagi menjadi : a. Peraturan terkait Pemerintahan Daerah, diantaranya: • Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; • Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah; • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 54 Tahun 2017 Tentang Badan Usaha Milik Daerah; • Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah; dan • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Tentang Retribusi Jasa Umum. b. Peraturan terkait Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), diantaranya: 73 BAB II | • • • • • • • • • • • • • • 74 Kriteria Kepatuhan (Compliance Criteria) Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur; Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional No. 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur; Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha yang Dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur; Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur; Peraturan Menteri Keuangan No. 260 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur Dalam Proyek Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha; Peraturan Menteri PPN No. 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha; Peraturan Menteri Keuangan No. 170 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 143/PMK.011/2013 tentang Panduan Pemberian Dukungan Kelayakan Atas Sebagian Biaya Kontruksi Pada Proyek Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur; Peraturan Menteri Keuangan No. 190 Tahun 2015 tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan dalam Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha; Peraturan Menteri Keuangan No. 265 Tahun 2015 tentang Fasilitas Kerja Sama Pemerintah untuk Penyediaan Infrastruktur; Peraturan Menteri Keuangan No. 223 Tahun 2012 tentang Dukungan Kelayakan atas Sebagian Biaya Konstruksi dalam Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha; Peraturan Menteri Dalam Negeri No 96 Tahun 2016 tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan Dalam Rangka Kerjasama Pemerintah Daerah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur Di Daerah; Peraturan LKPP No. 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha Kerja Sama Pemerinah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur; dan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 691.2/KPTS/M/2016 tentang Penunjukkan Simpul Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. c. Peraturan Sektor Persampahan, diantaranya: • Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; • Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; • Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga; • Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan; • Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga; • Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan; • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Tentang Pengelolaan Sampah; • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/PRT/2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pembuangan Akhir; • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan; • Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012 tentang Kegiatan yang Wajib Memiliki AMDAL; • Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 tahun 2013 tentang Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga; • Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan AMDAL; • Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30 tahun 2009 tentang Limbah B3; • Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 18 tahun 2009 tentang Perizinan Pengelolaan Limbah B3; • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Tentang Pengelolaan Sampah; • Kebijakan dan Strategis Daerah dalam pengelolaan persampahan; dan • Dokumen Strategi Sanitasi Kota/Kabupaten (SSK). d. Peraturan Lintas Sektor, diantaranya: • Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; • Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; • Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; • Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; • Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi; • Undang-Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; • Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 75 BAB II | • • • • • • • • • • • • • • Kriteria Kepatuhan (Compliance Criteria) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal; Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan; Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 jo. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan; Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi; Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi; Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi; Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik; Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan; Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi; Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 4 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN dari Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik; dan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Non Perizinan Penanaman Modal. 2. Mengkaji Kesesuaian Proyek KPBU dengan Rencana Pembangunan yang Berlaku Tim Penyusun mengkaji arahan pembangunan sektor pengelolaan sampah terutama target-target capaian cakupan layanan pengelolaan yang ingin dicapai serta bagaimana rencana proyek KPBU dapat memberikan kontribusi terhadap indikator-indikator ingin dicapai. Adapun rencana pembangunan yang dikaji meliputi: a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Mengkaji arahan pembangunan sektor pengelolaan sampah terutama target-target capaian cakupan layanan pengelolaan yang ingin dicapai serta bagaimana rencana proyek KPBU dapat memberikan kontribusi terhadap indikator-indikator ingin dicapai dalam RPJPN di sub sektor Sanitasi. 76 Tantangan yang dihadapi dalam kurun 2005-2025 pada Bidang SDA dan Lingkungan Hidup yang tercantum dalam dokumen RPJPN dalam menghadapi krisis energy adalah meningkatkan kontribusi energi baru yang terbarukan seperti biogas dan biomassa. Disamping itu sasaran yang ingin dicapai dalam 20 tahun kedepan (tahun 2025) adalah membaiknya pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup yang dicerminkan oleh tetap terjaganya fungsi, daya dukung, dan kemampuan pemulihannya dalam mendukung kualitas kehidupan sosial dan ekonomi secara serasi, seimbang, dan lestari. Dalam rangka meningkatkan daya saing perekonomian domestik, diharapkan peran pemerintah sebagai fasilitator, regulator, dan sekaligus sebagai katalisator pembangunan untuk terjaganya keberlangsungan mekanisme pasar. Peran pemerintah difokuskan pada perumusan kebijakan dimana peran swasta semakin ditingkatkan terutama untuk sarana dan prasarana yang sudah layak secara komersial. Dengan demikian pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat dan kebutuhan sektor lain. b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Mengkaji arahan pembangunan sektor pengelolaan sampah, terutama target nasional di sektor sanitasi dan bagaimana kondisi penganggaran yang ada. Sejauh mana kesesuaian proyek KPBU terhadap rencana nasional yang ada tersebut. Selain itu juga arahan prioritas daerah dalam konteks nasional dapat menjadi bahan kajian, seperti misalnya arahan kabupaten/kota yang menjadi bagian dari Kawasan Strategis Nasional (KSN), Wilayah Pengembangan Strategis (WPS), dan sebagainya. Kaitkan terutama dengan rencana pencapaian 100-0-100. Pembiayaan merupakan permasalahan yang kerap dijumpai dalam penyediaan infrastruktur. Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership (PPP) menjadi salah satu alternatif dalam pembiayaan infrastruktur yang melibatkan peran serta badan usaha. Permasalahan yang masih dihadapi adalah: (1) masih kurangnya informasi mengenai proyek baik dari sisi detail teknis maupun informasi keuangan serta analisis terhadap berbagai macam risiko dan jaminan pemerintah untuk pengelolaan risiko tersebut; (2) masih sulitnya penerapan peraturan terkait dengan KPBU oleh para Penanggung Jawab Proyek Kerja sama (PJPK); (3) rendahnya kapasitas aparatur dan kelembagaan dalam melaksanakan KPBU; (4) belum optimalnya kebijakan yang didukung kualitas perencanaan proyek KPBU bidang infrastruktur yang mengakibatkan 77 BAB II | Kriteria Kepatuhan (Compliance Criteria) pilihan strategi pelaksanaan proyek yang kurang memihak pada KPBu sehingga proyek infrastruktur yang seharusnya menarik bagi pihak badan usaha malah dilaksanakan melalui pembiayaan APBN/APBD, sementara proyek infrastruktur yang tidak menarik justru ditawarkan kepada pihak swasta; (5) masih kurang memadainya peran pendanaan oleh BUMN/ lembaga keuangan seperti PT SMI dan anak perusahaannya PT IIF, serta PT PII yang masing-masing sebagai instrumen pembiayaan dan penjaminan pembangunan infrastruktur melalui skema KPBU; serta (6) belum adanya mekanisme pemberian insentif bagi PJPK dalam melaksanakan KPBU. Permasalahan dalam penyelenggaraan sanitasi adalah minimnya keberlanjutan sarana dan prasarana yang telah terbangun. Minimnya keberlanjutan sarana dan prasarana disebabkan oleh belum optimalnya kesadaran dan pemberdayaan masyarakat, keterlibatan aktif pemerintah daerah baik dari aspek regulasi maupun pendanaan, serta penerapan manajemen aset. c. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Mengkaji bagaimana rencana pengembangan pengelolaan sampah sesuai dengan rencana pembangunan di sektor sampah perkotaan jangka menengah di wilayah pelayanan. Penetapan program prioritas pembangunan sektor persampahan yang disesuaikan dengan strategi dan arah kebijakan pembangunan daerah adalah sebagai berikut: STRATEGI : Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup • Arah kebijakan: Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan • Program pembangunan meliputi: Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi SDA dan LH; dan • Program Pengembangan Kinerja Pengelolaan Persampahan. Arah kebijakan dan program prioritas pengelolaan persampahan, dalam RPJMD diprioritaskan juga dukungan terhadap program dan kegiatan strategis pengelolaan persampahan dengan target kinerja untuk persentase penanganan sampah. 3. Mengkaji Kesesuaian Proyek KPBU dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang Berlaku Tim Penyusun mengkaji rencana proyek KPBU dengan Rencana Tata Ruang (RTRW) meliputi: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Mengkaji peran perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota dalam lingkup provinsi sehingga diperlukan dukungan infrastruktur persampahan yang memadai. Untuk penjelasan kajian ini lihat Contoh. 78 Contoh: Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi perlu dilihat apakah Rencana Sistem Jaringan Prasarana dan sarana Lingkungan yang termuat sejalan dengan Rencana yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Misalnya dalam Rencana pengembangan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan, yang meliputi: pengembangan prasarana persampahan; prasarana air limbah dan drainase. Pengembangan prasarana persampahan dilaksanakan dengan pendekatan pengurangan, pemanfaatan kembali dan daur ulang, yang meliputi: Tempat Pemrosesan Akhir Sampah Regional direncanakan pada lokasi tertentu, sebagai contoh: • Provinsi Jateng: lokasi TPA regional diarahkan untuk melayani lebih dari satu kawasan perkotaan kabupaten/kota, yang dalam hal ini di Kecamatan Metropolitan Kedungsepur, Metropolitan Bregasmalang, Metropolitan Subosukawonosraten, Purwomanggung dan Petanglong. • Provinsi Sulawesi Selatan: lokasi TPA regional diarahkan untuk melayani lebih dari satu kawasan perkotaan kabupaten/kota, yang dalam hal ini di Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa yang melayani kawasan Metropolitan Mamminasata. • Fungsi TPA regional sebagai tempat pengolahan sampah dan industri daur ulang Rencana Sistem Jaringan Prasarana Sanitasi Wilayah Provinsi meliputi: (1) Rencana Sistem Perpipaan Air Limbah Provinsi diarahkan ke sistem kluster yang berada di kawasan Metropolitan Mamminasata. (2) Rencana Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) Provinsi diarahkan ke sistem kluster yang berada di kawasan Metropolitan Mamminasata. • Kriteria Sistem Jaringan Prasarana Sanitasi Wilayah Provinsi adalah tersedianya sarana dan prasarana jaringan Sanitasi Provinsi yang memenuhi standar sanitasi Nasional yang melayani lintas Kabupaten/Kota • Tempat Pemrosesan Akhir Sampah lokal direncanakan di setiap Kabupaten yang diluar wilayah pelayanan Tempat Pengelolaan Akhir Sampah regional yang berada di Metropolitan. Pembangunan Tempat Pemrosesan Sementara di lokasi-lokasi strategis. 79 BAB II | Kriteria Kepatuhan (Compliance Criteria) b. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota Mengkaji peran wilayah perencanaan terhadap kabupaten/kota serta rencana sub sektor sampah di wilayah perencanaan tersebut. Rencana pengembangan wilayah juga akan sangat bermanfaat untuk menguatkan pentingnya pengembangan pengelolaan sampah. Pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan penetapan lokasi tempat pengolahan sampah terpadu dan tempat pemrosesan akhir sampah harus sesuai rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang ada. Akibat dari kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dalam pengelolaan sampah, maka, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah dimaksud yang bersumber dari APBN atau APBD. Rencana sistem persampahan meliputi: Rencana Tempat Pemprosesan Akhir (TPA) sampah dan rencana Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST). Rencana Tempat Pemprosesan Akhir (TPA) sampah ini meliputi: (i) pengembangan dan peningkatan TPA pada lokasi sudah ditentukan (misalnya untuk kota Semarang TPA Jatibarang berada di Kelurahan Kedungpane); (ii) peningkatan teknologi pengolahan sampah apa yang akan dikembangkan apakah sejalan dengan sistem pengolahan yang ada dengan sanitary landfill; (iii) apa sudah diatur pengembangan kemitraan dengan swasta dan/atau kerjasama dengan pemerintah daerah lain dalam pengembangan dan pengelolaan TPA. Adapun hal lain yang perlu diperhatikan adalah: • Bagaimana dengan Rencana Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)? • Apakah ada rencana pengembangan dan penyediaan TPST di kawasan permukiman dan kawasan pusat pelayanan, apakah setiap TPST dilengkapi dengan fasilitas pengolahan sampah. • Kalau ada rencana TPST, lokasi dimana dan bagaimana kaitan dengan rencana KPBU yang akan direncanakan ini, misalnya dikaitkan dengan suplay sampah? 4. Mengkaji Kesesuaian Proyek KPBU dengan Rencana Pembangunan Lintas Sektoral dan/atau Lintas Wilayah Tim Penyusun mengkaji rencana proyek KPBU dengan Rencana Pembangunan Lintas Sektoral dan/atau Lintas Wilayah meliputi: a. Rencana Induk Pengelolaan Sampah Mengkaji Rencana Induk Pengelolaan Sampah di Daerah sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 03/PRT/M/2013 Tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan (PSP) dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan 80 Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga mengamanatkan untuk membuat Perencanaan umum penyelenggaraan PSP terdiri dari: Rencana Induk; Studi Kelayakan; dan Perencanaan Teknis dan Manajemen Persampahan. Perencanaan umum penyelenggaraan PSP untuk kota besar dan metropolitan terdiri dari: Rencana Induk; Studi Kelayakan. Sedangkan untuk kota sedang dan kecil berupa perencanaan teknis dan manajemen persampahan. Rencana KPBU bidang persampahan ini dikaji apakah sejalan/selaras dengan Rencana Induk Pengelolaan sampah di wilayah layanan; kekebutuhan dan tingkat pelayanan; penyelenggaraan PSP yang meliputi aspek teknis, kelembagaan, pengaturan, pembiayaan dan peran serta masyarakat; dan Bagaimana tahapan pelaksanaan. b. Kebijakan Strategis Daerah (Jakstrada) Mengkaji visi, rencana atau kebijakan strategis daerah di sektor pengelolaan sampah, khususnya pengelolaan sampah serta bagaimana proyek KPBU dapat menjawab permasalahan dalam pengembangan pengelolaan sampah yang tertuang dalam Jakstrada tersebut. Tabel 2.2 Tugas Kepala Daerah berdasarkan Kebijakan Strategi Daerah (Jakstrada) A. a. b. c. d. e. B. JAKSTRADA PROVINSI JAKSTRADA KABUPATEN/KOTA GUBERNUR WALIKOTA Bertugas Untuk: Menyusun, melaksanakan dan mengoordinasikan penyelenggaraan jakstrada provinsi; Melaksanakan pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan jakstrada provinsi; Mengoordinasikan pemantauan dan evaluasi jakstrada provinsi; Menyusun dan melaporkan pelaksanaan jakstrada provinsi kepada menteri paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan ditembuskan kepada kementerian dalam negeri dan bappenas; dan Memberikan pendampingan kepada bupati/walikota dalam menyusun jakstrada kabupaten/kota. A. a. Bertanggungjawab dalam pengadaan tanah serta sarana dan prasarana pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. B. b. c. Bertugas Untuk: Menyusun dan melaksanakan jakstrada kabupaten/ kota; Melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan jakstrada kabupaten/kota; dan Menyusun hasil pelaksanaan jakstrada kabupaten/ kota kepada gubernur paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun Bertanggung jawab dalam pengadaan tanah serta sarana dan prasarana pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK) Mengkaji kesesuaian rencana proyek KPBU bidang persampahan dengan Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK), yang mana merupakan dokumen 81 BAB II | Kriteria Kepatuhan (Compliance Criteria) perencanaan strategis sektor air limbah domestik, persampahan, dan drainase (sanitasi) yang memberikan arah pengembangan untuk jangka menengah (5 tahun). Dokumen SSK memuat informasi terkait kondisi pengelolaan sanitasi eksisting, strategi dan target pengembangan sanitasi di kabupaten/kota untuk 5 tahun ke depan yang selanjutnya dijabarkan menjadi matriks program kegiatan pembangunan sanitasi. Dalam sektor pengelolaan persampahan, dokumen SSK secara lengkap memetakan alur penanganan persampahan yang ada di kabupaten/ kota termasuk kelengkapan infrastruktur persampahan, keberadaan institusi pengelola dan peraturan bidang persampahan, hambatan dan tantangan dalam pengelolaan persampahan, arah penanganan persampahan untuk periode 5 tahun yang akan datang, termasuk di dalamnya zona prioritas penanganan persampahan, zona yang akan dilayani oleh TPA, dan zona yang akan dilaksanakan pendekatan pengurangan sampah, serta kebutuhan penanganan baik fisik dan non fisik yang diperlukan untuk pembangunan pengelolaan persampahan 5 tahun ke depan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, termasuk jika direncanakan adanya TPA Regional atau konsep pengelolaan sampah Waste to Energy (WtE). 2.4 KELUARAN KAJIAN KRITERIA KEPATUHAN Keluaran yang diharapkan dari Kajian Kriteria Kepatuhan ini adalah: 1. Terpetakannya kesesuaian proyek KPBU dengan peraturan perundanganundangan. 2. Terpetakannya kesesuaian proyek KPBU dengan Rencana Pembangunan. 3. Terpetakannya kesesuaian proyek KPBU dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). 4. Terpetakannya kesesuaian proyek KPBU dengan Rencana Pembangunan Lintas Sektor dan/atau Lintas Wilayah. 82 BAB III PENILAIAN MANFAAT UANG (VALUE FOR MONEY) 83 BAB III | 3.1 Penilaian Manfaat Uang (Value for Money) DEKSRIPSI PENILAIAN NILAI MANFAAT UANG Dalam kajian VfM ini penting untuk menemukan ‘alasan’ kenapa memilih skema KPBU dan bukannya model pengadaan barang dan jasa konvensional dalam kerangka Nilai Manfaat Uang (Value for Money) yang lebih baik. Oleh karenanya, isu penting yang perlu ditindaklanjuti adalah menemukan pemicu/ driver utama dari VfM dari proyek KPBU bidang persampahan ini, dan yang paling penting untuk menganalisis hubungan antara pendorong (driver) utama dengan gagasan kompleks dari VfM. Secara sederhana pengujian VfM dilihat apakah proyek ini memberikan nilai manfaat uang bagi sektor publik. Bila tidak, maka proyek ini tidak seharusnya dilaksanakan dengan skema KPBU. Analisis nilai manfaat uang dapat dilakukan secara kuantitatif (numerikal) dan/atau kualitatif (subyektif, atau berdasarkan penilaian), yaitu: dari aspek keuangan dan non keuangan, seperti kepuasan pelanggan, operasi bisnis internal, dan aspek tumbuh dan berkembang. Elemen dalam VfM. Value for Money merupakan konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang mendasarkan pada tiga elemen utama dan dua elemen tambahan. 1. Elemen Utama: a. Ekonomi, perolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga terendah (perbandingan input dengan input value). b. Efisiensi, pencapaian output yang maksimum dengan input tertentu atau penggunaan input terendah untuk mencapai output tertentu. Efisiensi merupakan perbandingan output dengan input yang dikaitkan dengan standar kinerja atau target yang telah ditetapkan. c. Efektivitas, tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan. Efektivitas merupakan perbandingan outcome dengan output. 2. Elemen Tambahan: a. Keadilan, mengacu pada adanya kesempatan sosial (social opportunity) yang sama untuk mendapatkan pelayanan publik berkualitas dan kesejahteraan ekonomi. b. Pemerataan, penggunaan uang publik hendaknya tidak terkonsentrasi pada kelompok tertentu saja, melainkan dilakukan secara merata. Manfaat Konsep VfM: Manfaat implementasi konsep value for money pada organisasi publik diantaranya: 1. Meningkatkan efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang diberikan tepat sasaran. 2. Meningkatkan mutu pelayanan publik. 3. Menurunkan biaya pelayanan publik karena hilangnya inefisiensi dan 84 terjadinya penghematan dalam penggunaan input. 4. Alokasi belanja yang lebih berorientansi pada kepentingan publik. 5. Meningkatkan kesadaran akan uang publik (public costs awareness) sebagai akar pelaksanaan akuntabilitas publik. Tipikal Pengujian VfM: Pengujian VfM dilakukan dengan membandingkan perkiraan biaya pengadaan proyek oleh sektor publik (Pengadaan Barang & Jasa) dengan perkiraan biaya pengadaan proyek melalui skema KPBU. Parameter Pengujian Akhir VfM: Pencapaian VfM dalam proyek KPBU bidang persampahan ini lebih banyak melibatkan pembiayaan uang publik dalam pembayaran tipping fee. Untuk itu parameter pengujian: 1. Proyek melibatkan sebagian Pembiayaan sektor Publik Proyek KPBU bidang persampaham ini pendapatan utamanya tidak hanya dari tarif pengguna saja namun sebagian besar dari pembiayaan publik, maka proyek ini harus sebesar-besarnya merepresentasikan kepentingan publik. Untuk alasan ini maka manfaat dari penyertaan dana dalam proyek KPBU bidang persampahan ini harus dibandingkan dengan manfaat yang didapatkan jika proyek tidak dilanjutkan. 2. Proyek dimana sektor publik sebagai kontributor finansial utama Dalam hal Proyek KPBU bidang persampaham ini pembiayaan publik sebagai penyandang dana utama maka kajian VfM secara detail/rinci sangat direkomendasikan di akhir masa pengadaan. Kajian ini harus membandingkan antara biaya dan manfaat (dalam aspek moneter dan non-moneter) dari proyek KPBU ini terhadap biaya dan manfaat jika proyek dilakukan secara konvensional (tidak melalui skema KPBU). 3.2 INPUT DATA DALAM ANALISIS NILAI MANFAAT UANG Data yang diperlukan dalam analisis Nilai Manfaat Uang ini sifatnya data primer, karena analisis nilai manfaat uang atau (Value for Money) yang masih digunakan di Indonesia sifatnya masih kualitatif. Dalam menyusun analisis Nilai Manfaat Uang secara kualitatif ini, Tim Penyusun dapat melakukan studi literatur, maupun wawancara mendalam (in-depth interview) dengan pakar dan narasumber. Selain itu, Tim Penyusun juga dapat mengadakan forum diskusi (Focus Group Discussion) dalam rangka menghimpun penilaian terkait VfM tersebut. Penilaian nilai manfaat uang (Value for Money) bidang Persampahan menilai beberapa aspek antara lain: Keunggulan dan pengelolaan risiko pihak swasta dalam proyek persampahan: 1. Bagaimana pihak swasta melaksanakan proyek persampahan? 2. Apakah pihak swasta memiliki pengalaman melaksanakan proyek 85 BAB III | Penilaian Manfaat Uang (Value for Money) persampahan? 3. Apakah pihak swasta memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan proyek persampahan? 4. Bagaimana pihak swasta mengelola risiko pada proyek persampahan? Apakah ada potensi efisiensi? 5. Efektivitas, akuntabilitas, dan pemerataan pelayanan publik 6. Apakah skema KPBU berpeluang meningkatkan efektivitas pengelolaan persampahan? 7. Apakah skema KPBU dapat menjamin keberlanjutan dan ketersediaan layanan pengelolaan sampah yang dibutuhkan? 8. Apakah pihak swasta dapat menawarkan potensi efisiensi dari perencanaan, konstruksi, hingga operasi dan pemeliharaan infrastruktur persampahan? 9. Apakah skema KPBU dapat mendorong kompetisi yang dapat meningkatkan kualitas penyediaan infrastruktur pengelolaan persampahan? 10. Alih teknologi dan ilmu pengetahuan 11. Apakah ada inovasi atau teknologi serta ilmu pengetahuan baru melalui skema KPBU? 12. Apakah skema KPBU memungkinkan untuk terjadinya proses alih teknologi dan ilmu pengetahuan baru? 13. Bagaimana proses alih teknologi dan ilmu pengetahuan dari pihak swasta kepada pemerintah 14. Persaingan sehat, transparansi, dan efisiensi proses pengadaan 15. Bagaimana persaingan sehat dapat dilaksanakan dalam proyek KPBU persampahan? 16. Apakah skema KPBU dapat meningkatkan transparasi pengadaan infrastruktur persampahan? 17. Apakah skema KPBU dapat menawarkan efisiensi dari proses pengadaan infrastruktur persampahan? 3.3 LANGKAH PELAKSANAAN ANALISIS NILAI MANFAAT UANG Dalam pelaksanaan analisis nilai manfaat uang ini, disusun secara sistematis sesuai langkah-langkah berikut: 1. Menentukan Indikator-indikator Penentu Nilai Manfaat Uang Tim Penyusun menentukan terlebih dahulu indikator-indikator penentu nilai manfaat uang (Value for Money) berdasarkan dari hasil studi literatur dan best practice yang telah dilaksanakan. Untuk lebih memahami tahapan ini dapat dilihat pada contoh berikut. Contoh: Untuk menganalisis Nilai Manfaat Uang (Value for Money), maka Tim Penyusun menentukan indikator-indikator kunci yang dapat digunakan untuk membandingkan pengadaan secara konvensional menggunakan (APBN/ 86 APBD) dengan pengadaan melalui skema KPBU. Tim Penyusun akhirnya menentukan 9 (sembilan) indikator sebagai berikut: a. Inovasi disain dan praktik konstruksi pengelolaan sampah yang efektif yang dapat memberikan nilai jangka panjang yang lebih baik b. Standar pelayanan yang disediakan kepada masyarakat c. Fleksibilitas atas perubahan spesifikasi kontrak d. Kemampuan menggalang dana/ kemudahan untuk mendapatkan pembiayaan e. Waktu penyelesaian proyek secara menyeluruh f. Pendekatan seluruh biaya sepanjang siklus hidup selama periode pelaksanaan proyek pengelolaan sampah g. Alokasi risiko yang lebih baik h. Spesifikasi keluaran tingkat layanan yang disediakan i. Minat pasar pada sektor pengelolaan sampah besar Catatan: Contoh indikator diatas tidak bersifat mutlak dan kaku (rigid). Tim Penyusun dapat menentukan indikator-indikator lain sesuai dengan kebutuhan penilaian Nilai Manfaat Uang (Value for Money). 2. Menentukan Narasumber/Pakar yang akan Diwawancarai Tim Penyusun menentukan narasumber/pakar yang akan dimintakan pengalamannya terkait keunggulan Badan Usaha/Swasta dalam pelaksanaan KPBU. Narasumber/Pakar yang diwawancarai dapat berasal dari sektor Pemerintah, akademisi, maupun praktisi yang sudah mempunyai cukup pengalaman terkait pelaksanaan KPBU di bidang persampahan. 3. Melakukan Penilaian VfM secara Kualitatif Setelah Tim Penyusun menentukan indikator-indikator, maka selanjutnya Tim Penyusun melakukan penilaian VfM secara kualitatif dengan melakukan wawancara maupun diskusi dengan narasumber/pakar yang telah ditentukan. Adapun untuk mempermudah analisis kualitatif VfM, Tim Penyusun dapat menggunakan format/bentuk Tabel untuk membandingkan skema Pengadaan Barang/Jasa konvensional dengan pengadaan dengan skema KPBU. Penilaian dengan Tabel ini dilakukan dengan memberikan tanda centang pada skema yang memiliki nilai lebih baik pada suatu indikator. Adapun Tabel dapat dilihat pada Contoh berikut. 87 BAB III | Penilaian Manfaat Uang (Value for Money) Contoh: Pengisian tabel dilakukan dengan memberikan tanda centang terhadap skema yang memiliki kelebihan dibandingkan skema lainnya. Misalnya, skema KPBU memiliki inovasi disain yang lebih baik, maka kolom KPBU diberikan tanda centang. Selain itu, juga diberikan keterangan terkait mengapa KPBU memiliki nilai yang lebih baik. Tabel 3.1 Contoh Penilaian Nilai Manfaat Uang Secara Kualitatif No 88 Penentu Nilai Skema PBJ 1. Inovasi disain dan praktik konstruksi pengelolaan sampah yang efektif yang dapat memberikan nilai jangka panjang yang lebih baik 2. Standar pelayanan yang disediakan kepada masyarakat 3. Fleksibilitas atas spesifikasi kontrak 4. Kemampuan menggalang dana/ kemudahan untuk mendapatkan pembiayaan 5. Waktu penyelesaian secara menyeluruh 6. Pendekatan seluruh biaya sepanjang siklus hidup selama periode pelaksanaan proyek pengelolaan sampah 7. Alokasi risiko yang lebih baik 8. Spesifikasi keluaran tingkat layanan yang disediakan 9. Minat pasar pada pengelolaan besar perubahan proyek sektor Skema KPBU Keterangan 3.4 KELUARAN NILAI MANFAAT UANG Keluaran yang diharapkan dari Analisis Nilai Manfaat Uang ini adalah: 1. Teridentifikasinya keunggulan skema KPBU dibandingkan dengan skema pengadaan Barang dan Jasa konvesional. 2. Diperolehnya perbandingan antara skema KPBU dengan skema pengadaan Barang dan Jasa konvensional. 3. Diperoleh kesimpulan apakah skema KPBU memiliki Nilai Manfaat Uang yang lebih tinggi dibandingkan dengan skema pengadaan Barang dan Jasa Konvensional. 89 Kota Denpasar, Provinsi Bali 90 Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat TPA REGIONAL LEGOK NANGKA TPA REGIONAL SARBAGITA SUWUNG BAB IV ANALISIS POTENSI PENDAPATAN & SKEMA PEMBIAYAAN KPBU 91 BAB IV | 4.1 Analisis Potensi Pendapatan & Skema Pembiayaan KPBU DESKRIPSI ANALISIS POTENSI PENDAPATAN DAN SKEMA PEMBIAYAAN PROYEK Tim Penyusun menganalisis kemampuan pengguna untuk membayar, serta kemampuan fiskal pemerintah dalam melaksanakan KPBU. Pada bagian ini, juga dilakukan perhitungan potensi pendapatan serta perkiraan bentuk dukungan pemerintah yang diperlukan. Adapun muatan dari bagian ini adalah: 1. Kemampuan pengguna untuk membayar; 2. Kemampuan fiskal Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD; 3. Bentuk KPBU dan indikasi struktur proyek; 4. Potensi pendapatan utama dan lainnya; 5. Skema pembiayaan proyek dan sumber dana, termasuk: • Indikasi kemampuan pengguna untuk membayar berdasarkan data sekunder, jika menggunakan skema pembayaran user pay; • Kemampuan fiskal Pemerintah Pusat, dan/atau BUMN dalam melaksanakan KPBU, terutama jika menggunakan skema pembayaran ketersediaan layanan. Analisis potensi pendapatan ini dilakukan untuk memastikan bahwa proyek KPBU memiliki nilai jual yang dapat menarik Badan Usaha untuk bekerja sama. 4.2 INPUT DATA DALAM ANALISIS POTENSI PENDAPATAN DAN SKEMA PEMBIAYAAN PROYEK Data yang diperlukan Tim Penyusun dalam penyusunan analisis potensi pendapatan dan skema pembiayaan proyek KPBU persampahan dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut. Tabel 4.1 Input Data untuk Analisis Potensi Pendapatan dan Skema Pembiayaan Proyek No. 1. Jenis Data Data terkait Potensi pendapatan - 92 Input data yang diperlukan Keluaran dari teknologi pengolahan sampah Harga jual dari hasil keluaran teknologi pengolahan sampah Kemampuan fiskal Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah Tarif jual beli listrik No. 2. Jenis Data Data terkait Biaya Modal dan Biaya Operasi dan Pemeliharaan - 3. Data terkait Asumsi Finansial - 4. Data terkait Kemampuan Fiskal Daerah - - Input data yang diperlukan Perkiraan harga teknologi pengolahan sampah Perkiraan komponen-komponen biaya untuk pemeliharaan dan operasi Tarif bahan bakar dan bahan lain Tingkat inflasi per tahun Tingkat suku bunga tahunan Nilai tukar mata uang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lima tahun terakhir Pendapatan Daerah lima tahun terakhir Alokasi anggaran di bidang persampahan selama lima tahun terakhir. Catatan: Input data lain diperlukan sesuai dengan kebutuhan data. 4.3 LANGKAH PELAKSANAAN ANALISIS POTENSI PENDAPATAN DAN SKEMA PEMBIAYAAN PROYEK 1. Mengidentifikasi Potensi Pendapatan Skema KPBU Tim Penyusun menguraikan potensi-potensi sumber pendapatan proyek KPBU serta bagaimana aliran pendapatan tersebut. Secara umum, potensi pendapatan pada proyek KPBU persampahan adalah: a. Retribusi sampah yang dibayarkan masyarakat kepada pemerintah, diperlukan survei permintaan riil dan kesediaan membayar (Real Demand and Willingness to Pay Survey/RDWTPS) dengan potensi perbaikan layanan (khususnya frekuensi) disurvei bersama dengan penilaian atas kesediaan membayar dari berbagai kelompok akan mengetahui kemampuan dan kemauan untuk membayar retribusi sampah. Hanya cara pengumpulan retribusi juga akan mempengaruh tingkat pengumpulan apakah optimal atau sebaliknya yang jauh lebih rendah. b. Tipping fee yang dibayarkan pemerintah (atau institusi yang diberi otoritas) kepada Badan Usaha Pelaksana. Kemampuan untuk pembayaran tipping fee ini bergantung pada sejauh mana pemerintah pada setiap tingkatan 93 BAB IV | Analisis Potensi Pendapatan & Skema Pembiayaan KPBU – pusat, provinsi dan kabupaten/Kota - bersedia berkontribusi menutup funding gap, baik di awal maupun tahunan/bulanan. Pendanaan kabupaten/Kota yang tersedia untuk memberikan dukungan ini jelas mencerminkan kapasitas finansial dalam APBDnya. Potensi pendapatan sangat berhubungan dengan teknologi yang akan digunakan. Sehingga sesuai dengan teknologinya, dapat diidentifikasi sumber pendapatan lain seperti: a. Penjualan Kompos, sampah terdiri dari dua bagian, yaitu bagian organik dan anorganik. Rata-rata persentase bahan organik sampah mencapai ±80%, sehingga pengomposan merupakan alternatif penanganan yang sesuai. Kompos sangat berpotensi untuk dikembangkan mengingat semakin tingginya jumlah sampah organik yang dibuang ke tempat pemrosesan akhir dan menyebabkan terjadinya polusi bau dan lepasnya gas metana ke udara. b. Penjualan Recycling Material, sampah daur ulang berasal dari jenis-jenis sampah anorganik yang masih dapat diolah dengan cara 3R (reduce, reuse, recycle). Jenis sampah ini apabila diolah kembali atau didaur ulang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi di pasaran. Jenis-jenis produk yang dapat dihasilkan dari limbah sampah daur ulang adalah peralatan atau perabotan yang menggunakan bahan daur ulang. c. Penjualan RDF, merupakan bahan bakar yang dibentuk seperti briket dengan mencampurkan batu abu ke sampah yang telah dipisahkan dari sampah tidak terbakar. Bahan bakar RDF ini, tidak akan membusuk walaupun disimpan dalam waktu lama, serta sangat praktis untuk pengangkutan. Keuntungan dalam penggunaan RDF sebagai energi adalah kemudahan dan ekonomis dalam pembuatan serta hasil pembakarannya sangat ramah lingkungan dibandingkandengan penggunaan energi fosil berupa batubara dan minyak bumi begitupun juga dengan keberadaan senyawa dioksin dan furon hanya ditemukan dalam skala ppb (parts per billion). d. Pendapatan lainnya, seperti pendapatan dari listrik untuk sistem pengelolaan sampah Waste to Energy (WtE), serta pendapatan dari penjualan fly ash dan bottom ash. WtE adalah istilah generik yang digunakan untuk mendefinisikan pemulihan energi dari sampah dengan pembakaran, mengkonversi panas pembakaran menjadi uap dan menggunakan uap untuk menghasilkan listrik, atau untuk tujuan industri, atau keduanya. Residu dari instalasi WtE mencakup abu dasar (bottom ash) dan abu terbang (fly ash). Abu dasar berasal dari ruang pembakaran itu sendiri yang terdiri dari barang-barang yang tak terbakar dalam aliran sampah seperti batu, kaca, dan kadangkadang logam. Abu dasar ini biasanya tanpa lindi dan dapat disimpan di landfill saniter normal tanpa pemrosesan lebih lanjut dapat diproses dan mempunyai nilai jual. 94 Maka, keluaran dari masing-masing teknologi tersebut dirangkum pada Gambar berikut. Tabel 4.2 Output dari Masing-masing Teknologi Teknologi pengomposan pada umumnya menghasilkan dua keluaran utama, yakni kompos dan material daur ulang. Sedangkan untuk teknologi methanisasi pada umumnya menghasilkan tiga keluaran utama, yakni material daur ulang, cover soil, dan energi listrik. Begitu juga dengan teknologi insinerasi yang membakar sampah untuk menghasilkan energi listrik. Pilihan teknologi lain adalah dengan mengkombinasikan dua jenis teknologi, atau yang dapat disebut dengan teknologi hybrid. Contoh teknologi hybrid yang pertama adalah kombinasi teknologi pengomposan dan insinerasi RDF, yang menghasilkan 95 BAB IV | Analisis Potensi Pendapatan & Skema Pembiayaan KPBU keluaran berupa kompos, material daur ulang, dan energi listrik. Sedangkan contoh teknologi hybrid kedua adalah kombinasi teknologi methanisasi dengan insinerasi RDF, yang menghasilkan keluaran berupa material daur ulang, cover soil, dan energi listrik. Contoh: Berikut adalah contoh aliran pendapatan untuk WtE yang menghasilkan listrik dan Badan Usaha Pelaksana memiliki hak untuk menjual hasil listrik tersebut ke off-taker (dalam contoh ini adalah PT PLN) atau kepada kawasan Industri dan/ atau digunakan oleh pemerintah daerah setempat. Gambar 4.1 Contoh Aliran Pendapatan yang Berasal Dari Penjualan Listrik 2. Menentukan Mekanisme Penyesuaian Tarif Tim Penyusun menjabarkan mekanisme penyesuaian tarif (retribusi, tipping fee, pendapatan lainnya) serta diidentifikasi dampak terhadap pendapatan jika terjadi: a. Kenaikan biaya KPBU (cost overrun); b. Pembangunan KPBU selesai lebih awal; c. Pengembalian KPBU melebihi tingkat maksimum yang ditentukan sehingga dimungkinkan pemberlakuan mekanisme penambahan pembagian keuntungan (clawback mechanism); dan d. Pemberian insentif atau pemotongan pembayaran dalam hal pemenuhan kewajiban. 3. Menilai Kemampuan Fiskal Daerah Tim penyusun mengidentifikasi kemampuan fiskal daerah selama 5 (lima) tahun terakhir. Adapun dua komponen utama yang perlu dinilai adalah: a. Kemampuan Fiskal Daerah Kemampuan daerah dalam hal keuangan dapat dilihat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang meliputi penerimaan atau pendapatan daerah, pengeluaran atau belanja daerah dan pembiayaan daerah. 96 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) meliputi aspek Pendapatan dan Aspek Belanja, serta aspek Pembiayaan. Aspek Pendapatan terdiri dari Pendapatan Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah, Aspek Belanja terdiri dari Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung dan Aspek Pembiayaan terdiri dari Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan. Belanja daerah digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Dalam struktur APBD, belanja daerah dikelompokkan ke dalam belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Catatan: Pertumbuhan rata-rata yang baik dari APBD di daerah menunjukkan kesehatan fiskal pemerintah daerah juga dapat dijadikan dasar bahwa pemerintah daerah mempunyai kemampuan fiskal untuk Availability Payment (AP) pada skema KPBU. b. Kemampuan Pengguna untuk Membayar Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan daerah terdiri dari pendapatan asli daerah yang berasal dari pajak, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, pendanaan dari pemerintah pusat yang disebut sebagai dana transfer yang meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus serta lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dalam era otonomi daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) diharapkan menjadi pendorong utama bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintah, pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan pelayanan publik. Semakin tinggi Pendapatan Asli Daerah maka semakin kecil tingkat ketergantungan daerah terhadap dana transfer pusat ke daerah. 97 BAB IV | Analisis Potensi Pendapatan & Skema Pembiayaan KPBU Catatan: Kondisi keuangan yang sehat tersebut dapat menjadi salah satu ruang fiskal untuk pengadaan pembayaran ketersediaan layanan Availability Payment untuk skema KPBU. Selain menghitung kemampuan fiskal daerah, juga perlu dilakukan kajian akan kemampuan membayar pengguna (ability to pay) di daerah tersebut. 4. Melaksanakan Analisis Skema Pembiayaan Proyek Tim Penyusun melakukan analisis skema pembiayaan proyek yang terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut: a. Asumsi analisis keuangan • Tingkat inflasi per tahun • Nilai tukar mata uang • Persentase pembiayaan sendiri terhadap pinjaman serta tingkat bunga pinjaman pertahun • Jumlah pegawai yang akan terlibat beserta penyesuaian gaji sesuai indeks inflasi per tahunnya • Tarif listrik, dapat digunakan sendiri dan/atau dijual ke kawasan industri bila ada, atau bila dijualkan kepada PLN akan digunakan tariff di regional pengolahan berada (biasanya sesuai dengan tarif listrik golongan B3/TM (Blok LWBP) dengan kenaikan sesuai indeks inflasi. • Harga bahan bakar solar non-subsidi per liter dengan kenaikan sesuai indeks inflasi. • Biaya kontingensi yang juga merupakan biaya mitigasi risiko, biaya perijinan, pemeliharaan lingkungan dan biaya lainnya. • Jangka waktu pengembalian pinjaman termasuk masa tenggangnya • Periode kerjasama/periode evaluasi • Asumsi lain yang diperlukan b. Pendapatan • Besaran pendapatan yang diterima pemerintah dari retribusi sampah selama periode evaluasi • Besaran pendapatan yang diterima Badan Usaha Pelaksana dari tipping fee selama periode evaluasi • Pendapatan lainnya, seperti: Kompos, Recycling Material, RDF, Listrik untuk sistem pengolah WtE (Waste to Energy), dan sebagainya. c. Biaya • Biaya investasi (CAPEX) Berisikan ringkasan biaya investasi, baik oleh PJPK, Badan Usaha maupun secara total. Ringkasan ini juga terdiri dari dua harga, yaitu 98 harga konstan dan harga berlaku. Ringkasan biaya investasi ini dibreakdown per tahun. Perhitungan biaya investasi (CAPEX) didasarkan pada biaya kegiatan yang disiapkan oleh tim teknis. Dalam biaya kegiatan perlu dirinci jenis material yang diperlukan (harga satuan, spesifikasi teknis) dan tahapan pelaksanaan serta tahapan pembiayaan. Dari biaya kegiatan yang telah disusun tim teknis tersebut perlu dilakukan perhitungan/ penyesuaian sehingga menjadi biaya investasi, yaitu antara lain dengan memperhitungkan biaya pajak, biaya kontingensi harga dan biaya lain-lain yang dipandang perlu untuk diperhitungkan sebagai biaya investasi (misalnya biaya administrasi proyek, biaya pra-operasi dan biaya studi). • Biaya operational dan pemeliharaan (OPEX) Berisikan ringkasan biaya OPEX per ton sampah yang perlu dikeluarkan oleh Badan Usaha maupun PJPK. Dalam perhitungan biaya OPEX ini, selain asumsi tersebut diatas, perlu juga asumsi tentang biaya-biaya operasional, yang antara lain: ◦◦ Jumlah sampah yang akan diangkut ◦◦ Jumlah rit pengangkutan sampah ◦◦ Biaya bahan bakar ◦◦ Biaya tenaga kerja ◦◦ Biaya pemeliharaan peralatan dan kendaraan angkut sampah ◦◦ Biaya administrasi ◦◦ Biaya lainnya Asumsi proyeksi biaya operasi dan pemeliharaan pada umumnya disusun sebagai berikut: ◦◦ Didasarkan pada persentase dari aset atau biaya investasi; dan/ atau ◦◦ Didasarkan pada perincian setiap biaya operasi dan pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan (volume) dan perkiraan harga bahan/ upah. ◦◦ Indikator keuangan d. Indikator keuangan ini akan membahas beberapa indikator penting yang akan menentukan layak tidaknya proyek ini dijalankan oleh Badan Usaha. Beberapa indikator keuangan tersebut adalah: • NPV, IRR, dan DSCR dari proyek dan modalitas. Catatan : Present Value (PV) adalah nilai sekarang dari penerimaan (uang) yang akan didapat pada tahun mendatang. Net Present Value (NPV) adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaraan per tahun. Investasi dianggap layak apabila hasil evaluasi memberikan nilai yang positif. 99 BAB IV | • Analisis Potensi Pendapatan & Skema Pembiayaan KPBU Jika NPV yang dihasilkan lebih besar dari 0 maka Proyek KPBU dinilai LAYAK. Catatan : Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat bunga pengembalian (discount rate/interest rate) pada saat NPV=0. Suatu investasi dapat diterima apabila IRR lebih besar dari nilai interest rate yang telah ditentukan. Dalam perhitungan IRR ini, biasanya terbagi menjadi 2 (dua) jenis yakni Economic IRR (EIRR) dan Financial IRR (FIRR). EIRR biasanya dilakukan dan menjadi perhatian bagi sektor publik untuk menghitung keuntungan dan biaya baik secara langsung maupun tidak langsung dari sisi sosial, sedangkan FIRR biasanya menjadi perhatian sektor swasta untuk menghitung keuntungan dan biaya secara finansial. FIRR juga mengakomodasi perhitungan subsidi dan pajak. • • Perbandingan FIRR proyek terhadap WACC. Jika FIRR lebih besar dari WACC maka Proyek KPBU dinilai LAYAK. Jika EIRR masih lebih besar dibandingkan dengan Minimum Attractive Rate of Return (MARR) maka Proyek KPBU dinilai LAYAK. Catatan : Debt Service Coverage Ratio (DSCR) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan laba sebelum bunga dan pajak untuk membayar bunga dan pokok pinjaman setelah dikurangi pajak. • Jika DSCR lebih besar daripada 1, maka Proyek KPBU dinilai LAYAK. e. Proyeksi kinerja keuangan Badan Usaha Pelaksana Mengkaji proyeksi kinerja keuangan Badan Usaha Pelaksana dengan menggunakan asumsi-asumsi seperti dibahas diatas. Proyeksi keuangan yang perlu dimasukkan dalam Prastudi Kelayakan: • Proyeksi laba rugi (income statement) • Proyeksi arus kas (cash flow) • Proyeksi neraca (balance sheet) f. 100 Analisis sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk mengkaji pengaruh ketidakpastian pelaksanaan KPBU terhadap tingkat kelayakan keuangan proyek, misalnya: • Penurunan/kenaikan biaya; • Penurunan/kenaikan permintaan. Catatan : Perhitungan analisis finansial ini bersifat kasar dan belum mendetail. Perhitungan secara kasar ini diperlukan untuk menentukan bentuk dukungan yang diperlukan, yang selanjutnya akan disempurnakan pada tahapan penyiapan. 5. Menentukan Bentuk Dukungan Pemerintah yang Diperlukan Tim Penyusun menentukan bentuk Dukungan Pemerintah yang dibutuhkan apabila ternyata kelayakan finansial proyek kurang memadai (marjinal). Fasilitas dukungan pemerintah dapat diberikan berupa: bentuk dukungan kelayakan KPBU/Viability Gap Fund (VGF); insentif perpajakan; dan dukungan dalam bentuk lainnya. Pemberian dukungan Kelayakan ini bertujuan untuk: a. Meningkatkan kelayakan finansial Proyek Kerjasama sehingga menimbulkan minat dan partisipasi Badan Usaha pada Proyek Kerjasama; b. Meningkatkan kepastian pengadaan Proyek Kerjasama dan pengadaan Badan Usaha pada Proyek Kerjasama sesuai dengan kualitas dan waktu yang direncanakan; dan c. Mewujudkan layanan publik yang tersedia melalui infrastruktur dengan tarif yang terjangkau oleh masyarakat. Ketentuan pemberian Dukungan Pemerintah diatur dalam pasal 15 dan 16 Perpres No. 38 tahun 2015, menyatakan bahwa Menteri/Kepala Lembaga/ Kepala Daerah dapat memberikan Dukungan Pemerintah terhadap KPBU sesuai dengan lingkup kegiatan KPBU dan Dukungan Pemerintah ini harus dicantumkan dalam dokumen pengadaan Badan Usaha Pelaksana pada saat lelang. Catatan : Untuk mendukung penerapan KPBU di Indonesia, Kementerian Keuangan melakukan inovasi pembiayaan infrastruktur dengan menyediakan berbagai fasilitas dan dukungan pemerintah, yaitu fasilitas penyiapan proyek, dukungan kelayakan, dan penjaminan infrastruktur. Kementerian Keuangan juga memperkenalkan skema pengembalian investasi proyek KPBU yakni skema Pembayaran Berdasarkan Ketersediaan Layanan atau yang biasa dikenal dengan Availability Payment atau AP. Beberapa kelebihan skema AP ini antara lain, tidak adanya risiko permintaan atau demand risk bagi Badan Usaha dan kepastian pengembalian investasi bagi Badan Usaha. Dukungan ini merupakan bentuk kerja nyata upaya Pemerintah Indonesia untuk mendukung dan memperkuat pembangunan infrastruktur dengan menjembatani keunggulan pihak swasta dan pemerintah demi kehidupan masyarakat yang lebih baik. 101 BAB IV | Analisis Potensi Pendapatan & Skema Pembiayaan KPBU Proses untuk mendapatkan Dukungan Pemerintah diatur dalam PMK No. 223/PMK.011/2012, dimana disebutkan bahwa Dukungan Kelayakan adalah Dukungan Pemerintah dalam bentuk kontribusi fiskal yang bersifat finansial yang diberikan terhadap Proyek Kerja Sama. Proyek yang dapat diberikan dukungan kelayakan memiliki total biaya investasi paling kurang senilai Rp100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah). Di samping pemberian dukungan kelayakan yang bersifat finansial (VGF), Menteri PUPR dan/atau Gubernur/Bupati/Walikota dapat juga memberikan dukungan pemerintah dalam bentuk lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti: dukungan pengadaan tanah, sebagian biaya Konstruksi, kemudahan perijinan. Catatan : Bentuk fasilitas dan dukungan yang dapat diberikan Pemerintah antara lain: a. Fasilitas Penyiapan Proyek (Project Development Facility/PDF) adalah fasilitas yang disediakan oleh Kementerian Keuangan untuk membantu PJPK menyusun kajian prastudi kelayakan, dokumen lelang, dan mendampingi PJPK dalam transaksi proyek KPBU hingga mencapai pembiayaan dari lembaga pembiayaan (financial close). b. Dukungan Kelayakan (Viability Gap Fund/VGF) adalah Dukungan Pemerintah dalam bentuk kontribusi sebagian biaya konstruksi yang diberikan secara tunai pada proyek KPBU yang sudah memiliki kelayakan ekonomi namun belum memiliki kelayakan finansial. Dukungan Kelayakan dapat diberikan setelah tidak terdapat lagi alternatif lain untuk membuat Proyek Kerja Sama layak secara finansial. Pemerintah Daerah dapat berkontribusi atas pemberian dukungan ini setelah memperoleh persetujuan dari DPRD. c. Penjaminan Infrastruktur adalah pemberian jaminan atas kewajiban finansial PJPK untuk membayar kompensasi kepada badan usaha saat terjadi risiko infrastruktur – sesuai dengan alokasi yang disepakati dalam perjanjian KPBU – yang menjadi tanggung jawab PJPK. d. Pembayaran Ketersediaan Layanan (Availability Payment) adalah pembayaran secara berkala oleh Menteri/ Kepala Lembaga/ Kepala Daerah kepada badan usaha atas tersedianya layanan infrastruktur yang sesuai dengan kualitas dan/atau kriteria sebagaimana ditentukan dalam perjanjian KPBU. e. Dukungan Sebagian Konstruksi oleh Kementerian PUPR adalah dukungan dari Kementerian Teknis yang terkait dengan proyek pengelolaan persampahan yakni Kementerian PUPR. Dukungan diberikan melalui pembangunan konstruksi fisik (seperti bangunan sel TPA, IPL, dsb.) untuk mengurangi biaya konstruksi (atau capital expenditure atau CAPEX). Dengan dukungan sebagian konstruksi tersebut, diharapkan dapat meningkatkan kelayakan proyek, ataupun mengurangi biaya yang harus dibayarkan pengguna. 102 4.4 KELUARAN ANALISIS POTENSI PENDAPATAN DAN SKEMA PEMBIAYAAN PROYEK Keluaran yang diharapkan dari Analisis Potensi Pendapatan dan Skema Pembiayaan ini adalah: 1. Teridentifikasinya kemampuan pengguna serta kemampuan fiskal Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD. 2. Teridentifikasinya potensi pendapatan dari proyek KPBU persampahan. 3. Terlaksananya kajian kelayakan finansial dari proyek. 4. Teridentifikasinya Dukungan Pemerintah yang dibutuhkan sesuai dengan kelayakan proyek. 103 BAB IV | Analisis Potensi Pendapatan & Skema Pembiayaan KPBU Rumus-rumus penting yang menjadi dasar analisis finansial dari segi nilai ekonomi proyek KPBU di bidang persampahan yang menggunakan bunga berganda dan metode penggadaan yang berperiode. Adapun 3 (tiga) indikator finansial utama yang perlu diperhitungkan adalah Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate of Return (IRR). 1. Metode Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) adalah harga bersih suatu proyek; jumlah kenaikan bersih cost flow yang discounted suatu proyek. NPV dihitung dengan memperhitungkan nilai uang saat ini (P) bila diketahui uang masa depan (F), tingkat suku bunga (i) dan periode (n). NPV bisa bernilai negatif atau positif. Proyek dikatakan layak/menguntungkan untuk dilakukan apabila NPV bernilai positif pada tingkat bunga yang ditentukan terlebih dahulu. Adapun rumus yang dapat digunakan untuk menghitung Present Value (P) adalah: Maka rumus yang dapat digunakan untuk menghitung nilai NPV menggunakan persamaan sebagai berikut: NPV = present value benefit – present value cost Dengan ketentuan: • hNPV positif > 0, maka proyek layak untuk dilaksanakan. • NPV negatif < 0, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan. 2. Metode Benefit Cost Ratio (BCR) Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan salah satu metode analisis yang merupakan perbandingan nilai manfaat (benefit) dan nilai biaya (cost). Proyek dianggap layak/menguntungkan apabila nilai BCR > 1 dan dianggap tidak layak/merugikan apabila BCR < 1. Rumus yang dapat digunakan untuk menghitung nilai BCR menggunakan persamaan berikut: 104 Dengan : • Bt • Ct • i • t = Manfaat (Benefit) pada tahun ke-t = Biaya (Cost) pada tahun ke-t = Discount Factor = Umur proyek Apabila hasil perhitungan BCR tersebut: • Net B/C > 1, maka proyek layak untuk dilaksanakan. • Net B/C < 1, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan. • Net B/C = 0, maka proyek dianggap netral. 3. Metode Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat diskon (discount rate) yang menjadikan sama antara present value dari penerimaan dan present value dari nilai atau investasi yang menunjukkan net present value atau sama besarnya dengan nol. IRR juga dapat didefinisikan dengan besaran suku bunga dimana penerimaan dan modal sama dengan nol, atau juga besaran suku bunga dimana net present value (NPV) sama dengan nol. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai IRR menggunakan persamaan (perhitungan ini sifatnya adalah trial and error): Dengan : • i1 • i2 • NPV1 • NPV2 = Suku bunga rendah = Suku bunga tinggi = NPV suku bunga rendah = NPV suku bunga tinggi Apabila hasil perhitungan IRR tersebut: • IRR > suku bunga yang ditetapkan, maka proyek layak untuk dilaksanakan. • IRR < suku bunga yang ditetapkan, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan. 105 TPA REGIONAL NAMBO Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat 106 BAB V REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT 107 BAB V | 5.1 Rekomendasi dan Rencana Tindak Lanjut DEKSRIPSI REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT Tim Penyusun menganalisis rekomendasi bentuk KPBU, rekomendasi kriteria utama dalam pemilihan badan usaha, dan rencana jadwal kegiatan penyiapan dan transaksi KPBU. Adapun muatan dari bagian ini adalah: • Rekomendasi bentuk kerja sama dan skema pembiayaan proyek; • Rekomendasi kriteria utama dalam pemilhan badan usaha; dan • Rencana jadwal kegiatan penyiapan dan transaksi KPBU. 5.2 INPUT DATA YANG DIPERLUKAN Dalam merumuskan rekomendasi dan rencana tindak lanjut KPBU, Tim Penyusun menggunakan data utama yakni analisis-analisis yang telah sebelumnya dilakukan dalam Studi Pendahuluan, untuk dibandingkan dengan alternatif skema kerjasama. 5.3 LANGKAH PELAKSANANAN ANALISIS REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT 1. Menguraikan Alternatif Bentuk Skema Kerjasama Tim Penyusun menguraikan alternatif-alternatif skema kerjasama yang dapat diterapkan sampai dengan penetapan skemanya. karakteristik alternatifalternatif skema KPBU berikut dengan keuntungan dan kerugian/kelemahan dari masing-masing alternatif tersebut. Dalam pelaksanaan skema KPBU, terdapat pilihan-pilihan bentuk KPBU yang terdiri dari: (A) kontrak jasa (service contract); (B) kontrak kelola (management contract); (C) kontrak sewa (lease contract); (D) rehabilitate-operate-transfer (ROT); (E) build-operate-transfer (BOT); dan (F) konsesi. Penjabaran alternatif skema KPBU tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.1 berikut. 108 Gambar 5.1 Alternatif Skema KPBU 109 BAB V | Rekomendasi dan Rencana Tindak Lanjut 2. Memilih Skema KPBU yang Sesuai Tim Penyusun merumuskan pertimbangan-pertimbangan dalam menetapkan skema KPBU yang akan diterapkan. Beberapa pertimbangan dapat meliputi pertimbangan hukum dan peraturan, kelembagaan, ketersediaan infrastruktur yang ada, waktu untuk ketersediaan infrastruktur, kemampuan (teknis dan finansial) pemerintah, optimalisasi investasi oleh Badan Usaha, kemungkinan pembiayaan dari sumber lain serta pembagian risikonya dan kepastian adanya pengalihan keterampilan manajemen dan teknis dari sektor swasta kepada sektor publik. Pilihan-pilihan yang Dipertimbangkan adalah: a. Kontrak Jasa (Service Contract) Perjanjian ini dilaksanakan apabila infrastruktur sudah ada, dan pengelolaan utilitas yang sudah terkelola dengan baik dan layak secara komersial dilakukan oleh badan usaha. b. Kontrak Kelola (Management Contract) Perjanjian ini dilaksanakan pada infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah dan untuk meningkatkan kapasitas teknis dan efisiensi suatu utilitas secara cepat dalam melakukan tugas-tugas tertentu, maka pengelolaannya diberikan kepada pihak swasta. c. Kontrak Sewa (Leasing Contract) Perjanjian ini dilaksanakan pada infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah, dan disewakan kepada badan usaha karena ada ruang keuntungan yang besar dalam efisiensi operasi tetapi kebutuhan atau ruang untuk investasi baru terbatas. d. ROT (Rehabilitate Operate Transfer) Perjanjian ini dilaksanakan pada aset pemerintah yang tidak dalam kondisi baik, sehingga diperbaiki oleh badan usaha dan kepemilikannya menjadi milik badan usaha. Tujuan dari kerjasama ini adalah mobilisasi modal Badan Usaha untuk rehabilitasi, up-grading, extending dari aset yang ada. Skema ini diterapkan pada memperbaiki fasilitas infrastruktur yang sudah tidak efisien untuk meningkatkan kualitas layanan. e. BOT (Build Operate Transfer) Perjanjian kerjasama dalam bentuk BOT yaitu pemanfaatan tanah dan bangunan milik atau dikuasai oleh pemerintah daerah oleh pihak ketiga dengan cara pihak ketiga membangun bangunan siap pakai atau menyediakan, menambah sarana lain berikut fasilitas di atas tanah atau bangunan tersebut dan mendayagunakannya selama jangka waktu tertentu untuk kemudian setelah jangka waktu berakhir menyerahkan kembali tanah dan bangunannya serta sarana lain berikut fasilitasnya beserta pendayagunaannya kepada daerah serta membayar kontribusi sejumlah uang atas pemanfaatannya yang besarnya ditetapkan sesuai kesepakatan. Dalam pengembangannya, skema BOT dapat dimodifikasi menjadi beberapa jenis antara lain: 110 • • • f. BTO (Build Transfer Operate) Perjanjian Kerjasama dalam bentuk BTO yaitu pemanfaatan tanah dan bangunan milik atau dikuasai oleh pemerintah daerah oleh pihak ketiga dengan cara pihak ketiga membangun bangunan siap pakai dan/atau menyediakan, menambah sarana lain berikut fasilitas di atas tanah atau bangunan tersebut dan setelah selesai pembangunannya diserahkan pada pemerintah daerah untuk kemudian oleh pemerintah daerah tanah dan bangunan siap pakai dan/atau sarana lain berikut fasilitasnya diserahkan kembali pada pihak ketiga untuk didayagunakan selama jangka waktu tertentu dan/atau pemanfaatannya pihak ketiga dikenakan kontribusi sejumlah uang yang besarnya ditetapkan sesuai dengan kesepakatan. BOO (Build, Operate, Own) Perjanjian Kerjasama dalam bentuk BOO yaitu suatu jenis sistem kemitraan yang pada dasarnya menggunakan pola membangun, mengoperasikan, seterusnya memiliki. Namun pola ini tidak diterapkan karena berbagai alasan, di antaranya adalah kesulitan dalam BOO di mana mitra harus berfungsi sebagai operator di ana permohonan pemilikan izin dan penyelenggaraan jasa tidak mudah didapatkan. BT (Build Transfer) Perjanjian Kerjasama dalam bentuk BT yaitu perikatan antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga dengan ketentuan tanah milik pemerintah daerah, pihak ketiga membangun dan membiayai sampai selesai setelah pembangunan selesai pihak ketiga menyerahkan pada pemerintah daerah dan pemerintah daerah membayar biaya pembangunannya. Konsesi Konsesi adalah pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah, perusahaan, individu, atau entitas legal lain. Model konsesi umum diterapkan pada KPBU. Sistem konsesi adalah pelaksanaan pendanaan, desain, pembangunan, operasi dan pemeliharaan oleh badan usaha selama periode waktu tertentu, yang kemudian ketika masa konsesi berakhir, aset dikembalikan kepada pemerintah. Konsesi baik diterapkan jika dibutuhkan investasi yang besar untuk memperluas cakupan atau meningkatkan kualitas layanan. 3. Menentukan Rekomendasi Kriteria Utama Dalam Pemilihan Badan Usaha Tim Penyusun menyusun rekomendasi kriteria utama dalam pemilihan Badan Usaha, yang terdiri dari: a. Kriteria Kelengkapan Administrasi Badan Usaha seperti: Akta pendirian perusahaan; surat izin usaha; Profil perusahaan; Surat penyataan tidak sedang dalam pengampuan, tidak sedang dipailitkan, perusahaannya tidak sedang dihentikan dan/atau tidak sedang menjalani perkara pidana; Surat dukungan dari pemegang saham (Perjanjian Sponsor); Nomor 111 BAB V | b. c. d. e. f. 112 Rekomendasi dan Rencana Tindak Lanjut Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan bukti setoran pajak 1 (satu) tahun terakhir; Untuk Peserta yang berbentuk konsorsium, diwajibkan melampirkan bukti perjanjian kerjasama pembentukan konsorsium; dan Pakta Integritas. Kriteria Komposisi, peserta dapat mengajukan diri sebagai badan usaha tunggal atau konsorsium; Jika penawaran dilakukan secara konsorsium, maka Pimpinan Konsorsium harus menyatakan diri mengenai kewajiban tanggung renteng dan tanggung jawabnya sendiri-sendiri atas tindakan, kewajiban dan pertanggungjawaban konsorsium; Peserta harus terdiri dari satu atau lebih Anggota yang secara bersama-sama wajib memenuhi kualifikasi yang diminta seperti: keuangan, pengalaman membangun, Operasi, dan pemeliharaan. Kriteria Keuangan, peserta wajib menyampaikan informasi kriteria keuangan disertai dengan dokumen-dokumen pendukung: Salinan laporan keuangan yang sudah diaudit, selama 3 (tiga) tahun anggaran terakhir, yang disusun berdasarkan standar akuntansi IAS, IFRS, Indonesia GAAP, atau wajib mendapat persetujuan dari Pemerintah, jumlah Total Aset yang dapat merupakan gabungan dari seluruh anggota konsorsium berjumlah lebih dari kebutuhan misalnya 3 kali CAPEX untuk setiap tahun anggaran selama 3 (tiga) tahun anggaran terakhir; dan Kekayaan Bersih yang dapat merupakan gabungan dari seluruh anggota konsorsium berjumlah misalnya lebih dari 1,5 kali CAPEX untuk setiap tahun anggaran selama 3 (tiga) tahun anggaran terakhir; Surat Referensi dari Bank untuk peserta atau masing-masing Pimpinan dan anggota konsorsium Kriteria Teknis, peserta harus dapat membuktikan kemampuan teknis dalam mendesain, mengadakan, membangun, mengoperasikan, dan memelihara Proyek Sejenis, termasuk untuk menyediakan peralatan khusus dan tenaga ahli spesialisyang diperlukan dalam pelaksanaan Proyek. Kriteria Pengalaman Operasi dan Pemeliharaan, peserta wajib menyampaikan informasi pengalaman operasi dan pemeliharaan dengan pernyataan Kualifikasi disertai dengan dokumen-dokumen pendukung; peserta telah memiliki pengalaman sukses operasional dan pemeliharaan minimal 1 (satu) Proyek Sejenis yang telah berjalan paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam 15 (lima belas) tahun terakhir; atau peserta telah menandatangani paling tidak 1 (satu) kontrak O&M dengan satu atau lebih kontraktor O&M untuk operasi dan pemeliharaan setidaknya 1(satu) Proyek Sejenis yang memenuhi syarat; Nama kontraktor O&M dan rincian proyek yang memenuhi criteria diatas harus dicantumkan. Kriteria Pengalaman EPC (Engineering Procurement Contractor), peserta wajib menyampaikan informasi pengalaman EPC berikut dengan cara pernyataan Kualifikasi disertai dengan dokumen-dokumen pendukung, yaitu: peserta telah memiliki pengalaman sukses melakukan EPC setidaknya 1 (satu) Proyek Sejenis yang telah berjalan paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam 15 (lima belas) tahun terakhir; atau peserta menandatangani, dan mengelola selama tahap Konstruksi, setidaknya 1 (satu) kontrak EPC dengan satu atau lebih kontraktor EPC proyek yang memenuhi kriteria Teknis yang kontraknya sesuai dengan Perjanjian Kerjasama lainnya dan dinyatakan diterima oleh lembaga pemberi pinjaman. Nama kontraktor EPC dan rincian proyek yang memenuhi kriteria di atas harus dicantumkan. g. Kriteria Lainnya, masing-masing Peserta tidak terlibat dalam Perselisihan Material Lainnya yang belum terselesaikan selama 5 (lima) tahun terakhir; masing-masing Peserta wajib menyebutkan secara rinci dalam Penyataan Kualifikasinya, setiap Perselisihan Material Lainnya terhadapnya yang telah diselesaikan (atau dalam hal Peserta berbentuk konsorsium, terhadap setiap anggota konsorsium) lebih dari 5 (lima) tahun sebelum batas akhir waktu penyampaian Pernyataan Kualifikasi Peserta bersangkutan. h. Kriteria yang menggugurkan, peserta dinyatakan gugur dari Proses Penawaran jika mengalami hal-hal berikut ini kecuali dikesampingkan secara tertulis: • Tidak memenuhi kriteria evaluasi dan/atau permintaan dan/atau persyaratan yang ditetapkan dalam Dokumen Penawaran atau kegagalan Peserta menyediakan informasi atau dokumen yang dibutuhkan dalam Penyataan Kualifikasinya; • Apabila informasi yang disampaikan Peserta selama dan setelah Proses Penawaran diketahui tidak benar atau menyesatkan; • Apabila Perselisihan material lainnya yang ditangguhkan terhadap Peserta (atau, dalam hal Peserta berbentuk konsorsium, terhadap setiap anggota konsorsium) terhitung pada Batas Akhir Waktu Penyampaian Penawaran dan Perselisihan Material Lainnya tersebut kemudian dilanjutkan terhadap Peserta atau anggota konsorsium tersebut sebelum tanggal penyampaian Dokumen Penawaran; • Penyampaian dokumen atau informasi yang diminta tidak lengkap; • Klarifikasi yang diminta oleh Panitia Pengadaan Badan Usaha dari Peserta tidak diterima pada batas waktu yang telah ditetapkan secara wajar oleh Panitia Pengadaan Badan Usaha; • Peserta (atau, dalam hal Peserta berbentuk konsorsium, setiap anggota konsorsium) sedang mengalami likuidasi, di bawah pengawasan pengadilan atau proses sejenisnya selama Proses Prakualifikasi; atau • Peserta (atau, dalam hal Peserta berbentuk konsorsium, setiap anggota konsorsium) berpartisipasi dalam Proses Prakualifikasi pada lebih dari 1 (satu) peserta,atau Peserta (atau, dalam hal Peserta berbentuk konsorsium, setiap anggota konsorsium) memiliki saham lebih dari 20% (dua puluh persen) pada Badan Usaha Peserta lain atau pada setiap anggota konsorsium dari Peserta lain yang berbentuk konsorsium. 113 BAB V | Rekomendasi dan Rencana Tindak Lanjut 4. Menyusun Rencana Jadwal Kegiatan Penyiapan dan Transaksi KPBU Tim Penyusun menyusun rencana jadwal kegiatan penyiapan dan transaksi KPBU sesuai dengan bentuk KPBU yang telah dipilih. Adapun contoh rencana jadwal kegiatan dapat dilihat pada Contoh berikut. Contoh: Aktivitas Konfirmasi Kepemilikan Lahan dan luasan lahan yang dapat dikembangkan untuk Proyek KPBU Tahun t t+1 t+2 t+3 Penanggung Jawab Pembentukan Tim KPBU dan Panitia Pengadaan KPBU Proses permintaan Pendampingan OBC & Transaksi/Pelelangan Penyusunan AMDAL dan ANDALALIN Proses transaksi/FBC Proses Pengajuan Dukungan Proses Pengajuan jaminan Berdasarkan praktik-praktik pelaksanaan KPBU di bidang persampahan selama ini, diketahui bahwa durasi waktu yang diperlukan dalam setiap kegiatan dalam tahapan KPBU pada umumnya dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut. Tabel 5.1 Durasi Waktu Kegiatan dalam Tahapan KPBU No. 114 Tahapan Kegiatan Perkiraan Durasi Pelaksanaan (bulan) 1. Identifikasi proyek 1- 2 2. Studi pendahuluan 3-4 3. Kajian awal Pra-Studi Kelayakan (OBC) 3-4 4. Kajian akhir Pra-Studi Kelayakan (FBC) 4-5 5. Pra-kualifikasi 1-2 6. Permohonan proposal 1-2 No. Tahapan Kegiatan Perkiraan Durasi Pelaksanaan (bulan) 7. Penunjukkan pemenang lelang 1 8. Penandatanganan Perjanjian KPBU 1 9. Pemenuhan pembiayaan (financial close) 6* 10. Konstruksi (mulai) 24 *)Dapat diperpanjang selama 6 bulan menjadi 12 bulan apabila badan usaha gagal memenuhi pembiayaan dalam durasi 6 bulan, sesuai kesepakatan 5.4 KELUARAN REKOMENDASI DAN TINDAK LANJUT Keluaran yang diharapkan dari Rekomendasi dan Rencana Tindak Lanjut ini adalah: 1. Diambilnya keputusan apakah proyek KPBU persampahan dilaksanakan dengan skema KPBU atau pengadaan barang/jasa konvensional. 2. Terpilihnya skema KPBU yang paling tepat sesuai dengan karakteristik proyek KPBU. 3. Terumuskannya rencana tindak lanjut dari perencanaan KPBU, menuju tahapan penyiapan dan transaksi KPBU. 115 LAMPIRAN I CHECKLIST PENYUSUNAN DOKUMEN STUDI PENDAHULUAN KPBU BIDANG PERSAMPAHAN 116 LAMPIRAN I LAMPIRAN 1 Sesuai dengan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Nomor 4 Tahun 2015, pada tahap perencanaan KPBU terdiri atas kegiatan-kegiatan: 1. Penyusunan rencana anggaran dana KPBU; 2. Identifikasi dan penetapan KPBU; 3. Penganggaran dana tahap perencanaan KPBU; 4. Pengambilan keputusan lanjut/tidak lanjut rencana KPBU; 5. Penyusunan Daftar Rencana KPBU; dan 6. Pengkategorian KPBU Salah satu dokumen utama yang dihasilkan pada tahap perencanaan KPBU adalah dokumen Studi Pendahuluan proyek KPBU. Dalam hal melakukan identifikasi, Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah menyusun Studi Pendahuluan proyek KPBU dan melakukan Konsultasi Publik. Dalam menyusun Dokumen Studi Pendahuluan Proyek KPBU Bidang Persampahan, dapat mengikuti “TEMPLATE DAFTAR ISI STUDI PENDAHULUAN KPBU PERSAMPAHAN” yang sekurangnya terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut. 117 LAMPIRAN I TEMPLATE DAFTAR ISI STUDI PENDAHULUAN KPBU PERSAMPAHAN BAB 1: RUANG LINGKUP PROYEK Menjelaskan terlebih dahulu terkait dengan ruang lingkup proyek, antara lain nama proyek; Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK); lokasi proyek; cakupan proyek; dasar pemikiran, dan rekomendasi bentuk KPBU. BAB 2: KAJIAN KEBUTUHAN 2.1 Kepastian KPBU Memiliki Dasar Pemikiran Teknis dan Ekonomi 2.2 Kepastian KPBU Mempunyai Permintaan yang Berkelanjutan 2.3 Kepastian KPBU Mendapatkan Dukungan dari Pemangku Kepentingan BAB 3: ANALISIS KEPATUHAN 3.1 Analisis Kesesuaian dengan Peraturan Perundang-Undangan 3.2 Analisis Kesesuaian KPBU dengan Rencana Pembangunan Daerah 3.3 Analisis Kesesuaian KPBU dengan Rencana Tata Ruang Wilayah 3.4 Analisis Kesesuaian KPBU dengan Keterkaitan Lintas Sektor Infrastruktur dan Antar Wilayah BAB 4: ANALISIS FAKTOR PENENTU NILAI MANFAAT UANG (VALUE FOR MONEY) 4.1 Penilaian Analisis Value for Money BAB 5: ANALISIS POTENSI PENDAPATAN DAN SKEMA PEMBIAYAAN PROYEK 5.1 Kemampuan Fiskal Daerah 5.2 Kemampuan Pengguna untuk Membayar 5.3 Potensi Pendapatan Lainnya 5.4 Bentuk Dukungan Pemerintah BAB 6: REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT 6.1 Rekomendasi Bentuk KPBU 6.2 Struktur Proyek dengan Skema KPBU 6.3 Rekomendasi Kriteria Utama dalam Pemilihan Badan Usaha 6.4 Rencana Jadwal Kegiatan Penyiapan dan Transaksi KPBU BAB 7: PENUTUP 118 Setelah Dokumen Studi Pendahuluan telah selesai dibuat, maka dapat diperiksa dengan menggunakan Checklist Dokumen Studi Pendahuluan KPBU. Checklist Dokumen Studi Pendahuluan Proyek KPBU Bidang Persampahan ini merupakan instrumen pendukung yang berfungsi untuk mempermudah pihak yang menyiapkan dokumen Studi Pendahuluan KPBU, yang berisikan komponenkomponen yang sekurang-kurangnya perlu diakomodasi dalam Dokumen Studi Pendahuluan KPBU Bidang Persampahan. CHECKLIST DOKUMEN STUDI PENDAHULUAN KPBU BIDANG PERSAMPAHAN INI BUKAN MERUPAKAN TEMPLATE YANG BERSIFAT WAJIB, MELAINKAN LEBIH KEPADA ARAHAN MENGENAI HAL-HAL YANG SEBAIKNYA ADA DALAM DOKUMEN STUDI PENDAHULUAN PROYEK KPBU BIDANG PERSAMPAHAN PETUNJUK PENGISIAN Pengguna, dalam hal ini, pihak yang menyusun dokumen studi pendahuluan, mengisi checklist sesuai dengan kelengkapan isi substansi dokumen yang sedang disusun. Apabila isi substansi dokumen yang sedang disusun sudah menjelaskan indikator yang tercantum dalam checklist, maka pengguna memberikan tanda (√) pada kolom “Ada” yang disediakan. Namun, apabila isi substansi dokumen yang sedang disusun belum menjelaskan indikator yang tercantum pada checklist, maka pengguna memberikan tanda (√) pada kolom “Tidak Ada” yang disediakan. Bagian 1: Kajian Kebutuhan No. 1. Keterangan Ada Tidak Ada Kondisi eksisting pengelolaan sampah 1a. Pengelolan atau instansi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah 1b. Kondisi layanan pengelolaan sampah eksisting 1c. Organisasi pengelolaan sampah eksisting 1d. Pola operasi layanan pengelolaan sampah eksisting 1e. Biaya atau tariff pengelolaan sampah eksisting 1f. Kondisi prasarana dan sarana pengelolaan sampah eksisting 1g. Sistem pembiayaan dan keuangan pengelolaan sampah 119 LAMPIRAN I No. 2. 3. Keterangan Kondisi sampah eksisting Kajian sistem pengelolaan sampah eksisting 3a. Jumlah penduduk eksisting 3b. Tingkat pertumbuhan penduduk 3c. Proyeksi jumlah penduduk mendatang 3d. Jumlah rata-rata timbulan sampah yang dihasilkan per orang per hari 3e. Jumlah timbulan sampah 3e. Proyeksi jumlah timbulan sampah sesuai proyeksi pertumbuhan penduduk 4. 3f. Penetapan daerah zona prioritas dan target jumlah timbulan sampah yang akan dikelola Rencana teknis operasional proyek KPBU 4a. Standar pelayanan minimal pengelolaan sampah melalui skema KPBU 4b. Daerah prioritas pelayanan pengelolaan sampah yang akan dilakukan dengan skema KPBU 4c. Strategi sistem pengembangan pengelolaan sampah dengan skema KPBU 4d. Proses pemilahan dan pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, pemrosesan akhir dan perhitungan kebutuhan sarana dan prasarana persampahan 4e. Sistem teknologi pengolahan sampah yang akan dikerjasamakan melalui skema kerjasama KPBU 4f. Spesifikasi keluaran yang harus dipenuhi Badan Usaha Pelaksana (BUP) 4g. Jadwal pelaksanaan konstruksi 120 5. Tren wilayah perkotaan saat ini 6. Inisiatif Pemerintah/Pemerintah Daerah 7. Demografi dan kebutuhan Ada Tidak Ada Bagian 2: Kriteria Kepatuhan No. Keterangan 1. Kesesuaian dengan Peraturan Perundang-Undangan 2. Kesesuaian dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 3. Kesesuaian dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 4. Kesesuaian dengan Rencana Tata Wilayah Provinsi 5. Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota 6. Kesesuaian dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 7. Kesesuaian Sampah dengan 8. Kesesuaian (Jakstrada) dengan Rencana Kebijakan Induk Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Pengelolaan Strategis Daerah Bagian 3: Potensi Pendapatan dan Skema Pembayaran No. Keterangan 1. Analisis struktur pendapatan KPBU 2. Mekanisme penyesuaian tarif Analisis skema pembiayaan 3a. Asumsi analisis keuangan 3b. Perhitungan pendapatan 3. 3c. Perhitungan biaya investasi 3d. Indikator kelayakan keuangan 3e. Proyeksi kinerja keuangan Badan Usaha Pelaksana (BUP) 3f. Analisis Sensitivitas 4. Kemampuan Fiskal PJPK 5. Kebutuhan Dukungan Pemerintah 121 LAMPIRAN I Bagian 4: Kajian Value for Money No. 1. Keterangan Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Tabel penilaian Value for Money secara kualitatif Bagian 5: Rekomendasi dan Tindak Lanjut Proyek KPBU No. 122 Keterangan 1. Kajian alternatif bentuk skema KPBU 2. Pemilihan skema KPBU LAMPIRAN II ASPEK TEKNIS KONDISI EKSISTING KPBU BIDANG PERSAMPAHAN 123 LAMPIRAN II PETUNJUK PENGGUNAAN LAMPIRAN 2 : Lampiran 2 yang merupakan teknis eksisting kegiatan KPBU pengelolaan persampahan digunakan sebagai acuan untuk menggambarkan kondisi eksisting dari pengelolaan sampah, yang terdiri dari timbulan sampah eksisting, sistem pewadahan, pengangkutan dan pengolahan data eksisting. Teknis ini mengacu pada - Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan. TEKNIS EKSISTING PROYEK KPBU PENGELOLAAN PERSAMPAHAN INI TIDAK BERSIFAT MENGIKAT, TAPI DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI ACUAN UNTUK MENGGAMBARKAN KONDISI EKSISTING DARI SISTEM PENGELOLAAN PERSAMPAHAN YANG DIBUTUHKAN DALAM KAJIAN KEBUTUHAN (NEED ANALYSIS) DALAM STUDI PENDAHULUAN. PENGGAMBARAN KONDISI EKSISTING PENGELOLAAN SAMPAH INI JUGA DIHARAPKAN DAPAT MENGGAMBARKAN KEBUTUHAN AKAN PENINGKATAN LAYANAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN. Berdasarkan Undang-undang No. 18 Tahun 2008, upaya pengelolaan persampahan meliputi kegiatan pengurangan dan penanganan sampah, seperti pada gambar berikut. 124 Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) Dalam Penyediaan Infrastruktur, jenis infrastruktur sistem pengelolaan persampahan yang dapat dikerjasamakan mencakup: • Pengangkutan; • Pengolahan; dan/atau • Pemrosesan akhir sampah 1. Timbulan Sampah Prosentase timbulan sampah pada umumnya terdiri dari timbulan sampah berasal dari permukiman dan dari non permukiman. Ukuran timbulan sampah dapat didasarkan kepada berat dan volume. • • Berdasarkan berat, satuan berat ton, kg Berdasarkan volume, satuan volume liter, m3 Satuan atau Unit Timbulan Limbah Padat • Perumahan l/capita.day; kg/orang/hari • Komersil l/capita.day; kg/orang.hari • Industri l waste/product.day • Pertanian l waste/ton of raw product • Jalan l/panjang jalan Metoda Pengukuran a. Load-Count Analysis Didasarkan atas jumlah kendaraan pengangkutan yang masuk dilokasi Transfer Station atau Recycling Center atau TPA, bisa berdasarkan jumlah, volume dan berat. b. Weight–Volume Analysis Pengukuran langsung pada kendaraan pengangkut, bisa berdasarkan berat atau volume. Beberapa faktor penting dalam menghitung laju timbulan sampah antara lain: a. Perkembangan Jumlah Penduduk Beberapa metode proyeksi perhitungan jumlah penduduk yang dapat 125 LAMPIRAN II dilakukan antara lain metoda least square, geometrik dan eksponensial (aritmatik). b. Survey Pengambilan Contoh Sampah di Sumber Sampah Pelaksanaan survey dan pengambilan contoh berdasarkan SNI M-36-199103 Tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan. c. Penentuan Densitas Sampah Densitas sampah adalah berat sampah yang diukur dalam satuan kilogram dibandingkan dengan volume sampah yang diukur tersebut (kg/m3). Metode lain yang dapat digunakan untuk menentukan laju timbulan sampah adalah berdasarkan proyeksi penduduk dan penetapan kriteria besar timbulan sampah. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menetapkan kriteria besar timbulan sampah berdasarkan sumber sampah dan karakteristik kota, sebagai berikut: Tabel 1. Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen-Komponen Sumber Sampah 126 Volume No Komponen Sumber Sampah 1. Rumah Permanen per org/hari 2,25 – 2,50 0,350 – 0,400 2. Rumah Semi Permanen per org/hari 2,00 – 2,25 0,300 – 0,350 3. Rumah non permanen per org/hari 1,75 – 2,00 0,250 – 0,300 4. Kantor per pegawai/hari 0,50 – 0,75 0,025 – 0,100 5. Toko/Ruko per petugas/hari 2,50 – 3,00 0,150 – 0,350 6. Sekolah per murid/hari 0,10 – 0,15 0,010 – 0,020 7. Jalan arteri sekunder per meter/hari 0,10 – 0,15 0,020 – 0,100 8. Jalan kolektor sekunder per meter/hari 0,10 – 0,15 0,010 – 0,050 Satuan (Liter) Berat (Kg) 9. Jalan lokal per meter/hari 0,05 – 0,1 0,005 – 0,025 10. Pasar per meter2/hari 0,20 – 0,60 0,1 – 0,3 Tabel 2. Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota No. 1. 2. 3. Klasifikasi Kota Kota Besar (500.000-1.000.000 jiwa) Volume Berat (L/orang/hari) (kg/orang/hari) 2,75 – 3,25 0,70 – 0,80 2,75 – 3,25 0,70 – 0,80 2,50 – 2,75 0,625 – 0,70 Kota Sedang (100.000 – 500.000 jiwa) Kota Kecil (20.000 – 100.000 jiwa) 2. Pewadahan Sampah Pemilihan sarana pewadahan sampah mempertimbangkan: a. Volume sampah; b. Jenis sampah; c. Penempatan; d. Jadwal pengumpulan; dan e. Jenis sarana pengumpulan dan pengangkutan. Kriteria sarana wadah sampah: a. Standar SNI: SNI No 19-2454-2002 tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan adalah sebagai berikut: • Kriteria Wadah Sampah: ◦◦ Tidak mudah rusak dan kedap air; ◦◦ Ekonomis dan mudah diperoleh/dibuat oleh masyarakat; dan ◦◦ Mudah dikosongkan. ◦◦ Pengumpulan Sampah 127 LAMPIRAN II METODE PENGUMPULAN Kegiatan Pengumpulan sampah dilakukan oleh pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas lainnya serta pemerintah kabupaten/kota. Pada saat pengumpulan, sampah yang sudah terpilah tidak diperkenankan dicampur kembali. Pengumpulan didasarkan atas jenis sampah yang dipilah dapat dilakukan melalui : • Pengaturan jadwal pengumpulan sesuai dengan jenis sampah terpilah dan sumber sampah; • Penyediaan sarana pengumpul sampah terpilah. Pengumpulan sampah dari sumber sampah dilakukan sebagai berikut : a. Pengumpulan sampah dengan menggunakan gerobak atau motor dengan bak terbuka atau mobil bak terbuka bersekat dikerjakan sebagai berikut: • Pengumpulan sampah dari sumbernya minimal 2(dua) hari sekali. • Masing-masing jenis sampah dimasukan ke masing-masing bak di dalam alat pengumpul atau atur jadwal pengumpulan sesuai dengan jenis sampah terpilah. • Sampah dipindahkan sesuai dengan jenisnya ke TPS atau TPS 3R. b. Pengumpulan sampah dengan gerobak atau motor dengan bak terbuka atau mobil bak terbuka tanpa sekat dikerjakan sebagai berikut: • Pengumpulan sampah yang mudah terurai dari sumbernya minimal 2 (dua) hari sekali lalu diangkut ke TPS atau TPS 3R. • Pengumpulan sampah yang mengandung bahan B3 dan limbah B3, sampah guna ulang, sampah daur ulang, dan sampai lainnya sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan dapat dilakukan lebih dari 3 hari sekali oleh petugas RT atau RW atau oleh pihak swasta. Pola Pengumpulan Terdapat lima pola pengumpulan sampah, yaitu : 1. Pola invidual tidak langsung dari rumah ke rumah. 128 • Bagi daerah yang partisipasi masyarakatnya pasif; • Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia; • Bagi kondisi topografi relatif datar, yaitu kemiringan rata-rata kurang dari 5%, dapat menggunakan alat pengumpul non mesin, contoh gerobak atau becak; • Alat pengumpul masih dapat menjangkau secara langsung; • Kondisi lebar gang dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu pemakai jalan lainnya; dan • Harus ada organisasi pengelola pengumpulan sampah. 2. Pola individual langsung dengan truk untuk jalan dan fasilitas umum • Kondisi topografi bergelombang, yaitu kemiringan lebih dari 15% sampai dengan 40%, hanya alat pengumpul mesin yang dapat beroperasi; • Kondisi jalan cukup lebar dan operasi tidak mengganggu pemakai jalan lainnya; • Kondisi dan jumlah alat memadai; • Jumlah timbunan sampah >0,3 m3/hari; dan • Bagi penghuni yang berlokasi di jalan protokol. 3. Pola komunal langsung untuk pasar dan daerah komersial • Bila alat angkut terbatas; • Bila kemampuan pengendalian personil dan peralatan relatif rendah; • Alat pengumpul sulit menjangkau sumber sampah individual (kondisi daerah berbukit, gang jalan sempit); • Peran serta masyarakat tinggi; • Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan lokasi yang mudah dijangkau oleh alat pengangkut (truk); dan • Untuk permukiman tidak teratur. 4. Pola komunal tidak langsung untuk permukiman padat • Peran serta masyarakat tinggi; • Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan lokasi yang mudah dijangkau alat pengumpul; • Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia; • Bagi kondisi topografi relatif datar, kemiringan rata-rata kurang dari 5%, dapat mengunakan alat pengumpul non mesin, contoh gerobak atau becak. Sedangkan bagi kondisi topografi dengan kemiringan lebih besar dari 5% dapat menggunakan cara lain seperti pikulan, kontainer kecil beroda dan karung; 129 LAMPIRAN II • Leher jalan/gang dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu pemakai jalan lainnya; dan • Harus ada organisasi pengelola pengumpulan sampah. 5. Pola penyapuan Jalan • Juru sapu harus mengetahui cara penyapuan untuk setiap daerah pelayanan (diperkeras, tanah, lapangan rumput, dan lain-lain); • Penanganan penyapuan jalan untuk setiap daerah berbeda tergantung pada fungsi dan nilai daerah yang dilayani; • Pengumpulan sampah hasil penyapuan jalan diangkut pemindahan untuk kemudian diangkut ke TPA; dan • Pengendalian personel dan peralatan harus baik. Gambar 1. Teknik Pengumpulan Sampah 130 ke lokasi Prasarana dan Sarana Pengumpulan 1. Jenis dan volume sarana pengumpulan sampah harus: • Disesuaikan dengan kondisi setempat; • Dilakukan sesuai dengan jadwal pengumpulan yang ditetapkan; dan • Memenuhi ketentuan dan pedoman yang berlaku dengan memperhatikan sistem pelayanan persampahan yang telah tersedia. 2. Jenis sarana pengumpulan sampah terdiri dari: • TPS; • TPS 3R; dan/atau • Alat pengumpul untuk sampah terpilah. 3. Perhitungan Kebutuhan Alat Pengumpul • Menghitung jumlah alat pengumpul (gerobak/becak sampah/motor sampah/mobil bak) kapasitas 1 m3 di perumahan Keterangan: A = Jumlah Rumah Mewah B = Jumlah Rumah Sedang C = Jumlah Rumah Sederhana D = Jumlah Jiwa di Rumah susun Jj = Jumlah jiwa per rumah Ts = Timbulan sampah (L/orang atau unit/hari) (Kota Besar = 3 L/org/hari; Kota Kecil = 2,5 L/org/hari) Kk = Kapasitas Alat Pengumpul Fp = Faktor pemadatan alat = 1,2 Rk = Ritasi alat pengumpul 131 LAMPIRAN II • Menghitung jumlah alat pengumpulan secara langsung (Truk) Menghitung Kebutuhan Personil Pengumpul Keterangan: JAP = Jumlah Angkutan Pengumpul Perumahan JT = Jumlah Truk Perencanaan Operasional Pengumpulan Perencanaan operasional pengumpulan sebagai berikut: 132 • Ritasi antara 1 sampai dengan 4 kali per hari; • Periodisasi 1 hari, 2 hari atau maksimal 3 hari sekali, tergantung dan kondisi komposisi sampah, yaitu: ◦◦ Semakin besar persentasi sampah yang mudah terurai, periodisasi pengumpulan sampah menjadi setiap hari, ◦◦ Untuk sampah guna ulang dan sampah daur ulang, periode pengumpulannya disesuaikan dengan jadwal yang telah ditentukan, dapat dilakukan 3 hari sekali atau lebih; dan ◦◦ Untuk sampah yang mengandung bahan B3 dan limbah B3 serta sampah lainnya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. • Mempunyai daerah pelayanan tertentu dan tetap; • Mempunyai petugas pelaksanaan yang tetap dan dipindahkan secara periodik; • Pembebanan pekerjaan diusahakan merata dengan kriteria jumlah sampah terangkut, jarak tempuh, dan kondisi daerah. 4. Pemindahan dan Pengangkutan Sampah Sistem Pengangkutan Pemindahan dan pengangkutan sampah dimaksudkan sebagai kegiatan operasi yang dimulai dari titik pengumpulan terakhir dari suatu siklus pengumpulan sampai ke TPA atau TPST pada pengumpulan dengan pola individual langsung atau dari tempat pemindahan/penampungan sementara (TPS, TPS 3R, SPA) atau tempat penampungan komunal sampai ke tempat pengolahan/pemrosesan akhir (TPA/TPST). a. Metode Pemindahan dan Pengangkutan • Pengaturan jadwal pemindahan dan pengangkutan sesuai dengan jenis sampah terpilah dan sumber sampah; dan • Penyediaan sarana pemindahan dan pengangkut sampah terpilah. b. Pola Pengangkutan Pola pengangkutan sampah dapat dilakukan berdasarkan sistem pengumpulan sampah. Jika pengumpulan dan pengangkutan sampah menggunakan sistem pemindahan (TPS/TPS 3R) atau sistem tidak langsung, proses pengangkutannya dapat menggunakan sistem kontainer angkat (Hauled Container System =HCS) dan sistem kontainer tetap (Stationary Container System = SCS). Adapun penjelasan dari dua proses tersebut adalah sebagai berikut. • Sistem Kontainer Angkat (Hauled Container System = HCS) Untuk pengumpulan sampah dengan sistem kontainer angkat, pola pengangkutan yang digunakan dengan sistem pengosongan kontainer dapat dilihat pada gambar berikut. 133 LAMPIRAN II Gambar 2. Sistem Kontainer Angkat Proses pengangkutan: • ◦◦ Kendaraan dari pool dengan membawa kontainer kosong menuju lokasi kontainer isi untuk mengganti atau mengambil dan langsung membawanya ke TPA; ◦◦ Kendaraan dengan membawa kontainer kosong dari TPA menuju kontainer isi berikutnya; dan ◦◦ Demikian seterusnya sampai rit terakhir. Sistem Pengangkutan dengan Kontainer Tetap (Stationary Container System (SCS)) Sistem ini biasanya digunakan untuk kontainer kecil serta alat angkut berupa truk kompaktor secara mekanis atau manual. Pengangkutan dengan SCS mekanis yaitu : 134 ◦◦ Kendaraan dari pool menuju kontainer pertama, sampah dituangkan kedalam truk kompaktor dan meletakkan kembali kontainer yang kosong. ◦◦ Kendaraan menuju kontainer berikutnya sampai truk penuh untuk kemudian menuju TPA. ◦◦ Demikian seterusnya sampai rit terakhir. Gambar 3. Sistem Kontainer Tetap Pengangkutan dengan SCS manual yaitu : ◦◦ Kendaraan dari pool menuju TPS pertama, sampah dimuat ke dalam truk kompaktor atau truk biasa. ◦◦ Kendaraan menuju TPS berikutnya sampai truk penuh untuk kemudian menuju TPA. ◦◦ Demikian seterusnya sampai rit terakhir. 135 LAMPIRAN II Gambar 4. Pengangkutan SCS Manual Perencanaan dan Perhitungan Pengangkutan Sampah Beberapa istilah penting dan persamaan yang digunakan untuk menghitung pengangkutan dengan system HCS adalah: a. Pickup (PHCS): Waktu yang diperlukan untuk menuju lokasi kontainer berikutnya setelah meletakkan kontainer kosong di lokasi sebelumnya, waktu untuk mengambil kontainer penuh dan waktu untuk mengembalikan kontainer kosong (rit). b. Haul (h) : Waktu yang diperlukan menuju lokasi yg akan diangkut kontainernya. c. At-site (s) : Waktu yang digunakan untuk menunggu di lokasi. d. Off-route (W) : Non produktif pada seluruh kegiatan operasional: Waktu untuk checking pagi dan sore, hal tak terduga, perbaikan dan lain-lain. • Menghitung haul time (h) h = a + b.x ……………………………………… (1) Keterangan : a = Empirical haul time constant, h/trip b = Empirical haul time constant, h/trip x = Jarak rata-rata, Km/trip Nilai a dan b diperoleh dari data pengumpulan sampah secara 136 aktual, tergantung pada kondisi masing-masing daerah. Faktor yang mempengaruhi antara lain peraturan lalu lintas, kondisi jalan, jam sibuk dan lain-lain. • Menghitung PHcs PHCS = pc+uc+dbc ………………………………………....……(2) Keterangan : • Pc = Waktu mengambil kontainer penuh, j/trip Uc = Waktu untuk meletakkan kontainer kosong, j/trip Dbc = Waktu antara lokasi, jam/trip Menghitung waktu per trip THCS = PHCS+ h + s ………………………………………………..(3) Keterangan : h = Waktu yang diperlukan menuju lokasi yang akan diangkut kontainernya S = Waktu yang digunakan untuk menunggu di lokasi PHCS = Pick up time • Menghitung jumlah trip per hari : Nd = [ H (1-W) – (t1+t2) ]/THcs ………………………………….(4) Keterangan: Nd = Jumlah trip, trip/hari H = Waktu kerja perhari, jam t1 = Dari garasi ke lokasi pertama t2 = Dari lokasi terakhir ke garasi W = faktor off route (nonproduktif pada seluruh kegiatan operasional) Beberapa istilah penting dan persamaan yang digunakan untuk menghitung pengangkutan dengan sistem SCS adalah : • Pickup (Pscs) • Haul (h) : Waktu yang diperlukan untuk memuat sampah dari lokasi pertama sampai lokasi terakhir. : Waktu yang diperlukan menuju TPS/TPA dari lokasi pengumpulan terakhir. 137 LAMPIRAN II • At-site (s) : Waktu yang digunakan untuk menunggu di lokasi. • Off-route (W) : Nonproduktif pada seluruh kegiatan operasional : Waktu untuk checking pagi dan sore, hal tak terduga, perbaikan dan lain-lain. e. Pengumpulan Mekanis • Menghitung haul time (h) h = a + b.x ……………………………………….. (5) Dimana : a = Empirical haul time constant, h/trip b = Empirical haul time constant, h/trip x = Jarak rata-rata, mil/trip Nilai a dan b diperoleh dari data pengumpulan sampah secara aktual, tergantung pada kondisi masing-masing daerah. Faktor yang mempengaruhi antara lain peraturan lalu lintas, kondisi jalan, jam sibuk dan lain-lain. • Menghitung Pscs Pscs = Ct(uc) + (np - 1)(dbc) ……………………………………… (6) Keterangan: • Ct = Jumlah kontainer dikosongkan pertrip, kon/trip uc = Waktu rata-rata untuk mengosongkan kontainer, jam/kon np = Jumlah kontainer dikosongkan pertrip, lok/trip dbc = Waktu antar lokasi, jam/lok Menghitung jumlah kontainer yang dapat dikosongkan Ct = v.r/c.f ……………………………………… (7) Dimana : 138 v = Volume alat angkut, m3/trip r = Rasio pemadatan c = Volume kontainer, m3/kon f = Faktor utilisasi berat kontainer • Menghitung waktu per trip Tscs = Pscs + h + s ……………………………….. (8) Keterangan: • h = Waktu yang diperlukan menuju lokasi yang akan diangkut kontainernya s = Waktu yg digunakan untuk menunggu di lokasi Pscs = Pick up time Jumlah trip/hari Nd = Vd/v.r ………………………………….. (9) Keterangan: • v = Volume alat angkut, m3/trip r = Rasio pemadatan Vd = Jumlah sampah perhari (m3/hari) Waktu kerja /hari H = [(t1+t2) + Nd (Tscs)]/(1 - W) ……………………………. (10) Dimana : f. Nd = Jumlah trip, trip/hari H = Waktu kerja perhari, jam t1 = Dari garasi ke lokasi pertama t2 = Dari lokasi terakhir ke garasi W = Faktor off route (nonproduktif pada seluruh kegiatan operasional) Pengumpulan manual Np = 60 Pscs n/tp ………………………………………. (11) Dimana : Np = Jumlah lokasi/trip 60 = Konversi jam ke menit, 60 menit/jam n = Jumlah pengumpul tp = Waktu pengambilan per lokasi 139 LAMPIRAN II tp tergantung : Waktu antar lokasi, jumlah kontainer per lokasi, % jarak rumah ke rumah tp = dbc + kiCn + k2 (PRH) ……………………………. (12) Dimana : k1 = Konstanta waktu pengambilan perkontainer, menit/kontainer k2 = Konstanta waktu pengambilan dari halaman rumah, menit/kontainer Cn = Jumlah kontainer per lokasi PRH= Rear-house pickup locations, persen Perencanaan Penentuan Sarana Pengangkutan Peralatan dan perlengkapan untuk sarana pengangkutan sampah dalam skala kota harus memiliki persyaratan sebagai berikut : 1. Sampah harus tertutup selama pengangkutan, agar sampah tidak berceceran di jalan. 2. Tinggi bak maksimum 1,6 meter. 3. Sebaiknya ada alat pengungkit. 4. Tidak bocor, agar llndi tidak berceceran selama pengangkutan. 5. Disesuaikan dengan kondisi jalan yang dilalui. 6. Disesuaikan dengan kemampuan dana dan teknik pemeliharaan. Jenis Peralatan dapat berupa : 1. Dump Truck 2. Arm Roll Truck 3. Compactor Truck 4. Trailer Truck 5. Penyediaan TPS TPS merupakan landasan pemindahan yang dapat dilengkapi dengan ramp dan kontainer. TPS harus memenuhi kriteria teknis antara lain: a. Luas TPS, sampai dengan 200 m2 140 b. Tersedia sarana untuk mengelompokkan sampah menjadi paling sedikit 5 (lima) jenis sampah c. Jenis pembangunan penampung sampah sementara bukan merupakan wadah permanen d. Sampah tidak boleh berada di TPS lebih dari 24 jam e. Penempatan tidak mengganggu estetika dan lalu lintas f. TPS harus dalam keadaan bersih setelah sampah diangkut ke TPA g. Luas lokasi dan kapasitas sesuai kebutuhan, mudah diakses dan tidak mencemari lingkungan. h. Memiliki jadwal pengumpulan dan pengangkutan. 6. Penyediaan TPS 3R, SPA, TPST Penyediaan TPS 3R, SPA, dan TPST mengacu kepada: • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga; dan Persyaratan TPS 3R : • Luas TPS 3R, lebih besar dari 200 m2 • Jenis pembangunan penampung residu/sisa pengolahan sampah di TPS 3R bukan merupakan wadah permanen. • Tersedia sarana untuk mengelompokkan sampah menjadi paling sedikit 5 (lima) jenis sampah. • Penempatan lokasi TPS 3R sedekat ,mungkin dengan daerah pelayanan dalam radius tidak lebih dari 1 km. • TPS 3R dilengkapi dengan ruang pemilah, pengomposan sampah organik, gudang, zona penyangga (buffer zone) dan tidak mengganggu estetika serta lalu lintas. • Keterlibatan aktif masyarakat dalam mengurangi dan memilah sampah. • Lokasi TPS 3R: ◦◦ Luas TPS 3R bervariasi. Untuk kawasan perumahan baru (cakupan pelayanan 2000 rumah) diperlukan TPS3R dengan luas 1000 m2. Sedangkan untuk cakupan pelayanan skala RW (200 rumah), diperlukan TPS 3R dengan luas 200-500 m2. ◦◦ TPS 3R dengan luas 1000 m2 dapat menampung sampah dengan atau 141 LAMPIRAN II tanpa proses pemilahan sampah di sumber. • ◦◦ TPS 3R dengan luas <500 m2 hanya dapat menampung sampah dalam keadaan terpilah (50%) dan sampah campur 50%. ◦◦ TPS 3R dengan luas <200 m2 sebaiknya hanya menampung sampah tercampur 20%, sedangkan sampah yang sudah terpilah 80%. Persyaratan Teknis TPST: ◦◦ Luas TPST, lebih besar dari 20.000 m2 ◦◦ Penempatan lokasi TPST dapat di dalam kota dan atau di TPA; ◦◦ Jarak TPST ke permukiman terdekat paling sedikit 500 m; ◦◦ Pengolahan sampah di TPST dapat menggunakan teknologi sebagaimana halnya SPA skala lingkungan hunian; dan ◦◦ Fasilitas TPST dilengkapi dengan ruang pemilah, instalasi pengolahan sampah, pengendalian pencemaran lingkungan, penanganan residu, dan fasilitas penunjang serta zona penyangga. 7. Lokasi TPA Pemilihan lokasi TPA sampah perkotaan harus sesuai dengan ketentuan yang ada (SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19 Tahun 2002 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah. Kriteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian: a. Kriteria regional: Kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak atau zona tidak layak sebagai berikut: • • 142 Kondisi geologi. ◦◦ Tidak berlokasi di zona holocene fault; dan ◦◦ Tidak boleh di zona bahaya geologi. Kondisi hidrogeologi. ◦◦ Tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dan 3 meter; ◦◦ Tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dan 10-6 cm/det; ◦◦ Jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dan 100 meter di hilir aliran; ◦◦ Dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut diatas, maka harus diadakan masukan teknologi; ◦◦ Kemiringan zona harus kurang dan 20 %; ◦◦ Jarak dan lapangan terbang harus lebih besar dan 3.000 meter untuk penerbangan turbo jet dan harus Iebih besar dan 1.500 meter untuk jenis lain; dan ◦◦ Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang 25 tahun; b. Kriteria penyisih: Kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik yaitu terdiri dan kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut: • Iklim ◦◦ Hujan: Intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik; dan ◦◦ Angin: Arah angin dominan tidak menuju ke pemukiman dinilai makin baik. • Utilitas: Tersedia lebih lengkap dinilai makin baik. • Lingkungan biologis: • • ◦◦ Habitat: Kurang bervariasi, dinilai makin baik; dan ◦◦ Daya dukung: Kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin baik. Kondisi tanah ◦◦ Produktifitas tanah: Tidak produktif dinilai lebih tinggi; dan ◦◦ Kapasitas dan umur: Dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama dinilai lebih baik. Ketersediaan tanah ◦◦ Penutup : Mempunyai tanah penutup yang cukup, dinilai lebih baik; dan ◦◦ Status tanah : Makin bervariasi dinilai tidak baik. c. Kriteria Lainnya • Demografi: Kepadatan penduduk lebih rendah, dinilai makin baik; • Batas administrasi: Dalam batas administrasi dinilai semakin baik; • Kebisingan: Semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik; • Bau: Semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik; • Estetika: Semakin tidak terlihat dan luar dinilai semakin baik; dan 143 LAMPIRAN II • Ekonomi: Semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per m3/ton) dinilai semakin baik. 8. Sistem Teknologi Pengolahan Sampah Meliputi penjelasan tentang sistem teknologi pengolahan sampah yang akan dikerjasamakan melalui skema kerjasama KPBU. Jenis Pengolahan sampah meliputi : a. Transformasi Fisik • Pemisahan komponen sampah. • Mengurangi volume sampah dengan pemadatan atau kompaksi. • Mereduksi ukuran dari sampah dengan proses pencacahan. b. Transformasi Biologi • Perubahan bentuk sampah dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk mendekomposisi sampah menjadi bahan stabil yaitu kompos. Teknik biotransformasi yang umum dikenal adalah: komposting secara aerobik dan penguraian secara anaerobik. c. Transformasi Kimia • Perubahan bentuk sampah secara kimiawi dengan menggunakan prinsip proses pembakaran atau insenerasi. Proses pembakaran sampah dapat didefinisikan sebagai pengubahan bentuk sampah padat menjadi fasa gas, cair, dan produk padat yang terkonversi, dengan pelepasan energi panas. 9. Pemrosesan Akhir Berikut ini adalah beberapa contoh pilihan teknologi yang dapat dilakukan kerjasama dalam skema KPBU pada sarana ITF (Intermediate Treatment Facility) dan pada sarana di TPA antara lain: 144 • Anaerobic Digester, • Mechanical Biological Treatment (MBT), • Insinerasi, • Pirolisis, • Gasifikasi, • Waste to Energy (WtE) untuk pemanfaatan tenaga listrik, • Refuse Derived Fuel (RDF) mengubah fraksi sampah yang mudah terbakar dari limbah padat untuk dijadikan bahan bakar. Fasilitas WtE berupa insenerasi umumnya merupakan solusi akhir pengolahan sampah dengan residu berupa abu terbang (fly ash). Fasilitas WtE lainnya melibatkan proses MBT dapat dianggap sebagai fasiltas pengolahan antara (intermediate) dengan produk seperti RDF, SRF, dan CLO yang membutuhkan penanganan atau pemrosesan lanjut untuk diambil nilai ekonomisnya dari produk yang dihasilkan. Proses MBT ini merupakan gabungan operasi pra-pengolahan (pre treatment), perlakuan mekanikal dan/atau biologis dan pasca pengolahan (post treatment). Dari segi keekonomian MBT dianggap lebih ekonomis dan fleksibel terhadap variasi kualitas sampah input. SPESIFIKASI KELUARAN Spesifikasi keluaran menggambarkan output yang harus dipenuhi oleh Badan Usaha Pelaksana (BUP) dalam pengelolaan sampah. Kesepahaman dan persepsi yang sama antara PJPK dengan Badan Usaha Pelaksana yang akan melakukan kerjasama diperlukan untuk menjamin pengelolaan sampah yang berkesinambungan dan sesuai target. Salah satu contoh sebagai referensi, spesifikasi keluaran yang diatur dalam KPBU untuk pengelolaan sampah WtE (Waste to Energy) dengan teknologi insinerator adalah: Contoh Spesifikasi Teknis yang Diatur Dalam Perjanjian KPBU Spesifikasi Teknis Keterangan • • • Jenis sampah Jumlah timbunan per hari Nilai bakar desain • • • Metode pengangkutan sampah Waktu pengiriman Kapasitas penyimpanan bunker Sistem grate dan boiler • • • • • Jumlah baris incinerator Jumlah turbin Sistem ramah lingkungan Parameter uap Efisiensi pembakaran Siklus air – uap Teknologi Suplai sampah Pengangkutan penyimpanan sampah dan 145 LAMPIRAN II Spesifikasi Teknis Pemindahan abu bawah dan residu Keterangan • • • • Flue Gas Treatment (FGT) dan Water • Treatment • • Kondisi saat pemindahan Metode pemindahan Batas emisi Tinggi cerobong Kesesuaian dengan baku lingkungan Desain furnace Sistem pengolahan air limbah mutu Umur ekonomis fasilitas Luas bangunan Desain system Material Contoh Spesifikasi RDF yang dihasilkan pada rancangan pabrik semen mengacu kepada spesifikasi yang dipersyaratkan oleh industri semen seperti sebagai berikut : Contoh Spesifikasi RDF untuk Industri Semen Quality Parameter Calorific Value (kcal/kg) Particle size (mm) Moisture content (%) Chlorine (%) 146 Specification Min 3000 20 - 40 < 20 <1 Disamping itu juga ada izin Pemanfaatan Limbah B3 KepmenLH di industri semen menyebutkan bahwa pemenuhan kriteria pemanfaatan yang dimaksud adalah memenuhi nilai kalori ≥ 2500 kkal/kg dan/atau memenuhi mineral ≥ 50% dan memenuhi batasan logam berat sebagai berikut : Tabel 3. Kandungan Maksimum Pengotor dalam Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Sebelum Dimanfaaatkan sebagai Subtitusi Bahan Bakar dan/atau Subtitusi Bahan Baku Semen No. Parameter Kandungan Maksimum Satuan 1. Arsen (As) ≤ 15 ppm 2. Cadmium (Cd) ≤ 10 ppm 3. Chromium (Cr) ≤ 1500 ppm 4. Lead (Pb) ≤ 500 ppm 5. Merkuri (Hg) ≤ 1,5 ppm 6. Thalium (Tl) ≤2 ppm 7. Antimoni (Sb) ≤ 120 ppm 8. Cobalt (Co) ≤ 12 ppm 9. Nikel (Ni) ≤ 100 ppm 10. Copper (Cu) ≤ 1000 ppm 11. Vanadium (V) ≤25 ppm Catatan : Laju umpan limbah maksimum 20 (dua puluh) ton/jam per kiln untuk subtitusi bahan bakar dan 30 (tiga puluh) ton/jam per kiln untuk subtitusi bahan baku (laju umpan secara pro rata). Tabel 4. Contoh Spesifikasi RDF untuk kebutuhan Power Plant Fuel, Derived from MSW (RDF) for the Plant Coal for Plants in the Energy Sector Mm 35 : 200 10 ÷ 20 MJ/kg 14 : 21 13 ÷ 22 Humidity weight % < 25 < 15 Ash weight % < 20 < 12 0,75 1 ÷ 1,1 Characteristics Size of material Harmful substances Calorific value Average value of harmful component Chlorine (Cl) weight % Sulphur (S) weight % 0,75 ÷ 1 147 LAMPIRAN II Fuel, Derived from MSW (RDF) for the Plant Characteristics Coal for Plants in the Energy Sector Fluor (F) weight % 0,05 ÷ 0,1 Cadmium (Cd) mg/kg CB 4,0 3÷4 Mercury (Hg) mg/kg CB 0,6 0,6 Thalium (Tl) mg/kg CB 1,0 1,0 Arsenic (As) mg/kg CB 5,0 5÷9 Cobalt (Co) mg/kg CB 6,0 6÷8 Nickel (Ni) mg/kg CB 25 50 ÷ 80 Lead (Pb) mg/kg CB 70 50 ÷ 190 Chromium (Cr) mg/kg CB 40 40 ÷ 125 Copper (Cu) mg/kg CB 100 100 ÷ 350 Manganese (Mn) mg/kg CB 50 50 ÷ 250 Antimony (Sb) mg/kg CB 25 25 ÷ 50 Vanadium (V) mg/kg CB 10 10 Tin (Sn) mg/kg CB 30 10 ÷ 30 Zinc (Zn) mg/kg CB Alumunium (Al) mg/kg CB 10. Perhitungan Sarana dan Prasarana Menjelaskan tentang kebutuhan sarana prasrana yang akan disediakan oleh PJPK maupun pihak Badan Usaha Pelaksana dalam melakukan kerjasama KPBU. 148