Oṁkāra Menundukkan Ahaṁkāra Oleh: Darmayasa Om iti brahma. Om itῑdaṁ sarvam. Om ity etad anukṛtir ha sma vā apyo śrāvayetyāśrāvayanti.Om iti sāmāni gāyanti. Oṁśom iti śastrāṇi śaṁsanti. Om ity adhvaryuh pratigaram pratigṛṇāti. Om iti brahmā prasauti. Om ity agnihotram anujānāti. Om iti brāhmaṇaḥ pravakṣyannāha brahmopāpnavānῑti. Brahmaivopāpnoti. (Taittirῑya Upaniṣad, Śikṣāvallῑ.Anuvāka 8) OM adalah Tuhan Yang Maha Esa. Seluruh alam semesta yang nampak ini adalah OM. Aksara OM tanpa diragukan sama sekali, dipergunakan untuk menunjukkan kepatuhan. Selain itu, wahai Guru Suci Ācārya, perdengarkanlah kepada hamba. Setelah mengucapkan "OM," (maka Ācārya) memberikan pelajaran (kepada siswanya). Dengan mengucapkan OM, para Pendeta Udgātṛ menyanyikan pujian-pujian Sāman. Dengan mengucapkan "OM, ŚOM," mereka mengucapkan mantra-mantra Veda. Dengan mengucapkan OM, para Pendeta Adhvaryu mengucapkan mantra-mantra menyahut. Dengan mengucapkan OM, Pendeta Brahma memberikan persetujuan. Dengan mengucapkan OM, lalu memberikan izin untuk melakukan persembahan upacara suci Agnihotra. Para Brāhmaṇa yang berkeinginan keras untuk mempelajari Veda, maka ia mengucapkan OM terlebih dahulu, lalu berkata, “Aku ingin mencapai Brahman”, maka dengan pasti ia mencapai Brahman. Salah satu kitab upaniṣad yang sangat penting, Taittirῑya Upaniṣad menyebutkan kemuliaan dari Oṁkāra: OM iti brahma. OM iti idaṁ sarvam. OM ity etad anukṛti ha sma vā apyośrāvayanti, bahwa orang hendaknya merenungkan OM adalah Brahman, seluruh alam semesta ini, dirasakan dan dibayangkan adalah OM itu sendiri. Dalam upacara Yajña, pendeta dari masing-masing Catur Veda seperti: Hotr, Udgatṛ, Adhvaryu, Brahma semua memulai tugas masing-masing dengan ucapan OM. Dengan cara demikian mereka pasti mencapai Brahman. Setiap mantra biasanya selalu disertai oleh Bῑja atau benih Mantra yang sering terdiri dari hanya satu suku kata. Sebagaimana pohon yang besar dengan buah dan bunga yang banyak “terdapat” di dalam biji yang kecil, seperti itu pula segala isi dan tujuan dari mantra terdapat di dalam Bῑja mantra. Hanya saja, ia sangat ditentukan oleh kesempurnaan pengucapannya. Terdapat banyak Jenis Bῑja Mantra, seperti gam, dam, aing, hrῑng, dhūm, klῑm, śrῑm, ham, rām, yam, kṣam, dan lain-lain. Sedangkan OM adalah Bῑja Mantra atau benih Mantra yang terdepan atau terpenting serta mempunyai kekuatan spiritual luar biasa. Bῑja Mantra selalu menyertai dan melengkapi mantra-mantra lain. Selain merupakan Bῑja Mantra sangat ampuh, aksara suci OM juga adalah satu-satunya Aksara yang dipergunakan dalam setiap awal dan sering pula pada akhir sebuah mantra. Oleh karena aksara suci OM adalah perwujudan Tuhan Yang Maha Esa, jika OM diucapkan mengawali doa mantra dengan batin yang suci serta bhakti śradha yang mantap maka OM akan menyempurnakan mantra tersebut dan memberikan hasil yang sempurna. Terdapat beberapa cara “sentuhan batin” praktisi spiritual sehubungan dengan aksara suci OM. Ada yang merenungkannya sebagai simbol dari Tuhan Brahman, ada pula yang menerimanya sebagai Tuhan atau Brahman itu sendiri. Di Bali, bahkan doa-doa yang bukan bahasa Sanskerta pun pengucapannya diawali dengan OM, ONG, WONG, atau kalau di Jawa ada yang mengucapkan HONG. Para praktisi kebatinan memanfaatkan kelumiaan Oṁkāra untuk tujuan-tujuan kekuatan gaib, para siswa Yoga memakainya sebagai bantuan dalam Trāṭaka Yoga; mereka membuat huruf OM, memasangnya di tembok dan lain-lain. Ketika orang mulai berbicara maka bibir akan terbuka dalam suara A, U di pertengahan, dan ketika orang selesai berbicara mulutnya akan menutup dalam pengakhiran suara M. Demikian, OM berasal dari tiga aksara/huruf, yaitu A, U dan M. Aksara A menunjukkan Brahmā sebagai Pencipta alam semesta, U menunjukkan Viṣṇu sebagai Pemelihara, dan M menunjukkan Śiva sebagai Pelebur alam semesta. OM memulai alam semesta. Ada sebelum ciptaan, berada selama ciptaan, dan tetap ada setelah ciptaan material ini dilebur. OM mengatasi hal duniawi (Parātparah). Selanjutnya Kaṭha Upaniṣad yang merupakan upaniṣad dari Yajur Veda, yang juga disebut Kaṭhaka Upaniṣad menyebutkan Aksara Suci OM sebagai tempat Tinggal Brahman Yang Paling Tinggi: sarve vedāḥ yat-padamamānanti tapāṁsi sarvāṇi ca yad-vadanti yadicchanto brahmacaryam caranti tat te padam sangrahena bravimy OM ity etat. Dewa Kebenaran Yamarāja dalam percakapannya dengan Nāciketa menyebutkan bahwa “sarve vedāḥ” keempat Veda (Catur Veda) dan lain-lain kitab literatur Veda, “yat-padam amānanti”, tempat tinggal spiritual tertinggi mana juga yang dijelaskannya, “sarvāṇi tapāṁsi ca yat-vadanti” apa pun jenis kegiatan keagamaan, kegiatan kesucian, pertapaan yang dilakukan, “yat icchantah brahmacaryam caranti” yang menyimpan keinginan keras untuk mencapai atau kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa, “tat-padam sangrahena bravimi” secara singkat, dapat Kukatakan bahwa Tempat Tinggal yang menjadi tujuan dari semua itu adalah OM iti etat - yaitu Aksara Suci OM. OM iti etat, dalam Bhagavad-gītā Śrῑ Kṛṣṇa juga mengatakan kurang lebih hal yang sama, yaitu “Om ity ekākṣaram”. Para Sādhaka dianjurkan agar menutup seluruh pintu-pintu indria, membebaskan diri dari dorongan nafsu seks, memantapkan diri dalam suasana Yoga, mengucapkan aksara suci OM, memusatkan pikiran di dalam hati dan prāṇa hidup di atas ubunubun, maka ia akan sampai pada planet-planet spiritual (paramam gatim). Ahaṁkāra merupakan halangan terbesar untuk mencapai tujuan tertinggi pembebasan. Oṁkāra mempunyai kekuatan sangat ampuh untuk menundukkan keakuan palsu atau ahaṁkāra tersebut. Amṛtabiṇḍu Upaniṣad mengajarkan meditasi teratur pada OM dengan pengertian hurufhurufnya (A, U, M). Kemudian bermeditasi pada OM tanpa pengertian huruf-huruf, kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berada di luar pengertian huruf. Dengan cara bermeditasi seperti itu, orang akan dapat merealisasikan Kebenaran Tuhan Yang Maha Esa (svareṇa samdhayed yogam asvaram bhavayet param, asvareṇānubhāvena bhavo vā’bhava iṣyate). Untuk melihat Tuhan yang tidak dapat dilihat, Brahmopaniṣad mengajarkan: ātmanamaraṇim kṛtvā praṇavam cottararaṇim, jadikanlah diri sebagai kayu bakar bagian bawah dari korban suci, dan OM (Praṇava) sebagai kayu bakar bagian atas. Gosokkanlah kedua kayu itu dalam meditasi maka kalian akan melihat Tuhan yang Maha Rahasia (paśyen devam niguḍhavat). Śiva Purāṇa memberikan ulasan menarik tentang Praṇava. Maharesi Suta memberikan penjelasan kepada para resi: ”Praṇava berasal dari pra yang berarti lautan maha luas dalam bentuk alam semesta material yang muncul dari Prakrti. Kata nava berarti perahu. Praṇava berarti perahu yang mengantarkan kita menyeberangi lautan maha luas dalam bentuk alam semesta material. Maka Oṁkāra disebut Praṇava. Kata Praṇava juga berarti pra = prapañca (alam semesta material yang kelihatan ini, fenomena atau illusi ini), na = nahi (tidak), dan vah = untuk kalian. Berarti:”Fenomena alam semesta ini bukan dimaksudkan untuk kalian.” Maharesi Suta menyebutkan makna Praṇava sebagai: Pra = prakarṣena (secara paksa, dengan penuh kekuatan), na = nayet (menuntun), dan vah = yusman (kalian semua). Praṇava berarti yang mengantarkan kalian dengan paksa kepada pembebasan (moksa). Praṇava juga berarti yang jika diucapkan dengan penuh keyakinan dan bhakti akan mampu menghancurkan reaksi-reaksi karma dan memberikan pengetahuan baru (spiritual) kepada yang bersangkutan. Tuhan dalam bentuk Beliau yang sejati (Śuddha Svarūpa) disebut Nava. Oṁkāra mengantarkan sādhaka-Nya kepada bentuk Tuhan yang sejati tersebut, maka Oṁkāra disebut Praṇava. Manu Smṛti menyebutkan bahwa jika orang men-japa-kan Trikam yaitu: (1) Oṁkāra, (2) Vyāhṛti (bhūr bhuvaḥ svaḥ) dan (3) Sāvitri atau Gāyatrῑ sebanyak seribu kali selama sebulan, yang bersangkutan akan dibebaskan dari mahā-pāpa atau dosa besar. Disebutkan pula bahwa A, U, M dan bhūḥ bhuvaḥ svaḥ adalah hasil perahan Brahma dari Ṛg Veda, Yajur Veda, dan Sāma Veda. Devῑ Bhagavata menjelaskan, bahkan dalam pelaksanaan ācamana pun Oṁkāra merupakan keharusan untuk diucapkan. Acamana adalah penyucian diri dengan mantra dan air suci sebelum melakukan Puja atau kegiatan suci lainnya.